You are on page 1of 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia adalah lembaga negara yang telah
diberikan tugas dan wewenang tertentu oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
perjalanannya Undang-Undang Dasar 1945 telah diganti oleh beberapa konstitusi dan
kemudian kembali lagi kepada Undang-Undang Dasar 1945. Setelah tahun 1999 terjadi
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama, kemudian disusul yang kedua tahun
2000, ketiga tahun 2001 dan keempat tahun 2002. Pada Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat dicabut kekuasaannya untuk melaksanakan
kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat 2 Perubahan Undang-Undang Dasar 1945) kemudian tugas
dan wewenangnya pun berubah sesuai dengan pasal 3 ayat 1,2,3 Undang-Undang Dasar 1945
hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Pada Perubahan Keempat akhirnya
Majelis Permusyawaratan Rakyat diubah komposisinya menjadi anggota 2 lembaga negara
yaitu:Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (pasal 2 ayat 1).

Perubahan tugas dan wewenang tersebut mengubah struktur kelembagaan yang ada, tetapi
Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan suatu lembaga yang unik jika
diperbandingkan dengan lembaga negara di negara lain. MPR sebelum Perubahan UUD 1945
jika diperbandingkan dengan Kongres Rakyat Cina, ditemukan banyak kemiripan yang ada,
baik dalam hal lembaga maupun tugas dan wewenang. Akan tetapi setelah Perubahan UUD
1945, secara lembaga MPR tidak bisa dipersamakan dengan negara lain. Ada beberapa
kesamaan dalam tugas dan wewenang dengan negara lain, tetapi tetap secara lembaga tidak
bisa dipersamakan dengan negara lain. Dalam tugas dan wewenang MPR harus diatur lebih
jelas lagi mengenai apa yang dimaksud tugas dan wewenang. Ada beberapa tugas dan
wewenang MPR dalam UUD yang harus diatur dengan jelas untuk menghindari kesalahan
dalam bernegara. Dan MPR sebaiknya diubah menjadi suatu forum bukan suatu lembaga
yang aktif karena tugas dan wewenang MPR tidak memerlukan suatu lembaga negara.

B. Pokok Permasalahan
Analisis Pasal 3 UUD 1945 1
Berdasarkan atas latar belakang yang telah dipaparkan, adapun perumusan yang diangkat
dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana Tugas dan Wewenang MPR setelah Amandemen UUD 1945 dan
perbandingannya sebelum dan sesudah amandemen berkaitan dengan Pasal 3 UUD 1945?

2. Adakah Undang-undang yang atau Perpu maupun Kepres yang berkaitan dengan
Pasal tersebut?

3. Bagaimana praktek di masyarakat dan sanksinya berkaitan dengan Pasal 3 UUD 1945
tersebut?

C. Tujuan Penelitian Masalah

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan laporan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Politik

2. Untuk mengetahui tujuan dan sasaran dibuatnya Pasal 3 UUD 1945

3. Untuk menganalisis UU yang terkait dengan Pasal 3 UUD 1945

D. Metode Penelitian

Metode penulsian yang penulis gunakan dalam laporan ini berjudul ”ANALISIS PASAL 3
UUD 1945” ini adalah berupa penelitian kepustakaan dan menggunakan pendekatan analisis
sintesis. Metode penelitan ini dilakukan melalui pendekatan Yuridis Normatif dengan
menggunakan data sekunder maupun data primer. Metode yuridis normatif dilakukan melalui
studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder, baik yang berupa perundang-
undangan maupun hasil-hasil penelitian, hasil pengkajian dan referensi lainnya.

Analisis Pasal 3 UUD 1945 2


BAB II

ISI

A. Landasan-Landasan Peraturan Negara

Ada tiga dasar atau landasan dalam rangka pembuatan segala peraturan, pada tiap jenis dan
tingkat, misalnya UU, Perpu, Perpem, Perda, SK, Instruksi, dan sebagainya yaitu :

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita
sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau
draft peraturan negara. Misalnya Pancasila yang menjadi dasar filsafat perundang-undangan.
Landasan Filosofis memuat pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita
moral yang luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia yang
termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Dalam hal pasal 3 UUD 1945 yang menjadi landasan filosofisnya adalah Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945.

Aturan Peralihan terdiri dari pasal 1 sampai dengan pasal IV isinya adalah sebagai berikut:

a. Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan


kepindahan pemerintahan kepada pemerintah Indonesia.

b. Segala badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar itu.

c. Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.

d. Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan


Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.

Analisis Pasal 3 UUD 1945 3


2. Landasan Yuridis

Landasan yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtgrond) bagi

pembuatan suatu peraturan. Misalnya UUD 45 menjadi landasan yuridis bagi pembuatan

undang-undang organik. Landasan yuridis dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Landasan yuridis dari segi formil, yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan
(bevoegdheid) bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu.

b. Landasan yuridis dari segi materil, yaitu landasan yuridis untuk segi sisi (materi)
yakni dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, misalnya, pasal 18 UUD 1945
menjadi landasan yuridis dari segi materil untuk membuat UUD organik mengenai
pemerintahan daerah.

Landasan Yuridis Memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada
kaitannya dengan judul Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada
dan masih berlaku (hukum positif). Yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan
pada landasan yuridis adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam hal UUD 1945 yang menjadi landasan yuridisnya adalah:


a) Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
b) Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
c) Mempertegas sistem presidensiil
d) Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukan ke dalam pasal-
pasal
e) Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”
f) Kesepakatan Dasar
g) Sidang Umum MPR 1999 - Tanggal 14-21 Okt 1999
h) Sidang Tahunan MPR 2000 - Tanggal 7-18 Agt 2000
i) Sidang Tahunan MPR 2001 - Tanggal 1-9 Nov 2001
j) Sidang Tahunan MPR 2002 - Tanggal 1-11 Agt 2002

Analisis Pasal 3 UUD 1945 4


3. Landasan Sosiologis

Landasan Sosiologis Memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-ekonomi-politik


yang berkembang di masyarakat yang mendorong perlu dibuatnya Naskah Akademik.
Landasan/alasan sosiologis sebaiknya juga memuat analisis kecenderungan sosiologis-
futuristik tentang sejauh mana tingkah laku sosial itu sejalan dengan arah dan tujuan
pembangunan hukum nasional yang ingin dicapai.

4. Landasan Konstitusional

a) Latar Belakang Perubahan


b) Menyempurnakan aturan dasar mengenai:
c) Tatanan negara
d) Kedaulatan Rakyat
e) HAM
f) Pemisahan kekuasaan
g) Kesejahteraan Sosial
h) Eksistensi negara demokrasi dan negara hukum
i) Hal-hal lain sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa

Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan adalah dimaksudkan untuk


memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat” suatu peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan
untuk memberikan sign bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk merupakan
penjabaran dari Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang dicantumkan juga dalam dasar hukum “mengingat” suatu Peraturan Perundang-
undangan yang (akan) dibentuk. Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-
undangan ini kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans “menimbang” dan
dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan
dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan kalau kurang
jelas.

Penjabaran Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dalam


konsiderans “menimbang” dan dalam Batang Tubuh (pasal dan/atau ayat) disesuaikan dengan
keinginan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) sebagai kebijakan/politik hukum
Analisis Pasal 3 UUD 1945 5
(legal policy) namun harus tetap dalam pemahaman koridor konstitusional yang tersurat
maupun tersirat. Semuanya ini melalui metoda penafsiran. Kalau terjadi perbedaan penafsiran
antara pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) dengan Mahkamah Konstitusi
terhadap pasal (-pasal) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dijabarkan dalam suatu undang-undang maka yang dimenangkan adalah penafsiran yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir akhir konstitusi (the
guardian/last interpreter of the constitution).

Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan menjadi penting dengan


adanya lembaga negara dalam Kekuasaan Kehakiman yang diberikan wewenang oleh
konstitusi untuk menguji (judicial review) peraturan perundang-undangan yang secara
eksplisit dimuat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen. Dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mahkamah Agung diberikan kewenangan menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Kewenangan konstitusional semacam ini sebenarnya pernah dimuat juga dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (KRIS 1949). Namun dalam Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) maupun dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tidak ada kewenangan konstitusional semacam ini yang
diberikan kepada Mahkamah Agung. Kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung hanya
didasarkan undang-undang, jadi bukan kewenangan konstitusional (vide Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
sekarang telah diganti dengan UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004).

Dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pasca amendemen Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan konstitusional semacam ini belum pernah ada sebelumnya. Barulah dalam
rangka pelaksanaan faham/sistem ”Supremasi Konstitusi” di Era Reformasi dan pelaksanaan
sistem checks and balances dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pasca amendemen, dengan semangat dan jiwa baru, kini suatu undang-undang dapat

Analisis Pasal 3 UUD 1945 6


diuji secara judicial (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar, yang selama kurang
lebih 55 tahun usia Republik Indonesia suatu undang-undang tidak dapat diganggu-gugat.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra amendemen
memang tidak diatur mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
sehingga timbul kesan pemahaman yang sama dengan hukum dasar yang diatur dalam KRIS
1949 dan UUDS 1950 bahwa undang-undang tidak dapat diganggu-gugat (de wet is
ondschendbaar) sebagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) KRIS 1949 dan Pasal 95 ayat
(2) UUDS 1950.

Sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2001) di Era Reformasi, undang-undang juga dapat
diuji terhadap Undang-Undang Dasar. Namun pengujiannya bukanlah pengujian secara
judicial melainkan pengujian secara legislatif atau secara politis (legislative/Political Review)
karena yang mengujinya adalah lembaga politik atau lembaga legislatif yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. TAP
MPR ini sebagai pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.

Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan konstitusional


menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan kewenangan Mahkamah Agung
yang semula didasarkan kepada undang-undang sekarang diangkat ke dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi kewenangan konstitusional untuk
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
pemahaman landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan
menjadi suatu conditio sine quanon bagi para Perancang dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya menyusun/membuat peraturan perundang-undangan agar peraturan perundang-
undangan tersebut tidak mudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah
Agung. Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan untuk:

Undang-Undang Dasar (UUD) adalah Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945

Analisis Pasal 3 UUD 1945 7


B. Pengertian UUD 1945

SISTEMATIKA UUD 1945UUD 1945 terdiri dari (1) Pembukaan , (2) Pasal-pasal sebanyak
37 buah, (3) Aturan peralihan sebanyak 4 nomor dan (4) Aturan tambahan sebanyak 2
nomor.

Undang-undang DASAR (UUD) adalah ketentuan dasar yang mengatur organisasi


pemerintahan Negara sedangkan GBHN adalah ketentuan-ketentuan dasar yang mengatur
garis-garis poltik baik politik dalam negeri maupun politik luar negeri.

UUD adalah konsep dasar pengelolaan yang dikenal dalam sistem nasional Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum
yang paling mendasar, hukum tertinggi yang mengandung nilai asas dan norma yang harus
dipatuhi, dijunjung tinggi, dan dilaksanakan dalam setiap pengambilan keputusan dan/atau
kebijakan hukum, baik oleh pemerintah, legislatif, dan badan-badan yudisial, serta rakyat
pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum nasional yang hendak dibangun dan
pelaksanaannya dalam bentuk politik hukum nasional, harus tetap dijaga dan dipertahankan
semangat dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam dasar falsafah negara Pancasila
yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan seluruh batang tubuhnya sebagai landasan
falsafah dan konstitusional negara.

UUD adalah landasan fundamental bagi kehidupan hukum suatu negara, sehingga perubahan
sekecil apapun akan berimbas besar baik terhadap berbagai produk hukum maupun
mekanisme ketatanegaraan. Oleh karena itu apabila akan dilakukan perubahan, harus
dilakukan dengan sangat hati-hati dengan dilandasi oleh alasan-alasan rasional logis.

Setelah UUD 1945 berlangsung selama 4 tahun diganti dengan Konstitusi RIS pada tahun
1949, kemudian diganti lagi dengan UUDS 1950. Pada masa UUDS 1950 terselenggara
pemilihan umum pada tahun 1955 untuk memenuhi amanat masyarakat dalam Undang-
Undang Dasar. Hasil pemilihan umum tersebut melahirkan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat, dan terbentuk Konstituante yang bertugas membuat
UUD. Setelah bersidang selama beberapa tahun Konstituante dibubarkan oleh Presiden
Sukarno secara sepihak. Setelah itu dimulailah periode kembali ke UUD 1945 ditandai
dengan Dekrit Presiden tahun 1959.
Analisis Pasal 3 UUD 1945 8
C. Penjelasan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang diposisikan


“tertinggi” karena dianggap representasi dari kedaulatan rakyat adalah badan yang dianggap
memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini didasari pula pada ketetentuan
pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “untuk melakukan perubahan UUD ditentukan
dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang hadir”. Ditambah ketentuan lain yang terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa
tugas dari MPR adalah menetapkan UUD, disamping memilih dan menetapkan Presiden dan
Wapres serta membuat GBHN.

Sepanjang reformasi dalam sidang-sidangnya, MPR telah mengubah UUD 1945 sebanyak
dua kali. Pertama dalam Sidang Umum tahun 1999, sedangkan perubahan selanjutnya yang
kedua dilakukan dalam Sidang Tahunan 2000. Pada perubahan yang pertama, MPR
mengubah 9 pasal UUD 1945 yang berkenaan dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif
serta pembatasan masa jabatan eksekutif (presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua,
MPR tidak hanya mengubah tapi juga menambah muatan materi yang terkandung
didalamnya. Perubahan dan penambahan itu menyangkut soal wilayah negara, warga negara
dan penduduk, hak asasi manusia, kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah),
Pertahanan dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan.

Diakui bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan
dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang
mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam konstitusi. Selain
itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi eksekutif (presiden), telah
mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy. Dan sebagai perimbangannya
diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai upaya untuk memberdayakan
legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol terhadap eksekutif. Perubahan ini
berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini dengan sangat kuatnya
eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga “tidak ada” kontrol sama sekali dari DPR
terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif
dan tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan
akibat-akibat seperti yang dialami saat ini.

Analisis Pasal 3 UUD 1945 9


Dengan penambahan kewenangan kepada DPR, terutama dalam soal fungsi legislasi dan
pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi pergeseran bandul politik ke arah legislatif.
Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas sistem pemerintahan
yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model pemerintahan yang dianut negara-
negara demokrasi lainnya, antara sistem pemerintahan presidensiil atau parlementer.
Indonesia dikategorikan menganut sistem percampuran (quasi) antara keduanya berdasarkan
distribusi kekuasaan bukan atas dasar pemisahan kekuasaan. Sistem dengan pencampuran
semacam nampaknya akan masih menyisakan persoalan-persoalan, jika dikaitkan dengan
kejelasan masing-masing hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta relasi (check
and balances). Perubahan dan penambahan kewenangan kepada DPR itu nampaknya hanya
memindah masalah baru dan memperpanjang krisis politik, karena tidak berangkat dari
kerangka dasar disertai pemahaman yang jelas. Kesemuanya masih menggantung, apalagi
perubahan itu juga tidak dilakukan secara bersamaan, masih menyisakan soal yudikatif
(kekuasaan kehakiman yang mandiri) yang belum diubah yang selama ini juga tidak lepas
dari dominasi eksekutif.

Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai
lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis, karena
perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga legeslatif. MPR yang
dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol
terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun telah
ada pemikiran dan kehendak dari masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran
MPR ---terkait dengan keinginan pemilihan presiden secara langsung --- menjadi sistem
bikameral atau meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum
menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.

Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah memutuskan
untuk tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Konsep Negara
Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis memang
terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu tidak berangkat dari
kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan publik yang rasional.

MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak mempertanyakan kembali
esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima sesuatu yang diluar kehendak dan
pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik itu telah dipenjara secara politis oleh MPR.
Analisis Pasal 3 UUD 1945 10
Dalam soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara kesatuan
dan ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari sentralisasi dan
eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan. Sedangkan penetapan sistem
pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih ada unsur-unsur pemerintahan
parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan kalau mau jujur saat ini model
pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh kearah parlementarian.

Terhadap soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup rasional
diterima publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan terhadap
para pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya negara kalau itu
diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan1. Sesungguhnya
kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena secara
historis para founding fathers yang merumuskan pembukaan itu juga telah mengubahnya
dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan pembukaan itu
ternyataa tidak menyebabkan bubarnya negara. Dengan “ditutupnya” ruang publik untuk
dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan akan tetap
menimbulkan persoalan dikemudian hari. Ibaratnya seperti bom waktu yang setiap saat bisa
meledak, tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara kesatuan
bisa muncul sewaktu-waktu.

Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945 baik yang
pertama ataupun kedua tidak menunjukkan perubahan yang mendasar bagi bangunan negara
Indonesia yang demokratis kedepan. Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala
sumber hukum dan sebagai kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan posisi
serta hubungan lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif, juga pemerintahan yang bersifat
desentralistik, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 belum memberikan jaminan soal itu.
Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945 belum menjadikan identitas nasional baru yang
sesuai dengan kebutuhan, aspirasi dan semangat yang berkembang saat ini.

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebelum Perubahan UUD 1945.

Permusyawaratan, dengan mengutip surat Assyura ayat 38 yang artinya: “ Dan bagi orang-
orang yang beriman, mematuhi seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan

Analisis Pasal 3 UUD 1945 11


mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan menafkahkan sebagian rezeki
yang Kami berikan kepada mereka”. Demikian juga prinsip musyawarah ini diterapkan
sesudah zaman Nabi yang dasarnya ialah bersatu untuk bermufakat, menurut perpaduan adat
dengan perintah agama. Dalam konteks ini Muh. Yamin menampakkan bahwa musyawarah
yang dimaksudkan untuk Indonesia, ialah musyawarah yang bersumber dari hukum Islam dan
Adat. Hal tersebut merupakan perpaduan konsepsi yang paling berpengaruh di Indonesia.
Hukum Islam dalam hal ini diilhami oleh Al Quran, sedangkan adat diilhami oleh kondisi
bangsa Indonesia, yang hukum aslinya ialah hukum adat.

a) Perwakilan: Dasar Adat yang mengharuskan perwakilan-perwakilan sebagai ikatan


masyarakat di seluruh Indonesia. Perwakilan sebagai dasar abadi dari tata negara. Dan
dilakukan oleh seluruh Murba dalam masyarakat yang kecil dan dengan perantaraan
perwakilan dalam susunan Negara

b) Kebijaksanaan: Rationalisme; perubahan dalam adat dan masyarakat keinginan


penyerahan; Rationalisme sebagai dinamik masyarakat.

Unsur-unsur yang dipakai dalam merumuskan sedikit banyak mirip dengan Majelis Syura
dalam agama Islam. Hal ini tidaklah aneh karena sebelum diubah pada tanggal 18 Agustus
1945, ada beberapa pasal yang memuat tentang agama Islam misalnya pasal 6 dan pasal 29.

Dalam masa setelah disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang


Dasar negara. Maka Undang Undang Dasar ini menjadi suatu pedoman bernegara yang
dipakai oleh seluruh lembaga negara yang ada di Republik Indonesia.

Setelah kemerdekaan maka lembaga atau fungsi yang baru dibentuk adalah fungsi eksekutif.
Fungsi tersebut direpresentasikan dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden dan
kabinetnya untuk menjalankan kekuasaan secara sementara.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pun tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD
yaitu dipilih oleh PPKI. Tetapi hal ini bisa diatasi dengan adanya Aturan Peralihan dalam
UUD 1945.

Aturan Peralihan terdiri dari pasal 1 sampai dengan pasal IV isinya adalah sebagai berikut:

Analisis Pasal 3 UUD 1945 12


a) Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan
kepindahan pemerintahan kepada pemerintah Indonesia.

b) Segala badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar itu.

c) Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.

d) Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan


Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.

Apa yang dinyatakan oleh Aturan Peralihan ini telah dilaksanakan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Terkecuali pasal IV
Aturan Peralihan yang baru terbentuk 1 tahun kemudian. Dan selama 4 tahun Pemerintah
belum bisa mengadakan Pemilihan Umum untuk memilih warga negara terpilih yang berhak
duduk dalam DPR. Apabila DPR belum terbentuk maka otomatis MPR pun tidak terbentuk
sehingga representasi dari lembaga perwakilan sementara dipindahkan kepada Komite
Nasional Indonesia Pusat. Hal ini terkandung dalam maklumat Wakil Presiden No X tahun
1946, “Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis
Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari
berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih
diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat”.

Hal ini merupakan inisiatif yang diambil pemerintah dari amanat dari Pasal IV Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut berbunyi “Sebelum Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung
dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden
dengan bantuan sebuah komite Nasional”. Sampai tahun 1949 Indonesia belum memiliki
kelengkapan negara yang diminta oleh UUD 1945. Dan berlangsung sampai Undang-Undang
Dasar tahun 1945 diganti oleh Konstitusi RIS 1949

2.1. Konstitusi RIS

Analisis Pasal 3 UUD 1945 13


Pada tahun 1949 Konstitusi RIS berlaku dan UUD 1945 tidak berlaku sebagai UUD. Rencana
Konstitusi Republik Indonesia Serikat disiapkan oleh kedua delegasi Indonesia dan
pertemuan untuk Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) selama
sidang-sidang Konferensi Meja Bundar. Pada Desember 1949 setelah disetujui oleh Sidang
Pleno Komite Nasional Pusat dan badan-badan perwakilan dari daerah-daerah bagian
lainnya. Wakil Pemerintah Republik Indonesia dan wakil-wakil Pemerintah Daerah
menyetujui Konstitusi 1949 tersebut. Dengan catatan bahwa Konstitusi RIS merupakan
konstitusi sementara sama halnya dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Konstitusi RIS ini maka lembaga-lembaga negara yang ada adalah: Presiden, Menteri-
menteri, Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung Indonesia dan Dewan
Pengawas Keuangan. Yang menjalankan fungsi lembaga perwakilan adalah Senat dan Dewan
Perwakilan Rakyat.

2.2. UUDS 1950

Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen Republik Indonesia Serikat menerima baik Rencana
Undang-Undang Dasar dengan kelebihan suara besar dalam kedua majelis. Pada tanggal 15
Agustus 1950 UUD ini ditanda tangani oleh Presiden dan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia dan diundangkan sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Bentuk
Negara Kesatuan dalam Negara Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia dipulihkan
kembali pada tanggal 17 Agustus 1950 dan Undang-Undang Dasar 1950 mulai berlaku pada
hari yang sama.

Jika dalam Konstitusi RIS 1949 kedaulatan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan
DPR dan Senat. Maka pelaku kedaulatan menurut UUDS 1950 adalah pemerintah bersama-
sama dengan DPR. Sedangkan dalam UUD 1945, kedaulatan Rakyat itu dilakukan
sepenuhnya oleh MPR.

Dalam UUDS 1950 alat kelengkapan negara hampir sama dengan Konstitusi RIS akan tetapi
berkurang dengan dihapuskannya Senat. Hal ini terjadi karena Indonesia berubah menjadi
Negara Kesatuan kembali. Dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang fungsi
pengawas dan perwakilan rakyat.

Adanya suatu forum/sidang pembuat Undang-Undang Dasar baru dalam Undang-Undang


Dasar Sementara 1950 merupakan suatu hal yang menarik. Karena forum yang bernama
Analisis Pasal 3 UUD 1945 14
Konstituante ini diberikan kewenangan membuat Undang-Undang Dasar baru. Dan sifatnya
adalah sementara karena jika tugas sekaligus wewenangnya telah selesai dilaksanakan maka
forum Konstituante ini berakhir.

2.3. Kembali ke UUD 1945

Semenjak tanggal 5 Juli 1959 Indonesia kembali kepada UUD 1945 dengan adanya Dekrit
Presiden 1959. Dasar hukum dekrit ini adalah staatsnoodrecht (hukum tata negara dalam
keadaan darurat). Pembubaran ini dilakukan secara sepihak oleh Presiden Republik
Indonesia. Karena sampai tahun 1959 Undang-Undang Dasar baru belum terbentuk.

Hal ini sama dengan pendapat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Baru yang
dapat dibaca dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No
XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru diatas, adalah untuk membedakan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara pada masa 1965 yang juga disebut masa Orde Lama
yang dianggap kurang mencerminkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni
dan konsekwen. Sebab sesudah gagalnya Gerakan 30 September 1965, maka semboyan untuk
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen dimulai oleh Orde
Baru.

Sesudah kembali kemasa Orde Baru maka dapat dilihat berbagai konsep yang dijalankan
oleh Pemerintahan Orde Baru sesuai menurut UUD 1945. Dengan ditegaskannya bahwa
MPR adalah suatu lembaga negara tertinggi dan sebuah lembaga yang berwenang untuk
menjalankan kedaulatan rakyat. Sehingga MPR menjelma sebagai sebuah lembaga negara
yang mempunyai kewenangan yang sangat besar hampir sama dengan rumusan awal dalam
pembicaraan para founding fathers untuk menyusun UUD 1945. Wewenang yang sangat
besar tersebut harus membuat lembaga ini berdaya dalam mewujudkan kedaulatan warga
negara yang diwakilinya.

Menurut Bagir Manan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak memegang kedaulatan negara melainkan sepenuhnya
kedaulatan rakyat. Karena ada perbedaan mendasar antara paham kedaulatan negara dan
rakyat. Kedaulatan negara mengkonstruksikan negara mempunyai kehendak sendiri terlepas
dari kehendak rakyat. Kehendak negara adalah tertinggi akan menuju pada sistem totaliter

Analisis Pasal 3 UUD 1945 15


bukan menuju kepada kedaulatan rakyat (democracy). Untuk mempelajari konsep MPR dapat
dilihat dari sistem perekrutan anggota. Dan hal ini dapat kita pelajari dari 3 cara:

a) Mempelajari kembali pembicaraan-pembicaraan yang terjadi di BPUPKI dan


PPKI( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)

b) Menghubungkan pasal 2 ayat 1 dengan pasal 1 ayat 2 UUD 1945.

c) Mempelajari sistem pemerintahan yang dianut oleh Undang-Undang Dasar


1945.

Semenjak Orde Baru dimulailah suatu konsep lembaga MPR yang pemilihan anggotanya
sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Dalam perekrutan anggota semenjak tahun 1971
diadakan Pemilihan Umum yang memilih anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR. Dan setelah
itu akhirnya terpilihlah anggota MPR yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Walaupun dalam perekrutan anggota MPR setelah tahun 1973 anggotanya MPR yang
diangkat 60 persen. Dan anggota DPR ada juga yang diangkat, maka hal ini dianggap
inkonstitusional oleh Prof. Dr. Ismail Suny.

3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sesudah Perubahan UUD 1945

Pada tahun 1998 telah terjadi peristiwa yang mengubah tatanan ketatanegaraan Republik
Indonesia dengan mundurnya Presiden Soeharto menurut pasal 8 UUD 1945. Walaupun ada
yang beranggapan pergantian tersebut tidak sesuai dengan bunyi pasal 8 UUD 1945.
Walaupun pada akhirnya dianggap sah pengunduran diri tersebut.

Setelah itu terjadilah Pemilihan Umum tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik
akhirnya terbentuklah anggota DPRD, DPR dan anggota MPR baru. Dan pada Sidang
Tahunan 1999 maka UUD 1945 diubah dengan Perubahan I UUD 1945 terutama pasal
mengenai masa jabatan presiden, sehingga diharapkan tidak terjadi hal-hal yang ada dimasa
lalu mengenai jabatan Presiden RI. Dan juga mengenai beberapa kewenangan Presiden yang
dialihkan dan dibantu oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Kemudian pada tahun 2000, Undang-Undang Dasar 1945 kembali diubah. Perubahan
Undang-Undang Dasar ini lebih menekankan pada Hak Azasi Manusia, yang menjadi
konsentrasi pembahasan untuk dimuat pada saat itu.

Analisis Pasal 3 UUD 1945 16


Tahun 2001 kembali terjadi perubahan Undang-Undang Dasar melalui Sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Perubahan III Undang-Undang Dasar 1945 pun disahkan dengan
menekankan pada perubahan kedaulatan rakyat. Dalam UUD 1945 sebelum Perubahan UUD
1945 dinyatakan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat diubah menjadi kedaulatan ada ditangan rakyat dan
dijalankan oleh Undang-Undang Dasar. Perubahan ini sangatlah penting karena, perubahan
inilah yang menjadi dasar untuk mereduksi kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dan perubahan ini menjadi pijakan untuk Perubahan IV UUD 1945.

Dengan demikian sebagai Konstitusi yang baik seharusnya Undang-Undang Dasar 1945
sesuai dengan karakteristik yang disebut diatas. Perubahaan Undang-Undang Dasar 1945,
bertujuan untuk mencapai karakteristik perjanjian sosial antara negara dengan masyarakat.
Dan perubahan tersebut membawa dampak yang sangat besar bagi Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagai lembaga perwakilan.

3.1. Tugas dan Wewenang MPR Sebelum Perubahan UUD 1945

MPR sebagai suatu lembaga negara merupakan badan yang merupakan pelaksana kedaulatan
rakyat di Republik Indonesia sebelum diadakan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah diadakan perubahan maka terjadilah perubahan pada Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia. MPR sebagai lembaga penjelamaan seluruh rakyat Indonesia,
dan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang sama kedudukannya dengan
negara lain.

Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tugas dan wewenang MPR dicantumkan
dalam UUD 1945 dan juga TAP MPR. Sedangkan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar
1945 maka tidak ada lagi pengaturan tugas dan wewenang yang diatur dalam Ketetapan
MPR. Setelah satu tahun berjalan disahkanlah undang-undang tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD baru dijelaskan tugas dan wewenang MPR.

3.1.1. Tugas MPR Sebelum Perubahan UUD 1945

Analisis Pasal 3 UUD 1945 17


Tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat sebelum Perubahan UUD 1945 ada didalam pasal 3
dan pasal 6 UUD 1945 serta pasal 3 Ketetapan MPR No. 1/MPR/ 1983, dan dinyatakan
sebagai berikut:

a) menetapkan Undang Undang Dasar

b) menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

c) memilih (dan mengangkat) presiden dan wakil Presiden.

Dalam tugas MPR ini dapat dipelajari bahwa tugas MPR sebagai suatu lembaga negara
meliputi tiga. Tugas ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai lembaga
pemegang kedaulatan Rakyat dalam UUD 1945 maka MPR mempunyai tugas yang besar
yaitu membuat Undang-Undang Dasar. Dan tugas inilah yang pada masa sebelum Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah dilaksanakan oleh Majelis Permusyawatan
Rakyat.

Dalam amanat sidang BPUPKI yang para founding fathers menyatakan bahwa Undang-
Undang Dasar 1945 adalah Undang Undang Dasar kilat. Perlu diadakan Undang-Undang
Dasar baru yang lebih baik dan jika negara dalam keadaan aman. Hal ini dapat kita lihat
dalam pidato dari ketua PPKI Ir. Soekarno yang mengatakan:

“… tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa Undang Undang Dasar yang (kita)
buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya
memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau telah
bernegara didalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan
kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang
Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.

Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar


sementara. Undang- Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula,
inilah revolutie-grondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih
sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh tuan-tuan, agar supaya kita
ini hari bisa selesai dengan Undang-Undang Dasar ini. “

3.1.2. Wewenang MPR Sebelum Perubahan UUD 1945

Analisis Pasal 3 UUD 1945 18


Sedangkan wewenang MPR menurut Prof Sri Soemantri bahwa jika diteliti dalam UUD 1945
maka Undang Undang Dasar 1945 hanya mengatur satu wewenang saja, yaitu dalam pasal
37. Dan setelah adanya ketetapan MPR No. 1/MPR/1983 dapat kita lihat bahwa wewenang
MPR tidak hanya itu saja. Dalam pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR
No 1/MPR/1983 kewenangan MPR ada sembilan, yaitu:

a) membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain,
termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya
ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
b) Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
c) Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.
d) Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan
Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
e) Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam
masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan
Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
f) Mengubah undang-Undang Dasar.
g) Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
h) Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
i) Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji
anggota.
Ada satu kewenangan yang sudah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 akan
tetapi lebih sering disebut dengan kekuasaan atau kedaulatan. Dalam pasal 1 ayat 3
disebutkan bahwa ”Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut Power
merupakan Great Authority, atau dapat diartikan sebagai kewenangan yang sangat
besar/terbesar. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa Undang-Undang Dasar di negara lain
seperti Cina, Venezuela dan Amerika Serikat yang menggunakan kata power sebagai
kewenangan lembaga negaranya.

3. 2. Tugas Dan Wewenang MPR Yang Diatur Dalam UUD Sesudah Perubahan UUD
1945.

Analisis Pasal 3 UUD 1945 19


Tugas dan wewenang Majelis Permusyaratan Rakyat tidaklah banyak berkurang setelah
perubahan UUD, akan tetapi dampaknya sangat besar terhadap lembaga MPR. Karena
Majelis Permusyawaratan Rakyat kedudukannya sama dengan dengan lembaga negara yang
lain. Hal yang sangat mendasar adalah dicabutnya kewenangan MPR dalam hal
melaksanakan kedaulatan rakyat dan dicabutnya tugas untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat tidaklah lagi menjadi lembaga tertinggi
negara.

3.2.1. Tugas MPR Sesudah Amandemen UUD 1945

Dalam Perubahan UUD 1945, tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat
berubah. Dengan berubahnya konsep lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat maka
berubah pula beberapa tugas dan wewenangnya. Tugas MPR setelah Amandemen UUD
1945 adalah

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Pasal
3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945).

2. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis


Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal I
Aturan Tambahan Perubahan ke IV UUD 1945).

Ad. 1. Tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal ini adalah tugas formal atau
upacara yang harus dilakukan jika telah dipilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan
Umum. Tugas MPR ini merupakan konsekuensi dari Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
yang mewajibkan Pemilihan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
oleh rakyat. Melantik bukanlah wewenang dari MPR karena jika telah dipilih Presiden dan
Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum, maka kewajiban dari MPR adalah melantik
Presiden dan Wakil Presiden RI. Seharusnya dijelaskan secara tegas mengenai kewajiban ini
sehingga tidak menimbulkan beberapa interprestasi yang menyimpang seperti jika Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak mau melantik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih
dalam pemilihan langsung oleh rakyat maka konsekuensinya bagaimana, apakah sah atau
tidak Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan jika tidak ada yang mengesahkan maka
Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan cacat hukum karena belum dilantik oleh lembaga

Analisis Pasal 3 UUD 1945 20


yang berwenang yang diberi kekuasaan untuk melantik. Dan apakah Majelis
Permusyawaratan Rakyat melanggar Undang-Undang Dasar jika tidak mau melantik Presiden
dan Wakil Presiden terpilih.

Ad.2. Tugas Majelis melakukan peninjauan materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan
MPR merupakan tugas sementara yang dibebankan kepada MPR oleh Undang-Undang
Dasar. Pasal I Aturan Tambahan menyatakan bahwa MPR harus “melakukan peninjauan
terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”. Sementara disini terletak pada kalimat akan diambil
putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003, jika telah diambil
putusannya maka tugas ini berakhir dengan sendirinya.

Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat disimpulkan tugas Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak dijelaskan secara jelas. Apakah ketentuan tersebut tugas atau
bukan tapi secara definitif, tugas adalah kewajiban atau sesuatu yang wajib dikerjakan atau
ditentukan untuk dilakukan.

3.2.2. Wewenang MPR Sesudah Perubahan UUD 1945

Sedangkan wewenang Presiden RI dalam UUD 1945 maka bisa disimpulkan sebagai berikut:

1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-


Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 1 Perubahan Ke III UUD 1945).

2) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 ayat 3 Perubahan ke III UUD
1945).

3) Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau
Wakil Presiden sebagaimana mestinya. ( Pasal 8 ayat 3 Perubahan Keempat).

Ad. 1.Wewenang MPR ini merupakan suatu hal yang telah diatur sebelum Perubahan dan
sesudah Perubahan UUD 1945. Tetapi sebelum Perubahan UUD 1945 hal ini merupakan
tugas dari MPR seperti yang diamanatkan dalam pasal 3 UUD 1945. Dan alasan ini diperkuat
oleh pasal 2 Aturan Tambahan UUD 1945. Pasal ini menyatakan jika telah berhasil diadakan
Pemilihan Umum dan terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka MPR harus

Analisis Pasal 3 UUD 1945 21


bersidang untuk membuat Undang-Undang Dasar baru. Setelah perubahan UUD 1945 tugas
menetapkan UUD termasuk dalam wewenang MPR. Karena dalam UUD 1945 tidak ada
aturan yang mewajibkan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk melakukan penggantian
Undang-Undang Dasar baru. Karena wewenang atau wenang adalah hak dan kekuasaan
(untuk melakukan sesuatu). MPR apabila merasa perlu mengganti Undang-Undang Dasar
maka dapat melakukannya. Jika tidak perlu maka tidak ada larangan untuk tidak
melakukannya.

Ad.3. Kewenangan ini dilakukan jika telah terpenuhi syarat untuk memberhentikan Presiden
dan Wakil Presiden dalam UUD 1945 setelah Perubahan. Wewenang dilakukan melalui
proses yang lama dan dilaksanakan oleh beberapa lembaga negara. Untuk memberhentikan
Presiden harus melalui pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang telah meminta putusan dari
Mahkamah Konstitusi (pasal 7B Perubahan UUD 1945). Secara kedudukan maka MPR
telah sama dengan lembaga negara yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan
lembaga tinggi Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga
Negara yang lebih tinggi dari yang lain.

Menurut Dr. Maria Farida, semua lembaga negara yang mengeluarkan produk peraturan
perundang-undangan maka kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga Negara yang mengeluarkan peraturan yang
lebih tinggi. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga Negara yang lebih
tinggi dari lembaga Negara yang lain. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
tetap mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang
Dasar. Hal ini berarti secara Ilmu Perundang-undangan lembaga Majelis Permusyawaratan
Rakyat lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain.

3.2.3. Tugas Dan Wewenang MPR Sesudah Undang-Undang Susunan Dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD Dan DPRD

Tugas Dan Wewenang yang dijelaskan diatas adalah Sesudah Perubahan Keempat Undang-
Undang Dasar 1945. Tugas dan wewenang ini sebelum adanya undang-undang tentang
susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Analisis Pasal 3 UUD 1945 22


Pada tanggal 9 Juli 2003, telah disetujui undang-undang mengenai susunan dan kedudukan.
Dan dalam undang-undang tersebut telah diatur mengenai tugas dan wewenang MPR, sebagai
berikut:

a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;


b. melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum, dalam
Sidang Paripurna MPR;
c. memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di
dalam Sidang Paripurna MPR;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam
waktu enam puluh hari;
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan
dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan
Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh
hari;
g. menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.

Tidak dijelaskan apa dan bagaimana perbedaan antara tugas dan wewenang Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Hal ini seharusnya dapat dihindari karena perbedaan akibat dari
kedua kalimat tersebut sangatlah besar. Karena tugas mengandung kewajiban yang harus
dilaksanakan. Sedangkan wewenang mengandung hak dan kekuasaan (lihat definisi
operasional), sehingga perlu dipilah kembali mana yang merupakan tugas dan wewenang
MPR.

3.2.3.1. Tugas MPR Setelah Undang-Undang Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR,
DPR Dan DPRD

Jika dipilah maka tugas MPR dalam undang-undang susunan dan kedudukan adalah:

Analisis Pasal 3 UUD 1945 23


1. melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum, dalam
Sidang Paripurna MPR.

Melantik adalah tugas dari MPR. Karena melantik merupakan suatu kewajiban berdasarkan
suara rakyat yang ada melalui Pemilihan Umum. Tugas ini sama dengan tugas yang ada
dalam pasal 3 ayat 1 UUD 1945. Akan tetapi diperjelas mengenai waktunya yaitu pada
Sidang Paripurna MPR.

2. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,


diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.

Melantik Wakil Presiden adalah suatu kewajiban yang telah diatur dalam Undang-Undang
Dasar, karena hal ini harus dilaksanakan dan tidak ada pilihan yang harus dipilih, sehingga
ketentuan termasuk dalam kategori tugas. Dari 2 tugas yang berada diatas maka dapat
dianalisa bahwa tugas pertama sama dengan tugas yang diatur dalam perubahan. Sedangkan
tugas kedua merupakan tugas yang ada setelah Sidang MPR terjadi. Jika sudah diputuskan
dalam Sidang MPR, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Wakil Presiden
menjadi Presiden dan hal inipun bersifat upacara belaka.

3.2.3.2. Wewenang MPR Setelah Undang-Undang Tentang Susunan Dan Kedudukan.

Tugas dan wewenang MPR setelah undang-undang susunan dan kedudukan, hampir sama
dengan wewenang yang diatur sebelum adanya undang-undang mengenai susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Walaupun ada penambahan mengenai waktu dan
kewenangan membuat peraturan tata tertib dan kode etik MPR.

Wewenang yang diatur dalam undang-undang tentang susunan dan kedudukan menyatu
dengan tugas sehingga hasil pemilahannya adalah sebagai berikut:

1. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

2. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam
waktu enam puluh hari.

Memilih adalah suatu kekuasaan dalam menentukan sesuatu. Sehingga memilih disini
menjadi wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Walaupun kekuasaan memilih disini

Analisis Pasal 3 UUD 1945 24


dibatasi oleh batasan waktu. Kekuasaan ini diatur untuk menghadapi beberapa keadaan yang
tidak diinginkan.

3. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam
masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil
Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya,
sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.

Kewenangan ini terjadi jika Presiden dan Wakil Presiden berhenti bersamaan. Dan untuk
mengisi kekosongan tersebut selama 30 hari Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Pertahanan menjalankan tugas kepresidenan. Kemudian MPR harus bersidang untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden pengganti. Karena untuk mengadakan pemilihan umum
tidak bisa dilakukan secara cepat. Maka dipilihlah Presiden dan Wakil Presiden dari partai
politik yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya. Penyerahan kepada partai politik ini menggambarkan bahwa partai politik
merupakan suara pemilih.

4. menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.

Sudah merupakan hal yang wajar jika organisasi membuat peraturan untuk mengatur dirinya.
Sehingga hal ini merupakan suatu hak dari Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan hak ini
merupakan kewenangan dari MPR. Dari kewenangan yang ada diatas hal yang sudah pasti
menjadi kewenangan adalah poin 1 dan 4. Sedangkan yang poin 2 dan 3 masih menjadi
pertanyaan apakah tugas atau wewenang.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Pasal 3 UUD 1945

Sebelum adanya amandemen, Pasal 3 UUD 1945 hanya terdapat (1) ayat :

Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar


daripada haluan negara.

Analisis Pasal 3 UUD 1945 25


Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka
kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis
memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan
haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.

1. Ayat (1)

Perubahan (amandemen) kesatu tahun 1999:

Pasal 3 tidak mengalami perubahan (amandemen). Yang pada saat itu amandemen pertama
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999.

Perubahan (amandemen) kedua Tahun 2000 :

Sama halnya dengan amandemen pertama, pada amademen kedua pun pasal 3 tidak
mengalami perubahan. Pada saat itu amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000

Perubahan (amandemen) ketiga Tahun 2001 :

Pada amandemen ketiga ini, pasal 3 terbagi menjadi tiga (3) ayat. Yaitu salah satunya:

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-


Undang Dasar

Mengenai mengubah UUD tidak diatur dalam pasal 3 tetapi pasal 37. Dalam ketentuan baru
dibedakan antara wewenang pasal 3 ayat 1 dan mekanisme pasal 3.Sebenarnya dalam pasal
37 (lama dan baru) secara tersirat (implied) terkandung wewenang yang dimaksud pasal 3
ayat 1. Selain itu pasal 3 ayat 1 tidak lagi mencantumkan wewenang MPR menetapkan
GBHN. Hal ini sejalan dengan perubahan system hubungan antara MPR dengan
presiden.Presiden menurut ketentuan baru dipilih langsung oleh rakyat (direct popular vote),
yang meniadakan hubungan tanggung jawab presiden kepada MPR sehingga GBHN sebagai
instrument pengukur pertanggung jawaban Presiden tidak diperlukan lagi.

Serupa dengan ketentuan asli, pasal 3 ayat 1 mencantumkan wewenang MPR menetapkan
UUD. Apakkah ketentuan ini semata-mata memindahkan ketentuan lama atau dengan motif
Analisis Pasal 3 UUD 1945 26
yang berbeda. Kalau sekedar memindahkan ketentuan lama, maka ada persoalan
konstitusional yang mendasar. Ketentuan lama (pasal 3) yang member wewenang kepada
MPR menetapkan UUD, bertolak dari sifat sementara UUD 1945, sehingga MPR perlu
menetapkan satu UUD yang bersifat tetap. Hal ini tampak dari aturan tambahan yang
berbunyi 2 dalam enam bulan setelah MPR terbentuk majelis itu bersidang untuk menetapkan
UUD Ketentuan yang menggambarkan UUDS, merupakan pendirian pada saat UUD
ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Berbeda dengan pada tahun 1959. Motif dekrit adalah
memberlakukan UUD 1945 sebagai UUD tetap. Dengan tetap mencantumkan wewenang
menetapkan UUD, MPR sadar atau tidak sadar harus mengakui UUD 1945 masih bersifat
sementara. Hal ini tentu ganjil, pertama, tidak sesuai dengan pandangan MPR bahwa UUD
1945 sudah bersifat tetap. Kedua, MPR telah melakukan begitu banyak perubahan terhadapa
UUD 1945. Tidak masuk akal kalau perubahan itu bersifat tetap dari suatu UUD yang
bersifat sementara.

Ada kemungkinan lain. Wewenang menetapkan merupakan tindak lanjut dari wewenang
mengubah. Setiap perubahan diikuti dengan menetapkan (ditetapkan). Dari sistematik dan
cara berpikir hukum hal tersebut berlebihan. Sebab setiap wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum sekaligus membuat wewenang memutus, dan memutus dengan sendirinya
diikuti tindakan menetapkan (mengesahkan).

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, mencantumkan wewenang
menetapkan UUD sebagai sesuatu yang bukan saja tidak bermanfaat, tetapi menimbulkan
masalah konstitusional karena akan menyentuh status UUD 1945 beserta perubahan-
perubahannya.

Mengubah UUD 1945 merupakan ketentuan yang bersifat konstitusional. Pasal 37 UUd
1945 menjelaskan hal ini sebagai berikut : Ayat 1 untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya
dua per tiga dari jumlah anggota, 2 MPR harus hadir 3. Putusan di ambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir. Pasal 37 UUD 1945 dan pasal 4 ketetapan
MPR No. I/MPR/1983 wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR. Oleh karena itu
Lembaga Tertinggi Negara Indonesia dapat secara formal mengubah UUD sesuai pasal 37
UUD 1945. Adanya hubungan tersebut adalah karena di dalam ilmu hukum kita telah
mengenal adanya hirarki atau tata urutan peraturan perundangan. Berdasarkan tata urutan ini,
peraturan perundangan yang detajatnya lebih tinggi harus menjadi landasan pertauran
perundangan yang derajatnya lebih rendah atau peraturan perundangan yang derajatnya lebih
Analisis Pasal 3 UUD 1945 27
rendah tidak bolehbertentangan dengan peraturan perundangan yang derajatnya lebih tinggi.
Singkatnya,suatu peraturan hanya dapat dilakukan berdasarkan peraturan perundangan yang
sederajat atau derajatnya lebih tinggi. Oleh karena itu dari tiga keputusan majelis tersebut di
atas, hanya ketetapan MPR yang mungkin dapat dipergunakan untuk mengubah UUD 1945.
Amandemen ketiga ini ditetapkan pada tanggal 9 November 2001.

Perubahan (amandemen)keempat Tahun2002

Dalam amandemen kali ini penomoran pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga UUD
Negara RI Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3). Yang ditetapkan tanggal 10
Agustus 2002. Isi pasal 3 menjadi :

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-


Undang Dasar.***)

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau


Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****)

(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.


***/****)

2. Ayat (2)

Perubahan (amandemen) kesatu Tahun 1999:

Pasal 3 tidak mengalami perubahan (amandemen). Yang pada saat itu amandemen pertama
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999.

Perubahan (amandemen) kedua Tahun 2000:

Sama halnya dengan amandemen pertama, pada amademen kedua pun pasal 3 tidak
mengalami perubahan. Pada saat itu amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000.

Perubahan (amandemen) ketiga Tahun 2001 :

Pada amandemen ketiga, pasal tiga terbagi menjadi 3 (tiga) ayat, diantaranya :

(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden


Analisis Pasal 3 UUD 1945 28
Dalam amandemen kali ini penomoran pasal menjadi (3) dan (4).

Perubahan (amandemen)keempat Tahun 2002:

Dalam amandemen kali ini penomoran pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga UUD
Negara RI Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3). Yang ditetapkan tanggal 10
Agustus 2002. Isi pasal 3 menjadi :

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-


Undang Dasar.***)

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau


Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****)

(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.


***/****)

3. Ayat (3)

Perubahan (amandemen) kesatu Tahun 1999:

Pasal 3 tidak mengalami perubahan (amandemen). Yang pada saat itu amandemen pertama
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999.

Perubahan (amandemen) kedua Tahun 2000:

Sama halnya dengan amandemen pertama, pada amademen kedua pun pasal 3 tidak
mengalami perubahan. Pada saat itu amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000.

Perubahan (amandemen) ketiga Tahun 2001:

Pada amandemen ketiga, pasal tiga terbagi menjadi 3 (tiga) ayat, diantaranya :

(4) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau


Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Analisis Pasal 3 UUD 1945 29
Perubahan (amandemen)keempat Tahun 2002:

Dalam amandemen kali ini penomoran pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga UUD
Negara RI Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3). Yang ditetapkan tanggal 10
Agustus 2002. Isi pasal 3 menjadi :

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-


Undang Dasar.***)

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau


Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****)

(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.


***/****)

B. Tujuan dan sasaran dibuatnya UUD 1945 Pasal 3 dan kaitannya terhadap UU
lainnya

1. Tujuan dan sasaran

a. SISTEMATIKA KONSEP AWAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Konsep awal RUU yang terdiri dari pasal-pasal yang diusulkan dengan didasarkan pada
uraian akademik.

Konsiderans:
Memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan rancangan undang-undang. Pokok-pokok pikiran memuat unsur filosofis,
yuridis, dan sosiologis.

Alas/Dasar Hukum:

Memuat dasar kewenangan pembuatan undang-undang dan peraturan perundang-undangan


yang memerintahkan pembuatan undang-undang tersebut.

Ketentuan Umum:

Memuat istilah-istilah yang dipakai dalam Naskah Akademik dan pengertiannya.

Analisis Pasal 3 UUD 1945 30


Materi:
Memuat konsep tentang asas-asas dan materi hukum yang perlu diatur, serta rumusan norma
dan pasal-pasalnya yang disarankan; bila mungkin dengan mengemukakan beberapa
alternatif.

Ketentuan Pidana (jika diperlukan):

Memuat pemikiran-pemikiran tentang perbuatan-perbuatan tercela yang patut dilarang


dengan menyarankan sanksi pidananya.

Ketentuan Peralihan (jika diperlukan):

Memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundang-undangan yang baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan
tersebut dapat berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.

Berdasarkan analisa bahwa dalam masa setelah disahkannya Undang-Undang Dasar 1945
sebagai Undang-Undang Dasar negara. Maka Undang Undang Dasar ini menjadi suatu
pedoman bernegara yang dipakai oleh seluruh lembaga negara yang ada di Republik
Indonesia.

Setelah kemerdekaan maka lembaga atau fungsi yang baru dibentuk adalah fungsi eksekutif.
Fungsi tersebut direpresentasikan dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden dan
kabinetnya untuk menjalankan kekuasaan secara sementara.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pun tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD
yaitu dipilih oleh PPKI. Tetapi hal ini bisa diatasi dengan adanya Aturan Peralihan dalam
UUD 1945. Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya
sebagai lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis,
karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga legeslatif. MPR
yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol
terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun telah
ada pemikiran dan kehendak dari masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran
MPR ---terkait dengan keinginan pemilihan presiden secara langsung --- menjadi sistem
bikameral atau meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum
menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.

Analisis Pasal 3 UUD 1945 31


Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah memutuskan
untuk tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Konsep Negara
Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis memang
terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu tidak berangkat dari
kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan publik yang rasional. MPR
terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak mempertanyakan kembali esensi dari
ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima sesuatu yang diluar kehendak dan pada
kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik itu telah dipenjara secara politis oleh MPR.

Diakui bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan
dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang
mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam konstitusi. Selain
itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi eksekutif (presiden), telah
mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy. Dan sebagai perimbangannya
diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai upaya untuk memberdayakan
legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol terhadap eksekutif. Perubahan ini
berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini dengan sangat kuatnya
eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga “tidak ada” kontrol sama sekali dari DPR
terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif
dan tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan
akibat-akibat seperti yang dialami saat ini.

Perubahaan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan untuk mencapai karakteristik


perjanjian sosial antara negara dengan masyarakat. Dan perubahan tersebut
membawa dampak yang sangat besar bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
lembaga perwakilan.

Sebagai lembaga pemegang kedaulatan Rakyat dalam UUD 1945 maka MPR mempunyai
tugas yang besar yaitu membuat Undang-Undang Dasar. Dan tugas inilah yang pada masa
sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah dilaksanakan oleh Majelis
Permusyawatan Rakyat.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tetap mengeluarkan peraturan


perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti secara

Analisis Pasal 3 UUD 1945 32


Ilmu Perundang-undangan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat lebih tinggi dari
lembaga Negara yang lain.

C. Undang-undang yang berhubungan dengan Pasal 3 UUD 1945

1. Undang-undang No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan MPR, DPR dan DRRD

2. Undang-undang No. 5 Tahun 1975 Tentang Perubahan UU No. 16 Tahun


1969

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis


Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 4
MPR mempunyai tugas dan wewenang:
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau

Analisis Pasal 3 UUD 1945 33


gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya,
sampai berakhir masa jabatannya.

4. Tugas dan Wewenang MPR

Tugas di atur dalam pasal 3 dan pasal 6 ayat (2) UUD 1945 serta pasal 3 Ketetapan
MPR No. I/MPR/1983, meliputi : Menetapkan UUD, Menetapkan GHBN dan
Memilih Presiden dan Wakil Presiden

Pada umumnya, UUD ditetapkan oleh satu badan/Lembaga Negara yang bernama
Konstituante atau sidang Pembuat UUD. Hal ini dapat kita lihat dalam konstitusi RIS atau
dalam UUDS 1950. Dalam pasal 186 konstituante dikatakan, bahwa konstituante (Sidang
Pembuat Konstitusi), bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
Konstitusi RIS yang akan menetapkan konstitusi sementara. UUD yang kemudian diberi
nama atau sebutan UUD 1945 ditetapka oleh PPKI. Panitia tersebut yang dalam bahasa
Jepang adalah Dokuritsu Zyunbi Iinkai dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945 oleh Jenderal
Terautji Panglima Tertinggi Negara Jepang di Asia Selatan. Adapun yang dibicarakan dalam
sidang PPKI di atas adalah RUU yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI untuk keseskian
kalinya terhadap rancangan di atas diadakan perubahan-perubahan.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum
yang paling mendasar, hukum tertinggi yang mengandung nilai asas dan norma yang harus
dipatuhi, dijunjung tinggi, dan dilaksanakan dalam setiap pengambilan keputusan dan/atau
kebijakan hukum, baik oleh pemerintah, legislatif, dan badan-badan yudisial, serta rakyat
pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum nasional yang hendak dibangun dan
pelaksanaannya dalam bentuk politik hukum nasional, harus tetap dijaga dan dipertahankan
semangat dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam dasar falsafah negara Pancasila
yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan seluruh batang tubuhnya sebagai landasan
falsafah dan konstitusional negara.

Analisis Pasal 3 UUD 1945 34


Peran auxiliaries bodies dibutuhkan untuk memperkuat pelaksanaan tugas pelayanan publik,
penegakan hukum dan peradilan serta pembentukan dan perencanaan hukum. Maraknya
kelahiran berbagai SAB perlu ditata dan dikaji ulang urgensi pembentukannya dan
eksistensinya secara selektif agar benar-benar bermanfaat dan tidak membebani kinerja dan
perekonomian nasional. Kaji ulang tersebut paling tidak mencakup: (a) tingkat kepercayaan
keberadaannya; (b) kadar urgensinya; (c) eksistensi dan kinerjanya;dan (d) efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan tugasnya. Tindak lanjutnya mencakup (a) penguatan dan
pemberdayaan SAB yang masih diperlukan; (b) pengintegrasian SAB yang tugas dan
fungsinya tumpang tindih; (c) penghapusan atau penggabungan SAB yang tidak mempunyai
urgensi dan eksistensi.

Hal yang perlu dicermati adalah bahwa saat ini tata hubungan dan tata kelola lembaga-
lembaga utama maupun penunjang tersebut belum jelas sehingga mengakibatkan disharmoni
yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Oleh karena itu tata hubungan antar lembaga
negara perlu diatur secara tegas dalam perundang-undangan secara khusus.

Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat besar terhadap tata
kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut, walaupun belum sempurna tetapi
telah mengarah kepada cita-cita negara hukum yang demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip
negara demokrasi konstitusional. Hal ini ditandai dari adanya jaminan hak-hak asasi manusia.

UUD NRI 1945 telah menempatkan hak asasi manusia pada proporsi yang sangat baik,
namun demikian sebagaimana lazimnya pelaksanaan semua hak warga negara, pelaksanaan
HAM juga tidak pernah ada yang absolut karena tetap dibatasi oleh kewajiban penghormatan
terhadap hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

Komitmen penting yang telah disepakati dalam proses Perubahan UUD 1945 meliputi lima
prinsip yaitu: (1) sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) sepakat untuk
mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) sepakat untuk
mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertiansekaligus menyempurnakan agar
betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil); (4) sepakat untuk memindahkan
hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
(5) sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD

Analisis Pasal 3 UUD 1945 35


1945. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 adalah sumber dari keseluruhan politik hukum
nasional

Perubahan UUD 1945 telah berimplikasi lahirnya banyak lembaga negara atau organ, baik
lembaga utama (primary constitution organs) maupun lembaga pendukung/penunjang (state
auxiliary body/SAB).

Esensi perubahan dalam UUD 1945 pasca amandemen pertama hingga amandemen keempat
sudah menunjukkan suatu komitmen bersama bangsa Indonesia untuk memurnikan Pancasila
sebagai asas bernegara. Hal ini nampak pada pasal-pasal yang mengalami perubahan penting
karena menyangkut HAM, demokrasi, hukum, sosial budaya, dan pemerintahan.

Lima di antara perubahan-perubahan penting itu adalah:

Pertama, kedaulatan rakyat yang dulunya selalu diambil alih penuh oleh MPR kini sudah
dilaksanakan sendiri oleh rakyat (Pasal 1). Dengan demikian, rakyat tidak perlu lagi
menjelmakan dirinya kepada MPR. Justru penjelmaan ini yang dulu acapkali diselewengkan
oleh para elit politik.

Kedua, amandemen UUD 1945 mempertegas kembali komitmen negara Indonesia sebagai
negara hukum (Pasal 1 Ayat 3).

Secara umum ciri-ciri negara hukum adalah: a) semua kehidupan berbangsa dan bernegara
harus berlandasakan hukum; b) pemisahan/ pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan
judisiil); c) Peran serta rakyat dalam penentuan kebijakan pemerintahan; dan d) peradilan
yang merdeka atau bebas dari intervensi kekuasaan.

Ketiga, calon Presiden dan calon wakil Presiden tidak lagi menggunakan syarat "orang
Indonesia asli". Akan tetapi, seorang WNI sejak lahir berhak untuk dicalonkan menjadi
Presiden atau Wakil Presiden (Pasal 6). Dulu, istilah 'asli' tidak jelas apa kriteriannya,
sehingga sempat menimbulkan polemik di MPR. Bahkanistilah itu telah menimbulkan
persepsi negatif bahwa tidak semua WNI mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan di
negeri ini.

Keempat, Calon Presiden dan calon wakil Presiden dalam satu pasangan sudah langsung
dipilih oleh rakyat. Ini merupakan tonggak sejarah dimana rakyat tidak lagi memilih kucing

Analisis Pasal 3 UUD 1945 36


dalam karung dalam menentukan siapa pemimpinnya. Setelah amandemen, rakyat sudah
boleh tahu latar belakang, visi, dan wajah calon pemimpinnya. Pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Yusuf Kalla adalah pasangan pertama Presiden/wakil Presiden RI yang
dipilih secara langsung oleh rakyat pada pemilu 2004 lalu.

Kelima, penambahan sepuluh pasal penting tentang HAM dalam UUD 1945, sehingga Pasal
28 dilengkapi dengan Pasal 28A sampai Pasal 28J. Pasal tambahan tentang HAM itu antara
lain meliputi: hak untuk hidup, hak untuk membentuk keluarga, kebebasan beragama, hak
kesejahteraan, dan hak perlindungan hukum.

B. Saran

Perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan tugas dan wewenang yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar dan undang-undang tentang susunan dan kedudukan secara
jelas. Sehingga tidak terjadi interprestasi yang dibuat oleh lembaga negara yang lain
walaupun hal itu bisa diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Seharusnya Undang-Undang
Dasar dan undang-undang mengaturnya dengan jelas.

DAFTAR PUSTAKA

__________, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, UI Press, Jakarta:UI Press, 1996.

__________, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: UI Press, 2002

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998

Catatan-Catatan Terhadap Hasil Rumusan Amandemen Pertama Dan Kedua Uud 1945 Maret
2001

FORMAPPI (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), Lembaga perwakilan rakyat di


Indonesia. ______

Indonesia, Konstitusi RIS 1949

Indonesia, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945


Analisis Pasal 3 UUD 1945 37
Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia, Undang-Undang Dasar Sementara 1950

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (Krhn) Peraturan Perundang-Undangan

Lubis, Solly, Landasan dan Teknik Perundang-undangan. Bandung : Anggota IKAPI. 1995

Lubis, Solly, Pembahasan UUD 1945. Bandung : Anggota IKAPI. 1995

Manan, Bagir, Penjelasan buku DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta :
FH-UII Press, 2003

Mulyono, Doto, Kekuasaan MPR Tidak Mutlak, Erlangga, Jakarta, 1985

Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976

Redaksi Sinar Grafika, Tiga Undang-Undang Dasar: Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1950, Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia 1950, Jakarta: Sinar Grafika, 2000

Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1989

Analisis Pasal 3 UUD 1945 38

You might also like