You are on page 1of 15

Dari Cicak vs Buaya sampai Pencitraan Hari

Kiamat : Tantangan Kepustakawanan Indonesia


Putu Laxman Pendit

Abstrak
Keterbukaan informasi di Indonesia antara lain ditandai oleh semakin ‘riuh-rendah’-
nya pemberitaan dan silang pendapat di ruang publik. Pemberitaan dan diskusi
tentang berbagai kasus dan skandal korupsi memperlihatkan fenomena keterbukaan
yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Di sisi lain masih ada kekuatiran tentang isi
informasi yang disebarkan ke masyarakat dan masih ada upaya pengekangan, atau
bahkan sensor terhadap film cerita. Ironi dan paradoks ini hadir di tengah upaya kita
menegakkan hak informasi lewat Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik. Adalah amat penting bagi bangsa Indonesia untuk memastikan agar hak
informasi publik ini tetap menjadikan warga masyarakat sebagai subjek yang berperan
sentral dalam demokrasi, dan bukan hanya sebagai objek sasaran curahan informasi.
Justru sekaranglah amat diperlukan profesi informasi yang dapat memberdayakan
masyarakat. Inilah yang juga menjadi tantangan bagi Kepustakawanan Indonesia.
Kata kunci : hak informasi, demokrasi, kebijakan informasi publik, Kepustakawanan

Pengantar
Belakangan ini warga Indonesia ‘menikmati’ salah satu fenomena di era
keterbukaan, yaitu ketika kasus “cicak versus buaya” mengemuka.
Melalui pemberitaan di media massa, khususnya di televisi, warga
memperoleh aneka informasi dalam jumlah yang sedemikian besar.
Bukan saja jumlahnya yang besar, tetapi jenis, sumber, dan kualitas
informasi juga sangat beragam. Selain dibombardir oleh fakta gamblang
hasil penyelidikan pihak berwajib, warga juga dihujani aneka pendapat
dari komentator, analis, pejabat, dan bahkan dari orang-orang yang
langsung terlibat skandal korupsi.
Setelah kasus itu mereda, muncul upaya parlemen menyelidiki kasus
Bank Century, seolah-olah melanjutkan ‘kegaduhan’. Kali ini media massa
memaparkan secara rinci bagaimana para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat berusaha merespon harapan rakyat tentang fungsi mereka
sebagai wakil yang harus membongkar penyelewengan. Publik kembali
dibombardir oleh berita tentang perdebatan di parlemen, serta curahan
pendapat dari komentator, analis, pejabat, dan para petinggi partai.
Di tengah suasaha hiruk-pikuk yang mencerminkan keterbukaan dan
keleluasaan publik, muncul fenomena yang berlawanan. Dua film yang
akan beredar di masyarakat mengalami upaya sensor. Film tentang
prediksi kiamat, 2012 sempat ditentang oleh beberapa kalangan dan
bahkan hendak dilarang beredar di beberapa kota. Sementara film fiksi
Balibo Five yang diinspirasi peristiwa tewasnya wartawan-wartawan
Australia dalam konflik Timor Timur juga dilarang ikut Jakarta Film
Festival. Upaya-upaya pelarangan ini memiliki persamaan motivasi:
1
mencegah publik mendapatkan hal-hal yang “tidak benar” atau
“mengganggu ketentraman masyarakat”.
Dua fenomena informasi yang amat kontras di atas seolah-olah menjadi
‘hidangan pembuka’ bagi kehadiran Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik (UU-KMIP) yang akan mulai berlaku tahun
2010. Di satu sisi, masyarakat Indonesia mendapatkan keleluasaan
memperoleh informasi yang pada masa sebelumnya boleh dikatakan tabu
untuk diketahui. Di sisi lain, masih ada pandangan di sebagian
masyarakat dan pemimpin bahwa masyarakat harus dilindungi dari
informasi yang menyesatkan dan karena itu beberapa bentuk
penyampaian informasi harus dilarang.
Ironi, paradoks, dan kehadiran UU-KMIP ini menarik dilihat dalam konteks
yang lebih luas tentang kehidupan bernegara dan kewarganegaraan
(citizenships). Jika dikaitkan dengan tradisi demokrasi, secara klasik
kewarganegaraan pada dasarnya mengandung tiga elemen pokok, yaitu
hak sipil (civil rights), hak politik, dan hak sosial yang muncul di abad XX,
terutama ketika konsep negara kesejahteraan semakin menguat dan
masyarakat perlu kepastian hukum ketika harus berurusan dengan
birokrasi yang menggurita maupun bisnis raksasa. Boven (2002)
menambahkan “hak informasi” (information rights) ke dalam jajaran tiga
hak di atas. Pengertian hak informasi dikaitkan dengan tiga hal, yaitu:
• Hak warga sebagai subjek (dan bukan semata objek) di dalam
masyarakat informasi. Kuncinya bukan hanya pada kepastian
hukum tentang hak memperoleh informasi, tetapi juga pada
kepastian tentang kemampuan menggunakan informasi itu untuk
kehidupan bernegara. Haruslah digarisbawahi, warga tak
memerlukan semboyan dan jargon kosong tentang kebebasan,
tetapi bukti-bukti nyata bahwa ada cukup tersedia informasi yang
spesifik, relevan, dan aktual. Warga berharap agar setiap lembaga
publik sungguh-sungguh berupaya agar setiap warga mampu
menggunakan haknya, misalnya dengan secara aktif menyediakan
informasi dalam berbagai bentuk yang sesuai kebutuhan atau
situasi di masyarakat.
• Akses yang mudah dan cepat ke informasi publik, terutama untuk
proses pengambilan keputusan dan pembuatan peraturan yang
menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini kemudian menjadi
prinsip bagi pemerintah yang terbuka (open government) sebagai
pra-syarat penting agar warga mampu secara efektif berpartisipasi
dalam penyelenggaraan kehidupan bersama. Teknologi saat ini
berpotensi memudahkan warga memilih dan mengunduh informasi
sesuai keperluan mereka. Tetapi Boven menganjurkan jangan
terbatas di situ. Teknologi bisa dimanfaatkan untuk dialog dan
debat yang mengajak publik ikut dalam proses pengambilan
keputusan. Tentu saja, untuk dapat melakukan hal ini pemerintah
harus bersedia melepaskan monopoli mereka terhadap proses
tersebut.

2
• Hak informasi tidak hanya menyangkut hubungan antara
pemerintah dan publik, tetapi juga kesetaraan dan keadilan akses.
Warga yang tidak punya akses akan kehilangan kekuasaan politik,
berpotensi terasingkan secara sosial (social exclusion). Akses ke
informasi dan sumber informasi harus menjadi bahan yang tersedia
secara meluas (primary social good). Jadi persoalan akses ini juga
menjadi persoalan keadilan, sebab selalu ada potensi munculnya
kesenjangan dalam akses, khususnya jika menyangkut teknologi
informasi (digital divide).
Dengan kata lain, hak informasi lebih luas daripada sekadar keterbukaan
pemerintah. Memang, prinsip keterbukaan ini akan meningkatkan
transparansi administrasi publik, dengan tujuan meningkatkan
pengawasan oleh rakyat dan akuntabilitas pemerintah. Namun hak
informasi juga dapat dilihat sebagai bagian penting dari hak sipil yang tak
hanya berkaitan dengan pemerintahan, melainkan juga bagian dari
pergaulan hidup sebuah masyarakat yang madani dan demokratis. Dari
sisi pandang inilah maka kemudian Boven mengatakan bahwa hak
informasi dapat dilihat sebagai hak yang memiliki tiga tingkatan:
1. Hak informasi primer, dalam bentuk hak seluruh anggota
masyarakat untuk secara langsung menggunakan informasi publik
atau informasi dari pemerintah.
2. Hak informasi sekunder, yaitu hak yang dimiliki warga untuk
memperoleh dukungan dan kemudahan (fasilitas) dalam mengakses
sumber informasi penting.
3. Hak informasi tertier, sebagai hak yang mendukung warga dalam
hubungan horizontal dengan warga lain dan dengan badan lain.
Bersifat tertier karena peran pemerintah hanyalah membangun
kerangka aturan bagi hubungan tersebut.
Cara pandang dan kategorisasi oleh Boven di atas dapat membantu kita
memahami aneka fenomena informasi mulai dari kasus “cicak versus
buaya” sampai kontroversi tentang film fiksi yang akan diputar sebagai
bagian dari upaya bangsa Indonesia menapak jalan demokrasi. Jalan ini
masih panjang dan berliku, selain juga penuh ‘jebakan’ yang dapat
memundurkan bangsa kita kembali ke masa otoritarian. Salah satu
ancaman yang perlu dikenali adalah kemungkinan terlantarkannya hak
informasi karena kita terfokus pada keleluasaan menggunakan media
untuk menyampaikan pendapat; pada saat sama kita melupakan isyu
yang lebih fundamental, misalnya tentang apakah masyarakat pada
umumnya adalah semata objek dari curahan informasi atau juga subjek
yang punya kemampuan memilih, memilah, dan mengambil informasi
secara mandiri.
Fenomena “cicak versus buaya” dan kontroversi pemutaran film fiksi juga
dapat membantu kita memahami peran berbagai institusi informasi (dan
tidak hanya media massa) dalam memastikan terjaminnya hak informasi
warga sebagai subjek mandiri. Di dalam kerangka pikir inilah kita dapat
memasukkan peran perpustakaan, pusat dokumentasi, dan kantor arsip

3
ke dalam pembicaraan kali ini. Tentu saja harus ada asumsi dasar terlebih
dahulu, yaitu bahwa lembaga-lembaga yang disebut belakangan ini
memang seharusnya punya peran dalam demokratisasi masyarakatnya.

Informasi Publik dan Masyarakat Informasi


Di dalam pembukaan UU-KMIP dinyatakan bahwa informasi merupakan
kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan
lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan
nasional. Selain itu, dinyatakan pula bahwa:
• hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan
keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting
negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk
mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik.
• keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam
mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan
negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat
pada kepentingan publik.
• pengelolaan informasi publik merupakan salah satu upaya untuk
mengembangkan masyarakat informasi.
Butir-butir di atas jelas memperlihatkan hak informasi secara lebih luas
daripada sekadar hak menerima informasi dari badan publik. Secara
eksplisit pula, pada butir terakhir di atas, ada pengaitan antara hak
informasi dan masyarakat informasi. Menarik untuk kita cermati lebih
jauh, apa yang sebenarnya dimaksud dengan “masyarakat informasi” di
sini.
Salah satu upaya merumuskan “masyarakat informasi” secara universal
pernah dilakukan melalui sebuah pertemuan bertajuk “World Summit on
Information Society” di tahun 2003 yang dihadiri perwakilan dari 175
negara. Di dalam deklarasinya, antara lain tertera:
…common desire and commitment to build a people centred,
inclusive and development-oriented Information Society where
everyone can create, access, utilize, and share information and
knowledge, enabling individuals, communities and peoples to
achieve their full potential in promoting their sustainable
development and improving their quality of life (WSIS 2003, hal. 1).
Di kutipan tersebut jelas bahwa secara universal kita mendambakan suatu
kondisi di mana semua orang mudah menciptakan, mengambil,
menggunakan, dan berbagi informasi dan pengetahuan untuk
kesejahteraan bersama. Secara implisit deklarasi universal di atas juga
mengakui bahwa informasi dan pengetahuan saat ini memainkan peranan
yang semakin penting dibandingkan sebelumnya. Sejak dahulu informasi
sudah ada di dalam kehidupan, namun saat ini peranannya semakin
penting sehingga perlu secara khusus diperhatikan dan dijadikan bagian
dari hak sipil di banyak negara1. Setiap pembicaraan tentang informasi
1
Menarik untuk kita catat bahwa kata “informasi” itu sendiri amat ‘muda’ usianya dalam
pembicaraan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita terlebih dahulu
4
saat ini pun akhirnya berkait dengan pembangunan “masyarakat
informasi”, dan lebih khusus lagi dengan akses ke informasi publik.
Salah satu contoh ketika informasi menjadi semakin penting dalam
kehidupan bermasyarakat sehingga memerlukan pengaturan yang
seksama adalah ketika negara-negara di Eropa bersepakat membentuk
Masyarakat Uni Eropa. Pada tahun 1993, negara-negara di benua itu
menyepakati Maastricht Treaty yang mengatur pengelolaan jaringan
lintas negara baik dalam bidang transportasi, energi, maupun
telekomunikasi. Di dalam konteks ini mencuatlah persoalan akses ke
informasi publik (public-sector information, PSI). Sempat ada debat,
apakah akses informasi publik ini harus diartikan secara sempit sebagai
akses ke sarana dan produk informasi atau secara luas menyangkut
ketersediaan jasa informasi pemerintahan, atau diartikan secara sempit
dan luas sekaligus.
Sebenarnya secara universal sudah ada prinsip tentang kemudahan
akses, misalnya yang dicanangkan UNESCO dalam bentuk Universal
Availability of Publications (UAP), sebuah program untuk menjamin
ketersediaan dokumen secara meluas di masyarakat (UNESCO, 2003).
Juga sudah ada tekad menghapus kesenjangan digital melalui tata kelola
(governance) di tingkat global sebagaimana yang didengungkan oleh
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun semua itu terancam menjadi
jargon semata karena akses informasi secara langsung berkaitan dengan
persoalan fasilitas dan infrastruktur. Di sinilah muncul masalah
bagaimana menjamin ketersediaan informasi sebagai hal yang umum dan
mudah diperoleh (prinsip “information as a public good”).
Pada umumnya pemerintah lebih senang berkonsentrasi ke penyediaan
alat atau infrastuktur yang dapat meningkatkan akses dan mengurangi
kesenjangan2. Aspek ini lebih ‘tampak’ dan tangible. Namun konsentrasi
pada pengembangan infrastruktur seringkali mengarah ke pengabaian
kenyataan bahwa sebagian besar warga masyarakat pada dasarnya
belum memiliki cukup kemampuan dan pengetahuan untuk
memanfaatkan fasilitas yang disediakan. Selain itu, prioritas pada

menggunakan kata “komunikasi” atau “pesan” (message) sebelum menggunakan kata


“informasi”. Di Indonesia, kata “penerangan” lebih dahulu digunakan, terutama dalam
pemerintahan rezim militer Orde Baru (1966-1998). Penggunaan kata “informasi”
terlebih dahulu marak dalam konteks teknologi ketika komputer pribadi (PC) mulai
digunakan secara meluas di tahun 1970an, pertama-tama di kalangan kampus dan
bisnis, sampai kemudian merasuk ke segala bidang kehidupan. Salah satu undang-
undang yang pertama mengaitkan informasi dan demokrasi adalah Freedom of
Information Act yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 1960an.
2
Akibat ke konsentrasi pada infrastruktur, seringkali akhirnya “masyarakat informasi”
lebih dikaitkan dengan teknologi informasi. Duff (2000) pernah menyimpulkan bahwa
konsep “masyarakat informasi” terlalu terkonsentrasi pada fakta bahwa perangkat
komputer dan teknologi informasi sudah merasuk ke seluruh sendi kehidupan, namun
jarang ada analisis yang memadai tentang masyarakatnya. Tak terkecuali, pemerintah
Indonesia selalu lebih giat membangun sarana dan prasarana telekomunikasi, mulai dari
satelit sampai jaringan kabel bawah laut, daripada memperbaiki jasa pemerintahan di
bidang informasi dengan memperbaiki kualitas sumberdaya manusia penyelenggara
sistem informasinya.
5
pengembangan sarana informasi juga tak dapat menjawab pertanyaan
apakah akses ke fasilitas informasi benar-benar meningkatkan demokrasi;
atau apakah sebaiknya rakyat diberi pelayanan pemerintahan yang lebih
baik dan demokratis.
Substansi “informasi publik” sebenarnya tak dapat direduksi menjadi
semata-mata akses fisik ke dokumen atau sarana informasi pemerintah.
Jika dikaitkan dengan konsep “masyarakat informasi”, maka ketersediaan
informasi publik harus dikaitkan dengan apa yang dikatakan Webster
(1995, 2002) sebagai 6 kategori prasyarat (technological, spatial,
economical, occupational, cultural, holistic). Tiga kategori pertama adalah
yang paling sering dibicarakan dan akhirnya menimbulkan kesan
teknologi-sentris. Kategori occupational berkaitan dengan profesi di
bidang informasi, sementara dua yang terakhir adalah kategori yang lebih
jarang dibicarakan, kecuali belakangan ini.
Sebagaimana dikatakan banyak penulis (MacKay, 1995; Dutton, 1999;
Wyatt et al., 2000) teknologi memang bukan faktor utama (apalagi satu-
satunya) untuk mewujudkan masyarakat informasi. Bagaimana cara
masyarakat menggunakan (atau menyalahgunakan!) teknologi itulah
yang menjadi ciri menonjol (Mansell dan When, 1998). Tak semua
masyarakat menggunakan sarana teknologi informasi yang sama dengan
hasil yang sama. Di dalam satu masyarakat pun sangatlah mungkin
terjadi perbedaan, baik dalam ketersediaan dan kemajuan teknologi
maupun dalam cara masyarakat memanfaatkannya. Salah satu ciri yang
juga ada dalam masyarakat informasi justu adalah adanya kesenjangan
yang sering disebut “kesenjangan digital” (digital divide)3.
Kesenjangan ini menimbulkan tuntutan pemerataan dan seringkali
akhirnya menjadi “pekerjaan rumah” dari banyak pemerintah, dengan
hasil yang berbeda-beda pula tergantung sifat dan perilaku
pemerintahnya. Dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi di tahun 2003,
perwakilan pemerintah dan penyelenggara industri telekomunikasi
menyepakati bahwa ada setidaknya empat kondisi yang harus dipenuhi
untuk mencapai tingkatan masyarakat informasi dan sebagai ukuran dari
Digital Opportunity Index (DOI), yaitu:
1. Affordability and coverage - Persentase populasi yang
menggunakan handphone mencerminkan kemudahan akses
(accessibility), sementara indikator tarif Internet dan handphone
mencerminkan keterjangkauan harga (affordability).
2. Access path and device - termasuk perangkat komunikasi
elektronik, sambungan telepon per 100 penduduk dan langganan

3
Kesenjangan digital diartikan sebagai "situasi ketika ada perbedaan yang kentara
dalam hal akses atau penggunaan alat-alat teknologi informasi dan komunikasi"
(Campbell 2001, hal. 1). Ada banyak perdebatan tentang relevan-tidaknya konsep ini
sebab kesenjangan akan selalu ada, dan orang yang tidak memiliki akses ke teknologi
informasi juga belum tentu memerlukan akses itu (Warschauer, 2004). Walaupun begitu,
penghapusan kesenjangan tetap diupayakan oleh berbagai peerintah, setidaknya dalam
bentuk penyediaan kesempatan mengakses fasilitas komputer.
6
handphone per 100 penduduk, serta akses ke komputer per 100
penduduk pula.
3. Infrastructure – termasuk di sini akses ke Internet per 100 orang
dan besaran bandwith yang ada di sebuah negara.
4. Quality – termasuk di sini kemampuan infrastruktur dalam
mendukung perkembangan penggunaan telekomunikasi untuk
bidang-bidang penting seperti telemedicine, pendidikan jarak jauh,
dan e-government. (International Telecommunication Union, 2005)
Sudah barang tentu, keempat indikator di atas langsung terkait dengan
teknologi dan sangat teknologi-sentris pula. Selain itu, setelah hampir 5
tahun berlalu, tetap sulit bagi setiap masyarakat untuk mencapai “nilai”
tertinggi di semua indikator. Di setiap masyarakat tetap akan ada lapisan
yang tak punya akses, dan walaupun secara umum Indonesia mungkin
cukup tinggi untuk indikator pertama, kualitas jasa-jasa umum seperti
yang tercakup di indikator keempat belumlah menggembirakan.
Perubahan masyarakat yang seringkali tak segera dapat dideteksi,
walaupun justru menimbulkan akibat yang sangat mendasar, adalah
dalam hal budaya. Penggunaan teknologi informasi yang meluas,
cenderung melebur (konvergen), dan mengarah kepada harmonisasi
sistem sebagaimana ditengarai oleh Braman (1993) melahirkan suasana
dan situasi komunikasi antar manusia yang “hiruk pikuk”. Di dalam situasi
seperti ini terjadi perubahan besar-besaran dalam cara kita memandang
fakta, realita, kebenaran, dan seterusnya. Fakta menjadi terisolasi tak
hanya dari konteks dan kelokalan, tetapi juga dari rujukan apa pun ke
dunia material dan spiritual. Isi dari aliran informasi kini merujuk ke isi
dari informasi itu sendiri, menciptakan apa yang disebut hyperreality
(Baudrillard, 1983). Upaya-upaya mengungkap fakta seringkali berujung
pada kesimpangsiuran dan pertanyaan besar tentang “apa yang
sebenarnya terjadi?”4.
Kasus “cicak versus buaya” yang sesungguhnya adalah pertikaian antara
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, dan Kejaksaan adalah salah
satu contoh hyperreality. Dalam kondisi keterbukaan yang belum pernah
kita alami sebelumnya, dan dengan ketersediaan teknologi yang amat
meluas (mulai dari handphone yang digunakan oleh “mafia pengadilan”,
peralatan canggih yang digunakan untuk menyadapnya, dan Facebook
untuk kampanye anti kemapanan), kita mengalami hiruk pikuk informasi,
yang satu merujuk ke yang lainnya, dan lama kelamaan “realita” itu

4
Kondisi hyperreal dijelaskan amat bagus oleh Storey (1993). Ia mengatakan bahwa di
dalam dunia yang hyperreal, perbedaan antara simulasi (peniruan atau permisalan dari
keadaan yang sesungguhnya) dan realita semakin tipis. Apa yang ‘nyata’ dan imajiner
saling melengkapi persepsi kita tentang kejadian sesungguhnya. Akibatnya realita dan
simulasi seperti tak ada bedanya. Terkadang simulasi dianggap lebih baik daripada
realita. Oleh politikus dan industri media massa hal ini seringkali ‘menguntungkan’
karena simulasi lebih sensasional daripada keadaan sesungguhnya. Media berlomba-
lomba melakukan simulasi kenyataan, sedemikian rupa sehingga ‘kejadian nyata’ dan
‘kejadian media’ (media event) menjadi tak banyak berbeda. Politikus dan partai politik
juga aktif menggunakan simulasi dan ideologi untuk memanipulasi dan memikat
konstituen mereka.
7
sendiri sudah tersamar. Hiruk pikuk dan kegaduhan informasi juga
ditingkahi oleh kegamangan kita dalam memisahkan mana yang fiksi dan
yang ‘real’ sebagaimana terlihat dari cara sebagian anggota masyarakat
berekasi terhadap pencitraan hari kiamat di film 2012 dan ‘pengungkapan
kebenaran’ dalam film Balibo Five.
Kasus-kasus di atas mewarnai keadaan masyarakat informasi yang
sesungguhnya sedang terbentuk di Indonesia. Cara kita menggunakan
teknologi dan kandungan informasi merupakan cermin dari cara sebuah
masyarakat mengelola dan memanfaatkan informasi untuk kehidupan
bersama. Arus informasi dalam kondisi hyperreality ikut memengaruhi
sendi kehidupan sebagaimana yang kita dambakan, yakni dalam bentuk
masyarakat informasi yang demokratis. Secara lebih spesifik, sesuai tema
makalah ini, kita juga dapat memeriksa kaitan antara kondisi masyarakat
informasi dan kemampuan warga memanfaatkan informasi publik dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Jika ketersediaan informasi publik memang
dimaksudkan untuk meningkatkan demokrasi, maka secara khusus kita
juga harus mempersoalkan keterlibatan warga dalam politik yang didasari
pada kemampuannya berpolitik.

Literasi Politik dan Literasi Informasi


Di awal bagian sebelumnya telah diungkapkan bahwa UU-KMIP secara
tersurat menyatakan hak memperoleh informasi adalah ciri penting dari
negara demokratis yang menjunjung kedaulatan rakyat. Juga ditegaskan
bahwa informasi publik adalah sarana untuk mengoptimalkan
pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara. Jelaslah bahwa
hak informasi dan sarana informasi publik terkait dengan hak politik dan
kemampuan rakyat menerapkan hak tersebut. Inilah yang membawa kita
ke pembahasan tentang kesadaran politik atau ‘melek politik’ yang di sini
diterjemahkan sebagai literasi politik (political literacy).
Sebagaimana dikatakan oleh Cassel dan Lo (1997) literasi politik tak
dapat diukur secara langsung namun dapat dilihat sebagai kemampuan
anggota masyarakat mengenali perbedaan-perbedaan politik, memahami
konsep dasar, dan dapat memilah-milah fakta politik. Orang yang memiliki
literasi politik dapat juga disebut sebagai memiliki “kesadaran politik”
(political awareness) atau “kemampuan kewarganegaraan” (civic
competence) yang memadai. Lebih jauh lagi, literasi politik merupakan
partisipasi politik yang didasari kecukupan informasi (informed political
participation). Untuk dapat dikatakan memiliki kecukupan tersebut ada
beberapa faktor yang ikut menentukan, yaitu:
• Mobilisasi kognitif dalam arti bahwa seorang warga akan semakin
mampu berurusan dengan politik jika secara akal-budi ia cukup
mampu untuk itu. Ini sangat berkaitan dengan pendidikan
formalnya. Artinya, secara teoritis warga yang berpendidikan akan
lebih terampil dalam berpolitik.
• Ketersediaan struktural dalam arti bahwa status sosial seseorang
serta lingkungan terdekatnya (keluarga, sekolah, lingkungan kerja)
ikut menentukan posisi serta perilaku politik orang tersebut.

8
• Sosialisasi sebagai sarana lewat mana “agen sosial” (orang tua,
pemimpin pendapat, pemimpin masyarakat) mewariskan nilai serta
perilaku politik di masyarakat.
Salah satu upaya untuk memeratakan literasi politik adalah lewat
pendidikan formal. Namun literasi politik adalah produk dari motivasi dan
kemampuan internal di satu sisi, dan peran sosial eksternal di sisi lain.
Literasi politik terwujud melalui keterlibatan politik yang dimungkinkan
oleh posisi dan kemampuan sosial anak-didik, dan sosialisasi yang
dilakukan orang tua mereka tentang politik. Pendidikan formal saja tidak
cukup. Orang tua dan masyarakat setempat juga harus aktif. Bev (2008)
menulis khusus untuk konteks Indonesia menyatakan bahwa untuk
meningkatkan literasi politik, hal-hal yang harus dipastikan adalah:
• Kesadaran tentang kekuasaan ada di tangan warga dan rakyat
perorangan sebagai konstituen politik. Bukan di tangan pemerintah.
• Setiap orang tanpa mengenal usia, gender, dan lainnya meyakini
bahwa mereka punya hak untuk berpartisipasi dan berderajat sama
di depan hukum.
• Kesadaran bahwa pernyataan politik oleh politikus selalu
merupakan upaya membuat kerangka (framing) sehingga tak dapat
diterima begitu saja.
• Sistem hukum dan penegakan hukum harus diterapkan secara adil
ke semua orang dan semua orang harus menghargainya.
Pada kesempatan lain, Bev (2008) juga mengaitkan literasi politik dengan
bahasa dan komunikasi politik. Ia mengatakan, “Whenever a political
term is introduced, we need to listen to our conscience and ponder it. By
increasing our political literacy through careful usage of words, we
heighten our awareness as human beings.” Menurut Siliwanti (2009)
masyarakat sipil (the civil society) di Indonesia amat berperan dalam
sosialisasi kesadaran politik ini. Nilai-nilai demokrasi telah secara
sistematis dan terus menerus diperkenalkan ke masyarakat, walaupun
tantangannya amat besar mengingat kebiasaan jalan pintas dan
kekerasan masih menandai peristiwa-peristiwa politik di negeri ini.
Apalagi kemudian kemajemukan masih sering menjadi sumber pertikaian,
sehingga literasi politik warga pun belum sepenuhnya memungkinkan
pengawasan yang efektif terhadap kebijakan pemerintah atau penerapan
demokrasi dalam pengambilan keputusan publik.
Dalam konteks sosialisasi ini, maka sesungguhnya literasi politik perlu
dikaitkan dengan literasi yang lebih luas lagi. Misalnya, untuk kasus
Filipina, Rosario-Braid dan Tuazon (1997) mengaitkan literasi politik ke
literasi secara umum. Mereka menyatakan bahwa literasi fungsional
(functional literacy) sebenarnya mengandung aspek politik, sosial-budaya,
lingkungan, dan ilmu pengetahuan. Tidaklah cukup mengaitkan literasi
dengan kemampuan baca-tulis dasar, walau tentunya kemampuan itu
merupakan prasyarat awal. Demikian pula untuk kasus Eropa, Council of
Europe (2003) menyatakan bahwa digital literacy mencakup di dalamnya
komponen literasi politik dalam konteks Masyarakat Informasi. Secara
khusus rekomendasi badan ini menaruh perhatian pada literasi politik

9
kaum muda dan remaja. Dalam hal ini, literasi politik dikaitkan pula
dengan literasi media dan promosi kesadaran politik lewat media baru
(new media).
Di Amerika Serikat pun, seperti dikatakan Muir (2008) literasi politik
dipengaruhi oleh dinamika perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi. Kenyataan bahwa Internet telah merasuk ke dalam kehidupan
sehari-hari menyebabkan komunikasi politik berubah secara mendasar.
Penggunaan aneka media dan perangkat multimedia telah melahirkan
persoalan baru, selain juga memberikan solusi baru. Akibat globalisasi dan
ketersediaan Internet yang semakin meluas, fenomena di Amerika Serikat
pun terjadi dalam skala yang terkadang lebih besar di negara-negara lain.
Facebook dan YouTube menjadi saluran baru dalam komunikasi politik
dan ikut mempengaruhi perkembangan literasi politik, khususnya di
kalangan generasi muda.
Tidaklah kemudian mengherankan jika sebenarnya konsep literasi
informasi perlu dipahami secara lebih mendasar. Salah satu definisi
menyatakan bahwa literasi adalah,
… the extent to whih people and communities can take part,
fluently, effectively and critically, in the various text -and discourse-
based events that characterize contemporary semiotic societies and
economies (…) To be literate is to be an everyday participant in
literate societies, themselves composed of a vast range of sites,
locations and events that entail print, visual, and analogue media.
(Freebody dan Luke, 2003, hal. 52)
Berdasarkan definisi di atas, keberaksaraan tidaklah cukup ditandai oleh
tingkat melek huruf. Jumlah penduduk yang dapat membaca aksara
bahasa Indonesia bukan ciri utama dari literacy. Seseorang baru dapat
dikatakan literate jika ia mampu secara fasih dan efektif ikut dalam dialog
di masyarakatnya, sedemikian rupa sehingga dia dikatakan ikut
berpartisipasi dalam kehidupan yang sesungguhnya. Dengan demikian,
apa yang kita maksudkan dengan literasi politik, transparansi dan
kebebasan memperoleh informasi dalam kerangka demokrasi sebenarnya
didasarkan pada tradisi keberaksaraan.
Keberakasaraan adalah isu kemanusiaan yang kompleks. Seperti yang
tersirat dalam definisi Freebody dan Luke di atas, pengertian literasi juga
menjadi bertingkat-tingkat. Apalagi kita harus pula menyadari
kemungkinan literasi yang beragam (multi literacies) dan keterkaitannya
dengan literasi media akibat perkembangan teknologi yang amat pesat.
Badan dunia seperti UNESCO telah merumuskan bahwa
Information and media literacy enables people to interpret and
make informed judgments as users of information and media, as
well as to become skillful creators and producers of information and
media messages in their own right.5

5
Lihat http://portal.unesco.org/ci/en/ev.php-
URL_ID=15886&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html
10
Demikian pula sebuah konferensi di Kanada tahun 1995 merumuskan
literasi media sebagai kemampuan untuk mengakses, menganalisis,
mengevaluasi, dan menciptakan informasi dalam berbagai format media,
baik tercetak maupun non-cetak6. Dapat dibayangkan, jika warga
Indonesia memiliki literasi media dan literasi informasi yang memadai,
maka hiruk-pikuk informasi yang terjadi baik di kasus “cicak versus
buaya”, Skandal Bank Century, maupun kontroversi film 2012 dan Balibo
Five dapat menjadi energi positif bagi peningkatan literasi politik yang
pada gilirannya akan memuluskan proses demokrasi di negeri ini.

Peran Pustakawan dan Profesi Informasi


Di dalam UU-KMIP terdapat rujukan ke sedikitnya 3 pihak yang punya
peran sentral dalam mewujudkan hak informasi. Pertama, ada yang
disebut sebagai “Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi”, yaitu
pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan,
pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan
publik. Kedua, ada yang disebut “Pengguna Informasi Publik”, yaitu orang
yang menggunakan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang. Ketiga, ada yang disebut “Pemohon Informasi Publik”, yaitu
warga negara dan/atau badan hukum Indonesia yang mengajukan
permintaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Melihat deskripsi ringkas tugas Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (selanjutnya Pejabat PID) kita tak dapat menghindari kesan
bahwa pejabat ini melakukan kegiatan yang lazim dilakukan oleh profesi-
profesi informasi seperti pustakawan, arsiparis, dan pejabat dokumentasi.
Dilihat dari kedudukannya dalam mekanisme penyediaan dan pemberian
informasi, Pejabat PID bertindak sebagai ‘penjaga pintu’ (gatekeeper)
yang berada di antara warga masyarakat pada umumnya dan sistem
informasi publik yang dikelolanya. Dalam bekerja, Pejabat PID juga
menjadi pihak yang menentukan boleh-tidaknya informasi disebarluaskan
dan mana informasi yang termasuk pengecualian. Untuk melakukan
tugasnya, ia akan dibantu oleh para pejabat fungsional. Agaknya,
“pejabat fungsional” yang dimaksud adalah pustakawan, arsiparis, dan
dokumentalis yang selama ini sudah dikenal di dunia Kepustakawanan.
Terlepas dari siapa orang yang akan menjadi Pejabat PID tersebut,
menarik untuk dicermati bahwa fungsi dan peran Pejabat PID ini amat
penting bagi kepastian tentang hak informasi publik. Jika dikaitkan
dengan demokrasi informasi, pada kesempatan lain penulis mengulas
bahwa UU KMIP sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan informasi
yang tidak semata memberi informasi (informing) kepada publik, tetapi
juga melibatkan (involving) publik. Sistem informasi dan komunikasi yang
informing selama ini sudah lebih dahulu berkembang dan telah
menghasilkan situasi informasi dengan ciri-ciri kestabilan politik dan
konsensus yang tinggi. Dalam sistem komunikasi yang informing, maka
6
Lihat http://www.literacy.uconn.edu/medlit.htm yang merujuk ke National Media
Literacy Conference tahun 1995. Di situs itu dikatakan pula bahwa, “.. School systems
around the country are increasingly including these competencies in the emerging
curricula. Families can make media literacy a part of their lives."
11
demokratisasi informasi sebenarnya dijalankan oleh sedikit penguasa
saluran informasi yang secara sepihak menyebarkan begitu banyak
informasi.
Penguasaan saluran informasi yang relatif di tangan sedikit orang telah
mengurangi (walau tidak menihilkan) kemungkinan bagi publik untuk ikut
serta secara aktif dalam proses komunikasi politik. Pada dasarnya, situasi
komunikasi informing menempatkan publik pada posisi konsumen
informasi. Seringkali, satu-satunya cara bagi anggota publik untuk
bereaksi adalah dengan tidak mengkonsumsi. Jika dikaitkan dengan kasus
“cicak versus buaya” dan kini juga pemberitaan tentang kegiatan Pansus
Bank Century, maka juga dapat ditengarai adanya situasi informing yang
amat kuat. Berbagai media dan saluran serta aktivis informasi – yang
pada umumnya adalah juga elit politik – merupakan pihak yang lebih
banyak berperan dalam penyebaran informasi. Warga pada umumnya
adalah objek yang menerima curahan informasi dalam jumlah besar,
dalam waktu yang amat cepat, dan dengan frekuensi amat tinggi. Nyaris
tak ada peran warga dalam meminta dan memilih informasi sesuai
kebutuhan mereka.
Sebaliknya, dalam sistem informasi dan komunikasi yang involving
saluran informasi menjadi aktif justru karena pihak penerima (atau calon
penerima) informasi lah yang memicunya. Dalam situasi komunikasi yang
involving, sangatlah dimungkinkan terjadinya suasana jika komunikasinya
bersifat informing. Pengakuan pada keragaman kebutuhan dan
kebebasan orang meminta dan menggunakan informasi kapan dia mau,
akan menimbulkan situasi yang amat berbeda. Sistem informasi dan
komunikasinya akan mengandalkan teknologi berbeda, yang tidak melulu
bersifat massal dan cepat, melainkan interaktif dan individually oriented.
Menarik untuk dicermati, bahwa dalam proses pembentukan situasi
komunikasi yang melibatkan publik dalam kerangka demokrasi dialogis,
kita meletakkan harapan yang sangat besar kepada tugas-tugas
perantara (intermediary) yang netral, berupa seorang Pejabat PID yang
handal. Pada kenyataannya selama ini, prinsip dan fungsi petugas
tersebut tercakup dalam Kepustakawanan. Namun dalam praktiknya,
prinsip dan fungsi ini telah dikooptasi oleh negara, sehingga potensinya
untuk membantu penciptaan ruang publik menjadi sangat terbatas. Salah
satu hal yang harus mendapat perhatian serius nantinya adalah posisi
Pejabat PID ini, yang adalah seorang birokrat dalam sebuah “mesin
raksasa” pemerintahan dengan sejarah yang sarat oleh otoritarianisme.
Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan transformasi
pandangan, sikap, dan ketrampilan teknis para birokrat yang akan
menduduki jabatan ini.
Kepustakawanan Indonesia, jika ingin berperan dalam ikut serta
mewujudkan masyarakat demokrasi dialogis, harus pertama-tama
menanggalkan atribut-atribut birokrat-otoritarian yang selama ini melekat
padanya. Seharusnya, Kepustakawanan Indonesia kembali ke sifat dasar
yang dibawanya sejak lahir, yakni sebagai institusi yang punya
kemampuan spesifik dalam mencatat, menyimpan, memelihara,

12
mengelola, menyediakan dan melayani pemberian informasi kepada
publik. Kepustakawanan Indonesia juga harus kembali ke ide dasar
tentang “informasi untuk semua” (information for all) yang sudah diakui
sebagai ciri khasnya.
Dalam konteks ini, menarik pula untuk dicermati perlu adanya perubahan
pandangan dasar yang selama ini menganggap bahwa Kepustakawanan
melulu berkaitan dengan pengelolaan teknis dan prinsip kenetralan. Dari
pembahasan tentang literasi politik di atas kita justru melihat bahwa
Kepustakawanan perlu lebih banyak terlibat dalam sosialisasi dan
penguatan masyarakat, khususnya dalam hal kesadaran politik dan
hukum serta demokrasi yang disesuaikan dengan konteks keberagaman
masyarakat Indonesia. Tidaklah mungkin, profesi pustakawan, arsiparis,
dan dokumentalis bersifat ‘netral’ dalam arti pasif dan menunggu. Biar
bagaimana pun, harus ada sikap politik yang aktif di dalam
Kepustakawanan Indonesia untuk membela kepentingan politik orang
banyak dan menjadi pengusung demokratisasi masyarakatnya. Ini berarti
pula, Kepustakawanan tidak berhenti pada urusan teknis mengelola
fasilitas akses informasi, melainkan juga memastikan bahwa masyarakat
terus dapat (dan boleh) aktif menentukan hal-hal apa yang perlu mereka
ketahui agar dapat berperan secara signifikan dalam politik dan
demokratisasi.
Hal pertama yang perlu dilakukan Kepustakawanan Indonesia untuk dapat
menjadikan profesi ini lebih berperan adalah mengubah orientasi
pendidikannya ini, dari yang sebelumnya berpusat pada pengembangan
keterampilan teknis penyediaan perangkat informasi, menjadi
pengembangan keterampilan sosio-teknis. Pustakawan dan profesi
informasi lainnya yang bekerja di badan-badan publik dan akan menjadi
tulang punggung dari UU-KMIP harus dilengkapi dengan pengetahuan dan
keterampilan sosial; mereka akan lebih banyak bersikap sebagai aktivis
sosial-budaya daripada ahli-ahli teknis.
Inilah implikasi langsung dari UU-KMIP terhadap profesi informasi, dan
inilah yang sebenarnya diharapkan masyarakat luas di Indonesia agar
kasus-kasus seperti “cicak versus buaya” sampai dengan pencitraan hari
kiamat tidak selalu berulang menjadi beban yang menghabiskan energi
bangsa tanpa menyumbang apa-apa bagi kemajuan demokrasi di
Indonesia.
Daftar bacaan
Baudrillard, J. (1986), Simulations, New York : Semiotext(es).
Bev, J.S. (2008), "The Urgency of teaching political literacy" dalam Asia
Blogging Network, situs internet
http://asiablogging.com/blog/226/the-urgency-of-teaching-political-
literacy/ dapat dilihat juga di
http://www.jenniesbev.com/2008/02/19/the-urgency-of-teaching-
political-literacy/
Bev, J.S. (2008), “The power and abuse of language in politics”, February
20, 2008

13
http://www.jennieforindonesia.com/wpcontent/uploads/2008/02/jenn
iesbev_languagepolitics.pdf
Braman, S. (1993), "Harmonization of systems: the third stage of
information society", dalam Journal of Communication, vol 43 no. 3,
hal. 133-141.
Campbell, D. (2001). "Can the digital divide be contained? The Digital
divide : employment and development implications” dalam
International Labour Review, Vol. 140 no. 2.
Council of Europe Secretariat (2003), “Democracy, human rights and the
rule of law in the Information Society” makalah untuk 2nd
Preparatory Committee for the World Summit on the Information
Society, Geneva, 17-28 Februari 2003.
Duff, A. (2000), Information Society Studies, New York: Routledge.
Dutton,W. (1999). Society On The Line: Information Politics In The Digital
Age. New York: Oxford University Press.
Bovens, M. (2002), "Information rights : citizenship in the information
society" dalam The Journal of Political Philosopy, vol. 10 no. 3, hal.
317 - 341.
Cassel, C.A. dan Lo, C.C. (1997), “Theories of political literacy” dalam
Political Behavior, Vol. 19, No. 4, hal. 317-335.
Freebody, P dan A. Luke (2003), “Literacy as engaging with new forms of
life: the four roles model” dalam G. Bull dan M. Anstly (editor), The
Literacy Lexicon, French Forest : Pearson Education Australia, hal.
51 – 66.
International Telecommunications Union (2005). Measuring Digital
Opportunity (WSIS Thematic Meeting on Multi-Stakeholder
Partnerships for Briding the Digital Devide, Seoul, June), Geneva :
ITU.
MacKay, H. (1995). “Theorising the IT/Society relationship” dalam
Information technology and society: A reader, ed. N. Heap, R.
Thomas, G. Einon, R. Mason, dan H. Mackay, Thousand Oaks, CA:
Sage, hal. 41–53.
Mansell, R., dan U. When, ed. (1998). Knowledge Societies: Information
Technology For Sustainable Development. Report For The United
Nations Commission On Science And Technology For Development.
New York: Oxford University Press.
Muir, J.K. (2008), “Closing the Gap: Media, Politics, and Citizen
Participation” dalam Harvard International Review, Vol. 30 no. 1 hal.
54-57.
Rosario-Braid, F dan Tuazon, R.R. (1997), “Making it to the 21st century :
the role of NGOs in re-defining functional literacy” makalah untuk
the Asia Literacy Regional Forum, May 05-09, Manila. Diunduh dari
http://www.literacy.org/products/ili/pdf/alrffr.pdf

14
Siliwanti, RD (2009), “Voice, accountability and freedom: the case of
indonesia”, makalah untuk Regional Conference on Deepening and
Sustaining Democracy in Asia Paro, Bhutan, 12-14 October 2009,
Organized by the Centre for Bhutan Studies in Collaboration with
UNDP, diunduh dari www.bhutanstudies.org.bt/conference/
Papers/7.demo.pdf
Storey, J. (1993), An introduction to Cultural Theory and Popular Culture,
2nd edition, London : Prentice Hall.
UNESCO (2003). UNESCO’s contribution to the World Summit on the
Information Society. June 6.
http://unesdoc.unesco.org/images/0012/001295/129531e.pdf
Warschauer, M. (2004) Technology and Social Inclusion. Rethinking the
Digital Divide, Cambridge : the MIT Press
World Summit on the Information Society (WSIS) (2003), Declaration of
Principles. 12 Desember, Document WSIS-03/GENEVA/DOC/4-E.
Wyatt, S., Henwood, F., Miller, N., dan Senker, P., eds. (2000). Technology
And In/Equality: Questioning The Information Society. New York:
Routledge.

15

You might also like