You are on page 1of 110

dan

PSA-MABIM FIB UI 2009


JALAN PULANG
Buku Puisi

MarkasSastra
Diterbitkan oleh

Jalan Margonda 28w


Depok, Jawa Barat.
(021) 98363462
duadelapanwartlab@rocketmail.com

©2010

Bekerja sama dengan


Panitia PSA-MABIM FIB UI 2009

dan
Komunitas MarkasSastra

Editor: Tim MarkasSastra


Catatan Penutup: Frendy Kurniawan, Perayaan Zaman ini—
kegelisahan menemukan diri dan sebuah
petunjuk Jalan (untuk) Pulang, 2010
Desain Sampul: Agung Dwi Ertato
Gambar Sampul: Agung Dwi Ertato, Lampu Taman Kota, 2010
Tata Letak: Agung Dwi Ertato

Cetakan Pertama: Mei 2010


Dicetak oleh Saga Biru

2 | Jalan Pulang
Isi Buku

Isi Buku 3
Catatan Editor 7
Kata Pengantar 8

Buku SATU: 9
Ku Katakan dengan Tulisan 10
Adlia Nazila, Sastra Jerman 2008 10
Jalan Pulang 11
Agrita Widiasari, Filsafat 2008 11
Kau Hawa dan Saya Pria 12
Agrita Widiasari, Filsafat 2008 12
Dia, Manusia di Balik Telepon yang Kau Genggam Itu 13
Agrita Widiasari, Filsafat 2008 13
Perjumpaan 14
Agrita Widiasari, Filsafat 2008 14
Fragmen Tak Berima 15
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008 15
Ode untuk Kapal 16
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008 25
Delapan Sonnet yang Terserak di antara Kertas Lusuh 26
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008 33
Aku Rahwana dan Kau Sinta 34
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2010 36
Keluarlah, Ada Hujan Berdansa dengan Malam 37
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008 37
Subuh 38
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008 38
Terserang Wabah Majnun 39
Agung Setiawan, Filsafat 2008 39
Sesaat Sebelum 40
Agung Setiawan, Filsafat 2008 41

Jalan Pulang | 3
Ketahuilah 42
Amri M. A., Sastra Jawa 2008 42
Setangkai Mawar Putih 43
Amri M. A., Sastra Jawa 2008 43
Jarak 44
Al-Muhtadi 44
Asa 45
Areispine Dymussaga Miraviori., Sastra Indonesia 2008 45
Tentang Seseorang yang Datang Kemarin Malam (I) 46
Areispine Dymussaga Miraviori, Sastra Indonesia 2008 46
Tentang Seseorang yang Datang Kemarin Malam (II) 47
Areispine Dymussaga Miraviori, Sastra Indonesia 2008 48
Kumbang 49
Bachtiar Agung Nugraha, Arkeologi 2007 49
Tuhan 50
Brambram 50
Dan Jika Saja Menjadi Nyata 51
Brambram 51
Air 52
Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008 52
Angin 53
Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008 53
Api 54
Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008 54
Tanah 55
Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008 55
Sampai Jumpa, Ian 56
Inung Imtihani, Sastra Indonesia 2009 56
Yang Menutup Telingaku 57
Inung Imtihani, Sastra Indonesia 2009 57
Terbungkam 58
Jenni Anggita, Sastra Indonesia 2008 58
Pagi adalah Pedih Berulang 59
Kinanti Munggareni, Sastra Indonesia 2007 59
Empat Sayap Mendung (1) 60
Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008 60
Empat Sayap Mendung (2) 61
Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008 61

4 | Jalan Pulang
Empat Sayap Mendung (3) 62
Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008 63
Empat Sayap Mendung (4) 64
Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008 64
Konsemuya 65
Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008 65
? 66
Maharddhika, Sastra Indonesia 2008 66
Kemudian Berkemuka 67
Maharddhika, Sastra Indonesia 2008 67
Bagaimana Jika Begini Saja 68
Maharddhika, Sastra Indonesia 2008 68
Penjara Sungguh Tak Berguna 69
Muhammad Abdinho Ableh, Sejarah 2009 70
Aku : Kepada Gerimis dan Hujan 71
Mursyidatul Umamah, Sastra Indonesia 2008 71
Kau : Kepada Angin dan Awan 72
Mursyidatul Umamah, Sastra Indonesia 2008 72
Apa Sebab 73
Sulung Siti Hanum, Sastra Indonesia 2006 73
Di antaranya 74
Yesy Wahyuning Tyas, Sastra Jawa 2005 74

Buku DUA: 75
Kelam 76
Akbar Rizky Fithrawan, Sastra Rusia 2009, PSA-MABIM 2009 76
Jakarta..!! 77
Dimas Arif Primanda Aji, Arkeologi 2009, PSA-MABIM 2009 77
Melodi FIB 78
Dinny Wulandari,Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009 78
Ketika Itu 79
Dinny Wulandari,Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009 79
Elegi Satu 80
Eki Kusumadewi, Sastra Indonesia 2009, PSA-MABIM 2009 80
Tidak 81
Farah Fitriana, Sastra Belanda 2009, PSA-MABIM 2009 81

Jalan Pulang | 5
Sepertiga 82
Indra Eka Widya Jaya, Arkeologi 2009, PSA-MABIM 2009 82
Terlalu Lama Aku Bermimpi 83
Kartika Putri, Sastra Inggris 2009, PSA-MABIM 2009 83
Enam Puluh Hari 84
Laila Anggita Nurcahyani, Sastra Inggris 2009, PSA-MABIM 2009 84
Kesendirian 85
Mayang Gentra A.P., Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009 85
Bodoh 86
Meidine Primalia Putri, Sastra Jerman 2009, PSA-MABIM 2009 86
Bisa Mati 87
Niken Prameswari, Sastra Jepang 2009, PSA-MABIM 2009 87
Ibu... Bolehkah Aku Bertanya 88
Nisma Dewi Karimah, Sastra Jepang 2009, PSA-MABIM 2009 88
Perjuangan Seorang Jongos 89
Pinka Almira Kusuma,SastraJerman 2009, PSA-MABIM 2009 89
Kisah Sinta 90
Puspa Ayu, Sastra Jawa 2009,Tugas PSA-MABIM 2009 91
Bimbang 92
Puteri Risdayani, Sastra Belanda 2009, PSA-MABIM 2009 92
Titik Putih 93
Qory Sandioriva, Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009 93
Malam 94
Resha Ardliyan Nur Kibtiyah, Sastra Rusia 2009, PSA-MABIM 2009 94
Hampa 95
Sahla Salima, Sastra Jerman 2009, PSA-MABIM 2009 95

Catatan Penutup 96
Tentang MarkasSastra 107
Tentang PSA-MABIM FIB UI 2009 109

6 | Jalan Pulang
Catatan Editor

Dengan senang hati kami menerima tawaran Panitia PSA-


MABIM FIB UI 2009 untuk menerbitkan beberapa puisi dari teman-
teman sejawat dan teman-teman mahasiswa baru FIB UI (tugas
PSA-MABIM). Kami masih ingat tahun lalu dengan susah payah
kami menerbitkan kumpulan puisi MarkasSastra yang pertama. Di
tahun kedua, kami masih diberi keberuntungan untuk melanjutkan
penerbitan kumpulan puisi tersebut.
Tidak mudah tentunya memilih beratus-ratus puisi yang masuk
ke kotak masuk MarkasSastra. Beratus-ratus puisi tersebut
mencoba melampui batas-batas yang meretas, yang membentang,
yang memenuhi semesta. Melalui puisi pula mereka mengabadikan
beragam peristiwa puitik dan melampaui batas-batas atau
terbentur batas-batas yang sengaja atau tidak sengaja dibuat oleh
sistem yang melingkari kehidupan manusia.
Penerbitan buku ini sekiranya dapat memberikan ruang bagi
teman-teman untuk berkreativitas di bidang seni sastra dan dapat
memberikan beberapa faedah bagi berbagai pihak. Tentu saja,
kami tidak ingin berhenti sampai di sini, kami ingin terus menjadi
ruang kreativitas bagi seni dan sastra. Semoga kami bisa
melampaui batas-batas kemampuan kami.
Atas terselenggaranya penerbitan buku puisi ini, kami ucapkan
banyak terimakasih kepada Tuhan YME, Panitia PSA-MABIM FIB UI
2009, 28wArtlab, teman-teman yang berpartisipasi dalam buku
puisi ini, dan tentunya teman-teman pembaca, yang dengan cara
masing-masing memposisikan puisi melebihi batas-batas.

Depok, 19 April 2010 MarkasSastra

Jalan Pulang | 7
Kata Pengantar

Ucapan puji dan syukur saya panjatkan kepada kehadirat Allah


swt atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan
sehingga buku antologi puisi ini dapat diterbitkan dan hadir di
tengah-tengah kita semua.
Layaknya sebuah ruang, buku antologi puisi ini adalah ruang
bagi aktualitas dan kreatifitas kebebasan berekspresi. Membiarkan
adanya “pemberontakan pikiran” setidaknya boleh dilakukan untuk
sekadar memandang berbeda paradigma berpikir masyarakat pada
umumnya. Melalui terbitnya buku antologi puisi ini membuktikan
bahwa “pemberontakan pikiran” dapat dilakukan. Semoga
“pemberontakan pikiran” ini dapat terus tercipta sehingga dapat
membuka ruang kreatif dalam untaian kata dan makna pada
perkembangan kreatifitas seni dan sastra.
Terimakasih kepada teman-teman Panitia PSA-MABIM FIB UI
2009, Mahasiswa FIB UI angkatan 2009, rekan-rekan Komunitas
MarkasSastra, 28wArtlab, Serta seluruh pihak yang telah
membantu terbitnya buku antologi ini. Ucapan terimakasih secara
khusus saya sampaikan kepada Ketua DPM FIB UI 2009, Wannihaq
Yuhamrithama atas waktu tambahan yang diberikan sehingga
buku antologi puisi ini dapat terbit.

Ketua Pelaksana PSA-MABIM FIB UI 2009

8 | Jalan Pulang
Buku SATU:
MarkasSastra

Jalan Pulang | 9
Ku Katakan dengan Tulisan
 

Dalam detik aku melangkah,


bagai semut merah di atas ranting
yang percaya pada hasil terbaik
tanpa takut terjatuh.
                                       
Dalam gelap aku menatap,
bagai bintang di malam berawan,
nyata dan bersinar,
mengacuhkan kesamaran sepi.
                      
Dalam keindahan aku bergerak,
bagai sepasang tangan kasih
terus menari di genggaman
meluapkan keanggunan damai.
 
Dalam mata mu aku membaca,
bagai raja para bacaan,
tertulis semua perasaan hati
yang bermakna dalam diam.

Adlia Nazila, Sastra Jerman 2008

10 | Jalan Pulang
Jalan Pulang

Malam dan detik waktu tidak pernah mau mengerti tentang


kegelisahan kita yang terpaksa merana menelan keadaan.
Bagaimana aku bisa pulang jika tanganku terus melingkar pada nada
yang kita senandungkan seiring perjalanan.

Napasmu sesak, napasku sesak. Malam semakin mendesak kita


yang nyaris ramping dihimpit kabut. Membutakan mata kita saat
kita harus kembali pulang karena malam sudah kian larut.

Dan kita tak akan mau pulang. Kembali pada nada-nada kita yang
sumbang. Peraduan tamu dan ruang-seperti berulang kali kubilang.
Akhirnya kita menyerah pada malam dan waktu yang tak akan
pernah mau mengerti tentang kegelisahan kita yang kita harap
dapat terus menerus membunuh ingatan kita tentang jalan pulang.

Hingga akhirnya kulepaskan pelukanku pada cerita yang belum


juga rampung, kutitipkan wajah murung pada saat kita berharap
mimpi pada otak dapat selamanya tertampung. Sungguh mati aku
tidak mau pulang dan meninggalkan kau menyusuri hunianmu
seorang diri. Aku ingin bertamu untuk terus bertemu dengan kau!

Aku diam, kau diam. Malam semakin mendesak kita yang nyaris
ramping dihimpit kabut.
Lentera biru sudah menunggu untuk ditiupkan ruh pada nyawanya
yang lama mengeluh

Jalan Pulang | 11
Menemaniku bermimpi, memeluk lekuk bibirmu menunggu ucapan
selamat pagi.

Agrita Widiasari, Filsafat 2008

Kau Hawa dan Saya Pria

Jangan ingatkan saya dengan kaca piring yang dia giring ke dahiku
semalam. Karena saya tak mau lagi mengingat kau atau salah satu
di antara kami yang kau gilir dari hulu ke hilir. Dari bibirmu yang
mengilir lidahku hingga mampu tunduk dan diam. Dalam sekam
yang kau rajut seharian. Mengunciku.

Jangan pergi, katamu. Setelah baju hijau yang menguliti


keperjakaanku kandas dari pergelangan tangan. Melayang ringan
dan kau tak memberiku sedikit bonus perlawanan. Dan kau mulai
lagi mengilir lidahku semilir hingga turun ke pelir. Mengunciku.

Saya hanya tetesan air yang tak mampu merangkak menuju ujung
pipa. Kau yang memulai untuk menghabisiku tanpa sisa dan saya
tak mampu menolak daya. Bukan karena cinta yang hangus
dimakan nelangsa. Tapi karena kau hawa dan saya hanya pria.

Jangan ingatkan lagi dengan wangi bunga kenanga yang


menggoda birahiku semalam. Ketika kakiku merajuk untuk
menguntit jejakmu dari binatang besi yang merajalela. Mengerang
dan haus karena kehilangan pompa, hingga akhirnya naluri yang
menggerakkanku untuk memelukmu dari punggung.

Saya hanya ingat bahwa saya adalah hilir yang tak melampaui
hulu. Yang tidak bisa menunggangimu karena cinta tak
mengikatkan tali pusar kita di depan penghulu. Saya hanya tetesan

12 | Jalan Pulang
air yang tak mampu merangkak menuju ujung pipa. Bukan karena
cinta yang menyadarkan bahwa ternyata saya terpaksa rela
menjadi sia yang terlunta. Tapi karena kau hawa dan saya hanya
pria.

Agrita Widiasari, Filsafat 2008

Dia, Manusia di Balik Telepon yang Kau


Genggam Itu

Dia, manusia di balik telepon yang kau genggam itu, diam.


Memeluk erat bulir mata yang mencair. Setengah mati. Setengah
memaksa. Malam menjadi kian asing saat dia, manusia di balik
telepon yang kau genggam itu, mulai bertanya: Mengapa?

Kamu, penyiksa yang meniduri hati juga pintu rahimnya, berusaha


pergi dengan piyama barumu. Piyama yang baru kau kenakan saat
meracapi peluh pelacur bau kencur usia dua puluh.

Dan sisa-sisa cinta semakin meneror dia, manusia di balik telepon


yang kau genggam itu. Hingga akhirnya kau pergi separuh berlari,
setelah kemarin kau memaksanya menelan laju sperma tanpa
kendali.

Dia, manusia di balik telepon yang kau genggam itu,


memandangku setelah kau berkata : tak akan sudi aku kembali.

Kabar baik untukmu, penyiksa yang mengobrak abrik hati juga


pintu rahimnya, karena dia kini pergi bersamaku.

Jalan Pulang | 13
Menegak nanah didih sembari menungguiku menjemput dan
melemparmu ke mari.

Agrita Widiasari, Filsafat 2008

Perjumpaan

Aku tidak akan pernah tahu, bagaimana cara kita berjumpa dan
bertukar sapa.
Di dalam keramaian otak yang menyerang pikiran, kita hanya
berangkat bersama jumpa.
Tanpa kita mengerti. aku dan kamu tak pernah saling mengikat hati
akan bertemu dalam substansi.
Senja ini.

Kamu datang memaksa pagi untuk muncul lebih dini.


Tak terkecuali Aether yang tidur terlampau nyenyak dalam malam
yang kau kebiri.
Semua terjadi lebih pagi .

Akhirnya, kita hanya bergantung pada pengalaman yang


mengikatkan kaki kita menuju satu pijakan.
Hingga akhirnya kau melihat pesona dan pesona berlari untuk
mengabarkannya padaku.
Pesan hanya berpesan,
“Sampaikan salamku pada jumpa dan jangan biarkan malam
memberimu selamat pada tinggal karena aku akan berteriak

14 | Jalan Pulang
pada perjumpaan yang akan memberimu doa tanpa henti,
sampai bertemu lagi.”

Agrita Widiasari, Filsafat 2008

Fragmen Tak Berima

Setelah beberapa kali kubalik lembarlembar


kiasan yang kau tulis, kau tetap saja
menjadi fragmen yang tak berima.
Setiap kata tak lagi kau sihir sempurna, bahkan

hanya jadi santapan di minggupagi. Bukan


sebagai pemuas dahaga, menjadikan
aku sedikit orgasme pun tak mampu.
Lalu untuk apa kau sulut api sedang aku

tak terbakar. Lebih baik kau


pagari saja atau kau kotakki kiasanmu itu,
lalu kau simpan di kolong kasurmu.

2009

Jalan Pulang | 15
Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008

Ode untuk Kapal

/1/

Tidak ada yang bisa menjelaskan


tentang sendu yang kurasakan.

Tidak ada yang bisa menjelaskan mengapa kopi berasa


pahit dan gula berasa manis? Senja masih bersembunyi di balik
abuabu langit yang sembilu entah apa yang dirasakan langit atau
langit serasa sendiri.

Di kamar yang kecil, aku memandang


jauh ke arah cakrawala.
Ke arah pelabuhan kecil di seberang
rumahku. Tak ada kapal yang bersandar padanya,
tak ada tali yang ditambatkan
pada tiangtiang dermaga.
:

16 | Jalan Pulang
Mengapa pelabuhan kecil
tak pernah bersedih
ketika tak ada kapal lagi
yang bersandar padanya?

/2/

Aku tidak pernah meminta atau


mengharapkan burung kertas datang padaku,
aku tidak pernah tahu rasa sesak ini tibatiba datang.
Aku bukan seorang barista yang bisa meracik kopi kaya akan rasa.

Aku tidak bisa memotong senja untukmu


atau menghadirkan hujan bulan juni.
Kadang aku hanya ingin menjadi malaikat
yang menjagamu siang dan malam.

Jalan Pulang | 17
/3/

Apakah malaikat merasa?


Ah, tentu saja malaikat tak merasa,
aku tidak bisa
menjadi malaikat karena aku merasa.

Mengapa rasa menjadikanku


manusia? Aku hanya ingin di dekatmu,
berdua denganmu
tanpa sekalipun terlihat olehmu.

Aku hanya memikirkan


betapa mayanya perasaan yang kurasakan.
Sembilu seperti langitlangit abuabu ataukah
merona merah seperti senja yang cerah.
Kedua rasa bercampur aduk memenuhi sesak dada.
:
Bagaimanapun aku adalah manusia bukan malaikat.

18 | Jalan Pulang
/4/

Mungkin aku seperti pelabuhan kecil di seberang


rumahku, yang tahu kapan bersikap lembut dan tegar.
Namun, aku masih belajar bersikap tegar.
Aku belum setegar pelabuhan kecil yang tak pernah
menangis ketika kapal pergi meninggalkannya.

Jalan Pulang | 19
/5/

Tibatiba aku ingat ketika


kau mengajakku ke kedai kopi kecil.
Sekadar melepas lelah katamu,
namun bagiku melepaskan dahaga.
Aku memesan kopi pahit
tanpa gula. Kau memesan kopi
yang telah dicampur—susu dan coklat.

Barista membawakan kopi


pesananku dan pesananmu,
di meja kecil paling ujung kedai kopi.
Aku meminum pelanpelan,
sambil memandangmu
yang dengan lugunya
meniupniup kopi panas.
Barista ternyata tak membuatkan
kopi sesuai yang kupesan.
:
Kopiku berasa manis
atau aku sudah tidak bisa membedakan pahit dan manis.

20 | Jalan Pulang
/6/

Aku merasa dekat dengan surga.


Entah surga seperti apa,
bahkan aku tidak pernah melihat surga.
Surgaku dan surga Tuhan mungkin berbeda.

Di Surgaku, hanya ada satu bidadari,


pantai senja yang merah disertai
camarcamar yang mengalun rindu.
Nyanyian ombak yang menderuderu.
:
Namun, surgaku tak abadi bahkan akan cepat luruh.
Aku hanya ingin sejenak berada di surgaku.

Jalan Pulang | 21
/7/

Aku masih mendengarkan


lagulagu yang sering kita putar di tamankota.
Duduk di taman
sambil meracau tentang:
aku, kamu, dia, kita, kami, kalian, dan mereka.

Waktu seakan berhenti.


Burung gereja iri melihat kita berdua.

Entah sudah berapa kali lagu mengalun


barangkali sudah seribu
jika ditambahkan yang kudengarkan sendiri.
Aku sempat beberapa kali terlelap dan
memimpikan kembali suasana tamankota.
:
Rasanya aku ingin abadi di sini.

22 | Jalan Pulang
/8/

Kau masih ingat


sepotong sajak yang kubacakan untukmu:
yang fana adalah waktu. Kita abadi.

Kau dan aku abadi setidaknya dalam kotakku.


Aku masih menyimpan kotak tersebut
dalam ruang dan waktu
yang aku sendiri bingung menjelaskannya.

Jalan Pulang | 23
/9/

Kapal yang dulu datang pada pelabuhan kecil, berangkat


tepat pukul 5 sore. Kapal sudah sempurna, lukaluka sudah sembuh.
Badai sudah reda. Lautan akan menyambut kapal lagi dan
menghantarkannya ke pelabuhan akhir—tempat yang menjadi
tumpukan impian kapal dan bukan di pelabuhan kecil.

24 | Jalan Pulang
/10/

: Sepotong roti yang kau titipkan padaku masih utuh,

aku tidak ingin memakannya karena aku tidak bisa


memakannya. Aku sudah tidak bisa membedakan manis dan
pahit. Sepotong roti kuletakkan di atas meja yang
menghadap jendela tepat menghadap cakrawala. Di
atasnya, burungburungkertas—merah, hijau, kuning, dan
biru yang juga kautitipkan padaku—kubiarkan terbang di
jendela.

Aku ingin meluruhkan segala rasa.


Aku ingin menjadi malaikat seutuhnya,

2009

Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008

Jalan Pulang | 25
Delapan Sonnet yang Terserak di antara
Kertas Lusuh

Sonnet 1, Taman kota 1

Sore itu langit menjelma abu-abu. Angin berjalan


mondar-mandir di celah-celah akasia.
Sebuah taman kota yang sering ramai setiap sore sekarang
seakan sunyi, bangku taman dan lampunya

hanya berdiam sembil menunggu tik-tok jam.


Barangkali akan ada hujan. Di taman kota ada sepasang ayunan.
Biasanya sepasang burung dara bermain di atap ayunan
sambil meracau. Sepasang ayunan bergoyang

terbelai oleh angin yang sedari tadi bersinjingkat entah apa yang
ia cari. Sepasang burung dara tak datang sore ini. Jam taman
berdentang,
kali ini menandakan waktu sudah menjelang petang. Matahari
senja
yang tadi memancarkan cahaya merah, redup perlahan-lahan.

Ada bulan yang remang tertutup mendung. Lampu taman mulai


bangun dari kantuk sesiang. Ia mulai menerangi taman kota yang
sesore tadi sepi.

2010

Sonnet 2, Taman Kota 2

26 | Jalan Pulang
Biasanya akan ada gadis kecil berambut panjang duduk di sini.
Langit yang
sedari tadi dilanda murung mulai menandakan keceriaannya.
Dari jauh sepasang bayangan mendekat. Mungkin itu gadis yang
sering membaca buku dan membuat sajak.Ada yang hingar ketika
mereka

tiba di bangku taman. Lampu yang redup menjadi ceria, bangku


taman
menjadi lebih hangat. Petang menjelang malam kembali sedikit
hangat.
Aku suka taman kota ini, jika menjelang malam, aku selalu
menghabiskan
berlembar-lembar buku. Kau suka kan? Bangku taman seperti
mengenali bau parfum dan suara

lembutnya. Aku yakin, dia adalah gadis yang biasa duduk di sini.Tapi
dia tak
lagi sendiri.Ronanya tak lagi sendu. Langit pun tak lagi mendung.
Bulan sudah tak lagi
tertutup. Cahayanya perak memancar hingga membentuk bayang-
bayang
akasia. Angin tak lagi bertingkah seperti sore tadi.

Kita sudah tua ternyata, sudah lama kita tidak menemani


sepasang bayangan yang duduk di sini.
2010

Sonnet 3: Lalu Desember

Jalan Pulang | 27
Lalu desember, ketika kau titipkan pesan,
tiba-tiba aku ingin sendiri. Kubiarkan
kau sendiri tapi tak benar-benar sendiri.
Di bagian lain, aku menyihir

daun-daun di sekitarmu untuk


menemanimu selama sendiri,
juga angin juga burung-burung
gereja. Lalu Januari,

aku ingin ke kota yang jauh. Kusihir saja kereta


untuk menemani pergi ke kota yang berjarak ribuan kata.
Aku ingin kau ikut malam ini. Baru saja kusihir diriku
‘tuk menemanimu. Lalu februari, tiba-tiba kau

pergi, selamat tinggal, terimakasih. Lalu


kusihir saja diriku jadi tiada dan berlalu.

2010

Sonnet 4: Tiba-tiba saja

28 | Jalan Pulang
Tiba-tiba saja kau menjelma
angin yang hingar ke sana
–ke mari. Menerobos celah ruang-ruang.
Takterlihat namun selalu kurasakan.

Tiba-tiba kau menjelma menjadi detik waktu.


Mengingatkanku pada pertemuan yang lalu.
Lalu kau menjadi hujan yang tiba-tiba mengetuk
jendela dan mengajakku bermain. Lalu

kau dingin di sudut stasiun yang kurasakan


tempo lalu sambil menunggu.Aku tiba-tiba
membayangkan kau ada di setiap dinding yang
ku lihat di sepanjang jalan atau lampu jalan

yang menerangi jalan: Ah, tiba-tiba saja


kuingat kau yang tiba-tiba hilang.

2010

Sonnet 5: Stasiun Tua

Jalan Pulang | 29
Hanya angin yang mendesir di antara pekat peron stasiun tua.
Kereta sudah jarang lewat stasiun. Hanya ada beberapa kereta tua
yang bersandar di beberapa baris rel atau kereta yang sedikit lusuh
yang butuh istirahat beberapa saat. Ada penjaga stasiun

yang sangat setia padanya. Penjaga stasiun memang


kelihatan lebih muda dari stasiun. Jarak mereka
mungkin 2o atau 30 tahun. Tapi ia sangat suka dengan stasiun tua
ini.
Semua yang ada di dalam stasiun masih utuh, masih sama ketika
stasiun lahir.

Tidak ada yang berubah mungkin hanya beberapa kulit stasiun


yang
lebih cerah karena setiap ulangan hari lahirnya selalu
diperbaharui. Penjaga stasiun selalu duduk memandangi jam yang
memang
sedari dulu berada di situ sambil mendengarkan tik-tok waktu.

Sudah berapa kali kau berputar? Mungkin kau sudah lelah. Hanya
angin yang
mendesir sore itu, ketika stasiun tua melepas penjaga stasiun.
Mungkin kau sudah lelah.

2010

Sonnet 6: Selamat Tinggal

30 | Jalan Pulang
Tidak kah kau dengar helaan nafas
burung yang berjingkat di pohon mranggas.
Tidakkah kau dengar riuh angin menderai dahan
pohon itu. Tidakkah kau dengar

sayup-sayup mesin lokomotif yang


akan menjemputmu kelak.
Aku dengar jejak langkah yang
seru tertinggal di antara deru pasir dan

ombak. Aku dengar kelopak bunga


kamboja yang jatuh pada tanah basah.
Aku dengar rimis hujan pelan-pelan

di atap rumah. Nada itu. Aku dengar


suara lirihmu pelan-pelan.
: Selamat tinggal.

2010

Sonnet 7: Masih Saja Kau Melamun

Jalan Pulang | 31
Di teras rumahku, masih saja kau melamun,
diam-diam aku memikirkan lampu
remang-remang di seberang. Kerdipnya
pelan-pelan seirama denyut nadi menghanyutkan

darah yang mengalir pada aorta.


Kenapa kau masih saja melamun.
Ada burung yang tiba-tiba singgah di atap lampu,
memandangku, sejenak ia pejamkan mata.

Tiba-tiba saja lampu sepanjang jalan


mati dan hanya lampu itu saja pelan
remangnya mengirama pada malam yang pekat.
Masih saja kau melamun di dunia yang fana

sambil menghisap asap dan menyerap kopi pekat


lalu mengawang tentang keabadian pada ihwal yang fana.

2010

Sonnet 8: Rindu yang Kekal


Kepada ibu

Kutuliskan padamu, ibuku, rindu-rindu yang abadi.

32 | Jalan Pulang
Aku masih ingat dongeng-dongeng yang mengantarku ke negeri
penuh pelangi. Pelangi tak pernah memudar di antara
bukit-bukit yang menghimpitnya. Senja merah cerah tak pernah

luntur oleh abu-abu sembilu. Air terjun yang


mericik riang memenuhi danau bening, riciknya
membentuk pelangi abadi. Pinus-pinus
berpelukan meneduhkan ilalang dan burung-burung.

Tak ada lagi denyut waktu atau rintihan pasir yang jatuh
di antara kaca. Aku rindu dongeng-dongeng itu. Aku rindu
suara lirih yang mengantarku ke tempat itu.
aku rindu helai derai rambutmu. Aku rindu ronamu.

Suatu saat akan kuceritakan dongeng-dongeng itu pada anakku.


Suatu saat aku akan menemuimu di tempat
itu. Kita akan berbagi dongeng-dongeng dan denyut waktu benar-
benar punah.

2010

Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008

Aku Rahwana dan Kau Sinta

Jalan Pulang | 33
/1/

ada hujan yang tibatiba datang


tanah membusungkan dadanya
menangkap satupersatu hujan

di antara hujan ada kau


aku berada pada sekian tanah
kau datang mengetukngetuk
rumahku
dengan tibatiba
kau buka pintu
--hujan semakin menderuderu
tubuhmu basah peluh

"bolehkah aku berteduh?"

"tentu saja, kau bisa memakai perapian itu


untuk menghangatkan
tubuhmu"

/2/

kau sinta

34 | Jalan Pulang
aku rahwana

dua senja telah berlalu


hujan sudah reda
-- hanya serintik
yang kadang turun

"kembalilah pada rama


hujan tak lagi turun
aku takut kelak...."

"dua senja di sini


aku telah menemukan rasa
sebelumnya aku tak merasakan apapun"

senja telah datang


untuk ketujuh kalinya
merah dan menyemburat
merasuk ke dalam
celahcelah rumahku

ada aku dan sinta


--dalam semestaku
menghabiskan tujuh senja
: aku masih takut pada kelak

/3/

langit yang tertidur dengan pulasnya


tibatiba bangun
ada cahaya merah dan menyemburat

Jalan Pulang | 35
namun bukan senja

"kembalilah, sebentar lagi senja palsu datang"

dengan lagu berat


kau melangkah ragu
menuju pintu

"di luar sudah ada yang mengantarmu kembali"

senja palsu mulai melahapmelalap


sekatsekat
tak ada lagi hujan yang mengantarkan
mu pada ku

rama telah menunggu se-tujuh senja


dia menciptakan senja palsu
untukmu

"aku rahwana, kau sinta


biarlah aku dilalap senja palsu
kembalilah pada rama-mu"
bisikku lirih pada sinta

2010

Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2010

Keluarlah, Ada Hujan Berdansa dengan


Malam 
: d.r.

36 | Jalan Pulang
Keluarlah, hujan telah
berdansa dengan malam
Tik tik –nya menyerukan isyarat
—yang mungkin akan kau reka-reka

jendela rumahmu akan diketuknya


memanggilmu untuk ikut berdansa
malam akan lambat –
beku serupa batu dan
waktu takkan terjepit lagi
:
Keluarlah sebentar,
aku ingin berdansa denganmu
Mungkin esok akan tiada

2010

Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008

Subuh

Di subuh, aku duduk di antara batu dan tegalan

Jalan Pulang | 37
Memandang batas di atas subuh setengah
biru. Ada juga yang meretas biru itu dengan sejuta doa
Tapi tak juga bertemu dengannya

Di subuh; tak sampai padamu juga aku


Dengan beribu bisu yang tak terucap : kau
Lalu kuterjemahkan sepi subuh untuk
sejenak. Melepas rindu, ada juga sepi itu menjelma kau

2010

Agung Dwi Ertato, Sastra Indonesia 2008

Terserang Wabah Majnun

38 | Jalan Pulang
,terserang wabah majnun
sitar-sitar melayangkan sihir nada yang menjari nadi
paradoks bunyi

tertawa, menangis, tertidur tanpa penyangga,


begitulah lidah kehilangan asin

kehilangan banyak garam karena keringat


kehilangan banyak kemurnian karena ketidakmurnian.

terserang wabah majnun

pandai besi akan kehilangan pekerjaannya,


karena banyak pedang tercipta percuma tanpa
adanya darah yang akan tercurah.

semua sudah terluka seperti majnun


semua butuh terluka
agar darah mendidih karena pujaan ini
tidak membeku berkarat membunuh pembulu
membunuh jantung, membunuh nafas.
untuk itu semua harus pernah terluka

sekali terluka untuk berkali-kali hidup

terserang wabah majnun

Agung Setiawan, Filsafat 2008

Sesaat Sebelum

Jalan Pulang | 39
bukanlah rangkaian tangan ledakan mencengkram yang patut
ditakuti,
tapi perasaan menunggu yang sangat lama itu

bukanlah percikan kembang api yang akan habis, yang ditangisi


anak kecil
tapi rasa bahagia yang percuma mereka dapatkan untuk sekedar
sesaat saja

bukanlah lampion yang terus padam jadi kelam yang


menggelapkan seisi rumah
tapi itu perasaan yang kecanduan akan terang

bukanlah parang yang mencumbu urat leher yang ditakutkan sapi


ketika kurban
tapi itu merupakan rerumputan hijau terakhir yang mencapai
tenggorokan

bukanlah sedikit kerusakan pada patung yang dicemaskan para


pemahat
tapi semangat bahagia di awal yang memulai memudar

bukanlah rasa malas dan lupa yang ditakuti ilmuan


tapi saat ketika mereka pernah mengingat dan memimpikan
banyak misteri

bukanlah tubuh indahmu yang mulai mengerut yang kuhindari


tapi mata ini yang pernah mengenalmu

bukanlah akhir dunia yang ditakuti manusia


tapi jantung manusia yang tak bisa tenang karena cerita tentang itu

bukanlah menjadi jahat yang ditakuti orang baik

40 | Jalan Pulang
tapi perasaan tak bisa menjaga hal tersebut agar tetap sama

bukanlah saat ketika semua hal terjadi


tapi saat menunggu hal itu terjadi

kita hanya diberi waktu sesaat untuk bisa merasakan ilusi itu,

terkadang kita tidak menginginkan kebahagiaan itu karena ia


hanya
sesaat sebelum kesedihan......
lebih baik ia tak pernah ada, kalau hanya sesaat...
karena memang ia tak pernah ada, semua peraasaan itu
hanya efek dari sesuatu yang berbanding terbalik....
sebuah cermin besar........

tapi uniknya kita berjuang untuk bayangan dalam cermin


kita hidup untuk sesaat sebelum,
sesuatu yang beda.

Agung Setiawan, Filsafat 2008

Ketahuilah

Jalan Pulang | 41
Jika suatu hari,
entah sekarang, besok atau kapan,
aku tak bernafas lagi,
ketahuilah,
hadiah terindah yang pernah kudapat adalah
mengenalMu,

2009

Amri M. A., Sastra Jawa 2008

Setangkai Mawar Putih

setangkai mawar putih tertanam

42 | Jalan Pulang
di antara bunga-bunga bakung di seberang sana,
terdapat kata menguntai bahasa batu; bahasa sunyi,

tanpa swara-swara,
matanya menaklukan waktu yang berlari,

2010

Amri M. A., Sastra Jawa 2008

Jarak

Jika jarak adalah musuh sejawat


Maka biarkan tatap meregang rindu yang terawat
Karena darah dan nafas perlahan-lahan merambat

Jalan Pulang | 43
Dari kaki hingga hati segala menggumpal, segala melambat

Karena selalu jarak yang menimbang sesak


Maka akan kulempar senja pada batas yang terserak
Kubungkus dengan senyum dan kecup, agar di sana rona wajahmu
semarak

Al-Muhtadi

Asa

kita tidak pernah tahu apakah kita akan terbang ke Nirwana


atau terperosok ke Hades

44 | Jalan Pulang
kita merasa bebas dan tertawa di dunia kita yang sempit
sambil melihat dari balik kaca ke sisi kaca yang lain,
yang muram dan awan-awan kelabu
kita kadang tersenyum, dan beberapa pernah menitikkan air mata
namun kita sendiri tidak tahu apa arti semua itu
yang ada di hadapan kita hanyalah sebuah jalan kecil
di mana kita naik,
turun,

berbelok,
lurus,

pergi,
dan kembali

Areispine Dymussaga Miraviori., Sastra Indonesia 2008

Tentang Seseorang yang Datang Kemarin


Malam (I)

Jalan Pulang | 45
Apa yang ingin kau sampaikan?
Cinta yang kelabu?
Oh, cinta telah mati sore tadi
Ada burung gagak di atas nisannya

(2009)

Areispine Dymussaga Miraviori, Sastra Indonesia 2008

Tentang Seseorang yang Datang Kemarin


Malam (II)

46 | Jalan Pulang
setelah empat tahun yang panjang akhirnya aku menemukanmu
kembali seseorang yang pernah ada di hatiku namun selalu tak
sempat aku mengakui dan mencoba merasakannya. maka hari ini
aku dapat melihat senyummu lagi yang mencintaiku masih tetap
seperti empat tahun lalu. terkadang aku ingin mencoba mencari
celah-celah di hati yang dulu sempat menyimpan cinta itu yang
kemudian tertimbun seiring berjalannya waktu dengan cinta-cinta
yang lain yang tak pernah aku sesali kehadirannya namun di mana
celah itu aku masih ingin menemukannya.

mungkin sebenarnya kau tak punya kesempatan lagi pikirku karena


saat ini aku sudah memiliki seseorang yang sangat aku cintai dan
tidak mau melepaskannya karena aku sendiri tidak tahu apa jadinya
aku jika tanpanya. namun aku tak kuasa melihatmu menangis lagi
sama seperti waktu empat tahun lalu yang menyisakan perasaan
bersalah padaku yang terlalu mementingkan egoku daripada
mengakui cintaku padamu yang meski hanya secuil namun pernah
benar-benar aku rasakan.

tapi tak akan ada cerita bila kita tidak berpisah dan aku tidak akan
merelakan hidupku hanya tertuju padamu tanpa kisah-kisah lain
yang indah terutama dengan seseorang yang aku cintai saat ini.
sesungguhnya aku sangat ingin mengatakan bahwa aku sungguh
menyayangimu dan secuil perasaan dari empat tahun lalu itu masih
ada namun aku tak pernah bisa karena hidup memang harus
memilih.

benar katamu bahwa terkadang kenyataan yang ada tidak sesuai


dengan apa yang kita harapkan yang bisa kita lakukan hanyalah
pasrah dengan skenario yang telah dipersiapkan untuk kita dan
menjalaninya dengan seikhlas hati karena apa yang kita terima
pastilah yang paling baik dari yang pernah ada. maka cincin yang

Jalan Pulang | 47
aku kenakan di tangan kiriku ini tak sepatutnya aku sesali karena
waktu terus berjalan meskipun kau tetap mengintaiku dari
belakang memastikan aku baik-baik saja dan bersiap mengulurkan
tanganmu dan pundakmu di saat aku bersedih.

alangkah sempurnanya dirimu yang sangat ingin aku miliki namun


tak pernah bisa. tapi aku juga tak sanggup membayangkan diriku
tanpamu lagi seperti masa empat tahun yang penuh penyesalan di
tengah suka-duka cinta yang aku ukir di masa mudaku.
kedatanganmu malam ini kuakui bagaikan seberkas cahaya di
ruang hatiku yang terang namun ada redup di salah satu sudutnya.
kupikir kau juga tak akan sudi menerangi sudut hatiku yang redup
itu selamanya tanpa ada balasan cinta dariku yang sesuai dengan
apa yang telah kau lakukan padaku selama ini.

maka yang dapat kukatakan hanyalah jangan menyesal dan


meratapi empat tahun itu, karena aku pun sebenarnya telah
memaksakan diriku untuk tidak terjebak ke dalam dua lingkaran
itu. Hidup adalah sebuah pilihan, sayang..

(2010)

Areispine Dymussaga Miraviori, Sastra Indonesia 2008

Kumbang
:k.a.p

48 | Jalan Pulang
Musim yang belum mau berganti
Dan udara masih menyisakan aroma dingin
Tak ada suara yang menyeru dari ujung desa
Tak ada gerak yang terlintas pada pandang dua mata
Semuanya masih bersembunyi

Dalam gelap dan ketakutan


Hanya kumbang yang bergerak perlahan
Kepakkan sayap-sayapnya yang tak juga kuat
Akan kesunyian, akan kebekuan
Semua yang ada

Bachtiar Agung Nugraha, Arkeologi 2007

Tuhan

Jalan Pulang | 49
sudah lama aku
tidak datang menyembah

    rindu

Brambram

Dan Jika Saja Menjadi Nyata

50 | Jalan Pulang
Akan puaskah kita
dengan hidup yang biasa-biasa saja

Brambram

Air

Jalan Pulang | 51
Air mengalun
Menggeliat dan mengayun
Luapkan kehidupan
Meredam pertanyaan.
Ayolah,
Apalagi yang membuat resah?
Kita diam dan bertaut
Simpan bayang dalam kalut.
Ini takdir,
Kata bintang di balik tabir
Di antara suara takbir
Kita tertawa getir.
Manusia, katamu
Tak mau mengakui batasan dirinya
Bersikeras memburu
Penuh naif tentang menjadi Satu Yang Sempurna.
Kau menghela nafas
Di sisi fana yang menebas
Bahkan kita tetap terbatas
Saat nyawa telah terbebas.

Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008

Angin

52 | Jalan Pulang
Entah apa yang membisik duri
Saat menapak pada jalan yang suci
Tak terlihat kerlap-kerlip baiduri
Karena hanya ada lirih Sang Mentari.

Kuasalah jiwa yang merekah


Tak perlu ragu tergelung basah
Merebah
Tanpa takut untuk membantah.

Kita berteriak
Bersorak
Menyalak dan tersentak.

Angin berbelok dan semua membisu


Terharu deru
Kemudian tersapu.

Ada ikatan dalam kata


Tapi dengan kata aku bebas dan terlepas
Menyanyi menderas
Tanpa batas.

Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008

Api

Jalan Pulang | 53
Kapan terakhir kali kau menari di bawah hujan?
Merasakan kabut yang selimuti angan
Ada harapan dalam kepingan
Yang merapat menembus khayalan.
Menyilau aku akan kemilau
Ketika ada yang menepikan galau
Bukan aku atau engkau
Tapi mereka yang menangis dalam gurau.

Menjadi terkungkung dan terbelenggu


Mengapa pula kita harus menjadi tersedu?
Bukan kita yang tertindas
Tapi kita memang menindas.
Tak kita lepas jati diri
Namun tak pernah ada harga diri
Meski jelas berlaku harga mati
Yang tak berasal dari hati.

Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008

54 | Jalan Pulang
Tanah

Mereka menapaki jalan, Sayang


Sedang kita merangkak di sela bebatuan
Dia nyanyikan kidung, meremang
Sementara aku merintihkan lembayung, tersedan.
Kita dan mereka
Entah apa bedanya
Hanya saja kita tahu
Mereka selalu membisu
Kita meraba untuk mengerti
Belajar dan memberi arti
Dan meraka tertawa untuk menikmati
Dimanja dan tak pernah berarti
Ketika tanah bergoyang
Kitalah yang menopang
Berdendang serta melayang
Mampu berjuang dan menang
Ketika batas bercermin
Hanya kita yang mampu menjawab
Tak perlu keabadian untuk menjadi yakin
Bahwa mereka memang biadab

Inez Kriya Janitra, Sastra Cina 2008

Jalan Pulang | 55
Sampai Jumpa, Ian

Ardian tidak mengamen hari ini.dia ingin istirahat saja


di tanah.menikmati lalulalang orang sambil jadi selebriti
siapa yang tak kenal.di TV ada gambarnya
di koran ada fotonya.di kitab Tuhan melukisnya
sekarang sedang kita baca: Ardian lompat ke bulan
menjemput receh yang sempat jatuh sepanjang cakung-
pulogadung

Inung Imtihani, Sastra Indonesia 2009

56 | Jalan Pulang
Yang Menutup Telingaku

doa itu menjadi jembatan menjumpaimu


dari sini saja tercium harum yang kau
lekatkan pada darahdarahku.
tapi angin sering datang terlalu banyak
menggelindingkan surat kaleng ke batas laut
sampai aku tuli.mendengar ketukanmu di pintu
malam tadi

Inung Imtihani, Sastra Indonesia 2009

Jalan Pulang | 57
Terbungkam

sendiri.
memeluk sepi dan hampir
mati.
memekik dalam
diam
terbungkam.

Jenni Anggita, Sastra Indonesia 2008

58 | Jalan Pulang
Pagi adalah Pedih Berulang

pagi adalah pedih berulang


dan kita selalu berbagi hidup yang cuma sebentar
selanjutnya kau tak mau mengalah, aku tak mau mengalah

akhirnya kita selalu salah sasaran


marah pada orang yang tak dikenal
berurai air mata pada dada yang tak mengenal

apalah guna pagi yang seperti ini


angan di makan jalan raya
bersisa perih mimpi yang hilang

apalah pagi yang seperti ini


kata-kata muntah tak punya makna
kita cuma buang-buang waktu saja

Kinanti Munggareni, Sastra Indonesia 2007

Jalan Pulang | 59
Empat Sayap Mendung (1)

Manusia menghanyutkan serambi jantungnya


Di jalanan Mesir. Larut bersama api. Mengerti bersama kelinci
Kemudian manusia bersuara
“Aku ini berasal dari tanah, dan aku ini makhluk berbeda, bukan
lumut, bukan semut.”

Suaranya seperti tak didengar.

Manusia memainkan gitarnya dan lamat-lamat menggores


penanya
Tangannya berdarah-darah, bercucuran di teras Uranus

Ia memejamkan matanya kuat-kuat


“Oh ya, aku mengerti, aku paham. Aku berusaha paham.”
Begitu kata manusia. Dalam kejapan tadi, ia memutuskan
Bahwa hidup memang perlu dicari
Bahwa hidup memang butuh mati

Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008

60 | Jalan Pulang
Empat Sayap Mendung (2)

Impian manusia
Tertanam di halaman rumah Descartes
Di pot bunga William Shakespeare

Di janggut Rabindranath Tagore

Tapi tentu saja itu belum semua


Bersama kelu, bersama sendok dan garpu
Yang menyala-nyala di pinggir piring
Manusia makan dari Tuhan
Dan mengecup kening orang yang ia sayang
Juga dari Tuhan

“Terima kasih, Tuhan.”

Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008

Jalan Pulang | 61
Empat Sayap Mendung (3)

Terlalu rimba perasan manusia, sampai kering ringkai termakan


lafal
Yang tak sengaja. Manusia mengadu kepada Tuhannya, dan pohon
Malaka tertegun mengamati.

“Tuhan
Apa arti peringatan kicau burung dan dedaunan yang bergerisik
Atau apa arti aku mempertanyakan tentang peringatan itu?

Di sudut tanah ini


Aku rebah di bawah pohon malaka
Yang buahnya ranum, dan menyala-nyala
Apa artinya itu, Tuhan?”

Suaranya seperti tak didengar.

“Aku tak bisa memalingkan mataku


Dari langit yang serba abu-abu
Badanku kaku
Tuhan, tanah ini
Begitu
Beku.”

Namun hanya hening yang menjawabnya…

Kedua tangan manusia terbuka. Telapaknya dibiarkan melihat


langit
Tetes air mata manusia

62 | Jalan Pulang
Tumpah melewati pipi dengan perlahan-lahan
Jatuh
Dan
Pecah di akar pohon malaka
Yang tiba-tiba menyembul
Bersamaan dengan itu
Buah yang tadinya menyala-nyala
redup seketika

Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008

Jalan Pulang | 63
Empat Sayap Mendung (4)

Penantian di ujung tanduk rusa, pengharapan tersembunyi


Di punuk unta Mesir
Sementara haus
Tak lagi menyerang di padang gersang. Meski panas
Justru semakin memanggang

Yang mesti dilakukan manusia sekarang adalah menempuh jalan


unta
Menghapus peluh di kening kelinci. Lahirlah anak manusia
Yang disayang, yang dibelai.
Dan di atas unta Mesir, mereka duduk tertawa, mengamati
kawanan
Unta lain.

Begitulah,
Embusan angin menyontek ibu
Cakrawala membentang di mata ayah
Dan mendung belum mencapai cerahnya
Sampai langit menemukan sayapnya
Sampai biji-bijian lain menemukan tanahnya

(2008-2010)

Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008

64 | Jalan Pulang
Konsemuya

Dan api memiliki bekunya


Sebeku langit terjauh

Kaulah
Gunung jatuh
Di paruh merpati

Tanpa garis
Tanpa gores

Kaulah
Sepucuk surat
Di tanah tandus Mars

Dan es memiliki panasnya


Di inti bumi

Meidy Kautsar, Sastra Indonesia 2008

Jalan Pulang | 65
?

Bukankah kita pernah berada


pada titik yang sama
di bawah garis lengkung?
dan kita menjadi akhir 
pada tanya, bingung, misteri,
rahasia, dan semua hal
yang kita pun tak pernah tahu.

Maharddhika, Sastra Indonesia 2008

66 | Jalan Pulang
Kemudian Berkemuka

entah berapa waktu lagi aku diam di senja yang bergulir dengan
mesra, dengan lara. sampai matahari membenamkan dirinya
hingga tenggelam dan malam kini bergumam, aku masih diam. jika
menurut mereka menunggu adalah hal yang paling menggangu
dan akan ragu-ragu melakukannya, aku akan dengan senang hati
melakukannya hingga matahari itu berhasil muncul kembali dari
timurnya yang timur. 

sementara kau, tetap berlalu tanpa mau tahu hujan telah


menggenangi dan warna-warni pelangi tiba menemani setelah
hujan pergi. sementara kau, tetap tak mau tahu aku telah terbang
beberapa kaki bersama malaikat-malaikat yang selalu aku salami
dan selalu juga (tiba-tiba) menghilang begitu saja. tetap saja tak
mau peduli ketika aku berada tepat di hadapanmu dan menegur
sapa.

Hanya ada gerimis yang tak kunjung reda. cinta agaknya harus
selalu berputus-asa, kedangkalan itu kemudian berkemuka.

Maharddhika, Sastra Indonesia 2008

Jalan Pulang | 67
Bagaimana Jika Begini Saja

Bagaimana jika begini saja: aku tandai tulisan itu dengan tanda
petik (agar terkesan seperti berbicara)? aku juga akan cantumkan
aku setelah tanda petik (agar terkesan seperti aku yang memiliki).
Tapi sebentar, apakah perlu juga aku beri tanda seru (agar terkesan
serius dan tidak main-main)? satu tanda seru cukup? jadi begini lah
kira-kira: “Aku mencintaimu!” aku berkata.

Ah, kurasa tak perlu. dia tak akan pernah mengerti. Aku masih
butuh waktu lama untuk menyederhanakan kata cinta .

Maharddhika, Sastra Indonesia 2008

68 | Jalan Pulang
Penjara Sungguh Tak Berguna

Nah,
Kurasa kita tak perlu merajut kelambu untuk tidur malam ini
Rasakan saja semilir angin
Sepoi-sepoi berhembus menghempas ujung-ujung jemari
Pejamkan mata
Dan kelamaan kamu akan terlelap
Tanpa khawatir nyamuk akan menghisapmu

Nah,
Kurasa kita tak perlu dongeng untuk tidur malam ini
Pikirkan saja kisahmu hari ini
Dukanya akan buatmu menangis
Dan senangnya akan buatmu tersenyum lebar
Pejamkan mata
Dan kelamaan kamu akan terlelap
Tanpa khawatir pikiranmu direngut gelisah dan sepi

Nah,
Kurasa kita tak perlu mencuci kaki untuk tidur malam ini
Lihat saja keringat yang mengepul di sela bulu-bulu kakimu
Lap saja ia, dan kakimu akan bersih
Pejamkan mata
Dan kelamaan kamu akan terlelap
Tanpa khawatir alas tilammu akan kotor

Nah,
Kurasa kita tak perlu menyikat gigi untuk tidur malam ini
Hari ini kamu tak mengisi perutmu
Menggunakan gigi-gigimu untuk menguyah

Jalan Pulang | 69
Atau lidahmu tak dipoles rasa
Jadi tak ada yang membusuk di sela-sela gigimu
Pejamkan mata
Dan kelamaan kamu akan terlelap
Tanpa khawatir gigi-gigimu akan dilahap kuman

Nah,
Inilah penjara
Terlelap adalah saat-saat paling kita nantikan disini
Saat-saat menuju surga
Karena kita bisa bebas dari jeruji-jeruji besi dan borgol yang
menyekap kita dalam masa lalu
Selalu meratapi yang telah lalu
Memutus usia seketika
Memisahkan antara kita dan 20 tahun yang akan datang
Dengan dalih penghapusan dosa atau akibat dosa
Kita tak akan lebih baik disini
Penjara sungguh tak berguna

Muhammad Abdinho Ableh, Sejarah 2009

70 | Jalan Pulang
Aku : Kepada Gerimis dan Hujan

:Kepada Gerimis.
Kapan-kapan aku akan berlalu lalang tanpa kaki ini
kujelang.
Aku salut pada elang-elang yang melenggang tanpa aral
melintang.
Oh! Aku mengerti sekarang, mengapa gerimis tak jua
datang.
Sepertinya aku luput pada seseorang yang pernah hilang.
Pun itu, aku yang menggantang arang.

:Kepada Hujan.
Kadang-kadang aku seperti diajari oleh butir-butirmu.
Kau sangat tau kapan kau mendung sendu, juga kapan kau
turun pilu.
Memang, menunggu kelabu bukan hal baru bagimu
sehingga tak mudah kau layu kuyu.
Pun itu, laiknya hatiku.

Mursyidatul Umamah, Sastra Indonesia 2008

Jalan Pulang | 71
Kau : Kepada Angin dan Awan

:Kepada Angin.
Sibak saja rambutku bila kau mau.
Kalau tak sampai sembilu, aku tak tau.
Kadang mata memberi warna, jiwa memberi rasa, hati
memberi kasih.
Namun, tetap jua ruang ini sunyi tanpa bunyi.
Bolehkah kita sekadar rindu?
Karna, aku hanya ingin kita bertemu.

:Kepada Awan.
Jangan sampai aku melawan nadiku yang selama ini
kusimpan.
Bisa-bisa yang ada hanya rasa bosan.
Terlalu jauh bila kurengkuh, karna aku kadang rapuh.
Langit-langit jiwa yang berkeluh, butuh bernaung
di tempat yang tak lusuh.
Karna, aku hanya ingin kita tak jauh.

Mursyidatul Umamah, Sastra Indonesia 2008

72 | Jalan Pulang
Apa Sebab

Berbicara pada pohon


Tumbuhan tumbuh tak memaksa waktu
Kami bertanya, “Apa sebab?”
“Tugas kami memberi kesejahteraan
Pada semesta.”

Burung pun menimpali


Siulku juga takkan sirna dan karatan
Kami bertanya lagi, “Apa sebab?”
“Tugas kami membisiki mata kalian hingga terjaga.
Meniupkan angin semilir
Menghembuskan segar pada jiwa yang pilu
Menyeka tetesan dari penglihatan.”

Lalu kami pun tahu


Belajarlah pada tumbuhan
Bergurulah pada hewan
“Apa sebab?”
Bahkan kematian pun
Diserahkannya bagi kehidupan mendatang

Sulung Siti Hanum, Sastra Indonesia 2006

Jalan Pulang | 73
Di antaranya

Jeda
Sampai
Jarak
Antara
Dan
Jika
Itulah antara dari antara untaian-untaian perihal adalah tepian.

Yesy Wahyuning Tyas, Sastra Jawa 2005

74 | Jalan Pulang
Buku DUA:
Puisi-Puisi PSA-MABIM FIB UI 2009

Jalan Pulang | 75
Kelam

kering
tak bernyawa
gersang
tak bersahaja

jiwa mendekam
dalam kepiluan
hati terpaku
dalam kesendirian

tak melihat ke belakang


tak memandang masa depan
hati yang kelam
tak dapat ditaklukkan

Akbar Rizky Fithrawan, Sastra Rusia 2009, PSA-MABIM 2009

76 | Jalan Pulang
Jakarta..!!

Jakarta ibukota negara


Jakarta kota kejayaan

Jakarta kota yang terik


Jakarta tak punya jangkrik

Jakarta menantang aku menerjang


Jakarta melawan aku berkawan

Jakarta...panase ra umum!!!!

Dimas Arif Primanda Aji, Arkeologi 2009, PSA-MABIM 2009

Jalan Pulang | 77
Melodi FIB

Dalam pagi buta dengan janji baru kepada dunia


Mencipta tauladan kaya akan sastra
Melantunkan syair mencipta sang karsa
Membangunkan Ibu Pertiwi dari tidur panjangnya
Melantunkan melodi indah dengan ragam bahasanya
Menyatukan penjuru dunia tentang makna besar yang
terkandung di dalamnya
Anggun..
Mencipta senyum orang yang memandangnya
Dengan tatanan apik ragam budaya
Menyatukan bangsa menjadi satu padu dalam
ikrar perdamaian
Menyadarkan lamunan jutaan anak bangsa
Akan keindahan budaya
Hingga raga membeku oleh sang kala yang memanggil

Dinny Wulandari,Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009

78 | Jalan Pulang
Ketika Itu

Songsong hari ku rajut indah cerita bersamamu


Untai indah mutiara kehidupan menghias langkahmu
Damai hati melihat senyummu,apakah kau tau ?
Tutur nasihat teduh,tenangkan gemuruh hatiku
Karenamu..
Tapi aku ragu
Mulut terkunci membisu olehmu
Aku tersenyum kala kau berkata, kau mencintainya
Aku terdiam kala kau bercerita perjalanan panjangmu dengannya
aku terpaku dengan segala yang terjadi dalam sekejap
waktu, tentangmu ,tentangnya
jawabku berkata,apakah aku tertipu bualmu?
Tapi aku tak merasa kau seperti itu
Aku bertanya..
Apa sebenarnya rasa yang kau ubah dalam hidupku ?
Cinta..
Hal apakah kiranya dalam perjalanan panjang hidupku
Semoga sang kala mampu menjawab itu…….

Dinny Wulandari,Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009

Jalan Pulang | 79
Elegi Satu

Kalau saja ada petir yang terjepit..


Pasti aku berani mengempit..
Tak ada yang berani cerita padaku
Tentang serangga atau seruni di ilalang pagi..
Terjebak dalam kesempurnaan elegi tanpa harus benar-benar
mati..

Ada yang bilang hukum alam terletak diantara angka satu..


Bagiku ada kegenapan dalam dirimu yang tak bisa kunilai walau
dengan seribu..

Aku tak berani kata sumpah


Tapi kelabu dirimu selalu membuatnya menyumpah...

Setan kecil hanya tertawa


Aku diam tak berani...
Hanya mengintip takut berkedip...

Tidak..
Kata yang lebih baik daripada tunggu...

Jadi katakan tidak padaku


Atau aku akan menunggu...
Eki Kusumadewi, Sastra Indonesia 2009, PSA-MABIM 2009

80 | Jalan Pulang
Tidak

aku tidak begitu yakin


Bagaimana seharusnya merasakan
Atau apa yang harusnya kukatakan
Tapi
Aku tidak
Tidak yakin
Tidak begitu yakin
Bagaimana mengatasi hari

Farah Fitriana, Sastra Belanda 2009, PSA-MABIM 2009

Jalan Pulang | 81
Sepertiga

katakan kepada hampa dan mimpi


agar aku tidak terjerat bersamanya
katakan pada maut,
tunggu dulu aku ingin sepertiga
 
katakan kepada kantuk
lepas dulu ia dari mataku
katakan kepada malaikat
tunggu dulu aku ingin sepertiga
 
Dia menunggu dan tersenyum
 
aku bilang aku mau sepertiga
biar kepalaku dapat menunduk
aku mau sepertiga

masih terjerat dalam mimpi


setan tertawa dan menari
mengencingi kuping dan mata
menyelimuti dengan kantuk di mata
aku mau sepertiga
 
Dia membelai
semua terasa damai
aku bangkit dan menyuci diri
 
aku dapat sepertiga!

Indra Eka Widya Jaya, Arkeologi 2009, PSA-MABIM 2009

82 | Jalan Pulang
Terlalu Lama Aku Bermimpi

Terlalu lama aku bermimpi,


Melupakan waktu yang kekal abadi
Terhanyut dalam kisi-kisi beton mimpi
Berusaha merajut asa yang terkikis oleh duka
Mungkin, bagi kebanyakan orang, harapan adalah semangat sang
pemimpi
Tapi bagiku, harapan sungguh merobekku hingga luka menganga.
Kau adalah kumpulan harapan yang dulu kuangankan
Namun,
kini kau hanya kumpulan dari sisi batas senyuman yang terbuang.
Ku sudah menyisakan satu satu ruang, untuk menjauhkan sisa-sisa
dari mimpi dan harapan yang tak pernah menjadi nyata
Menjadi sesuatu yang pantas dan logika untuk ku analisa

Kartika Putri, Sastra Inggris 2009, PSA-MABIM 2009

Jalan Pulang | 83
Enam Puluh Hari
 

kembali ku telan air kepedihan


yang mengucur deras dari ronaku
di tengah gurun sahara
enam puluh hari yang lalu
 
terik panas tak lagi terasa
kini mendung datang mengiba
hujan datang menghujam asa
membuat lubang di dalam jiwa
 
tanganku tak lagi dapat meraihnya
pergi sudah ia ke lembah tak berujung
terperosok ia ke jurang tak bermuara
ingin kukejar apa dayaku
 
setan mulai bermain denganku
hawa dingin menusuk kalbu
selimut tebal tak lagi menghangatkan
hati sudah tak berasa
 
kembali kutelan air kepedihan
yang membeku seiring jalan
di tengah kutub utara
enam puluh hari yang lalu

Laila Anggita Nurcahyani, Sastra Inggris 2009, PSA-MABIM 2009

84 | Jalan Pulang
Kesendirian

Rasa jiwa mati terbelenggu asa..


Makna hati yang letih bak hancur terbelah dua

Dingin, rintihan kata yang menusuk kalbu


serasa hidup dalam buaian laut nan hampa..

Walau biasa, ikan-ikan pun mati tanpa sisa..


di dunia yang penuh jiwa nan angkuh

satu pernyataan, hidup tanpa kawan, bagai mati tanpa tujuan..

Mayang Gentra A.P., Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009

Jalan Pulang | 85
Bodoh
Apa?
Apa yang salah?
Apa aku yang salah?
Kenapa ?
Kenapa selalu begini ?
Kenapa lewat sini lagi ?
Selalu..
Selalu saja terjadi
Tersungkur lalu terjatuh lagi
Terjebak dalam jurang yang sama
Ah! Bodoh! Tidak bisa berfikir?
Ah! Bodoh! Dimana akal sehat?
Sudah berkali-kali begini
Masih saja bodoh!
Pikir sendiri! Cari jalannya!
Sakit pun tak apa...
Nanti sembuh juga...
Dustai saja bila harus dustai!
Toh, kena dusta sendiri
Biar cepat keluar! biar bebas!
Sekarang kan sudah tahu
Jalan itu cuma keindahan semu
Orang bodoh yang mau lewat
Ah, sudah! Tinggalkan saja!
Tahu itu sakit.
Cukup sudah!
Bagaimana bisa bodoh begitu?
Cari saja bebas!
Cari saja bahagia!
Jangan lagi bodoh!
Meidine Primalia Putri, Sastra Jerman 2009, PSA-MABIM 2009

86 | Jalan Pulang
Bisa Mati

Kala terasing
Beku menikam
Lari!
Nanti bisa mati!_
Tikam, cabik semua
Biar rasa!

Kala terasing
Pilu terasa
Siksa tersisa
Bunuh!
Nanti bisa mati!
Luap, keluar semua
Biar rasa!

Kala terasing
Terus ingat
Bak peluru berlari tak peduli
Kejar!
Nanti bisa mati!
Rebut, menang dari segala
Biar rasa!

Niken Prameswari, Sastra Jepang 2009, PSA-MABIM 2009

Jalan Pulang | 87
Ibu... Bolehkah Aku Bertanya

Ibu... bolehkah aku bertanya...


Kenapa aku ada di sini?
Di tempat berkumpulnya anak-anak sepertiku
Bermain bersama tanpa bimbinganmu

Ibu... bolehkah aku bertanya...


Kenapa ibu tidak pernah menemuiku?
Aku hanya dapat melihat senyummu
Tanpa mendengar satu patah darimu

Ibu... bolehkah aku bertanya...


Teman-teman di sekolah bercerita tentang ayah
Betapa bangga mereka memiliki ayah yang hebat
Apakah aku mempunyai ayah yang hebat juga?

Ibu... bolehkah aku bertanya...


Di sekolah, ibu guru memberi tugas bercerita tentang keluarga
Apa yang harus kuceritakan, Ibu?
Aku tidak punya keluarga seperti teman-temanku yang lain

Ibu... aku selalu penasaran


Siapa sebenarnya ibu?
Siapa sebenarnya ayah?
Kenapa kalian tidak bersamaku?
Aku kesepian, Ibu...

Nisma Dewi Karimah, Sastra Jepang 2009, PSA-MABIM 2009

88 | Jalan Pulang
Perjuangan Seorang Jongos

Pagi masih perawan


Aku sudah terengah-engah mengejarmu, Kakek
Hei, ini bukan urusanku!
Ini urusan majikanku!
Tak apalah, aku yang menemukanmu lebih dulu
Detik berlalu, menit berlalu
Tanganmu tak bergeming, hanya mulut saja
Aku butuh tanganmu yang bekerja, bukan mulutmu!
Oh tidak! Sebesar itukah sakit hatimu?
Sampai-sampai kau tega menyuruh kami mencari penggantimu?
Aakh!! Matahari makin tinggi
Tidak mungkin merobek, mengganti, dan menjahit dalam satu
detik!
Air mata ingin keluar, tapi sumber telah kering
Capek!! Sudahlah aku tak mau tahu

Pinka Almira Kusuma,SastraJerman 2009, PSA-MABIM 2009

Jalan Pulang | 89
Kisah Sinta

Sinta
seorang gadis sederhana
Berusaha menggapai impiannya yang mulia
Menjadi guru yang mampu membuat muridnya
Berbahasa Indonesia
Yang mulai dilupakan bahkan oleh teman sebayanya

Sinta
Berasal dari desa yang terpinggirkan
Keras belajar menempuh pendidikan
Di tengah kemelaratan kehidupan

Melihat namanya di pengunguman kelulusan, Sinta girang


Berhasil menjadi mahasiswa di universitas idaman
Telah terbayang dalam pikiran, berkhayal impian kan jadi
kenyataan

Namun apa daya,


Menuju ibu kota, hartanya hilang begitu saja
Uang hasil gadai rumah bapaknya untuk membayar kuliah
Dirampok saat menjejakan kaki di kota, dan orang-orang malah
berkata:
Selamat datang di Jakarta!

Pihak Universitas pun tak mau tahu, bagi mereka,


Masih banyak mahasiswa yang menunggu bangku, silahkan pulang
ke kampung mu

90 | Jalan Pulang
Sinta tak mampu menghadapi kenyataan, tak ada yang mau
memberi bantuan
Tak tahan melihat pengharapan orang tua kini musnah di depan
mata, padahal semua barang sudah digadaikan, untuk meniti masa
depan yang kini hilang di tengah jalan.

Sinta malu, terpukul, kecewa


Ia sudah tak punya muka untuk kembali ke desa
Namun, Sinta tak cukup berani untuk menghabisi nyawa sendiri
Untung ada si Joni, mucikari
Ia beri Sinta makan, minum, tempat tidur dan mandi
Malamnya ia dipaksa jual diri
“Tak ada yang gratis di dunia ini!”

Di kampung,
Bapak dan ibu cemas menanti kabar Sinta
Doa terucap selalu dalam sholatnya
Agar sinta jadi orang berguna, seperti yang sinta tuliskan penuh
dusta
Dalam suratnya

Sebulan, setahun, dua tahun, Sinta tak kunjung pulang


Surat pun kini tak pernah datang
Bapak dan ibu yang malang,
Andai mereka bisa belajar baca Koran
Yang dipajang di tembok kelurahan
Perempuan mati yang dimutilasi di cileungsi
Itu anak mereka sendiri

Puspa Ayu, Sastra Jawa 2009,Tugas PSA-MABIM 2009

Jalan Pulang | 91
Bimbang

Aku bersandar di alam mati


Menanti hari silih berganti
Tak bisa kudengar lagi
Suara kicau camar yang cemar
menyiulkan senandung samar-samar
sejak kau pergi dan tak lagi terdengar
apakah aku ini?
Apakah aku itu?
Tak bisa ku gambarkan lagi lukisan hati yang kian menjadi
Dalam tidurku aku melihatmu
Membawakan setangkai mawar kelabu berdebu
Mengucap salam pada raja siang lalu lari dan menghilang
Apakah aku ini?
Apakah aku itu?
Batinku hanya bisa menjawab
“kau adalah kau”

Puteri Risdayani, Sastra Belanda 2009, PSA-MABIM 2009

92 | Jalan Pulang
Titik Putih

Hitam bercak cokelat


Terasa kotor lengket risih terlihat
Orange campur kuning
Terasa segar tetapi silau

Hijau kebiruan
Terasa syahdu tetapi berlendir licin
Merah keunguan
Terasa cinta tetapi berduri tajam

Mencari ketenangan dan kedamaian


Mencari cinta dan kasih sayang
Warna yang indah menjadi muram tak bermakna
Adakah warna yang sesungguhnya?

Titik putih kutemukan


Di selembar kain kotor di beragam warna indah.
Putih bersih suci bersinar

Apakah aku menemukan cinta kasih di sana?


Apakah aku menemukan kedamaian nan syahdu?
Tak berpura pura, tak bernoda
Titik putih penuh harapan
Tidak berwarna tetapi bersahaja

Qory Sandioriva, Sastra Perancis 2009, PSA-MABIM 2009

Jalan Pulang | 93
Malam

Kulit hitam digelar


Ditaburi bumbu bersinar
Detik-detik itu tidak mau diam
Bergeser kemudian berlalu

Kaki-kaki kasar jangkrik menari


Mereka bergoyang mencari mimpi
Mencerca hingga malam menjerit
Angin-angin lucu berlari mengejar daun mati

Anak panah bola mata kutangguhkan ke atas


Lalu terpejam
Menikmati tiupan sampah dunia
Pohon-pohon besar tunduk dan rapuh

Jangkrik mulai terkekek


Menertawaiku yang dibodohi malam
Dengan sekitarku yang kian membusuk
Malam tersipu lalu jatuh

Resha Ardliyan Nur Kibtiyah, Sastra Rusia 2009, PSA-MABIM 2009

94 | Jalan Pulang
Hampa

Hembusan angin malam membelai nadiku


Terasa dingin dan kaku
Aku tak ada siapa pun di sini
Hanya ditemani suara rintik hujan
Dan tawa ringan di setiap sudut rumah
Ada apa dengan hatiku?
Terasa hampa di tengah kebisingan kota
Tak tahan lagi untuk berteriak
Namun bibir ini terkunci sangat rapat
Mungkin saat ini bulan sedang tertawa
Menyaksikan tingkah laku ku
Seperti kumbang tersedak duku

Sahla Salima, Sastra Jerman 2009, PSA-MABIM 2009

Jalan Pulang | 95
Catatan Penutup

Perayaan Zaman ini—kegelisahan


menemukan diri dan sebuah petunjuk Jalan
(untuk) Pulang
Oleh Frendy Kurniawan1

Menulis puisi bagi kebanyakan orang adalah sebuah janji


pelepasan. Pelepasan dari diri sendiri sebagai sebuah subjek yang
rumit dan terkadang memilukan. Puisi kerapkali membantu
melepas segala sesak di dalam dada, membakar segala yang
menyeruak di ujung kepala dan menunjuk segala rupa yang ingin di
kutuk. Puisi telah menjadi ruang penampung segala kegelisahan–
terutama anak-anak muda pada derap zamannya.

Bagi penyair Nobel sekelas Pablo Neruda, puisi diumpamakan


layaknya roti yang dibagi-bagi setiap harinya—santapan bagi rasa
dan cecap kemanusiaan peradaban manusia. Itulah mengapa
Neruda menyakini bahwa puisi lahir jauh hari sebelum tulisan
ditemukan dan mesin cetak menjadi alat dan bagian dari kehidupan
sehari-hari manusia.

1
Mahasiswa Sosiologi FISIP UI 2006, seorang penggiat komunitas Bale Sastra
Kecapi dan salah satu pendiri 28wArtLab.

96 | Jalan Pulang
Karenanya mengikuti Neruda, puisi adalah bahasa bagi
kemanusiaan kita, menghubungkan dunia yang satu dengan dunia
yang lain, mempertemukan jiwa yang satu dengan yang lain.
Hingga semuanya akan menjadi begitu jelas—terbaca. Puisi
menjadi ruh sakral yang membuat mitos menara Babel seakan
hidup kembali lagi–manusia hendak memerikan misteri semesta,
dari segala yang ada dan tersembunyi hingga semuanya dapat
termengerti.

Lalu adakah kegelisahan anak-anak muda yang menuliskan


puisi dalam hidup sehari-harinya adalah sebuah upaya membaca
dunia dan semesta itu? Memerikannya? Dan kelak menghidupkan
kembali bahasa kemanusiaan kita, pada zaman ini—pada zaman
anak-anak muda itu hidup? Hendaknya proses itu selalu
menambatkan impian ke sana.

Tulisan Perasaan : Kegelisahan Menemukan Diri

tertulis semua perasaan hati


yang bermakna dalam diam.
(Petikan dari Ku Katakan Dengan Tulisan –Adlia Nazila)

Anak-anak muda tak pernah tak menggelisahkan dunia


perasaannya—dunia yang kerap tak mudah dimengerti ataupun
dipahami. Selalu saja ada yang tersisa dan mengganjal untuk
dijelaskan pada semua—yang ada di sekitarnya. Menulislah dalam
kata anak-anak muda itu, dalam langkah kisah yang kerap tak
mudah terkatakan—menulis sebuah cerita curahan hati yang
panjang tentang dirinya yang terus saja dipertanyakan dan ingin
diperjelas selalu setiap waktu.

Jalan Pulang | 97
Nuansa pencarian diri dalam seluruh proses penulisan puisi
pada kumpulan puisi di buku ini jelas sangatlah terlihat. Ini adalah
proses kreatif khas dari anak-anak muda. Eksistensi diri kerapkali
menjadi pusat dari seluruh rupa ketegangan dan pencariannya di
dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Segala tulisan (puisi)
lalu menjadi sebuah pelepasan perasaan hati. Inilah sebuah wujud
upaya penyelamatan kegelisahan agar segera mereda—membeku
dalam makna-makna yang terukirkan melalui rupa asing metafora.

Dalam proses itu memang tak selamanya mampu memberikan


nuansa yang dapat dikatakan baik, sekalipun batas-batas
mengenai baik dan buruk itu sendiri tidak selamanya dapat
diberikan. Perlu sebuah ruang apresiasi yang mampu
menyelamatkan seluruh curahan perasaan hati itu agar tak
mengendap menjadi luka, yang nantinya menghilang pada
kesunyian laju sejarah hingga tak berarti.

Anak-anak muda itu berhak mendapatkan ruang


kegelisahannya hanya agar proses kemanusiaan bagi diri mereka
sendiri dapat juga terjadi. Paling tidak mereka tak pernah
merasakan sepi sendiri—sunyi dalam kebisuan rupa dunia yang
tetap asing tak terperikan hanya karena tak ada puisi yang sempat
tertuliskan. Puisi hendak menjadi penyelamat bagi jiwa-jiwa anak-
anak muda.

jiwa mendekam
dalam kepiluan
hati terpaku
dalam kesendirian
(Petikan dari Kelam –Akbar Rizky Fithrawan)

98 | Jalan Pulang
Walaupun begitu, dunia dengan segala rupa kisahnya memang
selalu tampak tak mudah untuk dimengerti secara mudah. Apalagi
untuk sekadar menuliskannya. Selalu ada sendu di balik setiap tawa
dan keriangan gerak. Selalu ada kata tanya di balik setiap wujud
hadir yang mendekat. Mengapa semua ini menjadi seperti ini?

Tidak ada yang bisa menjelaskan


tentang sendu yang kurasakan
(Petikan pertama dari Ode untuk Kapal –Agung Dwi Ertato)

Tidak mudah memang untuk menjelaskan semua yang menjadi


gelisah rasa, semua yang menjadi sendu pada dada—bahkan
melalui puisi itu sendiri. Karenanya, proses menunjuk pada medium
puisi sebagai sebuah pelepasan perasaan pun jelas harus
mempunyai langkah yang berbeda seperti misal menulis corat-
coret pada buku harian—sekali pun puisi dapat menjadi ‘buku
harian dari waktu kehidupan dan kisah-kisah’.

Perayaan Sastra Zaman Ini

Estetika seni hari ini memang telah berbeda dari zaman-zaman


sebelumnya. Konvensi bukanlah menjadi panutan utama dari
sebuah model berkarya—sekalipun pada setiap karya selalu ada
warna jejak dari karya yang lain (terutama dari seniman bernama
besar). Tetapi apalah arti dari semua itu? Pemikir yang hari ini
selalu didengungkan suaranya semisal Derrida, telah menyatakan
tidak dapat usaha untuk mencari dari ‘keaslian’ sebuah karya. Toh
memang tidak ada sebuah gagasan yang memang benar-benar
pertama ataupun dapat dikatakan absolut asli. Karenanya,
pembelaan terhadap gagasan Derrida maupun dari dunia
pascamodern yang lain telah memberikan kesempatan yang luas

Jalan Pulang | 99
pada estetika sastra zaman ini. Semua orang berhak untuk
berkarya—apapun itu.

Akhirnya memang sebuah perayaan besar mengenai diri


ataupun gerak saling mengikuti dan menunjuk-nunjuk pada diri
sendiri memang sedang menjadi sebuah tren. Dan sastra menjadi
sebuah ruang yang kurang lebih mampu untuk menampungnya.
Puisi sebagai sebuah medium sastra juga telah menjadi perayaan
sehari-hari. Orang per orang dapat mengungkap dan bercerita
setiap saat setiap waktu melalui sebuah perangkat teknologi
informasi semisal jejaring sosial Facebook.

Selain dari perangkat teknologi itu, ruang perayaan sastra


terutama puisi juga dapat dilakukan melalui media koran. Beberapa
orang menyebutnya sebagai sebuah kategori sastra koran. Tidak
dapat dipungkiri memang, ruang sastra dalam koran juga yang
telah memberikan kesempatan pada media sastra puisi hingga
tetap bertahan hari ini. Dalam dua ruang itulah perayaan sastra
zaman ini tetap dapat berlangsung dan sekaligus menjadi tolak
ukur bagaimana kondisi dan perkembangan karya-karya puisi
bertahan.

Puisi pendek dan puisi narasi, itulah yang mungkin menjadi tren
perayaan sastra zaman ini. Melalui kedua bentuk puisi itu, karya-
karya dari kegelisahan anak-anak muda tertampung dalam
kumpulan puisi pada buku ini. Sebut saja beberapa karya seperti
Kemudian Berkemuka; Empat Sayap Mendung; Delapan Sonet yang
Terserak di antara Kertas Lusuh; Jalang Pulang telah mengambil
tren puisi narasi yang berkembang di dalam ruang sastra koran kita
hari ini. Pola romantika dan melankolia seringkali menjadi rupa
pembentuknya. Ini akan mengingatkan kita pada ragam karya

100 | Jalan Pulang


pendahulu mereka seperti Gunawan Mohamad ataupun Sapardi
Djoko Damono.

Ragam puisi pendek pun juga tampak menjadi bentuk tren.


Lihatlah karya dengan judul Ketahuilah; Tentang Seseorang yang
Datang Kemarin Malam (I); Jika Saya Menjadi Nyata; Terbungkam
adalah beberapa puisi yang dapat dikatakan sebagai puisi pendek
ataupun mendekati bentuk puisi pendek.

Puisi narasi dan puisi pendek selalu berusaha menemukan


kegenitan suasana ataupun permainan liris bunyi pada
pengucapannya. Proses membangunnya membantu untuk
menghantar pada kisah ataupun cerita yang sedang disampaikan.
Dapat diduga wajah kreatif seperti ini merupakan jejak dari kuatnya
tradisi lisan pada budaya kita atau mungkin tradisi kepenyairan era
70-an yang membawa model romantik Barat. Aturan bentuk
konvensi pembentukan dua jenis puisi tersebut pun juga tidak lagi
terasa tegas. Estetika perayaan kreasi diri sebebas mungkin telah
memberikan semacam legalitas untuk berkarya tanpa aturan yang
kaku.

Hal lain yang dapat dilihat dari karya-karya dalam buku ini
adalah tema yang dicoba untuk digarap ataupun didekati oleh
masing-masing penyair tersebut. Hampir semua yang digarap
adalah tema terkait dengan psikologi eksistensial. Luapan maupun
endapan berdetak yang terus saja menggetar dalam perasaan
masing-masing. Itulah yang sedang digarap oleh puisi-puisi dalam
buku ini. Walaupun juga terdapat puisi yang ditujukan untuk hal-hal
lain—seperti untuk kampusnya ataupun untuk kota dan beberapa
wajah sosial.

Jalan Pulang | 101


Mungkin inilah bentuk ataupun juga pesan dan sekaligus
makna-makna yang diam dan hendak meluap dari tulisan (puisi) di
buku ini. Kegelisahan pada diri ditengah perayaan terhadap tren
sejarah dan dunia yang terus menerus bercerita—sekalipun terlihat
omong kosong (rupa dunia pascamodern) yang menghisap apa
saja. Para anak-anak muda ini—dengan proses menirukan generasi
sebelumnya, hendak melakukan pencarian penyelamatan diri, dari
semua luka dan beban yang mendebar dalam sesak dada dan penat
pikiran. Seperti yang terkatakan pada petikan ini:

Malam dan detik waktu tidak pernah mau mengerti tentang


kegelisahan kita yang terpaksa merana menelan keadaan.
Bagaimana aku bisa pulang jika tanganku terus melingkar pada nada
yang kita senandungkan seiring perjalanan.
(Petikan dari Jalan Pulang –Agrita Widiasari)

Puisi : Jalan (untuk) Pulang?

Kita mungkin memang hidup dalam keriuhan. Dalam sejarah


yang selalu ingin kita percepat—melaju tak henti kepada masa
depan yang terlalu kita buat sangat meyakinkan. Jalanan kita
penuh jejalkan dengan alat-alat buatan kita, rumah telah kita isi
dengan kotak ajaib penuh warna penuh cerita pertunjukan. Dan
percakapan mengenai si ini dan si itu telah menjadi perbincangan
serius pada meja-meja makan siang kita. Membual, mengkhayal
dan juga menyampah (bahasa anak-anak muda untuk merujuk
kegiatan yang tidak jelas tapi dilakukan untuk membunuh waktu)
mungkin telah menjadi bagian dari diri kita saat ini. Apa yang dapat
diharapkan dari semua itu?

102 | Jalan Pulang


Ada jarak antara yang mungkin sedang menganga pada diri kita
saat ini—setiap harinya. Ada rasa kehampaan ataupun kekosongan
dalam jiwa kita, yang terkadang membuat kita kesal dan kemudian
berlaku tak jelas dan penuh emosi, amarah. Sejarah hidup kita saat
ini adalah sebuah panggung perayaan hura-hura dari narasi omong
kosong (pasacamodern) tentang ini ataupun tentang itu. Seolah-
olah semuanya tampak begitu wah dan kita kagumi, tapi ternyata
itu mengasingkan diri kita dari diri kita sendiri. Dan anak-anak muda
jelas akan terasa bergelisah—karena eksistensi diri mereka saja
mungkin sedang mereka pergulatkan mati-matian, dan sekarang
harus ditambah menelan semua wajah kepalsuan dunia. Apa yang
terjadi?

Inilah kepenatan dalam langkah-langkah hidup. Pertanyaan-


pertanyaan yang terus saja menggema dalam dada dan mungkin
malah mengganjal tidak karuan. Manusia sedang membutuhkan
sebuah ruang spiritualitas agar selamat. Agar tak hilang diri tercuri
tren ikut-ikutan. Walaupun semua kerja kita memang ikut-ikutan.
Manusia membutuhkan ruh itu kembali: roti bagi santapan sehari-
hari, bahasa bagi kemanusiaan kita, dan itu adalah puisi.

Inilah sebuah penunjuk Jalan (untuk) Pulang kepada diri sendiri


—kepada yang kita tinggalkan karena keriuhan ikut-ikutan kita.
Sebuah jalan pulang menuju rupa kegelisahan kita sebagai
manusia. Inilah buku curahan perasaan khas manusia yang di
dalamnya penuh rupa, penuh wajah, penuh harapan:

Menemaniku bermimpi, memeluk lekuk bibirmu menunggu ucapan


selamat pagi.
(Petikan dari Jalan Pulang –Agrita Widiasari)

Jalan Pulang | 103


hanya agar esok tetap terjadi—mungkin sama seperti catatan-
catatan ini, atau mungkin saja berbeda. Kalaupun itu terjadi kita
masih akan mengingatnya, pada seluruh debar rasa tak karuan ini,
pada seluruh puisi yang telah tertorehkan ini.

104 | Jalan Pulang


Jalan Pulang | 105
106 | Jalan Pulang
Tentang MarkasSastra

Komunitas MarkasSastra adalah komunitas penggiat kajian dan


apresiasi sastra yang didirikan oleh mahasiswa FIB-UI. Buku
kumpulan puisi pertama bersama MarkasSastra terbit pada tahun
2009 bersamaan dengan resital puisi yang ketiga Sebelum Binasa
(Rangkaian FIB Nyeni 2009). Buku kumpulan puisi Jalan Pulang
(2010) merupakan buku kumpulan puisi MarkasSastra yang kedua
bekerja sama dengan Panitia PSA-MABIM FIB-UI 2009. Pada tahun
yang sama MarkasSastra bersama FIB Nyeni 2010 mengadakan
resital puisi yang keempat A Tribute to Sapardi Djoko Damono.
Kegiatan lain yang telah dikerjakan MarkasSastra adalah pameran
instalasi puisi bekerja sama dengan 28w Artlab pada tahun 2010,
Pameran Rupa dan Kata.

Jalan Pulang | 107


108 | Jalan Pulang
Tentang PSA-MABIM FIB UI 2009

PSA-MABIM FIB UI 2009


adalah rangkaian alur
kaderisasi dalam
penyambutan mahasiswa
baru di FIB tahun 2009. PSA-
MABIM FIB UI 2009 dengan
visi “Menggenggam
Beragam Makna” bertujuan untuk memperkenalkan kepada
mahasiswa baru angkatan 2009 kehidupan mahasiswa yang
berorientasi kepada Tridharma Perguruan Tinggi. Buku antologi
puisi ini adalah salah satu program rangkaian PSA-MABIM FIB UI
2009. Kami ingin membukukan beberapa tugas puisi yang dibuat
oleh mahasiswa angkatan 2009 ketika mengikuti kegiatan PSA-
MABIM FIB UI 2009. Antologi puisi ini merupakan kerjasama kami
dengan rekan-rekan pecinta puisi Komunitas MarkasSastra, kami
berharap agar karya ini dapat memberikan rangsangan bagi
tumbuh-kembangnya kreatifitas seni dan sastra.

Jalan Pulang | 109


110 | Jalan Pulang

You might also like