You are on page 1of 495

Narasumber:

Prof. Dr. Jogiyanto H.M.,M.B.A.


Prof. Dr. Suwardjono, M.Sc
Dr. Hani. Handoko, M.B.A.
Dr. B. M. Purwanto, M. B. A.
Dr. Rimawan Pradiptyo, M.Sc
Dr. Tri Widodo, Mec. Dev.
(Kand.) Dr. Kuntari Erimurti, Dra, M.M.
(Kand.) Dr. Gancar Candra Premananto, S.E., M.Si
(Kand.) Dr. Meinarni Asnawi, S.E., M.Si
(Kand.) Dr. Margani Pinasti, S.E., M.Si

11-12 Desember 2009


Auditorium Gedung M.Si dan Doktor
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
 

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr.wb.

Kata syukur pada Tuhan Yang Maha Esa adalah pertama kali kami ucapkan atas
terlaksananya acara kolokium nasional yang mengangkat tema tentang
pengukuran. Tak lupa kami atas nama seluruh panitia juga mengucapkan terima
kasih kepada Pengelola Program Doktor Ilmu-Ilmu Ekonomika dan Bisnis
UGM yang telah mempercayakan kepada kami untuk melaksanakan acara yang
sangat penting bagi pengembangan keilmuan ini.

Pengukuran adalah sebuah mata rantai penting dalam proses pelaksanaan


sebuah riset. Tidak sedikit bias dalam hasil riset yang disebabkan oleh
kegagalan dalam pengukuran variable-variabel yang diteliti. Banyak pertanyaan
yang belum terjawab seputar isu tentang pengukuran. Semoga upaya kami
dengan mengadakan kegiatan kolokium nasional ini mampu memberikan
wadah untuk mendiskusikan berbagai permasalahan pengukuran dalam riset.
Pada akhirnya harapan kami adalah tercipta dinamika dan diskusi untuk
mendorong upaya peningkatkan kontribusi dari riset-riset, khususnya disertasi,
untuk masa mendatang. Tidak kalah penting adalah terjalinnya silaturahmi antar
mahasiswa doktoral maupun diantara seluruh insan akademika sehingga dapat
tercipta atmosphere yang baik untuk bersama memperbaiki kualitas penelitian
di tanah air tercinta.

Tidak ada gading yang tak retak, jika ada kekurangan dalam pelaksanaan acara
Kolokium Program Doktor tentang isu pengukuran ini, kami segenap panitia
memohon maaf dan semoga kegiatan ke depan lebih baik dan bermanfaat.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada seluruh peserta dan pendukung
acara ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan karunia rahmat
kebijaksanaan pada kita semua. Amin

Wassalamualaikum Wr.wb.

Yogyakarta, 4 Desember 2009

Panitia Kolokium

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 i


Kolokium Nasional Program Doktor 2009
 
Daftar Isi

Ilmu Akuntansi
Analisis Keputusan Kepatuhan Pajak: Strategi Audit, Level Audit,
Perceived Probability of Audit dan Pemahaman Etika Pajak (Studi
Eksperimen Laboratorium) 1
Meinarni Asnawi

Pengaruh Pertimbangan Identitas terhadap Kekenduran Anggaran:


Peran Akurasi dan Pengurangan Bias 30
Monika Palupi Murniati

Ilmu Manajemen
Anteseden dan Konsekwensi Etika Kerja Islam 54
Siti Djamilah

Aplikasi Model Risiko Kredit untuk Mengestimasi Harga Premi


Penjaminan Simpanan Wajar (fair) dan Pengujian Moral Hazard 90
Firman Pribadi

Event-Time Approach dan Calendar-Time Approach dalam Mengukur


Kinerja Jangka Panjang IPO 121
Suherman

Karakteristik Inovasi, Pengetahuan, Komunikasi Pemasaran, Persepsi


Risiko Dan Stockout Dalam Keputusan Penundaan Adopsi Inovasi 135
Dyah Sugandini

Model Sikap Konsumen pada Kegiatan Causes-Brand Alliances 170


Singgih Santoso

Measuring the Behavior of individual and Group Performance:


Hierarchical Linier Modelling Approach 204
Setyabudi Indartono

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 ii


Kolokium Nasional Program Doktor 2009
 
Pengembangan dan Validasi Ukuran Iklim Keadilan Organisasional
pada Setting Kelompok Kerja 214
J. Eko Nugroho

Studi Integrasi Pasar Modal Indonesia Dengan Modifikasi Asset


Pricing Cheung & Lee (1993) 243
Ignatius roni setyawan

Ilmu Ekonomi
Dampak Kebijakan Energi Terhadap Perekonomian di Indonesia: Model
Komputasi Keseimbangan Umum 268
Agus Sugiyono

Estimasi Pengaruh Kewirausahaan terhadap Pertumbuhan Ekonomi


Daerah: Pendekatan Teori Modal Kewirausahaan (Studi Kasus
Subosukasraten 1993-2005) 297
Hery Sulistio Jati Nugroho Sriwiyanto

Ketegaran Upah Nominal Pekerja Produksi dan Faktor-faktor yang


Mempengaruhi (Studi Kasus: Industri Kimia di Indonesia 1997-2005) 327
Joko Susanto

Permintaan Energi Listrik Rumah Tangga (Studi Kasus pada Pengguna


Kelompok Rumah Tangga Listrik PT PLN (Persero) di Kota Medan) 362
Tongam Sihol Nababan

Makalah Seminar
Social Desirability Bias: Apa, Penyebab, Konsekuensi dan Solusi? 410
Gancar Candra Premananto

Spesifikasi Model Pengukuran Formatif vs Reflektif untuk Konstruk


Laten Need for Closure 423
Kuntari Erimurti

Pengukuran Konstruk Kualitas Laba dan Isu Pengukuran Fair Value


Dalam Akuntansi 460
Margani Pinasti dan Meinarni Asnawi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 iii


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ANALISIS KEPUTUSAN KEPATUHAN PAJAK: STRATEGI AUDIT,


LEVEL AUDIT, PERCEIVED PROBABILITY OF AUDIT
DAN PEMAHAMAN ETIKA PAJAK
(Studi Eksperimen Laboratorium)

Meinarni Asnawi∗
Prof.Dr. Zaki Baridwan, Dr. Supriyadi .M.Sc, Dr. Ertambang.M.Sc.∗∗

Abstract
This paper will examine what experiments on tax compliance decisions have
revealed about compliance behavior. The development of tax decision models has
focused on economic factors (audit strategy, audit level and perceived probability of
audit) and the personality or behavioral factors (tax ethical beliefs) traits of taxpayer
affecting tax compliance.
We will use experiment laboratory method for this research. We plan 150
respondents participation in this experiment from the magister sains and doctoral
program and accounting magister of FEB UGM Yogyakarta. Experiment will use
standard of fieldwork media for software and tax film. The six times experiment
implementable in the computer laboratory magister sains and doctoral program FEB
UGM.
We beliefs that proposed model provides an important contribution by
providing a framework that outlines the routes which audit strategy, audit level
perceived probability of audit and tax ethical beliefs impacts to tax compliance
decisions.

Keywords: audit strategy, audit level, perceived probability of audit, tax ethical beliefs
and tax compliance decisions


Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Akuntansi FEB UGM
Yogyakarta dan Dosen pada Fakultas Ekonomi , Jurusan Akuntansi Univ.
Cenderawasih Jayapura Papua
∗∗
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 1
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

PENDAHULUAN

Latar belakang
Ide riset ini muncul sebagai akibat adanya peningkatan kebutuhan
pelayanan publik yang memadai serta peningkatan kesejahteraan masyarakat
melalui penyediaan sarana dan prasarana yang layak. Konsekuensi logis dari
kondisi di atas adalah pemerintah harus meningkatkan pendapatan negara. Salah
satu medianya adalah melalui peningkatan penerimaan pajak, karena
pembiayaan melalui utang akan menimbulkan biaya baru yang harus
ditanggung pemerintah.Potensi pajak di Indonesia yang dapat dipungut dari
masyarakat masih memiliki peluang yang sangat besar, karena dari 222 juta
penduduk Indonesia, jumlah wajib pajak (WP) pribadi masih belum mencapai
13% WP.
Adanya tuntutan pada APBN yang membebani penerimaan dari sektor
pajak hingga mencapai ± 90 % bukan hal yang mudah bagi Dirjen Pajak sebagai
lembaga yang berwenang dalam penagihan pajak, apalagi pertumbuhan
ekonomi hanya mencapai sekitar 5%. Walaupun ada peningkatan target
penerimaan dari sektor pajak namun pemerintah tidak berencana menaikkan
tarif pajak. Sebaliknya pemerintah menurunkan tarif pajak serta berupaya
melakukan peningkatan penerimaan pajak dengan meningkatkan kepatuhan
wajib pajak dari 30% menjadi 40% dan pemberlakuan ekstensifikasi pajak
(Gunadi, 2006).
Kepatuhan wajib pajak dapat ditingkatkan melalui beberapa aspek
psikologis dan ekonomi. Beberapa riset yang menggunakan indikator psikologis
seperti sikap, etika, moral yang berkaitan dengan kepatuhan pajak telah diteliti
oleh Hanno dan Violette, (1996), Milliron (1985), Milliron dkk, (1988). Alm
(1998) mengklasifikasi kepatuhan pajak dalam dua katagori yaitu berdasarkan
pendekatan internal norm (moral behavior) dan external norm (government
decision).
Berbagai uraian di atas mengungkapkan bahwa upaya peningkatan
kepatuhan pajak merupakan salah satu alternatif peningkatan pendapatan
negara. Isu perilaku kepatuhan pajak tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan data sekunder, karena tidak dapat mengamati secara langsung
perilaku wajib pajak. Untuk itu riset ini menggunakan pendekatan eksperimen
untuk melihat perubahan perilaku setelah adanya perlakuan yang diberikan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 2


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dengan mengacu pada 4 masalah utama yaitu: (1) Apakah Strategi audit, level
audit dan pemahaman etika pajak individu berpengaruh dalam peningkatan
keputusan kepatuhan pajak? (2) Apakah strategi audit dan perceived probability
of audit mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak? (3)Apakah level audit dan
perceived probability of audit mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak? (4)
Apakah pemahaman etika pajak individu memoderasi hubungan antara
perceived probability of audit dan keputusan kepatuhan pajak ?
Riset ini ingin menunjukkan bahwa isu perilaku individual dari sudut
pandang psikologi (etika) dan variabel ekonomi seperti strategi audit, level audit
dan perceived probability of audit tidak dapat diabaikan dalam upaya
peningkatan kepatuhan wajib pajak. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan
bahwa tujuan khusus dari riset ini adalah: (1) Menginvestigasi apakah strategi
audit, level audit (audit rate) dan pemahaman etika pajak individu berpengaruh
dalam peningkatan keputusan kepatuhan pajak. (2) Menginvestigasi apakah
strategi audit dan perceived probability of audit mempengaruhi keputusan
kepatuhan pajak. (3) Membuktikan bahwa tingkat/level audit dan perceived
probability of audit mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak. (4)
Membuktikan apakah pemahaman etika pajak memoderasi hubungan antara
perceived probability of audit dan keputusan kepatuhan pajak.
Hasil riset ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pemerintah
dalam proses pembuatan peraturan pajak agar tidak hanya dilandaskan pada
faktor ekonomi semata tetapi juga perlu mempertimbangkan faktor psikologis
wajib pajak. Selain itu software pajak yang dibuat untuk tritmen dapat
digunakan untuk simulasi dalam proses pembelajaran pajak. Video Etika
Pemahaman Pajak juga dapat digunakan untuk meningkatkan keputusan
kepatuhan pajak dari wajib pajak.

Kerangka Pemikiran
Fokus riset ini adalah mencoba menguji efek perilaku kepatuhan pajak.
Riset sebelumnya (Asnawi, 2006) hanya menyimpulkan berbagai faktor yang
diprediksi dapat meningkatkan kepatuhan pajak. Hasilnya menyimpulkan
bahwa terdapat 7 faktor yang dapat membuat wajib pajak mau membayar pajak
atau sebaliknya tidak mau membayar yaitu strategi audit, probabilitas audit,
motivasi (harapan dan keadilan), kompleksitas peraturan, norma-norma sosial,
dan etika pajak.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 3


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih rendah. Data


menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak individu/perorangan di Indonesia
masih jauh tertinggal dari negara-negara Asia lainnya seperti India. Walaupun
pendapatan perkapita India lebih rendah (US $390) dibandingkan dengan
Indonesia (US$1,110) tetapi India ternyata mampu mencapai tingkat kepatuhan
2,5% dari populasi yang terdaftar sebagai wajib pajak sedangkan di Indonesia
hanya sekitar 0.392 % (Uppal, 2005).
Data di atas menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak masih perlu
ditingkatkan. Selama ini penghindaran pajak diduga lebih banyak berasal dari
para pedagang kecil dan sekelompok masyarakat berpendapatan menengah,
namun kenyataannya terdapat juga orang kaya dalam hal ini legislator, para
menteri dan pejabat tinggi pemerintahan juga melakukan ketidakpatuhan yang
disengaja melalui penghindaran pajak (Direktur Jenderal Pajak, 2000).
Mengapa ketidakpatuhan terjadi? ketidakpatuhan dapat disebabkan
tidak adanya manfaat langsung yang diterima wajib pajak atas pajak yang
dibayarkan. Sehingga harapan dari para wajib pajak atas apa yang telah
mereka bayarkan tidak dapat dirasakan dalam bentuk pelayanan publik yang
memadai. Selain itu ketidakpatuhan pajak juga bisa terjadi karena kompleksnya
peraturan pajak serta terjadi negosiasi yang dapat dilakukan antara Wajib Pajak
dan petugas pajak.
Proses individu untuk memilih patuh atau tidak patuh merupakan suatu
perilaku kognitif yang dikontrol dalam individu itu sendiri. Pada saat membuat
keputusan kepatuhan, wajib pajak akan memilih patuh jika mereka memperoleh
kepercayaan tentang hasil dan evaluasi yang diperoleh dari kepatuhan yang
mereka lakukan. Sebaliknya akan menunjukkan ketidakpatuhan jika serta
merasa pesimis karena tidak adanya sistem kontrol yang baik dari sistem pajak
yang berlaku (Alm, 1998).
Pendekatan ekpektasi utilitas juga dapat menjelaskan bahwa seseorang
yang memiliki sejumlah pendapatan tetap dan diperhadapkan dengan
kesempatan untuk melakukan self assessment akan memiliki kemungkinan
untuk membuat under report (laporan pendapatan lebih rendah dari yang
seharusnya) sehingga terdapat kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan pajak
(Allingham, 1972). Dengan demikian prinsip self-assesment system yang
diterapkan memiliki potensi untuk terjadinya ketidakpatuhan pajak. Prinsip ini
selain memiliki kelebihan juga memiliki kelemahan karena dengan memberikan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 4


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan


kewajiban pajaknya memungkinkan potensi timbulnya perilaku ketidakpatuhan.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa seseorang yang diberi
kesempatan untuk melaporkan sendiri jumlah pendapatannya akan memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk menyembunyikan informasi mengenai
jumlah pendapatan yang seharusnya disampaikan dalam laporan pendapatan
kena pajaknya. Tujuannya adalah ingin memaksimisasi utilitas dirinya dan
menghindar dari pembayaran pajak yang seharusnya. Untuk itu seorang
individu memerlukan suatu sistem pemeriksaan yang memadai dan tidak
bersifat interograsi atas apa yang dilaporkan (self assesment) dari pendapatan
yang diterimanya.
Dengan demikian asumsi perilaku bounded rationality dan perilaku
opportunistik yang dikemukakan oleh Williamson (2000) bukanlah tanpa
alasan, self assesment system yang diterapkan dapat memicu terjadinya
asimetris informasi di antara wajib pajak dan prinsipal (Direkorat Jenderal
Pajak) karena dapat memicu terjadinya moral hazard dan adverse selection.
Berbagai temuan di atas menunjukkan bahwa isu perilaku individual
dari sudut pandang psikologi (etika dan norma sosial) maupun variabel ekonomi
yang berkaitan dengan berbagai peraturan pajak seperti strategi audit, level
audit dan perceived probability of audit tidak dapat diabaikan dalam upaya
peningkatan kepatuhan wajib pajak. Pentingnya riset ini adalah untuk
menunjukkan bahwa berbagai peraturan perpajakan yang diberlakukan
sebaiknya mempertimbangkan aspek psikologis wajib pajak, mengingat
kepatuhan pajak dapat digunakan untuk mengestimasi determinan moral wajib
pajak.
Selain itu desain eksperimen yang dipilih dalam studi ini merupakan
suatu pendekatan yang didesain khusus dengan memungkinkan peneliti untuk
memanipulasi variabel-variabel tertentu, dan mengisolasi hubungan kausalitas
tersebut dari berbagai pengaruh variabel penganggu, yang pada dasarnya tidak
mungkin dapat dicapai dengan observasi terhadap data masa lalu atau
penggunaan metode survei. Studi eksperimental terhadap topik ini belum pernah
dilakukan di Indonesia, sehingga menjadi daya tarik yang lebih besar untuk
dilakukan, karena riset ini mencoba mngidentifikasi perubahan perilaku
individu dalam proses pembuatan keputusan kepatuhan pajak.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 5


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

STRATEGIA
UDIT
PERCEIVED KEPUTUSAN
PROBABILITY KEPATUHAN
OF AUDIT PAJAK

AUDIT RATE

PEMAHAMAN
ETIKA PAJAK

Gambar. 1 Model Keputusan Kepatuhan Pajak

LANDASAN TEORI
Berbagai teori yang menjelaskan tentang keputusan kepatuhan pajak
banyak dihubungkan dengan pendekatan ekonomi tradisional dan didasarkan
pada teori utilitas telah valid. Walaupun terdapat berbagai penjelasan tentang
mengapa para pembayar pajak patuh atau tidak patuh terhadap peraturan-
peraturan pajak, namun penjelasan secara ekonomis tidaklah cukup dan lengkap
dalam menjelaskan keputusan kepatuhan pajak.
Riset ini mencoba untuk mengkombinasikan berbagai faktor ekonomi
seperti strategi audit, level audit, perceived probability of audit (probabilitas
audit cerapan) dan faktor psikologi yaitu pemahaman etika pajak dalam suatu
pengujian rasionalitas keputusan kepatuhan pajak. Berikut ini penjelasan dari
setiap variabel yang digunakan dan yang dihipotesiskan akan dijelaskan dengan
terperinci.

Keputusan Kepatuhan Pajak


Ketidakpatuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya
adalah dengan sengaja mengurangi jumlah kewajiban pajak (Hyman, 1993). Hal
ini dapat dilakukan dengan cara memanipulasi laporan keuangan yang akan
digunakan untuk kepentingan pajak. Atas dasar inilah keputusan kepatuhan
pajak atau ketidakpatuhan dapat dipengaruhi oleh faktor internal individu
(psikologis) dan faktor eksternal individu atau dalam beberapa riset disebut
dengan faktor non-ekonomi dan ekonomi (Alm, 1995).
Beberapa studi yang telah dikemukakan sebelumnya membuktikan
bahwa kepatuhan pajak tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi
saja (Allingham, 1972; Yithaki,1974 ;Cowell,1988), melainkan juga faktor non-

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 6


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ekonomi. Studi yang menginvestagi perilaku individu melalui eksperimen


laboratorium untuk melihat pengaruh non-ekonomi (individu) terhadap
kepatuhan (Alm,1998;1995) (Ghosh dan Terry, 1996), juga membuktikan
bahwa faktor non-ekonomi seperti rasa keadilan dan standar etika merupakan
faktor yang tidak dapat diabaikan dalam pertimbangan kepatuhan pajak.
Sejak ditemukannya bukti-bukti empiris yang terkait dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi kepatuhan, maka terdapat banyak riset yang mulai
mendasarkan risetnya pada beberapa model yang dikemukakan sebagai
penjelasan terjadinya ketidakpatuhan pajak, antara lain dilakukan oleh (Milliron
dan Daniel , 1988) yang mengembangkan dua model pengujian kepatuhan yaitu
economic deterence model dan fiscal psychology model dan membuktikan
bahwa fiscal psychology model merupakan kunci untuk meningkatkan
kepatuhan pajak.
Sour (2001) mengembangkan model Allingham dan Sandmo (1972)
dengan menggunakan metode eksperimen untuk melihat perilaku kepatuhan
pajak di tiga negara yaitu meksiko dan kemudian dibandingkan dengan Spanyol
dan Amerika Serikat. Hasil studinya menyimpulkan bahwa keputusan yang
berkaitan dengan kepatuhan membayar pajak adalah kejujuran, rasa malu, dan
keadilan, dan pada sisi lain diasumsikan bahwa pemberian insentif atau reward
terhadap perilaku positif pembayar pajak akan meningkatkan kepatuhan wajib
pajak dalam membayar pajak.
Riset kepatuhan pajak di Indonesia yang mengukur tingkat kepatuhan
dengan rasio dari wajib pajak yang mengisi laporan pajak dengan jumlah wajib
pajak potensial yang terdaftar, menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak di
Indonesia hanya sebesar 2.5 % dari populasi yang mendaftarkan diri sebagai
wajib pajak (Uppal, 2005), konsekuensi rendahnya kepatuhan pajak dapat
berdampak pada hilangnya potensi pendapatan, sistem perpajakan menjadi
kurang prospektif dan tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan.
Penelitian lainnya yang berkaitan dengan kepatuhan pajak diteliti oleh
Makhfatih (2005) yang berfokus pada penggelapan pajak membuktikan bahwa
perilaku penggelapan pajak dipengaruhi oleh probabilita terdeteksi, pinalti, tarif
pajak, negosiasi dan insentif, riset ini lebih menekankan faktor ekonomi dalam
kepatuhan pajak.
Dari berbagai hasil riset di atas dapat dikatakan bahwa terdapat banyak
kasus yang berkaitan dengan kepatuhan atau sebaliknya ketidakpatuhan pajak.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 7


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ketidakpatuhan pajak dapat dilakukan dengan cara tidak melaporkan atau mela-
porkan namun tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya atas pendapatan yang
bisa dikenai pajak. Hal ini bisa saja terjadi karena perhitungan pajak sampai saat
ini masih menggunakan self-assesment system. Sistem ini memungkinkan
seorang wajib pajak dapat menghitung dan menentukan sendiri besarnya
pendapatan yang akan dilaporkan sebagai pendapatan kena pajak. Dampaknya
bisa terjadi informasi asimetris antara lembaga pajak dan wajib pajak dan dapat
memunculkan adanya moral hazard.

Strategi Audit
Beberapa riset awal yang berkaitan dengan kepatuhan pajak pada
dasarnya menggambarkan model kepatuhan pajak sebagai suatu permainan
(simulasi) antara wajib pajak dan insititusi pajak, karena di satu sisi kepatuhan
pajak diperhadapkan dengan maksimisasi kesejahteraan wajib pajak dan di
pihak lain institusi berupaya untuk memaksimisasi penerimaan pemerintah
melalui strategi audit yang tepat (Beck; 1989, Reiganum; 1985).
Alm dkk. (1993) mengemukakan bahwa terdapat beberapa cara atau
strategi untuk seleksi audit pajak yaitu dengan random audit rule dan fixed audit
rule. Beberapa riset membuktikan bahwa strategi audit yang bersifat random
akan meningkatkan kepatuhan pajak karena wajib pajak yang berada pada
kondisi ketidakpastian akan cenderung untuk menghindari risiko pinalti (Ghosh
dan Terry;1996, Beck;1991, Jackson;1986).
Untuk lebih memahami strategi audit dengan pendekatan random. Alm
dkk. (1993) menggunakan economics-of-crime methodology yang pertama kali
dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972). Mereka menemukan bahwa
individu yang diasumsikan menerima pendapatan tetap akan menggunakan
kewenangan pajak untuk melakukan underreported income dengan cara
memaksimisasi fungsi utilitasnya dan menanggung akibatnya jika
penghindaran pajaknya terdeteksi dan dikenakan pinalti.
Berbagai hasil riset di atas memperjelas bahwa asumsi informasi
assimetris yang terjadi dalam konteks hubungan antara Dirjen Pajak sebagai
prinsipal dan wajib pajak sebagai agen seperti yang dijelaskan dalam teori
keagenan memungkinkan perlu adanya monitoring. Tujuan dilakukan
monitoring adalah untuk melihat dengan lebih akurat apakah wajib pajak
melakukan kepatuhan ataukah sebaliknya.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 8


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Monitoring dalam konteks pajak identik dengan pemeriksaan yang


dilakukan oleh Dirjen pajak terhadap wajib pajak. Tujuan dilakukan
pemeriksaan adalah untuk menghindari kemungkinan terjadinya moral hazard
atau adverse selection yang bisa saja dilakukan oleh wajib pajak dalam
pengisian SPT. Dengan demikian strategi pemeriksaan yang tepat menjadi hal
yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kapan dan mengapa seorang
WP perlu diperiksa.
Beberapa hasil riset di atas juga menyimpulkan bahwa strategi audit
yang digunakan adalah untuk meningkatkan probabilitas terdeteksi melalui
audit yang dilakukan secara random dan meningkatkan level audit merupakan
faktor penting untuk memprediksi perilaku individu terhadap peningkatan
kepatuhan pajak.
Dari berbagai penjelasan di atas maka hipotesis yang akan diuji adalah:
H1a. Strategi audit random berpengaruh terhadap peningkatan keputusan
kepatuhan pajak
H1b. Strategi audit fixed berpengaruh terhadap peningkatan keputusan
kepatuhan pajak
H1c. Strategy audit random lebih berpengaruh terhadap peningkatan keputusan
kepatuhan pajak dibandingkan dengan strategi audit fixed

Level Audit
Teori standar tentang kepatuhan pajak banyak didasarkan pada hasil
riset Allingham dan Sandmo (1972). Individu diasumsikan memiliki jumlah
yang telah ditetapkan terhadap pendapatannya dan memiliki kewenangan untuk
memutuskan besarnya pendapatan yang akan dilaporkan sebagai pendapatn
kena pajak dengan tujuan untuk maksimisasi utilitasnya.
Laporan pendapatan tidak kena pajak akan semakin berkurang jika
individu (taxpayer) diperhadapkan dengan level audit yang tinggi atau dengan
kata lain kepatuhan pajak meningkat jika level audit meningkat. Karena dengan
semakin tinggi level audit maka semakin besar pula kemungkinan bagi WP
tersebut di periksa sehingga tingkat kepastian untuk diperiksa semakin tinggi
pula dan berdampak pada sikap WP yang akan menjadi semakin konservatif.
Friedland dan Rutenberg (1978) menemukan bahwa setiap penurunan
level audit pada saat strategi audit random akan berdampak pada probabilita
terjadi peningkatan under reporting dalam laporan pendapatan kena pajak. Riset

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 9


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

lainnya yang juga menemukan hasil yang sama yaitu semakin tinggi level audit
pada saat strategi audit random akan mengarah pada peningkatan kepatuhan
pajak dilakukan oleh Beck (1991), Alm (1991), Alm dkk. (1992a) dan Alm
dkk. (1993).
Temuan lain dari Alm dkk. (1992b) berbeda dengan riset sebelumnya.
Mereka menemukan bahwa dampak dari level audit sangat kecil dan tidak
linear, sehingga efek penghindaran pajak dari level audit yang tinggi secara
perlahan-lahan dapat hilang. Namun mereka juga menegaskan bahwa pembayar
pajak akan lebih patuh pada saat terdapat adanya kecenderungan diaudit
(perasaan akan diaudit). Dengan kata lain kepatuhan pajak lebih dapat
diprediksi melalui perceived probability of audit dibandingkan dengan yang
dijelaskan oleh teori utilitas.
Hasil temuan Alm dkk. (1992b) memperkuat temuan Spicer dan Hero
(1985) dan Robben (1987) yang menyimpulkan bahwa individu yang
laporannya diaudit akan melaporkan pendapatannya dengan lebih jujur setelah
diaudit dibandingkan dengan individual yang tidak diaudit. Riset yang
dilakukan oleh Dubin dkk.(1990) mencoba mengestimasi dampak level audit
yang tinggi terhadap perilaku kepatuhan pajak menyimpulkan bahwa penurunan
level audit secara signifikan berdampak pada penurunan pengumpulan pajak
pendapatan.
Hasil riset Dubin (2004) memperkuat hasil temuan sebelumnya bahwa
penurunan level audit akan berdampak pada penurunan keputusan kepatuhan
pajak. Upaya untuk menguji secara langsung efek deterrence dari audit juga
dilakukan oleh Slemrod dkk. (2001) dengan menggunakan 2000 pembayar
pajak sebagai sampel. Tetapi hasilnya tidak memberikan informasi aktual
tentang kepatuhan pajak individu karena dalam eksperimen yang dilakukan
hanya menggunakan data pajak yang dilaporkan dan bukan data pajak yang
sebenarnya.
Simpulan dari hasil riset Dubin (2004) dan Slemrod dkk. (2001)
meyatakan bahwa investigasi terhadap pelaporan pendapatan kena pajak oleh
pembayar pajak merupakan pengukuran tidak langsung terhadap kepatuhan
pajak karena dapat diprediksi melalui tingginya probabilitas level audit yang
akan dikenakan.
Dari berbagai penjelasan di atas maka hipotesis yang akan diuji dalam riset ini
adalah:

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 10


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

H2a Level audit berpengaruh dalam peningkatan keputusan kepatuhan pajak


H2b Semakin tinggi level audit berpengaruh pada peningkatan keputusan
kepatuhan pajak

Perceived probability of audit (Probabilitas audit cerapan)


Sistem self assessment yang diterapkan dalam perhitungan pajak
individu maupun badan memungkinkan terjadinya ketidakpatuhan pajak.
Seseorang dapat melaporkan lebih rendah atau tidak melaporkan pendapatan
kena pajaknya yang seharusnya dilaporkan apalagi jika individu tersebut merasa
bahwa laporan pen-dapatan yang diajukan tidak akan diaudit karena telah
memenuhi standar pelaporan pajak yang ditetapkan.
Beberapa bukti riset menjelaskan bahwa pengaruh probabilita audit
yang diterima dengan kepatuhan pajak. Milliron dan Toy (1988)
menginvestigasi tujuh faktor kepatuhan pajak yang terdiri dari deduction
permitted, IRS information services, withholding and information reporting, the
probability of audit, preparer responsibilities, tax rates and taxpayer penalties.
Variabel-variabel di atas kemudian dikelompokkan dalam dua pendekatan yaitu
economic deterrence model and psychology paradigm. Hasil riset mereka
menyimpulkan bahwa probability of audit merupakan salah faktor penentu
keputusan kepatuhan pajak.
Berbeda dengan Milliron dkk. (1988), riset Alm (1988) terkait dengan
perceived probability of audit didasarkan pada model hubungan antara principal
(institusi pajak) dan agent (pembayar pajak). Hubungan ini menghasilkan suatu
aturan yang berkaitan dengan seleksi audit. Jika individu melaporkan
pendapatan yang diterima lebih rendah dari batas minimum atau ”cutoff level”
maka akan memiliki kemungkinan diaudit lebih besar dan sebaliknya.
Penjelasan di atas mengasumsikan bahwa pembayar pajak (agent) dan
prinsipal akan berinteraksi dalam suatu permainan dimana insititusi pajak akan
mempelajari bagaimana para pembayar pajak menentukan besarnya pajak yang
akan dibayarkan melalui self-assesment pelaporan pajak dan dipihak lain para
pembayar pajak melihat kecenderungan probabilitas audit yang akan diterima
sebagai kebijakan pembayar pajak untuk memilih diaudit atau tidak atas laporan
yang dibuat oleh mereka.
Untuk memberikan pemahaman bagaimana cara individu menerima
suatu probabilita dijelaskan dengan rinci oleh Kahneman dan Tversky (1979).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 11


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Mereka membuktikan secara psikologi bahwa individu telah menyadari bahwa


probabilita mereka untuk diaudit adalah rendah sehingga secara sistimatis
individu bisa saja merasa bahwa probabilita audit mereka lebih tinggi
dibandingkan probabilita aktualnya.
Penjelasan di atas membuktikan bahwa individu akan membuat
pelaporan pendapatan yang memungkinkannya untuk tidak di audit dengan
mempertimbangkan berapa besar kemungkinan mereka akan diaudit. Namun hal
ini akan berbeda jika individu tidak mengetahui dengan pasti kapan atau
mengapa mereka diaudit. Dengan metode random WP akan lebih bersikap
konservatif dalam membuat keputusan pajaknya.
Hasil temuan ini sejalan dengan temuan Ghosh dan Terry (1996) yang
membuktikan bahwa semakin tinggi perceived probability of audit semakin
rendah tingkat ketidakpatuhan pajak. Analisis yang dilakukan Beck dan Jung
(1991) juga membuktikan bahwa pendapatan yang dilaporkan mengalami
peningkatan pada saat adanya peningkatan probabilita yang diterima dan tarif
pinalti.
Jackson dan Milliron (1986) dan Beck dkk. (1989) juga menemukan
hasil yang sama. Mereka menemukan bahwa pembayar pajak yang berada di
bawah kondisi ketidapastian atas probabilitas audit yang diterima akan lebih
cenderung konservatis dan menjauhi ketidakpatuhan.
Dari berbagai penjelasan di atas maka hipotesis yang akan diuji dalam
riset ini adalah:
H3a Perceived probability of audit berhubungan positif dengan perilaku
keputusan kepatuhan pajak
H3b Melalui perceived probability of audit strategi audit random berpengaruh
positif dalam meningkatkan keputusan kepatuhan pajak
H3c Melalui perceived probability of audit strategi audit fixed berpengaruh
positif dalam meningkatkan keputusan kepatuhan pajak
H3d Melalui perceived probability of audit peningkatan level audit berpengaruh
positif dalam meningkatkan keputusan kepatuhan pajak

Pemahaman Etika Pajak


Secara umum pemahaman terhadap etika dapat diartikan sebagai suatu
refleksi dari suatu kumpulan kepercayaan yang terdapat dalam diri individu
tentang benar dan salah. Sedangkan pengertian secara kontekstual, pemahaman

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 12


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

etika merupakan kepercayaan yang ada dalam diri individu yang merefleksikan
kepercayaan etika yang lebih spesifik tentang dan dalam konteks perilaku
kepatuhan pajak (Henderson; 2005).
Riset awal yang menguji peran etika dalam kepatuhan pajak diteliti oleh
Schwartz dan Orleans (1967) yang berfokus pada aspek komitmen sosial
terhadap kepatuhan pajak. Jackson dan Milliron (1986) selanjutnya
mengembangkan riset ini dengan mencoba mendefenisikan etika dalam dua
pengukuran yaitu orientasi etika dan evaluasi etika.
Orientasi etika mengarah pada pengertian etika secara umum atau lebih
dikaitkan dengan teori–teori psikologi tentang konsistensi antara tindakan dan
kepercayaan yang dimiliki (Lindzey; 1985). Sedangkan pengertian evaluasi
etika lebih terfokus pada pengertian etika secara kontekstual yaitu
menghubungkan sikap individu dan kepercayaan yang bisa saja berbeda
tergantung dari situasi yang dihadapi (misalnya ketidakpatuhan pajak dapat
dibedakan dengan bentuk kriminal lainnya).
Grasmick dan Green (1980), Grasmick dan Scott (1982), Kaplan dan
Reckers (1985) serta Reckers dkk. (1994), mendefinisikan etika dalam konteks
perilaku ketidakpatuhan pajak sebagai sesuatu yang secara moral adalah salah
atau tidak bermoral. Hasil riset mereka menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif antara etika dan kepatuhan pajak, sedangkan riset yang menunjukkan
hasil negatif ditunjukkan oleh Webley dan Eidjar (2001).
Riset yang dilakukan oleh Ghosh and Terry (1996) mendefinisikan
etika sebagai perasaan apakah seseorang akan melakukan manipulasi untuk
mencapai tujuannya yang dalam hal ini dikontekskan sebagai ketidakpatuhan
pajak yang disengaja membuktikan bahwa seseorang yang memiliki standar
etika yang tinggi serta memiliki kemungkinan diaudit akan memiliki
ketidakpatuhan yang rendah dan sebaliknya.
Riset yang menggunakan etika untuk memprediksi kepatuhan pajak
secara spesifik dilakukan oleh Henderson (2005) yang menginvestigasi effek
dari orientasi etika dan evaluasi etika membuktikan bahwa orientasi etika
mempengaruhi etika evaluasi dan selanjutnya secara positif mempengaruhi
kepatuhan pajak. Riset ini mencoba membangun suatu model yang
menggambarkan hubungan langsung maupun tidak langsung antara orientasi
etika, evaluasi etika dan kepatuhan pajak. Dari penjelasan di atas menunjukkan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 13


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

bahwa pada dasarnya perilaku individu berperan dalam menentukan keputusan


yang akan diambil berkaitan dengan kepatuhan pajak.
Lembaga pajak secara sistimatik dapat mempengaruhi moral atau etika
pajak sehingga para pembayar pajak secara sukarela bersedia membayar pajak.
Pada dasarnya terdapat kontrak psikologis antara pembayar pajak dan lembaga
pajak dalam hal menetapkan perubahan fiskal tercakup didalamnya loyalti dan
etika antara pihak-pihak yang melakukan kontrak Feld dan Frey (2005).
Teori etika seperti teori teological memberikan pemahaman mendasar
tentang bagaimana individu membuat keputusan dan menyadari dengan
sepenuhnya atas setiap konsekuensi yang akan diterima dari setiap keputusan
yang dibuatnya. Dengan demikian pemahaman ini sesuai dengan keputusan
individu yang berkaitan dengan keputusan kepatuhan pajak, karena setiap
keputusan yang akan diambilnya baik patuh atau tidak memiliki konsekuensi
yang harus diterima.
Walaupun terdapat bukti-bukti tentang hubungan antara pemahaman
etika dan perilaku kepatuhan pajak namun masih diperlukan suatu investigasi
yang lebih mendalam antara hubungan antara evaluasi etika atau pemahaman
etika dengan keputusan kepatuhan pajak. Dalam konteks kepatuhan pajak, etika
evaluasi di bagi dalam tiga dimensi yaitu moral equity, relativism,
contractualism, atau yang disebut dengan multi-dimensional ethics scale (MES).
Pengukuran MES pada awalnya digunakan oleh Reidenbach (1988)
dengan setting riset pemasaran. Perkembangan selanjutnya, Flory (1992)
menggunakan MES dalam setting akuntansi, risetnya menguji judgment dari
para akuntan manajemen dan membuktikan bahwa dimensi MES secara
signifikan positif dihubungkan dengan intensions behavioral.
MES juga digunakan oleh Henderson (2005) dan membuktikan bahwa MES
memiliki potensi untuk memberikan bukti terhadap keputusan kepatuhan pajak.
Hal ini ditunjukkan dalam hasil risetnya yang membuktikan adanya hubungan
positif dan signifikan antara evaluasi etika dan kepatuhan pajak.
Shaub (1994) mengungkapkan bahwa penggunaan pengukuran MES
dalam mengukur variabel etika lebih baik dibandingkan pengukuran lainnya
(seperti defining issues test atau ethics general) karena MES secara speseifik
dapat mengidentifikasi rasionalitas dibalik alasan moral dan memberikan
pemahaman mengapa responden meyakini tindakan tertentu sebagai tindakan
etis. Selain itu MES dianggap mampu menguji orientasi etika dari dari

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 14


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

beberapa konstruk moral seperti justice, deontologi, relativism, dan egoism.


(Cohen 1998).
Dari berbagai hasil riset di atas maka hipotesis yang akan diuji adalah:
H4a. Pemahaman Etika Pajak berpengaruh terhadap peningkatan keputusan
kepatuhan pajak
H4b. Pemahaman etika pajak memoderasi hubungan antara perceived
probability of audit dan keputusan kepatuhan pajak sebagai akibat adanya
strategi audit random
H4c. Pemahaman etika pajak memoderasi hubungan antara perceived
probability of audit dan keputusan kepatuhan pajak sebagai akibat adanya
strategi audit fixed

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian tentang kepatuhan pajak dapat dilihat dari dua pendekatan
yaitu pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi (psikologi). Riset ini
mencoba untuk mengungkapkan pengaruh kedua pendekatan tersebut terhadap
kebijakan kepatuhan pajak. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi kembali
atau memperkuat beberapa teori keputusan yang telah ada serta memberikan
bukti empiris untuk memperjelas temuan riset sebelumnya.

Definisi Variabel
Untuk mempermudah pemahaman tentang berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap keputusan kepatuhan pajak yang digunakan dalam riset
ini, maka berikut ini diberikan definisi yang berhubungan dengan variabel-
variabel riset tersebut:
1. Keputusan kepatuhan pajak, yaitu keputusan etis yang dibuat oleh
pembayar pajak (wajib pajak/fiskus) untuk taat pada peraturan-peraturan
pajak yang berlaku dan yang dikenakan terhadap pendapatan fiskus
sehubungan dengan pelaporan pendapatan kena pajak yang dilaporkan di
mana fiskus berdomisili.
2. Perceived probability of audit yaitu perasaan pembayar pajak (fiskus)
bahwa pelaporan pendapatan kena pajak yang dilaporkan memiliki
kemungkinan untuk diaudit.
3. Strategi audit pajak yaitu strategi audit pajak yang dapat berbentuk random
atau tetap (fixed) yang ditentukan oleh institusi pajak untuk memeriksa

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 15


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kebenaran dari setiap laporan pendapatan kena pajak yang dilaporkan oleh
individu pembayar pajak.
- Strategi audit random dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk
pemeriksaan wajib pajak dengan kemungkinan semua wajib pajak
individu akan diaudit.
- Strategi audit tetap dapat didefinisikan sebagai bahwa wajib pajak
memiliki kemungkinan di audit jika membayar pajak di bawah standar
minimal pajak (sesuai UU pajak penghasilan individu) yang seharusnya
dibayarkan.
4. Tingkat/level audit didefinisikan sebagai besarnya presentasi pemeriksaan
terhadap wajib pajak.
5. Pemahaman etika pajak didefinisikan dalam bentuk pemahaman terhadap
etika pajak yang merefleksikan perilaku kepatuhan pajak dari individu
terhadap peraturan-peraturan dan undang-undang perpajakan yang berlaku
atau dengan kata lain merepresentasikan etika individu yang spesifik
berkaitan dengan kepatuhan pajak.

Pengukuran Variabel
1. Strategi audit merupakan tritmen dalam bentuk random dan fixed yang
diberikan kepada partisipan. Untuk strategi random partisipan akan
diberitahu bahwa mereka memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih
(random) dalam pemeriksaan (diaudit) laporan pajak mereka. Sedangkan
untuk strategi fixed, partisipan yang melaporkan jumlah pendapatan kena
pajak di bawah standar atau “cut off” yang telah ditetapkan akan diaudit.
Selanjutnya partisipan akan diukur dengan menggunakan item pertanyaan
yang telah diuji validitasnya pada riset sebelumnya.
2. Level audit merupakan perlakuan yang diberikan dalam bentuk peningkatan
level audit (level kemungkinan diperiksa) di mulai dari 10% sampai dengan
30%.
3. Pemahaman Etika Pajak, merupakan gambaran tentang etika pajak yang
dibuat dalam bentuk video dengan memberi gambaran tentang bagaimana
seharusnya mengisi SPT, menetapkan penghasilan tidak kena pajak dan
manfaat pajak serta pemeriksaan pajak. Gambaran tentang etika pajak
disesuaikan dengan instrumen Multi Ethical Scale (MES) yang

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 16


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dikembangkan oleh Reidenbach (1988) dan kemudian dikembangkan dalam


riset-riset akuntansi oleh Flory (1992) dan Henderson (2005).
4. Perceived Probability of Audit (probabilitas audit cerapan) merupakan suatu
kondisi yang menggambarkan perasaan partisipan untuk diperiksa.
Instrumen yang digunakan dalam riset ini dikembangkan dari instrumen
yang digunakan oleh Milliron dan Toy (1988) dengan skala pilihan 1 – 7.
5. Keputusan Kepatuhan Pajak dikembangkan menggunakan ratio
perbandingan antara jumlah pendapatan yang dilaporkan dengan
pendapatan kena pajak yang sebenarnya serta beberapa item instrumen yang
dikembangkan dari Alm (1998).

Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan metode riset eksperimen.
Tujuannya adalah untuk lebih memperjelas arah hubungan dari model
keputusan kepatuhan pajak. Riset-riset keperilakuan dengan menggunakan data
sekunder telah banyak dilakukan namun memiliki kelemahaan karena mengukur
kepatuhan pajak dari rasio pembayaran pajak dan jumlah pajak. Penggunaan
data sekunder tersebut tidak dapat menggambarkan kondisi riil mengapa
seseorang atau individu tidak mau membayar pajak.
Pengujian dengan eksperimen untuk riset keperilakuan memiliki
beberapa kelebihan antara lain, peneliti dapat melakukan manipulasi terhadap
variabel independen sehingga kemungkinan adanya perubahan pada variabel
dependen benar-benar merupakan fungsi adanya peningkatan perlakuan
(treatment) manipulasi. Selain itu dengan riset eksperimen, variabel-variabel
yang dapat menimbulkan bias terhadap hasil dapat dikontrol sehingga lebih
effektif dibandingkan dengan desain riset lainnya. Keuntungan lainnya adalah
memiliki kemampuan replikasi yang tinggi dengan setting partisipan, waktu dan
situasi yang berbeda.
Selain memiliki keunggulan, riset eksperimen juga memiliki
kelemahan terutama masalah generalisasi hasil, kelemahan lainnya dalam riset
manajemen dan akuntansi atau bidang sosial lainnya terdapat keterbatasan
dalam masalah manipulasi dan kontrol, dengan demikian riset-riset eksperimen
tidak dapat dilakukan untuk riset-riset yang berkaitan dengan prediksi dan
tujuan-tujuan tertentu (Cooper dan Schindler; 2006)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 17


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Riset Eksperimen
Untuk meningkatkan kemampuan validitas internal dan eksternal
dalam riset eksperimen, maka desain eksperimen harus didesain dengan
memper-imbangkan berbagai faktor yang tujuannya adalah meningkatkan
kemampuan kedua jenis validitas tersebut.
Menurut Cooper dan Schindler (2006) untuk meningkatkan
kemampuan validitas internal sebaiknya desain eksperimen perlu
memperhatikan: history, maturity, testing, instrumentation, selection, statistical
regression dan experimental mortality. Untuk memperjelas upaya yang
dikerjakan untuk memperkuat validitas internal, berikut ini dikemukakan
beberapa hal yang dilakukan untuk menjaga validitas internal :
- History, merupakan suatu kejadian diluar lingkungan eksperimen yang
terbawa dan dapat mempengaruhi partisipan pada saat eksperimen
berlangsung. Untuk menjaga agar kondisi dan situasi tetap sama pada setiap
pelaksanaan eksperimen maka waktu dan tempat dan adalah sama. Selain
itu sebelum eksperimen berlangsung partisipan diberikan semacam
penyegaran agar pada saat eksperimen berlangsung, partisipan telah berada
kondisi tidak terpengaruh pada kejadian-kejadian sebelum eksperimen
berlangsung.
- Maturity, Unsur kebosanan yang kemungkinan muncul dalam riset akan
dihindari dengan membuat desain eksperimen yang menarik seperti selain
menggunakan komputer juga menggunakan media video untuk memberikan
gambaran tentang etika pajak. selain itu waktu pelaksanaan eksperimen
didesain tidak terlalu lama.
- Testing, untuk menghindari terjadi pengaruh pengujian awal pada saat
eksperimen berlangsung maka riset eksperimen ini tidak melakukan
pengujian awal sehingga proses pembelajaran yang diperoleh pada saat
pengujian awal berlangsung tidak akan terjadi.
- Instrumen, masalah pengukuran yang digunakan telah diuji coba dengan
menggunakan pilot test sehingga masalah pengukuran sudah dapat
diantisipasi sejak awal.
- Selection, seleksi random yang digunakan untuk seleksi partisipan dalam
eksperimen ini diharapkan dapat mengurangi bias dalam perlakuan.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 18


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

- Statistical Regresion, proses uji awal melalui pilot test merupakan salah
satu cara untuk menghindari terjadinya ekstrim skor untuk variabel yang
digunakan dalam riset.
- Experimental Mortality, merupakan suatu kejadian yang memungkinkan
seorang partisipan tidak dapat menyelesaikan tahapan eksperimen (misalnya
ada janji dengan pihak lain, dll). Untuk mencegah subjek keluar pada saat
eksperimen berlangsung maka sejak awal partisipan yang diminta untuk
mengikuti eksperimen adalah partisipan yang dengan sukarela menyediakan
waktu untuk mengikuti eksperimen hingga selesai.
Untuk validitas eksternal perlu memperhatikan faktor reaktivitas dari
pengujian, interaksi dari seleksi dan faktor-faktor yang dapat menimbulkan
reaksi yang lain dari perlakuan yang diberikan dari variabel yang dimanipulasi.
Berikut ini akan dijelaskan berbagai prosedur yang akan digunakan dalam riset
ini dengan tujuan untuk meningkatkan validitas internal dan eksternal.

Seleksi Partisipan

Riset ini akan menggunakan partisipan yang diambil dari mahasiswa


S2 dan S3 baik dilingkungan UGM maupun beberapa universitas swasta yang
ada di Yogyakarta dengan jumlah partisipan direncanakan sebanyak 210
partisipan. Sedangkan untuk pengujian software eksperimen (pilot test) dan
videp pemahaman etika pajak akan digunakan partisipan dari mahasiswa S1
dengan latar pendidikan ekonomi. Beberapa riset sebelumnya yang
menggunakan mahasiswa sebagai partisipan dengan desain riset eksperimen
perpajakan antara lain dilakukan oleh Alm (1998), Milliron (1985), serta
Jackson dan Milliron (1986).

Pengumpulan Data
Pengumpulan data melalui eksperimen terutama untuk riset-riset
keperilakuan telah banyak dilakukan, pengumpulan data melalui eksperimen
biasanya melibatkan peneliti sebagai individu yang bertugas dalam penyusunan
skenario dengan berbagai perlakuan untuk melihat respon dari variabel yang
diteliti.
Teknik pengumpulan data ini memiliki beberapa kelebihan antara lain
memperkuat validitas internal dan memperjelas serta membuktikan analisis
hubungan kausalitas antara variabel dependen dan independen. Selain itu dalam
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 19
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

teknik ini peneliti dapat melakukan kontrol variabel dengan lebih mudah
sehingga dapat mencegah adanya pengaruh di luar variabel yang diteliti. Teknik
ini memiliki beberapa kelemahan antara lain memiliki keterbatasan pada objek
eksperimen. Artinya setting skenario yang dilakukan dengan objek keputusan
kepatuhan pajak tidak dapat digunakan untuk menguji perilaku individu untuk
jenis keputusan lainnya seperti keputusan membeli dll.

Tahapan Eksperimen.
Eksperimen dalam riset ini terbagi dalam empat (4) tahap, tujuan
untuk menggunakan empat tahap/sesi dalam eksperimen ini adalah untuk
memudahkan partisipan dalam memahami desain eksperimen yang digunakan
dalam riset ini.
Tahap pertama:
Pada sesi ini setelah mengisi daftar hadir partisipan akan mendapatkan
buku petunjuk yang didalamnya tersedia informasi nomor pasword, nomor
komputer, berbagai petunjuk dalam pelaksanaan eksperimen serta hadiah dan
sanksi.
Tahap Kedua:
Sesi ini merupakan sesi utama eksperimen, setelah partisipan
menduduki tempat masing-masing, partisipan akan diberikan penjelasan
mengenai eksperimen yang dilakukan dengan tujuan agar pada saat eksperimen
berlangsung partisipan telah memahami setiap tugas dan langkah yang harus
ditempuh. Setiap partisipan akan berhadapan dengan 1 unit komputer yang telah
berisi program yang dibuat khusus untuk eksperimen ini.
Partisipan akan diminta untuk menjawab beberapa item pertanyaan
yang berkaitan dengan pengujian variabel penelitian setelah partisipan
mendapatkan tritmen. Untuk mengetahui perubahan perilaku partisipan, maka di
setiap tahapan tritmen, partisipan akan diminta untuk menjawab beberapa item
pertanyaan yang berkaitan dengan cek manipulasi. Tujuannya adalah untuk
mengetahui keberhasilan dari tritmen yang dilakukan apakah dapat merubah
perilaku partisipan ataukah tidak.
Skenario eksperimen yang dibuat bertujuan untuk mengamati respon
atas besarnya laporan pendapatan kena pajak atas pendapatan yang sebenarnya
diterima dihubungkan dengan berbagai perlakuan (treatment) yang diberikan.
Agar partisipan bersungguh-sungguh dalam mengikuti eksperimen, maka semua

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 20


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

partisipan akan mendapatkan 5 tiket (vouchers) dan bagi partisipan yang terpilih
untuk diaudit dan kedapatan melakukan ketidakpatuhan pajak maka yang
bersangkutan akan dikenakan sanksi yaitu pengambilan 1 tiket untuk setiap
ketidakpatuhan yang dilakukan.
Dengan demikian pada akhir sesi eksperimen jika seorang partisipan
tidak lagi memiliki tiket maka yang bersangkutan tidak akan diikutsertakan
dalam proses pengundian untuk mendapatkan insentif menarik berupa 4 GB dan
2 GB serta buku riset eksperimen. Sebagai ucapan terima kasih tetap
mendapatkan soufenir lain yang disediakan yaitu 1 cd berisi 11 buku
eksperimen bidang ekonomi, manajemen dan akuntansi serta buku penunjang
riset lainnya, Semua partisipan akan mendapatkan fasilitas snack dan makan
siang.
Tahap Ketiga:
Tahap ketiga merupakan tahap post test eksperimen dimana partisipan
diminta untuk menjawab dan mengisi kuesioner yang berkaitan demografi
partisipan seperti umur, jenis kelamin dan pendidikan. Selain itu partisipan juga
akan mengisi kuesioner yang berhubungan dengan kegiatan eksperimen yang
telah berlangsung seperti perlakuan yang diberikan, cek manipulasi untuk
prosedur eksperimen, sikap yang berhubungan dengan kepatuhan pajak dan
kompensasi yang dijanjikan. Pada kesempatan ini akan dipilih secara acak
beberapa partisipan untuk mendapatkan insentif yang disediakan.

Tahap keempat:
Tahap terakhir dari riset ini merupakan tahap penyegaran partisipan,
yaitu tahap dimana partisipan akan diberikan penjelasan tentang mengapa
mereka diberikan berbagai perlakuan eksperimen. Selain itu partisipan juga
diminta untuk tidak membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan
eksperimen ini kepada pihak lain. Tujuan dari diberikan penjelasan ini adalah
untuk mengembalikan situasi dan emosi partisipan pada kondisi semula seperti
sebelum mendapatkan perlakuan. Akhir dari tahapan eksperimen ini adalah
penyerahan cindera mata dan hadiah sebagai ucapan terima kasih.

Desain Eksperimen
Desain eksperimen dalam riset disesuaikan tahapan eksperimen yang
telah dijelaskan di atas. Partisipan akan dibagi dalam dua kelompok dan setiap

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 21


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kelaompok akan menerima 5 kali tritmen. Tabel berikut ini merupakan


gambaran dari desain eksperimen yang akan digunakan dalam riset ini:
Tabel 3.1 Desain eksperimen
Kelompok Random
Subjek 75 Orang
Perlakuan
Strategi Audit Random
Level Audit 10 % 20 % 30 %
Perceived Prob. of Partisipan akan mengisi kuesioner tentang berapa persen mereka
audit merasa akan diaudit/diperiksa
Pemahaman Etika Partisipan akan diperlihatkan melalui video yang menjelaskan tentang
pajak berbagai hal yang berkaitan dengan peraturan maupun kecurangan
pajak yang dilakukan. setelah melihat video tersebut partisipan akan
mengisi kuesioner etika dan kemudian menentukan jumlah pendapatan
yang akan dilaporkan sebagai pendapatan kena pajak
Kelompok Fixed
Subjek 75 Orang
Perlakuan
Strategi Audit Fixed
Level Audit 10 % 20 % 30 %
Perceived Prob. of Partisipan akan mengisi kuesioner tentang berapa persen mereka
audit merasa akan diaudit/diperiksa
Pemahaman Etika Partisipan akan diperlihatkan melalui video yang menjelaskan tentang
pajak berbagai hal yang berkaitan dengan peraturan maupun kecurangan
pajak yang dilakukan. setelah melihat video tersebut partisipan akan
mengisi kuesioner etika dan kemudian menentukan jumlah pendapatan
yang akan dilaporkan sebagai pendapatan kena pajak

Tabel di atas menunjukkan bahwa setiap kelompok (between subject)


akan mendapat 4 (empat) kali tritmen level audit (tanpa diberitahukan level
audit, diberitahu level audit 10%, 20% dan 30%, selanjutnya tritmen level audit
akan menjadi stimuli untuk mengukur Perceived Probability of audit
(probabalitas audit cerapan). Selanjutnya partisipan atau subjek akan diberi
tritmen berupa informasi etika pajak yang disampaikan melalui video/film dan
selanjutnya partisipan diminta untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan
dengan etika pajak. Sebelum dan sesudah tritmen akan diberikan cek manipulasi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 22


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

untuk melihat apakah tritmen yang diberikan dapat merubah perilaku partisipan
ataukah tidak, jika tidak berarti tritmen yang diberikan belum berhasil.
Untuk mengetahui validitas dari alat/fasilitas dan instrumen yang akan
digunakan dalam eksperimen sebelumnya telah dilakukan pilot test/uji coba
sehingga validitas dan realibilitasnya tetap terjaga.

Kontrol Variabel
Beberapa riset sebelumnya mengindentifikasi sejumlah variabel yang
memungkinkan mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak (Jackson dan
Milliron; 1986, Long dan Swingen; 1991, Alm dan McKee; 1998, Reckers dkk;
1994) sehingga dalam riset ini terdapat beberapa variabel yang perlu dikontrol,
variabel- variabel tersebut adalah:
1. Tarif Pajak dan Tarif pinalti (denda)
Riset sebelumnya yang dilakukan oleh Jackson dan Milliron (1986)
dan Reckers dkk (1994) menunjukkan bahwa ketidakpatuhan pajak menurun
secara monotonik dengan meningkatkan tingkat penalti dan sebaliknya dengan
tarif pajak. dalam riset ini kedua variabel tersebut didesain dengan tingkat yang
sama baik untuk tingkat pinalti yaitu 200 % dan tarif pajak sesuai dengan pasal
17 UU PPh 2000 yang berlaku di Indonesia.
2. Pendapatan
Reckers dkk. (1994) dan Madeo (1987) menemukan bahwa semakin
tinggi pendapatan seseorang maka terdapat kemungkinan yang lebih besar untuk
berkeinginan memaksimilisasi utilitas individunya. Dengan demikian dalam
riset ini semua partisipan didesain memiliki jumlah pendapatan yang sama.
Tujuannya adalah agar partisipan memiliki kesempatan yang sama dalam
menentukan jumlah pendapatan yang akan dikenakan pajak sehingga bias
pendapatan dapat dihindari.

Analisa Data Eksperimen

Untuk menguji hubungan langsung dan tidak langsung dalam riset ini
akan menggunakan model untuk analisis path. Untuk mengestimasi hubungan
antara variabel-variabel yang diuji akan digunakan Partial Least Square (PLS)
dalam pengujian hipotesis. Alasan penggunaan PLS karena merupakan alat
yang handal untuk menguji model prediksi dan dapat menggunakan ukuran
sampel yang kecil dengan bentuk konstruk yang formatif dan reflektif
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 23
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

(Tenenhahaus M., 2005). Karena riset ini menggunakan konstruk yang formatif
dan reflektif dan model yang diajukan masih bersifat prediktif, maka
penggunaan PLS merupakan alasan adalah tepat.

RANCANGAN EKSPERIMEN
Rancangan Sistem
Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, maka rancangan perlakuan
dalam eksperimen dibuat berbasis web (web system). Sistem ini digunakan
karena lebih mempermudah peneliti untuk melihat perubahan perilaku
partisipan pada saat diberi perlakuan (treatment). Sistem web juga
memungkinkan data partisipan dapat langsung terhubung dengan server peneliti
dan mempermudah pengacakan atau penentuan partisipan yang akan diaudit.
Selain itu sistem ini juga memudahkan peneliti untuk mendapatkan dan
menyimpan data secara langsung (bank data) sehingga lebih mempermudah
proses pengolahan data. Selain itu penggunaan web system design dengan basis
intranet memberikan kelebihan tersendiri karena tidak terpengaruh pada
kesibukan jaringan internet sehingga partisipan dapat menjalani eksperimen
dengan baik tanpa gangguan jaringan.

Rancangan Software dan video Pajak


Pembuatan software dipercayakan kepada tenaga 2 (dua) teknis dari
Techno Gama. Nama Program yang digunakan adalah SQLyog, dengan
menggunakan bahasa pemograman php dan database mysql. Software tersebut
berisi perlakuan strategi audit, level audit perceived probability of audit dan
pemahaman etika pajak beserta item pengukuran dan item cek manipulasi, yang
dihubungkan dengan keputusan kepatuhan pajak. Sedangkan untuk mengukur
pemahaman etika pajak, partisipan akan diberikan stimuli dengan menonton
video yang berisi konsep dan manfaat pajak (lihat narasi video,hal.23). Selain
itu terdapat juga item pertanyaan yang berkaitan data demografi partisipan.
Rancangan Software
Rancangan software pajak dibagi dalam 6 bagian utama yaitu:
1. Umum. Software dibuka dengan ucapan selamat datang. Pada kesempatan
ini partisipan tidak bertindak sebagai dirinya sendiri tetapi menjadi
seseorang yang diperankan dalam skenario/kasus pajak. Partisipan akan
mendapat 5 buah voucher yang akan digunakan untuk pengundian hadiah
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 24
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

setelah eksperimen berakhir. Setiap peserta diharapkan dapat


mempertahankan voucher yang diperoleh karena setiap kesalahan atau
kekeliruan dalam penentuan besarnya penghasilan kena pajak dan akan
kehilangan 1 voucher.
2. Pelaksanaan Eksperimen. Pada bagian ini partisipan telah terbagai ke
dalam 2 kelompok audit, dan selanjutnya partisipan akan mendapatkan
treatmen/perlakuan untuk strategi audit, level audit dan perceived probability
of audit. Partisipan akan diaudit untuk setiap level audit dan partisipan yang
ditemukan membuat kesalahan akan kehilangan 1 voucher.
3. Informasi Penghasilan Kena Pajak (PTKP). Bagian ini berisi informasi
tentang bagaimana cara menghitung dan menentukan PTKP. Informasi ini
tidak langsung muncul di komputer melainkan menggunakan sistem login,
artinya jika partisipan menginginkan informasi tersebut maka yang
bersangkutan dapat mengklik login untuk mendapatkan informasi PTKP dan
sebaliknya jika tidak memerlukan informasi PTKP maka tidak perlu
mengklik login.
4. Data. Bagian ini merupakan bank data dari berbagai hasil eksperimen yang
berisi data strategi audit, level audit dan perceived probability of audit serta
data pemahaman etika pajak dan keputusan kepatuhan pajak. Selain itu
terdapat pula data penghasilan kena pajak, data cek manipulasi, data
preferensi risiko partisipan dan data partisipan (data demografi partisipan).
5. Hadiah. Bagian ini berisi hasil randomisasi penentuan partisipan yang
mendapatkan hadiah. Penetuan partisipan yang mendapatkan hadiah
delakukan dengan sistem acak dari vouchers yang dimiliki.
6. Penutup. Pada bagian ini berisi ucapan terima kasih untuk partisipasi dan
pesan singkat mengenai pelaksanaan eksperimen ini.

Rancangan Video Pemahaman Etika Pajak


Rancangan untuk narasi bagi pembuatan video pemahaman etika pajak
didasarkan pada instrumen multidimensi etika yang digunakan oleh Henderson
(2005). Narasi digambarkan dalam 3 dimensi yaitu relativism, contranctual dan
moral equity ekuitas. Gambaran untuk relativism dibangun dengan memberikan
pemahaman pajak pada level pendidikan terendah yaitu SD, Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan pemahaman dini tentang pajak sehingga

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 25


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

diharapkan akan memberi makna bahwa setiap warga negara memiliki


kewajiban untuk membayar pajak.
Dimensi kontraktual digambarkan tentang mengapa seseorang perlu
menjadi wajib pajak, mengapa harus membayar pajak dan bagaimana
seharusnya pajak dihitung dan dibayar. Dimensi equity ekuitas lebih ditekankan
pada manfaat pajak dari sudut pandang agama dan sosial masyarakat yang
dilihat dari sisi manfaat yang diperoleh dengan membayar pajak.
Atas dasar dimensi etika di atas, maka narasi dari video pemahaman
etika pajak dibuat seperti berikut:

“ Siswa/i SD mendapat pelajaran tentang sumber pendapatan negara, salah satunya


adalah mengenai pajak. Mereka kemudian mendapat tugas untuk membuat tulisan
pendek berkaitan dengan pajak. setelah selesai (bubaran) sekolah, mereka bercerita
kepada ibunya (yang datang menjemput) bahwa tadi mereka belajar tentang sumber
Pendapatan Negara, salah satunya dari pajak. Anak-anak kemudian menyampaikan
bahwa mereka ditugaskan untuk membuat semacam karya ilmiah yang berkaitan
dengan pajak, dimulai dari apa itu pajak, manfaat, perbedaannya dengan retribusi
sampai dengan bagaimana membayar pajak yang benar. Ibunya anak2 kemudian
mengajak anak-anak ke kantor kantor pajak untuk mendapatkan penjelasan yang lebih
banyak tentang pajak.
Disepanjang perjalanan si ibu menjelaskan tentang mengapa harus membayar
pajak (sambil menunjukkan pembangunan yang sedang dilakukan seperti perbaikan
jalan, pembangunan sekolah rumah sakit dll, selain itu juga ditunjukkan manfaat pajak
melalui pembangunan non fisik seperti pembayaran biaya rumah sakit untuk
masyarakat miskin-askeskin, atau pemberian subsidi atau BLT, dll) Æ ditunjukkan
dengan gambar .
Untuk lebih lebih jelas tentang perpajakan, anak-anak kemudian di ajak
ibunya ke kantor pajak, di tempat ini mereka diperkenalkan dengan petugas pajak dan
kemudian mendapatkan penjelasan tambahan tentang bagaimana membayar pajak,
kenapa harus membayar pajak dan manfaat pajak. Pada kesempatan itu dijelaskan juga
tentang perbedaan antara pajak dan zakat atau pengeluaran sosial lainnyaÆ anak2
kemudian mengajukan berbagai pertanyaan)
Manfaat pajak digambarkan dengan detail baik untuk kepentingan pembanguan
sarana dan prasarana maupun bagi Wajib Pajak itu sendiri. Gambaran dibuat
semenarik mungkin sehingga menyadarkan wajib pajak akan pentingnya membayar
pajak.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 26


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Desain Buku Petunjuk Pelaksanaan Eksperimen


Buku petunjuk eksperimen berisi 5 bagian yaitu:
1. Halaman depan (cover), pada bagian ini berisi Judul buku, isi buku dan
nama program dan nama Fakultas serta nama Universitas.
2. Tata tertib. Pada bagian ini berisi hal-hal yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh partisipan pada saat mengikuti eksperimen.
3. Pernyataan partisipan. Bagian ini berisi surat pernyataan dan partisipan
diharapkan menandatangani pernyataan untuk bersedia mengikuti
eksperimen hingga selesai.
4. Bagaimana menjalankan Program. Bagian ini berisi penjelasab tentang
pilihan tempat duduk (komputer), nomor user, password untuk membuka
program dan NPWP untuk partisipan.
5. Petunjuk pelaksanaan eksperimen. Bagian ini berisi langkah-langkah
memulai eksperimen hingga eksperimen berakhir.

DAFTAR PUSTAKA 

Allingham, M. G., dan Sandmo, Agnar. 1972. Income Tax Evasion: A


Theoritical Analysis. Journal of Public Economics, 1: 323-338.
Alm, J., dan., Michael McKee. 1998. Extending the Lessons of Laboratory
Experiments on Tax Compliance to Managerial and Decision Economics.
Managerial dan decision Economics, 19(June-August): 259-275.
Alm James, B. R., Jackson, dan M.,McKee,. 1992. Estimating the Determinants
of Taxpayer Compliance With Experimental Data. National Tax Journal,
45: 107-114.
Alm James, M. B., Cronshaw, dan M.,McKee,. 1993. Tax Compliance With
Endogenous Selection Rules. KYKLOS, 46(1): 27-45.
Alm James., I., Sanchez., dan Ana De Juan,. 1995. Economic and Non-
economic Factors in Tax Compliance. KYKLOS, 48(1): 8-18.
Alm., J. 1988. Uncertain Tax Policies, Individual behavior and Welfare. The
American Economic Review, 27: 237 - 245.
Alm., J. 1991. A Perspective on the Experimental Analysis of Taxpayer
Reporting. The Accounting Review, 66(3): 577-593.
Asnawi, Meinarni. 2006. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
pajak. Unpublished Article.
Beck, P., J dan., W. Jung. 1991. Experimental Evidence on Tax Payer
Reporting Under Uncertainty. The Accounting Review, 66: 535 - 558.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 27


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Becker, W. H. B., dan S. Sleeking. 1987. The Impact of Public Transfer


Expenditures on Tax Evasion: An Experimental Approach. Journal of
Public Economics, 34: 243-252.
Cohen, J., L. Pant, dan D. Sharp. 1991. An Empirical Investigation of
Attitudinal Factors Affecting Course Coverage of International Issues.
International Journal of Accounting: 286-301.
Cowell Frank, A., dan James P.Gordon. 1988. Unwillingness To Pay
Tax`Evasion and Public Good Provision. Journal of Public Economics:
305-321.
Dean, P., T. Keenan., dan F. Kenny. 1980. Taxpayer's Attitudes to Income Tax
Evasion : An Empirical Study. British Tax Review: 28 - 44.
Direktur Jenderal Pajak. 2000, Jakarta Post, Vol. July 31.
Elster, J. 1989. Social Norms and Economic Theory. The Journal of Economic
Perspectives, 3: 99-117.
Fishbein, M., dan I. Ijzen. 1975. Beliefs, Attitudes, Intention and Behavior: An
Introduction To Theory and Research: Reading, MA : Addison-Wesley.
Franzoni, L. A. 1999. Tax Evasion and Tax Compliance, In B.Boukaert and
DeGeest (Eds). Encyclopedia of Law and Economics, Cheltenham, UK:
Edward Elgar: 52-94.
Ghosh Dipankar dan Terry L., C. 1996. Experimental Investigation of Ethical
Standards and Perceived Probability of Audit on Intentional
Noncompliance. Behavioral Research in Accounting, 8(Supplement
1996): 219-244.
Glack, K., dan Ryan S. Burg. 2006. Social Norms of Taxation: Perceptions of
Cost and Duty, Department of Legal Studies and Business Ethics,
University of Pennsylvania: 1-21. Philadelphia.
Gunadi. 2006. Pokok Pikiran Pembaharuan Perpajakan Menuju
Kesinambungan Penerimaan Negara. Paper presented at the Seminar
Nasional Perpajakan Indoensia: Reformasi Perpajakan Menuju
Kesinambungan Fiskal Indonesia, Yogjakarta.
Hadibroto, A. 2000. Perubahan Undang-Undang Pajak Harus Adil dan
Berkepastian Hukum. Berita Pajak, 1418(XXXII): 6.
Hessing, D. J., H. Elffers, dan R.H. Weigel. 1988. Exploring The Limits of Self-
Reports and Reasoned Action : Investigation of the Psychology of Tax
Evasion Behavior. Journal of Personality and Social Psychology: 405-
413.
Hyman, D., N. 1993. Public Finance: A Contemporary Application of Theory
To Policy (Fourth ed.): The Eryden Press.
Jackson, B. R., dan V.C. Milliron. 1986. Tax Compliance Research: Findings,
Problems and Prospect. Journal of Accounting Literature, 5: 125-157.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 28


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Kahneman, D., dan A. Tversky. 1979. Prospect Theory: An Analysis of


Decision Under Risk. Econometrica, 47: 263-291.
Makhfatih, A. 2005. Penggelapan Pajak di Indonesia : Studi Pajak Hotel Non
Bintang. Unpublished Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta.
May J.Peter. 2005. Regulation and Compliance Motivations: Examining
Different Approaches. Public Administration Review, 65(1 Jan/Feb): 31-
44.
Milliron Valerie C. 1985. A Behavioral Study of The Meaning and Influence of
Tax Complexity. Journal of Accounting Research, 23(2 Autumn).
Milliron Valerie C. dan Daniel R, T. 1988. Tax Compliance: An Investigation
of Key Features. The Journal of the American Taxation
Association(Spring): 84-104.
Palfrey, T., dan Howard Rosenthal. 1984. Participation amd The Provision of
Discreate Public Goods. Journal of Public Economics, 24: 171-193.
Randall, D. M. 1989. Taking Stock: Can Theory of Reasoned action explain
unethical conduct ? Journal of Business Ethics, 8: 873-882.
Scotchmer, S., dan., J, Slemrod. 1989. Randomness in Tax Enforcement.
Journal of Public Economics, 38: 17 -32.
Song, Y., dan T.E. Yarbrough. 1978. Tax Ethics and Taxpayer Attitudes : A
Survey. Public Administration Review, 38: 442 - 457.
Tenenhahaus M., V. E.-M. (2005). PLS Path Modelling. Computational
Statistics and Data Analysis , 48, 159-205.
Torgler Benno. 2003. Tax`Morale and Tax Compliance: A Cross Culture
Comparison. Paper presented at the Tax Institute of America Proceedings,
America.
Trivedi, V. U., Mohamed, Shehata., dan Bernadette Lynn. 2003. Impact of
Personal and Situational Factors on Taxpayer Compliance : An
Experimental Analysis. Journal of Business Ethics, 47(3): 175-197.
Uppal, J. S. 2005. Kasus Penghindaran Pajak di Indonesia. Economic Review
Journal, 201: 1 - 5.
Weigel, R. H., D.J. Hessing, dan H. Elffers. 1987. Tax Evasion Research: A
Critical Appraisal and Theoritical Model. Journal of Economic
Psychology: 215-235.
Williamson, O. E. 2000. The New Institutional Economics: Taking Stock,
Looking Ahead. Journal of Economic Literature, 38(3).
Winter, S. C., dan Peter. J. May. 2001. Motivation for Compliance with
Environmental Regulations. Journal of Policy Analysis and Management,
20(4): 675-698.
Yithaki, S. 1974. A Note on Income Tax Evasion A Theoretical Analysis.
Journal of Public Economics, 36: 201-202.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 29


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

PENGARUH PERTIMBANGAN IDENTITAS TERHADAP


KEKENDURAN ANGGARAN: PERAN AKURASI DAN
PENGURANGAN BIAS
Monika Palupi Murniati∗
ABSTRAK
This research based on practice phenomenon that practitioner need
to improve budgeting. Identity theory explained individual behavior
from instrumental and non-instrumental perspectives. Identity draw
an interactive perspective for explaining the dynamics of identity
building and maintaining it through procedural justice fairness.
Group engagement explained for why procedural justice shapes
cooperation in group and reduces budgetary slack. Experiment
method was used to examine these hypothesises. This research
consist of a 2x2x2 between subject design with manipulations of bias
suppression on procedural justice judgment, outcome satisfaction
and respect. Each cell consisted of 30 participants that randomly
assignment in 8 cells.

Keywords: identity, procedural justice judgment, outcome satisfaction,


budgetary slack, accuracy, bias suppression.

1. Pendahuluan
Fenomena praktik yang disajikan (Hansen, Otley, & Stede, 2003)
mengenai anggaran membuat para praktisi merasa perlu melakukan banyak
perbaikan dalam proses penyusunan anggaran. Partisipasi anggaran sebagai
bentuk perbaikan dari proses penyusunan anggaran oleh atasan ternyata tidak
selalu mampu memberikan benefit bagi kelompok. Kenyataan ini didukung
oleh banyak temuan penelitian mengenai partisipasi anggaran yang tidak
konklusif (Brownell, 1982; Murrary, 1990 dan Lau & Eggleton, 2003).
Asimetri informasi antara informasi yang dimiliki bawahan dan atasan
menjadi argumentasi mengapa partisipasi dibutuhkan dalam proses penyusunan
anggaran. Partisipasi anggaran merupakan pemberian kesempatan bagi bawahan
untuk ikut serta dalam penetapan tujuan sehingga komitmen bawahan untuk
mencapai tujuan terbentuk. Chow & Waller (1988) menyatakan bahwa


Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Ekonomi Program Studi
Akuntansi FEB UGM dan staf pengajar di UNIKA Soegijapranata Semarang
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 30
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

partisipasi merupakan cara manajer untuk mengkomunikasikan informasi yang


dimiliki subordinat sehingga asimetri informasi akan berkurang. Pandangan lain
menyatakan bahwa partisipasi dalam penyusunan anggaran dapat dipahami
sebagai bentuk internalisasi tujuan individu (bawahan) kedalam tujuan
kelompok yang dapat menimbulkan kekenduran anggaran.
Teori keagenan menjelaskan bahwa partisipasi hanya akan bermanfaat
ketika atasan mampu menggunakan informasi privat yang diperoleh untuk
memperbaiki perencanaan, koordinasi dan evaluasi kinerja. Asumsi self
interested behavior menjelaskan mengapa dalam partisipasi penyusunan
anggaran, bawahan memiliki kecenderungan melakukan kekenduran anggaran
karena mereka memiliki informasi privat dan kesempatan untuk memperoleh
keuntungan (Eisenhart, 1989). Partisipasi oleh teori keperilakuan dipandang
sebagai bentuk motivasi kepada bawahan untuk memberikan informasi privat
dan memperoleh informasi relevan dari lingkungan eksternal, supervisor
anggaran, bawahan lain dan atasan.
Penelitian mengenai partisipasi anggaran banyak didominasi oleh
pengujian dan penjelasan dari model instrumental melalui teori keagenan.
Partisipasi dapat dipahami sebagai peluang bagi bawahan untuk mengatur
seberapa besar informasi privat yang akan diberikan kepada atasan untuk
menetapkan anggaran. Alasan instrumental, reward, menjadi penjelasan bagi
perilaku kekenduran anggaran. Beberapa penelitian kemudian menggunakan
beberapa teori motivasi untuk menjelaskan perilaku kekenduran anggaran
dengan banyak variabel kontijensi. Penelitian ini akan memberikan pengujian
dan penjelasan mengenai perilaku kekenduran anggaran dari model non
instrumental melalui kebutuhan individu akan identitas.
Banyak alasan bagi individu untuk memutuskan menjadi anggota dari
suatu kelompok dan alasan identitas akan menjadi fokus dalam penelitian ini.
Kelompok dipandang sebagai sumber identitas karena individu mempunyai
kecenderungan mengidentifikasi individu lain melalui keanggotaannya dalam
kelompok. Kebutuhan individu akan identitas menjadi argumen bagi individu
untuk bergabung dengan kelompok yang mampu membentuk dan menjaga
identitas anggotanya sehingga perilaku positif yang memberikan benefit bagi
kelompok terbentuk. Hal ini berarti pertimbangan individu akan identitas
menjadi faktor penting yang mempengaruhi perilaku individu dalam kelompok.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 31


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Individu memberikan pertimbangan atas identitas yang akan diterima


dari kelompok melalui prosedur, distribusi pendapatan dan perilaku atasan yang
dalam penelitian ini disebut dengan keadilan prosedural, kepuasan atas
pendapatan dan respek. Group engagement menjelaskan bahwa model non
instrumental mampu membuat individu sebagai anggota kelompok untuk
bekerja sama mencapai tujuan kelompok (Tyler dan Blader, 2003). Keadilan
prosedural menjadi informasi bagi individu mengenai proses pembuatan
keputusan dan perlakuan yang akan diterima oleh individu sebagai anggota
kelompok. Lind dan Tyler (1988) menjelaskan bahwa keadilan prosedural
menunjukkan konsekuensi psikologis dari variasi prosedur yang mempunyai
pengaruh terhadap pertimbangan yang wajar. Pernyataan di atas memberikan
pemahaman bahwa kewajaran menjadi pertimbangan penting bagi individu
untuk membuat keputusan apakah kelompok mampu memberikan dan
memelihara identitas yang dibutuhkan.
Merchant (1985) menyatakan bahwa kecenderungan melakukan
kekenduran anggaran dipengaruhi oleh desain dan implementasi dari sistem
penyusunan anggaran yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Pendapat Merchant
didukung oleh Groake (1990) dalam Vermeulen dan Coetzee (2006) yang
menyatakan satu alasan penting terjadinya sikap dan perilaku negatif adalah
persepsi individu bahwa organisai tidak memiliki komitmen terhadap
kewajaran. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kewajaran menjadi penting bagi
keadilan prosedural untuk memberikan informasi mengenai identitas yang akan
diterima ketika menjadi anggota dalam suatu kelompok.
Penelitian ini utamanya akan menguji alasan identitas sebagai variabel
yang diduga mampu mengurangi perilaku kekenduran anggaran melalui
pertimbangan yang wajar terhadap keadilan prosedural, kepuasan atas
pendapatan dan respek sebagai bentuk interaksi atasan dan bawahan. Penelitian
ini menjadi penting karena beberapa alasan berikut: (1) Alasan identitas dalam
banyak penelitian psikologi digunakan untuk menjelaskan pembentukan
perilaku positif, tetapi dalam penelitian ini alasan identitas digunakan untuk
menjelaskan perilaku negatif (2) Group engagement banyak diterapkan dalam
penelitian psikologi dan penelitian ini dilakukan dalam kerangka partisipasi
anggaran (3) Dalam banyak penelitian, keadilan prosedural dievaluasi dengan
voice dan choice tetapi penelitian ini menggunakan 2 item Leventhal yaitu
akurasi dan pengurangan bias.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 32


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

2. Telaah Literatur dan Perumusan Hipotesis


Pengaruh penting keadilan terhadap perilaku individu atau kelompok
ditunjukkan oleh beberapa riset keadilan sosial. Folger dan Konovsky (1989),
Tyler dan Smith (1997), Tyler et al. (1997), Tyler (2000), Van den Bos (2001),
Colquitt et al. (2001) dan Van den Bos dan Lind (2002) menemukan bahwa
informasi mengenai keadilan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan
pemikiran, rasa dan perilaku individu melalui pertimbangan terhadap keadilan.
Temuan tersebut mendukung tinjauan Tyler, Degoey dan Smith (1996) yang
menunjukkan bahwa, ketika individu merasa menerima perlakuan yang wajar
maka mereka bersedia menerima dan melaksanakan keputusan yang dibuat
dengan prosedur yang wajar (Greenberg, 1990 dan Lind et al., 1993), individu
merasa puas dengan prosedur yang wajar (Thibaut dan Walker, 1975), individu
akan mentaati aturan perusahaan (Tyler, 1990 dan Tyler dan Degoey, 1995),
bersedia untuk tetap tinggal dalam kelompok (Brocker, Tyler dan Cooper, 1992)
dan individu bersedia untuk membantu kelompok bahkan ketika hal itu menjadi
biaya bagi individu (Tyler dan Degoey, 1995).
Keadilan mempunyai dua tipe utama, yaitu keadilan distributif dan
keadilan prosedural. Keadilan distributif merupakan konsep proporsionalitas
yang mendasarkan pada teori ekuitas (Adam, 1965 dalam Hopkins dan
Weathington, 2006). Teori ekuitas dideskripsikan sebagai keyakinan bahwa
distribusi pendapatan harus didasarkan pada kontribusi individu kepada
kelompok. Kewajaran terjadi ketika pendapatan yang diterima mempunyai
proporsi yang sama dengan masukan yang diberikan oleh individu. Keadilan
prosedural berkaitan dengan persepsi bawahan mengenai kewajaran prosedur
yang digunakan oleh atasan untuk melakukan evaluasi kinerja, memberikan
umpan balik dan membuat keputusan mengenai pendapatan yang akan diterima
oleh bawahan (McFarlin dan Sweeny, 1992).
Keadilan distributif menjadi fokus awal studi keadilan dengan
argumentasi kebutuhan ekonomi. Pendapatan yang diterima menjadi dasar bagi
individu untuk memberikan pertimbangan yang wajar. Walster, Walster dan
Berscheid (1978) menemukan bahwa individu merasa puas ketika pendapatan
didistribusikan dengan wajar. Thibaut dan Walker (1975) menyatakan bahwa
reaksi individu terhadap atasan dan keputusan penyelesaian suatu masalah
dipengaruhi oleh kewajaran dari keputusan dan prosedur pembuatan keputusan.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 33


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Pernyataan Thibaut dan Walker ini menjadi awal perkembangan riset keadilan
prosedural yang mengusulkan model psikologikal. Model ini memberikan
argumentasi bahwa prosedur merupakan karakteristik utama dari kewajaran
meskipun studi Thibaut dan Walker masih terbatas pada prosedur alokasi
pendapatan (Tyler dan Blader, 2003). Model ini kemudian dikenal dengan
model instrumental keadilan prosedural.

2.1. Keadilan Prosedural


Tinjauan riset mengenai keadilan prosedural yang dilakukan oleh Lind dan
Tyler (1988) dan Van den Boss et al. (1997) menjelaskan bahwa efek proses
yang wajar (fair process effect) menjadi argumentasi penting dalam
perkembangan penelitian keadilan prosedural. Efek proses yang wajar
menjelaskan bahwa respon terhadap pendapatan dipengaruhi oleh pertimbangan
prosedural. Ketika sebuah prosedur dipersepsikan wajar, maka individu akan
bereaksi positif terhadap pendapatan meskipun pendapatan yang diterima tidak
memuaskan. Isu keadilan prosedural kemudian berkembang dengan melihat
prosedur dari sudut pandang relasional.
Keadilan prosedural dapat dijelaskan dengan dua model, yaitu model
instrumental dan model non-instrumental. Model instrumental berkaitan dengan
prosedur alokasi pendapatan yang telah dijelaskan oleh teori Thibaut dan
Walker (1975). Prosedur dipandang sebagai instrumen untuk memperoleh
pendapatan yang wajar melalui kontrol terhadap keputusan yang dibuat. Fokus
riset keadilan prosedural terletak pada pengaruh prosedur dan aturan terhadap
pertimbangan kewajaran dalam proses pembuatan keputusan. Dua aspek
penting dalam proses pembuatan keputusan adalah tersedianya peraturan dan
prosedur yang mengatur proses pembuatan keputusan dan aplikasi aturan dan
prosedur tersebut. Ketika suatu kelompok mempunyai aturan dan prosedur yang
menjadi dasar proses pembuatan keputusan, maka kelompok tersebut akan
dipersepsikan lebih wajar daripada kelompok yang tidak memiliki aturan dan
prosedur dalam proses pembuatan keputusan.
Temuan Lind, Lissak dan Conlon (1983) dan Tyler, Rasinski dan
Spodick (1985) menyatakan bahwa hubungan antar individu dan pembuat
keputusan dalam suatu kelompok memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap
pertimbangan keadilan prosedural daripada pertimbangan instrumental prosedur
kontrol dan alokasi pendapatan (Tyler, 1994). Hal ini berarti alasan non-

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 34


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

instrumental mempunyai pengaruh yang dominan (Tyler, 2000). Model non-


instrumental dapat dijelaskan dengan tiga model keadilan prosedural, yaitu
group value model, model relasional dan group engagement model (Tyler dan
Blader, 2003). Penelitian ini menggunakan group engagement dalam
mengembangkan hipotesis penelitian. Alasan penggunaan model ini akan
dijelaskan pada bagian di bawah ini.

2.1.1. Group Engagement


Group engagement merupakan model yang mengintegrasikan group value
model dan model relasional dengan menjelaskan bagaimana keadilan prosedural
membentuk kerjasama dalam suatu kelompok (Tyler dan Blader, 2003). Tujuan
model ini adalah mengidentifikasi dan menguji anteseden dari sikap, nilai dan
perilaku kooperatif individu dalam suatu kelompok melalui kebutuhan identitas
sosial individu. Group engagement tidak hanya menjelaskan perilaku negatif
individu yang disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap pendapatan (Thibaut dan
Kelley, 1959) tetapi menjelaskan pula motivasi internal individu yang
mendorong perilaku positif dan mempunyai nilai bagi kelompok (Tyler dan
Blader, 2000). Kebutuhan individu untuk dihargai, merasa bahagia, produktif
dan kreatif menjadi dasar model ini untuk membangun perilaku positif dalam
kelompok.
Motivasi internal untuk memperoleh identitas sosial menjadi dasar
untuk menjelaskan keterlibatan individu dalam kelompok dan perilaku yang
memberikan benefit bagi kelompok. Fuller et al. (2006) menyatakan bahwa
kepercayaan atasan terhadap kontribusi bawahan, partisipasi dalam pembuatan
keputusan dan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilan merupakan bentuk dari respek yang diberikan atasan kepada
bawahan. Respek merupakan salah satu kebutuhan sosial individu untuk
dihargai, dan kebutuhan ini dapat dipenuhi ketika berada dalam suatu kelompok
dengan status tertentu. Hal ini berarti motivasi individu untuk bergabung dalam
suatu kelompok tidak semata-mata alasan ekonomis, tetapi juga alasan non-
ekonomis.
Motivasi non-ekonomi menjadi argumentasi bagi group engagement
untuk memahami hubungan individu dan kelompok dalam jangka panjang.
Kelompok dilihat sebagai sumber informasi mengenai anggota-anggota dalam
kelompok dan sarana untuk memelihara identitas individu. Ketika individu

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 35


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

sebagai anggota mempunyai orientasi hubungan jangka panjang dengan


kelompok maka individu akan cenderung berperilaku positif. Model ini
memberikan pemahaman mengenai hubungan individu sebagai anggota dan
kelompoknya dengan dua aspek penting, yaitu identitas (Hogg dan Abrams,
1988) dan pendapatan (Thibaut dan Kelley, 1959) dalam Tyler dan Blader
(2003). Pernyataan di atas menjadi alasan mengapa group engagement
merupakan model yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini.

2.1.1.1. Teori Identitas Sosial


Salah satu motivasi individu untuk bergabung dalam suatu kelompok
adalah memperoleh dan menjaga identitas sosial individu yang dijelaskan oleh
teori identitas sosial. Pada awalnya teori identitas sosial digunakan untuk
menjelaskan hubungan antar kelompok, tetapi Tyler mengembangkan teori ini
untuk menjelaskan hubungan individu dan kelompok dengan group
engagement. Teori ini menjelaskan bahwa individu menggunakan kelompok
sebagai sumber informasi mengenai anggota-anggota kelompok (Tyler, 1996).
Perspektif ini menyatakan bahwa anggota kelompok akan menggunakan status
atau kedudukan sosial dalam kelompok untuk membangun harga diri individu.
Group engagement memprediksi bahwa keinginan individu untuk bekerjasama
dalam suatu kelompok dipengaruhi oleh informasi mengenai identitas yang
akan diterima dari kelompok.
Festinger (1954) dalam Nahartyo (2003) menyatakan bahwa alasan
utama individu untuk bergabung dalam suatu kelompok adalah validasi diri
yang dapat diperoleh individu ketika menjadi anggota kelompok, yaitu identitas
dan harga diri. Hal ini didukung oleh Deaux (1996) dalam Tyler dan Blader
(2001) yang menyatakan bahwa kelompok mempunyai fungsi penting bagi
individu dengan mendefinisikan dan memberikan self worth bagi anggota
kelompok. Individu menggunakan dimensi penting kelompok untuk
mendefinisikan dirinya (Hogg dan Abrams, 1988). Motivasi untuk memiliki dan
menjaga harga diri menjadi argumen bahwa individu dalam suatu kelompok
akan melakukan suatu aktivitas yang menguntungkan kelompok.
Identifikasi didefinisikan sebagai tingkat keinginan individu secara
kognitif untuk menggabungkan dirinya dengan kelompok. Ketika individu
diidentifikasi melalui kelompoknya, maka individu memiliki motivasi untuk
bekerjasama meningkatkan kinerja kelompok. Semakin kuat identifikasi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 36


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

individu melalui kelompok, semakin penting fungsi kelompok bagi anggotanya.


Fungsi penting kelompok akan mendorong individu untuk memikirkan
kelangsungan kelompok melalui perbaikan kinerja. Individu akan memikirkan
kepentingan kelompok seperti mereka memikirkan kepentingannya sendiri. Hal
ini berarti perilaku individu dibentuk oleh tingkat identifikasi individu dengan
kelompoknya. Studi Abrams, Ando dan Hinkle (1998) memberikan bukti bahwa
identitas akan membentuk perilaku yang ditunjukkan oleh rendahnya keinginan
berpindah yang rendah ketika ketika individu mengidentifikasikan dirinya
dengan kelompok.
Konsep kedua dari teori identitas sosial adalah status. Ketika individu
memandang bahwa kelompok mempunyai fungsi penting untuk memperoleh
dan menjaga identitas sosialnya, maka individu akan melakukan evaluasi
terhadap status kelompok. Evaluasi terhadap status kelompok akan
mempengaruhi identifikasi. Ketika individu memiliki pertimbangan yang positif
terhadap status, maka tingkat identifikasi individu terhadap kelompoknya akan
tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam
kelompok. Respek menjelaskan pertimbangan mengenai status individu dalam
kelompok. Respek yang diberikan kelompok kepada anggotanya akan
membentuk identitas personal yang berkaitan dengan reputasi anggota dalam
kelompok. Hal ini mendorong individu berperilaku kreatif dan memiliki
pemikiran yang unik untuk membentuk reputasi diantara anggota kelompok.
Individu yang merasa dihargai oleh individu lain dan kelompoknya akan
memiliki komitmen yang tinggi terhadap kelompoknya dan secara sukarela
termotivasi untuk berperilaku yang memberikan manfaat bagi kelompoknya.
Respek menjelaskan perilaku diskresioner individu yang terjadi karena motivasi
internal individu bukan karena peraturan dalam kelompok. Teori identitas sosial
menjelaskan proses dinamis yang membentuk perilaku diskresioner.
Kebutuhan sosial dan psikologis akan identitas sosial ini, mendorong
individu untuk membangun relasi jangka panjang karena individu ingin terus
menerus menjaga identitasnya. Argumen ini menjadi motivasi bagi individu
untuk berperilaku positif yang menguntungkan kelompok melalui proses
identifikasi. Perilaku positif akan membuat individu memiliki perhatian
terhadap kewajaran prosedur, perlakuan dan pendapatan yang ada dalam
kelompok. Robinson (1996) menjelaskan hubungan organisasi dan karyawan
sebagai kontrak psikologis, yaitu hubungan yang tidak hanya didasarkan pada

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 37


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kontrak tertulis tetapi juga kesepakatan yang tak tertulis antara karyawan dan
organisasi. Ketika terjadi pelanggaran atas kontrak, maka akan muncul
ketidakpercayaan karyawan terhadap organisasinya. Kepercayaan didefinisikan
sebagai harapan, asumsi dan keyakinan mengenai kemungkinan keuntungan
yang akan diperoleh pada masa yang akan datang. Aryee et al. (2002)
menjelaskan kepercayaan sebagai kombinasi dari dasar kognitif dan afeksi.
Aspek kognitif berkaitan dengan evaluasi individu terhadap kemampuan
organisasi untuk memenuhi kuwajibannya. Evaluasi ini akan menunjukkan
seberapa besar organisasi dapat dipercaya dan diandalkan oleh individu ketika
menjadi anggota organisasi. Aspek afeksi berkaitan dengan perhatian dan
kepedulian antara organisasi dan anggotanya. Berdasarkan penjelasan di atas,
kepercayaan dapat dipahami sebagai proses kognitif dan afektif individu
terhadap perilaku organisasi.

2.1.1.2. Teori Pertukaran Sosial


Motivasi kedua dalam group engagement didasarkan pada teori pertukaran
sosial untuk menjelaskan keinginan individu bergabung dalam suatu kelompok.
Teori pertukaran sosial memandang hubungan individu dalam suatu kelompok
sebagai suatu pertukaran sumber daya. Teori ini mempunyai asumsi bahwa
setiap individu secara sukarela akan bergabung dalam suatu kelompok hanya
ketika hubungan tersebut memberikan kepuasan dalam hal ganjaran dan biaya
yang diterima.
Kelly dan Thibaut pertama kali memperkenalkan teori pertukaran sosial
dengan memberikan argumentasi mengapa individu mau bergabung dalam suatu
kelompok dari perspektif sumber daya. Teori ini memandang hubungan antara
individu dan kelompok sebagai pertukaran sumberdaya, yaitu antara kinerja
individu dan pendapatan yang diberikan oleh kelompok (Thibaut dan Kelly,
1959 dalam Tyler dan Blader, 2001). Hal ini berarti pendapatan menjadi
pertimbangan bagi individu bergabung dalam suatu kelompok dan membuat
keputusan untuk tetap tinggal dalam kelompok atau keluar dari kelompok.
Rusbult dan Van Lange (1996) dalam Tyler dan Blader (2001) menyatakan
bahwa model motivasi ini menjelaskan perilaku individu dalam kelompok
dibentuk oleh pertimbangan mengenai pendapatan yang telah dan akan diterima
individu sebagai anggota kelompok. Pernyataan Blau mendukung pendapat
Thibaut dan Kelly bahwa motivasi awal individu untuk bergabung dalam suatu

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 38


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kelompok adalah motivasi ekonomi dan selanjutnya akan bergeser menjadi


motivasi sosial. Perspektif sumber daya memprediksi bahwa tingkat kerjasama
individu dengan kelompok dibentuk oleh tingkat pendapatan yang diterima dari
kelompok. Penelitian ini menggunakan teori pertukaran sosial yang memandang
hubungan individu sebagai pertukaran sumber daya dan membentuk
pertimbangan sumber daya.

2.3. Pengembangan Hipotesis

Pertimbangan Keadilan Prosedural


Akurasi dan pengurangan bias merupakan faktor yang diusulkan oleh Leventhal
(1980) untuk melakukan evaluasi terhadap kewajaran pembuatan keputusan
melalui aturan prosedur pembuatan keputusan. Vermunt et al. (1993)
menyatakan bahwa akurasi dan pengurangan bias merupakan faktor penting
dalam melakukan evaluasi prosedur pembuatan keputusan. Akurasi menjelaskan
bahwa pembuatan keputusan harus didasarkan pada semua informasi akurat dan
dapat dipercaya (Cremer, 2004). Pengurangan bias berkaitan dengan perilaku
atasan dalam pembuatan keputusan yang tidak melibatkan kepentingan pribadi
atau pihak-pihak tertentu dalam kelompok, sehingga keputusan yang dihasilkan
netral.
Individu sangat sensitif terhadap prosedur negatif daripada prosedur
positif (Folger, 1984, Van den Bos, Vermunt dan Wilke, 1997 dan Folger dan
Cropanzano, 1998). Van Prooijen (2001) menemukan bahwa prosedur negatif
mempunyai pengaruh terhadap perilaku negatif individu karena prosedur
dipersepsikan tidak wajar. Hal ini berarti prosedur mempunyai pengaruh
terhadap proses pembuatan keputusan individu (Prooijen et al., 2006). Proses
penyusunan anggaran merupakan proses pembuatan keputusan yang
membutuhkan informasi yang akurat dan bebas dari kepentingan pihak tertentu
untuk menentukan tujuan anggaran.
Bias dalam pembuatan keputusan merupakan salah satu bentuk
implementasi negatif prosedur karena keputusan dibuat berdasarkan
kepentingan pihak tertentu. Prosedur dapat dipersepsikan tidak wajar oleh
individu sebagai anggota kelompok, ketika implementasi prosedur oleh atasan
bias. Group engagement menjelaskan bias dalam kerangka hubungan antara
bawahan dan atasan. Perilaku bias atasan akan membuat bawahan memiliki

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 39


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

persepsi negatif tentang proses pembuatan keputusan dan hal ini diasosiasikan
oleh bawahan sebagai prosedur yang tidak wajar (Lind dan Tyler, 1992 dan
Tyler dan Blader, 2004). Hal ini berarti, keadilan prosedural sebagai informasi
bagi bawahan mengenai nilai dan respek yang akan diterima individu dari
kelompok tidak memberikan informasi positif. Prosedur yang bias akan
memberikan implikasi terhadap perlakuan yang akan diterima oleh bawahan
karena atasan dipersepsikan memiliki sikap negatif sehingga bawahan memiliki
persepsi yang tidak wajar terhadap prosedur (Tyler, 1994).
Cremer (2004) menemukan bahwa prosedur yang wajar dipengaruhi
oleh tingkat akurasi prosedur. Temuan ini didukung oleh penelitian Cremer dan
Knippenberg (2003), Van den Boss (2000) dan Van den Boss et al. (1997).
Prosedur pembuatan keputusan yang akurat adalah prosedur yang
mempertimbangkan semua informasi yang tersedia. Studi Cremer menemukan
bahwa pertimbangan yang wajar terhadap suatu prosedur dipengaruhi oleh
tingkat akurasi prosedur hanya ketika atasan dipersepsikan tidak bias oleh
bawahan. Pada kondisi bawahan memiliki persepsi yang bias terhadap atasan,
maka tingkat akurasi tidak memiliki pengaruh terhadap pertimbangan keadilan
prosedural. Hal ini dapat dijelaskan bahwa persepsi individu terhadap atasan
yang bias menunjukkan ketidakpercayaan individu terhadap atasan dan
keputusan yang diambil, meskipun keputusan tersebut didasarkan pada
informasi yang lengkap.
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa bawahan sensitif terhadap perilaku bias
atasan. Bawahan akan merasa diperlakukan tidak adil ketika atasan lebih
mementingkan pihak tertentu dalam kelompok meskipun atasan
mengimplementasikan prosedur dengan akurat. Berdasarkan penjelasan di atas,
hipotesis pertama penelitian ini adalah:
H1: Pengurangan bias pada prosedur yang akurat mempunyai pengaruh
terhadap pertimbangan keadilan prosedural.

Mediasi Pertimbangan Identitas


Van den Boss et al. (1998), Van den Boss dan Meidema (2000) dan Blader dan
Tyler (2003) menyatakan bahwa keadilan prosedural sebagai informasi
mempunyai fungsi penting yang mendeskripsikan kewajaran proses pembuatan
keputusan dan perlakuan kelompok terhadap individu sebagai anggota
kelompok. Deskripsi prosedur ini akan membentuk pertimbangan individu

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 40


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengenai kewajaran proses pembuatan keputusan. Demikian pula perlakuan


kelompok terhadap para anggotanya akan mempengaruhi pertimbangan
individu terhadap keadilan prosedural yang dimiliki oleh kelompok.
Individu memiliki sensitivitas yang lebih kuat terhadap kewajaran
keadilan prosedural. Hal ini didukung oleh pernyataan Tyler dan Lind (1992)
dan Tyler dan Blader (2000, 2003) bahwa individu akan menggunakan
informasi keadilan prosedural untuk mengevaluasi hubungannya dengan
kelompok dan atasannya melalui prosedur yang berlaku. Pertimbangan keadilan
prosedural yang wajar merupakan evaluasi individu terhadap prosedur
pembuatan keputusan yang dilakukan oleh atasan. Tyler dan Blader (2000)
menjelaskan aspek non-instrumental keadilan prosedural bahwa perlakuan dan
proses pembuatan keputusan yang wajar terhadap anggota kelompok merupakan
informasi mengenai status individu dalam kelompok. Temuan Clayton dan
Opotow (2003) mendukung pentingnya keadilan prosedural dalam membentuk
identitas individu. Argumentasi yang mendasari adalah keikutsertaan individu
dalam proses pembuatan keputusan dan umpan balik yang diberikan merupakan
bentuk penghargaan yang menunjukkan status individu dalam kelompok.
Alasan ini membuat keadilan prosedural menjadi penting bagi individu untuk
percaya bahwa kelompok mampu memberikan dan menjaga identitasnya.
Pertimbangan yang wajar terhadap keadilan prosedural akan memberikan
keyakinan kepada individu bahwa kelompok akan memberikan identitas sosial
yang positif. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Tajfel dan Turner (1979)
bahwa keadilan prosedural mempunyai peran penting dalam mengembangkan
dan menjaga identitas sosial yang positif.
Group engagement menjelaskan bahwa kewajaran keadilan prosedural yang
terdapat dalam suatu kelompok mempengaruhi identifikasi individu terhadap
kelompoknya. Individu mempunyai fokus terhadap keadilan prosedural dalam
kelompok karena keadilan prosedural merupakan informasi mengenai identitas
yang dapat diterima individu. Hal ini didukung oleh temuan Lind dan Tyler
(1988) dan Smith dan Huo (1997) yang menyatakan bahwa pertimbangan
individu terhadap keadilan prosedural mempengaruhi pemikiran, rasa dan
perilaku individu dalam kelompok. Pertimbangan yang wajar terhadap keadilan
prosedural akan membentuk seberapa besar individu akan mengidentifikasikan
dirinya dengan kelompok. Rupp dan Cropanzano (2002) menyatakan bahwa
pertimbangan terhadap prosedur dan implementasi prosedur yang wajar

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 41


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

memberikan suatu keyakinan bahwa kelompok akan memberikan identitas yang


positif bagi individu melalui perlakuan yang wajar. Individu akan merasa aman
untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok ketika kelompok
mempunyai prosedur dan implikasi prosedur yang wajar. Penelitian Tyler dan
Blader (2003) menemukan bahwa individu akan memandang secara positif
terhadap kelompok dan keanggotaannya ketika kelompok mempunyai prosedur
yang diaplikasikan dengan wajar. Kondisi ini akan mendorong individu untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok.
Temuan Tyler dan Blader didukung oleh Hogg (2000) menyatakan bahwa
keadilan prosedural merupakan faktor penting yang mendasari proses
identifikasi dan seberapa besar individu mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok. Seberapa besar individu mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok akan mempengaruhi sikap individu sebagai anggota kelompok, dalam
penelitian ini adalah kepercayaan. Kepercayaan inidividu sebagai anggota
kelompok terbentuk karena individu memperoleh identitas dari kelompok yang
memiliki prosedur dan implementasi prosedur yang wajar. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka hipotesis yang diusulkan adalah:
H2: Pertimbangan identitas memediasi pengaruh pertimbangan keadilan
prosedural terhadap kepercayaan individu.

Kelly dan Thibaut (1958) dalam Cremer (2004) menyatakan bahwa aspek
ekonomi menjadi alasan awal bagi individu untuk bergabung dalam suatu
kelompok. Perilaku ini didasarkan pada kebutuhan individu untuk memperoleh
pendapatan yang dijelaskan oleh teori pertukaran sosial. Teori ini memandang
hubungan individu dan kelompok sebagai pertukaran sumber daya yang dimiliki
oleh kedua pihak. Hal ini berarti pendapatan yang akan diterima menjadi dasar
bagi individu untuk bergabung dan bekerjasama dalam suatu kelompok.
Ketika hubungan antara individu dan kelompoknya terfokus pada pertukaran
sumber daya, maka aturan alokasi sumber daya yang dimiliki oleh kelompok
menjadi perhatian penting karena memberikan informasi mengenai
kemungkinan pendapatan yang akan diterima. Tyler dan Blader (2003)
menyatakan bahwa pendapatan yang diinginkan oleh individu adalah
pendapatan yang wajar. Pendapatan yang wajar dapat dijelaskan oleh teori
ekuitas. Aturan proporsionalitas dalam teori ekuitas menjadi dasar kewajaran
pendapatan, yaitu penerimaan pendapatan yang sama dengan input yang telah

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 42


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

diberikan individu kepada kelompok. Warner dan Ones (2000) menyatakan


bahwa kewajaran terjadi ketika kinerja yang berbeda disertai dengan
penerimaan pendapatan yang berbeda pula. Hal ini berarti individu akan
mempunyai pertimbangan yang wajar terhadap pendapatan yang diterima ketika
individu mempunyai proporsi yang sama mengenai sumber daya yang diterima
dan dikeluarkan.
Hopkins dan Weathington (2006) menjelaskan bahwa kepuasan mempunyai dua
komponen, yaitu afektif dan kognitif (Schleicher et al., 2004). Komponen
afektif berkaitan dengan apa yang dirasakan seseorang, sedangkan komponen
kognitif berkaitan dengan keyakinan dan pemikiran sesorang mengenai
perlakuan yang diberikan. Kombinasi dari apa yang dirasakan, dipercaya dan
dipikirkan individu akan menentukan tingkat kepuasan yang dapat diperoleh
bawahan dari kelompok. Cohen dan Spector (2001) menemukan bahwa
kepuasan berkaitan dengan keadilan distributif dan prosedural. Semakin tinggi
tingkat kepuasan maka semakin tinggi kelompok memberikan keyakinan
kepada bawahan bahwa distribusi sumber daya dan prosedur dalam kelompok
wajar.
Miceli dan Lane (1991) dalam Warner dan Ones (2000) menyatakan bahwa
kepuasan individu terhadap pendapatan yang diterima mempunyai korelasi
positif dengan kewajaran pembayaran. Hal ini berarti kepuasan individu
terhadap pendapatan yang diterima dapat menceminkan kewajaran alokasi
pendapatan yang dimiliki oleh kelompok.
Group engagement memberikan argumentasi bahwa salah satu motivasi
individu bergabung dalam suatu kelompok adalah pendapatan yang akan
diterima. Perspektif pertukaran sosial dalam group engagement menjelaskan
pengaruh kepuasan terhadap pendapatan dalam membentuk pertimbangan
identitas. Tyler dan Blader (2003) menyatakan bahwa umpan-balik ekonomi
merupakan cara individu untuk memperoleh dan memelihara identitasnya dalam
suatu kelompok. Hal ini berarti pendapatan yang wajar akan menjaga identitas
individu secara ekonomi yang akan mempengaruhi pertimbangan individu
terhadap identitas yang dapat diberikan oleh kelompok. Ketika kelompok
mampu memberikan kepuasan pendapatan kepada anggota-anggotanya, maka
individu cenderung mengidentifikasikan dirinya secara ekonomis dengan
kelompoknya.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 43


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lewicki dan Bunker (1996) dan Kramer dan Wei (1999) dalam Tanis
dan Postmes (2005) menyatakan bahwa kepercayaan individu tidak hanya
didasarkan pada pertimbangan ekonomi dari hubungan individu dengan
kelompoknya tetapi pada keanggotaan individu dalam kelompok yang mampu
memberikan identitas. Hal ini berarti pertimbangan individu mengenai identitas
yang dapat diterima dari kelompok akan mempengaruhi kepercayaan individu
terhadap kelompoknya. Ketika individu memiliki pertimbangan bahwa
kelompok mampu memberikan dan memelihara identitas sosial anggota-
anggotanya, maka individu akan percaya bahwa kelompok mampu memenuhi
kebutuhannya akan identitas. Hal ini didukung oleh studi Tyler dan Blader
(2003) yang menyatakan bahwa pertimbangan individu terhadap pendapatan
yang diterima tidak secara langsung mempengaruhi sikap individu tetapi
dimediasi oleh pertimbangan individu mengenai identitas yang diperoleh dari
kelompok. Pernyataan tersebut didukung oleh temuan Tanis dan Postmes
(2005) bahwa identifikasi individu memiliki pengaruh terhadap kepercayaan
individu kepada kelompok. Semakin kuat identifikasi individu terhadap
kelompok, maka individu semakin percaya akan peran penting peran kelompok
bagi individu. Hal ini mendorong individu untuk membina hubungan jangka
panjang dengan kelompok dengan berperilaku positif, karena kepentingan
kelompok merupakan kepentingan anggota kelompok. Identitas yang dibentuk
oleh kepuasan terhadap pendapatan menjadi alasan penting bagi individu untuk
percaya bahwa kelompok mampu memelihara identitasnya sehingga mendorong
perilaku yang positif. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis yang diusulkan
mengenai pertimbangan identitas dan kepercayaan individu adalah:
H3: Pertimbangan identitas memediasi pengaruh kepuasan pendapatan
terhadap kepercayaan individu.

Respek dan Pertimbangan Identitas


Group engagement menggunakan teori identitas sosial untuk menjelaskan
hubungan individu sebagai anggota dengan kelompoknya. Keanggotaan dalam
suatu kelompok merupakan salah satu cara yang digunakan oleh individu untuk
mendapatkan dan memelihara identitasnya. Hal ini berarti individu akan
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok, ketika kelompok mampu
memberikan identitas sosial yang menjadi kebutuhannya. Tyler dan Blader

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 44


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

(2001) menyatakan bahwa status yang diberikan kelompok kepada individu


dapat membentuk identitas individu dengan kelompoknya.
Respek yang diberikan kelompok dapat merefleksikan status individu
dalam suatu kelompok. Respek yang diterima individu menunjukkan bagaimana
individu dihargai oleh kelompoknya. Para peneliti identitas sosial memberikan
pendapat bahwa individu akan merasa senang ketika individu lain dalam
kelompok menghargai keberadaannya. Tyler et al. (1996) dan Tyler dan Blader
(2000) mendukung pernyataan di atas bahwa respek akan membentuk harga
diri. Noel et al. (1995) menemukan bahwa individu sangat memperhatikan
tentang apa yang dipikirkan oleh individu lain mengenai dirinya. Temuan-
temuan penelitian di atas dapat menunjukkan pentingnya respek bagi individu
untuk menunjukkan statusnya dalam suatu kelompok.
Fuller et al. (2006) menyatakan bahwa persepsi individu mengenai respek yang
diberikan oleh kelompok akan mempengaruhi seberapa besar individu
mengidentifikasikan dirinya secara kognitif dengan atribut-atribut yang dimiliki
oleh kelompok. Seta dan Seta (1996) menyatakan bahwa respek merupakan
faktor penting dalam proses identifikasi individu terhadap kelompoknya.
Respek yang menunjukkan penghargaan kelompok kepada individu akan
mendorong individu untuk berfikir mengenai cara menjaga identitasnya.
Motivasi ini akan mendorong individu secara sukarela berperilaku positif yang
memberikan manfaat bagi kelompok dan mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok. Tyler dan Blader (2002) menyatakan bahwa penelitian-penelitian
terdahulu menemukan adanya korelasi yang positif antara respek dan
identifikasi terhadap kelompok.
Group engagement memberikan pemahaman bahwa keanggotaan dalam suatu
kelompok memberikan pandangan yang positif terhadap individu. Respek yang
diberikan kelompok akan digunakan sebagai evaluasi status individu dalam
kelompok. Status individu dalam kelompok akan membentuk harga diri yang
dibutuhkan oleh individu untuk memperoleh dan menjaga identitasnya. Ketika
kelompok diakui mampu memberikan identitas melalui status individu dalam
kelompok, maka evaluasi individu terhadap statusnya dalam kelompok akan
mempengaruhi pertimbangan identitas. Hipotesis yang diusulkan mengenai
respek dan pertimbangan identitas adalah:
H4: Respek mempunyai pengaruh terhadap pertimbangan identitas individu

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 45


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Kepercayaan dan Kekenduran anggaran


Studi Brewer dan Kramer (1986) menunjukkan bahwa individu yang
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok dan memberikan evaluasi positif
terhadap perlakuan dan prosedur, akan memiliki kecenderungan untuk
menginternalisasikan kepentingan kelompok dalam kepentingan pribadinya. Hal
ini berarti respek yang membentuk identitas sosial individu dalam kelompok
mempunyai pengaruh terhadap sikap individu terhadap kelompok. Kepercayaan
individu terhadap kelompok dibentuk oleh kemampuan kognitif dan
pengalaman individu dalam mengevaluasi kewajaran prosedur dan perlakuan
sebagai informasi yang mengkomunikasikan respek yang akan diterima (Aryee
et al., 2002).
Studi Tyler dan Blader (2001) menemukan bahwa identifikasi individu
terhadap kelompok secara signifikan mempengaruhi komitmen individu dan
kepuasan terhadap atasan. Hal ini ditunjukkan oleh pengaruh signifikan respek
terhadap ketaatan dan perilaku diskresioner individu dalam kelompok. Studi ini
juga menemukan bahwa identitas individu dalam kelompok mempunyai
pengaruh dalam membentuk perilaku individu dalam kelompok.
Brockner dan Siegel (1996) menyatakan bahwa prosedur pembuatan keputusan
yang wajar tidak hanya memberikan keuntungan material tetapi juga
keuntungan psikologis dengan memperoleh identitas diri. Ketika individu
mempunyai informasi mengenai kewajaran keadilan prosedural, distributif dan
respek maka individu tersebut memiliki pertimbangan identitas. Pertimbangan
identitas yang wajar akan mendorong individu untuk mengidentifikasikan
dirinya dengan kelompok karena alasan psikologis. Hal ini akan mendorong
individu untuk fokus terhadap hubungan jangka panjang dengan kelompok
karena mereka percaya bahwa kelompok mampu memenuhi kebutuhan
ekonomis dan psikologis. Konsekuensi dari kondisi ini adalah perilaku negatif
individu akan berkurang. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang
diusulkan adalah:
H5: Kepercayaan individu mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan
individu melakukan kekenduran anggaran.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 46


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

3. Metodologi Penelitian
3.1. Partisipan
Partisipan dalam riset eksperimen ini adalah mahasiswa S-1 Fakultas Ekonomi
Jurusan Akuntansi dan Manajemen yang minimal telah menempuh lima
semester. Pemilihan mahasiswa sebagai partisipan didasarkan pada artikel
Ashton dan Kremer (1996) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan
antara mahasiswa dan pelaku bisnis dalam melakukan tugas eksperimen. Tugas
eksperimen dalam penelitian ini adalah pengkodaan, yaitu menterjemahkan
simbol ke dalam abjad. Pengkodaan ini sangat mudah dipahami oleh mahasiswa
pada sesi pelatihan sehingga mahasiswa dapat menjalankan tugas eksperimen
ini sebagai bentuk partisipasi dalam penyusunan anggaran dengan baik. Alasan
lain pemilihan mahasiswa sebagai partisipan adalah fokus penelitian ini pada
perilaku individu ketika berada dalam kondisi pengurangan bias, skema
pendapatan dan respek tertentu tanpa melihat kapasitas praktis dan profesi.
Partisipan yang terlibat dalam eksperimen adalah mahasiswa yang telah
menyatakan kesediaannya untuk terlibat dalam eksperimen ini.

3.2. Desain Eksperimen


Studi ini menggunakan metoda eksperimen untuk menjelaskan kekenduran
anggaran yang dilakukan oleh bawahan dengan cara melakukan intervensi
terhadap variabel-variabel penelitian melalui manipulasi. Manipulasi dilakukan
pada pengurangan bias, respek dan kepuasan terhadap pendapatan. Desain
eksperimental penelitian ini adalah 2 x 2 x 2 between subject seperti tabel di
bawah ini:

Tabel 3.1.
Desain Eksperimen

Pengurangan Bias-Tinggi Pengurangan Bias-Rendah


Tidak Tidak
Skema
Respek Menerima Respek Menerima
Pendapatan
Respek Respek
Tetap 1 2 3 4
Variabel 5 6 7 8

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 47


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

3.3. Variabel-Variabel Penelitian dan Pengukuran Variabel


Pada bagian ini akan dijelaskan definisi operasional dan pengukuran variabel-
variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Pertimbangan keadilan prosedural didefinisikan sebagai pertimbangan
terhadap prosedur proses pembuatan keputusan dan implementasinya.
Pertimbangan keadilan prosedural dalam penelitian ini dimanipulasi dengan
memberikan skenario mengenai prosedur yang akurat dengan pengurangan
bias yang berbeda. Manipulasi terhadap akurasi dan pengurangan bias
didasarkan pada studi Vermunt et al. (1996). Cek manipulasi dilakukan
dengan memberikan pertanyaan kepada partisipan: ”Bapak Hadi bias dalam
membuat keputusan penerimaan mahasiswa sebagai asisten peneliti.”
Pertimbangan keadilan prosedural diukur dengan memberikan pertanyaan
kepada partisipan mengenai pertimbangan mereka terhadap prosedur dan
implementasinya dalam skenario yang telah disiapkan berdasarkan studi
Cremer (2004)
2. Kepuasan terhadap pendapatan dan respek.
Kepuasan terhadap pendapatan merupakan variabel yang mewakili aspek
instrumental. Kepuasan terhadap pendapatan didefinisikan berdasarkan teori
ekuitas, yaitu kepuasan individu terhadap proporsi pendapatan yang
diterima dengan usaha yang telah dilakukan. Manipulasi dilakukan dengan
memberikan skema kompensasi yang berbeda, yaitu fixed rate dan piece
rate. Skema kompensasi piece rate mewakili kondisi proporsional dan fixed
rate mewakili kondisi kompensasi yang tidak proporsional. Kepuasan
terhadap pendapatan akan diukur dengan memberikan pertanyaan kepada
partisipan berdasarkan item-item dalam studi Arnold dan Spell (2006). Cek
manipulasi dilakukan dengan memberikan tugas perolehan kompensasi
untuk mengetahui pemahaman partisipan mengenai kompensasi yang akan
diterima.
3. Respek didefinisikan sebagai penghargaan kelompok terhadap individu
dengan memberikan status tertentu yang membedakan peran individu
dengan individu lain. Manipulasi terhadap respek dilakukan dengan cara
memberikan peran yang berbeda dari partisipan lain, yaitu memberikan
pendapat mengenai hasil dan estimasi pengkodaan yang dilakukan
partisipan lain. Respek diukur dengan memberikan pertanyaan kepada

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 48


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

partisipan berdasarkan item-item yang digunakan dalam studi Platow


(2006). Cek manipulasi terhadap respek dilakukan dengan memberikan
pertanyaan kepada partisipan, yaitu: ”Lembaga Penelitian Fakultas
memberikan peran penting bagi anda dalam menetapkan jumlah
pengkodaan benar.”
4. Pertimbangan identitas merupakan pertimbangan individu terhadap identitas
sosial yang diterima dari kelompok. Individu akan mengidentifikasikan
dirinya dengan kelompok dimana mereka menjadi anggota dan posisi
individu dalam kelompok. Kebutuhan akan identitas ini mendorong
individu untuk membina hubungan jangka panjang dengan membangun
perilaku positif yang memberikan keuntungan bagi kelompok.
Pertimbangan identitas ini diukur dengan item yang dikembangkan oleh
Doodje, Ellemers dan Spears (1995) dalam Platow (2006).
5. Kepercayaan individu dalam penelitian ini didefinisikan sebagai keyakinan
individu sebagai anggota kelompok bahwa atasan tidak mengeksploitasi
bawahan dan bekerja untuk kepentingan kelompok. Pertimbangan individu
terhadap identitas akan mempengaruhi kepercayaan individu terhadap
kelompok melalui kebutuhan individu terhadap identitas. Ketika individu
merasa bahwa kelompok memberikan identitas yang positif, maka individu
percaya bahwa kebutuhan identitasnya akan terjaga dengan menjadi
anggota kelompok. Kepercayaan individu diukur dengan item yang
dikembangkan oleh Robinson (1996).
6. Kekenduran anggaran merupakan perilaku individu untuk menetapkan
anggaran yang lebih rendah dari anggaran yang sebenarnya dapat dicapai.
Definisi Anthony dan Govindradjan (2001) digunakan dalam penelitian ini
untuk menjelaskan kekenduran anggaran, yaitu perbedaan anggaran yang
diajukan oleh bawahan dengan estimasi terbaik atasan. Bawahan cenderung
mengajukan anggaran yang lebih rendah dari kemampuan optimal bawahan
sehingga anggaran mudah dicapai. Kekenduran anggaran dalam penelitian
ini didefinisikan sebagai selisih antara jumlah estimasi data terbaik yang
dikumpulkan oleh asisten peneliti dan data yang diperkirakan dapat
dikumpulkan oleh asisten peneliti.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 49


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

3.4. Validitas dan Reliabilitas


Validitas internal dalam studi eksperimen ini digunakan untuk menjamin bahwa
variabel dependen hanya dipengaruhi oleh manipulasi variabel independen. Hal
ini berarti variabel ekstrani harus dihilangkan dalam suatu hubungan kausal.
Studi ini menggunakan randomisasi untuk meminimalkan atau bahkan
menghilangkan pengaruh dari variabel ekstrani dalam hubungan kausal
(Christensen, 1988; Hartono, 2004). Randomisasi dilakukan dengan
menempatkan partisipan secara random pada sel-sel dengan perlakuan yang
berbeda. Validitas isi dilakukan dengan menterjemahkan item pertanyaan dari
Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali kedalam
Bahasa Inggris oleh orang yang berbeda dan mempunyai kemampuan Bahasa
Inggris yang baik. Pertanyaan ini digunakan dalam pilot study untuk mendapat
masukan dari para partisipan.Validitas konstruk dan reliablitas dalam penelitian
ini dilakukan dalam model pengukuran partial least square.

3.5. Alat Analisis


Pengujian terhadap hipotesis-hipotesis penelitian ini dilakukan dengan tahap-
tahap sebagai berikut:
1. Hipotesis 1 menguji pengaruh prosedur yang akurat terhadap pertimbangan
keadilan prosedural dengan memperhatikan tingkat pengurangan bias
dalam penelitian akan diuji dengan t- test. Pengujian dengan t-test
digunakan karena dalam hipotesis 1 hanya terdapat satu variabel dependen,
yaitu pertimbangan keadilan prosedural, dengan perlakuan tingkat
pengurangan bias yang berbeda. Pengujian kausalitas ini didasarkan pada
method of difference (Christensen, 1988).
2. Hipotesis 2 sampai dengan hipotesis 8 dalam penelitian ini akan diuji
dengan persamaan struktural (partial least square).

DAFTAR PUSTAKA
Abrams, D., Ando, K. dan Hinkle, S.(1998),”Psychological Attachment to
Group: Cross Cultural Differences in Organizational Identification and
Subjective Norms as Predictors of Workers’ Turnover
Intentions,”Personality and Social Psychology Bulletine, 24.
Ashton , R.H dan Kremer S, (1996),”Student Surrogates in Behavioral
Accounting Research: Some Evidance,”Journal of Accounting Research, 18.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 50


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Blader, Steven L. dan Tom R. Tyler, (2003), ” A Four-Component Model of


Procedural Justice: Defining the Meaning of a “Fair” Process,” Personality
and Social Psychology Bulletin,Vol. 29.
Brewer, M.B, dan Kramer, R.M, (1986), ”Choice Behavior in Social Dillemas:
Effects of Social Identity, Group Size and Decision Faming,” Journal of
Personality and Social Psychology, 50.
Brockner, J dan Woesenfeld, B.M, (1996),”An Integrative Framework for
Explaining Reaction to Decisions: Interactive Effect of Outcomes and
Procedures,”Psychological Bulletine, Vol.120.2,p.189-208
Brownell,P,(1982),”Participation in the Budgeting Process: When it Works and
When it doesn’t,”Journal of Accounting Literature, Vol.1,pp.124-153
Chow,C., J.Cooper dan W. Waller,1988,”Participative Budgeting: Effects of
Thruth-inducing Pay Scheme and Information Asymmetry on Slack and
Performance,”The Accounting Review, Januari:63,pp:111-121
Cohen, C. Y dan Spector, P.E, (2001),”The Role of Justice on Organizations: A
Meta Analysis,”Organizational Behavior and Human Decions Processes,
86.
Colquitt et al. (2001),”On the Dimensionality of Organizational Justice: A
Construct Validation of a Measure,”,”Journal of Applied Psychology, 86.
Cremer, Davis, (2004),”The Influence of Accuracy as a Function of Leader’s
Bias: The Role of Trustworthiness in the Psychology of Procedural
Justice,”Personality and Social Psychology Bulletin,Vol.30,p.293-303.
Cremer, David , dan Daan van Knippenberg, (2003), “Coperation with leaders
in social dilemmas: On the effects of procedural fairness and outcome
favorability in sturctural cooperation”, Organizational behavior dan Human
Decision Processes 91
Eisenhart,K,(1989),”Agency Theory:An Assessment and Review,”Academy of
Management Review,Vol.14:57-74
Folger,R dan Kanovsky,M.A,(1989),”Effect of Procedural and Distributive
Justice on Reaction to Pay Rate Decision,”Academy of Management
Journal,Vol.53:110130
Fuller et al.,(2006),”Perceived External Prestige and Internal Respect: New
Insight into the Organizational Identification Process,”Human Relation, 59.
Govindarajan, V, (1986),”Impact of Participation in the Budgetary Process on
Managerial Attitudes and Performance: Universalistic and Contingency
Perspective, Decision Sciences, 17.
Greenberg, J,1990,”Employee Theft as a Reaction to Underpayment of
Inequity,”Journal of Apllied Psychology,Vol:75,pp.561-568

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 51


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Hansen, Otley dan Stede, (2003),”Practice Developments in Budgeting: An


Overview and Research Perspective,” Journal of Management Accounting
Research, Vol.XV,pp.95-116
Hogg, M.A,(2001),”A Social Identity Theory of Leadership,” Personality and
Social Psychology Review, 5
Hopkins Sharon M dan Bart L. Weathington, (2006), “The Relationships
Between Justice Perception, Trust, and Employee Attitudes in a Downsized
Organization,”The jounal of Psychology, 140.
McFarlin dan Sweeney (1992) McFarlin, Dean B dan Paul
D.Sweeny,(1992),“Does Having A Say Matter Only If You Predictor of
Satisfaction with Personal and Organizational Outcomes,”Academy of
Management Journal, Vol.35:626-637.
Merchant, K.A., (1985),”Budgeting and the Propensity to Create
Slack,”Accounting, Organizations and Society, 10.
Murrary,D,1990,”The Performance Effects of Participative Budgeting: An
Integration of Intervening and Moderating Variables.”Behavioral Research
in Accounting,Vol.2,p:104-123.
Nahartyo,Ertambang,(2004),”Budgetary Participation and Strech Target: The
Effect of Procedural Justice on Budget Commitment and Performance under
A Strech Budget Condition,”Disertasi.
Platow, Michael J, et.al, (2006), “Non-Instrumental Voice and extra-role
Behaviour,” European Journal of Social Psychology, 36.
Prooijen Jan-Willem Van, Kees Van den Bos dan Henk A. M. Wilke, (2007),
“Procedural Justice in Authority Relations: The Strength of Outcome
Dependece Influences People’s Reactions to Voice, “European Journal of
Social Psychology.
Seta, J.J, dan Seta, C.E., (1996),”A Social Hierarchy Analysis of Intergroup
Bias,” Journal of Personality and Social Psychology,81.
Tyler Tom R dan Steven L. Blader, (2001), “Identity and Cooperative Behavior
in Groups,” Group Processes & Intergroup Relations, 4.
Tyler Tom R dan Steven L. Blader, (2004), ”The Group Engagement Model:
Procedural Justice, Social Identity, and Cooperative Behavior,” Personality
and Social Psychology Review, Vol.7
Tyler, T.R, Degoey, P., dan Smith, H.(1995), “Understanding Why the Justice
of Group Procedures Matters,” Journal of Personality and Social
Psychology, 70.
Tyler, Tom, et. al, (1996), “Understanding Why the Justice of Group Procedures
Matters: A Test of the Psychological Dynamics of the Group-Value Model,”
Journal of Personality and Social Psychology, 70

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 52


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tyler, T.R, (1994), ”Psychological Models of The Justice Motive,”Journal of


Personality and Social Psychology, 67.
Van den Bos (2001), “The Influence of Uncertainty Salience on Relations to
Perceived Procedural Fairness,” Journal of Personality and Social
Psychology, 80.
Van den Bos dan Lind, E.A, (2002),
Van den Bos, Vermunt, R. dan Wilke H.A.M,(1997),”Procedural and
Distributive Justice: What is Fair depends more on What Comes First than
on What Comes Next,” Journal of Personality and Social Psychology, 72
Van den Bos (1998), “When Do We Need Prosedural Fairness?: The Role of
Trust in Authority,” Journal of Personality and Social Psychology, 75
Vermeulen, L.P dan M. Coetzee, (2006),”Percetions of the Dimensions of the
Fairness of Affirmative Action: A Pilot Study,”Journal of Business
Management,Vol:37.
Warner dan Ones (2000) Werner, Steve dan Deniz S. Ones,(2000),”
Determinants of Perceived Pay Inequities: The Effects of Comparison Other
Characteristics and Pay-System Communications,” Journal of Applied
Social Psychology,Vol.30(6).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 53


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ANTESEDEN DAN KONSEKWENSI ETIKA KERJA ISLAM


Siti Djamilah•

ABSTRACT
This research had four studies of Islamic work ethic. The first study pooled
items of Islamic work ethics. The second study tested face validity. The third of
study was measure purification and measure validation. The final of study was
examined the model of the antecedents and consequences of Islamic work ethic.
Until now, researcher had done two studies of Islamic work ethics. The third
and fourth of studies will be done latter.
The first study done by searching literature about Islamic work ethic. The
initial pooled items were 125 items adopted from 6 authors of Indonesia and 1
author from USA. Next step, the researcher tested face validity to the experts
(ulama, lectures of Islamic University and employee of Islamic institution) in
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya and Malang. Questionnaires of face validty test
were distributed to 20 respondens and 17 questionnaires was returned. Beside
that, researcher had interviewed the experts. The result of face validity showed
that 92 of 125 items had content validity ratio (CVR) above 70% and inter
rater reliability above 85%. Next step the researcher determined indicators
were reflective or formative and examined measure validation.

Key Words: Islamic work ethic, work individualism, internal locus of control,
job performance, organizational citizenship behavior, job satisfaction, role
ambiguity, reflective indicators.

PENDAHULUAN
Latar Belakang Riset
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat istiadat atau
kebiasaan (Keraf, 1998). Menurut Trevino dan Nelson (1999), etika adalah
konsep mengenai perbuatan seseorang benar atau salah. Etika berguna untuk
mengarahkan tingkah laku manusia ke arah kebaikan dan kemanfaatan
kehidupan. Etika juga diperlukan dalam mengarahkan aktivitas seseorang dalam
bekerja. Tanpa etika, yang terjadi adalah orang akan menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan keuntungan bahkan bisa jadi merugikan orang lain.
Seseorang yang mempunyai etika kerja akan memandang positif pekerjaan dan
mempunyai nilai intrinsik (Hill & Fout, 2005). Etika kerja menurut Hill dan


Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan sedang
menempuh S3 MSDM FEB UGM Yogyakarta sejak tahun 2006
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 54
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Fout (2005) adalah suatu set karakteristik sikap pekerja yang memandang
pentingnya pekerjaan bagi dirinya. Etika kerja adalah totalitas kepribadian
seseorang, cara mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan
makna pada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih
kinerja tinggi (Tasmara, 2002).
Etika kerja merupakan refleksi kondisi pendidikan, politik, budaya dan
terutama agama (Elizur, et al., 1991 dalam Abu-Saad, 1998), contohnya etika
kerja Protestan (Protestant Work Ethic disingkat PWE) yang dikembangkan
oleh Weber tahun 1904. Ia mengembangkan teori etika kerja berdasarkan ide
Martin Luther yang menyatakan bahwa bekerja merupakan suatu ‘panggilan
dari Tuhan’ (Weber, 1905 dalam Fouts, 2004). Dengan demikian, satu-satunya
cara untuk hidup yang dapat diterima Tuhan adalah melalui ketaatan pada
panggilan. Kebanyakan riset etika kerja dilakukan di negara-negara barat dan
berfokus pada agama Kristen Protestan. Diperlukan riset yang mengatasi gap
penelitian dalam literatur. Menurut Mubyarto (2002), topik tentang ekonomi
Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-
Quran, namun pengkajian ekonomi dalam ajaran Islam terutama tentang etika
kerja Islam masih kurang. Oleh karena itu diperlukan riset etika kerja di negara-
negara timur dan berfokus pada ajaran agama yang dominan di timur,
contohnya Islam. Konsep etika kerja Islam diambil dari Al Qur’an kitab suci
pemeluk agama Islam yang merupakan firman Allah dan Hadist yang
bersumber dari perilaku Nabi Muhammad SAW utusan Allah.
Etika kerja Islam mempercayai bahwa kerja keras akan mengurangi
dosa-dosa tertentu dan tidak seorangpun makan-makanan yang lebih baik,
kecuali ia makan dari hasil kerjanya (Yousef, 2000a). Afzulurrahman (1995)
dalam Arifuddin, et al. (2002) mengungkapkan bahwa banyak ayat di Al Qur’an
yang menekankan pentingnya seseorang bekerja. Contohnya Q.S. An-Najm: 39-
40: ‘bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain yang telah
diusahakannya dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan
(kepadanya)’. Ayat tersebut menjadi dasar bahwa, satu-satunya cara untuk
menghasilkan sesuatu dari alam adalah dengan bekerja keras. Dengan kata lain,
etika kerja Islam berpendapat bahwa melakukan aktivitas ekonomi merupakan
suatu kewajiban, tidak membuang waktu untuk aktivitas tidak produktif dan
menentang perilaku ‘minta-minta’ dan menekankan kerjasama dalam bekerja.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 55


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Alasan lain yang mendorong pentingnya riset etika kerja Islam adalah
masalah pengukuran. Pengukuran etika kerja Islam seringkali menggunakan
skala IWE (Islamic work ethic) dari Ali (1988) yang berasal dari Indiana
University dan kebanyakan divalidasi pada sampel dari negara-negara Arab.
Oleh karena itu, perlu penggalian konsep etika kerja Islam dari penulis-penulis
di Indonesia sendiri yang diharapkan lebih mampu mencerminkan penerapan
ajaran Islam dalam budaya Indonesia dan kemudian divalidasi pada sampel
orang-orang Indonesia. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah validasi
pengukuran skala baru dalam etika kerja Islam.
Isu lain dalam pengukuran adalah tentang multidimensionalitas etika
kerja Islam. Riset-riset terdahulu menemukan bahwa etika kerja merupakan
konstruk multidimensional (Furnham & Koritsas, 1990), namun riset-riset
umumnya memperlakukan etika kerja sebagai konstruk unidimensional,
bukannya multidimensional. Adanya tendensi untuk melaporkan composite
etika kerja secara keseluruhan menyebabkan hanya ada sedikit riset yang
meneliti hubungan antara dimensi-dimensi etika kerja dengan variabel
komitmen kerja yang lain dan variabel organisasional (Hirschfeld & Feild,
2000; Shamir, 1985 dalam Hudspeth, 2003). Penggunaan skor tunggal secara
keseluruhan berpotensi menyebabkan hilangnya informasi terkait etika kerja
dan hubungannya dengan konstruk lain (Miller, 1997). Selain itu penggunaan
skor tunggal dalam studi yang menggunakan instrumen berbeda untuk
mengukur etika kerja hanya menjelaskan sebagian hasil yang ditemukan di
literatur (Furnham, 1984). Isu multidimensionalitas dalam etika kerja Islam
hanya dilakukan oleh Abu –Saad (1998) dengan menggunakan skala IWE dari
Ali (1988) dan menghasilkan 3 faktor yaitu: 1) Personal and organizational
obligations 2) Personal investment and dividens 3) Personal effort and
achievement. Oleh karena itu, peneliti sekarang juga akan menyertakan isu
multidimensionalitas etika kerja Islam.
Isu berikutnya dalam pengukuran adalah tentang indikator suatu
konstruk berbentuk formatif atau reflektif. Indikator reflektif merupakan
indikator efek yang merupakan fungsi variabel laten (Diamantopoulos &
Siguaw, 2006). Perubahan dalam laten variabel direfleksikan (diwujudkan)
dalam perubahan indikator yang teramati. Dikatakan indikator tersebut reflektif
jika mempunyai anteseden dan konsekwensi yang sama dan dapat saling
dipertukarkan serta covary satu sama lain (Podsakoff, et al. 2003). Sedangkan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 56


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

indikator formatif adalah penyebab variabel laten (Diamantopoulos & Siguaw,


2006). Perubahan dalam indikator menentukan perubahan dalam nilai variabel
laten. Indikator formatif terjadi jika tiap indikator mencerminkan bagian khusus
dari facet konstruk, sehingga tidak dapat dipertukarkan. Hal ini berarti
indikator-indikator tidak diharapkan covary satu sama lain (Podsakoff, et al.
2003). Hasil penelitian Podsakoff, et al. (2003) menunjukkan bahwa 47%
penelitian yang seharusnya berindikator formatif dimodelkan sebagai reflektif,
namun sebaliknya tidak ada kesalahan (0%) yang seharusnya berindikator
reflektif namun salah diindikasikan sebagai formatif. Dengan demikian lebih
banyak peneliti yang melakukan kesalahan ketika mengindikasikan indikator
suatu konstruk adalah reflektif. Oleh karena itu, peneliti sekarang akan
menentukan apakah indikator-indikator atau dimensi-dimensi etika kerja Islam
merupakan konstruk dengan indikator reflektif atau formatif. Podsakoff, et al.
(2003) menekankan pentingnya pengukuran yang bebas dari misspecification
yang berupa kesalahan dalam menetapkan indikator suatu konstruk berbentuk
formatif atau reflektif. Kesalahan dalam spesifikasi akan berakibat bias pada
estimasi parameter dan mengarah pada penilaian yang tidak tepat hubungan
antara variabel tersebut dengan anteseden dan konsekwensinya (Podsakoff, et
al., 2003; Diamantopoulos & Siguaw, 2006). Selain itu kesalahan dalam
penetapan indikator menyebabkan rendahnya validitas konten, validitas
konstruk dan validitas kriterion, dan pada akhirnya mempunyai kegunaan teori
manajemen yang rendah bagi peneliti dan praktisi bisnis terkait dengan
relevansi untuk pengambilan keputusan manajerial (Coltman et al., 2008). Oleh
karena itu, penelitian sekarang juga akan membahas isu bentuk indikator
formatif atau reflektif dalam validasi pengukuran etika kerja Islam.
Adapun persamaan dan perbedaan pengukuran etika kerja Islam dari
Ali (1988) dengan peneliti sekarang maupun dengan etika kerja Protestan dan
etika kerja kontemporer dapat dilihat di tabel 1.
Setelah validasi pengukuran skala baru dalam etika kerja Islam,
penelitian ini juga akan menguji model yaitu anteseden (terdiri dari: internal
locus of control dan individualisme kerja) dan konsekwensi etika kerja Islam
(terdiri dari kinerja pekerja, organizational citizenship behavior/OCB, kepuasan
kerja dan role ambiguity). Penelitian anteseden dan sekaligus konsekwensi etika
kerja bisa dikatakan sangat kurang, di etika kerja Protestan, etika kerja
kontemporer dan etika kerja Islam. Kurangnya penelitian anteseden dan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 57


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

sekaligus konsekwensi etika kerja Islam menyebabkan pemahaman yang kurang


komprehensif tentang penyebab (anteseden) tinggi rendahnya etika kerja Islam,
maupun dampak (konsekwensi) dari etika kerja Islam. Dengan demikian
penelitian sekarang akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang
MSDM umumnya dan etika kerja pada khususnya; membantu organisasi atau
perusahaan (khususnya perusahaan multinasional yang didirikan di pasar yang
didominasi umat Islam) dalam merekrut, menyeleksi, melatih dan
mempertahankan tenaga kerja berkualitas; dan dalam melakukan intervensi
untuk meningkatkan etika kerja Islam; serta memperoleh outcome atas hasil dari
pekerja dengan etika kerja Islam yang tinggi.
Anteseden etika kerja, etika kerja Protestan atau etika kerja Islam yang
seringkali diteliti adalah variabel demografi, baik pada level individu, level
organisasi maupun level negara. Pada level individu contohnya gender, tingkat
pendidikan, pengalaman kerja, umur, pendapatan, dan lain-lain. Pada level
organisasi contohnya umur organisasi, tipe organisasi dan kepemilikan
organisasi, dan lain-lain. Sedangkan pada level negara contohnya perbedaan
etika kerja berdasar asal negara, warga negara dan budaya negara. Anteseden
selain demografi, seperti kepribadian (contohnya locus of conrol), sikap kerja
(contohnya keterlibatan kerja) dan hasil kerja (contohnya indeks kesuksesan),
merupakan variabel-variabel yang jarang diuji. Oleh karena itu penelitian
sekarang tidak lagi menggunakan variabel demografi sebagai variabel anteseden
etika kerja Islam, tapi lebih pada variabel kepribadian seperti individualisme
kerja dan locus of control.
Isu yang ingin diangkat dalam penelitian ini terutama adalah
konsekwensi berupa kinerja pekerja dan perilaku kewarganegaraan
(organizational citizenship behavior disingkat OCB). Selama ini penelitian-
penelitian etika kerja baik etika kerja Protestan, etika kerja kontemporer
maupun etika kerja Islam lebih mengarah pada konsekwensi berupa sikap kerja
seperti kepuasan kerja, komitmen organisasional dan keterlibatan kerja. Alasan
yang muncul atas kurangnya riset konsekwensi berupa kinerja pekerja adalah
kurangnya pembedaan antara kinerja tugas dengan aspek kontekstual kinerja
pekerjaan (kinerja kontekstual) (Scotler, et al., 2000 dalam Suwito, 2005). Oleh
karena itu, hasil-hasil riset terdahulu menyarankan perlunya meneliti hubungan
antara etika kerja dengan kinerja tugas dan kinerja kontekstual yang terwujud
dalam bentuk OCB. Dengan demikian, penelitian hubungan etika kerja Islam

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 58


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dengan kinerja dan OCB sebagai variabel konsekwensi, masih dimungkinkan


dalam penelitian sekarang ini.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Apa saja komponen-komponen konstruk etika kerja Islam berdasarkan
pengembangan ukuran yang dilakukan Ali (1988) dan penafsiran Al Qur’an
dan hadist dari penulis-penulis di Indonesia?
2. Bagaimana hasil face validity ukuran baru etika kerja Islam yang
dikembangkan peneliti sekarang?
3. Bagaimana hasil validasi pengukuran etika kerja Islam yang dikembangkan
peneliti sekarang?
4. Studi selanjutnya bermaksud untuk menguji model yang menunjukkan
hubungan etika kerja Islam dengan anteseden dan konsekwensinya yaitu:
a. Apakah internal locus of control berpengaruh positif pada etika kerja
Islam?
b. Apakah individualisme kerja berpengaruh negatif pada etika kerja
Islam?
c. Apakah etika kerja Islam berpengaruh positif pada kinerja pekerja?
d. Apakah etika kerja Islam berpengaruh positif pada perilaku
kewarganegaraan (organizational citizenship behavior)?
e. Apakah etika kerja Islam berpengaruh positif pada kepuasan kerja?
f. Apakah etika kerja Islam berpengaruh negatif pada ambiguitas peran
(role ambiguity)?

RERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS


Hubungan Etika Kerja dan Agama
Riset etika kerja di berbagai setting budaya menunjukkan bahwa etika
kerja merupakan refleksi kondisi pendidikan, politik, budaya dan agama (Elizur,
et al., 1991 dalam Abu-Saad, 1998). Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-
salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku ekonomi, bersumber
terutama dari ajaran agama. Namun Bernstein (1988) dalam Kegans (2006)
berargumen bahwa, pengembangan etika kerja kurang dipengaruhi agama.
Menurut mereka, setelah berlangsung bertahun-tahun, etika kerja Protestan yang

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 59


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

berupa spirit kerja keras bercampur dengan norma budaya barat dan tidak lagi
diatributkan pada agama tertentu. Muncul pertanyaan apakah etika kerja
Protestan (Protestant work ethic atau PWE) masih didominasi penganut
Protestan ataukah sudah merupakan konstruk yang berbagi secara universal.
Pada akhirnya hasil riset mengarah pada dukungan yang kuat atas hubungan
etika kerja dengan afiliasi agama (Niles 1999; Arslan 2001).

Hubungan Anteseden Individualisme Kerja dengan Etika Kerja Islam


Anteseden selain demografi yang perlu diteliti dalam etika kerja Islam
adalah individualisme kerja dan locus of control. Skala individualisme kerja
menunjukkan individualisme di tempat kerja yang berupa: menekankan
keterandalan diri sendiri, kebahagiaan diri sendiri, independen dengan yang
lain, lebih menekankan penghargaan individu dibanding penghargaan
kelompok, bangga pada aktivitas sendiri dan loyalitas pada diri sendiri dan
keluarga (Ali 1988). Lawan dari individualisme adalah kolektivisme yaitu
atribut budaya nasional yang menggambarkan suatu kerangka sosial yang ketat,
dimana orang mengharapkan orang lain di kelompok yang merupakan anggota
kelompok, harus mendapat perhatian dan perlindungan.
Hasil riset terdahulu tentang hubungan individualisme kerja dengan
etika kerja Islam menunjukkan hasil yang kontradiktif, karena ada hasil riset
yang mendukung hubungan dan ada yang tidak mendukung hubungan. Hasil
tersebut mungkin disebabkan sampel penelitian adalah orang-orang timur
dengan budaya kolektivis, namun tinggal di negara dengan budaya
individualisme yang tinggi seperti di Amerika dan Israel, sehingga mengalami
benturan budaya nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian tentang
hubungan tersebut, terutama pada budaya kolektivis, seperti di Indonesia dan
pekerja tersebut tinggal di Indonesia, sehingga diharapkan tidak mengalami
benturan budaya nasional. Apalagi Islam sebagai agama yang dominan di
Indonesia, juga menekankan pentingnya hubungan sosial, terlihat dari ajaran-
ajaran Islam yang menunjukkan pentingnya kelompok. Contohnya sholat
berjamaah (berkelompok) mempunyai nilai pahala yang lebih tinggi dibanding
sholat sendirian. Etika kerja Islam juga menekankan pentingnya kerjasama dan
perhatian dengan orang lain, bahkan hasil kerjapun mesti dipotong dengan
kewajiban zakat yang diperuntukkan bagi orang lain. Berdasarkan argumen-
argumen tersebut di atas, diajukan hipotesis:
H1: individualisme kerja berpengaruh negatif pada etika kerja Islam.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 60
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Hubungan Anteseden Internal Locus of Control dengan Etika Kerja Islam


Menurut Spector (1988), locus of control (letak kendali) atau disingkat
LOC adalah seberapa besar kepercayaan seseorang bahwa ia dapat
mempengaruhi secara langsung lingkungannya. Letak kendali seseorang
mencerminkan tingkat kepercayaan bahwa perilaku seseorang mempengaruhi
apa yang terjadi pada diri sendiri (Gibson, Ivancevich & Donnely, JR., 1996).
Ada 2 jenis LOC (Gibson, Ivancevich & Donnely, JR., 1996 & Robbins, 1998),
yaitu LOC internal dan eksternal. LOC internal yaitu seseorang yang yakin
bahwa ia dapat mengendalikan apa yang terjadi pada dirinya. Sedangkan LOC
ekternal meyakini bahwa apa yang terjadi pada dirinya terkendali oleh kekuatan
di luar dirinya, seperti nasib/kesempatan atau perilaku orang lain.
Mc Cuddy dan Peery (1996) dalam Yousef (2000a) menyatakan bahwa
seseorang yang mempunyai LOC internal akan mempunyai standar etika kerja
yang lebih tinggi daripada LOC eksternal. Seseorang dengan locus of control
internal kurang mengalami ketegangan emosional sebab mereka percaya bahwa
mereka mempunyai pengendalian atas lingkungannya dan mempunyai
kecenderungan untuk menerima hubungan langsung antara usaha/kinerja
dengan penghargaan yang mereka terima. Jones (1997) dalam Yousef (2000)
membuktikan bahwa ada hubungan antara nilai etika Protestan dengan LOC
internal dan bahwa LOC eksternal lebih terikat dalam perilaku tidak etis.
Sedangkan hasil penelitian Yousef (2000a) menunjukkan bahwa, pekerja yang
mempunyai internal locus of control akan mempunyai dukungan yang lebih
kuat untuk etika kerja Islam daripada pekerja dengan external locus of control.
Locus of control dapat menjadi faktor penting dalam mengevaluasi individu
selama masa rekruitmen dan seleksi, jika organisasi berkeinginan untuk
merekrut pekerja yang beretika kerja Islam tinggi.
H2: internal locus of control berpengaruh positif pada etika kerja Islam.

Hubungan Etika Kerja Islam dengan Konsekwensi Kinerja dan OCB


Riset sekarang akan membahas konsekwensi berupa perilaku kerja yang
jarang diteliti dalam etika kerja Islam. Penelitian hubungan etika kerja, kinerja
dan OCB dimungkinkan ketika kinerja dapat dibedakan menjadi kinerja tugas
dan kinerja kontekstual. Kinerja tugas mengarah pada kinerja berupa hasil
(output) sesuai dengan tugas formal yang diemban, sedangkan kinerja
kontekstual mengarah pada kinerja di luar tugas formal atau perilaku

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 61


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kewarganegaraan (OCB), contohnya membantu mengerjakan aktivitas tugas


yang bukan merupakan bagian pekerjaan secara formal dan membantu serta
bekerja sama dengan yang lain
Argumentasi terkait hubungan etika kerja Islam dengan kinerja adalah
konsep bahwa dalam etika kerja Islam menuntut adanya usaha yang sungguh-
sungguh dalam bekerja yang dikaitkan dengan amanah dan ibadah, sehingga
akan muncul profesionalisme. Profesionalisme meliputi tuntutan penguasaan
keahlian terutama pada teknologi baru, sikap proaktif terkait dengan pekerjaan,
dan peningkatan ilmu pengetahuan. Implikasi etika kerja Islam adalah bahwa
bekerja bukan hanya berharap imbalan dunia, tapi juga imbalan di akherat,
sehingga akan mencegah seseorang untuk melakukan pekerjaan yang tidak
diridloi, mendorong seseorang lebih bertanggung jawab dan berdedikasi.
Dengan demikian etika kerja Islam diharapkan akan meningkatkan kinerja
pekerja.
Penelitian hubungan etika kerja Islam dengan OCB dimungkinkan,
karena salah satu dimensi etika kerja Islam menurut Abu –Saad (1998)
berdasarkan skala IWE (Islamic work ethic) dari Ali (1988) adalah faktor
kewajiban personal dan organisasional (personal and organizational
obligations) yang menunjukkan perlunya pekerja muslim bekerja sama dan
saling tolong menolong dengan orang lain. Hal tersebut tercermin dalam Al
Quran surat At Taubah: 71. Etika kerja Islam menekankan pentingnya saling
bekerja sama dalam pekerjaan, memberikan kemudahan bagi orang lain dalam
bekerja (Q.S. Al Baqarah: 280) dan berempati (Q.S. Al Hasyr: 9). Dengan
demikian pekerja dengan etika kerja Islam diharapkan akan mempunyai kinerja
extra role atau OCB yang tinggi juga.
H3: etika kerja Islam berpengaruh positif pada kinerja pekerja
H4: etika kerja Islam berpengaruh positif pada perilaku kewarganegaraan

Hubungan Etika Kerja Islam dengan Konsekwensi Kepuasan Kerja dan


Ambiguitas peran
Validitas prediktif etika kerja Islam dapat dikatakan masih kurang kuat,
karena belum didukung oleh penelitian-penelitian lain yang sejenis. Oleh karena
itu, penelitian sekarang pada etika kerja Islam, sebagian konsekwensinya sama
dengan peneliti etika kerja Islam terdahulu yaitu kepuasan kerja dan role
ambiguity sebagai konsekwensi etika kerja Islam.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 62


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Etika kerja memainkan peran integral dalam mempengaruhi respon


afeksi pekerja di tempat kerja (Aldag & Brief, 1975 dalam Hudspeth, 2003) dan
preferensi terhadap pekerjaan (Furnham & Korsitas, 1990). Berdasarkan
pendapat ini, etika kerja seharusnya berkorelasi dengan variabel sikap kerja
seperti kepuasan kerja. Kepuasan kerja menunjukkan tingkat kesenangan atau
kesukaan seseorang pada pekerjaan (Warr, Cook & Wall, 1979 dalam
Hudspeth, 2003) atau keadaan emosional yang menyenangkan (positif) atas
hasil penilaian seseorang terhadap pekerjaannya (Locke dalam Luthans, 1995).
Hasil penelitian Blood (1969) dalam Miller (1997) menemukan bahwa: semakin
besar etika kerja, semakin puas mereka pada pekerjaan dan juga kehidupan
secara umum. Namun, Ganster (1980) dalam Miller (1997) menemukan tidak
ada bukti yang mendukung hubungan etika kerja dengan kepuasan kerja. Dapat
dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian terdahulu tentang hubungan etika kerja
dengan kepuasan kerja belum konklusif.
Ahmad (1976) dalam (Yousef, 2001) berargumen bahwa etika kerja
Islam tidak menyarankan penolakan kehidupan, tapi justru menyarankan
pemenuhan kehidupan dan memegang motivasi berbisnis dalam penghargaan
yang tinggi. Etika kerja Islam juga menganggap bekerja dipertimbangkan
sebagai sumber independensi, meningkatkan pertumbuhan pribadi, harga diri,
kepuasan dan pemenuhan diri. Selain itu, etika kerja Islam menekankan kerja
kreatif sebagai sumber kebahagiaan dan pemenuhan diri (Yousef, 2001). Oleh
karena itu seseorang yang mempunyai etika kerja Islam, akan lebih puas dengan
pekerjaanya.
H5: etika kerja Islam berpengaruh positif pada kepuasan kerja.

Hubungan Etika Kerja Islam dengan Konsekwensi Ambiguitas Peran


Konsekwensi etika kerja Islam yang juga pernah diteliti adalah
ambiguitas peran (role ambiguity). Ambiguitas peran adalah ketidakpahaman
seseorang tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka dalam
mengerjakan suatu pekerjaan (Gibson, Ivancevich & Donnely, JR., 1996).
Menurut Robbins (1998), ambiguitas peran terjadi jika pekerja tidak yakin
dengan apa yang diharapkan dan bagaimana sistem imbalannya. Ambiguitas
peran menyebabkan situasi dimana seseorang tidak mempunyai arah yang jelas
tentang harapan atas perannya dalam pekerjaan atau organisasi dan pekerja
tidak pasti mengenai apa yang harus dikerjakannya. Ambiguitas peran terkait

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 63


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai fungsi dari peran
tertentu yang dimainkan dalam organisasi tersebut.
Hasil penelitian Yousef (2000a) membuktikan bahwa etika kerja Islam
berhubungan negatif dengan ambiguitas peran (role ambiguity). Etika kerja
Islam menekankan kerja sama dalam bekerja dan konsultasi pada atasan sebagai
salah satu cara untuk mengatasi kesulitan dan menghindari kesalahan. Oleh
karena itu, seseorang yang mempunyai etika kerja Islam akan melakukan
konsultasi pada atasan untuk memahami peran yang harus dijalankan,
mengetahui hak dan kewajiban dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Dengan
demikian etika kerja Islam akan menurunkan ambiguitas peran.
H6: etika kerja Islam berpengaruh negatif pada ambiguitas peran.

METODA RISET
Disain Studi
Penelitian ini terdiri dari 4 studi yaitu:
1. Mengkonseptualisasi dan mengidentifikasi konstruk etika kerja Islam
berdasarkan kajian literatur termasuk di dalam Qur’an dan hadist.
2. Melakukan face validity dari ukuran etika kerja Islam yang sudah ada (dari
Ali, 1988) dan dari ukuran yang dikembangkan peneliti berdasar kajian
literatur. Face validity yaitu pertimbangan komunitas para ahli bahwa
indikator benar-benar mengukur konstruk. Para ahli yang dimaksud terdiri
dari: ulama, akademisi dan praktisi dengan berbagai latar belakang
kelompok keagamaan Islam yang ada di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan
Malang. Kelompok-kelompok Islam tersebut antara lain: yang mewakili
organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah; dan
jika memungkinkan kelompok lainnya, seperti Tarbiyah, Hizbut Tahrir,
Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan mempertimbangkan pendapat
berbagai kelompok keagamaan dalam Islam, diharapakan akan ada ukuran
etika kerja Islam yang komprehensif dan mewakili pendapat semua
kelompok Islam. Reliabilitas antar penilai pada tiap item kuisioner yang
digunakan, sebaiknya mempunyai rata-rata persetujuan antar penilai lebih
besar dari persyaratan minimum yaitu 85% (Kassarjian, 1977 dalam So,
2004). Inter rater reliability yang lebih besar dari 85% berarti
menunjukkan konsistensi yang tinggi antar penilai. Selain itu dilakukan
perhitungan content validity ratio (CVR) yang diharapkan > 0,7 agar

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 64


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

validitas konten terpenuhi (Lawshe, 1975 dalam Templeton, Lewis &


Synder, 2002).
3. Dilakukan pemurnian ukuran (measure purification) dan validasi ukuran
(measure validation), termasuk penentuan indikator reflektif dan formatif
berdasarkan teori dan penentuan multidimensionalitas etika kerja Islam.
Jika indikator reflektif, maka dilakukan dilakukan uji analisis faktor (factor
analysis). Tujuan analisis faktor adalah mengeliminasi item-item yang
tidak penting dan untuk mengetahui apakah etika kerja Islam merupakan
konstruk unidimensional atau multidimensional. Kemudian melakukan
CFA (confirmatory factor analysis) dari item yang tersisa (berloading
tinggi). Sedangkan jika indikator formatif, dilakukan perhitungan
multikolinieritas dan multiple indicators multiple causes (MIMIC) model
yang diestimasi dengan menggunakan indikator sebagai proxi anteseden.
Penentuan indikator reflektif atau formatif selain oleh teori, juga akan
diperkuat oleh hasil empiris berupa validitas kriterion dengan
menggunakan analisa regresi untuk menguji magnitude dan signifikansi
hubungan antar ukuran. Hasil regresi yang berupa R2 (koefisien
determinasi) indikator reflektif dibandingkan R2 (koefisien determinasi)
dengan indikator formatif, untuk menentukan mana yang terbaik.
4. Melakukan uji model yang merupakan rangkaian pengujian hipotesis 1
sampai dengan hipotesis 6 dengan menggunakan structural equation
modeling (SEM) progam Amos. Model yang disajikan akan menunjukkan
anteseden dan konsekwensi dari etika kerja Islam, sehingga dapat diketahui
secara komprehensif pendorong tinggi rendahnya etika kerja Islam dan
pengaruh dari tinggi rendahnya etika kerja Islam. Oleh karena itu
penelitian ini akan menguji hipotesis hubungan etika kerja Islam dengan
anteseden internal locus of control dan individualisme dan konsekwensi
kinerja pekerja, OCB, kepuasan kerja dan role ambiguity.

Sampel
Sampel penelitian untuk tiap studi adalah:
1. Studi 2
Studi 2 berisi uji face validity dari ukuran etika kerja Islam yang sudah
ada (dari Ali, 1988) dan dari ukuran yang dikembangkan peneliti berdasar
kajian literatur di studi 1, dengan berdasar pertimbangan komunitas para ahli.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 65


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Para ahli yang dimaksud terdiri dari:


1. Ulama: dengan pertimbangan bahwa para ulama yang memahami Qur’an
dan Hadist yang menjadi pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan
di dunia. Para ulama yang dimintai pertimbangan berasal dari berbagai
aliran pemikiran (mahzab) dalam Islam atau berbagai organisasi
(kelompok) Islam yang terdiri dari: NU (Nahdatul Ulama),
Muhammadiyah, Tarbiyah, Hizbut Tahrir, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan
kelompok Independen.
2. Akademisi perguruan tinggi: selain penguasaan teori dalam etika kerja
Islam baik dari kajian empiris yang sudah ada, maupun Qur’an dan hadist,
para akademisi diharapkan dapat menyempurnakan pengembangan ukuran
(kuisioner) etika kerja Islam yang memenuhi ketentuan pembuatan
kuisioner dalam metode penelitian. Para akademisi ini juga akan diambil
dari berbagai perguruan tinggi yang mempunyai latar belakang Islam,
seperti Universitas Muhammadiyah, UIN (Universitas Islam Negeri),
Universitas Paramadina Jakarta dan Universitas Airlangga Surabaya yang
mempunyai fakultas ekonomi dengan konsentrasi ekonomi Islam.
3. Praktisi yang berada dalam perusahaan berlatar belakang Islam, seperti
pimpinan Bank Muamalah. Diharapkan dengan melibatkan praktisi, ukuran
etika kerja Islam dapat diterapkan di dunia kerja.
Pada studi 2 (face validity), kuisioner akan disebarkan pada 20 orang
dan berharap kembali minimal 12 orang yang terdiri dari 4 ulama, 4 akademisi
dan 4 praktisi yang berasal dari berbagai kelompok Islam.

2. Studi 3
Studi 3 berupa pemurnian ukuran (measure purification) dan validasi
ukuran (measure validation) Disain dalam penelitian ini memiliki aplikasi pada
setting tertentu. Setting ini menunjukkan konteks tertentu dan spesifik. Konteks
ini berkaitan dengan karakteristik subyek Semua model penelitian teoritis harus
dibatasi oleh asumsi tertentu meliputi nilai-nilai implisit yang diajukan oleh
peneliti yang berupa ruang dan waktu (Bacharah, 1989). Karakteristik subyek
penelitian menunjukkan profil responden dalam model penelitian yang
diajukan. Untuk validasi ukuran, diperlukan subyek yang beragam, sehingga
ukuran tersebut dikatakan valid jika mampu membedakan subyek dengan
karakteristik berbeda. Sampel dalam validasi ukuran akan dipilih pekerja Islam

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 66


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dari organisasi/perusahaan yang ekstrim yaitu dari organisasi/perusahaan Islam


dan dari perusahaan yang kehalalannya dipertanyakan seperti pabrik minuman
keras. Hasil yang diharapkan adalah etika kerja Islam diharapkan akan lebih
tinggi pada pekerja Islam dari organisasi/perusahaan Islam daripada pekerja
Islam dari pabrik minuman keras.
Metode yang digunakan untuk memilih sampel penelitian dalam studi
ini adalah purposive sampling. Penelitian dengan purposive sampling digunakan
jika sampel yang dipilih mempunyai kriteria atau syarat seperti yang diinginkan
sesuai dengan tujuan penelitian (Sekaran, 1992). Sampling ini memiliki aspek
non probabilitas yang memenuhi suatu kriteria tertentu (Cooper & Schindler,
2001). Kriteria tersebut adalah pekerja beragama Islam dan bekerja di
perusahaan atau organisasi berlatar belakang Islam atau bekerja di pabrik
minuman keras. Dalam studi ini diharapkan sample size sebesar 300 orang (150
orang dari perusahaan berlatar belakang Islam dan 150 orang dari pabrik
minuman keras)

3. Studi 4
Studi 4 bertujuan melakukan uji model berupa hipotesis etika kerja
Islam sebagai variabel mediasi hubungan antara internal locus of control dan
individualisme dengan kinerja pekerja, OCB, kepuasan kerja dan role
ambiguity. Target populasi dalam studi ini adalah semua pekerja beragama
Islam dan bekerja di perusahaan atau organisasi berlatar belakang Islam di
Surabaya dan Yogyakarta. Sedangkan sampel penelitian pada studi 3 adalah:
1. Dosen dan Karyawan di perguruan tinggi Islam di Yogyakarta dan
Surabaya.
2. Pegawai Bank Muamalat di Surabaya.
3. Pekerja di perusahaan/tempat kerja berlatar belakang Islam, contohnya
Toko Al Fath Yogyakarta dan Toko Alib Surabaya
4. Para mahasiswa yang beragama Islam, bekerja di instansi Islam dan sedang
menempuh perkuliahan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta atau di
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Sample size diharapkan minimal sebesar 200 orang, sehingga bisa
memenuhi kriteria minimum penggunaan metode SEM sebesar 100 orang
responden.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 67


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan sumber data primer berupa survei yang
berupa pembagian kuisioner untuk semua studi dan diperkuat dengan
wawancara pada studi2. Kuisioner mempunyai kelebihan: tidak mahal,
sederhana dan dapat anonim. Kelemahannya: tidak ada jaminan kuisioner
dipahami dan respon rate rendah. Prinsip pembuatan pertanyaan adalah
menghindari: jargon dan singkatan; ambiguitas; emosional dan bias prestise;
double barreled question; pertanyaan mengarahkan; bertanya diluar
kemampuan responden; bertanya keinginan yang akan datang; double negative
dan overlapping serta mengurangi social desirability bias dengan menghindari
penggunaan kata ‘saya’ dan kuisioner bersifat anonim.

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Etika Kerja Islam


Etika kerja Islam merupakan suatu set karakteristik sikap pekerja yang
memandang pentingnya pekerjaan berdasarkan Al Qur’an dan Hadist.
Pengukuran Etika kerja Islam menggunakan 2 skor (ya dan bukan) dalam arti
apakah tiap item pernyataan yang disajikan merupakan komponen atau bukan
komponen etika kerja Islam. Pengukuran etika kerja Islam berdasarkan hasil
studi 1 terdiri dari:
1. IWE scale (Islamic work ethic scale) yang dikembangkan oleh Ali (1988).
Ada 47 item. Contoh item pernyataan: “kerja sama merupakan kebaikan
dalam bekerja”.
2. Etika Kerja Islam merupakan skala yang dikembangkan oleh peneliti
berdasarkan:
a. Sahat (1997): 13 item, contoh item: “tujuan bekerja adalah beribadah”.
b. Ali (2008): 13 item, contoh item: “seorang muslim mempunyai amanat
untuk memakmurkan kehidupan di dunia”.
c. Muttaqin (2008): 14 item, contoh item: “memiliki dan mengembangkan
jiwa kepemimpinan”
d. Nurcholis Majid: 9 item, contoh item: “bekerja dengan didasarkan pada
tauhid (kepercayaan pada keesaan Allah)”.
e. Hamzah (2005): 5 item, contoh item: “bekerja adalah perwujudan rasa
syukur kepada nikmat Allah SWT”.
f. Tasmara (2002): 24 item, contoh item pernyataan: “tidak malu bekerja
kasar”.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 68


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang akan disajikan di bawah ini adalah hasil penelitian
dari studi 1 yang akan diuraikan secara ringkas dan hasil studi 2 yang terdiri
dari uraian karakteristik responden, penjelasan hasil uji face validity, content
validity dan inter rater reliability serta pembahasan hasil studi 2. Berikut ini
uraian hasil studi 1 dan 2.

Hasil Studi 1
Hasil kajian literatur dalam studi 1 menghasilkan kuisioner yang berasal
dari kajian Qur’an dan hadist yang sudah dilakukan penulis-penulis terdahulu
baik yang dilakukan oleh orang Indonesia maupun oleh orang barat. Penulis-
penulis dari Indonesia terdiri dari: Sahat (1997), Ali (2008), Muttaqin (2008),
Nurcholis Majid, Hamzah (2005) dan Tasmara (2002). Sedangkan penulis dari
barat adalah Ali (1988) yang berasal dari Indiana University. Kuisioner
selengkapnya dari hasil kajian literatur dapat dilihat di lampiran

Hasil Studi 2
Hasil penelitian yang akan diuraikan di bawah ini merupakan hasil studi
2 yang berupa uji face validity dari ukuran etika kerja Islam yang sudah ada
(dari Ali, 1988) dan dari ukuran yang dikembangkan peneliti berdasar kajian
literatur di studi 1. Uji face validity dilakukan berdasar pertimbangan komunitas
para ahli. Para ahli yang dimaksud terdiri dari: ulama, akademisi dan praktisi
berbasis institusi Islam. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam studi
2 terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Mengkonfirmasi kesediaan para ahli untuk memvalidasi hasil kuisioner yang
diperoleh dari kajian literatur yang dilakukan pada studi 1.
2. Setelah bersedia menjadi responden, peneliti memberikan kuisioner dan
memberikan tenggang waktu pada responden untuk mempelajari kuisioner
terlebih dahulu, namun tahapan ini dapat dilewati jika responden merasa
mampu memahami isi kuisioner pada saat itu.
3. Responden mengkonfirmasi waktu pengisian kuisioner agar peneliti
mendampingi saat pengisian kuisioner. Pendampingan peneliti pada saat
pengisian kuisioner perlu dilakukan dengan harapan responden memahami
kuisioner dan langsung menanyakan pada peneliti, jika tidak memahami isi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 69


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kuisioner. Selain itu, pendampingan bermanfaat untuk mengetahui alasan


yang diajukan responden apabila ada item pernyataan yang dianggap bukan
komponen etika kerja Islam dan juga mengetahui revisi kata/kalimat yang
sebaiknya dilakukan peneliti supaya sesuai dengan interpretasi Qur’an,
hadist atau sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia ataupun sesuai
dengan kaidah penyusunan kuisioner. Namun terkadang responden menolak
untuk didampingi karena satu dan lain hal, seperti hanya punya waktu luang
malam hari untuk mengisi kuisioner atau mempunyai kesibukan yang
banyak sehingga mengisi kuisioner sewaktu-waktu responden mempunyai
waktu luang dan berbagai alasan lainnya. Sekalipun tidak didampingi,
responden biasanya tetap memberikan revisi yang diperlukan atau memberi
komentar atas ketidaksetujuan item tertentu sebagai komponen etika kerja
Islam.

Meskipun target sampel sebanyak 12 orang yang terdiri dari 4 ulama, 4


akademisi dan 4 praktisi, namun peneliti menyebarkan kuisioner pada 20 orang.
Sampai dengan waktu pengolahan data, ada 17 eksemplar kuisioner yang
kembali, sedangkan 3 eksemplar kuisioner lainnya belum kembali dengan
alasan kesibukan. Meskipun demikian 2 orang dari praktisi Bank Muamalah
menjanjikan mengembalikan kuisioner dalam waktu dekat. Dengan demikian
response rate sebesar 85% (17/20), dapat dikatakan kuisioner tersebut mendapat
tanggapan yang bagus, apalagi jumlah 17 orang melebihi dari target sampel
sebanyak 12 orang.
Berikut ini akan dijelaskan karakteristik responden dan hasil uji face
validity, content validity dan inter rater reliability yang merupakan hasil
penelitian studi 2. Selain itu dilakukan pembahasan atas hasil studi 2.
1. Karakteristik Responden
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan
menyebarkan kuisioner pada para ahli yang terdiri dari: ulama, akademisi dan
praktisi berbasis institusi Islam. Dari 20 eksemplar kuisioner, 17 eksemplar
kuisioner yang kembali atau respon rate 85%. Tujuh belas responden tersebut
berasal dari kota Jakarta sebanyak 6 orang, 1 orang dari Yogyakarta, 7 orang
dari Surabaya dan 3 orang dari Malang. Dari kalangan ulama sebanyak 5 orang,
akademisi 11 orang dan praktisi 1 orang. Adapun karakteristik responden
selengkapnya adalah sebagai berikut:

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 70


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

a. Ulama
Para ulama dipertimbangkan mempunyai pemahaman yang baik tentang
Qur’an dan Hadist yang menjadi pedoman umat Islam dalam menjalani
kehidupan di dunia. Lima ulama yang menjadi responden rata-rata berusia 45
tahun dan berasal dari kelompok Islam seperti NU (Nahdatul Ulama)
Yogyakarta sebanyak 1 orang, 3 orang dari kelompok independen yang ada di
Surabaya dan Malang dan 1 orang dari Shalafiyah Surabaya. Para ulama yang
menjadi responden merupakan pimpinan pondok pesantren dan atau pimpinan
majlis taklim (kelompok pengajian).
b. Akademisi perguruan tinggi
Para akademisi (dosen) yang dijadikan responden mempunyai
penguasaan teori dalam etika kerja Islam baik dari kajian empiris yang sudah
ada, maupun Qur’an dan hadist. Selain itu, para akademisi diharapkan dapat
menyempurnakan pengembangan ukuran (kuisioner) etika kerja Islam yang
memenuhi ketentuan pembuatan kuisioner dalam metode penelitian dan kaidah
tata bahasa. Dari 11 orang akademisi ini, sebanyak 1 orang dari Universitas
Muhammadiyah Surabaya, UIN (Universitas Islam Negeri) Malang sebanyak 2
orang, sebanyak 6 orang dari Universitas Paramadina Jakarta yang didirikan
oleh Nurcholis Majid yang merupakan tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) dan 2
orang dari Universitas Airlangga Surabaya yang mempunyai fakultas ekonomi
dengan konsentrasi ekonomi Islam. Para akademisi ini berasal dari kelompok
keagamaan Islam: 5 orang dari Muhammadiyah, 3 orang dari NU, 1 orang
jamaah Tabligh, 1 orang dari kelompok Syiah dan 1 orang dari kelompok
independen. Responden mempunyai latar belakang pendidikan S2 sebanyak 7
orang, sedang menempuh S3 sebanyak 2 orang dan 2 orang merupakan guru
besar (profesor) di fakultas ekonomi. Beberapa responden merupakan lulusan
studi Islam di Mesir dan beberapa responden lainnya mendalami bidang ilmu
ekonomi Islam. Jabatan struktural/akademik yang sekarang dijabat oleh
responden terdiri dari: Kepala Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi Islam, Guru
Besar Fakultas Ekonomi, Pembantu Rektor, Pembantu Dekan dan Ketua
Jurusan. Rata-rata usia responden adalah 45 tahun.
c. Praktisi
Praktisi yang dijadikan sampel harus berada dalam institusi berlatar
belakang Islam, seperti pimpinan Bank Muamalat dan yayasan pendidikan
Islam. Diharapkan dengan melibatkan praktisi dalam institusi Islam, ukuran

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 71


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

etika kerja Islam dapat diterapkan di dunia kerja. Pendistribusian kuisioner pada
praktisi dapat dikatakan kurang mendapat tanggapan yang cepat dikarenakan
kesibukan mereka pada dunia kerja, apalagi jika mempunyai jabatan tinggi,
contohnya sebagai direktur Bank Muamalat. Oleh karena itu hanya ada 1
kuisioner dari praktisi yang kembali, sedangkan 3 kuisioner yang lain,
dijanjikan kembali dalam waktu dekat. Responden tersebut merupakan direktur
lembaga pendidikan Islam Al Haromain di Surabaya, berpendidikan S1 fakultas
ekonomi dan berusia 42 tahun.

2. Hasil Uji Face Validity, Inter Rater Reliability dan Content Validity
Face validity dilakukan dengan mempertimbangkan pendapat para ahli
(ulama, dosen dan praktisi) dari berbagai kelompok keagamaan dalam Islam,
sehingga diharapakan akan ada ukuran etika kerja Islam yang komprehensif dan
mewakili pendapat semua kelompok Islam.
Selain face validity dilakukan validitas konten (content validity).
Content validity adalah pengujian apakah isi dari definisi yang diwujudkan
dalam ukuran mampu menangkap keseluruhan arti. Pengujian content validity
ratio dilakukan dengan menghitung content validity ratio/CVR (Lawshe, 1975
dalam Templeton, Lewis & Synder, 2002). Validitas konten instrumen
pengukuran dilakukan dengan menggunakan prosedur yang dikembangkan
Lawshe (1975). Teknik ini menggunakan evaluasi konten dari sekelompok
individu-individu yang mengetahui tentang konsep yang diukur. Kelompok
(panel) terdiri dari para ahli yaitu ulama yang mendalami Al Qur'an dan hadist,
akademisi dan praktisi yang berbasis institusi Islam. Para ahli diminta menelaah
apakah item-item yang disajikan dalam kuisioner merupakan item-item etika
kerja Islam atau bukan. Jika terjadi kesepakatan (CVR > 0,7), maka validitas
konten terpenuhi. Rumus perhitungan CVR dapat dilihat di lampiran 1.
Selain uji validitas, juga dilakukan uji reliabilitas. Reliabilitas adalah
sesuatu yang sama terjadi pada kondisi yang sama (konsistensi dan stabilitas).
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan inter rater reliability. Diharapkan ada
kesaman penilaian antar rater (dalam hal ini adalah para ahli yang terdiri dari
ulama, akademisi dan praktisi). Hasil uji Reliabilitas antar penilai pada tiap item
kuisioner yang digunakan, sebaiknya mempunyai rata-rata persetujuan antar
penilai lebih besar dari persyaratan minimum yaitu 85% (Kassarjian, 1977
dalam So, 2004). Inter rater reliability yang lebih besar dari 85% berarti

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 72


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

menunjukkan konsistensi yang tinggi antar penilai. Rumus inter rater reliability
untuk tiap-tiap item etika kerja Islam secara ringkas dapat dilihat di lampiran 1.
Dari total 125 item etika kerja Islam, yang akhirnya dibuang adalah
sebanyak 33 item, karena kurang memenuhi inter rater reliability sebesar
minimal 85% atau minimal 15 responden (15/17 = 88%) dan memenuhi CVR
minimal 70% atau minimal 15 responden [(15-17/2)/(17/2) = 76%]. Dengan
demikian item etika kerja Islam yang mempunyai inter rater reliability lebih
besar dari 85% dan CVR lebih besar dari 70% adalah sebanyak 92 item (125 –
33). Item-item etika kerja Islam yang akhirnya dibuang (tidak dipakai dalam
penelitian selanjutnya) berdasarkan kesepakatan para ahli disajikan dalam
lampiran 2.

Pembahasan
Hasil studi 2 sebenarnya ada 4 bagian, yang terdiri dari:
1. Argumentasi atau penjelasan atas penolakan beberapa item sebagai
komponen etika kerja Islam
2. Revisi kata atau frasa dalam suatu item, sehingga item tersebut dapat
menjadi suatu komponen etika kerja Islam. Selain itu, revisi berguna untuk
memudahkan responden dari studi-studi berikutnya, sehingga menjadi lebih
mampu memahami kalimat pernyataan dalam item tersebut.
3. Bagian lain-lain, menunjukkan argumentasi yang memperkuat pernyataan
item tersebut sebagai komponen etika kerja Islam.
4. Melakukan pengelompokan item etika kerja Islam menjadi beberapa dimensi
etika kerja Islam, sehingga dapat dilakukan argumentasi maupun penjelasan
secara lebih spesifik. Dimensi-dimensi tersebut dibentuk berdasarkan item-
item yang diterima oleh para ahli (ulama, akademisi dan praktisi) sebagai
komponen etika kerja Islam. Sedangkan item-item yang ditolak oleh para
ahli sebagai komponen etika kerja Islam tidak dimasukkan sebagai suatu
dimensi.
Namun karena keterbatasan tempat, riset ini hanya akan membahas bagian 4
yaitu pengelompokan etika kerja Islam berdasarkan dimensi-dimensinya.

Pengelompokan Item-Item Menjadi Dimensi-Dimensi Etika Kerja Islam


Melakukan pengelompokan item-item menjadi beberapa dimensi etika
kerja Islam, sehingga dapat dilakukan argumentasi maupun penjelasan secara
lebih spesifik. Dimensi-dimensi tersebut dibentuk berdasarkan item-item yang

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 73


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

diterima oleh para ahli sebagai komponen etika kerja Islam. Sedangkan item-
item yang ditolak oleh para ahli, tidak dimasukkan sebagai suatu dimensi etika
kerja Islam.
Pengelompokan dimensi-dimensi etika kerja Islam terdiri dari (lamp.3):
1) Tujuan bekerja
Dimensi ini menunjukkan item-item yang mendasari orang bekerja,
kenapa orang bekerja dan niat (motivasi) yang mendorong orang bekerja.
Tujuan bekerja etika kerja Islam mempunyai keunikan dalam penekanan pada
niat dalam bekerja. Dalam suatu hadist diungkapkan “innamal ‘amalu binniyat”
yang berarti “Sesungguhnya setiap amal itu dengan niatnya, dan setiap perkara
tergantung pada apa yang ia niatkan”. Oleh karena itu sebelum bekerja,
seorang pekerja muslim perlu menata niat, sehingga apa yang dikerjakannya
merupakan suatu amalan ibadah yang bernilai pahala, meskipun yang
dikerjakan adalah hal yang bersifat duniawi.
Namun demikian niat yang baik harus disertai proses yang baik.
Contohnya niat bekerja adalah mendapatkan uang untuk mendirikan masjid,
namun ia bekerja di tempat yang tidak halal, misalnya berjualan minuman
keras, maka niat tersebut menjadi sesuatu yang tidak baik, karena bercampur
antara suatu kebatilan bercampur dengan suatu kebaikan. Niat ibadah dalam
bekerja juga berarti uang bukanlah satu-satunya motivasi dalam bekerja, artinya
usaha bekerja sebaik mungkin, namun tentang uang/pendapatan yang diperoleh
adalah pemberian Allah, sehingga perlu tawakkal dan ikhlas menerima
berapapun penghasilan yang diperoleh.
Ada suatu pengkritisan atas ikhlas menerima penghasilan yang
diperoleh, bukan merupakan pembenar bagi pemekerja untuk seenaknya
memberi gaji pekerjanya. Dengan dalih ikhlas menerima penghasilan,
pemekerja menekan gaji yang serendah mungkin. Bukan demikian yang dituju,
namun keadilan dan kelayakan gaji pekerja sesuai kinerja atau ketrampilannya.
Etika kerja Islam menekankan perlunya seorang bekerja untuk
mendapatkan keridhaan Allah, bekerja merupakan perwujudan rasa syukur atas
nikmat yang diberikan Allah. Perintah dalam syariat Islam adalah
memanfaatkan harta dengan mengelola sebaik mungkin dan dilarang
menelantarkan harta, misalnya mempunyai sebidang tanah yang dibiarkan tidak
terurus. Contoh pemanfaatan harta pada sebidang tanah tadi adalah menanam
pepohonan yang hasilnya bisa dipanen, baik itu pepohonan yang ditanam dan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 74


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dipanen sendiri oleh pemilik, maupun memberikan kesempatan orang lain untuk
memanfaatkan tanah tersebut.

2) Cara bekerja
Dimensi ini menunjukkan item-item yang menunjukkan apa yang harus
dilakukan orang ketika bekerja. Dimensi ini terdiri dari sub dimensi:
A. Pekerjaan: seorang pekerja muslim tidak boleh sembarangan dalam memilih
pekerjaan. Hal ini berarti yang ditekankan dalam etika kerja Islam bukan
sekedar bekerja, tetapi harus memilih pekerjaan sesuai syariah Islam. Dengan
demikian tidak dibenarkan dan bahkan bisa jadi diharamkan bagi pekerja
muslim untuk bekerja dalam pekerjaan tertentu, contohnya: menjual minuman
keras,transaksi riba, dll.. Selain itu, Islam melarang aktivitas yang haram,
seperti berjudi, korupsi dll.
Ketika seorang mulim bekerja maka menjadi kewajibannya untuk
mencari rejeki yang halal dan menghindari pekerjaan yang haram. Yang penting
bukanlah pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, tapi pekerjaan yang halal
sesuai syariah agama agar rejekinya berkah (ada di saat diperlukan). Dalam
bekerja, seseorang perlu menghindari usaha yang haram, misalnya korupsi,
menyuap, berjudi, menghindarkan diri dari transaksi riba. Melakukan apa saja
yang diyakini dalam bekerja selama tidak bertentangan dengan syariat Allah,
misalnya bekerja memotong bisa menggunakan pisau atau gergaji, boleh-boleh
saja. Bahkan akan lebih utama saat mengucapkan nama Allah (bismillah) setiap
awal pekerjaannya.
Dalam Islam dikenal dengan istilah Hijrah atau perpindahan. Hal ini
berarti Islam menyukai perubahan selagi itu membawa pada kebaikan. Oleh
karena itu pekerja muslim seharusnya senang berada dalam lingkungan yang
menantang penuh perubahan dan dinamis daripada keadaan yang lamban atau
statis.
Bekerja keras merupakan suatu tuntunan dalam Islam. Bahkan bekerja
kasar bukanlah suatu kehinaan asalkan hal itu halal (sesuai syariah Islam).
Dalam bekerja, seorang pekerja muslim dituntut untuk mengerahkan usaha
dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam bekerja. Hal ini
berarti effort oriented dan bukan result oriented. Perlu juga kareakteristik
kepribadian Islam seperti jujur dalam bekerja, keterbukaan (transparansi),
bertanggungjawab, mengembangkan jiwa kepemimpinan, percaya diri, sikap

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 75


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mental yang positif dan sabar, tidak mudah untuk berputus asa (menyerah) dan
bekerja yang efisien, amanah, disiplin dalam segala hal, tepat waktu dalam
bekerja, berkomitmen dengan janji dan tdak malu bekerja kasar.
B. Kepribadian atau investasi personal: dalam melakukan pekerjaan, seorang
pekerja muslim perlu memperhatikan karaakteristik seperti apa yang diharapkan
ada pada pekerja muslim, contohnya selalu berusaha meningkatkan kemampuan
dengan belajar, mempunyai kepribadian yang baik seperti jujur dan amanah,
dan lain-lain.
C. Hubungan pekerja dengan orang lain: Islam selalu menekankan perlunya
berjamaah (berkelompok). Hal itu terlihat dari nilai pahala ketika melakukan
aktivitas beribadah berjamaah lebih besar daripada ketika melakukan aktivitas
beribadah sendirian, contohnya pahala sholat berjamaah lebih tinggi daripada
sholat sendirian. Oleh karena itu, dalam Islam kerja sama antara satu orang
dengan orang lain sangat ditekankan, tentu saja kerja sama dalam kebaikan,
bukan kejahatan (kemaksiatan).
Islam menekankan pentingnya saling bekerja sama dalam pekerjaan,
memberikan kemudahan bagi orang lain dalam bekerja (berempati), adil pada
semua mitra kerja dan seimbang antara bekerja, beribadah, kebutuhan keluarga,
istirahat dan bermasyarakat. Selain itu juga menekankan musyawarh dengan
konsultasi pada orang lain membuat seseorang mampu mengatasi kesulitan dan
menghindari kekeliruan.
D. Hubungan pekerja dengan organisasi: menunjukkan perlunya kerja sama
antara pekerja dengan organisasi, sehingga terjadi kemitraan dan keadilan antar
pihak. Etika kerja Islam menekankan hubungan kemitraan kerja yang baik,
saling menguntungkan antar pihak: bagi pekerja hendaknya memenuhi hak-hak
organisasi/perusahaan. Sehingga pemekerja dan pekerja saling diuntungkan.
Oleh karena itu upah atas hasil pekerjaan seseorang tidak boleh diabaikan, perlu
menegakkan keadilan di tempat kerja dan tidak mengeksploitasi pekerja.

3) Hasil atau prestasi yang diperoleh dari bekerja


Dimensi ini menunjukkan apa yang harus dilakukan pekerja muslim atas
pendapatan yang diperoleh. Setelah bekerja dan memperoleh penghasilan,
masih ada kewajiban yang lain yaitu mengeluarkan zakat atas hasil kerja, jika
sudah memenuhi nisobnya (batas ketentuan pengeluaran zakat). Hal itu berarti
hasil dari pekerjaan adalah untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam rangka
ibadah kepada Allah.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 76
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

SIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI


Simpulan
1. Hasil studi 1 menghasilkan kumpulan item etika kerja Islam sebanyak 125
item etika kerja Islam yang diadopsi dari Ali (1988) dan 6 penulis dari
Indonesia. Rinciannya adalah 47 IWE scale (Islamic work ethic scale) yang
dikembangkan oleh Ali (1988); Sahat (1997): 13 item; Ali (2008): 13 item;
Muttaqin (2008): 14 item; Nurcholis Majid: 9 item; Hamzah (2005): 5 item;
dan Tasmara (2002): 24 item.
2. Hasil studi 2 menunjukkan: 92 item yang memenuhi inter rater reliability
minimal 85% dan content validity ratio (CVR) minimal 70% dan sebanyak
33 item dibuang, karena tidak memenuhi persyaratan tersebut.
3. Ada 3 dimensi etika kerja Islam yang dibuat oleh peneliti sekarang yaitu:
1) tujuan bekerja 2) cara bekerja yang terdiri dari sub dimensi: pekerjaan,
kepribadian atau investasi personal, hubungan pekerja dengan orang lain dan
hubungan pekerja dengan organisasi 3) hasil atau prestasi yang diperoleh
pekerja dari bekerja.
Keterbatasan
1. Kesulitan dalam menentukan responden para ahli dan kesulitan
menetapkan jadwal pertemuan dengan para ahli terutama dari praktisi.
Selain itu ada kendala kesediaan berwawancara dengan ulama yang
umumnya pria dan enggan bertemu dengan peneliti sekarang (wanita).
2. Item etika kerja Islam yang banyak menyebabkan responden umumnya
tidak dapat menyelesaikan dalam waktu singkat, sehingga terkadang
dibutuhkan waktu berhari-hari untuk mendalami pernyataan-pernyataan
etika kerja Islam.
3. Kalimat yang digunakan peneliti kebanyakan masih asli dari penulisnya,
sehingga diperlukan revisi baik dari peneliti sendiri, maupun usulan dari
para ahli (responden).
Implikasi
1. Hasil kuisioner yang diperoleh dari studi 1 dan uji face validity pada studi
2 dapat digunakan untuk studi berikutnya yaitu studi 3 berupa validasi
pengukuran dan studi 4 berupa uji model.
2. Peneliti lain dapat menggunakan kuisioner yang diperoleh untuk dilakukan
validasi pengukuran, termasuk melakukan uji validitas kriterion.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 77


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

DAFTAR REFERENSI
Abu-Saad, I. (1998). Individualism and Islamic work belief. Journal of Cross-
Cultural Psychology, 29(2): p377(7)
Ali, M. (2008). Etika Bisnis dalam Islam. Download di
http://eprints.ums.ac.id/281/
Ali, A. (1988). Scaling an Islamic work ethic. The Journal of Social
Psychology, 128 (5): 575-583
Arifuddin, Anik, S. & Wahyudin, Y. (2002). Analisa pengaruh komitmen
organisasi dan keterlibatan kerja terhadap hubungan antara etika kerja
Islam dengan sikap perubahan organisasi. Simposium Nasional Akuntansi,
5: 718-736
Arslan, M. (2001). The work ethic values of Protestant British, Catholic Irish
and Muslim Turkish managers. Journal of Business Ethics, 31(4): 321-339.
Coltman, T., Devinney, T.M., Midgley, D.F. & Venaik, S. 2008. Formative
versus reflective measurement models: two appications of formative
measurement. Journal of Business Research, 61: 1250-1262.
Diamantopoulos, A. & Siguaw, J.A. (2006). Formative versus reflective
indicators in organizational measure development: a comparison and
empirical illustration. British Journal of Management, Vol 17: 263-282
Fouts, S.F. (2004). Differences in work ethic among jobseekers grouped by
employment status and age and gender. Dissertation. North Carolina State
University.
Furnham, A. (1984). Work values and beliefs in Britain. Journal of
Occupational Behaviour, 5(4): 281-291.
Furnham, A. & Koritsas, E. (1990). The Protestant work ethic and vocational
preference. Journal of Organizational Behavior, 11(1): 43-55.
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M. & Donnely, JR., J.H. (1996). Organizations:
Behavior, Structure and Process. Ninth edition. Boston: Irwin.
Hamzah, M. (2005). 5 Prinsip Kerja Seorang Muslim. Download di
http://mhamzah.multiply.com/journal/item/18
Hill, R.B. & Fout, S. (2005). Work ethic & employment status: a study of job
seekers. Journal of Industrial Teacher Education, 42(3): 48-65.
Hirschfeld R.R. & Field, H.S. (2000). Work centrality and work alienation:
distinct aspects of a general commitment to work. Journal of
Organizational Behavior, 21(7):789-800.Hudspeth, N. A. (2003).
Examining the MWEP: further validation of the multidimensional work
ethic profile. Thesis. Texas A & M University.
Kegans, L. (2006). A study of the relationship between work experience and
occupational work ethic characteristics of baccalaureate nursing students.
Dissertation, University of North Texas. U.M.I.: number 3214483

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 78


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Keraf, S. (1998). Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta:


Penerbit Kanisius Luthans, F.(1995). Organizational Behavior. Seventh
edition. New york: Mc Graw- Hill.
Miller, M.J. (1997). Work ethic: the development and evaluation of a
multidimensional measure. Dissertation. Texas A & M University. U.M.I
Number: 9815809.
Mubyarto (2002). Penerapan ajaran ekonomi Islam di Indonesia. Jurnal
Ekonomi Rakyat, I(1).
Muttaqin, S.M. (2008). Etos Kerja Muslim. Download di
http://saifulmmuttaqin.blogspot.com/2008/05/etos-kerja-muslim.html
Niles, F.S. (1994). The work ethic in Australia and Sri Lanka. The Journal of
Social Psychology, 134(1): 55-59.
Podsakoff, P.M., MacKenzie, S.B., Paine, J.B. & Bacharach, D.G. (2000).
Organizational citizenship behaviors: a critical review of the theoretical
and emperical literature and suggestions for future research. Journal of
Management, 26(3): 513-563.Robbins, S. P. (1998). Organizational Behavior:
Concepts, Controversies,
Applications. Eighth edition. New Jersey: Upper Saddle River.Spector, P.
(1988). Development of the WLOC scale. Journal of Occupational
Psychology, 61: 335-340.
Suwito (2005). Pengaruh kemampuan, orientasi tujuan, kepribadian dan
motivasi berprestasi dalam self efficacy dan penetapan tujuan terhadap
kinerja. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Tasmara, T. (2002). Membudayakan Etos Kerja Islam. Edisi pertama. Jakarta:
Gema Insani Press Templeton, G.F., Lewis, B.R. & Snyder, C.A. ( 2002)
Development of a measure for the organizational learning construct.
Journal of Management Information Systems, 19(2): 175-218.
Trevino, L.K. & Nelson, K.A. (1999). Managing Business Ethics: Straight Talk
About How to Do It Right. New York: John Wiley & Sons, Inc.Yousef, D.
A.(2000 a). The Islamic work ethic as a mediator of the relationship
between locus of control, role conflict and role ambiguity. Journal of
Management Psychology, 15(4): 283-302.
Yousef, D. A.(2001). Islamic work ethic: a moderator between organizational
commitment and job satisfaction in cross cultural context. Personnel
Review, 30(2): 152-169.
Yousef, D.A. (2000 b). Organizational commitment as a mediator of the
relationship between Islamic work ethic and attitudes toward
organizational change. Human Relations, 53(4): 513-537

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 79


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 1
Pengukuran Etika Kerja Protestan, Etika Kerja Kontemporer, Etika Kerja Islam
dari Ali (1988) dan Etika Kerja Islam dari Peneliti Sekarang (Siti Djamilah, 2009)

No Keterangan Skala Etika Kerja Protestan Skala Etika Skala IWE dari Ali Skala Pengembangan Etika
Kerja (1988) Kerja Islam (Siti Djamilah,
Kontemporer 2009)
1. Skala etika MWEP (multidimensional work OWEI Skala IWE (Islamic Skala etika kerja Islam terdiri
kerja ethic profile) yang dikembangkan (Occupational work ethic) yang terdiri dari 125 item yang dibuat
oleh Miller (1997) yang terdiri dari Work Ethic dari 46 item yang dibuat oleh Ali (1988) dan penulis
65 item dengan 7 skala: Inventory) oleh Ali (1988) dari Indonesia: Sahat (1997), Ali
a. Protestant ethic scale dari dikembangkan Indiana University (2008), Muttaqin (2008),
Goldstein dan Eichhorn (1961) oleh Petty (1991) Nurcholis Majid, Hamzah
b. Pro Protestant ethic scale berisi 50 (2005), Tasmara (2002)
(Blood, 1969) deskriptor berkata
c. Protestant work ethic scale tunggal yang
(Mirels & Garrett, 1971) mengukur
d. Spirit of capitalism (Hammond ekspresi diri
& Williams, 1976) seseorang dalam
e. Work ethic (Buchholz, 1978) kebiasaan kerja,
f. Eclectic Protestant ethic scale sikap dan nilai
(Ray, 1982) kerja.
g. Australian work ethic scale (Ho
& Lloyd, 1984).
2. Sampel Analisis konten direview oleh Validitas konten a. Pada saat pembuatan a. Pada saat pembuatan
sampel mahasiswa psikologi dan direview oleh kuisioner, sampelnya kuisioner, validitas konten
validasi pengukuran dilakukan pada sampel panel ahli adalah ulama atau direview oleh ulama,
sampel mahasiswa dan pekerja dan peneliti di Amerika akademisi (dosen) dan
Validasi Serikat praktisi di institusi Islam
pengukuran b. Pada saat validasi yang ada di Surabaya,

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 80


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dengan sampel pengukuran, sampelnya Malang, Yogyakarta dan


pekerja dari 6 adalah mahasiswa yang Jakarta
jenis pekerjaan berasal dari Arab yang b. Pada saat validasi adalah
sudah bekerja di negara pekerja Islam di institusi
asal atau di Amerika Islam dan atau mahasiswa
yang bekerja di institusi Islam
3. Reliabilitas Konsistensi internal dengan alpha Konsistensi Tidak dijelaskan pada Uji reliabitas:
berkisar antara 0,69 hingga 0,89 internal dengan saat pembuatan a. Pada saat pembuatan
alpha berkisar kuisioner, hanya kuisioner menggunakan inter
antara 0,9 dijelaskan uji reliabilitas rater reliability dengan
(Hatcher, 1995 dengan menggunakan standar minimal 0,85
dalam Boatwright Cronbach alpha untuk b. Pada saat validasi
& Slate, 2000) validasi pengukuran. pengukuran menggunakan
hingga 0,95 (Hill, Peneliti yang telah Cronbach alpha
1992 dalam menguji reliabilitas IWE
Boatwright & a.l.: Ali (1992), Abu –
Slate, 2000) Saad (1998), Yousef
(2000a&2000b) dan
Yousef (2001)
4. Validitas Uji validitas konstruk dengan OWEI telah a. Face validity: terdiri a. Face validity
analisis faktor dan CFA direview beberapa dari ulama (imam menggunakan ulama
(confirmatory factor analysis) yang kali oleh panel masjid) atau peneliti (pengasuh pondok pesantren
memenuhi kriteria goodness of fit ahli dan diuji budaya Arab dan Islam atau majlis ta’lim); akademisi
indeces, lalu uji validitas konvergen berulangkali yang tinggal di Amerika (dosen) di institusi Islam dan
dan diskriminan serta validitas dengan faktor Serikat dari berbagai memahami Al Qur’an dan
prediktif. Validasi pengukuran juga analisis dengan Negara Hadist serta memahami etika
dilakukan oleh Hudspeth (2003) standar loading b. Validitas konstruk kerja Islam; dan praktisi di
minimal 0,3 oleh dengan korelasi antara institusi Islam, contoh bank
Petty (1995), Hill item & total item untuk syariah (muamalat)
dan Petty (1995), validasi pengukuran. b. Validitas konstruk:

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 81


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Hill (1996), ™ Pada saat pembuatan


Hatcher (1995) & kuisioner menggunakan
Dawson (1999). content validity ratio
(CVR) dengan standar
minimal 0,70
™ Pada saat validasi
pengukuran menggunakan
uji korelasi antar
pengukuran etika kerja
Islam (Ali dengan Penulis
lain) dan menggunakan
analisis faktor
5. Dimensi Multidimensional: Multidimensional: Unidimensional Multidimensional dengan
Kerja keras; mengandalkan diri - Dapat penentuan bentuk reflektif
sendiri; menunda kesenangan; diandalkan atau formatif
moralitas/etika; pusat kerja; (dependable)
bersenang-senang; membuang- - Interpersonal
buang waktu skill
- Inisiatif
Sumber: data diolah

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 82


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

LAMPIRAN 1
RUMUS INTER RATER RELIABILITY DAN CONTENT VALIDITY RATIO

a. Inter Rater Reliability


Inter rater reliability dihitung dengan rumus:
Inter rater reliability = n/N
Keterangan:
n = Total responden yang sepakat dengan item tersebut sebagai komponen
etika kerja Islam
N = Total responden yang mengisi kuisioner
Contoh: total responden sebanyak 17 orang dan jika yang sepakat 14 orang, maka inter
rater reliability sebesar 14/17 atau 0,82
Item tersebut diakui sebagai komponen etika kerja Islam, jika mempunyai inter rater
reliability ≥ 0,85.

b. Content Validity Ratio (CVR)


Content Validity Ratio (CVR) dihitung dengan rumus:
CVR = (n – N/2) / (N/2)
Keterangan:
n = Total responden yang sepakat dengan item tersebut sebagai komponen
etika kerja Islam
N = Total responden yang mengisi kuisioner
Contoh: total responden sebanyak 17 orang dan jika yang sepakat 14 orang, maka
Content Validity Ratio (CVR) sebesar
(14 – 17/2) / (17/2) = 0,6471 atau 64,71%.
Item tersebut diakui sebagai komponen etika kerja Islam, jika mempunyai content
validity ratio (CVR) ≥ 0,70.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 83


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

LAMPIRAN 2
ITEM-ITEM YANG DITOLAK SEBAGAI KOMPONEN
ETIKA KERJA ISLAM
NO NO ITEM – ITEM YANG DITOLAK SEBAGAI PENULIS RESPONDEN
ITEM KOMPONEN ETIKA KERJA ISLAM YANG
MENOLAK

1. 1 Tujuan bekerja adalah beribadah Sahat (1997) R2, R5 & R17


2. 2 Dapat diandalkan Hamzah R2, R15
(2005) &R17
3. 3 Pengabdian pada pekerjaan merupakan Ali (1988) R15, R16 &
kebaikan R17
4. 6 Negara harus menyediakan pekerjaan Ali (1988) R2, R7, R10,
untuk setiap orang yang bersedia bekerja R14, R15 &
R17
5. 11 Kerjasama akan menciptakan kepuasan Ali (1988) R15, R16 &
dan keuntungan bagi masyarakat R17
6. 12 Persaingan untuk meningkatkan kualitas Ali (1988) R10, R13, R16
harus didorong dan dihargai & R17
7. 13 Perjuangan yang terus menerus untuk Ali (1988) R11, R13,
aktualisasi cita-cita dan kesetiaan kerja R14, R16 &
menjamin kesuksesan R17

8. 14 Mayarakat kita akan memiliki masalah Ali (1988)


sedikit jika masing-masing orang R4, R6, R14,
berkomitmen pada pekerjaan dan R15 & R17
menghindari penyelewengan
9. 15 Seseorang seharusnya berpartisipasi dalam Ali (1988) R2, R10, R15
kegiatan ekonomi & R17
10. 20 Orang yang tidak bekerja adalah tidak Ali (1988) R2, R3, R4,
berguna bagi masyarakat R10, R14,
R15, R16 &
R17
11. 22 Seseorang dapat mengatasi kesulitan Ali (1988) R2, R3, R15,
dalam kehidupan dengan melakukan R16
pekerjaan sebaik mungkin
12. 24 Kerja keras adalah kebaikan dalam sudut Ali (1988) R7, R16 &
pandang manusia R17

13. 25 Bekerja adalah sumber kepuasan atau Ali (1988) R2, R3, R4,
pemenuhan diri R10, R13,
R15, R16 &
R17
14. 27 Hidup tiada arti tanpa pekerjaan Ali (1988) R3, R4, R10,

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 84


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

R15, R16 &


R17
15. 28 Waktu senggang untuk bersenang-senang Ali (1988) R13, R15 &
yang banyak merupakan hal yang tidak R17
baik
16. 31 Bekerja memudahkan seseorang untuk Ali (1988) R8, R9, R11,
mengontrol lingkungan R13, R14,
R15, R16 &
R17
17. 35 Yang tidak bekerja keras, akan sering Ali (1988) R3, R7, R14,
gagal dalam kehidupan R16 & R17
18. 36 Bekerja menjadikan seseorang mandiri Ali (1988) R3, R9, R15
& R17
19. 37 Bekerja merupakan sumber penghargaan Ali (1988) R3, R13, R15
diri & R17
20. 38 Kecerobohan menjadi sesuatu yang tidak Ali (1988) R3, R13 &
bermanfaat dalam kehidupan seseorang R15

21. 39 Waktu senggang yang lebih adalah tidak Ali (1988) R7, R13, R14
bagus bagi seseorang & R15
22. 40 Orang yang sukses adalah orang yang Ali (1988) R2, R3, R11,
mampu memenuhi batas waktu (deadline) R12, R13, R15
kerja & R17
NO NO ITEM – ITEM YANG DITOLAK SEBAGAI PENULIS RESPONDEN
ITEM KOMPONEN ETIKA KERJA ISLAM YANG
MENOLAK
23. 41 Kerja keras akan menjamin kesuksesan Ali (1988) R3, R4, R11,
R12, R13, R15
& R17
24. 42 Seseorang seharusnya terus menerus Ali (1988)
bekerja keras untuk memenuhi tanggung R2, R7, R13
jawabnya & R17
25. 43 Kemajuan bekerja dapat diperoleh melalui Ali (1988) R3, R15 &
percaya diri R17

26. 46 Nilai kerja diperoleh dari niat yang Ali (1988) R10, R15 &
menyertai, bukan dari hasil kerja R17
27. 2 Berorientasi pada hasil Tasmara R1, R2, R4,
(2002) R7, R8, R11,
R13, R15, R16
& R17
28. 5 Independen dalam mencari penghasilan Tasmara R2, R3 & R15
(tidak tergantung belas kasihan orang lain) (2002)
29. 7 Bekerja dengan semangat bersaing Tasmara R2, R3, R7,
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 85
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

(2002) R10, R12,


R13, R14,
R15, R16 &
R17
30. 8 Mampu belajar dari kegagalan dalam Tasmara R13, R16 &
persaingan (2002) R17

31. 9 Menyisihkan sebagian dari penghasilan Tasmara R1, R2, R4,


dalam bentuk tabungan atau deposito (2002) R11 & R17
32. 10 Memiliki motto: berakit-rakit dahulu Tasmara R9, R13 &
bersenang-senang kemudian (2002) R17

33. 15 Menginginkan pekerjaan yang menantang Tasmara R2, R11 &


(2002) R16
Sumber: Data diolah

LAMPIRAN 3
DIMENSI-DIMENSI ETIKA KERJA ISLAM
1) Tujuan Bekerja

NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS


1. Bekerja adalah suatu usaha untuk mewujudkan keseimbangan Sahat (1997)
antara pemenuhan kebutuhan jasamani dan jiwa/rohani
2. Orang seharusnya menjaga hartanya dengan memanfaatkan Sahat (1997)
sebaik-baiknya ***
3. Seorang muslim mempunyai amanat untuk memakmurkan Ali (2008)
kehidupan di dunia
4. Bekerja bukan merupakan tujuan, melainkan hanya sarana untuk Ali (2008)
mencari keridhaan Allah
5. Kekayaan bukan merupakan suatu kemuliaan, jika tidak Ali (2008)
digunakan di jalan Allah
6. Tidak menelantarkan harta yang diperoleh *** Ali (2008)
7. Bekerja dengan didasarkan pada tauhid (kepercayaan pada Majid
keesaan Allah)
8. Bekerja diniatkan sebagai ibadah Majid
9. Bekerja adalah perwujudan rasa syukur kepada nikmat Allah Hamzah (2005)
SWT
10. Bekerja merupakan suatu aktivitas wajib bagi setiap orang yang Ali (1988)
mampu
11. Uang bukanlah satu-satunya motivasi dalam bekerja Tasmara (2002)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 86


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

2) Cara Bekerja
A. Pekerjaan
NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS
1. Mencari rejeki yang halal merupakan suatu kewajiban ** Sahat (1997)
2. Dalam bekerja, seseorang perlu menghindari usaha yang haram Sahat (1997)
(misalnya korupsi, berjudi, dll.)
3. Dalam bekerja, orang harus menghindarkan diri dari transaksi Sahat (1997)
riba
4. Bekerja pada pekerjaan yang halal ** Ali (2008)
5. Melakukan apa saja yang diyakini dalam bekerja selama tidak Majid
bertentangan dengan kehendak Allah
6. Mengucapkan nama Allah (bismillah) setiap awal pekerjaannya Majid
7. Uang yang diperoleh lewat penyuapan merupakan perbuatan Ali (1988)
yang tidak wajar
8. Judi membahayakan bagi masyarakat Ali (1988)
9. Senang berada dalam lingkungan yang menantang penuh Tasmara (2002)
perubahan dan dinamis daripada keadaan yang lamban atau statis

B. Kepribadian atau investasi personal


NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS
1. Bekerja keras merupakan suatu tuntunan dalam Islam ** Sahat (1997)
2. Bekerja perlu disertai doa dan tawakkal Sahat (1997)
3. Kemiskinan bukan merupakan kehinaan, jika ia sudah bekerja Ali (2008)
keras
4. Jujur dalam bekerja Ali (2008)
5. Keterbukaan (transparansi) Ali (2008)
6. Bertanggungjawab Ali (2008)
7. Memiliki dan mengembangkan jiwa kepemimpinan Muttaqin (2008)
8. Usaha untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya secara Muttaqin (2008)
optimal
9. Menghargai waktu * Muttaqin (2008)
10. Bekerja lebih baik dibanding sebelumnya Muttaqin (2008)
11. Percaya diri Muttaqin (2008)
12. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam bekerja ### Muttaqin (2008)
13. Mempunyai sikap mental yang positif dan sabar Muttaqin (2008)
14. Tidak terbelenggu oleh prestasi kerja sesaat Muttaqin (2008)
15. Memelihara kesehatan dan memperhatikan gizi Muttaqin (2008)
16. Tidak mudah untuk berputus asa (menyerah) Muttaqin (2008)
17. Diorientasikan kepada produktivitas atau hasil terbaik Muttaqin (2008)
18. Bekerja yang efisien Muttaqin (2008)
19. Bekerja yang didasarkan pada kualitas kerja terbaik *** Majid
20. Keberanian diri dalam hal yang benar Majid
21. Tidak malas dalam bekerja $$ Majid

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 87


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

22. Bekerja keras ** Majid


23. Amanah Hamzah (2005)
24. Bekerja secara terencana Hamzah (2005)
25. Memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada Hamzah (2005)
26. Kemalasan merupakan tindakan yang tidak baik dalam bekerja Ali (1988)
27. Seseorang seharusnya berusaha untuk mencapai hasil yang Ali (1988)
lebih baik
28. Pekerjaan harus dilakukan dengan usaha sungguh-sungguh Ali (1988)
29. Seseorang seharusnya menjalankan pekerjaan dengan Ali (1988)
kemampuan yang terbaik dari yang dimilikinya
30. Pengabdian pada kualitas kerja merupakan kebaikan *** Ali (1988)
31. Seluruh perhatian dikerahkan untuk menjadi manusia yang Tasmara (2002)
produktif
32. Terobsesi untuk bekerja lebih baik dan lebih baik lagi Tasmara (2002)
33. Berusaha belajar, baik dengan cara membaca buku, menghadiri Tasmara (2002)
seminar, pelatihan atau diskusi ###
34. Bersedia mengambil risiko yang telah diperhitungkan Tasmara (2002)
35. Berani menyatakan gagasan dan pikiran, walaupun dalam situasi Tasmara (2002)
yang sangat menekan
36. Disiplin dalam segala hal ^^^ Tasmara (2002)
37. Tepat waktu dalam bekerja ^^^ Tasmara (2002)
38. Tidak takut dengan perubahan Tasmara (2002)
39. Berkomitmen dengan janji Tasmara (2002)
40. Tidak ada waktu luang, kecuali diisi dengan hal yang Tasmara (2002)
bermanfaat*
41. Tidak malu bekerja kasar Tasmara (2002)
42. Mencoba gagasan baru dalam bekerja Tasmara (2002)

C. Hubungan pekerja dengan orang lain


NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS
1. Saling bekerja sama dalam pekerjaan Sahat (1997)
2. Memberikan kemudahan bagi orang lain dalam bekerja Sahat (1997)
(berempati)
3. Bersifat adil pada semua mitra kerja Sahat (1997)
4. Seimbang antara bekerja, beribadah, kebutuhan keluarga, Ali (2008)
istirahat dan bermasyarakat
5. Bekerja sama Ali (2008)
6. Seseorang seharusnya memperhatikan urusan kemasyarakatan Ali (1988)
dalam melakukan pekerjaan
7. Kerjasama merupakan kebaikan dalam bekerja Ali (1988)
8. Pekerjaan yang bagus menguntungkan bagi diri sendiri dan juga Ali (1988)
orang lain
9. Pekerjaan bukan tujuan akhir, tetapi merupakan cara untuk Ali (1988)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 88


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

memperkuat pengembangan diri dan hubungan sosial


10. Seseorang seharusnya tidak menghabiskan seluruh waktunya Ali (1988)
untuk bekerja
11. Kerja yang hanya untuk kerja itu sendiri akan melemahkan Ali (1988)
kehidupan seseorang
12. Konsultasi pada orang lain membuat seseorang mampu Ali (1988)
mengatasi kesulitan dan menghindari kekeliruan
13. Kerja keras merupakan kebutuhan untuk menciptakan Ali (1988)
keseimbangan kehidupan individu dan kehidupan sosial
14. Dalam setiap situasi, ingin berarti bagi orang lain *** Tasmara (2002)
15. Menawarkan jasa pelayanan yang ia mampu pada orang lain *** Tasmara (2002)

D. Hubungan pekerja dengan organisasi


NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS
1. Membuat perjanjian dalam hubungan kemitraan kerja Sahat (1997)
2. Saling menguntungkan antar pihak: bagi pekerja hendaknya Sahat (1997)
memenuhi hak-hak organisasi/perusahaan
3. Upah atas hasil pekerjaan seseorang tidak boleh diabaikan Ali (1988)
4. Keadilan dan kedermawanan di tempat kerja merupakan kondisi Ali (1988)
yang perlu untuk kesejahteraan masyarakat
5. Hubungan manusia dalam organisasi harus ditekankan dan Ali (1988)
didukung
6. Eksploitasi dalam bekerja merupakan perbuatan tidak terpuji Ali (1988)

3) Hasil atau prestasi yang diperoleh dari bekerja

NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS


1. Mengeluarkan zakat atas hasil kerja, jika sudah memenuhi Sahat (1997)
nisobnya (batas ketentuan pengeluaran zakat)
2. Hasil dari pekerjaan adalah untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya Ali (2008)
dalam rangka ibadah kepada Allah
3. Bersyukur atas pendapatan yang diperoleh dari bekerja Muttaqin (2008)
4. Hidup hemat Muttaqin (2008)
5. Bekerja dengan semangat beramal soleh Majid
6. Menghasilkan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan diri Ali (1988)
dapat menyumbang kemakmuran masyarakat secara keseluruhan
7. Kerja kreatif merupakan sumber kebahagiaan & prestasi Ali (1988)
8. Seseorang yang bekerja sungguh-sungguh, memungkinkan Ali (1988)
hidupnya maju ke depan
9. Uang hanyalah ‘akibat sampingan’ atas prestasi dan hasil kerja Tasmara (2002)
Sumber: Data diolah

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 89


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Aplikasi Model Risiko Kredit Untuk Mengestimasi Harga Premi


Penjaminan Simpanan Wajar (fair) dan Pengujian Moral hazard

Firman Pribadi∗

Abstract
This study uses a credit risk model (credit Value at Risk models) to estimate
the fair price premium of Deposit Insurance and the proper claim reserve
funds, as well as, to test moral hazard behavior for banks after explicitly
applying the Deposit Insurance system in Indonesia's banking system. Theory
and empirical evidence indicate that if the Deposit Insurance system is not
designed well, in the long-term it will encourage moral hazard. There are two
are good design features of Deposit Insurance system that could be linked
directly to the current presence of Indonesia Deposit Insurance Corporation
(IDIC), which is reasonable Deposit Insurance’s fair premiums price based
on risk and coverage limit. The results of this study are expected to provide
input for the IDIC about how to design a Deposit Insurance system in
Indonesia in order to minimize moral hazard behavior, through the
determination of reasonable Deposit Insurance’s fair price premiums, proper
claims reserve and the optimal coverage limit for LPS.
Keyword: Credit Risk Model, Fair Price Premium of Deposit Insurance,
Claim Reserve, Indonesia Deposit Insurance Corporation

PENDAHULUAN
Krisis Moneter yang melanda Indonesia beberapa waktu lalu telah
menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan. Untuk
mencegah terjadinya bank run (bank rush) dan efek berantainya yang tidak
diinginkan, pemerintah Indonesia membentuk jaring pengaman keuangan dalam
bentuk blanket guarantee1. Dengan terbitnya UU No 24 tahun 2004 tentang
Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) mendorong pemerintah untuk
membentuk sistem Penjaminan Simpanan eksplisit sebagai ganti dari kebijakan


Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Manajemen FEB
UGM dan staf pengajar Universitas Islam Batik Surakarta
1
Blanket guarantee dalam terminologi Penjaminan Simpanan dikenal sebagai bentuk
Penjaminan Simpanan implisit, yaitu menjamin atau mengambil alih dana nasabah
dari bank-bank gagal yang dilakukan secara non formal tanpa adanya UU khusus
untuk hal tersebut. Lawannya adalah Penjaminan Simpanan eksplisit, yaitu menjamin
dana nasabah dari bank-bank gagal yang dilakukan secara formal oleh suatu Negara
dalam suatu UU.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 90
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

blanket guarantee sebelumnya. Hal ini ditandai dengan didirikannya Lembaga


Penjaminan Simpanan (LPS) Indonesia atau Indonesia Deposit Insurance
Corporation (IDIC).
Teori dan bukti empiris di banyak negara menunjukan bahwa sistem
Penjaminan Simpanan, dalam jangka panjang telah mendorong timbulnya moral
hazard (Lovett (1989); White (1995)), apalagi jika tidak didisanin dengan baik
(Mc Coy (2007)). Moral hazard dalam terminologi Penjaminan Simpanan dapat
didefinisikan sebagai hazard yang ditimbulkan oleh aktivitas bank yang tidak
diinginkan dari sudut pandang Lembaga Penjamin Simpanan. Karena
menimbulkan kemungkinan terjadinya pemindahan risiko dari bank kepada
Lembaga Penjamin Simpanan (Saunders dan Cornet (2003); Mc Coy (2007)).
Hovakimian, Kane dan Laeven (2003) menyatakan bahwa pemindahan
risiko terjadi jika penjamin terekspos terhadap rugi tanpa menerima kompensasi
yang cukup. Di sini salah satu pemicu utama timbulnya moral hazard adalah
ketika Lembaga Penjamin Simpanan menerapkan sistem premi tarip tetap (flate
rate). Kane (1985) mengkritik FDIC2 karena telah menerapkan sistem premi
tarip tetap ini, sehingga telah mendorong terjadinya moral hazard yang
berdampak pada tingginya kegagalan bank di Amerika Serikat pada awal tahun
1980-an. Di sisi lain premi tarip tetap ini menyebabkan timbulnya subsidi dari
bank yang mempunyai risiko rendah kepada bank yang mempunyai risiko tinggi
(Blair dan Fissel, 1991).
Walaupuan sistem Penjaminan Simpanan mendorong timbulnya moral
hazard, namun sejarah telah menunjukan bahwa sistem ini bermanfaat untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan suatu negara (Diamond dan Dybvig, 1983;
Berger, Herring dan Szego (1995); Calomiris (1999); Flannery dan Sorescu
(1996); Santomero (1997); Demirguc-Kunt dan Sobaci (2000); Santos (2000);
Hancock dan Kwast (2001); Swidler dan Wilcox (2002)). Oleh karena itu untuk
dapat mengaplikasikan sistem ini dengan baik perlu didisain sistem Penjaminan
Simpanan yang memperhatikan saling tukar (trade off) antara moral hazard dan
stabilitas.

2
Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) adalah Lembaga Penjaminan
Simpanan Amerika Serikat yang berdiri semenjak tahun 1930. Namun White (1995)
menunjukan bahwa dalam sejarah perbankan AS jauh sebelumnya, yaitu sekitar abad
18 telah berdiri lembaga-lembaga sejenis yang didirikan oleh beberapa negara bagian
di AS.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 91
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Penelitian yang dilakukan oleh Mishra dan Urutia (1995), Kunt dan
Detrigiache (2000), Laeven (2001), Cooper dan Ross (2002), Kunt dan Kane
(2002), Hovakimian, Kane dan Laeven (2003),menunjukan bahwa sistem
Penjaminan Simpanan yang didisain dengan baik dapat mengurangi terjadinya
moral hazard. Fitur disain tersebut adalah perlunya membentuk sistem premi
yang wajar yang berbasikan pada risiko, kecukupan modal bank, batas
penjaminan (coverage limit), koasuransi, dan regulasi prudensial yang ketat
yang didukung oleh intitusi pengawas yang kuat. Sebaliknya Penelitian mereka
menunjukan juga bahwa pada lingkungan yang lemah dan penegakan regulasi
yang tidak tepat untuk tidak mendirikan Penjaminan Simpanan, karena hanya
akan memperburuk stabilitas sistem keuangan dalam jangka panjang.
Sebagai lembaga yang masih baru LPS dalam menerapkan preminya
masih memakai sistem tarip tetap dan cadangan klaimnya masih ditentukan
secara arbitrer. Di sisi lain perlu bagi LPS untuk melihat apakah ada indikasi
moral hazard dengan sistem disain Penjaminan Simpanan saat ini. Karenanya
penyusunan sistem premi yang wajar, penentuan cadangan klaim yang tepat dan
pengujian moral hazard menjadi penting bagi LPS untuk membentuk disain
sistem Penjaminan Simpanan yang dapat mengurangi timbulnya moral hazard.
Karena dari disain fitur di atas yang terkait langsung dan dapat dilaksanakan
segera oleh LPS adalah fitur premi yang disesuaikan dengan profil risiko dan
fitur batas penjaminan3.
Model Risiko Kredit akan digunakan dalam penelitian ini untuk
menyusun sistem premi yang wajar dan cadangan klaim yang tepat. Selanjutnya
premi wajar ini akan digunakan untuk menguji perilaku moral hazard. Model
Risiko Kredit telah mulai banyak diteliti untuk dapat diaplikasikan pada sistem
Penjaminan Simpanan (Bennett (2001); Kuritzkes, Schuermann dan Weiner
(2002); Sironi dan Zazzara (2004)). Model ini merupakan model yang masih
berkembang dan mempunyai banyak ragam, karena modeling bergantung pada
tujuan penggunaan model. Model risiko kredit ini digunakan sebagai pengganti
atau model alternatif bagi model sebelumnya yang berbasiskan pada teori opsi
3
Mulai 22 Maret 2007 dana pihak ketiga yang dijamin LPS adalah sebesar maksimal
Rp 100 juta per rekening. Namun pada tagal 13 Oktober 2008 LPS menaikan jumlah
penjaminan menjadi hingga Rp 2 milyar per rekening, dan dengan disahkannya UU
No 7 tahun 2009 memungkinkan bagi LPS untuk meningkatkan batas panjaminan
simpanan hingga mencapai nilai yang dianggap mampu untuk mencegah terjadinya
bank run.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 92
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

yang berasal dari studi Merton (1977, 1978) yang kemudian dikembangkan oleh
Marcus dan Shaked (1984), Pyle (1983), Pennachi (1978a, 1978b).
Pengujian indikasi perilaku moral hazard dengan menggunakan model
risiko kredit merupakan hal yang pertama kali dilakukan dalam penelitian
sejenis. Karena model-model premi yang wajar pada penelitian sebelumnya
yang biasa digunakan untuk menguji indikasi moral hazard adalah model
Marcus dan Shaked (1984), Ron dan Verma (1986), Duan, Moreau dan Sealy
(1992), Laeven (2002) yang menggunakan model opsi jual (put option) periode
tunggal seperti yang dikembangkan dari model Merton (1977). Untuk model-
model premi wajar yang menggunakan model multi periode dapat dilihat pada
penelitian dari Pennachi (1987a, 1987b), Duan dan Yu (1994), Cooperstain,
Pennachi dan Redburn (1995), Saunders dan Wilson (1995), Hovakimian dan
Kane (2002).
Model risiko kredit yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
model risiko kredit dalam kerangka VaR (model kredit VaR) untuk menentukan
premi Penjaminan Simpanan wajar. Hasil premi Penjaminan Simpanan wajar
dari model risiko kredit penelitian ini selanjutnya akan digunakan untuk
menguji permasalahan penelitian apakah penentuan harga premi Penjaminan
Simpanan wajar yang ditentukan berdasarkan model risiko kredit penelitian
dapat mengindikasikan adanya perilaku moral hazard dari bank-bank anggota
LPS kepada LPS setelah diterapkannya sistem Penjaminan Simpanan eksplisit
di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah penentuan
premi Penjaminan Simpanan wajar yang ditentukan melalui model risiko kredit
dapat mengindikasikan adanya perilaku moral hazard pada bank-bank anggota
LPS kepada LPS setelah diterapkannya sistem Penjaminan Simpanan eksplisit.
Kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah akan memberikan
manfaat tidak hanya bagi pengembangan teori model risiko kredit dan
kontribusi empiris model Risiko Kredit pada pengujian indikasi perilaku moral
hazard. Namun juga akan bermanfaat bagi pengambilan kebijakan LPS dalam
menyusun disain fitur sistem Penjaminan Simpanan. Karena hasil dari
penelitian ini akan memberikan masukan bagi LPS dalam membentuk sistem
Penjaminan Simpana yang memperhatikan trade off antara moral hazard dan
stabilitas melalui disain fitur Premi Penjaminan Simpanan yang wajar, yaitu
premi yang berbasiskan risiko, pembentukan cadangan klaim yang tepat, dan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 93


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

penentuan batas penjaminan (coverage limit) yang optimal bagi sistem


Penjaminan Simpanan. Oleh karenanya penelitian ini akan memberikan
masukan yang berharga tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga rakyat,
khususnya rakyat pembayar pajak. Karena menurunya perilaku moral hazard
akan menurunkan eksprosiasi/pencurian dari bank yang tidak sehat kepada
kekayaan rakyat melalui penggunaan APBN untuk hal yang tidak semestinya,
yaitu mengganti dana nasabah yang hilang karena perilaku moral hazard.

TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS


Studi-Studi Empiris Perilaku Pemindahan Risiko Bank
Seperti yang telah diungkapkan oleh para ahli bahwa sistem premi tarip
tetap akan mendorong terjadinya moral hazard. Moral hazard terjadi jika terjadi
perilaku pemindahan risiko. Pemindahan risiko terjadi ketika bank menaikan
risikonya tanpa diikuti oleh kenaikan biaya atau premi Penjaminan Simpanan.
Dengan terjadinya pemindahan risiko ini berarti bank mengeksproriasi
kesejahteraan Lembaga Penjamin Simpanan yang akhirnya mengekspropriasi
kesejahteraan masyarakat atau pembayar pajak. Mekanisme ekspropriasi
pembayar pajak ini terjadi ketika bank yang mengambil risiko lebih akan
memindahkan beban kerugian terbesarnya pada Lembaga Penjamin Simpanan.
Dalam hal ini jika bank mengalami keuntungan maka keuntungan ini akan
didapatkan oleh bank, sebaliknya jika bank mengalami kerugian maka kerugian
terbesar akan ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Sebagian besar
kerugian yang harus ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan akan
ditutupi oleh dana dari premi yang dikumpulkan, jika dana dari Lembaga
Penjamin Simpanan ini tidak cukup maka akan dibayarkan oleh pemerintah
yang dananya diambilkan dari dana rakyat atau dana pembayar pajak.
Untuk mencegah terjadinya pemindahan risiko ini Lembaga Penjaminan
Simpanan harus menentukan preminya dengan berbasiskan pada risiko. Merton
(1977) adalah orang yang pertama kali menunjukkan bahwa Penjaminan
Simpanan yang diberikan oleh FDIC ekuivalen dengan opsi jual (put option)
yang diterbitkan (writer) atas aset bank. Dalam modelnya ini Merton
menunjukkan ada dua tipe risiko yang secara potensial dapat dipindahkan ke
FDIC, yaitu risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (leverage) (D/V).
Perubahan dari risiko aset akan mempengaruhi variabilitas return dari aset
acuan (underlying asset), dan perubahan dari risiko pengungkitan akan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 94


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mempengaruhi exercise price dari opsi jual (put option). Dengan menggunakan
analisis statik komparatif Merton menunjukkan bahwa sumber risiko ini
berhubungan positif dengan biaya Penjaminan Simpanan, yaitu kenaikan dari
dua sumber risiko ini akan diikuti oleh kenaikan biaya asuransi.
Alat utama untuk mengidentifikasi perilaku pemindahan risiko dari bank
ini adalah dengan menentukan apakah terjadi harga Penjaminan Simpanan yang
mempunyai harga lebih (overprice) atau harga kurang (underprice)
dibandingkan dengan nilai aktuarialnya. Karena tujuan dari pemindahan risiko
adalah dengan membuat nilai aktuarial Penjaminan Simpanan lebih besar dari
biaya aktualnya, kalau ini terjadi maka harga kurang biasanya dijadikan sebagai
bukti adanya pemindahan risiko.
Dengan berbasiskan pada model Merton (1977) Duan dkk (1992)
memberikan kerangka yang berbeda untuk mengidentifikasi perilaku
pemindahan risiko pada bank-bank komersial. Dalam studinya Duan dkk (1992)
menyatakan bahwa pemindahan risiko oleh bank kepada Lembaga Penjamin
Simpanan yang ditujukan untuk mengeskproriasi kesejahteraan Lembaga
Penjamin Simpanan dilakukan dengan meningkatkan risiko aset (σV) dan risiko
pengungkitan (D/V). Pemindahan risiko akan berhasil jika berakibat pada
kenaikan nilai aktuarial dari Penjaminan Simpanan yang diberikan oleh LPS
tidak diikuti oleh kenaikan premi aktual. Berdasarkan pada model studinya
Duan dkk mengajukan dua hipotesis yaitu: Hipotesis 1: α1 ≥ 0 dan Hipotesis 2:
β1 ≤ 0, pemindahan risiko terjadi jika β1 > 0. Penolakan hipotesis 1
mengindikasikan bahwa pemindahan risiko dapat dicegah, tetapi pencegahan ini
tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak ada pemindahan risiko.
Penolakan hipotesis 2 menunjukkan adanya pemindahan risiko. Terdapat dua
persamaan dasar yang dikembangkan berdasarkan hipotesis ini adalah: pertama
persamaan yang menunjukkan hubungan antara risiko aset (σV) dan risiko
pengungkitan (D/V). Kedua persamaan yang menunjukkan hubungan antara
risiko aset (σV) dan premi Penjaminan Simpanan wajar. Karena pemindahan
risiko hanya terjadi ketika β1 > 0, maka konklusi akhir tentang adanya
pemindahan risiko bank bergantung pada persamaan kedua.
Untuk menguji hipotesis mereka ini, Duan dkk (1992) menguji sampel
yang terdiri dari 30 bank-bank besar di AS dalam perioda 1976-1986. Dengan
menggunakan OLS mereka menemukan hanya satu bank yang mempunyai
hubungan positif dan signifikan antara risiko aset dan risiko pengungkitan.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 95


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Hasil ini mengindikasikan bahwa bank ini telah berhasil memindahkan


risikonya, tetapi tidak cukup kondisi untuk membuat konklusi umum.
Selanjutnya berdasarkan regresi OLS pada hubungan kedua, mereka
menemukan enam bank yang menunjukkan hubungan positif yang signifikan
antara risiko aset dan premi Penjaminan Simpanan wajar, termasuk satu bank
yang menunjukkan hubungan positif dan signifikan antara risiko aset dan risiko
pengungkitan dari pengujian hipotesis 1. Oleh karenanya Duan dkk (1992)
menyimpulkan bahwa secara umum pemindahan risiko tidak terjadi secara luas.
Hovakimian dan Kane (2000) menggunakan sampel 123 bank-bank di
AS dalam perioda tahun 1985-1994 untuk menguji apakah ada insentif untuk
pemindahan risiko, dan apakah disiplin regulasi dan disiplin dari luar (pasar)
dapat mengawasi pemindahan risiko. Hovakiman dan Kane ini juga
menggunakan metodologi yang berbasiskan pada opsi untuk harga masing-
masing liabilitas (liability) aktuarial bank bagi Penjaminan Simpanan, dan
menjalankan regresi OLS untuk menguji hipotesis pemindahan risiko. Namun
mereka menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan
Duan dkk (1992) yaitu seluruh variabel seperti risiko aset, risiko pengungkitan
dan premi Penjaminan Simpanan dalam studi mereka dinyatakan dalam bentuk
perubahan atau Δ dalam posisi waktu tertentu. Dalam menguji model dua
persamaan Hovakimian dan Kane (2000) menguji (1) hubungan antara
perubahan dalam risiko aset dan perubahan dalam risiko pengungkitan, dan (2)
hubungan antara perubahan dalam risiko aset dan perubahan dalam premi
Penjaminan Simpanan wajar. Terkait dengan pengujian ini mereka menawarkan
dua hipotesis (1) hipotesis 1: α1< 0 dan hiptesis 2 β1 ≤ 0.
Hovakimian dan Kane (2000) berpedapat bahwa kegagalan untuk
menolak hipotesis 1 menunjukkan bahwa pengekangan risiko pada risiko
pengungkitan (D/V) berhasil dengan melakukan beberapa perluasan usaha
pendisiplinan untuk meningkatkan volatilitas dari return bank (σV). Walaupun α1
negatif, insentif pemindahan risiko masih ada jika β1 positif. Hasil mereka
menunjukkan bahwa isentif pemindahan risiko ada. Pada margin bank yang
agresif tampak bank-bank ini mengambil subsidi dari Penjaminan Simpanan.
Sebagai tambahan insentif pengambilan risiko menunjukkan bukti yang sangat
kuat terjadi pada bank-bank bermasalah dan pada bank yang memiliki rasio
deposito terhadap hutang yang tinggi. Mereka juga menemukan bahwa regulasi
kapital tidak mencegah bank-bank besar dari pemindahan risiko pada jaring

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 96


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pengaman, tetapi disiplin pasar dan regulatori (regulatory) menekan


pengambilan risiko bank ini.
Hovakimian, Kane, dan Leaven (2003) menguji bagaimana
karakteristik negara dan jaring pengaman mempengaruhi pemindahan risiko
bank. Mereka meneliti bagaimana otoritas di 56 negara mengekang insentif
pemindahan risiko bank dalam perioda tahun 1991-1999. Mereka memfokuskan
pada peran disiplin pasar dan peran regulatori dalam menetralisir insentif
pemindahan risiko. Dalam penelitian mereka ini mereka tidak menawarkan
hipotesis, tetapi mengindikasikan bahwa dua kondisi harus dipenuhi untuk pasar
dan regulatori untuk menetralisir insentif pemindahan risiko bank: (1) kenaikan
kapital dengan volatilitas: α1 < 0, dan (2) nilai jaminan tidak meningkat dengan
volatilitas β1 ≤ 0, jika β1 negatif maka insentif pemindahan risiko secara penuh
dapat dinetralisir.
Studi mereka menggunakan metodologi data panel untuk menguji
hubungan antara risiko aset dan risiko pengungkitan, dan hubungan antara
risiko aset dan premi Penjaminan Simpanan wajar. Mereka menemukan bahwa
walaupun signifikan pemindahan risiko secara rata-rata, variasi substansial ada
dalam keefektivan kontrol risiko untuk seluruh negara. Mereka juga
menemukan bahwa kecenderungan Penjaminan Simpanan yang eksplisit akan
memperburuk pemindahan risiko yang disebabkan oleh tidak adanya fitur
kontrol seperti kepekaan risiko, batas jaminan dan koasuransi (coinsurance).
Gueyie dan Lai (2003) dengan menggunakan hipotesis pemindahan
risiko bank menguji efek diaplikasikannya Penjaminan Simpanan pada tahun
1967 pada moral hazard bank di Kanada. Mereka menggunakan sampel 5 bank
terbesar dalam perioda 1959-1982. Mereka menguji dua sub hipotesis: (1) sub
hipotesis 1: α1 < 0, dan (2) sub hipotesis 2: β1 ≤ 0, mengindikasikan terjadi
pemindahan risiko jika β1 > 0.
Dalam menguji sub hipotesis 1, Gueyie dan Lai (2003) menggunakan
rasio kapital (rasio nilai pasar ekuiti bank terhadap nilai pasar aset bank) sebagai
pengganti rasio pengungkitan (D/V), dan mengikuti Duan dkk (1992) yang
meneliti hubungan antara risiko aset dan risiko pengungkitan. Namun untuk
pengujian sub hipotesis 2, mereka mengikuti Hovakimian dan Kane (2000)
yang menguji hubungan antara perubahan risiko aset dan perubahan dari premi
Penjaminan Simpanan wajar. Mereka menemukan hubungan positif antara
risiko aset dan rasio modal bank, mengindikasikan bahwa bank-bank di Kanada

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 97


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

melakukan penyesuaian kapitalisasi aset mereka dengan risiko aset. Mereka


juga menemukan hubungan negatif antara perubahan dalam risiko aset dan
perubahan dalam premi Penjaminan Simpanan wajar, menunjukkan bahwa
pemindahan risiko tidak terjadi. Kesimpulan menyeluruh dari hasil mereka
adalah bahwa mereka tidak dapat mendeteksi adanya moral hazard pada
industri perbankan di Kanada setelah diterapkannya Penjaminan Simpanan.
Agusman, Gasbarro dan Zumwalt (2005) menguji perilaku pemindahan
risiko pada bank-bank di Asia menggunakan sub hipotesis 1: α1 < 0, dan sub
hipotesis 2: β1 > 0. Agusman dkk (2005) dengan menggunakan sampel 46
bank dari 10 negara di Asia dalam tahun 1998-2003 dan menerapkan
metodologi data panel dan memperlakukan outliers dengan rank
transformation. Hasil mendukung hipotesis 1 adanya hubungan negatif antara
pengungkitan dan risiko aset. Temuan ini menunjukkan bahwa disiplin pasar
dan disiplin regulatori bekerja untuk membatasi pengambilan risiko dengan
memaksa bank-bank di Asia untuk menyesuaikan tingkat pengungkitan (tingkat
modal) dengan risiko aset. Untuk hipotesis 2 hasil temuan menunjukkan adanya
hubungan positif antara premi Penjaminan Simpanan wajar dengan risiko aset.
Hasil ini menunjukkan adanya moral hazard pada bank-bank di Asia.
Berdasarkan hasil ini mereka menyimpulkan bahwa bank-bank di Asia
termasuk Indonesia telah melakukan eksploitasi terhadap jaring pengaman
dengan meningkatkan risiko aset dan memindahkan beberapa bagian dari risiko
mereka ke jaring pengaman.
Perumusan Hipotesis
Seperti studi-studi empiris sebelumnya yang mengembangkan model
Duan dkk (1992) untuk menguji perilaku moral hazard melalui perilaku
pemindahan risiko, maka penelitian inipun akan menggunakan model yang
sama untuk menguji hipotesis penelitian. Duan dkk (1992) mengembangkan
modelnya ini berdasarkan pada model Merton (1977) yang menganalogikan
Penjaminan Simpanan sebagai opsi jual Eropa atas aset bank. Merton (1977)
mengembangkan hubungan antara Penjaminan Simpanan dan opsi jual Eropa
atas aset bank berdasarkan model opsi Black dan Scholes (1973).
Dalam modelnya Merton (1977) menyatakan bahwa sebuah bank hanya
menerbitkan satu bentuk hutang yang homogenus, dan mengasumsikan nilai
aset bank (V) mengikuti proses lognormal dengan mean dan parameter
volatilitas (σV) diketahui. Opsi jual mempunyai waktu maturitas yang sama

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 98


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dengan perioda audit atau maturitas terjadi pada saat perioda audit (T) dan
execise price sama dengan nilai hutang pada saat maturitas. Model ini juga
mengasumsikan bahwa deposito (dana pihak ketiga) sama dengan hutang bank
total (D) yaitu pokok (principal) dan bunga yang diasuransikan. Selanjutnya
Merton menyatakan bahwa nilai premi Penjaminan Simpanan per dolar dari
deposito yang diasuransikan (FP) dapat diekspresikan dalam persamaan berikut:
( )
FP = N y + σ V T − ((V / D )N ( y) (1)
Dimana:
[ (
y ≡ ln (D / V ) − σ V2 T / 2 / σ V )] T
N = fungsi densitas normal standar kumulatif (the cumulative standard
normal density function)
dari persamaan (1) Merton di atas Duan dkk (1992) menyatakan bahwa ada dua
sumber risiko yang secara potensial dapat dimanipulasi oleh bank untuk tujuan
pemindahan risiko, yaitu risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V). Usaha
bank untuk memindahkan risiko dikatakan berhasil jika efek bersih dari
manipulasi atas risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V) adalah terjadinya
kenaikan risiko dengan pembayaran premi Penjaminan Simpanan yang sesuai
dengan keinginan bank. Jika sistem premi yang diterapkan oleh Lembaga
Penjamin Simpanan tarip tetap maka tidak ada kaitan antara manipulasi dari
kedua sumber risiko ini dengan premi Penjaminan Simpanan. Di sini bank akan
meningkatkan kedua sumber risiko ini untuk mengeksproriasi kesejahteraan
Lembaga Penjamin Simpanan tanpa perlu memanipulasi risikonya untuk
membayar premi yang disesuaikan dengan keinginannya. Namun jika ada usaha
penghindaran atau pengekangan terhadap perilaku pemindahan risiko maka
kenaikan dari risiko aset (σV) harus ditutupi oleh penurunan risiko pengungkitan
(D/V) atau hubungan kedua risiko ini diharapkan berbentuk negatif.
Untuk menganalisis perilaku pemindahan risiko ini, Duan dkk (1992)
memulainya dengan memperkirakan perubahan per dolar dari premi Penjaminan
Simpanan (ΔFP) terhadap perubahan risiko aset (ΔσV), seperti bentuk persamaan
berikut:
∂FP ∂FP d (( D / V ) (2)
ΔFP ≅ Δσ V + Δσ V
∂σ V ∂(D / V ) dσ V
Kemudian mereka menunjukkan α1 ≡ {d (D / V ) / dσ V } (3)
Oleh karenanya, persamaan (2) dapat dinyatakan kembali sebagai:
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 99
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ΔFP ≅ β1Δσ V (4)


dalam hal ini,
∂FP ∂FP (4a)
β1 = + α1
∂σ V ∂( D / V )
Dari persamaan di atas tampak terdapat dua persamaan dasar yang
dikembangkan, pertama persamaan (3) yang menunjukkan hubungan antara
risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V) yang ditunjukan melalui notasi
α1. Kedua persamaan (4 dan 4a) yang menunjukkan hubungan antara risiko aset
(σV) dan premi Penjaminan Simpanan yang ditunjukan melalui β1. Persamaan
(4a) menunjukan bahwa perubahan kecil pada risiko aset (σV) akan diikuti oleh
perubahan kecil premi Penjaminan Simpanan (FP) ditambah perubahan kecil
pada risiko pengungkitan (D/V) akan diikuti oleh perubahan kecil pada premi
Penjaminan Simpanan (FP) dikali α1 dari persamaan (3).
Selanjutnya Duan dkk (1992) menekankan bahwa pemindahan risiko
oleh bank akan terjadi ketika β1 > 0. Karena {∂FP / ∂σ V } dan {∂FP / ∂ (D / V )}
positif dari hasil komparatif statik pada persamaan (1), maka tanda dari β1 akan
bergantung pada tanda dan besaran (magnitude) dari bentuk α1. Seperti telah
disebutkan sebelumnya jika ada atau terdapat faktor-faktor yang membatasi
perilaku pemindahan risiko atas bank, maka faktor-faktor yang membatasi
perilaku pemindahan risiko ini akan menyebabkan hubungan risiko aset (σV) dan
risiko pengungkitan (D/V) bervariasi secara negatif. Besaran negatif ini
diharapkan cukup untuk membuat β1 lebih kecil atau sama dengan nol untuk
mengindikasikan tidak terjadinya pemindahan risiko. Dengan kata lain penting
tetapi bukan kondisi cukup bagi β1 untuk lebih kecil atau sama dengan nol jika
α1 negatif. Kondisi cukup di sini membutuhkan nilai absolut negatif α1 yang
cukup besar untuk menyebabkan β1 lebih kecil atau sama dengan nol.
Dari bentuk kedua dalam persamaan (4a) pada β1 tampak bahwa premi
yang wajar yang berbasiskan pada risiko lebih sensitif terhadap perubahan
risiko keuangan yang ditunjukan melalui resiko pengungkitan dibandingkan
dengan risiko bisnis yang ditunjukan melalui risiko aset. Hal ini ditunjukan
melalui perubahan yang kecil dari risiko keuangan akan diikuti oleh perubahan
yang kecil dari premi yang wajar dikali dengan α1 yang diharapkan akan
menghasilkan nilai yang negatif. Sensitivitas bank terhadap risiko keuangan ini
terjadi karena bank tidak mungkin dibiayai oleh 100% ekuitas.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 100


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Dengan latar belakang teoritikal di atas maka Duan dkk (1992) dapat
membentuk dua hipotesis nol yang dapat digunakan untuk menguji perilaku
pemindahan risiko yaitu: Ho1: α1 ≥ 0 dan Ho2: β1 ≤ 0. Penolakan terhadap
hipotesis nol 1 mengindikasikan bahwa pemindahan risiko dapat dicegah, tetapi
pencegahan ini tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak ada pemindahan
risiko. Penolakan terhadap hipotesis nol 2 menunjukkan adanya pemindahan
risiko. Karena pemindahan risiko hanya terjadi ketika β1 > 0, maka konklusi
akhir tentang adanya pemindahan risiko akan bergantung pada persamaan dua.
Di sini tampak bahwa hipotesis nol 1 (α1 ≥ 0) adalah penting tetapi bukan
kondisi cukup untuk hipotesis nol 2 (β1 ≤ 0).
Krisis moneter telah mendorong negara Indonesia untuk memperbaiki
sistem pengawasan perbankannya dengan mengadopsi standar pengawasan
perbankan internasional. Pangestu (2003) menunjukan bahwa ketika mengalami
krisis IMF telah mewajibkan pemerintah Indonesia untuk
mengimplementasikan program-programnya yang dikenal dengan Washington
consensus yang difokuskan pada tata kelola yang baik (corporate governance),
prosedur kebangkrutan, hubungan bisnis – pemerintah, regulasi dan prudensial
yang ketat. Dengan bantuan IMF langkah awal untuk memperbaiki kondisi
sistem perbankan dalam masa krisis adalah dengan didirikannya Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN/IBRA) oleh pemerintah. BPPN ini
bertugas untuk menyehatkan bank-bank bermasalah agar Bank Indonesia (BI)
dapat berkonsentrasi pada tugas-tugas pokoknya.
Langkah penyehatan perbankan dilakukan dengan merestrukturisasi
sistem perbankan melalui dua program utamanya. Pertama program penyehatan
perbankan yang berupa restrukturisasi kredit, program rekapitulasi, dan program
blanket guarantee. Kedua program penguatan sistem perbankan berupa program
pengembangan infrastruktur, peningkatan mutu pengelolaan perbankan, dan
pemantapan dan pengawasan bank. Restrukturisasi perbankan yang dijalankan
ini berhasil memperbaiki indutri perbankan yang ditunjukan melalui indikator-
indikator perbankan termasuk meningkatnya CAR perbankan di atas 8%.
Sejalan dengan program restrukturisasi dan untuk memperkuat sistem
perbankan BI juga melakukan penguatan stabilisasi keuangan melalui program:
peningkatan efektivitas supervisi perbankan, restrukturisasi bank dan
perusahaan, peningkatan disiplin pasar, peningkatan sistem hukum, dan
pengurangan kepemilikan pemerintah dalam sistem perbankan, serta ditambah

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 101


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dengan aplikasi kebijakan untuk mengurangi too big atau too importan to fail
(Adiningsih, Rahutami, Anwar, Wijaya, dan Wardani, 2008).
Nam dan Lam (2005) menggambarkan bahwa bank sentral di negara
Indonesia, Malaysia, Korea Selatan dan Thailand telah memberikan prioritas
yang tinggi terhadap perubahan regulasi yang mendorong terjadinya
keterbukaan informasi yang relevan terkait dengan pelaksanaan tata kelola yang
baik. Perbaikan standar pengawasan perbankan, peningkatan kapital bank,
kebijakan yang mengurangi too big to fail, dan meningkatnya keterbukaan yang
berdampak pada peningkatan disiplin pasar menunjukan adanya pengekangan
risiko yang dilakukan oleh BI. Adanya pengekangan risiko oleh regulator ini
menjadikan hubungan antara resiko pengungkitan dan resiko aset menjadi
negatif.
Agusman dkk (2005) menyatakan bahwa usaha-usaha yang dilakukan
oleh regulator di negara-negara Asia termasuk Indonesia di atas belumlah
efektif untuk mengurangi moral hazard . Hal ini disebabkan oleh dua alasan,
pertama bahwa moral hazard merupakan kisah panjang dari bank-bank di Asia.
Kedua program restrukturisasi dan tata kelola yang baik merupakan program
yang datang dari luar negara terutama karena adanya tekanan IMF. Oleh
karenanya negara-negara yang mengalami krisis perlu waktu untuk proses
pembelajaran dan konsekuensinya kebijakan yang dijalankan tidak dapat secara
langsung efektif mencegah moral hazard. Di sisi lain setelah diterapkanya
sistem Penjaminan Simpanan eksplisit dengan premi tarip tetap, secara teori
akan mendorong terjadinya moral hazard. Moral hazard diindikasikan terjadi
jika bank berhasil meningkatkan resiko asetnya dengan pembayaran premi
asuransi yang sesuai dengan keinginan bank. Karena sistem premi yang
ditetapkan oleh LPS tarip tetap maka tidak ada kaitan antara resiko aset dengan
premi Penjaminan Simpanan. Di sini pemindahan risiko terjadi jika ada
hubungan positif antara risiko aset dan premi Penjamian Simpanan yang wajar.
Tanda positif di sini menunjukan bahwa premi yang wajar dapat merespon
adanya peningkatan risiko aset yang tidak ada pada sistem premi tarip tetap.
Oleh karenanya hipotesis penelitian yang dapat disusun adalah:
H1: Ada perilaku pemindahan risiko yang dilakukan oleh bank-bank
anggota LPS kepada LPS.
dengan sub hipotesis:

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 102


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

H1.1: Terdapat hubungan negatif antara risiko aset dan risiko


pengungkitan pada bank-bank anggota LPS.
H1.2: Terdapat hubungan positif antara risiko aset dan premi yang wajar
yang diestimasi berdasarkan model risiko kredit.

METODE PENELITIAN
Data dan Sampel
Penelitian ini akan menggunakan data sekunder yang berasal dari pasar
modal dan laporan keuangan yang telah diaudit. Adapaun data yang dibutuhkan
adalah: liabilitas bank baik jangka pendek dan jangka panjang, kapitalisasi
pasar, laporan keuangan dengan rasio neraca yang telah diaudit oleh akuntan
publik, harga saham penutupan dari perdagangan bulanan, SBI sebagai proksi
tingkat bebas risiko, dan beta saham (β), dan terakhir data dana pihak ketiga
bank yang dijamin Penjaminan Simpanan (LPS).
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh bank terbuka yang
beroperasi di Indonesia yang sahamnya tercatat dilantai Bursa dengan waktu
pencatatan minimal 1 tahun pada saat penelitian dilakukan.
Metodologi Penelitian
Langkah awal sebelum melakukan pengujian indikasi perilaku moral
hazard adalah membentuk premi Penjaminan Simpanan wajar terlebih dahulu
dengan menggunakan model risiko kredit penelitian (model kredit VaR). Model
pengukuran risiko kredit dapat dikelompokan menjadi dua kategori utama,
pertama default mode (DM). Kedua mark-to-market model (MTM). Dalam
konsep Default Mode (DM) risiko kredit identik dengan risiko gagal dan
mengadopsi pendekatan binomial. Oleh karenanya dalam model ini hanya ada
dua kejadian yang mungkin akan terjadi gagal atau bertahan (survive), dan
kerugian timbul hanya ketika terjadi gagal.
Di sisi lain konsep Mark to Market (MTM) risiko kredit diidentifikasi
melalui penurunan atau memburuknya rating atau memburuknya kelayakan
kredit (creditwhorthiness) dari debitur menjelang terjadinya gagal yang secara
teknis disebut sebagai migrasi kredit. Model MTM ini adalah model
multinomial dalam hal ini rugi terjadi ketika terjadi migrasi kredit (Basel
Committee on Banking Supervision (1999, 2001).
Langkah pertama dari model risiko kredit adalah membentuk distribusi
rugi atau fungsi densitas probabilitas dan pembentukan interval keyakinan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 103


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dalam kerangka VaR dari LPS. Guna dari distribusi rugi adalah untuk
menentukan kapital ekonomik yang tepat. Secara konsep kapital ekonomik
adalah cadangan ekuiti atau modal yang ditujukan untuk melindungi LPS
terhadap rugi kejutan yang tidak diharapkan yang akan terjadi di masa yang
akan datang pada tingkat keyakinan yang telah dipilih (Falkeinstein, 1999;
Schroeck, 2002; Burns, 2004).
Secara khusus kapital ekonomik dapat didefinisikan sebagai rugi
maksimal dikurangi rugi harapan. Rugi maksimal adalah hasil dari rugi kejutan
dikali pengali modal (capital multiplier), sehingga kapital ekonomik terkadang
diacu pula sebagai bentuk dari hasil perkalian ini. Pengali modal merupakan
jarak antara expected outcome dan interval keyakinan yang dipilih (Schroeck,
2002). Di sisi lain Kuritzkes, Schuermann dan Weiner (2002) menyatakan
bahwa kapital ekonomik menunjukkan jarak antara rugi harapan dan titik kritis
(critical point). Jarak antara rugi harapan dan titik kritis ini menunjukkan berapa
cadangan dana atau modal atau kapital ekonomik yang harus dimiliki untuk
menjaga tingkat solvensi yang diinginkan yang biasanya dinyatakan dalam
interval keyakinan atau probabilitas “ekor”. Pemilihan interval keyakinan atau
penentuan probabilitas “ekor” yang diinginkan dalam kerangka VaR akan
dinyatakan dalam tingkat presentil misalkan sebesar 99,97%. Besaran persentil
ini menunjukkan bahwa LPS hanya bersedia menerima 3 dari 10.000
probabilitas bank akan menjadi insolven dalam dua belas bulan kemudian.
Pernyataan dalam bentuk interval keyakinan ini menunjukkan bahwa tidak
mungkin bagi LPS untuk memiliki solvensi sebesar 100%. karena memiliki
tingkat solvensi 100% berarti memiliki kapital sebesar risiko yang dihadapi oleh
LPS yaitu sebesar dana simpanan yang dijamin yang ada dalam sistem.
Distribusi kerugian ini selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan harga
premi Penjaminan Simpanan wajar.
Langkah awal dari distribusi rugi adalah membentuk model distribusi
rugi. Pemodelan distribusi rugi harus diawali dengan mengetahui profil risiko
dari LPS. Penganalisaan profil risiko LPS adalah untuk mengetahui bahwa dana
Penjaminan Simpanan adalah portofolio risiko mitra (counterparty). Profil
risiko mitra ini terdiri dari eksposur bank-bank yang menjadi anggota LPS yang
dihitung berdasarkan parameter probabilitas gagal (EDF), eksposur (Exposure
(EXP)) dan rugi berian gagal (Loss Given Default (LGD)). Masing-masing bank
ini secara pasti (non-zero) mempunyai kemungkinan akan merugikan LPS

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 104


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

walaupun kemungkinannya kecil. Portofolio risiko dari mitra LPS ini akan
menjadi portofolio risiko LPS yang terdiri dari jumlah “ekor” (“tail”) risiko
gagal bank-bank anggota LPS dalam distribusi rugi.
Dari distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas LPS dapat
menghitung rugi harapan (EL) dan rugi kejutan (UL). Rugi harapan (EL) sama
dengan mean dari distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas yaitu jumlah
kerugian yang diharapkan akan dialami dalam portofolio LPS dalam horison
waktu yang telah ditetapkan. Rugi kejutan (UL) merupakan deviasi standar dari
distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas. Rugi harapan portofolio (ELp)
dan rugi kejutan portofolio (ULp) ini selanjutnya digunakan untuk menghitung
level kapital ekonomik yang tepat dan dasar untuk menentukan harga premi
Penjaminan Simpanan wajar. Penentuan kapital ekonomik dilakukan dengan
mengali rugi kejutan portofolio dengan pengali modal (Capital Multiplier
(CM)) dikurangi rugi harapan portofolio (ELp). Oleh karena jumlah kontribusi
rugi kejutan individual (Unexpected Loss Contribution Individual (ULCi)) sama
dengan rugi kejutan portofolio (ULp) maka kapital ekonomik yang dibutuhkan
dapat pula dikaitkan pada level transaksi individual seperti berikut:
Kapital ekonomik portofolio = ULp . CM – ELp
Pada level individual
Kapital ekonomik individual = ULCi . CM – ELi
Gambar 1 berikut menunjukkan hubungan antara distribusi rugi kapital
ekonomik, dan tingkat keyakinan dalam kerangka VaR. Pemodelan distribusi
rugi berikut akan menggambarkan risiko LPS pada level individual mitra dan
level portofolio.
Gambar 1
ELp
Confidence

ULp = σloss

losses
VaR

Gambar diadaptasi dan dikembangkan dari Munniksma, K.P.P., (2006); Schroeck., (2002)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 105


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Keluaran utama dari model risiko kredit ini adalah distribusi rugi atau
fungsi densitas probabilitas. Dari analisis distribusi rugi ini LPS dapat
mengestimasi rugi harapan (expected loss) dan rugi kejutan (unexpected loss)
dari portofolio kreditnya. Di bawah ini akan dijelaskan bentuk persamaan rugi
harapan dan rugi kejutan baik pada level individual ataupun level portofolio.
Risiko pada Level Individual Bank
Pemodelan distribusi rugi pada level individual mitra merupakan
estimasi risiko rugi harapan (EL) dan rugi kejutan (UL) yang dihitung dari
masing-masing mitra. Rugi harapan individual (ELi) merupakan hasil kali dari
frekuensi gagal harapan (expected default frequency (EDF)), eksposur
(exposure (EXP)), dan rugi berian gagal (loss given default (LGD)) yang dapat
dilihat dalam persamaan berikut:
ELi = EXP ∗ EDF ∗ LGD (5)
Rugi kejutan individual (ULi) merupakan hasil perkalian dari eksposur (EXP),
rugi berian gagal (LGD) dan deviasi standar. Rugi kejutan ini sama dengan
deviasi standar rugi, dengan mengasumsikan rugi berian gagal sebagai variabel
deterministik maka persamaan rugi kejutan individual akan tampak seperti
berikut:
ULi = EXP ∗ LGD ∗ EDF ∗ (1 − EDF ) (6)
Oleh karenanya distribusi rugi kumulatif LPS merupakan penjumlahan dari
eksposur individual-individual bank. Seperti distribusi rugi kumulatif kredit
pada sebuah bank, distribusi rugi kumulatif LPS ini akan merefleksikan rugi
harapan bank-bank individual anggota LPS, ukuran eksposur individual bank-
bank tersebut, dan korelasi rugi dalam portofolio. Distribusi kerugian LPS
diharapkan akan berbentuk miring (skewed) dengan bentuk distribusi yang tidak
halus yang merefleksikan kontribusi individual dari bank-bank besar (ULCi
bank-bank besar) terhadap probabilitas rugi dana Penjaminan Simpanan juga
besar (lihat pernyataan Kuritkez, Schuermann dan Weiner, 2002; Bennett,
2001).
Risiko pada Level Portofolio
Karena rugi harapan (EL) tidak dipengaruhi oleh korelasi maka rugi
harapan portofolio (ELp) adalah jumlah dari N rugi harapan individual bank
dengan bentuk persamaan berikut:

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 106


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

N
EL p = ∑ EXPi .EDFi .LGDi (7)
i −1

Pada level portofolio perhitungan rugi kejutan (ULp) harus


mempertimbangkan korelasi rugi antar individual yang berjumlah N bank dalam
portofolio. Pada level ini volatilitas eksposur rugi individual dikombinasikan ke
dalam volatilitas rugi dari seluruh portofolio dengan menggunakan korelasi
gagal dari berbagai eksposur, ρij, dengan bentuk persamaan berikut:
N N
UL p = ∑ ∑ρ
t =1 t =1
i. j .ULi .UL j (7)

rugi kejutan portofolio (ULp), dapat juga diekspresikan sebagai jumlah rugi
kejutan marginal (marginal unexpected loss (ULCi)), yang berhubungan dengan
masing-masing eksposur individual dalam portofolio seperti persamaan berikut:
N
UL p = ∑ ULCi (8)
i =1

dalam hal ini


∂ULp
ULCi = .ULi (9)
∂ULi
dengan cara ini, rugi kejutan marginal dari eksposur individual adalah hasil
derivatif (derivative) parsial dari rugi kejutan portofolio berkenaan dengan rugi
kejutan dari eksposur yang sama. Ong (1999) memecahkan derivatif parsial ini
dan berhasil mendapatkan formula berikut untuk menghitung rugi kejutan
marjinal dari masing-masing eksposur individual:
ULi .∑ j =1 (UL j .ρ i. j )
n

ULC i = (10)
UL p
kontribusi risiko dari portofolio Lembaga Penjamin Simpanan yang ditentukan
oleh bank individual sesungguhnya tidak bergantung pada rugi harapan (EL),
tetapi lebih bergantung pada rugi kejutan (UL). Khususnya kontribusi rugi
kejutan bank individual (ULCi) terhadap risiko portofolio yang merupakan
fungsi dari dua variabel: (1) rugi kejutan dari bank individual, yang ditimbulkan
dari fungsi probabilitas gagal bank individual dan eksposurnya terhadap dana
Penjaminan Simpanan, (2) tingkat korelasi rugi dengan sisa bank yang ada
dalam portofolio. ULCi ini bagi risiko portofolio merupakan parameter
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 107
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mendasar untuk mendefinisikan sistem penentuan harga premi Penjaminan


Simpanan wajar.
Mengestimasi probabilitas gagal individual bank
Probabilitas gagal (EDF) dalam penelitian ini akan menggunakan
gabungan model Farmen dkk (2004), dan KMV (lihat Crosbie dan Bohan
(2003); Bohn, Arora, Karablev (2005); Arora, Bohn dan Zhu (2005); Crouhy
dkk (2000)) untuk mencari probabilitas gagal riil atau EDF riil yang dibutuhkan
dalam model risiko kredit. Model ini merupakan model yang berbasiskan pada
model opsi Black dan Scholes dan Merton (BSM model). Probabilitas gagal riil
atau EDF riil tidak dapat diobservasi secara langsung, maka untuk mendapatkan
EDF riil ini dilakukan dengan mengobservasi probabilitas gagal risk neutral
terlebih dahulu. Untuk menghitung EDF riil perlu ditentukan variabel-variabel
berikut terlebih dahulu:
1. nilai aset (V)
2. volatilitas nilai aset (σV)
3. drift nilai aset (μV)
untuk mendapatkan nilai-nilai variabel di atas dilakukan melalui dua tahapan
langkah. Pertama mencari nilai aset perusahaan dan volatilitasnya, nilai
keduanya dapat dihitung dengan menggunakan nilai ekuiti dan volatilitas ekuiti.
Kedua mencari drift nilai aset.

A. Estimasi nilai aset dan probabilitas aset dengan langkah numerik


(numerical steps)
Model Merton (1974) menyatakan bahwa ekuiti perusahaan merupakan opsi
atas nilai aset perusahaan. Jika VT < D, maka secara teoritis perusahaan
dinyatakan gagal atas kewajiban hutangnya pada waktu T, di sini nilai ekuiti
akan menjadi nol. Sebaliknya jika VT > D, perusahaan akan membayar kembali
hutangnya pada waktu T, nilai ekuiti setelah pembayaran hutang adalah sebesar
VT – D, notasi VT menunjukkan nilai pasar aset dan D adalah nilai buku hutang.
Di bawah ukuran probabilitas gagal risk neutral return harapan dari hutang dan
ekuitas adalah tingkat bebas risiko (r) Dalam kerangka ini probabilitas gagal
dinyatakan sebagai:
Pdefault = Pr [VT ≤ D ] (11)
model mengasumsikan bahwa log-retun normal pada waktu T berdistribusi
normal dengan mean 0 dan variansi 1. Jika probabilitas gagal dari persamaan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 108


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

(11) ditransformasikan sebagai ambang batas normal dengan mean 0 dan


variansi 1, maka akan didapatkan persamaan berikut:
⎡ ⎛ V0 ⎞ ⎛ σ V2 ⎞ ⎤
⎢ ln⎜ ⎟ − ⎜⎜ r − ⎟⎟t ⎥
⎢ ⎝D⎠ ⎝ 2 ⎠
PDefault = Pr = ≥ Zt ⎥ (12)
⎢ σV T ⎥
⎢ ⎥
⎣ ⎦
atau
⎡ ⎛ V0 ⎞ ⎛ σ V ⎞ ⎤
2

⎢ ln⎜ ⎟ + ⎜⎜ r − ⎟t ⎥
⎢ ⎝D⎠ ⎝ 2 ⎟⎠ ⎥
PDefault = N Zt ≤ − ≡ N (− d 2 ) (13)
⎢ σV t ⎥
⎢ ⎥
⎣ ⎦
Model Merton selanjutnya menyatakan bahwa nilai ekuiti perusahaan
pada waktu T akan seperti persamaan berikut:

ET = max (VT – D,0) (14)


Persamaan (14) menunjukan bahwa nilai ekuiti perusahaan pada waktu T (ET)
identik atau sama dengan opsi beli Eropa atas nilai aset dengan exercise price
atau strike price sama dengan pembayaran hutang (D). Jika pada tanggal jatuh
tempo nilai aset perusahaan (VT) lebih kecil daripada pembayaran hutang (D),
maka secara teoritis perusahaan dinyatakan gagal atas kewajiban hutangnya
pada tanggal jatuh tempo T, dalam hal ini nilai ekuiti akan menjadi nol.
Sebaliknya jika pada tanggal jatuh tempo nilai aset perusahaan (VT) lebih besar
dari pada pembayaran hutang (D), maka perusahaan akan membayar kembali
hutangnya pada tanggal jatuh tempo, nilai ekuiti setelah pembayaran hutang
adalah sebesar VT – D. Tanda 0 menunjukan bahwa jika opsi beli tidak
dieksekusi (exercise) pada tanggal jatuh tempo maka kontrak akan menjadi
kadaluarsa dan opsi beli menjadi tidak berharga. Nilai opsi beli pada saat jatuh
tempo akan bergantung pada harga saham, dalam hal ini nilai awal
(sebelumnya) hingga saat jatuh tempo akan bergantung pada distribusi
probabilitas range harga saham pada tanggal jatuh tempo. Persamaan ini dapat
dipecahkan dengan menggunakan analogi argumen yang sama dengan Black
dan Scholes (1973) yang menyatakan nilai ekuiti sebagai:

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 109


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

E 0 = V 0 N ( d 1 ) − De − rT N ( d 2 ) (15)
dimana
⎛V ⎞ ⎛ σ2 ⎞
ln⎜ 0 ⎟ + ⎜⎜ r + V ⎟⎟T
⎝D⎠ ⎝ 2 ⎠
(15a)
d1 =
σV T
d 2 = d1 − σ V T (15b)
Atau
⎛V ⎞ ⎛ σ ⎞
2
ln⎜ 0 ⎟ + ⎜⎜ r − V ⎟⎟T
⎝D⎠ ⎝ 2 ⎠
(15c)
d2 =
σV T

nilai pasar hutang saat ini adalah : D = V0 – E0


probabilitas gagal risk neutral atas hutang adalah : N(-d2). Nilai E0 dapat
diamati jika bank mempedagangkan sahamnya kepada publik, sehingga
volatilitas ekuiti dapat diestimasi melalui Ito’s Lemma berikut:

∂E
σ E E0 = σ V V0 (16)
∂V

σ E E0 = N (d1 )σ V V0 (17)

Untuk memecahkan sistem dua persamaan non linear dari persamaan (15) dan
(17) di atas Hull (2002, 2003) menyarankan untuk menggunakan algoritma
Newton Rhapson dengan bentuk f(x,y) = 0 dan G(x,y) = 0 guna mendapatkan
nilai dari dua variabel yang tidak diketahui yaitu: nilai pasar aset (V) dan
volatilitas aset (σV). Dengan menggunakan algoritma program yang tidak terlalu
rumit pada beberapa software komputer yang telah ada model dua persamaan
non linier ini dapat dipecahkan dengan mudah.
Selanjutnya dalam penelitian ini perioda maturitas (T) diasumsikan
sama dengan 1 tahun dengan tujuan agar EDF dapat diestimasi dalam bentuk
tahunan dan notasi D menunjukkan titik gagal. Titik gagal dalam penelitian ini
didefinisikan sebagai jumlah hutang jangka pendek dan separuh hutang jangka
panjang. Hutang jangka pendek adalah hutang-hutang yang jatuh tempo atau

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 110


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

akan dibayarkan kembali dalam waktu satu tahun dan hutang jangka panjang
yang jatuh tempo dalam tahun dilakukannya penelitian. Hutang jangka panjang
adalah perbedaan antara total hutang jangka panjang dan hutang jangka pendek.
Untuk tingkat bebas risiko (r) akan digunakan SBI 30 hari.
B. Pencarian drift (drift) aset dan probabilitas gagal riil (atau EDF riil)
Setelah nilai aset, V dan nilai volatilitas aset, σV, dapat ditemukan maka
langkah selanjutnya adalah mendapatkan probabilitas gagal riil yang akan
dilakukan dengan mencari drift nilai aset μV terlebih dahulu. Drift nilai aset ini
dapat diestimasi dengan memecahkan dua persamaan (18) dan (19) seperti
bentuk berikut:

dEt = μEEtdt + σEEtdZt (18)


bentuk persamaan di atas menunjukkan bahwa ekuiti mengikuti proses stokastik
persamaan diferensial. Di sini Et mewakili nilai ekuiti dan σE mewakili
volatilitas ekuiti. Maka melalui hubungan definisi di atas akan dihasilkan: Vt =
Et + Dt dan dVt = dEt + dDt. bahwa nilai dari aset perusahaan harus sama
dengan nilai hutang dan ekuiti dan perubahan dalam nilai aset harus sama
dengan perubahan dari nilai ekuiti dan hutang.
Melalui Ito’s Lemma, selanjutnya proses ekuiti dapat diwakili dengan
persamaan berikut:

⎡ ∂E ∂E 1 2 2 ∂ 2 E ⎤ ∂E
dEt = ⎢ + μ vVt + σ v Vt 2 ⎥
dt + σ vVt dZ t (19)
⎣ ∂t ∂V 2 ∂V ⎦ ∂V
dengan membandingkan bentuk difusi dari proses ekuiti dari persamaan (18)
dan (19), didapatkan hubungan dalam persamaan berikut:
∂E
σ E Et = σ vVt = σ vVt N (d1 ) (20)
∂V

dari bentuk di atas notasi N(d1) merupakan rasio lindung nilai (hedge) dari delta
ekuiti (ΔE) (menunjukkan ΔE = N(d1)) dalam terminologi opsi standar. Dalam
langkah selanjutnya akan didapatkan gama ekuiti dengan menggunakan
persamaan berikut: ekuiti gama:

∂2E n(d 1 )
ΓE = = (21)
∂V 2
Vσ v T
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 111
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dan ekuiti teta:

∂E Vn(d1 )σ v
ΘE = =− − rDe − rT N (d 2 ) (22)
∂t 2 T
persamaan di atas menunjukkan bahwa:

∂N ( d 1 ) 1 d2
= (d 1 ) = e−
1 2

∂V 2π

x 1 2
1 − z
Q N ( x) =
2π ∞
∫e dz menunjukkan fungsi distribusi dari distribusi
2

standar normal. Ukuran di atas sama dengan ukuran sensitivitas standar dalam
greek option dari opsi beli Eropa. Setelah menemukan notasi atau ekspresi dari
ΔE , Γ E ,& Θ E , maka selanjutnya akan dikomparasikan bentuk drift dari
persamaan (18) dan (19) dan mencari pemecahan drift nilai aset μ v :

∂E ∂E 1 2 2 ∂ 2 E
μ E Et = + μ vV + σ vV (23)
∂t ∂V 2 ∂V 2

1 (24)
μ E E = Θ E + μ vVΔE + σ v2VΓ E
2

1
μ E E − Θ E − σ v2V 2 Γ E
⇒ μv = 2 (25)
V ΔE

drift ekuiti (tingkat pertumbuhan harapan ekuiti) atau μ E dapat diestimasi dari
informasi pasar saham. Untuk mengestimasi μ E akan digunakan Model
Penentuan Harga Aset Kapital (CAPM), terkait dengan CAPM maka akan
dicari beta dari model persamaan berikut:
μ E − r = βπ (26)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 112


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

notasi β adalah beta ekuiti yang dicari dengan bentuk persamaan berikut:
cov(RE , RM ) σ
β= = ρ E ; notasi RE dan RM masing-masing menunjukkan
var(RM ) σM
return ekuiti dan return pasar, sedangkan σE , σM dan ρ masing-masing
menunjukkan volatilitas ekuiti, volatilitas portofolio pasar, dan korelasi antara
return ekuiti dan return pasar. Return ekuiti dihasilkan dari return bulanan
saham dengan menggunakan formula ln(Rt / Rtt−1) . Return pasar dihasilkan dari
return Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan formula ln(RM / RMt−1) .
Deviasi standar dari return bulanan dirujuk sebagai volatilitas bulanan. Estimasi
beta saham akan didapatkan dengan meregresikan return pasar (RM) dengan
return saham (RE). Notasi π menunjukkan premi risiko pasar untuk beta risiko
atau harga pasar dari risiko, yang ditetapkan melalui bentuk persamaan berikut:

μM − r = π (27)

notasi μ M menunjukkan return harapan dari portofolio pasar yang merupakan


mean return dari IHSG.
Dengan mendapatkan nilai β dan π, langkah selanjutnya adalah
menggunakan SBI 30 hari sebagai tingkat bebas resiko (r) dan dengan
menggunakan persamaan (26) dan (27) akan didapatkan drift ekuiti μ E .
Langkah berikutnya adalah memasukan drift ekuiti μ E bersama dengan ekuiti
teta dan delta dan gama ke dalam persamaan (25) untuk mendapatkan drift nilai
aset
μ
v . Setelah menemukan V, σv dan μ
v , maka akan dapat dihitung

probabilitas gagal rii (EDF riil) dengan persamaan berikut:

⎡ V
( ) ⎛
⎢ ln D + ⎜⎜ μ v −
σ V2
2
⎞ ⎤
⎟⎟T ⎥
(28)
N (d 2 ) = N ⎢ ⎝ ⎠ ⎥
⎢ σV T ⎥
⎢ ⎥
⎣ ⎦
Eksposur
Eksposur dalam penelitian ini adalah total dana pihak ketiga bank yang
dijamin oleh Penjaminan Simpanan (LPS). Nilai total dana pihak ketiga dari

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 113


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

masing-masing individual bank ini merupakan proksi dari dana Penjaminan


Simpanan yang akan digunakan untuk menutupi atau mengganti (reimburse)
kerugian dalam kasus bank gagal.
Rugi Berian Gagal (LGD)
Tingkat pemulihan yang akan digunakan dalam penelitian ini
diasumsikan sebesar 30%. Besaran 30% ini merupakan nilai tingkat pemulihan
maksimal dalam kejadian kegagalan bank. Nilai 30% ini diambil berdasarkan
pengalaman historis Indonesia4.
Meng-generate Distribusi Rugi Portofolio
Setelah menyelesaikan perhitungan pada level individual mitra langkah
selanjutnya adalah memodelkan ketergantungan dan interaksi dari individual-
individual mitra pada level portofolio. Dalam tahap ini akan digunakan simulasi
Monte Carlo untuk meng-generate distribusi rugi dan mendapatkan skenario
rugi yang berbeda dan level persentil yang diinginkan. Untuk simulasi Monte
Carlo ini penelitian akan menggunakan model simulasi yang dilakukan oleh
Sironi dan Zazzara (2004). Simulasi dalam model risiko kredit biasanya
dilakukan karena perhitungan analitik distribusi rugi sangat sulit dilakukan
karena adanya interelasi yang kompleks dari komponen-komponen portofolio
(Whershpon, 2002; Ieda, Marumo, Yoshiba, 2000). Langkah-lankah yang
dilakukan dalam tahap ini adalah:
1. mencari matriks korelasi aset
2. meng-generate angka random korelasi dengan memfaktorisasi matrik
korelasi return aset dengan Cholesky Decomposition.
3. menentukan ambang batas gagal (default treshold) untuk masing-
masing bank.
4. memberikan nilai 0 atau 1 dari variabel random Bernaulli (Di) dengan
kriteria: angka random korelasi > dari ambang batas gagal = 0 (bank
tidak masuk kriteria gagal) ; angka random korelasi < ambang batas
gagal = 1 (bank masuk kriteria gagal).
5. mengestimasi jumlah total rugi yang terjadi dalam siklus
6. membuat histogram frekuensi dengan menjumlah keluaran simulasi

4
nilai 30% ini berdasarkan pengalaman historis BPPN, dan nilai ini juga digunakan
oleh LPS untuk menentukan tingkat pemulihan jika terjadi bank gagal.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 114
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Penentuan Harga premi Penjaminan Simpanan wajar bagi Bank-bank


Individual
Penentuan premi Penjaminan Simpanan wajar dalam penelitian ini
akan ditentukan berdasarkan pada bentuk persamaan berikut:

FP i = EL i + R premium ∗ VaR (29)

Model Empirik Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis penelitian akan digunakan model empirik seperti


berikut:
LEVRISK = α0 + α1ASSRISK + ε (30)
FP = β0 + β1ASSRISK + ε (31)
Dari dua model empirik di atas tampak ada tiga variabel yang harus diketahui
nilainya, yaitu LEVRISK dan FP yang merupakan variabel dependen dari
persamaan (30) dan (31) serta ASSRISK yang merupakan variabel independen
bagi kedua persamaan tersebut. Notasi LEVRISK menunjukkan risiko
pengungkitan yang diukur dengan rasio nilai simpanan yang dijamin (D)
terhadap nilai pasar aset (V)5. ASSRISK merupakan risiko aset yang ditunjukan
dengan nilai volatilitas aset (σV). Nilai pasar aset (V) dan nilai volatilitas aset
(σV) adalah nilai yang tidak dapat diamati secara langsung. Kedua nilai ini dapat
diestimasi dengan menggunakan nilai pasar ekuitas dan volatilitas ekuitas
melalui model Merton (1974) seperti pada persamaan (15a) hingga persamaan
(15c). Notasi FP adalah harga premi wajar dari Penjaminan Simpanan yang
dihasilkan dari model risiko kredit penelitian ini melalui bentuk persamaan (29).
5
Nilai simpanan yang dijamin (D) dalam pengujian hipotesis ini akan menggunakan
dua nilai penjaminan. Hal ini sebagai bentuk simulasi atas nilai batas penjaminan
(coverage limit) dari sistem Penjaminan Simpanan di Indonesia. Pertama nilai
penjaminan yang digunakan adalah hingga maksimal 100 juta rupiah per rekening.
Dan kedua nilai penjaminan akan dinaikan hingga 1 milyar rupiah per rekening. Hal
ini dilakukan karena undang-undang no 7 tahun 2009 memungkinkan bagi LPS untuk
meningkatkan batas panjaminan simpanan hingga mencapai nilai yang dianggap
mampu untuk mencegah terjadinya bank run. Tanggal 13 Oktober 2008 LPS telah
menaikan jumlah batas penjaminan simpanan hingga maksimal 2 milyar rupiah per
rekening. Digunakanya nilai hingga maksimal 1 milyar rupiah di atas dikarenakan
masalah bentuk ketersediaan data.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 115
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Setelah nilai dari ketiga variabel dalam model empirik diketahui, maka
ketiga nilai ini akan digunakan untuk menguji sub hipotesis H1.1 pada
persamaan (30) dan sub hipotesis H1.2 pada persamaan (31). Konsisten dengan
hipotesis penelitian, penelitian ini mengharapkan tanda koefisien estimasi α1
dari sub hipotesis H1.1 akan menunjukkan tanda negatif. Besaran tanda negatif
dari koefisien estimasi α1 ini diharapkan tidak cukup besar untuk menjadikan
tanda koefisien β1 dari sub hipotesis H1.2 untuk menjadi negatif.
Konsisten dengan teori, negatifnya nilai tanda koefisien α1
menunjukkan adanya pengekangan terhadap risiko yang dilakukan oleh
regulator. Di sini bank-bank yang mempunyai risiko aset (risko bisnis) yang
tinggi akan ditekan oleh rugulator untuk mengurangi risiko pengungkitannya
(risiko keuangannya), sehingga variasi hubungan kedua risiko ini akan
menunjukkan tanda negatif. Di sisi lain positifnya tanda koefisien estimasi β1
mengindikasikan adanya perilaku pemindahan risiko dari bank-bank yang
menjadi anggota LPS kepada LPS. Hal ini menunjukkan bahwa premi
Penjaminan Simpanan yang wajar yang ditentukan melalui model penelitian
sensitif terhadap perubahan kedua risiko baik risiko aset (risiko bisnis) ataupun
risiko pengungkitan (risiko keuangan), terutama terhadap perubahan risiko
pengungkitan (risiko keuangan). Secara keseluruhan penelitian ini diharapkan
akan memberikan kesimpulan bahwa, premi Penjaminan Simpanan wajar yang
ditentukan melalui model penelitian dapat mengindikasikan adanya perilaku
moral hazard dari bank-bank anggota LPS kepada LPS setelah diterapkannya
sistem Penjaminan Simpanan eksplisit di Indonesia.

Daftar Pustaka

Adiningsih, Sri., Rutami, Ika A., Anwar, Ratih Pratiwi., Wijaya, A Awang
Susatya dan Wardani, Ekoningtyias Margu., (2008), "Satu Dekade Pasca -
Krisis Indonesia: Badai Pasti Berlalu, Penerbit Kanisius.
Agusman, A., Gasbarro, D., dan Zumwalt, J, K., (2005), "Bank Moral hazard
and the Disciplining Factors of Risk Taking: Evidence from Asian Bank
during 1998-2003", Working Paper.
Arora, N., Bohn, R, J., Zhu, F., (2005), "Reduce Form VS Structural Models of
Credit Risk: A Case Study of Three Models", Journal of Investment
Management, Fourth Quarter.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 116


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Basel Committee on Banking Supervision (1999), "Credit Risk Modeling:


Current Practices and Application.
Basel Committee on Banking Supervision (2001), "The New Basel Capital
Accord", Consultative Documentary, January.
Bennet, L., R, 2001, "Evaluating the Adequacy of Deposit Insurance Fund: A
Credit-Risk Modeling Approach", Working Paper.
Berger, A. N., Herring, R. J., dan Szego, G.P., 1995, "The Role of Capital in
Financial Institution", Journal of Banking and Finance, 19, 393 - 430.
Black, F dan Scholes, M., 1973, "The Pricing Option and Corporate Liabilities",
Journal of Political Economy", 637-654.
Blair dan Fissel, 1991, "A Framework for Analyzing Deposit Insurance
Pricing", FDIC Banking Review, 25 - 35.
Bohn, J., Arora, N dan Korablev, I., (2005), "Power and Level Validation of
The EDFTM Credit Measure in The U.S. Market", Moody's K.M.V.
Burns, R,L, CFA, CPA., 2004, " Supervisory Insight: Economic Capital and the
Assessment of Capital Adequacy", supervisory Journal@Fdic.gov.
Calomiris, C.W., 1999, "Building an incentive-compatible safety net", Journal
of Banking and Finance, 25, 1499-1519.
Cooper, Russell dan Ross, W Thomas., (2002), "Bank Runs: Deposit Insurance
and Capital Requirements", International Economic Review, Vol 43, No 1.
Cooperstein, Robert., Pennachi, George dan Redburn, Steve., (1995), "The
Aggregate Cost of Deposit Insurance: A Multiperiod Analysis", Journal Of
Financial Intermediation, 4, pp. 242 - 271.
Crosbie, Peter dan Bohn, Jeff., (2003), "Modeling Default Risk: Modeling
Methodology", Moody"s KMV.
Crouhy, M., Galai, D., dan Mark, R., (2000), "A Comparative Analysis of
Current Risk Model ", Journal of Banking and Finance , Vol. 24.
Demirguc-Kunt dan Sobaci, 2000, "Deposit Insurance Around the World: A
Data Base", Working Paper.
Diamond, D.W., dan Dybvig, P.H., 1983, "Bank Runs, Deposit Insurance and
Liquidity", Journal of Political Economy 91,401 - 419.
Duan, J, C., Moreau, A, F., dan Sealy, C, W., (1992), "Fixed Rate Deposit
Insurance and Risk-Shifting Behavior at Commercial Banks", Journal of
Banking and Finance, No. 16. 715 - 742.
Duan, Jin Chuan dan Yu, Min-Teh., (1994), "Forberance and Pricing Deposit
Insurance in a Multiperiod Framework", The Journal of Risk and
Insurance, Vol. 61. No. 4, pp. 575 - 591.
Falkeinstein, E., 1999, "Capital Priorities: Practical Advice on Implementing
RAROC", Capital Allocation and Quantitative Analysis, KeyCorp,
Cleveland, OHIO.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 117


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Fermen, T.E.S., Westgaard, S.F.S., dan Wijst, N.V., 2004, "Kegagalan (default)
Greeks under an Objective Probability Measure", Norwy, Working Paper.
Flannery, M., dan Sorescu, S., 1996, "Evidence of Bank Market Dicipline in
Subordinated Debenture Yields: 11983-1991", Journal of Finance, 51(4),
2347-1377.
Gueyie, J, P., dan Lai, V, S., (2003), "Bank Moral hazard and The Introduction
of Official Deposit Insurance in Canada", International Review of
Economics and Finance, No. 12. 247-273.
Hancock, D., dan Kwast, M.L., 2001, "Using Subordinate Debt to Monitor
Bank Holding Company:Is it Feasible?", Journal of Financial Service
Research 20(2/3), 147-197.
Hovakimian, A., dan Kane, E, J., (2000), "Effectiveness of Capital Regulation
at U.S. Commercial Bank, 1985 to 1994", The Journal of Finance", Vol.
55, No.1. 451-468.
Hovakimian, A., dan Kane, E, J., dan Leaven, L., (2003), "How Country Safety-
Net Characteristics Affect Bank Risk-Shifting", Journal of Financial
Service Research, Volume 23, No.3. 177-204.
Hovakimian, Armen dan Kane, E, J., (2000), "Effectiveness of Capital
Regulation at U.S. Commercial Banks, 1985 to 1994", The Journal of
Finance", Vol. LV. No.1.
Hovakimian, Armen., Kane, E, J, dan Laeven, L., (2003), "How Country and
Safety-Net Characteristics Affect Bank Risk Shifting", Journal of
Financial Service Research 23:3 177 - 204.
Hull, J., C, 2002, " Fundamentals of Futures and Options, Future Market", 4th
Ed, Prentice Hall College Div: Upper Saddle River, NJ.
Hull, J., C, 2003, " Option, Future, and Other Derivative", 5th Ed, Prentice Hall
College Div: Upper Saddle River, NJ.
IEDA, A., MARUMO, K., YOSHIBA, T., 2000, "A Simplified Method for
Calculating the Credit Risk of Lending Portfolio", Discussion Paper No.
2000-E-10, Institute for Monetary and Economic Studies Bank of Japan.
C.P.O Box 203 Tokyo 100-8630 Japan.
Kane, Edward J., (1985), "The Gathering Crisis in Federal Deposit Insurance".
Cambridge Mess. MIT Press.
Kunt, Demirgüç Asli dan Kane, E, J., (2002), " Deposit Insurance Around the
Globe: Where Does It Work?”, Journal of Economic Perspectives -
Volume 16, Number 2 - Spring - pp 175 - 195.
Kunt, Demirgüç Asli dan Detrigiache, Enrica., (2000), "Does Deposit Insurance
Increase Banking System Stability?, IMF Working Paper.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 118


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Kuritzkes, A., Schuermann, T., dan Weiner, S., 2002, "Deposit Insurance and
Risk Management of the US Banking System: How much? What price?
Who pays", Working Paper.
Laeven, Luc., (2001), "International Evidence on Value of Deposit Insurance",
World Bank Working Paper.
Marcus, J, A., dan Shaked, I., (1984), "The Valuation of FDIC Deposit
Insurance Using Option-Pricing Estimates", Journal of Money, Credit and
Banking, Vol 16, No.4. p 446 - 460.
Mc Coy, A. Patricia., (2006), "The Moral hazard Implications of Deposit
Insurance: Theory and Evidence", Seminar on Current Developments in
Monetarry and Financial Law Washington, D.C., Working Paper.
Merton, R, C., (1974) "On the Pricing of Corporate Debt: The Risk Structure of
Interest Rates", Journal of Finance, Vol 29 (2), pp. 449 - 470.
Merton, R, C., (1977) "An analytic Derivation of The Cost of Deposit Insurance
and Loan Guarantees", Journal of Banking and Finance, 3 - 11.
Merton, Robert., 1978, "On The Cost of Deposit Insurance When There are
Surveillance Cost", Journal of Business, 51, pp. 439 - 452.
Mishra, Chandrasekhar, dan Urrutia L. Jorge., (1995), "Deposit Insurance
Subsidies, Moral hazard, and Bank Regulation", Journal of Economics and
Finance. Volume 19, Number 1, pp. 63 - 74.
Munniksma, K.P.P., (2006), "Credit Risk Measurement Under Bassel II", BMI
Working Paper.
Nam, S, W, dan Lum C, S., (2005), “Survey of Banks’ Corporate Governance
in Indonesia, Republic of Korea, Malaysia, and Thailand”, the Asian
Development Bank Institute (ADBI), http:// www.adbi.org/files/2005.07.05.
survey.corporate governance.bank.asia.pdf.
Ong, M., 1999, "Internal Credit Risk Models: Capital Allocation and
Performance Measurement", Risk Books.
Pangestu, Mari., (2003), "The Indonesian Bank Crisis and Restructuring:
Lessons and Implications for Other Developing Countries", G-24
Discussion Paper Series, Research Papers for Intergovernmental Group of
Twenty-Four on International Monetary Affairs, United Nation Working
Paper.
Pennachi (1987a), "A Reexamination of Over-(or Under-) Pricing of Deposit
Insurance", Journal of Money, Credit and Banking, No. 19, 340-360.
Pennacchi, George., (1987b), "Alternative forms of Deposit Insurance: Pricing
and Bank Incentive Issues, Journal of Banking and Finance, 11, pp. 291 -
312.
Pyle, David., (1983), “Pricing Deposit Insurance: The Effects of
Mismeasurement. “University of California Berkeley, Working Paper.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 119


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Ronn, Ehud dan Verma, Avinash., (1986), "Pricing Risk-Adjusted Deposit


Insurance: An Option-Based Model", Journal of Finance, 41, pp. 871 -
895.
Santomero, A. M., 1997, "Deposit Insurance: Do We Need It and Why?",
Working Paper.
Santos, J.A.C., 2000, "Bank Capital Regulation in Contemporary Banking
Theory: A Review of the Literature", Financial Market, Institution &
Instrument 10(2), 41-84.
Saunders, A., dan Cornet, M.M., 2003, " Financial Institution Management",
McGraw Hill.
Saunders, Anthony, dan Wilson, Berry., (1995), "If History Could be Rerun:
The Provision and Pricing of Deposit Insurance in 1933", Journal of
Financial Intermediation, 4, pp. 396 - 413.
Schroeck, G (2002), "Risk Management and Value Creation in Financial
Institution", Hoboken, New Jersey: John Willy & Son.
Sironi, A., dan Zazzara, C., 2004, "Applying Credit Risk Model to Deposit
Insurance Pricing: Empirical Evidence from the Italian Banking System",
Journal of International Banking Regulation, Vol6, no1, pp. 10 - 32.
Swidler, S., dan Wilcox, J.A., 2002, "Information About Bank Risk in Option
Prices", Journal of Banking and Finance 26, 1033 -1057.
Wershpohn, U,V., (2002), "Credit Risk Evaluation: Modeling-Analysis-
Management”, Inaugural Disertation", Universitat Heidelberg.
White, Eugene., (1995), "Deposit Insurance", The World Bank Policy Research
Departement Finance and Private Sector Development Division and
Financial Sector Development Departement, Policy Research Working
Paper.
Lovett, A, W. (1989), "Moral hazard, Bank Supervision and Risk Based Capital
Requirement", Ohio ST.L.J. 1365.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 120


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Event-Time Approach dan Calendar-Time Approach dalam Mengukur


Kinerja Jangka Panjang IPO

Suherman∗

Abstract
Recently, long-run performance has been analysed using a methodological
approach. Among them, Brav and Gompers (1997), Barber and Lyon (1997),
Brav, Geczy and Gompers (2000), Gompers and Lerner (2003), Ahmad-Zaluki,
Campbell, and Goodacre (2007), and Jegadeesh and Karceski (2009) have
argued that the choice of a performance measurement methodology directly
determines both the size and power of statistical tests. In that context, Lyon,
Barber and Tsai (1999) point out that no winner has emerged as the optimal
methodology in terms of statistical properties, and that the analysis of long-run
abnormal returns is “treacherous”. Fama (1998) critically reviews the
anomalies literature and concludes that “apparent anomalies can be due to
methodology and most long-term return anomalies tend to disappear with
reasonable changes in technique” (p.283).
Previous studies found that long-run share price performance of Indonesian
initial public offerings (IPOs) underperformed (among them; Manurung and
Soepriyono, 2006; Suroso, 2005; Martani, 2004; Pujiharjanto, 2003). Those
studies only use event-time approach to measure long-run performance, returns
are equally-weighted, conventional t-statistics, and market benchmark.
This research (work-in-progress), to my knowledge, is the first paper to use
various methods and statistical tests when measuring long run performance of
IPOs in Indonesia. I use both event-time (CARs and BHARs) and calendar-time
(Fama-French Three Factors) approaches to measure long run performance of
Indonesian IPOs, returns are equally- and value-weighted, matching-company
benchmark and market benchmark. Moreover, in this study I use three different
procedures to calculate the statistical significance of the mean buy-and-hold
abnormal returns to check the robustness of the results; (i)the conventional t-
statistic, (ii)the bootstrapped skewness-adjusted t-statistic as suggested by Lyon,
Barber and Tsai (1999), and (iii)the heteroskedasticity and serial correlation
consistent t-statistics as proposed by Jegadeesh and Karceski (2009).
Sample of this study made IPO between 1999 and 2005. The number of IPO
firms through that period is 101. Data are obtained from Jakarta Stock
Exchange (JSX) statistics, Indonesian Capital Market Directory (ICMD), and
prospectus. Monthly returns are calculated based on date of IPOs, instead of at
the end of each month.


Alumni Program Doktor FE Universitas Padjadjaran dan staf pengajar di FE
Universitas Negeri Jakarta

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 121


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

1. Pengantar
Banyak peneliti memperdebatkan kinerja IPO (Initial Public Offering –
Penawaran Umum Perdana), terutama dalam jangka panjang. Semua studi
jangka panjang di Indonesia mengungkapkan terjadinya underperformance
setelah IPO (diantaranya adalah Manurung dan Soepriyono, 2006; Suroso,
2005; Martani 2004; Pujiharjanto, 2003). Mereka mendukung argumentansi
yang dikemukakan oleh Ritter (1991) bahwa kinerja jangka panjang IPO yang
underperformed disebabkan oleh para investor yang sangat optimis dan ini
menyebabkan harga saham naik. Dalam jangka panjang harga saham tersebut
akan mengkoreksi kesalahannya sehingga return menjadi lebih rendah.
Dari sudut pandang lain, Barber dan Lyon (1997), Kothari dan Warner
(1997), Lyon, Barber, dan Tsai (1999), Brav, Geczy, dan Gompers (2000),
Loughran dan Ritter (2000), Eckbo, Masulis dan Norli (2000), Mitchell dan
Stafford (2000), Gompers dan Lerner (2003), Ahmad-Zaluki, Campbell, dan
Goodacre (2007) mengungkapkan bahwa return jangka panjang IPO tergantung
pada metode pengukuran yang digunakan. Besar kecilnya abnormal return dan
keandalan kesimpulan statistik adalah berbeda antara satu metode dengan
metode lainnya.
Kontroversi mengenai underperform atau outperform setelah penawaran
perdana saham belum berakhir dan untuk itu masih diperlukan riset lanjutan,
khususnya di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Brav dan Gompers
(1997), Fama (1998), Eckbo, Masulis dan Norli (2000), Jenkinson dan
Ljungqvist (2001), Gompers dan Lerner (2003), dan Ahmad-Zaluki, Campbell,
dan Goodacre (2007) bahwa penurunan return bukanlah efek yang pasti terjadi
setelah penawaran perdana saham dan kebanyakan anomali return jangka
panjang cenderung akan hilang ketika teknik penelitian yang digunakan
berbeda-beda.
Penelitian kinerja jangka panjang pasca IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI)
menjadi sangat menarik karena selama ini studi kinerja jangka panjang IPO di
Indonesia hanya menggunakan event-time approach (yaitu CARs dan BHARs),
equally-weighted returns, market benchmark, dan t-statistik konvensional.
Padahal, penelitian-penelitian kinerja jangka panjang IPO (dan lainnya seperti
kinerja jangka panjang seasoned equity offerings dan cross-listing firms)
(khususnya yang terbit di jurnal-jurnal keuangan top dunia, diantaranya adalah

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 122


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Journal of Finance, Journal of Financial Economics, Review of Financial


Studies, dan Journal of Financial and Quantitative Analysis), sedikitnya
menggunakan 1)event-time approach dan calendar-time approach, 2)equally-
dan value-weighted returns, 3)market benchmarks dan matching-company
benchmark, 4)t-statistik konvensional dan bootstrapped-skewness-adjusted t-
statistics ketika menguji signifikansi BHAR, dan 5)t-statistik yang digunakan
oleh Ritter (1991) ketika menguji signifikansi CAR.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya di Indonesia, pada
penelitian ini saya akan menggunakan; 1)event-time approach (CARs dan
BHARs) dan calendar-time approach (FFTFM), 2)equally-weighted & value-
weighted returns, 3)t-statistik yang digunakan Ritter (1991) di mana t-statistik
ini secara otomatis meng-adjust standar error autokorelasi, dan 4)bootstrapped-
skewness-adjusted t-statistics di mana t-statistik ini meng-adjust skewness.

2. Kajian Literatur
Menggunakan sampel sebanyak 1526 perusahaan Amerika Serikat yang
melakukan penawaran umum perdana antara tahun 1975 dan 1984, Ritter
(1991) menemukan bahwa return rata-rata selama tiga tahun setelah IPO secara
signifikan lebih rendah dibanding return rata-rata pasar. Dengan menggunakan
metode pengukuran CAR, ditemukan bahwa kinerja satu, dua dan tiga tahun
berturut-turut setelah IPO underperformed sebesar 10,23%, 16,89%, dan
29,13%.
Loughran (1993) mengungkapkan terjadinya underperformance selama
enam tahun setelah IPO yaitu sebesar 17,29% dibandingkan return pasar yang
sebesar 76,23%. Penelitiannya menggunakan sampel 3556 yang tercatat di
NASDAQ dalam periode 1967-1987. Servaes dan Rajan (1997) meneliti IPO
dari tahun 1975-1987. Mereka menemukan kinerja perusahaan setelah IPO
selama 5 tahun hanya 24%, sedangkan return pasar (NYSE index) mencapai
71%.
Loughran dan Ritter (1995) memperluas temuan Ritter (1991). Loughran
dan Ritter (1995) meneliti IPO tahun 1970-1990 dengan sampel 4753
perusahaan dan menemukan terjadinya underperformance. Mereka mengatakan
bahwa setelah IPO return rata-rata sebesar 5% pertahun selama 5 tahun,
sedangkan return pasar 12% setiap tahun selama lima tahun. Levis (1993)
meneliti 712 perusahaan yang melakukan IPO di United Kingdom selama 1980-

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 123


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

1988. Ia menemukan underperformance sebesar antara 8,3%-23%, tergantung


patok duga yang dipilih.
Uhlir (1989) mengungkapkan adanya underperformance sebesar 7,4%
setelah setahun perusahaan melakukan IPO tahun 1977-1987 di Jerman. Finn
dan Higham (1988) meneliti IPO di Australia sebanyak 93 perusahaan dari
tahun 1966-1978. Mereka mengatakan underperformance terjadi setelah satu
tahun IPO tetapi tidak signifikan. Underperformance nya sebesar 6,52%
dibawah return pasar.
Kunz dan Aggarwal (1994) menyatakan bahwa 42 perusahaan yang
melakukan IPO tahun 1983-1989 di Swiss mengalami underperformance
sebesar 6,1%. Keloharju (1993) mengatakan setelah tiga tahun IPO di Finlandia,
perusahaan-perusahaan tersebut mengalami underperformance rata-rata sebesar
22,4% dibandingkan return pasar yang mengalami kerugian sebesar 1,6%.
Underperformance tidak hanya terjadi di pasar-pasar modal yang maju
tetapi juga terjadi di pasar-pasar modal berkembang. Aggarwal, Leal, dan
Hernandez (1993) menemukan bahwa kinerja perusahaan IPO di Brazil
mengalami underperformance sebesar 47% setelah tiga tahun. Sedangkan di
Chile, underperformance setelah tiga tahun rata-rata sebesar 23,7%, dan di
Mexico underperformance rata-rata sebesar 19,6% setahun setelah IPO.
Dawson (1987) meneliti kinerja IPO di Hong Kong dan Singapura. Ia
menemukan underperformance yang tidak signifikan di Hong Kong sebesar
9,3%, dan di Singapura 2,7% setelah satu tahun IPO. Sampel penelitiannya
adalah sampel yang melakukan IPO antara tahun 1978-1984.
Manurung dan Soepriyono (2006) meneliti kinerja jangka panjang IPO di
Indonesia dengan periode 2000-2002 dengan sampel 71 perusahaan. Dengan
menggunakan perhitungan EWBHAR, mereka mengungkapkan bahwa
performa emiten non privatisasi setelah satu, dua, dan tiga tahun IPO
mengalami underperformance sebesar 8,27%, 26,60%, dan 47,42%. Return
pasar yang digunakan sebagai benchmark ialah return IHSG.
Suroso (2005) mengungkapkan bahwa kinerja perusahaan satu tahun
pasca IPO yang diukur dengan EWBHAR adalah underperformed sebesar
18,95% untuk seluruh perusahaan yang melakukan IPO tahun 1992-2002 yang
berjumlah 216. Untuk sampel manufaktur, perusahaan yang melakukan IPO
tahun 1992-1996 mengalami underperformance sebesar 13,81% setelah satu
tahun, tahun 1997-1999 underperformed 14,95%, dan tahun 2000-2002

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 124


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

underperformed sebesar 24,28%. Jadi, rata-rata underperformance ketiga


periode tersebut adalah 17,68%. Return pasar yang digunakan sebagai
benchmark ialah return IHSG.
Martani (2004) mengukur kinerja jangka panjang dengan periode
pengamatan 250 hari, 500 hari, 750 hari, 1000 hari, dan 1250 hari pasca IPO.
Hasilnya menunjukkan bahwa umumnya kinerja jangka panjang mengalami
underperformance. Dengan metode EWBHAR, kinerja jangka panjang pada
periode pengamatan di atas adalah -0,07%; -9,15%; -17,58%; -32,77%; dan -
35,37%. Sedangkan dengan pengukuran EWCAR adalah 1,9%; -1,66%; -
11,05%; -22,86%; dan -19,93%. Return pasar yang digunakan sebagai
benchmark ialah return IHSG. Sampel penelitian ini adalah 297 perusahaan
yang melakukan IPO tahun 1989 – 2000.
Hartanto dan Ediningsih (2004) menemukan bahwa setelah satu tahun
melakukan IPO, kinerja perusahaan underperformed sebesar 7,83% untuk
periode 1992-2001. Selama periode sebelum krisis moneter, 1992-Juni 1996,
kinerja perusahaan underperformed sebesar 10,00%. Sedangkan periode Juli
1997-2001 kinerja perusahaan juga underperformed sebesar 5,79%. Returns
dihitung secara equally-weighted. Return pasar yang digunakan sebagai
benchmark ialah return IHSG.
Pujiharjanto (2003), yang juga menggunakan metode perhitungan
EWCAR, mengatakan bahwa kinerja perusahaan setelah dua belas bulan IPO
mengalami underperformance sebesar 9,78% di BEJ. Return pasar yang
digunakan sebagai benchmark ialah return IHSG. Periode penelitiannya tahun
1992-1998. Sampel sebanyak 124 perusahaan manufaktur.
Berlainan dengan hasil penelitian di atas, penelitian-penelitian terkini di
banyak negara menunjukkan bahwa kinerja jangka panjang IPO tergantung
pada metode pengukuran yang digunakan (diantaranya adalah Ahmad-Zaluki,
Campbell, dan Goodacre (2007), Ang, Gu dan Hochberg (2005), Gompers dan
Lerner (2003), Espenlaub, Gregory, dan Tonks (2000), Brav (1999)). Mereka
mengemukakan bahwa kinerja jangka panjang IPO tergantung pada metode dan
alat statistik yang digunakan dalam mengukur kinerja IPOs.
Ahmad-Zaluki, Campbell, dan Goodacre (2007) menginvestigasi kinerja
harga saham jangka panjang pada 454 perusahaan IPO Malaysia yang tercatat di
KLSE selama periode tahun 1990-2000. Hasilnya adalah IPO Malaysia secara
signifikan outperform dibanding return pasar ketika kinerja diukur dengan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 125


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

menggunakan EWCAR dan EWBHAR. Namun demikian, overperformance


yang signifikan tersebut hilang ketika returns dihitung berdasarkan pada
VWCAR, VWBHAR dan diregresikan kedalam model Fama-French (1993).
Jelic, Saadouni, dan Briston (2001), dan Corhay, Teo, dan Tourani-Rad (2002)
juga menyatakan outperformance terjadi di pasar modal Malaysia sebesar
24,83%, dan 41,71%.
Ang, Gu dan Hochberg (2005) meneliti kinerja selama lima tahun setelah
IPO dengan jumlah sampel 4843 perusahaan yang melakukan penawaran
perdana pada periode 1970 sampai 1996 di NYSE, AMEX, dan NASDAQ.
Mereka mengatakan bahwa underperformance dan outperformance terjadi
tergantung pada metode pengukuran dan benchmark yang digunakan.
Perhitungan return pasca IPO menggunakan event-time dan calendar time
approach. Benchmarks yang digunakan adalah value-weighted NYSE dan
AMEX index, value-weighted NASDAQ index, dan smallest decile NYSE.
Gompers dan Lerner (2003) meneliti 3661 perusahaan IPO dari 1935
sampai 1972 untuk periode pengamatan lima tahun setelah IPO. Temuan-
temuan mereka memberitahukan bahwa kinerja IPO tergantung pada metode
yang dipakai untuk mengukur returns. Hasil-nya menunjukkan
underperformance terjadi ketika return diukur dengan VWBHAR. Tetapi,
underperformance hilang ketika EWBHAR. Return IPO menjadi sama dengan
pasar ketika menggunakan calendar-time analysis (FFTFM).
Espenlaub, Gregory, dan Tonks (2000) memberikan bukti kinerja jangka
panjang sehubungan dengan metode yang dipakai. Menggunakan data 588
perusahaan IPO di Inggris selama periode 1985 sampai 1992, mereka
membandingkan return abnormal berdasarkan pada lima patok duga
(benchmarks) yang memakai event-time approach dan calender-time approach.
Selama lima tahun setelah IPO, underperformance tergantung pada patok duga
yang dipakai yaitu ketika return diukur dengan pendekatan event-time tingkat
underperformance tinggi, dan ketika return diukur dengan calender-time
approach tingkat underperformance rendah.
Brav dan Gompers (1997) mengatakan bahwa underperformance atau
outperformance sangat mungkin tergantung pada metode yang digunakan dalam
menghitung abnormal return. Oleh karena itu, penting, untuk lebih jauh
melakukan uji robustness terhadap hasil-hasil penelitian di Amerika Serikat dan
negara-negara lainnya.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 126


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Brav (1999) berpendapat bahwa uji underperformance berdasarkan buy-


and-hold returns adalah bias. Dengan memakai model penetapan harga tiga
faktor yang ditemukan oleh Fama dan French (1993), mereka tidak menemukan
bukti underperformance yang signifikan dan menyimpulkan bahwa temuan-
temuan underperformance jangka panjang tergantung pada metodologi yang
digunakan.

3. Sampel dan Data


Populasi penelitian ini adalah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia. Sampel diambil berdasarkan purposive sampling yang mempunyai
kriteria bahwa perusahaan melakukan IPO saham biasa, dan periode IPO adalah
tahun 1989 – 2008. Jumlah perusahaan yang melakukan IPO selama periode
tersebut adalah 367 perusahaan.
Data yang dipergunakan untuk keperluan penelitian ini adalah data
sekunder. Kinerja jangka panjang membutuhkan data return bulanan
berdasarkan tanggal IPO perusahaan, bukan setiap akhir bulan. Misal; PT. Mitra
Adiperkasa (MAPI) go public tanggal 10 November 2004. Maka menghitung
return bulanan nya diambil harga saham tanggal 10 November 2004, 10
Desember 2004, dan seterusnya.
Karena pengukuran kinerja jangka panjang di atas disesuaikan dengan
return pasar, maka dibutuhkan harga pasar. Harga pasar pada penelitian ini
menggunakan proksi nilai IHSG dan LQ45. Tanggal data IHSG disesuaikan
dengan tanggal data harga saham perusahaan. Misal; jika PT. Mitra Adiperkasa
(MAPI) memerlukan data harga saham tanggal 10 November 2004, 10
Desember 2004, dan seterusnya, maka data IHSG yang dipakai adalah 10
November 2004, 10 Desember 2004, dan seterusnya.
Data SBI (suku bunga Sertifikat Bank Indonesia) dibutuhkan ketika
pengukuran kinerja menggunakan calendar-time approach. Tanggal data SBI
disesuaikan dengan tanggal data harga saham perusahaan IPO. Misal; jika PT.
Mitra Adiperkasa (MAPI) memerlukan data harga saham tanggal 10 November
2004, 10 Desember 2004, dan seterusnya, maka data SBI yang dipakai adalah
10 November 2004, 10 Desember 2004, dan seterusnya. SBI yang digunakan
adalah SBI 30 hari. Suku bunga SBI dibagi 12 bulan untuk mendapatkan suku
bunga bebas risiko bulanan.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 127


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

4. Metode Analisis
Kinerja jangka panjang perusahaan pasca IPO dihitung berdasarkan
event-time approach dan calendar-time approach. Yang termasuk event-time
adalah cumulative abnormal returns dan buy-and-hold abnormal returns.
Sedangkan yang termasuk calendar-time adalah Fama-French Three Factor
Pricing Model.
a. Cumulative Abnormal Returns (CARs)
CARs merupakan salah satu metode untuk menghitung kinerja jangka
panjang sekuritas. Pertama, hitung return bulanan pasca IPO selama tiga tahun
periode pengamatan. Return bulanan sekuritas i periode t dihitung sebagai
berikut:

ri ,t = ( Pi ,t − Pi ,t −1 ) / Pi ,t −1 (1)

dimana Pi,t adalah harga sekuritas i periode bulan t, dan Pi,t-1 ialah harga
sekuritas i periode bulan t-1. Kemudian return bulanan sekuritas i yang
disesuaikan return pasar dikalkulasi sebagai berikut:

ari ,t = ri ,t − rm ,t (2)

dimana ri,t adalah return perusahaan i pada periode bulan t, dan rm,t adalah
return pasar pada periode bulan t. Return pasar menggunakan proksi IHSG dan
LQ45. Lalu return abnormal rata-rata portofolio periode t adalah:

n
1
ARt =
n
∑ ar
i =1
i ,t (3)

Selanjutnya, CAR (yang telah disesuaikan) adalah total return rata-rata (yang
telah disesuaikan) setiap bulan selama tiga tahun adalah :

t
CARt = ∑ AR
s =1
s (4)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 128


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Perhitungan CAR diatas mengasumsikan bahwa investor mengalokasikan


dananya sama besar untuk setiap sekuritas dalam portofolio (equally-weighted).
Nyatanya, banyak investor berinvestasi tidak sama besar pada setiap asset di
suatu portofolio. Karena itu, selain menggunakan EWCAR diatas, juga
digunakan VWCAR. Berikut ini perhitungan value-weighted abnormal return
(VWAR):
n

∑ MKTCAP i ,t −1 x ari ,t
i =1
VWARt = n
(5)
∑ MKTCAP i ,t −1
i =1

VWAR dihitung dengan membobotkan setiap return yang telah disesuaikan


dengan kapitalisasi pasar perusahaan (MKTCAPi) pada periode sebelumnya.
Selanjutnya, VWCAR adalah:

t
VWCARt = ∑ VWARs (6)
s =1

Ketika menggunakan CAR, t hitung dicari dengan memakai rumus yang


digunakan oleh Ritter (1991), yaitu sebagai berikut:
t− hit (CAR1,t ) = CAR1,t * nt / csdt (7)

dimana nt ialah jumlah perusahaan di bulan t, dan csdt dicari dengan rumus
berikut:
csdt = [t * var + 2 * (t-1) * cov]0,5 (8)

dimana t adalah bulan ke t, var ialah rata-rata varian selama periode


pengamatan, dan cov yaitu auto-kovarians order pertama dari ARt (the first-
order autocovariance of the ARt series).
b. Buy-and-Hold Abnormal Returns (BHARs)
Penelitian ini juga menggunakan metode BHARs untuk mengukur kinerja
jangka panjang. BHAR dipakai untuk mengurangi bias statistik dalam
mengukur kinerja kumulatif jangka panjang pada metode CARs (Conrad dan
Kaul, 1993).
Market adjusted buy-and-hold return perusahaan i pada bulan t dihitung
sebagai berikut:
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 129
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

T T
BHAR i ,t = ∏ (1 + ri ,t ) − ∏ (1 + rm,t )
t =1 t =1
(9)

dimana ri,t adalah return mentah bulanan perusahaan i pada bulan t; rm,t
merupakan return pasar pada bulan t; dan T adalah bulan ke 12, 24, dan 36.
Metode ini mengukur total return dari strategi buy-and-hold dimana saham
dibeli pada harga penutupan di hari listing dan ditahan sampai pada tahun 1, 2,
dan 3.
Setelah mendapatkan BHARi,t kemudian menghitung mean buy-and-hold
abnormal return untuk period t sebagai berikut:

n
BHARt = ∑ ω BHAR
i =1
i i ,t
(10)

Ketika return dihitung secara tertimbang rata-rata (equally-weighted), ωi = 1/n,


dan bila dihitung berdasarkan value-weighted, ωi = MVi / ∑iMVi, dimana MVi
adalah nilai kapitalisasi pasar saham perusahaan yang IPO pada hari pertama
perdagangan.
Ketika BHAR dipakai untuk mengukur kinerja, maka t hitung yang
digunakan adalah t hitung konvensional dan t hitung yang disesuaikan dengan
skewness (bootstrapped skewness-adjusted t-statistic) (Lyon, Barber, dan Tsai,
1999) yaitu sebagai berikut:
⎛ 1∧ 1 ∧⎞
t − hit = n ⎜ S + γ S 2 + γ⎟ ( 11)
⎝ 3 6n ⎠
BHARt
dimana; S= , (12)
σ ( BHARt )
n

∧ ∑ ( BHAR i ,t − BHARt ) 3
γ= i =1
(13)
nσ ( BHARt ) 3

dimana ŷ adalah estimasi koefisien skewness, n0.5S merupakan t hitung


konvensional.
c. Fama-French Three Factor Model (FFTFM)
Mitchell dan Stafford (2000) mengatakan bahwa penggunaan metode
CAR dan BHAR menghasilkan signifikansi yang berlebihan pada abnormal
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 130
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

return yang disebabkan adanya ketergantungan observasi. Fama (1998)


menyarankan untuk membentuk portofolio bulanan berdasarkan waktu kalender
(calendar-time approach) untuk menghitung kinerja jangka panjang. FFTFM
digunakan untuk mengontrol kluster peristiwa (event clustering) dan korelasi
antar returns IPO. FFTFM telah banyak digunakan untuk mengukur kinerja IPO
jangka panjang antara lain oleh Brav dan Gompers (1997), Espenlaub, Gregory,
dan Tonks (2000), Brav, Geczy, dan Gompers (2000), Gompers dan Lerner
(2003), Ang, Gu dan Hochberg (2005), dan Ahmad-Zaluki, Campbell, dan
Goodacre (2007).
FFTFM adalah sebagai berikut:
Rp,t – Rrf,t = ap + βp (Rm,t – Rrf,t) + sp SMBt + hp HMLt + ep,t (14)
Variabel dependen adalah excess return portofolio (return portofolio
periode t dikurangi return bebas risiko/Sertifikat Bank Indonesia periode t).
Variabel independennya adalah excess market return, SMB (size), dan HML
(book-to-market ratio). SBI yang digunakan adalah SBI 30 hari. Return pasar
yang digunakan ialah return IHSG. SMB (Small Minus Big) adalah return
portofolio perusahaan kecil (small firms) dikurangi return portofolio perusahaan
besar (big firms). HML (High Minus Low) ialah return portofolio perusahaan
dengan rasio book-to-market tinggi dikurangi return portofolio perusahaan
dengan rasio book-to-market rendah. Perusahaan diurutkan berdasarkan ukuran
(size) dan rasio book-to-market. Kemudian berdasarkan ukuran, perusahaan
dibagi menjadi dua kelompok. Perusahaan yang ukurannya lebih besar daripada
rata-rata ukuran seluruh perusahaan dikategorikan perusahaan besar (B),
sedangkan yang ukurannya lebih kecil dari rata-rata ukuran seluruh perusahaan
dikategorikan perusahaan kecil (S). Perusahaan dengan rasio book-to-market
diatas titik potong 70 persen (the 70 percent book-to-market breakpoint) diberi
label H (high atau tinggi), 40 persen ditengah diberi label M (Medium), dan
perusahaan dibawah titik potong 30 persen diberi label L (low atau rendah).
Kemudian dibentuk enam portofolio yaitu berdasarkan S/L, S/M, S/H, B/L,
B/M, dan B/H. SMB=[(S/L-B/L)+(S/M-B/M)+(S/H-B/H)]/3, dan HML=[(S/H-
S/L)+(B/H-B/L)]/2. Alpha (αp) mengindikasikan abnormal return. Jika uji t
menunjukkan ap signifikan (tidak signifikan), berarti overperformance atau
underperformance signifikan (tidak signifikan).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 131


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Daftar Pustaka

Aggarwal, R., R. Leal, dan F. Hernandez. 1993. The Aftermarket Performance


of Initial Public Offerings in Latin America. Financial Management, 22,
pp.42-53.
Ahmad-Zaluki, N., Campbell, K., dan Goodacre, A. 2007. The Long Run Share
Price Performance of Malaysian Initial Public Offerings (IPOs). Journal of
Business Finance & Accounting, vol. 34., Iss.1-2, pp. 78-110.
Ang, A., Gu, Li, dan Hochberg Y. 2005. Is IPO Underperformance a Peso
Problem?. Working Paper, National Bureau of Economic Research (NBER)
Barber, B.M., and J.D. Lyon. 1997. Detecting Long-Run Abnormal Stock
Returns: The Empirical Power and Specification of Test Statistics. Journal
of Financial Economics, vol. 43, no. 3, pp. 341–372.
Brav, A., dan Gompers, P.A. 1997. Myth or Reality? The Long-Run
Underperformance of Initial Public Offerings: Evidence from Venture and
Non-Venture Capital-Backed Companies. Journal of Finance, vol.56,
pp.1791-1821.
Brav, A. 1999. Inference in Long-Horizon Event Studies: A Parametric
Bootstrap Approach with Application to Initial Public Offerings. Journal of
Finance, 54.
Brav, A., Geczy, C., dan Gompers, P.A. 2000. Is the Abnormal Return
Following Equity Issuances Anomalous?. Journal of Financial Economics,
vol.56, pp.209-249.
Conrad, J., and Kaul, G. 1993. Long-Term Market Overreaction or Biases in
Computed Returns?. Journal of Finance, 48, pp.39-63.
Corhay, A., Teo, S. and Tourani-Rad. 2002. The Long Run Performance of
Malaysian Initial Public Offerings (IPO): Value and Growth Effects.
Managerial Finance, vol.28, pp.52-65.
Dawson, S.M. 1987. Secondary Stock Market Performance of Initial Public
Offers, Hong Kong, Singapore, and Malaysia: 1978-1984. Journal of
Business Finance and Accounting, vol.40, pp.65-162.
Eckbo, B.E., Masulis, R.W., dan Norli, O. 2000. Seasoned Public Offerings:
Resolution of the ‘New Issue Puzzle’. Journal of Financial Economics,
vol.56, pp.251-291.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 132


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Espenlaub, S., Gregory, A., dan Tonks, I. 2000. Re-Assessing the Long Term
Underperformance of UK Initial Public Offerings. European Financial
Management, 6, pp.319-342
Fama, E. F. dan French, K. 1993. Common Risk Factors in the Returs on Bonds
and Stocks. Journal of Financial Economics, 33, pp.3-56.
Fama, E. F. 1998. Market Efficiency, Long Term Return, and Behavioral
Finance. Journal of Financial Economics, 49, pp.283-306.
Finn, Frank J. & Higham, Ron. 1988. The Performance of Unseasoned New
Equity Issues-Cum-Stock Exchange Listings in Australia. Journal of Banking
& Finance, vol. 12, pp.333-351.
Gompers, P.A., dan Lerner, J. 2003. The Really Long Run Performance of
Initial Public Offerings: The Pre-Nasdaq Evidence. Journal of Finance,
vol.58, pp.1355-1392.
Hartanto, I. B. & Ediningsih, S. I. 2004. Kinerja harga saham setelah penawaran
perdana (IPO) pada Bursa Efek Jakarta. Usahawan, no.8, th.xxxiii, agustus,
hal.36-43.
Jelic, R., Saadouni B. & Briston, R. 2001. Performance of Malaysian IPOs:
Underwriters Reputation and Management Earnings Forecasts. Pacific-Basin
Finance Journal, 9, pp.457-486
Jenkinson, T. & Ljungqvist, A. 2001. Going Public: The Theory and Evidence
on How Companies Raise Equity Finance, Second Edition, Oxford
University Press.
Keloharju, M. 1993. The Winner’s Curse, Legal Liability, and the Long-Run
Price Performance of Initial Public Offerings in Finland. Journal of
Financial Economics, 34, pp.251-277.
Kothari, S. & Warner, J. 1997. Measuring Long-Horizon Security Price
Performance. Journal of Financial Economics, 43, pp.301-339.
Kunz, R.M. & Aggarwal, R. 1994. Why Initial Public Offerings Are
Underpriced: Evidence from Switzerland. Journal of Banking and Finance,
18, pp.705-724.
Levis, M. 1993. The Long Run Performance of Initial Public Offerings: the UK
Experience 1980-1988. Financial Management, Spring.
Loughran, Tim. 1993. NYSE vs NASDAQ Returns : Market Microstructure or
the Poor Performance of Initial Public Offerings?. Journal of Financial
Economics, 33, pp. 241-260.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 133


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Loughran, T. & Ritter, J. R. 1995. The New Issue Puzzle. Journal of Finance,
vol.50, pp.23-51.
Loughran, T. & Ritter, J. R. 2000. Uniformly Least Powerful Test of Market
Efficiency. Journal of Financial Economics, vol.55, pp.361-389.
Lyon, J. D., Barber, B. M. & Tsai, C. 1999. Improved Methods for Tests of
Long-Run Abnormal Stock Returns. Journal of Finance, vol. 54, no. 1,
165–201.
Manurung, A. H. & Soepriyono, G. 2006. Hubungan Antara Imbal Hasil IPO
dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja IPO di BEJ. Usahawan,
No.3, th. XXXV, maret, hal.14-26.
Martani, D. 2004. Pengaruh Manajemen Informasi dan Determinan Lain
Terhadap Harga Saham, Initial Return, dan Kinerja Saham Jangka Panjang:
Studi Empiris Perusahaan Go Public di BEJ. Disertasi, Program
Pascasarjana Ilmu Manajemen, Universitas Indonesia, tidak publis.
Mitchell, M.L., & Stafford, E. 2000. Managerial Decisions and Long-Term
Stock Price Performance. Journal of Business, vol.73, pp.287-329.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 134


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Karakteristik Inovasi, Pengetahuan, Komunikasi Pemasaran, Persepsi


Risiko Dan Stockout Dalam Keputusan
Penundaan Adopsi Inovasi.

Dyah Sugandini∗

Inovasi merupakan sebuah ide dan praktek, atau obyek yang dipersepsikan
sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau unit adopsi yang lain.
Penundaan terjadi ketika seorang individu memutuskan untuk menunda adopsi
inovasi. Seorang postponer masuk ke dalam golongan non-adopter. Individu ini
ada dalam kondisi aktif, menunggu waktu yang dianggapnya tepat untuk
mengadopsi inovasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji sebuah model
yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penundaan suatu produk
inovatif yaitu LPG pada masyarakat miskin target konversi energi. Metode yang
digunakan menggunakan pendekatan deduktif karena memfokuskan pada
pengembangan hipotesis yang didasarkan pada suatu teori. Penelitian ini
menggunakan survei karena memperhatikan sejumlah faktor yang menjelaskan
keberadaan fenomena yang diteliti Data yang digunakan adalah data primer
yang diperoleh melalui observasi langsung, wawancara personal secara
mendalam dan pengisian kuesioner. Alat analisis data menggunakan structural
equation modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model
penundaan adopsi dapat diterima.
Kata kunci: Penundaan adopsi, karakteristik inovasi, stockout, informasi,
pengetahuan, sikap menunda, dan niat menunda.

A. Latar Belakang
Isu penggunaan energi bahan bakar alternatif untuk menggantikan energi
bahan bakar yang selama ini banyak dikonsumsi masyarakat merupakan isu
lama. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa energi bahan bakar
konvensional seperti minyak semakin terbatas dan juga menghasilkan dampak
polutif yang cukup tinggi. Isu ini dimanfaatkan oleh pemerintah namun dengan
target yang lain yaitu untuk pengurangan subsidi hingga tercapai target akhir
pemerintah yaitu penghapusan sepenuhnya subsidi bahan bakar minyak.
Realisasi kebijakan pemerintah untuk efisiensi bahan bahar minyak dilakukan
dengan menerapkan program peralihan konsumsi energi dari minyak tanah ke


Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Manajemen FEB
UGM dan staf pengajar UPN Veteran Yogyakarta.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 135


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

gas (LPG) atau yang populer dengan istilah konversi minyak tanah. Program
yang ditujukan bagi masyarakat miskin pengkonsumsi minyak tanah yang
"dipaksa" untuk beralih menggunakan gas, dengan cara membagikan kompor
gas dan tabung gas ukuran 3 kg per KK.
Terdapat beberapa alasan yang mendukung keputusan konversi tersebut.
Pertama, penggunaan minyak tanah oleh masyarakat, terutama sebagai sumber
energi rumah tangga, memberi beban cukup besar pada anggaran pemerintah.
Kedua, ketersediaan sumber energi minyak tanah – yang merupakan sumber
energi tak-terbarukan – semakin sedikit. Ketiga, Indonesia telah menjadi net-
importer minyak. Keputusan konversi dapat menghemat sediaan minyak dan
pengeluaran pemerintah. Meskipun konversi penggunaan minyak tanah ke LPG
ditujukan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat luas, namun upaya
konversi tersebut tidak terlaksana dengan lancar dan mudah. Terdapat beberapa
faktor yang dapat menghambat adopsi masyarakat terhadap konversi minyak
tanah ke LPG, yaitu faktor individu anggota masyarakat, faktor
produk/teknologi, faktor risiko dan kepercayaan serta faktor komunikasi.
Karakteristik inovasi teknologi baru mempengaruhi kesediaan masyarakat
dalam mengadopsi produk/teknologi baru tersebut. Produk/teknologi baru akan
cepat diterima dan digunakan oleh masyarakat salah satunya jika masyarakat
menilai bahwa produk/teknologi baru tersebut memiliki keunggulan relatif
dibanding produk/teknologi yang lama. Keunggulan relatif suatu
produk/teknologi baru ditentukan oleh dua faktor yaitu tingkat kemanfaatan dan
kemudahaan menggunakan produk/teknologi (Malhotra dan Galletta, 1999).
Semakin tinggi kemanfaatan suatu produk/teknologi baru dan semakin mudah
menggunakan produk/teknologi baru maka semakin cepat produk/teknologi
baru tersebut diterima dan digunakan oleh masyarakat. Ketersediaan
produk/teknologi merupakan salah satu faktor yang menentukan kemudahan
masyarakat dalam menggunakan produk/teknologi tersebut.
Pada dasarnya, upaya pemerintah mendorong masyarakat melakukan
konversi penggunaan energi minyak tanah ke LPG merupakan proses dan
kegiatan transfer teknologi rumah tangga dari pemasok (pemerintah/perusahaan
penyedia) ke pengguna (individu/rumah tangga). Transfer teknologi
memerlukan proses komunikasi untuk mendorong pembelajaran dan perubahan
dari dua pihak, yaitu pemasok dan pengguna (Hsu dan Mesak, 2005).
Produk/teknologi yang bermanfaat dan mudah digunakan, pemilihan sasaran

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 136


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pengguna yang tepat, komunikasi yang efektif, dan layanan pendukung yang
dapat diandalkan akan mendorong konversi penggunaan minyak tanah ke LPG
cepat terlaksana.

B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan pertama penelitian ini adalah untuk mendefinisikan dan menguji
konsep postponement dalam studi inovasi produk. Karena disadari bahwa
penundaan adopsi inovasi dalam beberapa riset sebelumnya belum
terdefinisikan secara baik dan belum banyak diteliti. Penelitian yang
dilakukan selama ini hanya dilakukan pada seting adopsi, penolakan adopsi
dan keputusan inertia.
2. Tujuan kedua penelitian ini adalah untuk menguji sebuah model yang
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penundaan suatu produk
inovatif, dengan memperluas model penundan adopsi yang sudah ada (ram,
1987; Ram dan Seth, (1989); Rogers, (1995) dan Joseph (2005). Faktor
penundaan merupakan bagian dari konsep adopsi produk. Faktor-faktor
yang menyebabkan penundaan adopsi dijelaskan oleh persepsi konsumen
mengenai tingkat karakteristik inovasi yang meliputi relative advantage,
compatibility, complexity, trialability, dan observability; pengetahuan
konsumen yang meliputi pemahaman keberadaan produk baru, pemahaman
cara kerja produk baru, dan pemahaman mengenai manfaat aktual produk
baru; persepsi informasi komunikasi pemasaran integratif yang berasal dari
pemerintah dan agen perubahan yaitu tokoh masyarakat; risiko yang
dipersepsikan dan stockout yang merupakan aspek situasional yang
langsung menjelaskan pembuatan keputusan penundaan adopsi inovasi.
3. Dengan demikian, model ini memiliki kekuatan untuk memahami suatu
fenomena yang tidak hanya dipahami dari sisi internal konsumen tetapi
juga eksternal. Pemahaman penundaan produk inovatif elpiji dari aspek
komunikasi pemasaran dan aspek stockout konsumen dapat memberikan
wawasan bagi pemerintah maupun distributor produk elpiji agar dapat
memberikan pelayanan kepada konsumen dengan lebih baik. Jika program
ini berhasil, manfaat keberhasilan program ini tidak hanya untuk
pemerintah, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 137


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Secara Teoretis
a. Studi ini diharapkan mampu mendefinisikan dan menguji konsep
postponement (penundaan) secara lebih baik dalam studi inovasi
produk.
b. Studi ini memberikan kontribusi secara teoritis tentang model
penundaan adopsi inovasi yang dipengaruhi oleh persepsi karakteristik
inovasi, komunikasi pemasaran, pengetahuan, risiko dan stockout.
c. Mayoritas riset adopsi inovasi yang ada menggunakan seting tempat
bekerja, terkait dengan pengetahuan karyawan dan menggunakan
pelajar atau mahasiswa sebagai subyek penelitian, studi ini fenomena
pengambilan keputusan yang akan diteliti adalah di lingkungan rumah
tangga yang mempunyai tingkat sosial ekonomi rendah atau yang
tergolong miskin.
d. Proses adopsi inovasi biasanya dilakukan untuk objek yang memberi
kesenangan baru, Studi ini menganalisis proses adopsi inovasi pada sisi
sebaliknya, yaitu adopsi inovasi produk yang dianggap tidak
menyenangkan bagi konsumennya.
2. Manfaat Secara Praktis
a. Secara ekonomi makro, hasil studi ini akan memberikan manfaat bagi
keberlangsungan program konversi minyak tanah ke elpiji.
b. Penelitian ini juga memberikan sumbangan bagi masyarakat tentang
sosialisasi sejak dini penggunaan produk elpiji. Fungsi sosialisasi
merupakan pengenalan nilai-nilai baru pada kelompok tertentu yang
bisa dilakukan oleh agen perubahan dan mass media. Bagi industri gas,
penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman peran
komunikasi pemasaran yaitu memberikan informasi yang tidak hanya
bersifat menjelaskan, tetapi juga mendidik dan bisa mengubah
pandangan dalam mempersepsikan produk elpiji sebagai produk
inovatif.
c. Bagi distributor elpiji harus memahami bahwa kondisi stockout
menyebabkan masyarakat sebagai konsumen merasa kecewa karena
tidak mampu membeli produk elpiji.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 138


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

D. Tinjauan Pustaka
1. Innovation Resistance dan Penundaan Adopsi Inovasi
Ram, S (1987) mendefinisikan innovation resistance sebagai kondisi
resistensi yang terjadi dalam diri konsumen terkait dengan perubahan yang
terjadi karena inovasi. Definisi ini diperkuat oleh Zaltman dan Wallendorf
(1983) yang menyebutkan resitensi inovasi merupakan perilaku untuk
mempertahankan status quo dalam hubungannya dengan tekanan perubahan.
Ram dan Seth (1989) menambahkan bahwa innovation resistance terjadi karena
konsumen merasa bahwa inovasi akan mengubah kepuasan yang dia peroleh
dengan mempertahankan status quo, dan inovasi itu sendiri berkonflik dengan
struktur keyakinannya.
Ram dan Seth (1989) menyatakan bahwa konsumen yang resisten terhadap
inovasi produk baru disebabkan karena dua hal, pertama inovasi produk baru
akan mengakibatkan perubahan yang sangat besar atas keseharian yang
dilakukan konsumen dan bahkan bisa merubah rutinitas yang telah dilakukan
sebelumnya. Contohnya, adopsi kompor elpiji bagi masyarakat miskin telah
menyebabkan perubahan yang sangat besar bagi penggunanya. Konsumen jenis
ini merasakan bahwa pemakaian kompor elpiji membutuhkan pola
pembelajaran yang lebih intensif karena kompor elpiji dianggap lebih berisiko,
dan harus digunakan pada situasi dan kondisi yang baik. Cara pemakaian
kompor elpiji yang jauh lebih rumit dibanding kompor minyak tanah juga
menyebabkan konsumen enggan beralih ke kompor elpiji. Di samping itu,
konsumen harus mengelola keuangannya dengan lebih baik supaya bisa
menabung untuk membeli isi ulang gas elpiji. Keharusan menabung inilah yang
dianggap sebagai pola perilaku baru yang sangat memberatkan bagi konsumen
kelompok miskin. Karena mereka dihadapkan pada kondisi penghasilan yang
pas-pasan untuk kehidupan sehari-hari, sehingga mengalokasikan uang untuk
ditabung inilah yang menjadikan konsumen jenis ini merasa kesulitan.
Sehingga, pada akhirnya mereka resisten untuk adopsi elpiji (Sugandini, 2007).
Kedua, inovasi produk baru dianggap berkonflik dengan keyakinan
konsumen sebelumnya. Studi yang dilakukan Sugandini (2007) tentang adopsi
produk elpiji, konsumen kelompok miskin target konversi energi, beranggapan
bahwa kompor elpiji hanya pantas digunakan oleh orang-orang kaya yang
mempunyai uang banyak, mempunyai dapur untuk memasak yang bersih dan
mempunyai ruang khusus untuk menempatkan peralatan dan perlengkapan
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 139
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kompor gas elpiji. Sehingga, pada saat akan mengadopsi produk elpiji,
konsumen miskin ini memilih untuk resisten terhadap adopsi elpiji, karena
keyakinan dia mengatakan bahwa dia bukan golongan orang-orang yang pantas
menggunakan produk kompor elpiji.
Untuk memperkuat pemahaman resistensi inovasi, Gatignon dan Robertson
(1989) dan Szmigin &Foxall (1998) telah mempelajari perbedaan tipe
penolakan inovasi. Terdapat tiga tipe resistensi inovasi, yaitu rejection,
postponement dan opposition. Batas-batas ketiganya sangat kabur. Sehingga
pengujian innovation resistance mempunyai arti yang sama dengan pengujian
adoption innovation, karena keduanya menunjukkan hasil difusi inovasi.
Rejection terjadi ketika seorang individu memproses informasi tentang inovasi
dan memutuskan bahwa mereka tidak akan menggunakan inovasi tersebut,
sehingga individu ini dapat digolongkan menjadi seorang active rejctor untuk
sebuah inovasi. Postponement terjadi ketika seorang individu memutuskan
untuk menunda adopsi inovasi. Seorang postponer masuk ke dalam golongan
non-adopter. Individu ini ada dalam kondisi aktif, menunggu waktu yang
dianggapnya tepat untuk mengadopsi inovasi. Opposition terjadi ketika adopter
potensial secara aktual melakukan pengujian inovasi, dan pada akhirnya
menolak inovasi tersebut.
Untuk mendukung pendapatnya, Szmigin et al. (1998), menguji adopsi
inovasi dengan seting metode pembayaran, seperti credit card, debit card, dan
store card dalam transaksi pembelian. Hasilnya menunjukkan bahwa resistensi
terjadi karena adanya pengaruh faktor situasional dan psikologi. Meskipun
faktor situasional dan psikologi mempunyai banyak kategori, namun keduanya
dapat digunakan sebagai arahan ketika kita mencoba mencari akar penyebab
penolakan inovasi. Satu tantangan yang dihadapi dalam mengidentifikasi
penolakan/penundaan inovasi adalah karena penolakan tidak selalu dapat
dilihat. Sehingga penggolongan perbedaan tipe penolakan inovasi bisa
membantu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, apalagi ketika
fenomena penolakannya adalah multi-faceted.
Joseph (2005), yang menyatakan bahwa sebuah inovasi akan berhadapan
dengan penolakan yang tinggi jika inovasi tersebut mengganggu pola perilaku
normal yang dialami oleh individu. Dukungan diperoleh dari Rogers (1995),
yang menyatakan bahwa inovasi secara umum akan memaksa seorang
konsumen untuk berubah, dan biasanya konsumen yang dihadapkan dengan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 140


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

inovasi akan menolak untuk berubah. Ketika sebuah inovasi ditolak, maka
inovasi dihadapkan pada kondisi menunda.
2. Hipotesis
a. Persepsi karakteristik inovasi dan sikap terhadap penundaan.
Tornatzky dan Keein (1982) dalam Moore dan Banbasat (1991)
mengidentifikasikan karakteristik yang berbeda dari Rogers. Hasil meta analisis
yang dilakukannya pada 100 jurnal diffusion of innovation menemukan adanya
sepuluh karakteristik yang sering digunakan dalam penelitian adopsi inovasi.
Karakteristik itu terdiri dari lima karakteristik teori diffusion of innovation
Rogers (1995) yaitu, competitive advantage, compatibility, complecity,
trialability, observability . Masing-masing aspek ini dijadikan sebagai patokan
dalam menerima atau menolak produk inovatif karena dianggap sudah mampu
mewakili semua aspek kemampuan konsumen dalam menerima produk inovatif.
Karakteristik inovasi yang dipersepsikan ini memiliki peran penting dalam
tahap persuasi, karena pada tahap persuasi seorang individu atau unit pengambil
keputusan lainnya membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai suatu
inovasi dan berusaha untuk mengurangi ketidak pastian serta risiko inovasi
tersebut dengan cara mencari informasi yang terkait. Namun, hanya
kompleksitas yang mempengaruhi adopsi inovasi secara negatif karena semakin
kompleks suatu inovasi maka semakin kecil kemungkinan untuk diadopsi.
H1: Persepsi Karakteristik inovasi berhubungan dengan sikap menunda
adopsi produk elpiji
H1.a: Keunggulan Relatif berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG
H1.b: Compatibility berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG
H1.c: Complexityberpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG
H1.d: Trialibilty berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG
H1.e: Observabilty berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 141


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

b. Pengetahuan konsumen dan sikap terhadap penundaan.

Pengetahuan merupakan konstruk yang penting bagi perilaku konsumen


karena berperan dalam pencarian informasi, proses adopsi inovasi, dan
mempelajari produk baru. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Hasil
studi empiris yang dilakukan Nayga (2000) dan Wood dan Lynch (2002)
menunjukkan bahwa konstruk pengetahuan tidak mampu memprediksi perilaku,
namun hal ini dibantah oleh Brucks (1985) yang menunjukkan bawa ada efek
positif pengetahuan terhadap perilaku. Perdebatan ini muncul karena adanya
perbedaan pengukuran konstruk pengetahuan yang sesungguhnya dimiliki
individu atau tingkat pengetahuan yang dirasakan dimiliki oleh individu.
Sehingga, meskipun pengukuran pengetahuan telah memasukkan dimensi
keberadaan, pemahaman proses kerja dan manfaat namun dimungkinkan
memberikan efek yang berbeda pada proses adopsi jika pengukuran dilakukan
dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.
H2: Pengetahuan konsumen berhubungan dengan sikap penundaan adopsi
inovasi produk elpiji.

c. Persepsi informasi komunikasi pemasaran dan sikap sikap terhadap


penundaan

Komunikasi pemasaran integratif merupakan suatu konsep yang


mengintegrasi dan mengkoordinasi berbagai saluran komunikasi perusahaan
untuk menyampaikan pesan yang jelas, konsisten, dan saling mendorong
tentang organisasi dan produk-produknya. Berdasarkan konsep ini, setiap
sumber komunikasi mengatakan tentang produk maupun jasa perusahaan, yang
semuanya bertujuan mendukung suksesnya produk untuk dikenal oleh
konsumen. Komunikasi pemasaran terintegrasi melibatkan identifikasi audien

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 142


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

sasaran dan menghasilkan program promosi yang terkoordinasi dengan baik


untuk memperoleh respon yang diinginkan.
Rogers dan Shoemaker (1971) mengatakan bahwa saluran interpersonal
masih memegang peranan penting dibanding dengan media massa, terlebih-
lebih di negara-negara yang belum maju di mana kurang tersedianya media
massa yang dapat menjangkau khalayak terutama warga pedesaan, tingginya
tingkat buta huruf dan tidak sesuainya pesan-pesan yang disampaikan dengan
kebutuhan masyarakat. Lazarsfeld dalam Rogers dan Shoemaker (1971)
mengatakan bahwa media massa hanya merupakan peliput ganda pesan dan
penyebar ide secara mendatar dan penguat artinya hanya didengar apabila
sependapat dengan pendapat komunikan. Jadi saluran interpersonal
dipergunakan apabila kita mengharapkan efek perubahan tingkah laku (behavior
change) dari komunikan.
Informasi komunikasi pemasaran integratif sendiri berkaitan dengan sikap
konsumen. Sebagai suatu pendekatan umum, ide di belakang pengolahan
informasi menekankan pada kompleksitas tentang bagaimana orang
mendapatkan pengetahuan dan bagaimana mereka membentuk dan merubah
sikap mereka. Menurut teori integrasi informasi yang dikemukakan oleh
Anderson (1971, 1980 dalam Dharmmesta, 1998), sebagian besar sikap
konsumen itu terbentuk dalam kaitannya dengan respon pada informasi yang
mereka terima tentang obyek sikap. Selanjutnya dikatakan, bagaimana
konsumen menerima dan mengkombinasikan informasi ini telah menjadi dasar
struktur sikap.
Hipotesis 3: Persepsi informasi komunikasi pemasaran berhubungan dengan
sikap penundaan adopsi inovasi produk elpiji.

d. Persepsi Risiko dan keputusan sikap terhadap penundaan.

Perceived risk menurut Allen (1993) dan Mitchen (1993) didefinisikan sebagai
persepsi konsumen mengenai ketidak pastian dan konsekuensi-konsekuensi
negatif yang mungkin diterima atas pembelian suatu produk/jasa. Definisi ini
mirip dengan definisi dari Steve dan Gronhoug (1993), yang mendefinisikan
persepsi risiko sebagai keyakinan subyektif individu atas beberapa probabilitas
suatu hal yang tidak diinginkan dari suatu keputusan pembelian.
Dari sudut pandang perspektif resistensi adopsi inovasi, atribut baru yang ada
pada inovasi produk baru seperti kerumitan teknologi, harga mahal dan semua
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 143
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

yang terlihat baru dengan sisi yang tidak dapat diprediksi oleh konsumen bisa
menciptakan gangguan pada rutinitas konsumen yang ada (Ram dan Sheth,
1989; Sheth, 1981; Waddell dan Cowan, 2003). Hal ini bisa menimbulkan
konflik dengan keyakinan konsumen sebelumnya dan berdampak pada
penolakan adopsi. Pernyataan ini didukung oleh Mitchell et al.(1999); Zinkhan
dan Karande (1991), dengan menunjukkan bahwa ketika konsumen menemui
risiko produk baru, konsumen akan berhadapan dengan dilema konsekuensi
yang diinginkan atau tidak diinginkan atas adopsi dan keputusannya yang
seringkali berisiko. Forsythe dan Shi (2003); Weber dan Hsee (1998),
menyimpulakan bahwa risiko yang dipersepsikan merupakan fungsi dari
unexpected results dari adopsi dan outcome yang menyimpang dari harapan.
Meskipun studi yang dilakukan Conchar et al. (2004) menyatakan bahwa risiko
yang dipersepsikan bisa berpengaruh negatif terhadap adopsi produk baru, studi
lain yang dilakukan oleh Mitchell and Harris (2005); DelVecchio dan Smith
(2005) menyatakan bahwa efek negative ini belum jelas terbukti . Ketika
diprediksi bahwa adopsi aktual merupakan fungsi consumer innovativeness,
risiko yang dipersepsikan tidak cukup kuat mempengaruhi adopsi aktual.
Persepsi risiko hanya terkait dengan pencarian informasi untuk memastikan dan
mengurangi tingkat risiko atau untuk mengelola risiko yang dipersepsikan
(Manning et al., 1995).
Hipotesis 4: Persepsi risiko berhubungan dengan sikap penundaan adopsi
inovasi produk elpiji

e. Stockout dan sikap sikap terhadap penundaan.

Faktor lain yang tidak kalah penting dalam mempengaruhi penundaan


adopsi adalah faktor situasional. Menurut Joseph (2005), faktor situasional ini
mampu memberikan arahan mengapa seorang konsumen menolak atau
menunda adopsi inovasi. Faktor situasional yang dipercaya dapat berpengaruh
terhadap penolakan atau penundaan inovasi produk inovatif dalam hal ini elpiji
adalah stockout atau kelangkaan. Survey awal yang dilakukan Sugandini (2008)
menemukan bahwa kelangkaan merupakan faktor yang berpengaruh besar
terhadap penundaan adopsi elpiji. Hasil survey awal ini didukung oleh riset
yang dilakukan Fitzsimons (2000) yang menemukan bahwa respon negatif dari
konsumen terhadap tidak sedianya barang akan membawa dampak buruk pada
pembelian konsumen. Masalah out of stock items menjadi masalah yang sering
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 144
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dikeluhkan oleh banyak konsumen, sehingga akan berdampak pada perilaku


penundaan konsumsi yang akan dilakukan konsumen. Teori sikap menyatakan
bahwa seseorang yang memiliki sikap positif kearah perilaku akan lebih suka
menunjukkan perilakunya. Sikap akan berdampak pada proses pencarian
informasi, pembentukan niat dan tindakan. Dalam literatur inovasi, sikap akan
meningkatkan perhatian pada obyek inovasi. Nelson (1990) dalam studi
inovasinya menempatkan sikap sebagai variabel individual yang berhubungan
dengan niat untuk berperlaku
Hipotesis 5: Persepsi kelangkaan akan meningkatkan pengaruh sikap terhadap
keputusan penundaan adopsi inovasi produk elpiji.

f. Sikap, niat dan penundaan adopsi produk


Proses keputusan inovasi akan melibatkan evaluasi dan pembentukan sikap
terhadap inovasi. Literatur tentang sikap bisa digunakan sebagai landasan
teoritis untuk setiap riset inovasi dan bisa meningkatkan pemahaman tentang
bagaimana sikap terhadap inovasi dibentuk untuk menentukan adopsi atau tidak
mengadopsi inovasi. Sinergi diperoleh dengan mengkombinasikan teori sikap
dengan teori difusi inovasi. Model sikap yang lebih luas ditunjukkan oleh
Fishbein dan Ajzen (1976) dengan model Theory of Reason Action-nya, dan
teori difusi inovasi dikembangkan oleh Rogers (1983). Theory of Reasoned
Action pertama kali dicetuskan oleh Fishben dan Ajzen (1975). Teori ini
disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara
sadar, rasional dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam
TRA ini, Ajzen (1980) menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan
suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku
tersebut. Lebih lanjut, Ajzen mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak
melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama
berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain
berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms).
Hipotesis 6: Sikap berpengaruh pada niat menunda adopsi LPG
Hipotesis 7: Niat menunda berpengaruh pada keputusan penundaan adopsi
LPG

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 145


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

E. Model Penelitian
Studi ini menguji beberapa faktor yang menyebabkan konsumen
mempunyai sikap menunda keputusan terkait dengan adopsi produk inovatif
yaitu elpiji. Aspek-aspek yang dibahas secara rinci dijelaskan oleh (1) persepsi
konsumen mengenai tingkat karakteristik inovasi (2) pengetahuan konsumen (3)
persepsi informasi komunikasi pemasaran integratif; (4) risiko yang
dipersepsikan (5) stockout yang merupakan aspek situasional sebagai konsep
yang langsung menjelaskan pembuatan keputusan adopsi produk.
Model teoretis yang diajukan dalam studi ini adalah sebagai berikut:

Trialabili
Pengetahu
an produk Stocko
Observabi

Niat Keputusa
complexit Sikap n
menun
menun

compatibil
Risiko
Persepsi yang
Informasi
Relative komunikasi
Advantage

Gambar 1: Model teoretis

Masing-masing konsep yang diajukan dalam penelitian ini dijelaskan


oleh konsumen dengan karakteristik pendapatan yang kecil, pendidikan yang
rendah, memiliki risiko yang tinggi. Berdasarkan studi awal, subjek penelitian
ini merupakan golongan masyarakat miskin yang tidak banyak memiliki akses
untuk mendapatkan kemudahan produk (Sugandini, 2007, 2008). Kondisi ini
berseberangan dengan karakteristik individu sebagai subjek penelitian yang ada
dalam studi Robertson dan Wind (1980), yaitu individu yang memiliki
pendapatan besar, pendidikan tinggi, memiliki mobilitas sosial, mau
menanggung risiko, dan memiliki partisipasi sosial.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 146


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Studi ini menerapkan pendekatan deduktif karena memfokuskan pada
pengembangan hipotesis yang didasarkan pada suatu teori. Penelitian ini
menggunakan survei karena memperhatikan sejumlah faktor yang menjelaskan
keberadaan fenomena yang diteliti (Lutz, 1991; Simonson, Carmon, Dhar,
Drolet, & Nowlis, 2001). Data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh melalui observasi langsung, wawancara personal secara mendalam
dan pengisian kuesioner. Observasi langsung digunakan untuk mengidentifikasi
perilaku dan lingkungan fisik masyarakat yang menjadi sasaran konversi energi.
Observasi langsung memiliki kelebihan dalam menangkap fenomena yang tidak
terungkap melalui wawancara dan pengisian kuesioner.
Wawancara personal secara mendalam digunakan untuk mengeksplorasi
tingkat pengetahuan, opini, dan sikap masyarakat terhadap penundaan adopsi
elpiji. Pengetahuan, opini, dan sikap tidak mudah untuk diidentifikasi melalui
observasi langsung. Kuesioner digunakan untuk memperoleh data yang bersifat
umum dan yang telah dijelaskan oleh teori.

2. Pengambilan sampel dan responden


Unit sampel dalam penelitian ini adalah individu. Unit sampel diambil
dengan metode purposive. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan
sampel secara purposive karena responden harus memenuhi kriteria sebagai
individu yang terlibat di dalam proses pengambilan keputusan konversi energi
di tingkat rumah tangga miskin yang menjadi sasaran program konversi energi.
Karakteristikny adalah: responden ada pada posisi menunda adopsi, memiliki
sikap positif terhadap program konversi energy, dan responden termasuk dalam
kategori miskin seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomer 104 tahun
2007 tentang distribusi elpiji program konversi. Responden dapat berperan
sebagai inisiator, pemberi pengaruh, pengguna, atau pengambil keputusan
konversi energi di tingkat rumah tangga.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 147


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

3. Definisi operasional variabel dan pengukuran variabel


a. Karakteristik Inovasi
Menurut Rogers (1995), karakteristik inovasi terdiri atas lima aspek yaitu
relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability.
Masing-masing aspek ini dijadikan sebagai patokan dalam penerimaan maupun
penundan adopsi produk inovatif karena dianggap sudah mampu mewakili
semua aspek kemampuan konsumen dalam menerima ataupun menunda produk
inovatif.
b. Keunggulan relatif.
Keunggulan relatif merupakan tingkat di mana inovasi dipersepsikan lebih baik
dariyang digantikan (Davis, 1989). Keunggulan relatif dalam mengadopsi
inovasi dipersepsikan sebagai tersedianya benefit yang lebih besar untuk
mengadopsi inovasi dari pada mempertahankan status quo (Kwon and Zmud,
1987). Rogers (1995) mendefinisikan keunggulan relatif sebagai keunggulan
sebuah inovasi dibandingkan ide sebelumnya atau ide-ide yang menjadi
tandingannya. Keunggulan relative diukur menggunakan instrument penelitian
yang diadopsi dari Adams; Nelson dan Peter Todd (1992) Instrumen penelitian
tersebut terdiri atas: Work More Quickly, Job Performance, Increase
Productivity, Effectiveness, efisiensi dan Makes Job Easier. Rentang pilihan
jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).
c. Kesesuaian (Compatibility)
Konsep ini menunjukkan bahwa tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika
konsumen merasakan adanya kesamaan nilai-nilai atau keyakinan yang
ditawarkan oleh produk inovatif (Gahtani, 2003). Kesesuaian adalah derajat
dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku,
pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi (Rogers dan Shoemaker,
1971). Instrument untuk mengukur kesesuaian diadopsi dari Littler, 2001; Ram,
1987; Szmigin dan Bourne (1999), dan Saba dan Natale (2006). Istrumen
tersebut meliputi fit with existing ways of doing things, fit with prevailing value
and past experience, dan fit with beliefs. Rentang pilihan jawaban berkisar dari
1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 148


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

d. Kerumitan (Complexity)
Kerumitan adalah derajat sebuah inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit
untuk dipahami dan digunakan (Ram, 1987; Slyke, Loy dan Day, 2002).
Konsep ini menunjukkan bahwa, tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika
konsumen merasakan adanya kemudahan penggunaan produk yang ditawarkan
oleh produk inovatif (Marshall, Rainer dan Morris, 2003). Instrumen untuk
mengukur kompleksitas inovasi diadopsi dari Adams; Nelson dan Todd (1992),
Marshal et al., 2003; dan Schlindwein dan Ison, 2004. Instrumen tersebut adalah
Easy to use, Easy to Learn, Clear and Understandable, Easy to Become Skillful,
Easy to Use, Controllable, dan Flexible. Rentang pilihan jawaban berkisar dari
1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).
e. Ketercobaan (Trialibility)
Konsep ini menunjukkan bahwa, tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika
konsumen merasakan adanya kemudahan untuk mencoba lebih dulu produk
inovatif yang ditawarkan (Reiss dan Wacker, 2000). Instrumen untuk mengukur
ketercobaan diadopsi dari Szmigin dan Bourne (1999); Gahtani, (2003).
Istrumen tersebut adalah being able to try out a new product dan to find out how
it works under one’s own condition. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1
(sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).
f. Keterlihatan (Observability)
Menurut Chauduri (1985), keterlihatan adalah kemampuan untuk diamati atau
derajat suatu hasil inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Konsep ini
menunjukkan bahwa tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika konsumen
merasakan adanya kemudahan untuk melihat benefit atau atribut produk
inovatif yang ditawarkan (Rogers, 1995; Karahanna, Straub dan Chervany,
1999). Instrumen untuk mengukur keterlihatan diadopsi dari Gahtani, 2003,
yang terdiri atas Easily observed and communicated to others dan The other
person models how the innovation works as well as the benefits of use. Rentang
pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).
g. Pengetahuan konsumen
Antil (1988) berpendapat bahwa pengetahuan konsumen meliputi tiga tahapan.
Pertama, konsumen mengetahui keberadaan produk inovasi yang diluncurkan
oleh pemasar atau perusahaan. Kedua, konsumen memahami cara kerja produk
inovasi. Ketiga, konsumen mengetahui manfaat yang nyata mengenai

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 149


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

penggunaan produk inovasi. (a) Keberadaan Produk Inovatif, konsumen


mengetahui keberadaan produk inovasi yang diluncurkan oleh pemasar atau
perusahaan. Konsumen mengetahui produk inovasi dari komunikasi pemasaran
yang bisa disebarkan melalui mass media. Kesadaran konsumen akan produk
inovatif ini dimulai dari strategi pemasaran yang dibuat oleh pemasar. Jika
konsumen tidak mengetahui produk inovatif, maka strategi pemasaran produk
inovatif akan gagal. Keberadaan produk inovatif merupakan awal mula
konsumen untuk bisa menyukai produk lebih lanjut. (b) cara Kerja Produk
Inovatif, konsumen memahami cara kerja produk inovasi. Hal ini penting karena
ini bisa memberikan informasi kepada konsumen cara menggunakan produk
inovasi dengan benar serta mengetahui risiko-risiko penggunaan produk
tersebut. seluler, makin tinggi kecenderungan konsumen memilih merek
tersebut. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5
(sangat setuju).
h. Informasi Komunikasi Pemasaran Integratif
Komunikasi pemasaran adalah suatu proses pengolahan, produksi dan
penyampaian pesan-pesan melalui satu atau lebih saluran kepada kelompok
target audience, yang dilakukan secara berkesinambungan dan bersifat dua arah
dengan tujuan menunjang efektivitas dan efisiensi pemasaran suatu produk,
(Kotler, 2004). Komunikasi berperan untuk menyampaikan informasi,
melakukan persuasi, mengingatkan dan mendorong perilaku pada pembeli
potensial. Efektivitas komunikasi pemasaran dipengaruhi oleh kesesuaian
format dengan target pemirsa, media, kategori produk, merek, kondisi dan
kandungan pesan dalam iklan (Brunel dan Nelson, 2003). Dalam penelitian ini,
persepsi komunikasi pemasaran diukur dengan instrumen-instrumen yang
diadopsi dari Daft dan Lengel, (1986); Bailey and Pearson (1983) Belardo., et
al (1982) dan Magal (1991). Instrument untuk mengukur persepsi informasi
komunikasi pemasaran tersebut adalah: Kejelasan (clearity), kemudahan untuk
diakses, mudah untuk dipahami, reliability dan completeness. Rentang pilihan
jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).
i. Persepsi Risiko
Persepsi risiko didefinisikan sebagai persepsi konsumen mengenai ketidak
pastian dan konsekuensi-konsekuensi negatif yang mungkin diterima atas
pembelian suatu produk/jasa (Allen, 1993; Mitchen, 1993). Intrumen
pengukuran persepsi risiko diperoleh dari Ram (1987); Pavlou (2003), dan
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 150
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Bearden dan Shimp (1982), yang terdiri atas:Risiko financial, mencakup


outcome negatif secara financial yang diterima konsumen setelah mengadopsi
produk. Performance risk terkait dengan kinerja produk yang tidak bekerja
seperti yang diharapkan Physical risk merupakan persepsi bahwa produk akan
membahayakan konsumen. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat
tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).
j. Stockout
Stockout menunjukkan ketidakmampuan pemasar untuk menyediakan produk
dalam jumlah yang cukup kepada konsumen ketika konsumen akan membelinya
(Fitzimon, 2000). Instrumen pengukuran stockout diadopsi dari Fitzimon (2000)
yang terdiri atas kemudahan mendapatkan, produk hilang dari pasaran dan
produk langka. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju)
sampai 5 (sangat setuju).
k. Sikap dan niat
Menurut Azjen (1985), sikap terhadap perilaku merupakan evaluasi positif atau
negatif dalam melakukan perilaku. Sikap merupakan respon evaluatif, yang
berarti dalam merespon sesuatu, individu didasari oleh proses evaluasi dalam
dirinya sehingga responnya bisa berbentuk baik atau buruk, positif atau negatif,
menyenangkan atau tidak menyenangkan, menolak atau menerimaSikap
terhadap perilaku menunjukkan tingkatan dimana seseorang mempunyai
evaluasi yang baik atau yang kurang baik tentang perilaku tertentu
(Dharmmesta, 1998). Hawkins (1986) mendefinisikan sikap sebagai cara
berfikir, merasa dan bertindak terhadap beberapa aspek. Sikap dapat mewakili
perasaan senang atau tidak senang konsumen terhadap suatu objek (Peter dan
Olson, 1999). Instrumen sikap diukur dari pertanyaan sebagai berikut:
Saya tidak menyukai produk elpiji, Penggunaan elpiji bukan merupakan good
idea, Penggunakan elpiji menyebabkan unpleasant dan Menggunakan elpiji
banyak manfaatnya. Sedangkan niat diukur dengan 3 buah pertanyaan yaitu:
niat untuk menunda, prediksi akan menunda dan harapan untuk menunda adopsi
LPG. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5
(sangat setuju).
l. Perilaku penundaan adopsi produk
Perilaku penundaan adopsi produk terjadi ketika seorang individu memproses
informasi tentang inovasi dan memutuskan bahwa mereka akan menunda

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 151


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

penggunaan inovasi tersebut, sehingga individu ini dapat digolongkan menjadi


seorang postponers atau rejectors untuk sebuah inovasi. Mahajan dan Wind
(1986) menyatakan bahwa individu yang tidak mau mengadopsi inovasi akan
menunjukkan tidak adanya komitmen dan tidak mau menggunakan produk
dalam jangka waktu tertentu. Rogers, (1995) menyatakan bahwa penolakan
individu untuk sebuah inovasi dibedakan menjadi penolakan aktif dan
penolakan pasif. Penolakan aktif terjadi ketika individu pernah melakukan uji
coba, namun kemudian memutuskan untuk menolak inovasi. Sedangkan
penolakan pasif terjadi ketika individu menolak inovasi meskipun tidak pernah
mempertimbangkan untuk mencoba melakukan inovasi tersebut. Perilaku
penundaan adopsi diadopsi dari Brown (2005) dan Venkatesh (2005).
Instrument tersebut adalah keputusan untuk menunda adopsi produk elpiji
(delay to adopt) . Rentang pilihan jawaban keputusan menunda adalah 1 dan
nol. Satu menunjukkan pilihan untuk menunda adopsi, dan nol menunjukkan
tidak menunda adopsi/menggunakan elpiji.

4. Uji Validitas dan Reliabilitas.


Validitas menyangkut tingkat akurasi yang dicapai oleh sebuah
indikator dalam menilai sesuatu atau akuratnya pengukuran atas apa yang
seharusnya diukur. Sedangkan reliabilitas adalah ukuran mengenai konsistensi
internal dari indikator-indikator sebuah konstruk yang menunjukkan derajad
sampai dimana masing-masing-masing indikator itu mengindikasikan sebuah
konstruk yang umum (Ferdinand, 2000 : 60).
a. Uji validitas
Pengujian face validity dan content validity dilakukan terhadap konstruk-
konstruk utama pada model penelitian. Face validity merupakan pengujian
paling awal untuk indikator-indikator yang digunakan dalam mengukur
konstruk pada model penelitian; sedangkan content validity merupakan
keterwakilan indikator pengukuran suatu konstruk (Cooper dan Schindler,
2003). Pengujian indikator pengukuran dilakukan oleh para akademisi yang
memiliki kompetensi dalam memberikan saran untuk perbaikan terhadap
indikator-indikator pertanyaan dalam kuesioner penelitian.
Pengujian validitas lainnya dalam penelitian ini meliputi pengujian validitas
konstruk. Validitas konstruk menunjukkan kesesuaian antara penggunaan alat

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 152


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ukur dan teori. Validitas konstruk pada dasarnya terdiri atas dua macam
pengujian, yaitu validitas konverjen dan diskriminan. Validitas konverjen
menunjukkan nilai yang didapat dari butir-butir pertanyaan yang mengukur
konsep sama memiliki korelasi tinggi; sedangkan validitas diskriminan
menunjukkan nilai-nilai yang didapat dari butir-butir yang mengukur konstruk
berbeda tidak saling berkorelasi. Konstruk-konstruk dalam studi ini diukur
dengan satu metode. Pengukuran validitas konverjen dilakukan dengan melihat
semua loading dari sebuah konstruk laten terhadap indikator-indikator yang
berkorespondensi memiliki nilai statistik t>2 (Purwanto, 2002). Pengukuran
validitas diskriminan dilakukan dengan melihat nilai korelasi rendah antar
konstruk (Nunnally, 1978).
b. Uji Reliabilitas
Tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian reliabilitas. Pengujian ini
bertujuan untuk menguji konsistensi indikator-indikator yang digunakan dalam
penelitian. Indikator-indikator untuk semua variabel menunjukkan pengujian
yang konsisten. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien Cronbach’s alpha yang
memiliki koefisien ≥ 0,7. Individu sebagai responden dalam penelitian ini harus
memiliki konsistensi yang baik dalam memberikan jawaban pada masing-
masing butir pertanyaan. Karena indikator multidimensi, maka uji validitas dari
setiap latent variabel/ construct akan diuji dengan melihat loading faktor dari
hubungan antara setiap observed variable dan latent variable.
Konstruk reliablity akan diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
(Σstd. Loading)2
(Σstd. Loading)2 + Σεj
Standardized factor Loading diperoleh langsung dari standarized loading untuk
tiap-tiap indikator , dan εj adalah measurement error dari tiap indikator. Nilai
batas yang digunakan untuk menilai sebuah tingkat reliabilitas yang dapat
diterima adalah 0.70, walaupun angka itu bukanlah sebuah ukuran yang “mati”.
Artinya bila penelitianyang dilakukan besifat eksploratori maka nilai yang
dibawah 0.70 pun masih dapat diterima sepanjang disertai dengan alasan-alasan
empiris yang terlihat dalam proses eksplorasi.
Ukuran reliabilitas yang kedua adalah variance extracted, yang menunjukkan
jumlah varians yang dari indikator-indikator yang diekstraksi oleh konstruk
laten yang dikembangkan. Nilai variance extracted yang tinggi mewakili secara
baik konstruk laten yang telah dikembangkan. Nilai variance extracted ini
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 153
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

direkomendasikan pada tingkat paling sedikit 0,5 (Bentler, 1993). Nilai


variance extracted dalam diperoleh melalui rumus berikut ini :
Σstd. Loading2
Σstd. Loading2 + Σεj

c. Metode Analisis Data


Penelitian ini menggunakan teknik structural equation modeling
(SEM). Studi ini menggunakan pendekatan SEM dua tahap, yaitu model
pengukuran dan struktural. Model pengukuran ditujukan untuk mengkonfirmasi
sebuah dimensi atau faktor berdasarkan indikator-indikator emprisnya. Model
struktural adalah model mengenai struktur hubungan yang membentuk atau
menjelaskan kausalitas antara faktor.
1. Pengujian Hipotesis Dan Hubungan Kausal
a) Pengaruh langsung (Koefisien Jalur) diamati dari bobot regresi terstandar,
dengan pengujian signifikansi pembanding Nilai CR (Critical Ratio) yang
sama dengan Nilai t hitung dengan t table apabila t hitung lebih besar
daripada t table berarti signifikan.
b) Dari keluaran program AMOS 4 (Analysis of Moment Structure) juga akan
diamati hubungan kausal antar variabel dengan melihat efek langsung dan
efek tak langsung serta efek totalnya.
2. Penilaian Problem dan Identifikasi.
Dalam model kausal persoalan yang sering dihadapi adalah masalah identifikasi
(identification problem). Identification Problem pada prinsipnya adalah
problem mengenai ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk
menghasilkan estimasi yang unik. Dalam progran AMOS solusi untuk
mengatasi identification problem ini dengan memberikan konstrain pada model
yang dianalisis diatasi. Konsekuensi dari pemberian konstrain ini akan
mengeliminasi estimated coefficients yang berarti nilai critical ratio dan
probability tidak muncul. Pemilihan letak konstrain dilakukan dengan
mempertimbangkan dukungan teori dan nilai koefisien regresi yang signifikan
melalui beberapa kali pengujian, sehingga mengasilkan model estimasi yang
terbaik (Hair, 1998: 608-610).
3. Pengujian Model
Pengujian terhadap model yang dikembangkan dengan berbagai kriteria
Goodness of Fit.. Pengukuran goodness of fit sebuah model merupakan suatu
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 154
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kriteria relatif. Penggunaan beberapa indeks goodness of fit memungkinkan


peneliti mendapatkan suatu penerimaan mengenai model yang diusulkan (Hair,
Anderson, Tatham, dan Black, 1998). Pengukuran nilai goodness of fit yang
dibagi menjadi tiga tipe, yaitu absolute fit measures, incremental fit measures,
dan parsimonious fit measures. Absolute fit measures mengukur tingkat model
yang secara keseluruhan memprediksi matriks kovarian. Dalam studi ini,
pengujian absolute fit measures dilakukan dengan indeks chi-square statistics
(χ2 atau CMIN), GFI, dan RMSEA.
Tabel 1. Indikator Goodness of Fit Model
Indeks Goodness of Fit Cut off Keterangan
Value
Absolute fit measures
X2-Chi square ≥ 0,05 Baik
Root Mean Square Error of ≤ 0,08 Baik
Approximation
Goodness of Fit Index ≥ 0,90 Baik
Incremental fit measures
Adjusted Goodness of Fit Index ≥ 0,90 Baik
Comparative Fit Index ≥ 0,95 Baik
Tucker Lewis Index ≥ 0,95 Baik
Parsimonious fit measures.
CMIN/DF ≤ 2,00 Baik
Sumber : Hair (1992), Bentler (1983), Muller (1996), Arbukle (1997)
4. Intepretasi hasil
Melakukan intepretasi terhadap hasil pengukaran konstrak laten dengan
berpedoman pada tingkat signifikansi loading factor atau koefisien lamda (λ)
yang berpatokan pada nilai probability (p), dianggap signifikan apabila nilai p ≤
0,05. Selanjutnya menguji model lengkap yang berasal dari seluruh konstruk
dan indikator yang signifikan untuk mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap penundaan inovasi produk elpiji dengan mengamati koefisien jalur
(regresi terstandar), baik arah, besaran, maupun signifikansi
G. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
Penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan dari 300 responden
yang masuk dalam kategori keluarga miskin. Namun data yang bisa diolah

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 155


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

hanya sebanyak 280. Dua puluh diantarnya tidak mengisi secara lengkap atau
tidak sesuai dengan karakteristik responden yang ditetapkan..
2. Evaluasi terhadap model dengan SEM.
Hasil pengujian dengan model persamaan struktural (structural equation
model) dengan program AMOS dapat dilihat pada Gambar 2.

Relative
Advantage
Pengetahu
-.782 Stockout
an produk
Compatibility
.0 -
-

.3 Niat Perilaku
Complexity .5 Sikap
menunda menunda
menund
.621
-
1 11 - .455
Trialability
1.0 Persepsi
Informasi Risiko yang
Observabilit
dipersepsikan

Gambar 2. Model SEM Penundaan

Evaluasi terhadap hasil pengujian model tersebut dapat dilihat dalam tabel 2.
Hasil evaluasi terhadap model yang diajukan ternyata dari seluruh kriteria yang
digunakan sebagian besar menunjukkan adanya hasil yang baik, berarti model
baik dan sesuai dengan data.
Tabel 2
Evaluasi Kriteria Goodness of Fit Indices
Kriteria Hasil Nilai Kritis *) Evaluasi Model
Cmin/DF 3.565 ≤2,00 (ditoleransi sampai 5) Baik
Probability 0,000 ≥0,05 Kurang Baik
RMSEA 0,086 ≤0,08 Baik
GFI 0,963 ≥0,90 Baik
TLI 0,814 ≥0,95 kurang Baik
CFI 0,946 ≥0,94 Baik
Sumber: Data primer yang diolah, *) Hair (1992), Arbuckle (1997), Muller
(1996)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 156


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Untuk menguji hipotesis hubungan kausal antara konstruk yang membentuk


model berikut disajikan koefisian jalur yang menunjukkan hubungan kausal
antara variabel tersebut. Hubungan tersebut ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3
Koefisien Jalur (Standardize Regression) antar Variabel
Jalur Koefisien CR Probability Keterangan
Jalur (p)
sikap <----------- PengetahuanProduk -0.952 -4.810 0.013 Signifikan
sikap <----------- PersepsiInformasi -0.123 -2.568 0.000 Signifikan
sikap <----------- RelativeAdvantage -0.782 -5.726 0.035 Signifikan
sikap <--------------- Compatibility 0.032 0.183 0.108 Tidak
signifikan
sikap <------------------ Complexity 0.530 5.415 0.012 Signifikan
sikap <---------------- Trialability -1.117 -1.775 0.280 Tidak
signifikan
sikap <--------------- Observability 1.041 2.198 0.201 Tidak
signifikan
NiatMenunda <-------------- Stockout -1.039 -2.481 0.150 Tidak
signifikan
NiatMenunda <---------------- Resiko 1.455 3.531 0.131 Tidak
signifikan
NiatMenunda <----------------- sikap 0.345 3.099 0.002 Signifikan
PerilakuMenunda <------- NiatMenunda 0.621 8.546 0.012 Signifikan
Sumber: Data Primer yang diolah (2009)

Pengujian hipotesis (alternatif) dilakukan dengan membandingkan nilai


probability (p) dikatakan signifikan apabila nilai p ≤ 0.05. Dengan kriteria
tersebut terlihat tidak semua jalur signifikan. Keunggulan relative berpengaruh
negative signifikan terhadap sikap menunda, persepsi informasi pemasaran
integrative berpengaruh negative signifikan terhadap sikap menunda, dan
pengetahuan produk berpengaruh negative signifikan terhadap penundaan
adopsi inovasi kompor LPG hasil konversi. Complexity juga berpengaruh
negative signifikan terhadap sikap menunda. Sikap menunda dan niat menunda
berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan penundaan adopsi inovasi
kompor LPG hasil konversi.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 157


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

3. Implikasi teoritikal
Meskipun penelitian ini banyak keterbatasannya, namun hasil penelitian
ini dapat memberikan kontribusi dalam menambah pengetahuan yang telah ada
tentang keputusan penundaan adopsi terutama dalam seting konversi energy.
Secara khusus studi ini menunjukkan arti penting pengaruh pengetahuan
produk, persepsi informasi, relative advantage, complexity, sikap dan niat
menunda terhadap penundaan adopsi inovasi kompor LPG hasil konversi yang
ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Implikasi teoritikal yang dapat
disampaikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Pengaruh pengetahuan produk terhadap Sikap Menunda.
Pengaruh pengetahuan produk terhadap penundaan konsumsi adalah
negative. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingkat pengetahuan masyarakat
terhadap LPG rendah maka penundaan adopsinya akan meningkat. Dari survey
responden ditemukan bahwa pengetahuan masyarakat miskin terhadap LPG
yang dianggap produk inovatif masih rendah, sehingga sikap dia terhadap
adopsi juga rendah, dan pada akhirnya sikap menunda adopsi LPG menjadi
negative. Hal ini didukung oleh Roger yang menyatakan bahwa pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behavior). Semakin tinggi tingkat pengetahuan
seseorang atas suatu inovasi, semakin positif sikap dia terhadap inovasi.
Sebaliknya jika pengetahuan seseorang terhadap inovasi rendah maka sikap dia
terhadap inovasi juga akan negatif.
1. Pengaruh Persepsi informasi komunikasi pemasaran integrative
Terhadap Sikap Menunda.
Pengaruh Persepsi informasi komunikasi pemasaran integrative terhadap
penundaan konsumsi adalah negative. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
miskin mempersepsikan informasi pemasaran integrative terhadap produk LPG
yang rendah sehingga sikap menunda adopsi LPG akan meningkat. Temuan ini
konsisten dengan Anderson (1971, 1980 dalam Dharmmesta, 1998) yang
menyatakan bahwa pengolahan informasi sangat berkaitan dengan sikap
konsumen. Sebagai suatu pendekatan umum, ide di belakang pengolahan
informasi menekankan pada kompleksitas tentang bagaimana, orang
mendapatkan pengetahuan, dan bagaimana mereka membentuk dan merubah
sikap mereka. Menurut teori integrasi informasi yang dikemukakan oleh

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 158


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

sebagian besar sikap konsumen itu terbentuk dalam kaitannya dengan respon
pada informasi yang mereka terima tentang obyek sikap. Selanjutnya dikatakan,
bagaimana konsumen menerima dan mengkombinasikan informasi ini telah
menjadi dasar struktur sikap
2. Pengaruh keunggulan Relatif terhadap Sikap Menunda.
Pengaruh keunggulan relatif terhadap penundaan konsumsi adalah
negative. Hal ini menunjukkan bahwa semakin masyarakat miskin
mempersepsikan bahwa LPG tidak lebih baik dari bahan bakar sebelumnya
(minyak tanah) maka sikap dia terhadap adopsi juga akan negative dan ini akan
berdampak pada meningkatnya sikap untuk menunda adopsi LPG. Dari survey
responden ditemukan bahwa persepsi masyarakat miskin dari sisi keunggulan
relatif LPG dibandingkan minyak tanah yang dianggap produk inovatif masih
rendah, sehingga sikap dia terhadap adopsi juga rendah, dan pada akhirnya
sikap menunda adopsi LPG menjadi meningkat. Hal ini didukung oleh pendapat
Davis, 1989 yang menyatakan bahwa ketika konsumen mengetahui adanya
manfaat baik dilihat dari sisi finansial dan ekonomis, konsumen akan memiliki
memiliki sikap afektif pada produk inovatif, yaitu rasa suka terhadap produk.
Ram juga menemukan bahwa semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh
pengadopsi, semakin disukai inovasi tersebut. Konsep ini menunjukkan bahwa
tingkat senang tidaknya adopsi produk inovatif ditentukan oleh persepsi
konsumen tentang adanya keuntungan atau manfaat yang ditawarkan oleh
produk inovatif.
3. Pengaruh Complexity terhadap Sikap Menunda.
Pengaruh persepsi kompleksitas produk LPG terhadap sikap menunda
adalah positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rumit penggunaan produk
LPG yang dipersepsikan oleh masyarakat miskin, semakin negatif pula sikap
masyarakat terhadap LPG dan sikap untuk menunda adopsi LPG semakin
tinggi. Marshall, Rainer & Morris, 2003 menunjukkan bahwa, tingkat adopsi
produk inovatif akan tinggi jika konsumen merasakan adanya kemudahan
penggunaan produk yang ditawarkan oleh produk inovatif. Ketika konsumen
mengetahui adanya penggunaan produk elpiji dan tidak memakan banyak waktu
untuk mempelajarinya, konsumen akan menyukai produk elpiji. Jika konsumen
merasakan produk elpiji memberi manfaat lebih besar daripada minyak tanah,
maka konsumen akan menyukai produk elpiji. Begitu sebaliknya, jika
konsumen merasakan produk elpiji menyulitkan dalam penggunaannya, maka
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 159
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

konsumen akan memiliki sikap negatif atau tidak menyukai produk elpiji.
Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit
untuk dipahami dan digunakan (Ram, 1987; Slyke, Loy & Day, 2002). Temuan
penelitian ini juga sejalan dengan Liang, 1987 yang menunjukkan bahwa
beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan
digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah
dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi
dapat diadopsi. Kompleksitas inovasi meliputi kompleksitas ide, terkait dengan
kemudahan untuk dipahami, and kompleksitas dalam pelaksanaan, terkait
dengan kemudahan untuk diimplementasikan.
4. Pengaruh Sikap Menunda terhadap niat menunda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap menunda berpengaruh
positif terhadap niat menunda. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kuat sikap
menunda adopsi LPG dari masyarakat miskin, semakin kuat juga niat untuk
menunda adopsi LPG. Hal ini ditunjukkan oleh teori sikap menyatakan bahwa
seseorang yang memiliki sikap positif kearah perilaku akan lebih suka
menunjukkan perilakunya. Sikap akan berdampak pada proses pencarian
informasi, pembentukan niat dan tindakan. Dalam literatur inovasi, sikap akan
meningkatkan perhatian pada obyek inovasi. Sikap merupakan salah satu faktor
internal yang cukup kuat pengaruhnya terhadap perilaku. Pada umumnya sikap
dengan perilaku akan selaras, meskipun dibutuhkan faktor psikologis lainnya
yang menjembatani yaitu minat/niat perilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975).
Komponen perilaku merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu
sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh subyek. Studi empiris yang dilakukan
oleh Winter et al., 1998 tentang sikap seseorang terhadap komputer,
menemukan bahwa sikap dapat memprediksi perilaku untuk menggunakan
komputer. Perwujudan dari komponen ini dapat bersifat verbal yaitu apa yang
diucapkan atau dinyatakan dapat pula bersiat non verbal yaitu yang
diekspresikan atau dilakukan oleh individu terhadap obyeknya. Dengan
memahami fungsi sikap berarti memahami bagaimana sikap tersebut
mempengaruhi individu. Temuan ini juga didukung oleh Nelson (1990) dalam
studi inovasinya menempatkan sikap sebagai variabel individual yang
berhubungan dengan niat untuk berperlaku. Dalam hubungan sikap ke niat
berperilaku, Davis et al., 1989 menyatakan bahwa sikap positif seseorang akan
mendorong niat yang positif kearah perilaku inovasi. Argumentasi ini sejalan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 160


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dengan kerangka riset lain dalam teori perilaku seperti yang dikemukakan oleh
Bagozzi, 1981. Lebih khusus lagi, hubungan sikap-niat-perilaku akan lebih kuat
jika seseorang bebas untuk melakukan tindakan (free to act).
5. Pengaruh niat menunda terhadap perilaku menunda.
Pengaruh niat menunda terhadap perilaku atau keputusan menunda dalam
penelitian ini adalah positif signifikan. Artinya bahwa semakin seseorang dalam
hal ini adalah masyarakat miskin mempunyai niat untuk menunda maka
perilaku dia kea rah penundaan adopsi LPG juga akan meningkat. Niat
merupakan variabel antara yang menyebabkan terjadinya perilaku dari suatu
sikap maupun variabel lainnya (Dharmmesta, 1998). Beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada variabel niat, pertama bahwa niat dianggap sebagai perantara
faktor motivasional yang mempunyai dampak pada suatu perilaku. Kedua, niat
menunjukkan seberapa keras seseorang berani mencoba. Ketiga, niat
menunjukkan sejumlah upaya yang direncanakan seseorang untuk dilakukan.
Keempat, niat merupakan suatu kondisi yang paling dekat berhubungan dengan
perilaku tersebut. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Wicker,
dalam Baron & Byme, 1991; Brannon et. al., 1973 dan DeFleur & Westie, 1958
dalam Allen, Guy, dan Edgley, 1980 yang menunjukkan adanya indikasi
hubungan yang kuat antara niat dan perilaku dan sebagian menunjukkan
lemahnya hubungan antara niat dengan perilaku.
Menurut teori sikap (Schiffman & Kanuk, 2004), sikap positif konsumen
terhadap sesuatu akan diikuti oleh perilaku yang positif pula. Hal ini
menunjukkan bahwa ketika konsumen memiliki keyakinan positif mengenai
konsekuensi pilihan sesuatu, akan memutuskan untuk berperilaku sesuai dengan
keyakinan. Perilaku seseorang itu mencerminkan sikapnya terhadap sesuatu
obyek. Jika seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu obyek,
maka dia akan berperilaku mendukung berlakunya/terjadinya obyek tersebut;
sebaliknya jika sikapnya negatif, maka dia akan selalu mencoba menghalangi
atau, paling tidak mengabaikan, berlakunya/terjadinya obyek tersebut. Daniel
Katz (dalam Assael, 1987) mengemukakan fungsi kegunaan (The Utilitarian
Function) dari sikap bisa mengarahkan seseorang kepada pemenuhan kebutuhan
yang diinginkannya. Misalnya, konsumen yang mempertimbangkan aspek
kemudahan dalam penggunaan bahan bakar, maka sikapnya akan mengarah
kepada bahan bakar yang diyakininya dapat memenuhi kebutuhannya akan
kemudahan dalam penggunaan. Demikian pula sebaliknya, sikap konsumen

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 161


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

akan cenderung menghindari bahan bakar yang diyakininya tidak dapat


memenuhi kriteria kebutuhannya.
H. Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan
Penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan dari 280 responden yang
masuk dalam kategori keluarga miskin dan berada pada posisi menunda adopsi
LPG. Data diperoleh dengan menggunakan instrumen kuesioner yang
dilengkapi dengan Indepth Interview dan Observasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa responden yang menunda adopsi LPG dipengaruhi oleh
rendahnya keunggulan relatif LPG dibandingkan minyak tanah. Sebagian besar
responden menyatakan bahwa LPG tidak lebih baik dari minyak tanah. Faktor
lain yang menyebabkan penundaan adopsi LPG berasal dari pengetahuan
produk yang relatif rendah.
Persepsi komunikasi pemasaran integratif yang rendah juga
menyebabkan penundaan adopsi menjadi meningkat. Responden
mempersepsikan bahwa berbagai sumber pemberi informasi tidak sepenuhnya
menyampaikan informasi tentang LPG sehingga pesan-pesan yang disampaikan
tidak bisa diterima dengan baik oleh masyarakat miskin. Dari sisi persepsi
risiko, hal penting yang paling mempengaruhi persepsi negatif penggunaan
kompor LPG adalah kemungkinan ledakan yang dapat menimbulkan kebakaran
bagi rumah tinggal masyarakat. Rumah bagi masyarakat miskin merupakan
harta yang tidak ternilai, karena pada umumnya dibangun melalui proses yang
panjang mulai dari rumah berdinding bambu dan sedikit demi sedikit dibangun
menjadi rumah permanen. Proses ini menimbulkan kekhawatiran yang lebih
besar atas kemungkinan terjadinya kebakaran pada rumah tinggal mereka.
Sikap menunda dan niat menunda yang besar juga berpengaruh pada
keputusan penundaan adopsi LPG. Secara stastistik pengaruh keunggulan relatif
terhadap sikap menunda adalah sebesar 78,2%, pengaruh pengetahuan sebesar
95,2%, pengaruh informasi komunikasi pemasaran integratif sebesar 12,3%.
Pengaruh persepsi risiko pada niat menunda sebesar 45,5%,. Pengaruh sikap
menunda ke niat menunda sebesar 34,5%. Pengaruh niat menunda ke perilaku
menunda sebesar 62,1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan masyarakat miskin tentang LPG menjadi hal yang paling penting
dalam adopsi inovasi kompor LPG, di samping keunggulan relatif, persepsi
risiko dan informasi komunikasi pemasaran integratif.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 162
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

2. Saran
Berbagai temuan dalam studi mengindikasikan adanya perbedaan persepsi
antara pemerintah dan masyarakat miskin yang relevan dengan pengembangan
komunikasi adopsi konversi minyak tanah ke LPG. Perbedaan persepsi tersebut
akan berpotensi menjadi kendala adopsi dan difusi konversi minyak tanah ke
LPG, sehingga perlu untuk diperhatikan dalam program komunikasi dalam
rangka melakukan edukasi masyarakat agar informasi yang akan disampaikan
dapat diterima secara utuh oleh masyarakat target konversi.
Salah satu perbedaan persepsi tersebut adalah sumber informasi konversi
minyak tanah. Pemerintah menggunakan media televisi dalam format iklan
layanan masyarakat untuk mengenalkan konversi minyak tanah dengan
keyakinan bahwa format dan sumber informasi tersebut kredibel sehingga dapat
menumbuhkan sikap positif terhadap konversi minyak tanah. Namun demikian,
bagi masyarakat format iklan hanyalah merupakan keinginan produsen untuk
melakukan demo penggunaan peroduk guna mendorong terjadinya penjualan.
Bagi masyarakat miskin, berita televisi merupakan sumber informasi yang
diyakini kebenaranya, karena dinilai lebih independen dan objektif. Selain itu,
sinetron juga merupakan salah satu format acara yang digemari khususnya
kaum ibu. Dengan demikian, dimungkinkan penyampaian informasi melalui
media televisi tersebut dilakukan melalui kedua format acara tersebut. Sumber
informasi yang juga memiliki kredibilitas baik terutama di wilayah perdesaan
adalah aparat pemerintah. Selama ini, fungsi aparat pemerintah pada level yang
terendah yaitu tingkat kelurahan untuk menyampaikan informasi konversi
belum dimanfaatkan secara maksimal baru terbatas pada pendataan keluarga
miskin yang berhak mendapatkan bantuan perangkat kompor gas. Aparat
pemerintah pada level tersebut tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk
dapat menjawab berbagai pertanyaan maupun kegelisahan masyarakat yang
berkembang seputar dengan konversi minyak tanah. Aparat pemerintah pada
tingkat kelurahan maupun dusun perlu dilibatkan dalam kegiatan konversi ini
terutama di daerah pedesaan, mengingat tingkat kepercayaan dan ’kepatuhan’
masyarakat cukup tinggi.
Pengetahuan masyarakat miskin tentang LPG juga perlu diperhatikan,
karena penundaan terbesar adalah dari faktor pengetahuan yang rendah akan
produk LPG. Pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi dan pemberian
informasi yang lebih banyak tentang keunggulan LPG dari minyak tanah dan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 163


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

tentang risiko penggunaan LPG. Yang harus diingat oleh pemerintah bahwa
masyarakat miskin ini sebagian besar adalah berpendidikan rendah. Sehingga,
masyarakat miskin akan bisa merubah persepsi mereka tentang keburukan-
keburukan LPG dan menjadikan LPG bisa dengan mudah diadopsi oleh
kalangan miskin.
Dari sisi metodenya, penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu yang
diamati adalah kelompok yang menunda adopsi LPG saja. Untuk riset
berikutnya diharapkan seting penelitiannya bukan hanya pada masyarakat
miskin yang menunda adopsi LPG tetapi pada masyarakat miskin yang sudah
mau mengadopsi. Sehingga diharapkan ada komparasi hasil dari keduanya.
Secara teoritis, diharapkan bahwa ada penelitian lanjutan tentang penundaan
adopsi dengan seting yang lain untuk mengeneralisasi model penelitian ini dan
variabel-variabel yang mempengaruhi perilaku penundaan adopsi.

DAFTAR PUSTAKA
Adams, D. A., Nelson, R.R, and Todd, P.A (1992), “Perceived Usefulness, Ease
Of Use, and Usage Of Information Technology: A Replication,” MIS
Quarterly (16:2), pp. 227-247
Allen, F (1993), “Dimensional Diagnosis Of Personality, Not Wheter, But
When And Which,” Psycological Inquiry, Vol 4.p 110
Anderson, J.C and Gerbing, D.W (1982) “Some Methods For Respecifying
Measurement Models To Obtain Unidimensional Construct Measurement,”
Journal of Marketing Research, 19: pp. 453-460.
Antil, J.H (1988), “New Product Or Services Adoption: When Does It Happen,”
Journal of Consumer Marketing, 5: 5-17.
Arbucle, J.L (1997), “ Amos User’s Guide Version 4.1,” Chicago, Smallwaters
Corporation.
Assael, H (1998), Consumer Behavior and Marketing Action. 6th Edition. Ohio:
South-Western College Publishing
Azjen, I and Fishben M (1980), “Understanding attitudes and predicting social
behavior,” Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall
Azjen, I (1985), “ From Intentions To Actions: A Theory Of Planned
Behavior,” In Action Control: From Cognition To Behavior. J, Kuhl and J.
Beckmann (eds). Springers Verlag, New York. Pp 11-39
Azjen, I (1988), “Attitudes, Personality, and Behavior,” Dorsey Press, Chicago,
IL, 1988.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 164


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Bagozzi, R. P (1981. Attitudes, intentions and behavior: A test of some key


hypotheses. Journal of Personality Social Psychology. 42(4) pp. 607-627.
Bagozzi, R.P (1981), “Evaluating Structural Equation Models With
Unobservable Variables And Measurement Error: A Comment,” Journal of
Marketing Research, 18: 375-381.
Bearden, W.D., Calcich, S.B and Netemeyer, R (1986), “An Exploratory
Investigation Of Consumer Innovativeness and Interpersonal Influences,”
Advances in Consumer Research, 13(1), pp 77-82.
Belk, R.W. 1975. Situational variables and consumer behavior. Journal of
Consumer Research, 2: 157-174.
Brown S. A and Venkatesh V (2005), “Model of Adoption of Technology in
Households: A Baseline Model Test and Extension Incorporating Household
Life Cycle,” MIS Quarterly, 29(3):399–26
Brown, S. A., Venkatesh, V and Bala, H (2006), “Household Technology Use:
Integrating Household Life Cycle and The Model of Adoption of
Technology in Household,” The Information Society, 22: 205-218.
Brown, S. A and Venkatesh, V (2005), “Model of Adoption of Technology in
Households: A Baseline Model Test and Extension Incorporating Household
Life Cycle,” MIS Quarterly 29(3):399–26.
Brucks, M (1985), “The Effects of Product Class Knowledge on Information
Search Behavior,” Journal of Consumer Research, 12 (June), 1-16.
Cater, L and Belanger, F (2004), “The Influence Of Perceived Characteristics
Of Innovation On E-Government,” Electronic Journal of E-Governmen, Vol
2, pp 11-20.
Chauduri, A (1994), “The Diffusion of an Innovation in Indonesia,” Journal of
Product and Brand Management, 3: 19-26.
Conchar, M.P., Zinkhan, G.M., Peters, C and Olavarrieta, S (2004), “An
Integrated Framework for The Conceptualization of Consumers’ Perceived-
Risk Processing”, Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 32 No.
4, pp. 418-36.
Conlon, E.G; Zimmer-Gembeck, Melanie J; Creed, P.A; Tucker, M, (2006),
“Family History, Self-Perceptions, Attitudes and Cognitive Abilities Are
Associated With Early Adolescent Reading Skills,” Journal of Research in
Reading, Feb, Vol. 29 Issue 1, p11-32, 22p
Choudrie, J and Dwivedi, Y. K (2006), “Investigating Factors Influencing
Adoption of Broadband in The Household,” Journal of Computer
Information Systems.
Cooper, D.R and Schindler, P.S (2003), “Business Research Methods,” 8th ed
Boston: McGraw-Hill. Companies

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 165


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Davis, F.D (1989), “Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, and User
Acceptance of Information Technology,” MIS Quartely, 13. 319-339
Davis, F.D., Bagozzi. R.P and Warshaw. P.R (1989), “User Acceptance of
Computer Technology: A Comparison of Two Theoretical Models.
Management Science. (35). 982-1002.
Dholakia, U. M (2001), “A Motivational Process Model of Produk Involvement
and Consumer Risk Perception,” European Journal of Marketing, Vol 35.
No. 11/12, pp 1340-1360.
Dowling, G. R (1986), “Perceived Risk: The Concept and Its Measurement,”
Psychology and Marketing, 3, 193-210.
Dowling. G. R and Staelin, R (1994), “A Model of Perceived Risk and Intended
Risk-Handling Activity,” Journal of Consumer Research, 21, 119-135.
Dupagne, M (1999), “Exploring the Characterictics of Potential High-Definition
Television Adopters. The Journal of Media Economics, 12 (1), 35-50.
Fitzsimons, G.J (2000), “Consumer Response To Stockouts,” Journal of
Consumer Research, 27:249-266.
Gahtani, A.S (2003), ”Computer Technology Adoption in Saudi Arabia:
Correlates of Perceived Innovation Attributes,” Information Technology for
Development. 10 (2003) 57–69 57
Gatignon, H and Robertson, T.S (1985), “A Proportional Inventory for New
Diffusion Research,” Journal of Consumer Research, 11: 849-867.
Hair, Jr., Anderson, R.E., Tatham, R.L and Black, W.C (1998), “Multivariate
Data Analysis,” New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.
Holness, D.A (2004), “The Discontinuance of Innovations in Pharmaceutical
Labeling”, Dissertation, Huizenga Graduate School of Business and
Enterpreneurship, Nova Southeastern University.
Jacoby, J and Kaplan, L.B (1972), “The Components of Perceived Risk,” In
Venkatesan, M (ed). Proceeding of the Third Annual Conference of the
Association for Consumer Research. pp. 382-393. College Park, MD:
Association for Consumer Research.
Janes, P. L; Collison, Jim (2004), “Community Leader Perceptions of the Social
and Economic Impacts of Indian Gaming,” Gaming Research and Review
Journal, 2004, Vol. 8 Issue 1, p13-30
Joseph, R. C. (2005) An Examination of Non Adoption and Decision Inertia A
Web Based Perspective, Dissertation, The City University of NewYork.
Kaharanna, E., Starub, D.W and Chervany, N.L (1999), “Information
Technology Adoption Across Time: A Cross-Sectional Comparison of Pre-
Adoption and Post-Adoption Beliefs,” MIS Quaterly, (23:2), pp. 183-213.
Katz, E (1961), “The Social Itinerary of Technical Change: Two Studies on The
Diffusion of Innovation,” Human Organization, Vol 20, 1961, pp. 70-82.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 166


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Kotler, P (2004), “Marketing Management,” New Jersey: Prentice Hall.


Kwon., Tae, H and Robert Zmud, W (1987), “Unifying The Fragmented Models
of Information Systems Implementation, in Critical Issues in Information
System Research,” R.J. Boland and R.A. Hirschheim (eds), Jhon Wiley and
Sons Ltd., 1987, pp.227-251
Mahajan dan Wind (1986), “Innovation Diffusion Models of New Product
Acceptance,” Ballinger Publishing Company, Cambridge, Massachusetts.
Manning, C. A., Bearden, W.O and Madden, J.J (1995), “Consumer
Innovativeness and The Adoption Process,” Journal of Consumer
Psychology, 4(4), 329-345
Martin, P.Y., Hamilton, V.E., Mc.Kimmie, B.M., Terry, D.J and Martin, R
(2007), “Effects of Caffeine on Persuasion and Attitude Change: The Role
Of Secondary Tasks in Manipulating Systematic Message Processing,
European Journal of Marketing.
Mathieson, K (1991), “Predicting User Intentions: Comparing The Technology
Acceptance Model With The Theory of Planned Behavior,” Information
System Research, 2: pp. 173-191.
McCarthy., O’Reilly, S and O’Sullivan, C (1998), “An Investigation of The
Effectiveness of The Domain Specific Innovativeness Scale in The
Preidentification of First Buyers,” Agribsoness Discussion Paper, No. 22.
Pp.2-37.
McCarthy, J.C (2005), “The State of Asia Pacific Technology Adoption and
Govermance,” Springfield, Mo: Forrester Group.
Moore, G. C and Banbasat, I (1991), “The Development of an Instrument to
Measure The Perceived Characteristics of Adopting an Information
Technology Innovation,” Information Systems Research, (2:3), September.
Pp. 192-222.
Pavlou, P.A (2003), “Consumer Acceptance of Electronic Commerce:
Integrating Trust and Risk With The Technology Acceptance Model,”
International Journal of Eletronic Commerce, Spring, Vol 7. No. 3, pp.
101-134.
Petty, R.A and Cacioppo, J.T (1981), “Attitude and Persuasion: Classic and
Contemporary Approaches,” WM. C. Brown Company Publisher, Dubuque,
Lowa.
Philippe, A and Ngobo, P. V (1999), ”Assessment of Consumer Knowledge and
Its Consequences: A Multi Component Approach,” Advances in Consumer
Reseach, Vol 26, pp. 569-575.
Purwanto, B.M (2002), “The Effect of Salesperson Stress Factors on Job
Performance,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 17: pp. 150-169.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 167


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Ram, S (1987), “A Model of Innovation Resistance,” Advances in Consumer


Research, 14: pp. 208-212.
Ram, S and Sheth, J.N (1989), “Consumer Resistance to Innovation: The
Marketing Problem And Its Solutions,” Journal of Consumer Marketing, 6
(Spring), pp. 5-14
Robertson, T. S and Gatignon, H (1986) “Competitive Effects on Technology
Diffusion”, Journal of Marketing, 50 (July) pp. 1-12
Robertson, T.S and Wind, Y (1980), “Organizational Psychographics and
Innovativeness,” Journal of Consumer Research, vol. 7: pp. 24-31.
Rogers, E.M (1995), “Diffusion of Innovations,” 4th ed. Free Press, New York.
Rogers, E.M and Shoemaker, F.F (1971), “Communication of Innovators: A
Cross-Cultural Approach,” New York: The Free Press.
Saba. A and Di-Natale, R (2006), ”Attitudes, Intention and Habit: Their Role in
Predicting Actual Consumption of Fat and Oils,” Journal of Human
Nutrition and Dietetics, Vol. 11. Pp. 21-32
Schiffman, L.G and Kanuk, L.L (2004), “Consumer Behavior, 8th Edition,”
New Jersey: Prentice Hall International, Inc.
Sheppard, B.H., Hartwick, J and Warshaw, P.R (1988), “The Theory of Reason
Action: A Meta Analysis of Past Research With Recommendations for
Modifications and Future Research,” Journal of Consumer Research, (15:3).
pp 325-343.
Sheth, J.N (1981), “Psychology of Innovation Resistance: The Less Developed
Concept in Diffusion Research,” Research in Marketing, Jai Press. Vol.4.
pp. 273-282.
Sheth, J.N (1974), “Models of Buyer Behavior: Conceptual, Quantitative and
Empirical,” London: Harper and Row, Publisher.
Shih, E.C and Venkatesh, A (2004), “Beyond Adoption: Development and
Application of A Use Diffusion Model,” Journal of Marketing, 68: 1: 59-72
Simonson, I., Carmon, Z., Dhar, R., Drolet, A and Nowlis, S.M (2001),
“Consumer Research: In Search of Identity,” Annual Review Psychology,
54: 249-275.
Szmigin, I.T.D., & Bourne, H. 1999. Electronic cash: A qualitative assessment
of its adoption. International Journal of Bank Marketing, 17: 192-202.
Sugandini, D ( 2007), “Studi Eksploratori Konversi Minyak Tanah Ke Gas”,
Tidak dipublikasikan.
Sugandini, D (2008), “Studi Eksploratori Konversi Minyak Tanah Ke Gas,”
Tidak dipublikasikan.
Venkatesh, V and Davis, F.D (1996), “A Model of The Antecedents of
Perceived Ease of Use: Development and Test,” Decision Sciences, 27:3. pp.
451-478

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 168


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Venkatesh dan Brown, S.A (2001), “A Longitudinal Investigation of Personal


Computers in Homes: Adoption Determinants and Emerging Challenges,”
MIS Quarterly, Vol. 25 Issue 1, pp.71-102
Venkatesh, V., Morris M.G., Davis, G.B and Davis, F.D (2003), User
Acceptance of Information Technology: Toward A Unified View,” MIS
Quarterly. 27:3. pp.425-478

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 169


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Model Sikap Konsumen pada Kegiatan


Causes-Brand Alliances
Singgih Santoso∗

Abstrak
Saat ini konsep pemasaran sosial semakin popular, seiring dengan
meningkatnya tuntutan konsumen agar kegiatan perusahaan juga berdampak
positif bagi lingkungannya. Salah satu isu krusial saat ini adalah terjadinya
pemanasan global, dengan dampak jangka panjang yang sangat merugikan
kehidupan manusia. Salah satu kegiatan perusahaan dalam emmenuhi tanggung
jawab sosialnya adalah lewat kegiatan cause related marketing; kegiatan
pemasaran tersebut pada dasarnya mendonasikan sejumlah persentase tertentu
dari penjualan produk untuk kegiatan sosial. Bentuk popular dari kegiatan cause
related marketing adalah cause brand alliances, yakni kegiatan aliansi
perusahaan dengan sebuah kegiatan sosial untuk memasarkan produk tertentu.
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi pada pengembangan teori
macromarketing, khususnya pada pemodelan perilaku konsumen atas produk-
produk yang terkait dengan kegiatan cause brand alliances. Secara praktis, hasil
riset dapat digunakan oleh pengambil kebijakan atau organisasi yang kompeten
di bidang lingkungan; dengan mengetahui proses evaluasi konsumen atas merk
yang mempunyai kepedulian pada kegiatan sosial, khususnya pelestarian
lingkungan, untuk mengambil kebijakan yang mampu menggiatkan kampanye
pelestarian lingkungan dan pengurangan pemanasan global.
Sebuah model riset dikembangkan dengan memasukkan variabel sikap
konsumen terhadap sebuah merk komersial, sikap konsumen terhadap sebuah
organisasi yang bergerak pada bidang social, kesesuaian kategori produk dengan
kegiatan social (product category fit), kesesuaian merk dengan nama kegiatan
social (brand fit), sikap konsumen terhadap aliansi merk yang terjadi, serta niat
beli konsumen pada merk aliansi tersebut. Sejumlah alat pengukuran
dikembangkan untuk pengujian model riset tersebut.

Keywords: cause related marketing, co-branding, cause brand alliances,


attitude towards alliances


Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor FEB program studi manajemen UGM dan
staf pengajar Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 170
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

1. PENDAHULUAN
Seiring dengan berkembangnya kepedulian akan pentingnya pencegahan
pemanasan global, upaya pelestarian lingkungan serta tuntutan masyarakat akan
peran perusahaan dalam menangani masalah-masalah sosial, bidang ilmu
pemasaran yang semula mengutamakan kepuasan konsumen dan akumulasi
laba, menjadi bergeser kepada upaya kegiatan pemasaran yang memberi
dampak positif kepada masyarakat di sekelilingnya. Kotler dan Keller (2007)
mengemukakan istilah societal marketing concept, yang menekankan tugas
perusahaan tidak hanya memuaskan keinginan pasar sasaran dengan lebih
efisien dibanding kompetitor, namun juga memberi kontribusi positif bagi
kehidupan sosial kemasyarakatan dalam jangka panjang. Menghadapi berbagai
tantangan di bidang lingkungan saat ini, kemampuan untuk memelihara dan
mempertahankan kehidupan yang layak secara berkelanjutan menjadi
kepedulian banyak perusahaan dewasa ini. Konsep pemasaran sosial mendorong
para pemasar untuk mempertimbangkan isu sosial serta etika dalam kegiatan
pemasaran mereka, dengan menyeimbangkan perolehan laba, kepuasan
konsumen dan kepentingan publik.
Salah satu isu krusial saat ini adalah terjadinya pemanasan global, yakni
proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi, yang
berdampak luas, mulai dari fenomena cuaca yang ekstrim di berbagai tempat,
kerusakan lingkungan dan ekosistem, timbulnya penyakit serta bencana alam.
Salah satu sebab pemanasan global adalah terjadinya deforestation. Dengan luas
wilayah hutan tropis terbesar ketiga di dunia, deforestation di Indonesia tentu
berdampak luas. Salah satu adalah terjadinya badai El Nino pada tahun 1987,
1991, 1994, dan 1997/1998 dengan dampak kebakaran hutan telah
menyebabkan kerugian US$ 8 miliar. Data Badan Planologi tahun 2004
menyebutkan kerusakan hutan di kawasan hutan produksi mencapai 44,42 juta
hektar, di kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta hektar, dan di kawasan
hutan konservasi mencapai 4,69 juta hektar. Dengan laju kerusakan hutan
Indonesia rata-rata 1,18 juta hektar per tahun, yang sebagian disebabkan praktek
illegal logging, menempatkan Indonesia sebagai negara paling masif dalam laju
kerusakan hutan (sumber http://indonesiancommunity.multiply.com, diakses
Juni 2009).
Upaya yang dilakukan oleh perusahaan dalam keikut-sertaan mencegah
gradasi lingkungan dapat berupa pengubahan perilaku masyarakat, baik dalam

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 171


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengkonsumsi produk-produk perusahaan ataupun lewat upaya menumbuhkan


kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Upaya lain yang
ditempuh adalah menggandeng organisasi nirlaba untuk bersama-sama
mempromosikan kegiatan yang berwawasan lingkungan. Sebagai misal,
perusahaan penghasil anggur Southcorp melakukan aliansi dengan Australian
Conservation Foundation untuk mengenai sejumlah isu lingkungan (Grundey,
D. dan R.M. Zaharia 2008).
Kolaborasi antara perusahaan dengan organisasi nirlaba berkembang
dengan pesat dalam dua puluh lima tahun terakhir ini, sejalan dengan
berkembangnya minat perusahaan yang berorientasi profit untuk menjalin
hubungan dengan sektor non profit. (Wymer dan Samu 2008; Varadarajan dan
Menon 1988; Bronn dan Vrioni 2001). Pertumbuhan kegiatan cause-related
marketing (CRM) ini tidak hanya ada di kawasan Eropa atau Amerika Utara,
yang mencatat pertumbuhan tercepat, namun juga terjadi di negara yang sedang
ada dalam tahap industrialisasi, seperti China (Wymer dan Samu, 2008). Sejalan
dengan perkembangan tersebut, kegiatan CRM juga menjadi bervariasi, mulai
dari kegiatan corporate philanthropy yang sederhana dan berjangka pendek,
sampai kegiatan cause branding yang berjangka panjang dan menuntut
komitmen tinggi dari perusahaan dalam mendukung sebuah kegiatan sosial.

2. PENGERTIAN CAUSE-RELATED MARKETING


Secara umum, kegiatan CRM diartikan sebagai kerjasama antara sebuah
perusahaan dengan sebuah organisasi nirlaba lewat sebuah kegiatan komunikasi
pemasaran. Pengertian tersebut masih luas dan dalam praktik banyak definisi
yang dikembangkan untuk kegiatan ini. Berikut adalah beberapa definisi CRM
(lihat Tabel 1).
Namun banyak periset yang menganggap sejumlah definisi CRM diatas
masih sempit dan terbatas; beberapa kegiatan yang merupakan bagian dari
kegiatan kerjasama dengan organisasi sosial, seperti kegiatan sponsorship, tidak
tercakup dengan definisi-definisi diatas. Pendapat lain menyatakan adanya
hubungan yang bersifat kontinum dalam kegiatan CRM, mulai dari hubungan
komersial dalam jangka pendek pada satu kutub, sampai hubungan jangka
panjang yang bersifat strategis pada kutub yang lain (Wymer dan Samu, 2008).
Untuk itu, Wymer dan Samu (2003) mengajukan tipologi kerjasama antara
sebuah unit bisnis dengan sebuah organisasi sosial, yang memperhitungkan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 172


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

motivasi pelaku, tingkat komitmen pelaku dan resiko yang dihadapi baik oleh
pelaku bisnis maupun pelaku sosial. Dalam tipologi itu disebutkan beberapa
jenis aliansi. Pertama dan yang paling sederhana adalah corporate philanthropy,
yang lebih mengutamakan dukungan pada kegiatan sosial dan (perusahaan)
mempunyai komitmen paling rendah. Jenis aliansi lainnya yang mempunyai
komitmen menengah serta motivasi bervariasi adalah kegiatan corporate
foundation, licencing agreements dan sponsorships. Sedangkan cause-related
marketing disebut sebagai aliansi berjenis transaction-based promotions; CRM
mempunyai ciri kekuatan perusahaan lebih dominan dibandingkan kekuatan
dari organisasi sosial yang berkolaborasi, tingkat kepentingan perusahaan lebih
dominan dibandingkan kepentingan organisasi sosial, motivasi perusahaan lebih
pada membina hubungan dengan pasar sasaran dan meningkatkan publisitas
yang positif, sedangkan motivasi organisasi sosial lebih pada upaya
mendapatkan dana dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberadaan
dan tujuan organisasi tersebut.

3. PENGERTIAN CO-BRANDING DALAM KEGIATAN ALIANSI


MERK
Berbagai riset di bidang aliansi merk masih belum menunjukkan adanya
definisi yang baku tentang pengertian brand alliances. Definisi tentang aliansi
merk masih bersifat longgar dan bervariasi (Cooke dan Ryan 2000), walaupun
Erevelles et al. (2008) mengemukakan bahwa pada tingkat dasar, aliansi
dibentuk sehingga merk-merk individu dapat bekerja-sama dalam kegiatan
pemasaran untuk kepentingan bersama. Banyak terjadi kerancuan penggunaan
istilah ‘brand alliances (aliansi merk)’ dan ‘co-branding’ serta beberapa istilah
lainnya. Walchli (2007) mengemukakan cakupan cukup luas dari kegiatan co-
branding, dari program jangka pendek seperti periklanan bersama, promosi
bersama, kegiatan ingredient branding, sampai penggunaan dua merk yang
bekerja-sama yang kemudian dikonotasikan sebagai satu produk. Demikian pula
Simonin dan Ruth (1998) menghubungkan aliansi merk dengan kegiatan jangka
pendek maupun jangka panjang dan dalam beragam bentuk kegiatan, seperti
promosi bersama, penciptaan produk bersama atau bundled product.
Berikut beberapa definisi aliansi merk (lihat Tabel 2):

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 173


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Nama co-branding juga dipakai secara bergantian dengan nama brand


alliances untuk pengertian yang sama (Walchli, 2007); ia juga menyatakan
ingredient branding sebagai salah satu bentuk dari kegiatan co-branding.
Helmig et al. (2007) membagi berbagai macam kegiatan aliansi merk:
Nama Strategi Definisi
Joint Sales Kegiatan bersama promosi penjualan dari dua atau lebih
Promotion perusahaan dengan tujuan peningkatan penjualan atau
manfaat yang saling menguntungkan diantara partisipan.
Advertising Dua merk dari kategori produk yang berbeda melakukan
Alliances kegiatan periklanan secara bersama-sama.
Bundling Pemasaran dua atau lebih produk/jasa dalam satu
paket/kemasan dengan harga tertentu.
Co-branding Kombinasi dua merk yang telah eksis untuk menciptakan
sebuah nama merk komposit untuk sebuah produk baru.
Ingredient Atribut kunci dari satu merk dimasukkan dalam merk lain
Branding sebagai bahan.
Dual Branding Dua merk (biasanya restoran) membagi fasilitas yang
sama kepada konsumen untuk menikmati salah satu atau
keduanya.
Pembagian diatas menunjukkan kegiatan co-branding dapat diartikan salah
satu bentuk aliansi merk, atau aliansi dua merk dengan ciri khusus yang dapat
dibedakan dengan jenis aliansi merk lainnya.
Dari pengertian aliansi merk, berbagai jenis aliansi merk, serta ciri-ciri
yang ada pada kegiatan co-branding, kegiatan co-branding dapat diartikan
sebagai sebuah kegiatan aliansi merk, dimana dua atau lebih merk dari dua
atau lebih perusahaan yang berbeda melakukan penawaran produk yang
terintegrasi, berbeda dan unik, yang melibatkan kerja-sama penuh untuk
kegiatan pemasaran merk aliansi ini, serta mementingkan atribut simbolik
seperti citra dan reputasi dari masing-masing merk.
Definisi diatas menunjukkan beberapa ciri co-branding yang
membedakannya dengan strategi aliansi merk lainnya:
1) Kedudukan yang sama diantara merk individu yang bekerja-sama
membentuk sebuah aliansi merk (Walchli, 2007).
2) Co-branding lebih mengarah pada penekanan pentingnya merk yang
beraliansi, dan tidak mengarah kepada natur dari aliansi, seperti pada
kegiatan ingredient branding (Cooke dan Ryan, 2000).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 174


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

3) Memaksimalkan kekuatan dan prestise yang dimiliki setiap merk yang


beraliansi, dengan efek psikologis bahwa merk yang ada mempunyai lebih
dari yang sekarang ditawarkan (Ueltschy dan Laroche, 2000).
4) Perusahaan yang beraliansi melakukan kerja-sama dalam kegiatan
pemasaran dari merk aliansi tersebut (Erevelles et al. 2008).

4. PENGERTIAN CAUSE BRAND ALLIANCES


Cause brand alliances dipandang sebagai bagian dari kegiatan cause
related marketing yang berjangka panjang (Lafferty dan Edmonson, 2009);
keduanya mempunyai karateristik adanya sejumlah donasi moneter kepada
sebuah kegiatan sosial (cause) hanya ketika produk perusahaan terjual
(Varadarajan dan Menon, 1988). Dalam penelitian ini, cause brand alliances
diartikan sebagai bentuk kerjasama antara sebuah merk dengan sebuah kegiatan
sosial (cause) secara strategis dan dalam jangka panjang untuk meningkatkan
citra perusahaan. Dengan melakukan cause brand alliances, akan tercipta
kesatuan antara merk produk dengan kegiatan sosial di pikiran konsumen, yang
akan mengikat konsumen lebih dalam dengan merk produk (Davidson, 1997
dalam Lafferty et al. 2004).

5. TUJUAN PENELITIAN
1) Menjelaskan proses pembentukan sikap terhadap merk hasil aliansi dengan
melihat hubungannya dengan sikap terhadap sebuah merk individu (Attitude
towards brand), sikap terhadap sebuah kegiatan sosial (cause), kecocokan
kategori produk dan kegiatan sosial (category fit), kecocokan dua merk
(brand fit) dalam sebuah aliansi antara sebuah merk dengan sebuah kegiatan
sosial.
2) Menjelaskan proses pembentukan niat membeli merk hasil aliansi dengan
melihat hubungannya dengan sikap terhadap merk hasil aliansi (attitude
towards co-branding).
3) Menjelaskan peran gender dan tingkat pendidikan konsumen dalam
memoderasi proses pembentukan sikap dan niat beli konsumen.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 175


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

6. PERTANYAAN PENELITIAN
1) Apakah sikap terhadap sebuah merk individu (Attitude towards brand)
berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi dengan sebuah kegiatan
sosial (attitude towards co-branding)?
2) Apakah sikap terhadap sebuah kegiatan sosial (Attitude towards cause)
berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi dengan sebuah kegiatan
sosial (attitude towards co-branding)?
3) Apakah kecocokan kategori produk antara merk dengan kegiatan sosial yang
beraliansi (category fit) berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi?
4) Apakah kecocokan merk antara merk tertentu dengan kegiatan sosial yang
beraliansi (brand fit) berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi?
5) Apakah sikap terhadap merk hasil aliansi (attitude towards co-branding)
berpengaruh pada niat beli konsumen (purchase intention)?
6) Apakah gender seseorang memoderasi proses pembentukan sikap dan niat
beli konsumen?
7) Apakah tingkat pendidikan seseorang memoderasi proses pembentukan
sikap dan niat beli konsumen?

7. LINGKUP PENELITIAN
Model Penelitian
Model penelitian berdasar pada rerangka penelitian hubungan antara sikap
terhadap merk individu dan kaitannya dengan sikap terhadap merk aliansi serta
niat beli konsumen, sesuai model dari Simonin dan Ruth (1998), Baumgarth
(2004), Rodrigue dan Biswas (2004), Lafferty et al. (2004), Dickinson dan
Barker (2007) dan Helmig et al. (2007). Pemilihan model didasarkan pada
belum jelasnya hubungan variabel-variabel prediktor pada sikap konsumen
terhadap aliansi merk dengan sebuah kegiatan sosial, serta kaitannya dengan
niat beli konsumen.
Obyek Penelitian
Obyek yang akan diteliti adalah sebuah merk komersial dan sebuah
kegiatan sosial yang akan melakukan aliansi. Pada riset ini, obyek adalah merk
sebuah mobil dan makanan ringan yang akan beraliansi dengan sebuah kegiatan
sosial yang berhubungan dengan pencegahan pemanasan global serta
penghematan energi.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 176


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Waktu Penelitian
Riset dilakukan pada satu waktu tertentu (cross sectional), sehingga
permasalahan riset tidak menangkap perubahan fenomena yang terjadi karena
perubahan waktu.
Tempat Penelitian
Riset akan dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan pengambilan
sampel sejumlah mahasiswa (student sample) dan pelajar yang berdomisili di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada riset dilakukan dengan menggunakan
laboratory experiment. Desain eksperimen ini dipilih karena ingin diketahui
kausalitas antar variabel dengan penggunaan stimuli serta tercapainya validitas
internal yang tinggi.

8. KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS


Dalam kaitannya kegiatan co-branding, akan dipaparkan penggunaan teori
signalling untuk menjelaskan pembentukan sikap konsumen terhadap merk
hasil co-branding.

Teori Signaling
Teori signalling berkaitan dengan bagan teoritis yang menguji komunikasi
antara dua pihak, dimana sinyal atau isyarat ditransmisikan untuk membawa
informasi lewat wahana yang dapat dilihat, didengar atau wahana lain yang
dapat dideteksi (Alhabeeb, 2007). Teori ini berdasar pada konsep bahwa
pembeli dan penjual yang ada dalam pasar mempunyai level dan informasi yang
berbeda. Informasi yang asimetri tersebut menjadi masalah pada penjualan
produk-produk yang membutuhkan pengalaman (experience product), dimana
kualitas adalah hal yang tidak dapat diobservasi sebelum produk dibeli dan
digunakan (Rao dan Ruekert, 1994); hal ini berbeda dengan produk-produk
yang dibeli dengan proses pencarian (search product), seperti pada produk
pakaian, dimana konsumen dapat mengobservasi kualitas produk sebelum
dibeli. Pada produk yang mempunyai kualitas tersembunyi dan konsumen
menginginkan kualitas produk yang bagus, kegiatan promosi dapat digunakan
untuk memberi sinyal tentang kualitas yang tidak dapat diobservasi tersebut,
karena konsumen diasumsi akan beranggapan sebuah perusahaan tidak akan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 177


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

menghamburkan anggaran secara sia-sia untuk hal itu. Pemberian garansi


produk untuk jangka waktu tertentu dan dengan kondisi tertentu adalah bentuk
lain dari sinyal yang diberikan oleh penjual untuk menyatakan kualitas superior
dari produknya. Secara ringkas, sinyal dapat diartikan sebagai tindakan yang
dilakukan penjual untuk membawa informasi secara kredibel tentang kualitas
produk yang tidak dapat diobservasi kepada pembeli (Rao et al. 1999).
Ada beragam sinyal yang dapat digunakan untuk memberi informasi kepada
konsumen, seperti harga produk, garansi yang diberikan, iklan produk, tampilan
produk, reputasi ritel atau nama merk (Alhabeeb 2007). Rao et al. (1999) dan
Wernerfelt (1988) juga menyatakan bahwa nama merk (brand name) dapat
dipertimbangkan sebagai sebuah sinyal atas kualitas produk. Sebuah nama merk
secara umum memberi informasi kepada konsumen siapa yang memproduksi
merk tersebut, dan kepada siapa konsumen akan bereaksi negatif jika kinerja
merk tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jika sebuah merk yang telah
dianggap mempunyai reputasi bagus dengan menghasilkan produk berkualitas,
dan kemudian menghasilkan produk dengan kualitas jelek, maka konsumen
dapat bereaksi dengan tidak membeli lagi merk tersebut, menyebarkan rumor
jelek kepada konsumen lain, sampai melakukan gugatan secara hukum. Hal ini
tentu merugikan perusahaan secara finansial dengan penurunan penjualan serta
citra merk yang jelek; dengan demikian, perusahaan akan berusaha memberi
informasi bahwa nama merk dengan reputasi bagus akan menghasilkan kualitas
produk yang bagus. Di lain sisi, konsumen akan beranggapan bahwa produk
bermerk akan lebih berkualitas dibanding produk tanpa merk, sehingga secara
logis akan menerima klaim kualitas produk yang bagus dari produk bermerk
(Rao et al. 1999).
Menurut teori signalling, ada dua kemungkinan sebuah brand signal
akan bekerja (Rao dan Ruekert 1994). Pertama adalah adanya pengurangan
resiko karena brand signal adalah indikator yang akan mengurangi
kemungkinan keluaran yang buruk untuk konsumen, karena konsumen
menganggap sinyal dari merk terkenal yang beraliansi dengan merk yang tidak
dikenal, akan mempunyai variasi kecil dari rata-rata kualitas keduanya. Hal
kedua adalah potensi kerugian dari perusahaan di masa mendatang jika
konsumen menghukum perusahaan yang ternyata tidak tepat dalam merealisasi
janji kualitas produknya. Bentuk hukuman tersebut adalah dengan tidak

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 178


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

membeli lagi produk tersebut atau melakukan kegiatan word of mouth yang
merugikan.
Pengembangan Hipotesis
Pengembangan model penelitian pada riset brand alliance didasarkan
pada model sikap konsumen pada aliansi merk yang telah dikembangkan oleh
Simonin dan Ruth (1998) dan beberapa riset lainnya.
Model dari Simonin dan Ruth (1998) menjelaskan dampak aliansi dua merk
pada sikap konsumen terhadap merk setelah merk tersebut beraliansi, serta
sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi tersebut. Model juga menggunakan
variabel brand familiarity sebagai faktor pemoderasi hubungan diantara sikap
konsumen terhadap merk sebelum aliansi, sikap konsumen terhadap aliansi
merk, serta sikap konsumen terhadap merk setelah merk melakuka aliansi.
Baumgarth (2004) melakukan replikasi terhadap model tersebut, dengan hasil
yang menguatkan model dalam menjelaskan sikap konsumen terhadap kegiatan
aliansi dua buah merk. Lihat Gambar 1 untuk model yang digunakan Simonin
dan Ruth (1998) yang direplikasi oleh Baumgarth (2004):
Model dari Lafferty et al. (2004) menjelaskan juga dampak aliansi dua
merk pada sikap konsumen terhadap merk setelah merk tersebut beraliansi, serta
sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi tersebut. Perbedaan utama dengan
model Simonin dan Ruth (1998), model ini menggunakan aliansi sebuah merk
komersial dengan sebuah kegiatan sosial (cause). Model juga menggunakan
variabel brand familiarity sebagai faktor pemoderasi hubungan diantara sikap
konsumen terhadap merk sebelum aliansi, sikap konsumen terhadap aliansi
merk, serta sikap konsumen terhadap merk setelah merk melakuka aliansi.
(lihat gambar 2 untuk model Lafferty et al. 2004)
Model dari Rodrique dan Biswas (2004) hasil pengembangan dari model
Simonin dan Ruth (1998), dengan menambahkan variabel moderasi dependency
dan exclusivity pada hubungan sikap konsumen terhadap merk sebelum aliansi,
sikap terhadap merk hasil aliansi dan sikap terhadap merk setelah merk
beraliansi.
Selain itu, pada model juga ditambahkan hubungan antara sikap konsumen
dengan tiga variabel yang berhubungan dengan keinginan beli konsumen, yakni
variabel kualitas yang dipersepsi oleh konsumen (perceived quality), variabel
keinginan untuk membayar produk pada harga premium (willingness to pay a
premium price) dan variabel keinginan beli (purchase intention).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 179


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lihat Gambar 3 untuk model Rodrique dan Biswas (2004)


Model Dickinson dan Barker (2007) juga menyajikan hubungan antara
sikap konsumen terhadap merk secara individu sebelum beraliansi dengan sikap
konsumen terhadap merk hasil aliansi:
Lihat gambar 4 untuk model Dickinson dan Barker (2007). Berbeda dengan
model Simonin dan Ruth (1998) yang menganggap variabel brand familiarity
sebagai variabel moderasi, model ini menganggap variabel faniliarity sebagai
salah satu faktor penyebab pembentukan kecocokan merk hasil aliansi yang
dipersepsi konsumen (perceived co-brand fit). Model juga berbeda dengan tidak
menghubungkan variabel pre-existing attitude dengan variabel post brand
attitude seperti pada model Simonin dan Ruth (1998). Namun keduanya
mempunyai kesamaan dalam menghubungkan antara sikap konsumen sebelum
merk beraliansi dengan evaluasi konsumen terhadap merk hasil aliansi.
Helmig et al. (2007) juga mengembangkan model riset untuk sikap
konsumen terhadap aliansi merk yang merupakan perluasan dari model Simonin
dan Ruth (1998). Berbeda dengan model dari Simonin dan Ruth (1998) yang
hanya meneliti pembentukan sikap konsumen, perluasan dilakukan dengan
meneliti pengaruh sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi pada keinginan
membeli konsumen (lihat gambar 5).
Pada model dari Helmig et al. (2007) ini, variabel product fit dan brand fit
yang ada pada model dari Simonin dan Ruth (1998) serta Baumgarth (2004)
diganti menjadi satu variabel saja, yakni variabel fit atau congruency. Selain itu,
model Helmig et al. (2007) juga mengganti variabel pemoderasi brand
familiarity dengan tiga variabel eksogen yang berfungsi sebagai faktor potensial
yang mempengaruhi keinginan beli konsumen. Ketiga variabel tersebut adalah
kesadaran akan merk (brand consciousness), proses variasi pencarian dari
konsumen (variety seeking) dan keterlibatan konsumen pada produk (product
involvement). Selain itu, ada pengaruh pula dari variabel norma subyektif
(subjective norm) pada keputusan beli konsumen.
Dari berbagai hal diatas akan dikembangkan berbagai hipotesis penelitian:
Hubungan antara variabel sikap terhadap merk produk dan kegiatan cause
dengan sikap terhadap merk aliansi
Riset-riset terdahulu juga menunjukkan bahwa sikap konsumen terhadap
produk aliansi dipengaruhi oleh sikap konsumen sebelumnya terhadap merk-
merk individu yang beraliansi (Simonin dan Ruth 1998), serta adanya dampak

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 180


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dari sikap terhadap sebuah merk individu terhadap merk yang lain. Fazio et al.
(1989) menunjukkan bahwa produk (merk) hasil aliansi yang berasal dari merk-
merk yang sudah dikenal oleh konsumen akan memudahkan dikenal dan disukai
oleh konsumen. Riset Dickinson dan Heath (2006) menunjukkan bahwa
semakin positif sikap terhadap merk individu akan berdampak semakin positif
pula sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi. Sikap konsumen yang positif
pada salah satu merk bahkan dapat meningkatkan penilaian konsumen terhadap
merk rekanan yang sebelumnya tidak begitu dikenal (Vaidyanathan dan
Aggarwal 2000), sedangkan merk dengan reputasi sedang akan dapat meningkat
penilaiannya jika beraliansi dengan merk yang sudah mempunyai ekuitas tinggi
di benak konsumen (McCarthy dan Norris 1999). Riset dari Levin dan Levin
(2000) pada kegiatan dual-branding menunjukkan aliansi merk akan
meningkatkan kemungkinan kedua merk yang beraliansi dipersepsi konsumen
mempunyai kesamaan dalam kualitas. Riset dari Lange (2005) menunjukkan
bahwa merk yang dipersepsi bagus oleh responden dapat berkomplementer
dengan merk yang dipersepsi tidak baik oleh konsumen.
Riset dari Lafferty et al. (2004) menunjukkan hubungan yang signifikan
dari sikap terhadap merk serta sikap terhadap kegiatan cause dengan sikap
konsumen terhadap aliansi keduanya; beberapa riset, seperti Wymer dan Samu
(2008), Trimble dan. Rifon (2006) dan Hajjat (2003) mendukung hal itu.
Dari pembahasan diatas, dua hipotesis dapat dikemukakan:
H1: Ada pengaruh positif variabel attitude toward brand pada variabel attitude
toward cause-alliances.
H2: Ada pengaruh positif variabel attitude toward cause pada variabel attitude
toward cause-alliances.

Pengembangan variabel kesesuaian kategori produk (product category


fit) dan kesesuaian merk (brand fit)
Variabel utama yang sering disebut dalam banyak riset tentang co-branding
adalah fit atau kesesuaian antara dua merk yang beraliansi (Hadjicharalambous
2006). Aaker dan Keller (1990) dalam risetnya tentang brand extension
menyebut variabel fit antara produk awal dengan produk ekstensi sebagai salah
satu faktor utama keberhasilan produk ekstensi di pasar, hal yang seharusnya
dapat pula diaplikasikan pada kegiatan co-branding, yang merupakan bagian
dari brand extension. Sedangkan Park et al. (1996) menunjukkan perlunya dua

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 181


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

merk yang beraliansi saling berkomplementer, apalagi jika salah satu merk
sudah dipersepsi dengan baik oleh konsumen. Keller (2003) menunjukkan
bahwa persyaratan paling penting pada keberhasilan strategi co-branding adalah
adanya logical fit antara dua merk yang beraliansi. Simonin dan Ruth (1998)
dalam modelnya memberikan nama product fit dan brand fit untuk menilai
kesesuaian diantara merk-merk yang beraliansi; hasil riset mereka menunjukkan
bahwa semakin besar product fit dan brand fit, semakin positif pula sikap
konsumen terhadap produk aliansi tersebut. Riset dari Baumgarth (2004) yang
mereplikasi riset dari Simonin dan Ruth (1998) menunjukkan hasil yang
sebagian besar konsisiten dengan temuan terdahulu. Hal ini menunjukkan
bahwa dimensi fit memang berperan dalam membentuk sikap konsumen
terhadap produk aliansi. Dalam riset ini akan digunakan dua variabel untuk
mengukur kesesuaian diantara merk yang beraliansi, yakni product category fit
dan brand fit. Kedua variabel tersebut pada dasarnya berasal dari riset-riset
ekstensi merk serta riset tentang aliansi merk.
Untuk variabel product category fit, pengukuran diarahkan pada kesamaan
diantara kategori produk yang mengacu pada masing-masing kategori produk
dari masing-masing merk individu. Hal ini berhubungan dengan pemahaman
product fit pada ekstensi merk, yakni adanya kesamaan diantara kategori produk
awal dengan kategori produk ekstensi (Park et al. 1991), yang disebut sebagai
product feature similarity.
Simonin dan Ruth (1998) mencoba membedakan pemahaman product fit
mengartikan product fit pada kegiatan ekstensi merk dengan pada kegiatan
aliansi merk. Pada ekstensi merk, kesesuaian produk lebih diartikan kepada
seberapa jauh terdapat kesamaan antara kategori produk awal dengan kategori
produk ekstensi. Dengan demikian, konsumen akan melihat sejauh mana
perusahaan dapat melakukan transfer teknologi untuk membuat produk ekstensi.
Sedangkan pada kegiatan aliansi merk, kegiatan transfer semacam itu tidak
terjadi. Disini product fit dianggap sebagai perluasan dimana konsumen
menganggap dua kategori produk tertentu bersifat kompatibel satu dengan yang
lain. Ketika Baumgarth (2004) melakukan replikasi yang bersifat perluasan
terhadap riset yang dilakukan Simonin dan Ruth (1998), ditemukan bahwa
variabel product fit mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap
variabel attitude toward brand alliance. Dickinson dan Hearth (2006)
mengemukakan istilah category fit dengan sumber dari riset Aaker dan Keller

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 182


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

(1990) pada ekstensi merk, dimana keduanya mengajukan istilah perception fit
untuk kesamaan dua kelas produk. Model konseptual dari Helmig et al. (2007)
menunjukkan hubungan yang positif antara variabel product fit dengan attitude
toward buying co-branded products. Disini mereka mengkaitkan product fit
dengan congruency diantara merk-merk yang beraliansi.
Selain mempertimbangkan kesesuaian jenis produk, dalam menilai aliansi
merk, konsumen juga mempertimbangkan kekuatan citra merk dari masing-
masing merk. Konsep brand consistency yang dikembangkan Park et al. (1991)
pada riset tentang ekstensi merk dapat dikembangkan menjadi pengaruh citra
pada riset tentang aliansi merk. Pada ektensi merk, merk dengan citra bagus
akan dipersepsi bagus dan konsisten jika berekstensi pada kategori produk yang
sama. Pada alinasi merk, jika merk tersebut beraliansi dengan merk lain yang
juga dianggap mempunyai citra bagus, kedua merk dianggap konsisten atau
kohesif satu dengan yang lain, dan akan mendorong konsumen bersikap positif
pada merk aliansi tersebut.
Walchli (2007) mengajukan konsep between-partner congruity, yang
membedakannya dengan konsep concept congruity yang ada pada kegiatan
ekstensi merk. Pada ekstensi merk, merk hasil ekstensi akan mudah diterima
oleh konsumen jika produk ekstensi mempunyai kesamaan dengan produk
awalnya; pada aliansi merk, dimana dua merk yang berlainan beraliansi,
komposisi dari pasangan merk yang beraliansi memperlihatkan bentuk yang
dapat dinilai sebagai sama (congruity) atau tidak sama (incongruity), yang
mempengaruhi evaluasi konsumen pada merk hasil aliansi tersebut.
Riset dari Laffety et al. (2004) dan riset dari Hamlin dan Wilson (2004)
juga menyorot peran dari kedua variabel tersebut dalam menentukan sikap
konsumen terhadap merk yang beraliansi dengan sebuah kegiatan sosial.
Dari pembahasan diatas, dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut:
H3: Ada pengaruh positif variabel product category fit dengan variabel attitude
toward cause-alliances.
H4: Ada pengaruh positif variabel brand fit dengan variabel attitude toward
cause-alliances.

Hubungan variabel Sikap Konsumen dengan variabel Purchase Intention


(Keinginan Beli).
Selain itu, riset-riset juga menunjukkan adanya kaitan yang erat antara sikap
konsumen dengan keinginan beli konsumen. Riset dari Min Han (1990) yang
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 183
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

meneliti peran dari citra negara (country image) pada pembelian televisi dan
mobil di tiga negara yang berbeda menunjukkan hubungan yang positif dan
langsung antara variabel attitude dengan variabel purchase intention. Demikian
pula riset dari Gill et al. (1988) tentang kaitan berbagai alternatif iklan dengan
keterlibatan konsumen. komitmen konsumen dan sikap konsumen menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan dan positif antara variabel sikap konsumen
dengan variabel keinginan beli dari konsumen, baik pada exposure yang bersifat
subyektif dan obyek, ataupun pada exposure yang hanya bersifat subyektif.
Model konseptual yang dibangun Rodrigue dan Biswas (2004)
menunjukkan kesamaan dengan model Simonin dan Ruth (1998). Hanya model
kemudian dikembangkan dengan adanya variabel purchase intention yang
dipengaruhi oleh variabel attitude toward brand alliances. Mereka menyatakan
bahwa adanya aliansi merk akan meningkatkan persepsi konsumen terhadap
kualitas produk hasil aliansi, termasuk mendorong keinginan beli konsumen.
Dari pembahasan tersebut, dapat dikemukakan hipotesis:
H5: Ada pengaruh positif variabel attitude toward cause-alliances pada variabel
purchase intention.

Faktor pemoderasi: variabel gender


Riset dari Berger et al. (1999) menunjukkan perbedaan sikap konsumen
berdasar gender; wanita mempunyai sikap lebih positif dan lebih mempunyai
keinginan membeli merk yang dalam promosinya mengkaitkan merk dengan
sebuah kegiatan sosial. Demikian pula dengan riset dari Ross et al. (1992) yang
mengupas peran gender, dengan temuan konsumen wanita cenderung lebih
sensitif dengan adanya kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan, sehingga
mereka cenderung merespons lebih positif dibandingkan pria saat melihat
sebuah promosi yang bersifat cause related marketing.
Riset dari Youn dan Kim (2008) menunjukkan peran signifikan dari
beberapa faktor demografis, termasuk gender, pada sebuah kegiatan promosi
perusahaan yang menggunakan kegiatan sosial didalamnya.
Dari pembahasan diatas, dapat dikemukakan dua hipotesis:
H6: Wanita mempunyai sikap lebih positif daripada pria pada merk aliansi
antara merk komersial dengan kegiatan sosial.
H7: Wanita mempunyai keinginan beli lebih tinggi daripada pria pada merk
aliansi antara merk komersial dengan kegiatan sosial.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 184


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Berdasar penelusuran sejumlah riset dan pemaparan hipotesis, disusun


sebuah model penelitian tentang perilaku konsumen terhadap sebuah merk
aliansi berikut ini:

Produk dalam Eksperimen


Dalam riset ini, eksperimen akan dilakukan terhadap dua kategori produk yang
beraliansi, masing-masing adalah dua merk untuk produk komersial serta dua
nama kegiatan sosial untuk cause.

Pemilihan Kegiatan Cause


Pada dasarnya, ada empat jenis kegiatan cause (Lafferty, 2004), yakni
kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan binatang, kegiatan yang
berhubungan dengan lingkungan, kegiatan yang berhubungan dengan
kemanusiaan dan kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan.
Dalam riset ini, akan dipilih dua Yayasan fiktif. Yayasan pertama adalah yang
berhubungan dengan tema riset, yakni yayasan yang bergerak dalam kegiatan
lingkungan hidup, khususnya pelestarian hutan. Sedangkan yayasan kedua
adalah yayasan yang berhubungan dengan perlindungan binatang.
Pemilihan Produk Komersial
Teori signalling yang digunakan dalam riset ini digunakan pada produk yang
tidak dapat diobservasi kualitasnya terlebih dahulu, sehingga diperlukan
sejumlah sinyal, diantaranya nama merk. Teori ini diawali oleh konsep
economics of information (Stigler 1961), yang menguji peran kegiatan
periklanan dalam mengurangi biaya pencarian konsumen, yang meliputi waktu
dan tenaga untuk mendapatkan dan memproses informasi; konsumen
mendapatkan keuntungan dari pencarian tersebut, yakni harga produk yang
lebih rendah atau kualitas produk yang lebih bagus. Konsep dasar dari
economics of information adalah seorang konsumen yang rasional akan
melakukan pencarian hanya jika manfaat marjinal yang didapat melebihi biaya
marjinal yang dikeluarkan. Nelson (1970) mengembangkan konsep economics
of information tersebut dengan memasukkan kegiatan periklanan sebagai
sumber informasi tentang kualitas produk secara umum, dimana manfaat dari
mencari dan memproses informasi iklan dapat bervariasi, tergantung dari tipe
produk atau atribut yang sedang diiklankan.
Terkait dengan pengamatan konsumen atas kualitas produk, Nelson (1970)
membagi produk menjadi search products, yakni produk dengan kualitas
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 185
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

produk yang dapat dinilai sebelum pembelian dilakukan, serta experience


products, yakni produk dengan kualitas produk yang tidak dapat dinilai sebelum
pembelian dilakukan. Franke et al. (2004) mendefinisikan search product
sebagai produk yang mempunyai atribut-atribut yang dapat dinilai dan diamati
secara efektif oleh pembeli sebelum keputusan pembelian dilakukan; sedangkan
experience product diartikan sebagai produk yang mempunyai atribut-atribut
yang dapat dinilai dan diamati hanya setelah pembelian dilakukan.
Search product adalah produk dengan informasi yang cukup tentang atribut-
atribut produk tersebut dapat diperoleh lewat deskripsi produk yang obyektif
dari penjual, seperti kandungan bahan dari produk, warna, bentuk atau ukuran,
sebelum produk tersebut dibeli; atribut-atribut esensial dari search product
dapat dengan mudah dievaluasi sebelum produk tersebut dibeli (Franke et al.
2004). Sedangkan experience product adalah produk dengan informasi yang
cukup tentang produk tersebut hanya dapat diperoleh setelah produk tersebut
dibeli; jika konsumen akan mengevaluasi atribut-atribut esensial dari produk
tersebut, ia akan mengeluarkan banyak biaya dan waktu, sehingga pengalaman
secara langsung dengan produk tersebut adalah cara terbaik untuk mengevaluasi
atribut-atribut esensial tersebut. Beberapa contoh search products dan
experience products dari riset Nelson (1970), yang kemudian direplikasi oleh
Leahy (2005) adalah produk pakaian, permata dan berlian, produk mebel dan
mainan anak untuk search products; sedangkan contoh untuk experience
products adalah produk makanan dan minuman, produk peralatan rumah
tangga, produk otomotif, elektronik serta obat-obatan. Produk yang termasuk
pada experience shopping products adalah produk yang terkait dengan
kendaraan (ban, onderdil mobil), produk professional and scientific instrument
(seperti mesin fotocopi atau komputer), produk komunikasi dan hiburan (seperti
televisi, radio, CD, teater rumah), dan lainnya; sedangkan contoh untuk
experience convinience products adalah produk groceries (seperti makanan dan
minuman, dan baterai), produk obat-obatan dan toilettris (seperti obat OTC,
kosmetik, tisu dan perawatan kulit), produk rokok dan lainnya.
Karena sulitnya memperoleh informasi tentang kualitas produk pada experience
product, konsumen akan cenderung meragukan informasi yang berkaitan
dengan kualitas produk yang disajikan dalam kegiatan periklanan. Karena itu,
mereka akan menggunakan sumber informasi lain, seperti dari teman atau
sumber terpercaya lainnya. Ketika konsumen membandingkan alternatif-

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 186


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

alternatif pada produk yang termasuk dalam kategori search product, mereka
cenderung percaya pada penilaian mereka sendiri terhadap sejumlah spesifikasi
produk yang disampaikan oleh perusahaan; konsumen dapat langsung
mengetahui adanya klaim yang berlebihan atau klaim tidak benar dari
perusahaan dengan cara mengevaluasinya secara langsung. Namun pada
experience product, terdapat kesulitan untuk menilai deskripsi produk yang
disampaikan oleh perusahaan secara obyektif; dalam hal ini, konsumen
cenderung untuk skeptis terhadap klaim-klaim tentang atribut-atribut produk
yang ada pada iklan produk tersebut. Sebagai contoh, konsumen akan sulit
mempercayai atribut kelezatan masakan, kenyamanan sebuah mobil, atau
khasiat sebuah obat, sebelum mereka membeli dan menggunakannya.

Tanda Intrinsik dan Tanda Ekstrinsik pada Produk


Konsumen memperoleh informasi yang membentuk penilaian akan kualitas
sebuah produk sebelum mereka membelinya dapat diklasifikasi ke dalam dua
kategori, yakni tanda intrinsik dan tanda ekstrinsik (Chang dan Chen, 2009).
Tanda (isyarat) intrinsik merepresentasikan informasi yang berkaitan dengan
produk itu sendiri, seperti kandungan bahan atau properti yang ada pada produk,
yang tidak dapat dimanipulasi tanpa mengubah pula properti dari produk
tersebut. Sedangkan tanda ekstrinsik adalah karateristik produk yang bersifat
non fisik, seperti merk, country of origin dan citra perusahaan (Richardson et
al., 1994)
Tanda intrinsik dan ekstrinsik tersebut ditentukan oleh nilai prediktif dan nilai
kepercayaan konsumen. Nilai prediktif adalah cue yang dapat
merepresentasikan kualitas dari produk (Richardson et al., 2004); sedangkan
nilai kepercayaan berhubungan dengan keyakinan konsumen untuk dapat
menilai dan menggunakan sebuah cue secara akurat. dengan demikian, produk
dengan cue yang mempunyai nilai prediktif dan nilai kepercayaan yang tinggi
menunjukkan proses penilaian kualitas produk yang akurat. Dalam hal ini, tanda
intrinsik yang ada pada sebuah produk mempunyai nilai prediktif dan nilai
kepercayaan yang lebih tinggi pada produk-produk yang masuk dalam kategori
search product; sedangkan tanda-tanda ekstrinsik, seperti harga, nama merk,
atau garansi, lebih kompatibel dengan experience product daripada tingkat
kompatibilitas experience product dengan nilai-nilai intrinsik yang ada pada
produk tersebut.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 187


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Purchase frequency
Karena sebuah produk yang masuk dalam kategori experience product harus
dibeli terlebih dahulu sebelum dapat dievaluasi, dan semakin sering frekuensi
pembelian produk akan memberi lebih banyak kesempatan kepada konsumen
untuk menilai kualitas produk, experience product dibagi menjadi experience
nondurables dan experience durables. Ciri dari experience nondurables adalah
relatif tidak mahal, tersedia di banyak tempat, diperlukan sedikit upaya untuk
dapat membelinya, serta dapat dikonsumsi dengan segera. Sedangkan ciri dari
experience durables adalah mempunyai harga yang lebih mahal, daya tahan
produk (durability) lebih lama, biaya perbaikan lebih tinggi, distribusi produk
bersifat selektif, diperlukan banyak pertimbangan sebelum membelinya, serta
dapat dikonsumsi dengan segera. Pada produk experience durables, sumber
yang dekat dengan konsumen, seperti teman, keluarga, atau majalah-majalah
komersial, dapat menjadi narasumber tambahan untuk membantu pengambilan
keputusan konsumen.
Riset-riset yang dilakukan pada cause brand alliances sebagian besar
menggunakan produk yang masuk dalam kategori experience nondurable
product . Untuk produk yang akan digunakan dalam riset ini, akan digunakan
produk yang termasuk dalam kategori experience nondurable product.
Penggunaan experience product didasarkan pada teori yang melandasi riset,
yakni signalling theory. Teori tersebut berasumsi adanya informasi asimetris
yang berhubungan dengan kualitas produk yang diterima oleh konsumen saat
akan mengkonsumsi sebuah produk, khususnya experience product, yang
mempunyai karateristik sejumlah atributnya tidak dapat diobservasi sebelum
dibeli dan digunakan. Untuk itu, penjual menggunakan sejumlah sinyal untuk
meyakinkan konsumen, diantaranya menggunakan nama merk yang sudah
dikenal konsumen (lihat gambar 6 untuk model riset yang direncanakan).

9. METODE RISET
9.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sikap terhadap merk (Attitude toward brand),
sikap terhadap kegiatan sosial (Attitude toward cause), variabel product
category fit, variabel brand fit, sikap terhadap aliansi (Attitude toward cause
alliances) dan variabel purchase intention. Dalam penelitian ini, juga akan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 188


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

diuji pengaruh variabel moderasi gender terhadap hubungan kausalitas yang


ada pada model penelitian.
9.2. Produk dalam Eksperimen
Kegiatan Cause
Dalam riset ini, akan dipilih dua Yayasan fiktif. Yayasan pertama adalah
yang berhubungan dengan tema riset, yakni yayasan yang bergerak dalam
kegiatan lingkungan hidup, khususnya pelestarian hutan. Sedangkan yayasan
kedua adalah yayasan yang berhubungan dengan penghematan energi.
Produk dan Merk Komersial
Dalam riset ini, digunakan produk yang termasuk dalam kategori
experience non-durables product.
9.3. Manipulasi variabel Independen dan Treatment
Dalam eksperimen, ada dua variabel yang akan dimanipulasi, yakni
variabel:
1. Product category fit, yang akan dimanipulasi berdasarkan konsistensi serta
tingkat komplementer antara dua kategori produk yang beraliansi, yakni
tingkat komplementaritas tinggi dan rendah.
2. Brand fit, yang akan dimanipulasi berdasarkan konsistensi serta tingkat
komplementer antara merk dan cause yang beraliansi, yakni tingkat
kesesuaian tinggi dan tingkat kesesuaian rendah.
9.4. Cek Manipulasi Model
Cek manipulasi bertujuan untuk mengetahui bahwa partisipan dapat
membedakan variasi dari product category fit dan brand fit yang menggunakan
aliansi merk dengan persepsi kualitas yang berbeda. Tujuan selanjutnya adalah
untuk mengetahui apakah aliansi merk yang terdiri dari merk komersial dan
cause yang masing-masing dipersepsi bagus akan mendapatkan respon yang
lebih baik dibandingkan dengan aliansi merk yang terdiri dari merk komersial
dan cause yang masing-masing dipersepsi kurang bagus.
Untuk cek manipulasi ini, pada merk komersial dipilih merk A1 dan A2.
Sedangkan untuk cause adalah kegiatan pelestarian hutan (B1) dan
pengehematan energi (B2); untuk pelestarian hutan digunakan organisasi
greenpeace yang berkolaborasi dengan Yayasan Lingkungan Hidup Indonesia
yang bergerak pada kegiatan pelestarian hutan, dan untuk penghematan energi
digunakan organisasi lokal yang mengkampanyekan gerakan hemat energi di
Indonesia. Cek manipulasi dilakukan dengan membagikan materi stimulus yang

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 189


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

berkaitan dengan aliansi merk dengan kegiatan cause kepada empat puluh
partisipan yang telah mengenal masing-masing merk dan kegiatan sosial
tersebut.
9.5. Disain dan Proses Eksperimen
Disain eksperimen yang akan digunakan adalah factorial design, yakni
pengujian brand fit, dengan disain 2 (merk komersial) x 2 (merk/kegiatan
cause). Eksperimen dilakukan dengan between-subject.
Kegiatan eksperimen akan terdiri dari tahapan-tahapan berikut:
1. Mengetahui sikap partisipan terhadap merk secara individu sebelum terjadi
aliansi. Pada eksperimen ini, akan diukur sikap partisipan terhadap dua
merk komersial (A1 dan A2) dan dua jenis kegiatan sosial (B1 dan B2).
2. Mengetahui penilaian partisipan terhadap kesesuaian kategori produk
(product category fit) dan kesesuaian merk (brand fit) saat kedua produk
akan beraliansi. Untuk itu, partisipan diberi materi stimulus yang
menggambarkan aliansi antara sebuah merk dengan sebuah kegiatan sosial.
Pada eksperimen ini, akan diukur penilaian partisipan terhadap product
category fit antara:
- Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B1.
- Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B2.
- Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B1.
- Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B2.
3. Mengetahui penilaian partisipan terhadap kesesuaian merk merk (brand fit)
saat kedua produk akan beraliansi. Untuk itu, partisipan diberi materi
stimulus yang menggambarkan aliansi antara sebuah merk dengan sebuah
kegiatan sosial. Pada eksperimen ini, akan diukur penilaian partisipan
terhadap brand fit antara:
- Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B1.
- Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B2.
- Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B1.
- Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B2.
4. Mengetahui sikap partisipan terhadap merk hasil aliansi. Pada eksperimen
ini, akan diukur sikap partisipan terhadap aliansi merk:
a. Merk komersial A1 + jenis kegiatan sosial B1.
b. Merk komersial A1 + jenis kegiatan sosial B2.
c. Merk komersial A2 + jenis kegiatan sosial B1.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 190


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

d. Merk komersial A2 + jenis kegiatan sosial B2.


5. Mengetahui niat beli partisipan terhadap merk hasil aliansi. Pada
eksperimen ini, akan diukur niat beli partisipan terhadap aliansi merk:
a. Merk komersial A1 + jenis kegiatan sosial B1.
b. Merk komersial A1 + jenis kegiatan sosial B2.
c. Merk komersial A2 + jenis kegiatan sosial B1.
d. Merk komersial A2 + jenis kegiatan sosial B2.
6. Proses Single Blind
Untuk mencegah partisipan berperilaku tertentu karena mengetahui semua
prosedur dan tujuan eksperimen, pada materi eksperimen akan disertakan
sejumlah informasi dan stimulus yang tidak berkaitan langsung dengan
hipotesis yang akan diuji. Materi yang bersifat masking tersebut antara lain
iklan produk aliansi sebuah merk dengan sebuah kegiatan cause yang tidak
terkait dengan produk yang diuji, informasi tentang lingkungan hidup yang
tidak secara langsung terkait dengan pengujian hipotesis.
9.6. Pembentukan Kelompok Eksperimen
Kelompok eksperimen yang dikembangkan dalam penelitian ini pada
dasarnya adalah kombinasi dari 2 (merk komersial) x 2 (kegiatan cause),
sehingga terdapat empat kelompok eksperimen. Setiap partisipan akan
mendapat materi stimulus tentang sebuah merk komersial, sebuah kegiatan
sosial, serta aliansi sebuah merk dengan sebuah kegiatan sosial.
9.7. Partisipan
Dalam penelitian ini akan digunakan student sample, dimana partisipan yang
dipilih adalah sejumlah mahasiswa yang telah mengenal merk komersial yang
akan beraliansi, serta dapat memahami organisasi sosial yang akan beraliansi.
Partisipan akan dipilih dengan menggunakan random assigment, dimana
partisipan yang ada secara random akan dimasukkan ke dalam salah satu dari
empat kelompok eksperimen yang ada. Jumlah partisipan ditentukan sebanyak
seratus untuk setiap kelompok eksperimen; karena terdapat empat kelompok
eksperimen, maka akan terkumpul empat ratus data.
List of Participant
Untuk mendapatkan partisipan, akan ditentukan terlebih dahulu list of
participant, yakni daftar semua calon partisipan yang berpotensi untuk ikut
dalam kegiatan eksperimen. Daftar ini dapat diperoleh dari daftar mahasiswa
aktif dari Perguruan Tinggi tempat partisipan akan direkrut.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 191


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

9.8. Materi Stimulus


Disain dari materi stimulus bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang
mendekati kondisi riil (blind experiment), sehingga partisipan diharapkan akan
memberikan penilaian yang obyektif, dan mengeliminasi presepsi negatif dari
partisipan karena menganggap eksperimen dilakukan untuk eksploitasi demi
kepentingan komersial peneliti.
Untuk itu, didisan beberapa materi stimulus:
Iklan
Materi stimulus pertama adalah iklan yang digunakan untuk menstimuli
kesesuaian kategori produk (product category fit) dan kesesuaian nama merk
(brand fit). Dalam riset stimuli berupa:
□ Iklan produk merk A1 dan kegiatan sosial bernama B1 yang
menggambarkan aliansi dengan tingkat kesesuaian yang tinggi.
□ Iklan produk merk A1 dan kegiatan sosial bernama B2 yang
menggambarkan aliansi dengan tingkat kesesuaian yang kurang kuat.
□ Iklan produk merk A2 dan kegiatan sosial bernama B1 yang
menggambarkan aliansi dengan tingkat kesesuaian yang kurang kuat.
□ Iklan produk merk A2 dan kegiatan sosial bernama B2 yang
menggambarkan aliansi dengan tingkat kesesuaian yang lemah.
Setiap partisipan akan mendapat satu dari empat kemungkinan stimuli diatas.
Brosur
Materi kedua adalah brosur-brosur yang menjelaskan kegiatan komersial dari
dua merk komersial A1 dan A2, serta misi dan kegiatan sosial dari Yayasan
Sosial B1 dan B2. Setiap kelompok eksperimen akan mendapatkan brosur yang
relevan dengan aliansi merk komersial serta kegiatan sosial yang ada pada iklan
(materi stimulus pertama).
9.9. Definisi Operasional Variabel dan Alat Pengukuran
Pengukuran sikap dan penilaian dari partisipan dilakukan dengan menggunakan
kuesioner. Setiap pertanyaan yang diajukan diukur dengan menggunakan tujuh
poin skala Likert, dengan skala tertinggi adalah 7 (Sangat Setuju) sampai skala
terkecil adalah 1 (Sangat Tidak Setuju).
Penjabaran dari setiap variabel yang ada dalam model riset:
Variabel ATTITUDE TOWARD BRAND:

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 192


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Sikap terhadap merk didefinisikan sebagai predisposisi yang dapat


dipelajari untuk merespon sebah obyek atau kelas obyek dalam sebuah penilaian
suka atau tidak suka secara konsisten (Assael 1998).
Pada riset ini, sikap terhadap merk diukur dengan empat atribut (Simonin dan
Ruth 1998; Baumgarth 2004; Lafferty 2004):
1. Sikap terhadap kualitas produk.
2. Sikap terhadap kinerja produk.
3. Sikap terhadap citra produk.
4. Sikap terhadap produk secara keseluruhan.
Masing-masing atribut diukur dengan menggunakan skala Likert tujuh poin,
dari ‘Sangat Setuju’ sampai ‘Sangat Tidak Setuju’ (Aaker dan Keller 1990).
Variabel PRODUCT CATEGORY FIT:
Kecocokan di antara dua produk yang beraliansi didefinisikan sebagai
persepsi konsumen terhadap konsistensi asosiasi dan kekohesifan citra merk dan
kesesuaian produk dari merk-merk yang beraliansi (Dickinson dan Barker,
2007).
Pada riset ini, product category fit diukur dengan tiga atribut (Aaker dan
Keller 1990; Simonin dan Ruth 1998; Lafferty 2004):
1. Kesesuaian (kompatibilitas) kedua kategori produk yang beraliansi.
2. Tingkat saling melengkapi (komplementaritas) kedua kategori produk yang
beraliansi.
3. Kelogisan hubungan dua kategori produk yang beraliansi.
Masing-masing atribut diukur dengan menggunakan skala Likert tujuh poin,
dari ‘Sangat Setuju’ sampai ‘Sangat Tidak Setuju’ (Aaker dan Keller 1990).
Variabel BRAND FIT:
Kecocokan secara keseluruhan diantara merk-merk yang beraliansi (brand
fit) didefinisikan sebagai persepsi konsumen terhadap konsistensi asosiasi dan
kekohesifan citra merk dan kesesuaian produk dari merk-merk yang beraliansi
(Dickinson dan Barker, 2007).
Pada riset ini, overall fit diukur dengan tiga atribut (Aaker dan Keller 1990;
Simonin dan Ruth 1998; Lafferty 2004):
1. Kesesuaian (kompatibilitas) dua nama merk yang beraliansi.
2. Kesamaan citra (asosiasi) yang bagus pada dua merk yang beraliansi.
3. Kelogisan hubungan dua merk yang beraliansi.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 193


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Masing-masing atribut diukur dengan menggunakan skala Likert tujuh poin,


dari ‘Sangat Setuju’ sampai ‘Sangat Tidak Setuju’ (Aaker dan Keller 1990).
Variabel ATTITUDE TOWARDS BRAND ALLIANCE:
Sikap terhadap merk didefinisikan sebagai predisposisi yang dapat
dipelajari untuk merespon sebah obyek atau kelas obyek dalam sebuah penilaian
suka atau tidak suka secara konsisten (Assael 1998).
Pada riset ini, sikap terhadap merk aliansi diukur dengan empat atribut:
1. Sikap terhadap kualitas produk.
2. Sikap terhadap kinerja produk.
3. Sikap terhadap citra produk.
4. Sikap terhadap produk secara keseluruhan.
Masing-masing atribut diukur dengan menggunakan skala Likert tujuh poin,
dari ‘Sangat Setuju’ sampai ‘Sangat Tidak Setuju’ (Simonin dan Ruth 1998;
Baumgarth 2004; Lafferty 2004).
Variabel PURCHASE INTENTION:
Niat beli (purchase intention) didefinisikan sebagai kecenderungan
konsumen untuk membeli merk.
Pada riset ini, niat beli diukur dengan empat atribut (MacKenzie dan Spreng
1992; Dodds et al. 1991):
1. Kemungkinan membeli saat ini.
2. Kemungkinan membeli di masa mendatang
3. Kepastian membeli saat ini.
4. Kepastian membeli di masa mendatang
Masing-masing atribut diukur dengan menggunakan skala Likert tujuh poin,
dari ‘Sangat Setuju’ sampai ‘Sangat Tidak Setuju’ (Simonin dan Ruth 1998;
Baumgarth 2004; Lafferty 2004).
9.10. Alat Analisis
Setelah eksperimen dilakukan dan sejumlah data didapat, maka akan
dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan Structural Equation
Modelling (SEM). Brannick (1995) dalam artikel Kelloway (1995)
mengemukakan model struktur kovarians dapat digunakan untuk menguji
berbagai model teroi yang kompleks. Berbagai model riset pada kegiatan aliansi
merk juga menggunakan SEM sebagai alat uji model, seperti ditunjukkan pada
riset Simonin dan Ruth (1998), Baumgarth (2004) dan Lafferty (2004).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 194


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Structural Equation Modelling adalah model statistik yang menjelaskan


hubungan diantara sejumlah variabel, dengan menguji struktur dari hubungan
diantara variabel-variabel tersebut, yang dinyatakan dalam bentuk sejumlah
persamaan (Hair et al., 2006). Persamaan-persamaan tersebut menjelaskan
hubungan diantara konstruk yang ada dalam analisis. Dalam pengujian model
menggunakan SEM, hal itu sama dengan menggunakan alat analisis faktor dan
analisis regresi dalam satu tahap pengujian.
Kegiatan pengujian SEM mempunyai beberapa tahapan penting. Pertama
adalah mendefinisikan konstruk yang ada, kemudian mengembangkan model
pengukuran (measurement model). Setelah itu proses dilanjutkan dengan
pengujian model pengukuran tersebut. Kemudian dilakukan spesifikasi model
struktural (structural model) dan penilaian validitas model struktural tersebut.
Karena ada pengujian pengaruh variabel moderasi terhadap model, analisis
dengan SEM juga mencakup pengujian dengan multiple group untuk
mengetahui pengaruh variabel moderasi gender.

REFERENSI

Aaker, David A. dan Kevin L. Keller (1990), “Consumer Evaluations of Brand


Extensions,” Journal of Marketing, Vol. 54: 27-41.
Alhabeeb, M.J. (2007), “Consumers’ Cues For Product Quality: An Application
of The Signalling Theory,” Academy of Marketing Studies, Vol. 12:1-5.
Assael, Henry (1998). Consumer Behavior and Marketing Action, 6 th edition.
Cinncinati, Ohio: South Western College Publishing.
Baumgarth, Carsten (2004), “Evaluations of Co-brands and Spill-Over Effects:
Further Empirical Results,” Journal of Marketing Comunications, Vol.
10: 115-131.
Berger, Ida E., Peggy H. Cunningham dan Robert V. Kozinets (1999),
“Consumer Persuasion Through Cause-Related Advertising,” Advances in
Consumer Research Vol. 26: 491-497.
Bronn, Peggy S.. dan Albana B. Vrioni (2001), “Corporate Social
Responsibility and Cause-Related Marketing: an Overview,”
International Journal of Advertising Vol. 20: 207-222.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 195


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Chang, Chia-Chi dan Chen Hui-Yun (2009), “I Want Products My Own Way,
But Which Way? The Effects of Different Product Categories and Cues
on Customer Responses to Web-based Customizations,” Cyberpsychology
and Behavio Vol. 12: 7-14.
Cooke, Sinead dan Paul Ryan (2000), “Brand Alliances: From Reputation
Endorsement to Collaboration on Core Competencies” Irish Marketing
Review. Vol. 13: 36-40.
Dickinson, Sonia dan Alison Barker (2007), ”Evaluations of Branding Alliances
Between Non-profit and Commercial Brand Partners: The Transfer of
Affect,” International Journal of Nonprofit & Voluntary Sector
Marketing, Vol. 12: 75-89.
Dickinson, Sonia dan Tara Heath (2005), “A Comparison of Qualitative and
Quantitative Results Concerning Evaluations of Co-branded Offerings,”
Brand Management, Vol. 13: 393-406.
Dodds, William B., Kent B. Monroe dan Dhruv Grewal (1991), “Effects on
Brand, Price and Store Informationon Buyer’s Product Evaluations,”
Journal of Marketing Research, Vol. XXVIII: 307-319.
Erevelles, Sunil, Veronica Horton dan Nobuyuki Fukawa (2008),
“Understanding B2C Brand Alliances Between Manufacturers and
Suppliers,” Marketing Management Journal (Fall): 32-46.
Fazio, Russell H,, Martha C. Powell dan Carol J. Williams (1989), “The role of
attitude accessibility in the attitude-to-behavior process,” Journal of
Consumer Research, Vol. 16: 280-288.
Franke, George R., Bruce A. Huhmann dan David L. Mothersbaugh (2004),
“Information Content and Consumer Readership of Print Ads: A
Comparison of Search and Experience Products,” Journal of the Academy
of Marketing Science, Vol.32:20-31.
Gill James D., Sanford Grossbart dan Russell N. Laczniak (1988), “Influence of
Involvement, Commitment and Familiarity on Brand Beliefs and
Attitudes of Viewers Exposed to Alternative Ad Claim Strategies,”
Journal of Advertising Vol. 17: 33-43.
Grundey, D. dan R.M. Zaharia (2008), “Sustainable Incentives in Marketing
and Strategic Greening: the Cases of Lithuania and Romania,” Baltic
Journal on Sustainability Vol 14: 130-143.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 196


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Hadjicharalambous, Costas (2006), “A typology of Brand Extensions:


Positioning Cobranding as A Sub-case of Brand Extensions,” The Journal
of American Academy of Business, Vol. 10: 372-377.
Hajjat, Mahmood M. (2003), “Effect of Cause-Related Marketing on Attitudes
and Purchase Intentions: The Moderating Role of Cayse Involvement and
Donation Size,” Journal of Nonprofit and Public Sector Marketing, Vol.
1: 93-109.
Hamlin, Robert P. dan Wilson, T. (2004), “The Impact of Cause Branding on
Consumer Reactions to Products: Does Product/Cause ‘Fit’ Really
Matter?” Journal of Marketing Management, Vol. 20: 663-681.
Hair, Joseph F., William C. Black, Barry J. Babin, Raplh E. Anderson dan
Ronald L. Tatham (2006), Multivariate Data Analysis, 6th ed. Upper
Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc.
Helmig, Bernd, Jan-Alexander Huber dan Peter Leeflang (2007), “Explaining
behavioural intentions toward co-branded products.” Journal of
Marketing Management Vol. 23: 285-304.
Keller, Kevin L. (2003), “Strategic Brand Management: Building, Measuring,
and Managing Brand Equity,” Prentice Hall (second edition).
Kotler, Philip dan Kevin L. Keller (2007), Marketing Management: 13th ed.,
New Jersey: Pearson Education Inc.
Kelloway, E. Kevin (1995), “Structural Equation Modelling in Perspective,”
Journal of Organizational Behavior, Vol 16: 215-224.
Lafferty, Barbara A., Ronald E. Goldsmith dan G. Tomas M. Hult (2004), “The
Impact of the Alliance on the Partners: A Look at Cause-Brand
Alliances,” Psychology & Marketing, Vol. 21: 409-531.
Lange, Fredrik (2005), “Do brands of a feather flock together? Some
exploratory findings on the role of individual brands in brand
constellation choice,” Journal of Consumer Behavior, Vol. 4: 465-479.
Leahy, Arthur S. (2005), “Searh and Experience Goods: Evidence from the
1960’s and 70’s”, The Journal of Applied Business Researh, Vol.21: 45-
51.
Levin, Irwin P. dan Aron M. Levin (2000), “Modeling the Role of Brand
Alliances in the Assimilation of Product Evaluations.” Journal of
Consumer Psychology, Vol. 9: 43-52.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 197


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Mackenzie, Scott B. dan Richard A. Spreng (1992), “How does motivation


moderate the impact of central and peripheral processing on brand
attitude and intentions?” Journal of Consumer Research, Vol. 18: 519-
529.
McCarthy, Michael S. dan Donald G. Norris (1999), “Improving competitive
position using branded ingredients,” Journal of Product and Brand
Management, Vol. 8: 267-285.
Min Han, C. (1990), “Testing the Role of Country Image on Customer Choice
Behaviour,” European Journal of Marketing, Vol. 24:6.
Nelson, Philip (1970), “Information and Consumer Behavior,” The Journal of
Political Economy, Vol. 78: 311-329.
Park, C. Whan, Sung Y. Jun dan Allan D. Shocker (1996), “Composite
branding alliances: an investigation of extension and feedback effects,”
Journal of Marketing Research, Vol. XXXIII: 453-466.
Park, C. Whan, Sandra Milberg dan Robert Lawson (1991), “Evaluation of
Brand Extensions: The Role of Product Feature Similarity and Brand
Concept Consistency.” Journal of Consumer Research, Vol.18: 185-193.
Rao, Akshay R., Lu Qu dan Robert W. Ruekert (1999), “Signaling
unobservable product qualitythrough a brand ally,” Journal of Marketing
Research, Vol. XXXVI: 258-268.
Rao, Akshay R. dan Robert W. Ruekert (1994), “Brand Alliances as Signals of
Product Quality,” Sloan Management Review (Fall) 87-97.
Richardson, Paul S., Alan S. Dick dan Arun K. Jain (1994), “Extrinsic and
Intrinsic Cue Effects on Perceptions of Store Brand Quality,” Journat of
Marketing Vol. 58: 28-36.
Rodrigue, Christina S. dan Abhijit Biswas (2004), “Brand Alliance dependency
and exclusivity: an empirical investigation,.” Journal of Product and
Brand Management Vol. 13: 477-487.
Ross, J.K., L.T. Patterson dan M.A. Stutts (1992), “Consumer Perceptions of
Organizations That Use Cause-Related Marketing,” Journal of the
Academy of Marketing Science Vol. 20: 93-97.
Santoso, Singgih (2008), “Pengaruh Brand Fit dan Sikap Konsumen pada
Sebuah Merk Individu Terhadap Sikap Konsumen pada Aliansi Merk,”
Laporan Research Project, Unpublished.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 198


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Simonin, Bernard L. dan Julie A. Ruth (1998), “Is a Company Kniown by the
Company It Keeps? Assesing the Spill Over Effects of Brand Alliances
on Consumer Brand Attitudes,” Journal of Marketing Research Vol. 35:
30-42.
Stigler, George J. (1961), “The Economics of Information,” The Journal of
Political Economy, Vol. 69: 213-225.
Trimble, Carrie S. dan Nora J. Rifon (2006), “Consumer Preceptions of
Compability in Cause-Related Marketing Messages,” International
Journal Nonprofit Voluntary Section Marketing Vol. 11: 29-47.
Ueltschy, Linda C. dan Michel Laroche (2000). “Co-Branding Internationally:
Everyone Wins?” Journal of Applied Busines Research, Vol. 20:91-102.
Vaidyanathan, Rajiv dan Praveen Aggarwal (2000). “Strategic Brand Alliances:
Implications of Ingredient Branding for National and Private Brands.”
Journal of Product and Brand Management, Vol. 9: 214-228.
Varadarajan, P. Rajan dan Anil Menon (1988), “Cause-Related Marketing: A
Coalignment of Marketing Strategy and Corporate Philanthropy,” Journal
of Marketing Vol.52: 58-74.
Walchli, Suzanne B. (2007), “The Effect of Between-Partner Congruity on
Consumer Evaluation of Co-Branded Products,” Psychology Marketing,
Vol.24: 947-973.
Wernerfelt Birger (1988) , “Umbrella branding as a signal of new product
quality: an example of signalling by posting a bond.” Journal of
Economics Vol. 19: 458-466.
Wymer, Walter dan Sridhar Samu (2008), “The Influence of Cause Marketing
Associations on Product and Cause Brand Value.” International Journal
of Nonprofit and Voluntary Sector Marketing, Vol 14: 1-20.
Wymer, W. dan Sridhar Samu (2003), “Dimensions of Business and Nonprofit
Collaborative Relationships,” Journal of Nonprofit and Public Sector
Marketing, Vol 11: 3-22.
Youn, Seounmi dan HyukSoo Kim (2008), “Antecedents of Consumer Attitudes
toward Cause-Related Marketing,” Journal of Advertising Research
(March 2008): 123-136.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 199


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

LAMPIRAN

Tabel 1. Definisi-definisi CRM:

Nama Periset dan Definisi Keterangan


Tahun Publikasi
Varadarajan & Proses formulasi dan implementasi Diacu banyak
Menon (1988) aktivitas pemasaran yang dicirikan dengan artikel, seperti
penawaran dari perusahaan untuk Chaney dan
berkontribusi dalam jumlah tertentu pada Dolli, 2000;
sebuah kegiatan sosial (cause) ketika Brink et al.,
konsumen melakukan pertukaran yang 2006;
mendatangkan pendapatan bagi Strahilevitz, M.,
perusahaan, dan memuaskan tujuan 2003; Ross et
organisasi maupun tujuan individu. al., 1992;
Jundong et al.,
2008; Webb dan
Mohr, 1998;
Lafferty et al.,
2004; Hajjat,
2003;
Barone et al. (2000) Strategi untuk mempromosikan
pencapaian dari tujuan pemasaran leat
dukungan perusahaan pada sebuah
kegiatan sosial.
Bronn dan Vrioni Proses formulasi dan implementasi
(2001) aktivitas pemasaran yang dicirikan dengan
kontribusi perusahaan untuk dalam jumlah
tertentu pada sebuah kegiatan non profit,
yang menyebabkan konsumen melakukan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 200


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pertukaran yang mendatangkan


pendapatan bagi perusahaan.
Kotler dan Lee Mendonasikan sejumlah persentase
(2005) tertentu dari hasil penjualan merk untuk
suatu kegiatan sosial berdasar penjualan
produk dalam jangka waktu tertentu.
Wymer dan Donasi dari perusahaan dalam bentuk Dikembangkan
Sargeant (2006) sejumlah uang, makanan atau peralatan dalam bentuk
dalam proporsi langsung dengan hasil tipologi
penjualan –sering dalam batas tertentu- hubungan.
untuk tujuan nirlaba.
Brink et al. (2006) Aktivitas pemasaran spesifik dari
perusahaan yang menjanjikan kepada
konsumen untuk mendonasikan sumber-
sumber perusahaan pada sebuah kegiatan
sosial untuk setiap barang atau jasa yang
terjual.

Trimble, C.S. dan Kerjasama perusahaan dengan kegiatan


N.J. Rifon (2006) sosial tertentu, atau sebuah lembaga
nirlaba yang berafiliasi dengan kegiatan
tersebut, yang disertai dengan kegiatan
komunikasi pada konsumen tentang
kegiatan tersebut, dengan tujuan
meningkatkan kesadaran dan keinginan
berbagi dana dari konsumen pada kegiatan
tersebut, dan pada saat bersamaan juga
memberi keuntungan bagi perusahaan.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 201


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 2: Definisi-definisi Aliansi Merk

Nama Periset dan Nama Produk


Definisi
Tahun Publikasi yang beraliansi
Park et al. (1996) Kombinasi dari nama-nama merk yang Composite
telah ada yang menciptakan nama merk Brand Name
komposit untuk produk yang baru.
Kotler et al. (1999) Kegiatan penggunaan nama-nama merk Co-Branding
dalam Coke dan yang telah eksis dari dua perusahaan
Ryan (2000) untuk produk yang sama.

Kapferer (1999) Kegiatan berpasangan dari dua nama Co-Branding


dalam Coke dan merk dari dua perusahaan dalam kegiatan
Ryan (2000) kolaborasi di bidang pemasaran
Rao dan Ruekert Semua keadaan dimana dua atau lebih Brand Alliances
(1994), Simonin dan nama merk ditawarkan secara bersama
Ruth (1998), dan kepada konsumen. Bentuk aliansi dapat
Rao, Qu dan Ruekert berupa produk yang terintegrasi secara
(1999) fisik sampai multi merk yang berpromosi
secara bersama.
Desai dan Keller Kegiatan pemasaran dimana sebuah Cobranded
(2002) bahan tertentu dalam penciptaan produk Ingredient
disuplai oleh (merk) dari perusahaan lain. Branding
Rodrigue dan Aliansi dua merk yang secara bersama- Brand Alliances
Biswas (2004) sama membentuk penawaran produk
yang terpisah dan dapat dibedakan
dengan yang lainnya.
Dickinson dan Baker Asosiasi jangka pendek atau jangka Brand Alliances
(2006) panjang di antara dua atau lebih merk
individu, produk, atau aset properti yang

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 202


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

lain, dimana merk atau produk tersebut


dapat direpresentasikan secara fisik
(paket produk/bundled package dari dua
atau lebih merk) atau secara simbolik
(iklan) dengan asosiasi dari nama merk,
logo atau properti aset lain dari merk.
Walchli (2007) Kegiatan menciptakan produk yang Co-Branding
ditawarkan sebagai hasil dari aliansi
diantara dua merk, dengan kedudukan
yang sama dalam hubungan kerja-sama
tersebut.

Gambar 1. Model Riset yang direncanakan


ATTITUTDE
TOWARD BRAND

PRODUCT
CATEGORY
ATTITUTDE PURCHASE
TOWARD CAUSE-
ALLIANCES INTENTION
BRAND FIT

ATTITUTDE
TOWARD CAUSE

GENDER

Sumber:
Simonin dan Ruth (1998), Baumgarth (2004), Lafferty (2004), Rodrique dan Biswas
(2004), Dickinson dan Barker (2007), James (2006), Helmig et al. (2007) dan Santoso
(2008).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 203


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

MEASURING THE BEHAVIOR OF INDIVIDUAL AND GROUP


PERFORMANCE: HIERARCHICAL LINIER MODELING
APPROACHES∗

Setyabudi Indartono∗∗

This study propose that the firms should optimized the performing stage
of performance life cycle by increasing their willingness and ability to grow in
order to reach higher competitive market structure and derive their own unique
strategic posture in a hybrid strategic group competitions to get better future
performance by directive management style i.e., clear goal setting, monitoring,
strategic preparation, seeking innovative approaches, and empowering team
members.
The background of this study was explained. Level of
conflict/competition among firms within groups will effect on their
performance (Ma, 1999). Although, in nature firms want to lead the
competition, but sometimes they felt comfort within their present performance
result (Alasdair, 2008). This comfortable and anxiety conditions would be
motivation obstacles to lead (Yerkes, 1907; McCleland, 1953, Carnal, 1995,
Handy, 1994). In order to face this situation, firms have to understand the
subsequent through firms performance life cycle behavior (Fairhust, 2007,
Alasdair, 2008)
Thus, this study try to investigate the behavioral aspect on firm that tried
to optimize their hybrid strategic group position by accelerating their
performing stage of their performance life cycle.
Keyword: performance life cycle, hybrid strategic, hierarchical linier modeling


This article was present on the preliminary proposal of PhD thesis titled “Optimize
performing stage of performance life cycle to reach more hybrid strategic group
advantages for better future performance”
∗∗
mahasiswa program PhD Business Administration National Central University
Taiwan, Staf pengajar Jurusan Manajemen Universitas Negeri Yogyakarta
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 204
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Introduction
Within Industrial competition, firms tend to compete more intensively
in group which is have similar strategic posture (Ferguson 2000). To win the
market competition, firm try to applied unique strategic postures and reach more
market structures (Cool et al, 1987). To reach competitive market structure and
derive their own unique strategic posture, firms expand their strategies by
recipes blend strategic from more than one pure strategic group (Desarbo, 2008)
Level of conflict/competition among firms within groups will effect on
their performance (Ma, 1999). Although, in nature firms want to lead the
competition, but sometimes they felt comfort within their present performance
result (Alasdair, 2008). This comfortable and anxiety conditions would be
motivation obstacles to lead (Yerkes, 1907; McCleland, 1953, Carnal, 1995,
Handy, 1994). In order to face this situation, firms have to understand the
subsequent through firms performance life cycle behavior (Fairhust, 2007,
Alasdair, 2008). White split the cycles into three level of performance. In the
first stage, there are three behavior related performance. Firstly, employee was
unwilling to undertake the work and unable to do so because lack of knowledge
and lack of skills. They work tend to focus on themselves rather than the team.
Secondly was employee willing to attempt the work but still unable to do so as
the skills are missing because the high conflict potential with team members.
And finally Unwillingness was returns, possibly due to lack of self confidence
in newly acquired skills, but they are able to do the work. Their work behavior
was focus tends to be on rules and procedures, processes, and the ‘how’ of the
work. Second stage was transition. Work characteristic of employee was willing
and able to do the work and to act as an effective team. They have focus on
changes to delivery of the objectives. Finally the third stage of performance
behavior cycle was disengaging, seeking new comfort zone, needs new goals of
performance.
In the level of firms, in the first stage, performance will felt comfort
when the organization has no willingness and ability to do so. An effect of this
condition made performance in a low level. This condition due to willingness
and ability to change presented. After willingness and ability present, firms
would ready to grow the performance. This growing process will settle towards
any other comfort zone situation.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 205


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Most of firm was fail to adapt on the transition stage. They have to
prepare the performing optimally. Thus, they will face the consequences of this
stage, adaptation. They will need strong leadership to direct the organization
within clear goal setting, monitoring, articulates strategic preparation, seeking
innovative approaches, and empowering team members. Few of study has
investigate the individual performance phenomena related to reach the
organizational performance objectives. This study propose that the firms should
optimized the performing stage of performance life cycle by increasing their
willingness and ability to grow in order to reach higher competitive market
structure and derive their own unique strategic posture in a hybrid strategic
group competitions to get better future performance by directive management
style i.e., clear goal setting, monitoring, strategic preparation, seeking
innovative approaches, and empowering team members.

Conceptual Background and hypothesis


Dynamics of Strategic Group concept
Hunt, M. (1972) coined the term strategic group as degree of
competitive rivalry by industry concentration ratios. Porter, M. (1980) also
explained strategic groups in terms of what he called "mobility barriers".
Because of these mobility barriers, companies get drawn into one strategic
group or another. When Hodgkinson, G.P. (1997) explained the strategic group
was variation in the competitive behavior and performance of firms. Strategic
Group Analysis (SGA) aims to identify organizations with similar strategic
characteristics, following similar strategies or competing on similar bases. Such
groups can usually be identified using two or perhaps three sets of
characteristics as the bases of competition. There are examples of
characteristics; extent of product (or service) diversity, extent of Geographic
coverage, number of Market segments served, distribution Channels used,
extent of Branding, Marketing Effort, Product (or service) quality, and Pricing
policy.
Strategic Group Analysis is useful in several ways. Helps identify who
the most direct competitors are and on what basis they compete, raises the
question of how likely or possible it is for another organization to move from
one strategic group to another, strategic Group mapping might also be used to
identify opportunities, and can also help identify strategic problems. Strategic

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 206


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Group Analysis
was included data source, strategic identification, group formation, group
structure validation, potency, and performance difference (Depika Nath and
Thomas S Gruca, 1977).
Previous study found that in nature firm was become a single strategic
group member. A strategic group was defined as a set of firms within an
industry that are similar to one another and different from firms outside the
group on one or more key dimensions of their strategy (Porter 1979) or a
grouping of business within an industry that is separated from others grouping
of business by mobility barriers, barriers to entry an exit (McGee and Thomas
1986, Mascarenhas 1989). Each situation has a different effect on performance.
Previous finding showed that performance within strategic group is not different
(Cool, 1988), performance within strategic group is different (McNamara,
2003), and performance within strategic group is different (B. Kabanoff and S.
Brown, 2008).

Hybrid Strategy
Further study on the strategic group was identified that firms was tend
to receive more than a single strategy, known as a hybrid strategic group.
Hybrid strategic group was defined as composed of firms that blend strategic
recipes from more than one pure strategic group to derive their own unique
strategic posture (Desarbo, 2008). Factor that urge the situation of hybrid
strategic group occur was explained. In nature, the firms who have strictly
adhere to the strategic group is core firms, but not to the secondary and solitary
firms (Desarbo 2008), mean that support on cognitive psychology, core firms
are more associate tightly with receipt of strategic group that represent to the
pure strategic group firms, but members have less it's association and change
from one to another strategic groups (Mc Namara 2003). Firms in nature also
always try to derive their strategic posture uniquely on the competition among
rivals (Desarbo, 2008) to provide opportunities for greater economic rents
(Rumelt 1982), thus firms may need to maintain balance on competitive cusp
between differentiation (Hybrid Strategic group) and conformity (pure Strategic
groups).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 207


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Performance life cycle


In nature, firms try to win or lead the competition from their rivals.
They will compete more intensively within similar firm (Ferguson 2000,
Desarbo, 2008) in a strategic group. The level and focus of the intensive
strategies will be depended on what objectives of the firms that want to reach in
the short, medium or the long runs. Each objective may have specifics
intensity’s requirements. Firms i.e., will have different intensity of strategy at
the stage of firms growth, mature, saturation and decline stage (Westkämper, E.
2000). These intensity was also may based on recent and future performance
comfort zone (Alasdair, 2008).
Implementation of the strategy is not always consistent with the planned
(dynamic situations). Some firm conditions would face mobility problems to
operate the strategies, such as anticipate any barriers to entry for the
competitions (McGee and Thomas 1986, Mascarenhas 1989). These problems
may appear differently for each stage or zone. Thus, to manage the strategies on
each stages or performance zone, manager have to look forward the entry
barrier their faced. In this case, some opportunities may have on performance
acceleration. Manager may expand the hybrid strategic group as unique
strategic posture, optimally, especially to minimize these barriers. Performance
life cycle was define that all performance will initially trend towards a steady
state, particularly after a period of performance uplift, and that steady state will
then develop a downward curve leading to a significant performance decline
(Alasdair, 2008).
A dimension of industry structure could enrich traditional models of
industrial organization in effects of competition among group on profitability
(Dravone et al 1998). A set of firms which is adopt similar strategic posture and
appear to posses similar strategic identities and compete each others more
intensively (Ferguson 2000, Desarbo, 2008).

Hypothesis: optimizing the performing stage of performance life cycle


(PLC) was able to reach higher competitive market structure and derive their
own unique strategic posture in a hybrid strategic group competition.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 208


Kolokium Nasional Program Doktor 20009

Figurre 1
Modeel of research
h

MMethod
In orrder to analy yze the hypoothesis, we firstly
f have tot separate the
t
ddifferent leveel of variable measured. Individual measurement wass different froom
tthe firm assesssment. Thus this study waas proposed using
u the hierrarchical liniier
mmodeling (H HLM) as an measurement
m a
approach (Bryyk, 2002).
Hieraarchical linierr modeling (HHLM) was abble to pose hyypotheses aboout
rrelations occuurring at eachh level and accross levels annd also assesss the amount of
vvariation at each level. It was fouund more hoomologous with w the bassic
pphenomena under
u study in
n much behavvioral and sociial research.

MMeasuremen nt
Perfoorming stage of performaance life cyclle were meassured using 15
iitems based ono Alasdair (2008).
( Items were writtenn by the authhors or obtainned
ffrom previouus research. Responses
R weere made on a 5-point Liikert-type scaale
wwith scale annchors rangingg from 1 (stroongly disagree) to 5 (stronngly agree). The
T
sample questtion asked to the participaants was “Wee are willing and able to do
oour job”. A Five-point
F likeert-type scalee was used, annd the individdual items weere
aaveraged.
Comppetitive marrket structuree and uniquue strategic posture weere
mmeasured based on Desaarbo et al (20008). Compeetitive markett structure was w
mmeasured usiing firm’s finaancial reportss of market vaalue ratios, effficiency ratioos,

Y
Yogyakarta, 11-12 Desember
D 2009 20
09
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

and scale of operations (firm Size). The financial informations of market value
ratios were, value of Tobin’s q, market to book, devidend yield, and price to
earning. The financial informations of efficiency ratios were sales to total
assest, net profit margin, Return to assets and sales per employee. The financial
informations of Scale of operations (firm Size) were, Total assets, Gross loans,
Total wordlwide deposite, Total interenst expense, Net income, Total borrowing
and Number of employee.
Unique strategic posture was measured using firm’s financial reports of
Liquidity and leverage ratios, product portofolio of loans, and product
portofolio of deposit. The financial informations of Liquidity and leverage
ratios were Current, Debt to equity, Total borrowing to total assets, and Internst
expense to total assets. The financial informations of product portofolio of loans
were gross loans to total securities and gross loans to total assets. The financial
informations of product portofolio of deposit were total investment securities to
total deposits, gross loans to total deposits, total borrowing to total deposits, and
interest expense to total deposits.

HLM Modeling
Null Model
Null model contains only a response variable and no explanatory
variables other than intercept. Null model is used as a baseline for estimation of
explained versus unexplained variances. It provided an initial estimate for the
intra class correlation.
Level-1 Model
Yij = β0j + Rij
Level-2 Model
β 0j = γ00 + υ0j

Ancova (Analysis covariance)


Ancova model contains a response variable and explanatory variables in
the level-1. Ancova model is used as an estimation of explained and
unexplained variances. Ancova assumes that 1j = 0 mean that there is no
different slope among groups.
Level-1 Model
Yij = β 0j + β 1j + Rij
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 210
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Level-2 Model
β 0j = γ00 + υ0j
β 1j = γ10

Random Coefficient model


Random Coefficient model contains a response variable and
explanatory variables in the level-1 and used as an estimation of explained and
unexplained variances. Random Coefficient model included 1j, mean that there
is different slope among groups.
Level-1 Model
Yij = β 0j + β 1j + Rij
Level-2 Model
β 0j = γ00 + υ0j
β1j = γ10 + υ1j

Intercept as an outcomes
Intercept as an outcomes contains a response variable and explanatory
variables in the level-1. There is complex coefficient model included 1j, mean
that there is different slope within individual.
Level-1 Model
Yij = β 0j + Rij
Level-2 Model
β 0j = γ00 + γ01+ υ0j

Full Model
Full Model contains variety of response variables and explanatory
variables in the level-1 and level-2. There is complex coefficient model
included υ0jand υ1j, mean that there is able to explore different slope within
individual and among groups, each level and across levels and also assess the
amount of variation at each level.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 211


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Level-1 Model Level-2 Model


Type-1 Yij = β 0j + β 1j + Rij β 0j = γ00 + γ01
β 1j = γ10
Type-2 Yij = β 0j + β 1j + Rij β 0j = γ00 + γ01 + υ0j
β 1j = γ10 + υ1j
Type-3 Yij = β 0j + β 1j + Rij β 0j = γ00 + γ01
β 1j = γ10 + υ1j
Type-4 Yij = β 0j + β 1j + Rij β 0j = γ00 + γ01 + υ0j
β 1j = γ10
Model Analysis Procedure
The model of this study was included several dimension for both
individual variable and group variable. Confirmatory factor analysis (CFA) and
high level of CFA (HCFA) or second order analysis was used to confirm the
model. Structural equation model (SEM) was used on this procedure. CFA was
used to confirm each construct model after investigate the traditional factor
loading of SPSS. Single variable of task characteristics was investigated using
HCFA. SEM was used to confirm the model overall of fit. Finally Interclass
analysis (ICC) was used to figure out the individual level behavior and firms
performance.

References

Alasdair, Antony Kenneth White (2008), From Comfort Zone to Performance


Management Understanding development and performance
Bry, Anthony S., Raudenbush, Stephen W. (2002), Hierarchical linier models;
application and data analysis methods, 2nd edition, sage publications.
Carnal (1995) Managing Change in Organizations, 1995, Prentice Hall
Cool, K.O. and DE. Schendel (1988) Performance differences among strategic
group member, strategic management journal, 9(3) pp. 207-223

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 212


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Cool, K.O. and DE. Schendel (1987), strategic group formation and
performance: the case of the U.S pharmaceutical industry 1963-1982,
Management science, 33 pp. 1102-1124
Depika Nath and Thomas S Gruca (1977), Convergent across alternative
methods for forming strategic groups, Strategic Management Journal
V.18, 9, 745-760
Desarbo, wayne, s and Rajdeep, greewal (2008), Hybrid Strategic group,
Strategic Management Journal, 29: 293–317
Dravone David, Peteraf margaret, shnley mark, (1998), Do strategic groups
exist? An economic framework for analysis, strategic Management
Journal; 19, 11 pg. 1029
Ferguson TD, Deephouse DL, Ferguson WL (2000) Do strategic groups differ
in reputation? Strategic Management Journal 21(12): 1195–1214
Handy, C., (1994) The Empty Raincoat, Hutchinson
Hunt, M. (1972), Competition in the major home appliance industry 1960-1970,
PhD Dissertation Harvard University
Mascarenhas, B., Aaker, David A (1989), Mobility barriers and strategic
groups, , Strategic Management Journal, 10, 5, pg. 475
McClelland, D.C., Atkinson, J.W., Clark, R.A., & Lowell, E.L. (1953) – The
achievement motive, 1953, Princeton
McGee and Thomas (1986), Strategic group: theory, research and taxonomy,
Academy management journal, 7(2), pp. 141-160
McNamara G, Deephouse DL, Luce RA. (2003) Competitive positioning within
and across a strategic group structure: the performance of core, secondary,
and solitary firms. Strategic Management Journal 24(2): 161–181
Porter, M.E. (1979), The structure within industries and companies
performance, Review of economics and statistics, pp. 214-227
Rumelt, R. P. (1982), theory, strategy and entrepreneurship. In D. Teece (ed)
the competitive challenge. Balingger Cabridge, MA. Pp137-158
Porter, M. (1980) Competitive strategy, freepress, NY
Yerkes, R., & Dodson, J. (1907) ‘The Dancing Mouse, A Study in Animal
Behavior’, Journal of Comparative Neurology & Psychology, Number
18, pp. 459-482

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 213


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Pengembangan dan Validasi Ukuran Iklim Keadilan Organisasional


Pada Setting Kelompok Kerja

Joseph L. Eko Nugroho∗

Abstract
This paper describes the development and validation of a
multidimensional measure of organizational justice climate (procedural
justice climate and distributive justice climate) in the context of work
unit decision making based on social justice model that had been
studied by Fondacarro, Jackson dan Luescher (2002). This study
examined the six scales and one anchor measure of procedural justice
climate and the three scales and one anchor measure of distributive
justice climate. A sample of 631 employees across 91 work units at 11
organizations completed the questionnaires. Based on the integration of
three perspectives complementary (attraction-selection-attrition, social
information processing, and social learning), the existence of
organizational justice climate on work-unit setting examined. The two
scales (accuracy and trust) and one anchor measure of procedural
justice climate and the three scales (decision control, equality and need)
and one anchor measure of distributive justice climate contain the
measure had acceptable level of reliability and validity. The result of
this study provide recommendations for other researchers to use and to
assesment the scales of organizational justice climate in other studies.
____________________
Keywords: multidimensional measure, procedural justice climate,
distributive justice climate, anchor measure


Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Program Studi Manajemen
FEB UGM dan staf pengajar Universitas Surabaya.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Djamaludin Ancok, MA;
Dr.T.Hani Handoko, MBA; Dr. B.M.Purwanto, MBA; Prof.Dr. Faturochman, MA; Dr.
Harsono , M.Sc; Dr. Budi Santosa, M.Buss. atas semua kritik dan sarannya dalam
rangka penulisan makalah ini.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 214
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Iklim keadilan organisasional (organizational justice climate) telah
menjadi bidang kajian yang semakin banyak diminati namun ukuran yang
tersedia belum terkembang secara komprehensif. Perkembangan studi ini
berawal dengan ketiadaan kerangka kerja (Mossholder et al., 1998). Kemajuan
studi di bidang ini ditandai dengan adanya konseptualisasi iklim keadilan
organisasional yang tervalidasi dan terdukung secara empiris dan berbasis pada
sejumlah perspektif untuk menjelaskan eksistensinya pada setting kelompok
(Naumann dan Bennett, 2000) bahkan beberapa peneliti
mengkonseptualisasikan pula pada setting organisasi (Dietz et al., 2003). Di
samping itu, konseptualisasi dan pemodelan iklim keadilan organisasional telah
dikembangkan seperti halnya dengan kebanyakan studi tentang iklim
organisasional (organizational climate).
Studi-studi iklim organisasional cenderung menggunakan model di
bidang perilaku organisasional, yaitu persepsian mengenai lingkungan tempat
para karyawan yang bersangkutan bekerja (Rousseau, 1988). Oleh karena itu,
pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional tidak dapat dipisahkan
dengan studi tentang iklim organisasional.
Selama ini, pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional
masih terbatas pada penggunaan satu dimensi saja sehingga pemodelan
pengukuran hanya dengan satu order secara reflektif terkait dengan indikator-
indikator yang dicakup dalam konstruk tersebut (Naumann dan Bennet, 2000;
Colquitt et al., 2002; Dietz et al., 2003; Ehrhart, 2004). Keterbatasan cakupan
dimensi dalam konstruk ini menjadi salah satu motivasi utama untuk mengkaji
ukuran iklim keadilan organisasional tersebut secara lebih komprehensif.
Beberapa peneliti sebelumnya secara tegas menggunakan pendekatan
pengagregasian untuk mengkonseptualisasikan iklim keadilan organisasional
di tingkat kelompok sebagaimana disarankan Kozlowski dan Klein (2000)
walaupun dalam penjustifikasian ukurannya mereka menggunakan pendekatan
yang berbeda-beda (seperti misalnya, Ehrhart, 2004; Liao dan Rupp, 2005).
Penelitian ini bermaksud mengkaji iklim keadilan organisasional
sebagai konstruk multidimensi dengan pengembangan ukuran yang dimodelkan
secara reflektif pada order pertama, dan pengukuran yang dimodelkan secara
formatif pada order ke dua, serta memanfaatkan variabel anchor untuk

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 215


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengintegrasikan dimensi-dimensi yang tercakup dalam konstruk tersebut.


Ukuran yang dikembangkan dan divalidasi dalam studi ini adalah iklim
keadilan prosedural (procedural justice climate) dan iklim keadilan distributif
(distributive justice climate).

2. Berbagai Isu tentang Pengukuran Iklim Keadilan Organisasional


2.1. Iklim Keadilan Organisasional dan Keadilan Organisasional
Pembahasan tentang iklim keadilan organisasional mengacu pada
konsep keadilan organisasional (organizational justice) dan konsep iklim
organisasional (organizational climate). Secara substantif konsep iklim keadilan
organisasional dibangun dengan berbasis pada konsep keadilan organisasional.
Studi tentang keadilan organisasional dikonseptualisasikan untuk menjelaskan
fenomena pada tingkat analisis individu sedangkan studi tentang iklim
organisasional dikonseptualisasikan untuk menjelaskan fenomena pada tingkat
analisis yang lebih tinggi (kelompok atau organisasi). Dengan berbasis pada
pendekatan-pendekatan tersebut, para penulis terdahulu mengembangkan
konsep iklim keadilan organisasional. Oleh karena itu, dalam studi ini untuk
pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional pemahaman tentang
konsep keadilan organisasional, tipologi keadilan organisasional, dan konsep
iklim organisasional menyediakan landasan penting bagi pengembangan
ukuran dan studi tentang iklim keadilan organisasional.
Keadilan organisasional berkenaan dengan persepsi orang mengenai
keadilan dalam setting organisasional. Penelitian-penelitian di bidang keadilan
organisasional telah mengalami perkembangan, baik dari segi setting penelitian,
model, hubungan yang signifikan antara konstruk keadilan organisasional
dengan konstruk lainnya, tingkat analisis maupun dari segi perspektif yang
digunakannya. Secara umum, tilikan literatur menunjukkan bahwa konsep
keadilan organisasional telah berkembang dari waktu ke waktu mulai dari
konstruk tunggal (keadilan distributif) hingga menjadi empat jenis konstruk,
yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan
keadilan informasional (Nowakowski dan Conlon, 2005). Di antara keempat
konstruk keadilan organisasional tersebut, terdapat dua konstruk yang menjadi
pusat perhatian studi para peneliti sebelumnya, yaitu keadilan prosedural dan
keadilan distributif (seperti misalnya, Folger dan Konovsky, 1989; Ball,
Trevino dan Sims, Jr., 1994; Ping Tang dan Sarsfield-Baldwin, 1996;

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 216


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Welbourne, 1998; Tremblay, Sire, dan Balkin, 2000; Masterson, Lewis,


Goldman dan Taylor, 2000; Simons dan Roberson, 2003; Harvey dan Hainess,
2005; Kwon, 2006; Martin dan Bennet, 1996; Erdogan, Liden, dan Kraimer,
2006; Samad, 2006.
Akhir-akhir ini, para peneliti banyak menaruh perhatian pada
pengembangan konstruk keadilan organisasional pada tingkat analisis yang
lebih tinggi (kelompok atau organisasi) dengan mengembangkan konsep iklim
keadilan organisasional (organizational justice climate). Pengembangan
konstruk pada tingkat analisis yang lebih tinggi tersebut sejalan pula dengan
dikembangkannya beberapa pendekatan pengagregasian untuk menjustifikasi
konstruk tersebut pada tingkat analisis yang lebih tinggi.
Walaupun para peneliti sebelumnya telah banyak mengkaji dan
membedakan keadilan prosedural dan keadilan distributif namun kebanyakan
penelitian sebelumnya lebih tertarik untuk mengkaji satu tipe konstruk keadilan
organisasional, yaitu keadilan prosedural. Demikian pula halnya pada studi
iklim keadilan organisasional bahwa ukuran yang banyak dikembangkan
adalah ukuran iklim keadilan prosedural (Mossholder et al., 1998; Naumann
dan Bennet, 2000; Colquitt et al., 2002; Ehrhart, 2004) namun demikian sampai
sejauh ini ukuran iklim keadilan distributif sampai saat ini belum dikaji.

2.2. Iklim Keadilan Organisasional


Secara konseptual dan empiris, iklim keadilan prosedural sudah
terdukung eksistensi dan pengaruhnya dalam menjelaskan perilaku individu di
tempat kerja dan hasil-hasil organisasional (Naumann dan Bennet, 2000;
Colquitt et al., 2002; Ehrhart, 2004). Dalam studi-studi tersebut pengembangan
ukuran iklim keadilan prosedural didasarkan pada konsep keadilan prosedural
sebagaimana dikemukakan dan divalidasi oleh Colquitt (2001). Di samping itu,
berbasis pada beberapa jenis konstruk yang dikembangkan Colquitt (2001)
beberapa peneliti telah mengembangkan dan mengkaji tiga jenis ukuran iklim
keadilan organisasional, yaitu iklim keadilan prosedural, iklim keadilan
informasional, dan iklim keadilan interpersonal (seperti misalnya, Liao dan
Rupp, 2005). Kelemahan utama studi-studi itu adalah konstruk yang dikaji
masih terbatas dan belum terintegrasi. Dalam studi-studi tersebut iklim keadilan
organisasional belum melibatkan dimensi-dimensi atau sub skala-sub skala atau
faktor yang komprehensif sehingga kemampuan untuk menjelaskan variabel

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 217


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

criterion menjadi terbatas. Oleh karenanya ketika konstruk tersebut dikaji dalam
hubungannya dengan konstruk-konstruk lainnya belum memberikan hasil
sebagaimana yang diharapkan (seperti misalnya, Liao dan Rupp, 2005).
Dengan demikian, terdapat kebutuhan untuk pengembangan ukuran iklim
keadilan organisasional yang lebih komprehensif dan terintegrasi secara
konseptual serta teruji secara empiris.
Studi-studi empiris yang melibatkan konstruk iklim keadilan
organisasional telah memberikan landasan pemahaman yang lebih luas tentang
fenomena perilaku manusia yang mengarah pada hubungan-hubungan di antara
individu-individu dan aspek-aspek lingkungan sosial yang lebih luas (dalam
kelompok kerja dan/atau organisasi). Penjelasan ini sejalan dengan pemikiran
para teoritisi yang berorientasi pada ekologi sosial (seperti misalnya,
Bronfenbrenner, 1979; Moos, 1973). Pandangan terhadap fenomena tersebut
juga sejalan pula dengan yang dikemukakan Tyler dan Lind (1992) bahwa
model-model relasional tentang perilaku manusia semakin menjadi sentral bagi
teori-teori kontemporer untuk mengkaji keadilan prosedural.
Di samping itu, para peneliti di bidang keadilan distributif (Deutsch,
1975; Tornblom, 1992 dalam Fondacarro et al., 2002) sejak lama telah
mengakui bahwa nilai-nilai dasar yang berakar dalam sistem makro pada
akhirnya menyebar luas ke berbagai konteks mikro sosial dalam sebuah kultur.
Dengan demikian, menyimak luasnya fenomena perilaku individu/individu
dalam kelompok telah menimbulkan dorongan untuk mengembangkan ukuran
iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif yang mencakup
dimensi atau faktor yang lebih luas pada konstruk-konstruk yang dikaji agar
dapat menangkap fenomenanya secara lebih komprehensif. Oleh karena itu,
pertanyaan utama yang muncul adalah dimensi-dimensi atau faktor-faktor apa
saja yang dicakup dalam iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan
distributif.

2.3. Dimensi atau Faktor Iklim Keadilan Organisasional


Studi-studi yang ada mengenai iklim keadilan organisasional
dikarakterisasikan dengan oleh ketiadaan dimensi atau faktor yang dicakup
dalam konstruk tersebut. Seperti misalnya, Naumann dan Bennnett (2000)
mengidentifikasi iklim keadilan prosedural sebagai konstruk yang terdiri atas
sembilan indikator, Ehrhart (2004) dan Dietz et al., (2003) mengidentifikasi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 218


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

iklim keadilan prosedural sebagai konstruk yang terdiri atas empat indikator.
Masing-masing indikator yang tercakup dalam konstruk tersebut didapatkan
dari indikator-indikator yang telah dikembangkan dalam konstruk keadilan
prosedural. Pendekatan yang serupa juga terjadi dalam studi Liao dan Rupp
(2005) ketika mengkaji tiga jenis iklim keadilan organisasional. Walaupun
jenis-jenis keadilan organisasional sebagaimana divalidasi Colquitt (2001) telah
diacu banyak peneliti dan menjadi basis pengembangan ukuran iklim keadilan
organisasional namun demikian konstruk tersebut belum dikembangkan secara
komprehensif.
Dalam beberapa dekade terakhir, para penulis di bidang keadilan sosial
(social justice) mencatat tentang pengembangan faktor-faktor yang perlu
dicakup dalam konstruk keadilan prosedural dan keadilan distributif yang telah
dikembangkan secara lebih komprehensif. Beberapa catatan penting yang
menggambarkan kemajuan dalam mengkonseptualisasikan konstruk keadilan
organisasional telah dikemukakan beberapa penulis, yaitu berkenaan dengan
pandangan bahwa: (a) orang menggunakan kriteria dan membuat judgments
tentang keadilan prosedural (Tyler et al., 1997), (b) judgments yang dibuat
mengenai kontrol, baik mengenai kontrol terhadap proses maupun kontrol
terhadap hasil, masing-masing mempunyai peranan yang penting (Thibaut dan
Walker, 1975), (c) terdapat enam kriteria penting untuk mengevaluasi keadilan
prosedural: consistenscy, bias suppression, accuracy, correctability,
representation, dan ethicality (Leventhal, 1980), (d) nilai kelompok dan model
relasional juga memainkan peranan penting sebagai kriteria non kontrol dalam
pengevaluasian keadilan prosedural, yaitu neutrality, standing, dan trust (Lind
dan Tyler, 1988; Tyler dan Lind, 1992), (e) terkompilasikannya ukuran yang
digunakan untuk menilai, baik berbasis pada kriteria keadilan prosedural
maupun kriteria keadilan distributif (Tyler dan Lind, 1992), (f) terdapat tiga
prinsip distribusi terkait dengan keadilan terhadap hasil, yaitu equity, equality,
dan need yang menjadi fokus para peneliti keadilan sosial (Deutsch, 1975, 1985,
Schwinger, 1980; Steil dan Makowski, 1989), (g) setiap prinsip distribusi pada
dasarnya mempunyai konsekuensi interpersonal yang berbeda-beda, yaitu:
equity menumbuhkan persaingan, equality menumbuhkan harmoni kelompok,
dan need menumbuhkan perkembangan dan kesejahteraan pribadi (personal
well-being).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 219


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Berbasis pada gagasan-gagasan tersebut, Fondacarro et al., (2002) telah


mengidentifikasi 10 faktor (sub skala) yang tercakup dalam konstruk keadilan
prosedural dan lima sub skala yang tercakup dalam konstruk keadilan
distributif. Sub skala atau faktor yang dicakup dalam konstruk keadilan
prosedural, yaitu: process control, voice, consistency, neutrality, accuracy,
correction, dignity/respect, standing/status recognition, trust, dan global
procedural fairness. Di samping itu, faktor yang dicakup dalam konstruk
keadilan distributif adalah decision control, equity, equality, need, dan global
outcome fairness. Hasil analisis faktor pada sembilan faktor konstruk keadilan
prosedural (tanpa melibatkan global procedural fairness) dengan menggunakan
kriteria eigenvalue lebih besar satu menghasilkan lima faktor yang terekstraksi,
yaitu process control, correction, dignity/respect, standing/status recognition,
trust. Di pihak lain, analisis faktor pada empat faktor konstruk keadilan
prosedural (tanpa melibatkan global distributive fairness) menghasilkan empat
faktor yang terekstraksi, yaitu decision control, need, equality, dan equity.
Dalam studi empirisnya Fondacarro et al. (2002) telah memvalidasi
faktor-faktor keadilan prosedural dan keadilan distributif pada setting
pengambilan keputusan keluarga, padahal dalam penelitian ini setting yang
digunakan adalah lingkungan unit kerja organisasional. Karakteristik setting
pengambilan keputusan di lingkungan kerja mempunyai kemiripan dengan
karakteristik setting pengambilan keputusan di keluarga. Dalam setting
keluarga, pengambilan keputusan menyangkut hubungan orangtua dengan anak-
anaknya yang masih remaja, sedangkan dalam setting lingkungan unit kerja
organisasional, pengambilan keputusan menyangkut hubungan kerja antara
atasan langsung dengan para anggota unit kerjanya. Dengan demikian,
permasalahan yang muncul adalah apa saja faktor-faktor keadilan prosedural
dan keadilan distributif yang perlu dicakup dalam studi iklim keadilan
prosedural dan iklim keadilan distributif pada setting lingkungan unit kerja
organisasional.

2.4. Hubungan Iklim keadilan Organisasional dengan Hasil-hasil Kerja


Studi-studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa iklim keadilan
organisasional (iklim keadilan prosedural) telah dikaji dan dihubungkan dengan
berbagai hasil-hasil kerja organisasional. Hasil-hasil kerja organisasional
tersebut, antara lain meliputi: kepuasan kerja dan komitmen organisasional

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 220


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

(Mossholder et al., 1998), helping behaviors (Naumann dan Bennett, 2000),


kinerja tim dan absensi tim (Colquitt et al., 2002), workplace aggresion (Dietz
et al., 2003), perilaku kewargaan organisasional-kelompok (Ehrhart, 2004),
komitmen pada organisasi, komitmen pada penyelia, kepuasan pada organisasi,
kepuasan pada penyelia, perilaku kewargaan yang diarahkan pada organisasi,
dan perilaku kewargaan yang diarahkan pada penyelia (Liao dan Rupp, 2005).
Menyimak studi-studi tersebut, kemajuan-kemajuan yang ada dalam
pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional masih terbatas atau belum
menyediakan akumulasi pengetahuan yang komprehensif. Masing-masing
peneliti masih berupaya untuk meyakinkan adanya eksistensi iklim keadilan
organisasional dengan menggunakan berbagai perspektif yang dipilihnya.
Bahkan argumen-argumen yang ada untuk menjelaskan pengaruhnya pada
berbagai hasil-hasil kerja organisasional masih menyisakan kelemahan-
kelemahan yang terjadi. Hal ini terjadi karena setiap peneliti menggunakan
pendekatan pengukuran yang berbeda-beda, dan masih banyak instrumen yang
belum tervalidasi, dirancang secara terbatas, serta spesifikasi tingkat analisis
yang belum meyakinkan banyak pihak atau menimbulkan perdebatan baru.

2.5. Ukuran Iklim Keadilan Organisasional Yang Sudah Dikembangkan


Salah satu kelemahan utama dalam banyak ukuran iklim keadilan
organisasional adalah tidak adanya basis teoritikal yang jelas. Ketiadaan
kerangka kerja teoritis yang mendasari pengembangan ukuran tersebut
mengakibatkan peneliti sebelumnya menggunakan indikator-indikator yang
berbeda-beda dalam pengukuran iklim keadilan prosedural, Seperti misalnya,
Ehrhart (2004) hanya menggunakan empat indikator dari tujuh indikator yang
ada; Mossholder et al. (1998), menggunakan indikator yang dikembangkan
berdasarkan aspek-aspek yang menjadi fokus kajiannya, yaitu facets of
procedural and managerial aspects.
Berawal dengan tidak adanya kejelasan kerangka kerja teoritis, para
peneliti sebelumnya menggunakan pendekatan pengukuran iklim keadilan
organisasional secara berbeda-beda, seperti misalnya, Mossholder et al. (1998)
menggunakan pendekatan pengukuran sebagai penilaian terhadap sistem
manajemen sumberdaya manusia dengan foci pada penyelia dan organisasi
secara bersamaan, sedangkan Naumann dan Bennett (2000) mendekatinya
dengan items wording yang mencerminkan a work group reference untuk

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 221


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

setiap foci yang dikaji. Sementara itu, peneliti lainnya mendekati


pengukurannya berdasarkan sudut pandang dan perasaan responden (Dietz et
al., 2002).
Ketiadaan konsistensi dalam mengkonseptualisasikan iklim keadilan
organisasional juga ditunjukkan dalam studi-studi berikut. Seperti misalnya,
Naumann dan Bennett (2000) mengkonseptualisasikan sebagai kognisi tingkat
kelompok, Liao dan Rupp (2005) mengkonseptualisasikannya sebagai
persepsian para anggota kelompok, sedangkan peneliti lainnya tidak
mengkonseptualisasikannya secara jelas (Mossholdet et al., 1998; Colquitt et
al., 2002; Ehrhart, 2004)
Dua tipe ukuran keadilan organisasional, yaitu keadilan prosedural dan
keadilan distributif telah menjadi tipe ukuran yang banyak dikaji pada tingkat
analisis individual (seperti misalnya, Folger dan Konowski, 1989; Ping Tang
dan Sarsfield-Baldwin, 1996) bahkan mereka dapat membedakan pengaruh
masing-masing tipe keadilan organisasional (keadilan prosedural dan keadilan
distributif) pada perilaku individu dan hasil-hasil organisasional. Namun
demikian, studi-studi tersebut lebih berfokus pada satu tipe keadilan
organisasional saja, yaitu keadilan prosedural. Oleh karena itu ketika para
peneliti mengembangkan studi pada tingkat analisis yang lebih tinggi maka tipe
iklim keadilan prosedural lebih banyak diminati (seperti misalnya, Mossholder
et al., 1998; Naumann dan Bennett, 2000; Colquitt, 2002; Dietz et al., 2003;
Ehrhart, 2004).
Di samping itu, studi-studi yang ada selama ini mengkaji iklim keadilan
organisasional sebagai konstruk reflektif hanya dengan mengandalkan pada satu
faktor saja padahal melalui studi yang melibatkan banyak dimensi
memampukan untuk mendapatkan hasil/penjelasan yang lebih spesifik ketika
iklim keadilan organisasional dikaji dalam hubungannnya dengan konstruk
lainnya. Dengan kata lain, penerapan pendekatan multidimensi memampukan
untuk mengidentifikasi pengaruh factor-faktor iklim keadilan organisasional
pada ukuran-ukuran hasil-hasil tertentu.

2.6. Pendekatan Pengagregasian Data


Ketika iklim keadilan organisasional dikaji pada tingkat kelompok atau
organisasi maka aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan adalah berkenaan
dengan rumusan konseptualisasi, rumusan definisi operasional, dan pendekatan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 222


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

untuk menjustifikasi data agregat. Di antara aspek-aspek tersebut aspek yang


masih menjadi isu perdebatan adalah pendekatan pengagregasian. Para peneliti
sebelumnya cenderung menggunakan indeks agregasi, yaitu rWG (seperti
misalnya, Dietz et al., 2003; Ehrhart, 2004; Liao dan Rupp, 2005). indeks rWG
mempunyai kelemahan bahwa spesifikasi yang tepat untuk null distribution
masih menjadi perdebatan (Dunlap et al., 2003).
Selain itu, isu lainnya yang masih berkaitan dengan pendekatan
pengagregasian adalah pemodifikasian rumusan item yang digunakan untuk
pengukuran. Kebanyakan peneliti memodifikasi rumusan item dari konstruk
keadilan organisasional di tingkat individual tanpa menyebutkan model atau
pendekatan yang dipilih. Liao dan Rupp (2005) secara jelas memilih model
komposisi direct-consensus composition model sebagaimana disarankan Chan
(1998). Penyusunan item wordings harus menjadi bahan pertimbangan pula
dalam penentuan pilihan pendekatan pengukuran data agregat yang dapat
menghasilkan agreement (Klein et al., 2001). Hasil studi sebelumnya dan
gagasan yang dikemukakan Chan (1998) dan Klein et al.(2001) perlu dijadikan
basis dalam penentuan model komposisi dan pilihan rumusan item wordings
untuk mendapatkan data agregat.
Secara keseluruhan isu-isu yang ada terkait dengan pengembangan
ukuran iklim keadilan organisasional selama perlu dijadikan pertimbangan
ketika hendak mengembangkan dan memvalidasi ukuran iklim keadilan
organisasional secara lebih komprehensif. Oleh karena itu sesuai dengan
permasalahan, isu yang dan maksud penelitian yang telah dirumuskan maka
pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional pada setting unit kerja
perlu berbasis pada kerangka teoritis yang jelas. Oleh karena itu, penelitian ini
membutuhkan data yang dikumpulkan dari berbagai unit kerja yang telah
dispesifikasikan pada berbagai instansi. Selanjutnya, pada bagian berikut
dibahas perspektif-perspektif yang dijadikan basis kerangka teoritis untuk
mengkaji iklim keadilan organisasional (iklim keadilan prosedural dan iklim
keadilan distributif)

3. Rerangka Teoritis
3.1. Integrasi Perspektif dan Hasil Studi Sebelumnya
Untuk menghadapi masalah penentuan faktor-faktor yang dicakup
dalam iklim keadilan organisasional dalam penelitian ini dilakukan dengan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 223


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengadopsi kerangka kerja teoritis dengan mengintegrasikan secara


komplementer tiga perspektif, yaitu perspektif attraction-selection-attrition
(ASA), social information processing (SIP), dan social learning theory (SLT)
yang masing-masing telah dikemukakan oleh Schneider (1975); Salancik dan
Pfeffer (1978); Bandura (1977). Secara garis besar, deskripsi masing-masing
perspektif tersebut disajikan pada Tabel 1.1 sebagaimana tersaji dalam
lampiran.
Apapun pilihan kerangka kerjanya, suatu hal yang penting diperhatikan
dalam pengembangan model pengukuran iklim keadilan organisasional adalah
kebutuhan adanya anchor bagi ukuran iklim keadilan organisasional pada
tingkat unit atau kelompok kerja. Ukuran anchor tersebut dimaksudkan sebagai
suatu pendekatan analisis yang digunakan untuk mengintegrasikan dan menilai
faktor-faktor iklim keadilan organisasional di tingkat unit kerja atau kelompok
kerja. Selanjutnya, dengan memanfaatkan anchor ukuran tersebut maka
tersedia pendekatan untuk mengkategorikan iklim keadilan organisasional
dalam dua tipe, yaitu iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif.
Pengintegrasian perspektif ASA, SIP, dan SLT diharapkan mampu
menyediakan kerangka kerja yang mendasari eksistensi iklim keadilan
organisasional di tingkat unit kerja atau kelompok kerja. Masing-masing dari
ketiga perspektif tersebut menyediakan penjelasan teoritik yang saling
melengkapi untuk mengkaji eksistensi iklim keadilan organisasional pada
tingkat unit kerja atau kelompok kerja. Walaupun tidak semua perspektif
tersebut (ASA, Social Information Processing Theory, Social Learning Theory)
dikembangkan pada level of analysis yang sama namun ketiganya dapat
digunakan untuk menjelaskan fenomena eksistensi iklim keadilan
organisasional setting kelompok kerja.
Kelebihan utama pengintegrasian ketiga perspektif tersebut secara
komplementer adalah selain menyediakan argumen-argumen teoritik untuk
menjelaskan eksistensi iklim keadilan organisasional di tingkat unit kerja atau
kelompok kerja namun juga dapat dijadikan dasar untuk mengkaji hubungan
antara iklim keadilan organisasional dengan perilaku individu-individu yang
menjadi anggota kelompok kerja yang bersangkutan.

3.2. Penelusuran Dimensi-dimensi Iklim Keadilan Organisasional

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 224


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Schneider (1975, 1990) pernah mengemukakan gagasan terkait dengan


penentuan faktor-faktor yang dicakup dalam konstruk iklim organisasional. Ia
berpendapat bahwa dimensi-dimensi iklim organisasional akan berbeda-beda
tergantung pada maksud penelitian dan variabel criterion yang dikaji. Maksud
penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan memvalidasi ukuran iklim
keadilan organisasional yang dapat mengidentifikasi faktor-faktor tertentu
dalam cakupan iklim keadilan organisasional yang berperan dalam menjelaskan
perilaku individu dalam setting unit kerja.
Pendekatan yang diambil untuk memperluas faktor-faktor iklim
keadilan organisasional didasarkan pada model keadilan sosial dan
mempertimbangkan: (1) studi-studi sebelumnya yang telah mengidentifikasi
dan mengkompilasikan dimensi-dimensi atau faktor-faktor keadilan
organisasional secara lebih komprehensif, (2) kecukupan jumlah faktor yang
valid dan reliabel untuk dapat dibangun guna menangkap fenomena eksistensi
iklim keadilan organisasional, (3) luasnya cakupan dimensi-dimensi perilaku
individu yang akan dijelaskan oleh keberadaan iklim keadilan organisasional
tersebut, dan (4) kesamaan dan perbedaan karakteristik setting pada studi
sebelumnya dengan karakteristik setting pada studi ini.
Beberapa peneliti telah mengkompilasi dan mengkaji faktor-faktor yang
yang valid dan reliabel dalam cakupan keadilan organisasional (seperti
misalnya, Fondacarro et al., 2002). Sesuai hasil analisis faktor tersebut, semua
faktor yang berhasil terekstraksi perlu dicakup dalam konstruk keadilan
prosedural. Oleh karena itu, menyimak hasil pengembangan faktor-faktor
ukuran yang telah didentifikasi Fondacarro et al., (2002) menunjukkan bahwa
hasil kajian tentang faktor-faktor keadilan prosedural dan keadilan distributif
memberikan cakupan yang lebih komprehensif bagi masing-masing dari kedua
konstruk tersebut. Namun demikian, sejalan dengan gagasan Schneider (1975,
1990), hasil studi tersebut perlu dikaji lebih lanjut dari segi validitas isi faktor-
faktor yang teridentifikasikan dengan karakteristik setting penelitian. Tabel 1.2
menyajikan faktor-faktor keadilan prosedural dan keadilan distributif yang
dikaji dalam penelitian ini.
Hasil studi Fondacarro et al. (2002) telah mengekstraksi faktor-faktor
keadilan prosedural tersebut sehingga dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu
faktor-faktor yang terkait dengan kriteria kontrol dan kriteria non kontrol.
Faktor keadilan prosedural yang terkait dengan kriteria kontrol ada dua, yaitu

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 225


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

process control (PC), dan correction (CO) sedangkan faktor yang terkait
dengan kriteria non kontrol ada tiga, yaitu dignity/respect (DR), standing/status
recognition (SR),dan trust (TR). Oleh karena itu untuk mendapatkan
kecukupan dalam menangkap fenomena keadilan prosedural dalam setting
pengambilan keputusan lingkungan unit kerja organisasional, faktor yang perlu
ditambahkan dalam cakupan ukuran keadilan prosedural adalah faktor accuracy
(AC). Faktor accuracy ini termasuk dalam kategori faktor kriteria kontrol
Selanjutnya, faktor-faktor yang terekstraksi dari hasil analisis faktor
keadilan distributif tidak dapat dilibatkan semuanya dalam setting pengambilan
keputusan lingkungan unit kerja organisasional karena terdapat faktor yang
tidak relevan dengan kondisi sistem mikro (unit kerja) di Indonesia, yaitu faktor
equity. Di samping itu, faktor equity diputuskan untuk tidak dilibatkan dalam
cakupan konstruk keadilan distributif karena faktor tersebut berperan
menumbuhkan persaingan antara individu dalam setting unit kerja. Dengan
demikian, dimensi-dimensi atau faktor-faktor yang dikaji dalam pengembangan
ukuran iklim keadilan prosedural, yaitu process control, correction
dignity/respect, standing/status recognition, trust, dan accuracy. Faktor-faktor
yang dikaji dalam iklim keadilan distributif,yaitu decison control (DC), equality
(EQ), dan need (NE). Di samping itu, anchor measure untuk iklim keadilan
prosedural adalah global procedural fairness (GP), dan anchor measure untuk
iklim keadilan distributif adalah global outcome fairness (GO).

3.3. Eksistensi Iklim Keadilan Organisasional Sebagai Faktor Kontekstual


di Tingkat Kelompok Kerja
Eksistensi iklim keadilan organisasional yang terbentuk pada tingkat
kelompok kerja menjadi determinan penting bagi hasil-hasil organisasional
telah dikaji beberapa penulis sebelumnya dengan menggunakan perspektif dan
fokus yang berbeda-beda (seperti misalnya, Naumann dan Bennett, 2000; Liao
dan Rupp, 2005). Penelitian ini menerapkan perspektif-perspektif attraction-
selection-attrition (ASA) (Schneider, 1975; 1987), pemrosesan informasi sosial
(social information processing) (Salancik dan Pfeffer, 1978), dan pembelajaran
sosial (social learning) (Bandura, 1977; 1986) secara komplementer sebagai
basis untuk menjelaskan eksistensi iklim keadilan organisasional di tingkat
kelompok kerja. Di samping itu, ketiga perspektif tersebut secara

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 226


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

komplementer juga digunakan sebagai basis untuk memprediksikan pengaruh


iklim keadilan organisasional pada perilaku individu.
Kerangka kerja ASA menyarankan bahwa individu-individu dengan
sikap, kognisi, persepsi dan perilaku yang serupa cenderung tertarik pada,
diseleksi oleh, dan bertahan pada suatu lingkungan kerja (Schneider, 1987).
Walaupun perspektif ASA ini terutama digunakannya pada tingkat analisis
organisasi namun argumen ini menjelaskan proses yang sama pada tingkat
analisis kelompok. Oleh karena itu, sesuai perspektif ASA, individu-individu
yang menjadi anggota dan bekerja dalam suatu kelompok berupaya untuk
beradaptasi dengan persepsi, sikap, dan perilaku rekan-rekan sekerjanya
sedangkan individu-individu yang merasa tidak mampu beradaptasi akan
meninggalkan organisasi sehingga individu-individu yang ada di dalam
kelompok kerja tersebut seharusnya cenderung relatif homogin. Dengan
demikian, individu-individu yang menjadi dalam kelompok kerja tersebut
mempunyai persepsi yang sama mengenai perlakuan yang dialami dari pihak
organisasi.
Terdapat berbagai mekanisme proses ASA berfungsi untuk
menghasilkan tingkat kesamaan (similarity) persepsi dalam kelompok-
kelompok kerja. Seperti misalnya, dalam hal penempatan karyawan, pihak
manajemen mungkin mencoba menempatkan karyawan baru pada suatu
kelompok kerja yang dipandang cocok dengan karakteristik dan persepsi
kelompok kerja tersebut; penilaian persepsi secara implisit tersebut akan
mempengaruhi keputusan penempatan sehingga orang-orang yang nampak
sama dalam hal karakteristik dan persepsi dikelompokkan secara bersama-sama.
Kesamaan dalam hal persepsi juga terjadi ketika individu-individu merasa lebih
tertarik (attracted) pada anggota-anggota suatu kelompok kerja yang
mempunyai karakteristik dan persepsi yang sama sebagaimana dirinya.
Individu-individu yang berada dalam kelompok kerja dengan karakteristik dan
persepsi yang sama tersebut cenderung bertahan di dalam kelompok kerja
tersebut. Sebaliknya, individu yang ditempatkan dalam kelompok yang tidak
sama dengan karakteristik dirinya cenderung untuk meninggalkan kelompok
kerja tersebut atau pindah pada kelompok kerja lainnya di dalam organisasi
yang sama.
Di samping itu, teori pemrosesan informasi sosial juga menjelaskan
adanya kesamaan karakteristik dan persepsi di antara individu-individu dalam

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 227


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kelompok kerja karena ketika dalam kelompok kerja mereka saling saling
berbagi informasi dan tanda-tanda sosial dengan rekan-rekan sekerjanya dalam
kelompok. Informasi dan tanda-tanda sosial yang didapatkannya tersebut
dijadikan basis untuk menginterpretasikan kejadian-kejadian yang ada dalam
lingkungan sosialnya. Dengan menerapkan perspektif ini, dapat dikemukakan
bahwa dari waktu ke waktu, individu-individu di dalam kelompok kerja tersebut
akan mempunyai karakteristik dan persepsi yang cenderung semakin homogin
mengenai perlakuan dari pihak organisasi sebagaimana dialaminya dan dialami
rekan-rekan sekerjanya dalam kelompok.
Argumen-argumen yang dikemukakan kedua teori tersebut juga
konsisten dengan teori pembelajaran sosial namun demikian penjelasan yang
diberikan teori pembelajaran sosial kurang eksplisit dibandingkan dengan
kedua teori sebelumnya. Individu-individu yang ada dalam kelompok kerja
menggunakan rekan-rekan sekerjanya sebagai model dalam berperilaku. Sejauh
rekan-rekan sekerja yang dijadikan model peran menunjukkan kesamaan
karakteristik dan persepsi maka anggota individual dalam kelompok yang
bersangkutan akan memilih persepsi yang sama dengan rekan-rekan sekerjanya
sebagai pencerminan norma-norma kelompok. Dengan demikian, secara
keseluruhan individu-individu dalam kelompok kerja tersebut juga akan
mempunyai kesamaan persepsi mengenai perlakuan dari pihak organisasi.
Dengan menggunakan ketiga perspektif tersebut secara komplementer,
individu-individu yang berada dalam kelompok kerja menganalisis lingkungan
kerja mereka secara cermat atas informasi dan tanda-tanda sosial yang
didapatkan untuk digunakan sebagai basis untuk menginterpretasikan perlakuan
dari pihak organisasi, dan untuk basis penilaian ketepatan keyakinan, sikap,
persespi yang dimilikinya dengan memanfaatkan rekan-rekan sekerjanya dalam
kelompok yang bersangkutan sebagai model dalam berperilaku, dan dalam
mempersepsi perlakuan pihak organisasi sebagaimana dialaminya. Secara
keseluruhan, dari waktu ke waktu, perlakuan dari pihak organisasi sebagaimana
dialami individu-individu dalam kelompok kerja akan membentuk persepsi
kolektif yang semakin homogin. Dengan demikian, sesuai dengan penjelasan
ketiga perspektif tersebut maka eksistensi iklim keadilan organisasional di
tingkat kelompok terbentuk karena adanya kesamaan atau kesepakatan persepsi
yang dipegang individu-individu dalam suatu kelompok kerja. Oleh karena itu,
iklim keadilan organisasional dapat didefinisikan secara konseptual sebagai

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 228


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

persepsian kolektif yang dipegang individu-individu dalam kelompok kerja


secara keseluruhan mengenai aspek perlakuan dari atasan langsungnya dalam
pengambilan keputusan di unit kerja yang dipimpinnya (kebijakan-kebijakan,
praktik-praktik, dan prosedur-prosedur) sebagaimana dialami mereka di tempat
kerja. Definisi konseptual iklim keadilan organisasional tersebut dapat dijadikan
acuan dalam merumuskan definisi konseptual untuk iklim keadilan proseduran
dan iklim keadilan distributif.
Walaupun model dua faktor tentang keadilan organisasional banyak
diminati para peneliti (seperti misalnya, Ball, Trevino, dan Sims, Jr., 1994;
Tremblay, Sire, dan Balkin, 2000; Folger dan Konovsky, 1989; Martin dan
Bennett, 1996; Moorman, 1991; Erdogan, Liden, dan Kraimer, 2006;
Masterson, Lewis, Goldman, dan Taylor, 2000; Simons dan Roberson, 2003)
namun perdebatan masih terjadi perdebatan berkenaan dengan kemampuan
prediktif masing-masing tipe keadilan organisasional tersebut dalam
memprediksikan sikap dan perilaku individu. Para peneliti sebelumnya
berkesimpulan bahwa individu mempunyai reaksi yang berbeda terhadap kedua
tipe keadilan organisasional (keadilan prosedural dan keadilan distributif)
(Colquitt et al., 2001). Secara lebih spesifik, Moorman (1991) berkesimpulan
bahwa keputusan individu untuk berperilaku kewargaan organisasional lebih
merupakan hasil evaluasi positip umum tentang sistem organisasional, institusi,
dan pihak berwenang yang diakibatkan oleh keadilan keadilan prosedural
daripada evaluasi tentang masalah hasil-hasil yang spesifik. Keterikatan
individu dalam berperilaku kewargaan organisasional lebih didorong oleh
keadilan prosedural daripada didorong oleh keadilan distributif.
Secara umum, reaksi individu terhadap masing-masing tipe keadilan
organisasional (model dua faktor) dapat dibedakan. Oleh karena itu, reaksi
individu yang berbeda terhadap fenomena keadilan prosedural dan keadilan
distributif yang dialaminya membawa implikasi lanjut bahwa iklim keadilan
prosdural dan iklim keadilan distributif juga dapat dibedakan oleh individu-
individu dalam suatu unit kerja. Deskripsi tentang karakteristik peran
fungsional kedua tipe keadilan organisasional tersebut telah mendorong para
peneliti selama ini untuk lebih banyak mengkaji tentang peran fungsional
keadilan prosedural dalam memprediksikan sikap dan perilaku individu.
Selanjutnya, untuk dapat mengkonseptualisasikan iklim keadilan
prosedural (IKP) dan iklim keadilan distributif (IKD) maka konseptualisasi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 229


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

keadilan organisasional sebagaimana telah dikemukakan para peneliti


sebelumnya (Colquitt et al., 2001) dan konseptualisasi yang dikemukakan Lind
dan Tyler (1988), Tyler et al. (1997) perlu dijadikan acuan untuk
merumuskannya sesuai penjelasan-penjelasan teoritik yang berasal dari
perspektif-perspektif ASA, pemrosesan informasi sosial, dan pembelajaran
sosial.
Masing-masing tipe iklim keadilan organisasional (iklim keadilan
prosedural dan iklim keadilan distributif) tersebut perlu didefinisikan secara
terpisah. Pemisahan masing-masing tipe iklim keadilan organisasional ini
didasarkan pada pandangan dan kenyataan bahwa individu-individu
berkemampuan untuk membuat penilaian yang berbeda terhadap masing-
masing tipe keadilan organisasional tersebut (Colquitt, 2001; Colquitt et al.,
2001), dan didasarkan pula pada pandangan bahwa individu memberikan reaksi
yang berbeda terhadap masing-masing tipe keadilan organisasional tersebut
(Colquitt et al., 2001; Moorman, 1991).
Berbasis pada perspektif-perspektif dan pandangan-pandangan yang
telah dikemukakan maka iklim keadilan prosedural (IKP) didefinisikan secara
konseptual sebagai persepsi agregat para individu dalam kelompok kerja
mengenai penilaian terhadap perilaku atasan langsung untuk bertindak adil
dalam pengambilan keputusan kerja bagi individu-individu secara keseluruhan
dalam kelompok kerja sedangkan iklim keadilan distributif (IKD) didefinisikan
secara konseptual sebagai persepsi agregat individu-individu dalam kelompok
kerja mengenai penilaian terhadap perilaku atasan langsung untuk bertindak adil
dalam keputusan-keputusan pengalokasian hasil-hasil kerja yang diterimakan
pada individu-individu secara keseluruhan dalam kelompok kerjanya.
Selanjutnya, berbasis pada kerangka teoritis. ASA, pemrosesan informasi sosial,
dan pembelajaran sosial hipotesis yang diajukan adalah terdapat faktor-faktor
yang berpengaruh siginifikan pada eksistensi masing-masing tipe iklim keadilan
organisasional (iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif).

4. Metode Penelitian
Berbasis pada hasil studi Fondacaro et al., (2002) maka jumlah item
yang dikaji pada setiap faktor yang tercakup dalam iklim keadilan prosedural
dan iklim keadilan distributif adalah enam item per faktor. Oleh karenanya,
secara keseluruhan terdapat 36 item untuk enam faktor, dan enam item untuk

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 230


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ukuran anchor yang terkait dengan iklim keadilan prosedural. Jumlah item per
faktor yang terkait dengan iklim keadilan distributif ada 18 item untuk ketiga
faktornya, dan enam item untuk ukuran anchor-nya. Item-item tersebut
didapatkan berdasarkan hasil kompilasi dan hasil studi sebelum sebagaimana
telah dilakukan Fondacarro et al. (2002).
Setelah tahapan translation and back translation terlampaui dan
mendiskusikan hasil penerjemahan item-item tersebut dengan para ahli perilaku
organisasional, item-item yang akan digunakan untuk penelitian dimodifikasi
dengan memadukan pendekatan konstruksi item wordings sebagaimana
disarankan Klein et al. (2001) dan pendekatan referent-shift composition model
yang disarankan Chan (1998). Dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut
item-item yang berasal dari konstruk keadilan organisasional disusun dengan
pembahasaan rumusan kalimat pernyataan yang memudahkan para responden
untuk memberikan respon dalam kuesioner dan skala yang ditetapkan sehingga
dihasilkan desain kuesioner awal. Dalam studi pendahuluan tersebut kuesioner
awal disebarkan kepada para perawat tetap yang mempunyai masa kerja enam
tahun ke atas dan bekerja di berbagai instansi di kota Yogyakarta, Bantul dan
Surakarta. Ketika instrumen pengukuran dinilai sudah tervalidasi dari segi
pembahasaan dan persyaratan pengukuran pada setting unit kerja maka
instrumen tersebut siap untuk digunakan dan disebarkan kepada para
responden.
Tahapan rancangan instrumen pengukuran dilanjutkan dengan
penyusunan format kuesioner yang memuat pilihan skala dan rumusan instruksi
tentang cara mengisi kuesioner yang mengarahkan responden dalam
memberikan respon. Kuesioner disebarkan kepada 941 perawat tetap dan
bermasa kerja minimal 5 tahun yang bertugas di 109 unit kerja pada berbagai
instansi rumah sakit di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur. Di antara 935 kuesioner yang dikembalikan ternyata kuesioner
yang dinilai layak untuk diolah lebih lanjut sebanyak 631 kuesioner dengan 91
unit kerja. Unit kerja-unit kerja yang dikaji dalam penelitian ini minimal
beranggotakan lima orang dan mereka bekerja secara tim yang dikoordinasikan
oleh atasan langsungnya.
Analsis faktor digunakan untuk menyelidiki hubungan-hubungan pada
item-item yang berjumlah banyak dan untuk mereduksi item-item tersebut
dalam jumlah yang lebih sedikit terkait dengan faktor yang bersangkutan.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 231


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Dalam analisis tersebut, ekstraksi yang digunakan adalah principal component


dan rotasi varimax. Patokan yang digunakan sebagai cut-off value adalah 0,4 ke
atas sebagaimana direkomendasikan Nunnally dan Berstein (1994). Reliabilitas
pengukuran dinilai dengan menggunakan nilai koefisien Cronbach alpha
Penilaian reliabilitas skala digunakan patokan nilai sebesar 0,60 (Hair et al.,
2006).
Pengeksplorasian nomological network dilakukan dengan
mengembankan model persamaan struktural untuk menilai dan mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempunyai hubungan struktural dengan konstruk laten yang
dikaji. Dalam model persamaan struktural tersebut variabel anchor dilibatkan
dalam proses analisis dengan menggunakan program AMOS 6. Nilai critical
ratio di atas 2 dijadikan patokan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
layak dicakup dalam konstruk laten yang dikaji dalam tahapan analisis
selanjutnya.
Model persamaan regresi dikembangkan untuk menguji model
pengukuran iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif. Dalam
model tersebut faktor-faktor yang telah teridentifikasi sebelumnya dikaji
pengaruhnya pada eksistensi iklim keadilan organisasional, iklim keadilan
prosedural dan iklim keadilan distributif. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan program SPSS versi 11.5.

4.3. Hasil Analisis dan Pembahasan


4.3.1. Penilaian Validitas
Tabel 4.1. menyajikan hasil analisis faktor untuk variabel iklim
keadilan prosedural pada 1st order. Faktor-faktor yang dikaji dalam kaitannya
dengan konstruk iklim keadilan prosedural terdiri atas enam faktor, yaitu
process control (PC), accuracy (AC), correction (CO), dignity/respect (DR),
status recognition (SR), trust (TR), dan global procedural fairness (GP).
Faktor yang ke tujuh ini terdiri atas item-item yang bermuatan global-evaluative
item.
Hasil analisis faktor, menunjukkan bahwa item PC1 sampai dengan
PC6 loading pada komponen ke 1 atau faktor process control. Demikian pula
halnya dengan, item CO1 hingga CO6, dan item GP1 hingga GP6. Hampir
semua item yang tersaji pada Tabel 4.1 tersebut mempunyai factor loading >
0,5, kecuali untuk item TR2 (0,468). Item TR2 tetap dipertahankan dengan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 232


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pertimbangan: (1) item tersebut masih mempunyai nilai factor loading lebih
dari 0,40 sebagaimana disarankan Hair et al. (2006), (2) keberadaan item
tersebut menyediakan dukungan pada pengujian reliabiliitas ukuran variabel
trust (TR).
Tabel 4.2. menyajikan item-item yang tetap dipertahankan terkait
dengan ukuran iklim keadilan distributif (IKD). Faktor-faktor yang dikaji dalam
kaitannya dengan konstruk iklim keadilan distributif terdiri atas tiga faktor,
yaitu decision control (DC), equality (EQ), dan need (NE) serta satu faktor yang
disebut global outcomes fairness (GO). Faktor yang ke tujuh ini terdiri atas
item-item yang bermuatan global-evaluative item. Hasil analisis untuk item-
item yang mengukur faktor Global Outcomes Fairness (GO1 hingga GO5)
menunjukkan bahwa kelima item ini tetap dipertahankan.

4.3.2. Penilaian Reliabilitas Konstruk


Selanjutnya, setelah didapatkan item-item yang memenuhi persyaratan
validitas konstruk maka dilakukan penilaian reliabilitas. Dalam melakukan
pengujian reliabilitas, digunakan indeks Cronbach alpha. Ketika validitas dan
reliabilitas dinilai mencukupi, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
hasil perhitungan skor komposit. Ukuran komposit merupakan metode yang
mengkombinasikan beberapa variabel yang mengukur konsep yang sama
menjadi satu variabel tunggal untuk meningkatkan reliabilitas pengukuran
melalui pengukuran multivariat. Oleh karena itu, untuk mendapatkan skor
komposit bagi suatu variabel tunggal diperlukan nilai bobot skor komposit bagi
tiap dimensi atau faktor yang dikaji.
Nilai bobot skor komposit tersebut diperoleh melalui pemodelan
hubungan antara indikator dengan variabel laten yang diestimasikan. Skor
responden digunakan sebagai bahan penghitungan skor komposit dimensi atau
faktor yang dikaji pada 1st order. Untuk pengolahan datanya digunakan program
AMOS. Skor komposit dimensi atau faktor yang dikaji pada 1st order diperoleh
melalui perhitungan hasil kali antara bobot-bobot skor komposit dengan skor
responden. Hasil akhirnya digunakan untuk pemodelan skor komposit pada
variabel ukuran konstruk pada 2nd order.
Tabel 4.3 juga menunjukkan hail uji reliabilitas berdasarkan nilai
Cronbach alpha. Dalam tabel tersebut, ditunjukkan bahwa semua hasil nilai uji
reliabilitas ukuran faktor-faktor konstruk iklim keadilan prosedural di atas 0,6.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 233


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 4.4 menyajikan hasil uji reliabilitas ukuran faktor-faktor konstruk


iklim keadilan distributif. Hasil pengujian reliabilitas semua faktor tersebut di
atas nilai patokan 0,6. Secara keseluruhan hasil-hasil pengujian validitas dan
reliabilitas bagi semua faktor iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan
distributif mendukung kelayakan indikator-indikator yang bersangkutan dengan
faktor-faktor yang dimaksudkan untuk diukur. Sesuai dengan hasil-hasil
pengujian tersebut, maka item-item kuesioner yang valid tetap dipertahankan
untuk analisis berikutnya.

4.4. Pendekatan dan Model Pengukuran


4.4.1. Statistik Deskriptif dan Korelasi
Tabel 4.5. menyajikan nilai rerata, deviasi standar dan korelasi faktor-
faktor iklim keadilan prosedural sedangkan Tabel 4.6. menyajikan nilai rerata,
deviasi standar dan korelasi faktor-faktor iklim keadilan distributif.

4.4.2. Indikator Summated Scale pada 1st Order


Setelah item-item yang valid dan reliabel didapatkan maka tahapan
analisis berikutnya adalah melakukan pemodelan pengukuran variabel
dimensi/faktor konstruk pada 1st order. Nilai bobot faktor skor didapat dengan
cara mengolah data dengan menggunakan AMOS yang selanjutnya dihasilkan
skor komposit dimensi/faktor dari konstruk laten yang dimaksudkan untuk
diukur.
Tabel 4.7 menyajikan nilai reliabilitas, lambda, epsilon dan deviasi
standar variabel faktor-faktor yang tercakup dalam konstruk iklim keadilan
prosedural (PC, AC, CO, DR, SR, TR, dan GP). Nilai lambda (0.5995) dan
epsilon (0.0373) variabel global procedural fairness digunakan untuk tahapan
analisis selanjutnya. Global procedural fairness merupakan variabel anchor
yang dikaji dalam pemodelan pengukuran iklim keadilan prosedural
Tabel 4.8. menunjukkan bahwa nilai reliabilitas komposit semua
indikator yang tercakup dalam faktor-faktor konstruk iklim keadilan distributif
(DC, EQ, dan NE) menunjukkan besaran di atas 0,6. Hasil nilai alpha ini berarti
bahwa indikator-indikator yang tercakup dalam konstruk iklim keadilan
distributif mempunyai konsistensi internal pula untuk mengindikasikan faktor-
faktor yang berkaitan dengan iklim keadilan distributif. Nilai lambda (0,5027)
dan epsilon (0,068) variabel global outcome fairness digunakan untuk tahapan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 234


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

analisis selanjutnya. Variabel global outcome fairness digunakan untuk


penyusunan model pengukuran iklim keadilan distributif.

4.4.3. Pengukuran Konstruk pada 2nd Order


Untuk menyaring faktor-faktor yang dicakup dalam konstruk yang
dikaji, yaitu iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif maka
dikembangkan model pengukuran variabel konstruk pada 2nd order. Seperti
yang telah dikemukakan sebelum ini bahwa konstruk-konstruk utama yang
dikaji dalam penelitian ini merupakan konstruk yang mempunyai dua order.
Oleh karena itu, setelah mengkaji variabel konstruk pada order pertama maka
kajian dilanjutkan pada pengukuran konstruk pada order ke dua.

4.4.4. Pendekatan Pengukuran Konstruk pada 2nd Order


Berbeda halnya pada 1st order, pendekatan pengukuran yang
dikembangkan pada konstruk iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan
distributif pada 2nd order dimodelkan secara formatif. Pemodelan pengukuran
secara formatif pada 2nd order tersebut dimaksudkan untuk mengkaji validitas
nomologikal faktor-faktor yang dicakup pada masing-masing tipe iklim
keadilan organisasional. Tabel 4.9. menyajikan hasil eksplorasi nomological
network faktor-faktor iklim keadilan prosedural (IKP), yang terdiri atas process
control, accuracy, correction, dignity/respect, status, dan trust.
Di antara keenam faktor tersebut hasil pemodelan pengukuran
mengindikasikan bahwa faktor accuracy dan trust merupakan faktor yang
dilibatkan untuk tahapan analisis berikutnya. Di samping itu, hasil olah data
juga menyajikan nilai bobot skor komposit AC (0,034) dan TR (0,410)
keduanya dalam arah yang positip dan untuk variabel anchor GP (1,263).
Berbasis dengan hasil-hasil tersebut tahapan analisis dilakukan dengan
mengkalkulasi skor komposit AC, TR, dan GP. Selanjutnya, hasil kalkulasi skor
komposit digunakan untuk menemukan nilai beta bagi AC dan TR yang
diregresikan pada GP. Nilai beta yang dihasilkan dan skor komposit AC dan TR
digunakan untuk menghasilkan skor akhir variabel iklim keadilan prosedural.
Tabel 4.10. menyajikan hasil eksplorasi nomological network faktor-
faktor iklim keadilan distributif (IKD), yang terdiri atas decision control (DC),
equality (EQ), dan need (NE). Ketiga faktor tersebut secara signifikan
merupakan faktor-faktor yang menentukan eksistensi iklim keadilan prosedural

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 235


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dengan nilai GFI sebesar 0,919. Di samping itu, hasil olah data juga menyajikan
nilai bobot skor komposit DC (0,503), EQ (0,431), NE (0,056), dan untuk
variabel anchor GO (1,263). Berbasis dengan hasil-hasil tersebut tahapan
analisis dilakukan dengan mengkalkulasi skor komposit DC, EQ, NE., dan GO.
Ketiga faktor tersebut (DC, EQ, NE) mempunyai arah yang positip
berhubungan dengan iklim keadilan distributif (IKD).
Hasil kalkulasi skor komposit komposit pada tahapan tersebut
digunakan untuk menemukan nilai beta bagi DC, EQ, dan NE yang dilakukan
dengan cara meregresikannya pada GO. Nilai beta yang dihasilkan dan skor
komposit DC, EQ, dan NE digunakan untuk menghasilkan skor akhir variabel
iklim keadilan distributif.

4.5. Justifikasi Pengagregasian


Justifikasi pengagregasian diperlukan untuk mendapatkan keyakinan
bahwa ukuran-ukuran yang digunakan untuk mendeskripsikan variabel-variabel
pada tingkat analisis kelompok menunjukkan indikator yang bermakna. Dalam
penelitian ini digunakan tiga pendekatan. Pendekatan pertama, yaitu between-
group analysis (ANOVA); pendekatan ke dua, yaitu nilai rwg sebagai indikator
within-group agreement (James, Demaree, dan Wolf, 1984, 1993; George dan
James, 1993). Pendekatan terakhir, yaitu hasil perbandingan antara besaran
between-group mean square dengan within-group mean square.
Tabel 4.11. menyajikan indeks rWG (mean), indeks interrater agreement
(Average Deviation atau AD) untuk setiap faktor bagi variabel iklim keadilan
prosedural dan iklim keadilan distributif sebagimana direkomendasikan Burke
dan Dunlap (2002). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa indeks
rWG (mean) tidak dijadikan acuan utama dalam menjustifikasi pengagregasian
karena masih terdapat perdebatan tentang nilai patokan signifikansinya (Dunlap
et al., 2003). Oleh karena itu dalam penelitian ini justifikasi pengagregasian
terutama menggunakan indeks AD (median), indeks AD (mean). Berbasis pada
hasil perhitungan dengan menggunakan program yang direkomendasikan
Dunlap et al. (2003). Hasil perhitungan dengan menggunakan program
tersebbut diperoleh hasil indeks AD (median) dan AD (mean) di bawah 0,833
untuk faktor accuracy (AC), trust (TR), global procedural fairness (GP),
decision control (DC), equality (EQ), need (NE), dan global outcomes fairness
(GO) maka sesuai Smith-Crowe dan Burke (2003), faktor-faktor yang tercakup

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 236


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dalam iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan ditributif dinyatakan


signifikan secara praktikal.
Tabel 4.12.menyajikan hasil uji ANOVA untuk variabel-variabel iklim
keadilan prosedural (IKP), iklim keadilan distributif (IKD) yang dijustifikasi
sebagai variabel pada tingkat analisis kelompok. Hasil pengujian ANOVA
menunjukkan between-group differences yang signifikan untuk iklim keadilan
prosedural (F= 2,499, p < 0,01), iklim keadilan distributif (F= 1,729, p< 0,01).
Oleh karena itu, secara keseluruhan pengagregasian pada iklim keadilan
prosedural dan pada iklim keadilan distributif telah terjustifikasi.

4.6. Hasil Pemodelan Pengukuran Iklim Keadilan Prosedural pada 2nd


Order
Hasil pemodelan pengukuran variabel faktor iklim keadilan prosedural
nd
pada 2 order telah menghasilkan faktor-faktor iklim keadilan prosedural yang
mempunyai hubungan yang signifikan dengan iklim keadilan prosedural, yaitu
faktor accuracy dan trust. Di samping itu, pemodelan tersebut juga
menghasilkan nilai bobot skor komposit untuk faktor-faktor yang berhubungan
dengan iklim keadilan prosedural. Dengan demikian dapat diperoleh skor
komposit yang dilibatkan dalam analisis berikutnya, yaitu variabel faktor
accuracy, trust, dan variabel anchor (global procedural fairness) Dengan
berdasarkan hasil-hasil perhitungan skor komposit variabel-variabel tersebut
dikembangkan persamaan regresi untuk mengestimasikan nilai iklim keadilan
prosedural dengan meregresikan variabel faktor accuracy, trust pada variabel
variabel anchor (global procedural fairness) dengan pengolahan data
menggunakan program SPSS. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa
faktor accuracy dan trust menjelaskan secara signifikan variasi iklim keadilan
prosedural.
Tabel 4.13. menyajikan nilai koefisien beta yang signifikan untuk faktor
accuracy dan trust. Sesuai dengan hasil tersebut, besaran nilai variabel iklim
keadilan prosedural terutama ditentukan oleh variabel trust (0,735) sedangkan
variabel accuracy mengestimasikan iklim keadilan prosedural hanya sebesar
0,124 dari nilai skor kompositnya masing-masing.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 237


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

4.7. Hasil Pemodelan Pengukuran Iklim Keadilan Distributif pada 2nd


Order
Hasil pemodelan pengukuran variabel faktor iklim keadilan distributif
nd
pada 2 order telah menghasilkan faktor-faktor iklim keadilan distributif yang
mempunyai hubungan yang signifikan dengan iklim keadilan prosedural, yaitu
faktor DC, EQ, dan NE. Di samping itu, pemodelan tersebut juga menghasilkan
nilai bobot skor komposit untuk faktor-faktor yang berhubungan dengan iklim
keadilan distributif. Dengan demikian dapat diperoleh skor komposit yang
dilibatkan dalam analisis berikutnya, yaitu variabel faktor DC, EQ, NE dan
variabel anchor GO (global outcome fairness) Dengan berdasarkan hasil-hasil
perhitungan skor komposit variabel-variabel tersebut dikembangkan persamaan
regresi untuk mengestimasikan nilai iklim keadilan distributif dengan
meregresikan variabel faktor DC, EQ, NE pada variabel variabel anchor
(global outcome fairness) dengan pengolahan data menggunakan program
SPSS. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa decision control (DC),
equality (EQ), dan need (NE) menjelaskan secara signifikan iklim keadilan
distributif..
Tabel 4.14. menyajikan nilai koefisien beta yang signifikan untuk faktor
decision control, equality, dan need. Sesuai dengan hasil tersebut, besaran nilai
variabel iklim keadilan distributif terutama ditentukan oleh variabel equality
sebesar 0,461, variabel decision control sebesar 0,299 dan variabel need sebesar
0,086 dari masing-masing skor kompositnya.

5. Simpulan
Ukuran iklim keadilan organisasional telah dikembangkan secara lebih
komprehensif dan teruji secara empiris dengan memanfaatkan sampel sebesar
631 karyawan tetap dalam keanggotaannya pada 91 unit kerja yang tersebar di
11 instansi rumah sakit. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa pada tingkat 1st
order semua faktor yang dikaji dan tercakup, baik dalam iklim keadilan
prosedural dan iklim keadilan distributif menghasilkan tingkat validitas dan
reliabilitas yang dapat diterima.
Hasil pemodelan pengukuran konstruk pada 2nd order ditemukan faktor-
faktor yang mempunyai hubungan struktural yang signifikan untuk

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 238


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengestimasikan iklim keadilan prosedural persepsian, yaitu faktor accuracy


dan trust. Selanjutnya, faktor-faktor yang mempunyai hubungan struktural yang
signifikan untuk mengestimasikan iklim keadilan distributif adalah faktor
equality, decision control dan need.
Sesuai dengan program lunak yang disediakan Dunlap et al (2002) dan
rekomendasi penggunaan indeks yang dikemukakan Smith-Crowe dan Burke
(2003) maka hasil perolehan nilai indeks AD (median) dan nilai indeks AD
(mean) untuk faktor-faktor yang diobservasi. Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa nilai indeks AD (median) dan nilai indeks AD (mean) semua faktor
yang menentukan iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif di
bawah nilai patokan Average Deviation (AD) 0,833. Secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa faktor accuracy, trust, equality, decision control dan need
terjustifikasi secara praktikal sebagai konstruk yang dikaji pada tingkat analisis
kelompok.
Hasil justifikasi pengagregasian sebagaimana dituangkan pada Tabel
4.12 menunjukkan bahwa nilai within-group mean square lebih kecil
dibandingkan dengan between-group mean square untuk semua variabel yang
dikaji. Hasil tersebut memberikan justifikasi lebih lanjut bahwa persepsian
individu-individu mengenai iklim keadilan prosedural (IKP) dan iklim keadilan
distributif (IKD) bersifat homogen pada tingkat unit kerja-unit kerja yang
diteliti. Dengan kata lain, iklim keadilan prosedural persepsian dan iklim
keadilan distributif persepsian secara kolektif eksis pada unit kerja-unit kerja
yang diteliti. Semua hasil-hasil tersebut memberikan kesimpulan bahwa
variabel IKP dan IKD mendapatkan dukungan atau terjustifikasi untuk
diperlakukan sebagai variabel pada tingkat analisis kelompok.
Selanjutnya, sesuai dengan hasil pemodelan pengukuran iklim keadilan
prosedural yang dianalisis dengan analisis regresi pada setting unit kerja
sebagaimana ditunjukkan pada signifikansi nilai koefisien regresinya (beta)
dapat disimpulkan bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan pada
eksistensi iklim keadilan prosedural persepsian adalah faktor accuracy dan
faktor trust. Di antara kedua faktor tersebut, faktor trust memainkan peran yang
lebih besar ketimbang faktor accuracy. Demikian pula halnya dengan hasil
pemodelan pengukuran iklim keadilan distributif persepsian melalui analisis
regresi didapatkan hasil bahwa ketiga faktor, yaitu decison control, equality,
dan need berpengaruh signifikan pada eksistensi iklim keadilan distributif

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 239


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

persepsian. Ditinjau dari nilai koefisen beta yang dihasilkan di antara ketiga
faktor tersebut, secara berurutan dari nilai pengaruh yang terbesar hingga
terkecil pada eksistensi iklim keadilan distributif persepsian, yaitu faktor
equality, faktor decison control dan faktor need.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini telah memberikan dukungan
empiris bahwa iklim keadilan organisasional, khususnya iklim keadilan
prosedural dan iklim keadilan distributif merupakan konstruk multidimensi.
Oleh karena itu, implikasi teoritisnya bahwa perspektif-persepektif attraction-
selection-attrition (ASA), social information processing (SIP) dan social
learning theory (SLT) yang terintegrasi secara komplementer memberikan
dukungan yang berarti pada studi, baik tentang akumulasi pemahaman
eksistensi iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif pada setting
unit kerja maupun pengaruh masing-masing tipe iklim keadilan organisasional
tersebut pada perilaku individu yang menjadi anggota unit kerja yang
bersangkutan. Secara metodologis, tersedia peluang studi yang menggunakan
kerangka kerja teoritis lain untuk mengkaji lebih lanjut tentang ukuran iklim
keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif pada setting yang berbeda
dan/atau pada tingkat analisis yang lebih tinggi.
Hasil penelitian ini juga memberikan implikasi praktikal bahwa
instrumen iklim keadilan organisasional yang dikembangkan dan divalidasi
pada penelitian ini menyediakan materi bagi para peneliti lainnya untuk
mengkaji lebih lanjut pada studi-studi lainnya yang menggunakan ukuran iklim
keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif. Secara ringkas, faktor-faktor
yang dicakup dalam iklim keadilan prosedural terdiri atas enam faktor dan satu
ukuran anchor dan faktor-fakor yang dicakup dalam iklim keadilan distributif
terdiri atas tiga faktor dan satu ukuran anchor.
Kelemahan penelitian ini terutama berkenaan dengan faktor-faktor
yang teridentifikasi untuk mengestimasikan iklim keadilan prosedural terbatas
hanya pada dua faktor saja. Selain itu, penelitian dilakukan dengan
mengandalkan data cross sectional. Penelitian yang mengandalkan data
longitudinal diharapkan akan menyediakan hasil yang lebih akurat.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 240


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lampiran -lampiran
Tabel 1.1. Perbandingan Perspektif-perspektif Yang Digunakan
No Dimensi ASA Perspective Social Information Social Learning
Processing Theory Theory
1. Asumsi/Premis Individu-individu Individu-individu Individu-individu
Dasar menganalisis dan saling berbagi belajar dengan
menyesuaikan diri informasi sosial mengamati
dengan dalam lingkungan lingkungan
lingkungan sosialnya sosialnya
sosialnya
2 Formula: fungsi adaptasi fungsi pengaruh fungsi pemodelan
Perilaku individu informasional dan perilaku
adalah shared beliefs
3 Motivasi Keanggotaan dan Keberterimaan Hasil-hasil masa
berperilaku kebersamaan dalam lingkungan mendatang yang
dalam lingkungan sosial dinginkan
sosial
4 Level of analysis Organisasi dan/ Kelompok Kelompok
atau kelompok (lingkungan sosial (lingkungan sosial
(unit kerja) langsung) langsung)

5 Mekanisme/ Attraction, Informasional Informasional


basis pengaruh Selection, tetapi samar-
Atrittion samar.
6 Dampak sosial Kesamaan Kesamaan Kesamaan
(homogeneity) (homogeneity) (homogeneity)
7 Sifat konteks Mengatur Mengatur individu Tidak mengatur
sosial individu (regulatory) (self-regulatory)
(regulatory)
Sumber: Bommer et al., (2003); George (1990); Pfeffer (1982); Robinson dan O´Leary-
Kelly (1998); Schneider, Smith, Taylor, dan Flenor (1998).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 241


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 1.2. Definisi Faktor-faktor Keadilan Prosedural dan Keadilan


Distributif
Nama Faktor Deskripsi faktor
Process Control refers to a person’s control over the presentation of information
or evidence
Accuracy refers to whether decision making is based on as much good
information and informed opinion as possible
Correction refers to whether opportunities exist to modify and reverse
decisions made at various points in the process
Dignity/Respect refers to whether the process is compatible with the fundamental
moral and ethical values accepted by the individual
Standing/Status refers the extent to which an authority figure treats a person as a
Recognition valued member of the group
Trust refers to a person’s beliefs about the good intentions or motives
of someone with decision making authority
Global procedural refers to an individual’s appraisal of the overall fairness of the
fairness decision making process
Decision Control refers to an individual’s control over the actual decision made
Equality refers to whether the decision-making outcome is based on the
dividing resources equally, regardless of input
Need refers to whether the decision making outcome is based on
meeting the needs the individuals involved
Global outcome refers to whether, all in all, the outcome of the situation was fair
fairness
Sumber: Fondacarro, Jackson dan Luescher (2002)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 242


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Studi Integrasi Pasar Modal Indonesia Dengan Modifikasi Asset Pricing


Cheung & Lee (1993)

Ignatius Roni Setyawan

Abstrak

Usulan penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis suatu fenomena


integrasi pasar modal di BEI yang memperlihatkan hasil studi beragam. Mulai dari
Husnan dan Pudjiastuti (1994) sampai dengan Roida (2004) yang menyatakan bahwa
pasar modal Indonesia cenderung tersegmentasi. Mereka berdua mengklaim karena
korelasi antara return saham di BEI (dulu BEJ) dengan return saham Bursa Negara-
Negara lain ternyata “lemah” maka tepatlah justifikasi segmentasi pasar modal
Indonesia. Klaim mereka diperkuat oleh survey Roll (1995) yang selain mengatakan
pasar modal Indonesia terkategori segmentasi juga menyatakan bahwa kondisi BEJ
sangat menarik buat investor asing karena mereka akan memperoleh manfaat dari
diversifikasi internasional. Namun kalau dikaji lebih jauh; justru semakin
meningkatnya aktivitas investor asing di BEJ membuat IHSG rentan dipengaruhi faktor
internasional yang sering dibawa oleh investor asing tersebut. Kondisi inilah yang
justru membuat segmentasi pasar modal Indonesia mulai dipertanyakan. Apalagi
dengan hasil studi Murtini dan Ekawati (2003) serta Surjawan (2007) yang menemukan
fenomena kointegrasi di BEI pasca krisis moneter 1997.
Perkembangan berikutnya ada dua kelompok besar studi integrasi pasar
modal (Yusof and Madjid, 2006). Kelompok pertama adalah statistical perspectives
yang berfokus membuktikan integrasi atau segmentasi pasar modal dan kelompok
kedua asset pricing yang berfokus mencari determinan integrasi pasar modal. Pada
kelompok kedua penulis menemukan bahwa ternyata studi Cheung and Lee (1993) telah
menemukan model ICAPM Rit = δ0(1 – βim) + δ1βi1 + βim Rmt + βi1 Fit + eit.
Selanjutnya untuk BEI dimodifikasi menjadi Rit = δ0 (1- βim) + δ1 βi1 + δ2 βi2 + δ3 βi3 +
βim Rmt + βi1 Fit + βi2NBS + βi3 CE + β14 D + β15 VOT + εit . Tujuan dari modifikasi
model tersebut adalah meng-cover 4 obyek permasalahan penelitian yakni: 1) Syarat
integrasi/segmentasi; 2) Faktor Determinan yakni Net Foreign Fund Flow atau bisa
disebut Net Buying Selling & Cost of Equity 3) Krisis moneter 1997 4) Volatilitas return
saham.

Kata kunci: Integrasi; Segmentasi; Asset Pricing; Faktor Internasional, Net Foreign
Fund Flow & Cost of Equity, Pasar Modal Indonesia


Penulis adalah mahasiswa S3 FE Universitas Indonesia dan staf pengajar di Fakultas
Ekonomi Universitas Tarumanagara Jakarta.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 243
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Swastanisasi pasar modal Indonesia pada tahun 1992 membuat pasar
modal Indonesia mulai terbuka bagi investor asing (Husnan & Pudjiastuti,
1995). Menurut Roida (2004) dengan mulai terbukanya pasar modal Indonesia
maka berbagai faktor eksternal positif dan negatif akan mulai memberikan
pengaruh yang signifikan. Faktor eksternal positif berkenaan dengan makin
meningkatnya arus dana dari luar negeri yakni dalam bentuk pembelian saham
- saham di pasar modal Indonesia {sekarang lihat Bursa Efek Indonesia (BEI)}
oleh para investor asing yang biasanya akan mendorong kenaikan IHSG (Roll,
1995; Wang, 2000 dan Frensidy, 2007). Sementara faktor negatif umumnya
adalah makin melemahnya (terdepresiasinya) nilai tukar Rupiah dengan US
Dollar yang berimbas pada persepsi negatif investor asing terhadap kondisi
pasar modal Indonesia. Adanya persepsi negatif akan menimbulkan sentimen
negatif dari mereka untuk melakukan penjualan terhadap saham - saham yang
telah dimiliki; sehingga pada gilirannya membuat IHSG “anjlok”.
Jadi terbukanya pasar modal Indonesia bagi investor asing sejak 1992
(pada level 49%) dan hampir 100% pada periode 2002-an ternyata memang
memiliki dampak positif dan negatif bagi perubahan IHSG (Murtini & Ekawati,
2003). Ketika investor asing memiliki sentimen positif; maka dampak positif
terjadi yakni kenaikan IHSG seperti pada periode 2004 – 2007 (lihat Setyawan
(2007); nilai IHSG saat itu pada kisaran 800 - 2600). Tetapi manakala sentimen
negatif terjadi maka IHSG akan terkoreksi tajam. Pengalaman historis BEI
(dulu Bursa Efek Jakarta) membuktikan saat krisis moneter Juli 1997, nilai
IHSG berada pada level terendah yakni 200-an. Selain itu pada periode 2007 –
2008 akibat krisis subprime mortgage di Amerika Serikat dan krisis harga
minyak dunia; maka IHSG terkoreksi dari kisaran 2600 - 2700 menjadi 2100 -
2200. Karena secara umum faktor pemicu dinamika IHSG memang berasal dari
Amerika Serikat; maka tepatlah Naranjo & Aris (1997) menyatakan NYSE
(New York Stock Exchange) merupakan barometer bursa dunia.
Jadi sebenarnya langkah swastanisasi pasar modal Indonesia yang mulai
membuka diri terhadap eksistensi para investor asing memang cukup
memberikan manfaat bagi negara kita. Karena dengan adanya keterbukaan bagi
investor asing untuk “bermain” di BEI (dulu BEJ); pasar modal Indonesia

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 244


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengalami dampak positif yakni kenaikan IHSG secara signifikan pada kurun
waktu 1993 - 1996 dan 2002 - 2007. Meskipun pada sisi yang lain dengan
adanya investor asing ini pula; pasar modal Indonesia pernah mengalami
dampak negatif yakni berupa penurunan IHSG yang cukup tajam terutama saat
krisis moneter 1997; saat peristiwa peledakan Bom oleh teroris (2002-2005)
dan saat krisis instabilitas ekonomi internasional seperti sub-prime mortagage
dan melonjaknya harga minyak dunia pada periode 2007-2008. Dengan
demikian perkembangan pasar modal Indonesia sejak 1992 – 2008 tidak dapat
dipisahkan dari partisipasi investor asing dan peristiwa internasional.
Situasi tersebut membuat pasar modal Indonesia berada dalam kondisi
“mengambang” antara harus terintegrasi artinya membuka diri terhadap investor
asing dan fenomena peristiwa ekonomi internasional ataukah tersegmentasi
artinya menutup diri terhadap investor asing dan fenomena peristiwa ekonomi
internasional. Namun oleh karena efek jangka panjang dari globalisasi ekonomi
dan manfaat kenaikan IHSG yang sangat signifikan maka pasar modal
Indonesia mestinya bersifat membuka diri atau disebut terintegrasi [Klemeier &
Herald (2000)]. Tetapi melihat dampak negatif yang terjadi yakni penurunan
IHSG yang cukup tajam pula; maka pasar modal Indonesia juga terkadang harus
bersifat menutup diri dari pengaruh sentimen negatif investor asing dan ekses
negatif dari globalisasi ekonomi.
Menurut pendapat penulis pasar modal Indonesia tidak serta - merta
melakukan pemilihan antara harus terintegrasi atau tersegmentasi; tetapi justru
tahu kapan saat yang tepat untuk melakukan integrasi dan bersegmentasi.
Sejauh ini Korajczyk (1995) menyatakan variabel batasan prosentase
kepemilikan asing terhadap saham - saham lokal yang menjadi instrumen efektif
bagi pasar modal Indonesia untuk berintegrasi atau bersegmentasi. Namun
dalam riset terkait seperti Gultekin, et.al. (1989), instrumen efektif tersebut
bukan hanya prosentase kepemilikan melainkan juga cost of equity yang
fungsinya juga sebagai batasan bagi investor asing. Sementara itu; secara
akademik berbagai penelitian tentang topik integrasi dan segmentasi dalam
pasar modal menunjukkan bahwa tidak ada pasar modal di dunia yang memiliki
bentuk ekstrim apakah itu terintegrasi ataukah tersegmentasi secara utuh
(sempurna) (Husnan & Pudjiastuti, 1994). Pada umumnya yang terjadi di pasar
modal hanya ada cenderung ke arah segmentasi atau ke arah integrasi [Errunza
& Losq (1985); Jorion & Schwatrz (1986) dan Cheung & Lee (1993)]. Studi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 245


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Faff & Mittoo (1998) menunjukkan bahwa kecenderungan pasar modal ke arah
segmentasi atau integrasi ditentukan oleh tolok ukur maju atau tidaknya suatu
negara. Pada negara - negara maju; pasar modal cenderung akan terintegrasi
sebab negara - negara maju memiliki basis ekonomi kuat untuk mengalirkan
dana investasi ke negara berkembang dan memiliki kesiapan memadai untuk
menanggung risiko investasi pasar internasional [Kearney & Lucey (2004) serta
Bracker, et.al. (1999)].
Tetapi untuk negara-negara berkembang maka akan cenderung
tersegmentasi oleh karena belum memiliki basis ekonomi yang kuat seperti nilai
tukar mata uang yang belum stabil, GNP (Gross National Product) yang masih
rendah serta sistem perbankan yang kurang kuat. Sehingga adalah bijak jika
memperkuat terlebih dahulu basis ekonomi nasional terutama sebelum
membuka pasar modal kepada investor asing. Menurut Stulz & Wasserfallen
(1995) cara yang dapat ditempuh oleh negara berkembang tersebut antara lain
(1) Membangun hambatan langsung dengan pengenaan tarif pajak investasi bagi
perusahaan multinasional (2) Membangun hambatan tidak langsung dengan cara
membatasi akses informasi baik bagi investor asing maupun juga investor
domestik untuk saling berhubungan.
Lalu persoalannya adalah mengapa suatu pasar modal di negara
berkembang ini cenderung tersegmentasi? Hasil studi Cheung & Lee (1993)
menunjukkan bahwa negara berkembang perlu mempersiapkan dulu pasar
modalnya sebelum membuka diri terhadap investor asing. Persiapan ini
dimaksudkan untuk memperkuat basis daya saing dari investor domestik
terhadap investor asing. Sebab biasanya investor asing memiliki sumber modal
yang lebih besar dari investor domestik dan investor asing cenderung akan
mengincar proyek - proyek investasi yang strategik seperti pertambangan
minyak bumi, batu bara, emas, tembaga dan barang tambang lainnya. Sehingga
bila pasar modalnya tersegmentasi maka akses bagi investor asing untuk
memasuki sektor strategik ini menjadi sedikit terhambat, kesempatan untuk
mengelola sektor ini akan didapati dulu oleh investor domestik. Potential
benefit dari proyek tersebut akan dinikmati dulu oleh negara bersangkutan dan
tidak lari ke luar negeri.
Selanjutnya, penelitian ini bermaksud melanjutkan studi yang dilakukan
oleh Cheung & Lee (1993) yang menemukan bahwa pasar modal Korea adalah
pasar modal yang tersegmentasi. Penelitian ini akan memakai model pengujian

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 246


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

multifactor integrasi dan segmentasi pasar modal yang dikembangkan Jorion &
Schwartz (1986) dan dipakai oleh Cheung & Lee (1993) (lebih dalam dibahas
di bab 3) serta juga oleh Cadwell (1997). Penelitian ini berbeda dengan Cheung
& Lee (1993) dalam hal penggunaan risiko investasi internasional dan periode
penelitian. 1

2. Pokok Permasalahan dan Tujuan Penelitian


Ada dua pokok permasalahan penelitian ini yakni pertama; mengapa
topik integrasi dan segmentasi pasar modal ini bisa muncul dan kedua; apa yang
sebenarnya dapat dipelajari setelah topik integrasi dan segmentasi pasar modal
muncul (mulai banyak dibicarakan) tidak hanya dalam manfaat ekonomis tetapi
terutama dalam permodelan dan rancangan penelitian. Penulis beranggapan
bahwa topik integrasi dan segmentasi pasar modal muncul karena fenomena
globalisasi. Hardouvelis, et.al. (2006) menyatakan bahwa fenomena globalisasi
yang muncul pada awal 1990-an adalah makin meningkatnya interaksi antara
investor asing dan lokal karena proses swastanisasi pasar modal terutama di
negara - negara berkembang. Dasar argumentasinya adalah semakin banyak
investor asing yang eksis di pasar modal suatu negara, maka negara tersebut
akan memperoleh kontribusi kemajuan ekonomi. Karena biasanya kenaikan
indeks harga saham akan terkait juga dengan pertumbuhan GNP. Maka
implikasi yang terjadi banyak penelitian tentang integrasi pasar modal karena
para akademisi dan praktisi mulai banyak membicarakan topik integrasi.
Tetapi dengan adanya krisis ekonomi di Asia tahun 1997; maka banyak
negara berkembang justru mulai berpikir tentang dampak negatif globalisasi.
Secara riilnya adalah negara berkembang mulai menaruh kecurigaan yang
mendalam terhadap investor asing [Jang & Sul (2002)]. Karena memang saat
krisis di Asia; banyak investor asing yang mulai melakukan penarikan dana

1
Studi Cheung & Lee (1993) memakai tiga jenis risiko investasi internasional pasar
modal Asia Pasifik, Amerika Utara dan Dunia. Sedang penulis hanya risiko pasar
modal Asia Pasifik dengan anggapan bahwa lokasi pasar modal Indonesia di
kawasan Asia maka diduga jenis risiko investasi internasional Asia Pasifik yang
paling dominan. Periode penelitian Cheung & Lee (1993) memakai waktu 1982 -
1989; sementara penulis akan memakai periode waktu 1992 – 2008 dengan harapan
bisa meningkatkan kualitas hasil analisis pengujian berbasis periode sampel observasi
yang jauh lebih panjang.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 247


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengalihkan sebagian portofolio investasi ke pasar modal negara – negara


maju. Kecurigaan negara berkembang diwujudkan dalam bentuk pembatasan
bisa dalam makin tingginya pajak dan cost of equity yang semakin akan
membuat keengganan investor asing “bermain” meningkat. Maka sejak krisis
ekonomi 1997; topik pembicaraan mulai mengarah ke segmentasi [Lam & Pak
(1993); Choi & Rajan (1997) dan Domowitz, et.al. (1997) serta Foster &
Karolyi (1999)].
Perkembangan selanjutnya pada dekade 2000-an, justru mulai banyak
negara berkembang menyadari potensi penting investor asing di pasar modal.
Karena terbukti investor domestik ternyata belum mampu menggerakkan pasar
modal negara bersangkutan. Fenomena yang terjadi adalah privatisasi BUMN
negara – negara berkembang kepada investor asing yang ternyata cukup
memberikan manfaat ekonomis bagi perkembangan pasar modal [Cha &
Sekyung (2000)]. Jadi berdasarkan uraian fenomenal topik integrasi dan
segmentasi tidaklah konklusif; maka penulis beropini bahwa memang perlu riset
integrasi dan segmentasi pasar modal secara empirik. Karena akan terjawab
mengapa dan kapan pasar modal negara terkondisikan integrasi ataukah
segmentasi. Karena dari fenomena globalisasi; terindikasi kedua kondisi ini
memiliki dampak positif sekaligus negatif. 2 Ada dua kelompok riset terkait
yakni berbasis perspektif statisitik dan asset pricing [lihat Yusof dan Majid
(2006)]. Untuk studi berbasis perspektif statistik pada umumnya memakai
metodologi korelasi sampai kointegasi. Penulis melihat fokus kelompok studi
perspektif statistik lebih ingin membuktikan kapan suatu pasar modal akan
terintegrasi dan tersegmentasi.3 Sebagian besar kategori studi sudah dilakukan
di level S2; maka penulis memutuskan lebih berkiblat pada basis asset pricing. 4

2
Dalam kondisi integrasi; investor asing memiliki potensi menggerakkan indeks pasar
ketika kondisi stabilitas ekonomi terpelihara; dan sebaliknya akan menurunkan
indeks pasar ketika instabilitas ekonomi yang terjadi. Untuk kondisi segmentasi
dampak positif yang timbul adalah proteksi terhadap investor domestik dari faktor
risiko investasi internasional; namun saat yang sama akan terindikasi dampak negatif
yakni pertumbuhan indeks pasar yang tidak menggembirakan.
3
Jadi bila korelasi antara return saham dalam banyak pasar modal tinggi maka disebut
kondisi yang terjadi adalah integrasi; kalau korelasi rendah maka terindikasi kondisi
segmentasi {lihat Roll (1995) untuk kasus Indonesia}. Sedangkan menurut Yusof &
Majid (2006) untuk kointegrasi sudah demikian banyak riset memakai; kalau nilai
unit root test baik Augmented Dickey Fuller dan Phillips Peron Tests signifikan,
maka kondisi integrasi yang terjadi. Bahkan perkembangan terakhir banyak riset
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 248
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Secara umum kelompok studi ini memakai pendekatan ICAPM & IAPT
yang berasumsi pada perfect market yakni investor memiliki kebebasan untuk
melakukan diversifikasi internasional artinya bentuk – bentuk pembatasan dari
pemerintah lokal mulai berkurang [Koutoulas & Kryzanowski (1994)], Jadi
melalui model asset pricing ini, akan teridentifikasi faktor - faktor apa saja yang
memiliki andil bagi teintegrasi atau tersegementasinya suatu pasar modal.
Menurut Cheung & Lee (1993) dan Basak (1996); kalau bentuk pembatasan
terhadap investor asing minimum dan eksistensi investor asing mulai banyak
maka pasar modal suatu negara terkategori terintegrasi. Kalau pasar modal
mulai mengurangi porsi kepemilikan asing dan meningkatkan bentuk hambatan
misal cost of equity; maka pasar modal terkategori tersegmentasi
Sejauh penulis mengamati ada penelitian dari penulis asing terhadap
dinamika pasar modal Indonesia di samping Roll (1995). Penulis asing itu
adalah Wang (2000) yang menunjukkan bahwa di samping investor asing yang
memang punya pengaruh terhadap makin membuka atau menutupnya pasar
modal; beliau juga menyatakan bahwa karakter pasar modal Indonesia
demikian dinamik (salah satunya ditandai dengan tingginya volatilitas return
saham) justru yang membuat para investor asing ini “betah” bermain. Karena
keberadaan mereka juga akan menjadi contoh oleh para investor lokal dalam
menentukan portfolio investasi terkait. Jadi dugaan penulis; sementara adalah
semakin tinggi volatilitas return saham; maka akan semakin terintegrasi pasar
modal dengan basis argumen jika kondisi ekonomi stabil.
Berdasarkan uraian dua pokok permasalahan di atas maka tujuan utama
penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empris tentang:

telah memakai pendekatan ECM (Error Correction Model) berbasis metodologi


VAR (Vector Autoregressive) dari Engle - Granger Causality baik bivariat ataupun
multivariat. Bahkan Bussetti & Manera (2003) sudah memakai teknik STAR-
GARCH.
4
Basis asset pricing memiliki keunggulan dibandingkan dengan basis persepktif
statistik. Sebab bukan hanya menawarkan beberapa aplikasi model ICAPM ataupun
IAPT yang semakin koheren dengan faktor – faktor dinamik seperti volatilitas return
saham dan dinamika ekonomi makro; tetapi basis asset pricing menjelaskan
mengapa kondisi integrasi atau segmentasi pasar modal itu terjadi. Dan menurut
penulis; level analisis integrasi atau segmentasi pasar modal dengan basis asset
pricing cocok untuk kategori studi S3 [misal dari Basak (1996); Bekaert & Harvey
(1995); Basak & Croitoru (2004) dan Bhamra (2002)].
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 249
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

1. Pasar modal Indonesia merupakan pasar modal yang tersegmentasi ataukah


terintegrasi dengan pendekatan asset pricing.
2. Dua faktor dominan yang mempengaruhi segmentasi atau integrasi pasar
modal Indonesia dalah net buying (selling) investor asing dan cost of equity.
3. Pengaruh net buying (selling) investor asing dan cost of equity terhadap
segmentasi pasar atau integrasi pasar modal Indonesia juga dikendalikan
oleh krisis moneter 1997.
4. Pengaruh faktor tambahan seperti volatilitas return saham terhadap kondisi
integrasi atau segmentasi pasar modal Indonesia di samping net buying
(selling) investor asing dan cost of equity.
Sedangkan tujuan khusus penelitian adalah untuk:
1. Membuat model asset pricing dari kondisi integrasi atau segmentasi pasar
modal Indonesia berbasis pada studi Cheung & Lee (1993) dan bila perlu
studi Basak (1996) dan Li & Primbs (2005) karena berbasis pada proses
stokastik.
2. Mengidentifikasi dan memastikan bahwa memang net buying (selling)
investor asing dan cost equity adalah faktor penjelas yang paling utama
untuk kondisi integrasi atau segmentasi pasar modal Indonesia.
3. Mempelajari kontribusi pengaruh krisis moneter 1997 terhadap kondisi
integrasi atau segmentasi pasar modal Indonesia melalui modifikasi model
asset pricing yang dikembangkan pada tujuan khusus nomor 1.
4. Memperluas model asset pricing integrasi atau segmentasi pasar modal
Indonesia dengan faktor volatilitas return saham dengan basis argumen salah
satu ciri pasar modal Indonesia adalah dinamika pergerakan IHSG yang luar
biasa berfluktuasi (lihat studi Wang, 2000).
3. Pertanyaan Penelitian
1. Apakah pasar modal Indonesia ini merupakan pasar modal yang
tersegmentasi dalam kurun waktu yang panjang yakni 1992 – 2008?
2. Apakah net buying (selling) investor asing dan cost of equity memiliki
pengaruh terhadap segmentasi pasar modal Indonesia?
3. Apakah kondisi tersegmentasi ataukah terintegrasinya pasar modal Indonsia
dikendalikan oleh efek krisis moneter 1997?
4. Apakah ada faktor-faktor lain di luar net buying (selling) investor asing dan
cost of equity seperti volatilitas return saham juga berpengaruh terhadap
kondisi integrasi atau segmentasi pasar modal Indonesia?

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 250


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

4. Kontribusi Penelitian
4.1. Kontribusi Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti secara empirik
kategori pasar modal Indonesia baik itu segmentasi ataupun integrasi.
Pertimbangannya adalah belum banyaknya penelitian tentang pengujian
integrasi versus segmentasi pasar modal di Indonesia yang berbasis asset
pricing. Selama ini di Indonesia masih cukup didominasi pendekatan statistik
perspektif seperti misalnya Roll (1995) dan Roida (2004) menyatakan pasar
modal Indonesia terkategori segmentasi atau integrasi dalam periode data
berbeda. Kalaupun ada satu pendekatan asset pricing masih relatif sederhana
yakni Husnan & Pudjiastuti (1995) yang memakai one factor CAPM. Atapun
juga dari Murtini & Ekawati (2003); Frensidy (2006) dan Setyawan (2007)
yang meskipun menekankan pada model relasional net buying (selling) investor
asing dan indeks pasar; tetapi pada dasarnya masih bergantung semata pada
algoritma software EVIEWS (lihat menu analisis VAR dan ARCH/GARCH).
Maka kelompok studi di atas masih terkategori sebagai basis riset perspektif
statistik.
Guna mencapai harapan yakni perolehan model riset yang berbasis
asset pricing; penulis bermaksud membuat modifikasi model Cheung & Lee
(1993) dan bahkan Basak (1996). Karena model mereka berdua sudah lebih
dinamik dalam arti mampu mengakomodasi faktor – faktor potensial yang
belum di-cover di riset – riset sebelumnya dengan baik seperti net buying
(selling) investor asing, cost of equity dan volatilitas return saham.
4.2. Kontribusi Praktik
Bagi kalangan investor dan pemerintahan, maka penelitian ini
diharapkan akan dapat mengidentifikasi tipe strategi investasi dan regulasi
dalam hal investasi di pasar modal Indonesia. Khususnya agar dapat membuat
iklim investasi terutama investasi dari luar negeri tetap dapat tumbuh subur di
Indonesia tanpa harus menimbulkan risiko kekuatiran bakal makin kuatnya
kontrol investor asing terhadap perekonomian nasional, dengan demikian
investor asing tetap memiliki persepsi positif terhadap iklim investasi di
Indonesia. Karena keberadaan investor asing ini sering menjadi rujukan bagi
investor domestik untuk tetap “tinggal” di pasar modal.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 251


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

TINJAUAN LITERATUR

1. Globalisasi Ekonomi di Asia dan Swastanisasi di Emerging Market


Sejak dekade 1990-an, topik globalisasi ekonomi menjadi “hangat”
dibicarakan. Salah satu ciri khasnya adalah munculnya blok - blok perdagangan
seperti MEE dan NAFTA di Eropa dan Amerika Utara yang punya efek kuat
terhadap pasar modal. (Kleimeier & Herald (2000). Dalam perkembangan
selanjutnya; di Asia mulai muncul blok perdagangan seperti forum APEC
yang bertujuan membangun harmonisasi liberalisasi ekonomi melalui
kerjasama ekonomi yang makin erat antara negara maju dan negara
berkembang. 5
Dampak positif pembentukan forum APEC adalah pertumbuhan
ekonomi negara dan juga kenaikan indeks harga saham. Maka wajar bila negara
– negara Asia Timur seperti Korea dan Taiwan (di samping Jepang yang telah
maju sebelum fenomena globalisasi terjadi) memiliki kemajuan ekonomi yang
luar biasa. Sementara negara – negara seperti Malaysia, Thailand dan
Indonesia (di samping Singapura yang telah lebih dulu maju) juga menikmati
kemajuan ekonomi pada tahun 1993 -1996.
Pada saat negara – negara Asia Timur dan Tenggara mulai terlibat
dalam liberalisasi ekonomi dan perdagangan; ada dua negara besar yakni India
dan China yang belum terlibat secara langsung karena belum kuatnya daya
saing negara tersebut di level internasional. Kalau dianalisis; mungkin cukup
aneh karena ada kesan bahwa kedua negara menutup diri. Tetapi strategi India
dan China terbukti tepat karena kalau mencermati pengalaman negara – negara
Asia lain yang terbuka terhadap investor asing justru menerima efek negatif

5
Pada dekade 1980-an hingga 1990-an di Eropa dan Amerika Utara; kebanyakan
peneliti mengkaitkan integrasi pasar modal dengan liberalisasi ekonomi melalui blok-
blok perdagangan. Seperti di Eropa dikenal dengan fenomena MEE (Masyarakat
Ekonomi Eropa) yang sejak tahun 1999 terkenal dengan EURO; ataupun di Amerika
Utara memiliki blok perdagangan NAFTA. Secara logis; bisa dibenarkan karena
dengan makin menguatnya blok perdagangan maka negara - negara yang menjadi
blok tersebut juga akan saling berinteraksi dalam bentuk transfer sumber daya dan
akses informasi. bila proses interaksi berhasil maka masing - masing negara akan
mendapatkan benefit yakni pertumbuhan GDP dan makin menguatnya pasar modal
masing - masing melalui kenaikan indeks pasarnya.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 252


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

yakni kejatuhan ekonomi dan juga hancurnya pasar modal selama beberapa
tahun hingga periode 2002 [Nath & Samanta (2005) dan Li & Primbs (2005)].
Walaupun demikian; setelah era 2002, pasar modal dari negara – negara
berkembang mulai pulih. Hal ini ditandai dengan menguatnya kembali
fundamental ekonomi masing – masing negara yang berdampak pada
peningkatan indeks pasar. Seperti untuk kasus Indonesia, China dan India yang
pertumbuhan indeks pasar termasuk tinggi di dunia pada kisaran 2002 – 2007
yang juga melebihi periode sebelum krisis ekonomi 1997. Dan yang unik hal ini
karena keterbukaan terhadap investor asing yang makin besar bahkan hingga
level mendekati 100%. Fenomena tersebut dapat disebut re-swastanisasi pasar
modal yang dapat diartikan langkah swastanisasi kembali pasar modal karena
pemerintah setempat sudah menyadari manfaat potensial dari keberadaan para
investor asing yang akan sungguh - sungguh membuat kenaikan indeks harga
saham secara signifikan. 6
2. Integrasi dan Segmentasi Pasar Modal
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang pengertian integrasi dan
segmentasi pasar modal dari tiga penelitian terdahulu yakni Cheung & Lee
(1993); Stulz & Wasserfallen (1995) dan Li & Primbs (2005). Cheung & Lee
(1993); dan Stulz & Wasserfallen (1995) membahas perbandingan definisi
operasional dari integrasi atau segmentasi pasar modal; sedangkan Li & Primbs
(2005) lebih menekankan bentuk segmentasi pasar modal.
2.1. Penelitian Cheung & Lee (1993)
Cheung & Lee (1993) menunjukkan perbedaan integrasi dan segmentasi
pasar modal dari perspektif penilaian terhadap risiko investasi internasional.
Untuk pasar modal yang tersegmentasi secara sempurna, hanya risiko pasar
domestik yang seharusnya diperhitungkan. Risiko pasar global tidak relevan
dan seharusnya tidak diperhitungkan sebagaimana investor domestik tidak dapat
berpartisipasi dalam pasar modal luar negeri dan investor asing tidak dapat
berpartisipasi di pasar domestik.
Sedangkan dalam pasar modal yang terintegrasi secara sempurna, tidak
hanya risiko pasar domestik saja diperhitungkan tetapi juga risiko pasar global.
Argumentasinya adalah pasar modal tersebut merupakan bagian integral dari

6
Di mana untuk kasus India dan China termasuk yang terbaik mengingat kedua negara
tersebut betul – betul dianggap sebagai kekuatan baru ekonomi di Asia.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 253


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pasar modal global. Sehingga berbagai pengaruh eksternal dari pasar modal
global akan mewarnai pasar modal yang bersangkutan.
2.2. Penelitian Stulz & Wasserfallen (1995)
Stulz & Wasserfallen (1995) menunjukkan perbedaan integrasi dan
segmentasi pasar modal dari perspektif dominasi investor domestik terhadap
investor asing. Dalam pasar modal tersegmentasi, seorang investor domestik
memiliki peluang untuk menikmati hasil expected return melebihi investor
asing sebab investor domestik memiliki kesempatan yang lebih besar untuk
berinvestasi di proyek - proyek yang lebih strategik dibandingkan dengan
investor asing karena porsi kepemilikan saham di proyek tersebut lebih besar.
Pada tipe segmentasi, hampir boleh dikatakan investor domestik tidak
menanggung risiko investasi internasional melainkan hanya risiko investasi
domestik saja.
Untuk kasus pasar modal terintegrasi, seorang investor domestik akan
mulai mendapatkan persaingan dari investor asing dalam memilih proyek -
proyek yang strategik karena baik investor asing maupun domestik memiliki
kesempatan yang hampir sama. Agar investor domestik dapat masih menikmati
hasil expected return yang pantas, maka investor domestik perlu melakukan
diversifikasi internasional untuk meminimalkan risiko investasi internasional
yang akan ditanggung.
2.3. Penelitian Li & Primbs (2005)
Li & Primbs (2005) berhasil mengembangkan satu konsep segmentasi
pasar modal dengan berasumsi pada tidak adanya proses arbitrage. Hal ini
dikarenakan justru karena adanya proses arbitrage di pasar modal; para investor
asing sering melakukan diversifikasi intrnasional untuk meminimumkan risiko
fluktuasi kurs mata uang. Menurut Li & Primbs (2005) proses arbitrage di pasar
modal internasional juga harus dibatasi. Ada satu definisi segmentasi yang luar
biasa dari Li & Primbs (2005) yakni

Pasar modal disebut tersegmentasi apabila investasi dari kelompok investor


dibatasi pada sekumpulan asset tertentu.
Pembatasan investasi dapat secara nyata dijatuhkan; misal dalam kasus
saham A dan B di pasar modal China; atau pembatasan dari dalam diri investor
untuk hanya mengambil saham – saham domestik (dalam behavioral finance
disebut home bias).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 254


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Gambar 1. Model sederhana segmentasi pasar modal dari Li (2005)

Kontribusi utama dari Li & Primbs (2005) selain mampu


menggambarkan konsep segmentasi secara diagram seperti terlihat di gambar
1; ternyata juga mampu membuat model asset pricing ketika kondisi pasar
modal tersegmentasi. Basis argumentasi adalah proses ortogonalisasi yang
melibatkan unsur – unsur seperti formula faktor diskon stokastik; model beta
dan model faktor untuk memaksimumkan CARA (Constant Absolute Risk
Aversion) pada setting periode tunggal Gaussian.

3. Penelitian Terdahulu Yang Bersifat Empiris


3.1. Penelitian di Luar Negeri
Beberapa peneliti terdahulu yang membahas tentang isu segmentasi dan
integrasi pasar modal antara lain: Sthele (1977); Jorion & Schwarz (1986);
Errunza, et.al. (1992); Cheung & Lee (1993) dan Yusof & Majid (2006).
Sthele (1977) merupakan peneliti pertama yang secara empirik menguji isu
segmentasi versus integrasi. Dengan teknik Fama-McBeth (1973). Sthele tidak
dapat menolak hipotesis segmentasi ataupun integrasi untuk pasar modal USA
relatif pada pasar modal dunia. Memakai pendekatan yang lebih kuat yakni
maximum likelihood, Jorion & Schwartz (1986) menemukan bahwa pasar modal
Canada tergolong sebagai pasar modal yang terintegrasi dengan pasar modal
Amerika Utara.
Isu integrasi versus segmentasi pada pasar modal Korea pernah diuji
secara empirik oleh Errunza, et.al. (1992). Dengan jumlah sampel hanya 12
perusahaan Korea, mereka menemukan bahwa pasar modal Korea merupakan
kandidat terbaik untuk pasar modal yang tersegementasi. Cheung & Lee (1993)
melakukan pengujian integrasi versus segmentasi pada pasar modal Korea dan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 255


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mendapatkan hasil bahwa pasar modal Korea adalah pasar modal yang
tersegmentasi untuk ketiga pasar yakni Asia Pasifik; Amerika Utara dan Dunia.
Melalui metodologi Multivariate Vector Autoregressive; Yusof &
Majid (2006) menunjukkan dominasi pengaruh pasar modal Jepang terhadap
pasar modal Malaysia melebihi dominasi pengaruh pasar modal Amerika
Serikat. Fenomena tersebut berlaku untuk periode pengamatan sebelum dan
sesudah krisis moneter. Arti penting integrasi pasar modal yang terjadi adalah
tidak adanya investor asing yang berhasil mendapatkan keuntungan dari selisih
kurs melalui proses diversifikasi internasional. Hal yang dapat dipelajari adalah
saat pasar modal terintegrasi, maka akan ada proses arbitrage yang memiliki
efek cancel out untuk semua potensi keuntungan abnormal dari kegiatan
investasi internasional.

3.2. Penelitian di Indonesia


Penelitian topik integrasi versus segmentasi di Indonesia antara lain
dilakukan oleh beberapa kelompok peneliti dengan menggunakan market model
CAPM dan juga non market model CAPM. Para pengguna non market model
CAPM antara lain Roida (2004), Frensidy (2006) dan Setyawan (2007).
Meskipun mereka bertiga mengunakan metodologi yang berbeda, tetapi mereka
berhasil memperoleh kesamaan outcome studi yakni pasar modal Indonesia
yang cenderung terintegrasi.
Sedangkan untuk kelompok studi market model CAPM seperti Husnan
& Pudjiatusti (1995) dan Roll (1995) dengan dukungan data sebelum krisis
ekonomi 1997; menemukan hasil pasar modal Indonesia yang tersegmentasi.
Berdasarkan kedua kelompok studi; apakah ada kontradiksi antara non market
model CAPM dan market model CAPM? Penulis berpandangan tidak; karena
logis sebelum krisis moneter 1997 pasar modal Indonesia tersegmentasi hal ini
karena masih adanya batasan kepemilikan saham oleh investor asing. Sementara
setelah krisis moneter, begitu batasan minimum maka pasar modal Indonesia
akan condong ke arah integrasi.

4. Pengembangan Hipotesis
4.1. Integrasi versus Segmentasi Pasar Modal Indonesia
Pada awal mula berdirinya tahun 1977, pasar modal Indonesia masih
merupakan pasar modal yang kecil. Belum banyak perusahaan yang
mendaftarkan diri sebagai emiten, karena memang pada tahun tersebut demam
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 256
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

go-public belum begitu terasa di kalangan pebisnis. Mulai periode 80-an hingga
90-an, pasar modal Indonesia mengalami pertumbuhan yang tajam seiring
dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat baik. Masyarakat pebisnis
mulai menyadari manfaat yang besar dari berinvestasi di pasar modal, sehingga
pada periode tersebut mulai banyak perusahaan yang listing di BEJ. Apalagi
setelah terjadinya demam go-public pada awal tahun 90-an, membuat jumlah
perusahaan yang menjadi emiten di pasar modal meningkat dengan tajam. Pada
tahun 1992, pasar modal Indonesia mulai terbuka untuk investor asing,
menyusul langkah swastanisasi pasar modal oleh pemerintah. Investor asing
mulai diijinkan berpartisipasi dalam setiap perusahaan sampai dengan batas
kepemilikan maksimum 49 %. Adanya investor asing membuat pasar modal
berkembang pesat (Murtini & Ekawati, 2003).
Dari uraian di atas maka kita dapat melihat sebelum tahun 1992, pasar
modal Indonesia belum terbuka untuk investor asing sementara setelah tahun
1992 pasar modal kita sudah terbuka untuk investor asing. Pada waktu pasar
modal Indonesia belum terbuka untuk investor asing maka sebenarnya pasar
modal Indonesia ini sudah tergolong ke arah bentuk pasar modal segmentasi.
Pernyataan sementara ini dapat didukung dengan hasil penelitian Roll (1995)
yang menyatakan bahwa korelasi antara pasar modal Indonesia dengan
beberapa pasar modal negara-negara di kawasan Asia Pasifik cenderung negatif
dan lemah (karena nilai p – value di atas 5%).
Sementara setelah tahun 1992; walaupun pasar modal kita mulai
terbuka untuk investor asing tetapi itu bukan berarti bahwa pasar modal
Indonesia mulai mengarah ke bentuk integrasi. Hal ini diakibatkan karena
Indonesia ternyata masih mengenakan hambatan tarif pajak investasi bagi
perusahaan multinasional dan juga adanya pembatasan-pembatasan terhadap
jumlah kepemilikan bagi investor asing yang bersangkutan. Kondisi di
Indonesia ini hampir sama dengan di Korea, yang walaupun pasar modalnya
sudah terbuka untuk investor asing, tetapi hasil penelitian Cheung & Lee (1993)
menunjukkan bahwa pasar modal Korea masih tergolong sebagai pasar modal
yang tersegmentasi. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu hipotesis
sebagai berikut:
H1: Pasar modal Indonesia secara umum merupakan pasar modal yang
tersegmentasi.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 257


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

4.2. Berbagai Faktor Penentu Segmentasi Pasar Modal Indonesia


Ada dua faktor yang sedikitnya mempengaruhi suatu pola atau bentuk
pasar modal yakni net buying (selling) investor asing dan cost of equity. Net
buying (selling) investor asing menunjukkan partisipasi investor asing terhadap
perkembangan pasar modal suatu negara. Semakin besar partsipasi investor
asing, maka akan semakin besar pengaruh investor asing dalam membawakan
efek investasi internasional pada pasar modal suatu negara. Menurut Errunza
(1999) dengan makin tingginya partisipasi investor asing akan semakin
“membuka” pasar modal di suatu negara untuk memudahkan masukya berbagai
akses informasi berkaitan dengan investasi internasional ke pasar modal yang
bersangkutan.
Cost of equity menunjukkan biaya modal atas suatu proyek investasi.
Semakin tinggi cost of equity maka akan semakin mahal suatu proyek investasi.
Jika konteksnya adalah investasi internasional maka semakin tinggi cost of
equity akan membuat enggan investor asing untuk menanamkan modalnya di
negara yang bersangkutan (Stulz, 1995). Biasanya yang menyebabkan tingginya
cost of equity adalah kondisi negara yang sedang buruk (ekonomi dan politik
tidak stabil) sehingga country risk meningkat dengan tajam ataupun juga
kebijakan pemerintah setempat yang sengaja menaikkan tarif pajak investasi
sebagai salah satu komponen cost of equity dengan harapan akan membatasi
jumlah investor asing (Stulz & Wassefallen, 1995).
Jika suatu pasar modal terintegrasi maka pasar modal tersebut akan
terbuka bagi investor asing; net buying (selling) akan meningkat), karenanya
nilai kapitalisasi pasar modal akan meningkat. Meningkatnya nilai kapitalisasi
pasar akan memudahkan upaya pencarian sumber dana. Kondisi ini akan
membuat cost of equity menurun. Hal yang sebaliknya berlaku untuk pasar
modal tersegmentasi. Jika suatu pasar modal tersegmentasi maka pasar modal
tersebut cenderung tidak terbuka bagi investor asing net buying (selling) akan
berkurang karenanya nilai kapitalisasi pasar modal akan berkurang.
Menurunnya nilai kapitalisasi pasar akan menyulitkan upaya pencarian sumber
dana. Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya dapat ditarik pula suatu
hipotesis sebagai berikut:
H2a: Net buying (selling) investor asing memiliki pengaruh negatif terhadap
segmentasi pasar modal Indonesia.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 258


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

H2b: Cost of Equity memiliki pengaruh positif terhadap segmentasi pasar


modal Indonesia.

4.3. Integrasi vs. Segmentasi Pasar Modal Selama Krisis Ekonomi 1997
Melalui analisis korelasi sebelum krisis moneter, menurut Roll (1995)
pasar modal Indonesia memiliki karakteristik tersegmentasi. Beliau menyatakan
arah tanda negatif yang banyak ditemukan dalam studinya tidak menunjukkan
kondisi segmentasi atau integrasi; melainkan pada derajat signifikansi korelasi
yang jika di atas 5%, berarti mendukung kondisi tersegmentasi. Sementara itu
Roida (2004) dengan analisis korelasi juga berhasil menunjukkan bahwa setelah
krisis justru pasar modal Indonesia memiliki hubungan yang kuat dengan
Korea, Malaysia, Philipina, Hongkong, Jepang dan Taiwan. Bukti hubungan
yang kuat dapat ditelusuri dari nilai p-value masing - masing korelasi yang di
bawah 5 %.
Dengan demikian Roida (2004) berhasil melakukan klaim bahwa
setelah krisis moneter; pasar modal Indonesia cenderung terkategori
terintegrasi. Dan bila dikaitkan dengan hasil studi Frensidy (2006) dan
Setyawan (2007), memang setelah krisis moneter 1997 porsi permainan investor
asing demikian meningkat tajam. Hal ini sekaligus menadai makin terbukanya
pasar modal kita terhadap eksistensi investor asing dan pengaruh peristiwa
ekonomi internasional. Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya dapat
ditarik pula suatu hipotesis sebagai berikut:
H3: Krisis moneter 1997 membuat pergeseran pola segmentasi pasar modal
Indonesia menjadi kurang dominan dan bahkan hampir tidak dominan
sehingga mengarah ke bentuk integrasi.

4.4. Kontribusi Volatilitas Return Saham pada Integrasi atau Segmentasi


Ada dua kajian riset penting tentang volatilitas return saham dan
frekuensi perdagangan di pasar modal Indonesia yakni Neal, et.al. (1999) dan
Wang (2000). Penulis akan condong memakai studi Wang (2000), karena beliau
berhasil menunjukkan satu fenomena menarik yakni bahwa dengan semakin
volatile pasar modal Indonesia justru membuat daya tarik pasar modal kita
kepada investor asing makin meningkat. Hal ini bukan sekedar perilaku
investor asing akan diikuti investor domestik yang menciptakan kondisi
herding seperti diklaim Neal, et.al. (1999); tetapi justru eksistensi mereka yang

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 259


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mampu membuat pasar modal menjadi makin tumbuh dan berkembang. Karena
menurut Bhamra (2002) makin tingginya eksistensi investor asing akan
membuat rentang batas atas dan bawah indeks harga saham makin meningkat
karena bermain saham dalam lot besar. Berdasarkan uraian di atas, maka
selanjutnya dapat ditarik pula suatu hipotesis sebagai berikut:
H4: Volatilitas return saham membuat pergeseran bentuk pasar modal
Indonesia dari tersegmentasi menuju ke arah integrasi.

METODE PENELITIAN

1. Unit Analisis & Prosedur Singkat Penelitian


Definisi unit analisis dari penelitian ini adalah kelompok saham paling
aktif di Bursa Efek Jakarta (sejak akhir 2007 disebut BEI). Dengan
menggunakan teknik purposive sampling; maka penulis memperkirakan ada
minimum 5 saham paling aktif dan paling eksis selama 1992 – 20087. Kelima
saham tersebut antara lain TLKM; INDF; ASII; UNVR dan HMSP.
Prosedur singkat penelitian meliputi: 1) Periode pengujian terbagi dua
yakni 1992–1997 (sebelum krisis moneter) dan 1998-2008 (sesudah krisis
moneter) 2) Pola pembentukan portofolio 2 saham dan pengurutan ranking
menurut βi dan Size. Kalau nantinya ada 5 saham, berarti ada 10 kombinasi
portofolio yakni TLKM-INDF; TLKM-ASII; TLKM-UNVR hingga UNVR-
HMSP.
2. Definisi Operasional & Sumber Data
Penelitian ini akan menganalisis beberapa variabel penelitian di antaranya:
a) Return saham suatu perusahaan (Simbol: Rit) Æ Level Data Mingguan
Didefinisikan sebagai hasil bagi antara selisih harga saham suatu periode t
dan harga saham periode t-1 dengan harga saham periode t-1. Sumber data
harga saham adalah Jakarta Stock Exchange Monthly dari Januari 1992
sampai dengan Desember 2008 ataupun juga dengan men-download dari
www.idx.co.id pada bagian Trading Information.

7
Kriteria paling aktif adalah atas dasar kapitalisasi pasar selama periode 1992-2008
sementara kriteria paling eksis didasarkan atas mulai awalnya perusahaan-perusahaan
tersebut listing di Bursa Efek Indonesia. Seperti halnya Cheung & Lee (1993), maka
penelitian ini juga memakai kombinasi portofolio untuk memenuhi persyaratan
jumlah observasi dalam model analisis (eq. 8 di hal. 16)
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 260
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

b) Return pasar modal Indonesia (Simbol: Rmt) Æ Level Data Mingguan


Didefinisikan sebagai return indeks pasar dari saham – saham emiten di
BEJ yang dihitung secara komposit. Sumber data indeks pasar adalah
majalah mingguan Far Eastern Economic Review (FEER) tahun 1992 -
2008 yang memuat IHSG dalam konversi US $. Selain FEER; IHSG
juga bisa diakses ke www.yahoo.finance.com dengan melihat pada bagian
indices.
c) Return pasar modal dunia (Simbol: Rwt) Æ Level Data Mingguan
Didefinisikan sebagai hasil bagi antara selisih Pasific Index periode t dan
indeks pasar Pacific Index periode t-1 dengan indeks pasar Pasific Index
periode t-1. Sumber data Pasific Index adalah data base OSIRIS dari
PPIM-UI atau PACAP Data Base dari PPA/MM-UGM. Nilai indeks pasar
tidak dalam bentuk satuan moneter; oleh karena itu tidak dipengaruhi oleh
nilai kurs mata uang. Data return pasar modal dunia selanjutnya
digunakan untuk menghitung nilai Fit yang merupakan nilai residu dari
model persamaan Rwt = λ0 + λ1 Rmt. Fit merupakan komponen inti model
pengujian integrasi versus segmentasi pasar modal. Karenanya Fit harus
teridentifikasi secara akurat lewat equation 2 di hal. 16.
d) Net Buying (Selling) Investor Asing (Simbol: NBS) Æ Level Data
Mingguan
Didefinisikan sebagai hasil selisih pembelian atau penjualan saham oleh
investor asing. Variabel ini memiliki kemiripan dengan porsi kepemilikan
asing yang dipakai dalam studi Wang (2000). Tetapi menurut penulis;
proxy kepemilikan asing yang dicatat dalam hardcopy publikasi BEJ masih
belum “terperinci” ; maka penulis tetap memakai variabel NBS. Adapun
sumber data NBS adalah www.bapepam.go.id pada bagian market
summary.

e) Cost of Equity (Simbol: CE) Æ Level Data Mingguan


Secara implisit Cheung & Lee (1993) menyatakan definisi untuk CE
adalah return on equity (ROE). Kalau ROE tetap dipakai maka penulis
harus mencari data ROE mingguan yang tidak ada dalam www.idx.co.id.
Karena memang tidak memungkinkan; maka penulis memakai proxy SBI.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 261


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Sumber data SBI (Sertifikat Bank Indonesia) pada level data mingguan
adalah www.bi.go.id.
f) Volatilitas Return Saham (Simbol: VOT) Æ Level Data Mingguan
Didefinisikan sebagai volatilitas return saham. Agar lebih efektif; penulis
akan memakai tipe volatilitas Parkinson dan Garman-Klass seperti dikutip
oleh Wang (2000). Return saham dihitung dengan menggunakan
perubahan harga saham. Sumber data harga saham adalah Jakarta Stock
Exchange Monthly dari Januari 1992 sampai dengan Desember 2008
ataupun juga dengan men-download dari www.idx.co.id pada bagian
Trading Information.

3. Model Pengujian Hipotesis


Penelitian ini akan menggunakan model multifactor pengujian integrasi
vs segmentasi pasar modal berbasis pengembangan model two-factor dari
penelitian Cheung & Lee (1993).8 Model multifactor untuk hipotesis 1 dan 2a/b
dapat disajikan sebagai berikut (Pembuktian secara lengkap tentang model
multifactor dapat dilihat pada bagian persamaan 1-9):
Secara umum akan nampak sbb.:
Rit = δ0 (1- βim) + δ1 βi1 + δ2 βi2 + δ3 βi3 + βim Rmt + βi1 Fit + βi2NBS + βi3 CE + εit (1)

Keterangan:
Rit Æ return saham individu yang dianalisis dalam level portofolio
Rmt Æ return pasar modal Indonesia
Fit Æ ekstraksi faktor internasional antara Rmt dan Rwt
βi1; βi2; βi3 ; βim Æ factors loading yang akan hilang setelah running model
δ1; δ2; δ3 Æ masing-masing koefisien faktor internasional; NBS dan CE
δ0 Æ konstanta

H1 diterima bila δ1 = 0 (signifikan). Sementara H2a dan H2b diterima bila δ2 <
0 & δ3 > 0 yang masing-masing signifikan. Prosedur ekstrasi faktor
internasional dengan model Cheung & Lee (1993) sebagai berikut:

8
Agar dapat bekerja secara optimal maka operasionalisasi model multfactor akan
dikerjakan dengan teknik factor analysis yang akan mengiterasi semua kompionen
faktor dalam model tersebut hingga mencapai hasil iterasi yang sempuna
(konvergen). Dasar pemilihan teknik factor analysis ini adalah karena sebenarnya
teknik ini juga termasuk rumpun GLS.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 262
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Fit = Rwt – (δ0 + δ1Rmt) (2)


Keterangan:
δ0 ; δ1 adalah koefisien regresi.
Model (2) merupakan bagian penting bagi model 1. Sedang model 1 ada tahap-
tahap estimasinya. Modifikasi Riset Jorion & Schwartz (1986):
Rit = (Rit) + βim (Rmt -  (Rmt)) + β11Fit + еit (3) 9

(Rit) = δ0 + δm βim + δ1βi1 (4a) Rit = δ0 + δ1Rmt – Fit (5a)

(Rmt) = δ0 + δm (4b) Fit = Rit - δ0 - δ1Rmt (5b)

Modifikasi RCheung & Lee (1993); substitusi persamaan (4a) s/d (5b) ke
persamaan (3):

Rit = δ0 + δm βim + δ1βi1 + βim (Rmt - δ0 - δm ) + βi1 Fit + eit


Rit = δ0 + δm βim + δ1βi1 + βim Rmt - δ0 βim - δm βim + βi1 Fit + eit
Rit = δ0 - δ0 βim + δ1βi1 + βim Rmt + βi1 Fit + eit
Rit = δ0(1 – βim) + δ1βi1 + βim Rmt + βi1 Fit + eit (6)

Modifikasi penulis dengan cara ekspansi NBS dan CE dalam persamaan (6);
ekspansi persamaan (2), substitusi persamaan (7) ke (6) sebagai berikut:

Rit = (Rit) + βim(Rmt -  (Rmt)) + β11Fit + β12 NBS + β13CE + еit (7)
m 1 2 3
(Rit) = δ0 + δm βi + δ1βi + δ2βi + δ3βi (8)
m 1 2 3 m m 1 2
Rit = δ0 + δm βi + δ1βi + δ2βi + δ3βi + βi Rmt - δm βi + βi Fit + β1 NBS +
β13CE + еit

Rit = δ0(1-βim) + δ1βi1+ δ2βi2 + δ3βi3 + βim Rmt + βi1Fit + β12NBS + β13CE + еit (9)

9
Merupakan ekstensi Black (1972) CAPM seperti dikutip Cheung & Lee (1993).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 263


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Hipotesis pertama (H1) yakni bahwa pasar modal Indonesa merupakan


pasar modal yang tersegmentasi akan diterima bila nilai dari δ1 = 0 artinya
pengaruh dari return pasar modal internasional terhadap pasar modal Indonesia
secara signifikan tidak ada. Sedangkan untuk hipotesis 2a (H2a) akan diterima
apabila koefisien δ2 memberikan nilai negatif signifikan yang artinya
membuktikan secara statistik bahwa dalam pasar modal tersegmentasi, NBS
cenderung akan berkurang. Hipotesis 2b (H2b) akan diterima apabila koefisien
δ3 dari variabel CE memberikan nilai positif secara signifikan artinya
membuktikan secara statisitik bahwa dalam pasar modal tersegmentasi.

Untuk kepentingan pengujian hipotesis 3 dan 4 akan dilakukan


transformasi model persamaan (9) menjadi masing-masing sebagai berikut:

Rit = δ0(1-βim) + δ1βi1+ δ2βi2 + δ3βi3 + δ4βi4 + βim Rmt + βi1Fit + β12NBS +
β13CE + β14 D + еit (10)

Rit = δ0(1-βim) + δ1βi1+ δ2βi2 + δ3βi3 + δ4βi4 + βim Rmt + βi1Fit + β12NBS +
β13CE + β14 VOT+ еit (11)

Hipotesis ketiga (H3) dan keempat (H4) masing-masing diterima bila


nilai koefisien δ4 untuk D dan VOT bertanda positif terhadap Rit; artinya
semakin mendukung pasar modal yang terintegrasi. Atau arah tanda koefisien D
(dummy periode krisis; sebelum = 0 & sesudah = 1) dan VOT (volatilitas return
saham) harus makin menaikkan NBS dan menurunkan CE.

REFERENSI

Basak, S. (1996), An Intertemporal Model of International Capital Market


Segmentation, Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 31 No.
2, pp. 161 – 188.
Basak, S. & B. Croitoru (2005), International Good Market Segmentation
and Financial Innovation, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1 - 31.
Bhamra, S.H. (2002), International Stock Market Integration: A Dynamic
General Equilibrium Approach, Working Paper from www.ssrn.com, pp.
1- 79.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 264


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Bekaert, G. & C.R. Harvey (1995), Time-Varying World Market Integration,


Journal of Finance Vol. 50, pp. 403 - 444.
Bracker, K., S. Diane & D.K. Paul (1999), Economic Determinant of
Evaluation in International Stock Market Integration, Journal of
Empirical Finance Vol. 6, pp. 1 – 27.
Busetti, B. & M. Manera (2003), STAR-GARCH Models for Stock Market
Interactions in the Pasific Basin Region, Japan & US, Working Paper
from www.ssrn.com, pp. 1 – 34.
Cadwell, S.P. (1997), Integration versus Segmentation of The Canadian and
US Stock Markets: A Multifactor Asset Pricing Model Approach, UMI
Thesis Services, University of Michigan Ann Arbor, pp. 1 – 59.
Cha, B. & O. Sekyung (2000), The Relationship Between Developed Equity
Market and the Pasific Basin’s Emerging Equity Markets, International
Review of Economics and Finance Vol. 9, pp. 299 – 322.
Cheung, C.S. & J. Lee (1993), Integration versus Segmentation in the
Korean Stock Market, Journal of Business, Finance & Accounting, 20 (2),
pp. 267-273.
Choi, J.J. & M. Rajan (1997), A Joint Test of Market Segmentation and
Exchange Risk Factor in International Capital Markets, Journal of
International Business Studies Vol. 28 No.1, pp. 29 – 49.
Domowitz, I., J. Glen & A. Madhavan (1997), Market Segmentation and
Stock Prices: Evidence from an Emerging Market, Journal of Finance
Vol. 52 No. 3, pp. 1059 – 1085.
Errunza, V.& E. Losq (1985), International Asset Pricing Under Mild
Segmentation: Theory & Test, Journal of Finance Vol. 40, pp. 105 – 124.
Errunza, V.; E. Losq & P. Padmanabahan (1992), Test of Integration, Mild
Segmentation and Segmentation Hypothesis, Journal of Banking and
Finance (September Edition), pp. 949 - 972.
Erunza, V. (1999), Foreign Portfolio Equity Investment in Economic
Development, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1 – 40.
Errunza, V. & D. Miller (2000), Market Segmentation and the Cost of
Capital in International Equity Market, Journal of Financial and
Quantitative Analysis Vol. 35, pp. 577 – 600.
Faff, R.W. & U.R. Mittoo (1998), Capital Market Integration and Industrial
Structure: The Case of Australia, Canada and The United States,
Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1 – 60.
Foster, S.R. & G.A. Karolyi (1999), The Effects of Market Segmentation and
Investor Recognition on Asset Prices: Evidence from Foreign Stocks
Listing in The U.S., Journal of Finance Vol. 54, pp. 981 – 1013.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 265


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Frensidy, B. (2006), Pengaruh Net Foreign Fund Flow dan Perubahan Kurs
Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek
Jakarta, Proposal Riset untuk tugas Seminar on Behavioral Finance,
Program Doktor Kekhususan Ilmu Manajemen Keuangan FE-UI, hal. 1-11.
Gultekin, M.N; N.B. Gultekin & A. Penati (1989), Capital Controls and
International Capital Market Segmentation: The Evidence from
Japanese and American Stock Market, Journal of Finance Vol. 44. No.4,
pp. 849 – 869.
Hardouvelis, G.A., D. Malliaropulos & R. Priestley (2006), EMU & European
Stock Market Integration, Journal of Business Vol. 79 No.1, pp. 365– 392.
Husnan, S. & E. Pudjiastuti (1995), Diversifikasi Internasional: Pengamatan
Pada Beberapa Pasar di Asia Pasifik, Working Paper from UGM, pp.1–
12.
Jang, H. & W. Sul (2002), The Asian Financial Crisis and the Comovement
of Asian Stock Market, Journal of Asian Economics Vol. 13, pp. 94 – 104.
Jorion, P. & E. Schwartz (1986), Integration versus Segmentation in the
Canadian Stock Market, Journal of Finance, 41 (3),pp. 603-612.
Kearney, C. & B.M. Lucey (2004), International Equity Market Integration:
Theory, Evidence and Implications, International Review of Financial
Analysis Vol. 13, pp. 571 – 583.
Kleimeier, S. & S. Herald (2000), Rationalization versus Globalization in
European Financial Market Integration: Evidence from Cointegration
Analysis, Journal of Banking & Finance Vol. 24, pp. 1005 – 1043.
Korajczyk, R. (1995), A Measure of Stock Market Integration for Developed
and Emerging Markets, The World Bank Working Paper No. 1482, pp. 1 –
48.
Koutoulas, G. & L. Kryzanowski (1994), Integration or Segmentation of the
Canadian Stock Market: Evidence based on the APT, Canadian Journal
of Economics, Vol. 27 No. 2, pp. 329 – 351.
Lam, S.S. & H.S. Pak (1993), A Note on Capital Market Segmentation: New
Tests and Evidence, Pasific Basin Finance Journal Vol. 1, pp. 263 – 276.
Li, Q. & J.A. Primbs (2005), Asset Pricing in Hierarchical Segmented
Market, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1 – 41.
Mitchener, K.J. & M. Ohnuki (2007), Capital Market Integration in Japan,
Monetary & Economic Studies November Edition; pp. 129 – 153.
Murtini, U. & E. Ekawati (2003), Integrasi Bursa Efek Jakarta dengan
Bursa Efek di ASEAN (Setelah Penghapusan Batas Pembelian Bagi
Investor Asing), Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.6, No.3, pp. 304 –
319.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 266


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Naranjo, A. & P. Aris (1997), Financial Market Integration Tests: An


Investigation Using US Equity Markets, Journal of International
Financial Markets, Insitutions and Money Vol. 7, pp. 93 -135.
Nath, G.C. & G.P. Samanta (2005), Integration Between Forex and Capital
Markets in India: An Empirical Exploration, Working Paper from
www.ssrn.com, pp. 1-11.
Roida. H.Y. (2004), Integration versus Segmentation in the Asian Financial
Market: The Prospect of Regionalism in Asia, Working Paper of UWM,
hal. 1-10.
Roll, R. (1995), An Empirical Survey of Indonesian Equity 1985 -1992,
Pasific Basin Finance Journal 3, pp. 159-192.
Setyawan, I.R. (2007), Pengaruh Net Buying (Selling) Investor Asing dan
Perubahan Kurs Terhadap Pergerakan IHSG: Sampel Observasi 15
Mei 2006 – 22 Desember 2006, Jurnal Ekonomi Bisnis & Akuntansi
Ventura, Vol. 10 No.3, hal. 75 -86.
Stulz, R.M. (1995), The Cost of Capital in Internationally Integrated
Markets: The Case of Nestle, European Financial Management, Vol. 1
(March), pp. 11 - 22.
Stulz, R.M. & W. Wassefallen (1995), Foreign Equity Investment
Restrictions, Capital Flight and Shareholder Wealth Maximization:
Theory and Evidence, Review of Financial Studies, Vol. 8 (Winter), pp.
1019-1057.
Surjawan, A.G. (2007), Kajian Kointegrasi Nilai Investasi Investor Asing
dan Domestik dengan LQ45, O/N JIBOR dan Nilai Tukar Dollar
Amerika Serikat Terhadap Rupiah, Ringkasan Disertasi Program Doktor
Kekhususan Ilmu Manajemen Keuangan FE-UI, hal. 1 - 77.
Wang, J. (2000), Foreign Trading and Market Volatility in Indonesia,
Working Paper from UNSW, pp. 1 – 25.
Yusof, R.M. & M.S.A. Majid (2006), Who Moves The Malaysian Stock
Market: The U.S. or Japan? Empirical Evidence from the Pre, During
and Post-1997 Asian Financial Crisis, Gadjah Mada International Journal
of Business Vol. 8 No. 3, pp. 367 – 406.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 267


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

DAMPAK KEBIJAKAN ENERGI TERHADAP PEREKONOMIAN DI


INDONESIA: MODEL KOMPUTASI KESEIMBANGAN UMUM

Agus Sugiyono∗
Abstract

Energy has very important role in national economic development of


Indonesia. As the increasing of national economic, the energy demand is
also increasing. To fulfill the demand, the energy resources both fossil
energy (oil, gas, and coal) and renewable energy (hydropower and
geothermal) resources needs to be developed. However, the resource of
fossil energy especially oil is going to limited, therefore, energy policy for
oil diversification needs to be implemented. In the energy policy,
utilization of alternative energy such as renewable energy is also need to
be implemented. In the development of energy alternative, CGE model
can be used for evaluating the impacts of energy diversification on the
economic development. The model was developed based on Hosoe model
by considering energy sector that added by recursived dynamic
mechanism. Capital and labour growth is considered in the dynamic
mechanism. The research uses Indonesian Social Accounting Matrix
(SAM) for model calibration. Some sector in the SAM have been modified
by conducting sector aggregated and disaggregated that suitable to the
research objected.

Keywords: energy policy, CGE, dynamic model.

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Energi sangat penting peranannya dalam perekonomian Indonesia, baik
sebagai bahan bakar untuk proses industrialisasi dan sebagai bahan baku untuk
proses produksi maupun sebagai komoditas ekspor yang merupakan sumber
devisa negara. Mengingat pentingnya peran tersebut maka proses pembangunan
tidak dapat dipisahkan dengan pengembangan sektor energi.
Permintaan energi terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Untuk memenuhi permintaan energi perlu dikembangkan sumber daya energi,
baik yang berupa energi fosil yang tidak dapat diperbarui (minyak bumi, gas


Kandidat doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi FEB UGM dan peneliti madya
bidang teknik interdisiplin, BPPT
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 268
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

bumi, dan batubara) maupun energi yang dapat diperbarui (energi air dan energi
panas bumi). Mengingat sumber daya energi fosil di Indonesia, terutama
minyak bumi sudah terbatas (Pangestu 1996, Prawiraatmadja 1997, dan Sari
2002:8-9) maka perlu melakukan penghematan dan pengoptimalkan
penggunaannya. Pemerintah dalam rangka mengoptimumkan penggunaan
sumber daya energi telah mengeluarkan kebijakan umum bidang energi yang
meliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi, konservasi, harga energi, dan
lingkungan (Bakoren 1998). Kebijakan ini terus mengalami perbaikan sesuai
dengan kondisi saat ini. Kebijakan Energi Nasional (KEN) merupakan
kebijakan umum bidang energi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun
2004. KEN diharapkan dapat menjadi kebijakan terpadu untuk mendukung
pembangunan nasional berkelanjutan (DESDM 2004:1-2).
Sejak awal tahun 1980 kebijakan diversifikasi energi sudah dicanangkan
dengan strategi pengurangan penggunaan minyak dan menetapkan batubara
sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik. Kebijakan diversifikasi ini
bertujuan untuk mengurangi laju pengurasan sumber energi minyak bumi,
mengoptimalkan nilai tambah produksi dan pemanfaatan energi, meningkatkan
keamanan dan menjaga kesinambungan pasokan energi, dan mendorong
penggunaan sumber energi terbarukan. Salah satu kebijakan pemerintah dalam
kaitannya dengan pengembangan energi terbarukan adalah Peraturan Presiden
No.5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. KEN ini bertujuan untuk
mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam
negeri. Adapun sasaran dari KEN adalah:
• Tecapainya elastisitas energi yang lebih kecil dari satu pada tahun 2025.
• Terwujudnya energi primer mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu
peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional:
o minyak bumi menjadi kurang dari 20%,
o gas bumi menjadi lebih dari 30%,
o batubara menjadi lebih dari 33%,
o bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5%,
o panas bumi menjadi lebih dari 5%,
o energi baru dan terbarukan lainnya, khususnya biomasa, nuklir, tenaga
air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%,
o batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2%.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 269


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Disamping itu pemerintah melalui Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar


Nabati pada tahun 2007 mengeluarkan blueprint pengembangan bahan bakar
nabati (BBN) dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral No. 23 tahun 2008 tentang mandatori pemakaian BBN.
Chongpeerapien (1991) mengemukakan bahwa banyak kebijakan energi
yang kurang berhasil. Kebijakan dapat terlaksana dengan baik bila ada institusi
yang inovatif dan didukung oleh peran swasta, peneliti, dan kalangan akademi
(Fee 1991). Kebijakan juga perlu dianalisis dampaknya supaya tujuan yang
telah ditetapkan dapat tercapai. Model komputasi keseimbangan umum (CGE –
Computable General Equilibrium) merupakan salah satu alat untuk analisis
empiris maupun mengevaluasi kebijakan (Yang 1999) dan telah banyak
digunakan baik di negara maju maupun negara berkembang (Devarajan dan
Robinson 2002). Model CGE juga telah digunakan untuk mengevaluasi
kebijakan lingkungan dengan lingkup regional (Saveyn dan Van Regemorter
2007).

1.2. Permasalahan
Keterbatasan sumber daya energi terutama minyak bumi saat ini
mendapat perhatian yang serius. Salah satu langkah pemerintah untuk mengatasi
hal tersebut adalah tertuang dalam KEN yaitu kebijkan diversifikasi energi.
Pemerintah akan mengurangi pangsa penggunaan minyak bumi dan
meningkatkan pangsa penggunaan batubara dan gas bumi yang cadangannya
relatif lebih banyak serta meningkatkan pangsa penggunaan energi terbarukan
(energi air, energi panas bumi, biomas, energi surya dan energi angin) karena
potensinya melimpah dan termasuk energi bersih.
Batubara merupakan salah satu alternatif untuk substitusi minyak bumi
yang telah banyak dilakukan dan sedang ditingkatkan penggunaannya. Untuk
dapat memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar harus melewati proses yang
panjang mulai dari tambang, pengangkutan sampai ke pengguna akhir (Malyan
1992). Disamping itu diperlukan juga perencanaan yang matang dan terpadu.
Kendala yang dihadapi untuk memanfatkan batubara secara besar-besaran
sangat banyak, antara lain yaitu: batubara berbentuk padat sehingga sulit dalam
penanganannya, banyak mengandung unsur sulfur dan nitrogen yang bisa
menimbulkan polusi bila dibakar, dan adanya kandungan unsur karbon yang
secara alamiah bila dibakar akan menghasilkan gas rumah kaca. Untuk

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 270


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengurangi dampak pemanfaatan batubara tersebut dapat digunakan teknologi


batubara bersih, diantaranya adalah menggunakan peralatan penyaring emisi
(Sugiyono 2000), gasifikasi batubara (Panaka 1992), dan pencairan batubara
(Artanto dan Yusnitati 2000).
Penggunaan gas bumi untuk bahan bakar industri dan pembangkit listrik
terus mengalami peningkatan. Gas bumi mempunyai karakteristik yang lebih
baik dibandingkan dengan minyak bumi khususnya dalam hal dampak terhadap
lingkungan. Energi terbarukan meskipun ramah lingkungan, penggunaan masih
sangat terbatas karena biaya produksinya masih relatif mahal dibandingkan
dengan penggunaan batubara, minyak, dan gas bumi.
Sektor energi mulai dari penambangan, pengangkutan, konversi dan
penggunaan akhir untuk rumah tangga, industri maupun transportasi merupakan
penyumbang utama terhadap polusi udara. Bahan-bahan pencemar utama yang
penting adalah karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), partikel,
nitrogen oksida (NOX), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), dan berbagai
bentuk logam berat (Bank Dunia 2003:9, Kleeman 1994:9). Polusi udara di
beberapa kota besar sudah mencapai level yang kritis.
Mekanisme substitusi energi dapat dilakukan melalui kebijakan harga
energi dan pemberian insentif untuk pengembangan sumber energi yang masih
kurang ekonomis. Substitusi energi yang akan dianalisis dalam penelitian ini
adalah substitusi penggunaan minyak bumi dengan energi lainnya.

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini akan menggunakan model CGE untuk menganalisis
interaksi antara kebijakan energi dengan perekonomian. Dengan menggunakan
model tersebut akan dianalisis beberapa skenario kebijakan diversifikasi energi.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara empiris
maupun kebijakan. Sumbangan empiris ditunjukkan melalui pengembangan
model CGE dari model statis menjadi model dinamis serta melakukan
disagregasi untuk sektor energi. Sumbangan empiris yang lain adalah adalah
memberi gambaran mengenai kondisi sektor energi dewasa ini serta
keterkaitannya dengan perekonomian. Pembahasan meliputi berbagai kebijakan
diversifikasi energi yang sudah dilakukan dan berbagai permasalahan yang
dihadapi dalam pengembangan sektor energi dewasa ini yang perlu diketahui
oleh para pengambil keputusan.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 271


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Penelitian ini akan pengembangan berbagai skenario kebijakan


diversifikasi energi melalui substitusi minyak bumi dengan bahan bakar lain
seperti gas bumi, batubara maupun sumber energi terbarukan yang lain.
Skenario dapat sesuai dengan target kebijakan pemerintah maupun melakukan
simulasi yang memberikan dampak yang optimum terhadap perekonomian.
Dengan skenario tersebut diharapkan dapat memberi sumbangan kebijakan
yaitu memberikan rekomendasi untuk menyempurnakan kebijakan diversifikasi
energi supaya dapat tetap mempertahankan pembangunan yang berkelanjutan
dalam pengembangan sektor energi.

2. Rerangka Teoretis
Penelitian tentang dampak kebijakan energi di Indonesia belum banyak
dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan adalah kebijakan subsidi harga
bahan bakar minyak (BBM) terhadap perekonomian dengan menggunakan
model ekonometri (Hope dan Sigh 1995). Keterkaitan antara energi dan
perekonomian sangat besar sehingga ada kecenderungan untuk menggunakan
model multi-sektoral untuk menganalisis kebijakan. Model CGE merupakan
salah satu bentuk model multi-sektoral yang sudah secara luas digunakan saat
ini. Meluasnya penggunaan model CGE didukung oleh perkembangan teknologi
komputasi dan juga oleh kenyataan bahwa model ini memungkinkan untuk
menganalisis perbedaan dampak antar sektor produksi dan antar kelompok
sosial ekonomi (Devarajan dan Robinson 2002).
Saat ini model CGE sudah umum digunakan baik di negara maju
maupun negara berkembang untuk menganalisis dampak external shock atau
kebijakan ekonomi terhadap struktur perekonomian atau distribusi
kesejahteraan. Berbagai kebijakan seperti: kebijakan perdagangan bebas,
kebijakan integrasi regional, kebijakan deregulasi, kebijakan lingkungan dan
kebijakan energi dapat dianalisis menggunakan model CGE.

2.1. Tinjauan Pustaka


Model CGE merupakan evolusi yang panjang dari teori ekonomi,
matematika ekonomi dan teknik komputasi. Fondasi teoritis dari model ini
adalah Hukum Walras. Hukum Walras kemudian dikembangkan oleh Arrow
dan Debrew menjadi model keseimbangan umum. Aplikasi secara numerik dan
empiris dari model keseimbangan umum disebut model Applied General

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 272


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Equilibrium (AGE) atau model Computable General Equilibrium (CGE).


Dalam disertasi ini untuk selanjutnya digunakan istilah model CGE atau model
komputasi keseimbangan umum.
Model CGE pertama kali dikembangkan oleh Johansen pada tahun 1960
yang merupakan model pertumbuhan multi-sektor untuk Norwegia (Bandara
1991, Pogani 1996, Hosoe 1999:4). Survei tentang penggunaan model CGE
sudah banyak dilakukan, misalnya: Bandara (1991) untuk penggunaan model di
negara-negara berkembang, Bergman (1988) untuk menganalisis kebijakan
energi, Wajsman (1995) untuk mengevaluasi kebijakan lingkungan, Bergman
dan Henrekson (2003) untuk kebijakan lingkungan dan manajemen sumber
daya. Pembuatan model CGE secara rinci dibahas dalam Lofgren dkk. (2002)
dan Hosoe dkk. (2004).
Beberapa tahapan dalam pengembangan model CGE dibahas oleh
Bandara (1991), Hulu (1995), serta Bergman dan Henrekson (2003). Secara
umum pengembangan model CGE dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
• Model Johansen
Johansen mengembangkan model CGE dalam bentuk model linier
simultan. Model ini memfokuskan pada analisis pertumbuhan ekonomi dan
perubahan struktural untuk jangka panjang. Model CGE untuk Australia
dikembangkan berdasarkan model ini dan dinamakan Model Orani.
• Model Scarf
Scarf mengembangkan algoritma yang disebut fixed point theorem untuk
menyelesaiakan model CGE. Dengan algoritma ini Shoven dan Whalley
berhasil membuat prosedur untuk menghitung keseimbangan umum untuk
pajak pada tahun 1983. Tradisi dalam pengembangan model dari Scarf,
Shoven dan Whalley lebih menekankan pada pengaruh kebijakan ekonomi
terhadap efisiensi dan distribusi.
• Model Jorgenson
Model yang dikembangkan oleh Jorgenson secara sistematis menggunakan
metode ekonometri untuk mengestimasi parameter. Tidak seperti pada
model CGE sebelumnya yang menggunakan cara kalibrasi dalam
mengestimasi parameter. Meskipun pendekatan secara ekonometri
mempunyai beberapa kelebihan tetapi ada beberapa kekurangannya.
Pertama, data yang dibutuhkan merupakan data runtun waktu yang panjang
sehingga kemungkinan tidak tersedia di negara-negara berkembang.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 273


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Kedua, bentuk fungsi yang digunakan tidak terkontrol perilakunya


sehingga model tidak dapat memperoleh solusi khususnya untuk model
yang cukup besar.
• Model Adelman dan Robinson
Model CGE yang dikembangkan oleh Adelman dan Robinson merupakan
model dalam bentuk persamaan simultan nonlinier. Solusi yang diperoleh
berupa harga bayangan (shadow price) yang dapat diinterpretasi sebagai
harga dalam keseimbangan umum. Pengembangan model ini selanjutnya
menjadi model standar yang banyak digunakan oleh World Bank.
Pembuatan dan penggunaan model ekonomi di sektor energi sudah
menjadi tradisi yang panjang. Perencanaan operasi dan investasi dengan
menggunakan model optimasi sudah banyak digunakan untuk industri
kelistrikan maupun industri perminyakan. Seiring dengan makin meningkatnya
perhatian masyarakat dalam hal kebijakan energi maka pada awal tahun 1970
mulai dikembangkan model yang dinamakan model sistem energi. Sebagai
contoh yaitu model yang dikembangkan oleh Nordaus (1973) dan model Markal
yang dikembangkan oleh International Energy Agency (Bergman 1988). Model
ini merupakan model keseimbangan parsial untuk sektor energi dan dinyatakan
dalam bentuk linier programming. Permintaan energi merupakan variabel
eksogen sebagai masukan model dan variabel endogen, yang akan ditentukan
berdasarkan optimasi, dapat berupa ekstraksi sumber energi, konversi dan
distribusi energi. Optimasi biasanya dilakukan dengan fungsi obyektif
meminimumkan total biaya sistem.
Nordaus (1973) menggunakan model tersebut untuk menentukan alokasi
yang efisien dari sumber energi untuk jangka panjang. Dalam model, dunia
dibagi menjadi beberapa wilayah dengan ketersediaan sumber energi yang
sesuai untuk masing-masing wilayah. Solusi optimal menunjukkkan bahwa
pada tahun dasar harga energi sesuai dengan harga pasar kecuali untuk harga
BBM.
Model sistem energi tersebut di atas mempunyai representasi teknologi
energi yang sangat rinci tetapi tidak mempunyai keterkaitan dengan
perekonomian. Sehingga model tersebut tidak dapat digunakan untuk
menganalisis dampak kebijakan energi di sisi penawaran terhadap harga
maupun perekonomian secara nasional. Untuk mengatasi kelemahan ini
dikembangkan model energi-ekonomi yang berdasarkan teori keseimbangan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 274


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

umum dan teori pertumbuhan ekonomi Neoklasik. Model dari Hudson dan
Jorgenson (1975) dan model Eta-Macro (Manne dkk. 1979) merupakan pelopor
pembuatan model ini. Model tersebut dapat dikategorikan sebagai model CGE.
Struktur model CGE untuk analisis kebijakan energi tidak jauh berbeda
dengan model CGE pada umumnya. Dalam model CGE energi, representasi
dari substitusi antara beberapa input harus lebih mendapat perhatian yang lebih
serius. Disamping itu, adanya kendala sumber daya energi dan kebijakan yang
berorientasi pada penggunaan teknologi baru maka model harus bersifat
intertemporal dan perilaku investasi secara umum maupun di sisi penawaran
energi harus diperhatikan.
Benjamin dan Devarajan (1985) menggunakan model CGE dengan fungsi
produksi Cobb-Douglas untuk menganalisis dampak kenaikan penerimaan
ekspor minyak bumi. Model dikalibrasi dengan menggunakan Tabel Input-
Output tahun 1980 dan menunjukkan bahwa kenaikan ekspor minyak menjadi
penyebab gagalnya pembangunan (Dutch Disease). Bergman (1990)
menggunakan model CGE yang dikalibrasi dengan menggunakan social
accounting matrix (SAM) tahun 1985 untuk Swedia. Model ini digunakan untuk
menganalisis dampak penutupan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir)
dengan mempertimbangkan emisi SO2 dan NOx. Hasil simulasi menunjukkan
bahwa penutupan PLTN akan menurunkan PDB sekitar 3-4% serta diiringi
dengan kenaikan harga listrik. Bohringer (1998) menggunakan model CGE
dengan mempertimbangkan sektor energi secara rinci sebagai aktivitas bottom-
up, sedangkan sektor lain dinyatakan sebagai aktivitas top-down. Model ini
digunakan untuk menganalisis kenaikan harga bahan bakar untuk pembangkit
listrik. Hasil menunjukkan bahwa kenaikan harga bahan bakar akan
menurunkan permintaan dan penawaran serta terjadi efek substitusi antar bahan
bakar.
Model CGE dasar yang dikembangkan berdasarkan model Arrow-Debreu
merupakan model statik karena tidak secara eksplisit memasukkan waktu.
Model statik mempunyai kelemahan terutama untuk menganalisis kebijakan
yang dampaknya akan berlangsung untuk periode yang cukup panjang.
Beberapa model CGE dinamik telah dikembangkan. Secara umum ada
dua mekanisme yang sering digunakan untuk membuat model CGE statik
menjadi model dinamik, yaitu mekanisme rekursif dinamik dan mekanisme
optimasi dinamik (Yang 1999). Dalam mekanisme rekursif dinamik, proses

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 275


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

optimasi merupakan pengulangan dari model statik untuk tahun dasar. Model
diselesaikan secara rekursif untuk setiap periode secara terpisah. Antar periode
dihubungkan dengan variabel eksogen seperti pertumbuhan kapital dan tenaga
kerja. Sedangkan mekanisme optimasi dinamik berdasarkan model
pertumbuhan Ramsey yang mempertimbangkan pelaku ekonomi melakukan
optimasi tidak hanya pada saat ini tetapi juga mempertimbangkan masa depan.
Devarajan dan Go (1998) serta Yang (1999) menggunakan optimasi dinamik.
Dengan mekanisme ini proses komputasi menjadi kendala dan model CGE yang
dinamik dengan mekanisme ini masih dalam tahap pengembangan.
Resosudarmo (2003) menggunakan mekanisme rekursif dinamik dengan
memperimbangkan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja.

2.2. Landasan Teori


Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa model CGE secara teoritis
berdasarkan teori keseimbangan umum dari Walras dan secara formulasi
matematis menggunakan model yang dikembangkan oleh Arrow dan Debreu.
Interaksi antar pasar merupakan dasar untuk formulasi model CGE.
Model CGE yang sederhana mempunyai tiga komponen dasar yaitu:
konsumen, produsen, dan pasar seperti dinyatakan pada Gambar 1. Konsumen
(atau rumah tangga) menentukan permintaan komoditas dan penawaran
endowment berdasarkan prinsip memaksimumkan utilitas. Produsen (atau
perusahaan) menentukan permintaan input dan penawaran output berdasarkan
prinsip memaksimumkan keuntungan. Keseimbangan antara permintaan dan
penawaran dicapai berdasarkan perilaku optimisasi dari pelaku ekonomi yang
menyebabkan terjadinya penyesuaian harga.
Pasar
Penyesuaian harga untuk
mendapatkan keseimbangan antara
permintaan dan penawaran

Permintaan dan penawaran diturunkan


berdasarkan optimasi pelaku ekonomi

Konsumen Produsen
Memaksimumkan utilitas Memaksimumkan
dengan kendala keuntungan dengan
pendapatan kendala teknologi produksi

Diadaptasi dari Hosoe dkk. (2004:5)

Gambar 1. Struktur Perekonomian


Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 276
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Model CGE secara teoritis merupakan model statis dengan asumsi bahwa
pasar berkompetisi sempurna dan produksi bersifat constant return to scale.
Untuk memahami kerangka dasar dari model CGE digunakan contoh model
sederhana untuk negara kecil dengan perekonomian tertutup. Misalkan ada dua
komoditas yaitu X1 dan X2 dan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja dan
modal. Setiap komoditas diproduksi oleh satu perusahaan dengan input tenaga
kerja dan modal. Rumah tangga mengkonsumsi komoditas tersebut dengan
memaksimumkan utilitas. Rumah tangga memperoleh pendapatan dari
endowment berupa tenaga kerja dan modal yang digunakan oleh perusahaan.
Harga dari semua komoditas dan faktor produksi dapat mudah menyesuaikan
sehingga keseimbangan antara permintaan dan penawaran dapat tercapai.
Pelaku ekonomi diasumsikan sebagai price taker yang tidak mempunyai
kekuatan untuk menentukan harga pasar. Dalam model ini perdagangan
internasional, investasi, dan intermediate input tidak diperhitungkan. Hubungan
antara rumah tangga, perusahaan, dan pasar dirangkum dalam Gambar 2 dengan
melihat aliran komoditas dan faktor produksi.

Utilitas

Cobb-Douglas
Rumah Tangga

X1 X2
Pasar

Z1 Z2

Cobb-Douglas Cobb-Douglas
Perusahaan

K1 L1 K2 L2

Diadaptasi dari Hosoe dkk. (2004:17)

Gambar 2. Struktur Model Sederhana

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 277


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

2.3. Hipotesis
Sektor energi terus berkembang seiring dengan terus meningkat konsumsi
energi. Konsumsi energi final (termasuk penggunaan biomasa) meningkat dari
sebesar 778 juta SBM (Setara Barel Minyak) pada tahun 2000 menjadi sebesar
916 SBM pada tahun 2007 atau meningkat rata-rata sebesar 2,3% per tahun.
Pada tahun 2007 penggunaan terbesar adalah sektor rumah tangga dengan
pangsa sebesar 34% diikuti oleh sektor industri 33%, transportasi 20%,
komersial dan sebagai bahan baku masing-masing 3% dan sisanya sekitar 7%
untuk penggunaan lainnya (Gambar 3).
Bahan Baku
Transportasi Lainnya
Komersial 3%
20% 7%
3%

Rumah
Industri
Tangga
33%
34%

Gambar 3. Pangsa Penggunaan Energi Final Tahun 2007

Penyediaan energi primer juga terus meningkat dari sebesar 978 juta
SBM pada tahun 2000 menjadi sebesar 1.231 juta SBM pada tahun 2007 atau
meningkat sekitar 3,3% per tahun. Pada tahun 2007 pangsa penyediaan energi
yang terbesar adalah minyak bumi dengan pangsa 39% dan diikuti oleh
batubara 21%, gas bumi 15%, tenaga air 2%, panas bumi 1% dan sisanya 22%
adalah energi non-komersial biomasa untuk rumah tangga pedesaan (Gb. 4)

Panas
Tenaga Air
Bumi
2% Biomasa
Gas 1%
15% 22%

Minyak dan
BBM Batubara
39% 21%

Gambar 4. Pangsa Penyediaan Energi Primer Tahun 2007

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 278


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Kondisi sumber daya energi di Indonesia yang tidak dapat diperbaharui,


terutama minyak bumi, saat ini sudah cukup kritis. Laju penemuan cadangan
minyak bumi lebih rendah dari pada laju konsumsinya. Bila tidak diketemukan
cadangan baru, maka impor minyak bumi dan BBM akan semakin meningkat
tajam. Data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) tahun
2007 menunjukkan bahwa cadangan minyak bumi sebesar 8,4 x 109 SBM.
Cadangan gas bumi sebesar 165 TSCF (Tera Standard Cubic Feet). Sedangkan
batubara mempunyai cadangan sebesar 18,8 x 109 TCE (Ton Coal Equivalent).
Secara ringkas cadangan dan produksi untuk sumber energi fosil ditunjukkan
pada Tabel 1. Bila dilihat dari rasio cadangan dibagi produksi (R/P Ratio) maka
batubara masih mampu untuk digunakan selama 105 tahun. Sedangkan gas
bumi dan minyak bumi mempunyai R/P Ratio masing-masing sebesar 55 tahun
dan 17 tahun.

Tabel 1. Cadangan dan Produksi Sumber Energi Fosil

Cadangan (R) Produksi per tahun (P) R/P


9 9
Minyak Bumi 8,4 x 10 BOE 0,5 x 10 BOE 17
Gas Bumi 165 TSCF 3 TSCF 55
Batubara 18,8 x 109 TCE 0,18 x 109 TCE 105

Sumber daya energi terbarukan yang mempunyai potensi


dikembangkan untuk skala besar adalah tenaga air dan panas bumi. Potensi
tenaga air di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 75.670 MW yang tersebar
pada 1.315 lokasi. Potensi panas bumi yang mempunyai prospek untuk
dikembangkan adalah sebesar 27.000 MW.
Sektor energi perlu dikembangkan melalui kebijakan yang kondusif dan
didukung oleh kemandirian finansial, teknologi dan sumber daya manusia.
Dengan kebijakan ini diharapkan pengembangan sektor energi dapat
mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Makalah ini akan membahas
pengaruh kebijakan energi terhadap perekonomian secara keseluruhan dengan
menggunakan simulasi kebijakan dalam model CGE. Kebijakan energi yang
akan dianalisis adalah substitusi dari penggunaan energi migas ke penggunaan
energi lainnya. Hipotesis yang diajukan adalah:

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 279


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

• Ada pengaruh yang positip dari substitusi penggunaan minyak bumi


terhadap pendapatan nasional.
• Ada pengaruh positip dari substitusi penggunanaan minyak bumi terdapat
distribusi pendapatan.

3. Metoda Riset
Secara umum untuk pembuatan model CGE mengikuti langkah-langkah
seperti pada Gambar 5. Pertama-tama membuat data set yang konsisten dengan
kondisi perekonomian saat ini. Parameter model diperoleh berdasarkan prosedur
kalibrasi sedangkan harga elastisitas dapat diperoleh berdasarkan studi literatur.
Berdasarkan kalibrasi dilihat konsistensi model dengan keseimbangan dasar
(benchmark) dalam perekonomian. Bila telah sesuai, langkah selanjutkan adalah
membuat suatu skenario dengan kebijakan tertentu atau mengubah besaran
parameter sehingga didapat keseimbangan perekonomian yang baru.
Berdasarkan hasil ini dapat dianalisis pengaruh dari kebijakan atau perubahan
salah satu parameter terhadap keseluruhan sistem perekonomian (lihat Gb. 5).
Model yang dikembangkan mempunyai dua modul yaitu model dasar
yang merupakan model CGE statis dan model dinamik yang memasukkan
faktor pertumbuhan pada model CGE statis.

3.1. Model Dasar


Struktur model CGE yang akan digunakan untuk analisis empiris
diperlihatkan pada Gambar 6. Indonesia diasumsikan sebagai negara kecil
dengan perekonomian terbuka. Indonesia adalah sebagai price taker yang tidak
dapat mempengaruhi harga dunia, baik dalam impor atau ekspornya.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 280


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

1. Permasa-
lahan
Latar belakang
kebijakan

2. Teori
Landasan teori sebagai kunci dari
mekanisme kebijakan

Pembuatan data yang konsisten Data: Tabel IO, SAM, Pendapatan


3. Formulasi

dengan benchmark equilibrium Nasional, pajak, dll.


Model

Pembuatan struktur model (dimensi, Pemilihan data elastisitas (survei


bentuk fungsi, perilaku institusi) literatur)

Kalibrasi:
Replikasi
Menghitung nilai parameter dari data
benar?
4. Simulasi
Komputer

benchmark Tidak

Ya

Simulasi:
Menghitung keseimbangan dengan Analisis sensitivitas
kebijakan baru (counterfactual)

Pembuatan laporan dan interpretasi Hasil


5. Interpretasi

ekonomi dari hasil simulasi Robust ? Tidak

Ya

Diadaptasi dari:
Kesimpulan dan rekomendasi - Bohringer, Rutherford and Wiegard (2003)
kebijakan - Peterson (2003)

Gambar 5. Analisis dengan Menggunakan Model CGE

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 281


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

U Utilitas

Cobb-Douglas

XP j XVj XG j X1j Xij


Konsumsi Investasi Pemerintah Intermediate
inputs

Barang
Qj komposit

Agregrasi
CES
Armington

Mj Dj Ej
Impor Barang Ekspor
domestik

CET

Gross output
Zj domestik

Leontief

Value
added Yj X1j Xij
Intermediate
inputs

Cobb-Douglas

Non-
Energi
Kj Lj Energi

Diadaptasi dari Hosoe dkk. (2004:98)

Gambar 6. Struktur Model CGE Energi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 282


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Dalam aplikasi pembuatan model, bentuk fungsi seperti Leontief, Cobb-


Douglas atau constant elastisity of substitution (CES) sudah umum digunakan.
Setiap fungsi mempunyai sifat tertentu yang penting dalam menyatakan
perilaku ekonomi. Bentuk fungsi yang dipilih harus cukup luwes sehingga
mampu merepresentasikan perilaku ekonomi seperti yang diharapkan.
Model empiris ini merupakan pengembangan dari model sederhana
yang sudah dibahas sebelumnya. Model dikembangkan berdasarkan Hosoe dkk.
(2004:97-133) dengan mempertimbangkan sektor energi. Formulasi matematik
dari model dapat diturunkan seperti di bawah ini.

a. Intermediate Input
Perusahaan disamping menggunakan kapital dan tenaga kerja juga
menggunakan intermediate input sebagai faktor produksi. Produksi dibagi
menjadi dua tingkat. Pada tingkat atas gross output domestik merupakan fungsi
Leontief dengan variabel value added dan intermediate input. Pada tingkat
bawah fungsi produksi untuk value added adalah fungsi Cobb-Douglas dengan
input kapital dan tenaga kerja.
- Pada tingkat atas:
⎛ ⎞
max ZP j = ps j Z j − ⎜ py j Y j + ∑ pqi X ij ⎟
⎝ i ⎠
(1)
dengan kendala:
⎛ X ij Y j ⎞
Z j = min ⎜ , ⎟
⎜ ax ay ⎟
⎝ ij j ⎠

(2)
dan:
ZPj: keuntungan perusahaan j
Zj: gross output unuk barang j
Xij: intermediate input barang i yang digunakan oleh perusahaan j
Yj: value added perusahaan j
axij: koefisien minimum yang dibutuhkan intermediate input j untuk
memproduksi satu unit gross output
ayj: koefisien minimum yang dibutuhkan value added untuk
menghasilkan satu unit gross output
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 283
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

psj: harga penawaran barang j


pqi: harga barang antara i, dan
pyj: harga value added perusahaan j
Persamaan 2 tidak dapat diturunkan dan untuk memperoleh kondisi optimal
dianggap bahwa perusahaan bersifat kompetisi dan tidak dapat memperoleh
excess profit. Sehingga kondisi optimal dicapai pada kondisi keuntungan
ekonomi nol (zero profit):
X ij = ax ij Z j
(3)
Y j = ay j Z j
(4)
ps j = ay j py j + ∑ axij pqi
i

(5)
- Pada tingkat bawah:
max YP j = py j Y j − ∑ rh Fhj
h

(6)
dengan kendala:
Y j = b j ∏ Fhj hj
β

(7)
dan:
YPj: keuntungan perusahaan j pada tingkat bawah
Fhj: faktor produksi yang berupa kapital atau tenaga kerja
Dengan menggunakan metode Lagrange maka kondisi optimal dicapai
bila memenuhi persamaan di bawah ini.
β hj py j
Fhj = Yj
rh
(8)

b. Pemerintah
Pemerintah diasumsikan hanya mengambil pajak langsung terhadap
produksi berdasarkan kuantitas. Pajak penghasilkan ini digunakan untuk

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 284


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

konsumsi publik dan tabungan. Secara matematik, perilaku ini dapat


dirumuskan sebagai berikut:
Tj = τ jZ j
(9)
μi ⎛ ⎞
XGi = ⎜ ∑ T j − SG ⎟
pqi ⎜⎝ j ⎟

(10)
dengan:
XGi: konsumsi publik komoditas i
Tj: pajak penghasilan untuk komoditas j
τ j: tingkat pajak untuk komoditas j dalam rupiah per unit
SG: tabungan pemerintah
μi: pangsa pengeluaran untuk komoditas i (0 ≤ μi ≤ 1, Σμi = 1)

c. Investasi
Model merupakan model dinamik sehingga investasi mempunyai peran
yang penting. Pada tahun dasar perilaku investasi dinyatakan dalam persamaan
di bawah ini.
λi
XVi = (S + SG + εSF )
pqi
(11)
XVi: permintaan investasi untuk komoditas i
S: tabungan masyarakat
SF: tabungan dalam bentuk maya uang asing
ε nilai tukar (mata uang rupiah per mata uang asing)
λi: pangsa pengeluaran untuk komoditas i (0 ≤ λi ≤ 1, Σλi = 1)

d. Keseimbangan Neraca Pembayaran


Hubungan antara harga impor dan ekspor baik dalam mata uang rupiah
maupun mata uang asing diperlihatkan pada persamaan di bawah ini.
pei = ε ⋅ pwei
(12)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 285


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pmi = ε ⋅ pwmi
(13)
dengan:
pei: harga ekspor komoditas i dalam rupiah
pwei: harga ekspor komoditas i dalam mata uang asing (eksogen)
pmi: harga impor komoditas i dalam rupiah
pwmi: harga impor komoditas i dalam mata uang asing (eksogen)
Neraca pembayaran dalam mata uang asing dinyatakan dalam persamaan
sebagai berikut:
∑i
pwei Ei + SF = ∑ pwmi M i
i

(14)
dengan:
Ei: ekspor komoditas i
Mi: impor komoditas i

e. Asumsi Armington
Barang impor, ekspor dan domestik diasumsikan merupakan barang
substitusi (asumsi Armington). Pertama, barang impor dan domestik diagregasi
sebagai barang komposit. Diasumsikan bahwa barang impor merupakan
substitusi yang tidak sempurna terhadap barang domestik. Sehingga perilakunya
dapat diturunkan berdasarkan optimasi berikut ini.
max QPi = pqi Qi − ( pmi M i + pd i Di )
(15)
dengan kendala:

( )
1
Qi = γ i δmi M iηi + δd i Diηi ηi

(16)
dan:
QPi: keuntungan barang komposit perusahaan i
pqi: harga barang komposit i
Qi: barang komposit i
Di: barang domestik i
γi: parameter produktivitas barang komposit i

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 286


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

δmi, dan δdi: paramater pangsa barang komposit i


ηi: parameter yang berkaitan dengan elastisitas substitusi
σi: elastisitas substitusi
Dengan menggunakan manipulasi matematika dapat diperoleh kondisi
optimumnya sebagai berikut:
1
⎛ γ ηi δmi pq i ⎞ 1−ηi
M i = ⎜⎜ i ⎟ Qi

⎝ pmi ⎠
(17)
1
⎛ γ ηi δd i pqi ⎞ 1−ηi
Di = ⎜⎜ i ⎟ Qi

⎝ pd i ⎠
(18)
Kedua, gross output domestik ditansformasikan menjadi barang impor dan
barang domestik. Diasumsikan juga bahwa barang ekspor dan barang domestik
merupakan barang substitusi yang tidak sempurna. Perilaku ini dapat
dinyatakan dalam persamaan optimasi seperti ini.
max ZPi = ( pei Ei + pd i Di ) − (τ i + psi )Z i
(19)
dengan kendala:

( )
1
Z i = θ i ξei EiΦ i + ξd i DiΦ i Φi

(20)
dan:
ZPi: keuntungan transformasi perusahaan i
θi: parameter produktivitas fungsi transformasi perusahaan i
ξei dan ξdi: parameter pangsa fungsi transformasi perusahaan i
φi: parameter yang berhubungan dengan elastisitas transformasi
ψ i: elastisitas transformasi
Kondisi optimal dicapai bila:
1
⎛ θ iΦ i ξei (τ i + ps i ) ⎞ 1−Φ i
E i = ⎜⎜ ⎟
⎟ Zi
⎝ pe i ⎠
(21)
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 287
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

1
⎛ θ Φ i ξd i (τ i + ps i ) ⎞ 1−Φ i
Di = ⎜⎜ i ⎟
⎟ Zi
⎝ pd i ⎠
(22)

f. Market Clearing
Supaya diperoleh keseimbangan pasar maka harus memenuhi kondisi
market clearing sebagai berikut.
Qi = XPi + XGi + XVi + ∑ X ij
j

(23)
∑Fj
hj = FFh

(24)
dengan FFh adalah total endowment yang diset sebagai variabel eksogen.

g. Macro Closure
Dari penurunan persamaan-persamaan tersebut di atas diperoleh sistem
persamaan simultan. Dalam sistem jumlah variabel endogen melebihi jumlah
persamaan sehingga perlu persamaan penutup yang disebut macro closure.
S = ss ∑ rh FFh
h

(25)
SG = ssg ∑ T j
j

(26)

3.2. Model Dinamik


Model dasar dibuat dinamik dengan mekanisme rekursif dinamik yang
mempertimbangkan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja. Optimasi dilakukan
berdasarkan tahun dasar 2000 dan kemudian dilakukan optimasi untuk tahun
selanjutnya dengan nilai kapital dan tenaga kerja yang diperbarui seperti pada
persamaan (27) dan (28).
K i ,t +1 = K i ,t (1 − depr ) + DK i ,t

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 288


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lt +1 = Lt (1 + rl )
dengan:
depr : tingkat depresiasi
DK : investasi baru
rl : perumbuhan tenaga kerja

4. Pembahasan
Banyak kebijakan energi di negara berkembang yang tidak dievaluasi
dampaknya sehingga bisa muncul kebijakan yang bersifat kontradiktif.
Kebijakan diversifikasi penggunaan energi di satu sisi dengan kebijakan subsidi
harga BBM di sisi lain merupakan salah satu contoh kebijakan energi yang
kontradiktif di Indonesia.
Penelitian tentang dampak kebijakan energi di Indonesia di Indonesia
belum banyak dilakukan. Danar (1994) dengan menggunakan analisis korelasi
meneliti pengaruh kebijakan energi terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil
menunjukkan bahwa sejak tahun 1975 kebijakan diversifikasi energi sudah
menampakkan hasilnya. Lebih jauh Danar menyimpulkan bahwa pertumbuhan
konsumsi energi mempunyai korelasi yang positip terhadap pertumbuhan
ekonomi. Hope dan Singh (1995) meneliti dampak kenaikan harga energi
terhadap rumah tangga, industri dan perekonomian makro di negera-negara
berkembang termasuk Indonesia. Hasil untuk Indonesia menunjukkan bahwa
kenaikan harga minyak diesel menyebabkan penurunan penggunaan minyak
diesel di sektor industri. Kenaikan harga minyak tanah menyebabkan penurunan
kesejahteraan di sektor rumah tangga dan secara ekonomi makro dengan
kenaikan harga minyak maka target pendapatan nasional akan dapat tercapai.
Baik studi Danar (1994) maupun Hope dan Singh (1995) menggunakan model
ekonometri untuk menganalisis dampak kebijakan energi tersebut.
Kleeman (1994:11-34) melakukan studi untuk membuat strategi
perencanaan energi di Indonesia yang berwawasan lingkungan. Studi ini
menggunakan model Markal (Market Allocation) yang berdasarkan optimasi
dengan menggunakan persamaan simultan dalam bentuk linier programming.
Model ini merupakan model keseimbangan parsial karena hanya
memperhitungkan sektor energi. Dampak lingkungan dari penggunaan energi
ditentukan berdasarkan emisi yang ditimbulkan dalam penggunaan energi yang
berupa emisi partikel, nitrogen dioksida (NO2), volatile hydrocarbon (VHC)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 289


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dan sulfur dioksida (SOx). Besarnya emisi dihitung berdasarkan faktor emisi
untuk masing-masing jenis energi dan kemudian dilakukan analisis lebih lanjut
dengan model dispersi dan deposisi emisi. Model ini membuat simulasi
penyediaan energi dengan berbagai skenario. Hasil menunjukkan bahwa dengan
skenario tanpa menggunakan teknologi bersih, polusi di daerah perkotaan di
Pulau Jawa akan melampaui ambang batas sehingga perlu dilakukan langkah-
langkah untuk mengurangi polusi akibat penggunaan energi.
Marks (2003) menganalisis kenaikan harga energi terhadap berbagai
sektor perekonomian dengan menggunakan Tabel Input-Output. Hasil studi
menunjukkan bahwa kenaikan harga energi akan berpengaruh paling besar pada
sektor transportasi. Analisis yang digunakan Marks hanya mempertimbangan
keterkaitan statis antar sektor melalui matriks koefisien input-output.
Penggunaan model keseimbangan umum merupakan pengembangan lebih lanjut
dengan mempertimbangkan perilaku setiap pelaku perekonomian. Model
keseimbangan umum dalam penerapan untuk studi empiris selanjutnya lebih
dikenal dengan model computable general equilibrium (CGE). Penggunaan
model CGE untuk mengalisis kebijakan harga energi di Indonesia telah
dilakukan oleh Nikensari (2001), IUC-ES (2001), Said dkk. (2001), Clements
dkk. (2003) dan Ikhsan dkk. (2005). Model CGE yang digunakan merupakan
modifikasi dari model CGE yang digunakan untuk studi sebelumnya, kecuali
model yang digunakan oleh Clements dkk.
Nikensari (2001:8-9) memodifikasi model Lewis (1991) untuk
menganalisis pengaruh pengurangan subsidi harga BBM terhadap sektor
industri. IUC-ES (2001) memodifikasi model Indorani untuk menganalisis
dampak kebijakan harga energi terhadap ekonomi makro dan sektoral. Model
menggunakan Tabel Input-Output 1995 yang diperbarui untuk tahun 2000 untuk
kalibrasi. Studi ini memberi gambaran yang rinci tentang aspek pembuatan
model dan hasilnya digunakan sebagai dasar penyusunan studi dari Said dkk.
(2001). Model CGE yang digunakan oleh Said dkk. selanjutnya disebut
Indoceem (Indorani Comprehensive Energy-Economy Model).
Clements dkk. (2003) mengembangkan model CGE yang dikalibrasi
dengan menggunakan Tabel Input-Output tahun 1995 untuk menganalisis
dampak liberalisasi harga BBM. Ikhsan dkk. (2005) mengintegrasikan
Indoceem dan metodologi perhitungan kemiskinan untuk menganalisis dampak
kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 290


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Model CGE yang dijelaskan tersebut di atas merupakan model statis


untuk satu periode analisis. Resosudarmo (2002, 2003) menggunakan model
CGE yang dinamis untuk mengevaluasi kebijakan lingkungan di Indonesia.
Kebijakan yang dievaluasi adalah penggunaan teknologi untuk mengurangi
emisi maupun Program Langit Biru, yaitu program untuk pengendalian
pencemaran udara. Model CGE yang digunakan berdasarkan SAM tahun 1990
dan untuk analisis kebijakan dari tahun 2000 sampai tahun 2020.
Kebanyakan model CGE yang digunakan sebagai alat analisis saat ini
sudah merupakan modifikasi dari model sebelumnya dan sudah menjadi terlalu
rumit. Model CGE sering dikritik sebagai black box karena struktur model yang
sangat komplek serta jumlah parameter dan persamaan sangat banyak, padahal
dengan menggunakan model yang standar tidak menghasilkan perbedaan yang
berarti (Hosoe 1999:1-3). Penelitian ini akan menggembangkan model CGE
standar dari Hosoe dkk. (2004) dengan lebih memperhatikan struktur model dan
lebih rinci dalam memformulasikan sektor energi. Sedangkan kebijakan energi
yang akan disimulasikan dalam model adalah substitusi antara penggunaan
energi minyak bumi dengan energi lainnya.
Sebagai kalibrasi, digunakan SAM untuk tahun 2000 dengan
memodifikasi sektor sesuai dengan tujuan penelitian. Karena substitusi ini
hanya dapat dilaksanakan secara bertahap maka model dibuat bersifat dinamis
dengan memasukkan aspek pertumbuhan untuk jangka panjang. SAM yang
dikenal di Indonesia sebagai Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) memberi
gambaran menyeluruh struktur produksi, faktor produksi, alokasi pendapatan,
komposisi permintaan barang dan jasa, serta tabungan. SAM disajikan dalam
bentuk matriks yang menggambarkan perilaku dari pelaku ekonomi. Neraca
lajur ke samping (menurut baris) menunjukkan transaksi penerimaan,
sedangkan lajur ke bawah (menurut kolom) menunjukkan transaksi
pengeluaran. Beberapa sektor dalam SAM dimodifikasi dengan melakukan
agregasi dan disagregasi yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk
disagregrasi digunakan Tabel Input-Output tahun 2000 yang dikeluarkan oleh
BPS.
Simulasi akan dilakukan berdasarkan keseimbangan dasar dengan
mempertimbangkan rencana pemerintah untuk meningkatkan penggunaan
batubara maupun energi lainnya. Dengan simulasi ini dapat buat beberapa
skenario kebijakan diversifikasi energi yang sesuai dengan tujuan dari

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 291


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

penelitian. Hasil simulasi diharapkan dapat untuk menguji hipotesis dan


merekomendasikan kebijakan yang efektif untuk mendukung pembangunan
yang berkelanjutan.
Penelitian ini masih belum selesai dan sedang dikembangkan model CGE
untuk energi sehingga hasilnya belum dapat ditampilkan dalam makalah ini.
Dari hasil analisis sementara Tabel Input-Output tahun 2000 maka efek pengali
output menunjukkan bahwa sektor energi fosil hanya memberikan kontribusi
yang kecil terhadap pertumbuhan di sektor lainnya. Besaran dari efek pengali
output dari sektor minyak bumi dan gas bumi lebih kecil dari pada sektor
batubara. Sektor energi fosil ini kontribusinya kecil karena sebagian besar dari
hasil sektor ini untuk kepentingan ekspor sehingga tidak banyak mempengaruhi
pertumbuhan dari sektor lainnya. Berbeda dengan sektor energi listrik dan gas
yang mempunyai besaran efek pengali yang besar sehingga memegang peranan
penting dalam perkembangan dari sektor-sektor lainnya.

5. Penutup
Model CGE merupakan sistem persamaan simultan tak-linier yang
mensimulasikan perilaku optimal dari semua konsumen dan produsen yang ada
di dalam suatu perekonomian. Dengan menggunakan model ini maka dapat
disimulasikan berbagai kebijakan energi dan pengaruhnya terhadap sektor
perekonomian secara umum. Dalam pembahasan sudah diturunkan persamaan
matematis untuk model CGE energi yang akan dikembangkan. Model tersebut
dikalibrasi dengan menggunakan SAM tahun 2000 dan supaya dapat menjawab
tujuan penelitian maka perlu adanya disagregasi maupun agregasi sektor dalam
SAM. Untuk keperluan disgaregasi sektor maka dapat digunakan data yang ada
dalam Tabel Input-Output untuk tahun yang sama.
Saat ini model masih dalam pengembangan dan diharapkan akan dapat
diaplikasikan karena didukung adanya perangkat lunak GAMS (General
Algebraic Modeling System). GAMS dapat digunakan untuk menyelesaikan
persamaan simultan seperti model CGE yang dikembangkan dalam penelitian
ini. GAMS dapat digunakan untuk melakukan optimasi dengan fungsi kendala
dan fungsi obyektif tertentu (Brooke dkk, 1998). Persamaan simultan dalam
model CGE ini merupakan persoalan nonlinear programming yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan modul Minos yang merupakan optimizer
dari GAMS.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 292


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Daftar Referensi

Artanto, Y. dan Yusnitati (2000) Pengujian Katalis Limonit Soroako dalam


Proses Konversi Batubara Banko Selatan Menjadi Minyak Sintetis,
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Vol.2, No.1, BPPT, Jakarta.
Bakoren (1998) Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE), Badan
Koordinasi Energi Nasional.
Bandara, J.S. (1991) Computable General Equilibrium Models for Development
Policy Analysis in LDCs, Journal of Economic Surveys, Vol.5, No.1, p.3-
69.
Bank Dunia (2003) Pemantauan Lingkungan Indonesia 2003, Bank Dunia
Kantor Indonesia.
Benjamin, N.C. and S. Devarajan (1985) Oil Resources and Economic Policy in
Cameroon: Result from a Computable General Equilibrium Model, Staff
Working Paper, No. 745, World Bank.
Bergman, L. (1988) Energy Policy Modeling: A Survey of General Equilibrium
Approaches, Journal of Policy Modeling, Vol.10, No.3, p.377-399.
Bergman, L. (1990) Energy and Environmental Constraints on Growth: A CGE
Modeling Approach, Journal of Policy Modeling, Vo.12, No.4, p.671-
691.
Bergman, L. and M. Henrekson (2003) CGE Modeling of Environmental Policy
and Resource Management, Lecture Note, Stockholm School of
Economics.
Bohringer, C. (1998) The Synthesis of Bottom-up and Top-down in Energy
Policy Modeling, Energy Economics, Vol.20, p.233-248.
Bohringer, C., T.F. Rutherford, and W. Wiegard (2003) Computable General
Equilibrium Analysis: Opening a Black Box, Discussion Paper No.03-56,
Centre for European Economic Research.
Brooke, A., D. Kendrick, A. Meeraus, and R. Raman (1998) GAMS: A User's
Guide, GAMS Development Corporation, USA.
Chongpeerapien, T. (1991) Development of the Energy Policy in Thailand, in
Sharma, S. and F. Fesharaki (Eds.) Energy Market and Policies in
ASEAN, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.
Clements,B., H. Jung, and S. Gupta (2003) Real and Distributive Effects of
Petroleum Price Liberalization: The Case of Indonesia, IMF Working
Paper No. WP/03/204, International Monetary Fund.
Danar, A. (1994) Pengaruh Kebijaksanaan Energi terhadap Pertumbuhan
Ekonomi di Indonesia, Prosiding Hasil-hasil Lokakarya Energi 1993,
Pertamina dan KNI-WEC.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 293


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

DESDM (2004) Kebijakan Energi Nasional 2003-2020, Departemen Energi dan


Sumber Daya Mineral.
Devarajan, S. and D.S. Go (1998) The Simplest Dynamic General-Equilibrium
Model of an Open Economy, Journal of Policy Modeling, Vol.20, No.6,
p.677–714.
Devarajan, S. and S. Robinson (2002) The Influence of Computable General
Equilibrium Models on Policy, TDM Discussion Paper No. 98,
International Food Policy Research Institute.
Fee, W.L. (1991) Malaysian Energy Policy: An Economic Assessment, in
Sharma, S. and F. Fesharaki (Eds.) Energy Market and Policies in
ASEAN, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.
Hope, E. and B. Singh (1995) Energy Price Increase in Developing Countries:
Case Studies of Colombia, Ghana, Indonesia, Malaysia, Turkey and
Zimbabwe, Worldbank Working Paper No. 1442.
Hosoe, N, K. Gasawa, and H. Hashimoto (2004) Handbook of Computible
General Equilibrium Modeling. In Japanese, University of Tokyo Press,
Tokyo, Japan.
Hosoe, N. (1999) Opening up the Black Box: Scrutinization of the Internal
Structure of CGE Models, Unpublished PhD Dissertation, Osaka
University.
Hudson, E.A. and D.W. Jorgenson (1975) U.S. Energy Policy and Economic
Growth: 1975-2000, Bell Journal of Economics and Management
Science, Vol.5, No.2, p.461-514.
Hulu, E. (1995) Topologi Model Komputasi Keseimbangan Umum, Ekonomi
dan Keuangan Indonesia, Vo.XLIII, No.1.
Ikhsan, M., M.H. Sulistyo, T. Dartanto, dan Usman (2005) Kajian Dampak
Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan, LPEM Working
Paper, No. 10, Fakultas Ekonomi UI.
IUC-ES (2001) Study on Macroeconomic Impact and Adjustment of Energy
Pricing Policy, Final Report, Inter University Center for Economic
Studies, Gadjah Mada University.
Kleemann, M. (1994) Energy Use and Air Pollition in Indonesia, Avebury
Studies in Green Research.
Lewis, J.D. (1991) A Computable General Equilibrium (CGE) Model of
Indonesia, Development Discussion Paper No.378, Harvard University.
Lofgren, H, R.L. Harris, and S. Robinson (2002) A Standard Computable
General Equilibrium (CGE) Model in GAMS, Microcumputer in Policy
Research No.5, International Food Policy Research Institute.
Malyan, A. (1992) Masalah Lingkungan Pertambangan Batubara dan Aspek
Pengendaliannya dalam Aspek Perencanaan, KNI-WEC, Jakarta.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 294


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Manne, A.S., R.G. Richels, and J.P. Weyant (1979) Energy Policy Modeling: A
Survey, Operations Research, Vo.27, No.1, p.1-36.
Marks, S.V. (2003) The Impact of Proposed Energy Price Increases on Prices
Throughout the Indonesian Economy: An Input-Output Analysis,
Technical Report, Partnership for Economic Growth Project, United
States Agency for International Development.
MEMR (2008) Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia,
Center for Energy and Mineral Resources Data and Information, Ministry
of Energy and Mineral Resources.
Nikensari, S.I. (2001) Pengaruh Perubahan Kebijakan Harga Energi terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor Industri di Indonesia: Suatu Model
Analisa Keseimbangan Umum, Tesis Tidak Dipublikasi, Universitas
Indonesia.
Nordhaus, W.D. (1973) The Allocation of Energy Resources, Brookings Papers
on Economic Activity, No.3, p.529-570.
Panaka, P. (1992) Konversi Batubara dalam Kaitannya dengan Pemanfaatan
Teknologi Batubara Bersih, KNI-WEC, Jakarta.
Pangestu, M (1996) Indonesian Energy Sector: Facing Globalization
Challenges, Presented at National Symposium of Society of Indonesian
Petroleum Engineers, Jakarta, 6th August 1996.
Peterson, S. (2003) CGE Models and Their Application for Climate Policy
Analysis, Preparatory Lecture, International Workshop on Integrated
Climate Model, ICTP, Italy, September 30th – October 3rd.
Pogany, P (1996) Computable General Equilibrium Models: An Historical
Perspective, Working Paper No.96-09-B, U.S. International Trade
Commission.
Prawiraatmadja, W. (1997) Indonesia’s Transisition to a Net Oil Importing
Country: Critical Issues in the Downstream Oil Sector, Bulletin of
Indonesian Economic Studies, Vol.33, No.2, p.47-71.
Resosudarmo, B.P. (2002) Indonesia’s Clear Air Program, Bulletin of
Indonesian Economic Studies, Vol.38, No.3, p.343-65.
Resosudarmo, B.P. (2003) Computable General Equilibrium Model on Air
Pollution Abatement Policies with Indonesia as a Case Study, The
Economic Record, Vol.79, Special Issue, June, p.63-73.
Said, U., E. Ginting, M. Horridge, N.S. Utami, Sutijastoto dan H. Purwoto
(2001) Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan BBM, Laporan Akhir, USAID
bekerja sama dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Sari, A.P. (2002) Kehidupan Tanpa Minyak: Masa Depan yang Nyata, Makalah
dimuat dalam Life After Oil: Energi untuk Mendukung Pembangunan
yang Berkelanjutan, www.pelangi.or.id, diakses 23 Oktober 2002.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 295


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Saveyn, B. and Van Regemorter, D. (2007) Environmental Policy in a Federal


State: A Regional CGE Analysis of the NEC Directive in Belgium,
Working Paper Series, No. 2007-01, Katholieke Universiteit Leuven.
Sugiyono, A. (2000) Prospek Penggunaan Teknologi Bersih untuk Pembangkit
Listrik dengan Bahan Bakar Batubara di Indonesia, Jurnal Teknologi
Lingkungan, Vol.1, No.1, hal.90-95, BPPT, Jakarta.
Wajsman, N. (1995) The Use of Computable General Equilibrium Model in
Evaluating Environmental Policy, Journal of Environmental
Management, Vol.44, p.127-143.
Yang, Z. (1999) A Coupling Algorithm for Computing Large-Scale Dynamic
Computabel General Equilibrium Models, Economic Modelling, Vol. 16,
p.455-473.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 296


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Estimasi Pengaruh Kewirausahaan terhadap Pertumbuhan Ekonomi


Daerah: Pendekatan Teori Modal Kewirausahaan
(Studi Kasus Subosukasraten 1993-2005)

Hery Sulistio Jati Nugroho Sriwiyanto∗

Abstract

The first main aim of this study is to develop indicator of


entrepreneurship on economic growth literature. The second aim of the
study is to estimate the impacts of entrpreneurship on economic gowth.
The entrepreneurship indicator is derived from standard Solow growth
model with Harrod-neutral technological progress. This research will
use new approach as entrepreneurship indicator. One of many definition
of entrepreneurship is related to create a new type of business
organization. By rearrange standard Solow Growth Model (SGM), this
paper colapse the definition of entreprenesurship and SGM into one
equation. This approach then use Small Medium Enterprises SME’s as
its indicator. The model then is confirmed by empirical data to show
that entrepreneurships have robusts and positive impacts on economic
growth. The model then compare by other model which introduced by
Thurik and Verheul to show how robust the indicator are. This analysis
try to demonstrate that entrpreneurship has important role on economic
growth.

Keywords: entrepreneurship, economic growth,

A. Latar Belakang
Pembentukkan usaha baru dan dorongan terhadap budaya
kewirausahaan merupakan isu sentral di banyak negara termasuk di Indonesia.
Isu tersebut menjadi alternatif sumber pembangunan ekonomi suatu negara.
Mobilitas investasi sektor riil yang tinggi mendorong suatu negara harus dapat
melepaskan diri dari ketergantungan investasi asing dalam meningkatkan


Sebelas Maret University and Student of Post-Graduate Program on Economics,
Faculty of Economics University of Indonesia

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 297


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kesejahteraan masyarakat. Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa


pembentukkan bisnis baru melalui kewirausahaan berkontribusi terhadap
penciptaan lapangan kerja, stabilitas politik dan sosial, inovasi dan pebangunan
ekonomi (Schumpeter, 1934; OECD, 1998; Wennekers dan Thurik, 1999;
Audretsch dan Thurik, 2001; Reynold dkk, 2002; Postigo, 2004).
Proses pembangunan ekonomi oleh sebagian besar ekonom dijelaskan
melalui pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang evolusi ekonomi (Todaro,
2000) serta pendekatan makroekonomi (Solow, 1956; Romer, 1990, Krugman,
1991). Selain dua pendekatan di atas pendekatan alternatif lain yang digunakan
dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi tesebut adalah peran organisasi
industri yang efisien dalam mengelola sumber daya yang terbatas (Schumpeter,
1934). Bahkan Dosi (1988) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
karakteristik aktivitas produksi ditentukan melalui distribusi beberapa
perusahaan tertentu.
Determinan faktor dasar (underlying factors) struktur industri beberapa
dekade lalu ditentukan oleh 2/3 konsentrasi perusahaan dalam industri
(Chandler, 1990; Scherer dan Ross, 1990). Sehingga perubahaan teknologi
bersama perubahan faktor lain dalam pada 2/3 perusahaan tersebut akan
meningkatkan sumbangan perusahaan-perusahaan dalam pertumbuhan
ekonomi. Namun, suatu penelitian terbaru menolak proposisi tersebut
(Audretsch, Baumol dan Burke, 2002).
Beberapa penelitian terkini menunjukkan dua bukti tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi struktur industri dalam sumbangannya terhadap
pertumbuhan ekonomi (Loveman dan Sengenberger, 1991; Acs dan Audretsch,
1993). Pertama, peningkatan peran industri mikro, kecil dan menengah
(UMKM) dalam struktur industri yang berkontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Kedua, peran UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara
berbeda di setiap negara. Heterogenitas yang identik pada setiap negara tersebut
bergantung pada kebijakan masing-masing negara dalam mengembangkan
UMKM.
Pengembangan UMKM tidak dapat dilepaskan dari pengembangan
wirausaha (Audretsch dan Thurik, 2001). Kerangka pemikiran yang
menghubungkan dua konsep tersebut adalah keunggulan kompetitif perusahaan
dengan konsep wirausaha dalam ekonomi baru dimana kreativitas ide
memegang peranan penting. Umumnya posisi perusahaan-perusahaan tersebut

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 298


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

berada dalam kategori UMKM. Sementara itu, Romer (1990) dan Krugman
(1991) menekankan bahwa kunci utama pertumbuhan ekonomi baru terletak
pada efek pengganda kreativitas dan ide yang berasal dari wirausahawan. Oleh
karena itu, UMKM menjadi salah satu jalan masuk hubungan antara
kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian
pertumbuhan UMKM belum dapat digunakan sebagai indikasi utama tingkat
kewirausahaan dalam suatu perekonomian.
Seperti halya dengan di negara-negara lain, UMKM di Indonesia juga
memegang peran sentral terhadap perekonomian. Peran ini semakin nyata pasca
krisis ekonomi tahun 1997. Beberapa indikator menunjukkan UMKM
memegang peranan penting dalam pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis.
Terdapat tiga indikator penting yang dapat menunjukkan peran UMKM dalam
perekonomian Indonesia yang menunjukkan peran penting UMKM dalam
pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis. Tiga indikator tersebut antara lain
yaitu: kontribusi UMKM terhadap nilai tambah industri, kontribusi UMKM
terhadap sektor utama GDP, serta peran UMKM terhadap penyerapan tenaga
kerja baru.
Peran penting UMKM di Indonesia ditunjukkan oleh besarnya jumlah
UMKM. Secara total jumlah UMKM cukup besar di Indonesia dan terus
tumbuh meskipun pertumbuhan ekonomi berada dalam tren negatif akibat krisis
ekonomi. Pertumbuhan UMKM secara diikuti dengan pertumbuhan
pembentukkan lapangan kerja. Tabel 1 menunjukkan rata-rata hanya terdapat
sekitar 1,28 persen tenaga kerja bekerja pada industri besar. Hal tersebut
menunjukkan bahwa UMKM memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja
lebih banyak dibandingkan dengan usaha besar. Sehingga pembentukkan
UMKM melalui konsep wirausaha akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja
baru secara masif. Penyerapan tenaga kerja oleh UMKM selama kurun waktu
tahun 1997-2000 oleh UMKM ditunjukkan tabel di bawah ini.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 299


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 1
Total Tenaga Kerja UMKM per Sektor 1997-2000 (orang)
No Sektor 1997 1998 1999 2000
1 Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan 29.891.389 24.224.109 32.523.873 33.036.240
2 Pertambangan dan Penggalian
467.942 374.740 420.833 558.167
3 Industri Pengolahan
10.067.165 8.329.527 8.301.852 14.191.921
4 Listrik, Gas dan Air Bersih
134.615 112.810 82.701 174.728
5 Bangunan
1.012.215 705.586 637.159 985.860
6 Perdagangan, Hotel dan
Restoran 16.064.421 14.783.478 16.948.808 18.436.559
7 Pengangkutan dan
Komunikasi 2.662.379 2.146.424 2.323.475 2.570.734
8 Keuangan, Persewaan dan
Jasa Perusahaan 689.987 323.772 233.200 413.591
9 Jasa-jasa
4.218.843 3.313.127 3.250.436 3.995.178
Tenaga Kerja UMKM 65.208.956 54.313.573 64.722.337 74.362.978
Tenaga Kerja UMKM dan 65.482.688 54.678.066 67.082.448 74.746.551
Usaha Besar
Sumber: Menegkop & UMKM

Sementara jika dilihat dari sumbangan terhadap PDB, UMKM memiliki


peran yang lebih rendah dibandingkan dengan perannya terhadap penyerapan
tenaga kerja. Dalam periode yang sama sumbangan produktivitas UMKM
terhadap PDB nasional adalah 57,6 persen. Meskipun demikian jika dilihat dari
sisi produksi lebih dari setengah produktivitas perekonomian nasional
disumbangkan oleh UMKM. Tabel 2 menunjukkan sumbangan produktivitas
UMKM terhadap PDB nasional.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 300


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 2
Sumbangan UMKM per Sektor 1997-2000 berdasar harga konstan 1993 (juta Rp)
No Sektor 1997 1998 1999 2000
1 Pertanian, Peternakan, 3.611.554 3.320.427 3.485.057 3.121.115
Kehutanan dan Perikanan
2 Pertambangan dan Penggalian 407.730 194.037 197.483 184.441
3 Industri Pengolahan 2.210.808 1.495.509 1.313.107 1.241.556
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 26.478 18.375 19.531 18.431
5 Bangunan 886.674 678.419 706.002 678.507
6 Perdagangan, Hotel dan 3.594.726 2.637.914 2.908.181 2.581.429
Restoran
7 Pengangkutan dan 901.105 572.065 719.066 665.850
Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan 1.152.056 803.964 670.887 619.814
Jasa Perusahaan
9 Jasa-jasa 868.661 590.537 638.884 554.844
PDB sumbangan UMKM 13.659.792 10.311.246 10.658.198 9.665.987
Persentase terhadap total PDB 57,7 58,2 57,7 56,8
Sumber: Menegkop & UMKM (diolah)

Dalam lingkup lebih mikro, berdasarkan nilai tambah subsektor industri


rata-rata pertumbuhan nilai tambah yang disumbangkan oleh UMKM adalah
19,4 persen setiap tahun. Subsektor tekstil, garmen dan kuit merupakan
subsektor dengan pertumbuhan nilai tambah yang paling rendah. Sementara
UMKM yang bergerak dalam subsektor makanan dan rokok serta mesin dan
produk mesin merupakan UMKM dengan pertumbuhan yang tinggi.
Pertumbuhan UMKM di sektor makanan dan rokok adalah 26,82 persen
sementara pada subsektor mesin dan produk mesin adalah 26,74 persen. Tabel 3
menunjukkan nilai tambah UMKM pada masing-masing subsektor pada sektor
industri pengolahan.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 301


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 3
Nilai Tambah Subsektor UMKM Berdasar Harga Nominal (juta Rp)
Rata-rata
No Subsektor 1997 1998 1999 2000 2001 Pertum-
buhan
1 Manufaktur Non 53,501 74,547 85,265 95,591 110,072 20.24%
Migas
2 Makanan, dan Rokok 25,824 45,192 53,795 54,730 61,020 26.82%
3 Tekstil, garmen dan 8,306 8,292 7,980 9,355 11,047 7.85%
kulit
4 Kayu dan Produk 3,869 5,490 5,625 5,956 5,783 11.83%
Kayu
5 Kertas, cetak dan 1,820 2,356 2,754 3,155 3,654 19.18%
Publikasi
6 Kimia 5,338 5,676 6,812 9,929 11,842 22.84%
7 Produk Mineral Non 2,318 2,805 3,041 4,089 4,876 20.78%
logam
8 Baja Dasar dan Produk 460 274 355 393 608 13.65%
Baja
9 Mesin dan Produk 4,733 3,821 4,268 7,358 10,457 26.74%
Mesin
10 Manufaktur Lainnya 835 641 1,644 629 785 24.11%
Sumber: Menegkop & UMKM (diolah)

Berdasarkan fakta-fakta di atas terlihat jelas peran UMKM dalam


perekonomian nasional. Sebagai salah satu pintu masuk konsep kewirausahaan,
UMKM dalam penelitian ini akan dilihat perannya dalam perekonomian.
Meskipun demikian penelitian ini akan memberi kerangka alternatif dalam
Selanjutnya, pertanyaan yang mengemuka kemudian apakah suatu pereknomian
yang mampu mengembangkan bahwa budaya wirausaha akan menikmati
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik? Oleh karena itu, penelitian ini akan
mencoba menjawab pertanyaan tersebut dalam lingkup Subosukawonosraten.
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan untuk mempertajam
analisis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan studi terhadap UMKM
dan pendekatan indikator kewirausahaan dalam teori pertumbuhan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian ini akan dilakukan dalam beberapa
tahapan. Tahap pertama dilakukan dengan menginventarisasi peran UMKM dan
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 302
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kewirusahaan terhadap perekonomian Subosukawonosraten. Kedua, melakukan


estimasi pengukuran alternatif indikator pengukuran kewirausahaan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Pengenalan beberapa definisi operasional baru akan
digunakan sebagai media pengukuran tingkat kewirausahaan dalam suatu
perekonomian. Pada tahap ketiga dalam penelitian ini akan dilakukan estimasi
dampak kewirausahaan terhadap perekonomian Subosukawonosraten.
Konsistensi temuan dua pendekatan ini selanjuntya akan berimplikasi bahwa
semua kebijakan publik yang mendukung wirausaha akan menstimulasi
pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

B. Landasan Teori
B.1. Definisi Kewirausahaan
Kewirausahaan didefiniskan sebagai seseorang yang mengorganisasi
suatu kegiatan usaha dengan asumsi suatu risiko akan menghasilkan keuntungan
yang tidak menentu (Cantillon, 1734). Pada abad berikutnya John Stuart Mill
(1848) mempopulerkan dalam perkembangan teori ekonomi. Istilah tersebut
populer dalam karya klasiknya Principlesof Political Economy. Selanjutnya
konsep kewirausahaan tidak terlalu popler dalam ekonomi seiring penggunaan
matematika dalam analisis ekonomi.
Joseph Schumpeter (1934) merivitalisasi konsep wirausaha dalam
perekonomian dengan mendefinisikan wirausaha sebagai seorang yang
melakukan kombinasi dan mengkreasi hal baru dalam bentuk produk baru,
proses produksi baru, pasar baru, bentuk organisasi baru dan sumber penawaran
baru. Teori ini selanjutnya berkembang sebagai teori inovasi dalam ekonomi.
Sementara itu, dalam pengertian modern kewirausahaan didefinisikan sebagai
suatu kegiatan membentuk suatu organisasi baru (Lambing dan Kuehl, 2003).
B.2. Kewirausahaan dan Perkembangan Bisnis
Perkembangan perekonomian saat ini diiringi dengan pesatnya
pertumbuhan perusahaan-perusahaan dalam sektor-sektor bisnis yang berbeda-
beda. Meskipun demikian dalam perekembangannya terdapat bisnis yang tetap
menjadi suatu bisnis kecil atau tumbuh lambat, namun terdapat pula bisnis yang
kemudian tumbuh menjadi suatu bisnis yang besar. Sebagian besar peneliti
memfokuskan perbedaan tersebut dalam perspektif pendiri perusahaan seperti
aspek personalitas pendiri perusahaan, skill manajemen pendiri perusahaan, visi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 303


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dan tujuan yang kuat dari pendiri perusahaan dan sebagainya (Lambing dan
Kuehl, 2003).
Eagers dan Leahy (1995) mengidentifikasi pertumbuhan bisnis dalam
beberapa tahap antara lain yaitu: tahap konsepsi bisnis, tahap bertahan, tahap
stabilisasi, orientasi pertumbuhan, pertumbuhan cepat dan tahap kemantapan
(maturity). Dalam riset tersebut Eagers dan Leahy menemukan salah satu faktor
perubahan dari suatu tahapan ke tahapan lainnya adalah kemampuan dan gaya
kepemimpinan pengusaha. Lambing dan Kuehl (2003) lebih lanjut
mengidentifikasi bahwa titik kritis permaslahan usaha dalam tahapan-tahapan
tersebut yang memerlukan kemampuan dan kepemimpinan pengusaha adalah
manajemen sumber daya manusia dan manajemen keuangan. Di sisi lain,
kemampuan pengorganisasian usaha menjadi aspek penting konsep
kewirausahaan itu sendiri. Dengan kata lain, perkembangan bisnis tidak dapat
dilepaskan dari aspek kewirausahaan.
Merrill dan Sedgewick (1994), dalam studi mereka berhasil
memberikan rekomendasi bagaimana mengelola skala perusahaan kepada para
entrepreneur. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain yaitu:
a. Craftperson: rekomendasi ini berlaku bila wirausahawan tidak dapat
mempercayai orang lain, sehingga bentuk perusahaan pribadi menjadi
bentuk pilihan perusahaannya. Kelemahan dalam kondisi ini adalah skala
perusahaan tersebut sulit berubah menjadi skala perusahaan yang lebih
besar.
b. Koordinator: Pendekatan ini dilakukan dengan metode outsourcing,
sehingga dapat meminimumkan sumber daya dalam pengelolaan
perusahaan.
c. Manajemen Klasik Kewirausahaan: Pendekatan ini dilakukan dengan cara
wirausahawan mengelola perusahaan dengan mempekerjakan beberapa
orang sebagai pegawainya dengan struktur organisasi tertentu.
d. Kewirausahaan tim: Konsep ini menggunakan upaya pendelegasian
wewenang kepada partnernya dalam pengelolaan perusahaan.
Penjelasan teori di atas disebut juga pandangan tradisiopnal siklus
hidup model perkembangan bisnis. Beer (1995) dan Garrick (1998)
mengembangkan konsep tradisional perkembangan bisnis tersebut dalam
konsep yang lebih modern. Beer (1995) membagi tahapan perkembangan bisnis
yang berbeda dengan pandangan tradisional perkembangan bisnis dalam

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 304


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

tahapan berikut ini:1) tahap keberlanjutan aktivitas usaha; 2) tahap pertumbuhan


usaha; 3) tahap pengurangan usaha (retrenchment); 4) Tahap krisis usaha; 5)
tahap “sekarat” dan 6) tahap kehancuran usaha.
Garrick (1998) dalam pendekatan yang lebih komprehensif membagi
tahapan perkembangan bisnis dalam perspektif struktural dan kultural. Secara
kultural perbedaan tahapan ditinjau dari pengelolaan organisasi perusahaan.
Aspek kepemimpinan dan gaya manajemen perusahaan merupakan faktor
penting dalam aspek kultural tersebut. Sementara dari aspek struktural ditinjau
dari sistem oraganiasasi perusahaan apakah organisasi perusahaan tersebut
bersifat hirarki atau terdesentralisasi. Secara detiil aspek tersebut diterangkan
oleh Garrick dalam tabel berikut ini.
Kultural
Partisipasi
Supervisi dan Komunikasi dan dan
Pengawasan Kerjasama Demokrasi
Perusahaan
Struktural

Hierarki Perusahaan Efisien Berkualitas

Perusahaan Perusahaan
Desentralisasi Fleksibel Inovatif
Gambar 2.1.
Siklus Hidup Organisasi Perusahaan

Kewirausahaan dalam proses pemantapan perusahaannya melakukan


beberapa proses perkembangan berdasarkan konsep struktural dan kultural di
atas. Proses menuju perusahaan yang inovatif dalam proses kewirausahaan
memerlukan waktu yang cukup panjang dalam pencapaiannya. Sejalan dengan
pengertian Lambing dan Kuehl tentang konsep kewirausahaan yang
menekankan pola pembentukkan organisasi perusahaan dalam proses
kewirausahaan, Garrick menekankan bahwa proses kewirausahaan harus sampai
pada siklus akhir dalam perspektif struktural dan kultural perusahaan yaitu
terbentuknya suatu perusahaan yang inovatif. Suatu perusahaan yang secara
kultural, organisasi perusahaannya bersifat partisipasi dan demokrats serta
secara struktural bersifat desentralistis.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 305


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

B.3. Kewirausahaan dan UMKM


Dalam definisi modern tentang kewirausahaan tersebut, pembentukkan
suatu organisasi usaha baru dalam lingkup besar, menengah, kecil maupun
mikro akan berasosiasi dengan kewirausahaan. Terbentuknya organisasi usaha
baru berasal dari kewirausahaan yang dimiliki oleh pelaku ekonomi. UMKM
merupakan orgnisasi yang dibentuk oleh semangat kewirusahaan pelaku
ekonomi. Senada dengan itu, Audretsch dan Thurik (2001) juga melihat
UMKM sebagai sarana aktualisasi kewirausahaan pelaku ekonomi.
Dalam perkembangan teori UMKM, jenis UMKM yang digunakan
sebagai rujukan adalah UMKM yang outputnya merupakan barang konsumsi
dan bahan baku pendukung industri. UMKM memiliki diferensiasi produk
dibandingkan dengan industri besar. Oleh karena itu, secara alamiah UMKM
mampu menciptakan ceruk pasar bagi mereka (Tambunan, 2006). Kondisi ini
khonsisten dengan hipotesis bahwa UMKM merupakan sarana aktualisasi
kewirausahaan.
Snaith dan Walker (2002) membedakan UMKM dengan usaha besar
berdasarkan bentuk organisasi yang terdapat dalam perusahaan. Umumnya
bentuk organisasi UMKM bersifat organis sementara bentuk organisasi usaha
besar berbentuk mekanis. Perbedaan bentuk organisasi tersebut sejalan dengan
studi yang dilakukan oleh Litterer (1973) yang membagi bentuk organisasi
menjadi organisasi organis dan mekanis. Gibb (1991) dalam artikelnya
membedakan UMKM dan usaha besar dengan sebutan entrepreneurial untuk
UMKM dan corporist untuk usaha besar.

B.4. Teori Pertumbuhan Ekonomi Baru


Teori pertumbuhan ekonomi pertama kali dikembangkan oleh Robert
Solow (1956). Solow mengidentifikasi bahwa sumber pertumbuhan ekonomi
adalah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi perusahaan besar.
Faktor produksi tersebut adalah faktor produksi modal dan tenaga kerja.
Meskipun demikian beberapa ahli ekonomi pertumbuhan modern menemukan
bahwa faktor produksi tidak cukup menjelaskan fenomena pertumbuhan
ekonomi. Ekonom penganut teori pertumbuhan ekonomi baru atau yang s
dikenal dengan teori pertumbuhan ekonomi endogen seperti Romer (1986),
Lucas (1988 dan 1993) dan Krugman (1991), menunjuk faktor penting
pertumbuhan ekonomi suatu perekonomian adalah perekembangan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 306


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pengetahuan. Pengetahuan diukur melalui banyakya temuan yang dipatenkan,


pembangunan SDM dan terdapatnya penelitian dan pengembangan dalam
perekonomian tersebut.

B.5. Teori Kewirausahaan dalam Teori Pertumbuhan Baru


Hubungan antara kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi merupakan
konsep baru dalam perkembangan ilmu ekonomi. Setelah secara sistematis
konsep kewirausahaan “terlupakan” dalam perkembangan teori ekonomi,
revolusi teori pertumbuhan ekonomi baru mampu mengakomodasi peran ide
dan pengetahuan yang inheren dalam konsep kewirausahaan sebagai salah satu
faktor utama pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi baru yang
dikembangkan oleh Romer (1986, 1990) berhasil mengidentifikasi peran sentral
pengetahuan dan efek multiplier pengetahuan dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Globalisasi ekonomi mengubah keunggulan komparatif dari faktor
produksi tradisional seperti tenaga kerja dan SDA kepada faktor ide dan
pengetahuan. Berdasarkan teori ini muncul konsep ekonomi berbasis
pengetahuan (knowledge economy). Kualitas pengetahuan inheren terhadap
beberapa faktor seperti ketidakpastian, informasi asimetris dan biaya transaksi
yang tinggi.
Kewirausahaan akan mentransfer ide dan pengetahuan menjadi sesuatu
yang komersial yang selanjutnya akan berdampak terhadap pertumbuhan
ekonomi. Meskipun demikian terdapat keterbatasan dalam mengukur dampak
kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut Audretsch dan Thurik (2001) dalam penelitiannya terhadap negara-
negara OECD menggunakan dua pendekatan utama untuk mengukur dampak
kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi. Setiap pendekatan
menggunakan dua pendekatan yang berbeda dalam mengukur kewirausahaan.
Pendekatan pertama menggunakan konsep kewriausahaan dalam bentuk
sumbangan relatif aktivitas ekonomi UMKM terhadap aktivitas ekonomi secara
keseluruhan. Pendekatan kedua menggunakan ukuran indeks relatif
kewirausahaan terhadap penyerapan tenaga kerja baru. Kedua ukuran inilah
yang selanjutnya digunakan sebagai indikator pengukuran dampak
kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 307


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

C. Metodologi Penelitian
C.1. Penentuan Ukuran Kewirausahaan dalam Perekonomian
Sebagian besar ekonom berpendapat bahwa pengukuran kewirausahaan
dalam perekonomian merupakan hal yang sulit dilakukan (Storey, 1991).
Meskipun demikian, OECD mengembangkan pengukuran kewirausahaan
dengan beberapa pendekatan dalam perspektif data internasional. Sejalan
dengan itu, penelitian ini juga berusaha memberikan alternatif pengukuran
kewirausahaan dengan tetap memperhatikan beberapa aspek antara lain: 1)
Ketercakupan; 2) kesederhanaan dan kemudahan; 3) kelayakan dan 4) dapat
dibandingkan antar satu dengan yang lain (Briguglio dkk., 2006).

C.2. Pendekatan Tingkat Aktivitas Kewirausahaan


OECD menggunakan rasio antara kepemilikan bisnis per jumlah tenaga
kerja (tanpa sektor pertanian) sebagai salah satu pendekatan penyusunan
indikator kewirusahaan. Rasio ini selanjutnya sebagai tingkat kewirausahaan.
Indikator ini selanjutnya akan digunakan sebagai indikator tingkat aktivitas
kewiraushaan di Subosukawonosraten. Meskipun telah memenuhi 4 syarat di
atas, indikator ini tetap mengandung beberapa kelemahan. Audretsch dan
Thurik (2001) mengidentifikasi kelemahan tersebut antara lain: 1) Asumsi
dalam pengukuran ini memberlakukan seluruh sektor usaha sama rata, 2)
Ukuran ini merupakan ukuran stok. Meskipun demikian Storey (1991)
berargumen bahwa pendekatan ini merupakan salah satu alternatif pendekatan
aktivitas wirausaha. Pendekatan ini selanjutnya akan digunakan oleh para
ekonom penganut teori ekonomi baru sebagai salah satu tolok ukur terjadinya
spillover ide dalam perekonomian melalui pembentukan usaha baru.
Ukuran tingkat kewirausahaan dikembangkan oleh beberapa ahli seperti
yang tersebut di atas. Meskipun demikian terdapat beberapa cara
mengidentifikasi tingkat kewirausahaan dalam suatu perekonomian. Studi yang
dilakukan oleh Thurilk dan Verheul (2002) menghitung tingkat kewirausahaan
berdasarkan angka rasio dalam persen antara jumlah kepemilikan bisnis
terhadap jumlah tenaga kerja. Studi yang dilakukan oleh Thurik dan Verheul
mengidentifikasikan tingkat kewirausahaan pada beberapa negara OECD seperti
Spanyol, Amerika Serikat, Prancis, Belanda dan Jerman. Gambar di bawah ini
menunjukkan tingkat kewiruausahaan di beberapa negara OECD tersebut.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 308


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Gambar 4
Grafik Tingkat Kewirausahaan di Beberapa Negara OECD

Meskipun penghitungan yang dilakukan oleh Thurik dan Verheul


(2002) tersebut berhasil mengidentifikasi tingkat kewirausahaan, namun
terdapat beberapa kelemahan yang coba diperbaiki dalam penelitian ini.
Kelemahan mendasar dalam perhitungan tersebut adalah tidak membedakan
secara spesifik antara tngkat kepemilikan usaha besar dan usaha kecil. Kondisi
tersebut dapat dimaklumi karena aksesibilitas modal di negara-negara OECD
terhadap usaha baru tidak sesulit jika terjadi di negara-negara berkembang.
Kelemahan lain dari studi tersebut adalah tidak memasukkan perbedaan jumlah
tenaga kerja pada masing-masing sektor usaha. Hal tersebut juga dapat
dipahami karena faktor sektor usaha di negara maju khsusnya OECD relatif
homogen dan cenderung berada pada sektor usaha industri. Kelemahan
berikutnya dalam pendekatan tersebut adalah Thurik dan Verheul tidak
memasukkan konsep keseimbangan umum pembentukkan suatu bisnis baru
yang endogen dalam perekonomian dalam perhitungan ukuran tingkat
kewirausahaan.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 309


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Definisi kewirausahaan tidak membedakan antara usaha besar dan


usaha kecil namun di negara berkembang seperti di Indonesia, tingkat
kewirausahaan di negara berkembang seperti di Indonesia akan lebih tepat jika
dasar asumsi perhitungannya disasar pada sektor industri kecil atau UMKM.
Proses kreatifitas untuk membentuk organisasi bisnis lebih efektif jika diukur
dengan dasar asumsi pada sektor UMKM. Banyaknya tantangan seperti
rendahnya aksesibilitas modal dan beberapa hambatan biaya tinggi merupakan
faktor tantangan tersendiri yang membuat proses kreatif dalam membuat
organisasi bisnis yang baru relatif lebih sulit dibandingkan jika memulai
membuat organisasi bisnis besar. Untuk menangkap fenomena serupa yang
terjadi pada industri besar, studi ini coba menerangkannya dengan cara
memisahkan antara industri kecil dan besar.

C.3. Estimasi dampak Kewirausahaan terhadap Perekonomian Daerah


Estimasi hubungan antara kewirausahaan terhadap pertumbuhan
ekonomi dikembangkan pertama kali oleh Audretsch, Carree, van Steel dan
Thurik (2000). Dalam penelitian tersebut dibangun sebuah assumsi penting
berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi baru serta teori struktur industri
optimal yang dikembangkan oleh Viner (1932), Kaldor (1934) dan Lucas
(1978). Efek pengganda pengetahuan yang disumbangkan oleh kewirausahaan
merupakan deviasi dari suatu struktur industri yang optimal. Dalam suatu
tingkat industri yang optimal dikontribusika juga oleh jumlah tingkat
kewirausahaan yang optimal. Audretsch dan Thurik (2001) kemudian
mendefiniskan deviasi antara tingkat kewirausahaan dari tingkat kewirausahaan
yang optimal merupakan ukuran tingkat kewirausahaan suatu perekonomian.
Berbeda dengan metode yang dilakukan oleh Audretsch dan Thurik
(2001), penelitian ini berusaha mengkuantifikasi variabel kewirausahaan
berdasarkan definisi kewirausahaan yang dikenal saat ini. Guna memperoleh
model tersebut penelitian ini tetap mendasarkan pada fungsi produksi neoklasik
untuk menjaga konsistensi logika ilmu ekonomi dalam pengukuran dan estimasi
variabel kewirausahaan dalam suatu model ilmu ekonomi. Lebih lanjut metode
dan cara penelitian akan dijelaskan pada bagian lainnya.
Model estimasi yang digunakan menggunakan fungsi produksi agregat.
Fungsi produksi agregat mengasumsikan bahwa dalam perekonomian terdapat
dua jenis industri yaitu industri besar dan industri kecil. Dengan tujuan untuk

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 310


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

simplifikasi diasumsikan bahwa teknologi serta peran tenaga kerja dan modal
dalam perekonomian adalah identik antara UMKM dan industri besar. Situasi
ini ditunjukkan oleh persamaan berikut ini:
Yi ,t = α K ib,t β ( AL )i ,t + (1 − α ) K ik,t β ( AL )i ,t
b 1− β k 1− β
............ (1)
Yi,t adalah output perekonomian yang disumbangkan oleh industri besar dan
sedang dengan kontribusi sebesar α dan kontribusi industri kecil dan UMKM
sebesar (1- α). Teknologi (A) serta tenaga kerja (L) dan perannya dalam
perekonomian sebesar (β) juga modal (K) dan perannya dalam fungsi produksi
sebesar (1-β).
Guna mengadopsi definisi kewirausahaan sebagai variabel ekonomi
yang terukur model di atas disesuaikan sebagai berikut:
n n
Yz ,t = ∑ K ib,t β ( AL )i ,t + ∑ K ik,t β ( AL )i ,t
b 1− β k 1− β
............ (2)
i =1 i =1
Tanda pangkat b merupakan representasi industri menengah dan besar
sedangkan tanda pangkat k merupakan representasi industri kecil. Sehingga
output dalam perekonomian daerah z merupakan penjumlahan dari output yang
dihasilkan seluruh industri besar/sedang dan seluruh industri kecil/UMKM.
Sifat perusahaan besar/sedang dan kecil/UMKM adalah stok perusahaan pada
waktu t. Dengan mengurangi dengan Yz,t-1 maka diperoleh persamaan sebagai
berikut
n n
dYz ,t = d ∑ K ib,t β ( AL )i ,t + d ∑ K ik,t β ( AL )i ,t
b 1− β k 1− β
............ (3)
i =1 i =1
Berdasarkan definisi kewirausahaan di atas, dinyatakan bahwa
kewirausahaan adalah suatu kegiatan pembentukkan organisasi usaha baru
dalam lingkup besar, menengah, kecil maupun mikro. Kegiatan pembentukkan
usaha diukur melalui selisih jumlah perusahaan pada t terhadap jumlah
perusahaan pada t-1. Kondisi ini selanjutnya diidentifikasi sebagai variabel
kewirausahaan. Berdasarkan situasi ini maka akan dperoleh model estimasi
yang ditunjukkan dalam persamaan berikut.
dYz ,t = χ + γ Eb + δ Ek ............ (4)
n n

∑ K β ( AL ) ∑ K β ( AL )
b 1− β k 1− β
dimana Eb = d b
i ,t i ,t
dan Ek = d k
i ,t i ,t
i =1 i =1

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 311


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Estimasi persamaan model di atas dilakukan secara empiris dengan pendekatan


kontinyu
ln PDBi ,t = α Di ,t + γ ln Eb + δ ln Ek + ε i ,t ............ (5)

d ln PDBi ,t = Produk Domestik Bruto dalam logaritma natural


Dt = dummy krisis
Ek = tingkat kewirausahaan industri kecil/UMKM (logaritma
natural)
Eb = tingkat kewirausahaan industri besar/sedang (logaritma
natural)
ε i ,t = eror

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan


hasil perhitungan berdasarkan indikator kewirausahaan melalui dua pendekatan
teori di atas. Untuk memperkuat analisis, penelitian ini menggunakan
pendekatan analisis regresi panel data sebagai teknik analisisnya. Dalam analisis
panel data untuk daerah Subosukawonosraten variabel dummy (boneka) krisis
digunakan untuk menyelidiki apakah terjadi perbedaan secara signifikan pada
masa sebelum dan sesudah krisis. Selain itu, dalam panel data digunakan
metode Seemingly Unrelated Regression dalam menganalisis panel data dengan
fixed effect. Penggunaan pendekatan fixed effect bertujuan untuk melihat
perbedaan karakteristik setiap propinsi di Indonesia. Metode SUR digunakan
mengingat terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan ekonomi di daerah
Subosukawonosraten.

C.4. Variabel dan Lingkup Data Penelitian


Lingkup data pada penelitian ini mencakup eks-keresidenan Surakarta
yang terdiri dari enam kabupaten dan kota. Variabel penelitian ini menggunakan
data dua indikator kewirausahaan berdasar pada dua pendekatan teori yaitu
pendekatan teori UMKM dan toeri pertumbuhan ekonomi baru. Variabel
pertumbuhan ekonomi didekati dengan pertumbuhan PDRB di setiap
kabupaten/kota. Rentang waktu penelitian ini adalah 1980-2005. Meskipun
demikian terdapat ketidaksamaan dalam keterseidaan data pada beberapa daerah

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 312


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

di Surakarta, Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Boyolali dan Sragen atau


Subosukasraten. Dalam rangka penyelesaian penelitian berikut ini diberikan
kerangka kerja penelitian ini.

D. Analisis
D.1. Perkembangan UMKM di Subosukasraten
Secara umum seiring dengan transformasi sektor industri yang terjadi
dalam perekonomian Subosukawonosraten pada awal tahun 1990-an,
Perkembangan jumlah perusahaan baik kategori industri besar maupun kecil di
Subosukawonosraten meningkat cukup signifikan. Khusus pada sektor industri
kecil, seiring dukungan kredit pemerintah terhadap industri kecil serta
diberlakukannya UU No.9/1995 tentang industri kecil; perkembangan industri
kecil menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh
gambar di bawah ini.

40000

35000

30000
Ind Kecil B o yo lali
25000 Ind Kecil Skh
Ind Kecil Surakarta
20000
Ind Kecil Karanganya
15000 Ind Kecil Sragen
Ind Kecil Klaten
10000

5000

0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Gambar 1
Grafik Perkembangan Industri Kecil di Subosukasraten

Secara kuantitas, usaha kecil di Kabupaten Klaten dominan


dibandingkan dengan kuantitas usaha kecil di kabupaten/kota lainnya.
Meskipun demikian penambahan jumlah industri kcil di Kabupaten Klaten
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 313
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

relatif rendah dibandingkan dengan Kabupaten Sukoharjo. Terjadi peningkatan


pesat jumlah UMKM di Kabupaten Sukoharjo. Sementara perkembangan
UMKM di Kota Surakarta selama kurun waktu tersebut cenderung stagnan,
meskipun jika dilihat dari tren perkembangannya masih berada dalam leel yang
positif. Gambar 1 menjelaskan secara detiil perkembangan UMKM di wilayah
Subosukasraten.

D.2. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja UMKM di


Subsukasraten
Secara umum sektor UMKM merupakan sektor yang menyerap tenaga
kerja lebih banyak dibandingkan dengan sektor industri besar. Namun,
kemampuan penyerapan sektor UMKM terhadap tenaga kerja di daerah yang
memiliki struktur industri besar maju seperti di Kabupaten Sukoharjo,
Karanganyar dan Boyolali relatif seimbang jika dibandingkan dengan daerah
lainnya. Ilustrasi singkat digambarkan oleh dua kabupaten berikut ini yaitu
Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Sragen. Gambaran tersebut ditunjukkan
oleh grafik-grafik berikut ini.

100%

80%

60%
Industri Besar
40% UMKM

20%

0%
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Gambar 2
Penyerapan Tenaga Kerja Industri Besar dan UMKM di
Kabupaten Sukoharjo

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 314


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Gambaran grafik pada gambar 4.5 di atas menunjukkan bahwa peran


sektor UMKM dalam penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sukoharjo relatif
seimbang dengan kecenderungan dominasi sektor UMKM dibandingkan sektor
industri besar. Lebih dari 50 persen tenaga kerja yang bergerak di sektor
industri bekerja pada perusahaan UMKM. Kecenderungan ini menggambarkan
peran penting sektor UMKM terhadap pembangunan ekonomi suatu daerah
utamanya dalam aspek penyerapan tenaga kerja.

2004

2003

2002

2001

2000
UM KM
1999
Industri B esar
1998

1997

1996

1995

0% 50% 100%

Gambar 3
Penyerapan Tenaga Kerja Industri Besar dan UMKM di Kabupaten Sragen

Penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sregen menunjukkan kondisi


yang lebih ekstrim. Sebagain besar tenaga kerja yang berada di sektor industri
di Kabupaten Sragen berada di sektor UMKM. Setidaknya rata-rata sekitar
80,92 persen tenaga kerja bergerak di sektor UMKM sementara sisanya atau
kurang lebih sekitar 19,08 persen tenaga kerja bergerak di sektor industri.
Tidak berbeda dengan dua daerah di atas, jumlah tenaga kerja yang
bergerak di sektor UMKM di Kabupaten Klaten adalah mayoritas dari jumlah
tenaga kerja yang bergerak di sektor industri. Rata-rata persentase dari tenaga
kerja yang bergerak di sektor industri besar hanya terdapat sekitar 10 persen
dari tenaga kerja yang bergerak di sektor UMKM. Kondisi yang ditunjukkan
secara detiil pada tabel di bawah ini tidak dapat dilepaskan dari basis
perekonomian Klaten terutama dalam sektor industrinya yang didimonasi oleh
industri kecil atau UMKM.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 315


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

D.3. Ukuran Tingkat Kewirausahaan


D.3.1. Ukuran Kewirausahaan Pendekatan Kreativitas (Thurik dan
Verheul, 2002)
Terdapat dua pendekatan dalam merespon kelemahan penelitian yang
dilakukan oleh Thurik dan Verheul. Pendekatan tersebut adalah memisahkan
industri besar dengan industri kecil selanjutnya menghitung tingkat
keseimbangan umum proses penciptaan usaha baru dengan menggunakan
metodologi Hoddrick-Presscot. Konsep tingkat keseimbangan umum dalam hal
ini serupa dengan tingkat full-employment pada ilmu ekonomi. Pada titik
keseimbangan umum pembentukkan usaha baru merupakan jumlah sektor usaha
baru yang terbentuk endogen oleh perekonomian, sehingga tidak diperlukan
upaya kreatif dalam membentuk suatu organisasi bisnis baru. Merujuk pada
konsep bahwa kewirausahaan adalah suatu upaya kreatif membentuk unit
organisasi bisnis baru, maka indikator kewirausahaan dalam peneltitian ini
diperoleh melalui deviasi antara jumlah sektor usaha besar dan UMKM
terhadap keseimbangan umumnya. Penghitungan tingkat kewirausahaan pada
usaha besar di Subosukawonosraten ditunjukkan oleh gambar berikut ini.
12 4 40 100

3 30 80
8
2 20
60
4
1 10
40
0 0 0
20
-1 -10
-4
0
-2 -20
-8 -20
-3 -30

-12 -4 -40 -40


1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIBBOY ACTIBSRG ACTIBSKH ACTIBSKA

10000 150 126 240

8000 124
100
200
122
6000
50
120 160
4000
0 118
2000 120
116
-50
0
114
80
-2000 -100
112

-4000 -150 110 40


1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIBKRA ACTIBKLT IBBOYHP IBKLTHP

5000 120 200 14

4000 100 12
160
10
3000 80
120 8
2000 60
80 6
1000 40
4
40
0 20 2

-1000 0 0 0
1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004

IBKRAHP IBSKAHP IBSKHHP IBSRGHP

Gambar 4
Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual dan Tingkat Keseimbangan
Kewirausahaan Industri Besar di Subosukasraten
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 316
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Kondisi di atas meununjukkan bahwa tingkat kewirausahaan pada


industri besar masih relatif rendah. Untuk kasus Boyolali misalnya selama
kurun waktu penelitian hanya terdapat tambaha sekitar 10 perusahaan besar
setiap tahunnya. Hal tersebut belum optimal jika dibandingkan dengan
kemampuan perekonomian Boyolali dalam mengabsorbsi jumlah perusahaan
besar dalam keseimbangan umum perusahaan industri besar yang mencapai
kisaran 90-100 perusahaan per tahun. Fenomena menarik lain juga terjadi di
Kabupaten Klaten. Keseimbangan umum Perusahaan besar pada Kabupaten ini
berada dalam kondisi deminishing. Kondisi serupa juga terjadi pada jumlah
aktual perusahaan besar yang semakin lama semakin menurun.
Kondisi di Surakarta pun setali tiga uang dengan Kabupaten Boyolali.
Sementara kondisi serupa dengan Kabupaten Klaten terjadi di Kabupaten
Sragen. Di Kabupaten Sragen terjadi fenomena deminishing pada tren industri
besar. Meskipun demikian fenomena deminishing pada industri besar di
Kabupaten Sragen masih dalam tahap awal. Dalam kondisi ini dapat dijelaskan
telah ada potensi kejenuhan industri besar untuk melakukan ekspansi usaha baru
di Kabupaten Sragen. Fenoneman postif dalam keseimbangan umum industri
besar dalam gambar grafik di atas hanya terjadi di Kabupaten Karanganyar.
Posisi keseimbangan umum absorbsi industri besar dalam perekonomian
menggambarkan tren positif dan berpotensi naik terus. Namun secara aktual
tren positif tersebut belum dapat direspon secara optimal oleh perekonomian
Kabupaten Karanganyar. Fluktuasi perkembangan aktual industri besar
menunjukkan hal tersebut.
Sementara itu pada sektor UMKM terjadi fenomena yang berbeda jika
dibandingkan dengan yang terjadi pada sektor usaha besar. Di sektor UMKM
hanya Kabupaten Klaten yang memiliki fenomena yang menurun.
Keseimbangan umum perkembangan UMKM di Kabupaten Boyolali memiliki
tren positif yang diikuti dengan tren kenaikan aktual jumlah UMKM di
Kabupaten Boyolali. Kondisi tersebut juga terjadi di Kota Surakarta dan
Kabupaten Sukoharjo. Keseimbangan umum dalam perekonomian masih
memungkinkan secara endogen meningkatnya potensi kewirausahaan angkatan
kerja melalui pendirian organisasi bisnis baru. Hal positif tersebut juga diikuti
dengan kondisi aktualnya. Kondisi aktual jumlah peningkatan UMKM baru
juga merespon positif potensi peningkatan kewirausahaan pada kondisi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 317


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

keseimbangan umum tersebut tersebut. Respon positif tersebut ditunjukkan oleh


tingkat perkembangan UMKM di kedua daerah tersebut.
Khusus untuk Kabupaten Sragen dan Karanganyar gambaran kondisi
keseimbangan umum menunjukkan potensi deminishing pada tingkat
kewirausahaan pada UMKM di dua Kabupaten tersebut. Namun kondisi
tersebut masih belum terjadi seiring dengan kondisi perkembangan yang
memiliki kecenderungan stagnan dalam data kondisi UMKM aktual di kedua
Kabupaten tersebut. Di sisi lain kondisi ini menggambarkan bahwa tingkat
kewirausahaan di kedua Kabupaten tersebut telah berada dalam tahap yang full-
employement. Secara detiil gambaran kondisi tersebut ditunjukkan oleh grafikdi
Gbr. 5.

D.3.2. Ukuran Kewirausahaan Pembentukan Usaha Baru


Pembentukan usaha baru bervariasi pada setiap daerah di daerah
Subosukasraten. Terdapat pola yang berbeda pada kasus industri besar dan
sedang dengan industri kecil/UMKM. Pada kasus UMKM setelah krisis tingkat
kewirausahaan yang ditunjukkan oleh penambahan usaha baru menunjukkan
variasi yang relatif tinggi. Secara umum, tingkat kewirausahaan sebagian besar
daerah tersebut memiliki pola dengan tren yang menurun. Pasca krisis ekonomi
tahun 1998 tingkat kewirausahaan di daerah-daerah tersebut sangat tinggi,
namun pada tahun-tahun berikutnya pola tingkat kewirausahaan berada dalam
tren menurun seakan konvergen menuju suatu titik keseimbangan.
Pola rata-rata setiap daerah pun menunjukkan hal yang sama. Secara
rata-rata di daerah Subosukasraten tingkat kewirausahaan pada jenis industri
kecil dan UMKM mengalami penurunan dan menuju suatu titik keseimbangan.
Proses krisis ekonomi pada tahun 1998 sampai dengan era pemulihan krisis
ekonomi pada tahun 2000 tingkat kewirausahaan di daerah-daerah tersebut
masih cukup tinggi, namun kondisi tersebut semakin menurun pada tahun 2001
sampai dengan tahun 2005. Secara detiil grafik tingkat kewirausahaan di
Subosukasraten ditunjukkan dalam grafik pada Gbr. 6

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 318


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

12000
40000
10000

8000 30000

6000
20000
4000

2000
10000
0

-2000 0
1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIKBOY IKBOY ACTIKKLT IKKLT

6000
20000
5000
16000
4000

12000 3000

8000
2000

1000
4000
0
0
1994 1996 1998 2000 2002 2004 -1000
1994 1996 1998 2000 2002 2004
ACTIKKRA IKKRA
ACTIKSKA IKSKA

20000
20000
16000
16000
12000

12000
8000

4000 8000

0 4000

-4000
1994 1996 1998 2000 2002 2004 0
1994 1996 1998 2000 2002 2004
ACTIKSKH IKSKH
ACTIKSRG IKSRG

Gambar 5
Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual dan Tingkat Keseimbangan
Kewirausahaan UMKM di Subosukasraten

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 319


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

140

120
100

80
60

40
20

0
-20 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

-40
-60
Boyolali Sukoharjo
Surakarta Karanganyar
Sragen Klaten
Rata-rata Subosukasraten

Gambar 6
Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual Industri Kecil/UMKM di Subosukasraten

Berbeda dengan industri kecil/UMKM pada industri besar/sedang,


tingkat kewirausahaan di jenis industri ini berada dalam pola yang stagnan
dengan variasi meningkat yang terjadi di kota Surakarta, Kabupaten
Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo. Sementara itu, di daerah lain seperti
Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Klaten pola dengan tren
stagnan dan menurun sangat mendominasi. Kabupaten Boyolali adalah daerah
dengan tren penurunan tingkat kewirausahaan yang cukup signifikan. Di sisi
lain, kabupaten Sragen dan kabupaten Klaten memiliki tingkat kewirausahaan
yang stagnan dari waktu ke waktu. Secara umum kondisi ini ditunjukkan oleh
grafik berikut ini.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 320


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

100

80

60

40

20

0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
-20

-40

-60

-80
Boyolali Sukoharjo
Surakarta Karanganyar
Sragen Klaten
Rata-rata Subosukasraten

Gambar 7
Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual Industri Besar di Subosukasraten

D.4. Estimasi Pengaruh Kewirausahaan terhadap Pertumbuhan


Ekonomi Daerah
D.4.1. Tingkat Kewirausahaan Pendekatan Kreativitas
Hasil estimasi dampak kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah di Subosukasraten menggunakan metode panel data tidak seimbang
menunjukkan bahwa tingkat kewirausahaan pada industri kecil di
Subosukasraten berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah
tersebut. Faktor krisis ekonomi yang dimasukkan sebagai variabel boneka
menunjukkan bahwa faktor krisis ekonomi pada tahun 1998 secara struktural
telah mengubah kondisi kinerja UMKM di Subosukawonosraten. Secara umum
1 persen tingkat kewirausahaan dalam suatu daerah dapat ditingkatkan oleh
pemerintah daerah setempat akan berdampak peningkatan pertumbuhan
ekonomi sampai dengan 0.33 persen. Tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 321


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

0,33 persen tersebut bersifat endogen dalam mendukung pertumbuhan ekonomi


nominal aktual di Subosukasraten.
Kondisi sebaliknya terjadi pada sektor industri besar, peningkatan
kewirausahaan pada industri besar tidak memiliki pengaruh pada peningkatan
perekonomian Subosukawonosraten. Kondisi ini, tidak berarti secara nominal
dalam pertumbuhan ekonomi tidak disumbangkan oleh industri besar, hanya
saja kewirausahaan yang dikreasi oleh pengusaha industri besar tidak
berdampak terhadap peningkatan potensi endogen pertumbuhan ekonomi di
Subosukawonosraten. Hasil regresi dengan menggunakan metode fixed
menunjukkan hasil estimasi tersebut.
Gambaran ini menunjukkan telah terdapat pondasi yang cukup kokoh
dalam konsep pengembangan ekonomi kreatif di Subosukawonosraten.
Meskipun demikian motor terbesar ekonomi kreatif atau entepreneural economy
yang terjadi di Suboukawonosraten lebih banyak disumbangkan oleh sektor
UMKM. Sebagian besar inovasi dalam pertumbuhan ekonomi di
Subosukawonosraten sebagian besar disumbangkan oleh sektor UMKM. Di sisi
lain, pengembangan industri besar yang terjadi di Subosukawonosraten masih
memiliki inovasi yang lemah dibandingkan dengan sektor UMKM dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi secara endogen. Hasil estimasi persamaan
(2) di atas ditunjukkan oleh data berikut ini.
Tabel 4
Data Estimasi Panel Data Tidak Seimbang Tingkat Kewirausahaan
terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Subosukasraten (Model Fixed Effect)
Dependent Variable: LOG(GDP?)
Method: Seemingly Unrelated Regression
Total panel (unbalanced) observations: 56
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LOG(ACTIK?) 0.332267 0.046339 7.170295 0.0000
LOG(ACTIB?) -0.01489 0.018655 -0.798338 0.4322
DKRIS? 0.654247 0.07858 8.32588 0.0000
Fixed Effects
BOY--C 11.40891
SKH--C 11.59601
SKA--C 12.01692
KRA--C 11.27194
SRG--C 10.71524
KLT--C 11.04377
R-squared 0.860473 Mean dependent var 14.51712

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 322


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Adjusted R-squared 0.815825 S.D. dependent var 0.553254


S.E. of regression 0.237433 Sum squared resid 1.409356
Durbin-Watson stat 1.348834
D.4.2. Tingkat Kewirausahaan Pendekatan Pembentukkan Usaha Baru
Jika menggunakan pendekatan pembentukkan usaha baru sebagai
tingkat kewirausahaan makan hanya variabel industri besar yang berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah Subosukasraten. Dengan
menggunakan uji satu sisi positif dengan meyakini teori bahwa perkembangan
industri akan berpengaruh postif terhadap pertumbuhan ekonomi maka
pengaruh pertumbuhan industri kecil dapat diabaikan pengaruhnya dalam
regresi ini. Oleh karena itu, hanya tingkat kewirausahaan industri besar yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Subosukasraten.
Dalam hal besaran (magnitude) pengaruh pertumbuhan industri besar
terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 0,07 persen. Dalam hal ini, jika
tingkat kewirausahaan di Industri besar meningkat sebesar 1 persen maka
pertumbuhan ekonomi di keenam daerah tersebut akan meningkat sebesar 0,07
persen. Sementara itu, tingkat potensi pertumbuhan ekonomi tanpa tingkat
kewirausahaan baik pada industri kecil/UMKM maupun industri besar/sedang
secara rata-rata mencapai 14,22 persen. Secara detiil tabel 5 menggambarkan
kondisi tersebut

E. Kesimpulan
Secara umum, penelitian ini menghasilkan suatu fakta yang mendukung
teori dan beberapa penelitian terdahulu seperti menunjukkan peran penting
kewirausahaan terhadap pembangunan ekonomi daerah khususnya pertumbuhan
ekonomi di daerah Subosukasraten. Selain temuan umum di atas, beberapa
temuan khusus yang diperoleh melalui proses penelitian yang panjang ini adalah
penggunaan suatu indikator nominal kewirausahaan dalam suatu analisis
ekonomi. Indikator kewirausahaan dalam penelitian ini merupakan hasil inovasi
yang dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif dalam penyusunan
indikator kewirausahaan berdasarkan basis data sekunder seperti yang telah
dilakukan sebelumnya oleh Thurik dan Verheul (2002).
Indikator kewirausahaan yang digunakan dalam penelitian ini, pemisahan
antara tingkat kewirausahaan pada industri besar dan kecil serta pengukuran
yang menggunakan deviasi antara keseimbangan umum perkembangan usaha
besar dan usaha kecil adalah beberapa inovasi sederhana dalam melakukan
pengukuran terhadap tingkat kewirausahaan. Subosukasraten memiliki potensi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 323


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ekonomi kreatif atau entepreneural economy yang mampu mendorong


pertumbuhan ekonomi secara endogen dalam eksisiting struktur perekonomian
saat ini.
Tabel 5
Data Estimasi Panel Data Tidak Seimbang Tingkat Kewirausahaan
terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Subosukasraten (Model Fixed Effect)
Dependent Variable: LOG(GDP?)
Method: Seemingly Unrelated Regression
Total panel (unbalanced) observations: 56
Std.
Variable Coefficient Error t-Statistic Prob.
LOG(EK?) -0.03521 0.008151 -4.319918 0.0001
LOG(EB?) 0.073834 0.019668 3.753982 0.0005
DKRIS? 0.791894 0.098054 8.076073 0.0000
Fixed Effects
BOY--C 14.21188
SKH--C 14.22073
SKA--C 14.3482
KRA--C 14.2332
SRG--C 14.01378
KLT--C 14.30443
R-squared 0.690887 Mean dependent var 14.82365
Adjusted R-squared 0.638272 S.D. dependent var 0.445396
S.E. of regression 0.267878 Sum squared resid 3.37266
Durbin-Watson stat 1.391669

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 324


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Daftar Pustaka

Acs, Z.J., D.B. Audretsch and M.P. Feldman (1992), “Real Effects of Academic
Research”, American Economic Review, 82(1), pp. 363-367.
Anderson, Dennis, (1982), “Small-Scale Industry in Developing Countries: A
discussion of the Issues” World Development
Audretsch, D., dan A.R. Thurik (2001), “Linking Entrepreneurship to Growth”,
Organisation For Economic Co-operation dan Development
Audretsch, D., W. Baumol and A. Burke (2001), “Competition Policy in
Dynamic Markets”, International Journal of Industrial Organization,
19(5), pp. 613-634.
Audretsch, D.B., M.A. Carree, A.J. van Stel and A.R. Thurik (2000), “Impeded
Industrial Restructuring: The Growth Penalty”, Centre for Economic and
Policy Research Discussion Paper
Briguglio, Lino. dkk. (2006), “Conceptualizing and Measuring Economic
Resilience” Department of Economics University of Malta:Working
Papers
Chandler, A.D. Jr. (1990), Scale and Scope: The Dynamics of Industrial
Capitalism, Harvard University, Cambridge.
Dosi, G. (1988), “Sources, Procedures and Microeconomic Effects of
Innovations”, Journal of Economic Literature 26, pp. 1120-1171.
Hoselitz, B.F. (1979), “Small Industry in Underdeveloped Countries” Journal of
Economic History”, 19(1) (Reprinted in Ian Livingston (ed),
Development Economics Policy: Readings, George Allen an Unwin)
Kaldor, N. (1934), “The Equilibrium of the Firm”, Economic Journal 44,
March, pp. 60-76
Krugman, P. (1991), Geography and Trade, MIT Press, Cambridge.
Loveman, G. and W. Sengenberger (1991), “The Re-emergence of Small-scale
Production: An International Comparison”, Small Business Economics 3,
pp. 1-37.
Lambing, Peggy.A. Kuehl, Charles, R. (2003), “Entrpreneurship”. Prentice
Hall: New Jersey
Lucas, R.E. (1978), “On the Size Distribution of Business Firms”, Bell Journal
of Economics 9,pp. 508-523

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 325


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Menegkop & UKM (2001), “Statistik Pengusaha Kecil dan Menengah Tahun
2001”
Penandiker, Pai. D.H, (1996), “Status of SMEs in terms of their competitive
strength” paper presented for the IX International Conference on Small
and Medium Enterprises, New Delhi, 17-19 April WASME.
Piore, Michael J.dan Charles F Sobel, (1984), “The Second Industrial
Divide”Basic Book, New York
Postigo, Sergio, (2004), “Fostering Entrepreneurship in Crisis Context: The
Case of Argentina” Working Papers of Karel Steuer Chair of
Entrperenesurship Universidad de San Andres
Reynolds, Paul D., David J. Storey and Paul Westhead (1994), “Cross National
Comparison of the Variation on the New Firm Formation Rates”,
Regional Studies 27, pp. 443-456
Romer, Paul M. (1986), “Increasing Return and Long-Run Growth”, Journal of
Political Economy 94
Romer, Paul M. (1990), “Endogenous Technological Change”, Journal of
Political Economy 98, pp. 71-101.
Schumpeter, J.A. (1934), “The Theory of Economic Development”. Cambridge,
MA: Harvard Press
Scherer, F.M. and D. Ross (1990), Industrial Market Structure and Economic
Performance, Houghton Mifflin Company, Boston, MA.
Tambunan, Tulus TH. (2006), “Development of Small & Medium Enterprises
in Indonesia from the Asia-Pasific Perspective”
Viner, Jacob (1932), “Cost Curves and Supply Curves”, Zeitschrift fur
Nationaloekonomie 3, pp. 23-46.
Wennekers, S. dan A.R. Thurik (1999), “Linking Entrepreneurship and
Economic Growth”, Small Business Economics 13, pp. 27-55

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 326


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

KETEGARAN UPAH NOMINAL PEKERJA PRODUKSI DAN


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Studi Kasus: Industri Kimia di Indonesia 1997-2005

Joko Susanto∗

Abstract
This research analysis the nominal wage rigidity for the case of production
workers in Indonesian chemical industries and analysis the factor that
influence this rigidity by utilizing panel data for the period 1997-2005.
The statistical data form BPS is used in this research. Making use of the
condition that the employers who try to maximize their profit will pay a
nominal wage as high as the marginal value product of labor, the first
regression function is developed. This function regress nominal wage on
the workers` productivity. The first regression function is estimated by
GMM (Generalized Method of Moment) estimation method and common
effects specification. Furthermore, the second function regress the
downward nominal wage rigidity on the workers’ productivity, price of
output, bill of worker union, and provincial minimum wage by sector. This
function is estimated by logit method. The results of this study show that
the nominal base wage of the production worker is rigid. The decreasing
productivity of the workers does not lower the nominal base wage of the
production workers. On the other hand, the nominal wage of the
production workers is not rigid. The increasing of workers productivity
and price of output lower the odds of the nominal wage decreasing,
meanwhile the bill of worker union, and provincial minimum wage by
sector don’t have impact.
Key words: worker’s productivity, nominal base wage, nominal total wage,
production workers.


Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi FEB
UGM Yogyakarta dan staf pengajar di Univ. Pembangunan Nasional Yogyakarta

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 327


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

1. Pendahuluan

Industri kimia berperan penting dalam penguatan dan pendalaman


struktur industri terutama yang berbasis pada pengolahan sumber daya alam
sehingga memperkukuh keterkaitan antara industri hulu dengan industri hilir
(Bappenas 1998). Industri kimia meliputi berbagai jenis industri termasuk
industri agrokimia, industri kimia organik, dan industri kimia anorganik.
Sumbangan industri kimia bagi pertumbuhan ekonomi cukup besar. Industri
kimia memiliki kaitan ke depan (forward linkage) yang relatif besar. Output
industri ini, terutama kimia hulu, memiliki kaitan langsung yang sangat erat
terhadap sektor-sektor perekonomian.
Pada umumnya industri kimia menggunakan teknologi maju dan
bersifat padat modal. Bahan baku industri kimia sebagian besar harus diimpor
sehingga import content industri ini relatif tinggi. Nilai import content
menunjukkan persentase bahan baku impor terhadap keseluruhan bahan baku
(Alessandria et al. 2008). Suatu industri dikelompokkan menjadi industri
dengan import content tinggi apabila 70 persen atau lebih bahan bakunya harus
diimpor (Flatters 2005).
Krisis moneter yang ditandai dengan kenaikan dan fluktuasi nilai tukar
dollar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah menyebabkan kenaikan harga
bahan baku impor dan selanjutnya berdampak pada industri yang memiliki
import content tinggi termasuk industri kimia. Tingginya kandungan bahan
baku impor pada industri kimia mengakibatkan kinerja industri ini sangat
dipengaruhi oleh harga bahan baku impor. Kenaikan harga bahan baku impor
berdampak pada kenaikan biaya produksi industri kimia. Agar tidak mengalami
kerugian, maka produsen pada industri kimia menaikkan harga output
(Tambunan 2000: 99). Kenaikan harga output akan menurunkan jumlah output
yang diminta.
Pada sisi lain, krisis moneter mengakibatkan penurunan pendapatan
konsumen sehingga mereka mengalihkan alokasi pengeluarannya dari konsumsi
barang-barang mewah dan sekunder (termasuk output industri) ke konsumsi
barang-barang kebutuhan pokok diantaranya makanan (Feridhanusetyawan dan
kawan-kawan 2000: 57). Pengalihan alokasi pengeluaran konsumen dan
kenaikan harga output mengakibatkan jumlah output industri yang diminta

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 328


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

turun, termasuk output industri kimia. Penurunan jumlah output yang diminta
menyebabkan penurunan pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia.
Penurunan jumlah output diminta mengakibatkan penurunan
pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia. Pada masa sebelum krisis
moneter (tahun 1996), pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia mencapai
76,04 persen. Nilai tersebut turun menjadi 70,09 persen pada tahun 1997, dan
mencapai nilai terendah dengan pemanfaatan kapasitas terpasang setinggi 68,21
persen pada tahun 1998. Mulai tahun 2000 pemanfaatan kapasitas terpasang
industri kimia meningkat. Selanjutnya pada tahun 2004, pemanfaatan kapasitas
terpasang industri kimia sudah mendekati nilai pemanfaatan kapasitas
terpasang pada masa sebelum krisis moneter (Tabel 1).

----- Tabel 1 di sini ----

Penurunan pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia


menunjukkan bahwa output yang dihasilkan relatif kecil dibandingkan dengan
kemampuan industri tersebut untuk menghasilkan output. Penurunan
pemanfaatan kapasitas terpasang berdampak pada penurunan produktivitas
pekerja. Selanjutnya, tinggi rendahnya produktivitas pekerja akan berdampak
pada tingkat upah. Perusahaan yang memaksimumkan laba akan membayar
upah nominal setinggi nilai produk marjinal tenaga kerja (marginal value
product of labor) yang merupakan perkalian antara produk marjinal tenaga kerja
dengan harga output (McConnel et al 2003: 135).
Sementara itu, kenaikan harga bahan baku impor mengakibatkan
kenaikan biaya produksi industri kimia sehingga kurva biaya marjinal bergeser
ke kiri (Pindyck dan Rubinfeld 2001: 264). Hal ini berarti penawaran output
industri kimia turun. Apabila permintaan output tidak berubah, maka
penurunan penawaran output akan mengakibatkan kenaikan harga output.
Kenaikan harga output menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga
kerja sehingga permintaan tenaga kerja juga mengalami kenaikan. Apabila
penawaran tenaga kerja tetap, maka kenaikan permintaan tenaga kerja
menyebabkan kenaikan upah.
Sebagian besar industri kimia (terutama kimia dasar), merupakan
industri hulu yang menjual outputnya sebagai input bagi industri lain (hilir). Hal
ini berarti permintaan terhadap output industri kimia bergantung pada jumlah

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 329


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

output industri hilir. Berbeda dengan permintaan barang-barang kebutuhan


pokok, permintaan terhadap output industri cenderung elastis. Kenaikan harga
output industri menyebabkan penurunan penerimaan total (total revenue).
Sementara itu, kenaikan harga input impor menyebabkan kenaikan biaya total.
Penurunan penerimaan yang disertai dengan kenaikan biaya total
mengakibatkan penurunan laba. Penurunan laba industri kimia menyebabkan
penurunan kemampuan industri tersebut dalam memberikan balas jasa (upah)
kepada pekerjanya.
Pekerja pada industri kimia terdiri dari pekerja produksi dan non-
produksi. Pekerja produksi mencakup pekerja produksi di bawah mandor,
mandor, satu tingkat di atas mandor, dua tingkat di atas mandor, tiga tingkat di
atas mandor dan tenaga ahli. Sementara itu pekerja non-produksi meliputi
manajer, sekretaris, akuntan, tenaga administrasi, sopir, satpam dan tenaga
penjualan. Rasio jumlah pekerja produksi terhadap jumlah pekerja total pada
industri kimia mencapai lebih kurang 80 persen. Selanjutnya, bagi industri
kimia, biaya tenaga kerja merupakan komponen biaya terbesar kedua setelah
biaya bahan baku. Apabila biaya tenaga kerja tidak dapat dikendalikan, maka
akan menurunkan kinerja industri bersangkutan.
Di samping faktor mekanisme pasar, penentuan tingkat upah juga
dipengaruhi oleh faktor kelembagaan. Wujud faktor kelembagaan ini
diantaranya adalah undang-undang dan ketentuan upah minimum propinsi.
Salah satu undang-undang dalam bidang tenaga kerja adalah Undang-undang
Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja. Pengesahan undang-undang
tersebut menunjukkan perubahan sisi kelembagaan yang memberikan
kemudahan bagi pekerja untuk membentuk serikat pekerja. Hal ini
menyebabkan sistem hubungan industrial berubah dari sistem yang sangat
terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem yang
terdesentralisasi (Feridhanusetyawan dan Pangestu : 2004). Desentralisasi
hubungan industrial memberikan kekuatan tawar lebih besar bagi serikat
pekerja pada saat berunding dengan pengusaha.
Sementara itu, sebagaimana negara berkembang lainnya, Indonesia
menghadapi masalah kelebihan jumlah pasokan tenaga kerja relatif terhadap
permintaannya (labor surplus). Hal ini ditandai dengan adanya kelebihan
jumlah pencari kerja di atas jumlah lapangan kerja yang tersedia
(Tjiptoherijanto 1993: 417). Kelebihan pasokan tenaga kerja menyebabkan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 330


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

rendahnya upah nominal yang diterima pekerja. Untuk itu, pemerintah


mengenakan ketentuan upah minimum dalam ujud Upah Minimum Propinsi
(UMP) yang tingginya melebihi tingkat upah pasar (Suryahadi dan kawan-
kawan 2003: 31).
Walaupun tingkat upah nominal yang terjadi sudah melebihi UMP,
akan tetapi sering kali masih terjadi ketidakpuasan pekerja terhadap tingkat
upah yang diterimanya. Untuk mengurangi ketidakpuasan pekerja, pengusaha
mendesain sistem pengupahan yang memungkinkan pekerja untuk memperoleh
pendapatan melebihi UMP dengan memberikan berbagai tunjangan. Upah
nominal pekerja produksi terdiri dari upah pokok nominal dan berbagai
tunjangan. Tunjangan pekerja produksi bersifat variabel yang besarnya berubah-
ubah menurut kinerja perusahaan (SMERU 2001).
Penurunan produktivitas pekerja menimbulkan kesulitan dalam
penentuan tingkat upah nominal. Tingkat upah nominal ditentukan antara lain
berdasar produktivitas pekerja yang mencerminkan kemampuan pekerja untuk
menghasilkan output dalam waktu tertentu. Penurunan produktivitas pekerja
industri kimia menunjukkan penurunan sumbangan (kontribusi) pekerja dalam
proses produksi. Penurunan produktivitas pekerja akan menjadi alasan bagi
pengusaha untuk menurunkan upah.
Bagi pekerja, termasuk pekerja produksi, upah merupakan sarana untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerja secara langsung. Tinggi rendahnya upah
berpengaruh langsung pada kesejahteraan hidup pekerja (Tjiptoherijanto 1993:
412). Penurunan tingkat upah nominal akan menurunkan tingkat konsumsi
pekerja. Jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli pekerja berkurang sehingga
utilitas pekerja dan keluarganya turun. Oleh sebab itu, pekerja produksi pada
industri kimia akan melakukan berbagai upaya agar pada saat produktivitas
pekerja turun, upah nominal yang diterimanya tidak turun.
Sementara itu, kenaikan harga input impor menyebabkan kenaikan
biaya produksi sehingga harga output juga mengalami kenaikan. Kenaikan
harga output menunjukkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga
permintaan tenaga kerja juga mengalami kenaikan. Kenaikan permintaan tenaga
kerja menyebabkan kenaikan upah. Hal ini berarti kenaikan harga output
industri kimia akan menghalangi keinginan pengusaha untuk menurunkan upah.
Di samping itu, pada umumnya pekerja industri kimia, termasuk pekerja
produksi, memiliki keahlian tinggi dan berperan terhadap maju mundurnya

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 331


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

perusahaan. Perusahaan akan berupaya memenuhi tuntutan pekerjanya,


walaupun sedang mengalami kesulitan untuk mempertahankan apalagi
meningkatkan pendapatannya (Manajemen 1998). Dengan demikian, upah
nominal pekerja produksi pada industri kimia di Indonesia tegar untuk turun:
kenaikan produktivitas pekerja diikuti kenaikan upah pokok dan upah total
nominal pekerja produksi, tetapi penurunan produktivitas pekerja tidak diikuti
penurunan upah nominal. Selanjutnya, penelitian ini dimaksudkan untuk
menguji ketegaran upah pokok dan upah total nominal pekerja produksi
untuk turun pada industri kimia di Indonesia tahun 1997-2005 dan menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi ketegaran tersebut.

2. Rerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis

2.1. Teori Pasar Tenaga Kerja


Pemilihan tingkat output yang memaksimumkan laba juga
mencerminkan pemilihan input yang menghasilkan tingkat output dimaksud.
Permintaan input tidak dapat dipisahkan dari pilihan tingkat output sehingga
permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand).
Permintaan tenaga kerja bergantung pada permintaan output. Penurunan
permintaan output akan menurunkan permintaan tenaga kerja, dan sebaliknya.
Faktor yang menentukan permintaan tenaga kerja adalah produk marjinal tenaga
kerja dan harga output (McConnell et al. 2003 : 127).
Penambahan seorang pekerja akan menambah output sebesar produk
marjinal tenaga kerja. Pada pasar persaingan sempurna, nilai produk marjinal
tenaga kerja adalah sebesar harga output dikalikan produk marjinal. Di sisi lain,
penambahan seorang pekerja membebani biaya perusahaan sebesar upah
nominal pekerja. Apabila nilai produk marjinal tenaga kerja lebih besar
daripada upah nominal, maka perusahaan akan menambah jumlah pekerja, dan
sebaliknya. Perusahaan yang memaksimumkan laba, akan memperkerjakan
sejumlah pekerja sampai dicapai suatu keadaan yang ditandai adanya kesamaan
antara upah nominal dengan nilai produk marjinal tenaga kerja (Branson 1989:
110).
Kurva nilai produk marjinal tenaga kerja menggambarkan permintaan
tenaga kerja (Bosworth et al. 1996 : 98). Penambahan jumlah pekerja diikuti
dengan penurunan nilai produk marjinal pekerja sehingga upah nominal juga

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 332


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengalami penurunan. Hal ini berarti kurva permintaan tenaga kerja berlereng
negatif. Kenaikan upah nominal mengurangi jumlah tenaga kerja yang diminta,
dan sebaliknya.
Sementara itu, berdasar hubungan antara tingkat upah dengan jam kerja,
dapat diturunkan kurva penawaran tenaga kerja individual yang
menggambarkan kombinasi tingkat upah dengan jam kerja ditawarkan. Berdasar
pendekatan ini dikembangkan kurva penawaran tenaga kerja agregat yang
menunjukkan kombinasi antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang
bersedia bekerja (Bosworth et al. 1996: 13). Kurva penawaran tenaga kerja
berlereng positif menunjukkan bahwa semakin tinggi upah nominal, semakin
besar jumlah tenaga kerja yang bersedia bekerja.
Pasar tenaga kerja merupakan pertemuan antara permintaan dengan
penawaran tenaga kerja. Interaksi antara permintaan dan penawaran tenaga
kerja akan menentukan tingkat upah dan tingkat employment (McConnell et
al. 2003: 169). Keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai pada saat kurva
permintaan tenaga kerja berpotongan dengan kurva penawaran tenaga kerja.
Pada kedudukan ini, jumlah tenaga kerja diminta sama dengan jumlah tenaga
kerja yang bersedia bekerja. Apabila tidak ada campur tangan dari luar, maka
tidak terdapat kecenderungan tingkat upah dan employment untuk berubah.
2.2. Penelitian Sebelumnya
Campbell dan Kamlani (1997: 759-789) melakukan survai terhadap
sejumlah perusahaan tambang, konstruksi, manufaktur, dan jasa di Amerika
Serikat dengan mengirimkan kuesioner kepada para manajer perusahaan
tersebut. Survai ini menggunakan metode deskriptif dan memperoleh temuan
bahwa perusahaan tidak menurunkan tingkat upah nominal pekerjanya selama
masa resesi. Responden menyatakan bahwa penurunan upah nominal
menyebabkan pekerja terbaik segera keluar dari perusahaan. Pertimbangan lain
adalah karena penurunan upah nominal menyebabkan naiknya turn over
pekerjanya yang selanjutnya berdampak pada kenaikan biaya perekrutan dan
pelatihan.
Bewley (1998: 459-490) meneliti ketegaran upah nominal untuk turun
dengan melakukan wawancara terhadap sejumlah pelaku bisnis pada bidang
konstruksi, manufaktur dan jasa di Amerika Serikat. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dan memperoleh temuan bahwa pengusaha
enggan untuk menurunkan upah nominal karena mereka yakin bahwa

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 333


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

penurunan upah nominal akan menurunkan moral pekerja dan pada akhirnya
menurunkan produktivitas pekerja. Penurunan upah nominal bukan solusi tepat
untuk mengatasi resesi yang dihadapi perusahaan. Penurunan upah nominal
tidak akan membuat perusahaan menjadi lebih baik. Perusahaan lebih memilih
untuk mengurangi jumlah pekerja daripada menurunkan upah nominal.
Penurunan moral pekerja akibat penurunan upah nominal lebih besar
dibandingkan penurunan moral pekerja akibat pemberhentian pekerja.
Lebow et al. (1999) meneliti ketegaran upah nominal untuk turun di
Amerika Serikat dengan menggunakan uji Lebow, Stockton dan Wilson (LSW)
Asymmetry. Penelitian ini menggunakan data dari sejumlah perusahaan yang
terdapat pada US Bureau of Labor Statistics (BLS). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa upah nominal tegar untuk turun. Perusahaan dapat
menghindari ketegaran upah nominal untuk turun dengan melakukan variasi
pada kompensasi pekerja. Kompensasi yang diterima pekerja terdiri atas upah
nominal dan berbagai tunjangan. Ketegaran kompensasi untuk turun lebih
lemah daripada ketegaran upah nominal untuk turun.
Oyer (2005) menguji ketegaran upah nominal untuk turun di AS
berdasar data tahun 1953-1977. Data penelitian mencakup berbagai industri
yang terdapat pada publikasi US Bureau of Labor Statistics (BLS). Penelitian
tersebut menggunakan alat analisis ekonometri dengan metode estimasi
ordinary least square (OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa upah
nominal bersifat tegar untuk turun. Perusahaan mengalami kesulitan untuk
menurunkan upah nominal termasuk pada saat kondisi perekonomian
memburuk. Untuk itu, perusahaan menggunakan skema tunjangan. Perusahaan
dapat menurunkan biaya tenaga kerja dengan cara menurunkan tunjangan.

2.3. Pengembangan Hipotesis


2.3.1. Respons Perusahaan Terhadap Kenaikan Harga Input
Perusahaan yang memaksimumkan laba akan menentukan tingkat
output yang memenuhi kesamaan antara penerimaan marjinal dengan biaya
marjinal (MR=MC). Untuk perusahaan yang berada di pasar persaingan
sempurna, maka penerimaan marjinal sama dengan harga output (MR=P). Hal
ini berarti perusahaan tersebut akan menentukan harga output setinggi biaya
marjinal (P=MC).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 334


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Perusahaan akan merespons perubahan harga input. Krisis moneter


yang ditandai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS terhadap rupiah akan
meningkatkan harga input impor. Kenaikan harga input impor akan berdampak
pada kenaikan biaya produksi perusahaan yang memiliki import content tinggi
termasuk perusahaan kimia. Kenaikan biaya produksi menggeser kurva biaya
marjinal ke kiri (Pindyck dan Rubinfeld 2001: 264).
Di tingkat perusahaan, kenaikan harga input menyebabkan pergeseran
kurva biaya marjinal ke kiri sehingga penawaran output perusahaan tersebut
turun. Selanjutnya pada tingkat industri, kenaikan biaya input juga berdampak
pada semua perusahaan sejenis. Kenaikan harga input impor pada industri kimia
menyebabkan penawaran output industri tersebut turun. Apabila permintaan
output industri kimia tetap, maka hal tersebut akan menyebabkan kenaikan
harga output industri kimia.

------ Gambar 1. Disini -----

Harga output merupakan salah satu penentu (determinan) terhadap


permintaan tenaga kerja (McConnell et al. 2003: 127). Kenaikan harga output
menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja yang ditandai dengan
pergeseran kurva nilai produk marjinal tenaga kerja ke kanan sehingga kurva
permintaan tenaga kerja juga bergeser ke kanan. Apabila kurva penawaran
tenaga kerja tetap, maka pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke kanan
mengakibatkan kenaikan upah nominal.
2.3.2. Ketegaran Upah Nominal Untuk Turun
Teori ekonomi untuk menjelaskan ketegaran upah nominal adalah
adanya money illusion. Pelaku ekonomi dengan berbagai alasan lebih menyukai
penentuan upah dalam nominal daripada riil. Kahneman et al. (1986)
menyatakan bahwa pekerja merespons secara berbeda terhadap penurunan upah
riil yang disebabkan oleh kenaikan harga dan yang disebabkan oleh penurunan
upah nominal. Penurunan upah riil yang terjadi ketika inflasi melebihi kenaikan
upah nominal dinilai fair. Sebaliknya, penurunan upah riil akibat penurunan
upah nominal dinilai tidak fair.
Kenaikan nilai tukar dollar AS terhadap rupiah (krisis moneter)
menyebabkan kurva penawaran output bergeser ke kiri (Gambar 1). Pergeseran
ini menunjukkan bahwa penawaran output berkurang sehingga permintaan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 335


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

tenaga kerja juga berkurang. Penurunan permintaan output akan menggeser


kurva permintaan tenaga kerja ke kiri (McConnell et al. 2003: 149). Apabila
penawaran tenaga kerja tetap, maka pergeseran kurva permintaan tenaga kerja
ke kiri menyebabkan penurunan upah nominal.
Penurunan tingkat upah tidak disukai bukan saja oleh pekerja tetapi
juga oleh pengusaha. Bagi pengusaha yang menerapkan prinsip upah efisiensi
(seperti pada industri padat modal), maka tidak ada untungnya bila pengusaha
menurunkan upah nominal. Upah rendah menjadikan pekerja malas dan
selanjutnya akan berdampak negatif bagi kinerja perusahaan. Hal ini berarti
akan lebih menguntungkan bagi pengusaha untuk mempertahankan tingkat upah
nominal. Tingkat upah nominal bersifat tegar untuk turun (Bewley 2004 : 7).
Penurunan permintaan output menggeser kurva permintaan tenaga kerja ke kiri.
Akan tetapi, pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke kiri tidak
menyebabkan penurunan upah nominal. Penurunan permintaan tenaga kerja
direspons oleh pengusaha dengan cara mengurangi jumlah pekerja dan bukan
dengan menurunkan upah nominal.

----- Gambar 2. di sini ----

2.3.3. Kontrak Antara Pekerja dengan Pengusaha


Salah satu alasan upah nominal tegar untuk turun selama masa resesi
adalah adanya kontrak antara pekerja dengan pengusaha. Melalui kontrak
tersebut disepakati bahwa perusahaan akan mempertahankan upah nominal
kecuali terdapat hal-hal yang di luar kendali misalnya perusahaan bangkrut
(McConnell 2003: 572). Pertimbangan perusahaan untuk mengadakan kontrak
karena dirasakan lebih mahal bila pekerja di perusahaan tersebut sering
berganti. Perusahaan harus menanggung biaya rekruitmen dan pelatihan
pekerja baru. Perusahaan lebih suka untuk memperkerjakan pekerja selama
waktu tertentu guna menghindari biaya transaksi dalam negosiasi tingkat upah
(Boswoth et al. 272).
Adanya kontrak antara pihak pekerja dengan pengusaha menentukan
tingkat upah nominal dan menjadikan negosiasi upah sulit untuk dilakukan.
Upaya penyesuaian upah nominal memerlukan biaya transaksi. Semakin sering
penyesuaian upah nominal dilakukan, semakin besar pula biaya transaksi yang
diperlukan. Adanya biaya transaksi mendorong pekerja maupun pengusaha

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 336


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

untuk menggunakan kontrak jangka panjang. Baik pekerja maupun pengusaha


cenderung untuk mempertahankan kontrak yang telah dibuat.
Selanjutnya penelitian ini ingin menguji hipotesis berikut.
1. Upah pokok nominal pekerja produksi industri kimia di Indonesia diduga
tegar untuk turun. Kenaikan produktivitas pekerja diikuti kenaikan upah
pokok nominal pekerja produksi, tetapi penurunan produktivitas pekerja
tidak diikuti penurunan upah pokok nominal pekerja produksi.
Ketegaran upah pokok nominal pekerja non-produksi untuk turun
dipengaruhi secara positif oleh produktivitas pekerja, harga output, undang-
undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi. Upah pokok
nominal pekerja produksi akan semakin tegar untuk turun, bila terjadi (1)
kenaikan produktivitas pekerja, (2) kenaikan harga output, (3) pengesahan
undang-undang serikat pekerja dan (4) ketentuan upah minimum sektoral
propinsi.
2. Upah total nominal pekerja produksi industri kimia di Indonesia diduga tegar
untuk turun. Kenaikan produktivitas pekerja diikuti kenaikan upah total
nominal pekerja produksi, tetapi penurunan produktivitas pekerja tidak
diikuti penurunan upah total nominal pekerja produksi.
Ketegaran upah total nominal pekerja produksi dipengaruhi secara positif
oleh produktivitas pekerja, harga output, undang-undang serikat pekerja dan
upah minimum sektoral propinsi. Upah total nominal pekerja produksi akan
semakin tegar untuk turun bila terjadi (1) kenaikan produktivitas pekerja, (2)
kenaikan harga output, (3) pengesahan undang-undang serikat pekerja dan
(4) ketentuan upah minimum sektoral propinsi.

3. Metode Riset

3.1. Sumber Data dan Definisi Variabel Operasional


Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 1997-2005. Untuk penelitian ini diambil sejumlah 15 (lima belas)
industri kimia dengan import content tinggi (lihat lampiran). Dengan demikian
data penelitian merupakan suatu data panel yang meliput 15 macam industri
kimia selama periode 1997-2005. Data penelitian mencakup nilai riil barang
dihasilkan, upah pokok dan upah total nominal pekerja produksi, produktivitas
pekerja, indeks harga output dan upah minimum sektoral propinsi. Selanjutnya

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 337


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

berdasar data yang diperoleh, dilakukan pengujian terhadap ketegaran upah


nominal untuk turun dan penyebab ketegaran upah tersebut.
Berikut ini dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel.
1. Upah pokok nominal pekerja produksi (W1) adalah nilai nominal
pengeluaran untuk upah pekerja produksi industri besar dan sedang kimia
dibagi jumlah pekerja produksi pada industri tersebut. Satuan yang
digunakan adalah ribu rupiah per pekerja.
2. Upah total nominal pekerja produksi (W2) adalah upah pokok nominal
pekerja produksi industri besar dan sedang kimia (W1) ditambah tunjangan
per pekerja produksi. Satuan yang digunakan adalah ribu rupiah per
pekerja.
3. Produktivitas pekerja (Y) adalah nilai riil barang yang dihasilkan oleh
industri besar dan sedang kimia dibagi jumlah pekerja pada industri
tersebut. Satuan produktivitas pekerja adalah ribu rupiah per pekerja.
Dalam penelitian empiris, konsep produk rata-rata sebagai proksi bagi
produktivitas pekerja lebih banyak digunakan daripada konsep produk
marjinal (Nicholson 1995: 314). Selanjutnya diasumsikan bahwa produk
rata-rata pekerja mencapai nilai maksimum sehingga nilai produk rata-rata
pekerja sama dengan nilai produk marjinal pekerja.
4. Ketegaran Upah Nominal Untuk Turun (RIGID) adalah perubahan upah
nominal pada industri kimia pada suatu tahun tertentu. Variabel RIGID
akan bernilai 1 bila upah nominal industri kimia pada suatu tahun tertentu
mengalami penurunan. Sebaliknya variabel RIGID bernilai 0 bila upah
nominal industri kimia pada suatu tahun tertentu tidak mengalami
penurunan.
5. Harga Output (P) adalah indeks harga perdagangan besar barang industri
kimia dasar dan kimia lainnya dengan menggunakan harga tahun 1993
sebagai tahun dasar (1993=100).
6. Undang-Undang Serikat Pekerja (UUSP) adalah pengesahan Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja yang memberikan
jaminan dan kemudahan bagi pekerja untuk membentuk serikat pekerja.
Untuk variabel ini digunakan variabel dummy. Variabel UUSP bernilai 1
untuk periode 2001-2005, dan bernilai 0 untuk periode 1997- 2000.
7. Upah Minimum Sektoral Propinsi (UPMIN) adalah rata-rata upah
minimum sektoral regional (propinsi) yang berlaku di propinsi tempat

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 338


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

perusahaan kimia berlokasi. Apabila di propinsi tersebut belum berlaku


upah minimum sektoral propinsi maka digunakan upah minimum propinsi.
Untuk variabel ini diberikan bobot jumlah perusahaan kimia di tiap-tiap
propinsi.
3.2. Alat Analisis
Estimasi jangka pendek terhadap model persamaan upah nominal pekerja
produksi untuk turun dituliskan dalam model dinamis berikut.
k k k
dWit = α i + ∑ωijWit − j + ∑ β ij dYit − j + ∑γ ij dYit − j * DUMit +
j =1 j =0 j =1

λ ij ECT t −1 + e it (1)

Dalam Persamaan (1), maka variabel Wit akan mencakup


W1it adalah upah pokok nominal pekerja produksi
W2it adalah upah total nominal pekerja produksi

Koefisien ω dan β diharapkan bertanda positif, sedangkan koefisien γ


dan λ diharapkan bertanda negatif. Persamaan (1) diestimasi dengan metode
GMM (Generalized Method of Moment). GMM merupakan estimator kokoh
dan tidak memerlukan informasi yang pasti tentang distribusi data. Dengan
melakukan estimasi terhadap persamaan ECM dengan lag yang tepat, maka
koefisien parameter estimasi jangka pendek dapat diketahui. Nilai λ
menunjukkan besarnya kecepatan nilai upah nominal menuju kondisi
equilibrium.
Variabel DUM merupakan suatu vaiabel dummy. Variabel DUM akan
bernilai 1 pada saat produktivitas pekerja turun dan berinilai 0 pada saat
produktivitas pekerja tidak turun. Ketegaran upah nominal untuk turun diuji
dengan menggunakan uji Wald berdasar penjumlahan koefisien β dan γ.
Pengujian Wald mengikuti kaidah distribusi t. Apabila hasil pengujian Wald
menunjukkan bahwa t hitung tidak signifikan, maka penjumlahan koefisien (β +
γ) sama dengan nol. Hal ini berarti hipotesis yang menyatakan bahwa upah
nominal tegar untuk turun tidak ditolak. Ketentuan sebaliknya berlaku bila t
hitung signifikan
Sementara itu, model analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
ketegaran upah nominal untuk turun diujudkan dalam model persamaan logit.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 339


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Dalam persamaan ini, variabel RIGID bernilai 1 bila upah nominal turun dan
bernilai 0 bila upah nominal tidak turun. Adapun koefisien φ , ω, β dan γ pada
Persamaan (2) diharapkan bertanda negatif.
k k k k
RIGIDit = α i + ∑φij dYit +∑ωij dPQit − j + ∑ β ij SPit + ∑γ ij dUPMINit − j + uit
j =1 j =1 j =0 j =1
(2)
Dalam persamaan di atas, variabel RIGIDit akan mencakup
RIGID1it adalah ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi untuk turun
RIGID2it adalah ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun

Selanjutnya, apabila koefisien regresi dalam Persamaan (2) bertanda


negatif dan signifikan, maka kenaikan produktivitas, kenaikan harga output,
pengesahan undang-undang serikat pekerja dan ketentuan upah minimum
sektoral propinsi menyebabkan semakin kecilnya kemungkinan terjadinya
penurunan upah pokok dan upah total nominal pekerja produksi. Dengan
demikian upah pokok dan upah total nominal pekerja produksi semakin tegar
untuk turun.
4. Analsis Data dan Pembahasan

4.1. Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi


Salah satu konsep penting dalam teori ekonometri adalah anggapan
stasioneritas variabel-variabel yang akan diestimasi. Apabila dua atau lebih
variabel tidak stasioner, maka regresi yang menggunakan data tersebut
menghasilkan estimator yang bias dan tidak konsisten. Untuk mengetahui
stasioneritas variabel-variabel penelitian digunakan uji akar-akar unit dan
derajat integrasi. Uji akar-akar unit dalam penelitian ini menggunakan model Im
et al. (1997). Pengujian akar-akar unit Im et al. memiliki small sample
properties yang lebih baik daripada pengujian Levin dan Lin pada saat N
melebihi T (Im et al. 1997).
Hasil pengujian akar-akar unit model Im et al. (1997) menunjukkan
bahwa semua variabel tidak stasioner pada level. Hasil uji akar-akar unit
terhadap variabel W1i,t, W2i,t, Pit dan UPMINi,t menunjukkan nilai t-statistik yang
bertanda positif. Dalam kasus ini proses autoregressive bersifat eksplosif
sehingga nilai variabel-variabel tersebut cenderung berkembang tanpa batas

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 340


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

(Patterson 2000 : 209). Variabel-variabel tersebut tidak memiliki


kecenderungan untuk kembali menuju nilai rata-ratanya sehingga merupakan
data yang non-stasioner pada level.
Beberapa variabel dalam model tidak stasioner pada level, sehingga uji
akar-akar unit perlu dilanjutkan dengan uji derajat integrasi untuk mengetahui
pada derajat integrasi ke berapa variabel-variabel tersebut stasioner. Hasil uji
akar-akar unit model Im et al. (1997) menunjukkan bahwa seluruh variabel
memiliki t-statistik bertanda negatif dengan nilai mutlak melebihi nilai kritis.
Dengan demikian seluruh variabel telah stasioner pada derajat integrasi
pertama. Penggunaan variabel stasioner dalam model regresi dapat
menghindarkan dari masalah spurious regression. Regresi yang menggunakan
data stasioner menghasilkan estimator yang tidak bias dan konsisten.

---- Tabel 2 di sini ----


4.2. Uji Kointegrasi
Pengujian kointegrasi bertujuan untuk mengetahui apakah suatu set
variabel berkointegrasi atau tidak. Pendekatan ini berkaitan dengan
kemungkinan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antar variabel
ekonomi seperti yang dikehendaki dalam teori ekonomi. Apabila terdapat
hubungan kointegrasi, maka setidaknya terdapat hubungan kausalitas jangka
panjang dalam satu arah di antara variabel-variabel dalam model. Selanjutnya
pengujian kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan model Pedroni (1999).
Hasil pengujian kointegrasi menunjukkan adanya penolakan terhadap
hipotesis H0 yang menyatakan tidak adanya kointegrasi antar variabel untuk
model panel Philips-Perron statistik dan panel ADF statistik, baik menurut
pooling within dimension maupun between dimension. Hal ini berarti berdasar
model statistik panel kointegrasi nomor 3, 4, 6 dan 7 dari model yang dibangun
Pedroni (1999) menunjukkan adanya kointegrasi untuk keseluruhan model.
Adanya kointegrasi menunjukkan bahwa untuk suatu set variabel dalam setiap
model terdapat suatu kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut yang
stasioner. Residual yang dihasilkan dari estimasi setiap model adalah stasioner
I(0). Dengan demikian variabel-variabel tersebut memiliki hubungan
keseimbangan jangka panjang sesuai dengan teori ekonomi sehingga model
yang diestimasi memiliki konsistensi dalam jangka panjang.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 341


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

---- Tabel 3 dan Tabel 4 di sini ----


4.3. Penentuan Panjang Lag
Penentuan panjang lag menjadi isu penting karena lag terlalu pendek
berisiko terjadi kesalahan spesifikasi model, sedangkan lag terlalu panjang
banyak mengurangi derajat kebebasan. Untuk menghindari kesalahan
spesifikasi, penentuan panjang lag dalam penelitian ini menggunakan kriteria
Akaike (AIC). Hal ini dikarenakan kriteria Akaike (AIC) lebih unggul
dibandingkan kriteria lain (Liew 2004 : 9). Nilai kriteria Akaike (AIC) yang
lebih kecil menunjukkan model yang lebih baik.
Selanjutnya, berdasar hasil estimasi Vector Autoregressions (VAR),
nilai AIC minimum terjadi pada saat panjang lag adalah 2 tahun. Estimasi VAR
dengan panjang lag 2 akan terhindar dari kesalahan spesifikasi model dan
masalah pengurangan derajat kebebasan. Estimasi VAR dengan panjang lag 2
merupakan parsimonious VAR. Dalam penentuan upah nominal, pelaku
ekonomi mempertimbangkan variabel-variabel ekonomi pada tahun berjalan,
satu tahun lalu, dan dua tahun lalu.
4.4. Pengujian Kausalitas Granger
Pengujian Kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui arah
hubungan kausalitas sehingga dapat diketahui variabel endogen dan eksogen.
Berdasar kriteria Akaike maka jumlah lag optimum sudah diketahui yaitu 2
tahun. Pengujian kausalitas Granger dilakukan pada variabel-variabel diferensi
pertama dengan lag sebesar 2 (dua) dan mengikuti kaidah distribusi F.
Hasil pengujian kausalitas Granger menunjukkan bahwa perubahan
variabel-variabel sisi kanan Persamaan (1) menyebabkan perubahan variabel
upah pokok dan upah total nominal. Hal ini berarti variabel pada sisi kanan
Persamaan (1) merupakan variabel eksogen. Selanjutnya, hasil pengujian
kausalitas Granger pada model ketegaran upah nominal juga menunjukkan
bahwa perubahan variabel-variabel sisi kanan Persamaan (2) menyebabkan
perubahan variabel ketegaran upah nominal (RIGID), kecuali variabel upah
minimum sektoral propinsi (UPMIN). Dengan demikian variabel-variabel sisi
kanan model persamaan ketegaran upah nominal (RIGID) merupakan variabel
eksogen.
4.5. Pengujian Poolability
Dalam analisis data panel, terdapat 2 (dua) kemungkinan yaitu
parameter regresi sama untuk seluruh belah silang atau berbeda untuk setiap

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 342


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

belah silang. Apabila parameter regresi sama untuk semua unit belah silang,
maka unit belah silang yang ada dalam model dapat digabung, dan sebaliknya.
Untuk mengetahui apakah unit-unit belah silang dalam model bisa digabung
atau tidak bisa digabung dilakukan uji poolability. Pengujian ini mengikuti
kaidah distribusi F.
Hasil pengujian poolability menunjukkan bahwa seluruh unit belah
silang dalam model dapat digabung (poolable) sehingga model yang benar
adalah model dengan paramater regresi yang sama untuk setiap unit belah
silang. Seluruh unit belah silang pada penelitian ini merupakan industri kimia
dengan kandungan bahan baku impor tinggi sehingga memiliki karakteristik
sama. Karakteristik yang sama ditunjukkan oleh adanya kesamaan perilaku
antar unit belah silang yang ditandai dengan kesamaan parameter regresi untuk
seluruh unit belah silang.
4.6. Pengujian F- Terkendala (Restricted F Test).
Setelah diketahui bahwa paramater regresi sama untuk tiap-tiap unit
belah silang, maka permasalahan berikutnya adalah apakah intercept tiap unit
belah silang sama atau berbeda. Untuk memilih model yang baik apakah dengan
intercept sama atau intercept berbeda-beda untuk tiap unit belah silang
dilakukan pengujian F-terkendala (Restricted F test). Pengujian F terkendala
dilakukan pada estimasi persamaan upah pokok dan upah total nominal
(Persamaan 1), sedangkan pada model ketegaran upah nominal (Persamaan 2)
tidak dilakukan uji F terkendala. Hal ini dikarenakan keterbatasan pada
software sehingga estimasi logit dilakukan berdasar model common effets.
Hasil pengujian F terkendala menunjukkan nilai F-hitung yang tidak
signifikan. Dengan demikian model yang baik adalah model dengan intercept
sama untuk tiap unit belah silang. Hal ini berarti terdapat kesamaan karakteristik
antar unit belah silang (Gujarati 2003 : 642). Kesamaan intercept
mengindikasikan kesamaan kebijakan pengupahan pada seluruh industri kimia
yang menjadi obyek penelitian. Selanjutnya, karena model yang baik adalah
model dengan intercept sama untuk tiap unit belah silang (common intercept),
maka tidak dilakukan pengujian Hausman.
4.7. Ketegaran Upah Pokok Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun
Melalui estimasi model common effects dan reduksi terhadap
paramater-paramater yang tidak signifikan diperoleh hasil estimasi yang
sederhana (Tabel 5). Hasil pengujian redundant coefficient menunjukkan bahwa

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 343


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

F hitung tidak signifikan sehingga model reduksi dapat digunakan sebagai dasar
analisis. Hasil estimasi menunjukkan koefisien variabel ECT1i,t-1 signifikan dan
bertanda negatif. Dengan demikian model upah pokok nominal pekerja produksi
(W1) memiliki keseimbangan jangka panjang dan terdapat proses koreksi
kesalahan menuju keseimbangan. Nilai koefisien ECT1i,t-1 sebesar -0,173,
menunjukkan bahwa kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) upah pokok
nominal aktual pekerja produksi menuju ke kondisi keseimbangan adalah
sebesar 173 rupiah per tahun.

---- Tabel 5 di sini ----

Berdasar nilai koefisien determinasi sebesar 0,292 maka diperoleh F


hitung sebesar 5,928 dan signifikan. Hal ini berarti variabel-variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh pada variabel dependen. Variabel
produktivitas pekerja (DYi,t dan DYi,t-2), secara individual berpengaruh positif
pada upah pokok nominal pekerja produksi. Dalam jangka pendek, kenaikan
produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja mengakibatkan
perubahan upah pokok nominal pekerja produksi sebesar koefisien DYi,t dan
DYi,t-2 (cetiris paribus). Sementara itu, dalam jangka pendek penurunan
produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja mengakibatkan
perubahan upah pokok nominal pekerja produksi sebesar penjumlahan koefisien
variabel DYi,t , DYi,t-2 dan DUM*DYi,t serta DUM*DYi,t-2 (cetiris paribus).
Guna mengetahui ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi
untuk turun, dilakukan pengujian terhadap penjumlahan nilai koefisien DYit,
DYit-2, DUM*DYi,t dan DUM*DYi,t-2. Pengujian ini dilakukan dengan
menggunakan uji Wald. Hasil pengujian Wald menunjukkan t hitung yang tidak
signifikan sehingga hipotesis 1 yang menyatakan bahwa upah pokok nominal
pekerja produksi tegar untuk turun tidak ditolak

---- Tabel 6 di sini ----

Kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja, dalam


jangka pendek, akan meningkatkan upah pokok nominal pekerja produksi
sebesar 1 rupiah (cetiris paribus). Sementara itu, penurunan produktivitas
pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja, dalam jangka pendek, tidak

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 344


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengakibatkan penurunan upah pokok nominal pekerja produksi (cetiris


paribus). Upah pokok nominal pekerja produksi (W1) tegar untuk turun. Tingkat
upah pokok nominal pekerja produksi tidak berubah walaupun pada saat
bersamaan produktivitas pekerja mengalami penurunan.

---- Tabel 7 di sini ----

Sementara itu, hasil estimasi logit untuk mengetahui pengaruh faktor-


faktor yang diduga mempengaruhi ketegaran upah pokok nominal pekerja
produksi untuk turun menunjukkan nilai LR statistik (setara dengan F hitung)
sebesar 13,767 dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa secara serentak
variabel-variabel sisi kanan persamaan yang meliputi produktivitas pekerja
(DYi,t), harga output (Pit), undang-undang serikat pekerja (UUSPi,t ) dan upah
minimum sektoral propinsi (DUPMINi ) berpengaruh pada upah pokok nominal
pekerja produksi. Akan tetapi secara individual (uji z), variabel undang-undang
serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi tidak signifikan.

---- Tabel 8 di sini----

Koefisien regresi variabel produktivitas pekerja (DYi,t) bertanda negatif


menunjukkan bahwa kenaikan produktivitas pekerja menyebabkan semakin
kecilnya kemungkinan penurunan upah pokok nominal pekerja produksi. Hal
ini berarti kenaikan produktivitas pekerja menyebabkan upah pokok nominal
pekerja produksi semakin tegar untuk turun. Parameter regresi dalam model
logit bukan linier sehingga interpretasi koefisien regresi dilakukan berdasar
nilai anti-ln dari koefisien regresi. Untuk variabel produktivitas pekerja, nilai
mutlak koefisien regresi sebesar 0,001 sehingga nilai anti-ln dari koefisien
tersebut sama dengan 1,001. Dalam jangka pendek, kenaikan produktivitas
pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja (cetiris paribus), akan menurunkan
kemungkinan terjadinya penurunan upah pokok nominal pekerja produksi
sebesar 1,001 (e0,001). Hal ini berarti kenaikan produktivitas pekerja menjadikan
upah pokok nominal pekerja produksi semakin tegar untuk turun.
Sejalan dengan pengaruh variabel produktivitas pekerja, maka variabel
harga output (DPi,t-1) bertanda negatif dan signifikan. Di samping produktivitas
pekerja, maka tingkat upah juga ditentukan oleh harga output. Kenaikan harga

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 345


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

output menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga upah
nominal tidak mengalami penurunan. Nilai mutlak koefisien regresi variabel
harga output sebesar 0,126 sehingga nilai anti-ln dari koefisien tersebut sama
dengan 1,134. Dalam jangka pendek, kenaikan harga output sebesar 1 satuan
(cetiris paribus), mengurangi kemungkinan adanya penurunan upah pokok
nominal pekerja produksi sebesar 1,134 (e 0,126).
Variabel kelembagaan (undang-undang serikat pekerja dan upah
minimum sektoral propinsi) yang tidak signifikan menunjukkan bahwa faktor
kelembagaan tidak berpengaruh pada ketegaran upah pokok nominal pekerja
produksi untuk turun. Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000
tentang serikat pekerja dan ketentuan upah minimum sektoral propinsi tidak
menjadikan upah pokok nominal pekerja produksi semakin tegar untuk turun.
Desentralisasi hubungan industrial ini tidak dapat meningkatkan kekuatan tawar
serikat pekerja. Jumlah serikat pekerja yang berlebihan dan tidak adanya kerja
sama antar serikat pekerja menjadi kontra produktif bagi kepentingan
perjuangan serikat pekerja itu sendiri. (www.apindo.co.id).
Selanjutnya, variabel upah minimum sektoral propinsi yang tidak
signifikan diduga karena upah yang diberikan industri kimia telah melebihi
upah minimum sektoral propinsi. Pengusaha telah memberikan upah yang
besarnya melebihi tingkat upah minimum sekaligus melebihi tingkat upah
pasar. Dengan demikian untuk variabel produktivitas pekerja dan harga output
maka hipotesis 1 tidak ditolak, sedangkan untuk variabel pengesahan undang-
undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi hipotesis 1 ditolak.
Temuan ini mendukung hasil penelitian Campbell dan Kamlani (1997:
759-789) yang menyatakan bahwa perusahaan tidak menurunkan tingkat upah
nominal pekerjanya selama masa resesi. Penurunan upah nominal menyebabkan
pekerja terbaik segera keluar dari perusahaan. Pertimbangan lain adalah karena
penurunan upah nominal menyebabkan naiknya turn over pekerjanya yang
selanjutnya berdampak pada kenaikan biaya perekrutan dan pelatihan. Temuan
ini juga mendukung hasil penelitian Bewley (1998:459-490) yang menyebutkan
bahwa pengusaha enggan untuk menurunkan upah nominal karena hal tersebut
akan mengakibatkan penurunan moral pekerja dan pada akhirnya menurunkan
produktivitas pekerja. Penurunan upah nominal tidak akan membuat perusahaan
lebih baik.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 346


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

4.8. Ketegaran Upah Total Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun


Analisis ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun
dilakukan berdasar hasil estimasi jangka pendek terhadap upah total nominal
pekerja produksi. Hasil pengujian redundant coefficient menunjukkan nilai
Fhitung yang tidak signifikan sehingga model reduksi dapat dipergunakan sebagai
dasar analisis. Selanjutnya, koefisien ECT2i,t-1 signifikan dan bertanda negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa model upah total nominal pekerja produksi (W3)
memiliki keseimbangan jangka panjang dan terdapat proses koreksi kesalahan
menuju keseimbangan. Nilai Koefisien ECT2i,t-1 menunjukkan bahwa kecepatan
penyesuaian (speed of adjustment) upah total nominal aktual pekerja produksi
menuju ke kondisi keseimbangan adalah sebesar 221 rupiah per tahun.

---- Tabel 9 di sini ----

Nilai F hitung pada model regresi upah nominal pekerja produksi adalah
sebesar 5,828 dan signifikan sehingga secara bersama-sama variabel sisi kanan
persamaan berpengaruh signifikan pada upah total nominal pekerja produksi.
Akan tetapi, secara individual interaksi antara variabel produktivitas dan
variabel dummy (DUM*DYi,t) tidak signifikan. Demikian pula variabel tingkat
upah total nominal pekerja produksi tahun sebelumnya (DW2 i,t ) yang tidak
signifikan.
Dampak perubahan produktivitas pekerja terhadap upah total nominal
pekerja produksi ditunjukkan oleh koefisien produktivitas pekerja (DYi,t) dan
interaksi variabel produktivitas pekerja dengan variabel dummy (DUM*DYi,t,
dan DUM*DYi,t-2). Variabel DYi,t signifikan sehingga kenaikan produktivitas
pekerja mengakibatkan kenaikan upah total nominal pekerja produksi sebesar
koefisien variabel DYi,t. Sebaliknya penurunan produktivitas pekerja
mengakibatkan perubahan upah total nominal pekerja produksi sebesar hasil
penjumlahan koefisien DYi,t, DYi,t-2, DUM*DYi,t, dan DUM*DYi,t-2.
Guna mengetahui apakah upah total nominal pekerja produksi tegar
untuk turun, maka dilakukan pengujian terhadap hasil penjumlahan koefisien
DYi,t, DYi,t-2, DUM*DYi,t, dan DUM*DYi,t-2 dengan menggunakan uji Wald.
Hasil pengujian Wald menunjukkan t-hitung yang besarnya melebihi t-tabel (
α = 5%) sehingga hipotesis 2 ditolak. Dengan demikian upah total nominal

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 347


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pekerja produksi tidak tegar untuk turun. Kenaikan produktivitas pekerja


sebesar 1 ribu rupiah per pekerja akan meningkatkan upah nominal pekerja
produksi sebesar 2 rupiah (cetiris paribus). Sementara itu, penurunan
produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja mengakibatkan
penurunan upah nominal pekerja produksi sebesar 1 rupiah. Tunjangan pekerja
produksi bersifat variabel sesuai kinerja perusahaan. Salah satu indikator
kinerja perusahaan adalah produktivitas pekerja. Penurunan produktivitas
pekerja mengakibatkan penurunan tunjangan pekerja produksi sehingga upah
nominal pekerja produksi juga mengalami penurunan

---- Tabel 10 dan Tabel 11 di sini ----

Walaupun upah total nominal pekerja produksi tidak tegar untuk turun,
namun terdapat faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan derajat ketegaran
upah tersebut. Analisis pengaruh faktor-faktor yang diduga berpengaruh pada
ketegaran upah total nominal pekerja produksi didasarkan pada hasil estimasi
model ketegaran upah total nominal pekerja produksi dengan estimasi logit.
Nilai F hasil pengujian redundant coeficient tidak signifikan. Dengan
demikian model reduksi dapat digunakan sebagai dasar analisis. Selanjutnya
hasil estimasi logit menunjukkan nilai LR statistik sebesar 24,438 dan
signifikan. Hal ini berarti variabel produktivitas pekerja, harga output, undang-
undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi secara serentak
berpengaruh pada upah total nominal pekerja produksi. Selanjutnya berdasar uji
z, maka secara individual variabel produktivitas pekerja dan harga output
bertanda negatif dan signifikan, sedangkan variabel undang-undang serikat dan
pekerja upah minimum sektoral propinsi tidak signifikan.

---- Tabel 12 di sini ----

Koefisien regresi variabel produktivitas pekerja (DYi,t) bertanda negatif


menunjukkan bahwa kenaikan produktivitas pekerja menyebabkan
kemungkinan terjadinya penurunan upah total nominal pekerja produksi
semakin kecil. Kenaikan produktivitas pekerja akan meningkatkan derajat
ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun. Nilai anti-ln dari
koefisien regresi variabel produktivitas pekerja tersebut sama dengan 1,001. Hal

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 348


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ini berarti kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja,
(cetiris paribus), meningkatkan kemungkinan upah total nominal pekerja
produksi tegar untuk turun sebesar 1,001 (e0,001 ).
Koefisien regresi variabel harga output (DPi,t-1) bertanda negatif
menunjukkan bahwa kenaikan harga output menyebabkan semakin kecilnya
kemungkinan terjadi penurunan upah total nominal pekerja produksi. Hal ini
berarti derajat ketegaran upah total nominal pekerja produksi mengalami
kenaikan. Kenaikan harga output menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal
tenaga kerja sehingga tingkat upah nominal tidak mengalami penurunan.
Kenaikan harga output sebesar 1 satu satuan, (cetiris paribus), meningkatkan
kemungkinan upah total nominal pekerja produksi tegar untuk turun sebesar
1,030 (e0,030 ).
Sementara itu, variabel undang-undang serikat pekerja (UUSPit) yang
tidak signifikan menunjukkan bahwa pengesahan Undang-Undang Nomor 21
tahun 2000 tentang serikat pekerja tidak meningkatkan derajat ketegaran upah
total nominal pekerja produksi untuk turun. Desentralisasi hubungan industrial
ternyata tidak dapat meningkatkan kekuatan tawar serikat pekerja. Jumlah
serikat pekerja yang berlebihan menjadikan kerja sama antar serikat pekerja
sulit diujudkan. Hal ini mengakibatkan efektivitas perjuangan serikat pekerja
berkurang (www.apindo.co.id).
Selanjutnya, variabel upah minimum sektoral propinsi yang tidak
signifkan menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum sektoral propinsi tidak
menyebabkan upah total nominal pekerja produksi semakin tegar untuk turun.
Upah total nominal pekerja produksi terdiri dari upah pokok dan tunjangan.
Tunjangan pekerja produksi bersifat variabel sesuai dengan kinerja perusahaan.
Kenaikan upah minimum sektoral propinsi tidak berdampak pada besarnya
tunjangan pekerja produksi sehingga juga tidak berdampak pada derajat
ketegaran upah total pekerja poduksi untuk turun. Hal ini berarti untuk variabel
produktivitas pekerja dan harga output maka hipotesis 2 tidak ditolak,
sedangkan untuk variabel undang-undang serikat pekerja dan upah minimum
sektoral propinsi hipotesis 2 ditolak.
Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lebow et al., (1999) yang
menyatakan bahwa ketegaran kompensasi untuk turun lebih lemah daripada
ketegaran upah untuk turun. Perusahaan dapat menghindari ketegaran upah
untuk turun dengan melakukan variasi pada kompensasi pekerja. Kompensasi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 349


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

yang diterima pekerja terdiri dari upah dan berbagai tunjangan. Tunjangan
pekerja bersifat variabel sesuai dengan kondisi perusahaan. Pada saat kondisi
perusahaan memburuk tunjangan ini dimungkinkan untuk diturunkan. Hasil
penelitian ini juga mendukung temuan Oyer (2005) yang menunjukkan bahwa
perusahaan cenderung menggunakan skema tunjangan. Pada saat kondisis
perekonomian memburuk, perusahaan dapat menurunkan biaya tenaga kerja
dengan cara menurunkan tunjangan.

5. Simpulan, Keterbatasan dan Implikasi

5.1. Simpulan
Penurunan produktivitas pekerja tidak mengakibatkan upah pokok
nominal pekerja produksi turun. Hal ini berarti hipotesis 1 yang menyatakan
bahwa upah pokok nominal pekerja produksi industri kimia di Indonesia diduga
tegar untuk turun tidak ditolak. Ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi
untuk turun dipengaruhi secara positif oleh (1) produktivitas pekerja dan (2)
harga output. Kenaikan produktivitas pekerja dan harga output menyebabkan
kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga kemungkinan terjadinya
penurunan upah pokok nominal pekerja produksi semakin kecil. Sementara itu,
pengesahan undang-undang serikat pekerja dan peraturan upah minimum
sektoral propinsi tidak berpengaruh pada ketegaran upah pokok nominal pekerja
produksi.
Sementara itu, penurunan produktivitas pekerja mengakibatkan upah
total nominal pekerja produksi turun. Hal ini berarti hipotesis 2 yang
menyatakan bahwa upah total nominal pekerja produksi industri kimia di
Indonesia diduga tegar untuk turun ditolak. Upah total nominal pekerja produksi
tidak tegar untuk turun. Tunjangan pekerja produksi yang bersifat variabel
menjadikan upah total pekerja produksi tidak tegar untuk turun. Derajat
ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun dipengaruhi secara
positif oleh (1) produktivitas pekerja dan (2) harga output. Kenaikan
produktivitas pekerja dan harga output akan meningkatkan nilai produk marjinal
tenaga kerja sehingga kemungkinan terjadinya penurunan upah total nominal
pekerja produksi semakin kecil. Sementara itu, pengesahan undang-undang
serikat pekerja dan peraturan upah minimum sektoral propinsi tidak
berpengaruh pada ketegaran upah total nominal pekerja produksi.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 350


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

5.2. Keterbatasan
Penelitian ini hanya meliput pekerja produksi industri kimia, sedangkan
pekerja pada industri tersebut terdiri dari pekerja produksi dan non-produksi.
Walaupun demikian penelitian ini tetap memberikan hasil analisis yang akurat
karena sebagian besar pekerja pada industri kimia adalah pekerja produksi.
Keterbatasan lain adalah bahwa penelitian ini hanya meliput pekerja produksi
secara keseluruhan. Sementara dalam kenyataannya pekerja produksi terdiri dari
berbagai macam pekerja seperti pekerja produksi di bawah mandor, mandor,
satu tingkat di atas mandor, dua tingkat di atas mandor, tiga tingkat di atas
mandor dan tenaga ahli. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan data. Publikasi
Statistik Industri dari Badan Pusat Statistik, tidak membagi pekerja produksi
dalam unit-unit yang lebih spesifik. Untuk itu, penelitian berikut dapat
melakukan analisis yang sama menurut unit pekerja yang lebih spesifik berdasar
publikasi “Statistik Struktur Upah” yang mulai dipublikasikan oleh Badan Pusat
Statistik. Penggunaan pekerja produksi dalam unit yang lebih spesifik sebagai
dasar analisis akan dapat memberikan hasil analisis lebih akurat.
Selanjutnya, dalam penelitian ini produktivitas pekerja diukur dari
jumlah barang yang dihasilkan dibagi jumlah pekerja. Sebenarnya masih
terdapat output lain misalnya tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang
diberikan pihak lain, keuntungan dari barang yang dijual kembali, selisih nilai
stok barang setengah jadi dan penerimaan lain dari jasa non-industri.
Penggunaan variabel jumlah barang dihasilkan sebagai proksi terhadap nilai
output dirasa tepat karena sebagian besar dari nilai output berasal dari nilai
barang yang dihasilkan.

5.3. Implikasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upah pokok nominal pekerja
produksi tegar untuk turun. Perusahaan tidak dapat menurunkan upah pokok
nominal pekerja produksi walaupun produktivitas pekerja sedang mengalami
penurunan. Biaya upah pokok pekerja produksi tidak akan berkurang. Untuk itu,
perusahaan dapat mendesain sistem pengupahan agar pada saat skala produksi
dan produktivitas pekerja mengalami penurunan, perusahaan tidak terlalu
dibebani dengan biaya upah pokok pekerja produksi. Upah pokok nominal
pekerja produksi cukup ditetapkan sama atau sedikit lebih tinggi dari Upah

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 351


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Minimum Sektoral Propinsi (UMSP) dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL)


terutama bagi pekerja produksi di bawah mandor. Akan tetapi bagi perusahaan
yang selama ini memberikan upah pokok nominal pekerja produksi melebihi
UMSP dan KHL tidak dibenarkan untuk menurunkan tingkat upah nominalnya.
Selanjutnya, upah total nominal pekerja produksi tidak tegar untuk turun.
Pada saat produktivitas pekerja mengalami penurunan, maka upah total nominal
pekerja produksi juga turun. Dengan demikian biaya upah total nominal pekerja
produksi juga mengalami penurunan. Tunjangan pekerja produksi yang bersifat
variabel menjadikan upah total nominal pekerja produksi tidak tegar untuk
turun. Perusahaan dapat menentukan skema pengupahan bagi pekerja produksi
dengan cara memberikan bobot lebih besar pada tunjangan pekerja produksi.
Dengan demikian pada saat skala produksi dan produktivitas pekerja
mengalami penurunan, biaya tenaga kerja dapat dikurangi tanpa harus
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

DAFTAR REFERENSI

Alessandria, G., Joseph Kaboski, Virgiliu Midrigan, 2008. “Inventories,


Lumpy Trade, and Large Devaluations”, Working Paper, Federal Reserve
Bank of Philadelphia.
Apindo, 2006. Serikat Pekerja : Perspektif Pengusaha, www.apindo.com.
Badan Pusat Statistik, Statistik Industri, Jakarta, beberapa edisi.
Bappenas, 1998, Garis-Garis Besar Haluan Negara, Jakarta.
Bewley, T.F., 1998, “Why Not Cut Pay”, European Economic Review, 42:459-
90.
Bewley, T.F., 2004. “Fairness, Reciprocity and Wage Rigidity”, IZA
Discussion Paper No. 1137.
Bosworth, Derek, Peter Dawkins dan Thorsten Stromback. 1996, The
Economics of the Labor Market, Addison Wesley Longman.
Branson, William, H., 1989. Macroeconomic Theory and Policy, Edisi 3,
Harper and Raw Publisher, New York.
Campbell, C., dan K. Kamlani, 1997. “ The Reason for Wage Rigidity:
Evidence from a Survey of Firms,” Quarterly Journal of Economics, 112:
759-89.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 352


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Flatters, Frank, 2005. “The Economics of MIDP and the South African Motor
Industry”, Discussion Paper, Queen’s University, Canada.
Feridhanusetyawan, Tubagus, Haryo Aswicahyono, dan Titik Anas, 2000. “The
Economic Crisis and the Manufacturing Industry: The Role of Industrial
Networks”, Working Paper, CSIS, Jakarta.
Feridhanusetyawan, Tubagus, dan Mari Pangestu, 2004. “Indonesia in Crisis:
An Macroeconomic Perspective”, Working Paper, CSIS, Jakarta.
Gujarati, D.N., 2003, Basic Econometric, McGraw-Hill, Inc.
Im, K.S., S.C., Pesaran dan Y. Shin, 1997, “Testing for Unit Roots in
Heterogeneous Panel”, Working Paper, University of Cambridge.
Kahneman, D, J.L. Knetsch dan R. Thaler, 1986. “Fairness as a Constraint on
Profit Seeking: Entitlement in the Market”, American Economics
Review,76: 728-41.
Lebow, David, E., R.E. Saks dan B.A. Wilson, 1999, “Downward Nominal
Wage Rigidity”, Working Paper, Federal Reserve Bank.
Liew, Venus Khim−Sen, 2004. "Which Lag Length Selection Criteria Should
We Employ?." Economics Bulletin, 33:1−9
Manajemen, Nomor.121, September, 1998.
McConnel, Champbell, R., Stanley L. Brue, dan David A. Macpherson, 2003.
Contemporary Labor Economics, McGraw-Hill, New York.
Nicholson, 1995, Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions,
Sixth Edition, The Dryden Press
Oyer, Paul, 2005. “Can Employee Benefits Ease the Effects of Nominal Wage
Rigidity?: Evidence from Labor Negotiations”, Working Paper, Stanford
University Graduate School of Business.
Patterson, Kerry, 2000. An Introduction to Applied Econometrics : A Time
Series Approach, Palgrave, New York.
Pedroni, Peter, 1999. “Critical Values For Cointegration Tests in Heterogeneous
Panels with Multiple Regressors”, Oxford Bulletin of Economics and
Statistics, Special Issues, 563-70.
Pindyck, Robert S., dan D. L. Rubinfeld, 2001, Microeconomics, Prentice Hall,
New Jersey.
SMERU, 2001. “Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in
the Indonesian Urban Labor Market”, Research Report, Jakarta

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 353


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Suharyadi, Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira dan Sudarmo Sumarto,


2003, “Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban
Sector”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39: 29-50
Tambunan, Tulus, 2000. “The Performance of Small Enterprises During
Economic Crisis: Evidence from Indonesia”, Journal of Small Business
Management; 93-101.
Tjiptoherijanto, Prijono, 1993. “Perkembangan Upah Minimum dan Pasar
Kerja”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 4: 409-424.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 354


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

LAMPIRAN
Tabel 1
Perkembangan Pemanfaatan Kapasitas Terpasang dan Produktivitas Pekerja
Industri Besar dan Sedang Kimia 1996-2005
Tahun Pemanfaatan Produktivitas Pekerja
Kapasitas Terpasang (juta rupiah per pekerja)
(persen)
1996 76,04 272,34
1997 70,09 268,94
1998 68,21 247,81
1999 70,91 198,23
2000 75,07 149,04
2001 71,57 153,21
2002 68,53 216,89
2003 71,13 168,13
2004 74,99 171,26
2005 75,99 174,40

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Industri, beberapa periode (diolah kembali)

Biaya,
Harga MC2 = S2
MC1 = S1

P P=MR

O q1 q2 Output

Gambar 1

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 355


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Upah

SL

EB EA
WA

WB

DLA
DLB

O LB LC LA Jumlah Pekerja

Gambar 2

Tabel 2
Hasil Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi
Berdasar Model Im, Pesaran dan Shin (1997)

Variabel Aras (level) Differensi Pertama


t-statistik Nilai Kritis t-statistik Nilai Kritis
(α=5%) (α=5%)
W1i,t 4,338 -1,645 -4,472)* -1,645
W2 i,t 3,804 -1,645 -5,614)* -1,645
Y i,t -0,899 -1,645 -7,167)* -1,645
P i,t 4,147 -1,645 -2,134)* -1,645
UPMIN i,t 8,562 -1,645 -1,862)* -1,645
*) signifikan pada tingkat (α=5% )

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 356


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 3
Hasil Uji Kointegrasi Pedroni Untuk Model Persamaan Upah Pokok dan
Upah Total Nominal Pekerja Produksi

Nomor Panel Statistik Model Upah Pokok Model Upah Total Nilai Kritis
Nominal Pekerja Nominal Pekerja Pedroni
Produksi Produksi ( α = 5% )
1. Panel V-stat 1,031 0,533 1,645
2. Panel Rho-stat -0,633 -0,379 -1,645
3. Panel PP-stat -2,463)* -2,458)* -1,645
4. Panel ADF-stat -3,544)* -3,708)* -1,645
5. Panel Rho-stat 1,454 1,679 -1,645
6. Panel PP –stat -1,706)* -1,737)* -1,645
7 Panel ADF-stat -3,099)* -3,099)* -1,645
*) signifikan pada (α = 5% )

Tabel 4
Hasil Uji Kointegrasi Pedroni Untuk Model Ketegaran Upah Pokok dan
Upah Total Nominal Pekerja Produksi

Nomor Panel Statistik Ketegaran Upah Ketegaran Upah Nilai Kritis


Pokok Nominal Total Nominal Pedroni
Pekerja Produksi Pekerja Produksi ( α = 5% )
1. Panel V-stat -1,831 -1,429 1,645
2. Panel Rho-stat 3,029 0,954 -1,645
3. Panel PP-stat -3,149)* -2,818)* -1,645
4. Panel ADF-stat -1,736)* -1,764)* -1,645
5. Panel Rho-stat 4,979 4,768 -1,645
6. Panel PP –stat -5,477)* -4,838)* -1,645
7 Panel ADF-stat -3,128)* -2,291)* -1,645
*) signifikan pada (α = 5% )

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 357


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 5.
Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Persamaan Upah Pokok Nominal
Pekerja Produksi (Common Effects)

Nomor. Variabel Koefisien t-statistik t-tabel


(ribu rupiah) (α =5%)
1. C 155,293 5,424)* 1,645
2. DW1i,t-1 0,086 0,767 -1,645
3. DY i,t 0,001 4,490)* 1,645
4. DY i,t-2 0,001 0,658 1,645
5. DUM*DY i,t -0,001 -2,478)* -1,645
6. DUM*DY i,t-2 -0,001 -0,809 -1,645
7. ECT1i,t-1 -0,173 -2,730)* -1,645
Variabel dependen: DW1i,t
R2 = 0,292 Fhitung = 5,928
*) signifikan pada (α=5%) Ftabel(5%) =2,254

Tabel 6
Pengujian Ketegaran Upah Pokok Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun
Dengan Menggunakan Uji Wald

Hipotesis 1 : Koefisien DYi,t + Koefisien DYi,t-2 + Koefisien DUM*DYi,t +


Koefisien DUM*DYi,t-2 = 0
[Upah pokok nominal pekerja produksi tegar untuk turun]
Nilai Penjumlahan Kesalahan Standar t hitung t tabel (
Koefisien Regresi α = 5%)
-0,000031 0,000306 -1,013 1,645
Kesimpulan Upah pokok nominal pekerja produksi tegar untuk turun

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 358


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 7
Dampak Kenaikan dan Penurunan Produktivitas Pekerja Pada
Upah Pokok Nominal Pekerja Produksi Dalam Jangka Pendek

Dampak Kenaikan Penurunan


produktivitas pekerja produktivitas pekerja
Pada sebesar 1 ribu rupiah sebesar 1 ribu rupiah
Perubahan upah pokok
nominal pekerja produksi 1 rupiah 0 rupiah

Tabel 8
Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Ketegaran Upah Pokok
Nominal Pekerja Produksi (RIGID1)

No. Variabel Koefisien z-statistik Nilai kritis


(ribu rupiah) (α =5%)
1. C -1,014 -1,173 -1,645
2. RIGID1i,t-1 -0,397 -0,482 -1,645
3. DYi,t -0,001 -1,919)* -1,645
4. DY1i,t-1 -0,001 0,961 1,645
5. DPi,t-1 -0,126 -1,679)* -1,645
6. DPi,t-2 0,067 0,645 1,645
7. UUSP i,t -0,326 -0,593 -1,645
8. DUPMIN i,t-1 0,089 1,599 1,645
9. DUPMIN i,t-2 -0,049 -0,586 -1,645
Variabel dependen : RIGID1i,t
LR statistic = 13,767 )*
)* signifikan pada (α=5%)

Tabel 9
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 359
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Persamaan Upah Total Nominal


Pekerja Produksi (Common Effects)

No. Variabel Koefisien t-statistik t-tabel


(ribu rupiah) (α =5%)
1. C 218,832 3,403)* 1,645
2. DW2i,t-1 -0,143 -0,457 -1,645
3. DY i,t 0,002 7,645)* 1,645
4. DY I,t-2 0,001 1,261 1,645
5. DUM*DY i,t -0,001 -1,693)* -1,645
6. DUM*DY i,t-2 -0,002 -1,826)* -1,645
7. ECT2 i,t- -0,221 -3,763)* -1,645
Variabel dependen: DW2i,t
R2 =0,603 Fhitung = 18,009
*) signifikan pada (α=5%) Ftabel (5%) =2,097

Tabel 10
Pengujian Ketegaran Upah Total Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun
Dengan Menggunakan Uji Wald

Hipotesis 3: Koefisien DYi,t + Koefisien DYi,t- 2 + Koefisien DUM*DYi,t +


Koefisien DUM*DYi,t-2 = 0
(Upah total nominal pekerja produksi tegar untuk turun)
Nilai Penjumlahan Kesalahan Standar t hitung t tabel
Koefisien Regresi ( α = 5%)
-0,001150 0,000594 -1,936)* -1,645
Kesimpulan Upah total nominal pekerja produksi tidak tegar untuk
turun
*) signifikan pada ( α = 5%)

Tabel 11

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 360


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Dampak Kenaikan dan Penurunan Produktivitas Pekerja Pada


Upah Total Nominal Pekerja Produksi Dalam Jangka Pendek

Dampak Kenaikan Penurunan


produktivitas pekerja produktivitas
Pada sebesar 1 ribu rupiah pekerja
sebesar 1 ribu
rupiah
Perubahan upah total
nominal pekerja produksi 2 rupiah 1 rupiah

Tabel 12
Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Ketegaran Upah Total
Nominal Pekerja Produksi (RIGID2)

No. Variabel Koefisien z-statistik Nilai kritis


(ribu rupiah) (α =5%)
1. C -1,903 -1,811)* -1,645
2. RIGID2i,t-1 0,392 0,639 1,645
3. DYi,t -0,001 -2,193)* -1,645
4. DY1i,t-1 0,001 0,757 1,645
5. DPi,t 0,076 1,625 1,645
6. DPi,t-1 -0,030 -1,740)* -1,645
7. UUSP i,t 0,910 1,345 1,645
8. DUPMIN i,t-1 0,047 1,338 1,645
9. DUPMIN i,t-2 -0,011 -0,550 -1,645
Variabel dependen : RIGID2i,t
R2 MCF = 0,222
LR statistik = 24,438
*) signifikan pada (α=5%)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 361


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

PERMINTAAN ENERGI LISTRIK RUMAH TANGGA


(Studi Kasus pada Pengguna Kelompok Rumah Tangga
Listrik PT PLN (Persero) di Kota Medan)

Tongam Sihol Nababan∗

ABSTRACT
The research is aimed to analyze the factors affecting the household
electricity energy demand for every stratum of tariff category which has
different characteristics. The research was carried out in Medan City by
interviewing 383 (household) respondents. The OLS was employed to analyze
the data. The model is specified into basic-model and developed-model. The
basic model consists of consumer’s income, WTP per KWh (kilowatt-hours),
home appliances index, number of household members, number of rooms, price
of other energy (fuel and gas), and ethnic variables. While, the developed-
model composed by variables occupation of household (head), household
member’s education, family activities, location, and PLN’s service quality.
The results showed that demand for electricity (by strata) in Medan City
are influenced by income (significant at 10 % level), willingness to pay per
KWh (1 %), home appliances index (5 %), number of household members (5
%), number of rooms (5 %), price of fuel (5 %), and family activities (10 %).
While the demographic/household variables are only influenced for individual
demand by its strata. Household member’s education (5 %) and PLN’s service
quality (10 %) variables are only influenced for stratum 2200 VA and 1300 VA
respectively. The variables of etnic (10 %), occupation of household (head) (5
%), and location (5 %) variables are only significantly different for stratum
1300 VA, 2200 VA, and 450 VA respectively. The study found that electricity at
the moment is considered as a normal goods with inelastic in the demand
character.
The research suggest that PLN’s consumers in Medan City could utilize
the electricity more efficient with less in usage of appliances due to limited
power supplied by PT PLN. Moreover, PT PLN should improve its
management in some extents of electric power station, and favourable tariff to
the customers.


Alumni Program Doktor Ilmu Ekonomi UNDIP Semarang dan staf pengajar FE
Universitas HKBP Nommensen Medan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 362


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Keywords : household, electricity demand, strata, willingness to pay (WTP).

I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Pembangunan ketenagalistrikan dihadapkan pada berbagai tantangan dan
permasalahan. Dalam RPJMN Tahun 2004-2009 dinyatakan bahwa tantangan
tersebut antara lain kondisi geografis yang luas dan terdiri atas banyak
kepulauan serta kondisi demografi dengan densitas yang sangat variatif antar
berbagai wilayah sehingga sulit untuk mengembangkan sistem kelistrikan yang
optimal dan efisien. Dalam RPJMN tersebut juga dikemukakan beberapa
permasalahan ketenagalistrikan, yaitu : (1) keterbatasan kapasitas pembangkit,
(2) keterbatasan kemampuan pendanaan, (3) kurangnya kemandirian industri
ketenagalistrikan, (4) tingginya ketergantungan terhadap bahan bakar minyak,
(5) rendahnya kinerja sarana dan prasarana, dan (6) belum tercapainya tingkat
tarif yang ekonomis.
Sampai saat ini sumber pembangkit tenaga listrik di Indonesia masih
didominasi oleh PT PLN (Persero) dengan kapasitas pembangkit sebesar
25.087 MW. Kapasitas terpasang tersebut sebagian besar (78 %) berada pada
sistem Jawa Bali, sedangkan sisanya (22%) berada di luar sistem Jawa Bali.
Pada sistem Jawa Bali, permintaan energi listrik pada beban puncak telah
terpenuhi tetapi dengan reserve margin di bawah 5 %. Kondisi ini dianggap
krisis, padahal reserve margin normal yang ditetapkan PLN sebesar 40 %.
Apabila reserve margin dipertimbangkan, kekurangan daya akan lebih besar
lagi. Pada sistem luar Jawa Bali, daya mampu tidak dapat mengimbangi
permintaan beban puncak sebesar. Jika reserve margin dipertimbangkan,
kekurangan daya pada sistim luar Jawa Bali akan lebih besar lagi (RUPTL 2006
– 2015). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum permintaan energi listrik
belum dapat dipenuhi oleh sisi penawaran (demand > supply).
Salah satu sistem kelistrikan luar Jawa Bali tersebut adalah sistem
kelistrikan Sumatera dengan salah satu wilayah operasinya adalah PT PLN
(Persero) Wilayah II Sumatra Utara. PT PLN (Persero) Wilayah II Sumatra
Utara memiliki beberapa cabang, di antaranya adalah PT PLN Cabang Kota
Medan. Sejak tahun 1995 hingga tahun 2005 tidak ada pertambahan mesin
pembangkit yang signifikan. Kebutuhan masyarakat di Sumatra Utara terhadap
penggunaan energi listrik dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 363


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

cukup tinggi. Tingkat pertumbuhan demand pada tahun 2005 mencapai 9,97 %.
Hal ini tidak sebanding lagi dengan ketersediaan sumber energi listrik dari
pembangkit PLN. Dengan kondisi normal saja pembangkit yang ada hanya
mampu menghasilkan daya sebesar 950 MW. Sementara, kebutuhan masyarakat
sudah mencapai 1047 MW. Ketidakseimbangan daya mampu PLN dengan
kebutuhan pemakaian mengakibatkan PLN Sumatra Utara mengalami
kekurangan pasokan energi listrik sebesar 100 MW hingga 120 MW. Kondisi
inilah yang memaksa PLN melakukan pemadaman listrik secara bergilir di
seluruh Provinsi Sumatra Utara (PT. PLN Regional Sumatra Utara, 2004).
Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Medan memperkirakan bahwa
kebutuhan energi listrik di Kota Medan terus meningkat selama periode lima
tahun mendatang (2004–2009) dan diperkirakan pertumbuhan kebutuhan
listrik rata-rata sebesar 2,45 % per tahun (RUTRK Medan 2003).
Fenomena-fenomena atau isu yang menunjukkan permintaan energi listrik
yang melebihi penawaran atau penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN menjadi
sangat penting dan menarik untuk diteliti. Akan tetapi, penelitian ini hanya
mengkaji dan menganalisis sisi permintaaan energi listrik serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya dengan alasan bahwa : (a) industri kelistrikan
merupakan pengusahaan monopoli oleh negara (Kadir 1995), (b) karena sisi
penawaran energi banyak diartikan sebagai keputusan atau kebijakan investasi
pemerintah (Yusgiantoro 2000).
Banyak faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik. Pola dan
besarnya penggunaan energi listrik akan berbeda untuk setiap kelompok
konsumennya yang tergantung pada dua faktor, yaitu 1) untuk objek apa energi
listrik tersebut digunakan, dan 2) waktu penggunaan (hours load) (Philipson
dan Willis 1999). Fluktuasi permintaan tenaga listrik dari kelompok pelanggan,
baik yang menyangkut besarnya daya, maupun yang menyangkut waktu,
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti (1) cuaca, (2) industri musiman dan
daerah hiburan, 3) adanya kejadian-kejadian penting (Kadir 2000). Lebih luas
lagi, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik adalah kondisi
ekonomi, waktu pemakaian dalam hitungan harian maupun mingguan,
kondisi cuaca, sikap terhadap konservasi, penduduk, penggunaan televisi,
lingkungan peraturan, harga listrik, teknologi, energi alternatif, dan keadaan
demografik (Nagurney dan Arneaux 1991). Secara umum, untuk semua
kelompok konsumen energi listrik, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 364


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kebutuhan atau permintaan listrik adalah (1) pendapatan konsumen, (2) tarif
atau harga listrik, (3) ketersediaan listrik, (4) harga energi substitusi, dan (5)
kepemilikan peralatan, harga dan efisiensi penggunaan peralatan listrik (PT
PLN Wilayah Sumut 2004).
Variabel utama paling mendasar yang berpengaruh pada permintaan energi
listrik rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga, harga (tarif) energi
listrik, dan stok/jumlah peralatan listrik (stock of appliances) (Anderson 1973 ;
Wilder dan Willenborg 1975 ; Acton et al.1980 ; Fujii dan Mak 1984 ; Jaffee et
al. 1982 ; Terza 1986, Filippini 1995 ; Halvorsen dan Larsen 1999a, 1999b ;
Matsukawa 2000 ; Langmore dan Dufty 2004). Selain variabel-variabel
tersebut, beberapa penelitian lain memasukkan variabel-variabel karakteristik
rumah tangga dan demografik dalam mengestimasi permintaan energi listrik
rumah tangga, seperti yang dilakukan oleh Taylor 1979 ; Barnes et al. 1981 ;
Archibald et al. 1982 ; Maddigan et al. 1983 ; Garbacz 1984 ; Reiss dan White
2001 ; Larsen dan Nesbakken 2002 ; Halvorsen et al. 2003. Beberapa peneliti
lainnya juga telah memasukkan jenis energi lain seperti kayu bakar, bahan bakar
minyak, dan gas dalam model permintaan energi listrik sebagai variabel
substitusi (Maddigan et al. 1983 ; Halvorsen et al. 2003 ; Langmore dan Dufty
2004).
Uraian-uraian di atas menunjukkan belum lengkapnya faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga. Beberapa perbedaan
pendapat atau hasil temuan sebagai research gap pada penelitian ini, terutama
mengenai hubungan karakteristik demografik/rumah tangga dan permintaan
energi listrik rumah tangga perlu dikaji. Beberapa temuan sebagaimana
diuraikan di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor karakteristik
demografik/rumah tangga merupakan hal yang sangat penting bagi determinan
permintaan energi listrik rumah tangga. Penelitian ini dimaksudkan untuk
memperjelas bagaimana faktor-faktor demografik/rumah tangga mempengaruhi
permintaan energi listrik rumah tangga, sehingga diperoleh model permintaan
energi listrik rumah tangga yang lebih baik.
Analisis permintaan energi listrik dalam penelitian ini, dibatasi hanya untuk
daerah Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, sebagai wilayah operasi PT PLN
(Persero) Cabang Medan. Pelanggan energi listrik PLN di Kota Medan terdiri
atas kelompok sosial, rumah tangga, bisnis, industri, publik, dan multiguna.
Hanya saja, yang menjadi objek penelitian ini adalah kelompok rumah tangga,

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 365


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

yang terbagi lagi dalam segmen-segmen berdasarkan strata golongan tarif yaitu:
R-1/TR 450 VA, R-1/TR 900 VA, R-1/TR 1300 VA, R-1/TR 2200 VA, R-2/TR
> 2200 VA s/d 6600 VA, dan R-3/TR > 6600 VA. Pemilihan kelompok rumah
tangga didasarkan pada pertimbangan bahwa : 1) porsi terbesar pelanggan
listrik PLN Kota Medan adalah rumah tangga (90,20 %), 2) pelanggan rumah
tangga termasuk dalam kelompok pemakai terbesar energi listrik PLN di Kota
Medan setelah kelompok industri, 3) sasaran program elektrifikasi adalah
rumah tangga, 4) penggunaan alat-alat listrik lebih banyak dijumpai pada
pelanggan rumah tangga, 5) pelanggan rumah tangga memiliki sensitivitas yang
lebih tinggi terhadap kebijakan PLN dibanding dengan kelompok pelanggan
lainnya.
1. 2 Perumusan Masalah
Permintaan energi listrik rumah tangga diprediksi akan terus meningkat
pada tahun-tahun mendatang, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi, kegiatan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan harga barang-barang
elektronika (appliances) yang semakin terjangkau oleh masyarakat. Dalam
penelitian ini, energi listrik dalam rumah tangga adalah sebagai produk akhir.
Permintaan energi listrik rumah tangga tersebut dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti faktor-faktor ekonomi, peralatan-peralatan listrik, karakteristik
rumah tangga, karakteristik demografik, dan faktor-faktor lain yang relevan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik mencakup
variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen terdiri atas
permintaan energi listrik, sedangkan variabel independen terdiri atas (1)
pendapatan, (2) harga yang diproksi dengan WTP, (3) indeks ala-alat listrik, (4)
harga energi lain, (5), jumlah anggota keluarga, (6) jumlah ruangan, (7) tingkat
pendidikan, (8) pekerjaan kepala keluarga, (9) kegiatan keluarga, (10) etnis,
(11) lokasi, dan 12) pelayanan pihak PLN. Oleh karena itu, masalah penelitian
adalah bagaimana mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan energi listrik rumah tangga serta bagaimana pemilihan model-model
estimasinya sesuai dengan karakterisitik pelanggan listrik rumah tangga di Kota
Medan.
Dari penelitian-penelitian terdahulu tentang permintaan energi listrik rumah
tangga diketahui bahwa penelitian hanya menganalisis permintaan energi listrik
secara keseluruhan. Penelitian-penelitian terdahulu belum diarahkan untuk
menganalisis permintaan energi listrik untuk setiap strata golongan atau tarif.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 366


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Karena dalam kenyataannya, di Indonesia kelompok konsumen rumah tangga


(yang masih diklasifikasikan lagi ke dalam enam strata, yaitu : R-1/TR 450VA,
R-1/TR 900VA, R-1/TR 1300VA, R-1/TR 2200VA, R-2/TR >2200VA-
6600VA, R-3/TR > 6600VA.
Oleh karena itu, secara khusus dapat dikemukakan pertanyaan penelitian
yang akan diteliti lebih lanjut, yaitu:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi permintaan energi listrik
untuk setiap strata golongan tarif dalam kelompok rumah tangga di Kota
Medan ?
2. Bagaimanakah memodelkan estimasi permintaan energi listrik untuk setiap
strata golongan tarif dalam kelompok rumah tangga di Kota Medan ?
1. 3 Orisinalitas Penelitian
Orisinalitas atau keaslian penelitian ini yang membedakannya dengan
penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada :
1. Estimasi dilakukan terhadap berbagai golongan tarif yaitu : R-1/TR 450VA,
R-1/TR 900VA, R-1/TR 1300VA, R-1/TR 2200VA, R-2/TR > 2200VA-
6600VA, R-3/TR > 6600VA, yang belum pernah dilakukan oleh peneliti-
peneliti sebelumnya. Estimasi untuk setiap golongan tarif ini perlu dilakukan
karena setiap golongan tarif pelanggan listrik rumah tangga memiliki daya
listrik, harga listrik serta karakteristik-karakteristik rumah tangga yang
berbeda terutama dalam hal kepemilikan (saturation), penggunaan
(utilization), dan ketersediaan (stock) peralatan-peralatan listrik (appliances).
2. Penelitian ini menggunakan data primer atau data cross section dari setiap
strata atau golongan tarif pelanggan rumah tangga, sedangkan peneliti-
peneliti sebelumnya hanya menggunakan data-data time-series yang
diperoleh dari data sekunder.
3. Penelitian ini diarahkan untuk memprediksi karakteristik-karakteristik rumah
tangga yang dapat mempengaruhi permintaan energi listrik, yang sebelumnya
belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu di Indonesia.
1. 4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini ada dua, yaitu : (1) menganalisis faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap permintaan energi listrik untuk kelompok konsumen
rumah tangga di kota Medan, (2) untuk membuat model permintaan energi
listrik bagi pelanggan kelompok konsumen rumah tangga di Kota Medan. Hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat : (1) sebagai model alternatif dalam

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 367


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

melakukan estimasi permintaan energi listrik kelompok rumah tangga, (2) untuk
memberikan informasi bagi pihak manajemen PT PLN (Persero) dan
perusahaan-perusahaan pengelola energi lainnya dalam merumuskan kebijakan
pembangunan ketenagalistrikan, (3) sebagai bahan kajian dan informasi untuk
penelitian-penelitian selanjutnya di bidang energi.

II. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS


Model-model permintaan energi rumah tangga (residential/household
energy demand) misalnya listrik, selalu berhubungan dengan estimasi utilitas
permintaan, misalnya jasa-jasa energi (energy services) yang diinginkan oleh
manusia untuk penerangan, pendingin, pemanas, peralatan-peralatan listrik
(appliances) lainnya. Hubungan ini digambarkan sebagai hubungan input dan
output energy. Input energy berhubungan dengan isi energi utilitas yang
digunakan untuk end-uses categories (alat-alat pemanas, pendingin ruangan,
lampu listrik, dalan peralatan-peralatan listrik lainnya). Sedangkan output
energy berhubungan dengan muatan (load) yang memberikan energy services
atau muatan jasa yang diberikan end-uses categories, seperti panas, dingin,
terang, dan lain-lain (Guertin et al. 2003). Pemanfaatan energi untuk
menghasilkan jasa-jasa energi dalam rumah tangga disebut dekomposisi
residential end-uses (Bartel dan Fiebeg 2000 ; Meetamehra 2002 ; Larsen &
Nesbakken 2002). Oleh karena itu, estimasi model permintaan energi listrik
rumah tangga harus dilihat sebagai hubungan antara ketersediaan atau stok
peralatan (capital stock, or stock of appliances, or stock of equipment) dan
intensitas penggunaannya.
Secara umum, konsumsi energi listrik tergantung pada stok atau
keberadaan/ketersediaan peralatan-peralatan listrik dan intensitas penggunaan
peralatan-peralatan listrik tersebut dalam rumah tangga (Wilder & Willenborg
1975 ; Garbacz 1984). Oleh karena itu, dalam membuat estimasi fungsi
permintaan energi listrik rumah tangga harus memasukkan unsur stok kapital
atau stok peralatan-peralatan listrik dan tingkat penggunaannya, dengan asumsi
bahwa dalam jangka pendek stok kapital dianggap tidak berubah atau tetap
(Wilder & Willenborg 1975 ; Amarullah 1984 ; Silk dan Joutz 1997 ; Reiss
dan White 2001). Namun, estimasi fungsi permintaan energi listrik rumah
tangga tidak hanya memasukkan variabel-variabel yang menyangkut energi
listrik itu sendiri seperti harga listrik, jumlah energi listrik, stok kapital alat-alat

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 368


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

listrik, tetapi juga mempertimbangkan variabel-variabel lain yang dapat


mempengaruhi fungsi utilitas permintaaan energi listrik seperti unsur-unsur
demografi dan sosial tempat rumah tangga berada. Dengan demikian, secara
umum, permintaan energi listrik rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan
rumah tangga, harga atau tarif energi listrik, stok alat-alat listrik (appliances),
karakteristik rumah tangga (household characteristics), karakteristik rumah
(housing characteristics), dan variabel-variabel lain yang relevan.
Salah satu faktor yang paling penting dalam permintaan energi listrik
rumah tangga adalah harga/tarif listrik. Namun dalam studi empirik,
penggunaan proksi harga/tarif ini berbeda-beda, apakah menggunakan harga
rata-rata atau harga marginal. Pilihan antara menggunakan harga rata-rata
ataupun harga marginal merupakan isu metodologi yang penting dalam
analisis permintaan energi listrik. Harga atau tarif listrik biasanya
diasosiasikan dengan suatu struktur harga yang makin menurun (declining
rate structure) ataupun struktur harga yang makin menaik (increasing rate
structure).
Beberapa peneliti seperti Archibald 1982 ; Garbacz 1984 ; Henson 1984 ;
Westley 1989 ; McKean & Winger 1992 menggunakan harga marginal
(marginal price) sebagai variabel harga atau tarif energi listrik. Berbeda dengan
peneliti sebelumnya, Wilder dan Willenborg 1975 ; Halvorsen 1975 ; Maddigan
et a.l 1983 ; Amarullah 1983 ; Jung 1993 menggunakan harga rata-rata (average
price). Begitu juga dengan Chang dan Chombo 2001 juga menggunakan harga
rata-rata karena adanya tarif yang berbeda-beda untuk setiap pelanggan
kelompok rumah tangga dan kelompok konsumen lainnya.
Dalam penelitiannya, Wilder dan Willenborg 1975 menggunakan harga
rata-rata (average price) yang didasarkan pada rekening listrik bulanan, dengan
alasan bahwa konsumen kurang mengerti tentang harga marginal. Alasan lain,
sebagaimana dibuktikan oleh Halvorsen 1975 ; McKean dan Winger 1992
bahwa dalam bentuk log-linear baik untuk fungsi permintaan, maupun fungsi
harga ; nilai elastisitas permintaan dengan menggunakan harga rata-rata tidak
jauh berbeda dengan nilai elastisitas permintaan apabila menggunakan harga
marginal.
Sehubungan dengan harga/tarif listrik, sampai saat ini di Indonesia harga
listrik masih ditetapkan berdasarkan sudut pandang produsen saja, dalam hal ini
PT PLN dan pemerintah. Penetapan harga belum sesuai dengan harga pasar

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 369


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

karena harga listrik selalu ditetapkan oleh pemerintah (regulated) dengan alasan
bahwa listrik adalah barang publik yang harus disubsidi untuk tujuan-tujuan
keadilan dan sosial. Oleh karena itu, dalam penelitian ini harga/tarif listrik akan
diproksi dengan variabel WTP (willingness to pay) dengan menggunakan
metode CV (contingent valuation). Proksi harga/tarif dengan WTP melalui
metode CV diartikan sebagai upaya untuk memperoleh langsung berapa
kemauan/kesediaan konsumen untuk membayar terhadap harga/tarif listrik yang
digunakan. Adapun format metode CV yang akan digunakan untuk memperoleh
nilai WTP adalah closed-ended referendum format (pertanyaan tertutup).
Penggunaan variabel WTP sebagai proksi terhadap harga/tarif listrik dapat
dimungkinkan dengan alasan 1) WTP konsumen dapat mengungkapkan nilai
atau harga yang sebenarnya dari suatu barang atau jasa (Nam dan Son 2005), 2)
sistem penetapan harga/tarif listrik di Indonesia berbentuk increasing block-rate
pricing sehingga harga berbeda untuk setiap tingkat penggunaan dan strata
golongan tarif (daya). Variabel harga yang sesuai dengan bentuk ini adalah
harga marginal ataupun harga rata-rata, tetapi jika datanya adalah data runtut
waktu (time series) (Amarullah 1984). Sedangkan dalam penelitian ini data
yang digunakan adalah data cross section dari konsumen rumah tangga.
Pada penelitian-penelitan terdahulu, variabel-variabel lain telah
dimasukkan dalam estimasi permintaan energi listrik rumah tangga. Di
antaranya adalah (1) variabel musim (suhu atau cuaca) oleh Willen dan
Willenborg 1975 ; Halverson 1975 ; Matsukawa et al. 2000 ; Akmal dan Stern
2001 ; Reiss & White 2001 ; Brown dan Koomey 2003, (2) variabel struktur
perumahan (bentuk, ukuran, lokasi) oleh Willen dan Willenborg 1975, Wilder
at al. 1992, Munley et al. 1990 ; Filippini 1999 ; Reiss dan White 2001 ; dan (3)
variabel karakteristik rumah tangga (jumlah penduduk, jumlah anggota
keluarga, usia) oleh Wilder dan Willenborg 1975 ; Amarullah 1983 ; Jung 1993
; Munley et al. 1990 ; Filippini 1999 ; Reiss dan White 2001 ; Peterson 2002.
Estimasi model atau fungsi permintaan energi listrik rumah tangga dapat
dispesifikasikan dalam bentuk persamaan tunggal dan persamaan simultan.
Beberapa studi seperti yang dilakukan oleh Amarullah 1983 ; Wilder 1992 ;
Jung 1993 menggunakan model permintaan energi listrik rumah tangga dalam
bentuk persamaan tunggal dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS).
Estimasi model atau fungsi permintaan energi listrik rumah tangga yang

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 370


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dispesifikasikan dalam bentuk persamaan simultan telah dilakukan antara lain


oleh Wilder dan Willenborg 1975, Maddigan et al..1983 ; dan Garbacz 1984.
Sampai saat ini, penelitian tentang permintaan energi listrik di Indonesia
masih terbatas. Amarullah 1984, Tarigan 1998, dan Tarigan dkk. 2002 masih
mengestimasi permintaan atau kebutuhan energi listrik per kelompok secara
keseluruhan tanpa memperhatikan karakteristik kelompok. Padahal setiap
kelompok pelanggan masih diklasifikasikan lagi ke dalam beberapa strata
berdasarkan daya tersambung dan tarif listrik yang setiap stratanya mempunyai
karakteristik yang berbeda. Hal itu karena kelompok konsumen energi listrik di
Indonesia masih dibagi lagi dalam beberapa strata berdasarkan daya
tersambung dan tarif.
Dengan mengkaji model-model permintaan energi listrik rumah tangga
sebagaimana diuraikan di atas, penelitian ini memfokuskan estimasi fungsi
permintaan energi listrik untuk kelompok rumah tangga di Kota Medan,
Sumatra Utara. Model estimasi dilakukan untuk setiap strata kelompok rumah
tangga yang didasarkan pada daya tersambung dan tarif. Ada enam strata
kelompok yaitu R-1/TR 450VA, R-1/TR 900VA, R-1/TR 1300VA, R-1/TR
2200VA, R-2/TR 2201VA-6600VA, R-3/TR > 6600VA. Setiap strata
mempunyai pola permintaan energi listrik dan karakteristik yang berbeda-beda.
Perlu diketahui bahwa sampai sejauh ini belum ada penelitian yang
mengestimasi permintaan energi listrik rumah tangga berdasarkan strata.
Pembentukan model dalam penelitian ini didasarkan pada uraian-uraian
teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu. Secara teoretik, permintaan energi
listrik rumah tangga dipengaruhi oleh berbagai variabel, seperti variabel
ekonomi, stok alat-alat listrik, karakteristik rumah tangga, karakteristik
bangunan rumah, dan variabel-variabel lain yang relevan. Variabel ekonomi
yang mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga terdiri atas (1)
pendapatan (Halvorsen 1975 ; Halvorsen 1976 ; Barnes et al. 1981 ; Jung 1993
; Naughton 1989 ; Filippini 1999 ; Bartels dan Fiebig 2000), (2) harga atau tarif
listrik (Halvorsen 1975 ; Acton et al. 1980 ; Archibald 1982 ; Jaffee et al. 1982 ;
Henson 1984 ; Terza 1986 ; Westley 1989 ; McKean dan Winger 1992 ; Reiss
dan White 2001 ; Chang dan Chombo 2001 ; Matsukawa 2004), dan (3) harga
barang lain (Acton et al. 1980 ; McKean dan Winger 1992 ; Larsen dan
Nesbakken 2002).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 371


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Variabel stok alat-alat listrik merupakan variabel utama yang


mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga karena jasa-jasa yang
diberikannya (Hartman 1983 ; Bartel dan Fiebeg 2000 ; Meetamehra 2002 ;
Larsen dan Nesbakken 2002, Guertin et al. 2003). Adapun jenis-jenis alat-alat
listrik yang digunakan oleh rumah tangga adalah bola lampu, setrika, kipas
angin, radio, tape recorder, VCD/DVD, televisi, ricecooker, pemanas air, alat
masak, dispenser, pemanggang roti, hairdriyer, vacuum cleaner, kulkas, air
conditioner (AC), pemanas ruangan, pompa air, komputer PC, komputer
notebook, mesin cuci, dan lain-lain.
Variabel-variabel karakteristik rumah tangga yang mempengaruhi
permintaan energi listrik rumah tangga terdiri atas 1) jumlah anggota keluarga,
2) usia anggota keluarga, 3) tingkat pendidikan, 4) ras, 5) lokasi atau wilayah,
6) variabel-variabel lain seperti jumlah anak, kategori usia anak, status keluarga
(single familiy or married), jumlah orang yang bekerja dalam rumah tangga
(fully single employed or multiple house worker household) (Anderson 1973 ;
Barnes et al. 1981 ; Archibald et al. 1982 ; Sexton dan Sexton 1987 ; Jung 1993
; Bartels dan Fiebig 2000 ; Reiss dan White 2001 ; Filippini dan Pachauri 2004
; Larsen dan Nesbakken 2002 ; Petersen 2002 ; Damsgaard 2003). Variabel
karakteristik bangunan rumah yang dapat mempengaruhi permintaan energi
listrik rumah tangga terdiri atas (1) tipe bangunan rumah, (2) ukuran bangunan
rumah, (3) bentuk banguna rumah, (4) aksessibilitas terhadap listrik (Barnes et
al. 1981 ; Archibal et al. 1982 ; Sexton dan Sexton 1987 ; Nilagupta 1999 ;
Bartels dan Fiebig 2000 ; Reiss dan White 2001 ; Larsen dan Nesbakken 2002 ;
Peterson 2002 ; Damsgaard 2003 ; Guertin et al. 2003). Variabel-variabel
lainnya yang dapat mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga
adalah cuaca atau musim, demand response seperti konservasi energi dan
informasi (Murray et al. 1977 ; Archibald et al.1982 ; Fujii dan Mak 1984 ;
Naughton 1989 ; Larsen dan Nesbakken 2002 ; Matsukawa 2004).
Jaffee et al. 1982 melakukan estimasi permintaan energi listrik rumah
tangga dengan variabel dependen yaitu banyaknya penggunaan listrik tahunan
yang diperoleh dari catatan rekening pelanggan listrik rumah tangga. Variabel
independennya adalah stok alat listrik untuk pemanas, stok alat listrik untuk
pendingin, jumlah alat-alat listrik lainnya, harga marginal listrik, harga
inframarginal listrik, kegiatan konservasi energi, ukuran rumah, jumlah kamar
yang tertutup selama musim dingin, penggunaan kayu bakar, tipe rumah, jumlah

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 372


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

anggota keluarga, dan pendapatan keluarga. Pada awalnya, model permintaan


diestimasi dengan persamaan tunggal dengan menggunakan OLS. Akan tetapi,
karena adanya ketergantungan antar harga (inter-dependency) dengan jumlah
pemakaian listrik sebagai akibat struktur harga dengan sistem blok (block
pricing structure), kemudian model diestimasi secara simultan dengan
menggunakan 2SLS.
Maddigan et al. 1983 melakukan estimasi dengan menggunakan dua bentuk
persamaan, yaitu persamaan permintaan dan persamaan harga. Kedua
persamaan tersebut dibuat dalam bentuk logarithmic dan diestimasi dengan
persamaan simultan dengan menggunakan 2SLS. Pada persamaan permintaan,
variabel dependennya adalah jumlah penjualan atau pemakaian energi listrik
rumah tangga yang terdaftar sebagai anggota koperasi, sedangkan variabel
independennya terdiri atas jumlah penjualan atau pemakaian tahun sebelumnya,
harga rata-rata listrik, jumlah rumah tangga yang terdaftar sebagai anggota
koperasi, pendapatan riel per kapita, ukuran rumah tangga, harga rata-rata
energi gas, harga rata-rata bahan bakar di tingkat petani, suhu panas harian,
suhu dingin harian, aktivitas pertanian, dan daerah atau lokasi tempat tinggal
petani. Pada persamaan harga, variabel dependennya adalah harga rata-rata
listrik dikurangi total biaya rata-rata, rasio pemakaian listrik dengan jumlah
rumah tangga, jumlah rumah
tangga, periode waktu, dan lokasi.
Garbacz 1984 melakukan estimasi permintaan energi listrik rumah tangga
dengan menggunakan tiga model persamaan, yaitu 1) fungsi permintaan energi
listrik, 2) fungsi harga energi listrik, dan 3) fungsi stok kapital alat-alat listrik.
Ketiga model dibuat dalam bentuk log-linear dan diestimasi dengan persamaan
simultan dengan menggunakan 2SLS. Pada persamaan (1) variabel
dependennya adalah permintaan energi listrik dan variabel independen adalah
pendapatan keluarga, harga marginal listrik, harga rata-rata energi alternatif,
indeks stok kapital alat-alat listrik, dan suhu panas harian maupun suhu dingin
harian. Pada persamaan (2) variabel dependennya adalah harga energi listrik
dan variabel independennya adalah permintaan energi listrik, lokasi, dan daerah
urbanisasi. Pada persaman (3) variabel dependennya adalah indeks stok alat-alat
listrik, sedangkan variabel independenya adalah harga energi listrik, pendapatan
keluarga, harga energi alternatif, suhu panas harian maupun suhu dingin
harian, intensitas penggunaan alat-alat listrik, usia kepala keluarga, dan ras.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 373


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Dalam penelitian ini, estimasi permintaan energi listrik rumah tangga hanya
dispesifikasikan dalam bentuk persamaan tunggal, dengan variabel
dependennya adalah permintaan energi listrik rumah tangga. Estimasi
persamaan tunggal dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat beberapa
modifikasi. Adapun modifikasi-modifikasi tersebut adalah :
1. Estimasi permintaan energi listrik rumah tangga dimodelkan pada setiap
strata pelanggan atau konsumen rumah tangga,
2. Model akan diestimasi dalam dua bentuk yaitu model dasar dan model
pengembangan.
Model dasar akan menggunakan variabel-variabel independen pokok (dasar)
yang meliputi variabel-variabel pendapatan, harga dengan proksi WTP, indeks
alat listrik, jumlah anggota keluarga, jumlah ruangan/kamar dalam rumah, harga
energi lain, dan etnis.
Khusus untuk variabel harga listrik yang diproksi dengan WTP dapat
dimungkinkan dengan alasan (1) WTP konsumen dapat mengungkapkan nilai
atau harga yang sebenarnya dari suatu barang atau jasa, (2) WTP dapat
merupakan dasar dalam penentuan harga, (3) WTP masih dapat memenuhi
asumsi model permintaan Marhallian, yaitu bahwa harga yang ditetapkan bukan
(regulated) oleh pemerintah (Nam dan Son 2005 ; Turvey dan Anderson 1997).
Namun, karena harga listrik yang digunakan dalam estimasi haruslah harga per
KWh (kilowatt-hours), maka untuk mendapatkan harga per KWh tersebut, WTP
responden rumah tangga harus dibagi dengan rata-rata jumlah permintaan energi
listrik rumah tangga per bulan sehingga diperoleh WTP per KWh.
Dalam model pengembangan variabel-variabel independen akan ditambah
dengan variabel-variabel lainnya, terutama variabel-variabel yang berhubungan
dengan demografik/rumah tangga yang belum pernah diestimasi sebelumnya
ataupun sudah pernah diestimasi, tetapi masih perlu dikembangkan. Variabel-
variabel ini diduga kuat ikut mempengaruhi permintaan energi listrik rumah
tangga. Variabel-variabel tersebut meliputi jenis pekerjaan kepala keluarga,
tingkat pendidikan anggota keluarga, kegiatan-kegiatan keluarga, lokasi, dan
tingkat pelayanan. Tujuan pengembangan model adalah untuk memperoleh
model permintaan energi listrik yang lebih baik daripada model dasar.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Energi listrik termasuk dalam barang normal (Langmore dan Dufty 2004 ;
Maddigan et al.1983).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 374


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

2. Dalam jangka pendek stok alat-alat listrik rumah tangga dianggap konstan
atau tidak berubah (Wilder dan Willenborg 1975 ; Amarullah 1984 ; Silk
dan Joutz 1997 ; Reiss dan White 2001).
3. Karena model fungsi permintaan dalam penelitian ini menggunakan model
fungsi permintaan Marshallian, berlaku asums-asumsi (a) semua rumah
tangga konsumen listrik untuk setiap strata golongan tarif mempunyai
selera yang identik selama periode observasi ; (b) pendapatan rumah
tangga untuk setiap strata golongan tarif dianggap konstan selama periode
observasi ; (c) harga barang energi lain dianggap konstan selama periode
observasi.
Dengan demikian, model persamaan tunggal dalam penelitian ini
terdiri atas variabel dependen yaitu permintaan energi listrik (PELRT),
sedangkan variabel independen terdiri dari pendapatan (PENDPTN), harga/tarif
yang diproksi dengan willingness to pay (WTP) per KWh (WTPKWH), indeks
alat-alat listrik (INDALIST), jumlah anggota keluarga (JAKEL), jumlah
ruangan/kamar (JUMRUANG), harga energi lain (HBLBBM dan HBLGAS),
dan status kewarganegaraan (ETNIS), jenis pekerjaan kepala keluarga
(PEKERJN), tingkat pendidikan anggota keluarga (TIPENDIK), kegiatan-
kegiatan keluarga (KEKEL), lokasi/tempat tinggal rumah tangga (LOKASI),
dan pelayanan pihak PT PLN (LAYANAN). Model permintaan energi listrik
rumah tangga dibuat untuk setiap strata/golongan tarif yang terdiri atas strata
R-1/450 VA, strata R-1/900 VA, strata R-1/1300 VA, strata R-1/2200 VA,
strata R-2/ > 2200 VA s.d. 6600 VA) dan strata R-3/ > 6600 VA. Berdasarkan
uraian di atas secara skematis, kerangka teoritis disajikan pada Gambar 1
(Lampiran 1).
Berdasarkan kerangka teoritis, dapat dikemukakan beberapa hipotesis
sebagai berikut :
Hipotesis 1 : Variabel pendapatan konsumen berpengaruh positif dan signifikan
terhadap permintaan energi listrik rumah tangga . Semakin tinggi jumlah
pendapatan rumah tangga, semakin meningkat jumlah energi listrik yang
dikonsumsi.
Hipotesis 2 : WTP per KWh berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
permintaan energi listrik rumah tangga. Semakin tinggi tuntutan WTP per
KWh, semakin berkurang jumlah energi listrik yang dikonsumsi.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 375


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Hipotesis 3 : Indeks alat-alat listrik rumah tangga (appliances) yang


dinyatakan dalam jumlah, kapasitas (daya) dan intensitas penggunaannya
berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan energi listrik
rumah tangga. Semakin tinggi indeks alat listrik, semakin meningkat
jumlah energi listrik yang dikonsumsi.
Hipotesis 4 : Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif dan signifikan
terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Semakin banyak
jumlah anggota keluarga, semakin meningkat jumlah energi listrik yang
dikonsumsi.
Hipotesis 5 : Jumlah ruangan/kamar dalam rumah tangga berpengaruh positif
dan signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga.
Semakin banyak jumlah ruangan/kamar dalam bangunan rumah, semakin
meningkat jumlah energi listrik yang dikonsumsi.
Hipotesis 6 : Harga barang energi lain (bahan bakar minyak dan gas)
berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan energi listrik
rumah tangga. Bahan bakar minyak dan gas merupakan barang substitusi
bagi energi listrik.
Hipotesis 7 : Permintaan energi listrik berbeda secara signifikan antara rumah
tangga etnis pribumi dan non-pribumi.
Hipotesis 8 : Permintaan energi listrik berbeda secara signifikan antara rumah
tangga dengan pekerjaan kepala keluarga sebagai
PNS/Polri/ABRI/Pensiunan dan rumah tangga dengan pekerjaan kepala
keluarga yang bukan PNS/Polri/ABRI/Pensiunan .
Hipotesis 9 : Tingkat pendidikan anggota keluarga berpengaruh positif dan
signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Semakin
tinggi tingkat pendidikan anggota keluarga, semakin meingkat jumlah
energi listrik yang dikonsumsi.
Hipotesis 10 : Frekuensi kegiatan keluarga di luar kegiatan rutin berpengaruh
positif dan signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga.
Semakin tinggi frekuensi kegiatan keluarga, semakin meningkat jumlah
energi listrik yang dikonsumsi.
Hipotesis 11 : Perilaku permintaan energi listrik berbeda signifikan antara
rumah tangga di tengah kota dan di pinggir kota.
Hipotesis 12 : Tingkat atau fasilitas pelayanan pihak produsen energi listrik
(PT. PLN) berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan energi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 376


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

listrik rumah tangga. Semakin baik pelayanan yang diberikan produsen


energi listrik, semakin meningkat jumlah energi listrik yang dikonsumsi
oleh rumah tangga.
III. METODE PENELITIAN
3. 1 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh konsumen energi listrik kelompok
rumah tangga yang berlangganan pada PT PLN (Persero) Cabang Kota Medan
yang didasarkan pada penggolongan tarif dan batas daya yang terdiri atas R-
1/TR 450 VA, R-1/TR 900 VA, R-1/TR 1300 VA, R-1/TR 2200 VA, R-2/TR
2201 s.d. 6600 VA, dan R-3/TR > 6600 VA. Populasi tersebut tersebar pada
Rayon (Tengah Kota) dan Ranting(Pinggir Kota). Jumlah populasi per rayon
dan per ranting dan golongan tarif terpilih disajikan pada Tabel 1 (Lampiran
2).
Penentuan sampel menggunakan metode Multistage Sampling. Purposive-
nya adalah sampel rumah tangga yang hanya menggunakan energi listrik untuk
keperluan konsumsi rumah tangga saja, di mana energi listrik sebagai produk
akhir. Dalam pengambilan sampel clusternya adalah Rayon (Daerah Tengah
Kota) dan Ranting (Daerah Pinggir Kota) serta stratanya adalah golongan tarif
dari konsumen rumah tangga (Gambar 2, Lampiran 3). Penarikan sampel
rumah tangga dilakukan secara random dengan sistematis pada setiap
strata/golongan tarif dari lokasi (rayon dan ranting) terpilih. Distribusi jumlah
sampel penelitian disajikan pada Tabel 2 (Lampiran 4).
Setelah semua data dikumpulkan, kemudian dilakukan pengeditan, ternyata
tidak semua data (kuesioner) yang terkumpul dapat digunakan dalam penelitian
ini. Jumlah responden atau sampel yang digunakan dalam penelitian ini menjadi
sebanyak 383 sampel dengan distribusi : strata 450 VA sebanyak 143 sampel,
strata 900 VA menjadi sebanyak 94 sampel, strata 1300 VA menjadi 47 sampel,
strata 2200 VA menjadi 50 sampel, dan strata R-2 menjadi 49 sampel.
3. 2 Metode Pengumpulan Data dan Desain Willingness To Pay (WTP)
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi : (1) jumlah permintaan atau konsumsi energi
listrik rata-rata rumah tangga selama tiga bulan terakhir dalam kurun periode
waktu bulan Januari 2007 sampai dengan periode bulan September 2007 ; (2)
rekening energi listrik selama tiga bulan terakhir selama tiga bulan terakhir
dalam kurun periode waktu bulan Januari 2007 sampai dengan periode bulan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 377


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

September 2007 ; (3) stok-kapital alat-alat listrik dalam rumah tangga yang
meliputi : jumlah alat-alat listrik dan daya kapasitas (watt) setiap alat listrik ;
(4) pendapatan rumah tangga ; (5) WTP konsumen rumah tangga terhadap
energi listrik diperoleh dengan metode contingent valuation dengan
menanyakan kepada ayah, ibu, atau anak yang memahami tentang penggunaan
energi listrik ; (6) karakteristik-karakteristik rumah tangga, seperti : jumlah
anggota keluarga, usia anggota keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan kepala
keluarga, kegiatan keluarga, etnis, lokasi, dan persepsi terhadap pelayanan
listrik secara umum oleh PT PLN (Persero) ; (7) karakteristik-karakteristik
bangunan rumah, seperti jumlah ruangan/kamar, ukuran/luas bangunan.
Data sekunder meliputi data-data kelistrikan Kota Medan yang diperoleh
dari PT PLN (Persero) Cabang Medan. Pengumpulan data dilakukan selama
periode bulan Januari 2007 sampai dengan periode bulan September 2007. Data
WTP dalam penelitian ini diperoleh melalui metode Contingent Valuation
(CV). Metode CV dilakukan dengan prosedur berikut (Nam dan Son 2005) : (1)
memberntuk FGD (Focus Group Discussion) ; (2) mendesain dan
menyempurnakan instrumen survey ; (3) melakukan pre-test ; (4) melaksanakan
survei utama.
3. 3 Spesifikasi Model
Spesifikasi model permintaan energi listrik rumah tangga (PELRT strata
j) di Kota Medan diformulasikan dalam dua bentuk yaitu 1) model dasar, dan 2)
model pengembangan :
1). Model Dasar :
PELRTstrata j = f (PENDPTN, WTPKWH, INDALIST, JAKEL,
JUMRUANG, HBLBBM, HBLGAS, ETNIS).
2). Model Pengembangan :
PELRTstrata j = f (PENDPTN, WTPKWH, INDALIST, JAKEL,
JUMRUANG, HBLBBM, HBLGAS, ETNIS,
PEKERJN, TIPENDIK, KEKEL, LOKASI,
LAYANAN).
Persamaan fungsi PELRT strata j dalam bentuk model dasar dan pengembangan
model akan diestimasi dalam setiap strata golongan tarif.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 378


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

3. 4 Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel


Untuk memudahkan pengenalan terhadap variabel-variabel dalam model,
baik variabel dependen maupun variabel independen, perlu diuraikan defenisi
operasional serta pengukuran dari setiap variabel sebagaimana disajikan sebagai
berikut :
Kode, Nama dan Defenisi Variabel
No Kode dan Nama Defenisi Variabel
Variabel
PELRT Jumlah energi listrik rata-rata yang
(Permintaan Energi dikonsumsi/digunakan per bulan dari pelanggan
1 Listrik Rumah kelompok rumah tangga untuk setiap strata/golongan
Tangga) tarif j selama 3 bulan terakhir.
(dalam kilowatt-hours (KWh))
PENDPTN Total pendapatan yang diperoleh anggota rumah tangga,
2 (Pendapatan Rumah baik dari kepala rumah tangga maupun anggota rumah
Tangga) tangga yang lain untuk setiap strata golongan tarif j yang
memanfaatkan listrik selama 3 bulan terakhir (dalam
Rp/bulan).
WTPKWH Kesediaan atau kemauan pelanggan rumah tangga pada
(Willingness To Pay strata j untuk membayar harga energi listrik yang
3 per KWh) digunakannya setiap bulan. WTPKWH yang diukur
dalam Rp per KWh diperoleh dari hasil bagi antara WTP
per bulan dengan rata-rata PELRT per bulan (Contoh
instrumen pada Lampiran 5).
JUMRUANG Jumlah ruangan (misalnya, kamar tidur, ruang tamu,
4 (Jumlah Ruangan) dapur, dan lain-lain) yang dimiliki oleh rumah tangga
pada strata j.
(dalam unit per rumah tangga)
HBL Harga barang energi lain yang dikonsumsi oleh rumah
(Harga Barang Lain) tangga strata j, selain energi listrik yang dapat berfungsi
5 sebagai substitusi, yaitu bahan bakar minyak (BBM :
minyak lampu dan solar) dan gas selama 3 bulan
terakhir. Variabel HBL terdiri atas variabel HBLBBM
dan HBLGAS. (dalam Rp per liter dan Rp per tabung).
ETNIS Jenis etnis konsumen rumah tangga di Kota Medan yang
(Kelompok etnis hanya dibatasi untuk dua kelompok yaitu rumah tangga
6 rumah tangga) pribumi dan rumah tangga nonpribumi. Varibel ETNIS
adalah dummy variable.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 379


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

(1 = rumah tangga pribumi, 0 = rumah tangga


nonpribumi)

PEKERJN Status atau jenis pekerjaan kepala rumah tangga sebagai


(Pekerjaan Kepala sumber pendapatan rumah tangga. Status atau jenis
Keluarga) pekerjaan terdiri dari : pegawai negeri sipil (PNS)
7 termasuk ABRI/POLRI dan pensiunan PNS,
karyawan/pegawai swasta, wiraswasta, dan lainnya.
Variabel PEKERJN adalah dummy variable.
(1 = pegawai negeri sipil (PNS) , 0 = lainnya)
TIPENDIK Rata-rata tingkat pendidikan yang dimiliki oleh anggota
(Tingkat Pendidikan) keluarga yang terdiri atas kepala keluarga (ayah dan ibu),
anak dan orang lain yang tinggal menetap di rumah.
8 Variabel TIPENDIK diukur dengan jumlah tahun
lamanya semua anggota keluarga mengikuti pendidikan
dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang
diasumsikan tingkat SD = 6 tahun, tingkat SMP = 3
tahun, tingkat SMU/SMK = 3 tahun, dan Perguruan
Tinggi = 4 tahun.
KEKEL Frekuensi atau kekerapan kegiatan-kegiatan atau acara-
(Kegiatan Keluarga) acara keluarga yang dilakukan oleh rumah tangga strata j,
di luar kegiatan biasa, seperti pesta keluarga, acara dari
9 tempat pekerjaan/kantor, dan lain-lain setiap bulannya
yang dilakukan di dalam rumah.
(diukur dalam berapa kali kegiatan dilakukan setiap
bulannya selama tiga bulan terakhir)
LOKASI Tempat yang menunjukkan posisi strategis di rayon atau
(Lokasi) di ranting mana konsumen rumah tangga strata j berada
10 atau bertempat tinggal. Varibel LOKASI adalah dummy
variable.
(1 = rumah tangga yang tinggal di pusat kota, 0 = rumah
tangga yang tinggal pinggir kota)
LAYANAN Variabel yang menunjukkan bagaimana tingkat
(Pelayanan umum PT pelayanan PT. PLN Cabang Medan secara umum kepada
11 PLN) konsumen rumah tangga pada setiap strata j. Variabel
LAYANAN ini diukur dengan rating 1 sampai 10 yang
menunjukkan tingkat ketidakpuasan sampai sangat puas.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 380


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Metode Analisis
Kedua bentuk model persamaan fungsi PELRT (model dasar dan
pengembangan model) di atas dianalisis dengan Regresi Linier Berganda.
Bentuk matematis regresi linier berganda yang akan diestimasi dalam penelitian
ini diformulasikan sebagai berikut :
Model Dasar (Model I) :
PELRTstrata j = β0 + β1PENDPTN + β2WTPKWH + β3 INDALIST + β4
JAKEL + β5 JUMRUANG + β6HBLBBM + β7HBLGAS +
β8ETNIS + u

Model Pengembangan (Model II) :


PELRTstrata j = β0 + β1PENDPTN + β2WTPKWH + β3 INDALIST + β4
JAKEL + β5 JUMRUANG + β6HBLBBM + β7HBLGAS +
β8ETNIS + β9 PEKERJN β10TIPENDIK + β11KEKEL +
β12LOKASI + β13LAYANAN + u,
dan β1, β2 , β3, β4, β5, β6, β7, β8, β9, β10, β11, β12, β13 adalah koefisien regresi
masing-masing variabel independen. Adapun tanda koefisien yang diharapkan
dari masing-masing model adalah : β1 > 0, β2 < 0, β3 > 0, β4 > 0, β5 > 0, β6 > 0,
β7 > 0, β8 > 0 atau < 0, β9 > 0 atau <0, β10 > 0, β11 > 0 , β12 > 0 atau < 0 , β13> 0.
Untuk menentukan model mana yang lebih baik antara Model Dasar
(Model I) dan Pengembangan Model (Model II) untuk setiap strata, digunakan
Ramsey’s RESET (regression specification error) Test, t-statistik, jumlah
variabel independen yang signifikan (Gujarati 2003 ; Susilowati 1998).. Untuk
melihat apakah hasil estimasi sudah memenuhi asumsi dasar linier klasik atau
belum (terpenuhinya asumsi-asumsi estimator OLS dari koefisien-koefisien
regresi adalah BLUE (Best Linear Unbias Estimator), dilakukan uji diagnostik
terdiri atas uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji multikolinearitas.
Sedangkan untuk mengetahui dampak perubahan variabel-variabel independen
maka digunakan analisis elastisitas.

IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


4. 1 Estimasi Permintaan Energi Listrik Rumah Tangga
Model permintaan energi listrik rumah tangga (PELRT) diformulasikan
dalam dua model : 1) Model Dasar (Model I) ; dan 2) Model Pengembangan
(Model II). Kemudian, kedua model tersebut diestimasi untuk setiap strata yang

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 381


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

terdiri dari : 1) strata gabungan, 2) strata 450 VA, 3) strata 900 VA, 4) strata
2200 VA, dan 5) strata R-2 ( > 2200 – 6600 VA). Secara umum, hasil estimasi
menunjukkan bahwa untuk setiap strata, dari kemungkinan pilihan model dasar
(Model I) dan model pengembangan (Model II) diketahui kalau Model II
(Pengembangan Model) adalah model yang lebih baik, sebagaimana disajikan
pada Tabel 3 (Lampiran 6).

4. 2 Analisis Elastisitas
Untuk mengetahui dampak perubahan variabel-variabel independen maka
digunakan analisis elastisitas. Rangkuman hasil perhitungan elastisitas
permintaan dari model terpilih untuk setiap strata disajikan pada Tabel 4
(Lampiran 7).
4. 3 Analisis Model Permintaan Energi Listrik Rumah Tangga
Analisis model permintaan energi listrik rumah tangga untuk setiap variabel
independen adalah sebagai berikut.
4. 3. 1 Pendapatan (PENDPTN)
Estimasi untuk setiap strata menunjukkan bahwa hubungan antara variabel
pendapatan (PENDPTN) dengan permintaan energi listrik rumah tangga
(PELRT) adalah positif. Variabel pendapatan berpengaruh positif secara
signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Dengan demikian,
untuk setiap strata hipotesis 1 terbukti atau dapat diterima. Hasil temuan ini
konsisten dengan studi Wilder dan Willenborg 1975 ; Jaffee et al. 1982 ;
Matdigan et al. 1983 ; Garbacz 1984 ; dan Jung 1993 ; Akmal dan Stern 2001
yang menunjukkan bahwa hubungan antara pendapatan dan permintaan energi
listrik adalah positif dan signifikan.
Elastisitas pendapatan untuk setiap strata adalah positif (0 < e < 1). Hal
ini menunjukkan bahwa listrik adalah barang normal. Secara umum semakin
besar daya terpasang listrik pada rumah tangga, elastisitas pendapatan semakin
besar kecuali untuk strata R-2 yang justru memiliki nilai elastisitas pendapatan
yang lebih rendah dibanding dengan strata 2200 VA. Namun, secara umum ini
berarti bahwa untuk strata rumah tangga dengan daya listrik yang lebih besar
(dengan pendapatan rata-rata lebih tinggi) memiliki pola konsumsi listrik yang
lebih tinggi. Dari temuan ini dapat diprediksi bahwa permintaan energi listrik
rumah tangga akan terus meningkat sehubungan dengan naiknya pendapatan
dan bertambahnya jumlah penduduk. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 382


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

temuan Wilder dan Willenborg 1975 dengan nilai elastisitas 0,34. Di Indonesia,
Amarullah 1983 menemukan bahwa elastisitas pendapatan jangka pendek
adalah 0,80 dan menunjukkan bahwa listrik adalah barang normal.
Rendahnya nilai elastisitas pendapatan untuk setiap strata berhubungan
dengan daya kapasitas yang terbatas setiap strata. Artinya, penggunaan energi
listrik untuk setiap strata dibatasi sampai daya tertentu. Oleh karena itu,
walaupun pendapatan rumah tangga naik yang dapat meningkatkan pembelian
alat-alat listrik, tetapi karena pemakaian listrik dibatasi sampai batas daya
tertentu maka pengaruh kenaikan pendapatan tersebut terhadap perubahan
permintaan listrik adalah kecil (rendah). Dengan demikian, jika pendapatan
rumah tangga naik dan ingin meningkatkan permintaan listrik dengan
menambah alat-alat listrik, maka konsumen rumah tangga harus terlebih dulu
menambah kapasitas daya listriknya. Misalnya, untuk strata 450 VA kapasitas
daya listriknya dapat dinaikkan menjadi 900 VA atau 1300 VA, dan
seterusnya, begitu juga untuk strata-strata lainnya.
Jika diamati lebih lanjut, nilai-nilai elastisitas pendapatan di atas
menunjukkan nilai-nilai yang semakin meningkat jika semakin tinggi
strata/golongan tarif untuk strata 450 VA, 900 VA, 1300 VA dengan nilai
masing-masing 0,154 ; 0,160 ; 0,431 ; namun elastisitas menurun kembali untuk
strata 2200 VA dan strata R-2 dengan nilai 0,283 dan 0,197. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendapatan jumlah konsumsi listrik
juga meningkat, atau sebaliknya. Tetapi untuk strata 2200 VA dan R-2 semakin
rendah nilai elastisitasnya menunjukkan dampak perubahan pendapatan adalah
rendah, dan bukan pendapatan dan konsumsi listriknya yang rendah. Temuan ini
juga menunjukkan bahwa semakin tinggi strata/golongan tarif, persentase dari
pendapatan yang digunakan untuk membayar listrik juga meningkat. Semakin
tinggi pendapatan rata-rata maka persentase willingness to pay (WTP) untuk
listrik dari pendapatan rata-rata semakin tinggi pula. Indikasi ini juga terjadi
pada penggunaan energi listrik, yaitu semakin tinggi strata/golongan tarif dan
pendapatan semakin tinggi, energi listrik semakin banyak digunakan juga
semakin meningkat. Terutama untuk strata R-2 (rumah tangga besar) banyak
menggunakan alat-alat listrik yang mewah, yang tentu saja akan menambah
persentase pengeluaran dari pendapatan karena pada umumnya alat-alat listrik
mewah ini mempunyai daya (watt) yang cukup tinggi.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 383


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

4.3.2 Harga Listrik dengan Willingness To Pay per KWh (WTPKWH)


Untuk setiap strata, hubungan antara variabel WTPKWH dengan PELRT
adalah negatif. Variabel willingness to pay per KWh berpengaruh negatif secara
signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Dengan demikian
untuk setiap strata hipotesis 2 terbukti atau dapat diterima. Pada studi-studi
terdahulu, penetapan variabel harga listrik berbeda-beda namun dalam
estimasinya semua studi terdahulu tersebut menemukan bahwa hubungan antara
harga listrik dengan permintaan energi listrik rumah tangga konsisten dengan
teori yaitu hubungan negatif dan signifikan.
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa harga yang diproksi dengan WTP
per KWh mempunyai hubungan negatif dengan permintaan energi listrik rumah
tangga dan signifikan. Oleh karena itu, proksi harga dengan WTP konsisten
dengan teori dan tidak berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu dari segi
tanda dan signifikansi. Elastisitas WTPKWH untuk setiap strata menunjukkan
nilai elastisitas yang lebih kecil dari 1 (e < 1), yang berarti permintaan energi
listrik adalah inelastis. Secara umum, hal ini menunjukkan bahwa energi
listrik tidak banyak mempunyai barang pengganti (substitusi). Walaupun ada
barang pengganti seperti lilin, petromaks, lampu teplok, lampu semporong dan
batrei/dinamo namun kualitasnya rendah karena fungsinya hanya digunakan
untuk pengganti penerangan saja atau untuk alat-alat listrik yang daya atau
wattnya rendah. Sedangkan untuk alat-alat listrik lainnya seperti kulkas, AC,
televisi, dan lain-lain harus menggunakan generator dan sumber energinya
adalah bahan bakar minyak solar atau bensin. Padahal untuk menggunakan
generator diperlukan investasi yang besar, yang belum tentu rumah tangga
mampu untuk membelinya. Fakta lain yang mendukung adalah bahwa energi
listrik masih merupakan barang monopoli, karena belum ada pihak lain yang
secara bebas menjualnya.
Nilai-nilai elastisitas WTPKWH dari strata 450 VA, strata 900 VA, sstrata
1300 VA menunjukkan nilai-nilai yang semakin meningkat, masing-masing -
0,232 ; -0,324 ; -0,667, namun menurun kembali untuk strata 2200 VA dan
strata R-2 dengan nilai elastisitas -0,237 dan 0,228. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi nilai elastisitas ketiga strata tersebut akan mengubah pola
konsumsi listrik yang lebih tinggi, karena WTP yang lebih tinggi, atau
sebaliknya. Tetapi untuk strata 2200 VA dan R-2 semakin rendahnya nilai

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 384


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

elastisitas menunjukkan dampak perubahan WTPKWH adalah rendah, bukan


WTP atau konsumsi listriknya yang rendah.
Untuk strata 1300 VA nilai elastisitasnya lebih tinggi (-0,667) dibandingkan
dengan strata lainnya. Ini berarti dengan persentase perubahan harga yang sama,
strata 1300 VA akan mengubah pola konsumsi listrik yang lebih banyak. Strata
1300 VA memiliki elastisitas WTP per KWh yang lebih tinggi dibandingkan
dengan strata 450 VA, starat 900 VA, strata 2200 VA, dan strata R-2. Hal ini
menunjukkan bahwa strata 1300 VA lebih peka terhadap perubahan WTP per
KWh dibanding dengan strata lainnya.
Namun secara umum dapat dikatakan bahwa semua strata tidak terlalu peka
terhadap perubahan WTP per KWh listrik. Dari temuan ini dapat diprediksi
bahwa kelompok rumah tangga yang mempunyai rata-rata pendapatan dan WTP
yang lebih tinggi akan terus meningkatkan penggunaan energi listrik.
4.3.3 Indeks Alat-alat Listrik (INDALIST)
Untuk setiap strata, hubungan antara variabel INDALIST dengan PELRT
adalah positif. Variabel indeks alat-alat listrik berpengaruh secara signifikan
terhadap permintaan energi listrik rumah tangga, yang berarti hipotesis 3
terbukti atau dapat diterima untuk semua strata. Pada penelitian-penelitian
terdahulu, pengukuran variabel alat-alat listrik sangat bervariasi. Wilder dan
Willenborg 1975 ; Jaffee et al. 1982 menggunakan stok kapital alat listrik yang
dinyatakan dalam jumlah alat listrik yang dimiliki oleh rumah tangga. Garbacz
1984 dan Jung 1993 menggunakan indeks alat listrik yang merefleksikan
jumlah alat listrik dan daya (watt)nya. Wilder et al. 1992 ; Reiss dan White
2001 menggunakan dummy yang menunjukkan pemilikan jenis alat-alat listrik.
Namun, apa pun jenis pengukuran yang dilakukan, semua penelitian terdahulu
tersebut konsisten dengan teori yang menunjukkan bahwa hubungan antara alat-
alat listrik dengan permintaan alat-alat listrik adalah positif dan signifikan.
Wujud jumlah listrik yang digunakan oleh rumah tangga yang dinyatakan
dalam KWh (kilowatt-hours) merupakan aktivitas dari penggunaan alat-alat
listrik. Namun yang perlu dicermati adalah intensitas penggunaannya. Ada dua
hal yang perlu diperhatikan :
1. Dalam kenyataannya, suatu rumah tangga bisa saja mempunyai banyak alat
listrik yang berarti indeks alat listriknya tinggi, tetapi jika intensitas
penggunaannya rendah, jumlah Kwh terpakai juga rendah.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 385


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

2. Daya (watt) untuk setiap jenis alat listrik sangat berbeda-beda, ada dayanya
yang rendah dan ada yang tinggi. Angka atau jumlah daya sangat
menentukan dalam perhitungan indeks.
Dalam penelitian ini, secara umum ditemukan bahwa semakin tinggi daya
kapasitas listriknya, indeks alat listriknya semakin tinggi, yang berarti semakin
banyak jumlah alat listrik yang dimiliki dan secara langsung meningkatkan
penggunaan listrik. Berbeda dengan strata 900 VA. Rata-rata jumlah alat listrik
yang dimiliki oleh strata 900 VA lebih banyak dari rata-rata jumlah alat listrik
yang dimiliki strata oleh 450 VA, tetapi indeks alat listrik strata 900 VA sebesar
18 lebih kecil dari indeks alat listrik strata 450 VA (20,07). Hal ini
menunjukkan bahwa strata 900 VA menggunakan alat-alat listrik yang lebih
hemat daya (watt) listriknya dibandingkan dengan strata 450 VA.
Nilai elastisitas INDALIST adalah rendah untuk setiap strata, masing-
masing 0,204 ; 0,274 ; 0,517 ; 0,414 ; dan 0,474. Secara umum, hal ini
mengindikasikan perubahan indeks kepemilikan alat-alat listrik tidak terlalu
peka terhadap permintaan energi listrik. Nilai-nilai elastisitas INDALIST juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi strata atau kapasitas daya rumah tangga,
maka intensitas pemakaian alat-alat listrik semakin tinggi dan juga jumlah alat-
alat listrik yang dimiliki semakin banyak.
4.3.4 Jumlah Anggota Keluarga (JAKEL)
Hubungan antara variabel JAKEL dengan PELRT untuk setiap strata adalah
positif. Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh secara signifikan pada
permintaan energi listrik rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis 4
terbukti atau dapat diterima untuk setiap strata. Temuan penelitian ini sesuai
dengan studi Wilder dan Willenborg 1975 ; Jung 1993 ; Filippini 1998 ; dan
Damsgaard 2003. Temuan serupa juga dikemukakan oleh Petersen 2002, tetapi
variabel jumlah anggota keluarga dibatasi hanya untuk jumlah anak yang dibagi
dalam 8 kelompok umur. Semua kelompok umur signifikan secara positif
terhadap permintaan energi listrik rumah tangga pada signifikansi 5%. Akan
tetapi, temuan Filippini dan Pachauri 2004 berbeda pada masyarakat India,
yaitu bahwa jumlah anggota keluarga listrik tidak berpengaruh secara signifikan
pada jumlah permintaan energi listrik rumah tangga.
Hasil studi Maddigan et al. 1983 berbeda lagi, dia menyimpulkan bahwa
koefisien variabel ukuran (jumlah) anggota keluarga bisa positif bisa negatif.
Alasannya adalah besarnya konsumsi listrik tergantung pada banyaknya alat

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 386


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

listrik yang digunakan. Namun, dia juga sependapat bahwa jika ukuran keluarga
semakin besar ada kecenderungan lebih banyak menggunakan energi listrik.
Sedangkan Reiss dan White 2001 di California, USA menemukan bahwa
jumlah anak berpengaruh secara signifikan hanya untuk alat-alat listrik load
based (alat-alat listrik yang hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan pokok
seperti memasak, mencuci, lampu, AC, dll).
Nilai elastisitas JAKEL rendah, masing-masing 0,225 ; 0,263 ; 0,277 ;
0,420 ; 0,301 ; dan 0,429. Hal ini berarti perubahan jumlah anggota keluarga
tidak terlalu peka terhadap permintaan energi listrik.
4.3.5 Jumlah Ruangan/Kamar (JUMRUANG)
Untuk setiap strata, hubungan antara variabel JUMRUANG dengan PELRT
adalah positif. Variabel jumlah ruangan/kamar berpengaruh secara signifikan
pada permintaan energi listrik rumah tangga, berarti hipotesis 5 terbukti atau
dapat diterima untuk setiap strata. Hasil penelitian ini sesuai dengan studi
Jaffee et al. 1982 ; Reiss dan White 2001. Mereka menemukan bahwa jumlah
kamar dan jenis bangunan berpengaruh signifikan dan positif pada penggunaan
alat-alat listrik dan secara langsung mempengaruhi jumlah permintaan energi
listrik rumah tangga. Berbeda dengan studi Jung 1993 di Korea. Dia lebih
menekankan pada luas bangunan daripada jumlah kamar. Dia menemukan
bahwa semakin besar (luas) kamar, semakin banyak penggunaan listrik.
Nilai elastisitas JUMRUANG lebih rendah pada strata 450 VA dan 900 VA
yaitu 0,088 ; 0,388. Tetapi untuk strata 1300 VA, strata 2200 VA, dan strata R-2
elastisitanya lebih tinggi yaitu 0,688 ; 0,524 ; dan 0,629. Ini berarti untuk ketiga
strata tersebut, perubahan jumlah ruangan/kamar lebih peka terhadap
permintaan energi listrik. Secara umum, hal ini mengindikasikan bahwa
pertambahan jumlah ruangan/kamar dalam rumah yang dapat meningkatkan
permintaan energi listrik selalu dibatasi oleh kapasitas daya (watt).
4.3.6 Harga Barang Energi Lain (Bahan Bakar Minyak dan Gas)
(HBLBBM dan HBLGAS)
Hubungan antara variabel HBLBBM dengan PELRT adalah positif, yang berarti
setiap kenaikan harga BBM akan meningkatkan permintaan energi listrik rumah
tangga. Varibel harga barang lain (bahan bakar minyak) berpengaruh secara
signifikan terhadap permintaan energi listrik. Dengan demikian hipotesis 6
untuk harga bahan bakar terbukti atau dapat diterima untuk semua strata.
Koefisien variabel HBLBBM bertanda positif menunjukkan bahwa bahan bakar

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 387


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

minyak adalah barang substitusi bagi energi listrik. Peningkatan harga bahan
bakar minyak (BBM) terjadi karena penggunaan bahan bakar minyak untuk
generator listrik untuk menggantikan listrik PT PLN. Namun, secara umum
telah menaikkan kembali penggunaan energi listrik rumah tangga.
Variabel HBLGAS hanya diestimasi untuk strata 2200 VA dan R-2. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa koefisien variabel HBLGAS adalah positif.
Artinya, setiap kenaikan gas akan menaikkan permintaan energi listrik rumah
tangga. Namun hasil estimasi menunjukkan baik untuk strata 2200 VA maupun
strata R-2 variabel HBLGAS tidak berpengaruh secara signifikan. Dengan
demikian, hipotesis 6 tentang gas tidak terbukti atau ditolak. Koefisien
variabel HBLGAS bertanda positif menunjukkan bahwa gas adalah barang
substitusi bagi energi listrik. Secara umum, untuk kedua strata, energi gas hanya
digunakan untuk memasak.
Hasil studi terdahulu seperti temuan Maddigan et al. 1983 di lima wilayah
koperasi kelistrikan di USA, menunjukkan bahwa bahan bakar minyak
merupakan substitusi bagi energi listrik dan berpengaruh secara signifikan,
sedangkan untuk gas tidak signifikan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini sesuai
dengan temuan Maddigan et al. 1983. Berbeda dengan studi yang dilakukan
oleh Akmal dan Stern 2001 di Australia yang menemukan bahwa gas sangat
signifikan berpengaruh terhadap listrik. Begitu juga dengan hasil penelitian
Petersen (2002) di Denmark, variabel gas secara signifikan berpengaruh positif
terhadap permintaan energi listrik rumah tangga dan merupakan barang
substitusi.
Nilai elastisitas harga silang untuk setiap strata adalah positif, sekaligus
menunjukkan bahwa BBM dan gas adalah barang substitusi untuk energi listrik.
Nilai elastisitas harga silang BBM untuk masing-masing strata adalah 0,472 ;
0,583 ; 0,386 ; 0,783 ; dan 1,083. Secara umum dapat dilihat bahwa semakin
tinggi strata atau kapasitas daya elastisitas HBLBBM semakin tinggi, karena
strata yang lebih tinggi (strata 2200 VA dan strata R-2) sudah lebih banyak
menggunakan BBM, misalnya untuk generator ; sedangkan untuk strata yang
lebih rendah BBM hanya digunakan untuk penerangan saja. Di lain pihak, nilai
elastisitas harga silang yang lebih rendah pada strata/golongan tarif yang lebih
rendah juga menunjukkan tidak banyak pilihan terhadap barang substitusi
karena dibatasi oleh pendapatan yang rendah. Begitu juga sebaliknya, nilai
elastisitas harga silang akan semakin tinggi pada strata/golongan tarif yang lebih

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 388


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

tinggi menunjukkan lebih banyak pilihan terhadap barang substitusi karena


pendapatan yang lebih tinggi pula.
Elastisitas harga silang untuk bahan bakan minyak (HBLBBM) untuk strata
2200 VA dan R-2 ( > 2200 VA – 6600 VA) lebih elastis dibandingkan dengan
strata lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk kedua strata tersebut
penggunaan bahan bakar minyak untuk generator bukan lagi hanya untuk
penerangan, tetapi sudah digunakan untuk menghidupkan alat-alat listrik
lainnya seperti kulkas, AC, dan lain-lain.
Nilai elastisitas HBLGAS untuk strata 2200 VA dan strata R-2 masing-
masing 0,457 dan 0,160. Nilai elastisitas HBLGAS lebih peka pada strata 2200
VA dibanding dengan strata R-2. Hal ini dapat didukung oleh rata-rata tingkat
penggunaan energi listrik yang berbeda pada strata 2200 VA adalah 381,32
KWh per bulan, lebih kecil dibandingkan dengan strata R-2 dengan rata-rata
penggunaan energi listrik sebesar 633,86 KWh per bulan. Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa kebutuhan gas relatif lebih besar untuk strata 2200 VA
yang digunakan untuk memasak daripada menggunakan alat masak listrik ;
sedangkan kebutuhan gas untuk strata R-2 relatif lebih sedikit untuk memasak,
namun lebih banyak menggunakan alat masak listrik.
4.3.7 Kewarganegaraan (ETNIS)
Untuk strata 450 VA, strata 900 VA, strata 2200 VA dan strata R-2, Tabel
5. 8 menunjukkan permintaan energi listrik rumah tangga berbeda secara tidak
signifikan antara rumah tangga etnis pribumi dan rumah tangga etnis non-
pribumi. Hal ini berarti hipotesis 7 tidak terbukti atau ditolak untuk keempat
strata tersebut. Akan tetapi, untuk strata gabungan dan strata 1300 VA,
permintaan energi listrik variabel berbeda secara signifikan antara rumah tangga
etnis pribumi dan rumah tangga etnis nonpribumi, dan hipotesis 7 terbukti
atau dapat diterima pada kedua strata ini. Untuk setiap strata koefisien regresi
variabel ETNIS adalah negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan
rata-rata permintaan energi listrik untuk rumah tangga etnis pribumi lebih
sedikit dibandingkan dengan rumah tangga etnis non-pribumi.
Temuan yang menunjukkan bahwa etnis nonpribumi lebih banyak
menggunakan listrik dibanding etnis pribumi, hal ini diindikasikan oleh karena
etnis non-pribumi lebih lama dan lebih banyak menggunakan alat-alat listrik
rumah tangga yang memiliki daya (watt) yang lebih besar seperti AC, kulkas,
vacuum cleaner, dan lain-lain. Kemudian etnis non-pribumi lebih banyak

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 389


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

tinggal di rumah-rumah toko yang berimpit yang lebih banyak menggunakan


alat penerangan dan alat pendingin.
Beberapa studi yang memasukkan variabel ras (etnis) dalam permintaan
energi listrik rumah tangga adalah Wilder dan Willenborg 1975 ; Garbacz 1984.
Hasil studi Wilder dan Willenborg 1975 di USA menunjukkan bahwa ras kulit
putih secara signifikan berpengaruh terhadap penggunaan alat-alat listrik. Ras
kulit putih lebih sedikit menggunakan listrik dibandingkan dengan ras kulit
hitam. Hal yang sama juga ditemukan oleh Garbacz 1984 di USA bahwa ras
secara signifikan mempengaruhi penggunaan alat-alat listrik. Ras kulit putih
lebih sedikit menggunakan listrik dibandingkan dengan ras kulit hitam.
4. 2. 8 Pekerjaan (PEKERJN)
Untuk semua strata (gabungan, 450 VA, 900 VA, 1300 VA, dan R-2)
kecuali strata 2200 VA permintaaan energi listrik berbeda secara tidak
signifikan antara rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga sebagai
PNS/Polri/ABRI/Pensiunan dan rumah tangga dengan pekerjaan kepala
keluarga yang bukan PNS/Polri/ABRI/Pensiunan. Hal ini menunjukkan bahwa
hipotesis 8 tidak terbukti atau ditolak untuk kelima strata tersebut. Tetapi
untuk strata R-2 koefisien regresinya positif yang mengindikasikan bahwa
penggunaan energi listrik untuk rumah tangga dengan pekerjaan kepala
keluarga sebagai PNS/ Polri/ ABRI/ Pensiunan lebih banyak dibandingkan
dengan rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga yang bukan
PNS/Polri/ABRI/Pensiunan.
4. 2. 9 Tingkat Pendidikan Anggota Keluarga (TIPENDIK)
Untuk semua strata (gabungan), strata 450 VA, strata 900 VA, strata 1300
VA, dan strata R-2 variabel TIPENDIK tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap PELRT, yang berarti hipotesis 9 tidak terbukti atau ditolak. Hal ini
mengindikasikan bahwa untuk kelima strata tersebut variabel tingkat pendidikan
tidak mempunyai dampak terhadap penggunaan listrik. Hal ini didukung oleh
kesimpulan Jung 1993 yang menyatakan bahwa tidaklah relevan menyatakan
bahwa suatu karakteristik demografik misalnya pendidikan selalu berpengaruh
terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Namun lebih lanjut Jung 1993
menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan, semakin banyak jumlah anggota
keluarga, semakin banyak jumlah ruangan/kamar dan semakin banyak jumlah
alat listrik yang digunakan, cenderung meningkatkatkan permintaan energi
listrik rumah tangga.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 390


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Namun untuk strata 2200 VA, variabel TIPENDIK berpengaruh secara


positif dan signifikan terhadap PELRT. Hal ini menunjukkan bahwa untuk
strata ini, semakin tinggi tingkat pendidikan anggota keluarga semakin banyak
menggunakan listrik, yang berarti Hipotesis 9 terbukti atau dapat diterima.
Studi Damsgaard 2003 di Swedia menemukan bahwa hubungan tingkat
pendidikan dengan permintaan energi listrik adalah positif, tetapi tidak
signifikan. Variabel pendidikan hanya diukur untuk anggota keluarga yang
berpendidikan setara SMA dan perguruan tinggi saja, tidak mencakup tingkat
pendidikan untuk semua anggota keluarga.
4. 2. 10 Frekuensi Kegiatan Keluarga (KEKEL)
Untuk semua strata (gabungan), strata 450 VA, strata 900 VA, strata 1300
VA, strata 2200 VA, dan strata R-2 hasil estimasi menunjukkan bahwa
hubungan antara variabel KEKEL dengan PELRT adalah positif. Variabel
kegiatan keluarga berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan energi
listrik. Artinya, semakin tinggi frekuensi kegiatan keluarga maka jumlah
penggunaan atau permintaan energi listrik akan semakin meningkat. Dengan
demikian, hipotesis 10 terbukti atau dapat diterima. Namun, nilai elastisitas
frekuensi KEKEL untuk setiap strata adalah rendah. Secara umum dapat
dikatakan bahwa perubahan frekuensi kegiatan keluarga dalam rumah tangga
tidak terlalu peka terhadap intensitas penggunaan energi listrik.
Dari lima variabel demografik (PEKERJN, TIPENDIK, KEKEL, LOKASI,
LAYANAN) yang ditambahkan pada model dasar (Model II) hanya variabel
KEKEL ini yang berpengaruh secara signifikan terhadap PELRT untuk setiap
strata. Hal ini mengindikasikan bahwa frekuesnsi kegiatan merupakan variabel
utama yang mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga.
4. 2. 11 Lokasi Rumah Tangga (LOKASI
Permintaan energi listrik berbeda secara signifikan antara rumah tangga
yang tinggal di tengah kota dan yang tinggal di pinggir kota hanya untuk strata
450 VA. Ini berarti hipotesis 11 terbukti atau dapat diterima untuk strata 450
VA, sedangkan untuk strata-strata lainnya hipotesis ini tidak terbukti atau
ditolak. Koefisien regresi positif pada strata 450 VA mengindikasikan bahwa
permintaan energi listrik lebih banyak pada rumah tangga di tengah kota
dibanding dengan rumah tangga di pinggir kota. Hal ini dibuktikan oleh tabulasi
deskriptif yaitu bahwa rata-rata penggunaan listrik untuk rumah tangga di

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 391


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

tengah kota sebanyak 114,84 KWh per bulan, sedangkan untuk rumah tangga di
pinggir kota sebanyak 95,30 KWh per bulan.
Untuk strata 900 VA, strata 2200 VA, dan strata R-2 permintaan energi
listrik berbeda tidak signifikan antara rumah tangga di tengah kota dan di
pinggir kota. Untuk ketiga strata tersebut, koefisien regresinya adalah negatif
yang mengindikasikan bahwa permintaan energi listrik lebih sedikit untuk
rumah tangga yang tinggal di tengah kota dibanding dengan yang tinggal di
pinggir kota. Temuan ini mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa rumah
tangga dengan strata/golongan tarif yang lebih besar dan mempunyai
pendapatan yang lebih besar lebih suka atau lebih nyaman jika tinggal di pinggir
kota, sehingga permintaan listrik di pinggir kota pun semakin tinggi.
Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan Garbacz 1984. Menurutnya,
permintaan energi listrik rumah tangga berbeda signifikan pada setiap lokasi
rumah tangga di USA. Garbacz membagi wilayah USA dengan empat wilayah :
Region North East, Region North Central, Region West dan Region South.
5. 2. 12 Pelayanan pihak PT PLN (LAYANAN)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa untuk semua strata (gabungan, 450 VA,
900 VA, 2200 VA, dan R-2) kecuali strata 1300 VA variabel LAYANAN tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap PELRT. Ini berarti hipotesis 12 tidak
terbukti atau ditolak. Hal ini mengindikasikan bahwa pelayanan yang
diberikan oleh PT PLN (Persero) tidak direspons oleh konsumen rumah tangga,
karena konsumen hanya dapat menerima saja apapun kebijakan pihak PT PLN.
Hal ini terjadi karena energi listrik hanya dimonopoli oleh PT PLN. Pada saat
penelitian ini dilakukan keadaan kelistrikan di daerah penelitian berada pada
masa kritis dimana sering dilakukan pemadaman karena kurangnya suplai listrik
dari PLN. Dalam situasi tersebut pihak PLN memberikan informasi pelayanan
tentang gerakan penghematan penggunaan listrik dengan cara 1) mengganti
alat-alat listrik dengan daya (watt) yang lebih rendah, 2) mengurangi pemakaian
listrik pada beban puncak (pukul 17.00 s.d. 22.00 WIB).

V. KESIMPULAN, KETERBATASAN, IMPLIKASI, DAN SARAN


5. 1 Kesimpulan
Untuk semua strata (gabungan) dan setiap strata (strata 450 VA, 900 VA,
1300 VA, 2200 VA, dan R-2/ >2200 VA – 6600 VA) permintaan energi listrik
rumah tangga dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh variabel-variabel

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 392


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pendapatan, indeks alat listrik, jumlah anggota keluarga, jumlah ruangan/kamar,


harga bahan bakar minyak, dan kegiatan keluarga, serta dipengaruhi secara
negatif dan signifikan oleh variabel willingness to pay (WTP) per KWh.
Koefisien regresi masing-masing sesuai dengan teori.
Dari lima variabel demografik (PEKERJN, TIPENDIK, KEKEL, LOKASI,
LAYANAN) yang ditambahkan pada model dasar (Model II) hanya variabel
KEKEL atau kegiatan keluarga yang berpengaruh secara signifikan terhadap
permintaan energi listrik rumah tangga untuk setiap strata. Hal ini
mengindikasikan bahwa frekuesnsi kegiatan merupakan variabel utama yang
mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga.
Pada strata 2200 VA dan R-2 variabel harga gas tidak signifikan terhadap
permintaan energi listrik rumah tangga walaupun tanda koefisiennya konsisten
dengan teori. Selanjutnya, koefisien regresi bertanda positif pada variabel harga
bahan bakar minyak dan harga gas menunjukkan bahwa bahan bakar minyak
dan gas adalah sebagai sumber energi substitusi untuk energi listrik.
Untuk variabel etnis dapat disimpulkan bahwa permintaan energi listrik
rumah tangga berbeda signifikan antara rumah tangga etnis pribumi dan non-
pribumi hanya pada strata 1300 VA dan semua strata (gabungan). Namun untuk
setiap strata, koefisien variabel etnis bertanda negatif, yang berarti permintaan
energi listrik lebih sedikit bagi rumah tangga etnis pribumi dibandingkan
dengan etnis non-pribumi. Temuan ini mengindikasikan bahwa pada umumnya
etnis non-pribumi lebih banyak menggunakan alat-alat listrik.
Selanjutnya, untuk variabel pekerjaan, permintaaan energi listrik berbeda
signifikan antara rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga sebagai
PNS/Polri/ABRI/Pensiunan dan rumah tangga dengan pekerjaan kepala
keluarga yang bukan PNS/Polri/ABRI/Pensiunan hanya pada strata 2200 VA
dengan tanda koefisien negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan
energi listrik untuk rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga sebagai
PNS/Polri/ABRI/Pensiunan lebih sedikit dibandingkan dengan rumah tangga
dengan pekerjaan kepala keluarga yang bukan PNS/Polri/ABRI/Pensiunan.
Kemudian, untuk variabel lokasi, permintaan energi listrik berbeda
signifikan antara rumah tangga di tengah kota dan di pinggir kota hanya pada
strata 450 VA dan koefisiennya positif. Namun untuk strata lainnya, koefisien
variabel lokasi bertanda negatif yang berarti permintaan energi listrik lebih
sedikit untuk rumah tangga yang tinggal di tengah kota dibandingkan dengan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 393


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

yang tinggal di pinggir kota. Temuan ini mengindikasikan adanya


kecenderungan bahwa rumah tangga dengan strata/golongan tarif yang lebih
besar dan mempunyai pendapatan yang lebih besar lebih suka atau lebih
nyaman jika tinggal di pinggir kota, sehingga permintaan listrik di pinggir kota
semakin tinggi. Variabel pendidikan hanya berpengaruh positif dan signifikan
pada strata 2200 VA, yang berarti semakin tinggi tingkat pendidikan anggota
keluarga jumlah energi listrik yang dikonsumsi akan meningkat. Sedangkan
variabel layanan (oleh PT. PLN) hanya berpengaruh signifikan untuk strata
1300 VA tetapi koefisien regresinya negatif.
Secara umum untuk setiap strata, nilai elastisitas pendapatan adalah positif.
Hal ini menunjukkan bahwa listrik adalah barang normal. Nilai-nilai elastisitas
pendapatan menunjukkan nilai-nilai yang semakin meningkat jika semakin
tinggi strata/golongan tarif untuk strata 450 VA, 900 VA, 1300 VA ; namun
elastisitas menurun kembali untuk strata 2200 VA dan strata R-2. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendapatan jumlah konsumsi listrik
juga meningkat, atau sebaliknya. Tetapi untuk strata 2200 VA dan R-2 semakin
rendah nilai elastisitasnya menunjukkan dampak perubahan pendapatan
terhadap listrik adalah rendah, namun bukan pendapatan dan konsumsi
listriknya yang rendah.
Elastisitas willingness to pay per KWh untuk setiap strata menunjukkan
nilai elastisitas yang lebih kecil dari satu, yang berarti permintaan energi listrik
adalah inelastis. Hal ini mengindikasikan bahwa barang substitusi untuk energi
listrik masih terbatas dan produksi listrik masih dimonopoli oleh PT PLN
(Persero). Adanya penggunaan generator masih terbatas hanya untuk strata yang
tinggi (strata R-2). Namun secara umum dapat dikatakan bahwa semua strata
tidak terlalu peka terhadap perubahan willingness to pay per KWh listrik. Dari
temuan ini dapat diprediksi bahwa kelompok rumah tangga yang mempunyai
rata-rata pendapatan dan willingness to pay yang lebih tinggi akan terus
meningkatkan penggunaan energi listriknya.
Nilai elastisitas harga silang untuk setiap strata adalah positif. Ini
menunjukkan bahwa sumber energi lain (bahan bakar minyak dan gas) adalah
barang substitusi untuk energi listrik. Elastisitas harga silang untuk bahan bakar
minyak untuk strata 2200 VA dan R-2 ( > 2200 VA – 6600 VA) lebih elastis
dibandingkan dengan strata lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk
kedua strata tersebut penggunaan bahan bakar minyak untuk generator bukan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 394


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

lagi hanya untuk penerangan, tetapi sudah digunakan untuk menghidupkan alat-
alat listrik lainnya seperti kulkas, AC, dan lain-lain. Nilai elastisitas harga gas
lebih peka pada strata 2200 VA dibandingkan dengan strata R-2 ( > 2200 VA –
6600 VA). Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan gas relatif lebih besar
untuk strata 2200 VA dibandingkan dengan kebutuhan gas untuk strata R-2.
5. 2 Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah : (1) Belum mengestimasi
permintaan energi listrik untuk rumah tangga yang kapasitas dayanya lebih
besar (Strata R-3/ > 6600 VA) ; (2) Penelitian ini belum mengungkap faktor-
faktor yang berhubungan atau yang mempengaruhi estimasi harga energi listrik
dan estimasi stok kapital alat-alat listrik ; (3) Penelitian ini dilakukan dengan
studi kasus di Kota Medan, sehingga kesimpulan hanya berlaku di Kota Medan
; (4) Penelitian ini hanya mengestimasi model permintaan energi listrik untuk
kelompok pengguna rumah tangga saja ; (5) Penelitian ini hanya mengestimasi
sisi permintaan energi listrik saja belum mengestimasi sisi penawaran atau
produsen (PT PLN).
5. 3 Implikasi
5. 3. 1 Implikasi Kebijakan
1. Dari semua variabel-variabel yang dapat mempengaruhi permintaan energi
listrik rumah tangga, hanya variabel willingness to pay (WTP) yang dapat
langsung memengaruhi kebijakan pihak PT PLN karena berhubungan
dengan penetapan harga/tarif listrik, sedangkan variabel-variabel
demografik lainnya tidak dapat dikontrol dan hanya dapat dianstisipasi
terhadap utilitas penggunaan listrik suatu rumah tangga. Oleh karena itu, PT
PLN (Persero) sudah perlu membebankan harga/tariff listrik dengan
mempertimbangkan WTP konsumen.
2. Rendahnya elastisitas pendapatan dan elastisitas WTP terutama pada
kelompok rumah tangga sederhana (strata 450 VA dan 900 VA)
menunjukkan keterbatasan pendapatan yang pada gilirannya membatasi
konsumsi listriknya. Namun untuk strata rumah tangga menengah dan besar
(strata 2200 VA dan R-2), elastisitas pendapatan dan WTP yang rendah
bukan menunjukkan karena rendahnya pendapatan atau WTP mereka, tetapi
karena keterbatasan pihak PT PLN menyediakan listrik yang cukup
sehingga perubahan pendapatan tidak terlalu peka terhadap penggunaan
listrik. Dalam situasi seperti ini, rumah tangga strata menengah dan besar

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 395


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

diindikasikan akan mudah beralih untuk menggunakan generator atau


pembangkit sendiri. Berdasarkan fakta ini, diharapkan pihak PT PLN
(Persero) Wilayah Sumut harus memperhatikan keseimbangan antara
permintaan energi listrik dan pasokannya (suplai). PT PLN (Persero)
Wilayah Sumut sudah perlu menggunakan mesin-mesin baru dengan
sumber-sumber energi alternatif terbarukan seperti panas bumi, tenaga air,
tenaga surya, tenaga angin, dan lain-lain.
3. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa listrik untuk rumah tangga adalah
produk akhir. Namun dalam kenyataannya banyak rumah tangga yang
menggunakan listrik bukan sebagai produk akhir tetapi sebagai input untuk
tujuan-tujuan produktif seperti industri rumah tangga, usaha jasa, usaha
dagang, dan lain-lain. Oleh karena itu, pihak PT PLN harus mengawasi
praktek-praktek seperti ini melalui peraturan-peraturan.
5. 3. 2 Kontribusi Terhadap Ilmu Pengetahuan
1. Estimasi permintaan energi listrik rumah tangga untuk setiap strata
konsumen, pengembangan model dengan menambah variabel-variabel
demografik dan penetapan harga listrik dengan proksi WTP diharapkan
merupakan kontribusi ilmiah (teori) penelitian ini.
2. Dengan memasukkan variabel-variabel demografik ke dalam estimasi,
sekaligus mendukung pendapat Anderson 1973 dan Matsukawa 2004 yang
menyatakan bahwa permintaan energi oleh suatu rumah tangga tidak hanya
merefleksikan pendapatan dan biaya (harga), tetapi juga merefleksikan
karakteristik-karakteristik demografik dan sosial di mana rumah tangga
berada, karena hal ini dapat mempengaruhi fungsi utilitas rumah tangga
tersebut.
3. Pada masa yang akan datang, variabel-variabel yang mempengaruhi
permintaan energi listrik rumah tangga dapat berkembang lebih luas.
Variabel-variabel tersebut dapat berkembang karena perubahan lingkungan
tempat tinggal, bentuk-bentuk bangunan rumah, dan terutama karena
perubahan teknologi. Model permintaan energi listrik rumah tangga dalam
penelitian ini, tetap dapat digunakan karena perubahan-perubahan tersebut
dapat mempengaruhi utilitas penggunaan listrik.
5. 4 Saran untuk Penelitian Berikutnya
1. Mengestimasi permintaan energi listrik untuk strata R-3 (> 6600 VA). Strata
R-3 adalah golongan tarif dengan sambungan tegangan rendah yang

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 396


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

diperuntukkan keperluan rumah tangga mewah. Rumah tangga strata R-3


memiliki jumlah dan jenis alat-alat listrik yang lebih banyak dibandingkan
dengan strata lainnya.
2. Memperluas cakupan penelitian dengan mengestimasi bukan hanya sisi
permintaan energi listrik saja tetapi juga pada sisi penawaran untuk
kelompok konsumen sosial, publik, bisnis, dan industri.

DAFTAR REFERENSI

Acton, J. P. ; B. M. Mitchell, dan R. Sohlberg. 1980. Estimating Residential


Electricity Demand under Declining-Block Tariffs : An Econometric
Study Using Micro-Data. Applied Economics, 12 : 145-161.
ADB (Asian Development Bank). 1999. Handbook for the Economic Analysis
of Water Supply Projects, http://www.adb.org/ [30 Agustus 2006].
Akmal, M., dan D. I. Stern. 2001. Residential Energy Demand in Australia : An
Application of Dynamic OLS. Department of Economics, Australian
National University, Canberra, Oktober 2001, http://www.
een.anu.edu.au/download-files/eep.0104.pdf [15 October 2004].
Amarullah, M. 1983. The Pricing of Electricity in Indonesia. Ph.D. dissertation.
The Faculty of the Department of Economics, University of Houston,
Texas.
Amarullah, M. 1984. Electricity Demand in Indonesia : An Econometric
Analysis. Publikasi LMK. Jakarta : Pusat Penyelidikan Masalah
Kelistrikan PLN.
Anderson, K. P. 1973. Residential Demand for Electricity : Econometrics
Estimates for California and the United States. Journal of Business, 46,
Iss. 4 (October 1973) : 526-532.
Archibald, R. B. ; D. H. Finifter ; dan C. E. Moody Jr. 1982. Seasonal Variation
in Residential Electricity Demand : Evidence from Survey Data. Applied
Economics, 14 : 167-181.
Barnes, R. ; R. G. ; dan R. Hagemann. 1981. The Short-run Residential Demand
for Electricity. The Review of Economics and Statistics, 63 (November
1981) : 541-552.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 397


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Bartels, R., dan D. G. Fiebig. 2000. Residential End-Use Electricity Demand :


Results from a Designed Experiment. The Energy Journal, 21, No. 2 : 51-
81.
Brown, R. E. dan J. G. Koomey. 2003. Electricity Use in California : Past
Trends and Present Usage. Energy Policy, 31 (July) : 849 - 863.
Chang, Y., dan E. M.Chombo. 2003. Electricity Demand Analysis Using
Cointegration and Error-Correction Models with Time Varying Parameters
: The Mexican Case. Department of Economics-MS 22, Rice University,
6100 Main Street, Houston, TX 77005-1892. http://www.
rnf.rice.edu/econ/papers/2003 papers/08 chang.pdf. [16 September 2004].
Damsgaard, N. 2003. Residential Electricity Demand : Effects of Behavior,
Attitudes and Interest. Department of Economics, Stockholm School of
Economics, http://www . damsgaard.com.files/demand.pdf. [24
September 2004].
Filippini, M. 1995. Electricity Demand by Time of Use : An Application of the
Household AIDS Model. Energy Economics (ENG), 17, Iss. 3 (July) : 197-
204.
Filippini, M., dan S. Pachauri. 2004. Elasticities of Electricity Demand in Urban
Indian Households. Energy Policy, 32, Iss. 3 (February) : 429 - 441.
Filippino, M. 1999. Swiss Residential Demand for Electricity. Applied
Economics Letters, 6 : 533-538.
Fujii, E. T., dan J. Mak. 1984. A Model of Household Electricity Conservation
Behavior. Land Economics, 60, No. 4 (November) : 340-351.
Garbacz, C. 1984. A National Micro-Data Based Model of Residential
Electricity Demand : New Evidence on Seasonal Variation. Southern
Economic Journal, 51, Iss. 1 (July) : 235-249.
Guertin, C. ; S. C. Kumbhakar ; dan A. K. Duraiappah. 2003. Determining
Demand for Energy Services : Investigating Income-Driven Behaviours.
International Institute for Sustainable Development, 161 Portage Avenue
East, 6th Floor Winnipeg, Manitoba, Canada, http://www.
iisd.org/pdf/2003/energy determining-demand.pdf [15 Oktober 2004].
Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics, 4th ed. New York : Mc-Graw Hill
Inc.
Halvorsen, B., dan B. M. Larsen. 1999a. Factors Determining the Growth in
Residential Electricity Consumption. Economic Survey, 3 : 33 - 42.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 398


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

____________________________. 1999b. Changes in the Pattern of Household


Electricity Demand over Time. Discussion Papers No. 255 (June),
Statistics Norway, Research Development,
http://www.ssb.no/publikasjoner/DP/dp.255.pdf [14 Oktober 2004].
Halvorsen, B. ; B. M. Larsen ; dan R.Nesbakken. 2003. Possibility for Hedging
from Price Increases in Residential Energy Demand. Discussion Papers
No. 347 (April), Statistics Norway, Research Department, http://www.
ssb.no/publiskasjoner/DP/dp. 347.pdf [14 Oktober 2004].
Halvorsen, R. 1975. Residential Demand for Electric Energy. The Review of
Economics and Statistics, 57, Iss.1 : 12-18.
___________. 1976. Demand for Electric Energy in the United States. The
Southern Economic Journal, 42 (April) : 610-625.
Hartman, R. S. 1983. The Estimation of Short-Run Household Electricity
Demand Using Pooled Aggregate Data. Journal of Business & Economic
Statistics, 1, No. 2 (April) : 127-135.
Henson, S. E. 1984. Electricity Demand Estimates under Increasing-Block
Rates. Southern Economic Journal, 51, Iss. 1 (July) : 147-156.
Jaffee, B. L. ; D. A. Houston ; dan R. W. Olshavsky. 1982. Residential
Electricity Demand in Rural Areas : The Role of Conservation Actions,
Engineering Factors and Economic Variables. The Journal of Consumer
Affairs, 16, No. 1 : 137-151.
Jung, T.Y. 1993. Ordered Logit Model for Residential Electricity Demand in
Korea. Energy Economics, 15 : 205-209.
Kadir, A. 2000. Distribusi dan Utilisasi Tenaga Listrik, Jakarta : Penerbit UI
Press.
Kadir, A.1995. Energi : Sumberdaya, Inovasi, Tenaga Listrik dan Potensi
Ekonomi, Jakarta : Penerbit UI Press.
Langmore, M., dan G. Dufty. 2004. Domestic Electricity Demand Elasticities,
Issues for the Victorian Energy Market. Working Papers, http://www .
vinnies.org.au /files /vic./domestic.pdf. [22 September 2004].
Larsen, B. M., dan R. Nesbakken. 2002. How to Quantify Household Electricity
End-use Consumption. Discussion Papers No. 346 (March), Statistics
Norway, Research Department, http://www. ssb.no/publiskasjoner/DP/dp.
346.pdf [14 Oktober 2004].

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 399


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Maddigan, R. J. ; W. S. Chern ; dan C. G. Rizy. 1983. Rural Residential


Demand for Electricity. Land Economics, 59, No. 2 (May) : 150-162.
Matsukawa, I. 2004. The Effects of Information on Residential Demand for
Electricity. The Energy Journal, 25, No. 1 : 1-17.
Matsukawa, I. ; H. Asano ; dan H. Kakimoto. 2000. Household Response to
Incentive Payments for Load Shifting : A Japanese Time-of-Day
Electricity Pricing Experiment. The Energy Journal, 21, No. 1 : 73-86.
McKean, J. R., dan W. D. Winger. 1992. Simultaneous Equation Estimates of
Electricity Demand for the Rural South : Revenue Projection when Prices
are Administered. Journal of Forecasting, 11 : 225-240.
Meetamehra. 2002. Demand Forecasting for Electricity. Working Papers,
http://www teriin.org/division/regdiv/docs/ft13.pdf. [17 September 2004].
Munley, V.G. ; L.W.Taylor ; dan J. P. Formby. 1990. Electricity Demand in
Multi-Family, Renter-Uccupied Residences. Southern Economic Journal,
57 (July) : 178-194.
Nagurney, F. K., dan D. A.Arceneaux. 1991. A Model for Predicting Electrical
Peak Demand. Journal of Business Forecasting (JBT) 10, Iss. 2 (Summer)
: 5-7.
Nam, P. K., dan T. V. H. Son. 2005. Household Demand for Improved Water
Services in Ho Chi Min City : A Comparison of Contingent Valuation and
Choice Modelling Estimates. Research Report No. 2005-RR3 : 1-23,
Economy and Environtment Program foe Southeast Asia (EEPSEA),
Singapore, http://www.eepsea.org [9 Agustus 2006].
Naughton, M. C. 1989. Regulatory Preferences and Two-Part Tariffs : The Case
of Electricity. Southern Economic Journal, 55, Iss. 3 : 743-758.
Nilagupta, P. 1999. Modelling Future Demand for Energy Resources : A Study
of Residential Electricity Usage in Thailand, Ph. D. dissertation, Michigan
State University, USA.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009,
Jakarta : Penerbit CV. Eka Jaya.
Peterson, S. L. 2002. Micro Econometric Modelling of Household Energy :
Testing for Dependence between Demand for Electricity and Natural Gas.
The Energy Journal, 23, No.4 : 67-84.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 400


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Philipson, L., dan L.Willis. 1999. Understanding Electric Utilities and De-
Regulation, New York : Marcel Decker Inc.
PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatra Utara. 2004. Prakiraan Kebutuhan Tenaga
Listrik Model DKL 3.01 .Materi Workshop (12 Mei 2004).
Reiss, P. C., dan M. W. White. 2001. Household Electricity Demand, Revisited.
Working Papers. http://www.nberg.org/ [12 Mei 2004].
RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) Tahun 2006 – 2015,
http://www.pln.go.id.[24-3-2006].
RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) Kota Medan, 2003.
Sexton, R. D., dan T. A. Sexton. 1987. Theoritical and Methodological
Perspectives on Consumer Response to Electricity Information. The
Journal of Consumer Affairs, 21, No. 2 : 238-257.
Silk, J. I., dan F. L. Joutz. 1997. Short and Long-run Elasticities in US
Residential Electricity Demand : A Co-integration Approach. Energy
Economics (ENG), 19, Iss. 4 (October) : 493-513.
Susilowati, I. 1998. Economics of Regulatory Compliance in the Fisheries of
Indonesia, Malaysia, and Philippines. Ph. D. dissertation. Faculty of
Economics and Management, Universiti Putra Malaysia.
Tarigan, B. 1998. Peramalan Kebutuhan Tenaga Listrik Kotamadya Medan
Tahun 1998 – 2007. Tesis. Program Studi Teknik Elektro, Program
Pascasarjana, Universitas Indonesia.
Tarigan, U. ; S. Hardi ; dan Siswarni. 2002. Analisis Kebutuhan Listrik Rumah
Tangga : Studi Kasus Propinsi Sumatra Utara. Laporan Penelitian.
Kerjasama Proyek Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi dan Fakultas Teknik Universitas Sumatra
Utara.
Taylor, L. D. 1979. Time-of-Day and Seasonal Demand for Electric Power.
Growth & Change, 10, Iss. 1 (January) : 105-110.
Terza, J. T., dan W. P. Welch. 1982. Estimating Demand Under Block Rates :
Electricity and Water. Land Economics, 58, No. 2 (May) : 181-188.
Turvey, R., dan D. Anderson. 1997. Electricity Economics : Essay and Case
Study. Working Papers. The International for Reconstruction and
Development, The World Bank, The John Hopkins University Press.
Westley, G. D. 1989. Commercial Electricity Demand in A Central American
Economy. Applied Economics, 21 : 1-17.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 401


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Wilder, R. P., dan J. F. Willenborg. 1975. Residential Demand for Electricity :


A Consusmer Panel Approach. Southern Economic Journal, 42, Iss. 2
(October) : 212-217.
Wilder, R. P. ; J. E. Johnson ; dan R. R. Glenn. 1992. Income Elasticity and
Residential Demand for Electricity. The Journal of Energy and
Development, 16 : 1-13.
Yusgiantoro, P. 2000, Ekonomi Energi : Teori dan Praktek, Jakarta : Penerbit
Pustaka LP3ES.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 402


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lampiran 1
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Teori

MODEL DASAR
(MODEL I)

PENDPTN

WTPKWH

INDALIST

JAKEL

JUMRUANG
STRATA/GOLONGAN
HBLBBM TARIF

HBLGAS

R-1/450 VA
ETNIS

R-1/900 VA
PENGEMBANGAN
MODEL PERMINTAAN ENERGI
(MODEL II)
LISTRIK R-1/1300 VA
PENDPTN RUMAH TANGGA
(PELRT)
R-1/2200 VA
WTPKWH

INDALIST R-2/2201 VA -
6600 VA
JAKEL
R-3/ > 6600 VA
JUMRUANG

HBLBBM

HBLGAS

ETNIS

PEKERJN

TIPENDIK

KEKEL

LOKASI

LAYANAN

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 403


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lampiran 2
Tabel 1
Populasi Konsumen Pada Rayon dan Ranting Terpilih Konsumen
Energi Listrik Rumah Tangga PT. PLN Cabang Kota Medan
(unit rumah tangga)

Golongan Tarif Tengah Kota Pinggir Kota Jumlah


(Rayon) (Ranting) Populasi
Medan Medan Helveti Sungga
Kota Timur a l
R-1/TR 450VA 21611 33839 23167 13132 91749
R-1/TR 900VA 16154 19818 16025 10020 62017
R-1/TR 1300VA 7119 5072 3356 4276 19823
R-1/TR 2200VA 10053 6950 2167 4040 23210
R-2/TR 2201VA- 5768 1540 809 1155 9272
6600VA 922 128 121 107 1278
R-3/TR > 6600VA
Jumlah Populasi 61627 67347 45645 32738 207349
Sumber : PT. PLN (Persero) Cabang Medan, 2006.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 404


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lampiran 3
Gambar 2
Sistematika Penarikan Sampel

POPULASI :
Kelompok Konsumen Rumah Tangg PT. PLN Cabang Medan

CLUSTER

Medan Medan Medan


Medan Kota Belawan Helvetia Sunggal Labuhan
Baru Selatan Timur

Medan Kota Medan Timur Helvetia Sunggal

STRATA : GOLONGAN TARIF/DAYA RUMAH TANGGA

R-1/ 450 VA, R-1/TR 900 VA, R-1/TR 1300 VA,


R-1/TR 2200 VA, R-2/TR 2201 s/d 6600 VA,
R-3/TR > 6600 VA

UNIT SAMPEL :
Konsumen Rumah Tangga PLN Justifikasi
Justifikasi Statistik Metodologi
Yang terpilih Berdasarkan Strata Golongan Penelitian
Tarif/Daya

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 405


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lampiran 4
Tabel 2
Distribusi Sampel Penelitian Konsumen Energi Listrik
Rumah Tangga PT. PLN Cabang Kota Medan
(unit rumah tangga)
Distribusi Sampel ***)
Golongan/Strata Jumlah Jumlah Tengah Kota Pinggir Kota
Tarif sampel *) sampel** (Rayon) (Ranting)
) Medan Medan Helveti Sungga
Kota Timur a l
R-1/TR 450VA 170 170 40 63 43 24
R-1/TR 900VA 115 115 30 37 30 18
R-1/TR 1300VA 37 60 15 15 15 15
R-1/TR 2200VA 43 64 19 15 15 15
R-2/TR 2201 - 17 60 15 15 15 15
6600VA 2 60 15 15 15 15
R-3/TR > 6600VA
Jumlah 383 529 134 160 133 102
Catatan : Rule of the thumb : distribusi jumlah sampel bila dipandang terlalu kecil (n < 15), jumlah sampel dapat
dinaikkan menjadi 15 atau ½ dari sampel kecil (n = 30).
*) Jumlah sampel berdasarkan hasil perhitungan formula
**) Jumlah sampel berdasarkan kaidah statistik
***) Distribusi sampel berdasarkan kaidah statistik

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 406


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lampiran 5

CONTOH KUESIONER UNTUK MENGUNGKAP WTP KONSUMEN


ENERGI LISTRIK RUMAH TANGGA

Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan nilai WTP konsumen energi


listrik rumah tangga, maka digunakan metode contingent valuation dengan
closed ended referendum elicitation format (bidding game format) sebagaimana
telah digunakan dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga seperti : EEPSEA
(Economy and Environment Program for Southeast Asia), ADB (Asian
Development Bank), dan Bank Dunia (Whittington 1996 ; ADB 1999 ; Tapvong
dan Kruavan 2000 ; Yaping 2000 ; Nam dan Son 2005). Dalam hal ini, metode
contingent valuation dilakukan dengan membuat kuesioner yang berisikan : 1)
latar belakang penelitian, 2) profil atau karakteristik sosial ekonomi responden,
3) penggunaan energi listrik rumah tangga, 4) closed ended referendum
elicitation format untuk memperoleh WTP energi listrik rumah tangga.
Berikut ini adalah contoh pertanyaan atau kuesioner3) yang dapat
dilakukan untuk mengungkap WTP konsumen energi listrik rumah tangga :
Menanyakan keputusan terbaik dalam kemampuan membayar
Model pertanyaan ini dimodifikasi dari model kuesioner EEPSEA Project
(Whittington 1996 ; Tapvong dan Kruavan 2000). Narasi kuesioner adalah
sebagai berikut :

“Berdasarkan kondisi harga listrik saat ini sebagaimana diuraikan di atas


(atau berdasarkan rekening listrik Anda), pilihlah mana yang menjadi
keputusan terbaik dari pernyataan-pernyataan berikut terhadap harga atau
tarif listrik tersebut :
□ Mau membayar dan mampu
□ Mau membayar, tetapi tidak mampu
□ Mampu, tetapi tidak mau membayar
□ Tidak mampu dan tidak mau membayar
□ Lainnya, sebutkan : ...............................................................”

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 407


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Menanyakan berapa besarnya WTP

Model pertanyaan dimodifikasi dari model koesioner ADB (1999) dimana


nilai atau skenario tawaran (bidding game) dimulai dari nilai tertinggi dan
kemudian turun ke nilai yang lebih rendah. Tujuannya adalah untuk
menghindari low starting point bias. Menurut ADB 1999, nilai atau angka awal
dapat ditetapkan tidak melebihi dua kali dari biaya per unit dari produk/jasa
yang ditawarkan. Dalam hal ini, karena harga pokok penyediaan (HPP) listrik
per KWh secara nasional sebesar Rp 700,- maka dalam kuesioner ini nilai awal
dimulai dari Rp 1500,-. Narasi kuesioner adalah sebagai berikut :

”Dengan keadaan kualitas listrik sekarang ini di Kota Medan (masih


adanya pemadaman bergilir dan dengan sistim pelayanan PLN yang anda
terima selama ini), berapa nilai maksimum yang ingin/mau/bersedia Anda
bayarkan untuk rekening listrik per bulan ?

Rp ................./bulan. (Lihat pilihan tawaran di bawah ini, isi tanda □ dengan tanda X )
1. Di atas Rp 200.000,- per bulan : Jika Ya, sebutkan jumlahnya ;
Rp ............../bulan ; jika ‫ ٱ‬Tidak, lanjut ke pertanyaan 2
2. Rp 200.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 3
3. Rp 150.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 4
4. Rp 100.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 5
5. Rp 50.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 6
6. Rp 40.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 7
7. Rp 30.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 8
8. Rp 20.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 9
9. Rp 10.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran10
10. Di bawah Rp 10.000,- : Jika Ya, sebutkan jumlahnya : Rp ...................../bulan”

(Catatan : Contoh kuesioner ini adalah untuk strata/golongan tarif rumah


tangga 450 VA. Hal yang sama dapat dibuat untuk strata/golongan tarif
lainnya dengan menyesuaikan kemampuan bayar konsumen).

Selanjutnya, skenario-skenario lain dapat dibuat sebagai berikut :

”Andaikata kualitas listrik dari PLN dapat ditingkatkan pada tahun-tahun


mendatang (misalnya tidak ada lagi pemadaman bergilir dan sistim

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 408


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pelayanan PLN ditingkatkan), berapa nilai maksimum yang


ingin/mau/bersedia Anda bayarkan untuk rekening listrik per bulan ?
Rp ................../bulan. (Lihat pilihan tawaran di bawah, isi tanda □ dengan
tanda X)

1. Di atas Rp 300.000,- per bulan : Jika ‫ ٱ‬Ya, sebutkan jumlahnya ;


Rp ............../bulan ; jika ‫ ٱ‬Tidak, lanjut ke tawaran 2
2. Rp 300.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 3
3. Rp 250.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 4
4. Rp 200.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak lanjut ke tawaran 5
5. Rp 150.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 6
6. Rp 100.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 7
7. Rp 50.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 8
8. Rp 25.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 9
9. Di bawah Rp 25.000,- : Jika □ Ya, sebutkan jumlahnya : Rp ............../bulan”

”Jika kualitas listrik meningkat di masa yang akan datang, apakah Anda
bersedia meningkatkan kapasitas listrik Anda menjadi 900 VA ?
□ Ya, bersedia □ Tidak bersedia, tetap pada 450 VA”

”Jika jawaban Ya, berapa nilai maksimum yang ingin/mau/bersedia Anda


bayarkan untuk rekening listrik per bulan ?
Rp ................../bulan. (Lihat pilihan tawaran di bawah ini, , isi tanda □
dengan tanda X)

1. Di atas Rp 400.000,- per bulan : Jika Ya, sebutkan jumlahnya ;


Rp ............../bulan ; jika Tidak, lanjut ke tawaran 2
2. Rp 400.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 3
3. Rp 350.000,- per bulan : Jik □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 4
4. Rp 300.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 5
5. Rp 250.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 6
6. Rp 200.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 7
7. Rp 150.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 8
8. Rp 100.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 9
9. Rp 50.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran10
10. Di bawah Rp 50.000,- : Jika □ Ya, sebutkan jumlahnya : Rp ............../bulan”

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 409


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Social Desirability Bias: Apa, Penyebab, Konsekuensi dan Solusi?

Gancar Candra Premananto∗

Abstrak
Behavioral researches mostly have to face social desirability bias (SDB). Even it hard
to eliminated, but the effort to it must do. This paper tried to explore what, why, when of
SDB issue and how to overcome. Some empirical examples given to make the
techniques to eliminate SDB more clearly.

Salah satu isu penting dalam pengukuran variabel penelitian adalah berkaitan
dengan kejujuran responden/partisipan dalam menjawab wawancara atau
mengisi kuesioner penelitian. Beberapa permasalahan penelitian sering kali
dianggap sensitif atau mengancam gambaran diri bagi responden/partisipan
sehingga ia memberikan jawaban yang tidak sebenarnya. Bila hal tersebut
terjadi maka tentu akan menimbulkan bias pada hasil penelitian. Hal ini yang
kemudian memunculkan isu Social Desirability Bias (SDB).
Artikel ini bermaksud untuk mengupas lebih dalam mengenai apa, kapan,
konsekuensi dan solusi permasalahan SDB. Contoh pada penelitian berkaitan
dengan pembelian impuls akan disajikan pada bagian selanjutnya untuk
melengkapi gambaran mengenai SDB.

Definisi Social Desirability Bias


Seseorang dalam kehidupan sosial seringkali membutuhkan pengakuan bahwa
ia orang yang mementingkan kepentingan orang lain dan lebih memiliki
orientasi sosial dibanding keadaan yang sebenarnya. Hal ini seringkali terjadi
dalam proses tes kepribadian, seleksi penerimaan karyawan atau dalam
penelitian yang berkaitan dengan variabel yang sensitif.
Social desirability {SD) dapat didefinisikan sebagai kecenderungan dari
individu untuk menolak perilaku yang tidak diinginkan lingkungan sosial
(social undesirable) dan mengakui perilaku yang diinginkan lingkungan sosial
(social desirable) (Chung dan Monroe 2003). Seseorang akan cenderung


Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga dan Dosen kelas
Matrikulasi Program MSi Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 410
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

menyesuaikan perkataan dan perilakunya sesuai harapan lingkungan sosialnya,


walaupun itu tidak sesuai dengan sikap dan perilaku yang sebenarnya
dikerjakan. Dalam bahasa agama, kecenderungan ini telah disinyalir sebagai
sifat orang munafik.
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) yang
berkata ‘Kami mendengarkan1,’ padahal mereka tidak
mendengarkan.” (Al Anfaal 21, Al Quran digital).

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:


"Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul
Allah." Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-
benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu
menjadikan sumpah mereka sebagai perisai2…” (Al Munafiqun 1-2,
Al Quran digital)

Dalam ayat di atas ditunjukkan bahwa seseorang melakukan kegiatan


pengelabuan dengan tujuan tertentu, yakni untuk melindungi harta atau dirinya.
Demikian juga dalam merespon suatu permasalahan, seseorang melakukan
pengelabuan diri untuk melindungi imej dirinya di mata orang lain.
Lebih lanjut Social Desirability Bias (SDB) merupakan istilah yang biasa
digunakan dalam penelitian ilmiah (seringkali dalam riset psikologi atau ilmu
sosial) untuk menggambarkan bias yang disebabkan oleh kecenderungan
responden untuk merespon sesuai dengan harapan dari pihak lain. Kondisi yang
terjadi adalah para responden/partisipan dapat melakukan overreporting
perilaku yang dianggap baik atau underreporting perilaku yang dianggap
negatif (www.wikipedia.org).
Khusus untuk fenomena social undesirability, terdapat dua pengertian
yang muncul. Pengertian yang pertama adalah seperti dikemukakan oleh Chung
dan Monroe (2003), seseorang menolak mengakui melakukan perilaku yang
tidak diinginkan lingkungan sosial. Dalam pengertian pertama ini tujuannya
adalah sama yakni berupaya menunjukkan kesan positif dari orang lain. Untuk

1
Mereka mendengarkan tapi hati mereka mengingkarinya
2
Mereka bersumpah bahwa mereka beriman adalah untuk menjaga harta mereka,
supaya jangan dibunuh atau ditawan.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 411
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

pengertian pertama ini Singh (1986, p 116) memberikan istilah bahwa orang
tersebut berpura-pura baik (faking good). Pengertian kedua adalah seperti
dikemukakan Singh (1986, pp 116-117) adalah berpura-pura untuk
terlihat/terkesan negatif. (faking bad). Contoh yang diberikan Singh adalah
seseorang anggota militer yang dengan tujuan agar bisa pulang ke rumah
berupaya untuk memberikan kesan bahwa ia mengalami kelelahan mental
dalam tes kepribadian dan psikologi.. Dengan demikian ia bahkan melakukan
overreporting sesuatu yang negatif dengan tujuan untuk mendapatkan simpati,
perhatian dan bantuan dari orang lain. Walaupun memiliki pengertian yang
berbeda namun kesemua hal diatas memiliki kesamaan yakni adanya aktivitas
mengelabui pihak lain untuk mendapatkan kesan diri yang sesuai dengan
tujuannya.

Faktor Kepribadian ataukah Karakteristik Item?


Dari disiplin psikologi muncul 2 pendapat mengenai faktor yang memicu
munculnya fenomena SDB dalam riset. Di satu sisi, ada yang berpendapat
bahwa SDB adalah permasalahan kepribadian (personality) sedang di sisi lain
ada yang berpendapat bahwa SDB adalah permasalahan karakteristik
item/variabel yang diukur (Vinten 1995; Nancarrow et al. 2001).
Isu kepribadian mengacu pada kondisi kecenderungan menyeluruh dari
seseorang dalam merespon sesuai pola yang diinginkan. Upaya yang dilakukan
adalah membuat skala pengukuran untuk konstruk social desirability, yakni
dengan mencoba mengukur berbagai tingkat dari kebutuhan untuk diterima
secara sosial (need for social approval, self-protection, social conformity, dan
need for avoiding social criticism). Skala yang dikenal adalah skala Marlowe-
Crowne. Kritik terhadap perspektif ini muncul diantaranya dari Vinten (1995)
yang menyatakan bahwa hal tersebut lebih mengarah pada tes mini-personality
dan melihat kecenderungan tersebut sebagai kondisi kepribadian yang stabil
dibanding skala social desirability.
Kritik terhadap perspektif kepribadian kemudian mengarahkan
permasalahan SDB pada perspektif karakteristik item. Dengan kata lain SDB
terjadi karena permasalahan dengan item/variabel yang akan diukur. Beberapa
isu penelitian seringkali sensitif atau mengancam untuk ditanyakan. Dalam
realitas, sangat sulit membedakan antara isu yang sensitif dan isu yang
mengancam, namun yang terpenting adalah bahwa kedua hal tersebut dapat

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 412


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

menjadikan seseorang menjawab dengan tidak jujur dengan tujuan untuk dapat
memunculkan imej positif di mata interviewer.
Beberapa isu yang telah diidentifikasi sensitif dan/atau mengancam serta
dapat memunculkan kemungkinan responden/partisipan berbohong atau
menghindar untuk menjawab antara lain: perilaku dan fantasi seksual;
pendapatan yang diperoleh; patriotisme dan ethnosentrisme, tingkat religiusitas;
pemberian donasi yang dilakukan; masalah rasial dalam voting politik (Bradley
Effect3), perilaku illegal/melawan hukum seperti pengkonsumsian obat-obatan
terlarang, kepemilikan senjata serta keikutsertaan dalam organisasi terlarang dll
(wikipedia.org; Vinten 1995). Spesifik untuk disiplin pemasaran, permasalahan
SDB akan sering ditemui peneliti, mengingat tren isu pemasaran saat ini adalah
seputar pemanasan global, pemasaran beretika, pemasaran hijau (green
marketing), pemasaran sosial, serta pemasaran dengan tanggung jawab sosial
(corporate social responsibility) (Nancarrow et.al 2001).
Lebih lanjut Vinten (1995) menyatakan bahwa aspek kepribadian dan
karakteristik item dapat saling berhubungan, yang menjadikan kepribadian yang
berorientasi pada lingkungan sosial sekitarnya (SD) sebagai kepribadian yang
bersifat situasional dan tidak statis tergantung pada karakteristik item yang
ditanyakan. Namun hubungan tersebut masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.
Studi empirik dari Chung dan Monroe (2003) memberikan dukungan
bahwa ada korelasi antara SDB dengan aspek tema riset (etis-non etis) dan
karakteristik subyek penelitian (tingkat relijiusitas dan gender). SDB semakin
tinggi bila suatu tindakan yang dimunculkan dalam riset dipandang tidak etis.
Individu yang memiliki tingkat relijiusitas tinggi juga cenderung memiliki skor
SDB tinggi dibanding yang memiliki tingkat relijiusitas rendah. Adapun wanita
memiliki skor SDB lebih tinggi dibanding pria.

3
Bradley effect or Wilder effect mengacu pada upaya untuk menjelaskan
kemungkinan ketidakakuratan polling opini dalam kampanye politik di Amerika antara
kandidat berkulit putih dan berkulit hitam atau berwarna. Para peneliti berargumentasi
bahwa pemilih berkulit putih memberikan respon polling yang tidak akurat karena
mereka takut bila menyatakan pilihan yang sesungguhnya akan tampak oleh orang lain
sebagai orang yang rasis (racially prejudiced). Sumber www.wikipedia.org.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 413


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

. Alasan tambahan munculnya SDB dinyatakan oleh Snir dan Harpaz


(2002) yang menyatakan bahwa SDB terutama terjadi ketika (a) adanya norma
sosial yang menyatakan secara spesifik atas sikap yang diinginkan serta (b)
adanya mayoritas orang yang memegang norma tersebut.
Secara konseptual, Nancarrow et. al. (2001) menjelaskan beberapa teori
yang diangggap mampu menjelaskan faktor yang secara fundamental memicu
munculnya SD, yakni
a. Konsep ‘Impression management’ yakni bila fenomena SD muncul
sebagai fungsi dari upaya untuk menampilkan kesan diri yang diharapkan
pihak lain (pewawancara, peneliti atau pengamat).
b. Konsep “ego defence” atau “self-deception” yakni bila fenomena SD
muncul sebagai upaya mempertahankan harga diri seseorang.
c. Konsep “instrumentation” yakni bila SD muncul sebagai sarana/alat bagi
subyek untuk mempengaruhi para pengambil keputusan/kebijakan
(pemerintah, perusahaan atau pengambil kebijakan lainnya). Contoh
dalam hal ini misalnya adalah berkaitan dengan survei mengenai apakah
seseorang akan ikut berpartisipasi dalam suatu program tertentu yang baik
bagi kepentingan publik secara umum. Bisa jadi responden akan
menjawab ia akan berpartisipasi aktif dalam program tersebut, walaupun
pada kenyataannya ia tidak berminat untuk melakukannya.
Dari pembahasan pada bagian ini dapat dinyatakan bahwa subyek
penelitian satu dengan yang lain dapat memiliki faktor dan tujuan tersendiri
ketika melakukan pengelabuan, namun semuanya berdampak yang sama
terhadap penelitian yang dilakukan yakni dapat menimbulkan bias.

Konsekuensi
Dari hasil review atas berbagai literatur yang berkaitan dengan pengukuran dan
pengendalian atas SDB, Nederhof (dalam Snir dan Harpaz 2002) mengklaim
bahwa SDB merupakan salah satu sumber bias yang paling umum terjadi yang
dapat mempengaruhi validitas dari temuan penelitian baik untuk penelitian
dengan survei maupun eksperimen. Bila responden/partisipan menjawab sesuatu
tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, maka hasilnyapun tentunya menjadi
bias. Terdukung atau tidak terdukungnya hipotesis yang diajukan menjadi
sesuatu yang tidak nyata.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 414


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lebih lanjut, bila hasil temuan riset bias, maka efek selanjutnya adalah
bias pada kontribusi penelitian baik kontribusi konseptual maupun praktikal.
Kesalahan penarikan kesimpulan dan preskripsi kemudian dapat terjadi.
Mengingat dampaknya yang cukup signifikan, maka perhatian penuh
terhadap upaya mengeliminasi kemungkinan terjadinya SDB harus dilakukan.
Penggunaan kata eliminasi mengandung arti bahwa sangat sulit bagi peneliti
untuk mengetahui secara pasti bahwa SDB tidak terjadi sama sekali, namun
upaya ke arah itu harus dilakukan.

Mengidentifikasi dan Mengeliminir SDB


a. Metode mengidentifikasi SDB
Ada beberapa cara untuk menilai apakah terjadi fenomena SDB dari
permasalahan yang diajukan (Nancarrow et. al 2001) yakni:
1. Checking against known “facts”
Cara yang dapat dianggap paling jelas untuk menentukan apakah ada
permasalahan SDB adalah mengecek apakah ada kesesuaian antara hasil
penilaian diri (self report) dengan hasil observasi perilaku. Kesesuaian juga
dapat dilakukan dengan melakukan wawancara dengan orang lain yang
mengenal responden. Dengan kata lain untuk mendapatlkan hasil yang valid,
pengukuran dapat dilakukan dengan beberapa cara (multi methods).
2. Checking whether there is a correlation with known measures of giving a
socially desirable response.
Metode lain yang dapat digunakan untuk mengecek adalah mengukur
kecenderungan seseorang untuk berperilaku SD. Beberapa skala untuk
mengukurnya antara lain adalah skala Edwars (dikembangkan tahun 1957),
skala Marlowe-Crowne (dikembangkan tahun 1960) dan skala Paulhus
(dikembangkan 1991). Hasil dari skala tersebut kemudian dikorelasikan
dengan permasalahan riset. Tingkat korelasi mengindikasikan adanya masalah
SDB. Permasalahan dari cara ini adalah untuk melakukannya cukup
membutuhkan waktu.
3. Rating the question for presence and degree of social desirability bias
Responden diminta untuk menyatakan seberapa besar potensi SD dalam suatu
pertanyaan dengan mengunakan skala 0-9. Semakin tinggi nilai skala
menunjukkan permasalahan yang diajukan semakin SD. Namun permasalahan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 415


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

lain juga dapat muncul dalam hal ini yakni apakah pertanyaan kepada
responden/partisipan yang diajukan juga terbebas dari permalahan SD.
4. Noting physiological manifestations of unease
Pengamatan terhadap berbagai respon fisik juga dapat dilakukan seperti
mengamati perubahan ukuran pupil mata, respons galvanik dari kulit atau
pergerakan otot muka. Hal ini biasanya dilakukan dalam eksperimen di
laboratorium, dengan alat-alat observasi khusus. Namun tentu saja alternatif
ini memerlukan waktu dan biaya yang lebih besar.
5. Experiment involving SDB reduction technique versus no SDB reduction
technique as control.
Pilihan ini pada dasarnya lebih meneliti kepada penelitian ekseprimen
tersendiri yakni dengan membuat kelompok kontrol dan kelompok yang
dimanipulasi. Kedua kelompok tersebut kemudian dilihat ada atau tidaknya
signifikansi perbedaan antara kedua kelompok untuk mengetahui ada atau
tidaknya fenomena SDB.

b. Metode mengeliminir SDB


Pada tahun 1980-an, ada metode yang cukup populer untuk mereduksi SDB
yakni dengan tekhnik Bogus Pipeline (BPL). Menurut Nancarrow et. al (2001)
tekhnik BPL biasanya dilakukan dalam eksperimen psikologi yang
menghubungkan subyek penelitian dengan alat-alat detektor yang yang
membuat subyek meyakini bahwa peneliti dapat mendeteksi kebenaran sikap
dan perasaan subyek. Meskipun tekhnik ini cukup efektif dalam mendorong
seseorang berkata sebenarnya untuk penelitian kualitatif dan kuantitatif, namun
selain sangat memakan waktu juga muncul masalah etik yang menjadikan
metode ini menjadi tidak populer lagi saat ini.
Nederhof (1985) menyatakan bahwa untuk mencegah dan mengurangi
SDB ada beberapa prosedur yakni,
(a) Mengajukan pertanyaan tidak langsung (projective questions) berkaitan
dengan apa dan bagaimana kebanyakan orang akan merespon atau bereaksi
terhadap kondisi tertentu. Disisi lain peneliti juga harus hati-hati dalam memilih
kata-kata dalam setiap pertanyaan yang diajukan.
(b) Menggunakan efek pencerahan yakni dengan memberikan berbagai
informasi yang dapat mengurangi kondisi psikologis tertentu.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 416


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

(c) Anonymitas dari responden, sehingga responden mau mengutarakan sesuatu


dengan rasa aman, tanpa takut merasa dilacak.
Vinten (1995) juga mengungkapkan beberapa pendekatan yang sekiranya
mampu untuk mereduksi SDB secara praktis:
(1) Reliability checks. Cara yang digunakan adalah dengan bertanya beberapa
kali pertanyaan yang sama dalam interview yang dilakukan, dengan harapan
bahwa mungkin dalam proses interview yang dilakukan seseorang mau
mengakui sejujurnya perilakunya. Cara ini dapat menimbulkan risiko negatif
adanya anggapan bahwa interviewer tidak mendengarkan jawaban interviewee
atau interviewer tidak mempercayai interviewee yang tentnunya dapat
mengganggu proses wawancara selanjutnya.
(2) Embed the question, yakni dengan menempatkan pertanyaan yang
mengancan atau sensitif di antara pertanyaan yang tidak mengancam atau
sensitif. Cara lain yang cukup halus adalah dengan menyembunyikan
konteks/tujuan riset yang sebenarnya dan menggantinya dengan konteks/tujuan
yang netral atau positif dalam sudut pandang responden.
(3) Adopt non-personal interview methods. Inti dari metode ini adalah
menjadikan respon terhadap pertanyaan menjadi se-anonymous mungkin. Baik
dengan kuesioner maupun dengan menggunakan komputer (computer-assist
technique)dengan hasil print out yang tanpa identitas responden.
(4) Use diaries and panels. Suatu even atau tindakan menjadi tidak begitu
mengancam kondisi responden/partisipan apabila terjadi secara rutin dan
berulang, dan tidak ada konsekuensi negatif yang terjadi, dan bahwa informasi
yang muncul digunakan secara positif
(5) Select an appropriate time-frame. Pertanyaan mengacu pada kondisi masa
lalu, dan bukan kondisi masa kini. Namun permasalahan bias lain bisa muncul
apabila responden ternyata tidak mengingat kejadian di masa lalu yang
dimaksud.
(6) Use open questions. Dengan pertanyaan terbuka, responden bebas memilih
dan mengekspresikan jawaban yang dikehendakinya. Pertanyaan terbuka dapat
menurunkan SDB, karena pertanyaan tertutup seringkali menggunakan
pernyataan yang ekstrem yang sering dihindari responden.
(7) Use familiar words. Responden dapat diminta mengungkapkan istilah yang
lebih umum digunakan dan lebih bermakna. Kelompok-kelompok tertentu
seringkali menggunakan istilah mereka sendiri ketika berkomunikasi.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 417


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Penggunaan bahasa sesuai dengan karakteristik kelompok tentunya selain


menjadikan wawancara menjadi lebih akrab juga dapat mengurangi kondisi
yang dirasa mengancam responden.
(8) Load the question. Metode ini tampak kontradiktif dengan prinsip menyusun
kuesioner yang baik yakni menghindari pertanyaan yang mengarahkan (leading
question), tapi dengan tujuan mereduksi SDB, metode ini cukup efektif. Dalam
metode ini intinya adalah memberikan kalimat/pernyataan pengantar yang
menjadikan pertanyaan yang diajukan menjadi tidak terlalu sensitif atau
mengancam.
Contohnya untuk masalah kesiagaan operator dalam menjalankan tugasnya,
maka dapat diberikan pengantar seperti “Doctors state that it is impossible to
concentrate on machine dials for 60 minutes an hour. For how many minutes
per hour would you say you have lapses of concentration?” atau untuk masalah
penggunaan seragam keselamatan “Many welders do not use protective clothing
when in cramped conditions because they find it prevents their freedom of
movement and ability to complete the task well. When were you last in such a
situation? Did you wear protective clothing?”
Metode diatas dapat digabungkan untuk menghasilkan hasil yang
maksimal seperti dicontohkan oleh Sekaran (2000) yang menggabungkan
metode memberi pertanyaan arahan yang mengawali dan memperhalus serta
menggunakan jawaban terbuka untuk isu pemecatan karyawan yang telah
berumur lanjut. Pertanyaan seperti ‘Do you think that older people should be
laid off?”(Apakah menurut Anda karyawan yang telah berumur seharusnya
diberhentikan dari pekerjaannya?’) dapat memunculkan respon ‘tidak’. Jawaban
‘ya’ untuk permasalahan tersebut tampak kurang etis, sehingga respon yang
diberikan akan cenderung untuk akan disesuaikan dan menyembunyikan sikap
yang sebenarnya. Untuk mengatasinya, pertanyaan dapat diubah menjadi ‘There
are advantages and disadvantages to retaining senior citizens in the workplace.
To what extent do you think companies should continue to keep the elderly on
their payroll?’(‘Ada kelebihan dan kelemahan ketika mempensiunkan
kelompok berumur lanjut di lingkungan kerja. Menurut Anda dalam kondisi apa
perusahaan seharusnya dapat tetap dapat melanjutkan pekerjaannya?’).
Pertanyaan kedua tampak lebih halus dan tidak secara langsung berkaitan
dengan sikap subyek serta menghasilkan jawaban yang beragam yang dapat
memberikan kesempatan kepada subyek untuk mengemukakan argumentasinya.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 418


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

c. Contoh mengatasi dari riset empirik


1. Metode pertanyaan tidak langsung dalam riset mengenai komitmen pekerja
dengan isu apakah karyawan berniat berhenti bekerja bila mendapat uang
lotre yang cukup untuk seumur hidup. Snir dan Harpaz (2002)
membandingkan penggunaan pertanyaan langsung dan tidak langsung
(projective question) dalam mengukur variabel nonfinancial employment
commitment. Pertanyaan langsung yang diajukan adalah, ‘If you won a
lottery or inherited a large sum of money and could live comfortably for the
rest of your life without working, what would you do about work?’ (Bila
kamu menang lotre atau diwarisi uang yang sangat banyak yang dapat
membuatmu hidup nyaman seumur hidupmu tanpa bekerja, apakah kamu
akan lakukan dengan pekerjaanmu saat ini?’). Pertanyaan tersebut mewakili
kondisi yang tinggi social desirability-nya. Adapun pertanyaan tidak
langsung yang diajukan adalah ‘If someone won a lottery or inherited a
large sum of money and could live comfortably for the rest of his–her life
without working, what would most people do about work?’ (Bila seseorang
menang lotre atai diwarisi sejumlah uang dalam jumlah besar yang dapat
membuatnya hidup nyaman seumur hidup tanpa bekerja, apakah yang akan
dilakukan orang tersebut dengan pekerjaannya saat ini?’). Pertanyaan tidak
langsung tersebut mewakili kondisi social desirability yang rendah.
Hasil dari studi yang dilakukan Snir dan Harpaz (2002) mendapatkan
bahwa komitmen karyawan untuk kedua kondisi diatas berbeda secara
signifikan. Pertanyaan yang mewakili kondisi social desirability yang
rendah memunculkan persentase jawaban untuk keluar dari pekerjaan saat
ini lebih besar dibanding pertanyaan yang mewakili kondisi social
desirability yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan tidak
langsung terdukung dapat menurunkan terjadinya SDB. Ketika pertanyaan
tidak terlalu sensitif atau mengancam, maka responden lebih banyak yang
menyatakan niat untuk keluar dari pekerjaannya.
2. Metode menyembunyikan masalah sebenarnya dalam riset dalam isu
pembelian impuls (impulse buying). Dari studi literatur yang dilakukan
(Premananto 2005; 2007) didapatkan bahwa pembelian impuls seringkali
dipandang oleh para peneliti dan akademisi sebagai aktivitas yang
‘mindless’, irasional, ‘minimum conscious deliberation’, ‘with little or no

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 419


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

cognition’, ‘immaturity’, ‘weakness or lack of intelligence’, ‘lack of


control’ dll. Adapun impulsivitas pembelian (buying
impulsiveness/impulsivity) berkaitan dengan sifat konsumen yang dapat
dikonseptualisasikan sebagai kecenderungan untuk membeli secara spontan
(spontaneously), tanpa pemikiran mendalam (unreflectively), dengan segera
(immediately) dan bersifat kinetis (kinetically). Isu penelitian yang diajukan
pada dasarnya adalah berupaya untuk mengamati pengaruh aspek internal
(sifat impulsivitas dan aspek eksternal (lingkungan toko) terhadap perilaku
pembelian impuls. Untuk menghindari terjadinya SDB dalam field
experiment yang dilakukan, Premananto (2007) menyatakan kepada
partisipan bahwa penelitian yang dilakukan adalah berkaitan dengan
penilaian terhadap lingkungan toko, dan tidak berkaitan dengan diri
partisipan. Di kuesioner juga dituliskan secara jelas ‘Kuesioner ini
ditujukan semata-mata untuk mengamati lingkungan belanja secara umum
dan tidak spesifik pada Anda sebagai responden, namun apapun,
kerahasiaan responden akan dijamin.” Jadi asumsi dan perhatian partisipan
diarahkan bahwa penelitian lebih melihat aspek lingkungan toko dan bukan
mengarah pada kondisi internal partisipan, khususnya pada sifat
impulsivitas partisipan. Karena bisa jadi responden/partisipan menjadi malu
bila terukur sifat impulsivitasnya tinggi, yang bisa dipersepsikan bahwa dia
sering melakukan sesuatu tanpa berfikir panjang. Metode ini sesuai dengan
metode yang dikemukakan Vinten (1995) mengenai metode
menyembunyikan permasalahan yang sesungguhnya (embed the questions).
Jaminan kerahasiaan yang tertulis di kuesioner dan diungkapkan peneliti,
juga diharapkan dapat mendorong responden/partisipan untuk berlaku jujur,
walaupun tidak dilakukan anonymitas. Anonymitas dalam riset tersebut
tidak dapat dilakukan mengingat eksperimen dilakukan dengan desain
within subject yang memerlukan perbandingan partisipan yang sama untuk
lingkungan yang berbeda.

Penutup
SDB merupakan fenomena yang kerap terjadi untuk isu riset yang sensitif. SDB
harus diupayakan untuk dieliminasi agar hasil dan kontribusi yang diperoleh
menjadi lebih bermakna. Namun bagaimanapun upaya yang dilakukan tidak ada
satu hal pun yang bisa menjamin kesuksesan metode yang digunakan. Hal ini

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 420


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

juga dinyatakan oleh Nancarrow et al. (2001, p 66) “There appears to be no


certain way of totally eliminating or circumventing socially desirable
responding if a question is thought to invite this type of response. The problem
may be reduced in certain situations but there is no way of establishing how
much has still taken place.”
Eliminasi akan semakin sulit dilakukan bila SDB bukan hanya merupakan
faktor karakteristik item atau aspek kepribadian semata, namun ada interaksi
antara kedua aspek tersebut. Hanya Tuhan yang mampu mengetahui secara pasti
tindakan pengelabuan dan maksud tersembunyi seseorang,
“…Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak
terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam
hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka
sembunyikan.” (Ali ‘Imran 167, Al Quran digital).
Namun mengingat konsekuensinya yang signifikan terhadap hasil penelitian
maka upaya mengeliminasi mau tidak mau tetap harus dilakukan oleh peneliti
kuantitatif agar peneliti dapat mendapatkan hasil risetnya seobyektif mungkin.
Maka seperti lagu Peterpan, peneliti hanya dapat berharap responden jujur
dalam menjawab.
“Tapi buka dulu topengmu, buka dulu topengmu...
biar kulihat warnamu, biar kulihat warnamu...”

Referensi

Al Quran digital versi 2.0, www.alquran-digital.com.


Chung, Janne and Monroe, Gary S. (2003), Exploring Social Desirability Bias,
Journal of Business Ethics 44, pp 291-302.
Nancarrow, Clive; Brace, Ian; and Wright, Len Tiu (2001), Tell me Lies, Tell
me Sweet Little Lies: Dealing wirh Socilly Desirable Responses in Market
Research, The Marketing Review, 2, pp 55-69.
Premananto, Gancar Candra (2005), Pemodelan Proses Pengambilan Keputusan
Impulse Buying dengan Pendekatan Psikologi Lingkungan Mehrabian-
Russel (1974) dan Rantai Kausalitas Kotler (1974), Proposal Disertasi,
unpublished.
Premananto, Gancar Candra (2007) Lingkungan Toko dan Sifat Impulsivitas
dalam Proses Pengambilan Keputusan Pembelian Impuls, Proposal
Disertasi, Unpublished.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 421
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Sekaran (2000), Research Methods for Business, A Skill-Building Approach,


third edition, John Wiley & Sons, Inc.
Singh, Arun Kumar (1986), Test Measurements and Research Methods in
Behavioral Sciences, Tata McGraw-Hill Publishing Co, New Delhi.
Snir, Raphael and Harpaz, Itzhak (2002), To Work or Not to Work:
Nonfinancial Employment Commitment and the Sosial Desirability Bias,
The Journal of Sosial Psychology, Vol. 142, No. 5, pp 635-644.
Vinten, Gerald (1995), The Art of Asking Threatening Question, Management
Decision, Vol. 33, No. 7, pp. 35-39.
www.wikipedia.org/wiki/Social_desirability_bias, diakses 22 Mei 2008.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 422


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Spesifikasi Model Pengukuran Formatif vs Reflektif untuk Konstruk Laten


Need for Closure

Kuntari Erimurti∗

ABSTRACT
Need for closure (NFC) is a multidimensional variable and measured by
reflective model specification. Empirical evidence shows that close mindendess and
tendency toward decisiveness is reduced (DeBacker dan Crowson, 2006; Kosic, 2000).
Other test with different sample disclose that close mindedness, tendency toward
decisiveness and preference for predictability have low internal consistency and
eliminated, therefore preference for order and structure and discomfort with ambiguity
are remained scale (Erimurti, 2006). NFC is high correlated with personal need for
structure (PNS) on preference for order and structure, preference for predictability and
discomfort with ambiguity dimensions (Neuberg et al., 1997; Leone et al., 1999).
Therefore, reflective model specification is doubted to be the adequate measurement for
need for closure construct.
Theoritically, NFC is not prohibit positive, negative or null correlations among
dimensions (Kruglanski et al., 1997), therefore each dimension is equal. This concept
imply that NFC is a composite latent construct. In addition, Webster and Kriglanski
(1994) treat the NFC scale as a common latent construct and measured by total score.
This reflective model measurement is stimulated research, but the result is confusing,
due to the ambiguous interpretation of aggregation of the result (Neuberg et al. 1997).
This hybrid measurement produces model misspecification (MacKenzie et al. 2005).
The composite latent construct of NFC should be measured by formative model.
This paper evaluates measurement model specification for composite latent
construct of NFC and compare the goodness of fit of both formative and reflective
model specifications.

Kata kunci: spesifikasi model pengukuran, formatif, reflektif, need for closure


Mahasiswa program Doktoral, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UGM; Staf pengajar dan
peneliti Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(PPPPTK) Seni dan Budaya, Yogyakarta.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 423
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

LATAR BELAKANG
Need for closure (selanjutya disebut dengan NFC) merupakan variabel
multidimensi dan diukur dengan menggunakan model pengukuran reflektif.
Pengujian dengan model ini menunjukkan bahwa dimensi closed mindedness
dan/atau tendency toward decisiveness mengalami reduksi (DeBacker dan
Crowson, 2006; Kosic, 2000). Pengujian dengan sampel yang berbeda
mengungkap bahwa dimensi closed mindedness, tendency toward decisiveness
dan preference for predictability memiliki reliabilitas konsistensi internal yang
sangat rendah dan di eliminasi dari skala pengukuran sehingga konstruk NFC
hanya diukur melalui dimensi preference for order and structure dan discomfort
with ambiguity (Erimurti, 2006). NFC juga berkorelasi tinggi dengan konstruk
personal need for structure (PNS) pada dimensi preference for order and
structure, preference for predictability dan discomfort with ambiguity (Neuberg
et al., 1997; Leone et al., 1999). Dengan demikian model pengukuran reflektif
untuk variabel NFC masih belum menunjukkan stabilitas konstruk latennya.
Teori NFC memperbolehkan terjadinya korelasi positif, nol atau bahkan
negatif antar dimensinya (Kruglanski et al., 1997), sehingga masing-masing
dimensi adalah setara (equal). Konsep ini secara tidak langsung menunjukkan
bahwa NFC merupakan konstruk laten komposit (composite latent construct),
yang seluruh dimensinya merupakan pembentuk konstruk. Webster dan
Kriglanski (1994) selanjutnya memperlakukan skala pengukuran NFC sebagai
instrumen unidimensional. Cara pengukuran ini memang bisa merupakan cara
termudah untuk menstimulasi penelitian tetapi hasilnya sering membingungkan
karena temuan berdasar hitungan agregat akan mengakibatkan interpretasi yang
ambigu (Neuberg et al. 1997) dan terjadi kesalahan spesifikasi model
(MacKenzie et al. (2005). Pengukuran konstruk laten komposit ini seharusnya
menggunakan model formatif bukan model reflektif.
Proses pengembangan skala pengukuran sikap dan kepribadian
kebanyakan merekomendasikan bahwa item yang memiliki korelasi rendah
dengan skor total harus di eliminasi dari skala untuk meningkatkan reliabilitas
konsistensi internal. Rekomendasi ini hanya berlaku untuk model pengukuran
reflektif karena seluruh item merupakan manifestasi dari domain yang sama.
Jika rekomendasi ini diberlakukan untuk konstruk yang memiliki indikator atau
dimensi formatif, maka eliminasi item atau dimensi akan mengakibatkan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 424


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

perbedaan makna konseptual konstruk laten kompositnya (MacKenzie et al.,


2005).
Ketika konstruk NFC diukur secara reflektif maka (a) dimensi NFC
tidak benar-benar mendefinisikan karakteristik konstruk, (b) perubahan pada
level dimensi mengubah penjelasan konstruk NFC menjadi konstruk lain yaitu
personal need for structure/PNS, (c) masing-masing dimensi NFC unik dan
setara, Karakteristik konstruk ini memenuhi syarat sebagai konstruk formatif
(Mac Kenzie et al., 2005). Dengan adanya kontroversi pengukuran konstruk
NFC tersebut, paper ini mengevaluasi model pengukuran spesifikasi konstruk
NFC dan mengidentifkasi model pengukuran yang lebih handal dengan
membandingkan model pengukuran formatif dan reflektif.
NEED FOR CLOSURE
A. Konsep, anteseden dan konsekuensi need for closure
Secara konseptual Need for Closure (NFC) didefinisikan sebagai hasrat
untuk mendapatkan jawaban yang definitif dari suatu pertanyaan atau masalah
(bukan ketidakpastian dan kebingungan). NFC mewakili dimensi perbedaan
individu yang stabil, tidak hanya untuk kondisi yang muncul secara situasional
saja (Kruglanski dan Webster, 1996). NFC juga sering diidentikkan dengan
need for cognitive (closure), yang dapat memberikan wacana yang mendalam
tentang bagaimana dan mengapa konsumen memproses informasi (Crowley dan
Hoyer, 1989). Istilah need berarti kecenderungan atau keinginan dan secara
tidak langsung menyatakan bahwa closure bisa tidak diinginkan di dalam semua
situasi (Kruglanski dan Webster, 1996).
Berdasarkan perspektif psikologi behaviorisme, hasrat adalah ekspresi
kehendak hati yang memiliki konsekuensi tindakan. Tindakan ini berupa akses
epistemik terhadap alasan. Alasan melakukan tindakan adalah karena
termotivasi (Darwall, 2003). Hasrat berkaitan dengan kecenderungan individu
secara intrinsik. Gambar 1 menunjukkan konsep hasrat.

DESIRES MOTIVASI ACTING


(Hasrat) EPISTEMIK (Tindakan)

Gambar 1: Konsep hasrat


Sumber: Darwall (2003)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 425


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Hasrat yang berkaitan dengan need for closure adalah hasrat terhadap
pengetahuan yang disebut curiousity (keingintahuan) yaitu motiv dari hasrat
terhadap pengetahuan (Reiss, 2004). Pada dasarnya “each basic desire is
theoretically regarded as a continuum of potential motivation anchored by
opposite values” (Reiss, 2004: 186). Kecenderungan individu yang memiliki
informasi untuk menghasilkan dugaan (dan mencari informasi yang relevan
untuk dugaannya) diasumsikan bergantung pada motivasi terhadap informasi
sebagai suatu obyek. Berdasar teori hasrat (Reiss, 2004) dan teori lay epistemic1
(Kruglanski, 1990) motivasi epistemik tersebut diklasifikasi menjadi dua
dimensi ortogonal, dari pencarian sampai menghindari closure, dan dari non-
spesifik sampai spesifik. Klasifikasi tersebut menghasilkan tipologi empat
orientasi motivasional yang ditandai dengan (1) need for non-specific closure,
(2) need to avoid non-specific closure, (3) need for specific closure, dan (4)
need to avoid specific closure (Kruglanski dan Webster, 1996). Tabel 1
menunjukkan dimensi ortogonal motivasi episemik.
Tabel 1: Klasifikasi dua dimensi ortogonal motivasi epistemik
Type of motivating Disposition toward closure
closure Avidance Seeking
Need to avoid to non- Need for non-specific
Non-specific
specific closure closure
Need to avoid to need
Specific Need for specific closure
for specific closure
Sumber: Kruglanski (1990)

Kontinum motivasional ini bisa dipersepsikan sebagai strong need for


non-specific closure di ujung satu dan strong need to avoid closure di ujung
yang lain. Non-specific closure mengacu pada informasi yang pasti tanpa

1
Teori lay-epistemic membahas proses membentuk dan memodifikasi informasi
manusia, menekankan fungsi epistemik dalam menghasilkan dan memvalidasi dugaan.
Untuk dapat menghasilkan dugaan, seseorang harus memiliki cukup informasi.
Informasi didefinisikan dalam bentuk proposisi atau bodi proposisi dengan tingkat
keyakinan tertentu. Definisi ini memiliki dua persyaratan fungsional pada pembentukan
informasi yaitu (1) isinya proposisional, sehingga perlu proses agar dapat menghasilkan
dugaan, dan (2) dugaan yang dihasilkan perlu memperoleh keyakinan, sehingga perlu
tahap validasi dugaan.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 426
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mempertimbangkan isi informasi secara khusus. Need for non-specific closure


berimplikasi pada hasrat untuk memiliki jawaban apapun (Kruglanski dan
Webster, 1996). Specific closure adalah informasi dengan properti khusus
(Kruglanski, 1990; Houghton dan Grewal, 2000). Seseorang yang
menginginkan informasi tertentu dikatakan memiliki need for specific closure
yang secara tidak langsung menunjukkan hasrat untuk mengetahui jawaban
tertentu untuk suatu pertanyaan. Orang yang berharap menghindari informasi
dikatakan memiliki need to avoid a specific closure. Need for closure cenderung
merupakan need for a specific closure (Kruglanski dan Webster, 1996).
NFC dimotivasi oleh lima kondisi yaitu (1) adanya tekanan waktu, (2) adanya
kesulitan, (3) ketika fisik dan mental merasa lelah, (4) ketika closure dihargai
dan (5) ketika menilai atau membuat keputusan. Gambar 2 menunjukkan
anteseden NFC.

Kondisi adanya tekanan waktu.

Kondisi yang mengakibatkan kesulitan proses, atau


aversif.

Kondisi organismik seseorang.


Need for Closure
Bising, ketika tugas tidak menyenangkan, atau
ketika individu lelah.

Ketika closure di nilai oleh orang lain, karena


memiliki closure bisa di apresiasi oleh orang lain.

Ketika diperlukan penilaian untuk suatu masalah.


Gambar 2: Anteseden Need for Closure
Sumber: Webster dan Kruglanski (1994)

NFC memiliki konsekuensi dua kecenderungan umum yaitu (1)


kecenderungan urgensi yang menunjukkan hasrat individu untuk mencapai
closure secepat mungkin, dan (2) kecenderungan permanen yang menunjukkan
hasrat individu untuk meneruskan closure dan menjadikannya dua keinginan
yaitu (a) menyimpan, atau membekukan informasi masa lalu, dan (b)
mengamankan/melindungi informasi untuk digunakan pada masa datang
(Kruglanski dan Webster, 1996).
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 427
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Kruglanski dan Webster lebih lanjut memberi istilah seizing untuk


ungkapan “menangkap informasi secepat mungkin” dan freezing untuk
ungkapan “membekukan informasi.” Implikasi langsung dari postulat seizing
dan freezing ini adalah bahwa individu dengan NFC tinggi akan melakukan
penilaian berdasar informasi yang diperoleh lebih awal daripada informasi yang
datangnya kemudian.
Pengertian urgensi dan permanen sama-sama bergantung pada asumsi
bahwa individu dengan NFC tinggi menolak informasi sebagai sifat
keengganan, sehingga berharap mengakhiri kondisi tersebut secepat mungkin
(kecenderungan urgensi) dan menjaga supaya tidak terjadi lagi (kecenderungan
permanen) (Kruglanski dan Webster, 1996). Teori tersebut secara tidak
langsung menunjukkan bahwa individu dengan NFC tinggi akan memproses
lebih sedikit informasi (dibandingkan individu dengan NFC rendah) sebelum
melakukan penilaian, menghasilkan lebih sedikit argumen, dan memberikan
alasan hanya dengan data yang tersedia (Kruglanski dan Webster, 1996).
Apabila data yang ada tidak mencukupi, individu dengan NFC tinggi akan
menggunakan pengalaman dan pengetahuannya untuk meyakini keputusannya.
Fenomena seizing dan freezing hanya dipisahkan oleh titik yang disebut
dengan titik kristalisasi. Menurut teori lay epistemic titik kristalisasi terjadi
ketika keyakinan sudah mengkristal dan mengubah kemungkinan menjadi fakta
yang obyektif (Kruglanski dan Webster, 1996). Individu yang berada pada titik
kristalisai tidak lagi meragukan pendapat atau tindakannya karena sudah merasa
yakin. Pada saat itu kristalisasi keyakinan sebuah pendapat atau tindakan sudah
menjadi solid. Selama tahap pre-kristalisasi atau pembentukan informasi,
individu dengan NFC tinggi akan mengalami suatu perbedaan antara kondisi
yang senyatanya dan yang diinginkan. Kondisi seizing terjadi untuk
menghilangkan perbedaan tersebut. Sebelum berada pada titik kristalisasi ada
kemungkinan individu melakukan observasi. Pada saat itu perilaku seizing
murni secara otomatis bisa terlihat, misalnya ketika kegiatan pencarian
informasi meningkat. Seizing bisa membuat individu relatif terbuka terhadap
persuasi karena bisa menyediakan closure yang diharapkan (dari berbagai
pengalaman dan pengetahuan yang di milikinya). Sebagai contoh, seorang
konsumen dengan NFC tinggi dapat memutuskan dengan cepat untuk membeli
merk yang ditemukan pertamakali dan akan tetap setia pada merk tersebut tanpa
mempertimbangkan pilihan lainnya.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 428


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Kondisi yang menyusul segera setelah titik kristalisasi adalah freezing


yaitu keengganan melanjutkan proses informasi. Pada kondisi ini, individu
dengan NFC tinggi akan melakukan proses pembekuan informasi yang intensif.
Pada tahap ini closure dapat dipenuhi dan karenanya tidak ada lagi perbedaan
antara kondisi aktual dan kondisi yang diinginkan. Dalam konteks pengambilan
keputusan individu dengan NFC tinggi akan meyakini pola pengambilan
keputusan yang sudah di lakukan (setelah titik kristalisasi) dan pola ini akan
digunakan untuk mengambil keputusan selanjutnya (Krglanski dan Webster,
1996, Vermeir, 2003).
Individu dengan NFC rendah tidak mengalami titik kristalisasi karena
bisa menikmati ketidaktentuan dan enggan untuk melakukan komitmen dengan
pilihan yang pasti. Dalam konteks pengambilan keputusan individu dengan
NFC rendah tidak akan mengalami perbedaan pola pengambilan keputusan
karena tidak mengalami titik kristalisasi. Meskipun demikian individu dengan
NFC rendah diasumsikan bisa mengalami titik kristalisasi, yaitu ketika
meyakini pola yang sama, dan menggunakan pola tersebut untuk pengambilan
keputusan selanjutnya (Krglanski dan Webster, 1996, Vermeir, 2003).
B. Kesetaraan antar dimensi
NFC merupakan konstruk multidimensi dan bersifat stabil dan
situasional yang terdiri dari lima dimensi yaitu (1) Discomfort with
ambiguity/A, (2) Close-mindedness/C, (3) Tendency toward decisiveness/D, (4)
Preference for order and structure/O, dan (5) Preference for predictability/P
(Webster dan Kruglanski, 1994). Gambar 3 menunjukkan model reflektif
konstruk NFC.

Need for
Closure/N
FC

Discomfort Tendency Preference Preference


with Close for Order and for
toward
Ambiguity/ Mindedness/ Structure/ Predictability/
Decisiveness/
A C D O P

Gambar 3: Model reflektif konstruk need for closure


Sumber: Webster dan Kruglanski (1994)
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 429
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Dimensi pertama adalah discomfort with ambiguity, mengukur persepsi


terhadap rasa tidak nyaman dengan ketaksaan. Dimensi ini diadaptasi dari
konstruk Intolerance of ambiguity/IA. NFC berkorelasi dengan IA pada dimensi
yang menyatakan adanya toleransi seseorang pada situasi ambiguitas. Situasi
yang tidak menentu akan memotivasi timbulnya frustrasi dan mendorong
disposisi seseorang untuk mencapai closure secepat mungkin (seizing). Karena
discomfort with ambiguity hanya merupakan satu dari beberapa indikator kuat
pembentuk IA, maka korelasinya dengan IA rendah dan positif yaitu 0,2877
pada p<0,01 (Webster dan Kruglanski, 1994).
Dimensi kedua close mindedness mencerminkan perilaku seseorang
yang menutup diri karena tidak lagi membutuhkan informasi lanjutan untuk
meyakini keputusannya (desire for secure closure). Untuk mengamankan
closure yang sudah diperoleh ia akan menghindari terjadinya konfrontasi
dengan pendapat orang lain. Kondisi ini juga mendorong seseorang untuk
segera menentukan pilihannya (seizing). Berdasarkan perspektif psikologi
gestalt2 individu adalah open belief system sedangkan perpektif psikologi
behaviorisme3 menyatakan bahwa individu adalah closed belief system.
Tertutup atau terbukanya sistem kepercayaan seseorang diukur dengan
menggunakan instrumen dogmatisme (Rokeach, 1960 di dalam Winch, 2000).
NFC cenderung mengadaptasi closed belief system katena keterbukaan terhadap
informasi yang tidak relevan akan mengancam status kognitif individu yang
sudah pada posisi mencapai closure. Dengan demikian, korelasi dengan
konstruk dogmatism rendah dan positif yaitu 0, 2870 pada p<0,01 (Webster dan
Kruglanski, 1994).
Dimensi ketiga adalah tendency toward decisiveness menunjukkan
bahwa orang dengan NFC tinggi akan sangat berhasrat untuk mencapai closure
yang direfleksikan melalui keyakinannya terhadap penilaian dan pilihan.
Dimensi ini diadaptasi dari Personal fear of invalidity/PFI (Webster dan
Kruglanski, 1994; Neuberg et al., 1997). Instrumen PFI yang didasarkan pada
teori lay epistemic digunakan untuk mengukur gaya pengambilan keputusan
2
Perspektif psikologi gestalt atau teori gestalt adalah teori tentang prinsip cara kerja
otak dan pikiran secara holistik.
3
Perspektif psikologi behaviorsme adalah filosofi psikologi yang berbasis pada
proposisi yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh organisme
(termasuk bertindak, berpikir dan merasakan) harus di anggap sebagai perilaku
(behavior).
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 430
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

seseorang dan kekawatirannya dalam membuat kesalahan pada keputusannya.


Seseorang yang sangat berhasrat untuk mencapai closure secepat mungkin
(urgent desire to reach closure), akan memiliki kecenderungan untuk segera
meyakini penilaian hanya dengan informasi yang datangnya paling awal
(seizing). Karena dimensi ini hanya merupakan satu dari beberapa dimensi lain
pembentuk PFI, maka NFC dan PFI rendah dan negatif yaitu -0,2109 pada
p<0,05 (Webster dan Kruglanski, 1994).
Dimensi keempat menunjukkan bahwa orang dengan NFC tinggi akan
memilih kehidupan yang teratur dan terstruktur (preference for order and
structure). Dimensi ini diadaptasi dari konstruk Personal need for
structure/PNS (Webster dan Kruglanski, 1994; Neuberg et al., 1997; Leone et
al., 1999; Van Hiel dan Merveilde, 2003; Stalder, 2007). Seseorang yang
berhasrat hidup teratur akan memilih kondisi yang teratur dan terstruktur.
Pilihan ini berdampak pada penolakan terhadap situasi yang kacau (abhor
chaos4 situation). Penolakan terhadap situasi yang kacau (saat ini)
merefleksikan kondisi freezing.
Dimensi kelima menunjukkan bahwa orang dengan NFC tinggi
memiliki hasrat untuk memperoleh pengetahuan yang stabil (preference for
predictability). Ketika seseorang berhasrat untuk memiliki pengetahuan yang
stabil dan konsisten dengan harapannya, ia akan memilih situasi yang dapat
diprediksi dan sesuai dengan harapannya. Pilihan ini berdampak pada penolakan
terhadap situasi yang tidak tentu (abhor uncertain5 situation). Penolakan
terhadap situasi yang tidak tentu (di masa datang) merefleksikan kondisi
freezing.
Teori NFC memprediksi bahwa “the need for cognitive closure is a
unitary latent variable, potentially manifest in various ways. Thus we expected
that confirmatory factor analysis would support a single factor model as the
best fit to our data” (Webster dan Kruglanski, 1994: 1051). Teori ini
menunjukkan bahwa model pengukuran NFC adalah model reflektif satu faktor
dengan spesifikasi error yang saling terkorelasi, yang ditunjukkan dengan
adanya varians yang tersebar di antara lima domain yang merupakan
manifestasi konstruk NFC. Pernyataan ini sangat berlawanan dengan pernyataan
Kruglanski et al. (1997) bahwa “a person may desire closure for more than one

4
Chaos: complete disorder;
5
Uncertain: not able to be accurately known or predicted (McLeod, 1987)
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 431
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

reason, hence we conceived of the different facets as additive in their impact on


the total need for closure. Moreover, there is nothing in need for closure theory
that prohibits a degree of correlation between facets” (Kruglanski et al. 1997:
1009). Implikasi dari pernyataan ini bisa di maknakan bahwa teori NFC tidak
melarang terjadinya korelasi positif, nol atau bahkan negatif antar dimensinya,
atau setiap dimensi adalah setara dengan dimensi lainnya sehingga konstruk
NFC memenuhi kriteria sebagai konstruk formatif. Gambar 4 menunjukkan
perbedaan anteseden dan konsekuensi setiap dimensi NFC.

Ketiadaan closure Discomfort


Absence of closure with Frustrasi
(high threat) Frustrated

Hasrat menyimpan
closure Close Menghindari
Mindedness konfrontasi

Hasrat segera
memperoleh
Tendency Melakukan penilaian
closure
toward secara langsung
Urgent desire to (SEIZING)
reach closure Immediate judgment

Hasrat terhadap
aturan dan struktur
yang pasti Preference
Menolak situasi kacau
for order and
Desire for definite saat ini
tructure (O)

Hasrat menyimpan Preference Menolak situasi tak


pengetahuan for tentu di masa datang
Desire for secure Abhor uncertainty
knowledge situation
(FREEZING)

Gambar 4: Anteseden dan konsekuensi dimensi-dimensi need for closure


Sumber: Disarikan dari pemikiran penulis
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 432
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Pernyataan Krglanski et al. (1997) selanjutnya sangat mendukung


analisis kesetaraan dimensi dan dapat disimpulkan bahwa (1) lima dimensi NFC
benar-benar mendefinisikan karakter NFC, (2) masing-masing dimensi tidak
memiliki tema yang sama dan setiap dimensi NFC adalah unik, (3) dimensi-
dimensi NFC tidak memiliki pola korelasi tertentu, dan (4) masing-masing
dimensi tidak dapat dipertukarkan karena memiliki anteseden dan konsekuensi
yang berbeda. Empat karakteristik dimensionalitas tersebut sangat memadai
untuk mengarahkan pada pemahaman bahwa dimensi-dimensi NFC adalah
formatif dan merupakan sumber kausal pembentuk konstruknya. Dengan
demikian pengukuran konstruk NFC akan lebih akurat jika menggunakan
metode pengukuran formatif. Gambar 5 menunjukkan konstruk laten komposit
NFC.

Need for
Closure/
NFC

Discomfort Close Tendency Preference Preference


with Mindedness/ toward for Order and for
Ambiguity/ Decisiveness/ Structure/ Predictability/
A C D O P

Gambar 5: Konstruk laten komposit need for closure


Sumber: Hasil pemikiran penulis

C. Perdebatan dimensi need for closure


Studi yang dilakukan oleh Leone et al. (1999) menunjukkan bahwa
preference for order and structure, preference for predictability merupakan
dimensi dari PNS. Sedangkan menurut penelitian Neuberg et al. (1997)
preference for order and structure, preference for predictability dan discomfort
with ambiguity merupakan dimensi dari konstruk PNS. Studi Neuberg et al.
(1997) menyimpulkan bahwa NFC terdiri dari dua faktor yaitu desire for
decisiveness (D) dan personal need for structure (PNS). D berkaitan dengan
kecenderungan untuk seizing dan PNS berkaitan dengan freezing. Lebih lanjut
dikatakan bahwa “the place of the closed-mindedness sub-facets, owing to a

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 433


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

lack of psychometric coherence among its items, is unclear” (Neuberg et al.,


1997: 1401). Kedua studi ini menunjukkan bahwa 2 sampai 3 dimensi yang
merefleksikan konstruk NFC juga merupakan dimensi-dimensi yang
merefleksikan konstruk PNS.
Studi Roets dan Van Hiel (2007) mengungkap bahwa item yang
digunakan untuk mengukur tendency toward desiciveness mendeskripsikan
kemampuan atau kekurangmampuan membuat keputusan secara cepat,
bukannya kecenderungan untuk menemukan jawaban secepat mungkin.
Perubahan item pengukuran dimensi ini meningkatkan Cronbach’s alpha NFC
total, dari 0,85 menjadi 0,87 untuk sampel mahasiswa psikologi (N = 400), dan
dari 0,82 menjadi 0,87 untuk sampel mahasiswa ilmu sosial (N = 434).
GFI konstruk NFC juga mengalami peningkatan yaitu dari 0,92 untuk
model pengukuran dengan item lama dan menjadi 0,954 untuk
Kode 1 pengkuran dengan item baru. Gambar 4 menunjukkan perdebatan
dimensionalitas konstruk NFC.
Perdebatan dimensionalitas ini dapat dikonfirmasi dengan
pengungkapan sejarah terbentuknya konstruk need for closure dan korelasinya
dengan konstruk-konstruk lain yang relevan. Dimensi preference for order and
structure dan preference for predictability merupakan dimensi NFC yang juga
merefleksikan konstruk personal need for structure/PNS. Seperti diketahui,
instrumen PNS didesain untuk mengukur hasrat seseorang terhadap aturan dan
struktur organisasi lingkungan. Karena kuesioner PNS ini juga didasarkan pada
teori lay epistemic (Kruglanski, 1990; Kruglanski et al., 1997), maka sangat
mungkin konstruk PNS menyadap dua aspek NFC yaitu preference for order
and structure dan preference for predictability. Orijinator kuesioner PNS adalah
Megan Thompson dan Mike Naccarato. Dua orang ini mengikuti seminar
tentang teori lay epistemic-nya Arie W. Kruglanski di University of Waterloo
dan menulis tentang konstruk PNS dan personal fear of invalidity/PFI pada
tahun 1992, tetapi tidak dipublikasikan (Neuberg et al. 1997). Ketika Webster
dan Kruglanski (1994) mempublikasikan hasil-hasil pengujian validitas

4 Lihat: Roets, Arne and Van Hiel, Alain (2007) “Separating Ability From Need: Clarifying the Dimensional
Structure of the Need for Closure Scale,” Personality and Sociol Psychology Bulletin, Vol. 33, No. 2, pp. 266-
280.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 434


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

diskriminan konstruk NFC dengan berbagai konstruk kepribadian lain yang


relevan (termasuk PNS dan PFI) menyatakan bahwa korelasi NFC dengan PNS
adalah 0,2355 pada p<0,01 (Webster dan Kruglanski, 1994). Korelasi rendah ini
dikuatkan karena adanya alasan perbedaan konsep closure dan structure.
Konsep closure adalah proses subyektif untuk menutup kesenjangan persepsi,
memori atau kegiatan atau melengkapi bentuk yang tidak komplit supaya
membentuk satu kesatuan. Sedangkan structure adalah komposisi dan
penyusunan komponen-komponen serta organisasi seluruh kompleksitas
berdasarkan fungsi interdependen dari setiap komponen (McLeod, 1987).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam konsep closure terkandung
konsep structure. Itulah sebabnya perspektif situasional preference for order
and structure dan preference for predictability dari konstruk PNS, merupakan
dimensi situasional yang cukup kuat membentuk konstruk NFC.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 435


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Personal need for


structure
Preference for order
and structure (O)
Leone et al. (1999)

Personal need for


Preference for structure
predictability (P)

Decisiveness

Neuberg et al. (1997)


Tendency
towards decisiveness
(D)

Need for closure

Discomfort with Decisiveness


ambiguity (A) (ability)

Roets dan Van Hiel (2007)

Close mindedness
(C)
Need for closure
Komposit
(O) + (D)

Webster dan Kruglanski


(1994)

Gambar 6: Perdebatan dimensionalitas konstruk NFC


Sumber: Webster dan Kruglanski (1994), Leone et al. (1999) dan Neuberg et al.
(1997)

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 436


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

EVALUASI MODEL PENGUKURAN NEED FOR CLOSURE


D. Instrumen pengukuran
Pengukuran baku NFC menggunakan kuesioner 42 item, dengan skala
1-6, 1 untuk sangat tidak setuju dan 6 untuk sangat setuju (Kruglanski, et al.,
1993; Webster dan Kruglanski, 1994; Leone et al., 1999; Houghton dan Grewal,
2000; Klein dan Webster, 2000; Tarris, 2000; Van Kenhove et al., 2001; Van
Hiel dan Merveilde, 2003; Nelson et al., 2003; Vermeir, 2003; Kossowska dan
Van Hiel, 2003; Vermeir dan Geuens, 2004; dan Erimurti, 2005).
Rentang 1-6 tidak memiliki titik tengah untuk menjaga agar partisipan
menempatkan responnya pada posisi yang cenderung menuju closure atau
menghindari closure. Titik tengah akan cenderung mendorong partisipan untuk
berada pada posisi netral sehingga kecenderungan disposisi mereka pada
closure tidak akan dapat dideteksi. Namun, ketiadaan titik tengah ini
mempunyai kelemahan pengukuran karena partisipan yang sesungguhnya
berada pada posisi netral akan terdorong untuk berada pada posisi yang keliru
(Kosic, 2002a; Vermeir, 2003) dan akan menghasilkan pengukuran yang tidak
akurat. Dengan demikian, studi ini menggunakan skala rentang 1-7, dengan 1
untuk sangat tidak setuju dan 7 untuk sangat setuju.
Pengukuran NFC terdiri dari 10 indikator mengukur preference for
order and structure, 8 indikator mengukur preference for predictability, 7
indikator mengukur tendency toward decisiveness, 9 indikator mengukur
discomfort with ambiguity dan 8 indikator mengukur closed mindedness. 16
indikator negatif untuk mendeteksi kecenderungan menghindari closure.
E. Prosedur evaluasi
Mengingat bahwa kesalahan spesifikasi pengukuran suatu konstruk bisa
berdampak serius pada validitas konstruk, maka prosedur evaluasi terhadap
validitas konstruk harus diperhatikan dengan baik. Tabel 2 menunjukkan
prosedur praktis untuk melakukan purifikasi model reflektif dan formatif.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 437


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 2: Perbedaan dan persamaan prosedur purifikasi model reflektif dan


formatif

PURIFIKASI MODEL REFLEKTIF PURIFIKASI MODEL FORMATIF

Estimasikan model CFA untuk konstruk Estimasikan model CFA untuk konstruk
reflektif (common latent construct) formatif (composit latent construct)

Evaluasi goodness of fit (mis.: GFI dan Evaluasi goodnes of fit (mis.: GFI dan
RMR) RMR)

Evaluasi validitas item (mis.: significant Evaluasi validitas item (mis.: potential of
and magnitude factor loadings) non-significant loadings)

Evaluasi reliabilitas item (mis.: item to Evaluasi reliabilitas item (mis.: test re-test
total correlation) reliability)

Eliminasi item yang memiliki validitas Eliminasi item yang memiliki validitas
atau reliabilitas rendah atau reliabilitas rendah

Evaluasi validitas konstruk (average Evaluasi validitas konstruk (korelasi


variance explained) dengan variabel criterion yang terkait
dalam model penelitian)

Evaluasi reliabilitas konstruk (Cronbach


alpha dan reliabilitas variabel laten)
Sumber: MacKenzie et al. (2005)

Setelah melakukan purifikasi model, langkah berikutnya adalah


melakukan evaluasi validitas nomologi, diskriminan dan criterion related
dengan cara (1) mengestimasikan model CFA yang cocok, termasuk konstruk
yang diukur dan konstruk lain yang berlorelasi dengannya, (2) mengevaluasi
interkorelasi konstruk untuk mengukur validitas diskriminan (interkorelasi < 1),
(3) mengevaluasi interkorelasi konstruk untuk mengukur validitas nomologi
(interkorelasi signifikan dan penting dalam model penelitian) dan (4) lakukan
validitas silang (cross validation) dengan menggunakan data baru.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 438


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Berdasarkan konsep awal, NFC dinyatakan sebagai konstruk yang


memiliki spesifikasi model reflektif. Hasil analisis konseptual dimensi-dimensi
NFC menunjukkan bahwa konstruk NFC memiliki spesifikasi model formatif.
Untuk memberikan penjelasan yang lebih baik, paper ini menyajikan hasil
evaluasi konstruk dengan menggunakan prosedur evaluasi reflektif maupun
formatif berdasar metode MacKenzie et al., (2005).
Spesifikasi model pengukuran yang memiliki kebaikan yang sesuai
dengan data membutuhkan persyaratan statistik. Hair et al. (1998)
menggunakan cut off value untuk GFI (>0,90), AGFI (>0,90), CMIN/DF (1,0 –
2,0), RMR (0-perfect fit, ≤0,05-good fit, 0,05-0,1 adequate fit), RMSEA (<0,05-
close fit, 0,05-0,08-reasonable fit).
F. Evaluasi model pengukuran formatif
Model pengukuran formatif bertujuan untuk mengembangkan
seperangkat pengukuran yang merepresentasikan elemen kunci dari suatu
domain konseptual (Bollen dan Lennox, 1991 dalam MacKenzie et al., 2005).
Model pengukuran formatif hanya menangkap keseluruhan domain konseptual
sebagai satu grup. Variabel formatif tidak mensyaratkan korelasi antar
dimensinya, sehingga untuk mengevaluasi kecukupan pengukuran model
formatif tidak digunakan reliabilitas konsistensi internal tetapi harus
menggunakan nomological validity dan/atau criterion-related validity
(McKenzie et al., 2005). Error ditunjukkan pada level konstruk, bukan pada
level dimensi. Error ini mengestimasikan kesalahan yang disebabkan oleh
kesalahan pengukuran, interaksi diantara pengukuran dan/atau aspek dari
konstruk yang tidak direpresentasikan oleh pengukurannya. Adanya error pada
level konstruk ini juga mengingatkan bahwa pengukuran formatif tidak hanya
sekedar mengkombinasikan pengukuran dimensi-dimensinya.
Model formatif mengasumsikan bahwa pengukuran secara bersama-
sama mempengaruhi konstruk komposit yang bersifat laten. Makna konstruk
laten komposit diturunkan dari pengukurannya. Pengertian ini memiliki dua
implikasi. Pertama, karena pengukurannya tidak dihipotesiskan sebagai
penyebab (atau penentu) oleh variabel komposit laten, maka model formatif
tidak mengasumsikan adanya korelasi diantara ukurannya atau bisa dikatakan
tidak ada korelasi antar dimensinya. Dengan demikian, reliabilitas konsistensi
internal (Cronbach’s Alpha) bukan merupakan standard untuk mengevaluasi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 439


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

kecukupan pengukuran model formatif. Kecukupan model formatif


menggunakan uji validitas nomologi dan/atau criterion related validity.
Kedua, konsekuensi mereduksi dimensi formatif dari model pengukuran
akan berpotensi merusak makna konstruk. Tidak seperti pada model pengukuran
reflektif, meski mereduksi satu dari dua dimensi yang sama-sama reliabel tidak
akan mengubah makna konstruk, akan tetapi pada model pengukuran formatif
mereduksi satu dimensi akan mengubah makna konstruk, karena masing-masing
dimensinya unik. Selanjutnya, konstruk formatif merupakan komposit dari
seluruh dimensi yang membentuknya. Secara tegas di jelaskan oleh MacKenzie
et al. (2005: 712) bahwa:
This is true because unlike reflective measures that individually
tap the entire conceptual domain, formative measures only
capture the entire conceptual domain as a group. This suggests
that for formative-indicator models, following the standard
scale development procedures—that is, dropping the items that
possess the lowest item-to-total correlations or the lowest
factor loadings—may result in the removal of precisely those
items that would most alter the empirical meaning of the
composite latent construct.

Kutipan diatas menyatakan bahwa reliabilitas konsistensi internal tidak


bisa digunakan untuk mengevaluasi kecukupan pengukuran model formatif.
Ada hal lain yang perlu diperhatikan pada model pengukuran formatif ini bahwa
karena variabel laten dijelaskan oleh ukuran dalam model formatif, maka jika
terjadi interkorelasi tinggi diantara dimensi formatif akan sulit membedakan
apakah dampak interkorelasi tersebut berasal dari dimensi (first order construct)
atau dari konstruk laten (second order construct). Hal ini bisa terjadi karena
koefisien dimensi analog dengan koefisien yang diperoleh dari regresi berganda
dari konstrk latennya dan stabilitas koefisien tersebut dipengaruhi oleh
multikolinearitas dan ukuran sampel (Bollen dan Lennox, 1991 di dalam
MacKenzie et al., 2005).
Kriteria terakhir dan perlu diperhatikan pada model pengukuran
formatif adalah bahwa model ini mencakup error term. Namun demikian, tidak
seperti pada model pengukuran reflektif, error pada model pengukuran formatif
direpresentasikan pada level konstruk bukan pada level dimensi. Error pada

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 440


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

model pengukuran formatif mengestimasi kesalahan yang disebabkan oleh (1)


kesalahan pengukuran, (2) interaksi antar pengukuran, (3) dan/atau aspek dari
domain konstruk yang direpresentasikan oleh pengukurannya, bukan ditujukan
pada pengukuran dimensi secara individual. Terjadinya error pada level
konstruk menunjukkan fakta bahwa model pengukuran formatif tidak hanya
merupakan jalan pintas mengkompositkan ukuran saja.
Asumsi Mac Kenzie et al. (2005) menyatakan bahwa jika model
berkepentingan menekankan perbedaan masing-masing faset (dimensi) suatu
composite latent construct, dalam hal ini NFC, maka hanya dibutuhkan “single
measure of each subdimension of the construct. And researcher might use the
model (in Panel 2) with scale scores as single measure of each subdimension”
... “item-level measurement error terms fixed at 0” (Mac Kenzie et al. (2005:
714). Apabila model berkepentingan memfokuskan pada pengukuran konstruk
latennya, maka setiap dimensi formatif diukur dengan skala ganda (multiscale).
Skala ganda akan merepresentasikan perbedaan dimensi secara konseptual dan
dapat menguji dan mengevaluasi konstruknya. Dalam model ini, error term
yang tertangkap pada level indikator akan menyunjukkan invaliditas dan
ketidak handalan ukuran indikator secara individual. Hal ini bisa disebabkan
oleh kontaminasi konstruk atau faktor random. Error term yang berasosiasi
dengan konstruk latennya akan menangkap invaliditas seluruh dimensinya.
Invaliditas dimensi ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk
invaliditas dari setiap dimensi atau invaliditas seluruh dimensi, karena
memasukkan seluruh dimensi kedalam pengukuran konstruk (MacKenzie et al.,
2005).
Untuk mengatasi in-determinan yang berkaitan dengan error term pada
level konstruk, maka setiap konstruk dengan indikator formatif harus memiliki
jalur (path) paling tidak dengan dua indikator atau variabel reflektif yang tidak
berkorelasi dengan konstruk formatif yang sedang diukur. Indikator reflektif ini
adalah indikator yang digunakan untuk mengukur keseluruhan NFC, yang
diturunkan dari konsep hasrat terhadap pengetahuan (keingintahuan) yang
disebut dengan curiousity6 (Reiss, 2004). Sedangkan variabel reflektif yang

6
Hasrat yang berkaitan dengan need for closure adalah hasrat terhadap pengetahuan
yang disebut curiousity (keingintahuan) yaitu motif dari hasrat terhadap pengetahuan
(Reiss, 2004).
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 441
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

digunakan untuk mengukur model ini adalah variabel keyakinan memilih


produk di internet.
Tahap selanjutnya adalah menentukan item dengan skor faktor >0,60
untuk setiap dimensi NFC dan variabel reflektif curiousity dan keyakinan. Uji
model ini menggunakan 150 responden.
Tabel 3: Analisis faktor dimensi discomfort with ambiguity

A15 .531 Saya merasa kesal ketika menghadapi masalah yang


membingungkan.
A21 .807 Saya mudah sekali memastikan mana pihak yang benar dan mana
yang salah.
A3 .766 Saya tidak menyukai situasi yang tidak tentu.
A31 .634 Saya selalu ingin tahu yang dipikirkan orang lain.
A32 .678 Saya tidak menyukai pendapat yang bermakna ganda.
A33 .667 Saya tidak menyukai orang yang tidak bisa membuat keputusan.
A38 .605 Saya merasa tidak nyaman ketika bekerjasama dengan orang yang
memiliki tujuan yang tidak jelas.
A42 Saya lebih suka menerima berita buruk daripada berada dalam
kondisi yang tidak tentu.
A9 .784 Saya merasa tidak nyaman ketika menghadapi ketidakpastian.

Tabel 4: Analisis faktor dimensi close mindedness

C10 .819 Saya kesal ketika ada orang yang tidak setuju dengan pendapat
saya.
C4 .640 Saya tidak menyukai jawaban yang tidak pasti.
C44 Saya tidak membutuhkan saran dari orang lain.
CR2 .844 Saya selalu ingin mempertimbangkan pendapat yang berbeda.*
CR25 .764 Saya membutuhkan saran dari orang lain ketika hendak membuat
keputusan.*
CR29 .825 Saya suka mempertimbangkan sebanyak mungkin pendapat yang
berbeda.*
CR36 .572 Saya lebih memilih teman yang mempunyai gagasan yang
berbeda.*
CR41 .646 Saya selalu menemukan berbagai solusi untuk mengatasi
masalah.*

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 442


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 5: Analisis faktor dimensi tendency toward decisiveness

D14 .844 Saya biasa menemukan solusi terbaik dengan sangat cepat.
D17 .866 Saya biasa membuat keputusan penting dengan cepat dan
meyakinkan.
DR12 .803 Saya adalah seorang peragu.*
DR13 .740 Saya sulit memutuskan produk yang sebenarnya ingin saya beli.*
DR16 .535 Saya cenderung membuat keputusan penting pada menit terakhir*
DR23 .748 Saya sulit membuat keputusan.*
DR40 .560 Saya sering melihat banyak pilihan yang justru membingungkan.*

Tabel 6: Analisis faktor dimensi preference for order and structure

O1 .646 Saya pikir mekanisme kerja yang jelas akan menentukan


keberhasilan.
O11 .524 Saya tidak suka mengubah rencana.
O24 .783 Kerapian adalah karakteristik yang paling penting bagi saya.
O34 .695 Saya menyukai kegiatan rutin.
O35 .831 Saya menikmati pola kehidupan yang teratur.
O37 .756 Saya lebih suka jika barang-barang disimpan pada tempat yang
memang cocok untuknya.
O6 .865 Saya menyukai kehidupan yang tertata baik.
OR20 .676 Ruang kerja saya biasanya tidak rapi.*
OR28 .735 Saya suka melakukan kegiatan yang kurang jelas tujuannya.*
OR47 .696 Saya tidak menyukai rutinitas dalam kehidupan saya.*

Tabel 7: Analisis faktor dimensi preference for predictability

P26 .657 Saya tidak menyukai orang yang tindakannya tidak dapat saya
prediksikan sebelumnya.
P27 .747 Saya lebih suka berteman dengan orang yang sudah saya kenal
karena saya tahu persis sifat-sifatnya.
P30 Saya tidak suka bekerja tanpa tujuan yang jelas.
P45 .698 Saya tidak suka situasi yang tidak dapat diprediksi.
P8 .715 Saya lebih suka berkunjung ke tempat yang sudah saya kenal
sebelumnya.
PR19 .624 Saya lebih suka mengubah rencana pada saat-saat terakhir.*
PR5 .750 Saya lebih senang berteman dengan orang yang tidak bisa saya
perkirakan sebelumnya.*
PR7 .852 Saya lebih memilih situasi yang tidak dapat diprediksi.*

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 443


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 8: Analisis faktor dimensi curiousity

CUR22 .808 Saya tidak memiliki motivasi untuk mencari informasi yang
saya butuhkan.*
CUR46 .944 Saya tidak ingin mencari informasi yang lain selain
pengetahuan yang sudah saya miliki.*
CURR18 .812 Saya termotivasi untuk mencari informasi yang saya
butuhkan untuk memenuhi keingintahuan saya.
CURR39 .812 Saya termotivasi mencari informasi untuk bisa membuat
keputusan yang akurat.
CURR43 .761 Saya selalu berhasrat mencari informasi untuk memenuhi
keingintahuan saya.

Dimensi curiosity diukur secara reflektif dan digunakan untuk


mengukur konstruk NFC secara keseluruhan. Langkah selanjutnya adalah
melakukan konfirmasi model formatif NFC dengan hasil berikut ini.

Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF


Default model 71 560.985 335 0.000 1.675
Saturated model 406 0.000 0
Independence model 28 1886.380 378 0.000 4.990

Model RMR GFI AGFI PGFI


Default model 0.173 0.795 0.752 0.656
Saturated model 000 1.000
Independencemodel0.430 0.373 0.326 0.347

Need for Closure <-------- Ambiguity 0.024


Need for Closure <------------ Close 0.332
Need for Closure <--------- Decisive 0.095
Need for Closure <------------ Order 0.559
Need for Closure <---------- Predict -0.133
a15 <--------------------- Ambiguity 0.509
a3 <---------------------- Ambiguity 0.674
a32 <--------------------- Ambiguity 0.582
a33 <--------------------- Ambiguity 0.586
a38 <--------------------- Ambiguity 0.554
a9 <---------------------- Ambiguity 0.788
cr2 <------------------------- Close 0.824
cr25 <------------------------ Close 0.702
cr29 <------------------------ Close 0.791
cr36 <------------------------ Close 0.523
cr41 <------------------------ Close 0.570

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 444


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dr12 <--------------------- Decisive 0.811


dr13 <--------------------- Decisive 0.636
dr23 <--------------------- Decisive 0.704
dr40 <--------------------- Decisive 0.345
o1 <-------------------------- Order 0.584
o11 <------------------------- Order 0.327
o24 <------------------------- Order 0.721
o34 <------------------------- Order 0.622
o35 <------------------------- Order 0.837
o37 <------------------------- Order 0.754
o6 <-------------------------- Order 0.871
p26 <----------------------- Predict 0.521
p27 <----------------------- Predict 0.617
p45 <----------------------- Predict 0.632
p8 <------------------------ Predict 0.606
curr18 <----------- Need for Closure 0.867
curr39 <----------- Need for Closure 0.675

eNeed for Closure 0.190 0.050 3.802


ea15 1.616 0.202 8.014
ea3 1.095 0.153 7.142
ea32 1.209 0.156 7.725
ea33 1.707 0.222 7.707
ea38 1.437 0.183 7.847
ea9 0.814 0.143 5.708
ecr2 0.562 0.105 5.346
ecr25 1.159 0.162 7.146
ecr29 0.654 0.109 6.004
ecr36 1.274 0.158 8.069
ecr41 1.241 0.157 7.912
edr12 0.924 0.222 4.171
edr13 1.405 0.200 7.021
edr23 1.180 0.191 6.174
edr40 1.736 0.208 8.334
eo1 0.535 0.065 8.182
eo11 1.617 0.190 8.528
eo24 0.776 0.101 7.678
eo34 1.327 0.164 8.081
eo35 0.442 0.068 6.530
e37 0.575 0.077 7.474
eo6 0.318 0.054 5.827
ep26 1.268 0.169 7.518
ep27 1.366 0.202 6.776
ep45 1.280 0.193 6.622
ep8 1.563 0.227 6.880
ecurr18 0.169 0.071 2.377
ecurr39 0.412 0.066 6.200

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 445


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

selanjutnya, model dapat dilihat pada Gambar 7.

ecur18 ecur39
(0.071) (0.066)

Cur1 Cur3
0.867 0.675

eNeed
for
closure
Need for
(0.050)
Closure

0.024 0.332 0.095 0.559 -0.133

Ambiguit Close Decisive Order Predict


y

A1 A3 A3 A33 A3 A9 C2 C25 C29 C36 C41 D12 D13 D23 D40 O1 O1 O2 O3 O3 O3 O6 P26 P27 P45 P8

Gambar 7: Model formatif need for closure


Sumber: Disarikan dari pemikiran penulis

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 446


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

G. Model pengukuran reflektif


Tujuan model pengukuran reflektif adalah mengembangkan pengukuran
sampel representatif untuk suatu konstruk (Nunnaly dan Bernstein, 1990 dalam
MacKenzie, 2005). Model pengukuran reflektif mengasumsikan bahwa
kovariasi diantara pengukurannya dijelaskan oleh variasi yang mendasari faktor
latennya. Dengan demikian, dimensinya merupakan dimensi yang
merefleksikan konstruk laten yang dijelaskan (MacKenzie et al., 2005). Model
pengukuran ini sering dijumpai pada pengukuran konstruk keperilakuan, dan
pada umumnya masing-masing dimensi memiliki kesamaan dengan konstruk
latennya atau disebut dengan common latent construct.
Ciri-ciri model pengukuran reflektif antara lain (1) arah kausalitas dari
konstruk ke indikator pengukurnya, karena konstruk menjelaskan variasi
pengukuran, (2) masing-masing indikator memiliki korelasi tinggi karena
mereka merefleksikan konstruk yang sama, dan harus menunjukkan reliabilitas
konsistensi internal yang tinggi, (3) semua dimensi bisa saling di pertukarkan
karena setiap pengukuran merupakan sampel dari domain konsep yang sama,
sehingga mereduksi salah satu dimensinya tidak akan mengubah makna
konstruk, (4) error berkaitan dengan pengukuran dimensi, (5) karena
pengukurannya merupakan refleksi konstruk, maka penjumlahan skor tidak
akan mencukupi untuk merepresentasikan konstruk, penjumlahan skor akan
mengakibatkan tejadinya estimasi korelasi yang tidak konsisten antara konstruk
yang diukur dengan konstruk laten lainnya (MacKenzie et al., 2005).
Webster dan Kruglanski (1994) memposisikan NFC sebagai variabel
laten unidimensi dan dimensi-dimensinya merupakan manifestasi konstruk
(Kruglanski, et al., 1993; Webster dan Kruglanski, 1994; Leone et al., 1999;
Houghton dan Grewal, 2000; Klein dan Webster, 2000; Tarris, 2000; Van
Kenhove et al., 2001; Kosic, 2002a; Kosic, 2002b; Van Hiel dan Merveilde,
2003; Nelson et al., 2003; Vermeir, 2003; Kossowska dan Van Hiel, 2003;
Vermeir dan Geuens, 2004; Moneta dan Yip, 2004; Erimurti, 2005; Erimurti,
2006; Roets et al., 2006; De Backer, 2007; Roets dan Van Hiel, 2007 dan
Stalder, 2007), bahkan Neuberg et al., (1997) menegaskan bahwa penjumlahan
skor ini tidak mempedulikan kepemilikan indikator terhadap dimensinya.
Ketika instrumen multidimensional diperlakukan sebagai instrumen
unidimensional dengan menjumlahkan skor seluruh itemnya, memang bisa
merupakan cara termudah untuk menstimulasi penelitian, tetapi hasilnya sering

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 447


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

membingungkan sebab temuan berdasar hitungan agregat akan mengakibatkan


interpretasi yang ambigu karena bisa mengubah makna konstruk yang
sebenarnya ingin diukur (Neuberg et al. 1997). Beberapa peneliti telah
melakukan validitas konstruk NFC dan menunjukkan hasil bahwa ada beberapa
dimensi yang tidak valid mengukur konstruk NFC.
Houghton dan Grewal (2000) melakukan validasi konstruk NFC, dan
mereduksi item kuesioner, dari 42 item menjadi 20 item. Dengan menggunakan
kuesioner 20 item, reliabilitas konstruk tetap stabil pada Cronbach’s alpha 0,81,
sedangkan reliabilitas sub-konstruk juga tidak banyak mengalami perubahan
dibandingkan dengan hasil uji dengan 42 item. Houghton dan Grewal
menyimpulkan bahwa pengukuran konstruk NFC dengan 20 item tetap stabil
untuk jumlah sampel 128 responden.
Kosic (2002a) mengubah skala pengukuran dari rentang 6 menjadi
rentang 5 skala Likert dengan alasan bahwa skala genap mendorong responden
yang netral berada pada posisi yang keliru. Kosic (2002a) mereduksi dimensi
tendency toward desiciveness dan hanya menggunakan empat dimensi lainnya
(A, C, O dan P) sebagai alat ukur konstruk NFC. Hasil validitas dengan
mengaplikasikan kuesioner berbahasa Italia (Kosic, 2002b) menunjukkan
bahwa dimensi tendency toward decisiveness tidak berkorelasi secara signifikan
dengan empat dimensi lainnya. Dua peneliti mengasumsikan bahwa item yang
digunakan untuk mengukur tendency toward desiciveness mendeskripsikan
kemampuan atau kekurangmampuan membuat keputusan secara cepat,
bukannya kecenderungan untuk menemukan jawaban secepat mungkin dengan
menangkap jawaban pertama yang paling memungkinkan (seizing) (Kosic,
2002a; Roets dan Van Hiel, 2007). Meskipun demikian, baik model pertama
(kombinasi dari faktor pertama yang terdiri dari empat dimensi yaitu preference
for order, preference for predictability, discomfort with ambiguity dan close
mindedness) dan faktor kedua (tendency toward decisiveness) dan model kedua
yang terdiri dari satu faktor saja yaitu NFC menghasilkan indeks goodness-of-fit
yang sama yaitu 0,92. (Kruglanski et al., 1997).
Pierro et al. (2003) mengukur konstruk NFC menggunakan kuesioner
berbahasa Inggris dan Italia. Kuesioner berbahasa Italia diterjemahkan dengan
metode back translate. Jumlah sampel yang digunakan adalah 48. Hasil
validitas menunjukkan bahwa dimensi preference for order and structure
reliabel pada Cronbach’s alpha 0,67, preference for predictability dengan alpha

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 448


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

0,71, discomfort with ambiguity dengan alpha 0,77 dan 0,55 untuk close
mindedness. Sedangkan reliabilitas konsistensi internal untuk konstruk NFC
adalah 0,89. Pierro et al. (2003) mereduksi dimensi tendency toward
decisiveness.
Moneta dan Yip (2004) melakukan validitas NFC dengan menggunakan
skala pengukuran kombinasi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Cina untuk
sampel mahasiswa psikologi Hong Kong. Skala kombinasi didasarkan pada
analisis Neuberg et al., (1997) yang menyatakan bahwa NFC tumpang tindih
dengan PNS dan PFI. Item kuesioner yang digunakan berjumlah 62 dengan
urutan PFI (14 item), NFC (42 item) dan PNS (6 item). Hasil studi Moneta dan
Yip menunjukkan bahwa reliabilitas konsistensi internal NFC adalah 0,770,
preference for order and strcture (alpha 0,748), preference for predictability
(alpha 0,736), tendency toward decisiveness (alpha 0,749), discomfort with
ambiguity (alpha 0,477), close mindedness (alpha 0,443). Ketika standard ideal
reliabilitas konsistensi internal untuk konstruk kepribadian adalah 0,85 sampai
0,90 dengan mean 0,77 (Charter, 2003) maka dimensi tendency toward
decisiveness dan discomfort with ambiguity tidak handal mengukur konstruk
NFC. Hasil selanjutnya menunjukkan bahwa korelasi antara NFC dan PNS
adalah 0,82 pada p <0,01 dan korelasi NFC dan PFI adalah 0,008. Hasil uji ini
menunjukkan bahwa NFC tidak terdiskriminasi dari PNS dan NFC benar-benar
mengukur aspek yang berbeda dari PFI.
Van Hiel et al. (2004) menguji reliabilitas konstruk NFC dengan dua
sampel mahasiswa psikologi tahun pertama di universitas di Belgia. Sampel 1
berjumlah 399 dan sampel 2 berjumlah 330. Hasil studi menunjukkan tiga
dimensi valid mengukur konstruk NFC yaitu preference for order and structure
(alpha 0,80/S1 dan 0,82/S2), preference for predictability (alpha 0,79/S1 dan
0,72/S2) dan tendency toward decisiveness (alpha 0,80/S1 dan 0,72/S2.
Sedangkan dua dimensi berikut tidak reliabel mengukur konstruk NFC yaitu
discomfort with ambiguity (alpha 0,53/S1 dan 0,41/S2) dan close mindedness
(alpha 0,51/S1 dan 0,58/S2). Meskipun dua dimensi tereduksi, studi ini
menggunakan reliabilitas komposit untuk mengukur korelasi dengan variabel
reflektif lainnya.
Studi Federico et al. (2005) mengubah skala pengukuran konstruk NFC
menjadi rentang 1-7, 1 untuk sangat tidak setuju dan 7 untuk sangat setuju.
Federico et al. (2005) menggunakan 217 sampel mahasiswa dan hanya

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 449


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

melaporkan reliabilitas konsistensi internal untuk komposit yaitu 0,85. Studi


validitas konstruk NFC yang dilakukan oleh Erimurti (2006) menggunakan
metode pengukuran reflektif dan melaporkan hasil bahwa hanya ada dua
dimensi yang reliabel merefleksikan konstruk NFC yaitu preference for order
and structure (alpha 0,7550) dan discomfort with ambiguity (alpha 0,6275),
reliabilitas konsistensi internal NFC adalah 0, 7392 dengan GFI 0.919.
Penelitian DeBacker dan Crowson (2006) menunjukkan tiga dimensi
saja yang valid mengukur NFC yaitu preference for order and structure (alpha
0,79), preference for predictability (alpha 0,89) dan discomfort with ambiguity
(alpha 0,66) sedangkan dimensi closed mindedness dan tendency toward
decisiveness mengalami reduksi.
Stalder (2007) mengkorelasikan NFC terutama dimensi tendency
toward decisiveness dan preference for order and structure dan preference for
predictability (PNS) dengan The Big Five Personality. sampai pada suatu
kesimpulan bahwa pengukuran NFC versi empat dimensi tersebut merupakan
skala unidimensi yang reliabel untuk sampel Eropa dan Amerika. Stalder tidak
melaporkan hasil konsistensi internal setiap dimensinya. Tabel 2 menunjukkan
hasil pengkuran dari berbagai penelitian sebelumnya.
Roets dan Van Hiel (2007) menguji bahwa tendency toward
desiciveness mendeskripsikan kemampuan atau kekurangmampuan membuat
keputusan secara cepat, bukannya kecenderungan untuk menemukan jawaban
secepat mungkin. Perubahan item pengukuran dimensi ini meningkatkan
Cronbach’s alpha NFC total, dari 0,85 menjadi 0,87 untuk sampel (1)
mahasiswa psikologi (N = 400), dan dari 0,82 menjadi 0,87 untuk sampel (2)
mahasiswa ilmu sosial (N = 434). Cronbach’s alpha NFC total meningkat
menjadi 0,87 untuk sampel (1) dan 0,88 untuk sampel (2), ketika close
mindedness tereduksi karena konsistensi internalnya sangat rendah.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 450


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 9: Reliabilitas konsistensi internal konstruk dan dimensi need for closure
Reliabilitas Dimensi NFC
Jumlah Reliabilitas
Jumlah
Peneliti Item Konstruk 1 2 3 4 5
Responden
Kuesioner NFC
Webster dan 42 281 0,84 0,82 0,79 0,70 0,67 0,62
Kruglanski (1994) 42 172 0,84 0,77 0,72 0,79 0,80 0,62
Neuberg et al. 42 452 - - - - - -
(1997) c
Leone et a.l (1999) 42 72 0,89 0,83 0,83 - - -
Hougton dan 42 728 0,83 0,80 0,80 0,75 0,63 0,62
Grewal (2000) 20 724/128 0,81 0,80 0,72 0,73 0,63 0,62
Kosic (2002b) 42 146 0,84 - - - - -
Vermeir (2003) 42 200 0,86 0,85 0,81 0,70 0,46 0,63
25 695 0,88 0,83 0.87 0,75 0,79 0,82
Nelson et al. (2003) 42 63 0,70 - - - - -
42 112 0,88 - - - - -
Pierro et al. (2003) 42 48 0,89 0,67 0,71 - 0,77 0,55
Moneta dan Yip 62 292 0,77 0,75 0,74 0,75 0,48 0,44
(2004)a
Van Hiel et al. 42 399 0,80 0,80 0,79 0,80 0,53 0,51
(2004)
42 330 0,82 0,82 0,72 0,72 0,41 0,58
Federico et al. 42 217 0,85 - - - - -
(2005)
Erimurti (2005) 42 225 0,79 0,74 0,56 0,63 0,50 0,51
Erimurti (2006) b 42 145 0.69 0.83 0.46 0.57 0.63 0.51
10 145 0.74 0.76 - - 0.63 -
Stalder (2007) c 42 130 - - - - - -
De Backer (2007) d 42 259 - 0,79 0,84 - 0,66 -
Roets dan Van Hiel 42 400 0,88 e - - - - -
(2007) 42 434 0,87 f - - - - -
Keterangan: (1) Preference for Order and Structure, (2) Preference for Predictability,
(3) Tendency toward decisiveness, (4) Discomfort with Ambiguity, dan (5) Close
mindedness.
a skala NFC + PNS + OFI (total 62 item)
b skala 1-7
c tidak melaporkan hasil uji reliabilitas konsisteni internal NFC dan dimensi-
dimensinya
d tidak melaporkan hasil uji reliabilitas konsistensi internal NFC

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 451


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

e mengubah item tendency toward desiciveness (kecenderungan) dengan item yang


digunakan untuk mengukur ability
f total NFC (e) tanpa close mindedness
Sumber: Webster dan Kruglanski (1994), Leone et al., (1999), Houghton dan Grewal
(2000), Kosic (2002b), Vermeir (2003), Nelson et al., (2003), Erimurti (2005), Erimurti
(2006), Moneta dan Yip (2004), Stalder (2007), Neuberg et al., (1997), De Backer
(2007) dan Roets dan van Hiel (2007).

Selanjutnya, dilakukan identifikasi model pengukuran reflektif untuk


konstruk NFC, dengan hasil berikut ini.

Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF


Default model 57 530.488 294 0.000 1.804
Saturated model 351 0.000 0
Independence model 26 1710.717 325 0.000 5.264

Model RMR GFI AGFI PGFI


Default model 0.202 0.789 0.749 0.661
Saturated model 0.000 1.000
Independence model 0.451 0.391 0.342 0.362

Ambiguity <------ Need for Closure 0.817


Close <---------- Need for Closure 0.322
Decisive <------ Need for Closure 0.187
Order <--------- Need for Closure 0.551
Predict <------- Need for Closure 0.789
a15 <------------------ Ambiguity 0.500
a3 <------------------- Ambiguity 0.680
a32 <------------------ Ambiguity 0.585
a33 <------------------ Ambiguity 0.587
a38 <------------------ Ambiguity 0.560
a9 <------------------ Ambiguity 0.781
cr2 <--------------------- Close 0.824
cr25 <-------------------- Close 0.699
cr29 <-------------------- Close 0.804
cr36 <-------------------- Close 0.528
cr41 <-------------------- Close 0.546
dr12 <----------------- Decisive 0.803
dr13 <------------------ Decisive 0.655
dr23 <------------------ Decisive 0.698
dr40 <-------------------Decisive 0.339

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 452


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

o1 <----------------------- Order 0.562


o11 <---------------------- Order 0.323
o24 <---------------------- Order 0.716
o34 <-----------------------Order 0.630
o35 <---------------------- Order 0.842
o37 <---------------------- Order 0.754
o6 <----------------------- Order 0.876
p26 <-------------------- Predict 0.525
p27 <-------------------- Predict 0.609
p45 <-------------------- Predict 0.640
p8 <--------------------- Predict 0.597

eAmbiguity 0.181 0.095 1.907


eClose 1.065 0.195 5.451
eDecisive 1.678 0.353 4.752
eOrder 0.178 0.053 3.377
ePredict 0.181 0.091 1.981
ea15 1.637 0.204 8.033
ea3 1.079 0.153 7.062
ea32 1.201 0.156 7.690
ea33 1.701 0.222 7.678
ea38 1.424 0.182 7.806
ea9 0.836 0.145 5.774
ecr2 0.563 0.107 5.254
ecr25 1.169 0.164 7.143
ecr29 0.618 0.109 5.677
ecr36 1.266 0.157 8.046
ecr41 1.289 0.161 7.986
edr12 0.956 0.240 3.981
edr13 1.346 0.203 6.641
edr23 1.201 0.200 6.018
edr40 1.744 0.210 8.322
eo1 0.556 0.068 8.213
eo11 1.621 0.190 8.526
eo24 0.789 0.103 7.665
eo34 1.305 0.163 8.031
eo35 0.431 0.068 6.331
e37 0.573 0.077 7.409
eo6 0.307 0.055 5.547
ep26 1.262 0.169 7.462
ep27 1.388 0.204 6.797
ep45 1.258 0.195 6.465
ep8 1.591 0.230 6.911

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 453


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Need for
Closure

0.817 0.322 0.187 0.551 0.789

e e e e e
(0.095) (0.195) (0.353) (0.053) (0.091)
Ambiguity Close Decisive Order Predict

A15 A3 A32 A33 A38 A9 C2 C25 C29 C36 C41 D12 D13 D23 D40 O1 O11 O24 O34 O35 O37 O6 P26 P27 P45 P8

Gambar 8: Model reflektif need for closure


Sumber: Disarikan dari pemikiran penulis

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 454


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Model reflektif teridentifikasi tidak fit terhadap data, ditunjukkan


dengan CMIN/DF = 1,804, GFI = 0,789, AGFI=0,749 dan RMR= 0,202.
Meskipun kedua model tidak fit terhadap data, namun model pengukuran
formatif lebih unggul daripada model pengukuran reflektif. Tabel menunjukkan
ikhtisar perbedaan kebaikan model formatif dan reflektif untuk konstruk NFC.
Tabel 10: Perbandingan kebaikan model reflektif dan formatif konstruk
need for closure
MODEL CMIN/DF GFI AGFI RMR
Reflektif 1.804 0.789 0.749 0.202
Formatif 1.675 0.795 0.752 0.173
PERBEDAAN 0.129 0.006 0.003 0.029

KESIMPULAN
Teori NFC memperbolehkan terjadinya korelasi positif, nol atau bahkan
negatif antar dimensinya (Kruglanski et al., 1997), sehingga masing-masing
dimensi adalah setara (equal). Konsep ini secara tidak langsung menunjukkan
bahwa NFC merupakan konstruk laten komposit (composite latent construct),
yang seluruh dimensinya merupakan pembentuk konstruk. Dengan demikian
spesifikasi model konstruk ini adalah formatif, namun Webster dan Kriglanski
(1994) memperlakukan NFC sebagai konstruk unidimensional dan spesifikasi
modelnya adalah reflektif. Cara pengukuran hibrid ini memang bisa merupakan
cara termudah untuk menstimulasi penelitian tetapi hasilnya sering
membingungkan karena temuan berdasar hitungan agregat akan mengakibatkan
interpretasi yang ambigu (Neuberg et al. 1997) dan terjadi kesalahan spesifikasi
model (MacKenzie et al. (2005).
Pengujian konstruk laten komposit NFC dengan model formatif secara
statistik lebih unggul daripada menggunakan model reflektif. Keunggulan ini
ditunjukkan dengan CMIN/DF untuk model formatif lebih kecil 0,129 daripada
model reflektif. Artinya model formatif memliki distribusi penyampelan lebih
luas daripada model reflektif. Meskipun model ini tidak fit dengan data,
ditunjukkan dengan GFI kurang dari 0,9 (Hair et al., 1998), namun model
formatif menunjukkan 0,006 lebih kuat daripada model reflektif.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 455


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James C; Gerbing, David W and Hunter, John E (1987) “On the
Assesment of Unidimensional Measurement: Internal and External
Consistency, and Overall Consistency Criteria,” Journal of Marketing
Research, Vol. 24, pp. 432-437.
Bollen, K. A., and Lennox, R. (1991) “Conventional wisdom on measurement:
A structural equation perspective,” Psychological Bulletin, Vol. 110, pp.
305–314 di dalam MacKenzie, Scott B., Podsakoff, Philip M., dan Jarvis.
Cheryl Burke, (2005) “The Problem of Measurement Model
Misspecification in Behavioral and Organizational Research and Some
Recommended Solutions, “ Journal of Applied Psychology, Vol. 90, No. 4,
pp. 710–730.
Charter, Richard A (2003) “A breakdown of reliability coefficients by test type
and reliability method, and the clinical implications of low reliability,” The
Journal of General Psychology, Vol. 13, No. 3, pp. 290-304.
Crowley, Ayn, E., and Hoyer, Wayne, D. (1989) “The relationship between
need for cognition and other individual differences variables: A two-
dimensional framework,” Advances in Consumer Research, Vol. 16, pp.
37-43.
Darwall, Stephen (2003) “Desires, reason, and causes,” Philosophy and
Phenomenological Research, Vol. 67, No. 2, pp. 436-443.
DeBacker, Teresa K. and Crowson, H. Michael (2006) “Influences on cognitive
engagement: Epistemological beliefs and need for closure,” British Journal
of Educational Psychology, Vol.: 76, pp.: 535–551.
Diamantopoulos, Adamantios, dan Winklhofer, Heidi M., (2001) “Index
Construction with Formative Indicators: An Alternative to Scale
Development,” Journal of Marketing Research (JMR), Vol. 38, Issue 2
Erimurti, Kuntari (2005) “Pengaruh Need for Closure pada perilaku konsumen:
Validasi konstruk Need for Closure,” Research Project, tidak
dipublikasikan.
Erimurti, Kuntari (2006) “Studi pendahuluan: Analisis Pengukuran Need for
Closure, Analisis Produk Dicari di Internet, Analisis Waktu Akses dan
Analisis Keluasan Pop-up Windows,” tidak dipublikasikan.
Federico, Christopher M., Golec, Agnieszka and Dial, Jessica L. (2005) “The
Relationship Between the Need for Closure and Support for Military
Action Against Iraq: Moderating Effects of National Attachment,”
Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 31, No. 5, pp. 621-632.
Federico, Christopher M., Golec, Agnieszka and Dial, Jessica L. (2005) “The
Relationship Between the Need for Closure and Support for Military

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 456


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Action Against Iraq: Moderating Effects of National Attachment,”


Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 31, No. 5, pp. 621-632.
Gerbing, David. W and Anderson, James, C. (1988) “An updated paradigm for
scale development incorporating unidimensionality and its assesment,”
Journal of Marketing Research, Vol. 25, pp. 186-191.
Hair, Joseph, E, Jr.; Anderson, Rolph, E.; Tatham, Ronald, L. and Black,
William, C. (1998) Multivariate data analysis, 5th Ed., New Jersey,
Prentice-Hall Inc.
Hoelter, Jon, W. (1986) “The Relationship Between Specific and Global
Evaluations of Self: A Comparison of Several Models,” Social Psychology
Quarterly, Vol. 49, No. 2, pp. 129-141.
Hougton, David, C. and Grewal, Rajdeep (2000) “Please, let’s get an answer –
any answer: need for consumer cognitive closure,” Psychology and
Marketing, Vol. 17, No. 11, pp. 911-934.
Jarvis, Cheryl, Burke; Mackenzie, Scott, B.; dan Podsakoff, Philip, M. (2003)
:A critical review of construct indicators and measurement model
misspecification in marketing and consumer research,” Journal of
Consumer Research, Vol. 30, pp. 199-218.
Kardes, Frank, R. (2001). “In defense of experimental consumer psychology,”
Journal of Consumer Psychology, Vol. 5, No. 3, pp. 279-296.
Kivetz, Ran and Simonson, Itamar (2000) “The effect of incomplete
information on consumer choice,” Journal of Marketing Research, Vol. 37,
No. 4, pp. 427-448.
Klein, Cynthia T. F., and Webster, Donna, M. (2000) “Individual differences in
argument scrutiny as motivated by need for cognitive closure,” Basic and
Applied Psychology, Vol. 22 No. 2, pp. 119-129.
Kosic, Ankica (2002a) “Acculturation attitudes, need for cognitive closure, and
adaptation of immigrants,” The Journal of Social Psychology, Vol. 142,
No. 2, pp. 179–201.
Kosic, Ankica (2002b) “Need for cognitive closure and coping strategies,”
International Journal of Psychology, Vol. 37, No. 1, pp. 35–43.
Kossowska, Malgorzata, and Van Hiel, Alain (2003) “The relationship between
Need for Closure and conservative beliefs in western and eastern europe,”
Political Psychology, Vol. 24 No. 3, pp. 501-518.
Kruglanski, Arie W. and Webster, Donna M. (1996) “Motivated closing of the
mind : ‘Seizing’ and ‘freezing’,” Psychological Review, Vol. 103, No. 2,
pp. 263-283.
Kruglanski, Arie W.; Atash, M Nadir; DeGrada, Eraldo; Manneti, Lucia and
Webster, Donna M (1997) “ Psychological theory testing versus
psychometric nay-saying: Comment on Neuberg et al’s (1997) critique of

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 457


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

the Need for Closure scale,” Journal of Peersonality and Social


Psychology, Vol. 73, No. 5, 1005-1016.
Kruglanski, Arie, W,; Webster, Donna, M., and Klem, Adena (1993)
“Motivated resistence and opennes in the presence or absence of prior
information,” Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 65. No.
5, pp. 861-876.
Kruglanski, Arie, W. (1990) “Lay-epistemic theory in social-cognitive
psychology,” Psychology Inquiry, Vol. 1, No. 3, pp. 181-197.
Kruglanski, Arie, W. (2005) “Need for Closure scale, attitude, belief and
experience survey,” Department of Psychology, University of Maryland,
College Park, MD 20742, open source, http://www.umd.edu.
Leone, Christopher; Wallace, Harry M.; and Modglin, Kevin (1999) “ The Need
for Closure and the need for structure: Interrelationships, correlates, and
outcomes,” The Journal of Psychology, Vol. 133, No. 5, pp. 553-562.
MacKenzie, Scott B., Podsakoff, Philip M., dan Jarvis. Cheryl Burke, (2005)
“The Problem of Measurement Model Misspecification in Behavioral and
Organizational Research and Some Recommended Solutions, “ Journal of
Applied Psychology, Vol. 90, No. 4, pp. 710–730.
McLeod, William, T. (1987) The collins modern English Dictionary, Glasgow,
William Collins Sons & Co. Ltd.
Moneta, Giovanni B and Yip, Pelen P. Y. (2004) “Construct Validity of the
Scores of the Chinese Version of the Need for Closure Scale,” Educational
and Psychological Measurement, Vol. 64, No. 3, pp. 531-548.
Nelson, Donna, Webster; Klein, Cynthia T. F., and Irvin, Jennifer E. (2003)
“Motivational antecedents of empathy: Inhibiting effects of fatigue,” Basic
and Applied Social Psychology, Vol. 25, No. 1, pp. 37–50.
Neuberg, Steven, L.; West, Stephen, G. And Thompson, Megan, M. (1997) “On
dimensionality, discriminant validity, and the role of psychometric
analyses in personality theory and measurement: reply to Kruglanski et al’s
(1997) defense of the need for closure scale,” Journal of Personality and
Social Psychology, Vol. 73, No. 5, pp. 1017-1029.
Neuman, W. Lawrence (2000) Social Research Methods, qualitative and
quantitative approaches, 4th Ed., MA, Allyn and Bacon.
Pierro, Antonio; Mannetti, Lucia; De Grada, Eraldo; Livi, Stefano and
Kruglanski, Arie W. (2003) Autocracy Bias in Informal Groups Under
Need for Closure, Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 29, No.
3, pp. 405-417.
Pierro, Antonio; Mannetti, Lucia; De Grada, Eraldo; Livi, Stefano and
Kruglanski, Arie W. (2003) Autocracy Bias in Informal Groups Under

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 458


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Need for Closure, Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 29, No.
3, pp. 405-417.
Reiss, Steven (2004) “Multifaceted Nature of Intrinsic Motivation: The Theory
of 16 Basic Desires,” Review of General Psychology, Vol. 8, No. 3, pp.
179–193.
Roets, Arne and Van Hiel, Alain (2007) “Separating Ability From Need:
Clarifying the Dimensional Structure of the Need for Closure Scale,”
Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 33 No. 2, pp. 266-280.
Roets, Arne and Van Hiel, Alain (2007) “Separating Ability From Need:
Clarifying the Dimensional Structure of the Need for Closure Scale,”
Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 33 No. 2, pp. 266-280.
Rokeach, Milton (1960), The open and closed mind: Investiations into the
nature of belief systems and personality systems, Basic Book, New York,
Northwestern University, in Winch, Robert, F., (2000) Review on
Rokeach, Milton (1960), The open and closed mind: Investiations into the
nature of belief systems and personality systems, Basic Book, New York,
Northwestern University.
Sharma, S., 1996, Applied Multivariate Techniques, John Willey & Sons Inc.,
New York, USA.
Stalder, Daniel, R. (2007) Need for closure, the big five and public self-
conciousness, The Journal of Social Psychology, Vol. 147, No. 1, pp. 91-
94.
Van Hiel, Alain, and Merveilde, Ivan (2003) “The Need for Closure and the
spontaneous use of complex and simple cognitive structures,” The Journal
of Social Psychology, Vol. 143, No. 5, pp. 559-568.
Van Hiel, Alain; Pandelaere, Mario and Duriez, Bart (2004) “The Impact of
Need for Closure on Conservative Beliefs and Racism: Differential
Mediation by Authoritarian Submission and Authoritarian Dominance,”
Personality and Social Psychology Bulettin, Vol. 30, No. 7, pp. 824-837.
Vermeir, Iris (2003) “The influence of Need for Closure on consumer
behaviour,” Dissertation, open source, http://www.fetew.ugent.be.
Vermeir, Iris and Geuens, Maggie (2004) “Need for Closure and leisure of
youngsters,” in press, Ghent University, Faculty of Economics and Applied
Economics, Department of Marketing, Hoveniersberg 24, 9000 Gent,
Belgium.
Webster, Donna, M., and Kruglanski, Arie, W. (1994) “Individual differences in
need for cognitive closure,” Journal of Personality and Social Psychology,
Vol. 67, No. 6, pp. 1049-1062.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 459


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

PENGUKURAN KONSTRUK KUALITAS LABA DAN


ISU PENGUKURAN FAIR VALUE DALAM AKUNTANSI

MARGANI PINASTI∗
MEINARNI ASNAWI∗∗

ABSTRAK
Pengukuran variabel kualitas laba dalam riset-riset empiris sangat
beragam. Makalah ini berusaha memaparkan berbagai proksi
pengukur kualitas laba yang digunakan dalam riset-riset empiris,
menyusun suatu kategorisasi atas ukuran-ukuran kualitas laba, dan
menelaah bagaimana riset-riset empiris mensiasati adanya beragam
ukuran kualitas laba. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk bersifat
exhaustive dalam memaparkan beragam proksi pengukur kualitas laba.
Berdasarkan penalaran yang mendasari tiap-tiap proksi ukuran
kualitas laba, dapat disusun suatu kategorisasi atas beragam ukuran
kualitas laba.
Telaah terhadap artikel-artikel empiris tentang kualitas laba yang
dipublikasikan sepanjang tahun 2005 sampai dengan 2008
menunjukkan bahwa dalam menghadapi adanya berbagai proksi
ukuran kualitas laba, beberapa riset empiris memilih salah satu ukuran
yang relevan dengan pertanyaan risetnya. Beberapa riset empiris
lainnya menggunakan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam
riset mereka, dan menganalisis berbagai ukuran kualitas laba tersebut
secara terpisah. Analisis secara terpisah untuk tiap-tiap ukuran
kualitas laba sampai sejauh ini merupakan solusi yang diambil dalam
riset-riset empiris ketika menghadapi adanya berbagai proksi ukuran
kualitas laba.
Selain masalah pengukuran kualitas laba, makalah ini juga
memaparkan isu pengukuran fair value dalam akuntansi, dan
mengkaitkannya dengan pendekatan pengukuran yang diadopsi profesi
penilai properti.

Kata kunci: kualitas laba, pengukuran multidimensi, fair value


Universitas Jenderal Soedirman
∗∗
Universitas Cendrawasih

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 460


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

1. PENDAHULUAN

Kualitas laba merupakan karakteristik penting dari pelaporan keuangan


(Francis et al., 2006). Berbagai pihak berkepentingan dengan kualitas laba, di
antaranya adalah investor untuk kepentingan keputusan investasinya, pengguna
laporan keuangan untuk kepentingan contracting, dan bahkan badan penyusun
standar akuntansi juga memandang kualitas laba sebagai indikator tidak
langsung atas kualitas standar pelaporan keuangan (Penman, 2003; Schipper &
Vincent, 2003). Hal inilah yang menyebabkan banyaknya riset empiris yang
melibatkan kualitas laba sebagai salah satu variabel penelitiannya. Kami
menemukan tidak kurang dari 65 artikel dalam database EBSCO yang
dipublikasikan sepanjang tahun 2005 hingga 2008, memasukkan variabel
kualitas laba dalam tulisannya. Fenomena ini menunjukkan penting dan
menariknya konsep kualitas laba.
Namun demikian, pengukuran variabel kualitas laba dalam riset-riset
empiris sangat beragam. Francis et al. (2006) menyebut kualitas laba sebagai
suatu konsep yang multi-dimensional. Beragamnya metoda pengukuran kualitas
laba memotivasi penulisan makalah ini. Berdasarkan telaah atas berbagai
literatur dan riset-riset empiris yang mengukur kualitas laba, makalah ini
berusaha memaparkan berbagai konstruk dan metoda pengukuran kualitas laba,
serta bagaimana solusi atas banyaknya ukuran kualitas laba tersebut. Makalah
ini tidak dimaksudkan untuk bersifat exhaustive dalam memaparkan beragam
proksi pengukur kualitas laba. Adanya beragam metoda pengukuran kualitas
laba menjadi kesulitan tersendiri bagi para peneliti yang hendak memasukkan
kualitas laba dalam variabel penelitiannya. Makalah ini juga memaparkan
bagaimana penelitian-penelitian terdahulu mengatasi kesulitan pengukuran
kualitas laba ini.
Selain masalah pengukuran kualitas laba, makalah ini juga akan
membahas isu pengukuran fair value dalam akuntansi. Salah satu hal yang
mendorong pentingnya isu fair value adalah terbitnya SFAC (Statement of
Financial Accounting Concepts) No.7 tentang Using Cash Flow Information
and Present Value in Accounting Measurements. Diterbitkannya SFAC No.7 ini
oleh FASB pada tahun 2000 menunjukkan belum selesainya isu pengukuran
dalam akuntansi. Hal lain yang juga mendorong perlunya pembahasan tentang
pengukuran fair value dalam akuntansi adalah semakin berkembangnya profesi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 461


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

penilai properti yang mendasarkan penilaiannya pada beragam pendekatan


selain historical cost. Oleh karena salah satu bagian dalam akuntansi adalah
proses pengukuran (transaksi ekonomik), maka berkembangnya pendekatan
pengukuran berbasis fair value ini perlu mendapat perhatian.

2. KONSTRUK KUALITAS LABA

Terdapat berbagai definisi atas konstruk kualitas laba yang dinyatakan


dalam berbagai literatur akuntansi. Beberapa di antaranya dirangkum dalam
tabel 1.

Tabel 1. Berbagai Definisi Kualitas Laba


Penulis Definisi Kualitas Laba
Bricker et al. (1995) ”reported earnings could be described as having the highest
dalam Duncan (2002) quality when they most accurately reflect underlying events and
conditions.”

Hodge (2003) ”the extent to which net income reported on the income statement
differs from true earnings.”

Schipper & Vincent ”the extent to which reported earnings faithfully represent
(2003) Hicksian income ... the change in net economic assets other than
from transactions with owners.”

Bellovary et al. “the ability of reported earnings to reflect the company’s true
(2005) earnings, as well as the usefulness of reported earnings to predict
future earnings.”

Francis et al. (2006) ‘we consider earnings to be of high quality if they are precise
with respect to an underlying construct that pertains to capital
market decisions.”

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 462


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

3. PENGUKURAN KUALITAS LABA

Riset-riset empiris tentang kualitas laba menggunakan beragam metoda


pengukuran kualitas laba. Beberapa literatur mengembangkan metoda
pengukuran kualitas laba yang digunakan dalam riset-riset empiris tersebut.
1. Kualitas akrual (accrual quality)
Kualitas akrual merupakan suatu ukuran kualitas laba yang
dikembangkan oleh Dechow & Dichev (2002). Ukuran kualitas akrual ini
didasari pandangan bahwa laba yang lebih mendekati arus kas merupakan
laba yang lebih baik kualitasnya. Ukuran kualitas akrual diestimasi dari
model yang dikembangkan Dechow & Dichev (2002) sebagai berikut:
TCA j ,t CFO j ,t −1 CFO j ,t CFO j ,t +1
= ϕ 0 j + ϕ1 j + ϕ2 j + ϕ3 j + ν j ,t (1)
Assets j ,t Assets j ,t Assets j ,t Assets j ,t

TCAj,t = total current accrual perusahaan j pada tahun t;


TCAj,t = ΔCAj,t - ΔCLj,t - ΔCashj,t + ΔSTDEBTj,t
Assetsj,t = total aktiva rata-rata perusahaan j untuk perioda tahun t dan t-1;
CFOj,t = arus kas dari aktivitas operasional perusahaan j pada tahun t, yang
dihitung dari pengurangan laba bersih sebelum pos luar biasa dengan
akrual total (TA). TAj,t = ΔCAj,t - ΔCLj,t - ΔCashj,t + ΔSTDEBTj,t –
DEPNj,t.
ΔCAj,t = perubahan aktiva lancar perusahaan j antara tahun t-1 dan t;
ΔCLj,t = perubahan kewajiban lancar perusahaan j antara tahun t-1
dan t;
ΔCashj,t = perubahan kas perusahaan j antara tahun t-1 dan t;
ΔSTDEBTj,t = perubahan kewajiban jangka panjang segera jatuh
tempo perusahaan j antara tahun t-1 dan t;
DEPNj,t = biaya depresiasi dan amortisasi perusahaan j pada tahun t.
Untuk memperoleh ukuran kualitas akrual time-series, spesifik
perusahaan, persamaan (1) diestimasi untuk beberapa perioda waktu, dan
residual νˆ j,t spesifik perusahaan-tahun yang dihasilkan tiap-tiap estimasi
merupakan ukuran kualitas akrual spesifik perusahaan-tahun. Untuk
memperoleh ukuran kualitas akrual cross-sectional, spesifik perusahaan,
persamaan (1) diestimasi setiap tahun pada level industri, dan residual νˆ j,t
spesifik perusahaan-tahun yang dihasilkan tiap-tiap estimasi merupakan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 463


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ukuran kualitas akrual spesifik perusahaan-tahun. Ukuran kualitas akrual


spesifik perusahaan diperoleh dari deviasi standar residual-residual
estimasian untuk perusahaan j = σ(νˆ j,t ).
Semakin kecil deviasi standar residual-residual estimasian untuk
perusahaan j, σ(νˆ j,t ), menunjukkan semakin baik kualitas akrual, karena
semakin besar presisi pemetaan akrual saat ini terhadap arus kas saat ini,
arus kas perioda sebelumnya, dan arus kas perioda setelahnya.
Francis et al. (2006) menyatakan bahwa salah satu kelemahan ukuran
kualitas akrual ini adalah bahwa ukuran kualitas akrual (Dechow & Dichev,
2002) hanya memfokuskan pada salah satu bagian dari akrual total, yaitu
pada current accrual, dan tidak mencakup non-current accrual. Namun
demikian, Ecker et al. (2005) dalam Francis et al. (2006) menunjukkan
bahwa ukuran current accrual dapat menjadi proksi yang layak untuk
kualitas akrual total.
Banyak artikel yang menggunakan ukuran kualitas akrual ini untuk
mengukur kualitas laba, antara lain Chen et al. (2008), Al-Attar et al.
(2008), Francis et al. (2008), Lui et al. (2007), Kerstein et al. (2007),
Francis et al. (2007), Chen et al. (2007), Machuga & Teitel (2007), Aboody
et al. (2005), Francis et al. (2004).

2. Akrual abnormal (abnormal accruals)


Akrual abnormal merupakan suatu ukuran kualitas laba yang didasari
pandangan bahwa akrual yang tidak dijelaskan dengan baik oleh
fundamental-fundamental akuntansi (yaitu aktiva tetap dan pendapatan)
merupakan ukuran terbalik (inverse measure) dari kualitas laba. Ukuran
akrual abnormal ini pada umumnya diestimasi dengan menggunakan
berbagai versi pendekatan Jones (1991) sebagai berikut:
TA j ,t 1 Δ Re v j ,t PPE j ,t
= κ1 +κ2 + κ3 + ε j ,t
Asset j ,t −1 Asset j ,t −1 Asset j ,t −1 Asset j ,t −1
TAj,t = total accrual perusahaan j pada tahun t;
ΔRevj,t = perubahan pendapatan perusahaan j antara tahun t-1 dan t;
PPEj,t = aktiva tetap (plant, property, equipment) perusahaan j pada
tahun t;
Assetsj,t-1 = total aktiva perusahaan j pada tahun t-1.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 464
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Estimasi parameter yang dihasilkan dari persamaan (2) digunakan


untuk mengestimasi akrual normal (NA) spesifik perusahaan:
1 (Δ Re v j ,t − ΔAR j ,t ) PPE j ,t
NA j ,t = κˆ1 + κˆ 2 + κˆ3
Asset j ,t −1 Asset j ,t −1 Asset j ,t −1
ΔARj,t = perubahan piutang usaha perusahaan j antara tahun t-1 dan t.
Akrual abnormal (AA) pada tahun t dihitung sebagai berikut:
TA j ,t
AA j ,t = − NA j ,t
Asset j ,t −1
Ukuran kualitas laba diperoleh dari nilai absolut akrual abnormal
(|AAj,t||). Akrual abnormal pada umumnya dipandang sebagai suatu ukuran
yang menangkap diskresi manajemen atau keputusan manajemen atas
pelaporan keuangan. Riset-riset empiris yang menggunakan ukuran akrual
abnormal ini untuk mengukur kualitas laba lebih memfokuskan pada nilai
absolut dari akrual abnormal, karena pertanyaan riset berkaitan dengan
kualitas laba pada umumnya tidak berkenaan dengan arah (tanda) diskresi
manajemen.
Sebagai proksi kualitas laba berbasis akrual, semakin besar nilai
absolut dari akrual abnormal (|AAj,t||) semakin buruk kualitas akrual atau
kualitas laba.
Francis et al. (2006) dan Schipper & Vincent (2003) membahas
kelemahan akrual abnormal sebagai pengukur kualitas laba. Akrual
abnormal dimaksudkan untuk merefleksikan pengaruh discretionary
manajemen terhadap kualitas laba, dan bukan pengaruh faktor-faktor
fundamental perusahaan (misalnya pendapatan, aktiva tetap, dan tipe
bisnis). Ketepatan akrual abnormal sangat tergantung pada kelengkapan
faktor-faktor fundamental yang digunakan untuk menentukan akrual
normal. Francis et al. (2006) menunjukkan bahwa akrual abnormal yang
diestimasi berdasarkan pendekatan Jones, tetap mengandung sejumlah
akrual normal (yang dipengaruhi faktor-faktor fundamental perusahaan).
Dengan kata lain, akrual abnormal tidak benar-benar ’bersih’ dari akrual
normal. Oleh karena itu, Francis et al. (2006) menilai bahwa tidak tepat
untuk menyatakan ukuran akrual abnormal hanya menangkap perilaku
akrual diskresioner. Nilai absolut dari akrual abnormal (|AAj,t||) sebaiknya

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 465


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dipandang sebagai ukuran kualitas akrual total yang berbeda dari ukuran
kualitas akrual Dechow & Dichev (2002).
Banyak penelitian empiris yang mengadopsi model Jones (1991) dan
berbagai perluasannya untuk mengestimasi akrual abnormal sebagai
pengukur kualitas laba. Beberapa artikel diantaranya adalah Platikanova
(2008), Francis et al. (2008), Francis & Wang (2008), Jaffar et al. (2007),
Kwon et al. (2007), Larcker et al. (2007), Blouin et al. (2007), Lee et al.
(2007), Crutchley et al. (2007), Wang (2006), Aboody et al. (2005), Ghosh
et al. (2005).

3. Persistensi (persistence)
Persistensi merupakan suatu ukuran kualitas laba yang didasari
pandangan bahwa laba yang lebih sustainable merupakan laba dengan
kualitas yang lebih tinggi. Dalam bentuknya yang paling sederhana,
persistensi laba diukur dari estimasi koefisien (slope coefficient estimate),
φ1j, dari suatu model autoregresif order satu (AR1) untuk laba per saham
tahunan (Xj,t yang diukur dari laba bersih sebelum pos luar biasa perusahaan
j pada tahun t dibagi dengan rata-rata tertimbang jumlah lembar saham yang
beredar sepanjang tahun t):
X j ,t = φ0 j + φ1 j X j ,t −1 + ν j ,t (3
Persamaan (3) pada umumnya diestimasi secara time-series untuk tiap-tiap
perusahaan. Estimasi φ1j yang dihasilkan menunjukkan persistensi laba
perusahaan j. Nilai φ1j yang mendekati satu menunjukkan persistensi laba
yang tinggi (atau kualitas laba tinggi), sedangkan nilai φ1j yang mendekati
nol menunjukkan tingginya laba transitori (atau kualitas laba rendah).
Beberapa artikel empiris yang menggunakan persistensi laba sebagai
ukuran kualitas laba, antara lain Krishnan & Parsons (2008), Machuga &
Teitel (2007), Wang (2006), Anctil & Chamberlain (2005), Ghosh et al.
(2005).

4. Prediktabilitas (predictability)
Prediktabilitas didefinisikan sebagai kemampuan laba untuk
memprediksi dirinya sendiri (Lipe, 1990). Pandangan yang mendasari
digunakannya prediktabilitas sebagai ukuran kualitas laba adalah: angka
laba yang cenderung mengulang dirinya sendiri merupakan angka laba
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 466
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

berkualitas tinggi (Francis et al., 2006). Angka laba yang berkualitas tinggi
bersifat representatif (atau merupakan prediktor yang baik) atas laba yang
akan datang.
Salah satu pengukur prediktabilitas laba diturunkan dari model
spesifik-perusahaan yang sama dengan model yang digunakan untuk
mengestimasi persistensi laba (persamaan (3)). Ukuran prediktabilitas laba
yang pada umumnya digunakan adalah akar dari variansi residual dari
persamaan (3).
Pr ediktabili tas j = σ 2 (νˆ j )
Semakin besar nilai Prediktabilitas, semakin rendah kualitas laba;
sebaliknya semakin kecil nilai Prediktabilitas, semakin tinggi kualitas laba.
Beberapa artikel empiris yang menggunakan prediktabilitas laba
sebagai ukuran kualitas laba, antara lain Machuga & Teitel (2007), Sen
(2005), Cheng (2005). Terdapat beberapa artikel empiris yang mengukur
prediktabilitas laba berdasarkan kemampuan laba perioda saat ini untuk
memprediksi arus kas perioda mendatang, yaitu Linck et al. (2007),
Khurana et al. (2006).

5. Kehalusan (smoothness)
Kehalusan (smoothness) laba pada umumnya diukur relatif terhadap
ukuran arus kas. Pengukuran ini menggunakan arus kas sebagai konstruk
referensi untuk laba yang tidak diratakan (unsmoothed earnings), dan
mengasumsikan bahwa arus kas tidak dimanipulasi (unmanaged). Sebagai
suatu indikator kualitas laba, kehalusan laba merefleksikan gagasan bahwa
manajer menggunakan informasi privat mereka tentang laba yang akan
datang untuk meratakan fluktuasi transitori dan memperoleh suatu angka
laba yang lebih representatif (yaitu dinormalkan). Jika laba yang diratakan
tersebut, yang lebih representatif menggambarkan laba yang akan datang,
merupakan laba yang berkualitas tinggi; maka laba yang lebih smooth
mengindikasikan laba berkualitas tinggi. Akan tetapi, tidak semua peneliti
menerima premis bahwa manajer menggunakan informasi privat mereka
tentang laba yang akan datang untuk memanipulasi akrual dengan tujuan
untuk memperoleh angka laba yang lebih representatif. Pandangan alternatif
atas perataan laba, sebagaimana yang dinyatakan oleh Leuz et al. (2003),

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 467


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

adalah: perataan laba merefleksikan seberapa jauh standar akuntansi


memungkinkan manajer untuk secara artifisial mengurangi variabilitas laba,
dengan tujuan untuk memperoleh manfaat berkenaan dengan aliran laba
yang smooth. Berdasarkan pandangan ini, laba yang diratakan
mengindikasikan kualitas laba yang buruk.
Dalam riset-riset empiris tentang kualitas laba, kehalusan
(smoothness) laba diukur dengan beberapa cara yang berbeda, di antaranya:
(a). Rasio deviasi standar laba bersih sebelum pos luar biasa perusahaan j
dibagi dengan total aktiva awalnya, terhadap deviasi standar arus kas
aktivitas operasional dibagi dengan total aktiva awal (Francis et al.,
2004).
Smoothness j = σ ( NIBE j ,t ) / σ (CFO j ,t )
NIBEj,t = laba bersih sebelum pos luar biasa perusahaan j dibagi
total aktiva awal perusahaan j pada tahun t.
CFOj,t = arus kas aktivitas operasional perusahaan j dibagi
dengan total aktiva awal perusahaan j pada tahun t.
Deviasi standar dihitung untuk suatu kisaran waktu tertentu (Francis et
al., 2006, mendasarkan penghitungan deviasi standar NIBE dan CFO
berdasarkan data runtun waktu selama 10 tahun).
Nilai Smoothness yang besar mengindikasikan kecilnya perataan laba,
sebaliknya, nilai Smoothness yang kecil mengindikasikan besarnya
perataan laba.
(b). Rasio deviasi standar laba operasional perusahaan j yang diskala oleh
aktivanya, terhadap deviasi standar arus kas aktivitas operasional yang
diskala dengan aktiva juga (Leuz et al., 2003).
Smoothness j = σ (OI j ,t ) / σ (CFO j ,t )
OIj,t = laba operasional perusahaan j dibagi total aktiva
perusahaan j pada tahun t.
Nilai Smoothness yang besar mengindikasikan kecilnya perataan laba,
sebaliknya, nilai Smoothness yang kecil mengindikasikan besarnya
perataan laba.
(c). Variabilitas ΔNI/ΔCFO (Machuga & Teitel, 2007; Lang et al., 2003;
Krishnan & Parsons, 2008).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 468


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Ukuran smoothness laba didasarkan atas dua persamaan regresi


sebagai berikut:
|ΔNIj,t| = α0j + α1jlog(TAj,t) + α2jTLj,t/SEj,t + α3j%Δrevj,t
+ α4j%ΔTLj,t + α5jrevj,t/TAj,t + ε1j,t
|ΔCFOj,t| = α0j + α1jlog(TAj,t) + α2jTLj,t/SEj,t + α3j%Δrevj,t
+ α4j%ΔTLj,t + α5jrevj,t/TAj,t + ε2j,t
TA menunjukkan total aset, TL menunjukkan total kewajiban, SE
menunjukkan total ekuitas, dan Δrev menunjukkan perubahan
pendapatan tahunan. Variabel-variabel tersebut merupakan variabel
kontrol.
Smoothness laba diukur dengan: variansi ε1/ variansi ε2.

6. Variabilitas laba (Earnings variability)


Pada umumnya, variabilitas laba diukur dengan deviasi standar dari
laba (terskala). Francis et al. (2006) menyatakan bahwa variabilitas laba
berhubungan erat secara statistis dan konseptual dengan smoothness laba
dan kualitas akrual. Perbedaan antara variabilitas laba dan smoothness laba
terletak pada ada tidaknya standardisasi oleh variabilitas arus kas.
Ukuran variabilitas laba pada umumnya diestimasi berdasarkan data
time-series spesifik-perusahaan dari laba terskala. Dechow & Dichev (2002)
mengukur variabilitas laba dengan deviasi standar dari laba bersih sebelum
pos luar biasa yang diskala dengan total aktiva awal tahun.
EarnVar j ,t = σ ( NIBE j ,t )
NIBEj,t menunjukkan laba bersih sebelum pos luar biasa perusahaan j yang
diskala dengan total aktiva awal tahun t.
Semakin besar nilai EarnVar mengindikasikan variabilitas laba yang tinggi;
sebaliknya, semakin kecil nilai EarnVar mengindikasikan variabilitas laba
yang rendah.
Beberapa artikel yang menggunakan variabilitas laba sebagai ukuran
kualitas laba, antara lain Machuga & Teitel (2007) dan Ewert &
Wagenhofer (2005).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 469


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

7. Relevansi-nilai (value relevance)


Relevansi-nilai sebagai suatu ukuran kualitas laba didasarkan pada
penalaran bahwa angka akuntansi seharusnya mampu menjelaskan
informasi yang tertangkap dalam return saham. Relevansi-nilai
didefinisikan sebagai kemampuan satu atau lebih angka akuntansi untuk
menjelaskan variasi dalam return saham. Laba dengan kemampuan
menjelaskan (explanatory power) yang lebih besar dianggap lebih disukai
investor; atau dengan kata lain, laba yang mampu menjelaskan variasi yang
lebih besar dalam return adalah laba berkualitas tinggi.
Pada umumnya, relevansi-nilai dalam riset-riset akuntansi (misalnya
Collins et al., 1997; Francis & Schipper, 1999) diukur dengan explanatory
power (yaitu adjusted R2) dari persamaan regresi return terhadap laba dan
perubahan laba, sebagai berikut:
RET j ,t = δ 0, j + δ 1, j EARN j ,t + δ 2, j ΔEARN j ,t + ζ j ,t (4
Dalam mengestimasi persamaan regresi sebagaimana persamaan (4),
peneliti memilih suatu ukuran laba dan perioda estimasi. Sebagai contoh:
RETj,t = return saham perusahaan j selama 15 bulan yang berakhir pada
3 bulan setelah akhir tahun fiskal t;
EARNj,t = laba sebelum pos luar biasa perusahaan j pada tahun t, diskala
dengan nilai pasar pada akhir tahun t-1.
ΔEARNj,t = perubahan laba sebelum pos luar biasa perusahaan j pada tahun
t, diskala dengan nilai pasar pada akhir tahun t-1.
Persamaan (4) dapat diestimasi secara time-series, cross-section, atau
dengan data pooled time-series cross-section. Untuk memperoleh estimasi
relevansi-nilai spesifik perusahaan, sampel dibatasi pada perusahaan-
perusahaan dengan data time-series yang mencukupi untuk mengestimasi
persamaan (4) pada level perusahaan.
Semakin besar nilai adjusted R2 dari persamaan (4), semakin relevan-
nilai angka laba.
Beberapa artikel yang menggunakan relevansi-nilai laba sebagai
ukuran kualitas laba, antara lain Mcnamara & Whelan (2006) dan Ewert &
Wagenhofer (2005).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 470


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

8. Keinformatifan laba (earnings informativeness)


Keinformatifan laba pada umumnya diukur dengan koefisien respon
laba (earnings response coefficient - ERC), yaitu koefisien estimasian dari
laba atau perubahan laba atau gabungan keduanya, yang diestimasi dari
persamaan regresi yang menghubungkan return saham (atau return
abnormal saham) dengan laba dan perubahan laba (sebagaimana persamaan
(4)). Variabel dependen dari persamaan regresi ini dapat berupa suatu
ukuran return jangka panjang (misalnya return tahunan) atau suatu indikator
reaksi pasar jangka pendek terhadap suatu kejadian (event), misalnya return
abnormal di sekitar tanggal pengumuman laba. Penggunaan koefisien
respon laba sebagai ukuran kualitas laba didasarkan pada pandangan yang
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara respon harga saham
terhadap laba dengan presisi (ketepatan) signal laba (Francis et al., 2006).
Pandangan ini menyatakan adanya hubungan positif antara kredibilitas
informasi akuntansi dengan koefisien regresi return terhadap laba.
Beberapa artikel empiris yang menggunakan koefisien respon laba
(keinformatifan laba) sebagai ukuran kualitas laba, antara lain Kwon et al.
(2007), Linck et al. (2007), Wang (2006), Higgs & Skantz (2006), Ghosh &
Moon (2005),

9. Ketepatwaktuan (timeliness)
Serupa dengan relevansi-nilai, ukuran ketepatwaktuan (timeliness)
laba didasarkan pada konstruk referensi (reference construct) return saham
dan diukur berdasarkan kemampuan menjelaskan (explanatory power) dari
laba. Ketepatwaktuan menunjukkan kemampuan laba untuk merefleksikan
berita baik (good news) dan berita buruk (bad news) yang tertangkap dalam
return saham. Ketepatwaktuan ini diukur dengan kemampuan menjelaskan
(explanatory power) dari regresi laba terhadap return saham. Penggunaan
ketepatwaktuan laba sebagai suatu ukuran kualitas laba didasari pandangan
yang sama yang mendukung relevansi-nilai sebagai ukuran kualitas laba.
Berdasarkan Ball et al. (2000), Francis et al. (2004) mengukur
ketepatwaktuan laba berdasarkan persamaan regresi berikut ini:
EARN j ,t = α 0, j + α1, j NEG j ,t + β1, j RET j ,t + β 2, j NEG j ,t .RET j ,t + ξ j ,t
NEGj,t bernilai 1 jika RETj,t < 0 dan bernilai 0 untuk kondisi sebaliknya;
variabel EARNj,t dan RETj,t telah didefinisikan sebelumnya.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 471
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Ukuran ketepatwaktuan adalah adjusted R2 dari persamaan (5). Semakin


kecil nilai adjusted R2 mengindikasikan laba yang kurang tepat waktu, atau
laba yang berkualitas rendah.

Selain kesembilan ukuran kualitas laba yang telah dipaparkan


sebelumnya, terdapat beberapa ukuran kualitas laba lainnya yang menggunakan
metoda yang berbeda dengan kesembilan ukuran kualitas laba tersebut, di
antaranya adalah:
(a). Wawancara atau survei atas persepsi investor tentang kualitas laba.
Barker et al. (2008) menggunakan pendekatan induktif untuk mengukur
kualitas laba dalam risetnya. Barker et al. (2008) menggabungkan data
wawancara terhadap analis investasi dengan content analysis atas laporan
analis investasi tersebut. Wawancara dilakukan untuk memperoleh
kategorisasi awal berdasarkan persepsi analis atas kualitas laba, sedangkan
content analysis dilakukan untuk menguji lebih lanjut kategorisasi tersebut.
(b). Rating kualitas laba dari perusahaan-perusahaan rating dan analis investasi.
Haber & Braunstein (2008) menggunakan rating kualitas laba yang
dihasilkan oleh perusahaan rating (3D Ratings) untuk mengukur kualitas
laba dalam risetnya.
Bellovary et al. (2005) mereview beberapa model yang dikembangkan oleh
analis investasi, diantaranya Merrill Lynch, S&P Core Earnings, Raymond
James & Associates, UBS. Model-model pengukur kualitas laba ini
dikembangkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.
Kedua pengukuran kualitas laba ini dibahas secara terpisah dari kesembilan
ukuran kualitas laba sebelumnya, karena adanya perbedaan dalam metoda
pengukurannya.

4. KATEGORISASI ATAS BERBAGAI JENIS UKURAN KUALITAS LABA

Schipper & Vincent (2003), dan Francis et al. (2004) berusaha


mengkategorisasikan berbagai jenis ukuran kualitas laba. Francis et al. (2004)
mengidentifikasi tujuh ukuran kualitas laba (yang mereka sebut ’atribut laba’)
yang telah banyak digunakan dalam riset-riset akuntansi. Francis et al. (2004)
mengkategorikan ketujuh atribut laba tersebut sebagai ’atribut laba berbasis
akuntansi’ atau ’atribut laba berbasis pasar’ berdasarkan asumsi-asumsi

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 472


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

mengenai fungsi pelaporan keuangan, dan mereka menyatakan bahwa asumsi-


asumsi ini akan mempengaruhi cara atribut tersebut diukur. Atribut atau kualitas
laba berbasis akuntansi meliputi: kualitas akrual, persistensi, prediktabilitas, dan
smoothness. Atribut-atribut ini menggunakan aliran kas atau laba (atau ukuran
lain yang dapat diturunkan dari kas atau laba, misalnya akrual) sebagai konstruk
acuan, dan atribut-atribut ini diestimasi menggunakan data akuntansi (bukan
data pasar). Atribut-atribut laba berbasis pasar meliputi: relevansi-nilai,
ketepatwaktuan, dan konservatisma. Atribut-atribut ini menggunakan return
atau harga sebagai konstruk acuan, dan mendasarkan
pengukurannya/estimasinya pada data akuntansi dan data return. Francis et al.
(2004) menyatakan bahwa perbedaan dalam konstruk acuan didasarkan pada
asumsi implisit maupun eksplisit mengenai fungsi dari laba. Ukuran-ukuran
kualitas laba berbasis akuntansi mengasumsikan bahwa fungsi dari laba adalah
untuk mengalokasikan arus kas ke dalam perioda-perioda pelaporan melalui
akrual; sedangkan ukuran-ukuran kualitas laba berbasis pasar mengasumsikan
bahwa fungsi dari laba adalah merefleksikan laba ekonomik sebagaimana yang
direpresentasikan oleh return saham.
Schipper & Vincent (2003) mengklasifikasikan berbagai konstruk
kualitas laba ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) konstruk kualitas laba yang
diturunkan dari properti time-series laba; (2) konstruk kualitas laba yang
diturunkan dari hubungan antara laba, akrual, dan kas; (3) konstruk kualitas laba
yang diturunkan dari konsep kualitatif dalam rerangka konseptual FASB; dan
(4) konstruk kualitas laba yang diturunkan dari keputusan-keputusan
implementasi.
1. Konstruk kualitas laba yang diturunkan dari properti time-series laba.
Schipper & Vincent (2003) menjelaskan bahwa konstruk time-series
yang berhubungan dengan kualitas laba meliputi: persistensi, daya prediksi
(predictive ability), dan variabilitas laba.
ƒ Persistensi dipaparkan dalam konteks sustainability laba. Laba yang
berkualitas tinggi adalah laba yang sustainable. Schipper & Vincent
(2003) menyatakan bahwa persistensi menangkap seberapa luas inovasi
periode sekarang menjadi suatu bagian permanen dari serial laba (serial
random walk bersifat sangat persisten, sedangkan serial mean-reverting
tidak persisten).

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 473


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

ƒ Daya prediksi (predictive ability) adalah kapasitas seluruh paket


pelaporan keuangan, termasuk komponen-komponen laba dan
disagregasi lainnya dari angka laba, untuk meningkatkan kemampuan
pemakai laporan keuangan dalam memprediksi item-item yang
diperlukan (Schipper & Vincent, 2003). Dalam riset-riset empiris, daya
prediksi laba seringkali dioperasionalisasikan sebagai kemampuan laba
masa lampau untuk memprediksi laba yang akan datang.
ƒ Variabilitas laba dikaitkan dengan laba yang smooth. Schipper &
Vincent (2003) menyatakan bahwa smoothness (variabilitas laba yang
rendah) seringkali diasosiasikan dengan laba berkualitas tinggi. Akan
tetapi, Schipper & Vincent (2003) juga memaparkan bahwa perataan
laba oleh manajemen (perataan laba artifisial) justru akan mengganggu
daya informasi laba.
Permasalahan utama dari kelompok konstruk ini, menurut
Schipper & Vincent (2003) adalah ketidaksesuaian dengan laba
Hicksian (representational faithfulness), karena dipengaruhi oleh
kondisi ekonomik bisnis riil perusahaan.
2. Konstruk kualitas laba yang diturunkan dari hubungan antara laba, akrual,
dan kas.
Pandangan yang mendasari konstruk pada kelompok ini adalah bahwa
akrual, atau bagian dari akrual, cenderung mengurangi kualitas laba.
Berbagai pengukuran dalam kelompok konstruk ini adalah:
ƒ Rasio arus kas operasi dengan laba.
Ukuran ini didasari gagasan bahwa kedekatan dengan kas (closeness-
to-cash) menunjukkan kualitas laba yang lebih tinggi. Menurut
Schipper & Vincent (2003), ukuran ini mempunyai kelemahan, yaitu
sensitif terhadap kemungkinan manipulasi arus kas operasi.
Berbeda dengan ketiga ukuran lainnya dalam kelompok ini, ukuran
rasio arus kas operasi dengan laba menggunakan total akrual sebagai
pengukur kualitas laba. Ketiga ukuran lainnya (yang dibahas
berikutnya) membedakan komponen akrual yang berkaitan dengan
kualitas laba dan komponen akrual yang tidak berkaitan dengan
kualitas laba (yaitu karena karakteristik bisnis perusahaan).
ƒ Perubahan total akrual

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 474


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Perubahan total akrual menunjukkan manipulasi manajerial, sepanjang


suatu bagian tertentu dari akrual bersifat non-manipulasian dan
cenderung konstan dari waktu ke waktu. Semakin besar perubahan total
akrual, semakin rendah kualitas laba. Kelemahan dari ukuran ini,
menurut Schipper & Vincent (2003) adalah adanya asumsi bahwa
bagian akrual yang tidak dimanipulasi bersifat konstan dari waktu ke
waktu.
ƒ Estimasi langsung atas akrual diskresioner (discretionary accruals)
dengan menggunakan variabel-variabel fundamental akuntansi.
Contoh pengukuran ini adalah model Jones (1991) yang menyatakan
bahwa variabel-variabel fundamental akuntansi (yaitu pendapatan yang
disesuaikan dengan piutang, aktiva-aktiva tetap – plant, property,and
equipment) menentukan akrual normal/non-diskresioner (yaitu akrual
yang tidak dimanipulasi). Nilai residual dari regresi total akrual
terhadap variabel-variabel fundamental akuntansi tersebut menangkap
komponen manajemen laba. Semakin besar nilai residual ini (akrual
diskresioner), semakin rendah kualitas laba.
Ukuran ini mengatasi asumsi konstan dari akrual non-diskresioner.
Kelemahan dari ukuran ini, menurut Schipper & Vincent (2003) adalah
identifikasi variabel-variabel fundamental akuntansi sebagai proksi
akrual non-diskresioner, dan asumsi bahwa variabel-variabel
fundamental tersebut tidak dimanipulasi.
ƒ Estimasi langsung atas hubungan akrual-kas.
Ukuran ini dikembangkan oleh Dechow & Dichev (2002) berdasarkan
hubungan antara akrual dengan realisasi arus kas. Dalam pendekatan
Dechow & Dichev (2002), residual estimasian dari regresi (spesifik-
perusahaan) perubahan modal kerja terhadap arus kas periode sekarang,
periode yang lalu, dan periode yang akan datang, menunjukkan
kesalahan estimasi akrual total (baik yang unintentional maupun yang
bersifat manipulatif). Kesalahan estimasi akrual total ini mengukur
kualitas akrual dan kualitas laba; semakin besar kesalahan estimasi
akrual, semakin rendah kualitas laba. Dechow & Dichev (2002)
menyatakan bahwa keunggulan ukuran yang dikembangkannya adalah
tidak diperlukannya asumsi tentang variabel-variabel fundamental
akuntansi yang bebas manipulasi (akrual non-diskresional). Kesalahan

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 475


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

estimasi akrual mencakup kesalahan yang unintentional maupun yang


intentional. Namun demikian, ukuran kesalahan estimasi akrual ini
tidak ditujukan untuk membedakan kesalahan estimasi intentional dari
kesalahan estimasi unintentional. Dechow & Dichev (2002)
berpendapat bahwa kedua jenis kesalahan estimasi tersebut (intentional
dan unintentional) mengimplikasikan kualitas akrual dan kualitas laba
yang rendah.
3. Konstruk kualitas laba yang diturunkan dari konsep kualitatif dalam
rerangka konseptual FASB.
Rerangka konseptual FASB memfokuskan pada perspektif kegunaan-
keputusan (decision-usefulness). SFAC No.2 menyatakan kriteria relevansi,
reliabilitas, dan komparabilitas/konsistensi, sebagai kriteria-kriteria untuk
menilai kualitas informasi akuntansi, termasuk laba.
Operasionalisasi kriteria-kriteria ini dalam riset seringkali dihubungkan
dengan variabel-variabel pasar saham. Cornell & Landsman (2003)
menyebutkan dua metoda untuk mengukur kualitas laba dalam kategori ini,
yaitu metoda pengujian relevansi-nilai dan metoda pengujian kandungan
informasi.
4. Konstruk kualitas laba yang diturunkan dari keputusan-keputusan
implementasi.
Schipper & Vincent (2003) menyatakan bahwa konstruk kualitas laba yang
diturunkan dari keputusan-keputusan implementasi memfokuskan pada
insentif dan keahlian dari penyaji laporan keuangan (manajemen) dan
auditor. Terdapat dua pendekatan dalam perspektif ini, yaitu:
ƒ Kualitas laba berhubungan terbalik dengan jumlah judgment, estimasi,
dan peramalan yang diperlukan oleh penyaji laporan keuangan.
Kualitas laba akan menurun dengan meningkatnya angka-angka
laporan yang harus diestimasi oleh manajemen sebagai bagian dari
implementasi standar pelaporan.
ƒ Kualitas laba berhubungan terbalik dengan tingkat oportunisme
(preparers take advantage)- penyaji mengambil keuntungan dari
pembuatan judgment, peramalan, dan estimasi yang diperlukan,
sehingga bertentangan dengan tujuan standar pelaporan. Ukuran
kualitas laba ini berhubungan dengan pengukuran manajemen laba.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 476


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Schipper & Vincent (2003) menyatakan bahwa keempat kategori


konstruk pengukur kualitas laba ini tidak mutually exclusive dan seringkali
bersifat overlapping.

Berdasarkan kategorisasi ukuran kualitas laba yang dipaparkan oleh


Francis et al. (2004) dan Schipper & Vincent (2003), dan berdasarkan
pemahaman atas berbagai ukuran kualitas laba, kami menyusun kategorisasi
berjenjang sebagai berikut:
1. Ukuran kualitas laba berbasis akuntansi:
1.1. Ukuran kualitas laba berdasarkan properti time-series laba:
1.1.1. Persistensi laba
1.1.2. Daya prediksi (prediktabilitas) laba
1.1.3. Variabilitas laba
1.1.4. Smoothness
1.2. Ukuran kualitas laba berdasarkan hubungan antara laba, akrual, dan
kas:
1.2.1. Rasio arus kas operasi dengan laba
1.2.2. Perubahan total akrual
1.2.3. Akrual abnormal (model Jones dan modifikasiannya)
1.2.4. Kualitas akrual (model Dechow & Dichev)
2. Ukuran kualitas laba berbasis pasar
2.1. Relevansi-nilai laba
2.2. Keinformatifan laba (koefisien respon laba)
2.3. Ketepatwaktuan.
Ukuran kualitas laba berdasarkan rating dari perusahaan-perusahaan
rating dan analis investasi, tidak dimasukkan dalam kategorisasi di atas, karena
rating kualitas laba tersebut dibentuk dari perpaduan berbagai ukuran kualitas
laba berbasis akuntansi maupun ukuran kualitas laba berbasis pasar. Pengukuran
kualitas laba berdasarkan wawancara dengan investor dapat dikategorisasikan
sebagai ukuran kualitas laba berbasis pasar.

5. PENGUKURAN KUALITAS LABA DALAM RISET-RISET EMPIRIS TERKINI

Kami melakukan telaah sederhana terhadap artikel-artikel tentang


kualitas laba untuk memperoleh gambaran tentang pengukuran kualitas laba

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 477


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

dalam riset-riset empiris terkini. Telaah tersebut didasarkan pada artikel-artikel


terpublikasi dalam database EBSCO antara tahun 2005 sampai dengan 2008.
Penyaringan artikel-artikel ini didasarkan pada kata kunci ’earnings quality’.
Jumlah artikel empiris yang kami telaah adalah sebagai berikut:

Artikel-artikel terpublikasi antara tahun 2005


sampai dengan 2008, dengan kata kunci
’earnings quality’: 65 artikel

Artikel-artikel non-empiris (misalnya


pengembangan model): 21 artikel

Artikel-artikel empiris: 44 artikel

Berdasarkan telaah terhadap 44 artikel empiris tersebut mengenai ukuran


kualitas laba yang digunakan, diperoleh distribusi penggunaan berbagai jenis
ukuran kualitas laba sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Frekuensi Penggunaan Ukuran Kualitas Laba dalam Riset-Riset


Empiris Tahun 2005 sampai dengan 2008

Ukuran Kualitas Laba Jumlah Riset Empiris Persentase Riset Empiris


yang Menggunakan yang Menggunakan
Kualitas akrual 10 17%
Akrual abnormal 14 24%
Akrual 5 9%
Persistensi 5 9%
Prediktabilitas 5 9%
Smoothness 2 3%
Variabilitas laba 2 3%
Relevansi-nilai 2 3%
Keinformatifan laba 5 9%
Ketepatwaktuan 0 0%
Lain-lain 9 14%
Total 59* 100%
* jumlah total tidak sama dengan jumlah artikel yang ditelaah (yaitu 44 artikel),
karena terdapat artikel-artikel yang menggunakan beberapa (lebih dari satu)
ukuran kualitas laba sekaligus.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 478
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Tabel 2 menunjukkan bahwa riset-riset empiris menggunakan beragam


ukuran kualitas laba. Dari ke-44 artikel empiris yang kami telaah, ukuran
kualitas laba yang paling banyak digunakan dalam riset adalah akrual abnormal.
Kualitas laba merupakan suatu konsep multi-dimensional. Oleh karena
itu, menurut Francis et al.(2006), pilihan atas ukuran kualitas laba tergantung
pada pertanyaan riset yang diajukan (dimensi manakah dari kualitas laba yang
relevan dengan pertanyaan riset), dan ketersediaan data. Beberapa pertanyaan
riset relevan dengan ukuran kualitas laba yang berhubungan dengan persepsi
investor atas laba. Misalnya, riset yang menguji relevansi-nilai laba memandang
laba bermanfaat bagi sekelompok partisipan pasar (yaitu investor) yang
pertimbangan dan keputusannya secara agregat teringkas dalam harga dan
return saham. Sebaliknya, pertanyaan-pertanyaan riset yang lain memfokuskan
pada pengukur langsung dari kualitas laba yang dibangun berdasarkan data
akuntansi semata (tanpa mengacu ke harga atau return saham).

Bagaimana Riset-Riset Empiris Menghadapi Banyaknya Ukuran Kualitas


Laba?
Beberapa riset menggunakan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus
dalam riset mereka untuk mengukur variabel kualitas laba. Dari 44 artikel
empiris yang ditelaah, terdapat 8 artikel (18%) yang menggunakan beberapa
proksi ukuran kualitas laba secara bersamaan untuk mengukur variabel kualitas
laba dalam riset mereka (Francis et al., 2008; Francis & Wang, 2008; Krishnan
& Parsons, 2008; Kwon et al., 2007; Linck et al., 2007; Machuga & Teitel,
2007; Wang, 2006; Aboody et al., 2005). Dalam kedelapan artikel tersebut,
tiap-tiap ukuran kualitas laba dianalisis secara terpisah.
Penggunaan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam suatu riset
dimaksudkan untuk memperoleh robustness atas hasil riset tersebut. Sampai
sejauh ini, ketika dalam suatu riset empiris diadopsi beberapa ukuran kualitas
laba, solusi yang diambil adalah analisis secara terpisah untuk tiap-tiap ukuran
kualitas laba. Sepanjang pengetahuan kami, belum dijumpai suatu riset empiris
yang mencoba mengintegrasikan berbagai proksi ukuran kualitas laba ini dalam
suatu indeks tunggal.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 479


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

6. ISU PENGUKURAN FAIR VALUE

Penyajian informasi akuntansi dalam laporan keuangan tidak dapat


dilepaskan dari masalah pengukuran item-item informasi akuntansi tersebut.
Pengukuran informasi akuntansi diatur dalam rerangka konseptual akuntansi
keuangan. Saat ini terdapat trend yang cukup jelas ke arah pengukuran
akuntansi berbasis fair value. Hal ini terutama ditandai dengan terbitnya SFAC
No.7 tentang penggunaan informasi arus kas dan nilai sekarang (present value)
dalam pengukuran akuntansi.
Isu pengukuran fair value menjadi semakin penting sejak berkembangnya
profesi penilai properti yang mendasarkan penilaiannya pada beragam
pendekatan selain historical cost. Bagian berikutnya dari makalah ini berusaha
memaparkan isu pengukuran fair value dalam akuntansi dan mendialogkannya
dengan pendekatan pengukuran yang digunakan profesi penilai properti.

Fair Value: Definisi dan Estimasi


Financial Accounting Standard Board (FASB – Dewan standar akuntansi
keuangan Amerika Serikat) mendefinisikan fair value sebagai berikut: “Fair
value is the price that would be received to sell an asset or paid to transfer a
liability in an orderly transaction between market participants at the
measurement date.” International Accounting Standard Board (IASB – Dewan
standar akuntansi internasional) mendefinisikan fair value sebagai berikut:
“Fair value is the amount for which an asset could be exchange, or a liability
settled, between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction.”
Kedua definisi dari FASB dan IASB ini secara mendasar ekuivalen.
Hitz (2007) menyatakan bahwa konsep fair value dari FASB dan IASB
ini menyatakan suatu harga pasar hipotetik spesifik (specific hypothetical
market price) dalam kondisi ideal. Lebih tepatnya, fair value merupakan harga
pasar exit yang dihasilkan dari kondisi pasar yang mendekati ideal, dalam suatu
transaksi antar pihak-pihak yang knowledgeable, independen, dan berhubungan
secara ekonomik, yang berinteraksi berdasarkan set informasi identik atau
informasi lengkap.
Estimasi fair value, menurut Hitz (2007), mengikuti suatu hirarki tiga
tingkat, yaitu: (1) harga pasar (market prices); (2) harga pasar dari item yang
sebanding (modified market prices of comparable items); dan (3) estimasi dan
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 480
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

perhitungan internal. Prinsip utama atas estimasi fair value ini adalah
keutamaan ukuran berbasis pasar (market-based measures), yang didasari
pandangan bahwa harga pasar atau data pasar lebih informatif dan lebih dapat
diandalkan dibanding estimasi internal. Jadi, harga pasar merepresentasikan
estimasi terbaik atas fair value, jika kondisi pasar memenuhi definisi fair value.
‘Kualitas’ harga pasar yang relevan dinilai berdasarkan kriteria pasar aktif, yaitu
bahwa perdagangan reguler atas item terkait pada suatu pasar yang cukup likuid
disyaratkan agar harga pasar layak sebagai estimasi fair value. Jika harga pasar
tidak menunjukkan kualitas yang cukup atau tidak tersedia, maka level kedua
dari hirarki estimasi mensyaratkan untuk mempertimbangkan harga pasar
(modifikasian) dari item-item sebanding, di mana komparabilitas secara natural
merujuk kepada profil arus kas. Hanya jika kedua jenis harga pasar tersebut
tidak dapat digunakan, maka marking-to-market gagal dan fair value harus
diestimasi menggunakan estimasi dan perhitungan internal.

Fair Value sebagai Salah Satu Atribut Pengukuran dalam Akuntansi


SFAC No.5 tentang Recognition and Measurement in Financial
Statements of Business Enterprises menyatakan lima atribut pengukuran aktiva
(dan hutang) yang saat ini digunakan dalam praktik akuntansi, yaitu:
o Historical cost ⇒ aktiva dan hutang diakui sebesar jumlah kas, atau
ekuivalennya yang dibayarkan untuk memperoleh aktiva. atau yang
diterima saat terjadinya hutang, dan kemudian disesuaikan (setelah
perolehan) untuk amortisasi atau alokasi lainnya.
o Current (replacement) cost ⇒ aktiva diakui sebesar jumlah kas, atau
ekuivalennya, yang harus dibayar jika aktiva yang sama atau ekuivalen
diperoleh sekarang.
o Current market value ⇒ aktiva diakui sebesar jumlah kas atau
ekuivalennya yang akan diterima jika aktiva itu dijual.
o Net realizable (settlement) value ⇒ jumlah kas atau ekuivalennya yang
tidak didiskonto di mana aktiva dan hutang diharapkan untuk
dikonversi dengan jumlah tersebut di masa yang akan datang.
o Present (discounted) value of future cash flows ⇒ nilai arus kas masuk
di masa datang yang didiskontokan yang akan digunakan sebagai dasar
konversi aktiva dan hutang.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 481


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Item-item yang dilaporkan dalam laporan keuangan diukur dengan atribut yang
berbeda, tergantung sifat-sifat item, relevansi serta reliabilitas dari atribut yang
diukur.

Pendekatan Pengukuran dalam Profesi Penilai Properti


Berdasarkan ‘Panduan Penerapan Penilaian Indonesia 5 (PPPI 5) –
Penilaian Personal Properti’, dapat diidentifikasi beberapa pendekatan
pengukuran dalam profesi penilai properti, sebagai berikut:
ƒ Pendekatan data pasar (sales comparison approach)
Pendekatan data pasar merupakan suatu cara yang umum dilakukan untuk
mengestimasi suatu indikasi nilai personal properti atau suatu kepemilikan
atas personal properti dengan menggunakan satu metoda atau lebih yang
membandingkan personal properti yang dinilai dengan properti yang
sebanding atau kepemilikan atas properti yang sebanding. Pendekatan
penilaian personal properti ini bergantung pada pengetahuan pasar penilai
dan pengalaman seperti pengumpulan data pasar sebagai pembanding.
ƒ Pendekatan pendapatan (income capitalisation approach)
Pendekatan pendapatan merupakan suatu pendekatan penilaian dengan
mempertimbangkan pendapatan dan biaya yang berhubungan dengan
properti yang dinilai dan mengestimasi nilai melalui proses kapitalisasi.
Melalui pendekatan pendapatan, nilai properti ditentukan berdasarkan pada
proses kapitalisasi dan diskonto terhadap proyeksi pendapatan dan
pengeluaran pada masa mendatang dari properti yang dinilai.
ƒ Pendekatan biaya (cost approach)
Pendekatan biaya merupakan suatu pendekatan penilaian properti atau aset
lainnya dengan mempertimbangkan kemungkinan bahwa, sebagai substitusi
dari pembelian suatu properti, seseorang dapat membuat properti yang lain
baik berupa replika dari properti asli atau substitusinya yang memberikan
kegunaan yang sebanding, tanpa ada biaya tambahan karena penundaan
waktu. Estimasi penilai berdasarkan pada biaya reproduksi atau pengganti
dari personal properti atau aset yang dinilai, dikurangi total depresiasi. Jadi,
melalui pendekatan biaya, nilai properti dianggap merupakan pengganti atas
biaya pembelian properti tersebut, kemungkinan pembuatan properti lain

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 482


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

yang setara dengan aslinya atau sesuatu yang dapat memberikan kegunaan
yang sebanding, tanpa ada biaya tambahan karena penundaan waktu.

Atribut Pengukuran Akuntansi dan Pendekatan Pengukuran Penilaian


Properti: Suatu Dialog
Pendekatan-pendekatan pengukuran dalam profesi penilai properti dapat
dihubungkan dengan atribut-atribut pengukuran akuntansi yang dinyatakan
dalam SFAC No.5. Pendekatan data pasar bersesuaian dengan atribut current
market value; pendekatan pendapatan bersesuaian dengan atribut present
(discounted) value of future cash flows; dan pendekatan biaya bersesuaian
dengan atribut current (replacement) cost. Jadi, atribut pengukuran akuntansi
non-historical cost bersesuaian dengan pendekatan pengukuran penilaian
properti.
Kesesuaian atribut pengukuran akuntansi non-historical cost dengan
pendekatan pengukuran penilaian properti menunjukkan bahwa pendekatan-
pendekatan pengukuran yang digunakan oleh profesi penilai properti
sebenarnya telah ada dalam atribut pengukuran akuntansi. Pertanyaan yang
menarik untuk dikaji adalah apakah perkembangan ke arah akuntansi fair value
semakin mendekatkan pengukuran akuntansi (non-historical cost) dengan
pengukuran penilai properti. Telaah mendalam diperlukan untuk dapat
menjawab pertanyaan ini.

7. SIMPULAN

Kualitas laba merupakan suatu konsep multidimensional. Riset-riset


empiris tentang kualitas laba mengadopsi beragam ukuran/proksi untuk
mengukur kualitas laba, di antaranya: kualitas akrual, akrual abnormal,
persistensi, prediktabilitas, smoothness, variabilitas laba, relevansi-nilai,
keinformatifan laba, dan ketepatwaktuan. Berdasarkan penalaran yang
mendasari tiap-tiap proksi ukuran kualitas laba, beragam ukuran kualitas laba
tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu ukuran
kualitas laba berbasis akuntansi dan ukuran kualitas laba berbasis pasar. Ukuran
kualitas laba berbasis akuntansi dapat dibagi lagi ke dalam dua kelompok, yaitu
ukuran kualitas laba berdasarkan properti time-series laba, dan ukuran kualitas

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 483


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

laba berdasarkan hubungan laba, akrual, dan kas. Ukuran kualitas laba
berdasarkan properti time-series laba meliputi: persistensi, prediktabilitas,
smoothness, dan variabilitas laba. Ukuran kualitas laba berdasarkan hubungan
laba, akrual, dan kas meliputi: rasio arus kas operasi dengan laba, perubahan
total akrual, akrual abnormal (model Jones dan modifikasiannya), dan kualitas
akrual (model Dechow & Dichev). Sedangkan ukuran kualitas laba berbasis
pasar, meliputi: relevansi-nilai laba, keinformatifan laba, dan ketepatwaktuan.
Menghadapi adanya berbagai proksi ukuran kualitas laba, beberapa riset
empiris (antara tahun 2005-2008) memilih salah satu ukuran yang relevan
dengan pertanyaan risetnya. Beberapa riset empiris lainnya menggunakan
beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam riset mereka untuk mengukur
variabel kualitas laba, dan menganalisis berbagai ukuran kualitas laba tersebut
secara terpisah. Penggunaan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam
suatu riset dimaksudkan untuk memperoleh robustness atas hasil riset tersebut.
Analisis secara terpisah untuk tiap-tiap ukuran kualitas laba sampai sejauh ini
merupakan solusi yang diambil dalam riset-riset empiris ketika menghadapi
adanya berbagai proksi ukuran kualitas laba.
Isu pengukuran fair value dalam akuntansi semakin berkembang pada
saat ini, terutama setelah diterbitkannya SFAC No.7 tentang penggunaan
informasi arus kas dan nilai sekarang (present value) dalam pengukuran
akuntansi. Berkembangnya profesi penilai properti yang mendasarkan
penilaiannya pada beragam pendekatan selain historical cost, mendorong arti
pentingnya pengukuran fair value. Atribut pengukuran akuntansi non-historical
cost bersesuaian dengan pendekatan pengukuran penilaian properti. Pendekatan
data pasar bersesuaian dengan atribut current market value; pendekatan
pendapatan bersesuaian dengan atribut present (discounted) value of future cash
flows; dan pendekatan biaya bersesuaian dengan atribut current (replacement)
cost.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 484


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

REFERENSI

Aboody, D.; Hughes, J.; Liu, J. 2005. “Earnings Quality, Insider Trading, and Cost of
Capital.” Journal of Accounting Research, Dec 2005, Vol. 43 Issue 5, p651-673.
Al-Attar, A.; Hussain, S.; Zuo, L.Y. 2008. ”Earnings Quality, Bankruptcy Risk and
Future Cash Flows.” Accounting & Business Research, Vol. 38 Issue 1, p5-20
Anctil, R.M.; Chamberlain, S. 2005. “Determinants of the Time Series of Earnings and
Implications for Earnings Quality.” Contemporary Accounting Research, Fall
2005, Vol. 22 Issue 3, p483-517.
Ball, R., S. P. Kothari, and A. Robin. 2000. “The effect of international institutional
factors on properties of accounting earnings”. Journal of Accounting and
Economics 29: 1–51.
Ball, R.; Shivakumar, L. 2006. “The Role of Accruals in Asymmetrically Timely Gain
and Loss Recognition.” Journal of Accounting Research, May 2006, Vol. 44 Issue
2, p207-242.
Barker, R.; Imam, S. 2008. “Analysts' perceptions of 'earnings quality'.” Accounting &
Business Research, Vol. 38 Issue 4, p313-329.
Bellovary, J.L.; Giacomino, D.E.; Akers, M.D. 2005. “Earnings Quality: It's Time to
Measure and Report.” CPA Journal, Nov 2005, Vol. 75 Issue 11, p32-37.
Bennett, B.; Bradbury, M.E. 2007. ”Earnings Thresholds Related to Dividend Cover.”
Journal of International Accounting Research, Vol. 6 Issue 1, p1-17.
Blouin, J.; Grein, B.M.; Rountree, B.R. 2007. “An Analysis of Forced Auditor Change:
The Case of Former Arthur Andersen Clients.” Accounting Review,
May 2007, Vol. 82 Issue 3, p621-650.
Chan, K.; Chan, L.K.C.; Jegadeesh, N.; Lakonishok, J. 2006. “Earnings Quality and
Stock Returns.” Journal of Business, May 2006, Vol. 79 Issue 3, p1041-1082.
Chen, L.H.; Dhaliwal, D.S.; Trombley, M.A. 2008. “The Effect of Fundamental Risk on
the Market Pricing of Accruals Quality.” Journal of Accounting, Auditing &
Finance, Fall 2008, Vol. 23 Issue 4, p471-492.
Chen, S.; Shevlin, T.; Tong, Y.H. 2007. “Does the Pricing of Financial Reporting
Quality Change Around Dividend Changes?” Journal of Accounting Research,
Mar 2007, Vol. 45 Issue 1, p1-40.
Cheng, Q. 2005. “The Role of Analysts’ Forecasts in Accounting-Based Valuation: A
Critical Evaluation.” Review of Accounting Studies, Mar 2005, Vol. 10 Issue 1,
p5-31.
Collins, D., E. Maydew & I. Weiss. 1997. “Changes in the Value-relevance of Earnings
and Book Values over the Past Forty Years”. Journal of Accounting and
Economics 24, pp. 39-67.
Cornell, B., & Landsman, W.R. 2003. “Accounting Valuation: Is Earnings Quality an
Issue?” AIMR, November/December, pp. 20-28.
Crutchley, C.E.; Jensen, M.R.H.; Marshall, B.B. 2007. “Climate for Scandal: Corporate
Environments that Contribute to Accounting Fraud.” Financial Review, Feb 2007,
Vol. 42 Issue 1, p53-73.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 485


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Dechow, P.M., & Dichev, I.D. 2002. “The Quality of Accruals and Earnings: The Role
of Accrual Estimation Errors.” The Accounting Review, Vol. 77, Supplement, pp.
35-59.
Desai, H.; Krishnamurthy, S.; Venkataraman, K. 2006. ”Do Short Sellers Target Firms
with Poor Earnings Quality? Evidence from Earnings Restatements.” Review of
Accounting Studies, Mar 2006, Vol. 11 Issue 1, p71-90.
Duncan, J.R. 2002. “Quality of Earnings and Accounting Estimates: A Case of
Decision.” Issues in Accounting Education, Vol. 17, No. 4, pp. 401-409.
Ecker, F.; Francis, J.; Kim, I.; Olsson, P.M.; Schipper, K. 2006. “A Returns-Based
Representation of Earnings Quality.” Accounting Review, Jul 2006, Vol. 81 Issue
4, p749-780.
Ewert, R.; Wagenhofer, A. 2005. “Economic Effects of Tightening Accounting
Standards to Restrict Earnings Management.” Accounting Review, Oct 2005, Vol.
80 Issue 4, p1101-1124.
Figelman, I. 2007. “Interaction of Stock Return Momentum with Earnings Measures.”
Financial Analysts Journal, May/Jun 2007, Vol. 63 Issue 3, p71-78.
Financial Accounting Standards Board (FASB). 1980. Statement of Financial
Accounting Concepts No.2, Qualitative Characteristics of Accounting Information.
Stamford, CT: FASB.
Financial Accounting Standards Board (FASB). 1984. Statement of Financial
Accounting Concepts No.5, Recognition and Measurement in Financial Statements
of Business Enterprises. Stamford, CT: FASB.
Financial Accounting Standards Board (FASB). 2000. Statement of Financial
Accounting Concepts No.7, Using Cash Flow Information and Present Value in
Accounting Measurements. Stamford, CT: FASB.
Francis, J. & K. Schipper. 1999. “Have Financial Statements Lost Their Relevance?”
Journal of Accounting Research, Vol. 37, No. 2 (Autumn), pp. 319-352.
Francis, J.; Lafond, R.; Olsson, P.; Schipper, K. 2004. “Cost of Equity and Earnings
Attributes.” The Accounting Review, Vol. 79, No.4, pp. 967-1010.
Francis, J.; Olsson, P.; Schipper, K. 2006. “Earnings Quality.” Foundations & Trends in
Accounting, Vol. 1 Issue 4, p259-328.
Francis, J.R.; Ke, B. 2006. “Disclosure of fees paid to auditors and the market valuation
of earnings surprises.” Review of Accounting Studies, Dec 2006, Vol. 11 Issue 4,
p495-523.
Francis, J.; Lafond, R.; Olsson, P.; Schipper, K. 2007. “Information Uncertainty and
Post-Earnings-Announcement-Drift.” Journal of Business Finance & Accounting,
Apr/May 2007, Vol. 34 Issue 3/4, p403-433.
Francis, J.; Huang, A.H.; Rajgopal, S.; Zang, A.Y. 2008. “CEO Reputation and
Earnings Quality.” Contemporary Accounting Research, Spring2008, Vol. 25
Issue 1, p109-147.
Francis, J.R.; Wang, D. 2008. “The Joint Effect of Investor Protection and Big 4 Audits
on Earnings Quality around the World.” Contemporary Accounting Research,
Spring 2008, Vol. 25 Issue 1, p157-191

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 486


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Ghosh, A.; Gu, Z.; Jain, P.J. 2005. “Sustained Earnings and Revenue Growth, Earnings
Quality, and Earnings Response Coefficients.” Review of Accounting Studies, Mar
2005, Vol. 10 Issue 1, p33-57.
Ghosh, A.; Moon, D. 2005. “Auditor Tenure and Perceptions of Audit Quality.”
Accounting Review, Apr 2005, Vol. 80 Issue 2, p585-612.
Gleason, C.A.; Jenkins, N.T.; Johnson, W.B. 2008. “The Contagion Effects of
Accounting Restatements.” Accounting Review, Jan 2008, Vol. 83 Issue 1, p83-
110.
Haber, J.; Braunstein, A. “Earnings Quality Ratings and Corporate Governance: A
Comparison of Two Models.” Journal of Theoretical Accounting Research,
Spring2008, Vol. 3 Issue 2, p44-56
Higgs, J.L.; Skantz, T.R. 2006. ”Audit and Nonaudit Fees and the Market's Reaction to
Earnings Announcements.” Auditing, May 2006, Vol. 25 Issue 1, p1-26.
Hitz, J.M. 2007. “The Decision Usefulness of Fair Value Accounting – A Theoretical
Perspective.” European Accounting Review, Vol.16, No.2, pp.323-362.
Hodge, F.D. 2003. “Investors’ Perceptions of Earnings Quality, Auditor Independence,
and the Usefulness of Audited Financial Information.” Accounting Horizons,
Supplement, pp. 37-48.
Jaffar, R.; Jamaludin, S.; Rahman, M.R.C.A. 2007. “Determinant Factors Affecting
Quality of Reporting in Annual Report of Malaysian Companies.” Malaysian
Accounting Review, Vol. 6 Issue 2, p19-42.
Jones, J. 1991. “Earnings Management during Import Relief Investigation.” Journal of
Accounting Research, Vol. 29, No.2, pp. 193-228.
Kerstein, J.; Rai, A. 2007. “Working Capital Accruals and Earnings Management.”
Investment Management & Financial Innovations, Vol. 4 Issue 2, p33-47.
Khurana, I.K.; Raman, K. K.; Wang, D. 2006. “Does the Threat of Private Litigation
Increase the Usefulness of Reported Earnings? International Evidence.” Journal of
International Accounting Research, Vol. 5 Issue 2, p21-40.
Koehn, D.; Ueng, J. 2005. “Evaluating the Evaluators: Should Investors Trust Corporate
Governance Metrics Ratings?” Journal of Management & Governance, Jun 2005,
Vol. 9 Issue 2, p111-128.
Krishnan, G.; Parsons, L. 2008. “Getting to the Bottom Line: An Exploration of Gender
and Earnings Quality.” Journal of Business Ethics, Mar 2008, Vol. 78 Issue 1/2,
p65-76.
Kwon, S.Y.; Lim, C.Y.; Tan, P.M. 2007. “Legal Systems and Earnings Quality: The
Role of Auditor Industry Specialization.” Auditing, Nov 2007, Vol. 26 Issue 2,
p25-55.
Lang, J. S. Raedy, and M. H. Yetman. 2003. “How representative are firms that are
cross-listed in the United States? An analysis of accounting quality.” Journal of
Accounting Research 41: 363– 386.
Larcker, D.F.; Richardson, S.A.; Tuna, İ. 2007. “Corporate Governance, Accounting
Outcomes, and Organizational Performance.” Accounting Review, Jul 2007, Vol.
82 Issue 4, p963-1008.

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 487


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Lee, K.W.; Lev, B.; Yeo, G. 2007. ”Organizational Structure and Earnings
Management.” Journal of Accounting, Auditing & Finance, Spring 2007, Vol. 22
Issue 2, p293-331.
Leuz, C., N. Dhananjay, and P. D. Wysocki. 2003. “Earnings management and investor
protection: An international comparison”. Journal of Financial Economics 69:
505–527.
Li, J.; Lin, J.W. 2005. ”The Relation Between Earnings Management and Audit
Quality.” Journal of Accounting & Finance Research, Apr 2005, Vol. 13 Issue 1,
p1-11.
Linck, J.; Lopez, T.; Rees, L. 2007. “The valuation consequences of voluntary
accounting changes.” Review of Quantitative Finance & Accounting, May 2007,
Vol. 28 Issue 4, p327-352.
Lipe, R. 1990. “The relation between stock returns and accounting earnings given
alternative information”. The Accounting Review 65: 49–71.
Lui, D.; Markov, S.; Tamayo, A. 2007. “What Makes a Stock Risky? Evidence from
Sell-Side Analysts' Risk Ratings.” Journal of Accounting Research, Jun 2007, Vol.
45 Issue 3, p629-665.
Machuga, S.; Teitel, K. 2007. “The Effects of the Mexican Corporate Governance Code
on Quality of Earnings and its Components.” Journal of International Accounting
Research, Vol. 6 Issue 1, p37-55.
MAPPI. Panduan Penerapan Penilaian Indonesia 5 (PPPI 5) – Penilaian Personal
Properti. Exposure Draft.
Mcnamara, R.; Whelan, C. 2006. “Sales Growth versus Cost Control: Audit
Implications.” Journal of American Academy of Business, Cambridge, Sep 2006,
Vol. 10 Issue 1, p14-20.
Penman, S.H. 2003. “The Quality of Financial Statements: Perspectives from the Recent
Stock Market Bubble.” Accounting Horizons, Vol. 17, Issue 1, pp. 77-96.
Pergola, T.M. 2005. “Management Entrenchment: Can It Negate the Effectiveness of
Recently Legislated Governance Reform?” Journal of American Academy of
Business, Cambridge, Mar 2005, Vol. 6 Issue 2, p177-183.
Platikanova, P. 2008. “Long-Term Price Effect of S&P 500 Addition and Earnings
Quality.” Financial Analysts Journal, Sep/Oct2008, Vol. 64 Issue 5, p62-76.
Schipper, K., & Vincent, L. 2003. “Earnings Quality.” Accounting Horizons,
Supplement, pp. 97-110.
Sen, P.K. 2005. “Reported Earnings Quality Under Conservative Accounting and
Auditing.” Journal of Accounting, Auditing & Finance, Summer 2005, Vol. 20
Issue 3, p229-256.
Singh, D.; Kohli, G. 2006. “Evaluation of Private Sector Banks in India.” Journal of
Management Research, Aug 2006, Vol. 6 Issue 2, p84-101.
Sloan, R. G. 1996. “Do stock prices fully reflect information in accruals and cash flows
about future earnings?” The Accounting Review 71: 289–315.
Vafeas, N. 2005. “Audit Committees, Boards, and the Quality of Reported Earnings.”
Contemporary Accounting Research, Winter 2005, Vol. 22 Issue 4, p1093-1122.
Wang,D. 2006. “Founding Family Ownership and Earnings Quality.” Journal of
Accounting Research, Jun 2006, Vol. 44 Issue 3, p619-656
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 488
Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Data Pemakalah

NAMA PROGRAM STUDI S3 INSTANSI EMAIL


Meinarni Asnawi Akuntansi FEB UGM Univ. Cenderawasih meinarni.asnawi@gmail.com
Jayapura Papua
Monika Palupi Murniati Akuntansi FEB UGM di UNIKA Soegijapranata ika_lupi@yahoo.co.id
Semarang
Siti Djamilah MSDM FEB UGM Universitas Wijaya Kusuma djamilahsiti@gmail.com
Surabaya
Firman Pribadi Manajemen FEB UGM Universitas Islam Batik firman_pribadi@yahoo.com
Surakarta
Suherman FE Universitas Universitas Negeri Jakarta suherman1611@yahoo.com
Padjadjaran
Dyah Sugandini Manajemen FEB UGM UPN Veteran Yogyakarta diah_sugandini@yahoo.com
Singgih Santoso Manajemen FEB UGM Universitas Kristen Duta singgih.santoso@gmail.com
Wacana Yogyakarta
Setyabudi Indartono Business Administration Universitas Negeri setyabudiindartono@yahoo.com
National Central Yogyakarta
University Taiwan
Joseph L. Eko Nugroho Manajemen FEB UGM Universitas Surabaya jekonugroho@yahoo.com
Ignatius Roni Setyawan FE Universitas Indonesia Univ. Tarumanagara Jakarta ignronis@yahoo.com

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 489


Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Agus Sugiyono Ilmu Ekonomi FEB UGM BPPT Jakarta agussugiyono@yahoo.com


Hery Sulistio Jati FE Universitas Indonesia Universitas Sebelas Maret hery_sriwiyanto@yahoo.com
Nugroho Sriwiyanto (UNS)
Joko Susanto Ilmu Ekonomi FEB UGM UPN Yogyakarta
jksus2004@yahoo.com

Tongam Sihol Nababan Ilmu Ekonomi FE UNDIP HKBP Nommensen Medan ts_nababan@yahoo.com
Gancar Candra Manajemen FEB UGM Universitas Airlangga Gancar_premananto@yahoo.com
Premananto
Kuntari Erimurti Manajemen FEB UGM PPPPTK Seni dan Budaya, erimurti@gmail.com
Yogyakarta
Margani Pinasti Akuntansi FEB UGM Universitas Jenderal margani_pinasti@yahoo.co.id
Sudirman

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 490

You might also like