You are on page 1of 12

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunianya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “
Perlindungan Konsumen “.
Didalam pembuatan makalah ini, kami berusaha menguraikan dan menjelaskan tentang
perlindungan terhadap konsumen.
Akhir kata kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna dan
banyak kekurangannya, oleh karena itu kami mengharapkan saran, kritik dan petunjuk dari
berbagai pihak untuk pembuatan makalah ini menjadi lebih baik dikemudian hari.
Semoga makalah yang telah kami buat ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan informasi
pada masa yang akan dating, terima kasih.

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perlindungan konsumen adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para


konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli. Namun dalam kenyataannya saat ini
konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen. Dalam beberapa kasus banyak
ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen dalam tingkatan yang
dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.

Beberapa contohnya adalah :


• Makanan kadaluarsa yang kini banyak beredar berupa parcel dan produk-produk
kadaluarsa pada dasarnya sangat berbahaya karena berpotensi ditumbuhi jamur dan bakteri
yang akhirnya bisa menyebabkan keracunan.
• Masih ditemukan ikan yang mengandung formalin dan boraks, seperti kita ketahui bahwa
kedua jenis cairan kimia ini sangat berbahaya jika dikontaminasikan dengan bahan makanan,
ditambah lagi jika bahan makanan yang sudah terkontaminasi dengan formalin dan boraks
tersebut dikonsumsi secara terus-menerus akibat ketidaktahuan konsumen maka
kemungkinan besar yang terjadi adalah timbulnya sel-sel kanker yang pada akhirnya dapat
memperpendek usia hidup atau menyebabkan kematian.
• Daging sisa atau bekas dari hotel dan restoran yang diolah kembali, beberapa waktu lalu
public digemparkan dengan isu mengenai daging bekas hotel dan restoran yang diolah
kembali atau dikenal dengan sebutan daging limbah atau daging sampah. Mendengar
namanya saja kita akan merasa jijik dan seakan-akan tidak percaya pada hal tersebut, namun
fakta menyebutkan bahwa dikawasan cengkareng, Jakarta Barat telah ditemukan serta
ditangkap seorang pelaku pengolahan daging sampah. Dalam pengakuannya pelaku
menjelaskan tahapan-tahapan yang ia lakukan, yaitu ; Limbah daging dibersihkan lalu dicuci
dengan cairan formalin, selanjutnya diberi pewarna tekstil dan daging digoreng kembali
sebelum dijual dalam berbagai bentuk seperti sup, daging empal dan bakso sapi. Dan hal
yang lebih mengejutkan lagi adalah pelaku mengaku bahwa praktik tersebut sudah ia jalani
selama 5 (lima) tahun lebih.
• Produk susu China yang mengandung melamin. Berita yang sempat menghebohkan
publik China dan juga Indonesia adalah ditemukannya kandungan melamin di dalam produk-
produk susu buatan China. Zat melamin itu sendiri merupakan zat yang biasa digunakan
dalam pembuatan perabotan rumah tangga atau plastik. Namun jika zat melamin ini
dicampurkan dengan susu maka secara otomatis akan meningkatkan kandungan protein pada
susu. Walaupun demikian, hal ini bukan menguntungkan para konsumen justru sebaliknya
hal ini sangat merugikan konsumen. Kandungan melamin yang ada pada susu ini
menimbulkan efek samping yang sangat berbahaya. Faktanya banyak bayi yang mengalami
penyakit-penyaktit tidak lazim seperti, gagal ginjal, bahkan tidak sedikit dari mereka yang
meninggal dunia.

Dari keempat contoh diatas dapat kita ketahui bahwa konsumen menjadi pihak yang
paling dirugikan. Selain konsumen harus membayar dalam jumlah atau harga yang boleh
dikatakan semakin lama semakin mahal, konsumen juga harus menanggung resiko besar yang
membahayakan kesehatan dan jiwanya hal yang memprihatinkan adalah peningkatan harga yang
terus menerus terjadi tidak dilandasi dengan peningkatan kualitas atau mutu produk.
Hal-hal tersebut mungkin disebabkan karena kurangnya pengawasan dari Pemerintah
serta badan-badan hukum seperti Dinas kesehatan, satuan Polisi Pamong Praja, serta dinas
Perdagangan dan Perindustrian setempat. Eksistensi konsumen tidak sepenuhnya dihargai karena
tujuan utama dari penjual adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam jangka
pendek bukan untuk jangka panjang.
Oleh karena itu, kami menyusun makalah ini yang berisi tentang Perlindungan
konsumen. Dalam makalah ini kami akan menjelaskan lebih lanjut serta membuat solusi yang
mungkin akan berguna bagi pembaca khususnya mahasiswa/I dimasa yang akan datang.

1.2 Pembahasan Masalah


Dalam makalah ini penulis akan membahas sebagai berikut:
1. Pengertian dan azas perlindungan konsumen
2. Hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha
3. Peran lembaga perlindungan konsumen dan lembaga pengawsan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Azas Perlindungan Konsumen


Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan
kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia yakni Pertama, Undang-Undang Dasar 1945,
sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan
nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan
nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu
menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak
dikonsumsi oleh masyarakat. Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat
Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu
barang dan jasa.
Pembangunan dan perkembangan perekonomian serta pengaruh globalisasi dan kemajuan
teknologi telah membawa pengaruh kepada setiap aspek kehidupan manusia, khususnya di
bidang perindustian dan perdagangan yang menghasilkan barang jasa dalam pemenuhan
kebutuhan hidup. Kondisi tersebut membawa keuntungan bagi pelaku usaha khususnya
konsumen karena semakin terbuka peluang untuk mendapatkan barang atau jasa dengan harga
yang kompetitif. Namun di sisi lain ternyata juga menimbulkan pengaruh negative karena
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen
berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta
penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen ini sudah cukup representatif apabila telah
dipahami oleh semua pihak, karena di dalamnya juga memuat jaminan adanya kepastian hukum
bagi konsumen, meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen,
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Kemudian di dalam UU Perlindungan
Konsumen pun, diatur tentang pelarangan bagi pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
Semakin terbukanya pasar sebagai akibat dari proses mekanisme pasar yang berkembang
adalah hal yang tak dapat dielakkan. Seringkali dalam transaksi ekonomi yang terjadi terdapat
permasalahan-permasalahan yang menyangkut persoalan sengketa dan ketidakpuasan konsumen
akibat produk yang di konsumsinya tidak memenuhi kualitas standar bahkan ada yang
membahayakan. Karenanya, adanya jaminan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta
kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan jasa yang diperolehnya di pasar menjadi
urgen.
Masih segar di ingatan, hebohnya kasus formalin pada makanan, ditariknya produk
pengusir nyamuk HIT karena dikhawatirkan mengandung bahan yang berbahaya bagi keamanan
dan keselamatan konsumen. Juga kasus minuman isotonik yang mengandung zat pengawet
berbahaya yang disinyalir oleh Lembaga Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (KOMBET)
yang di supervisi oleh LP3ES Jakarta di tahun-tahun lalu ketika meneliti sejumlah produk
minuman isotonik, hasilnya menginformasikan bahwa sejumlah minuman isotonik mengandung
zat pengawet berbahaya yakni natrium benzoat dan kalium sorbet yang bisa menyebabkan
penyakit yang dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu
penyakit nan mematikan yang dapat menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia
ketika antibodi yang seharusnya melindungi tubuh manusia malah menggerogoti manusia itu
sendiri. Sekarang heboh jamu berbahaya, kosmetik berbahaya, makanan-minuman mengandung
susu produk RRC yang berbahaya, beras mengandung bahan pengawet berbahaya dan
seterusnya. Apa yang salah, sehingga kejadian seperti selalu berulang, ke manakah peran
pengawasan dari instansi-instansi yang berwenang mengeluarkan izin produksi, izin berlaku dan
beredarnya suatu produk? Sebuah tanda tanya besar. Jelas konsumen lagi-lagi menjadi korban.
Berdasarkan pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa azas Perlindungan
Konsumen adalah:
1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara keseluruhan,
2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil,
3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen
akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.
Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk menjadi landasan
hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pendidikan dan pembinaan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha
yang pada prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal
mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan
konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.

2.2 Hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha


Hak-hak konsumen telah diatur secara jelas dalam UU Nomor 8 Tahun 1999, Namun,
memang pada realitanya, terkadang konsumen seringkali berada pada posisi yang kurang
menguntungkan dan daya tawarnya lemah. Ini karena mereka belum memahami hak-hak mereka
dan terkadang sudah menganggap itu persoalan biasa saja. Untuk itu mesti di bangun gerakan
secara massif antar elemen masyarakat yang care terhadap advokasi kepentingan konsumen
sehingga hak-hak konsumen dapat diperjuangkan.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Untuk itu, konsumen pun perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,


kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya. Sosialisasi perlindungan
konsumen mesti di lakukan terutama untuk strata sosial menengah ke bawah, dengan asumsi
bahwa untuk konsumen dari strata menengah ke bawah inilah yang lebih rentan terhadap
masalah-masalah yang memerlukan perlindungan konsumen akibat ketidakpahaman mereka.
Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi
terhadap konsumen (wise consumerism). Untuk peningkatan kesadaran dan kewaspadaan
konsumen, konsumen juga memiliki kewajiban untuk:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha
para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim
perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan atau
jasa yang berkualitas. Pelaksanaan Undang-undang Perlindungan konsumen tetap memberikan
perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya
pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Oleh karena itu, dalam menjalankan usahanya pelaku usaha juga mempunyai beberapa
hak dan kewajiban seperti berikut:
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Kewajiban pelaku usaha adalah :


a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2.3 Peran Lembaga Perlindungan Konsumen dan Lembaga Pengawasan


Dalam hal ini, peran lembaga yang bergerak di bidang perlindungan konsumen menjadi
penting, peran-peran ini diakui oleh pemerintah. Lembaga perlindungan konsumen yang secara
swadaya didirikan masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan
perlindungan konsumen. Lembaga perlindungan konsumen berperan untuk menyebarkan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian
konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa, memberikan nasihat kepada konsumen yang
memerlukannya, serta bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen, membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen, melakukan pengawasan bersama pemerintah dan
masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Sedangkan Lembaga Pengawasan dalam peranannya dapat dinilai sebagai yang
bertanggungjawab terhadap pengawasan peredaran barang-barang dan jasa yang dikonsumsi
masyarakat yaitu yang ada pada badan BPOM dan departemen terkait yang mengeluarkan izin
produksi, perdagangan dan peredaran suatu produk. Mestinya pihak-pihak ini teliti sebelum
mengeluarkan izin terhadap suatu produk, jangan sampai di ‘kibuli’ pengusaha, yang akhirnya
rakyat dirugikan oleh hadirnya produk yang membahayakan. Padahal seperti kasus formalin,
HIT dan juga minuman isotonik misalnya, ini kan kasus yang sebenarnya sudah lama diketahui,
namun ketika media ramai-ramai mengangkatnya, barulah mereka bergerak. Untuk konteks
daerah, BPOM dan dinas-dinas terkait juga selalu reaktif dalam menanggapi persoalan.
Seharusnya mereka lebih proaktif dan antisipatif, bukan menunggu telah muncul kasus ke
permukaan akibat keluhan konsumen baru mereka bertindak. Kemudian, problem pembinaan
terhadap pelaku usaha juga mesti diperhatikan agar tumbuh kesadaran mereka untuk tidak
memproduksi produk-produk yang tidak berkualitas dan menjualnya kepada konsumen. Lebih
lanjut, penindakan secara hukum mesti tegas agar tidak menjadi preseden buruk dan kejadiannya
berulang.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan terhadap Perlindungan Konsumen

Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen ini sudah cukup representatif apabila telah
dipahami oleh semua pihak, karena di dalamnya juga memuat jaminan adanya kepastian hukum
bagi konsumen, meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen,
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Factor utama yang menjadi
kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini
terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.

3.2 Saran
1. Pemenuhan hak-hak konsumen sebagai salah satu pelaku usaha sehingga tercipta
kenyamanan dalam transaksi perdagangan
2. Mempertegas tanggungjawab pelaku usaha sebagaimana diatur dalam undang-undang
sehingga tidak merugikan konsumen
3. Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
4. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan
peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Sofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung

Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung’’

http://www.scribd.com/doc/18545014/makalah-perlindungan-konsumen

http://www.pemantauperadilan.com/delik/16-PERLINDUNGAN%20KONSUMEN.pdf

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

MAKALAH
HUKUM DAGANG
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN

OLEH :

KELOMPOK 8
NELFIAN ZULBAIRI
NURFAJRI SADRIADES
PANSYAH
PONCO WINDU MP
REFLY SETIAWAN. H
RENDRA MAIFIZAL

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI
TEMBILAHAN
2009/2010

You might also like