Professional Documents
Culture Documents
MarkasSastra
Diterbitkan oleh
©2010
dan
Komunitas MarkasSastra
2 | Jalan Pulang
Isi Buku
Isi Buku 3
Catatan Editor 7
Kata Pengantar 8
Buku SATU: 9
Ku Katakan dengan Tulisan 10
Adlia Nazila, Sastra Jerman 2008 10
Jalan Pulang 11
Agrita Widiasari, Filsafat 2008 11
Kau Hawa dan Saya Pria 12
Agrita Widiasari, Filsafat 2008 12
Dia, Manusia di Balik Telepon yang Kau Genggam Itu 13
Agrita Widiasari, Filsafat 2008 13
Perjumpaan 14
Agrita Widiasari, Filsafat 2008 14
Fragmen Tak Berima 15
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008 15
Ode untuk Kapal 16
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008 25
Delapan Sonnet yang Terserak di antara Kertas Lusuh 26
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008 33
Aku Rahwana dan Kau Sinta 34
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2010 36
Keluarlah, Ada Hujan Berdansa dengan Malam 37
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008 37
Subuh 38
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008 38
Terserang Wabah Majnun 39
Agung Setiawan, Filsafat 2008 39
Sesaat Sebelum 40
Agung Setiawan, Filsafat 2008 41
Jalan Pulang | 3
Ketahuilah 42
Amri M. A., Sastra Jawa 2008 42
Setangkai Mawar Putih 43
Amri M. A., Sastra Jawa 2008 43
Jarak 44
Al-Muhtadi 44
Asa 45
Areispine Dymussaga Miraviori., Sastra Indonesia 2008 45
Tentang Seseorang yang Datang Kemarin Malam (I) 46
Areispine Dymussaga Miraviori, Sastra Indonesia 2008 46
Tentang Seseorang yang Datang Kemarin Malam (II) 47
Areispine Dymussaga Miraviori, Sastra Indonesia 2008 48
Kumbang 49
Bachtiar Agung Nugraha, Arkeologi 2007 49
Tuhan 50
Brambram 50
Dan Jika Saja Menjadi Nyata 51
Brambram 51
Air 52
Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008 52
Angin 53
Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008 53
Api 54
Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008 54
Tanah 55
Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008 55
Sampai Jumpa, Ian 56
Inung Imtihani, Sastra Indonesia 2009 56
Yang Menutup Telingaku 57
Inung Imtihani, Sastra Indonesia 2009 57
Terbungkam 58
Jenni Anggita, Sastra Indonesia 2008 58
Pagi adalah Pedih Berulang 59
Kinanti Munggareni, Sastra Indonesia 2007 59
Empat Sayap Mendung (1) 60
Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008 60
Empat Sayap Mendung (2) 61
Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008 61
4 | Jalan Pulang
Empat Sayap Mendung (3) 62
Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008 63
Empat Sayap Mendung (4) 64
Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008 64
Konsemuya 65
Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008 65
? 66
Maharddhika, Sastra Indonesia 2008 66
Kemudian Berkemuka 67
Maharddhika, Sastra Indonesia 2008 67
Bagaimana Jika Begini Saja 68
Maharddhika, Sastra Indonesia 2008 68
Penjara Sungguh Tak Berguna 69
Muhammad Abdinho Ableh, Sejarah 2009 70
Aku : Kepada Gerimis dan Hujan 71
Mursyidatul Umamah, Sastra Indonesia 2008 71
Kau : Kepada Angin dan Awan 72
Mursyidatul Umamah, Sastra Indonesia 2008 72
Apa Sebab 73
Sulung Siti Hanum, Sastra Indonesia 2006 73
Di antaranya 74
Yesy Wahyuning Tyas, Sastra Jawa 2005 74
Buku DUA: 75
Kelam 76
Akbar Rizky Fithrawan, Sastra Rusia 2009, PSA-MABIM 2009 76
Jakarta..!! 77
Dimas Arif Primanda Aji, Arkeologi 2009, PSA-MABIM 2009 77
Melodi FIB 78
Dinny Wulandari,Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009 78
Ketika Itu 79
Dinny Wulandari,Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009 79
Elegi Satu 80
Eki Kusumadewi, Sastra Indonesia 2009, PSA-MABIM 2009 80
Tidak 81
Farah Fitriana, Sastra Belanda 2009, PSA-MABIM 2009 81
Jalan Pulang | 5
Sepertiga 82
Indra Eka Widya Jaya, Arkeologi 2009, PSA-MABIM 2009 82
Terlalu Lama Aku Bermimpi 83
Kartika Putri, Sastra Inggris 2009, PSA-MABIM 2009 83
Enam Puluh Hari 84
Laila Anggita Nurcahyani, Sastra Inggris 2009, PSA-MABIM 2009 84
Kesendirian 85
Mayang Gentra A.P., Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009 85
Bodoh 86
Meidine Primalia Putri, Sastra Jerman 2009, PSA-MABIM 2009 86
Bisa Mati 87
Niken Prameswari, Sastra Jepang 2009, PSA-MABIM 2009 87
Ibu... Bolehkah Aku Bertanya 88
Nisma Dewi Karimah, Sastra Jepang 2009, PSA-MABIM 2009 88
Perjuangan Seorang Jongos 89
Pinka Almira Kusuma,SastraJerman 2009, PSA-MABIM 2009 89
Kisah Sinta 90
Puspa Ayu, Sastra Jawa 2009,Tugas PSA-MABIM 2009 91
Bimbang 92
Puteri Risdayani, Sastra Belanda 2009, PSA-MABIM 2009 92
Titik Putih 93
Qory Sandioriva, Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009 93
Malam 94
Resha Ardliyan Nur Kibtiyah, Sastra Rusia 2009, PSA-MABIM 2009 94
Hampa 95
Sahla Salima, Sastra Jerman 2009, PSA-MABIM 2009 95
Catatan Penutup 96
Tentang MarkasSastra 107
Tentang PSA-MABIM FIB UI 2009 109
6 | Jalan Pulang
Catatan Editor
Jalan Pulang | 7
Kata Pengantar
8 | Jalan Pulang
Buku SATU:
MarkasSastra
Jalan Pulang | 9
Ku Katakan dengan Tulisan
10 | Jalan Pulang
Jalan Pulang
Dan kita tak akan mau pulang. Kembali pada nada-nada kita yang
sumbang. Peraduan tamu dan ruang-seperti berulang kali kubilang.
Akhirnya kita menyerah pada malam dan waktu yang tak akan
pernah mau mengerti tentang kegelisahan kita yang kita harap
dapat terus menerus membunuh ingatan kita tentang jalan pulang.
Aku diam, kau diam. Malam semakin mendesak kita yang nyaris
ramping dihimpit kabut.
Lentera biru sudah menunggu untuk ditiupkan ruh pada nyawanya
yang lama mengeluh
Jalan Pulang | 11
Menemaniku bermimpi, memeluk lekuk bibirmu menunggu ucapan
selamat pagi.
Jangan ingatkan saya dengan kaca piring yang dia giring ke dahiku
semalam. Karena saya tak mau lagi mengingat kau atau salah satu
di antara kami yang kau gilir dari hulu ke hilir. Dari bibirmu yang
mengilir lidahku hingga mampu tunduk dan diam. Dalam sekam
yang kau rajut seharian. Mengunciku.
Saya hanya tetesan air yang tak mampu merangkak menuju ujung
pipa. Kau yang memulai untuk menghabisiku tanpa sisa dan saya
tak mampu menolak daya. Bukan karena cinta yang hangus
dimakan nelangsa. Tapi karena kau hawa dan saya hanya pria.
Saya hanya ingat bahwa saya adalah hilir yang tak melampaui
hulu. Yang tidak bisa menunggangimu karena cinta tak
mengikatkan tali pusar kita di depan penghulu. Saya hanya tetesan
12 | Jalan Pulang
air yang tak mampu merangkak menuju ujung pipa. Bukan karena
cinta yang menyadarkan bahwa ternyata saya terpaksa rela
menjadi sia yang terlunta. Tapi karena kau hawa dan saya hanya
pria.
Jalan Pulang | 13
Menegak nanah didih sembari menungguiku menjemput dan
melemparmu ke mari.
Perjumpaan
Aku tidak akan pernah tahu, bagaimana cara kita berjumpa dan
bertukar sapa.
Di dalam keramaian otak yang menyerang pikiran, kita hanya
berangkat bersama jumpa.
Tanpa kita mengerti. aku dan kamu tak pernah saling mengikat hati
akan bertemu dalam substansi.
Senja ini.
14 | Jalan Pulang
pada perjumpaan yang akan memberimu doa tanpa henti,
sampai bertemu lagi.”
2009
Jalan Pulang | 15
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008
/1/
16 | Jalan Pulang
Mengapa pelabuhan kecil
tak pernah bersedih
ketika tak ada kapal lagi
yang bersandar padanya?
/2/
Jalan Pulang | 17
/3/
18 | Jalan Pulang
/4/
Jalan Pulang | 19
/5/
20 | Jalan Pulang
/6/
Jalan Pulang | 21
/7/
22 | Jalan Pulang
/8/
Jalan Pulang | 23
/9/
24 | Jalan Pulang
/10/
2009
Jalan Pulang | 25
Delapan Sonnet yang Terserak di antara
Kertas Lusuh
terbelai oleh angin yang sedari tadi bersinjingkat entah apa yang
ia cari. Sepasang burung dara tak datang sore ini. Jam taman
berdentang,
kali ini menandakan waktu sudah menjelang petang. Matahari
senja
yang tadi memancarkan cahaya merah, redup perlahan-lahan.
2010
26 | Jalan Pulang
Biasanya akan ada gadis kecil berambut panjang duduk di sini.
Langit yang
sedari tadi dilanda murung mulai menandakan keceriaannya.
Dari jauh sepasang bayangan mendekat. Mungkin itu gadis yang
sering membaca buku dan membuat sajak.Ada yang hingar ketika
mereka
lembutnya. Aku yakin, dia adalah gadis yang biasa duduk di sini.Tapi
dia tak
lagi sendiri.Ronanya tak lagi sendu. Langit pun tak lagi mendung.
Bulan sudah tak lagi
tertutup. Cahayanya perak memancar hingga membentuk bayang-
bayang
akasia. Angin tak lagi bertingkah seperti sore tadi.
Jalan Pulang | 27
Lalu desember, ketika kau titipkan pesan,
tiba-tiba aku ingin sendiri. Kubiarkan
kau sendiri tapi tak benar-benar sendiri.
Di bagian lain, aku menyihir
2010
28 | Jalan Pulang
Tiba-tiba saja kau menjelma
angin yang hingar ke sana
–ke mari. Menerobos celah ruang-ruang.
Takterlihat namun selalu kurasakan.
2010
Jalan Pulang | 29
Hanya angin yang mendesir di antara pekat peron stasiun tua.
Kereta sudah jarang lewat stasiun. Hanya ada beberapa kereta tua
yang bersandar di beberapa baris rel atau kereta yang sedikit lusuh
yang butuh istirahat beberapa saat. Ada penjaga stasiun
Sudah berapa kali kau berputar? Mungkin kau sudah lelah. Hanya
angin yang
mendesir sore itu, ketika stasiun tua melepas penjaga stasiun.
Mungkin kau sudah lelah.
2010
30 | Jalan Pulang
Tidak kah kau dengar helaan nafas
burung yang berjingkat di pohon mranggas.
Tidakkah kau dengar riuh angin menderai dahan
pohon itu. Tidakkah kau dengar
2010
Jalan Pulang | 31
Di teras rumahku, masih saja kau melamun,
diam-diam aku memikirkan lampu
remang-remang di seberang. Kerdipnya
pelan-pelan seirama denyut nadi menghanyutkan
2010
32 | Jalan Pulang
Aku masih ingat dongeng-dongeng yang mengantarku ke negeri
penuh pelangi. Pelangi tak pernah memudar di antara
bukit-bukit yang menghimpitnya. Senja merah cerah tak pernah
Tak ada lagi denyut waktu atau rintihan pasir yang jatuh
di antara kaca. Aku rindu dongeng-dongeng itu. Aku rindu
suara lirih yang mengantarku ke tempat itu.
aku rindu helai derai rambutmu. Aku rindu ronamu.
2010
Jalan Pulang | 33
/1/
/2/
kau sinta
34 | Jalan Pulang
aku rahwana
/3/
Jalan Pulang | 35
namun bukan senja
2010
36 | Jalan Pulang
Keluarlah, hujan telah
berdansa dengan malam
Tik tik –nya menyerukan isyarat
—yang mungkin akan kau reka-reka
2010
Subuh
Jalan Pulang | 37
Memandang batas di atas subuh setengah
biru. Ada juga yang meretas biru itu dengan sejuta doa
Tapi tak juga bertemu dengannya
2010
38 | Jalan Pulang
,terserang wabah majnun
sitar-sitar melayangkan sihir nada yang menjari nadi
paradoks bunyi
Sesaat Sebelum
Jalan Pulang | 39
bukanlah rangkaian tangan ledakan mencengkram yang patut
ditakuti,
tapi perasaan menunggu yang sangat lama itu
40 | Jalan Pulang
tapi perasaan tak bisa menjaga hal tersebut agar tetap sama
kita hanya diberi waktu sesaat untuk bisa merasakan ilusi itu,
Ketahuilah
Jalan Pulang | 41
Jika suatu hari,
entah sekarang, besok atau kapan,
aku tak bernafas lagi,
ketahuilah,
hadiah terindah yang pernah kudapat adalah
mengenalMu,
2009
42 | Jalan Pulang
di antara bunga-bunga bakung di seberang sana,
terdapat kata menguntai bahasa batu; bahasa sunyi,
tanpa swara-swara,
matanya menaklukan waktu yang berlari,
2010
Jarak
Jalan Pulang | 43
Dari kaki hingga hati segala menggumpal, segala melambat
Al-Muhtadi
Asa
44 | Jalan Pulang
kita merasa bebas dan tertawa di dunia kita yang sempit
sambil melihat dari balik kaca ke sisi kaca yang lain,
yang muram dan awan-awan kelabu
kita kadang tersenyum, dan beberapa pernah menitikkan air mata
namun kita sendiri tidak tahu apa arti semua itu
yang ada di hadapan kita hanyalah sebuah jalan kecil
di mana kita naik,
turun,
berbelok,
lurus,
pergi,
dan kembali
Jalan Pulang | 45
Apa yang ingin kau sampaikan?
Cinta yang kelabu?
Oh, cinta telah mati sore tadi
Ada burung gagak di atas nisannya
(2009)
46 | Jalan Pulang
setelah empat tahun yang panjang akhirnya aku menemukanmu
kembali seseorang yang pernah ada di hatiku namun selalu tak
sempat aku mengakui dan mencoba merasakannya. maka hari ini
aku dapat melihat senyummu lagi yang mencintaiku masih tetap
seperti empat tahun lalu. terkadang aku ingin mencoba mencari
celah-celah di hati yang dulu sempat menyimpan cinta itu yang
kemudian tertimbun seiring berjalannya waktu dengan cinta-cinta
yang lain yang tak pernah aku sesali kehadirannya namun di mana
celah itu aku masih ingin menemukannya.
tapi tak akan ada cerita bila kita tidak berpisah dan aku tidak akan
merelakan hidupku hanya tertuju padamu tanpa kisah-kisah lain
yang indah terutama dengan seseorang yang aku cintai saat ini.
sesungguhnya aku sangat ingin mengatakan bahwa aku sungguh
menyayangimu dan secuil perasaan dari empat tahun lalu itu masih
ada namun aku tak pernah bisa karena hidup memang harus
memilih.
Jalan Pulang | 47
aku kenakan di tangan kiriku ini tak sepatutnya aku sesali karena
waktu terus berjalan meskipun kau tetap mengintaiku dari
belakang memastikan aku baik-baik saja dan bersiap mengulurkan
tanganmu dan pundakmu di saat aku bersedih.
(2010)
Kumbang
:k.a.p
48 | Jalan Pulang
Musim yang belum mau berganti
Dan udara masih menyisakan aroma dingin
Tak ada suara yang menyeru dari ujung desa
Tak ada gerak yang terlintas pada pandang dua mata
Semuanya masih bersembunyi
Tuhan
Jalan Pulang | 49
sudah lama aku
tidak datang menyembah
rindu
Brambram
50 | Jalan Pulang
Akan puaskah kita
dengan hidup yang biasa-biasa saja
Brambram
Air
Jalan Pulang | 51
Air mengalun
Menggeliat dan mengayun
Luapkan kehidupan
Meredam pertanyaan.
Ayolah,
Apalagi yang membuat resah?
Kita diam dan bertaut
Simpan bayang dalam kalut.
Ini takdir,
Kata bintang di balik tabir
Di antara suara takbir
Kita tertawa getir.
Manusia, katamu
Tak mau mengakui batasan dirinya
Bersikeras memburu
Penuh naif tentang menjadi Satu Yang Sempurna.
Kau menghela nafas
Di sisi fana yang menebas
Bahkan kita tetap terbatas
Saat nyawa telah terbebas.
Angin
52 | Jalan Pulang
Entah apa yang membisik duri
Saat menapak pada jalan yang suci
Tak terlihat kerlap-kerlip baiduri
Karena hanya ada lirih Sang Mentari.
Kita berteriak
Bersorak
Menyalak dan tersentak.
Api
Jalan Pulang | 53
Kapan terakhir kali kau menari di bawah hujan?
Merasakan kabut yang selimuti angan
Ada harapan dalam kepingan
Yang merapat menembus khayalan.
Menyilau aku akan kemilau
Ketika ada yang menepikan galau
Bukan aku atau engkau
Tapi mereka yang menangis dalam gurau.
54 | Jalan Pulang
Tanah
Jalan Pulang | 55
Sampai Jumpa, Ian
56 | Jalan Pulang
Yang Menutup Telingaku
Jalan Pulang | 57
Terbungkam
sendiri.
memeluk sepi dan hampir
mati.
memekik dalam
diam
terbungkam.
58 | Jalan Pulang
Pagi adalah Pedih Berulang
Jalan Pulang | 59
Empat Sayap Mendung (1)
60 | Jalan Pulang
Empat Sayap Mendung (2)
Impian manusia
Tertanam di halaman rumah Descartes
Di pot bunga William Shakespeare
Jalan Pulang | 61
Empat Sayap Mendung (3)
“Tuhan
Apa arti peringatan kicau burung dan dedaunan yang bergerisik
Atau apa arti aku mempertanyakan tentang peringatan itu?
62 | Jalan Pulang
Tumpah melewati pipi dengan perlahan-lahan
Jatuh
Dan
Pecah di akar pohon malaka
Yang tiba-tiba menyembul
Bersamaan dengan itu
Buah yang tadinya menyala-nyala
redup seketika
Jalan Pulang | 63
Empat Sayap Mendung (4)
Begitulah,
Embusan angin menyontek ibu
Cakrawala membentang di mata ayah
Dan mendung belum mencapai cerahnya
Sampai langit menemukan sayapnya
Sampai biji-bijian lain menemukan tanahnya
(2008-2010)
64 | Jalan Pulang
Konsemuya
Kaulah
Gunung jatuh
Di paruh merpati
Tanpa garis
Tanpa gores
Kaulah
Sepucuk surat
Di tanah tandus Mars
Jalan Pulang | 65
?
66 | Jalan Pulang
Kemudian Berkemuka
entah berapa waktu lagi aku diam di senja yang bergulir dengan
mesra, dengan lara. sampai matahari membenamkan dirinya
hingga tenggelam dan malam kini bergumam, aku masih diam. jika
menurut mereka menunggu adalah hal yang paling menggangu
dan akan ragu-ragu melakukannya, aku akan dengan senang hati
melakukannya hingga matahari itu berhasil muncul kembali dari
timurnya yang timur.
Hanya ada gerimis yang tak kunjung reda. cinta agaknya harus
selalu berputus-asa, kedangkalan itu kemudian berkemuka.
Jalan Pulang | 67
Bagaimana Jika Begini Saja
Bagaimana jika begini saja: aku tandai tulisan itu dengan tanda
petik (agar terkesan seperti berbicara)? aku juga akan cantumkan
aku setelah tanda petik (agar terkesan seperti aku yang memiliki).
Tapi sebentar, apakah perlu juga aku beri tanda seru (agar terkesan
serius dan tidak main-main)? satu tanda seru cukup? jadi begini lah
kira-kira: “Aku mencintaimu!” aku berkata.
Ah, kurasa tak perlu. dia tak akan pernah mengerti. Aku masih
butuh waktu lama untuk menyederhanakan kata cinta .
68 | Jalan Pulang
Penjara Sungguh Tak Berguna
Nah,
Kurasa kita tak perlu merajut kelambu untuk tidur malam ini
Rasakan saja semilir angin
Sepoi-sepoi berhembus menghempas ujung-ujung jemari
Pejamkan mata
Dan kelamaan kamu akan terlelap
Tanpa khawatir nyamuk akan menghisapmu
Nah,
Kurasa kita tak perlu dongeng untuk tidur malam ini
Pikirkan saja kisahmu hari ini
Dukanya akan buatmu menangis
Dan senangnya akan buatmu tersenyum lebar
Pejamkan mata
Dan kelamaan kamu akan terlelap
Tanpa khawatir pikiranmu direngut gelisah dan sepi
Nah,
Kurasa kita tak perlu mencuci kaki untuk tidur malam ini
Lihat saja keringat yang mengepul di sela bulu-bulu kakimu
Lap saja ia, dan kakimu akan bersih
Pejamkan mata
Dan kelamaan kamu akan terlelap
Tanpa khawatir alas tilammu akan kotor
Nah,
Kurasa kita tak perlu menyikat gigi untuk tidur malam ini
Hari ini kamu tak mengisi perutmu
Menggunakan gigi-gigimu untuk menguyah
Jalan Pulang | 69
Atau lidahmu tak dipoles rasa
Jadi tak ada yang membusuk di sela-sela gigimu
Pejamkan mata
Dan kelamaan kamu akan terlelap
Tanpa khawatir gigi-gigimu akan dilahap kuman
Nah,
Inilah penjara
Terlelap adalah saat-saat paling kita nantikan disini
Saat-saat menuju surga
Karena kita bisa bebas dari jeruji-jeruji besi dan borgol yang
menyekap kita dalam masa lalu
Selalu meratapi yang telah lalu
Memutus usia seketika
Memisahkan antara kita dan 20 tahun yang akan datang
Dengan dalih penghapusan dosa atau akibat dosa
Kita tak akan lebih baik disini
Penjara sungguh tak berguna
70 | Jalan Pulang
Aku : Kepada Gerimis dan Hujan
:Kepada Gerimis.
Kapan-kapan aku akan berlalu lalang tanpa kaki ini
kujelang.
Aku salut pada elang-elang yang melenggang tanpa aral
melintang.
Oh! Aku mengerti sekarang, mengapa gerimis tak jua
datang.
Sepertinya aku luput pada seseorang yang pernah hilang.
Pun itu, aku yang menggantang arang.
:Kepada Hujan.
Kadang-kadang aku seperti diajari oleh butir-butirmu.
Kau sangat tau kapan kau mendung sendu, juga kapan kau
turun pilu.
Memang, menunggu kelabu bukan hal baru bagimu
sehingga tak mudah kau layu kuyu.
Pun itu, laiknya hatiku.
Jalan Pulang | 71
Kau : Kepada Angin dan Awan
:Kepada Angin.
Sibak saja rambutku bila kau mau.
Kalau tak sampai sembilu, aku tak tau.
Kadang mata memberi warna, jiwa memberi rasa, hati
memberi kasih.
Namun, tetap jua ruang ini sunyi tanpa bunyi.
Bolehkah kita sekadar rindu?
Karna, aku hanya ingin kita bertemu.
:Kepada Awan.
Jangan sampai aku melawan nadiku yang selama ini
kusimpan.
Bisa-bisa yang ada hanya rasa bosan.
Terlalu jauh bila kurengkuh, karna aku kadang rapuh.
Langit-langit jiwa yang berkeluh, butuh bernaung
di tempat yang tak lusuh.
Karna, aku hanya ingin kita tak jauh.
72 | Jalan Pulang
Apa Sebab
Jalan Pulang | 73
Di antaranya
Jeda
Sampai
Jarak
Antara
Dan
Jika
Itulah antara dari antara untaian-untaian perihal adalah tepian.
74 | Jalan Pulang
Buku DUA:
Puisi-Puisi PSA-MABIM FIB UI 2009
Jalan Pulang | 75
Kelam
kering
tak bernyawa
gersang
tak bersahaja
jiwa mendekam
dalam kepiluan
hati terpaku
dalam kesendirian
76 | Jalan Pulang
Jakarta..!!
Jakarta...panase ra umum!!!!
Jalan Pulang | 77
Melodi FIB
78 | Jalan Pulang
Ketika Itu
Jalan Pulang | 79
Elegi Satu
Tidak..
Kata yang lebih baik daripada tunggu...
80 | Jalan Pulang
Tidak
Jalan Pulang | 81
Sepertiga
82 | Jalan Pulang
Terlalu Lama Aku Bermimpi
Jalan Pulang | 83
Enam Puluh Hari
84 | Jalan Pulang
Kesendirian
Jalan Pulang | 85
Bodoh
Apa?
Apa yang salah?
Apa aku yang salah?
Kenapa ?
Kenapa selalu begini ?
Kenapa lewat sini lagi ?
Selalu..
Selalu saja terjadi
Tersungkur lalu terjatuh lagi
Terjebak dalam jurang yang sama
Ah! Bodoh! Tidak bisa berfikir?
Ah! Bodoh! Dimana akal sehat?
Sudah berkali-kali begini
Masih saja bodoh!
Pikir sendiri! Cari jalannya!
Sakit pun tak apa...
Nanti sembuh juga...
Dustai saja bila harus dustai!
Toh, kena dusta sendiri
Biar cepat keluar! biar bebas!
Sekarang kan sudah tahu
Jalan itu cuma keindahan semu
Orang bodoh yang mau lewat
Ah, sudah! Tinggalkan saja!
Tahu itu sakit.
Cukup sudah!
Bagaimana bisa bodoh begitu?
Cari saja bebas!
Cari saja bahagia!
Jangan lagi bodoh!
Meidine Primalia Putri, Sastra Jerman 2009, PSA-MABIM 2009
86 | Jalan Pulang
Bisa Mati
Kala terasing
Beku menikam
Lari!
Nanti bisa mati!_
Tikam, cabik semua
Biar rasa!
Kala terasing
Pilu terasa
Siksa tersisa
Bunuh!
Nanti bisa mati!
Luap, keluar semua
Biar rasa!
Kala terasing
Terus ingat
Bak peluru berlari tak peduli
Kejar!
Nanti bisa mati!
Rebut, menang dari segala
Biar rasa!
Jalan Pulang | 87
Ibu... Bolehkah Aku Bertanya
88 | Jalan Pulang
Perjuangan Seorang Jongos
Jalan Pulang | 89
Kisah Sinta
Sinta
seorang gadis sederhana
Berusaha menggapai impiannya yang mulia
Menjadi guru yang mampu membuat muridnya
Berbahasa Indonesia
Yang mulai dilupakan bahkan oleh teman sebayanya
Sinta
Berasal dari desa yang terpinggirkan
Keras belajar menempuh pendidikan
Di tengah kemelaratan kehidupan
90 | Jalan Pulang
Sinta tak mampu menghadapi kenyataan, tak ada yang mau
memberi bantuan
Tak tahan melihat pengharapan orang tua kini musnah di depan
mata, padahal semua barang sudah digadaikan, untuk meniti masa
depan yang kini hilang di tengah jalan.
Di kampung,
Bapak dan ibu cemas menanti kabar Sinta
Doa terucap selalu dalam sholatnya
Agar sinta jadi orang berguna, seperti yang sinta tuliskan penuh
dusta
Dalam suratnya
Jalan Pulang | 91
Bimbang
92 | Jalan Pulang
Titik Putih
Hijau kebiruan
Terasa syahdu tetapi berlendir licin
Merah keunguan
Terasa cinta tetapi berduri tajam
Jalan Pulang | 93
Malam
94 | Jalan Pulang
Hampa
Jalan Pulang | 95
Catatan Penutup
1
Mahasiswa Sosiologi FISIP UI 2006, seorang penggiat komunitas Bale Sastra
Kecapi dan salah satu pendiri 28wArtLab.
96 | Jalan Pulang
Karenanya mengikuti Neruda, puisi adalah bahasa bagi
kemanusiaan kita, menghubungkan dunia yang satu dengan dunia
yang lain, mempertemukan jiwa yang satu dengan yang lain.
Hingga semuanya akan menjadi begitu jelas—terbaca. Puisi
menjadi ruh sakral yang membuat mitos menara Babel seakan
hidup kembali lagi–manusia hendak memerikan misteri semesta,
dari segala yang ada dan tersembunyi hingga semuanya dapat
termengerti.
Jalan Pulang | 97
Nuansa pencarian diri dalam seluruh proses penulisan puisi
pada kumpulan puisi di buku ini jelas sangatlah terlihat. Ini adalah
proses kreatif khas dari anak-anak muda. Eksistensi diri kerapkali
menjadi pusat dari seluruh rupa ketegangan dan pencariannya di
dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Segala tulisan (puisi)
lalu menjadi sebuah pelepasan perasaan hati. Inilah sebuah wujud
upaya penyelamatan kegelisahan agar segera mereda—membeku
dalam makna-makna yang terukirkan melalui rupa asing metafora.
jiwa mendekam
dalam kepiluan
hati terpaku
dalam kesendirian
(Petikan dari Kelam –Akbar Rizky Fithrawan)
98 | Jalan Pulang
Walaupun begitu, dunia dengan segala rupa kisahnya memang
selalu tampak tak mudah untuk dimengerti secara mudah. Apalagi
untuk sekadar menuliskannya. Selalu ada sendu di balik setiap tawa
dan keriangan gerak. Selalu ada kata tanya di balik setiap wujud
hadir yang mendekat. Mengapa semua ini menjadi seperti ini?
Jalan Pulang | 99
pada estetika sastra zaman ini. Semua orang berhak untuk
berkarya—apapun itu.
Puisi pendek dan puisi narasi, itulah yang mungkin menjadi tren
perayaan sastra zaman ini. Melalui kedua bentuk puisi itu, karya-
karya dari kegelisahan anak-anak muda tertampung dalam
kumpulan puisi pada buku ini. Sebut saja beberapa karya seperti
Kemudian Berkemuka; Empat Sayap Mendung; Delapan Sonet yang
Terserak di antara Kertas Lusuh; Jalang Pulang telah mengambil
tren puisi narasi yang berkembang di dalam ruang sastra koran kita
hari ini. Pola romantika dan melankolia seringkali menjadi rupa
pembentuknya. Ini akan mengingatkan kita pada ragam karya
Hal lain yang dapat dilihat dari karya-karya dalam buku ini
adalah tema yang dicoba untuk digarap ataupun didekati oleh
masing-masing penyair tersebut. Hampir semua yang digarap
adalah tema terkait dengan psikologi eksistensial. Luapan maupun
endapan berdetak yang terus saja menggetar dalam perasaan
masing-masing. Itulah yang sedang digarap oleh puisi-puisi dalam
buku ini. Walaupun juga terdapat puisi yang ditujukan untuk hal-hal
lain—seperti untuk kampusnya ataupun untuk kota dan beberapa
wajah sosial.