You are on page 1of 411

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui

opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfgh
jklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvb
nmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwer
tyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
Kumpulan Cerpen
dfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
Dari berbagai media dan penulis

cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
di kumpulkan olehTeguh Afandi

wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuio
pasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghj
klzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty
uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrty
uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
Rumah Kawin

Zen Hae
Sumber: Kompas, Edisi 04/06/2003

LAGU Cente Manis baru saja berakhir dari mulut Gwat Nio. Para wayang cokek sudah
mengosongkan kalangan. Para panjak mulai membereskan alat musiknya masing-
masing. Tetapi Mamat Jago masih saja berdiri sambil memeluk Sarti di tengah
kalangan. Tangannya terus meremasi pantat Sarti dan menyorongkan mulut
monyongnya ke mulut wayang bermata burung hantu itu. Sarti melengos dan berusaha
mendorong tubuh Mamat Jago sekuat tenaga, tetapi dengan cepat Mamat Jago meraih
tangan Sarti dan melipatkannya ke pinggangnya. Kali ini Mamat Jago menggoyang-
goyangkan pinggangnya sambil terus menekan pantat Sarti. "Aih, jangan tinggalkan
abang, manis. Jangan pampat kawah yang mau meledak ini. Ooohh ….Heh, panjak,
gesekin gua lagu Ayam Jago. Gua mau ngibing lagi."

TUKANG teh yan celingukan, juga pemain musik lainnya. Ini sudah jam dua pagi.
Sudah waktunya rombongan Gambang Kromong Mustika Tanjung pimpinan Tan Eng
Djin dari Teluk Naga berhenti main. Izin keramaian yang mereka dapatkan dari
keamanan setempat hanya sampai pukul satu. Sudah lewat satu jam.

"Heh, budek lu. Gua masih banyak duit. Gua mau nyawer lagi," teriak Mamat Jago
sambil menuding-nuding para panjak yang masih saling bersambut pandang.

Sarti kembali mengibaskan tangannya. Menarik tubuhnya dari pelukan Mamat Jago
yang kian sempoyongan. Terlepas. Sebagai gantinya satu tamparan Mamat Jago
mendarat di pipinya. "Sundal lu!" maki Mamat Jago sambil melempar cukin merah hati
ke wajah Sarti. Sambil meringis dan meme-

PEGANGI pipinya Sarti berlari ke arah wayang lain yang sejak tadi hanya bisa
memandanginya dengan cemas.

Ini sudah kelewatan, pikir Eng Djin. Anak buahnya memang boleh dipeluk, dicium, atau
dibawa ke mana saja, tetapi pantang disakiti. Ia pun keluar dari sela-sela gong dan
menghampiri pengibing mabuk itu. Merendengnya. "Maaf, kami harus berhenti, Bang.
Kalau tidak cokek ini bisa digerebek polisi."

"Jangan takut, Koh. Mereka semua teman saya. Ayo, main lagi. Saya akan mati kalau
gambang berhenti. Ayo, panjak…"

Bang Minan mulai menggesek teh yan-nya, tetapi segera Eng Djin menggoyang-
goyangkan tangan kirinya. Sepi. "Mendingan abang pulang saja. Jangan bikin
perkara…"

"Sial dangkalan lu," maki Mamat Jago. Dengan sisa tenaganya disodoknya perut Eng
Djin, tetapi ia menepiskan tangan itu. Mamat Jago balas menyerang dengan pukulan
siku yang diruncingkan-gentus tubruk. Eng Djin jatuh terduduk. "Engkoh jangan
melecehkan saya. Saya juwara kampung. Jago berantem. Semua orang bisa saya bikin
takluk."

Eng Djin bangkit dan mundur selangkah. Dipandanginya kepalan tangan Mamat Jago
yang padat berisi. Empat belas jurus ilmu pukul memang masih dikuasainya, tetapi ia
sadar, tidak mungkin menandingi kemahiran pukulan jawara kampung Rawa Lingi ini.
Namun, ia akan melawan sebisanya kalau Mamat Jago melancarkan pukulan lagi.
Itulah cara ia mempertahankan harga dirinya di depan anak buahnya. Ternyata, tidak.
Mamat Jago hanya memasang jurus. Kuda-kudanya kelihatan goyah. Tubuhnya sedikit
goyang.

Tiba-tiba, dua orang berjaket kulit hitam, si gondrong dan si cepak, masuk ke kalangan.
Eit, Mamat Jago mengalihkan kuda-kudanya ke arah dua orang asing itu. Mencoba
lebih awas, ia kibas-kibaskan kepalanya. Si gondrong lantas mencabut revolver dari
balik jaketnya dan mengacungkannya ke udara. Orang-orang terkesiap. "Bapak-ibu
saya minta berhenti. Bubar!" perintahnya. Dengan sigap si cepak mencekal tangan
Mamat Jago, memitingnya, memborgolnya, dan menyeretnya seperti sekarung tahi
ayam.

Entah sudah berapa Lebaran lewat setelah penangkapan itu. Sudah lama sekali,
gumam Mamat Jago. Saat itu dengan mudah ia masuk-keluar sel. Ditangkap malam
keluar pagi, ditangkap pagi keluar sore, ditangkap sore keluar malam. Anak-anak
buahnya akan mengantarkan uang tebusan, tak lama setelah ia digelandang polisi.
"Polisi teman abang," katanya berkali-kali kepada anak buahnya. Setelah itu ia akan
dengan leluasa datang lagi ke rumah kawin, ngibing dan minum, membuat keributan
bila perlu.

Tetapi, itu dulu. Ketika kekayaan dan kehormatan didekapnya dengan dua tangan.
Ketika bisnis penjualan kebun dan sawah di kampungnya sedang ramai-ramainya.
Setiap saat orang datang dan pergi dari rumahnya. Membawa dan mengambil uang.
Pekerjaannya sebagai calo tanah sangat sibuk kala itu. Pernah suatu ketika anak
buahnya harus memanggul berkarung-karung uang ke rumahnya untuk membebaskan
berhektar-hektar sawah yang kini menjadi bandar udara itu. Orang-orang kampungnya
pernah berkata, ia tidur bukan di atas kasur kapuk, tetapi di atas kasur uang.

Sekarang ini semuanya sudah lain. Kekayaan dan kehormatannya rontok sudah,
seperti pohon kelapa disambar petir. Meranggas dan mati. Tanahnya yang dulu
hektaran kini hanya tinggal sepekarangan saja, menciut bagai kelaras terbakar. Di
atasnya berdiri rumah yang dulu pernah menjadi rumah termegah dan termahal di
kampungnya-kini sudah menjadi sarang kumbang, ngengat, dan laba-laba. Kosong,
kusam, sepi. Mobil, motor, dan kerbaunya sirna tak berbekas. Anak buahnya yang
berjumlah puluhan sudah pergi meninggalkannya, entah ke mana. Masroh, istri yang
tak pernah lagi disentuhnya sejak terkena TBC, wafat dua tahun lalu. Tiga anak
perempuannya sudah dibawa suami mereka ke kota lain. Menjadi orang rantau. Satu
anak lelakinya menjadi pengojek untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Hanya ia
dan si bungsu yang tinggal di situ.

Ah, betapa perihnya kehilangan ini, keluhnya. "Apa ada obatnya?"

Pekerjaan sebagai calo tanah sudah tidak dilakoninya lagi. Tidak ada lagi orang yang
mau menjual kebun dan sawahnya. Tanah warisan mereka sudah habis terjual, tinggal
yang kini mereka tempati. Dan itu tak mungkin mereka jual, kecuali kalau mereka mau
menjadi gelandangan di kampung sendiri. Lahan-lahan yang tadinya menjadi sumber
penghidupan mereka kini sudah berubah fungsi. Ratusan hektar sawah itu sudah
dibikin rata tanpa pematang dan diberi pagar besi setinggi dua meter di tepinya. Di
tengahnya membujur dua jalur landasan beton, dari barat ke timur. Ia dan orang
kampungnya hanya bisa memandangi pesawat terbang yang lepas landas dan
mendarat, hanya mereka yang pernah naik haji mampu menaikinya. Di malam hari
pesawat-pesawat itu berubah menjadi kunang-kunang raksasa yang tubuhnya tetap
berkelap-kelip meski melayang di batas langit terjauh.

Pabrik-pabrik juga sudah beroperasi, siang dan malam. Siapa pun orang terkaya di
kampungnya tidak mungkin membangun dan memiliki pabrik-pabrik itu. Mereka hanya
petani penggarap dan pedagang kecil, tidak mungkin menguasai bisnis dan teknologi
perpabrik- an secanggih itu. Tapi, anak-anak mereka, lelaki dan perempuan, si bungsu
juga, senantiasa berbondong-bondong, keluar masuk pabrik, dengan seragam yang
sama. Mereka sudah menjadi manusia pabrik yang mau tidak mau dibayar murah oleh
tauke-tauke dari Korea, Jepang, dan Taiwan.

Rumah-rumah mewah juga sudah dibangun dan ditempati orang-orang yang tidak
pernah mereka kenal sebelumnya. Mereka memang tidak mampu membeli dan
menempati rumah mahal itu, tetapi mereka masih bisa menjadi pengojek di perumahan
itu dengan motor yang dibeli dari hasil menjual tanah warisan mereka. Mereka masih
bisa menikmati jalan aspalnya yang lurus-menyiku, sungai kecil yang jernih dan dibeton
tepinya, taman yang indah, sambil memandangi rumah-rumah besar dengan pintu dan
jendela yang melengkung. Ya, gonggong anjing, tentu saja.

Ah, betapa menyesakkan kekalahan ini, keluhnya. "Aku butuh obat."

Ia menarik napas dalam-dalam. Aroma tanah basah dibawa angin selatan melintasi
padang ilalang setinggi pinggang. Hujan akan segera turun. Musim penghujan sudah
tiba dan akan makin tinggi curahnya menjelang Tahun Baru Imlek! Ya, musim kawin
orang Cina akan tiba juga. Rumah-rumah kawin di Kampung Melayu, Kosambi,
Salembaran, dan Sewan akan ramai lagi. Ia rindukan semua itu.

Ia datangi lagi rumah kawin "Teratai Putih". Semuanya masih seperti dulu. Orang-orang
menyingkir begitu ia melintas. Dipasangnya langkap tegap seorang jawara kampung.
Hanya di sinilah aku bisa menikmati lagi seluruh kesenangan dan kehormatan hidupku,
pikirnya. Bukankah sudah bertahun-tahun belakangan ini ia tidak menikmati dua hal itu
lagi. Ya, di sinilah orang akan memuji kelihaiannya ngibing yang dipadu dengan
keindahan jurus-jurus pukulnya, kekuatannya menenggak berbotol-botol bir campur
anggur, keroyalannya nyawer. Dan tubuh wayang yang panas dan memabukkan!
Liukan dan goyangan yang membangkitkan syahwat! Aih, lelaki mana yang bisa tahan.

Cukin merah hati sudah dikalungkan tukang cukin ke lehernya, tanda ia harus turun ke
kalangan, memilih wayang mana yang ia suka. Ditatapnya Sarti yang sejak tadi duduk
di pojok. Kali ini ia memakai kaus biru bergambar matahari di dadanya dan celana capri
krem. Dengan pakaian itu ia tampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Sedikit
gemuk membuat lekukan-lekukan tubuhnya tampak nyata dibalut pakaian yang serba
ketat itu. Darahnya berdesir. Ditariknya tangan wayang langganannya itu. Pengibing
dan wayang lain sengaja hanya menonton, memberi penghormatan atas kembalinya si
raja ngibing dari Rawa Lingi itu. Mamat Jago tersenyum bangga. "Ayo, panjak, gesekin
gua lagu Ayam Jago. Gua mau ngibing lagi."

Teh yang digesek, disusul gambang, kecrek, gong, suling, dan kempul. Susul-menyusul.
Jalin-menjalin. Gwat Nio sudah melantunkan suaranya yang garing-melengking seperti
suara burung titutit. Tapi Sarti tidak juga menggoyangkan tubuhnya. Tangannya
dibiarkan terkulai. Mamat Jago meraihnya, melipatkannya ke pinggangnya, merapatkan
pelukannya. Tubuh perempuan itu terasa dingin, seperti daun dadap pengusir demam
anak-anak. Wajahnya membiru, bibirnya terkatup, matanya terpejam. Ayo, Sarti, jangan
kaugoda aku seperti malam-malam dulu! Digoyang-goyangkannya tubuh Sarti, tetap
dingin dan biru. Ditepuk-tepuknya pipinya, tak ada reaksi sedikit pun. Dipandanginya
para panjak. Sepi. Tak ada yang bergerak. Semua dingin dan biru. Seperti keramik
Cina.

Rumah kawin ini sudah menjadi rumah mayat, pikirnya. Ia bopong Sarti keluar. Ia
tinggalkan rumah kawin itu. Menerobos hujan senja yang turun bagaikan lapis-lapis
kelambu. Sepanjang jalan tak ada orang. Pohon-pohon meliuk-mabuk, rumah-rumah
bisu-merunduk. Ia susuri jalan aspal, memotong sungai, membelah padang ilalang.
"Kau tidak boleh mati, sayang. Hiduplah bersama abang. Di rumahku kau akan hangat."
Dikecupnya bibir Sarti. Air liurnya yang bercampur air hujan masuk ke mulut Sarti. Si
mata burung hantu itu tersedak. Tubuhnya menggeliat. Tangannya meraih leher Mamat
Jago. Ia tersenyum dan mempercepat langkahnya.

Malam dan hujan pertama benar-benar telah mengepung kampungnya. Dari kejauhan
rumahnya yang terletak di tepi sawah bera dengan pematang yang lurus memanjang
tampak bagaikan lukisan yang luntur. Namun, satu dua lampunya membangkitkan
keriangan masa mudanya. Bukankah dulu ketika masih berpacaran ia dan Masroh
selalu berlarian di atas pematang sawah begitu hujan pertama turun. Setelah basah
kuyup oleh air hujan barulah mereka mandi di sumur senggot yang airnya terasa lebih
hangat daripada air hujan. Buatnya, laku itu semacam perayaan untuk datangnya
musim penghujan.

Sesampainya di rumah dibaringkannya Sarti di ranjang. Di situlah dulu istrinya


mengembuskan napas terakhirnya dengan tubuh kurus kering. Mamat Jago melucuti
seluruh pakaian basah dari tubuh Sarti dan menyelimutinya dengan kain batik yang
dulu pernah dipakai untuk menyelimuti mayat istrinya. Dipandangi wajah Sarti yang
tertidur pulas. Dalam keremangan wajah itu berganti-ganti dengan wajah istrinya.

"Pacarku, biniku…."

Dikecupnya bibir Sarti. Bibir itu terasa bergerak. Balas melumat. Tangannya perlahan
mendekap. Napasnya mulai satu-dua. Hangat, panas, gemuruh. Mamat Jago
mendekapnya lebih erat lagi. Kini kehangatan menjalari tubuh mereka berdua. Dalam
sekejap mereka telahh bergumul. Memagut-mematuk-mengecup-merenggut-
mencakar-mengular…terbakar. Tiba-tiba, brak! Mamat Jago kaget dan melepaskan
pelukannya. Eng Djin, si gondrong, dan si cepak sudah berdiri di pelangkahan pintu.
Buru-buru Mamat Jago meraih dan mengenakan celana kolornya.

"Sadarlah, Bang. Sarti sudah mati," kata Eng Djin.

Mamat Jago menoleh. Sarti terbaring telanjang kaku dengan sisa-sisa keringat yang
meleleh di sela-sela payudaranya. Tak percaya Mamat Jago menepuk-nepuk pipi Sarti.
"Ayo, manis…bangun. Ada Koh Eng Djin dan teman abang datang," bisiknya ke telinga
Sarti.

"Relakan kepergiannya… Nyebut, Bang."

Mamat Jago masih tak percaya. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Sarti. Kaku, dingin,
biru seperti keramik Cina. Tangisan pilu meledak dari mulutnya. Eng Djin tertegun
menyaksikan lelaki malang itu. Tanpa buang waktu si gondrong dan si cepak langsung
membekuk Mamat Jago. Dengan mudah mereka menggelandang Mamat Jago dan
memasukkannya ke mobil jip.

Sepanjang jalan kedua polisi yang diakui sebagai temannya itu tak mencoba
mengajaknya bicara. Semuanya membisu. Pikiran Mamat Jago kembali pada Sarti.
Benarkan Sarti sudah mati? Mungkinkah aku menyenggamai mayat, ia membatin.
Bukankah barusan Sarti membalas kecupan dan pelukannya dan mereka bergumul
hebat seperti di malam-malam dulu?

"Keluar lu!" Bentakan si gondrong membuatnya ternganga. Mamat Jago tak punya lagi
kuasa untuk menolak.

Si gondrong dan si cepak menggiringnya ke sebuah tempat gelap. Kakinya menjejak


pasir. Ada debur ombak. Kersik daun. Serbuk garam yang menempeli bibirnya. Ia
menduga-duga pantai apa ini. Mungkin Tanjung Kait, Rawa Saban, Kamal, atau pantai
yang belum pernah ia kunjungi. Dorongan keras membuatnya tersandung akar bakau
dan tersungkur. Butiran pasir asin memenuhi mulutnya.

"Sejujurnya, Mat, kami tidak pernah benar-benar berteman denganmu. Tugas kami
adalah membasmi orang-orang yang meresahkan masyarakat semacam kau. Dan kau
sudah terlalu sering melakukannya. Malam ini kami akan membuat hidupmu tamat,"
suara si cepak mengalahkan deru ombak.

Dor! Dor! Dor!

Mamat Jago mengusap kepalanya. Tak ada darah. Hanya air hujan! "Mimpi apa lagi
ini?" katanya, heran. Ia bangkit dan duduk di tepi balai bambu. Ditajamkan
pendengarannya, rentetan tembakan itu masih terdengar. Ah, ia tersenyum, rupanya
hanya suara petasan dari rumah kawin! Ia keluar. Hujan sudah mulai berhenti, tetapi air
masih menggenang di pelataran rumahnya. Begitu juga kenangannya pada Sarti, Eng
Djin, si cepak, dan si gondrong yang barusan hadir dalam mimpinya. Dan Sarti!
Mengapa kau muncul dalam mimpiku dengan cara seaneh itu, ia membatin lagi. Lama
ia menafsir-nafsir makna mimpinya itu.

"Ya, aku harus kembali ke rumah kawin itu." Ia pun mengetuk-ngetukkan tumit
kanannya ke lantai teraso, tiga kali. Hatinya mantap. "Aku harus dapatkan lagi Sartiku,
kesenangan, dan kehormatanku. ***

Kembangan Selatan, Desember 2002

CATATAN:

COKEK: Tari pergaulan masyarakat Betawi peranakan Cina.

WAYANG (Cokek): penari Cokek

PANJAK: pemain musik Gambang Kromong, pengiring Cokek.

CUKIN: selendang untuk menarik para pengibing

NGIBING: menari

KALANGAN: tempat ngibing

TEH yan Betawi: instrumen gesek tradisional berdawai dua.


Suatu Hari di Bulan Desember 2002

Sapardi Djoko Damono


Sumber: Kompas, Edisi 03/30/2003

Di rumah pemasyarakatan itu sempat timbul ribut-ribut kecil ketika Marsiyam


melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan, menurut penilaian teman-teman di
situ, sangat tampan. Sebelumnya tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa ada
perempuan bunting di situ. Dan mungkin tidak ada yang benar-benar yakin bahwa
Marsiyam memang bunting sebelum melahirkan. Berbagai jenis pikiran baik dan buruk
beredar di bangunan yang berdasarkan perhitungan akal sehat sudah tidak bisa
menampung pesakitan lagi itu. Tidak ada seorang laki-laki pun di situ, kecuali kepala
penjara. Tapi, apa ada alasan untuk mencurigainya sebagai bapak bayi itu? Rasanya
tidak. Tampang lelaki yang tak pernah tersenyum itu jauh dari selera perempuan mana
pun. "Tampangnya nyebelin," kata mereka. Dan tampang bayi laki-laki itu minta ampun
cantiknya.

Marsiyam dikenai hukuman dua tahun penjara sebab dituduh telah menganiaya
suaminya, seorang lelaki yang bekerja sebagai guru, yang-menurut sementara
tetangga-"sudah sepantasnya dianiaya," entah sebab apa. Mereka kawin sekitar tiga
tahun dan belum dikaruniai anak. Guru itu selalu menyalahkannya dan malah sering
menuduhnya telah berbuat serong dengan laki-laki lain. Marsiyam mula-mula menerima
tuduhan itu dengan tenang, bahkan dia yakin kecemburuan suaminya itu muncul justru
karena lelaki itu sangat mencintainya. Ia sadar dirinya cantik, dan tentunya ada alasan
juga bagi suaminya untuk memelihara rasa curiganya.

Sampai pada suatu sore ketika ia sedang memasak untuk makan malam, ketika
suaminya mendekatinya dan mendesakkan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan,
yang menuduhnya telah berselingkuh dengan seorang pemuda pengangguran yang
suka membantu keluarga itu membetulkan atap bocor atau kabel listrik yang korslet.
Anak muda itu memang lumayan tampangnya, dan sering berada di rumahnya ketika
guru itu sedang mengajar. Marsiyam meladeni rentetan pertanyaan suaminya dengan
sabar, tetapi semakin lama lelaki yang pendapatannya tak cukup untuk hidup layak itu
menunjukkan tampang yang semakin menyebalkan. Marsiyam menyekam
kesabarannya, dan mendadak bagaikan api kemarahannya berkobar. Ia ambil barang
sekenanya di dapur itu, dipukulkannya ke kepala suaminya yang langsung terkapar di
lantai. Diinjaknya tubuh yang tengkurap itu berkali-kali sambil menjerit-jerit, "Aku
memang tak bisa punya anak, mau apa kau. Aku memang gabuk, mau apa kau."
Tetangga pun berdatangan dan beberapa bulan kemudian ia harus duduk di kursi
terdakwa untuk mendengarkan keputusan hakim. Suaminya telah melaporkannya ke
polisi sehabis peristiwa di dapur itu.

TENTU saja penjara bukanlah tempat yang diidam-idamkannya, tetapi di luar dugaan
Marsiyam dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat yang aneh
hubungan-hubungan antarmanusianya itu. Seperti kampung saja, di situ ada ibu muda
yang konon menganiaya madunya, ada tukang copet yang suka beroperasi di ka-er-el,
ada organisator berbagai arisan yang menggelapkan uang puluhan juta, ada dokter
yang kerja sambilannya menjual narkoba, ada pengacara yang ketahuan menyogok
jaksa, dan ratusan perempuan lain yang entah profesinya. Marsiyam yang pendiam dan
tidak banyak cingcong itu diterima di kalangan mereka, bahkan oleh grup-grup yang
biasanya bermusuhan. Tidak ada yang mau percaya bahwa perempuan semacam itu
telah tega memukuli dan menginjak-injak suaminya, guru yang konon juga dikenal tidak
banyak ulah.

Marsiyam tidak tahu alasan apa yang menyebabkan perempuan-perempuan itu lebih
suka memanggilnya Marsinah atau Mariyam. Menurut mereka, nama Marsiyam susah
diingat-suatu alasan yang menurutnya pasti sekenanya saja. Dan selama ia di sana
tidak pernah ada orang yang menengoknya. Ia hanya menggelengkan kepala atau
menunduk kalau ditanya, "Kau tak ada keluarga, ya?" Atau, "Kau sudah dibuang
keluargamu, ya?" Ia menjalankan tugas rutinnya dengan tekun, tidak pernah
membantah sipir yang mana pun, yang beberapa di antaranya dianggap ganas oleh
rekan-rekannya.

Sampai malam itu, ketika ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan.
Tidak ada yang bisa yakin bahwa perempuan muda itu pernah bunting. Tak pernah
ngidam, tak pernah muntah-muntah. Perutnya rata saja. Tapi tiba-tiba saja ada bayi
keluar dari rahimnya. Tak ada seorang pun di sana yang percaya pada mukjizat; mana
ada orang jahat percaya akan hal semacam itu? Tetapi pertanyaan yang beredar tetap
sama, siapa gerangan yang telah membuntinginya kalau bukan kepala penjara, satu-
satunya lelaki di bangunan itu yang boleh berhubungan dengan mereka? Tapi mereka
tak percaya juga akan hal itu. Sipir-sipir perempuan yang ganas itu pasti mengetahui
perselingkuhan semacam itu dan akan menggunduli lelaki yang rambutnya tinggal
beberapa lembar itu-tidak peduli ia atasan mereka atau bukan.

Marsiyam diberi kesempatan mendapatkan kamar khusus untuk mendampingi bayinya


sebab toh beberapa hari lagi masa hukumannya akan habis. Tanpa dirasa, sudah dua
tahun ia berada di dalam bangunan itu, tanpa sama sekali pernah berhubungan dengan
dunia luar. Dokter penjual narkoba itu dengan bangga membantunya, juga tukang copet
dan dedengkot arisan. Mereka merasa mendapatkan kebahagiaan dengan membantu
ibu muda itu.

Sore itu akhirnya tiba juga. Marsiyam harus meninggalkan rumah pemasyarakatan
karena masa hukumannya sudah habis, meskipun ia tak merasa sudah
dimasyarakatkan. Ia gendong bayinya sambil menenteng barang bawaannya.

"Kau pulang ke mana Marsinah?" tanya si gembong arisan.

"Entahlah."

"Kapan-kapan nanti aku boleh menjengukmu, Mariyam? Kalau aku keluar nanti, tentu
bayimu sudah besar, sudah sekolah," kata dokter yang harus meringkuk di bangunan
itu bertahun-tahun lagi.

Marsiyam hanya tersenyum. Tidak memedulikan penyebutan namanya yang selalu


keliru itu. Ditatapnya bayi yang digendongnya dan untuk pertama kalinya ia menyadari
bahwa wajahnya mirip lelaki muda yang dulu suka membetulkan atap bocor dan kabel
listrik yang korslet di rumahnya. Perempuan itu menyimpan saja perasaannya, yang ia
sendiri tidak tahu apa. Selama dalam masa hukuman, ia memang pernah beberapa kali
bermimpi bertemu lelaki muda itu, yang katanya menjenguknya untuk meminta maaf
lantaran telah menyebabkannya masuk penjara. Ia selalu merasa bahagia setiap kali
pemuda itu muncul dalam mimpinya. Sejak semula ia tahu bahwa sebenarnya
suaminyalah yang mandul, tetapi ia tidak pernah mengatakan itu karena pasti akan
menyinggung perasaan dan menyebabkan guru itu semakin tidak masuk akal tuduhan
dan tindakannya.

Ia menoleh untuk terakhir kalinya kepada rekan-rekannya ketika diiringkan oleh


beberapa sipir keluar dari bangunan itu.

"KAU mau pulang ke mana, Marsiyam?" tanya salah seorang sipir. Ia kaget mendengar
namanya disebut dengan benar untuk pertama kali sejak dua tahun yang lalu.
"Pulang."

"Ke mana?"
"Ke rumah."
"Rumah siapa?"
"Rumah suamiku. Ia pasti senang aku bisa mendapatkan anak. Ini anaknya. Aku yakin
ia akan menerima kami. Ini anaknya." ***
Taman Perdamaian Hiroshima

Ganda Pekasih
Sumber: Kompas, Edisi 03/23/2003

HIROSHIMA, di ambang musim dingin, pukul 3 sore, aku tiba di Tobu Hateru, atau
Tobo Hotel untuk beristirahat, mungkin tidur beberapa jam di penginapan sederhana
yang murah dan terjepit di antara bangunan bangunan jangkung di tengah Hiroshima ini,
bisa memulihkan tenagaku. "Jangan lewatkan Hiroshima Peace Memorial Museum
kalau kau masih punya waktu di Hiroshima!" terngiang ucapan rekan sekantorku Akbar
sebelum aku meninggalkan Jakarta minggu lalu, kawan baikku itu pernah kuliah di
Universitas Hiroshima beberapa tahun yang lampau. Aku ingin kembali secepatnya ke
Indonesia, tapi sangat sayang kalau aku tidak menyempatkan diri menjenguk sisa-sisa
korban bom atom dan mengunjungi taman perdamaian, tempat di mana bom atom
meledak, bom yang kedahsyatannya merenggut hampir 250.000 jiwa penduduk
Hiroshima.Aku hanya tertidur beberapa jam, dan terbangun ketika di ambang jendela
hotel tampak langit Hiroshima berwarna kelabu menjelang malam. Aku segera menuju
kamar mandi. Selesai mandi, aku keluar dari kamar dan turun ke lobi, di kafe yang ada
di lobi, aku memesan Cha, teh hijau khas Jepang dan hamaagu, atau
hamburger.Setelah menghabiskan teh dan hamburger, aku keluar dari hotel, tapi ada
seorang pria Jepang yang kulihat tadi duduk sendirian di pojok kafe ikut keluar dan
mengikutiku."Aku akan mengantarkanmu ke Gedung Promosi Industri Hiroshima,"
katanya dengan ramah setelah dekat denganku, dia tersenyum menampakkan gigi-
giginya yang kuning dan sebagian tampak hitam.Aku agak heran dengan ucapannya,
untuk apa aku ke gedung yang tadi diucapkannya itu? Aku tidak punya urusan dengan
promosi industri."Gedung itu satu-satunya gedung yang dibiarkan hancur sebagai saksi
keganasan bom atom, berada di Taman Perdamaian, kita bisa melihatnya ke sana
sekarang, tapi sebelum sampai di sana, ada baiknya kita singgah lebih dulu di Rumah
Sakit Bom Atom Hiroshima, tempatnya lebih dekat dari sini," tegasnya, dan kembali
tersenyum.Dari mana pula orang ini tahu rencanaku...? Dia pasti hanya menebak-
nebak saja tadi, mungkin juga karena hotel ini banyak disinggahi oleh turis yang mau
pergi ataupun pulang dari Taman Perdamaian, jadi dia sudah familiar. Mungkin juga...
karena dia memang mampu membaca pikiran orang. Usianya kutaksir 50 hingga 55
tahun."Mari ikuti saya," katanya ramah dan kembali tersenyum."Baiklah," kataku.Aku
pun segera mengikutinya. Dia melangkah cepat melewati para pejalan kaki lainnya.
Tanpa mencurigainya aku hanya berkata dalam hati, beginilah manusia Jepang, serba
cepat, fokus, dan... menjadi raksasa dunia.Setelah melewati beberapa blok bangunan,
si pria yang belum sempat kutanyakan siapa namanya itu, tiba-tiba berbelok dan
berhenti di depan... Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima, dia menoleh ke arahku,
wajahnya terlihat samar, karena dia membelakangi lampu jalanan yang baru saja
menyala.Kami berjalan masuk."Rumah sakit ini dibuka bulan September 1956, sebagai
pusat penyembuhan orang- orang yang terkena radiasi bom atom, pengaruh radiasi
radioaktif menyebabkan leukimia, kanker, dan kebutaan," katanya.Di dalam rumah sakit,
aku agak tercengang dan merasa aneh. Suasana di dalam sangat muram, asing.
Berbeda dengan di luar yang modern dan terang- benderang. Di salah satu dinding
yang kulewati tergantung kalender bahasa internasional disertai huruf kanji, 27
September 1956. Aku bertambah heran. Bagaimana mungkin kalender dinding itu
masih dipasang sekarang.Aku dan laki-laki itu masuk ke sebuah bangsal, orang-orang
jompo, laki-laki dan perempuan tampak sedang bercakap-cakap dan membentuk
kelompok, tapi ada juga yang sedang membaca dan berbaring di tempat tidur."Sewaktu
bom atom meledak, radiasi radioaktif telah menjangkau sampai lima ribu meter dari
pusat ledakan, ciri utama korban, rambutnya gugur."Aku memperhatikan rambut orang-
orang jompo yang tampak memang sangat jarang itu, kesemuanya dibiarkan tidak
terurus apalagi dipotong, begitupun yang laki laki, panjangnya sudah sampai ke
punggung. Dengan wajah mereka yang tirus dan pucat, penampilan mereka jadi lebih
menyeramkan."Tapi penduduk yang berada dalam radius 1000 meter dari pusat
ledakan mengalami luka yang sangat berat dan seluruhnya meninggal dalam beberapa
hari."Laki-laki itu berbalik dan membawaku ke bangsal yang lain, aku mengikutinya saja
seperti kerbau yang dicucuk hidungnya."Sementara Hiroshima masih terbakar waktu itu,
dua hari kemudian, hujan turun. Hujan itu berwarna kuning pekat kehitam-hitaman,
seperti teh susu. Seluruh penduduk Hiroshima kembali terkena radiasi, setiap orang
yang meminum air dari sumur sakit parut sampai berhari-hari."Aku mencoba
mengangguk-anggukkan kepala, tapi lidahku terasa kelu.Laki-laki itu kembali
membawaku melihat ke bangsal yang lain, kini kulihat bangsal yang berisi orang-orang
yang usianya sama denganku. Ya, sama denganku!? sebagian mereka terbaring
dengan mata memandang hampa ke langit-langit ruangan, sebagian lagi ada yang
duduk dengan menundukkan wajahnya, aku tercenung memperhatikan mereka, mereka
masih muda.Guide dadakanku kembali mengajakku ke bangsal lainnya lagi. Di sini
banyak wanita yang sedang hamil tua terbaring di tempat tidur, dan beberapa wanita
hamil yang lain duduk duduk di lantai sambil memunguti rambut mereka yang gugur
dan mengumpulkannya di tangan mereka. Dan di sebelah bangsal ini, yang dipisahkan
dengan dinding kaca, tampak puluhan anak kecil dan bayi-bayi dalam inkubator sedang
dirawat oleh beberapa orang suster.Aku nelangsa, trenyuh."Mereka terdiri dari
beberapa golongan, yang menderita langsung radiasi radioaktif ketika bom dijatuhkan,
disusul mereka yang kena seminggu kemudian, dan anak-anak kecil, serta bayi dari
ibu-ibu hamil."Aku masih memandangi bangsal berisi ibu-ibu hamil yang sedang
memunguti rambut mereka yang berguguran, ketika tiba-tiba laki-laki itu bergerak
meninggalkanku. Aku pun seperti tersadar dan cepatcepat mengikutinya. Ternyata dia
mengajakku ke luar dari rumah sakit ini lewat lorong yang membelok ke samping.
Tanpa berkata-kata, dia terus bergegas meninggalkanku.Setiba di luar aku merasa
lega."Hei... tunggu. Ada yang aneh, sekarang tanggal 6 Januari 2003, bom atom jatuh
di Hiroshima 6 Agustus 1945, bayi bayi di dalam rumah sakit itu mestinya sekarang
sudah berusia 57 tahun, dan anak anak kecil itu sekitar enam puluh tahun, kenapa
mereka masih terus ada sampai sekarang?"Kudengar laki-laki itu tertawa, tapi dia tidak
menghentikan jalannya yang cepat itu."Seperti yang kukatakan di hotel tadi, tidak jauh
dari sini kita akan sampai di Taman Perdamaian, ada bangunan yang masih dibiarkan
tetap seperti ketika diterjang bom atom, dulu gedung itu sebagai pusat Promosi Industri
Kota Hiroshima," kilahnya malah berpromosi.Aku akhirnya tetap mengikuti langkahnya,
bahkan aku setengah berlari untuk menyusulnya."Aku Hartoko. Anda!?""Oh... Harutoku,
Harutoku, nama yang baguuusss. Aku Siode Sadamitsu, aku lahir di Hokkaido."
Lengking suaranya."Tuan Siode..., siapa Anda yang sebenarnya?""Aku hanya ingin
mengantarmu, tapi waktuku tidak banyak.""Aku tahu, tapi kau baik sekali.""Aku seorang
pendeta Buddha.""Oh... pendeta Buddha...."Dia terus berjalan lincah, di antara kaki-kaki
manusia pejalan cepat lainnya. Entah berapa lama, setelah melewati beberapa
bangunan, lorong dan beberapa pintu, dia membiarkanku menyusulnya. Nafasku sedikit
tersengal.Dia, Siode San, membukakan pintu belakang sebuah gedung yang
sekelilingnya agak gelap, kotor, dan berdebu. Rasa penasaranku tentang apa yang
akan ditunjukkan pendeta Buddha ini, seperti yang diakuinya barusan kalau dia adalah
seorang pendeta, membuat langkahku jadi berani.Tapi, begitu tiba di dalam, aku
terhenyak. Aku berdiri di tengah ruangan yang hancur berantakan, beberapa mayat
tertimpa reruntuhan gedung bergelimpangan di sana-sini, tersiram cahaya remang
lampu berwarna merah di langit-langit ruangan, lantai penuh oleh simbahan darah
kering berwarma hitam, beberapa mayat yang lain ada yang hangus dengan kulit
mengelupas. Siode San tampak buru-buru menyalakan hio di ujung ruangan, seketika
ruangan mulai berasap dan tercium aroma wangi yang mengusir busuknya bau mayat
dan amis darah.Aku masih mencoba memperhatikan mayat-mayat yang
bergelimpangan ketika tiba-tiba terdengar suara perempuan merintih dari salah satu
arah tak jauh dari tempatku berdiri, aku mendatangi arah suara perempuan itu,
sesampainya di sana kulihat separuh tubuh perempuan itu tertindih puing bangunan,
aku mencoba menolongnya sambil aku memanggil Siode San."Siode San, kemari!"Tapi
tak ada jawaban, teriakanku malah membuat perempuan itu berhenti merintih. Dari arah
pintu lain di sampingku, tiba-tiba Siode San muncul dengan kedua tangannya menjepit
beberapa tangkai Hio yang ujungnya menyala dan berasap melingkar-lingkar mengikuti
gerakan tangan Siode, aku segera menunjuk-nunjuk mayat perempuan itu kepada
Siode. Dengan kedua tangan disatukan di dadanya, Siode lalu menjalankan ritual
keagamaannya di dekat mayat itu.Aku harus segera keluar dari tempat ini, pikirku. Aku
ngeri, aku seperti berada di terowongan kematian. Diam-diam kutinggalkan Siode San,
aku melangkah mundur ke belakang. Aku harus kembali ke pintu masuk kami tadi, tapi
aku tidak bisa secepat yang kuduga menemukan pintu itu, aku bergerak lagi ke balik
reruntuhan tembok dan dalam remang lampu berwarna merah, aku menemukan
sebuah pintu yang tersiram cahaya terang benderang yang dipancarkan dari arah luar.
Aku bergerak cepat keluar pintu cahaya itu. Setelah aku keluar dari pintu itu, aku
tercengang. Aku sudah berada di taman yang indah dan terang benderang, lalu
kutunggu Siode keluar menyusulku dari gedung yang rusak parah itu. Tak lama
kemudian Siode San muncul di pintu cahaya itu sambil tersenyum ke arahku.Kami
sampai di Tobo Hotel setengah jam kemudian dengan menumpang Densha, atau bis
umum. Densha yang rutenya melewati subway itu banyak berputar sebelum kami
sampai di tujuan. Di tengah perjalanan, aku tidak banyak bertanya tentang Rumah Sakit
Bom Atom Hiroshima atau Gedung Promosi Industri Hiroshima kepada Siode, aku
membiarkan dia menceritakan tempat tempat bersejarah yang kami lewati.Sampai di
hotel, Siode mengajakku duduk di tempatnya di pojok hotel tempat pertama kali dia
kulihat. Dia menawariku rokok yang ada di mejanya, dan aku mengambilnya sebatang,
dan menyalakannya."Harutoko... senang berkenalan dengan Anda, temui kapan saja
aku di sini. Masih banyak tempat yang belum Anda lihat. Aku tinggal di hotel ini, aku
suka mengantarkan orang- orang ke Taman Perdamaian atau ke mana saja di
Hiroshima ini," katanya sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya dan seperti
lazimnya pemilik perusahaan di Hiroshima atau Jepang pada umumnya, mereka
biasanya memajang foto-foto mereka di setiap ruangan. Di depanku duduk, aku baru
tegas memperhatikan wajah Siode dalam bingkai foto ukuran poster yang di bawahnya
terdapat pedupaan, dengan hio yang menyala dan wangi. Di bawah foto itu tertera
tahun dan tanggal kelahiran. 6 Februari 1895-6 Agustus 1945.6 Agustus 1945...
sekarang 6 Januari 2003.... Tiba-tiba aku ragu untuk memandang Siode yang duduk di
sebelahku, pandanganku terhalang oleh asap rokok yang mengepul di udara, ketika
asap rokok berkurang, aku melihat sosok Siode lewat ekor mataku, bergerak ke arah
bar. Diam-diam aku bergerak meninggalkannya.PAGI hari, mentari bersinar cerah. Aku
berada di taman perdamaian, memandang ke satu-satunya bangunan yang tak karuan
lagi bentuknya, yang dibiarkan berdiri sampai sekarang sejak dihantam bom atom. Di
bagian depan bangunan itu, ada pintu cahaya. Nama bangunan itu dulu, betul seperti
apa yang dikatakan Siode San, Gedung Promosi Industri Hiroshima. Taman ini
sungguh indah, pohon-pohon tumbuh subur, berbunga, berbisik dengan angin dari
segenap cuaca dari musim yang datang. Ratusan ekor burung merpati beterbangan
dengan bebas, turis turis asing berjalan di sekitar, anak-anak, remaja, dan orang
dewasa, mereka memotret sambil bercakap-cakap. Dari Taman Perdamaian ini,
seharusnya aku ke Hiroshima Peace Memorial Museum seperti yang diingatkan rekan
sekantorku, Akbar. Di sana kita akan bisa melihat lebih lengkap dan lebih mengerikan
apa yang terjadi ketika itu, tapi aku sudah tidak ada waktu lagi ke sana, aku harus
kembali ke Jakarta, lagipula Siode Sansudah mengajakkujalan-jalan. ***
Lelaki Beraroma Kebun

Linda Christanty
Sumber: Kompas, Edisi 03/16/2003

HALIFA masih ingat wajah lelaki itu. Sepasang mata yang sipit, hidung pesek, dan bibir
hitam terbenam di kepala yang kecil. Saat ia tertawa terlihat gigi-gigi yang tak rata,
ompong, dan kerak nikotin menempel di celah-celah gusinya. Tapi, ia jarang tertawa.
Hanya matanya yang sering berbinar melihat orang datang. Hidup sendirian di tengah
kebun tentu sebuah pengorbanan. Ia senang dikunjungi dancepat-cepat
menyuguhkanair putih serta bijur rebus atau buah keremunting yang hitam-manis pada
tamunya, atau lebih tepat lagi, keluarga pemilik kebun.SUDAH LAMA p dan tersisa
yang penting bagian menjadi itu lelaki lalunya, masa dari hilang telah banyak melihat
pulang ketika Namun, kebun. penjaga si diingatnya saja sesekali rantau tanah Di
pulang. tak Halifa < berharga.> Barangkali, rambut lelaki itu sudah memutih dan kerut-
merut usia tua makin nyata. Daya ingatnya pun mungkin sudah menumpul. Itu galibnya
perkembangan manusia, dari bayi merah, belajar beranak-pinak, lalu renta dan pikun.
Apakah masih juga dikenakannya topi kebun dari kain belacu lusuh itu? Mata sabitnya
yang berkilau saat terayun ke batang lalang dan semak-belukar seakan hadir di depan
mata. Kadangkala lelaki itu mengeluarkan suling dari tas resam dan memainkan lagu-
lagu berirama Melayu. Ia punya radio transistor yang bisa menangkap siaran dari
Malaysia. Radio model lama berbentuk roti bantal itu warisan kakek Halifa. Mungkin,
bisa jadi obat sepinya. Halifa kecil tak urung bersiul-siul senang menimpali tiap nada
yang berasal dari lubang-lubang suling si penjaga kebun.Apa pendapat lelaki itu saat
melihatnya sekarang? Ia bukan lagi Halifa cengeng dan manja dulu. Ia kini tumbuh
jangkung dan manis. Tanah rantau telah membesarkan otot-ototnya lewat kerja,
meluaskan pikiran penghuni pulau kecil itu dengan pahit-getir pengalaman. Halifa
tersenyum-senyum bangga.Sesungguhnya, ia lebih hafal pada aroma lelaki itu. Ya, ia
seperti membaui aromanya lagi. Di belakang gazebo yang sudah berlumut, bayangan
seseorang berkelebat dalam gerimis dan menghilang dibalik tapekong.Lelaki itu
mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan, melihat tunas tumbuh
dan dahan tua tumbang. Ia menyiangi lalang dari tanah kebun, menabur kotoran ayam
dan kambing di atasnya. "Biar gembur, tanah perlu makan," katanya kepada Halifa
kecil.Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas budi, menyerahkan
aroma khas mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa sembunyi dari siapa pun.
Nasibnya seperti musang yang mengeluarkan wangi pandan. Embusan angin
membawa aroma tubuh penjaga kebun ke rongga penciuman orang-orang yang
berjalan di kejauhan, semacam pengumuman. Bila ada yang ingin menemuinya, ikuti
saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki yang menenteng sabit atau
parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau menolong. Bila
kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji menyampaikan pesan.
Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan."Ke mana dia?" pikir Halifa, melajukan
pandangan ke sudut-sudut kebun. Ia baru ingin melangkah ke pondok kecil beratap
rumbia yang tersamar pohon-pohon lada tua ketika gerimis berganti hujan deras.Di
balik awan gelap yang bergumpal, jari-jari petir putih bersinar. Halifa merapatkan
jaketnya ke badan sambil berlari mencari tempat berlindung, kembali ke gazebo
tadi.Kayu-kayu pelawan yang menyanggah bangunan itu telah lapuk. Warna coklat cat
berubah kehitaman, mengelupas di sana-sini. Tembok yang dulu kokoh dan putih kini
retak dan berlumut. Ia duduk di bangku batu yang lembab, mengusap wajahnya yang
kena tempias hujan. "Kenapa dia lari?" batinnya. Mungkin, lelaki itu sudah tak ingat
kepadanya lagi.Hampir lima belas tahun Halifa meninggalkan pulau ini, tempat
kelahirannya. Lima belas tahun ia tak pernah pulang. Tapi, dua jam lalu, pesawat
Fokker 100 milik sebuah maskapai lokal baru saja mengantarnya ke bandar udara yang
makin kusam tak terawat, mengantarnya pulang. Hujan deras sudah menyambutnya di
landasan. Sebelum mendarat, dua kali pesawat mengalami guncangan hebat yang
membuat dinding-dindingnya berderak. Ia sempat berpikir betapa aneh dijemput maut
dengan cara ini; berpulang saat kembali. Halifa sudah siap menarik rompi pelampung
dari bawah kursi begitu keadaan darurat diumumkan. Ia tak mau mati. Ia belum
bertemu ayah dan ibunya, belum ziarah ke makam kakek dan neneknya. Di seberang
jendela, laut berwarna hijau tua terlihat tenang bagai obyek dalam lukisan. Pesawat
malang ini berada di atas ketinggian 24 ribu kaki, pikirnya, gelisah. Barangkali, ia akan
dimakan hiu, atau menjadi buih di samudra nanti. Tapi, perlahan-lahan tepi daratan
mulai tampak, pesawat kembali stabil, dan rasa gusar Halifa berangsur lenyap.Semula
ia ingin menyeberang ke pulau itu dengan kapal laut. Ongkosnya lebih murah dengan
jarak tempuh cukup sehari semalam ke pelabuhan tujuan dan dari situ satu jam
menumpang otokongsi ke rumah. Tapi, banyak teman menyarankan ia naik pesawat
terbang. "Sekarang tengah musim angin kencang dan gelombang besar," kata mereka.
Jadi, ia terpaksa mengubah rencana. Naik pesawat memang lebih mahal, juga lebih
cepat. Huh, ternyata risikonya sama saja. Di laut terancam tenggelam, di udara
terancam jatuh!Ia punya banyak ingatan tentang pulau ini, terutama debur ombaknya di
malam hari. Dulu keluarganya tinggal dekat pantai. Bagi Halifa, debur ombak seperti
nyanyian. Ia tidur nyenyak dalam buai bunyinya. Seringkali sepulang sekolah, setelah
bertukar pakaian dan makan siang, ia dan adiknya, Malida, berlari ke pantai untuk
mencari kulit-kulit lokan dan siput. Mereka biasa menemukan umang-umang yang
menghuni bekas rumah-rumah siput, mengeluarkan binatang-binatang tadi dari
dalamnya, mengikat kaki-kaki tajam-lancip tersebut dengan benang, lalu memacu
mereka berlomba lari. Nenek selalu mengomel panjang-pendek melihat kelakuan cucu-
cucunya yang nakal, "Jangan kau siksa binatang, nanti di neraka kau dibuat begitu pula
oleh mereka." Apa iya? Mereka kan begitu imut.Di tengah malam ia kerap mendengar
suara orang ribut di jalan muka rumah dan esok harinya nenek pasti bercerita,
"Semalam itu ada orang ditangkap karena smokel. Makanya, kalau ke pantai harus
ditemani Yu Sur atau Mang Cali. Kalau ada orang jahat, siapa yang tahu." Yu Sur,
perempuan muda yang membantu memasak dan membereskan rumah. Mang Cali
bekerja merawat taman dan mencuci mobil-mobil. Keduanya digaji bulanan oleh ayah
Halifa.Nenek berpulang ketika Halifa kuliah semester pertama. Kakek sudah lebih dulu
mangkat saat Halifa di taman kanak-kanak. Ia tak ingat lagi suasana pemakaman kakek
di hutan dekat pantai itu, tapi ia pun tak bisa menyaksikan pemakaman neneknya.
Keuangan ayah sedang menipis waktu itu. Biaya pulang perlu dihemat untuk biaya
kuliah. Perusahaan pertambangan tempat ayah bekerja sedang terguncang. Harga
timah dunia merosot dan korupsi besar di kalangan eselon atas mempercepat
kebangkrutan perusahaan tersebut. Ribuan buruh mogok menuntut pesangon yang
layak. "Sebagian besar hak pesangon mereka dimakan orang-orang itu," kisah ayah, di
telepon. Ayah ikut mogok? Oh, tidak, Nak. Kenapa? Ayah bagian yang menunggu saja.
Ah, ayah curang sekali. Jabatan ayah memang jabatan tanggung. Korupsi pun tak bisa
besar. Berpanas-panas di terik matahari untuk meminta hak bersama buruh-buruh
rasanya tak pantas. Makanya ayah harus punya prinsip, jangan menginjak ke bawah,
menjilat ke atas macam pejabat bumiputra zaman kolonial. Ha-ha-ha …. Suara tawa
ayah yang masih nyaring lumayan melegakan hati Halifa.Ayah mengirim Halifa
merantau setamat sekolah menengah pertama. "Biar kau temukan nasibmu sendiri
dengan berjuang di rantau," kata ayah. "Pulau kecil membuat pikiran juga tak seberapa
luas," lanjut ayah, lagi. Ibu juga tak menangis, hanya memintanya menulis surat tiap
minggu kalau tak punya uang menelepon ke rumah. Nenek memberi nasihat tentang
menjaga diri, "Kau yang punya lubang kunci dan jangan biarkan anak kunci masuk ke
situ." Halifa sempat terbahak, tapi perlahan-lahan ia paham. Malida kemudian menyusul
Halifa. Mereka, perempuan kakak-beradik, berbagi nasib, jauh dari orangtua. Malida
sempat pulang beberapa kali, tapi ia tidak. Entah kenapa, ia terus terseret dalam irama
kota dan arus kerja yang mengikis rasa rindunya pada tanah kelahiran. Ia tak lagi
merasa punya ikatan apa-apa dengan pulau ini, kecuali kenangan dan sejarah keluarga.
Ayah dan ibulah yang lebih sering mengunjungi anak-anaknya kemudian.Kini rumah di
tepi pantai sudah tak ada. Di atas puing-puing perumahan pejabat menengah itu telah
berdiri kampus politeknik. Pantai yang berombak telah dipagari tembok-tembok tinggi.
Perusahaan pertambangan tempat ayah bekerja ditutup dan sebagai gantinya,
penduduk pulau membuka tambang-tambang liar, merusak sungai-sungai. "Ayah rasa
buaya pun sudah tak ada di pulau ini. Semua sungai terpolusi," kisah ayah.Ayah dan
ibu telah memutuskan pindah ke pedalaman, mendirikan rumah di kebun pusaka kakek,
dekat perkampungan orang-orang Tionghoa. Penjaga kebun itulah yang selalu menarik
perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama hidupnya yang sendiri. Kata ayah, "Dia
turut menyaksikan jatuh-bangun keluarga kita. Ayah sudah menganggapnya keluarga.
Dia sudah ayah minta istirahat dan kembali pada sanak-saudaranya, tapi katanya dia
tak punya keluarga lagi. Ayah suruh tinggal di rumah ini, dia memilih tinggal di rumah
kebun." Lelaki itu mulai sakit-sakitan lantaran usia tua, tapi tetap bertahan dalam kebun
mereka.Ayah telah menjalankan wasiat kakek. Sebelum meninggal, kakek berpesan
agar ayah memperhatikan nasib penjaga kebun dan tak boleh menyia-
nyiakannya.Hujan makin menderas. Pikiran Halifa mulai bercabang, antara berlari ke
rumah atau ke pondok beratap rumbia. Tapi, ia ingin menuruti kata hati saja.Pintu
pondok tertutup rapat, begitu pula tingkap-tingkapnya. Halifa mengetuk daun pintu yang
basah. Tak ada sahutan. Permukaan kayu yang kasar tak bersugu terasa
menusukbuku-buku jarinya.Ia mengetuksekali lagidan disertaisuara,"Atur ini Halifa."
Aroma kebun dari dalam mengalahkan wangi tanah dan daun-daun di luar. Ia percaya
si penjaga kebun ada di dalam. Tiba-tiba terdengar batuk kering dan suara orang
bangkit dari ranjang kayu yang berkeriyut.Palang pintu ditarik, kemudian di ambang
pintu muncul wajah yang lama dikenalnya. Lelaki itu kelihatan amat tua, dengan uban
memenuhi kepala dan tubuh makin mengecil. Sepasang mata yang kuyu menatap
Halifa bimbang."Ini Halifa, tuk. Atuk masih ingat Halifa kan? Halifa dengar atuk sakit,"
kata Halifa, lalu meraih dan menciumi punggung tangannya.Mata lelaki itu mulai berair.
Ia meraih pundak Halifa dan mengajak si perempuan muda masuk ke rumah tanpa
berkata-kata. Keadaan kamar tersebut belum berubah. Ranjang dan meja kayu, kompor
minyak tanah, lemari pakaian dari plastik, dan panci-panci tergantung di dinding. Kini
mereka berhadapan, orang upahan dan anak majikan."Sekarang belum musim
keremunting," kata lelaki itu, seraya menuang segelas air untuk Halifa."Oh, dak ape-ape,
tuk. Halifa cume nak mampir sebentar.Lame dak pulang. Semue lah berubah kata
Halifa, seraya duduk di tepi ranjang."Benar. Banyak yang berubah. Nyai la dak ade. Yai
kau ape agik. Papa kau pun la pensiun. Kebenaran kau pulang. Ade yang nak atuk
cerite. Atuk ni la sakit-sakit terus, sebentar agik nak pulang ke tanah. Macam-macam
sakit pun ade, dari pening, mengas sampai … mate ni la dak keliat agik la.Kau disitu
pun,atuk dak bise nampak jelas,kabur lanjut lelaki tua itu, tertatih-tatih mendekati Halifa,
membawa gelas air.Lelaki itu akhirnya mengungkap kisah yang mengguncang Halifa.
Tentang sebuah keluarga yang tercerai-berai. Sepasang suami-istri merelakan bayi
mereka yang baru berumur dua hari untuk diangkat anak oleh keluarga lain. Mereka tak
sanggup membesarkan bayi itu lantaran kehidupan yang sulit di masa Jepang. Lima
anak yang lahir sebelumnya harus menanggung penderitaan. Untunglah ada orang
yang lebih mampu bersedia mengurus bayi mereka yang baru lahir. Selang beberapa
minggu setelah putra bungsu mereka diserahkan, sang suami meninggal dunia akibat
tuberculosa dan sang istri meninggalkan gubuk kecil mereka dengan lima anak kurus
meringkuk lapar di dalamnya.Berminggu-minggu anak-anak tersebut ditinggalkan
ibunya yang berharap ada orang kampung datang dan menyelamatkan mereka. Suatu
hari ketika perempuan itu kembali untuk memastikan anak-anaknya telah diambil orang,
ia menemukan lima mayat tergeletak di lantai tanah dan telah membusuk. Ternyata,
pikiran yang kalut membuat si perempuan telah mengunci gubuk dari luar. Anak-anak
itu terkurung di sana, tanpa mampu berteriak minta tolong. Perempuan itu tak sadarkan
diri dan saat siuman ia sudah lupa pada siapa pun. Orang-orang kampung melihatnya
berlari kencang ke dalam hutan sambil melolong. Setelah itu ia benar-benar senyap dari
muka bumi. Barangkali, ia mati dimangsa ular atau buaya yang menghuni sungai.Putra
bungsu suami istri yang malang tadi adalah ayah Halifa. Lelaki tua yang bercerita ini
adik kandung dari pihak istri. Halifa terdiam, begitu pula si penjaga kebun. Mereka larut
pada kegetiran masing-masing.Ketika si penjaga kebun meninggal dan jenazahnya
dimakamkan, Halifa telah kembali ke tanah rantau. Ia cuma mengirim doa. Namun,
aroma segar dari pohon-pohon tropis yang terbawa angin masih menyertainya di
jalanan, di bus, di kantor, di kamar kontrakan, dan di tempat-tempat baru yang pertama
kali dikunjunginya. Ia merasa ikatan hidupnya dengan pulau itu berangsur-angsur
punah.Desember 2002 Ketela rambatTempat bersembahyang pemeluk Kong Hu Cu
Angkutan kota Menyelundupkan barang-barang dari luar negeri. Salah satu panggilan
untuk kakek berasal dari kata 'datuk'BelumOh, tidak apa-apa, kek. Halifa cuma mau
mampir sebentar. Lama tidak pulang. Semua sudah berubah.Nenek sudah tak ada.
Kakekmu apalagi. Papamu sudah pensiun. Kebetulan kamu pulang. Ada yang ingin
kakek ceritakan. Kakek ini sudah sakit-sakitan, sebentar lagi pulang ke tanah. Macam-
macam sakit ada, dari pusing, sesak napas, sampai mata ini sudah tak bisa melihat lagi.
Kamu di situ pun, kakek tak bisa tampak jelas, kabur.***
Teluk Wengkay

Korrie Layun Rampan


Sumber: Kompas, Edisi 03/09/2003

Nyala api bekelip di bawah kerdipan bintang-bintang yang bertaburan di langit tinggi.
Unggun dengan bara yang memerah kadang meletikkan bunga api yang naik ke
sawang yang diterangi cahaya bulan. Entah bulan berusia sepuluh atau dua belas,
namun sinarnya yang kemilau memantul di daun-daun pohon tinggi hingga jauhan
selepas pandangan mata.Jauh larut senja aku sudah ada di sini bersama Sopa yang
sudah menanti.Di depan hampir samar sisik danau. Bayangan bulan bersama bintang-
bintang seakan dapat diraih di air yang jernih. Ada sedikit desis bakaran umbut kotok
bersama tya di api yang menyala, dan di dalam pasir yang panas di bawah bara
ditenggelamkan umbi singkong dan talas merah yang gembur. Ada juga bakaran ubi
jalar dan jagung muda yang barusan saja diambil dari huma.Unggun terus
menyala.Entah suara pungguk, entah suara rusa atau burung hantu seperti bersaing
dengan desauan daun yang ditempuh angin lalu. Geriut rumpun bambu kewayam dan
bambu betung yang merimbun di arah utara seperti petikan kecapi tua yang kehilangan
satu senar utama. Bersamaan dengan letupan bakaran jagung, terdengar suara
Sopa."Ingin kukatakan yang baik, Wey. Tapi berita yang kudapatkan sepahit
empedu.""Berita apa?" suaraku dirangsang keingintahuan yang tinggi.Ada kelepak
malam yang dikibaskan kelelawar dengan sayapnya yang lebar. Ada lagu dedahanan
yang menyanyikan angin musim pancaroba. Ada jerit pepohonan dengan akar-akar
yang haus mengharapkan dahaga akan segera berakhir."Berita tentang hidup dan
masa depan.""Tentang kita?""Tentang kita, tentu saja. Dan itu sebabnya Sopa minta
waktumu agar kita bisa bertemu yang dilengkapi dengan unggun malam yang hangat di
tepi danau ini. Iwey tak menyesali?""Menyesali apa?""Waktumu terbuang percuma.
Terutama berita yang menyakitkan.""Kau belum katakan berita apa. Sementara waktu
telah kita sepakati bersama, So. Tak ada waktu terbuang percuma untuk orang bercinta
seperti kita.""Justru berita inilah yang menghapus segala cita-cita, Wey.""Kau jadi
berteka-teki, So. Sesungguhnya berita apa yang ingin kau sampaikan?"Sopa tampak
menarik napas berat bersamaan dengan helaan angin yang bertiup dari arah pohon
beringin yang tinggi. Malam masih menyungkup dengan lengkungan langit yang
berhiaskan bulan dan bintang yang terang."Aku tak sembunyikan apa pun, Wey. Justru
pintaku kita menerimanya dengan sabar.""Tentang pernikahan? Ada perubahan tentang
pernikahan kita?""Memang menyangkut soal pernikahan. Tapi lebih dari itu,
sebenarnya....""Lalu tentang apa?""Tentang kita berdua.""Tentang cinta kita? Sopa
masih ragu tentang cintaku?"Tak ada keraguan tentang itu. Keraguan justru karena
semuanya segera berakhir...."Tampak gadis itu sekali lagi menarik napas sepenuh
dada di ujung kalimatnya yang tak selesai. Seperti ada sesuatu yang berat sekali untuk
dikatakan."Kau belum katakan apa kesulitanmu. Mungkin dapat kita atasi bersama,
So.""Mungkin bisa, mungkin juga tidak. Tapi akhirnya pasti dapat diatasi, Wey.""Belum
kutahu apa yang ingin kau sampaikan. Bagaimana mungkin dapat aku berikan saran
dan cara pemecahannya."Napasnya makin ditarik seperti ingin menghimpun tenaga
dan kekuatan."Sebenarnya sederhana apa yang ingin kukata, Wey. Tapi dampaknya
sangat tidak sederhana.""Dampak bagaimana?""Nasib kau dan aku selanjutnya.""Biaya
pernikahan, maksudmu?""Bukan. Kutahu kau sudah siap-sedia. Bahkan, jika kau belum
siap, Ayah sudah akan menutup semuanya. Hingga biaya resepsi di gedung mewah di
Jakarta.""Lalu kau panggil aku kemari? Bisakah kau sampaikan tidak di dalam teka-
teki?""Justru kau ada di sini agar semuanya jadi jelas, Wey. Kau dapat mengikuti suatu
proses berlelap yang penuh kerahasiaan!"Angin yang datang dari sisik danau berembus
ke arah hutan yang melipat malam di dalam terang cahaya bulan. Kesejukan yang khas
memberi rasa nyaman di tengah hutan berdanau yang seakan memeluk teluk."Katakan
apa adanya, So. Kau telah kenal aku sampai ke lekuk liku. Aku kenal kau.... Tapi kata-
katamu yang terakhir begitu aneh.""Aku ingin kau menerimaku seperti seorang bocah
yang lugu.""Aku telah terima kau penuh seluruh. Maksudmu apa dengan kalimat seperti
tadi?""Maksudku tentang diriku. Tiba-tiba aku ingat kakakku pernah memancing buaya
di teluk danau ini. Kulihat mata buaya seperti meminta belas kasihan. Apakah mataku
mirip mata buaya yang meminta hidup dari algojo kematian?""Kalimatmu jadi makin
aneh. Apa hubungan matamu dengan mata buaya?""Itu yang kurasa sampai aku minta
kau datang ke tepi danau ini. Ada gamang yang aneh, seperti seekor ayam yang
sedang dalam lilitan ular pemangsa.""Kalimatmu makin tak membuatku tambah
mengerti, So.""Bisakah aku meminta sesuatu, Wey?""Tentang apa?""Suami.""Aku akan
jadi suamimu.""Maksudku lelaki sebagai suami saat ini."Lelaki muda itu seperti meneliti
wajah gadisnya. Seakan ia tak percaya pada pendengarannya sendiri. Itukah maksud
Sopa memanggilnya ke rumah di tepi teluk danau? Apakah ada sesuatu yang
mengguncang jiwanya sehingga membuat gadis itu seperti kehilangan diri? Bukankah
jika mau melakukan hal serupa itu tak halangan apa- apa di Jakarta? Mengapa harus
dilakukan penyerahan di malam hari di hutan tepi danau? Memangkah wanita tetap
suatu rahasia tak tergali?"Saat ini?" aku sendiri hampir terperanjat oleh gema suaraku
di dalam terang cahaya bulan. "Maksudmu apa sebenarnya dengan penyerahan seperti
tak mampu menunggu waktu dan kepatuhan akan kekuatan kesucian?""Karena aku
sedang berburu dengan waktu, Wey.""Kau membuat aku makin tak mengerti, So.
Adakah lelaki lain yang ingin merampasmu dariku? Atau kau sedang bertarung dengan
pilihan orang tuamu?"Letikan api seperti bersaing dengan kunang-kunang di bawah
pepohonan yang rimbun. Bau ampas tebu yang baru digiling meruap dari arah samping
rumah pondok danau. Bau itu seperti bersaing dengan aroma air danau yang ikut naik
bersama cahaya bulan."Sebentar nanti kau akan mengerti, Wey. Kuingin memberi
kenang-kenangan manis untuk akhir yang paling sempurna. Semua yang kau tanyakan
itu tak ada sangkut pautnya dengan permintaanku padamu."Matanya hampir
memantulkan kesayuan waktu. Dalam cahaya unggun yang marak berbauran dengan
cahaya bulan, wajahnya tampak lebih tirus, seperti mengandung sauatu kenyerian yang
dalam. Rautan yang ayu, seakan-akan kehilangan pancaran masa depan."Kau sakit,
So?"Tak kudengar suaranya. Hanya ruapan bau merang dan tongkol jagung yang
dibawa angin dari rangkiang di sebelah rumah danau seakan tak mau kalah menerpa
hidung dan penciuman."Saat ini aku sehat, Wey. Semuanya sehat. Tubuh dan akal
pikiran. Jadi tak perlu kau ragu atas pintaku. Kau menolak?""Tak aku menolak. Tapi
rasanya saatnya belum tiba, So. Aku khawatir kau dan aku akan menyesal jika terjadi
sesuatu di luar rencana. Bukankah kita telah berikrar untuk setia kepada segala yang
baik dan benar?""Demi ikrar itulah aku minta kau datang, Wey. Demi ikrar itu aku
minta..."Kurasa gemetar tanganku saat aku rengkuh ia di depan perapian yang menyala.
Kampung jauhnya lebih sekilometer, dan jalan sunyi yang gelap di dalam malam karena
rimbunan pepohonan. Hanya berdua di rumah danau di teluk yang indah di malam
penuh bulan. Setahun yang lalu aku juga diajak Sopa ke sini, dan kami menikmati
pepes belida yang kujala di dalam teluk danau. Bakaran ikan kapar membuat kami
berdua sama tertawa memandang senja mencium sisik danau. Namun, saat kubopong,
kurasa tubuhnya lebih ringan. Kehangatan perapian seperti dikalahkan oleh suhu udara
dari danau dan hutan membuat tubuhnya terasa lebih dingin.Di Jakarta, selama kuliah,
kehangatan kasih memadukan kami berdua dalam ikatan yang indah. Bukan karena
kami puritan dan takut memanggul neraka, namun kesetiaan kami diuji oleh kepujian
yang indah yang kami buhul secara bersama di dalam janji masa depan. Bukankah
segalanya memiliki waktunya sendiri-sendiri?Selepas kuliah, oleh kerjanya di Sendawar
dan aku tetap di Jakarta, janji setia itu makin diperhangat oleh jarak dan waktu. Apalagi
setelah ditetapkannya tanggal yang pasti untuk pernikahan, kesetiaan adalah azimat
yang ampuh dalam memelihara diri dari sandungan perfum kerak-kerak dunia."Tapi
untuk permintaanmu, bisakah kita bersabar hingga tanggal lima, dua bulan lagi?"
suaraku seperti bergema di dalam nadi.Kurasa pagutannya penuh penyerahan."Jika
kau cinta, Wey, kau kuminta dengan sangat untuk yang paling berharga ini. Waktuku
terlalu singkat untuk menunggu lebih lama."Kepalaku seperti diputar oleh turbin listrik di
air terjun yang deras. Kekasihku wanita yang ayu dan aku lelaki yang sehat. Adakah
yang kurang untuk pekerjaan bersuami-istri? Selain saat dan waktunya yang baik dan
tepat? Dan kinikah waktunya yang paling baik dan paling tepat? Meskipun sebelum ijab
kabul? Bukankah kami akan segera naik ke pelaminan?Gigil yang perih dan aneh
berbaur dengan rengkuhan yang hangat penyerahan. Dalam detik-detik indah tak
kuingat bahwa aku belumlah suami, tetapi aku telah menjadi suami. Kurasa Sopa
merengkuhku seperti rengkuhan seorang istri. Sebuah pengalaman indah aneh kami
terima dengan kepolosan calon pengantin."Terima kasih," suaranya yang lembut
semasih dalam rengkuhan. "Wanita kami selalu memberikan yang terbaik untuk satu
kekasihnya, Wey....""Terima kasih," kukecup ia sekali lagi. Kurasa suhu badannya lebih
dingin. "Selebihnya kita tunggu tanggal lima.""Satu rahasia yang belum pernah
kuceritakan padamu, Wey, bahwa wanita kami dari daerah ini, jika terjadi hal-hal
khusus akan tetap menunggu kekasihnya, sebelum napasnya seluruhnya di angkat dari
badannya. Sebelum ia mati.""Sebelum mati?""Jika ia belum menikah dan masih
bertunangan. Jika ia sudah bersuami dan suaminya sedang bepergian. Ia akan
menunggu orang yang dicintainya pulang, dan mereka bercinta, barulah ia mati.""Tapi
Sopa tidak mati?""Seminggu yang lalu aku periksakan diri di dokter di Sendawar.
Seharusnya tiga hari lalu aku sudah mati. Terkena leukemia...!""Tapi Sopa belum
mati?""Tiga hari aku menunggu di sini dalam mati. Terima kasih untuk pemberianmu,
Wey. Biarlah aku mati dengan tenang dan damai."Kengerian segera naik ke ubun-ubun.
Bagaimana mungkin aku bercintaan dengan orang mati, meskipun itu kekasihku sendiri,
calon istriku. Adakah memang orang mati mampu mempertahankan kehidupan demi
kekasih dan orang yang dicintainya?Kubaringkan Sopa dengan perlahan di tilam dan
kepalanya kutaruh di bantal yang hangat. Napasnya masih ada, nadinya masih ada.
Tetapi matanya terkatup rapat, sementara bibirnya terus mengulum senyum. Kudengar
napasnya masih tersisa di tenggorokan.Malam inikah ia mati? Beberapa detik
lagi?Malam berbulan di teluk dengan rumah danau tanpa penghuni lain. Hanya aku dan
Sopa. Angin mendedas dari arah hutan rotan terus menyapu permukaan danau. Suara
burung hantu dan suara sayap-sayap malam makin mempertegas sebuah kematian.
Tengkukku makin merinding dan bulu romaku sudah berdiri. Haruskah aku berjalan kaki
pulang ke kampung dan meninggalkan mayat Sopa sendiri dalam malam?Siapa
saksiku kalau aku tak memperkosa dan tak membunuh Sopa? ***

Sendawar, 13 Desember 2002


Tanpa Nasib

Imre Kertész
Sumber: Kompas, Edisi 03/02/2003

SETELAH beberapa langkah maju ke depan, tampak bangunan yang sangat kukenal.
Di situ kami tinggal. Masih berdiri utuh seluruhnya dalam bentuk yang bagus. Begitu
melewati gerbang depan, aroma lama itu tak berubah. Lift ringkih dengan pintu berkisi-
kisi dan bekas jejak kaki kekuningan menyambutku. Berjalan sedikit ke atas sempat
kubalas sapa seorang penghuni apartemen yang sedang turun. Itu kebiasaan
bertetangga yang menghangatkan. Sampai di lantai tempat tinggal kami, aku pencet bel.
Cepat sekali pintu itu dibuka tapi hanya sedikit, terganjal oleh kunci rantai. Itu agak
mengherankanku. Seingatku dulu tak ada rantai pencegah di pintu. Wajah tak kukenal
muncul di celah itu. Seorang perempuan dengan tulang pipi menonjol, kuning, setengah
baya, menatapku. Ia tanya aku cari siapa, dan kujawab, "Aku tinggal di sini." "Tidak
mungkin," jawabnya, "kamilah yang tinggal di sini." Dia sudah hampir menutup pintu
tapi tak bisa, karena kutahan dengan kakiku. Kucoba menjelaskan padanya, "Pasti ada
salah pengertian. Terakhir kali dulu saya pergi meninggalkan tempat ini, dan saya yakin
kami sungguh-sungguh tinggal di sini." Dia sebaliknya terus mendesak bahwa justru
akulah yang keliru. Sebab, sudah sangat jelas mereka memang tinggal di situ. Dengan
gerak kepala yang sopan dan simpatik, melembutkan otot muka, ia berusaha menutup
pintu. Aku masih berusaha mencegahnya. Lalu, aku coba melongok nomor rumah
untuk memastikan bahwa memang bukan aku yang keliru. Tapi, dia berhasil menutup
pintu. Pasti kakiku tadi terselip lepas dari celah itu. Ia menutup pintu dengan keras dan
menguncinya dua kali.AKU kembali ke tangga, perhatianku terserap pada pintu rumah
yang kukenal betul bentuknya. Kupencet bel. Perempuan gemuk, berdaging, muncul. Ia
juga hendak menutup pintu-aku mulai terbiasa dengan perlakuan seperti ini-tapi
sepasang kacamata membersit dan wajah kelabu Paman Fleischmann muncul dari
temaram. Di sampingnya berdiri laki-laki tua perut buncit, dengan sandal kain,
jenggotnya merah lebat, potongan rambut kekanakan dan cerutu padam menggantung
di bibirnya. Ini Tuan Steiner tua yang dulu datang persis ketika aku hendak
meninggalkan rumah pada malam terakhir sebelum hari aku diangkut dari kantor
pabean. Mereka berdiri memelototiku, lalu mengujarkan namaku. Dan, Tuan Steiner tua
itu memelukku, sementara aku masih mengenakan topi, baju narapidana bergaris-garis,
dan tubuhku berkeringat. Mereka menarikku masuk ruang tamu, dan Bibi Fleischmann
buru-buru ke dapur menyiapkan "segigit makanan", begitu katanya. Aku harus
menjawab pertanyaan yang itu itu juga: dari mana, bagaimana, kapan. Lalu, aku
bertanya dan kudengarkan jawaban mereka, orang lain sekarang memang sudah
menempati apartemen kami. "Lalu kami sendiri, bagaimana?"Karena mereka tampak
sulit menjawab, aku tanyakan lagi, "Ayahku?" Tanggapannya, semua diam. Sejurus
kemudian sebuah tangan-aku yakin ini pasti tangan Paman Steiner- pelan-pelan
terangkat dan seperti seekor kelelawar hinggap pelan-pelan di lenganku. Aku hanya
ingat mereka mengatakan bahwa "kebenaran kabar sedih itu, sayangnya, tidak dapat
diragukan", karena didasarkan "pada kesaksian seorang mantan narapidana."
Menurutnya ayah telah meninggal "setelah sejurus waktu derita yang sebentar saja" di
sebuah kam Jerman, meski terletak di wilayah Austria. Apa nama kam itu?
Manthaussen? Bukan, Mauthaussen. Mereka tampak senang bisa mengingat nama itu,
tapi kemudian berubah serius lagi. Ya, begitu.Lalu, kutanyakan tentang ibuku. Apa
mereka tahu kabarnya? Mereka serentak menjawab ya, memang mereka punya suatu
kabar baik. Dia hidup, dia sehat, beberapa bulan yang lalu dia datang ke sini, dan
bahwa mereka telah berbicara dengannya. "Lalu ibu tiriku?" kutanya dan jawabnya,
"Dia sudah kawin lagi." Dengan siapa? Salah satu menjawab, "Kovacs, kukira." Yang
lain, "Bukan, bukan Kovacs. Tapi Futo. Maksudku Suto." Lalu, mereka mengangguk-
angguk senang. Ya, tentu, begitulah yang terjadi: Suto tak berubah seperti yang sudah-
sudah. Ibumu harus banyak berterima kasih padanya, "sebenarnya dalam segala hal",
itu kata mereka padaku. Suto adalah orang yang "menyelamatkan keberuntungan
keluarga." Ia menyembunyikan ibumu "selama masa yang paling sulit". Begitu rupanya
mereka memahami masalah. "Tapi, barangkali," Paman Fleischmann merenung, "ia
agak terlalu cepat." Dan, Tuan Steiner tua setuju. "Tapi, kalau kita timbang-timbang
seluruhnya," Tuan Steiner menambahkan, "semuanya dapat dipahami," dan Tuan
Steiner tua setuju lagi.Aku masih di situ beberapa saat lagi. Rasanya lama aku duduk di
sofa agak tinggi, empuk, warna merah anggur itu. Sementara itu, Bibi Fleischmann
muncul lagi dan membawakanku sepotong roti dengan lemak, paprika, dan beberapa
irisan tipis bawang merah di atas piring tembikar berhias pinggirnya. Ia katakan, ia ingat
makanan ini adalah kesukaanku, dan cepat kutanggapi bahwa aku tetap suka. Ketika
aku makan, di antaranya kedua orang tua itu berkata padaku, "Kehidupan di rumah juga
tak mudah." Berbagai peristiwa mereka ceriterakan. Tapi, kalau diingat lagi semuanya,
aku hanya menangkap lukisan kabur tentang kejadian-kejadian yang membingungkan,
mengusik hati. Pada hakikatnya,semua itutak dapatkulukiskan ataukupahami.
Justrusebaliknya,kalau kuperhatikanbaik-baik, merekaternyata mengulang-
ulangungkapan singkat yang hampir-hampir sudah usang darimulut mereka,setiap
kaliada perubahanatau kejadianbaru.Misalnya, bintang-bintang kuning itu "akhirnya
kejadian", pembebasan "akhirnya terjadi".Aku perhatikan mereka membuat kesalahan
yang terus diulang-ulang. Seolah-olah semua peristiwa itu tak jelas, sulit dibayangkan,
hampir-hampir tak dapat direkonstruksikan lagi, atau tak terjadi dalam batas-batas
waktu, menit, jam, hari, minggu, dan bulan, tapi, begitulah mereka berujar dan berujar,
semuanya seakan-akan terjadi seketika. Barangkali, seperti dalam sekali putaran
kejadian kekacauan yang membingungkan, seolah-olah kejadian itu berlangsung begitu
saja di suatu pertemuan di sore hari yang aneh dan tiba-tiba secara tak terduga
kemudian berubah jadi pahit karena para pesertanya -hanya Tuhan yang tahu,
bagaimana persisnya-tiba-tiba kehilangan kepalanya dan akhirnya bahkan mereka tak
tahu apa yang mereka lakukan. Pada saat tertentu, kedua orang tua itu terdiam, dan
setelah beberapa saat, Tuan Fleischmann tua tiba-tiba bertanya padaku, "Apa
rencanamu ke depan?" Aku agak terkejut dan kukatakan padanya aku belum banyak
berpikir tentang itu. Kemudian orang tua yang lain memutar posisi duduknya di sofa dan
mengarahkan perhatian padaku. Kelelawar itu bangkit lagi dan tampak ringan, kali ini
tak hanya di lenganku tapi juga di lututku. "Yang paling penting," katanya, "kamu harus
melupakan semua teror itu." Aku bertanya, bahkan agak lebih terheran lagi, "Kenapa
begitu?" "Supaya kamu bisa hidup." Dan, Paman Fleischmann mengangguk setuju.
Lalu ujarnya, "Dengan beban seberat itu orang tak akan dapat mulai kehidupan baru."
Memang harus kubilang, ada benarnya kata-katanya itu.Aku hanya tak mengerti
bagaimana mereka bisa berharap pada sesuatu yang tak mungkin. Kukatakan bahwa
apa yang terjadi sungguh-sungguh telah terjadi. Dan, meskipun semua telah berlalu,
sulit buatku untuk membuat agar ingatanku tunduk pada perintahku. Aku hanya dapat
memulai hidup baru, kataku, seandainya aku dilahirkan lagi atau jika suatu penyakit
menyerang atau kecelakaan mencederai otakku. Tentu saja aku tak berharap. Di
samping itu, kutambahkan, tak dapat kuingat telah kulihat ada hal-hal yang menakutkan.
Tapi, kuperhatikan, mereka jadi agak terheran-heran. Entah bagaimana mereka
memahami ungkapanku "tak dapat kuingat telah kulihat". Ganti kutanya mereka, apa
yang mereka lakukan selama "masa-masa sulit" itu. "Ya begitulah, kami tetap hidup,"
salah seorang tua itu merenung. "Kami berusaha sekuat tenaga bagaimana caranya
bisa selamat." Yang lain menyambung. Itu berarti, kataku, bahwa Paman juga menjejak
selangkah demi selangkah. Apa itu artinya, mereka balik bertanya. Kemudian
kuceriterakan pada mereka bagaimana kam konsentrasi berfungsi, misalnya, yang di
Auschwitz. Paman harus membayangkan ada sekitar tiga ribu orang dalam satu kereta
api. Mungkin tak selalu begitu dan barangkali tak sepersis itu, karena aku tak tahu
secara pasti. Tapi, setidaknya itulah yang menimpaku. Ambil saja misalnya kaum laki-
lakinya. Jumlahnya sekitar seribu. Mari kita bayangkan satu atau dua detik dokter
membutuhkan waktu untuk memeriksa. Padahal, setiap orang biasanya lebih dari dua
detik. Baiklah, tak usah dihitung urutan pertama dan yang terakhir, sebab biasanya
mereka memang tak dihitung. Tapi, yang di tengah-tengah, di mana aku berdiri dalam
antrean, kami dipaksa menunggu sepuluh sampai dua puluh menit. Lalu, ketika kami
sampai pada titik penentuan keputusan, masih tak jelas apakah kami akan langsung
dimasukkan kamar gas sekarang juga, atau kami masih dapat waktu penangguhan
hukuman mati barang sebentar? Padahal, selama waktu itu antrean terus bergerak,
terus maju. Setiap orang melangkah maju, langkah lebar atau langkah pendek
semuanya tergantung dari kecepatan operasi itu.Suasana hening, hanya disela oleh
suara Bibi Fleischmann mengangkat piring kosong dari depanku lalu membawanya
pergi. Tak kulihat dia balik. Kedua orang tua itu bertanya, "Apakah semua ini memang
baik, dan apa maksudmu mengatakan ini semua?" Aku menjawab, "Tak ada yang
istimewa. Tapi mengatakan bahwa semua itu begitu saja terjadi tidaklah seluruhnya
tepat," sebab kami menjalaninya selangkah demi selangkah. Hanya sekarang ini
semuanya tampak sudah berakhir, tak ada perubahan lagi, final, begitu cepat dan sulit
dipercaya, dan begitu kabur, sehingga tampaknya semua terjadi begitu saja. Hanya
sekarang, dengan laku surut, kami melihatnya kembali ke belakang. Tentu saja,
seandainya kami tahu nasib kami sebelumnya, apa yang dapat kami lakukan hanyalah
mengurutkan dan menjalani bagaimana waktu berjalan. Sebuah ciuman perpisahan
yang tolol tentu sulit dihindari, misalnya, seperti halnya satu hari tanpa kegiatan di
kantor pabean atau di kamar gas itu. Tapi, selama kami memandang ke depan atau ke
belakang, kami sama-sama tak bergerak, kataku. Karena nyatanya dua puluh menit
pada dasarnya adalah rentang waktu yang cukup panjang. Setiap menit berdetak,
berlalu, dan akhirnya berhenti sebelum menit kedua bergerak lanjut.Lalu, kuminta
mereka mempertimbangkan hal ini, "Setiap menit sebenarnya dapat menyebabkan
timbulnya urusan baru." Memang, tidaklah selalu begitu, tapi harus diakui bahwa tentu
saja bisa terjadi. Maka, kalau dilihat secara keseluruhan, sesuatu entah apa pun itu
mungkin saja telah terjadi selama menit-menit berlangsung, sesuatu lain yang akhirnya
sungguh-sungguh terjadi di Auschwitz, seperti halnya juga di rumah ini, katakanlah
begitu, ketika kita semua sedang mengucapkan kata perpisahan pada ayah.Pada kata-
kataku yang terakhir, Tuan Steiner tua mulai gerah, berdiri dan bergerak memutar. "Lalu,
menurutmu, apa yang seharusnya kita lakukan?" tanyanya, setengah kesal hatinya,
setengah mengeluh. Kukatakan padanya, "Tak ada, tentu saja, atau ...," kutambahkan,
"sesuatu yang sama-sama tak bermakna seperti halnya kita tak pernah melakukan apa
pun. Sudah tentu. Tapi, bukan itu yang penting," aku mencoba menjelaskan. "Lalu
apa?" mereka tanya balik, karena mereka juga tampak hilang kesabaran, seperti aku
sendiri juga semakin merasa kesal. "Yang paling penting terletak pada langkah-langkah
itu sendiri. Setiap orang melangkah maju sejauh dia mampu. Aku pun melangkahkan
kakiku-tidak hanya selama berada di antrean di Auschwitz tapi juga sebelumnya ketika
aku masih di rumah. Aku bergerak maju bersama dengan ayahku, dengan ibuku,
dengan Anne-Marie, dan-barangkali ini yang paling sulit-dengan kakak perempuanku
yang paling tua. Sekarang, aku bisa bilang kepadanya, apa artinya jadi "orang Yahudi".
Sebelumnya itu tak berarti apa-apa sebelum langkah-langkah itu mulai dijejakkan.
Sekarang, tak ada darah lain, dan memang tak ada apa-apa sama sekali, kecuali ...," di
sini aku macet bicara, tapi kemudian aku ingat kata-kata wartawan itu, "kecuali situasi
yang ada dan apa pun yang ada bersamaan dengan semua itu."Aku juga menghidupi
nasib yang menimpaku. Sebetulnya itu bukan nasibku, tapi akulah yang menghayati
nasib itu sampai akhir. Aku sungguh-sunguh tak mengerti mengapa sulit sekali
membuat kedua orang tua itu mengerti. Kupikir, lebih baik aku pergi dan melakukan
sesuatu, sementara sekarang aku tak dapat memuaskan diri dengan mengandaikan
bahwa semuanya adalah kesalahan, penyimpangan, sejenis kecelakaan atau bahwa
semua itu tak pernah terjadi, entah bagaimanapun caranya. Dapat kulihat, dapat kulihat
dengan jelas bahwa mereka tak memahamiku dan malah mereka tidak suka dengan
kata-kataku. Bahkan, beberapa kataku membuat hati mereka kesal. Kuperhatikan
beberapa kali Paman Steiner sudah hendak menyela bicaraku. Ia ingin melompat
bangkit. Dan, juga kuperhatikan orang tua yang lain menahannya, dan kudengar apa
yang diucapkannya, "Biar saja. Apakah tak kaulihat bahwa dia hanya ingin berbicara?
Biarkan dia berbicara. Biarkan."Dan, memang aku berbicara, barangkali sia-sia dan sulit
dipahami. Aku pun masih ingin menyampaikan sesuatu pada mereka, "Kita tidak akan
pernah dapat memulai suatu hidup baru. Kita hanya dapat melanjutkan hidup kita yang
lama. Aku menjangkahkan langkah hidupku sendiri. Itu tak akan dapat dilakukan oleh
orang lain. Dan, pada akhirnya aku tetap jujur terhadap nasib yang digariskan untukku.
Satu-satunya keburukan atau keindahan, barangkali dapat kukatakan, satu-satunya
ketidaktepatan, yang dapat dituduhkan kepadaku oleh siapa pun adalah bahwa kita
sekarang ini saling berbicara. Tapi, jelas bukan itu yang kukerjakan. Apakah Paman
berdua ingin semua kekerasan yang menakutkan itu dan semua langkahku sebelum ini
kemudian hilang maknanya sama sekali begitu saja? Mengapa harus ada perubahan
sikap ini, mengapa kita harus melawannya? Mengapa tidak bisa Paman sadari bahwa
jika ada suatu hal yang disebut nasib, sebagai akibatnya tak akan ada kebebasan? Di
sisi lain, jika ...," terus kulanjutkan, aku semakin heran juga pada diriku sendiri, dan
semakin merasa kesal, "jika di sisi lain tak ada kebebasan, maka tak akan ada nasib."
Tiba-tiba aku jadi memahaminya dengan begitu jelas, sesuatu yang tak pernah kusadari
sebelumnya. Aku menyesal mengapa hanya bertemu dengan kedua orang ini dan
bukan dengan seseorang yang lebih pintar, katakanlah, lawan bicara yang lebih layak.
Tapi, hanya merekalah yang ada di sini, saat ini, dan bagaimana pun mereka adalah
orang-orang yang waktu itu berada di sini pula ketika kami semua menyampaikan kata
perpisahan dengan ayah.Mereka pun sudah melangkahkan kaki dalam hidup. Mereka
juga menyadarinya. Mereka sudah tahu itu sebelumnya. Mereka juga menyampaikan
ucapan perpisahan pada ayah seolah-olah kami sudah harus buru-buru keluar rumah.
Lalu, mereka ganti bahan pembicaraan. Sekarang, mereka membicarakan apakah aku
harus naik tram atau bus untuk menuju ke Auschwitz. Saat itulah Paman Steiner dan
juga Paman Fleischmann melompat bangkit dari tempat duduknya. Paman
Fleischmann mencoba mencegah Paman Steiner, tapi sudah tak mungkin lagi. "Apa?"
ia berteriak padaku, mukanya merah dan memukulkan kepalan tangannya ke dada.
"Apa? Apakah sekarang justru kami yang salah-kami para korban ini?" Aku berupaya
menjelaskan, "Ini bukan berarti dosa. Dengan rendah hati kita wajib mengakuinya demi
kehormatan kita, begitu mungkin bisa dikatakan." Mereka mencoba mengerti bahwa
mereka tak bisa mengambil semuanya dariku. Perkaranya pasti bukan apakah aku ini
korban ataukah orang yang kalah, bahwa aku tak dapat dibenarkan dan tidak dapat
bersalah, bahwa aku ini bukanlah sebab atau akibat dari suatu tindakan tertentu, apa
pun itu wujudnya. Aku hampir-hampir meminta-minta mereka untuk memahami hal ini.
Aku tak mampu menelan begitu saja kepahitan tolol ini hanya karena ingin dipandang
tidak bersalah. Kulihat mereka tak mau mengerti apa pun. Begitulah, lalu segera
kuambil topi dan tasku dan pergi dari situ, sementara masih ada kata-kata yang
menggantung dan kalimat-kalimat yang tak selesai.Turun dari tangga, jalanan
menyambutku. Aku harus naik kendaraan umum untuk menuju ke ibu. Tapi, kemudian
aku ingat. Tentu saja, aku tak punya uang, lalu kuputuskan untuk jalan kaki. Namun,
untuk mendapatkan kekuatan, aku berhenti istirahat sebentar di alun-alun lama di
bangku yang sama seperti dulu. Di sana, menghadap ke depan, ke arah aku hendak
pergi, jalan tampak melebar, memanjang dan hilang di kejauhan, bukit-bukit kebiruan
dimahkotai awan kemerahan, dan langit bersaput jingga. Di sekelilingku, rasanya
sesuatu sedang berubah. Lalu lintas lebih sepi, langkah orang lalu lalang tampak lebih
tenang, suara mereka lebih rendah, ekspresi wajah mereka lebih lembut. Wajah mereka
tampak seolah-olah tertukar satu sama lain. Ini adalah saat-saat yang paling istimewa-
aku ingat benar sekarang, dan aku merasakannya di sini-ini saat-saat favoritku selama
dalam kam, dan muncul keinginan yang pasti jadi sia-sia, menyakitkan dan memang
tajam menusuk ke dalam dada: aku rindu rumah. Mendadak semuanya jadi hidup,
semuanya kembali lagi, semuanya menggenangi kesadaranku. Aku kaget dengan
perasaan yang aneh ini, bergetar rasaku mengingat kenangan sampai ke perkara-
perkara kecil. Ya, benar, dalam arti tertentu, hidup jadi lebih murni, lebih sederhana,
berada di situ. Aku jadi ingat semuanya, satu demi satu, ahwal dan orang, bahkan
mereka yang tak menarik perhatianku, tetapi terutama mereka yang keberadaannya
dapat kunilai saat ini: Pjetyka, Bohus, dokter itu, dan semua yang lain. Dan, untuk
pertama kalinya sekarang aku berpikir tentang mereka dengan sedikit sesal sekaligus
rasa sayang.Baiklah, tak perlulah melebih-lebihkan persoalan, karena kesulitan yang
kuhadapi sekarang persis ada di hadapanku: bahwa aku berada di sini, dan aku tahu
sepenuhnya bahwa aku harus membayar harga mengapa aku diizinkan hidup. Ya,
ketika kurasakan petang yang lembut di alun-alun ini, di atas jalan yang sudah diempas
badai, tapi sekaligus penuh seribu janji, rasa siapku sedang tumbuh, mulai bertumpuk
dalam diri. Aku harus melanjutkan hidup yang tak dapat lagi kulanjutkan ini. Ibu
menantikanku. Tentu ia akan bahagia melihatku. Kasihan dia. Aku ingat bagaimana dia
dulu ingin aku jadi insinyur atau dokter atau sesuatu seperti itu. Tentu saja itu yang
diinginkannya. Tak ada kemustahilan yang tak dapat ditembus (lolos selamat?), tentu
saja, dan semakin turun ke jalan, sekarang aku tahu, kebahagiaan menantikanku
seperti perangkap yang menjebak. Juga di belakang sana, di bawah bayang cerobong-
cerobong pembakaran itu, ketika sebentar saja rasa sakit itu berhenti menusuk, ada
sesuatu yang mirip dengan yang disebut kebahagiaan. Setiap orang akan bertanya
padaku tentang penderitaan, "teror dari kam-kam konsentrasi", tapi bagiku,
kebahagiaan justru selalu jadi pengalaman yang tak akan terlupakan. Barangkali. Ya,
itu yang akan kuceriterakan pada mereka, nanti kalau mereka bertanya padaku:
kebahagiaan di kam-kam pembantaian itu.Jika memang mereka sampai hati
bertanya.Dan jika aku belum lupa.*** (Diterjemahkan oleh PRASETYOHADI)

CATATAN: Bintang segi tiga sama sisi bertumpuk warna kuning, bintang Nabi Dawud,
menjadi lambang pengejaran dan pembunuhan terhadap orang Yahudi di Jerman.
Setelah Perang Dunia II mulai, para penguasa fasis memaksakan penyematan lencana
Bintang Kuning pada lengan kanan orang Yahudi, mulai yang berumur 10 tahun, yang
sedianya hendak dipekerjakan secara paksa atau dibunuh.Tanggal itu warga Yahudi
Jerman dan Austria mulai dideportasikan ke dalam berbagai ghetto di Eropa
Timur.Panah Bersilang adalah lambang partai fasis Hungaria yang melaksanakan
keputusan Nazi Jerman melakukan holocaust.Catatan sejarah menyebutkan, Januari
1942, polisi Hungaria membantai sekitar 3.500 orang; 800-an di antaranya orang
Yahudi. Mereka membuang ribuan mayat begitu saja di sungai Danube di bagian H
Untuk Keluarga di Gondangdia

Soeprijadi Tomodihardjo
Sumber: Kompas, Edisi 02/23/2003

BARU kemarin saya melihat lelaki itu di kedai Nam Khe, duduk di kursi yang sama
menghadap meja yang sama pula. Pas buat dua orang. Wajahnya nampak selalu
gelisah, berkali-kali melempar pandang ke Zeedijk--sebuah jalan kecil di depan kedai
yang selalu ramai dilewati orang-orang yang lalu-lalang datang dari atau ke arah
Damrak. Saya dan Hargo teman sekamar saya di hotel, baru saja jalan-jalan keluar-
masuk toko souvenir yang banyak terdapat di pusat pertokoan Kota Amsterdam.
Sampai kaki terasa capek belum juga sahabat saya itu tertarik buat membeli souvenir
yang agak pantas untuk Nunik, adik kandungnya, yang sudah seminggu di Belanda dan
besok pagi akan terbang pulang ke Jakarta. Nunik dan suaminya hari itu ingin jalan-
jalan sendirian, tanpa saya maupun kangmasnya. Kami mengerti maksud Nunik.
Suaminya ingin beli arloji yang kemarin dilihatnya di etalase sebuah toko mewah, dan
dia merasa sungkan jika kami ikut mengantarnya, karena harga arloji itu memang tak
terbayangkan.

”SEMBILAN ribu US-Dolar, Pri! Bayangkan, sepuluh bulan gaji saya!" kata sahabat
saya.

"Jangan ukur gaji sampean atau gaji saya. Tak ada amput-amputnya!" sahut saya.

"Titipan Ibu Gubernur," kata Nunik.Titipan jendral kek, presiden kek, itu urusan ipar
sampean, batin saya. Hargo tidak terlalu percaya pada adiknya. Dia lebih percaya, arloji
itu akan dibeli buat upeti, bukan titipan biasa seperti kata Nunik. Sebab, menurut
sahabat saya, hierarki dan kepangkatan dalam tatanan feodal yang kian disemarakkan
di Tanah Air, nampaknya telah menjadi lestari dilengkapi adat asok upeti. Tetapi itu
bukan urusan saya saat sekarang. Urusan saya yang mendesak cuma segera mengisi
perut. Sudah waktunya injeksi insulin, lantas makan siang di Nam Khe, kedai murah di
ujung Zeedijk. Beberapa kali kami pernah makan di sana. Kali ini kami menghindari
lorong-lorong kumuh yang membuat bulu kuduk kontan berdiri bila berpapasan dengan
kaum gelandangan pengisap ganja di kanan-kiri etalase yang dipenuhi benda-benda
erotika. Selain itu kami tak sampai hati melihat wanita-wanita yang terang-terangan
dijajakan di balik kaca dalam pakaian mini sekali, seolah mereka tak lebih berharga dari
barang dagangan. Kami memilih jalan yang lebih sopan dari arah stasiun sentral,
melangkah cepat-cepat karena tidak boleh terlambat. Sahabat saya tak punya pilihan
lain kecuali ikut memenuhi disiplin jam makan saya. Di Nam Khe, saya segera
membeset meja yang baru saja kosong. Belum lagi kami selesai membaca daftar menu,
tiba-tiba saya melihat wajah itu lagi, duduk sendirian menghadap meja yang itu juga:
pas buat dua orang. Dengan aling-aling selembar koran yang agaknya hanya pura-pura
dia baca, dia berkali- kali mencuri pandang ke arah sahabat saya dan kadang juga ke
arah saya. Agaknya pun berpikir, kemarin telah melihat kami berdua di Nam Khe.Wajah
lelaki itu nampak gelisah seperti sedang menanti seseorang yang sewaktu-waktu
melintas di depan kedai. Saya yakin dia memang sedang menunggu seseorang, sebab
beberapa kali saya lihat dia menolak orang yang bermaksud duduk semeja dengannya.
Dugaan saya benar. Beberapa menit kemudian orang yang ditunggunya nampak
memasuki pintu kedai, langsung duduk di depannya. Seorang perempuan berbaju ungu
dengan gambar kembang teratai potongan gaya Shanghai, berkerah tutup, kancing-
kancing dadanya berbentuk pilin-pilin kain yang melintang seperti anak-tangga. Dengan
rok ketat biru tua yang nampak agak mengkilat dan terbelah di dua sisi lututnya,
perempuan itu mengingatkan saya pada Han Shu Yin-pengarang Birdless Summer
yang bukunya hampir selesai saya baca di hotel. Saya sangat berminat membacanya
karena terkenang filmnya: Love Is A Many Splendoured Thing yang dibintangi Jenniver
Jones dan William Holden tahun-tahun 60-an.Di tengah-tengah denting suara wajan
juru masak di dapur serta lagu-lagu musik Tionghoa yang nadanya tinggi sekali, kami
tak bisa menangkap kalimat-kalimat mereka. Saya ingin mendengarnya, apakah
mereka ngomong Belanda atau Indonesia. Sahabat saya melirik ke wajah itu sambil
berlatih menjepit shomai yang sedang dipesannya.

"Sekarang dia menengok ke sini, Pri. Beberapa kali sudah."

"Yang mana? Laki-laki itu atau temannya?"

"Dua-duanya. Mereka berkali-kali menatap ke sini lantas bercakap-cakap, mungkin


sedang ngrasani kita.”
"Saya tidak peduli. Saya perlu makan sekarang sebelum gula saya melorot dihanyut
insulin yang baru saja saya suntikkan ke perut di ruang toilet. Nasi goreng dan khulaoro
ikan yang saya pesan sudah tersaji di meja. Tinggal menyantapnya. Namun sialan, tiba-
tiba si Baju Shanghai sudah berdiri di dekat sahabat saya.”

"Maafkan, Bapak dari Kedutaan, ya?" kalimatnya sangat sopan.Nah, ini baru
kehormatan namanya, pikir saya. Kehormatan besar buat Hargo. Mungkin sahabat
saya itu dikira Pak Duta dan saya Atase Militernya. Tapi mana ada orang Kedutaan
nongkrong di kedai Nam Khe, kalau bukan jongosnya! Hargo terkejut, perempuan yang
semula disangkanya Tionghoa tulen, tiba-tiba menyapa dalam bahasa Indonesia. Ia
belum menjawabnya ketika si Baju Shanghai berkata lagi."Saya melihat Bapak di
Kedutaan di Den Haag kemarin. Saya mengurus visa di sana."

"Oh, ya? Tapi saya bukan orang Kedutaan. Saya cuma mengantar saudara saya ke
sana, bertemu dengan Pak Duta, tapi tak melihat Anda."

"Pakaian saya tidak begini, Pak. Mana Bapak bisa mengenal saya lagi? Waktu itu saya
bersama adik saya. Itu dia," kata si Baju Shanghai sambil menunjuk lelaki yang semeja
dengannya.Lelaki yang dia tunjuk dengan sendirinya mengangguk, lalu berdiri dan
buru-buru melangkah menuju ke meja kami. Jarang saya temui orang-orang setanah air
di Belanda, punya hasrat saling menyapa kalau tidak saling kenal. Saya pun selalu
bersikap begitu, kecuali sangat perlu. Dan itu sering keliru, yang saya sapa ternyata
orang Filipina atau Kamboja, mereka sering belanja di toko Makro beli bumbu dan
penganan Asia seperti kebanyakan warga komunitas kami. Dan sekarang mereka ini,
lelaki dan perempuan berbaju Shanghai ini, tidak keliru. Kami adalah orang-orang
setanah airnya.

Layak ditegur-sapa."Bapak besok pagi naik Garuda ya?" pertanyaan lelaki itu tertuju
kepada Hargo

"O, tidak," jawab sahabat saya.

"Yang akan pulang naik Garuda itu adik saya dan suaminya. Tapi dari mana Anda
tahu?"
"Saya tanya sekretaris Kedutaan. Bapak menginap di mana?"

"Kami mengantar mereka, nginap di Hotel Dorin."

"Wuah, mahal, Pak. Semua hotel di Damrak mahal. Lain kali silakan singgah di rumah
saya, tidak jauh dari sini. Jangan di hotel."Lelaki itu dengan sangat antusias memberi
kami kartu nama. Saya kurang selera buat ganti memberi dia kartu nama. Bukan
karena sombong dan tidak bersahabat, tapi karena kebiasaan untuk sangat berhati-hati
terhadap siapa saja yang bukan teman. Saya lalu menuliskan nama dan alamat palsu
rumah saya di notes dia. Hargo lain lagi. Dia tak pernah punya kartu nama, lantas
menulis address dan nomor kamar kami di Hotel Dorin. Habis itu asyik sendiri ngobrol
ini-itu dengan si Baju Shanghai. Sahabat saya memang jejaka, sukar menemukan
pasangan. Saya bisa mengerti bila tiba-tiba jadi ramah di depan wanita secantik Han
Shu-Yin yang sedang berdiri di sisi kursinya."Ayolah Zus," kata dia tiba-tiba.

"Mari duduk bersama kami di sini." Mau bangkrut lu, batin saya. Kalau mereka benar-
benar mau duduk bersama kami lantas makan bersama, siapa mesti bayar? Saya tahu
Hargo hidupnya cukupan saja seperti saya, tak banyak punya duit, kerjanya juru kontrol
kualitas kertas di pabrik kertas Zanders. Tapi mungkin kali ini dia sudah disangoni
Nunik-adik kandungnya yang lebih mujur dan hidup makmur sebagai istri seorang wali
kota di Tanah Air. Saya dan dia sekadar dompleng di Hotel Dorin atas tanggungan
suami Nunik.Si Baju Shanghai dengan adiknya ternyata dengan gembira memenuhi
harapan Hargo, pindah semeja bersama kami. Sahabat saya terpaksa menunda makan,
menunggu pesanan mereka. Saya sendiri tak bisa menunggu. Kaki dan tangan saya
sudah mulai semutan, merasa gula di darah saya kelewat rendah. Saya jadi kurang
sopan, terus makan saja apa yang sudah saya pesan tanpa peduli percakapan mereka.
Jika saya nekat menunda makan, saya akan pingsan. Itu Hargo tahu. Ketika saya
selesai, mereka justru baru mulai. Nampaknya Hargo berlagak kaya, menawarkan ini-
itu yang selamanya tak pernah ditujukan kepada saya. Saya diamkan saja jejaka itu
yang kini jadi overacting ."Selamat makan. Maafkan, saya keluar sebentar," kata saya.

"Beli prangko...." Sebenarnya saya tidak memerlukan prangko. Terus terang harus saya
akui, saya menghindari rekening Nam Khe. Jadi saya jalan-jalan sepanjang Zeedijk.
Sekadar menghabiskan waktu, saya pun singgah di Wan Nam Hong, beli terasi dan
bumbu pecal titipan istri. Baru balik ke Nam Khe ketika mereka selesai makan. Hargo
bilang, saya harus berterima kasih kepada si Baju Shanghai, karena dia yang bayar
rekeningnya. Saya tentu saja mengucap terima kasih, tapi dengan kecurigaan: apa
kiranya yang tersembunyi di balik keramahan mereka itu. MALAM itu di Hotel Dorin si
nona jaga ngebel telpon kamar kami. Hargo ketamuan. Si Baju Shanghai dengan
adiknya! Sahabat saya cepat-cepat berdiri di depan cermin, menyisir rambut lalu keluar
menuju lift. Lama sekali saya menunggu jejaka itu dengan penuh pengertian. Ketika
balik ke kamar dia bawa sebuah titipan berbungkus karton. "Untuk keluarganya di
Gondangdia," katanya.

"Sembrono sampean Har!" saya menegurnya.

"Kenapa?"

"Sampean janji di Nam Khe tadi?"

"Alaaah, Priiii. Tak sampai setengah kilo. Nunik bisa bawa."

"Sampean tahu isinya?" Hargo diam. Nampak bengong. Tentu tak tahu apa isinya.
Semudah itu seorang jejaka memercayai wanita yang belum lagi sehari dikenalnya.
Kebodohan yang kini sulit saya pahami.

"Kalau isinya ekstasi bagaimana!" gertak saya.

"Hukuman berat jika ketahuan. Di Malaysia malah hukuman mati."

"Jangan menakut-nakuti! Saya percaya dia. Dia beri kita kartu nama dan addressnya."

"Sampean ini, Haaar! Itu bisa palsu!" Sungguh mati saya tidak menakut-nakuti. Saya
ingat, di Kualalumpur tahun itu seorang turis Inggris divonis mati hanya karena kejebak
bawa 250 gram ekstasi. Jika sial, karena sesuatu hal mungkin saja Garuda terpaksa
mendarat di sana. Jangan nyesal jika Nunik dan suaminya lantas kena perkara.
Sahabat saya nampak makin kebingungan. Saya pun tiba-tiba khawatir, jangan-jangan
ada reserse Belanda yang tadi menguntit si Baju Shanghai lantas mendobrak pintu
kamar kami.
"Buka saja bungkusnya," usul saya.

"Terlalu riskan buat adik sampean. Kalau ternyata bukan barang larangan, kan bisa
dibungkus lagi." Karena keraguan Hargo yang sangat menjengkelkan itu maka saya
ambil pisau saku dan menoreh kertas bungkusnya. Karton itu saya buka.

"Isinya apa?" dia tak sabar.

"Alhamdulillah, Haaar. Ini bungkusan cocoknya buat saya!"

"Ah! Jangan mbanyol!"

"Bener lho. Insulin! Ada suratnya buat bapaknya." Huahaha! Huaha! Meledak-ledak
ketawa sahabat saya. Saya tidak bisa ketawa. Malah ngenas, obat sepenting itu mesti
didatangkan dari Belanda. Seolah semua pengidap diabetes seperti ayah si Baju
Shanghai itu mesti tersungkur ke liang kubur bila impor obat-obatan terhalang kurs US-
Dollar yang ketika itu melonjak hingga 15.000 rupiah.Titipan itu diserahkan pada Nunik
waktu makan. Dia dan Pak wali kota suaminya tertawa saja mendengar cerita
kangmasnya.

"Tak perlu khawatir," kata suami Nunik.

"Saya tak pernah digeledah di bandara Jakarta."

"Service Paspor, Mas!" kata istrinya.Makan bersama di Hotel Dorin malam itu sangat
mewah. Saya sungkan pada suami Nunik, tapi tak bisa menahan selera. Husaren Sla,
bumbu mirip semur, baunya saja pun sangat nyaman. Saya melahapnya. Selama hidup
saya tak pernah menyantap makanan itu. Namanya pun baru dengar
sekarang.Menjelang tidur saya ukur gula darah saya: 270 skala Akutren! Lebih dari dua
kali ukuran normal. Memang terasa melonjak tinggi sekali. ***

Paran, medio Desember 2002


Hujan yang Sebentar

Puthut EA
Sumber: Kompas, Edisi 02/16/2003

AKU masih berbicara tentang ingatan, juga hujan yang hanya sebentar dan kenapa ia
kekal dalam ingatan. Aku rasa karena ada keping peristiwa yang menyertainya, yang
mungkin layak tercatat dalam ingatan. Atau mungkin sebaliknya, hujanlah yang
menyertai peristiwa. Mungkin semua berjalan seperti catatan orang akan sejarah. Tidak
semua peristiwa tercatat dalam lembarannya. Ada sesuatu yang tidak sekadar peristiwa
di dalam sejarah, juga dalam hal ingatan. Tidak semua gugur daun, nyanyian, matahari
yang tenggelam, khotbah, desir angin, percakapan. Dan ini tentang hujan yang
sebentar, yang kekal dalam ingatan. dan hujan yang sebentar. Seperti percakapan-
percakapan yang terusir, lalu mencari tempat berdiamnya sendiri, mungkin meratap
diam-diam. Dan di pojok entah mana, aku dan kamu, dibuntal oleh hujan yang sebentar,
di senja hari.Setiap kali aku mengenangmu-yang diantar oleh hujan yang sebentar-rasa
sedih pecah menjalarkan sunyi yang temaram. Dari kaca jendela kamar itu, kupandangi
lama cuaca, dan percik air yang masuk lewat lubang ventilasi mengajak kita untuk
menghambur dalam dingin hujan, membasuh sedih di luar sana. Setelah sebelumnya,
himpitan beban seperti tak tertanggungkan, bahkan bila kita mau. Apalagi, jauh-jauh
hari kamu sudah enggan, tak kuasa menanggungnya. Aku tahu, kamu ingin hidup yang
tenteram saja.Aku coba lagi untuk memastikan kepadamu, meyakinkan lebih tepatnya.
Di luar sana, selain hujan dan waktu yang bergulung, kesedihan-kesedihan banyak
menimpa manusia, juga yang berpasangan. Tak semua selamat, memang. Tapi
beberapa, ya. Selamat. Setelah himpitan yang menyesakkan itu terlewatkan, bukankah
napas menjadi begitu lega?Tapi itu hanya cerita?Tidak. Tetanggaku, sahabatku,
beberapa mengalaminya. Lebih berpuing dari ini, lebih nyeri dari ini, aku kira.Beberapa
selamat?Beberapa selamat. Tapi lebih banyak yang tidak. Karena itu bukan sesuatu
yang gampang ditanggung dan dilewatkan begitu saja. Dan kita, aku pikir akan selamat.
Ah... ...Tengadahlah, Sayang... tatap aku baik-baik. Sudah tidak-kah?Ia menggeleng
pelan. Sebentar ditatapnya wajahku, mataku, seperti yang dulu-dulu. Dan ia
menggeleng pelan. Ia sudah tidak mendapatkan apa-apa pada diriku, bahkan untuk
sedikit kepastian. Semua selesai, semenjak gelengan itu

LALU aku bertemu dengannya lagi, juga pada senja dan hujan yang sebentar. Di
stasiun kereta api. Ia rindu. Sangat rindu. Aku tahu itu.Kami minum kopi, sembari
menunggu hujan reda. Ia masih seperti setahun yang lalu, hanya agak kurus. Senja ini
tak ada kepastian, tapi aku yakin, ada yang sengaja dibuka oleh setiap pertemuan,
walau aku tak yakin benar.Aku kurus ya... ..Aku mengangguk. Percakapan ini tidak
sebagaimana lazimnya. Ia agak kikuk, dan aku ingin segera mengatakan-seperti yang
dulu-dulu: aku mencintaimu. Tapi tidak mungkin, segalanya butuh perhitungan, juga
untuk kata-kata yang harusnya kuucapkan dengan kejujuran.Hujan reda. Kami berpisah.
Benar, tidak ada kepastian. Tapi aku masih tetap percaya pada potensi pertemuan, dan
aku percaya potensi dibalik pertemuan.INI juga pada senja, dan rintik hujan. Kali kedua
aku bertemu dengannya, di kotanya. Ia tidak secerah dulu, begitu sendu. Aku ingin
merapatkan tubuhku padanya, dan berbisik: sesedih apakah kamu?Tiba-tiba dua anak
muncul dan berteriak girang menyerbumu. Lucu-lucu. Dan kamu berubah sekejap,
tertawa girang dan menyambut mereka dengan pelukan hangat dan ciuman. Seorang
laki-laki juga menghampirimu.Aku panik. Tidak mungkin. Baru setahun yang lalu,
bukan?! Tapi bisa jadi. Suamimu duda, misalnya...Ini Dede dan Kahfi, keponakanku,
dan ini kakakku...Uhf........

TAPI kepastian itu datang juga, akhirnya. Telah aku terima undangan pernikahan
dengan namamu di sana, beberapa bulan yang lalu. Aku memandang ke jendela, senja,
dan hujan. Pertemuan itu tidak membuka apa-apa, pertemuan itu telah menutup
segalanya.Dan sekarang, senja dibekap cuaca yang murung. Hujan akan segera turun.
Bayanganmu lebih cepat datang dari hujan. Kamu di mana, dan seperti apa? Kamu
tidak akan bahagia, sebagaimana aku juga tidak. Tapi aku tidak rela jika kamu sedih,
sesedih aku. Aku mengambil kertas, dan mulai menulis. Ah, kebiasaan buruk. Selalu
menulis puisi jika terlalu bersedih. Aku merobek kertas yang di atasnya, baru kutulis
nama sayangku untukmu. Aku tidak mau menulis puisi lagi seperti tekadku dulu, begitu
kamu akhiri dengan gelengan kepala: tak ada kepastian di mana-mana, bahkan di
diriku.Seseorang mengetuk pintu. Aku beranjak dengan malas.Kamu!Di luar, hujan
mengguyur deras. Sangat deras.Aku tidak begitu peduli waktu itu, tapi kuseduhkan
secangkir teh, jenis minuman yang tidak seberapa kamu suka. Hujan dengan cepat
reda. Begitu singkat, mungkin hanya untuk mengekalkan saat-saat pertemuan kita yang
tak pernah bisa lepas dari hujan.Di hadapanku kini, kamu, dalam tubuh yang agak
basah, juga secangkir teh yang kuseduh untukmu. Mataku menatap perutmu. Belum
ada tanda-tanda, mungkin karena baru beberapa bulan.Kamu menunduk. Adakah yang
sengaja kamu hindari selain tatap mata ini?Kamu tahu, dari dulu, aku tak kuasa
menatap matamu.Tapi kamu tahu, aku selalu ingin kamu menatap mataku, sebab itu
syarat utama dua orang hendak saling bersitatap, bukan? Dan aku menginginkan saat-
saat kita beradu pandang. Sebelum banyak bicara, sebelum banyak dusta.Bisa minta
tolong......Aku mengangguk.Jangan tanya tentang pernikahanku.Tidak. Sebab
jawabanmu tak akan menyelamatkan apa pun. Apa pun.Kamu menangis sesunggukan.
Ah, air mata itu. Pernah kau kuyupi aku dengan air matamu. Juga luka dan getir itu.Aku
sedang ada urusan di sini, dan ingin juga bertemu. Kangen.Kamu menyeka hidung
dengan tisu. Mengingatkan dulu, tentang pertanyaan-pertanyaanku padamu. Mengapa
jika kamu menangis, yang selalu kamu seka hidungmu, sepertinya bukan matamu yang
menangis tapi hidungmu? Dan juga mengapa setiap kali kita makan, kedua tanganmu
pasti kotor, sedangkan kamu selalu memakai sendok dan garpu. Makan yang begitu
tertib, tidak sepertiku.Dari jendela, sepintas kulihat. Senja mulai mengetuk malam,
lampu-lampu mulai menyala.Kamu mengedarkan pandangan, menatap buku-buku,
pigura-pigura, almari pakaian, televisi yang mati, dan berhenti pada komputerku yang
screen saver-nya masih tertulis namamu. Kamu bergetar, dan lagilagi sesunggukan
menangis.Harusnya aku mendekatimu, dan memelukmu. Seperti dulu-dulu. Tapi kali ini
tidak, bahkan aku membatin: dihajar kenangan, ya?Aku mengalaminya, sampai
sekarang. Babak-belur dihajar kenangan dan tercabik-cabik. Terutama jika senja lewat
disertai dengan hujan. Apalagi hujan yang sebentar, seperti sekarang ini.Kamu masih
belum banyak berubah dalam menata ruangan.Aduh, kamu mulai basa-basi. Aku
bangkit, hendak membuat kopi. Tapi kamu juga bangkit, menghampiriku, mengambil
gelas yang kusentuh. Aku kembali ke tempatku semula, menunggumu menyeduhkan
kopiku.Kamu duduk lagi. Mengambil kertas dan menulis. Aku hanya memandangmu.
Memandang caramu menulis, sebab itu salah satu yang kusuka darimu. Cara menulis
yang tenang dan sepertinya sangat tidak peduli. Kamu sodorkan kertas itu. Kubaca.Aku
tidak bisa melupakan saat terakhir kamu memintaku untuk mau menerimamu. Sangat
indah. Tak pernah aku bisa mendapatkan lagi saat indah itu. Bahkan kamu pun tidak
bisa mengulangnya, atau karena tidak mau? Sebab kamu tahu, itu adalah saat terindah
yang akan menghuni ingatanku.Aku sedih. Dan mungkin menangis.Kamu masih
gampang terharu, ya... ...Kamu tersenyum. Sialan. Aku tidak jadi menangis.Aku harus
pergi, ada janji makan malam.Aku mengangguk. Tak menahanmu. Kuantar kamu
sampai taksimu meninggalkanku. Kututup pintu, minum kopi hasil seduhanmu. Tiba-tiba
aku merasa ada sesuatu yang hilang dari ruanganku. Bukan, bukan kamu. Sebab kalau
kamu, sudah terasa hilang sejak lama. Sebuah potret! Sialan! Potret dan pigura
kecilnya, hasil hadiah dari seorang kawan yang mengambil gambarku ketika sedang
mendayung perahu. Lalu aku ingat, kamu tak pernah bisa mendapatkan potretku, dan
pernah bersumpah akan mencurinya. Tapi apa yang akan kamu curi? Aku tak pernah
punya potret diriku sendiri. Ini kisah cinta apa-apaan? Kisah cinta yang mulai kurang
ajar. Tapi aku mencintaimu, sungguh.Malam ini aku menghabiskan diri dengan
beberapa film, dan kamu sesekali main di sana, di dalamnya. Selebihnya, film itu
bermain sendiri dan aku juga bermain sendiri, bersamamu dalam bayanganku. Pagi ini
aku tidur, tak lelap. Lalu kudengar ketukan pintu lagi.Aku bangkit dengan badan sakit-
sakit dan mata yang panas. Pintu terbuka, kamu sudah berdiri dengan senyum tanpa
dosa.Aku masuk, ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Balik-balik, sudah
sebuah pesta kecil terhidang di meja.Aku bawakan makanan kesukaanmu. Kamu
belum makan, kan?Aku menggeleng. Kuambil nasi dan makan. Kamu juga, lalu kulihat
kedua tanganmu yang pasti kotor jika makan. Membuatku tertawa sendiri.Kenapa?Aku
menggeleng.Kenapaaaa...Aduh, mampus. Nada suara tinggi yang merajuk itu. Lalu
kutunjuk kepingan VCD: teringat film lucu.Kamu bangkit, menuju komputer. Aku hendak
menahanmu. Tapi urung. Musik mengalun. Lagu-lagu sedih. Brengsek. Kamu duduk
lagi, masih dengan dua tangan yang pasti kotor jika makan. Masih meneruskan
makanmu yang menyita waktu. Aku menjilati sisa makanan di jariku. Menatapmu. Aku
tahu, kamu tahu kalau aku menatapmu. Dan seperti tidak peduli, padahal sangat peduli,
aku yakin.Sore nanti, aku balik. Mau nggak, mengantarku ke bandara?Aku diam tak
menjawab. Harusnya kamu tahu jawabanku: aku malas mengantar siapa pun bepergian.
Perpisahan itu tidak enak. Menjelang kepergian adalah saat-saat sedih, dan aku tak
mau melewatkan yang seperti itu.Kamu bisa menangkap jawabku lewat diamku.Lalu
perpisahan ini berlangsung dalam diam juga. Seperti kemarin, aku hanya mengantarmu
sampai taksi meninggalkanku seorang diri.Pintu kututup pelan. Pasti ada yang hilang
lagi. Apa ya? Belum sempat kucari-cari, telepon berdering. Kuangkat. Di seberang,
istriku, mengingatkan bahwa besok anak tunggal kami ulang tahun, tepat yang
kelima.Di luar, cuaca cerah.***
Iklan

Pamusuk Eneste
Sumber: Kompas, Edisi 02/02/2003

Fuhlsbuettel, Hamburg

Inilah perjalanan Berbi yang ketiga kalinya ke Tanah Air setelah tiga tahun bermukim
dan memperdalam pengetahuan di negeri Goethe itu. Sebetulnya, Berbi merasa
sayang juga dengan biaya yang dikeluarkan orangtuanya guna membeli tiket pesawat
terbang Hamburg-Frankfurt-Jakarta-Frankfurt-Hamburg seharga 2.000 dollar AS lebih.
Namun, kalau sudah ada keinginan orangtuanya, biasanya biaya menjadi tak relevan
dipersoalkan.

Berawal dari sepucuk surat yang hinggap ke apartemennya beberapa hari yang lalu.

"Pulanglah segera begitu kamu menerima surat ini," tulis ayah Berbi. "Ada hal penting
yang hendak kubicarakan denganmu."

Dalam surat tercatat dan pos udara itu juga disebutkan, "Ayah sudah membayar tiketmu
pulang pergi dengan Lufthansa. Kontak saja agen Lufthansa di Moenckebergstrasse."

Seperti biasa, ayah Berbi tak pernah menyebutkan hal penting apa. Kalau disebutkan
dalam surat, barangkali Berbi akan menimbang-nimbang apakah ia akan pulang atau
tidak. Jadi, ada kemungkinan ayah Berbi sengaja tak menyebutkan apa hal penting itu.
Bukan untuk membuat Berbi penasaran, tetapi agar Berbi betul-betul pulang ke Jakarta.
Agar Berbi menyempatkan diri pulang ke Graha Taman, ke rumah orangtuanya.

Lagi pula, kalau tiket sudah dilunasi, tentu akan jadi masalah jika Berbi tidak mudik.
Jadi, Berbi memutuskan akan pulang saja ke Jakarta. Apa pun masalah penting yang
akan dibicarakan sang ayah! Apa boleh buat meski Berbi merasa di-fait accompli
ayahnya.

Meskipun salju belum turun, suhu udara di Hamburg terasa kian menggigit kulit. Apalagi
ditambah dengan angin kencang. Pohon-pohon sudah mulai meranggas, pertanda
musim gugur telah tiba. Daun-daun kuning bercampur coklat beterbangan ke mana-
mana ditiup angin dan mendarat di trotoar dan jalan raya. Dalam satu-dua bulan,
pohon-pohon di seluruh kota tentu akan gundul-gerundul. Pada bulan Maret tahun
depannya, secara alamiah daun-daun pepohonan itu akan muncul kembali dan lama-
lama kian merimbun pada musim panas.

Berbi mengancingkan jaketnya sembari menunggu panggilan keberangkatan untuk naik


ke pesawat Lufthansa yang akan menerbangkannya ke Frankfurt. Di Frankfurt, Berbi
akan berganti dengan pesawat Lufthansa berbadan besar yang akan melontarkannya
dalam tempo 14 jam ke Cengkareng, Jakarta.

Rothenbaumchaussee, Hamburg 1

"Pulanglah segera...."

Begitu bunyi surat itu.

Berbi tahu betul bahwa itu tulisan tangan ayahnya.

Berbi masih tidak habis pikir, meski teknologi sudah maju pesat, ayahnya masih saja
menulis surat dengan tulisan tangan. Tidak dengan mesin tik, apalagi dengan komputer.
Tidak juga mengirim e-mail atau faksimile atau menelepon.

Ayah Berbi memang tergolong konservatif bin kuno dalam hal teknologi modern. Entah
kenapa, ayahnya tidak mau menggunakan hasil peradaban modern itu.

Ketika Berbi bertanya suatu ketika mengapa begitu, sang ayah hanya mengatakan,
"Dengan tulisan tangan rasanya lebih otentik dan lebih personal."

Surat ini mirip telegram saja. Kalimatnya bisa dihitung dengan jari satu tangan.

Berbi tahu, ayahnya tergolong paling malas menulis surat. Kalau toh terpaksa menulis
surat, pastilah surat itu tidak akan panjang-panjang. Ayah Berbi agaknya ditakdirkan
tidak punya bakat menjadi pengarang. Apalagi pengarang cerpen atau novel. Paling-
paling hanya akan menjadi penyair, si hemat kata.

Di apartemennya, di Rothenbaumchaussee, Berbi masih berpikir-pikir apa gerangan


yang akan dibicarakan ayahnya. Kenapa Ayah tidak mengangkat telepon saja? Kenapa
harus bicara langsung dan harus tatap muka? Kenapa harus buang-buang uang sekian
ribu dollar Amerika untuk tiket pesawat terbang Lufthansa bolak-bolik Jerman-
Indonesia? Seberapa penting urusan yang akan diomongkan Ayah itu? Soal
warisankah? Soal pasangan hidup Berbi-kah?

Rothenbaumchaussee, Hamburg 2

Memang, biaya penerbangan Hamburg-Frankfurt-Jakarta pulang pergi bukanlah


masalah besar bagi ayah Berbi. Sebagai direktur sebuah perusahaan nasional, uang
2.000-an dollar Amerika untuk pulang pergi Jerman-Indonesia bukanlah jumlah besar
bagi orangtua Berbi.

Namun, uang tetaplah uang bagi Berbi, seberapa pun kecil atau besarnya. Apalagi ia
sudah terbiasa hidup hemat di negeri orang. Dua ribuan dollar tentu sangat besar,
cukup untuk membayar apartemennya selama beberapa bulan. Oleh karena itu, ia
masih berpikir-pikir apakah ia akan pulang atau tidak. Kalau pulang, untungnya apa?
Kalau tetap di Hamburg, risikonya apa?

Di pihak lain, Berbi kasihan juga kepada ayahnya kalau ia tak pulang ke Tanah Air.
Sebagai putri tunggal, ia mengerti perasaan ayahnya. Dengan siapa lagi ayahnya
bicara kalau bukan dengan dia? Berbi menduga, pasti ada hal penting yang hendak
disampaikan ayahnya. Kalau tidak, untuk apa ayahnya menyuruhnya pulang dan
membelikan tiket pulang pergi segala?

Mudik 1

Sejak kuliah tiga tahun lalu di kota pelabuhan terbesar Jerman itu, Berbi sudah dua kali
menerima surat serupa, yakni memintanya pulang dengan segera, "karena ada yang
akan kubicarakan denganmu" (begitu selalu ayahnya).

Ketika Berbi belum lagi setahun di Hamburg, tahu-tahu dia menerima surat dari sang
ayah.

"Pulanglah segera, ada yang akan kubicarakan denganmu."

Hanya itu isi suratnya.


Persoalan yang ingin disampaikan kepada Berbi waktu itu adalah mengenai pengganti
ibu Berbi.

"Teman-teman Ayah menyarankan agar Ayah menikah lagi," kata sang ayah to the
point ketika Berbi sudah tiba di Jakarta.

"Oh, ya."

Hanya itu komentar Berbi.

"Ayah ingin tahu, bagaimana pendapatmu."

Berbi menatap mata ayahnya dalam-dalam.

Berbi agak bingung juga harus berkomentar apa dan bagaimana. Ia tidak siap
menjawab. Ia tidak menyangka, pada usia yang berkepala lima ayahnya masih
memikirkan pernikahan. Oleh karena itu, ia menjawab sekenanya, "Terserah Ayah
sajalah...."

"Maksudmu bagaimana?"

"Maksudku, kalau Ayah memerlukan orang yang akan mengopeni Ayah, ya, apa
salahnya menikah lagi. Sebaliknya, kalau Ayah merasa tidak membutuhkan
pendamping lagi, ya, tentu tak perlu menikah lagi. Itu kan cuma akan menambah
persoalan baru."

Ayah Berbi terdiam sejenak. Oleh karena itu, Berbi menyambung, "Omong-omong, apa
Ayah sudah punya calon...?"

Sebetulnya, Berbi merasa agak lancang juga mengucapkan kata-kata seperti itu. Cuma
karena ayahnya sudah to the point, ia pun tak sungkan bertanya langsung.

Ayah Berbi menggeleng. Berbi menjadi heran karena ia pikir ayahnya sudah memiliki
calon istri baru atau istri kedua.

"Lho, bagaimana sih Ayah ini?"

"Teman-teman Ayah di kantor, katanya, siap mencarikan kalau Ayah setuju menikah
lagi."

"Saya pikir, Ayah sudah punya calon...."

"Belum."

Sejak kematian istrinya sepuluh tahun silam, Berbi-lah yang menjadi teman bicara dan
teman diskusi ayahnya. Apa boleh buat, peran hati harus diterima Berbi-suka atau tidak
suka.

Mudik 2

Surat semacam itu ("Pulanglah segera" atau "Segeralah pulang") bukan kali ini diterima
Berbi.

Pernah sekali Berbi disuruh pulang oleh ayahnya. Setiba di Jakarta, Berbi hanya
dilapori bahwa sang ayah baru saja diperiksa dokter.

"Memangnya Ayah sakit?" tanya Berbi. "Kok periksa dokter segala?"

"Aku pikir, aku mengidap penyakit."

"Lantas?"

"Setelah diperiksa dokter, ternyata aku dinyatakan sehat."

"Lho, memangnya Ayah merasakan apa?"

"Rasanya Ayah enggak enak badan terus. Makan tak enak. Baca tak enak. Tidur tak
enak, tak nyenyak. Badan serasa meriang sepanjang hari. Pada saat lain, badanku
serasa gatal seluruhnya."

"Tensi Ayah, bagaimana?"

"130/90."

"Normal dong."

Graha Taman 1
Kepulangannya kali ini ke Indonesia adalah yang ketiga kalinya. Pastilah ada hal
penting yang akan dibicarakan Ayah, pikir Berbi. Kalau tidak, tentulah ia tidak akan
memanggilku pulang.

"Aku punya firasat bahwa aku tidak lama lagi hidup," kata sang ayah setelah Berbi tiba
di rumahnya yang bernuansa Bali di Graha Taman, Jakarta.

"Maksud Ayah?"

"Maksudku, aku merasa sebentar lagi aku akan dipanggil-Nya."

"Lho, memangnya Ayah sakit?"

Sang ayah membisu.

"Ayah mengidap penyakit berat?"

Sang ayah menggeleng.

"Ayah sakit jantung?"

Sang ayah menggeleng lagi.

Setelah tidak mendapatkan penjelasan yang memuaskan, Berbi mengubah cara


bertanyanya.

"Kenapa Ayah merasa akan mati?"

Dengan enteng ayah Berbi menjawab, "Aku dapat firasat...."

Graha Taman 2

Keesokan harinya, ayah Berbi mengajak Berbi ke ruang kerjanya.

"Begini," kata sang ayah. "Aku ingin, kalau aku mati nanti, kamu pasang iklan kematian
untuk aku."

Berbi agak heran dengan kata-kata ayahnya itu. Namun, agar tidak mengecewakan
sang ayah, Berbi mengajukan pertanyaan, "Lho, Ayah ini bagaimana sih? Masih sehat
begini kok sudah bicara iklan duka cita?"

"Tak apa-apa toh. Kita kan perlu bersiap-siap. Kata peribahasa, ‟Sedia payung sebelum
hujan‟."

Mereka terdiam sejenak.

Kemudian Berbi melanjutkan, "Rencana Ayah bagaimana?"

Ayah Berbi membuka sebuah map yang ada di mejanya.

"Aku ingin kamu ikut memilih judul iklan duka cita yang bagus," kata ayah Berbi seraya
mengeluarkan guntingan-guntingan iklan duka cita dari map.

Guntingan-guntingan itu diambil dari berbagai koran.

“Turut Berduka Cita".

"Kabar Duka Cita".

"Telah Dipanggil ke Rumah Bapak".

"Telah Beristirahat dengan Tenang".

"Telah Mendahului Kita".

"Rest in peace".

"R.I.P".

Ayah Berbi meneruskan, "Aku ingin kamu memilih salah satu di antara bunyi iklan ini."

"Kalau aku sudah pilih?"

"Nanti, kalau aku sudah mati, iklan seperti itulah yang kamu pasang di koran."

Berbi terdiam.

"Kok Ayah ingin diiklankan, sih, kalau meninggal?"

"Aku ingin semua orang tahu bahwa aku sudah mati. Teman-teman, kerabat, tetangga,
dan bekas karyawanku tahu bahwa aku sudah mendahului mereka."

Berbi manggut-manggut meski ia tak mengerti betul keinginan ayahnya itu.

Soekarno-Hatta, Cengkareng

Berbi masih terus bertanya-tanya kenapa ayahnya merasa akan mati dalam waktu
dekat meski sang ayah tidak menderita penyakit apa pun. Firasat, kata ayahnya. Akan
tetapi, apakah firasat itu harus dipercaya? Apakah firasat dapat dijadikan acuan
kematian seseorang? Apakah firasat selalu benar?

Berbi juga masih bingung dengan permintaan ayahnya mengenai bunyi iklan duka cita
seandainya ayahnya betul-betul meninggal dunia. Berbi tidak tahu persis mana yang
bagus di antara judul iklan duka cita yang disodorkan sang ayah padanya: "Turut
Berduka Cita", "Berita Duka Cita", "Kabar Duka Cita", "Rest in Peace", "Telah
Beristirahat dengan Tenang", "Telah Mendahului Kita", "Telah Dipanggil ke Rumah
Bapak", atau "R.I.P". Mana yang paling bagus? Berbi tidak tahu.

Berbi hanya berjanji, "Kalau aku sudah sampai di Hamburg, aku segera kabari Ayah"

Dengan kata-kata itu, Berbi sebetulnya hanya mengulur waktu. Di pihak lain, dan ini
sebetulnya yang tidak mengenakkan, Berbi merasa rikuh membicarakan iklan duka cita,
sementara orang yang akan diiklankan masih sehat walafiat. Apalagi orang yang
meminta iklan itu adalah orangtua Berbi sendiri. Bagaimana mungkin membicarakan
iklan duka cita kalau orang yang bersangkutan masih segar bugar? Gendheng apa?

Ruang tunggu Keberangkatan Luar Negeri makin disesaki calon penumpang yang akan
terbang ke Frankfurt dengan pesawat Lufthansa LH-747.

Ketika dari pengeras suara terdengar suara empuk wanita, "Para calon penumpang
dengan tujuan Frankfurt dengan nomor penerbangan LH-747 dipersilakan naik ke
pesawat terbang melalui Gate 1", Berbi pun beranjak dari tempat duduknya. Dengan
langkah berat, Berbi menuju Gate 1. Masih terngiang-ngiang kata-kata ayahnya,
"Pilihlah judul iklan yang paling bagus...."

Ketika Berbi sudah berada di langit Jakarta, ia belum bisa memilih salah satu di antara
judul iklan yang disodorkan ayahnya.

"Nanti aku kabari Ayah lewat telepon, atau surat, atau e-mail, atau telegram, atau
faksimile, iklan mana yang kupilih," katanya kepada sang ayah. "Pokoknya, kalau sudah
sampai waktunya, tentu akan aku pasang iklan di semua koran."

Ayah Berbi senang mendengar kata-kata putri kesayangannya itu.

Graha Taman 3

Seminggu setelah kepulangan Berbi ke Hamburg, pada suatu malam ayah Berbi
terpaku di tempat duduknya menyaksikan siaran CNN. Menurut berita CNN, sebuah
kecelakaan mengerikan telah menimpa rombongan mahasiswa Universitas Hamburg
yang mengadakan karyawisata ke Roma. Bus yang ditumpangi oleh para mahasiswa
itu masuk jurang dalam perjalanan menuju Milan, Italia. Semua penumpang bus
meninggal dunia, termasuk sopir bus. Salah seorang mahasiswi yang meninggal itu
berasal dari Indonesia, Berbi namanya. ***

Jakarta, Oktober 2002


Dua Wanita Cantik

Jujur Prananto
Sumber: Kompas, Edisi 01/26/2003

MENEMUKAN sebatang lipstik di laci meja, mestinya merupakan kejadian biasa-biasa


saja. Apalagi meja itu ada di kamar seorang gadis remaja cantik berusia enam-belas
tahun. Makin tak ada yang pantas dianggap istimewa. Tapi tidak demikian bagi Yustin.
Waktu ia kehilangan gunting kuku dan mencari-carinya di segala penjuru rumah,
sampai akhirnya membuka laci meja kamar anaknya dan secara kebetulan menemukan
lipstik di situ, Yustin merasakan desir tajam mengusik perasaannya. Sebuah desir yang
nyaris sama dirasakannya empat tahun lalu ketika suatu siang Meta pulang sekolah
sebelum waktunya, saat anak itu masih kelas enam sekolah dasar. Dengan nafas
terengah-engah, mata sembab dan isak tertahan, Meta lari kencang memasuki
halaman rumah, dan menghambur ke dalam sambil berteriak-teriak memanggil.

"Bunda! Bunda! Perutku luka!" Yustin terperanjat dan dengan penuh kepanikan
bergegas membuka baju anaknya, tapi tak dijumpainya setitik pun luka.

"Bukan di situ, bunda. Tapi luka dalam. Ada darah keluar membasahi celanaku!" Saat
itu Yustin menghembuskan nafas lega, dan menjelaskan pada Meta bahwa anaknya itu
mengalami haid untuk yang pertama. Namun, pada saat yang sama Yustin merasakan
pula desir tajam yang merisaukan perasaannya. Dan kerisauan ini kian menjadi-jadi
sejalan dengan terus berjalannya waktu, justru karena Meta tumbuh begitu pesat
menjadi gadis remaja, jauh mendahului kawan-kawan seusianya. Di antara wajah-
wajah kekanak-kanakan dan badan-badan mungil siswi kelas satu SMP, Meta tampil
amat menonjol oleh tubuhnya yang begitu semampai, anggun dan mempesona.
Sementara teman-teman wanita sekelasnya masih berkaus singlet untuk menutupi
dadanya yang baru mulai tumbuh, Meta sudah harus mengenakan beha layaknya
wanita dewasa. Sementara yang lain masih menebar "bau matahari" saat berpanas-
panas berjalan kaki pulang sekolah, Meta sudah menebar wangi tubuh yang bisa
menggetarkan birahi lelaki.Bagi Yustin, hari demi hari berlalu tanpa pernah sama-sekali
terbebas dari rasa cemas. Bayangan-bayangan buruk senantiasa melintas di benaknya
meski cuma sekilas, justru karena ia tahu persis, betapa sejenis malapetaka bisa setiap
saat menerpa anaknya. Untuk sementara, bayangan-bayangan buruk itu memang
tinggal bayangan. Sebab nyatanya, dalam kematangan tubuhnya Meta tetap tampil
sebagai gadis lugu berwajah polos. Yang bisa tertawa dan menangis sebagaimana
layaknya remaja seusianya. Sampai ia lulus SMP. Sampai ia masuk SMU. Sampai ia
berusia enam-belas tahun. Sampai ibunya menemukan sebatang lipstik di laci meja di
kamarnya. Ialah sebuah benda yang sang bunda tak pernah membelikan untuknya.
Yang berarti untuk pertama kali ia mempunyai inisiatif sendiri untuk memiliki sesuatu di
luar segala macam kebutuhan pribadi yang selama ini selalu disediakan atau dipilihkan
oleh bundanya: baju - yang tak pernah berlengan pendek, rok - yang panjangnya selalu
di bawah lutut, sepatu, pakaian dalam, bedak, shampo....... Dan lipstik tak pernah ada
daftar itu!

“DARIMANA kau dapatkan lipstik ini, Meta?"

"Aku beli sendiri, bunda."

"Kenapa? Untuk apa?"

"Kenapa bunda tanya begitu?" Giliran Yustin terdiam. Ditatapnya anaknya dari mulai
ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dirangkulnya.

"Bunda mau bicara sebentar."

"Tapi Meta sudah mau berangkat sekolah."

"Sepagi ini? Bukankah kau masuk jam setengah satu siang?"

"Rosanti sakit. Ia tak bisa datang menjemput. Aku harus berangkat naik bis kota."

"Biar bunda nanti antar kau naik taksi."

"Tak usah, bunda. Ongkos taksi ke sekolah tak kurang dari tigapuluh ribu."

"Omongan bunda kali ini akan jauh lebih berharga dibanding uang tigapuluh juta sekali
pun." Meta terdiam. Ia tak kuasa menolak saat ibunya membimbingnya masuk kamar.
Dan membawanya menghadap cermin besar yang menempel di pintu almari. Hingga
nampaklah di sana dua wajah wanita cantik yang berbeda usia dan gaya. Yang satu
begitu remaja dengan tata-rambut yang mencitrakan kemasa-kinian yang begitu
dinamis, satu lagi adalah wajah penuh kematangan dan tempaan pengalaman hidup,
yang sebagian rapat terlindung di balik kerudung berbordir putih bersih.

"Perhatikan bibirmu secara saksama, Meta."

"Bibir saya kenapa, bunda?"

"Kaulihat kulitnya yang cokelat tua kemerahan? Kaulihat bentuk tepiannya yang
melengkung indah itu? Lalu coba sentuh dengan tanganmu. Bisa kaurasakan
kelembutan kulitnya? Bisa kaurasakan kekenyalan daging di dalamnya?"

"Lalu kenapa, bunda?"

"Kau dikaruniai bibir yang sangat indah, Meta. Sedemiki-an indah hingga kau tak perlu
menambah apa pun untuk memperindahnya."

"Tapi..."

"Kau pasti ingin mengatakan bahwa memperindah yang sudah indah itu bukan tindakan
yang salah."Meta mengiyakan dengan cara terdiam.

"Mungkin kau benar. Tapi sekarang cobalah buka pakaianmu."

"Apa, bunda...??"

"Jangan bertanya dulu buat apa. Buka saja dulu pakaianmu. Semuanya."

Dengan perasaan berdebar dan bertanya-tanya Meta membuka seluruh pakaiannya.


Yustin pun mengamatinya tanpa berkedip. Lalu menghela nafas panjang serta menggu-
mamkan nama Tuhan.

"Kenapa, bunda?"

"Mestinya kau patut bersyukur atas karunia keindahan ini..."

"Kenapa 'mestinya' ?"


"Karena keindahan ini sekaligus bisa jadi beban berat buat kamu."

"Meta tak tahu apa maksud bunda."

"Kau pasti pernah merasakan, atau sering merasakan, atau senantiasa merasakan,
betapa setiap pria yang kaujumpai akan menyempatkan diri untuk-paling tidak-sekedar
memandangmu. Lewat pandangan itu dia bisa mengagumimu, memujimu, atau lebih
dari itu : berhasrat ingin menyayangimu, menyentuhmu, membelaimu,
memelukmu...atau..."

"Jangan berpikir sejauh itu, bunda!"

"Bunda tidak berpikir terlalu jauh, Meta. Ini bisa begitu saja terjadi atas diri kamu. Kapan
pun."

"Lalu menurut bunda aku harus bagaimana?" Yustin terdiam beberapa saat. Dipeluknya
anaknya erat-erat sambil matanya tetap memandang ke cermin. Mengamati anaknya
sekaligus dirinya. Membandingkan dua wajah cantik itu dengan berbagai macam
perasaan. Dengan berbagai kecemasan.

"Waktu kecil bunda pernah punya tetangga bernama Amsar. Badannya besar dan kekar.
Penampilan fisiknya ini membuat orang-orang jadi takut padanya, hingga yang pada
mulanya ia hidup biasa-biasa saja sebagai layaknya pemuda desa, oleh sikap orang-
orang di sekitarnya ini ia justru berubah, setelah ia berangsur-angsur sadar dirinya
ditakuti orang. Lama-lama ia mulai menikmati rasa takut orang-orang ini. Dan ini
membuatnya jumawa."

"Lalu......maksud bunda?"

"Kau pasti tahu maksudku, Meta."

"Bunda khawatir....aku dimanjakan oleh kecantikanku sendiri?"Yustin makin erat


memeluk anaknya. Matanya terpejam. Pipinya membasah. "Kenapa bunda menangis?"

"Bunda cuma khawatir, nak. Bunda cuma khawatir...."

MEMANG cuma sejauh itu yang bisa terucap dari mulut Yustin. Tak mungkin ia
menjelaskan kenapa kekhawatiran itu senantiasa muncul dalam dirinya. Tak mungkin ia
bercerita, bahwa saat melihat tubuh telanjang anaknya, ia melihat sosok dirinya
duapuluh lima tahun yang lalu: Yustin yang cantik, yang setiap hari mendengar decak
kagum, siutan panjang, panggilan mesra, pujian, serta rayuan dari para pria yang
berlomba-lomba mendapatkannya. Dan Yustina tak kuat bertahan, sebab segala rupa
sanjungan itu lama-lama sangat dinikmatinya. Sangat disadarinya memiliki kekuatan
luar-biasa yang tidak selalu dimiliki oleh wanita lain. Ialah kekuatan untuk mendapatkan
sesuatu dengan cara sangat gampang. Sampai suatu saat seorang lelaki berucap
padanya, "Wanita secantik kamu tak perlu bekerja. Tinggalah di rumah yang kau boleh
pilih sendiri yang kau suka. Bepergianlah ke mana pun ingin kautuju, dengan mobil
yang boleh kau pilih sesukamu pula. Berbelanjalah apa pun yang ingin kau miliki, dan
gunakanlah kartu debet atas-namamu yang tak perlu kau pikirkan pengisian dananya.
Yang penting kau senantiasa ada di rumah untuk menyambutku setiap aku datang ke
rumahmu". Dan Yustin tak kuat untuk menolak.

"Cuma ada satu syarat yang harus kau taati : Jangan ganggu istri dan anak-anakku”.
Dan Yustin tak kuasa untuk menggugat.Juga ketika lelaki itu sekian tahun kemudian
menghilang tanpa kabar. Ketika tiba-tiba kartu debetnya ditolak kasir. Ketika tiba-tiba
datang sekelompok orang yang mengaku rumah tempat-tinggalnya sebagai milik
mereka. Ketika tiba-tiba ia sadar bahwa bayi dalam kandungannya kelak secara hukum
tak akan pernah berayah. Dan Yustin tak mungkin bercerita, bahwa bayi itu kelak
diberinya nama Meta.

META sesaat mengamati lipstik yang ditemukan ibunya dan menghela nafas panjang.
"Kenapa aku begitu ceroboh menaruhnya di sini?" pikirnya. Ia pun buru-buru membuka
almari, mengambil sebuah tas yang tersimpan di bawah tumpukan baju, dan
memasukkan lipstik itu ke dalamnya, menyatukannya dengan kelengkapan rias berikut
asesori lainnya: lipgloss, eyeshadow, eyeliner, blush-on, maskara, giwang, anting,
kalung, gelang, stiker tattoo dan pernik-pernik lainnya. Lalu Meta cepat-cepat
memasukkan tas kulit itu ke dalam ransel berbahan parasit yang biasa dipakainya ke
sekolah. Ketukan pintu membuatnya kaget. "Ya, bunda?"

"Sudah siap kau berangkat?"Wajah Meta seketika menegang. "Tapi bunda tidak jadi
mengantarku ke sekolah naik taksi, kan?"

"Kenapa? Hilang limapuluh ribu pun kali ini bunda tak merasa rugi"

Sekonyong-konyong terdengar suara getar di permukaan meja kaca. Meta bergegas


mengambil handphone yang tersembunyi di balik tumpukan bukunya. Ada nama
seorang pria tertayang di layar. Dengan tangan gemetar Meta memencet tombol terima,
dan bicara dengan suara selirih-lirihnya.

"Halo...?"

"Meta??? Kamu di mana sih dari tadi aku nelpon nggak diangkat-angkat? Tadi hampir
sejam aku tunggu di lobby kamunya nggak datang-datang. Sekarang aku sudah di
kamar. Kamar 501. Kalau nanti kamu datang aku pas keluar, minta aja kunci ke
resepsionis. Entar aku bilang ke resepsionis kalau kamu mau datang. Oke, ya?"

"Sebentar, oom...!" Tapi telepon di seberang sana sudah terputus. Dan yang terdengar
kemudian ialah suara ibunya yang nampaknya berdiri persis di depan pintu di luar
kamar.

"Kau bicara sama siapa, Meta?" ***

Jakarta, 11 Desember 2002


Jaring Laba-Laba

Ratna Indraswari Ibrahim


Sumber: Kompas, Edisi 01/19/2003

LABA-laba di sudut kamarnya membuat jaring berwarna putih. Di pusat sarangnya yang
berbentuk bulat lonjong: laba-laba itu menelan seekor nyamuk yang nyasar!Ibu masuk
ke kamarnya membawa sapu panjang, "Non, bersihkan sarang laba-laba itu. Kamar
Masmu memang jorok. Tapi, Masmu kan laki-laki! Seharusnya kamar perempuan
bersih, lebih-lebih, kalau kau punya suami."Dina menganggap omongan Ibu sangat
benar.

JALAN-jalan, setelah capek belajar (Dina mendapat beasiswa untuk mengambil S-2
nya di mancanegara), di halte sambil menunggu bus, Dina membawa sebuah buku.
Kala mendongakkan kepalanya, seorang lelaki Indonesia, Bram, berdiri di
mukanya!Jaring-jaring cinta Bram kah? (Tidak pernah jelas apa warnanya) nyatanya
beberapa bulan kemudian, Dina menikah dengan Bram. Sama-sama hidup di
apartemennya Bram: mimpi, ketakutan, harapan, dan kesedihan adalah milik
mereka.Dina dan Bram kalau capek bisa berbicara dalam satu bahasa.

"Pagi ini kita akan masak spaghetti yang enak, besok ke toko Cina bikin capcai yang
enak. Besok lagi aku ingin jalan-jalan dan beli es krim yang enak, setelah itu aku akan
mengetik makalah-makalah dari para dosen."

Setiap hari di lantai kesepuluh apartemen mereka, Dina mendongakkan kepalanya


melihat langit yang bersih, dan berucap,

"Kubisikkan pada mereka, aku cinta Bram, aku cinta Bram, aku cinta Bram, langit
menulis kata-kata itu. "Lantas mereka belajar sekeras-kerasnya agar bisa segera balik
ke Indonesia (Ibu selalu takut kalau Dina akan gagal sekolah bila menikah). Itu rasanya
tidak mungkin, kalau Dina melek sampai malam dan membuat makalah ini, Dina tahu
Bram ada di sisinya.

PADA saat itu, kami tahu bahwa anakku yang pertama sudah berada di dalam
kandanganku." Cerita Dina kepada Wiwin (sahabatnya) dalam salah satu e-mail-
nya.Anaknya lahir dengan sehat, tiba-tiba Dina tidak tahu, apakah dia masih mencintai
Bram. "Kuberikan diriku, waktuku, cintaku kepada sulungku dan Bram," cerita Dina
dalam salah satu e-mail-nya lagi kepada Wiwin.Kemudian dengan bayinya, setamat
sekolah pulang ke Indonesia. Mereka sama-sama bekerja keras. Namun, ketika
anaknya berusia empat tahun Ibu menelepon,

"Baby sitter itu hampir membunuh anakmu. Ia menampar habis-habisan sulungmu,


untungnya aku datang".

Dina berhenti dari pekerjaannya (Bram memintanya dengan sangat untuk berhenti dari
pekerjaannya). Sekarang, Bram dan sulungnya adalah pusat dari kehidupannya. Dina
menyanyi, menari, mengantar anak ke sekolah dan tidak perlu melihat lagi dunia
luar!Pada suatu hari, ketika selesai menyetrika, Dina merasa melihat nyamuk yang
sedang dilahap laba-laba, hal itu diomongkan kepada Bram. Lelaki itu tertawa dan
tenggelam ke dalam pekerjaannya.Malam itu, Dina menangis dan mengatakan kepada
Bram,

"Saya seperti nyamuk yang dilahap oleh laba-laba dan laba-laba itu adalah kau dan
anakmu." Bram melihatnya dengan heran dan kemudian tidur dengan nyenyak. Dina
duduk di ruang tamu, dia ingat kala pertama kali bertemu Bram, sebenarnya Dina
merasa, Bram laba-laba yang menyamar sebagai laki-laki, yang kemudian menjadi
suaminya. Gila! Ia masuk ke sarang laba-laba itu. Tiba-tiba di ruang ini terdengar,
"Bersihkanlah sarang laba-laba itu!" Suara itu mengalir ke seluruh urat nadinya. Dia
naik ke lantai dua, meneriakkan kata-kata cintanya kepada Bram.Langit di sana diam-
diam saja.

DINA ingin liburan sendiri ke rumah dan ketika sampai, ia membersihkan sarang laba-
laba di rumah Ibu. Kala Dina sibuk membersihkan sarang laba-laba itu Ibunya masuk,
"Nduk, apa yang terjadi dengan dirimu?"

"Saya tidak ingin mengatakan, Bram sendirilah laba-laba yang setiap saat melumatku".
Ibu memeluknya,
"Ketika aku dan bapakmu tidak saling mencintai lagi, kami bersabar!"Dina tidak sepakat.

APA yang dilakukan oleh Bram dan anaknya seperti bukan lagi bagian hidupnya.
Mereka seperti berada di tempat yang berseberangan. Hal ini dibicarakan dengan Bram,

"Din, kita ini orang biasa dan aku sibuk dengan pekerjaan, bukan untuk diriku sendiri,
tapi untuk keluarga. Kita tidak perlu menyoalkan jaring laba-laba atau Spiderman, kalau
kau jenuh di rumah kau bisa keluar dengan teman-temanmu, aku tidak pernah
mengurungmu."

Dina menganggap ini adalah alasan yang dibuat oleh Bram agar dia tidak berontak
terhadap jaring laba-laba mereka. Dia merasa, baik Bram maupun anaknya menambah
jaring laba-laba, sehingga dia seperti seekor nyamuk yang tidak bisa pergi dari
perangkap laba-laba tersebut.Dina menjerit-jerit (kepalanya terasa sakit) dan Bram
cuma bilang, Dina mungkin capek, sebaiknya minum susu dan aspirin.Dina melihat itu
seperti sebuah bujukan, agar dia bisa lebih terperangkap ke dalam jaring laba-laba itu,
sehingga dia tidak bisa berbuat apa pun.

DINA menyusun rencananya. Langkah satu, perceraian, langkah dua pergi


meninggalkan Bram dan anaknya, langkah ketiga membabat habis apa saja yang
menjadi jaring-jaring dalam rumah ini. Jaring-jaring itu: semua kebutuhan Bram dan
anaknya yang harus dilayani. Semua perabot rumah, baju-baju dan makanan yang
harus disiapkan setiap hari. Bram suatu senja mengajaknya ngomong,

"Saya tidak tahu mengapa kau depresi! Apakah saya suami yang tidak baik? Saya tidak
berselingkuh dengan siapapun, sebisa-bisanya, saya ingin menjadi suami dan bapak
yang baik. Karena semua orang bilang, kamu depresi, maka dari itu aku tidak bekerja
hari ini, tapi mengantarkan kamu ke psikolog, ceritakanlah apa yang menjadi
permasalahanmu."Dina menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan tiba-tiba, dia melihat
wajah Bram yang sudah menjadi laba-laba.Dina menjerit-jerit.

SUNGGUH, dia melihat dengan jelas sekarang Bram dan anaknya adalah laba-laba.
Celakanya mereka bukan laba-laba yang seperti Spiderman yang suka menolong dan
baik hati, mereka adalah laba-laba ganas, yang sampai pada saat ini, masih menjerat
seluruh tubuh, perasaan dan pikirannya. Satu-satunya jalan adalah memotong jaring
laba-laba itu. Dina mengatakan kepada Ibunya,

"Ibu, saya akan memotong jaring laba-laba yang ada di seluruh tubuhku. Jaring itu
dibuat oleh Bram dan anakku."Ibu memeluknya,

"Nduk, sejak kau ada di rumah Ibu Bram dan anakmu sering meneleponku mena-
nyakan kabarmu, mengirim cintanya lewat telepon. Tentu saja mereka tidak bisa setiap
kali ke rumah Ibu, Bram kan harus ngantor dan anakmu harus sekolah."Dina diam saja.
Dia merasa setiap orang menindas (termasuk juga ibunya). Dina ingin sekali pergi ke
kota tempat Bram dan anaknya tinggal (beberapa minggu yang lampau mereka berdua
pindah ke kota lain, alasan mereka: Bram mendapat promosi jabatan di kota lain).
Sebetulnya, Dina tidak ingin peduli, asal jaring laba-laba itu tidak melingkarinya.
Bayangkan mereka berdua mempergunakan cintanya dengan menyuruh
menyelesaikan seluruh pekerjaan rumahnya. Tak jarang baik Bram maupun anaknya
kesal karena masakannya terlampau asin atau hambar. Mereka juga tidak bersedia
sekali-kali membereskan rumah. Memang ada ekspresi cinta dari Bram, namun ujung-
ujungnya menjadi kebutuhan seks belaka. Dina jijik dan sekarang, ketika Dina merasa
pusing yang hebat, mereka berdua melenggang ke kota lain, membiarkan Ibu yang
sudah tua dan sakit-sakitan mengurus dirinya. Padahal, kalau dia merasa sangat sakit
dan hampir tidak bisa bangun dari tempat tidur, Bram yang seharusnya merawat.Dina
menangis.Akhirnya, dengan alasan yang tidak jelas dokter mengatakan, dia sembuh
dan menyuruhnya kembali ke rumah Bram dan anaknya.Sampai di rumah ini, Bram dan
anaknya memang tidak menyuruhnya mengerjakan apa pun. Ada pembantu yang
mengerjakan itu semua. Mereka memperlakukan Dina seperti perempuan jompo (yang
kehadirannya tidak dikehendaki, tapi harus dihormati).Kesedihan, kemarahan semakin
meledak-ledak di hatinya. Dina mengatakan kepada Bram akan mengerjakan semua
tugas-tugasnya seperti dulu, karena tanpa tugas-tugas itu, Dina merasa tidak punya arti
sebagai seorang istri dan ibu.

Bram berkata pelan-pelan, "Din, Kamu masih dalam proses penyembuhan, turuti
sajalah apa kata dokter, kasihan anakmu."
"Kau tidak mencintaiku lagi, padahal kuberikan semua cintaku untukmu, ketika kita baru
saja bertemu di halte bus."Bram melihatnya lekat-lekat,

"Sudahlah, Din, kasihan anakmu dan sebetulnya ini berat bagi kita semua, aku harus
bekerja lebih keras untuk kesembuhanmu, harga obatmu sangat mahal,"

"Jadi, aku adalah bebanmu sekarang?"Bram mengangkat bahunya dan sebelum


mengucapkan satu kata pun anaknya memegang tangan bapaknya,

"Pa, ayo tidur, saya takut tidur sendirian kalau ada Mama" (mereka memang sekutu-
sekutu yang tercinta), sedangkan Dina adalah nyamuk yang bisa dilahap setiap
saat.Dina mengusir mereka berdua dan dilihatnya anaknya dengan penuh sayang
memeluk bapaknya.

SUATU kali dia membersihkan rumah ini dari sarang laba-laba, anaknya yang baru
pulang dari sekolah mendekatinya, "Ma, dari tadi Papa kok belum pulang?" Dina tidak
menjawab dan ketika anaknya bertanya lagi, Dina berkata pelan-pelan,

"Seperti sarang laba-laba yang harus saya bersihkan, Papamu saya bersihkan dengan
pisau itu." Anaknya menjerit-jerit di rumah ini. Beberapa tetangga berdatangan. Bram
berdiri di antara tetangganya. Mereka bersama melihat Dina yang sedang memotong
jaring laba-laba yang ada di setiap sudut rumah ini.Dina selesai membersihkan sarang
laba-laba. Dilihatnya Bram dan anaknya. Dina secepatnya menyusun bajunya dalam
kopor, "Jaring laba-laba itu akan selalu kau buat lagi kan? Oleh karena itu, selamat
tinggal."Bram, anaknya, dan para tetangga menyeretnya ke rumah sakit jiwa!Beberapa
tahun kemudian dokter Wayan bilang kepadanya,

"Saya harap, kamu bisa bersosialisasi lagi dengan Mas Bram dan anakmu, kamu sudah
sembuh, mereka akan datang menjemputmu." Dina melihat Bram dan anaknya
(anaknya sudah berangkat remaja. Dina menganggap, dia harus memisahkan anaknya
dari Bram, agar tidak menjadi laba-laba yang jahat). Namun, kesembuhan ini tidak
membuatnya bisa melihat lagi jaring laba-laba yang pasti masih dibuat oleh Bram dan
anaknya!Dina kemudian berlari ke sembarang arah. Dan jaring laba-laba itu, mengejar-
ngejarnya. ***
Malang, 18 November 2002
Ranah Berkabut

Raudal Tanjung Banua


Sumber: Kompas, Edisi 01/12/2003

SI Upik punya dua pusar-pusar1 di kepala. Rambut ikalnya berpusing pada satu
pumpunan di ubun-ubun, kanan dan kiri. Tanpa harus menguak dan meraba, cukup
angin saja yang menyibak, maka rambut berpusing itu akan segera terlihat, dan orang-
orang membacanya sebagai pusar-pusar ternak paling baik. Tanda seperti itu-jarang
orang yang beruntung memilikinya sepasang-dipercaya membawa berkah bagi ternak
yang digembalakan. Konon, setiap ternak yang diperuntukkan buat si Upik, bakal cepat
berkembang, terhindar dari segala penyakit dan kematian.Demikianlah, orang-orang
percaya pada pertanda. Boleh jadi ungkapan yang menyelubunginya semacam doa
yang dipanjatkan. Dan kenyataannya memang demikian. Ketika si Upik masih kecil,
pusar-pusar ternak di kepalanya sudah cukup teruji. Bila ayahnya membeli sepasang
ayam, cukup dengan berkata, "Ayam ini untuk si Upik," maka, ajaib, ayam itu
menghasilkan telur yang banyak, semuanya selamat dierami, dan turun dari kandang
berkembang-biak, lalu tumbuh berpasang-pasang.Akan tetapi, bila Ayah
memperuntukkan ayam itu buat si Kandik-kakak laki-laki Upik-maka tak kalah ajaibnya,
ayam-ayam itu seperti tak berdaya menghadapi alam. Merimuk saja di sudut kandang,
dikungkung penyakit dan dijemput kematian. Atau ada yang sempat bertelur, tapi
telurnya berserak-serak dalam belukar, dua-tiga butir yang dierami, itu pun tak
menetes!Bagaimana mungkin kita tidak percaya pada pertanda dan isyarat? Kandik
memang tak punya pusar-pusar baik di kepala. Rambutnya kasar seperti ijuk, berdiri
tegak umpama dari landak, menampakkan wataknya yang keras. Ia bercita-cita menjadi
tentara, dan Ayah merestuinya. Karenanya, sekolah si Kandik harus terus disambung;
tamat SMP ke SMA, nanti mendaftar jadi tentara. Berbeda sekali dengan si Upik.
Semenjak kecil di telinga gadis itu telah didengungkan isyarat baik yang ia punya;
pusar-pusar ternak itulah, tiada dua. Sering Mak mengajaknya duduk di tubir jenjang,
mencari kutu, sambil menyibak pusaran rambut itu, Mak akan berkata tentang
keberuntungannya, semacam doa yang memang tak putus-putusnya dipanjatkan. Upik
merasa tersanjung, dan segera membayangkan ternak berkembang-biak; ayam-ayam
berkotek di kandang, sapi-kerbau dan kambing-kambing merumput riang di padang
hijau. Alangkah indah dan menyenangkan.Silau oleh semacam keindahan ajaib yang
meruah direlung hati masa kecilnya, yang dihembus-hembuskan orang sekeliling, tanpa
sadar si Upik telah bercita-cita saja ingin menjadi pengembala. Dan, ya, Ayah tentu
merestui. Bahkan kalau si Upik tak bercita-cita demikian, Ayah pasti memaksa dan
mengarahkannya. Tak perlu menunggu lama, tak perlu menunggu tamat sekolah, baru
akan naik ke kelas enam saja, Ayah telah memberinya sejumlah kambing-kambing
orang dengan sistem paroan2. Maka, di usia sehijau itu, si Upik sudah bergulat dengan
cita-cita sederhananya dulu.Pagi-pagi sekali, saat kawan-kawan seusia berdayung
sepeda ke sekolah, si Upik dengan caping di kepala dan pakaian lusuh (bukan seragam
putih-biru!) juga bersegera menggiring kambing-kambingnya ke padang gembala.
Padang itu terletak cukup jauh dari perkampungan, melewati sehamparan sawah
dengan pematangnya yang kurus, dan di sebalik semak-semak akan nampak dataran
menghijau lengang. Di sanalah si Upik menghabiskan hari tanpa merasa berkecil hati.
Bukankah ia beroleh berkah dan anugerah yang tertuntung dari langit, langsung ke
ubun-ubun yang meriap bagai rumput atau alang-alang yang tunduk, berpusar pada
kehendak alam? Meriap dalam satu pumpunan yang menjanjikan kesuburan?

SEPERTI diduga, ternak si Upik memang berkembang-biak. Siapakah yang bisa


mengelak dari pertanda? Tak ada. Orang di ranah itu sudah sejak dahulu berguru
kepada alam. Setiap tanda jadi tanya, setiap isyarat jadi sebab. Dan leluhur telah
mempersiapkan jawab yang layak diterima sebagai berkah warisan, turun-temurun,
bagai air pada cucuran atap jatuh di pelimbahan yang sama. Menjadi adat orang
seranah. Lihatlah si Upik: Pergi pagi pulang petang telah menjadi irama kesehariannya,
berkah dari adat yang bertuah; berkat tetua yang pandai membaca. Segala tanda dan
isyarat!Begitulah. Rasanya belum lama berselang si Upik masih menghapal puisi
"Gembala" karangan Muhammad Yamin di buku pelajaran Sekolah Dasar yang keburu
ia tinggalkan. "Anak gembala, seorang sahaja di tengah padang, tidak berbaju buka
kepala..." Kata itu serasa masih bergema di relung hatinya.Seorang sahaja di tengah
padang (tentu tak buka baju karena ia perempuan!), begitulah keadaan diri si Upik.
Sendiri memintal hari, bagai tangannya yang bosan memintal bunga rumput jadi mainan.
Berhujan-berpanas sudah biasa. Berubah legam kulitnya yang kuning langsat, dan di
kampung ia dipanggil "Upik Itam", bukannya "Upik Kambing Banyak"-sebagaimana
yang ia inginkan, tentu sambil membayangkan perempuan sanjungan dalam cerita "Puti
Gelang Banyak". Tidak. Si Upik tidak pernah mendapat penghargaan semacam itu, dan
ia tak peduli. Ia hanya tahu bahwa bebannya kian bertambah, tukuk-bertukuk tiada
habis akibat pusar-pusar ternak di kepala. Kian banyak orang tertarik menyerahkan
hewan ternak-termasuk kepala kampung-dengan sistem paroan yang lazim berlaku di
situ. Tak hanya kambing, tapi bermacam-macam, dari ayam, sapi dan kini kerbau.
Sungguh menambah beban, sebaliknya menambah silau hati Ayah akan harta. Dan
semua ternak diterima Ayah, tanpa pernah berunding dengan dirinya.Siapa berani
menantang Ayah? Berani menantangnya-apalagi anak perempuan-sungguh dianggap
keterlaluan; berarti menantang adat dan kebiasaan. Maka, begitulah, dengan kumis
melintang, badan berdegap dan wajah selalu berhias amarah, sudah lama Ayah
menjelma hantu yang menakutkan Mak, kakak-adik, apalagi si Upik, tak ketinggalan
ternak di kandang atau di tengah padang. Selalu, selalu saja Ayah menjelma hantu (tapi
lebih sering srigala) yang datang tiba-tiba dari balik semak-semak, dan berseru di
tengah padang. "Upik, ayah butuh seekor kambing!" Maka, dengan sekali sentak,
kambing yang ia minta telah membebek dibawa pergi-demi hasratnya berjudi!Dan
petang itu si Upik teramat sedih. Soalnya kambing kesayangan (tanduknya melengkung
seperti tanduk rusa) dicegat Ayah di pintu kandang, dan segera beralih ke tangan
seorang juragan (ah, mungkin juga seorang bandar!). Si Upik tak kuasa menahan
tangis, tapi bukan penghiburan yang didapat, melainkan dampratan dan umpatan.
"Anak tak tahu diuntung!" itu jenis makian yang menghambur berulang-ulang. Membuat
si Upik tak nafsu makan. Ia merajuk, dan Mak tak kuasa membujuk. Akhirnya Ayah
bertindak lebih jauh, tak sekadar membentak tapi menggampar. Dilecut pakai sabuk
atau cambuk ekor pari memang telah menjadi langganan si Upik. Tak jarang ia
direndam ke dalam sumur berjam-jam bila Ayah marah. Dan petang itu, dengan hidung
dan telinga disumbat kapas, Ayah menyeretnya ke belakang. Dengan satu sentakan,
terikatlah si Upik di batang jambu yang dipenuhi semut rangrang!Upik membenturkan
kepalanya ke batang pohon. Dibentur-kan kepalanya sepuas-puasnya, seolah dengan
itu pusar-pusar di rambutnya akan segera sirna!BESOKNYA Upik demam, tapi ia tak
mungkin meninggalkan tugas. "Kamu mesti berangkat, Pik. Apa kata orang yang
ternaknya kita gembalakan kalau seharian dibiarkan di kandang," kata Mak
kelu.Terhuyung Upik meniti pematang. Perutnya mual, ingin muntah. Di kubangan, ia
lihat wajahnya, kurus dan menderita, juga rambutnya yang kusut. rasa sakit dan putus
asa menggerakkan tangannya menarik rambut itu, dijambak dan diacak-acak.
Dicakarnya pusar-pusar itu seperti mencakar bara dendam. Beberapa bangau putih
terbang rendah mengitarinya seolah membawa kabar yang mesti tersampaikan. O,
kawanan bangau yang putih yang suci, patuklah pusar-pusar di rambutnya, dan
kembalikan kepada langit yang dipuja!Tapi, bangau-bangau itu lantas menjauh, ketika
seseorang datang berseru, "Kamu sakit, Upik, istirahatlah!" Ternyata Pak Kudun, laki-
laki tetangga rumah yang sebaya dengan Ayah. Segera dibimbingnya Upik ke bawah
pohon ketapang. Dipijatnya kepala Upik di sana, dan ketika menyentuh pusar-pusar itu
tangannya bergetar, entah kenapa. Mata Upik sebak menahan semacam keharuan;
rasa diperhatikan dan penghiburan. Hal yang tak pernah ia dapatkan dari seorang pun,
kecuali dari Pak Kudun!Ah, Pak Kudun! Hampir tiap hari ia lewat di sini, mencari jalan
pintas ke ladang di lereng bukit, yang menjadi latar perkampungan. Isi ladangnya tak
pernah jelas. Kalau ada yang bertanya bagaimana keadaan tanamannya, ia dengan
nyentrik bilang, "Hampir panen..." Tapi bila besoknya ada yang bertanya lagi ia jawab
enteng, "Panen gagal, diserbu belalang dalam semalam..." Lama-lama, orang mahfum,
aktivitasnya berladang sebenarnya lebih untuk mengimbangi kehidupan istrinya yang
sibuk keliling kampung menawarkan barang kreditan. Semacam kompensasi yang
dapat dimaklumi semua orang, apalagi mereka tak punya anak.Tapi Upik menyukainya.
Wajahnya bersih, menyejukkan. Tak tergurat tanda amarah. Dan penuh perhatian,
itulah yang utama. Sebenarnya, bukan sekali ini saja mereka duduk berdekat-dekat,
tapi sudah cukup akrab-bercakap. Upik merasa tak sendiri bila Pak Kudun melintas,
mampir sebentar dan bercakap. Dan merasa lengang bila laki-laki itu melanjutkan
perjalanan.Dan kini Pak Kudun ada di hadapan. Mengobati sakit dan lelahnya. Entah
perasaan macam apa yang pantas tumbuh dan berkecambah di dada Upik yang remaja.
Apakah sekadar mendapat teman bercakap, orang tua penuh perhatian, atau sesuatu
yang sukar terucap? Entah. Yang jelas, kehadiran Pak Kudun di padang gembalaan-
walau sebagai seorang pelintas-membuat hari-hari Upik terasa lebih berwarna. Meski di
sisi hidup yang lain ia tak bisa menghindar dari satu-satunya warna yang kelam: melulu
hitam.Tabiat buruk Ayah kian menjadi; berjudi di rumah-rumah kosong dan
mengganggu istri orang, kabarnya juga mengganggu istri Pak Kudun! Begitu pula
kakaknya, si Kandik yang mempunyai cita-cita tinggi, pernah Upik dapatkan sedang
berjudi di dalam semak-semak. Membuat semacam rongga dari rerimbun belukar,
dialasi tikar. Ketika hendak mencari kambingnya yang kesasar, tak terduga Upik lewat
di tepi sebuah "rongga" yang ternyata ditempati kakaknya. Cepat Upik berlalu, dan
Kandik segera mengejar, mengancam,

"Awas, jangan bilang siapa-siapa!" Lama Upik terdiam membayangkan itu semua.
Sampai kemudian Pak Kudun selesai memijat kepala dan urat-urat di tangannya.

"Bagaimana rasanya?" tanya Pak Kudun dengan nada penuh perhatian.Upik


menggerakkan kedua lengannya, menggeleng-gelengkan kepalanya kiri-kanan, dan
merasa agak enak sekarang.

"Sudah lumayan enak, Pak. Terima kasih," katanya dengan suara bergetar. Pak Kudun
memandangnya, dengan tatapan orang yang minta diri. Sebelum pergi, sebuah
kecupan melintas di tengkuk Upik. Gadis itu terpana diam. Dan Pak Kudun segera
melanjutkan perjalanan. Begitulah kehadiran Pak Kudun di tengah padang gembalaan
itu. Datang dan perginya alangkah ajaib dan menggetarkan. Pernah sehabis hujan ia
datang bagai kijang yang melangkah lincah di padang basah. Lantas, dari arah berbeda
Ayah pun tiba bagai srigala mencari mangsa, dan berteriak seperti biasa,

"Upik, ayah butuh seekor kambing!" Pak Kudun tersentak mendengarnya. Ayah pun tak
kalah terkejut saat menyadari ada orang lain di hadapannya. Keduanya bersitatap.

"Jangan coba-coba mengganggu anakku! Sebab, jangan sampai nanti berkecil hati
kalau karena ini kubakar rumahmu!" kata Ayah geram.

"Dan kau, tidakkah juga...," Pak Kudun tak melanjutkan, seperti tersadar. Tapi, dengan
ucapan yang tak selesai itu, Ayah lalu berbalik langkah. Batal ia mengambil mangsa.
Dan Upik, untuk kali itu, merasa sebagai pihak yang menang menghadapi Ayah. Berkat
Pak Kudun! Meski setelah itu Pak Kudun pun mengayun langkah ke pematang yang
sama: pulang. Upik merasa lengang tiba-tiba. Hati kosong bagai padang ditinggalkan
gembala. Seperti sekarang!

LENGKING serunai batang padilah yang mengisi kekosongan hati Upik kemudian.
Sejenak ia teringat Mak yang sepagi tadi memohon-mohon kepadanya agar tetap
menggembala. Ah, Mak, perempuan yang sesungguhnya juga menderita kekosongan
yang sama dengan dirinya. Dan karenanya, Upik sungguh tak bisa berbuat apa-apa
saat mendapatkan Mak dan Abang Juaro (seorang pemuda alim di kampungnya)
bertindihan di balik kandang! Mungkinkah itu pelampiasan dari hati yang kosong? Entah.
Upik ingin tak mengenang. Sepenuhnya kini ia ingin berlagu-dendang, meniup puput-
serunai batang padi, iramanya melengking tinggi!Tapi, irama itu terputus tiba-tiba,
ketika mendengar suara ribut kawanan kambing lari berpencar. Dilemparkannya saja
serunai atau puput batang padinya, lantas si Upik berlari menuju ke sana. Astaga!
Seekor kambing terdengar seperti tercekik dalam semak,

"Mbheeeeekk...!!" Binatang apakah gerangan yang memangsa? Apakah harimau


kumbang, atau Ayah yang berubah srigala dengan cara diam-diam-setelah merasa
malu berhadapan dengan Pak Kudun dalam peristiwa kemarin? Upik takut
membayangkan, tapi ketakutan terhadap hukuman yang harus ia terima dari Ayah-bila
kambing itu sampai hilang atau tinggal tulang-mampu mengalahkan semua ketakutan
yang sedang mengaduk dirinya. Maka, secepatnya ia terobos semak-semak yang
penuh duri dan onak, mengikuti suara yang sayup dan menjauh itu. Barulah sesampai
di tempat yang sedikit terbuka, ia melihat sesuatu yang di luar dugaan: kambing itu
dihela paksa kakaknya Kandik, beserta kawanan seperjudiannya!Kaget oleh
pemandangan serupa, si Upik melepaskan jerit. Lengkingnya memaksa Kandik berbalik
langkah, bukan mengembalikan mangsa, melainkan datang dengan ancaman yang
sama.

"Jangan kau bilang siapa-siapa! Hanya satu ekor. Awas, kalau Ayah sampai tahu,
berarti kau yang memberi tahu. Kuberi tahu juga bahwa kau pacaran sama Pak Kudun.
Iya 'kan?"Begitulah, Kandik segera berlalu menyusul kawan-kawannya yang kian jauh.
Tinggallah Upik dengan hati senyap. Puput-serunai batang padi yang menjadi irama
nyanyiannya terhenti dan lenyap.
PETANG itu, Upik menggiring kambing-kambingnya hanya sampai ujung pematang.
Untunglah binatang ternak itu telah mengerti jalan Pulang. Kemudian sapi dan kerbau ia
tambatkan pada pancang di kandang. Senja mulai turun. Tapi Upik memutuskan
kembali ke padang gembalaan. Ia ingin menyelinap ke semak-semak, dan kalau nanti
Ayah datang mencari, ia akan berpura-pura sedang mencari seekor kambing yang
kesasar. Cara itu pasti tak meloloskannya dari hukuman, tapi setidaknya, dengan cara
itulah sang kakak terselamatkan....Upik beranjak ke arah semak-semak, bersiap
menembusnya seperti menembus gelap yang mulai turun. Tetapi, baru beberapa
langkah, tiba-tiba cahaya senter menerap wajahnya. Upik terteror! Dihadapannya
berdiri sesosok tubuh tak dikenal, berpulun kain sarung. Ayahkah, hantu, atau... Ia ingin
menjerit. Namun, sesuara lebih dulu menyentaknya,

"Upik, mengapa masih di sini? Orang-orang di kampung ribut mencari!" Itu suara Pak
Kudun, meski sulit dipercaya. Upik memaksakan diri menatap sosok yang baru saja
mempertanyakan dan menyuarakan nasibnya. Upik tak bisa menjawab kecuali
menghambur ke hadapan laki-laki itu.

"Tenanglah, Upik, tenanglah... Kita ke ladang saja sekarang...," bisik Pak Kudun, sambil
meremas rambut Upik dengan tangan bergetar, persis di pusar-pusar! Dan mereka pun
melangkah dalam kelam. Menembus pekatnya ranah yang berkabut. Semakin tebal,
semakin bebal. ***

Rumahlebah, Yogyakarta, 2002

Catatan:

1. Pusar-pusar, pusaran rambut di kepala yang oleh masyarakat tertentu dapat dibaca
sedemikian rupa sebagai isyarat atau pertanda. Disebut juga uyeng-uyeng atau pusa-
pusa, dan sejumlah istilah lain yang lebih kurang bermakna sama.

2. Sistem paroan, suatu sistem bagi hasil yang diterapkan dalam sejumlah bidang
usaha seperti pertanian dan peternakan, dimana antara penggarap dan pemilik
mendapat hasil yang sama, namum modal (tanah untuk pertanian dan induk untuk
peternakan) tetap milik tuan atau yang punya.
Kupu-kupu Hinggap di Tangkai

Arie MP Tamba
Sumber: Kompas, Edisi 01/05/2003

"KAI, ada apa ramai-ramai. Kelihatannya pakai tangis-tangisan juga," kata Kupu-kupu
setelah menjejakkan kakinya di bahu tangkai pepohonan itu.

"Ceritakan dong. Aku telat datang!" pintanya kemudian.

“Aku juga tidak bisa cerita banyak," beritahu Tangkai.

"Ya, ceritakan apa adanya saja, asal aku tahu!" Tangkai menarik nafas.

"Bukannya aku nggak mau cerita sama kamu, Pu," katanya.

"Cuma, apa kamu nggak bisa menahan diri sehari dua hari tanpa berita? Biar kamu
bisa tenang-tenang, terbang ke sana kemari tanpa beban?"

"Mana bisa begitu, Kai. Hidupku sudah digariskan untuk mendengar dari sana-sini!"
tegas Kupu-kupu.

"Sudah risiko. Harus mendengar sekalipun tidak ingin. Bahkan dalam tidur pun,
telingaku dapat mendengar apa yang diteriakkan manusia dan unggas-unggas itu
dalam mimpinya!" Tangkai bergoyang menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa daun
di pucuknya terbelai angin.

"Kamu mau kan cerita yang kamu ketahui?" pinta Kupu-kupu lagi. Tangkai akhirnya
mengangguk.

"Demi persahabatan, aku akan cerita apa yang aku ketahui!"

"Eh, tenang dulu, ada angin kencang!" tegur Tangkai yang segera berkelit dari sebuah
gelombang angin kencang yang tiba-tiba menerjang.

"Lho, kamu kok terbang?" teriak Tangkai.

"Nanti, nanti saja ceritanya, aku pergiii!..." kata Kupu-kupu yang tak bisa menghindari
terjangan angin yang kemudian menerbangkannya itu. Tangkai segera kehilangan
Kupu-kupu. Sementara Kupu-kupu sedang menyeimbangkan terbangnya, di antara
hembusan angin yang membawanya mendekati serumpun bunga yang kelihatan
kepanasan oleh sorot matahari.

"Eh apa kabar?" tanya Kupu-kupu kepada Kelompok Bunga yang kini dihinggapinya.

"Baik saja!" kata si Kelompok Bunga. Kupu-kupu tampak berpikir. Kemudian


memandang ke arah sekitar yang masih ramai oleh manusia.

"Ada apa sih? Kok ramai sekali? Ada yang teriak-teriak lagi!" tanya Kupu-kupu.

"Kau dari mana? Masa' tak tahu kejadiannya? Wah, tadi lebih pikuk. Seru sekalii..."
Kelompok Bunga bergoyang-goyang gembira tertiup angin.

"Wah wah, tumben kamu ketinggalan berita!"

"Itulah. Aku baru terbang dari luar kampung sana," kata Kupu-kupu.

"Jadi ketinggalan berita. Ah, ada angin lagi, Sampai nantiiii..." Kupu-kupu terpaksa
melayang lagi, ketika segulungan angin cukup kencang datang dari arah berlawanan.
Di antara tiupan angin yang membawanya, Kupu-kupu berusaha mengatur
keseimbangan; hingga kemudian, dapat mengapung tenang ke arah Tangkai yang tadi
dihinggapinya. Melihat Kupu-kupu datang lagi, entah kenapa Tangkai tiba-tiba
memandang jemu dan serba salah!

"Ada apa? Kelihatannya kau terganggu aku kembali," kata Kupu-kupu.

"Kau pasti datang untuk peristiwa itu kan?" Tangkai bergoyang.

"Wah, karena tadi terbawa angin, aku malah hampir lupa," kata Kupu-kupu.

"Bukannya kamu sekarang mencari bandingan, setelah mendengar dari Kelompok


Bunga?"

"Ooh? Tidak, tidak begitu. Aku belum mendengar apa-apa. Kelompok Bunga belum
sempat bercerita."
"Begitu?"

"Ya. Hm. Oya, peristiwa apa sih sebenarnya, yang tadi itu? Kok ramai? Tapi, sekarang,
ke mana orang-orangnya?"

"Mereka sudah bubar. Kelihatannya ada jalan keluar," kata Tangkai.

"Nanti dulu, nanti dulu. Aku hanya bertanya apa yang tadi terjadi. Bukan ingin tahu
pendapatmu," kata Kupu-kupu.

"Cerewet. Mau dengar nggak?"

"Maaf, maaf. Ceritakanlah."

"Terus terang aku agak enggan menceritakannya. Masalahnya, aku masih agak
terganggu sampai sekarang. Agak sedih malah."

"Kok berkomentar lagi..."

"Mau dengar nggak?"

"Maaf, maaf, teruskan ceritamu."

"Mulanya dua lelaki datang dan berteduh di bawah halte sana..."

"Menunggu bus? Taksi?"

"Mau dengar nggak?"

"Maaf."

"Dua orang kataku. Dua lelaki. Ayah dan anak."

"Kok kamu tahu mereka ayah anak?" Kupu-kupu tak sabar lagi.

"Jadi tidak mau mendengar kelanjutannya?" Tangkai jual mahal.

"Nanti dulu. Kok kamu tahu mereka ayah anak."

"Karena mereka saling memanggil begitu," kata Tangkai mengangkat wajah gembira.
"Oohhh..." Kupu-kupu mengibaskan sayapnya dengan tampilan apa boleh buat.

"Sudah, teruskan," lanjut Kupu-kupu, ketika menampak Tangkai sesaat mengalihkan


perhatiannya kepada Capung yang ingin hinggap di samping Kupu-kupu.

"Jangan di sini," kata Tangkai bergoyang.

"Ya, jangan di sini!" kata Kupu-kupu menghentakkan sayap. Capung kemudian terbang
dengan tak acuh.

"Pergi juga tak apa-apa. Di sini nggak ada enaknya," kata Capung.

"Sudah, teruskan ceritamu. Jangan pikirkan si Capung," kata Kupu-kupu.

"Kuringkas saja," kata Tangkai.

"Terserah," kata Kupu-kupu.

"Begitulah. Begitulah. Ayah dan anak berteduh di halte sana. Lalu keduanya bertengkar
tentang pacar dan ibu tiri. Keduanya tidak saja ribut tapi juga pukul-pukulan. Beberapa
pejalan kaki yang berusaha melerai malah ikut terpukul. Akhirnya tak jelas lagi. Ayah
dan anak dikeroyok. Bus-bus berhenti. Para penumpang menontoni, tak tak puas,
kemudian ikut berkelahi. Polisi datang dan melerai. Tapi kemudian ikut dalam
perkelahian. Jalanan benar-benar macet. Para pengasong berubah profesi dari penjaja
barang dagangan menjadi penodong. Para penumpang yang ditodong melawan. Para
pemilik kendaraan yang mau dirampok melawan. Terjadi baku hantam antarsesama
manusia yang berkerubung di depan halte. Polisi semakin banyak berdatangan. Pukul-
memukul, lempar-melempar, teriak-meneriak, maki-memaki, tikam-menikam, hingga
tembak-menembak, semua berbaur dengan kebuasan manusia-manusia yang
sepertinya tadi sengaja meledak atau diledakkan oleh sesuatu. Sementara angin tak
henti-hentinya bertiup kencang. Semua tangkai dan ranting-ranting pepohonan
bergoyang-goyang gelisah, karena terkena beberapa batu dan peluru nyasar. Bisa kau
bayangkan. Bisa kau bayangkan. Sebentar saja korban demi korban berjatuhan. Darah
berceceran di mana-mana. Bus dan mobil-mobil remuk terbakar dan ditinggalkan. Mobil
ambulans berdatangan dan membawa korban ke rumah sakit. Tapi perkelahian masih
berlanjut. Lalu tentara datang. Sebagian peserta keributan berharap segalanya akan
diselesaikan dan berakhir tenang. Tapi ternyata semuanya tak bisa menahan diri.
Segera bergabung dan mengambil peran sebagai pemukul, penembak, peneriak,
penginjak, yang diinjak, yang diteriaki, yang ditembaki. Hinggaaaaa.... Hinggaaa...
Hing..."

"Hussh! Hussh! Kau... tahan dulu, tahan dulu... Nafasmu nanti habis," kata Kupu-kupu
ke arah Tangkai yang kini bergoyang-goyang kepayahan di antara tiupan angin
kencang yang tiba-tiba muncul.

"Itulah. Itulah ringkasannya... Kejadiannya berjam-jam... Sebelum sesuatu


menghentikan semuanya!" kata Tangkai.

"Wah, apa dia? Siapa dia? Begitu hebat, mampu menghentikan kekacauan dahsyat
itu?" kata Kupu-kupu.

"Itulah. Dia tidak begitu hebat. Tak ada yang mengejutkan. Cuma kejadian sederhana,"
kata Tangkai.

"Kejadian sederhana?" Kupu-kupu memandang tak percaya.

"Ya."

"Apa itu?"

"Kedua lelaki, ayah dan anak yang menjadi pangkal keributan itu, sama-sama
meninggalkan kerumuman, lalu menaiki sebuah angkot, dan menghilang ke ujung jalan
sana..." Kupu-kupu memandang terkesima ke arah ujung jalan sana.

"Begitu saja?" tanyanya menoleh ke arah Tangkai.

"Iya. Begitu saja. Lalu kau datang, dan masih sempat melihat orang-orang itu sedang
bubar," kata Tangkai.

"Kukira ada hal yang luar biasa..." kata Kupu-kupu.

"Itu masih kurang luar biasa?" tanya Tangkai.


"Maksudku, akhir dari kejadiannya, kok biasa saja," kata Kupu-kupu.

"Ah, apa aku terbang saja ke tangkai yang lain ya?”

"Kenapa? Mau mengetahui versi lain?" tanya Tangkai.

"Ya dong. Biar informasiku lengkap," kata Kupu-kupu.

"Untuk apa? Toh yang kau dengar nantinya akan sama saja. Atau malah kurang seru."

"Itu dia. Setiap mata, setiap kepala, setiap hati, setiap penilaian, masing-masing akan
terdengar khas, karena bergantung pada situasi dan kondisi yang dialami si pencerita
pada saat kejadian tadi..."

"Wah, kau seserius."

"Aku kan Kupu-kupu pintar."

"Terserah kalau begitu."

"Yuk. Daaag."

"Daag."

Tangkai bergoyang. Membiarkan Kupu-kupu menjauh ke arah tangkai sebatang pohon


besar lainnya di pinggir jalan itu. Masih cukup dekat dari halte, yang tadi dikatakan
Tangkai sebagai tempat kejadian yang baru diceritakannya. Sementara si Tangkai
kembali bergoyang. Tak percaya oleh kenyataan, bahwa dia mampu tak menceritakan
yang sesungguhnya kepada si Kupu-kupu. Ya, si Kupu-kupu hanya menyukai cerita
yang heboh. Padahal terlalu pahit rasanya bagi Tangkai, menceritakan hal sederhana,
bagaimana kedua orang itu, ayah dan anak, saling bertengkar dan kemudian
berbunuhan di depan orang-orang lalu-lalang yang sebagian tertarik, menonton sejenak,
namun sebagian lainnya tak perduli. Sampai ketika kedua orang itu, sudah pingsan
berdarah-darah, atau memang sudah mati percuma, seorang pemulung memasukkan
keduanya ke dalam gerobak sampahnya. Mungkin pemulung itu akan membuang
kedua ayah anak itu, ke pegunungan sampah di ujung jalan sana. Tentu saja, si
pemulung akan mengambil dulu barang-barang kedua ayah anak itu, yang masih dapat
dimanfaatkannya. Kalau tidak, apa gunanya si pemulung memasukkannya ke gerobak
sampahnya, membawanya, dan berbaik hati membuangnya sebagai sampah yang tak
berguna lagi? Tapi, apakah si pemulung nanti akan benar-benar akan membuang
kedua orang ayah anak itu ke timbunan sampah sana? Mengingat itu, entah kenapa
Tangkai merasa sedih dan bergidik. Lunglai.***
Jangan Melawan Rembulan

Eka Budianta
Sumber: Kompas, Edisi 12/29/2002

“AKHIRNYA tahun 2003 itu datang juga. Tahun yang sangat ditakuti, dan sekaligus
dibanggakan. Tahun yang sering disitir Ayah untuk memulai ceramah. Atau menutup
berbagai lokakarya. Tahun ketika perdagangan bersinar bebas di seantero Asia
Tenggara.Pada tahun 2003," kata Ayah, "orang yang tidak bisa berbahasa Inggris akan
mati." Pada tahun 2003, katanya lagi, dokter gigi Filipina akan datang ke desa-desa di
seluruh pelosok negeri. Tukang-tukang kayu dari Jepara, Rembang, dan Pati akan
panen order dari Thailand, Singapura, dan Brunei Darussalam. Pada tahun 2003,
katanya lagi dan lagi, karier Anda sekalian bisa lebih suram, tapi bisa juga lebih
cemerlang seperti sinar rembulan.

"Makanya jangan melawan Rembulan. Turuti saja panggilan sinarnya, meskipun


mungkin ia mengantarmu ke lorong-lorong yang paling tidak engkau sukai," nasihat
Ayah seperti berpuisi. Aneh banget Ayah itu. Sepeninggal pohon siwalan yang dulu
menaungi rumah kami, pandangannya melulu terpancang pada Bulan. Bukan hanya
Bulan, tapi juga tahun 2003 itu. "Lontar telah pergi. Kini komputer menggantikan
perannya," ujarnya kembali berpuisi. Ayah percaya bahwa tanpa pohon siwalan yang
menghasilkan daun tal atau lontar, seluruh Asia Tenggara akan gelap gulita.Bukan
hanya gelap gulita, tapi hitam legam di panggung sejarah. Hitam seperti masa lalu
penjahat tak dikenal. Kelam seperti masa depan pengebom bunuh diri. Pendeknya,
hidup ini perlu penerangan. Dan yang paling terbukti mampu menerangi jalan hidup kita,
adalah tulisan. Dulu tulisan dititipkan pada daun lontar. Sekarang pada layar monitor,
pada hard disk, pada disket, pada cluster informasi dan memori dalam sistem
komputer.Makanya, cintamu juga harus lebih canggih. Cinta pada pohon, cinta pada
anak-anak, cinta pada keindahan, cinta pada kebenaran, cinta pada Tanah Air, cinta
pada Ibu, dan cinta pada pengetahuan. Begitu nasihat Ayah terus nyerocos dalam
mobil sepulang dari pidato di Gedung Joang. Kesehatannya tampak terganggu. Maklum
sudah tua dan mengidap darah tinggi.Aku sengaja mendampinginya. Sepeninggal
lontar, semangat hidupnya seperti menggelegak. Apakah gara-gara rumah kami jadi
tersiram sinar Bulan lebih sempurna? Dulu, ada kalanya rumah kami ternaungi bayang-
bayang pohon tua itu. Dulu, hari-hari kami seperti lebih teduh. Matahari tidak langsung
memancar dari langit. Pohon lontar kami menyambut panasnya lebih dulu.Namun,
pohon lontar itu, seperti pohon-pohon lain di seluruh muka Bumi, akan mati. Pohon
yang bersejarah maupun tidak bersejarah, berbuah maupun tidak berbuah, semua akan
pergi meninggalkan manusia yang menanamnya atau tidak menanamnya. Termasuk
pohon lontar kebanggaan keluarga kami.Borassus flabellifer. Itulah nama Latinnya.
Ayah mengajarkan nama-nama Latin untuk setiap hewan dan tumbuhan yang
diperkenalkan pada kami. Bukan karena beliau guru biologi atau ahli botani. Bukan.
Semata-mata karena beliau ingin kami punya wawasan dunia. Setiap benda itu,
katanya, punya karakter lokal dan manfaat lokal. Tapi, juga punya karakter universal.
Universalitas ini yang penting, kata Ayah. Makanya kami diperkenalkan dengan
Borassus flabellifer, pohon tal yang tumbuh 20 meter di depan rumah kami. Yang
daunnya berbentuk kipas, yang buahnya segar, yang bunganya bisa jadi obat sekaligus
bisa disadap menjadi tuak beralkohol. Ya, seperti yang semua sudah tahu, itulah pohon
tal, siwalan alias lontar, kebanggaan keluarga kami. ***

SEPULANG pidato, Ayah biasanya menatap pohon itu dari jendela. Seolah-olah
bersyukur. Seolah-olah hendak berterima kasih bahwa pohon lontar telah menjadi
inspirasinya. Tetapi, sekarang pohon itu tak ada lagi. Tinggal sinar rembulan dengan
leluasa masuk ke kamar utama, melalui jendela yang terbuka. Ayah tidak berdiri di sana.
Ayah berbaring dengan napas tersengal-sengal.Anak-anaknya berkumpul. Mungkin
malam ini adalah malam terakhir buat Ayah. Kami tak mau mengecewakan hatinya.
Tiga anaknya berkumpul. Ya, tiga anak-anak lontar yang setia. Kini menunggui Ayah,
seolah-olah akan mendengarkan pidatonya yang terakhir.Sepeninggal pohon lontar,
Ayah memang lebih sering bicara sendiri. Tahun 2003 sudah datang. Ayah bergumam.
Seolah-olah begitu pentingnya tahun itu. Seolah-olah tahun itu akan mengubah
segalanya. Pasar bebas di seantero Asia Tenggara. Padahal, banyak orang belum siap.
Banyak yang belum bisa berbahasa Inggris. Belum mengerti pasar modal, fluktuasi
harga, maupun indeks gabungan harga saham.Pak Haji Sidik yang paling paham harga
beras dan sejarah produksi padi di kabupaten Klaten pun, belum pernah bicara. Ia tidak
mengajukan rancang tindak apa-apa. Tak ada action plan. Tak ada cetak biru, blue print,
maupun sekadar resep untuk mengantisipasi AFTA. Ia cuma melayani dan melayani. Ia
menggiling beras untuk petani setempat. Ia mentraktir tamu-tamu yang datang ke
rumahnya, baik sipil maupun militer, pribumi maupun Tionghoa.Ayah berteman dengan
Pak Haji Sidik. Ayah berteman dengan Insinyur Sulistio. Apakah mereka harus dikabari,
bahwa ada kemungkinan Ayah berangkat malam ini? Berangkat dalam tanda petik,
tentunya. Napasnya semakin jarang. Ia tidak mungkin menghabiskan tahun 2003 dan
seterusnya. Ia akan menyusul pohon lontar, yang telah duluan meninggalkan
kami."Jangan melawan sinar rembulan," Ayah mengigau lagi. Malam itu bulan bersinar
sangat terang. Bukan hanya di jalan tempat Ayah bersepeda pulang dari rapat di
kecamatan. Tapi, juga di jendela kamar Tante Yetti, guru sekolah dasar luar-biasa.
Tante Yetti adalah seorang pengagum Ayah. Matanya bersinar-sinar setiap kali melihat
ayah kami. Semua anak Ibu tahu hal itu.Dan entah kenapa malam itu Ayah pulang larut
sekali. Anak-anak sudah tidur. Begitu juga pohon lontar di muka pintu yang kerjanya
menampung sinar rembulan dan matahari. Semua sudah terlelap dalam pangkuan alam
semesta. Dini hari betul, aku terbangun, mendengar Ayah memasukkan sepeda, lalu
sunyi lagi. Seperti ada peristiwa besar yang harus dikuburkan di sini."Ibumu tahu, ibumu
tahu...," Ayah mengigau lagi. Tante Yetti itu seperti bunga tapak dara. Ia bisa tumbuh di
mana saja. Meskipun jalanan berbatu, bahkan di semen sekalipun. Ia bisa tumbuh dan
berbunga di celah-celahnya. Dalam perjalanan panjang hidup ini, Ayah tak bisa
menolak tumbuhnya. Ya, selembar tapak dara yang tumbuh di jalan panjang, di bawah
naungan pohon siwalan yang terlalu tinggi, dan terlalu merdeka.***

MALAM sudah larut. Ayah tampak sedikit tenang. Napasnya normal. Air mukanya tidak
pucat lagi. Tadi mungkin hanya terlalu bersemangat, atau mungkin juga kecapaian.
Aliran darah dan pernapasannya terganggu. Atau gara-gara melihat tapak dara yang
lain. Begitu banyak tapak dara di Bumi ini. Bukan hanya tapak dara, juga tapak liman
dan tempuyung. Semua tumbuh-tumbuhan cantik yang tiba-tiba suka menghadang
jalan kita.Tapak dara (Vinca rosea) adalah tumbuhan penumpas kanker payudara.
Masyarakat Bali memanggilnya kembang sari cina. Akarnya bisa dijadikan obat
pembersih darah dan penawar racun. Tidak mengherankan Ayah jatuh cinta pada obat
kanker itu. Moralnya: jangan pandang enteng tanaman liar di sepanjang hidup kita.
Sekali dilirik, bisa teringat selamanya.Begitu juga tapak liman (Elephantopus scaber).
Daun tanaman liar ini bisa dijadikan tonik atau penguat, obat batuk, dan nyeri perut.
Aku teringat perempuan tinggi, elegan, anggun, yang pada suatu hari datang ke kantor
Ayah. Katanya mau mengembalikan buku Ayah yang terbawa olehnya. Tapi, aku curiga,
mengapa harum parfumnya sama seperti yang tercium pada Ayah sepulang dari
sebuah seminar?Tapak liman, itulah ingatanku pada Tante Lestari dari Cibodas. Ayah
memperkenalkan tante itu sebagai istri seorang mandor perkebunan kopi, yang sudah
punya tiga orang anak, semua laki-laki. Tapi malam ini, Ayah seperti sedang bermimpi
ketika menyebut-nyebut nama Lestari. Ia seperti minta maaf karena tidak menerangkan
apa saja manfaat tumbuhan di pinggir lapangan ini.Hidup ini seperti sebuah lapangan,
taman, kebun, atau mungkin hutan bagi Ayah. Setiap orang punya perlambang sendiri.
Aku sering dipanggilnya sebagai pohon manggis. Garcinia porecta! Manggis hitam,
katanya. Memang ada banyak macam manggis. Ada Garcinia mangostana, ada
Garcinia dulcis. Tapi, yang terakhir itu bukan manggis biasa, orang Pasar Minggu
memanggilnya mundu.Aku bangga menjadi pohon manggis bagi ayahku. Batangnya
kuat. Daunnya tebal, kukuh, berkilat-kilat. Ramah pada Matahari dan tidak takut pada
sinar Rembulan. Ayah mengajari kami hidup tekun, tumbuh rajin, berkembang, dan
berbuah. Semua dilakukan dengan senang hati, dan seindah-indahnya. Lewat tengah
malam, sepertinya semua baik. Satu per satu, kami tidur di sekeliling Ayah.Namun, kira-
kira pukul empat pagi, aku terbangun. Ayah seperti batuk keras sekali. Napasnya
kembali tersengal-sengal. Wajahnya pucat. Aku membangunkan adik-adikku. Ayah
harus dibawa ke unit gawat darurat. Rumah sakit mana saja. Sekarang juga.
Kerongkongnya mengeluarkan suara nyeri. Bukan nyeri, tapi menyeramkan. Pencipta
alam, lindungilah Ayah kami.***

AYAH adalah sebatang palem yang lain. Mungkin juga lontar, mungkin juga kurma.
Atau kelapa. Terserah pada kami. Ia bisa jadi palem raja, sadeng, kelapa sawit, atau
palem puteri. Yang terang batangnya lurus ke angkasa. Buahnya banyak, kami panggil
suka-suka kami. Kalau sedang pelit, ia mirip palem raja. Kalau sedang pemurah, ia
adalah nyiur yang amat lebat buahnya.Sayangnya, sepeninggal lontar ia banyak pidato.
Ia mengingatkan orang pada AFTA. Entah itu Asean Free Trade Agreement. Entah pula
Association of Temperate Agroforestry. Begitu banyak hal disingkat AFTA. Termasuk di
antaranya Australian Federation of Travel Agents, dan American Family Therapy
Academy. Yang terakhir ini sebuah lembaga nirlaba, berpusat di Miami Florida, sejak
1977. Tujuannya mengembangkan pemikiran sistematis dalam membangun hidup
berkeluarga, terkait dengan pemahaman ekologi.Aku senang Ayah banyak membaca.
Sejak ada komputer, kegemarannya makin berkobar-kobar. Komputer adalah
perpustakaan paling praktis baginya. Melalui Internet, Ayah bisa mengunjungi berbagai
pusat kajian ilmiah, membaca berbagai koran dan majalah, bahkan mencari kutipan dari
bermacam buku. Tidak mengherankan ia menjadi semakin kaya dan bernas pada akhir
hidupnya.Memang begitulah yang kami rindukan pada setiap manusia Indonesia. Makin
tua makin rajin belajar, makin ingin tahu. Makin bersungguh-sungguh dalam memahami
dan menggali makna kehidupan. Ayah telah memberi contoh dengan sebaik-baiknya.

"Yang tidak bisa berbahasa Inggris, sebaiknya mati saja pada tahun 2003," katanya
pada suatu ceramah kepada anak-anak muda.Ayah kecewa pada minat belajar bahasa
asing yang rapuh, dan nyaris tak berkobar di antara para remaja. Bahasa itu, menurut
ayahku, tidak bisa diajarkan. Bahasa itu harus dipelajari. Meskipun sepuluh tahun
tinggal di Bandung, kalau tidak mau belajar bahasa Sunda, tetap saja tidak bisa.
Sebaliknya, meskipun tinggal di dusun terpencil, bila rajin buka kamus, kita bisa tahu
nama Latin semua satwa dan tanaman.***

PUKUL setengah enam, ketika matahari terbit, Ayah menghembuskan napas


terakhirnya. Kalimatnya yang penghabisan kami catat, persis seperti tertulis di sini,
"Jangan melawan Rembulan."

Ayah seolah-olah ingin berpesan agar kami tidak memusuhi Ibu. Kami harus selalu
mendengarkan Ibu. Kami tidak boleh berargumen apa pun, bila Rembulan bicara.Aneh,
sekali! Ibu bukan Rembulan, tapi siwalan, Borassus flabellifer yang kuat, cantik dan
setia. Mungkin Ayah lupa. Pohon lontar yang sangat dicintainya itu sudah pergi dulu.
Atau ada "rembulan" beneran, barangkali. Mengapa Ayah memanggil rembulan sebagai
Ibu? Ibu Presiden Megawati? Ah, siapa pun Rrembulan, siapa yang mau
melawan?Yang terang, aku, kakak dan adikku, anak-anak siwalan ini, kini menjadi
yatim piatu. Tetapi, itu tidak menghalangi kami tumbuh dan terus berkembang.
Termasuk kalau kami ingin menjadi pohon-pohon yang lain. Aku pohon manggis hitam,
kakak memilih jadi asam jawa, dan si kecil, yang bungsu adalah pohon salam. Ia pohon
asli Indonesia. Nama latinnya Syzygium pollyanthum, tingginya bisa 25 meter, teguh
dalam badai, seperti ibunya.Si pohon asam jawa, Tamarindus indica, mirip seperti Ayah.
Ia sibuk dengan dunianya sendiri. Dunia ilmu pengetahuan dan kemerdekaan. Ia tidak
takut cahaya Rembulan. Ia terus tumbuh ke langit, ada atau tidak ada AFTA,
perdagangan bebas di seantero Asia Tenggara. Ia mendengar sisi lain pesan Ayah.
Katanya juga jelas dan tegas,

"Jangan takut pada hutan, ada atau tidak ada Rembulan."(Sebagai ziarah abadi, untuk
Muhammad Saleh Kismadi, yang gugur sebelum tahun 2003)
Perempuan Semua Orang

Teguh Winarsho AS
Sumber: Kompas, Edisi 12/22/2002

IA datang saat senja sekarat di ambang malam. Langit bergetar, meremang, bagai
habis terbakar. Ada bau ilalang garing diembus angin menggerus lambungnya saat
menaiki undakan teras. Juga sayup jerit, entah dari mana, begitu miris, terdengar
berulang-ulang. Ia tampak takut, tapi niatnya tak surut. Ia terus melangkah. Gaunnya
sesekali terkibar dihantam angin. Membuat bagian-bagian tertentu tubuhnya kadang
menyembul teramat menggairahkan.Namun, baru beberapa jengkal tiba-tiba ia berhenti.
Berdiri gamang di depan pintu. Menyeka titik-titik keringat di sekitar dahi seperti angin
menghapus keraguan dalam hati. Ia terus berdiri. Menunggu seseorang membuka pintu.
Dalam hati ia berharap seseorang lari tergopoh-gopoh dari dalam rumah
menyambutnya dengan senyum ramah lalu mendekap tubuhnya dengan hangat.
Mungkin juga sedikit kata-kata yang bisa membuat perasaannya bahagia. "Bagaimana
kuliahmu hari ini, Mai? Kau tampak capai sekali. Mandilah dengan air hangat." Atau
kecupan mesra di pipi. Di dahi. Tetapi, itu sia-sia. Lama ia menunggu hingga sekilas
dari jauh tubuhnya tampak mengeras seperti patung batu.Malam merayap. Di langit
bintang-bintang berkerlip seperti sinyal satelit. Dingin menembus tulang. Tetapi, ia
masih berdiri di depan pintu. Masih menunggu seseorang. Tetapi, pintu itu belum juga
terbuka. Dan ia masih mencoba menunggu. Lama. Lama... Hingga seperti ada sesuatu
yang mengingatkan, serta-merta pipinya melesung diikuti senyum tipis merekah di bibir
mungilnya yang merah. Cepat ia ulurkan tangan memutar gagang pintu. Terdengar
bunyi engsel berkerit memecah sunyi. Lalu, remang lampu 25 watt menyergap kedua
belah matanya. Sesaat kelopak matanya mengelepak bagai sayap burung luka. Lalu
lengang.Gemetar ia melangkah. Mengedarkan pandang. Menahan jantungnya yang
tiba-tiba berdebar. Tetapi, sepi. Ruang tamu itu kosong. Tampak kotor, menjijikkan.
Meja, kursi, almari, berjumpalitan ditingkah pecahan guci, vas bunga, cermin asbak,
dan akuarium. Sulur laba-laba menghiasi tembok. Juga sedikit bercak darah pada
gerutan kasar di tembok,-ah, ia ingat, gerutan itu tentu bekas benturan kepala Papa,
sebelum kepalanya rekah dibacok golok. Papa tak sempat menjerit sebab lehernya
dicekik. Dan bercak darah itu? Benarkah bercak darah itu milik Mama?Pelan ia
melangkah mendekat. Mengulurkan tangannya yang putih bagai menguar cahaya
kristal. Hingga pendar lampu di atasnya layu terhisap. Ah, lampu itu rupanya masih
menyala meski tak cukup terang. Ia lupa, tetapi boleh jadi dulu ia yang menyalakan
lampu itu. Hati-hati ia letakkan telapak tangannya pada bercak darah dan gerutan kasar
di tembok. Jantungnya kembali berdesir seperti dipenuhi debu pasir. Seperti kembali
diliputi kenangan buruk yang tak kunjung berakhir. Ia jongkok, merunduk, ingin
mencium bercak darah di tembok. Tetapi, urung. Di lorong jauh, dua ekor tikus sebesar
lengan bercericit berkejaran lalu lenyap di ruang makan. Mengejutkan!Susah payah ia
mencoba berdiri tegak. Mengatur napas yang mendadak sengal. Lama ia berdiri
menatap gerutan kasar dan bercak darah pada tembok itu. Hingga bulu kuduknya
meremang. Lututnya bergetar hebat. Dan di kepalanya berkelebat bayangan puluhan
orang bersenjata tajam. Mengkilat. Wajah-wajah beringas. Mata-mata merah. Melotot.
Berteriak serupa kesurupan. Ya, ya, ia kembali bisa melihat kelebat pedang dan golok
itu, saat ini, dalam remang cahaya lampu terasa menyilaukan. Juga suara orang-orang
itu, berteriak, memaki, mengumpat penuh kebencian. Lalu tawa mereka,
mengingatkannya pada kawanan serigala liar. Tetapi, mereka bukan binatang sebab
bisa bicara dan tertawa.***

BAYANGAN itu begitu kental. Membuat ia kian gemetar, menggigil ketakutan. Sekian
detik kakinya terpahat di lantai tak bisa bergerak. Wajahnya memucat bagai tak teraliri
darah. Ia sangat tersiksa. Ia ingin berontak, berteriak, namun tak sepatah kata keluar
dari mulutnya. Tenggorokannya seperti tercekik. Ia ingin menangis, namun air matanya
enggan tumpah. Malam kian mencekam. Keringat di dahinya kembali berleleran. Tidak
lama kemudian, lagi-lagi seperti ada sesuatu yang mengingatkan, tiba-tiba ia tersenyum
tipis, menepiskan tangan, menggeleng pelan.

"Tidak! Itu masa lalu. Sudah lewat!" Seketika bayangan puluhan orang berwajah
beringas itu lenyap. Malam kembali senyap.Ia kembali meneruskan langkah masuk ke
ruang tengah, hati-hati menghindari pecahan kaca atau binatang semacam kecoa. Juga
suara langkah kakinya sendiri yang boleh jadi akan menimbulkan kecurigaan. Di ruang
tengah matanya nanar menatap foto keluarga. Foto itu buram tertutup debu. Ia masih
ingat, foto itu diambil hanya beberapa jam usai acara wisuda yang melelahkan. Ia
mengenakan toga, diapit Papa dan Mama tersenyum bangga. Di bawah foto tertera
namanya dalam huruf Cina: Zhao Mai Ling.Ia melangkah menghampiri foto itu, meniup
debu yang menebal pada kaca pigura, mengusap-usap dengan jemarinya, hingga
wajah Papa, Mama, dan dirinya tampak semakin nyata. Tetapi, belum puas ia menatap
foto itu tiba-tiba seperti ada badai yang mengempas keras tubuhnya. Membuat
tenaganya sesaat lesap, tubuhnya huyung seperti mau roboh. Bayangan puluhan orang
berwajah beringas kembali berkelebat di batok kepalanya seperti kelebat cahaya di
malam buta. Kilatan golok saat membacok kepala Papa hingga rekah, juga kilatan
pedang saat menebas perut Mama hingga ususnya terburai. Dan darah. Darah yang
muncrat dari perut Mama kala itu membuat warna udara memar seperti
tertampar.Cukup lama ia menghimpun kekuatan sebelum kembali berhasil menjejakkan
kedua kakinya masuk ke ruang makan. Di situ ia kembali terpaku lama. Terbayang
kesibukan saat pagi hari menyiapkan sarapan untuk Papa dan Mama: teriakan Papa
minta disiapkan kopi. Atau jerit Mama dari kamar mandi sebab handuknya ketinggalan.
Semua itu begitu jelas terbayang. Malamnya ia nyalakan lilin, duduk mencangkung
menghadap meja makan menunggu Papa dan Mama pulang. Meski sesekali kedua
orangtuanya tidak pulang lantaran pergi ke luar kota sehingga larut malam ia harus
makan sendiri lalu meniup lilin-lilin itu dengan perasaan sepi.Tempat lilin itu hingga kini
posisinya masih belum berubah. Juga gelas, piring, mangkok, sendok, dan botol-botol
kecil yang berjajar rapi di rak samping. Ia ingin sekali memegang benda-benda itu,
mengusap-usapnya, mengelus-elusnya, merasakan kembali geliat kerja setiap pagi
yang menggairahkan. Mungkin bisa membuat dirinya sedikit tenang. Tetapi, mendadak
seperti ada sesuatu yang menahan tangannya. Begitu kuat. Entah apa. Pelan ia
merapat tembok. Gamang. Sekali lagi ia merasakan tenaganya raib, seperti ada
kekuatan gaib menyedotnya.Namun, ketika tanpa sengaja sepasang matanya
menangkap selarik cahaya membersit dari sebuah pintu kamar, perlahan-lahan
tenaganya pulih. Jantungnya berkeretap kuat. Tergesa-gesa ia masuk ke kamar itu.
Sebuah kamar luas bercahaya lampu muram. Itu adalah kamar miliknya. Di kamar itu ia
sering menghabiskan waktunya untuk belajar. Membaca buku pelajaran atau sekadar
buku-buku cerita ringan. Nyaris tidak ada yang berubah di kamar itu, selain tampak
kotor berdebu. Meja, kursi, almari, rak buku, kipas angin masih sama seperti empat
tahun lalu.Akan tetapi... Ah, ranjang itu? Ranjang itu telah bergeser jauh dari posisi
sebenarnya. Juga sprei di atasnya yang acak, kusut. Dan noda darah yang menempel
di sprei itu? Milik siapakah? Bukan milik siapa-siapa. Tetapi, miliknya, kala puluhan
orang berwajah beringas puas membantai Papa dan Mama, seperti kesetanan mereka
mendobrak pintu kamar dan memperkosanya. Bergiliran. Hingga ia pingsan. Berjam-
jam. Ketika siuman ia sangat kecewa kenapa malaikat maut tidak mencabut nyawanya
sekalian. Ia ingin mati saja. Menyusul Papa dan Mama. Berkali-kali ia mencoba bunuh
diri, namun selalu gagal. Ia terus hidup. Perutnya kian membesar menyimpan orok bayi.
Terus tumbuh, tumbuh, dan tumbuh hingga suatu kali entah kenapa ia merasa sangat
bodoh jika harus bunuh diri.***

ADA banyak ruangan yang sebenarnya ingin ia lihat, sebanyak kenangan yang terus
mendesak di batok kepalanya. Tetapi, ia takut. Waktu beringsut cepat. Sebentar lagi
pagi tiba. Pagi yang akan membuat wajahnya pucat. Ia harus segera meninggalkan
rumah itu sebelum terang menyentuh tanah. Sebelum orang-orang ke luar rumah.
Selain itu, ia memang mesti segera kembali ke hotel sebelum anak laki-lakinya bangun
lalu menanyakan keberadaannya kepada baby sitter. Ia tak ingin membuat bocah itu
sedih dan menangis seharian hanya gara-gara ia tak ada di sampingnya saat bangun
tidur.Dingin pagi menyergap tubuhnya saat keluar rumah. Tergesa-gesa ia mendorong
pintu pagar depan hingga menimbulkan suara berisik. Sejenak ia menoleh menatap
rumah di belakang, lalu kembali melangkah cepat-cepat menyusuri trotoar. Tetapi, ia
terlalu letih untuk terus melangkah. Dan seperti tanpa sadar, tangannya melambai
menghadang taksi yang kebetulan melintas. Letih, ia jatuhkan pantatnya di jok
belakang.Mula-mula taksi meluncur cepat, tetapi tiba-tiba melambat dan berhenti persis
di tikungan gelap. Pada saat bersamaan tiga orang laki-laki muncul dari balik semak-
semak. Menenteng kapak. Mata mereka menyala, berkilat-kilat. Ia sangat ketakutan,
meminta sopir taksi agar terus menjalankan kendaraannya. Tetapi, sopir taksi itu justru
tertawa lebar. Tidak lama kemudian ia merasakan tengkuknya sangat nyeri.Lima jam
setelah kejadian itu, di sebuah kamar hotel, seorang bocah laki-laki menangis terisak-
isak saat bangun tidur. Bocah laki-laki itu sejak sore hanya ditemani seorang baby sitter
yang pagi ini menghilang usai menguras uang dan perhiasan dari sebuah tas mungil di
laci meja. Beruntung seorang petugas kebersihan hotel memergoki bocah itu,
menenangkannya, lalu diam-diam membawa pulang ke rumah. Memberinya makanan
enak, juga segelas susu.Ah, bocah laki-laki tampan, harganya pun pasti mahal, batin
petugas hotel itu sedikit heran dengan mata sipit yang dimiliki bocah itu lantaran
kulitnya gelap seperti orang kebanyakan. ***

Depok - Yogya, 1998-2002


Kepada Tiankong, Langit yang Jauh

Naning Pranoto
Sumber: Kompas, Edisi 12/15/2002

OHHHH... wangi! Tiba-tiba tercium wanginya aroma melati. Bisa kupastikan, lebih
wangi dari aroma peri dalam dongeng yang pernah dituturkan oleh almar-humah mbah
buyut-ku. Tetapi, cerita yang kutulis ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
dongeng mbah buyut-ku itu. Melainkan sesuatu yang kujumpai di dalam pesawat, yang
menerbangkanku dari Singapura ke Jakarta.Ternyata, aroma melati itu tidak hanya
menghentak daya penciumanku, tetapi juga penciuman orang-orang sekitarku.
Khususnya mereka yang duduk di VIP-seats, bersumbernya embusan aroma wangi
tersebut.

"Wowww!" tiba-tiba kudengar bisik-bisik di sekitarku ketika muncul seorang perempuan


muda mencari-cari seat. Ia bertubuh tinggi semampai, berkulit warna almond, bergaun
panjang, ketat, warna merah darah. Rambutnya hitam legam, panjangnya sebahu diurai
lepas. Tangan kirinya menjinjing kopor kecil dan tangan kanannya membawa barang
yang dikantungi kain sutera keemasan. Matanya yang dibingkai alis tebal tampak
berbinar-binar. Pikirku spontan, rupanya dialah si peri, sumber wangi aroma melati. Ia
lalu kunamai Si Peri.

"Number ten-bi...! Yes, it's mine. Sorry!" kata Si Peri, suaranya lembut, Inggrisnya
beraksen Amerika kental. Perilakunya santun.Ia menghampiriku yang duduk di seat
nomor 10-A. Ternyata seat-nya nomor 10-B. Jadi, ia duduk di sampingku? Astaga!
Jantungku berdetak cepat. Itu, bukan karena aroma wangi melati segar yang menebar
dari tubuhnya, melainkan, karena action Si Peri. Ia menaikkan kopernya ke bagasi yang
ada di atas seat, belahan gaun panjangnya membuka dan pahanya yang mulus tampak
kemana-mana. Paha itu menjadi perhatian banyak orang. Tetapi ia tampak tenang-
tenang saja. Dengan kalem ia menutup bagasi, lalu duduk di sampingku sambil
menyapaku dengan renyah,

"Hello, how are you?"


"Good! Thanks!" sahutku kikuk dalam mengimbangi suara renyahnya. Kata teman-
temanku, aku memang jenis pria yang suka kikuk dalam menghadapi perempuan,
apalagi perempuan asing-yang belum dikenalnya.Tetapi, kekikukan yang kali ini
berbeda dengan kekikukan yang biasanya kurasakan. Biasanya, aku merasa kikuk
menghadapi perempuan karena aku merasa tidak punya bahan menarik, yang bisa
kusajikan sebagai bahan pembicaraan. Sedangkan kekikukanku kali ini, karena aku
terheran-heran oleh penampilan Si Peri yang superwangi dan keberaniannya dalam
berbusana. Apa sih profesinya?. Apakah ia seorang foto-model? Atau ia seorang
semacam call-girl? Ahh, otakku jadi kotor menuduhnya yang tidak-tidak.

"Maaf. Boleh tahu? Anda mau ke Jakarta atau ke Bali?" tanyanya, beberapa menit
setelah pesawat take-off menuju Jakarta. Sungguh, pertanyaannya mengejutkanku,
karena aku sedang memikirkan profesinya.

"E... saya mau ke Jakarta. Anda? Anda mau kemana?" sahutku agak gugup, karena
tidak menyangka sama sekali kalau ia mau menegurku.

"Saya mau ke Tian-Tiangkong untuk melaksanakan li, yaitu berbakti kepada keluarga!"
sahutnya cepat.

"Anda mau ke Tian-Tiankong untuk berbakti kepada keluarga? Sungguh mulia niat
Anda. Tetapi, di mana Tiankong itu?" tanggapku spontan, karena merasa asing
terhadap tempat yang disebutnya.

"O, sorry, saya berbahasa Mandarin," ralatnya,

"...ee.. maksud saya, Tian-Tiankong itu artinya Langit. Tapi, bisa juga dimaknakan
Surga. Ya, saya mau ke Langit. Langit Yang Jauh...! Ke Surga!"

"Maksud Anda?" keningku spontan berkerut.

"Nah...nah... Anda bingung kan? Anda tidak tahu di mana letak Langit Yang Jauh?" ia
tersenyum,
"Itu, negeri yang kata waipo-ya, ya kata nenek saya, Tiankong itu sebuah negeri yang
sangat indah, seindah Surga. Puluhan tahun ia merindukannya!" senyumnya tiba-tiba
menghilang, tergantikan kerut-kerut bibir gemetar, menahan tangis.

"...tapi, kerinduannya tidak pernah terwujud secara nyata." Ia mengusap butir-butir


airmatanya yang meleleh di kedua pipinya.Aku bingung. Aku tidak memahami alur
pembicaraannya. Maka, aku lalu memberanikan diri untuk minta penjelasan.

"Hem...Miss...,"

"Nama saya Peony. Maksud saya Peony Wu...," ia memenggal kalimatku.

"Ya, Miss Peony, maafkan saya. Saya tidak memahami apa yang Anda bicarakan.
Maukah Anda memperjelasnya?" pintaku, karena penasaran.

"Tentu saja Anda tidak memahaminya, karena alur pembicaraan saya rancu. Itu, karena
saya tidak tahu, dari mana saya harus memulainya. Materinya terlalu panjang dan rumit.
Ini menyangkut sejarah."

"Menyangkut sejarah? Sejarah apa?" aku semakin tidak mengerti.

"Sejarah perjalanan hidup orang-orang Tionghoa di Indonesia paska Perang


Kemerdekaan Indonesia sampai dengan detik-detik meletusnya G 30 S PKI. Nah,
nenek saya termasuk di dalamnya..."

"E, nenek Anda, pernah tinggal di Indonesia?" tiba-tiba aku menemukan clue kemana
arah pembicaraan Si Peri yang mengaku bernama Peony Wu.

"Yes! Anda cerdas. Saya suka," mata Peony yang semula redup, kembali berbinar.

"Jadi, Anda paham apa yang saya maksud dengan Langit Yang Jauh?"

"Indonesia?" aku menebak dengan ragu-ragu.

"Yes, absolutely correct! Thanks!" ia bersorak, sambil mengguncang-guncang tanganku,

"Anda cerdas!" pujinya berkali-kali. Pujiannya membuatku jadi merasa akrab dan dekat
dengannya.
Maka, kulanjutkan dialogku dengannya, "Jadi, Anda mau ke Indonesia? Ke kota
mana?" tanyaku kemudian.

"Ke Batu-Malang. Di kota itu nenek saya lahir, dibesarkan dan menikah serta punya tiga
anak. Setelah menikah, ia dagang palawija, di Surabaya. Waktu perang kemederkaan
ia menyumbangkan dagangannya untuk dapur umum, memberi makan para pejuang.
Itu, karena kecintaannya terhadap Indonesia. Ironisnya, tahun '62, ia dipulangkan oleh
pemerintah Indonesia ke Tiongkok, karena nenek saya tidak mau ganti nama Indonesia.
Nenek saya bilang, ia terkena PP-10. Anda tahu peraturan itu?" ia memandangiku.

"Maaf, saya tidak tahu!" aku berterus terang.

"Sama. Yang saya tahu, karena PP-10 itu nenek saya kembali ke Tiongkok. Karena ia
lahir dan besar di Indonesia, maka ia merasa asing terhadap Tiongkok.
Keterasingannya itu membuatnya gamang dalam menjalani hidup,di Tiongkok, apalagi
ketika Mao Zedong memproklamirkan Revolusi Kebudayaan. Nenek saya sempat gila
karena disiksa oleh student yang menjadi Red Guard Mao. Itu, gara-gara nenek saya
penganut Kong Hu Chu yang taat. Untung, ia bersama sepupunya berhasil melarikan
diri ke Macao. Tetapi kedua anaknya hilang. Yang hidup tinggal ibu saya yang
kemudian menikah dengan orang Portugis...!"

"O, jadi Anda berdarah Portugis?" selaku, sambil mengamati wajahnya yang memang
tidak mirip Tionghoa.

"Ya, saya ini blasteran Tionghoa-Portugis, lahir di Macao, besar di Amerika. Kemudian,
saya sekarang punya usaha di Singapura, buka butik!"

"O, makanya Anda modis." Komentarku tentang dirinya.

"Oiya, nenek Anda sekarang di mana?" tanyaku, karena aku ingin tahu keberadaan
neneknya.

"Nenek saya sekarang di sini! Di pesawat ini!" ia memandangiku,

"...karena dia sedang menuju ke Langit Yang Jauh. Suatu tempat yang ia rindu-kan..."
"Ah, Anda jangan bercanda," tanggapku serius.

"Saya tidak bercanda. Nenek saya sekarang memang sedang berada di pesawat
bersama saya, bersama Anda dan bersama semua penumpang pesawat ini," lagi-lagi ia
memandangiku. Kemudian, ia mengambil sesuatu dari kantung sutera warna keemasan
yang tadi kulihat dibawanya,

"Nenek saya ada di sini. Di dalam botol perak ini!" ia menunjukkan ujung botol yang ada
di kantung sutera.

"Ohhh...," aku tidak bisa berkata apa-apa selain menarik nafas.

"Nenek saya meninggal dua bulan yang lalu, usianya 78 tahun. Ketika ia dipulangkan
ke Tiongkok, usianya 38 tahun. Jadi, selama 40 tahun ia merindukan Indonesia yang
disebutnya sebagai Langit Yang Jauh. Ia menyebut demikian karena untuk ke
Indonesia baginya tidak mudah. Ia takut, kedatangannya ditolak pemerintah Indonesia.
Maka, ia lalu berpesan, ketika meninggal minta dikremasi dan abunya ditaburkan di
Gunung Sriti-Batu. Katanya, tempat itu sangat indah bak surga. Di Gunung Sriti ia
punya kenangan manis, bertemu dengan seorang pemuda yang kemudian menjadi
suaminya. Sayangnya, suaminya itu tidak mau menyertainya kembali ke Tiongkok. Ia
memilih tinggal di Indonesia, mengganti namanya dengan nama Indonesia dan
kemudian ia menikahi perempuan Boyolali. Kabarnya, ketika meletus G 30 S PKI,
suami nenek saya itu dibunuh dengan cara yang keji oleh penduduk setempat, karena
ia dituduh PKI!" mata Peony membasah lagi,

"tapi, bagaimanapun nenek saya tetap menganggap Indonesia adalah Tiankong,


sebuah Surga dan ia ingin menjadi salah satu penghuninya," sambung Peony
tersenyum getir. Ia lalu mengajakku ke Batu- Malang, untuk melaksanakan li bagi
neneknya.***

Jakarta, akhir Oktober 2002


Lebaran, Jangan, Jangan...

Gus tf Sakai
Sumber: Kompas, Edisi 12/01/2002

AIR. Gelombang. Tolong. Openg megap-megap ketika empasan kuat


membenamkannya ke perut laut. Tangan kecilnya menggapai-gapai, mengepak-ngepak,
tetapi semua sia-sia. Setiap gerakan, setiap tenaga yang ia keluarkan, membuat bocah
itu merasa bagai tambah tak berdaya. Gelombang membalik, mengangkat,
melambungkannya ke permukaan. Udara! Ditariknya napas-argkkhh! Cekuk-cekuk,
terbatuk-batuk. Openg terus terbatuk, masih terbatuk-batuk, saat tiba-tiba menyadari
tak ada air, tak ada gelombang. Ada gerakan di tempat mana tangannya terpegang.
Dibukanya mata. Kesadarannya sempurna: Tuas penggiling. "Ayo giling!" Perintah yang
sangat Openg kenal. Dengan napas masih sesak, dengan pandangan masih nanar,
dilihatnya Ucok, Amri, Pulu, dan Kabir (teman-temannya) telah menarik tuas penggiling.
Di hadapan mereka, Bang Tohar (si sumber perintah) tegak berkacak pinggang,
menatap ke arah Openg. Tatapan itu. Mata itu...

"Jangan tidur! Ayo giling!" Kembali, telah tiba saat menggiling. Betapa cepat. Bagai tak
ada antara. ***

MENGGILING, artinya menarik jaring. Disebut demikian karena jaring ditarik dengan tali
menggunakan kumparan besar yang mesti mereka putar. Bagi Openg, bukan persoalan
memutar atau menggilingnya. Tetapi, jarak waktu antara menarik dan menurunkan itu:
tak sampai dua jam. Membuat ia tak bisa betul-betul tertidur. Tak sampai dua jam, dan
setiap malam! Siang juga bukan berarti istirahat karena, kalau kebetulan tak menggiling,
mereka harus menjemur ikan tangkapan malam kemarin. Betapa melelahkan, betapa
meletihkan. Dan mimpi diempas dan dibenamkan gelombang itu, sungguh membuat
Openg tambah letih lagi. Dan, itu bukan mimpi pertama. Sudah berkali-kali. Kenapa
bisa datang berkali-kali, dan tak berganti dengan mimpi lain yang lebih biak? Atau, tak
usah mimpi. Lelap saja. Dua jam itu, alangkah baik kalau digunakan menghimpun
tenaga. Dulu, di hari-hari pertama di malam-malam pertama, dua-dua jam pertama itu
digunakan Openg untuk mengenang. Wajah Mak. Wajah Atin. Sedang mengapa
mereka sekarang? Ah. Selalu, Openg ingat dialog itu:

"Firasat Mak tak enak. Sebaiknya kau tak pergi."

"Aduh... Mak ini bagaimana. Begitu aku pulang, bawa uang, Mak bisa ke Malaysia."

"Tapi ... Mak ragu. Jermal, apa itu? Di tengah laut, tak pulang-pulang."

"Ah, hanya dua bulan. Dua bulan, Mak! Dan ketika aku pulang, nanti, itu tepat jelang
Lebaran. Kita bisa...."

"Ya," Atin menyela,

"lebaran! Kita bisa buat kue. Beli baju. Belikan Atin baju ya Bang?"

"Ya-ya."

"Tapi...," Mak masih ragu.

"Sudah, Mak. Tenang saja."

"Tapi...."

"Dah, Mak. Jangan khawatir." Tapi...ternyata Mak benar. Orang-orang itu...telah menipu.
Orang-orang dewasa itu... telah menipuku. Segalanya. ***

SEGALANYA? Entah. Tetapi, yang jelas, soal upah ternyata tak seperti dikatakan Bang
Sulam. Lelaki 40-an yang mengajaknya itu -dan kini entah berada di mana! -
mengatakan uang yang bakal diterima Openg adalah Rp 400.000 per bulan. Bohong.
Bang Tohar, mandor itu, bilang hanya Rp 200.000. Dan itu Openg ketahui setelah
berada di sini, di jermal, yang kata Ucok jaraknya delapan mil dari pantai. Jadi, kalau
Rp 200.000, uang yang bisa Openg bawa pulang hanya dua kali lipatnya. Empat ratus
ribu rupiah, itu tak cukup untuk biaya kerja Mak ke Malaysia. Untuk toke atau cukong
saja, kata Mak, butuh Rp 500.000. Ah-ah, bagaimana caranya? Menambah kerja jadi
tiga atau empat bulan? Berarti melewatkan lebaran. Openg terbayang Atin. Janjinya.
Kue dan baju. Tentu adik perempuannya-yang tahun depan bersikeras ingin sekolah
itu-akan sangat kecewa. Lagi pula, tidakkah Mak akan sangat cemas? Dua bulan saja
Mak telah sangat keberatan. Apalagi tiga atau empat! Ah-ah... kenapa mereka, orang-
orang kampungnya, tak lagi boleh menggali pasir di sungai itu? Padahal, kata Mak,
itulah pekerjaan orang-orang kampungnya sejak lama- sampai-sampai desa mereka
bernama Kampung Pasir. Apakah salah mereka? Apakah salahnya dengan sungai
yang jadi lebih dalam? Openg tak mengerti. Bocah itu tak mengerti akan kehidupan
kampungnya yang tiba-tiba berubah. Yang membuat orang-orang kampungnya harus
mencari kerja ke mana-mana. Yang membuat kepalanya... kemudian dipenuhi pikiran.
Tentang begitu pentingnya uang. Tentang uang yang, kata orang-orang, di negeri
Malaysia begitu gampang. Tentang Bapak yang pergi entah ke mana, entah sebab apa,
tak pulang-pulang. Tentang Atin yang ingin sekolah. Tentang Nenek, yang tak berhenti
sakit. Tentang Mak.... Ah Mak, Mak benar. Mereka telah menipuku. Soal upah mungkin
satu hal. Hal lain, lihatlah. Bang Sulam mengatakan pekerjaannya hanya menggiling.
Tetapi, ternyata tidak. Dan, kalaupun cuma menggiling, siapa menyangka bahwa
menggiling itu bakal siang dan malam? Dan, bila malam, aduh! Dua-dua jam itu,
sungguh membuat Openg sangat capek. Ia hanya bisa tidur-tidur ayam. Kepalanya jadi
sering pusing. Puasa? Ah! Di sini, tak ada yang namanya puasa. Ramadhan atau tidak
bagai tak ada bedanya. Dan, satu lagi. Bang Tohar (tatapan itu, mata itu... Openg takut),
kata kabir, kata Pulu, suka... "menindih" malam-malam. Betulkah? ***

HARI ini, lima hari menjelang lebaran, Openg mendapat cerita lain. Kata Amri, mereka
tak dibolehkan pulang sebelum bekerja tiga bulan. Ha?! Sungguh Openg sangat
terkejut. Kerja dua bulannya tinggal dua hari lagi! Malah, bocah itu telah
membayangkan bagaimana akan bahagianya bertemu Mak, bertemu Atin, Nenek. Tak
tahan-dan tak percaya- akan ucapan Amri, Openg meninggalkan pekerjaannya
menjemur ikan, bergegas mencari Bang Tohar. Lelaki besar, gempal, dan kasar itu ia
temukan tengah bersama Bang Jamil, si juru masak. Dua lelaki dewasa itu menatapnya.

"Apa?!" Suara Bang Tohar bagai menggeledek, mengalahkan deru angin dan desau
ombak. Tatapan itu. Mata itu.... Kembali, Openg tiba-tiba takut.

"Kata Amri...."

"Kata Amri apa?!"


"Kata Amri... kerja harus tiga bulan."

"Memang tiga bulan. Kenapa!"

"Aku tidak bisa... harus pulang...."

"O, pulang?" Bang Tohar berdiri, berjalan menghampiri bocah itu. Jadi, kau mau pulang
ya?" Lelaki besar itu membungkuk, menyodorkan wajahnya ke muka Openg. Napasnya
mengoar. Busuk.

"Boleh! Kau boleh pulang! Tapi, dengan berenang!" Openg tertegun. Tertunduk.
Tertunduk. Lututnya... menggigil.

"Bagaimana! Kau Bisa?!" Openg tak bersuara.

"Hua ha-ha...! Bisa?" Openg membalikkan tubuh.

"Jika pun bisa, kau hanya boleh bawa seratus ribu. Untuk sisanya, kau harus kembali
ke sini! Bekerja lagi!" Openg melangkah. Dengan marah, benci, dan takut. Mak...
mereka benar-benar telah menipuku. Openg ingin berteriak, ingin memekik, ingin
menangis. Hahhh....

"Bagaimana?" Ada sentuhan lembut di pundaknya. Amri. Openg tak menjawab.


Matanya menatap ke sana, ke bayangan pantai yang antara tampak dan tidak. Delapan
mil. Betapa jauh. Kenapa, waktu itu, ia tak percaya pada firasat Mak? Kenapa... kenapa
Lebaran tak datang sebulan lagi? Kenapa.... Delapan mil. Delapan mil! Kenapa tak ia
coba? ***

TOLONG. Openg megap-megap ketika empasan kuat membenamkannya ke perut laut.


Tangan kecilnya menggapai-gapai, mengepak-ngepak, tetapi semua sia-sia. Setiap
gerakan, setiap tenaga yang ia keluarkan, membuat bocah itu sungguh merasa tambah
tak berdaya. Gelombang membalik, mengangkat, melambungkannya ke permukaan.
Udara! Ditariknya napas -argkkhh! Cekuk-cekuk, terbatuk-batuk. Openg terus terbatuk,
masih terbatuk-batuk, saat tiba-tiba menyadari tak ada air, tak ada gelombangnya. Ada
tangan besar, kasar, membungkam mulutnya. Dibukanya mata. Kesadarannya
sempurna: Bang Tohar! Bang Tohar...tengah menindihnya. Dengan tangan lain, Bang
Tohar juga tengah berusaha melorotkan celananya! O tidak! Ia berontak. Melawan.
Menendang-nendang. Tetapi, tenaga Bang Tohar bagai kepiting baja! Oh, tidak!
Jangan! Kenapa... siang tadi ia batalkan rencananya? Kenapa ia tak berani terjun
berenang menempuh delapan mil itu? Kenapa? Padahal ia bocah Kampung Pasir!
Padahal ia orang sungai! Padahal... okh! Jangan, jangan.... ***

Payakumbuh, 2002
Lukisan Kaligrafi

A Mustofa Bisri

Sumber: Kompas, Edisi 11/24/2002

Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya Hardi. Pelukis yang capai mengikuti
idealismenya sendiri lalu mengikuti jejak banyak seniman yang lain: berbisnis; meski
bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang dikuasainya. Seperti kebanyakan
bangsanya, Hardi sangat peka terhadap kehendak pasar. Dia kini melukis apa saja asal
laku mahal. Mungkin karena kecerdasannya, dia segera bisa menangkap kela-kuan
zaman dan mengikutinya. Dia melukis mulai perempuan cantik, pembesar negeri,
hingga kaligrafi. Menurut Hardi, kedatangannya di samping silaturrahmi, ingin
berbincang-bincang dengan Ustadz Bachri soal kaligrafi. Ustadz Bachri sendiri yang
sedikit banyak mengerti soal kaligrafi Arab, segera menyambutnya antusias. Namun,
ternyata tamunya itu lebih banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari
naturalis, surealis, ekpresionis, dadais, dan entah apa lagi. Tentang teknik melukis,
tentang komposisi, tentang perspektif, dan istilah-istilah lain yang dia sendiri baru
dengar kali itu. Sepertinya memang sengaja menguliahi Ustadz Bachri soal seni dan
khususnya seni rupa. Yang membuat Ustadz Bachri agak kaget, ternyata, meskipun
sudah sering pameran kaligrafi, Hardi sama sekali tak mengenal aturan-aturan
penulisan khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau
Riq'ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan,
mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik
dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu
dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang
penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya
dituliskan ayat yang bersangkutan. Kalau tidak begitu, dia tulis ayat yang dipilihnya
dalam bentuk-bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat. Ada
hurufnya yang ia bentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayang, dan sebagainya.
Ustadz Bachri bersyukur atas kedatangan kawannya yang-meskipun agak sok- telah
memberinya wawasan mengenai kesenian, terutama seni rupa. ***

RINGKAS cerita, begitu si tamu berpamitan seperti biasa Ustadz Bachri


mengiringkannya sampai pintu. Nah, sebelum keluar melintasi pintu rumahnya itulah si
tamu tiba-tiba berhenti seperti terkejut. Matanya memandang kertas bertulisan Arab
yang tertempel di atas pintu, lalu katanya,

“Itu tulisan apa? Siapa yang menulis?” Ustadz Bachri tersenyum,

“Itu rajah. Saya yang menulisnya sendiri.”

“Rajah?”

“Ya, kata Kiai yang memberi ijazah, itu rajah penangkal jin.”

“Itu kok warnanya aneh; sampeyan menulis pakai apa?” Matanya tanpa berkedip terus
memandang ke atas pintu.

“Pakai kalam biasa dan tinta cina dicampur sedikit dengan minyak za'faran. Katanya
minyak itu termasuk syarat penulisan rajah.”

“Wah,” kata tamunya masih belum melepas pandangannya ke tulisan di atas pintu,

“sampeyan mesti melukis kaligrafi.”

“Saya? Saya melukis kaligrafi?” katanya sambil tertawa spontan.

“Tidak. Saya serius ini,” tukas tamunya,

“sampeyan mesti melukis kaligrafi. Goresan-goresan sampeyan berkarakter. (“Ini apa


pula maksudnya?” Ustadz Bachri membatin, tak paham). Kalau bisa di atas kanvas.
Tahu kanvas kan?! Betul ya. Tiga bulan lagi, kawan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan
akan pameran; Nanti sampeyan ikut. Ya, ya!” Ustadz Bachri tidak bisa berkata-kata,
tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang tak tahu
khath saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun, ketika
didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal mengangguk. Setelah tamunya itu pergi,
dia benar-benar terobsesi untuk melukis kaligrafi. Setiap kali duduk-duduk sendirian, dia
oret-oret kertas, menuliskan ayat-ayat yang ia hapal. Dia buka kitab-kitab tentang khath
dan sejarah perkembangan tulisan Arab. Bahkan dia memerlukan datang ke kota untuk
sekadar melihat lukisan-lukisan yang dipajang di galeri dan toko-toko, sebelum akhirnya
dia memutuskan untuk membeli kanvas, cat, dan kuas. Anak-anak dan istrinya agak
bingung juga melihat dia datang dari kota dengan membawa oleh-oleh peralatan
melukis. Lebih heran lagi ketika dia jelaskan bahwa dialah yang akan melukis. Meski
mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat keseriusannya,
ramai-ramai juga mereka menyemangati. Mereka dengan riang ikut membantu
membereskan dan membersihkan gudang yang akan dia pergunakan untuk “sanggar
melukis”. Mungkin tidak ingin diganggu atau malu dilihat orang, Ustadz Bachri memilih
tengah malam untuk melukis. Istri dan anak-anaknya pun biasanya sudah lelap tidur,
saat dia mulai masuk ke gudang berkutat dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-
kadang sampai subuh, dia baru keluar. Di gudangnya yang sekarang merangkap
sanggar itu, berserakan beberapa kanvas yang sudah belepotan cat tanpa bentuk. Di
antaranya sudah ada yang sedemikian tebal lapisan catnya, karena sering ditindas.
Karena begitu dia merasa tidak sreg dengan lukisannya yang hampir jadi, langsung ia
tindas dengan cat lain dan memulai lagi dari awal. Hal itu terjadi berulang kali.

“Ternyata sulit juga melukis itu,” katanya suatu ketika dalam hati,

“enakan menulis pakai kalam di atas kertas.” Hampir saja Ustadz Bachri putus asa.
Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau
komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka,
dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan
pameran. Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu,
datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya-atau,
alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah “lukisan”. Ketika sang kurir
menanyakan judul lukisan dan harga yang diinginkan, seketika dia merasa seperti
diejek. Tapi kemudian dia hanya mengatakan terserah.

“Bilang saja kepada Mas Hardi, terserah dia!” katanya. Dia sama sekali tidak
menyangka. ***
MESKIPUN ada rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan
pameran untuk menyenangkan kawannya Hardi, yang berkali-kali menelepon
memaksanya datang. Ternyata pameran-di mana “lukisan” tunggalnya diikutsertakan-itu
diselenggarakan di sebuah hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun
semakin memuncak. Dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap di antara
pengunjung. Dari kejauhan dilihatnya Hardi berkali-kali menoleh ke kanan ke kiri.
Mungkin mencari-cari dirinya. Ada pidato-pidato pendek dan sambutan tokoh kesenian
terkenal, tapi dia sama sekali tidak bisa tenang mendengarkan, apalagi menikmatinya.
Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya di antara deretan lukisan-lukisan kaligrafi yang di
pajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona. Apalagi dipasang sedemikian
rupa dengan pencahayaan yang diatur apik untuk mendukung tampilan setiap lukisan.

“Apakah lukisanku juga tampak indah di sini?” pikirnya,

“di mana gerangan lukisanku itu dipasang?” Sampai akhirnya, ketika acara pidato-
pidato usai dan para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan yang
dipamerkan, dia yang mengalirkan diri di antara jejalan pengunjung, belum juga
menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbentik dalam kepalanya

“Jangan-jangan lukisanku diapkir, tidak diikutkan pameran, karena tidak memenuhi


standar.” Aneh, mendapat pikiran begitu, dia tiba-tiba justru menjadi tenang. Dia pun
tidak lagi menyembunyikan diri di balik punggung para pengunjung. Bahkan, dia
sengaja mendekati sang Hardi yang tampak sedang menerang-nerangkan kepada
sekerumunan pengunjung yang menggerombol di depan salah satu lukisan. Lukisan itu
sendiri hampir tak tampak olehnya tertutup banyak kepala yang sedang
memperhatikannya.

“Lha ini dia!” tiba-tiba Hardi berteriak ketika melihatnya. Dia jadi salah tingkah dilihat
oleh begitu banyak orang,

“Ini pelukisnya!” kata Hardi lagi, lalu ditujukan kepada dirinya,

“Kemana saja sampeyan. Sudah dari tadi ya datangnya? Sini, sini. Ini, bapak ini
seorang kolektor dari Jakarta, ingin membeli lukisan sampeyan.” Astaga, ternyata
lukisan yang dirubung itu lukisannya. Dia lirik tulisan yang terpampang di bawah lukisan
yang menerangkan data lukisan. Di samping namanya, dia tertarik dengan judul (yang
tentu Hardi yang membuatkan): Alifku Tegak di Mana-mana. Wah, Hardi ternyata tidak
hanya pandai melukis, tapi pandai juga mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Di
kanvasnya itu memang hanya ada satu huruf, huruf alif. Lebih kaget lagi ketika dia
membaca angka dalam keterangan harga. Dia hampir tidak mempercayai matanya:
10.000 dollar AS, sepuluh ribu dollar AS! Gila!

“Begitu melihat lukisan Anda, saya langsung tertarik;” tiba-tiba si bapak kolektor berkata
sambil menepuk bahunya,

“apalagi setelah kawan Anda ini menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!” Dia
tersipu-sipu. Hardi membisikinya,

“Selamat, lukisan sampeyan dibeli beliau ini!”

“Katanya, Anda baru kali ini ikut pameran,” kata si bapak kolektor lagi tanpa
memperhatikan air mukanya yang merah padam,

“teruskanlah melukis dari dalam seperti ini.” (“Melukis dari dalam? Apa pula ini?”
pikirnya) Wartawan-wartawan menyuruhnya berdiri di dekat lukisan alifnya itu untuk
diambil gambar. Dia benar-benar salah tingkah. Pertanyaan-pertanyaan para wartawan
dijawabnya sekenanya. Mau bilang apa? Besoknya hampir semua media massa
memuat berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang
dirinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik ibu kota maupun daerah, melengkapi
pemberitaan itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu sama
sekali tidak tampak lukisan alifnya. Yang terlihat hanya dia sedang berdiri di samping
kanvas kosong! Beberapa hari kemudian, beberapa wartawan datang ke rumah Ustadz
Bachri. Bertanya macam-macam tentang lukisan alifnya yang menggemparkan.
Tentang proses kreatifnya, tentang bagaimana dia menemukan ide melukis alif itu,
tentang prinsip keseniannya, dlsb. Seperti ketika pameran dia asal menjawab saja.
Ketika makan siang, istri dan anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai
pertanyaan tentang lukisan alifnya itu pula.
“Kalian ini kenapa, kok ikut-ikutan seperti wartawan?!” teriaknya kesal.

“Tidak pak, sebenarnya apa sih menariknya lukisan Bapak? Kok sampai dibeli sekian
mahalnya?” tanya anak sulungnya.

“Kenapa sih Bapak hanya menulis alif?” tanya si bungsu sebelum dia sempat menjawab
pertanyaan kakaknya,

“mengapa tidak sekalian Bismillah, Allahu Akbar, atau setidaknya Allah, seperti
umumnya kaligrafi yang ada?” Istrinya juga tidak mau kalah rupanya. Tidak sabar
menunggu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya.

“Terus terang saja, Mas, sampeyan menggunakan ilmu apa, kok lukisanmu sampai
tidak bisa difoto?” Ustadz Bachri geleng-geleng kepala. Kepada para wartawan dan
orang lain, dia bisa tidak terus terang, tapi kepada keluarganya sendiri bagaimana
mungkin dia akan menyembunyikan sesuatu. Bukankah dia sendiri yang mengajarkan
dan memulai tradisi keterbukaan di rumah.

“Begini,” katanya sambil menyantaikan duduknya; sementara semuanya menunggu


penuh perhatian,

“terus terang saja; saya sendiri sama sekali tidak menyangka. Kalian tahu sendiri, saya
melukis karena dipaksa Hardi, tamu kita yang pelukis itu. Saya merasa tertantang.”

“Saya sendiri baru menyadari bahwa meskipun saya menguasai kaidah-kaidah khath,
ternyata melukis kaligrafi tidak semudah yang saya duga. Apalagi, kalian tahu sendiri,
sebelumnya saya tidak pernah melukis. Lihatlah, di gudang kita, sekian banyak kanvas
yang gagal saya lukisi. Bahkan, saya hampir putus-asa dan akan memutuskan
membatalkan keikutsertaan saya dalam pameran. Tapi, Hardi ngotot mendorong-
dorong saya terus.”

“Lalu, ketika cat-cat yang saya beli hampir habis, saya baru teringat pernah melihat
dalam pameran kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu, seorang pelukis
besar memamerkan kaligrafinya yang menggambarkan dirinya sedang sembahyang
dan di atas kepalanya ada lafal Allah. Saya pun berpikir mengapa saya tidak menulis
Allah saja?” Ustadz Bachri berhenti lagi, memperbaiki letak duduknya, baru kemudian
lanjutnya,

“Ketika saya sudah siap akan melukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna:
warna putih dan silver. Tetapi, tekad saya sudah bulat, biar hanya dengan dua warna ini,
lukisan kaligrafi saya harus jadi. Mulailah saya menulis alif. Saya merasa huruf yang
saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaliy. Namun, ketika saya
pandang-pandang letak tulisan alif saya itu persis di tengah-tengah kanvas. Kalau saya
lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya waktu itu, akan jadi wagu, tidak pas. Maka,
ya sudah, tak usah saya lanjutkan. Cukup alif itu saja.”

“Jadi, tadinya Bapak hendak menulis Allah?” sela si bungsu.

“Ya, niat semula begitu. Yang saya sendiri kemudian bingung, mengapa perhatian
orang begitu besar terhadap lukisan alif saya itu. Saya juga tidak tahu apa yang
dikatakan Hardi kepada kolektor dari Jakarta itu, tetapi dugaan saya dialah yang
membuat lukisan saya bernilai begitu besar. Termasuk idenya memberi judul yang
sedemikian gagah itu.”

“Tetapi, sampeyan belum menjawab pertanyaan saya,” tukas istrinya,

“sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan itu ketika difoto tidak
jadi dan yang tampak hanya kanvas kosong yang diberi pigura?”

“Wah, kamu ini ikut-ikutan mempercayai mistik ya?! Ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah
bilang, alif itu saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar
dan sedikit silver untuk huruf alifnya. Mungkin, ya karena silver di atas putih itu yang
membuatnya tak tampak ketika difoto.” Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi;
tetapi Ustadz Bachri tak tahu apa mereka percaya penjelasannya atau tidak. ***
Kebakaran di Koto

Ismet Fanany
Sumber: Kompas, Edisi 11/17/2002

"APA itu yang akan dibangun di situ?" tanya Udin kepada beberapa temannya sambil
menunjuk ke seberang jalan dari warung kopi tempat mereka sedang duduk.Kabarnya
toko," jawab Dirun.

"Toko keperluan sehari-hari."..... ......

"Aku dengar warung kopi. Tapi moderen. Tidak seperti ini," Maman ikut bicara dan
memandang sekeliling warung itu.

"Menurut kabar yang aku dengar," kata Nurmi, perempuan setengah baya pemilik
warung itu, "kedua-duanya. Toko merangkap warung kopi." Cemburu nada suaranya.
Anak-anak muda itu mengerti perasaan Nurmi. Sejak peletakan batu pertama
bangunan di Simpang, di ujung Desa Koto itu, banyak kabar selentingan tersebar di
Koto.Dari kabar selentingan itu dapat diketahui bahwa hampir tidak ada orang Koto
yang menyenangi usaha yang akan dibuka di situ, apalagi di Simpang. Seperti tersirat
dalam namanya, jalan desa Kota satu-satunya yang membujur dari timur ke barat
berujung di situ, berakhir di jalan utama utara-selatan dari Batusangkar ke Sungayang.
Karena itu, banyak orang Koto membuka usaha di situ: warung kopi, restoran, toko
kelontong, salon, dan lain-lain. Di Simpang orang Koto menghabiskan waktu senggang,
duduk-duduk di pinggir jalan, minum kopi, belanja. Di Simpang anak-anak muda yang
menganggur berkumpul dan bermain. Simpang merupakan kebanggaan orang Koto.
Warung kopi Nurmi punya keunikan sendiri. Di situlah tempat anak-anak muda Koto
berkumpul. Warung kopi lainnya dikunjungi penduduk Koto yang lain, tempat mereka
makan ketan dan goreng pisang sebelum ke sawah atau sekadar duduk-duduk.Akan
tetapi, sejak listrik masuk desa dan penduduk semakin banyak mempunyai televisi,
orang Koto lebih senang di rumah menonton, terutama anak-anak dan yang tua-tua.
Berangsur-angsur, duduk-duduk atau berkeliaran di Simpang punya makna sendiri:
dianggap tidak baik dan tidak berguna. Kesempatan ini diambil oleh preman dan anak
muda Koto. Denyut kehidupan Simpang ditentukan oleh mereka. Banyak penduduk
merasa tidak senang dan menganggap kelakuan mereka memburukkan nama Koto.
Banyak gunjingan tentang mereka: konon ada yang mencuri untuk mengisi saku. Atau
minum minuman keras dan berjudi, sesuatu yang membuat marah orang tua dan
pemuka agama desa itu. Tetapi, pemuda Koto pandai menyimpan rahasia mereka.
Tidak ada yang mereka lakukan secara terang-terangan. Pemuka masyarakat Koto
mendiamkannya saja asal semua itu tetap hanya berbentuk kabar selentingan.Pusat
operasi mereka adalah warung kopi Nurmi. Ini menambah jengkel orang Koto. Sudah
lama mereka menganggap Nurmi anggota masyarakat yang tidak baik. Tingkah lakunya
tidak sopan, pikir mereka. Dia tertawa terbahak-bahak di tempat umum. Selalu bicara
dan suaranya keras. Dia berpakaian dengan tidak sopan menurut ukuran Koto. Kalau
tidak ketat, bahannya jarang. Atau dipotong sedemikian rupa sehingga bagian atas
buah dadanya kelihatan. Dia dari muda menjadi buah mulut orang kampung.

"Ah, mereka iri saja," kata Nurmi sambil tertawa bila gunjingan orang tentang dirinya
sampai ke telinganya.Nurmi tidak seratus persen salah. Ada unsur iri di dalam
masyarakat. Nurmi orangnya menarik, kalau tidak boleh dikatakan cantik. Penuh gairah
hidup. Yang jelas, pemuda desa menyukainya. Dia pintar. Bicaranya lancar dan masuk
akal. Dia bersekolah sampai tamat SD saja. Orang tuanya berpikir sekolah tidak
berguna.Kegemparan pertama di Koto sehubungan dengan Nurmi terjadi waktu tiba-
tiba Datuak Khaidir mengambilnya jadi isteri kedua. Waktu itu Nurmi baru berumur 21
tahun.

"Astaga!" kata seseorang yang sedang minum kopi di Simpang.

"Si Nurmi itu!"

"Apa benar?" kata yang lain.

"Benar apanya?" kata yang pertama.

"Mereka tertangkap basah. Waktu isteri Datuak sedang bekerja di sawah?"

"Mungkin," kata yang ketiga.

"Coba lihat genitnya anak itu."


"Padahal umur Datuak hampir tiga kali lipat!" sela yang lain pula.

"Kalau kau sekaya dia," kata yang pertama tadi,

"kau juga bisa begitu."

"Jadi, Si Nurmi itu lihat kayanya aja," pembicaraan makin ramai.

"Apalagi," kata yang lain.

"Kalau dia nyari yang hebat di ranjang, tentu aku yang dapat," katanya sambil tertawa
keras. Yang lain ikut tertawa.

"Bagaimana kautahu Datuak itu sudah tak berfungsi di ranjang?" sela seseorang."Siapa
tahu, mungkin Datuak itu yang gatal," jawab seseorang.

"Jangan Nurmi saja yang disalahkan.

"Ya," sahut yang memulai tadi,

"berapa, ya, anaknya dengan isteri pertamanya? Delapan kalau tak salah." Dia
menjawab pertanyaannya sendiri.

"Dan lahan pertama itu sudah gersang, jadi perlu lahan subur yang baru," kata yang
duduk di sudut. Semua tertawa lagi.

"Dan Nurmi pasti subur. Lihat badannya."

Datuak dan Nurmi punya lima anak. Kini sudah besar-besar, paling tinggi tamat SMU,
dan semuanya sudah merantau. Di awal perkawinan mereka itulah Datuak
membuatkan warung kopi di Simpang itu untuknya. Sekalipun terbuat dari kayu, tempat
itu bagus dan menyenangkan. Dibangun bertingkat dua, di bawah warung kopi dan di
atas tempat Nurmi tinggal. Sumur gali dengan pompa Sanyo, kamar mandi dan dapur
terdapat di lantai bawah, di belakang.Datuak sering di rumah isteri tuanya. Nurmi
mengurus usahanya dengan rajin dan berhasil. Datuak senang punya dua isteri yang
sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Nurmi gembira punya suami kaya dan memberinya
kebebasan. Mulai saat itulah Nurmi mengakrabi preman di Simpang dan belajar
memanfaatkan mereka. Dia memerlukan mereka. Nurmi tahu kalau dia mampu
menjinakkan ketuanya, yang lain akan jinak juga. Simpang yang terbuka pada arus
jalan raya dan orang yang mondar-mandir tidak jadi soal baginya. Sesekali tempat
usaha di situ dimasuki maling, tetapi warung Nurmi tetap aman.

"Apa Kak Nurmi tidak keberatan kalau orang menggunjingkan kita?" bisik Amran, ketua
preman Simpang saat itu, suatu malam setelah pengunjung warung lainnya pulang. Dia
menolong Nurmi menutup dan membersihkan warungnya.

"Gunjingan begitu sudah biasa bagiku," kata Nurmi.

"Kalau se-mua gunjingan dimasukkan ke dalam hati, hidup kita tidak akan tenteram."

"Apa benar," tanya Amran yang 10 tahun lebih muda dari Nurmi, sementara pandangan
matanya menggentayangi tubuh Nurmi di bawah sinar listerik 10 Watt di warung itu,

"bahwa Kak Nurmi menggoda Datuak seperti berita yang tersebar itu?"

"Bagaimana kaupikir?" tanya Nurmi sambil meletakkan tangannya di atas paha Amran.
Dia terkejut dan gemetar. Nurmi tahu Amran berada di bawah kekuasaannya.

"Kak Nurmi pin... pintar merayu, kan?" kata Amran gagap.

"Pintar sekali," kata Nurmi lembut. Amran kelabakan.

"Jadi benar? Jadi benar bahwa Kak Nurmi yang merayu Datuak?"

"Tidak," kata Nurmi. Pasti suaranya. Didekatkannya badannya pada lelaki itu. Amran
kaget, tapi mulai berani. Diremasnya lengan Nurmi. Dia membiarkannya.

"Tidak?"

"Dia yang menggodaku."

"Menggoda?"

"Keluargaku sering memburuh di tempat Datuak. Ya, di sawah dan ladang, ya


pekerjaan rumah. Aku bekerja dengan dia juga. Terus terang, ada yang kami perlukan
dari dia. Dia kaya, kami miskin. Suatu hari, aku ditidurinya. Di rumahnya. Di tempat
tidurnya. Separoh hatiku enggan. Separoh lagi menerima."

"O," kata Amran, tak tahu harus mengatakan apa.

"Lalu?"

"Dia katakan kalau aku hamil, tentu aku dan keluargaku akan malu. Hamil tanpa suami.
Begitulah. Akhirnya aku setuju jadi isteri mudanya."

"Kok gampang sekali kedengarannya bagi Kak Nurmi?"

"Hidup bisa dibuat rumit. Tapi bisa pula dibuat gampang."

"Menyesal?"

"Penyesalan racun kebahagiaan. Aku ingin hidup bahagia". Diciumnya Amran yang
menggigil, bukan karena kedinginan.

"Kenapa gunjingan di kampung lain?" tanya Amran di ujung ciuman itu.

"Orang percaya Kak Nurmi yang salah. Mencuri suami orang. Merusakkan keluarga
orang lain."

"Jangan lupa, Amran. Yang kuat menentukan berita, menulis kisah kehidupan Desa.
Yang lemah tak kuasa melawannya. Kebenaran tidak penting, Amran. Yang penting
apa yang dipercayai orang. Ingat itu."

"Seperti sekarang?" kata Amran.

"Maksudmu?"

"Apa yang terjadi di antara kita tidak penting. Yang penting apa yang dipikirkan orang,
kalau mereka tahu."

"Ya. Kalau mereka tahu. Ingat, apa yang mereka ketahui tergantung pada penyebar
berita. Bukan pembuat berita?"Amran mengangguk. Apa pun yang mereka kerjakan
malam itu tidak mengganggu dia lagi. Dia menikmatinya. Dia tahu di antara mereka,
Nurmi lebih berkuasa, lebih mampu melukiskan dan menyebarkan kisah keluar warung
itu. Sejak itu, Amran melakukan apa yang diinginkan Nurmi. Dia bisa menggunakan
kawan-kawannya kalau perlu. Dia meneguk kenikmatan yang tak diketahui teman-
temannya sebagai imbalan. ***

WAKTU bangunan di seberang jalan itu dimulai, Datuak Khaidir sudah beberapa tahun
meninggal. Nurmi sudah lama sendirian ditinggal merantau oleh anak-anaknya. Dia
sudah lupa dengan persis berapa orang Amran-Amran yang sudah ditaklukkannya,
mengabdi kepadanya, dan meninggalkan masa remaja dan memasuki dunia dewasa di
warungnya. Nurmi pintar mengatur siasat. Di luar warung hanya ada bisik-bisik. Tidak
ada yang tahu pasti setiap yang terjadi di situ bilamana pintu warung sudah
ditutup.Toko seberang jalan itu akhirnya selesai. Peresmiannya meriah. Pemiliknya
mengadakan pesta besar, mengundang semua penduduk Koto dan desa tetangga.
Nurmi tahu pemiliknya adalah kepala desa Koto dan seorang perantau yang kaya.
Mereka ingin membuat toko moderen di Koto, biar Koto tidak tertinggal oleh dunia lain.
Toko itu ternyata lebih hebat dari bayangan orang Koto sebelumnya. Mereka
membangun Plaza Koto yang menjual segalanya: keperluan sehari-hari, pakaian, alat-
alat sekolah, dan lain-lain. Tidak lupa, di bagian bangunan di sebelah jalan, ada warung
kopi tempat orang yang belanja bisa istirahat sambil minum-minum. Warung itu
kelihatan dari warung Nurmi.Plaza Koto menarik pembeli dari semua penjuru. Penuh
siang malam. Warung Nurmi kehilangan banyak langganan. Tetapi dia masih untung.
Beberapa toko dan warung di Simpang itu sudah gulung tikar. Orang Koto banyak
tergoda oleh Plaza Koto itu. Ruangannya pakai AC. Pelayannya muda-muda dan cantik,
tidak seperti Nurmi yang usianya sudah mulai dengan angka empat. Hanya beberapa
anak muda yang masih berhasil dipikatnya yang kadang-kadang singgah di warungnya.
Termasuk ketuanya."Api! Api!" Simpang gempar. "Tolong! Api!"Penduduk berhamburan
keluar. Jam dua dini hari itu, Simpang terang benderang seperti siang oleh nyala api.
Plaza Koto dilalap api. Waktu Pemadam Kebakaran dari Batusangkar datang, Plaza itu
sudah tidak tertolong lagi!***

SEPERTI biasa, setiap kejadian di Koto menjadi bahan gunjingan penduduk desa.
Berita tentang kebakaran itu bergalau seperti berita lainnya.
"Kabarnya Plaza Koto itu dibakar orang," kata seorang pengunjung warung Nurmi.

"Masa!" protes yang lain.

"Dibakar siapa?"

"Yang iri hati."

"Siapa yang iri?" pembicaraan menjadi ramai.

"Banyak. Dengar saja ocehan orang."

"Ini kan memajukan Koto," sela yang lain.

"Kalau pun ada yang iri, pasti tidak sampai mau membakar begitu?

""Kau pasti?" tanya yang lain lagi.

"Ya, aku pikir begitu," kata yang menyela tadi.

"Tapi siapa tahu, ya."

"Mungkin Setan Api marah," kata pemuda yang duduk dekat Nurmi.

"Setan Api? Jangan katakan yang bukan-bukan, ah," kata yang lain.

"Bisa saja," pemuda tadi bela diri.

"Sok, kan, orang yang punya itu. Mentang-mentang kaya di rantau. Membuat usaha di
sini. Dia bersenang-senang entah di mana."

"Iya, ya." Ada rupanya yang memakan umpan itu.

"Tidak peduli usaha penduduk di sini jadi bangkrut!" katanya berapi-api.Nurmi


tersenyum-senyum mendengarkan perdebatan yang semakin hangat itu. Direbusnya air
seperiuk lagi. Dia tahu kopinya akan lebih laris malam itu. Dia tidak sabar menunggu
para langganannya pulang ke rumah masing-masing. Maman, pemuda yang duduk
dekatnya itu, ketua preman Simpang, sore tadi sudah setuju menolongnya menutup
dan membersihkan warungnya malam itu seperti dulu sering dilakukan Amran dan
beberapa preman Simpang lainnya!***

Melbourne, Musim bunga 2002


Permata Bernstein

Soeprijadi Tomodihardjo
Sumber: Kompas, Edisi 11/10/2002

BARU pertama kali aku dan sahabatku, Alex, menginjakkan kaki di Irkutzsch-malam
hari menjelang Natal tahun itu. Ilyushin tua yang mendaratkan kami di Siberia Timur ini
landing-nya gentayangan, bikin punggung berdenyutan seperti kena mesin pijat yang
disetel buat menggarap otot-urat yang nyeri-nyeri kena lumbalgi. Sejak turun dari
pesawat RRC itu, Alex nampak sudah lemas dan capek. Belum lagi lima menit kami
duduk di ruang-tunggu, seorang petugas sekuriti bandara itu mendatangi kami berdua
yang baru saja meletakkan pantat di sebuah bangku sekadar istirahat duduk sambil
menunggu jam berangkat Aerovlot jurusan Moskwa. Follow me please...," kata petugas
itu kepadaku. WWW WAku spontan berdiri, memesan pada sahabatku agar menjaga
mantel dan handbag besar bawaanku.

"Take it with you," perintahnya tegas. Dia ngomong Inggris dengan perfek-bahasa rutin
personal sekuriti bandara transit negara mana saja. Mendegup juga jantungku ketika itu.
Bukan karena tas dan mantel mesti dibawa (dia tentu merasa perlu memeriksa barang-
barang penumpang), tapi karena cuma aku yang disasar, Alex tidak, pasasir lain pun
tidak. Tentu ada sebabnya. Barangkali pakaianku, tampangku, atau gerak-gerikku mirip
bajingan atau spion barat yang kasak-kusuk masuk ke daerah wewenangnya.
Beberapa penumpang Jerman yang tadi kulihat berangkat sepesawat dari Beijing
bersama kami nampak santai saja, duduk main kartu mengelilingi sebuah meja di
bawah temaram neon ruangan yang agaknya dilanda tindakan penghematan. Ketika
melewati kelompok itu, tiba-tiba kulihat di antara mereka seorang lelaki yang pernah
beberapa kali melayani kami di kedutaan RDJ1.

Spontan saja aku menyapa: "Gutenmorgen,...... Sind Sie auch hier?2" Dia tak menyahut,
padahal kami saling pandang. Di luar dugaanku dia bersikap begitu. Wajahnya datar
seperti tak punya minat menjawab tegur-sapaku. Tersenyum saja pun tidak.
Pandangnya cepat kembali tertuju ke main kartu. Karena malu, aku pun agak klincutan
menghindar dari mata si Jerman. Tapi, aku yakin benar lelaki itu mengenalku, malah
beberapa hari sebelumnya telah menjamu kami, Alex dan aku, minum teh dan makan
kue di kantor kedutaannya ketika kami mengurus visa. Sebuah layanan berlebihan,
namun bukan tanpa alasan. Ketika itu dia memancing-mancing, mengapa kami pergi ke
barat, tak ingin tinggal di Jerman. Jerman Timur maksudnya. Bisa studi di sana jurusan
apa saja, bahkan bisa minta Stipendium3.

Dia juga tak lupa melampiaskan sindiran terhadap RRC: "Mereka dijangkiti ambisi
negara besar."

Alex menjawab dengan gaya jurnalisnya: "Belum sampai ke taraf Amerika. Tapi syarat
mereka punya: tanahnya luas, industri galak, minyak banyak, ahli tak kurang, penduduk
melimpah, tinggal satu rintangan saja...."

"Rintangan apa menurut kalian?" tiba-tiba dia tertarik pada celoteh Alex, ingin
mengorek informasi tangan pertama.

"Pertentangan intern partai! Perjuangan klas dalam pimpinan tingkat atas...," jawab
sahabatku agak menggebu. Terang saja jawaban itu memancing pembicaraan
berkepanjangan diseling jamuan teh dan makan kue. Jadi, tak mungkin si Jerman itu
tak kenal aku. Dia tentu cuma pura-pura. Tapi, apa sebabnya?

"Follow me sir, be hurry...," tegur pejabat yang menggiringku, nampak tak senang
bahwa mataku meleng.

"Sorry," kataku dengan sedikit tersipu sambil mempercepat langkah menuruti


perintahnya.

"Tuan tentu keliru. Rupanya dia bukan orang yang tuan sangka," terkanya.

"Tidak," bantahku.

"Tak mungkin keliru. Saya ketemu dia di Kedutaan Jerman di Beijing, lebih dari tiga kali.
Yang terakhir baru minggu lalu ketika kami mengambil paspor dan visa RDJ." Pejabat
itu diam, tapi mengangguk-angguk. Dibawanya aku melewati sebuah gerbang masuk
ke ruangan besar. Di sana kami menuju ke deretan kabin yang masing-masing punya
pintu-angin, lalu memasuki satu di antara kabin-kabin itu. Tanpa menunggu perintah
kutaruh handbag-ku di meja segitiga berkaki satu yang terpancang menyudut ke
tembok. Ketika mantel kusangkutkan ke cantolan, dia mencegah. "Keluarkan semua
isinya," tangannya merenggut mantel itu, menaruhnya di atas meja. Sehelai sapu
tangan, segenggam permen kecut, sebungkus Lucky Strike dengan sahabatnya: korek
Ronson. Itu saja isi saku mantelku. Semua kuletakkan di meja.

"Nothing more?"

"That's all," jawabku.

"Saku-dalam, saku-dada kiri-kanan, keluarkan semua isinya, please." Dompet dan


pasporku! Aku memang lupa mengeluarkan isi saku-dalam mantel itu.

"Sorry," sesalku,

"...I've just forgot it, this ugly me...." Aku harap mulutnya sedikit tersenyum oleh
pengakuan kepikunanku. Tapi, tidak. Dia menggerakkan alis yang setebal jari jempol:
merengut dengan serius.

"Keluarkan isinya, please," telunjuk jarinya menuding dompetku sambil meneliti


pasporku. Isi dompetku dua ratus US-dollar. Aku dapat itu dari pegawai konsulat
sebuah negeri Skandinavia di kantornya di Beijing, juga ketika mengurus visa bersama
Alex. Itu sebuah transaksi pribadi yang terjadi karena pejabat konsulat itu bersedia
menukar US-dollarnya dengan Hongkong-dollar milik Alex plus milikku. Kami butuh US-
dollar buat berangkat ke Eropa, dia butuh Hongkong-dollar buat melancong ke
Hongkong, padahal valas barang langka di sana. Meski kami bukan diplomat, toh tahu
kebiasaan transaksi demikian di kalangan CD4 ibu kota RRC. Tak ada hitungan untung-
rugi antara kami. Pas-pasan saja seperti kursnya. Tapi, tiba-tiba aku khawatir, jangan-
jangan asal-usul dollarku dipersoalkan, padahal hidup di perjalanan ke Barat mau tak
mau tergantung dollar. Ternyata, aman saja. Dia tidak menaruh selera.

"Tuan singgah di Moskwa?" urus pejabat itu ketika meneliti transit-visaku.

"Tidak. Cuma stopover," jawabku ringkas.


"Sebaiknya Tuan melihat Moskwa. Indah bukan main. Tuan mesti nonton Bolshoi. What
a wonderful journey you have..."

"Just a sentimental journey. Lain tidak." Dia tergelak, tapi lantas melanjutkan
penggeledahan, memeriksa lipatan-lipatan kertas berisi catatan nama dari beberapa
kenalanku di Berlin, Paris, Amsterdam, Stockholm. Sekali lagi alisnya mengkerut.
Mungkin dia mengira aku punya jaringan rahasia skala dunia. Dengan jlimet dia juga tak
lupa memeriksa isi handbag-ku. Jelas mengesankan seorang pejabat yang jujur,
berdisiplin, teliti, pengabdi setia tanah airnya: Uni Soviet.

"Permata Bernstein murah di Moskwa, Sir...," katanya tiba-tiba, suaranya sedikit


berbisik. Aku mendadak khawatir, orang ini barangkali pura-pura saja pejabat douane
biasa, tapi siapa tahu dia petugas dinas KGB5. Bila aku tak hati-hati, bisa celaka seperti
ikan kena pancing.

"Sayang, saya tak punya cukup uang," jawabku.

"Dua ratus dollar, Sir, bayangkan! Di Barat bisa naik lipat empat jika tuan jual di sana.
Bernstein Siberia itu top quality, the best in the world. Mereka suka!"

"Saya percaya, tapi sayang saya tak punya bakat dagang...," aku pun makin berhati-
hati.

"Bakat itu tak perlu," bantahnya.

"Don't worry, Sir. Aman. Nothing to do with customs. Gunakan kesempatan, Sir,
singgah di Moskwa. Tak dua kali Anda hidup di dunia ini!" bujuknya.

"Kalau saja ada waktu...," elakku, sekadar ingin mengakhiri percakapan. Tapi, dia
mendesak lagi:

"Anyway, kalau Anda tak ada waktu di Moskwa, di Irkutzsch sini Bernstein lebih murah
lagi. Jangan ragu Sir. Bisa beli dari saya. Okey?" Dan dia mengeluarkan sekantung
benda yang ditimang-timangnya di telapak tangan. Dikendorinya tali kantung itu.
Nampak olehku selingkar permata Bernstein berbentuk kalung atau gelang, coklat
muda menyorotkan keindahan cahayanya. Jantungku kembali mendenyut lebih cepat.
Aku mulai yakin akan kejujurannya. Maksudku kejujuran terhadapku untuk nyeleweng
dari tugasnya. Batu permata memang kegemaran kakek-nenekku turun-temurun. Aku
pun sudah menyimpan beberapa butir batu Giok dari Tiongkok dalam kopor bagase:
sekadar persiapan menghadapi hari depan yang tak berketentuan. Akan lengkap pula
jika aku menerima tawarannya.

Dan dia terus mendesak: "Tinggal setengah jam, Sir. Aerovlot siap berangkat."

"Maafkan ya," kataku,

"... lima belas dollar?" Dia tak mengangguk. Menggeleng juga tidak. Wajahnya nampak
riang. Aku yakin dia setuju menerima tawaranku. Kulekatkan lembar-lembar US-dollar
di telapak tangannya. Dia pun menyodorkan kantung itu ke tanganku.

"Fine, thank you, sir.... Have a beautiful journey." Disalaminya aku. Lucky Strike dan
korek Ronson sengaja kutinggalkan di meja. Dia pun nampak sengaja tak
mengingatkannya sebagai barangku yang ketinggalan. Dibiarkannya aku keluar
sendirian. ***

RISKAN atau tidak transaksi itu terjadi. Ketika aku keluar dari ruang pemeriksaan,
kulihat Alex masih berada di tempat semula. Apa yang tadi kualami kubisikkan.

Komentar Alex:

"Gila kau," matanya membelalak.

"Lima belas dollar? Itu bisa buat makan sebulan di Yogya!"

"Mimpi kau, Lex! Kau pikir kita di Tanah Air?" sengolku.

"Tapi, lima belas dollar! Itu kelewat mahal!"

"Mahal? Aku kenal harga permata...."

"Aku bayar lima dollar dua kantung. Percaya enggak? Pejabatnya perempuan." "Ha...?"
aku ganti membelalak.

"Tadi kukira kau tidak diperiksa. Ternyata digaet juga?"


"He-eh..." "Jangan-jangan di Moskwa nanti kita diperiksa lagi," kataku.

"Pasti tidak," kata Alex.

"Mata seluruh dunia tertuju ke sana. Kalaupun ada penggeledahan, tentu tidak terang-
terangan. Moskwa perlu terkesan aman di mata semua bangsa." Alex ketawa-tawa dan
tak henti-hentinya mengejek kekalahanku. Untung tak lama kami menunggu
keberangkatan Aerovlot jurusan Moskwa. Dalam bus menuju ke tangga pesawat itu
kulihat kembali si Jerman berdiri agak di tengah. Aku sengaja mendekatinya, berdiri di
sisinya. Dia pasti tahu, tapi tetap saja pura-pura tak melihatku. Tak kusangka dari
mulutnya kudengar suaranya pelan:

"Es ist hier besser when wir nicht miteinander sprechen...." 6 Aku pun bungkam,
menyadari kenaifanku sendiri, ada kala manusia merasa takut membuka mulut.
Stopover di Omsk berlangsung dini hari. Di bandara Siberia Tengah ini pasasir mondar-
mandir nampak lebih banyak dari yang kami duga. Malah mirip pasar loak. Orang-orang
berdesakan sibuk dengan macam-macam urusan. Nampak pemuda-pemuda Rusia
menawar jaket atau mantel winter yang melekat di badan orang. Juga kudengar di
kanan-kiri pasasir menawar Bernstein. Arloji Shanghai-ku ditawar rubel, tapi itu benda
kenangan, takkan kulepaskan. Hebat juga manusia di Siberia ini berjuang di dini hari
sekadar merebut sedikit rezeki. Urusan Alex lain lagi. Sangat mendesak. Perutnya
mulas, tapi kian-kemari tak juga ketemu WC. Perut itu tak berkenan bersentuhan
dengan yoghurt kecut yang dia makan sebelum Aerovlot mendarat. Dia buru-buru lari
meninggalkan "pasar loak" itu ketika berhasil menampak tulisan "WC". Tas dan
mantelnya dia tumpuk begitu saja di lenganku, lalu lari. Tapi, sial, dia dikejar seorang
petugas wanita yang tentu saja mencurigainya.

"Hallo! Stop!" cegah si petugas. Alex terkejut dan berhenti dengan melintir-lintir perut.

"Follow me, Sir!" perintah si petugas.

"No, no...," tolak Alex.

"Impossible!"
"I say... follow me!"

"Sorry...., kebelet nih...," sahut Alex, mendadak lupa Inggris-nya.

"What?" bentak si petugas.

"I must go quickly right there.... My stomack, oooh...," dia menjelaskan dengan
menekan-nekan perutnya. Si pejabat ternyata toleran. Alex dibiarkannya lari masuk ke
WC, parkir di sana hampir setengah jam lamanya. ***

BENAR juga dugaan Alex: Moskwa aman. Kami tak mengalami penggeledahan. Gema
musik Rusia mengalun di ruang-ruang tunggu dan restoran. Beberapa pelayan dan
pengepel lantai restoran laki-perempuan nampak giat bekerja sambil menggerak-
gerakkan badan mengikuti irama balalaika. Hampir-hampir kami tak percaya, di negeri
angker ini kegenitan anak-anak manusia masih bisa dipertontonkan. Satu-satunya yang
menjengkelkan kami cuma pengumuman lewat loudspeaker: Interflug7 jurusan Berlin
berangkatnya tertunda lima jam. Tanpa keterangan apa sebabnya. Kami pun memasuki
ruang-tunggu khusus bagi pasasir Interflug. Selera masuk restoran masih harus ditekan
karena jam sarapan belum dibuka. "You are coming from Beijing?" tiba-tiba kami
dengar suara seorang perempuan mendekati kami, dari pakaiannya jelas petugas
sekuriti bandara Moskwa.

"Yes," hampir bersamaan kami menjawabnya.

"Follow me, please...," perintah yang itu-itu lagi.

"Modiar!" bisik Alex ke telingaku. "Mau apa kita sekarang?" Kali ini kami berdua
bersama-sama digiring keluar dari grup Interflug menuju pintu sebelah kiri restoran.
Kami melewati juga deretan kabin-kabin mirip bilik-bilik pemeriksaan, tapi kami tidak
dibawa masuk ke sana. Kali ini pasti urusan gawat, pikirku. Orang-orang Rusia tidak
akan sebodoh yang kami duga. Aku kini yakin sekali. Barangkali Alex juga berpikir
begitu, tapi kami bungkam, tak berani berbicara. Akhirnya kami disilakan masuk ke
sebuah ruangan berdinding kaca tertutup gorden kelabu. Si petugas begitu saja lantas
meninggalkan kami.
"Selamat datang di Moskwa!" suara dua orang setanah airku yang tak pernah kami
kenal. Mereka menunjukkan wajah gembira menyalami kami.

"Jangan kaget, Bung. Selama ini selalu menjadi kewajiban kami membantu orang
setanah air. Kiranya bantuan apa yang kalian butuhkan?" Saking kagetnya kami pun
terdiam, menyambut salam mereka tanpa ingat nama. Siapa pun yang mengalami
peristiwa demikian, perlu mengerti reaksi pertama di hati kami: curiga. Lepas dari misi
kemanusiaan seperti yang mereka ucapkan, hanya kecurigaan saja yang mengganggu
benakku. Segera pula aku sadar, transit-visa lewat Moskwa tidak begitu sederhana
lekuk-likunya. Lebih tak masuk akal lagi, mereka juga menawari kami untuk tinggal di
Moskwa. Seolah kekuasaan negeri ini sudah pindah ke tangan mereka. Kenaifan apa
pula yang kini perlu kami akui?

"Begini, Bung," jawab Alex,

"Kami mau ke Jerman Barat, di sana ada kenalan, buat sementara segalanya telah
tersedia. Harap jangan repotlah. Terima kasih atas perhatian kalian." Pembicaraan itu
berlangsung hampir satu jam dan berakhir dengan penyesalan. Ada kala rotasi bumi
memang mengguncang kepala semua orang untuk berpikir dan berpikir, mengapa
penyesalan seperti itu perlu terjadi. Dan permata Bernstein itu! Bettina-mahasiswi
kenalan kami di Bonn-gagal mencoba menjualnya. Beberapa toko permata menolak
membelinya. Menawar pun tidak. Semuanya permata palsu dari plastik.

"Modiar lu!" kutuk Alex padaku, juga pada diri sendiri.***

Paran, Agustus 2002

Catatan: 1) Republik Demokrasi Jerman


2) Selamat pagi. Tuan juga di sini?
3) Beasiswa
4) Corps Diplomatic
5) Dinas Rahasia Uni Soviet
6) Di sini lebih baik kita tak saling bicara
7) Perusahaan Penerbangan RDJ
Kembalinya Pangeran Kelelawar

Cerpen: Bre Redana


Sumber: Kompas, Edisi 11/03/2002

MALAM kelam memun caki sensasi kembalinya Pangeran Kelelawar mengaduk-aduk


imajinasi dalam alam gelap yang memeliharanya. Sayapnya terbentang tiada
terkatakan lebarnya disangga tulang-tulang yang kuat, mengepak pelan tanpa suara
menembus gelap. Tak ada yang bisa melihatnya, namun siapa saja diam-diam
menangkap tanda-tanda kehadirannya. Sungguh ketiadaan yang menggetarkan....
Semua orang kemudian berkasak-kusuk dan berbisik-bisik: wanita itu harus
diselamatkan!Angin bersiut. Nosferatu... Kain putih korden jendela bergerak-gerak.
Siapa mampu menahan Pangeran Kelelawar? Kegelapan menyembunyikan segala
misteri mengenai Pangeran Kelelawar dan wanita yang antara rindu, ingin tahu, dan
gentar, terus menunggunya. Kegelapan menyembunyikan sesuatu yang dengan
sebenarnya dan senyatanya-maksudnya senyatanya adalah nyata sebatas alam khayal
dunia kegelapan Pangeran Kelelawar dan dalam cerita ini-wanita itu telah
disetubuhinya.

"Katakan pada saya bagaimana kamu melihatnya? Bagaimana kamu bisa


mengenalnya?" tanya mereka yang ingin menyelamatkan atau berpretensi
menyelamatkan si wanita. Kita sudah tidak bisa lagi mempercayai niat mulia. Pangeran
Kelelawar telah menyebarkan benih ketidakpercayaan, kecemburuan, kegentaran,
ketidakberdayaan.

"Saya telah mendengar tentang dia berkali-kali. Lalu di puncak purnama tanggal lima
belas bulan kesepuluh yang tahun ini jatuh pada awal September, ia benar-benar
datang. Kehadirannya mula-mula hanya berupa suara, menggema dari dinding-dinding
rumahku berupa suara yang serba tahu tentang aku, tentang ayahku yang telah tiada
yang dia ketahui semua riwayat kesenimanannya, serta semua celah mengenai diriku
yang belum digarap oleh ayahku, yang dengan tegasnya dia katakan itu harus
dikembangkan...," wanita ini bercerita dengan suara bergetar, dengan tatapan mata
bercampur antara harapan dan ketakutan.Si pretensius mendengarkan dengan
sungguh-sungguh. Diperhatikannya dengan saksama wanita itu. Pantas, dia kelihatan
begitu cantik belakangan ini, meski agak pucat.... Begitu pikirnya. Rupanya ini karena
campur tangan Pangeran Kelelawar....Lukisan cat minyak dengan tarikh tahun 1957
tergantung di dinding. Itu lukisan ayahnya yang sering diceritakannya. Apa yang
tergambar di rumah ini sebenarnya melukiskan keseluruhan wanita ini yang serba apa
adanya. Dia tampak tak risau dengan beberapa bagian rumah yang belum selesai
pembangunannya. Belum selesai. Atau memang tak pernah terselesaikan. Langit-langit
rumah dibiarkan telanjang tanpa plafon, menampakkan semen cor dari lantai di atasnya,
berikut kabel listrik menyilang di sana-sini. Ruang atas katanya memang belum diapa-
apakan, gelap, dijadikan gudang, yang katanya dalam setahun pun belum tentu ia
menginjakkan kakinya. Ini suasana Gothic...Wanita itu menghisap rokok tanpa henti.
Ketika korek api habis dan tak satu pun pemantik ditemukan, ia bolak-balik menuju
dapur, menyalakan kompor listrik hanya untuk mendapatkan letikan api untuk
menyalakan rokok.

"Rahmat, jawaban atas doaku, ataukah semata-mata gangguan dan cobaankah


sebenarnya makna kehadirannya?" wanita ini bicara sendiri. Asap rokok mengepul dari
bibirnya.Tiba-tiba angin malam seperti pukulan terpendam yang dia curigai berasal dari
kepak sayap di kegelapan berhembus masuk ruangan. Mata wanita ini melihat kiri-
kanan dengan kecemasan. Jantungnya berdegup-degup. Pangeran Kelelawar? Itukah
kau? Di mana kau? ***

TIDAK, tidak... Anugerah atau kutukan aku sama-sama tak bisa mengelakkannya. Demi
segala roh kegelapan aku berani bersaksi matanya begitu sendu menatapku.
Rambutnya panjang, terlihat kusut-masai, namun aku terperanjat luar biasa ketika
tangannya membawa tanganku untuk menyentuhnya. Rambut itu begitu lembut, tidak
kering tidak lembab, seperti benang sutera mengurai satu-satu tidak ada yang kusut
apalagi gimbal.

"Pejamkan, pejamkan matamu kekasihku...," kata Pangeran Kelelawar lembut


mengandung sihir.

"Tutup matamu..."Aku-maksud saya wanita kita ini-memejamkan matanya.


Pangeran Kelelawar melanjutkan bisikannya, "Tutup, tutup matamu, karena matamu
hanya akan melihat kenyataan. ...dan kenyataan bukanlah sesuatu yang ingin kita lihat.
Dalam kegelapan, lebih mudah bagi kita untuk berpura-pura melihat kenyataan sesuai
yang kita impikan. Mari, masuk dalam dunia kegelapanku."

Wanita ini merasa seperti dibawa bersampan, mengapung di atas sungai yang tenang.
Dengan mata terpejam, ia serahkan dirinya bulat-bulat kepada pangerannya. Sesekali
ia mendesah sembari menggigit-gigit jari-tetap dengan mata terpejam-ketika himpitan
Pangeran Kelelawar makin menyesakkan dadanya.Aaaaaahhhh..... Wanita kita menjerit,
tersadar dari mimpinya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Dadanya turun naik.
Setelah agak tenang, baru dia menyalakan rokok, menyandarkan diri di sandaran
tempat tidur, sambil menutupi tubuhnya yang telanjang bulat dengan seprei
putih.Pengalaman macam apakah ini? Dunia macam apakah ini? Pikirannya makin
dihantui kecemasan. Sesuatu yang nyata atau tidak nyatakah sebenarnya kau,
Pangeran Kelelawar?***

"KAMU bermimpi," komentar mereka yang ingin menyelamatkan atau berpretensi


menyelamatkan wanita itu. Akan tetapi, apa daya mereka?Kegelapan menyimpan
misteri yang tak pernah terpecahkan. Datang setiap kali, seribu kali, sejuta kali, semua
disertai sejuta kali tipu daya yang mengecoh siapa saja yang coba mengotak-atik
misteri tersebut. Jangankan menangkap dan mengadilinya, bahkan sekadar
memergokinya saja tak ada yang bisa. Tak jelas, adakah yang tengah kita bicarakan ini
figur yang begitu penuh cinta dan bersahabat seperti diceritakan wanita itu-yang seolah
bisa diajak minum kopi sore-sore atau minum bir dan wine malam-malam-ataukah anak
kandung kejahatan yang menyandang kutuk sejak lahir.

"Kau perlu pastor," yang lain lagi memberi nasihat, demi memperhatikan bahwa wanita
itu mengenakan anting berbentuk salib.

"Dia berada di dimensi yang berbeda dari yang serba formal," jawabnya.

"Kalau begitu kau perlu dukun, paranormal, atau..."

"Dia suka menertawakan mereka..."Belum selesai wanita itu berkata-kata, tiba-tiba


dinding rumah seperti bergetar. Siapa pun kali ini bisa menangkap getaran itu. Suara
tawa meledak.Hua-ha-ha-ha....***

DEMIKIANLAH, begitu sulit bagi wanita itu untuk bisa membedakan mana nyata dan
mana tidak nyata. Kadang kehadiran Pangeran Kelelawar begitu nyata, seperti ledakan
tawanya tadi. Pada kali lain, keberadaan Pangeran Kelelawar sangat pantas diragukan.
Dia tak lebih seperti bayang-bayang malam.Adakah Pangeran Kelelawar hanya ada
dalam benaknya, benak saya, benak Anda? Kehadiran Pangeran Kelelawar telah
membikin persoalan bagi-nya bukan saja dalam teka-teki mana nyata mana tidak nyata,
tetapi juga keraguan akan rahmat atau kutukan tadi, kebahagiaan atau kecemasan,
kepastian atau ketidak-pastian, senyum atau tangis, dan seterusnya.Diakui berkali-kali
oleh wanita itu, setiap kali dia bercengkerama dengan Pangeran Kelelawar, muncul
kebahagiaan luar biasa. Hatinya berbuncah-buncah, bahkan bisa tak terkontrol. Hanya
saja, ketika ia melambung tinggi dalam tawa yang belum pernah selepas itu sepanjang
hidupnya, ia akui ia tiba-tiba ingin menangis.

"Aku takut ditinggalkannya," katanya.Aneh, kamu mengaku takut atas kedatangannya,


pada saat sama kamu takut atas kepergiannya?Wanita itu diam seribu bahasa.
Menunduk. Rambutnya yang hitam dalam potongan shaggy, sebagian menutupi kening.
Mukanya-dengan bulu-bulu halus di depan daun telinga-kelihatan kecil dengan
potongan rambut semacam itu. Adakah aku harus menerima saja sebagai nasib,
sebagai sesuatu yang apa adanya saja, mengenai cerita tentang Pangeran Kelelawar
itu? Sepanjang waktu, sepanjang sejarah, selalu hidup cerita semacam itu.
Diperlukankah resah yang berlebihan?***

LAMA-lama, wanita ini bisa berdamai dengan segala kesimpulannya sendiri yang serba
sederhana. Dengan itu pula, bayangan Pangeran Kelelawar-nya tidaklah
semenggetarkan masa-masa sebelumnya.Lalu, tibalah sesuatu yang nyata-setidaknya
nyata bagi wanita itu. Dia menemukan pasangan hidupnya. Bukan pangeran dari alam
kegelapan yang membingungkan otaknya dan sempat membuat dirinya ragu atas
kewarasannya sendiri, melainkan pria biasa, berdarah-daging, warga negara Australia,
buruh tambang di Wollongong. Wanita ini kemudian dibawa pindah ke Wollongong,
kawasan yang sepi yang menjadi bagian dari New South Wales, Australia. Tak banyak
yang bisa diceritakan di situ, selain hidup yang rutin, memasak, menjaga rumah,
menunggu suami pulang. Pada waktu-waktu tertentu, dia bisa pulang ke Indonesia,
berlibur ke Bali. Di pulau yang selalu cantik itu sesekali bayangan Pangeran Kelelawar
berkelebat, tapi dia tak takut lagi.***

Taman Ayu, Dps, 2002


Ilmuwan, Kota, Laut, dan Gunung

Wilson Nadeak
Sumber: Kompas, Edisi 10/27/2002

Aminudin TH Siregar SEPERTI ombak yang terus memukul pantai, baris sajak Chairil
Anwar itu bertalu-talu dalam benaknya.

"Hidup hanya menunda kekalahan," gemanya bergaung terus. Sejak muda baris sajak
itu telah dihapalnya. Ia tidak tahu apakah itu sebuah lirik kehidupan ataukah sekadar
getar intuisi, senandung sendu ataukah relung kehidupan yang muram, semacam
katarsis yang telah mengalami proses yang berlapis-lapis, ataukah sebuah lukisan
pelangi saat gerimis menjelang petang kehidupan tiba.Kadangkala potongan sajak itu
diselingi larik sajak Sanusi Pane... "Alun membawa bidukku pelahan, entah ke mana
aku tak tahu." Bernard Rumbai sebenarnya berusaha mencoba menghalau baris-baris
sajak itu dari benaknya. Semakin dihalaunya, semakin jauh meresap. Hal itu berkaitan
dengan kariernya di departemen statistik, saat-saat yang amat genting ketika dirjen
meminta supaya data statistik diubahnya, sesuai dengan permintaan menteri. Misalnya
saja, yang sangat sederhana, ia diminta mengubah jumlah penduduk dan memberi
proyeksi jumlah penduduk mendatang satu dekade di depan, bahwa jumlah penduduk
akan menjadi dua ratus lima puluh juta jiwa bila Keluarga Berencana tidak berhasil.
Menurut dirjen atau yang lazim disebut di kantornya, Sang Bos, angka itu terlalu rendah.

"Kau harus mengubahnya. Ini berkaitan dengan nasib bangsa! Semakin banyak
penduduk, semakin berat beban bangsa dan negara. Laporanmu ini kurang menggugah
donor internasional. Kita memerlukan bantuan keuangan yang lebih besar untuk
merangsang pengusaha menengah dan kecil. Ubah juga data tingkat inflasi, rasio
penghasilan rata-rata, perbaikan ekonomi yang mulai terasa, dan perlunya tekanan
pada sektor subsidi publik!" Bernard mengeluh dan menyampaikan keberatannya,
namun bentakan yang didapatnya.

"Saudara bodoh! Mengubah statistik tidaklah sulit! Laporanmu harus disesuaikan


dengan kepentingan politik bangsa! Kau harus memikirkan nasib bangsa ini! Bukan
statistik untuk statistik!" Ia menjawab dengan suara pelahan, menahan emosi yang
bergolak di dalam dadanya.

"Ini kenyataan, Pak. Ini realitas!"

Sang Bos, "Realitas, katamu? Realitas adalah masa depanmu! Masa depanmu ada
pada laporan itu! Sejauh itu sesuai dengan realitas politik, masa depanmu cerah! Masa
depan bangsa ini pun cerah. Kita telah memasuki era persaingan yang ketat,
persaingan sejagat. Kalau negeri ini tidak bangkit, entah itu dengan utang, entah itu
dengan menggadaikan apa yang ada di bumi kita ini, tidak menjadi soal. Apa susahnya
mengubah data statistik? Ingat, laporanmu yang harus sesuai dengan irama pemimpin.
Harus masuk minggu depan. Jangan bicara soal kejujuran. Itu soal lain, soal moral dan
segala macam tetek-bengek pejuang hak asasi manusia dan LSM itu!"

Bernard terpojok di sudut. Dengan komputer, data itu mudah sekali diubah. Alat modern
itu telah memungkinkan proses kemudahan. Di depan alat canggih itu ia semakin
bodoh. Benar apa yang dikatakan bosnya bahwa ia orang bodoh. Waktu masih anak-
anak ia pernah berenang di Pantai Cermin, Sumatera Utara. Ia tanyakan kepada
ayahnya mengapa ikan dari laut asin mesti digarami supaya asin? Bukankah ikan asin
dengan sendirinya menjadi asin karena setiap saat minum air asin?

"Ah, kau masih kecil. Belum tahu apa-apa! Nelayan itu lebih tahu. Kau tanya saja
kepada mereka!" Bernard bertanya kepada nelayan mengapa mereka menjemur ikan
dan menggaraminya.

"Ah, kau masih kecil, Nak! Tanyakan saja kepada laut, kepada burung camar..."
Bernard bingung. Apa harus tanya kepada laut dan burung? Mana mungkin? Apa
semua orang tidak tahu sebab terjadinya proses pengasinan itu? Apakah benar alam
menyediakan segala sesuatu begitu saja? Sekarang, ketika usianya sudah semakin
lanjut, dan ia memakan lebih banyak garam kehidupan, bosnya menganggapnya sudah
terlalu tua untuk memahami politik kehidupan. Ia bodoh. Waktu muda ia terlalu muda
untuk mengerti sesuatu, setelah ia tua ia terlalu tua untuk memahami realitas. Agak
gugup ia menghadapi bos ketika deadline pemasukan laporan sudah mendekat.

"Datamu belum lengkap. Kulihat di komputer angka yang sama masih ngendon di situ.
Ingat, nasib kita ada di tangan kita sendiri apakah kita mau menyesuaikan diri atau
tenggelam dalam arus. Sebegitu jauh, kita telah berenang di samudera kehidupan.
Sebentar lagi kita akan sampai ke tujuan. Tetapi jangan lupa, setiap kali kita
menggerakkan tangan, ombak besar mungkin menggulung kita. Kita harus mengikuti
alun gelombang jika kita tidak mau terempas ke batu karang kebodohan. Camkan!
Regulasi terjadi sewaktu-waktu. Tidak seorang pun dapat menduganya."

Bernard merasa itu ancaman halus. Lebih lanujut ia melihat tulisan bos di layar
komputernya. "Apakah aku yang harus mengubahnya, atas namamu? Jawabanmu
kutunggu sore ini."

Sampai sore tiba, ketika Bernard Rumbai menyaksikan langit jingga, ia tidak berhasil
menaklukkan hati nuraninya. Ubah? Tidak. Ubah? Tidak. Ubah? Ia melarikan diri ke
Ancol, menyaksikan nelayan, ombak, hotel berbintang yang menjulang. Seorang diri ia
berdiri di tepi pantai, di atas tanah bekas kuburan.

Ia berteriak seorang diri, "Tiiiidaaaak. Tiiiiidaaaaak!" Menjelang senja ia balik ke


kantornya. Ditulisnya di komputer: Data tetap data. Pagi hari ketika ia bangun dari tidur
yang singkat, ia membuka komputernya. Sebuah pesan dari bosnya: Anda terlalu
tegang. Datamu kuubah atas namamu. Ambillah cutimu ke luar negeri. Biaya? Hubungi
bagian keuangan. Kini realitas baru muncul di depannya. Sebuah kenyataan yang tidak
dapat diingkari. Telah lama ia terperangkap dalam lingkaran birokrasi yang tidak
mungkin diubahnya. Justru ia diminta untuk berubah sesuai dengan suasana zaman
yang canggih. Hati nurani? Ah, sungguh ia telah dikalahkan oleh hati nurani. Ia harus
pergi, seperti kata bosnya, menghilangkan ketegangan. Di Pantai Ancol ia telah
mengadu kepada awan yang jingga, kepada angin, kepada gelombang. Ia merasa lega
sekalipun sepanjang malam matanya terpejam hanya beberapa jam saja. Tiba di kantor,
ia menemukan ketegangan baru. Ia baru sadar bahwa sejak tujuh tahun belakangan ini
ia tidak pernah mengambil cuti. Ia terlalu setia mengerjakan tugas yang memang
dinikmatinya. SAAT Bernard berkunjung kepada temannya di Melbourne, kawan itu
membawanya ke sebuah pulau kecil yang terpencil di bagian selatan, Philips Island.
Malam terang bulan yang cerah, menjelang pukul sepuluh malam, mereka menyaksikan
burung pinguin yang berombongan pulang dari tengah lautan. Burung-burung itu
merayap di pantai, membawa makanan untuk anak-anaknya di rumput-rumput sekitar
pantai. Burung-burung itu berkelana puluhan kilometer ke tengah laut, menghadang
gelombang dan ikan-ikan besar, hanya sekadar mempertahankan hidupnya. Bernard
teringat kepada nelayan di Pangandaran, pantainya juga penuh tetapi bukan dengan
camar laut yang mencari makan, melainkan penuh dengan perahu nelayan, para
nelayan yang pulang subuh dan mendarat di pantai. Perahu-perahu mereka menutupi
pasir di pantai. Jadinya, pantai sarat dengan perahu! Para nelayan yang mencari
nafkah di tengah lautan menyerahkan hasil tangkapannya kepada petugas balai lelang
dengan harga yang ditentukan mereka. Nelayan menerima apa adanya daripada tidak
membawa apa-apa untuk keluarganya! Dari Melbourne, Bernard Rumbai terbang
menuju Los Angeles. Ia menginap di rumah teman sekelas dahulu, yang meninggalkan
Jakarta yang sesak walaupun ia sesungguhnya mempunyai jabatan sebagai kepala
keuangan di sebuah hotel berbintang. Kini ia hidup di tengah kota besar dunia ini apa
adanya-bekerja kasar tetapi halal-yang kemudian membawanya rekreasi ke San Diego.
Atas kemurahan kawan itu, ia dapat menyaksikan laut dengan teluk yang tenang, dan
nyaman. Sebuah atraksi dipegelarkan, konon kisah seorang bajak laut yang berumah di
pulau kecil di teluk, setting-nya pada abad kelima belas. Ia beraksi menunggang seekor
ikan lumba-lumba mengelilingi pulaunya. Lumba-lumba yang lincah melintas dekat
penonton, airnya berpencaran membasahi orang yang duduk dekat pantai. Tepuk
tangan yang riuh menggema, dan "bajak laut" yang berikat kepala biru itu membalas
dengan lambaian. Bernard melupakan statistik. Yang muncul dalam benaknya ialah
para bajak laut di Selat Malaka yang rajin menjarah kapal-kapal nelayan atau kapal
barang yang lewat, dan tentu saja memeras kapal penyelundup. Sulit menangkap
mereka karena sukar membedakan mana yang asli nelayan dengan bajingan-bajingan
laut itu. Pembajak kadang-kadang menggunakan kapal berbendera negara asing yang
jauh di benua lain. Di selat itu, setahu dia menurut data statistik, berbaur bajak laut,
penyelundup, dan kapal-kapal resmi yang menjual bahan bakar "muatan lebih" atas
nama instansi. Ia tahu tentang berbagai departemen dengan sumber dana yang
konvensional, tradisional, dan ekstra-konvensional. Alasan yang klasik, bagaimana
mereka dapat mengembangkan lembaga mereka tanpa penghasilan ekstra? Lagi pula,
pembelinya menyambut dengan antusias, demi kemajuan ekonomi negerinya, dengan
sistem perdagangan bebas.

"Kita ke tempat lain, Bung!" kata kawan sambil menepuk bahunya.

"Ingat kampung halaman?"

"Oh ya," jawabnya sambil berdiri.

"Ke mana?" Sang kawan tersenyum.

"Ingat Tanah Air?" Bernard tersenyum tersipu-sipu.

"Tidak juga," jawabnya. Mereka berjalan menuju sebuah kolam yang agak besar, dalam
dan airnya bening. Beberapa orang gadis yang mengenakan baju renang duduk-duduk
di tepi kolam. Kaki mereka berjuntai ke air, mengais-ngais permukaan air sehingga
menimbulkan riak-riak kecil. Bernard menerima kertas kecil, membayar beberapa dollar,
dan kemudian menyerahkannya kepada salah seorang gadis yang menerimanya
dengan ramah dan tersenyum.

"Anda mau kerang yang mana?" tanya gadis itu kepadanya. Ia memperhatikan dasar
kolam dan melihat benda yang bergerak perlahan.

"Itu," katanya menunjuk. Gadis itu menyelam ke dasar kolam, bergerak di bawah,
menangkap kerang itu. Ia muncul ke permukaan beberapa detik kemudian. Gadis itu
naik dan menyerahkan kerang kepadanya sambil menunjuk kepada seseorang yang
duduk di pojok.

"Bawa ke sana," katanya. Bernard melangkah dan menyerahkan kerang itu kepadanya.
Lelaki itu dengan cekatan membalik kerang itu dan mengiris dagingnya. Ia
mengeluarkan butir permata dan membersihkannya. Ia masukkan ke dalam sebuah
kotak yang indah, lalu diserahkan kepada Bernard. Ia merasa kagum menyaksikan
peternakan kerang itu. Pikirannya melayang kepada penyelam tradisional di teluk Tual,
Maluku Tenggara. Para penyelam tradisional itu harus menyelam ke laut yang dalam
untuk memburu kerang yang memiliki mutiara, hanya untuk memperoleh beberapa
puluh ribu rupiah. Penyelam tradisional mencoba mengeruk kekayaan alam, tetapi
gadis Amerika ini mengejar permata di kolam, dari tubuh kerang yang diternakkan dan
disuntik pasir, membiarkannya tumbuh dan membesar, menghasilkan "mutiara" yang
berkilau. Dua peristiwa alam yang berbeda. Di Jakarta, orang menggali mutiara dari
belakang meja, atau dari balik kaca, atau dari ATM, dari leher penumpang taksi, dari
lengan-lengan TKI yang pulang dari luar negeri, seperti pelancong di Roma di stasiun
kereta, harus membayar beberapa dollar untuk sebotol Fanta, atau sebuah cendera
mata di Yerusalem dengan harga berlipat ganda betapa pun kau bersimpati kepada
Palestina. Sebulan Bernard menghabiskan cutinya di luar negeri. Suasana yang amat
berbeda itu tidak menggodanya tinggal di sana. Kawannya mengajaknya tinggal di Los
Angeles, kota besar yang menjanjikan itu.

"Dengan keahlianmu, kau dapat pekerjaan yang baik di sini," ajaknya.

"Wah, di sini aku mengabdi untuk siapa?" jawab Bernard. Kawannya tersenyum.

"Sudahlah. Kau memang cinta negerimu, melebihi masa depanmu!" Bernard kembali
teringat pekerjaan yang harus dilakukannya. Ia tidak dapat meninggalkannya. Ia amat
menyukainya. Kawan-kawan sekantor menyebutnya "gila kerja". Sepulang ke Tanah Air,
ia merasa seperti baru bangun dari tidur. Dari pesawat ia menyaksikan Kota Jakarta
yang padat perumahan. Jalan-jalan raya yang padat amat kontras dengan
pemandangan dari atas Benua Australia. Kepalanya menjadi pening ketika roda
pesawat menyentuh landasan. Sayap pesawat yang seperti daun yang mengatup
menahan laju di landasan pacu. Di bawah tiupan angin bandara yang kencang dan
panas, ia bergegas ke jalur pemeriksaan. Taksi membawanya ke rumah, melewati jalan
tol, kemudian barisan rumah kumuh, kondominium, perumahan mewah, hotel
berbintang, dan toko yang hangus tinggal tiang-tiang yang menghitam, bekas korban
kerusuhan beberapa waktu yang lalu. Keesokan harinya ia masuk kantor. Kawan-
kawan sekantor menyapanya dengan "selamat datang". Basa-basi mana oleh-oleh,
membuatnya tersenyum. Memang sebelum pulang ia pernah mampir di toko charity dan
membeli beberapa lusin dasi dengan harga miring. Ia membagi-baginya. Rapat dewan
pimpinan minggu berikutnya membuat ia resah. Ia tidak tahu agenda apa, dan bosnya
tidak seperti biasanya memberitahukan lebih dahulu items rapat. Bos hanya
mengingatkannya supaya ia menyiapkan data statistik yang fleksibel, dengan pilihan
alternatif yang mungkin. Setelah ia menyampaikan laporan dan rapat menyelesaikan
semua mata agenda, bos memintanya datang ke kantornya setelah jam kerja usai. Sore
itu, Bernard agak was was. Perasaan enggan yang muncul sebelum rapat mencuat
kembali ke permukaan. Dengan langkah berat ia berjalan ke kantor bos, mengetuk
pintu. Ia dipersilakan masuk dan duduk. Bos menceriterakan keadaan departemen
secara panjang lebar, dan kemudian, seperti burung elang yang menukik dengan tiba-
tiba dari ketinggian karena melihat seekor tikus, demikianlah bos berkata,

"Laporan Anda ditolak pimpinan karena masih jauh dari harapan mereka. Mereka telah
mengambil keputusan yang amat bijaksana untuk Anda. Mulai bulan depan, Anda
dipersilakan mengurus pensiun muda. Masa depan Anda masih terbuka...." Bernard
memperhatikan mulut bos sampai kalimat terakhir. Ia diam. Langit jingga seolah-olah
runtuh menimpa kepalanya. Bosnya berdiri dan menepuk bahunya,

"Masa depan Anda masih terbuka lebar. Usia Anda masih relatif muda, penuh cita-cita.
Silakan!" katanya sambil membuka pintu lebar-lebar. Ia berjalan gontai menuju
kantornya, membereskan beberapa barang milik pribadinya, dan kemudian duduk
menghadap meja, menulis surat untuk sekretarisnya. Dalam surat itu ia menulis mohon
maaf apabila melakukan kesalahan dan memberitahukan bahwa mulai esok ia tidak
akan masuk kantor lagi. Ia memasukkannya ke dalam amplop, menaruhnya di atas
meja sekretaris. Ia menatap sekelilingnya, menatap kantor yang ditempatinya sejak dua
dekade lalu. Minggu berikutnya, di kaki sebuah bukit di jajaran Bukit Barisan, seorang
lelaki membaringkan tubuhnya di bawah pohon kopi yang rindang dan sedang
berbunga. Ia mengenangkan kembali masa kecilnya, lima puluh tahun silam. Ia merasa
sia-sia, menghabiskan hidupnya di kota, tidak memikirkan keluarga demi karier, tidak
memikirkan orang lain. Lelaki itu memejamkan mata sambil memikirkan masa lalunya
yang sia-sia. Ia merasa dirinya seperti lukisan yang tidak pernah jadi, di tangan seorang
pelukis yang gamang, dengan kanvas yang masih separo kosong. ****
Kacapiring

Danarto
Sumber: Kompas, Edisi 10/20/2002

RUMAH sakit ini rasanya menebarkan arus kematian. Terasa pada tengkuk dan telapak
tangan yang dingin. Lorong-lorong yang lengang mengantarkan kereta jenazah yang
bergulir sendirian. Bau obat pengepel lantai yang menelan nasi bungkus pada kemasan
air minum yang kempis. Barangkali di ranjang sebelah seorang pasien sedang bergulat
memperebutkan nyawanya dengan Malaikat Izrail.Ketika adzan subuh terdengar, saya
masih malas bangun dalam tidur duduk dengan kepala terkulai di ranjang Astri, anak
saya yang berumur 12 tahun. Astri telah tiga hari pingsan, belum juga ada tanda-tanda
mau siuman. Para dokter tidak tahu kenapa lama sekali Astri pingsan.Anak-anak yang
sehat, energetik, dan periang, yang mewarisi watak saya yang selalu dalam keadaan
senang, sebenarnya tidak mungkin begitu mudah jatuh pingsan. Dunia memang penuh
penderitaan, tetapi lupakanlah itu dan rebutlah kegembiraan hidup untuk selama-
lamanya. Itulah yang pokok, saya pikir, yang saya ajarkan kepada anak-anak dalam
mengarungi hidup sehari-hari. Saya ajak mereka menyanyi, menari, dan berdoa, dan
kelima anak saya itu - Astri (12), Ajeng (10), Antok (8), Agra (6), dan Ayu (4) - pun
menari, menyanyi, dan berdoa. Anak-anak yang baik adalah jendela dengan kaca yang
jernih. Kami adalah keluarga yang tidak bersedih. Jika mau bersedih, kita tidak akan
sempat bersedih karena hidup kita ini adalah kesedihan.Kami bertujuh hidup dalam
kebahagiaan dalam arti yang sempit maupun yang luas. Selalu bertemu setiap hari,
dalam waktu yang sempit maupun waktu yang longgar. Kami berbelanja beramai-ramai
ke Hero atau Carrefour. Kami makan di Sizzler atau di Lembur Kuring. Kami keluarga
yang sibuk sehingga membutuhkan tiga sopir, paling tidak, satu untuk anak-anak, satu
untuk istri, dan satu untuk saya, sepertinya kami masing-masing sudah bisa
mandiri.Seminggu sekali kami mengitari toko buku selama tiga jam untuk memborong
buku dan DVD apa saja yang mendatangkan kesenangan. Kami juga nonton di gedung
bioskop dan gedung kesenian, juga di gedung-gedung kebudayaan kedutaan besar.
Kami mengisi teka-teki silang dari Harian Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia,
maupun Republika, sambil menikmati pizza atau hamburger dan es teler. Kami juga
pura-pura tahu tentang gerakan reformasi yang melanda di seluruh Tanah Air.Itulah
sebabnya kami merasa digoncang gempa bumi ketika mobil kami ngebut melarikan
Astri ke rumah sakit. Menderu dan melakukan zig-zag. Masih dalam keadaan pingsan,
Astri saya peluk erat-erat. Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan Astri yang menjerit
dan jus mentimun yang mestinya ia berikan kepada Mamanya, jatuh ke lantai dengan
bunyi gelas yang pecah berderai. Saya berlari ke arah jeritan Astri dan
mendapatkannya terkapar. Saya berteriak memanggil sopir dan membopong Astri ke
dalam mobil. Di sisinya, Ajeng dan Antok, adik-adik Astri, gemetar dan menangis
memegangi kaki dan tangan kakaknya. Apakah Astri tadi terpeleset atau dia kena
serangan jantung? Yang saya heran, ibunya anak-anak tidak memberikan reaksi sedikit
pun dan tetap berada di dalam kamarnya. Bahkan sekadar menjenguk pun tidak.

"Karena kaget, siapa pun bisa pingsan," kata dokter setelah memeriksa Astri beberapa
saat yang membuat kami lega.

"Bagaimana dengan jantungnya, Dok?" tanya saya.

"Sehat," jawab dokter,

"Nanti kalau sudah siuman, Astri bisa dibawa pulang."Saya mengucapkan terima kasih
kepada dokter yang kemudian berlalu meninggalkan Astri yang menggeletak di ranjang.
Sambil memegangi tangan Astri, saya bengong menatap Ajeng dan Antok yang cemas
ketika tiba-tiba hand-phone berdering.

"Agra dan Ayu nangis memanggil-manggil Ibu, Pak!" teriak pembantu dari rumah sambil
menangis.Saya kaget lalu berteriak,

"Bilang sama Agra dan Ayu jangan kolokan. Bawa keduanya ke mamanya."

"Pintu kamar Ibu digedor-gedor Agra dan Ayu, tetapi enggak ada sahutan, Pak," teriak
pembantu dari rumah.

"Dobrak pintunya."

"Enggak berani, Pak."


"Dobrak!

""Enggak berani, Pak."

"Suruh Totok mendobrak."

"Totok enggak berani, Pak."

"Mana Totok, saya mau bicara."

"Ya, Pak," sahut Totok, sopir anak-anak, yang agaknya berada di samping pembantu.

"Tok! Kamu dobrak pintu kamar Ibu."

"Mohon maaf, Pak. Saya tidak berani."

MULA-mula Laksmi, mamanya anak-anak, memberi tahu kami bahwa dia


membutuhkan kamar sendiri. Saya pikir dia mau menggunakan kamar yang sudah ada.
Ternyata dia membangun kamar baru di sebelah perpustakaan. Bagi kami-saya dan
anak-anak- tak menjadi soal amat. Kami semua sangat mencintainya. Bahkan anak-
anak sanggup menunggunya sampai pukul 9 malam untuk bisa makan bareng dengan
mamanya.Sebagai seorang ibu yang perfeksionis bagi anak-anaknya, dia mengatur
seluruh kehidupan sehari-hari kami dengan seluruh segi-seginya, begitu cermat dan
cekatan. Dari jus apel-tomat-wortel yang wajib kami minum setiap hari, dari hobi sampai
jenis permainan, dan dari olahraga sampai piknik kami setiap empat bulan sekali, anak-
anak dan saya, terima beres. Dari sini dia mendapat imbalan yang elok dari langit:
anak-anak dan suaminya tumbuh sehat dan mendatangkan kebahagiaan.Dengan
kamar barunya itu, Laksmi keluar-masuk kamarnya dengan kunci di tangan. Tentang
sikapnya ini, saya pernah secara sambil lalu bertanya kepadanya, "Ada rahasia apa,
kok pakai dikunci segala." Dia hanya menjawab dengan senyum. Meski tetap ramah
dan murah senyum sambil menyanyi dan menari, tetapi kami, keluarga dekat dan
teman-temannya, tak boleh menjenguk kamarnya. Pernah Ayu yang berumur empat
tahun, bungsu kami, menangis sejadi-jadinya karena mau ikut, tetapi tetap tak diizinkan
masuk ke kamarnya. Laksmi tak peduli Ayu menangis seharian di depan pintu
kamarnya. Dari peristiwa ini saya mulai merasakan Laksmi ingin mengucilkan
diri.Laksmi yang kutu buku dan mengenal dengan baik seluruh restoran di Jakarta, jauh
lebih keras bekerja daripada saya meski saya sering pulang larut malam. Tidak pernah
mengeluh. Selalu tersenyum lebih dulu bahkan dari para tetangganya yang jauh lebih
ramah sekalipun. Kesukaannya memasak dan membagikannya kepada satu dua
tetangganya meski hanya beberapa potong lumpia, dicatat sebagai sifat
keramahtamahannya. Ketika membangun kamar pribadinya itu usianya tiga puluh tahun
dan sedang ayu-ayunya.Di kamar Astri, sekarang berkumpul separuh keluarga. Air
mata saya terus berlelehan. Ajeng dan Antok menangis sambil memeluk kaki Astri yang
terkulai seperti mati. Beberapa dokter hilir-mudik memeriksa Astri lagi. Mereka
berdiskusi secara bisik-bisik dan tidak memberi keterangan apa-apa kepada saya.
Karena tak tahan menunggu lalu saya bertanya kepada dokter pertama yang
memeriksa Astri. Tetapi, dokter itu memberi isyarat supaya saya bersabar.Seorang
dokter lain menyarankan supaya saya memeriksa kamar-kamar di rumah. Lalu saya
menelepon Eyang Putri Niniek, neneknya anak-anak, ibu Laksmi, yang sering
meluangkan waktu bermain dengan cucu-cucunya.

"Sebelum ke rumah sakit, Ibu mampir dan mohon periksa seluruh kamar dan pojok
rumah," desak saya.

"Istrimu ke mana?" tanya Nenek.

"Itulah..."

"Itulah apa?”

"Tak tahu ke mana.”

"Kamu bertengkar dengannya?"

"Tidak."

"Ayolah, kamu bertengkar."

"Sungguh tidak, Bu."

Akhirnya Ajeng dan Antok tertidur di tepi-tepi ranjang Astri. Saya merenung tentang hal-
hal kecil yang mungkin sekali terlewatkan dalam urusan rumah tangga. Beberapa orang
keluarga dan teman-teman sekelas Astri di SLTP berdatangan menjenguk. Kami
mengobrol di kamar keluarga di sebelah kamar perawatan Astri. Teman-temannya
menciumi kening dan pipi Astri yang pingsan pulas. Mereka menanyakan mamanya
anak-anak. Saya jawab, Laksmi sedang bepergian keluar kota yang tak bisa
dihubungi.Telepon genggam berciluit. Rupanya dari nenek yang lalu nerocos.

"Laksmi bilang belum bisa menjenguk ke rumah sakit. Dia tak mau membuka pintu
kamarnya.”

"Cobalah Ibu minta dia menelepon saya."

"Sudah saya suruh, tetapi dia tidak mau."

"Dia omong apa saja?"

"Dia tak omong apa-apa”

"Ibu merahasiakan omongan dia, ya?"

"Buat apa?"

"Jadi Ibu cuma mendengar suaranya dari dalam kamarnya?"

"Ya."

"Aneh."

"Apa?"

"Aneh, Laksmi tidak mau ketemu Ibu."

"Apa kamu memarahinya?"

"Tidak pernah."

"Ada apa sebenarnya?"

"Saya tidak tahu."


"Kamu suaminya kok enggak tahu."

"Benar, Bu."

SEORANG dokter masuk memeriksa Astri. Tiba-tiba Astri berteriak, "Mama!" lalu dia
terkulai kembali, diam, pingsan lagi.Melihat gejala itu kemudian beberapa dokter dan
jururawat berdatangan. Astri lalu diperiksa oleh tiga orang dokter. Lalu para dokter itu
memberitahu bahwa tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan.Akhirnya Astri siuman
dalam keadaan sehat-walafiat. Seorang kiai dan beberapa orang jamaahnya yang
mengaji sepanjang malam di sisi tempat tidurnya, berhasil membangunkannya. Subuh
itu Astri terduduk kaget dan berteriak-teriak memanggil ibunya, "Mama! Mama!" lalu
turun dari tempat tidur menghambur ke pelukan saya sambil menangis sejadi-
jadinya.Lalu kami meninggalkan rumah sakit beramai-ramai seperti mau menyambut
pesta. Kami tidak pulang ke rumah. Kami pulang ke rumah Nenek. Kami
menyelenggarakan selamatan untuk Astri. Mirip reuni keluarga, saudara-saudara dekat
dan jauh berdatangan. Juga teman-teman Astri di sekolah. Selamatan berlangsung
dalam doa yang dipimpin oleh kiai dari kelompok pengajian kami. Malam yang khusyuk.
Malam yang berbeda. Malam yang menjadikan kami memperoleh keyakinan kembali.
Sampan yang menjauh ke tengah danau, telah kembali merapat ke tepi. Angin malam
yang berembus pelan, mengusir malam yang panas menyuruh dapur menghidangkan
makanan yang lezat-lezat.Tak terduga, anak-anak senang tinggal di rumah neneknya.
Begitu pula Eyang Niniek yang setelah ditinggal lima tahun oleh Eyang Sadewa,
suaminya, merasa mendapatkan hidupnya kembali dengan kehadiran cucu-cucunya di
rumah. Tentu ada yang hilang. Laksmi tidak kelihatan. Dia tidak ditemui di rumah atau
di rumah teman-temannya. Saudara-saudara kami di Bandung, Yogya, Solo, dan
Surabaya, juga tidak disinggahi Laksmi selama dua tiga bulan belakangan ini. Saya
katakan kepada anak-anak kenapa kita belum dapat menemui mamanya karena
mamanya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang harus tepat waktu karena
ditunggu pemesannya. Untung Ayu, si bungsu, tidak meronta-ronta.Pada waktu malam
cerah penuh bintang ketika Astri sudah berada di dalam keadaan yang ceria, di taman
belakang rumah Eyang, di tepi kolam ikan koi, diam-diam saya coba desak dia bercerita
tentang peristiwa sore itu ketika dia terjatuh waktu mengantarkan jus mentimun untuk
mamanya. Astri mengingat sejenak lalu bercerita.

"Ada kereta api lewat, kencang sekali, berderak-derak, angin menderu, Mama dari atas
kereta menyambar gelas jus itu, meminumnya lalu melemparkan gelasnya. Astri
terempas, terguling ke samping, lalu mendengar teriakan Mama yang semakin menjauh,
'Mama cuma beli tiket sekali jalan‟"

Seperti tersadarkan, mendengar cerita Astri ini saya tersentak dari duduk, menggayut
tangan Astri dan mengajaknya buru-buru menengok rumah.Ajeng, Antok, Agra, Ayu,
dan Eyang Niniek saya bawa serta. Sopir saya perintahkan ngebut. Saya mendengar
suara Laksmi yang menjauh, "Mama cuma beli tiket sekali jalan."Bisakah saya
mengejar suara itu. Melayang sobekan kain dari empasan angin kereta api, menderu
menyibak tanaman, geliat rel pada tikungan, dengan peluitnya yang panjang, kereta itu
lenyap ditelan cakrawala.Sesampai di rumah, para pembantu kaget menyambut kami.
Saya dobrak pintu kamar Laksmi dengan linggis. Kami beramai-ramai memasukinya.
Ternyata kamar itu kosong-melompong. Tak ada sepotong pun perabotan. Hanya
karpet yang memenuhi kamar dengan bau harum pewangi kegemarannya.
Menyaksikan keadaan itu, tiba-tiba anak-anak berteriak-teriak sambil menangis.

"Mama! Mama!"Ayu berguling-guling di karpet sambil menjerit-jerit. Kakak-kakaknya


menangis memanggili mamanya sambil menyusuri empat dinding kamar kosong itu.
Saya tak peduli. Saya minta sopir untuk membongkar plafon, barangkali pikiran saya
yang bodoh bisa menemukan persembunyian Laksmi.Akhirnya anak-anak jatuh tertidur
kelelahan. Mereka melingkar di tengah-tengah kamar yang sebenarnya tidak luas itu.
Saya terduduk di pojok. Ada yang terputus dalam alur perjalanan rumah tangga kami.
Sebuah jalan raya yang tiba-tiba lenyap dirakus hutan. Lalu tercipta jalan setapak,
menyanyi Tuhan dengan gelang Saturnus, api tiba-tiba terhunus. Konser yang belum
dimainkan oleh dirigen yang menunggu pesinden. Saya menatap tubuh anak-anak yang
pulas itu seperti gundukan-gundukan pasir di tempat mereka bermain di Pantai Carita,
suatu hari yang cerah empat bulan yang lalu.

SAYA minta sopir ngebut ke bilangan Senayan, di depan kompleks TVRI, untuk
membeli bunga kacapiring kesukaan Laksmi. Saya memilih kembang-kembang itu
sendiri. Pada pukul delapan sehabis makan malam, saya minta anak-anak menaruh
bunga kacapiring itu di dalam vas kesukaan mamanya di tengah-tengah kamar. Lalu
kami berkumpul di pojok kamar. Kami persis anak yatim piatu. Anak-anak ayam yang
kehilangan induknya.Seorang pembantu masuk menaruhkan segelas jus mentimun
kesukaan Laksmi di dekat vas bunga itu. Seketika saya terkesiap. Di dapur, pembantu
itu saya suruh mengambil kembali jus mentimun itu dan saya membantingnya sampai
gelas itu pecah berkeping-keping. Pembantu itu menangis sambil berlari masuk ke
kamarnya.

"Apa maksudmu menaruh jus mentimun itu di dalam kamar ibu!" bentak saya.

"Setiap hari jus mentimun dihidangkan di kamar ibu, pak," jawab pembantu.

"Kamu gila!" bentak saya.

"Jus itu selalu habis diminum ibu, pak."

"Kenapa kamu baru cerita sekarang?"

"Kira bapak sudah tahu."

"Apa kamu pernah lihat ibu minum jus itu, he!"

"Ibu tidak ada tapi ada, pak" Pembantu itu menangis sambil menunduk. Para pembantu
lainnya bersembunyi di kamarnya. Saya terduduk di lantai dapur. Barangkali yang gila
itu saya. Air mata saya berlelehan. Laksmi tidak ada, tetapi ada. Ini sudah keterlaluan
dan sangat jauh menyimpang dari pengalaman perjalanan karier saya. Iman yang
begitu tinggi dari orang-orang sederhana seperti para pembantu dan para sopir
memberi pelajaran betapa perjalanan hidup itu tidak lurus bahkan perjalanan hidup
orang-orang saleh sekalipun. Setiap perahu menyimpan gelombang. Setiap hasrat
menyimpan nafsu, dendam, dan tindakan yang tidak masuk akal.

APA papa punya salah sama mama?" tanya Astri pada suatu sore ketika kami minum
teh berdua di beranda."Kamu pikir, papa punya salah sama mama?"

"Menurut papa bagaimana?"


"Menurut Astri bagaimana?"

"Mana tahu...?"

"Cobalah berterus terang Astri, apa kata hatimu."

"Cobalah Papa mendengar kata hati Papa, bagaimana."

"Orang lain lebih tahu. Bagaimana menurut Astri."

"Papa malu, ya, berterus terang."

"Nah, kamu curiga. Nada bicaramu seolah Papa memang punya salah sama Mama."

"Nah, Papa yang curiga."

"Kamu."

"Papa."

"Kamu."

"Papa."Apakah saya cukup waras untuk mengalami semua peristiwa yang tak
terbayangkan ini? Saya yang ingin hidup secara sederhana, penuh kegembiraan, tidak
begitu saja bisa mulus melaksanakannya meski syarat-syarat untuk itu semua terpenuhi.
Saya merasa diperlakukan tidak adil. Saya harus mencari sebab-sebabnya.Malam-
malam selanjutnya kami tidur di kamar semedi Laksmi itu. Di atas karpet, kami
berbaring berderet-deret seperti pengungsi. Saya berbahagia karena anak-anak sudah
mulai kerasan. Bunga kacapiring itu boleh jadi memberi oksigen kepada kami. Mungkin
karena jasa Eyang Niniek yang begitu penuh kasih sayang mengasuh anak-anak.
Memang, harus ada orang tua yang setia tinggal di rumah untuk mengayomi
rumahtangga. Orang tua yang selalu mondar-mandir antara dapur dan ruang keluarga.
Orang tua yang membersihkan udara di dalam rumah.

PADA suatu malam ketika saya tiba dari kantor, terdengar dari dalam kamar Laksmi,
anak-anak tertawa dan bersorak-sorai ramai sekali."Mama curang. Mama curang,"
teriak anak-anak tertawa penuh canda.
"Tentu saja Mama selalu menang, habis Mama enggak kelihatan, sih."Saya intip dari
pintu, anak-anak tertawa, berteriak, berlarian memutari kamar sambil menggenggam
apel dan melemparkannya ke udara.Saya terkulai di depan pintu dengan berurai
airmata. Ini gila. Saya tak bisa menerima ini semua. Ini keterlaluan. Saya harus merebut
kembali kebahagiaan itu. Saya harus merebut kembali Laksmi.Ketika malam telah
hening, ketika anak-anak sudah berada di dunia lain, barangkali, pelan saya masuk.
Setelah shalat istikharah, saya berdoa di pojok. Mencoba memusatkan pikiran. Kamar
itu temaram, menunggu sesuatu yang baru dari kehidupan kami. Perjanjian baru perlu
ditandatangani, dengan keyakinan penuh, dengan kedisiplinan, dengan
kesetiaan."Laksmi," bisik saya.

"Maafkan saya. Saya telah mengacaukan segalanya. Saya telah merusak rumah tanga
kita. Ketika Astri bertanya, apakah saya punya salah padamu, saya sadar, inilah
sumber dari segala yang mengerikan itu. Laksmi, saya minta maaf. Benar, saya
bersalah kepadamu. Di depanmu ini, saya mengakui, saya berselingkuh. Berkali-kali.
Secara sadar saya melakukannya. Itu kesalahan besar. Suatu dosa besar. Barangkali
di kantor kami semua sudah gila. Kami dicengkeram oleh situasi yang sangat sulit untuk
kami hindari. Kami terkepung tembok. Beban pekerjaan terlalu berat. Hiburan memang
bermacam-macam bentuknya untuk memunggah semua beban itu. Saya tak mampu
melakukan pilihan. Maafkan saya. Sekarang saya memohon dengan sangat kepadamu,
maafkanlah saya. Kembalilah. Saya minta Laksmi kembali ke dalam keluarga. Kamu
tahu, anak-anak sangat membutuhkanmu. Laksmi, mereka tidak mungkin bisa hidup
tanpa kamu. Mereka sangat mungkin akan gagal dalam hidup karena tanpa kamu.
Lebih-lebih saya. Dengan ini saya berjanji, juga bersumpah, saya tak akan mengulangi
perbuatan itu. Kasih kesempatan kepada saya. Laksmi. Kasih kesempatan. Saya
paham sekali sekarang, tak ada wanita lain yang bisa saya cintai. Laksmi, engkaulah
satu-satunya yang saya cintai sampai akhir zaman. Engkau suci, Laksmi sedang saya
profan."

Tangerang, 11 Juni 2002


Sebilah Pisau dari Tokyo

Naning Pranoto
Sumber: Kompas, Edisi 10/13/2002

SEBILAH pisau? O, besar sekali dan panjangnya sekitar 30 cm! Ya, ya, malam itu
kulihat sebilah pisau besar, bentuknya cukup aneh, paduan antara golok dan celurit.
Jelasnya begini: gagangnya terbuat dari kayu eboni, pangkal mata pisau berbentuk
mirip golok Betawi, tetapi ujungnya seperti celurit Madura. Penampilannya berkilat-kilat,
pancaran ketajamannya.Ini pisau dari Tokyo.

“Pisau kesayangan Taro, ya, suamiku. Maksudku, Taro gemar memasak dan pisau ini
alat utamanya untuk memasak. Lebih baik Taro tidak memasak, bila pisau ini terselip
atau sedang tidak ada di dapur...."

"O, tapi... ee... pisau itu menakutkan. Eee... maksudku, terlalu besar dan terlalu tajam
sebagai pisau dapur. Lebih cocok digunakan di rumah jagal saja," selaku, sebelum
penjelasan pisau dari Tokyo itu selesai. Yang menjelaskan mengenai pisau dari Tokyo
itu adalah Naomi Nerusa, share-mate-ku (teman serumahku), ketika aku belajar di
Benua Kangguru. Ya, aku dan Naomi menyewa rumah secara patungan, untuk kami
tempati bersama selama dua tahun. Aku mengenal Naomi ketika kami sama-sama
tinggal di apartemen kampus yang sewanya relatif mahal. Maka, aku dan Naomi lalu
mencari rumah yang sewanya lebih murah daripada apartemen kampus tersebut. Aku
memilih Naomi sebagai share-mate-ku karena dia kunilai cukup komunikatif, lincah, dan
pernah berkunjung ke Jakarta, Yogya, dan Bali. Sehingga kalau kuajak bicara
mengenai ketiga tempat itu bisa nyambung. Oya, Naomi juga suka masakan Indonesia,
khususnya sate ayam Madura. Malam itu, aku dan Naomi siap membuat sate ayam
Madura untuk makan malam kami. Maka ia mengeluarkan pisau dari Tokyo, untuk
memotong-motong daging ayam yang akan kami buat sate.

"Nah, you saja yang memotong-motong daging ini, aku yang mengupas rempah-
rempahnya. Oke?" kata Naomi, ketika aku mengambil pisau kecil untuk mengupas
bawang merah untuk lalap.
"Lho kok aku yang mesti memotong-motong daging, memangnya kenapa?" tanyaku
heran, karena kulihat tiba-tiba wajah Naomi yang semula ceria berubah menjadi kecut
mengkerut.

"Eee... aku takut sama pisau itu. Sejak pertama kali melihatnya, aku memang takut.
Heehhhh... maafkan aku!" mata Naomi memejam, lalu membalikkan diri ke arah lain,
memunggungi pisau yang berkilauan itu.

"Naaah... kalau kau takut, mengapa pisau itu kau keluarkan?" tanyaku, sambil
mengikuti arah muka Naomi.

"Kupikir kita perlu pisau tajam untuk memotong-motong daging ayam. Tapi, eee...
maaf," tiba-tiba ia tertawa, tetapi tawanya sumbang.

"Lho... kok tertawa. Katamu.... kau takut, tapi tertawa!" aku ikut tertawa, karena melihat
mimik Naomi yang lucu: diliputi rasa takut, tetapi berusaha sok kalem.

"Ya, aku tertawa karena ingat sejarah pisau itu," Naomi masih tertawa, "Lucu, kisahnya!
Ya, lucu-lucu seram," sambungnya, sambil membalikkan tubuhnya dan menunjuk pisau
yang katanya ditakutinya.

"Lucu, kisahnya. Lucu-lucu seram, bagaimana itu?" aku penasaran.

"Pisau itu, pemberian Paman Tsuda-pamannya Taro," Naomi mulai bercerita, "Kedua
orangtua Taro meninggal ketika Taro masih kecil. Maka, ia lalu diasuh Paman Tsuda.
Nah, Paman Tsuda itu pembuat pisau ulung di desanya, di pinggiran Tokyo. Taro juga
dilatih membuat pisau. Tetapi, ketika lulus SMP ia tidak berminat melanjutkan usaha
pamannya memproduksi pisau. Ia tertarik bidang elektronik dan pamannya merestui.
Maka, ketika aku berkenalan dengan Taro, ia telah bekerja di perusahaan elektronik di
Tokyo. Kami pacaran tiga bulan, lalu menikah...."

"Apa hubungannya ceritamu dengan pisau dari Tokyo ini?" selaku tak sabar karena
cerita Naomi kuanggap berbelit-belit.

"Nanti dulu. Ceritaku belum sampai ke pisau...," Naomi memintaku bersabar.


"Okay. Lalu, bagaimana?" desakku.

"Nah, setelah aku jadi istri Taro, aku tinggal bersama Paman Tsuda. Waktu aku akan
berangkat ke Australia-ya, untuk belajar yang sekarang sedang saya jalani ini, Paman
Tsuda menyuruhku membawa pisau ini. Aku menolak, karena aku merasa tidak
memerlukannya. Yang memerlukan pisau itu Taro, karena Taro selalu
menggunakannya untuk memotong bahan makanan yang dimasaknya. Tapi, Paman
Tsuda mendesakku. Katanya, pisau itu bisa kujadikan senjata...."

"Kau jadikan senjata? Senjata untuk apa?" aku terheran-heran.

"Ini dia yang lucu. Tapi, lucu yang sekaligus seram," Naomi menggeleng-geleng,

"E... sungguh menyeramkan. Kata Paman Tsuda, pisau ini bisa kugunakan untuk
membunuh Taro, kalau Taro menyeleweng...."

"Heehhh... menyeleweng? Selingkuh maksudmu?" tegasku.

"Ya, kalau Taro punya love affair dengan perempuan ketiga...," jelas Naomi.

"Apa Taro... ee... maaf, suamimu itu suka selingkuh atau semacam itu?" aku ingin tahu.

"Kok sampai pamannya bilang begitu..."

"No, no... Taro bukan laki-laki tipe itu. Dia laki-laki yang baik dan aku tahu, dia sangat
mencintaiku, suka membangga-banggakanku...."

"Ya, ya, jelas, karena kau cantik dan pintar...," komentarku.

"Ya, mungkin," Naomi mengerlingkan matanya dan ada bias-bias kebanggaan


terpancar dari mata itu.

"Sayangnya, ia sering memukul dan menggigitku bila ia berhubungan intim denganku...!


Ya, dia punya kelainan. Itu, yang kubenci... itu yang kutakuti. Maka, sering terlintas
dalam benakku, aku ingin meninggalkannya untuk mencari kelembutan dan belaian dari
laki-laki lain. Atau, paling tidak ...jauh darinya, agar aku bebas dari...." matanya yang
semula berbinar-binar itu lalu meredup dan suaranya serak.
"Ohhh, Naomi!" desisku dengan bingung, karena aku tidak tahu harus berbicara apa
untuk menanggapi penuturannya itu.

"Maka, aku senang, ketika Taro mengirimku belajar kemari ya... di Australia ini. Jadi,
aku bebas dari pukulan-pukulannya dan gigitan mautnya. Gila! Kalau dalam seminggu
ia mengajakku berhubungan intim dua atau sampai tiga kali, maka tubuhku hancur,
babak belur. Pangkal pahaku, perutku, leherku, dan payudaraku akan biru-biru lebam.
Aku biasanya jadi malas keluar rumah, Selain sakit, aku juga malu karena jalanku jadi
engkang-engkang-jelek. Belum lagi leherku yang penuh bekas gigitannya, payudaraku
juga nyeri, apalagi lubang vaginaku... seperti disodok-sodok tombak!" Naomi meringis.

"Sampai begitu? Ohhh... Naomi!" aku mendesis lagi dan jadi ngeri membayangkan
kelainan Taro, suami Naomi.

"Makanya, aku sebetulnya tidak happy, kalau suamiku nyusul aku kemari," suara Naomi
tiba-tiba merendah, seperti berbisik.

"Lho, tapi, bukankah suamimu telah memutuskan akan menyusulmu kemari? Bahkan
kau bilang, dia mau melamar jadi PiAr- permanent resident di sini, bukan?" aku
mengingatkan apa yang pernah diceritakan Naomi kepadaku, sebelum ia jadi share-
mate-ku.

"Ya, mau dia memang begitu. Dia ingin tinggal di Australia, karena ingin menginjak
tanah. Maksudku, ia ingin tinggal di rumah besar, berhalaman luas dan bisa
mengendarai mobil pribadi. Maklum, hidup di Tokyo menginjak tanah adalah barang
luks. Maksudku, hidup di Tokyo tidak mungkin tinggal di rumah besar, berhalaman luas
dan bisa mengendarai mobil pribadi. Biaya hidup di Tokyo sangat mahal. Yang bisa
kami bayar hanyalah tinggal di apartemen ukuran 3 x 3 meter, untuk keperluan
segalanya. Kalau punya mobil harus menyewa garasi yang sewanya sama dengan
untuk menyewa apartemen...," Naomi memandangiku, sebagai penegasan, "Makanya,
bagi Taro, tinggal di Australia adalah impiannya dan itu harus diwujudkannya!"

"Jadi, kapan dia kemari?" aku ingin tahu.

"Ya, tiga bulan lagi, setelah ia menjual barang-barang kami dan mengurus surat-surat
pindah. Aku dan Taro akan memulai hidup baru di sini...."

"Oh... indah sekali. Kalian bakal menemukan surga di Australia. Orang Jepang uangnya
banyak. Kulihat, banyak orang Jepang yang membeli rumah dan mobil-mobil mewah di
sini...."

"O... tidak semua orang Jepang begitu," Naomi cepat-cepat meralat kalimatku.

"Walau Taro sudah manager, tetapi gajinya tidak besar. Jadi, ya... kalau cuma membeli
rumah keong dan mobil seconds mungkin bisa...," Naomi merendah.

"Apalagi kalau kau sudah kerja di sini," seruku, karena kuliah Naomi, yang ambil
Master Fakultas IT akan selesai tahun depan.

"Master lulusan IT banyak diperlukan di Australia."

"Mudah-mudahan," mata Naomi sedikit berbinar.

"Yuk, sekarang kita bikin sate ayam. You yang memotong-motong dagingnya!"
sambung Naomi. Aku pun lalu menggunakan pisau dari Tokyo untuk memotong-motong
daging ayam yang akan kami buat sate. Bukan main, pisaunya tajam sekali. Maka,
Naomi lalu memperingatkanku agar aku berhati-hati ketika menggunakannya, agar
tanganku tidak teriris olehnya.

TARO sudah datang dari Tokyo dan tinggal bersama kami. Benar kata Naomi, Taro
memang gemar memasak dan selalu menggunakan pisau dari Tokyo, untuk memotong
bahan-bahan yang dimasaknya. Sungguh terampil tangannya ketika menggunakan
pisau itu, saat memotong apa saja: dari bawang putih, seledri, daun bawang, hingga
ikan dan daging yang diolahnya. Aku sering menyaksikannya bila ia masak untuk
makan malam mereka dan kadang aku diberinya. Karena, aku juga sering memberi
mereka apa yang kumasak pada pagi hari. Sejak ada Taro, aku memang sering tukar-
menukar makanan. Sebelum Taro datang, Noami sering minta tolong aku untuk
memasak. Naomi memang tidak suka memasak! Jadi, kalau ia memasak, artinya
terpaksa! Sejak Taro di Australia, Naomi tidak pernah ke dapur. Jadi, pisau dari Tokyo
itu sama sekali tidak dipegangnya. Aku juga tidak memegangnya, karena aku lebih
suka menggunakan pisauku yang kubawa dari Jakarta, untuk mengupas bumbu-bumbu
atau memotong bahan-bahan yang kumasak. Taro selalu mendesakku agar aku
menggunakan pisau dari Tokyo, dengan alasan, lebih tajam dari pisauku. Bahkan suatu
pagi Taro bilang padaku,

"Bila aku berpisah denganmu, pisau ini akan kuberikan padamu, untuk kenang-
kenangan." Aku tertawa mendengar apa yang dikatakan Taro. Di balik tawaku,
sebetulnya aku ngeri dan kemudian berkata,

"Taro, apa indahnya kenang-kenangan sebilah pisau... pisau yang sangat tajam dan
bentuknya aneh. Terus terang, aku takut pada pisau itu! Naomi juga takut."

"Ah, jangan takut. Pisau ini jadi menakutkan bila digunakan untuk membunuh. Bila
digunakan untuk tujuan positif seperti untuk memotong-motong bahan yang akan kita
masak atau berkebun, membabat ilalang dan rumput ya tidak apa-apa...," sahut Taro
dengan sikap tenang. Bersikap tenang, adalah pembawaan Taro yang paling menonjol.
Maka, aku jadi heran dan bertanya-tanya: apakah mungkin laki-laki berpembawaan
setenang Taro punya kelainan buas, suka memukul dan menggigit pasangannya, ketika
melakukan hubungan seksual seperti yang diceritakan Naomi? Kupandangi Taro, yang
malam itu sedang duduk sendirian di ruang makan, sambil memandangi sajian
masakan yang telah dimasaknya sejak sore, untuk makan malamnya bersama Naomi.
Jam telah menunjukkan pukul 21.30.

"Taro, Naomi belum pulang?" tanyaku, merasa kasihan pada Taro yang kuhitung
hampir dua minggu selalu menanti kedatangan Naomi yang terlambat.

"Ya, Naomi belum pulang. Akhir-akhir ini ia selalu pulang terlambat...," sahut Taro,
suaranya berat dan patah-patah. Aku tahu, ia ingin mengeluh kepadaku, tetapi
ditahannya. Maka ia lalu kuhibur sebisaku,

"Taro, mungkin Naomi masih belajar di perpustakaan. Atau, barangkali ada meeting-
kerja grup. Maklum, student IT memang banyak tugas, bikin program yang aneh-aneh
dan rumit...."

"Ya, barangkali," Taro memandangiku dengan mata kosong.


"Tapi, apakah sistem belajar di Australia harus sampai larut begini? Lebih dari pukul
sembilan malam belum selesai?"

"Tergantung fakultasnya, Taro. Kalau aku, yang ambil ilmu sosial ya... tidak sampai
malam kalau belajar bersama. Tapi, kami dituntut banyak membaca. Aku lebih senang
membaca di rumah daripada di perpustakaan," tuturku.

"Ya, kupikir, merancang program juga bisa di rumah. Aku kan juga pernah belajar
komputer-IT. Memang sih... otodidak...! Tapi, kupikir, Naomi tidak perlu sampai pulang
terlambat terus. Iya, kan, begitu?" Aku diam saja. Aku tidak ingin masuk ke dalam
lingkar masalah yang sedang dihadapi Taro yang tampak unhappy karena istrinya, ya...
Naomi, selalu pulang terlambat. Hari berikutnya, Naomi pulang terlambat lagi. Terus,
terlambat lagi. Begitu, hingga pada suatu senja aku melihat Naomi bergandeng tangan
mesra dengan student dari Kolombia, teman sekelasnya. Setahuku, di kampus, student
Kolombia itu dipanggil: Banderas! Padahal, nama sebenarnya Ferdinand. Ia dipanggil
Banderas karena wajah dan tubuhnya memang mirip Antonio Banderas-aktor
Hollywood asal Spanyol, yang pernah dinobatkan oleh sebuah majalah wanita terbitan
Amerika, sebagai salah satu pria terseksi di dunia. Maka dapat dibayangkan, betapa
tampannya Ferdinand, yang menggandeng Naomi. Taro yang tingginya kuperkirakan
tidak sampai 160 cm, tentu bukan bandingan Ferdinand. Diam-diam kuikuti arah jalan
Naomi dan Banderas. Mereka dari perpustakaan menuju ke utara, ke apartemen
kampus Blok A. Aku jadi ingat, Ferdinand memang tinggal di Blok A, lantai 6-yang
dikenal sebagai markas student dari Kolombia. Kuperhatikan, Naomi dan Ferdinand
naik lift. Pikirku, jadi selama ini, Naomi selalu pulang malam karena bersama
Banderas? Aku lalu ke perpustakaan, ada meeting, dan pulang ke rumah pukul 21.00.
Sampai di rumah, kulihat Taro sedang memasak dengan wajah murung. Padahal
biasanya, kalau memasak pukul 18.00 dan wajahnya ceria. Meskipun demikian, ia
berusaha tersenyum semanis mungkin begitu melihatku masuk ke rumah. Seperti
biasanya, ia menanyakan keadaanku. Seperti biasanya juga, aku menjawab: fine, thank
you!

"Ohhh... very good! Very good!" Taro menanggapiku, lalu menghentikan langkahku
yang mau naik ke loteng, menuju ke kamarku.
"Jangan masuk ke kamar dulu. Aku mengundangmu makan malam. Aku buat sushi dan
sup sirip ikan...," kata Taro,

"Itu, mangkuk dan piringmu sudah kusiapkan," sambungnya, sambil menunjuk dua set
piring dan mangkuk di atas meja makan.

"Naomi belum pulang?" tanyaku kemudian, sambil berusaha keras mengerem diri untuk
tidak menceritakan Naomi yang kulihat bergandengan tangan bersama Ferdinand alias
Benderas. Lalu, Naomi ke Blok A, ke kamar Ferdinand. Bisa ditebak, apa yang mereka
lakukan berdua di kamar? Kusingkirkan pikiran keruhku mengenai Naomi-Ferdinand.
Perhatianku kufokuskan kepada Taro yang mengajakku bicara mengenai Naomi. Ia
berkata,

"Malam ini Naomi tidak pulang. Dan, ia memang tidak pernah akan pulang lagi di rumah
ini. Dia pulang ke tempat lain bersama kekasihnya...!" sahut Taro, nadanya tenang, tapi
membuatku terkejut.

"Apa maksudmu, Naomi pulang ke tempat lain bersama kekasihnya, Taro?" tanyaku
spontan. Taro tidak menjawab. Tapi, ia memperlihatkan pisau dari Tokyo yang
berlumuran darah yang mulai mengering dan beratus-ratus helai rambut menempel di
permukaannya. Aku mengenali rambut itu, rambut Naomi. Ohhh...! Tubuhku langsung
gemetar dan butir-butir keringat dingin bermunculan di keningku. Sebilah pisau dari
Tokyo yang ada di tangan Taro itu di mataku tampak menyeringai dipenuhi ribuan
pasang taring Rahwana yang tengah mencabik-cabik leher Naomi yang kuning mulus
dan jenjang. Lalu, darah segar pun mengalir deras dari leher Naomi yang terkoyak-
koyak dan terpatah itu....

"Mari, makan malam bersamaku, sebelum polisi menangkapku. Atau, sebelum aku
menyerahkan diri ke polisi...," kudengar lamat-lamat suara Taro mengajakku makan,
dengan suara tenang. Aku tidak mau dan memang tidak bisa memenuhi ajakannya,
karena kepalaku tiba-tiba pusing, perutku mual, mataku berkunang-kunang, lalu lupa
segalanya, kecuali kilatan pisau itu: sebilah pisau dari Tokyo. Pisau jagal...! ***
Kenanganku di Gold Coast,Oktober 2001

Kaki-Kaki Air

Afrizal Malna
Sumber: Kompas, Edisi 10/06/2002

SETELAH banjir sebulan yang lalu, yang menghanyutkan seorang gubernur dan
mayatnya lenyap di Sungai Ciliwung, banyak jalan yang berlubang. Sejak itu warga kota
sering bermimpi buruk tentang lubang-lubang di jalan raya itu, juga tentang kematian
gubernur. Rakyat merayakan kematiannya sebagai kematian sebuah monster
kota.Ruwatan kota dilakukan di Sunda Kelapa. Rakyat melakukan doa di atas perahu,
mensucikan kembali jiwa-jiwa yang pernah tersiksa sepanjang hidupnya. Kampung-
kampung juga melakukan selamatan bersama untuk mengembalikan arti kehidupan
bersama.Tetapi kota ini memang seperti sebuah baskom yang buas. Ruko-ruko berjejer
seperti pagar kota, namun juga sebagai kayu api yang mudah dibakar setiap kerusuhan
terjadi.Seorang ibu yang mengantar anaknya sekolah, harus melompati atap-atap mobil
untuk bisa menyeberangi jalan yang macet. Seorang pengendara sepeda berlari tanpa
hambatan, melompati atap bis satu dengan atap bis lainnya. Anak-anak sekolah
bermain basket di atas atap kereta jurusan Depok-Kota. Aih, Jakarta, kau seperti
seorang nyonya dengan betis bengkak, dipenuhi dengan sardencis, sosis, dan
mentega.Aku membeli koran pagi itu. Kota ini selalu ramai dengan berita. Ada wakil
presiden yang istrinya tujuh. Ada seorang presiden yang disandera dalam video. Uang
beredar trilyunan dalam sehari. Harga kurs dan saham. Ada pesta putauw di rumah
wakil gubernur Jawa Barat. Kedubes Amerika ditutup, kenaikan terigu. Ada pencuri pete
yang mati digebuki massa yang menangkapnya. Ada anggota partai yang dikarantina
agar suara mereka tetap bulat dalam pemilihan gubernur. Padahal gubernur yang akan
dipilih itu telah mati dalam banjir yang lalu. Ada bandar heroin yang tertangkap. Tiba-
tiba sebuah bis keluar dari koran yang sedang aku baca. Kondekturnya berteriak-
teriak:"Grogol!"

"Grogol!"
"Di jalan raya mesti sopan, dong"

Buset, bagaimana orang bisa membangun kualitas hidupnya di kota seperti ini. Warga
kota hanya soal hitungan pajak, bukan? Dan bagian-bagian mana saja dari kota ini
yang bisa diperas.Tidak usah khawatir, kualitas itu tidak penting, yang penting adalah
bagaimana seluruh transaksi harian bisa dilunasi, bukan? Dan mimpi buruk, jiwa-jiwa
yang memaknai hidupnya sendiri lewat kegelapan, adalah cara negatif untuk mengisi
kekosongan berbagai proses kualitas kehidupan setiap warga agar tetap
berlangsung.Lebih baik aku meralat dusta pagi ini. Sebenarnya aku tidak membeli dan
membaca koran. Sebenarnya berita-berita itu juga tidak pernah ada. Pagi itu aku
sedang menyapu di halaman. Membersihkan tanaman yang kering dan menyiramnya.
Tanaman perdu ramai sekali bercerita tentang akarnya yang terasa perih karena
kekurangan air. Pohon mangga gatal-gatal, badannya dijangkiti jamur berwarna putih.
Tetapi apa bedanya, sebuah bis tiba-tiba muncul dari bongkahan tanah.

Kondekturnya berteriak-teriak:"Grogol!"

"Grogol!"

"Di jalan raya mesti sopan, dong."

MATAHARI baru saja melepaskan diri dari sebuah tembok tinggi yang atasnya
dikelilingi kawat berduri pagi ini. Kota terasa lebih sepi dari biasanya. Tidak banyak
kendaraan yang lewat. Orang-orang juga lebih banyak tinggal di rumah. Sebagian
besar kantor dan daerah perdagangan tutup. Sesuatu sedang terjadi di kota ini.Dua hari
yang lalu beberapa lubang di jalan raya tiba-tiba berubah menjadi sumur yang dalam.
Airnya jernih. Dalam sumur itu hidup ikan-ikan yang tidak pernah dikenal
sebelumnya.Jilan, anakku, sering melihat ke sumur-sumur itu. Dan setiap ia pulang,
setelah melihat sumur-sumur itu, aku melihat matanya telah berubah menjadi sepasang
sumur yang dalam, yang airnya jernih, dan ada ikan-ikan yang belum pernah ada
sebelumnya. Wabah sumur ini bergerak begitu cepat, jutaan warga dalam waktu cepat,
matanya berubah menjadi sumur yang dalam, airnya jernih, dan ada ikan-ikan yang
belum pernah ada sebelumnya.Makhluk dengan mata seperti sumur itu kini mewarnai
kehidupan kota sehari-harinya. Gejala lain kemudian muncul, sumur itu ternyata mulai
memiliki kekuatan yang tak terduga. Setiap kendaraan bermotor yang melewati sumur-
sumur itu, mesinnya seketika mati. Hanya kendaraan tak bermotor yang terus bisa
berjalan. Begitu pula setiap warga kota yang matanya berubah menjadi sumur, seluruh
alat-alat elektronik mati manakala mata mereka menatapnya.Banyak peralatan
elektronik atau bermesin yang mendadak mati di kota ini. Orang-orang yang matanya
belum menjadi sumur mendadak nilainya menjadi sangat mahal dan dilindungi.
Merekalah kini yang dikerahkan bekerja menjalankan kehidupan kota. Mereka
mendapat pengawalan super ketat. Bila ada yang mengganggu warga kota yang
mendadak menjadi istimewa ini, akan ditembak di tempat. Berbagai cara digunakan
untuk melindungi mereka.Pemerintahan kota kini sibuk memikirkan bagaimana caranya
menutup sumur-sumur yang tumbuh di seluruh jalan di kota ini. Masalahnya tidak
sederhana, karena orang yang berusaha menutupnya, dari matanya akan mengalir air
mata terus-menerus, tak henti-henti. Tangisan yang tidak bisa dihentikan oleh apa pun.
Tangisan yang sedih dan pedih. Tangisan yang membuat setiap orang yang
mendengarnya, seperti menyaksikan sebuah duka cita yang teramat sedih dan teramat
panjang.Orang-orang kini tidak lagi membicarakan apa saja yang dilakukan dan telah
terjadi sepanjang hari-hari mereka. Sejak kejadian itu, warga kota lebih banyak
membicarakan apa artinya cinta dan apa artinya waktu. Entah kenapa kedua topik ini
kini menguasai benak warga kota.Orang-orang yang matanya selamat untuk tidak
menjadi sumur tidak terlepas dari perubahan topik pembicaraan ini. Mereka juga ikut
membicarakan soal apakah cinta dan apakah waktu. Pekerjaan mereka untuk
menjalankan mesin kota mulai ditinggalkan, karena mereka lebih banyak ngobrol soal
dua topik itu. Para pengawal yang menjaga mereka tidak berkutik. Mereka tidak bisa
melarang orang-orang itu untuk tidak membicarakan dua topik itu. Belum ada peraturan
untuk melarang orang membicarakan soal cinta dan soal waktu. Bahkan para pengawal
itu sering terpaku mendengarkan bagaimana mereka membicarakan cinta dan waktu.
Nyanyian itu membuat langit seperti mengeluarkan cahaya biru di malam hari. Orang-
orang terharu dengan perubahan ini. Mereka mulai merasa memiliki hubungan baru
dengan langit. Melihat langit di malam hari seperti melihat kesibukan makhluk-makhluk
yang tugasnya hanya merajut waktu dan merajut cinta.Nyanyian cinta dan nyanyian
waktu terdengar di mana-mana. Banyak orang yang menciptakan lagu berdasarkan dua
topik itu. Kota ini seketika berubah menjadi sangat romantis dengan nyanyian-nyanyian
itu dan sumur-sumur itu. Orang kini lebih banyak menanam bunga dan menjahit
pakaiannya sendiri, seakan-akan mereka juga sedang merajut waktu untuk hari esok
mereka.

"Lihat, aku baru percaya sekarang, aku baru bisa merasakan sekarang, bahwa aku
hidup!"

"Lihat, aku hidup, bukan?" teriak mereka.Tubuh mereka seperti dialiri oleh darah yang
baru. Darah yang lama, yang kotor dan hitam pekat telah menguap entah ke mana.
Kulit mereka, yang sebelumnya tampak mati oleh polusi yang biadab di kota ini, juga
seperti berganti dengan kulit yang baru, segar, dan terasa halus. Bibir mereka tidak lagi
kering dan kebiru-biruan. Tapi berwarna merah seperti tomat. Mereka hidup seperti
tanam-tanaman.

"Aduh... lihat... ada tomat, ada wortel, ada cabai, ada... Semuanya, deh, tanaman ada
di sini," kata Princess.

"Morgen, Princess, sayang."Kota ini, kini, tidak pontang-panting lagi mengikuti mesin
yang memproduksi kecepatan berlipat ganda. Gerak menjadi normal, natural. Waktu
juga berjalan normal, tidak berada jauh di luar akal sehat manusia. Gestur tubuh tidak
lagi tampak tegang dan kaku. Orang berjalan seperti tarian. Bibir mereka seperti
menyimpan banyak kata untuk keramahan. Pakaian mereka, aih, seperti ada rumah
ibadah dalam tubuh mereka, rumah untuk bercinta.

SUATU hari, entah siapa yang memulai, rakyat di kota ini mulai menanami pohon di
jalan-jalan berlubang itu. Pohon yang berbuah. Bukan pohon yang tidak menghasilkan
buah.Seluruh jalan raya di kota ini kini berubah menjadi hutan kota. Hutan yang
dibesarkan oleh sumur-sumur itu dan oleh tangan-tangan rakyat. Uang pajak untuk
pemerintahan kota, juga digunakan sendiri oleh rakyat untuk membangun kota mereka
yang kini menjadi kota baru itu.

"Ayah, aku ingin menjadi tukang sapu di kota ini," kata Jilan. Dan kau tertawa
mendengarnya, tawa yang dibanjiri oleh cara membaca dari mana hidup ini mesti
dijalani. Dan cinta, tidak perlu lagi menggenggam sebilah pisau di tangannya, Cinta
adalah janji pada setiap butir nasi yang kumakan, pada setiap air yang kuminum, pada
setiap udara yang kuhirup. Cinta adalah ... sumur-sumur itu sedang menciptakan waktu
dari kaki-kaki air.***

Kalimalang, 2002
Kyoto monogatari

Seno Gumira Ajidarma


Sumber: Kompas, Edisi 09/29/2002

TERBUAT dari apakah kenangan? Aku tidak pernah bisa mengerti, mengapa
pemandangan itu selalu kembali dan kembali lagi: suatu pemandangan yang
kudapatkan ketika kereta api shinkansen itu tiba-tiba menembus daerah salju dan
kulihat seorang perempuan berjalan di luar rumah sendirian dalam badai. Apakah yang
dikerjakan seorang perempuan dalam badai yang menggebu seperti itu? Tidak banyak
rumah di dataran salju yang kulihat itu, dan hanya perempuan itu yang tampak dalam
keluasan serba putih dan memutih sampai di batas cakrawala. Udara penuh dengan
salju yang beterbangan karena tiupan badai sehingga perempuan yang berjalan
dengan lambat itu tampak menapak dengan begitu berat. Apakah yang dilakukannya
dalam badai bersalju seperti itu? Aku tidak bisa memperkirakan apapun dan aku harus
menerima kenyataan betapa aku tidak akan pernah tahu. Pemandangan itu bagiku
memilukan, bukan hanya karena merasakan kembali dingin yang merasuk dan
membekukan, tapi karena gagasan akan kesendirian dalam keluasan padang memutih
itu. Berja-lan sendirian di tengah padang salju dalam badai yang dingin dengan
suaranya yang menggiriskan tidaklah terlalu menyenangkan. Dari balik jendela kereta
api suara itu sudah teredam, tapi aku pernah mengalami badai bersalju dengan
suaranya yang menggiriskan di Mongolia, sehingga aku tahu pasti ada sesuatu yang
tidak bisa ditunda lagi sampai perempuan itu harus berjalan susah payah dengan
sepatu yang setiap kali harus diangkat tinggi karena melesak ke dalam tumpukan salju
dalam badai yang kencang dan begitu dingin seperti itu. Semuanya sudah kulupakan,
termasuk jurusan kereta api itu: menuju Kyoto dari Tokyo, ataukah menuju Osaka dari
Kyoto, aku tidak bisa ingat lagi-tinggal kenangan akan seorang perempuan yang
melangkah dengan berat dalam badai dan hujan salju. Namun di Kyoto aku mengenal
seorang perempuan. Tapi aku tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu.

TERBUAT dari apakah kenangan? Dari saat ke saat aku masih bertanya-tanya, apakah
kiranya yang dilakukan perempuan yang kulihat berjalan sendirian di padang salju itu?
Waktu kereta api lewat dan aku menengok dari balik jendela, tampak ia baru saja keluar
rumah. Jejak-jejaknya terlihat menapak dari sebuah pintu. Masih selalu mengganggu
ingatanku dari waktu ke waktu, apakah ada seseorang yang ditinggalkan di dalam
rumah itu, atau memang kosong saja di dalamnya sehingga barangkali ia pergi begitu
saja tanpa mengunci pintu? Tentu saja aku tidak melihat perempuan itu keluar dari
rumahnya, sehingga aku juga tidak tahu apakah ia mengunci atau tidak mengunci pintu
itu sama sekali. Kereta api itu lewat begitu cepat, seperti angan-angan melintas, tapi
pemandangan yang kulihat kemudian seperti tidak akan pernah pergi lagi untuk
selama-lamanya. Mengherankan bahwa kenangan seringkali terpendam begitu lama
dan muncul begitu saja tanpa ada sebab yang harus menghubungkannya. Aku masih
selalu penasaran dan bertanya-tanya, mengapa suatu kenangan bisa terpendam begitu
lama sampai muncul tiba-tiba pada waktu dan tempat yang tiada pernah akan terduga.
Kenangan itu kadang-kadang bisa muncul kembali sekali saja dalam seumur hidup,
terkenang sekali lantas tiada pernah datang kembali. Bagaimanakah caranya suatu
peristiwa berubah menjadi kenangan, tapi yang terpendam begitu lama sampai suatu
ketika mengingatkan dirinya pernah terjadi, sekali, lantas tak pernah muncul lagi?
Bukankah ajaib untuk membayangkan bagaimana caranya kenangan tersimpan dan
muncul kembali atau sama sekali tidak pernah muncul kembali meskipun tetap ada
entah di mana di sebuah dunia yang tiada akan pernah kita ketahui seperti apa? Ada
kalanya suatu peristiwa juga ingin kita lupakan karena kepahitan yang menyertainya.
Selalu ada peristiwa dalam hidup ini yang ingin kita hapus saja dari kenangan, seperti
tidak pernah terjadi, meski tetap saja teringat sampai mati - rupanya selalu ada alasan
untuk mengenangkan kembali semua peristiwa yang sungguh mati ingin kita lupakan
saja sampai habis tanpa sisa. Hmm. Terbuat dari apakah kenangan? Bagaimanakah
caranya melepaskan diri dari kenangan, dari masa lalu yang tiada pernah sudi
melepaskan cengkeraman kepahitannya pada masa kini? Kenangan barangkali saja
tidak selalu utuh: sepotong jalan, daun berguguran, ombak menghempas, senyuman
yang manis, langit yang merah dengan mega-mega berarak dalam cahaya keemasan;
tapi bisa juga begitu utuh ketika menikam langsung ke dalam hati seperti sembilu. Tidak
mungkinkah kenangan yang pahit kembali sebagai sesuatu yang manis? Kenangan
seperti diciptakan kembali oleh waktu, membuat masa lalu tak pernah berlalu, bahkan
mempunyai masa depan untuk menjadi bermakna baru. Mungkinkah kenangan itu
seperti suatu dunia, tempat kita bisa selalu mengembara di dalamnya? Aku mempunyai
kenangan yang lain di Kyoto, yang selalu menjadi nyata karena sebuah genta.
Kenanganku adalah bunyi genta itu, genta kecil yang manis dan selalu berdenting oleh
angin yang berhembus pelahan, yang bisa kubawa pulang dan mengingatkan kembali
segalanya. Angin itu harus berhembus dengan kepelahanan yang sama dengan ketika
aku pertama kali mendengarnya, dan dengan demikian bunyi genta itu mengembalikan
suatu masa yang telah berlalu. Bagaimanakah suatu masa yang telah berlalu bisa
kembali lagi dan mengembalikan perasaan dan suasana yang sama seperti ketika aku
mengalaminya, aku sama sekali tidak pernah bisa mengerti. Kenanganku tentang
pemandangan di luar jendela kereta api shinkansen itu selalu kembali bukan karena
bunyi denting genta kecil itu. Kenangan itu selalu kembali seolah-olah tanpa penyebab
apapun, atau setidaknya aku tidak pernah tahu pasti apa yang selalu mengembalikan
kenangan itu kepadaku. Apakah karena aku berta-nya-tanya apa yang terjadi di dalam
rumahnya? Apakah ada seorang anak yang tergeletak dan sakit parah di sana,
sehingga perempuan itu harus keluar rumah mencari obat dalam badai seperti itu?
Perempuan itu menapaki salju dengan langkah yang berat, dan tetap akan berat meski
sepanjang hidupnya ia tinggal di sana sehingga tentunya juga terbiasa dengan alam
dan iklim seperti itu. Langkahnya berat dan udara begitu dingin, apakah kiranya yang
begitu mendesak? Kereta api itu memasuki daerah salju dengan begitu tiba-tiba seperti
pesawat antariksa menembus batas luar angkasa. Dalam kenanganku seperti terjadi
sebuah ledakan, dan hanya daerah salju itu saja yang menjadi kenanganku seterusnya.
Bukan di luar daerah itu, bukan pula ketika di dalam kereta api itu. Dalam kenangan itu
aku tidak pernah melihat diriku sendiri sedang memandang dari balik jendela. Namun di
Kyoto aku mengenal seorang perempuan. Tapi aku tidak bisa menceritakan apapun
tentang perempuan itu.

TERBUAT dari apakah kenangan? Aku tidak ingin mengingat sesuatu, tapi ada suatu
kenangan yang selalu kembali. Aku ingin sekali mengingat-ingat sesuatu, tapi
barangkali aku akan lupa untuk selama-lamanya. Aku juga selalu teringat sesuatu yang
tidak pernah kuceritakan kembali, tidak pernah kukatakan, tidak pernah kuapa-apakan,
karena kenangan itu memang hanya bertengger saja dalam kepala. Tapi mungkin saja
peristiwa ini terjadi. Perempuan itu berjalan di dataran salju meninggalkan jejak yang
panjang. Tidak ada seorangpun yang tahu ke mana perempuan itu pergi. Di dalam
rumah seorang lelaki menunggu perempuan itu kembali. Dunia memutih dan kelabu,
lampu-lampu menyala menjelang gelap. Lelaki di dalam rumah itu menunggu dalam
gelap, bertanya-tanya tentang kenapa perempuan itu pergi begitu lama dan tidak juga
kembali. Kemudian ia juga ke luar, mencari ke mana kiranya perempuan itu pergi. Ia
mengikuti jejaknya. Ia mengikuti jejaknya sepanjang jalan, sepanjang padang,
sepanjang kepahitan yang meruyak di dalam hatinya.

"Kamu mau ke mana?"

"Tidak ke mana-mana."

"Cuaca seperti ini dan kamu keluar dan kamu bilang tidak ke mana-mana."

"Aku memang tidak ke mana-mana." Ia mengikutinya, dan ia tidak tahu perempuan itu
pergi ke mana. Mungkinkah jejak ini mencapai suatu tempat, mungkinkah jejak ini
mencapai suatu tempat yang tidak pernah ingin diketahuinya? Kalau kereta api itu lewat
sedetik lebih cepat atau sedetik lebih lambat, tentunya aku akan melihat pemandangan
yang berbeda, dan kenanganku akan menjadi lain. Aku akan selalu teringat sesuatu
yang lain, tapi yang tidak mungkin kuketahui dengan pasti kiranya seperti apa. Mungkin
sebelumnya ada lelaki lain di luar rumah, dan perempuan itu melihat lewat jendela.
Mungkin itu beberapa menit sebelumnya, bukan hanya sedetik sebelumnya.
Bagaimana kalau kereta api itu lewat beberapa menit lebih lambat? Barangkali akan
kulihat seorang lelaki berjalan di tengah padang salju, mengikuti bekas jejaknya kembali,
berjalan lambat menuju rumah itu. Dari kejauhan, dari dalam kereta api yang meluncur
begitu cepat, pasti tidak akan kulihat pisau berdarah yang masih digenggamnya. Masih
ada kepahitan di wajah lelaki yang muram itu. Peristiwa ini tentu tidak pernah terjadi.
Kereta api melewati tempat itu beberapa menit sebelum atau sesudahnya tidak akan
mengubah apa-apa. Tidak ada satu kemungkinan yang memberi peluang kepada
pengetahuan yang utuh. Sebetulnya aku selalu membayangkan seandainya kereta api
itu lewat ketika perempuan itu sudah menjadi mayat dan terkapar di depan rumahnya.
Aku selalu membayangkan ada bekas-bekas darah di atas salju. Barangkali lebih baik
mayat itu tidak ada, dan hanya ada bekas da-rahnya. Ada bekas seretan yang panjang
dan berdarah. Tapi sebetulnya aku hanya melihat seorang perempuan melangkah
keluar dari rumahnya dalam hujan dan badai salju-aku bahkan tak tahu itu memang
rumahnya atau bukan, dan aku tidak melihatnya membuka pintu, menutupnya kembali,
dan melang-kah ke padang salju. Aku hanya melihatnya sedang berjalan dengan susah
payah sehingga terbentuk jejak dari sebuah rumah ke tempatnya sedang melangkah.
Tapi mungkinkah bisa dipastikan peristiwa itu tidak pernah terjadi? Apakah ada sesuatu
di dunia ini yang bisa kita ketahui dari segala kemungkinan, serentak, dan seutuh-
utuhnya? Di kereta api shinkansen yang meluncur dengan kecepatan peluru, aku hanya
tahu perasaanku menjadi rawan. Memasuki daerah itu bola-bola salju berhamburan dan
pecah di jendela. Semua itu mestinya tidak mungkin terjadi, tapi aku tidak pernah tahu
apa yang telah dan akan terjadi. Betapa sedikit yang bisa kita ketahui dalam hidup yang
begitu singkat. Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan. Sayang sekali, aku
tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu. ***

Durban - Cape Town, Maret 2002.


Kurir

Gus tf Sakai
Sumber: Kompas, Edisi 09/22/2002

SIAL benar. Seharusnya ia tak membiarkan Parto langsung pergi. Lihatlah tingkah si
satpam: menahan tubuhnya dengan ujung pentungan, memasang wajah mengancam
meski tahu ia tak mungkin bakal memaksa masuk. Pikiran apakah yang ada di kepala si
satpam, memperlakukan dirinya begitu rupa, tak ubahnya bagai seorang
bandit?Menarik napas, tak putus asa, ia ngangakan tas yang dikepitnya. "Lihat, Pak."
Disodorkannya ke hadapan si satpam. "Hanya brosur. Lembar-lembar promosi.""Tetap
tidak bisa. Atau, tinggalkan di sini. Biar kami yang memasukkan."Tinggalkan di sini?
Dilayangkannya pandang, ke sana; jauh ke dalam gerbang, ke jalan menuju kompleks
perumahan yang dipagari jeruji besi dan kawat berduri. Samar-samar tampak pagar
tembok, menjulang, berjenjang-jenjang. Dan atap, mencuat bertingkat-tingkat. Dan...
kotak pos. Di manakah kotak pos mereka? Ke dalam kotak pos itulah ia mesti
memasukkan brosur dan lembar-lembar promosi ini."Sini!" Si satpam menjulurkan
tangan yang sebelah lagi, yang kiri. Bulat, pejal, dan gempal. Jauh lebih berotot dari
yang kanan -yang mengacungkan pentungan. Hmm, pastilah satpam ini seoran
kidal."Sini!"Tidak. Jika brosur ini ia serahkan, siapa bisa menjamin si satpam memang
akan memasukkannya ke kotak-kotak pos itu? Jika si satpam tak memasukkan, itu
artinya sama dengan mencampakkan brosur ini di jalanan. Dan jika hal itu terjadi, justru
dengan demikianlah ia bisa disebut si penipu. Bandit. Menerima imbalan untuk apa
yang tak pernah ia lakukan.Menghela napas, mengucapkan terima kasih, ia
membalikkan tubuh. Sekilas, ditolehkannya kepala ke arah mana Parto tadi melesat.
Benar-benar tak tampak lagi sosok tandem-nya itu. Kepul motornya pun tidak. Padahal,
di sebelah sana - ah, jauhnya - ada kompleks perumahan lain yang, siapa tahu,
satpamnya bersedia dan membolehkannya masuk.Perlahan, tapi pasti, diayunkannya
langkah ke kompleks itu. Lebih ia benamkan topi. Disaputnya peluh. Panas. Debu. Di
permukaan aspal, bayang atmosfer bagai menggigil. Dan di bagian punggung, bajunya,
seperti biasa, mulai melengket...

SEBENARNYA, sangat sering ini terjadi. Ditolak satpam. Tapi, kenapa ia selalu lupa
mengatakan pada Parto agar menunggunya sejenak, memastikan satpam mengizinkan,
sebelum men-drop-nya di perumahan bersangkutan? Ah, kadang, ia merasa pekerjaan
rutin dan menjemukan ini membuat benaknya lumpuh. Courier, begitulah yang
tercantum di kartu namanya. Berkesan gagah - karena tertulis dalam bahasa asing -
padahal pada kenyataannya cuma "kurir kelas kaki" yang mengantarkan barang (lebih
sering surat) atau dokumen (lebih sering brosur atau lembaran lepas promosi) ke
berbagai alamat. Dan karena barang atau dokumen bagiannya melulu brosur dan
lembar promosi, kotak pos-kotak pos kompleks perumahan adalah "alamat"
tugasnya.Kadang, terpikir juga olehnya, kapankah ia tidak lagi di-tandem dan naik
tingkat ke "kelas motor"? Duduk di boncengan Parto, sering ia bayangkan, dirinyalah
yang ada di depan, membonceng kurir tandem-annya di belakang, dan kemudian men-
drop-nya di sebuah kompleks perumahan pada suatu tempat entah di mana. Sungguh
menyenangkan. Bukan hanya karena ia terhindar dari deraan lelah jalan kaki dan
hunjaman terik Matahari, tapi lebih dari itu: karena barang antarannya adalah dari jenis
yang lebih berharga.Dan, satpam - pikirannya kembali ke tadi, kenapa satpam-satpam
itu begitu arogannya? Kepada orang seperti dirinya kurir kelas kaki, terasa sekali
satpam-satpam itu bagai sengaja menunjukkan kekuasaan. Tetapi... ah, mungkin tidak.
Satpam-satpam itu mungkin tengah berusaha menjalankan tugas. Harus waspada.
Hati-hati. Siapa tahu ia memang seorang bandit, rampok, yang menyamar jadi kurir.
Atau mungkin lebih tepat ia seorang "tukang gambar", memetakan lokasi, untuk
kemudian muncul bersama gembongnya suatu hari, atau mungkin suatu malam,
menggasak habis seluruh isi kompleks! Ah, memang mengerikan. Atau lebih gila,
mungkin ia adalah seorang pengacau yang membawa dan kemudian meledakkan bom
pada suatu tempat entah di mana tanpa alasan!Memang, memang mengerikan. Jadi,
wajarlah kalau satpam-satpam itu bersikap begitu. Jadi wajarlah kalau kompleks-
kompleks perumahan dibangun dengan "sistem pengaman" yang begitu ketat. Jeruji
besi, kawat berduri, tembok tinggi, ah, sebenarnya... sebenarnya, alangkah kasihan
mereka. Mereka adalah orang-orang yang tak pernah merasa aman. Di jalan, dalam
mobil, apakah benak mereka juga dipenuhi bayang perampokan? Penodongan, di
perempatan - aduh, Kapak Merah, pemerasan, "Pak Ogah", macet, macet yang
panjang... betapa ia tiba-tiba bisa maklumi. Dan... lihatlah rumah mereka, betapa jauh di
pinggir kota, tentu semata buat mendapatkan sedikit kelegaan, luput dari
kebisingan.Kembali, disaputnya peluh. Memang alangkah jauh. Bahkan jarak masing-
masing perumahan. Seperti ini, di sini. Mungkin ada sekilometer. Mungkin lebih.
Dipisahkan tanah-tanah bekas sawah yang membotak, kerontang. Ada beberapa pohon
yang tampaknya berusaha ditanam, tapi kurus. Bahkan di sana, arah ke mana samar-
samar tampak jalan tol, sama sekali ranggas. Ah, atmosfer seperti apakah yang telah
dengan begitu ganas menggasak kehijauan?Tiba-tiba, ia ingat kampung.Kampung yang
jauh nun di luar pulau.Hamparan hijau. Kaki Gunung Lokon. Minahasa, Minahasa...
betapa kadang ia tak percaya ia telah meninggalkannya. Apakah sebenarnya yang
membuat ia pergi dan kemudian datang ke kota ini? Dan kota ini, kekuatan gaib apakah
yang dipunyainya, yang membuat orang merelakan diri jadi apa pun, hanya demi untuk
tetap bisa bertahan di dalamnya? Dan ia sendiri... jadi courier. Kurir, kelas kaki. Hanya
itu yang ia dapat, yang ia bisa. Ah.Kadang, ia gembira-gembirakan diri. Seraya
mengenang kampung, ia bayangkan legenda itu: legenda para dotu. Ia senang pada
bagian yang mengisahkan saat kesembilan dotu diutus oleh Toar Lumimuut, nenek
moyangnya, pergi ke sembilan daerah untuk membentuk sembilan suku di Minahasa.
Salah seorang dotu konon kembali pulang menghadap Toar Lumimuut dan mengatakan
ia tak berhasil membentuk suku di daerah yang ia tuju dan mohon diutus ke daerah lain.
Ketika Toar Lumimuut menanyakan kenapa ia tak berhasil, si dotu menceritakan
penduduk di daerah bersangkutan adalah kelompok manusia yang tak bisa
diselamatkan. Mereka terdiri dari orang-orang kejam, buas, tak berhati nurani seperti
binatang.Toar Lumimuut mengabulkan keinginan si dotu. Tapi sebelum si dotu diutus ke
daerah lain, ia ditugaskan untuk kembali ke daerah bersangkutan dengan kotak
tembikar. Isi kotak - yang rupanya semacam serbuk - harus ia tebarkan ke udara. Saat
si dotu sampai dan menebarkan serbuk itu, terjadilah hal yang mencengangkan.
Penduduk daerah bersangkutan, berubah jadi binatang.Ya, ia senang bagian itu. Kotak
tembikar, itu seperti paket. Dotu, itu seperti kurir. Dan binatang? Ah! Harimau, serigala,
buaya, ular, badak, kerbau....

HARI ini, aih, siapa sangka ia naik tingkat ke kelas motor? Tapi tidak, tentu tak dapat
dikatakan naik tingkat. Pagi tadi, ia muncul di kantor agak terlambat. Tak ada lagi siapa-
siapa, tak ada Parto yang menunggunya, kecuali Nina yang tugas rangkap-rangkap - ya
sekretaris ya personalia ya entah apa. Juga tak ada si bos, yang telah mengantarkan
entah barang apa entah ke mana. (Si bos, seorang lelaki 40-an dengan van tua, adalah
juga seorang kurir. Kantor courier service itu pun hanya berupa ruang kecil dengan tiga
petak mirip lorong ke belakang, terjepit di sebuah gang.)Parto bukannya tak
menunggunya. Melainkan seperti kata Nina, memang berhalangan. Dan si bos
menugaskan dirinya menggantikan Parto. Menggantikan Parto - meski cuma sehari!
Betapa ia tak percaya. Saat menerima kunci motor dan sebuah paket dari gadis yang
sekretaris yang personalia yang entah apa lagi yang pendiam tapi cekatan itu, dadanya
berdebar.Sesuatu yang lebih berharga. Bukan brosur. Bukan lembaran lepas
promosi.Dibacanya alamat paket, sebuah kawasan di pusat kota. Noon express, artinya
harus sampai sebelum pukul 12 siang. Hmm, masih banyak waktu.Maka, di atas
motorlah ia kini, sendiri, seperti pernah dibayangkannya. Betapa ia sangat gembira.
Bahagia. Seraya tancap gas, diluruskannya punggung ditegakkannya kepala,
menikmati terpaan angin ke tubuhnya. Menyelip. Jalan raya dan kecepatan, betapa
mengasyikkan. Lagi, ia menyelip. Menyalip. Terdengar teriakan, "Babi!"Babi? Ia
menoleh ke bus kota, ke supir yang meneriakinya. Sedetik, ada ketertusukan dalam
dada, tapi lalu ia lupakan. Itu sepele. Sudah biasa. Lagi pula, ini hari bahagia. Seluruh
detik mestinya berharga, dan ia tidaklah terlalu tolol untuk merusaknya....

TETAPI, betulkah hari bahagia? Berjam-jam ia berkeliling berputar-putar mencari


alamat itu, tapi tak bertemu. Benaknya pun lalu diserbu tanya: Apakah paket ini salah
menuliskan nama? Atau salah menuliskan alamat? Ada sesuatu yang
janggal.Sebenarnya, sudah beberapa jam lalu ia sampai ke alamat yang dituju. Sebuah
rumah besar, berarsitektur gaya Belanda, megah. Berpagar tembok, dengan jeruji besi
setinggi tiga meteran, ujung-ujungnya runcing mirip mata kail. Dan tak lupa, pos
penjaga. Dan dua orang satpam.Saat paket itu ia serahkan ke salah seorang satpam
dan si satpam memeriksa, satpam itu mengernyitkan dahi. Salah alamat, begitu
katanya. Salah alamat yang aneh. Ganjil. Alamatnya betul, tetapi nama yang tertulis di
paket bukan nama si pemilik rumah. Kenapa bisa?Mungkin bukan nomor 9, tapi 4.
Maka ia pun pergi ke rumah nomor 4 tetapi ternyata juga tidak. Mungkin 8, bukan 9,
maka ia pun pergi ke rumah nomor 8 tapi juga tidak. Ataukah salah nama jalan? Maka
jalan-jalan di seputar situ, di kawasan berkode pos sama bernomor 9 atau 4 atau 8 - ia
datangi. Ternyata juga tidak. Sementara waktu telah menunjuk hampir pukul 12 (aduh,
noon express)!Putus asa, ia kembali ke alamat semula. Mungkin paket ini memang
bukan untuk tuan si satpam, tetapi seseorang lain di rumah itu. Siapa tahu satpam-
satpam itu orang baru, tak tahu semua anggota atau kerabat dekat pemilik rumah.
Tetapi, ketika ia mengemukakan kemungkinan itu kepada si satpam, wajah kedua
satpam itu berubah. Bengis.

Seorang mendorongnya ke luar seraya berkata, "Badak!" Satpam lain menimpal,

"Kerbau!"Maka terpaksa ia kembali pergi. Sudah lewat pukul 12. Mulai ada rasa cemas.
Mungkin bukan satu angka, tetapi dua (si pengirim paket mungkin alpa angka lainnya).
Maka, semua nomor bersatuan atau berpuluhan 9, ia cek. Tapi... tetap tidak. Beratusan
9. Tetap juga tidak. Dan akhirnya, senja. Ia memarkir motor, terhenyak, di seberang
jalan tak jauh dari rumah megah berarsitektur Belanda itu.Sungguh alangkah lelah.
Fisik. Psikis.Ternyata bukan hari bahagia. Melainkan hari sial, sesial-sialnya.Di matanya,
membayang wajah si bos, yang nanti tentu marah atau kecewa. Siapa tahu, tugas
menggantikan Parto ini sengaja dipakai si bos untuk menguji apakah ia pantas naik ke
kelas motor atau tidak. Sungguh memang sial. Dan satu lagi, dalam satu hari ini saja,
tiga kali ia dimaki sebagai binatang. Babi, badak, kerbau. Ah.Dihelanya napas, dalam,
lalu melayangkan pandang ke sekitar. Ia tahu hari telah senja, tetapi baru sadar senja
kali ini begitu buramnya. Tembok pejal, pagar tinggi, jeruji. Ah, bukan hanya kompleks
perumahan saja yang memakai sistem pengaman seperti itu. Di sini juga, banyak sekali.
Ini jugakah yang menyebabkan senja, meski lampu bernyalaan di mana-mana, jadi
terkesan kaku dan tak berjiwa? Dilayangkannya pandang, sekelebat, ke rumah
berarsitektur Belanda itu. Ia telah akan mengalihkan pandang ketika sesuatu bagai
menahannya. Apa?Ada yang berubah. Dibanding yang lain, rumah itu tampak lebih
suram. Dilihat penampilannya ketika siang, mestinya kini lebih menonjol. Ataukah,
karena jumlah lampu yang tak begitu banyak? Beberapa sengaja dibiarkan mati? Ah,
bukan hanya itu. Diperhatikannya lebih cermat. Pos satpam! Pos satpam... tak lagi ada!
Juga jeruji besi bermata kail itu! Apakah ia salah lihat?Penasaran, dihidupkannya motor.
Dikendarainya pelan-pelan ke rumah bernomor 9 itu. Memang tak ada. Pos satpam itu
lenyap! Dan, bukan pula hanya pagar yang berubah. Ada yang lain - mungkin juga
arsitekturnya, tapi ia tak begitu ingat.Dibelokkannya motor, ke dalam pagar, yang kini
rendah saja. Ia bingung. Takjub. Adakah rumah yang bisa disetel, sedemikian rupa,
sehingga bentuknya di saat siang dan ketika malam jadi berbeda? Satpam itu, sudah
tak ada. Jadi ia bebas. Dimatikannya mesin. Diparkirnya motor, lalu berjalan menuju
teras.Ternyata, ia tak perlu mengebel atau mengetuk. Begitu tubuhnya ada di teras,
sesosok lelaki besar, tinggi, berkumis dan berjenggot tebal, muncul bagai menyambut.

Sedetik, ia tertegun. "Paket...."

"Ya, saya tahu. Telah lama saya menunggu."

"Noon express. Maaf. Sejak pagi saya mencari, tapi...."

"Ya, saya tahu. Andalah orangnya. Kurir mana yang bisa sabar mencari sampai
senja?"Lelaki ini... tahu? Apakah ia sengaja dipermainkan? Tapi ia tak peduli.
Kenyataan bahwa akhirnya paket ini sampai, telah membuatnya sangat
lega.Disodorkannya tanda terima. Lelaki tinggi besar itu menandatangani, bergumam,

"Sembilan ratus tahun."Walau telah tak peduli, ia mendengarnya. Tak yakin. Lelaki itu
seperti tahu keheranannya, mengulang,

"Sembilan ratus tahun, saya menunggu. Apakah itu tak lama?"

SUNGGUH lega. Hari yang tiba-tiba panjang ini, akhirnya selesai tak seperti yang ia
cemaskan. Dipacunya motor. Kencang.Ia telah keluar dari jalan perumahan dan
menikung ke jalan utama. Tetapi, saat itulah ia tiba-tiba terkejut. Pengendara motor
yang melintas di depannya, sosoknya begitu besar. Bengkak! Dipacunya motor,
mendahului. Dan... astaga! Benar, seekor badak!Ia terlongong. Akan diteriakinya siapa
pun memberitahu. Tapi, ketika matanya terbentur ke sebuah sedan yang lampu
dalamnya menyala, jelas sekali ia lihat si pengemudi... seekor buaya! Dialihkannya
pandang ke mobil lain. Pengemudinya, seekor babi! Diamatinya angkot, metromini. Dan
penumpangnya: Orangutan, singa, kera, harimau, serigala.... Barulah ia sadar, para
pejalan kaki, di bawah terang-lindap pendar lampu-lampu, ternyata juga adalah para
binatang. Oh!Dihentikannya motor. Terengah.Mendadak, berkelebat di kepalanya:
Lelaki tinggi besar itu, paket itu. Sembilan ratus tahun! Kiranya, lelaki itu tak berkelakar,
tak bercanda. Toar Lumimuut. Dotu. Kotak tembikar. Ah, mungkinkah?Paket... serbuk
itu... manusia yang tak bisa diselamatkan. Sembilan ratus tahun... orang-orang kejam,
buas, tak berhenti nurani. Binatang? Ah! harimau, serigala, buaya, ular, badak,
kerbau.... ***

Payakumbuh, Agustus 2002


Cermin Pasir

Triyanto Triwikromo
Sumber: Kompas, Edisi 09/08/2002

TAK ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan truk bergerak lamban: membelah
dusun dengan deru memekakkan telinga. Kadang-kadang ketika gerimis mendera,
binatang-binatang besi itu melata dan meliuk-liuk seperti ular. Kadang-kadang merayap
seperti kadal saat sarat muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat seperti anjing ketika
langit di atas gunung memerah dan udara kehilangan embun atau kristal-kristal air. Tak
ada yang berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak truk menyisir hampir
setiap sudut desa. Tak ada yang berani mempertanyakan mengapa bukit-bukit makin
gugruk, berlubang, atau sama sekali hilang.Dan, truk-truk terus datang dan pergi
serupa siluman, serupa mambang. Larut malam mereka selalu mengusung pria-pria
kekar—sebagian besar berseragam, kemudian menghilang setelah beberapa bagian
bukit krowak dan sungai-sungai kian dalam.Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak
kembali. Batu, koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan hanya itu! Bukan hanya itu!
Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Keheningan sehabis hujan.
Sabetan-sabetan wayang Ki Dalang. Dan, celoteh anak-anak kala rembulan jatuh di
genting atau di kesunyian tegalan.Baiklah, kuperkenalkan kepadamu: mereka
menyebutku penggoda, tetapi sebenarnya aku penari.Lihatlah, bahkan di bak truk yang
tersengal-sengal mendaki jalanan menuju ke lereng gunung itu pun aku masih bisa
memesona para penambang pasir dengan gerak trisik menyamping dan mangenjali
yang tegak lurus dengan langit. 1Malah saat para pria bertelanjang dada itu
mendesiskan bunyi-bunyi aneh serupa doa, aku berusaha mencuri perhatian dengan
keajaiban ngigel dan kerling mata Ken Dedes atau Drupadi.”Mungkin hujan akan
segera turun, mengapa sampean tak berhenti menari?” seseorang tiba-tiba
mendesah.”Aku punya firasat buruk, berhentilah menggoda kami,” salah seorang
penambang sepuh ikut-ikutan mendesis sambil melihat punggungku.”Malam nanti saya
harus menari untuk Kiai Petruk. Izinkan saya berlatih barang sejenak. Setelah bertemu
dengan Romo Sentanu dan Ayat, saya akan berhenti.””Malam nanti kami hanya
slametan. Kami cuma berkumpul di gereja dan mensyukuri panen. Kami tak akan
menari,” penambang sepuh mendesah lagi.”Tetapi Ayat dan Romo Sentanu meminta
saya menari,” lenguhku sambil melakukan gerakan pacak gulu.Sejenak sunyi. Tak ada
yang berani menghentikan tarianku. Ya, menyebut nama Kiai Petruk, Romo Sentanu,
dan Ayat di desa itu sama saja dengan memanterakan kedigdayaan para dewa.Kiai
Petruk, kau tahu, adalah kedahsyatan yang indah2. Kalau marah, dari mulutnya yang
gaib ia bisa memuntahkan wedhus gembel. Tak perlu berbelit-belit, baiklah kubocorkan
kepadamu: pada mulanya aku tak mau menggunakan ungkapan Kiai Petruk untuk
menyebut Gunung Merapi. Namun, sejak menyusup ke desa ini aku terpaksa berurusan
dengan segala pantangan dan eufimisme aneh terhadap gunung yang berkacak
pinggang di pusat Pulau Jawa itu. Maka, aku pun menyebut awan panas yang
bergulung-gulung dan menyemburkan debu-debu kejam itu sebagai wedhus gembel.
Aku jadi sering menggumamkan kata-kata aneh saat kilau lahar meleleh ke lereng-
lereng.Tentang Romo Sentanu: ah, dia hanyalah pastor desa. Aku terpaksa berurusan
dengan pria santun itu karena dia terlalu mencampuri urusan para pengusaha
penambang pasir dengan penduduk. Dia malah kerap berperan sebagai penggerak
demonstrasi ketimbang sebagai paderi. Dan, salah satu tugasku ke desa ini, kau tahu,
adalah penggoda. Kalau perlu merontokkan namanya.Karena itu aku akan menari
telanjang di kamarnya. Akan kurobohkan seluruh pemahaman dia tentang kerling mata
perempuan, desah manja wanita sehabis senja, dan pagutan indah singa betina di leher
pria kencana.Kadang-kadang saat suara-suara cenggeret dan garengpung membelah
desa, aku sudah membayangkan para lelaki kekar berseragam, teman-temanku yang
tak banyak cakap itu, membentangkan kedua tangan Romo di tubuh bukit, memaku
kedua telapak tangan, dan menancapkan linggis ke lambungnya. Dan, selalu pada saat
dia mengerang kesakitan, aku membuka seluruh pakaian dan menarikan tarian paling
erotis dan menghunjamkan pemandangan menyiksa itu ke matanya yang telah
dibutakan.Jadi, dia bukan lawan yang harus terlalu diperhitungkan. Kapan pun tangan-
tangan kami yang perkasa bisa dengan mudah menghilangkan nyawa paderi yang
santun itu.Ah, kau tentu telah mengenal Ayat lebih dari aku mengenal batu-batu, koral,
lumut, dan keheningan desa ini. Kau tentu pernah melihat pria bersarung yang sering
memainkan lakon Kunjarakarna itu untuk membeberkan kebusukan pengusaha
penambangan pasir.Kau tentu sering melihat mulutnya yang nyinyir saat meledakkan
kata-kata, ”Dewa ora adil! Dewa ora adil!” 3 di hadapan orang-orang asing yang
berkunjung ke desa itu.Ya, di mata dalang ceking itu dewa memang tidak adil. Dewa
memakmurkan para pria kekar yang tak habis-habis menambang pasir dan tak pernah
menggubris penderitaan petani-petani miskin. Dewa hanya memberi Kiai Petruk dan
wedhus gembel, tetapi lupa membelai rambut para perempuan yang kehilangan suami
saat lahar meluluhlantakkan desa.Dan kalau sudah mendalang, Ayat bisa berubah
menjadi dewa. Dengan lembut dia bisa mengajak siapa pun melawan kesewenang-
wenangan. Suatu hari ketika dia bilang, ”Mari menari semalam suntuk di sepanjang
jalan!” orang-orang sedesa berjoget dari mulut desa hingga ke lereng Merapi.Keruan
saja tak ada truk berani menembus kerumunan penari. Tak ada yang bersikeras
melindas kepala anak-anak kecil yang sengaja menonton gerak indah para tetua
kampung sambil tiduran di sepanjang jalan.Ayat juga mahir menari. Melihat Ayat menari,
orang sedesa seperti berjumpa dengan Petruk yang ramah. Petruk yang tak pernah
menghukum orang-orang sederhana dengan lahar, awan panas, dan hujan batu yang
tak kunjung henti. Petruk yang tak pernah menebarkan kedengkian, pertikaian, dan
kebencian.Tetapi Ayat bukan Romo Sentanu. Dalam keindahan gerak tariannya
bersemayam malaikat sekaligus iblis. Dia, aku dengar dari para penari lain, gampang
bertekuk lutut di hadapan perempuan yang lebih mahir menari. Ibarat Samson, dia
sangat mudah ditaklukkan oleh Delilah.Kini kau mulai tahu mengapa diperlukan
penggoda untuk menyingkirkan Ayat dan Romo Sentanu. Maka, baiklah kuperkenalkan
kepadamu: Mereka menyebutku sebagai penggoda, tetapi sebenarnya aku
penari.Lihatlah, bahkan di bak truk yang tersengal-sengal mendaki jalanan menuju ke
lereng gunung itu pun aku masih bisa memesona para penambang pasir dengan gerak
trisik menyamping dan mangenjali 4 yang tegak lurus dengan langit.Malah saat para pria
bertelanjang dada itu mendesiskan bunyi-bunyi aneh serupa doa, aku berusaha
mencuri perhatian dengan keajaiban ngigel dan kerling mata Ken Dedes atau Drupadi.

”Mungkin hujan akan segera turun, mengapa sampean tak berhenti menari?”Tak lama
kemudian hujan memang turun. Dan, aku menghentikan tarianku tepat ketika truk
mengonggok di depan gereja. Mungkin Romo Sentanu dan Ayat akan tergopoh-gopoh
menyambutku. Mungkin sambil membungkuk-bungkukkan badan, Ayat akan bilang,
”Mangga Den Ayu, Putri Keratonku, mari menari bersamaku.”Ya, dia boleh bilang
begitu. ”Tetapi, aku datang untuk menggodamu, meruntuhkan, dan
meluluhlantakkanmu.”DI lereng Merapi kilau cahaya mata Romo Sentanu lebih gaib
ketimbang pijar lahar. Karena itu begitu bersitatap dengan Nagreg, segala rencana
jahat perempuan kencana dari kota itu membentuk semacam adegan film tragis di
keheningan jiwanya yang senantiasa memancarkan kesabaran.Tak aneh jika Romo
Sentanu yakin suatu saat Nagreg akan mencampurkan racun di dalam minuman Ayat
sehingga Ki Dalang kehilangan suara: tak bisa lagi memainkan wayang dan
menebarkan kritik kepada para pengusaha penambangan pasir liar yang jumlahnya
kian tak bisa dihitung dengan ketajaman ingatan.Romo Sentanu juga tahu Ayat tak
bakal bisa menari lagi karena saat menari bersama Nagreg dalam ritual Larung
Sengkala yang chaos, puluhan pria kekar berseragam membabat kaki penari yang
setiap tariannya merefleksikan pemberontakan pemilik bukit yang dicekik orang-orang
serakah dari kota itu.

”Saya hanya ingin menari bersama Ayat, Romo. Saya ingin menghentikan amarah Kiai
Petruk dengan tarian-tarian cinta yang belum pernah ditarikan siapa pun,” Nagreg yang
tak berani memandang kilau mata Romo Sentanu tiba-tiba merajuk.

”Ya, biarkan dia menari dan jadi pesinden saya, Romo,” desis Ayat seraya meredam
berahi yang tak tertahankan.Tak ada jawaban. Dan, ketika dari arah puncak Merapi
terlontar sinar merah ke beringin putih di ujung desa, ketika lolongan suara serupa
gajah yang terluka merintih-rintih mendera seantero kampung, Romo Sentanu
menggigit bibir sampai cairan darah segar menggelincir dari mulutnya.

”Nagreg akan menyelamatkan kampung ini, Romo. Biarkan dia menari bersama saya,”
desah Ayat lagi sambil bersimpuh dan hendak mencium kaki pria kencana yang sangat
dimuliakan itu.Belum ada jawaban. Nagreg mengumbar senyum dalam jiwa. Dan, di
luar dugaan Ayat, Romo Sentanu meninggalkan gereja. Ayat tak tahu jika Romo
Sentanu bertahan dan tak kembali ke kamar pribadi di sebelah gereja, bisa-bisa Nagreg
merajuk dengan membuka seluruh pakaian di hadapan patung Bunda Maria yang teduh
atau menarikan gerakan tak senonoh di bawah wajah Isa yang menyeringai karena luka
di lambung dan tancapan mahkota duri yang menghunjam kepala.Ayat juga tak tahu di
kesunyian dan dingin Merapi yang ganjil, Romo Sentanu melihat Isa menangis
sesunggukan di bawah pohon beringin putih di ujung desa. Suaranya melengking-
lengking bagai puluhan gajah terluka. 5

ARAK-arakan itu lebih mirip karnaval ketimbang ritual persembahan kepada Kiai Petruk.
Dan, malam itu di antara ratusan obor yang diacung-acungkan ke langit, di antara hujan
awan panas dan lahar yang terus meleleh pada November yang perih, Romo Sentanu
diapit beberapa misdinar memimpin upacara Larung Sengkala yang bakal dihanyutkan
di dam yang kehabisan air.Di belakang Romo Sentanu menjalar ratusan penduduk
kampung yang mengikuti gerakan tari Ayat dan Nagreg. Ada yang mengenakan topeng-
topeng menyerupai kepala gajah. Ada yang mencoreng-coreng wajah mereka agar
tampak sebagai harimau.”Gusti, firmanMu akan jadi kasunyatan”, Romo Sentanu
mendesah.Ya. Dan, Aku tahu siapa yang akan jadi korban.”Mereka akan memukul
kepala saya di tengah-tengah tarian yang chaos, Gusti.”Ya. Mereka akan
membentangkan tanganmu di antara kedua bantaran sungai dengan tali teramat kuat.
Setelah itu, lambungmu akan dihujami puluhan peluru.

”Mengapa harus saya, Gusti? Mengapa bukan yang lain?”O, bukan hanya kau, Sentanu.
Ayat dan Nagreg juga disalib bersamamu.

SUNGGUH tak ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan truk bergerak lamban:
membelah dusun dengan deru yang memekakkan telinga. Kadang-kadang saat gerimis
mendera, binatang-binatang besi itu melata dan meliuk-liuk seperti ular. Kadang-
kadang merayap seperti kadal saat sarat muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat
seperti anjing ketika langit di atas gunung memerah dan udara kehilangan embun atau
kristal-kristal air.Tak ada yang berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak
truk yang menyisir hampir setiap sudut desa. Tak ada yang berani mempertanyakan
mengapa bukit-bukit makin gugruk, berlubang, atau sama sekali hilang.Dan, truk-truk
terus datang dan pergi serupa siluman serupa mambang.Larut malam mereka selalu
mengusung pria-pria kekar—sebagian besar berseragam, kemudian menghilang
setelah beberapa bagian bukit krowak dan sungai-sungai kian dalam.Selalu ada yang
hilang. Selalu ada yang tak kembali. Batu, koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan
hanya itu! Bukan hanya itu! Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali.Dan,
malam itu mereka datang lagi. Tidak! Tidak! Mungkin sudah beberapa bulan lalu
mereka menyusup dan hidup bersama penduduk. Sebagaimana aku, (o, kau tahu
namaku Nagreg bukan?), mereka telah menghirup udara, cahaya, tradisi, kebodohan-
kebodohan, tarian-tarian aneh, mitologi Kiai Petruk, wedhus gembel yang prek kethek,
dan segala tingkah Romo Sentanu serta Ayat.Maka, mereka sangat tahu bagaimana
cara terbaik menghilangkan Ayat atau Romo Sentanu. Di tengah kegelapan malam,
mereka menggiring pria-pria kencana itu ke tengah-tengah dam dan di keriuhan tarian
yang chaos untuk menghormati Kiai Petruk, membabat kaki, kepala, atau menembak
lambung tanpa suara.Ayat dan Romo Sentanu tentu tak menyangka bakal diperlakukan
semacam itu. Sebab, mereka tak pernah menebar kecurigaan ke penduduk. Sebab,
mereka tak pernah bersengketa dengan orang-orang miskin itu. Tetapi, bukankah pria-
pria berseragam—di belahan dunia mana pun—mahir menjadi bunglon, pandai
mengubah diri menjadi trengiling atau ular sawah? Jadi, jangan heran jika mereka bisa
menusuk dari belakang.Baiklah, sekali lagi kuperkenalkan kepadamu: mereka
menyebutku sebagai penggoda, tetapi sebenarnya aku penari. Tidak! Tidak! Aku pun
sebenarnya hanya korban. Mereka menyuruhku memperdaya Romo Sentanu dan Ayat.
Namun, setelah segala persiapan penjagalan di tengah dam rampung, kudengar dari
salah seorang pria kekar pujaan yang melakukan disersi, mereka juga akan
menghabisiku. Tak boleh ada saksi. Tak ada boleh ada yang menawarkan peristiwa
ini.Kini, di keriuhan segala bunyi, obor, cahaya mata Romo Sentanu, dan keliaran Ayat
menerjemahkan mimpi-mimpi tentang awan panas, lelehan lahar di Puncak Merapi, dan
jerit tangis dalam tari, aku hanya berharap sunyi segera menghentikan segala
kekacauan ini. Ah, haruskah kuhadapi kematian dengan menari serimpi?Tak ada
jawaban. Hanya jerit gamelan. Hanya jerit kesakitan. ***

Semarang, 2002

Catatan:

1) ”Tegak lurus dengan langit” adalah ungkapan khas Iwan Simatupang.

2) Dikutip dari ungkapan Sindhunata dalam Cikar Bobrok.


3) Kata-kata yang diungkapkan Ki Sitras Anjilin, dalang dari Desa Tutup Ngisor, saat
memainkan lakon Kunjarakarna.

4) Trisik, mangenjali, ngigel adalah nama dalam gerakan tari Jawa.

5) Mitologi gajah dan beringin putih pernah digarap Elizabeth D Prasetyo dalam The
White Banyan.
Dua Tangisan pada Satu Malam

Puthut EA
Sumber: Kompas, Edisi 09/01/2002

Ia seorang perempuan yang tidak pernah benar-benar kucintai, juga aku yakin ia tidak
pernah benar-benar mencintaiku. Kami saling membutuhkan dalam sebuah rentang
waktu tertentu. Sebab begitulah pada dasarnya manusia, salah seorang bisa
menggantikan yang lain, tapi bukan dan tidak pernah seutuhnya. Dan ada saat-saat
seseorang dipaksa menemukan yang lain, untuk menggantikan keseluruhan atas
kepergian orang yang berbeda. Aku membutuhkannya, ia membutuhkanku, hanya
untuk rentang waktu tertentu.Hidup ini mungkin disusun oleh bukan hanya tingkat
kerumitan tertentu, tapi juga atas ketidaktepatan tertentu.Aku membutuhkan seorang
perempuan yang bawel, punya daya ingat tinggi, renyah, hangat, dan selalu bisa
mengingatkanku di mana aku meninggalkan pena serta buku yang barusan kubaca,
tentu sekalian mengingatkanku bahwa baru tadi pagi aku membeli kertas tisu sehingga
tidak perlu beli lagi ketika aku harus keluar untuk mencari sebungkus rokok. Kutemui ia
dalam diam yang cukup, tidak bawel, serta sering lupa menaruh jepit rambut dan
kacamata.Tapi, kami memang harus bertemu dan harus menjalin hubungan, sebab
bukankah dunia memang disusun oleh tingkat ketidaktepatan tertentu?Pada saat kami
makan, ia memesan apa-apa yang aku pesan. Coba bandingkan dengan perempuan-
perempuan terdahuluku yang semua nyaris sama dalam memperlakukanku, mereka
tidak pernah memesan makanan yang aku pesan. Aku memesan daging berlemak,
mereka, perempuan-perempuan yang pernah berhubungan denganku, memesan
sayur-mayur. Aku memesan teh hangat, mereka memesan kalau tidak air putih pastilah
air jeruk. Berbeda dengan perempuan yang satu ini, ia memesan makanan dan
minuman yang sama dengan yang aku pesan. Bahkan, ketika aku membuat kopi di
pagi dan malam hari, ia membuat juga dalam porsi yang lebih besar.Lalu ia berubah
fungsi sebagai teman biasa saja, walau pada saat-saat tertentu, kami masih saling
membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan biologis. Ia sama seperti kawan laki-lakiku
yang lain. Berbicara tentang sepak bola, merokok bersama sambil menonton acara
televisi, berebut cepat ke kamar mandi karena sama-sama begadang hampir di tiap
malam, berebut memakai sepeda motor sebab tidak suka naik bus atau taksi, rebutan
membaca koran pagi yang dibaca pada sore hari. Kamar mandi kotor, cucian
menggunung, dapur berantak-an, ruang makan sekaligus ruang nonton televisi
berceceran sampah.Tapi, aku tidak pernah menggerutu dan kesal. Dia juga. Kami
menjalani hari-hari seperti itu dengan biasa. Ia hadir sama pentingnya dengan televisi,
ia hadir sama tidak pentingnya dengan televisi.Hingga aku memang benar-benar
menangis pada hari keenam setelah kepergiannya. Sedangkan pada saat ia pergi sama
seperti ketika aku melipat koran seusai dibaca. Sama seperti ketika aku harus melepas
sepatu ketika pulang. Pada saat ia pergi kami masih sama-sama saling membagi
senyum dan aku masih sempat menemukan kacamatanya yang tertinggal di atas
monitor komputer. Membantu dan mengumpati barang-barang bawaannya yang tidak
bisa masuk ke dalam tas besarnya.Kami sempat bertemu dengan suasana mirip salah
satu lampu di ujung gang lengang pada waktu lewat tengah malam tapi kami melewati
hari-hari dengan biasa, tak penting amat. Dan kami menutup bersama sebuah
perpisahan yang juga biasa dan tak penting amat.Tapi ingatan-ingatanku atasnya, pada
hari keenam setelah kepergiannya benar-benar membuatku menangis. Tangis yang
tidak lagi biasa, tangis yang tidak bisa kupungkiri lagi, bahwa ada yang lenyap dalam
hidupku. Dan, aku tidak menyesal menangis, aku merasa tumpahnya air mataku cukup
membangun alasannya sendiri, bahwa memang ada yang penting dalam hidupku yang
lenyap dan aku pantas menebusnya dengan air mata yang tumpah. Mungkin bahkan
pada lain waktu akan kutebus lebih dari sekadar air mataku.Tapi, aku masih mencoba
meyakini bahwa aku memang tidak pernah benar-benar mencintainya. Atau memang
terkadang tidak ada hubungan antara cinta dan rasa sedih yang tidak masuk akal dan
tiba-tiba? Pertanyaan itu tidak penting, tapi tiga hal ini penting bagiku. Pertama, apakah
dia juga menangis pada malam keenam setelah dia pergi? Kedua, apakah
tangisannya—jika ia menangis—juga tidak membutuhkan alasan-alasan penguat
bahwa aku merupakan sesuatu yang penting dalam hidupnya? Ketiga, apakah ia sudah
menemukan laki-laki lain?Aku harus menemukan jawabannya.Aku menangis pada hari
keenam setelah kepergianku meninggalkannya. Meninggalkan? Ah, mungkin itu bukan
kata yang tepat. Aku teramat sulit untuk menemukan kata yang tepat, tapi begini, aku
menyukainya semenjak pertama bertemu dengannya. Apa yang aku sukai? Aku juga
tidak tahu. Tapi laki-laki itu membuatku bergetar dan merasakan sesuatu yang aneh
menjalar di sekujur tubuhku. Melapisi kulitku dengan radar-radar peka akan
kehadirannya. Menjalin sampai nadi dan pikiranku. Beri maklumlah pada diriku. Aku
seorang selebriti terkenal, muda, cantik, di mana-mana selalu mendapat perhatian
besar. Tapi, laki-laki itu membuatku kembali ke masa lampau, empat lima tahun yang
lalu, ketika aku masih seorang mahasiswi semester awal yang sibuk casting peran ini
dan peran itu. Dia melihatku dengan tatap mata biasa. Bahwa, ia mengagumi
kecantikanku, aku bisa merasakannya, itu pun dengan samar, tidak seperti orang lain.
Tapi di hadapannya, segala ketenaranku mendadak seperti tak ada artinya, bahkan
ketika aku hendak mengambil gelas berisi minuman di dekatnya. Ia hanya memberiku
tempat, tersenyum lalu melenggang pergi dengan meninggalkan aroma tubuh tanpa
parfum.Aku adalah perempuan yang dicari-cari. Perempuan yang selalu ditunggu-
tunggu kemunculannya dalam hal apa saja, dalam acara apa saja. Dan ia hadir, tanpa
wajah yang menunggu kedatanganku, menunggu kemunculanku. Tidak menyambut
segala kedatanganku dengan wajah berbinar. Laki-laki itu tidak seharusnya begitu,
sebab ketika aku tidak bisa membuatnya butuh, maka aku harus bersiap, aku
membutuhkannya. Tapi sejujurnya, perasaanku kepadanya begitu kuat pada kali
pertama aku menatapnya.Beruntunglah aku. Terbiasa memainkan berbagai peran dan
menyembunyikan perasaan. Semua kusimpan dengan rapi, bahkan ketika aku bisa
mengorek keterangan tentang laki-laki itu.Aku berhasil mengenalnya lewat cara yang
sengaja kurancang. Biasa. Aku ingin rancangan adegan yang dia bisa tahu, aku tidak
sengaja untuk berkenalan dengannya. Lalu kami saling berbicara. Terlalu memukau!
Suaranya yang tenang membuatku terayun-ayun di antara jeda kata yang
diucapkannya. Ia seperti berbicara pada sekujur tubuhku. Dan memaksaku untuk terus-
menerus mengais kesadaranku yang hampir lenyap ketika menghadapinya, mendengar
suaranya, bersitatap dengannya. Aku harus memaksanya untuk duduk, sebab aku
percaya ketenangan orang berdiri gampang dilumpuhkan. Menggenggam gelas minum
erat-erat, tapi jelas itu tak bisa me-mungkiri apa yang kurasakan, sebab aku berkali-kali
minta tambah air minum. Ia merayapi kesadaranku dengan selimut rasa tak tentu.Kami
semakin akrab. Tentu kami juga bercinta.Aku membanjiri hidupnya dengan rasa yang
bergelora. Menumpahkan apa yang kurasakan dengan segala cara yang aku bisa.
Mencoba meyakinkan terus-menerus bahwa ia adalah laki-laki yang kudamba, dan aku
adalah perempuan yang dia tunggu. Begitu kulakukan saban waktu. Tapi aku tahu,
sangat tahu, laki-laki itu melakukan segalanya bersamaku dengan perasaan biasa. Ia
tidak tenggelam dalam banjir rasaku.Ia seorang aktris. Dia pikir aku bisa hanyut oleh
sandiwara sialnya—yang mungkin sudah dimainkan dengan sungguh-sungguh pada
banyak kekasihnya yang dulu. Aku pikir begitulah cara banyak perempuan untuk
membuat seorang laki-laki bertekuk lutut dan menjadi gila. Ia akan memberimu
perhatian yang tumpah-ruah. Seakan ikut menahan beban yang menimpa—awas,
kadang-kadang beban itu sengaja diciptakan agar ia bisa membantu mengangkatnya.
Diciptakannya dalam dada, keyakinan yang sempurna. Ruang-ruang ragu dimampatkan.
Segala hal dipenuhi oleh kehadirannya.Hingga suatu saat. Saat yang sangat tepat.
Semua dicabutnya, semua ditinggalkan berlubang, rapuh, dan segalanya menjadi tidak
terkendali. Kebutuhan atas dirinya jauh melampaui udara, air, dan makanan. Ter-sengal
dan merasakan tiba-tiba langit menjadi atap besar yang siap menimpa. Kehilangan dia
adalah malapetaka terkutuk yang tidak sanggup untuk diterima.Serangan balik yang
maha dahsyat. Tidak ada yang bisa lebih menjerumuskan lagi jika datang saat-saat
seperti itu. Aku sangat tahu, sehingga sepandai-pandai ia menimbuni hidupku dengan
segala rasa, aku sangat tahu di balik itu semua aku yakin ia tidak pernah benar-benar
mencintaiku.Aku sangat mencintainya. Tapi benar kata orang, cinta saja tidak cukup.
Ada hal-hal lain selain segala yang kita rasakan terhadap seorang laki-laki. Bukan,
sungguh bukan karena ia kurasakan tidak mau membalas segala yang kurasa-kan.
Tapi aku pikir ada saat ketika kita memberi perhatian terus-menerus —bahkan semakin
hari kita rasa semakin meningkat—maka memang ada kecewa yang akan menikam
ketika itu semua dirasa biasa saja. Ia merasakannya dengan biasa, seolah aku dan
perhatian yang kuberikan padanya adalah sepenggal kisah yang biasa ia tonton di
televisi. Tak ada kekagetan, rasa bahagia, dan terima kasih.Maaf, aku pada banyak hal
bukan orang hebat. Aku memberi untuk mendapatkan sesuatu, paling tidak orang
merasa bahagia karena pemberianku.Lalu kuputuskan untuk pergi. Paling tidak aku
berpijak pada alasan yang mungkin tepat. Jika aku tidak bisa membahagiakannya,
maka aku memang harus pergi. Sebab kebahagiaanku dimulai dari sebuah
kebahagiaan kecil di wajahnya.Tapi aku menangis pada hari keenam setelah
kepergiannya. Benar-benar menangis. Sendirian di kamarku yang menyimpan hampir
seluruh bayangannya. Ku-pandangi benda-benda yang akrab dengan kehadirannya,
lalu aku me-nangis lagi. Segala hal tiba-tiba menjadi setengah hilang, setengah
melenyap, menjadi tidak seperti beberapa saat yang lalu, ketika ia hadir dalam segala
tumpah-ruah peristiwa dan keping benda-benda.Dan tiba-tiba aku terserang penyakit
yang sangat kubenci: cemburu! Aku merasa ia pergi dan menghabiskan waktu bersama
laki-laki lain, dan ia membanjiri laki-laki itu dengan perhatiannya yang luar biasa.
Dadaku sesak dan panas, napasku seperti terbakar. Aku menangis, menjerit, otakku
ikut terbakar. Ruang berganti warna merah dan hitam. Aku meraung, telah benar-benar
kehilangan dia.Aku bangkit minum air dingin sebanyak-banyaknya, sebagian kupakai
untuk mengguyur kepalaku. Lalu aku duduk, menyalakan rokok. Aku harus berpikir
dengan tenang.Aku petakan lagi sejarahku dengannya. Melacak dan meletakkan apa-
apa yang bisa kuingat ketika bersamanya. Sejak pertemuan yang cukup membuatku
kagum. Lalu bisa kuingat bagaimana ia memperlaku-kanku dengan baik, merawat dan
melewati proses itu dengan riang dan rapi, mencoba memberiku kejutan-kejutan setiap
saat. Tapi aku tahu di belakang semua itu—dan jangan-jangan ini semua karena
tinggalan perhatiannya di kepalaku. Aku harus menanggapinya dengan dingin dan
biasa saja. Tak peduli, tak mau peduli, sebab aku tidak mau sakit hati. Lalu aku terobos
segala permainannya dengan permainanku. Aku berpikir tentang segala hal yang bisa
membuatku bertahan dari serbuan perhatiannya. Hal-hal yang menurutku tidak kusukai,
memesan makanan dan minuman yang sama denganku, berperilaku pelupa dan
teledor seperti diriku, ruang-ruang yang berantakan. Aku harus menghadang dengan
bayangan dan pikiranku, sebab jika melihat kenyataannya, aku pasti akan larut, pasti
akan tenggelam dalam kepungan perhatiannya yang luar biasa. Bahkan, untuk hal-hal
tertentu sudah sangat keterlaluan. Aku selalu pergi dengan taksi atau mobil jemputan.
Aku selalu berpikir bahwa ia suka begadang, merokok, dan nonton sepak bola. Hal-hal
yang mustahil dilakukan olehnya. Aku harus berpikir bahwa ia tidak pernah benar-benar
mencintaiku.Tapi sekarang aku nyaris gila. Apa yang kutakutkan dan berusaha
kutanggulangi sedini mungkin telah terjadi. Aku telah benar-benar jatuh cinta
kepadanya, dan ia pergi meninggalkanku. Tubuhku dibakar cemburu, sedang aku
hanya punya air dingin untuk menghalaunya.Tubuhku demam. Aku tidak bisa menerima
kepergiannya.Aku menangis pada malam ke-enam setelah kepergianku
meninggalkannya. Sebab sore tadi, aku bertemu dengan laki-laki yang luar biasa pada
acara pesta. Lalu aku teringat dia malam ini, dan menangis. Tangisan yang sewajarnya.
Tangis perpisahan atas segala ingatanku kepadanya. Sebab besok malam aku akan
kencan dengan laki-laki luar biasa yang kutemui sore tadi. ***
Dua Kidung Malam

Herlino Soleman
Sumber: Kompas, Edisi 08/11/2002

SUDAH sangat biasa jika malam-malam begini ada yang mengetuk pintu, pastilah itu
Mayumi, tetangga saya. Bukan saja karena hal ini sudah berulang kali terjadi,
melainkan karena awal dini hari seperti ini hampir tak mungkin seseorang yang bukan
keluarga akan mengetuk pintu rumah orang, selain yang biasa dilakukan Mayumi
terhadap pintu apaato saya. Begitulah, karena saya sendiri masih belum tidur, segera
saya membukakan pintu, dan memang Mayumi tengah berdiri menunggu pintu dibuka.
Wajahnya yang cantik tampak rusuh, tapi menurut saya ini hal biasa. Ia selalu
menampakkan wajah rusuh agar saya bersedia melakukan yang diinginkannya. Akan
tetapi, kali ini saya sudah siap dengan alasan yang membuatnya merasa sulit untuk
memaksakan keinginannya. Karenanya sebelum mengatakan apa yang diinginkannya,
saya segera mengatakan bahwa malam ini, meskipun telah ngantuk sekali, saya harus
tetap terjaga untuk menyelesaikan pekerjaan yang harus dilaporkan besok pagi-pagi
kepada atasan saya. Alasan yang saya buat-buat ini jelas tak masuk akal menurut
pemikirannya, tetapi sudah berulang kali saya katakan kepadanya bahwa pekerjaan
saya memungkinkan dibawa dan dikerjakan di rumah. Dengan mengemukakan alasan
seperti ini saya berharap Mayumi mengurungkan keinginannya dengan menemui saya
pada awal dini hari begini meskipun wajahnya sudah terlanjur menampakan kerusuhan
hatinya. Usaha saya berhasil. Tanpa mengucapkan maksudnya menemui saya, setelah
mengucapkan maaf dengan sikap yang menunjukkan kebingungannya, segera ia
kembali ke rumahnya yang berbentuk ikkodate, yang berhadapan dengan apaato saya
yang sederhana. Akan tetapi, setelah membalikkan badan ternyata ia tak segera
melangkah. Ia berdiri saja seperti orang linglung, sehingga bagaimanapun saya merasa
penasaran. Meskipun demikian, karena saya sudah terlanjur mengemukakan alasan
yang sulit dibantahnya sebelum ia mengatakan maksudnya, saya tidak menunjukkan
apalagi menyatakan sikap penasaran saya. Biarlah kali ini saya menguatkan hati untuk
tak memenuhi keinginannya. Biarlah ia segera berlalu dari hadapan saya karena malam
ini saya ingin sendiri dan tak mau diganggu oleh siapa pun. Dan memang dengan
langkah gontai dan tampak lesu sekali, perlahan-lahan Mayumi meninggalkan halaman
apaato saya, sementara saya segera menutupkan pintu.

MALAM awal musim panas yang nyaman sering mempercepat kantuk karena udara
sudah hangat tapi belum terlalu panas menggerahkan. Akan tetapi malam ini, sejak
sebelum Mayumi mengetuk pintu, ada perasaan aneh yang menggelibat saya begitu
kuatnya, sehingga menjauhkan kantuk dari mata saya. Entah gelisah, gundah, atau
sekedar dilanda kebosanan tinggal di perantauan, saya tak tahu pasti. Yang jelas,
malam ini begitu kuatnya kenangan saya kepada ibu di kampung. Banyak hal yang
saya pikirkan tentang Ibu: kerentaannya, kesendiriannya karena ayah sudah lama
meninggal, harapan atas kepulangan saya sebagai anak satu-satunya untuk menemani
hidupnya pada masa tuanya, juga harapan yang sering dikatakannya setiap kali saya
menelpon bahwa beliau ingin segera punya menantu dan momong cucu yang telah
lama ia tunggu-tunggu. Ketika kenangan tentang Ibu buyar oleh ketukan pintu Mayumi,
setelah ia pergi dan saya menutupkan pintu, lamunan saya beralih memikirkan sikap
Nakamura. Tak dapat saya pungkiri bahwa akhir-akhir ini saya memang jadi banyak
berpikir tentang Nakamura dan hubungan saya dengan Mayumi, anaknya, yang jadi
hambar. Ah, lebih baik kalau dulu kami tetap saling tak acuh sebagai tetangga; cukup
hanya saling menyapa dengan salam keseharian ala kadarnya jika bersitatap di depan
pintu masing-masing atau berpapasan di gang atau di mana pun. Akan tetapi jalan
hidup telah menuntun kami pada kenyataan yang mengharuskan kami menjadi lebih
akrab. Hal itu terjadi tiga tahun lalu sejak kami, saya dan Nakamura, sama-sama
dirawat di ruangan yang sama di Kyoseibyoin. Waktu itu Nakamura dirawat karena
levernya kambuh akibat terlalu banyak minum sake saat pesta perayaan osyogatsu,
sedang saya dirawat karena menderita kanjonooyo. Dari situlah saya mengetahui lebih
jelas, hal ini sebelumnya sering menjadi pertanyaan dan dugaan saya, bahwa
Nakamura hanya hidup berdua dengan satu-satunya anaknya, sementara istrinya telah
diceraikannya karena minggat dengan laki-laki lain yang lebih muda darinya. Dari situ
pula saya mengetahui bahwa Mayumi sangat membenci ibunya dan sebaliknya ia
sangat menyayangi ayahnya.

"Tak diragukan bagaimana Mayumi menyayangi dan mengurusku dengan baik selama
ini, dan bagaimana seharusnya kelak ia menyayangi dan mengurus suaminya dengan
baik pula!" Kata Nakamura ketika suatu kali ia mengundang saya makan malam lama
setelah kami sama-sama pulang dari rumah sakit. Ia lalu melanjutkan, "Andai saja kau
merasa betah tinggal di negeri ini, dan tidak berniat kembali dan menetap di negerimu
lagi, mungkin aku tidak ragu-ragu menyetujui atau bahkan menyarankan agar kalian
menikah saja."

"Saya betah tinggal di negeri ini, Nakamura-san, tetapi saya pasti akan dan harus
kembali ke negeri saya suatu saat!" Kata saya segera untuk mengurangi suasana kikuk
saya dan Mayumi akibat kata-kata Nakamura yang begitu terus terang.

"Ya, sayang... sayang!" Katanya dengan nada jumawa. Meskipun demikian saya tidak
memperdulikan sikapnya yang didasari penilaian atas keberadaan negeri saya yang
selalu dikatakannya sebagai negeri yang suram, penuh KKN, dan pelaksanaan hukum
yang amburadul. Di lain pihak harus saya akui pula bahwa jika suatu saat Nakamura
berubah sikap, saya pun akan dengan senang hati menikah dengan Mayumi karena
sesungguhnya kami telah saling mencintai, meskipun masih dengan sikap yang penuh
keragu-raguan. Telah beberapa lama, meskipun dengan sikap ragu-ragu, kami
memang menjadi semakin akrab dan saling memberikan perhatian yang istimewa,
meskipun di depan ayahnya kami menampakkan sikap yang biasa-biasa saja. Sering
kami ngobrol berdua, jalan berdua untuk sekedar cari angin atau makan di luar, bahkan
sering pula malam-malam Mayumi mengetuk pintu untuk mengantarkan makanan
bikinannya dan kemudian berlama-lama di apaato saya untuk belajar bahasa dan
masakan negeri saya. Atas pertanyaan saya, suatu kali, Mayumi mengatakan bahwa
semua keberduaan kami diketahui ayahnya belaka.

"Tetapi ayahmu tak menyetujui hubungan kita jadi lebih dari sekadar persahabatan
kan?" Kata saya waktu itu.

"Ya, memang! Ayah tak pernah membayangkan hubungan kita akan lebih dari sekedar
persahabatan!"

"Hmm...!"
"Kenapa?"

"Jadi kita nggak serius?"

"Kenapa nggak serius? Saya ...saya..."Waktu itu Mayumi tak melanjutkan kata-katanya.
Saya diam saja dan tak menuntutnya melanjutkan apa yang ingin dikatakannya. Adalah
sangat wajar jika saya tak mengerti apa yang sesungguhnya dipikirkan dan
direncanakannya, sebab apa yang saya pikir dan rencanakan atas hubungan kami pun
saya tak tahu pasti. Apakah Mayumi mengira bahwa suatu saat saya akan menyatakan
bahwa akhirnya saya bersedia menetap di negerinya atau ia yang bersedia mengikuti
jika suatu saat saya kembali ke negeri saya. Toh ia sudah tahu bahwa saya hanya
memiliki seorang ibu yang harus saya urus kehidupan masa tuanya. Sama dengan
keberadaannya yang harus mengurus ayahnya karena ia tak rela memasukkan
ayahnya ke panti jompo. Bedanya, ibu saya masih memiliki dua orang adik yang penuh
pengertian, dan tentu juga dengan beberapa keponakan yang menemani dan tinggal di
rumah kami, sehingga meskipun saya meninggalkannya, masih ada yang menemani
ibu. Sedangkan Mayumi, jika ia meninggalkan ayahnya, tentu ayahnya yang semakin
kurus itu akan benar-benar sendiri karena ayahnya adalah anak tunggal. Demikian juga
ibunya yang kini entah di mana. Kakek dan nenek Mayumi dari ayah dan ibunya juga
anak-anak tunggal dari buyut-buyutnya. Pendeknya, semua keluarga di atas ayah dan
ibunya itu sudah habis.Menyadari kenyataan itu, karena saya juga harus segera
mempersiapkan diri untuk pulang dan kembali menetap di kampung halaman, sejak itu
saya mengatur diri sendiri secara lebih tertib, terutama menata perasaan saya bahwa
jika suatu saat saya pulang, Mayumi hanya sekedar menjadi kenangan. Meskipun
demikian, saya tidak menampakkan perubahan sikap yang drastis. Kami tetap bergaul
seperti biasa; menerima kedatangan Mayumi di apaato saya dan memenuhi undangan
makan malam Nakamura jika ia sedang agak sehat dan sudah kangen ingin ngobrol
dengan saya. Akan tetapi, hal ini pun semakin jarang karena kesehatan Nakamura
akhir-akhir ini semakin memburuk.

KEGELISAHAN saya ternyata beralasan. Melalui telepon, Haji Mahmud Soeharto,


paman saya, mengabarkan bahwa Ibu baru saja meninggal. Saya terdiam sementara
paman saya terus bicara. Menyadari saya diam saja, paman memanggil-manggil saya
dengan berteriak-teriak. Ia baru berhenti berteriak-teriak setelah saya menyahutinya.
Setelah itu, dengan suara dingin saya mengatakan bahwa sebaiknya Ibu segera
dikuburkan tanpa harus menunggu saya tiba di rumah. Nampaknya paman merasa
puas dan begitu hubungan terputus, saat itu juga saya menelpon pimpinan perusahaan
penerbangan negeriku untuk ikut menumpang pada penerbangan hari ini. Pimpinan
yang baik itu melayani telepon saya dengan baik meskipun dibangunkan awal subuh
musim panas yang sesungguhnya baru pukul setengah tiga dini hari. Dan tentu saja
saya mendapatkan tempat duduk dalam penerbangan hari ini juga.Mau tidur jelas
sudah tak mungkin sementara saya baru akan berangkat ke bandara Narita pada pukul
tujuh nanti. Saya lalu berniat keluar untuk menghirup udara segar. Aneh benar, setelah
berjam-jam diganggu perasaan yang ternyata sesungguhnya sedang diajak dialog oleh
ibu pada saat-saat terakhirnya, ketika hendak membuka pintu tiba-tiba perasaan saya
mengatakan bahwa Mayumi tengah berdiri di balik pintu. Mungkin ia ragu-ragu untuk
mengetuk pintu meskipun ia tahu bahwa saya belum tidur karena lampu ruang tengah
apaato saya masih menyala yang berarti saya masih belum tidur; kebiasaan saya yang
diketahui benar oleh Mayumi. Segera saya membuka pintu dan benar saja Mayumi
tengah berdiri di depan pintu. Sebelum saya menanyakan apa pun karena kaget oleh
kenyataan ini, Mayumi yang tampak telah sedikit menguasai dirinya segera bertanya
apakah kerja lembur saya sudah selesai. Tanpa menunggu jawaban saya, ia lantas
mengatakan,

"Sejak tadi saya belum masuk rumah karena merasa takut dan bingung. Mungkin saya
harus segera menelpon polisi dan ambulance begitu mengetahui bahwa ayah tidak
bangun-bangun sejak tidur sore dan memang tak akan bangun lagi karena sudah
meninggal. Tetapi sejak menyadari kenyataan ini saya selalu berpikir bahwa saya harus
memberi tahu dan minta tolong kepadamu. Mungkin juga saya linglung, saya tak tahu
apa yang harus saya lakukan. Tolonglah saya!"Sampai di situ Mayumi tercekat
keharuan dan berhenti bicara. Sampai di situ pula pikiran saya mampat. Dua kidung
malam mengalun bersamaan. Lagunya pedih mengiris-iris. Burung-burung gagak mulai
terdengar mengaok-ngaok di pepohonan. ***Tokyo, 2002

Catatan:
Ikkodate : rumah yang berdiri sendiri

Kyoseibyoin : nama rumah sakit

Osyogatsu : tahun baru

Kanjonooyo : bisul di hati

Apaato : apartemen
Rumah Baru

Pamusuk Eneste
Sumber: Kompas, Edisi 08/04/2002

PUKUL 16.30, telepon berdering di rumah baru dan asri di Gang Tenang dan Sejuk
Nomor 60, Jalan Kaliurang Km 6,60 Yogyakarta. ”Nah, itu telepon dari Bapak.”

”Bapak sudah tiba, Bu.”

”Tolong diangkat teleponnya.”

”Mudah-mudahan Bapakmu selamat.” Anak-anak yang berkumpul berteriak-teriak,

”Eyang datang!”

”Eyang datang!” Seisi rumah tiba-tiba menjadi sunyi ketika seseorang menuju tempat
telepon dan mengangkat telepon. Semua orang memusatkan perhatian pada siapa
yang menelepon dan apa berita yang disampaikan si penelepon.

”Apakah ini rumah Pak Jek?” tanya seseorang di ujung telepon.

”Betul.”

”Ini Kepala Stasiun Lempuyangan. Dimohon keluarga Pak Jek datang ke UGD Rumah
Sakit Sardjito.”

”Ada apa, Pak?”Si penelepon tidak mengatakan apa-apa kecuali kata emergency, lalu
menutup pembicaraan.Penerima telepon yang masih memegangi gagang telepon itu
hanya terpana dan tak tahu harus berbuat apa. Sesaat, ia tak mampu mengucapkan
sepatah kata pun.

”Dari Bapak, ya?”

”Bagaimana Bapak?”

”Bapak sudah nyampe di Tugu ya?”

”Bapak selamat ya?”Namun, istri Pak Jek dapat membaca wajah anaknya yang
menerima telepon itu. Wajah anak itu tahu-tahu menjadi pucat pasi. Seumur-umur, istri
Pak Jek tak pernah menyaksikan wajah anaknya sepucat itu. Duh Gusti! Pertanda
apakah ini?

“JANGAN masuk rumah baru pada usia 60 tahun,” kata seorang rekan Pak Jek.

Namun, Pak Jek menganggap omongan itu hanya guyonan. Angin lalu saja! Menurut
Pak Jek, itu hanya omong kosong. Takhyul. Mitos. Tak bisa dipercaya dan belum
pernah dibuktikan secara ilmiah.Itulah sebabnya, satu tahun menjelang pensiun, Pak
Jek sudah membangun rumah di Yogyakarta, tepatnya di jalan menuju
Kaliurang. ”Rumah buat hari tua” menurut istilah Pak Jek.Pak Jek memilih Yogyakarta
karena menurut dia Yogya cocok untuk orang pensiunan. ”Kotanya tenang dan tidak
terlalu besar. Dari ujung ke ujung bisa dicapai dalam tempo satu jam atau malah kurang.
Harga barang kebutuhan, terutama makanan, tidak semahal di Jakarta. Orang-
orangnya tidak sehiruk-pikuk orang Jakarta.”Pak Jek membeli tanah di jalan tak jauh
dari jalan raya menuju Kaliurang. Selama dibangun, sengaja Pak Jek tidak pernah
melihat rumah itu. Dia hanya memberikan gambar dan rancangannya pada tukang yang
dipercayainya. Ia baru akan melihat rumah itu dan menginjaknya pertama kali dalam
keadaan sudah jadi pada saat hari pertama pensiun nanti.”

”Tidak diawasi?” pembaca tentu bertanya.Pembangunan rumah hanya diawasi anak


Pak Jek yang tinggal di Yogya. Itu pun hanya sekali seminggu, hari Sabtu atau hari
Minggu.

”Biar ada kejutan,” kata Pak Jek memberi alasan.

”Semacam surprise-lah. Jadi, betul-betul rumah baru bagi saya. Baru saya lihat dan
baru pertama kali saya injak dan masuki.”Lalu, kita tentu bertanya, mengapa Pak Jek
memilih daerah Kaliurang. Mengapa tidak memilih Bantul, Sentolo, Gunungkidul,
Magelang, Prambanan, atau Klaten? Mengapa pula bukan daerah Parangtritis sekalian
biar dekat dengan laut?

”Saya suka daerah sejuk dan tenang. Masih banyak pepohonan hijau. Belum terpolusi
udaranya. Lagi pula, gampang kalau mau naar boven ke Kaliurang. Gampang pula
kalau mau bepergian melalui Stasiun Tugu atau Stasiun Lempuyangan.” Memang
sudah agak mahal ketika Pak Jek membeli tanah di situ lima tahun silam.

”Tapi tak apa. Cuma sekali kok dalam hidup saya. Toh akan kutinggali buat selamanya
sepanjang Tuhan memberiku umur.”

Menurut Pak Jek, mahalnya harga tanah di daerah Kaliurang karena ulah orang Jakarta
juga.”Orang Jakarta itu banyak duit dan rakus. Berapa pun harga tanah, mereka bisa
beli. Pokoknya, apa pun mereka bisa beli. Kalau ada binatang pemakan segala maka
orang Jakarta itu pembeli segala. Tak percaya? Coba saja tawari orang Jakarta apa
saja. Pasti mereka beli. Termasuk sampah dari luar negeri...”

RUMAH itu dibangun Pak Jek di atas tanah seluas 120 meter, dengan bangunan 60
meter persegi. Bukan karena Pak Jek tak mampu membeli tanah 500 meter, atau 1.000
meter, atau bahkan 1.200 meter. Pak Jek mempunyai pertimbangan sendiri mengapa
luas tanahnya hanya 120 meter persegi.”Makin luas tanahnya, tentu makin repot
pemeliharaannya. Makin luas pagarnya. Makin banyak tanamannya; makin banyak
sampahnya. Makin banyak rumputnya; makin lama memotongnya. Pokoknya, makin
banyak segala-galanya... termasuk biayanya.”

Mengenai bangunan yang hanya 60 meter persegi, Pak Jek juga punya pendirian.”Aku
hanya berdua dengan istri. Buat apa rumah besar? Makin besar rumah, tentu makin
banyak ruangannya. Makin banyak kebutuhan listriknya. Makin banyak air yang
diperlukan untuk mengepelnya. Makin capek menyapunya. Padahal, aku dan istriku
makin renta. Jadi, cukuplah 60 meter persegi.”

Anak Pak Jek yang di Surabaya pernah berkomentar,”Kayak rumah BTN saja,
Pak.”Namun, Pak Jek tidak tersinggung dengan kata-kata itu.

”Mbok, yang lebih besaran Pak rumahnya,” kata anaknya yang di Semarang.

”Lho, memangnya kamu mau ngurus rumah gede? Yang ngurus rumah itu kan aku
nanti. Rumahmu „kan di Semarang.”

Anak Pak Jek yang di Bandung pun pernah protes.”Kalau kita sekeluarga datang nanti
tidur di mana, Pak?”

”Ah, itu soal gampang. Di Yogya kan banyak hotel. Mulai dari hotel melati hingga
bintang lima. Kamu dan keluargamu ‟kan bisa tidur di sana. Setelah main-main seharian
di rumah Bapak, atau setelah keliling ke Borobudur, Prambanan, Parangtritis, Keraton
Yogya, kamu dan keluargamu kembali ke hotel. Enak, kan? Lagi pula, di rumah Bapak
kan tidak ada AC, ibumu tidak suka. Di hotel „kan ada AC-nya.”

”Lho, bukannya anak Bapak, menantu Bapak, cucu Bapak harus menginap di rumah
Bapak? Bagaimana sih Bapak ini?”

”Lho, yang mengharuskan itu siapa toh, Nak?”

”Lagi pula,” lanjut Pak Jek,

”kalau kamu dan suamimu serta anak-anakmu tidur di rumah Bapak pasti akan
merepotkan ibumu yang sudah tua. Harus masak ini dan itu untuk anakmu, padahal
mereka belum tentu suka. Ibumu juga akan repot menyiapkan ini dan itu. Bukankah
lebih praktis kalian tidur di salah satu hotel di Yogya? Lagi pula, lebih dekat ke
Malioboro. Dari rumah Bapak kan jauh ke Malioboro? Nanti uangmu habis disedot sopir
taksi Yogya yang nakal-nakal itu.”

Angka 60 itu pun ada artinya bagi Pak Jek. Pada usia 60-lah Pak Jek pertama kali akan
menginjakkan kaki di rumah itu, memasukinya, dan mulai tinggal di situ.Acara melepas
seseorang yang akan pensiun biasanya diadakan di aula perusahaan. Memang ada
juga yang diadakan di restoran yang kesohor. Bahkan ada pula yang diadakan di hotel
berbintang. Untuk orang berjabatan tinggi seperti Pak Jek, seorang direktur perusahaan
MNC, sebetulnya pelepasan seperti itu patut dilakukan di hotel bintang lima. Namun,
sudah jauh-jauh hari, Pak Jek mengingatkan para karyawannya,

”Kalian melepasku nanti tak usah di restoran atau di hotel yang mahal. Lebih baik sewa
restoran dan sewa ruangan hotel dibagi-bagikan pada karyawan saja, atau dijadikan
modal usaha perusahaan kita.”

Karena sudah di-wanti-wanti seperti itu, karyawan dan anak buah Pak Jek tidak
memikirkan macam-macam lagi. Mereka tahu, Pak Jek itu orangnya saklek bin tegas.
Sekali berkata A, berarti tak ada tafsiran lain di luar A.Oleh karena itu, panitia
pelepasan Pak Jek penasaran

”Kalau begitu, di mana dong Pak?”

”Nanti saya beri tahu,” ujar Pak Jek dengan kalem.

”Nanti kapan, Pak?”

”Sehari sebelum saya pensiun.”

”Lho, bagaimana mungkin, Pak, panitia bekerja sehari sebelumnya?”Pak Jek diam
sebentar, lalu,

”Ya, tak usah pakai panitia-panitia segalalah... Santai saja.”

”Bagaimana mungkin santai, Pak?

””Mungkin saja. Jadi, kalian tak perlu buang-buang waktu untuk panitia-panitiaan.
Mendingan kalian bekerja saja daripada sibuk dengan kepanitiaan. Lagi pula,
perusahaan kita bisa menghemat banyak waktu dan biaya.”

SEHARI sebelum berusia 60 tahun, Pak Jek menepati janjinya. Pak Jek menentukan
tempat pelepasannya di Stasiun Gambir, bertepatan dengan hari keberangkatan Pak
Jek menuju Yogyakarta.Para karyawan Pak Jek yang mendengarnya terperangah. Ada
di antara mereka yang nyaris tertawa terbahak-bahak mendengar kata ”Gambir”. Hanya
karena kesopanan sajalah karyawan itu menahan rasa gelinya mendengar kata itu.
Mereka hanya berkomentar yang lain dengan sesamanya.

”Bagaimana mungkin melepas seorang direktur perusahaan MNC di stasiun?”

”Di stasiun kereta kan berisik dengan orang-orang yang mau naik kereta api?”

”Tidak cocok, ah, di Gambir.”

”Lantas duduknya bagaimana?


””Acaranya bagaimana?”Meskipun karyawan Pak Jek tidak mengerti jalan pikiran bos
mereka yang akan pensiun itu, para karyawan toh berdatangan ke Gambir pada jam
yang ditentukan.Pak Jek akan naik kereta api Yogya Ekspres pukul 08.00 pagi. Pukul
07.00 Pak Jek sudah ada di Stasiun Gambir.Soal naik kereta ini pun sudah
menimbulkan bisik-bisik di kalangan karyawan.”Bos kita kok naik kereta sih? Apa nggak
salah tuh?””Naik kereta „kan tidak pernah tepat waktu. Selalu molor!””Kenapa tidak naik
pesawat terbang saja? Satu jam sudah nyampe.””Makanan di kereta ‟kan tidak
enak.””Kereta api kita kan ada tikusnya!”Rupanya, Pak Jek tahu suara batin para
karyawannya itu. Oleh karena itu, ia memberi penjelasan berikut.”Selama ini „kan saya
naik pesawat terbang terus ke mana-mana dengan biaya perusahaan karena peraturan
perusahaan mensyaratkan demikian. Seorang direktur harus naik pesawat terbang ke
mana-mana demi efisiensi. Sekarang, boleh dong saya naik kereta api atas kemauan
sendiri... dan juga atas biaya sendiri.”Para karyawan pun manggut-manggut. Entah
pertanda mengerti, entah pertanda bingung mendengar penjelasan Pak Jek.Acara
perpisahan itu hanya berlangsung beberapa menit. Setelah pihak perusahaan
membeberkan jasa Pak Jek selama 30 tahun bekerja, Pak Jek pun mengucapkan satu
dua patah kata.”Terima kasih atas kerja sama kalian selama ini,” kata Pak Jek
mengakhiri kata-katanya.Tidak ada acara penyerahan kado kepada Pak Jek karena
Pak Jek sebelumnya sudah mengatakan,”Pada acara di Gambir, tak usah ada acara
penyerahan kado kepada saya. Toh saya sudah dapat banyak dari perusahaan selama
ini. Lebih baik uang untuk kado itu digunakan untuk kepentingan perusahaan saja. Lagi
pula, rumahku yang baru cuma enam puluh meter persegi, kok. Jadi, tidak bisa muat
banyak barang, termasuk kado dari kalian.”Secara bergiliran, para karyawan pun
menyalami Pak Jek. Ada yang memeluk Pak Jek. Ada yang hanya memegang kedua
bahunya. Ada yang menyalami dengan dua tangan. Ada yang hanya menyalami
dengan satu tangan. Ada pula yang mencium tangan Pak Jek. Beberapa wanita hampir
menitikkan air mata. Bahkan bekas sekretaris Pak Jek tak sanggup menahan air
matanya. Mungkin dia punya kesan dan kenangan tersendiri terhadap Pak Jek. Siapa
tahu.Beberapa saat kemudian, dari mikrofon terdengar pengumuman.”Para penumpang
kereta api Jogja Ekspres dipersilakan naik ke kereta api. Terima kasih.”Beberapa detik
kemudian, terjadilah hiruk-pikuk di peron antara calon penumpang, pengantar, dan kuli
angkut. Calon penumpang berdesakan di pintu gerbong kereta api, sedangkan
pengantar yang berada di atas juga berdesakan hendak turun.”Hati-hati copet, Pak,”
ujar seseorang.PAK Jek menempati gerbong 6 nomor 6A di dekat jendela. Kursi di
sebelahnya, nomor 6B, masih kosong. Namun, Pak Jek tidak mau ambil pusing.Dari
mikrofon di langit-langit kereta api terdengar suara wanita.”Selamat pagi para
penumpang kereta api eksekutif Jogja Ekspres yang terhormat. Terima kasih atas
kepercayaan Anda menggunakan kereta api Jogja Ekspres. Perjalanan kita ke
Yogyakarta memakan waktu delapan jam. Kereta hanya berhenti di Stasiun Cikampek,
Stasiun Cirebon, dan Stasiun Purwokerto. Kami akan menyediakan makan siang untuk
Anda selepas Stasiun Cirebon dan menyediakan makan kecil serta secangkir teh
selepas Stasiun Jatinegara.”Begitu kereta api meninggalkan Stasiun Gambir, hal
pertama yang dilakukan Pak Jek adalah mengeluarkan Ericsson T39 dari kantong
jaketnya. Lalu, Pak Jek mengirim SMS ke keluarganya di Yogya.

”Saya sudah berangkat dari Gambir pukul 08.00. Tiba di Tugu pukul 16.00. Tak usah
dijemput.”Istri Pak Jek memang sudah berangkat lebih dahulu ke Yogya, menunggu di
rumah baru. Begitu pula empat orang anak Pak Jek (dari Surabaya, Semarang,
Bandung, dan Yogyakarta) lengkap dengan anak-anak mereka. Pak Jek ingin, keluarga
besarnya menyambutnya di rumah baru saja. Tidak di Stasiun Tugu!Setelah
memasukkan HP-nya kembali ke kantong jaket bagian dalam, mata Pak Jek pelan-
pelan mulai meredup. Pak Jek baru terbangun ketika petugas kereta api memeriksa
tiket.Pak Jek tidak tahu persis sudah melewati stasiun mana pemeriksaan itu dilakukan.
Pak Jek juga tidak tahu, kapan pramugari kereta menaruh secangkir teh dan makanan
kecil di meja kecil di depannya.Pak Jek memang gampang tertidur. Kapan saja, di
mana saja, ia gampang terlelap. Di rumah pun selalu begitu. Begitu bertemu dengan
bantal, Pak Jek langsung pulas. Bertemu sofa empuk, jika ditinggal sendirian, Pak Jek
juga bisa terlena. Bagusnya, Pak Jek tidak mengorok.Pak Jek pulas lagi setelah
menyeruput teh di meja kecil sampai habis. Itu berlangsung hingga tiba saat makan
siang selepas Stasiun Cirebon.

”Pak, makan siang Pak,” kata pramugari.Pak Jek membuka mata, lantas menerima baki
yang disodorkan pramugari kereta api.Makanan di kereta api Jogja Ekspres itu memang
tidak mengundang selera Pak Jek. Secuil nasi putih. Sepotong paha ayam goreng yang
keras. Secuil kol putih yang dioseng-oseng dan sebuah pisang raja. Ada pula sendok
garpu, tusuk gigi, dan sepotong tisu. Namun, tetap saja Pak Jek menghabiskan isi baki
itu. Menurut Pak Jek, setiap makanan harus disyukuri meski makanannya tidak
mengundang selera.Pak Jek sudah sering mendengar keluhan mengenai makanan itu
dari para karyawannya. Namun, Pak Jek tetap saja memilih naik KA Jogja Ekspres. Ada
beberapa dugaan Pak Jek mengenai makanan di KA Jogja Ekspres itu. Barangkali
alokasi dana untuk makanan para penumpang memang terbatas. Atau selera petinggi
kereta api, khususnya Jogja Ekspres, yang kurang baik sehingga tega membagikan
makanan yang kurang membangkitkan selera bagi para penumpang. Boleh jadi,
anggaran untuk konsumsi penumpang disunat para pemimpin perusahaan kereta api.
Siapa nyana.

PAK Jek tidak tahu bahwa Jogja Ekspres sudah melewati Stasiun Purwokerto, Stasiun
Kebumen, Stasiun Kutoarjo, dan Stasiun Sentolo. Berarti Yogya sudah hampir tiba.
Tinggal beberapa kilometer lagi.Sambil meluncur ke arah timur, dari mikrofon kereta api
terdengar suara pramugari.

”Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan memasuki Stasiun Tugu.
Dimohon Anda mempersiapkan barang-barang bawaan. Jangan sampai ada yang
ketinggalan. Terima kasih atas kepercayaan Anda memilih kereta api Jogja Ekspres.
Kami mohon maaf bila ada pelayanan yang kurang memuaskan Anda. Sampai bertemu
lagi pada kesempatan lain.”Penumpang-penumpang mulai bergegas meraih barang-
barang yang ada di tempat bagasi atas. Para wanita mulai menata rambut mereka dan
memoles bibir. Bapak-bapak menyempatkan diri ke toilet. Anak-anak pun mulai
ribut.Hanya Pak Jek yang tetap di tempatnya. Bantal kecil masih tetap menutup
mukanya. Ia seperti tidak ambil pusing dengan orang-orang yang hiruk-pikuk
menyongsong Stasiun Tugu. Tas kecilnya masih tetap megogok di atas kepala Pak
Jek.Begitu kereta melewati jembatan di atas Jalan Tentara Pelajar, kuli-kuli angkut—tak
ubahnya Tarzan dalam film kartun—mulai berloncatan ke dalam gerbong kereta.

”Barangnya, Pak.”
”Angkat barang, Bu.”

”Bisa saya bantu, Pak.”

”Barangnya saya bawa, Bu.”

”Mari Bu saya bantu.”

”Kopernya saya bawa, Pak.”

KERETA api Jogja Ekspres yang baru datang dari di Stasiun Tugu sedang dilangsir di
Stasiun Lempuyangan. Di sana kereta dibersihkan dan nanti malam akan berangkat
kembali ke Jakarta.Namun, seorang tukang sapu kaget masih ada penumpang yang
tetap duduk di gerbong 6 nomor 6A persis dekat jendela. Bantal menutupi mukanya.

”Pak, bangun, Pak!”Orang yang dibangunkan tak bereaksi.

”Sudah sampai, Pak!”Tukang sapu itu pun memanggil temannya.

”Coba kamu yang bangunkan.”Tukang sapu kedua coba membangunkan.

”Pak sudah sampai Yogya, Pak. Bangun, Pak!” Orang yang dibangunkan tetap
bergeming.Lantas, tukang sapu itu mengambil bantal dari muka penumpang itu.Tak ada
respons.Tukang sapu satunya memegang tangan dan kemudian menggoyang tubuh
laki-laki berusia 60 tahun itu.Laki-laki itu tak juga bangun. Bereaksi sedikit pun
tidak.”Keasyikan mungkin tidurnya.”

”Terlalu capek mungkin dari Jakarta.”

”Mungkin baru kali ini dia naik sepur eksekutif.”Karena tak bereaksi sedikit pun, kedua
tukang sapu itu memanggil tukang-tukang sapu yang lain.Setelah dicoba berulang kali,
penumpang itu tetap saja tak mau bangun.Karena tak bereaksi juga, para tukang sapu
menghubungi petugas stasiun.Petugas stasiun pun naik ke gerbong 6.Petugas itu
mencoba memegang tangan penumpang di nomor 6A. Dipegangnya lagi dan dirasa-
rasakannya lebih cermat (seperti dokter memeriksa pasien). Lalu tiba pada
kesimpulan.”Lha, tangannya sudah dingin ‟gitu kok...”Petugas itu kemudian meraba
dada penumpang itu.
”Napasnya kok tidak terasa lagi...”

”Jangan-jangan sakit jantung...”

”Jangan-jangan sudah seda...” ***Jakarta, 2002


Asmoro

Djenar Maesa Ayu


Sumber: Kompas, Edisi 07/28/2002

ASMORO, waktu kita hampir habis.

LANGKAH Asmoro mencipta gaung di sepanjang lorong kosong itu. Kekosongan yang
sama menyita hati Asmoro. Kekosongan itu mengirimkan hanya satu gema yang terus
bergaung di telinganya, Adjani bersimbah peluh.Adjani bersimbah peluh. Pelupuk
matanya merapat. Tampak guratan-guratan halus di bawah matanya ketika kulit
wajahnya menegang dan mulutnya terkatup. Adjani menahan luka. Orang-orang di
sekeliling Adjani membisu. Semua menahan napas. Semua tidak berani bergerak.
Ruangan itu begitu sunyi. Sangat sunyi hingga suara sehelai rambut yang jatuh bisa
membuat siapa pun yang berada di dalam ruangan itu terlunjak dari kursi. Tetapi,
mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menyaksikan Adjani menahan luka. Tidak
ada yang berani bertanya di mana persisnya Adjani terluka. Atau mengapa Adjani bisa
terluka. Mereka hanya tahu Adjani luka. Luka yang begitu dalam. Luka yang begitu
perih. Luka dari segala maha luka. Adjani bersimbah peluh. Pipinya merah terbakar
matahari. Kuncir rambutnya bergerak-gerak setiap kali kakinya mengentak tanah.
Sesekali ia mengusap peluh di dahi yang menetes ke matanya dengan handuk yang ia
selendangkan di bahunya. Tetapi, tidak sekalipun ia menghentikan larinya. Kadang-
kadang ia biarkan saja peluh itu menetes hingga mulutnya. Setiap kali Adjani membuka
mulut untuk membuang napas, maka masuklah tetesan keringat itu dan menyebabkan
rasa asin di lidahnya.Ketika Adjani berlari, tidak akan ada yang dapat menghentikannya.
Waktu ia menyeberang jalan, mobil-mobil langsung berhenti. Bahkan, lampu lalu lintas
yang tadinya berwarna merah, berubah hijau dan membiarkan Adjani lewat. Kalaupun
ada Metro Mini ngebut yang tidak sempat menginjak rem ketika Adjani melintas secara
mendadak, yang terjadi hanyalah Metro Mini itu menembus tubuh Adjani bagai
menembus udara. Jika ada mobil yang kebetulan posisinya menyamping di depan
Adjani, langsung terbelah dua. Jembatan rubuh berdiri kembali seperti adegan ulang
dalam kamera. Sungai terbelah. Tembok tinggi merendah. Tidak ada satu pun yang
dapat menghentikan Adjani.Cerita tentang Adjani segera tersebar dari mulut ke mulut.
Menyeberang dari satu telinga ke telinga, rumah ke rumah, sungai ke sungai, laut ke
laut dan benua ke benua. Berbagai media massa baik koran maupun televisi meliput
berita tentang Adjani. Para fotografer, kuli tinta, reporter lengkap dengan helikopter
menunggu Adjani di setiap sudut jalan. Yang tidak kuat mengimbangi lari Adjani
terpaksa mewawancarai di atas mobil, motor, bahkan bajaj. Selain wawancara dan
melihat keajaiban yang disebabkan Adjani, mereka berharap menjadi orang pertama
yang dapat mengabadikan saat-saat Adjani menyerah dan berhenti berlari. Maka, pada
setiap headline koran-koran, majalah-majalah, siaran radio, talk show, siaran berita
televisi, semua memuat, menceritakan dan membahas Adjani.Di dalam sebuah kamar
apartemen ukuran studio, sebuah televisi berukuran 24 inci juga sedang menayangkan
talk show tentang Adjani. Bintang tamunya seorang produser besar Hollywood sedang
diwawancara, apakah ia tertarik membuat film tentang Adjani. Tetapi, di dalam ruangan
itu tidak ada penonton. Pesawat televisi yang panas, kursi ruang tamu dari rotan yang
berdebu, asbak keramik berisi putung-putung rokok yang tidak pernah dibersihkan,
pendingin ruangan yang tidak dinyalakan, onggokan baju-baju kotor yang berbau tidak
sedap di dalam laundry room sebelah ruang tamu, menjadi bukti bahwa si pemilik
apartemen mungil itu sudah lama tidak pernah keluar kamar.Sudah hampir sebulan
Asmoro mengunci diri di dalam kamar dan putus hubungan dengan dunia luar maupun
berita-berita lokal dan mancanegara. Asmoro hanya mau menulis. Sudah lama Asmoro
tidak dapat menulis. Tetapi, sebulan menyepi tidak juga membuat Asmoro dapat
menulis. Di tengah-tengah rasa putus asa, Asmoro mendengar jendela kamarnya
diketuk dari luar. Awalnya ia tidak mempedulikan. Tetapi, ketukan itu tidak juga berhenti,
walaupun terkesan tidak memaksa. Ketukan itu begitu halus dan begitu menggoda. Hati
Asmoro yang tergoda akhirnya memutuskan untuk melirik ke jendela. Tetapi, tidak ada
apa-apa di sana, sementara ketukan itu terus membahana. Barulah Asmoro sadar, ia
berada di lantai ketujuh. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengetuk jendelanya?
Asmoro berjalan mendekati jendela lalu membukanya. Saat itu angin dingin sepoi
menampar mukanya. Tangan-tangan angin dengan lembut menarik wajah Asmoro dan
mendekatkan bibirnya di dekat telinga Asmoro. "Adjani bersimbah peluh," bisik angin,
lalu pergi meninggalkan Asmoro sendiri di kamarnya. Mendadak perut Asmoro
keroncongan. Sudah tidak pernah ia bernafsu makan, padahal sudah sebulan ia hanya
minum air mineral dan penganan ringan. Asmoro ingin segera memesan makanan dari
brosur-brosur yang ditaruhnya di bawah meja ruang tamu. Pada saat itulah ia melihat
pesawat televisi yang masih menayangkan talk show. Di sela-sela talk show itu
terkadang ditampilkan insert gambar Adjani yang berlari. Adjani yang bersimbah peluh.

ADJANI bersimbah peluh. Lalu ada dua Adjani bersimbah peluh. Lalu empat Adjani
bersimbah peluh. Lalu delapan Adjani bersimbah peluh. Penggandaan Adjani
bersimbah peluh terus tumbuh hingga kepala Asmoro sudah tidak lagi punya ruang bagi
hal lain, kecuali Adjani bersimbah peluh. Peluh yang membungkus tubuh Adjani
bersinar keemasan tertimpa matahari. Dari sinar keemasan itu beterbangan ratusan
kupu-kupu, kumbang, dan burung-burung gereja. Sinar keemasan itu menyerbak wangi
bunga. Kadang mawar. Kadang melati. Kadang sedap malam. Kadang lili. Dari sinar
keemasan itu juga keluar nada lagu. Irama musik sendu mendayu-dayu. Menyerang
segenap jiwa Asmoro. Menyekap pikirannya untuk hanya terpaku pada Adjani yang
bersimbah peluh.Duduk di bawah temaram lampu sorot di atas meja, Asmoro
menumpahkan segenap pikirannya itu ke dalam tulisannya. Adjani yang berlari dengan
kupu-kupu. Adjani yang menyeka peluh di hidungnya dengan handuk. Derap kaki
Adjani yang teratur. Mata Adjani yang menyipit ketika sinar matahari menyeruak dari
sela-sela dedaunan pohon gundul. Naik-turun dada Adjani mengatur napas. Tangan
Adjani yang mengepal ke depan dan bergerak kiri-kanan. Dan setiap kali Asmoro
mengetik huruf per huruf demi melukiskan Adjani, ia mendengar suara musik nan indah
menerpa telinganya. Ia mencium semerbak bunga yang mewangi dari tubuh Adjani.
Asmoro mabuk kepayang. Ia tidak dapat berhenti menulis. Dan semakin ia menulis,
gambaran Adjani bersimbah peluh makin lama makin mendekat ke dirinya. Asmoro
dapat mendengar sayup-sayup derap kaki Adjani dari kejauhan, lalu makin lama
semakin jelas tertangkap pendengaran. Dan bau wangi yang samar-samar, lama
kelamaan makin tajam. Suara lembut denting piano tunggal, berubah menjadi kesatuan
orkestra besar. Asmoro menunggu Adjani.Adjani bersimbah peluh, terus berlari di
bawah samudera. Di kiri kanan dan depan Adjani air laut menjulang tinggi sementara di
belakangnya air laut runtuh kembali. Oleh sebab itu tidak ada lagi yang mengikuti di
belakang Adjani kecuali helikopter yang terbang rendah di atasnya. Air laut yang
menjulang tinggi itu bagai akuarium bawah laut raksasa. Ada gurita, paus, ikan pari,
dan berbagai jenis hewan laut menontonnya. Kadang-kadang kaki telanjang Adjani
menginjak bangkai ikan juga bangkai bekas kapal karam. Peluh yang membungkus
tubuh Adjani kini berwarna jingga kemerah-merahan tertimpa matahari senja. Dari sinar
kemerahan itu, burung-burung senja berkepakan terbang dan sebagian yang tertinggal
di belakang mau tidak mau tertelan air laut yang siap luruh bagai pohon tumbang.
Walaupun matahari tidak lagi bersinar dengan garang, tubuh Adjani masih bersimbah
peluh. Asin keringatnya bertambah ketika bercampur dengan percikan air laut. Ketika
Adjani hampir sampai di mulut pantai, angkasa sudah menyulap senja menjadi malam.
Bulan bersinar temaram. Bintang-bintang bercengkerama dan ada dua bintang yang
asyik bercanda sambil berdorong-dorongan, hingga bintang yang satunya jatuh dari
cakrawala. "Bintang jatuh," bisik Adjani dalam hati sambil terus berlari. Adjani tahu,
seharusnya ia memohon satu permintaan yang konon akan terkabul jika melihat bintang
jatuh. Tapi Adjani tidak punya keinginan apa-apa selain berlari tanpa henti. Dan ia pun
sangat tahu, ia tidak akan berhenti. Tidak akan ada yang dapat menghentikannya
berlari. Pada saat itu juga melintas angin yang sama dengan angin yang baru saja
mengetuk jendela apartemen Asmoro. Angin itu membuka hidung Adjani dan
mengantarkan aroma segar tubuh laki-laki. Dan Adjani terkaget ketika menjilat peluhnya
sendiri. Peluh itu tidak hanya asin, tetapi juga ada sedikit rasa manis madu menggoda
lidahnya. Bintang yang jatuh hampir saja tenggelam hilang dari penglihatan Adjani
ketika Adjani memohon, "Antarkan saya kepada aroma segar ini. Antarkan saya kepada
rasa manis di lidah ini."

ASMORO, waktu kita hampir habis.Adjani bersimbah peluh. Sudah hampir dua ratus
halaman yang diketik Asmoro demi menggambarkan pujaan hatinya Adjani yang berlari
dan bersimbah peluh. Sementara derap kaki Adjani makin jelas. Dengus napasnya
semakin dekat. Suara orkestra semakin keras. Dan wangi bunga memenuhi seluruh
ruangan apartemen Asmoro. Namun, Asmoro tidak bisa berhenti menulis. Bahkan ia
tidak dapat memperlambat laju tangannya sendiri. Asmoro tahu, sebentar lagi
tulisannya selesai. Asmoro tahu sebentar lagi ia akan bertemu Adjani sekaligus
berpisah dengan Adjani.Adjani bersimbah peluh. Ia berlari menyusuri jalan raya yang
padat. Lautan manusia berdiri di sisi kiri dan kanannya. Jalanan macet total. Lampu-
lampu lalu lintas tidak bekerja. Indeks harga saham berhenti karena tidak ada transaksi.
Semua orang keluar dari rumah, gedung perkantoran, restoran, hanya untuk
menyaksikan Adjani. Aktivitas di kota itu lumpuh. Seorang reporter meliput,

"Sudah ada tanda-tanda kelelahan pada Adjani, tetapi Adjani terus berlari tanpa mau
menjawab satu pun pertanyaan wartawan. Adjani hanya bergumam... Asmara...
Asmara... mungkinkah Adjani sedang jatuh cinta?"

Dari liputan itu, stasiun-stasiun televisi lain segera menayangkan gambar-gambar


Adjani yang pernah disiarkan. Semua yang berbicara dengan Adjani diperhatikan
secara saksama, dengan harapan mereka dapat menjawab teka-teki asmara Adjani.
Ada juga yang mendramatisir adegan wawancara Adjani dengan seorang wartawan
muda dan langsung dihubungkan dengan pertalian asmara. Semua orang dari seluruh
pelosok dunia tinggal di rumah atau menghentikan kegiatan hanya untuk mengikuti
kisah asmara Adjani. Segala asumsi pun merebak. Kapan mereka berciuman? Pastilah
pacar Adjani pelari, jadi mereka bisa berciuman sambil berlari. Atau orang kaya,
sehingga bisa menyewa helikopter supaya setiap saat bisa berdekatan dengan Adjani.
Atau jangan-jangan orang kaya itu, salah satu pemilik stasiun televisi? Hanya ada satu
perdebatan, satu suara, satu tema di seluruh dunia, yaitu Adjani.Di kota itu, satu-
satunya orang yang bertahan dalam gedung ketika semua orang turun ke jalanan untuk
menyaksikan Adjani lewat adalah Asmoro. Tangan kirinya memegang kencang tangan
kanannya, tetapi tangan kanannya melawan dan terus mengetik. Lantas tangan
kanannya berubah menghentikan tangan kiri, dan tangan kirinya yang ganti melawan
balik dan terus mengetik. Asmoro tidak dapat berhenti. Sama seperti Adjani yang tidak
bisa berhenti. Keletihan di muka Adjani yang tertangkap mata-mata penontonnya, tidak
lain adalah keletihan yang diakibatkan karena Adjani berusaha keras menghentikan
kaki-kakinya seperti Asmoro yang sedang berusaha menghentikan kedua tangannya.
Ada pergulatan aneh yang merasuki mereka berdua. Keinginan yang meledak-ledak
untuk segera berjumpa dan keinginan untuk lebih lama bersama, bagai satu mata koin
dengan sisi yang berbeda. Betapapun besar usaha mereka untuk memperpanjang
kebersamaan, sebesar itu pulalah usaha mereka untuk segera menyudahi. Adjani
bersimbah peluh. Peluhnya menetes di atas marmer dingin lobi apartemen dan
menguap ke atas kamar Asmoro.
ASMORO, waktu kita hampir habis.Asmoro bersimbah peluh. Dihirupnya dalam-dalam
aroma peluh Adjani ketika tangannya berhenti pada titik terakhir tulisannya.Adjani
bersimbah peluh. Jatuh tersungkur di depan pintu Asmoro. Pelupuk matanya merapat.
Tampak guratan-guratan halus di bawah matanya ketika kulit wajahnya menegang dan
mulutnya terkatup. Adjani menahan luka. Semua orang yang mengikuti di belakang
Adjani terdiam. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Tidak ada yang berani
meliput. Tidak ada yang berani bertanya. Mereka hanya dapat iba menatap tubuh
Adjani yang tergeletak di atas karpet, hingga akhirnya menjelma menjadi seekor kupu-
kupu.Asmoro membuka pintu kamar apartemennya. Langkah Asmoro mencipta gaung
di sepanjang lorong kosong itu. Kekosongan yang sama menyita hati Asmoro.
Kekosongan itu mengirimkan hanya satu gema yang terus bergaung di telinganya,
Adjani bersimbah peluh. Dan abadi di atas tumpukan kertasnya, yang
mengumandangkan kepak sayap kupu-kupu....

***Jakarta, 21 April 2002, 14:47:47 Untuk sebulan bersama Asmorodadi


Panikov

Laban 'Nyonyo' Abraham

Sumber: Kompas, Edisi 04/14/2002

SUDAH hampir lima tahun ia duduk di beranda izba1, badannya dibungkus mantel yang
sebagian lapuk dan terdapat banyak bolong. Orang di seluruh sudut desa
memanggilnya Panikov si pemain seruling. Dulu, lima tahun yang lalu, izba itu didiami
oleh seorang tua yang kurang lebih berpenampilan sama sepertinya, bermantel lusuh,
hanya duduk diam di depan beranda berseberangan dengan danau yang sama, di
bawah poster besar bertuliskan:

"Hidup Tentara Merah".Yang sedikit berbeda mungkin si Tua tidak meniup seruling
seperti Panikov. Di izba yang reyot, peot dan hampir rubuh itulah Panikov berselingkuh
dengan alamnya yang penuh nada memuakan. Banyak pembunuhan, penyiksaan
disaksikannya waktu masih tinggal di kota, dan semuanya dilegalkan sebagai bingkai
peradaban hingga terseret sampai ke desa tempat tinggalnya sekarang. Semuanya
terkesan halal di balik sejarah, yang gagal mendefinisikan pengkhianatan dan
kebebasan untuk si tua, ayahnya tercinta.Desa tempat Panikov tinggal terletak di
dataran tinggi, dikelilingi hutan, berjarak sembilan puluh lima versts (sekitar lima puluh
tujuh mil) dari Kota St Petersburg, kota yang sudah dua kali berganti nama. Ia tak
pernah mengungkapkan alasan, mengapa sampai kembali ke desa kelahirannya yang
terpencil kepada penduduk, yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Yang mereka
tahu Panikov mulai terlihat di Izba-nya sejak ayahnya mati di tembak serdadu-serdadu
dari kota. Pernah suatu kali, Anna seorang gadis remaja enambelas tahun berparas
manis, yang kebetulan tinggal di sebelah izba-nya dan hampir setiap sore
mengantarkannya makanan berupa bubur gandum, bertanya kepada Panikov tentang
keberadaannya di desa itu. Panikov hanya menjawab.

"Di kota tak ada lagi ruang untukku, setiap kalimat selalu disambut dengan teriakan
'hidup revolusi', selalu itu yang diungkapkan orang-orang di kota laknat. Dan kau tahu
gadis kecil? Ayah menghendaki diriku tinggal di sini, sampai saatnya tiba!!"Dan ketika si
gadis kecil ingin bertanya lebih lanjut dengan rasa penasaran yang menggunung,
cepat-cepat ia meniupkan seruling dengan lagu-lagu kebangsaan negaranya, yang ia
kenal selama tiga puluh tahun, dengan maksud menghindar.Serta merta Panikov
berhenti dan menjauhkan seruling dari bibirnya karena kaget. Ia tak sadar ternyata
Anna sudah berada persis di sebelahnya. Ia berpaling memandangi Anna dengan mata
yang sangat marah, sehingga memaksa Anna untuk mundur selangkah.Keadaan yang
hening di dalam ruangan itu digunakan Anna untuk berbicara.

"Tentara-tentara dari kota itu datang lagi."Panikov menaruh serulingnya, lalu mengganti
lilin yang sudah hampir mati. Lalu ia angkat bicara.

"Kenapa? Biarkan saja mereka datang kemari. Tanpa mereka udara desa ini akan
semakin dingin."

"Tapi..." Anna yang mencoba melanjutkan kalimatnya langsung dipotong oleh suara
seruling Panikov yang menuju ke depan jendela.Sementara itu, orang-orang desa di
luar dikagetkan oleh kedatangan segerombolan tentara di kegelapan dari arah timur
desa.

"Hey, kalian! Cepat! Cepat berkumpul di sana!" salah satu tentara menghardik serta
memaksa ke seluruh orang desa yang ada di luar rumah dan menunjuk ke arah alun-
alun desa. Mereka tiba-tiba saja menjadi patuh, seperti biri-biri yang digiring dan
berjalan ke arah yang ditunjuk oleh si tentara.Mereka tak mau lagi ditendangi seperti
kejadian lima tahun yang lalu. Beberapa tentara memeriksa ke dalam setiap rumah di
desa itu, dan Panikov... yach Panikov masih berada di dalam izba-nya, meniup
serulingnya. Sementara Anna sudah sepuluh menit yang lalu berlari ke luar menuju
alun-alun desa mengikuti orangtuanya.

"Brak...!" Terdengar pintu rumahnya ditendang oleh para tentara dan langsung
menggeledah isi rumahnya. Panikov terus meniup serulingnya. Kali ini ia sudah tak
memainkan lagu kebangsaan negaranya, hanya keluar nada tak karuan yang terdengar.
Panikov diseret, tentara itu menarik kerah bajunya hingga ke jalan berbatu depan izba.
Dirampasnya seruling Panikov lalu dilemparkan jauh ke tengah danau.Menjelang pagi
di alun-alun desa sudah banyak orang berbaris menjadi kumpulan orang yang kesepian,
diam dan hening. Hampir semuanya hanya memakai baju tidur, tanpa mantel dan
menggigil kedinginan. Muka mereka pucat seperti hendak mati. Di depan mereka,
terlihat seorang tua tergantung di pohon besar di tengah alun-alun desa, mengikuti
dengan tali melilit di leher dan beberapa lubang peluru terdapat di danau depan izba
harta peninggalan ayahnya. Ia ikat leher mayat itu dan dikalunginya batu besar lalu
dibenamkan ke dalam danau.Saat ini, ia tengah memandang danau tempat ayahnya
dibenamkan. Kata orang desa, ayahnya ditembak di tengah alun-alun desa dan sampai
sekarang Panikov tak tahu sebab, mengapa ayahnya ditembak.Yach Panikov ingat.
"Persetan!" gumamnya. Ia menangis, lalu diam lagi, selanjutnya ia tiup seruling yang
sedari tadi ia pegang dengan lagu yang sama saat ia meninggalkan gudang percetakan
di kota lima tahun lalu, air matanya membeku akibat udara dingin malam.Malam
semakin pekat dan Panikov belum lelah meniup serulingnya. Tiba-tiba Panikov melihat
dua mobil truk tentara melintas depan rumahnya dengan sorot lampu yang benderang.
Panikov tak peduli. Ia terus meniup dan meniup. Kadang-kadang ia berhenti sebentar
untuk berteriak.

"Oh... tentara bajingan! Oh... kota laknat! Aku rindu kalian, datanglah kemari! Akan
kuberi kalian surga kemerdekaan!" Terus... dan terus ia meniup, berteriak dan meniup
seruling-nya lagi. Sampai sekitar setengah jam kemudian di sebelah timur danau
terlihat cahaya merah kekuning-kuningan, indah menakjubkan. Panikov tidak peduli.
Para tetangganya berhamburan dari dalam rumah dan berteriak.

"Api...! Itu api...! Di sebelah timur desa ada api...! Hey, Panikov keluarlah, cepat lihat
apa yang terjadi!" Panikov berhenti sejenak. Ia memandang keluar melalui jendela kayu
itu. Ia enggan ikut bergabung, lalu berteriak,

"Oh... tentara bajingan! Oh... kota laknat! Kau kabulkan permintaanku! Terimakasih!"

Panikov kembali memainkan serulingnya, sementara itu lebih banyak dari tetangganya
berkerumun di pekarangan rumahnya masing-masing untuk melihat apa yang terjadi di
seberang sana. Anna si gadis tetangga mengetuk pintu rumah Panikov sambil berteriak.

"Panikov! Panikov! Keluarlah Panikov! Ini aku, Anna".


Tak ada sahutan. Yang terdengar hanya bunyi seruling. Panikov tak bergeming dari
tempatnya semula. Tetap di depan jendela dan meniup seruling. Anna berteriak lebih
keras, namun tetap tak ada jawaban. Sampai akhirnya Anna mendobrak pintu rumah
Panikov. Anna langsung menghampiri Panikov, memandangnya sesaat dan berteriak
lagi, kali ini tepat di samping telinganya,

"Panikov, sadarlah...!!!" Saat itu musim dingin, angin bergerak lebih lambat. Seperti
biasa, jika menginjak musim dingin Panikov lebih banyak diam di ruang tamu dengan
sebuah jendela yang menghadap ke utara danau dan menggambarkan siluet sangat
indah, serta tak lupa meniup serulingnya. Bila hari menjelang malam, ia hanya
menyalakan sebatang lilin sehingga izba itu terlihat lebih gelap dari rumah-rumah yang
lain di desa.Tidak seperti malam kemarin yang agak hangat, malam ini terasa dingin
lebih menggigit, tak ada bubur gandum yang ia tunggu sejak sore tadi. Ia berpikir
mungkin Anna lupa berbagi dengannya. Panikov tidak punya mantel lain untuk
dikenakan, dingin mencengkram kuat tubuhnya. Sebatang kayu pun ia tak punya untuk
dibakar dalam tungku, tapi toh... ingatan terhadap ayahnya mengubur rasa lapar dan
dingin malam itu.Ia menggigil, giginya gemeretak. Sambil mencoba menutupi bagian
mantel yang bolong dengan tangan kirinya, sedangkan tangan yang lain tetap
menggenggam seruling, Panikov beranjak pindah ke kursi di sebelah sudut yang dekat
dengan jendela. Lalu memandang ke arah danau, ia bergumam.

"Ayah... malam ini kau harus menjemputku!"

Pikirannya merawang teringat mayat ayahnya yang hanya seorang petani bekerja di
kolkhoz2 dan pencari peat3 seperti umumnya para penduduk lain di desa, telah mati
ditembak para tentara bajingan dari kota. Ketika itu ia ada di St Petersburg bekerja di
gudang percetakan negara. Beberapa hari selang kematian ayahnya, ia dipanggil oleh
kepala biro tempatnya bekerja dan menyodorkan selembar kertas padanya. Ia terkulai
lemas setelah membaca coretan yang tertulis di kertas itu. Saat itu juga, ia mengajukan
kepada atasannya untuk berhenti bekerja dan kembali ke desa yang ia tinggalkan
selama dua puluh lima tahun.Selagi ia membereskan barangnya, ia dapati seruling
yang pernah diberikan ayahnya, lalu meniupnya sampai ia keluar gerbang gudang
percetakan dengan lagu kebangsaan negaranya. Sesampainya di desa, ia kembali
melapor ke kepala distrik desa untuk meminta izin penggalian kubur ayahnya.Panikov
menangis melihat mayat ayahnya. Terdapat beberapa lubang peluru di tubuh itu, ia
memeluknya. Pani-kov tak peduli akan bau busuk yang menempel ke mantelnya dan
seterusnya ia menangis di depan tubuh kaku sampai malam tiba. Panikov kembali
menggunduk lubang kuburan dalam keadaan kosong. Dengan sadar diseretnya tubuh
kaku ia sampai di dadanya, begitupun juga terpampang jelas lubang di keningnya yang
sudah terbujur kaku serta terlihat bercak darah di pakaiannya.Para tentara berdiri
mengelilingi orang-orang desa. Terlihat ada seorang tentara, Turgeyev namanya, ia
berdiri di atas batu dengan kumis tebal serta seragam yang mencolok, dengan tanda
pangkat yang berbeda dari tentara lainnya. Sambil menunjuk kepada mayat yang
tergantung, 'si kumis tebal' lalu berteriak.

"Dia pengkhianat!! Kalian tahu dia pengkhianat negara kita!" suasana tetap tak berubah,
masih tetap hening. Ia tatap mata penduduk seperti hendak menerkam mereka, dan
meneruskan kalimatnya.

"Mencuri peat untuk kepentingan pribadi seperti lima tahun lalu adalah tindakan yang
tidak dapat dibenarkan. Siapa pun itu harus dihukum dan itu sama saja dengan
pengkhianatan, karena tidak mempercayai kami! Negara! Kalian semua harus tahu itu."

Seketika itu tiba-tiba dari tengah-tengah penduduk yang 'dibariskan' berlarilah


seseorang dengan senjata kecil di tangan. Ia langsung menuju pada tentara berkumis
tebal itu dan segera diarahkannya senjata itu ke mukanya. Seketika terdengar teriakan
seorang gadis kecil memecah kebekuan.

"Panikov! Jangan Panikov..."Terdengar enam letusan senapan, serta dua tubuh


tergeletak ke tanah. Panikov mati! Juga si Kumis Tebal. Keadaan semakin beku. Anna,
gadis kecil itu mendekati mayat Panikov. Dilihatnya selembar kertas dalam genggaman
tangan Panikov yang masih hangat itu. Seorang tentara memerintahkan agar
kerumunan penduduk desa dibubarkan. Anna mengambil kertas itu dan membawanya
pulang bersama orangtuanya.Sesampainya di rumah dibacanya lembaran kertas
kusam penuh darah itu.

"Kalian TAHU? Aku telah membuktikan bahwa ayahku BUKAN pengkhianat dan aku
hendaknya tidak akan rela untuk mati membela pengkhianat seperti ayahku. Mungkin
negara tahu itu dan negara rela kehilangan orang TERBAIK-nya."Tertulis lagi di
bawahnya.

"untuk petani kecil November 1936"

***

Bandung, Oktober 2001

1. pondok petani

2. pertanian kolektif pada zaman revolusi di Uni Sovyet

3. bahan bakar berwarna coklat untuk tungku sebagai penghangat selain kayu.
Mata Sunyi Perempuan Takroni

Cerpen: Triyanto Triwikromo


Sumber: Kompas, Edisi 04/07/2002

JERUJI pembatas makam Al-Baqi dari dunia luar masih jeruji yang itu-itu juga.
Melongok dengan mata nanar ke dalam makam, para peziarah akan senantiasa
memandang puluhan askar berkacak pinggang dengan angkuh dan waspada, seakan-
akan musuh dari Kampung Al-Aghwat bakal menyerang tiba-tiba.Tidak! Tidak! Polisi-
polisi itu hanya menjaga gundukan makam para sahabat dan istri-istri Nabi. Lihatlah,
mereka tak berani mengusir ratusan merpati yang mematuki butir-butir habbah1 yang
ditebarkan para peziarah. Mereka bahkan tampak seperti robot-robot santun yang tak
memiliki pekerjaan lain, kecuali mendengarkan cericit merpati dan ratapan orang-orang
yang khusyuk berdoa.

"Meski begitu, kalau berani menyusup ke dalam mereka akan memukul pantat dan
kepala kita dengan pentungan," kata Zulaikha, perempuan hitam kecil yang tengah
mencengkeram jeruji itu kepada perempuan kencur lain.Mereka agaknya sangat
terkagum-kagum pada kilau matahari yang menimpa sayap-sayap merpati dan
gundukan-gundukan tanah kelabu padat itu.

"Kalau sekadar memberi habbah kepada merpati, apakah kita akan diusir juga?"

"Bukan hanya diusir. Dihajar, buk! buk! buk, kepalamu akan penyok dan pantat bakal
memar tak keruan. Kalau tak percaya, mari kita tanyakan kepada ibuku."

Bagai capung, anak-anak itu kemudian membentangkan tangan, melesat ke pelataran


makam Al-Baqi yang dipenuhi para peziarah. Sesekali mereka menabrak orang-orang
yang khusyuk berdoa. Sesekali terjatuh dan mengagetkan para tetua Madinah yang
melakukan jihad fisabilillah2 dengan cara membimbing orang-orang asing
mengungkapkan ucapan selamat dan doa kepada para penghuni makam.Dan, Madinah
yang terik masih menguarkan kilau matahari saat Zubaedah binti Musa menjajakan
habbah di pelataran makam Al-Baqi. Bila sempat merekam berbagai peristiwa dengan
mata hati, kau akan melihat sepasang merpati melintas dari Masjid Nabawi
mencericitkan suara-suara aneh serupa zikir serupa masnawi.Seperti biasa merpati-
merpati itu tak langsung meliuk ke pekuburan bertembok indah kukuh itu. Dengan
membentangkan sayap yang berkilauan, mereka menukik persis di kedua tangan
Zubaedah untuk kemudian mematuk biji-biji habbah yang sengaja ditebarkan di
pelataran makam oleh perempuan Takroni 3 bermata buta itu.

"Ibu, mengapa kita tak boleh memberikan makanan kepada merpati-merpati yang
kemruyuk di makam? Mengapa hanya yang di pelataran yang boleh diberi makanan?"

"Karena itu perempuan, Anakku. Dan, telah berkali-kali kukatakan kepadamu, hanya
para lelaki yang diperbolehkan menyusup hingga ke pusat makam."Zulaikha,
perempuan kencur yang dipungut Zubaedah dari lorong pasar Madinah yang riuh dan
tak pernah tidur, tak puas mendengar jawaban itu. Matanya yang jernih mendadak
melesat ke kerumunan para peziarah dari berbagai bangsa yang tengah berdoa dan
meratapkan berbagai kosa kata aneh di hadapan gundukan tanah tanpa kijing atau
nisan-nisan indah itu.

"Ayolah, Ibu, kita masuk ke sana. Kita berikan habbah yang tak terjual kepada merpati-
merpati itu."Mendengar ajakan yang tak disangka-sangka, Zubaedah langsung berdiri
tegak. Sepasang merpati yang mungkin takjub menatap perempuan hitam ber-abaya4
hitam itu terkejut sehingga sayap-sayapnya berkepak dan menimbulkan keriuhan yang
mengagetkan para peziarah.Dengan cetakan dia berusaha meraih tangan Zulaikha
yang telah meninggalkan teman sepermainan. Tetapi Zulaikha telah meluncur serupa
anak panah, berlari menyusup ke retusan peziarah yang memenuhi pelataran makam
berasitektur Arab itu.

"Jangan, Anakku! Jangan masuk!" teriak Zubaedah sambil berlari, menendang tampah
habbah, dan menabrak orang-orang yang bergegas memasuki pintu pekuburan.Para
peziarah-yang kebanyakan berjalan menunduk sambil melantunkan zikir-tentu saja
kaget melihat perempuan buta terhuyung-huyung meneriakkan ratapan dalam bahasa
Arab yang kacau. Mereka tak tahu betapa sesungguhnya Zubaedah sedang berjuang
menghentikan lesatan anak panah yang jika berhasil menyusup ke makam bakal
melukai keyakinan jutaan orang, ratusan keluarga raja, dan para peziarah yang taklid
kepada adat.

"Ampunilah Anakku, ya Allah! Ampunilah anak yang tak mengerti teladanmu, ya Rasul!"
Zubaedah berteriak lagi.Sayang sekali, Zulaikha telah jadi anak panah yang diluncurkan
dan busur buta. Karena itu dengan gerakan zig-zag menawan, dia meliuk, menyusup,
dan terus berlari ke bibir pintu makam. Keinginan perempuan kencur itu hanya satu:
memberikan sebanyak-banyak habbah kepada ratusan merpati yang mengepak-
ngepakkan sayap di atas gundukan-gundukan makam.

AKU pun sesungguhnya ingin sepertimu, Anakku. Ingin sebanyak mungkin memberikan
habbah kepada ratusan merpati yang konon melindungi Nabi saat dikejar-kejar orang-
orang kafir di Jabal Sur. Bukankah bersama laba-laba yang terus merajut sarang,
merpati-merpati itu tafakur dan menyelimuti dinding gua? Bukankah mereka telah
menjadi perisai bagi ajal Nabi?Karena itu, Anakku, memberi makan mereka sama saja
memberikan cinta tak habis-habis kepada Kanjeng Nabi. Jika hanya ingin berbagi rasa
cinta, kau tak perlu memasuki makam keramat. Kau tak perlu menangis dan meratap
sepanjang waktu di gundukan-gundukan tanah yang dimuliakan oleh orang-orang
Madinah. Apalagi kau perempuan, Anakku. Apalagi kau hanya orang Takroni.Dan,
sebagai orang Takroni, wahai Anakku yang malang, ibarat air kita bukanlah zamzam.
Sebagaimana Bilal, pria indah yang menyeru-nyeru nama Allah dalam nada paling
indah, kau hanyalah dahak yang ditumpahkan dari langit hitam yang sedang batuk. Kau
hanyalah gema dari bunyi hoekkk dan plok dari kotoran tenggorokan yang membentur
lantai marmer pelapis keindahan pelataran makam Al-Baqi yang kini telah dikepung
pasar emas dan puluhan hotel mewah.OHO... tak perlu kau risaukan asal-usulmu,
Anakku. Ibarat benda yang senantiasa dinajiskan oleh orang lain, kita adalah tinja yang
mengotori keindahan istana para raja," begitu kata Musa bin Zakaria, ayahku, kali
pertama aku mempertanyakan perbedaan kulit hitamku dari kemolekan kulit anak-anak
pria-pria Madinah yang ingin bermain-main bersamaku di lorong-lorong pasar-yang
sayang selalu dilarang oleh orangtua mereka-itu."Bahkan kau akan buta jika berani
mempertanyakan mengapa gunung disebut sebagai jabal, raja disebut sebagai tuan,
Bilal dilahirkan sebagai budak, engkau dilahirkan sebagai engkau, aku dilahirkan
sebagai aku, dan habbah Madinah hanya layak dipatuki merpati-merpati yang tak
pernah berkurang dan bertambah sejak Nabi gesang dan senantiasa menangis
sesenggukan di pekuburan para sahabatnya itu," ujar Ayah yang mengaku sebagai
putra imigran asal Nigeria.Entah karena bertanya mengapa aku dilahirkan sebagai
perempuan Takroni atau disebabkan oleh penyakit keturunan atau hal lain, pada usia
yang sedang mekar, aku benar-benar buta.Dan, Ayah, sebagaimana pria Takroni lain,
tak meratapi peristiwa duka nestapa itu. "Sudah kubilang... jangan usil. Jangan
mempertanyakan apa-apa. Jangan melihat yang tak pantas dilihat. Jangan..."Maryam-
ibuku, perempuan yang seindah dan secantik buah zaitun-selalu memprotes pendapat
Ayah. "Engkau hanya tahu Hajar Aswad berwarna hitam. Tetapi kau tak tahu Nabi juga
memuliakan Bilal nenek moyang kita yang rupawan. Engkau hanya tahu para peziarah
mengenakan ihram putih, tetapi tak tahu betapa Ka'bah diselimuti kain hitam bertabur
benang emas."Sebagaimana Nabi, Ayah sangat memuliakan perempuan. Saat berbeda
pendapat dengan Ibu, dia tak pernah menampar atau memarahi perempuan molek
yang amat dicintai. Meski demikian, Ayah tak menganggap kebutaanku sebagai
kutukan. Dia, sebagaimana Ibu, menerima segala peristiwa kehidupan sebagai amanat
atau bahkan sebagai cinta Nabi dan Allah kepada umat-Nya.Menjelang aku remaja Ibu
bilang,

"Engkau memang buta, Anakku. Tetapi engkau akan jadi mawar Madinah."

Menjelang Ayah meninggal, dia berdoa, "Tuhan yang Maha Melihat telah Engkau
butakan mata anakku, telah Engkau minta kembali segala keindahan cahaya Madinah
dari matanya. Aku tak akan marah, ya Allah. Aku tak akan marah. Tetapi Engkau Yang
Maha Memberi, berilah anakku cahaya hati yang paling terang di tengah-tengah
kegelapan yang senantiasa menguntit kehidupannya."

Sejak itu tak seorang pun, termasuk pedagang tasbih, kerudung, dan siwak 5 yang
berjejal-jejal di sekujur tubuh pelataran makam mempertanyakan kebutaanku. Hanya
engkau, wahai Anakku, yang pada malam sunyi yang menggigilkan lorong-lorong jalan,
mempertanyakan asal-usul kebutaanku.

"Apakah Ibu pernah merasakan keindahan Masjid Nabawi?" tanyamu polos saat itu.

"Ya, Ibu bahkan hapal gradasi warna emas di sekujur pintu. Ibu malah bisa menghitung
berapa lampu yang menebarkan cahaya indah di menara dan berapa ukiran serupa
bunga yang menghiasi kubah-kubahnya. Ketahuilah Anakku, Ibu juga paham segala
warna yang menghiasi raudah6 Nabi. Dulu aku sering menangis dan berdoa tak kunjung
henti di taman surga itu."

"Jadi, Ibu pernah melihat segalanya?"

"Ya, ibu pernah melihat segalanya, bahkan segala yang tak pantas dilihat oleh
manusia."

"Mengapa Ibu kemudian buta?"

"Mungkin karena Ibu telah melihat sesuatu yang tak pantas dilihat oleh seorang
perempuan.Sampai pada kata-kata itu, kau tahu Anakku, sebenarnya aku tak sanggup
lagi meneruskan ceritaku. Aku takut kau akan mengikuti jejakku. Tetapi kau terus
mencerocos, memberondongku dengan pertanyaan polos yang mendesak dan
menikam. Akhirnya kau pun tahu mengapa perempuan seperti aku harus dibutakan.”

ZUBAEDAH sesungguhnya tak pernah menceritakan penyebab kebutaannya kepada


siapa pun. Tak kepada ayah atau ibunya. Apalagi kepada Zulaikha. Karena terpesona
pada cerita Musa bin Zakaria tentang keutamaan mati di Madinah, malam itu dia
menyusup ke makam.Sambil berjingkat pelan-pelan, dia mengingat-ingat petuah
ayahnya.

"Kalau bisa matilah di Madinah, Anakku. Sebagai orang Takroni hidup kita di dunia
memang tak segemerlap orang-orang Madinah. Kita tak mungkin jadi warga negara
kerajaan sampai kapan pun. Tetapi, kalau kau mati di sini Nabi akan memberikan
surga."Waktu itu, karena diserang demam tak berkesudahan, Zubaedah merasa sang
ajal sudah mengintip.

"Mati di Madinah memang baik, namun akan lebih baik jika aku bisa mati di makam Al-
Baqi," pikir perempuan yang sedang mekar itu.

Alhasil, Zubaedah pun mulai merayap mendekati pintu makam. Malam menyelimuti
sekujur tubuh yang dililiti abaya hitam itu sehingga tak seorang pun melihat sesosok
bayangan memanjat jeruji makam. Sial! Belum sampai menginjak bagian dalam makam,
mendadak sebuah tangan kekar menarik abaya Zubaedah. Pegangan Zubaedah
terlepas. Dia terjengkang. Bagian belakang kepala membentur lantai marmer. Lalu
segalanya menggelap. Cahaya lampu-lampu Madinah yang berkilauan hilang dari
pelupuk mata.Zubaedah tersadar dari pingsan yang panjang setelah azan subuh dari
Masjid Nabawi melengking-lengking. Malaikatlah yang menghalang-halangi? Entahlah!
Yang jelas, sebelum pingsan, dia mendengar suara-suara orang-orang kekar
menyumpah tak keruan.

"Dasar Takroni. Apa yang akan dia curi dari pekuburan!" teriak seseorang.

"Ya, apa yang diburu perempuan keturunan budak ini?" ujar seseorang lagi sambil
menginjak dada.

"Sudah! Sudah! Tinggalkan saja dia di sini!"Lalu suara orang-orang kekar itu lenyap.
Hanya bunyi sepatu lars menyusup dari kejauhan.

ZULAIKHA masih termangu-mangu di bibir pintu makam. Dia tak bergegas melesat ke
dalam makam karena mendadak ingat cerita Zubaedah tentang cahaya mahaterang
yang senantiasa menyelimuti makam Al-Baqi.

"Cahaya terang yang berkilau dari sayap malaikat akan membutakan matamu, Anakku.
Jadi, camkan nasihatku. Jangan pernah masuk ke makam, sekalipun engkau ingin mati
dan dikubur di dalamnya."

Zulaikha hanya tahu untuk mati di Madinah dia harus setiap hari menjual habbah di
pelataran makam, bercanda dengan merpati-merpati, salat di masjid Nabawi, dan
sesekali meneriakkan kata-kata fisabilillah kepada para penziarah agar diberi satu atau
dua riyal.7 Tetapi, siang itu merpati-merpati di atas gundukan makam tampak kelaparan.
Makin sedikit peziarah yang memberikan habbah kepada mereka. Makin sedikit
perempuan-yang biasanya mengasihi dan menyayangi binatang-mendekat ke
makam.Dan Zubaedah, masya Allah, perempuan buta itu, terhuyung-huyung menabrak
benda apa pun di hadapannya. Dia menyangka Zulaikha akan mengikuti tindakan
konyol yang pernah dia lakukan sebelum kebutaan menyergap dan memenjara. Dia
menyangka perempuan kecil itu nekat melawan puluhan askar yang berkacak pinggang
di dalam makam.Karena itu, jauh sebelum menggapai pintu makam, dia
membayangkan para polisi menggebuk tubuh mungil Zulaikha. Menyumpah-nyumpah
dengan kata-kata kotor dan menganggap para perempuan Takroni sebagai budak yang
tak tahu aturan.Tetapi, lihatlah! Zulaikha masih tetap termangu di pintu makam.
Puluhan, tidak-tidak, ratusan merpati yang kemruyuk di gundukan tanah kelabu (o
jelmaan malaikatkah mereka) tiba-tiba melesat di atas kepala perempuan kecil itu.
Mereka menukik ke arah Masjid Nabawi, melambai-lambaikan sayap, seakan-akan
mengajak Zulaikha meninggalkan daerah pertempuran.

"Ibu! Ibu! Lihat! Mereka tak mau mati kelaparan di makam!" teriak Zulaikha kegirangan.
***

Hotel Sanabel Al Madina, Madinah Munawarrah, 2002

Catatan:

1) Habbah adalah sejenis gabah. Para penziarah makam Al-Baqi dianjurkan


memberikan makanan itu kepada ratusan merpati yang senantiasa kemruyuk di
kompleks pekuburan tersebut. Saya beruntung tersesat ke makam itu saat
melaksanakan ibadah haji belum lama ini.

2) Jihad fisabilillah adalah anjuran berderma. Para tetua Madinah mendoakan orang
asing antara lain untuk mendapatkan belas kasih dari penziarah.

3) Takroni merupakan sebutan bagi imigran Afrika yang tak mungkin kembali ke tanah
asal, namun juga tak mungkin jadi warga negara Kerajaan Arab Saudi.

4) Abaya: pakaian khas sejenis mukena yang dikenakan para perempuan Arab.

5) Siwak kayu lunak yang difungsikan sebagai pembersih gigi.

6) Raudah disebut juga sebagai salah satu taman surga. Sebuah area antara mihrab
dan makam Nabi Muhammad.
7) Riyal:mata uang resmi Arab.

Rumah Makam

Putu Fajar Arcana

Sumber: Kompas, Edisi 03/17/2002

KETIKA mendengar kabar ayahnya meninggal Susila tidak kaget. Ia masih sempat
mengantar anak-anaknya ke sekolah. Bahkan, siang hari menjemputnya kembali.
Susila memang sudah punya rencana untuk pulang kampung besok pagi, sembari
menunggu istrinya mendapat cuti dari kantor. Namun, saat sepupunya, Mangku,
menelepon lagi, ia benar-benar jadi kehabisan alasan.Sore itu juga Susila berangkat
naik bus dari Terminal Pulo Gadung Jakarta ke Denpasar. Meski ia tahu suasana tahun
baru akan membuat penyeberangan Ketapang-Gilimanuk padat, tapi ia merasa tak
diberi pilihan lain. Kabar dari Mangku benar-benar membuat emosinya campur aduk. Ia
hanya berpikir bagaimana secepatnya tiba di Banjar Sari, Gianyar. Kira-kira satu
setengah jam perjalanan lagi ke arah timur Kota Denpasar.Sepanjang perjalanan
terbayang perlakuan keji dan tidak adil yang harus diterima ayahnya, I Raneh. Bahkan
sampai tubuhnya menjadi mayat, warga banjar tetap memperlakukannya secara tidak
hormat.

"Kasar dan kejam," pikirnya.

"Susila!" kata Kelihan Adat Banjar Sari Wayan Kroda, ketika Susila mendatangi
rumahnya pagi hari.

"Ini sudah hasil dari keputusan paruman banjar. Jadi, jangan salah paham." Wayan
Kroda menuturkan keputusan banjar tersebut bukan tanpa alasan. Semasa hidupnya I
Raneh dianggap selalu membangkang terhadap kesepakatan-kesepakatan yang
diputuskan adat. Meski masih berusia belasan tahun, Wayan Kroda masih ingat ketika I
Raneh menentang adat yang telah memutuskan untuk mencoblos Golkar. Waktu itu
tahun 1971, ayah Kroda, I Kleteg yang menjabat sebagai kelihan adat di Banjar Sari.

"Kamu tentu masih ingat juga, bagaimana ayahmu menghasut warga hingga Golkar
hampir kalah di Banjar kita ini. Meski telah kena sanksi adat, sampai tua ayahmu tak
pernah berubah juga...."

"Sepanjang hidup, saya tidak pernah menilai ayah saya berbuat salah, hingga
membuatnya pantas menerima sanksi berat, bahkan sampai jenazahnya!" potong
Susila. Wayan Kroda terdiam. Seekor babi tiba-tiba merobohkan pohon pepaya di
halaman rumahnya. Batang pepaya itu menjulur sampai ke teras di mana Kroda dan
Susila sedang bicara.

"Luh, Luh...!" Wayan Kroda memanggil anak perempuannya dengan suara keras,

"Ikat babinya. Jangan dibiarkan liar begitu. Nanti kamu kena denda!"

HASIL paruman adat memutuskan melarang penguburan ataupun pembakaran jenazah


I Raneh di kuburan milik banjar. Warga menilai dosa I Raneh selama hidupnya sudah
terlalu banyak. Selain menghasut warga menentang Golkar, Raneh juga pernah
melarang kelompok seni Cak Banjar Sari untuk pentas di hotel-hotel di Nusa Dua kalau
tidak dihargai secara pantas. "Jika hotel-hotel itu masih mengangkut kita dengan truk,
kita tidak akan mau pentas. Saya juga akan mundur dari kelompok kalau hotel tidak
membayar kita dengan harga tinggi," tegas I Raneh sewaktu masih hidup. Sebagai
kelihan adat wajah I Kleteg seperti ditampar di depan warganya sendiri. Ia merasa
sudah susah payah mencari hubungan ke ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia)
Denpasar agar kelompok Cak Banjar Sari bisa main di hotel.

"Bisa pentas di hotel berbintang saja sudah luar biasa. Ongkos tidak penting! Selama ini
kita hanya pentas di desa-desa, lain rasanya kalau nanti main di depan turis asing. Itu
kebanggaan," ungkap I Kleteg. Tetapi, I Raneh tetap berpendirian bahwa dosen-dosen
ASTI itu telah meracuni otak I Kleteg.

Padahal, hasil pentas itu sebagian besar dinikmati para brooker seni itu. Perdebatan-
perdebatan macam itu akhirnya berakibat pada pengucilan keluarga I Raneh. Sampai
kini, seluruh keturunannya, termasuk Susila, dianggap tak hirau lagi pada kewajibannya
selaku warga banjar. Kebetulan keempat anak I Raneh pergi merantau ke luar Banjar
Sari. Sejak zaman I Kleteg sampai Wayan Kroda menjadi kelihan adat, keluarga I
Raneh dianggap perusak tatanan adat yang ada. Sejak tinggal di Jakarta, Susila mau
tak mau harus melepaskan keanggotaannya sebagai warga adat Banjar Sari. Tuntutan
profesi membuatnya harus pindah. Tetapi, aturan di Banjar Sari mengharuskan ia tetap
sebagai warga adat, karena darahnya tumpah di desa pusat kerajinan itu. Karena
tinggal jauh, Susila tak mungkin lagi mengikuti kegiatan-kegiatan adat. Ia tahu, Wayan
Kroda sejak lama mendiskreditkan keluarganya. Dendam Kroda, dendam turunan. Ia
hanya memakai tangan adat untuk membalas rasa dendam ayahnya kepada ayah
Susila.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Adat dibikin begitu kaku, bahkan digunakan untuk
menghantam orang-orang yang tidak disukai. Ini hanya dendam pribadi. Apa yang
pantas dicemburui dari keluargaku?"

Susila terus membatin di sisi jenazah ayahnya. Bagaimana mungkin seorang bekas
pejuang melawan Belanda, sampai menjadi mayat pun tetap diperlakukan secara hina.
Larangan melakukan upacara jenazah di kuburan adat Banjar Sari, berarti jalan buntu.
Banjar adat lain tak mungkin menerima jenazah I Raneh, karena ia bukan anggotanya.
Kalau toh diizinkan, itu pasti melalui berbagai prosedur yang rumit dan memakan waktu.
Sementara saat yang baik untuk penguburan tinggal tiga hari lagi. Sempat terlintas
dalam pikirannya membawa jenazah ayahnya ke Denpasar untuk dikremasi. Ia ingat di
Pemakaman Mumbul ada krematorium milik umat Budha. Tetapi, ide itu dipatahkan
oleh ketiga adiknya. Ayah mereka harus mendapatkan penguburan dengan upacara
yang layak sebagai seseorang yang pernah berjasa. Sikap keras yang ditunjukkan I
Raneh selama ini, hanya karena ia tak ingin melihat Banjar Sari dieksploitasi untuk
kepentingan politik dan modal. Tetapi, sikap itu dianggap merugikan I Kleteg dan
sebagian warga.

SANKSI ini terlalu berat. Tak mungkin bisa ditanggungkan oleh sesosok jenazah. Susila
tetap menganggap bahwa sanksi adat itu sungguh tidak adil terhadap ayahnya.
Perundingan dengan ketiga adiknya tidak menemukan jalan keluar. Kakak beradik itu
hanya bisa meratap di sisi jenazah ayah mereka. Sesungguhnya banyak warga
bersimpati pada keluarga Susila. Mereka secara bisik-bisik mencoba mencari jalan
keluar dari kebuntuan sanksi adat itu. Namun, tetap saja warga tak berani datang untuk
sekadar mengucapkan rasa simpati atau turut berduka cita ke rumah Susila. Mereka
juga takut terkena sanksi: turut dikucilkan!Menurut perhitungan dewasa, hari ini hari
terakhir untuk melangsungkan upacara penguburan atau pembakaran jenazah. Kendati
sudah lama tinggal di kota seperti Jakarta, Susila sangat menghormati perhitungan
dewasa itu. Pengetahuan itu satu-satunya warisan ayahnya yang masih ia jalankan.
Meski harus mengorbankan harga dirinya, untuk kesekian kalinya Susila mendatangi
rumah Wayan Kroda.

"Bli, sekarang hari terakhir dalam perhitungan dewasa untuk melaksanakan


penguburan. Saya atas nama ayah dan seluruh keluarga tetap meminta agar sanksi
adat dicabut, agar kami bisa menguburkan jenazah ayah...." Wayan Kroda tak segera
menyahut. Ia melihat babi peliharaan istrinya tetap liar. Bahkan, kali ini hampir merusak
seluruh tanaman di halaman rumahnya. Lagi-lagi ia berteriak memanggil anak
perempuannya agar segera mengikat babi itu.

"Sudah berapa kali pula saya katakan, ini keputusan paruman adat. Saya tidak bisa
mengubahnya sekehendak hati. Kalau kamu mau sanksi itu diubah, mintakan kepada
seluruh warga. Jangan datang lagi kepada saya. Perkara di mana jenazah itu
dikuburkan, bukan lagi urusan adat. Itu mutlak urusan keluargamu," tiba-tiba kata
Wayan Kroda dengan tekanan suara keras.

Susila merasa percuma berunding dengan orang yang memendam rasa dendam
turunan. Bahkan, dendam itu barangkali akan tetap melekat sampai cucu-cucu mereka
kelak. Ia me-rasa rasa benci senantiasa mendatangkan pikiran sesat. Wayan Kroda
sedang disesatkan rasa bencinya. Sebagai kelihan adat, seseorang yang dituakan
dalam adat, tak pantas ia berlaku begitu kepada warganya. Aturan adat disepakati
untuk menciptakan harmoni tatanan warga. Bahkan, harmoni warga dengan makhluk
lain di sekitarnya. Bukan, dijadikan alat untuk menekan dan menghukum orang-orang
yang berseberangan secara pribadi.Pagi itu juga Susila berangkat ke Denpasar dengan
maksud menemui Gubernur. Seorang petugas protokol memberitahu bahwa Gubernur
sedang sibuk menerima tamu dari Jakarta.
"Tamu itu sangat penting. Jadi, Bapak harus mengajukan surat permohonan dulu. Itu
pun belum tentu bisa langsung menghadap. Paling tidak harus menunggu seminggu,"
ujar petugas lelaki itu.

"Barangkali saya bisa dipertemukan dengan pimpinan lain. Wakil atau siapa sajalah. Ini
soal penting dan sangat mendesak."

"Semua pimpinan juga sedang mendampingi Bapak. Jadi, bikin saja surat dulu."

"Ini soal jenazah! Jadi, saya harap bisa bertemu Gubernur."

"Lebih baik berurusan dengan polisi, kalau menyangkut penemuan jenazah," kata
petugas itu.Sempat terlintas dalam benak Susila untuk mendatangi Pimpinan DPRD.
Tapi, niat itu ditepisnya. Ia tahu pasti, seperti yang biasa terjadi wakil rakyat pun akan
menampung keluhannya lantas dirundingkan dulu dengan eksekutif. Padahal, ia
berharap menemukan jalan keluar hari itu juga, agar jenazah ayahnya tidak terkatung-
katung.

TEPAT seminggu jenazah I Raneh terbaring. Selama itu tak seorang warga banjar pun
yang datang menjenguk. Hanya beberapa kerabat jauh yang turut menyertai Susila
menjaga sosok tubuh ayahnya. Tetapi, setiap dimintai pertimbangan rata-rata mereka
tak punya jalan keluar. Mereka umumnya mengatakan penyelesaian upacara jenazah
sangat tergantung pada banjar adat.

"Jadi, kalau banjar adat mengenakan sanksi, bisa berbuat apa kita ini?" kata seorang
kerabat Susila. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu makin membuat kusut pikiran Susila.
Ia berbaring di dekat ayahnya. Ia tarik napasnya dalam-dalam lalu diembus seperti
melenguh. Ada sesak dalam dadanya. Susila sama sekali tak menduga begitu
mudahnya warga adat dihasut untuk berbuat keji. Sebagai orang yang lama merantau,
Susila berpikir bahwa adatlah yang selama ini menjadi benteng terakhir di banjar dari
berbagai gempuran kehidupan modern. Sebelumnya ia begitu yakin bahwa serbuan
dunia modern menjadi satu-satunya penghancur tatanan adat di Banjar Sari. Derasnya
arus modal yang membawa peradaban baru, akan mengubah kondisi sosial dan
ekonomi. Saat itulah secara bersamaan terjadi perubahan dalam cara berpikir dan pola
prilaku masyarakat.

"Dan, I Kleteg serta Wayan Kroda merupakan pion-pion pembawa kehancuran di Banjar
Sari? Mereka hanya mementingkan keuntungannya sendiri dengan berdalih menjaga
keutuhan adat....ah."

Susila mengembuskan asap rokoknya jauh-jauh. Ia ingin mengeluarkan seluruh sesak


yang memenuhi rongga dadanya. Asap itu berpadu dengan kepulan asap puluhan dupa
dari altar di sebelah kiri jenazah. Bergulung-gulung mencucuk langit-langit rumah. Di
luar gerimis menghantarkan suasana makin cepat jadi gelap. Dalam peti sosok tubuh I
Raneh membeku. Tetesan air di bagian ujung peti menandakan es di dalamnya terus
mencair. Tubuh lelaki berusia 78 tahun itu mengeras seperti menjadi satu zat dengan
tulang. Seluruh cairan tubuhnya pelan-pelan larut ke dalam tetesan bongkahan es.Saat
hendak mengisi kembali bongkahan es ke dalam peti itulah, seorang kerabat tiba-tiba
berteriak mengatakan bahwa jenazah I Raneh hilang. Beberapa kerabat lain menuduh
bahwa warga adat makin berbuat kejam. Wayan Kroda dituding menjadi otak pencurian
jenazah.

"Ia keberatan, makin lama jenazah berada di rumah, bau tak sedap makin merayap ke
rumah-rumah warga," kata seorang kerabat liannya.

"Tapi, bukankah bau tak sedap itu bersumber dari dalam rumahnya sendiri?" kata yang
lainnya lagi. Meski jumlahnya tak begitu banyak para kerabat itu sepakat untuk
mendatangi rumah Wayan Kroda. Mereka ingin menuntut keadilan. Perbuatan Wayan
Kroda dianggap sudah keterlaluan: terhadap jenazah pun ia tak urung berbuat
keji.Ketika melewati pintu depan, para kerabat itu dikagetkan dengan ratapan Susila di
sebuah rumah kecil di halaman. Di dalam rumah itu terdapat gundukan yang baru saja
digali.

"Inilah rumah makam yang saya bikin untuk ayah. Sewaktu kalian lelap, aku diam-diam
membuatnya. Ayo semua berdoa. Jangan pikirkan lagi soal sanksi adat itu.
Penyelesaian cara inilah yang rupanya tengah diinginkan oleh Wayan Kroda...! Ayo
duduk dan berdoa, mengapa masih bengong, tidakkah kalian ingin mendoakan agar
ayahku tenang? Ayo......" Susila memanggil ketiga adiknya sembari membagi-bagikan
dupa. Pagi hari kegemparan melanda seluruh Banjar Sari. Kabar tentang Susila
membuat rumah makam di halaman rumahnya tersebar cepat. Pagi itu juga Wayan
Kroda menggelar paruman warga adat. Mereka merembugkan sanksi baru yang harus
ditimpakan kepada keluarga Susila. Selain itu warga juga merencanakan menggelar
upacara pembersihan desa. Tindakan Susila dianggap telah membuat desa kotor.

****

Keterangan:

Banjar : Komunitas masyarakat adat.

Kelihan Adat : Tetua Adat

Paruman : Rapat

Dewasa : Hari

Bli : Kakak Lelaki.


Sedang Tidak Menunggu Tuan!

Hamsad Rangkuti

Sumber: Kompas, Edisi 03/10/2002

MEREKA menggantungkan tabung infus di tiangnya, di sisi tempat tidur. Di bawah


tabung, slang pengantar cairan bergantung terayun-ayun seperti tali pada tiang bendera.
Air kehidupan yang tak berhenti menetes, masuk ke dalam urat nadi mereka, dari waktu
ke waktu, diiring doa sanak keluarga. Perangkat medis itu, tubuh yang terbujur dalam
sekat-sekat kain pembatas, tidak ubahnya plasenta dan bayi dalam rahim seorang ibu.
Aku sekarang adalah bayi itu, terbaring dalam rahim waktu, ruang bersekat tirai satu
setengah kali dua meter.Waktu terus bergeser. Datangnya waktu, datang pula mereka
dalam urutan yang sama, setiap hari. Mula-mula langkah dalam muatan kantuk seorang
wanita gemuk mendekat bersama suara roda bergelinding melindas celah lantai
keramik yang renggang. Langkah dan gelinding roda itu terhenti sesaat, terdengar
bunyi panci bersinggungan dan suara air diciduk dari dalam bejana dan dituangkan ke
dalam panci. Pintu dibuka, langkah-langkah mendekat masuk ruangan. Pantat panci
bergeser di lantai, didorong ke bawah tempat tidur. Dari sebelah menyebelah terdengar
bunyi air diperah dari handuk. Pagi tiba juga seperti biasa.Istriku datang saat air di
panci itu telah dingin. Ditambahnya air panas dari termos ke dalam panci. Mencelupkan
handuk kecil, memerahnya dan mulai melap tubuhku.

"Ada telepon? Siapa yang mau datang menjengukku?"

"Tiap hari kau bertanya seperti itu. Tiap hari kau menanyakan orang-orang yang kau
kira memperhatikanmu. Tiap hari kau selalu bilang mereka adalah sahabat-sahabat
dekatmu. Apakah aku harus berbohong?"

Aku tak menyalahkannya. Aku maklum kalau akhirnya dia bereaksi seperti itu. Dia lelah.
Banyak faktor yang dipikirkannya, yang datang dari luar dirinya. Dia memang benar-
benar lelah. Dia yang membangunkan anak-anak ketika mendapatkan aku tersungkur
tak sadarkan diri di lantai kamar mandi. Dia menjerit dan berteriak-teriak
membangunkan anak-anak. Menyuruh mengeluarkan mobil. Dan terus menerus
menangisiku yang diusung para tetangga ke dalam mobil. Dia duduk memangkuku di
bangku tengah dan terus-menerus dalam keadaan tegang menghadapi jalan yang
macat. Dia berteriak-teriak menyuruh mobil dipacu lebih cepat supaya bisa lebih awal
tiba di rumah sakit. Dia memang tegang. Dia kurang tidur. Dia terus menerus
menungguiku. Mengambil pispot. Menampungkannya. Membuangnya ke kamar mandi.
Meneteskan madu ke dalam mulutku. Menyuapiku. Menampung muntah. Menjaga
jarum infus supaya tidak terlepas dalam mengigauku yang meronta. Dia berulang kali
tersentak dari tidurnya karena sentakan liar yang kulakukan. Dan tak pernah lupa
menuntunku menyebut Allah. Dia memang lelah. Terlalu banyak yang membebaninya.

"Aku datang!" kata suara itu.

"Siapa Tuan?"

"Yang datang diakhir kehidupan."

"Tidak. Tidak sekarang. Harusnya Tuan tak datang, sekarang. Saya sedang tidak
menunggu Tuan."

"Tak ada waktu untuk menunda. Sekarang adalah saatnya bagimu. Ini takdirmu."

"Tolonglah, Tuan. Jangan sekarang. Saya sedang tidak menunggu Tuan."

Dia tidak hiraukan aku. Dia buka gerbang ketidak-kekalan, lubang untuk jalan berpindah
dari negeri yang fana ke negeri yang baka. Aku dibawanya meninggalkan hangatnya
dunia fana. Masuk ke dalam liang cahaya yang dalam. Melayang bagai kapas dalam
tiupan angin kencang. Berakhir dengan tiba-tiba di hamparan kebun tembakau. Seluruh
mata memandang adalah lautan hijau daun tembakau.Aku tercebur ke dalam lautan
hijau pucuk tembakau itu. Kupu-kupu terbang meninggalkan telur di daun-daun yang
muda. Ibu datang menyongsong dari kejauhan. Ujung telekungnya terseret menyapu
pucuk-pucuk daun. Angin menebarkan wangi yang tak pernah tercium.
Direntangkannya tangan sebagai awal pelepas rindu. Dia muda. Lebih muda dari aku.
Kutinggalkan ciuman di keningnya sebelum orang menutupnya. Rentang waktu yang
panjang. Empat puluh tujuh tahun.
"Sekarang sudah tiba saatnya kau datang, anakku. Kau lihat itu, adikmu, si Choliq.
Abangmu, si Abdullah. Lihat, siapa di sana? Ayahmu, Muhammad Saleh, si penjaga
malam itu. Mari. Kami sudah lama menunggu kedatanganmu. Akhirnya tiba juga saat
itu. Mendekatlah. Lupakan semuanya. Kau sudah cukup lelah. Sudah cukup waktu
dunia menjadikan kau manusia pekerja. Beristirahatlah sekarang. Kau bekerja telah
terlalu lama. Sebelum mencapai usia sekolah, kau telah bekerja. Kau dan ibu berjalan
berkilo-kilo meter sejak subuh dan ketika matahari sepenggalah kita telah sampai di
sana, di kebun tembakau itu. Kita menyibak setiap daun mencari ulat dan telur yang
ditinggalkan kupu-kupu. Kita seperti burung pemakan ulat. Terbang dari daun ke daun,
menyibaknya, menjepit ulat-ulat itu dengan ujung bambu yang diraut runcing seperti
paruh. Ayolah mendekat. Kau sudah lelah, mengurus segala yang remeh temeh dunia."

"Tetapi, ibu, saya masih belum menuliskan semua itu. Menulis tentang kita dan ulat
daun tembakau dalam sebuah novel. Saya masih ingin menuliskannya dalam sebuah
cerita panjang. Jangan ajak saya dulu masuk ke dalam dunia ibu. Biarkan saya dulu di
dunia kehidupan. Anakku masih kecil-kecil. Masih banyak yang harus kukerjakan.
Masih banyak yang belum kukerjakan."

"Tinggalkan segala urusan tetek-bengek dunia. Hentikan omong kosong itu,


menciptakan kebohongan-kebohongan yang kau mendapatkan kenikmatan darinya.
Tinggalkan semua itu. Jangan cemaskan segala yang kau tinggalkan. Dunia kehidupan
akan diurus dunia kehidupan. Ketika aku meninggalkan kalian, kalian masih kecil-kecil.
Kau masih kelas enam sekolah rakyat. Tidak ada masalah bukan?"

"Ibu seharusnya tidak berakhir begitu cepat kalau mereka memperdulikan ibu. Tetapi
ketika itu saya masih kecil. Saya tidak tahu untuk berbuat apa. Setelah saya besar baru
saya tahu bahwa saudara-saudara kita yang mampu tidak menghiraukan ibu. Penyakit
batuk yang mengeluarkan darah ibu, tidak mereka cegah. Mereka tidak membawa ibu
ke dokter. Ibu sama sekali tidak disentuh obat yang bisa menyembuhkan penyakit ibu.
Dikemudian hari baru saya menyadari penyebab penyakit ibu. Kemiskinan kita yang
pahit. Ibu menjual jeruk di emper gedung bioskop hingga larut malam. Saya yang
memikul salak dalam karung sebelum dituang ke atas tikar yang kita bentangkan di
emper bioskop. Ibu duduk di atas tikar di bawah lampu neon gedung bioskop,
menunggu para pembeli yang pulang larut malam. Itulah penyebab penyakit ibu. Angin
malam yang dingin. Angin malam yang lembab. Dan itu pulalah penyebab ibu menjadi
lebih cepat meninggalkan kami. Coba kalau ibu hidup di zaman dimana banyak dokter
ahli dan anak-anakmu sudah pada mampu yang tak ibu dapatkan ketika ibu mati
muda."

"Ketahuilah, anakku, tidak semua yang kita rencanakan bisa kita selesaikan. Kau sudah
lelah. Sudah tua. Delapan belas tahun lebih tua dari ibu. Kenangan untuk orang yang
berpulang pada usia muda jauh lebih indah dari pada mereka yang berusia tua.
Tinggalkan kekacauan dunia. Masuklah ke keabadian. Mari. Selamat datang, anakku."

Aku mengelak dari tangkupan tangan ibu yang hendak memelukku.

"Tidak. Tidak sekarang. Tidak sekarang saya datang kepada ibu."Aku mundur menjauh.
Ibu mendekat. Ujung telekungnya terseret di atas permadani pucuk tembakau. Tepi
kain putih itu dikibarkan angin yang datang membawa semerbak wangi yang belum
pernah tercium.Ayah menghentikan langkah ibu.

"Biarkan dia," kata ayah.

"Dia sekarang memang telah melampaui usiamu, lebih tua 18 tahun saat kau
meninggalkan kami. Tetapi dia belum sampai mendekati usiaku, 88 tahun. Dia belum
boleh menyerah. Bermohonlah kepada Allah agar kau bisa mencapai seusia ayah.
Bermohonlah kepadaNya agar kau bisa kembali ke dunia dan hidup 30 tahun lagi. Kau
harus seperti aku. Datang kepada kami, dalam usia delapan puluh delapan tahun. Kita
memiliki banyak kedekatan anakku. Sejak kecil kau dekat denganku. Menemaniku di
malam-malam dingin. Kita suka malam hari. Malam hari adalah milik orang-orang yang
terjaga. Terkadang kita seperti berhadapan dengan diri sendiri. Ayah adalah si penjaga
malam itu. Penjaga malam di pajak, pusat perbelanjaan yang kumuh dan becek. Setiap
malam aku memikul air untuk diisi ke bak-bak penampungan milik para pedagang
makanan dan minuman di los itu, kau yang menyuluh gang-gang gelap dengan senter.
Jendela, pengalih perhatian. Setiap malam kau dikuasai mimpi-mimpi. Ayah tahu
semua itu. Mimpi membuat kehidupan berlanjut. Ayah membiarkanmu seperti itu.
Duduk di dalam gelap. Merenungi jendela rumah penambal ban sepeda itu. Kau
menunggu anak gadis penambal ban sepeda itu membuka daun jendela. Ayah senyum
setiap malam melihatmu seperti itu. Memandang dari balik kawat jala mengintai anak
gadis penambal ban sepeda itu membuka daun jendela, membiarkan rambutnya terjurai
dalam cahaya bulan purnama. Kau adalah si penghayal itu. Kau sama seperti aku.
Golongan para pendongeng. Aku mendongeng di depan anak-anak tetangga setelah
aku mengajarkan agama kepada mereka. Aku menggantikan mesin pendongeng yang
belum ada di kampung kita waktu itu. Kita sesungguhnya memiliki banyak kesamaan
dalam berbagai hal. Kalau aku mendongeng langsung kepada pendengarku, sementara
kau mendongeng di atas kertas. Kau memiliki garis keturunan yang kuat pada diri aku.
Dalam banyak hal kau sama seperti aku. Maka kau harus berusia sama seperti aku,
setidaknya mendekati usia aku, delapan puluh delapan tahun, saat nanti kau menemui
kami. Jadilah manusia seusia aku saat kau nanti mengakhiri hidup, insya Allah.
Bermohonlah kepadaNya. Pulanglah. Pergi sana cari kehidupan. Ingat, ayah tak pernah
mengajarkan hal-hal yang buruk. Ayah mengajarkan hal-hal yang baik kepadamu.
Jauhkan dirimu dari orang-orang yang suka mengambil jalan pintas, yang
membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan. Jauhkan diri dari rasa iri, dengki dan
tamak. Jauhi orang-orang yang suka menghasutmu. Jauhi segala yang bisa
menghasutmu. Jauhi sumber fitnah. Jangan hidup seperti lilin, mengorbankan damar
untuk nyalanya. Orang-orang itu masing-masing ada tempatnya. Jangan dipaksakan.
Perkecil risiko kalau tidak bisa menghindar darinya. Kalau kau bisa menuruti semua itu,
kau akan mendapatkan ketenangan hidup. Pergi sana, temui istri dan anak-anakmu.
Temui sahabat-sahabatmu. Bermohonlah kepada Allah agar kau diberi umur panjang.
Hidup bagaikan hadiah. Kalau Tuhan berkenan, kau mendapat kesempatan
meneruskan hidup."Seekor anjing berwarna belang: hitam dan putih, datang berlari
mendekat kepada ayah. Ayah menghilang ke dalam hutan bersama anjing itu, berburu
kancil dengan sebatang tombak. Ibu menyambut hasil buruan ayah, seekor kancil yang
terluka. Nasi selalu tak tersedia di rumah. Ibu memanggang buruan itu dan
menghidangkan kancil guling. Tak ada nasi kecuali kangkung yang direbus pengganti
nasi. Aku mengusir anjing itu setiap kami hendak makan. Aku bersaing sepiring nasi
dengannya. Bila ada nasi, ibu membaginya sepuluh piring. Sepiring untuk anjing itu.
Aku menghalaunya jauh dari rumah. Aku senang kalau dia tak pulang. Tetapi dia tak
bisa lari dari rasa laparnya. Dia pulang pada jam-jam makan. Kuhadang dia di tengah
jalan. Tak kuberi jalan untuk pulang. Kuambil batu. Kulempar kakinya. Itulah kaing
terakhirnya yang pernah kudengar. Dia lari membawa kakinya yang pincang, ke
seberang jalan. Kadang sesuatu terjadi begitu saja. Mobil patroli Belanda melintas dan
melindas tubuhnya. Ayah membawa bangkai anjing itu ke rumah. Aku membawa sekop
dan menggali lubang. Ayah memasukkan bangkai anjing itu ke dalam lubang, aku
menimbunnya.Aku kempeskan ban sepeda dan pergi ke bengkel sepeda itu
memompanya. Aku lakukan berlama-lama sampai anak gadis itu keluar untuk
keperluan sesuatu yang dia cari-cari, kadang dia membuang sampah dapur. Aku melirik
kepadanya, dia melirik kepadaku dan melempar senyum. Jendela, pengalih perhatian.
Malam harinya aku menyusuri lorong gelap di dalam pajak, los tempat berjual ikan,
sayur, buah, sapu lidi, sapu ijuk, bakul anyaman bambu dan keranjang-keranjang rotan.
Di balik rentangan kawat jala-pagar pusat perbelanjaan itu dibuat dari jalinan kawat jala-
di seberang jalan, di loteng rumah penambal ban sepeda itu, daun jendela itu terkuak.
Anak gadis itu membiarkan cahaya bulan masuk memeluk tubuhnya dengan warna
perak. Aku sandarkan ujung tangga pada sisi atas besi pagar, aku naik dan merobah
posisi tangga. Aku turun dan meletakkan ujung tangga di bawah bendul jendela.
Selangkah demi selangkah aku naik dan, muncul di luar jendela. Dia lihat aku, lalu lari
ke pintu, menutupnya, dan menguncinya dari dalam. Dari pintu yang telah terkunci dia
lari ke jendela, menolongku masuk dan, mendorong ujung tangga. Terdengar tangga
jatuh dan sepi malam. Jendela dia tutup, mengusir cahaya bulan. Bulan tak ikut masuk.
Lewat celah kayu rangka jendela dia mengintip melihat aku menggantikannya.

"Pergi ambil jeruk di pajak buah dekat pintu." Kata ayah muncul dari balik cahaya bulan.
Tak ada atap penghalang langit. Semuanya muncul seperti kelambu yang ditambatkan
pada empat tiang. Penuh kristal cahaya. Bulan tergantung di sudutnya.

"Pergilah. Besok pagi akan ayah beri tahu pemiliknya, ayah mengambil sebutir jeruk.
Pergilah ke lorong-lorong gelap itu. Raba di mana jeruk itu tersimpan. Ambillah sebutir.
Jangan lebih dari satu."

Malam dengan pancaran bulan penuh. Tak ada gelap di dalam los kecuali terang-
benderang yang membungkus. Aku hanyut dalam arus cahaya dalam lorong-lorongnya
yang bercabang melintasi pajak ikan, pajak sayur, pajak barang pecah-belah dan pajak
buah dekat pintu. Aku menyelusup ke bawah rak yang ditutup karung goni. Tanganku
meraba di bawah karung, menyentuh buah-buah yang berbeda di antara sekat-sekat
pemisah. Apel yang dibungkus jaringan lembut, markisah, semangka, dukuh, salak dan
mangga. Aku ingin sebutir jeruk. Aku terus meraba. Ada yang terdorong oleh tubuhku.
Sesuatu bergeser di atas. Sekeranjang jeruk jatuh menimpaku, tepat di dada. Aku
terbatuk.Dia berdiri di samping keranjang jeruk. Diraihnya tanganku. Ditariknya aku dari
tumpukan jeruk, masuk ke dalam relung cahaya yang vertikal, melejit di dalamnya,
seperti gelembung dalam pipa air, menerobos langit-langit kelambu. Ayah melempar
senyum kepadaku sebelum atap bangunan terkatup menyembunyikannya. Kami hanyut
dalam arus cahaya melintas di hamparan kebun tembakau meninggalkan ibu yang
berlari di atas pucuk-pucuk daun, mengejar kami. Kami semakin jauh meninggalkannya,
sampai semuanya lenyap. Akhir semua itu adalah titik awal cahaya. Tuan itu melepas
pegangannya, mendorongku ke luar cahaya berpindah ke negeri yang fana. Sebelum
menutup gerbang fana, dia senyum kepadaku.

"Aku akan menjemputmu nanti."Aku terbatuk mendapatkan kegelapan mata terpejam.


Kupaksa membuka mata. Tapi tak kuasa. Aku tak tahu aku berada di mana.

"Bangunlah, cerpenis. Kau belum mau mati." Suara itu terdengar selayang dekat daun
telinga. Terasa ada sentuhan di bagian atas selimut.

"Bangun Bang. Kami masih menunggu cerpen-cerpen Abang." Kupaksa membuka


mata tetapi tak berdaya. Semua terasa masih melayang. Tak begitu jelas.

"Bangunlah." Suara magis itu mendatangkan kekuatan untuk aku membuka mata.

"Bangunlah, coba lihat, siapa yang datang?"Dengan sangat sulit aku membuka mata.
Dalam nanar kudapati diriku di ruang yang tak pernah kukenal. Kulihat wanita itu, tapi
tak begitu jelas, berada di samping tempat aku terbaring. Wajahnya terbagi dua oleh
benda yang terjulai.

"Siapa engkau?"

"Aku istrimu. Nurwindasari." Disingkirkannya benda yang terjulai, yang menghalangi


pandangannya padaku. Wajah wanita itu sekarang tampak utuh dalam linangan air
mata.

"Di mana aku?"

"Di rumah sakit. Kami telah kau bikin cemas. Grafik detak jantungmu di layar monitor
menunjukkan garis lurus. Jantungmu telah berhenti berdetak. Aku terus menerus
berdoa kepada Allah, memohon kepada-Nya agar kau diberi umur. Dokter terus-
menerus tak bosan-bosannya merangsang jantungmu agar kembali berdenyut. Dia
hantamkan berulang-ulang dua alat kejut jantung ke dadamu. Dada kiri dan kanan
bersamaan. Dokter itu seperti memegang dua strika listrik yang dihantamkannya ke
dadamu. Alhamdulillah. Jantungmu kembali berdetak. Segala puji bagi Allah."

"Aku takut. Aku bertemu orang-orang yang telah meninggal. Ibuku, ayahku, abangku,
adikku dan orang yang pernah dekat denganku. Aku juga bertemu dengan anjing kami
yang telah lama mati. Aku bertemu di tempat kami pernah bersama."

"Itu hanya mimpi-mimpi burukmu. Jangan terlampau dipikirkan."

"Itu bukan mimpi. Aku datang kepada mereka. Aku bertemu Arida di tempat yang itu-itu
juga. Di kamar itu. Di jendela itu."

"Selalu itu saja yang kau ceritakan setiap wanita itu datang mengganggu tidurmu."

"Dia melompati jendela waktu dia tahu aku lari ke Jakarta."

"Itu lagi yang kau ulang-ulang. Penyesalan yang tak pernah habisnya. Lupakan semua
itu. Masing-masing ada pada takdirnya."

"Aku takut. Dosa-dosaku. Aku belum siap untuk mati."

"Suatu hari semua kita akan pulang. Kita semua tahu itu. Tapi semua kita belum siap.
Selalu begitu. Belum siap untuk mati. Itulah sebabnya kita berdoa, biar diberi umur oleh
Allah. Aku tidak henti-hentinya berdoa supaya kau diberi umur panjang. Kau yakinkan
itu, kau sekarang sedang tidak menunggu dia. Kita sekarang sedang tidak menunggu
dia. Hilangkan rasa takutmu. Sudah tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Masa kritismu
sudah lewat, kata dokter. Kita sekarang sedang menunggu orang-orang yang
mencintaimu. Menunggu orang-orang yang menyayangimu. Para sahabatmu."

"Aku tidak ingin lahir dari sini disambut ibu dan ayahku. Aku ingin lahir dari tempat ini
disambut istri dan anak-anakku. Disambut orang-orang yang mencintaiku. Disambut
sahabat-sahabatku."

"Bersyukurlah. Masih ada kesempatan untuk hidup. Lihat di balik dinding kaca itu. Siapa
yang berdiri di sana? Mereka tadi sudah diizinkan dokter masuk menjengukmu. Satu
per satu mereka masuk bergantian menyalaminya. Mereka memberi semangat hidup
kepadamu. Lihatlah. Mereka masih belum mau beranjak dari sana meninggalkanmu.
Mereka masih melihat padamu dari balik dinding kaca itu. Lihatlah, mereka memberi
senyum kehidupan kepadamu. Coba kau perhatikan dari sisi kirimu. Di sana ada Haji
Danarto, Sapardi Djoko Damono, Lukman Setiawan, Galeb Husyen, Kenedi Nurhan,
Sori Siregar, Martin Alaida."

"Siapa lagi?"

"Wiwiek Sipala, Syahnagra Ismail, Wisnu Murti Ardjo, Kak Atie, Agus R. Sarjono, Jamal
D. Rahman, Titik Ws., Elanda Rosi DS, Adri Darmadji Woko, Lazuardi Adi Sage, Remi
Novaris, Abrar Siregar, Ibrahim Basalmah."

"Siapa lagi mereka?" ***


Legenda Wongasu

Cerpen: Seno Gumira Ajidarma

Sumber: Kompas, Edisi 03/03/2002

SUATU ketika kelak, seorang tukang cerita akan menuturkan sebuah legenda, yang
terbentuk karena masa krisis ekonomi yang berkepanjangan, di sebuah negeri yang
dahulu pernah ada, dan namanya adalah Indonesia. Negeri itu sudah pecah menjadi
berpuluh-puluh negara kecil, yang syukurlah semuanya makmur, tetapi mereka masih
disatukan oleh bahasa yang sama, yakni Bahasa Indonesia, sebagai warisan masa
lalu.Barangkali tukang cerita itu akan duduk di tepi jalan dan dikerumuni orang-orang,
atau memasang sebuah tenda dan memasang bangku-bangku di dalamnya di sebuah
pasar malam, atau juga menceritakannya melalui sebuah teater boneka, bisa boneka
yang digerakkan tali, bisa boneka wayang golek, bisa juga wayang magnit yang
digerakkan dari bawah lapisan kaca, dengan panggung yang luar biasa kecilnya. Untuk
semua itu, ia akan menuliskan di sebuah papan hitam: Hari ini dan seterusnya
"Legenda Wongasu". Berikut inilah legenda tersebut:"Untung masih banyak pemakan
anjing di Jakarta," pikir Sukab setiap kali merenungkan kehidupannya. Sukab memang
telah berhasil menyambung hidupnya berkat selera para pemakan anjing. Krisis
moneter sudah memasuki tahun kelima, itu berarti sudah lima tahun Sukab menjadi
pemburu anjing, mengincar anjing-anjing yang tidak terdaftar sebagai peliharaan
manusia, memburu anjing-anjing tak berpening yang sedang lengah, dan tiada akan
pernah mengira betapa nasibnya berakhir sebagai tongseng.Semenjak di-PHK lima
tahun yang lalu, dan menganggur lontang-lantung tanpa punya pekerjaan, Sukab
terpaksa menjadi pemburu anjing supaya bisa bertahan hidup. Kemiskinan telah
memojokkannya ke sebuah gubuk berlantai tanah di pinggir kali bersama lima anaknya,
sementara istrinya terpaksa melacur di bawah jembatan, melayani sopir-sopir bajaj.
Dulu ia begitu miskin, sehingga tidak mampu membeli potas, yang biasa diumpankan
para pemburu anjing kepada anjing-anjing kurang pikir, sehingga membuat anjing-
anjing itu menggelepar dengan mulut berbusa.Masih terbayang di depan matanya,
bagaimana ia mengelilingi kota sambil membawa karung kosong. Mengincar anjing
yang sedang berkeliaran di jalanan, menerkamnya tiba-tiba seperti harimau menyergap
rusa, langsung memasukkannya ke dalam karung dan membunuhnya dengan cara
yang tidak usah diceritakan di sini. Sukab tidak pernah peduli, apakah ia berada di
tempat ramai atau tempat sepi. Tidak seorang pun akan menghalangi pekerjaannya,
karena anjing yang tidak terdaftar boleh dibilang anjing liar, dan anjing liar seperti juga
binatang-binatang di hutan yang tidak dilindungi, boleh diburu, dibinasakan, dan
dimakan.Apabila Sukab sudah mendapatkan seekor anjing di dalam karungnya, ia akan
berjalan ke sebuah warung kaki lima di tepi rel kereta api, melemparkannya begitu saja
ke depan pemilik warung sehingga menimbulkan suara berdebum. Pemilik warung akan
memberinya sejumlah uang tanpa berkata-kata, dan Sukab akan menerima uangnya
tanpa berkata-kata pula. Begitulah Sukab, yang tidak beralas kaki, bercelana pendek,
dan hanya mengenakan kaus singlet yang dekil, menjadi pemburu anjing di Jakarta. Ia
tidak menggunakan potas, tidak menggunakan tongkat penjerat berkawat, tapi
menerkamnya seperti harimau menyergap rusa di dalam hutan.Ia berjalan begitu saja di
tengah kota, berjalan keluar-masuk kompleks perumahan, mengincar anjing-anjing
yang lengah. Di kompleks perumahan semacam itu anjing-anjing dipelihara manusia
dengan penuh kasih sayang. Bukan hanya anjing-anjing itu diberi makanan yang mahal
karena harus diimpor, atau diberi makan daging segar yang jumlahnya cukup untuk
kenduri lima keluarga miskin, tapi juga dimandikan, diberi bantal untuk tidur, dan
diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan setiap bulan sekali. Sukab sangat tidak bisa
mengerti bagaimana anjing-anjing itu bisa begitu beruntung, sedangkan nasibnya tidak
seberuntung anjing-anjing itu.Namun, anjing tetaplah anjing. Ia tetap mempunyai naluri
untuk mengendus-endus tempat sampah dan kencing di bawah tiang listrik. Apabila
kesempatan terbuka, tiba-tiba saja mereka sudah berada di alam belantara dunia
manusia. Di alam terbuka mereka terpesona oleh dunia, mondar-mandir ke sana kemari
seperti kanak-kanak berlarian di taman bermain, dan di sanalah mereka menemui
ajalnya. Diterkam dan dibinasakan oleh Sukab sang pemburu, untuk akhirnya digarap
para pemasak tongseng. "Sukab, jangan engkau pulang dengan tangan hampa, anak-
anak menantimu dengan perut keroncongan, jangan kau buat aku terpaksa melacur lagi
di bawah jembatan, hanya supaya mereka tidak mengais makanan dari tempat
sampah," kata istrinya dahulu.Kepahitan karena istrinya melacur itulah yang membuat
Sukab menjadi pemburu anjing. Hatinya tersobek-sobek memandang istrinya berdiri di
ujung jembatan, tersenyum kepada sopir-sopir bajaj yang mangkal, lantas turun ke
bawah jembatan bersama salah seorang yang pasti akan mendekatinya. Di bawah
jembatan istrinya melayani para sopir bajaj di bawah tenda plastik, hanya dengan
beralaskan kertas koran. Tenda plastik biru itu sebetulnya bukan sebuah tenda, hanya
lembaran plastik yang disampirkan pada tali gantungan, dan keempat ujungnya ditindih
dengan batu. Sukab yang berbadan tegap lemas tanpa daya setiap kali melihat istrinya
turun melewati jalan setapak, menghilang ke bawah tenda."Inilah yang akan terjadi jika
engkau tidak bisa mencari makan," kata istrinya, ketika Sukab suatu ketika
mempertanyakan kesetiaannya, "pertama, aku tidak sudi anak-anakku mati kelaparan;
kedua, kamu toh tahu aku ini sebetulnya bukan istrimu.

"Perempuan itu memang ibu anak-anaknya, tapi mereka memang hanya tinggal
bersama saja di gubug pinggir kali itu. Tidak ada cerita sehidup semati, surat nikah
apalagi. Mereka masih bisa bertahan hidup ketika Sukab menjadi buruh pabrik sandal
jepit. Meski tidak mampu menyekolahkan anak dan tidak bisa membelikan perempuan
itu cincin kalung intan berlian rajabrana, kehidupan Sukab masih terhormat, pergi dan
kembali seperti orang punya pekerjaan tetap. Ketika musim PHK tiba, Sukab tiada
mengerti apa yang bisa dibuatnya. Kehidupannya sudah termesinkan sebagai buruh
pabrik sandal jepit. Begitu harus cari uang tanpa pemberi tugas, otaknya mampet
karena sudah tidak biasa berpikir sendiri, nalurinya hanya mengarah kepada satu hal:
berburu anjing. Itulah riwayat singkat Sukab, sampai ia menjadi pemburu anjing. Kini ia
mempunyai beberapa warung yang menjadi pelanggannya di Jakarta. Tangkapan
Sukab disukai, karena ia piawai berburu di kompleks perumahan gedongan. Konon
anjing peliharaan orang kaya lebih gemuk dan lebih enak dari anjing kampung yang
berkeliaran. Tapi Sukab tidak pandang bulu. Ia berjalan, ia memperhatikan, dan ia
mengincar. Anjing yang nalurinya tajam pun bisa dibuatnya terperdaya. Apa pun
jenisnya, dari chihuahua sampai bulldog, dari anjing gembala Jerman sampai anjing
kampung, seperti bisa disihirnya untuk mendekat, lantas tinggal dilumpuhkan, lagi-lagi
dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.Perburuan anjing itu menolong
kehidupan Sukab. Perempuan yang disebut istrinya meski mereka tidak pernah
menikah itu tak pernah pergi lagi ke bawah jembatan, melainkan memasak kepala
anjing yang diberikan para pemilik warung kepada Sukab. Seperti juga ia melemparkan
karung berisi anjing kepada pemilik warung sehingga menimbulkan bunyi berdebum,
begitu pula ia melemparkan kepala anjing itu ke hadapan perempuan itu. Anak-anak
mereka yang jumlahnya lima itu menjadi gemuk dan lincah, namun dari sinilah cerita
baru dimulai.***

SEPANJANG rel, tempat ia selalu membawa karung berisi anjing, anak-anak berteriak
mengejeknya.

"Wongasu! Wongasu!"

Mula-mula Sukab tidak peduli, tapi kemudian perempuan yang disebut istrinya itu pun
berkata kepadanya.

"Sukab! Mereka menyebut kita Wongasu!"

"Kenapa?"

"Katanya wajah kita mirip anjing."Mereka begitu miskin, sehingga tidak punya cermin.
Jadi mereka hanya bisa saling memeriksa.Betul juga. Mereka merasa wajah mereka
sekarang mirip anjing."Anak-anak tidak lagi bermain dengan anak-anak tetangga,
karena mereka semua mengejeknya sebagai Wongasu."Ia perhatikan, anak-anak
mereka juga sudah mirip anjing. Perasaan Sukab remuk redam. "Aduhai anak-anakku,
kenapa mereka jadi begitu?" Sukab merenung sendirian. Kalaulah ini semacam
karmapala karena perbuatannya sebagai pemburu anjing, mengapa hal semacam itu
tidak menimpa para pemakan anjing saja? Bukankah perburuan anjing itu bisa
berlangsung, hanya karena ada juga warung-warung penjual masakan anjing yang
selalu penuh dengan pengunjung? Kenapa hanya dirinya yang menerima
karmapala?Orang-orang itu memakan anjing karena punya uang, begitu pikiran Sukab
yang sederhana, sedangkan ia dan keluar-ganya memakan hanya kepalanya saja
karena tidak punya uang. Sejumlah uang yang diterimanya dari para pemilik warung,
yang mestinya cukup untuk membeli ikan asin dan nasi, biasa habis di lingkaran judi,
tempat dahulu ia bertemu dengan perempuan itu-yang telanjur dicintainya setengah
mati. Bukan berarti Sukab seorang penjudi, tapi ia juga punya impian untuk mengubah
nasib secepat-cepatnya. Namun kini mereka semua menjadi Wongasu.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan hidup," kata Sukab. Perempuan itu
menangis. Wajahnya yang cantik lama-lama juga menjadi mirip anjing. Meski sudah
tidak melacur, tentu saja ia tetap ingin kelihatan cantik. Begitu juga Sukab. Anak-anak
mereka terkucil dan setiap kali berkeliaran menjadi bahan ejekan.Sukab tetap
menjalankan pekerjaannya, dan pekerjaannya memang menjadi semakin mudah.
Bukan karena anjing-anjing itu melihat kepala Sukab semakin mirip dengan mereka,
melainkan karena penciuman mereka yang tajam mencium bau tubuh Sukab yang
rupa-rupanya sudah semakin berbau anjing. Mereka datang seperti menyerahkan diri
kepada Sukab yang telah sempurna sebagai Wongasu. Kadang-kadang Sukab cukup
membuka karung dan anjing itu memasuki karung itu dengan sukarela, seperti upacara
pengorbanan diri, meski Sukab tetap akan mengakhiri hidup mereka, tentu saja dengan
cara yang tidak usah diceritakan di sini.Ia akan datang dari ujung rel memanggul karung
berisi anjing, melemparkannya ke hadapan pemilik warung berdingklik di tepi rel
sehingga menimbulkan bunyi berdebum, dan segera pergi lagi setelah menerima
sejumlah uang. Di belakangnya anak-anak kecil berteriak.

"Wongasu! Wongasu!"Pada suatu hari, ketika ia kembali ke gubugnya di pinggir kali,


seseorang berteriak kepadanya."Wongasu! Mereka mengangkut keluargamu!"Rumah
gubugnya porak poranda. Seorang tua berkata kepadanya bahwa penduduk
mendatangkan petugas yang membawa kerangkeng beroda. Perempuan dan anak-
anaknya ditangkap. Mereka dibawa pergi.

"Ke mana?"

"Entahlah, kamu tanyakan sendiri saja sana!"Waktu Sukab berjalan di sepanjang tepi
kali, ia mendengar mereka berbisik-bisik dari dalam gubug-gubug kardus.

"Awas! Wongasu lewat! Wongasu lewat!"

"Heran! Kenapa kepalanya bisa berubah menjadi kepala anjing?"

"Itulah karmapala seorang pembunuh anjing."


"Tapi kita semua makan anjing, siapa yang mampu beli daging sapi dalam masa
sekarang ini? Bukankah justru...."

"Husssss....."Di kantor polisi terdekat Sukab bertanya, apakah mereka tahu akan
adanya pengerangkengan tiada semena-mena sebuah keluarga di tepi kali.

"Oh, itu. Bukan polisi yang mengangkut, tapi petugas tibum."

"Apa mereka melanggar ketertiban umum?"Polisi itu kemudian bercerita, bagaimana


salah seorang anak Sukab tidak tahan lagi karena selalu dilempari batu, sehingga
mengejar pelempar batu dan menggigitnya. Bapak anak yang digigit sampai berdarah-
darah itu tidak bisa menerima, lantas mengerahkan pemukim pinggir kali untuk
mengepung gubug mereka. Kejadian itu dilaporkan kepada petugas tibum yang tanpa
bertanya ini itu segera mengangkut mereka sambil menggebukinya.Diceritakan oleh
polisi itu bagaimana perempuan dan kelima anaknya itu berhasil dimasukkan ke dalam
kerangkeng, hanya setelah memberi perlawanan yang luar biasa.

"Mereka menyalak-nyalak dan berkaing-kaing seperti anjing," kata polisi itu, seolah-olah
tidak peduli bahwa wajah Sukab juga seperti anjing.

"Hati-hati lewat sana," katanya lagi, "mereka juga bisa menangkap saudara."

"Kenapa Bapak tidak mencegah mereka, perlakuan itu kan tidak manusiawi?"Polisi itu
malah membentak

."Apa? Tidak manusiawi? Apa saudara pikir makhluk seperti itu namanya manusia?"

"Mereka juga manusia, seperti Bapak!"

"Tidak! Saya tidak sudi disamakan! Mereka itu lain! Saudara juga lain! Sebetulnya saya
tidak bisa menyebut Anda sebagai Saudara. Huh! Saudara! Saudara dari mana? Lagi
pula, Anda bisa bayar berapa?"Sukab berlalu. Nalurinya yang entah datang dari mana
serasa ingin menerkam dan merobek-robek polisi itu, tapi hati dan otaknya masih
manusia. Ia berjalan di kaki lima tak tahu ke mana harus mencari keluarganya.Setelah
malam tiba, ia kembali ke pinggir kali dengan tangan hampa. Ia berjongkok di bekas
gubugnya yang hancur, menangis, tapi suara yang keluar adalah lolongan anjing.Hal ini
membuat orang-orang di pinggir kali lagi-lagi gelisah. Lolongan di bawah cahaya bulan
itu terasa mengerikan. Ketakutannya membuat mereka mendatangi Sukab yang masih
melolong ke arah rembulan dengan memilukan. Mereka membawa segala macam
senjata tajam.***

"MEREKA membantai Sukab," ujar tukang cerita itu, dan para pendengar menahan
nafas.

"Dibantai bagaimana?"

"Ya dibantai, kalian pikir bagaimana caranya kalian membantai anjing?

""Terus?"

"Mereka pulang membawa daging ke gubug masing-masing."

"Terus?"

"Terus! Terus! Kalian pikir bagaimana caranya mendapat gizi dalam krisis ekonomi
berkepanjangan?"Ada yang menahan muntah, tapi masih penasaran dengan akhir
ceritanya.

"Yang bener aje, masa' Sukab dimakan?"Tukang cerita itu tersenyum.

"Lho, itu tidak penting."Orang-orang yang mau pergi karena mengira cerita berakhir,
berbalik lagi.

"Apa yang penting?"

"Esoknya, ketika matahari terbit, dan orang-orang bangun kesiangan karena makan
terlalu kenyang dan mabuk-mabukan, terjadi suatu peristiwa di luar dugaan."

"Apa yang terjadi?"

"Ketika terbangun mereka semua terkejut ketika saling memandang, mereka bangkit
dan menyalak-nyalak, lari kian kemari sambil berkaing-kaing seperti anjing!"

"Haaaa?"
"Kepala mereka telah berubah menjadi kepala anjing!"

"Aaahhh!!!"

"Mereka semua telah berubah menjadi Wongasu!!"

Mulut tukang cerita membunyikan gamelan bertalu-talu sebagai tanda cerita berakhir,
dan mulut para asistennya membunyikan suara lolongan anjing yang terasa begitu getir
sebagai tangis perpisahan yang menyedihkan. Para penonton terlongong dengan lidah
terjulur.Di langit masih terlihat rembulan yang sama, dengan cahaya kebiru-biruan
menyepuh daun yang masih juga selalu memesona.Pertunjukan akhirnya benar-benar
selesai, tukang cerita itu memasukkan kembali wayangnya ke dalam kotak. Para
penonton yang semuanya berkepala anjing itu pulang ke rumah, dengan pengertian
yang lebih baik tentang asal-usul mereka sendiri. Guk! *

Cirebon-Wangon-Jogja, Januari 2002. * Pesan pengarang: Sayangilah anjing,


sayangilah makhluk ciptaan Tuhan.
Ikan Asing dari Weipa-Nappranum

Triyanto Triwikromo

Sumber: Kompas, Edisi 01/27/2002

Aku sedang belajar menjadi iblis, Susan. Aku akan membakar wajahmu.SUSAN masih
termenung di undak-undakan Sydney Opera House ketika angin Oktober yang ganjil
dan dingin bangkit dari laut bertabur serbuk putih cahaya bulan. Sambil menenggak
Red Wine, ia melihat ratusan ikan asing1 berkelebat terbang mengelilingi gedung-
gedung bergaya Victoria di Darling Harbour yang sejak senja dipenuhi puluhan merpati
dan para remaja yang asyik berciuman."Kalau saja bias lampu itu jalin-menjalin jala,
ikan-ikan itu pasti terjaring dan akhirnya menggelepar-gelepar ketakutan," lenguh
Susan pelan.Teramat pelan, sehingga tak mengganggu Fiona yang merespons desau
angin dengan denting kecapi Sunda yang menyayat-nyayat sukma. "Aku selalu
memimpikan saat-saat seperti ini, Susan. Hanya berdua. Hanya merasakan gairah laut
dan menikmati kesunyian cinta sambil sesekali mencumbumu dengan desah
tertahan."Susan, seperti malam-malam penuh pasir, ketam, kerang, dan gelepar angin
di Bondi Beach, tak mendengarkan denting kecapi atau lenguh luka Fiona. Selalu,
bahkan setelah meninggalkan Surakarta pada tahun 1998 yang perih, ia lebih
terpesona oleh berbagai panorama aneh yang timbul tenggelam di tengah lautan.Saat
itu, setelah terlalu suntuk latihan nyindhen untuk opera The Theft of Sita karya
sutradara kawakan Australia, Nigel Jamieson, ia juga melihat ratusan kera menyembul
dari laut dan berusaha memperkosa istri Rama yang tersalib di bawah kesombongan
lengkung Harbour Bridge.Dan, karena setiap loncatan kera didera oleh lampu-lampu
indah yang melekat di jembatan lengkung kebanggaan Sydney, panorama itu
mengingatkan Susan pada kisah lidah-lidah api yang menjilat-jilat tubuh Sita dalam
epos Ramayana. Ia tahu petilan keindahan cerita itu saat belajar nyindhen di Kota
Bengawan. Waktu itu, sebelum hampir seluruh kota di Indonesia dilahap kobaran api, ia
diajak penyair Sosiawan Leak ngelayap ke Karanganyar menonton pertunjukan lakon
Rama Tambak Ki Manteb Soedharsono."Dia tak akan bisa lepas dari jerat Rahwana
sebagaimana aku sulit lepas dari jaring cinta ajaib Fiona," lenguh Susan sambil terus
menikmati cabikan dawai kecapi sang kekasih.Cabikan itu menimbulkan bunyi ganjil
serupa desau ombak, serupa riuh angin yang membelai rambut indah Fiona. Lalu,
karena Fiona mendesahkan lengking yang tak lengking, lenguh yang tak lenguh, ngiau
yang tak ngiau, malam tiba-tiba seperti dikepung suara-suara hantu.Tidak! Tidak! Di
telinga Susan, suara Fiona yang serak tak serak itu ternyata lebih menyerupai desis
soul Bertha, penyanyi jazz dari Betawi, saat melantunkan New York New York, Are You
Girl Friend, atau Kasih di Kala Remaja secara bersamaan.Suara itu menggelepar bagai
ikan-ikan asing dari laut yang juga asing, sehingga membuat bulu kuduk Susan berdiri
tak karuan. Dan itu membuat perempuan bertabur manik-manik dari Weipa-
Nappranum2 yang tak henti-henti menenggak Red Wine tersebut punya alasan
memeluk sang kekasih. Punya alasan mendekap jiwa yang tak pernah kehilangan
cahaya rembulan. "Sudahlah darling, kita toh masih punya banyak acara. Hentikan
denting kecapimu."

"Acara apa lagi?"

"Apa lagi kalau tak merampok pria-pria dungu di King Cross!"Tanpa dikomando dua kali,
Fiona mengerti maksud Susan. Sebagaimana malam-malam sebelumnya, bersama
Susan, dia akan melesat ke kawasan mesum terbesar di Sydney itu, menyamar
sebagai penari bugil, dan akhirnya memperdaya pria-pria pemabuk dan menguras
kantung mereka."Ingat, selalu hanya untuk uang mereka. Bukan untuk yang lain-lain."

"Ya, selalu hanya untuk kedunguan mereka," bisik Fiona sambil mengulum lembut
telinga perempuan Aborigin yang sekalipun agak berkulit gelap, selalu tampil menawan
itu.***

Ia adalah bidadari dari Thainakuith. Tetapi ada yang hendak membunuh perempuan
seindah keramik Cina itu. Ada yang hendak membakar wajah tembikar bersepuh
mawar yang tak pecah-pecah itu.Sesungguhnya saya hanya penari bugil. Selalu jika
malam telah melabrak lampu-lampu merkuri, saya akan melesat ke King Cross,
menyusup ke salah satu ruang pengap yang senantiasa dikerumuni para lelaki, dan
menarikan jiwa liar untuk mengeruk dollar dari pria-pria aneh yang sering saya
andaikan sebagai kerumunan kera itu.Asal tahu, saya tak pernah jatuh cinta pada
Subali-Sugriwa yang pencilakan itu. Apalagi terperangkap cinta para Anoman. Aha,
memang keliru mengandaikan mereka dengan para jagoan Ramayana yang
digambarkan para dalang sebagai pahlawan lurus hati itu. Tetapi, begitulah, saya
memang telanjur menganggap mereka sebagai kera-kera-kera serakah. Dan,
sebagaimana Ki Manteb, saya memang tak pernah menganggap Sugriwa, Subali, atau
Anoman sebagai pahlawan.Jika boleh menyebut jiwa yang mendesis-desis sebagai
cinta, rasa kasmaran saya justru senantiasa membelit tubuh Fiona. Dan cinta kami,
kalau boleh dua perempuan cantik mengikrarkan cinta, bisa diibaratkan sebagai ular-
ular yang pating kruntel tak terpisahkan."Sejak lama hidupku sudah terpisah dari
kehidupan orang-orang Sydney, Fiona. Seperti kepada nenek moyangku, mereka selalu
mencoba mendepakku dari pub, gereja, bahkan dari jalanan gelap sekalipun. Dan, jatuh
cinta kepadamu akan lebih menyingkirkan aku dari mereka," kata saya kepada Fiona
ketika kali pertama perempuan manis dari 27 Kent Road, Rose Bay, New South Wales
2029, itu mencium kening."Dengar, Fiona! Kalau kita tinggal serumah, sangat mungkin
saudara-saudaramu akan menuangkan racun ke gelas minumku. Ya, bukankah nenek
moyangmu pernah meracun air sungai yang menghidupi orang-orang Aborigin. Dan
aku? Aku, sebagaimana anak-anak manis Thainakuith lain, adalah cucu
Thancoupie."3Fiona yang saat itu mabuk hanya tersenyum. Saya tak peduli. Sambil
terus menenggak Red Wine, saya berondongkan keluhan-keluhan saya kepada
perempuan seindah pelangi itu.

"Aku kira, siapa pun dirimu, pasti tahu sepak terjang Thancoupie. Well, sebagaimana
dia, aku juga akan jadi pejuang. Akan aku tunjukkan kepada Howard, aku pun bisa
melakukan lebih banyak hal ketimbang orang-orang yang merasa sok England."Lagi-
lagi saat bulan hanya tampak seperti bumerang, Fiona hanya mengguratkan senyum
indah di wajah yang didera lampu warna-warni di pub itu. Tanpa sungkan-sungkan, dia
memeluk saya dan mendesiskan kata-kata mesum yang menggelegakkan birahi.

"Sudahlah, Sayang, kamu terlalu banyak minum. Ayo pulang ke rumahku dan aku akan
memberimu surga seindah Thainakuith."

"Apa? Jangan menganggap aku mabuk, Fiona. Tanah indah itu kini telah jadi Weipa-
Nappranum. Sejak tahun 1958 kawasan itu menjadi areal tambang bauksit yang
dikelola orang-orang asing. O, jadi kau akan menyepuhku dengan aluminium? Kau
akan menjadikan aku sebagai robot?"

Fiona tak menjawab pertanyaan saya. Dengan sigap, dia menyeret saya keluar dari pub
dan segera membawa saya ke Kent Road, ke rumah indahnya.Sejak itu, saya tahu
Fiona ternyata pemusik yang menyamar sebagai penari bugil. Sejak itu, saya tahu, dia
sebenarnya sedang meneliti respons para pria pemabuk terhadap gairah musik dan tari
Sunda. Saya pernah melihat dia menarikan tari jaipongan di tengah-tengah pria-pria
rakus yang terus-menerus melirik pantatnya. Karena itu, saya paham mengapa dia
belajar tari dan kecapi Sunda di Bandung, sebagaimana saya belajar nyindhen di
Surakarta dan membuat gerabah di Kawedanan Delanggu.***

OKTOBER yang perih mengguyur King Cross dengan hujan putih. Kristal-kristal tajam
itu menampar-nampar lampu warna-warni yang menghias pub dan bar sehingga
menimbulkan panorama serupa kembang api di kegelapan malam. Sebelumnya,
sesabit bulan liar menebarkan kegaiban. Tetapi cuma sesaat. Cuma sesaat.Meski
begitu, tak sedikit orang-orang berlalu-lalang menyisir trotoar. Kadang-kadang mata
mereka jelalatan saat berpapasan dengan perempuan-perempuan jalang. Kadang-
kadang mereka memandang takjub setiap perempuan yang mendesahkan kata-kata
mesum di bibir pintu puluhan sex shop, pub, dan bar.Malam itu saya lihat Susan sudah
mendapatkan pasangan. Saya tak tahu asal-usul pria yang mendekap perempuan dari
Weipa-Nappranum dengan pelukan teramat mesra itu. Yang jelas pria itu berambut
cepak. Sorot matanya mengingatkan saya pada pandangan nakal pria-pria Pasundan
saat melirik perempuan-perempuan bule yang melintas di Jalan Braga.Aneh! Sama
sekali saya tak cemburu menyaksikan percumbuan mereka. Saya sudah tak mencintai
Susan? Mungkin. Mungkin karena saya memang sudah tak ingin lagi bertopeng di
hadapan perempuan yang mendesahkan kata-kata kotor saat bercinta atau mengkritik
perilaku politik Howard itu.Susan seharusnya tahu mengapa beberapa waktu lalu saya
menampar wajahnya saat dia memergoki saya mencium Rob, pria England yang
tampan itu, di ujung jalan. Dia seharusnya mengerti mengapa saya menyingkirkan
keramik-keramik dan lukisan-lukisan kayu Thancoupie dari kamar, tempat kami
bercanda dan menghabiskan malam-malam hampa bersama Red Wine, Kahlua Cream,
atau Long Island.Seharusnya dia paham mengapa saya sangat membela Howard. O,
kalau saja dia mengerti mengapa saya menguntit dia hingga ke Indonesia, tentu saya
tak perlu terus-menerus bersandiwara dan berpura-pura mencintai perempuan lugu itu.
Sayang, Susan tak pernah mengerti keterlibatan saya dalam proyek-proyek
pemusnahan suku Aborigin. Dia juga tak tahu mengapa saya begitu ngotot membela
pendirian berbagai pabrik bauksit di Weipa-Nappranum.Ya, dia sama sekali tak pernah
mau mengerti isyarat-isyarat yang saya hunjamkan ke jiwanya yang sekasar hamparan
pasir di Bondi Beach itu. Bahkan, saat ditampar, dia malah menantang agar saya
mengguyur wajahnya dengan bensin dan membakar kecantikan tak bertara itu dengan
cara sekejam mungkin."Kau tak akan pernah berani membunuhku, Fiona. Kau tak akan
pernah mampu menghancurkan rasa cinta."Untuk sementara, tak keliru Susan meledek
ketakmampuan saya untuk sekadar melukai wajahnya yang seindah lukisan-lukisan
Thancoupie yang lugu dan membuncahkan kegaiban tak habis-habis itu.Tetapi, rasa
hampa penuh iblis, malam itu, rupa-rupanya bisa mengubah kesucian cinta. Iblis telah
mengajari saya untuk mempersetan rasa iba. Dan, saya agaknya memang sedang
belajar menjadi iblis. Maka, jangan heran jika kelak saya punya keberanian membakar
wajah Susan.Jangan kaget kalau saya bisa melupakan kisah-kisah cinta kami setelah
tahu tak mungkin hidup bersama orang yang sangat memengaruhi musik, lukisan,
tarian, dan pikiran-pikiran saya.Lalu saya pun melesat meninggalkan King Cross yang
makin menebarkan bau anyir. Sudah saatnya kutinggalkan kepura-puraan. Sudah
saatnya kutanggalkan penyamaran-penyamaran yang memuakkan ini. Susan, Aborigin,
dan Thancoupie bukanlah duniaku. Akhirnya, aku memang harus membunuhmu,
Susan! Akhirnya aku harus membakarmu! ***

"KAPAN kau akan membunuh dia?" sebuah suara dari seberang berdentang-dentang di
gagang telepon.Fiona enggan menjawab pertanyaan itu.

"Kau jadi membakarnya?"Fiona masih tak mau menjawab. Meski begitu tangannya
menggapai jeriken bensin yang sejak lama teronggok di kamar.

"Jangan terlalu menimbang-nimbang. Siapa pun dia tetaplah musuh kita."Musuh? Fiona
tak mungkin menganggap Susan sebagai musuh. Sebab, selama menjadi mata-mata,
dia sama sekali tak pernah melihat Susan sebagai penggerak demonstrasi. Dia bahkan
tak pernah berhubungan dengan orang-orang Aborigin yang sekali waktu berkeliaran di
Darling Harbour atau George Street."Sudahlah. Kami tak mau menunggu lebih lama
lagi. Laksanakan tugasmu tanpa bertanya-tanya lagi!"Fiona tak berani menolak perintah.
Kini, tangannya gemetar menjinjing jeriken bensin yang seakan-akan siap digunakan
untuk membakar dunia itu.***

"SUSAN masih membayangkan diri sebagai Sita yang dipuja oleh Rama, Rahwana,
dan ribuan kera sialan itu, Fiona. Kita akan bisa segera pentas bersama. Kau akan
mencabik-cabik dawai kecapi, aku bakal melantunkan tembang-tembang asing yang tak
pernah didengar oleh Howard atau komposer-komposer advant garde sekalipun," desis
Susan sambil memperkeras ketukan.Tentu saja Fiona mendengar suara-suara yang
memuakkan itu.

"Ketahuilah, Fiona, dalam pentas nanti publik akan tahu betapa kita hanyalah ikan-ikan
asing yang berenangan di Sydney Aquarium," Susan melenguh lagi.Tak ada jawaban.
Fiona mendekati pintu tanpa menimbulkan suara-suara yang mencurigakan.

"Kau boleh boleh menganggap dirimu sebagai ikan atau burung-burung paling indah.
Yang jelas, kau akan jadi ikan bakar. Camkan itu!"Tak ada ikan bakar di kepala Susan.
Di otaknya yang disusupi alkohol, Sita yang tersalib di Harbour Bridge mulai dibakar
ratusan kera. Dan kobaran api itu... kobaran api itu mengingatkan bara cintanya yang
tiada tara kepada Fiona.

"O, dentingkan kecapi Sundamu, Fiona! Bakar aku! Bakar aku dengan api
cintamu!"Lalu segalanya mengabur. Tak ada denting kecapi. Tak ada cericit burung-
burung malam di Kent Road yang pedih dan sunyi. Hanya ikan asing terbang di atas
samodra yang juga asing. Seperti tahun-tahun lalu. Seperti sebelum angin dan lengking
musim yang ganjil menidurkanmu.

Sydney, 2001
Lecutan Cambuk Mendera

S Prasetyo Utomo

Sumber: Kompas, Edisi 01/20/2002

TERGODA ranum buah mangga yang bergelantungan, Bondas meloncati pagar rumah
Pak Gendut, mengendap-endap. Dipanjatnya pohon mangga itu, dengan perasaan
takut. Pagi masih gelap, masih dingin. Bondas merasa terlindung kegelapan.
Dipetikinya buah-buah mangga yang masak, disusupkan ke balik kaosnya.Tapi
alangkah senyapnya di luar pagar. Tak seorang pun teman Bondas berkelebat di situ.
Kesenyapan yang melayap ini mencurigakan. Bondas menatap ke arah pintu rumah
Pak Gendut. Alangkah kaget lelaki kecil itu. Berdiri gagah Pak Gendut di depan pintu,
membawa cambuk yang bergetar.Buru-buru Bondas turun. Tar! Tar! Tar! Cambuk itu
mendera punggungnya. Ia merasakan kepedihan yang mengelupas kulitnya.
Menggeliat. Meringis. Tersungkur. Buah mangga berceceran dari kaosnya."Anak
jahanam!" dengus Pak Gendut. Tar! Lecutan cambuk itu kembali mendera punggung.
Bondas berlari, menghindari lecutan cambuk Pak Gendut. Dengan murka Pak Gendut
memburunya.Dari lorong gang muncul ibu Bondas, muda, cantik, berdandan menor,
agak sayu, turun dari becak. Lengan perempuan itu tampak menawan, dan perutnya
yang singset sedikit terbuka, menyembulkan pusarnya. Bondas berlindung di belakang
pantat ibunya. Pak Gendut menjadi sangat lembut, ramah, berpapasan dengan ibu
Bondas. Tatapan lelaki itu, yang sebelumnya garang, berubah mesum. Senyumnya
menggoda. Buah-buah mangga yang terserak di pelataran, dipungutinya, diberikan
pada ibu Bondas.***

TENGAH malam, Bondas terbangun dari lelap tidur. Ia mendengar suara cambuk,
berkali-kali mendera punggung di kamar ibunya. Ia menandai, itu cambuk Pak Gendut.
Dan ia dengar suara ibunya merintih-rintih. Tak cuma sekali ia dengar deraan cambuk
itu. Ibunya tak beranjak dari kamar. Ingin sekali Bondas berlari, mendobrak pintu kamar
ibunya, dan menghabisi Pak Gendut-yang suka menyelinap malam-malam semenjak
Ayah meninggalkan rumah beberapa bulan silam dan tak pernah kembali.Menggigil di
sudut kamar, Bondas tak bisa membebaskan diri dari rasa takutnya. Ia mendekam di
sudut kamarnya, merasakan dadanya bergolak, berdebar-debar. Punggungnya, yang
pernah kena deraan cambuk Pak Gendut, masih menyisakan kepedihannya. Sesekali
ia bangkit, kembali duduk, bangkit lagi. Terdiam. Terpuruk di sudut kamar.
Menggigil.Pelan-pelan Bondas mendekati kamar Ira, kakak perempuannya. Dia melihat
Ira terjaga. Tapi tergeletak saja di tempat tidurnya. Mendengarkan rintihan ibunya. Ira
lebih tenang, cuma bergolek saja di tempat tidurnya."Kita harus menyelamatkan Ibu,"
bisik Bondas.

"Kenapa?"

"Pak Gendut menyiksanya dengan cambuk."

"Kurasa mereka sedang bersenang-senang."Terheran-heran, Bondas berdiri menganga.


Ia berlari ke pintu kamar ibunya. Ditendanginya pintu itu. Digedornya dengan kepalan
tangannya. Tetap saja pintu itu tertutup. Kokoh di depan hidungnya. Tangannya terasa
sakit. Nyeri. Kakinya seperti patah.Ketika pintu terbentang, alangkah kagetnya Bondas
melihat Pak Gendut bertelanjang dada, memburunya dengan cambuk. Dan sekilas, dari
celah pintu, ia melihat ibunya dengan punggung telanjang, telungkup, kulit memerah-
biru bilur-bilur cambuk.Sebelum cambuk Pak Gendut melecuti tubuhnya, Bondas berlari.
Meninggalkan rumah. Terus berlari. Takut, merasa Pak Gendut memburunya, berada di
balik kegelapan. Ia pernah merasakan lecutan cambuk itu, dan merasakan betapa
pedihnya- nyeri sampai ke dalam dada. Malam itu Bondas menginap di sudut gardu
ronda, sesekali tersentak, lantaran bayangan Pak Gendut menyergapnya.***

PADA malam yang menggetarkan, di rumah, Bondas bersembunyi di kolong tempat


tidurnya. Ia tak berani beringsut. Tak berani bergerak. Menahan nafasnya kuat-kuat.
Pak Gendut memasuki rumah Bondas, membawa cambuk, dan kali ini datang pada
saat ibu tak di rumah.Dari dalam kamar, Bondas mendengar Ira menggoda Pak Gendut.
Tertawa-tawa. Bercanda. Suaranya riang. Agak lama mereka berbincang-bincang.
Terdiam sejenak. Bondas mempertajam pendengarannya. Suara mereka samar-samar
terdengar di dalam kamar Ira.Masih terdengar suara Ira tertawa-tawa dan Pak Gendut
terus menggodanya. Hingga terdengar lecutan cambuk menderu, dan Ira berteriak-
teriak kesakitan. Pak Gendut terus tertawa-tawa. Ira menjerit-jerit kesakitan. Bondas tak
tahan mendengar jeritan Ira-kakak perempuannya yang berangkat remaja. Ia keluar
dari kolong tempat tidur dan menghampiri pintu kamar Ira. Digedor-gedornya pintu
kamar itu dengan hantaman dan tendangan.Dari pintu kamar Ira yang terbuka, wajah
garang Pak Gendut menyeruak, menggeram, menghardik Bondas. Memaki. Cambuk di
tangannya diayunkan, melecut wajah lelaki kecil itu. Terasa pedih. Kulit pipinya
mengelupas. Bondas belum sempat menghindar, lecutan cambuk kembali menyobek
luka baru pada wajahnya-bilur merah kebiru-biruan, teramat pedih.Berlari meninggalkan
rumah, Bondas diburu Pak Gendut yang masih terus melecutkan cambuknya, mendera
punggung. Lelaki kecil itu menyelinap dalam lorong gelap gang. Tapi terus saja Pak
Gendut memburu dengan cambuk yang dilecutkan.

"Mau lari ke mana kau, anak laknat!" seru Pak Gendut, mendengus.Meski punggung
terasa nyeri, terasa tercabik-cabik, Bondas terus berlari. Sesekali dari mulutnya
terdengar lengking kesakitan. Dia menyelinap di antara gang-gang sempit, celah-celah
di antara rumah-rumah yang berhimpitan. Pak Gendut kehilangan lacak. Tapi Bondas
terus berlari, meski ia sudah jauh meninggalkan rumah.Tanpa menoleh, ia terus berlari,
dan sepasang matanya mulai terbiasa menjelajahi kegelapan. Ia tak tahu ke mana,
terus saja berlari. Tak berani pulang. Bayangan wajah Pak Gendut sangat
menyeramkan.***

LAPAR, tak terurus, tanpa arah, Bondas berada di sebuah pinggir kota yang tak pernah
dikunjunginya. Telah sehari-semalam ia berjalan kaki meninggalkan rumahnya, tanpa
pernah mengerti akan berakhir di sana. Tatapan matanya mengatur, samar, dan
bergoyang. Ia bernaung di bawah pohon berbayang-bayang teduh.Dari kejauhan
terdengar gamelan pemain kuda lumping. Rombongan penari kuda lumping-yang
bermain berkeliling desa itu-letih dari perjalanan dan terik Matahari. Mereka meletakkan
gamelan, kuda lumping dan cambuk. Bondas ketakutan melihat cambuk itu. Tapi dia
sudah tak bisa berlari lagi. Tak tersisa tenaga padanya. Dia memilih diam, memandangi
penari kuda lumping yang lusuh, dengan telapak kaki retak-retak berdebu, bergurat-
gurat menghitam. Pakaian mereka sudah aus, kusam, dengan warna-warna-terutama
merah-yang memudar.Ada beberapa pemain kuda lumping menenggak minuman dari
botol plastik. Yang lain tiduran. Yang lain lagi membuka nasi bungkus. Dan Bondas
yang lapar, haus, letih, tak berkedip memandangi penari kuda lumping, perempuan
muda, yang lahap menyuap nasi ke dalam mulut dengan tangan.Ketika perempuan itu
melempar bungkus nasi, mencampakkannya ke tanah, buru-buru Bondas
memungutnya. Menjilatinya dengan liur berlelehan. Pak Sukra, pemimpin rombongan
yang paling tua umurnya, segera menghampiri Bondas, memberikan bungkusan
nasinya. Dengan takut, malu-malu, melelehkan air mata, bergetar, Bondas melahap
nasi bungkus itu dengan tangannya yang bergetar.***

PERJALANAN rombongan kuda lumping itu mendekati rumah Bondas. Tapi lelaki kecil
itu tak menggigil ketakutan sebagaimana dulu ketika meninggalkan rumah. Dadanya
mendesir-desir lantaran dendam.Di tanah lapang, seperangkat gamelan diletakkan, dan
segera ditabuh. Anak-anak kecil berdatangan, kian lama kian rapat. Seorang penari
kuda lumping menari di tengah-tengah tanah lapang itu, membawa cambuk yang
sesekali menyentak tanah berumput: tar, tar, tar!Beberapa orang penari mulai
meramaikan tarian kuda lumping. Sebuah baskom berisi air kembang diletakkan di
tengah tanah lapang. Sesekali penari kuda lumping itu menghirup air kembang dan
mengunyah-ngunyah kelopak-kelopak kembang itu. Gamelan bertalu-talu. Gerakan
tarian kian cepat. Lecutan cambuk berulang-ulang, menggetarkan udara.Orang-orang
terus berdatangan. Pak Gendut menyeruak di antara orang-orang yang berjubel. Pada
saat menatap Pak Gendut, seketika Bondas kesurupan. Dia bangkit dari
ketakberdayaannya. Meloncat. Meraih kuda lumping. Menari. Menyusup-nyusup di
antara para penari. Melecut cambuk dengan suara tajam menyentak langit: tar, tar,
tar!Anak-anak yang mengenal Bondas, bertepuk tangan dan kegirangan melihat lelaki
itu kesurupan. Menari dengan gerakan cepat, lentur, dan seirama dengan hentakan
gendang. Menghirup air kembang, dan mengunyah-ngunyah kelopak-kelopak bunga.
Lecutan cambuknya terdengar paling tajam menggetarkan udara di tanah lapang. Dia
menghampiri Pak Gendut yang mendengus-dengus dengan nafas keji. Diayunkan
cambuknya merobek muka Pak Gendut. Anak-anak bersorak. Pak Gendut mengerang
beringas. Ayunan cambuk Bondas lebih tajam lagi, bertubi-tubi, merobek kulit muka,
dada dan punggung yang terbuka. Pak Gendut berguling-guling di tanah lapang itu.
Anak-anak bersorak.Lelaki tambun itu pun mengerang-erang. Menggelepar-gelepar.
Menggeliat-geliat kesakitan. Lecutan cambuk Bondas terus mencabik-cabik tubuhnya.
Pak Sukra menghembuskan mantra ke ubun-ubunnya. Tapi masih saja ia menari,
melecutkan cambuk ke tubuh lelaki tambun yang menggelepar-gelepar kesakitan
itu.Anak-anak kecil bersorak-sorak kegirangan. Tanpa henti, anak-anak kecil itu-teman
sepermainan Bondas dulu- berjingkrak-jingkrak, memekik senang,

"Terus, terus, cambuk dia! Cambuk dia! Cambuk!"***

Pandana Merdeka, November 2001


Dokter Isman

Wilson Nadeak

Sumber: Kompas, Edisi 01/13/2002

KEPADA kawan-kawan dan pasiennya yang akrab dengannya, dokter Isman selalu
memberi resep sebagai berikut.Jangan sekali-sekali menulis pesan penting. Jangan
membuat catatan dari rapat yang Anda hadiri. Jangan menuliskan nama di dalam daftar
hadir. Jangan membuat surat yang panjang maupun pendek yang isinya mengenai janji,
pengalaman hidup dan kesaksian mengenai sesuatu. Jangan memasang telepon di
rumahmu jika kau ingin tenang dan tidak diganggu orang. Jangan gunakan handphone
karena itu selalu menghambat perjalananmu dan membuat engkau berada di bawah
pengaruh orang lain. Rencanamu akan terganggu karena orang lain memberi sugesti
kepadamu.Masih ada sejumlah "jangan" lain yang disarankan dokter Isman. Kawan-
kawan karibnya manggut-manggut mendengar "resep" yang tidak lazim itu. Ia bukannya
memberikan resep atau obat, tetapi sebuah nasihat. Namun kawan-kawannya senang
bergaul dengannya. Pasien-pasiennya banyak. Perawat yang membantunya selalu
kewalahan mengatur waktu. Sampai jauh malam, pasien selalu berdatangan, mulai dari
golongan atas sampai kepada golongan bawah.Dokter Isman tidak memasang tarif. Ia
membiarkan pasien membayar sesuai dengan kemampuannya. Ia memberi resep obat
generik, jarang antibiotik. Bahkan, sebagian pasien membayar dengan hasil
tanamannya, membuat perawat yang membantunya agak bingung, mau diapakan hasil
tanaman itu. Tetapi dokter Isman senyum-senyum saja.Waktu ia mahasiswa
kedokteran, kerapkali ia harus menjual minyak tanah keliling Ja-karta, dengan kereta
roda. Ia pakai topi agar sengat Matahari Jakarta tidak membuat kulit wajahnya gosong.
Ia tidak pulang ke rumah sebelum semua minyak tanahnya laku. Kadang-kadang ia
bermalam dekat warung pinggir jalan, dan subuh pulang kemudian kuliah. Waktu tamat
dari fakultas kedokteran, ia ditempatkan di sebuah pulau di Indonesia bagian timur
sebagai dokter inpres. Bertahun-tahun ia berbakti di pulau terpencil itu. Seorang
kawannya, dokter wanita yang masih muda yang penuh antusiasme, meninggal dunia
karena terserang penyakit malaria. Sulit sekali mencari obat di sana. Obat-obat bantuan
LSM tertentu banyak yang digunakan untuk mengobati penduduk yang jauh terpencil di
pedalaman. Ia harus mengajari penduduk agar menjaga kebersihan lingkungan untuk
mengurangi penyakit. Honor inpresnya dipakai untuk membeli obat.Kerapkali ia tidur di
gubuk petani dan makan seadanya. Malam-malam tanpa lampu itu ia mengenangkan
kembali kampung halamannya. Ia tidak bisa menghalau bayangan ayahnya yang pada
suatu hari didatangi orang yang tidak dikenal. Ayahnya dijemput dari rumah, dan tidak
pernah kembali. Waktu ia masih duduk di SD kelas dua. Ia tidak mengerti mengapa.
Tetapi samar-samar ia mendengar penjemput ayahnya membentak ibunya, bahwa
ayahnya terdapat dalam daftar nama pengikut organisasi terlarang. Ia tidak mengerti
apa itu "organisasi terlarang". Ketika itu banyak orang berbicara atas nama "rakyat".
Setahunya, ayahnya hanyalah petani kecil, petani yang hanya mengandalkan hidupnya
dari sepetak ladang dan sebidang sawah yang diwarisi dari orang tuanya. Sejak
kepergian ayahnya, ibunya sering tengah malam terbangun dan menangis. Ketika ia
terbangun, ibunya mengelus-elus kepalanya.

"Tidurlah, Nak!"

"Mengapa Ibu menangis"

"Tidak apa-apa," jawab ibunya sambil menyelimuti tubuhnya dan kedua adiknya
perempuan yang masih kecil.Subuh sekali, ibunya sudah menanak nasi, menyiapkan
makanan di atas meja-sedikit nasi, ubi jalar, ikan asin dan sayur-lalu berangkat ke
sawah. Ia memberi makan adiknya dan kemudian ia pergi berjalan kaki ke sekolah.
Ketika tamat dari SMP, seorang adik bapaknya yang bekerja di Jakarta memerlukan
orang menjaga rumah dan anak-anaknya. Ia dipanggil dengan janji akan disekolahkan.
Di rumah pamannya ini, ia harus bekerja keras, memandikan saudara sepupunya,
memberi mereka makan dan menyertai mereka ke sekolah. Petang hari ia sekolah di
SMA sampai ia tamat dan diterima di sekolah kedokteran.***

TIGA tahun ia melaksanakan tugas sebagai dokter inpres. Ia bertugas dari sebuah
pulau ke pulau lainnya, mengobati orang-orang yang tidak mampu membayar obat.
Kebeberangkatannya dari pulau terpencil itu ditangisi penduduk setempat. Ia sendiri
merasa sedih meninggalkan mereka. Namun, ia menyadari bahwa pelayanannya harus
ditingkatkan melalui perkembangan ilmu pengobatan. Ia ingin meningkatkan
pengetahuannya di bidang medis. Ia mengambil spesialisasi jantung.Ibunya dari
kampung halaman mengirim surat kepadanya, isinya, agar ia segera menikah. Jika ia
tidak menemukan jodoh di kota, ibu bersedia mencarikan calon menantunya. Surat itu
membuat hatinya agak trenyuh. Selama ini ia kurang memperhatikan calon istri. Di
Jakarta ia memang buka praktik sebagai dokter umum sementara kuliah lanjutan. Tapi
anehnya, ia membalas surat ibunya dengan singkat: Ibu, aku mengasihimu seperti
diriku sendiri. Kalau bisa, biarlah kedua adikku ibu kirimkan ke Jakarta, tinggal dengan
aku. Kalau bisa, aku akan menyekolahkan mereka ke sekolah perawat, sekolah itu
memberi jaminan pekerjaan hidup dan masa depan mereka...Ibunya datang dengan
kedua adiknya. Adiknya yang bungsu masih di SMA dan adiknya yang lebih besar
dimasukkannya ke sekolah perawat. Ibunya tinggal bersama-sama dia beberapa bulan,
lalu pamit, pulang. Ia selalu berbicara mengenai sawah dan ladang yang ditinggalkan,
lagipula Jakarta terlalu panas baginya. Di seberang, kampung halamannya, udara
pegunungan agak segar.Dua tahun kemudian, ia mendapat berita dari kampung
halaman, surat kilat dari kerabat dekatnya yang memberitahukan bahwa ibunya
kerapkali pingsan. Ia pulang sebentar karena spesialisasinya sudah selesai.
Ditemukannya ibunya berbaring di atas divan.

"Aku datang, Bu," kata dokter Isman.

"Dekatlah ke mari, Nak," kata ibunya dengan suara pelahan.

"Penyakit jantungku kumat, Nak."

"Oh," kata Isman terkejut.

"Sejak kapan Ibu merasa sakit jantung?"

"Dokter di Puskesmas mengatakannya begitu, Nak. Bila dada sesak, rasanya hampir
mau ma-ti, Nak."Ia memegang pergelangan tangan ibunya. Menghitung de-nyut
jantungnya. Kemudian ia mencoba mendengar denyut jantung ibunya dengan alat yang
ditaruh di atas dada. Ia geleng-geleng kepala. Segera diangkatnya ibunya ke beranda
depan agar udara lebih leluasa. Ia minta bantuan beberapa orang tetangga untuk
mencari angkutan untuk membawa ibunya ke rumah sakit terdekat.Setelah sampai di
rumah sakit, ibunya dimasukkan ke ICU. Beberapa hari bersama dokter rumah sakit itu
mencoba menyelamatkan nyawa ibunya, te-tapi denyut nadi itu dan grafik getaran di
layar tv tak lagi beraturan. Getaran itu semakin mendatar dan mendatar. Ia menyadari
bahwa ajal ibunya sudah semakin mendekat. Ketika jantungnya sama sekali berhenti
berdetak, ia menutup matanya dengan kedua telapak tangannya, dan menangis terisak-
isak. Dokter-dokter, para perawat yang telah turut berjuang berusaha menyelamatkan
nyawa ibunya, tertunduk. Mereka melihat jenazah yang sudah tidak bernyawa di depan
mereka, ibu rekannya.Setelah beberapa hari pengu-buran, ia kembali dengan pesawat
ke Jakarta. Ia pulang dengan murung. Ia merasa amat berdosa, mengapa ia baru tahu
bahwa ibunya menderita penyakit jantung, kalau ia tahu, ia akan membawa ibunya ke
Jakarta dan merawatnya sebelum parah betul. Sebagai dokter ahli jantung, ia merasa
amat terpukul.***

KEDUA adiknya yang perempuan sudah tamat, yang satu dari akademi perawat, yang
bungsu dari akademi sekretaris. Perawat bekerja di rumah sakit sedangkan yang
sekretaris menikah dengan pedagang. Kakaknya menikah dengan seorang tentara
yang berpangkat letnan. Ia merasa bahagia karena kedua adiknya sudah berkeluarga.
Gilirannya, entah kapan. Kedua adiknya berusaha menyebut beberapa nama gadis
yang dikenal mereka dan abangnya, tetapi ia selalu menghindar.

"Abang mau menunggu siapa? Abang telah mengurus kami dan menyekolahkan kami.
Mengapa Abang tidak memikirkan diri Abang sendiri?" kata yang perawat.

Percakapan seperti ini sering terjadi antara mereka, juga dengan ipar-iparnya. Mereka
merasa risau masa depan abang mereka yang sudah berusia di atas tiga puluhan.
Jangan-jangan ia terlalu mempedulikan profesinya saja. Yang perawat merasa sedih
tiap kali abangnya memberi bantuan kepadanya. Ia memang sering mengeluh karena
gaji perawat yang tidak seberapa, dan gaji tentara yang tidak memadai untuk keperluan
di ibu kota. Dokter Isman tidak segan-segan memodalinya, yang sewaktu-waktu
berjualan berlian.
"Pesanku kepada kalian," kata dokter Isman kepada adiknya dan iparnya yang tentara,
"jangan sekali-kali terlibat soal utang-piutang! Jangan bangga dengan kartu kredit
kalian!"Iparnya yang letnan berkata kepadanya,

"Ya, Bang. Kami ingat itu. Tetapi yang kami rasa, Abang sebaiknya segera menikah
agar ada yang mengurus Abang di rumah."

"Bukankah hidup dokter susah? Siang-malam harus meninggalkan keluarga?"


bantahnya.

"Abang melihat dokter lain berkeluarga juga, bukan?"

"Tentu!"

"Bagaimana kalau kami yang mencarikan calon untuk Abang?"Dokter Isman tersenyum.

Ia tidak menjawab.Bulan berikutnya, istri letnan itu datang dengan seorang gadis lincah
dan cantik. Gadis itu di-perkenalkan kepadanya. Satu-dua kali ia berkunjung ke rumah
abangnya dengan gadis itu, dan sesudah itu, ia membiarkannya bertandang
sendirian.Setengah tahun kemudian mereka menikah. Istri dokter Isman agak sulit juga
menyesuaikan diri cara hidupnya. Ia tidak mau memasang telepon di rumahnya. Praktik
dokter di rumahnya terlalu lama karena pasien yang telah mendaftar beberapa hari
sebelumnya. Daripada hidup bengong di rumah, ia mengajukan saran kepada
suaminya agar ia membuka salon kecantikan. Dengan hati berat dokter Isman
mengizinkan, dengan syarat, tidak boleh pulang sampai petang. Paling lambat pukul
empat sore! Beberapa bulan berjalan, salon itu banyak dikunjungi orang. Beberapa
pembantu istri dokter Isman sibuk dan merasa senang. Istri dokter tinggal mengawasi
saja.Setahun kemudian, sekitar bulan Maret, sebuah surat kabar memuat berita
pembunuhan. Seorang wanita telah ditemukan di ruang tengah sebuah rumah. Diduga
wanita itu dibunuh secara sadis oleh pemilik rumah karena persoalan hutang piutang.
Menurut pihak kepolisian, menurut pengakuan suami korban, istrinya mempunyai
tagihan dengan yang mempunyai ru-mah. Rupanya yang empunya rumah
memancingnya datang ke rumah dan kemudian memukulnya di belakang kepala dan
menguburkannya di tengah-tengah kamar makan. Tampaknya pemilik rumah sudah
merencanakan pembunuhan itu.Dokter Isman memperhatikan gambar itu. Gambar
yang terpampang di samping berita. Ia duduk tersandar di ruang kerjanya. Ia kenal
betul gambar itu. Adiknya yang perawat. Jantungnya berdebar-debar. Ia keluar dari
ruang kerjanya dan memberitahukan kepada perawat bahwa ia pulang.Sesampainya di
pintu gerbang rumahnya, ia membuka pintu gerbang, mendorongnya. Pelahan ia
memasukkan mobilnya ke halaman dan kemudian turun hendak menutup pintu. Tetapi
ia tiba-tiba lunglai dan jatuh di depan pintu. Seorang tetangga me-lihatnya dan berlari
mencoba menolongnya. Ia berteriak sehingga tetangga yang lain ber-datangan.
Seorang tetangga berlari ke wartel dan menghubungi istri dokter Isman. Setelah
memberitahukan bahwa suaminya sedang pingsan dan dibawa tetangga ke rumah sakit,
sang istri segera bergegas menyusul ke rumah sakit.Istri dokter Isman melihat para
tetangga di depan, di ruang tunggu. Ia menyapa mereka dan menanyakan di mana
suaminya. Semuanya diam tidak mampu berbicara. Ia bertanya pelahan dan
airmatanya mulai berlinang-linang. Ia menyadari adanya sesuatu yang terjadi kepada
suaminya. ia bergegas ke ruang kerja suaminya. Perawat memapahnya, menyuruhnya
duduk."Bagaimana suamiku? Di mana dia?" tanyanya dengan suara terisak-isak.

"Tenanglah, Bu. Ia ada di kamar." Nanti dokter kepala yang berbicara kepada Ibu."

"Oh. Apa yang terjadi kepadanya?"Dokter kepala datang. Pelahan ia berkata,

"Dokter Isman sudah tiada. Ia terkena serangan jantung."Istri dokter Isman jatuh
pingsan. Beberapa waktu kemudian iparnya dan adiknya yang bungsu datang. Ketika ia
siuman, ia menjerit-jerit. Ia memeluk sua-minya yang terbujur di atas tempat tidur.
Dalam teriak dan tangisnya ia berkata:Tuhan, mengapa Kauambil suamiku! Ia begitu
baik dan ganteng. Ia tidak pernah berbuat jahat kepada sesama. Tuhan, mengapa
Kaucabut nyawanya?(Dan kepada dokter ia berkata)Dok, sembuhkan ia dokter!
Tolonglah obati dia! Hidupkan dia, dokter! Ooohhh, toloooong... (Ia jatuh pingsan
lagi).Para tetangga mengurut dada. Mereka berkeliling di sekitar jenazah yang kaku.
Tak sepatah kata yang keluar dari mulut mereka.Mereka jualah yang bertanya sepulang
dari kuburan: Mengapa orang baik cepat meninggal dunia?

****Bandung, 18 November 2001


Seperti Tanesia

Andre Syahreza

Sumber: Kompas, Edisi 01/06/2002

MAKA duduklah kami berdua berhadap-hadapan setelah perkenalan yang begitu


singkat. Namanya Tanesia. Bibirnya yang dilapisi gincu ungu muda beraroma Vodka
menyemburkan kalimat-kalimat itu: "Anthony, tahukah kau bahwa laki-laki selalu
berakhir di suatu tempat yang sama? Orang asing, atau orang kita sendiri semua sama
saja. Apa lagi yang mereka inginkan dari perempuan seperti saya?".

Tentu aku tidak perlu menjawab. Lagi pula ia sudah mulai mabuk. Suara-suara yang
keluar dari bibir yang sebenarnya indah itu sudah kurang terjaga. Di kedalaman
matanya ada penuh bekas luka yang panjang dan mendalam sehingga selalu nampak
sembab. Meski ia tertawa, meski ia tersenyum, meski ia berusaha menahan tangis
namun selalu saja nampak misteri sembab pada matanya. Dagunya lunglai, persis
seperti nada-nada blues yang merambat ke segala penjuru kafe tempat kami bertemu.
Kuta sudah jam satu pagi. Tamu-tamu asing nampak lalu-lalang sambil mencekik botol
bir dan menggandeng pacar perempuannya atau pacarnya sesama laki-laki. Tanesia
tidak sedikit pun tertarik. Bukankah ia yang mengatakan semua sama saja? Bule atau
orang kita sendiri. Dan ia menyebut perempuan seperti saya. Merasa asing dengan
maksudnya di awal perkenalan itu, akhirnya aku mengungkapkan ketidakmengertianku.
Maka ia bercerita:Tubuhnya didorong tangan-tangan kuat dua orang pria hingga
terjerembab di atas kasur mewah berselimut gambar kembang jepun. Pakaiannya
dilucuti tanpa sedikit pun pemaksaan dan ia tidak mampu menghalau bahkan dengan
sehelai tenaga, bahkan dengan sepatah kata meski jiwanya berontak. Badan dan
mulutnya sudah lebih dulu dibungkam lewat suntikan di tengah pergelangan
tangannya... Mulanya ia menolak, tapi dua orang pria yang dikenalnya itu merayu dan
menjanjikan surga setelah suntikan itu. Maka jarum sudah telanjur ditusuk. Darahnya
bolak-balik dipompa sebanyak lima kali. Seketika semua persoalan redup dari mata dan
hatinya. Kemudian gambar-gambar buram menggelayut di matanya. Selebihnya hanya
hampa dan tiada daya. Sampai dua pasang tangan itu mendorongnya terjerembab di
atas kasur dan melucuti pakaiannya. Surga yang dijanjikan ternyata berwajah maksiat.
Tanpa gairah maupun penolakan.

"Apa yang terjadi setelah kamu sadar?" tanyaku menggugat. Tanesia menatap tanpa
sepenuh tenaga akibat butir-butir alkohol yang melemahkan kesadarannya. Tapi ia
berusaha menanggapi pertanyaanku sebelum meneruskan ceritanya dengan alur yang
tidak menentu.

"Apakah penting apa yang terjadi setelah itu?" ia malah bertanya.

Pertanyaan itu tidak sepenuhnya berupa pertanyaan, namun setengahnya malah


berupa pernyataan. Ia menunggu respons, tapi aku sengaja diam saja. Beberapa saat
ia menunggu respons, tapi aku tetap diam saja. Ia menganggap itu sebagai respons.
Sebetulnya ia wanita yang cerdas. Maka ia meneruskan ceritanya:Kira-kira dua tahun
sebelum kejadian itu ia terpaksa memutuskan untuk pindah ke Bali. Tidak ada masalah
di kota asalnya. Keluarganya baik-baik saja dan juga tidak ada masalah dengan teman-
temannya. Semuanya berjalan normal dan biasa-biasa saja. Tapi beberapa orang untuk
suatu alasan harus pergi meninggalkan kebiasaan yang cenderung monoton dan tanpa
gairah. Bukan suatu kebetulan Tanesia memilih Kuta. Ia ingin mencoba sertifikat
diploma pariwisatanya yang selama satu tahun belum digunakan. Lalu bertemulah ia
dengan seorang pria setengah baya berperilaku santun yang membawanya bekerja di
sebuah hotel bintang tiga. Berdasarkan ceritanya, pada pria ini sejuta harapan
perempuan bisa ditangguhkan, semua impian perempuan yang terbuat dari hati yang
bersuka dapat ditampungnya, dan semua itu dapat tergambar jelas hanya dengan
menatap sepasang matanya. Tanesia takluk. Diciuminya setiap malam pria itu seraya
menggenangi seluruh isi hatinya dengan suka cita dan harapan dan impian dan
ketulusan setiap wanita yang menemukan naungan kasih sayangnya. Jika malam tiba,
semakin bersatulah mereka berdua dalam peluk-cium dan gairah yang melayangkan
keduanya ke sepanjang zaman. Dengan gairah semacam itu tiada bedanya malam
tanpa rembulan, malam dengan rembulan, malam-malam tanpa atau dengan bintang-
bintang dihampirinya dan dijelajahinya hanya untuk mereka berdua. Hanya untuk
berdua. Sampai suatu hari gugusan malam-malam dan bintang-bintang itu lenyap tanpa
jejak dan bekas, luruh ke seluruh hatinya, melongsorkan pedalaman jiwanya dan
seketika duka lara menggantikan suka cita ke setiap sudut perasaannya. Setelah laki-
laki itu akhirnya pergi

."Kenapa dia pergi?" kembali aku menggugat. Ia tidak menjawab dan nampak kecewa
pada pertanyaanku. Ia sengaja menenggelamkan aku pada pertanyaanku sendiri dan
seperti mencoba mengingatkan aku pada pertanyaanku sebelumnya. Kali ini semakin
nampak sisa-sisa kecerdasannya. Ia mengembuskan asap rokoknya seolah hendak
meledek pertanyaanku. Saat itu wajahnya menggambarkan dosa-dosanya yang
merefleksikan dosa-dosaku. Hanya dengan begitu ia telah menggubah pertanyaanku
menjadi jawabannya sendiri. Saat itu pula musik blues berganti dari satu lagu sendu ke
lagu sendu lain yang tiada ampun mematahkan perasaan.Ia terus melanjutkan
ceritanya:Sekiranya dua kali kemeriahan malam Tahun Baru telah dilewatinya dalam
kebekuan hati setelah peristiwa buram di atas kasur bergambar kembang jepun. Tapi ia
seperti mati rasa dan tidak pernah merasa melewati tahun-tahun itu. Sebab hari-hari
yang dilaluinya setelah kejadian itu adalah barisan hari-hari yang itu-itu juga. Ia menjadi
terbiasa dengan suntikan di pergelangan tangannya dan kehilangan trauma pada
gambar kembang jepun. Satu orang laki-laki, dua orang, atau tiga, apa bedanya? Orang
asing, orang kita sendiri, semua sama saja. Semua berakhir pada tempat yang sama,
lalu pergi. Sampai sepasang mata itu kembali lagi dari sebuah negeri di mana bintang-
bintang dan rembulan bertaburan. Tanesia seperti terbangun dari mimpi buruknya, dari
sekian lama mati. Darahnya kembali mengalir hangat mengitari jantung dan hatinya.
Pipinya memerah kembali seperti sediakala. Mata redupnya perlahan hidup kembali
dan ada gejolak yang luar biasa hangat di kedalamannya. Pria dari negeri bintang-
bintang dan rembulan seperti telah mencabut sihir dengan segala maksud jahat yang
selama ini menjauhkan dirinya dari segala macam kebaikan.Dipeluknya dan diciuminya
pria itu seperti masa sebelumnya dan ditumpahkannya seluruh isak tangis yang
menggumpal di dadanya setelah sekian lama kehilangan tempat mengalirnya. Malam-
malam tanpa atau dengan bintang-bintang dan rembulan kembali menghiasi semesta
hatinya. Meski tidak seindah dulu. Tiada ingin ia melepaskan pria itu lagi. Dipeluknya
pria itu erat-erat dan ia benamkan wajahnya pada dada pangeran bintang dan rembulan.
Jika ia terbangun di pertengahan dini akibat raungan suara-suara jahat, cepat-cepat
diperiksanya kembali dada dan sepasang mata yang dicintainya lalu ia dekatkan ujung-
ujung jari manisnya pada hidung sang pangeran hanya untuk memastikan semuanya
masih baik-baik saja. Lalu dilindunginya lagi sang pangeran dari kehendak suara-suara
jahat yang entah datang dari alam luar sana atau alam bawah sadarnya sendiri. Setiap
pagi dihadapinya dengan suka dan cita. Dilewati hari-harinya yang telah sekian lama
padam dengan segenap api jiwa dan raganya. Tanesia sempat kembali seperti
sediakala. Hingga di suatu malam yang tiada terduga ia kehilangan untuk kedua kalinya.
Suara-suara jahat dari alam yang entah di mana tanpa sepengetahuannya berhasil
merenggut sepasang mata itu dari hidupnya yang baru saja hidup kembali. Sampai di
sana ia menghentikan ceritanya. Aku tidak mau mencobanya dengan sesuatu
pertanyaan yang akan mengusik kecerdasannya. Saat itu aku perhatikan kulitnya yang
kuning bersih dihiasi butir-butir halus keringat akibat sorotan lampu kafe yang sebentar
lagi tutup. Kasihan, perempuan semacam dia harusnya tidak berada di kafe semacam
ini di pagi sepagi ini pula. Seharusnya ia masih duduk menggarap skripsi atau jika pun
dunia glamor yang dipilihnya, tentu ia sangat serasi berdiri di atas catwalk atau menjadi
model iklan sabun atau lotion pemutih kulit. Aku tidak tahu pasti apakah itu lebih baik
baginya. Tapi toh ia duduk di sana sambil menghisap dan menghembuskan asap-
asapnya, menggantikan aroma parfumnya dengan sengat Russian Vodka. Sudah sejak
tadi minuman itu dituangkan lagi setiap kali habis. Persis seperti rangkaian kisah
hidupnya yang datang segelas demi segelas, memabukkan, dan setelah habis
dituangkan lagi dan dituangkan lagi. "Hidup ini hanya deretan botol-botol minuman
keras yang disuguhkan kepada kita tanpa kita tahu bagaimana akhirnya," setelah
mengucapkan itu Tanesia mengangkat gelas, sejenak menyelidik ekspresiku, lalu
menenggaknya sampai setengah habis. Kali ini pernyataannya mulai cengeng. Mungkin
karena sudah terlalu Vodka. Hidup ini hanya deretan minuman keras? Perumpamaan
yang kurang menarik, terlalu biasa. Metafornya kurang dalam. Semua cewek cantik
yang sedang putus asa bisa saja mengucapkan itu di sebuah kafe yang penuh asap.
Tapi bahwa, tanpa kita tahu bagaimana akhirnya, adalah persoalan kenapa aku masih
duduk di sana menunggui ceritanya. Tanpa berani bertanya. Lagi pula nampaknya ia
sudah mengakhiri ceritanya. Maka sebuah pertanyaan di akhir cerita hanya akan
membuat keseluruhan cerita itu terganggu. Atau justru akan melengkapi keseluruhan
cerita.

"Kenapa kamu tidak bertanya lagi?" ia malah memancing pertanyaan.

"Apa perlu aku bertanya lagi?" aku membalas gaya bahasanya tanpa sepenuhnya
mengerti apa yang baru saja kunyatakan. Atau apa saja yang akan kutanyakan.
Mungkin aku memang sudah tidak punya pertanyaan lagi. Seluruh pertanyaan melebur
ke dalam irama dan nuansa ceritanya. Pertanyaan-pertanyaan yang membuahkan teka-
teki kubiarkan saja berupa pertanyaan biar bisa menghidupi ceritanya dan mengurangi
kecengengannya. Mungkin dia benar, tidak ada perlunya bertanya. Sebab jawaban
hanya akan mematikan kegairahan ceritanya.Sudah jam tiga pagi. Blues bubar
setengah jam yang lalu. Tanesia menghabiskan setengah tenggakan terakhirnya. Kami
beranjak dan pergi ke sebuah hotel, seperti yang telah kami sepakati siang tadi melalui
telepon yang aku dapatkan nomornya dari seorang teman. Di telepon kami sepakat
untuk bertemu setelah jam dua belas malam di sebuah kafe untuk berkenalan sebelum
kencan dengan tarif tertentu. Suaranya sungguh menggoda, membuatku penasaran
sehingga ingin cepat-cepat bertemu dengan wujud aslinya. Maka duduklah kami berdua
berhadap-hadapan setelah perkenalan yang begitu singkat. Namanya Tanesia. Bibirnya
yang dilapisi gincu ungu muda beraroma Vodka menyemburkan kalimat-kalimat
itu.***
Perjalanan Burung Gereja

Andrei Platonov

Sumber: Kompas, Edisi 02/03/2002

SEORANG pemusik tua biasa bermain biola dekat sebuah patung Pushkin. Patung itu
terletak di Moskwa. Patung yang keempat sisinya tertulis puisi dan dilapisi marmer pada
tangganya itu bertempat di ujung Tverskoi Bulvar. Dengan menaiki tangga-tangga itu,
pengamen tua menghadap ke bulevar ke arah jalan Nikitskie Vorota sambil menyentuh
dawai-dawai biolanya. Di sekitar patung telah berkumpul anak-anak, orang-orang yang
lewat, penjual-penjual majalah dan kios-kios sekitar, mereka semua terdiam menanti
permainan musik.Di musim gugur terakhir Pak Tua memperhatikan tempat biolanya
tergeletak di tanah seperti biasa, telah hinggap seekor burung gereja. Ia merasa bahwa
burung itu belum tidur padahal sore sudah gelap. Si burung masuk sibuk dengan
makanannya. Di sore lain, pemusik tua itu membuka kotak biolanya, dengan harapan
jika datang burung yang kemarin, ia dapat memakan roti lunak yang terletak di dalam
kotak tersebut. Sang burung tanpa kesulitan bertengger di atas roti di kotak dan dengan
sibuknya mulai mematuk makanan yang telah tersedia. Burung itu tampaknya sudah
tua, sebagian besar bulunya telah beruban, dari waktu ke waktu ia dengan waspada
menengok ke semua sisi, agar dengan pasti melihat musuh dan kawan, sementara
pemusik memandanginya dengan penuh keheranan dengan mata hati-hati dan ingin
tau. Pasti, burung gereja ini sudah sangat berumur atau menderita, karena ia memiliki
otak yang sangat besar.Beberapa hari sang burung tidak kelihatan di bulevar, pada
saat-saat ini, salju sudah mulai berguguran. Pak Tua, sebelum berangkat ke bulevar,
setiap hari memotong kecil-kecil roti lunak dan hangat di kotak. Sudah lewat lima hari,
tapi si burung tak juga hinggap berkunjung ke patung Pushkin. Violis tua, seperti
sebelumnya menyediakan roti untuk burung gereja di kotak yang terbuka yang penuh
dengan remah-remah roti. Namun perasaan pengamen itu sudah mulai tersiksa oleh
menunggu, dan ia mulai melupakan si burung.Pak Tua harus melupakan banyak hal
yang tak kembali dalam kehidupannya, ia berhenti meremukkan roti, hanya
diletakkannya sepotong roti untuk di kotak, dan membiarkan tempat biola itu terbuka.Di
kedalaman musim dingin mendekati tengah malam terlihat badai akan tiba. Pak Tua
memainkan nomor terakhir Jalan Musim Dingin Schubert, dan bersiap pulang untuk
beristirahat. Saat itu di antara angin dan salju, muncullah burung ubanan yang telah
dikenalnya. Ia hinggap dengan cakarnya yang kurus di salju beku, lalu sedikit berputar
sekitar kotak, yang ditiup angin kencang, tapi dengan acuh dan tanpa rasa takut
terbang dan masuk ke kotak biola tersebut. Di situ burung gereja itu mulai mematuki roti,
nyaris bersembunyi di kehangatan peti kecil yang empuk itu. Lama ia makan, mungkin
setengah jam penuh. Badai salju hampir sepenuhnya menimbun sekitar kotak biola
dengan salju, tapi sang burung tua masih asyik di dalam salju, sibuk dengan
makanannya. Berarti ia mampu memakannya dalam waktu yang lama. Pak Tua
mendekat ke kotak tersebut sambil membawa biola dan tangkai penggeseknya dan
lama menunggu di antara angin, sampai sang burung keluar dari kotak biolanya itu.
Akhirnya si burung gereja keluar, membersihkan diri dalam gundukan salju kecil, sedikit
berceloteh sesuatu dan berjalan pergi menuju tempatnya, tanpa keinginan terbang
dalam dinginnya angin, agar tidak membuang tenaga sia-sia.Sore berikutnya, burung
itu datang lagi ke patung Pushkin. Ia langsung menelusupkan diri ke kotak dan
mengembat roti yang tersedia. Pak Tua mengintipnya dari ketinggian bawah patung,
sambil memainkan musik dengan biolanya. Dari sana ada perasaan nyaman
menelusupi hatinya. Sore itu cuaca tenang, kelihatannya lelah setelah guruh kemarin.
Setelah makan, burung melesat tinggi dari boks dan menggumamkan lagu kecil di
udara...Fajar tidak segera menyingsing, terjaga di kamarnya, si musisi-pensiunan
mendengar nyanyi badai dari balik jendela. Salju beku dan keras telah menyebar
cahaya sepanjang gang. Sementara kaca jendela masih malam, dalam kegelapan,
berbaring hutan-hutan beku dan suara-suara dari negeri entah berantah.Pak Tua
mengagumi permainan alam yang hidup itu, bahwa alam juga dahaga akan
kebahagiaan yang lebih baik, seperti manusia, seperti musik.Hari ini terpaksa ia tak
pergi bermain musik ke Tverskoi Bulvar, sebab badai akan datang, dan suara biola
menjadi terlalu lemah karenanya. Biarpun begitu menjelang sore Pak Tua mengenakan
juga mantelnya, membalut kepala dan lehernya dengan syal, meremukkan roti di
kantung dan pergi keluar. Dengan susah payah, sesak nafas oleh kerasnya dingin dan
angin, pemusik itu berjalan menyusuri gang menuju Tverskoi Bulvar. Sepi, hanya
ranting-ranting pohon yang bergemeretak di Bulvar itu, dan cuma sesosok patung
muram bergemerisik oleh salju yang beterbangan menimpanya. Pak Tua ingin menaruh
gumpalan-gumpalan kecil roti di tangga patung, namun sadar bahwa itu percuma saja:
badai sekejap akan menyapu roti itu dan salju akan menimbunnya. Walau begitu,
ditaruhnya juga roti itu dan melihat bagaimana ia hilang di temaram badai.Si burung
ubanan ternyata tak takut badai salju. Hanya saja ia tak terbang ke Tverskoi Bulvar. Ia
pergi ke sana berjalan kaki, karena di bawah sedikit lebih tenang dan bisa bersembunyi
antara timbunan salju dan benda-benda lain sepanjang jalan.Si burung cermat
mengamati semua daerah sekitar patung Pushkin dan bahkan sempat mengorek-
ngorek dengan kakinya ke salju, tempat biasanya diletakkan kotak biola terbuka yang
berisi roti. Beberapa kali ia mencoba terbang dari arah angin menuju tangga patung,
untuk melihat apakah badai mengantar potongan-potongan roti atau biji-biji tua yang
bisa ditangkap dan ditelan. Tapi badai langsung menyergap burung itu ketika ia keluar
dari salju, dan mengenyahkannya sebelum sempat meraih ranting pohon atau tiang
trem, dan seketika burung itu jatuh dan menyusup ke dalam salju untuk
menghangatkan diri dan beristirahat. Si burung akhirnya mengurungkan harapannya
atas makanan itu. Lebih dalam ia menggali lubang di salju, menyusutkan diri di
dalamnya dan mulai mengantuk, hanya saja ia tidak kedinginan dan mati, dan badai
satu saat berhenti. Ia tidur dengan tetap waspada dan penuh kepekaan mengamati
gerak badai dalam tidurnya. Antara mimpi dan malam yang ia merasai bahwa gundukan
salju tempatnya tidur bergerak perlahan membawanya, sampai semua salju di
sekitarnya mencair dan hilang, dan burung gereja menjadi sendirian dalam
badai.Burung itu jauh terbawa dan terdampar pada ketinggian tertentu. Di sini bahkan
salju pun tak ada, cuma angin bersih telanjang, keras oleh kekuatannya yang menyatu.
Sang Burung sejenak berpikir lalu membenamkan diri dalam kehangatan tubuhnya dan
tertidur...Pak Tua menyadari bahwa burung tua yang dikenalnya itu telah tewas akibat
badai. Salju yang jatuh, hari-hari yang dingin dan angin sering kali tak mengizinkan Pak
Tua untuk keluar ke Tverskoi Bulvar untuk memainkan biolanya. Hari-hari seperti itu
biasanya ia di rumah, dan satu-satunya yang membuat hatinya tenang adalah dengan
memandang kaca-kaca jendela yang membeku. Bulan Februari ia membeli seekor
kura-kura kecil di sebuah toko binatang di Arbat. Suatu ketika pernah ia membaca
bahwa kura-kura hidup lama, sebab Pak Tua tak ingin makhluk yang telah dekat
dengan hatinya pergi mendahuluinya. Memang di usia senja jiwa tak gampang lupa,
sering kali ia dibebani kenangan-kenangan. Karenanya biarkan kura-kura yang
menderita karena kepergiannya.Hidup bersama seekor kura-kura, membuat pemusik
tua ini semakin jarang pergi ke patung Pushkin. Kini setiap sore ia memainkan biolanya
di rumah, sementara kura-kura perlahan-lahan keluar ke tengah-tengah kamar,
menggerak-gerakkan lehernya yang kurus dan panjang sambil mendengarkan musik. Ia
menolehkan kepalanya sedikit ke arah manusia itu supaya bisa mendengarkan dengan
lebih baik, sementara satu matanya yang hitam memandang ke arah pemusik itu
dengan satu ungkapan yang pendek. Kura-kura itu mungkin saja khawatir kalau-kalau
Pak Tua menghentikan permainannya sehingga ia kembali bosan hidup sendirian di
lantai kosong. Tetapi kali ini pemusik tua ini memainkan musiknya hingga larut malam,
sebelum kura-kura merebahkan kepalanya yang kecil ke lantai karena kelelahan dan
tertidur. Setelah menunggu kura-kura benar-benar memejamkan matanya, Pak Tua
diam-diam memasukkan biola ke dalam kotaknya dan ia pun merebahkan tubuhnya
untuk beristirahat. Namun pemusik itu tak bisa tidur dengan tenang. Sering kali ia
terbangun dengan tiba-tiba dan dalam ketakutan akan kematian. Kemudian tampak
seperti biasa saja, ia masih hidup, dan di balik jendela, di sebuah jalan kecil di Moskwa,
malam yang hening masih berlalu. Pada bulan Maret, setelah terbangun dari kebekuan
jiwa, Pak Tua mendengar sebuah gemuruh angin yang dahsyat; dinding kamar
bergetar: angin, mungkin, berhembus dari selatan, dari arah musim semi. Dan lelaki tua
itu teringat pada burung gereja dan bahwa yang dicintainya itu telah mati: sebentar lagi
musim panas tiba dan di Tverskoi Bulvar kembali pepohon bermekaran, seandainya
burung itu masih hidup. Dan di musim dingin ia pasti akan membawanya ke biliknya,
dan burung itu pasti akan bersahabat dengan kura-kura dan dengan leluasa akan
melewati musim dingin dalam kehangatan, seperti kita melewati masa pensiun. Pak
Tua kembali terlelap, bertenang diri bahwa setidaknya ia masih punya seekor kura-kura
yang hidup, dan itu cukup baginya.Sang burung juga tidur malam itu, walau ia juga
melayang bersama angin badai selatan itu. Ia tersentak hanya ketika pukulan badai
menghantam, dan ia lagi-lagi menenggelamkan diri dalam kehangatan tubuhnya,
dengan cara mengkeratkan badannya. Ia terbangun ketika keadaan sudah terang;
angin dengan kekuatan dahsyatnya telah membawanya ke negeri yang jauh. Burung itu
memang tak takut terbang menyusuri ketinggian, ia bahkan bercanda-canda dalam
lingkar badai yang keras dan jahat itu, berceloteh dalam dirinya sendiri ketika rasa lapar
mulai menyambanginya. Dengan penuh kehati-hatian ia melihat sekitar, mencari benda-
benda yang mungkin bisa dimakan. Dipandangnya dengan jeli: kadang-kadang hanya
sebuah biji kecil yang ranum yang tampaknya dari suatu tempat yang hangat, kadang
biji kacang, dan tak jauh darinya bahkan terbang segepok semak dan ranting. Ini
mengisyaratkan bahwa angin tak membawanya sendirian. Sebuah biji kecil terbang
dekat sekali, tapi untuk menangkapnya sangatlah sulit: burung itu beberapa kali
mematuk, namun meraih biji itu tetap saja ia tak mampu, karena paruhnya seperti
menyangga badai, yang keras seperti batu. Karenanya burung itu mulai berkisar ke
sana ke mari seputar dirinya. Ia membalikkan diri dengan kaki-kaki kecilnya ke atas,
melesat dengan satu sayap, dan angin langsung membawanya mula-mula ke arah biji
yang terdekat, lalu dicobanya meraih yang lebih jauh. Tak hanya kenyang, ia juga
belajar bagaimana cara melesatkan diri dalam badai. Selesai makan ia memutuskan
untuk tidur. Sekarang ia merasakan diri lebih baik: makanan terbang di sekitarnya,
sementara hawa dingin ataupun hangat di antara badai tak lagi dirasakannya.Kini
setiap sore di musim semi pemain biola keluar untuk bermain musik di patung Pushkin.
Ia membawa kura-kura bersama dan membiarkannya berdiam di dekat kakinya.
Selama musik dimainkan kura-kura itu sama sekali tak bergeming mendengarkan
setiap gesekan biola, dan ketika Pak Tua beristirahat ia dengan sabar menanti
kelanjutannya. Kotak biola seperti dulu, diletakkan di atas tanah di hadapan patung
Pushkin, tapi tutup kotak itu kini selalu tertutup, karena pemusik tua itu tak lagi
berpengharapan burung gereja ubanan datang menemuinya. Satu sore yang cerah
angin berhembus disertai salju. Pemusik menyusupkan kura-kura ke rongga bajunya,
meletakkan biola ke kotaknya dan bergegas menuju flatnya. Dua anak kecil berdiri di
pintu gerbang sebuah rumah tinggal yang sudah tua, salah seorang berkata kepada
pemusik itu:

"Paman, belilah burung kami ini... Kami perlu untuk tambahan karcis bioskop!"Pemain
biola itu berhenti.
"Baiklah," katanya, "darimana kalian mendapatkannya?"

"Di atas batu... Jatuh sendiri ia dari langit," jawab anak kecil dan menyerahkan burung
itu dalam dua genggam tangannya kepada pemusik.Burung itu mungkin sudah mati.
Pak Tua menaruhnya di sakunya, memberi anak itu dua puluh kopek dan
pulang.Setibanya di rumah pemusik itu mengeluarkan burung kecil itu dari kantung
sakunya. Seekor burung gereja tua ubanan tergolek di tangannya; matanya tertutup,
kaki-kaki kecilnya lemah dan satu sayapnya menggantung tanpa daya. Tak tahu,
apakah ia mati suri atau mati benar. Untuk berjaga-jaga Pak Tua meletakkannya di
rongga dalam kemeja tidurnya, entah esok pagi ia menghangat dan siuman, entah ia
takkan terbangun untuk selamanya.Setelah menghabiskan tehnya, pemusik itu dengan
hati-hati merebahkan diri tidur miring, supaya tidak menggencet burung itu.Sesaat Pak
Tua tertidur, tapi segera terbangun, ketika burung itu bergerak-gerak di balik baju
tidurnya dan mematuk tubuh Pak Tua. "Hidup," pikir Pak Tua. "Berarti hatinya telah
menjauh dari kematian!" Lalu dikeluarkannya burung gereja itu dari kehangatan di balik
baju tidurnya.Pemusik itu meletakkan burung kecil itu di kolong dekat kura-kura.
Sementara kura-kura masih pulas di dalam tempurungnya. Di sekitar situ ada kapas-
kapas yang empuk dan nyaman buat burung itu.Pagi hari Pak Tua terbangun dan
melihat apa yang sedang dilakukan si burung di tempat kura-kura.Burung gereja itu
tergeletak di atas kapas dengan kaki-kaki kecilnya menjulur ke atas, dan kura-kura
mengulurkan lehernya, memandangi sang burung dengan tatapan penuh kasih dan
kesabaran. Burung itu telah mati dan melupa untuk selamanya, bahwa pernah ada di
dunia.Sore hari pemusik tua tak pergi ke Tverskoi Bulvar. Ia mengeluarkan biola dari
kotaknya dan mulai memainkan musik yang lembut penuh cita. Kura-kura keluar ke
tengah-tengah kamar dan mendengarkan sendirian. Tapi dalam musik ada sesuatu
yang tak tersampaikan untuk membalur kegetiran hatinya yang dalam. Karenanya
diletakkannya biola di tempatnya dan menangis, karena tak semua bisa diungkapkan
oleh musik, dan pada akhirnya tinggal manusialah yang merasai kehidupan dan
penderitaan.**

Andrei Platonov (1899-1951) yang nama aslinya Andrei Platonovich Klimentov adalah
seorang sastrawan Rusia pada masa Soviet. Dalam karya-karyanya ia banyak
menyoroti kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam, kematian, dan
keabadian. Karyanya yang termasyhur antara lain Chevengur dan Kotlovan. Sebagian
besar karyanya diterbitkan ketika ia telah meninggal dunia. ***

Cerpen Perjalanan Burung Gereja dialihbahasakan dari bahasa Rusia oleh A


Fahrurodji.
Perempuan di Layar Maya

Fakhrunnas MA Jabbar

Sumber: Kompas, Edisi 02/10/2002

+ Namaku, Je! Perempuan. 25 tahun. Sekretaris.Cukup?IA terperangah ketika


menatap sederetan kata-kata yang muncul di layar komputer itu. Luar biasa. Padahal,
ia baru saja secara acak meng-klik sebuah alamat e-mail yang sama sekali tak
dikenalnya. Ia hanya iseng. Hanya ingin berkomunikasi. Ingin ngobrol dengan
seseorang yang asing. Entah siapa pun dia. Ia ingin melompati tembok kebuntuan
setelah berbulan-bulan tak menemukan jalan keluar. Ia ingin keluar dari sergapan
kebosanan.Ia kini tiba-tiba jadi bosan politik. Meski kabinet pemerintahan, baru saja
diumumkan. Ia merasa lelah menatap layar kaca yang telah mempingpong rakyat. Ia
jenuh melihat pergerakan nilai rupiah yang turun-naik begitu tajam bagaikan gelombang
tsunamis. Ia juga bosan kriminal. Bosan pembantaian orang-orang tak berdosa. Bosan
juga menyaksikan maling yang dibakar massa hidup-hidup. Sementara koruptor besar
yang telah memalingi uang rakyat dalam triliunan, dibiarkan bebas berkeliaran. Ia jadi
bosan basa-basi yang membelenggu akal-sehat. Segalanya terdedah tanpa batas di
layar kaca. Di halaman-halaman suratkabar dan majalah. Di tengah rumah. Di lapangan.
Di pasar. Di mana-mana.Bagai kapal kini, ia ingin berlayar meninggalkan derrmaga. Ia
ingin mengharungi samudera pengembaraan tak bertepi. Bagai burung, ia ingin terbang
sejauh-jauhnya meninggalkan sarang yang dingin. Bagai pertapa ia ingin keluar dari
ceruk goa terdalam dan sederetan stalaktit dan stalakmit. Ia ingin bebas dari kekangan
kehidupan yang penuh rambu-rambu. Karenanya, ia butuh seseorang. Bukan orang
yang selama ini sudah dikenal dekat. Bukan teman kantor. Bukan teman sehobi di
lapangan golf. Bukan teman kencan di diskotik. Bukan juga anak, istri, orangtua,
saudara. Ya, siapa pun mereka.

+ Apa kabarmu?Lagi-lagi ia dihardik oleh seseorang yang menyebut dirinya 'Je' di layar
maya itu. Matanya jadi berkedip-kedip. Jadi berkaca-kaca. Antara ingin menjawab dan
takjub. Ia tak membayangkan kebuntuannya berubah wujud jadi begini. Bila dijawab,
sebaiknya ia harus mengatakan apa? Padahal ia ingin lari dari basa-basi yang telah
menimbunnya di kuburan imajinasinya sendiri. Ia khawatir bakal terperangkap lagi
dalam kebiasaan dan keseharian. Ia tak inginkan pengulangan-pengulangan yang
penuh basa-basi. Ia ingin sesuatu yang lain dan tak biasa.

+ Sungguh kamu membutuhkanku?Ia terdesak. Pertanyaan Je yang terakhir ini benar-


benar membuatnya terkepung di dalam kebingungan. Antara ya dan tiada. Antara
keisengan dan kesungguhan. Antara sadar dan bermimpi. Antara realita dan alam
maya. Ia masih takut bila obrolan di layar maya itu akan menyeretnya pada kebiasaan-
kebiasaan.

+ Hai, bajingan! Dengar nggak, lu?Makian yang muncul di layar komputer dengan huruf
berukuran besar itu benar-benar menyadarkannya. Ia merasa tertantang. Barangkali
inilah sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak pernah ditemukannya di tengah rumah,
kantor atau lapangan golf. Sungguh, ia tertantang.Matanya sempat menerawang jauh
ke alunan gelombang yang memutih di tengah pergumulan laut. Dari kawasan off-shore,
di lokasi pengeboran minyak lepas pantai, di tengah-tengah permainan ombak Selat
Melaka itulah ia bergulat dengan kesendirian dan kesepiannya. Lama ia
terperangah.Kemudian ia mulai mematut-matut jemarinya di keyboard yang sejak tadi
terbentang. Pikirannya tanpa di bawah kendalinya bisa saja menerawang tiba-tiba, tapi
di benaknya sudah terkumpul jutaan jawaban bagaikan laron yang mengelilingi sebuah
lampu pijar di kegelapan. Ia benar-benar tertantang untuk mengembara di layar maya
itu. Seseorang telah datang begitu tiba-tiba. Tanpa direkayasa. Tanpa direncanakan.
Hai...apa kabar? Aku ingin ngobrol aja...

+ Kenapa tak bilang dari tadi? Aku sangat bosan menunggu. Apa maumu sekarang?Ya,
aku sudah bilang... aku mau ngobrol aja.

+ Aku sudah perkenalkan diri. Tapi kamu?Ya, ya... aku tahu, Aku keliru. Aku sudah
mulai... tapi buntu.OK, kamu siapa?Ia langsung memperkenalkan dirinya. Ia bercerita
panjang lebar kenapa ia terperangkap dalam chatting dadakan begitu. Sungguh, ia tak
menargetkan siapa yang harus melayaninya ngobrol. Kalau kebetulan Je yang
menanggapi kegetiran jiwanya yang sudah kerontang sejak lama, barangkali itulah
jodohnya. Ia bagaikan membuang keluh-kesahnya bagaikan kupu-kupu yang
berterbangan lepas dari kepompongnya. Ia jadi kupu-kupu yang penuh birahi mencari
kupu-kupu yang lain. Sekarang, seekor kupu-kupu itu sudah ada terjepit di antara dua
jarinya. Ia ingin kupu-kupu itu tak meronta.Ia ingin melupakan jam kantor di sebuah
menara kontrol di tengah areal pertambangan. Selama ini ia hanya berhadapan dengan
layar monitor yang mengalirkan angka-angka kuantum yang menyimbolkan proses
produksi sebuah pabrik tambang. Sekarang ia mencoba lari dari kejaran angka-angka
yang membosankan itu.Tiga jam lebih ngobrol di layar maya itu, ia jadi kelelahan juga.
Ia tertidur di depan komputer yang masih menyala. Saat terjaga beberapa saat
kemudian, layar komputer itu telah kosong. Tak ada lagi Je di situ. Tak ada lagi kata-
kata baru. Tak ada sesiapa yang menyergap lontaran pertanyaannya.Ia merasa
kehilangan momentum emas di dalam hidupnya. Ia kehilangan sebuah keceriaan yang
telah dibangkitkan oleh seorang bernama Je. Ia ingin melanjutkan perbincangan yang
tak biasa itu. Tapi Je-barangkali-juga telah tertidur pulas di seberang sana. Ia sangat
menantikan hardikan dan kata-kata galak dari Je yang tiba-tiba merangkak masuk ke
dalam bion-bion otaknya.Hari-harinya jadi kosong seketika. Sepekan menunggu, Je tak
membalas e-mailnya. Sebulan berlalu, Je hanya muncul dalam bayang-bayang yang
keruh menari-nari dalam benaknya. Je yang semula jadi setrum yang membangkitkan
kegairahan batinnya kini berubah jadi monster yang siap menelannya kapan saja. Ia
terpojok setelah tersambar kilatan cahaya Je. Sungguh, ia tak tahu siapa Je
sebenarnya. Bisa jadi, Je seorang lelaki bersosok besar dengan kumis panjang yang
secara iseng menyamar jadi perempuan. Apalagi, sergahan-sergahan Je yang muncul
di layar maya itu bagai mengandung semangat maskulin-nya laki-laki. Lebih lagi, nama
Je tidak membersitkan sentimen gender. Artinya, siapa pun, lelaki atau perempuan
berhak menggunakan nama Je. Ya, ia jadi ragu... jangan-jangan Je itu seorang laki-laki.
Dan seketika ia jadi benci Je. Dalam benaknya ia merasa dibohongi Je. Ia merasa telah
menghabiskan energi begitu besar untuk menumbuhkan rasa simpati pada Je yang
telah menyahuti salamnya. Dalam hatinya, ia hanya bisa memaki-maki Je.Siang
benderang. Matahari bagai terbelalak di balik serabut awan. Ia menatap kosong ke
layar maya. Ia berharap, Je bisa muncul barang sejenak. Lebih sebulan terakhir ia
berkeringat untuk mematut-matut siapa Je. Meski antara ragu dan penuh ingin tahu,
kadang-kadang ia masih membayangkan Je benar-benar seorang perempuan cantik,
berlesung pipit, manja dan sedikit centil. Tapi di belahan hatinya yang lain, ia jadi ragu
juga. Jangan-jangan Je benar-benar seorang lelaki jantan yang mengaku-aku sebagai
perempuan. Namanya juga iseng. Siapa pun bisa berbuat iseng kapan dan di mana
saja. Tapi ia begitu sedih bila dirinya menjadi korban keisengan semacam itu.Tit! Saat
layar maya itu masih terbuka, sebuah mail muncul di deretan inbox. Darahnya terkesiap.
Ia membuka mail itu segera. Benar Je muncul dengan sebuah kalimat :

+ Bosan? Penasaran menunggu, ya?Ya... kamu kemana aja?

+ Capek aku. Aku mengembara ke dalam benakmu. Aku bermain-main di pelupuk


matamu. Aku tahu, kamu begitu marah. Begitu penasaran. Begitu membenciku. Ya, ya.
Aku merasakan getaranmu. Tapi bagai angin, kurasakan ada tapi tak bisa kugapai. Aku
jadi rindu kamu.+ Ah, gombal kamu. Lelaki bila ada maunya, bisa macam-macam. Bisa
gombal, gitu.Ia terhenyak seketika. Ia tersadar bahwa pelarian batinnya pada akhirnya
bakal terperangkap pada kebiasaan dan kesehariaan. Sebagai lelaki, dia digombalkan
seorang perempuan-ah, mudah-mudahan tak keliru-merupakan sebuah kelaziman. Tak
bakal ada sesuatu yang baru diraihnya bila berdialog begitu.Aku jadi penasaran. Benar
kamu seorang perempuan? Jangan-jangan kamu seorang lelaki yang
mempermainkanku.

+ Lha, edan kamu. Sinting. Tak percaya? Lihat aja sendiri. Ah, nggak. Aku hanya ragu.
Kamu menantangku untuk memastikan jenis kelaminmu? Aku nantikan suatu saat.

+ OK deh. Kapan-kapan kukirim potretku.Kalau betul kamu perempuan, pasti kamu


cantik dan menggemaskan.Sehari kemudian, apa yang dijanjikan Je jadi kenyataan. Di
layar maya itu, ia bisa menemukan wajah Je yang sejak lama bermain-main dalam
imajinya. Meski pada mulanya wajah Je begitu samar. Je telah mengirim potretnya
dengan resolusi gambar yang berbeda dengan kemampuan CPU-nya. Ia terpaksa
melakukan down-load agar pixel gambar itu benar-benar kontras terdedah di layar
komputernya. Kiriman gambar itu pun sudah yang kedua kalinya. Yang pertama, gagal
karena terserang virus yang hebat. Meski sudah diupayakannya melalui virus scanning
tercanggih, tapi tak kunjung berhasil.Hatinya berbunga-bunga ketika menatap wajah Je
yang sedang tersenyum. Je tak berbohong. Je memang cantik, manis, dan
menggemaskan sebagaimana dugaannya. Semakin lama ia tatap wajah Je, perempuan
di layar maya itu semakin menggairahkan. Senyumannya kian berubah jadi tawa
renyah. Tatapan mata Je begitu hidup bagai menggamit dirinya. Ia hanyut menatap
wajah Je yang rupawan.Setiap pagi, saat memulai kerja di control room di atas menara
yang jauh dari keramaian, ia sempatkan membuka file yang berisi wajah Je. Tapi selalu
ada perubahan nyata yang dihadapinya. Je selalu berubah ekspresi. Kadang ia tertawa
manis, Kadang marah menyebalkan. Kadang Je tertidur pulas. Hebatnya lagi, ia kini
bisa menyaksikan semua aktivitas Je di rumah dan di mana saja. Ia bagaikan
menyaksikan sebuah panorama yang dikirim dari hidden camera yang ia sendiri tak
tahu di mana dipasangnya.

+ Selamat pagi...Di layar maya itu, Je mengucapkan sapaan lembut bagaikan


berhadapan langsung dengannya. Ia berdebar-debar. Semua peristiwa keseharian Je
tiba-tiba muncul begitu nyata di layar komputer itu. Andaikan ia punya layar monitor
ukuran dua kali dua meter, tentu sosok Je akan semakin jelas. Bagaikan menonton
sebuah filem layar lebar di kepungan deru ombak yang tak pernah lelah. Selat Melaka
selalu jadi saksi atas segalanya.Selalu saja ia saksikan bagaimana Je sarapan pagi,
mandi dengan shower, berangkat kerja, bercengkerama dengan orangtua dan adik-
adiknya. Ia juga menyaksikan bagaimana Je mengenakan gaun tidur yang berwarna
biru muda. Je ternyata suka tidur miring ke kiri sambil memeluk guling yang empuk. Ia
selalu menahan napas bila menyaksikan adegan-adegan sensual begitu.Je, aku rindu
kamu. Aku tiba-tiba ingin...Ia membayangkan sesuatu yang sangat pribadi. Ia ingin
berpelukan, ciuman dan menyalurkan birahinya. Semua yang berkelabat dalam
pikirannya itu tiba-tiba muncul di layar maya itu. Pada mulanya asap mengepul berbaur
awan yang komulus. Je tiba-tiba muncul begitu saja dengan gaun kebiruan melayang-
layang di angkasa. Rambutnya tergerai diditup angin sakal. Je tersenyum dan
melambai-lambai manja.Di atas sosok Je itu, ia menemukan dirinya juga sedang
melayang-layang. Ia mengejar Je dan menggapai-gapai. Keduanya terhanyut di sebuah
turbulence yang tak membahayakan. Keduanya saling mendekat. Dan... keduanya
saling bersentuhan, berpelukan dan berciuman. Angin memukul-mukul punggung
keduanya. Keduanya semakin birahi. Keduanya saling menikmati.Ia menyaksikan
adegan-adegan itu penuh perhatian. Ia merasa heran dan takjub, bagaimana mungkin
semua itu terjadi begitu saja. Apa yang ia angankan tiba-tiba terdedah dengan
mudahnya di layar maya.Ia jadi berkeringat dan kelelahan. Ia coba mencubit lengan
kirinya kalau-kalau apa yang disaksikan hanyalah sebuah mimpi. Ia meringis kesakitan.
Ia menyaksikan bagaimana lambaian Je saat menghilang di layar maya itu. Senyuman
Je benar-benar melekat di sudut pikirannya. Ah, Je, bisiknya lirih.Begitu tersadar, ia
cepat-cepat mengetik di keyboard. Ia segera kirim mail buat Je.Je, kamu baik-baik
saja? Aku tiba-tiba menyaksikan sesuatu yang sulit kulupa. Antara mimpi dan nyata,
aku kok bisa merasakan kehangatan tubuhmu?

+ Surprise... Busyet..! Aku juga. Kok bisa? Kamu berhalusinasi, kali?Ah, nggak juga.
Aku berharap, adegan itu terulang lagi, kapan-kapan.Je tak menjawab. Lama layar
komputer itu kosong. Ia terkesima. Ia bagaikan kehilangan sesuatu yang sangat
berharga. Ia tak langsung melakukan tugasnya di control room itu. Orang-orang yang
berseliweran di kiri kanannya, sedikit pun tak menarik baginya. Ia terbius oleh Je.Ia
menanti sapaan Je yang kasar seperti padamula perkenalannya di layar maya itu. Tapi
Je kini tak memberikan aba-aba akan muncul. Setiap ia mengirim mail buat Je, jawaban
yang diterimanya: undelivery. Mail itu membalik begitu saja seolah-olah ada kesalahan
administrasi. Ia jadi penasaran. Ia jadi bodoh berhadapan dengan perempuan maya
itu.Ia tiba-tiba ingin mendatangi Je di kotanya. Tapi, sayang, ia tak tahu di mana alamat
rumah Je. Ia juga belum sempat menanyakan nomor telepon dan alamat kantor Je. Ia
betul-betul miskin data. Padahal berbulan-bulan ia berkomunikasi dengan perempuan
itu, tak terpintas dalam pikirannya untuk menanyakan hal-hal sepele begitu. Tunggu
dulu, bukan tak terpikirkan, tapi ia sejak mula sudah bertekad untuk tidak berbincang
soal yang lazim dari peristiwa keseharian.Ia jadi nekad. Ia bagai kesurupan ketika ia
mengirim mail buat Je dengan huruf dengan ukuran 36 font: "Je, jawab aku kapan pun
kamu mau." Sesudahnya, ia mematikan komputernya. Dan komputer itu ia banting dan
tak pernah berusaha menyalakannya lagi. Ia mengubur pesawat komputer itu bersama
bayangan Je.Ombak Selat Melaka yang menggelegar berdegup kencang di jantungnya.
***
Batas

Cerpen: Helen Yahya

Sumber: Kompas, Edisi 02/24/2002

MAK Kimin menggerutu mendengar laporan kemenakannya. Urat-urat lehernya


menegang. Bola matanya mencorong tajam. Wajahnya memerah menahan kemarahan.
Bujang Sami-salah seorang kemenakan jauh- otomatis ikut tegang.”Kurang ajar!
Dikiranya kita tidak tahu batas ulayat?" hidung Mak Kimin mendengus-dengus bagai
kerbau akan berlaga. Bujang Sami hanya tertunduk kaku. Melihat itu Mak Kimin
melanjutkan hardik,

"Dan kalian takut dengan ancaman mereka?! Padahal sebelumnya, saat aden1 masih
di situ, mereka tak berani! Tapi baru sepekan aden tak ke sana..,"

"Buuuk.., bukan begitu, Mak. Kami hanya segan beradu pendapat. Karena sebagian
besar mereka masih pabisan2 dan sumando3 kita," kegugupan Bujang Sami jelas
tergurat di matanya yang kuyu. "Alaa, pendek betul pikiran wa'ang4. Berdebat atas
kebenaran tak ada salahnya. Mana Pidin? Suruh dia kemari!" perintah Mak Kimin.
Tangannya memilin-milin rokok daun nipah. "Dia manakiak5, Mak," jawab Bujang Sami
masih sambil menekur. "Kapunduang! Urusan pribadi yang diutamakannya!" Bujang
Sami semakin tegang. Dia tahu betul tabiat Mamaknya. Sebagai salah seorang
Tungganai Kaum Patopang6, kadang tak sungkan bertindak keras pada anak
kemenakan. "Nanti malam kita lanjutkan di Rumah Gadang. Jangan sampai ada kaum
Patopang yang tidak hadir. Kapan perlu, suruh Kiri memukul canang!" Bujang Sami
hanya sanggup mengangguk. Setelah diteguknya kopi pahit yang diseduh Amainya-istri
Mak Kimin-dia bergegas meningkat jenjang rumah semi permanen yang masih bau
semen setelah direnovasi hasil menambang emas dua pekan lalu. ***

“BAGAIMANA, Da?" tanya Upik Sida pada Bujang Sami-suaminya-sesampainya di


rumah mereka yang beratap rumbia. "Gara-gara Pidin tidak bisa menyelesaikan urusan
itu, aden yang kena sirengeh7 Mak Kimin. Kapunduang paja tu8!" umpat Bujang Sami
ketus.
"Uda tidak usah ikut ribut. Harta dapat dicari. Tapi jika terjadi pertikaian ulah
memperkarakan harta, apa jadinya?"

"Itu bukan kesalahan orang kampung kita, Pik. Dalam pembagian ulayat, sungai kecil
itu adalah batasnya. Kami mendulang emas tepat di tengah sungai itu. Tapi lantaran
orang kita lebih dulu mendapat emas, mereka cemburu dan mengeluarkan peraturan
sepihak!" geram Bujang Sami sambil menggaruk-garuk kepalanya yang penuh ketombe
akibat selalu berpanas matahari saat mendulang emas.

"Lalu bagaimana keputusan Mak Kimin?" Upik menghidangkan sepiring nasi lengkap
dengan sayur pucuk ubi dan samba lado tanak9.

"Beliau mengundang seluruh kaum Patopang nanti malam untuk rapat di Rumah
Gadang," Bujang Sami menarik nafas pendek.

Upik menarik napas panjang, "Jadi kapan akan kembali ke lokasi pendulangan?"
"Menunggu hasil rapat itu." Sehabis Maghrib Kiri mengguguh canang dan berteriak
memberikan pengumuman.

"Mudah-mudahan rapat dapat memutuskan yang terbaik," ujar Bujang Sami sambil
memandang istrinya yang sedang hamil dua bulan-anak pertama mereka. Kemudian
meneguk kopi manis. Meraih kupiah yang tergantung di paku tiang utama rumah. Lalu
menapaki lantai menuju pintu yang berjenjang tiga. Sambil berharap hasil musim
mendulang tahun ini dapat mengganti jenjang kayu dengan jenjang semen. Dapat
menukar atap rumbia dengan atap seng. Dapat mengganti dinding anyaman bambu
dengan susunan papan. Rumah Gadang yang terletak tak begitu jauh dari rumah
Bujang Sami sudah diterangi lampu petromaks. Beberapa laki-laki dari suku Patopang
sudah mulai berdatangan. Pergunjingan yang agak meruncing sudah mulai membingar.
Mengusik kelengangan Dusun Silokek yang hanya terdiri dari tiga puluh tujuh rumah.
Bujang Sami mendehem sebelum menaiki tangga Rumah Gadang. Dilihatnya Mak
Kimin dan Pidin sudah mulai bersitegang suara. Sedang janang10 berusaha menguping
saat menghidangkan kopi panas dan nasi ketan. Menjelang jam sembilan malam,
setelah sedikit basa-basi, Mak Kimin memulai pembicaraan secara resmi. Kemudian
dimintanya Pidin, sebagai wakil kepala rombongan pendulang untuk menjelaskan
persoalan yang menjadi perkara.

"Penduduk Dusun Seberang Sungai meminta kami membayar pajak," Pidin langsung
pada pokok persoalan.

"Kenapa?" tanya seorang lelaki berjenggot putih.

"Menurut mereka daerah pendulangan kami telah memasuki ulayat mereka," jawab
Pidin.

"Apa mereka lupa batas ulayat? Sudah ketetapan pemerintah jika sungai kecil itu
menjadi batas Dusun kita dengan Dusun Seberang Sungai?!" potong Mak Kimin.

"Itu sudah kami jelaskan. Tapi, mereka membantah. Dan bersikeras menyodorkan
peraturan..,"

"Peraturan apa!?" burangsang Mak Kimin.

"Kami harus membayar sepuluh persen harga penjualan setiap mendapat satu emas..,"

"Itu tidak bisa!" rentakan suara hampir memenuhi Rumah Gadang dimandori gelegar
bariton ucap Mak Kimin.

"Memang tidak bisa! Tentu kita tidak akan menyepakati peraturan sepihak itu!" ulas
Patih Sati, yang merupakan guru silat Mak Kimin dan warga Dusun Silokek.

"Baiknya bagaimana, Datuk?" sela Mak Kimin.

"Sebaliknya, kita tak bisa juga memutuskan sepihak. Harus kita rundingkan dengan
Ninik Mamak dan Kepala Dusun mereka," suara paraunya mengandung wibawa.

"Untuk apa lagi, Datuk?" sergah Mak Kimin.

"Bukankah sudah jelas tempat penambangan itu termasuk ulayat kita?"

"Ya, Datuk. Akan kita biarkan mereka meminta pajak di ulayat kita!?" semangat Pidin.

"Tenang dulu. Kita baru mendengar pengaduan sepihak dari anak kemenakan kita. Kita
wajib meninjau kebenaran dari pihak mereka. Apa salahnya kita melihat bersama-sama
ke lokasi persengketaan itu. Mungkin saja anak kemenakan kita memang telah khilaf?"
Patih Sati mengedarkan pandangan ke seantero Rumah Gadang. Suasana mendadak
hening. Hanya cericit pipit malam yang melengkapi kelengangan.

"Lalu bagaimana selanjutnya?" pancing Mak Kimin.

"Begini Tungganai," Patih Sati mencari bola mata Mak Kimin dengan sorot matanya
yang tenang bagai air sumur zam-zam. Kemudian beralih pada mata Pidin sambil
menebar senyum harum. "Beberapa orang wakil serta Kepala Dusun sebaiknya
berkunjung ke Dusun Seberang Sungai. Di sanalah kusut akan diselesaikan. Di situlah
keruh akan dijernihkan." ***

AKHIRNYA rapat menyepakati usul Patih Sati. Dan, pada hari yang telah ditentukan,
rombongan akan berangkat dengan menggunakan perahu dayung, menuju lokasi
penambangan yang berdekatan dengan Dusun Seberang Sungai di hilir Batang
Kuantan. Bujang Sami termasuk ke dalam anggota rombongan. Sebelum berangkat,
dia sibuk mempersiapkan perlengkapan mendulang emas. Peluh mulai membasahi pipi
mudanya akibat hangat cahaya mentari pagi.

"Apaah rombongan Uda, akan langsung mendulang setelah berunding?" tegur Upik
Sida sambil menyodorkan kopi manis.

"Belum tentu. Tapi, tak ada salahnya bersiap-siap."

"Apa Pidin juga ikut?" pertanyaan itu terlontar karena mantan Kepala Dusun itu pernah
singgah ke rumah semasa suaminya tak ada. Tersirat rasa kecut mengingat sorot nakal
mata Pidin yang telah pula beristri dua.

"Katanya, dia akan menyusul setelah menambal perahunya yang bocor. Kenapa?"
sebenarnya tak ada nada curiga, tapi tanya malah membuat Upik Sida bermerah muka.
Bujang Sami berdehem.

Upik Sida menekur, "Hati-hati, Da, musuh jangan dicari," dialihkan topik pembicaraan.

"Bertemu pantang dielakkan," canda Bujang Sami sambil menyongsong rombongan


yang dipimpin Patih Sati. Sebenarnya dia merasakan sesuatu yang tak beres, tetapi
panggilan emas lebih menarik perhatian. ***

SEBELUM benar-benar senja, rombongan Dusun Silokek telah sampai di lokasi


pendulangan. Dan, seperti yang telah disepakati, mereka telah ditunggu oleh Ninik
Mamak dan Kepala Dusun Seberang Sungai. "Sebetulnya hanya terjadi salah paham
kecil antara warga kita," langsung Kepala Dusun Seberang Sungai mulai bicara
mengingat malam akan segera tiba.

"Kami mengeluarkan peraturan itu karena ada beberapa anak kemenakan kita yang
mendirikan pundun11 di pinggir tebing. Lubang tambang itu mengakibatkan sawah
yang ada di atasnya jadi terancam runtuh..," Patih Sati berdehem keras. Mak Kimin
menyahut dengan batuk pura-pura, lebih keras. Lalu Patih Sati menggantikan ujar,

"Jika itu persoalannya, berarti keterangan Pidin berat sebelah. Makanya, kami minta
maaf," dengan sportif lelaki berumur kepala enam itu mengulurkan tangan mendahului
Kepala Dusun Silokek-barangkali, karena teringat silsilah Kaum Patopang, dia adalah
kemenakan Pidin, walau berumur lebih muda.

"Jika tak lagi membangun lubang tambang di pinggir tebing tentu pajak itu tak perlu
dibayar. Lagipula antara Dusun Silokek dan Dusun Seberang Sungai adalah daerah
yang bertetangga. Bahkan, anak kemenakan kita sudah banyak pula yang saling
menikah. Cuma...," Kepala Dusun Seberang Sungai seperti sengaja menggantung ucap.
Kedua rombongan tentu saling menunggu. Tapi, bisik-bisik di dalam rombongan Dusun
Seberang Sungai, terdengar bernada miring.

"Lanjutkanlah," pinta Patih Sati.

"Masih ada batas lain yang telah dilanggar oleh salah seorang anak kemenakan kita,"
lanjut Kepala Dusun Seberang Sungai sambil menggerutapkan geraham.

"Maksud Pak Dusun?" potong Mak Kimin.

"Piiidin?" gagap Bujang Sami. Ingatannya langsung melayang saat Pidin cigin12 dari
lokasi penambangan, pekan lalu. Mengingat perangai kawannya itu, waktu itu dia
sengaja mengikuti, ternyata Pidin menyelusup ke pondok sawah Pinah, padahal suami
perempuan sintal itu sedang merantau ke Malaysia.

"Kami belum bisa memastikan. Namun, kami berharap, persoalan itu juga bisa
diselesaikan dengan baik," tutup Kepala Dusun Seberang Sungai sambil mengajak
berwhudu untuk melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Patih Sati gelisah. Mak
Kimin lebih gelisah. Matanya yang merah menatap Bujang Sami tanpa berkedip. Bujang
Sami lebih gelisah. Sorot tajam mata Mak Kimin seperti mengandung peringatan.
Padahal, Bujang Sami tak dapat melupakan: bukan Pidin saja yang pernah menyelinap
ke pondok sawah Pinah. Juga Lencun, Lobai, Kiri dan..., termasuk Mak Kimin! Bujang
Sami mengendap-endap ke arah mudik Batang Kuantan. Menyusuri jalan setapak
sambil mempernyalang mata. Bergegas pulang, mengingat Pidin belum juga datang.

@ Diracik di negeri hilir Batang Kuantan, dua tahun lalu Dimasak lagi tahun dua ribu
satu
Ode untuk Sebuah KTP

Cerpen: Martin Aleida

Sumber: Kompas, Edisi 02/17/2002

IRAMANI namaku. Umurku tujuh-puluh dua. Tak usah terlalu panjang aku menyebutkan
siapa aku. Cukup, katakanlah semua kamp konsentrasi atau penjara paling bengis yang
pernah kau tahu. Dan itu adalah juga aku.Usiaku habis percuma ditelan tembok-tembok
penjara yang dekil dan menyesakkan. Dan ketika aku ditendang keluar dari sel, aku
masih harus menanggungkan perlakuan sewenang-wenang dari satu rezim yang
didukung oleh manusia yang terus-menerus kupertanyakan dalam hati, dari manakah
mereka mewarisi perangai lalim yang telah memencilkan aku selama tiga belas tahun di
dalam kurungan, terutama di penjara wanita Pelatungan. Hanya karena aku seorang
istri. Ya, seorang istri. Jika inilah kodrat yang harus kuterima sebagai wanita, maka dia
telah kujalani dengan sempurna. Tetapi, bagaimanakah aku harus menjelaskan kepada
Tatiana, anakku yang terkecil, yang harus mengikuti aku ke sel penjara mana saja aku
dicampakkan bagaikan sampah, yang buat kompos pun tak berguna. Rezim juga telah
memperkosa naluri Tatiana, yang selalu ingin menyusu di dadaku, sebagai siksa
tambahan bagi ibunya. Telah kubaca berpuluh kali catatan harian Anne Frank. Bisa
kubayangkan, ketika larsa sepatu pasukan Nazi berdentam mendekati lemari
persembunyiannya, tahulah dia bahwa ajalnya sudah sedekat bendul pintu. Terlahir
sebagai Yahudi, dia dipaksa menemukan nasib sebagai buruan. Gadis cilik itu masih
lebih mujur dari kami. Dia mungkin telah musnah bersama kepulan gas beracun yang
disemburkan ke dalam kamar pengasingannya. Sedangkan kami, aku dan anakku,
masih terus berbagi degup jantung, menjaga nyawa, sekalipun sebenarnya kami sudah
tersingkir dari keberadaan sebagai manusia yang hidup.Sudahlah, katamu melerai
perasaanku. Lupakahlah, Ir Penderitaanmu akan larut dibasuh waktu, begitu kau
berupaya menawarkan dendamku.Aku belum bisa menerima bujukanmu itu. Tapi,
baiklah kudiamkan saja dulu galau penolakan dari dalam hatiku. Belasan tahun
dikucilkan di dalam sel penjara bisa kutanggungkan, mengapa memendam rasa aku tak
kuasa.Tadi pagi aku bangun dengan perasaan yang lain sama sekali. Dalam empat-
puluh tahun belakangan ini, tak pernah aku memiliki perasaan sebegitu riang.
Membanding-banding, aku teringat bagaimana rasanya pada saat aku melahirkan
anakku dulu. Ngeden yang mencemaskan berakhir dengan ketenteraman hati begitu
melihat Tatiana yang merah rebah di sampingku. Rasa-rasanya seperti itulah
kebahagiaan yang membendung perasaanku sekarang.Aku mengenakan pakaian
terbaik. Duduk mengiringi naiknya matahari pagi. Bertambah nyaman rasanya di
beranda sesempit ini ketika daun-daun kering berlarian menyentuh ujung-ujung kuku
kakiku. Kemarin, ketika aku pulang dari kantor kelurahan, mengambil kartu tanda
pendudukku, sudah kupuaskan sepuas-puasnya mata dan hatiku dengan KTP yang
baru ini. Rasanya, keterangan diri yang mungil, dan dibalut plastik mengkilap itu, telah
memberikan kegembiraan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan hari ketika aku
digelandang keluar dari Pelatungan, lebih dua puluh tahun yang lampau. Kalau kuingat-
ingat, tahulah aku bagaimana kebahagiaan begitu cepat kehilangan semaraknya dalam
perjalanan waktu yang panjang. Ah, senangnya mengamat-amati KTP ini.
Permukaannya yang mengkilap. Membersitkan kebanggaan. Aku seperti telah
menemukan harga diriku kembali. Dunia di luar diriku kini telah menempatkan aku
kembali sebagai warga biasa. Lihatlah, namaku ditulis dengan ejaan yang benar.
Dengan huruf-huruf hitam yang rata. Pastilah dia diketik dengan menggunakan
komputer. Mesin kejayaan manusia yang baru. Bukan mesin tik tua. Dia begitu ringkas
sebagai pernyataan kehadiran seseorang di dalam masyarakat. Memang, ada yang
mengatakan kartu ini adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak-hak
mendasar manusia. Hak bergerak bebas. Karena KTP merupakan perangkat
kekuasaan untuk mengamati gerak-gerik warganya. Orang jadi tak bisa bebas bergerak
tanpa ada mata yang mengawasinya. Sama dengan sapi yang harus membawa cacat
yang ditinggalkan besi merah yang ditancapkan di punggungnya ke manapun dia
merumput dan memamah-biak. Tapi, aku tidak termasuk yang hanyut dalam sikap
seperti itu. Karena aku memang seorang wanita yang terbuang bersama ribuan orang
lain yang senasib. Kalau KTP ini dianggap sebagai kebejatan penguasa, apalagi yang
akan dikatakan begitu melihat simbol yang diterakan di pojok kartu ini? Tiga huruf yang
menyengsarakan, mematikan...Besarnya kartu ini hanya tiga jari. Tetapi, betapa
sempurna kelegaan hati yang diberikannya. Di pojok kanan atasnya sudah tidak tertera
hukuman yang harus kupikul sampai pun aku berangkat ke liang lahat: ETP, eks
tahanan politik. Masih kuingat, tanganku gemetar ketika menyerahkan KTP lama
kepada orang kelurahan. Aku merasa noda yang dilekatkan pada diriku seperti sudah
ditempatkan di dalam perahu perlambang dosa, dan sudah dilepas ke laut yang dalam.
Aku tidak sendiri menjalani nasib seperti ini. Dan tak bisa kau bayangkan betapa
tertekannya perasaan dipencilkan seperti itu. Bukan aku saja yang harus melata karena
cap itu. Juga anak-anakku. Pintu tertutup buat kami untuk memasuki kehidupan yang
normal. Kami semua benar-benar menjadi paria karena cap yang melekat di pojok
tanda pengenal itu. Lebih dari dua-puluh tahun aku mengantungi hukuman itu. Hanya
karena aku seorang istri.Aku tak tahu apa kesalahan yang dilakukan suamiku
menjelang bencana tahun 1965, sehingga dia harus dilenyapkan. Dan istrinya, anak-
anaknya yang masih merah, harus menderita. Padahal aku hanyalah seorang istri. Dan
buatku, suami adalah seseorang kepada siapa aku berbagi. Naluri mengajari aku untuk
setia pada kodrat fisikku, untuk mendekatkan anak-anak pada kedewasaan. Aku tidak
dengan sengaja menjauhi gelanggang politik. Aku hanya tidak tertarik. Kupikir aku telah
memberikan sumbangan yang besar kepada cita-cita suamiku, apabila aku bisa
memegangi tangga kalau dia hendak menjangkau buku yang terletak di deretan teratas
dari rak bukunya. Bisa membersihkan kaca-matanya sementara dia mandi. Dia sendiri
sudah merasa puas kalau aku mau turut diajak ke kantornya. Terkadang, dia
mengiming-iming akan mampir membeli masakan Tionghoa kesukaan kami dalam
perjalanan pulang dari kantornya. Sesungguhnya, aku malu untuk mengatakan bahwa
dia tetaplah seorang yang hangat, walaupun politik telah mengambilnya dari
sisiku.Ketika aku ditanyai berbagai interogator militer sejauh mana keterlibatanku dalam
kegiatan suamiku itu, aku jawab bahwa aku hanya menunggu dia menyelesaikan
pekerjaannya, menulis editorial di koran yang dia pimpin. Dengan rasa bangga
kukatakan bahwa dia tak pernah kehilangan kata-kata ketika berhadapan dengan mesin
tiknya. Masih kuingat, beberapa kali aku dipanggilnya supaya mendekat, dan meminjam
penitiku untuk mencongkel daki yang melekat di huruf-huruf mesin tik. Cuma
meminjamkan peniti, dan aku harus menerima nasib sebagai orang buangan selama
tiga-belas tahun. Para penyelidik itu tidak percaya bahwa aku hanya sekadar menemani
suamiku mengetik editorial koran. Aku hanya duduk menunggu suamiku yang sedang
menulis. Duduk sambil merenda. Kadang-kadang aku ditemani adik iparku. Tetapi,
mereka tidak percaya. Dan mereka berharap aku akan berkhianat terhadap suamiku
kalau aku disekap sampai ke ujung zaman. Dengan berbuat begitu, mereka malah telah
memberikan pelajaran yang baik bahwa kejujuran tak punya tempat berlabuh dalam
kezaliman yang mereka puja.Kembali kutatapi KTP yang baru kuterima ini. Wajahnya
yang licin bersih. Lihatlah manisnya coat of arms dengan garis-garis merah di pojok
kirinya. Aku merasa memperoleh kebebasan yang kedua kalinya setelah beberapa kali
kuyakinkan mataku bahwa tiga huruf kapital yang hitam dan buruk itu sudah
disingkirkan dari pojoknya. Sanak famili yang cemas-cemas harap datang merubung
ketika aku pulang dari Pelatungan. Kini, aku hanya sendirian merayakan kebebasan ini.
Ditemani daun-daun kering yang menggamit-gamit ujung jari kakiku.Tiba-tiba daun
pintu berderak di belakangku. Dan sebuah pertanyaan menghentikan monologku dalam
diam."Sedang apa, Bu?," tanya Tatiana. Aku tidak hanya kaget, tetapi juga malu.
Tanganku tak lepas dari KTP.Berderai kedua tangannya memelukku dari belakang.
Memberikan kecupan persis di ubun-ubunku yang disaput uban yang tipis-tipis.
Begitulah caranya membujuk hatiku.Perilakunya itu membuat jariku tergerai, dan
matanya menangkap apa yang telah membuat perubahan besar dalam diriku pagi ini.
Aku sambut tangannya. Mata Tatiana bolak-balik dari mataku ke KTP yang tergeletak
membujur di tapak tanganku. Dia berlutut sembari terus melihat kartu yang alit itu.
Seperti tak percaya pada apa yang terpantul ke matanya. Mulutnya agak ternganga.
Jari-jari tangannya memagari bibirnya. Meskipun tidak dia ucapkan, aku tahu dia
terperanjat melihat pojok KTP itu bersih, begitu murni, begitu membebaskan, dan
terang sebiru laut. Aku tahu, jauh di dalam hatinya, dia sedang bertarung dengan
pertanyaan bagaimana tiga huruf yang jahat itu sudah tidak nongkrong lagi di pojoknya
yang buruk. Huruf-huruf yang juga telah membuat dirinya sebagai tidak ada, walaupun
ada. Begitu lama dia meletakkan hatinya pada secarik kartu yang membawa keajaiban
itu. Dia tetap berlutut, memegangi dengkulku. Dia seperti baru keluar dari terowongan
yang gelap dan panjang. Dan dia menikmati pesona cahaya yang mengapung di depan,
yang ditebarkan KTP itu. Tapi, dia cuma diam. Tak berkata barang sepenggal. Membisu
seribu laut.Kuceritakan kepadanya mengenai keberangkatanku ke Solo beberapa waktu
yang lalu. Terakhir kali aku pergi adalah untuk menyelesaikan penjualan sebidang
tanah warisan ayahku. Dan uangnya kugunakan untuk menyingkirkan ETP yang terus-
menerus mengepung, membelenggu, hidup kami. Kupikir inilah saatnya untuk menebus
pembebasan yang terakhir sebelum aku mati. Aku pergi ke kantor kelurahan beberapa
kali, sampai aku menemukan orang yang mau membantu menguruskan sampai aku
memperoleh KTP yang bersih, di mana noda ETP yang mengejar-ngejar diriku, diri
kami, tersingkir. Dan aku mau membayar dalam jumlah berapa saja."Jadi Ibu menyogok
untuk KTP ini?!" Tatiana membelalakkan mata.Aku terpaku."Ibu menghabiskan jutaan
rupiah untuk ini?! Perbuatan sia-sia...!"Aku tahu dia menahan amarah ketika
mengatakan bahwa sogok-menyogok sudah bukan menjadi milik zaman anak-anak
muda sekarang ini. Dan tanda penderita lepra yang berlambang ETP itu sudah
dihapuskan pemerintah. Gong sudah ditalu. Siksa itu harus diakhiri. Karena Presiden
Republik yang sekarang ini, ketika dia masih seorang kiai yang buta dengan hati yang
baik setinggi langit, telah diterangi Tuhan pikirannya untuk meminta maaf atas
kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang seperti aku ini."Uang jutaan itu kan
bisa dijadikan Mas Jati modal berjualan. Mbak Rin bisa membuka toko obras. Mbak Win
bisa melanjutkan sekolahnya. Mas Awang bisa membuka bengkel... Bisa... bisa... Ibu
telah melakukan sesuatu yang tidak perlu. Sesuatu yang percuma..." Tatiana seperti
meratap. Dia anakku yang paling bungsu. Aku tahu hatinya luka, sangat terluka.Aku
cuma diam. Terasa jarinya seperti tak mau melepaskan lututku. Aku tahu, di dalam hati
dia meratapi kebodohanku. Tapi, aku tak menyesal. Takkan.Bertahun-tahun aku
menanti sejak para penguasa mengumandangkan ETP itu tak diperlukan lagi. Tetapi,
hukuman yang batil itu masih saja menghantu di pojoknya. Momok itu tetap berjaga-
jaga di sudut KTP-ku. Sampai tanganku sendiri yang harus mengenyahkannya dari situ.
Kalau tidak, berapa dasawarsa lagi aku harus meringkuk di kungkungan? Waktu telah
mengajariku bahwa siapa pun tak bisa membuat kata-kata menemukan kenyataan yang
dijanjikannya. Aku tak bisa menunggu. Kepercayaanku timpas sudah... * **
Para Ta'ziah

Ratna Indraswari Ibrahim

Sumber: Kompas, Edisi 03/24/2002

ISTRIKU menelepon, pukul satu malam. Di antara isak tangisnya, aku tahu Maminya
meninggal! Mendengar kabar itu kedua anak gadis kami yang remaja, menangis keras!
Mendesakku secepatnya pulang ke Malang agar bisa melihat eyangnya untuk
penghabisan kali. (Aku selalu tidak pernah siap menerima tangisan kedua putriku).
Malam itu juga dengan mobil bersama putri-putriku, kuputuskan berangkat ke Kota
Malang agar sampai sebelum lohor, saat pemakaman eyang, anak-anakku.Eyang
Sastrowijoyo (mertuaku), sebetulnya sudah lama sakit-sakitan, berusia 78 tahun.
(Kesedihan malam ini milik istri dan kedua anak gadisku). Sementara aku sendiri, tiba-
tiba saja ingat ketika Ninil (teman sekuliah), memperkenalkanku pertama kali di rumah
besar dan kuno itu dengan Eyang Sastrowijoyo yang dipanggil Mami oleh anak-
anaknya. Sejak saat itu, aku selalu merasa dia tidak pernah siap menerimaku sebagai
menantunya. Aku pemuda desa yang kebetulan sekuliah dengan Jeng Ninil.
Orangtuaku petani tebu di Gondanglegi, Malang. Dari keenam saudaraku, cuma akulah
yang sarjana. Kakakku yang pertama lulusan SMP dan sampai sekarang masih menjadi
petani tebu di desa kami. Sesungguhnya, aku tahu, Eyang Sastrowijoyo kecewa ketika
aku serius dengan Ninil. Di sisi lain, dalam waktu singkat ibuku yang ndeso itu ke
rumahnya, memperkenakan diri sebagai calon besan! Sulung memelukku. "Papa,
lebaran nanti tidak ada Eyang. Pasti tidak enak ya Pa, Eyang itu baik ya Pa, dia suka
memanjakan kita dengan memasakkan ketupat komplet, sup buntut."

Bungsu menimpali, "Kita bangga ya Pa, Eyang itu kan tetap cantik sampai tua. Eyang
kan turunan putri raja, jadi pasti cantik ya Pa." Aku tidak pernah menyukai anak-anakku
memuja eyangnya. Ya, sekalipun aku tahu kalau anak-anakku ke desa (ke rumah
embahnya), mereka juga sangat menyukai karena rumah kami di desa, tetap seperti
bayangan anak-anak, ada gunung, pohon kelapa, pohon rambutan dan mangga yang
begitu tinggi, dapur yang tidak ingin dirobohkan oleh ibu kami (sekalipun kami telah
membuatkan dapur kering). Namun, aku masih ingat ketika sulungku berusia enam
tahun dan minta minum, Ibu menuangkan air panas dari teko yang bawahnya hitam.
Serta-merta si sulung menolak keras minuman itu. Aku tahu betul perasaan Ibu,
sekalipun berulang-ulang Ninil minta maaf dan tetap memaksa putri kami untuk
meminum air itu. "San, kamu bisa membelikan anakmu minuman di kecamatan. Ada
orang yang menjual minuman di sana. Kasihan kalau dia tidak bisa minum selama
liburan di sini. Aku sebetulnya juga tahu teko di rumah eyangnya. Kalau panen tebu kita
baik, aku ingin membeli teko di Malang, agar anak-anakmu betah tinggal di rumah
embahnya."

PADA waktu itulah aku baru ingat omongan ibuku, "Le, sebetulnya aku setuju saja kau
menikah dengan Jeng Ninil. Orangnya cantik, pinter, dan turunannya priayi. Sebetulnya
aku tidak pernah berani memimpikan mendapat mantu seperti itu. Kita kan wong ndeso.
Oleh karena itu, tidak mungkin kan kau menyukai Aminah lagi (pacar semasa SMU)
sekalipun sekarang dia juga terpelajar dan bisa bekerja sebagai perawat di Puskesmas
desa ini." Ya, pada awal pernikahan sampai sekarang, aku merasa tidak begitu bisa
masuk pada keluarga Eyang. Aku tidak suka cara mereka makan di meja makan (aku
biasa mengangkat kaki kalau makan), aku tidak suka dan canggung kalau harus
mengucapkan selamat pagi, setiap kali bertemu! Dan mengapa mereka harus bertukar
baju tidur, piyama, hanya untuk tidur! Sebetulnya banyak hal yang tidak aku sukai yang
menjadi kebiasaan keluarga besarnya Ninil. Di rumah kami sendiri, pada awal
pernikahan, Ninil memang tidak pernah suka dengan cara-caraku yang dianggap
kampungan olehnya. Lama-lama, Ninil membiarkan saja apa yang jadi kebiasaanku. Di
sisi lain, aku tahu, Ninil dan anak-anakku selalu bahagia jika bertemu dengan saudara-
saudara ibunya. Anakku bisa jadi mengikuti budaya ibunya. Sedang aku sendiri,
terlampau tua untuk mengubah tata cara hidupku. Jika aku ceritakan hal ini pada Ninil,
aku takut Ninil akan tertawa.

LANTAS, kendaraan kami berhenti untuk mengisi bensin. Aku takut anak-anakku jatuh
sakit. Oleh karena itu, aku mengajak mereka makan. Perjalanan kami masih separuh
lagi. Namun, yang ada di sini cuma warung-warung kecil (aku dulu sudah begitu
bahagia, bila Ibu mengajakku makan rawon di warung seperti ini). Sulungku berkata,
"Dari tadi kita tidak bertemu restoran, Pa."
Lantas Bungsuku bilang, "Saya lapar, apakah kita tidak bisa makan di warung saja?
Guru mengaji berkata, sebaiknya kita tidak makan sebelum jenazah Eyang
diberangkatkan. Dan Mama kan sudah bilang tadi, jenazah Eyang akan dimakamkan
setelah shalat lohor. Semua sudah datang, mereka tidak menunggu Om Dayat di
Amerika, Tante Yus yang di Australia." Kami masih mencari-cari restoran, namun kedua
anakku rupanya sudah capai dan tertidur. Aku tidak mendengar tangisannya lagi. Ini
sedikit melegakan. Jadi, aku bisa dengan lebih tenang menyetir mobil ini. Aku pasti
tidak bisa memakai sopir kantor. Peristiwa ini begitu mendadak. Kabar terakhir dari Ninil,
Eyang sudah mulai membaik. Namun, enam jam setelah itu kesehatan Eyang
memburuk, kemudian meninggal! Aku lihat wajahku di kaca spion, wajah seorang yang
kacau, capai, atas meninggalnya Eyang. Tetapi, aku tidak bisa seperti mas dan adik
iparku yang lain, terutama Mas Tomo yang kelihatan sangat berduka atas
meninggalnya eyang. (Mbaknya Ninil, menikah dengan Tomo, mereka sama-sama
dokter. Dan sekalipun bukan dijodohkan, hubungan kekerabatan mereka dekat). Aku
tahu, dengan bangga Eyang sering menceritakan menantunya itu kepada orang lain.
Lantas, aku masih ingat pas kami menjadi pengantin. Sekalipun Eyang dan keluarga
besarnya tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun mereka tercengang melihat
kehadiran keluargaku yang datang dengan tiga mobil, baju-baju kebaya brokat dengan
warna meriah, kue-kue desa yang dibuat dengan ukuran sangat besar, sikap mereka
yang sangat kikuk ketika mengobrol dengan keluarga besarnya Ninil. Aku juga tahu,
tante-tante Ninil tertawa melihat keluargaku. Tetapi waktu itu, dengan semangat cinta,
Ninil berbisik padaku, "Santoso, aku sayang kamu, jangan peduli dengan sikap tante-
tante, om-omku."

"Seharusnya kau menikah dengan Herman, dia kan masih ada hubungan kekerabatan
denganmu, dia juga mencintaimu." Ninil tertawa mendengarkan itu.

RASANYA aku ingin memperlambat jalannya mobil ini. Aku tidak tahu, ketika semua
bersedih aku merasa biasa-biasa saja. Ya, baru saja aku terima telepon dari mas-mas
dan adik iparku (menantu eyang yang lainnya), mereka kelihatan meredam tangisnya di
handphone-ku, bilang kepadaku berulang-ulang,

"Dik Santoso, aku kini merasa betul-betul yatim piatu, kedua orangtuaku meninggal,
lima tahun yang lampau Eyanglah yang kuanggap ibuku sendiri. Sekarang sudah
meninggal."

Lantas Mas Tomo berkata lagi denganku, "Aku merasa kehilangan segala-galanya,
karena Ibu yang kita cintai sudah meninggal."

Aku ketakutan, kalau suaraku tidak mencerminkan duka cita. Jadinya, aku cuma bisa
bilang, "Ya Mas, ya Mas, kita memang kehilangan orang yang kita cintai."

Kedua putriku tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan mulai menangis lagi. "Pa, rasanya
kok tidak sampai-sampai. Saya kepingin mencium Eyang untuk yang terakhir. Kita suka
mencium Eyang, kan? Eyang selalu wangi. Saya masih ingat, tahun yang lewat Papa
memberikan kado parfum kepada Eyang pada hari ulang tahunnya. Eyang senang
sekali, lantas menyuruhku membuka dan memakaikan. Waktu kecil Eyang-lah yang
mengajarkan bagaimana memakai parfum yang benar." Sesungguhnya, aku tidak
pernah membelikan ibuku parfum. Dia tidak butuh itu, yang dibutuhkan uang untuk
membeli pupuk tebu kami. Tentu saja, ibuku tidak pernah berulang tahun. Beliau tidak
pernah tahu tanggal kelahirannya. Sulungku berkata,

"Pa, waktu lebaran yang lewat, Eyang bilang, rupa kita mirip tante-tante. Itu kan untung
ya Pa, karena wajah saya seperti putri-putri."

"Seharusnya mamamu dulu tidak memilih wong ndeso seperti Papa." Kedua putriku
melihatku dengan tercengang.

"Maaf ya, Nduk, Papa lagi emosional. Tentu saja Mama memilih Papa, kan mantan
pacar." Aku merasa lega, ketika kedua putriku tersenyum,

"Ya Pa, Mama kan sama Papa pacaran, jatuh cinta ya Pa, tetapi apakah kita bisa
memotong jalan agar bisa cepat sampai ke rumah Eyang."

"Kita coba saja. Tetapi, ada restoran yang buka di sana, masih mau makan?" Kedua
putriku menggeleng kuat-kuat. Dan Bungsu mengusulkan,

"Kalau ada roti, air mineral, kita beli sajalah Pa, kita bisa makan di mobil kan. Saya
takut kalau service restoran itu lambat. Apakah Papa juga sayang sekali sama Eyang?"
Gusti, aku tidak berani menatap wajah kedua putriku.

"Papa memang sayang, tetapi perjalanan ini harus kita tempuh dengan mobil. Kalau
dengan pesawat, baru besok kita bisa berangkat. Belum tentu bisa sampai sebelum
lohor." Putri sulungku memotong,

"Maksudnya begini lho Pa, Papa kan juga sayang sama Eyang."

"Ya tentu, Papa sayang sama Eyang. Kamu tahu sendiri kan, kalau kita ke sana pasti
dibikinkan makanan kesukaan Papa." Jawaban itu memuaskan putriku. Setelah makan
roti, mereka kelihatan tidur kembali. Aku tidak pernah tahu berapa banyak suami yang
tidak menyukai keluarga istrinya. Aku juga heran mengapa pada saat meninggalnya
Eyang, semua yang seharusnya tidak kupikirkan muncul bertabrakan. Aku dan
mertuaku tidak pernah saling mencintai, tetapi kupikir akhir-akhir ini kami mencoba
untuk saling menghargai. Aku mungkin bukan mas Tomo yang bisa mencintai
mertuanya seperti orangtuanya sendiri. Aku kira Eyang yang sudah berada di alam
sana sangat tahu kami berdua mencoba untuk menjadi teman. Sekalipun pertemanan
kami tidak selalu berhasil! Mungkin Eyang lebih tahu dari aku bahwa kita sebetulnya
hidup di dunia dengan atmosfer berlainan. Bertemu dengan Ninil adalah bertemu
dengan atmosfer lain. Selama ini kalau aku bisa jujur, sesungguhnya aku benci dengan
tata cara Eyang dan keluarga besar mereka. Malam ini sepertinya aku bisa mengobrol
dengan arwah beliau, aku merasa dia berbicara seperti ini,

"Le, kita seharusnya saling memaafkan. Sebetulnya kita tidak perlu saling membenci.
Pada akhir-akhir tahun perjalananku, aku berpikir, ini kesalahan kita bersama karena
kita memang berbeda dan takut pada perbedaan itu! Le, ketika aku berusaha
membuatkan makanan kesukaanmu, aku berpikir ingin mencintaimu sekalipun kita
berada di dua jagat yang berbeda. Dan mungkin ini tidak akan pernah berhasil. Namun,
kita tidak perlu lagi saling membenci, kan? Aku juga tahu ini sulit bagimu Le, tetapi di
alamku kini aku baru tahu tidak ada yang terbelah-belah. Yang ada cuma satu, cinta-
Nya kepada kita." Setelah upacara penguburan selesai, kupeluk istri dan anak-anakku.
Aku merasa inilah ucapan paling jujur sepanjang usia pernikahanku.

"Aku dan Eyang akan terus belajar untuk saling mencintai." Malang, 8 Februari 2002
Waktu Nayla

Djenar Maesa Ayu

Sumber: Kompas, Edisi 03/31/2002

NAYLA melirik arloji di tangan kanannya. Baru jam lima petang. Namun, langit begitu
hitam. Matahari sudah lama tenggelam. Ia menjadi muram seperti cahaya bulan yang
bersinar suram. Hatinya dirundung kecemasan. Apakah jam tangannya mati? Lalu jam
berapa sebenarnya sekarang? Nayla memeriksa jam di mobilnya. Juga jam lima petang.
Jam pada ponselnya pun menunjukkan jam lima petang. Ia memijit nomor satu nol tiga.
Terdengar suara operator dari seberang, "Waktu menunjukkan pukul tujuh belas, nol
menit, dan dua puluh tiga detik." Lalu manakah yang lebih benar. Penunjuk waktu atau
gejala alam? Nayla menambah kecepatan laju mobilnya. Kemudi di tangannya terasa
licin dan lembab akibat telapak tangannya yang mulai basah berkeringat. Ia harus
menemukan seseorang untuk memberinya informasi waktu yang tepat. Tapi jika Nayla
berhenti dan bertanya, berarti ia akan kehilangan waktu. Sementara masih begitu jauh
jarak yang harus dilampaui untuk mencapai tujuan. Nayla sangat tidak ingin kehilangan
waktu. Seperti juga ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melakukan banyak hal
yang belum sempat ia kerjakan. Namun Nayla pada akhirnya menyerah. Ia menepi
dekat segerombolan anak-anak muda yang sedang nongkrong di depan warung rokok
dan menanyakan jam kepada mereka. Tapi seperti yang sudah Nayla ramalkan
sebelumnya, jawaban dari mereka adalah sama, jam lima petang. Hanya ada sedikit
perbedaan pada menit. Ada yang mengatakan jam lima lewat lima, jam lima lewat tiga,
dan jam lima lewat tujuh. Nayla semakin menyesal telah membuang waktu untuk
sebuah pertanyaan konyol yang sudah ia yakini jawabannya, yaitu jam lima petang.
Berarti benar ia masih punya banyak waktu. Sebelum jam tangannya berubah jadi sapu,
mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah menjadi abu. ***

ENTAH kapan persisnya Nayla mulai tidak bersahabat dengan waktu. Waktu bagaikan
seorang pembunuh yang selalu membuntuti dan mengintai dalam kegelapan. Siap
menghunuskan pisau ke dadanya yang berdebar. Debaran yang sudah pernah ia
lupakan rasanya. Debaran yang satu tahun lalu menyapanya dan mengulurkan
persahabatan abadi, hampir abadi, sampai ketika sang pembunuh tiba-tiba muncul
dengan sebilah belati. Sebelumnya Nayla begitu akrab dengan waktu. Ketika cincin
melingkar agung di jari manisnya. Ketika tendangan halus menghentak dinding
perutnya. Menyusui. Memandikan bayi. Bercinta malam hari. Menyiapkan sarapan pagi-
pagi sekali. Rekreasi. Mengantar anak ke sekolah. Membantu mengerjakan pekerjaan
rumah. Memarahi pembantu. Membuka album foto yang berdebu. Mengiris wortel.
Pergi ke dokter. Menelepon teman-teman. Berdoa di dalam kegelapan. Doa syukur atas
kehidupan yang nyaris sempurna. Kehidupan yang selama ini ia idam-idamkan. Kala itu,
waktu adalah pelengkap, sebuah sarana. Mempermudah kegiatannya sehari-hari.
Menuntunnya menjadi roda kebahagiaan keluarga. Mengingatkan kapan saatnya
menabur bunga di makam orang tua, kakek, nenek dan leluhur. Membeli hadiah Natal,
ulang tahun dan hari kasih sayang. Mengirim pesan sms kepada si pencari nafkah
supaya tidak terlambat makan. Memperkirakan lauk apa yang lebih mudah dimasak
supaya tidak terlambat menjemput anak di tempat les. Bercinta berdasarkan sistem
kalender, kapan sperma baik untuk dimasukkan dan kapan lebih baik dikeluarkan di
luar. Waktu bukanlah sesuatu yang patut diresahkan. Karena waktu yang berjalan,
hanyalah roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik kali dua puluh empat jam.
Gerakan mekanis rutinitas kehidupan. Menggelinding di atas jalan bebas hambatan.
Sementara banyak yang sudah terlupakan. Suara mesin tik membahana dalam kamar
yang lengang. Riuh rendah suara karyawan di kafetaria gedung perkantoran. Ngeceng
di Plaza Senayan. Mengeluh bersama sahabat tentang cinta yang bertepuk sebelah
tangan. Menampar pipi laki-laki kurang ajar di diskotek. Menghapus air mata yang
menitik. Melamun. Membaca stensilan. Makan nasi goreng kambing ramai-ramai dalam
mobil di pinggir jalan. Masak Indomie rebus rasa kari ayam. Menatap matahari
terbenam. Nonton Formula One atau Piala Dunia di Sports Bar. Menatap mata kekasih
dengan berbinar-binar. Bersentuhan tangan ketika memasangkan celemek di paha
kekasih dengan tangan bergetar. Menanti dering telepon dengan hati berdebar. Memilih
kartu ucapan rindu yang tidak terlalu norak tanpa lebih dulu menunggu hari besar
datang dengan dada berdebar. Memilih baju terbaik setiap ada janji dengan pacar
dengan jantung berdebar. Menanti pujian dengan rasa berdebar. Bercinta dengan rasa,
jantung, dada, hati, tangan, kaki, payudara, vagina, leher, punggung, ketiak, mata,
hidung, mulut, pipi, raga, berdebar. Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir dalam
lautan debar, samudera getar, cakrawala harapan. ***

MUNGKIN Nayla tidak bermaksud dengan sengaja melupakan, ia hanya tidak sadar. Ia
hanya pingsan keletihan dan belum jua siuman. Ia hanya terhipnotis bandul jam yang
bergerak kiri kanan dan berdetak dalam keteraturan. Membuat raganya beku. Lidahnya
kelu. Hatinya membatu. Imajinasinya buntu. Kadang dalam tidur imajinasinya
memberontak terbang. Mengepakkan sayap bersama dengan burung-burung dan kupu-
kupu. Mengendarai ikan paus di samudera lepas. Bungy jumping. Arung jeram. Baca
komik Petualangan Tintin. Minum teh di atas awan sambil diskusi tentang cerpen Anton
Chekov dengan almarhum ayah dan bertanya mana yang lebih mahal antara berlian
dengan Fancy Diamond kepada almarhumah ibu. Menjadi Arnold Schwarzeneger dan
menggagalkan aksi teroris yang hendak menabrakkan pesawat ke gedung World Trade
Center. Menelan biji durian. Makan rambutan. Nonton Cirque du Soleil. Nonton N'SYNC
dan dipanggil ke atas panggung untuk diberi kecupan oleh Justin Timberlake. Bertinju
dengan Moehammad Ali. Mengalahkan Michael Jordan. Merebut suami Victoria
Beckham. Mengedit karya Gabrielle Garcia Marques. Minum sirup markisa. Baca puisi
bareng Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri. Diculik UFO. Punya toko buku kecil
di Taman Ismail Marzuki. Melaju kencang ke pusat getaran yang mendebarkan. Tapi
mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu mendadak buyar ketika terdengar suara
ketukan pembantu di pintu luar kamar. Suara kokok ayam jantan. Kicau burung.
Kemilau sinar matahari menerobos jendela. Dan suara alarm jam ketika jarum
panjangnya menunjuk angka dua belas dan jarum pendeknya menunjuk angka enam.
Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang menyampaikan
bahwa sudah terdeteksi sejenis kanker ganas pada ovariumnya. Suara alarm itu,
adalah suara yang sama dengan suara dokter yang memvonis umur Nayla hanya akan
bertahan maksimal satu tahun ke depan. Suara alarm itu, adalah suara yang sama
dengan suara dokter yang mengatakan bahwa sudah tidak ada harapan untuk sembuh.
Suara alarm itu, adalah suara yang menyadarkannya kembali dari pengaruh hipnotis
bandul waktu masa lalu, masa kini dan masa depan. ***
MANUSIA sudah menerima hukuman mati tanpa pernah tahu kapan hukuman ini akan
dilaksanakan. Karena itu Nayla tidak tahu mana yang lebih layak, merasa terancam
atau bersyukur. Di satu sisi ia sudah tidak perlu lagi bertanya-tanya kapan eksekusi
akan dilaksanakan. Tapi apakah setahun yang dokter maksudkan adalah 12 bulan, 52
minggu dan 365 hari dari sekarang? Bagaimana kalau satu tahun dimulai dari ketika
kanker itu baru tumbuh. Atau satu minggu sebelum Nayla datang ke dokter. Atau
mungkin benar-benar pada detik ketika dokter itu mengatakan satu tahun. Lalu berapa
lamakah waktu sudah terbuang? Dari manakah Nayla harus mulai berhitung? Mata
Nayla berkunang-kunang. Perutnya mulai terasa sakit seiring dengan bunyi dari segala
bunyi jam, berdetak keras memekakkan telinganya. Satu, sepuluh, seratus, seribu,
sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta detik mengejar dan mengepung pendengarannya ke
mana pun Nayla melangkah. Memaksa mata Nayla menyaksikan lalu lalang kaki-kaki
bergegas, suara klakson dari pengendara yang tak sabaran, lonceng tanda masuk
sekolah, jutaan tangan karyawan memasukkan kartu ke dalam mesin absen, aksi
dorong mendorong masuk ke dalam bus, tubuh-tubuh meringkuk di atas atap kereta api,
semua orang tidak mau ketinggalan. Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan.
Semua orang tidak lagi punya kesempatan, untuk sekadar berhenti memandang embun
sebelum menitik ke tanah. Matahari yang bersinar tidak terlalu cerah. Awan berbentuk
mutiara, semar atau gajah. Kelopak bunga mulai merekah. Kaki anjing pincang sebelah.
Semut terinjak-injak hingga lebur dengan tanah. Padi menguning di sawah. Burung
bercinta di atas rumah. Semua orang melangkah bagai tidak menjejak tanah. Sejak
saat itu, alarm Nayla tidak pernah berhenti berbunyi. ***

NAYLA ingin menunda waktu. Nayla ingin mengulur siang hingga tidak kunjung tiba
malam. Nayla ingin merampas bulan supaya matahari selalu bersinar. Nayla ingin
menghantamkan palu ke arah jam hingga suara alarmnya bungkam. Nayla ingin
menunda kematian. Tapi Nayla selalu terlambat. Nayla selalu berada di pihak yang
lemah dan kalah akan rutinitas yang tak mau menyerah. Dan ia mulai merasa
kewajibannya sebagai beban. Ia mulai cemburu pada orang-orang yang masih dapat
berjalan santai sambil berpegangan tangan. Atau orang-orang yang berjemur di tepi
kolam renang sambil membaca koran. Ketika, ia tergesa-gesa menyiapkan air hangat,
sarapan dan seragam. Berdesakan di antara hiruk pikuk suara dan keringat dalam
pasar. Memastikan pendingin ruangan belum saatnya dibersihkan. Membayar iuran
telepon dan listrik bulanan. Memberi makan ikan. Memberi peringatan berkali-kali pada
pembantu yang tidak juga mengerjakan perintah yang sudah diinstruksikan. Mengikuti
senam seks dan kebugaran. Menjadi pendengar yang baik bagi suami yang berkeluh-
kesah tentang pekerjaan. Memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan
dalam sebulan. Menyimpan kekecewaan ketika anak sudah tidak lagi mau mengikuti
nasihat yang seharusnya diindahkan. Dan masih saja ada yang kurang. Masih ada saja
yang tidak sempurna. Sarang laba-laba di atas plafon. Terlalu banyak menggunakan
jasa telepon. Buah dada yang mulai mengendur. Vagina yang tidak lagi lentur. Terlalu
letih hingga tidur mendengkur. Seragam sekolah yang luntur. Kurang becus mengatur
keuangan. Terlalu banyak pemborosan. Kurang peka. Kurang perhatian. Kurang
waktu.... Waktu... Waktu... Waktu... Waktu...................? Bahkan Nayla merasa sudah
tidak punya waktu untuk sekadar memanjakan perasaan. Tidak nongkrong bersama
teman-teman. Tidak belanja perhiasan. Tidak pergi ke klab malam. Tidak dalam sehari
membaca buku lebih dari dua puluh halaman. Tidak lagi nonton film layar lebar di studio
twenty one. Tidak lagi mengerjakan segala sesuatu yang baginya dulu merupakan
kesenangan. Nayla mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar. Ia
ingin menampar suaminya jika membela anaknya yang kurang ajar. Ia ingin ngebut
tanpa mengenakan sabuk pengaman. Ia ingin bersendawa keras-keras di depan
mertua dan ipar-ipar. Ia ingin berjemur di tepi pantai dengan tubuh telanjang. Ia ingin
mengatakan ia senang bercinta dengan posisi dari belakang. Ia ingin mewarnai
rambutnya bak Dennis Rodman. Ia ingin berhenti minum jamu susut perut dan sari
rapet. Ia ingin memelihara anjing, kucing, babi, penguin, panda dan beruang masing-
masing satu pasang. Ia ingin makan soto betawi sekaligus dua mangkok besar. Ia ingin
berhenti hanya makan sayur dan buah-buahan waktu malam. ***

APA yang sedang mengkhianati dirinya hingga ia merasa sama sekali tidak bersalah
atas debaran di dadanya yang begitu memukau? Apa yang sedang memberi
pengakuan sehingga ia merasa begitu lama membuang-buang waktu? Apakah hidup
diberikan supaya manusia tidak punya pilihan selain berbuat baik? Dan mengapa
pertanyaan ini baru datang ketika sang algojo waktu sudah mengulurkan tangan?
Mungkin hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tanki penuh bahan bakar. Ketika sang
pengendara sadar bahan bakarnya sudah mulai habis, ia baru mengambil keputusan
perlu tidaknya pendingin digunakan, untuk memperpanjang perjalanan, untuk sampai
ke tujuan yang diinginkan. Nayla memacu laju mobilnya semakin kencang. Memburu
kesempatan untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla
sesali tidak sempat ia lakukan, sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil
sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu...***
Laut seperti Pita Biru

Wildan Yatim

Sumber: Kompas, Edisi 04/21/2002

PADA kedua sisi jalan berderet teratur kelapa sawit. Kadang kelapa sawit itu diseling
dengan rumah penduduk yang berdinding papan dan beratap seng. Waktu lain mobil
lewat pundak bukit yang ditumbuhi semak belukar atau padang lalang. Sebelah kiri
jalan, dekat-dekat di atas rimbunan pohon hutan dan di balik unggukan embun, samar-
samar tampak membiru Gunung Pasaman. Beberapa kali mobil berpapasan dengan
truk besar yang baknya penuh buah sawit atau truk tanki berisi minyak kasar. Sesekali
lain kami melewati petani bersepeda. Din membawa mobil menyimpang ke jalan tanah,
lalu berhenti di depan sebuah dangau. Sekeliling bertebar kelapa sawit yang batangnya
baru beberapa puluh senti dari tanah.Sudah berbuahkah sawitmu ini?" "Yang dekat sini
belum. Tapi yang di dalam sana sudah panen pertama bulan lalu." x"Wah, sebentar lagi
kau jadi kaya!""Sulit sekali bagi orang macam kita yang hanya punya satu-dua hektar.
Buah masuk pabrik dan pemasaran minyak ditentukan oleh toke-toke yang punya
kebun ribuan hektar. Banyak petani yang membawa buah sawitnya ke pabrik harus
menunggu giliran berhari-hari agar dapat diproses. Alasannya buah sawit mereka
sendiri masih bertimbun. Tak sedikit yang membawa truknya kembali lalu membuang
isinya ke bawah jembatan.""Kenapa tidak diusulkan kepada pemerintah agar dibangun
pabrik baru untuk menampung kebutuhan kalian petani plasma?""Permainan orang
kapitalis itu semua, Bang. Yang menyedihkan kapitalisnya itu ada dari negeri jiran. Ayo
kita terus." Din melekatkan kaca mata hitam. Tampak matahari menyorot miring dari
balik daham belinjo. Mobil bergerak pula. Kini kami lewat jalan yang di masa darurat
beberapa kali aku lewati jalan kaki bersama Ayah atau teman untuk sekolah di Talu.
Jalan ini disebut "Lebuh Lurus", karena lurus saja sepanjang lima km. Pada kedua sisi
jalan berderet kapuk dengan mangkuk isolasi kawat telepon. Di balik deretan kapuk
terbentang kebun jeruk yang luas, buahnya yang kekuningan bertebar di celah daunan.
Di pinggir jalan antara sebentar tampak dangau beratap lalang, dan pada meja yang
terbikin dari bambu teronggok buah jeruk. Sesewaktu ada mobil berhenti di salah satu
dangau itu dan orang berkerumun belanja."Kau coba dulu jeruk sini, dan rasakan
manisnya."Din menepikan mobil di depan sebuah dangau. Ia menawar, penjual
menimbang dan memasukkannya ke kantung plastik. Lalu kami duduk makan jeruk di
bangku panjang yang terbuat dari bambu."Inilah yang disebut jeruk Pasaman. Jeruk sini
dipasarkan sampai ke Padang, Bukit Tinggi, Sidempuan, dan Medan."Agak di
kedalaman pohonan tampak rumah pemilik kebun yang dikapur putih, bingkai pintu
serta jendela dicat merah, dan atap sengnya memantulkan cahaya matahari. Din
mengajak berangkat pula sambil kami terus makan jeruk. Kaca mata hitamnya
dilekatkan, menunjuk. "Di sana ada jalan ke dalam. Beberapa puluh meter dari situ
tinggal Kak Salmah. Ingat siapa dia? Boru Mak Suki 'kan?""Punya kebun jeruk juga
dia?""Punya sedikit. Beberapa tahun setelah suami pertama meninggal ia kawin lagi
dengan orang sini. Kurang jelas kenapa bisa berkenalan dan tinggal di sini. Suaminya
penjahit.""Berapa anaknya sekarang?""Dengan yang pertama dua, dengan yang
sekarang juga dua."Teringat ketika masih duduk di kelas 5 di Ujung Gading aku dengar
dari Mak Suki bahwa Salmah sudah kawin dengan anak mamak sendiri yang bernama
Burhan. Orangtua suaminya berlepau dekat pasar."Mak Suki sendiri di mana
sekarang?""Nanti kutunjukkan."Salmah lebih tua dari aku lima tahun. Waktu aku duduk
di kelas tiga dan mau menyambung sekolah ke Ujung Gading ia sudah remaja. Aku
sering datang ke rumahnya, dan jika ia menyuruh mengambil sesuatu aku senang
sekali. Sekali aku pulang kehujanan. Ia berteriak, lalu cepat-cepat melap muka dan
kepalaku dengan anduk. Jika ia menumbuk padi dan menampi, tak puas-puasnya aku
memperhatikan hidungnya yang bangir, rambut perunggunya yang dijalin dua hingga di
pinggang, dan mulutnya yang melengkung indah. Jika ia merasa diperhatikan, ia akan
bilang, "Kenapa kau perhatikan terus aku, Tam!" Bagaimanakah tampangnya
sekarang? Tentulah tetap cantik. Sayang orang secantik itu jadi istri penjahit!Di suatu
simpangan mobil membelok ke jalan lebih kecil. Meski lebih kecil tapi jalan itu diaspal
tebal dan rapi. Itulah jalan menuju desaku. Jalan lebih lebar ke kanan menuju Ujung
Gading, lalu terus ke perbatasan Tapanuli. Beberapa puluh km dari sana terdapat Kota
Natal.Kini mobil berjalan lebih pelan menerobos celah hutan rimba. Dekat-dekat di
kanan jalan menjulang bukit barisan dan ketika mobil lewat di persawahan tampak
Gunung Tuleh membiru. Din menepikan mobil di belakang sepasang suami-istri yang
mau menyimpang menuju sebuah pondok. Padi di persawahan sini tampaknya sedang
berisi. Si suami bertopi pandan, si istri menekukkan kain panjang di kepala sebagai
ganti topi. Mereka membalik. Si suami menurunkan pacul dari bahu dan membuka
topi."Bo ro ho?" kata si istri dalam bahasa Mandailing. "Ise don?" Mereka menatap aku
yang mengikuti Din mendekat."Ini Bang Tamrin," kata Din"Bo! Dot ko? La ilaha illallah!"
tukas si suami. Orang Bandung masih ingat rupanya kampung kita!" Kami bersalam-
salaman."Berapa hari di sini?" tanya si istri."Besok kembali.""Kenapa sebentar?" kata si
istri sambil mengusapi tanganku.Din mengajak ikut pulang ke desa, tapi mereka bilang
mau sembahyang lohor dulu di pondok. Kami pun kembali masuk mobil dan melambai.
Teringat si suami yang kami salami tadi di masa Jepang pernah agak miring akibat
ditempeleng Kempei Jepang. Ia berkeliaran dari desa ke desa sambil menyandang
buntil jaring pakaian, persis seperti buntil laskar Gyugun. Persis seperti buntil Gyugun,
buntilnya juga berisi sepatu lars, senter, buku notes, dan potlot pendek. Ada anaknya
yang sebaya dengan aku yang jadi selapik seketiduran kalau aku pulang libur. Aku pun
leluasa membongkar simpanan buku dan majalah bapaknya. Bapaknya seniman. Ia
pernah menulis buku roman dan sudah dikirim ke penerbit di Medan. Belum sempat
terbit tentara Jepang masuk. Aku respek padanya, dan ketika senewennya kambuh dan
anak-anak lain bersembunyi jika ia datang, aku sendiri yang berani menyapanya dan
mengajaknya bercakap-cakap. Dia pintar pidato, kata orang ia bakal jadi saingan berat
Ir Sukarno kelak jika negeri ini merdeka seperti dijanjikan Jepang. Ketika jadi juga
merdeka, sayang ia tidak kemana-mana. Ia hanya jadi pegawai jawatan penerangan di
Padang. Mungkin betul akibat tempelengan Kempei dulu ada satu sektor sirkuit sarat
dalam otaknya yang korsluit, sehingga ia kurang bisa berkonsentrasi dalam
pekerjaan.Tiba di desa mobil langsung dibawa Din menuju rumah kami di lembah. Ibu
rupanya baru mengambil kayu api ke kebun para. Ia mengusapi keringat yang
mengucur di kepala dan leher. Kata Ibu, Ayah sedang bekerja di sawah. Din bilang
kami akan balik besok pagi, dan habis makan kami akan terus menjenguk Mak Panto di
Solo Godang. Mak Panto adalah adik Ibu. Ketika baru diajak makan, tampaknya seperti
dapat firasat, Ayah pulang dari sawah. Tampak segar dia habis mandi dan sembahyang
lohor. Aku memeluknya rapat-rapat. Terasa kini ia lebih rendah dari aku. Masa kecil dan
tinggal di desa atau di huma dengan dia, menurut perasaanku ia orang berbadan tinggi
dan tegap. Sekarang tampak ia jadi kecil dan kurus. Kami makan berempat di meja
dapur. Bulu hitam yang lebat masih memenuhi punggung tangannya. Kumis dan
berewoknya sudah berhari-hari tak dicukur, dan uban memutih di sana-sini. Ia sudah
pensiun sebagai guru SD, tapi masih mengajar satu mata pelajaran di Ibtidaiyah.
Teringat masa kecil sekitar rumah kami banyak rumah pondok yang dihuni murid Ayah.
Di masa Belanda kudengar ia sudah mengajarkan lagu Indonesia Raya dalam bahasa
Arab. Ketika suatu malam Ayah akan membuka rapat organisasi Kepala Negeri datang
menyuruh batalkan. Pemerintah takut Ayah dapat mengganggu ketenteraman. Ayah
punya banyak buku dan majalah, sebagian besar sudah aku baca. Yang sisa hanya
buku dan majalah dalam bahasa Arab dan Belanda. Aku lihat isi lemari-lemarinya kini
tinggal yang berbahasa Arab dan sudah pada lapuk. Tentulah semua buku dan majalah
yang berbahasa Melayu sudah habis dipinjami dan tidak dikembalikan.Sebelum
berangkat aku pergi ke belakang rumah. Cepat-cepat aku coba raup kembali masa kecil
ketika tinggal bersama ayah-ibu dan adik-adik di kampung-halaman. Dari bawah pohon
kepundung tampak terbentang sawah. Pada berbagai tempat di tengah persawahan itu
ada tumpukan pohon dan dangau menyembul dari situ. Gunung Tuleh menjulang
dekat-dekat, dan batang pohon menyembul memutih di celah kehijauan. Terdengar
suara dendang kawanan siamang, dilatari oleh desah sungai yang kadang keras
kadang pelan dibawa angin. Suara itulah dulu tiap hari menemani aku jika sedang
berada di sini. Di kebun samping rumah tidak begitu banyak yang berubah. Pohon
sirsak, nangka, dan salak, masih yang dulu, dan tidak begitu banyak lebih tinggi dari
masa aku kecil.Aku kembali ke depan. Rupanya Ayah ikut ke mudik. Aku persilakan dia
duduk di sebelah Din. Tampak kasar jemari ayah. Kukunya tebal dan ujungnya
kehitaman karena sering kemasukan lumpur. Kain sarung disampirkan di bahu. Ingat
ketika Ayah dan Ibu datang ke Bandung dua tahun lalu Ibu ada menyiratkan alangkah
bagus jika bisa naik haji sebelum terlalu tua. Siratan itu tentu untuk mengharapkan
bantuanku sebagai anak sulung, sebagai anak yang paling banyak dan paling lama
dikirimi uang sekolah ke rantau, dan sebagai anak yang kini sudah jadi pegawai tinggi
pula. Mereka tak mengerti kenapa pegawai tinggi di negeri ini selalu bergaji rendah.Tiba
di jalan besar ada beberapa orang tua duduk mencangkung mengobrol di bangku
panjang depan rumah, dan ketika melihat Din mereka melambai. Sesewaktu mobil
ditepikan, kami turun, dan menyalami orang-orang. "Sedang di sini rupanya beliau,
Labai," kata mereka, sambil melihat aku yang berdiri di samping Ayah.Beberapa lama
mobil lewat kebun para, pada beberapa tempat merimbun pohon kejai. Kejai adalah
sejenis beringin. Sebelum para, kejai ini dikebunkan penduduk sebagai sumber karet.
Sebelum kejai sebetulnya ada sumber karet lain, yaitu perca. Bibit ketiga jenis pohon
berlateks ini konon dibawa orang Belanda dari Amerika Selatan. Kebun para itu tampak
sudah pada tua, karena bendar-bendar sadapan getahnya sudah dekat ke tanah.
Rupanya penduduk sedang bimbang untuk meremajakan atau menggantinya dengan
kelapa sawit. Kasihan kebun para itu. Mungkin karena sejak kecil aku sudah biasa
bergaul dengan mereka, sayang rasanya jika itu digantikan kelapa sawit. Di hilir tadi,
sekitar 30 km dari desa sawit itu sudah diperkebunkan sejak masa Belanda, dan
pekerjanya didatangkan dari Jawa. Aku juga pernah melihatnya sepanjang pinggir jalan
antara Medan dan Prapat. Aku belum pernah dengar ada penduduk Sumatra yang bisa
kaya oleh kebun sawit. Beda sekali dengan kebun para, yang di masa Belanda hampir
semua membuat rakyat makmur. Apalagi di musim kupon karet dibuka, kebanyakan
petani karet dapat uang banyak. Waktu pasar kupon itu banyak mobil mewah datang ke
desa, dan para petani saling menraktir membelikan kacang goreng atau kue bagi anak-
anak yang berkerumun. Tapi kelapa sawit, aku belum pernah dengar ada petani yang
jadi hidup senang, apalagi jadi kaya. Dalam hati aku berharap agar kebun para itu tidak
akan digantikan kebun sawit, dan pohon kejainya tetaplah menjulang meneduhi alam
desa.Sekitar seperempat jam meninggalkan desa Din menunjuk ke kiri. "Nanti
pulangnya kita mampir beli durian," katanya. Sepuluh menit kemudian sampailah kami
di kampung Mak Panto. Rumahnya bertiang tinggi, lantai dan dinding dari papan, dan
atapnya seng. Buru-buru tikar dibentangkan, dan Mamak diberi baju bersih, lalu dibawa
duduk di ujung tikar."Ini Tam datang, Mak! Ayah kami juga ikut," kata Din. Kami pun
menyalami dia, istri, dan tiga orang anaknya yang sudah pada beristri. Uci, istri mamak,
bilang anaknya yang sulung tinggal di kampung lain. Aku mendengar Mak Panto kini
jadi rabun ketika aku baru tiba di Padang untuk menghadiri kongres. Sambil pulang
menengok orangtua kuajak Din menengok mamak sebentar. Jalan adik yang jadi dokter
di kota itu pun meminjamkan mobilnya. Aku ingat Mamak berjasa besar bagiku pribadi,
karena malaikat pernah masuk kedalam tubuhnya untuk menolong aku yang sedang
dilanda lapar. Waktu itu kedua orangtua dan saudara-saudara sedang mengungsi ke
gunung dengan berhuma. Aku sendiri saja yang tinggal di desa sepanjang bulan,
karena sedang sekolah. Meski umurnya enam tahun lebih tua, tapi aku suka dibawanya
bepergian ke mana-mana. Jaga durian waktu malam, main domino di lepau, dan
mencari buah manggis, duku, atau ringkanang ke hutan. Badannya besar dan tinggi,
berkulit kuning seperti Ibu. Waktu Jepang pernah dipanggil masuk tentara Heiho. Entah
kenapa baru sekitar dua bulan pergi ia sudah kembali lagi. Kata Jepang matanya
kurang bagus untuk dilatih pergi berperang.Kini kuperhatikan matanya yang menatap
kosong. Selaput beningnya ditutupi lapisan berlemak, yang dalam bahasa ilmiahnya
disebut pterygium. Jika dioperasi di Medan kata mereka matanya bisa melihat lagi. Tapi
mereka tidak punya biaya, dan aku yang pernah diselamatkan jiwanya olehnya tidak
bisa membantu. Kurangkul dia, matanya berkaca-kaca, lalu kuselitkan selembar
sepuluh ribuan ke tangannya. Ketika uci bilang supaya masak nasi dulu, kubilang tak
usah. Lalu kami pamit.Di tempat yang ditunjuk Din tadi mobil pun ditepikan. Kami
melangkah pada jalan setapak yang kedua sisinya berpagar. Di balik pagar menjulang
rumpun jagung yang sedang berbuah muda. Rambut buahnya berjuraian seperti rambut
perempuan Belanda. Di balik kebun ada sebatang pohon durian, dan buahnya
bergelantungan. Waktu kecil aku ingat pohon itu masih rendah. Kini sudah tinggi sekali
dan batangnya besar. Kami disongsong seorang bapak yang umurnya lebih muda
beberapa tahun dari Ayah. Ia tidak berbaju, hanya memakai celana sontok yang lusuh.
Setelah menyalam Din dan Ayah, ia tertegun menatapku. "Bo ro ho?"Baru ingat bahwa
dia tak lain tak bukan adalah Mak Suki, panggilan sehari-hari Mamak Marzuki. Aku
terkejut, ia juga terkejut dan agak tersipu. Aku menyalami, badannya kutarik lalu
kupeluk. Ia menepuki punggungku. Istrinya datang dan menyalami pula. Segera teringat
Salmah yang jadi istri penjahit di kebun jeruk. Mak Suki bergegas naik pondok lalu
keluar dengan baju bersih dan bersarung. Gigi mamak dan uci sudah banyak yang
tanggal. Aku berharap gigi Salmah belum begitu."Berapa lama di kampung? Besok
kembali ke Padang? Lalu terus pulang ke Jawa? Uh, janganlah ikut-ikutan terburu
dengan Din. Ia sendiri hampir tiap bulan datang ke sini. Tapi Mamak antara beberapa
tahun baru bisa pulang. Sudah ada lima tahun kan? Tinggallah beberapa hari di
sini!"Mak Suki membuka dua durian sekaligus. Kami duduk di bangku panjang di depan
pondok. Rupanya di pondok itulah Mak Suki tinggal. Semua anaknya tinggal di hilir, dan
hanya berdua dengan uci tinggal di sini. Kami pun makan durian. Inilah jenis durian
yang berdaging tebal, kuning, dan lezat. Tiap membuka satu ruang tampak deretan
bijinya seperti anak tikus tidur.Di tempat duduk mendadak aku terpana ketika
memandang ke barat. Di sana tampak laut seperti pita biru di atas kehijauan hutan.
Sesekali angin menderu di pucuk pohon para, dan mendesah lebar di lembah. Ada
tekukur berteguran jauh di tengah hutan sana. Aku merenungi laut itu sambil mulutku
mengecap-ngecap. Dari sini sampai ke tepi laut berjejer bukit yang makin jauh makan
rendah, seolah semua itu bisa ditempuh dengan melangkah panjang-panjang dan
beberapa puluh menit akan tibalah di sana. Kini aku pun sadar bahwa itulah pelukisan
lanskap ilahi, bahwa perjalanan hidup seseorang kebanyakan tak sesuai dengan
harapan. Laut itu sendiri adalah ujung rantau yang mengendapkan onggok hasrat tak
sampai.Selesai makan duren kami pun pamit dan kuulurkan uang Rp 5.000. Mak Suki
menolak dengan menggeleng-geleng berat. Uang itu aku letakkan di bangku panjang.

"Itulah ganjaran orang yang suka judi dan banyak utang," kata Din, lalu melekatkan
kaca mata hitam.

Ayah diam saja. "Rumah besar di hilir dijual, dari saudagar kain kaya jadi petani jagung
miskin."Teringat jika datang berpekan ke Ujung Gading dan menyampaikan uang
belanja mingguan dari Ayah, ia selalu menambahnya beberapa rupiah. Sebagai
layaknya kaya aku lihat ia selalu muncul dengan sepatu mengkilat, sisiran klemis, dan
bicara riang.Dari jendela mobil aku masih sempat melihat sekali lagi laut yang seperti
pita biru di barat. Di atas pita biru itu awan kini seperti corat-coretan potlot merah
jingga.***
Jl Kembang Setaman, Jl Kembang Boreh

Jl Kembang Desa, Jl Kembang Api

Kuntowijoyo

Sumber: Kompas, Edisi 04/28/2002

Samuel Indratma

AKAN saya ceritakan kasus rumah bertingkat di Perumnas kami supaya Anda dapat
mensyukuri nikmat Tuhan. Bagi orang gedongan katakan, "Alhamdulillah, saya tidak
tinggal di Perumnas." Bagi orang yang masih menyewa, "Alhamdulillah, jelek-jelek saya
tidak tinggal di Perumnas." Bagi penghuni Perumnas yang lain, "Alhamdulillah, saya
tidak tinggal di situ." Bagi para tetangga rumah bertingkat, "Alhamdulillah, semoga saya
termasuk orang-orang yang beriman." Begitulah, kami tinggal berderet-deret di
Perumnas di Jalan Kembang Setaman (bunga warna-warni dalam jambangan). Kami
sangat senang mendapat rumah. Daripada menyewa berpindah-pindah, kami dapat
hidup tenang dengan rumah tetap. Meskipun, rumah kami sederhana saja. Rumah dan
tanah berukuran 36/80. Pada mulanya berdinding kayu lapis, usuk kayu Kalimantan,
dan atap asbes gelombang. Jalan di depan kami juga hanya cukup untuk kendaraan
roda dua. Tetapi, kami tidak suka apabila teman seperumnas bergurau, "kami tinggal di
peternakan manusia",

"kami tinggal di kaleng sarden", atau "kami tinggal di kandang ayam". Saya sendiri
selalu membanggakan Perumnas kami dengan menyebutnya sebagai "kota satelit
terbesar di pinggir Ring Road Utara". Sesudah dua puluh lima tahun ternyata bahwa
nasib orang tidak sama. Tetangga sebelah rumah yang anaknya jadi dosen, lalu
sekolah teknik pengairan di Negeri Belanda, kemudian kerja di Bappenas sambil
menjadi konsultan di beberapa perusahaan reklamasi laut dan pemborong, sangat kaya.
Rumahnya ditingkat, dinding bata dan semen sungguhan, lantai keramik, relief kamar
tamu bergambar Arjuna naik kereta dengan kusir Krisna, genteng tanah nomor satu dari
Gombong, dan pagar merah dari batu laut. Tentu saja jalanan di depannya tak dapat
diubah. Hanya soal listrik tetangga itu sangat pelit, di malam hari kamar-kamar
dimatikan, tinggal satu lampu 10 Watt, melik-melik di kamar utama. Itu pun karena istri
serasa dicekik jika dalam kegelapan. Kata anaknya, begitulah gaya hidup orang
Belanda, tidak suka membuang-buang. Tetangga sekitar, termasuk kami, memang
banyak yang bisa membangun-bangun, tetapi tidak bertingkat seperti tetangga dekat
kami itu. Lebih dari itu, mereka juga hemat waktu. Artinya, tidak lagi suka bergaul
dengan tetangga. Tertutuplah. Suami tidak rapat RT, istri tidak arisan.

SETELAH dua tahunan, rumah bertingkat itu membuat masalah. Tingkat atas bagian
belakang yang terbuka adalah tempat khusus untuk kandang-kandang anjing. Kata
mereka, menurut pembantu, itu adalah kemauan anaknya. Ada delapn ekor anjing kecil
yang lucu-lucu dengan bulu yang sangat tebal. Anjing-anjing itu sebenarnya sama
sekali tidak membuat gaduh, sebab suaranya hanya kik-kik-kik lirih. Anaknya bilang
bahwa salah satu tanda kemakmuran adalah terdapatnya anjing di rumah. Orang
Belanda setidaknya punya satu ekor anjing. Kita sebagai bangsa yang besar harus
punya lebih dari seekor, kata anaknya menurut pembantu. Mula-mula perkara anjing itu
memang tidak jadi soal. Adalah HAM untuk memelihara anjing atau tidak. Lagi pula
semula tidak ada keluhan sama sekali. Namun, lama-lama keluhan datang juga.
Keluhan itu justru datang dari tetangga dekatnya yang lain yang notabene tidak
menabukan anjing.

"Bulunya itu, lho. Bikin kulit gatal-gatal," kata istri dalam arisan ibu-ibu. Tetapi tidak ada
protes, tidak ada teguran. Seperti diketahui, kami adalah orang Jawa yang suka
kerukunan. Walhasil, tetangga suami-istri itu hanya gedumal-gedumel, omong kesana-
kemari, dan rasanan. Usul untuk dilaporkan ke RT juga tidak mereka setujui.

"Kita harus hidup rukun, 'protes, demonstrasi, dan menuntut' itu bahasa politik, bukan
bahasa pergaulan. Orang hidup itu harus tenggang rasa, rasa-rumangsa, tanggap
sasmita," jelas suami. Ketika anaknya yang nomor dua kena batuk ah-uh sepanjang
hari dan tidak kunjung sembuh baru tetangga yang baik itu memikirkan sindiran yang
halus, seperti 'wah anjingnya suka menggaruk-garuk bulu, ya'. Sindiran yang agak
tegas, seperti 'pelihara anjing boleh, tapi mbok yaa ingat tetangga'. Atau yang lebih
thok-leh, seperti 'anjing-anjing itu suruh berhenti menyebarkan bulu'. Semuanya lewat
pembantu, tentu, yang entah sampai entah tidak pada yang empunya anjing. Anaknya
terpaksa dibawa ke dokter. Dokter menanyakan, "Ada kucing di rumah?"

"Tidak."

"Ada anjing?"

"Tidak."

"Apa dia suka main dengan binatang berbulu itu?"

"Tidak." Lalu dilakukan tes suntik. Ketahuanlah kalau anak itu memang alergi bulu.
Disuruh dia mengingat-ingat. Ujungnya, keluar juga jujurnya.

"Ya. Memang ada tetangga yang-pelihara anjing, dan bulunya suka beterbangan,"
katanya. "Itulah, itulah." Dokter memberi resep sambil bilang bahwa yang terpenting
ialah menghilangkan penyebabnya. Singkatnya, di luar prinsipnya, ia mengadukan
perihal anjing ke Ketua RT. Namun, ada perkembangan baru. Belum sempat Ketua RT
bertindak, tetangga yang punya anjing itu memutuskan untuk membuang anjing-
anjingnya. Ia memberi-berikan anjing pada kawan-kawannya. Mereka mau naik haji.
Ha? Benar! Menurut mereka, tidak ada seorang haji pun yang memelihara anjing. Maka
kami senang. Mereka berangkat naik haji bersama anaknya dengan ONH Plus.
Sebelum berangkat mereka menyelenggarakan open house.

"Maafkan kesalahan kami, ya Bapak-Ibu. Kami tahu banyak salah," kata suami mewakili
keluarga.

"Ya, nol-nol," balas Ketua RT. Pada kesempatan itu banyak yang minta didoakan ini-itu.
Istri saya minta didoakan punya cucu lagi. Suami mencatat semua pesanan doa pada
selembar kertas.

"Semoga jadi haji mabrur, semoga...," kami berdoa.

"Amin. Amin."

"Semoga dapat hidayah."

"Amin." Kami mengantar mereka ke airport karena mereka terdaftar di Jakarta. Kami
saling berpelukan. Ibu-ibu sesenggrukan waktu istri sekali lagi minta maaf. Setelah
sampai rumah, saya bilang pada istri,

"Paling-paling mereka melambai-lambaikan kertas di depan Ka'bah, 'Ini, Tuhan! Baca


sendiri'. Mereka tidak akan punya waktu untuk tetangga, seperti waktu di rumah."

"Jangan begitu. Siapa tahu mereka lebih diridhai."

CERITA ini yang lebih penting, karena praktis melibatkan seluruh RT. Rumah bertingkat
itu memulai babak barunya. Ditinggal haji, rumah itu gelap. Rapat RT memutuskan,
supaya dari rumah kami dialirkan listrik 10 Watt. Namun, sepulang haji, mereka tidak
kembali ke Perumnas. Logikanya begini. Untuk apa tinggal di Perumnas, kalau engkau
mampu hidup di tempat lain? Privacy akan lebih terjamin kalau engkau tinggal di tempat
mewah. Maka rumah bertingkat itu pun diiklankan sesuai dengan 'martabatnya'. Diulang.
Diulang. Harganya diturunkan. Diturunkan. Tidak juga laku. Rupanya orang kecewa
setelah melihat kondisi jalan di depan rumah itu. Mesti orang berpikir, membeli rumah
dengan harga mahal itu boleh tapi jangan di Perumnas. Maka, selama belum laku
rumah itu dibiarkan kosong-song. Ketika rumah kosong itulah masalahnya mulai. Dalam
rapat RT para petugas Siskamling mengatakan bahwa mereka mendengar anak-anak
bermain dalam rumah itu. Mula-mula mereka heran, kenapa anak-anak belum juga
tidur-padahal hampir tengah malam? Ketika mereka menyadari bahwa anak-anak itu
pasti jin yang jadwal mainnya berbeda dengan manusia, bulu kuduk mereka berdiri, dan
lari tunggang-langgang. Siskamling yang biasanya berkeliling untuk mengambil beras
jimpitan setelah pukul 23.00, mengubah jadwalnya menjadi pukul 21.00 sebab mereka
ketakutan. Sedini itu anak-anak jin dalam rumah kosong diperkirakan belum mulai
bermain. Ketika mereka juga masih mendengar anak-anak bermain, lalu Siskamling
diajukan pukul 19.00. Kemudian rapat RT memutuskan untuk meniadakannya sampai
waktu yang belum ditentukan. Bagi mereka yang tidak punya anak kecil, cerita tentang
anak-anak bermain tidak mengganggu. Lain dengan kami. Anak kami menitipkan
anaknya. Ia teriak-teriak ketakutan setiap malam. Sambil menunjuk-nunjuk
dikatakannya bahwa ada anak-anak menempel di tembok. Untung kami punya teman
yang dapat mengusir jin. Kawan itu datang dan memagari rumah kami. Disarankannya
supaya sebelum tidur kami membaca-baca Al-Ikhlaash, Al-Falaq, dan An-Naas.
Dikatakannya bahwa ada sekeluarga jin tinggal di rumah bertingkat itu. Ketika kami
memintanya untuk mengusir keluarga jin itu dia menolak. Alasannya, adalah hak
mereka untuk tinggal di rumah kosong. Meskipun demikian, rumah kami jadi aman dari
gangguan mereka. Ternyata apa yang kami kerjakan juga dikerjakan para tetangga
dengan cara mereka sendiri-sendiri, "Mosok manusia kalah sama jin!" kata mereka.
Seorang tetangga pergi kepada orang pintar. Orang pintar itu menyarankan supaya
manusia terhindar dari gangguan jin, jin harus disenang-senangkan dengan membakar
kemenyan dan memberi bunga setiap malem Jum'at. Tetangga yang lain belajar ilmu
tenaga dalam dan pernapasan. Dengan ilmu itu jin akan merasa seperti terbakar.
Tetangga yang lain lagi menyiapkan keris keramat yang dhemit ora ndulit, setan ora
doyan, digantung di temboknya. Dan, tiba-tiba muncullah bakat-bakat terpendam di RT.
Mereka yang punya sensitivitas memantau pergerakan jin di rumah bertingkat itu.
Dalam rapat bulanan RT diputuskan bahwa Ketua RT ditugaskan untuk mencari orang
pintar yang mampu mengusir jin. Orang pintar itu datang. "Lho, kok keluarga besar. Ada
kakek dan nenek dari ibu dan bapak, ada pakde dan bude dari ibu dan bapak, ada
paklik dan bulik dari ibu dan bapak, ada adik-adik dari kedua belah pihak." Setelah ck-
ck dia membuat saran. "Nama jalan jangan Kembang Setaman. Bunga Setaman itu
makanan jin. Jadi, mereka berkumpul di sini karena mengira di sini banyak makanan.
Nama jalan itu terserah, asal jangan menyarankan makanan jin." Maka RT
mengadakan rapat.

"Bagaimana kalau nama itu dibalik? Pasar Kembang, misalnya." Pasar Kembang
adalah nama tempat. "Onde-onde kembang?" "Bagaimana kalau Kembang Brayan?"
Artinya, warna-warni bunga sejenis (artikel, karangan, kumpulan cerita). "Bagaimana
dengan Kembang Boreh?" Artinya, sejenis lulur. "Kembang Kacang?" Nama lagu
keroncong. Pembahasan untuk memilih berlangsung sederhana, tanpa debat
berkepanjangan. Tetapi, dasar orang Jawa, sama-sama segannya untuk berkata tidak.
Jalan keluarnya adalah voting tertutup. Itu dianggap yang terbaik, yang tidak
menyakitkan hati orang. Setelah dihitung, rapat RT menyetujui Kembang Boreh. Maka
kami ramai-ramai menurunkan papan nama. Mengecatnya dengan nama baru: Jl
Kembang Boreh. Tentu saja, itu semua dengan harapan jin-jin itu menghilang. Keluarga
kami juga diharuskan mengganti lampu biasa dengan neon. Tetapi tidak ada perubahan.
Jin itu bertambah nekat. Malam hari banyak jin perempuan yang mejeng (pamer,
menggaya). Suatu malam ada penjual ronde lewat. Beberapa gadis duduk-duduk di
depan rumah bertingkat mengundang penjual. Mereka memborong ronde. Wedang
ronde yang panas itu dilahap. Penjual curiga. Setelah diamati ternyata mereka tidak
duduk di bangku atau kursi, tapi menggantung di udara. Tukang ronde yang malang itu
kontan lari, meninggalkan gerobak dagangan. Gadis-gadis itu tertawa hiii-hiii-hiii. Pagi
hari sambil mengambil gerobaknya, tukang ronde lapor Ketua RT. RT langsung
mengadakan rapat darurat. Ketua RT ditugaskan lagi mencari orang pintar yang
cespleng. Maka datanglah orang pintar itu. Setelah memeriksa rumah bertingkat dari
jarak jauh ia berkata,

"Mereka sudah satu suku." Sarannya sama dengan orang pintar sebelumnya,
mengganti nama jalan. Nama diserahkan pada RT, pakai kembang boleh tapi jangan
berarti bunga. Rapat RT lagi. Ketua RT menyampaikan pesan orang pintar. Kami
berpikir keras, kembang yang tidak berarti bunga. "Kita buang saja kata kembang."

"Jangan. Di Perumnas kita pakai nama-nama bunga."

"Nah, bagaimana kalau dikromokan. Sekar Langit?" Sekar Langit adalah nama motif
batik.

"Sekar Sinawur?" Artinya bunga rampai.

"Kembang desa?" Primadona desa. Prosedur yang dulu dipakai lagi. Terpilih nama
Kembang Desa. Keesokan sorenya kami gotong-royong. Kami turunkan papan nama,
kita ganti dengan yang baru. Harapan kami sama seperti dulu. Jin-jin tidak betah lagi
tinggal di rumah bertingkat. Mereka akan kecelik, sama sekali tidak ada bunga. Tapi
kami keliru. Benar jin tua, gadis, dan anak-anak menghilang, demikian menurut
pantauan orang-orang sensitif. Mereka digantikan jin-jin muda karena mengira di gang
ini banyak primadonanya. Tidak menemukan seorang gadis pun di gang, jin-jin muda
mulai mengembara mencari gadis. Ketua RT dilapori bahwa ada jin yang tinggal di
tembok kamar mandi. Itu jin voiyeur. Ada jin suka menghadang gadis-gadis pulang
pengajian. Ada jin yang hidung belangnya tidak ketulungan: ia mengganggu nenek-
nenek yang pagi sekali membeli gudeg untuk buyutnya. Malu-lah RT kami. Ketua RT
ditugaskan untuk mencari orang pintar yang lebih pandai. Dia dibriefing mengenai
keadaan kami yang runyam. Ia pulang bersama orang pintar itu. Setelah melihat papan
nama katanya,

"Lha, ini biangnya. Jangan Kembang Desa. Jin yang thukmis (suka wanita), yang iseng,
dan yang duda akan datang."

"Lalu enaknya apa, Mbah? Kami sudah kehabisan akal."

"Pakai kembang, ya. Mmm, bagaimana kalau Kembang Api?" Kami semua suka-cita
atas usulan itu. Api akan membakar mereka. Mereka akan ketakutan dan lari. Pujian-
pujian mengalir untuk orang limpad (cerdas) itu. Kata pepatah-petitih itu memang betul:
Ada kemauan, ada jalan. Kami pun mengganti papan nama: Jl Kembang Api. Biar jin-jin
kepanasan! Biar, mereka kehausan! Tetapi tidak. Menurut mereka yang sensitif, jin-jin
malah berdatangan dari mana-mana. Lho! Iya saja. Jin terbuat dari api. Jadi, mereka
merasa kembali ke asal. Tidak ada jalan lain. Tertutup sudah. Jalan buntu. Lalu ada
usulan dari seorang mahasiswa yang mondok di RT kami untuk mencari advokat yang
mumpuni: kuat secara fisik, pintar ilmu hukum, pandai ilmu dalam, dan bijaksana.
Tugasnya ialah menjadi juru runding mewakili RT. Kami menemukannya juga. Maka,
malam hari advokat itu menerobos ke dalam pagar. Seluruh RT menyaksikan adegan
itu dari kejauhan. Ia duduk berdzikir di teras rumah. Kabarnya dia dapat berhubungan
dengan dunia gaib. Setelah kami menunggu sekitar dua jam, kami mendapat kabar
tentang hasil rundingan.

"Inilah hasil maksimalnya," kata advokat itu. Satu, mereka hanya boleh tinggal di dalam
rumah. Dua, mereka tidak boleh mengganggu orang. Tiga, mereka tidak boleh
menampakkan diri dalam rupa apa pun. Kami lega dengan perjanjian yang
menguntungkan itu. Tetapi, Jl Kembang Api tetap saja sepi di malam hari. Tidak ada
ronde teng-teng, tidak ada sate te-satte, tidak ada bakmi duk-duk sreng. Dan orang
masih dapat mendengar suara keroncong, nyanyi dangdut, suara klenengan, suara air
terjun, suara anak-anak bermain, bayi menangis. Semuanya tanpa rupa!

Yogyakarta, 13 April 2002


Perempuan yang Jatuh dari Pohon

Raudal Tanjung Banua

Sumber: Kompas, Edisi 06/09/2002

ADA perempuan yang jatuh dari pohon! Itulah kabar yang membuat kampung kami
gempar. Kabar menyebar begitu cepat bagai diantar kawanan lebah, sehingga dalam
waktu singkat tak ada bagian kampung yang terluputkan. Dan setiap telinga yang kena
berita, lebam-membiru bagai tersengat, sementara setiap mulut yang melanjutkan
berita itu, berubah menjadi sarang lebah, penuh dengung, tanpa bahasa puji-sanjung;
tak sedikit pun madu menetes dari situ. Yang ada hanya kepahitan, menetes-netes dari
bahasa kutukan.Duh, betapa tidak! Mengingat perempuan yang jatuh dari pohon, bagi
warga kampungku-sebuah teratak kecil di lengkung-pinggang Bukit Barisan dalam
ranah Nagari Tujuhsuku Kecamatan Marapalam-dipercaya turun-temurun sebagai
sesuatu yang sangatlah aib. Konon, perempuan yang jatuh dari pohon, bila sakit,
sakitnya tak akan diobati; bila mati, matinya tak akan disembahyangkan! Betapa
malang. Ya, betapa malang perempuan yang kini jatuh dari pohon itu. Pohon apa yang
ia panjat, dan mengapa harus memanjat? Buah apa yang telah menggoda sehingga
terguncang imannya? Dan mengapa harus memanjat, tak cukupkah dijuluk pakai
panggalan? Jika panggalan atau pengaitnya patah atau tak sampai, mengapa tak minta
bantuan laki-laki saja untuk memanjatnya? Hari apa ia jatuh? Selasa? Siapa gerangan
orang tuanya-yang lalai menjaga anak perempuan-dan siapa namanya sendiri?
Namanya Hindun, kawan bermainku sejak kecil (mendengar ini, aku tercengang dan
merinding; masyaallah!). Ayahnya sudah meninggal menjelang ia remaja, dan
makamnya masih terjaga di bawah pohon cengkeh dan pala, di sebidang ladang yang
tenang-tempat Hindun tinggal hingga sekarang. Tiga orang kakak Hindun, laki semua,
dan entah sejak kapan tepatnya, satu-persatu pergi meninggalkan kampung-pasti
bukan di hari Selasa. Merantau, sebagaimana orang di kampung kami berkebiasaan.
Bukankah kami memegang filosofi tentang burung bangau yang terbang tinggi? Tapi,
ah, anak lelaki, begitu bebas menentukan langkah kaki! Hanya perempuan yang
senantiasa bernama penantian. Seperti Hindun dan ibunya, menunggu, mungkin pula
tidak menunggu. Bukankah mereka pun mampu menentukan hidup sendiri? Begitulah.
Hindun dan ibunya memutuskan untuk tetap tinggal di ladang, di atas rumah pondok
yang sederhana, meski di koto (pusat kampung) mereka masih punya sebuah rumah
tua, mereka biarkan lapuk telantar. Hanya pada pekan-pekan tertentu saja Hindun dan
ibunya berkunjung ke rumah itu, itupun jarang bermalam. Tampaknya tinggal di ladang
bagi mereka berdua sudah menjadi pilihan. Selalu saja ada alasan untuk menjaga
makam suami atau ayah, sekaligus merawat ladang kenangan. Meski sesungguhnya
pula, tak ada lagi yang terlalu bisa diharapkan dari ladang. Banyak ladang di sekitar situ
sengaja ditinggalkan pemiliknya, dan mereka beralih menjadi pekerja sawah, pekerja
tambang, atau mencari damar dan rotan ke hutan-rimba. Tak apa. Setidaknya, dengan
tinggal di ladang, sayur-mayur tak hendak membeli. Ditanam sendiri sudah cukup untuk
makan. Asal ada beras, urusan makan beres. Itulah yang selalu diucapkan Hindun
padaku, bila kami bertemu di pasar. Maklum, aku penjual barang kelontong yang
berkeliling dari pekan ke pekan, sedang Hindun biasanya membawa sayur-mayur. Kami
kerap makan bareng di kedai sate Mak Etek bila pasar usai. Saat-saat seperti itulah aku
bisa memandang Hindun yang di mataku tak kepalang cantik. Maklum mata bujangan.
Apalagi, ia lumayan cerdik. Matanya yang agak bulat besar akan gampang terlihat
berbinar bila sudah bicara tentang banyak hal. Tak jarang ia cekikik, yang di kampung
kami tentu saja dapat dianggap kurang baik. Perempuan jangan ketawa cekikik,
senyum dikulum pasti lebih manis, itu pesan yang tak boleh diremehkan. Tapi Hindun
peduli apa? Ia tetap saja tertawa terpingkal, membuka mulutnya agak lebar, tak peduli
sekelilingnya akan melotot tak senang. Anehnya, justru sikap bebas dan maunya
sendiri itulah yang kerap memunculkan rasa kagum dan ketakjubanku padanya. Di
samping tentu, hidungnya yang bangir, rambutnya berombak-panjang. Dan yang paling
sering mencuri perhatianku tak lain betisnya yang ramping, bentukan alam pebukitan
yang bergelombang.

"Biarlah kami tinggal di ladang, merawat tanaman yang masih tersisa, sekalian menjaga
makam ayahku," kata-nya jujur.

Kutahu, ia memang sangat mencintai ayahnya, sebab sang ayah juga sangat
menyayanginya. Konon, ketika hidup, ayahnya lumayan memberi kebebasan padanya.
"Niatmu sih baik, tapi usiamu, Hindun...," bisikku usil, merujuk pada gadis seusianya
yang biasanya sudah dipinang orang.

"Tak mengapalah! Kalau memang ada yang tertarik meminang, mengapa harus
mempersoalkan aku tinggal di ladang? Berhelat di ladang juga bisa, yang datang malah
bisa macam-macam; kera, beruang, celeng..." maka ia pun tertawa sesukanya.

Tak terpikirkan, bahwa di kampung kami perempuan baru akan dilamar orang bila
sudah tinggal di rumah sendiri, di dalam kampung. Bukan di pondok ladang. Sebaliknya
Hindun malah berfikir tentang hidup; tinggal di ladang ada saja yang akan dipetik dan
dijual setiap pekan... Meski apa yang diyakini Hindun tidak persis demikian. Semenjak
kemarau panjang dan cengkeh mati bujang, harapan itu tidak lagi gampang diwujudkan.
Bahkan hampir tak ada lagi yang bisa dipetik. Satu-satunya yang masih bisa
menghidupi mereka hanyalah kayu api yang mereka cari di hutan sekitar. Dikeping dan
diikat, dan sekali sepekan akan ada tukang kayu yang menjemput ke sana. Itulah yang
membuat mereka terus bisa bertahan (sebaliknya, membuat kami jarang bertemu di
setiap pekan). Tidak jarang dalam perjalanannya mencari kayu api, melewati ladang-
ladang yang ditinggalkan Hindun dan ibunya bertemu pohon cengkeh, nangka, jengkol
atau apa saja yang telah menyatu dengan belukar. Tapi bila musimnya, pohon-pohon
telantar itu juga tak ketinggalan berbuah, meski sedikit, dan itu pun harus berebut
dengan tupai atau kera. Dibersihkan sedikit belukar yang melilit batangnya. Hindun lalu
bisa dengan cukup gesit memanjat pohon itu. Ibunya tak bisa mencegah. Hindun hanya
bilang bahwa tak ada yang melihat. Ibunya tahu bahwa dengan itu mereka telah
melanggar pantangan, tapi pasti tak tega untuk sekadar membatin, sebab bukankah
kata batin seorang ibu cepat makbulnya? Maka, begitulah, ibu dan anak itu diam-diam
melanggar pantangan!

KAMPUNG kami memang hidup dari sekian banyak pantangan. Begitu banyak rambu-
rambu tanda larangan, meski tak dituliskan. Anehnya, dari sekian banyak larangan,
perempuan atau anak gadislah yang menjadi sasaran. Misal, perempuan tak boleh
menyisir rambut di halaman, tak boleh duduk di depan pintu, tak boleh memotong dan
meraut kuku di malam hari, entah mengapa. Memang akan ada saja alasannya, seperti
tak bakal dapat laki, jauh dari rezeki, bahkan bisa gila, tapi juga entah mengapa.
Memang pula larangan-larangan itu baik maksudnya, sebab bukankah tidak enak
dipandang mata bila seorang perempuan sampai menyisir rambut di halaman rumah?
Dilihat orang banyak, apalagi kalau rambutnya basah. Tampaknya, soal etiket. Tapi
mengapa tak langsung dibilang seperti apa adanya? Mengapa tidak dikatakan saja
bahwa itu tidak pantas, mengapa harus membawa-bawa soal rezeki dan jodoh segala?
Bukankah mereka sudah cukup dewasa dan tidaklah kelewat bodoh? Paling mereka
hanya akan tersenyum dikulum, meski tak harus melanggar. Sebab kalau dicari-cari
kaitannya ada benarnya juga; kalau seorang perempuan menyisir rambut di halaman,
tak seda dipandang, laki-laki mana akan senang? Bila kerja hanya menyisir rambut,
sampai-sampai harus ke halaman, kapan sempatnya bekerja dan dari mana rezeki
akan datang? Atau, bila perempuan larut berdandan, tidakkah ia bisa menggilai dirinya
sendiri di depan kaca atau telaga? Hmmm... Namun, pantangan itu masih lumayan adil.
Artinya, tidak hanya buat perempuan. Anak-anak pun tak ketinggalan. Mereka tak
diizinkan mandi-mandi di tepian pada saat tengah hari, tentu bukan karena suhu yang
panas sementara air sungai begitu dingin yang bakal membuat mereka demam. Bukan,
bukan itu alasannya. Tapi, dengarlah; mandi-mandi tengah hari membuat kita demam
sebab iblis dan hantu air akan menyapamu, dan sapaannya itu sudah cukup
membuatmu jatuh sakit. Begitu. Dan begitu pula halnya untuk laki-laki di kampung kami,
tak luput dari rambu-rambu yang digariskan, semisal dalam urusan berpergian. Jangan
berjalan di hari Selasa, sebab Selasa hari api. Bila berjalan juga alamat akan sengsara
karena banyak gangguan dari iblis yang konon diciptakan pada hari ini. Benarkah?
Entah. Yang jelas, bila ada laki-laki di kampung kami hendak pergi jauh, mereka
memilih hari selain Selasa. Bisa Rabu yang diyakini hari teduh lagi sejuk, atau Senin
yang diselubungi cahaya suci. Sampai-sampai waktu pernikahan diatur waktunya
sedemikian rupa, yakni petang Kamis malam Jumat. Inilah hari baik penuh berkat. Kami
pun percaya pada sekian banyak isyarat dan bahasa; kupu-kupu pertanda tamu, ayam
berkokok tengah hari (dengan kokok berlenggek-lenggek) pertanda ada perawan
bunting, elang berkulin seputar kampung pertanda ada yang bakal mati atau kemarau
panjang akan datang. Dan begitu pula halnya dengan takwil mimpi, membuat kami
begitu berhati-hati. Begitulah. Tentang perempuan yang tak boleh memanjat pohon juga
telah menjadi pantangan turun-temurun. Sedari kecil, anak perempuan di kampung
kami dilarang keras memanjat pohon, meski kampung dipenuhi berbagai macam
pepohonan, rimbun dan rindang. Panjang-memanjat tak lain urusan laki-laki, begitu
adat kami mengajari. Tak seorang anak perempuan pun yang berani melanggar.
Mereka cukup puas bermain yang sepantasnya saja; petak umpet atau lompat tali.
Meski di tengah keasyikan bermain selalu ada saja goda dari kami anak lelaki yang
sedang berada di dahan pohon paling tinggi. Kami akan berteriak dari ketinggian,
mengabarkan betapa kami telah melihat laut, laut yang luas! Anak-anak perempuan
akan tergoda dan serta-merta membubarkan permainan mereka, dan mereka
berkumpul di bawah pokok batang. Ada yang bertanya: ada kapalnya enggak, ada
kapalnya enggak... Kami yang di atas pohon lantas mencari-cari sebentar dengan sorot
mata berbinar. Lalu menjawab agak kecewa: tidak ada, lautnya lagi sepi! Mungkin lagi
tidur, jawab yang lain menghibur. Tentu, karena yang kami lihat sesungguhnya bukan
laut, bahkan danau pun tidak, melainkan hanya air persawahan yang tergenang nun di
kampung sebelah... Namun, bagaimanapun juga, kami yang laki-laki masih lebih
beruntung; menerka-nerka yang tampak. Sementara anak-anak perempuan cukup
dibuat penasaran karena tak melihat apa gerangan yang hendak diduga. Atau, mungkin
lebih indah sebab bakal menjadi impian yang tak sudah? Entahlah. Yang jelas, tak
seorang pun yang di antara mereka yang berani melanggar pantangan. Juga saat
musim buah tiba. Anak-anak perempuan cukup jadi pengumpul buah yang kami petik,
dan mereka berebutan sambil sesekali tengadah menatap kami di ketinggian dahan-
dahan. Mungkin di antara mereka punya impian atau sekadar keinginan untuk ikut
meniti dahan (aku sering melihatnya di mata Hindun), tapi mereka tahu (berkali-kali
diingatkan ibu) bahwa mata kutukan mengintai di mana pun: di sela reranting,
dedaunan, di semak-semak tepi jalan, di antara batu-batu di tepian... Mengintai siapa
pun yang melanggar larangan!

KALAU sekarang kabar celaka itu mendengung dan membiru, benarkah karena
larangan itu tak membisu? Hindun dan ibunya memang tak lagi patuh pada rambu-
rambu. Setiap kali masuk hutan mencari kayu, dengan melewati ladang-ladang yang
ditinggalkan, mata Hindun masih saja penuh keinginan. Dan pasti tak tercegah siapa
pun. Tak ada kakaknya yang semasa kecil dulu selalu mengawasinya untuk tidak ikut
memanjat meski hanya sebatang pohon rambutan yang dahannya hampir menjejak
tanah. Tak pula ibunya yang dulu mungkin teramat nyinyir menyampaikan larangan.
Hindun, perempuan yang mungkin dulu terlalu sesak memendam keinginan, dalam
hari-harinya di ladang memutuskan tak lagi memendam keinginan, bahkan untuk
sebuah larangan. Maka, begitulah, hampir setiap pohon yang masih menyisakan buah
akan ia panjat tanpa takut terlihat mata kutukan yang mengintai. Sang ibu hanya
menunggu di bawah tak bisa berkata apa, kecuali mengumpulkan buah-buah nangka
yang berdebum, menggelinding di lereng bukit, tersangkut di akar. Tak jarang masuk
kali kecil yang penuh belukar. Sementara Hindun sangat lihai meniti setiap dahan.
Rambutnya yang berombak-panjang disanggulnya agar tak mengganggu. Kulitnya yang
kuning tak ia pedulikan perih, tergores akar atau jelatang. Matanya awas mengamati
setiap cabang, mencari buah yang masih menggantung. Sesekali ia menggerutu betapa
buah itu sudah tak utuh; dilobangi tupai atau kera. Hati-hati kakinya berpijak, sigap
tangannya mencari dahan berpegang, karena ia tahu pohon nangka rapuh dahannya.
Saat-saat memuntir sisa buah, seolah saat melepas keinginan masa kecil yang lama
tersimpan. Begitulah, buah-buah yang mereka kumpulkan mereka bawa pulang ke
pondok. Tentu, saat melewati jalan-jalan setapak yang semak dan membelukar,
beberapa ekor babi hutan masih sempat melintas, atau setidaknya mengeluarkan suara
aneh. Tapi kedua perempuan itu sudah terbiasa. Bahkan dengan pandangan. Sampai
akhirnya tersiar kabar celaka itu: Hindun, perempuan yang jatuh dari pohon!

POHON tempat Hindun jatuh adalah sebatang pohon tak bernama. Dikatakan begitu,
karena memang tidak ada yang bisa memastikan pohon apa sebenarnya. Dikatakan
pohon Barangan, hanya daunnya yang mirip, tapi tak berbuah. Dikatakan pohon damar,
hanya batangnya yang serupa, tapi tak bergetah saat ditakik. Kesulitan mengetahui
nama mungkin juga lantaran usianya yang tua, mungkin hanya satu-satunya jenis
pohon yang masih hidup sehingga tak ada yang serupa. Tapi mungkin pula karena
orang kampung kami tak peduli soal nama (ah, mengapa mereka amat peduli nama-
nama hari?). O, ya, mungkin karena itu milik tetua kepala suku (Tujuh suku!) ia
dianggap urusan mereka yang terhormat. Kami cukuplah mengetahui bahwa pohon itu
lumayan keramat. Pokok pohon itu teramat kukuh, penuh akar dan sulur-sulur menjalar.
Pucuknya jauh menjulang hingga tampak dipandang di bagian-bagian tertentu sudut
kampung. Bila memandang dari jauh, lereng bukit yang biru tempatnya tumbuh, tampak
seakan terlindung pohon itu. Daunnya yang rimbun dan cabang-cabangnya berlekuk-
bergelombang, membentuk lukisan tersediri di kebiruan perbukitan. Andai saja ia
ditebang, tentu akan segera terasakan ada yang hilang; lereng bukit itu bakal kosong,
dan orang akan kehilangan sebuah tanda yang sering terbaca; para pencari damar
yang tersesat di hutan, para perantau yang lama tak pulang, atau pengembala ternak
yang kemalaman. Tapi, tentu tak bakal ada yang berani menebang. Jangankan
menebang, mendekat saja tak ada yang berani, kecuali mereka yang dianggap tetua
kampung. Mereka ini memang mendapat hak sepenuhnya atas banyaknya lebah madu
yang bersarang di setiap dahan. Madu nomor satu yang menetes sepanjang musim!
Hanya Hindun, gadis yang terbiasa melanggar pantangan itu, nekad. Tanpa
sepengetahuan ibunya, ia datangi pohon itu, dipanjatnya lewat sulur-sulur yang
menjuntai menyentuh tanah. Di kedalaman bola matanya terpancar kehidupan ladang
yang makin sulit, cengkeh mati bujang, kemarau panjang dan kayu api yang murah
harganya. Hanya madu lebah yang masih mahal. Sesarang dua sarang cukuplah
baginya melunaskan keinginan, sekaligus melunaskan dendam! Ya, bertahun-tahun ia
ingin mencecap manisnya madu dari pohon yang sebenarnya tumbuh di atas
ladangnya itu. Tapi selalu terbentur soal hak. Hak tetua suku. Bukan si puak. Hindun
tak peduli. Ia mengerti bahwa ia mestinya juga berhak. Pohon itu tumbuh di tepi
ladangnya! Maka ia terus memanjat. Pohon keramat. Milik tetua. Dan terjatuh. Hari
Selasa. Dan ia, seorang perempuan. Lengkap sudah.

UNTUK kedua kalinya kampung kami pastilah kembali gempar. Bahkan mungkin lebih.
Kubayangkan, telinga setiap orang mungkin tak lagi seperti disengat lebah (seperti saat
pertama kali aku mendengar kabar itu di pasar), namun boleh jadi bagai dipatuk ular
berbisa. Bagai mematuk jantung-hatiku juga! Aku yang tidak lagi sekadar mendengar,
tapi menyaksikan. Aku yang dulu hanya penerima kabar, kini berubah menjadi aku yang
mengabarkan! Ya, Hindun, perempuan yang jatuh dari pohon itu, mati. Ia meninggal
setelah cukup lama menanggung penderitaan. Bokongnya remuk, bernanah. Ibunya
mengobati pakai dedaunan hutan, sambil menunggu putusnya harapan. Baunya busuk,
dan tak seorang pun berani menjenguk. Hanya aku, kawan masa kecilnya yang masih
tetap setia. Sebelum hayatnya usai dikandung badan itulah, ia ceritakan segala padaku.
Tentang kesehariannya hidup di ladang. Tentang adat dan pandangan yang dilanggar.
Tentang dendam. Semuanya. Kecuali mungkin... hasrat kami untuk saling mencinta! Ia
tak mengungkapkannya, dan aku pun tak berkata soal itu, meski dari mataku pasti
terbaca isyarat itu. Dan Hindun mengucapkannya dalam igau, di antara bahasa dan
kalimat lain yang kacau-balau; tentang lautan, lembah, ayah dan saudara laki-lakinya.
Dan namaku ia seru sebelum matanya sempurna terkatub. Aku bergegas turun dari
bukit, membawa kabar itu ke tengah kampung. Dan seperti kubayangkan, kampung
memang teramat gempar. Sebentar saja, kudengar bedug ditabuh tujuh kali pertanda
ada yang mati. Di surau kecil itu, sejumlah laki-laki tampak berkumpul
memperbincangkan langkah apa yang seharusnya ditempuh. Perempuan-perempuan,
istri atau anak mereka menunggu harap-harap cemas. Juga aku. Akankah kematian
Hindun tidak disembahyangkan? Gerombolan lelaki itu masih terus berbincang. Seakan
tak berujung...

Rumahlebah Yogyakarta, 2002


Perempuan di Jenjang Rumah

Ratna Indraswari Ibrahim

Sumber: Kompas, Edisi 07/07/2002

RUMAH panggung ini, lebar 6 meter dan panjang 12 meter. Beratap genting
Palembang berwarna gading, terletak di Lolohan Timur. Konon, yang bermukim di
rumah-rumah panggung ini, adalah pelarian dari Armada Bugis, yang datang pada
tahun 1653-1655, karena mereka membelot dari Belanda. Pembelotan ini dipimpin
langsung oleh Daeng Nahkoda.Nurhayati, yang keturunan ke sepuluh dari orang-orang
Bugis itu, akhir-akhir ini, lebih sering bermimpi, melihat nenek-moyangnya, mengarungi
lautan dengan perahu-perahu Bugis yang cantik. Perempuan-perempuan dalam perahu
(yang salah satu dari mereka adalah nenek-moyangnya), ikut menggulung layar pada
saat badai. Memancing ikan-ikan untuk logistik seluruh awak kapal, melantunkan syair-
syair, ketika lautan tanpa badai, di mana ikan lumba-lumba berlompat-lompatan di sisi
perahu. Sementara itu, dia sekarang setiap harinya cuma duduk di jenjang rumah.
Sepertinya, cuma menunggu hari pernikahan dengan pacarnya, Hamdani, teman
sekuliah dulu. Nurhayati berpikir, bagaimana, bisa menceritakan pikirannya kepada
bapaknya, yang kepala dusun di sini: apakah betul, pernikahan adalah gol terakhir dari
seorang perempuan, hanya lewat proses itu sampai pada muara tujuan hidup ini.
Sesungguhnya, waktu remaja dulu, dia selalu mengimpikan, akan datang seorang laki-
laki, dari tengah lautan, yang membawanya melihat dari satu laut ke laut yang lain. Itu
memang mimpi remaja. Namun, soal pernikahan itu sering sekali didiskusikan dengan
pacarnya. Hasil diskusi, itu tidak menambah apa pun, kecuali Nurhayati semakin ingin
seperti pacarnya: pergi meninggalkan tempat ini! (Yah, pacarnya sudah tiga bulan pergi
mencari pekerjaan ke Kalimantan). Nurhayati melihat beberapa anak sedang bermain,
tertawa-tawa. Dia tahu, dunia anak adalah dunia di mana kita ingin tinggal selama-
lamanya di sana. Pikirannya terpotong, tampak dari jauh, Khotijah, yang berjilbab ungu
(kelihatan cantik) berkata, "Rapat untuk organisasi sosial kita, kali ini, bertempat di
masjid, waktunya selepas sembahyang isya. Jangan lupa kau datang lebiha awal. Kau
sering terlambat. Kita kan pengurus."

Nurhayati mengangguk cepat. Sebetulnya, tidak yakin, apakah punya kebutuhan di


organisasi sosial itu, sebagai sebuah proses "menjadi", atau hanya untuk membunuh
waktunya, ketika berpuluh-puluh surat lamaran kerjanya, tidak ada jawaban! Di musim
yang kemarau panjang, di mana udara panas menggulung, dia suka sekali duduk di
jenjang rumahnya, untuk mendinginkan tubuh, karena angin melintas-lintas di bawah
pohon besar itu. Kembali dilihatnya sebuah undangan berwarna merah dari teman
sekampung.

Sering sekali Nek Sa'adah (masih bilangan kerabatnya) menasihati, "Kapan kamulah
Nur yang jadi pengantin! Dari semua teman seumurmu, tinggal kamu dan Khotijah yang
belum menikah. Padahal, kamu sekolahnya paling tinggi."

Yah, nasehat ini sering diucapkan, saat dia bertandang ke rumah Nek Sa'adah.
Mendengarkan pantun-pantun Nek Sa'adah (dia punya juga menjadi penyair, yang bisa
keliling dunia, membacakan puisi-puisinya atau puisi para leluhurnya). Nurhayati,
melihat orang yang lalu-lalang di depannya. Mereka semua kelihatan sederhana dan
bahagia. Padahal, kemarin malam, seorang laki-laki yang sepertinya datang dari lautan,
mengajaknya ngobrol. Dan setelah beberapa kali bertemu, Nurhayati merasa dekat
dengan Budiman. (Budiman peneliti rumah-rumah di Lolohan Timur ini). Nurhayati
menghapus keringat di dahinya kala Khotijah meghampirinya.

"Nur, aku mendengar kabar, sebentar lagi Mbak Mila akan pulang ke Jawa bersama
suaminya. Dia butuh guru TK untuk menggantikannya."

"Aku bisa menggantikannya."

Khotijah melihatnya, "Kau bukan dari jurusan keguruan. Namun, cobalah, mungkin
Mbak Mila setuju. Aneh, katanya kau kepingin keluar dari kampung ini dan menjadi
penyair! Jadi, mengapa kau akan bekerja di TK perkampungan nelayan itu? Kau kan
tahu juga, anak-anak TK di sana sulit diajari mata pelajaran apa pun. Mereka berpikir,
tanpa sekolah, bapak dan abang-abangnya bisa dengan mudah mencari uang."

"Aku akan mengatakan dengan bahasa anak-anak, menggali ilmu bukan semata untuk
mencari uang, melainkan ibadah setiap manusia."

"Nur, aku bisa melihat kegelisahan di matamu. Ada apa sih? Sebagai perempuan, aku
mau sederhana saja, yaitu menjadi ibu. Tidak seperti engkau. Benar juga kata teman-
teman, seharusnya engkau jadi penyair."

Nurhayati diam saja. Kadang, dia tak bisa bicara dengan Khotijah (teman dekatnya).
Ada kesedihan yang tak bisa dibagi dan harus disimpan. Namun, menjadi guru di
perkampungan nelayan itu, bisa jadi bapaknya tidak setuju. Karena, bapaknya lebih
suka melihatnya menjadi karyawan bank yang setiap pagi seperti kupu-kupu cantik,
bergaji lumayan dengan seragam banknya dan bau parfum yang mengembang. Apalagi,
honor guru TK di sana sangat kecil, yang tak pernah cukup untuk ongkos transportasi.
Dia melihat ke panggung rumahnya. Kemarin, beberapa turis domestik, terkagum-
kagum melihat rumah panggungnya, yang punya jendela berjeruji tanpa daun jendela.
Beberapa orang menawar rumah panggung ini (dia bersyukur, bapaknya tidak pernah
ingin menjual). Di sisi lain, dia tidak tahu mengapa dia ingin menetap di sini selamanya.
***

PAGI ini, dia sudah berada di TK perkampungan nelayan. Dia mencoba bersungguh
hati untuk sebuah hal yang dia sendiri tidak tahu. Namun, beberapa bulan kemudian dia
merasa bisa menghabiskan waktunya dengan senang. Apalagi saat melihat binar mata
anak-anak nelayan yang bisa menangkap apa yang diterangkan. (Pacarnya di
Kalimatan bilang sudah mendapat pekerjaan. Tapi belum tentu bisa pulang ke rumah
dalam tahun ini). Dia membiaskan hal itu dengan mudah. Lebih-lebih ketika TK
tempatnya mengajar, semakin kena abrasi dari lautan. Dia mulai belajar menuntut ke
kepala dusun, camat dan bupati. Beserta beberapa anak muda, dia memperjuangkan
agar sekolahnya mendapat tempat yang lebih tinggi dari pantai. Dia melihat sebuah
gudang tempat penyimpanan ikan asin milik pemerintah desa yang disewa oleh para
juragan ikan asin. Sementara itu, teman terakhirnya yang masih bujangan, Khotijah,
akan menikah dalam bulan ini. Sambil menyusuri tepi laut ini, (yang mungkin akan
berubah dalam tahun-tahun mendatang, karena akan dibuat pelabuhan bebas di sini) di
mana mereka berdua tidak pernah menyukai perubahan ini. Buat mereka, tempat
bermainnya di masa kecil, adalah ketika mereka melihat para nelayan berangkat
menangkap ikan di senja yang bagus.

Khotijah bercerita, "Aku tidak tahu hubunganku dengan Sabara, sekalipun aku sudah
mengenalnya sejak kecil. Tapi suatu ketika, ketika kami sama-sama mengikuti
penataran organisasi kita di Jakarta, kau tahu kan, berada di Jakarta segalanya
berbeda dengan kampung kita. Di situ, kami menemukan sesuatu. Aku merasa ada
seseorang yang peduli kepadaku. Nur, setelah ini aku berharap kau dengan Hamdani
akan segera menyusul."

Nurhayati cuma diam saja. Dia mengatupkan bibirnya. Setelah pacaran berjarak jauh
hampir satu tahun, dia tidak tahu lagi, apakah itu masih disebut cinta, atau sebetulnya
dia cuma butuh seorang yang akan menjadikan dirinya pengantin. Karena begitulah
norma. (Sesungguhnya, Nurhayati lebih ingin menjadi seorang penyair dan
membacakan syair-syair yang sering dia dengar dari Nek Sa'adah ke seantero dunia.
Seperti nenek-moyangnya, dia akan melihat dari laut satu ke laut yang lain).

Khotijah memegang tangannya. "Nur, setelah ini, aku tidak bisa menjadi ketua. Sabara
tidak suka aku banyak keluar rumah. Aku ingin kau yang menjadi ketua."

Nurhayati membatin. Inikah sebuah penindasan!

Namun, yang keluar dari bibirnya, "Tentu saja, kau akan menjadi ibu dan istri, tidak
banyak waktu untuk organisasi. Tapi sayang sekali, kalau organisasi kita telantar,
sekalipun tak banyak juga waktuku, aku mau menggantikan jabatanmu. Aku sendiri
sedang belajar bahasa Inggris di Denpasar. Kau masih ingatkan, aku lebih ingin melihat
dunia ini dulu daripada menikah. Dan impian itu ingin kuwujudkan dalam hidup ini.
Tentu saja untuk bisa berkomunikasi dengan siapapun, aku harus bisa bahasa Inggris
kan?"

Khotijah kali ini tidak menjawab. Mereka berdua menyusuri tepi pantai Rening. Perahu-
perahu nelayan berwarna hijau sedang berlabuh. Baik Nurhayati maupun Khotijah
sebenarnya ingin lebih lama berada di tempat ini. ***

PERTEMUAN dengan Bupati berjalan alot. Berkali-kali Nurhayati mencoba menghadap,


tapi sepertinya Bupati tidak punya waktu untuk menemuinya. Namun, akhirnya
Nurhayati bisa bertemu Pak Bupati. Di luar dugaannya, Pak Bupati mengiyakan dengan
cepat. Dan mewujudkan usulannya setelah berkali-kali rapat dengan anggota DPRD.
(Nurhayati merasa mekanisme birokrasi ini memperlambat segala-galanya). Rasanya
semua sudah hampir selesai. Namun, beberapa juragan ikan asin masih ngotot
meletakkan ikan-ikan asinnya di sana, yang pasti akan mengganggu proses belajar-
mengajar mereka. Sekali lagi, Nurhayati mencoba untuk meyakinkan penyewa gudang,
mereka akan mendapat tempat yang lebih representatif dari pemerintah. Di saat-saat
seperti itu, dia hampir seperti kehabisan waktu untuk dirinya sendiri. Hal ini sering
dikeluhkan oleh bapak dan abangnya. Akhirnya, ketika gedung itu menjadi tempat yang
rancak dan sehat untuk anak-anak nelayan. Garam laut terasa di bibir anak-anak itu.
Sambil belajar, mereka masih bisa melihat bapak dan abang-abangnya, yang dengan
perkasa mencari ikan di laut. Banyak orang memberi selamat. Koran-koran lokal
memuat fotonya. Hamdani lewat surat, mengatakan kegembiraannya. ***

KALI ini, sepulang dari mengajar, Nurhayati menyusuri pantai. (Dia mencoba tidak
melihat pantai yang dirasanya semakin biru lazuardi). Dia mulai berpikir, apakah
pernikahan itu perlu, air matanya mengalir. Keluarganya dan keluarga Hamdani, sudah
menetapkan kapan mereka akan menikah. Ini berarti, sebagai istri, dia harus
meninggalkan TK tempatnya mengajar, rumah panggung yang dikagumi teman-teman
senimannya, dan diriset oleh Budiman, yang peneliti, (dengan bahagia, dia ikut
mencarikan datanya). Karena ingin sejarah dari rumah panggung ini dibukukan, agar
setiap orang di luar Kampung Lolohan Timur ini tahu. Dan penelitian itu, dalam
beberapa hari ini, akan selesai.

Di pantai ini, Budiman berkata, "Aku tidak tahu, bagaimana mengucapkan terima kasih
kepadamu. Buku ini memang harus dipersembahkan untukmu. Karena rumah
panggung itu, adalah bagian dari dirimu sendiri."

Nurhayati melihat Budiman lekat-lekat. Dan tak seorangpun yang tahu, siapa yang
memulai! Mereka saling memberikan dirinya, setelah itu, Nurhayati tak akan risau lagi,
kalau bercermin, melihat hidungnya yang tidak mancung dan bibirnya yang sensual.
Budiman akan segera pulang ke Jakarta bersama data-datanya tentang rumah
panggung ini. Sementara itu, dia sendiri akan menjadi istri yang harus mengikuti suami
bekerja di Kalimantan. Dan rumah tinggal mereka, di sebuah perumahan BTN!

Malang, 29 Maret 2002


Lelaki Pembawa Senapan

S Prasetyo Utomo

Sumber: Kompas, Edisi 05/12/2002

DI rumah panggung yang terbuat dari kayu yang sudah mulai kusam, namun masih
menampakkan kekokohannya, tinggal nenek, perempuan tua yang tetap menampakkan
kesehatannya. Di ambang pintu yang terbentang, di lantai dua, dia duduk menghadapi
fajar. Memandangi jalan di depan rumahnya, yang menuju sebuah sungai
besar.Memandangi bocah-bocah yang berlarian ke tepi sungai, Nenek berteriak-teriak
dari ambang pintu rumahnya, "Jangan berlarian ke sungai! Nanti dimakan buaya!"Anak-
anak kecil itu berhenti saat mendengar seruan Nenek. Mereka urung berhamburan
mencebur ke sungai. Urung berpercik-percikan air sambil berenangan, menyelam,
bermain lumpur dan lumut sampai siang.Belum lagi mencebur ke dalam sungai, anak-
anak itu termangu-mangu di tebing.

Seseorang berseru, "Ada buaya! Ada buaya!"Ketakutan, berteriak-teriak, anak-anak


yang masih termangu di tebing sungai itu mencari-cari.

"Mana buayanya? Mana buayanya?"Anak-anak yang lebih dekat dengan Nenek,


tertawa-tawa.

"Kaulah buayanya!"Berlarian, mereka meninggalkan tanggul sungai. Menaiki tangga


kayu di rumah Nenek. Berderak-derak. Di lantai dua, di ruang tamu, Nenek duduk di
lantai papan. Anak-anak itu mengelilingi Nenek. Meminta perempuan yang masih segar
itu untuk bercerita.Nenek, si tukang cerita itu, menuturkan kisah masa gadisnya.***

LELAKI itu masih muda, tampan, gagah dan diam-diam dikagumi gadis-gadis. Dia
selalu membawa senapan ke sungai. Berburu buaya. Lama dia menyusuri tanggul
sungai, memandang ke arah permukaan air, menanti seekor buaya mengapung, dan
melepaskan tembakan. Kadang ia berhari-hari tak melepaskan tembakan. Kadang
dalam sehari ia berkali-kali menembak.Saat ia melepaskan tembakan, dan darah
muncrat dari tubuh buaya yang menggelepar, orang-orang bersorak-sorai di tepi sungai.
Melihat buaya yang terus berkecipak, menyemburkan darah searus dengan air sungai,
gadis-gadis terpekik. Buaya itu tak segera mati. Terus menggelepar. Sungai menjadi
amis bau darah buaya.Lelaki pembawa senapan itu tak segera menembak lagi. Dia tak
menghendaki buaya itu segera mati. Orang-orang akan kehilangan tontonan.
Kehilangan kekaguman. Kehilangan kengerian. Kehilangan keperkasaan seorang
pembunuh.Dia cuma membidik, tak pernah menarik pelatuk senapannya hingga
meledak, dengan sebutir peluru yang menghujam pada tubuh buaya. Dibiarkannya
orang-orang berdebar menanti sebuah tembakan yang merenggut nyawa buaya, dalam
penantian yang memualkan.Hingga muncul seorang lelaki berambut ombak memanjang
sebahu tak terurus, dengan kaki pengkor, berjalan tertatih-tatih, mendekati lelaki
pembawa senapan.

"Kenapa kamu bunuh buaya itu?" bentak lelaki pengkor.Lelaki pembawa senapan itu
memandang tajam ke arah mata lelaki pengkor, dengan pandangan serupa dua tungku
panas yang memberangus. Lelaki pengkor tak melawannya dengan kemarahan. Ia
melawannya dengan mata serupa dua buah telaga. Dua tungku panas itu padam.

"Apa kamu ingin dimakan buaya itu?" hardik lelaki pembawa senapan.

"Aku cuma tak suka caramu membunuh buaya!"

"Cuah! Binatang laknat, mesti dibunuh dengan keji!"Lelaki berkaki pengkor itu berpaling.
Wajahnya mengeras. Matanya meradang. Ditinggalkannya tepi sungai itu, sambil
bergumam,

"Kau pun bisa mampus dicabik-cabik buaya!"

"Apa katamu?" hardik lelaki pembawa senapan, berang. Ia tak begitu jelas mendengar.
Tapi dia menangkap gumam lelaki pengkor itu sebagai umpatan. Hampir saja dia
menembak kaki lelaki pengkor itu, kalau saja buaya tidak mengamuk dengan ekor
dipukul-pukulkan pada permukaan air sungai.Tembakan yang dilepaskan lelaki
pembawa senapan itu menyurutkan amukan buaya itu. Mati. Terapung dengan darah
menggenangi arus air sungai.Orang-orang kampung mencebur ke sungai. Menyeret
buaya ke darat. Mengulitinya. Begitu asyiknya mereka. Orang-orang terus berkerumun.
Mereka melupakan lelaki pembawa senapan dan lelaki pengkor yang meninggalkan
tepi sungai, diam-diam, dan luput dari perhatian.***

DI rumah panggung, seorang gadis dengan rambut tergerai, memandangi tepian sungai
lewat jendela yang terbuka. Ia ingin turun dari rumah panggung, membaur di antara
orang yang berkerumun, dan ingin bertemu, dari jarak dekat, dengan lelaki pembawa
senapan yang gagah dan tampan.Lelaki pengkor, yang berjalan dengan terseok-seok,
melintas di bawah jendela kamar perempuan berambut panjang tergerai. Lelaki pengkor
itu sengaja berhenti. Memancing perhatian perempuan berambut panjang tergerai.
Lelaki pengkor itu ingin disapa. Tapi, perempuan berambut panjang tergerai membuang
muka.

"Hai, gadis! Apa kamu tak ingin turun dari kamarmu?" tegur lelaki pengkor itu.Si gadis
berambut panjang tak menyahut.

"Di kamar melulu, membosankan!"Tak ada sahutan.

"O, rupanya kau pura-pura bisu-tuli. Kelak, kau akan memperoleh anak bisu-tuli."Dan
lelaki pengkor itu masih merajuk, mengajak berbincang-bincang. Gadis berambut
panjang itu mengerling, mencibir.

"Nah, anakmu yang kedua, akan lahir dengan mata juling, dengan bibir yang
jontor."Gadis berambut panjang merasa terhina. Dia murka. Tapi tak bisa meluapkan
kemarahannya. Ditutupnya kembali jendela kamar, hingga terasa kegelapan menyekap.
Ia merasakan kenyerian yang menyesakkan dada.

"He, gadis berambut panjang, kamu begitu sombong!" seru lelaki pengkor.

"Kelak kamu akan hidup dalam kesunyian."***

LELAKI pembawa senapan yang mendengar kecantikan gadis berambut panjang,


sengaja melintas rumah panggung yang terbuat dari papan kayu. Di bawah jendela
kamar gadis berambut panjang, dia berhenti. Tengadah. Mencari-cari wajah gadis itu.
Dia melihat wajah yang muncul dari keremangan kamar, melongok ke bawah.
Tercengang. Terpana. Mengembangkan senyumnya, malu-malu, setengah hati. Gadis
itu tiba-tiba mencium bau harum tetumbuhan dan hangat Matahari yang menerobos
jendela kamarnya-setelah bertahun-tahun ia dalam pingitan.Tangga rumah panggung
itu berderak-derak. Suara langkah kaki yang mantap lelaki pembawa senapan itu
mengguncang dada perempuan berambut panjang. Terdengar ketukan pintu. Berkali-
kali. Suara Ayah menyambut lelaki pembawa senapan. Ibu muncul belakangan. Mereka
berbincang-bincang di atas hamparan tikar di lantai papan. Lama-kelamaan lelaki
pembawa senapan itu yang banyak bicara. Sopan. Hati-hati. Kadang membujuk.Gadis
berambut panjang tergerai mencuri dengar semua perbincangan. Berdebar-debar. Tak
yakin hatinya, saat ia dengar, lelaki pembawa senapan itu melamarnya.***

ANAK-ANAK kecil yang berdesak di lantai rumah panggung, terpikat pada cerita Nenek.
Mereka tak puas saat Nenek menghentikan ceritanya.

"Gadis berambut panjang itu jadi menikah, Nek?" tanya seorang anak gadis berponi.

"Tentu. Mereka hidup bahagia."

"Lintas punya anak bisu dan jontor bibirnya?" desak lelaki kecil berambut kemerahan.

"O, tidak," sahut Nenek, agak lamban.

"Kutukan lelaki pengkor itu tak terjadi. Gadis berambut panjang itu memiliki dua anak,
lelaki dan perempuan, yang gagah dan lucu."

"Mereka di mana, Nek?"

"Merantau."

"Lalu, lelaki pengkor itu ke mana?"

"Menghilang dan tak pernah kembali lagi ke desa."

"Laki-laki pembawa senapan itu masih hidup?"Terhenyak, berkedip-kedip, Nenek


memandangi anak-anak kecil yang menantikan ceritanya. Wajah Nenek tampak sedih.

"Laki-laki itu mati di sungai ketika mandi. Dia menyangka, semua buaya sudah
ditembak mati, hingga dia berani mandi di kali. Tak disangkanya, masih ada seekor
buaya yang tiba-tiba muncul, mencabik-cabik tubuhnya."Anak-anak terpana,
memandangi Nenek, dan merasakan kekecewaan.

"Gadis berambut panjang itu masih hidup, Nek?"

"Masih."

"Di mana ia tinggal?"

"Di sini. Neneklah orangnya."

"Ooo."Anak-anak itu bersorak. Berjingkat bangkit. Bergerak menuruni anak tangga.


Bertabrakan. Berjejalan. Saling dorong. Mereka menghambur ke jalan, berlarian ke
sungai. Mencebur ke dalamnya. Berenang. Berkecipak. Bermain-main air. Tertawa-
tawa.Mendadak anak-anak berhenti bermain, berhenti bergurau. Melintas di tanggul
sungai itu seorang kakek, tertatih-tatih. Rambutnya panjang, memutih, tak terurus.
Matanya kelabu. Kakinya pengkor. Anak-anak bersorak ketakutan, meninggalkan
sungai, menyambar pakaian mereka, berlari telanjang menyusuri jalan tanah berbatu,
melewati rumah-rumah panggung. -Negara-Pandana Merdeka, Februari 02 -
Kesedihan

Chekov, Anton Pavlowich

Sumber: Kompas, Edisi 07/21/2002

KERAMAIAN senja. Salju basah yang lebat dengan malas terbang mengitari nyala
lentera yang baru saja dinyalakan, dan perlahan-lahan hinggap dengan lembut pada
atap, punggung kuda, pundak dan topi-topi. Iona Potapov, sang kusir, telah lama
memutih karenanya. Ia bertekuk-sejauh mana badan makhluk hidup bisa
melakukannya- duduk di atas kursi kereta dan tak bergerak. Tumpukan salju telah
menimbuninya. Walaupun demikian pada saat itu seakan-akan ia tidak menemukan
alasan untuk mengibaskan salju dari dirinya....Kuda betinanya juga memutih dan
bergeming. Dengan bentuk-bentuk kaki yang ceking dan kaku, dia mirip permen jahe.
Sang kuda barangkali tenggelam dalam pikirannya. Kuda mana pun-yang dipisahkan
dari weluku, dari lukisan-lukisan alam nan biru, kemudian terbuang pada jeram yang
dipenuhi dengan nyala api yang mengerikan, gemerisik yang bising dan hiruk-pikuk
manusia-maka mau tak mau akan berpikir. Iona dan kuda betinanya sudah lama tak
beranjak dari tempat. Mereka hanya keluar dari terminal pada waktu makan siang, dan
selanjutnya tidak. Sesaat, kegelapan malam datang menghampiri kota. Api lentera yang
pucat meredupkan warna-warna cat yang hidup. Kegaduhan jalanan pun mulai ramai.

"Kusir, ke Viborskaya," terdengar oleh Iona.

"Kusir!" Iona terkejut. Melalui bulu matanya yang dipenuhi oleh salju ia melihat seorang
opsir tentara memakai mantel berkudung.

"Ke Viborskaya!"-ulang sang opsir.

"Ah, kamu tidur ya? Ke Viborskaya!" Sebagai tanda setuju Iona menggerakkan tali
kekang. Lapisan salju berhamburan dari punggung kuda. Sang opsir duduk di kursi
penumpang. Iona mendecak, menggelengkan kepala, sedikit bangkit dan seterusnya
seperti kebiasaan para kusir (bukan karena keperluan), ia mencambuk kudanya. Si
kuda betina menggerakkan leher, menyerongkan kakinya yang kaku dan dengan
enggan bergerak dari tempatnya tadi.

"Hai, mau kemana kau, bangsat!" terdengar oleh Iona teriakan orang-orang yang
berlalu lalang di samping dan di depan dalam kegelapan.

"Rupanya setan telah membawamu! Yang benar dong!"

"Kamu tak becus mengendalikan kuda rupanya! Ke sebelah kanan!" Sang Opsir marah.
Seorang kusir pedati menyumpahi Iona, sedang seorang pejalan kaki yang bahunya
terendus moncong kuda, menatap marah sambil menyeka salju dari tangannya. Iona
duduk gelisah di pojok tempat duduknya seakan mau jatuh. Ia menyentakkan sikut dan
memalingkan mata seolah-olah tidak mengerti mengapa dan buat apa berada di sana.

"Mereka bajingan!" kata sang Opsir.

"Toh mereka tinggal menghindar bertabrakan dengan keretamu atau mereka jatuh ke
bawah kaki kuda. Mereka tentunya tahu hal itu." Iona melirik penumpangnya dan
menggerakkan bibirnya... tampaknya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi dari
kerongkongnya tak sepatah katapun keluar, kecuali hanya desisan.

"Ada apa?" tanya sang Opsir. Iona berpaling dan dengan senyuman yang pahit ia
menegangkan tenggorokannya dan mengerang:

"Anak saya... Anak saya meninggal... minggu ini."

"Hmmm... mati karena apa?" Iona memalingkan seluruh tubuhnya pada si penumpang
seraya berkata:

"Siapa yang tahu hal itu! Ia demam.... tiga hari dirawat di rumah sakit dan kemudian
meninggal.... Begitulah Kehendak Tuhan!"

"Belok goblok!" terdengar dalam kegelapan.

"Kamu linglung, anjing tua? Pakai matamu!" Iona kembali menjulurkan leher, sedikit
bangkit dan mengibaskan cambuk dengan gemulai dan berat. Beberapa saat kemudian
ia menoleh pada penumpang, tetapi kali ini Sang Opsir memejamkan mata dan
tampaknya ia tidak bersimpati untuk mendengarkan. Setelah menurunkan penumpang
di Viborsaya, Iona berhenti di depan restoran dan lagi-lagi salju yang basah mengecat
putih Iona dan kudanya. Satu jam berlalu, dua jam.... Tiga orang laki-laki, dua di
antaranya tinggi dan kurus, seorang lagi kecil dan bungkuk datang menghampiri
dengan suara langkah yang keras pada trotoar.

"Kusir, ke jembatan Poliskaya!" teriak Si Bungkuk dengan suara yang geram.

"Kami bertiga... dua puluh kopek*!" Iona menarik cambuk dan memukulkannya pada
kuda. Dua puluh kopek... harga yang tidak seimbang.... Tetapi harga tidak menjadi
masalah... satu rubel**, lima kopek... baginya sama saja... Yang penting ada
penumpang. Orang-orang muda ini sambil saling dorong dan menyumpah, naik ke
kereta. Ketiganya langsung menjatuhkan diri ke kursi kereta. Timbul sebuah
pertanyaan: siapa dua orang dari mereka yang harus duduk dan siapa yang harus
berdiri? Setelah perang mulut, tingkah polah dan omelan yang panjang, mereka sampai
pada keputusan yaitu: karena yang paling kecil adalah Si Bungkuk, maka ia lah yang
harus berdiri.

"Baik, ayo maju!" Kata Si Bungkuk parau, sambil mencari posisi yang enak dan
menghembuskan napas pada leher Iona.

"Cambuk! A ha... Kawan topi apa ini? Dicari di seluruh Petersburg pun tak akan ada
yang sejelek ini."

"Ha... ha... Ha..." Iona tertawa.

"Ada kok..."

"Ya, ada, ayo cepat! Begini caramu mengendalikan kuda sepanjang jalan? Hai? Mau
kupukul lehermu?"

"Kepalaku sakit..." kata salah seorang yang jangkung.

"Kemarin di rumah Duhmasov, saya dan Vaska minum empat botol brendi."

"Aku tak mengerti, buat apa kau berdusta," kata Si Jangkung yang lain dengan marah.
"Dia bohong seperti binatang."

"Demi Tuhan, betul kok...."

"Ya betul, sebetul kutu batuk!"

"He... he... he..." Iona tersenyum lebar.

"Tuan-tuan yang berbahagia!"

"Cuih, demi setan!" Si Bungkuk menyela.

"Kau akan berangkat atau tidak, tua bangka? Begini caramu membawa kereta?
Cambuk kudamu! Demi setan! Kendalikan dengan benar!" Iona merasakan badan
gelisah dan suara parau Si Bungkuk di balik punggungnya. Dia mendengar pula cacian
orang-orang. Sedikit-demi sedikit kesepian yang membanjiri dadanya reda. Si Bungkuk
terus menyumpah dengan enam tingkat sumpah serapah sampai tak bisa lagi
menyumpah dan batuk. Teman-temannya yang jangkung mulai membicarakan
Nadezda Petrovna. Iona menoleh pada mereka. Setelah menunggu sedikit jeda, ia
menoleh lagi dan berkomat-kamit:

"Anak saya... Anak saya minggu ini... meninggal".

"Kita semua akan mati," Si Bungkuk menarik napas, setelah menyeka bibirnya sehabis
batuk.

"Ayo Cepat! Tuan-tuan, aku tak tahan lagi merayap seperti ini! Kapan dia akan
mengantarkan kita ke tujuan?"

"Kalau begitu... beri dia sedikit semangat di lehernya?"

"Tua bangka! Kau dengar itu? Baik! Kan kusentil lehermu! Pergi ke pesta dengan orang
sepertimu, rasanya lebih baik jalan kaki! Kau dengar, ular kadut? Atau kau tak peduli
dengan kata-kata kami?" Iona sebenarnya mendengar lebih dari sekadar suara
hantaman di kuduknya.

"Ha... ha... ha..." Iona tertawa.


"Tuan-tuan yang berbahagia... semoga Tuhan memberkati Anda!"

"Kusir, kau telah kawin?" tanya Si Jangkung.

"Saya? Ha... ha... ha... satu-satunya istri saya sekarang ada di tanah yang lembab...
He... he... he... kuburan! Anak saya pun meninggal... Hal yang aneh. Kematian
memasuki pintu yang salah. Seharusnya dia menjemputku, eh malah dia datang pada
anak saya..." Dan Iona berpaling untuk menceritakan bagaimana anaknya meninggal,
tetapi pada saat itu Si Bungkuk memberi tanda bahwa 'Puji Tuhan', akhirnya mereka
sampai. Setelah menerima 20 kopek, Iona menatap hampa pada para tukang pesta itu,
yang kemudian menghilang ke balik pintu gerbang yang gelap. Kembali Iona
menyendiri dan kembali kesepian menghampirinya. Kesedihan yang beberapa saat lalu
mereka muncul lagi dan membanjiri dadanya dengan kekuatan yang lebih besar. Mata
Iona menerawang dengan sedih dan penuh harap pada kerumunan yang berlalu lalang
di kedua sisi jalan: tak dapatkah ia menemukan satu dari ribuan orang ini yang mau
mendengarkannya? Akan tetapi, gerombolan orang ini berlalu tanpa ada yang peduli,
baik pada dirinya maupun pada kesedihan itu. Kemasygulan hati Iona tumpah ruah
seakan-akan hendak membanjiri dunia, tetapi belum terlihat. Sang kemalangan
sanggup bersembunyi pada sel yang sangat kecil, sehingga pada saat terang sekalipun
tak ada yang mampu melihatnya.... Iona melihat penjaga rumah yang membawa karung,
dan memutuskan untuk bicara dengannya. "Kawan, jam berapa ini?" tanya Iona.

"Hampir jam sepuluh... Kenapa kau berhenti di sini? Ayo pergi sana!" Iona maju
beberapa langkah, bertekuk dan menyerah pada duka lara. Menunjukkan pada orang-
orang dia pikir sudah tidak ada gunanya. Belum juga lima menit berlalu, ia sudah
meluruskan badan dan menggelengkan kepala seolah ia menderita sakit yang parah. Ia
mengibaskan pecutnya.... Dan tak kuasa menahan hal ini lebih lama lagi.

"Kembali ke terminal!" pikirnya.

"Ya, ke terminal." Dan kuda betina kecilnya seakan-akan mengerti pikiran Iona, ia mulai
berlari kecil. Satu setengah jam kemudian Iona sudah duduk di dekat perapian besar
yang kotor. Di lantai, di atas bangku-bangku orang-orang mendengkur. Udara pengap
dan bau. Iona melihat pada orang-orang ini. Ia menggaruk-garuk kepala dan menyesal
mengapa pulang terlalu cepat....

"Buat dedak saja sudah tak cukup," pikirnya.

"Itu sebabnya aku sedih. Manusia yang tahu betul bagaimana seharusnya ia bekerja...
yang sanggup mencukupi makanannya, dan makanan kudanya, selalu hidup lebih
tenang." Di salah satu sudut, seorang kusir muda terbangun, tenggorokannya
mengorok dan ia menjangkau ember air.

"Mau minum?"

"Begitulah."

"Minumlah... demi kesehatanmu.... Anakku.. anakku meninggal minggu ini... kau


dengar... di rumah sakit... Begitu ceritanya!" Iona menatap untuk melihat efek apa yang
ditimbulkan dari kata-katanya. Tetapi ia tak melihat apa pun. Si pemuda telah menutupi
kepalanya dan kembali tertidur. Sebesar rasa haus pemuda itu, sebesar itu pula
keinginan Iona untuk berbicara. Seminggu akan segera berlalu sejak kematian anaknya
dan dia masih belum dapat membicarakannya dengan siapa pun.... Ia ingin
membicarakannya dengan serius, dan tersusun... Iona ingin menceritakan bagaimana
anaknya terjangkit penyakit, bagaimana anaknya menderita, apa yang dikatakan
sebelum anaknya meninggal, bagaimana anaknya meninggal... Iona ingin memaparkan
dengan jelas dan tersusun bagaimana ia harus mendaftarkan penguburan dan
bagaimana ia berlari ke rumah sakit untuk mengambil pakaian mendiang. Ia masih
mempunyai seorang putri, Anisya, di desa... Ya, timbul hasrat untuk menceritakan hal
ini, juga padanya. Sang pendengar akan mengaduh, menarik napas, meratap. Makanya
harus bicara pada seorang wanita. Walaupun mereka makhluk yang menyedihkan,
tetapi mereka selalu meraung sejak dua kata pertama.

"Ah lebih baik melihat kuda," pikir Iona.

"Selalu ada waktu untuk tidur... Kau akan tidur nyenyak, tak ada yang perlu ditakuti..."
Iona memakai mantelnya dan pergi ke istal tempat kuda betinanya berdiri. Dia berpikir
tentang dedak, jerami, cuaca... Dia tak mampu berpikir lagi tentang anaknya, ketika
sendirian begini. Membicarakannya dengan seseorang mungkin dia mampu, tetapi
memikirkan dan menggambarkan anaknya.. sungguh sesuatu yang sangat
mengerikan....

"Kamu masih makan?" Iona bertanya pada kuda, sambil menatap matanya yang
bercahaya. "Ayo terus kunyah. Sejak kita tak cukup uang untuk membeli dedak, kita
hanya makan jerami. Ya... Aku terlalu tua untuk jadi kusir... Mestinya anakku lah yang
menjadi kusir, kusirmu sekarang... bukan aku, ... Mestinya dia masih hidup." Iona
terdiam sejenak, kemudian melanjutkan:

"Begitulah... Kuzma Ionitc telah pergi... dia mengucapkan selamat tinggal padaku. Dia
pergi tanpa alasan.... Bayangkan, seandainya kamu punya anak, dan kamu adalah ibu
kandungnya... kemudian anakmu mati... Kau juga akan sedih bukan?" Kuda betinanya
yang kecil tetap memamah biak, mendengarkan, dan mengendus tangan sang majikan.
Iona terhanyut dan menceritakan semua itu padanya. *

Diterjemahkan oleh Trisna Gumilar dari bahasa aslinya, 'Toska'. Diambil dari buku
kumpulan cerpen: A.P. Chekov-Raskazy I Povesty, hal: 56-60. Terbitan: Izdatelstvo
Detskaya Literatura, Moskwa, 1964.
Gus Jakfar

A Mustofa Bisri

Sumber: Kompas, Edisi 06/23/2002

“Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari
kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu,

"Saya sendiri tidak paham apa maksudnya."

"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang
sering mengikuti pengajian Subuh Kiai Saleh,

"Matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat
rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anaknya penjual rujak di terminal
lama yang dijuluki perawan tua itu. Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus
Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada
yang ngelamar ya?!'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet, "kalian kan mendengar sendiri
ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung
sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?!' Lho, ternyata
besoknya Kang Kandar meninggal."

"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "nggak
tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah
kepingin ikut bicara, "waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada
saya, 'Wah saku sampeyan kok mondol-mondol, dapat proyek besar ya?!' Padahal saat
itu saku saya justru sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya, saya
memenangkan tender yang diselenggarakan pemda tingkat propinsi."

"Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya
asyik mendengarkan.

"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil, "makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar.
Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu." ***

MAKA ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama
para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di
pesantren seperti Kang Solikin, yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-
mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu
sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi
membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan.
Ringkas kata dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas
Guru Slamet penuh penyesalan, "wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada
beliau?"

"Kemana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun, "kalau
saja kita tahu kemana beliau, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada
beliau dan mengapa beliau kemudian berubah."

"Tapi bagaimana pun, ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil, "paling tidak kini, kita bisa
setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti
pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang
terjadi dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita
langsung saja menemui beliau."

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jumat sehabis wiridan salat Isya,
dimana Gus Jakfar prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi
rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus
Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat
berupa keseganan, was-was, dan rasa takut. Setelah ngobrol kesana-kemari akhirnya
Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan,

"Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit
keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang
perubahan sikap sampeyan."

"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti, "Sikap yang mana?
Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."

"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru
Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca bahkan
diminta pun tak mau."

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera
meneruskan bicaranya. Diam agak lama, baru setelah menyeruput kopi di depannya,
dia melanjutkan: "Ceritanya panjang."

Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.

"Kalian ingat, ketika saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat
kami yakin dia benar-benar siap untuk bercerita, maka serempak kami mengangguk.

"Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali
sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar
200 km ke arah selatan. Nama Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-
kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri
yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk
berkenalan dan kalau bisa berguru kepada wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam
dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam
mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata ketika sampai disana,
hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal.
Baru setelah seharian melacak kesana-kemari, ada seorang tua yang memberi
petunjuk. 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak disana itu,' katanya, 'Nanti nakmas akan
berjumpa dengan sebuah sungai kecil, terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai
seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah kemungkinan
besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di
tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini
memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai
Tawakkal.' 'Ya, kiai Tawakal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' Saya pun
mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok
rumah gubuk dari bambu. Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah,
saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya
yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya
sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai
Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan
wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas
dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-
kata hikmah." Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian
melanjutkan,

"Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di
kening beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca
tulisan dengan huruf yang cukup besar berbunyi 'Ahli neraka'. Astaghfirullah! Belum
pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak
mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali,
berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurat sebagai ahli neraka. Tak
mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak
bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda
itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila."

"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang
saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk
menyelidiki dan memecahkan keganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai
Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya
sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat
jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya,
mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui
tamu; dan semisalnya. Kalau pun beliau keluar biasanya untuk memenuhi undangan
hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada
kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama,
itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda.
Semacam lelana brata kata mereka."

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat


kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir
inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini
mengganggu saya." "Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat kiai keluar
dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi
untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati, saya pun
membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan
setapak hingga ke jalan desa, kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap.
Akan kemana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan
semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba kiai
menoleh ke belakang."

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya
ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah
warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong,
saya mendekati warung terpencil dengan penerangn petromak itu. Dua orang wanita-
yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua-dengan dandanan yang
menor, sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit kesana-kemari. Tidak
mungkin kiai mampir ke warung ini, pikir saya; ke warung biasa saja tidak pantas,
apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-
tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil
nama saya. Masya Allah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan
penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan
tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuwan, saya pun
terpaksa masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh
dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti.
Kiai Tawakkal menyuruh orang di sampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini
tempat sedikit!'. Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, kiai memperkenalkan
saya. Katanya: 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari
pengalaman katanya.' Mereka yang duduknya dekat, serta merta mengulurkan tangan,
menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh, melambaikan tangan."

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-
tiba saya dengar kiai menawari, 'Minum kopi ya?' Saya mengangguk asal mengangguk.
'Kopi satu lagi, yu!' kata kiai kemudian kepada wanita warung sambil mendorong piring
jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggaan
warung ini!' Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'nya dan membiarkan


saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal
yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain, bisa berada di sini. Akrab dengan
orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana
brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari
umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini
mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O,
pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap pandangan saya terhadap beliau
berubah. 'Mas, sudah larut malam," tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan
lamunan saya, 'kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, kiai membayari
minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar.
Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati
kebun sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui, 'Biar
cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah
sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai
Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja.
Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung.
Beliau melambai, 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian
berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai
Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat
sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian, 'kita masih punya
waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.' Setelah saya ikut duduk
di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai berkata mengejutkan,
'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Apakah kau sudah
menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau seperti
masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu terhadap
kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar
rentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata
apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu
mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda 'Ahli neraka' di kening saya. Kau
pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang
pantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan
hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka
dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau
memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga
atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau
berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani
mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu,
pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita
ingin berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita.
Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku hanya
bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk
punggung saya, 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa
anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang
berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang
susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap-sikap lain
yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai
kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap
saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.' Malam itu
saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa
yang selama ini sudah saya ketahui. 'Ayo, kita pulang!' tiba-tiba kiai bangkit, 'Sebentar
lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa
diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi.
Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah
surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan
harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi,
jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari
mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang,
seseorang menghampiri saya, 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya
mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi
barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'
'Beliau dimana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya, 'Mbah Jogo
datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang
dan kemana beliau pergi.' Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo
yang telah berhasil merubah sikap saya itu tetap merupakan misteri." Gus Jakfar sudah
mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi mendengarkan, masih diam tercenung,
sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya. ***

Rembang, Mei 2002


Kunang-kunang Pelukis Kita

Martin Aleida

Sumber: Kompas, Edisi 05/05/2002

PARA pelayan sudah membenahi meja dan kursi yang kosong. Tinggal meja kami yang
masih bertahan. Kami, yang menjadi kelompok pelanggan terakhir ini, memperoleh
semacam kehormatan tersendiri dari pemilik kafe. Kami dibiarkan nongkrong sampai
kantuk dan dinginnya angin malam menyudahi pembicaraan yang bercampur-baur
antara serius dan guyon tentang sastra, seni lukis, teater, filsafat, politik, atau agama
atau desas-desus yang jalang. Yang menemani di depan kami terkadang cuma kopi
atau wedang jahe untuk melawan kantuk menjelang dini hari. Sudah agak lama juga
aku bergaul dengan teman-teman, tetapi belum juga bisa beradaptasi secara tuntas
dengan gaya bohemian mereka. Rumah selalu lebih menggelitik mengajak pulang.
Menjelang pukul sepuluh, aku bangkit dari tempat duduk, dan pamit. Namun, ketika
berdiri di depan counter hendak membayar, tiba-tiba bahuku dirangkul dengan hangat.
"Bung, tak jadi di lobi United Nations. Lukisan saya akan digelar di United Nations Plaza,
di seberang markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York juga," kata pelukis
kita mengoreksi berita yang didengungkannya kepadaku kemarin malam. Sengaja dia
meninggalkan teman-teman di meja hanya untuk membisikkan kabar itu kepadaku. Aku
tertanya-tanya, mengapa dia tidak menceritakan rencana yang jadi idam-idaman
banyak seniman itu ketika kami masih utuh di meja yang menjadi gelanggang
pertemuan kami tadi. Mengapa dia katakan hanya kepadaku seorang? Berbaik sangka,
kupikir aku memperoleh kehormatan dari dia, dan kataku, "Bagus, tidak kalah bergengsi
dari tempat yang pertama. Kalau publik yang diharapkan datang termasuk para duta
besar, tempat itu kan hanya selangkah dari gerbang markas besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Saya kira teman-teman juga akan sangat senang dengan berita ini.
Seingat saya, belum ada pelukis Indonesia yang berpameran di situ. Selamat...." Dia
belum juga melepaskan rangkulannya dari pundakku. "Sekali lagi, ini hanya untuk Bung.
Jangan ceritakan kepada yang lain," pintanya. Dan dia ngeloyor ke luar, bergabung
kembali dengan teman-teman, bersama-sama menghadapi satu-satunya meja yang
masih tersisa di pelataran kafe. Kalau itu pertanda hormatnya kepadaku, maka itu
bukanlah penghormatan terakhir yang aku peroleh dari sang pelukis. Dan menjadi
tanda-tanya besar bagiku, mengapa dia selalu menyampaikan berita eksklusif tentang
rencana pamerannya selalu persis pada saat aku sudah berdiri di depan counter.
Pernah sekali, tanpa sepengetahuannya, aku membayar pesanannya. Ternyata aku
salah sangka. Keesokan harinya uangku kontan dia kembalikan. Dan dia tak pernah
merasa sungkan bahwa setiap kali aku hendak membayar dia selalu datang dengan
nama tempat atau kota-kota metropolis yang baru, di mana katanya, dia akan
berpameran. Setelah United Nations Plaza tempo hari, kemudian dia bisikkan ke
kupingku bahwa dia akan tampil di Museum of Modern Art, lantas di Guggenheim
Museum, di New York juga. Tak jadi di sana, katanya pada malam berikutnya, National
Meseum of Modern Art di Washington DC. siap menyambut kedatangannya. Seraya
melirik aku mengeluarkan uang receh untuk membayar teh manis dan kerupuk, dengan
tangan terus bergelantungan di bahuku, katanya dia akan segera bertolak untuk
memajang lukisan-lukisannya di Paris. Beberapa hari kemudian, di depan counter,
katanya dia tak jadi ke ibu kota Prancis itu, tapi akan terbang ke Praha. Kemudian, tak
jadi ke sana, tujuan yang benar adalah London, lantas Stockholm, menyusul Pretoria,
berikut lagi Kairo dan sesudah itu Tokyo. Kota-kota itu tiap malam mendapat giliran
masuk dan keluar dari kupingku. Sebagai seorang pelukis perasaannya tentulah amat
peka. Dan aku tak pernah menunjukkan rasa kesal karena merasa dipermainkan oleh
rencana besar yang tak pernah kesampaian. Untuk setiap bisikan selalu kusambut
dengan kegairahan yang tak pernah luntur sedikit pun. "Selamat, saya bahagia
mendengar rencana Anda ini, mudah-mudahan yang ini berhasil. Kalau sudah sampai
di sana tulislah surat kepada kami," itulah kata-kata terakhir yang saya ucapkan
kepadanya setelah mendengar rencana keberangkatannya ke kota tujuannya paling
akhir, dan mudah-mudahan menjadi kenyataan: Moskwa. Ganti aku yang merapatkan
mulut ke dekat kupingnya dan kutambahkan lagi dengan berkelakar, "Kuatkan hatimu.
Hati-hati, walaupun Uni Soviet sudah rubuh, di kota itu masih banyak propagandis
merah." Setelah itu dia benar-benar menghilang. Kalau kafe itu dari jauh bisa
dibayangkan sebagai lukisan, maka satu goresan sudah lenyap dari sana. Meja khusus
di pelataran itu tidak pernah menyaksikannya lagi. Sampai pada suatu malam teman-
teman disentakkan oleh kabar yang disampaikan pemilik kafe bahwa pelukis kita,
katanya, telah terbang ke Jerman, mengikuti pameran lukisan di sana. Dia tidak
meninggalkan utang barang sepeser pun. Semua bon sudah dia lunasi. Aku diam saja,
menyembunyikan perasaan yang sedang terkecoh. Hamburg buatnya tentu lebih baik
daripada Moskwa, bisikku membujuk hati sendiri. ***

MEJA di pojok kafe yang diteduhi pohon angsana itu tetaplah tempat yang
menggairahkan, hidup dengan pembicaraan yang ngalor-ngidul dan tawa berderai.
Terkadang ditingkahi harmonika genggam yang dimainkan dengan lincah oleh seorang
teman pengarang yang berbakat besar dan berketerampilan majemuk. Membuat meja
di pojok khusus itu menjadi semacam suar yang punya daya tarik khusus bagi
pengunjung yang lain. Pada suatu malam seorang teman yang sudah agak lama tak
muncul di meja itu datang dengan berita yang mengagetkan. Katanya, dia melihat sang
pelukis dan anak-istrinya terdampar di pos komando penyelamatan banjir, tak jauh dari
rumahnya. Kabar buruk itu membuat orang saling berpandangan di sekeliling meja kafe.
Ada yang mengira si-pembawa berita hanya mau bercanda. Tetapi, dia bersungguh-
sungguh dengan apa yang dia katakan. Demi Tuhan, katanya, dia menyaksikan si-
pelukis jongkok kedinginan di antara ratusan pengungsi yang ditampung di satu aula
gedung sekolah. Katanya, dia enggan untuk menghampiri, karena tak mau membuat
penderitaan si-pelukis lebih parah lagi. Tak sampai hati memergoki dia berbohong
dengan cerita mau berangkat ke Jerman, tetapi ternyata ngendon di pos penampungan
korban banjir. Kami tak percaya. Apalagi si-pembawa berita sudah terkenal sebagai
tukang bual, yang acapkali membawa kabar yang mengecoh hanya untuk
membangkitkan tawa. Ceritanya selalu merupakan campuran antara khalayan dan fakta.
Tetapi, karena dia bersumpah bahwa dia tidak mungkin main-main dengan nasib si-
pelukis, akhirnya kami putuskan mengirim seseorang untuk mengecek kebenaran berita
tersebut. Keesokan harinya, utusan itu sudah duduk menghadapi meja sejak matahari
belum terbenam. Di kalangan teman-teman dia dikenal sebagai orang yang hampir tak
mengenal canda, selalu serius, jidat selalu berkerut. Ketika meja sudah penuh terisi,
dengan wajah mutung dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke daun meja. Katanya
meyakinkan, "Jangan suka guyon dengan dunia ini. Mata kepala saya sendiri melihat
dia terbaring di atas tikar. Lama saya menunggu sampai dia bangun untuk meyakinkan
mata saya bahwa yang sedang tergolek itu memang benar-benar pelukis kita. Ya,
kenyataan adalah kebenaran yang pahit. Tetapi, apa mau dikata, memang dia..."
Gesekan angin pada daun-daun angsana di ubun-ubun kafe itu membuat perasaan
mereka yang duduk mengelilingi meja khusus itu jadi seperti tertindih. Ibarat lukisan,
malam ini meja itu adalah kanvas yang didominasi warna kelabu. Semua mutung.
Semua murung. Dicapai kata sepakat, besok siang semua supaya kumpul kembali di
kafe untuk kemudian berangkat menjenguk pelukis kita. ***

DARI udara, sebulan yang lalu, Jakarta kelihatan bagai lukisan tiada berpigura, dengan
cat coklat keunguan meraup di mana-mana. Tak pernah dalam sejarah Jakarta
mengalami nasib seburuk ini. Tak ada yang bisa menghindar dari jilatan air bah.
Semuanya kena. Bekas presiden yang pernah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa
maupun presiden aktif yang baru memerintah seumur kencur sama tak bisa mengelak.
Apalagi hanya seorang pelukis yang belum jadi, yang mabuk karena angan-angannya
yang liar. Waktu itu, ketika pelukis kita pulang dari kafe di Taman Ismail Marzuki, dia
tidak lagi menemukan anak-istrinya di rumah. Air sudah mengangkangi lemari dan
seluruh lukisannya terbenam. Ketika rombongan kami tiba di aula sekolah yang menjadi
pos penampungan korban banjir di mana pelukis kita dikabarkan berada, kami
menemukan dia sedang duduk bersandar ke dinding, sementara anak dan istrinya
berbaur dengan orang-orang yang telantar di situ. Perjumpaan itu aneh dan sangat
dingin. Kami tidak hanya menyalami dan mencurahkan kata-kata simpati kepadanya,
tetapi juga merangkulinya. Anehnya, dia hanya diam membeku. Matanya kosong. Kalau
ditanya dia tak menyahut, cuma memakukan matanya ke lantai. Mata kami tertarik pada
lukisan dua kali tiga meter yang tergantung di dinding, persis di atas buntalan yang
teronggok di lantai. Alat-alat lukis terserak di dekatnya. Lukisan itu kelihatannya baru
saja diselesaikan. Bingkainya belum dirapikan benar. Kami kenal betul sapuan-sapuan
catnya adalah pernyataan jiwa pelukis kita. Kami tanya, kapan diselesaikan, dia tidak
menjawab. Di atas kanvas itu terpampang potret dirinya yang bertelanjang dada sedang
jongkok mencangkung, mulut tertutup rapat dengan mata yang liar menatap ke depan.
Di belakangnya, dalam warna kelabu berbaur dengan hijau, terhampar ribuan kepala
manusia dan pohon-pohon yang hanyut, sementara matahari mengapung berat di
kejauhan. Terasa mata yang menatap liar ke depan itu begitu kuat menyatakan sikap
tak mau menyerah, mau menegakkan harga diri, walaupun penderitaan mengelilingi.
"Takkan salah, ini lukisannya yang terbaik. Saya belum pernah melihat lukisan realisme
Indonesia sekuat ini. Perhatikan matanya, dan juga latar belakang yang menambah
aksentuasi akan apa yang ingin diucapkannya," komentar seorang teman. Kami semua
terperanjat melihat baskom yang diletakkan di bawah lukisan itu. Beberapa lembar
uang ratusan, ribuan, tumpang-tindih di situ. Kami yang datang menjenguk saling
pandang. Mata kami saling berkata betapa kuatnya lukisan yang terpampang di tembok
itu sehinga bisa menggugah orang untuk meringankan beban pelukis kita, walaupun
mereka sendiri barangkali berada dalam kepungan banjir yang membawa kesusahan.
Kami kembali saling-pandang dan hati kami sepakat untuk menyumbangkan uang
sebanyak yang bisa kami berikan. Ketika kuletakkan beberapa lembar uang kertas,
terbayang di kepalaku setelah banjir surut ribuan orang datang berduyun-duyun
mengunjungi pos penampungan korban banjir itu untuk menyaksikan lukisan dahsyat
yang telah digoreskan oleh seorang pelukis, yang dengan memikat telah memindahkan
sikap pantang menyerah ke permukaan kanvas. Sapuan-sapuan kuasnya
menghanyutkan. Ribuan orang datang dan memberikan sumbangan sekuatnya, tanpa
ada keinginan sedikit pun memiliki lukisan itu. Mereka telah menjungkirbalikkan sikap
mau menguasai dari para kolektor yang sedang menjajah seni lukis. Puncak
pencapaian budaya seharusnya memang menjadi milik bersama. Karena dia adalah
ungkapan diri kita secara kolektif. Kami melangkah mendekati pelukis kita. Bergantian
kami memeluk dan membisikkan kata-kata yang membangkitkan gairah hidup
kepadanya, walaupun dia hanya tetap membisu. Kami tahu dia sedang berjuang
mengatasi apa yang sedang bergolak di dalam hatinya. Sebelum tiba giliranku
berpamitan, begitu hendak memeluknya, tiba-tiba dia melangkah maju merangkul
pundakku, menatap mataku, dan katanya,

"Maaf Bung, saya telah beratus kali berbohong, sehingga dapat ganjaran seperti ini."
Kubalas pelukannya dengan rangkulan yang lebih erat.

"Jangan lagi berangan-angan terbang ke mana-mana. Anda akan menjadi besar di sini,
dan biarkan dunia yang datang dengan sendirinya menjemput Anda. Sungguh, benar
kata teman tadi, saya juga belum pernah melihat lukisan dengan ekspresi sekuat
lukisan Anda yang di dinding itu." Dalam perjalanan pulang, teman-teman
menumpahkan iri hati mereka karena hanya kepadaku pelukis kita mau berbicara.

"Heran... apa yang dia katakan?" tanya mereka. Aku tersenyum.

Sesekali, kupikir, boleh juga mengecoh berseloroh, dan aku meletup, "Kalau dia punya
uang suatu ketika, dia ingin membeli aula sekolah itu untuk didedikasikan sebagai
museum korban banjir."*

______________________________________________________________________

Tato Naga dan Inisial "SL"

Teguh Winarsho AS

Sumber: Kompas, Edisi 06/30/2002

GADIS itu hanya menatap sekilas lalu melenyap menyibak kerumunan. Keluar dari
kerumunan dengan kepala tertunduk hingga sebagian rambutnya berjatuhan menutupi
wajahnya. Sementara sepasang kakinya melangkah cepat-cepat menyeberang jalan,
berhenti di pinggir, menghadang kendaraan umum lewat. Ia tampak cemas, tergesa-
gesa. Sesekali ia mengangkat telapak tangannya di atas alis mata menghalau cahaya
matahari. Namun, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan rona wajahnya yang putih-
pucat seperti habis ditampar.Belum ada kendaraan umum yang melintas membuat
gadis itu kian cemas, menggigit bibir. Berkali-kali ia melirik arloji warna kuning emas di
tangannya dengan perasaan kesal. Lalu berjalan mondar-mandir sembari sesekali
menyorongkan tubuhnya kebahu jalan menatap arah jalan berlawanan memastikan
apakah sudah ada kendaraan umum yang muncul dari tikungan jalan nun di sana. Tapi
ia selalu kecewa sebab selain arak-arakkan perempuan dengan punggung terbungkuk-
bungkuk penuh beban menuju pasar, sepeda onthel dengan keranjang sayur,
kendaraan umum yang ia tunggu belum juga tampak.Meski sadar bahwa berpikir pagi
ini tak ada kendaraan umum yang melintas di jalan depan itu adalah pikiran sangat tolol,
tapi entah kenapa diam-diam pikiran semacam itu melesak juga dalam batok kepalanya.
Membuat pori-pori kulit wajahnya meregang merembes cairan bening-menjadikan ia
ekstra sibuk harus melap cairan itu dengan perasaan gugup dan tangan gemetar.
Membuat degup jantungnya kian berdebar-debar. Ya. Boleh jadi para sopir angkutan itu
pagi ini mogok karena jumlah setoran yang semakin lama dirasa semakin mencekik
leher, tak sebanding dengan tarif yang dikenakan bagi para penumpang. Atau, siapa
tahu juragan armada angkutan itu mendadak bangkrut, menjual semua armadanya lalu
beralih profesi sebagai juragan beras atau tembakau? Segalanya bisa mungkin!Hari
masih pagi, tapi tidak seperti biasanya sinar matahari terasa menyengat ubun-ubun.
Namun, begitu-dari pinggir jalan gadis itu melihat sendiri dengan pandangan mata kian
nanar-tak menyurutkan keinginan orang untuk memastikan sesosok tubuh laki-laki yang
menggantung di pohon waru seberang jalan. Tidak terlalu tinggi memang, namun kebun
yang hanya ditumbuhi rumput ilalang dan semak belukar itu cukup jelas menampakkan
sosok laki-laki itu. Tubuhnya sesekali bergoyangan tertiup angin. Matanya mendelik,
lidahnya terjulur. Orang-orang yang hendak menuju pasar atau anak-anak yang mau
berangkat sekolah kian memadati kebun kosong tempat laki-laki itu menggantung
diri.Percakapan mengalir dari mulut orang-orang itu membuat suasana pagi yang panas
kian terasa gerah. Beberapa orang yang baru datang dan segera mengenali sosok laki-
laki itu, menampakkan keterkejutan luar biasa, menggosok-gosok mata seperti tidak
percaya. Mudrika, laki-laki naas itu selama ini dikenal sebagai preman pasar yang
cukup ditakuti. Tubuhnya kekar, wajahnya tampan meski sorot matanya sedingin salju.
Ada tato di dada kirinya dan bekas jahitan luka di lengan kanannya. Tidak ada orang
yang tidak kenal nama Mudrika meski barangkali belum pernah melihat wajahnya.
Selain berjudi dan mabuk-mabukan Mudrika suka memalak toko-toko milik warga
keturunan yang berderet di sepanjang jalan kawasan pasar. Hanya toko-toko milik
warga keturunan saja yang ia palak sedang toko-toko lain tidak.Matahari kian
merangkak ke atas. Angin berhembus menggoyang-goyang mayat Mudrika seperti
bandol jam. Kadang batang pohon waru itu berkeriut seperti mau patah saat angin
keras datang menghempas. Membuat perempuan-perempuan di sekitar itu kerap
menahan nafas, menutup mulut dengan telapak tangan, atau memejamkan mata, tak
sanggup membayangkan jika batang pohon waru itu benar-benar patah. Apa jadinya
jika batang pohon waru itu benar-benar patah dan mayat Mudrika yang sudah kaku itu
terhempas ke tanah? Mungkin kakinya akan patah dan tulang-tulangnya melesak keluar.
Betapa mengerikan. Tapi perempuan-perempuan itu seperti terhipnotis, terus tegak di
situ, terus bercakap-cakap hingga mulut mereka berbusa seperti rendaman cucian.Di
pinggir jalan gadis itu terus didera gelisah sebab kendaraan umum yang ia tunggu
belum juga datang. Tubuhnya basah keringat. Kedua lututnya gemetar. Ia ingin segera
enyah dari tempat itu tapi kedua kakinya terasa berat untuk melangkah. Ia khawatir
tidak lebih sepuluh langkah tubuhnya akan oleng lalu rubuh ke tanah. Kerumunan orang
di kebun kosong itu pastilah akan segera berhamburan pindah mengerumuni dirinya.
Lalu, ah, bagaimana jika orang-orang itu kemudian menghubung-hubungkan dirinya
dengan kematian Mudrika?

SEGERA kerumunan orang itu menyingkir memberi jalan pada empat Polisi yang
datang sangat terlambat di tempat kejadian. Dua orang polisi tampak sibuk bicara
dengan pesawat HT sementara dua lainnya membentangkan garis kuning pengaman.
Orang-orang yang ada di sekitar situ terus bercakap-cakap dalam nada yang semakin
lama semakin keras. Membuat lokasi kebun itu mirip tempat lelang pegadaian. Tidak
berselang lama datang tiga orang polisi yang kemudian bekerja cepat menurunkan
mayat Mudrika.Entah digerakkan oleh kekuatan gaib apa, tiba-tiba gadis itu bergegas
menyeberang jalan menghampiri kerumunan, merangsek masuk ke dalam. Di atas
tanah merah dan rumput ilalang yang patah-patah sebab terlalu banyak kaki yang
menginjak, dengan jelas ia bisa melihat mayat Mudrika dibaringkan, kaku seperti
gelondong kayu. Seorang polisi dengan sigap melepas tali yang membelit leher Mudrika
lalu memaksa mengatupkan kedua belah matanya. Namun, tidak mudah mengatupkan
mata yang sekian jam melotot, karenanya Polisi itu kemudian menyobek daun pisang
lalu menutupkan di wajahnya.Angin yang tiba-tiba berhembus kencang membuat
beberapa kancing baju bagian atas Mudrika lepas, membuka. Sontak pandangan
orang-orang tertuju pada dada kiri Mudrika. Tampak gambar tato naga dalam ukuran
besar, seperti masih baru--tidak proporsional dengan bidang dadanya. Percakapan
kembali membuncah. Orang-orang yang sering melihat Mudrika diam-diam merasa
keheranan. Mereka tahu, dulu tak ada gambar tato naga di dada Mudrika, melainkan
gambar tato keris. Mereka bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Mudrika mengganti
gambar tato keris dengan tato naga? Tapi secepat pertanyaan itu melesat dari batok
kepala setiap orang, secepat itu pula mereka segera melupakannya. Namun, tidak bagi
perempuan itu.Dan perempuan itu, entah karena apa pula tiba-tiba tak bisa menahan
debar jantungnya yang berdetak tidak karuan manakala melihat polisi itu mulai
menggeledah pakaian Mudrika dan menemukan lipatan kertas warna merah jambu di
saku celana Mudrika. Sejenak Polisi itu mengamati lipatan kertas itu, dibolak-balik,
dibuka, dibaca, mengerutkan kening, lalu... mengedarkan pandangan pada kerumunan,
tajam, seperti tengah menyelidiki wajah demi wajah yang ada di situ. Membuat gadis itu
gugup, menggeser sedikit tubuhnya ke samping berlindung di balik tubuh pengunjung
yang lebih besar.

HINGGA siang hari pihak kepolisian belum mampu menguak misteri kematian Mudrika.
Kenapa Mudrika, preman pasar yang ditakuti itu tiba-tiba bunuh diri. Ada indikasi bahwa
Mudrika bunuh diri karena patah hati, cintanya ditolak. Tapi tentu saja pihak kepolisian
tidak mau gegabah menyiarkan kesimpulan itu karena tak ada bukti-bukti kuat kecuali
sepucuk surat yang ditemukan di saku celana Mudrika yang sudah sulit dibaca karena
selain lecek, luntur terkena keringat, juga tulisannya jelek persis cakar ayam. Sepucuk
surat itu sedianya akan dikirim untuk seorang gadis yang namanya disingkat "SL". Kini
pihak Kepolisian justru sedang berusaha keras mencari gadis dengan inisial "SL"
seperti tercantum dalam surat itu. Para Polisi itu yakin dengan ditemukannya gadis
berisinial "SL", maka misteri kematian Mudrika akan bisa diungkap. Tapi tentu saja ini
merupakan pekerjaan rumit dan melelahkan.Sementara itu di sebuah kamar yang sepi
siang itu, seorang gadis cantik duduk di kursi menghadap jendela diluluri kesedihan
mendalam. Tatapan matanya menerawang kosong menembus batang-batang pohon
singkong di pekarangan samping. Di benaknya mengendap bayangan seorang laki-laki
bertubuh kekar dan bertato. Teringat pula olehnya pertemuan demi pertemuan dengan
laki-laki bertato itu yang sering dilakukan sembunyi-sembunyi. Hingga pertemuan
terakhir semalam di tepi jalan yang remang saat laki-laki itu menunjukkan tato gambar
naga di dada kirinya sebagai bukti kesungguhan cintanya terhadap dirinya sekaligus
niat ingin merubah tabiat buruknya. Ah, andai saja dia mau bersabar, pasti tidak begini
kejadiannya. Padahal aku hanya perlu waktu dua atau tiga hari untuk memastikan
bahwa dia benar-benar mencintaiku. Juga untuk membicarakan semua ini pada Papa
dan Mama. Atau, memang begitukah tabiat seorang laki-laki, selalu buta setiap kali
jatuh cinta? Batin gadis itu melongsorkan nafasnya yang sekian lama tertahan di dada.

"Shin Ling, Shin Ling, apakah kau sudah dengar preman pasar itu semalam mati
gantung diri? Bergembiralah, toko kita kini aman."Tergeragap, Shin Ling, gadis cantik
bermata sipit itu menoleh. Tampak seraut wajah tua berbinar-binar menyembul dari
balik pintu. Namun, seperti tidak bergairah, hanya sekilas gadis itu menatap perempuan
tua di depannya sebelum bola matanya perlahan bergerak ke atas, berdebar
jantungnya saat menatap gambar naga di atas pintu.

Pula hatinya kian disesah rindu...

"Ada apa Shin Ling? Kenapa kau? Sakit? Segeralah kau telepon Paman Koh Wat.
Sampaikan kabar gembira ini!"Malas gadis itu menghampiri kotak telepon di sudut
kamar. Tapi ia sudah yakin dengan pilihannya sendiri untuk menghubungi kantor Polisi.
*

Depok, 2002
Sinar Mata Ibu

Harris Effendi Thahar

Sumber: Kompas, Edisi 06/02/2002

Hari Minggu, tidak terlalu pagi. Tiba-tiba istri saya berteriak memanggil nama anak-anak
seperti ketakutan. Saya yang sedang sibuk menguras bak di kamar mandi buru-buru
keluar, ingin tahu apa gerangan yang terjadi.

”Ibu mana?" tanyanya cemas.

"Papi sih, mestinya keluar masuk pekarangan, pintu pagar digembok. Kalau tidak, ibu
pasti kabur." Saya belum sempat bereaksi, putri bungsu saya buru-buru mencari sandal,
lalu nyerocos menembus pintu pagar, memburu neneknya yang sudah mulai pikun itu.
Istri saya menarik napas. Tapi saya curiga, kalau-kalau sepeninggal saya di kamar
mandi tadi, istri saya telah berbicara agak kasar dengan ibunya. Padahal, sebelumnya
mertua saya itu duduk-duduk di teras sambil membaca-baca koran edisi Minggu yang
baru saja saya terima dari loper. Ia masih suka baca koran sambil berdiskusi dengan
saya. Sayalah satu-satunya menantu beliau yang mau berdiskusi tentang apa saja,
termasuk mendengarkan cerita-cerita nostalgianya di masa lalu. Apalagi kalau sesekali
saya bertanya tentang kata-kata Belanda yang diucapkannya di sela-sela percakapan
kami, ia tampak bersemangat.Sejak meninggalnya bapak mertua saya beberapa tahun
lalu, ibu tinggal bersama anak-anaknya secara bergilir sesuka hatinya, terutama di
rumah anak-anak perempuannya yang semua telah memiliki rumah. Itu bukan berarti
ibu tidak pernah tinggal di rumah Rudi, satu-satunya anak lelaki beliau dan bungsu, tapi
tidak dalam waktu yang lama. Tidak lebih dari seminggu.

"Istri Rudi itu tidak bisa masak. Kasihan Rudi. Dia itu sejak bayi hingga jadi mahasiswa
tak pernah merasa enak makan, kecuali masakan ibu," kata ibu mertua saya itu kepada
saya. Dan, itu sudah yang kesekian kali diucapkannya hampir setiap kembali dari
rumah Rudi, begitu ia memulai giliran tinggal di rumah kami. Di waktu yang lain, ia
berkata:
"Kasihan Rudi, istrinya tidak telaten merawat suaminya. Anak-anak dibiar manja sama
bapaknya. Padahal, bapaknya capek, kan?"Pernah ibu mertua saya itu baru menginap
semalam, paginya langsung menelepon saya: minta dijemput. Saya janjikan akan
menjemputnya sore hari, sehabis jam kerja saya, tapi beliau bersikeras pagi itu juga.
Sudah barang tentu ada apa-apanya. Kami sudah menduga apa yang terjadi, dan saya
pun menjemputnya pagi itu dengan mengorbankan jam kerja.Begitu ibu menginjakkan
kaki di teras, ia langsung memuntahkan kekesalan hatinya. "Mantuku itu selalu salah
terima kalau ibu memberi nasehat."

"Memang ibu bilang apa sama dia?" istriku menyambut."Ibu hanya minta dia bikinkan
telor mata sapi untuk suaminya ketika ibu lihat lauk untuk makan malam suaminya
sudah menipis," keluhnya mengenang.

"Apa itu berarti mencampuri? Padahal, ibulah yang paling tahu apa yang disuka Rudi.
Bahkan, sejak dari dalam kandungan, ibu tahu apa yang disukai Rudi."

TUHAN punya kehendak lain. Tiba-tiba saja Rudi meninggal dalam waktu beberapa
menit setelah mobilnya menghantam bus kota sewaktu menuju ke kantornya di pagi
Senin yang naas. Agaknya Tuhan juga memperlihatkan kekuasaan-Nya, Rudi yang
baru berusia empat puluhan dan paling bungsu dari tujuh bersaudara dipanggil paling
awal oleh-Nya. Kami semua terpukul, apalagi ibu. Padahal, seminggu sebelumnya,
Rudi telah menyampaikan gagasannya kepada kami semua untuk memberikan hadiah
istimewa di hari ulang tahun ibu yang ke-80 beberapa bulan lagi.Sejak kepergian Rudi,
ibu sangat berubah. Pandangan matanya terlihat kosong. Ibu jadi pendiam dan amat
perasa. Dan, ibu bisa tidak tidur semalaman jika siangnya tidak ada yang bersedia
mengantarnya ke kuburan Rudi di bulan pertama setelah kepergian Rudi. Di bulan
pertama itu, kalau hari tidak hujan, acara ziarah ke kubur itu menjadi wajib bagi ibu.
Kami, mantu-mantu ibu secara bergantian mengantar ibu ke pemakaman umum yang
terletak di pinggir kota.Selain menangis dan berdoa di kubur Rudi, ibu bercakap-cakap
dengan batu nisan. Gerombolan pengemis, petugas kebersihan pemakaman, dan
penjual kembang seperti sudah menjadi langganan ibu. Untuk itu kami selalu
membelaki ibu uang receh secukupnya. Soalnya ibu hampir-hampir tidak mengenal lagi
nilai mata uang. Ibu akan memberikan lembaran uang berapa pun jika ada pengemis
meminta, tidak peduli lembaran lima puluh ribuan, atau seratus ribuan.

"Ah, apakah artinya kertas-kertas itu. Lebih baiklah dikasihkan kepada orang yang lebih
membutuhkannya," jawab ibu ketika istri saya menyoal ibu setelah nekat memberikan
uang lima puluh ribuan kepada pengemis buta di gerbang pemakaman.

"Banyak yang dapat dilakukan dengan uang sebanyak itu, Bu. Uang sebanyak itu bisa
untuk jajan si Oni seminggu. Atau untuk membeli keperluan dapur," kata istri saya.

"Apa kamu kekurangan uang? Uang pensiun papamu masih banyak di bank. Sudah
lama ibu tidak mengambilnya. Kamu mau, atau kamu perlu? Berapa?"

"Bukan begitu, Bu. Ibulah yang mengajar kami dulu supaya hidup jangan boros."

"Kalau untuk akhirat, ibu mau boros. Itu semua bakal diganti Tuhan dengan imbalan
yang berlipat ganda di sorga. Ibu sekarang mau ke sana," ujar orang tua itu dengan
mata berlinang.Kalau sudah begitu, saya akan menarik istri saya dan memintanya
untuk bersabar dan bersikap baik dan santun pada ibu. Apalagi akhir-akhir ini ibu mulai
nyinyir, suka lupa, sekaligus pendiam.

"Semua tingkah laku aneh itu harus disikapi dengan kesabaran seorang anak yang
berbakti," saya bilang. Tapi, itu bukan berarti istri saya selalu waspada bila giliran ibu
berada di rumah kami.Seperti kejadian seminggu lalu, ibu tiap sebentar mengatakan
bahwa pembantu Kak Nurma-kakak istri saya-itu pencuri. Gelang emas peninggalan
nenek telah dicuri pembantu itu ketika ibu sedang mandi.

"Gelang ibu itu sekarang disimpan Kak Nurma. Soalnya, ibu suka menaruhnya di
sembarang tempat. Untung pembantu itu jujur, ia serahkan gelang itu pada Kak Nurma
ketika ia menemukan gelang itu di kamar mandi," jelas istri saya.

"Anak itu memang pencuri. Taroklah gelang itu ia tidak berani mengambilnya. Tapi yang
lain-lain?"

"Apa misalnya?"

"Banyak. Hampir tiap hari Yeni memberi ibu apel atau jeruk. Nanti, ketika ibu ingin
makan buah itu, hilang. Tanya sama dia, selalu bilang tidak tahu. Siapa lagi kalau
bukan dia, orang kampung rakus itu? Coba!"Istri saya tertawa ngakak.

"Kok, kamu tertawa?"

"Habis, saban Kak Nurma menelepon saya, pasti ada saja yang diceritakannya tentang
ibu. Nah, di antaranya buah-buah itu sering ditemukan sudah membusuk di dalam
almari pakaian ibu. Kadang-kadang kalau pembantu itu membersihkan kolong tempat
tidur ibu, juga sering ditemukan apel busuk, jeruk busuk. Jadi, ibu jangan sembarang
tuduh orang mencuri. Katanya mau beribadat. Itu kan menambah dosa jadinya. Ya,
enggak?"Ibu lama terdiam. Ketika saya keluar ingin menetralisasikan suasana, dengan
senyum seramah mungkin kepadanya, ibu menatap saya seperti minta perlindungan
dari "ancaman" dosa yang di lontarkan istri saya tanpa kontrol. Saya mengajak ibu
makan bersama saya. Saya kode istri saya agar menghidangkan makan siang meski
baru pukul sepuluh di hari Minggu itu. Ibu menurut.Melihat tumpukan buah jeruk di atas
tempat buah di meja, ibu kembali lagi mengulangi unek-uneknya.

"Pembantu Nurma sering mencuri jeruk ibu," katanya ketika mau duduk. Istri saya yang
sedang menuang air ke gelas, langsung berhenti dan menatap ibu sambil berkata:

"Nah, ibu mulai lagi bikin dosa. Ibu sudah mulai pikun ya? Tadi saya bilang apa?"Ibu
kembali memandang saya seperti minta perlindungan dari kata-kata istri saya yang
menusuk sanubarinya. Saya melihat sinar mata ibu yang sarat masa lalu. Betapa
bahagianya dulu ia, istri seorang ambtenaar, dikaruniai tujuh anak, berpendidikan
sekolah khusus anak-anak Belanda dan kaum priyayi. Kini, masa tua yang tak berdaya,
telah membuatnya semakin tak berdaya melawan ketuaannya. Sinar matanya
mengingatkan saya pada almarhumah ibu saya sendiri, dan mata ibu-ibu lanjut usia
pada umumnya.

"Ayo, Bu. Kita makan," saya menengahi suasana.

"Tidak, ibu masih kenyang."

"Ayolah, sedikit saja. Biasanya kalau bersama ibu, makan saya jadi enak."
"Kali ini ibu mendadak kenyang oleh kata-kata istrimu."

"Ibu jangan ambil hati. Di rumah ini ibu lebih baik mendengar saya daripada dia."

Saya tak berhasil. Ibu berdiri menuju teras kembali. Saya meneruskan makan agak
cepat. Begitu mencuci tangan, istri saya kelihatan cemas. Pintu pagar terbuka. Ibu tidak
ada. Putri sulung saya-cucunya yang paling disayang ibu di rumah kami-buru-buru
mengejarnya. Didapatinya ibu sedang bingung mau menyeberang jalan raya yang lebar
dan dua jalur penuh kendaraan.Sejak itu kami waspada dengan pintu pagar kalau ibu
tinggal bersama kami. Tentu saja dengan menjaga perasaannya, terutama dari kata-
kata yang kadang-kadang bisa lebih tajam daripada silet.

PUTRI bungsu saya, yang tadi mengejar neneknya, kembali terengah-engah dengan air
mata berlinang. Saya telah menduga bahwa ia tidak berhasil menemukan neneknya.
Saya langsung mengeluarkan mobil, tapi tidak tahu mau mencari ke mana. Istri saya
sibuk menelepon saudara-saudaranya, memberi kabar tak sedap itu.Saya menduga-
duga kalau ibu pergi ke kuburan Rudi. Tapi, tidak mungkin karena ia tidak bisa naik
oplet atau taksi. Lagi pula ia pergi tanpa uang dan tak dapat menentukan ke arah mana
ia harus pergi, ia sudah kehilangan kesadaran geografis. Namun, saya arahkan juga
mobil ke kompleks pemakaman itu, sambil menyusuri jalan pelahan-lahan, kalau-kalau
ibu nekat berjalan kaki.Di kuburan kami bertemu berempat, sesama menantu ibu. Ibu
tak ada di sana. Bang Sapar, suami Kak Nurma, berencana melapor ke kantor polisi
terdekat. Tapi, saya masih punya harapan. Saya pulang ke rumah. Istri saya cemas
ketika melihat saya pulang tanpa ibu. Saya langsung saja menuju kamar putri bungsu
saya yang punya tempat tidur besar. Saya mengambil senter dan menyenter ke bawah
kolong tempat tidur itu sambil tiarap.Mata ibu berkedip-kedip menahan sinar senter
saya. Saya menghadiahi ibu senyuman. Ibu membalasnya. Dan, saya mengulurkan
tangan. **

Padang, 10 April 2002


Ikan dalam Kabut

Herlino Soleman

Sumber: Kompas, Edisi 05/19/2002

ADA satu hal yang ingin kukatakan secara khusus bahwa selama ini aku selalu
terpesona oleh kabut. Setiap kali melewati dataran tinggi berbukit-bukit dan bergunung-
gunung dengan kabut mengambang dekat di atas permukaan tanah, aku selalu
terpesona olehnya. Secara sederhana aku pernah menerjemahkan keterpesonaanku
atas kabut adalah bahwa kehadirannya selalu identik dengan kesejukan, hijau
perbukitan, dan oleh karenanya aku selalu terbawa pada suasana khayali yang
membuatku merasa menempati puncak ekstase kesegaran. Mungkin saja hal ini
dipengaruhi oleh kenyataan bahwa setiap kali melihat kabut aku selalu teringat pada
perkebunan kopi milikku yang kini hanya kunikmati dalam angan-angan. Semerbak
wangi kembangnya, bening air pancuran di tengah-tengah perkebunan kopi itu, dengan
suara gemericiknya melantunkan nyanyian yang selalu melambaiku pulang,
memberikan nasihat yang baik tentang hidup yang baik. Tak jelas benar apakah itu
berarti hidup dengan kicau burung-burung, semilir angin, hijau tumbuhan, dan
hamparan kabut yang mengapasi dedaunannya. Hidup yang kuangankan dan selalu
hanya ada dalam angan-angan. Entah telah berapa tahun aku tinggal di Jepang
sebagai penduduk gelap, namun beruntung menjadi sahabat Yoshida Tua, mantan bos-
ku yang telah pensiun beberapa tahun yang lalu. Apresiasiku atas kabut yang seperti
itulah yang hampir setiap akhir pekan membawaku ke sebuah tanjung besar berbukit-
bukit dan menginap di vila milik Yoshida Tua yang secara aneh memberikan kebebasan
kepadaku untuk menginap di vilanya, seperti sekarang ini. Mungkin pula karena dengan
demikian vilanya dapat terawat dengan baik karena aku memang suka
membersihkannya. Mulanya kami cuma sekadar kenal biasa, aku kuli dan ia bos yang
berhak menghitamputihkan nasibku, tetapi sejak aku datang pada upacara penguburan
kotsutsubo istrinya, dan setelah itu sering menemaninya ngobrol, kami menjadi akrab.
"Jadilah kau sahabatku yang baik setelah ini dan aku bukan lagi bos sebagaimana
sebutanmu selama ini!" katanya. Saat itu aku cuma diam memandangnya. Juga ia diam
memandangku dengan mata tuanya yang mulai rabun. Meskipun dengan tulus ia
memintaku menjadi sahabatnya yang baik, aku selalu menghindar jika ia ingin berbicara
tentang negeriku. Memang ia selalu mengatakan bahwa cacat negerinya itu tak
mungkin sirna, meski pemerintah negerinya berusaha menghilangkan aib dengan
mengajarkan beberapa bagian sejarah yang palsu, yang bagiku berarti ia menyesali
betul kesalahan negerinya atas negeriku di masa lalu, aku selalu berusaha menghindar
jika ia ingin berbicara tentang negeriku.

"Sekaruno itu..."

"Soekarno, Soeharto, atau makhluk aneh dari jenis apa pun aku tak mau menanggapi
pembicaraanmu tentang negeriku, Yoshida Tua! Mari kita bersahabat dengan
melepaskan negeri masing-masing. Jika kita bicara juga, paling-paling kau akan
menyesali masa lalu sambil memuji-muji indahnya alam negeriku, sementara kau
menjadi grogi jika kukatakan negerimu sebagai bekas penjajah yang kemudian
berusaha menjadi pahlawan dengan menimbun modal di negeriku lewat orang-orang
goblok yang duduk di elite pemerintah negeriku di masa lalu dan te-rus berlanjut sampai
sekarang hingga jika bisa membayar secara normal pun utang negeriku baru bisa lunas
sete-lah tiga-empat generasi!" Kataku ketika ia memaksaku berbicara tentang negeriku.

"Kau terlalu berprasangka! Aku benar-benar terpesona oleh alam negerimu!"

"Semua itu sudah berlalu, Yoshida Tua. Mungkin dalam arti harfiah memang alam
negeriku masih indah, tapi apakah bisa disebut keindahan jika para penghuninya cuma
memahami kalimat-kalimat pendek: Aku benar! Kau salah! Bagaimana aku? Mana
bagianku? Kau siapa? Aku besar! Kamu kecil! Kamu sepele! Dan yang membuatku
merasa terpuruk, Yoshida Tua, di negeriku hukum menjadi permainan semua orang
terutama yang mengerti hukum dan yang punya duit! Juga kekuasaan!"

"Aku mengerti yang kamu rasakan. Tapi aku benar-benar menyukai negerimu! Dan
secara aneh aku juga merasa simpatik kepadamu!" Waktu itu Yoshida Tua
memandangku lekat-lekat. Agak lama setelah itu baru aku sadari bahwa terlalu keras
sikapku untuk tak membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan negeriku.
Karenanya, sejak saat itu aku mengendorkan sikapku. Dengan demikian, jika kami
menginap di rumahnya yang besar di Tokyo atau di vilanya, kami jadi banyak
membicarakan negeriku. ***

VILA Yoshida dibangun pada ketinggian deretan bukit yang membentuk tanjung besar
di baratdaya Tokyo yang menyambung dengan deretan bukit-bukit di kaki Gunung Fuji.
Sering muncul kebingungan dalam pikiranku bahwa ketika berangkat menuju vila
melalui jalan berliku sepanjang pantai timur Atami, maka setelah membelok ke kanan
dan mendaki jauh sampai ke vila Yoshida Tua, aku juga bisa melihat laut di belakang
vila yang berarti membelakangi laut yang tampak ketika berangkat. Jika vila ini berada
di ujung tanjung, tentunya pemandangan laut akan tampak dari tiga sisi. Karena secara
jelas daerah ini bukan daerah ujung tanjung, secara sederhana aku berpikir bahwa di
belakang vila Yoshida ada teluk kecil dalam tanjung. Ke teluk kecil itulah aku biasa
mancing jika sedang berada di vila Yoshida Tua. Setiap kali mancing di teluk kecil ini
aku biasa mendapatkan ikan sabak, sawara, kadang-kadang juga iwashi. Dan
meskipun sangat jarang, pernah pula aku mendapat ikan inada, yang biasa kusebut
sebagai ikan ekor kuning. Jika aku mancing sejak lewat tengah hari, sambil duduk di
beton-beton penahan ombak selama dua-tiga jam dengan pemandangan yang luas,
waktu berikutnya pemandangan menjadi sangat terbatas. Kabut yang awalnya
menyungkup perbukitan yang hampir semuanya merupakan perkebunan jeruk, akhirnya
merendah sampai ke permukaan laut. Meskipun aku selalu merasakan kesegaran yang
berlebih, pada saat ini aku mulai lelah hingga sewajarnya jika kemudian kembali ke vila.
Akan tetapi, biasanya aku justru dikejutkan oleh ikan-ikan yang berloncatan seolah
menyambut kabut. Pemandangan kabut yang lembut redup dan ikan-ikan yang
berloncatan seperti terbang adalah sebuah kenyataan atraktif yang kontradiktif; antara
kelembutan yang indah dan kelincahan yang manis-menarik, hingga aku selalu
menunda kepulanganku. Anehnya, saat menikmati kenyataan seperti itu aku jadi
berpikir bahwa antara kelembutan yang indah dan kelincahan yang manis-menarik,
kedua-duanya mampu menyembunyikan kejahatan yang nista. Kalimat ini selalu
teringat dan kembali kuucapkan jika aku berpikir tentang Yoshida Tua yang selalu
menyesali anak laki-laki tunggalnya yang disebutnya sebagai anak tak berbakti. Aku tak
tahu apakah benar demikian sikap anaknya. Tidakkah justru Yoshida Tua sendiri yang
suka mengganggu ketenangan anaknya? Kecurigaanku atas Yoshida Tua yang seperti
ini sesungguhnya merupakan premis minor dari premis mayor bahwa seperti juga
pembesar-pembesar negeriku yang banyak berdosa, yang telah maupun yang masih
berkuasa, pada masa tuanya harus merasakan penderitaan yang hina. Waktu aku
menceritakan perihal ikan yang berloncatan dalam kabut, lalu aku terkenang pada
pembesar-pembesar negeriku yang korup, Yoshida Tua terdiam beberapa saat. Setelah
itu, dalam keadaan aku mengharap ia memberikan tanggapan atas ceritaku, ia justru
mengambil sake dan beberapa kali menenggaknya dengan cangkir keramik sambil
tetap membisu.

"Aku tahu engkau mengerti cerita dan pemikiranku tentang ikan dan kabut, tetapi
mengapa kau membisu saja?" kataku setelah tak kuat menghadapi kebisuannya.
Karena ia tetap membisu, aku menahan tangannya yang hendak menenggak sake lagi
sambil mengatakan bahwa tak semestinya ia membisu atas cerita dan pemikiranku.

"Aku lebih menyukai ceritamu tentang kabut yang mengambang di perkebunan kopi
milikmu ketimbang kabut yang kau campur dengan segala hal yang semuanya cuma
ngo-yoworo!" Katanya mengakhiri kebisuannya.

"Aku tidak ngoyoworo!"

"Kau bahkan lebih dari sekadar ngoyoworo!" serang Yoshida Tua. Ia lalu melanjutkan,

"Aku malah berpikir, jika kau memandang persoalan terlalu dipengaruhi hal yang tak
saling berhubungan, maka pemandanganmu akan selalu keliru! Ikan-ikan itu cuma
sebentar berloncatan di permukaan teluk, bukan terbang! Yang tampak dalam
pandanganmu lebih lama tak lain adalah belibis atau camar yang beterbangan dan siap
mematuk ikan-ikan itu!" Karena aku terdiam, Yoshida Tua mengatakan bahwa benarkah
setiap pembesar negeriku yang berdosa harus disiksa dan dihinakan begitu
kesempatan tiba? Mengapa dulu mereka dibiarkan berbuat dosa? Benar dibiarkan
berbuat dosa atau karena merasa takut hingga tak berani memperingatkan mereka?
Dan sekarang setelah merasa tidak takut, lantas merasa berhak menjadi galak, bahkan
segalak-galaknya?
"Jika para pembesar negerimu yang korup itu berdosa, mengapa mereka yang dulu
merasa takut memperingatkannya sekarang tidak merasa berdosa? Pada dua pihak
semacam ini, aku sulit mencari sikap dan sifat kesatria. Mengapa aku justru
menemukan banyak sikap dan sifat pengecut yang menjijikkan?" Beberapa saat aku
terdiam. Dan dalam keadaan masih diam kuambil cangkir keramik di hadapanku dan
kemudian menyodorkannya kepada Yoshida Tua yang segera menuangkan sake ke
dalamnya. Juga dalam keadaan masih terdiam, kutenggak sake itu sekaligus, untuk
kemudian kuulurkan lagi cangkir keramik itu minta dituangi sake lagi sampai beberapa
kali.

"Waktu muda, sepertimu aku pun menyukai kabut!" Yoshida Tua berkata memecah
kesunyian. Kuberikan sedikit perhatian dengan menatapnya. Yoshida Tua lalu
melanjutkan bahwa karena kesukaannya atas kabut itulah yang mendorongnya
membuat vila ini. "Di vila ini penuh kureguk kesunyian, cinta, dan juga sake! Biarlah
kunikmati juga kehidupan lain yang jauh berbeda dengan hiruk-pikuk suasana pabrik
tempatku bekerja. Jika di luar sana kabut mulai turun, kaca-kaca jendela mulai
mengembun, kesunyian datang dan cinta telah lewat kureguk bersama istri atau
sesekali kubeli perempuan lain, giliran sake mulai terasa mengembun di ubun-ubunku,
saat itu kurasakan bahwa sesungguhnya hidup tidak sesulit yang kita bayangkan!
Mengapa kau nodai kabut dengan khayalan yang memperburuk keindahannya?
Mengapa kau rusakkan kesyahduan kabut dengan sesuatu yang membuat pikiran dan
perasaan menjadi nyeri?" Waktu itu ambang kesadaran karena sake mulai bereaksi
menguasai saraf, membuatku tak bisa menanggapi kata-kata Yoshida Tua.
Kubayangkan, waktu itu mungkin aku terbengong-bengong atau bahkan kepalaku jatuh
ke atas meja dan lantas tertidur begitu saja karena mabuk. Aku tak tahu pasti. Sore ini
kembali kunikmati kabut di teluk ini. Dua ekor ikan sabak telah berhasil kupancing dan
kurencanakan akan kubuat sashimi untuk makan malam bersama Yoshida Tua yang
rencananya akan datang pada ambang senja. Bukit-bukit perkebunan jeruk yang
semula menampakkan buahnya berupa titik-titik kuning di antara dedaunannya yang
lebat, perlahan-lahan menjadi suram, dan akhirnya lenyap. Kabut yang kali ini turun
teramat tebal, lebih cepat turun dan mengambang di atas permukaan teluk. Perasaanku
harap-harap cemas menanti ikan-ikan berloncatan di atas permukaan teluk. Ingin
kuyakinkan bahwa saat itu tak ada belibis atau camar yang beterbangan dan siap
mematuk ikan-ikan itu. Sayang sekali, setelah beberapa lama menunggu,
pemandangan yang kuharapkan kemunculannya ini sama sekali tak menampak. Yang
terasa justru yang tak kuduga sama sekali. Ya, saat itu tiba-tiba bumi terasa bergetar,
bergerak-gerak. Mula-mula pelan, tapi pada detik-detik berikutnya menjadi kuat. Gempa
bumi, pikirku. Bersamaan dengan kesadaranku atas gempa yang baru saja terjadi,
seorang penjaga pantai mengumandangkan pengumuman lewat pengeras suara agar
para pemilik perahu memeriksa dan mengikat perahunya kuat-kuat sehingga tidak
dibawa arus balik tsunami yang pasti datang. Pengumuman itu juga dengan keras
mengingatkan agar siapa pun yang berada di pantai segera naik dan berlindung di
rumah masing-masing. Bersama langit yang tiba-tiba gelap oleh mendung, aku segera
kembali ke vila sambil menjinjing dua ekor ikan sabak yang siap kubuat sashimi. ***

Tokyo, April 2002

_____________________________________________________________________

Para Penari

Putu Fajar Arcana

Sumber: Kompas, Edisi 08/18/2002

SEPULANG dari Jepang, hati Pusparani berbunga-bunga: sebuah pusat hiburan di


Kota Tokyo ingin mengontrak para penari. Bukan sebuah kebetulan ia bertemu dengan
Yamasita-san. Selama ini hampir seluruh misi kesenian Bali atas nama pemerintah
ditangani oleh Yamasita-san dan Pusparani selalu kebagian peran. Pusparani tak
pernah menghitung entah sudah berapa kali ia mengunjungi Negeri Sakura. Ia hanya
ingat beberapa jam lalu masih menari di sebuah gedung pertunjukan milik satu
universitas di tengah-tengah Kota Tokyo. Ia puas karena sambutan penonton di kota
megapolitan seperti Tokyo sangat berbeda dengan penonton Denpasar atau Jakarta
sekalipun. Seorang ibu bernama Mariko datang ke belakang panggung bersama
anaknya, membungkuk sebagai tanda hormat, sembari tersedu menangis.
"Saya hanya ingat suami saya di Bali," katanya dalam bahasa Indonesia terpatah-patah.
Sambil sesegukan Mariko meminta agar Pusparani memeluk anaknya. Puspa
gelagapan, tak mengerti. Matanya yang indah mengerjap-ngerjap. Ia sama sekali tak
paham: mengapa Mariko mendatangi dirinya. Usai menari keringat masih membasahi
sekujur tubuhnya. Bahkan pakaian tari legongnya belum lagi dicopot.

"Sampai umurnya empat tahun, ia belum melihat ayahnya," cerita Mariko lagi,"Dia ingin
merasakan pelukan orang Bali." Selama bercerita, air mata Mariko tak henti berderai.
Bulir-bulir bening itu, ia biarkan melintas perlahan dari pipinya yang putih sampai
menyentuh bibir. Terasa asin. Ah, asin sekali. Perempuan bertubuh sedang itu tersedak.
Ia ingin menelan tangisnya. Tetapi kerinduannya untuk bertemu Ngurah Anom,
suaminya, seperti meledak-ledak. Sungguh perih rasanya hidup berjauhan, begini,
keluhnya dalam hati.Sejak beberapa tahun lalu, katanya, ia terpaksa hidup berpisah
dengan Ngurah Anom. Mariko memilih kembali ke Jepang untuk melanjutkan kuliah,
sementara Ngurah Anom, tetap tinggal di Ubud sebagai pelukis. "Kami tak punya
pilihan," keluhnya lagi.Tanpa menunggu cerita Mariko menjadi lebih memilukan lagi,
Puspa erat-erat memeluk anaknya. Ia ingat, tentu saja Cempaka, anaknya yang kurang
lebih seusia dengan anak Mariko, sudah sangat merindukannya. Gadis kecilnya itu,
selalu berlari untuk kemudian memeluk Puspa setiap pulang dari menemui para
mahasiswanya di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Denpasar.Ia membayangkan
beberapa jam lagi pasti Cempaka berlari-lari di ruang tunggu Bandara Ngurah Rai. Ia
ingin melepaskan rindu dengan memeluk anaknya erat-erat. Seerat yang dapat ia
lakukan.Noriko, anak Mariko sempat kaget. Mungkin tertusuk beberapa ornamen dari
logam yang melekat pada pakaian tari Puspa. Pelukan Puspa justru membuat Mariko
makin tersedu. Ia pun melingkarkan kedua tangannya di antara pinggang Puspa dan
kepala anaknya. Ia ingat itulah pelukan terakhir di Bandara Ngurah Rai, yang
membuatnya tak bisa melupakan Ngurah Anom. Lebih dari empat tahun yang lampau.
Sampai kini ia masih menyediakan ruang dalam hatinya bagi lelaki berambut panjang
itu.Mereka bertiga berpelukan. Lama sekali. Puspa membayangkan pelukan itu untuk
Cempaka. Selama lebih dari dua minggu berada di Jepang, membuat rindunya pada
Cempaka seperti membuncah. Beberapa penari lainnya turut terhanyut. Bahkan ada
yang kemudian turut serta memeluk Mariko dan anaknya.
"Saya hanya titip salam buat Bali. Belum bisa pergi ke sana, saya masih harus
menyelesaikan studi S2," ujar Mariko sesaat sebelum meninggalkan Puspa. Mereka
berpelukan sekali lagi. Sambil menghapus air matanya, Mariko bergegas keluar gedung
pertunjukan sambil mendekap Noriko. Ibu dan anak itu kemudian menghilang di
tikungan dekat stasiun trem bawah tanah.***

PERISTIWA di belakang panggung gedung pertunjukan itu tak pernah lekang dari
ingatan Puspa. Diam-diam air matanya menitik. Ia seperti merasakan betapa haru-
birunya hati Mariko: harus menjalani hidup bersama seorang anak yang selama
bertahun-tahun tak mengenal ayahnya. Ah, pedihnya...Selama ini, menurut cerita
Mariko, Noriko hanya kenal suara Ngurah Anom lewat telepon. Itu pun kalau Mariko
yang menelepon ke Ubud dan kebetulan Ngurah Anom ada di studionya. Ngurah Anom
sangat jarang mau menelepon. Puspa merasa menjadi begitu dekat dengan Tokyo. Itu
sebabnya ketika Yamasita-san menawarinya untuk kembali ke Tokyo menari, ia tak
kuasa menolak. Dalam perjalanan pulang pikirannya sibuk mereka-reka beberapa
mahasiswanya yang barangkali bisa diajak serta. Mereka pasti dengan senang hati
menerima tawaran menari di Tokyo. Menari di luar negeri selama ini seperti menjadi
impian para penari di STSI."Kontrak itu barangkali sudah akan mulai akhir bulan April ini.
Jadi mereka minta empat orang penari perempuan lainnya. Anda siap?" tanya
Yamasita-san, seminggu kemudian saat menelepon Puspa dari Tokyo.

"Akan berapa lama kontrak itu?" Puspa balik bertanya.

"Kemungkinan untuk waktu tiga bulan. Anda siap?" Lagi-lagi Yamasita-san mengulangi
pertanyaan yang sama.

"Sudah saya pastikan untuk berangkat, asal mendapatkan izin dari pimpinan di STSI."

"Soal itu biar saya yang mengurusnya," kata Yamasita-san. Ia memang salah satu
orang asing yang memiliki hubungan dekat secara pribadi dengan para pimpinan STSI.
Selain menjadi penghubung para seniman, Yamasita-san di Bali juga dikenal sebagai
seniman. Ia beberapa kali membuat garapan tari bersama para seniman Bali. Terakhir
bahkan ia berhasil membuat sebuah kelompok penabuh gamelan dan penari Bali di
Jepang. ***
DALAM delapan jam penerbangan Ngurah Rai - Narita, pikiran Puspa dipenuhi
kenangan hangatnya sambutan penonton Tokyo. Diam-diam ia berharap kehangatan
itu bakal dirasakan pula oleh Dayu Satyawati, Ratnasari, Komang Widiati, dan Gung
Dewi, empat mahasiswanya. Mereka penari-penari muda dan rupawan yang baru
pertama kali melawat ke luar negeri.

"Selama tiga bulan kalian semua akan merasakan betapa hangat dan bersahabatnya
orang Jepang. Mereka seperti memiliki hubungan emosi dengan kita, dekat sekali
rasanya. Usai menari, kita biasanya diajak jalan-jalan ke Akihabara, sebuah kawasan
elektronik yang begitu mengagumkan. Dekat saja dari hotel tempat kita akan
menginap," kata Puspa sebelum berangkat kepada para mahasiswanya.

"Kita akan ke Shinjuku juga kan Bu? Hihiii..." tanya Ratnasari sembari menutup bibirnya.

"Huuss...siapa yang memberitahumu?" kata Puspa. Tiga penari lainnya cekikikan.


Puspa tahu Shinjuku yang dimaksud Ratnasari adalah kawasan yang termasuk
remang-remang lampu merah di sudut Tokyo.

"Udah.. ah. Kita saat ini jangan memikirkan soal uang kontrak. Terpenting dari misi ini,
kita memperkenalkan kebudayaan Bali yang adiluhung dan dikagumi banyak bangsa,"
tambah Puspa. Keempat gadis muda itu hanya mengangguk. Mereka mempercayakan
semuanya kepada Puspa. Selain sudah sering ke Jepang, reputasi Puspa sebagai
dosen juga tak bisa diragukan. Umumnya mereka tahu Puspa begitu dekat dan
seringkali diberi kepercayaan menangani misi kesenian ke luar negeri oleh pimpinan
kampusnya.

"Kita bergantung semuanya kepada Ibu saja," kata Ratnasari singkat.

"Sudah ada Yamasita-san yang akan mengurus kita selama berada di Jepang," jawab
Puspa, seolah lebih kepada diri sendiri. Sudah hampir satu jam rombongan penari
menunggu jemputan dari Yamasita-san. Wajah Puspa mulai tampak tegang dan merah
padam. Ia agak kesal dan malu kepada para mahasiswanya. Puspa merasa sangat
teledor. Ia ingin memaki dirinya sendiri: mengapa tidak punya pikiran untuk bertanya
kepada Yamasita-san, siapa yang bakal menjemput rombongan. Mungkin ia terlalu
yakin, karena selama ini setiap misi kesenian Bali ke Jepang segala urusan pasti
dibereskan oleh Yamasita-san. Lelaki berkaca mata itu bahkan selalu turut menjemput
rombongan di Narita.Bandara Narita tampak sibuk. Rombongan-rombongan pelancong
tua tampak riuh sekali saat menunggu kopor mereka. Puspa menduga para turis itu
berasal dari Taiwan. Ia sering bertemu dengan turis Taiwan di Ngurah Rai. Mereka
memang cenderung ribut kalau sedang bersama-sama. Seorang petugas keamanan
tampak mendekat. Ia berkata sesuatu dalam bahasa Jepang. Puspa tidak mengerti.
Namun ia menduga lelaki berseragam biru itu sedang bertanya: Anda sedang
menunggu siapa? Spontan saja Puspa menulis nama Yamasita-san di atas kertas.
Lelaki itu tampak beberapa kali membungkuk-bungkuk dan mempersilakan para penari
duduk kembali.Setelah menghilang beberapa saat, petugas keamanan tadi kembali
diikuti seorang lelaki lainnya.

"Nama saya Miki, saya datang menjemput Anda," kata Miki sembari menyodorkan
secarik kertas bertuliskan nama Pusparani.

"Oh...Miki-san. Apa Anda diminta oleh Yamasita-san untuk menjemput saya?" tanya
Puspa.

"Ah tidak-tidak. Saya datang atas permintaan Kimura-san, yang akan mengontrak para
penari dari Bali. Saya akan mengantar Puspa-san, ke tempat kami."Meski banyak
pertanyaan di dalam kepalanya, tapi Puspa bergegas meminta para penari mengambil
kopor. Mereka berangkat ke Tokyo dengan menggunakan kereta Narita Express, tak
lebih dari satu jam. Seingat Puspa ongkos kereta dari Narita ke Stasiun Tokyo dulu
sekitar 2.890 yen. Gedung-gedung ramping seperti melaju sepanjang jalan. Sementara
sebuah layar di atas pintu gerbong setiap saat memberi informasi tentang cuaca Kota
Tokyo. Puspa tampak sangat gelisah. Keempat penari lainnya juga mencoba meredam
kegundahannya. Mereka terdiam, tetapi setiap saat mata-mata penari itu beradu seperti
saling bertanya. Ratnasari mencoba menenteramkan hati dengan memandangi
pertokoan sepanjang jalan dari jendela kereta. Di sela-sela gedung tampak bunga
sakura mulai mekar. Pada bulan April, daratan Jepang sedang memasuki musim semi.
Meski lanskap pagi seelok itu, Gung Dewi, Widiati, dan Satyawati tetap terpejam-pejam.
Ketiganya tampak mulai lelah setelah melintasi waktu delapan jam. Pagi itu mereka
belum sempat mencuci muka atau sekadar beli roti untuk sarapan. Untung Ratnasari
masih menyimpan sisa biskuit yang dibelinya saat transit di Jakarta. Secepat kilat ia
membagikan biskuit kepada para penari lainnya. Puspa menolak. Ia memang tidak
sedang berselera. **

SAAT turun dari bus, Puspa dan para penari oleh Miki-san langsung diarahkan menuju
halaman belakang sebuah kompleks yang rupa-rupanya mirip tempat hiburan. Saat
melewati lorong yang terdapat di sisi bangunan besar, Puspa dipersilakan duduk untuk
menunggu Kimura-san.Pikiran Puspa mulai tak keruan. Sejak turun dari kereta dan
kemudian naik bus, ia ingin mengajukan berbagai pertanyaan kepada Miki-san. Tetapi
pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya ia urungkan. Puspa ingin mendapat
gambaran lebih utuh ke mana sesungguhnya bus sedang melaju, apa benar Yamasita-
san yang menjadi penghubungnya.

"Tetapi mengapa ia tak muncul. Lalu mengapa pula kita dibawa ke tempat seperti ini.
Bukankah Yamasita-san bilang kita akan menari di sebuah tempat hiburan di pusat kota.
Tempat ini tidak tampak seperti itu.... Ah aku juga salah mengapa tidak bertanya
sebelum berangkat. Tapi bukankah ia berjanji menelepon sebelum tanggal
keberangkatan disepakati?" Puspa terus membatin. Ia makin tampak gelisah.
Sementara empat penari lainnya mulai terkantuk-kantuk di kursi. Gung Dewi bahkan
sudah menyandarkan kepalanya ke bahu Ratnasari. Ia tertidur.Semua pertanyaan itu
makin membuat Puspa curiga kepada Yamasita-san. Lelaki Jepang itu barangkali telah
menipunya. Jangan-jangan tawaran kontrak menari itu hanya kedoknya.

"Ia ingin menjerumuskan, bahkan menjual kami. Ini gila!"

"Ah, Puspa-san, Kimura-san minta kita semua istirahat dulu. Di sini sudah disiapkan
kamar sementara. Ada lima kamar, silakan saya antar..." tiba-tiba kata Miki-san sesaat
setelah muncul dari pintu belakang.

"Nati malam Kimura-san akan menjamu makan malam di tempat hiburan miliknya. Ini
semua untuk menghormati para penari dari Bali," tambah Miki-san. Puspa belum
sempat menjawab. Kopornya sudah diangkat oleh beberapa lelaki yang menyertai Miki-
san menuju kamar masing-masing. Setelah mandi, Puspa memanggil seluruh penari. Ia
ingin minta pendapat apa yang seharusnya dilakukan, kalau-kalau tawaran kontrak itu
tidak benar. Kalau-kalau Yamasita-san yang begitu dikenalnya telah menipu mereka.
Gung Dewi mengusulkan sebaiknya menelepon ke Indonesia untuk memberitahu
keberadaan mereka. Ratnasari usul sebaiknya menelepon Kedutaan Besar di Tokyo
saja. Sementara yang lain berpendapat sebaiknya menunggu apa yang terjadi nanti.
Apa benar Kimura-san akan mengundang makan malam.Sampai siang hari, para
penari tak berbuat apa-apa. Mereka tampak bengong dan saling pandang di kamar
Puspa. Bahkan untuk sekadar makan siang pun tidak terpikirkan lagi. Satu hal yang
mereka bisa pastikan bahwa kelimanya telah tertipu: mereka tidak benar-benar sedang
dikontrak untuk menari. Sambutan hangat seperti yang dibayangkan Puspa sama sekali
tidak terjadi. Kalau benar para penari dikontrak, sudah pasti Yamasita-san akan berada
bersama mereka. Setidaknya ada perjanjian kontrak yang harus dibicarakan. Puspa
merasa Yamasita-san telah berkomplot dengan orang yang disebut-sebut bernama
Kimura-san untuk merencanakan sesuatu yang belum ia ketahui. ***

Jakarta, April 2002


Malaikat Kecil

Indra Tranggono

Sumber: Kompas, Edisi 06/16/2002

MESKIPUN tubuhku telah rapat pukulan Bapak, masih saja pukulan demi pukulan itu
kuterima. Teriakan dan tangisan minta ampunku pun gagal meredam amarahnya.
Dengan wajah beringas menumpahkan sumpah serapah penuh aroma alkohol, Bapak
terus menghajarku, serupa petinju kelas berat menghajar sansak. Pukulan bertubi-tubi
itu mengantarkan aku ke puncak rasa sakit, hingga akhirnya, aku tak merasakan lagi
rasa sakit itu. Sejak saat itu, tangisku pun terhenti. Aku masih menyisakan perlawanan
dengan menatap Bapak lekat-lekat.Sekarang pukul aku, bajingan cilik!" Aroma alkohol
Bapak membadai di ruang hidungku.

"Ayo pukul! Ayooo pukul!!!" Aku tetap berdiri mematung. Pelan-pelan kuraih pisau lipat
dari kantung celana, dan beberapa detik kemudian kurasakan tanganku berkelebat.
Wajah Bapak tergores. Darah menetes. Bapak tersenyum sambil mengusap pipi dan
menjilat darah yang melekat di jari tangannya.

"Aku senang kamu mulai berani melawan. Ayo teruskan. Teruskan! Aku ingin kamu jadi
bajingan besar. Pembunuh besar! Bukan pengecut!" Bapak terus mendesakku, hingga
aku terpojok di sudut ruangan. Mulut Bapak hanya beberapa sentimeter dari wajahku.
Aroma alkohol terus membadai.

"Aku ingin kamu jadi bajingan besar. Maling besar. Tak hanya jadi pencopet yang
hanya bisa mengutil kerupuk!" Bapak kembali melayangkan pukulan tepat di ulu hatiku.
Rasa nyeri menggerayangi sukmaku. Aku terhuyung. Dengan sisa-sisa kekuatanku,
kuayunkan pisau lipat. Namun, hanya angin yang bisa kurobek. Tawa Bapak berderai,
mengiringi rebah tubuhku. Ibu, yang sejak tadi menangis terisak, langsung menubruk
tubuhku. Kurasakan airmatanya yang hangat menetes di pipiku.

"Tinggalkan kami bajingan tua!" kutuk Ibu dengan suara gemetar. Bapak tertawa. Sinis.
"Justru kamu yang harus pergi. Aku tidak ingin anakku dididik pelacur malang seperti
kamu." "Bagaimanapun dia anakku. Aku yang mengandungnya. Kamu tak lebih dari
pejantan...."

"Dasar mulut ember! Kamu mestinya merasa bersyukur karena aku mau menitipkan
benihku di rahimmu!" Tangis Ibu terhenti. Ia tertawa. Masam.

"Sebelum aku kau tiduri, entah berapa lelaki telah menggauliku. Hingga aku hamil. Jadi,
tak ada yang bisa menjamin kalau Socra ini anakmu. Bisa saja dia anak cendekiawan,
seniman, politikus, pengusaha, birokrat, atau koruptor, manusia sejenis ular, kadal,
macan, buaya, setan atau bahkan iblis. Kamu tak berhak mendidiknya menjadi maling
atau pembunuh macam kamu, meskipun mungkin saja ia berdarah tukang jagal, garong
atau rampok sekalipun. Titisan darah pembunuh tak harus jadi pembunuh! Bukankah ia
juga punya hak untuk menjadi semacam malaikat kecil?" Ibu terus memelukku.
Melindungiku dari serangan Bapak.

"Bagaimana mungkin aku bisa mempercayai mulut pelacur?" Mendadak handphone


Bapak menjerit.

"Ya, dengan saya sendiri. Ini siapa ya? Oooo Bapak. Ada apa Pak? Apa yang bisa saya
bantu? Eeeeee... bisa-bisa... Soal itu gampang. Bapak bisa langsung kirim ke rekening
saya. Tidak mahal Pak. Bapak tahu sendiri, ini risikonya kan besar. Oke. Terima
kasih..."

Tanpa memandang kami sedetik pun, Bapak langsung bergegas. Beberapa menit
kemudian kudengar deru mobil Bapak meninggalkan halaman rumah.

ITULAH saat terakhir aku bertemu Bapak. Mungkin dua puluh tahun. Atau mungkin
lebih. Yang kuingat, tubuhku masih lekat dengan seragam sekolah menengah umum.
Bapak begitu membenci jika kenakalanku hanya sedang-sedang saja: berkelahi dengan
kawan, tawuran atau kegiatan remeh lainnya.

"Jadi apa saja, kalau hanya tanggung, ya tak menghasilkan apa-apa!" bentaknya.

"Aku ingin jadi politisi saja. Saya harap Bapak mau membiayaiku kuliah..."
"Untuk apa? Sudah terlalu banyak orang yang hidup dari kebohongan."

"Bapak ingin saya jadi maling atau pembunuh?"

"Itu jauh lebih jantan dibanding mereka yang berkedok kemuliaan padahal yang
dilakukan sama, mengais-ais rezeki di lumpur comberan. Kalau jadi maling atau
pembunuh, hanya tanganmu yang kotor. Tapi tidak mulutmu. Mencuci tangan jauh lebih
gampang daripada mencuci lidah. Kamu sama sekali tak berbakat bersilat lidah..."

Ketika aku lulus SMU, Bapak meninggalkan ibu. Tak ada yang ditinggalkan, selain
sumpah serapah. Ia pergi bagai angin. Entah ke mana. Ibu juga tidak merasa perlu
untuk mencari Bapak. Bentakan kemarahannya selalu menumpas kerinduanku pada
Bapak. "Tak ada yang perlu disesali. Bahkan harus disyukuri, termasuk jika Bapakmu
pergi ke neraka sekalipun!" Dengan susah payah, Ibu membiayai aku kuliah di Kota
Besar: sebuah peradaban baru yang melucuti keprimitifanku. Otakku bekerja keras
menyerap gagasan-gagasan gemerlap yang mungkin datang dari langit. Tidak serupa
"kuliah" rutin Bapak yang mengajarkan kekerasan... darah... darah... dan darah! Aku
sangat sedih, ibu tak bisa merasakan kebahagiaan ketika aku berhasil menyelesaikan
kuliah. Di tengah pergulatan melawan kanker rahim yang ganas, Ibu pernah mengucap.

"Aku ingin kamu jadi malaikat kecil yang dengan sayap-sayap kecil terbang mengawal
arwahku kelak..." Akhirnya, Ibu harus menyerah pada maut. Satu-satunya caraku
membalas pengorbanan Ibu hanyalah berusaha menjadi malaikat kecil yang terbang
mengawal arwah Ibu. Malaikat kecil? Ah aku yakin, Ibu terlalu berlebihan. Harapan Ibu
itu seperti sinar matahari yang berupaya menghancurkan kegelapan malam yang
muncul dari rongga impian pemabuk seperti Bapak,

"Aku lebih bangga kamu jadi maling besar. Pembunuh besar!"

Dengan pedih, kata-kata Bapak itu hingga kini terus terngiang. Juga siang itu, ketika
aku mengunjunginya di penjara Wallcatraz yang lembab, dingin dan terkenal "angker".
Hanya penjahat-penjahat besar yang berhak menginap di penjara tua yang terletak di
pulau terpencil itu. Aku memasuki lorong-lorong kompleks penjara itu dengan sedikit
gemetar. Di sepanjang lorong berulang kali kutemui laki-laki berwajah sangar
digelandang para sipir dengan ringan cambukan dan pukulan. Langkahku terasa berat
menyusuri lorong-lorong panjang itu, hingga sampai di ruang besuk.

"Socra ya?" Rupanya ingatan Bapak masih cukup tajam. Ia dengan cepat mengenaliku.
Tubuhnya tampak kurus. Kumis dan jenggot tumbuh sangat lebat, selebat sumpah
serapahnya yang selalu lekat kukenang. Meskipun tampak sedikit lemah, Bapak masih
menatapku dengan nanar. Bola matanya serupa bola api. Keharuan menggenang di
kantung batinku. Aku tak kuasa menahan dua anak sungai yang mengalir di pipiku.
"Tangisan hanya menunjukkan kelemahan." Aku tersengat. Ada rasa bangga yang
diam-diam merayap di rongga jiwaku. Bagaimana mungkin Bapak bisa setegar itu?
Bukankah hidupnya di ambang maut? Besok pagi, dia harus menghadapi regu tembak.
Belasan timah panas akan merobek jantungnya! "Jantungku telah kuberikan kepada
hidup...

" Bapak mendesis, seperti ular licik yang tetap tegar menghadapi sayatan belati
pemburu.

"Tapi kenapa Bapak harus membunuh Hakim Agung Lopez Mannees itu? Bahkan
sampai menghabisi keluarganya?" Bapak tersenyum. Sama sekali tak menunjukkan
penyesalan.

"Ya, kenapa tidak? Itu memang pekerjaanku. Ada orang yang merasa dirugikan oleh
keputusan Pak Lopez. Ia berani membayarku dengan mahal. Dan aku sepakat pada
aturan permainan. Tidak akan menyebut nama dia."

"Tapi kalau Bapak mau mengungkap otak pembunuhan itu, barangkali hukuman Bapak
tidak akan seberat ini."

"Untuk apa? Sejelek-jeleknya pembunuh adalah yang mengingkari kesepakatan dan


bersikap pengecut. Eeeee... kamu sendiri bagaimana? Sudah sangat lama kita tak
bertemu, sudah berapa orang yang kau bunuh, anakku."

"Maafkan aku. Aku telah mengecewakan Bapak. Aku sudah berusaha keras. Tapi
ternyata aku sama sekali tak berbakat menjadi perampok, maling atau pembunuh
macam Bapak... Maafkan aku..." Suaraku tertahan. Air mataku hendak tumpah, tapi
cepat kecegah. Aku tak ingin Bapak tertawa geli melihat kecengenganku.

"Lantas selama ini kamu jadi apa? Dan apa saja yang kau kerjakan?" Kata-kata Bapak
membadai dalam rongga jiwaku. Pertanyaan itu begitu telak, setelak pukulan tinju
Bapak yang dulu hinggap di ulu hatiku. Otakku bekerja keras merancang kalimat yang
hendak kuucapkan. Tapi, kalimat-kalimat itu justru menjelma gumpalan-gumpalan aneh
yang menyumbat tenggorokan. Tarikan demi tarikan napas kulakukan untuk
menenangkan jiwaku yang gelisah. Tapi tak juga menolong. Aku tetap saja gagal
menguasai diriku.

"Bapak telah siap menghadapi maut?" ucapku tiba-tiba, mencoba mengalihkan


pembicaraan. Bapak memandangku dengan tatapan yang tetap saja nanar. Bola-bola
api itu berpendar-pendar di matanya.

"Kapan pun aku siap. Dan sedikit pun aku tak gentar pada maut. Aku mampu mereguk
segala kenikmatan dan kemewahan juga atas jasa maut. Jadi kalau kini sang maut itu
berbalik meremas jantungku, aku dengan senang hati menerimanya."

"Apa yang Bapak inginkan menjelang kematian? Mungkin ada pesan?"

"Satu-satunya yang kusesali adalah kegagalanku membinamu menjadi maling besar,


atau pembunuh besar..."

"Bukan itu. Maksud saya yang lebih berkaitan dengan perjalanan Bapak nanti..."

"Aku sama sekali tak takut dengan kematian. Karena selama ini aku hidup dari
kematian orang lain. Dan kematian itu sangat indah, anakku. Berulang kali aku
membikin orang mengerjat-ngerjat kesakitan, kemudian nyawanya loncat... bersama
angin... ah... fantastis..."

"Mungkin Bapak perlu bimbingan untuk berdoa?"

"Kenapa kamu bilang begitu? Apakah kamu...?"

"Ya. Aku ditugaskan untuk membimbing bapak untuk berdoa."

"Jadi kamu ini pendoa? Semacam rahib, anakku? Apakah Tuhan sudi menerima doa
pendosa macam aku ini?" Aku mengangguk, pelan. Kulihat mata Bapak berkaca-kaca.
Baru kali ini kulihat air mata Bapak menitik.

"Ibu mengharapkan aku menjadi semacam malaikat kecil yang terbang mengawal
perjalanan arwah Ibu."

"Mungkin juga arwah Bapakmu..." Bapak langsung memelukku. Erat. Sangat erat. Baru
kali ini kurasakan kasih sayang seorang Bapak mengalir dan menggenangi ceruk-ceruk
jiwaku. Pelukan Bapak merenggang, ketika terdengar suara sol sepatu menghajar
kesunyian. "Sudah siap Bapa?" ujar seorang petugas dengan sangat santun. "Biarkan
kami bicara dulu," ucapku pelan. Petugas itu pelan-pelan meninggalkan kami. Ruang
penjara kami rasakan sangat kuat menekan kami. Pelan-pelan, dinding-dinding yang
dingin itu terasa menghimpit kami. Kami berpelukan. Erat sekali. Seolah-olah kami tak
bisa dipisahkan oleh kekuatan apa pun. Kurasakan pundakku basah.

KUTINGGALKAN penjara dengan langkah yan sangat berat. Waktu terasa melaju
begitu cepat. Gerimis putih yang menaburi senja membuat hari semakin tua, semakin
gelap. Selebihnya adalah detik-detik arloji yang mengiris waktu, menjadi kepingan-
kepingan masa lalu yang muram. Suara ledakan senapan regu tembak itu membentuk
dinding rongga jiwaku. Aku melihat wajah Bapak tersenyum. Kematian itu begitu indah.
Tapi tidak untuk yang ditinggalkan. Arwah Bapak pun terbang menyusun arwah Ibu.
Tapi aku tak pernah tahu, apakah aku bisa menjelma malaikat kecil yang terbang
mengawal arwah mereka. ***Jogja, awal Mei 2001
Tugé

Cerpen: Gus tf Sakai

Sumber: Kompas, Edisi 07/14/2002

BAGI kami orang-orang Moni, hidup tertinggi tidak dalam daging tak pada tubuh,
melainkan pada roh, hantu-hantu punai dan kepu yang marah lalu berkata, "Saya lapar
manusia." Bagi kami, orang-orang Moni, bila Anda bertanya kami bersandar pada apa,
kami akan menjawab, Torang1 sandar pada kareken, benda adat yang
menghubungkan torang dengan roh abadi dalam gunung dan hutan. Torang sandar
pada tugé, benda adat memperingati pembunuhan nenek moyang, karena perang."
Perang? Begitulah, entah sejak kapan-selain berburu dan berkebun-perang menjadi
bagian. Tetapi bagiku, yang walau seorang dari orang-orang Moni, semua telah tak
lebih dari kenangan. Dan, dengan wajah Pak Piet dan Pastor Theo di kepala, aku
melangkah mendekati wesa, honai atau rumah adat suku kami; menajamkan telinga.
Dan benar. Meski samar, aku mendengarnya. Suara itu seperti desing, bagai
menyelusup di kedalaman kabut, meliuk lapat menyentuh telinga. Kalau saja lebih jelas
dan teratur tinggi-rendahnya, siapa pun tentu menyangka suara itu tiupan suling. Tetapi
tidak. Suara itu berasal dari tugé, si keramat benda peringatan yang benarnya hanya
sebuah batu yang salah satu sisinya ditajamkan. Sungguh aku tak habis pikir, kenapa
"si batu" bisa bersuara seperti suling? Atau, betulkan kata Wetipo - dan aku harus
percaya, suara itu tak lain suara punai, iko kunolepu2 yang menuntut-nuntut menagih
nyawa? Bagaimanapun, kumasuki wesa dengan dada sedikit berdebar. Dalam rumah
cendawan yang ukurannya lebih besar dari honai itu, di depan benda-benda keramat
lain, di atas barisan uwarek3, aku pun melihatnya: Tugé itu, tampak mencolok, kali ini
tentu bukan karena desingnya, melainkan karena bentuknya yang ganjil. Betul kata
Wetipo, sama sekali berbeda. Tak sama dengan tugé-tugé lain yang diasah dari batu
ceper, tugé ini dibuat dari batu bongkah tak beraturan. Kecuali salah satu sisi yang pipih,
bagian lain malah berlekuk dan berlubang-lubang. Dan, saat itulah. Ketika aku
menjulurkan tangan untuk meraih, angin mengeras bagai menerpa. Dan si batu... tugé
itu, tiba-tiba bersuit bagai melengking. Terkejut, kutarik tangan. Kuamati dengan teliti.
Angin, lubang-lubang itu... o, aku tahu! Lubang-lubang di punggung tugé, lubang-lubang
di bongkah batu inilah yang, karena tiupan angin, bisa bersuara seperti suling. Sungguh
ajaib! Dan, suara itu bakal meninggi bila angin mengeras. Angin yang selalu ada di sini,
di punggung gunung di ketinggian 3.000 meter dpl ini. Sebuah karya alam yang aih,
sungguh mengagumkan. "Kau kini yakin, Jermias?" Aku menoleh ke sosok yang tiba-
tiba sudah berada di pintu wesa. Wetipo. Ah, bagaimanakah menerangkan pada
sahabatku ini, yang seumur-umur hidup di sini? Dibandingkan dunia luas-terbuka di luar
atau di bawah sana, kami, orang-orang Moni, ada dalam kesenjangan beribu tahun....
***

KESENJANGAN beribu tahun, hmm, apakah aku berlebihan? Jika Anda melihat kami,
orang-orang Moni, Anda akan maklum kenapa aku berkata begitu. Rambut kami hitam
keriting kecil-kecil, dengan warna kulit cokelat tua sampai hitam perunggu. Tubuh kami
besar, dengan kesan perut buncit karena tulang belakang yang melengkung bagai
busur dan tulang pinggul yang melesak ke belakang. Dan, semua itu tak dibungkus oleh
apa yang Anda sebut pakaian, kecuali sebentuk cungkup khusus (untuk laki-laki) dan
semacam rumbai (bagi perempuan) pelindung organ vital. Walau entah kapan, kami
percaya, leluhur kami "lahir" dari rahim gunung, dengan tombak kayu, panah, dan
kapak batu. Bersama babi, burung-burung dan binatang lain, kami hidup, tumbuh dan
temurun pada sebuah tempat yang dalam pikiranku kini juga sungguh ajaib. Betapa
tidak. Di sini, di tanah kami, di punggung gunung yang senantiasa berkabut ini, bagai
dibesut lalu dibentangkan sebuah danau. Bukan danau biasa atau danau air tawar,
melainkan sebuah danau berair asin. Bayangkan, danau garam-di ketinggian tiga ribu
meter dari permukaan laut, apakah itu tidak mencengangkan? Tetapi, seperti yang
kukatakan, hidup kami hanya diisi oleh berkebun, berburu, dan berperang, sehingga
danau garam itu jadi luput dan bertahun-tahun kemudian telah begitu saja digarap oleh
orang-orang asing (kami menyebutnya orang-orang amber atau amberi) yang dengan
penuh semangat naik berkilo-kilometer dari sebuah tempat sangat ramai (kelak, aku
tahu tempat itu disebut kota) yang entah sejak kapan kami namakan Lembah Besar.
Dan, dunia mulai berubah. Tetapi begitulah, kami tidak. Saat orang-orang asing itu
sibuk bekerja, kami lebih asyik menggulung tembakau, menenggak sopa4, leha-leha.
Dan tentu pula bukan hanya petani-petani garam yang naik dari Lembah Besar, tapi
juga misionaris. Maka... aku pun bertemu Pak Piet, dan Pastor Theo. Dua orang yang
tak hanya mengenalkanku kepada apa yang disebut agama, tapi sekaligus membawa
dan "mengeluarkan" dari sini. Mengingat Pak Piet dan Pastor Theo, aku kembali bagai
disadarkan. Bersama Wetipo (yang sejak dari wesa kiranya melangkah mengikuti di
belakangku), ternyata, kini, aku telah berada di sana: di pinggir danau itu. Jadi... inilah
semua. Jadi, beginilah semua. Gudang-gudang garam rubuh, porak-poranda, bahkan
sebagian hangus menghitam bekas dibakar. Butir-butir garam berhamburan, bertaburan,
dengan karung-karung garam berserakan, jauh sampai ke tambak-tambak garam dan
pinggir danau. Ah! Terbayang pula mereka, orang-orang asing itu, berlarian turun ke
arah Lembah. Di antara mereka ada yang rebah, bergulingan, dengan punggung
tertancap panah. Ah! Dan kembali, melintas wajah Pak Piet. Kalimatnya, "Kewajiban itu
jatuh padamu, Jermias. Pergilah." Melintas pula wajah Pastor Theo. Katanya, "Kau
harus ke sana, segera. Hanya kau yang bisa..." ***

BETULKAH, betulkah aku bisa? Walau dunia kami, orang-orang Moni, nyaris tak
berubah, bagaimanapun tentu ada yang kini berbeda. Walau aku memang adalah putra
kain atau kepala suku, tetapi bagi yang lain - seperti juga keyakinanku, selalu - ada hal
yang telah tak lagi sama. Begitu Jermias Gabey, si Gabey terakhir, pergi, siapa tahu itu
juga berarti datang atau sahnya tata cara dan kehidupan baru. Seperti kata Wetipo,
bukankah semuanya kini bagai ditentukan oleh abgoktek? Abgoktek, itu juga sebuah
kata baru bagi orang-orang Moni. Artinya "orang besar" tetapi maksud sebenarnya
adalah orang terpandang atau berpengaruh, walau ia bukan keturunan kepala suku.
Kata itu berasal dari dialek Warat dan Kiruma, dua suku yang mendiami sebuah lembah
kecil di selatan. Sampai kini aku masih heran, bagaimana kata itu-yang notabene
berasal dari dua suku "musuh" kami-bisa hadir di sini. Abgoktek, dan itu artinya pula,
Sarius Hopogan. Ketika pertama datang, kemarin, orangtua itu menatapku dengan
sorot mata tajam, bergeming, tak berkedip, dari depan honai-nya. Selain sejumlah lelaki
yang aku sudah lupa-lupa ingat, di belakangnya tergopoh mama-mama5 yang bagiku
terkesan dipanggil mendadak. Melintas ingatan masa kecil. Betapa, waktu aku kanak-
kanak dulu, di mataku, Sarius Hopogan adalah sosok lelaki dewasa besar angker yang
menakutkan. "Jadi, pada pikir kau bagaimana, Jermias?" Aku disadarkan oleh suara
Wetipo. Pada pikirku? Jelas, ini keliru. Harus dihentikan ini semua. Keangkeran Sarius
Hopogan mungkin masih membekas di kelapaku, tetapi bayangan bencana masa
depan juah lebih penting daripada itu. Kataku, "Akan kaulihat." "Apa maksud kau?"
Kutepuk pundak Wetipo, memberi isyarat agar ia terus mengikutiku. Cukup. Ya, cukup
sudah semua kusaksikan. Menghela napas, menegarkan dada menguak kabut,
kulangkahkan kaki meninggalkan danau. Naik, terus naik... "Ke honai Pak Sarius?"
Wetipo tertegun. Aku mengangguk. "Tapi ...," suara Wetipo ragu. Tetapi ... ya, memang
sungguh di luar dugaanku. Masih 50 atau 60 meter lagi; masih terhalang rerimbun daun
dan ambangan kabut, di sana, di ketinggian,di depan honai-nya, kulihat orang tua
angker itu telah berdiri bagai menungguku dengan ... hampir semua orang kampungku!
Aku tertegun, betulkah semua orang Moni mendukung tindakan itu? Menyetujui
"perang" ini? Lama aku terpaku. Bahwa ada yang bakal mendukung Pak Sarius, itu
sudah pasti. Bahwa ia sengaja memperlihatkan "kekuatan"-nya dengan memanggil
sejumlah lelaki dan mama-mama ketika pertama aku datang, aku juga tahu. Tetapi,
bahwa "kekuatan"-nya sebesar ini? Ratusan! Atau mungkin mencapai bilangan ribu!
Memenuhi depan honai-nya meluber ke honai lain! Pantas, pantaslah Wetipo tadi
tampak seperti ragu. Kuteruskan langkah. Abgoktek itu, diikuti yang lain, bergerak turun
menujuku. "Pakaian" mereka: coretan kapur putih, saputan gemuk hitam wam (babi),
bulu cenderawasih dan kasuari-atribut perang, kapankah itu mereka ganti? Dalam jarak
sepuluhan meter, kami bertatapan. Aku masih mencari-cari kata (ah, apakah tampak
gugup?) saat Pak Sarius mulai bicara.

"Torang tahu kau punya maksud, Jermias. Tapi tak lagi, semua sudah. Harus perang!"
Kulayangkan tatap - berusaha, ke semua mata. Akan sia-sia? "Tetapi, mereka orang-
orang amber. Perang suku hanya buat kita. Itu pun sudah masa lalu."

"Masa lalu? Masa lalu, hah! Kaudengar suara tugé. Iko kunolepu miminta-minta! Waa...!
Waaa...!" Orangtua itu menjuntaikan tangan, meloncat-loncat kecil: Tarian perang orang
Moni. "Iii... yeeeee...!" Di belakang si tua, lelaki lain mulai mengikuti-gerakan itu. Dan
mana-mana, bagai diberi aba-aba, mulai pula mengeluarkan suara: Menyanyi.
Nyanyian pemberi semangat! Mulanya pelan, rendah bagai mencecah. Lalu mendaki.
Meninggi... ***

BAGI kami orang-orang Moni, bila punai "memperlihatkan" diri dan roh bagai meregang
dalam tugé, itulah saat iko kunolepu datang, muncul pulang ke anak-cucu dan berseru,
"Perang suku!" Bagi kami, orang-orang Moni, bila Anda bertanya perang suku buat apa,
kami akan menjawab, "Torang butuh darah tumpah, untuk kesuburan tanah. Torang
mesti pelihara tanah, yang kasih torang, kasih dorang6, semua suku di gunungg ini,
hidup, melahirkan anak, dan mendewasakan semua yang lahir." Semua suku di gunung
ini? Ya, hanya, hanya suku-suku di gunung ini. Bagaimana itu bisa sampai berlaku bagi
orang-orang amber? Bagi orang yang warna kulitnya sawo atau putih dan rambutnya
lurus? Orang-orang yang, dengan gigih dan tekun, datang dari jauh, mengolah air asin
(betapa akhirnya kami tahu, di kawasan gunung dan Lembah Besar, apa yang disebut
garam ternyata sangat dibutuhkan) yang mungkin hanya bakal terabaikan? Ah, Sarius
Hopogan. Dan kata itu, abgoktek, sungguh berbahaya. Aku yakin, karena kata itulah -
karena ingin menjadi abgoktek-Sarius Hopogan sengaja menciptakan perang.
Memanfaatkan perang suku, yang sebenarnya sudah tak ada sejak puluhan tahun lalu.
Sejak Pak Piet dan Pastor Theo naik dan datang ke tanah kami. Sejak mereka
mendamaikan kami dengan "musuh" kami orang-orang Warat dan Kiruma. Tugé itu! Di
situlah kuncinya! Tak lain, satu-satunya cara adalah dengan melenyapkan atau
menghancurkan. Menghancurkan? O, tidak.... ***

IDAK perlu dengan menghancurkan. Lenyap atau hancur bisa saja membuat orang-
orang kampungku marah, kalap. Dan kekalapan, sangat mungkin bakal mengundang
masalah lain sementara persoalan sesungguhnya belum terselesaikan. Tugé ajaib itu,
bukankah ia seperti suling? Satu tetakan saja, satu retakan saja, cukup. ***

Payakumbuh, 6 Juni 2002

Catatan:

1. Aku, kami.

2. Roh nenek-moyang yang mati karena perang dan telah menjelma jadi roh yang
dihormati.

3. Benda keramat yang didapat dari musuh yang berhasil dibunuh.

4. Panggilan hormat untuk perempuan.


5. Dia, mereka.

______________________________________________________________________

Kupu-kupu Kuning

Iyut Fitra

Sumber: Kompas, Edisi 06/10/2002

Seekor kupu-kupu kuning beterbangan gelisah sesaat ada ia bertengger di daun pintudi
saat lain, ingin pagi cepat datango, embun! peluklah aku....Hari sudah malam. Lampu-
lampu sepanjang jalan kota bertaburan seperti bintang-bintang turun menyerbu kami.
Sesekali terdengar sayup suara penjaja. Cuaca tidak mendung, hanya angin memukul-
mukul daun di taman-taman hingga menimbulkan bunyi desau teratur seperti suara
kanak-kanak bermain galah di bawah bulan.Asti berjalan ke arah cermin di kamar itu. Di
kaca bayangnya memantul. Ia tidak tahu pasti, apakah wajahnya yang ayu itu sedang
berduka atau tengah gelisah. Setelah membuka pita rambut, ia biarkan rambutnya yang
panjang lepas tergerai. Tiba-tiba matanya tertuju pada sehelai kertas yang tergeletak di
atas meja; lakukanlah apa yang kauanggap perlu, setidaknya perintang kejenuhan,
saya akan datang jam sebelas! Begitu bunyi surat tersebut, yang Asti pikir pasti
untuknya.Inilah hari pertama Asti menjadi wanita panggilan. Seseorang telah
memesannya untuk datang ke hotel ini. Pertama kali ketika kunci kamar hotel
diserahkan kepadanya, hatinya berguncang. Ingin rasanya ia mencampakkan kunci
tersebut dan segera berlari sekencang-kencangnya. Tetapi pada saat yang lain, ada
sesuatu yang seolah-olah menahannya, menuntunnya, dan mengatakan: bagi hidup,
tak satu pun yang harus ditakutkan, Asti!Pukul sebelas kurang lima menit. Sebentar lagi
orang yang memesannya bakal datang. Asti kembali memperhatikan wajahnya di
cermin. Matanya yang bulat di bawah alis yang tebal. Hidungnya yang bagus. Bibirnya.
Lehernya yang jenjang. Dadanya. Ya, dadanya.... Ah, betapa sempurnanya! Tiba-tiba
hatinya pedih. Asti tak sanggup menahan air mata yang begitu saja menetesi kedua
pipinya. Ingin rasanya ia meninju cermin, menghantamnya, agar ia tidak lagi melihat
wajahnya. Agar ia tak melihat lagi dirinya yang seolah-olah akan kehilangan begitu
banyak hal yang teramat penting. Tetapi ia mencoba untuk menetralisir perasaannya. Ia
mencoba menghibur dirinya sendiri. Pekerjaan itu harus dilakukannya. Harus!
Kemudian dari dalam tas kecilnya ia keluarkan sehelai sapu tangan. Ia menghapus air
matanya. Mengoleskan sedikit bedak yang tadi terhapus. Mewarnai bibirnya dengan
lipstik yang menyala. Ia mencoba untuk tersenyum.Seekor kupu-kupu kuning
beterbangan gelisahsesaat ada ia bertengger di daun pintudi saat lain, ingin pagi cepat
datango, embun! peluklah aku....Setelah menghidupkan televisi, Asti menghempaskan
tubuhnya ke ranjang. Segalanya begitu saja tiba-tiba menjadi seolah sia-sia dan tidak
berharga. Pahanya tersingkap. Dadanya tersembul. Ketika sesuatu telah dimulai,
barangkali saat itu pula sesuatu yang lain bakal berakhir, demikian pikir Asti, dan
membiarkan segala yang selama ini ia jaga menjadi terbuka.Di televisi, seorang pejabat
pemerintah sedang berpidato penuh antusias. Bahwa untuk kehidupan yang lebih layak,
mengatasi pengangguran serta gelandangan, lapangan kerja harus dibuka. Bahwa
kemiskinan harus dientaskan, dimusuhi, dan akan segera dicari jalan keluarnya dengan
berbagai-bagai perencanaan yang segera akan direalisasikan dan
seterusnya....``Taik!`` umpat Asti kesal. Televisi pun mati. Asti menyelai sebatang rokok.
Dan jelas, pegangan serta isapannya terkesan masih sangat gagap. Sudah pukul
sebelas lewat lima menit.Ada suara ketukan. Kemudian terdengar handel pintu berderit.
Jantung Asti berdegup. Dalam perkiraannya telah tergambar seorang laki-laki gendut,
sesungguhnya telah tua, buruk, menjemukan tetapi kaya. Laki-laki yang tentunya sudah
bosan dengan istrinya yang keriput, apalagi jika sang istri tidak pandai membenahi diri.
Laki-laki dengan mata yang penuh nafsu, rakus, dan dari mulutnya akan tercium bau
tembakau. Laki-laki yang bagi orang-orang di sekitarnya (apalagi yang suka menjilat-
jilat) pasti dipanggil Bos. Kalau tidak, mana berani ia membayar harga yang diminta
oleh Asti. Harga yang cukup tinggi, karena untuk sesuatu yang pertama.Namun dugaan
Asti jauh meleset. Seorang laki-laki muda, paling tinggi sekitar tiga puluh tahun,
tersenyum ke arahnya. Asti terkesiap. Laki-laki itu membuka jas dan
menggantungkannya. Menanggalkan dasi. Masuk ke kamar mandi. Mungkin
membersihkan muka. Kemudian keluar lagi dan mengambil dua buah minuman kaleng
dari bar mini yang ada di kamar itu. Ia menyodorkan satu di antaranya pada Asti. Asti
menerimanya dengan perasaan berkecamuk. Ia mencoba untuk tenang, meski
kegelisahan tidak sanggup dibuangnya. Ternyata laki-laki yang memesannya masih
sangat muda! Tetapi apa bedanya? pikir Asti. Bukankah tua atau muda ia harus
melakukannya? Bukankah ia kini telah menyandang profesi kupu-kupu malam?Laki-laki
itu duduk di tepi ranjang, sangat berdekatan dengan Asti. Asti tidak dapat membohongi
dirinya bahwa tubuhnya gemetar. Entah takut, entah cemas, entah apa. Mata laki-laki
itu mulai menelusuri seluruh tubuhnya yang tersingkap di sana-sini. Kulit Asti yang putih,
yang selama ini dijaganya, seolah-olah mulai terjual.``Sudah lama menunggu?`` tanya
laki-laki itu. ``Maaf, saya agak telat karena rapat terlalu sulit menemukan
solusi.````Sudah. Dan segalanya mungkin telah bisa dimulai,`` jawab Asti berusaha
setenang mungkin. Tetapi nada suaranya jelas bergetar.Laki-laki itu tertawa. Berdiri
meletakkan minuman.``Saya tidak serakus yang kaupikirkan!`` ungkapnya. Apakah itu
sebenarnya atau hanya basa-basi, Asti barangkali tidak perlu tahu.``Tetapi aku telah
siap!`` ucap Asti lagi.Laki-laki itu menyelai sebatang rokok, lalu menawarkan pada Asti.
Asti mengambilnya. Laki-laki itu mengembuskan napas panjang, duduk di sebuah
kursi.``Benarkah ini kali pertama?`` nakal pertanyaan itu.Asti tidak menjawab. Tapi ia
mengangguk.``Mengapa begitu berani melakukannya?``Asti seperti dipojokkan.
Sesuatu seolah-olah menerjang hatinya. Jantungya perih. Dadanya bergemuruh. Ia
berusaha melawannya.``Lakukanlah!`` akhirnya Asti berkata seraya membuka bajunya,
sehingga sebuah panorama terpampang begitu indah.``Jangan tergesa-gesa, saya
tidak suka. Sesuatu yang tergesa tidak akan meninggalkan kesan yang bagus,`` ucap
laki-laki itu seraya meminta Asti untuk kembali memasang bajunya. Asti bingung. Tapi,
barangkali ini baru permulaan, pikir Asti. Bukankah laki-laki akan selalu tampil untuk
merampas simpati seorang wanita pada tahap pertama?``Kau keberatan untuk
menceritakannya?`` tanya laki-laki itu seraya membenahi rambut Asti yang berserakan
di keningnya. Asti jadi gugup.``Barangkali itu tidak ada dalam perjanjian kita.``

``Barangkali itu akan dapat menukar apa yang telah menjadi perjanjian kita!``Asti
terperangah. Ditatapnya mata laki-laki itu lama-lama. Tapi semakin lama ditatapnya,
semakin ia tidak mengerti dengan apa yang tengah dihadapinya. Kupu-kupu malam! Ah,
bagaimanapun Asti kini telah masuk ke dalam ragam rahasia yang masih sangat asing
baginya.seekor kupu-kupu kuning beterbangan gelisahsesaat ada ia bertengger di daun
pintudi saat lain, ingin pagi cepat datango, embun! peluklah aku....

``Aku dilahirkan tepat pada hari kematian ayahku. Jelas aku tidak paham, apakah ibuku
menangis saat itu untuk kebahagiaan setelah melahirkan aku dengan selamat, atau
untuk kesedihan atas kematian ayahku yang telah sepuluh tahun mendampinginya,``
ucap Asti akhirnya memulai, pelan dan ragu-ragu.Waktu terus bergerak. Di luar, gelap
mungkin telah semakin jelas. Malam merangkak mengembuskan angin menembus
ventilasi. Kehidupan sungguh aneh dan gaib, tapi tentu lebih gaib nasib dan
takdir.``Ayahku tidak meninggalkan apa-apa selain sepetak rumah kontrakan yang
belum lunas serta derita di pundak ibuku yang tak berdaya. Sebagai seorang buruh
pabrik, ayahku ternyata tidak sanggup memberikan kesejahteraan pada apa yang ia
cinta. Tapi kami tidak pernah menyesalinya.Semenjak itu ibuku mulai bekerja sebagai
tukang cuci di rumah-rumah keluarga berada. Upah cuci ternyata tidak mampu untuk
menjelmakan hasratnya menyekolahkanku. Lalu pada malam harinya ibuku mencoba
membuat kue-kue kecil yang esok paginya ia antarkan ke warung-warung. Dalam
kemorat-maritan itulah aku dimasukkan sekolah. Kadang ada saat aku terkantuk-kantuk
di kelas karena membantu ibu sampai larut malam. Segala berlangsung dalam
kesederhanaan. Bukan! Bukan kesederhanaan, barangkali lebih tepat kekurangan!
Namun segalanya dengan tertatih dapat berjalan.Itu hanya berlangsung sampai aku
kelas satu SMP. Saat itu kupikir nasib selalu ingin bermusuh dengan keluarga kami.
Karena tiba-tiba ibuku sakit, dan kontan tidak dapat berbuat apa-apa. Tak ada jalan lain,
otomatis aku berhenti sekolah, menggantikan peran ibu sebagai pencari nafkah. Kian
hari sakit ibuku kian parah, dan itu memerlukan pengobatan yang serius, sedangkan
kami tidak punya uang.Kini sudah enam belas tahun usiaku. Aku tidak sanggup lagi
rasanya melihat ibuku terus didera penderitaan. Telah cukup lama ia tersiksa.
Barangkali sudah sepantasnya ia mengecap kesenangan, kebahagiaan, jauh dari
kekurangan. Lama sekali aku dibelit oleh pikiran seperti itu, sementara aku juga tidak
berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa,`` ungkap Asti tidak sanggup lagi menahan
isaknya.``Maka ketika seseorang datang kepadaku memberikan jalan keluar seperti ini,
aku menerimanya. Kupu-kupu malam! Atau lebih kasar lagi, pelacur! Alangkah takutnya
aku dulu mendengar kata-kata itu. Tapi kini aku harus menyandang sebutan tersebut.
Tidak! Aku tidak akan menyesal. Aku lebih mencintai ibuku daripada kehidupanku. Aku
lebih menyayangi ibuku ketimbang tubuhku,`` urai Asti dalam campuran tangis yang
tidak dapat dibendungnya.Malam barangkali telah sampai di ujungnya. Dingin semakin
menyergap. Suara penjaja telah sepi. Dan waktu seolah terseret-seret mengikuti detak
jarum menuju sebuah siklus yang sesungguhnya selalu berkisar pada tempat yang
sama; kehidupan!Pada suatu ketika kita menyaksikan pemandangan yang teramat
berlebihan. Di mana segala sesuatu seolah-olah bergerak sangat mudah, tanpa aral,
tanpa rintang, dan tidak satu pun yang dapat membendung setiap keinginan.Pada saat
yang lain kita terkadang tidak mampu menyurukkan muka melihat kekurangan demi
kekurangan yang betapa melahirkan kepedihan, tetapi tak satu jua yang rela
menceburkan dirinya untuk memberikan sedikit pertolongan.Alangkah hidup itu
sesungguhnya sangat nisbi dan betapa mencengangkan!``Segalanya sudah jelas. Kini,
lakukanlah!`` ucap Asti setelah selesai mengusap air matanya, kemudian ia
menanggalkan seluruh pakaiannya. Seluruhnya! Asti telah pasrah. Ia pikir, ia harus
bertarung melawan nasib.Laki-laki itu berdiri, dan berjalan ke arah Asti. Asti telah
menunggu di ranjang. Gemetar, atau mungkin takut, atau mungkin dengan segunduk
harapan akan kebahagiaan ibunya.seekor kupu-kupu kuning beterbangan
gelisahsesaat ada ia bertengger di daun pintudi saat lain, ingin pagi cepat datang o,
embun! peluklah aku....Tetapi setelahnya, tidak sesuatu pun yang sempat terjadi selain
ucapan laki-laki itu: ``Saat azan subuh telah selesai, tandanya pagi telah datang.
Sesuatu akan berubah seirama dengan deru waktu. Dan perubahan itu, terkadang kita
tidak pernah sempat menduganya. Bila aku telah tertidur, tinggalkan alamatmu, lalu
pulanglah! Katakan pada ibu, bahwa aku akan menikahimu, Asti!`` ucap laki-laki itu
lembut tapi pasti.Asti tidak sempat berkata-kata. Namun yang ia pikir, adakah ini hanya
sebuah mimpi karena nasib begitu cepat sekali berubah. Tetapi kemudian ia dapatkan
dirinya telah berjalan menuju rumahnya dengan bayangan sejuta kupu-kupu
beterbangan riang, tanpa sedikit pun kegelisahan.***Payakumbuh, 2000
Percakapan Patung-patung

Indra Tranggono

Sumber: Kompas, Edisi 09/15/2002

BULAN sebesar semangka tersepuh perak, tergantung di langit kota, dini hari.
Cahayanya yang lembut, tipis berselaput kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan
yang berdiri di atas Monumen Joang yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan.
Cahaya bulan itu seperti memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari
posisi mereka yang berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman
warga kota yang terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut.Lima patung yang terdiri
dari tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan
tangan, kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih
karena selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku,
dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti orang
mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam kesunyian
yang mampu mendengarnya."Dulu, ketika jasad kita terbujur di sini, kota ini sangat
sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan kunang-kunang yang
membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu, bependar-pendar
seterang siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung lelaki yang dikenal dengan
nama Wibagso sambil mengayun-ayunkan senapannya."Tapi lihatlah di sana, Bung
Wibagso. Kumpulan gelandangan tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan
bangkai anjing dengan lahap. Dan di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu
dengan gelandangan yang berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung.
Mulut mereka menganga menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat,
mengundang jutaan lalat terjebak di dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-
lalat itu..." desis patung lelaki bernama Durmo.Ratri, patung perempuan yang dulu
dikenal sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menukas,

"Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri yang gemerlap, selalu dirawat kemiskinan
sebagai ilham bagi kemajuan. Kita mesti bangga, negeri ini sangat kaya. Lihatlah di
sana deretan rumah mewah menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada mobil-mobil
mewah, ada lapangan golf pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi... Dan lihatlah
di sana, orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada yang
orgi..."Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata nanar
melenguh bagai sapi di ruang jagal,

"Ternyata mereka hanya sanggup mengurus perut dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi
menyesal, kenapa dulu ikut memerdekakan negeri ini."

"Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai pahlawan," timpal Durmo,

"Kita bediri di sini tak lebih dari hantu sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi
hormat kepada kita. Buktinya, mereka menggaruk apa saja."

"Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa mereka tetap hormat kepada kita. Buktinya,
mereka membangunkan kita monumen yang megah," tukas Wibagso.

”Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat njepit ini. Mosok monumen
pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung perempuan bernama Cempluk, yang
dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur umum.Angin bertiup mengabarkan hari sudah
pagi. Gelandangan-gelandangan yang tidur melingkar di kaki monumen itu menggeliat.
Mulut mereka menguap kompak. Aroma abab bacin yang membadai dari sela gigi-gigi
kuning, menguasai udara sekitar. Tercium oleh para patung pahlawan. Sontak mereka
serempak berdiri, dan masing-masing kembali pada tempatnya, sebelum keheningan
pagi dirajam hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari deru nafas kota yang
keruh.Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus bergumam. Tapi hanya
telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya.

YU Seblak, pelacur senior yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen
itu, duduk takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam
dupa yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu
Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti lima-enam
orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak bergumam
meluncurkan kata-kata mantera."Aku mendengar ada banyak orang mendoakan kita.
Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar, ada juga rokok
klembak menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang dipimpin Yu Seblak.

"Kurang ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang minta nomer buntut segala! Ini
apa-apaan Wibagso!" teriak Durmo

"Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka sedikit gembira. Anggap saja
ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat keabadian," ujar Wibagso.

"Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi togel itu kebangeten!" protes Cempluk.

"Hidup mereka gelap rekan Cempluk. Mereka hanya bisa mengadu kepada kita, karena
yang hidup tak pernah mengurusi nasib mereka. Justru menghardik mereka...," tukas
Ratri.Yu Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat, diikuti orang-orang di
belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima berbagai keluhan para
"pasiennya".

"Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan pelacur, ya enggak bisa. Punya
permintaan itu mbok yang sopan gitu lho..."

"Habis, saya selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya sepi. Ehhh siapa tahu,
para petugas ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso dan semua pahlawan
di sini. Tolong ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan berparas malam itu, sambil
menyerahkan amplop di genggaman Yu Seblak.

"Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan rekan bisa
mempertimbangken..."Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo tampak
tersinggung.

"Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan kita. Mestinya mereka
mengadu ke anggota dewan..."

"Ah anggota dewan kan lebih senang kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar
Sidik.
"Tampung saja keluhan itu," sahut Wibagso.

"Tapi urusan kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatan kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki musuh
tanpa ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang jauh.

"Perang memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah lembut
terhadap musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi kepuasan
melihat mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya
mempertahankan hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur Durmo

"Kita yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan kita,"
Ratri menimpali.Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup terdengar warna
berita dari radio:

"Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran
Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang
diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar
tiga milyar." Lima patung itu mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso meloncat
girang. Ratri menari-nari. Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut perasaan
gelisah. Sidik berdiri mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung.

"Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso.

"Untuk apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang
kumerdekakan ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa
gelintir orang. Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang
mengunyah sisa-sisa pesta," ujar Sidik.

"Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur melihat
anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso.

"Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukul-
mukul rongga batinku."

"Ah, sudah jadi arwah kok masih perasa.""Tapi perasaanku masih hidup!"
"Untuk apa memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa.
Hidup ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!"

"Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri.

"Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup.
Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka
memberondongku tanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng."

"Ooo kalau soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota
yang dikuasai musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat
keberanianku, nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan
pertempuran. Ini semua berkat aku!"

"Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo.

"Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri paling depan.
Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke
gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebut sedang bergerilya!"

"Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga yang memimpin serangan
fajar itu!"

"Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih
dari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi
pimpinan produksi perang!" hardik Durmo.

"Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!"
Napas Wibagso naik-turun.

"Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah Durmo.

"Bung Wibagso," tukar Sidik,

"Kenapa kamu sibuk menghitung-hitung jasa yang sesungguhnya hampa?!"Bulan


mengerjap, seperti tersentak. Wajah Wibagso memerah.
"Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa orang lain. Jangan anggap kamu paling
pahlawan di antara para pahlawan!"

"Kapan aku membangga-banggakan diri? Kapan? Kamu ingat, waktu berjuang dulu,
aku justru menghilang ketika ada Panglima Besar mengunjungi kawan-kawan kita yang
berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa saja aku mencatatkan diri menjadi
prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini merdeka, aku mampu jadi petinggi yang
bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut keburu menjemputku," ujar Sidik.

"Begitu juga aku," sergah Durmo,

"Aku berpesan kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak


mengungkit-ungkit jasa kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa
banyak. Itu pun masih banyak potongannya!"

"Munafik. Kalian ini munafik!" bentak Wibagso.Bulan kembali mengerjap. Angin terasa
mati.Napas kota kembali berhembus. Jantung kota kembali berdegup. Gelandangan,
pelacur dan copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak menguap menyemburkan
abab bacin penuh bakteri."Aku yakin, kalau monumen ini jadi dipugar, kita akan
kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus itu.

"Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota ini. Kita demo
besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki "gelandangan intelektual" karena gemar
mengutip kata-kata gagah.Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak
yang menyiarkan warta berita:

"Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana


pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan
dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi
pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar
dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat
prasejahtera."Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka menari. Beberapa
orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya
dengan spritus. Jantung mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin
rancak, semakin panas.Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali tidur.
Tapi di sebuah gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih menyala.

"Saya setuju saja, jika Den Bei Taipan mau bikin mall di sini," ujar Drs Ginsir sambil
minum anggur

."Terima kasih... terima kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian
keuntungan, itu dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur merah.

"Tapi tunggu dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada Dewan. Dan
biasanya itu agak lama. Maklum..."

"Eeee bagaimana kalau 35:65. Tidak ada konglomerat gila macam saya."

"Tapi masih banyak konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei..."

"Bagaimana kalau 40:60. Ini peningkatan yang sangat progresif."

"Well...well...well... Saya kira Den Bei bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini
masih sangat luas."

"Bapak ini ternyata cerdas. Setidaknya, mendadak cerdas."Keduanya tertawa berderai.

"Den Bei tinggal pilih. Alun-alun, bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang."

"Semuanya akan saya ambil."

"Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi metropolitan."Keduanya berjabat tangan.***"

PENGKHIANAT! Culas! Licik dan sombong! Penguasa demi penguasa datang, ternyata
hanya bertukar rupa. Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi
pengkhianatan di tubuh kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen bergetar.

"Mereka menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak
menggerus kita menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri.Sidik,
Durmo, dan Cempluk tersenyum.

"Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak diluluhlantakkan. Lihatlah buldoser-
buldoser itu datang. Berderap-derap. Kita harus bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso.Di
bawah monumen, Yu Seblak memimpin penghadangan penggusuran.

"Kita harus bertahan! Kita lawan buldoser-buldoser itu! Ajeng, Karep, Kalur, di mana
kalian?" teriak Yu Seblak.

"Kami di sini. Di belakangmu!" jawab mereka kompak.

"Kita lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik mati daripada
selamanya dikutuk jadi kecoa!"Deru buldoser-buldoser mengepung monumen.
Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus merangsek.

"Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya kalian malu!"
hardik Wibagso.

"Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan mereka, itu bukan untuk membela
kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela mereka yang juga punya hak
hidup!" teriak Sidik.

"Aku tak butuh penjelasan. Tapi butuh kejelasan sikap kalian untuk melawan mereka
Ratri, meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu.
Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu
Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu. Cepat!" Wibagso mengatur perlawanan
seperti ketika menghadapi tentara-tentara penjajah.Buldoser terus merangsek.
Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang orang-orang yang mencoba bertahan.
Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari lintang pukang.

"Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak.

"Sia-sia melawan mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak Kalur.

"Kita menyingkir saja. Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa makam kita!
Menyingkir... Menyingkir saja!!!" Karep mencoba menarik Yu Seblak yang berdiri
beberapa sentimeter dari moncong-moncong buldoser. Tapi Yu Seblak tetap bertahan,
sambil terus mengibar-ngibarkan kain dan kutangnya. Tak ada yang menahan Yu
Seblak untuk telanjang. Buldoser-buldoser itu dengan rakus dan bergairah menggilas
tubuh Yu Seblak. Tubuh kuning langsat itu bagaikan buah semangka yang dilumat
blender.Wibagso tersentak. Ratri menjerit histeris. Durmo dan Sidik berteriak-teriak
penuh amarah. Mereka mencoba menghadang buldoser-buldoser itu. Tapi mesin
penghancur itu terlalu kuat buat dilawan. Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga
lumat.Bulan di angkasa mengerjap, Angin mati.

"Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan
itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja,
Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam
kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.*

Jogja, awal Juli 2002 (Terima kasih untuk Joko DH dan Menthol Hartoyo)

______________________________________________________________________
Jakarta 3030

Martin Aleida

Sumber: Kompas, Edisi 08/25/2002

BONGKAH emas yang menengger di puncak Monumen Nasional sudah lama ditakik
dan disingkirkan dari tempat duduknya. Dia digelindingkan begitu saja di daratan. Tak
lebih berharga dari segundukan tanah merah. Emas sudah tak bisa mempertahankan
kemuliaannya di atas besi atau timah. Anak-anak saja sudah bermain-main dengan
lempengan-lempengan emas yang mereka ciptakan dari adonan kimia. Kesemarakan
dan lambang kekuasaan sudah berubah makna, paling tidak di kota ini. Yang disanjung
orang sekarang adalah gizogasarm, senyawa kimia hasil ekstraksi dari inti api, yang
dijadikan bahan mentah untuk memproduksi chip yang bisa menampung data jutaan
kali lipat dan dengan kecepatan tak terperikan dibandingkan seribu tahun
sebelumnya.Kata-kata. Karena sifatnya yang bisa ditafsirkan dalam berbagai
pengertian, kata-kata sebagai sarana ekspresi sudah ditinggalkan. Sekarang adalah
dunia presisi, dengan bahasa ketepatan yang memiliki pengertian tunggal.
Bayangkanlah bagaimana pentingnya presisi sepuluh abad yang akan datang, kalau
sekarang saja apabila Anda salah memasukkan angka PIN, maka tak sepeser pun
yang bisa Anda tarik dari ATM. Pemujaan pada angka membuat manusia kelu. Dan
ketika kata-kata hilang dari percakapan mereka, maka burung-burung
mengambilalihnya. Di mulut burung-burung, yang sudah berkicau sejak jutaan tahun
yang silam, kata-kata menemukan melodi yang membuai menghanyutkan. Burung-
burung berkata-kata dengan ritme yang jauh lebih menawan dibandingkan dengan
gelombang percakapan manusia zaman sekarang. Hilanglah sudah kata-kata dari
perbendaharaan verbal. Dan bunyi yang tertinggal dalam komunikasi manusia hanyalah
ketukan di atas keyboard.Jakarta terkurung dalam kutukan karena kejahatan
kemanusiaan yang didewakannya selama lebih dari tiga dasawarsa menjelang akhir
abad keduapuluh. Ingatan kolektif penduduknya bisa lenyap. Tetapi, zaman tak pernah
akan lupa bahwa pada waktu itu ratusan ribu orang dibunuh seperti tikus comberan.
Anak-anak muda yang ganteng dan manis-manis, yang bercita-cita sangat sederhana,
hanya sekedar untuk bisa meludah karena tak tahan mencium bau amis para penguasa
yang durjana, diculik dan dilenyapkan rezim bersenjata. Mereka yang membunuh dan
menculik tak pernah merasa bersalah. Hukum buat mereka hanyalah angin yang
dengan gampang bisa ditepis. Orang yang seharusnya bertanggung jawab dengan lihai
menghindar dari hukuman sambil meluncur-luncur di atas kursi roda. Ngelencer
kesana-kemari. Aman-aman saja dengan berpura-pura kena encok.Namun, adil
ataupun tidak, zaman tak tertahankan. Dia melaksanakan hukumnya sendiri. Kota jadi
terpencil dari alam sekitarnya. Daerah sekelilingnya membalas penindasan yang
berpusat di kota itu dengan membangun pagar yang lebih dahsyat dari tembok
Tiongkok untuk membuat kota ini terisolasi dari sinar Matahari. Kota terkurung dalam
tembok. Orang-orang yang menyimpan dendam kesumat terhadap kezaliman kota ini
mengharapkan dia lekas saja mati karena kekurangan vitamin D.Berita-berita
pembunuhan yang saban hari muncul di media massa dalam seribu tahun belakangan
ini menunjukkan betapa murahnya harga nyawa. Seakan tak lebih bernilai dari lalat
atau belatung. Teknik-teknik pembantaian lebih keji dari yang mungkin dibayangkan.
Dan penduduk kota membaca berita-berita seperti itu sebagai sesuatu yang rutin.
Emosi mereka tumpat. Hati mereka lebih tersentuh oleh teka-teki silang. Kepekaan
menjadi tumpul. Membuat kemanusiaan berada di titik paling rendah. Kaum budayawan
berdiam diri, sementara kaum politisi dan negarawan bermain-main mencari
keuntungan dari situasi ini. Seribu tahun dalam pemujaan, maka pragmatisme
menemukan dampaknya yang paling mencengangkan.Karet, Tanah Kusir, Jeruk Purut,
dan semua lahan pemakaman sudah lama diratakan, dan di atasnya dibangun gedung-
gedung berbentuk kubis yang menyundul langit dan berdesak-desakan ke laut. Kota ini
sudah tidak mengenal sejengkal tanah pun sebagai tempat pemakaman. Orang-orang
kaya, yang hidup di atas angin, menguburkan diri di luar negeri, di Australia atau Afrika.
Untuk tetap mensakralkan pemakaman, hanya satu perusahaan yang diizinkan
beroperasi: www.kubur.com. Situs tersebut hanya dijalankan oleh seorang pebisnis
dengan koneksi yang tiada terhingga dengan perusahaan penerbangan internasional.
Delapan menit setelah mengklik home page itu, jenazah sudah dikebumikan di benua
yang jadi pilihan.Kemanusiaan sama dan sebangun dengan nol besar. Dan dia sudah
tidak lagi memerlukan nama. Untuk menghindari kematian dini, karena kekurangan
vitamin D, orang-orang yang tidak beruntung, yang mempertahankan hidup di
komunitas yang pernah jaya seribu tahun sebelumnya, seperti Satu Merah Panggung,
Utan Kayu, Garuda, Bambu, Lidah Buaya, dan kelompok-kelompok lain, dijadikan
tumbal. Kapitalisme memang masih harus membuktikan diri bahwa tatanan masyarakat
yang diciptakannya merupakan akhir dari peradaban manusia. Tetapi, yang jelas
komunitas-komunitas tadi, yang mencoba melawan arus zaman dengan membangun
kelompok kehidupan sendiri yang didirikan di atas kebersamaan dan menentukan
sendiri apa yang memang benar-benar mereka butuhkan, menemukan diri mereka
tersisih, miskin. Kalau sudah tiba saat harus berhadapan dengan ajal, maka mereka
diperlakukan tidak lebih dari sampah. Penaklukan orang-orang di atas angin terhadap
mereka menjadi lengkap. Mereka dijadikan sumber vitamin D. Gubernur kota merasa
telah menemukan kebijakan yang cemerlang dalam upayanya untuk membuat jasad
mereka yang tersisih tidak menyebabkan bau busuk yang menyengat kota. Sepuluh
detik setelah meninggal, jasad orang-orang tersisih ini sudah dikerek ke pelataran
pemusnahan yang dibangun di puncak Monumen Nasional. Gubernur dan para
pembantunya beranggapan sama sekali tidak masuk akal membiarkan mayat berbulan-
bulan supaya membusuk dan dimakan belatung di puncak monumen. Maka seratus
ekor burung Gazgazammut diimpor dari Asia bagian tengah. Burung-burung yang
berparuh besar dan tajam, dengan tembolok yang tak pernah kenyang itulah yang
dalam lima menit membuat mayat orang-orang tersisih tadi tinggal tulang-belulang.
Balung manusia itu kemudian dikerek turun, dimasukkan ke pabrik pemrosesan khusus
untuk menghasilkan kalsium sejati. Dengan tablet-tablet kalsium ini penduduk kota O-
besar-kemanusiaan memperpanjang harapan hidup mereka.Kepekaan penduduk kota
semakin majal, sementara kicau burung-burung yang semakin sarat dengan melodi
bertambah memilin gita perasaan binatang itu. Dari atas pepohonan yang dibuat dari
campuran besi dan plastik yang lentur dan antikarat, di mana mereka bertengger,
apalagi pada saat mereka mematuki bangkai manusia yang tersisihkan di pucak
monumen, hati burung-burung Gazgazammut mulai teriris-iris oleh ketidakadilan yang
sedang berlangsung di bawah cakar mereka. Di kota bawah. Suatu ketika keseratus
burung-burung Gazgazammut terbang serempak dengan ujung-ujung sayap mereka
saling menyentuh. Bayang-bayang mereka membuat kota di bawah jadi kegelapan.
Seperti ditangkup gerhana. Sambil melayang-layang, menukik tajam, membubung
tinggi menerjang langit, mereka memekik-mekik memprotes kezaliman yang dipelihara
oleh kota yang terhampar di bawah. Pada satu situs, seorang penyair memberikan tafsir
mengenai apa yang sedang dilakukan oleh burung-burung yang sedang meradang dan
menerjang itu. Bahwa, kota ini akan binasa kalau pemusnahan terhadap sesama
manusia dalam bentuknya yang paling bengis tidak dihentikan. Tetapi, seperti kode judi
hwa-hwe dahulu kala, kata-kata bisa dipahami dalam rupa-rupa pengertian. Makna
maupun tafsirnya beragam. Jadi, siapa yang mau mendengar kicau si-penyair.
Sementara penguasa kota tak peduli dengan tanda-tanda alam. Keesokan harinya
kawanan burung Gazgazammut mengepak-ngepak berbarengan di atas kota. Jeritan
mereka menyebarkan ngeri, memekakkan telinga penduduk. Mereka berputar-putar di
atas monumen, di mana dua jasad manusia terletak di atas altar menunggu burung-
burung itu melumatkan daging mereka. Namun, burung-burung itu hanya berputar-putar
persis di atas mayat. Memekik-mekik. Lantas mereka terbang beringsut menjauhi mayat,
kembali ke sarang mereka di pohon-pohon buatan yang ditancapkan di Teluk Jakarta.

"Katakanlah dengan semangat kesetiakawanan, apakah yang kita lakukan ini bisa
dimaafkan sejarah," kicau seekor burung Gazgazammut yang ragu dengan perlawanan
burung-burung sebangsanya terhadap kebijakan Gubernur kota dan para pembantunya.
Suaranya berat dan parau. Menggugah tapi liris.

"Dengan menjunjung tinggi dan atas nama langit ketujuh, kita berhak menolak untuk
mematuki jenazah," sambut suara di tengah kerumunan burung itu.

"Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Membuat busuk dan meracuni angkasa.
Membikin manusia yang tersisihkan di kota ini akan terserang kolera dan semakin
sengsara."

"Kolera sudah lama dikalahkan manusia."

"Ya, sama seperti TBC atau cacar atau malaria, kolera bisa menyebar kembali di
kalangan penduduk. Apalagi pembiaknya adalah mayat manusia."Seekor dari seratus
burung Gazgazammut itu, sambil tegak di atas cakarnya yang kokoh, dengan sayap
setengah terentang, mengalunkan suara:

"Kita telah dibawa ke kota yang sedang tenggelam dan terkurung ini untuk dijadikan
perangkat pemisah antara manusia yang beruntung dan yang tersisihkan. Apakah kita
tak boleh mempergunakan hak kita untuk tak terlibat dalam kejahatan kemanusiaan ini?
Kuat suara hatiku bahwa kita berhak untuk terbang kembali ke tanah air kita. Ke jantung
Asia. Jangan terbetik rasa khawatir barang seujung rambut pun bahwa kita akan
tersesat dalam penerbangan pulang." Matanya yang bening tajam menaksir-naksir
sikap burung yang lain. Burung yang kelihatan paling berwibawa itu lantas membujuk:

"Aku tahu arus angin mana yang harus kita ikuti untuk sampai ke pohon-pohon yang
murni hijaunya, dari mana kita telah dirampas, diperjualbelikan. Kembangkan sayap!
Terjang dan ikuti angin buritan ini," katanya membujuk.Beberapa detik kemudian,
rrrruuuuummmm, suara kepak sayap mereka memenuhi angkasa. Taji di kedua kaki
mereka yang kokoh bersiung-siung menerjang angin. Kawanan burung itu lenyap ke
arah Utara. Tanpa sinar Matahari, mayat di atas monumen membusuk dengan cepat.
Kota dicekik bau bangkai.Sebenarnya, para penguasa tidak menemukan kesulitan
untuk menyewa ahli dari luar untuk melenyapkan mayat-mayat kaum tersisih di kota itu
menjadi setumpuk abu. Tetapi, masalahnya mereka memerlukan simbol kemenangan
atas kaum tersisih. Mereka tak mau kehilangan kepuasan dengan menelan tablet-tablet
kalsium yang dibuat dari tulang-belulang orang yang mereka kalahkan. Mereka hendak
mempertahankan simbol kejayaan itu. Jadi, mereka membiarkan belatung yang
mengerubuti mayat-mayat kaum tersisih. Tanpa menghiraukan protes penduduk.Saya
sendiri sudah lama menyingkir dari kota ini. Bersama teman-teman kami membangun
pulau dari bangkai daun dan akar pohon yang hanyut dari hulu Sungai Siak. Sampah
alami dari hutan-hutan yang dibabat ratusan tahun yang lalu cukup untuk membangun
sehamparan daratan di mulut Sungai Siak yang selalu ternganga sampai ke tepi laut
yang tak tampak. Semut sudah sirna dari kulit bumi, kecuali di wilayah aliran sungai ini.
Perut mereka yang rata-rata sangat ramping, ditambah lagi dengan kesukaan mereka
bergotongroyong, dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap keserakahan. Ini
ejekan permanen. Karena itu harus dibasmi. Beginilah aksioma zaman sekarang:
kebajikan justru membawa bencana. Maka, pulau buatan yang sederhana ini kami
namakan Pulau Penyemut, untuk mengabadikan kearifan semut yang mengilhami. *

Bengkalis, 14 Mei 2002

You might also like