You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Di dalam setiap kehidupan manusia, manusia sangat saling membutuhkah antara satu
dengan yang lainnya. Dan di dalam saling keterbutuhan itu, maka akan terciptalah sebuah
hubungan atau interaksi. Baik itu hubungan antara sesama manusia, atau hubungan manusia
dengan tuhannya.

Karena manusia oleh tuhannya diberikan sebuah nafsu atau keinginan, maka tuhan pun
membuat peraturan-peraturan atau undang-undang untuk membatasi prilaku makhluqnya,
yaitu dengan nash al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Karena bila tidak demikian,
maka kodrat manusia adalah sebagai perusak meskipun pada hakikatnya, manusia dalam
fitrahnya adalah khalifatul ard.

Oleh sebab itu, Fikih dan Ushul Fikih inilah yang sangat berperan penting dalam
mengatur kehidupan manusia, baik mengatur tata cara sosialisasi diri ataupun tata cara
beribadat kepada sang khaliq.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apakah pengertian ilmu fikih dan ushul fikih?


2. Perbedaan apa sajakah dalam ilmu fikih dan ushul fikih?
3. Apakah objek ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqh?
4. Bagaimanakah tujuan akhir yang hendak dicapai oleh ilmu fikih dan ushul fikih?

1.3 TUJUAN MASALAH

Sesuai dengan apa yang telah penulis rumuskan pada perumusan masalah di atas, maka
dengan itu penulis merumuskan tujuan pada cakupan makalah ini sebagai berikut:

1. Untuk memahami pengertian Fikih dan ushul fikih;


2. Untuk mencari tahu perbedaan Fikih dan ushul fikih;
3. Agar mampu membedakan objek atau kajian dari ilmu Fikih dan ushul fikih;
4. Agar kita tahu akan guna atau tujuan dari pada Fikih dan ushul fikih.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fikih Dan Ushul Fikih

a. Fikih menurut Etimologi

Fiqih menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT:

"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku."


(Thaha:27-28)

Pengertian fiqih seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91,
Surah At Taubah: 122, Surah An Nisa: 78

b. Fikih dalam terminologi Islam

Dalam terminologi Islam, fiqih mengalami proses penyempitan makna; apa yang
dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di genersi kemudian,
karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqih menurut versi masing-masing generasi

c. Pengertian fikih dalam terminologi generasi Awal


Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dst.),
fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana tersebut
dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia
menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang
yang menyampaikan fiqih (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih
menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih."
(HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah)

Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:

"Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir."
(HR Bukhari Muslim)

Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW
telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:
"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah !
tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)

Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting
pada para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena
dikalangan jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata:

"Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari)

Makna fiqih yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in
dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu
buku akidahnya dengan "al Fiqh al Akbar." Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda
dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu
hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:

"Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan
Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan norma-
normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka
memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya
sebelum beramal." (HR Malik)

Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari'ah
Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu
akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan
meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu sejak awal hanya mencakup
fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja."

Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-
orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya
penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru."

Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: "Orang faqih
itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten
beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta'afuf
terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya."
d. Pengertian fikih dalam terminologi Mutaakhirin

Dalam terminologi mutakhirin, Fiqih adalah Ilmu furu' yaitu:"mengetahui hukum


Syara' yang bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci.

Syarah/penjelasan definisi ini adalah:

 Hukum Syara': Hukum yang diambil yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an dan As-
Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah.
 Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
 Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus sholaah",
bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh.

Definisinya:

e. Ushul fikih dapat didefinisikan dari dua sisi


 Ditinjau dari sisi kedua kata (yang menyusunnya), yaitu kata ushul dan kata fiqh.

Adapun ushul (‫)أصول‬, merupakan jama’ dari ashl (‫)أصل‬, yaitu apa-apa yang menjadi
pondasi bagi yang lainnya. Oleh karena itu, ashl jidar (‫ )أصل الجدار‬artinya pondasi dinding,
dan ashl syajarah (‫ )أصل الشجرة‬artinya akar pohon.

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit” (QS Ibrahim :
24).

Sementara fiqih, secara bahasa artinya pemahaman, berdasarkan firman Allah ta’ala,
“dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka memahami perkataanku” (QS Thoha:
27-28)

Fiqh secara istilah artinya pengenalan terhadap hukum-hukum syar’i, yang sifatnya
amaliyah, dengan dalil-dalilnya yang detail.

Maksud perkataan kami “pengenalan” yaitu secara ilmu (yakin) dan zhon (dugaan),
karena pengenalan terhadap hukum-hukum fiqih terkadang menyakinkan dan terkadang
bersifat dugaan sebagaimana yang terdapat di banyak masalah-masalah fiqh.

Maksud perkataan kami “hukum-hukum syar’i” yaitu hukum-hukum yang didatangkan


oleh syari’at seperti wajib dan haram, maka tidak tercakup hukum-hukum akal (logika)
seperti mengetahui bahwa keseluruhan itu lebih besar dari sebagian, dan juga tidak mencakup
hukum-hukum kebiasaan, seperti mengetahui bahwa gerimis biasanya akan turun di malam
yang dingin jika cuacanya cerah.

Maksud perkataan kami “amaliyah” adalah perkara-perkara yang tidak berkaitan


dengan keyakinan (akidah), contoh “amaliyah” tersebut yaitu sholat dan zakat, maka fiqh
tidak mencakup perkara-perkara yang berkaitan dengan keyakinan seperti mentauhidkan
Allah, ataupun mengenal nama dan sifat-Nya, yang demikian itu tidak dinamakan fiqh secara
istilah.

Maksud perkataan kami “dengan dalil-dalilnya yang detail” adalah dalil-dalil fiqh yang
berhubungan dengan masalah-masalah fiqh yang detail. Berbeda dengan ushul fiqh, karena
pembahasan di dalam ushul fiqh tersebut hanyalah dalil-dalil yang global.

 Ditinjau dari sisi nama untuk cabang ilmu tertentu, maka ushul fiqh tersebut didefinisikan:

ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang global dan cara menggunakannya serta
menentukan keadaan dari penentu hukum (mujtahid).

Maksud perkataan kami “global” adalah kaidah-kaidah umum seperti perkataan


“perintah menuntut kewajiban”, “larangan menuntut keharaman”, “benar berkonsekuensi
terlaksana”. Ushul fiqh tidak membahas dalil-dalil yang detail, dan dalil-dalil yang detail
tersebut tidak disebutkan di dalamnya melainkan sebagai contoh terhadap suatu kaidah
(umum).

Maksud perkataan kami “dan cara menggunakannya” adalah mengenal cara


menentukan hukum dari dalil-dalilnya dengan mempelajari hukum-hukum lafadz dan
penunjukkannya dari umum dan khusus, mutlak dan muqoyyad, nasikh dan mansukh, dan
lain-lain. Dengan mengenal ushul fiqh maka dapat ditentukan hukum-hukum dari dalil-dalil
fiqh.

Maksud perkataan kami “keadaan penentu hukum” yaitu mengenal keadaan mujtahid,
dinamakan penentu hukum karena dia dapat menentukan sendiri hukum-hukum dari dalil-
dalilnya sehinggga sampai ke tingkatan ijtihad. Mengenal mujtahid dan syarat-syarat ijtihad
serta hukumnya dan semisalnya dibahas di dalam ushul fiqh.
2.2 Perbedaan Fikih dan Ushul Fikih

Pembahasan ilmu fikih berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan
dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya, apakah hukumnya wajib,
sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.

Sedangkan ushul fikih berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam
menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik
dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah,
siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.

Perumpamaan ushul fikih dibandingkan dengan fikih seperti posisi ilmu nahwu
terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang
menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fikih
menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fikih.

Kita sering salah memahami antara kaidah ushul dan kaidah fiqih. Meski dalam
beberapa hal ada kesamaan diantara keduanya. Namun, dari berbagai segi keduanya pun
memiliki perbedaan yang signifikan.

Kaidah fiqih (al-qawa'id al-Fiqhiyyah) menurut Dr. Ali al-Nadawi, adalah hukum syar'i
dalam bentuk qadhiyah aghlabiyah (prinsip umum) yang dari prinsip tersebut dapat diketahui
hukum-hukum masalah yang tercakup dalam kaidah tersebut (al-Qawaid al-Fiqhiyah: 2004).

Dari ta'rif di atas kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah sebuah prinsip umum
yang mengandung hukum diketahui dengannya hukum-hukum masalah yang tercakup dalam
satu kaidah. Misalnya, salah satu kaidah fiqih yang berbunyi "al-yaqin la yuzalu bi al-syak"
bahwa keyakinan tidak bisa hilang dengan keraguan. Kaidah ini mengandung sebuah hukum
syar'i yaitu ketetapan dengan keyakinan tidak bisa dihapus oleh suatu keraguan. Dari sini pun
kita bisa mengambil hukum. Dalam sholat misalnya, jika kita yakin kita tidak batal wudhu
maka ditetapkan bahwa sholatnya sah.

Sedangkan kaidah ushul (al-qawa'id al-Ushuliyah) menurut Syekh Abdul Wahab,


adalah kumpulan kaidah yang mampu menyampaikan kepada istinbath (pengambilan) suatu
hukum syari'ah dari dalil-dalil yang terperinci. (Ilmu Ushul al-Fiqh: 2004).

Maksudnya, kaidah ushul adalah sebuah wasilah atau alat bagi para fuqaha untuk bisa
mengambil suatu hukum dari dalil-dalil syari'ah. Misalnya, kaidah ushul "al-ashlu fil amri lil
wujub" bahwa asal dalam perintah itu menunjukan wajib. Lantas ada dalil menyebutkan
"aqimu al-shalat", dirikanlah oleh kalian sholat. Berdasar dari kaidah di atas, berarti perintah
mendirikan sholat hukumnya wajib.

Demikian pengertian dari kaidah fiqih dan kaidah ushul. Secara ta'rif pun kita bisa
mengambil benang merah perbedaan keduanya.

2.3 Objek Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqh

1. Objek ilmu fikih

Objek pembahasan ilmu fikih ialah perbuatan orang dewasa (Mukallaf) dipandang dari
ketetapan hukum syari’at Islam (syara’)1. Nah, pada dasarnya perbuatan tersebuat dapat di
klasifikasikan dalam tiga kelompok besar: ibadah, mu’amalah dan ‘uqubah.

Pada bagian ibadah tercakup pada persoalanyang pada pokoknya berkaitan dengan
urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri
kepada Allah, seperti solat, puasa haji dan lain sebagainya.

Bagian mu’amalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harta, seperti jual-beli,
sewa-menyewa, jual-meminjam, amanah dan harta peninggalan. Pada bagian ini juga
dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah.

Bagian ‘uqubah menyangkut persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti


pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan dan lain-lain. Bagian ini juga
membicarakan hukuman-hukuman seperti qisas, had, diyat, dan ta’zir.

Apabila kita lihat dan cermati, maka pokok pembahasan fikih dapat diperinci lagi
mejadi beberapa obkek kajian, yaitu:

a. Kumpulan hukum yang digolongkan ke dalam ibadah yaitu shalat, zakat, puasa, haji
dan nazar.
b. Kumpulan hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga, seperti perkawinan,
talak, nafkah, wasiat, dan pusaka. Hukum seperti ini sering disebut al-ahwal al-
syakhsiyah.

1
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), Jakarta: rajawali pers, 1989. Hlm 3
c. Kumpulan hukum mengenai mu’amalah madiyah (kebendaan), seperti hukum-
hukum jual beli, sewa menyewa, utang-piutang, gadai, syuf’ah, hiwalah
mdhorobah, memenuhi akad atau transaksi, dan menunaikan amanah.
d. Kumpulan hukum yang berkaitan dengan harta negara, yaitu kekayaan yang
menjadi urusan baitul mal, penghasilannya,macam-macam harta yang ditempatkan
di baitul mal, dan tempat-tempat pembelanjaannya. Hukum ini termasuk ke dalam
al-siyasah.
e. Kumpulan hukum yang dinamai ‘uqubat, yaitu hukum-hukum yang disyari’atkan
untuk memelihara jiwa, kehormatan dan akal manusia, seperti hukum qisas, had dan
ta’zir.
f. Kumpulan hukum yang termasuk dalam hukum acara, yaitu hukum yang mengenai
tentang pengadilan, gugatan, pembuktian dan lain sebagainya.
g. Kumpulan hukum hukum yang berkaitan dengan tatanegara, seperti syarat-syarat
menjadi kepala negara, hak-hak penguasa, hak-hak rakyat, dan sistem
permusyawaratan. Ini juga termasuk dalam lingkup al-siyasah.
h. Kumpulan hukum yang sekarang disebut sebagai Hukum Internasional. Termasuk
didalamnya hukum perang, tawanan, perampasan perang, perdamaian, perjanjian
tebusan dan lain sebagainya. Ini juga termasuk dalam lingkup al-siyasah.2

2. Objek ilmu ushul fikih

Adapun yang menjadi objek kajian di dalam ushul fikih adalah: dalil syar’i yang umum
dipandang dari ketetapan-ketetapan yang hukum yang umum pula. Jadi seorang ahli ushul
(ushuly), membahas tentang qiyas dan kehujjahannya, membahas pula tentang dalail ‘am dan
yang membatasinya, tentang ‘Amr (perintah)dan hal-hal yang menunjukkan kata amar, dan
begitu seterusnya, untuk menjelaskan soal-soal tersebut, ada contoh-contoh sebagai berikut:

Al-Qur’an adalah dalil syar’i yang pertama bagi setiap hukum. Artinya nas-nas
syar’iyah tidak terumuskan dalam satu betuk saja. Bahkan di antaranya ada yang
merumuskan dalam bentuk perintah (‘amr), ada pula yang dengan bentuk (sighot), larangan
(nahi), dan ada pula yang dengan sighot umum atau mutlak. Maka semua sighot tersebut
adalah “macam keumuman” (kuliyah) yang diambil dari macam-macam dalil syar’i yang
umum pula (‘am), yaitu al-Qur’an. Jadi seorang ushuly membahas setiap macam dari cabang-
cabang tersebut supaya dapat menghasilkan macam-macam hukum yang umum (kully), yang
2
Alaiddin Koto, ilmu fikih dan ushul fikih, Jakarta: Rajawali Pers, 2006. Hlm 5-7
bisa menunjukkan kepada macam sghot tersebut dengan menggunakan metode penyelidikan
mengenai asas Bahasa Arab dan mengenai tata cara hukum syariat Islam. Apabila dia bisa
mengambil kesimpulan, bahwa sighot ‘amr itu memberikan pengertian wajib, atau sighot
nahi itu memberikan pengertian haram, atau sighot umum itu memberikan pengertian
tercakupnya semua unsur-unsur dalam dalil ‘am secara pasti, dan atau sighot itlaq (mutlak)
itu memberikan pengertian tetapnya hukum secara mutlak, maka dengan itu disusunlah
kaidah-kaidah sebagai berikut:

1. Perintah berarti wajib, (‫)األمرلأليجاب‬

2. Larangan berarti kekharaman (\‫)النهى للتحريم‬


3. Lafadz yang umum berarti mencakup semua unsur didalamnya secara pasti
(‫) العام ينتظيم\ جميع افر اده قطعا‬
4. Lafazh yang mutlak berarti keumuman yang tiada batas.
(‫قيد‬ ‫)المطلق يدل على الفرد اشائع بغير‬

Kadah-kaidah umum (kulliyah) dan lainnya itu sebagai hasil susunan ulama’ ilmu ushul
yang dijadikan pedoman oleh ulama’ Fikih sebagai kaidah yang diterima (masuk akal/ logis),
dan dijadikan pedoman dalam menerapkan bagian-bagian dalail umum, agar supaya dengan
itu bisa menghasilkan hukum syariat Islam yang amali, yakni hal perbuatan manusia secara
terperinci. Jadi al-fakih praktis bisa mengguanakan kaidah: al-iejab atas firman Allah:

.......      

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. (al-Maidah : 1)

Dan bisa menjatuhkan hukum wajib terhadap memenuhi akad. Bisa juga menggunakan
kaidah: al-Tahrim atas firaman Allah:

.......        

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain. (Al-
Hujurat: 11

Dan bisa menghukumi penghinaan kaum oleh kaum itu diharamkan. Dan bisa lagi
menggunakan kaidah:

‫العام ينتظيم\ جميع افر اده قطعا‬


Atas firman Allah yang berbunyi:
   ...... 
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; (an-Nisa’ 23)
Dan terakhir adalah kaidah:
‫المطلق يدل على اي الفرد‬
 ....... 

Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak (al-Mujadallah: 3)

Sehingga dapat menhukumi memerdekakan setiap budak, baik dia itu Muslim atau non-
Muslim dalam soalmenbusi perbuatan zihar.

Dari uraian tersebut, maka jelaslah perbedaan dari dalil kulli (bersifat umum) dan dalil
juz’i (bagian detail). Sekaligus jelas pula hukum kulli dan hukum juz’i.jadi dalil kulli
merupakan mcam yang umum dari beberapa dalil, yang terkandung di dalamnya berbagai
juz’iyah (bagian cabang), seperti ‘Amr, Nahi, ‘Am, Mutlak, Ijma’ ush-Sharih, Ijmak Sukuti
dan Qiyas yang sudah mendapakan illatnya, yakni diistinbathkan. Jadi, sighot ‘Amr itu
adalah sighot yang kulli, dimana di dalamnya tercakup semua sighot yang disampaikan
dengan bentuk ‘Amr. Begitu pula Nahi, semua sighot yang disampaikan dalam bentuk Nahi,
maka ia pun tercakup di dalam Nahi, dan begitu seterusnya. Maka ‘Amr adalah dalil yang
kulli, sedangkan Nas yang datang itu adalah dalil yang juz’i.

Hukum yang kulli adalah macam yang umum, di mana di dalamnya mencakup berbagai
juz’iyah, seperti: Ijab (‫)ايجاب‬, Haram ( ‫)تحريم‬, Sah (‫)صحة‬, dan Batal ( ‫)بطألن‬. Wajib atau ijab,
adlah hukum yang kulli, di mana di dalamnya tercakup kewajiban memenuhi, kewajiban
menyaksikan dalam akad nikah dan kewajiban apa saja. Begitu pula haram, ia juga
merupakan hukum yang kulli, yakni di dalamnya mencakup keharaman zina dan mencuri,
dan keharaman apa saja, dan begitu seterusnya mengenai sah dan batal. Jadi wajib itu adalah
hukum kulli, sedangkan kewajiban suatu barang tertentu adalah hukum juz’i.

Ulama’ ushul tidak membahas mengenai dalil-dalil yang juz’iyah. Tidak pula mengenai
hukum yang juz’iyah, akan tetapi hanya membahas dalil-dalil yang kulli dan hukum-hukum
kulli pula. Dan dengan itu, maka disusunlah kaidah-kaidah kulliyah sebagai indikasi dalil,
agar para ulama Fikih dapat menerapkannya terhadap juz’iyah dalil untuk menetapkan
kepastian hukum secara terinci. Dan ulama Fikih tidaklah membahas dalil-dalil yang kulli,
tidak pula hukum-hukum yang kulli, akan tetapi hanya membahas dalil-dalil yang juz’i dan
membahas hukum yang juz’i pula.3

Sedangkan menurut Nasrun Haroen dalam bukunya ushul fikih beliau mengemukakan
bahwa objek kajian dari ushul fikih yang membedakan dari kajian fikih, antara lain:

1. Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukuum syara’,
baik yang disepakati (seperti kehujahan al-Qur’an danSunnah), maupun yang
diperselisihkan (seperti kehujahaan istihsan dan maslahah al-mursalah).
2. Mencarikan jalan keluar yang secara zhahir dianggap bertentangan, baik melaluial-
jam’u wa al-taufiq (pengkompromian dalil), tarjih (menguatkan dalil-dalil yang saling
bertentangan), nash, atau tasaqut al-dalilain (pengguguran kedua dalil yang
bertentangan), misalnya pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadits, atau
hadits yang bertentangan dengan pendapat akal.
3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat yang melakukannya (mujtahid), baik
yang menyangkut syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang
harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukm syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macam
nya, baik yang bersifat tuntututan untuk berbuat, tuntutan untuk meniggalkan suatu
perbuatan, memilih atau berbuat untuk tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab,
syara’, mani’, sah, batal, azimah dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga
dibahas pembuat hukum (hakim), orang yangdibebani hukum (mahkum ‘alaih),
ketetapan hukum dan syarat-syaratnya, serta perbuatan-perbuatan yang dikenai
hukum.
5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam
mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui
pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadits).4

2.4 Tujuan Akhir Yang Hendak Dicapai Oleh Ilmu Fikih dan Ushul Fikih

Dalam bukunya, Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa, hasil atau tujuan akhir yang
hendak dicapai oleh ilmu Fikih adalah menerapkan hukum-hukum syariat Islam terhadap
perbuatan dan ucapan manusia. Jadi ilmu Fikih itu tempat rujukan atau tempat kembali
seorang hakim (qadhi) dalam keputusannya, rujukan bagi seorang mufti dalam fatwanya, dan

3
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, Hlm. 3-6
4
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Hlm 4-5
rujukan para mukallaf dalam mengetahui hukum syariat dalam perbuatan dan ucapannya. 5
Maka dari itu, bila kita lihat dari tujuan fikih di atas, tidaklah lain ilmu fikih mengatur materi
hukum terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Selain dari pada itu, ilmu fikih juga
mengatur tentang halal dan keharaman bagi manusia khususnya para mukallaf.

Sedangkan Khlaf juga berpendapat tujuan dari ilmu Ushul Fikih adalah, menerapkan
tentang kaidah-kaidah dan pembahasannya terhadap dalil-dalil terperinci untuk
mendatangkan hukum syariat Islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut. Jadi dengan kaidah
dan pembahasan ilmu ushul fikih, dapat difahamai nas-nas syar’iyah dan hukum-hukum yang
dikandungnya. Begitu pula dapat diketahui hal-hal yang menjadi sebab daripada hilangnya
dalil yang samar di antara dalil-dalil tersebut. Juga diketahui dalil-dalil yang dimenangkan
ketika terjadi konflik antara satu dalil degan dalil lainnya. Dengan itu pula dapat
diistinbathkan sebuah hukum dengan metode al-Qiyas, atau al-Istihsan, atau al-Isthisab, atau
lainnya terdapat kejadian yang tidak terdapat nas bagi hukumnya. Dan dapat pula benar-benar
dipahami hukum-hukum yang telah diistinbathkan oleh para Imam Mujtahid. 6

Jadi, bila ilmu fikih bertujuan untuk memberi pelajaran, pengetahuan, atau petunjuk
tentang hukum; apa atau mana yang disuruh dan mana yang dilarang; mana yang boleh dan
mana yang tidak boleh; serta menunjukkan cara melaksanakan suatau perintah dan lainnya,
maka ushul fikih memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang sistem hukum dan metode
pengambilan hukum itu sendiri. Dengan ilmu ini (ushul fikih), diharapkan ummat Islam
terhindarkan dari taqlid, ikut pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya.

Uraian diatas bermakna bahwa kedua ilmu ini sangat penting artinya bagi ummat islam,
karena di satu pihak pertumbuhan nash telah terhenti sejak meninggalnya nabi, sementara di
pihak lain, akibat kemajuan sains dan tekhnolgi permasalahan yang mereka hadapi kian hari
kian bertambah.

Kenyataan menunjukan bahwa sains dan tekhnologi, tidak hanya membantu dan
membuat kehidupan manusia menjadi mudah, tetapi juga membaa masalah-masalah baru
yang memerlukan penanganan serius oleh para ahli dengan berbagai bidangnya. Penggunaaan
teknologi maju tiu, atau pergeseran nilai-nilai sosial sebagaiu akibat modernisasi, langsung
atau tidak langsung telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap praktik-praktik

5
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, Hlm. 6-7
6
Ibid, Hlm. 7
keagamaan (Islam). Hal ini, antara lain, dapat kita lihat pada perkawinan, warisan, dan
bahkan ibadah sekalipun.

Dalam hal ikhwal sekalipun misalnya, ditemui kasus-kasus baru seperti akad nikah
lewat telepon, penggunaan alat-alat kontrasepsi keluarga berencana, harta pencarian bersama
suami- istri, dan lain sebagainya. Secara tekstual jawaban untuk masalah-masalah seperti itu
tidak diketemui dalam kitab ataupun as-Sunnah. Namun, apakah mengenai hal ini Islam tida
mau bicara tentang persoalan tersebut sehingga permasalahan itu tidak masuk dalam hukum
Islam? Jawabannya tentu “TIDAK” karena Islam adalah agama yang benar-benar
representatif untuk semua bidang manusia, siapapun dan di mana pun mereka berada.Lalu
bagaimana memberi jawaban hukum tentang masalah di atas? Di sinilah peran ulama, para
ahli hukm Islam, dan para intelektualnya. Mereka dituntut untuk mencari kepastian hukum itu
dengan mengkaji dan meneliti nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah
secara cermat dan intens. Alat yang digunakan dalam usaha tersebut adalah ilmu ushul fiqih
atau ilmu fikih itu sendiri.

Hal lain yang perlu dipertanyakan juga adalah, apakah ke-2 ilmu ini hanya berguna
untuk para mujtahid dan ahli hukum saja? Jawabannya tentu “tidak”. Ia berguna bagi semua
orang Islam dalam mencari kepastian hukum bagi setiap masalah yang mereka hadapi yang
sekalipun tidak sampai ke tingkat mujtahid, mereka akan beramal secara taklid yang
diharapkan bisa mencapai tingkat mutabi, mengikuti pendapat para ahli dan mengetahui
alasan-alasannya.7

Secara sistematis, para ulama ushul fikih mengemukakan kegunaan ilmu ushul fikih,
yaitu antara lain untuk:

1. Mengetahui kaidah-kaidah dan cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh


hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2. Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid,
sehingga dengan tepat ia dapat menggali hukum-hukum syar’ dan nash. Di samping
itu, bagi masyarakat awam, melalui ushul fikih mereka dapat mengetahui bagaimana
para mujtahid menetapkan hukum sehingga dengan mantab mereka dapat
mempedomani dan mengamalkannya.

7
Alaiddin Koto, op.cit, Hlm. 11-12
3. Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtai,
sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada di nash, dan belum ada
ketetapan hukumnya pada ummat terdahuludapat ditentukan hukumnya.
4. Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi. Dalam
pembahasan ushul fikih, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasilijtihad,
statusnya tetap mendapat pengakuan syara’. Melalui uishul fikih juga para peminat
hukum Islam mengetahui mana hukum Islam yanmg asli dan harus dipedomani dan
mana yang merupakan hukum Islam yang bersifat skunder yang berfungsi untuk
mengembangkan syari’at sesuai dengan kebutuhan masyarakat Islam.
5. Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari
berbagai persoalan sosial yang terus berkembang.
6. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang
digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hukum Islam dapat melakukan
tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan
alasannya.8

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ilmu Fikih merupakan ilmu yang mempelajari bermacam-macam sari’at atau hokum
Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu, maupun
yang bersifat sosial.

Sedangkan untuk Ushul Fikih memiliki dua arti yang terkandung di dalamnya.

8
Nasrun Haroen, op.cit. Hlm. 6
Yang pertama, merrupaka suatu rangkaian kalimat yang terambil dari kalimat Ushul
dankalimat Fikih.

kedua, perkataan Ushul Fikih merupakan bagian suatu cabang atau disiplin ilmu
pengetahuan.

Jadi dapat dikatakan bahwa Ushul Fikih adalah suatu yang menjadi dasar atau pokok
darisesuatu, seperti asal dinding, artinya tepiny atau ujung uraatnya, yang tetap pada bumi.

Objek Ushul fikih berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam
menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik
dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah,
siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.

Tujuan akhir yang akan dicapai dalam ilmu Ushul Fikih adalah, menerapkan tentang
kaidah-kaidah dan pembahasannya terhadap dalil-dalil terperinci untuk mendatangkan hukum
syariat Islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Khallaf, Abdul Wahhab. 1989. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), Jakarta:
rajawali pers,

Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu fikih dan ushul fikih, Jakarta: Rajawali Pers,

You might also like