You are on page 1of 16

Manusia Dalam Agama khususnya Agama Hindu

Sebelum kita membahas lebih jauh bagaimana manusia dalam agama atau dengan kata lain
manusia dalam beragama khususnya agama hindu, mari kita tengok sedikit bagaimana filsafah
agama hindu yang mengandung banyak pedoman-pedoman untuk manusia dalam menjalani
hidup.

Sejarah menyatakan, bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah Nusantara Indonesia telah berdiri
Kerajaan-Kerajaan Besar seperti salah satu di antaranya adalah Kerajaan Majapahit yaitu sebuah
Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan Kerajaan terbesar yang bisa menyatukan
seluruh wilayahnya sampai ke Madagaskar.

Pada jaman itu sudah ada hubungan dagang dengan negara Luar Negeri terutama dengan Negeri
Campa, yang saat ini Negara Cina.

Kerajaan ini bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman keemasannya dipimpin oleh seorang
Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya bernama Gajah Mada.

Pada jaman itu perkembangan budaya yang berlandaskan Agama Hindu sangat pesat termasuk di
Daerah Bali dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para Arya dari Kerajaan Majapahit
sebagian besar hijrah ke Bali dan di Daerah ini para Arya-Arya tersebut lebih memantapkan
ajaran-ajaran Agama Hindu sampai sekarang.

Masyarakat Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran
Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual
dalam Falsafah Tri Hita Karana.

Arti kata Tri Hita Karana :

 Tri artinya tiga


 Hita artinya kehidupan
 Karana artinya penyebab

Tri Hita Karana artinya : Tiga keharmonisan yang menyebabkan adanya kehidupan yaitu
hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, hubungan yang harmonis antara
manusia dengan manusia dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam.

Dalam pelaksanaannya tetap berlandaskan ajaran-ajaran Agama Hindu dan dalam kegiatan
Upacara Keagamaan berpatokan pada Panca Yadnya.

Yang dimaksud dengan Panca Yadnya adalah : Panca artinya lima dan Yadnya artinya
upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan yang dalam istilah Bali
masyarakat Hindu menyebutkan Ida Sanghyang Widi Wasa.

Adapun pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :


1. Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-dewa.
2. Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur
alam.
3. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
4. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah
meninggal.
5. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci
umat Hindu.

Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan Panca Yadnya secara simpel dapat diuraikan
sebagai berikut :

1. Upacara Dewa Yadnya


Dewa asal kata dalam bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian Dewa
adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang oleh umat Hindu di Bali
menyebutnya Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.

Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan
Tuhan dan sinar-sinar suciNYA yang disebut dewa-dewi.

Adanya pemujaan kehadapan dewa-dewi atau para dewa karena beliau yang dianggap
mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan di dunia ini.

Salah satu dari Upacara Dewa Yadnya seperti Upacara Hari Raya Saraswati yaitu upacara suci
yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk memperingati turunnya Ilmu Pengetahuan yang
dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari Sabtu, yang dalam kalender Bali disebut Saniscara
Umanis uku Watugunung, pemujaan ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu
Pengetahuan dan dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat memegang wina
(sejenis alat musik), genitri (semacam tasbih), pustaka lontar bertuliskan sastra ilmu pengetahuan
di dalam kotak kecil, serta bunga teratai yang melambangkan kesucian.

2. Upacara Bhuta Yadnya


Bhuta artinya unsur-unsur alam, sedangkan Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus
ikhlas.

Kata “Bhuta” sering dirangkaikan dengan kata “Kala” yang artinya “waktu” atau “energi” Bhuta
Kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya.

Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan kehadapan
Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan
memanfaatkan daya gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke
Sanga (Sembilan) menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru / Çaka / Kalender Bali).
Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) adalah upacara suci yang merupakan persembahan suci
yang tulus ikhlas kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis dan bisa memberikan
kekuatan kepada manusia dalam kehidupan.

3. Upacara Manusa Yadnya

Manusa artinya manusia


Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.

Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka
pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya
jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Upacara manusa yadnya erat sekali
hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat tingkatan atau jenjang dalam
menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalah brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan
bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan mengalami yang disebut manusia dalam
agama tadi.
Sebelum manusia itu dilahirkan dan masuk pada jenjang-jenjang kehidupan, Ada beberapa
proses upacara Manusa Yadnya seperti :

1. Magedong- gedongan (Garbhadhana Samskara)

Arti Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan .


Sarana 1 Pamarisuda: Byakala dan prayascita.
Tataban: Sesayut, pengambean, peras penyeneng dan sesayut pamahayu
2
tuwuh.
Di depan sanggar pemujaan : benang hitam satu gulung kedua ujung
3 dikaitkan pada dua dahan dadap, bambu daun talas dan ikan air tawar,
ceraken (tempat rempah-rempah).
Waktu Upacara Garbhadhana dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210 hari (7
bulan). Tidak harus persis, tetapi disesuaikan dengan hari baik.
Tempat Upacara Garbhadhana dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman
rumah, di tempat permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan
dilanjutkan di depan sanggar pemujaan (sanggah kamulan).
Pelaksana Upacara ini dipimpin oieh Pandita, Pinandita atau salah seorang yang tertua
(pinisepuh).
Tata 1 lbu yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda,
Pelaksanaan dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2 Si lbu menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun
talas berisi air dan ikan yang masih hidup.
3 Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bambu
runcing.
4 Si Suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang
dijinjing si Istri sampai air dan ikannya tumpah.
5 Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.
6 Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab

2. Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara).

Arti Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah
sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.
Sarana Dapetan, terdiri dari nasi berbentuk tumpeng dengan lauk pauknya (rerasmen)
dan buah-buahan.
Canang sari / canang genten, sampiyan jaet dan penyeneng.
Untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari) diperlukan sebuah kendil (periuk kecil)
dengan tutupnya atau sebuah kelapa yang airnya dibuang.
Waktu Upacara Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah
mendapat perawatan pertama.
Tempat Upacara Jatakarma dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah.
Pelaksana Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang
tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya.
Dalam hal tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan, sang ayah
dapat melaksanakan upacara ini.
Tata Cara 1 Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang
genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh yang menjelma
pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2 Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu
ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah
menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum
kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan
kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan pada dasar
alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA (AH) .
3 Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di
dalamnya diberi bunga.
4 Selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada
bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri
untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.

Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran
anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya.

Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal antara lain :


• Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap leluhur
dan masyarakat.
• Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.
3. Upacara kepus puser

Arti Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada saat
puser bayi lepas.
Sarana Banten penelahan: Beras kuning, daun dadap.
Banten kumara: Hidangan berupa nasi putih kuning, beberapa jenis kue, buah-
buahan (pisang emas), canang, lengawangi, burat wangi, canang sari.
Banten labaan: Hidangan/ nasi dengan lauk pauknya.
Segehan empat buah dengan warna merah, putih, kuning, dan hitam. Masing-
masing berisi bawang, jahe dan garam.
Waktu Upacara kepus puser dilaksanakan pada saat bayi sudah kepus pusernya,
umumnya pada saat bayi berumur tiga hari.
Tempat Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si
bayi.
Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang tertua
(sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi.
Tata cara 1 Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke
dalam "ketupat kukur" (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai
dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung
pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.
2 Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3 Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen
segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten
kumara.
4 Tidak ada mantram khusus untuk upacara ini, dipersilakan memohon
keselamatan dengan cara dan kebiasaan masing-masing.

4. Upacara bayi umur 12 hari

Arti Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut Upacara
Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian
pula sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di
antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
Sarana Upakara yang kecil: Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal dll, semampunya.
Upacara yang biasa (madia): Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal, di sini hanya
ditambah dengan penebusan.
Upacara yang besar: Seperti upacara madia hanya lebihnya jerimpen tegeh dan
diikuti wali joged atau wayang lemah.
Waktu Upacara ngelepas hawon dilaksanakan pada saat si bayi sudah berumur genap
12 hari.
Tempat Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah pekarangan yaitu di sumur
(permandian), di dapur, serta di sanggah kamulan.
Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini dipimpin oieh keluarga yang paling dituakan.
Tata cara Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si anak. Upacaranya
dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon
pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa.
Inti pokok upacara yang ditujukan kepada si ibu adalah: banten byakaon dan
prayascita disertai dengan tirta pebersihan dan pengelukatan. Sedangkan banten
inti yang diperuntukkan kepada si bayi adalah, banten pasuwungan yang terdiri
dari peras, ajuman, daksina, suci. soroan alit pengelukatan, dan lainnya.
Banten pengelukatan di dapur, permandian dan kemulan pada pokoknya sama,
hanya saja warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:

• tumpeng merah untuk di dapur


• tumpeng hitam untuk di permandian dan
• tumpeng putih untuk di kemulan.

Inti pokok banten pengelukatan tersebut antara lain: peras dengan tumpeng,
ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian, penyeneng dan sorotan alit serta
periuk tempat tirta pengelukatan.

5. Upacara kambuhan (umur 42 hari)

Arti Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk
pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan
si bayi dari pengaruh-pengaruh negatif (mala).
Sarana Untuk upacara kecil:
Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan
1
pabersihan.
Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara dan
2
dapetan.
Untuk upacara yang lebih besar
Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan
1
pabersihan.
Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara,
2 jejanganan, banten pacolongan untuk di dapur, di permandian dan
di sanggah kamulan serta tataban.
Waktu Upacara kambuhan dilaksanakan pada saat bayi berusia 42 hari.
Tempat Keseluruhan rangkaian upacara kambuhan dilaksanakan di dalam lingkungan
rumah, di dapur, di halaman rumah dan di sanggah kamulan.
Pelaksana Untuk upacara kambuhan dipimpin oleh seorang pinandita atau pandita.
Tata cara Untuk upacara kecil:
1 Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.
2 Si bayi beserta kedua orang tua diantar ke sanggah kamulan untuk natab.
Untuk upacara yang lebih besar
1 Si bayi dilukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.
2 Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita
3 Si bayi beserta kedua orang tuanya natab di sanggah kamulan

Upacara Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi berumur 42 hari), merupakan upacara suci yang
bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang tuanya.

Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil air dan di


Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga).

Upacara Tutug Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang
tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang dialami pada
waktu acara Tutug Kambuhan.

Pada upacara ini nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang,
kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga.

Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi
dengan acara pengguntingan / pemotongan rambut untuk pertama kalinya.

Apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut di bagian ubun-ubun tersebut
dibiarkan menjadi jambot (jambul) dan akan digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir
yang pertama atau sesuai dengan keadaan.

Upacara Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang
pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara Tutug Sambutan.

6. Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) - Niskramana Samskara

Arti Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam
hitungan pawukon.
Sarana Upakara
panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
kecil:
Upakara panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban,
besar: pula gembal, banten panglukatan, banten turun tanah.
Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila keadaan tidak
memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya
dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk
dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara
6 bulan.
Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah.
Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.
Tata cara 1 Pandita / Pinandita memohon tirtha panglukatan.
Pandita / Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan
2
pada si bayi.
Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan
3
lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya
4
diantar oleh Pandita / Pinandita.
Si bayi diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab
5
jejanganan.
Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon
6
keselamatan.

7. Upacara satu oton - (Otonan)

Arti Ini upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan
pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan
keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang
mencapai kehidupan yang lebih sempurna.
Sarana Prayascita, parurubayan, jajanganan, tataban, peras, lis, banten
Upakara kecil: pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah dan sajen
kumara.
Prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban, peras, lis, banten
Upakara yang
pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah, sajen kumara,
lebih besar
ditambah gembal bebangkit.
Waktu Upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari. Pada saat itu kita
akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat lahimya si bayi (pancawara,
saptawara, dan wuku yang sama). Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap 210
hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Tentu saja semakin dewasa,
semakin sederhana bantennya.
Tempat Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah.
Pelaksana Upacara dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh keluarga tertua.
Tata cara Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk
1 memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala
manifestasinya.
2 Pemujaan terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3 Penghormatan terhadap leluhur.
4 Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan
pertama kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5 Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.

8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)

Arti Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini
bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik.
Sarana Upacara kecil Petinjo kukus dengan telor.
Upacara besar Petinjo kukus dengan ayam atau itik, dilengkapi dengan tataban.
Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi yang pertama dan sedapat
mungkin tepat pada waktu matahari terbit.
Tempat Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah.
Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh seorang pandita / pinandita atau salah seorang
anggota keluarga tertua.
Tata cara 1 Pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan segala
sesajen yang tersedia.
2 Si bayi natab mohon keselamatan.
3 Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan
selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.

9. Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)

Arti Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu


pengetahuan.
Sarana 1 Banten byakala dan sesayut tatebasan.
2 Canang sari.
Waktu Saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi. Upacara ini dapat
pula disatukan dengan wetonan berikutnya.
Tempat Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah.
Pelaksana Upacara dipimpin oleh keluarga tertua.
Tata cara 1 Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.
2 Si anak bersembahyang.
3 Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut / tetebasan.
4 Si anak diperciki tirtha.

10. Upacara menek deha (Rajaswala)

Arti Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan
untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik
dan tidak menyesatkan bagi si anak.
Sarana Banten pabyakala, banten prayascita, banten dapetan, banten sesayut tabuh rah
(bagi wanita), banten sesayut ngraja singa (bagi Iaki-laki), banten padedarian.
Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan pada saat putra/ putri
sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan
yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang
menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai
ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama. Orang tua wajib
melaksanakan upacara meningkat dewasa (munggah deha) ini.
Tempat Upacara dilaksanakan di rumah.
Pelaksana Dilakukan oleh Pandita / Pinandita atau yang tertua di dalam lingkungan keluarga.
Tata cara Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama putra / putri yang diupacarai
terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita. Setelah itu dilanjutkan dengan natab
sesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut raja singa bagi yang putra.

Ciri-ciri anak telah meningkat dewasa.

Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup dan mati (kembali keasalnya). Manusia
hidup di dunia mengalami beberapa phase yaitu, fase anak-anak, pada fase ini anak dianggap
sebagai raja, semua permintaannya dipenuhi. Phase berikutnya adalah pada masa anak
meningkat dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi dianggap sebagai raja, tetapi sebagai teman. Orang
tua memberikan nasehat kepada anak-anaknya dan anak itu bisa menolak nasehat orang tuanya
bila kondisi dan lingkungannya tidak mendukung, artinya terjadi komunikasi timbal balik atau
saling melengkapi. Dan yang terakhir adalah phase tua, di sini anak tadi menjadi panutan bagi
penerusnya.

Sebagai tanda dari kedewasaan seseorang adalah suaranya mulai membesar /berubah/ngembakin
(bahasa Bali) bagi laki-laki dan bagi perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan.
Sejak saat ini seseorang mulai merasakan getar-getar asmara, karena Dewa Asmara mulai
menempati lubuk hatinya. Bila perasaan getar-getar asmara ini tidak dibentengi dengan baik
akan keluar dari jalur yang sebenarnya.

Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi melalui dua jalur yaitu, jalur niskala, membersihkan
jiwa anak dengan mengadakan Upacara yang disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan
memberikan wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi dirinya

Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan didalam Agastya Parwa bahwa,
disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat menuju sorga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya
(persembahan yang tulus iklas) dan Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewala
merupakan Yadnya (persembahan yang tulus iklas) yang membuat peluang bagi keluarganya
untuk masuk sorga.

Nilai pendidikan
Upacara Raja Sewala/meningkat dewasa yang dilakukan oleh umat Hindu adalah merupakan
salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yang bertujuan untuk memohon kehadapan Sanghyang
Widhi Waça (Tuhan Yang Maha Esa) dalam menifestasinya sebagai Sang Hyang Semara Ratih,
agar orang itu dibimbing, sehingga ia dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi
Pancaroba. Pada masa pancaroba ini seseorang sangat rentan terhadap godaan-godaan khususnya
godaan dari Sad Ripu yaitu: Kroda (sifat marah), Loba (rakus/tamak), Kama (nafsu/keinginan),
Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan Matsarya (rasa iri hati)

Pada Upacara ini juga terselip nilai pendidikan. Anak diberikan wejangan-wejangan yang
menyatakan bahwa dirinya telah tumbuh dewasa, apapun yang akan diperbuatnya akan berakibat
juga kepada orang tuanya. Jadi anak itu tidak bebas begitu saja menerjunkan diri dalam
pergaulan dimasyarakat. Dia harus tahu mana yang pantas untuk dilakukan dan mana yang
dilarang. Dalam hal ini anak-anak juga merasa mendapat perhatian dari orang tuanya sehingga
menimbulkan rasa lebih hormat kepada orang tuanya.

Melalui Upacara Raja Sewala/Meningkat dewasa ini diharapkan seseorang dapat meningkatkan
kesucian pribadinya sehingga mampu memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang
buruk.

11. Upacara potong gigi (mepandes / metatah)

Arti Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri si
anak.
Sarana 1 Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2 Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta
perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta
sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3 Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah
bokor.
4 Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai
tebu, supaya lebih enak rasanya.
5 Pengurip-urip yang terdiri dari kunyit serta pecanangan lengkap dengan
isinya.
Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya
sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah
berumah tangga.
Tempat Seluruh rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan.
Pelaksana Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh
seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).
Tata cara 1 Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2 Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon
kesaksian.
3 Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara
mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi,
taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki
tirtha pesangihan.
4 Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5 Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah,
bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6 Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras
kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.

Acuan

Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah lontar Kala Pati,kala
tattwa,Semaradhana,dan sang Hyang Yama.dalam lontar kala Pati disebutkan bahwa potong gigi
sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan
suci sehingga kelak di kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para
leluhur di sorga Loka.Lontar Kala tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa
Siwa dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya
dipotong. Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara kala agar rohnya dapat
bertemu dengan roh leluhur di sorga.dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa Bethara Gana
sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka yang menyerang
sorgaloka dengan menggunakan potongan taringnya.

Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma setelah Dewa Siwa dibangunkan
Dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara (Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum
Dewa Semara bersama istrinya, Dewi Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi abu.
kemudian menyebarkan abu tersebut ke dunia dan mengutuk manusia agar tidak bisa hidup tanpa
berpasangan (laki-perempuan) dalam suami istri. Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan
bahwa upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila naka sudah menginjak dewasa, ditandai
dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang membesar untuk pria. Biasanya hal ini muncul
di kala usia 14 tahun.

Tujuan Upacara Potong Gigi

Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontarkalapati dimana disebutkan
bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat
gigi seri di atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad
Ripu (enam musuh dalam diri manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha
(marah), mada (mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak
terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua
untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari
pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini
adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran
agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge loka
bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan muda-
mudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar
Semaradhana.

Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula
sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak
dewasa,meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.

Urutan Upacara :
1. Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan mapiuning di Sangah Surya,maka mereka yang
akan mepandes dilukat dengan padudusan madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya untuk
memohon keselamatan dalam melaksanakan upacara.
2. Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan diri serta menandai
adanya peningkatan status sebagai manusia yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.
3. Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambing
keharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan
kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk
mewaspadai sad ripu.
4. Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah nyuh gading afar tidak menimbulkan
keletehan.
5. Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk
menyongsong kehidupan masa remaja.
6. Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana.Tujuan mapedamel setelah
potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang
yang bijaksana,yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada ajaran
agama Hindu,mempunyai pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat
memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.Secara simbolis ketika
mepadamel,dilakukan sebagai berikut :
• Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih sebagai symbol restu
dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut).
• Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai symbol pengikatan
diri terhadap norma-norma agama.
• Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah
menghadapi peristiwa kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai
simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa
sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai
simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan
rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh
bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta
enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
7. Natab banten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan
melaksanakan upacara dapat tercapai.
8. Metapak,mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai
sejak berada dalam kandungan ibu sampai menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai,makna
lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan
baik,serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua,juga mohon doa
restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa datang.

Demikianlah sekilas makna dari upacara potog gigi atau mepandes.Istilah lainnya yang
digunakan untuk Upacara ini di Bali adalah mesangih.

12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)

Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan
kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri
sebagai suami-istri.
Sarana 1 Segehan cacahan warna lima.
2 Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
3 Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
4 Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5 Pejati.
6 Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi
7
periuk, bakul yang berisi uang).
8 Bakul.
Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan
9
benang putih
Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning
dewasa).
Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hukum
adat setempat (desa, kala, patra).
Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai
1
mabhyakala dan maprayascita.
Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi
sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki
2
dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh
mempelai Iaki-laki.
Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab
3
banten dapetan.

Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :

- Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar
mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan
keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
- Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya
mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
- Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim
patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di
Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana
yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.

Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci
Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat
Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok
pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang
yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah)
kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.

Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan
mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat
dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah),
menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar
pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan"
(Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai
sampai benang tersebut putus.

d. Upacara Pitra Yadnya (Ngaben )

Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal.


Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.

Upacara Pitra Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dilaksanakan dengan
tujuan untuk penyucian dan meralina ( kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah
meninggal menurut ajaran Agama Hindu.

Yang dimaksud dengan meralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu) adalah merubah suatu
wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula.

Yang dimaksud dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari
air, api, tanah, angin dan akasa.

Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk pralina digunakan
api pralina (api alat kremasi).
Pelaksanaan dari upacara pitra yadnya disebut dengan ngaben. Ngaben adalah upacara
pembakaran mayat atau kremasi umat Hindu di Bali. Acara Ngaben merupakan suatu ritual yang
dilaksanakan guna mengirim jenasah kepada kehidupan mendatang. Jenasah diletakkan
selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian
(tertidur). Tidak ada airmata, karena jenasah secara sementara waktu tidak ada dan akan
menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda
kematian dan reinkarnasi).
e. Upacara Rsi Yadnya

Rsi artinya orang suci sebagai rokhaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di Bali.
Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.

Upacara Resi Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas sebagai penghormatan
serta pemujaan kepada para Resi yang telah memberi tuntunan hidup untuk menuju kebahagiaan
lahir-bathin di dunia dan akhirat.

Demikian Upacara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh Umat Hindu di Bali sampai sekarang
yang mana semua aktifitas kehidupan sehari-hari masyakat Hindu di Bali selalu didasari atas
Yadnya baik kegiatan dibidang sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, pertanian, keamanan dan
industri semua berpedoman pada ajaran-ajaran Agama Hindu yang merupakan warisan dari para
leluhur Hindu di Bali.

Kesimpulan :

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia yang lahir di
dunia ini pasti mempunyai pedoman untuk menjalani hidup baik pedoman dari
agamanya atau yang lainya. Dan di dalam pedoman itulah ada proses-proses yang
di jalani oleh manusia, seperti manusia dalam agama atau manusia dalam
beragama dan hal-hal yang lainnya. Dalam menjalani itupun tak lepas dari yang
namanya karmaphala, karena proses hidup kita bergantung pada apa yang kita
perbuat, baik itu sebelum atau sesudahnya. Adanya karmaphala akan menuntun
hidup kita

You might also like