You are on page 1of 3

PEMIMPIN YANG AMANAH









 


 
“… dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan-jawabnya.”Q.S. Al-Isra’ (17):34

Amanah adalah pelaksanaan suatu janji yang harus dipertanggungjawabkan; pada


Allah Swt., manusia, dan diri sendiri. Dengan demikian, pemimpin yang amanah adalah
pemimpin yang memenuhi janjinya. Sebaliknya, penyelewengan terhadap amanah akan
mendapat sanksi moral di dunia dan di depan mahakamah ilahi kelak di akhirat.
Bangsa Indonesia akan mendapatkan pemimpin-pemimpin baru di lembaga legislatif
dan eksekutif yang konon sebelum dipilih rakyat sudah menyampaikan berbagai janji yang
seluruhnya bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Alangkah baiknya jika para pemimpin kita ini memahami dan menghayati ayat di
atas. Memahami berarti mengetahui bacaan dan arti ayat secara eksoteris, sedang menghayati
adalah menyadarinya akan arti penting ayat ini secara esoteris untuk dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari. Sayid Qutub dalam tafsir fi zhilalil qur’an jilid XIV mengatakan
bahwa ayat di atas erat kaitannya dengan tanggun-gjawab. Islam adalah agama yang
memerintahkan pelaksanaan setiap tanggung-jawab yang dipikul seseorang. Tolok ukur
konsistensi, kepercayaan dan kebersihan hati nurani seseorang adalah sejauhmana ia
memenuhi dan melaksanakan suatu tanggung-jawab dalam kehidupan kolektif. Beliau
memaknai ayat di atas dengan “Laksanakanlah tanggung-jawab. Sesungguhnya tanggung-
jawab itu pasti akan ditanyai. Menurut Al-Maraghi dalam tafsir Al-Maraghi jilid VX,
tanggung-jawab merupakan janji kepada Allah, sesama manusia, dan diri sendiri.
Pengingkaran pada janji akan ditanya oleh Allah mengapa demikian.
Amanah adalah sesuatu yang berat untuk dipikul, bahkan lebih berat dari gunung.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Barraz tentang dialog seorang laki-laki pegunungan
dengan Rasul menceritakan. “Ya Rasulullah! Kabarkanlah kepada saya apakah sesuatu yang
paling berat dalam agama dan apakah yang paling ringan?”Rasul menjawab: “Yang paling
ringan ialah mengucapkan dua kalimah syahadat: Tidak ada Tuhan selain Alah dan bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Yang paling berat hai saudaraku dari pegunngan
ialah amanah. Sesungguhnya tidak (sempurna) agama orang yang tidak memelihara amanah,
tidak (diterima) shalat dan zakatnya.”
Sekalipun amanah suatu perbuatan yang berat ia mengandung dampak positif atau
negatif bagi pemegang amanah. Dalam tafsir Ibnu Katsir, jilid III, dijelaskan tentang ucapan
Allah kepada Nabi Adam: “Jika engkau berbuat baik, taat, dan menjaga (memelihara)
amanah itu, maka engkau akan memperoleh kehormatan dan kemuliaan pada sisi-Ku dan
mendapat kebahagian kelak di dalam surga. Jika engkau durhaka, tidak menunaikan hak-hak
amanah itu dan berbuat jahat, maka Aku akan menimpakan azab dan siksa kepada engkau,
dan (kemudian) menjatuhkan engkau ke dalam neraka”. Kemudian Adam As. menjawab, :
”Saya ridho menerimanya ya Tuhanku.” Inilah kisah penerimaan amanah yang mula-mula
oleh Khalifah Allah Adam As.
Amanah Mensejahterakan Umat
Kesejahteraan umat sejak dulu menjadi cita-cita The Founding Fathers kita, mereka
mengutip Q.S. As-Saba’(34): 15, (   
 ) artinya: “Negeri yang indah sentausa serta mendapat
perlindungan Tuhan.” atau gemah ripah loh jiwane. Hingga saat ini cita-cita ini terus
didengungkan oleh para calon pemimpin demi untuk mendapatkan dukungan umat. Sebab
dengan dukungan ini mereka akan meraih jabatan di legislatif dan eksekutif, sekaligus
mengemban amanah umat.
Dari berbagai dialog dan orasi yang disampaikan, kesejahteraan umat mencakup
beberapa aspek kehidupan; lahir maupun bathin. Sejahtera dalam bidang pangan, pakaian,
perumahan, dan kebutuhan hidup yang lain baik secara individual maupun seluruh anggota
masyarakat.
Islam menunjukkan jalan kepada kesejahteraan umat. Pertama, dengan jalan bekerja.
Setiap orang diharuskan bekerja dan berkelana di muka bumi serta makan dari rizki Allah.
Bumi terhampar luas dan mudah meraih rezeki di dalamnya. Allah berfirman dalam Q.S. Al-
Mulk(67): 15, artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. dan Hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” Di dalam Q.S. Al-Jum’ah(62): 10
Allah mengatakan, : “Dan sewaktu kamu selesai melakukan shalat, lekaslah berpencar di
muka bumi dan kejarlah mencari karunia (rezeki) dari Allah, dan kamu hendaknya selalu
mengingat Allah; mudah-mudahan kamu selalu memperoleh kejayaan.” Kedua ayat di atas
mendinamisasikan dan memacu serta mengagresifkan umat untuk bekerja di dunia secara
konsisten dan sistematis. Dengan demikian keharusan umat untuk bekerjraa, sementara
kewajiban pemimpin adalah memenuhi janjinya yakni menyiapkan lapangan pekerjaan.
Kedua, kemiskinan, kemelaratan, dan kelemahan telah merata di hampir seluruh
pelosok tanah air dalam jumlah yang sangat besar disebabkan banyak hal. Islam melarang
membiarkannya. Untuk menanggulanginya, Islam menyuruh kita memberikan jaminan sosial,
dari yang mampu kepada yang tidak mampu. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Anfal(8): 75,
artinya “… orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah…” Pada dasarnya
yang dikamsud ayat ini adalah jaminan sosial dari satu keluarga pada keluarga dekatnya.
Jaminan sosial semacam inilah yang berlaku di jaman Umar bin Khattab, sesuai dengan
pandangan jumhur salaf, Abu Hanifah, dan Ibnu Hanbal. Namun demikian, karena
kemiskinan yang dialami bangsa Indonesia sudah pada kemiskinan structural dan kultural,
maka jaminan sosial yang masih diharapkan adalah yang berasal dari pemimpin legislatif dan
eksekutif sesuai dengan janji-janjinya pada umat.
Jalan ketiga menuju kepada kesejahteraan umat adalah dengan zakat. Perundang-
undangan pertama tentang jaminan sosial di dunia adalah zakat. Menurut Dr. Shadiq Mahdi
dalam bukunya “Jaminan Sosial”, timbulnya pemikiran tentang jaminan sosial di Barat dan
Amerika baru sekitar pertengahan abad XX, sedangkan Islam sudah mengundangkannya
empat belas abad yang lalu.
Masih sangat sedikit pemimpin yang dalam orasi atau penyampaian visi dan misinya
yang berniat mengoptimalkan penggalian zakat dari umat Islam yang terbesar di dunia ini.
Padahal mencapai kesejahteraan umat dengan optimalisasi zakat adalah perintah Allah yang
tak perlu diragukan keefektifannya. Sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar yang sangat
terkenal itu diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa lima rukun iman, nomor
empat sesudah rukun puasa adalah zakat. Pertanyaannya adalah mengapa para calon
pemimpin eksekutif dan legislatif kita kurang memberikan janji-janji menggali zakat sebagai
salah satu jalan menuju kesejahteraan umat? Jawabanya sangat beragam satu di antaranya
adalah pemahaman dan penghayatan mereka akan arti penting zakat masih sangat minim.
Jika demikian, kita temukan ketimpangan mereka dalam berjanji. Karenanya, tugas ilmuwan
Islam menterjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis tentang zakat kepada
mereka.

Mematuhi Pemimpin Yang Amanah


Jika seorang pemimpin menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya, maka dia
berhak untuk dipatuhi oleh umat. Sewaktu Khalifah Abu Bakar dibai’at menjadi khalifah dia
berpidato dengan mengatakan, : “Saya dilantik menjadi khalifah bukanlah karena saya lebih
baik daripada kamu sekalian. Jika saya berbuat baik, bantulah, dan kalau saya berbuat buruk
(menyeleweng), luruskanlah. Orang-orang yang lemah di antara kamu menjadi kuat, karena
saya akan melindungi hak-haknya. Orang-orang yang kuat di antara kamu, lemah pada sisi
saya sampai saya mengambil hak-hak daripadanya. Janganlah kamu meninggalkan
perjuangan, karena akibat sikap yang demikian akan ditimpakan Allah kehinaan di atas
pundak kamu. Patuhlah kepada saya selama saya patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, jka saya
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidaklah wajib bagi kamu mentaati saya lagi.”
Perhatian Abu Bakar terhadap kesejahteran umat khususnya kaum dhu’afa (wong
cilik) sangatlah besar. Keadilan dan pemerataan yang selama ini jauh dari mereka hendaklah
didekatkan. Rasulullah berkata, : “Kamu hanya akan mendapat kemenangan, kalau
memperhatikan (membela) kaum ‘dhu’afa’, kaum yang lemah”. Rasul dan Abu Bakar tidak
pernah menyampaikan pemikiran mereka untuk membela orang lemah (wong cilik) sekedar
dibibir saja, sebab mereka tahu bahwa Allah sangat marah kepada orang yang mengatakan
tapi tak melakukannya. Lihatlah Q.S. Al-Shaff(61): 3, artinya: “Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Memperjuangkan dan membela golongan lemah, yang tidak berdaya adalah tugas
umat ini, khususnya, para pemimpin eksekutif dan legislatif. Jika mereka meninggalkan atau
mengkhianati perjuangan ini, maka akan diancam oleh Allah. Sebaliknya, apabila mereka
mengabdikan dirinya kepada amanah yang dipikulnya, maka mereka berhak untuk dipatuhi
dan ditaati oleh umat. Mereka memiliki pengaruh yang besar dan wibawa di tengah-tengah
umat, dan mereka adalah pemimpin yang menjalankan amanah, memenuhi janji-janjinya
untuk mensejahterakan rakyat kecil, lemah, dan tak berdaya.

Dr. Drs. Parlindungan Siregar, M.A.

You might also like