Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia adalah lembaga negara yang telah
diberikan tugas dan wewenang tertentu oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
perjalanannya Undang-Undang Dasar 1945 telah diganti oleh beberapa konstitusi dan
kemudian kembali lagi kepada Undang-Undang Dasar 1945. Setelah tahun 1999 terjadi
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama, kemudian disusul yang kedua tahun
2000, ketiga tahun 2001 dan keempat tahun 2002. Pada Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat dicabut kekuasaannya untuk melaksanakan
kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat 2 Perubahan Undang-Undang Dasar 1945) kemudian tugas
dan wewenangnya pun berubah sesuai dengan pasal 3 ayat 1,2,3 Undang-Undang Dasar 1945
hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Pada Perubahan Keempat akhirnya
Majelis Permusyawaratan Rakyat diubah komposisinya menjadi anggota 2 lembaga negara
yaitu:Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (pasal 2 ayat 1).
Perubahan tugas dan wewenang tersebut mengubah struktur kelembagaan yang ada, tetapi
Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan suatu lembaga yang unik jika
diperbandingkan dengan lembaga negara di negara lain. MPR sebelum Perubahan UUD 1945
jika diperbandingkan dengan Kongres Rakyat Cina, ditemukan banyak kemiripan yang ada,
baik dalam hal lembaga maupun tugas dan wewenang. Akan tetapi setelah Perubahan UUD
1945, secara lembaga MPR tidak bisa dipersamakan dengan negara lain. Ada beberapa
kesamaan dalam tugas dan wewenang dengan negara lain, tetapi tetap secara lembaga tidak
bisa dipersamakan dengan negara lain. Dalam tugas dan wewenang MPR harus diatur lebih
jelas lagi mengenai apa yang dimaksud tugas dan wewenang. Ada beberapa tugas dan
wewenang MPR dalam UUD yang harus diatur dengan jelas untuk menghindari kesalahan
dalam bernegara. Dan MPR sebaiknya diubah menjadi suatu forum bukan suatu lembaga
yang aktif karena tugas dan wewenang MPR tidak memerlukan suatu lembaga negara.
B. Pokok Permasalahan
Analisis Pasal 3 UUD 1945 1
Berdasarkan atas latar belakang yang telah dipaparkan, adapun perumusan yang diangkat
dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana Tugas dan Wewenang MPR setelah Amandemen UUD 1945 dan
perbandingannya sebelum dan sesudah amandemen berkaitan dengan Pasal 3 UUD 1945?
2. Adakah Undang-undang yang atau Perpu maupun Kepres yang berkaitan dengan
Pasal tersebut?
3. Bagaimana praktek di masyarakat dan sanksinya berkaitan dengan Pasal 3 UUD 1945
tersebut?
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan laporan ini adalah sebagai berikut:
D. Metode Penelitian
Metode penulsian yang penulis gunakan dalam laporan ini berjudul ”ANALISIS PASAL 3
UUD 1945” ini adalah berupa penelitian kepustakaan dan menggunakan pendekatan analisis
sintesis. Metode penelitan ini dilakukan melalui pendekatan Yuridis Normatif dengan
menggunakan data sekunder maupun data primer. Metode yuridis normatif dilakukan melalui
studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder, baik yang berupa perundang-
undangan maupun hasil-hasil penelitian, hasil pengkajian dan referensi lainnya.
ISI
Ada tiga dasar atau landasan dalam rangka pembuatan segala peraturan, pada tiap jenis dan
tingkat, misalnya UU, Perpu, Perpem, Perda, SK, Instruksi, dan sebagainya yaitu :
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita
sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau
draft peraturan negara. Misalnya Pancasila yang menjadi dasar filsafat perundang-undangan.
Landasan Filosofis memuat pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita
moral yang luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia yang
termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Dalam hal pasal 3 UUD 1945 yang menjadi landasan filosofisnya adalah Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945.
Aturan Peralihan terdiri dari pasal 1 sampai dengan pasal IV isinya adalah sebagai berikut:
b. Segala badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar itu.
c. Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.
Landasan yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtgrond) bagi
pembuatan suatu peraturan. Misalnya UUD 45 menjadi landasan yuridis bagi pembuatan
a. Landasan yuridis dari segi formil, yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan
(bevoegdheid) bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu.
b. Landasan yuridis dari segi materil, yaitu landasan yuridis untuk segi sisi (materi)
yakni dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, misalnya, pasal 18 UUD 1945
menjadi landasan yuridis dari segi materil untuk membuat UUD organik mengenai
pemerintahan daerah.
Landasan Yuridis Memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada
kaitannya dengan judul Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada
dan masih berlaku (hukum positif). Yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan
pada landasan yuridis adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
4. Landasan Konstitusional
Dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pasca amendemen Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan konstitusional semacam ini belum pernah ada sebelumnya. Barulah dalam
rangka pelaksanaan faham/sistem ”Supremasi Konstitusi” di Era Reformasi dan pelaksanaan
sistem checks and balances dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pasca amendemen, dengan semangat dan jiwa baru, kini suatu undang-undang dapat
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra amendemen
memang tidak diatur mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
sehingga timbul kesan pemahaman yang sama dengan hukum dasar yang diatur dalam KRIS
1949 dan UUDS 1950 bahwa undang-undang tidak dapat diganggu-gugat (de wet is
ondschendbaar) sebagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) KRIS 1949 dan Pasal 95 ayat
(2) UUDS 1950.
Undang-Undang Dasar (UUD) adalah Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
SISTEMATIKA UUD 1945UUD 1945 terdiri dari (1) Pembukaan , (2) Pasal-pasal sebanyak
37 buah, (3) Aturan peralihan sebanyak 4 nomor dan (4) Aturan tambahan sebanyak 2
nomor.
UUD adalah konsep dasar pengelolaan yang dikenal dalam sistem nasional Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum
yang paling mendasar, hukum tertinggi yang mengandung nilai asas dan norma yang harus
dipatuhi, dijunjung tinggi, dan dilaksanakan dalam setiap pengambilan keputusan dan/atau
kebijakan hukum, baik oleh pemerintah, legislatif, dan badan-badan yudisial, serta rakyat
pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum nasional yang hendak dibangun dan
pelaksanaannya dalam bentuk politik hukum nasional, harus tetap dijaga dan dipertahankan
semangat dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam dasar falsafah negara Pancasila
yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan seluruh batang tubuhnya sebagai landasan
falsafah dan konstitusional negara.
UUD adalah landasan fundamental bagi kehidupan hukum suatu negara, sehingga perubahan
sekecil apapun akan berimbas besar baik terhadap berbagai produk hukum maupun
mekanisme ketatanegaraan. Oleh karena itu apabila akan dilakukan perubahan, harus
dilakukan dengan sangat hati-hati dengan dilandasi oleh alasan-alasan rasional logis.
Setelah UUD 1945 berlangsung selama 4 tahun diganti dengan Konstitusi RIS pada tahun
1949, kemudian diganti lagi dengan UUDS 1950. Pada masa UUDS 1950 terselenggara
pemilihan umum pada tahun 1955 untuk memenuhi amanat masyarakat dalam Undang-
Undang Dasar. Hasil pemilihan umum tersebut melahirkan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat, dan terbentuk Konstituante yang bertugas membuat
UUD. Setelah bersidang selama beberapa tahun Konstituante dibubarkan oleh Presiden
Sukarno secara sepihak. Setelah itu dimulailah periode kembali ke UUD 1945 ditandai
dengan Dekrit Presiden tahun 1959.
Analisis Pasal 3 UUD 1945 8
C. Penjelasan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sepanjang reformasi dalam sidang-sidangnya, MPR telah mengubah UUD 1945 sebanyak
dua kali. Pertama dalam Sidang Umum tahun 1999, sedangkan perubahan selanjutnya yang
kedua dilakukan dalam Sidang Tahunan 2000. Pada perubahan yang pertama, MPR
mengubah 9 pasal UUD 1945 yang berkenaan dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif
serta pembatasan masa jabatan eksekutif (presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua,
MPR tidak hanya mengubah tapi juga menambah muatan materi yang terkandung
didalamnya. Perubahan dan penambahan itu menyangkut soal wilayah negara, warga negara
dan penduduk, hak asasi manusia, kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah),
Pertahanan dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan.
Diakui bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan
dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang
mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam konstitusi. Selain
itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi eksekutif (presiden), telah
mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy. Dan sebagai perimbangannya
diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai upaya untuk memberdayakan
legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol terhadap eksekutif. Perubahan ini
berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini dengan sangat kuatnya
eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga “tidak ada” kontrol sama sekali dari DPR
terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif
dan tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan
akibat-akibat seperti yang dialami saat ini.
Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai
lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis, karena
perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga legeslatif. MPR yang
dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol
terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun telah
ada pemikiran dan kehendak dari masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran
MPR ---terkait dengan keinginan pemilihan presiden secara langsung --- menjadi sistem
bikameral atau meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum
menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.
Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah memutuskan
untuk tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Konsep Negara
Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis memang
terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu tidak berangkat dari
kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan publik yang rasional.
MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak mempertanyakan kembali
esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima sesuatu yang diluar kehendak dan
pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik itu telah dipenjara secara politis oleh MPR.
Analisis Pasal 3 UUD 1945 10
Dalam soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara kesatuan
dan ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari sentralisasi dan
eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan. Sedangkan penetapan sistem
pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih ada unsur-unsur pemerintahan
parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan kalau mau jujur saat ini model
pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh kearah parlementarian.
Terhadap soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup rasional
diterima publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan terhadap
para pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya negara kalau itu
diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan1. Sesungguhnya
kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena secara
historis para founding fathers yang merumuskan pembukaan itu juga telah mengubahnya
dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan pembukaan itu
ternyataa tidak menyebabkan bubarnya negara. Dengan “ditutupnya” ruang publik untuk
dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan akan tetap
menimbulkan persoalan dikemudian hari. Ibaratnya seperti bom waktu yang setiap saat bisa
meledak, tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara kesatuan
bisa muncul sewaktu-waktu.
Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945 baik yang
pertama ataupun kedua tidak menunjukkan perubahan yang mendasar bagi bangunan negara
Indonesia yang demokratis kedepan. Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala
sumber hukum dan sebagai kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan posisi
serta hubungan lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif, juga pemerintahan yang bersifat
desentralistik, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 belum memberikan jaminan soal itu.
Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945 belum menjadikan identitas nasional baru yang
sesuai dengan kebutuhan, aspirasi dan semangat yang berkembang saat ini.
Permusyawaratan, dengan mengutip surat Assyura ayat 38 yang artinya: “ Dan bagi orang-
orang yang beriman, mematuhi seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan
Unsur-unsur yang dipakai dalam merumuskan sedikit banyak mirip dengan Majelis Syura
dalam agama Islam. Hal ini tidaklah aneh karena sebelum diubah pada tanggal 18 Agustus
1945, ada beberapa pasal yang memuat tentang agama Islam misalnya pasal 6 dan pasal 29.
Setelah kemerdekaan maka lembaga atau fungsi yang baru dibentuk adalah fungsi eksekutif.
Fungsi tersebut direpresentasikan dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden dan
kabinetnya untuk menjalankan kekuasaan secara sementara.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pun tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD
yaitu dipilih oleh PPKI. Tetapi hal ini bisa diatasi dengan adanya Aturan Peralihan dalam
UUD 1945.
Aturan Peralihan terdiri dari pasal 1 sampai dengan pasal IV isinya adalah sebagai berikut:
b) Segala badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar itu.
c) Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.
Apa yang dinyatakan oleh Aturan Peralihan ini telah dilaksanakan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Terkecuali pasal IV
Aturan Peralihan yang baru terbentuk 1 tahun kemudian. Dan selama 4 tahun Pemerintah
belum bisa mengadakan Pemilihan Umum untuk memilih warga negara terpilih yang berhak
duduk dalam DPR. Apabila DPR belum terbentuk maka otomatis MPR pun tidak terbentuk
sehingga representasi dari lembaga perwakilan sementara dipindahkan kepada Komite
Nasional Indonesia Pusat. Hal ini terkandung dalam maklumat Wakil Presiden No X tahun
1946, “Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis
Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari
berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih
diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat”.
Hal ini merupakan inisiatif yang diambil pemerintah dari amanat dari Pasal IV Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut berbunyi “Sebelum Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung
dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden
dengan bantuan sebuah komite Nasional”. Sampai tahun 1949 Indonesia belum memiliki
kelengkapan negara yang diminta oleh UUD 1945. Dan berlangsung sampai Undang-Undang
Dasar tahun 1945 diganti oleh Konstitusi RIS 1949
Dalam Konstitusi RIS ini maka lembaga-lembaga negara yang ada adalah: Presiden, Menteri-
menteri, Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung Indonesia dan Dewan
Pengawas Keuangan. Yang menjalankan fungsi lembaga perwakilan adalah Senat dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen Republik Indonesia Serikat menerima baik Rencana
Undang-Undang Dasar dengan kelebihan suara besar dalam kedua majelis. Pada tanggal 15
Agustus 1950 UUD ini ditanda tangani oleh Presiden dan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia dan diundangkan sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Bentuk
Negara Kesatuan dalam Negara Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia dipulihkan
kembali pada tanggal 17 Agustus 1950 dan Undang-Undang Dasar 1950 mulai berlaku pada
hari yang sama.
Jika dalam Konstitusi RIS 1949 kedaulatan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan
DPR dan Senat. Maka pelaku kedaulatan menurut UUDS 1950 adalah pemerintah bersama-
sama dengan DPR. Sedangkan dalam UUD 1945, kedaulatan Rakyat itu dilakukan
sepenuhnya oleh MPR.
Dalam UUDS 1950 alat kelengkapan negara hampir sama dengan Konstitusi RIS akan tetapi
berkurang dengan dihapuskannya Senat. Hal ini terjadi karena Indonesia berubah menjadi
Negara Kesatuan kembali. Dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang fungsi
pengawas dan perwakilan rakyat.
Semenjak tanggal 5 Juli 1959 Indonesia kembali kepada UUD 1945 dengan adanya Dekrit
Presiden 1959. Dasar hukum dekrit ini adalah staatsnoodrecht (hukum tata negara dalam
keadaan darurat). Pembubaran ini dilakukan secara sepihak oleh Presiden Republik
Indonesia. Karena sampai tahun 1959 Undang-Undang Dasar baru belum terbentuk.
Hal ini sama dengan pendapat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Baru yang
dapat dibaca dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No
XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru diatas, adalah untuk membedakan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara pada masa 1965 yang juga disebut masa Orde Lama
yang dianggap kurang mencerminkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni
dan konsekwen. Sebab sesudah gagalnya Gerakan 30 September 1965, maka semboyan untuk
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen dimulai oleh Orde
Baru.
Sesudah kembali kemasa Orde Baru maka dapat dilihat berbagai konsep yang dijalankan
oleh Pemerintahan Orde Baru sesuai menurut UUD 1945. Dengan ditegaskannya bahwa
MPR adalah suatu lembaga negara tertinggi dan sebuah lembaga yang berwenang untuk
menjalankan kedaulatan rakyat. Sehingga MPR menjelma sebagai sebuah lembaga negara
yang mempunyai kewenangan yang sangat besar hampir sama dengan rumusan awal dalam
pembicaraan para founding fathers untuk menyusun UUD 1945. Wewenang yang sangat
besar tersebut harus membuat lembaga ini berdaya dalam mewujudkan kedaulatan warga
negara yang diwakilinya.
Menurut Bagir Manan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak memegang kedaulatan negara melainkan sepenuhnya
kedaulatan rakyat. Karena ada perbedaan mendasar antara paham kedaulatan negara dan
rakyat. Kedaulatan negara mengkonstruksikan negara mempunyai kehendak sendiri terlepas
dari kehendak rakyat. Kehendak negara adalah tertinggi akan menuju pada sistem totaliter
Semenjak Orde Baru dimulailah suatu konsep lembaga MPR yang pemilihan anggotanya
sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Dalam perekrutan anggota semenjak tahun 1971
diadakan Pemilihan Umum yang memilih anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR. Dan setelah
itu akhirnya terpilihlah anggota MPR yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Walaupun dalam perekrutan anggota MPR setelah tahun 1973 anggotanya MPR yang
diangkat 60 persen. Dan anggota DPR ada juga yang diangkat, maka hal ini dianggap
inkonstitusional oleh Prof. Dr. Ismail Suny.
Pada tahun 1998 telah terjadi peristiwa yang mengubah tatanan ketatanegaraan Republik
Indonesia dengan mundurnya Presiden Soeharto menurut pasal 8 UUD 1945. Walaupun ada
yang beranggapan pergantian tersebut tidak sesuai dengan bunyi pasal 8 UUD 1945.
Walaupun pada akhirnya dianggap sah pengunduran diri tersebut.
Setelah itu terjadilah Pemilihan Umum tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik
akhirnya terbentuklah anggota DPRD, DPR dan anggota MPR baru. Dan pada Sidang
Tahunan 1999 maka UUD 1945 diubah dengan Perubahan I UUD 1945 terutama pasal
mengenai masa jabatan presiden, sehingga diharapkan tidak terjadi hal-hal yang ada dimasa
lalu mengenai jabatan Presiden RI. Dan juga mengenai beberapa kewenangan Presiden yang
dialihkan dan dibantu oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Kemudian pada tahun 2000, Undang-Undang Dasar 1945 kembali diubah. Perubahan
Undang-Undang Dasar ini lebih menekankan pada Hak Azasi Manusia, yang menjadi
konsentrasi pembahasan untuk dimuat pada saat itu.
Dengan demikian sebagai Konstitusi yang baik seharusnya Undang-Undang Dasar 1945
sesuai dengan karakteristik yang disebut diatas. Perubahaan Undang-Undang Dasar 1945,
bertujuan untuk mencapai karakteristik perjanjian sosial antara negara dengan masyarakat.
Dan perubahan tersebut membawa dampak yang sangat besar bagi Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagai lembaga perwakilan.
MPR sebagai suatu lembaga negara merupakan badan yang merupakan pelaksana kedaulatan
rakyat di Republik Indonesia sebelum diadakan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah diadakan perubahan maka terjadilah perubahan pada Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia. MPR sebagai lembaga penjelamaan seluruh rakyat Indonesia,
dan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang sama kedudukannya dengan
negara lain.
Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tugas dan wewenang MPR dicantumkan
dalam UUD 1945 dan juga TAP MPR. Sedangkan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar
1945 maka tidak ada lagi pengaturan tugas dan wewenang yang diatur dalam Ketetapan
MPR. Setelah satu tahun berjalan disahkanlah undang-undang tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD baru dijelaskan tugas dan wewenang MPR.
Dalam tugas MPR ini dapat dipelajari bahwa tugas MPR sebagai suatu lembaga negara
meliputi tiga. Tugas ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai lembaga
pemegang kedaulatan Rakyat dalam UUD 1945 maka MPR mempunyai tugas yang besar
yaitu membuat Undang-Undang Dasar. Dan tugas inilah yang pada masa sebelum Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah dilaksanakan oleh Majelis Permusyawatan
Rakyat.
Dalam amanat sidang BPUPKI yang para founding fathers menyatakan bahwa Undang-
Undang Dasar 1945 adalah Undang Undang Dasar kilat. Perlu diadakan Undang-Undang
Dasar baru yang lebih baik dan jika negara dalam keadaan aman. Hal ini dapat kita lihat
dalam pidato dari ketua PPKI Ir. Soekarno yang mengatakan:
“… tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa Undang Undang Dasar yang (kita)
buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya
memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau telah
bernegara didalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan
kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang
Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.
a) membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain,
termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya
ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
b) Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
c) Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.
d) Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan
Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
e) Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam
masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan
Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
f) Mengubah undang-Undang Dasar.
g) Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
h) Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
i) Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji
anggota.
Ada satu kewenangan yang sudah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 akan
tetapi lebih sering disebut dengan kekuasaan atau kedaulatan. Dalam pasal 1 ayat 3
disebutkan bahwa ”Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut Power
merupakan Great Authority, atau dapat diartikan sebagai kewenangan yang sangat
besar/terbesar. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa Undang-Undang Dasar di negara lain
seperti Cina, Venezuela dan Amerika Serikat yang menggunakan kata power sebagai
kewenangan lembaga negaranya.
3. 2. Tugas Dan Wewenang MPR Yang Diatur Dalam UUD Sesudah Perubahan UUD
1945.
Dalam Perubahan UUD 1945, tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat
berubah. Dengan berubahnya konsep lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat maka
berubah pula beberapa tugas dan wewenangnya. Tugas MPR setelah Amandemen UUD
1945 adalah
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Pasal
3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945).
Ad. 1. Tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal ini adalah tugas formal atau
upacara yang harus dilakukan jika telah dipilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan
Umum. Tugas MPR ini merupakan konsekuensi dari Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
yang mewajibkan Pemilihan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
oleh rakyat. Melantik bukanlah wewenang dari MPR karena jika telah dipilih Presiden dan
Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum, maka kewajiban dari MPR adalah melantik
Presiden dan Wakil Presiden RI. Seharusnya dijelaskan secara tegas mengenai kewajiban ini
sehingga tidak menimbulkan beberapa interprestasi yang menyimpang seperti jika Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak mau melantik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih
dalam pemilihan langsung oleh rakyat maka konsekuensinya bagaimana, apakah sah atau
tidak Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan jika tidak ada yang mengesahkan maka
Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan cacat hukum karena belum dilantik oleh lembaga
Ad.2. Tugas Majelis melakukan peninjauan materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan
MPR merupakan tugas sementara yang dibebankan kepada MPR oleh Undang-Undang
Dasar. Pasal I Aturan Tambahan menyatakan bahwa MPR harus “melakukan peninjauan
terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”. Sementara disini terletak pada kalimat akan diambil
putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003, jika telah diambil
putusannya maka tugas ini berakhir dengan sendirinya.
Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat disimpulkan tugas Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak dijelaskan secara jelas. Apakah ketentuan tersebut tugas atau
bukan tapi secara definitif, tugas adalah kewajiban atau sesuatu yang wajib dikerjakan atau
ditentukan untuk dilakukan.
Sedangkan wewenang Presiden RI dalam UUD 1945 maka bisa disimpulkan sebagai berikut:
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 ayat 3 Perubahan ke III UUD
1945).
3) Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau
Wakil Presiden sebagaimana mestinya. ( Pasal 8 ayat 3 Perubahan Keempat).
Ad. 1.Wewenang MPR ini merupakan suatu hal yang telah diatur sebelum Perubahan dan
sesudah Perubahan UUD 1945. Tetapi sebelum Perubahan UUD 1945 hal ini merupakan
tugas dari MPR seperti yang diamanatkan dalam pasal 3 UUD 1945. Dan alasan ini diperkuat
oleh pasal 2 Aturan Tambahan UUD 1945. Pasal ini menyatakan jika telah berhasil diadakan
Pemilihan Umum dan terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka MPR harus
Ad.3. Kewenangan ini dilakukan jika telah terpenuhi syarat untuk memberhentikan Presiden
dan Wakil Presiden dalam UUD 1945 setelah Perubahan. Wewenang dilakukan melalui
proses yang lama dan dilaksanakan oleh beberapa lembaga negara. Untuk memberhentikan
Presiden harus melalui pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang telah meminta putusan dari
Mahkamah Konstitusi (pasal 7B Perubahan UUD 1945). Secara kedudukan maka MPR
telah sama dengan lembaga negara yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan
lembaga tinggi Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga
Negara yang lebih tinggi dari yang lain.
Menurut Dr. Maria Farida, semua lembaga negara yang mengeluarkan produk peraturan
perundang-undangan maka kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga Negara yang mengeluarkan peraturan yang
lebih tinggi. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga Negara yang lebih
tinggi dari lembaga Negara yang lain. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
tetap mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang
Dasar. Hal ini berarti secara Ilmu Perundang-undangan lembaga Majelis Permusyawaratan
Rakyat lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain.
3.2.3. Tugas Dan Wewenang MPR Sesudah Undang-Undang Susunan Dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD Dan DPRD
Tugas Dan Wewenang yang dijelaskan diatas adalah Sesudah Perubahan Keempat Undang-
Undang Dasar 1945. Tugas dan wewenang ini sebelum adanya undang-undang tentang
susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Tidak dijelaskan apa dan bagaimana perbedaan antara tugas dan wewenang Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Hal ini seharusnya dapat dihindari karena perbedaan akibat dari
kedua kalimat tersebut sangatlah besar. Karena tugas mengandung kewajiban yang harus
dilaksanakan. Sedangkan wewenang mengandung hak dan kekuasaan (lihat definisi
operasional), sehingga perlu dipilah kembali mana yang merupakan tugas dan wewenang
MPR.
3.2.3.1. Tugas MPR Setelah Undang-Undang Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR,
DPR Dan DPRD
Jika dipilah maka tugas MPR dalam undang-undang susunan dan kedudukan adalah:
Melantik adalah tugas dari MPR. Karena melantik merupakan suatu kewajiban berdasarkan
suara rakyat yang ada melalui Pemilihan Umum. Tugas ini sama dengan tugas yang ada
dalam pasal 3 ayat 1 UUD 1945. Akan tetapi diperjelas mengenai waktunya yaitu pada
Sidang Paripurna MPR.
Melantik Wakil Presiden adalah suatu kewajiban yang telah diatur dalam Undang-Undang
Dasar, karena hal ini harus dilaksanakan dan tidak ada pilihan yang harus dipilih, sehingga
ketentuan termasuk dalam kategori tugas. Dari 2 tugas yang berada diatas maka dapat
dianalisa bahwa tugas pertama sama dengan tugas yang diatur dalam perubahan. Sedangkan
tugas kedua merupakan tugas yang ada setelah Sidang MPR terjadi. Jika sudah diputuskan
dalam Sidang MPR, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Wakil Presiden
menjadi Presiden dan hal inipun bersifat upacara belaka.
Tugas dan wewenang MPR setelah undang-undang susunan dan kedudukan, hampir sama
dengan wewenang yang diatur sebelum adanya undang-undang mengenai susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Walaupun ada penambahan mengenai waktu dan
kewenangan membuat peraturan tata tertib dan kode etik MPR.
Wewenang yang diatur dalam undang-undang tentang susunan dan kedudukan menyatu
dengan tugas sehingga hasil pemilahannya adalah sebagai berikut:
2. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam
waktu enam puluh hari.
Memilih adalah suatu kekuasaan dalam menentukan sesuatu. Sehingga memilih disini
menjadi wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Walaupun kekuasaan memilih disini
3. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam
masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil
Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya,
sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.
Kewenangan ini terjadi jika Presiden dan Wakil Presiden berhenti bersamaan. Dan untuk
mengisi kekosongan tersebut selama 30 hari Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Pertahanan menjalankan tugas kepresidenan. Kemudian MPR harus bersidang untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden pengganti. Karena untuk mengadakan pemilihan umum
tidak bisa dilakukan secara cepat. Maka dipilihlah Presiden dan Wakil Presiden dari partai
politik yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya. Penyerahan kepada partai politik ini menggambarkan bahwa partai politik
merupakan suara pemilih.
Sudah merupakan hal yang wajar jika organisasi membuat peraturan untuk mengatur dirinya.
Sehingga hal ini merupakan suatu hak dari Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan hak ini
merupakan kewenangan dari MPR. Dari kewenangan yang ada diatas hal yang sudah pasti
menjadi kewenangan adalah poin 1 dan 4. Sedangkan yang poin 2 dan 3 masih menjadi
pertanyaan apakah tugas atau wewenang.
BAB III
PEMBAHASAN
Sebelum adanya amandemen, Pasal 3 UUD 1945 hanya terdapat (1) ayat :
1. Ayat (1)
Pasal 3 tidak mengalami perubahan (amandemen). Yang pada saat itu amandemen pertama
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999.
Sama halnya dengan amandemen pertama, pada amademen kedua pun pasal 3 tidak
mengalami perubahan. Pada saat itu amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000
Pada amandemen ketiga ini, pasal 3 terbagi menjadi tiga (3) ayat. Yaitu salah satunya:
Mengenai mengubah UUD tidak diatur dalam pasal 3 tetapi pasal 37. Dalam ketentuan baru
dibedakan antara wewenang pasal 3 ayat 1 dan mekanisme pasal 3.Sebenarnya dalam pasal
37 (lama dan baru) secara tersirat (implied) terkandung wewenang yang dimaksud pasal 3
ayat 1. Selain itu pasal 3 ayat 1 tidak lagi mencantumkan wewenang MPR menetapkan
GBHN. Hal ini sejalan dengan perubahan system hubungan antara MPR dengan
presiden.Presiden menurut ketentuan baru dipilih langsung oleh rakyat (direct popular vote),
yang meniadakan hubungan tanggung jawab presiden kepada MPR sehingga GBHN sebagai
instrument pengukur pertanggung jawaban Presiden tidak diperlukan lagi.
Serupa dengan ketentuan asli, pasal 3 ayat 1 mencantumkan wewenang MPR menetapkan
UUD. Apakkah ketentuan ini semata-mata memindahkan ketentuan lama atau dengan motif
Analisis Pasal 3 UUD 1945 26
yang berbeda. Kalau sekedar memindahkan ketentuan lama, maka ada persoalan
konstitusional yang mendasar. Ketentuan lama (pasal 3) yang member wewenang kepada
MPR menetapkan UUD, bertolak dari sifat sementara UUD 1945, sehingga MPR perlu
menetapkan satu UUD yang bersifat tetap. Hal ini tampak dari aturan tambahan yang
berbunyi 2 dalam enam bulan setelah MPR terbentuk majelis itu bersidang untuk menetapkan
UUD Ketentuan yang menggambarkan UUDS, merupakan pendirian pada saat UUD
ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Berbeda dengan pada tahun 1959. Motif dekrit adalah
memberlakukan UUD 1945 sebagai UUD tetap. Dengan tetap mencantumkan wewenang
menetapkan UUD, MPR sadar atau tidak sadar harus mengakui UUD 1945 masih bersifat
sementara. Hal ini tentu ganjil, pertama, tidak sesuai dengan pandangan MPR bahwa UUD
1945 sudah bersifat tetap. Kedua, MPR telah melakukan begitu banyak perubahan terhadapa
UUD 1945. Tidak masuk akal kalau perubahan itu bersifat tetap dari suatu UUD yang
bersifat sementara.
Ada kemungkinan lain. Wewenang menetapkan merupakan tindak lanjut dari wewenang
mengubah. Setiap perubahan diikuti dengan menetapkan (ditetapkan). Dari sistematik dan
cara berpikir hukum hal tersebut berlebihan. Sebab setiap wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum sekaligus membuat wewenang memutus, dan memutus dengan sendirinya
diikuti tindakan menetapkan (mengesahkan).
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, mencantumkan wewenang
menetapkan UUD sebagai sesuatu yang bukan saja tidak bermanfaat, tetapi menimbulkan
masalah konstitusional karena akan menyentuh status UUD 1945 beserta perubahan-
perubahannya.
Mengubah UUD 1945 merupakan ketentuan yang bersifat konstitusional. Pasal 37 UUd
1945 menjelaskan hal ini sebagai berikut : Ayat 1 untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya
dua per tiga dari jumlah anggota, 2 MPR harus hadir 3. Putusan di ambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir. Pasal 37 UUD 1945 dan pasal 4 ketetapan
MPR No. I/MPR/1983 wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR. Oleh karena itu
Lembaga Tertinggi Negara Indonesia dapat secara formal mengubah UUD sesuai pasal 37
UUD 1945. Adanya hubungan tersebut adalah karena di dalam ilmu hukum kita telah
mengenal adanya hirarki atau tata urutan peraturan perundangan. Berdasarkan tata urutan ini,
peraturan perundangan yang detajatnya lebih tinggi harus menjadi landasan pertauran
perundangan yang derajatnya lebih rendah atau peraturan perundangan yang derajatnya lebih
Analisis Pasal 3 UUD 1945 27
rendah tidak bolehbertentangan dengan peraturan perundangan yang derajatnya lebih tinggi.
Singkatnya,suatu peraturan hanya dapat dilakukan berdasarkan peraturan perundangan yang
sederajat atau derajatnya lebih tinggi. Oleh karena itu dari tiga keputusan majelis tersebut di
atas, hanya ketetapan MPR yang mungkin dapat dipergunakan untuk mengubah UUD 1945.
Amandemen ketiga ini ditetapkan pada tanggal 9 November 2001.
Dalam amandemen kali ini penomoran pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga UUD
Negara RI Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3). Yang ditetapkan tanggal 10
Agustus 2002. Isi pasal 3 menjadi :
2. Ayat (2)
Pasal 3 tidak mengalami perubahan (amandemen). Yang pada saat itu amandemen pertama
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999.
Sama halnya dengan amandemen pertama, pada amademen kedua pun pasal 3 tidak
mengalami perubahan. Pada saat itu amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
Pada amandemen ketiga, pasal tiga terbagi menjadi 3 (tiga) ayat, diantaranya :
Dalam amandemen kali ini penomoran pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga UUD
Negara RI Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3). Yang ditetapkan tanggal 10
Agustus 2002. Isi pasal 3 menjadi :
3. Ayat (3)
Pasal 3 tidak mengalami perubahan (amandemen). Yang pada saat itu amandemen pertama
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999.
Sama halnya dengan amandemen pertama, pada amademen kedua pun pasal 3 tidak
mengalami perubahan. Pada saat itu amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
Pada amandemen ketiga, pasal tiga terbagi menjadi 3 (tiga) ayat, diantaranya :
Dalam amandemen kali ini penomoran pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga UUD
Negara RI Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3). Yang ditetapkan tanggal 10
Agustus 2002. Isi pasal 3 menjadi :
B. Tujuan dan sasaran dibuatnya UUD 1945 Pasal 3 dan kaitannya terhadap UU
lainnya
Konsep awal RUU yang terdiri dari pasal-pasal yang diusulkan dengan didasarkan pada
uraian akademik.
Konsiderans:
Memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan rancangan undang-undang. Pokok-pokok pikiran memuat unsur filosofis,
yuridis, dan sosiologis.
Alas/Dasar Hukum:
Ketentuan Umum:
Memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundang-undangan yang baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan
tersebut dapat berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Berdasarkan analisa bahwa dalam masa setelah disahkannya Undang-Undang Dasar 1945
sebagai Undang-Undang Dasar negara. Maka Undang Undang Dasar ini menjadi suatu
pedoman bernegara yang dipakai oleh seluruh lembaga negara yang ada di Republik
Indonesia.
Setelah kemerdekaan maka lembaga atau fungsi yang baru dibentuk adalah fungsi eksekutif.
Fungsi tersebut direpresentasikan dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden dan
kabinetnya untuk menjalankan kekuasaan secara sementara.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pun tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD
yaitu dipilih oleh PPKI. Tetapi hal ini bisa diatasi dengan adanya Aturan Peralihan dalam
UUD 1945. Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya
sebagai lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis,
karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga legeslatif. MPR
yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol
terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun telah
ada pemikiran dan kehendak dari masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran
MPR ---terkait dengan keinginan pemilihan presiden secara langsung --- menjadi sistem
bikameral atau meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum
menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.
Diakui bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan
dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang
mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam konstitusi. Selain
itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi eksekutif (presiden), telah
mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy. Dan sebagai perimbangannya
diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai upaya untuk memberdayakan
legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol terhadap eksekutif. Perubahan ini
berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini dengan sangat kuatnya
eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga “tidak ada” kontrol sama sekali dari DPR
terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif
dan tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan
akibat-akibat seperti yang dialami saat ini.
Sebagai lembaga pemegang kedaulatan Rakyat dalam UUD 1945 maka MPR mempunyai
tugas yang besar yaitu membuat Undang-Undang Dasar. Dan tugas inilah yang pada masa
sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah dilaksanakan oleh Majelis
Permusyawatan Rakyat.
1. Undang-undang No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan MPR, DPR dan DRRD
Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 4
MPR mempunyai tugas dan wewenang:
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau
Tugas di atur dalam pasal 3 dan pasal 6 ayat (2) UUD 1945 serta pasal 3 Ketetapan
MPR No. I/MPR/1983, meliputi : Menetapkan UUD, Menetapkan GHBN dan
Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Pada umumnya, UUD ditetapkan oleh satu badan/Lembaga Negara yang bernama
Konstituante atau sidang Pembuat UUD. Hal ini dapat kita lihat dalam konstitusi RIS atau
dalam UUDS 1950. Dalam pasal 186 konstituante dikatakan, bahwa konstituante (Sidang
Pembuat Konstitusi), bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
Konstitusi RIS yang akan menetapkan konstitusi sementara. UUD yang kemudian diberi
nama atau sebutan UUD 1945 ditetapka oleh PPKI. Panitia tersebut yang dalam bahasa
Jepang adalah Dokuritsu Zyunbi Iinkai dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945 oleh Jenderal
Terautji Panglima Tertinggi Negara Jepang di Asia Selatan. Adapun yang dibicarakan dalam
sidang PPKI di atas adalah RUU yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI untuk keseskian
kalinya terhadap rancangan di atas diadakan perubahan-perubahan.
BAB III
A. Kesimpulan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum
yang paling mendasar, hukum tertinggi yang mengandung nilai asas dan norma yang harus
dipatuhi, dijunjung tinggi, dan dilaksanakan dalam setiap pengambilan keputusan dan/atau
kebijakan hukum, baik oleh pemerintah, legislatif, dan badan-badan yudisial, serta rakyat
pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum nasional yang hendak dibangun dan
pelaksanaannya dalam bentuk politik hukum nasional, harus tetap dijaga dan dipertahankan
semangat dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam dasar falsafah negara Pancasila
yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan seluruh batang tubuhnya sebagai landasan
falsafah dan konstitusional negara.
Hal yang perlu dicermati adalah bahwa saat ini tata hubungan dan tata kelola lembaga-
lembaga utama maupun penunjang tersebut belum jelas sehingga mengakibatkan disharmoni
yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Oleh karena itu tata hubungan antar lembaga
negara perlu diatur secara tegas dalam perundang-undangan secara khusus.
Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat besar terhadap tata
kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut, walaupun belum sempurna tetapi
telah mengarah kepada cita-cita negara hukum yang demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip
negara demokrasi konstitusional. Hal ini ditandai dari adanya jaminan hak-hak asasi manusia.
UUD NRI 1945 telah menempatkan hak asasi manusia pada proporsi yang sangat baik,
namun demikian sebagaimana lazimnya pelaksanaan semua hak warga negara, pelaksanaan
HAM juga tidak pernah ada yang absolut karena tetap dibatasi oleh kewajiban penghormatan
terhadap hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Komitmen penting yang telah disepakati dalam proses Perubahan UUD 1945 meliputi lima
prinsip yaitu: (1) sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) sepakat untuk
mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) sepakat untuk
mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertiansekaligus menyempurnakan agar
betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil); (4) sepakat untuk memindahkan
hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
(5) sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD
Perubahan UUD 1945 telah berimplikasi lahirnya banyak lembaga negara atau organ, baik
lembaga utama (primary constitution organs) maupun lembaga pendukung/penunjang (state
auxiliary body/SAB).
Esensi perubahan dalam UUD 1945 pasca amandemen pertama hingga amandemen keempat
sudah menunjukkan suatu komitmen bersama bangsa Indonesia untuk memurnikan Pancasila
sebagai asas bernegara. Hal ini nampak pada pasal-pasal yang mengalami perubahan penting
karena menyangkut HAM, demokrasi, hukum, sosial budaya, dan pemerintahan.
Pertama, kedaulatan rakyat yang dulunya selalu diambil alih penuh oleh MPR kini sudah
dilaksanakan sendiri oleh rakyat (Pasal 1). Dengan demikian, rakyat tidak perlu lagi
menjelmakan dirinya kepada MPR. Justru penjelmaan ini yang dulu acapkali diselewengkan
oleh para elit politik.
Kedua, amandemen UUD 1945 mempertegas kembali komitmen negara Indonesia sebagai
negara hukum (Pasal 1 Ayat 3).
Secara umum ciri-ciri negara hukum adalah: a) semua kehidupan berbangsa dan bernegara
harus berlandasakan hukum; b) pemisahan/ pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan
judisiil); c) Peran serta rakyat dalam penentuan kebijakan pemerintahan; dan d) peradilan
yang merdeka atau bebas dari intervensi kekuasaan.
Ketiga, calon Presiden dan calon wakil Presiden tidak lagi menggunakan syarat "orang
Indonesia asli". Akan tetapi, seorang WNI sejak lahir berhak untuk dicalonkan menjadi
Presiden atau Wakil Presiden (Pasal 6). Dulu, istilah 'asli' tidak jelas apa kriteriannya,
sehingga sempat menimbulkan polemik di MPR. Bahkanistilah itu telah menimbulkan
persepsi negatif bahwa tidak semua WNI mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan di
negeri ini.
Keempat, Calon Presiden dan calon wakil Presiden dalam satu pasangan sudah langsung
dipilih oleh rakyat. Ini merupakan tonggak sejarah dimana rakyat tidak lagi memilih kucing
Kelima, penambahan sepuluh pasal penting tentang HAM dalam UUD 1945, sehingga Pasal
28 dilengkapi dengan Pasal 28A sampai Pasal 28J. Pasal tambahan tentang HAM itu antara
lain meliputi: hak untuk hidup, hak untuk membentuk keluarga, kebebasan beragama, hak
kesejahteraan, dan hak perlindungan hukum.
B. Saran
Perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan tugas dan wewenang yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar dan undang-undang tentang susunan dan kedudukan secara
jelas. Sehingga tidak terjadi interprestasi yang dibuat oleh lembaga negara yang lain
walaupun hal itu bisa diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Seharusnya Undang-Undang
Dasar dan undang-undang mengaturnya dengan jelas.
DAFTAR PUSTAKA
__________, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, UI Press, Jakarta:UI Press, 1996.
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998
Catatan-Catatan Terhadap Hasil Rumusan Amandemen Pertama Dan Kedua Uud 1945 Maret
2001
Lubis, Solly, Landasan dan Teknik Perundang-undangan. Bandung : Anggota IKAPI. 1995
Manan, Bagir, Penjelasan buku DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta :
FH-UII Press, 2003
Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976
Redaksi Sinar Grafika, Tiga Undang-Undang Dasar: Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1950, Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia 1950, Jakarta: Sinar Grafika, 2000
Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1989