You are on page 1of 14

QAWAID AL-KHAMSAH SEBAGAI REPRESENTASI AL-QURAN DAN HADIS

Oleh:
Enceng Ahmad Zubaidi
Ahmad Baihaqy
BAB I
PENDAHULUAN
Kaidah Fiqih VS Ushul Fiqih
Sebelum membahas terkait qawaid al-khamsah (lima hak asasi), alangkah baiknya jika
mengetahui sisi persamaan dan perbedaan terkait kaidah fiqih dan ushul fiqih, mengingat dua
fan ilmu tersebut masih berada dalam ruang lingkup kajian fiqih. Di antaranya:
Perbedaan dari sisi esensi: kaidah fiqih adalah rumusan hukum yang bersifat universal
dan merangkum berbagai masalah furu yang tak terhitung jumlahnya serta berfungsi untuk
mengetahui ketentuan hukum pada persoalan serupa, sementara ushul fiqih adalah sebuah
metode penggalian hukum dengan menggunakan dalil-dalil syariat yang sasarannya adalah:
Dalil-dalil ijmali, hukum-hukum yang masih bersifat universal, serta upaya penggalian hukum
universal dari hukum parsial.1
Meskipun secara definitif berbeda tapi keduanya memiliki kesamaan dalam hal sebagai
asas bagi fan sebuah disiplin ilmu yakni ilmu fiqih, bahkan keduanya tidak bisa dipisahkan
antara satu sama lainnya. Sebagian ulama mengatakan, seandainya kaidah-kaidah fiqih tidak
ada, maka hukum-hukum fiqih akan berceceran dan akan sangat terkesan kontradiksi2 juga hal
serupa yang dikatakan Muhammad bin Mahmud al-Waili mengingat fenomena yang semakin
kompleks dan terus berkembang, maka di sinilah kaidah memiliki posisi yang penting.3

Abdul Aziz Muhammad Azam, al-Qawaid al-Fiqhiyah (Kairo: Darul Hadist, 2005), hal. 37.
Abdul Haqq dkk, Formulasi Nalar Fiqih (Surabaya: Khalista, 2009), juz 1, hal 3.
3
Muhammad bin Mahmud al-Waili, al-Qawid al-Fiqhyah Tarikhuha waAtsaruha fi al-Fiqhi (ttp,
1987), hal 27.
2

BAB II
Pembahasan
Setelah kita mengetahui definisi kaidah itu sendiri maka berikut akan mengelaborasi
qawaid al-khasmah (lima hak asasi) dilihat dari sudut kaca mata fiqih.
Al-Qawaid al - Khamsah (Lima Kaidah Asasi)
Lima kaidah asasi bagi kalangan akademisi khususnya para santri di Indonesia yang
bermadzhab al-Syafii. Di antaranya:
1.

Kaidah Pertama
a. Teks kaidah:

Artinya: Segala perkara tergantung kepada niatnya.


Dalam realita kehidupan, pada saat kita mau melakukan sesuatu tidak lepas dari sebuah
niat atau tujuan, sebab tujuan inilah yang akan menghantarkan si pelaku pada kenyataan yang
dikehendakinya.4 Akan tetapi, jika keduanya tidak ada maka amalan yang dilakukannya hanya
sebatas spekulatif. Sebab terkadang usaha seseorang itu merupakan cerminan dari niat dan
tujuan seseorang. Misalkan tiga orang karyawan yang bekerja di satu perusahaan yang sama,
dalam menilai tingkat kesungguhannya dalam bekerja bisa diukur dari niatnya mereka. Niat
yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi sama yang niat untuk memenuhi
kebutuhan keluarga akan tanpak berbeda. Penulis pernah membaca perkataan Mario teguh
yang dimuat di salah satu akun pesbuknya, hidup ini berjalan maju, dengan atau tanpa kita.
Dan hadiah untuk yang mau berupaya, maka inginkanlah yang baik kemudian yang besar dari
yang baik dan upayakanlah dengan kebaikan diri yang selalu tumbuh.5
Kaidah tersebut merupakan produksi dari ayat al-Quran dan hadis Nabi dan dalil-dalil
lainnya yang kemudian dijadikan satu kaidah sebagai metode untuk memecahkan suatu
permasalahan terkait hukum.
b. Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:

4
5

Abdul Aziz Muhmmad Azam, Al-Qawaid al-Fiqhyah (Kairo: Dar al-Hadith,2005), hal. 81.
Dikutif dari akun pesbuk Mario Teguh, hari senin jam 10.

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (QS. alBayyinah [98]: 5).

Sabda Nabi SAW:







Artinya: Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang
itu hanyalah apa yang ia niati.
Dari kedua dalil di atas mendeskripsikan bahwa niat itu merupakan aktor utama dalam
menakar baik buruknya perbuatan seseorang, karena posisi niat berada di dalam lubuk hati,
sebagai komandan dari seluruh anggota tubuh lainnya. Ketika niatnya itu sah secara agama
maka amal yang dilakukannya pun akan sah pula, tapi bila sebaliknya maka amal yang
dilakukannya akan sebagaimana niatnya, ini menurut madzhab Al-Syafii, sementara menurut
madzhab Hanafi niat hanya sebatas penyempurna saja.6
Di sisi lain niat juga sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna
perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah
kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan agama
ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi
semata-mata karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir disebuah mesjid, kemudian
duduk atau tiduran dimesjid tersebut, maka apakah dia berniat Iitikap ataukah tidak. Apabila
dia berniat ihtikaf dimesjid tersebut, maka dia mendapat pahala dari ibadah ikhtikafnya.
Terkait dengan hadis di atas, sekilas mengesankan bahwa sebuah perbuatan itu tidak
akan terwujud dengan tanpa adanya niat, tentunya interpretsi seperti ini dianggap keliru dan
dianggap terlalu gegabah. Mengutif dari perkataannya Sekh Yasin al-Fadani penilaian terhadap
predikat sebuah pekerjaan yang terkait erat dengan eksistensinya; seperti sah atau
sempurnanya.7







Artinya: Nafaqah yang kamu berikan terhadap istrimu yang disertai niat karena Allah maka
kamu akan mendapatkan pahala.8

Abdul Aziz Muhmmad Azam, Al-Qawaid al-Fiqhyah (Kairo: Dar al-Hadith,2005), hal. 82.
Yasin al-Fadani, al-Fawaid al-Janyah (Dar al-Mahajjah al-Baidha, 2008), hal. 108.
8
Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari (Daru Thuq al-Najah, 1422 H), juz 1, hal. 21.
7

2.

Kaidah kedua

a. Teks Kaidah



Artinya: Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian.
Rasa yakin sering dijadikan senjata oleh sebagian orang untuk meraih mimpinya,
dijadikannya sebagai modal primer yang tidak boleh disia-siakan demi kesuksesan dan
keberhasilan menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebaliknya orang yang
tidak memiliki keyakinan maka ia tak akan punya prinsip yang kuat dalam perjalanannya dan
mudah goyah karena keraguan yang menghantui pikirannya. Begitu pula dalam berhujjah jika
sudah terlumuri sifat ragu maka status hukumnya akan cenderung plinplan.
Sementara yang dimaksud dari kaidah di atas adalah tercapainya kemantapan hati pada
satu obyek yang dilakukan, baik itu masih bersifat dzan atau atau lebih. Dengan sebab ini
pekerjaan yang dilakukan yang masih disertai adanya keraguan belum bisa dikatakan yakin.
Yakin yang dimaksud ulama fiqih adalah sebuah estimasi yang sesuai dengan
kenyataan yang didasari bukti-bukti.9
Didalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan
kenyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia
ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. 10 Hanya
saja untuk ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya.
Contoh lain dalam fiqh jinayah, apabila seseorang menyangka kepada orang lain
melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah
dan menyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan kejahatan.
b. Dasar-dasar nash kaidah




Kebanyakan ereka tidak mengikutinya terkecuaali hanya perasangka saja, sesungguhnya sifat
perasangka tidak akan mengantarkan kebenaran sedikit pun
Sebab nuzul dari ayat ini adalah merespon orang-orang musyrik yang seringkali
bersikukuh dengan perasangkanya yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya, khususnya terkait

Abdul Aziz Muhmmad Azam, Al-Qawaid al-Fiqhyah, hal. 85.


Al-Suyuthi, al-Asybah wa Al-Nadhair (Kairo: Maktabah al-Tsaqafi, 2007), hal. 83.

10

masalah tauhid kepada Allah Swt. dengan ayat ini Allah memberikan penegasan terhadap
sesuatu yang mestinya dijadikan pijakan berpikir dan bertindak, bukan pada sesuatu yang
masih diragukan, karena bagaimana pun sesuatu yang bersifat spekulatif itu masih ambigu dan
tidak bisa disejajarkan dengan keyakinan.11
Dari sinilah muncul penegasan bahwa apabila terjadi keraguan yang berpotensi bisa
mempengaruhi hal-hal yang sudah diyakini sebelumnya, sudah barang tentu perbuatan yang
dilakukannya akan berjalas statis dan positivistic sesuai kenyataan.
Sabda Nabi SAW:

Artinya: Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian
dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak
boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya.12










salah seorang di antara kalian ragu dalam salatnya, apakah telah mencapai tiga rakaat atau
empat

maka

hendaknya

ia

mengabaikan

keraguannya

dan

berpeganglah

pada

keyakinannya.13




Rasulullah Saw. diberi kabar tentang seseorang yang merasakan keluarnya angina dalam
salatnya. Beliau bersabda, janganlah dia berhenti salat sampai ia mendengar suara atau
mencium bau.14
Selain beberpa hadis di atas juga masih banyak hadis lain yang mendukung terksit
ksidah ini. Namu yang jelas bahwa hokum segala sesuatu harus dilihat dari kondisi asal yang
meyakininya. Jika kondisi sebelumnya adalah batal, maka factor eksternal tidak akan
mmberikan pengaruh status hokum batal tersebut, sehingga hukumnya tetap batal. Demiian

11

Al-Thabary, Tafsir al-Thabari (Muassasah al-Risalah, 2000), juz 15, hal. 89.
Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah.
13
Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim) Bairut: Dar al-Afaq,tt) juz 2, hal. 48.
14
Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, juz, 1, hal. 189.
12

pula apabila kondisi sebelumnya adalah sah, dengan catatan tidak ada bukti yang meyakinkan
yang mampu merubahnya.
c. Kaidah yang Berhubungan
Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang
lebih sempit ruang lingkupnya, misalnya:



1.

Artinya: Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang menyakinkan pula.
Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu
kita menjadi batal.


2.


Artinya: Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kacuali dengan
keyakinan lagi.
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang menyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian
dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima.
Maka yang menyakinkan adalah jumlah yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang
menyakinkan.


3.

Artinya: Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan
dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban
pada dirinya.

4.




Artinya: Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya.




5.



Artinya: Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada.


6.



Artinya: Hukum asal adlah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya.
6

Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hokum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi, kecuali ada bukti lain yang
menyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.


7.


Artinya: Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamnya.
Contohnya: apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka
hukumnya boleh dimakan.

8.


Artinya: Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya.
9.

Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubungan dengan
kaidah,al-yaqin la yuzal bi al-syak, yaitu:


Artinya: Tidak dianggap (diakui) persangkaan yang jelas salahnya.

10.

Artinya: Tidak diakui adanya waham (kira-kira)..15


3. kaidah Ketiga
a. Teks Kaida

Artinya: Kesulitan mendatangkan kemudahan.

Arti dari kaidah ini bahwa kesulitan yang menimpa seseorang, hal itu hukum syariat
yang sah memberikan solusi yang lebih mudah dan tidak memaksanya untuk harus
melestarikannya.16
Semua manusia, termasuk kita pasti akan merasa senang jika bisa mencapai apa yang
diimpikan. Namun untuk mencapai hal itu akan banyak rintangan yang harus dilalui dan
bahkan banyak waktu yang harus dikorbankan.
15
16

Lihat Abdul Aziz Muhmmad Azam, Al-Qawaid al-Fiqhyah, hal. 101- 112.
Abdul Aziz Muhmmad Azam, Al-Qawaid al-Fiqhyah, hal.114.

Tidak jarang dalam kesempitan ada putus asa yang datang, bahkan tidak sedikit
yangmennggalkan mimpi dan menyerh begitu saja, membiarkan harapan-harapan tanpa ada
niatan mewujudkan. Karena itu buanglah jauh-jauh asumsi bahwa kebahagiaan itu datang saat
kita sudah mencapai pada tujuan, karena bahagia itu datang ketika datang ketika kita bisa
menikmati kegagalan sebagai sebuah proses.
b. Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:

Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan
bagi kalian. (QS. al-Baqarah: 185).


Dan Dia tidak menjadikan atas kamu sekalian suatu kesempitan dalam urusan beragama
(QS. Al-Hajj: 78)


Allah mencintai kemudahan bagi kamu sekalian (QS. Al-Nisa: 28)
Sabda Nabi SAW:

Artinya: Rasulullah Saw. tidak memilih du pilihan melainkan beliau akan memilih yang lebih
mudah di antara keduanya.17
Al-Suyuthi menggambarkan bahwa, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu
setidaknya ada tujuh macam yaitu:
1.

Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat
jumat.

2. Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat fardhu sambil duduk.
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
4.

Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang
tidak diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.

5.

Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan
makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.

6.

Umum al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu, barangnya belum ada).
Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati sekadar yang
dibutuhkan dalam pengobatan.

17
Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, tahkik, Muhammad Zuhair Nashir (Dimasyq: Dar Thuq
al-Najah, 1422 H), juz, 4, hal. 189.

7.

Kekuranganmampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil, orang gila, orang
dalam keadaan mabuk.18

4. Kaidah keempat
a. Teks Kaidah

Artinya: Kemudaratan harus dihilangkan.

Secara definisi dahar (bahaya) adalah merupakan lawan dari kata al-Nafu (manfaat). Esensi
dari kaidah ini adalah sesuatu yang membahayakan harus dihilangkan, karena dharar
merupakan perbuatan dzalim yang wajib menghindarinya.19
Seperti dikatakan syaikh Yasin al-Fadani, bahwa syariat tidak mengizinkan
menebarkan yang dapat merugikan orang lain diluar jangkauan syariat.20 Kaidah tersebut di
atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syariah dengan menolak yang
mafsadah, dengan cara menghilanhkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
Contoh-contoh yang muncul dari kaidah di atas sebagai berikut:
-

Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut


mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.

Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga untuk
menghilangkan kemudaratan.

Adanya aturan al-Hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan kemudaratan.

Menanggung barang yang rusak sebagai tanggung jawab atas kerusakan barang tersebut.21

b. Landasan Kaidah
Firman Allah SWT:


Artinya: Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi. . (QS. al-Araf : 55).


Dan janganlah kalian tahan mereka untuk bertujuan mendzalimi. (QS. Al-Baqarah:231)
Sabda Nabi SAW:
18

Lihat Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadair, hal. 112- 116.


Abdul Aziz Muhmmad Azam, Al-Qawaid al-Fiqhyah, hal.126.
20
Yasin al-Fadani, al-Fawaid al-Janiyah, hal. 247.
21
Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadair, hal. 120.
19

Artinya: Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada
orang lain. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
C.

Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi mudarat.


Kaidah pertama:

Artinya: Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan keharaman.


Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia yang

terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan dan memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta
benda.
Kaidah kedua:

Artinya: Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya.

Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi
kepentingan manusia akan sesuatu dengan 4 klasifikasi, yaitu:
1. Darurat
2. Hajah
3. Manfaat
4. Fudu
Kaidah ketiga:

Artinya: Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik mashlahah dan apabila
berlawanan antara yang mafsadah dan mashlahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya.
Kaidah ketujuh:

Artinya: Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan yang lain.
Kaidah keempat:

Artinya: Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya.22
5. Kaidah Kelima
a. Teks Kaidah

22

Lihat Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadair, hal. 120- 123.

10

Artinya: Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.

Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat
baik di dunia Arab maupun dibagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu
masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai
tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat
tersebut.
Kaiai Sahal Mahfudz beliau mengatakan dalam pengantar dalam buku NuansaFiqih
Sosial, bahwa suatu pemikiran tidak akan muncul dari ruang yang hampa. Ia muncul ke bumi
sebagai refleksi dari setting social yang melingkupinya. Sedemikian besar pengaruh social
berpengaruh terhadap pemikiran seseorang, sehingga wajar jika dikatakan bahwa pendapat
atau pemikiran seseorang dan bahkan kebijakan-kebijakan yang lahir dari suatu otoritas politik
merupakan buah dari zamannya.23
Terkait kasus-kasus adat ini sudah banyak ulama yang berhasil merumuskannya, di
antaranya al-Syafii, terkait masalah kadar umur wanita haid, umur balighnya laki-laki dan
perempuan, dan batasan minimal dan maksimal nifas dan thuhr.24
b. Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:


Artinya: Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang maruf(baik). (QS. ).

Berikanlah maaf dan perintahkanlah dengan sesuatu yang baik dan berpalinglah dari orang-orang
bodoh. (QS. Al-Araf: 199)
Sabda Nabi SAW:

Artinya: Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah.25
c.

Pengertian Adah atau uruf


Jumhur ulama mengidentikkan term adah dengan uruf, keduanya mempunyai arti
yang sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya mendefinisikan
adah dengan:
23

Sahal Mahfudz, pengantar Nuansa Fiqih Sosia. Hal. XXIII.


Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, hal. 127.
25
Sulayman bin Dawud, Musnad Abu Dawud al-Thayalisi, tahkik, Muhammad Abdul Muhsin (Hjr li alThabaah, 1999), juz 1, hal. 119.
24

11

Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan
dilakukan secara terus menerus. Sedangkan uruf adalah:
Uruf tidak hanya merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan
sesuatu. Karena itu dalam terminology bahasa Arab antara uruf dan adah tiada beda.
Misalnya uruf / adah adalah menggunakan kalender haid bagi wanita, setiap bulan
seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitungannya ada yang menggunakan
metode tamyiz dan ada juga metode adah (yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan
keluarnya darah tiap bulan).26
d. Syarat diterimanya uruf /adah
Menurut pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.
2.

Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang boleh dikata sudah mendarah
daging pada perilaku masyarakat.

3. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Quran maupun as-Sunnah


4. Tidak mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.27
e.

Kaidah yang berkaitan dengan adah di antaranya:


Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-adah muhkamah adalah sebagai berikut:

1. Kaidah pertama:

Artinya: Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah yang wajib diamalkan.
2. Kaidah kedua:

Artinya: Adat yang dianggap(sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus
menerus berlaku atau berlaku umum.
3. Kaidah ketiga:

Artinya: Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan
dengan yang jarang terjadi.
4. Kaidah keempat:

Artinya: Sesuatu yang telah dikenal karena urf seperti yang disyaratkan dengan suatu
syarat.

26
27

Terkait definisi urf lihat Abdul Aziz Muhmmad Azam, Al-Qawaid al-Fiqhyah, hal.181.
Lihat Formulasi Nalar Fiqih, hal, 283- 285.

12

BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Kaidah asasi dinamakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah
yang ada. Lima kaidah asasi yaitu:
1. Kaidah yang berkaitan dengan niat
a. Teks kaidahnya

Segala perkara tergantung kepada niatnya


b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Quran surah al-Bayyinah ayat 5 dan Hadits Nabi SAW.
2. Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
a. Teks kaidahnya

Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian.


b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu Hadits Nabi
3. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a. Teks kaidahnya

Kesulitan mendatangkan kemudahan.


b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Quran surah al-Baqarah ayat 185 dan Hadits Nabi SAW.
4. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
a. Teks kaidahnya

Kemudaratan harus dihilangkan.


b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Quran surah al-Araf ayat 55 dan Hadits Nabi SAW.
5. Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
a. Teks kaidahnya

Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hokum.


b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Quran surah an-Nisa ayat 19 dan Hadits Nabi SAW

13

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
Abdul Aziz Muhammad Azam, al-Qawaid al-Fiqhiyah. Kairo: Darul Hadist, 2005.
Abdul Haqq dkk, Formulasi Nalar Fiqih. Surabaya: Khalista, 2009
Muhammad bin Mahmud al-Waili, al-Qawid al-Fiqhyah Tarikhuha waAtsaruha fi al-Fiqhi.
ttp, 1987.
Abdul Aziz Muhmmad Azam, Al-Qawaid al-Fiqhyah. Kairo: Dar al-Hadith,2005.
Abdul Aziz Muhmmad Azam, Al-Qawaid al-Fiqhyah. Kairo: Dar al-Hadith,2005.
Yasin al-Fadani, al-Fawaid al-Janyah. Dar al-Mahajjah al-Baidha, 2008.
Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari. Daru Thuq al-Najah, 1422 H.
Al-Suyuthi, al-Asybah wa Al-Nadhair. Kairo: Maktabah al-Tsaqafi, 2007.
Al-Thabary, Tafsir al-Thabari. Muassasah al-Risalah, 2000.
Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim) Bairut: Dar al-Afaq,tt).

14

You might also like