Professional Documents
Culture Documents
1. PENDAHULUAN
Ubi-ubian, serealia, dan biji polong-polongan merupakan sumber pati yang paling penting. Ubi-ubian yang
sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan singkong (Liu, 2005 dalam Cui, 2005). Pati singkong
sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan industri yang berbasis pati karena kandungan
patinya yang
cukup tinggi (Niba, 2006 dalam Hui, 2006).
Kandungan pati pada beberapa bahan pangan disajikan pada Tabel 1.1.
Menurut Biro Pusat Statistik (2009), produksi tanaman ubi kayu di Indonesia pada tahun 2008 sebesar
20.834.241 ton. Melihat kandungan pati pada singkong sebesar 90%, maka pada tahun tersebut dapat menghasilkan
18.750.816,9 ton pati singkong.
Singkong merupakan tanaman perdu yang berasal dari Amerika Selatan dengan lembah sungai Amazon sebagai
tempat penyebarannya (Odigboh, 1983 dalam Chan 1983). Ubi ini merupakan tanaman dikotil berumah satu yang ditanam
untuk diambil patinya yang sangat layak cerna. Pohon singkong dapat tumbuh hingga 1-4 meter dengan daun besar yang
menjari dengan 5 hingga 9 belahan lembar daun. Batangnya memiliki pola percabangan yang khas, yang keragamannya
tergantung pada kultivar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1995). Gambar pohon singkong dapat dilihat pada Gambar 1.1.
1
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/terapan/images
Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu bahan makanan sumber karbohidrat (sumber energi).
Ubi kayu dalam keadaan segar tidak tahan lama. Untuk pemasaran yang memerlukan waktu lama, ubi kayu harus diolah
dulu menjadi bentuk lain yang lebih awet, seperti gaplek, tapioka (tepung singkong), tapai, peuyeum, keripik singkong
dan lain-lain.
2
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
73 196 INFO
t_map_propinsi t_map_kabupaten
Nama lain untuk tanaman ubi kayu sangat beragam diseluruh Indonesia. Diantaranya, ketila, keutila ubi kayee
(Aceh), ubi parancih (minangkabau), ubi singkung (Jakarta), batata kayu (Manado), bistungkel (Ambon), huwi dangdeur,
huwi jendral, Kasapen, sampeu, ubi kayu (Sunda), bolet, kasawe, kaspa, kaspe, katela budin, katela jendral, katela kaspe,
kaspa, kaspe, katela budin, katela jendral, katela kaspe, katela mantri, katela marikan, katela menyog, katela poung, katela
prasman, katela sabekong, katela sarmunah, katela tapah, katela cengkol, ubi kayu, tela pohung (Jawa), Blandong,
manggala menyok, puhung, pohung, sabhrang balandha, sawe, sawi, tela balandha, tengsag (Madura), kesawi, ketela
kayu, sabrang sawi (Bali), kasubi (Gorontalo, Baree, Padu), Lame kayu (Makasar), lame aju (Bugis Majene), kasibi
(Ternate, Tidore).
3
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
4
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
a) Metoda tradisional
Industri pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya sangat tergantung pada
musim.
b) Metoda semi modern
Industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin pengering (oven) dalam melakukan proses pengeringan.
c) Metoda full otomate yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari proses awal sampai
produk jadi. Industri tapioka yang menggunakan peralatan full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena
proses produksi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka
berkualitas.
Selain menghasilkan tepung, pengolahan tapioka juga menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah
cair. Limbah padat seperti kulit singkong dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk, sedangkan onggok (ampas)
dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku pada industri pembuatan saus, campuran kerupuk, obat nyamuk bakar dan
pakan ternak. Limbah cair dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan ladang, selain itu limbah cair pengolahan
tapioka dapat diolah menjadi minuman nata de cassava.
Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi. Tingkatan teknologi tersebut adalah tradisional atau
mekanik sederhana, semi modern, dan full otomate. Perbedaan teknologi pengolahan tapioka dapat dilihat pada tabel 2.1.1
berikut ini.
Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan teknologi mekanik sederhana. Pada teknologi ini, sebagian
proses produksi menggunakan mesin penggerak untuk melakukan pemarutan dan pengepresan, sedangkan pengeringan
masih mengandalkan bantuan sinar matahari.
5
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
2. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan cara manual yaitu dengan meremas-remas singkong di dalam bak yang berisi air,
yang bertujuan memisahkan kotoran pada singkong.
3. Pemarutan
Parut yang digunakan ada 2 macam yaitu :
a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga manusia sepenuhnya.
6
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
7
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
5. Pengendapan
Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan
dibuang, sedangkan endapan diambil dan dikeringkan.
6. Pengeringan
Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara menjemur tapioka dalam nampan atau
widig atau tambir yang diletakkan di atas rak-rak bambu selama 1-2 hari (tergantung dari cuaca). Tepung
tapioka yang dihasilkan sebaiknya mengandung kadar air 15-19%.
8
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas, dibutuhkan singkong yang memiliki kadar tepung tinggi yaitu
singkong yang dipanen setelah berusia lebih dari 7 bulan.
Proses pembuatan dalam bentuk diagram alir dapat dilihat pada gambar 2.1.8.
9
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Gambar 2.1.8.
DIAGRAM ALIR PROSES PEMBUATAN TEPUNG TAPIOKA
Tampung dalam bak berisi air bersih sambil diremas-remas dengan tangan
asan ke atas saringan kain putih, dan tampung air perasan dalam wadah atau bak. Lakukan penyaringan parutan ubi berkali-kali hingga air
Endapkan air perasan dalam wadah atau bak pengendapan selama 24 jam
mudian ganti dengan air bersih sambil diaduk-aduk sampai merata. Lakukan penggantian air bersih 2-3 kali agar tepung yang dihasilkan be
10
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Parameter Spesifikasi
Dimensi panjang x lebar x tinggi 35 cm x 35 cm x 80 cm
Diameter silinder ruang press 3 inch
Diameter silinder piston press 2,5 inch dilengkapi dengan
penampang pres
Diameter lubang cetakan 3 mm dan dapat diganti ukuranya sesuai kebutuhan yang
diinginkan
Kapasitas Hidrolik Hidrolik kapasitas 2- 5 ton
Kapasitas Produksi 250 gram/menit atau 15 kg/jam
11
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Keterangan :
A = Pengepres hidrolik
B = Piston press
C = Ruang press/ruang tempat meletakkan bahan
Perbandingan pembuatan mie dengan menggunakan tepung terigu dan tepung tapioka
Formulasi pembuatan mie, dari tepung terigu disajikan pada Tabel 2.2.2. Pembuatan produk mie dilakukan melalui
tahapan pencampuran terigu dengan air, CMC, soda kue, dan pewarna; pengulenan hingga terbentuk adonan yang kalis;
pencetakan untaian mie menggunakan alat pencetak mie sistem rol; perebusan untaian mie dalam air panas yang telah
ditambahkan minyak makan dan garam; dan penirisan untuk memperoleh produk mie.
Tabel 2.2.2. Formulasi pembuatan mie menggunakan bahan baku tepung terigu
Pengembangan formulasi produk mie pati ubi kayu dilakukan melalui modifikasi formulasi standar (Tabel
2.2.3.). Modifikasi yang dilakukan berupa penggunaan tepung terigu (konsentrasi 10-50%). Pembuatan produk mie
dilakukan melalui tahapan pencampuran pati ubi kayu dengan terigu (sesuai perlakuan), penambahan air panas dan
pewarna makanan, pengulenan hingga terbentuk adonan yang kompak, pencetakan untaian mie menggunakan alat
pencetak mie sistem press, perebusan untaian mie dalam air panas yang telah ditambahkan minyak makan dan garam, dan
penirisan sehingga diperoleh produk mie.
Tabel 2.2.3. Formulasi standar pembuatan mie menggunakan bahan baku pati ubi kayu
12
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Hasil pengujian karakteristik organoleptik, menunjukkan bahwa produk mie yang diformulasi dengan bahan baku pati ubi
kayu memiliki warna, bau, rasa, dan kekenyalan yang tidak berbeda nyata dibandingkan mie yang diformulasi dengan
bahan baku terigu.
Tabel 2.2.4. Rekapitulasi hasil pengujian organoleptik perbedaan antara produk mie pati formulasi
pengembangan dengan produk mie terigu
Tidak berbedanya karakteristik organoleptik produk mie pati ubi kayu dibandingkan produk mie yang
diformulasi dengan bahan baku terigu, menunjukkan bahwa perbaikan karakteristik organoleptik produk mie pati ubi kayu
dapat melalui pengurangan kandungan amilopektin pati ubi kayu.
Kandungan amilopektin ubi kayu akan memberikan sumbangan yang sangat nyata terhadap karakteristik
kekenyalan produk mie pati ubi kayu. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa penggunaan pati ubi kayu sebagai bahan
baku produk mie pati ubi kayu memerlukan penambahan bahan lain agar dihasilkan produk dengan karakteristik
kekenyalan yang lebih disukai konsumen.
Tabel 2.2.5. Pengaruh konsentrasi penambahan terigu terhadap karakteristik produk mie berbahan baku pati ubi
kayu
13
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Penurunan nilai tekstur diduga erat berkaitan dengan penurunan konsentrasi amilopektin. Menurut Kearsley and
Dzieddzic (1995), pati ubi kayu memiliki kandungan amilopektin tinggi (86%). Dibandingkan amilosa, amilopektin
memiliki kekentalan yang lebih tinggi (Kearsley and Dziedzic, 1995), sehingga adonan pati ubi kayu secara umum
bersifat lengket dan memiliki tingkat kekentalan yang tinggi.
Adapun penurunan skor rasio pengembangan diduga erat berkaitan dengan penurunan konsentrasi pati secara
keseluruhan. Dibandingkan protein, pati memiliki kemampuan mengikat air yang lebih besar. Menurut (Winarno, 1992),
pati tergelatinisasi mampu menyerap air kembali dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat.
Berdasarkan hasil penelitian Hidayat B., 2008 (Tabel 2.2.6), menunjukkan bahwa produk mie pati ubi kayu
yang dihasilkan memiliki kandungan protein yang rendah (2,26%). Untuk mengimbangi kandungan protein yang rendah
tersebut, dianjurkan penggunaan produk mie pati ubi kayu saat dikonsumsi dikombinasikan dengan penambahan lauk
pauk yang memiliki kandungan protein tinggi seperti telur dan udang.
Tabel 2.2.6. Komposisi kimia produk mie pati ubi kayu hasil pengembangan
2.3. GAPLEK
Gaplek adalah bentuk yang paling umum dari pengawetan ubi kayu di Indonesia. Ubi dikupas, dicuci dan
dikeringkan dalam bentuk potongan-potongan, dibelah atau utuh tergantung pada umbi dan kebiasaannya. Ubi
dikeringkan langsung di atas tanah, tikar bambu, pinggir-pinggir jalan, digantung dip agar-pagar atau tali-tali atau di
beranda. Pengeringan biasanya 5-7 hari tergantung pada cuaca, sesudahnya disimpan untuk dikonsumsi atau dijual.
Pembuatan gaplek merupakan proses yang sederhana, meliputi : pencucian, pengupasan, dan pengeringan.
CARA PEMBUATAN
1. Pisahkan ubi kayu dari batangnya, kupas kemudian cuci hingga bersih;
14
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Gaplek dapat dimasak (dikukus) dengan diberi gula merah dan kelapa parut.
Catatan:
1. Syarat-syarat gaplek yang baik adalah sebagai berikut :
a. Dapat dibentuk gelondongan atau belahan memanjang (3 cm), tepung, atau pellet (panjang 2 cm dan diameter
max. 1 cm);
b. Dalam keadaan kering, berwarna putih, tidak berjamur, dan tidak ada kulit yang tertinggal;
2. Pengemasan harus menggunakan karung goni yang baik, bersih dan jahitannya kuat.
15
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
2.5. Biofuel
Ubi kayu dapat sebagai komoditas utama sebagai komoditas utama penghasil BBN atau lebih tepat sebagai
penghasil FGE. Pengembangan BBN di Indonesia berprinsip pro-poor, pro – job, pro – growth, dan pro – planet. Dengan
triple track plus tersebut, sejumlah pertimbangan positif pemilihan ubi kayu sebagai penghasil FGE diuraikan sebgai
berikut. Ubi kayu merupakan tanaman sumber karbohidrat ketiga setelah padi dan jagung. Dengan menggeser kegunaan
ubi kayu menjadi BBN (dari sumber daya karbohidrat ke sumber daya hidrokarbon), diharapkan harga ubi kayu akan
meningkat sehingga pendapatan petani akan meningkat pula.
16
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Ubi kayu akan menguatkan security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan. Memperbesar basis sumber
daya bahan bakar nabati, karena ubi kayu adalah tanaman yang toleran terhadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah,
mampu berproduksi baik pada lingkungan sub – optimal, dan mempunyai pertumbuhan yang relative lebih baik pada
lingkungan sub optimal dibandingkan dengan tanaman lain.
Secara umum, proses pengolahan bahan berpati seperti ubi kayu, jagung dan sagu dilakukan dengan proses
urutan. Pertama adalah proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Pati merupakan homopolimer glukosa
dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut
amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-
glikosidik sedangkan amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan -(1,6)-D-glikosidik sebanyak 4-5% dari
berat total.
Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa
(C6H12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi
ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara
kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus
rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan
tertentu.
Enzim yang digunakan adalah alfa-amilase pada tahap likuifikasi, sedangkan tahap sakarifikasi digunakan
enzim glukoamilase. Berdasarkan penelitian, penggunaan -amilase pada tahap likuifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu
50.83 pada konsentrasi -amilase 1.75 U/g pati dan waktu likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi
menghasilkan DE tertinggi yaitu 98.99 pada konsentrasi enzim 0.3 U/g pati dengan waktu sakarifikasi 48 jam.
Tahap kedua adalah proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO 2. Fermentasi
etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO 2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama
akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-
Parnas, sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami
dehidrogenasi menjadi etanol.
Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini
dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi
dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC.
Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk memisahkan etanol. Distilasi merupakan pemisahan
komponen berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78 oC sedangkan air adalah 100oC (Kondisi standar).
Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 – 100 oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan
melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Terdapat dua tipe proses destilasi yang banyak diaplikasikan, yaitu continuous-feed distillation column system
dan pot-type distillation system. Selain tipe tersebut, dikenal juga tipe destilasi vakum yang menggunakan tekanan rendah
dan suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan konsentrasi alkohol yang lebih tinggi. Tekanan yang digunakan untuk
destilasi adalah 42 mmHg atau 0.88 psi. Dengan tekanan tersebut, suhu yang digunakan pada bagian bawah kolom adalah
35oC dan 20oC di bagian atas. Proses produksi FGE dari bahan berpati disajikan pada Gambar 2.5.1, sedangkan Gambar
2.5.2 menunjukkan proses produksi FGE dari ubi kayu.
17
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Dari proses distilasi akan dihasilkan etanol dengan kadar etanol maksimal 95%. Untuk aplikasi bahan bakar,
etanol hasil destilasi harus dimurnikan yaitu dengan cara dikeringkan. Pengeringan etanol dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Cara-cara pengeringan etanol yang ada adalah antara lain pengeringan menggunakan kapur (CaO), garam,
benzene dan penggunaan ”molecular sieve”.
”Molecular sieve” merupakan suatu metode purifikasi yang banyak digunakan di industri minyak serta
laboratorium untuk memisahkan komponen dan untuk pengeringan. ”Molecular sieve” adalah suatu bahan yang memiliki
pori-pori kecil dengan ukuran yang tepat dan seragam yang digunakan sebagai absorben cairan dan gas. Bahan ini dapat
menyerap air hingga 20% dari berat bahan itu sendiri. Bahan-bahan yang termasuk ”molecular sieve” antara lain zeolit,
lempung, karbon aktif, microporous charcoal dan porous glasses.
18
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Gambar 2.5.2.. Diagram alir proses pembuatan FGE dari ubi kayu
Proses Pembuatan Bioetanol ubi kayu skala kerakyatan atau skala rumahan
Pembuatan bioetanol juga dapat dilakukan pada skala rumahan. Dengan memanfaatkan ubi kayu segar berkadar
pati 28%, ditargetkan akan diperoleh 7 liter bioetanol. Langkah-langkah pembuatan bioetanol skala rumahan adalah
sebagai berikut.
- Kupas Kasar ubi kayu segar sebanyak 50 Kg. Cuci dan giling dengan mesin penggiling listrik, mesin bensin,
ataupun diesel.
- Saring hasil penggilingan untuk memperoleh bubur ubi kayu.
- Masukkan bubur ubi kayu ke dalam drum yang terbuka penuh bagian atasnya.
- Tambahkan air 40 – 50 liter dan aduk sambil dipanasi menggunakan kompor minyak tanah, gas, ataupun tungku
batu bara dan limbah pertanian, baik yang dibakar langsung, seperti batok kelapa, cangkang, sabut, ranting –
ranting kayu, maupun limbah pertanian dan peternakan yang diubah menjadi biogas.
- Tambahkan 1,5 ml enzim alfa – amylase (dapat dibeli di toko kimia khusus). Panaskan selama 30 – 60 menit
pada suhu sekitar 900 C.
- Dinginkan hingga suhu menjadi 55 - 600 C. Gunakan alat penukar panas untuk mempercepat proses
pendinginan (heat exchanger).
- Tambahkan 0,9 ml enzim gluko-amilase.
- Jaga temperatur pada kisaran 55 – 600 C selama 3 jam, lalu dinginkan hingga suhu di bawah 350 C. Gunakan alat
penukar panas untuk mempercepat proses pendinginan.
- Tanbahkan 1 g ragi roti (dapat dibeli di toko bahan – bahan kue), urea 65 g, dan NPK 14 g. Biarkan selama 72
jam dalam keadaan tertutup, tetapi tidak rapat agar gas karbon dioksida yang terbentuk bisa keluar. Fermentasi
19
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
yang berhasil ditandai dari aroma sepeti tape, suara gelembung gas yang naik ke atas, dan keasaman (pH) di atas
4.
- Pindahkan cairan yang mengandung 7 -9 % bioetanol itu ke dalam drum lain yang didesain sebagai penguap
(evaporator).
- Masak menggunakan kompor minyak tanah, gas, tungku, briket batu bara, arang tau bahan bakar lain, hingga
keluar uapnya menuju alat distilasi. Hal ini terindikasi melalui rambatan panas dalam pipa menuju alat distilasi
dan kenaikan temperatur pada termometer. Nyalakan aliran air kondensor pengembun uap bioetanol.
- Tahan temperatur bagian atas kolom distilasi pada suhu 79 0C ketika cairan bioetanol mulai keluar. Kontrol
temperatur dapat dilakukan dengan dua cara, yakni mengatur aliran air refluks dalam alat distilasi dan /atau
mengatur api kompor.
- Keluarkan limbah melalui kran bawah drum, melewati saringan yang akan menahan limbah padat dan
meloloskan limbah cair.
Hasil destilasi dengan cara destilasi di atas adalah etanol dengan kadar 95%. Untuk meningkatkan
konsentrasinya hingga diperoleh FGE dapat dilakukan juga dalam skala kerakyatan dengan menggunakan peralatan dan
bahan yang sederhana. Prosedurnya yaitu dengan mencampurkan etanol 95% dengan kapur gamping (CaO) yang
ditepungkan dengan komposisi 1 : 4 atau 1 : 2 (1 bagian kapur dan 4 atau 2 bagian etanol 95%). Aduk secara periodik dan
biarkan selama 24 jam. Selanjutnya diuapkan (gunakan pemanas tidak langsung) dan disuling dengan penyuling sederhana
(alat distilasi satu tingkat) dan disuling dengan penyuling sederhana (alat distilasi satu tingkat).
20
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
FGE atau etanol kering biasanya memiliki berat jenis dalam rentang 0.7936-0.7961 (pada kondisi
15,56/15,56oC), atau berat jenis dalam rentang 0.7871-0.7896 (pada kondisi 25/25 oC).
3. ASPEK PEMASARAN
Kebutuhan pasar singkong yang selama ini didominasi oleh pabrikan tapioka sehingga menurunkan bargaining
power petani singkong sudah berakhir dengan meluncurnya trend pengolahan biofuel berbahan dasar singkong yaitu
ethanol. Perebutan bahan baku telah memicu kenaikan harga bahan baku di pasar singkong yang ditandai dengan
kolapsnya beberapa pabrik pengolahan tapioka yang masih mempertahankan sistem purchasing gaya lama
( mempermainkan harga di tingkat petani) karena tidak mendapatkan suplai bahan baku. Kenaikan harga hingga 50 % dan
minimnya pasokan singkong telah membuat komoditas ini mengalami apresiasi dan kestabilan harga.
21
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
pasar luar negeri yang telah dikuasai Indonesia dengan jumlah yang semakin besar, maka kebutuhan terhadap ubi kayu
untuk masa-masa mendatang diperkirakan masih akan terus meningkat.
Perkembangan Ekspor
Ekspor ubi kayu Indonesia dilakukan dalam bentuk ubi kayu kering (gapiek atau lainnya) dan tepung tapioka.
Perkembangan ekspor ubi kayu dalam bentuk kering (gapiek, chips atau tepung) selama tahun 1990 sampai tahun 1998
terlihat pada Tabel 3.1. dan Tabel 3.2. Dalam periode tersebut ekspor terbesar terjadi pada Tahun 1993, selanjutnya
perkembangan ekspor ubi kayu ada kecenderungan makin turun. Berbagai hal menyangkut masalah tata niaga yang
berkaitan dengan peraturan ekspor (diterapkannya pembagian quota) dan pola penyerapan produksi ubi kayu petani,
dirasakan telah mempengaruhi laju ekspor yang selanjutnya adalah juga produktivitas ubi kayu petani.
Tabel 3.1.
Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998
22
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Berbeda dengan gapiek dan genusnya, total ekspor dalam bentuk tapioka terlihat pernah mencapai titik tertinggi
sebesar 82.191 ton dengan nilai sebesar US 13,98 juta pada tahun 1993 (Tabel 3.3). Untuk tahun selanjutnya jumlah
ekspor kembali tidak menentu. Penurunan total ekspor yang drastis pada tahun 1994 diimbangi dengan ekspor yang tinggi
pada tahun 1995. Ini terjadi mungkin karena adanya pergeseran masa panen akibat pengaruh iklim dan adanya masalah
penampungan ubi kayu petani dan pengolahannya yang dikaitkan dengan kebijakan niaga pihak Pengusaha.
Tabel 3.3
Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1990-1997
Total Ekspor
Tahun
Gaplek Pelet
1990 6.702.500 1.426.072
1991 4.506.500 1.320.175
1992 21.598.013 5.217.332
1993 82.191.450 13.982.712
1994 30.870.431 10.548.950
1995 17.923.865 5.575.430
1996 7.336.226 2.668.590
Jangkauan ekspor ubi kayu Indonesia telah mencapai berbagai Negara di Asia dan Eropa, dengan ekspor
terbesar ke Korea dan China (Tabel 3.4). Luasnya negara tujuan ekspor di beberapa Negara Asia dan Eropa, menunjukkan
bahwa ekspor komoditi ini sebenarnya cukup potensial dan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekspor produksi ubi
kayu pada masa yang akan datang.
Tabel 3.4.
Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1997
Total Ekspor
Negara Tujuan Nilai Ekspor (FOB) (US$)
(Dari Berbagai Bentuk) (kg)
Korea 120.797.083 12.125.792
China 67.502.292 5.473.891
Philppine 558.000 107.884
Malaysia 2.342.962 436.884
Vietnam 697.920 41.875
Netherlands 20.400.000 1.371.550
Switzerlands 3.000.000 165.000
Taiwan 570.000 85.500
Germany 4.500.000 328.000
Japan 762.000 154.570
Singapore 247.000 53.106
United Kingdom 26.600 57.399
23
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan dalam
negeri terutama berasal dari wilayah Pulau Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar
negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa.
Di Indonesia, industri tepung tapioka memiliki asosiasi yaitu Assosiasi Tepung Tapioka Indonesia (ATTI) yang
berpusat di Jakarta. Keberadaan asosiasi ini belum begitu dirasakan oleh pihak-pihak terkait terutama petani yang tidak
dapat menikmati harga singkong sesuai dengan kesepakatan antara pemda, petani dan pengusaha. Sementara pengusaha
tidak dapat memperoleh bahan baku secara langsung dari petani. Asosiasi ini diharapkan dapat berperan dalam
pengendalian harga pasar tepung tapioka, harga bahan baku serta akses permodalan bagi pengusaha, sehingga industri
tapioka dapat berkembang dalam rangka memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan pasar luar negeri.
Permintaan tepung tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena peningkatan jumlah industri makanan
yang menggunakan bahan baku tapioka. Selama ini, sebagian besar hasil produksi tapioka hanya mampu memenuhi
kebutuhan beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Surabaya, Bogor, Indramayu dan Tasikmalaya.
Pada tahun 1996 sampai 2001 Indonesia menghasilkan rata-rata 15 sampai 16 juta ton tapioka dari industri
tapioka yang berlokasi di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Jumlah produksi tapioka yang terserap pasar dalam negeri
sebanyak 13 juta ton dan permintaan dalam negeri mengalami peningkatan 10% per tahun. Saat ini, produksi tapioka
Indonesia belum dapat memenuhi pasar dengan maksimal karena setiap tahun meningkat 10% atau 1,3 juta ton pertahun.
Sementara 70% produksi dihasilkan dari Pulau Sumatra, sedangkan 30% merupakan produksi Pulau Jawa dan Sulawesi.
(foodmarketexchange.com). Hal tersebut mengindikasikan masih luasnya potensi usaha dan permintaan tapioka di
Indonesia.
Tepung tapioka Indonesia sangat berpeluang untuk meraih pasar Asia dan Eropa. Ketersediaan lahan dan bahan
baku serta tenaga yang murah menyebabkan produk Indonesia mampu bersaing dalam harga.
Indonesia adalah produsen nomor dua di Asia setelah Thailand. Produksi rata-rata tapioka Indonesia mencapai
15-16 ton, sedangkan Thailand 30 juta ton tapioka pertahun dan Vietnam berada pada urutan ketiga yaitu 2-3 juta ton
tapioka per tahun.
Perdagangan bebas yang akan dilaksanakan di masa mendatang akan memberikan dampak positif terhadap
produk pertanian Indonesia, termasuk industri tapioka. Ditinjau dari segi harga dan kualitas, tapioka Indonesia dapat
bersaing dengan Thailand. Sebagaimana diungkapkan foodmarketexchange.com, bahwa tapioka Indonesia merupakan
salah satu ancaman bagi pasar tapioka Thailand.
Peluang pasar tapioka Indonesia masih sangat terbuka terutama pasar Eropa seperti Spanyol, Belanda, Jerman,
Prancis dan Portugal. Disamping itu pasar dalam negeri yang sampai saat ini belum dapat terpenuhi.
PUSTAKA
24
Paper SDA “Pemanfaatan Pati Ubi Kayu dalam Berbagai Industri”
oleh Yenny Kasim (92209 0050)
Anonim, 2006, “Pembuatan Tepung Tapioka”, Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Antarlina, 1992, “Evaluasi Sifat-Sifat Sensoris, Fisik, dan Kimia Beberapa Klon Ubi Kayu Plasma Nuftah”, Malang :
Balitkabi Malang.
Barret, D.M., dkk., 1999, “Peningkatan Mutu HAsil Ubi KAyu di Indonesia” , Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman
Pangan.
Bourtoom, T. 2007, ”Effect of Some Process Parameters on The Properties of Edible Film Prepared From Starch”.
Songkhala :Department of Material Product Technology.
Fennema, O.R., 1985, ”Food Chemistry”, New York : Departement of Food Science. University of Wisconsin-Madison.
Henrique, C. M., et all, 2007. “Classification of Cassava Starch Film by Physicochemical Properties and Water Vapor
Permeability Quantification by FTIR and PLS”. Journal of Food Science. 74: E184-E189
Hidayat, B., 2008, “Pengembangan Formulasi Produk Mie Berbahan Baku Pati Ubi Kayu”, Lampung : Politeknik Negeri
Lampung.
Hidayat B, dkk. 2007, “Kajian Pengembangan Mie Pati Ubi Kayu”, Lampung: Politeknik Negeri Lampung.
Hidayat, B., dkk., 2006, “Kajian Pengembangan Makanan Tradisional sebagai Produk Pangan Unggulan (Berbasis
Jagung dan Ubi Kayu)”, Lampung: Politeknik Negeri Lampung.
Hui, Y. H. 2006, “Handbook of Food Science, Technology, and, Engineering” Volume I. CRC Press, USA
Kearsley, M.W. and Dziedzic., 1995, “Handbook of Starch Hydrolysis Product and Their Derivatives”, Blackie Academic
& Professional, Glasgow.
Margono, T., dkk., 1993., “Buku Panduan Teknologi Pangan”, Jakarta: Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan
PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation.
Radiyati, T., dan Agusto, A.W., 1990, “Pedayagunaan Ubi Kayu”, Subang: BPTTG Puslitbang Fisika Terapan – LIPI.
Wahyu, M.K., 2009, “Pemanfaatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku Edible Film”, Bandung: Universitas Padjajaran.
Winarno, F.G., 1992, “Kimia Pangan dan Gizi”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
25