You are on page 1of 23

Pengamat: Kasus Tanjung Priok Akibat Kekeliruan Pendekatan

Kamis, 15 April 2010 21:27 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | Dibaca 11868 kali

Pengamat: Kasus Tanjung Priok Akibat Kekeliruan Pendekatan

Situasi pasca bentrok di Tanjung Priok/ilustrasi. (ANTARA/Saptono)

Yogyakarta (ANTARA News) - Pengamat sosial politik dari Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito MSi
menilai tindak kekerasan sehingga terjadi bentrokan antara warga dan aparat di Tanjung Priok, Jakarta,
Rabu (14/4), akibat kekeliruan dalam pendekatan terhadap masyarakat.

"Bentrokan itu merupakan akumulasi dari dampak penerapan pendekatan keamanan yang lebih
dominan dalam kebijakan pembangunan," katanya di Yogyakarta, Kamis.

Menurut dia, pola seperti itu semestinya tidak dipakai, dan lebih mengedepankan pendekatan melalui
diplomasi. "Selama ini banyak penggusuran yang menimbulkan perlawanan akibat kekeliruan dalam
pendekatan," katanya.

Ia mengatakan eksekusi hanya bagian kecil dari pendekatan tersebut, sehingga yang lebih utama adalah
diplomasi dengan masyarakat, baik itu menyangkut kebijakan yang berpihak kepada mereka, dan tata
ruang, maupun diplomasi melalui tokoh agama serta tokoh masyarakat.

"Sekarang sudah saatnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Polri mengkaji ulang praktik
penegakan hukum dengan cara seperti itu," katanya.

Sebab, kata dia, apabila dalam penegakan hukum aparat keliru dalam melangkah, akan menyulut
kemarahan masyarakat.

Sedangkan dari pihak masyarakat, menurut Arie saat ini sedang mengalami frustasi, sehingga sangat
berpotensi terprovokasi.

"Bentrok seperti di Tanjung Priok bisa terjadi di mana pun apabila tidak ada koreksi dan perbaikan dari
kedua pihak," katanya.
Ia berharap kejadian tersebut menjadi akhir dari pendekatan keamanan yang dilakukan aparat, karena
jika masih dilakukan cara seperti itu, kemungkinan akan kembali jatuh korban di kalangan masyarakat,
Satpol PP, Polri maupun pihak lain.

Menurut dia, masyarakat saat ini mudah marah, karena ada gejala ruang dialog mereka semakin sempit.

Arie menilai adanya pengelompokan dan degradasi sosial di kota besar seperti di Jakarta, rentan terjadi
konflik dan tindak kekerasan, terutama terkait dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan.

Priok Berdarah Lewat Peta


Posted on 15 April 2010 by Rovicky
5 Votes

Naik Haji lewat Tanjung Priok (1925-1935)

Priok ? Ya tentunya smua tahu dimana itu Tanjung Priok. Tetapi kadangkala kalau ditunjukin
peta kita tidak tahu dimana lokasinya secara tepat, dan seperti apa situasi sekelilingnya.
Dimana Makam Mbah Priok ini ? Apakah didalam perkampungan yang juga akan digusur atau di
tanah lapang ?

“Wah, asik Pakdhe, melihat sebuah fenomena dari perspektif yang berbeda dengan yang
lain”

“Konon katanya mengenali itu harus didahulukan sebelum mencoba menyeleseikan masalah”

Sekilas Pelabuhan Tanjung Priok.

Tanjung Priok merupakan pelabuhan terpenting di Jakarta. Pelabuhan ini bukan pelabuhan ketika
membangun Jakarta. Kisah pembangunan Jakarta bisa dibaca disini :

 Jakarta yang “makin” sumpek – 1. Dulu namanya JACATRA


 Jakarta yang “makin” sumpek – 2. Tak se’sexy’ dulu !

Bandar pelabuhan ini yang dibangun pada 1877 di masa Gubernur Jendral Johan Wilhelm van
Lansberge yang berkuasa di Hindia-Belanda pada tahun 1875-1881 itu semakin mengukuhkan
perannya sebagai salah satu pelabuhan paling ramai di Asia setelah dibukanya Terusan Suez. Hal
ini juga didukung munculnya mesin upa yang menjadi penggerak kapal-kapal besar.

Tanjung Priok 7 Sept 1926

Penemuan kapal uap dan dibukanya Terusan Suez pada abad ke-19 semakin mempercepat
perjalanan menuju Asia yang membuat orang Eropa bergairah untuk berkunjung ke negeri
Timur. Demikian halnya ketertarikan orang Eropa untuk mengunjungi Jawa yang cukup besar.
Meskipun Jawa hingga abad ke-19 oleh Augusta de Wit, seorang pelancong wanita Belanda,
dalam kata pengantar bukunya Java: Facts and Fancies (1905) mengungkapkan bahwa Jawa
adalah sebuah nama dan tempat yang dianggapnya paling ‘tidak masuk akal’ untuk dikunjungi
(Spillane 1994:7). Jawa pada abad ke-19 menurut Arthur Walcott dalam Java and her neighbours
(1914) tidak memiliki cerita-cerita yang cukup layak menjual selain berita-berita mengenai
wabah penyakit, meletusnya gunung berapi, peperangan antar suku, dan kekerasan antar
penduduk asli seperti amok, santet. Ditambah lagi adanya aturan yang membatasi bagi mereka
yang hendak mengunjungi Hindia Belanda.
“Ternyata budaya amok memang sudah dikenali sejak dulu ya, Pakdhe”

“Hust itu bukan budaya, tapi itu perilaku buruk. Orang yang berbudaya selalu dikonotasikan
dengan hal baik, Thole”

Penyebaran Islam Oleh Mbah Priok (dari VivaNews)

Pelabuhan Sunda Kelapa disebelah kiri (cikal bakal Batavia). Pelabuhan tanjung Priok berada
disebelah kanan (timur). Ditengahnya merupakan pantai Ancol saat ini.

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh
biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang melegenda. Namanya bahkan
jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok.

Mbah Priok bukan orang asli Jakarta. Dia dilahirkan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan pada
1722 dengan nama Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al
Haddad R.A. Al Imam Al Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum akhirnya
pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam ilmu agama.

Menjadi penyebar syiar Islam adalah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam usia 29 tahun, dia
pergi ke Pulau Jawa. Al Imam Al Arif Billah tak sendirian, dia pergi bersama Al Arif Billah Al
Habib Ali Al Haddad dan tiga orang lainnya menggunakan perahu. Konon, dalam perjalanannya,
rombongan dikejar-kejar tentara Belanda. Namun, mereka tak takluk.

Dalam perjalanan yang makan waktu dua bulan, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak.
Semua perbekalan tercebur, tinggal beberapa liter beras yang tercecer dan periuk untuk menanak
nasi.

Suatu saat rombongan ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun habis dibakar. Saat itu,
Mbah Priok memasukan periuk berisi beras ke jubahnya. Dengan doa, beras dalam periuk
berubah menjadi nasi.
Cobaan belum berakhir, beberapa hari kemudian datang ombak besar disertai hujan dan guntur.
Perahu tak bisa dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sedangkan Al Imam Al Arif Billah
dan Al Arif Billah Al Habib harus susah payah mencapai perahu hingga perahu yang saat itu
dalam posisi terbalik. Dalam kondisi terjepit dan tubuh lemah, keduanya salat berjamaah dan
berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini berlangsung 10 hari, sehingga wafatlah Al Imam Al Arif
Billah. Dan DImakamkan disekitar lokasi Tanjung Priok sekarang.

Demikian heroiknya kisah diatas yang menjadikan peran Mbah Priok ini menjadi sangat spesial
di kalangan sebagian umat Islam.

Kasus Priok berdarah terjadi pada tanggal 14 April 2010. Kasus ini menjadi kacau ketika ada
‘bekas’ makam di areal yang strategis untuk mengembangkan pelabuhan ini. Konon sudah ada
rencana membuat monumen mbah Priok dilokasi ini. Namun berita ini sepertinya tidak
disosialisasikan dengan benar oleh pengembang pelabuhan.

Dimana lokasi makam itu?

Dibawah ini kita lihat sebuah kasus tetapi ditinjau dari peta yg ada:

Seputar Pelabuhan Tanjung Priok yang sangat padattt !

Dari peta ditas terlihat bahwa lokasi ‘bekas’ makam Mbah Priok terletak di daerah sputar
pelabuhan petikemas. Ketika foto satelit ini dibuat sepertinya lokasi ini sudah cukup bersih. Di
kiri kanan makam tidak ada bangunan rumah permanen. Artinya daerah ini sebenarnya siap
dikembangkan. Lokasi pelabuhan ini cukup atau bahkan sangat padat. Dan seperti pada
umumnya kota pelabuhan, maka kondisi seputar Tanjung Priok memang ruwett. Bahkan terkesan
kumuh !.

Lebih detil melihat lokasi ini.


Lokasi bentrokan Priok berdarah April 2010, dan lokasi Makam mbah Priok yg terletak ditengah
kawasan pelabuhan petikemas.

Kalau dilihat dalam peta diatas sepertinya memang saat dibuat foto satelit lokasi ini siap
dikembangkan. Namun peninggalan sejarah yang berupa makam Mbak Priok tentusaja perlu
dilestarikan. Ntah apa bentuknya, konon sudah disetujui akan dibangunnya monumen Mbah
Priok. Namun, sekali lagi, buruknya sosialisasi miskomunikasi serta terkesan terburu-buru inilah
yang menjadikan proses pengembangan pelabuhan dan pemeliharaan situs sejarah menjadi
berkepanjangan.

Tanjung Priok Berdarah Salah Siapa?


15 04 2010

Kejadian tanjung Priok Memunculkan banyak sekali kontroversi, dan sudut pandang yang
berbeda-beda dari masyarakat. Sudut pandang positif dan negatif, antara Pro dan Kontra.

Apa dan mengapa hal ini bisa terjadi?


Masyarakat adalah manusia yang menganggap dirinya orang-orang yang harus dibela dan
berkuasa atas apa yang ada ditengah-tengah negeri ini
Pemerintah adalah orang-orang yang menganggap dirinya memerintah dan berkuasa atas
pemerintahan
Aparat Hukum adalah orang-orang yang menganggap dirinya mengerti hukum dan berkuasa atas
hukum.

Lalu Siapa yang salah dan dimana letak kesalahan?


Mari kita pandang dari mata yang berbeda.

1. Masyarakat Indonesia  adalah orang-orang yang hidup teratur dibawah Hukum dan
pemerintahan di Negara Indonesia.Sudahkah Kita hidup sebagai masyarakat yang teratur
dan mau diatur?
Pada saat peraturan dibuat, masyarakat sangat sulit untuk mematuhi, saat dilakukan
teguran secara langsung dan halus, maka masyarakat menganggap itu sebagai teguran
yang biasa saja dan tidak perlu dipatuhi.
Contoh :
o Memakai helm, meski sudah berjuta kali diingatkan dan diberi sanksi, ternyata,
semua itu dianggap sebagai angin lalu saja
o Pedagang Kaki Lima, meski sudah disediakan tempat dan dilarang berjualan di
daerah yang dianggap mengganggu, begitu banyak alasan, seperti di kaki lima
lebih banyak pembeli, gratis, terkadang nurut sama aturan, tapi hanya sehari,
besok akan di ulang lagi
o dll contoh yang banyak sekali terjadi.

Kalimat yang muncul apa?

o Saya kan rakyat, yang membayar pajak, jadi hargai saya donk, bela saya donk !

Seharusnya kalau anda merasa rakyat yang harus dibela, sadar donk untuk bisa menjadi
masyarakat yang teratur.

Lalu berdasarkan fakta dan kejadian di atas, berdasarkan sifat ketidakteraturan dan sifat
tidak mau diatur, sifat mau menang sendiri pada masyarakat sendiri, apa masalah bisa
terselesaikan?

2. Pemerintah Indonesia adalah orang-orang yang menjadi wakil rakyat untuk melakukan
pengaturan dan pemberdayaan di tengah-tengah Negara Indonesia. Tapi apakah
Pemerintah sudah menjadi pemerintah yang adil, tanggap dan teratur? Ternyata tidak, 
Pemerintah tidak memiliki Manajemen yang baik ditengah-tengah pemerintahannya.
Negara ini sudah terlanjur jatuh dan bobrok terlalu dalam. Sudah terlanjur berkarat
penyakit KKN. Mementingkan diri sendiri.
Pemerintah belum memiliki ketegasan Terhadap Masyarakat, pemerintah belum memiliki
komunikasi yang baik dengan masyarakat.
Contoh :
o Jika saja pemerintah benar-benar bertindak tegas terhadap masyarakat dari awal
peraturan dibuat, pastinya masyarakat tidak akan melakukan hal-hal berulang.
Seperti penggunaan Helm di jalan raya. Jelas sekali, dari awal sudah terjadi
kesalahan, Pengendara tidak mematuhi peraturan, Uang bisa bekerja. Sudah sulit
untuk mengembalikan citra yang benar
o Jika saja pemerintah sadar akan posisi dan tugasnya, Negara ini sejahtera.
Sayangnya Korupsi terlalu tinggi, pemerintah yang mengaku pemerintah terlalu
mementingkan dirinya sendiri, memperkaya dirinya sendiri, tidak sadar jika dia
telah menelantarkan kepentingan rakyat.
o dan contoh lainnya masih sangat banyak
2. Aparat Hukum, Semau saya dan sesuka saya, saya tahu hukum, dan anda tidak tahu
hukum. Pantaskah? Jika Anda aparat hukum tau dan mengerti hukum, berikan contoh
pelaksanaan hukum yang benar di negeri ini. Masyarakat tak akan perduli hukum jika
penegak hukum sendiri sudah busuk dari dalam. Apa rakyat akan percaya? Jangan
menegakkan hukum dengan meninggalkan jejak kotor pada hukum yang sebenarnya
sudah bersih.
Contoh :

o Hukum sudah disalah gunakan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi,
Sogok menyogok bagi yang memiliki Uang
o Masyarakat tidak lagi percaya akan setiap hukum yang berlaku dan diberlakukan.
Karena dalam pikiran masyarakat, bahwa hukum itu sudah merupakan sebuah
permainan

Akhirnya Kejadian berdarah Tanjung Priok, siapa yang  harus disalahkan?

1. Masyarakat sudah terlalu anti terhadap Satpol PP yang selama ini dianggap “sewenang-
wenang”, padahal masyarakat juga ikut berkontribusi terhadap ketidak “sewenang-
wenang”  an itu. Tapi tidak tersadari oleh mereka.
2. Satpol PP sudah menganggap masyarakat adalah orang yang tidak bisa diatur, termasuk
mereka hanya menjalankan tugas dan perintah dari pengadilan. Bukankah Pemerintah
ikut ambil bagian dalam Kejadian ini?

Maka mari kita bijak dalam menilai, mari kita bijak dalam mengambil keputusan, mari kita bijak
dalam menggunakan emosi dan kata-kata, mari kita bijak dalam bertindak.

Bijaklah sebagai masyarakat dalam bertindak, berpikir dan berbuat. Baikkah tindakan dan cara
kita dalam menyikapi kondisi?

Bijaklah sebagai pemerintah yang membuat peraturan , sudah pantaskah itu diterapkan, atau
perlukan melakukan pendekatan emosional yang lebih baik.? Turunlah  ke masyarakat dan
berbicaralah dari hati ke hati. Jangan Hanya duduk di kursi empuk anda.

Bijaklah sebagai pelaksana hukum, dalam mengambil keputusan dan memutuskan. Jangan
Melihat kepada meareka yang punya uang dan berpaling dari mereka yang kecil.
Emosi akan ditunggangi oleh pihak-pihak yang merasa berkepentingan demi mendapatkan
kemauannya, sehingga emosi akan merusak diri dan milik kita sendiri.

KEKERASAN TANJUNG PRIOK (Warisan rezim orde baru)

KEKERASAN TANJUNG PRIOK


(Warisan rezim orde baru)
M. Musri Nauli, SH*

Sejenak kita terpana, saat menyaksikan televisi kerusuhan di Tanjung Priok (penulis sengaja
menggunakan istilah “kerusuhan” dalam melihat persoalan di Tanjung Priok). Kerusuhan yang
paling spektakuler sejak kerusuhan 13-14 Mei 1998 kemudian menimbulkan dampak yang luar
biasa. Korban jiwa, korban luka parah, kerusakan kendaraan adalah akibat yang hingga sekarang
merupakan salah satu indikator besarnya akibat kekerasan tanjung priok.

Rasanya masih ingat dalam ingatan kita, ketika kekerasan fisik di salah satu sekolah tinggi di
Jakarta. Sekolah tinggi yang mengaku akan mendidik Pamong ternyata menggunakan cara-cara
kekerasan yang diluar batas kemanusiaan. Cara-cara ini sebenarnya mengulangi cara-cara
sebelumnya yang mengakibatkan kematian terhadap mahasiswa. Catatan kelam ini kemudian
berulang dan diliput media massa.

Belum juga lepas dari ingatan kita, Indonesia kemudian diliput sebagai negara yang paling brutal
dalam pertandingan sepakbola. Kerusuhan penonton disebabkan karena tim kesayangan gagal
memenangkan pertandingan kemudian berdampak terhadap kekerasan massal. Pelemparan botol
air mineral terhadap sesama penonton, perkelahian antara pendukung satu dengan yang lain,
pemukulan pemain tamu, perusakan stadion, merusak kota, pelemparan kereta api dan berbagai
macam bentuk kekerasan lain.

Kita juga melihat bagaimana pedagang kaki lima diuber-uber “persis” anjing mengejar
mangsanya. Televisi dengan gamblang menayangkan seorang ibu pedagang bakso yang panik
diuber Satpol PP yang kemudian menyebabkan air panas tumpah dan menyebabkan anak balita
kemudian tewas. Kita juga menyaksikan hampir setiap daerah peran Satpol PP yang bertindak
“over” dan bertindak kekerasan. Dan kekerasan itu menjadi terekam dalam ingatan publik.

Dalam sektor keagamaan, kekerasan berdimensi yang tidak terpisahkan. Kasus Monas yang
dilakukan oleh kelompok agama melakukan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap
“murtad”. Kekerasan atas nama agama kemudian mengingatkan kita terhadap kekerasan dalam
sejarah islam dalam “kudeta Kafilah” pasca Nabi Muhammad. Bahkan pada masa pasca Umar
bin Khatab, dilanda kemelut kecemburuan sosial atas Kebijakan-kebijakan Usman sendiri yang
dipandang lebih menguntungkan kerabat-kerabatnya. Akibat berlarut-larutnya konflik di tengah
umat, Usman bernasib malang. Ia terbunuh oleh seorang yang tidak diketahui identatisnya dalam
sejarah islam. (Didin Saefuddin Buchari, Sejarah Politik Islam). Inilah pembunuhan bermotif
politik pertama dalam sejarah islam. Penggantinya, Ali bin Abi Thalib, ternyata tidak mampu
memadamkan kemelut politik yang makin menyeruak hingga berakhir pada tragedi berdarah,
yakni pembunuhan atas dirinya sendiri.
Sejarah teologi Islam memang penuh dengna perbedaan dan perpecahan. Bahkan tak segan-
segan para teolog itu saling menuduh kafir, murtad dan zindiq (ateis) terhadap lawannya.
Persoalan kafir mengafirkan atau caci maki itu berlanjut dengan pertumpahan darah (Aliran-
aliran dalam Islam, Ahmad Sahidin, 2009)

Kekerasan juga masuk kedalam sektor privat (baca rumah tangga). Matinya istri dari petinggi
PSSI akibat dipukul menambah panjang kekerasan di Indonesia. (walaupun secara normatif,
Indonesia mempunyai UU perlindungan KDRT, namun tidak banyak membantu menurunkan
tingkat kekerasan dalam rumah tangga).

Sebelum Kerusuhan Tanjung Priok, “over akting” dari Satpol PP yang akan menggusur
pemukiman China di Tangerang membikin kita berdegup. Pemukiman yang tidak bisa
dipisahkan dari sejarah keberadaan China dan mempunyai sejarah panjang dengan akar China
menemukan hipotesa yang tepat. Bahwa persoalan penting yang berkaitan dengan identitas
Indonesia haruslah dikalahkan kepada hal-hal yang berkaitan semata-mata motif ekonomi.

Hampir setiap sektor kehidupan di Indonesia tidak terlepas dari kekerasan. Kita mencatat
kekerasan oleh negara dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dengan Pemerintahan.

Sehingga pernyataan Syafii Maarif yang menggugat “Agama dan hukum telah gagal
menjalankan tugasnya. Agama yang menggunakan kekerasan bukanlah agama”

Sejarah kekerasan di Indonesia

Kekerasan (bahasa Inggris: Violence ejaan Inggris: [/vaɪ(ə)lənt/] berasal dari (bahasa Latin:
violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti kekuasaan atau berkuasa) adalah dalam prinsip
dasar dalam hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik yang
dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan
penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau
sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara
bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan
atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini.

Kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan,
dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti
orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan"
juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —kekerasan sembarang, yang
mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang
terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak —
seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.

Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern telah kian meningkat hingga mencapai
tingkat yang membahayakan secara universal. Dari segi praktis, peperangan dalam skala besar-
besaran dianggap sebagai ancaman langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya,
masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi.

Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena kemampuannya yang
kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap merupakan
urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi urusan masyarakat pada umumnya.

Rezim orde baru adalah rezim yang paling banyak meninggalkan kekerasan dalam setiap sendi
kehidupan. Berbagai kebijakan penguasa Orba pada gilirannya berlandaskan pada prinsip
keamanan politik. Inisiatif kritis lokal dipandang sebagai tindakan subversif dan ancaman
terhadap integrasi nasional. Orba mengontrol proses kritis melalui lembaga negara. Lembaga
militer mengawasi aktivitas masyarakat dari tingkat propinsi sampai ke tingkat desa. Lembaga
militer dan aparatnya mengawasi berbagai aktivitas dari mengedit naskah pengajian sampai
dengan mengawasi acara pertemuan warga. Sebagian kalangan menyebutkan dengan istilah
pendekatan keamanan tradisional/tradisional security (Sosiologi Konflik, Novri Susan, 2010)

Berbagai riset membuktikan, bahwa kontrol negara terhadap rakyat dapat dilihat pada berbagai
aktivitas politik, keagamaan, dan berbagai aktivitas budaya. Sekedar catatan, kelompok Petisi 50
mengalami perlakuan yang menyedihkan. Selain berbagai tokohnya dilarang tampil dalam
kegiatan-kegiatan publik, hak keperdataannya dimatikan, juga dituduh dalam peristiwa
kerusuhan Tanjung Priok 1984 dan berbagai peristiwa pentingnya. Kerusuhan Medan 1994 yang
kemudian menyebut tokohnya Dr. Muchtar Pakpahan tidak bisa dilepaskan bahwa tokoh ini
kritis terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh orde baru. Belum lagi mereka yang
dituduh sebagai tokoh intelektual dari peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (biasa dikenal Kuda
Tuli). Bahkan Penyanyi Iwan Fals beberapa kali batal manggung karena dianggap sebagai
pengkritik dan bisa berbahaya bagi stabilitas nasional.

Kekerasan yang dilakukan orde baru, tidak bisa dipisahkan dari kejadian seperti kerusuhan Dilli,
1991, Lampung 1989, Petrus 1978-79, Malari 1994, termasuk kerusuhan Mei berdarah 13-14
Mei 1998. masih banyak catatan sejarah kelam di Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari
kekerasan orde baru. Kekerasan orde baru di alam reformasi pun masih terjadi. Peristiwa
Simpang V Aceh 2001, konflik Poso, berlarut-larutnya masalah di Papua membuktikan bahwa
orde baru meninggalkan kekerasan. Peristiwa Tanjung Priok 12 April 2010 adalah bukti
termuktahir kekerasan oleh negara warisan orde baru. Bahkan lahirnya berbagai milisi yang
cenderung menggunakan kekerasan terhadap kelompok-kelompok prodem mengingatkan penulis
sejarah teologi islam yang penuh benturan dan konflik.

Tipologi Kekerasan di Indonesia

Telah menjadi fakta bahwa konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan
berpolitik serta pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik (Kornblurn, 2003)

Kekerasan yang dilakukan perorangan perlakuan kekerasan dengan menggunakan fisik


(kekerasan seksual), verbal (termasuk menghina), psikologis (pelecehan), oleh seseorang dalam
lingkup lingkungannya. Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok, yang oleh Max
Weber didefinisikan sebagai "monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah" yakni
dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam
keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatanan terorisme yang dilakukan
oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem (antara lain,
genosida, dll.). Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik yakni tindakan
kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial, ekonomi atau psikologis (skizofrenia, dll.).
Kekerasan dalam politik umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim
legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatas namakan suatu tujuan politik
(revolusi, perlawanan terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau alasan pembunuhan
terhadap raja lalim walaupun tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam teori hukum untuk
pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah
tirani dalam doktrin hak asasi manusia. Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of symbolic
power), merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan secara struktural dan
kultural (Johan Galtung, Cultural Violence) dalam beberapa kasus dapat pula merupakan
fenomena dalam penciptaan stigmatisasi.

Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar orang (interpersonal conflict),
konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan negara (vertical
conflict) dan konflik antarnegara (interstate conflict).

Dan catatan panjang ini sekedar memahami bagaimana wajah indonesia yang bersinggunggan
dengan kekerasan.

Sebelum menutup tulisan ini, Ketika kekuasaan Orde Baru tumbang, menguat tuntutan dari
gerakan kaum muda untuk dilakukannya potong generasi (cut off generation).

Namun, isu potong generasi pada masa itu terlalu abstrak dan tidak operasional. Tak ada musuh
bersama yang spesifik untuk dilustrasi. Hampir setiap forum yang mendiskusikan kemungkinan
potong generasi selalu dipungkasi dengan pesimisme sebab sumirnya jawaban atas pertanyaan:
apa kriteria generasi yang mau kita potong dan terhadap wilayah/level pemerintahan mana
pemotongan akan dilakukan.

Kini musuh bersama itu jelas: kekerasan yang merajalela dan satu sama lain saling menguatkan.
Selama ini, ketidakmungkinan menyelesaikan cara-cara nonviolent melalui instrumen hukum
menguat terutama karena sistem penghukuman berefek jera apa pun tidak bisa bekerja tanpa
aparat hukum yang bersih.
Mewujudkan Perdamaian:

Utopia Atau Realita

Irine H. Gayatri
Disampaikan pada Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II”,
(27-29 Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat)

Pengantar

Indonesia merupakan negeri yang sarat dengan konflik kekerasan. Bersamaan dengan transisi politik,
semua persoalan yang dihambat atau ditekan pada masa rezim Orde Baru mengemuka. Ketidakpuasan
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah tiba-tiba menemukan penyalurannya melalui cara-cara
kekerasan fisik dalam bentuk amok, dan konflik komunal. Belakangan, terdapat kecenderungan
menguatnya kekerasan oleh kalangan masyarakat sendiri sehingga muncul kesimpulan bahwa kekerasan
yang berlarut adalah hasil reproduksi secara sosial melalui proses intemalisasi pengalaman kognitif,
setelah pada periode sebelumnya kekerasan lebih didominasi oleh kekerasan negara (state-violence)
yang dilakukan secara sistemik melalui institusi-institusi kekerasan. Maka, tak heran jika sampai saat ini,
berbagai bentuk kekerasan terus terjadi di berbagai level masyarakat sehingga mempermudah
terjadinya letupan konflik vertikal maupun horizontal.

Di satu sisi, sangat tidak mudah untuk menguraikan akar persoalan konflik kekerasan, bahkan
menuntaskannya. Di sisi lain, hal ini justru memunculkan "tantangan" baru bagi kita untuk berupaya
mencari jalan keluar dengan memikirkan altematif pemecahan persoalan yang sesuai dengan potensi
serta komitmen yang dimiliki. Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk mengulas satu per satu
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konflik, krisis yang memberi "ruang" bagi munculnya konflik
kekerasan, serta transisi politik yang berlangsung. Namun, menawarkan suatu agenda posisi kita sebagai
peaceworker ataupun peacebuilder yang mcmiliki komitmen untuk mengupayakan altematif keluar dan
konflik kekerasan, dan mendorong terbentuknya budaya damai (peace culture) sehingga memungkinkan
untuk membawa potensi konflik kekerasan atau konflik kekerasan yang sudah berlangsung ke arah
perdamaian yang lebih kooperatif dan positif.

Bahasan akan diawali dengan definisi konseptual mengenai konflik dan beberapa tataran perspektif
pendekatan penanganan konflik (resolusi konflik, manajemen konflik, dan transformasi konflik), uraian
singkat tentang konflik kekerasan dan transisi politik di Indonesia, sebagai konteks terjadinya konflik
kekerasan pada level komunal disertai catatan kaki, dan diakhiri dengan sebuah refleksi mengenai
pembangunan perdamaian dan altematif untuk positioning.

Definisi Konseptual

Konflik dan kekerasan merupakan dua hal yang berbeda, jika "konflik" diartikan sebagai "hubungan
antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-
sasaran atau tujuan yang tidak sejalan". Sementara itu, "kekerasan" meliputi "tindakan, perkataan,
sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau
lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih posisinya secara penuh", atau, " sebagai
"perilaku yang melibatkan kekuatan fisik, bertujuan untuk melukai, merusak, atau membunuh sesuatu
atau seseorang". Dalam tulisan ini, "konflik kekerasan" dimaksud sebagai konflik komunal yang
mengakibatkan kerusakan infrastruktur ekonomi, sosial, dan politik, serta menimbulkan jatuhnya korban
jiwa.

Di sisi lain, sebenamya konflik merupakan sebuah hal yang niscaya, oleh karena ada kecenderungan
dalam setiap individu/kelompok untuk mempertahankan kepentingannya, mengedepankan persepsi
masing-masing, dan memiliki nilai-nilai/ tujuan yang berbeda dalam melihat suatu persoalan, serta cara
yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Persoalan menjadi lain ketika tujuan-tujuan yang
"incompatible" itu saling bertentangan, dan masing-masing pihak tidak dapat mencapai suatu titik
kompromi, atau lebih jauh, mencapai kesepakatan dan melakukan kekerasan sebagai ungkapan
ketidaksetujuan atau sebagai perwujudan untuk memperoleh kemenangan.

Dalam suatu entitas politik bernama negara otoriter, mengandaikan adanya

"konsensus politik" antara yang memerintah dan diperintah secara sukarela adalah tidak mungkin. Pada
masa Orde Baru, misalnya, hampir tidak ada mekanisme lokal untuk menyelesaikan konflik di tingkat
masyarakat, oleh karena lembaga-lembaga adat sudah dihancurkan negara. Akhimya, konflik tidak
diakomodasi, tidak dilembagakan. Dalam suatukonstruk negara yang ditopang oleh kekuatan modal
yang eksesif dan kontrol yang dilakukan oleh aparatus ideologis dan militer, konflik yang tidak
terlembaga ini menimbulkan kekerasan, berbentuk tindakan destruktif, bersifat menghancurkan,
mematikan dan memakan korban.

Beragam perspektif mengenai konflik telah banyak dikemukakan oleh para ilmuwan dan praktisi. Ada
yang menyatakan bahwa bahwa konflik adalah instinctual agression dari manusia itu sendiri yang
necessarily evil, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa konflik merupakan hal yang positif untuk
perubahan dan/atau perkembangan masyarakat itu sendiri. Konflik dikategorikan berada dalam tiga
level atau tingkatan: pertama, pada level individu, kedua, pada level masyarakat/negara, dan ketiga,
pada level intemasional. Terdapat berbagai penyebab dan pemicu konflik, yang sangat kompleks dan
tergantung pada level mana konflik tersebut terjadi. Yang patut diperhatikan adalah faktor-faktor di
balik penyebab tersebut, apakah karena faktor individu manusia yang memiliki sifat agresif ataukah
karena sifat masyarakat itu sendiri, ataukah sistem dan pola hubungan di antara mereka (baik lokal
maupun intemasional).

Dari perspektif pendekatan untuk menangani konflik, terdapat tiga terminologi yang dominan dan
seringkali mengundang perdebatan dalam implementasinya, meskipun satu dan lainnya tidak terlalu
signifikan untuk dipertentangkan oleh karena memuat elemen-elemen yang saling melengkapi, yaitu (1)
Resolusi konflik, (2) Manajemen Konflik, dan (3) Transformasi Konflik. Ketiga model pendekatan tersebut
acap juga dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses, dimana satu tahap akan melibatkan
tahap sebelumnya, misalnya tahap "resolusi konflik" akan mencakup tindakan-tindakan "pencegahan
konflik" atau "conflict prevention".

Belakangan, istilah "resolusi konflik" termasuk yang seringkali digunakan oleh berbagai kalangan baik
pada tataran akademik maupun praktis. Isu di balik perbedaan pendapat itu misalnya, dipicu oleh
penilaian bahwa "resolusi" konflik mengesankan suatu pendekatan yang "ambisius" jika tidak dapat
dikatakan "arogan", seolah terdapat suatu pendekatan yang manjur bagi penyelesaian suatu konflik.
Padahal, suatu konflik hampir-hampir tidak bisa diselesaikan secara utuh/sepenuhnya.

Jika dilihat dari nature of conflict, misalnya perbedaan dalam intensitas kepentingan di antara kedua
pihak yang berkonflik, maka pendekatan yang lebih "masuk akal" adalah conflict transformation, yaitu
mentransformasikan atau menggeser konflik dari tingkat/level yang "mematikan" menuju kepada suatu
kondisi yang dapat dikembangkan dengan suatu kerjasama di antara pihak-pihak yang bertikai.
Mekanisme utamanya adalah mengalihkan energi masing-masing pihak yang berkonflik kepada situasi
baru, dengan mengakui keberadaan konflik dan mengikuti dialektikanya secara alamiah, sehingga
tingkat konflik bisa diturunkan dari kondisi waging war sampai kepada kerjasama sampai tercapainya
suasana damai. Dalam konteks ini, konflik bukan merupakan suatu keadaan yang isolated, tanpa sebab
dan proses. Karena itu konflik selalu melewati siklus yang terdiri dari indikasi awal timbulnya konflik,
eskalasi permasalahan, puncak konflik, penurunan konflik, dan keadaan pasca konflik. Pada situasi pasca
konflik, tidak tertutup kemungkinan berulangnya eskalasi konflik, tergantung sejauh mana tingkat
hostilities yang ada. Selain itu, pendekatan yang lain adalah "conflict management". Istilah manajemen
konflik merupakan suatu konsekuensi atas asumsi bahwa konflik itu merupakan suatu hai yang natural
di dalam diri manusia, sehingga yang paling penting adalah bagaimana mengatur konflik tersebut untuk
tidak masuk ke ambang kekerasan senjata.

Konteks Indonesia
Konflik kekerasan di Indonesia berlangsung bersamaan dengan proses transisi politik setelah krisis
finansial yang parah tahun 1997. Namun, jauh sebelumnya, berbagai konflik kekerasan/"violent conflict"
telah muncul sejak era prakolonial, kolonial, maupun masa Orde Baru dan periode "reformasi".
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa basis-basis konflik kekerasan sudah "terlanjur" berurat-akar
pada berbagai level, terutama pada level komunal. Inti berbagai kajian itu mencakup identifikasi akar
konflik, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, serta prospek untuk mewujudkan situasi non-konflik,
status quo, maupun usulan rekonsiliasi dan perdamaian jangka panjang. Catatan sejarah itu
menunjukkan "keakraban" masyarakat Indonesia dengan kekerasan dalam berbagai bentuknya:
struktural, simbolik, dan fisik, sehingga negeri ini sempat mendapat julukan "a violent country/culture".

Analisis terhadap akar konflik di Indonesia oleh Colombian dan Lindbland menunjukkan, kekerasan
muncul di setiap level masyarakat jajahan, oleh politik kolonial (kasus "urang Rantai" di tambang
Ombilin; pemberontakan Haji Hasan di Cimareme terhadap Polisi Kolonial, dan kekerasan di kawasan
perkebunan Sumatra Utara). Pada masa itu, kekerasan digunakan oleh negara sebagai suatu instrumen
untuk mengalahkan warga masyarakat sendiri, jika pemerintah "absen" dari penggunaan kekuatan
paksaan. Kunci untuk memahami kekerasan di Indonesia paska Orde Baru, menurut Lindbland dan
Colombijn, adalah dengan memperbandingkannya dengan kasus-kasus kekerasan lain: (1) dengan kasus-
kasus lain di Indonesia yang terjadi pada waktu yang bersamaan; (2) dengan kekerasan yang terjadi di
negara lain; dan (3) dengan kekerasan yang terjadi di masa lalu. Colombijn dan Lindbland tidak sepakat
dengan pendekatan yang hanya membatasi pada Orde Baru sebagai pangkal segala bentuk konflik
kekerasan yang terjadi sekarang.

Sementara, dari sudut sejarah geopolitik internasional, Mark Mazower memotret kekerasan di negara-
negara pada abad keduapuluh sebagai akibat dari sisi perubahan konteks internasional dalam negara-
negara di abad keduapuluh. Dalam "Violence and The State in Twentieth Century" Mazower
menyebutkan: "[not] long ago, modernization was thought to lead to prosperity, social -welfare, and
stability. When historical sociologists in particular sought to explain episodes of political violence along
the path (or paths) to the modern era, they tended to see these as temporary. Both Barrington Moore
and Charles Tilly, for instance, stressed the role of coercion and social conflict in modernisation, but only
as elements in a process of transition. Of late, however, violence has moved center stage, and the
twentieth century is increasingly characterized by scholars in terms of its historically levels of
bloodshed". Dari sisi lain, Collins justru mempertanyakan keabsahan klaim bahwa kekerasan merupakan
"budaya" Indonesia, dan mengajukan argumen bahwa klaim tersebut semata-mata ditujukan untuk
melegitimasi kembalinya state-sponsored violence.

Dengan melihat beberapa sorotan terhadap konflik kekerasan di Indonesia di atas, maka wajar lah jika
akhirnya di kalangan masyarakat muncul keragu-raguan bahkan sikap skeptis terhadap alternatif untuk
keluar dari konflik kekerasan, jika menyimak catatan tentang konflik dan kekerasan di Indonesia.
"[s]udah biasa, kak, di sini kalau satu orang mati ta'ada artinya, kami mengungsi karna tak tahu harus
tinggal di mana lagi, di kampong mana, di sini saja ditolak" .

Perdamaian: Utopia atau Realita

Di sisi lain, masyarakat masih menginginkan damai. "Damai" merupakan persyaratan mutlak bagi setiap
manusia yang menginginkan rasa aman. Tanpa itu, tidak mungkin seseorang atau sekelompok orang,
baik dari unit terkecil dalam masyarakat ataupun bahkan dalam negara, dapat memenuhi kebutuhan
sosial, politik dan ekonominya dengan baik. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang menarik keuntungan dari
sebuah "absence of peaceful situation", oleh karena mereka sangat berkepentingan terhadap
"ketersediaan" konflik yang berlarut-larut, dan mayoritas berbentuk kepentingan ekonomi dan/atau
politik. Di sisi lain, konsep "damai" pun ternyata kontekstual, jika diletakkan dalam situasi tertentu. Yang
dimaksudkan dengan situasi damai dalam tulisan ini, oleh karenanya, bukan sekedar dalam makna yang
negatif, relatif tanpa gejolak, atau tanpa konflik. Namun lebih dari itu, sebagai salah satu tujuan dari
penanganan konflik. Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai pengantar diskusi: (1)
Mengapa perlu situasi damai?; (2) Apakah perdamaian sebagai prekondisi bagi rasa aman, yang
merupakan hak dasar warga negara telah terpenuhi?; (3) Bagaimana mencapai situasi damai yang
"sustainable", apakah faktor pendukung dan penghambatnya?; (3) bagaimana tanggungjawab negara,
sekaligus stakeholders di dalam negara?
Paul Wehr, dalam "The Development of Conflict Knowledge" menyebutkan bahwa pada periode
sepanjang abad -19 dan 20, kesadaran manusia tentang bagaimana suatu konflik muncul, di samping
upaya-upaya untuk menanganinya dengan cara-cara yang konstruktif, semakin bertambah melalui, pada
level abstrak dan dan formal, pendidikan di sekolah, forum seminar, dan pelatihan. Di Indonesia, studi
untuk menelaah, mengidentifikasi, dan merumuskan usulan atau rekornendasi mengenai penyelesaian
kasus-kasus konflik dilakukan baik oleh universitas, lembaga-lembaga penelitian dalam negeri dan
intemasional, lembaga swadaya masyarakat, serta muncul dari kalangan pemerintah sendiri.

Oleh Wehr, "gerakan" di atas digambarkan sebagai bukan hanya sekedar "merefleksikan keingintahuan
manusia terhadap persoalan konflik" dan bagaimana mewujudkan perdamaian, tetapi lebih jauh, hal ini
menggambarkan proses pencarian suatu solusi terhadap semakin bertambahnya skala dan biaya dari
konflik antar manusia. Situasi chaos politik, ekonomi, sosial, budaya di Indonesia yang berlangsung sejak
1997, bahkan yang telah memiliki potensi laten pada periode jauh sebelumnya, merupakan "arena" bagi
pertarungan kepentingan antar individu maupun antar kelompok dalam negara. Kasus-kasus konflik
kekerasan yang menelan kerugian berupa jiwa manusia, harta benda, dan efek kejiwaan berupa trauma
telah membuktikan hal itu. Maka, ungkapan Wehr tentang "proses pencarian solusi" di atas sangat tepat
jika dikaitkan dengan berturnbuhnya kesadaran berupa upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik
kekerasan di Indonesia yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Selain itu, upaya untuk menangani
persoalan konflik sebenarnya justru tergantung dari pihak-pihak yang berkonflik, korban dari peristiwa
konflik itu sendiri, di luar kalangan yang selama ini sering diberi atribut "kelompok masyarakat sipil"
yaitu kalangan LSM dan mahasiswa.

Salah satu pertanyaan penting muncul berkaitan dengan "pelibatan pihak-pihak yang berkonflik dalam
skema resolusi konflik". Asumsinya, jika dilihat dari sisi pemicu dan/atau pelaku konflik, resolusi konflik
yang dilakukan melalui kesepakatan-kesepakatan damai, difasilitasi oleh dialog, tidak akan banyak
berarti jika aktor-aktor yang terlibat konflik tidak disertakan untuk membangun situasi damai yang
berkelanjutan ("sustainable peace building"). Namun, hal ini pun menyisakan sebuah dilema baru.
Bagaimana mendesakkan suatu agenda damai melalui perundingan jika negara tidak dapat bersikap adil
terhadap pihak-pihak yang dianggap musuh? Sementara, negosiasi mensyaratkan posisi setara bagi
kedua pihak yang hendak melakukan negosiasi. Dalam konteks transisi politik, ini bukan hal yang mudah
mengingat kalangan "civil society" sendiri dalam keadaan terpecah belah, dan demokratisasi masih
berlangsung.
Dalam konflik Aceh, sekedar suatu perbandingan, tidak mudah bagi Jakarta untuk menentukan dengan
siapa dialog dilakukan di Aceh, oleh karena GAM tidak hanya terdiri dari satu faksi. Baik pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) maupun pemerintahan Presiden Habibie gagal mengakhiri
konflik, sehingga rakyat Aceh kemudian meminta referendum sebagai jalan untuk memutuskan masa
depan propinsi tersebut, apakah tetap ingin menjadi bagian dari RI atau menjadi negara merdeka. Status
Otonomi Khusus NAD tidak dipandang sebagai altematif positif untuk meredam konflik--kecuali oleh
segelintir elite politik di kalangan Pemda Aceh—melainkan justru memicu persoalan baru dengan
praktik-praktik pemaksaan terhadap minoritas non Islam di Aceh. Negara, sebagai salah satu aktor di
balik munculnya konflik kekerasan berpotensi memicu konflik baru dengan penduduk setempat karena
"mendiamkan" persoalan pengungsi. Puluhan ribu jiwa masih tinggal di kamp penampungan di tiga
kabupaten di Sumatra Utara (Kabupaten Deli Serdang, Binjai, dan Langkat) paska perjanjian penghentian
kekerasan di Aceh.

Kalangan kelompok masyarakat sipil di Aceh yang sempat "terbelah" dengan isu referendum sebagai
mekanisme dialog, atau jalan lain menuju kemerdekaan, baru-baru ini saja kembali berada dalam satu
front untuk mengkampanyekan perdamaian pasca perjanjian penghentian kekerasan. Pembentukan
Trauma Center di Aceh juga tidak akan berarti apapun jika kedua pihak yang bertentangan gagal
menerapkan rasa saling percaya sesuai kesepakatan "cessation of hostilities" di Swedia. Bahkan,
kecenderungan pemihakan terhadap GAM pada derajat tertentu malah berpotensi memunculkan resiko
baru bagi kalangan masyarakat yang sudah lelah didera konflik bersenjata.16 Kerja keras kalangan
aktivis LSM di Aceh yang selama ini mengkampanyekan jalur dialog dan anti kekerasan sebagai bagian
dari solusi "krisis" Aceh juga tidak banyak mendapat respon oleh pemerintah daerah dan pusat, dan
berakhir sebatas kampanye interaktif dan karikatif belaka. Misalnya, dengan menggunakan momentum
peringatan Hari HAM sedunia. Namun deniikian, jika kita kembalikan pada perspektif penanganan
konflik, dalam kondisi "transisi" dari situasi perang ke arah perdamaian, masih ada celah bagi kalangan
aktivis dan penganjur perdamaian untuk merumuskan strategi-strategi baru melalui penguatan elemen-
elemen masyarakat. Belakangan, hal ini telah dimulai dengan terbentuknya ASPA (Aliansi Sipil Untuk
Perdamaian Aceh).
Selain itu, contoh lain diperlihatkan oleh sebuah analisis mengenai akar konflik dan prospek perdamaian
di Ambon. Zona damai yang diciptakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang bertikai dan
difasilitasi oleh kelompok penganjur perdamaian, dengan maksud memulihkan harkat dan martabat
manusia di kawasan konflik, di satu sisi tidak diikuti oleh upaya yang setimpal oleh negara (pemerintah
daerah dan pusat, serta aparat keamanan dan segelintir elite politik lokal), dan di sisi lain konsep yang
digagas oleh kalangan "non-negara" itu juga tidak dilanjutkan dengan membuka peluang lebih besar
untuk melakukan kerjasama. Sehingga timbul kesan, bahwa upaya peredaman konflik "didominasi" oleh
Perjanjian Malino yang sebenamya hanya bersifat temporer, tidak mengakar. Promosi Malino
Agreement sebagai satu-satunya titik tolak perdamaian di Ambon dan Maluku tampak dalam paradigma
yang digunakan oleh TPIN Maluku, dan identifikasi akar konflik yang dipersempit dengan "[faktor politik"
(adanya pemilihan walikota, bupati, dan gubemur); faktor ideologi (adanya kelompok separatis RMS);
dan faktor sosial (jumlah penduduk yang sangat padat terutama di kota Ambon).

Apa yang Mungkin Dilakukan?

Ada poin penting ketika membicarakan soal "perdamaian", yaitu menyangkut persepsi dan interpretasi
siapakah yang dominan di dalamnya. Jika Hambali merujuk pada problematika konsep "rekonsiliasi"
dalam kasus Tragedi Tanjung Priok, maka hal yang sama dapat diajukan pada konsep "damai" untuk
mengakhiri kasus konflik kekerasan itu sendiri. Bukankah militer juga memasang spanduk "damai itu
indah" di lokasi-lokasi strategis di sudut-sudut kota dan di pelosok-pelosok desa? Sebuah kesepakatan
damai, dalam konflik yang terjadi di level apapun, baik intra state (konflik internal) maupun inter-state
(konflik antar negara), seharusnya memuat elemen-elemen "peace building", termasuk di dalamnya
upaya penegakan hukum dan perwujudan sikap saling percaya (confidence building measures) di antara
pihak-pihak yang berkonflik. Namun, jika instrumen hukum tidak lagi dipercaya oleh masyarakat,
padahal keamanan juga merupakan hak warga, maka bagaimana upaya untuk mencapainya? Negara
tidak berfungsi semestinya dalam menyediakan situasi aman. Dimanakah posisi stakeholders? Jika
kekerasan akhirnya direproduksi oleh kelompok-kelompok "masyarakat sipil", apakah tidak ada lagi
masa depan untuk kata "damai" ?
Dalam konteks ini, diperlukan upaya menelusuri kembali langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh
berbagai pihak untuk mencapai tujuan perdamaian, terutama dalam konteks pemenuhan hak warga
negara akan rasa aman, serta melihat bagaimana upaya untuk mewujudkan mekanisme penanganan
konflik, dan signifikansinya untuk mendorong ke arah perdamaian jangka panjang di Indonesia. Apakah
kita memiliki alternatif "perdamaian", yang dimaksudkan bukan dalam pengertian "negative peace" yang
berbentuk sekedar penghentian kekerasan, melainkan "positive peace" yang disertai partisipasi
langsung dari masyarakat untuk mewujudkannya? Pendekatan penanganan konflik manakah yang paling
sesuai jika melihat pada kecenderungan bertarutnya konflik,terutama jika melihat akibat yang
ditimbulkannya?

Pandangan jangka panjang terhadap konflik itu sendiri setidaknya tergantung pada dua variable:
keseimbangan kekuatan, serta kesadaran terhadap keberadaan kelompok-kelompok kepentingan dan
kebutuhan mereka yang terlibat konflik; dan pendekatan terhadap penanganan konflik seperti telah
disebutkan di muka. Proses penanganan konflik dan upaya untuk mencapai perdamaian dapat dipahami
dalam konteks tersebut. Dalam hal ini, peran peace builder terutama diharapkan muncul dari kalangan
civil society, atau individu-individu yang memahami persoalan, dan mampu menganalisis dengan jernih
setiap konflik yang terjadi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Kita
dapat memposisikan diri sebagai pihak yang memberikan analisis/konsultasi, langsung melakukan
advokasi, atau melibatkan diri sebagai "third party" dalam skema mediasi dan/atau negosiasi, dengan
persyaratan kondisi relasi yang seimbang di antara pihak-pihak yang berkonflik.

Sebagai kesimpulan, tujuan utama dan proses pembangunan situasi damai adalah untuk
merestrukturisasi hubungan-hubungan sosial yang telah rusak; dan, lebih jauh lagi, menghasilkan
sebuah mekanisme penanganan konflik yang adil dan damai, dengan memperhatikan aspek-aspek
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi lokus konflik tersebut. Dari sisi pandang seperti ini,
mengedepankan dan membuka potensi konflik laten bukan merupakan "provokasi" atau "menambah"
konflik, melainkan merupakan bagian dari proses perdamaian yang lebih luas.

You might also like