You are on page 1of 29

MAKALAH PANDANGAN BEHAVIORAL

TERHADAP PEMBELAJARAN, BELAJAR


DAN PERKEMBANGAN, PENDIDIKAN DI
SEKOLAH

DOSEN PENGAMPU:
Dr. BUYUNG, S.Pd, M.Pd
- Dr. Drs. H. HENDRA SOFYAN, M.Psi
KELOMPOK 5:
ANI RAHAYU
AYU KARTIKA SARI
HIDAYATURRAHMAN
LINTANG ROFIATUS S.
MONALISA
MUHAMMAD IKHLAS
NADIYA SEPTIRIANI

NIM. A1C314030
NIM. A1C314025
NIM. A1C314024
NIM. A1C314008
NIM. A1C314003
NIM. A1C314019
NIM. A1C314021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI
2016
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
karuniaNyalah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Pandangan
Behavior terhadap Pembelajaran, Belajar dan Perkembangannya, dan Pendidikan di
Sekolah.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr.
Buyung, S.Pd, M.Pd., dan Dr. Drs. H. Hendra Sofyan, M.Psi., sebagai Dosen
Pengampu yang telah bersedia memberikan waktunya, perhatiannya, serta
bimbingannya dalam penyelesaian makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya hingga
makalah ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, karena terbatasnya
ilmu yang dimiliki, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk lebih menyempurnakan makalah kami di masa yang akan datang.
Akhirnya, Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih serta
manfaat bagi kita semua.

Jambi, Februari 2016

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...........................................................................................

1.2. Rumusan Masalah......................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pandangan Behavioral Terhadap Pembelajaran.........................................
3
2.1.1........................................................................................................Pengerti
an Teori Behaviorisme......................................................................
3
2.1.2........................................................................................................Teori
Dalam Pandangan Behaviorisme.....................................................
4
2.2........................................................................................... Belajar
dan Perkembangan..................................................................................... 10
2.2.1........................................................................................................Perkemb
angan Psiko-Fisik Siswa.................................................................. 10
2.2.2........................................................................................................Hubunga
n Perkembangan dengan Belajar Anak............................................ 18
2.3...........................................................................................Pendidik
an di Sekolah ............................................................................................
2.3.1. Definisi Pendidikan.........................................................................

19
19

2.3.2. Dasar dan Tujuan Pendidikan .........................................................

20

2.3.3 Tujuan Pendidikan............................................................................

21

2.3.4 Lembaga Pendidikan........................................................................ 23


2.3.5 Tingkat Pendidikan ..........................................................................

23

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ................................................................................................

26

3.2 Saran...........................................................................................................

26

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pandangan behavioristik menekankan bahwa pola - pola perilaku dapat
dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan ( reinforcement ) dengan
mengkondisikan stimulus ( conditioning ) dalam lingkungan ( enviornmentalistik ).
Dengan demikian, perubahan perilaku ( behavior change ) dapat terjadi. Dalam
konteks pandangan behaviorisme, dapat dinyatakan bahwa praktek pendidikan pada
hakikatnya merupakan usaha conditioning ( penciptaan seperangkat stimulus) yang
diharapkan pula menghasilkan pola-pola perilaku (seperangkat response) tertentu.
Prestasi belajar ( achievment ) dalam term-term pengetahuan ( penalaran ), sikap
( penghayatan ), dan keterampilan ( pengamalan ) merupakan indikator-indikator atau
manifestasi dari perubahan dan perkembangan perilaku termaksud.
Pandangan behavioral sangat berkaitan dengan perkembangan anak. Anak
yang berada di kelas awal SD adalah anak yang berada pada rentangan usia dini.
Masa usia dini ini merupakan masa perkembangan anak yang pendek tetapi
merupakan masa yang sangat penting bagi kehidupannya. Maka pada unit 1 mata
kuliah Perkembangan Belajar Peserta Didik ini kita akan mempelajari Konsep Dasar
Perkembangan Belajar Peserta Didik yang meliputi Pengertian perkembangan belajar
peseta didik dan Prinsip-prinsip perkembanganyang akan membantu pemahaman
Anda tentang perkembangan belajar peserta didik dengan lebih baik.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang dapat di ambil adalah :
1. Bagaimana pandangan Behavioral terhadap pembelajaran ?
2. Apa yang di maksud dengan belajar dan perkembangan ?
3. Bagaimana pendidikan di sekolah ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.2 Pandangan Behavioral Terhadap Pembelajaran
2.1.3 Pengertian Teori Behaviorisme
Teori Belajar behaviorisme adalah teori belajar yang menekankan pada
tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon
(Slavin, 2008). teori behaviorisme merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh
Gage dan Berliner. Kemudian teori ini berkembang menjadi aliran psikologi
belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behaviorisme. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behaviorisme dengan model hubungan stimulus-responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan
akan menghilang bila dikenai hukuman. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu
jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon.
Stimulus merupakan segala hal yang diberikan oleh guru kepada pelajar,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan
respon. Oleh karena itu sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu
yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat perubahan tingkah laku tersebut terjadi atau tidak.

2.1.4 Teori Dalam Pandangan Behaviorisme


1) Teori Pengkondisian Klasikal dari Pavlov
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik)
adalah proses yang dikemukakan Pavlov melalui percobaannya terhadap
anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus
bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang
diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain
tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejalagejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya (Bakker, 1985).
Untuk memahami teori kondisioning klasik secara menyeluruh
perlu dipahami ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis
stimulus tersebut adalah :
a) Stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), yaitu
stimulus yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa didahului
dengan pembelajaran apapun (contoh: makanan).
b) Stimulus terkondisi (conditioned stimulus-CS), yaitu stimulus yang
sebelumnya bersifat netral, akhirnya mendatangkan sebuah respon yang
terkondisi setelah diasosiasikan dengan stimulus tidak terkondisi
(contoh : suara bel sebelum makanan datang).
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan
rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai
dengan apa yang diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen
dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang
memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala
kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.Ia
mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi pipi pada seekor
anjing.
Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila
diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing
tersebut. Kini sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan
adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air

liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan


berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan
sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang sinar merah adalah
rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan
berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi)
untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut :
Refleks Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat
dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut
dilakukan pada manusia, yang ternyata ditemukan banyak refleks bersyarat
yang timbul tidak disadari manusia. Melalui eksperimen tersebut Pavlov
menunjukkan bahwa belajar dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
Faktor lain yang juga penting dalam teori belajar pengkondisian
klasik Pavlov adalah generalisasi,deskriminasi,dan pelemahan.
Generalisasi. Dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa,
anjing akan mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara yang
mirip dengan bel, contoh suara peluit (karena anjing mengeluarkan air liur
ketika bel dipasangkan dengan makanan). Jadi, generalisasi melibatkan
kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi
asli untuk menghasilkan respon serupa. Contoh, seorang peserta didik
merasa gugup ketika dikritik atas hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran
matematika. Ketika mempersiapkan ujian Fisika, peserta didik tersbut akan
merasakan gugup karena kedua pelajaran sama-sama berupa hitungan. Jadi
kegugupan peserta didik tersebut hasil generalisasi dari melakukan ujian
mata pelajaran satu kepada mata pelajaran lain yang mirip.
Deskriminasi. Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak
terhadap yang lainnya. Pavlov memberikan makanan kepada anjing hanya
setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi yang lain untuk menghasilkan
deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian dikelas yang berbeda, pesrta

didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian bahasa


Indonesia dan sejarah karena keduanya merupakan subjek yang berbeda.
Pelemahan (extincition). proses melemahnya stimulus yang
terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus tak terkondisi. Pavlov
membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan. Akhirnya,
dengan hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mngeluarkan air liur.
Contoh, kritikan guru yang terus menerus pada hasil ujian yang jelek,
membuat peserta didik tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya
peserta didik pernah mendapat nilai ujian yang bagus dan sangat
termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning klasik digunakan
untuk mengembangkan sikap yang menguntungkan terhadap peserta didik
untuk termotivasi belajar dan membantu guru untuk melatih kebiasaan
positif peserta didik.
2) Teori Connetionisme Thorndike
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S)
dengan respon (R). Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan
kucing. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar
(puzzle box) tersebut diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara
stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons
yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.
Bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error learning or
selecting and connecting learning dan berlangsung menurut hukumhukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh
Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori
asosiasi. Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar
sebagai berikut :

a) Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme


memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah
laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat.
b) Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan
perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihanlatihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak
dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip dari hokum ini
menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin
sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
c) Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon
cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung
diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada
makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu
perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan
dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti
akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan
diulangi (Suryabrata, 1984).
Selain tiga hukum di atas Thorndike juga menambahkan hokum
lainnya dalam belajar yaitu Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response),
Hukum Sikap (Set/Attitude), Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotency
of Element), Hukum Respon by Analogy, dan Hukum perpindahan Asosiasi
( Associative Shifting).

3) Teori Operant Conditioning dari B.F.Skinner


Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar
mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para
10

tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana


dan dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara komprehensif.
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi
melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan
perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para
tokoh sebelumnya (Slavin, 2008).
Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara
benar perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu
dengan lainnya, serta memahami respons yang mungkin dimunculkan dan
berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari
respons tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku
hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang
dipergunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. Dari semua
pendukung teori behavioristik, teori Skinnerlah yang paling besar
pengaruhnya. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine,
pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain
yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan
faktor-faktor

penguat

(reinforcement),

merupakan

program-program

pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh


Skinner.
a) Penguatan (Reinforcement) Menurut Skinner, untuk memperkuat
perilaku atau menegaskan perilaku diperlukan suatu penguatan
(reinforcement). Ada juga jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan
penguatan negative.
b) Penguatan positif (positive reninforcement) didasari prinsip bahwa
frekuensi dari suatu respon akan meningkat karena diikuti oleh suatu
stimulus yang mengandung penghargaan. Jadi, perilaku yang diharapkan
akan meningkat karena diikuti oleh stimulus menyenangkan. Contoh,

11

peserta didik yang selalu rajin belajar sehingga mendapat rangking satu
akan diberi hadiah sepeda oleh orang tuanya. Perilaku yang ingin
diulang atau ditingkatkan adalah rajin belajar sehingga menjadi
rangking satu dan penguatan positif/stimulus menyenangkan adalah
pemberian sepeda.
c) Penguatan negatif (negative reinforcement) didasari prinsip bahwa
frekuensi dari suatu respon akan meningkat karena diikuti dengan suatu
stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi,
perilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti dengan
penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik
sering bertanya dan guru menghilangkan/tidak mengkritik terhadap
pertanyaan yang tidak berkenan dihati guru sehingga peserta didik akan
sering bertanya. Jadi, perilaku yang ingin diulangi atau ditingkatkan
adalah sering bertanya dan stimulus yang tidak menyenangkan yang
ingin dihilangkan adalah kritikan guru sehingga peserta didik tidak malu
dan akan sering bertanya karena guru tidak mengkritik pertanyaan yang
tidak berbobot/melenceng.
d) Hukuman, Hukuman (punishmen) yaitu suatu konsekuensi yang
menurunkan peluang terjadinya suatu perilaku. Jadi, perilaku yang tidak
diharapkan akan menurun atau bahkan hilang karena diberikan suatu
stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik yang
berperilaku mencontek akan diberikan sanksi, yaitu jawabannya tidak
diperiksa dan nilainya 0 (stimulus yang tidak menyenangkan/hukuman).
Perilaku yang ingin dihilangkan adalah perilaku mencontek dan jawaban
tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus yang tidak menyenangkan atau
hukuman).
Perbedaan antara penguatan negatif dan hukuman terletak pada
perilaku yang ditimbulkan. Pada penguatan negatif, menghilangkan
stimulus yang tidak menyenangkan (kritik) untuk meningkatkan perilaku
yang diharapkan (sering bertanya). Pada hukuman, pemberian stimulus

12

yang tidak menyenangkan nilai 0 untuk menghilangkan perilaku yang tidak


diharapkan (perilaku mencontek).
2.4 Belajar dan Perkembangan
2.2.2 Perkembangan Psiko-Fisik Siswa
Perkembangan ialah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu
fungsi organ jasmaniah, perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi
psikologis yang disandang oleh organ-organ fisik.
Menurut Reni Akbar Hawadi (2001), perkembangan secara luas
menunjuk pada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu
dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang baru.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1991 ), perkembangan
adalah perihal berkembang. Selanjutnya, kata berkembang menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia ini berarti terbuka atau membentang ; menjadi besar ,
luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian,
pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Dengan demikian, kata berkembang
tidak saja meliputi aspek yang bersifat abstrak seperti pikiran dan pengetahuan,
tetapi juga meliputi aspek yang bersifat konkret.
Berdasarkan uraian di atas, Perkembangan pada prinsipnya merupakan
rentetan perubahan jasmani dan rohani (fisio-psikis) manusia yang menuju ke
arah yang lebih maju dan sempurna. Proses-proses perkembangan yang berkaitan
dengan kegiatan belajar diantaranya:
1) Motor Development (Perkembangan Motor) Siswa
Dalam psikologi, motor digunakan sebagai istilah yang menunjuk
pada hal, keadaan, dan kegiatan yang melibatkan pada otot-otot dan
gerkan-gerakannya, juga kelenjar-kelenjar dan sekresinya. Dapat pula
dipahami sebagai segala keadaan yang menigkatkan atau menghasilkan
stimulasi / rangsangan terhadap organ-organ fisik. Motor Development
(perkembangan

motor)

merupakan

perkembangan

progresif

dan

berhubungan dengan aneka ragam keterampilan fisik anak (motor skills).

13

Keterampilan motorik (Motor skill). Orang yang memiliki


keterampilan motorik mampu melakukan suatu gerak-gerik jasmani
dalam urutan tertentu, dengan mengadakan koordinasi antara gerak-gerik
berbagai anggota badan secara terpadu.
Faktor-faktor yang mendorong perkembangan motor skills yang
juga memungkinkan campur tangan orang tua dan guru dalam
mengarahkannya, yaitu:
a.

Pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf

Pertumbuhan syaraf dan perkembangan kemampuannya membuat


intelegensi anak meningkat dan mendorong timbulnya pola-pola
tingkahlaku baru. Semakin baik perkembangan system syaraf seorang
anak akan semakin baik dan beraneka ragam pula pola-pola tingkah
laku yang dimikinya
b. Pertumbuhan otot-otot
Penigkatan tonus (tegangan otot) anak dapat menimbulakan perubahan
dan penigkatan aneka ragam kemampuan dan kakuatan jasmaninya.
Pendayagunaan otot-otot tersebut tergantung pada kualitas pusat
system syaraf dalam otaknya
c. Perkembangan dan pertumbuhan fungsi kelenjar-kelenjar endoktrin
(endocrine glands).
Kelenjar endokrin secara umum merupakan kelenjar dalam tubuh yang
memproduksi dalam hormon yang disalurkan ke seluruh bagian dalam
tubuh melalui aliran darah. Lawan endokrin adalah eksokrin
(excocrine) yang memiliki pembuluh tersendiri untuk meyalurkan hasil
sekresinya (proses pembuatan cairan atau getah) seperti kelenjar ludah
Perubahan fungsi kelenjar akan mengakibatkan berubahnya pola sikap
d.

dan tingkah laku seorang remaja terhadap lawan jenisnya.


Perubahan struktur jasmani
Pengaruh Perubahan fisik seseorang juga tampak pada sikap dan
perilaku terhadap orang lain, karena perubahan fisik itu sendiri
mengubah konsep diri (self concept) siswa tersebut. Self concept ialah

Pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf

14

totalitas sikap dan presepsi seseorang terhadap dirinya sendiri.


2) Cognitive Development (Perkembangan Kognitif) Siswa
Cognitive berasal dari kata cognition yang pandannya
Knowing, berarti mengetahui, dalam arti yang luas cognition ialah
perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan (Neiser, 1976).
Kognitif adalah perkembangan fungsi intelektual atau proses
perkembangan kemampuan atau kecerdasan otak anak.
Istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain
atau wilayah/ ranah psikologis manusia yang meliputi setiap prilaku
mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecah masalah, kesenjangan, dan keyakinan.
Aktivitas ranah kognitif juga mempengaruhi bekal dan modal dasar
perkembangan manusia, yakni kapasitas motor dan kapasitas sensori.
Aktifitas ranah kognitif manusia itu pada prinsipnya sudah
berlangsung sejak masa bayi, yakni rentang kehidupan antara 0-2
tahun.
Ranah Kognitif (cognitive domain) menurut Bloom Dan
Kawan-Kawan adalah:
a. Pengetahuan: Mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah
dipelajari dan disimpan dalam ingatan
b. Pemahaman: mencakup pengetahuan untuk menangkap makna
dan arti dari bahan yang dipelajari
c. Penerapan: mencakup kemampuan untuk menagkap kaidah atau
metode bekerja pada suatu kasus/ problem yang konkret atau baru
d. Analisis: mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke
dalam bagian-bagian, sehingga setruktur keseluruhan atau
e.

organisasinya dapat dipahami dengan baik


Sintesis: mencakup kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan

atau pola baru


f. Evaluasi: mencakup kemampuan untuk membentuk suatu
pendapat mengenai suatu atau beberapa hal, bersama dengan
pertanggungjawaban pendapat itu, yang berdasarkan criteria

15

tertentu.
Sedangkan perkembangan kognitif, menurut Jeen Piaget,
pakar disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak mengklasikasikan
perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan, yaitu:
a. Tahap Sensori-Motor (0 2 tahun)
Pada umumnya bayi yang berusia dibawah usia 18 bulan,
belum memiliki Object permanence. Artinya benda apapun yang tidak
ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar selalu dianggap tidak ada
meskipun sesungguhnya benda itu ada ditempat lain.
Ketika seorang bayi berinteraksi dengan lingkungannya, ia
akan mengasimilasi sekema sensori motor sedemikian rupa dengan
mengarahkan kemampuan akomodasi yang ia miliki hingga mencapai
ekuilibrium yang memuaskan kebutuhannya.
Pada fase ini aktivitas kognitif didasarkan pada pengalaman
langsung dari panca indra.
b.

Tahap Praoperasional (2 7 tahun)

Pada tahap ini anak akan merepresentasikan dengan kata-kata


dan gambar-gambar. Kata-kata dan gamabar-gambar ini menunjukan
adanya penigkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan
informasi dan sensor dan tindak fisik. Perkembangan ini bermula
ketika anak telah memiliki penguasaan sempurna mengenai object
permanence.
object permanence (ketetapan adanya benda) adalah hasil dari
munculnya kapasitas kognitif baru yang disebut dengan representation
atau mental representation (gambaran mental). Representation adalah
sesuatu yang mewakili atau menjadi symbol atau wujudnya sesuatu
yang lainnya. Representasi mental merupakan bagian penting dari
sekema

kognitif

yang

memungkinkan

anak

berpikir

dan

menyimpulkan eksistensi sebuah benda atau kejadian tertentu


Tahap Praoperasional (2 7 tahun)

16

walaupun benda atau kejadian itu berada diluar pandangan,


pendengaran, atau jangkauan tangannya.
Represntasi mental juga memungkinkan

anak

untuk

mengembangkan deferred-imitation (peniruan yang tertunda), yakni


kapasitas menerima perilaku orang lain yang sebelumnya pernah ia
lihat untuk merespon lingkungan.

Perilaku-perilaku yang ditiru

terutama perilaku-perilaku orang lain (khususnya orang tua dan guru)


yang pernah ia lihat ketika orang itu merespon barang, orang, keadaan,
dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Seiring munculnya
kapasitas deferred imitation, muncul pula gejala Insight-learning,
yakni gejala belajar berdasarkan tilikan akal.
Sekema kognitif anak yang masih terbatas itu ialah bahwa
pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan yang ia
tanggapi sangat ditanggapi oleh watak egocentrism. Maksudnya anak
tersebut belum bisa memahami pandangan-pandangan orang lain yang
berbeda dengan pandangannya sendiri. Gejala ini disebabkan masih
terbatasnya conservation (koservasi/ pengekalan) yakni operasi
kognitif yang berhubungan dengan pemahaman anak terhadap aspek
dan dimensi kuantitatif materi lingkungan yang ia respon.
c. Tahap konkret operasional (7 11 tahun)
Anak saat ini dapat berfikir seara logis tentang peristiwa yang
konkrit dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk
yang berbeda. Pada fase ini bentuk aktivitas dapat ditentukan dengan
peraturan yang berlaku dan anak masih berpikir harfiah sesuai dengan
tugas-tugas yang diberikannya.
Pada tahap konkret operasional terdapat system operasi kognitif
yang meliputi:
1) Conservation (konservasi/ pengekalan)adalah kemampuan anak dalam
memahami aspek-aspek kumulatif materi, seperti volume dan jumlah.
2) Addition of classes (penambahan golongan benda) yakni kemampuan anak
dalam memahami cara mengombinasikan beberapa golonagan benda
3) Multiplication of classes
(pelipat gandaan golongan benda),
17

yakni

kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan


dimensi-dimensi benda.
d.

Tahap formal operasional (11 15 tahun)


Pada fase ini, anak telah mampu mengembangkan pola-pola

berpikir formal, mampu berpikir logis, rasional, dan bahkan abstrak.


Mampu menangkap arti simbolis, kiasan dan menyimpulkan suatu
berita dan sebagainya.
3) Social and Moral Development
Social And Moral Development (perkembangan sosial dan moral)
siswa adalah proses perkambangan mental yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan cara anak dalam berkomunikasi dengan obyek atau
orang lain, baik sebagai individu maupun sebagi kelompok.
Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan sama dengan
perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan
unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial.
a. Perkembangan social dan masyarakat versi piaget dan
Kohlberg
Piaget dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran moral
seorang anak, terutama ditentukan oleh kematangan kapasitas
kognitifnya. Sementara itu, lingkungan social adalah pemasok
materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif anak tersebut
secara aktif.
Teori dua tahap perkembangan moral versi piaget, yang
antara tahap pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi,
yaitu;
1. Realisme Moral, (dalam tahap perkembangan kognitif
pra-operasional) yang berlangsung pada usia 4-7 tahun
dengan cirri khas: memusatkan pada akibat-akibat
perbuatan, aturan-aturan dipandang tak berubah, dan
hukum atas pelanggaran bersifat otomatis
2. Masa Transisi, (dalam tahap perkembangan konkretoperasional) yang berlangsung pada usia 7-10,

18

memiliki cirri khas: perubahan secara bertahap kearah


3.

pemikiran moral tahap ke dua.


Otonomi, Realisme dan resiprositas moral, (dalam
tahap perkembangan kognitif formal-operasional),
berlangsung pada usia 11- tahun keatas, dan memiliki
cirri khas: mempertimbangkan tujuan-tujuan perilaku
moral dan menyadari bahwa aturan moral adalah
kesepakatan tradisiyang dapat berubah.

Adapun menurut Kohlberg, perkembangan social dan


moral manusia itu terjadi dalam tiga tingkatan besar, yakni;
1.

Tingkat moralitas Prakonvensional, yaitu ketika


manusia berada dalam perkembangan prayuwana (usia
4-10 tahun) yang belum menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi social. Yang mengalami dua tahap
perkembangan yaitu; memperhatikan ketaatan dan

2.

hukum dan memperhatikan pemuasan kebutuhan


Tingkatan moralitas konvensional, yaitu ketika
manusia

menjelang

dan

mulai

memasuki

fase

perkembangan yuwana (usia 10-13 tahun) yang sudah


menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Mengalami dua tahap perkembangan; memperhatikan
citra anak baik dan memperhatikan hukum dan
3.

peraturan
Tingkatan moralitas pasca konvensional, yaitu ketika
manusia memasuki fase perkembangan yuwana dan
pasca yuwana (usia 13 tahun ke atas)yang memandang
lebih dari sekedar kesepakatan tradisi sosial. Tingkatan
ini juga mengalami dua tahap perkembangan yaitu;
memperhatikan hak perseorangan dan memperhatikan

prinsip-prinsip etik.
b. Perkembangan social dan moral versi teori belajar

19

Pendekatan

teori

belajar sosial

terhadap

proses

perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan perlunya


Conditioning (pembiasaan merespon) dan Imitation (peniruan).
Conditioning.

Menurut

prinsip-prinsip

kondisioning,

prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan


moral, pada dasarnya sama dengan dengan prosedur belajar
dalam mengembangkan prilaku-perilaku lainnya, yakni dengan
reward

(ganjaran/

member

hukuman)

dan

punishment

(hukuman/ member hukuman)


Imitation. Prosedur lain yang juga penting dan menjadi
bagian yang integral dengan prosedur-prosedur belajar menurut
teori belajar Social learning, yaitu proses imitasi atau peniruan.
2.2.3

Hubungan Perkembangan dengan Belajar Anak


Dalam belajar yang terlihat bukan hanya kegiatan fisik, tetapi diikuti oleh

proses mental. Kegiatan fisik mempunyai arti penting dalam kegiatan belajar.
Keberhasilan anak melewati fase pertumbuhan fisik membuat anak menjadi
orang yang siap secara fisik. Proses perkembangan fisik anak berlangsung kurang
lebih selama dua dekade (dasawarsa) sejak ia lahir. Lonjakan perkembangan
terjadi pada masa anak menginjak usia remaja antara 12 atau 13 tahun hingga 21
atau 22 tahun. Pada saat perkembangan berlangsung, beberapa bagian jasmani
seperti kepala dan otak yang pada waktu dalam rahim berkembang tidak
seimbang (tidak secepat badan dan kaki), mulai menunjukkan perkembangan
yang

cukup

berarti

hingga

bagian-bagian

lainnya

menjadi

matang.

Seiring dengan meningkatnya usia anak, gerakan anak pun semakin lincah. Anak
sudah mampu memanfaatkan anggota tubuhnya untuk mempelajari keterampilanketerampilan tertentu. Keterampilan indrawi-jasmani adalah satu keterampilan
yang memerlukan koordinasi dan organisasi psikofisik anak, misalnya
keterampilan menggambar, diterapkan agar anak tidak hanya menggambar saja
tetapi juga menggambar apa yang ada pada imajinasinya atau ide masing-masing.

20

Selain perkembangan fisik yang mempengaruhi belajar anak, yang tidak kalah
penting mempengaruhi belajar anak adalah perkembangan kognitif. Istilah
kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing berarti
mengetahui, dalam arti luas kognitif adalah perolehan, penataan dan penggunaan
pengetahuan.
Sebagian besar psikolog, terutama psikolog kognitif berkeyakinan bahwa
proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir.
Bekal dan modal dasar perkembangan manusia, yaitu kapasitas motor dan
kapasitas sensori sampai batas tertentu dipengaruhi oleh kognitif. Berdasarkan
hasil-hasil riset kognitif disimpulkan bahwa semua bayi sudah berkemampuan
menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran dan
informal-informal lain yang diserap melalui indra-indranya, asalkan otaknya
tidak cacat atau berkelainan otak.
Melalui

pancaindera

anak

melakukan

aktivitas

kognitif

untuk

mendapatkan pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan


sosialnya. Kesan dari pengalaman langsung itu tidak akan hilang dari ingatan
meski anak sudah meninggalkan objek sebenarnya. Ini artinya anak dapat
menyimpan objek yang telah hilang dan menggantikannya dalam bentuk
representasi mental
Dalam belajar, semakin baik struktur kognitif yang dilakukan oleh anak,
maka semakin mapanlah penguasaan anak atas bahan pelajaran yang telah
dikuasai. Agar struktur kognitif dapat dibentuk dengan baik di dalam memori,
anak dapat menggunakan jembatan logika dalam belajar. Kemampuan berpikir
anak dipengaruhi kapasitas inteligensi sebagai potensi yang bersifat bawaan.
Kualitas inteligensi anak mempengaruhi kemampuan anak untuk membentuk
struktur kognitif.
2.5 Pendidikan di Sekolah
2.3.1. Definisi Pendidikan

21

Menurut Ihsan Fuad (2005), Pendidikan

adalah

aktivitas

dan

usaha

manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi


potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi nurani).
Pendididkan juga berarti lembaga yang bertanggungjawab menetapkan cita cita
(tujuan) pendidikan, isi, sistem dan organisasi pendidikan . Lembaga lembaga
ini meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat.
Driyarkara dalam Ihsan Fuad (2005), mengatakan bahwa pendidikan adalah
upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani
itulah yang disebut mendidik. Menurut Rousseau dalam Ahmadi Abu (2003),
Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak,
akan tetapi kitamembutuhkannya pada waktu dewasa .
Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek
dan sifatnya sangat kompleks. Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan
diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari generasi satu ke genari yang
lain. Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu
kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian
peserta didik.
Proses pembentukan pribadi meliputi dua sasaran yaitu pembentukan pribadi
bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang dewasa, dan bagi yangsudah
dewasa atas usaha sendiri. Yang tera khir ini disebut pendidikan diri sendiri (zelf
vorming) . Kedua-duanya bersifat alamiah dan menjadi keharusan. Bayi yang
baru lahir kepribadiannya belum terbentuk, belum mempunyai warna dan corak
kepribadian yang tertentu. Ia baru merupakan individu, belum suatu pribadi.
Untuk menjadi suatu pribadi perlu mandapat bimbingan, latihan-latihan, dan
pengalaman melalui bergaul dengan lingkungannya, khususnya dengan
lingkungan pendidikan. Bagi mereka yang sudah dewasa tetap dituntut adanya
pengembangan diri agar kualitas kepribadian meningkat serempak dengan
meningkatnya tantangan hidup yang selalu berubah. Dalam hubungan ini dikenal

22

apa yang disebut pendidikan sepanjang hidup. Pembentukan pribadi mencakup


pembentukan cipta, rasa, dan karsa (kognitif, afektif, dan psikomotor) yang
sejalan dengan pengembangan fisik.
2.3.2. Dasar dan Tujuan Pendidikan
Dasar adalah sesuatu yang dipakai sebagai landasan untuk berpijak, dan dari
sanalah segala aktifitas yang be rdiri diatasnya (termasuk aktivitas pendidikan)
akan dijiwai atau diwarnainya, sedangkan tujuan adalah sesuatu yang akan diraih
dengan melakukan aktifitas tersebut (Ahmadi Abu, 2003).

2.3.3 Tujuan Pendidikan


Langeveld dalam Y. Suyitno (2009), mengemukakan serangkaian tujuan
pendidikan, yang saling bertautan sebagai berikut : tujuan umum, tujuan khusus,
tujuan tak lengkap, tujuan sementara, tujuan insidental, dan tujuan intermedier.
1). Tujuan Umum (tujuan lengkap, tujuan total)
Sebagaimana telah diuraikan di dalam usaha-usaha pendidikan, maka tujuan
umum pendidikan adalah kedewasaan anak didik. Hal ini berarti bahwa semua
aktifitas pendidikan seharusnya diarahkan ke sana, demi tercapainya tujuan
umum tersebut.
2). Tujuan Khusus (pengkhususan tujuan umum)
Untuk mencapai tujuan umum, kita perlu juga melewati jalan-jalan yang
khusus. Untuk mengkhususkan tujuan umum itu, kita dapat mempergunakan
beberapa pandangan dasar (prinsip) se bagai berikut :
a. Kita harus melihat kemungkinan - kemungkinan, kesanggupan kesanggupan
pembawaan, umur, dan jenis kelamin anak didik.
23

b.
c.
d.
e.

Kita harus melihat lingkungan dan keluarga anak didik.


Kita harus melihat tujuan anak didik dalam rangkaian kemasyarakatannya.
Kita harus melihat diri kita sendiri selaku pendidik.
Kita harus melihat lembaga tugas lembaga pendidikan dimana anak itu

dididik.
f. Kita harus melihat tugas bangsa dan umat manusia dewasa ini, dan disini.
g. Dengan adanya berbagai pandangan dasar tersebut, tujuan umum
pendidikan akan memperoleh corak yang khusus drngan tidak mengubah sifat
tujuan umum.

3). Tujuan tak lengkap (masih terpisah-pisah).


Ini adalah tujuan yang berkaitan dengan kepribadian manusia dari satu aspek
saja, yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu. Misalnya kesusilaan,
keagamaan , keindahan, kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya. Dari
masing masing aspek itu mendapat giliran penanganan dalam usaha pendidikan
atau maju bersama-sama secara terpisah.
4). Tujuan sementara
Tujuan sementara ini adalah titik-titik perhatian sementara, yang kesemuanya
itu sebagai persiapan, untuk menuju kepada tujuan umum tersebut, Misalnya :
membiasakan anak suku bersih, tidak membuang air kecil di sembarang tempat,
membiasakan anak berbicara sopan, melatih anak mengerjakan sesuatu yang
bermanfaat.
5). Tujuan insidental.
Tujuan ini sesungguhnya adalah tujuan yang terpisah dari tujuan umum, tetapi
kadang-kadang

mengambil

bagian

dalam

nenuju

ke

tujuan

umum.

Misalanya,anak kadang-kadang kita ajak makan bersama-sama (karena merasa

24

perlu), tetapi lain kali tidak. Anak kadang-kadang kita marahi (karena melakukan
kesalahan), tetapi lain kali tidak demikian.
6). Tujuan Intermedier.
Tujuan ini adalah tujuan yang berkaitan dengan penguasaan sesuatu
pengetahuan dan ketrampilan demi tercapainya tujuan sementara. Misalnya, anak
belajar membaca, menulis, matematika , berhitung.

2.3.4 Lembaga Pendidikan


Menurut sifatnya pendidikan dibedakan menjadi :
a. Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari
pengalaman sehari-hari dengan sadar

atau tidak sadar sepanjang hayat.

Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga dalam pergaulan sehari-hari


maupun dalam pekerjaan, masyarakat, keluarga, organisasi.
b. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur,
bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat.pendidikan ini
berlangsung di sekolah.
c. Pendidikan non formal, yaitu pemdidikan yang dilaksanakan secara tertentu
dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang kekat.
Pendidikan sebagai sebuah system terdiri dari sejumlah komponen, yaitu :
1) Sistem baru merupakan masukan mentah (raw input) yang akan diproses
menjadi tamatan (out put).
2) Guru dan tenaga nonguru, administrasi sekolah, kurikulum, anggaran
pendidikan, prasarana dan sarana merupa kan masukan instrumental

25

(instrumental input) yang memungkinkan dilaksanakannya pemrosesan


masukan mentah menjadi tamatan.
3) Corak budaya dan kondisi ekonomi masyarakat sekitar, kependudukan,
politikdan keamanan negara merupakan faktor lingkungan atau masukan
lingkungan (environtmental input) yang secara langsung atau tidak langsung
berpengaruh terhadap berperannya masukan instrumental dalam pemrosesan
masukan mentah.
2.3.5 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan, yang
ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tingkat kerumitan
bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan pengajaran. Tingkat pendidikan
sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi ( Ihsan Fuad, 2005).
1) Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan
keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam masyarakat, serta
mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan
dasar pada prinsipnya merupakan pendidikan yang memberikan bekal dasar bagi
perkembangan kehidupan, baik untuk pribadi maupun untuk masyarakat. Karena
itu, bagi setiap warga negara harus disediakan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan dasar. Pendidikan ini dapat berupa pendidikan sekolah ataupun
pendidikan luar sekolah, yang dapat merupakan pendidikan biasa ataupun
pendidikan luar biasa. Tingkat pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar.
2) Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan
hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial buda ya, dan alam sekitar, serta
dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan

26

tinggi. Pendidikan menengah terdiri dari pendidikan menengah umum


danpendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah umum diselenggarakan
selain untuk mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan tinggi, juga untuk
memasuki lapangan kerja. Pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan untuk
memasuki lapangan kerja atau mengikuti pendidikan keprofesian pada tingkat
yang lebih tinggi. Pendidikan menengah dapat merupakan pendidikan biasa atau
pendidikan luar biasa. Tingkat pendidikan menengah adalah SMP, SMA dan SMK.
3) Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki tingkat kemampuan tinggi yang
bersifat

akademik

dan

atau

profesional

sehingga

dapat

menerapkan,

mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni


dalam rangka pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan manusia
( Ihsan Fuad, 2005). Manusia sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh
dari tiga lingkungan pendidikan yang utama yakni keluarga, sekolah dan
masyarakat. Pendidikan Tinggi terdiri dari Strata 1, Strata 1, Strata 3 ( Ihsan Fuad,
2005).

27

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pandangan behavioristik menekankan bahwa pola - pola perilaku dapat
dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan ( reinforcement ) dengan
mengkondisikan stimulus ( conditioning ) dalam lingkungan ( enviornmentalistik ).
Pandangan behavioral sangat berkaitan dengan perkembangan anak. Anak yang
berada di kelas awal SD adalah anak yang berada pada rentangan usia dini.
Perkembangan pada prinsipnya merupakan rentetan perubahan jasmani dan
rohani (fisio-psikis) manusia yang menuju ke arah yang lebih maju dan sempurna.
Proses-proses perkembangan yang berkaitan dengan kegiatan belajar diantaranya:
Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan
kepribadiannya dengan jalan membina potensi potensi pribadinya, yaitu rohani
(pikir, karsa, rasa, cipta dan budi nurani).
3.2 Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, para pembaca bisa lebih mengetahui
tentang Pandangan Behavioral terhadap pembelajaran, belajar dan perkembangan,
dan pendidikan di sekolah.

28

DAFTAR PUSTAKA
Abu, Ahmadi. 2003. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Baker, Frank B. 1985. The Basics of Item Response Theory. Portsmouth, NH:
Heinemann Educational Books.
Departemen Pendidikan dan kubudayaan/Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Fuad, Ihsan. 2005. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Hawadi, Reni Akbar. 2001. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Neisser, U. (1967). Cognitive psychology. Englewood Cliffs: Prentice-Hall.
Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta : Indeks.
Suryabrata, S. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Suyitno, Y. 2009. Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia. Bandung : Universitas Pendidikan
Indonesia.

29

You might also like