You are on page 1of 26

PUTUSNYA PERKAWINAN BERDASARKAN

HUKUM ISLAM
PUTUSNYA PERKAWINAN
1. Arti Perceraian

Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti
membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari
berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang
berarti perceraian antara suami-isteri.

Perkataan talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum
dan arti yang khusus. Talak dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik
yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh
dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau
isteri. Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.

Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan
karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam
arti yang khusus.

Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan


perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian
walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah
sesuatu yang bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam.

2. Sebab-sebab Putusnya Hubungan Perkawinan

Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah:

1. Talak

2. Khulu’

3. Syiqaq

4. Fasakh

5. Ta’lik talak

6. Ila’

7. Zhihar

8. Li’aan
9. Kematian

2.1. Talak

2.1.1. Hak Talak

Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa
seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam
mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi.
Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih
kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di samping
alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talak pada suami, antara
lain:

a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri
waktu dilaksanakan akad nikah.

b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan
dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada
isterinya) setelah suami mentalak isterinya.

c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia


mentalaknya.

d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada


suami.

2.1.2. Syarat-syarat menjatuhkan Talak

Seperti kita ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak
diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-
syarat itu ada pada suami, isteri, dan sighat talak.

a. Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah:

Berakal sehat

Telah baliqh

Tidak karena paksaan

Para ahli Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah
dewasa/baliqh dan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak
ketiga. Dalam menjatuhkan talak suami tersebut harus dalam keadaan berakal sehat, apabila
akalnya sedang terganggu. Misalnya: orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang
marah tidak boleh menjatuhkan talak. Mengenai talak orang yang sedang mabuk kebanyakan
para ahli Fiqh berpendapat bahwa talaknya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk itu
dalam bertindak adalah di luar kesadaran. Sedangkan orang yang marah kalau menjatuhkan
talak hukumnya dalah tidak sah. Yang dimaksud marah di sini ialah marah yang sedemikian
rupa, sehingga apa yang dikatakannya hamper-hampir di luar kesadarannya.
b. Syarat-syarat seorang isteri supaya sah ditalak suaminya ialah:

Isteri telah terikat denagn perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-
nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh
suaminya.

Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam
waktu suci itu.

Isteri yang sedang hamil.

c. Syarat-syarat pada sighat talak

Sighat talak ialah perkataan/ucapan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di
waktu ia menjatuhkan talak pada isterinya. Sighat talak ini ada yang diucapkan langsung,
seperti “saya jatuhkan talak saya satu kepadamu”. Adapula yang diucapkan secara
sindiran (kinayah), seperti “kembalilah ko orangtuamu” atau “engkau telah aku lepaskan
daripadaku”. Ini dinyatakan sah apabila:

Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada isterinya.

Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan
talak kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan
talak kepda isterinya maka sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.

Mengenai saat jatuhnya talak, ada yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak
(talak “munziz”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talak terpenuhi
(talak “muallaq”).

2.1.3. Macam-macam Talak

a. Talak raj’i adalah talak, di mana suami boileh merujuk isterinya pada waktu iddah.
Talak raj’i ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang ‘iwald dari pihak
isteri.

b. Talak ba’in, ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak
isteri, talak ba’in sperti ini disebut talak ba’in kecil. Pada talak ba’in kecil suami
tidak boleh merujuk kembali isterinya dala masa iddah. Kalau si suami hendak
mengambil bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan
melaksanakan akad-nikah. Di samping talak ba’in kecil, ada talak ba’in besar,
ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami. Talak
ba’in besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini
kembali isterinya baik dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis.
Seorang suami yang mentalak ba’in besar isterinya boleh mengawini isterinya
kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.

Isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.


Isteri telah dicerai oleh suaminya yang baru.

Talah habis masa ‘iddahnya.

c. Talak sunni, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan
Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak yang dijatuhkan pada
waktu isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri dan talak yang dijatuhkan
pada saat isteri sedang hamil. Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami
dalah halal.

d. Talak bid’i, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-
Quran maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talak bid’i dalah haram. Yang
termasuk talak bid’i ialah:

Talak yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang bulan.

Talak yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi telah
dicampuri.

Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak isterinya
untuk selama-lamanya.

2.2. Khuluk

Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan
jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri
dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.

Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi
hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif
untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau
pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.

Syarat sahnya khuluk ialah:

a. Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan


persetujuan suami-isteri.

b. Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara
suami-isteri.

Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang penebus, Hakim
Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan itu.

Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak usah menanti isteri dalam keadaan
suci dan belum dicampuri, hal ini disebabkan karena khuluk itu terjadi atas kehendak
isteri sendiri.

2.3. Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-
isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu
orang dari pihak isteri.

Menurut Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh
diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:

a. Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.

b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.

c. Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.

d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain


tidak mau berdamai.

2.4. Fasakh

Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu
diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.

Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan


yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan:

a. Suami sakit gila.

b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh.

c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan


kelamin.

d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.

e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.

f. Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak
diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.

2.5. Taklik Talak

Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak ialah suatu talak yang
digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu
perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu.

Di Indonesia pembacaan ta’lik talak dilakukan oleh suami setelah akad nikah.
Adapun sighat ta’lik talak yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama
adalah sebagai berikut:

Sewaktu-waktu saya:
a. Meninggalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;

b. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;

c. Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;

d. Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan isteri saya itu enam bulan lamanya.

Kemudian isteri saya tidak rela dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama
atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan
serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut dan isteri saya itu membayar uang
sebesar Rp …….. sebagai ‘iwald (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya
satu kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk
menerima uang ‘iwald (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan
ibadah sosial.

Talak satu yang dijatuhkan suami berdasarkan ta’lik, mengakibatkan hak talak suami tinggal
dua kali, apabila keduanya kembali melakukan perkawinan lagi.

Kalau kita perhatikan jatuhnya talak dengan ta’lik ini hampir sama dengan khuluk,
sebab sama-sama disertai uang ‘iwald dari pihak isteri. Sehingga talak yang dijatuhkan
atas dasar ta’lik dianggap sebagai talak ba’in, suami boleh mengambil isterinya kembali
dengan jalan melaksanakan akad-nikah baru.

2.6. Ila’

Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan
bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan
mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak
ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini
berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-
katung dan tidak berketentuan.

Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan


bahwa:

a. Suami yang mengila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.

b. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri
atau mentalaknya.

Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum mentalak isterinya atau
meneruskan hubungan suami-isteri, maka menurut Imam Abu Hanifah suami yang diam saja
itu dianggap telah jatuh talaknya satu kepada isterinya.

Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah


ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan
kafarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur
dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan
yang diatur secara berurutan, yaitu:
a. Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa
kamu berikan untuk keluarga kamu, atau

b. Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau

c. Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka

d. Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.

Pembayaran kafarah ini pun juga harus dilaksanakan apabila suami mentalak isterinya dan
merujuknya kembali pada masa ‘iddah atau dalam perkawinan baru setelah masa ‘iddah
habis.

2.7. Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang suami
yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan
bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta
akibat zhihar sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran surat
Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:

a. Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu
keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn
punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.

b. Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan
sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.

c. Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri.
Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami
membayar kafarahnya lebih dulu.

d. Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan
berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni:

Memerdekakan seorang budak, atau

Puasa dua bulan berturut-turut, atau

Memberi makan 60 orang miskin.

2.8. Li’an

Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima
laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya
perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.

Proses pelaksanaan perceraian karena li’an diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat
6-9, sebagai berikut:
a. Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang
turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.

b. Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman
menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah
itu ia menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan
bahwa ia sanggup menerima laknat Tuhan apabial tuduhannya tidak benar
(dusta).

c. Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali.
Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup
menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.

d. Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn ancaman hukuman,
namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya.

2.9. Kematian

Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan
kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang
meninggal.

Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka


disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera
melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu masa
iddahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.

3. Iddah

3.1. Arti Iddah

Iddah ialah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana si
suami boleh merujuk kembali isterinya. Sehingga pada masa iddah ini si isteri belum boleh
melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.

3.2. Tujuan dan Kegunaan Masa Iddah

Kegunaan dan tujuan iddah dalah sebagai berikut:

a. Untuk memberi kesempatan berpikir kembali denagn pikiran yang jernih, setelah
mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian
keruhnya sehingga mengakibatkan perkawina mereka putus. Kalau pikiran telah
jernih dan dingin diharapkan suami akan merujuk isterinya kembali dan begitu
pula si isteri diharapkan jangan menolak rujuk suaminya itu. Sehingga hubungan
perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.

b. Dalam perceraian karena ditinggal mati suami, iddah ini diadakan untuk
menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami.
c. Untuk mengetahui apakah dalam masa iddah yang berkisar antara tiga atau empat
bulan itu, isteri dalam keadaan mengandung atau tidak. Hal ini penting sekali
untuk ketegasan dan kepastian hukum mengenai bapak si anak yang seandainya
telah ada dalam kandungan wanita yang bersangkutan.

3.3. Macam-macam Iddah

Di lihat dari sebab terjadinya perceraian, maka iddah dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Iddah kematian

Isteri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa iddahnya sebagai berikut:

Bagi isteri yang tidak sedang mengandung, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ketentuan
ini tercantum dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 234, yang berbunyi:

“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan isteri-


isteri, hendaklah isteri-isteri itu menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh
hari”.

Bagi isteri yang sedang mengandung iddahnya adalah sampai melahirkan. Dasarnya
adalah Al-Quran syrat At-Talaaq ayat 4, yang bunyinya:

“Isteri yang sedang hamil iddahnya dalah sampai melahirkan kandungan”

b. Iddah talak

Isteri yang bercerai dengan suaminya dengan jalan talak, iddahnya dalah sebagai berikut:

Untuk isteri yang dicerai dalam keadaan mengandung maka iddahnya adalah sampai
melahirkan kandungannya.

Istri yang masih mengalami haid (menstruasi), iddahnya adalah tiga kali suci; termasuk
suci pada saat terjadi talak, asal sebelumnya tidak dilakukan hubungan suami-isteri,
sesuai dengan ketentuan surat Al-Baqarah 228.

Isteri yang tidak pernah atau tidak dapat lagi mengalami haid iddahnya adalah tiga
bulan. Ketentuan ini terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Talaaq ayat 4.

Bagi isteri yang belum pernah dikumpuli dan kemudian ditalak, maka menurut
ketentuan Al-Quran surat Al-Akrab ayat 49, isteri tersebut tidak perlu menjalani masa
iddah. Dan apabila pada waktu akad-nikah belum ditentukan berapa jumlah maskawin
yang akan diberikan kepadanya, maka suami yang mentalak itu wajib memberikan
sejumlah harta kepada isteri yang di talak sebelum dicampuri itu.

Perceraian dengan jalan fasakh berlaku juga ketentuan iddah karena talak.

3.4. Kewajiban dan Hak Isteri dalam Masa Iddah


Kewajiban isteri dalam masa iddah ialah harus bertempat tinggal di rumah yang
ditentukan oleh suami untuk didiami, sampai masa iddahnya habis. Selama waktu iddah
isteri dilarang diusir atau dikeluarkan dari rumah tersebut. Selama masa iddah isteri
berhak mendapat nafkah dari suaminya seperti nafkah sebelum terjadi perceraian, yaitu
berupa perumahan, makanan dan pakaian.

Bagi isteri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alasan-alasan yang
bisa dipertanggung-jawabkan, ia dianggap nusyuz. Isteri yang sudah nusyuz tidak
berhak lagi menerima nafkah iddah atau haknya nafkah iddah menjadi gugur.

3.5. Nafkah Setelah Habis Iddah

Wanita yang ditalak suaminya dan masa iddahnya telah habis, ia boleh melakukan
perkawinan baru dengan laki-laki lain. Dengan terjadinya perkawinan baru ini, hubungan
bekas suami dengan isteri tersebut telah betul-betul putus, sehingga dengan sendirinya isteri
tidak berhak lagi menerima nafkah dari bekas suaminya, demikian sebaliknya suami tidak
berkewajiban lagi memberi nafkah pada isterinya.

Undang-Undang Perkawinan dalam pasal 41 ayat (c) memberi ketentuan bahwa


Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri. Hal ini sesuai
juga dengan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 241.

4. Rujuk

4.1. Arti Rujuk

Rujuk adalah berarti kembali artinya kembali hidup sebagai suami-isteri antara laki-
laki dan wanita yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj’i selama masih dalam
masa iddah tanpa pernikahan ba’in. Yang mempunyai hak rujuk adalah suami, sebagai
imbangan dari hak talak yang dimilikinya. Ketentuan mengenai hak rujuk ini diatur
dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 228.

4.2. Syarat-syarat Rujuk

Apabila bekas suami hendak merujuk bekas istrinya, hendaklah memenuhi syarat-
syarat sebagia berikut:

a. Bekas isteri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri. Sehingga perceraian yang
terjadi di mana isteri belum pernah dicampuri oleh suami, tak memberikan hak
rujuk kepada suami.

b. Harus dilakukan dalam masa iddah.

c. Harus disaksikan oleh dua orang saksi.

d. Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai ‘iwald dari pihak isteri.

e. Persetujuan isteri yang akan dirujuk.


4.3. Cara Pelaksanaan Rujuk

Cara pelaksanaan rujuk ini ada du pendapat, yakni:

a. Rujuk dengan perkataan, misalnya bekas suami berkata kepada bekas isterinya
“aku rujuk kepada isteriku”. Dengan diucapkannya sighat rujuk ini, maka rujuk
itu telah dianggap terjadi. Sighat rujuk yang digantungkan pada suatu syarat yang
belum terjadi atau digantungkan pada masa yang akan datang, dianggap tidak sah.

b. Rujuk dengan perbuatan, ialah apabila suami mencampuri isterinya kembali,


walaupun tidak dengan perkataan tertentu dianggap sah dan rujuknya telah
terjadi.

5. Hadlanah (Mengasuh Anak)

Apabila terjadi perceraian di mana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka
yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke atas.
Tetapi mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya
adalah menjadi tanggungjawab anaknya.

Berakhir masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa
dia akan terus ikut. Hal ini mengakibatkan timbulnya hak asuh atas anak tersebut.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, khususnya mengenai pemeliharaan


anak dan biaya pendidikannya, Undang-Undang Perkawinan mengaturnya di dalam
pasal 41 ayat (a) dan (b) sebagai berikut:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya
semata-mataBaik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya semata-matadasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan


yang diperlukan anak itu, bilamana dapat dalam kenyataannya tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.

6. Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan

6.1. Cara-cara Putusnya Perkawinan

Di dalam Undang-Undang perkawinan tidak diatur secara rinci mengenai cara-cara


perceraian seperti yang diatur dalam Hukum Islam, melainkan hanya menyebut secara umum
mengenai putusnya hubungan perkawinan ini dalam tiga golongan seperti yang tercantum
dalam pasal 38 sebagai berikut:

a. Karena kematian salah satu pihak


Putusnya hubungan perkawinan karena kematian salah satu pihak tidak banyak
menimbulkan persoalan karena putusnya perkawinan di sini bukan karena kehendak
salah satu pihak, tetapi karena kehendak Tuhan.

b. Perceraian

Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan
kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu urusan pribadi, tetapi perlu ada campur
tangan pemerintah karena demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang
terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum.

6.2. Alasan-alasan Perceraian

Berdasarkan pasal 39 ayat 2 beserta penjelasannya dan dipertegas lagi dalam pasal
19 P.P. No. 9/1975, alasa menggugat perceraian sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berturut-turut tanpa ijin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahaykan
pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumahtangga.

6.3. Tatacara Perceraian

Berdasarkan pasal 39-41 Undang-Undang Perkawinan dan dalam Peraturan


Pemerintah No. 9/1975 pasal 14-36, perceraian ada 2 macam yaitu:

a. Cerai talak

Tatacara tentang seorang suami yang hendak mentalak isterinya diatur dalam P.P. No.
9/1975 pasal 14-18 yang pada dasarnya dalah sebagai berikut:

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan
menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan Agama di tempat
tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya
disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan
sidang untuk keperluan itu. Di sini ditegaskan bahwa pemberitahuan itu harus
dilakukan secara tertulis dan yang diajukan oleh suami tersebut bukanlah surat
permohonan tetapi surat pemberitahuan. Setelah terjadi perceraian di muka
Pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya
perceraian.

Setelah pengadilan menerima surat pembritahuan tersebut, kemudian setelah


mempelajarinya, selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima surat itu, Pengadilan
memanggil suami dan isteri yang akan bercerai itu, untuk dimintai penjelasan.

Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami-isteri, ternayat memang terdapat


alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami-
isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam
rumahtangga, maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk
menyaksikan perceraian itu.

Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan


untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan
tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu di
dalam sidang tersebut.

Kemudian Ketua Pengadilan memberi surat keterangn tentang terjadinya perceraian


tersebut, dan surat keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat
perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat terjadi perceraian itu dinyatakan di depan
sidang Pengadilan.

b. Cerai gugat

Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu
oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan
Pengadilan.

Tatacara perceraian ini diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 20-36 yang pada dasarnya
adalah sebagai berikut:

Pengajuan gugatan

Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tergugat.

Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak
mempunyai kediaman yang tetap, begitu juga tergugat bertempat kediaman di
luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.

Demikian juga gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau hal lain di luar kemampuannya, gugatan diajukan kepada
Pengadilan di tempat penggugat.
Pemanggilan

a) Pemanggilan harus disampaikan kepda pribadi yang bersangkutan apabila tidak


dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan
dengannya. Pemanggilan ini dilakukan setiap akan dilakukan persidangan.

b) Yang melakukan pemanggilan tersebut adalah jurusita (Pengadilan Negeri) dan


petugas yang ditunjuk (Pengadilan Agama).

c) Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh
para pihak atau kuasanya selambat-lambatanya 3 hari sebelum sidang dibuka.
Panggilan kepada tergugat harus dilampiri dengan salinan surat gugat.

d) Pemanggilan bagi tergugat yang tempat kediamannya tidak jelas atau tidak
mempunyai tempat kediaman tetap, panggilan dilakukan dengan cara
menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkan
melalui satu atau beberapa suratkabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan yang dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara
pengumuman pertama dan kedua.

e) Apabila tergugat berdiam di luar negeri pemanggilannya melalui Perwakilan


Republik Indonesia setempat.

Persidangan

a) Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh Pengadilan


selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di Kepaniteraan.
Khusus bagi gugatan yang tergugatnya bertempat kediaman di luar negeri,
persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhiitung sejak
dimasukkannua gugatan perceraian itu.

b) Para pihak yang berpekara dapat menghadiri sidang atau didampingi kuasanya atau
sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk,
akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan.

c) Apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil sepatutnya, maka gugatan itu dapat
diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali kalau gugatan itu tanpa hak atau tidak
beralasan.

d) Pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Perdamaian

a) Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak baik sebelum
maupun selama persidangan sebelum gugatan diputuskan.

b) Apabila terjadi perdamaian maka tidak boleh diajukan gugatan perceraian baru
berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh
penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
c) Dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan
kepada orang lain atau badan lain yang dianggap perlu.

Putusan

a) Pengucapan putusan Pengadilan harus dilakukan dalam sidang terbuka.

b) Putusan dapat dijatuhkan walaupun tergugat tidak hadir, asal gugatan itu didasarkan
pada alasan yang telah ditentukan.

c) Perceraian dianggap terjadi dengan segala akibat-akibatnya terdapat perbedaan


antara orang yang beragama Islam dan yang lainnya. Bagi yang beragama Islam
perceraian dianggap terjadi sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedang bagi agama lain terhitung sejak
saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai
pencatat.

6.4. Akibat Perceraian

Hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh pihak isteri maupun suami setelah terjadi perceraian
diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan yang pada dasarnya adalah sebagai
berikut:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab pihak bapak,


kecuali dalam kenyataannya bapak dalam keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat
melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

Tulisan ini dikirim pada pada Sabtu, September 6th, 2008 3:49 am dan di isikan dibawah Artikel Hukum. Anda
dapat meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback
dari website anda.

PENGATURAN MENGENAI PERWALIAN

DITINJAU DARI PERSPEKTIF

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1


TAHUN 1974

Bagian I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang masalah

Dalam negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 menganut tiga sistem
hukum yaitu sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat, dimana
Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik dan ciri khas masing-masing mengakibatkan
terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya.

Hal ini menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di Indonesi. Dalam lapangan keperdataan
misalnya, kita masih menggunakan sistem hukum Barat (BW) yang notabenenya merupakan
warisan peninggalan kolonial Belanda, padahal sitem hukum Islam juga mengatur hal-hal
keperdataan (muamalat). Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang
dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.

Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang
wali-ibu (moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd. Jika
salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut undang-undang orang tua yang
lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan
perwalian menurut undang-undang (Wettelijke Voogdij).

Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang
mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua ternyata
tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu
pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve voogdij). Tetapi ada juga
kemungkinan, seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya (testamen) mengangkat seorang
wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat (tertamentair
voogdij).

Seseorang yang telah ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan tersebut,
kecuali jika ia mempunyai alasan-alasan tertentu menurut undang-undang dibenarkan untuk
dibebaskan dari pengangkatan tersebut.

1. Maksud dan Tujuan

Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam yang ada di pada Fakultas Hukum
Universitas Langlangbuana, yang kemudian penulisan makalah ini diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta dapat dan bisa memeberikan manfaat baik
untuk almamater perguruan tinggi maupun bagi dunia ilmu pengetahuan pada umumnya.
Disamping itu secara khusus sesuai dengan rumusan permasalahan, tujuan penulisan ini
adalah :

-         Untuk mengetahui ketentuan perwalian menurut KUH Perdata.

-         Untuk mengetahui ketentuan perwalian menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan serta perbandingannya.

1. Identifikasi Masalah

Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut diatas dapat dilihat dalam
negara Indonesia yang menganut tiga sistem hukum sehingga hal tersebut menyebabkan
terjadinya pluralisme hukum di Indonesia.
Dalam lapangan keperdataan misalnya, kita masih menggunakan sistem hukum Barat (BW)
yang notabenenya merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda. Berangkat dari hal-hal
tersebut, penulis melakukan identifikasi masalah yang dibahas dalam tulisan ini yaitu :

1. Bagaimana ketentuan perwalian menurut KUH Perdata ?


2. Bagaimana ketentuan perwalian menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan ?

Bagian II

PEMBAHASAN

Ketentuan perwalian menurut KUH Perdata

Seperti diketahui bahwa dalam KUHPerdata ada juga disebutkan pengertian dari Perwalian
itu, yaitu pada pasal 330 ayat (3) menyatakan :

“Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat,
kelima dan keenam bab ini”.

1. Perwalian pada umumnya

Didalam sistem perwalian menurut KUHPerdata ada dikenal beberapa asas, yakni :

1. Asas tak dapat dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid )

Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 KUHPerdata.
Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua hal, yaitu :

-       Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langs
tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta, pasal
351 KUHPerdata.

-       Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-
barang minderjarige diluar Indonesia didasarkan pasal 361 KUHPerdata.

1. Asas persetujuan dari keluarga.

Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka
tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang
sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUH Perdata

1. Orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai Wali

Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:

-       Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal 354
KUHPerdata.
Pasal 345 KUH Perdata menyatakan :

” Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-
anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama,
sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.”

Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup terpisah
disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah
setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan
sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.

-       Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri.

Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi
seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika
kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan
Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain”

Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan
orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.

-       Perwalian yang diangkat oleh Hakim.

Pasal 359 KUH Perdata menentukan :

“Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur
perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan”.

1. Orang-orang yang berwenang menjadi Wali


1. Wewenang menjadi wali

Pada pasa l332 b (1) KUHPerdata menyatakan “perempuan bersuami tidak boleh menerima
perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya”.

Akan tetapi jika suami tidak memberikan izin maka dalam pasal 332 b (2) KUHPerdata dapat
disimpulkan bahwa bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan
kekuasaan dari hakim.

Selanjutnya pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata menyatakan :

“Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin itu atau apabila ia kawin dengan
perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut pasal
112 atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali
perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan
perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga
dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula.”

1. Wewenang Badan Hukum Menjadi Wali


Biasanya kewenangan perhimpunan, yayasan dan lembaga-lembaga sebagai wali adalah
menunjukkan bapak atau ibu, maka dalam pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa
badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali. Tetapi hal ini akan berbeda kalau perwalian
itu diperintahkan oleh pengadilan.

Pasal 365 a (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa “dalam hal sebuah badan hukum diserahi
perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu ia memberitahukan
putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan” .

Sesungguhnya tidak hanya panitera pengadilan saja yang wajib memberitahukan hal itu tetapi
juga pengurus badan hukum tersebut dan sanksi akan dipecat sebagai wali kalau kewajiban
memberitahukan itu tidak dilaksanakan. Sedangkan kejaksaan atau seorang pegawai yang
ditunjuknya, demikianpula dewan perwalian, sewaktu-waktu dapat memeriksa rumah dan
tempat perawatan anak-anak tersebut.

1. Yang tidak mempunyai kewajiban menerima pengangkatan menjadi Wali

-       Seorang yang dianggap sebagai seorang wali adalah salah seorang orang tua.

-       Seorang isteri yang diangkat menjadi wali.

-       Perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial lainnya kecuali kalau perwalian itu diberikan
atau diperintahkan kepadanya atau permohonannya sendiri atau atas pertanyaan mereka
sendiri.

1. Yang dapat meminta pembebsan untuk diangkat sebagai wali.

Dalam pasal 377 (1) KUH Perdata, menyebutkan :

-       Mereka yang akan melakukan jawatan negara berada diluar Indonesia.

-       Anggota tentara darat dan laut dalam menunaikan tugasnya.

-       Mereka yang akan melakukan jabatan umum yang terus menerus atau untuk suatu waktu
tertentu harus berada di luar propinsi.

-       Mereka yang telah berusia di atas 60 tahun.

-       Mereka yang terganggu oleh suatu penyakit yang lama akan sembuh.

-       Mereka yang tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan anak
yang dimaksud, padahal dalam daerah hukum tempat perwalian itu ditugaskan atau
diperintahkan masih ada keluarga sedarah atau semenda yang mampu menjalankan tugas
perwalian itu.

Menurut pasal 377 (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa “si bapak dan si ibu tidak boleh
meminta supaya dilepaskan dari perwalian anak-anak mereka, karena salah satu alasan
tersebut di atas”.
Menurut pasal 379 KUH Perdata disebutkan ada 5 golongan orang yang digolongkan atau
tidak boleh menjadi wali, yaitu :

-       Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen).

-       Mereka yang belum dewasa (minderjarigen)

-       Mereka yang berada dibawah pengampuan.

-       Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian
atau penetapan pengadilan.

-       Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku
dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap anak- anak atau anak tiri mereka sendiri.

1. Mulainya Perwalian

Dalam pasal 331 a KUHPerdata, disebutkan

1. Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir
dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat
pengangkatan itu diberitahukan kepadanya.
2. Jika seorang willi diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu
meniggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.
3. Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang
menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orang tua.

Berdasarkan pasal 362 KUH Perdata maka setiap wali yang diangkat kecuali badan hukum
harus mengangkat sumpah dimuka balai harta peninggalan.

1. Wewenang Wali
1. Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian).

Dalam pasal 383 (1) KUH Perdata,

“Setiap wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si


belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus mewakilinya dalam segala
tindakan-tindakan.”

Artinya wali bertanggung jawab atas semua tindakan anak yang menjadi perwaliannya.

Dalam ayat 2 pasal tersebut ditentukan , “si belum dewasa harus menghormati walinya.”
Artinya si anak yang memperoleh perwalian berkewajiban menghormati si walinya.

1. Pengurusan dari Wali

Pasa1383 (1) KUH Perdata juga menyebutkan :

“… pun ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan perdata.”


Namun demikian pada keadaan tertentu pupil dapat bertindak sendiri atau didampingi oleh
walinya, misalnya dalam hal pupil itu akan menikah.

Barang-barang yang termasuk pengawasan wali.

Menurut pasal 385 (2) KUH Perdata, barang-barang tersebut adalah berupa barang-barang
yang dihadiahkan atau diwariskan kepada pupil dengan ketentuan barang tersebut akan diurus
oleh seorang pengurus atau beberapa pengurus.

1. Tugas dan Kewajiban Wali

Adapun kewajjban wali adalah :

 Kewajiban memberitahukan kepada Balai Hart Peninggalan.

Pasal 368 KUH Perdata apabjla kewajjban ini tidak dilaksanakan wali maka ia dapat
dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan
ongkos-ongkos.

 Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya


(pasal 386 ayat 1 KUH Perdata).
 Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (pasa1335 KUH Perdata).
 Kewajjban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak
tersebut dan biaya pengurusan. (pasal 338 KUH Perdata).
 Kewajiban wali untuk menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua
barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali
barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer. (pasal
389 KUH Perdata)
 Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta
kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara. (pasal 392 KUH Perdata)
 Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen setelah dikurangi
biaya penghidupan tersebut.

1. Berakhirnya Perwalian

Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu :

1. dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena :

-       Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).

-       Matinya si anak.

-       Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.

-       Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.

1. Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena :
-       Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.

-       Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal 380 KUHP Perdata).

Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena lebih mementingkan kepentingan anak
minderjarig itu sendiri.

Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas wali didalam pasal 382 KUHPerdata
menyatakan :

1. Jika wali berkelakuan buruk.


2. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan
kecakapannya.
3. Jika wali dalam keadaan pailit.
4. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan terhadap si
anak tersebut.
5. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
6. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Hart Peninggalan
(pasal 368 KUHPerdata).
7. Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada Balai Hart Peninggalan
(pasal 372 KUHPerdata).

Ketentuan perwalian menurut UU No.1 tahun 1974.

Menurut ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 50 disebutkan :

1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah
kekuasaan wali.
2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
3. Syarat-syarat Perwalian

Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 menyebutkan
bahwa syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah :

 Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.


 Anak-anak yang belum kawin.
 Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
 Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
 Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.

Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 51, perwalian terjadi karena :

1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang
tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang
saksi.
2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
3. Kewajiban Wali
Menurut pasal 51 Undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan:

1. Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
2. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya
pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta
benda anak tersebut .
3. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya
serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.
4. Larangan Bagi Wali

Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 Undang-undang
ini, yakni orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.

1. Berakhirnya Perwalian

Pasal 53 UU No.1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat dicabut dari kekuasaannya , dalam
hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini, yaitu dalam hal :

1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut.


2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.

Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai (pasal 53 (2)
UU No.1 tahun 1974).

Dalam hal apabila wali menyebabkan kerugian pada si anak maka menurut ketentuan pasal
54 UU No.1 tahun 1974 menyatakan, wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta
benda anak yang berada dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak
tersebut dengan keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti
kerugian tersebut.

Bagian III

KESIMPULAN

Dari uraian-uraian tersebut diatas, jelas terlihat bahwa pada prinsipnya terdapat perbedaan
pengaturan tentang perwalian menurut UU No.1 tahun 1974 dan KUHPerdata, Dimana
menurut KUHPerdata anak-anak yang menerima perwalian adalah anak-anak yang belum
berumur 21 tahun atau belum kawin (pasal 330 ayat 3 KUHPerdata) sedangkan menurut UU
No.1 tahun 1974 yang menerima perwalian adalah anak-anak yang belum mecapai umur 18
tahun atau belum kawin (pasal 50 ayat 1).

Dalam hal pengangkatan wali didalam KUHPerdata ada dibedakan tiga jenis perwalian, yaitu
:

-       Perwalian dari suami atau isteri yang hidup lebih lama(pasal 345-354).
-       Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan wasiat atau akta tersendiri (pasal
355 ayat 1).

-       Perwalian yang diangkat oleh hakim (pasal 359).

Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan: Perwalian hanya ada karena
penunjukan oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua sebelum
ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi (pasal 51 ayat
1 UU No. 1 tahun 1974).

Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan, untuk orang yang beragama Islam saat ini yang kita
pakai sebagai undang-undang di Indonesia adalah ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata khusus dipergunakan
hanya sebagai pedoman hukum bukan sebagai undang-undang

PERKAWINAN CAMPURAN

Pertanyaan:

Hi, I'm a Swiss male and have been in Indonesia for several times. During my last visit, I met a
wonderful Indonesian lady, and we have discussed getting married. I would now like to know whether
I could settle in Indonesia. I would even like to become an Indonesian citizen. What would I have to
do?

Robert Huber

Jawaban:

Perkawinan campuran antara pria berwarganegara Swiss dengan wanita berwarga negara Indonesia
harus memenuhi beberapa persyaratan. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia,
dilakukan menurut Undang-undang perkawinan R.I No. 1 Tahun 1974, (pasal 59 ayat 2).

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda
kewarganegaraan (pasal 57). Dari definisi pasal 57 UU Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur
perkawinan campuran sebagai berikut:
1. perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
2. di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda;
3. karena perbedaan kewarganegaraan;
4. salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogrami dalam perkawinan. Unsur kedua
menunjukkan kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang kawin itu. Tetapi
perbedaan itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan
karena unsur ketiga karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan
kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat bahwa salah satu kewarganegaraan
itu ialah kewarganegaraan Indonesia.

Tegasnya perkawinan campuran menurut UU ini adalah perkawinan antar warganegara Indonesia
dan warganegara asing. Karena berlainan kewarganegaraan tentu saja hukum yang berlaku bagi
mereka juga berlainan.
Syarat-syarat dan pelangsungan Perkawinan Campuran

Apabila perkawinan campuran itu dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilakukan


menurut UU Perkawinan (pasal 59 ayat 2). Mengenai syarat-syarat perkawinan harus memenuhi
syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1).

Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi syarat-syarat perkawinan
menurut hukum masing-masing pihak ialah pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak
(pasal 60 ayat 2). Apabila pegawai pencatat menolak memberikan surat keterang itu, yang
berkepentingan itu mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dan pengadilan memberikan
keputusannya. Jika keputusan pengadilan itu menyatakan bahwa penolakkan itu tidak beralasan,
maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut (pasal 60 ayat 3).

Setelah surat keterangan Pengadilan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka perkawinan segera
dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama.
Bagi yang beragama islam, menurut hukum islam yaitu dengan upacara akad nikah, sedangkan bagi
agama yang bukan islam dilakukan menurut hukum agamanya itu. Dengan kata lain supaya dapat
dilakukan akad nikah menurut agama islam, kedua mempelai harus beragama islam. Supaya dapat
dilakukan upacara perkawinan menurut catatan sipil, kedua pihak yang kawin itu harus tunduk
ketentuan upacara catatan sipil. Pelangsungan perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat.

Ada kemungkinan setelah mereka memperoleh surat keterangan atau putusan Pengadilan,
perkawinan tidak segera mereka lakukan. Apabila perkawinan mereka tidak dilangsungkan dalam
masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu diberikan, maka surat keterangan atau
putusan pengadilan itu tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5).

Pencatatan perkawinan campuran

Suatu perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan. Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku guna
memperoleh akte nikah,sebagai bukti bahwa perkawinan tersebut adalah sah.

Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti, bahwa syarat-syarat perkawinan
yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi (pasal 60 ayat 1).
Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi sehingga tidak ada
rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka menurut hukum yang berlaku bagi
pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-
syarat telah dipenuhi (pasal 60 ayat 2).

Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (pasal 61 ayat 1 UU
Perkawinan). Pegawai pencatat yang berwenang bagi yang beragama islam ialah Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedangkan yang bukan beragama
islam adalah Pegawai Kantor Catatan Sipil.

Apabila perkawinan campuran dilangsungkan tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai
pencatat surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan maka yang melangsungkan
perkawinan campuran itu dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan (pasal 61
ayat 2). Pegawai pencatat yang mencatat perkawinan, sedangkan ia mengetehui bahwa keterangan
atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-
lamanya tiga bulan dan dihukum jabatan (pasal 61 ayat 3).

Kewarganegaraan Akibat Perkawinan Campuran

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat
memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya
menurut cara-cara yang ditentukan Undang-undang Kewarganegaraan R.I yang berlaku yaitu UU No.
62 Tahun 1962.
Menurut Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, pewarganegaraan
diberikan atas permohonan pewarganegaraan kepada Menteri Kehakiman dengan persetujuan
Dewan Menteri.

Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan menurut UU ini pemohon harus:


1. Sudah berusia 21 tahun.
2. Lahir dalam wilayah RI, atau pada waktu mengajukan permohonan bertempat tinggal dalam daerah
itu selama sekurang-kurangnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir atau sama sekali selama 10
tahun tidak berturut-turut;
3. Apabila ia seorang laki-laki yang kawin mendapat persetujuan istri (istri-istrinya);
4. Cukup dapat berbahasa Indonesia dengan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah
Indonesia serta tidak pernah di hukum karena melakukan kejahatan yang merugikan Republik
Indonesia dalam keadaan sehat rohani dan jasmani;
5. dalam keadaan sehat rohani dan jasmani;
6. Membayar pada kas negara antara Rp 500,- sampai Rp 10.000,- yang ditentukan jawatan pajak
tempat tinggalnya berdasarkan penghasilannya tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak boleh
melebihi penghasilan nyata sebulan;
7. Mempunyai mata pencaharian tetap;
8. Tidak mempunyai kewarganegaraan/kehilangan kewarganegaraannya apabil a ia mempunyai
kewarganegaraan Indonesia.

Dalam pasal 8 ayat 1 UU ini bahwa seorang perempuan warga negara R.I yang kawin dengan
seorang asing kehilangan kewarganegaraan R.I nya apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah
perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia kehilangan
kewarganegaraan R.I itu menjadi tanpa kewarganegaraan.

Seorang (pria/wanita) disebabkan oleh atau sebagai akibat dari perkawinannya kehilangan
kewarganegaraan R.I ia dapat memperoleh WNI kembali jika dan pada waktu ia setelah
perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu yang harus dinyatakan dalam waktu 1
tahun setelah perkawinan itu terputus, dengan ketentuan setelah perkawinan itu terputus, dengan
ketentuan setelah kembali memperoleh WNI nya itu ia tidak mempunyai kewarganegaraan rangkap
(pasal 11 UU NO. 62 Tahun 1958).

***

You might also like