You are on page 1of 54

Cultural Studies, Multiculturalism and Media

Culture
(Ekstensi dan Refleksi Kritis atas Pemikiran Kritis artikel Douglas
Kellner dengan judul yang sama)

(AG. Eka Wenats Wuryanta/0806402515)

Wacana kebudayaan adalah


wacana yang tidak pernah habis untuk
dibahas. Perkembangan kebudayaan
modern juga menjadi tonggak telaah
kritis di dalamnya, belum lagi ketika
kebudayaan disebarkan dan
”menunggangi kuda hitam” yang sering
disebut dengan media massa
kontemporer yang dengan kecanggihan
teknologi mampu melakukan penetrasi
yang dramatis dalam kehidupan
kontemporer. Dapat dikatakan bahwa
media massa modern selain menjadi
”medium atau tool”, rupanya media
mampu menjadi ”pesan” itu sendiri (lih.
McLuhan dengan sebutan medium is a
message) atau malah menjadi ”sang
komunikator” itu sendiri.
Selain bahwa media merupakan
alat representasi sosial, media massa
melalui gambar-gambarnya
memberikan ruang perspektif manusia

1|eka/media-posmo/uas-ui
untuk membentuk cara pandangnya
terhadap dunia berikut nilai-nilai yang
ada di dalamnya. Media massa melalui
wacananya menyediakan simbol, mitos
dan ”oase” kebudayaan dalam sistem
sosial masyarakat. Media massa melalui
performa dan kinerja tontonan-
tontonannya meredefinisikan siapa
yang berkuasa dan siapa yang harus
dikuasai, siapa yang patut menjadi
korban dan siapa yang perlu
dipinggirkan.
Dalam wacana kritis kajian
budaya, media massa diperlihatkan
sebagai entitas yang mampu
membujuk. Tidak hanya membujuk, tapi
juga mendidik dan mendikte tentang
selera minum sampai selera pakaian
yang harus dipakai untuk kesempatan
tertentu, Mendikte dari masalah
makanan apa yang dikonsumsi tubuh
dengan golongan darah tertentu sampai
masalah shampoo apa yang cocok
dengan rambut kita masing-masing.
Oleh sebab itu, pembahasan
kajian budaya menjadi sangat penting
karena kontribusi dan isu budaya yang
berkembang sampai sekarang,
termasuk di dalam bagaimana kita
harus mengkritisi fenomena

2|eka/media-posmo/uas-ui
kebudayaan keseharian kita sampai
kemampuan kita untuk mendefinisikan
posisi sosial dalam konteks dan wilayah
kultur tertentu.

Posmodernisme: Sebagai Aras


Dasar Cultural Studies.
Fenomena postmodern mencakup
banyak dimensi dari masyarakat
kontemporer. Pada intinya, Postmodern
adalah suasana intelektual atau "isme"-
postmodernisme. Para ahli saling
berdebat untuk mencari aspek-aspek
apa saja yang termasuk dalam
postmodernism. Tetapi mereka telah
mencapai kesepakatan pada satu butir:
fenomena ini menandai berakhirnya
sebuah cara pandang universal. Etos
postmodern menolak penjelasan yang
harmonis, universal, dan konsisten.
Mereka menggantikan semua ini
dengan sikap hormat kepada perbedaan
dan penghargaan kepada yang khusus
(partikular dan lokal) serta membuang
yang universal. Postmodernisme
menolak penekanan kepada penemuan
ilmiah melalui metode sains, yang
merupakan fondasi intelektual dari
modernisme untuk menciptakan dunia
yang lebih baik. Pada dasarnya,

3|eka/media-posmo/uas-ui
postmodernisme adalah anti-modern.
Sebenarnya postmodernisme telah
mengalami masa-masa inkubasi yang
cukup lama. Meskipun para ahli saling
berdebat mengenai siapakah yang
pertama kali menggunakan istilah
tersebut, terdapat kesepakatan bahwa
istilah tersebut muncul pada suatu
waktu pada tahun 1930-an.
Salah satu pemikir
postmodernisme, Charles Jencks,
menegaskan bahwa lahirnya konsep
postmodernisme adalah dari tulisan
seorang Spanyol Frederico de Onis.
Dalam tulisannya "Antologia de la
poesia espanola e hispanoamericana"
(1934), de Onis memperkenalkan istilah
tersebut untuk menggambarkan reaksi
dalam lingkup modernisme.
Yang lebih sering dianggap
sebagai pencetus istilah tersebut adalah
Arnold Toynbee, dengan bukunya yang
terkenal berjudul "Study of History".
Toynbee yakin benar bahwa sebuah era
sejarah baru telah dimulai, meskipun
Toynbee sendiri berubah pikirannya
mengenai awal munculnya, entah pada
saat Perang Dunia I berlangsung atau
semenjak tahun 1870-an.

4|eka/media-posmo/uas-ui
Menurut analisa Toynbee, era
postmodern ditandai dengan
berakhirnya dominasi Barat dan
semakin merosotnya individualisme,
kapitalisme, dan Kekristenan. Ia
mengatakan bahwa transisi ini terjadi
ketika peradaban Barat bergeser ke
arah irasionalitas dan relativisme. Ketika
hal ini terjadi, kekuasaan berpindah dari
kebudayaan Barat ke kebudayaan non-
Barat dan muncullah kebudayaan dunia
pluralis yang baru.
Meskipun istilah ini muncul pada
tahun 1930-an, postmodernisme
sebagai sebuah fenomena kultural
belum menjadi sebuah momentum
sampai 40 tahun setelahnya. Ia muncul
pertama-tama dalam lingkup kecil
masyarakat. Selama tahun 1960-an,
suasana yang menandai
postmodernisme sangat menarik bagi
para seniman, arsitek, dan pemikir yang
sedang mencari alternatif untuk
melawan dominasi kebudayaan modern.
Bahkan beberapa teolog ikut tertarik
dengan trend tersebut, antara lain
William Hamilton dan Thomas J.J. Altizer
yang "mengundang arwah" Nietzsche
untuk memberitakan matinya Allah.
Perkembangan yang beraneka ragam ini

5|eka/media-posmo/uas-ui
membuat "pengamat kebudayaan"
Leslie Fiedler pada tahun 1965
menambahkan istilah "post" kepada
kata modern sehingga menjadi
postmodernisme yang menjadi simbol
kontra-kultural pada zaman itu.
Selama tahun 1970-an tantangan
postmodern menembus kepada arus
budaya utama. Pada pertengahan tahun
tersebut, muncullah seorang pembela
postmodern yang paling konsisten
mempropagandakan ide postmodern,
yakni: Ihab Hassan. Ia menghubungkan
postmodernisme dengan
eksperimentalisme dalam bidang seni
dan ultra teknologi dalam bidang
arsitektur.
Tetapi etos postmodern secara
tepat menjalar terus ke bidang-bidang
lain. Profesor-profesor di universitas
dalam berbagai fakultas mulai berbicara
mengenai postmodernisme. Bahkan
beberapa di antara mereka tenggelam
dalam konsep-konsep postmodern.
Akhirnya penerimaan etos baru
begitu menjalar terus ke mana-mana
sehingga istilah "postmodern" menjadi
label yang digunakan bagi berbagai
fenomena sosial dan budaya.
Gelombang postmodern menyeret

6|eka/media-posmo/uas-ui
berbagai aspek kebudayaan dan
beberapa disiplin ilmu, khususnya
sastra, arstektur, film, dan filsafat.
Pada tahun 1980-an, pergeseran
dari lingkup kecil kepada lingkup besar
terjadi. Secara bertahap, suasana
postmodern menyerang budaya pop
bahkan juga hidup sehari-hari
masyarakat. Konsep-konsep postmodern
bahkan bukan hanya diterima tetapi
populer: sangat menyenangkan menjadi
seorang postmodern. Akibatnya, para
kritikus kebudayaan dapat berbicara
mengenai "nikmatnya menjadi seorang
postmodern." Ketika postmodernisme
diterima sebagai bagian dari
kebudayaan, lahirlah postmodernitas.
Tetapi kata "postmodern"
mencakup lebih dari sekedar suasana
intelektual. Penolakan postmodernisme
terhadap rasionalitas terwujud dalam
banyak dimensi dari masyarakat kini.
Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir
postmodern terwujud dalam banyak
aspek kebudayaan, termasuk arsitektur,
seni, dan drama. Postmodernisme telah
merasuk ke dalam seluruh masyarakat.
Kita dapat mencium pergeseran dari
modern kepada postmodern dalam
budaya pop, mulai dari video musik

7|eka/media-posmo/uas-ui
sampai kepada serial Star Trek. Tidak
terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas
dan cara berpakaian juga terpengaruh.
Postmoderisme menunjuk kepada
suasana intelektual dan sederetan
wujud kebudayaan yang meragukan
ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai
yang dianut oleh modernisme.
Postmodernitas menunjuk kepada era
yang sedang muncul, era di mana kita
hidup, zaman di mana postmodernisme
mencetak masyarakat kita.
Postmodernitas adalah era di mana ide-
ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai
postmodern bertahta - ketika
postmodernisme membentuk
kebudayaan. Inilah era masyarakat
postmodern. Tujuan kita dalam bab ini
adalah melihat dari dekat fenomena
postmodern dan memahami sedikit
tentang etos postmodernisme. Apakah
tanda-tanda ekspresi budaya dan
dimensi hidup sehari-hari dari "generasi
mendatang ini?" Apakah buktinya
bahwa pola pikir baru sedang menyerbu
kehidupan masyarakat sekarang ini?
Ciri utama budaya postmodern
adalah pluralisme. Untuk merayakan
pluralisme ini, para seniman
postmodern mencampurkan berbagai

8|eka/media-posmo/uas-ui
komponen yang saling bertentangan
menjadi sebuah karya seni. Teknik seni
yang demikian bukan hanya merayakan
pluralisme, tetapi merupakan reaksi
penolakan terhadap dominasi rasio
melalui cara yang ironis. Buah karya
postmodernisme selalu ambigu
(mengandung dua makna). Kalaupun
para seniman ini menggunakan sedikit
gaya modern, tujuannya adalah
menolak atau mencemooh sisi-sisi
tertentu dari modernisme.
Post-modernisme adalah
campuran antara macam-macam tradisi
dan masa lalu. Post-Modernisme adalah
kelanjutan dari modernisme, sekaligus
melampaui modernisme. Ciri khas
karya-karyanya adalah makna
ganda,ironi, banyaknya pilihan, konflik,
dan terpecahnya berbagai tradisi,
karena heterogenitas sangat memadai
bagi pluralisme.
Salah satu tehnik campuran yang
sering digunakan adalah "collage".
"Collage" menawarkan suatu cara
alamiah untuk mencampurkan bahan-
bahan yang saling bertentangan.
"Collage" menjadi wahana kritik
postmodern terhadap mitos
pengarang/seniman tunggal. Teknik

9|eka/media-posmo/uas-ui
lainnya adalah "bricolage", yaitu:
penyusunan kembali berbagai objek
untuk menyampaikan pesan ironis bagi
situasi masa kini.
Seniman postmodern
menggunakan berbagai gaya yang
mencerminkan suatu eklektisisme yang
diambil dari berbagai era dalam sejarah.
Seniman umumnya menganggap cara
demikian harus ditolak karena
menghancurkan keutuhan gaya-gaya
historis. Para kritikus tersebut
menyalahkan gaya postmodern karena
tidak ada ke dalaman atau keluasan,
melanggar batas sejarah hanya demi
memberikan kesan untuk masa kini.
Gaya dan historis dibuat saling tumpang
tindih. Mereka mendapatkan
postmodernisme sangat kurang dalam
orisinalitas dan tidak ada gaya sama
sekali.
Namun ada prinsip lebih
mendalam yang ditampilkan melalui
ekspresi budaya postmodernisme.
Maksud dan tujuan karya-karya
postmodernisme bukanlah asal-asalan
saja. Sebaliknya postmodern berusaha
menyingkirkan konsep mengenai
"seorang pengarang atau pelukis asli
yang merupakan pencetus suatu karya

10 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
seni". Mereka berusaha menghancurkan
ideologi "gaya tunggal" dari
modernisme dan menggantikannya
dengan budaya "banyak gaya". Untuk
mencapai maksud tersebut, para
seniman ini memperhadapkan para
peminatnya dengan beraneka ragam
gaya yang saling bertentangan dan
tidak harmonis. Teknik ini - yang
mencabut gaya dari akar sejarahnya -
dianggap sebagai sesuatu yang aneh
dan berusaha meruntuhkan sejarah.
Seniman-seniman postmodern
sangat berpengaruh bagi budaya Barat
masa kini. Pencampuran gaya, dengan
penekanan kepada keanekaragaman,
dan penolakan kepada rasionalitas
menjadi ciri khas masyarakat kita. Ini
semakin terbukti dalam banyak ekspresi
kebudayaan lainnya.

CS adalah Cultural Studies


Cultural Studies (selanjutnya
disingkat CS, red.) merupakan kajian
yang dikembangkan oleh mazhab
Birmingham terutama oleh Centre for
Contemporary Cultural Studies yang
mengembangkan metode kritis pada
analisis, interpretasi dan kritisisme

11 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
artifak budaya (umumnya artifak
budaya kontemporer). Mazhab ini
berfokus pada kajian interplay sosial
dari representasi serta ideologi dalam
teks budaya terutama dalam budaya
media. CS memfokuskan diri pada
hubungan antara relasi-relasi sosial
dengan makna-makna. Berbeda dengan
"kritik kebudayaan" yang memandang
kebudayaan sebagai bidang seni,
estetika, dan nilai-nilai moral/kreatif,
kajian budaya berusaha mencari
penjelasan perbedaan kebudayaan dan
praktek kebudayaan tidak dengan
menunjuk nilai-nilai intrinsik dan abadi
(how good?), tetapi dengan menunjuk
seluruh peta relasi sosial ( in whose
interest?)
Yang jelas adalah CS lebih ingin
melihat sejauh mana budaya dengan
segala produk-produk mampu
membentuk cara pandang, tindakan
bahkan identitas personal atau
kelompok sosial tertentu. Mazhab ini
juga memperlihatkan bagaimana ikhwal
dan pertarungan ideologi dalam setiap
budaya termasuk dalamnya isu
resistensi budaya lokal dengan budaya
narasi besar atau mainstream culture.

12 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
Celah perspektif CS yang
sedemikian luas juga memperlihatkan
bahwa kebudayaan perlu dilihat dalam
sistem relasi sosial, ekonomi dan politik.
Dalam pengertian ini, CS juga
menunjukkan bahwa budaya media
mengartikulasi atau bahkan
mengamplifikasikan nilai dominan,
ideologi politik dan pembangunan
sosial. CS menyediakan perangkat
metodis yang dimanfaatkan untuk
membaca dan menginterpretasikan
gejala budaya (termasuk di dalamnya
budaya media) secara kritis. Maka tidak
mengherankan apabila CS membuka
kemungkinan-kemungkinan kajian kritis
terhadap semua fenomena atau gejala
yang nampak yang berhubungan
dengan kebudayaan kontemporer.
Hanya memang dalam
perkembangan dan peragaman wacana
CS, CS secara instrinsik mempunyai
dimensi kritis dan politis pada setiap
pendekatan dan usaha untuk
memahami serta menginterpretasikan
hubungan antara budaya dan
masyarakat. Bidang ilmu pengetahuan
yang relatif baru ini dengan sengaja
mengambil kata majemuk sebagai
penamaan diri, yakni studies (kajian-

13 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
kajian), bukannya study (kajian).
Penamaan ini dengan sendirinya
menyiratkan sikap dan positioning para
penggagas CS terhadap kondisi ilmu
pengetahuan di era modern yang
terkotak-kotak, saling mengklaim
kebenaran, meskipun lambat laun
dimengerti juga bahwa kebenaran yang
dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan
bersifat parsial. Kondisi semacam itu
dijawab oleh CS dengan menempuh
strategi inter dan multidisipliner. CS
memasukkan kontribusi teori maupun
metode dari berbagai disiplin ilmu yang
dipandang strategis untuk
mengedepankan realita kehidupan
umat manusia maupun representasinya
yang dipandang krusial dalam
kehidupan mutakhir. Karena CS
merupakan bidang keilmuan yang multi,
maka wilayah kajian, pendekatan, teori
dan konsep, maupun pendekatan
metodologisnya pun sangat bervariasi;
sehingga tidak mungkin dibahas
selengkap-lengkapnya dalam paper ini.
Salah satu ciri terpenting CS
adalah pemahamannya terhadap dunia
sehari-hari sebagai bagian dari budaya
yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa
dilakukan, dirasakan, diomongkan,

14 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
didengar, dilihat, digunjingkan, dalam
kehidupan sehari-hari oleh orang
kebanyakan merupakan wilayah amatan
CS. Budaya bukanlah yang adiluhung
saja. Pemahaman serupa ini sebenarnya
tidak jauh berbeda dari pemahaman
antropologis atas budaya sebagai
keseluruhan cara hidup (way of life)
sekelompok masyarakat. Salah satu
pondasi terpenting bagi pendekatan
yang memandang budaya sebagai
kegiatan sehari-hari
adalahpemahaman tentang konstruksi
sosial atas realita (the social
construction of reality). Dalam
perspektif ini realitas dipahami dan
diabaikan, diperbincangkan dan
dilupakan, dihidupi atau dimatikan,
dikelola atau dirusak, dimanfaatkan
atau dihindari, berdasarkan sistem
konstruksi yang beredar di kalangan
warga masyarakat. ‘Tugas’ CS
adalah membongkar dan memaparkan
unsur-unsur penyusun konstruk
tersebut dan cara kerjanya, agar
manusia sebagai subyek dapat
melibatkan diri secara aktif dalam dunia
konstruksi.
Dalam era teknologi informasi
dewasa ini perhatian CS terhadap

15 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
masalah konstruksi sosial atas realita
telah mengarahkan perhatian mereka
pada media komunikasi massa,
khususnya televisi – namun, sebenarnya
juga pada film, internet, handphone,
radio, koran, majalah, poster, kotbah
atau pidato, gosip, dan sebagainya.
Persoalan yang diajukan adalah perihal
kaitan antara representasi dan media
yang digunakan.

Komponen Pokok CS
Kellner menyatakan bahwa CS
mempunyai tiga komponen pokok yang
menjadi dasar pengembangan dan
wacana dalam CS.
Pertama adalah masalah produksi
dan ekonomi politik budaya. Komponen
ini menyiratkan bahwa analisa
kebudayaan, yang utamanya adalah
analisis dalam simbol dan teks, tidak
bisa memisahkan diri dari sistem
produksi, distribusi dan ekonomi politik
kebudayaan. Pertimbangan politik dan
ekonomi rupanya menjadi
pertimbangan melekat pada produksi
dan distribusi budaya itu sendiri (hal
mana akan sangat terlihat dalam
budaya media). Studi ekonomi politik

16 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
membantu untuk menentukan
keterbatasan jangkauan dan efek
ideologi dalam setiap wacana budaya
kontemporer. Hal tersebut tentunya
dipengaruhi dari posisi dasar
pemahaman bahwa globalisasi dan
industrialisasi budaya menempatkan
budaya itu sendiri sebagai komoditas
dan berada dalam jejaring global yang
berkekuatan kapital.
Kedua adalah komponen analisa
tekstual. Analisa tekstual menjadi
penting karena teks merupakan artifak
yang menyimpan rekaman ideologi dan
cara pandang dalam konteks budaya.
Hal ini menjadikan rentang yang
panjang pada studi teks yang tidak
berhenti pada pendekatan atau
metodologi yang bersifat positivistik
tapi juga dalam paradigma interpretatif
dan kritis. Dalam point ini, juga
dikatakan bahwa analisa tekstual ingin
juga memahami kritik bagaimana
makna budaya terkandung dan
terekspresikan dalam bentuk-bentuk
ideologi yang ditawarkan dalam media.
Analisa tekstual juga memberikan ruang
yang lebih luas dalam memahami teks
dalam cara pandang yang lebih holistik
sehingga tidak menutup kemungkinan

17 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
bahwa analisis tekstual dilakukan dalam
perspektif yang luas dan beragam.
Ketiga adalah masalah resepsi
khalayak dan penggunaan budaya
media. Komponen ini menyatakan
kekuatan teks yang menjadi subjek
dalam CS. Keragaman perspektif dibuka
selebar mungkin sehingga dalam hal ini
khalayak merupakan pembaca. Ingat
Derrida yang mengatakan “The Author
is Dead”. Tidak mengherankan juga
bahwa identitas dan realitas merupakan
konstruksi yang dibuat oleh khalayak.
Budaya media menyediakan bahan bagi
individu untuk menciptakan identitas
dan pemaknaan sehingga bisa
dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk
budaya. Hal ini menandakan bahwa
akhirnya CS tidak mempunyai sifat yang
monolitik dalam kajiannya melainkan
multidimensi dan idyosinkratik. Posisi
subjek yang menengari,
menginterpretasikan sekaligus
mereproduksi budayanya akan
menghasilkan budaya yang mempunyai
sifat subjektif posisional (diri, gender,
umur-kelompok, keluarga, kelas, bangsa
dan etnisitas).

18 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
Wacana Derivatif CS (1):
Representasi
Representasi adalah konsep yang
mempunyai beberapa pengertian. Ia
adalah proses sosial dari 'representing'.
Ia juga produk dari proses sosial
'representing'. Representasi menunjuk
baik pada proses maupun produk dari
pemaknaan suatu tanda. Representasi
juga bisa berarti proses perubahan
konsep-konsep ideologi yang abstrak
dalam bentuk-bentuk yang kongkret.
Jadi, pandangan-pandangan hidup kita
tentang perempuan, anak-anak, atau
laki-laki misalnya, akan dengan mudah
terlihat dari cara kita memberi hadiah
ulang tahun kepada teman-teman kita
yang laki-laki, perempuan dan anak-
anak. Begitu juga dengan pandangan-
pandangan hidup kita terhadap cinta,
perang, dal lain-lain akan tampak dari
hal-hal yang praktis juga. Representasi
adalah konsep yang digunakan dalam
proses sosial pemaknaan melalui sistem
penandaan yang tersedia: dialog,
tulisan, video, film, fotografi, dsb.
Secara ringkas, representasi adalah
produksi makna melalui bahasa.
Menurut Stuart Hall (1997),
representasi adalah salah satu praktek

19 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
penting yang memproduksi
kebudayaan. Kebudayaan merupakan
konsep yang sangat luas, kebudayaan
menyangkut 'pengalaman berbagi'.
Seseorang dikatakan berasal dari
kebudayaan yang sama jika manusia-
manusia yang ada disitu membagi
pengalaman yang sama, membagi
kode-kode kebudayaan yang sama,
berbicara dalam 'bahasa' yang sama,
dan saling berbagi konsep-konsep yang
sama.
Bahasa adalah medium yang
menjadi perantara kita dalam
memaknai sesuatu, memproduksi dan
mengubah makna. Bahasa mempu
melakukan semua ini karena ia
beroperasi sebagai sistem representasi.
Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda
tertulis, lisan, atau gambar) kita
mengung-kapkan pikiran, konsep, dan
ide-ide kita tentang sesuatu. Makna
sesuatu hal sangat tergantung dari cara
kita 'merepresentasikannya'. Dengan
mengamati kata-kata yang kita gunakan
dan imej-imej yang kita gunakan dalam
merepresenta-sikan se-suatu bisa
terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan
pada se-suatu tersebut.

20 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
Untuk menjelaskan bagaimana
representasi makna lewat bahasa
bekerja, kita bisa memakai tiga teori
representasi yang dipakai sebagai
usaha untuk menjawab pertanyaan:
darimana suatu makna berasal? Atau
bagaimana kita membedakan antara
makna yang sebenarnya dari sesuatu
atau suatu imej dari sesuatu?
Yang pertama adalah pendekatan
reflektif. Di sini bahasa berfungsi
sebagai cermin, yang merefleksikan
makna yang sebenarnya dari segala
sesuatu yang ada di dunia. Kedua
adalah pendekatan intensional, dimana
kita menggunakan bahasa untuk
mengkomunikasikan sesuatu sesuai
dengan cara pandang kita terhadap
sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah
pendekatan konstruksionis. Dalam
pendekatan ini kita percaya bahwa kita
mengkonstruksi makna lewat bahasa
yang kita pakai.
Menurut Stuart Hall, ada dua
proses representasi. Pertama,
representasi mental. Yaitu konsep
tentang 'sesuatu' yang ada di kepala
kita masing-masing (peta konseptual).
Representasi mental ini masih
berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua,

21 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
'bahasa', yang berperan penting dalam
proses konstruksi makna. Konsep
abstrak yang ada dalam kepala kita
harus diterjemahkan dalam 'bahasa'
yang lazim, supaya kita dapat
menghubungkan konsep dan ide-ide
kita tentang sesuatu dengan tanda dan
simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan
kita untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai
korespondensi antara sesuatu dengan
sistem 'peta konseptual' kita. Dalam
proses kedua, kita mengkonstruksi
seperangkat rantai korespondensi
antara 'peta konseptual' dengan bahasa
atau simbol yang berfungsi
merepresentasikan konsep-konsep kita
tentang sesuatu. Relasi antara
'sesuatu', ‘peta konseptual', dan
'bahasa/simbol' adalah jantung dari
produksi makna lewat bahasa. Proses
yang menghubungkan ketiga elemen ini
secara bersama-sama itulah yang kita
namakan: representasi.
Konsep representasi bisa
berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan
baru dan pandangan baru dalam konsep
representasi yang sudah pernah ada.
Karena makna sendiri juga tidak pernah

22 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
tetap, ia selalu berada dalam proses
negosiasi dan disesuaikan dengan
situasi yang baru. Intinya adalah:
makna tidak inheren dalam sesuatu di
dunia ini, ia selalu dikonstruksikan,
diproduksi, lewat proses representasi. Ia
adalah hasil dari praktek penandaan.
Praktek yang membuat sesuatu hal
bermakna sesuatu.

Wacana Derivatif CS (2): Budaya


sebagai Arena Pertarungan Ideologi
- Kekuasaan
Di samping itu, perspektif atau
cara pandang CS juga ditandai dengan
adanya kesadaran tentang kehadiran
relasi kuasa (power relations) tak
berimbang di antara para pelaku
budaya, yang terwujud melalui relasi
kuasa ekonomis, politis, ideologis,
keagamaan, pendidikan, magis; di
samping jasmaniah. Perhatian CS
terutama diberikan pada kelompok atau
individu pelaku budaya yang
terpinggirkan (marginalized), yang
suaranya tidak didengarkan, yang
kehadirannya diabaikan. Berkaitan
dengannya, beberapa konsep
terpenting dalam pendekatan konstruksi
sosial atas realita adalah hegemoni dan

23 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
identitas. Selanjutnya pemihakan pada
yang terpinggirkan membawa CS pada
pemikiran, strategi dan praktik
resistensi.
Dalam hal metodologi, CS secara
garis besar ditandai dengan gabungan
antara metode dekonstruktif (mengurai
unsur-unsur pembentuk struktur)
dengan analisis teksutal (membedah
struktur teks atau bentuk ekspresi),
metode etnografi (penggambaran rinci
berdasarkan kacamata pemilik budaya),
analisa respesi (komunikasi dipahami
sebagai peristiwa interaktif antara
sender dan reseptor yang dijembatani
oleh media tertentu dalam konteks
tertentu), dan meletakkan teori pada
tingkatan praxis (‘teori’ yang
dipraktikkan – theory of practice).
Konsep sentral yang menyolok
ada dalam pembahasan CS adalah
masalah ideologi. Hal ini terjadi karena
ranah ideologi tidak berhenti pada
ranah politik melainkan juga bergerak
pada domain sosial dan budaya
kontemporer (dominasi dan subordinasi
sosial). Sifat kelenturan dan global dari
sistem sosial masyarakat modern
membuat bahwa ideologi tidak lagi
menjadi entitas yang kaku melainkan

24 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
menjadi entitas yang dinamis seturut
dinamika masyarakat itu sendiri.
Ketika CS banyak berbicara
tentang representasi maka ada
kecenderungan bahwa program-
program yang dibawa oleh CS akan
bersifat multikultural. Ini berarti bahwa
CS memperlihatkan bagaimana budaya
memproduksi bentuk-bentuk budaya
yang nantinya akan meramaikan diskusi
tentang peripherial narratives.
Banyak karya CS memahami
komunikasi sebagai tindakan produksi
makna, dan bagaimana sistem-sistem
makna dinegosiasikan oleh pemakainya
dalam kebudayaan. Kebudayaan bisa
pula dimengerti sebagai totalitas
tindakan komunikasi dan sistem-sistem
makna. Posisi seseorang dalam
kebudayaan akan ditentukan oleh
'kemelek-budayaan' (cultural literacy),
yaitu pengetahuan akan sistem-sistem
makna dan kemampuannya untuk
menegosiasikan sistem-sistem itu
dalam berbagai konteks budaya.
Pandangan yang melihat
komunikasi sebagai sebuah tindakan
budaya, yang memerlukan berbagai
bentuk kemelek-hurufan budaya, sangat
dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog

25 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
Perancis Pierre Bourdieu. Ide-idenya
sangat berguna karena ia mengatakan
bahwa 'tindakan' (practice) atau apa
yang secara aktual dilakukan
seseorang, merupakan bentukan dari
(dan sekaligus respon terhadap) aturan-
aturan dan konvensi-konvensi budaya.
Salah satu cara memahami
hubungan kebudayaan dengan tindakan
adalah mengikuti pengandaian Bourdieu
tentang perjalanan dan peta.
Kebudayaan adalah peta sebuah
tempat, sekaligus perjalanan menuju
tempat itu. Peta adalah aturan dan
konvensi, sedangkan perjalanan adalah
tindakan aktual. Apa yang disebut
dengan kemelek-hurufan budaya adalah
"perasaan" untuk menegosiasikan
aturan-aturan budaya itu, yang
bertujuan untuk memilih jalan kita
dalam kebudayaan. Tindakan adalah
performance dari kemelek-hurufan
budaya.
Kemelek-hurufan budaya
misalnya dapat dilihat dalam sebuah
film Jepang Tampopo, dalam adegan
ketika sekolompok pebisnis Jepang
makan bersama di sebuah restoran
Perancis yang mahal. Perilaku kelompok
dalam budaya bisnis Jepang dikenal

26 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
bersifat sangat hirarkis. Dalam acara
makan bersama macam ini, kebiasaan
yang umum berlaku adalah seseorang
yang dianggap superior dalam
kelompok akan terlebih dulu memesan
makanan, kemudian orang lain tinggal
mengikutinya saja.
Kebiasaan itu jadi berubah ketika
mereka harus "tampil" di sebuah
restoran Perancis, yang tentu saja
menuntut kemelek-hurufan dalam
makanan dan anggur Perancis.
Seseorang yang dianggap pemimpin
dalam kelompok ini ternyata buta huruf
dalam wilayah ini: ia tak mengenal dan
tak bisa membayangkan makanan yang
terdaftar di menu. Ia juga tak tahu
bagaimana menyesuaikan jenis anggur
dengan jenis makanan yang dipilih.
Akhirnya ia memesan makanan dan
anggur sekenanya. Semua anggota
kelompok ini, kecuali satu orang saja,
sama-sama buta hurufnya dan memilih
hidangan dengan mengikuti pilihan
pemimpinnya.
Pesanan terakhir dari seorang
pebisnis muda, sangat berbeda dengan
pesanan lainnya. Pesanannya
menunjukkan bahwa ia sangat melek
huruf dalam makanan dan anggur

27 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
Perancis. Ia tampak tenang
mengahadapi menu, membaca dan
menganalisisnya, dan menunjukkan
betapa ia sangat tahu akan semua yang
dilakukannya. Ia berbicara sebentar
dengan pelayan, mengajukan beberapa
pertanyaan "bermutu", dan akhirnya
menjatuhkan pilihan yang sangat
"berselera". Semua koleganya sangat
terkesan dan ini membuka peluang
yang lebih baik buat si pebisnis muda
itu meningkatkan posisinya dalam dunia
bisnis.
Lantas bagaimana kemelek-
hurufan budaya diterjemahkan ke
dalam tindakan seseorang? Untuk
menjelaskannya, kita memerlukan 3
konsep lagi dari Bourdieu: 'medan
budaya' (cultural field), habitus, dan
'modal budaya' (cultural capital).
Bourdieu mendefinisikan medan
budaya sebagai institusi, nilai, kategori,
perjanjian, dan penamaan yang
menyusun sebuah hierarki objektif,
yang kemudian memproduksi dan
memberi "wewenang" pada berbagai
bentuk wacana dan aktivitas; dan
konflik antarkelompok atau
antarindividu yang muncul ketika
mereka bertarung untuk menentukan

28 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
apa yang dianggap sebagai "modal" dan
bagaimana ia harus didistribusikan.
Yang disebut modal oleh Bourdieu
meliputi benda-benda material (yang
bisa mempunyai nilai simbolis),
prestise, status, otoritas, juga selera
dan pola konsumsi.
Kekuasaan yang dimiliki
seseorang dalam sebuah 'medan'
(field), ditentukan oleh posisinya dalam
medan itu, yang pada gilirannya akan
menentukan besarnya kepemilikan
modal. Kekuasaan itu digunakan untuk
menentukan hal-hal macam mana yang
bisa disebut modal (keaslian modal).
Modal selalu tergantung dan
terikat pada medan tertentu, ia bersifat
partikular. Dalam medan gaya hidup
remaja Indonesia sekarang misalnya,
pengenalan akan film dan musik
Amerika, kemampuan berbahasa gaul,
atau berdandan dengan gaya tertentu,
bisa disebut sebagai modal.
Bagaimanapun, kemampuan-
kemampuan ini, bukanlah modal,
misalnya saja, dalam medan pelayanan
diplomatik.
Pemahaman seseorang akan
modal berlangsung secara tak sadar,
karena menurut Bourdieu dengan cara

29 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
begitulah ia akan berfungsi efektif.
Seperangkat pengetahuan, aturan,
hukum, dan kategori makna yang
ditanamkan secara tak sadar ini oleh
Bourdieu disebut habitus. Habitus
bersifat abstrak dan hanya muncul
berkaitan dengan putusan tindakan:
ketika seseorang dihadapkan pada
masalah, pilihan atau konteks. Dengan
begitu habitus bisa juga dimengerti
sebagai " feel of the game ".
Wacana Derivatif CS (3):
Multikulturalisme

Sejarah multikulturalisme adalah


sejarah masyarakat majemuk.
Amerika, Kanada, Australia adalah dari
sekian negara yang sangat serius
mengembangkan konsep dan teori-
teori mulikulturalisme dan juga
pendidikan multikultur. Ini dikarenakan
mereka adalah masyarakat imigran
dan tidak bisa menutup peluang bagi
imigran lain untuk masuk dan
bergabung di dalamnya. Akan tetapi,
negara-negara tersebut merupakan
contoh negara yang berhasil
mengembangkan masyarakat
multikultur dan mereka dapat
membangun identitas kebangsaannya,
dengan atau tanpa menghilangkan

30 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
identitas kultur mereka sebelumnya,
atau kultur nenek moyangnya.

Dalam
sejarahnya, multikulturalisme diawali
dengan teori melting pot yang sering
diwacanakan oleh J Hector seorang
imigran asal Normandia. Dalam
teorinya Hector menekankan
penyatuan budaya dan melelehkan
budaya asal, sehingga seluruh imigran
Amerika hanya memiliki satu budaya
baru yakni budaya Amerika, walaupun
diakui bahwa monokultur mereka itu
lebih diwarnai oleh kultur White Anglo
Saxon Protestant (WASP) sebagai
kultur imigran kulit putih berasal
Eropa.

Kemudian, ketika komposisi etnik


Amerika semakin beragam dan budaya
mereka semakin majemuk, maka
teori melting pot kemudian dikritik
dan muncul teori baru yang populer
dengan nama salad bowl sebagai
sebuah teori alternatif dipopulerkan
oleh Horace Kallen. Berbeda
denganmelting pot yang melelehkan
budaya asal dalam membangun
budaya baru yang dibangun dalam
keragaman, Teori salad bowl atau teori
gado-gado tidak menghilangkan

31 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
budaya asal, tapi sebaliknya kultur-
kultur lain di luar WASP diakomodir
dengan baik dan masing-masing
memberikan kontribusi untuk
membangun budaya Amerika, sebagai
sebuah budaya nasional. Pada
akhirnya, interaksi kultural antar
berbagai etnik tetap masing-masing
memerlukan ruang gerak yang leluasa,
sehingga dikembangkan teori Cultural
Pluralism, yang membagi ruang
pergerakan budaya menjadi dua, yakni
ruang publik untuk seluruh etnik
mengartikulasikan budaya politik dan
mengekspresikan partisipasi sosial
politik mereka. Dalam konteks ini,
mereka homogen dalam sebuah
tatanan budaya Amerika. Akan tetapi,
mereka juga memiliki ruang privat,
yang di dalamnya mereka
mengekspresikan budaya etnisitasnya
secara leluasa.

Dengan berbagai teori di atas,


bangsa Amerika berupaya
memperkuat bangsanya, membangun
kesatuan dan persatuan,
mengembangkan kebanggaan sebagai
orang Amerika. Namun pada dekade
1960-an masih ada sebagian
masyarakat yang merasa hak-hak

32 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
sipilnya belum terpenuhi. Kelompok
Amerika hitam, atau imigran Amerika
latin atau etnik minoritas lainnya
merasa belum terlindungi hak-hak
sipilnya. Atas dasar itulah, kemudian
mereka
mengembangkanmulticulturalism,
yang menekankan penghargaan dan
penghormatan terhadap hak-hak
minoritas, baik dilihat dari segi etnik,
agama, ras atau warna kulit.
Multikulturalisme pada akhirnya
sebuah konsep akhir untuk
membangun kekuatan sebuah bangsa
yang terdiri dari berbagai latar
belakang etnik, agama, ras, budaya
dan bahasa, dengan menghargai dan
menghormati hak-hak sipil mereka,
termasuk hak-hak kelompok minoritas.
Sikap apresiatif tersebut akan dapat
meningkatkan partisipasi mereka
dalam membesarkan sebuah bangsa,
karena mereka akan menjadi besar
dengan kebesaran bangsanya, dan
mereka akan bangga dengan
kebesaran bangsanya itu.
Akar kata dari multikulturalisme
adalah kebudayaan. Pengertian
kebudayaan diantara para ahli harus
dipersamakan atau setidak-tidaknya

33 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
tidak dipertentangkan antara satu
konsep yang dipunyai oleh seorang ahli
dengan konsep yang dipunyai oleh ahli
atau ahli-ahli lainnya. Karena
multikulturalsime itu adalah sebuah
ideologi dan sebuah alat atau wahana
untuk meningkatkan derajat manusia
dan kemanusiannya, maka konsep
kebudayaan harus dilihat dalam
perspektif fungsinya bagi kehidupan
manusia. Saya melihat kebudayaan
dalam perspektif tersebut dan karena
itu melihat kebudayaan sebagai
pedoman bagi kehidupan manusia.
Yang juga harus kita perhatikan
bersama untuk kesamaan pendapat dan
pemahaman adalah bagaimana
kebudayaan itu operasional melalui
pranata-pranata sosial.
Sebagai sebuah ide atau ideologi
multikulturalisme terserap dalam
berbagai interaksi yang ada dalam
berbagai struktur kegiatan kehidupan
manusia yang tercakup dalam
kehidupan sosial, kehidupan ekonomi
dan bisnis, dan kehidupan politik, dan
berbagai kegiatan lainnya di dalam
masyarakat yang bersangkutan Kajian-
kajian mengenai corak kegiatan, yaitu
hubungan antar-manusia dalam

34 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
berbagai manajemen pengelolaan
sumber-sumber daya akan merupakan
sumbangan yang penting dalam upaya
mengembangkan dan memantapkan
multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara bagi Indonesia.
Konsep multikulturalisme tidaklah
dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa
atau kebudayaan sukubangsa yang
menjadi ciri masyarakat majemuk,
karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme akan harus mau tidak
mau akan juga mengulas berbagai
permasalahan yang mendukung
ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakkan hukum,
kesempatan kerja dan berusaha, HAM,
hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan
moral, dan tingkat serta mutu
produktivitas.
Multikulturalisme bukan hanya
sebuah wacana tetapi sebuah ideologi
yang harus diperjuangkan, karena
dibutuhkan sebagai landasan bagi
tegaknya demokrasi, HAM, dan

35 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Multikulturalisme bukan sebuah ideologi
yang berdiri sendiri terpisah dari
ideologi-ideologi lannya, dan
multikulturalisme membutuhkan
seperangkat konsep-konsep yang
merupakan bangunan konsep-konsep
untuk dijadikan acuan bagi
memahaminya dan mengembang-
luaskannya dalam kehidupan
bermasyarakat. Untuk dapat memahami
multikulturalisme diperlukan landasan
pengetahuan yang berupa bangunan
konsep-konsep yang relevan dengan
dan mendukung keberadaan serta
berfungsinya multikulturalisme dalam
kehidupan manusia.
Berbagai konsep yang relevan
dengan multikulturalisme antara lain
adalah, demokrasi, keadilan dan hukum,
nilai-nilai budaya dan etos,
kebersamaan dalam perbedaan yang
sederajat, sukubangsa,
kesukubangsaan, kebudayaan
sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain
privat dan publik, HAM, hak budaya
komunitas, dan konsep-konsep lainnya
yang relevan (Fay 1996, Rex 1985,
Suparlan 2002).

36 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
CS dan multikulturalisme adalah
kajian sosial-budaya yang didasarkan
pada epistemologi teori kritis, pos-
strukturalisme dan posmodernisme. CS
dan multikulturalisme berkaitan dengan
perkembangan budaya kontemporer
seperti yang dikembangkan oleh Robert
Nozik, Charles Taylor, Richard Rorty,
Michael Sandel, John Rawls. Mereka
merumuskan bahwa aliran atau gerakan
kiri dan kanan: kiri adalah gerakan yang
percaya dan mengutamakan persamaan
karena mendukung sosialisme,
sementara kanan lebih menekankan
kebebasan karena itu mendukung
kapitalisme dan pasar, perpaduan
keduanya menghasilkan gerakan liberal.
Dalam perkembangannya
pluralitas nilai-nilai di atas menimbulkan
masalah dalam bidang sosial politik
yang tidak terselesaikan oleh filsafat
politik yang monolitik, karena setiap
nilai mengangap dirinya lebih tinggi.
Namun dalam masyarakat plural dan
multikultural kepentingan bersama
harus menjadi pertimbangan penting
ditengah perbedan dan kemajemukan.
Kelompok Birmingham
memfokuskan perhatinya pada
representasi gender, ideology kelas, ras,

37 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
etnisitas dan nasionalitas dalam teks
kebudayaan pendidikan, termasuk
kebudayaan media. Begitu juga dengan
Madzab Frankfurt memadukan
persilangan budaya dengan ideologi,
kemudian melihat ideologi dan
hegemoni sebagai suatu hal yang
penting dalam CS. Ideologi disini oleh
Gramsci dipahami sebagai ide, makna,
praktek dan peta makna yang
mendukung kelompok tertentu.
Di Inggris, CS di samping
memperhatikan sub-kultur dengan
berbagai identitasnya, juga
memperhatikan kultur kelas pekerja dan
kultur generasi muda yang dianggap
potensial melawan atau beroposisi
terhadap bentuk hegemonik dominasi
kapitalistis/neokapitalis, serta kajian
tentang perilaku kelompok tertentu,
seperti rocker, model gaya pakaian,
rambut, musik dan ritual pesta mereka
yang dianggap sebagai melawan
simbolis terhadap kelompok yang
dominan. Jadi, fokus CS berkembang
begitu luas dengan berupaya
membongkar politik, ideologi yang ada
serta konstruksi sosial ilmu
pengetahuan. Ideologi disini oleh
Althusser adalah kerangka konseptual

38 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
yang melaluinya, kita menafsirkan dan
memahami kondisi material kehidupan
kita. Dengan kata lain, ideologi
memproduksi budaya serta kesadaran
kita tentang siapa dan apa diri kita.
CS bertolak pada heterogenitas
budaya yang membentuk identitas satu
kebudayaan. Sedangkan
multikulturalisme adalah gagasan yang
berupaya untuk memahami hakekat
kompleksistas kebudayaan serta saling
berkaitan satu kultur dengan budaya
lain yang menjadi unsur-unsur
terwujudnya kebudayaan multikultural.
Bertolak pada andaian ini, CS dan kajian
multikulturalisme berkaitan erat dengan
pandangan atau keyakinan yang
mengakui adanya banyak kultur yang
memungkinkan suara-suara dan
tuntutan yang berbeda satu dengan
yang lain hidup secara berdampingan,
di mana masing-masing kultur saling
berinteraksi dan berkomunikasi satu
dengan yang lain secara intens. Begitu
juga teori posmodernisme dan feminis
mendukung gagasan di atas melalui
persepektif polivokal dan mengabaikan
perspektif ilmiah yang monovokal,
seperti paradigma yang dominan dalam
peradaban Barat.

39 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
Konsep multikulturalisme terlahir
dari ruang pergesekan bahkan
pertaruhan kepentingan sehingga tidak
bebas-nilai. Ia merupakan bentuk
metaformosis kesadaran pasca luruhnya
rejim kolonial (militer) Barat. Ketika
sistem berpikir serta tindakan-tindakan
relasional yang berlaku dibangun di atas
politik kolonial yang diskriminatif,
ketimpangan sosial dan ketidakadilan
sistem pasar global, kehadiran wacana
multikulturalisme menjadi berakar
tunjang pada wacana pos-kolonial,
sebagai usaha menolak model
representasi Eropa-Orientalis terhadap
kebudayaan Timur yang distereotipkan
melalui praktik imperialisme Barat.
Kesadaran pada perbedaan antara
kebudayaan pengoloni dengan yang di
koloni, didorong oleh keharusan untuk
berbeda. Itu sebabnya, pencarian
identitas kepribumian dalam spektrum
kesadaran multikulturalisme lebih
banyak merupakan suatu hasil
konstruksi sosial lewat pendekatan
idolasi. Pribumi pada fase dekolonisasi
merasa harus berbeda, harus menjadi
yang lain, harus tampak tidak sama
dengan identitas pengoloninya. Jadi,
identitas dibentuk dari suatu imajinasi

40 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
akan perbedaan, disertai dengan
romantisasi terhadap warisan lokalitas.

Masa Depan CS
CS jelas mempunyai masa depan.
Kellner sendiri menawarkan bahwa CS
harus bersifat multiperspektif, jika
melihat argumentasi-argumentasi yang
dia buat sebelumnya.
Ketika CS menawarkan perspektif
yang beragam bahwa jelas terdapat
pengandaian bahwa pendekatan
multikultur menjadi kondisi yang harus
ada (conditio sine qua non)
Meskipun begitu, CS tetap
menawarkan cara pandang kritis
terhadap proses dominasi dan opresi.
Dalam konteks itulah, CS mempunyai
rentang pendekatan yang kritis dengan
tetap menjadi dan menghormati
keragaman budaya sehingga harus
berada dalam keragaman perspektif
yang diharapkan CS bisa membantu
individu atau kelompok manusia
memahami dunia dengan gejala
budayanya dalam bingkai yang relatif
lebih komprehensif.

41 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
Refleksi Kritis “Budaya Klik” dalam
era Posmodernitas – CS dan Budaya
Media
Perlombaan menciptakan
teknologi informasi dan komunikasi
terbaru saat ini tak sebatas
menekankan pada kemampuan produk
dan kecanggihan teknologi belaka. Para
produsen kini mulai melirik sisi emosi
dan perasaan pelanggannya. Kemajuan
ini menyebabkan gejolak dan pasang
surut emosi pelanggan semakin volatile,
naik-turun tak karuan layaknya luncuran
roller coaster. Maka tak heran jika
perusahaan telepon genggam, Nokia,
lebih suka menyebut teknologi yang
dipakainya sebagai human technology.
Teknologi bagi Nokia adalah alat
yang mengakomodasi kebutuhan
emosional manusia untuk berhubungan,
sharing pendapat, bercanda, curhat
dengan orang lain. Prinsip umum Nokia
yang tertera dengan jelas dalam
tagline-nya “Connecting People”
tersebut mungkin sesuai dengan
gagasan filsuf abad ke-20, Martin
Heidegger yaitu tentang “mengada-
bersama”. Bagi Heidegger, pada 1927,
di dalam momen kontak itulah
terungkap jalan untuk menjadi manusia:

42 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
“Manusia membuktikan dirinya sendiri
sebagai entitas yang bercakap.”
Tak hanya Nokia yang
memasukkan unsur-unsur emosi dan
perasaan pelanggan pada produknya.
MSN keluaran Microsoft juga tak kalah
emosionalnya. Untuk mempermudah
penggunanya mengekspresikan
perasaannya, layanan Instant
Messenger ini menyediakan fasilitas
emoticons. Jika penggunanya sedang
bahagia, maka user tinggal
menunjukkan perasaan tersebut dengan
memilih emoticons yang tersenyum
lebar. Kalau sedang marah, emoticons
dengan simbol red devil bisa menjadi
pilihan.
Apa yang dilakukan Nokia, MSN, di
atas menandakan bahwa kemajuan
teknologi komunikasi kini
memungkinkan seseorang
mengungkapkan dan mengekspresikan
emosinya secara cepat bahkan instant,
mudah dan praktis, tidak perlu
menunggu waktu lama. Kebutuhan
natural manusia untuk
mengekspresikan rasa sedih, gembira,
takjub, kagum, cinta, kangen, ngefans
pada seseorang, empati, maupun rasa
puas bisa “terbebaskan” hanya dengan

43 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
beberapa klik mouse computer,
beberapa pencetan tombol di ponsel
atau tiupan halus seperti pada Kiss
Communicator.
Masyarakat kini hidup ditopang
oleh sarana teknologi informasi dan
komunikasi, dengan kemajuan dahsyat
micro processor, memory bank,
komputer, dan internetnya. Masyarkat
telah berubah menjadi masyarakat
komputerisasi. Dalam masyarakat
komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta
asumsi-asumsi dasar modernisme, yaitu
rasio, hokum logika linier, subjek, ego,
narasi besar, otonomi, identitas tidak
lagi mampu menggambarkan realitas.
Tak ayal, fenomena ini
menciptakan sisi lain dari kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi.
“Realitas telah menguap!” kata Jean
Baudrillard . Realitas kini tidak sekedar
dapat diceritakan, direpresentasikan
dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas
kini dapat dibuat, direkayasa dan
disimulasi. Dalam realitas buatan,
segala sesuatu bercampur baur,
bersilang-sengkarut. Sehingga, alih-alih
memposisikan masyarakat sebagai
manusia seutuhnya, malahan yang
terjadi adalah sebaliknya yaitu

44 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
pemandangan yang sangat
mencemaskan. Seolah-olah arah
kemajuan berbalik lagi ke belakang dan
seakan-akan di balik penampakan
berupa kemajuan berlangsunglah
proses degenerasi besar-besaran.
Revolusi teknologi informasi dan
komunikasi telah menciptakan
pergeseran-pergeseran bentuk dan
makna dari aktivitas komunikasi itu
sendiri melampaui pergeseran
teknologis belaka..
Dengan semangat mobilisasi,
konsep komunikasi berubah menjadi
upaya untuk memenuhi hasrat individu
—suatu keinginan. Tercatat dua ide
kunci konsep komunikasi baru dari
“Nokia Press Release”, 12 Juli 2000.
Pertama, skala kesalingterhubungan
yang luas; dan kedua, sebaliknya,
gagasan tentang kebebasan individu.
Bisa berkomunikasi merupakan aspek
dasar untuk menjadi bebas. Bahkan,
fakta komunikasi itu sendiri adalah
pertanda utama kebebasan. Tetapi nada
keseluruhan didasarkan pada “mereka
ingin” yang senantiasa muncul kembali.
Basis mobilisasi konsep
komunikasi, yakni suatu aktivitas yang
dilakukan individu yang kemudian si

45 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
individu berusaha untuk mengendalikan
aktivitas tersebut. Berada dalam kontrol
komunikasi berarti menjadi tuan dari
teknologi itu sendiri. Dengan demikian
kita tiba pada bagian anjuran yang
terpenting, yang mewujudkan praktik
dasar mobilisasi. Komunikasi akan
berjalan paling ideal ketika hanya
terdapat satu pribadi yang terlibat.
Dalam pandangan ini, hanya ada
satu penjelasan penting berkenaan
dengan konsep komunikasi, yaitu Prinsip
Keinginan. Ini bukan berarti orang-orang
“ingin” berkomunikasi. Sebaliknya,
orang-orang berkomunikasi untuk
memuaskan keinginan-keinginan lain.
Produk teknologi informasi dan
komunikasi yang menerapkan sisi emosi
dan perasaan manusia ke dalamnya
adalah kunci untuk memuaskan
keinginan orang-orang pada umumnya.
Ia memberi banyak hal. Hasilnya adalah
semacam gambaran kehidupan sehari-
hari yang baru dan luar biasa. Lantas,
siapa yang berkomunikasi?
Marshall McLuhan dalam dua
bukunya, The Gutenberg Galaxy: The
Making of Typographic Man (1962) dan
Understanding Media: The Extensions of
Man (1964), meramalkan bahwa

46 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
peralihan teknologi dari era teknologi
mekanik ke era teknologi elektronik
akan membawa peralihan pula pada
fungsi teknologi sebagai perpanjangan
badan manusia dalam ruang, menuju
perpanjangan sistem syaraf. Menurut
McLuhan, perpanjangan ini bersesuaian
dengan tahapan-tahapan sejarah.
Teknologi percetakan merujuk pada era
modernitas, dan teknologi media
elektronik merujuk pada era
postmodernitas. Namun perkembangan
teknologi media elektronik saat ini,
dalam bentuknya yang paling canggih
dan massif, telah meredusi kandungan
pesan media itu sendiri dan
menggantikannya dengan permainan
bahasa yang bersifat simbolik. Media
menjadi sekedar perpanjangan badan
manusia, namun tanpa pesan, makna,
dan kedalaman. Pesan itu sendiri, kini
tidak lebih dari media-media lain.
Dalam logika perpanjangan badan
manusia, mesin ketik adalah
perpanjangan tangan manusia, mobil
adalah perpanjangan kaki manusia,
radio adalah perpanjangan telinga
manusia, media cetak adalah
perpanjangan mata manusia, dan
teknologi televisi, komputer serta

47 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
internet adalah perpanjangan pusat
sistem syaraf manusia.
Sehingga menurut logika
perpanjangan manusia di atas yang
berkomunikasi adalah alat-alat
komunikasi dan sistemnya itu sendiri.
Proses komunikasi dalam masyarakat
berteknologi canggih sama sekali tidak
memerlukan manusia sebagai pelaku
komunikasi. Proses komunikasi sekadar
aliran pesan-pesan yang diregistrasi
dalam kaitannya dengan biaya finansial.
Jadi kita tinggal mengecek ke dalam
sistem untuk memenuhi hasrat atau
tujuan individual, dan hanya itulah
hakikat dari partisipasi individual kita.
Jika alat-alat sudah berkonvergensi,
mereka akan jauh lebih kompatibel,
semakin berkemampuan tinggi untuk
membaca pesan satu sama lain.
Ketika seorang individu hendak
mengejar hasrat dan melakukan kontak
dengan sistem besar untuk mencapai
pemenuhan hasrat, sistem bertindak
memberikan tanggapan seakan-akan ia
adalah agen manusia sesamanya.
Bedanya, sistem itu lebih “cerdas”
sekaligus efisien.
Di sini kita melihat manusia
seolah telah menjadi manusia

48 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
seutuhnya. Mampu menguasai ruang
dan waktu yang dalam perspektif
Newtonian bersifat linear dan simultan.
Padahal, komunikasi yang berdasarkan
hanya untuk mengejar beraneka hasrat
individu secara perlahan akan menyeret
mereka dalam sebuah sistem besar
yaitu bahwa hasrat atau hawa nafsu
tidak akan pernah terpenuhi. Ia akan
selalu direproduksi dalam bentuk yang
lebih tinggi oleh apa yang disebutnya
mesin hasrat (desiring machine) —
istilah yang mereka gunakan untuk
menjelaskan reproduksi “perasaan
kekurangan” (lack) di dalam diri secara
terus-menerus. Sekali hasrat dicoba
dipenuhi lewat substitusi objek-objek
tidak disebabkan kekurangan alamiah
terhadap objek tersebut, akan tetapi
“perasaan kekurangan” yang kita
produksi dan reproduksi sendiri.
Perkembangan ilmu dan teknologi
tidak saja dapat memperpanjang badan
atau pusat sistem syaraf manusia,
namun bahkan lebih fantastis lagi,
mampu mereproduksi realitas, masa
lalu dan nostalgia; menciptakan realitas
baru dengan citra-citra buatan;
menyulap fantasi, ilusi bahkan
halusinasi menjadi kenyataan; serta

49 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
melipat realitas sehingga tidak lebih
dari sebuah kaca televisi, disket,
ataupun internet.
Lebih jauh, realitas yang
dihasilkan teknologi baru ini telah
mengalahkan realitas yang
sesungguhnya dan bahkan menjadi
model acuan yang baru bagi
masyarakat. Citra lebih meyakinkan
ketimbang fakta dan mimpi lebih
dipercaya ketimbang kenyataan sehari-
hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas
yang lebih nyata dari yang nyata, semu
dan meledak-ledak. Dalam dunia
hiperrealitas, objek-objek asli hasil
produksi bercampur menjadi satu
dengan objek-objek hiperreal yang
merupakan hasil reproduksi. Realitas-
realitas hiper, seperti media massa,
telepon genggam, PDA, Kiss
Communicator, Instant Messenger,
bermetamorfosa sebagai pengontrol
pikiran dan tindak-tanduk manusia.
Dunia hiperrealitas merupakan
dunia yang mengasyikkan sekaligus
mengerikan. Ia sanggup membawa
manusia berfantasi dan berimajinasi
sampai titik yang paling tinggi.
Menuntunnya secara perlahan pada
ekstasi kehidupan. Dan pada saat yang

50 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
bersamaan bisa menghancurkan
hubungan antar manusia yang sudah
terjalin baik. Oleh karena dalam kondisi
yang seperti ini, manusia telah
menganggap objek-objek mati kini
sudah memiliki jiwa. Objek-objek mati
pada titik ekstremnya sudah bukan lagi
kepanjangan manusia, melainkan
manusia itu sendiri. Dan manusia
sebaliknya adalah objek mati yang
digerakkan oleh “manusia” ciptaannya
sendiri. Seperti bagaimana seorang
teman bisa begitu marahnya hanya
gara-gara SMS-nya tidak dibalas. Atau
seorang suami mau menceraikan
istrinya sebab mendapatkan pesan
singkat yang isinya janji bertemu pada
“berhala seluler” milik sang isteri.

51 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
Daftar Pustaka

Bacaan Utama:
Kellner, Douglas. Cultural Studies,
Multiculturalism and Media Culture,
Artikel

Bacaan Pendukung
Best, Steven & Kellner, Douglas, Teori
Posmodernisme: Interogasi Kritis,
Boyan Publishing, Yogyakarta,
2003

Docherty, Thomas
(ed.), Postmodernism: A Reader,
Harvester Wheatsheaf, England,
1993

Homer, Sean, Fredric Jameson: Marxism,


Hermeneutics,
Postmodernism, Routledge, New
York, 1998

Ibrahim, Idi Subandi (ed.), “Lifestyle


Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam
‘Masyarakat Komoditas’
Indonesia” dalam Idi Subandi
Ibrahim (ed.), Lifestyle Ecstasy:
Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas
Indonesia, Penerbit Jalasutra,
Yogyakarta & Bandung, 1997

Jameson, Fredric, “Cognitive Mapping”


dalam Nelson, Cary & Grossberg,
Lawrence (eds.),Marxisme and the
Interpretation of
Culture, MacMillan Education,
London, 1988

52 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
Jameson, Fredric, “Postmodernism and
the Market”, dalam Slavoj
Zizek, Mapping Ideology, Verso,
London-New York, 1994

Jameson, Fredric, Postmodernism, or,


The Cultural Logic of Late
Capitalism, Duke University Press
Durham, 1991

John Storey, An Introductory Guide To


Cultural Theory And Popular
Culture, Vesterwheatsheaf, 1993.

Keith Jenkins, The Postmodern History


Reader, Rout Ledge, 1997.
Mike Featherstone, Cultural Theory And
Cultural Change, Sage Publication,
1994.

Piliang, Yasraf Amir, “Realitas-realitas


Semu Masyarakat Konsumer:
Estetika Hiperealitas dan Politik
Konsumerisme”, dalam Idi

Ritzer, George & Goodman, Douglas


J., Teori Sosiologi
Modern (terj.), Prenada Media,
Jakarta, 2004

Sarup, Madan, Posstrukturalisme dan


Posmodernisme: Sebuah
Pengantar Kritis, Penerbit Jendela,
Yogyakarta, 2003

Subandi Ibrahim (ed.), Lifestyle Ecstasy:


Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas
Indonesia, Penerbit Jalasutra,
Yogyakarta & Bandung, 1997

53 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i
Tommy F Awuy, Problem Filsafat Modern
Dan Dekonstruksi, LSF, 1993.

-------------------, Wacana Tragedi Dan


Dekonstruksi, Jentera, 1995.

George Mierson, Heidegger, Habermas


dan Telepon Genggam, Jendela,
2003.

Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat:


Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan, Jalasutra.
__________________, Hipersemiotik: Tafsir
Cultural Studies Atas Matinya
Makna, Jalasutra, 1998

Bertens, K., Etika. Jakarta: Gramedia,


2001

Fay, Brian, Contemporary Philosophy of


Social Science: A Multicultural
Approach. Oxford: Blackwell. 1998

Magnis-Suseno, Etika Dasar. Yogyakarta:


Kanisius. 1997

Nieto, Sonia, Affirming Diversity: The


Sociopolitical Context of
Multicultural Education. New York:
Longman, 1992

Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan


Amerika: Dari Monokulturalisme
ke Multikulturalisme". Jurnal Studi
Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-
42.

Watson, C.W., Multiculturalism.


Buckingham-Philadelphia: Open
University Press, 2000

54 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

You might also like