Professional Documents
Culture Documents
Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr.wb.
Kata syukur pada Tuhan Yang Maha Esa adalah pertama kali kami ucapkan atas
terlaksananya acara kolokium nasional yang mengangkat tema tentang
pengukuran. Tak lupa kami atas nama seluruh panitia juga mengucapkan terima
kasih kepada Pengelola Program Doktor Ilmu-Ilmu Ekonomika dan Bisnis
UGM yang telah mempercayakan kepada kami untuk melaksanakan acara yang
sangat penting bagi pengembangan keilmuan ini.
Tidak ada gading yang tak retak, jika ada kekurangan dalam pelaksanaan acara
Kolokium Program Doktor tentang isu pengukuran ini, kami segenap panitia
memohon maaf dan semoga kegiatan ke depan lebih baik dan bermanfaat.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada seluruh peserta dan pendukung
acara ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan karunia rahmat
kebijaksanaan pada kita semua. Amin
Wassalamualaikum Wr.wb.
Panitia Kolokium
Ilmu Akuntansi
Analisis Keputusan Kepatuhan Pajak: Strategi Audit, Level Audit,
Perceived Probability of Audit dan Pemahaman Etika Pajak (Studi
Eksperimen Laboratorium) 1
Meinarni Asnawi
Ilmu Manajemen
Anteseden dan Konsekwensi Etika Kerja Islam 54
Siti Djamilah
Ilmu Ekonomi
Dampak Kebijakan Energi Terhadap Perekonomian di Indonesia: Model
Komputasi Keseimbangan Umum 268
Agus Sugiyono
Makalah Seminar
Social Desirability Bias: Apa, Penyebab, Konsekuensi dan Solusi? 410
Gancar Candra Premananto
Meinarni Asnawi∗
Prof.Dr. Zaki Baridwan, Dr. Supriyadi .M.Sc, Dr. Ertambang.M.Sc.∗∗
Abstract
This paper will examine what experiments on tax compliance decisions have
revealed about compliance behavior. The development of tax decision models has
focused on economic factors (audit strategy, audit level and perceived probability of
audit) and the personality or behavioral factors (tax ethical beliefs) traits of taxpayer
affecting tax compliance.
We will use experiment laboratory method for this research. We plan 150
respondents participation in this experiment from the magister sains and doctoral
program and accounting magister of FEB UGM Yogyakarta. Experiment will use
standard of fieldwork media for software and tax film. The six times experiment
implementable in the computer laboratory magister sains and doctoral program FEB
UGM.
We beliefs that proposed model provides an important contribution by
providing a framework that outlines the routes which audit strategy, audit level
perceived probability of audit and tax ethical beliefs impacts to tax compliance
decisions.
Keywords: audit strategy, audit level, perceived probability of audit, tax ethical beliefs
and tax compliance decisions
∗
Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Akuntansi FEB UGM
Yogyakarta dan Dosen pada Fakultas Ekonomi , Jurusan Akuntansi Univ.
Cenderawasih Jayapura Papua
∗∗
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 1
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
PENDAHULUAN
Latar belakang
Ide riset ini muncul sebagai akibat adanya peningkatan kebutuhan
pelayanan publik yang memadai serta peningkatan kesejahteraan masyarakat
melalui penyediaan sarana dan prasarana yang layak. Konsekuensi logis dari
kondisi di atas adalah pemerintah harus meningkatkan pendapatan negara. Salah
satu medianya adalah melalui peningkatan penerimaan pajak, karena
pembiayaan melalui utang akan menimbulkan biaya baru yang harus
ditanggung pemerintah.Potensi pajak di Indonesia yang dapat dipungut dari
masyarakat masih memiliki peluang yang sangat besar, karena dari 222 juta
penduduk Indonesia, jumlah wajib pajak (WP) pribadi masih belum mencapai
13% WP.
Adanya tuntutan pada APBN yang membebani penerimaan dari sektor
pajak hingga mencapai ± 90 % bukan hal yang mudah bagi Dirjen Pajak sebagai
lembaga yang berwenang dalam penagihan pajak, apalagi pertumbuhan
ekonomi hanya mencapai sekitar 5%. Walaupun ada peningkatan target
penerimaan dari sektor pajak namun pemerintah tidak berencana menaikkan
tarif pajak. Sebaliknya pemerintah menurunkan tarif pajak serta berupaya
melakukan peningkatan penerimaan pajak dengan meningkatkan kepatuhan
wajib pajak dari 30% menjadi 40% dan pemberlakuan ekstensifikasi pajak
(Gunadi, 2006).
Kepatuhan wajib pajak dapat ditingkatkan melalui beberapa aspek
psikologis dan ekonomi. Beberapa riset yang menggunakan indikator psikologis
seperti sikap, etika, moral yang berkaitan dengan kepatuhan pajak telah diteliti
oleh Hanno dan Violette, (1996), Milliron (1985), Milliron dkk, (1988). Alm
(1998) mengklasifikasi kepatuhan pajak dalam dua katagori yaitu berdasarkan
pendekatan internal norm (moral behavior) dan external norm (government
decision).
Berbagai uraian di atas mengungkapkan bahwa upaya peningkatan
kepatuhan pajak merupakan salah satu alternatif peningkatan pendapatan
negara. Isu perilaku kepatuhan pajak tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan data sekunder, karena tidak dapat mengamati secara langsung
perilaku wajib pajak. Untuk itu riset ini menggunakan pendekatan eksperimen
untuk melihat perubahan perilaku setelah adanya perlakuan yang diberikan
dengan mengacu pada 4 masalah utama yaitu: (1) Apakah Strategi audit, level
audit dan pemahaman etika pajak individu berpengaruh dalam peningkatan
keputusan kepatuhan pajak? (2) Apakah strategi audit dan perceived probability
of audit mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak? (3)Apakah level audit dan
perceived probability of audit mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak? (4)
Apakah pemahaman etika pajak individu memoderasi hubungan antara
perceived probability of audit dan keputusan kepatuhan pajak ?
Riset ini ingin menunjukkan bahwa isu perilaku individual dari sudut
pandang psikologi (etika) dan variabel ekonomi seperti strategi audit, level audit
dan perceived probability of audit tidak dapat diabaikan dalam upaya
peningkatan kepatuhan wajib pajak. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan
bahwa tujuan khusus dari riset ini adalah: (1) Menginvestigasi apakah strategi
audit, level audit (audit rate) dan pemahaman etika pajak individu berpengaruh
dalam peningkatan keputusan kepatuhan pajak. (2) Menginvestigasi apakah
strategi audit dan perceived probability of audit mempengaruhi keputusan
kepatuhan pajak. (3) Membuktikan bahwa tingkat/level audit dan perceived
probability of audit mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak. (4)
Membuktikan apakah pemahaman etika pajak memoderasi hubungan antara
perceived probability of audit dan keputusan kepatuhan pajak.
Hasil riset ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pemerintah
dalam proses pembuatan peraturan pajak agar tidak hanya dilandaskan pada
faktor ekonomi semata tetapi juga perlu mempertimbangkan faktor psikologis
wajib pajak. Selain itu software pajak yang dibuat untuk tritmen dapat
digunakan untuk simulasi dalam proses pembelajaran pajak. Video Etika
Pemahaman Pajak juga dapat digunakan untuk meningkatkan keputusan
kepatuhan pajak dari wajib pajak.
Kerangka Pemikiran
Fokus riset ini adalah mencoba menguji efek perilaku kepatuhan pajak.
Riset sebelumnya (Asnawi, 2006) hanya menyimpulkan berbagai faktor yang
diprediksi dapat meningkatkan kepatuhan pajak. Hasilnya menyimpulkan
bahwa terdapat 7 faktor yang dapat membuat wajib pajak mau membayar pajak
atau sebaliknya tidak mau membayar yaitu strategi audit, probabilitas audit,
motivasi (harapan dan keadilan), kompleksitas peraturan, norma-norma sosial,
dan etika pajak.
STRATEGIA
UDIT
PERCEIVED KEPUTUSAN
PROBABILITY KEPATUHAN
OF AUDIT PAJAK
AUDIT RATE
PEMAHAMAN
ETIKA PAJAK
LANDASAN TEORI
Berbagai teori yang menjelaskan tentang keputusan kepatuhan pajak
banyak dihubungkan dengan pendekatan ekonomi tradisional dan didasarkan
pada teori utilitas telah valid. Walaupun terdapat berbagai penjelasan tentang
mengapa para pembayar pajak patuh atau tidak patuh terhadap peraturan-
peraturan pajak, namun penjelasan secara ekonomis tidaklah cukup dan lengkap
dalam menjelaskan keputusan kepatuhan pajak.
Riset ini mencoba untuk mengkombinasikan berbagai faktor ekonomi
seperti strategi audit, level audit, perceived probability of audit (probabilitas
audit cerapan) dan faktor psikologi yaitu pemahaman etika pajak dalam suatu
pengujian rasionalitas keputusan kepatuhan pajak. Berikut ini penjelasan dari
setiap variabel yang digunakan dan yang dihipotesiskan akan dijelaskan dengan
terperinci.
ketidakpatuhan pajak dapat dilakukan dengan cara tidak melaporkan atau mela-
porkan namun tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya atas pendapatan yang
bisa dikenai pajak. Hal ini bisa saja terjadi karena perhitungan pajak sampai saat
ini masih menggunakan self-assesment system. Sistem ini memungkinkan
seorang wajib pajak dapat menghitung dan menentukan sendiri besarnya
pendapatan yang akan dilaporkan sebagai pendapatan kena pajak. Dampaknya
bisa terjadi informasi asimetris antara lembaga pajak dan wajib pajak dan dapat
memunculkan adanya moral hazard.
Strategi Audit
Beberapa riset awal yang berkaitan dengan kepatuhan pajak pada
dasarnya menggambarkan model kepatuhan pajak sebagai suatu permainan
(simulasi) antara wajib pajak dan insititusi pajak, karena di satu sisi kepatuhan
pajak diperhadapkan dengan maksimisasi kesejahteraan wajib pajak dan di
pihak lain institusi berupaya untuk memaksimisasi penerimaan pemerintah
melalui strategi audit yang tepat (Beck; 1989, Reiganum; 1985).
Alm dkk. (1993) mengemukakan bahwa terdapat beberapa cara atau
strategi untuk seleksi audit pajak yaitu dengan random audit rule dan fixed audit
rule. Beberapa riset membuktikan bahwa strategi audit yang bersifat random
akan meningkatkan kepatuhan pajak karena wajib pajak yang berada pada
kondisi ketidakpastian akan cenderung untuk menghindari risiko pinalti (Ghosh
dan Terry;1996, Beck;1991, Jackson;1986).
Untuk lebih memahami strategi audit dengan pendekatan random. Alm
dkk. (1993) menggunakan economics-of-crime methodology yang pertama kali
dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972). Mereka menemukan bahwa
individu yang diasumsikan menerima pendapatan tetap akan menggunakan
kewenangan pajak untuk melakukan underreported income dengan cara
memaksimisasi fungsi utilitasnya dan menanggung akibatnya jika
penghindaran pajaknya terdeteksi dan dikenakan pinalti.
Berbagai hasil riset di atas memperjelas bahwa asumsi informasi
assimetris yang terjadi dalam konteks hubungan antara Dirjen Pajak sebagai
prinsipal dan wajib pajak sebagai agen seperti yang dijelaskan dalam teori
keagenan memungkinkan perlu adanya monitoring. Tujuan dilakukan
monitoring adalah untuk melihat dengan lebih akurat apakah wajib pajak
melakukan kepatuhan ataukah sebaliknya.
Level Audit
Teori standar tentang kepatuhan pajak banyak didasarkan pada hasil
riset Allingham dan Sandmo (1972). Individu diasumsikan memiliki jumlah
yang telah ditetapkan terhadap pendapatannya dan memiliki kewenangan untuk
memutuskan besarnya pendapatan yang akan dilaporkan sebagai pendapatn
kena pajak dengan tujuan untuk maksimisasi utilitasnya.
Laporan pendapatan tidak kena pajak akan semakin berkurang jika
individu (taxpayer) diperhadapkan dengan level audit yang tinggi atau dengan
kata lain kepatuhan pajak meningkat jika level audit meningkat. Karena dengan
semakin tinggi level audit maka semakin besar pula kemungkinan bagi WP
tersebut di periksa sehingga tingkat kepastian untuk diperiksa semakin tinggi
pula dan berdampak pada sikap WP yang akan menjadi semakin konservatif.
Friedland dan Rutenberg (1978) menemukan bahwa setiap penurunan
level audit pada saat strategi audit random akan berdampak pada probabilita
terjadi peningkatan under reporting dalam laporan pendapatan kena pajak. Riset
lainnya yang juga menemukan hasil yang sama yaitu semakin tinggi level audit
pada saat strategi audit random akan mengarah pada peningkatan kepatuhan
pajak dilakukan oleh Beck (1991), Alm (1991), Alm dkk. (1992a) dan Alm
dkk. (1993).
Temuan lain dari Alm dkk. (1992b) berbeda dengan riset sebelumnya.
Mereka menemukan bahwa dampak dari level audit sangat kecil dan tidak
linear, sehingga efek penghindaran pajak dari level audit yang tinggi secara
perlahan-lahan dapat hilang. Namun mereka juga menegaskan bahwa pembayar
pajak akan lebih patuh pada saat terdapat adanya kecenderungan diaudit
(perasaan akan diaudit). Dengan kata lain kepatuhan pajak lebih dapat
diprediksi melalui perceived probability of audit dibandingkan dengan yang
dijelaskan oleh teori utilitas.
Hasil temuan Alm dkk. (1992b) memperkuat temuan Spicer dan Hero
(1985) dan Robben (1987) yang menyimpulkan bahwa individu yang
laporannya diaudit akan melaporkan pendapatannya dengan lebih jujur setelah
diaudit dibandingkan dengan individual yang tidak diaudit. Riset yang
dilakukan oleh Dubin dkk.(1990) mencoba mengestimasi dampak level audit
yang tinggi terhadap perilaku kepatuhan pajak menyimpulkan bahwa penurunan
level audit secara signifikan berdampak pada penurunan pengumpulan pajak
pendapatan.
Hasil riset Dubin (2004) memperkuat hasil temuan sebelumnya bahwa
penurunan level audit akan berdampak pada penurunan keputusan kepatuhan
pajak. Upaya untuk menguji secara langsung efek deterrence dari audit juga
dilakukan oleh Slemrod dkk. (2001) dengan menggunakan 2000 pembayar
pajak sebagai sampel. Tetapi hasilnya tidak memberikan informasi aktual
tentang kepatuhan pajak individu karena dalam eksperimen yang dilakukan
hanya menggunakan data pajak yang dilaporkan dan bukan data pajak yang
sebenarnya.
Simpulan dari hasil riset Dubin (2004) dan Slemrod dkk. (2001)
meyatakan bahwa investigasi terhadap pelaporan pendapatan kena pajak oleh
pembayar pajak merupakan pengukuran tidak langsung terhadap kepatuhan
pajak karena dapat diprediksi melalui tingginya probabilitas level audit yang
akan dikenakan.
Dari berbagai penjelasan di atas maka hipotesis yang akan diuji dalam riset ini
adalah:
etika merupakan kepercayaan yang ada dalam diri individu yang merefleksikan
kepercayaan etika yang lebih spesifik tentang dan dalam konteks perilaku
kepatuhan pajak (Henderson; 2005).
Riset awal yang menguji peran etika dalam kepatuhan pajak diteliti oleh
Schwartz dan Orleans (1967) yang berfokus pada aspek komitmen sosial
terhadap kepatuhan pajak. Jackson dan Milliron (1986) selanjutnya
mengembangkan riset ini dengan mencoba mendefenisikan etika dalam dua
pengukuran yaitu orientasi etika dan evaluasi etika.
Orientasi etika mengarah pada pengertian etika secara umum atau lebih
dikaitkan dengan teori–teori psikologi tentang konsistensi antara tindakan dan
kepercayaan yang dimiliki (Lindzey; 1985). Sedangkan pengertian evaluasi
etika lebih terfokus pada pengertian etika secara kontekstual yaitu
menghubungkan sikap individu dan kepercayaan yang bisa saja berbeda
tergantung dari situasi yang dihadapi (misalnya ketidakpatuhan pajak dapat
dibedakan dengan bentuk kriminal lainnya).
Grasmick dan Green (1980), Grasmick dan Scott (1982), Kaplan dan
Reckers (1985) serta Reckers dkk. (1994), mendefinisikan etika dalam konteks
perilaku ketidakpatuhan pajak sebagai sesuatu yang secara moral adalah salah
atau tidak bermoral. Hasil riset mereka menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif antara etika dan kepatuhan pajak, sedangkan riset yang menunjukkan
hasil negatif ditunjukkan oleh Webley dan Eidjar (2001).
Riset yang dilakukan oleh Ghosh and Terry (1996) mendefinisikan
etika sebagai perasaan apakah seseorang akan melakukan manipulasi untuk
mencapai tujuannya yang dalam hal ini dikontekskan sebagai ketidakpatuhan
pajak yang disengaja membuktikan bahwa seseorang yang memiliki standar
etika yang tinggi serta memiliki kemungkinan diaudit akan memiliki
ketidakpatuhan yang rendah dan sebaliknya.
Riset yang menggunakan etika untuk memprediksi kepatuhan pajak
secara spesifik dilakukan oleh Henderson (2005) yang menginvestigasi effek
dari orientasi etika dan evaluasi etika membuktikan bahwa orientasi etika
mempengaruhi etika evaluasi dan selanjutnya secara positif mempengaruhi
kepatuhan pajak. Riset ini mencoba membangun suatu model yang
menggambarkan hubungan langsung maupun tidak langsung antara orientasi
etika, evaluasi etika dan kepatuhan pajak. Dari penjelasan di atas menunjukkan
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian tentang kepatuhan pajak dapat dilihat dari dua pendekatan
yaitu pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi (psikologi). Riset ini
mencoba untuk mengungkapkan pengaruh kedua pendekatan tersebut terhadap
kebijakan kepatuhan pajak. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi kembali
atau memperkuat beberapa teori keputusan yang telah ada serta memberikan
bukti empiris untuk memperjelas temuan riset sebelumnya.
Definisi Variabel
Untuk mempermudah pemahaman tentang berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap keputusan kepatuhan pajak yang digunakan dalam riset
ini, maka berikut ini diberikan definisi yang berhubungan dengan variabel-
variabel riset tersebut:
1. Keputusan kepatuhan pajak, yaitu keputusan etis yang dibuat oleh
pembayar pajak (wajib pajak/fiskus) untuk taat pada peraturan-peraturan
pajak yang berlaku dan yang dikenakan terhadap pendapatan fiskus
sehubungan dengan pelaporan pendapatan kena pajak yang dilaporkan di
mana fiskus berdomisili.
2. Perceived probability of audit yaitu perasaan pembayar pajak (fiskus)
bahwa pelaporan pendapatan kena pajak yang dilaporkan memiliki
kemungkinan untuk diaudit.
3. Strategi audit pajak yaitu strategi audit pajak yang dapat berbentuk random
atau tetap (fixed) yang ditentukan oleh institusi pajak untuk memeriksa
kebenaran dari setiap laporan pendapatan kena pajak yang dilaporkan oleh
individu pembayar pajak.
- Strategi audit random dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk
pemeriksaan wajib pajak dengan kemungkinan semua wajib pajak
individu akan diaudit.
- Strategi audit tetap dapat didefinisikan sebagai bahwa wajib pajak
memiliki kemungkinan di audit jika membayar pajak di bawah standar
minimal pajak (sesuai UU pajak penghasilan individu) yang seharusnya
dibayarkan.
4. Tingkat/level audit didefinisikan sebagai besarnya presentasi pemeriksaan
terhadap wajib pajak.
5. Pemahaman etika pajak didefinisikan dalam bentuk pemahaman terhadap
etika pajak yang merefleksikan perilaku kepatuhan pajak dari individu
terhadap peraturan-peraturan dan undang-undang perpajakan yang berlaku
atau dengan kata lain merepresentasikan etika individu yang spesifik
berkaitan dengan kepatuhan pajak.
Pengukuran Variabel
1. Strategi audit merupakan tritmen dalam bentuk random dan fixed yang
diberikan kepada partisipan. Untuk strategi random partisipan akan
diberitahu bahwa mereka memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih
(random) dalam pemeriksaan (diaudit) laporan pajak mereka. Sedangkan
untuk strategi fixed, partisipan yang melaporkan jumlah pendapatan kena
pajak di bawah standar atau “cut off” yang telah ditetapkan akan diaudit.
Selanjutnya partisipan akan diukur dengan menggunakan item pertanyaan
yang telah diuji validitasnya pada riset sebelumnya.
2. Level audit merupakan perlakuan yang diberikan dalam bentuk peningkatan
level audit (level kemungkinan diperiksa) di mulai dari 10% sampai dengan
30%.
3. Pemahaman Etika Pajak, merupakan gambaran tentang etika pajak yang
dibuat dalam bentuk video dengan memberi gambaran tentang bagaimana
seharusnya mengisi SPT, menetapkan penghasilan tidak kena pajak dan
manfaat pajak serta pemeriksaan pajak. Gambaran tentang etika pajak
disesuaikan dengan instrumen Multi Ethical Scale (MES) yang
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan metode riset eksperimen.
Tujuannya adalah untuk lebih memperjelas arah hubungan dari model
keputusan kepatuhan pajak. Riset-riset keperilakuan dengan menggunakan data
sekunder telah banyak dilakukan namun memiliki kelemahaan karena mengukur
kepatuhan pajak dari rasio pembayaran pajak dan jumlah pajak. Penggunaan
data sekunder tersebut tidak dapat menggambarkan kondisi riil mengapa
seseorang atau individu tidak mau membayar pajak.
Pengujian dengan eksperimen untuk riset keperilakuan memiliki
beberapa kelebihan antara lain, peneliti dapat melakukan manipulasi terhadap
variabel independen sehingga kemungkinan adanya perubahan pada variabel
dependen benar-benar merupakan fungsi adanya peningkatan perlakuan
(treatment) manipulasi. Selain itu dengan riset eksperimen, variabel-variabel
yang dapat menimbulkan bias terhadap hasil dapat dikontrol sehingga lebih
effektif dibandingkan dengan desain riset lainnya. Keuntungan lainnya adalah
memiliki kemampuan replikasi yang tinggi dengan setting partisipan, waktu dan
situasi yang berbeda.
Selain memiliki keunggulan, riset eksperimen juga memiliki
kelemahan terutama masalah generalisasi hasil, kelemahan lainnya dalam riset
manajemen dan akuntansi atau bidang sosial lainnya terdapat keterbatasan
dalam masalah manipulasi dan kontrol, dengan demikian riset-riset eksperimen
tidak dapat dilakukan untuk riset-riset yang berkaitan dengan prediksi dan
tujuan-tujuan tertentu (Cooper dan Schindler; 2006)
Riset Eksperimen
Untuk meningkatkan kemampuan validitas internal dan eksternal
dalam riset eksperimen, maka desain eksperimen harus didesain dengan
memper-imbangkan berbagai faktor yang tujuannya adalah meningkatkan
kemampuan kedua jenis validitas tersebut.
Menurut Cooper dan Schindler (2006) untuk meningkatkan
kemampuan validitas internal sebaiknya desain eksperimen perlu
memperhatikan: history, maturity, testing, instrumentation, selection, statistical
regression dan experimental mortality. Untuk memperjelas upaya yang
dikerjakan untuk memperkuat validitas internal, berikut ini dikemukakan
beberapa hal yang dilakukan untuk menjaga validitas internal :
- History, merupakan suatu kejadian diluar lingkungan eksperimen yang
terbawa dan dapat mempengaruhi partisipan pada saat eksperimen
berlangsung. Untuk menjaga agar kondisi dan situasi tetap sama pada setiap
pelaksanaan eksperimen maka waktu dan tempat dan adalah sama. Selain
itu sebelum eksperimen berlangsung partisipan diberikan semacam
penyegaran agar pada saat eksperimen berlangsung, partisipan telah berada
kondisi tidak terpengaruh pada kejadian-kejadian sebelum eksperimen
berlangsung.
- Maturity, Unsur kebosanan yang kemungkinan muncul dalam riset akan
dihindari dengan membuat desain eksperimen yang menarik seperti selain
menggunakan komputer juga menggunakan media video untuk memberikan
gambaran tentang etika pajak. selain itu waktu pelaksanaan eksperimen
didesain tidak terlalu lama.
- Testing, untuk menghindari terjadi pengaruh pengujian awal pada saat
eksperimen berlangsung maka riset eksperimen ini tidak melakukan
pengujian awal sehingga proses pembelajaran yang diperoleh pada saat
pengujian awal berlangsung tidak akan terjadi.
- Instrumen, masalah pengukuran yang digunakan telah diuji coba dengan
menggunakan pilot test sehingga masalah pengukuran sudah dapat
diantisipasi sejak awal.
- Selection, seleksi random yang digunakan untuk seleksi partisipan dalam
eksperimen ini diharapkan dapat mengurangi bias dalam perlakuan.
- Statistical Regresion, proses uji awal melalui pilot test merupakan salah
satu cara untuk menghindari terjadinya ekstrim skor untuk variabel yang
digunakan dalam riset.
- Experimental Mortality, merupakan suatu kejadian yang memungkinkan
seorang partisipan tidak dapat menyelesaikan tahapan eksperimen (misalnya
ada janji dengan pihak lain, dll). Untuk mencegah subjek keluar pada saat
eksperimen berlangsung maka sejak awal partisipan yang diminta untuk
mengikuti eksperimen adalah partisipan yang dengan sukarela menyediakan
waktu untuk mengikuti eksperimen hingga selesai.
Untuk validitas eksternal perlu memperhatikan faktor reaktivitas dari
pengujian, interaksi dari seleksi dan faktor-faktor yang dapat menimbulkan
reaksi yang lain dari perlakuan yang diberikan dari variabel yang dimanipulasi.
Berikut ini akan dijelaskan berbagai prosedur yang akan digunakan dalam riset
ini dengan tujuan untuk meningkatkan validitas internal dan eksternal.
Seleksi Partisipan
Pengumpulan Data
Pengumpulan data melalui eksperimen terutama untuk riset-riset
keperilakuan telah banyak dilakukan, pengumpulan data melalui eksperimen
biasanya melibatkan peneliti sebagai individu yang bertugas dalam penyusunan
skenario dengan berbagai perlakuan untuk melihat respon dari variabel yang
diteliti.
Teknik pengumpulan data ini memiliki beberapa kelebihan antara lain
memperkuat validitas internal dan memperjelas serta membuktikan analisis
hubungan kausalitas antara variabel dependen dan independen. Selain itu dalam
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 19
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
teknik ini peneliti dapat melakukan kontrol variabel dengan lebih mudah
sehingga dapat mencegah adanya pengaruh di luar variabel yang diteliti. Teknik
ini memiliki beberapa kelemahan antara lain memiliki keterbatasan pada objek
eksperimen. Artinya setting skenario yang dilakukan dengan objek keputusan
kepatuhan pajak tidak dapat digunakan untuk menguji perilaku individu untuk
jenis keputusan lainnya seperti keputusan membeli dll.
Tahapan Eksperimen.
Eksperimen dalam riset ini terbagi dalam empat (4) tahap, tujuan
untuk menggunakan empat tahap/sesi dalam eksperimen ini adalah untuk
memudahkan partisipan dalam memahami desain eksperimen yang digunakan
dalam riset ini.
Tahap pertama:
Pada sesi ini setelah mengisi daftar hadir partisipan akan mendapatkan
buku petunjuk yang didalamnya tersedia informasi nomor pasword, nomor
komputer, berbagai petunjuk dalam pelaksanaan eksperimen serta hadiah dan
sanksi.
Tahap Kedua:
Sesi ini merupakan sesi utama eksperimen, setelah partisipan
menduduki tempat masing-masing, partisipan akan diberikan penjelasan
mengenai eksperimen yang dilakukan dengan tujuan agar pada saat eksperimen
berlangsung partisipan telah memahami setiap tugas dan langkah yang harus
ditempuh. Setiap partisipan akan berhadapan dengan 1 unit komputer yang telah
berisi program yang dibuat khusus untuk eksperimen ini.
Partisipan akan diminta untuk menjawab beberapa item pertanyaan
yang berkaitan dengan pengujian variabel penelitian setelah partisipan
mendapatkan tritmen. Untuk mengetahui perubahan perilaku partisipan, maka di
setiap tahapan tritmen, partisipan akan diminta untuk menjawab beberapa item
pertanyaan yang berkaitan dengan cek manipulasi. Tujuannya adalah untuk
mengetahui keberhasilan dari tritmen yang dilakukan apakah dapat merubah
perilaku partisipan ataukah tidak.
Skenario eksperimen yang dibuat bertujuan untuk mengamati respon
atas besarnya laporan pendapatan kena pajak atas pendapatan yang sebenarnya
diterima dihubungkan dengan berbagai perlakuan (treatment) yang diberikan.
Agar partisipan bersungguh-sungguh dalam mengikuti eksperimen, maka semua
partisipan akan mendapatkan 5 tiket (vouchers) dan bagi partisipan yang terpilih
untuk diaudit dan kedapatan melakukan ketidakpatuhan pajak maka yang
bersangkutan akan dikenakan sanksi yaitu pengambilan 1 tiket untuk setiap
ketidakpatuhan yang dilakukan.
Dengan demikian pada akhir sesi eksperimen jika seorang partisipan
tidak lagi memiliki tiket maka yang bersangkutan tidak akan diikutsertakan
dalam proses pengundian untuk mendapatkan insentif menarik berupa 4 GB dan
2 GB serta buku riset eksperimen. Sebagai ucapan terima kasih tetap
mendapatkan soufenir lain yang disediakan yaitu 1 cd berisi 11 buku
eksperimen bidang ekonomi, manajemen dan akuntansi serta buku penunjang
riset lainnya, Semua partisipan akan mendapatkan fasilitas snack dan makan
siang.
Tahap Ketiga:
Tahap ketiga merupakan tahap post test eksperimen dimana partisipan
diminta untuk menjawab dan mengisi kuesioner yang berkaitan demografi
partisipan seperti umur, jenis kelamin dan pendidikan. Selain itu partisipan juga
akan mengisi kuesioner yang berhubungan dengan kegiatan eksperimen yang
telah berlangsung seperti perlakuan yang diberikan, cek manipulasi untuk
prosedur eksperimen, sikap yang berhubungan dengan kepatuhan pajak dan
kompensasi yang dijanjikan. Pada kesempatan ini akan dipilih secara acak
beberapa partisipan untuk mendapatkan insentif yang disediakan.
Tahap keempat:
Tahap terakhir dari riset ini merupakan tahap penyegaran partisipan,
yaitu tahap dimana partisipan akan diberikan penjelasan tentang mengapa
mereka diberikan berbagai perlakuan eksperimen. Selain itu partisipan juga
diminta untuk tidak membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan
eksperimen ini kepada pihak lain. Tujuan dari diberikan penjelasan ini adalah
untuk mengembalikan situasi dan emosi partisipan pada kondisi semula seperti
sebelum mendapatkan perlakuan. Akhir dari tahapan eksperimen ini adalah
penyerahan cindera mata dan hadiah sebagai ucapan terima kasih.
Desain Eksperimen
Desain eksperimen dalam riset disesuaikan tahapan eksperimen yang
telah dijelaskan di atas. Partisipan akan dibagi dalam dua kelompok dan setiap
untuk melihat apakah tritmen yang diberikan dapat merubah perilaku partisipan
ataukah tidak, jika tidak berarti tritmen yang diberikan belum berhasil.
Untuk mengetahui validitas dari alat/fasilitas dan instrumen yang akan
digunakan dalam eksperimen sebelumnya telah dilakukan pilot test/uji coba
sehingga validitas dan realibilitasnya tetap terjaga.
Kontrol Variabel
Beberapa riset sebelumnya mengindentifikasi sejumlah variabel yang
memungkinkan mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak (Jackson dan
Milliron; 1986, Long dan Swingen; 1991, Alm dan McKee; 1998, Reckers dkk;
1994) sehingga dalam riset ini terdapat beberapa variabel yang perlu dikontrol,
variabel- variabel tersebut adalah:
1. Tarif Pajak dan Tarif pinalti (denda)
Riset sebelumnya yang dilakukan oleh Jackson dan Milliron (1986)
dan Reckers dkk (1994) menunjukkan bahwa ketidakpatuhan pajak menurun
secara monotonik dengan meningkatkan tingkat penalti dan sebaliknya dengan
tarif pajak. dalam riset ini kedua variabel tersebut didesain dengan tingkat yang
sama baik untuk tingkat pinalti yaitu 200 % dan tarif pajak sesuai dengan pasal
17 UU PPh 2000 yang berlaku di Indonesia.
2. Pendapatan
Reckers dkk. (1994) dan Madeo (1987) menemukan bahwa semakin
tinggi pendapatan seseorang maka terdapat kemungkinan yang lebih besar untuk
berkeinginan memaksimilisasi utilitas individunya. Dengan demikian dalam
riset ini semua partisipan didesain memiliki jumlah pendapatan yang sama.
Tujuannya adalah agar partisipan memiliki kesempatan yang sama dalam
menentukan jumlah pendapatan yang akan dikenakan pajak sehingga bias
pendapatan dapat dihindari.
Untuk menguji hubungan langsung dan tidak langsung dalam riset ini
akan menggunakan model untuk analisis path. Untuk mengestimasi hubungan
antara variabel-variabel yang diuji akan digunakan Partial Least Square (PLS)
dalam pengujian hipotesis. Alasan penggunaan PLS karena merupakan alat
yang handal untuk menguji model prediksi dan dapat menggunakan ukuran
sampel yang kecil dengan bentuk konstruk yang formatif dan reflektif
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 23
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
(Tenenhahaus M., 2005). Karena riset ini menggunakan konstruk yang formatif
dan reflektif dan model yang diajukan masih bersifat prediktif, maka
penggunaan PLS merupakan alasan adalah tepat.
RANCANGAN EKSPERIMEN
Rancangan Sistem
Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, maka rancangan perlakuan
dalam eksperimen dibuat berbasis web (web system). Sistem ini digunakan
karena lebih mempermudah peneliti untuk melihat perubahan perilaku
partisipan pada saat diberi perlakuan (treatment). Sistem web juga
memungkinkan data partisipan dapat langsung terhubung dengan server peneliti
dan mempermudah pengacakan atau penentuan partisipan yang akan diaudit.
Selain itu sistem ini juga memudahkan peneliti untuk mendapatkan dan
menyimpan data secara langsung (bank data) sehingga lebih mempermudah
proses pengolahan data. Selain itu penggunaan web system design dengan basis
intranet memberikan kelebihan tersendiri karena tidak terpengaruh pada
kesibukan jaringan internet sehingga partisipan dapat menjalani eksperimen
dengan baik tanpa gangguan jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pendahuluan
Fenomena praktik yang disajikan (Hansen, Otley, & Stede, 2003)
mengenai anggaran membuat para praktisi merasa perlu melakukan banyak
perbaikan dalam proses penyusunan anggaran. Partisipasi anggaran sebagai
bentuk perbaikan dari proses penyusunan anggaran oleh atasan ternyata tidak
selalu mampu memberikan benefit bagi kelompok. Kenyataan ini didukung
oleh banyak temuan penelitian mengenai partisipasi anggaran yang tidak
konklusif (Brownell, 1982; Murrary, 1990 dan Lau & Eggleton, 2003).
Asimetri informasi antara informasi yang dimiliki bawahan dan atasan
menjadi argumentasi mengapa partisipasi dibutuhkan dalam proses penyusunan
anggaran. Partisipasi anggaran merupakan pemberian kesempatan bagi bawahan
untuk ikut serta dalam penetapan tujuan sehingga komitmen bawahan untuk
mencapai tujuan terbentuk. Chow & Waller (1988) menyatakan bahwa
∗
Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Ekonomi Program Studi
Akuntansi FEB UGM dan staf pengajar di UNIKA Soegijapranata Semarang
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 30
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Pernyataan Thibaut dan Walker ini menjadi awal perkembangan riset keadilan
prosedural yang mengusulkan model psikologikal. Model ini memberikan
argumentasi bahwa prosedur merupakan karakteristik utama dari kewajaran
meskipun studi Thibaut dan Walker masih terbatas pada prosedur alokasi
pendapatan (Tyler dan Blader, 2003). Model ini kemudian dikenal dengan
model instrumental keadilan prosedural.
kontrak tertulis tetapi juga kesepakatan yang tak tertulis antara karyawan dan
organisasi. Ketika terjadi pelanggaran atas kontrak, maka akan muncul
ketidakpercayaan karyawan terhadap organisasinya. Kepercayaan didefinisikan
sebagai harapan, asumsi dan keyakinan mengenai kemungkinan keuntungan
yang akan diperoleh pada masa yang akan datang. Aryee et al. (2002)
menjelaskan kepercayaan sebagai kombinasi dari dasar kognitif dan afeksi.
Aspek kognitif berkaitan dengan evaluasi individu terhadap kemampuan
organisasi untuk memenuhi kuwajibannya. Evaluasi ini akan menunjukkan
seberapa besar organisasi dapat dipercaya dan diandalkan oleh individu ketika
menjadi anggota organisasi. Aspek afeksi berkaitan dengan perhatian dan
kepedulian antara organisasi dan anggotanya. Berdasarkan penjelasan di atas,
kepercayaan dapat dipahami sebagai proses kognitif dan afektif individu
terhadap perilaku organisasi.
persepsi negatif tentang proses pembuatan keputusan dan hal ini diasosiasikan
oleh bawahan sebagai prosedur yang tidak wajar (Lind dan Tyler, 1992 dan
Tyler dan Blader, 2004). Hal ini berarti, keadilan prosedural sebagai informasi
bagi bawahan mengenai nilai dan respek yang akan diterima individu dari
kelompok tidak memberikan informasi positif. Prosedur yang bias akan
memberikan implikasi terhadap perlakuan yang akan diterima oleh bawahan
karena atasan dipersepsikan memiliki sikap negatif sehingga bawahan memiliki
persepsi yang tidak wajar terhadap prosedur (Tyler, 1994).
Cremer (2004) menemukan bahwa prosedur yang wajar dipengaruhi
oleh tingkat akurasi prosedur. Temuan ini didukung oleh penelitian Cremer dan
Knippenberg (2003), Van den Boss (2000) dan Van den Boss et al. (1997).
Prosedur pembuatan keputusan yang akurat adalah prosedur yang
mempertimbangkan semua informasi yang tersedia. Studi Cremer menemukan
bahwa pertimbangan yang wajar terhadap suatu prosedur dipengaruhi oleh
tingkat akurasi prosedur hanya ketika atasan dipersepsikan tidak bias oleh
bawahan. Pada kondisi bawahan memiliki persepsi yang bias terhadap atasan,
maka tingkat akurasi tidak memiliki pengaruh terhadap pertimbangan keadilan
prosedural. Hal ini dapat dijelaskan bahwa persepsi individu terhadap atasan
yang bias menunjukkan ketidakpercayaan individu terhadap atasan dan
keputusan yang diambil, meskipun keputusan tersebut didasarkan pada
informasi yang lengkap.
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa bawahan sensitif terhadap perilaku bias
atasan. Bawahan akan merasa diperlakukan tidak adil ketika atasan lebih
mementingkan pihak tertentu dalam kelompok meskipun atasan
mengimplementasikan prosedur dengan akurat. Berdasarkan penjelasan di atas,
hipotesis pertama penelitian ini adalah:
H1: Pengurangan bias pada prosedur yang akurat mempunyai pengaruh
terhadap pertimbangan keadilan prosedural.
Kelly dan Thibaut (1958) dalam Cremer (2004) menyatakan bahwa aspek
ekonomi menjadi alasan awal bagi individu untuk bergabung dalam suatu
kelompok. Perilaku ini didasarkan pada kebutuhan individu untuk memperoleh
pendapatan yang dijelaskan oleh teori pertukaran sosial. Teori ini memandang
hubungan individu dan kelompok sebagai pertukaran sumber daya yang dimiliki
oleh kedua pihak. Hal ini berarti pendapatan yang akan diterima menjadi dasar
bagi individu untuk bergabung dan bekerjasama dalam suatu kelompok.
Ketika hubungan antara individu dan kelompoknya terfokus pada pertukaran
sumber daya, maka aturan alokasi sumber daya yang dimiliki oleh kelompok
menjadi perhatian penting karena memberikan informasi mengenai
kemungkinan pendapatan yang akan diterima. Tyler dan Blader (2003)
menyatakan bahwa pendapatan yang diinginkan oleh individu adalah
pendapatan yang wajar. Pendapatan yang wajar dapat dijelaskan oleh teori
ekuitas. Aturan proporsionalitas dalam teori ekuitas menjadi dasar kewajaran
pendapatan, yaitu penerimaan pendapatan yang sama dengan input yang telah
Lewicki dan Bunker (1996) dan Kramer dan Wei (1999) dalam Tanis
dan Postmes (2005) menyatakan bahwa kepercayaan individu tidak hanya
didasarkan pada pertimbangan ekonomi dari hubungan individu dengan
kelompoknya tetapi pada keanggotaan individu dalam kelompok yang mampu
memberikan identitas. Hal ini berarti pertimbangan individu mengenai identitas
yang dapat diterima dari kelompok akan mempengaruhi kepercayaan individu
terhadap kelompoknya. Ketika individu memiliki pertimbangan bahwa
kelompok mampu memberikan dan memelihara identitas sosial anggota-
anggotanya, maka individu akan percaya bahwa kelompok mampu memenuhi
kebutuhannya akan identitas. Hal ini didukung oleh studi Tyler dan Blader
(2003) yang menyatakan bahwa pertimbangan individu terhadap pendapatan
yang diterima tidak secara langsung mempengaruhi sikap individu tetapi
dimediasi oleh pertimbangan individu mengenai identitas yang diperoleh dari
kelompok. Pernyataan tersebut didukung oleh temuan Tanis dan Postmes
(2005) bahwa identifikasi individu memiliki pengaruh terhadap kepercayaan
individu kepada kelompok. Semakin kuat identifikasi individu terhadap
kelompok, maka individu semakin percaya akan peran penting peran kelompok
bagi individu. Hal ini mendorong individu untuk membina hubungan jangka
panjang dengan kelompok dengan berperilaku positif, karena kepentingan
kelompok merupakan kepentingan anggota kelompok. Identitas yang dibentuk
oleh kepuasan terhadap pendapatan menjadi alasan penting bagi individu untuk
percaya bahwa kelompok mampu memelihara identitasnya sehingga mendorong
perilaku yang positif. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis yang diusulkan
mengenai pertimbangan identitas dan kepercayaan individu adalah:
H3: Pertimbangan identitas memediasi pengaruh kepuasan pendapatan
terhadap kepercayaan individu.
3. Metodologi Penelitian
3.1. Partisipan
Partisipan dalam riset eksperimen ini adalah mahasiswa S-1 Fakultas Ekonomi
Jurusan Akuntansi dan Manajemen yang minimal telah menempuh lima
semester. Pemilihan mahasiswa sebagai partisipan didasarkan pada artikel
Ashton dan Kremer (1996) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan
antara mahasiswa dan pelaku bisnis dalam melakukan tugas eksperimen. Tugas
eksperimen dalam penelitian ini adalah pengkodaan, yaitu menterjemahkan
simbol ke dalam abjad. Pengkodaan ini sangat mudah dipahami oleh mahasiswa
pada sesi pelatihan sehingga mahasiswa dapat menjalankan tugas eksperimen
ini sebagai bentuk partisipasi dalam penyusunan anggaran dengan baik. Alasan
lain pemilihan mahasiswa sebagai partisipan adalah fokus penelitian ini pada
perilaku individu ketika berada dalam kondisi pengurangan bias, skema
pendapatan dan respek tertentu tanpa melihat kapasitas praktis dan profesi.
Partisipan yang terlibat dalam eksperimen adalah mahasiswa yang telah
menyatakan kesediaannya untuk terlibat dalam eksperimen ini.
Tabel 3.1.
Desain Eksperimen
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, D., Ando, K. dan Hinkle, S.(1998),”Psychological Attachment to
Group: Cross Cultural Differences in Organizational Identification and
Subjective Norms as Predictors of Workers’ Turnover
Intentions,”Personality and Social Psychology Bulletine, 24.
Ashton , R.H dan Kremer S, (1996),”Student Surrogates in Behavioral
Accounting Research: Some Evidance,”Journal of Accounting Research, 18.
ABSTRACT
This research had four studies of Islamic work ethic. The first study pooled
items of Islamic work ethics. The second study tested face validity. The third of
study was measure purification and measure validation. The final of study was
examined the model of the antecedents and consequences of Islamic work ethic.
Until now, researcher had done two studies of Islamic work ethics. The third
and fourth of studies will be done latter.
The first study done by searching literature about Islamic work ethic. The
initial pooled items were 125 items adopted from 6 authors of Indonesia and 1
author from USA. Next step, the researcher tested face validity to the experts
(ulama, lectures of Islamic University and employee of Islamic institution) in
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya and Malang. Questionnaires of face validty test
were distributed to 20 respondens and 17 questionnaires was returned. Beside
that, researcher had interviewed the experts. The result of face validity showed
that 92 of 125 items had content validity ratio (CVR) above 70% and inter
rater reliability above 85%. Next step the researcher determined indicators
were reflective or formative and examined measure validation.
Key Words: Islamic work ethic, work individualism, internal locus of control,
job performance, organizational citizenship behavior, job satisfaction, role
ambiguity, reflective indicators.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Riset
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat istiadat atau
kebiasaan (Keraf, 1998). Menurut Trevino dan Nelson (1999), etika adalah
konsep mengenai perbuatan seseorang benar atau salah. Etika berguna untuk
mengarahkan tingkah laku manusia ke arah kebaikan dan kemanfaatan
kehidupan. Etika juga diperlukan dalam mengarahkan aktivitas seseorang dalam
bekerja. Tanpa etika, yang terjadi adalah orang akan menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan keuntungan bahkan bisa jadi merugikan orang lain.
Seseorang yang mempunyai etika kerja akan memandang positif pekerjaan dan
mempunyai nilai intrinsik (Hill & Fout, 2005). Etika kerja menurut Hill dan
•
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan sedang
menempuh S3 MSDM FEB UGM Yogyakarta sejak tahun 2006
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 54
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Fout (2005) adalah suatu set karakteristik sikap pekerja yang memandang
pentingnya pekerjaan bagi dirinya. Etika kerja adalah totalitas kepribadian
seseorang, cara mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan
makna pada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih
kinerja tinggi (Tasmara, 2002).
Etika kerja merupakan refleksi kondisi pendidikan, politik, budaya dan
terutama agama (Elizur, et al., 1991 dalam Abu-Saad, 1998), contohnya etika
kerja Protestan (Protestant Work Ethic disingkat PWE) yang dikembangkan
oleh Weber tahun 1904. Ia mengembangkan teori etika kerja berdasarkan ide
Martin Luther yang menyatakan bahwa bekerja merupakan suatu ‘panggilan
dari Tuhan’ (Weber, 1905 dalam Fouts, 2004). Dengan demikian, satu-satunya
cara untuk hidup yang dapat diterima Tuhan adalah melalui ketaatan pada
panggilan. Kebanyakan riset etika kerja dilakukan di negara-negara barat dan
berfokus pada agama Kristen Protestan. Diperlukan riset yang mengatasi gap
penelitian dalam literatur. Menurut Mubyarto (2002), topik tentang ekonomi
Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-
Quran, namun pengkajian ekonomi dalam ajaran Islam terutama tentang etika
kerja Islam masih kurang. Oleh karena itu diperlukan riset etika kerja di negara-
negara timur dan berfokus pada ajaran agama yang dominan di timur,
contohnya Islam. Konsep etika kerja Islam diambil dari Al Qur’an kitab suci
pemeluk agama Islam yang merupakan firman Allah dan Hadist yang
bersumber dari perilaku Nabi Muhammad SAW utusan Allah.
Etika kerja Islam mempercayai bahwa kerja keras akan mengurangi
dosa-dosa tertentu dan tidak seorangpun makan-makanan yang lebih baik,
kecuali ia makan dari hasil kerjanya (Yousef, 2000a). Afzulurrahman (1995)
dalam Arifuddin, et al. (2002) mengungkapkan bahwa banyak ayat di Al Qur’an
yang menekankan pentingnya seseorang bekerja. Contohnya Q.S. An-Najm: 39-
40: ‘bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain yang telah
diusahakannya dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan
(kepadanya)’. Ayat tersebut menjadi dasar bahwa, satu-satunya cara untuk
menghasilkan sesuatu dari alam adalah dengan bekerja keras. Dengan kata lain,
etika kerja Islam berpendapat bahwa melakukan aktivitas ekonomi merupakan
suatu kewajiban, tidak membuang waktu untuk aktivitas tidak produktif dan
menentang perilaku ‘minta-minta’ dan menekankan kerjasama dalam bekerja.
Alasan lain yang mendorong pentingnya riset etika kerja Islam adalah
masalah pengukuran. Pengukuran etika kerja Islam seringkali menggunakan
skala IWE (Islamic work ethic) dari Ali (1988) yang berasal dari Indiana
University dan kebanyakan divalidasi pada sampel dari negara-negara Arab.
Oleh karena itu, perlu penggalian konsep etika kerja Islam dari penulis-penulis
di Indonesia sendiri yang diharapkan lebih mampu mencerminkan penerapan
ajaran Islam dalam budaya Indonesia dan kemudian divalidasi pada sampel
orang-orang Indonesia. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah validasi
pengukuran skala baru dalam etika kerja Islam.
Isu lain dalam pengukuran adalah tentang multidimensionalitas etika
kerja Islam. Riset-riset terdahulu menemukan bahwa etika kerja merupakan
konstruk multidimensional (Furnham & Koritsas, 1990), namun riset-riset
umumnya memperlakukan etika kerja sebagai konstruk unidimensional,
bukannya multidimensional. Adanya tendensi untuk melaporkan composite
etika kerja secara keseluruhan menyebabkan hanya ada sedikit riset yang
meneliti hubungan antara dimensi-dimensi etika kerja dengan variabel
komitmen kerja yang lain dan variabel organisasional (Hirschfeld & Feild,
2000; Shamir, 1985 dalam Hudspeth, 2003). Penggunaan skor tunggal secara
keseluruhan berpotensi menyebabkan hilangnya informasi terkait etika kerja
dan hubungannya dengan konstruk lain (Miller, 1997). Selain itu penggunaan
skor tunggal dalam studi yang menggunakan instrumen berbeda untuk
mengukur etika kerja hanya menjelaskan sebagian hasil yang ditemukan di
literatur (Furnham, 1984). Isu multidimensionalitas dalam etika kerja Islam
hanya dilakukan oleh Abu –Saad (1998) dengan menggunakan skala IWE dari
Ali (1988) dan menghasilkan 3 faktor yaitu: 1) Personal and organizational
obligations 2) Personal investment and dividens 3) Personal effort and
achievement. Oleh karena itu, peneliti sekarang juga akan menyertakan isu
multidimensionalitas etika kerja Islam.
Isu berikutnya dalam pengukuran adalah tentang indikator suatu
konstruk berbentuk formatif atau reflektif. Indikator reflektif merupakan
indikator efek yang merupakan fungsi variabel laten (Diamantopoulos &
Siguaw, 2006). Perubahan dalam laten variabel direfleksikan (diwujudkan)
dalam perubahan indikator yang teramati. Dikatakan indikator tersebut reflektif
jika mempunyai anteseden dan konsekwensi yang sama dan dapat saling
dipertukarkan serta covary satu sama lain (Podsakoff, et al. 2003). Sedangkan
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Apa saja komponen-komponen konstruk etika kerja Islam berdasarkan
pengembangan ukuran yang dilakukan Ali (1988) dan penafsiran Al Qur’an
dan hadist dari penulis-penulis di Indonesia?
2. Bagaimana hasil face validity ukuran baru etika kerja Islam yang
dikembangkan peneliti sekarang?
3. Bagaimana hasil validasi pengukuran etika kerja Islam yang dikembangkan
peneliti sekarang?
4. Studi selanjutnya bermaksud untuk menguji model yang menunjukkan
hubungan etika kerja Islam dengan anteseden dan konsekwensinya yaitu:
a. Apakah internal locus of control berpengaruh positif pada etika kerja
Islam?
b. Apakah individualisme kerja berpengaruh negatif pada etika kerja
Islam?
c. Apakah etika kerja Islam berpengaruh positif pada kinerja pekerja?
d. Apakah etika kerja Islam berpengaruh positif pada perilaku
kewarganegaraan (organizational citizenship behavior)?
e. Apakah etika kerja Islam berpengaruh positif pada kepuasan kerja?
f. Apakah etika kerja Islam berpengaruh negatif pada ambiguitas peran
(role ambiguity)?
berupa spirit kerja keras bercampur dengan norma budaya barat dan tidak lagi
diatributkan pada agama tertentu. Muncul pertanyaan apakah etika kerja
Protestan (Protestant work ethic atau PWE) masih didominasi penganut
Protestan ataukah sudah merupakan konstruk yang berbagi secara universal.
Pada akhirnya hasil riset mengarah pada dukungan yang kuat atas hubungan
etika kerja dengan afiliasi agama (Niles 1999; Arslan 2001).
dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai fungsi dari peran
tertentu yang dimainkan dalam organisasi tersebut.
Hasil penelitian Yousef (2000a) membuktikan bahwa etika kerja Islam
berhubungan negatif dengan ambiguitas peran (role ambiguity). Etika kerja
Islam menekankan kerja sama dalam bekerja dan konsultasi pada atasan sebagai
salah satu cara untuk mengatasi kesulitan dan menghindari kesalahan. Oleh
karena itu, seseorang yang mempunyai etika kerja Islam akan melakukan
konsultasi pada atasan untuk memahami peran yang harus dijalankan,
mengetahui hak dan kewajiban dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Dengan
demikian etika kerja Islam akan menurunkan ambiguitas peran.
H6: etika kerja Islam berpengaruh negatif pada ambiguitas peran.
METODA RISET
Disain Studi
Penelitian ini terdiri dari 4 studi yaitu:
1. Mengkonseptualisasi dan mengidentifikasi konstruk etika kerja Islam
berdasarkan kajian literatur termasuk di dalam Qur’an dan hadist.
2. Melakukan face validity dari ukuran etika kerja Islam yang sudah ada (dari
Ali, 1988) dan dari ukuran yang dikembangkan peneliti berdasar kajian
literatur. Face validity yaitu pertimbangan komunitas para ahli bahwa
indikator benar-benar mengukur konstruk. Para ahli yang dimaksud terdiri
dari: ulama, akademisi dan praktisi dengan berbagai latar belakang
kelompok keagamaan Islam yang ada di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan
Malang. Kelompok-kelompok Islam tersebut antara lain: yang mewakili
organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah; dan
jika memungkinkan kelompok lainnya, seperti Tarbiyah, Hizbut Tahrir,
Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan mempertimbangkan pendapat
berbagai kelompok keagamaan dalam Islam, diharapakan akan ada ukuran
etika kerja Islam yang komprehensif dan mewakili pendapat semua
kelompok Islam. Reliabilitas antar penilai pada tiap item kuisioner yang
digunakan, sebaiknya mempunyai rata-rata persetujuan antar penilai lebih
besar dari persyaratan minimum yaitu 85% (Kassarjian, 1977 dalam So,
2004). Inter rater reliability yang lebih besar dari 85% berarti
menunjukkan konsistensi yang tinggi antar penilai. Selain itu dilakukan
perhitungan content validity ratio (CVR) yang diharapkan > 0,7 agar
Sampel
Sampel penelitian untuk tiap studi adalah:
1. Studi 2
Studi 2 berisi uji face validity dari ukuran etika kerja Islam yang sudah
ada (dari Ali, 1988) dan dari ukuran yang dikembangkan peneliti berdasar
kajian literatur di studi 1, dengan berdasar pertimbangan komunitas para ahli.
2. Studi 3
Studi 3 berupa pemurnian ukuran (measure purification) dan validasi
ukuran (measure validation) Disain dalam penelitian ini memiliki aplikasi pada
setting tertentu. Setting ini menunjukkan konteks tertentu dan spesifik. Konteks
ini berkaitan dengan karakteristik subyek Semua model penelitian teoritis harus
dibatasi oleh asumsi tertentu meliputi nilai-nilai implisit yang diajukan oleh
peneliti yang berupa ruang dan waktu (Bacharah, 1989). Karakteristik subyek
penelitian menunjukkan profil responden dalam model penelitian yang
diajukan. Untuk validasi ukuran, diperlukan subyek yang beragam, sehingga
ukuran tersebut dikatakan valid jika mampu membedakan subyek dengan
karakteristik berbeda. Sampel dalam validasi ukuran akan dipilih pekerja Islam
3. Studi 4
Studi 4 bertujuan melakukan uji model berupa hipotesis etika kerja
Islam sebagai variabel mediasi hubungan antara internal locus of control dan
individualisme dengan kinerja pekerja, OCB, kepuasan kerja dan role
ambiguity. Target populasi dalam studi ini adalah semua pekerja beragama
Islam dan bekerja di perusahaan atau organisasi berlatar belakang Islam di
Surabaya dan Yogyakarta. Sedangkan sampel penelitian pada studi 3 adalah:
1. Dosen dan Karyawan di perguruan tinggi Islam di Yogyakarta dan
Surabaya.
2. Pegawai Bank Muamalat di Surabaya.
3. Pekerja di perusahaan/tempat kerja berlatar belakang Islam, contohnya
Toko Al Fath Yogyakarta dan Toko Alib Surabaya
4. Para mahasiswa yang beragama Islam, bekerja di instansi Islam dan sedang
menempuh perkuliahan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta atau di
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Sample size diharapkan minimal sebesar 200 orang, sehingga bisa
memenuhi kriteria minimum penggunaan metode SEM sebesar 100 orang
responden.
Hasil penelitian yang akan disajikan di bawah ini adalah hasil penelitian
dari studi 1 yang akan diuraikan secara ringkas dan hasil studi 2 yang terdiri
dari uraian karakteristik responden, penjelasan hasil uji face validity, content
validity dan inter rater reliability serta pembahasan hasil studi 2. Berikut ini
uraian hasil studi 1 dan 2.
Hasil Studi 1
Hasil kajian literatur dalam studi 1 menghasilkan kuisioner yang berasal
dari kajian Qur’an dan hadist yang sudah dilakukan penulis-penulis terdahulu
baik yang dilakukan oleh orang Indonesia maupun oleh orang barat. Penulis-
penulis dari Indonesia terdiri dari: Sahat (1997), Ali (2008), Muttaqin (2008),
Nurcholis Majid, Hamzah (2005) dan Tasmara (2002). Sedangkan penulis dari
barat adalah Ali (1988) yang berasal dari Indiana University. Kuisioner
selengkapnya dari hasil kajian literatur dapat dilihat di lampiran
Hasil Studi 2
Hasil penelitian yang akan diuraikan di bawah ini merupakan hasil studi
2 yang berupa uji face validity dari ukuran etika kerja Islam yang sudah ada
(dari Ali, 1988) dan dari ukuran yang dikembangkan peneliti berdasar kajian
literatur di studi 1. Uji face validity dilakukan berdasar pertimbangan komunitas
para ahli. Para ahli yang dimaksud terdiri dari: ulama, akademisi dan praktisi
berbasis institusi Islam. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam studi
2 terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Mengkonfirmasi kesediaan para ahli untuk memvalidasi hasil kuisioner yang
diperoleh dari kajian literatur yang dilakukan pada studi 1.
2. Setelah bersedia menjadi responden, peneliti memberikan kuisioner dan
memberikan tenggang waktu pada responden untuk mempelajari kuisioner
terlebih dahulu, namun tahapan ini dapat dilewati jika responden merasa
mampu memahami isi kuisioner pada saat itu.
3. Responden mengkonfirmasi waktu pengisian kuisioner agar peneliti
mendampingi saat pengisian kuisioner. Pendampingan peneliti pada saat
pengisian kuisioner perlu dilakukan dengan harapan responden memahami
kuisioner dan langsung menanyakan pada peneliti, jika tidak memahami isi
a. Ulama
Para ulama dipertimbangkan mempunyai pemahaman yang baik tentang
Qur’an dan Hadist yang menjadi pedoman umat Islam dalam menjalani
kehidupan di dunia. Lima ulama yang menjadi responden rata-rata berusia 45
tahun dan berasal dari kelompok Islam seperti NU (Nahdatul Ulama)
Yogyakarta sebanyak 1 orang, 3 orang dari kelompok independen yang ada di
Surabaya dan Malang dan 1 orang dari Shalafiyah Surabaya. Para ulama yang
menjadi responden merupakan pimpinan pondok pesantren dan atau pimpinan
majlis taklim (kelompok pengajian).
b. Akademisi perguruan tinggi
Para akademisi (dosen) yang dijadikan responden mempunyai
penguasaan teori dalam etika kerja Islam baik dari kajian empiris yang sudah
ada, maupun Qur’an dan hadist. Selain itu, para akademisi diharapkan dapat
menyempurnakan pengembangan ukuran (kuisioner) etika kerja Islam yang
memenuhi ketentuan pembuatan kuisioner dalam metode penelitian dan kaidah
tata bahasa. Dari 11 orang akademisi ini, sebanyak 1 orang dari Universitas
Muhammadiyah Surabaya, UIN (Universitas Islam Negeri) Malang sebanyak 2
orang, sebanyak 6 orang dari Universitas Paramadina Jakarta yang didirikan
oleh Nurcholis Majid yang merupakan tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) dan 2
orang dari Universitas Airlangga Surabaya yang mempunyai fakultas ekonomi
dengan konsentrasi ekonomi Islam. Para akademisi ini berasal dari kelompok
keagamaan Islam: 5 orang dari Muhammadiyah, 3 orang dari NU, 1 orang
jamaah Tabligh, 1 orang dari kelompok Syiah dan 1 orang dari kelompok
independen. Responden mempunyai latar belakang pendidikan S2 sebanyak 7
orang, sedang menempuh S3 sebanyak 2 orang dan 2 orang merupakan guru
besar (profesor) di fakultas ekonomi. Beberapa responden merupakan lulusan
studi Islam di Mesir dan beberapa responden lainnya mendalami bidang ilmu
ekonomi Islam. Jabatan struktural/akademik yang sekarang dijabat oleh
responden terdiri dari: Kepala Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi Islam, Guru
Besar Fakultas Ekonomi, Pembantu Rektor, Pembantu Dekan dan Ketua
Jurusan. Rata-rata usia responden adalah 45 tahun.
c. Praktisi
Praktisi yang dijadikan sampel harus berada dalam institusi berlatar
belakang Islam, seperti pimpinan Bank Muamalat dan yayasan pendidikan
Islam. Diharapkan dengan melibatkan praktisi dalam institusi Islam, ukuran
etika kerja Islam dapat diterapkan di dunia kerja. Pendistribusian kuisioner pada
praktisi dapat dikatakan kurang mendapat tanggapan yang cepat dikarenakan
kesibukan mereka pada dunia kerja, apalagi jika mempunyai jabatan tinggi,
contohnya sebagai direktur Bank Muamalat. Oleh karena itu hanya ada 1
kuisioner dari praktisi yang kembali, sedangkan 3 kuisioner yang lain,
dijanjikan kembali dalam waktu dekat. Responden tersebut merupakan direktur
lembaga pendidikan Islam Al Haromain di Surabaya, berpendidikan S1 fakultas
ekonomi dan berusia 42 tahun.
2. Hasil Uji Face Validity, Inter Rater Reliability dan Content Validity
Face validity dilakukan dengan mempertimbangkan pendapat para ahli
(ulama, dosen dan praktisi) dari berbagai kelompok keagamaan dalam Islam,
sehingga diharapakan akan ada ukuran etika kerja Islam yang komprehensif dan
mewakili pendapat semua kelompok Islam.
Selain face validity dilakukan validitas konten (content validity).
Content validity adalah pengujian apakah isi dari definisi yang diwujudkan
dalam ukuran mampu menangkap keseluruhan arti. Pengujian content validity
ratio dilakukan dengan menghitung content validity ratio/CVR (Lawshe, 1975
dalam Templeton, Lewis & Synder, 2002). Validitas konten instrumen
pengukuran dilakukan dengan menggunakan prosedur yang dikembangkan
Lawshe (1975). Teknik ini menggunakan evaluasi konten dari sekelompok
individu-individu yang mengetahui tentang konsep yang diukur. Kelompok
(panel) terdiri dari para ahli yaitu ulama yang mendalami Al Qur'an dan hadist,
akademisi dan praktisi yang berbasis institusi Islam. Para ahli diminta menelaah
apakah item-item yang disajikan dalam kuisioner merupakan item-item etika
kerja Islam atau bukan. Jika terjadi kesepakatan (CVR > 0,7), maka validitas
konten terpenuhi. Rumus perhitungan CVR dapat dilihat di lampiran 1.
Selain uji validitas, juga dilakukan uji reliabilitas. Reliabilitas adalah
sesuatu yang sama terjadi pada kondisi yang sama (konsistensi dan stabilitas).
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan inter rater reliability. Diharapkan ada
kesaman penilaian antar rater (dalam hal ini adalah para ahli yang terdiri dari
ulama, akademisi dan praktisi). Hasil uji Reliabilitas antar penilai pada tiap item
kuisioner yang digunakan, sebaiknya mempunyai rata-rata persetujuan antar
penilai lebih besar dari persyaratan minimum yaitu 85% (Kassarjian, 1977
dalam So, 2004). Inter rater reliability yang lebih besar dari 85% berarti
menunjukkan konsistensi yang tinggi antar penilai. Rumus inter rater reliability
untuk tiap-tiap item etika kerja Islam secara ringkas dapat dilihat di lampiran 1.
Dari total 125 item etika kerja Islam, yang akhirnya dibuang adalah
sebanyak 33 item, karena kurang memenuhi inter rater reliability sebesar
minimal 85% atau minimal 15 responden (15/17 = 88%) dan memenuhi CVR
minimal 70% atau minimal 15 responden [(15-17/2)/(17/2) = 76%]. Dengan
demikian item etika kerja Islam yang mempunyai inter rater reliability lebih
besar dari 85% dan CVR lebih besar dari 70% adalah sebanyak 92 item (125 –
33). Item-item etika kerja Islam yang akhirnya dibuang (tidak dipakai dalam
penelitian selanjutnya) berdasarkan kesepakatan para ahli disajikan dalam
lampiran 2.
Pembahasan
Hasil studi 2 sebenarnya ada 4 bagian, yang terdiri dari:
1. Argumentasi atau penjelasan atas penolakan beberapa item sebagai
komponen etika kerja Islam
2. Revisi kata atau frasa dalam suatu item, sehingga item tersebut dapat
menjadi suatu komponen etika kerja Islam. Selain itu, revisi berguna untuk
memudahkan responden dari studi-studi berikutnya, sehingga menjadi lebih
mampu memahami kalimat pernyataan dalam item tersebut.
3. Bagian lain-lain, menunjukkan argumentasi yang memperkuat pernyataan
item tersebut sebagai komponen etika kerja Islam.
4. Melakukan pengelompokan item etika kerja Islam menjadi beberapa dimensi
etika kerja Islam, sehingga dapat dilakukan argumentasi maupun penjelasan
secara lebih spesifik. Dimensi-dimensi tersebut dibentuk berdasarkan item-
item yang diterima oleh para ahli (ulama, akademisi dan praktisi) sebagai
komponen etika kerja Islam. Sedangkan item-item yang ditolak oleh para
ahli sebagai komponen etika kerja Islam tidak dimasukkan sebagai suatu
dimensi.
Namun karena keterbatasan tempat, riset ini hanya akan membahas bagian 4
yaitu pengelompokan etika kerja Islam berdasarkan dimensi-dimensinya.
diterima oleh para ahli sebagai komponen etika kerja Islam. Sedangkan item-
item yang ditolak oleh para ahli, tidak dimasukkan sebagai suatu dimensi etika
kerja Islam.
Pengelompokan dimensi-dimensi etika kerja Islam terdiri dari (lamp.3):
1) Tujuan bekerja
Dimensi ini menunjukkan item-item yang mendasari orang bekerja,
kenapa orang bekerja dan niat (motivasi) yang mendorong orang bekerja.
Tujuan bekerja etika kerja Islam mempunyai keunikan dalam penekanan pada
niat dalam bekerja. Dalam suatu hadist diungkapkan “innamal ‘amalu binniyat”
yang berarti “Sesungguhnya setiap amal itu dengan niatnya, dan setiap perkara
tergantung pada apa yang ia niatkan”. Oleh karena itu sebelum bekerja,
seorang pekerja muslim perlu menata niat, sehingga apa yang dikerjakannya
merupakan suatu amalan ibadah yang bernilai pahala, meskipun yang
dikerjakan adalah hal yang bersifat duniawi.
Namun demikian niat yang baik harus disertai proses yang baik.
Contohnya niat bekerja adalah mendapatkan uang untuk mendirikan masjid,
namun ia bekerja di tempat yang tidak halal, misalnya berjualan minuman
keras, maka niat tersebut menjadi sesuatu yang tidak baik, karena bercampur
antara suatu kebatilan bercampur dengan suatu kebaikan. Niat ibadah dalam
bekerja juga berarti uang bukanlah satu-satunya motivasi dalam bekerja, artinya
usaha bekerja sebaik mungkin, namun tentang uang/pendapatan yang diperoleh
adalah pemberian Allah, sehingga perlu tawakkal dan ikhlas menerima
berapapun penghasilan yang diperoleh.
Ada suatu pengkritisan atas ikhlas menerima penghasilan yang
diperoleh, bukan merupakan pembenar bagi pemekerja untuk seenaknya
memberi gaji pekerjanya. Dengan dalih ikhlas menerima penghasilan,
pemekerja menekan gaji yang serendah mungkin. Bukan demikian yang dituju,
namun keadilan dan kelayakan gaji pekerja sesuai kinerja atau ketrampilannya.
Etika kerja Islam menekankan perlunya seorang bekerja untuk
mendapatkan keridhaan Allah, bekerja merupakan perwujudan rasa syukur atas
nikmat yang diberikan Allah. Perintah dalam syariat Islam adalah
memanfaatkan harta dengan mengelola sebaik mungkin dan dilarang
menelantarkan harta, misalnya mempunyai sebidang tanah yang dibiarkan tidak
terurus. Contoh pemanfaatan harta pada sebidang tanah tadi adalah menanam
pepohonan yang hasilnya bisa dipanen, baik itu pepohonan yang ditanam dan
dipanen sendiri oleh pemilik, maupun memberikan kesempatan orang lain untuk
memanfaatkan tanah tersebut.
2) Cara bekerja
Dimensi ini menunjukkan item-item yang menunjukkan apa yang harus
dilakukan orang ketika bekerja. Dimensi ini terdiri dari sub dimensi:
A. Pekerjaan: seorang pekerja muslim tidak boleh sembarangan dalam memilih
pekerjaan. Hal ini berarti yang ditekankan dalam etika kerja Islam bukan
sekedar bekerja, tetapi harus memilih pekerjaan sesuai syariah Islam. Dengan
demikian tidak dibenarkan dan bahkan bisa jadi diharamkan bagi pekerja
muslim untuk bekerja dalam pekerjaan tertentu, contohnya: menjual minuman
keras,transaksi riba, dll.. Selain itu, Islam melarang aktivitas yang haram,
seperti berjudi, korupsi dll.
Ketika seorang mulim bekerja maka menjadi kewajibannya untuk
mencari rejeki yang halal dan menghindari pekerjaan yang haram. Yang penting
bukanlah pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, tapi pekerjaan yang halal
sesuai syariah agama agar rejekinya berkah (ada di saat diperlukan). Dalam
bekerja, seseorang perlu menghindari usaha yang haram, misalnya korupsi,
menyuap, berjudi, menghindarkan diri dari transaksi riba. Melakukan apa saja
yang diyakini dalam bekerja selama tidak bertentangan dengan syariat Allah,
misalnya bekerja memotong bisa menggunakan pisau atau gergaji, boleh-boleh
saja. Bahkan akan lebih utama saat mengucapkan nama Allah (bismillah) setiap
awal pekerjaannya.
Dalam Islam dikenal dengan istilah Hijrah atau perpindahan. Hal ini
berarti Islam menyukai perubahan selagi itu membawa pada kebaikan. Oleh
karena itu pekerja muslim seharusnya senang berada dalam lingkungan yang
menantang penuh perubahan dan dinamis daripada keadaan yang lamban atau
statis.
Bekerja keras merupakan suatu tuntunan dalam Islam. Bahkan bekerja
kasar bukanlah suatu kehinaan asalkan hal itu halal (sesuai syariah Islam).
Dalam bekerja, seorang pekerja muslim dituntut untuk mengerahkan usaha
dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam bekerja. Hal ini
berarti effort oriented dan bukan result oriented. Perlu juga kareakteristik
kepribadian Islam seperti jujur dalam bekerja, keterbukaan (transparansi),
bertanggungjawab, mengembangkan jiwa kepemimpinan, percaya diri, sikap
mental yang positif dan sabar, tidak mudah untuk berputus asa (menyerah) dan
bekerja yang efisien, amanah, disiplin dalam segala hal, tepat waktu dalam
bekerja, berkomitmen dengan janji dan tdak malu bekerja kasar.
B. Kepribadian atau investasi personal: dalam melakukan pekerjaan, seorang
pekerja muslim perlu memperhatikan karaakteristik seperti apa yang diharapkan
ada pada pekerja muslim, contohnya selalu berusaha meningkatkan kemampuan
dengan belajar, mempunyai kepribadian yang baik seperti jujur dan amanah,
dan lain-lain.
C. Hubungan pekerja dengan orang lain: Islam selalu menekankan perlunya
berjamaah (berkelompok). Hal itu terlihat dari nilai pahala ketika melakukan
aktivitas beribadah berjamaah lebih besar daripada ketika melakukan aktivitas
beribadah sendirian, contohnya pahala sholat berjamaah lebih tinggi daripada
sholat sendirian. Oleh karena itu, dalam Islam kerja sama antara satu orang
dengan orang lain sangat ditekankan, tentu saja kerja sama dalam kebaikan,
bukan kejahatan (kemaksiatan).
Islam menekankan pentingnya saling bekerja sama dalam pekerjaan,
memberikan kemudahan bagi orang lain dalam bekerja (berempati), adil pada
semua mitra kerja dan seimbang antara bekerja, beribadah, kebutuhan keluarga,
istirahat dan bermasyarakat. Selain itu juga menekankan musyawarh dengan
konsultasi pada orang lain membuat seseorang mampu mengatasi kesulitan dan
menghindari kekeliruan.
D. Hubungan pekerja dengan organisasi: menunjukkan perlunya kerja sama
antara pekerja dengan organisasi, sehingga terjadi kemitraan dan keadilan antar
pihak. Etika kerja Islam menekankan hubungan kemitraan kerja yang baik,
saling menguntungkan antar pihak: bagi pekerja hendaknya memenuhi hak-hak
organisasi/perusahaan. Sehingga pemekerja dan pekerja saling diuntungkan.
Oleh karena itu upah atas hasil pekerjaan seseorang tidak boleh diabaikan, perlu
menegakkan keadilan di tempat kerja dan tidak mengeksploitasi pekerja.
DAFTAR REFERENSI
Abu-Saad, I. (1998). Individualism and Islamic work belief. Journal of Cross-
Cultural Psychology, 29(2): p377(7)
Ali, M. (2008). Etika Bisnis dalam Islam. Download di
http://eprints.ums.ac.id/281/
Ali, A. (1988). Scaling an Islamic work ethic. The Journal of Social
Psychology, 128 (5): 575-583
Arifuddin, Anik, S. & Wahyudin, Y. (2002). Analisa pengaruh komitmen
organisasi dan keterlibatan kerja terhadap hubungan antara etika kerja
Islam dengan sikap perubahan organisasi. Simposium Nasional Akuntansi,
5: 718-736
Arslan, M. (2001). The work ethic values of Protestant British, Catholic Irish
and Muslim Turkish managers. Journal of Business Ethics, 31(4): 321-339.
Coltman, T., Devinney, T.M., Midgley, D.F. & Venaik, S. 2008. Formative
versus reflective measurement models: two appications of formative
measurement. Journal of Business Research, 61: 1250-1262.
Diamantopoulos, A. & Siguaw, J.A. (2006). Formative versus reflective
indicators in organizational measure development: a comparison and
empirical illustration. British Journal of Management, Vol 17: 263-282
Fouts, S.F. (2004). Differences in work ethic among jobseekers grouped by
employment status and age and gender. Dissertation. North Carolina State
University.
Furnham, A. (1984). Work values and beliefs in Britain. Journal of
Occupational Behaviour, 5(4): 281-291.
Furnham, A. & Koritsas, E. (1990). The Protestant work ethic and vocational
preference. Journal of Organizational Behavior, 11(1): 43-55.
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M. & Donnely, JR., J.H. (1996). Organizations:
Behavior, Structure and Process. Ninth edition. Boston: Irwin.
Hamzah, M. (2005). 5 Prinsip Kerja Seorang Muslim. Download di
http://mhamzah.multiply.com/journal/item/18
Hill, R.B. & Fout, S. (2005). Work ethic & employment status: a study of job
seekers. Journal of Industrial Teacher Education, 42(3): 48-65.
Hirschfeld R.R. & Field, H.S. (2000). Work centrality and work alienation:
distinct aspects of a general commitment to work. Journal of
Organizational Behavior, 21(7):789-800.Hudspeth, N. A. (2003).
Examining the MWEP: further validation of the multidimensional work
ethic profile. Thesis. Texas A & M University.
Kegans, L. (2006). A study of the relationship between work experience and
occupational work ethic characteristics of baccalaureate nursing students.
Dissertation, University of North Texas. U.M.I.: number 3214483
Tabel 1
Pengukuran Etika Kerja Protestan, Etika Kerja Kontemporer, Etika Kerja Islam
dari Ali (1988) dan Etika Kerja Islam dari Peneliti Sekarang (Siti Djamilah, 2009)
No Keterangan Skala Etika Kerja Protestan Skala Etika Skala IWE dari Ali Skala Pengembangan Etika
Kerja (1988) Kerja Islam (Siti Djamilah,
Kontemporer 2009)
1. Skala etika MWEP (multidimensional work OWEI Skala IWE (Islamic Skala etika kerja Islam terdiri
kerja ethic profile) yang dikembangkan (Occupational work ethic) yang terdiri dari 125 item yang dibuat
oleh Miller (1997) yang terdiri dari Work Ethic dari 46 item yang dibuat oleh Ali (1988) dan penulis
65 item dengan 7 skala: Inventory) oleh Ali (1988) dari Indonesia: Sahat (1997), Ali
a. Protestant ethic scale dari dikembangkan Indiana University (2008), Muttaqin (2008),
Goldstein dan Eichhorn (1961) oleh Petty (1991) Nurcholis Majid, Hamzah
b. Pro Protestant ethic scale berisi 50 (2005), Tasmara (2002)
(Blood, 1969) deskriptor berkata
c. Protestant work ethic scale tunggal yang
(Mirels & Garrett, 1971) mengukur
d. Spirit of capitalism (Hammond ekspresi diri
& Williams, 1976) seseorang dalam
e. Work ethic (Buchholz, 1978) kebiasaan kerja,
f. Eclectic Protestant ethic scale sikap dan nilai
(Ray, 1982) kerja.
g. Australian work ethic scale (Ho
& Lloyd, 1984).
2. Sampel Analisis konten direview oleh Validitas konten a. Pada saat pembuatan a. Pada saat pembuatan
sampel mahasiswa psikologi dan direview oleh kuisioner, sampelnya kuisioner, validitas konten
validasi pengukuran dilakukan pada sampel panel ahli adalah ulama atau direview oleh ulama,
sampel mahasiswa dan pekerja dan peneliti di Amerika akademisi (dosen) dan
Validasi Serikat praktisi di institusi Islam
pengukuran b. Pada saat validasi yang ada di Surabaya,
LAMPIRAN 1
RUMUS INTER RATER RELIABILITY DAN CONTENT VALIDITY RATIO
LAMPIRAN 2
ITEM-ITEM YANG DITOLAK SEBAGAI KOMPONEN
ETIKA KERJA ISLAM
NO NO ITEM – ITEM YANG DITOLAK SEBAGAI PENULIS RESPONDEN
ITEM KOMPONEN ETIKA KERJA ISLAM YANG
MENOLAK
13. 25 Bekerja adalah sumber kepuasan atau Ali (1988) R2, R3, R4,
pemenuhan diri R10, R13,
R15, R16 &
R17
14. 27 Hidup tiada arti tanpa pekerjaan Ali (1988) R3, R4, R10,
21. 39 Waktu senggang yang lebih adalah tidak Ali (1988) R7, R13, R14
bagus bagi seseorang & R15
22. 40 Orang yang sukses adalah orang yang Ali (1988) R2, R3, R11,
mampu memenuhi batas waktu (deadline) R12, R13, R15
kerja & R17
NO NO ITEM – ITEM YANG DITOLAK SEBAGAI PENULIS RESPONDEN
ITEM KOMPONEN ETIKA KERJA ISLAM YANG
MENOLAK
23. 41 Kerja keras akan menjamin kesuksesan Ali (1988) R3, R4, R11,
R12, R13, R15
& R17
24. 42 Seseorang seharusnya terus menerus Ali (1988)
bekerja keras untuk memenuhi tanggung R2, R7, R13
jawabnya & R17
25. 43 Kemajuan bekerja dapat diperoleh melalui Ali (1988) R3, R15 &
percaya diri R17
26. 46 Nilai kerja diperoleh dari niat yang Ali (1988) R10, R15 &
menyertai, bukan dari hasil kerja R17
27. 2 Berorientasi pada hasil Tasmara R1, R2, R4,
(2002) R7, R8, R11,
R13, R15, R16
& R17
28. 5 Independen dalam mencari penghasilan Tasmara R2, R3 & R15
(tidak tergantung belas kasihan orang lain) (2002)
29. 7 Bekerja dengan semangat bersaing Tasmara R2, R3, R7,
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 85
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
LAMPIRAN 3
DIMENSI-DIMENSI ETIKA KERJA ISLAM
1) Tujuan Bekerja
2) Cara Bekerja
A. Pekerjaan
NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS
1. Mencari rejeki yang halal merupakan suatu kewajiban ** Sahat (1997)
2. Dalam bekerja, seseorang perlu menghindari usaha yang haram Sahat (1997)
(misalnya korupsi, berjudi, dll.)
3. Dalam bekerja, orang harus menghindarkan diri dari transaksi Sahat (1997)
riba
4. Bekerja pada pekerjaan yang halal ** Ali (2008)
5. Melakukan apa saja yang diyakini dalam bekerja selama tidak Majid
bertentangan dengan kehendak Allah
6. Mengucapkan nama Allah (bismillah) setiap awal pekerjaannya Majid
7. Uang yang diperoleh lewat penyuapan merupakan perbuatan Ali (1988)
yang tidak wajar
8. Judi membahayakan bagi masyarakat Ali (1988)
9. Senang berada dalam lingkungan yang menantang penuh Tasmara (2002)
perubahan dan dinamis daripada keadaan yang lamban atau statis
Firman Pribadi∗
Abstract
This study uses a credit risk model (credit Value at Risk models) to estimate
the fair price premium of Deposit Insurance and the proper claim reserve
funds, as well as, to test moral hazard behavior for banks after explicitly
applying the Deposit Insurance system in Indonesia's banking system. Theory
and empirical evidence indicate that if the Deposit Insurance system is not
designed well, in the long-term it will encourage moral hazard. There are two
are good design features of Deposit Insurance system that could be linked
directly to the current presence of Indonesia Deposit Insurance Corporation
(IDIC), which is reasonable Deposit Insurance’s fair premiums price based
on risk and coverage limit. The results of this study are expected to provide
input for the IDIC about how to design a Deposit Insurance system in
Indonesia in order to minimize moral hazard behavior, through the
determination of reasonable Deposit Insurance’s fair price premiums, proper
claims reserve and the optimal coverage limit for LPS.
Keyword: Credit Risk Model, Fair Price Premium of Deposit Insurance,
Claim Reserve, Indonesia Deposit Insurance Corporation
PENDAHULUAN
Krisis Moneter yang melanda Indonesia beberapa waktu lalu telah
menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan. Untuk
mencegah terjadinya bank run (bank rush) dan efek berantainya yang tidak
diinginkan, pemerintah Indonesia membentuk jaring pengaman keuangan dalam
bentuk blanket guarantee1. Dengan terbitnya UU No 24 tahun 2004 tentang
Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) mendorong pemerintah untuk
membentuk sistem Penjaminan Simpanan eksplisit sebagai ganti dari kebijakan
∗
Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Manajemen FEB
UGM dan staf pengajar Universitas Islam Batik Surakarta
1
Blanket guarantee dalam terminologi Penjaminan Simpanan dikenal sebagai bentuk
Penjaminan Simpanan implisit, yaitu menjamin atau mengambil alih dana nasabah
dari bank-bank gagal yang dilakukan secara non formal tanpa adanya UU khusus
untuk hal tersebut. Lawannya adalah Penjaminan Simpanan eksplisit, yaitu menjamin
dana nasabah dari bank-bank gagal yang dilakukan secara formal oleh suatu Negara
dalam suatu UU.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 90
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
2
Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) adalah Lembaga Penjaminan
Simpanan Amerika Serikat yang berdiri semenjak tahun 1930. Namun White (1995)
menunjukan bahwa dalam sejarah perbankan AS jauh sebelumnya, yaitu sekitar abad
18 telah berdiri lembaga-lembaga sejenis yang didirikan oleh beberapa negara bagian
di AS.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 91
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Penelitian yang dilakukan oleh Mishra dan Urutia (1995), Kunt dan
Detrigiache (2000), Laeven (2001), Cooper dan Ross (2002), Kunt dan Kane
(2002), Hovakimian, Kane dan Laeven (2003),menunjukan bahwa sistem
Penjaminan Simpanan yang didisain dengan baik dapat mengurangi terjadinya
moral hazard. Fitur disain tersebut adalah perlunya membentuk sistem premi
yang wajar yang berbasikan pada risiko, kecukupan modal bank, batas
penjaminan (coverage limit), koasuransi, dan regulasi prudensial yang ketat
yang didukung oleh intitusi pengawas yang kuat. Sebaliknya Penelitian mereka
menunjukan juga bahwa pada lingkungan yang lemah dan penegakan regulasi
yang tidak tepat untuk tidak mendirikan Penjaminan Simpanan, karena hanya
akan memperburuk stabilitas sistem keuangan dalam jangka panjang.
Sebagai lembaga yang masih baru LPS dalam menerapkan preminya
masih memakai sistem tarip tetap dan cadangan klaimnya masih ditentukan
secara arbitrer. Di sisi lain perlu bagi LPS untuk melihat apakah ada indikasi
moral hazard dengan sistem disain Penjaminan Simpanan saat ini. Karenanya
penyusunan sistem premi yang wajar, penentuan cadangan klaim yang tepat dan
pengujian moral hazard menjadi penting bagi LPS untuk membentuk disain
sistem Penjaminan Simpanan yang dapat mengurangi timbulnya moral hazard.
Karena dari disain fitur di atas yang terkait langsung dan dapat dilaksanakan
segera oleh LPS adalah fitur premi yang disesuaikan dengan profil risiko dan
fitur batas penjaminan3.
Model Risiko Kredit akan digunakan dalam penelitian ini untuk
menyusun sistem premi yang wajar dan cadangan klaim yang tepat. Selanjutnya
premi wajar ini akan digunakan untuk menguji perilaku moral hazard. Model
Risiko Kredit telah mulai banyak diteliti untuk dapat diaplikasikan pada sistem
Penjaminan Simpanan (Bennett (2001); Kuritzkes, Schuermann dan Weiner
(2002); Sironi dan Zazzara (2004)). Model ini merupakan model yang masih
berkembang dan mempunyai banyak ragam, karena modeling bergantung pada
tujuan penggunaan model. Model risiko kredit ini digunakan sebagai pengganti
atau model alternatif bagi model sebelumnya yang berbasiskan pada teori opsi
3
Mulai 22 Maret 2007 dana pihak ketiga yang dijamin LPS adalah sebesar maksimal
Rp 100 juta per rekening. Namun pada tagal 13 Oktober 2008 LPS menaikan jumlah
penjaminan menjadi hingga Rp 2 milyar per rekening, dan dengan disahkannya UU
No 7 tahun 2009 memungkinkan bagi LPS untuk meningkatkan batas panjaminan
simpanan hingga mencapai nilai yang dianggap mampu untuk mencegah terjadinya
bank run.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 92
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
yang berasal dari studi Merton (1977, 1978) yang kemudian dikembangkan oleh
Marcus dan Shaked (1984), Pyle (1983), Pennachi (1978a, 1978b).
Pengujian indikasi perilaku moral hazard dengan menggunakan model
risiko kredit merupakan hal yang pertama kali dilakukan dalam penelitian
sejenis. Karena model-model premi yang wajar pada penelitian sebelumnya
yang biasa digunakan untuk menguji indikasi moral hazard adalah model
Marcus dan Shaked (1984), Ron dan Verma (1986), Duan, Moreau dan Sealy
(1992), Laeven (2002) yang menggunakan model opsi jual (put option) periode
tunggal seperti yang dikembangkan dari model Merton (1977). Untuk model-
model premi wajar yang menggunakan model multi periode dapat dilihat pada
penelitian dari Pennachi (1987a, 1987b), Duan dan Yu (1994), Cooperstain,
Pennachi dan Redburn (1995), Saunders dan Wilson (1995), Hovakimian dan
Kane (2002).
Model risiko kredit yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
model risiko kredit dalam kerangka VaR (model kredit VaR) untuk menentukan
premi Penjaminan Simpanan wajar. Hasil premi Penjaminan Simpanan wajar
dari model risiko kredit penelitian ini selanjutnya akan digunakan untuk
menguji permasalahan penelitian apakah penentuan harga premi Penjaminan
Simpanan wajar yang ditentukan berdasarkan model risiko kredit penelitian
dapat mengindikasikan adanya perilaku moral hazard dari bank-bank anggota
LPS kepada LPS setelah diterapkannya sistem Penjaminan Simpanan eksplisit
di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah penentuan
premi Penjaminan Simpanan wajar yang ditentukan melalui model risiko kredit
dapat mengindikasikan adanya perilaku moral hazard pada bank-bank anggota
LPS kepada LPS setelah diterapkannya sistem Penjaminan Simpanan eksplisit.
Kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah akan memberikan
manfaat tidak hanya bagi pengembangan teori model risiko kredit dan
kontribusi empiris model Risiko Kredit pada pengujian indikasi perilaku moral
hazard. Namun juga akan bermanfaat bagi pengambilan kebijakan LPS dalam
menyusun disain fitur sistem Penjaminan Simpanan. Karena hasil dari
penelitian ini akan memberikan masukan bagi LPS dalam membentuk sistem
Penjaminan Simpana yang memperhatikan trade off antara moral hazard dan
stabilitas melalui disain fitur Premi Penjaminan Simpanan yang wajar, yaitu
premi yang berbasiskan risiko, pembentukan cadangan klaim yang tepat, dan
mempengaruhi exercise price dari opsi jual (put option). Dengan menggunakan
analisis statik komparatif Merton menunjukkan bahwa sumber risiko ini
berhubungan positif dengan biaya Penjaminan Simpanan, yaitu kenaikan dari
dua sumber risiko ini akan diikuti oleh kenaikan biaya asuransi.
Alat utama untuk mengidentifikasi perilaku pemindahan risiko dari bank
ini adalah dengan menentukan apakah terjadi harga Penjaminan Simpanan yang
mempunyai harga lebih (overprice) atau harga kurang (underprice)
dibandingkan dengan nilai aktuarialnya. Karena tujuan dari pemindahan risiko
adalah dengan membuat nilai aktuarial Penjaminan Simpanan lebih besar dari
biaya aktualnya, kalau ini terjadi maka harga kurang biasanya dijadikan sebagai
bukti adanya pemindahan risiko.
Dengan berbasiskan pada model Merton (1977) Duan dkk (1992)
memberikan kerangka yang berbeda untuk mengidentifikasi perilaku
pemindahan risiko pada bank-bank komersial. Dalam studinya Duan dkk (1992)
menyatakan bahwa pemindahan risiko oleh bank kepada Lembaga Penjamin
Simpanan yang ditujukan untuk mengeskproriasi kesejahteraan Lembaga
Penjamin Simpanan dilakukan dengan meningkatkan risiko aset (σV) dan risiko
pengungkitan (D/V). Pemindahan risiko akan berhasil jika berakibat pada
kenaikan nilai aktuarial dari Penjaminan Simpanan yang diberikan oleh LPS
tidak diikuti oleh kenaikan premi aktual. Berdasarkan pada model studinya
Duan dkk mengajukan dua hipotesis yaitu: Hipotesis 1: α1 ≥ 0 dan Hipotesis 2:
β1 ≤ 0, pemindahan risiko terjadi jika β1 > 0. Penolakan hipotesis 1
mengindikasikan bahwa pemindahan risiko dapat dicegah, tetapi pencegahan ini
tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak ada pemindahan risiko.
Penolakan hipotesis 2 menunjukkan adanya pemindahan risiko. Terdapat dua
persamaan dasar yang dikembangkan berdasarkan hipotesis ini adalah: pertama
persamaan yang menunjukkan hubungan antara risiko aset (σV) dan risiko
pengungkitan (D/V). Kedua persamaan yang menunjukkan hubungan antara
risiko aset (σV) dan premi Penjaminan Simpanan wajar. Karena pemindahan
risiko hanya terjadi ketika β1 > 0, maka konklusi akhir tentang adanya
pemindahan risiko bank bergantung pada persamaan kedua.
Untuk menguji hipotesis mereka ini, Duan dkk (1992) menguji sampel
yang terdiri dari 30 bank-bank besar di AS dalam perioda 1976-1986. Dengan
menggunakan OLS mereka menemukan hanya satu bank yang mempunyai
hubungan positif dan signifikan antara risiko aset dan risiko pengungkitan.
dengan perioda audit atau maturitas terjadi pada saat perioda audit (T) dan
execise price sama dengan nilai hutang pada saat maturitas. Model ini juga
mengasumsikan bahwa deposito (dana pihak ketiga) sama dengan hutang bank
total (D) yaitu pokok (principal) dan bunga yang diasuransikan. Selanjutnya
Merton menyatakan bahwa nilai premi Penjaminan Simpanan per dolar dari
deposito yang diasuransikan (FP) dapat diekspresikan dalam persamaan berikut:
( )
FP = N y + σ V T − ((V / D )N ( y) (1)
Dimana:
[ (
y ≡ ln (D / V ) − σ V2 T / 2 / σ V )] T
N = fungsi densitas normal standar kumulatif (the cumulative standard
normal density function)
dari persamaan (1) Merton di atas Duan dkk (1992) menyatakan bahwa ada dua
sumber risiko yang secara potensial dapat dimanipulasi oleh bank untuk tujuan
pemindahan risiko, yaitu risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V). Usaha
bank untuk memindahkan risiko dikatakan berhasil jika efek bersih dari
manipulasi atas risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V) adalah terjadinya
kenaikan risiko dengan pembayaran premi Penjaminan Simpanan yang sesuai
dengan keinginan bank. Jika sistem premi yang diterapkan oleh Lembaga
Penjamin Simpanan tarip tetap maka tidak ada kaitan antara manipulasi dari
kedua sumber risiko ini dengan premi Penjaminan Simpanan. Di sini bank akan
meningkatkan kedua sumber risiko ini untuk mengeksproriasi kesejahteraan
Lembaga Penjamin Simpanan tanpa perlu memanipulasi risikonya untuk
membayar premi yang disesuaikan dengan keinginannya. Namun jika ada usaha
penghindaran atau pengekangan terhadap perilaku pemindahan risiko maka
kenaikan dari risiko aset (σV) harus ditutupi oleh penurunan risiko pengungkitan
(D/V) atau hubungan kedua risiko ini diharapkan berbentuk negatif.
Untuk menganalisis perilaku pemindahan risiko ini, Duan dkk (1992)
memulainya dengan memperkirakan perubahan per dolar dari premi Penjaminan
Simpanan (ΔFP) terhadap perubahan risiko aset (ΔσV), seperti bentuk persamaan
berikut:
∂FP ∂FP d (( D / V ) (2)
ΔFP ≅ Δσ V + Δσ V
∂σ V ∂(D / V ) dσ V
Kemudian mereka menunjukkan α1 ≡ {d (D / V ) / dσ V } (3)
Oleh karenanya, persamaan (2) dapat dinyatakan kembali sebagai:
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 99
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Dengan latar belakang teoritikal di atas maka Duan dkk (1992) dapat
membentuk dua hipotesis nol yang dapat digunakan untuk menguji perilaku
pemindahan risiko yaitu: Ho1: α1 ≥ 0 dan Ho2: β1 ≤ 0. Penolakan terhadap
hipotesis nol 1 mengindikasikan bahwa pemindahan risiko dapat dicegah, tetapi
pencegahan ini tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak ada pemindahan
risiko. Penolakan terhadap hipotesis nol 2 menunjukkan adanya pemindahan
risiko. Karena pemindahan risiko hanya terjadi ketika β1 > 0, maka konklusi
akhir tentang adanya pemindahan risiko akan bergantung pada persamaan dua.
Di sini tampak bahwa hipotesis nol 1 (α1 ≥ 0) adalah penting tetapi bukan
kondisi cukup untuk hipotesis nol 2 (β1 ≤ 0).
Krisis moneter telah mendorong negara Indonesia untuk memperbaiki
sistem pengawasan perbankannya dengan mengadopsi standar pengawasan
perbankan internasional. Pangestu (2003) menunjukan bahwa ketika mengalami
krisis IMF telah mewajibkan pemerintah Indonesia untuk
mengimplementasikan program-programnya yang dikenal dengan Washington
consensus yang difokuskan pada tata kelola yang baik (corporate governance),
prosedur kebangkrutan, hubungan bisnis – pemerintah, regulasi dan prudensial
yang ketat. Dengan bantuan IMF langkah awal untuk memperbaiki kondisi
sistem perbankan dalam masa krisis adalah dengan didirikannya Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN/IBRA) oleh pemerintah. BPPN ini
bertugas untuk menyehatkan bank-bank bermasalah agar Bank Indonesia (BI)
dapat berkonsentrasi pada tugas-tugas pokoknya.
Langkah penyehatan perbankan dilakukan dengan merestrukturisasi
sistem perbankan melalui dua program utamanya. Pertama program penyehatan
perbankan yang berupa restrukturisasi kredit, program rekapitulasi, dan program
blanket guarantee. Kedua program penguatan sistem perbankan berupa program
pengembangan infrastruktur, peningkatan mutu pengelolaan perbankan, dan
pemantapan dan pengawasan bank. Restrukturisasi perbankan yang dijalankan
ini berhasil memperbaiki indutri perbankan yang ditunjukan melalui indikator-
indikator perbankan termasuk meningkatnya CAR perbankan di atas 8%.
Sejalan dengan program restrukturisasi dan untuk memperkuat sistem
perbankan BI juga melakukan penguatan stabilisasi keuangan melalui program:
peningkatan efektivitas supervisi perbankan, restrukturisasi bank dan
perusahaan, peningkatan disiplin pasar, peningkatan sistem hukum, dan
pengurangan kepemilikan pemerintah dalam sistem perbankan, serta ditambah
dengan aplikasi kebijakan untuk mengurangi too big atau too importan to fail
(Adiningsih, Rahutami, Anwar, Wijaya, dan Wardani, 2008).
Nam dan Lam (2005) menggambarkan bahwa bank sentral di negara
Indonesia, Malaysia, Korea Selatan dan Thailand telah memberikan prioritas
yang tinggi terhadap perubahan regulasi yang mendorong terjadinya
keterbukaan informasi yang relevan terkait dengan pelaksanaan tata kelola yang
baik. Perbaikan standar pengawasan perbankan, peningkatan kapital bank,
kebijakan yang mengurangi too big to fail, dan meningkatnya keterbukaan yang
berdampak pada peningkatan disiplin pasar menunjukan adanya pengekangan
risiko yang dilakukan oleh BI. Adanya pengekangan risiko oleh regulator ini
menjadikan hubungan antara resiko pengungkitan dan resiko aset menjadi
negatif.
Agusman dkk (2005) menyatakan bahwa usaha-usaha yang dilakukan
oleh regulator di negara-negara Asia termasuk Indonesia di atas belumlah
efektif untuk mengurangi moral hazard . Hal ini disebabkan oleh dua alasan,
pertama bahwa moral hazard merupakan kisah panjang dari bank-bank di Asia.
Kedua program restrukturisasi dan tata kelola yang baik merupakan program
yang datang dari luar negara terutama karena adanya tekanan IMF. Oleh
karenanya negara-negara yang mengalami krisis perlu waktu untuk proses
pembelajaran dan konsekuensinya kebijakan yang dijalankan tidak dapat secara
langsung efektif mencegah moral hazard. Di sisi lain setelah diterapkanya
sistem Penjaminan Simpanan eksplisit dengan premi tarip tetap, secara teori
akan mendorong terjadinya moral hazard. Moral hazard diindikasikan terjadi
jika bank berhasil meningkatkan resiko asetnya dengan pembayaran premi
asuransi yang sesuai dengan keinginan bank. Karena sistem premi yang
ditetapkan oleh LPS tarip tetap maka tidak ada kaitan antara resiko aset dengan
premi Penjaminan Simpanan. Di sini pemindahan risiko terjadi jika ada
hubungan positif antara risiko aset dan premi Penjamian Simpanan yang wajar.
Tanda positif di sini menunjukan bahwa premi yang wajar dapat merespon
adanya peningkatan risiko aset yang tidak ada pada sistem premi tarip tetap.
Oleh karenanya hipotesis penelitian yang dapat disusun adalah:
H1: Ada perilaku pemindahan risiko yang dilakukan oleh bank-bank
anggota LPS kepada LPS.
dengan sub hipotesis:
METODE PENELITIAN
Data dan Sampel
Penelitian ini akan menggunakan data sekunder yang berasal dari pasar
modal dan laporan keuangan yang telah diaudit. Adapaun data yang dibutuhkan
adalah: liabilitas bank baik jangka pendek dan jangka panjang, kapitalisasi
pasar, laporan keuangan dengan rasio neraca yang telah diaudit oleh akuntan
publik, harga saham penutupan dari perdagangan bulanan, SBI sebagai proksi
tingkat bebas risiko, dan beta saham (β), dan terakhir data dana pihak ketiga
bank yang dijamin Penjaminan Simpanan (LPS).
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh bank terbuka yang
beroperasi di Indonesia yang sahamnya tercatat dilantai Bursa dengan waktu
pencatatan minimal 1 tahun pada saat penelitian dilakukan.
Metodologi Penelitian
Langkah awal sebelum melakukan pengujian indikasi perilaku moral
hazard adalah membentuk premi Penjaminan Simpanan wajar terlebih dahulu
dengan menggunakan model risiko kredit penelitian (model kredit VaR). Model
pengukuran risiko kredit dapat dikelompokan menjadi dua kategori utama,
pertama default mode (DM). Kedua mark-to-market model (MTM). Dalam
konsep Default Mode (DM) risiko kredit identik dengan risiko gagal dan
mengadopsi pendekatan binomial. Oleh karenanya dalam model ini hanya ada
dua kejadian yang mungkin akan terjadi gagal atau bertahan (survive), dan
kerugian timbul hanya ketika terjadi gagal.
Di sisi lain konsep Mark to Market (MTM) risiko kredit diidentifikasi
melalui penurunan atau memburuknya rating atau memburuknya kelayakan
kredit (creditwhorthiness) dari debitur menjelang terjadinya gagal yang secara
teknis disebut sebagai migrasi kredit. Model MTM ini adalah model
multinomial dalam hal ini rugi terjadi ketika terjadi migrasi kredit (Basel
Committee on Banking Supervision (1999, 2001).
Langkah pertama dari model risiko kredit adalah membentuk distribusi
rugi atau fungsi densitas probabilitas dan pembentukan interval keyakinan
dalam kerangka VaR dari LPS. Guna dari distribusi rugi adalah untuk
menentukan kapital ekonomik yang tepat. Secara konsep kapital ekonomik
adalah cadangan ekuiti atau modal yang ditujukan untuk melindungi LPS
terhadap rugi kejutan yang tidak diharapkan yang akan terjadi di masa yang
akan datang pada tingkat keyakinan yang telah dipilih (Falkeinstein, 1999;
Schroeck, 2002; Burns, 2004).
Secara khusus kapital ekonomik dapat didefinisikan sebagai rugi
maksimal dikurangi rugi harapan. Rugi maksimal adalah hasil dari rugi kejutan
dikali pengali modal (capital multiplier), sehingga kapital ekonomik terkadang
diacu pula sebagai bentuk dari hasil perkalian ini. Pengali modal merupakan
jarak antara expected outcome dan interval keyakinan yang dipilih (Schroeck,
2002). Di sisi lain Kuritzkes, Schuermann dan Weiner (2002) menyatakan
bahwa kapital ekonomik menunjukkan jarak antara rugi harapan dan titik kritis
(critical point). Jarak antara rugi harapan dan titik kritis ini menunjukkan berapa
cadangan dana atau modal atau kapital ekonomik yang harus dimiliki untuk
menjaga tingkat solvensi yang diinginkan yang biasanya dinyatakan dalam
interval keyakinan atau probabilitas “ekor”. Pemilihan interval keyakinan atau
penentuan probabilitas “ekor” yang diinginkan dalam kerangka VaR akan
dinyatakan dalam tingkat presentil misalkan sebesar 99,97%. Besaran persentil
ini menunjukkan bahwa LPS hanya bersedia menerima 3 dari 10.000
probabilitas bank akan menjadi insolven dalam dua belas bulan kemudian.
Pernyataan dalam bentuk interval keyakinan ini menunjukkan bahwa tidak
mungkin bagi LPS untuk memiliki solvensi sebesar 100%. karena memiliki
tingkat solvensi 100% berarti memiliki kapital sebesar risiko yang dihadapi oleh
LPS yaitu sebesar dana simpanan yang dijamin yang ada dalam sistem.
Distribusi kerugian ini selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan harga
premi Penjaminan Simpanan wajar.
Langkah awal dari distribusi rugi adalah membentuk model distribusi
rugi. Pemodelan distribusi rugi harus diawali dengan mengetahui profil risiko
dari LPS. Penganalisaan profil risiko LPS adalah untuk mengetahui bahwa dana
Penjaminan Simpanan adalah portofolio risiko mitra (counterparty). Profil
risiko mitra ini terdiri dari eksposur bank-bank yang menjadi anggota LPS yang
dihitung berdasarkan parameter probabilitas gagal (EDF), eksposur (Exposure
(EXP)) dan rugi berian gagal (Loss Given Default (LGD)). Masing-masing bank
ini secara pasti (non-zero) mempunyai kemungkinan akan merugikan LPS
walaupun kemungkinannya kecil. Portofolio risiko dari mitra LPS ini akan
menjadi portofolio risiko LPS yang terdiri dari jumlah “ekor” (“tail”) risiko
gagal bank-bank anggota LPS dalam distribusi rugi.
Dari distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas LPS dapat
menghitung rugi harapan (EL) dan rugi kejutan (UL). Rugi harapan (EL) sama
dengan mean dari distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas yaitu jumlah
kerugian yang diharapkan akan dialami dalam portofolio LPS dalam horison
waktu yang telah ditetapkan. Rugi kejutan (UL) merupakan deviasi standar dari
distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas. Rugi harapan portofolio (ELp)
dan rugi kejutan portofolio (ULp) ini selanjutnya digunakan untuk menghitung
level kapital ekonomik yang tepat dan dasar untuk menentukan harga premi
Penjaminan Simpanan wajar. Penentuan kapital ekonomik dilakukan dengan
mengali rugi kejutan portofolio dengan pengali modal (Capital Multiplier
(CM)) dikurangi rugi harapan portofolio (ELp). Oleh karena jumlah kontribusi
rugi kejutan individual (Unexpected Loss Contribution Individual (ULCi)) sama
dengan rugi kejutan portofolio (ULp) maka kapital ekonomik yang dibutuhkan
dapat pula dikaitkan pada level transaksi individual seperti berikut:
Kapital ekonomik portofolio = ULp . CM – ELp
Pada level individual
Kapital ekonomik individual = ULCi . CM – ELi
Gambar 1 berikut menunjukkan hubungan antara distribusi rugi kapital
ekonomik, dan tingkat keyakinan dalam kerangka VaR. Pemodelan distribusi
rugi berikut akan menggambarkan risiko LPS pada level individual mitra dan
level portofolio.
Gambar 1
ELp
Confidence
ULp = σloss
losses
VaR
Gambar diadaptasi dan dikembangkan dari Munniksma, K.P.P., (2006); Schroeck., (2002)
Keluaran utama dari model risiko kredit ini adalah distribusi rugi atau
fungsi densitas probabilitas. Dari analisis distribusi rugi ini LPS dapat
mengestimasi rugi harapan (expected loss) dan rugi kejutan (unexpected loss)
dari portofolio kreditnya. Di bawah ini akan dijelaskan bentuk persamaan rugi
harapan dan rugi kejutan baik pada level individual ataupun level portofolio.
Risiko pada Level Individual Bank
Pemodelan distribusi rugi pada level individual mitra merupakan
estimasi risiko rugi harapan (EL) dan rugi kejutan (UL) yang dihitung dari
masing-masing mitra. Rugi harapan individual (ELi) merupakan hasil kali dari
frekuensi gagal harapan (expected default frequency (EDF)), eksposur
(exposure (EXP)), dan rugi berian gagal (loss given default (LGD)) yang dapat
dilihat dalam persamaan berikut:
ELi = EXP ∗ EDF ∗ LGD (5)
Rugi kejutan individual (ULi) merupakan hasil perkalian dari eksposur (EXP),
rugi berian gagal (LGD) dan deviasi standar. Rugi kejutan ini sama dengan
deviasi standar rugi, dengan mengasumsikan rugi berian gagal sebagai variabel
deterministik maka persamaan rugi kejutan individual akan tampak seperti
berikut:
ULi = EXP ∗ LGD ∗ EDF ∗ (1 − EDF ) (6)
Oleh karenanya distribusi rugi kumulatif LPS merupakan penjumlahan dari
eksposur individual-individual bank. Seperti distribusi rugi kumulatif kredit
pada sebuah bank, distribusi rugi kumulatif LPS ini akan merefleksikan rugi
harapan bank-bank individual anggota LPS, ukuran eksposur individual bank-
bank tersebut, dan korelasi rugi dalam portofolio. Distribusi kerugian LPS
diharapkan akan berbentuk miring (skewed) dengan bentuk distribusi yang tidak
halus yang merefleksikan kontribusi individual dari bank-bank besar (ULCi
bank-bank besar) terhadap probabilitas rugi dana Penjaminan Simpanan juga
besar (lihat pernyataan Kuritkez, Schuermann dan Weiner, 2002; Bennett,
2001).
Risiko pada Level Portofolio
Karena rugi harapan (EL) tidak dipengaruhi oleh korelasi maka rugi
harapan portofolio (ELp) adalah jumlah dari N rugi harapan individual bank
dengan bentuk persamaan berikut:
N
EL p = ∑ EXPi .EDFi .LGDi (7)
i −1
rugi kejutan portofolio (ULp), dapat juga diekspresikan sebagai jumlah rugi
kejutan marginal (marginal unexpected loss (ULCi)), yang berhubungan dengan
masing-masing eksposur individual dalam portofolio seperti persamaan berikut:
N
UL p = ∑ ULCi (8)
i =1
ULC i = (10)
UL p
kontribusi risiko dari portofolio Lembaga Penjamin Simpanan yang ditentukan
oleh bank individual sesungguhnya tidak bergantung pada rugi harapan (EL),
tetapi lebih bergantung pada rugi kejutan (UL). Khususnya kontribusi rugi
kejutan bank individual (ULCi) terhadap risiko portofolio yang merupakan
fungsi dari dua variabel: (1) rugi kejutan dari bank individual, yang ditimbulkan
dari fungsi probabilitas gagal bank individual dan eksposurnya terhadap dana
Penjaminan Simpanan, (2) tingkat korelasi rugi dengan sisa bank yang ada
dalam portofolio. ULCi ini bagi risiko portofolio merupakan parameter
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 107
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
⎢ ln⎜ ⎟ + ⎜⎜ r − ⎟t ⎥
⎢ ⎝D⎠ ⎝ 2 ⎟⎠ ⎥
PDefault = N Zt ≤ − ≡ N (− d 2 ) (13)
⎢ σV t ⎥
⎢ ⎥
⎣ ⎦
Model Merton selanjutnya menyatakan bahwa nilai ekuiti perusahaan
pada waktu T akan seperti persamaan berikut:
E 0 = V 0 N ( d 1 ) − De − rT N ( d 2 ) (15)
dimana
⎛V ⎞ ⎛ σ2 ⎞
ln⎜ 0 ⎟ + ⎜⎜ r + V ⎟⎟T
⎝D⎠ ⎝ 2 ⎠
(15a)
d1 =
σV T
d 2 = d1 − σ V T (15b)
Atau
⎛V ⎞ ⎛ σ ⎞
2
ln⎜ 0 ⎟ + ⎜⎜ r − V ⎟⎟T
⎝D⎠ ⎝ 2 ⎠
(15c)
d2 =
σV T
∂E
σ E E0 = σ V V0 (16)
∂V
σ E E0 = N (d1 )σ V V0 (17)
Untuk memecahkan sistem dua persamaan non linear dari persamaan (15) dan
(17) di atas Hull (2002, 2003) menyarankan untuk menggunakan algoritma
Newton Rhapson dengan bentuk f(x,y) = 0 dan G(x,y) = 0 guna mendapatkan
nilai dari dua variabel yang tidak diketahui yaitu: nilai pasar aset (V) dan
volatilitas aset (σV). Dengan menggunakan algoritma program yang tidak terlalu
rumit pada beberapa software komputer yang telah ada model dua persamaan
non linier ini dapat dipecahkan dengan mudah.
Selanjutnya dalam penelitian ini perioda maturitas (T) diasumsikan
sama dengan 1 tahun dengan tujuan agar EDF dapat diestimasi dalam bentuk
tahunan dan notasi D menunjukkan titik gagal. Titik gagal dalam penelitian ini
didefinisikan sebagai jumlah hutang jangka pendek dan separuh hutang jangka
panjang. Hutang jangka pendek adalah hutang-hutang yang jatuh tempo atau
akan dibayarkan kembali dalam waktu satu tahun dan hutang jangka panjang
yang jatuh tempo dalam tahun dilakukannya penelitian. Hutang jangka panjang
adalah perbedaan antara total hutang jangka panjang dan hutang jangka pendek.
Untuk tingkat bebas risiko (r) akan digunakan SBI 30 hari.
B. Pencarian drift (drift) aset dan probabilitas gagal riil (atau EDF riil)
Setelah nilai aset, V dan nilai volatilitas aset, σV, dapat ditemukan maka
langkah selanjutnya adalah mendapatkan probabilitas gagal riil yang akan
dilakukan dengan mencari drift nilai aset μV terlebih dahulu. Drift nilai aset ini
dapat diestimasi dengan memecahkan dua persamaan (18) dan (19) seperti
bentuk berikut:
⎡ ∂E ∂E 1 2 2 ∂ 2 E ⎤ ∂E
dEt = ⎢ + μ vVt + σ v Vt 2 ⎥
dt + σ vVt dZ t (19)
⎣ ∂t ∂V 2 ∂V ⎦ ∂V
dengan membandingkan bentuk difusi dari proses ekuiti dari persamaan (18)
dan (19), didapatkan hubungan dalam persamaan berikut:
∂E
σ E Et = σ vVt = σ vVt N (d1 ) (20)
∂V
dari bentuk di atas notasi N(d1) merupakan rasio lindung nilai (hedge) dari delta
ekuiti (ΔE) (menunjukkan ΔE = N(d1)) dalam terminologi opsi standar. Dalam
langkah selanjutnya akan didapatkan gama ekuiti dengan menggunakan
persamaan berikut: ekuiti gama:
∂2E n(d 1 )
ΓE = = (21)
∂V 2
Vσ v T
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 111
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
∂E Vn(d1 )σ v
ΘE = =− − rDe − rT N (d 2 ) (22)
∂t 2 T
persamaan di atas menunjukkan bahwa:
∂N ( d 1 ) 1 d2
= (d 1 ) = e−
1 2
∂V 2π
x 1 2
1 − z
Q N ( x) =
2π ∞
∫e dz menunjukkan fungsi distribusi dari distribusi
2
standar normal. Ukuran di atas sama dengan ukuran sensitivitas standar dalam
greek option dari opsi beli Eropa. Setelah menemukan notasi atau ekspresi dari
ΔE , Γ E ,& Θ E , maka selanjutnya akan dikomparasikan bentuk drift dari
persamaan (18) dan (19) dan mencari pemecahan drift nilai aset μ v :
∂E ∂E 1 2 2 ∂ 2 E
μ E Et = + μ vV + σ vV (23)
∂t ∂V 2 ∂V 2
1 (24)
μ E E = Θ E + μ vVΔE + σ v2VΓ E
2
1
μ E E − Θ E − σ v2V 2 Γ E
⇒ μv = 2 (25)
V ΔE
drift ekuiti (tingkat pertumbuhan harapan ekuiti) atau μ E dapat diestimasi dari
informasi pasar saham. Untuk mengestimasi μ E akan digunakan Model
Penentuan Harga Aset Kapital (CAPM), terkait dengan CAPM maka akan
dicari beta dari model persamaan berikut:
μ E − r = βπ (26)
notasi β adalah beta ekuiti yang dicari dengan bentuk persamaan berikut:
cov(RE , RM ) σ
β= = ρ E ; notasi RE dan RM masing-masing menunjukkan
var(RM ) σM
return ekuiti dan return pasar, sedangkan σE , σM dan ρ masing-masing
menunjukkan volatilitas ekuiti, volatilitas portofolio pasar, dan korelasi antara
return ekuiti dan return pasar. Return ekuiti dihasilkan dari return bulanan
saham dengan menggunakan formula ln(Rt / Rtt−1) . Return pasar dihasilkan dari
return Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan formula ln(RM / RMt−1) .
Deviasi standar dari return bulanan dirujuk sebagai volatilitas bulanan. Estimasi
beta saham akan didapatkan dengan meregresikan return pasar (RM) dengan
return saham (RE). Notasi π menunjukkan premi risiko pasar untuk beta risiko
atau harga pasar dari risiko, yang ditetapkan melalui bentuk persamaan berikut:
μM − r = π (27)
⎡ V
( ) ⎛
⎢ ln D + ⎜⎜ μ v −
σ V2
2
⎞ ⎤
⎟⎟T ⎥
(28)
N (d 2 ) = N ⎢ ⎝ ⎠ ⎥
⎢ σV T ⎥
⎢ ⎥
⎣ ⎦
Eksposur
Eksposur dalam penelitian ini adalah total dana pihak ketiga bank yang
dijamin oleh Penjaminan Simpanan (LPS). Nilai total dana pihak ketiga dari
4
nilai 30% ini berdasarkan pengalaman historis BPPN, dan nilai ini juga digunakan
oleh LPS untuk menentukan tingkat pemulihan jika terjadi bank gagal.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 114
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Setelah nilai dari ketiga variabel dalam model empirik diketahui, maka
ketiga nilai ini akan digunakan untuk menguji sub hipotesis H1.1 pada
persamaan (30) dan sub hipotesis H1.2 pada persamaan (31). Konsisten dengan
hipotesis penelitian, penelitian ini mengharapkan tanda koefisien estimasi α1
dari sub hipotesis H1.1 akan menunjukkan tanda negatif. Besaran tanda negatif
dari koefisien estimasi α1 ini diharapkan tidak cukup besar untuk menjadikan
tanda koefisien β1 dari sub hipotesis H1.2 untuk menjadi negatif.
Konsisten dengan teori, negatifnya nilai tanda koefisien α1
menunjukkan adanya pengekangan terhadap risiko yang dilakukan oleh
regulator. Di sini bank-bank yang mempunyai risiko aset (risko bisnis) yang
tinggi akan ditekan oleh rugulator untuk mengurangi risiko pengungkitannya
(risiko keuangannya), sehingga variasi hubungan kedua risiko ini akan
menunjukkan tanda negatif. Di sisi lain positifnya tanda koefisien estimasi β1
mengindikasikan adanya perilaku pemindahan risiko dari bank-bank yang
menjadi anggota LPS kepada LPS. Hal ini menunjukkan bahwa premi
Penjaminan Simpanan yang wajar yang ditentukan melalui model penelitian
sensitif terhadap perubahan kedua risiko baik risiko aset (risiko bisnis) ataupun
risiko pengungkitan (risiko keuangan), terutama terhadap perubahan risiko
pengungkitan (risiko keuangan). Secara keseluruhan penelitian ini diharapkan
akan memberikan kesimpulan bahwa, premi Penjaminan Simpanan wajar yang
ditentukan melalui model penelitian dapat mengindikasikan adanya perilaku
moral hazard dari bank-bank anggota LPS kepada LPS setelah diterapkannya
sistem Penjaminan Simpanan eksplisit di Indonesia.
Daftar Pustaka
Adiningsih, Sri., Rutami, Ika A., Anwar, Ratih Pratiwi., Wijaya, A Awang
Susatya dan Wardani, Ekoningtyias Margu., (2008), "Satu Dekade Pasca -
Krisis Indonesia: Badai Pasti Berlalu, Penerbit Kanisius.
Agusman, A., Gasbarro, D., dan Zumwalt, J, K., (2005), "Bank Moral hazard
and the Disciplining Factors of Risk Taking: Evidence from Asian Bank
during 1998-2003", Working Paper.
Arora, N., Bohn, R, J., Zhu, F., (2005), "Reduce Form VS Structural Models of
Credit Risk: A Case Study of Three Models", Journal of Investment
Management, Fourth Quarter.
Fermen, T.E.S., Westgaard, S.F.S., dan Wijst, N.V., 2004, "Kegagalan (default)
Greeks under an Objective Probability Measure", Norwy, Working Paper.
Flannery, M., dan Sorescu, S., 1996, "Evidence of Bank Market Dicipline in
Subordinated Debenture Yields: 11983-1991", Journal of Finance, 51(4),
2347-1377.
Gueyie, J, P., dan Lai, V, S., (2003), "Bank Moral hazard and The Introduction
of Official Deposit Insurance in Canada", International Review of
Economics and Finance, No. 12. 247-273.
Hancock, D., dan Kwast, M.L., 2001, "Using Subordinate Debt to Monitor
Bank Holding Company:Is it Feasible?", Journal of Financial Service
Research 20(2/3), 147-197.
Hovakimian, A., dan Kane, E, J., (2000), "Effectiveness of Capital Regulation
at U.S. Commercial Bank, 1985 to 1994", The Journal of Finance", Vol.
55, No.1. 451-468.
Hovakimian, A., dan Kane, E, J., dan Leaven, L., (2003), "How Country Safety-
Net Characteristics Affect Bank Risk-Shifting", Journal of Financial
Service Research, Volume 23, No.3. 177-204.
Hovakimian, Armen dan Kane, E, J., (2000), "Effectiveness of Capital
Regulation at U.S. Commercial Banks, 1985 to 1994", The Journal of
Finance", Vol. LV. No.1.
Hovakimian, Armen., Kane, E, J, dan Laeven, L., (2003), "How Country and
Safety-Net Characteristics Affect Bank Risk Shifting", Journal of
Financial Service Research 23:3 177 - 204.
Hull, J., C, 2002, " Fundamentals of Futures and Options, Future Market", 4th
Ed, Prentice Hall College Div: Upper Saddle River, NJ.
Hull, J., C, 2003, " Option, Future, and Other Derivative", 5th Ed, Prentice Hall
College Div: Upper Saddle River, NJ.
IEDA, A., MARUMO, K., YOSHIBA, T., 2000, "A Simplified Method for
Calculating the Credit Risk of Lending Portfolio", Discussion Paper No.
2000-E-10, Institute for Monetary and Economic Studies Bank of Japan.
C.P.O Box 203 Tokyo 100-8630 Japan.
Kane, Edward J., (1985), "The Gathering Crisis in Federal Deposit Insurance".
Cambridge Mess. MIT Press.
Kunt, Demirgüç Asli dan Kane, E, J., (2002), " Deposit Insurance Around the
Globe: Where Does It Work?”, Journal of Economic Perspectives -
Volume 16, Number 2 - Spring - pp 175 - 195.
Kunt, Demirgüç Asli dan Detrigiache, Enrica., (2000), "Does Deposit Insurance
Increase Banking System Stability?, IMF Working Paper.
Kuritzkes, A., Schuermann, T., dan Weiner, S., 2002, "Deposit Insurance and
Risk Management of the US Banking System: How much? What price?
Who pays", Working Paper.
Laeven, Luc., (2001), "International Evidence on Value of Deposit Insurance",
World Bank Working Paper.
Marcus, J, A., dan Shaked, I., (1984), "The Valuation of FDIC Deposit
Insurance Using Option-Pricing Estimates", Journal of Money, Credit and
Banking, Vol 16, No.4. p 446 - 460.
Mc Coy, A. Patricia., (2006), "The Moral hazard Implications of Deposit
Insurance: Theory and Evidence", Seminar on Current Developments in
Monetarry and Financial Law Washington, D.C., Working Paper.
Merton, R, C., (1974) "On the Pricing of Corporate Debt: The Risk Structure of
Interest Rates", Journal of Finance, Vol 29 (2), pp. 449 - 470.
Merton, R, C., (1977) "An analytic Derivation of The Cost of Deposit Insurance
and Loan Guarantees", Journal of Banking and Finance, 3 - 11.
Merton, Robert., 1978, "On The Cost of Deposit Insurance When There are
Surveillance Cost", Journal of Business, 51, pp. 439 - 452.
Mishra, Chandrasekhar, dan Urrutia L. Jorge., (1995), "Deposit Insurance
Subsidies, Moral hazard, and Bank Regulation", Journal of Economics and
Finance. Volume 19, Number 1, pp. 63 - 74.
Munniksma, K.P.P., (2006), "Credit Risk Measurement Under Bassel II", BMI
Working Paper.
Nam, S, W, dan Lum C, S., (2005), “Survey of Banks’ Corporate Governance
in Indonesia, Republic of Korea, Malaysia, and Thailand”, the Asian
Development Bank Institute (ADBI), http:// www.adbi.org/files/2005.07.05.
survey.corporate governance.bank.asia.pdf.
Ong, M., 1999, "Internal Credit Risk Models: Capital Allocation and
Performance Measurement", Risk Books.
Pangestu, Mari., (2003), "The Indonesian Bank Crisis and Restructuring:
Lessons and Implications for Other Developing Countries", G-24
Discussion Paper Series, Research Papers for Intergovernmental Group of
Twenty-Four on International Monetary Affairs, United Nation Working
Paper.
Pennachi (1987a), "A Reexamination of Over-(or Under-) Pricing of Deposit
Insurance", Journal of Money, Credit and Banking, No. 19, 340-360.
Pennacchi, George., (1987b), "Alternative forms of Deposit Insurance: Pricing
and Bank Incentive Issues, Journal of Banking and Finance, 11, pp. 291 -
312.
Pyle, David., (1983), “Pricing Deposit Insurance: The Effects of
Mismeasurement. “University of California Berkeley, Working Paper.
Suherman∗
Abstract
Recently, long-run performance has been analysed using a methodological
approach. Among them, Brav and Gompers (1997), Barber and Lyon (1997),
Brav, Geczy and Gompers (2000), Gompers and Lerner (2003), Ahmad-Zaluki,
Campbell, and Goodacre (2007), and Jegadeesh and Karceski (2009) have
argued that the choice of a performance measurement methodology directly
determines both the size and power of statistical tests. In that context, Lyon,
Barber and Tsai (1999) point out that no winner has emerged as the optimal
methodology in terms of statistical properties, and that the analysis of long-run
abnormal returns is “treacherous”. Fama (1998) critically reviews the
anomalies literature and concludes that “apparent anomalies can be due to
methodology and most long-term return anomalies tend to disappear with
reasonable changes in technique” (p.283).
Previous studies found that long-run share price performance of Indonesian
initial public offerings (IPOs) underperformed (among them; Manurung and
Soepriyono, 2006; Suroso, 2005; Martani, 2004; Pujiharjanto, 2003). Those
studies only use event-time approach to measure long-run performance, returns
are equally-weighted, conventional t-statistics, and market benchmark.
This research (work-in-progress), to my knowledge, is the first paper to use
various methods and statistical tests when measuring long run performance of
IPOs in Indonesia. I use both event-time (CARs and BHARs) and calendar-time
(Fama-French Three Factors) approaches to measure long run performance of
Indonesian IPOs, returns are equally- and value-weighted, matching-company
benchmark and market benchmark. Moreover, in this study I use three different
procedures to calculate the statistical significance of the mean buy-and-hold
abnormal returns to check the robustness of the results; (i)the conventional t-
statistic, (ii)the bootstrapped skewness-adjusted t-statistic as suggested by Lyon,
Barber and Tsai (1999), and (iii)the heteroskedasticity and serial correlation
consistent t-statistics as proposed by Jegadeesh and Karceski (2009).
Sample of this study made IPO between 1999 and 2005. The number of IPO
firms through that period is 101. Data are obtained from Jakarta Stock
Exchange (JSX) statistics, Indonesian Capital Market Directory (ICMD), and
prospectus. Monthly returns are calculated based on date of IPOs, instead of at
the end of each month.
∗
Alumni Program Doktor FE Universitas Padjadjaran dan staf pengajar di FE
Universitas Negeri Jakarta
1. Pengantar
Banyak peneliti memperdebatkan kinerja IPO (Initial Public Offering –
Penawaran Umum Perdana), terutama dalam jangka panjang. Semua studi
jangka panjang di Indonesia mengungkapkan terjadinya underperformance
setelah IPO (diantaranya adalah Manurung dan Soepriyono, 2006; Suroso,
2005; Martani 2004; Pujiharjanto, 2003). Mereka mendukung argumentansi
yang dikemukakan oleh Ritter (1991) bahwa kinerja jangka panjang IPO yang
underperformed disebabkan oleh para investor yang sangat optimis dan ini
menyebabkan harga saham naik. Dalam jangka panjang harga saham tersebut
akan mengkoreksi kesalahannya sehingga return menjadi lebih rendah.
Dari sudut pandang lain, Barber dan Lyon (1997), Kothari dan Warner
(1997), Lyon, Barber, dan Tsai (1999), Brav, Geczy, dan Gompers (2000),
Loughran dan Ritter (2000), Eckbo, Masulis dan Norli (2000), Mitchell dan
Stafford (2000), Gompers dan Lerner (2003), Ahmad-Zaluki, Campbell, dan
Goodacre (2007) mengungkapkan bahwa return jangka panjang IPO tergantung
pada metode pengukuran yang digunakan. Besar kecilnya abnormal return dan
keandalan kesimpulan statistik adalah berbeda antara satu metode dengan
metode lainnya.
Kontroversi mengenai underperform atau outperform setelah penawaran
perdana saham belum berakhir dan untuk itu masih diperlukan riset lanjutan,
khususnya di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Brav dan Gompers
(1997), Fama (1998), Eckbo, Masulis dan Norli (2000), Jenkinson dan
Ljungqvist (2001), Gompers dan Lerner (2003), dan Ahmad-Zaluki, Campbell,
dan Goodacre (2007) bahwa penurunan return bukanlah efek yang pasti terjadi
setelah penawaran perdana saham dan kebanyakan anomali return jangka
panjang cenderung akan hilang ketika teknik penelitian yang digunakan
berbeda-beda.
Penelitian kinerja jangka panjang pasca IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI)
menjadi sangat menarik karena selama ini studi kinerja jangka panjang IPO di
Indonesia hanya menggunakan event-time approach (yaitu CARs dan BHARs),
equally-weighted returns, market benchmark, dan t-statistik konvensional.
Padahal, penelitian-penelitian kinerja jangka panjang IPO (dan lainnya seperti
kinerja jangka panjang seasoned equity offerings dan cross-listing firms)
(khususnya yang terbit di jurnal-jurnal keuangan top dunia, diantaranya adalah
2. Kajian Literatur
Menggunakan sampel sebanyak 1526 perusahaan Amerika Serikat yang
melakukan penawaran umum perdana antara tahun 1975 dan 1984, Ritter
(1991) menemukan bahwa return rata-rata selama tiga tahun setelah IPO secara
signifikan lebih rendah dibanding return rata-rata pasar. Dengan menggunakan
metode pengukuran CAR, ditemukan bahwa kinerja satu, dua dan tiga tahun
berturut-turut setelah IPO underperformed sebesar 10,23%, 16,89%, dan
29,13%.
Loughran (1993) mengungkapkan terjadinya underperformance selama
enam tahun setelah IPO yaitu sebesar 17,29% dibandingkan return pasar yang
sebesar 76,23%. Penelitiannya menggunakan sampel 3556 yang tercatat di
NASDAQ dalam periode 1967-1987. Servaes dan Rajan (1997) meneliti IPO
dari tahun 1975-1987. Mereka menemukan kinerja perusahaan setelah IPO
selama 5 tahun hanya 24%, sedangkan return pasar (NYSE index) mencapai
71%.
Loughran dan Ritter (1995) memperluas temuan Ritter (1991). Loughran
dan Ritter (1995) meneliti IPO tahun 1970-1990 dengan sampel 4753
perusahaan dan menemukan terjadinya underperformance. Mereka mengatakan
bahwa setelah IPO return rata-rata sebesar 5% pertahun selama 5 tahun,
sedangkan return pasar 12% setiap tahun selama lima tahun. Levis (1993)
meneliti 712 perusahaan yang melakukan IPO di United Kingdom selama 1980-
4. Metode Analisis
Kinerja jangka panjang perusahaan pasca IPO dihitung berdasarkan
event-time approach dan calendar-time approach. Yang termasuk event-time
adalah cumulative abnormal returns dan buy-and-hold abnormal returns.
Sedangkan yang termasuk calendar-time adalah Fama-French Three Factor
Pricing Model.
a. Cumulative Abnormal Returns (CARs)
CARs merupakan salah satu metode untuk menghitung kinerja jangka
panjang sekuritas. Pertama, hitung return bulanan pasca IPO selama tiga tahun
periode pengamatan. Return bulanan sekuritas i periode t dihitung sebagai
berikut:
ri ,t = ( Pi ,t − Pi ,t −1 ) / Pi ,t −1 (1)
dimana Pi,t adalah harga sekuritas i periode bulan t, dan Pi,t-1 ialah harga
sekuritas i periode bulan t-1. Kemudian return bulanan sekuritas i yang
disesuaikan return pasar dikalkulasi sebagai berikut:
ari ,t = ri ,t − rm ,t (2)
dimana ri,t adalah return perusahaan i pada periode bulan t, dan rm,t adalah
return pasar pada periode bulan t. Return pasar menggunakan proksi IHSG dan
LQ45. Lalu return abnormal rata-rata portofolio periode t adalah:
n
1
ARt =
n
∑ ar
i =1
i ,t (3)
Selanjutnya, CAR (yang telah disesuaikan) adalah total return rata-rata (yang
telah disesuaikan) setiap bulan selama tiga tahun adalah :
t
CARt = ∑ AR
s =1
s (4)
∑ MKTCAP i ,t −1 x ari ,t
i =1
VWARt = n
(5)
∑ MKTCAP i ,t −1
i =1
t
VWCARt = ∑ VWARs (6)
s =1
dimana nt ialah jumlah perusahaan di bulan t, dan csdt dicari dengan rumus
berikut:
csdt = [t * var + 2 * (t-1) * cov]0,5 (8)
T T
BHAR i ,t = ∏ (1 + ri ,t ) − ∏ (1 + rm,t )
t =1 t =1
(9)
dimana ri,t adalah return mentah bulanan perusahaan i pada bulan t; rm,t
merupakan return pasar pada bulan t; dan T adalah bulan ke 12, 24, dan 36.
Metode ini mengukur total return dari strategi buy-and-hold dimana saham
dibeli pada harga penutupan di hari listing dan ditahan sampai pada tahun 1, 2,
dan 3.
Setelah mendapatkan BHARi,t kemudian menghitung mean buy-and-hold
abnormal return untuk period t sebagai berikut:
n
BHARt = ∑ ω BHAR
i =1
i i ,t
(10)
∧ ∑ ( BHAR i ,t − BHARt ) 3
γ= i =1
(13)
nσ ( BHARt ) 3
Daftar Pustaka
Espenlaub, S., Gregory, A., dan Tonks, I. 2000. Re-Assessing the Long Term
Underperformance of UK Initial Public Offerings. European Financial
Management, 6, pp.319-342
Fama, E. F. dan French, K. 1993. Common Risk Factors in the Returs on Bonds
and Stocks. Journal of Financial Economics, 33, pp.3-56.
Fama, E. F. 1998. Market Efficiency, Long Term Return, and Behavioral
Finance. Journal of Financial Economics, 49, pp.283-306.
Finn, Frank J. & Higham, Ron. 1988. The Performance of Unseasoned New
Equity Issues-Cum-Stock Exchange Listings in Australia. Journal of Banking
& Finance, vol. 12, pp.333-351.
Gompers, P.A., dan Lerner, J. 2003. The Really Long Run Performance of
Initial Public Offerings: The Pre-Nasdaq Evidence. Journal of Finance,
vol.58, pp.1355-1392.
Hartanto, I. B. & Ediningsih, S. I. 2004. Kinerja harga saham setelah penawaran
perdana (IPO) pada Bursa Efek Jakarta. Usahawan, no.8, th.xxxiii, agustus,
hal.36-43.
Jelic, R., Saadouni B. & Briston, R. 2001. Performance of Malaysian IPOs:
Underwriters Reputation and Management Earnings Forecasts. Pacific-Basin
Finance Journal, 9, pp.457-486
Jenkinson, T. & Ljungqvist, A. 2001. Going Public: The Theory and Evidence
on How Companies Raise Equity Finance, Second Edition, Oxford
University Press.
Keloharju, M. 1993. The Winner’s Curse, Legal Liability, and the Long-Run
Price Performance of Initial Public Offerings in Finland. Journal of
Financial Economics, 34, pp.251-277.
Kothari, S. & Warner, J. 1997. Measuring Long-Horizon Security Price
Performance. Journal of Financial Economics, 43, pp.301-339.
Kunz, R.M. & Aggarwal, R. 1994. Why Initial Public Offerings Are
Underpriced: Evidence from Switzerland. Journal of Banking and Finance,
18, pp.705-724.
Levis, M. 1993. The Long Run Performance of Initial Public Offerings: the UK
Experience 1980-1988. Financial Management, Spring.
Loughran, Tim. 1993. NYSE vs NASDAQ Returns : Market Microstructure or
the Poor Performance of Initial Public Offerings?. Journal of Financial
Economics, 33, pp. 241-260.
Loughran, T. & Ritter, J. R. 1995. The New Issue Puzzle. Journal of Finance,
vol.50, pp.23-51.
Loughran, T. & Ritter, J. R. 2000. Uniformly Least Powerful Test of Market
Efficiency. Journal of Financial Economics, vol.55, pp.361-389.
Lyon, J. D., Barber, B. M. & Tsai, C. 1999. Improved Methods for Tests of
Long-Run Abnormal Stock Returns. Journal of Finance, vol. 54, no. 1,
165–201.
Manurung, A. H. & Soepriyono, G. 2006. Hubungan Antara Imbal Hasil IPO
dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja IPO di BEJ. Usahawan,
No.3, th. XXXV, maret, hal.14-26.
Martani, D. 2004. Pengaruh Manajemen Informasi dan Determinan Lain
Terhadap Harga Saham, Initial Return, dan Kinerja Saham Jangka Panjang:
Studi Empiris Perusahaan Go Public di BEJ. Disertasi, Program
Pascasarjana Ilmu Manajemen, Universitas Indonesia, tidak publis.
Mitchell, M.L., & Stafford, E. 2000. Managerial Decisions and Long-Term
Stock Price Performance. Journal of Business, vol.73, pp.287-329.
Dyah Sugandini∗
Inovasi merupakan sebuah ide dan praktek, atau obyek yang dipersepsikan
sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau unit adopsi yang lain.
Penundaan terjadi ketika seorang individu memutuskan untuk menunda adopsi
inovasi. Seorang postponer masuk ke dalam golongan non-adopter. Individu ini
ada dalam kondisi aktif, menunggu waktu yang dianggapnya tepat untuk
mengadopsi inovasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji sebuah model
yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penundaan suatu produk
inovatif yaitu LPG pada masyarakat miskin target konversi energi. Metode yang
digunakan menggunakan pendekatan deduktif karena memfokuskan pada
pengembangan hipotesis yang didasarkan pada suatu teori. Penelitian ini
menggunakan survei karena memperhatikan sejumlah faktor yang menjelaskan
keberadaan fenomena yang diteliti Data yang digunakan adalah data primer
yang diperoleh melalui observasi langsung, wawancara personal secara
mendalam dan pengisian kuesioner. Alat analisis data menggunakan structural
equation modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model
penundaan adopsi dapat diterima.
Kata kunci: Penundaan adopsi, karakteristik inovasi, stockout, informasi,
pengetahuan, sikap menunda, dan niat menunda.
A. Latar Belakang
Isu penggunaan energi bahan bakar alternatif untuk menggantikan energi
bahan bakar yang selama ini banyak dikonsumsi masyarakat merupakan isu
lama. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa energi bahan bakar
konvensional seperti minyak semakin terbatas dan juga menghasilkan dampak
polutif yang cukup tinggi. Isu ini dimanfaatkan oleh pemerintah namun dengan
target yang lain yaitu untuk pengurangan subsidi hingga tercapai target akhir
pemerintah yaitu penghapusan sepenuhnya subsidi bahan bakar minyak.
Realisasi kebijakan pemerintah untuk efisiensi bahan bahar minyak dilakukan
dengan menerapkan program peralihan konsumsi energi dari minyak tanah ke
∗
Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Manajemen FEB
UGM dan staf pengajar UPN Veteran Yogyakarta.
gas (LPG) atau yang populer dengan istilah konversi minyak tanah. Program
yang ditujukan bagi masyarakat miskin pengkonsumsi minyak tanah yang
"dipaksa" untuk beralih menggunakan gas, dengan cara membagikan kompor
gas dan tabung gas ukuran 3 kg per KK.
Terdapat beberapa alasan yang mendukung keputusan konversi tersebut.
Pertama, penggunaan minyak tanah oleh masyarakat, terutama sebagai sumber
energi rumah tangga, memberi beban cukup besar pada anggaran pemerintah.
Kedua, ketersediaan sumber energi minyak tanah – yang merupakan sumber
energi tak-terbarukan – semakin sedikit. Ketiga, Indonesia telah menjadi net-
importer minyak. Keputusan konversi dapat menghemat sediaan minyak dan
pengeluaran pemerintah. Meskipun konversi penggunaan minyak tanah ke LPG
ditujukan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat luas, namun upaya
konversi tersebut tidak terlaksana dengan lancar dan mudah. Terdapat beberapa
faktor yang dapat menghambat adopsi masyarakat terhadap konversi minyak
tanah ke LPG, yaitu faktor individu anggota masyarakat, faktor
produk/teknologi, faktor risiko dan kepercayaan serta faktor komunikasi.
Karakteristik inovasi teknologi baru mempengaruhi kesediaan masyarakat
dalam mengadopsi produk/teknologi baru tersebut. Produk/teknologi baru akan
cepat diterima dan digunakan oleh masyarakat salah satunya jika masyarakat
menilai bahwa produk/teknologi baru tersebut memiliki keunggulan relatif
dibanding produk/teknologi yang lama. Keunggulan relatif suatu
produk/teknologi baru ditentukan oleh dua faktor yaitu tingkat kemanfaatan dan
kemudahaan menggunakan produk/teknologi (Malhotra dan Galletta, 1999).
Semakin tinggi kemanfaatan suatu produk/teknologi baru dan semakin mudah
menggunakan produk/teknologi baru maka semakin cepat produk/teknologi
baru tersebut diterima dan digunakan oleh masyarakat. Ketersediaan
produk/teknologi merupakan salah satu faktor yang menentukan kemudahan
masyarakat dalam menggunakan produk/teknologi tersebut.
Pada dasarnya, upaya pemerintah mendorong masyarakat melakukan
konversi penggunaan energi minyak tanah ke LPG merupakan proses dan
kegiatan transfer teknologi rumah tangga dari pemasok (pemerintah/perusahaan
penyedia) ke pengguna (individu/rumah tangga). Transfer teknologi
memerlukan proses komunikasi untuk mendorong pembelajaran dan perubahan
dari dua pihak, yaitu pemasok dan pengguna (Hsu dan Mesak, 2005).
Produk/teknologi yang bermanfaat dan mudah digunakan, pemilihan sasaran
pengguna yang tepat, komunikasi yang efektif, dan layanan pendukung yang
dapat diandalkan akan mendorong konversi penggunaan minyak tanah ke LPG
cepat terlaksana.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan pertama penelitian ini adalah untuk mendefinisikan dan menguji
konsep postponement dalam studi inovasi produk. Karena disadari bahwa
penundaan adopsi inovasi dalam beberapa riset sebelumnya belum
terdefinisikan secara baik dan belum banyak diteliti. Penelitian yang
dilakukan selama ini hanya dilakukan pada seting adopsi, penolakan adopsi
dan keputusan inertia.
2. Tujuan kedua penelitian ini adalah untuk menguji sebuah model yang
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penundaan suatu produk
inovatif, dengan memperluas model penundan adopsi yang sudah ada (ram,
1987; Ram dan Seth, (1989); Rogers, (1995) dan Joseph (2005). Faktor
penundaan merupakan bagian dari konsep adopsi produk. Faktor-faktor
yang menyebabkan penundaan adopsi dijelaskan oleh persepsi konsumen
mengenai tingkat karakteristik inovasi yang meliputi relative advantage,
compatibility, complexity, trialability, dan observability; pengetahuan
konsumen yang meliputi pemahaman keberadaan produk baru, pemahaman
cara kerja produk baru, dan pemahaman mengenai manfaat aktual produk
baru; persepsi informasi komunikasi pemasaran integratif yang berasal dari
pemerintah dan agen perubahan yaitu tokoh masyarakat; risiko yang
dipersepsikan dan stockout yang merupakan aspek situasional yang
langsung menjelaskan pembuatan keputusan penundaan adopsi inovasi.
3. Dengan demikian, model ini memiliki kekuatan untuk memahami suatu
fenomena yang tidak hanya dipahami dari sisi internal konsumen tetapi
juga eksternal. Pemahaman penundaan produk inovatif elpiji dari aspek
komunikasi pemasaran dan aspek stockout konsumen dapat memberikan
wawasan bagi pemerintah maupun distributor produk elpiji agar dapat
memberikan pelayanan kepada konsumen dengan lebih baik. Jika program
ini berhasil, manfaat keberhasilan program ini tidak hanya untuk
pemerintah, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Secara Teoretis
a. Studi ini diharapkan mampu mendefinisikan dan menguji konsep
postponement (penundaan) secara lebih baik dalam studi inovasi
produk.
b. Studi ini memberikan kontribusi secara teoritis tentang model
penundaan adopsi inovasi yang dipengaruhi oleh persepsi karakteristik
inovasi, komunikasi pemasaran, pengetahuan, risiko dan stockout.
c. Mayoritas riset adopsi inovasi yang ada menggunakan seting tempat
bekerja, terkait dengan pengetahuan karyawan dan menggunakan
pelajar atau mahasiswa sebagai subyek penelitian, studi ini fenomena
pengambilan keputusan yang akan diteliti adalah di lingkungan rumah
tangga yang mempunyai tingkat sosial ekonomi rendah atau yang
tergolong miskin.
d. Proses adopsi inovasi biasanya dilakukan untuk objek yang memberi
kesenangan baru, Studi ini menganalisis proses adopsi inovasi pada sisi
sebaliknya, yaitu adopsi inovasi produk yang dianggap tidak
menyenangkan bagi konsumennya.
2. Manfaat Secara Praktis
a. Secara ekonomi makro, hasil studi ini akan memberikan manfaat bagi
keberlangsungan program konversi minyak tanah ke elpiji.
b. Penelitian ini juga memberikan sumbangan bagi masyarakat tentang
sosialisasi sejak dini penggunaan produk elpiji. Fungsi sosialisasi
merupakan pengenalan nilai-nilai baru pada kelompok tertentu yang
bisa dilakukan oleh agen perubahan dan mass media. Bagi industri gas,
penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman peran
komunikasi pemasaran yaitu memberikan informasi yang tidak hanya
bersifat menjelaskan, tetapi juga mendidik dan bisa mengubah
pandangan dalam mempersepsikan produk elpiji sebagai produk
inovatif.
c. Bagi distributor elpiji harus memahami bahwa kondisi stockout
menyebabkan masyarakat sebagai konsumen merasa kecewa karena
tidak mampu membeli produk elpiji.
D. Tinjauan Pustaka
1. Innovation Resistance dan Penundaan Adopsi Inovasi
Ram, S (1987) mendefinisikan innovation resistance sebagai kondisi
resistensi yang terjadi dalam diri konsumen terkait dengan perubahan yang
terjadi karena inovasi. Definisi ini diperkuat oleh Zaltman dan Wallendorf
(1983) yang menyebutkan resitensi inovasi merupakan perilaku untuk
mempertahankan status quo dalam hubungannya dengan tekanan perubahan.
Ram dan Seth (1989) menambahkan bahwa innovation resistance terjadi karena
konsumen merasa bahwa inovasi akan mengubah kepuasan yang dia peroleh
dengan mempertahankan status quo, dan inovasi itu sendiri berkonflik dengan
struktur keyakinannya.
Ram dan Seth (1989) menyatakan bahwa konsumen yang resisten terhadap
inovasi produk baru disebabkan karena dua hal, pertama inovasi produk baru
akan mengakibatkan perubahan yang sangat besar atas keseharian yang
dilakukan konsumen dan bahkan bisa merubah rutinitas yang telah dilakukan
sebelumnya. Contohnya, adopsi kompor elpiji bagi masyarakat miskin telah
menyebabkan perubahan yang sangat besar bagi penggunanya. Konsumen jenis
ini merasakan bahwa pemakaian kompor elpiji membutuhkan pola
pembelajaran yang lebih intensif karena kompor elpiji dianggap lebih berisiko,
dan harus digunakan pada situasi dan kondisi yang baik. Cara pemakaian
kompor elpiji yang jauh lebih rumit dibanding kompor minyak tanah juga
menyebabkan konsumen enggan beralih ke kompor elpiji. Di samping itu,
konsumen harus mengelola keuangannya dengan lebih baik supaya bisa
menabung untuk membeli isi ulang gas elpiji. Keharusan menabung inilah yang
dianggap sebagai pola perilaku baru yang sangat memberatkan bagi konsumen
kelompok miskin. Karena mereka dihadapkan pada kondisi penghasilan yang
pas-pasan untuk kehidupan sehari-hari, sehingga mengalokasikan uang untuk
ditabung inilah yang menjadikan konsumen jenis ini merasa kesulitan.
Sehingga, pada akhirnya mereka resisten untuk adopsi elpiji (Sugandini, 2007).
Kedua, inovasi produk baru dianggap berkonflik dengan keyakinan
konsumen sebelumnya. Studi yang dilakukan Sugandini (2007) tentang adopsi
produk elpiji, konsumen kelompok miskin target konversi energi, beranggapan
bahwa kompor elpiji hanya pantas digunakan oleh orang-orang kaya yang
mempunyai uang banyak, mempunyai dapur untuk memasak yang bersih dan
mempunyai ruang khusus untuk menempatkan peralatan dan perlengkapan
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 139
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
kompor gas elpiji. Sehingga, pada saat akan mengadopsi produk elpiji,
konsumen miskin ini memilih untuk resisten terhadap adopsi elpiji, karena
keyakinan dia mengatakan bahwa dia bukan golongan orang-orang yang pantas
menggunakan produk kompor elpiji.
Untuk memperkuat pemahaman resistensi inovasi, Gatignon dan Robertson
(1989) dan Szmigin &Foxall (1998) telah mempelajari perbedaan tipe
penolakan inovasi. Terdapat tiga tipe resistensi inovasi, yaitu rejection,
postponement dan opposition. Batas-batas ketiganya sangat kabur. Sehingga
pengujian innovation resistance mempunyai arti yang sama dengan pengujian
adoption innovation, karena keduanya menunjukkan hasil difusi inovasi.
Rejection terjadi ketika seorang individu memproses informasi tentang inovasi
dan memutuskan bahwa mereka tidak akan menggunakan inovasi tersebut,
sehingga individu ini dapat digolongkan menjadi seorang active rejctor untuk
sebuah inovasi. Postponement terjadi ketika seorang individu memutuskan
untuk menunda adopsi inovasi. Seorang postponer masuk ke dalam golongan
non-adopter. Individu ini ada dalam kondisi aktif, menunggu waktu yang
dianggapnya tepat untuk mengadopsi inovasi. Opposition terjadi ketika adopter
potensial secara aktual melakukan pengujian inovasi, dan pada akhirnya
menolak inovasi tersebut.
Untuk mendukung pendapatnya, Szmigin et al. (1998), menguji adopsi
inovasi dengan seting metode pembayaran, seperti credit card, debit card, dan
store card dalam transaksi pembelian. Hasilnya menunjukkan bahwa resistensi
terjadi karena adanya pengaruh faktor situasional dan psikologi. Meskipun
faktor situasional dan psikologi mempunyai banyak kategori, namun keduanya
dapat digunakan sebagai arahan ketika kita mencoba mencari akar penyebab
penolakan inovasi. Satu tantangan yang dihadapi dalam mengidentifikasi
penolakan/penundaan inovasi adalah karena penolakan tidak selalu dapat
dilihat. Sehingga penggolongan perbedaan tipe penolakan inovasi bisa
membantu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, apalagi ketika
fenomena penolakannya adalah multi-faceted.
Joseph (2005), yang menyatakan bahwa sebuah inovasi akan berhadapan
dengan penolakan yang tinggi jika inovasi tersebut mengganggu pola perilaku
normal yang dialami oleh individu. Dukungan diperoleh dari Rogers (1995),
yang menyatakan bahwa inovasi secara umum akan memaksa seorang
konsumen untuk berubah, dan biasanya konsumen yang dihadapkan dengan
inovasi akan menolak untuk berubah. Ketika sebuah inovasi ditolak, maka
inovasi dihadapkan pada kondisi menunda.
2. Hipotesis
a. Persepsi karakteristik inovasi dan sikap terhadap penundaan.
Tornatzky dan Keein (1982) dalam Moore dan Banbasat (1991)
mengidentifikasikan karakteristik yang berbeda dari Rogers. Hasil meta analisis
yang dilakukannya pada 100 jurnal diffusion of innovation menemukan adanya
sepuluh karakteristik yang sering digunakan dalam penelitian adopsi inovasi.
Karakteristik itu terdiri dari lima karakteristik teori diffusion of innovation
Rogers (1995) yaitu, competitive advantage, compatibility, complecity,
trialability, observability . Masing-masing aspek ini dijadikan sebagai patokan
dalam menerima atau menolak produk inovatif karena dianggap sudah mampu
mewakili semua aspek kemampuan konsumen dalam menerima produk inovatif.
Karakteristik inovasi yang dipersepsikan ini memiliki peran penting dalam
tahap persuasi, karena pada tahap persuasi seorang individu atau unit pengambil
keputusan lainnya membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai suatu
inovasi dan berusaha untuk mengurangi ketidak pastian serta risiko inovasi
tersebut dengan cara mencari informasi yang terkait. Namun, hanya
kompleksitas yang mempengaruhi adopsi inovasi secara negatif karena semakin
kompleks suatu inovasi maka semakin kecil kemungkinan untuk diadopsi.
H1: Persepsi Karakteristik inovasi berhubungan dengan sikap menunda
adopsi produk elpiji
H1.a: Keunggulan Relatif berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG
H1.b: Compatibility berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG
H1.c: Complexityberpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG
H1.d: Trialibilty berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG
H1.e: Observabilty berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG
Perceived risk menurut Allen (1993) dan Mitchen (1993) didefinisikan sebagai
persepsi konsumen mengenai ketidak pastian dan konsekuensi-konsekuensi
negatif yang mungkin diterima atas pembelian suatu produk/jasa. Definisi ini
mirip dengan definisi dari Steve dan Gronhoug (1993), yang mendefinisikan
persepsi risiko sebagai keyakinan subyektif individu atas beberapa probabilitas
suatu hal yang tidak diinginkan dari suatu keputusan pembelian.
Dari sudut pandang perspektif resistensi adopsi inovasi, atribut baru yang ada
pada inovasi produk baru seperti kerumitan teknologi, harga mahal dan semua
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 143
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
yang terlihat baru dengan sisi yang tidak dapat diprediksi oleh konsumen bisa
menciptakan gangguan pada rutinitas konsumen yang ada (Ram dan Sheth,
1989; Sheth, 1981; Waddell dan Cowan, 2003). Hal ini bisa menimbulkan
konflik dengan keyakinan konsumen sebelumnya dan berdampak pada
penolakan adopsi. Pernyataan ini didukung oleh Mitchell et al.(1999); Zinkhan
dan Karande (1991), dengan menunjukkan bahwa ketika konsumen menemui
risiko produk baru, konsumen akan berhadapan dengan dilema konsekuensi
yang diinginkan atau tidak diinginkan atas adopsi dan keputusannya yang
seringkali berisiko. Forsythe dan Shi (2003); Weber dan Hsee (1998),
menyimpulakan bahwa risiko yang dipersepsikan merupakan fungsi dari
unexpected results dari adopsi dan outcome yang menyimpang dari harapan.
Meskipun studi yang dilakukan Conchar et al. (2004) menyatakan bahwa risiko
yang dipersepsikan bisa berpengaruh negatif terhadap adopsi produk baru, studi
lain yang dilakukan oleh Mitchell and Harris (2005); DelVecchio dan Smith
(2005) menyatakan bahwa efek negative ini belum jelas terbukti . Ketika
diprediksi bahwa adopsi aktual merupakan fungsi consumer innovativeness,
risiko yang dipersepsikan tidak cukup kuat mempengaruhi adopsi aktual.
Persepsi risiko hanya terkait dengan pencarian informasi untuk memastikan dan
mengurangi tingkat risiko atau untuk mengelola risiko yang dipersepsikan
(Manning et al., 1995).
Hipotesis 4: Persepsi risiko berhubungan dengan sikap penundaan adopsi
inovasi produk elpiji
E. Model Penelitian
Studi ini menguji beberapa faktor yang menyebabkan konsumen
mempunyai sikap menunda keputusan terkait dengan adopsi produk inovatif
yaitu elpiji. Aspek-aspek yang dibahas secara rinci dijelaskan oleh (1) persepsi
konsumen mengenai tingkat karakteristik inovasi (2) pengetahuan konsumen (3)
persepsi informasi komunikasi pemasaran integratif; (4) risiko yang
dipersepsikan (5) stockout yang merupakan aspek situasional sebagai konsep
yang langsung menjelaskan pembuatan keputusan adopsi produk.
Model teoretis yang diajukan dalam studi ini adalah sebagai berikut:
Trialabili
Pengetahu
an produk Stocko
Observabi
Niat Keputusa
complexit Sikap n
menun
menun
compatibil
Risiko
Persepsi yang
Informasi
Relative komunikasi
Advantage
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Studi ini menerapkan pendekatan deduktif karena memfokuskan pada
pengembangan hipotesis yang didasarkan pada suatu teori. Penelitian ini
menggunakan survei karena memperhatikan sejumlah faktor yang menjelaskan
keberadaan fenomena yang diteliti (Lutz, 1991; Simonson, Carmon, Dhar,
Drolet, & Nowlis, 2001). Data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh melalui observasi langsung, wawancara personal secara mendalam
dan pengisian kuesioner. Observasi langsung digunakan untuk mengidentifikasi
perilaku dan lingkungan fisik masyarakat yang menjadi sasaran konversi energi.
Observasi langsung memiliki kelebihan dalam menangkap fenomena yang tidak
terungkap melalui wawancara dan pengisian kuesioner.
Wawancara personal secara mendalam digunakan untuk mengeksplorasi
tingkat pengetahuan, opini, dan sikap masyarakat terhadap penundaan adopsi
elpiji. Pengetahuan, opini, dan sikap tidak mudah untuk diidentifikasi melalui
observasi langsung. Kuesioner digunakan untuk memperoleh data yang bersifat
umum dan yang telah dijelaskan oleh teori.
d. Kerumitan (Complexity)
Kerumitan adalah derajat sebuah inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit
untuk dipahami dan digunakan (Ram, 1987; Slyke, Loy dan Day, 2002).
Konsep ini menunjukkan bahwa, tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika
konsumen merasakan adanya kemudahan penggunaan produk yang ditawarkan
oleh produk inovatif (Marshall, Rainer dan Morris, 2003). Instrumen untuk
mengukur kompleksitas inovasi diadopsi dari Adams; Nelson dan Todd (1992),
Marshal et al., 2003; dan Schlindwein dan Ison, 2004. Instrumen tersebut adalah
Easy to use, Easy to Learn, Clear and Understandable, Easy to Become Skillful,
Easy to Use, Controllable, dan Flexible. Rentang pilihan jawaban berkisar dari
1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).
e. Ketercobaan (Trialibility)
Konsep ini menunjukkan bahwa, tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika
konsumen merasakan adanya kemudahan untuk mencoba lebih dulu produk
inovatif yang ditawarkan (Reiss dan Wacker, 2000). Instrumen untuk mengukur
ketercobaan diadopsi dari Szmigin dan Bourne (1999); Gahtani, (2003).
Istrumen tersebut adalah being able to try out a new product dan to find out how
it works under one’s own condition. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1
(sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).
f. Keterlihatan (Observability)
Menurut Chauduri (1985), keterlihatan adalah kemampuan untuk diamati atau
derajat suatu hasil inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Konsep ini
menunjukkan bahwa tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika konsumen
merasakan adanya kemudahan untuk melihat benefit atau atribut produk
inovatif yang ditawarkan (Rogers, 1995; Karahanna, Straub dan Chervany,
1999). Instrumen untuk mengukur keterlihatan diadopsi dari Gahtani, 2003,
yang terdiri atas Easily observed and communicated to others dan The other
person models how the innovation works as well as the benefits of use. Rentang
pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).
g. Pengetahuan konsumen
Antil (1988) berpendapat bahwa pengetahuan konsumen meliputi tiga tahapan.
Pertama, konsumen mengetahui keberadaan produk inovasi yang diluncurkan
oleh pemasar atau perusahaan. Kedua, konsumen memahami cara kerja produk
inovasi. Ketiga, konsumen mengetahui manfaat yang nyata mengenai
ukur dan teori. Validitas konstruk pada dasarnya terdiri atas dua macam
pengujian, yaitu validitas konverjen dan diskriminan. Validitas konverjen
menunjukkan nilai yang didapat dari butir-butir pertanyaan yang mengukur
konsep sama memiliki korelasi tinggi; sedangkan validitas diskriminan
menunjukkan nilai-nilai yang didapat dari butir-butir yang mengukur konstruk
berbeda tidak saling berkorelasi. Konstruk-konstruk dalam studi ini diukur
dengan satu metode. Pengukuran validitas konverjen dilakukan dengan melihat
semua loading dari sebuah konstruk laten terhadap indikator-indikator yang
berkorespondensi memiliki nilai statistik t>2 (Purwanto, 2002). Pengukuran
validitas diskriminan dilakukan dengan melihat nilai korelasi rendah antar
konstruk (Nunnally, 1978).
b. Uji Reliabilitas
Tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian reliabilitas. Pengujian ini
bertujuan untuk menguji konsistensi indikator-indikator yang digunakan dalam
penelitian. Indikator-indikator untuk semua variabel menunjukkan pengujian
yang konsisten. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien Cronbach’s alpha yang
memiliki koefisien ≥ 0,7. Individu sebagai responden dalam penelitian ini harus
memiliki konsistensi yang baik dalam memberikan jawaban pada masing-
masing butir pertanyaan. Karena indikator multidimensi, maka uji validitas dari
setiap latent variabel/ construct akan diuji dengan melihat loading faktor dari
hubungan antara setiap observed variable dan latent variable.
Konstruk reliablity akan diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
(Σstd. Loading)2
(Σstd. Loading)2 + Σεj
Standardized factor Loading diperoleh langsung dari standarized loading untuk
tiap-tiap indikator , dan εj adalah measurement error dari tiap indikator. Nilai
batas yang digunakan untuk menilai sebuah tingkat reliabilitas yang dapat
diterima adalah 0.70, walaupun angka itu bukanlah sebuah ukuran yang “mati”.
Artinya bila penelitianyang dilakukan besifat eksploratori maka nilai yang
dibawah 0.70 pun masih dapat diterima sepanjang disertai dengan alasan-alasan
empiris yang terlihat dalam proses eksplorasi.
Ukuran reliabilitas yang kedua adalah variance extracted, yang menunjukkan
jumlah varians yang dari indikator-indikator yang diekstraksi oleh konstruk
laten yang dikembangkan. Nilai variance extracted yang tinggi mewakili secara
baik konstruk laten yang telah dikembangkan. Nilai variance extracted ini
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 153
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
hanya sebanyak 280. Dua puluh diantarnya tidak mengisi secara lengkap atau
tidak sesuai dengan karakteristik responden yang ditetapkan..
2. Evaluasi terhadap model dengan SEM.
Hasil pengujian dengan model persamaan struktural (structural equation
model) dengan program AMOS dapat dilihat pada Gambar 2.
Relative
Advantage
Pengetahu
-.782 Stockout
an produk
Compatibility
.0 -
-
.3 Niat Perilaku
Complexity .5 Sikap
menunda menunda
menund
.621
-
1 11 - .455
Trialability
1.0 Persepsi
Informasi Risiko yang
Observabilit
dipersepsikan
Evaluasi terhadap hasil pengujian model tersebut dapat dilihat dalam tabel 2.
Hasil evaluasi terhadap model yang diajukan ternyata dari seluruh kriteria yang
digunakan sebagian besar menunjukkan adanya hasil yang baik, berarti model
baik dan sesuai dengan data.
Tabel 2
Evaluasi Kriteria Goodness of Fit Indices
Kriteria Hasil Nilai Kritis *) Evaluasi Model
Cmin/DF 3.565 ≤2,00 (ditoleransi sampai 5) Baik
Probability 0,000 ≥0,05 Kurang Baik
RMSEA 0,086 ≤0,08 Baik
GFI 0,963 ≥0,90 Baik
TLI 0,814 ≥0,95 kurang Baik
CFI 0,946 ≥0,94 Baik
Sumber: Data primer yang diolah, *) Hair (1992), Arbuckle (1997), Muller
(1996)
3. Implikasi teoritikal
Meskipun penelitian ini banyak keterbatasannya, namun hasil penelitian
ini dapat memberikan kontribusi dalam menambah pengetahuan yang telah ada
tentang keputusan penundaan adopsi terutama dalam seting konversi energy.
Secara khusus studi ini menunjukkan arti penting pengaruh pengetahuan
produk, persepsi informasi, relative advantage, complexity, sikap dan niat
menunda terhadap penundaan adopsi inovasi kompor LPG hasil konversi yang
ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Implikasi teoritikal yang dapat
disampaikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Pengaruh pengetahuan produk terhadap Sikap Menunda.
Pengaruh pengetahuan produk terhadap penundaan konsumsi adalah
negative. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingkat pengetahuan masyarakat
terhadap LPG rendah maka penundaan adopsinya akan meningkat. Dari survey
responden ditemukan bahwa pengetahuan masyarakat miskin terhadap LPG
yang dianggap produk inovatif masih rendah, sehingga sikap dia terhadap
adopsi juga rendah, dan pada akhirnya sikap menunda adopsi LPG menjadi
negative. Hal ini didukung oleh Roger yang menyatakan bahwa pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behavior). Semakin tinggi tingkat pengetahuan
seseorang atas suatu inovasi, semakin positif sikap dia terhadap inovasi.
Sebaliknya jika pengetahuan seseorang terhadap inovasi rendah maka sikap dia
terhadap inovasi juga akan negatif.
1. Pengaruh Persepsi informasi komunikasi pemasaran integrative
Terhadap Sikap Menunda.
Pengaruh Persepsi informasi komunikasi pemasaran integrative terhadap
penundaan konsumsi adalah negative. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
miskin mempersepsikan informasi pemasaran integrative terhadap produk LPG
yang rendah sehingga sikap menunda adopsi LPG akan meningkat. Temuan ini
konsisten dengan Anderson (1971, 1980 dalam Dharmmesta, 1998) yang
menyatakan bahwa pengolahan informasi sangat berkaitan dengan sikap
konsumen. Sebagai suatu pendekatan umum, ide di belakang pengolahan
informasi menekankan pada kompleksitas tentang bagaimana, orang
mendapatkan pengetahuan, dan bagaimana mereka membentuk dan merubah
sikap mereka. Menurut teori integrasi informasi yang dikemukakan oleh
sebagian besar sikap konsumen itu terbentuk dalam kaitannya dengan respon
pada informasi yang mereka terima tentang obyek sikap. Selanjutnya dikatakan,
bagaimana konsumen menerima dan mengkombinasikan informasi ini telah
menjadi dasar struktur sikap
2. Pengaruh keunggulan Relatif terhadap Sikap Menunda.
Pengaruh keunggulan relatif terhadap penundaan konsumsi adalah
negative. Hal ini menunjukkan bahwa semakin masyarakat miskin
mempersepsikan bahwa LPG tidak lebih baik dari bahan bakar sebelumnya
(minyak tanah) maka sikap dia terhadap adopsi juga akan negative dan ini akan
berdampak pada meningkatnya sikap untuk menunda adopsi LPG. Dari survey
responden ditemukan bahwa persepsi masyarakat miskin dari sisi keunggulan
relatif LPG dibandingkan minyak tanah yang dianggap produk inovatif masih
rendah, sehingga sikap dia terhadap adopsi juga rendah, dan pada akhirnya
sikap menunda adopsi LPG menjadi meningkat. Hal ini didukung oleh pendapat
Davis, 1989 yang menyatakan bahwa ketika konsumen mengetahui adanya
manfaat baik dilihat dari sisi finansial dan ekonomis, konsumen akan memiliki
memiliki sikap afektif pada produk inovatif, yaitu rasa suka terhadap produk.
Ram juga menemukan bahwa semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh
pengadopsi, semakin disukai inovasi tersebut. Konsep ini menunjukkan bahwa
tingkat senang tidaknya adopsi produk inovatif ditentukan oleh persepsi
konsumen tentang adanya keuntungan atau manfaat yang ditawarkan oleh
produk inovatif.
3. Pengaruh Complexity terhadap Sikap Menunda.
Pengaruh persepsi kompleksitas produk LPG terhadap sikap menunda
adalah positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rumit penggunaan produk
LPG yang dipersepsikan oleh masyarakat miskin, semakin negatif pula sikap
masyarakat terhadap LPG dan sikap untuk menunda adopsi LPG semakin
tinggi. Marshall, Rainer & Morris, 2003 menunjukkan bahwa, tingkat adopsi
produk inovatif akan tinggi jika konsumen merasakan adanya kemudahan
penggunaan produk yang ditawarkan oleh produk inovatif. Ketika konsumen
mengetahui adanya penggunaan produk elpiji dan tidak memakan banyak waktu
untuk mempelajarinya, konsumen akan menyukai produk elpiji. Jika konsumen
merasakan produk elpiji memberi manfaat lebih besar daripada minyak tanah,
maka konsumen akan menyukai produk elpiji. Begitu sebaliknya, jika
konsumen merasakan produk elpiji menyulitkan dalam penggunaannya, maka
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 159
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
konsumen akan memiliki sikap negatif atau tidak menyukai produk elpiji.
Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit
untuk dipahami dan digunakan (Ram, 1987; Slyke, Loy & Day, 2002). Temuan
penelitian ini juga sejalan dengan Liang, 1987 yang menunjukkan bahwa
beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan
digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah
dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi
dapat diadopsi. Kompleksitas inovasi meliputi kompleksitas ide, terkait dengan
kemudahan untuk dipahami, and kompleksitas dalam pelaksanaan, terkait
dengan kemudahan untuk diimplementasikan.
4. Pengaruh Sikap Menunda terhadap niat menunda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap menunda berpengaruh
positif terhadap niat menunda. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kuat sikap
menunda adopsi LPG dari masyarakat miskin, semakin kuat juga niat untuk
menunda adopsi LPG. Hal ini ditunjukkan oleh teori sikap menyatakan bahwa
seseorang yang memiliki sikap positif kearah perilaku akan lebih suka
menunjukkan perilakunya. Sikap akan berdampak pada proses pencarian
informasi, pembentukan niat dan tindakan. Dalam literatur inovasi, sikap akan
meningkatkan perhatian pada obyek inovasi. Sikap merupakan salah satu faktor
internal yang cukup kuat pengaruhnya terhadap perilaku. Pada umumnya sikap
dengan perilaku akan selaras, meskipun dibutuhkan faktor psikologis lainnya
yang menjembatani yaitu minat/niat perilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975).
Komponen perilaku merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu
sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh subyek. Studi empiris yang dilakukan
oleh Winter et al., 1998 tentang sikap seseorang terhadap komputer,
menemukan bahwa sikap dapat memprediksi perilaku untuk menggunakan
komputer. Perwujudan dari komponen ini dapat bersifat verbal yaitu apa yang
diucapkan atau dinyatakan dapat pula bersiat non verbal yaitu yang
diekspresikan atau dilakukan oleh individu terhadap obyeknya. Dengan
memahami fungsi sikap berarti memahami bagaimana sikap tersebut
mempengaruhi individu. Temuan ini juga didukung oleh Nelson (1990) dalam
studi inovasinya menempatkan sikap sebagai variabel individual yang
berhubungan dengan niat untuk berperlaku. Dalam hubungan sikap ke niat
berperilaku, Davis et al., 1989 menyatakan bahwa sikap positif seseorang akan
mendorong niat yang positif kearah perilaku inovasi. Argumentasi ini sejalan
dengan kerangka riset lain dalam teori perilaku seperti yang dikemukakan oleh
Bagozzi, 1981. Lebih khusus lagi, hubungan sikap-niat-perilaku akan lebih kuat
jika seseorang bebas untuk melakukan tindakan (free to act).
5. Pengaruh niat menunda terhadap perilaku menunda.
Pengaruh niat menunda terhadap perilaku atau keputusan menunda dalam
penelitian ini adalah positif signifikan. Artinya bahwa semakin seseorang dalam
hal ini adalah masyarakat miskin mempunyai niat untuk menunda maka
perilaku dia kea rah penundaan adopsi LPG juga akan meningkat. Niat
merupakan variabel antara yang menyebabkan terjadinya perilaku dari suatu
sikap maupun variabel lainnya (Dharmmesta, 1998). Beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada variabel niat, pertama bahwa niat dianggap sebagai perantara
faktor motivasional yang mempunyai dampak pada suatu perilaku. Kedua, niat
menunjukkan seberapa keras seseorang berani mencoba. Ketiga, niat
menunjukkan sejumlah upaya yang direncanakan seseorang untuk dilakukan.
Keempat, niat merupakan suatu kondisi yang paling dekat berhubungan dengan
perilaku tersebut. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Wicker,
dalam Baron & Byme, 1991; Brannon et. al., 1973 dan DeFleur & Westie, 1958
dalam Allen, Guy, dan Edgley, 1980 yang menunjukkan adanya indikasi
hubungan yang kuat antara niat dan perilaku dan sebagian menunjukkan
lemahnya hubungan antara niat dengan perilaku.
Menurut teori sikap (Schiffman & Kanuk, 2004), sikap positif konsumen
terhadap sesuatu akan diikuti oleh perilaku yang positif pula. Hal ini
menunjukkan bahwa ketika konsumen memiliki keyakinan positif mengenai
konsekuensi pilihan sesuatu, akan memutuskan untuk berperilaku sesuai dengan
keyakinan. Perilaku seseorang itu mencerminkan sikapnya terhadap sesuatu
obyek. Jika seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu obyek,
maka dia akan berperilaku mendukung berlakunya/terjadinya obyek tersebut;
sebaliknya jika sikapnya negatif, maka dia akan selalu mencoba menghalangi
atau, paling tidak mengabaikan, berlakunya/terjadinya obyek tersebut. Daniel
Katz (dalam Assael, 1987) mengemukakan fungsi kegunaan (The Utilitarian
Function) dari sikap bisa mengarahkan seseorang kepada pemenuhan kebutuhan
yang diinginkannya. Misalnya, konsumen yang mempertimbangkan aspek
kemudahan dalam penggunaan bahan bakar, maka sikapnya akan mengarah
kepada bahan bakar yang diyakininya dapat memenuhi kebutuhannya akan
kemudahan dalam penggunaan. Demikian pula sebaliknya, sikap konsumen
2. Saran
Berbagai temuan dalam studi mengindikasikan adanya perbedaan persepsi
antara pemerintah dan masyarakat miskin yang relevan dengan pengembangan
komunikasi adopsi konversi minyak tanah ke LPG. Perbedaan persepsi tersebut
akan berpotensi menjadi kendala adopsi dan difusi konversi minyak tanah ke
LPG, sehingga perlu untuk diperhatikan dalam program komunikasi dalam
rangka melakukan edukasi masyarakat agar informasi yang akan disampaikan
dapat diterima secara utuh oleh masyarakat target konversi.
Salah satu perbedaan persepsi tersebut adalah sumber informasi konversi
minyak tanah. Pemerintah menggunakan media televisi dalam format iklan
layanan masyarakat untuk mengenalkan konversi minyak tanah dengan
keyakinan bahwa format dan sumber informasi tersebut kredibel sehingga dapat
menumbuhkan sikap positif terhadap konversi minyak tanah. Namun demikian,
bagi masyarakat format iklan hanyalah merupakan keinginan produsen untuk
melakukan demo penggunaan peroduk guna mendorong terjadinya penjualan.
Bagi masyarakat miskin, berita televisi merupakan sumber informasi yang
diyakini kebenaranya, karena dinilai lebih independen dan objektif. Selain itu,
sinetron juga merupakan salah satu format acara yang digemari khususnya
kaum ibu. Dengan demikian, dimungkinkan penyampaian informasi melalui
media televisi tersebut dilakukan melalui kedua format acara tersebut. Sumber
informasi yang juga memiliki kredibilitas baik terutama di wilayah perdesaan
adalah aparat pemerintah. Selama ini, fungsi aparat pemerintah pada level yang
terendah yaitu tingkat kelurahan untuk menyampaikan informasi konversi
belum dimanfaatkan secara maksimal baru terbatas pada pendataan keluarga
miskin yang berhak mendapatkan bantuan perangkat kompor gas. Aparat
pemerintah pada level tersebut tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk
dapat menjawab berbagai pertanyaan maupun kegelisahan masyarakat yang
berkembang seputar dengan konversi minyak tanah. Aparat pemerintah pada
tingkat kelurahan maupun dusun perlu dilibatkan dalam kegiatan konversi ini
terutama di daerah pedesaan, mengingat tingkat kepercayaan dan ’kepatuhan’
masyarakat cukup tinggi.
Pengetahuan masyarakat miskin tentang LPG juga perlu diperhatikan,
karena penundaan terbesar adalah dari faktor pengetahuan yang rendah akan
produk LPG. Pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi dan pemberian
informasi yang lebih banyak tentang keunggulan LPG dari minyak tanah dan
tentang risiko penggunaan LPG. Yang harus diingat oleh pemerintah bahwa
masyarakat miskin ini sebagian besar adalah berpendidikan rendah. Sehingga,
masyarakat miskin akan bisa merubah persepsi mereka tentang keburukan-
keburukan LPG dan menjadikan LPG bisa dengan mudah diadopsi oleh
kalangan miskin.
Dari sisi metodenya, penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu yang
diamati adalah kelompok yang menunda adopsi LPG saja. Untuk riset
berikutnya diharapkan seting penelitiannya bukan hanya pada masyarakat
miskin yang menunda adopsi LPG tetapi pada masyarakat miskin yang sudah
mau mengadopsi. Sehingga diharapkan ada komparasi hasil dari keduanya.
Secara teoritis, diharapkan bahwa ada penelitian lanjutan tentang penundaan
adopsi dengan seting yang lain untuk mengeneralisasi model penelitian ini dan
variabel-variabel yang mempengaruhi perilaku penundaan adopsi.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, D. A., Nelson, R.R, and Todd, P.A (1992), “Perceived Usefulness, Ease
Of Use, and Usage Of Information Technology: A Replication,” MIS
Quarterly (16:2), pp. 227-247
Allen, F (1993), “Dimensional Diagnosis Of Personality, Not Wheter, But
When And Which,” Psycological Inquiry, Vol 4.p 110
Anderson, J.C and Gerbing, D.W (1982) “Some Methods For Respecifying
Measurement Models To Obtain Unidimensional Construct Measurement,”
Journal of Marketing Research, 19: pp. 453-460.
Antil, J.H (1988), “New Product Or Services Adoption: When Does It Happen,”
Journal of Consumer Marketing, 5: 5-17.
Arbucle, J.L (1997), “ Amos User’s Guide Version 4.1,” Chicago, Smallwaters
Corporation.
Assael, H (1998), Consumer Behavior and Marketing Action. 6th Edition. Ohio:
South-Western College Publishing
Azjen, I and Fishben M (1980), “Understanding attitudes and predicting social
behavior,” Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall
Azjen, I (1985), “ From Intentions To Actions: A Theory Of Planned
Behavior,” In Action Control: From Cognition To Behavior. J, Kuhl and J.
Beckmann (eds). Springers Verlag, New York. Pp 11-39
Azjen, I (1988), “Attitudes, Personality, and Behavior,” Dorsey Press, Chicago,
IL, 1988.
Davis, F.D (1989), “Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, and User
Acceptance of Information Technology,” MIS Quartely, 13. 319-339
Davis, F.D., Bagozzi. R.P and Warshaw. P.R (1989), “User Acceptance of
Computer Technology: A Comparison of Two Theoretical Models.
Management Science. (35). 982-1002.
Dholakia, U. M (2001), “A Motivational Process Model of Produk Involvement
and Consumer Risk Perception,” European Journal of Marketing, Vol 35.
No. 11/12, pp 1340-1360.
Dowling, G. R (1986), “Perceived Risk: The Concept and Its Measurement,”
Psychology and Marketing, 3, 193-210.
Dowling. G. R and Staelin, R (1994), “A Model of Perceived Risk and Intended
Risk-Handling Activity,” Journal of Consumer Research, 21, 119-135.
Dupagne, M (1999), “Exploring the Characterictics of Potential High-Definition
Television Adopters. The Journal of Media Economics, 12 (1), 35-50.
Fitzsimons, G.J (2000), “Consumer Response To Stockouts,” Journal of
Consumer Research, 27:249-266.
Gahtani, A.S (2003), ”Computer Technology Adoption in Saudi Arabia:
Correlates of Perceived Innovation Attributes,” Information Technology for
Development. 10 (2003) 57–69 57
Gatignon, H and Robertson, T.S (1985), “A Proportional Inventory for New
Diffusion Research,” Journal of Consumer Research, 11: 849-867.
Hair, Jr., Anderson, R.E., Tatham, R.L and Black, W.C (1998), “Multivariate
Data Analysis,” New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.
Holness, D.A (2004), “The Discontinuance of Innovations in Pharmaceutical
Labeling”, Dissertation, Huizenga Graduate School of Business and
Enterpreneurship, Nova Southeastern University.
Jacoby, J and Kaplan, L.B (1972), “The Components of Perceived Risk,” In
Venkatesan, M (ed). Proceeding of the Third Annual Conference of the
Association for Consumer Research. pp. 382-393. College Park, MD:
Association for Consumer Research.
Janes, P. L; Collison, Jim (2004), “Community Leader Perceptions of the Social
and Economic Impacts of Indian Gaming,” Gaming Research and Review
Journal, 2004, Vol. 8 Issue 1, p13-30
Joseph, R. C. (2005) An Examination of Non Adoption and Decision Inertia A
Web Based Perspective, Dissertation, The City University of NewYork.
Kaharanna, E., Starub, D.W and Chervany, N.L (1999), “Information
Technology Adoption Across Time: A Cross-Sectional Comparison of Pre-
Adoption and Post-Adoption Beliefs,” MIS Quaterly, (23:2), pp. 183-213.
Katz, E (1961), “The Social Itinerary of Technical Change: Two Studies on The
Diffusion of Innovation,” Human Organization, Vol 20, 1961, pp. 70-82.
Abstrak
Saat ini konsep pemasaran sosial semakin popular, seiring dengan
meningkatnya tuntutan konsumen agar kegiatan perusahaan juga berdampak
positif bagi lingkungannya. Salah satu isu krusial saat ini adalah terjadinya
pemanasan global, dengan dampak jangka panjang yang sangat merugikan
kehidupan manusia. Salah satu kegiatan perusahaan dalam emmenuhi tanggung
jawab sosialnya adalah lewat kegiatan cause related marketing; kegiatan
pemasaran tersebut pada dasarnya mendonasikan sejumlah persentase tertentu
dari penjualan produk untuk kegiatan sosial. Bentuk popular dari kegiatan cause
related marketing adalah cause brand alliances, yakni kegiatan aliansi
perusahaan dengan sebuah kegiatan sosial untuk memasarkan produk tertentu.
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi pada pengembangan teori
macromarketing, khususnya pada pemodelan perilaku konsumen atas produk-
produk yang terkait dengan kegiatan cause brand alliances. Secara praktis, hasil
riset dapat digunakan oleh pengambil kebijakan atau organisasi yang kompeten
di bidang lingkungan; dengan mengetahui proses evaluasi konsumen atas merk
yang mempunyai kepedulian pada kegiatan sosial, khususnya pelestarian
lingkungan, untuk mengambil kebijakan yang mampu menggiatkan kampanye
pelestarian lingkungan dan pengurangan pemanasan global.
Sebuah model riset dikembangkan dengan memasukkan variabel sikap
konsumen terhadap sebuah merk komersial, sikap konsumen terhadap sebuah
organisasi yang bergerak pada bidang social, kesesuaian kategori produk dengan
kegiatan social (product category fit), kesesuaian merk dengan nama kegiatan
social (brand fit), sikap konsumen terhadap aliansi merk yang terjadi, serta niat
beli konsumen pada merk aliansi tersebut. Sejumlah alat pengukuran
dikembangkan untuk pengujian model riset tersebut.
∗
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor FEB program studi manajemen UGM dan
staf pengajar Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 170
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
1. PENDAHULUAN
Seiring dengan berkembangnya kepedulian akan pentingnya pencegahan
pemanasan global, upaya pelestarian lingkungan serta tuntutan masyarakat akan
peran perusahaan dalam menangani masalah-masalah sosial, bidang ilmu
pemasaran yang semula mengutamakan kepuasan konsumen dan akumulasi
laba, menjadi bergeser kepada upaya kegiatan pemasaran yang memberi
dampak positif kepada masyarakat di sekelilingnya. Kotler dan Keller (2007)
mengemukakan istilah societal marketing concept, yang menekankan tugas
perusahaan tidak hanya memuaskan keinginan pasar sasaran dengan lebih
efisien dibanding kompetitor, namun juga memberi kontribusi positif bagi
kehidupan sosial kemasyarakatan dalam jangka panjang. Menghadapi berbagai
tantangan di bidang lingkungan saat ini, kemampuan untuk memelihara dan
mempertahankan kehidupan yang layak secara berkelanjutan menjadi
kepedulian banyak perusahaan dewasa ini. Konsep pemasaran sosial mendorong
para pemasar untuk mempertimbangkan isu sosial serta etika dalam kegiatan
pemasaran mereka, dengan menyeimbangkan perolehan laba, kepuasan
konsumen dan kepentingan publik.
Salah satu isu krusial saat ini adalah terjadinya pemanasan global, yakni
proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi, yang
berdampak luas, mulai dari fenomena cuaca yang ekstrim di berbagai tempat,
kerusakan lingkungan dan ekosistem, timbulnya penyakit serta bencana alam.
Salah satu sebab pemanasan global adalah terjadinya deforestation. Dengan luas
wilayah hutan tropis terbesar ketiga di dunia, deforestation di Indonesia tentu
berdampak luas. Salah satu adalah terjadinya badai El Nino pada tahun 1987,
1991, 1994, dan 1997/1998 dengan dampak kebakaran hutan telah
menyebabkan kerugian US$ 8 miliar. Data Badan Planologi tahun 2004
menyebutkan kerusakan hutan di kawasan hutan produksi mencapai 44,42 juta
hektar, di kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta hektar, dan di kawasan
hutan konservasi mencapai 4,69 juta hektar. Dengan laju kerusakan hutan
Indonesia rata-rata 1,18 juta hektar per tahun, yang sebagian disebabkan praktek
illegal logging, menempatkan Indonesia sebagai negara paling masif dalam laju
kerusakan hutan (sumber http://indonesiancommunity.multiply.com, diakses
Juni 2009).
Upaya yang dilakukan oleh perusahaan dalam keikut-sertaan mencegah
gradasi lingkungan dapat berupa pengubahan perilaku masyarakat, baik dalam
motivasi pelaku, tingkat komitmen pelaku dan resiko yang dihadapi baik oleh
pelaku bisnis maupun pelaku sosial. Dalam tipologi itu disebutkan beberapa
jenis aliansi. Pertama dan yang paling sederhana adalah corporate philanthropy,
yang lebih mengutamakan dukungan pada kegiatan sosial dan (perusahaan)
mempunyai komitmen paling rendah. Jenis aliansi lainnya yang mempunyai
komitmen menengah serta motivasi bervariasi adalah kegiatan corporate
foundation, licencing agreements dan sponsorships. Sedangkan cause-related
marketing disebut sebagai aliansi berjenis transaction-based promotions; CRM
mempunyai ciri kekuatan perusahaan lebih dominan dibandingkan kekuatan
dari organisasi sosial yang berkolaborasi, tingkat kepentingan perusahaan lebih
dominan dibandingkan kepentingan organisasi sosial, motivasi perusahaan lebih
pada membina hubungan dengan pasar sasaran dan meningkatkan publisitas
yang positif, sedangkan motivasi organisasi sosial lebih pada upaya
mendapatkan dana dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberadaan
dan tujuan organisasi tersebut.
5. TUJUAN PENELITIAN
1) Menjelaskan proses pembentukan sikap terhadap merk hasil aliansi dengan
melihat hubungannya dengan sikap terhadap sebuah merk individu (Attitude
towards brand), sikap terhadap sebuah kegiatan sosial (cause), kecocokan
kategori produk dan kegiatan sosial (category fit), kecocokan dua merk
(brand fit) dalam sebuah aliansi antara sebuah merk dengan sebuah kegiatan
sosial.
2) Menjelaskan proses pembentukan niat membeli merk hasil aliansi dengan
melihat hubungannya dengan sikap terhadap merk hasil aliansi (attitude
towards co-branding).
3) Menjelaskan peran gender dan tingkat pendidikan konsumen dalam
memoderasi proses pembentukan sikap dan niat beli konsumen.
6. PERTANYAAN PENELITIAN
1) Apakah sikap terhadap sebuah merk individu (Attitude towards brand)
berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi dengan sebuah kegiatan
sosial (attitude towards co-branding)?
2) Apakah sikap terhadap sebuah kegiatan sosial (Attitude towards cause)
berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi dengan sebuah kegiatan
sosial (attitude towards co-branding)?
3) Apakah kecocokan kategori produk antara merk dengan kegiatan sosial yang
beraliansi (category fit) berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi?
4) Apakah kecocokan merk antara merk tertentu dengan kegiatan sosial yang
beraliansi (brand fit) berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi?
5) Apakah sikap terhadap merk hasil aliansi (attitude towards co-branding)
berpengaruh pada niat beli konsumen (purchase intention)?
6) Apakah gender seseorang memoderasi proses pembentukan sikap dan niat
beli konsumen?
7) Apakah tingkat pendidikan seseorang memoderasi proses pembentukan
sikap dan niat beli konsumen?
7. LINGKUP PENELITIAN
Model Penelitian
Model penelitian berdasar pada rerangka penelitian hubungan antara sikap
terhadap merk individu dan kaitannya dengan sikap terhadap merk aliansi serta
niat beli konsumen, sesuai model dari Simonin dan Ruth (1998), Baumgarth
(2004), Rodrigue dan Biswas (2004), Lafferty et al. (2004), Dickinson dan
Barker (2007) dan Helmig et al. (2007). Pemilihan model didasarkan pada
belum jelasnya hubungan variabel-variabel prediktor pada sikap konsumen
terhadap aliansi merk dengan sebuah kegiatan sosial, serta kaitannya dengan
niat beli konsumen.
Obyek Penelitian
Obyek yang akan diteliti adalah sebuah merk komersial dan sebuah
kegiatan sosial yang akan melakukan aliansi. Pada riset ini, obyek adalah merk
sebuah mobil dan makanan ringan yang akan beraliansi dengan sebuah kegiatan
sosial yang berhubungan dengan pencegahan pemanasan global serta
penghematan energi.
Waktu Penelitian
Riset dilakukan pada satu waktu tertentu (cross sectional), sehingga
permasalahan riset tidak menangkap perubahan fenomena yang terjadi karena
perubahan waktu.
Tempat Penelitian
Riset akan dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan pengambilan
sampel sejumlah mahasiswa (student sample) dan pelajar yang berdomisili di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada riset dilakukan dengan menggunakan
laboratory experiment. Desain eksperimen ini dipilih karena ingin diketahui
kausalitas antar variabel dengan penggunaan stimuli serta tercapainya validitas
internal yang tinggi.
Teori Signaling
Teori signalling berkaitan dengan bagan teoritis yang menguji komunikasi
antara dua pihak, dimana sinyal atau isyarat ditransmisikan untuk membawa
informasi lewat wahana yang dapat dilihat, didengar atau wahana lain yang
dapat dideteksi (Alhabeeb, 2007). Teori ini berdasar pada konsep bahwa
pembeli dan penjual yang ada dalam pasar mempunyai level dan informasi yang
berbeda. Informasi yang asimetri tersebut menjadi masalah pada penjualan
produk-produk yang membutuhkan pengalaman (experience product), dimana
kualitas adalah hal yang tidak dapat diobservasi sebelum produk dibeli dan
digunakan (Rao dan Ruekert, 1994); hal ini berbeda dengan produk-produk
yang dibeli dengan proses pencarian (search product), seperti pada produk
pakaian, dimana konsumen dapat mengobservasi kualitas produk sebelum
dibeli. Pada produk yang mempunyai kualitas tersembunyi dan konsumen
menginginkan kualitas produk yang bagus, kegiatan promosi dapat digunakan
untuk memberi sinyal tentang kualitas yang tidak dapat diobservasi tersebut,
karena konsumen diasumsi akan beranggapan sebuah perusahaan tidak akan
membeli lagi produk tersebut atau melakukan kegiatan word of mouth yang
merugikan.
Pengembangan Hipotesis
Pengembangan model penelitian pada riset brand alliance didasarkan
pada model sikap konsumen pada aliansi merk yang telah dikembangkan oleh
Simonin dan Ruth (1998) dan beberapa riset lainnya.
Model dari Simonin dan Ruth (1998) menjelaskan dampak aliansi dua merk
pada sikap konsumen terhadap merk setelah merk tersebut beraliansi, serta
sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi tersebut. Model juga menggunakan
variabel brand familiarity sebagai faktor pemoderasi hubungan diantara sikap
konsumen terhadap merk sebelum aliansi, sikap konsumen terhadap aliansi
merk, serta sikap konsumen terhadap merk setelah merk melakuka aliansi.
Baumgarth (2004) melakukan replikasi terhadap model tersebut, dengan hasil
yang menguatkan model dalam menjelaskan sikap konsumen terhadap kegiatan
aliansi dua buah merk. Lihat Gambar 1 untuk model yang digunakan Simonin
dan Ruth (1998) yang direplikasi oleh Baumgarth (2004):
Model dari Lafferty et al. (2004) menjelaskan juga dampak aliansi dua
merk pada sikap konsumen terhadap merk setelah merk tersebut beraliansi, serta
sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi tersebut. Perbedaan utama dengan
model Simonin dan Ruth (1998), model ini menggunakan aliansi sebuah merk
komersial dengan sebuah kegiatan sosial (cause). Model juga menggunakan
variabel brand familiarity sebagai faktor pemoderasi hubungan diantara sikap
konsumen terhadap merk sebelum aliansi, sikap konsumen terhadap aliansi
merk, serta sikap konsumen terhadap merk setelah merk melakuka aliansi.
(lihat gambar 2 untuk model Lafferty et al. 2004)
Model dari Rodrique dan Biswas (2004) hasil pengembangan dari model
Simonin dan Ruth (1998), dengan menambahkan variabel moderasi dependency
dan exclusivity pada hubungan sikap konsumen terhadap merk sebelum aliansi,
sikap terhadap merk hasil aliansi dan sikap terhadap merk setelah merk
beraliansi.
Selain itu, pada model juga ditambahkan hubungan antara sikap konsumen
dengan tiga variabel yang berhubungan dengan keinginan beli konsumen, yakni
variabel kualitas yang dipersepsi oleh konsumen (perceived quality), variabel
keinginan untuk membayar produk pada harga premium (willingness to pay a
premium price) dan variabel keinginan beli (purchase intention).
dari sikap terhadap sebuah merk individu terhadap merk yang lain. Fazio et al.
(1989) menunjukkan bahwa produk (merk) hasil aliansi yang berasal dari merk-
merk yang sudah dikenal oleh konsumen akan memudahkan dikenal dan disukai
oleh konsumen. Riset Dickinson dan Heath (2006) menunjukkan bahwa
semakin positif sikap terhadap merk individu akan berdampak semakin positif
pula sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi. Sikap konsumen yang positif
pada salah satu merk bahkan dapat meningkatkan penilaian konsumen terhadap
merk rekanan yang sebelumnya tidak begitu dikenal (Vaidyanathan dan
Aggarwal 2000), sedangkan merk dengan reputasi sedang akan dapat meningkat
penilaiannya jika beraliansi dengan merk yang sudah mempunyai ekuitas tinggi
di benak konsumen (McCarthy dan Norris 1999). Riset dari Levin dan Levin
(2000) pada kegiatan dual-branding menunjukkan aliansi merk akan
meningkatkan kemungkinan kedua merk yang beraliansi dipersepsi konsumen
mempunyai kesamaan dalam kualitas. Riset dari Lange (2005) menunjukkan
bahwa merk yang dipersepsi bagus oleh responden dapat berkomplementer
dengan merk yang dipersepsi tidak baik oleh konsumen.
Riset dari Lafferty et al. (2004) menunjukkan hubungan yang signifikan
dari sikap terhadap merk serta sikap terhadap kegiatan cause dengan sikap
konsumen terhadap aliansi keduanya; beberapa riset, seperti Wymer dan Samu
(2008), Trimble dan. Rifon (2006) dan Hajjat (2003) mendukung hal itu.
Dari pembahasan diatas, dua hipotesis dapat dikemukakan:
H1: Ada pengaruh positif variabel attitude toward brand pada variabel attitude
toward cause-alliances.
H2: Ada pengaruh positif variabel attitude toward cause pada variabel attitude
toward cause-alliances.
merk yang beraliansi saling berkomplementer, apalagi jika salah satu merk
sudah dipersepsi dengan baik oleh konsumen. Keller (2003) menunjukkan
bahwa persyaratan paling penting pada keberhasilan strategi co-branding adalah
adanya logical fit antara dua merk yang beraliansi. Simonin dan Ruth (1998)
dalam modelnya memberikan nama product fit dan brand fit untuk menilai
kesesuaian diantara merk-merk yang beraliansi; hasil riset mereka menunjukkan
bahwa semakin besar product fit dan brand fit, semakin positif pula sikap
konsumen terhadap produk aliansi tersebut. Riset dari Baumgarth (2004) yang
mereplikasi riset dari Simonin dan Ruth (1998) menunjukkan hasil yang
sebagian besar konsisiten dengan temuan terdahulu. Hal ini menunjukkan
bahwa dimensi fit memang berperan dalam membentuk sikap konsumen
terhadap produk aliansi. Dalam riset ini akan digunakan dua variabel untuk
mengukur kesesuaian diantara merk yang beraliansi, yakni product category fit
dan brand fit. Kedua variabel tersebut pada dasarnya berasal dari riset-riset
ekstensi merk serta riset tentang aliansi merk.
Untuk variabel product category fit, pengukuran diarahkan pada kesamaan
diantara kategori produk yang mengacu pada masing-masing kategori produk
dari masing-masing merk individu. Hal ini berhubungan dengan pemahaman
product fit pada ekstensi merk, yakni adanya kesamaan diantara kategori produk
awal dengan kategori produk ekstensi (Park et al. 1991), yang disebut sebagai
product feature similarity.
Simonin dan Ruth (1998) mencoba membedakan pemahaman product fit
mengartikan product fit pada kegiatan ekstensi merk dengan pada kegiatan
aliansi merk. Pada ekstensi merk, kesesuaian produk lebih diartikan kepada
seberapa jauh terdapat kesamaan antara kategori produk awal dengan kategori
produk ekstensi. Dengan demikian, konsumen akan melihat sejauh mana
perusahaan dapat melakukan transfer teknologi untuk membuat produk ekstensi.
Sedangkan pada kegiatan aliansi merk, kegiatan transfer semacam itu tidak
terjadi. Disini product fit dianggap sebagai perluasan dimana konsumen
menganggap dua kategori produk tertentu bersifat kompatibel satu dengan yang
lain. Ketika Baumgarth (2004) melakukan replikasi yang bersifat perluasan
terhadap riset yang dilakukan Simonin dan Ruth (1998), ditemukan bahwa
variabel product fit mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap
variabel attitude toward brand alliance. Dickinson dan Hearth (2006)
mengemukakan istilah category fit dengan sumber dari riset Aaker dan Keller
(1990) pada ekstensi merk, dimana keduanya mengajukan istilah perception fit
untuk kesamaan dua kelas produk. Model konseptual dari Helmig et al. (2007)
menunjukkan hubungan yang positif antara variabel product fit dengan attitude
toward buying co-branded products. Disini mereka mengkaitkan product fit
dengan congruency diantara merk-merk yang beraliansi.
Selain mempertimbangkan kesesuaian jenis produk, dalam menilai aliansi
merk, konsumen juga mempertimbangkan kekuatan citra merk dari masing-
masing merk. Konsep brand consistency yang dikembangkan Park et al. (1991)
pada riset tentang ekstensi merk dapat dikembangkan menjadi pengaruh citra
pada riset tentang aliansi merk. Pada ektensi merk, merk dengan citra bagus
akan dipersepsi bagus dan konsisten jika berekstensi pada kategori produk yang
sama. Pada alinasi merk, jika merk tersebut beraliansi dengan merk lain yang
juga dianggap mempunyai citra bagus, kedua merk dianggap konsisten atau
kohesif satu dengan yang lain, dan akan mendorong konsumen bersikap positif
pada merk aliansi tersebut.
Walchli (2007) mengajukan konsep between-partner congruity, yang
membedakannya dengan konsep concept congruity yang ada pada kegiatan
ekstensi merk. Pada ekstensi merk, merk hasil ekstensi akan mudah diterima
oleh konsumen jika produk ekstensi mempunyai kesamaan dengan produk
awalnya; pada aliansi merk, dimana dua merk yang berlainan beraliansi,
komposisi dari pasangan merk yang beraliansi memperlihatkan bentuk yang
dapat dinilai sebagai sama (congruity) atau tidak sama (incongruity), yang
mempengaruhi evaluasi konsumen pada merk hasil aliansi tersebut.
Riset dari Laffety et al. (2004) dan riset dari Hamlin dan Wilson (2004)
juga menyorot peran dari kedua variabel tersebut dalam menentukan sikap
konsumen terhadap merk yang beraliansi dengan sebuah kegiatan sosial.
Dari pembahasan diatas, dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut:
H3: Ada pengaruh positif variabel product category fit dengan variabel attitude
toward cause-alliances.
H4: Ada pengaruh positif variabel brand fit dengan variabel attitude toward
cause-alliances.
meneliti peran dari citra negara (country image) pada pembelian televisi dan
mobil di tiga negara yang berbeda menunjukkan hubungan yang positif dan
langsung antara variabel attitude dengan variabel purchase intention. Demikian
pula riset dari Gill et al. (1988) tentang kaitan berbagai alternatif iklan dengan
keterlibatan konsumen. komitmen konsumen dan sikap konsumen menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan dan positif antara variabel sikap konsumen
dengan variabel keinginan beli dari konsumen, baik pada exposure yang bersifat
subyektif dan obyek, ataupun pada exposure yang hanya bersifat subyektif.
Model konseptual yang dibangun Rodrigue dan Biswas (2004)
menunjukkan kesamaan dengan model Simonin dan Ruth (1998). Hanya model
kemudian dikembangkan dengan adanya variabel purchase intention yang
dipengaruhi oleh variabel attitude toward brand alliances. Mereka menyatakan
bahwa adanya aliansi merk akan meningkatkan persepsi konsumen terhadap
kualitas produk hasil aliansi, termasuk mendorong keinginan beli konsumen.
Dari pembahasan tersebut, dapat dikemukakan hipotesis:
H5: Ada pengaruh positif variabel attitude toward cause-alliances pada variabel
purchase intention.
alternatif pada produk yang termasuk dalam kategori search product, mereka
cenderung percaya pada penilaian mereka sendiri terhadap sejumlah spesifikasi
produk yang disampaikan oleh perusahaan; konsumen dapat langsung
mengetahui adanya klaim yang berlebihan atau klaim tidak benar dari
perusahaan dengan cara mengevaluasinya secara langsung. Namun pada
experience product, terdapat kesulitan untuk menilai deskripsi produk yang
disampaikan oleh perusahaan secara obyektif; dalam hal ini, konsumen
cenderung untuk skeptis terhadap klaim-klaim tentang atribut-atribut produk
yang ada pada iklan produk tersebut. Sebagai contoh, konsumen akan sulit
mempercayai atribut kelezatan masakan, kenyamanan sebuah mobil, atau
khasiat sebuah obat, sebelum mereka membeli dan menggunakannya.
Purchase frequency
Karena sebuah produk yang masuk dalam kategori experience product harus
dibeli terlebih dahulu sebelum dapat dievaluasi, dan semakin sering frekuensi
pembelian produk akan memberi lebih banyak kesempatan kepada konsumen
untuk menilai kualitas produk, experience product dibagi menjadi experience
nondurables dan experience durables. Ciri dari experience nondurables adalah
relatif tidak mahal, tersedia di banyak tempat, diperlukan sedikit upaya untuk
dapat membelinya, serta dapat dikonsumsi dengan segera. Sedangkan ciri dari
experience durables adalah mempunyai harga yang lebih mahal, daya tahan
produk (durability) lebih lama, biaya perbaikan lebih tinggi, distribusi produk
bersifat selektif, diperlukan banyak pertimbangan sebelum membelinya, serta
dapat dikonsumsi dengan segera. Pada produk experience durables, sumber
yang dekat dengan konsumen, seperti teman, keluarga, atau majalah-majalah
komersial, dapat menjadi narasumber tambahan untuk membantu pengambilan
keputusan konsumen.
Riset-riset yang dilakukan pada cause brand alliances sebagian besar
menggunakan produk yang masuk dalam kategori experience nondurable
product . Untuk produk yang akan digunakan dalam riset ini, akan digunakan
produk yang termasuk dalam kategori experience nondurable product.
Penggunaan experience product didasarkan pada teori yang melandasi riset,
yakni signalling theory. Teori tersebut berasumsi adanya informasi asimetris
yang berhubungan dengan kualitas produk yang diterima oleh konsumen saat
akan mengkonsumsi sebuah produk, khususnya experience product, yang
mempunyai karateristik sejumlah atributnya tidak dapat diobservasi sebelum
dibeli dan digunakan. Untuk itu, penjual menggunakan sejumlah sinyal untuk
meyakinkan konsumen, diantaranya menggunakan nama merk yang sudah
dikenal konsumen (lihat gambar 6 untuk model riset yang direncanakan).
9. METODE RISET
9.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sikap terhadap merk (Attitude toward brand),
sikap terhadap kegiatan sosial (Attitude toward cause), variabel product
category fit, variabel brand fit, sikap terhadap aliansi (Attitude toward cause
alliances) dan variabel purchase intention. Dalam penelitian ini, juga akan
berkaitan dengan aliansi merk dengan kegiatan cause kepada empat puluh
partisipan yang telah mengenal masing-masing merk dan kegiatan sosial
tersebut.
9.5. Disain dan Proses Eksperimen
Disain eksperimen yang akan digunakan adalah factorial design, yakni
pengujian brand fit, dengan disain 2 (merk komersial) x 2 (merk/kegiatan
cause). Eksperimen dilakukan dengan between-subject.
Kegiatan eksperimen akan terdiri dari tahapan-tahapan berikut:
1. Mengetahui sikap partisipan terhadap merk secara individu sebelum terjadi
aliansi. Pada eksperimen ini, akan diukur sikap partisipan terhadap dua
merk komersial (A1 dan A2) dan dua jenis kegiatan sosial (B1 dan B2).
2. Mengetahui penilaian partisipan terhadap kesesuaian kategori produk
(product category fit) dan kesesuaian merk (brand fit) saat kedua produk
akan beraliansi. Untuk itu, partisipan diberi materi stimulus yang
menggambarkan aliansi antara sebuah merk dengan sebuah kegiatan sosial.
Pada eksperimen ini, akan diukur penilaian partisipan terhadap product
category fit antara:
- Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B1.
- Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B2.
- Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B1.
- Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B2.
3. Mengetahui penilaian partisipan terhadap kesesuaian merk merk (brand fit)
saat kedua produk akan beraliansi. Untuk itu, partisipan diberi materi
stimulus yang menggambarkan aliansi antara sebuah merk dengan sebuah
kegiatan sosial. Pada eksperimen ini, akan diukur penilaian partisipan
terhadap brand fit antara:
- Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B1.
- Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B2.
- Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B1.
- Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B2.
4. Mengetahui sikap partisipan terhadap merk hasil aliansi. Pada eksperimen
ini, akan diukur sikap partisipan terhadap aliansi merk:
a. Merk komersial A1 + jenis kegiatan sosial B1.
b. Merk komersial A1 + jenis kegiatan sosial B2.
c. Merk komersial A2 + jenis kegiatan sosial B1.
REFERENSI
Chang, Chia-Chi dan Chen Hui-Yun (2009), “I Want Products My Own Way,
But Which Way? The Effects of Different Product Categories and Cues
on Customer Responses to Web-based Customizations,” Cyberpsychology
and Behavio Vol. 12: 7-14.
Cooke, Sinead dan Paul Ryan (2000), “Brand Alliances: From Reputation
Endorsement to Collaboration on Core Competencies” Irish Marketing
Review. Vol. 13: 36-40.
Dickinson, Sonia dan Alison Barker (2007), ”Evaluations of Branding Alliances
Between Non-profit and Commercial Brand Partners: The Transfer of
Affect,” International Journal of Nonprofit & Voluntary Sector
Marketing, Vol. 12: 75-89.
Dickinson, Sonia dan Tara Heath (2005), “A Comparison of Qualitative and
Quantitative Results Concerning Evaluations of Co-branded Offerings,”
Brand Management, Vol. 13: 393-406.
Dodds, William B., Kent B. Monroe dan Dhruv Grewal (1991), “Effects on
Brand, Price and Store Informationon Buyer’s Product Evaluations,”
Journal of Marketing Research, Vol. XXVIII: 307-319.
Erevelles, Sunil, Veronica Horton dan Nobuyuki Fukawa (2008),
“Understanding B2C Brand Alliances Between Manufacturers and
Suppliers,” Marketing Management Journal (Fall): 32-46.
Fazio, Russell H,, Martha C. Powell dan Carol J. Williams (1989), “The role of
attitude accessibility in the attitude-to-behavior process,” Journal of
Consumer Research, Vol. 16: 280-288.
Franke, George R., Bruce A. Huhmann dan David L. Mothersbaugh (2004),
“Information Content and Consumer Readership of Print Ads: A
Comparison of Search and Experience Products,” Journal of the Academy
of Marketing Science, Vol.32:20-31.
Gill James D., Sanford Grossbart dan Russell N. Laczniak (1988), “Influence of
Involvement, Commitment and Familiarity on Brand Beliefs and
Attitudes of Viewers Exposed to Alternative Ad Claim Strategies,”
Journal of Advertising Vol. 17: 33-43.
Grundey, D. dan R.M. Zaharia (2008), “Sustainable Incentives in Marketing
and Strategic Greening: the Cases of Lithuania and Romania,” Baltic
Journal on Sustainability Vol 14: 130-143.
Simonin, Bernard L. dan Julie A. Ruth (1998), “Is a Company Kniown by the
Company It Keeps? Assesing the Spill Over Effects of Brand Alliances
on Consumer Brand Attitudes,” Journal of Marketing Research Vol. 35:
30-42.
Stigler, George J. (1961), “The Economics of Information,” The Journal of
Political Economy, Vol. 69: 213-225.
Trimble, Carrie S. dan Nora J. Rifon (2006), “Consumer Preceptions of
Compability in Cause-Related Marketing Messages,” International
Journal Nonprofit Voluntary Section Marketing Vol. 11: 29-47.
Ueltschy, Linda C. dan Michel Laroche (2000). “Co-Branding Internationally:
Everyone Wins?” Journal of Applied Busines Research, Vol. 20:91-102.
Vaidyanathan, Rajiv dan Praveen Aggarwal (2000). “Strategic Brand Alliances:
Implications of Ingredient Branding for National and Private Brands.”
Journal of Product and Brand Management, Vol. 9: 214-228.
Varadarajan, P. Rajan dan Anil Menon (1988), “Cause-Related Marketing: A
Coalignment of Marketing Strategy and Corporate Philanthropy,” Journal
of Marketing Vol.52: 58-74.
Walchli, Suzanne B. (2007), “The Effect of Between-Partner Congruity on
Consumer Evaluation of Co-Branded Products,” Psychology Marketing,
Vol.24: 947-973.
Wernerfelt Birger (1988) , “Umbrella branding as a signal of new product
quality: an example of signalling by posting a bond.” Journal of
Economics Vol. 19: 458-466.
Wymer, Walter dan Sridhar Samu (2008), “The Influence of Cause Marketing
Associations on Product and Cause Brand Value.” International Journal
of Nonprofit and Voluntary Sector Marketing, Vol 14: 1-20.
Wymer, W. dan Sridhar Samu (2003), “Dimensions of Business and Nonprofit
Collaborative Relationships,” Journal of Nonprofit and Public Sector
Marketing, Vol 11: 3-22.
Youn, Seounmi dan HyukSoo Kim (2008), “Antecedents of Consumer Attitudes
toward Cause-Related Marketing,” Journal of Advertising Research
(March 2008): 123-136.
LAMPIRAN
PRODUCT
CATEGORY
ATTITUTDE PURCHASE
TOWARD CAUSE-
ALLIANCES INTENTION
BRAND FIT
ATTITUTDE
TOWARD CAUSE
GENDER
Sumber:
Simonin dan Ruth (1998), Baumgarth (2004), Lafferty (2004), Rodrique dan Biswas
(2004), Dickinson dan Barker (2007), James (2006), Helmig et al. (2007) dan Santoso
(2008).
Setyabudi Indartono∗∗
This study propose that the firms should optimized the performing stage
of performance life cycle by increasing their willingness and ability to grow in
order to reach higher competitive market structure and derive their own unique
strategic posture in a hybrid strategic group competitions to get better future
performance by directive management style i.e., clear goal setting, monitoring,
strategic preparation, seeking innovative approaches, and empowering team
members.
The background of this study was explained. Level of
conflict/competition among firms within groups will effect on their
performance (Ma, 1999). Although, in nature firms want to lead the
competition, but sometimes they felt comfort within their present performance
result (Alasdair, 2008). This comfortable and anxiety conditions would be
motivation obstacles to lead (Yerkes, 1907; McCleland, 1953, Carnal, 1995,
Handy, 1994). In order to face this situation, firms have to understand the
subsequent through firms performance life cycle behavior (Fairhust, 2007,
Alasdair, 2008)
Thus, this study try to investigate the behavioral aspect on firm that tried
to optimize their hybrid strategic group position by accelerating their
performing stage of their performance life cycle.
Keyword: performance life cycle, hybrid strategic, hierarchical linier modeling
∗
This article was present on the preliminary proposal of PhD thesis titled “Optimize
performing stage of performance life cycle to reach more hybrid strategic group
advantages for better future performance”
∗∗
mahasiswa program PhD Business Administration National Central University
Taiwan, Staf pengajar Jurusan Manajemen Universitas Negeri Yogyakarta
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 204
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Introduction
Within Industrial competition, firms tend to compete more intensively
in group which is have similar strategic posture (Ferguson 2000). To win the
market competition, firm try to applied unique strategic postures and reach more
market structures (Cool et al, 1987). To reach competitive market structure and
derive their own unique strategic posture, firms expand their strategies by
recipes blend strategic from more than one pure strategic group (Desarbo, 2008)
Level of conflict/competition among firms within groups will effect on
their performance (Ma, 1999). Although, in nature firms want to lead the
competition, but sometimes they felt comfort within their present performance
result (Alasdair, 2008). This comfortable and anxiety conditions would be
motivation obstacles to lead (Yerkes, 1907; McCleland, 1953, Carnal, 1995,
Handy, 1994). In order to face this situation, firms have to understand the
subsequent through firms performance life cycle behavior (Fairhust, 2007,
Alasdair, 2008). White split the cycles into three level of performance. In the
first stage, there are three behavior related performance. Firstly, employee was
unwilling to undertake the work and unable to do so because lack of knowledge
and lack of skills. They work tend to focus on themselves rather than the team.
Secondly was employee willing to attempt the work but still unable to do so as
the skills are missing because the high conflict potential with team members.
And finally Unwillingness was returns, possibly due to lack of self confidence
in newly acquired skills, but they are able to do the work. Their work behavior
was focus tends to be on rules and procedures, processes, and the ‘how’ of the
work. Second stage was transition. Work characteristic of employee was willing
and able to do the work and to act as an effective team. They have focus on
changes to delivery of the objectives. Finally the third stage of performance
behavior cycle was disengaging, seeking new comfort zone, needs new goals of
performance.
In the level of firms, in the first stage, performance will felt comfort
when the organization has no willingness and ability to do so. An effect of this
condition made performance in a low level. This condition due to willingness
and ability to change presented. After willingness and ability present, firms
would ready to grow the performance. This growing process will settle towards
any other comfort zone situation.
Most of firm was fail to adapt on the transition stage. They have to
prepare the performing optimally. Thus, they will face the consequences of this
stage, adaptation. They will need strong leadership to direct the organization
within clear goal setting, monitoring, articulates strategic preparation, seeking
innovative approaches, and empowering team members. Few of study has
investigate the individual performance phenomena related to reach the
organizational performance objectives. This study propose that the firms should
optimized the performing stage of performance life cycle by increasing their
willingness and ability to grow in order to reach higher competitive market
structure and derive their own unique strategic posture in a hybrid strategic
group competitions to get better future performance by directive management
style i.e., clear goal setting, monitoring, strategic preparation, seeking
innovative approaches, and empowering team members.
Group Analysis
was included data source, strategic identification, group formation, group
structure validation, potency, and performance difference (Depika Nath and
Thomas S Gruca, 1977).
Previous study found that in nature firm was become a single strategic
group member. A strategic group was defined as a set of firms within an
industry that are similar to one another and different from firms outside the
group on one or more key dimensions of their strategy (Porter 1979) or a
grouping of business within an industry that is separated from others grouping
of business by mobility barriers, barriers to entry an exit (McGee and Thomas
1986, Mascarenhas 1989). Each situation has a different effect on performance.
Previous finding showed that performance within strategic group is not different
(Cool, 1988), performance within strategic group is different (McNamara,
2003), and performance within strategic group is different (B. Kabanoff and S.
Brown, 2008).
Hybrid Strategy
Further study on the strategic group was identified that firms was tend
to receive more than a single strategy, known as a hybrid strategic group.
Hybrid strategic group was defined as composed of firms that blend strategic
recipes from more than one pure strategic group to derive their own unique
strategic posture (Desarbo, 2008). Factor that urge the situation of hybrid
strategic group occur was explained. In nature, the firms who have strictly
adhere to the strategic group is core firms, but not to the secondary and solitary
firms (Desarbo 2008), mean that support on cognitive psychology, core firms
are more associate tightly with receipt of strategic group that represent to the
pure strategic group firms, but members have less it's association and change
from one to another strategic groups (Mc Namara 2003). Firms in nature also
always try to derive their strategic posture uniquely on the competition among
rivals (Desarbo, 2008) to provide opportunities for greater economic rents
(Rumelt 1982), thus firms may need to maintain balance on competitive cusp
between differentiation (Hybrid Strategic group) and conformity (pure Strategic
groups).
Figurre 1
Modeel of research
h
MMethod
In orrder to analy yze the hypoothesis, we firstly
f have tot separate the
t
ddifferent leveel of variable measured. Individual measurement wass different froom
tthe firm assesssment. Thus this study waas proposed using
u the hierrarchical liniier
mmodeling (H HLM) as an measurement
m a
approach (Bryyk, 2002).
Hieraarchical linierr modeling (HHLM) was abble to pose hyypotheses aboout
rrelations occuurring at eachh level and accross levels annd also assesss the amount of
vvariation at each level. It was fouund more hoomologous with w the bassic
pphenomena under
u study in
n much behavvioral and sociial research.
MMeasuremen nt
Perfoorming stage of performaance life cyclle were meassured using 15
iitems based ono Alasdair (2008).
( Items were writtenn by the authhors or obtainned
ffrom previouus research. Responses
R weere made on a 5-point Liikert-type scaale
wwith scale annchors rangingg from 1 (stroongly disagree) to 5 (stronngly agree). The
T
sample questtion asked to the participaants was “Wee are willing and able to do
oour job”. A Five-point
F likeert-type scalee was used, annd the individdual items weere
aaveraged.
Comppetitive marrket structuree and uniquue strategic posture weere
mmeasured based on Desaarbo et al (20008). Compeetitive markett structure was w
mmeasured usiing firm’s finaancial reportss of market vaalue ratios, effficiency ratioos,
Y
Yogyakarta, 11-12 Desember
D 2009 20
09
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
and scale of operations (firm Size). The financial informations of market value
ratios were, value of Tobin’s q, market to book, devidend yield, and price to
earning. The financial informations of efficiency ratios were sales to total
assest, net profit margin, Return to assets and sales per employee. The financial
informations of Scale of operations (firm Size) were, Total assets, Gross loans,
Total wordlwide deposite, Total interenst expense, Net income, Total borrowing
and Number of employee.
Unique strategic posture was measured using firm’s financial reports of
Liquidity and leverage ratios, product portofolio of loans, and product
portofolio of deposit. The financial informations of Liquidity and leverage
ratios were Current, Debt to equity, Total borrowing to total assets, and Internst
expense to total assets. The financial informations of product portofolio of loans
were gross loans to total securities and gross loans to total assets. The financial
informations of product portofolio of deposit were total investment securities to
total deposits, gross loans to total deposits, total borrowing to total deposits, and
interest expense to total deposits.
HLM Modeling
Null Model
Null model contains only a response variable and no explanatory
variables other than intercept. Null model is used as a baseline for estimation of
explained versus unexplained variances. It provided an initial estimate for the
intra class correlation.
Level-1 Model
Yij = β0j + Rij
Level-2 Model
β 0j = γ00 + υ0j
Level-2 Model
β 0j = γ00 + υ0j
β 1j = γ10
Intercept as an outcomes
Intercept as an outcomes contains a response variable and explanatory
variables in the level-1. There is complex coefficient model included 1j, mean
that there is different slope within individual.
Level-1 Model
Yij = β 0j + Rij
Level-2 Model
β 0j = γ00 + γ01+ υ0j
Full Model
Full Model contains variety of response variables and explanatory
variables in the level-1 and level-2. There is complex coefficient model
included υ0jand υ1j, mean that there is able to explore different slope within
individual and among groups, each level and across levels and also assess the
amount of variation at each level.
References
Cool, K.O. and DE. Schendel (1987), strategic group formation and
performance: the case of the U.S pharmaceutical industry 1963-1982,
Management science, 33 pp. 1102-1124
Depika Nath and Thomas S Gruca (1977), Convergent across alternative
methods for forming strategic groups, Strategic Management Journal
V.18, 9, 745-760
Desarbo, wayne, s and Rajdeep, greewal (2008), Hybrid Strategic group,
Strategic Management Journal, 29: 293–317
Dravone David, Peteraf margaret, shnley mark, (1998), Do strategic groups
exist? An economic framework for analysis, strategic Management
Journal; 19, 11 pg. 1029
Ferguson TD, Deephouse DL, Ferguson WL (2000) Do strategic groups differ
in reputation? Strategic Management Journal 21(12): 1195–1214
Handy, C., (1994) The Empty Raincoat, Hutchinson
Hunt, M. (1972), Competition in the major home appliance industry 1960-1970,
PhD Dissertation Harvard University
Mascarenhas, B., Aaker, David A (1989), Mobility barriers and strategic
groups, , Strategic Management Journal, 10, 5, pg. 475
McClelland, D.C., Atkinson, J.W., Clark, R.A., & Lowell, E.L. (1953) – The
achievement motive, 1953, Princeton
McGee and Thomas (1986), Strategic group: theory, research and taxonomy,
Academy management journal, 7(2), pp. 141-160
McNamara G, Deephouse DL, Luce RA. (2003) Competitive positioning within
and across a strategic group structure: the performance of core, secondary,
and solitary firms. Strategic Management Journal 24(2): 161–181
Porter, M.E. (1979), The structure within industries and companies
performance, Review of economics and statistics, pp. 214-227
Rumelt, R. P. (1982), theory, strategy and entrepreneurship. In D. Teece (ed)
the competitive challenge. Balingger Cabridge, MA. Pp137-158
Porter, M. (1980) Competitive strategy, freepress, NY
Yerkes, R., & Dodson, J. (1907) ‘The Dancing Mouse, A Study in Animal
Behavior’, Journal of Comparative Neurology & Psychology, Number
18, pp. 459-482
Abstract
This paper describes the development and validation of a
multidimensional measure of organizational justice climate (procedural
justice climate and distributive justice climate) in the context of work
unit decision making based on social justice model that had been
studied by Fondacarro, Jackson dan Luescher (2002). This study
examined the six scales and one anchor measure of procedural justice
climate and the three scales and one anchor measure of distributive
justice climate. A sample of 631 employees across 91 work units at 11
organizations completed the questionnaires. Based on the integration of
three perspectives complementary (attraction-selection-attrition, social
information processing, and social learning), the existence of
organizational justice climate on work-unit setting examined. The two
scales (accuracy and trust) and one anchor measure of procedural
justice climate and the three scales (decision control, equality and need)
and one anchor measure of distributive justice climate contain the
measure had acceptable level of reliability and validity. The result of
this study provide recommendations for other researchers to use and to
assesment the scales of organizational justice climate in other studies.
____________________
Keywords: multidimensional measure, procedural justice climate,
distributive justice climate, anchor measure
∗
Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Program Studi Manajemen
FEB UGM dan staf pengajar Universitas Surabaya.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Djamaludin Ancok, MA;
Dr.T.Hani Handoko, MBA; Dr. B.M.Purwanto, MBA; Prof.Dr. Faturochman, MA; Dr.
Harsono , M.Sc; Dr. Budi Santosa, M.Buss. atas semua kritik dan sarannya dalam
rangka penulisan makalah ini.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 214
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Iklim keadilan organisasional (organizational justice climate) telah
menjadi bidang kajian yang semakin banyak diminati namun ukuran yang
tersedia belum terkembang secara komprehensif. Perkembangan studi ini
berawal dengan ketiadaan kerangka kerja (Mossholder et al., 1998). Kemajuan
studi di bidang ini ditandai dengan adanya konseptualisasi iklim keadilan
organisasional yang tervalidasi dan terdukung secara empiris dan berbasis pada
sejumlah perspektif untuk menjelaskan eksistensinya pada setting kelompok
(Naumann dan Bennett, 2000) bahkan beberapa peneliti
mengkonseptualisasikan pula pada setting organisasi (Dietz et al., 2003). Di
samping itu, konseptualisasi dan pemodelan iklim keadilan organisasional telah
dikembangkan seperti halnya dengan kebanyakan studi tentang iklim
organisasional (organizational climate).
Studi-studi iklim organisasional cenderung menggunakan model di
bidang perilaku organisasional, yaitu persepsian mengenai lingkungan tempat
para karyawan yang bersangkutan bekerja (Rousseau, 1988). Oleh karena itu,
pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional tidak dapat dipisahkan
dengan studi tentang iklim organisasional.
Selama ini, pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional
masih terbatas pada penggunaan satu dimensi saja sehingga pemodelan
pengukuran hanya dengan satu order secara reflektif terkait dengan indikator-
indikator yang dicakup dalam konstruk tersebut (Naumann dan Bennet, 2000;
Colquitt et al., 2002; Dietz et al., 2003; Ehrhart, 2004). Keterbatasan cakupan
dimensi dalam konstruk ini menjadi salah satu motivasi utama untuk mengkaji
ukuran iklim keadilan organisasional tersebut secara lebih komprehensif.
Beberapa peneliti sebelumnya secara tegas menggunakan pendekatan
pengagregasian untuk mengkonseptualisasikan iklim keadilan organisasional
di tingkat kelompok sebagaimana disarankan Kozlowski dan Klein (2000)
walaupun dalam penjustifikasian ukurannya mereka menggunakan pendekatan
yang berbeda-beda (seperti misalnya, Ehrhart, 2004; Liao dan Rupp, 2005).
Penelitian ini bermaksud mengkaji iklim keadilan organisasional
sebagai konstruk multidimensi dengan pengembangan ukuran yang dimodelkan
secara reflektif pada order pertama, dan pengukuran yang dimodelkan secara
formatif pada order ke dua, serta memanfaatkan variabel anchor untuk
criterion menjadi terbatas. Oleh karenanya ketika konstruk tersebut dikaji dalam
hubungannya dengan konstruk-konstruk lainnya belum memberikan hasil
sebagaimana yang diharapkan (seperti misalnya, Liao dan Rupp, 2005).
Dengan demikian, terdapat kebutuhan untuk pengembangan ukuran iklim
keadilan organisasional yang lebih komprehensif dan terintegrasi secara
konseptual serta teruji secara empiris.
Studi-studi empiris yang melibatkan konstruk iklim keadilan
organisasional telah memberikan landasan pemahaman yang lebih luas tentang
fenomena perilaku manusia yang mengarah pada hubungan-hubungan di antara
individu-individu dan aspek-aspek lingkungan sosial yang lebih luas (dalam
kelompok kerja dan/atau organisasi). Penjelasan ini sejalan dengan pemikiran
para teoritisi yang berorientasi pada ekologi sosial (seperti misalnya,
Bronfenbrenner, 1979; Moos, 1973). Pandangan terhadap fenomena tersebut
juga sejalan pula dengan yang dikemukakan Tyler dan Lind (1992) bahwa
model-model relasional tentang perilaku manusia semakin menjadi sentral bagi
teori-teori kontemporer untuk mengkaji keadilan prosedural.
Di samping itu, para peneliti di bidang keadilan distributif (Deutsch,
1975; Tornblom, 1992 dalam Fondacarro et al., 2002) sejak lama telah
mengakui bahwa nilai-nilai dasar yang berakar dalam sistem makro pada
akhirnya menyebar luas ke berbagai konteks mikro sosial dalam sebuah kultur.
Dengan demikian, menyimak luasnya fenomena perilaku individu/individu
dalam kelompok telah menimbulkan dorongan untuk mengembangkan ukuran
iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif yang mencakup
dimensi atau faktor yang lebih luas pada konstruk-konstruk yang dikaji agar
dapat menangkap fenomenanya secara lebih komprehensif. Oleh karena itu,
pertanyaan utama yang muncul adalah dimensi-dimensi atau faktor-faktor apa
saja yang dicakup dalam iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan
distributif.
iklim keadilan prosedural sebagai konstruk yang terdiri atas empat indikator.
Masing-masing indikator yang tercakup dalam konstruk tersebut didapatkan
dari indikator-indikator yang telah dikembangkan dalam konstruk keadilan
prosedural. Pendekatan yang serupa juga terjadi dalam studi Liao dan Rupp
(2005) ketika mengkaji tiga jenis iklim keadilan organisasional. Walaupun
jenis-jenis keadilan organisasional sebagaimana divalidasi Colquitt (2001) telah
diacu banyak peneliti dan menjadi basis pengembangan ukuran iklim keadilan
organisasional namun demikian konstruk tersebut belum dikembangkan secara
komprehensif.
Dalam beberapa dekade terakhir, para penulis di bidang keadilan sosial
(social justice) mencatat tentang pengembangan faktor-faktor yang perlu
dicakup dalam konstruk keadilan prosedural dan keadilan distributif yang telah
dikembangkan secara lebih komprehensif. Beberapa catatan penting yang
menggambarkan kemajuan dalam mengkonseptualisasikan konstruk keadilan
organisasional telah dikemukakan beberapa penulis, yaitu berkenaan dengan
pandangan bahwa: (a) orang menggunakan kriteria dan membuat judgments
tentang keadilan prosedural (Tyler et al., 1997), (b) judgments yang dibuat
mengenai kontrol, baik mengenai kontrol terhadap proses maupun kontrol
terhadap hasil, masing-masing mempunyai peranan yang penting (Thibaut dan
Walker, 1975), (c) terdapat enam kriteria penting untuk mengevaluasi keadilan
prosedural: consistenscy, bias suppression, accuracy, correctability,
representation, dan ethicality (Leventhal, 1980), (d) nilai kelompok dan model
relasional juga memainkan peranan penting sebagai kriteria non kontrol dalam
pengevaluasian keadilan prosedural, yaitu neutrality, standing, dan trust (Lind
dan Tyler, 1988; Tyler dan Lind, 1992), (e) terkompilasikannya ukuran yang
digunakan untuk menilai, baik berbasis pada kriteria keadilan prosedural
maupun kriteria keadilan distributif (Tyler dan Lind, 1992), (f) terdapat tiga
prinsip distribusi terkait dengan keadilan terhadap hasil, yaitu equity, equality,
dan need yang menjadi fokus para peneliti keadilan sosial (Deutsch, 1975, 1985,
Schwinger, 1980; Steil dan Makowski, 1989), (g) setiap prinsip distribusi pada
dasarnya mempunyai konsekuensi interpersonal yang berbeda-beda, yaitu:
equity menumbuhkan persaingan, equality menumbuhkan harmoni kelompok,
dan need menumbuhkan perkembangan dan kesejahteraan pribadi (personal
well-being).
3. Rerangka Teoritis
3.1. Integrasi Perspektif dan Hasil Studi Sebelumnya
Untuk menghadapi masalah penentuan faktor-faktor yang dicakup
dalam iklim keadilan organisasional dalam penelitian ini dilakukan dengan
process control (PC), dan correction (CO) sedangkan faktor yang terkait
dengan kriteria non kontrol ada tiga, yaitu dignity/respect (DR), standing/status
recognition (SR),dan trust (TR). Oleh karena itu untuk mendapatkan
kecukupan dalam menangkap fenomena keadilan prosedural dalam setting
pengambilan keputusan lingkungan unit kerja organisasional, faktor yang perlu
ditambahkan dalam cakupan ukuran keadilan prosedural adalah faktor accuracy
(AC). Faktor accuracy ini termasuk dalam kategori faktor kriteria kontrol
Selanjutnya, faktor-faktor yang terekstraksi dari hasil analisis faktor
keadilan distributif tidak dapat dilibatkan semuanya dalam setting pengambilan
keputusan lingkungan unit kerja organisasional karena terdapat faktor yang
tidak relevan dengan kondisi sistem mikro (unit kerja) di Indonesia, yaitu faktor
equity. Di samping itu, faktor equity diputuskan untuk tidak dilibatkan dalam
cakupan konstruk keadilan distributif karena faktor tersebut berperan
menumbuhkan persaingan antara individu dalam setting unit kerja. Dengan
demikian, dimensi-dimensi atau faktor-faktor yang dikaji dalam pengembangan
ukuran iklim keadilan prosedural, yaitu process control, correction
dignity/respect, standing/status recognition, trust, dan accuracy. Faktor-faktor
yang dikaji dalam iklim keadilan distributif,yaitu decison control (DC), equality
(EQ), dan need (NE). Di samping itu, anchor measure untuk iklim keadilan
prosedural adalah global procedural fairness (GP), dan anchor measure untuk
iklim keadilan distributif adalah global outcome fairness (GO).
kelompok kerja karena ketika dalam kelompok kerja mereka saling saling
berbagi informasi dan tanda-tanda sosial dengan rekan-rekan sekerjanya dalam
kelompok. Informasi dan tanda-tanda sosial yang didapatkannya tersebut
dijadikan basis untuk menginterpretasikan kejadian-kejadian yang ada dalam
lingkungan sosialnya. Dengan menerapkan perspektif ini, dapat dikemukakan
bahwa dari waktu ke waktu, individu-individu di dalam kelompok kerja tersebut
akan mempunyai karakteristik dan persepsi yang cenderung semakin homogin
mengenai perlakuan dari pihak organisasi sebagaimana dialaminya dan dialami
rekan-rekan sekerjanya dalam kelompok.
Argumen-argumen yang dikemukakan kedua teori tersebut juga
konsisten dengan teori pembelajaran sosial namun demikian penjelasan yang
diberikan teori pembelajaran sosial kurang eksplisit dibandingkan dengan
kedua teori sebelumnya. Individu-individu yang ada dalam kelompok kerja
menggunakan rekan-rekan sekerjanya sebagai model dalam berperilaku. Sejauh
rekan-rekan sekerja yang dijadikan model peran menunjukkan kesamaan
karakteristik dan persepsi maka anggota individual dalam kelompok yang
bersangkutan akan memilih persepsi yang sama dengan rekan-rekan sekerjanya
sebagai pencerminan norma-norma kelompok. Dengan demikian, secara
keseluruhan individu-individu dalam kelompok kerja tersebut juga akan
mempunyai kesamaan persepsi mengenai perlakuan dari pihak organisasi.
Dengan menggunakan ketiga perspektif tersebut secara komplementer,
individu-individu yang berada dalam kelompok kerja menganalisis lingkungan
kerja mereka secara cermat atas informasi dan tanda-tanda sosial yang
didapatkan untuk digunakan sebagai basis untuk menginterpretasikan perlakuan
dari pihak organisasi, dan untuk basis penilaian ketepatan keyakinan, sikap,
persespi yang dimilikinya dengan memanfaatkan rekan-rekan sekerjanya dalam
kelompok yang bersangkutan sebagai model dalam berperilaku, dan dalam
mempersepsi perlakuan pihak organisasi sebagaimana dialaminya. Secara
keseluruhan, dari waktu ke waktu, perlakuan dari pihak organisasi sebagaimana
dialami individu-individu dalam kelompok kerja akan membentuk persepsi
kolektif yang semakin homogin. Dengan demikian, sesuai dengan penjelasan
ketiga perspektif tersebut maka eksistensi iklim keadilan organisasional di
tingkat kelompok terbentuk karena adanya kesamaan atau kesepakatan persepsi
yang dipegang individu-individu dalam suatu kelompok kerja. Oleh karena itu,
iklim keadilan organisasional dapat didefinisikan secara konseptual sebagai
4. Metode Penelitian
Berbasis pada hasil studi Fondacaro et al., (2002) maka jumlah item
yang dikaji pada setiap faktor yang tercakup dalam iklim keadilan prosedural
dan iklim keadilan distributif adalah enam item per faktor. Oleh karenanya,
secara keseluruhan terdapat 36 item untuk enam faktor, dan enam item untuk
ukuran anchor yang terkait dengan iklim keadilan prosedural. Jumlah item per
faktor yang terkait dengan iklim keadilan distributif ada 18 item untuk ketiga
faktornya, dan enam item untuk ukuran anchor-nya. Item-item tersebut
didapatkan berdasarkan hasil kompilasi dan hasil studi sebelum sebagaimana
telah dilakukan Fondacarro et al. (2002).
Setelah tahapan translation and back translation terlampaui dan
mendiskusikan hasil penerjemahan item-item tersebut dengan para ahli perilaku
organisasional, item-item yang akan digunakan untuk penelitian dimodifikasi
dengan memadukan pendekatan konstruksi item wordings sebagaimana
disarankan Klein et al. (2001) dan pendekatan referent-shift composition model
yang disarankan Chan (1998). Dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut
item-item yang berasal dari konstruk keadilan organisasional disusun dengan
pembahasaan rumusan kalimat pernyataan yang memudahkan para responden
untuk memberikan respon dalam kuesioner dan skala yang ditetapkan sehingga
dihasilkan desain kuesioner awal. Dalam studi pendahuluan tersebut kuesioner
awal disebarkan kepada para perawat tetap yang mempunyai masa kerja enam
tahun ke atas dan bekerja di berbagai instansi di kota Yogyakarta, Bantul dan
Surakarta. Ketika instrumen pengukuran dinilai sudah tervalidasi dari segi
pembahasaan dan persyaratan pengukuran pada setting unit kerja maka
instrumen tersebut siap untuk digunakan dan disebarkan kepada para
responden.
Tahapan rancangan instrumen pengukuran dilanjutkan dengan
penyusunan format kuesioner yang memuat pilihan skala dan rumusan instruksi
tentang cara mengisi kuesioner yang mengarahkan responden dalam
memberikan respon. Kuesioner disebarkan kepada 941 perawat tetap dan
bermasa kerja minimal 5 tahun yang bertugas di 109 unit kerja pada berbagai
instansi rumah sakit di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur. Di antara 935 kuesioner yang dikembalikan ternyata kuesioner
yang dinilai layak untuk diolah lebih lanjut sebanyak 631 kuesioner dengan 91
unit kerja. Unit kerja-unit kerja yang dikaji dalam penelitian ini minimal
beranggotakan lima orang dan mereka bekerja secara tim yang dikoordinasikan
oleh atasan langsungnya.
Analsis faktor digunakan untuk menyelidiki hubungan-hubungan pada
item-item yang berjumlah banyak dan untuk mereduksi item-item tersebut
dalam jumlah yang lebih sedikit terkait dengan faktor yang bersangkutan.
pertimbangan: (1) item tersebut masih mempunyai nilai factor loading lebih
dari 0,40 sebagaimana disarankan Hair et al. (2006), (2) keberadaan item
tersebut menyediakan dukungan pada pengujian reliabiliitas ukuran variabel
trust (TR).
Tabel 4.2. menyajikan item-item yang tetap dipertahankan terkait
dengan ukuran iklim keadilan distributif (IKD). Faktor-faktor yang dikaji dalam
kaitannya dengan konstruk iklim keadilan distributif terdiri atas tiga faktor,
yaitu decision control (DC), equality (EQ), dan need (NE) serta satu faktor yang
disebut global outcomes fairness (GO). Faktor yang ke tujuh ini terdiri atas
item-item yang bermuatan global-evaluative item. Hasil analisis untuk item-
item yang mengukur faktor Global Outcomes Fairness (GO1 hingga GO5)
menunjukkan bahwa kelima item ini tetap dipertahankan.
dengan nilai GFI sebesar 0,919. Di samping itu, hasil olah data juga menyajikan
nilai bobot skor komposit DC (0,503), EQ (0,431), NE (0,056), dan untuk
variabel anchor GO (1,263). Berbasis dengan hasil-hasil tersebut tahapan
analisis dilakukan dengan mengkalkulasi skor komposit DC, EQ, NE., dan GO.
Ketiga faktor tersebut (DC, EQ, NE) mempunyai arah yang positip
berhubungan dengan iklim keadilan distributif (IKD).
Hasil kalkulasi skor komposit komposit pada tahapan tersebut
digunakan untuk menemukan nilai beta bagi DC, EQ, dan NE yang dilakukan
dengan cara meregresikannya pada GO. Nilai beta yang dihasilkan dan skor
komposit DC, EQ, dan NE digunakan untuk menghasilkan skor akhir variabel
iklim keadilan distributif.
5. Simpulan
Ukuran iklim keadilan organisasional telah dikembangkan secara lebih
komprehensif dan teruji secara empiris dengan memanfaatkan sampel sebesar
631 karyawan tetap dalam keanggotaannya pada 91 unit kerja yang tersebar di
11 instansi rumah sakit. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa pada tingkat 1st
order semua faktor yang dikaji dan tercakup, baik dalam iklim keadilan
prosedural dan iklim keadilan distributif menghasilkan tingkat validitas dan
reliabilitas yang dapat diterima.
Hasil pemodelan pengukuran konstruk pada 2nd order ditemukan faktor-
faktor yang mempunyai hubungan struktural yang signifikan untuk
persepsian. Ditinjau dari nilai koefisen beta yang dihasilkan di antara ketiga
faktor tersebut, secara berurutan dari nilai pengaruh yang terbesar hingga
terkecil pada eksistensi iklim keadilan distributif persepsian, yaitu faktor
equality, faktor decison control dan faktor need.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini telah memberikan dukungan
empiris bahwa iklim keadilan organisasional, khususnya iklim keadilan
prosedural dan iklim keadilan distributif merupakan konstruk multidimensi.
Oleh karena itu, implikasi teoritisnya bahwa perspektif-persepektif attraction-
selection-attrition (ASA), social information processing (SIP) dan social
learning theory (SLT) yang terintegrasi secara komplementer memberikan
dukungan yang berarti pada studi, baik tentang akumulasi pemahaman
eksistensi iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif pada setting
unit kerja maupun pengaruh masing-masing tipe iklim keadilan organisasional
tersebut pada perilaku individu yang menjadi anggota unit kerja yang
bersangkutan. Secara metodologis, tersedia peluang studi yang menggunakan
kerangka kerja teoritis lain untuk mengkaji lebih lanjut tentang ukuran iklim
keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif pada setting yang berbeda
dan/atau pada tingkat analisis yang lebih tinggi.
Hasil penelitian ini juga memberikan implikasi praktikal bahwa
instrumen iklim keadilan organisasional yang dikembangkan dan divalidasi
pada penelitian ini menyediakan materi bagi para peneliti lainnya untuk
mengkaji lebih lanjut pada studi-studi lainnya yang menggunakan ukuran iklim
keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif. Secara ringkas, faktor-faktor
yang dicakup dalam iklim keadilan prosedural terdiri atas enam faktor dan satu
ukuran anchor dan faktor-fakor yang dicakup dalam iklim keadilan distributif
terdiri atas tiga faktor dan satu ukuran anchor.
Kelemahan penelitian ini terutama berkenaan dengan faktor-faktor
yang teridentifikasi untuk mengestimasikan iklim keadilan prosedural terbatas
hanya pada dua faktor saja. Selain itu, penelitian dilakukan dengan
mengandalkan data cross sectional. Penelitian yang mengandalkan data
longitudinal diharapkan akan menyediakan hasil yang lebih akurat.
Lampiran -lampiran
Tabel 1.1. Perbandingan Perspektif-perspektif Yang Digunakan
No Dimensi ASA Perspective Social Information Social Learning
Processing Theory Theory
1. Asumsi/Premis Individu-individu Individu-individu Individu-individu
Dasar menganalisis dan saling berbagi belajar dengan
menyesuaikan diri informasi sosial mengamati
dengan dalam lingkungan lingkungan
lingkungan sosialnya sosialnya
sosialnya
2 Formula: fungsi adaptasi fungsi pengaruh fungsi pemodelan
Perilaku individu informasional dan perilaku
adalah shared beliefs
3 Motivasi Keanggotaan dan Keberterimaan Hasil-hasil masa
berperilaku kebersamaan dalam lingkungan mendatang yang
dalam lingkungan sosial dinginkan
sosial
4 Level of analysis Organisasi dan/ Kelompok Kelompok
atau kelompok (lingkungan sosial (lingkungan sosial
(unit kerja) langsung) langsung)
Abstrak
Kata kunci: Integrasi; Segmentasi; Asset Pricing; Faktor Internasional, Net Foreign
Fund Flow & Cost of Equity, Pasar Modal Indonesia
∗
Penulis adalah mahasiswa S3 FE Universitas Indonesia dan staf pengajar di Fakultas
Ekonomi Universitas Tarumanagara Jakarta.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 243
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Swastanisasi pasar modal Indonesia pada tahun 1992 membuat pasar
modal Indonesia mulai terbuka bagi investor asing (Husnan & Pudjiastuti,
1995). Menurut Roida (2004) dengan mulai terbukanya pasar modal Indonesia
maka berbagai faktor eksternal positif dan negatif akan mulai memberikan
pengaruh yang signifikan. Faktor eksternal positif berkenaan dengan makin
meningkatnya arus dana dari luar negeri yakni dalam bentuk pembelian saham
- saham di pasar modal Indonesia {sekarang lihat Bursa Efek Indonesia (BEI)}
oleh para investor asing yang biasanya akan mendorong kenaikan IHSG (Roll,
1995; Wang, 2000 dan Frensidy, 2007). Sementara faktor negatif umumnya
adalah makin melemahnya (terdepresiasinya) nilai tukar Rupiah dengan US
Dollar yang berimbas pada persepsi negatif investor asing terhadap kondisi
pasar modal Indonesia. Adanya persepsi negatif akan menimbulkan sentimen
negatif dari mereka untuk melakukan penjualan terhadap saham - saham yang
telah dimiliki; sehingga pada gilirannya membuat IHSG “anjlok”.
Jadi terbukanya pasar modal Indonesia bagi investor asing sejak 1992
(pada level 49%) dan hampir 100% pada periode 2002-an ternyata memang
memiliki dampak positif dan negatif bagi perubahan IHSG (Murtini & Ekawati,
2003). Ketika investor asing memiliki sentimen positif; maka dampak positif
terjadi yakni kenaikan IHSG seperti pada periode 2004 – 2007 (lihat Setyawan
(2007); nilai IHSG saat itu pada kisaran 800 - 2600). Tetapi manakala sentimen
negatif terjadi maka IHSG akan terkoreksi tajam. Pengalaman historis BEI
(dulu Bursa Efek Jakarta) membuktikan saat krisis moneter Juli 1997, nilai
IHSG berada pada level terendah yakni 200-an. Selain itu pada periode 2007 –
2008 akibat krisis subprime mortgage di Amerika Serikat dan krisis harga
minyak dunia; maka IHSG terkoreksi dari kisaran 2600 - 2700 menjadi 2100 -
2200. Karena secara umum faktor pemicu dinamika IHSG memang berasal dari
Amerika Serikat; maka tepatlah Naranjo & Aris (1997) menyatakan NYSE
(New York Stock Exchange) merupakan barometer bursa dunia.
Jadi sebenarnya langkah swastanisasi pasar modal Indonesia yang mulai
membuka diri terhadap eksistensi para investor asing memang cukup
memberikan manfaat bagi negara kita. Karena dengan adanya keterbukaan bagi
investor asing untuk “bermain” di BEI (dulu BEJ); pasar modal Indonesia
mengalami dampak positif yakni kenaikan IHSG secara signifikan pada kurun
waktu 1993 - 1996 dan 2002 - 2007. Meskipun pada sisi yang lain dengan
adanya investor asing ini pula; pasar modal Indonesia pernah mengalami
dampak negatif yakni berupa penurunan IHSG yang cukup tajam terutama saat
krisis moneter 1997; saat peristiwa peledakan Bom oleh teroris (2002-2005)
dan saat krisis instabilitas ekonomi internasional seperti sub-prime mortagage
dan melonjaknya harga minyak dunia pada periode 2007-2008. Dengan
demikian perkembangan pasar modal Indonesia sejak 1992 – 2008 tidak dapat
dipisahkan dari partisipasi investor asing dan peristiwa internasional.
Situasi tersebut membuat pasar modal Indonesia berada dalam kondisi
“mengambang” antara harus terintegrasi artinya membuka diri terhadap investor
asing dan fenomena peristiwa ekonomi internasional ataukah tersegmentasi
artinya menutup diri terhadap investor asing dan fenomena peristiwa ekonomi
internasional. Namun oleh karena efek jangka panjang dari globalisasi ekonomi
dan manfaat kenaikan IHSG yang sangat signifikan maka pasar modal
Indonesia mestinya bersifat membuka diri atau disebut terintegrasi [Klemeier &
Herald (2000)]. Tetapi melihat dampak negatif yang terjadi yakni penurunan
IHSG yang cukup tajam pula; maka pasar modal Indonesia juga terkadang harus
bersifat menutup diri dari pengaruh sentimen negatif investor asing dan ekses
negatif dari globalisasi ekonomi.
Menurut pendapat penulis pasar modal Indonesia tidak serta - merta
melakukan pemilihan antara harus terintegrasi atau tersegmentasi; tetapi justru
tahu kapan saat yang tepat untuk melakukan integrasi dan bersegmentasi.
Sejauh ini Korajczyk (1995) menyatakan variabel batasan prosentase
kepemilikan asing terhadap saham - saham lokal yang menjadi instrumen efektif
bagi pasar modal Indonesia untuk berintegrasi atau bersegmentasi. Namun
dalam riset terkait seperti Gultekin, et.al. (1989), instrumen efektif tersebut
bukan hanya prosentase kepemilikan melainkan juga cost of equity yang
fungsinya juga sebagai batasan bagi investor asing. Sementara itu; secara
akademik berbagai penelitian tentang topik integrasi dan segmentasi dalam
pasar modal menunjukkan bahwa tidak ada pasar modal di dunia yang memiliki
bentuk ekstrim apakah itu terintegrasi ataukah tersegmentasi secara utuh
(sempurna) (Husnan & Pudjiastuti, 1994). Pada umumnya yang terjadi di pasar
modal hanya ada cenderung ke arah segmentasi atau ke arah integrasi [Errunza
& Losq (1985); Jorion & Schwatrz (1986) dan Cheung & Lee (1993)]. Studi
Faff & Mittoo (1998) menunjukkan bahwa kecenderungan pasar modal ke arah
segmentasi atau integrasi ditentukan oleh tolok ukur maju atau tidaknya suatu
negara. Pada negara - negara maju; pasar modal cenderung akan terintegrasi
sebab negara - negara maju memiliki basis ekonomi kuat untuk mengalirkan
dana investasi ke negara berkembang dan memiliki kesiapan memadai untuk
menanggung risiko investasi pasar internasional [Kearney & Lucey (2004) serta
Bracker, et.al. (1999)].
Tetapi untuk negara-negara berkembang maka akan cenderung
tersegmentasi oleh karena belum memiliki basis ekonomi yang kuat seperti nilai
tukar mata uang yang belum stabil, GNP (Gross National Product) yang masih
rendah serta sistem perbankan yang kurang kuat. Sehingga adalah bijak jika
memperkuat terlebih dahulu basis ekonomi nasional terutama sebelum
membuka pasar modal kepada investor asing. Menurut Stulz & Wasserfallen
(1995) cara yang dapat ditempuh oleh negara berkembang tersebut antara lain
(1) Membangun hambatan langsung dengan pengenaan tarif pajak investasi bagi
perusahaan multinasional (2) Membangun hambatan tidak langsung dengan cara
membatasi akses informasi baik bagi investor asing maupun juga investor
domestik untuk saling berhubungan.
Lalu persoalannya adalah mengapa suatu pasar modal di negara
berkembang ini cenderung tersegmentasi? Hasil studi Cheung & Lee (1993)
menunjukkan bahwa negara berkembang perlu mempersiapkan dulu pasar
modalnya sebelum membuka diri terhadap investor asing. Persiapan ini
dimaksudkan untuk memperkuat basis daya saing dari investor domestik
terhadap investor asing. Sebab biasanya investor asing memiliki sumber modal
yang lebih besar dari investor domestik dan investor asing cenderung akan
mengincar proyek - proyek investasi yang strategik seperti pertambangan
minyak bumi, batu bara, emas, tembaga dan barang tambang lainnya. Sehingga
bila pasar modalnya tersegmentasi maka akses bagi investor asing untuk
memasuki sektor strategik ini menjadi sedikit terhambat, kesempatan untuk
mengelola sektor ini akan didapati dulu oleh investor domestik. Potential
benefit dari proyek tersebut akan dinikmati dulu oleh negara bersangkutan dan
tidak lari ke luar negeri.
Selanjutnya, penelitian ini bermaksud melanjutkan studi yang dilakukan
oleh Cheung & Lee (1993) yang menemukan bahwa pasar modal Korea adalah
pasar modal yang tersegmentasi. Penelitian ini akan memakai model pengujian
multifactor integrasi dan segmentasi pasar modal yang dikembangkan Jorion &
Schwartz (1986) dan dipakai oleh Cheung & Lee (1993) (lebih dalam dibahas
di bab 3) serta juga oleh Cadwell (1997). Penelitian ini berbeda dengan Cheung
& Lee (1993) dalam hal penggunaan risiko investasi internasional dan periode
penelitian. 1
1
Studi Cheung & Lee (1993) memakai tiga jenis risiko investasi internasional pasar
modal Asia Pasifik, Amerika Utara dan Dunia. Sedang penulis hanya risiko pasar
modal Asia Pasifik dengan anggapan bahwa lokasi pasar modal Indonesia di
kawasan Asia maka diduga jenis risiko investasi internasional Asia Pasifik yang
paling dominan. Periode penelitian Cheung & Lee (1993) memakai waktu 1982 -
1989; sementara penulis akan memakai periode waktu 1992 – 2008 dengan harapan
bisa meningkatkan kualitas hasil analisis pengujian berbasis periode sampel observasi
yang jauh lebih panjang.
2
Dalam kondisi integrasi; investor asing memiliki potensi menggerakkan indeks pasar
ketika kondisi stabilitas ekonomi terpelihara; dan sebaliknya akan menurunkan
indeks pasar ketika instabilitas ekonomi yang terjadi. Untuk kondisi segmentasi
dampak positif yang timbul adalah proteksi terhadap investor domestik dari faktor
risiko investasi internasional; namun saat yang sama akan terindikasi dampak negatif
yakni pertumbuhan indeks pasar yang tidak menggembirakan.
3
Jadi bila korelasi antara return saham dalam banyak pasar modal tinggi maka disebut
kondisi yang terjadi adalah integrasi; kalau korelasi rendah maka terindikasi kondisi
segmentasi {lihat Roll (1995) untuk kasus Indonesia}. Sedangkan menurut Yusof &
Majid (2006) untuk kointegrasi sudah demikian banyak riset memakai; kalau nilai
unit root test baik Augmented Dickey Fuller dan Phillips Peron Tests signifikan,
maka kondisi integrasi yang terjadi. Bahkan perkembangan terakhir banyak riset
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 248
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Secara umum kelompok studi ini memakai pendekatan ICAPM & IAPT
yang berasumsi pada perfect market yakni investor memiliki kebebasan untuk
melakukan diversifikasi internasional artinya bentuk – bentuk pembatasan dari
pemerintah lokal mulai berkurang [Koutoulas & Kryzanowski (1994)], Jadi
melalui model asset pricing ini, akan teridentifikasi faktor - faktor apa saja yang
memiliki andil bagi teintegrasi atau tersegementasinya suatu pasar modal.
Menurut Cheung & Lee (1993) dan Basak (1996); kalau bentuk pembatasan
terhadap investor asing minimum dan eksistensi investor asing mulai banyak
maka pasar modal suatu negara terkategori terintegrasi. Kalau pasar modal
mulai mengurangi porsi kepemilikan asing dan meningkatkan bentuk hambatan
misal cost of equity; maka pasar modal terkategori tersegmentasi
Sejauh penulis mengamati ada penelitian dari penulis asing terhadap
dinamika pasar modal Indonesia di samping Roll (1995). Penulis asing itu
adalah Wang (2000) yang menunjukkan bahwa di samping investor asing yang
memang punya pengaruh terhadap makin membuka atau menutupnya pasar
modal; beliau juga menyatakan bahwa karakter pasar modal Indonesia
demikian dinamik (salah satunya ditandai dengan tingginya volatilitas return
saham) justru yang membuat para investor asing ini “betah” bermain. Karena
keberadaan mereka juga akan menjadi contoh oleh para investor lokal dalam
menentukan portfolio investasi terkait. Jadi dugaan penulis; sementara adalah
semakin tinggi volatilitas return saham; maka akan semakin terintegrasi pasar
modal dengan basis argumen jika kondisi ekonomi stabil.
Berdasarkan uraian dua pokok permasalahan di atas maka tujuan utama
penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empris tentang:
4. Kontribusi Penelitian
4.1. Kontribusi Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti secara empirik
kategori pasar modal Indonesia baik itu segmentasi ataupun integrasi.
Pertimbangannya adalah belum banyaknya penelitian tentang pengujian
integrasi versus segmentasi pasar modal di Indonesia yang berbasis asset
pricing. Selama ini di Indonesia masih cukup didominasi pendekatan statistik
perspektif seperti misalnya Roll (1995) dan Roida (2004) menyatakan pasar
modal Indonesia terkategori segmentasi atau integrasi dalam periode data
berbeda. Kalaupun ada satu pendekatan asset pricing masih relatif sederhana
yakni Husnan & Pudjiastuti (1995) yang memakai one factor CAPM. Atapun
juga dari Murtini & Ekawati (2003); Frensidy (2006) dan Setyawan (2007)
yang meskipun menekankan pada model relasional net buying (selling) investor
asing dan indeks pasar; tetapi pada dasarnya masih bergantung semata pada
algoritma software EVIEWS (lihat menu analisis VAR dan ARCH/GARCH).
Maka kelompok studi di atas masih terkategori sebagai basis riset perspektif
statistik.
Guna mencapai harapan yakni perolehan model riset yang berbasis
asset pricing; penulis bermaksud membuat modifikasi model Cheung & Lee
(1993) dan bahkan Basak (1996). Karena model mereka berdua sudah lebih
dinamik dalam arti mampu mengakomodasi faktor – faktor potensial yang
belum di-cover di riset – riset sebelumnya dengan baik seperti net buying
(selling) investor asing, cost of equity dan volatilitas return saham.
4.2. Kontribusi Praktik
Bagi kalangan investor dan pemerintahan, maka penelitian ini
diharapkan akan dapat mengidentifikasi tipe strategi investasi dan regulasi
dalam hal investasi di pasar modal Indonesia. Khususnya agar dapat membuat
iklim investasi terutama investasi dari luar negeri tetap dapat tumbuh subur di
Indonesia tanpa harus menimbulkan risiko kekuatiran bakal makin kuatnya
kontrol investor asing terhadap perekonomian nasional, dengan demikian
investor asing tetap memiliki persepsi positif terhadap iklim investasi di
Indonesia. Karena keberadaan investor asing ini sering menjadi rujukan bagi
investor domestik untuk tetap “tinggal” di pasar modal.
TINJAUAN LITERATUR
5
Pada dekade 1980-an hingga 1990-an di Eropa dan Amerika Utara; kebanyakan
peneliti mengkaitkan integrasi pasar modal dengan liberalisasi ekonomi melalui blok-
blok perdagangan. Seperti di Eropa dikenal dengan fenomena MEE (Masyarakat
Ekonomi Eropa) yang sejak tahun 1999 terkenal dengan EURO; ataupun di Amerika
Utara memiliki blok perdagangan NAFTA. Secara logis; bisa dibenarkan karena
dengan makin menguatnya blok perdagangan maka negara - negara yang menjadi
blok tersebut juga akan saling berinteraksi dalam bentuk transfer sumber daya dan
akses informasi. bila proses interaksi berhasil maka masing - masing negara akan
mendapatkan benefit yakni pertumbuhan GDP dan makin menguatnya pasar modal
masing - masing melalui kenaikan indeks pasarnya.
yakni kejatuhan ekonomi dan juga hancurnya pasar modal selama beberapa
tahun hingga periode 2002 [Nath & Samanta (2005) dan Li & Primbs (2005)].
Walaupun demikian; setelah era 2002, pasar modal dari negara – negara
berkembang mulai pulih. Hal ini ditandai dengan menguatnya kembali
fundamental ekonomi masing – masing negara yang berdampak pada
peningkatan indeks pasar. Seperti untuk kasus Indonesia, China dan India yang
pertumbuhan indeks pasar termasuk tinggi di dunia pada kisaran 2002 – 2007
yang juga melebihi periode sebelum krisis ekonomi 1997. Dan yang unik hal ini
karena keterbukaan terhadap investor asing yang makin besar bahkan hingga
level mendekati 100%. Fenomena tersebut dapat disebut re-swastanisasi pasar
modal yang dapat diartikan langkah swastanisasi kembali pasar modal karena
pemerintah setempat sudah menyadari manfaat potensial dari keberadaan para
investor asing yang akan sungguh - sungguh membuat kenaikan indeks harga
saham secara signifikan. 6
2. Integrasi dan Segmentasi Pasar Modal
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang pengertian integrasi dan
segmentasi pasar modal dari tiga penelitian terdahulu yakni Cheung & Lee
(1993); Stulz & Wasserfallen (1995) dan Li & Primbs (2005). Cheung & Lee
(1993); dan Stulz & Wasserfallen (1995) membahas perbandingan definisi
operasional dari integrasi atau segmentasi pasar modal; sedangkan Li & Primbs
(2005) lebih menekankan bentuk segmentasi pasar modal.
2.1. Penelitian Cheung & Lee (1993)
Cheung & Lee (1993) menunjukkan perbedaan integrasi dan segmentasi
pasar modal dari perspektif penilaian terhadap risiko investasi internasional.
Untuk pasar modal yang tersegmentasi secara sempurna, hanya risiko pasar
domestik yang seharusnya diperhitungkan. Risiko pasar global tidak relevan
dan seharusnya tidak diperhitungkan sebagaimana investor domestik tidak dapat
berpartisipasi dalam pasar modal luar negeri dan investor asing tidak dapat
berpartisipasi di pasar domestik.
Sedangkan dalam pasar modal yang terintegrasi secara sempurna, tidak
hanya risiko pasar domestik saja diperhitungkan tetapi juga risiko pasar global.
Argumentasinya adalah pasar modal tersebut merupakan bagian integral dari
6
Di mana untuk kasus India dan China termasuk yang terbaik mengingat kedua negara
tersebut betul – betul dianggap sebagai kekuatan baru ekonomi di Asia.
pasar modal global. Sehingga berbagai pengaruh eksternal dari pasar modal
global akan mewarnai pasar modal yang bersangkutan.
2.2. Penelitian Stulz & Wasserfallen (1995)
Stulz & Wasserfallen (1995) menunjukkan perbedaan integrasi dan
segmentasi pasar modal dari perspektif dominasi investor domestik terhadap
investor asing. Dalam pasar modal tersegmentasi, seorang investor domestik
memiliki peluang untuk menikmati hasil expected return melebihi investor
asing sebab investor domestik memiliki kesempatan yang lebih besar untuk
berinvestasi di proyek - proyek yang lebih strategik dibandingkan dengan
investor asing karena porsi kepemilikan saham di proyek tersebut lebih besar.
Pada tipe segmentasi, hampir boleh dikatakan investor domestik tidak
menanggung risiko investasi internasional melainkan hanya risiko investasi
domestik saja.
Untuk kasus pasar modal terintegrasi, seorang investor domestik akan
mulai mendapatkan persaingan dari investor asing dalam memilih proyek -
proyek yang strategik karena baik investor asing maupun domestik memiliki
kesempatan yang hampir sama. Agar investor domestik dapat masih menikmati
hasil expected return yang pantas, maka investor domestik perlu melakukan
diversifikasi internasional untuk meminimalkan risiko investasi internasional
yang akan ditanggung.
2.3. Penelitian Li & Primbs (2005)
Li & Primbs (2005) berhasil mengembangkan satu konsep segmentasi
pasar modal dengan berasumsi pada tidak adanya proses arbitrage. Hal ini
dikarenakan justru karena adanya proses arbitrage di pasar modal; para investor
asing sering melakukan diversifikasi intrnasional untuk meminimumkan risiko
fluktuasi kurs mata uang. Menurut Li & Primbs (2005) proses arbitrage di pasar
modal internasional juga harus dibatasi. Ada satu definisi segmentasi yang luar
biasa dari Li & Primbs (2005) yakni
mendapatkan hasil bahwa pasar modal Korea adalah pasar modal yang
tersegmentasi untuk ketiga pasar yakni Asia Pasifik; Amerika Utara dan Dunia.
Melalui metodologi Multivariate Vector Autoregressive; Yusof &
Majid (2006) menunjukkan dominasi pengaruh pasar modal Jepang terhadap
pasar modal Malaysia melebihi dominasi pengaruh pasar modal Amerika
Serikat. Fenomena tersebut berlaku untuk periode pengamatan sebelum dan
sesudah krisis moneter. Arti penting integrasi pasar modal yang terjadi adalah
tidak adanya investor asing yang berhasil mendapatkan keuntungan dari selisih
kurs melalui proses diversifikasi internasional. Hal yang dapat dipelajari adalah
saat pasar modal terintegrasi, maka akan ada proses arbitrage yang memiliki
efek cancel out untuk semua potensi keuntungan abnormal dari kegiatan
investasi internasional.
4. Pengembangan Hipotesis
4.1. Integrasi versus Segmentasi Pasar Modal Indonesia
Pada awal mula berdirinya tahun 1977, pasar modal Indonesia masih
merupakan pasar modal yang kecil. Belum banyak perusahaan yang
mendaftarkan diri sebagai emiten, karena memang pada tahun tersebut demam
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 256
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
go-public belum begitu terasa di kalangan pebisnis. Mulai periode 80-an hingga
90-an, pasar modal Indonesia mengalami pertumbuhan yang tajam seiring
dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat baik. Masyarakat pebisnis
mulai menyadari manfaat yang besar dari berinvestasi di pasar modal, sehingga
pada periode tersebut mulai banyak perusahaan yang listing di BEJ. Apalagi
setelah terjadinya demam go-public pada awal tahun 90-an, membuat jumlah
perusahaan yang menjadi emiten di pasar modal meningkat dengan tajam. Pada
tahun 1992, pasar modal Indonesia mulai terbuka untuk investor asing,
menyusul langkah swastanisasi pasar modal oleh pemerintah. Investor asing
mulai diijinkan berpartisipasi dalam setiap perusahaan sampai dengan batas
kepemilikan maksimum 49 %. Adanya investor asing membuat pasar modal
berkembang pesat (Murtini & Ekawati, 2003).
Dari uraian di atas maka kita dapat melihat sebelum tahun 1992, pasar
modal Indonesia belum terbuka untuk investor asing sementara setelah tahun
1992 pasar modal kita sudah terbuka untuk investor asing. Pada waktu pasar
modal Indonesia belum terbuka untuk investor asing maka sebenarnya pasar
modal Indonesia ini sudah tergolong ke arah bentuk pasar modal segmentasi.
Pernyataan sementara ini dapat didukung dengan hasil penelitian Roll (1995)
yang menyatakan bahwa korelasi antara pasar modal Indonesia dengan
beberapa pasar modal negara-negara di kawasan Asia Pasifik cenderung negatif
dan lemah (karena nilai p – value di atas 5%).
Sementara setelah tahun 1992; walaupun pasar modal kita mulai
terbuka untuk investor asing tetapi itu bukan berarti bahwa pasar modal
Indonesia mulai mengarah ke bentuk integrasi. Hal ini diakibatkan karena
Indonesia ternyata masih mengenakan hambatan tarif pajak investasi bagi
perusahaan multinasional dan juga adanya pembatasan-pembatasan terhadap
jumlah kepemilikan bagi investor asing yang bersangkutan. Kondisi di
Indonesia ini hampir sama dengan di Korea, yang walaupun pasar modalnya
sudah terbuka untuk investor asing, tetapi hasil penelitian Cheung & Lee (1993)
menunjukkan bahwa pasar modal Korea masih tergolong sebagai pasar modal
yang tersegmentasi. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu hipotesis
sebagai berikut:
H1: Pasar modal Indonesia secara umum merupakan pasar modal yang
tersegmentasi.
4.3. Integrasi vs. Segmentasi Pasar Modal Selama Krisis Ekonomi 1997
Melalui analisis korelasi sebelum krisis moneter, menurut Roll (1995)
pasar modal Indonesia memiliki karakteristik tersegmentasi. Beliau menyatakan
arah tanda negatif yang banyak ditemukan dalam studinya tidak menunjukkan
kondisi segmentasi atau integrasi; melainkan pada derajat signifikansi korelasi
yang jika di atas 5%, berarti mendukung kondisi tersegmentasi. Sementara itu
Roida (2004) dengan analisis korelasi juga berhasil menunjukkan bahwa setelah
krisis justru pasar modal Indonesia memiliki hubungan yang kuat dengan
Korea, Malaysia, Philipina, Hongkong, Jepang dan Taiwan. Bukti hubungan
yang kuat dapat ditelusuri dari nilai p-value masing - masing korelasi yang di
bawah 5 %.
Dengan demikian Roida (2004) berhasil melakukan klaim bahwa
setelah krisis moneter; pasar modal Indonesia cenderung terkategori
terintegrasi. Dan bila dikaitkan dengan hasil studi Frensidy (2006) dan
Setyawan (2007), memang setelah krisis moneter 1997 porsi permainan investor
asing demikian meningkat tajam. Hal ini sekaligus menadai makin terbukanya
pasar modal kita terhadap eksistensi investor asing dan pengaruh peristiwa
ekonomi internasional. Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya dapat
ditarik pula suatu hipotesis sebagai berikut:
H3: Krisis moneter 1997 membuat pergeseran pola segmentasi pasar modal
Indonesia menjadi kurang dominan dan bahkan hampir tidak dominan
sehingga mengarah ke bentuk integrasi.
mampu membuat pasar modal menjadi makin tumbuh dan berkembang. Karena
menurut Bhamra (2002) makin tingginya eksistensi investor asing akan
membuat rentang batas atas dan bawah indeks harga saham makin meningkat
karena bermain saham dalam lot besar. Berdasarkan uraian di atas, maka
selanjutnya dapat ditarik pula suatu hipotesis sebagai berikut:
H4: Volatilitas return saham membuat pergeseran bentuk pasar modal
Indonesia dari tersegmentasi menuju ke arah integrasi.
METODE PENELITIAN
7
Kriteria paling aktif adalah atas dasar kapitalisasi pasar selama periode 1992-2008
sementara kriteria paling eksis didasarkan atas mulai awalnya perusahaan-perusahaan
tersebut listing di Bursa Efek Indonesia. Seperti halnya Cheung & Lee (1993), maka
penelitian ini juga memakai kombinasi portofolio untuk memenuhi persyaratan
jumlah observasi dalam model analisis (eq. 8 di hal. 16)
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 260
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Sumber data SBI (Sertifikat Bank Indonesia) pada level data mingguan
adalah www.bi.go.id.
f) Volatilitas Return Saham (Simbol: VOT) Æ Level Data Mingguan
Didefinisikan sebagai volatilitas return saham. Agar lebih efektif; penulis
akan memakai tipe volatilitas Parkinson dan Garman-Klass seperti dikutip
oleh Wang (2000). Return saham dihitung dengan menggunakan
perubahan harga saham. Sumber data harga saham adalah Jakarta Stock
Exchange Monthly dari Januari 1992 sampai dengan Desember 2008
ataupun juga dengan men-download dari www.idx.co.id pada bagian
Trading Information.
Keterangan:
Rit Æ return saham individu yang dianalisis dalam level portofolio
Rmt Æ return pasar modal Indonesia
Fit Æ ekstraksi faktor internasional antara Rmt dan Rwt
βi1; βi2; βi3 ; βim Æ factors loading yang akan hilang setelah running model
δ1; δ2; δ3 Æ masing-masing koefisien faktor internasional; NBS dan CE
δ0 Æ konstanta
H1 diterima bila δ1 = 0 (signifikan). Sementara H2a dan H2b diterima bila δ2 <
0 & δ3 > 0 yang masing-masing signifikan. Prosedur ekstrasi faktor
internasional dengan model Cheung & Lee (1993) sebagai berikut:
8
Agar dapat bekerja secara optimal maka operasionalisasi model multfactor akan
dikerjakan dengan teknik factor analysis yang akan mengiterasi semua kompionen
faktor dalam model tersebut hingga mencapai hasil iterasi yang sempuna
(konvergen). Dasar pemilihan teknik factor analysis ini adalah karena sebenarnya
teknik ini juga termasuk rumpun GLS.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 262
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Modifikasi RCheung & Lee (1993); substitusi persamaan (4a) s/d (5b) ke
persamaan (3):
Modifikasi penulis dengan cara ekspansi NBS dan CE dalam persamaan (6);
ekspansi persamaan (2), substitusi persamaan (7) ke (6) sebagai berikut:
Rit = (Rit) + βim(Rmt - (Rmt)) + β11Fit + β12 NBS + β13CE + еit (7)
m 1 2 3
(Rit) = δ0 + δm βi + δ1βi + δ2βi + δ3βi (8)
m 1 2 3 m m 1 2
Rit = δ0 + δm βi + δ1βi + δ2βi + δ3βi + βi Rmt - δm βi + βi Fit + β1 NBS +
β13CE + еit
Rit = δ0(1-βim) + δ1βi1+ δ2βi2 + δ3βi3 + βim Rmt + βi1Fit + β12NBS + β13CE + еit (9)
9
Merupakan ekstensi Black (1972) CAPM seperti dikutip Cheung & Lee (1993).
Rit = δ0(1-βim) + δ1βi1+ δ2βi2 + δ3βi3 + δ4βi4 + βim Rmt + βi1Fit + β12NBS +
β13CE + β14 D + еit (10)
Rit = δ0(1-βim) + δ1βi1+ δ2βi2 + δ3βi3 + δ4βi4 + βim Rmt + βi1Fit + β12NBS +
β13CE + β14 VOT+ еit (11)
REFERENSI
Frensidy, B. (2006), Pengaruh Net Foreign Fund Flow dan Perubahan Kurs
Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek
Jakarta, Proposal Riset untuk tugas Seminar on Behavioral Finance,
Program Doktor Kekhususan Ilmu Manajemen Keuangan FE-UI, hal. 1-11.
Gultekin, M.N; N.B. Gultekin & A. Penati (1989), Capital Controls and
International Capital Market Segmentation: The Evidence from
Japanese and American Stock Market, Journal of Finance Vol. 44. No.4,
pp. 849 – 869.
Hardouvelis, G.A., D. Malliaropulos & R. Priestley (2006), EMU & European
Stock Market Integration, Journal of Business Vol. 79 No.1, pp. 365– 392.
Husnan, S. & E. Pudjiastuti (1995), Diversifikasi Internasional: Pengamatan
Pada Beberapa Pasar di Asia Pasifik, Working Paper from UGM, pp.1–
12.
Jang, H. & W. Sul (2002), The Asian Financial Crisis and the Comovement
of Asian Stock Market, Journal of Asian Economics Vol. 13, pp. 94 – 104.
Jorion, P. & E. Schwartz (1986), Integration versus Segmentation in the
Canadian Stock Market, Journal of Finance, 41 (3),pp. 603-612.
Kearney, C. & B.M. Lucey (2004), International Equity Market Integration:
Theory, Evidence and Implications, International Review of Financial
Analysis Vol. 13, pp. 571 – 583.
Kleimeier, S. & S. Herald (2000), Rationalization versus Globalization in
European Financial Market Integration: Evidence from Cointegration
Analysis, Journal of Banking & Finance Vol. 24, pp. 1005 – 1043.
Korajczyk, R. (1995), A Measure of Stock Market Integration for Developed
and Emerging Markets, The World Bank Working Paper No. 1482, pp. 1 –
48.
Koutoulas, G. & L. Kryzanowski (1994), Integration or Segmentation of the
Canadian Stock Market: Evidence based on the APT, Canadian Journal
of Economics, Vol. 27 No. 2, pp. 329 – 351.
Lam, S.S. & H.S. Pak (1993), A Note on Capital Market Segmentation: New
Tests and Evidence, Pasific Basin Finance Journal Vol. 1, pp. 263 – 276.
Li, Q. & J.A. Primbs (2005), Asset Pricing in Hierarchical Segmented
Market, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1 – 41.
Mitchener, K.J. & M. Ohnuki (2007), Capital Market Integration in Japan,
Monetary & Economic Studies November Edition; pp. 129 – 153.
Murtini, U. & E. Ekawati (2003), Integrasi Bursa Efek Jakarta dengan
Bursa Efek di ASEAN (Setelah Penghapusan Batas Pembelian Bagi
Investor Asing), Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.6, No.3, pp. 304 –
319.
Agus Sugiyono∗
Abstract
1. Pendahuluan
∗
Kandidat doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi FEB UGM dan peneliti madya
bidang teknik interdisiplin, BPPT
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 268
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
bumi, dan batubara) maupun energi yang dapat diperbarui (energi air dan energi
panas bumi). Mengingat sumber daya energi fosil di Indonesia, terutama
minyak bumi sudah terbatas (Pangestu 1996, Prawiraatmadja 1997, dan Sari
2002:8-9) maka perlu melakukan penghematan dan pengoptimalkan
penggunaannya. Pemerintah dalam rangka mengoptimumkan penggunaan
sumber daya energi telah mengeluarkan kebijakan umum bidang energi yang
meliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi, konservasi, harga energi, dan
lingkungan (Bakoren 1998). Kebijakan ini terus mengalami perbaikan sesuai
dengan kondisi saat ini. Kebijakan Energi Nasional (KEN) merupakan
kebijakan umum bidang energi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun
2004. KEN diharapkan dapat menjadi kebijakan terpadu untuk mendukung
pembangunan nasional berkelanjutan (DESDM 2004:1-2).
Sejak awal tahun 1980 kebijakan diversifikasi energi sudah dicanangkan
dengan strategi pengurangan penggunaan minyak dan menetapkan batubara
sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik. Kebijakan diversifikasi ini
bertujuan untuk mengurangi laju pengurasan sumber energi minyak bumi,
mengoptimalkan nilai tambah produksi dan pemanfaatan energi, meningkatkan
keamanan dan menjaga kesinambungan pasokan energi, dan mendorong
penggunaan sumber energi terbarukan. Salah satu kebijakan pemerintah dalam
kaitannya dengan pengembangan energi terbarukan adalah Peraturan Presiden
No.5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. KEN ini bertujuan untuk
mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam
negeri. Adapun sasaran dari KEN adalah:
• Tecapainya elastisitas energi yang lebih kecil dari satu pada tahun 2025.
• Terwujudnya energi primer mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu
peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional:
o minyak bumi menjadi kurang dari 20%,
o gas bumi menjadi lebih dari 30%,
o batubara menjadi lebih dari 33%,
o bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5%,
o panas bumi menjadi lebih dari 5%,
o energi baru dan terbarukan lainnya, khususnya biomasa, nuklir, tenaga
air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%,
o batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2%.
1.2. Permasalahan
Keterbatasan sumber daya energi terutama minyak bumi saat ini
mendapat perhatian yang serius. Salah satu langkah pemerintah untuk mengatasi
hal tersebut adalah tertuang dalam KEN yaitu kebijkan diversifikasi energi.
Pemerintah akan mengurangi pangsa penggunaan minyak bumi dan
meningkatkan pangsa penggunaan batubara dan gas bumi yang cadangannya
relatif lebih banyak serta meningkatkan pangsa penggunaan energi terbarukan
(energi air, energi panas bumi, biomas, energi surya dan energi angin) karena
potensinya melimpah dan termasuk energi bersih.
Batubara merupakan salah satu alternatif untuk substitusi minyak bumi
yang telah banyak dilakukan dan sedang ditingkatkan penggunaannya. Untuk
dapat memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar harus melewati proses yang
panjang mulai dari tambang, pengangkutan sampai ke pengguna akhir (Malyan
1992). Disamping itu diperlukan juga perencanaan yang matang dan terpadu.
Kendala yang dihadapi untuk memanfatkan batubara secara besar-besaran
sangat banyak, antara lain yaitu: batubara berbentuk padat sehingga sulit dalam
penanganannya, banyak mengandung unsur sulfur dan nitrogen yang bisa
menimbulkan polusi bila dibakar, dan adanya kandungan unsur karbon yang
secara alamiah bila dibakar akan menghasilkan gas rumah kaca. Untuk
2. Rerangka Teoretis
Penelitian tentang dampak kebijakan energi di Indonesia belum banyak
dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan adalah kebijakan subsidi harga
bahan bakar minyak (BBM) terhadap perekonomian dengan menggunakan
model ekonometri (Hope dan Sigh 1995). Keterkaitan antara energi dan
perekonomian sangat besar sehingga ada kecenderungan untuk menggunakan
model multi-sektoral untuk menganalisis kebijakan. Model CGE merupakan
salah satu bentuk model multi-sektoral yang sudah secara luas digunakan saat
ini. Meluasnya penggunaan model CGE didukung oleh perkembangan teknologi
komputasi dan juga oleh kenyataan bahwa model ini memungkinkan untuk
menganalisis perbedaan dampak antar sektor produksi dan antar kelompok
sosial ekonomi (Devarajan dan Robinson 2002).
Saat ini model CGE sudah umum digunakan baik di negara maju
maupun negara berkembang untuk menganalisis dampak external shock atau
kebijakan ekonomi terhadap struktur perekonomian atau distribusi
kesejahteraan. Berbagai kebijakan seperti: kebijakan perdagangan bebas,
kebijakan integrasi regional, kebijakan deregulasi, kebijakan lingkungan dan
kebijakan energi dapat dianalisis menggunakan model CGE.
umum dan teori pertumbuhan ekonomi Neoklasik. Model dari Hudson dan
Jorgenson (1975) dan model Eta-Macro (Manne dkk. 1979) merupakan pelopor
pembuatan model ini. Model tersebut dapat dikategorikan sebagai model CGE.
Struktur model CGE untuk analisis kebijakan energi tidak jauh berbeda
dengan model CGE pada umumnya. Dalam model CGE energi, representasi
dari substitusi antara beberapa input harus lebih mendapat perhatian yang lebih
serius. Disamping itu, adanya kendala sumber daya energi dan kebijakan yang
berorientasi pada penggunaan teknologi baru maka model harus bersifat
intertemporal dan perilaku investasi secara umum maupun di sisi penawaran
energi harus diperhatikan.
Benjamin dan Devarajan (1985) menggunakan model CGE dengan fungsi
produksi Cobb-Douglas untuk menganalisis dampak kenaikan penerimaan
ekspor minyak bumi. Model dikalibrasi dengan menggunakan Tabel Input-
Output tahun 1980 dan menunjukkan bahwa kenaikan ekspor minyak menjadi
penyebab gagalnya pembangunan (Dutch Disease). Bergman (1990)
menggunakan model CGE yang dikalibrasi dengan menggunakan social
accounting matrix (SAM) tahun 1985 untuk Swedia. Model ini digunakan untuk
menganalisis dampak penutupan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir)
dengan mempertimbangkan emisi SO2 dan NOx. Hasil simulasi menunjukkan
bahwa penutupan PLTN akan menurunkan PDB sekitar 3-4% serta diiringi
dengan kenaikan harga listrik. Bohringer (1998) menggunakan model CGE
dengan mempertimbangkan sektor energi secara rinci sebagai aktivitas bottom-
up, sedangkan sektor lain dinyatakan sebagai aktivitas top-down. Model ini
digunakan untuk menganalisis kenaikan harga bahan bakar untuk pembangkit
listrik. Hasil menunjukkan bahwa kenaikan harga bahan bakar akan
menurunkan permintaan dan penawaran serta terjadi efek substitusi antar bahan
bakar.
Model CGE dasar yang dikembangkan berdasarkan model Arrow-Debreu
merupakan model statik karena tidak secara eksplisit memasukkan waktu.
Model statik mempunyai kelemahan terutama untuk menganalisis kebijakan
yang dampaknya akan berlangsung untuk periode yang cukup panjang.
Beberapa model CGE dinamik telah dikembangkan. Secara umum ada
dua mekanisme yang sering digunakan untuk membuat model CGE statik
menjadi model dinamik, yaitu mekanisme rekursif dinamik dan mekanisme
optimasi dinamik (Yang 1999). Dalam mekanisme rekursif dinamik, proses
optimasi merupakan pengulangan dari model statik untuk tahun dasar. Model
diselesaikan secara rekursif untuk setiap periode secara terpisah. Antar periode
dihubungkan dengan variabel eksogen seperti pertumbuhan kapital dan tenaga
kerja. Sedangkan mekanisme optimasi dinamik berdasarkan model
pertumbuhan Ramsey yang mempertimbangkan pelaku ekonomi melakukan
optimasi tidak hanya pada saat ini tetapi juga mempertimbangkan masa depan.
Devarajan dan Go (1998) serta Yang (1999) menggunakan optimasi dinamik.
Dengan mekanisme ini proses komputasi menjadi kendala dan model CGE yang
dinamik dengan mekanisme ini masih dalam tahap pengembangan.
Resosudarmo (2003) menggunakan mekanisme rekursif dinamik dengan
memperimbangkan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja.
Konsumen Produsen
Memaksimumkan utilitas Memaksimumkan
dengan kendala keuntungan dengan
pendapatan kendala teknologi produksi
Model CGE secara teoritis merupakan model statis dengan asumsi bahwa
pasar berkompetisi sempurna dan produksi bersifat constant return to scale.
Untuk memahami kerangka dasar dari model CGE digunakan contoh model
sederhana untuk negara kecil dengan perekonomian tertutup. Misalkan ada dua
komoditas yaitu X1 dan X2 dan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja dan
modal. Setiap komoditas diproduksi oleh satu perusahaan dengan input tenaga
kerja dan modal. Rumah tangga mengkonsumsi komoditas tersebut dengan
memaksimumkan utilitas. Rumah tangga memperoleh pendapatan dari
endowment berupa tenaga kerja dan modal yang digunakan oleh perusahaan.
Harga dari semua komoditas dan faktor produksi dapat mudah menyesuaikan
sehingga keseimbangan antara permintaan dan penawaran dapat tercapai.
Pelaku ekonomi diasumsikan sebagai price taker yang tidak mempunyai
kekuatan untuk menentukan harga pasar. Dalam model ini perdagangan
internasional, investasi, dan intermediate input tidak diperhitungkan. Hubungan
antara rumah tangga, perusahaan, dan pasar dirangkum dalam Gambar 2 dengan
melihat aliran komoditas dan faktor produksi.
Utilitas
Cobb-Douglas
Rumah Tangga
X1 X2
Pasar
Z1 Z2
Cobb-Douglas Cobb-Douglas
Perusahaan
K1 L1 K2 L2
2.3. Hipotesis
Sektor energi terus berkembang seiring dengan terus meningkat konsumsi
energi. Konsumsi energi final (termasuk penggunaan biomasa) meningkat dari
sebesar 778 juta SBM (Setara Barel Minyak) pada tahun 2000 menjadi sebesar
916 SBM pada tahun 2007 atau meningkat rata-rata sebesar 2,3% per tahun.
Pada tahun 2007 penggunaan terbesar adalah sektor rumah tangga dengan
pangsa sebesar 34% diikuti oleh sektor industri 33%, transportasi 20%,
komersial dan sebagai bahan baku masing-masing 3% dan sisanya sekitar 7%
untuk penggunaan lainnya (Gambar 3).
Bahan Baku
Transportasi Lainnya
Komersial 3%
20% 7%
3%
Rumah
Industri
Tangga
33%
34%
Penyediaan energi primer juga terus meningkat dari sebesar 978 juta
SBM pada tahun 2000 menjadi sebesar 1.231 juta SBM pada tahun 2007 atau
meningkat sekitar 3,3% per tahun. Pada tahun 2007 pangsa penyediaan energi
yang terbesar adalah minyak bumi dengan pangsa 39% dan diikuti oleh
batubara 21%, gas bumi 15%, tenaga air 2%, panas bumi 1% dan sisanya 22%
adalah energi non-komersial biomasa untuk rumah tangga pedesaan (Gb. 4)
Panas
Tenaga Air
Bumi
2% Biomasa
Gas 1%
15% 22%
Minyak dan
BBM Batubara
39% 21%
3. Metoda Riset
Secara umum untuk pembuatan model CGE mengikuti langkah-langkah
seperti pada Gambar 5. Pertama-tama membuat data set yang konsisten dengan
kondisi perekonomian saat ini. Parameter model diperoleh berdasarkan prosedur
kalibrasi sedangkan harga elastisitas dapat diperoleh berdasarkan studi literatur.
Berdasarkan kalibrasi dilihat konsistensi model dengan keseimbangan dasar
(benchmark) dalam perekonomian. Bila telah sesuai, langkah selanjutkan adalah
membuat suatu skenario dengan kebijakan tertentu atau mengubah besaran
parameter sehingga didapat keseimbangan perekonomian yang baru.
Berdasarkan hasil ini dapat dianalisis pengaruh dari kebijakan atau perubahan
salah satu parameter terhadap keseluruhan sistem perekonomian (lihat Gb. 5).
Model yang dikembangkan mempunyai dua modul yaitu model dasar
yang merupakan model CGE statis dan model dinamik yang memasukkan
faktor pertumbuhan pada model CGE statis.
1. Permasa-
lahan
Latar belakang
kebijakan
2. Teori
Landasan teori sebagai kunci dari
mekanisme kebijakan
Kalibrasi:
Replikasi
Menghitung nilai parameter dari data
benar?
4. Simulasi
Komputer
benchmark Tidak
Ya
Simulasi:
Menghitung keseimbangan dengan Analisis sensitivitas
kebijakan baru (counterfactual)
Ya
Diadaptasi dari:
Kesimpulan dan rekomendasi - Bohringer, Rutherford and Wiegard (2003)
kebijakan - Peterson (2003)
U Utilitas
Cobb-Douglas
Barang
Qj komposit
Agregrasi
CES
Armington
Mj Dj Ej
Impor Barang Ekspor
domestik
CET
Gross output
Zj domestik
Leontief
Value
added Yj X1j Xij
Intermediate
inputs
Cobb-Douglas
Non-
Energi
Kj Lj Energi
a. Intermediate Input
Perusahaan disamping menggunakan kapital dan tenaga kerja juga
menggunakan intermediate input sebagai faktor produksi. Produksi dibagi
menjadi dua tingkat. Pada tingkat atas gross output domestik merupakan fungsi
Leontief dengan variabel value added dan intermediate input. Pada tingkat
bawah fungsi produksi untuk value added adalah fungsi Cobb-Douglas dengan
input kapital dan tenaga kerja.
- Pada tingkat atas:
⎛ ⎞
max ZP j = ps j Z j − ⎜ py j Y j + ∑ pqi X ij ⎟
⎝ i ⎠
(1)
dengan kendala:
⎛ X ij Y j ⎞
Z j = min ⎜ , ⎟
⎜ ax ay ⎟
⎝ ij j ⎠
(2)
dan:
ZPj: keuntungan perusahaan j
Zj: gross output unuk barang j
Xij: intermediate input barang i yang digunakan oleh perusahaan j
Yj: value added perusahaan j
axij: koefisien minimum yang dibutuhkan intermediate input j untuk
memproduksi satu unit gross output
ayj: koefisien minimum yang dibutuhkan value added untuk
menghasilkan satu unit gross output
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 283
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
(5)
- Pada tingkat bawah:
max YP j = py j Y j − ∑ rh Fhj
h
(6)
dengan kendala:
Y j = b j ∏ Fhj hj
β
(7)
dan:
YPj: keuntungan perusahaan j pada tingkat bawah
Fhj: faktor produksi yang berupa kapital atau tenaga kerja
Dengan menggunakan metode Lagrange maka kondisi optimal dicapai
bila memenuhi persamaan di bawah ini.
β hj py j
Fhj = Yj
rh
(8)
b. Pemerintah
Pemerintah diasumsikan hanya mengambil pajak langsung terhadap
produksi berdasarkan kuantitas. Pajak penghasilkan ini digunakan untuk
c. Investasi
Model merupakan model dinamik sehingga investasi mempunyai peran
yang penting. Pada tahun dasar perilaku investasi dinyatakan dalam persamaan
di bawah ini.
λi
XVi = (S + SG + εSF )
pqi
(11)
XVi: permintaan investasi untuk komoditas i
S: tabungan masyarakat
SF: tabungan dalam bentuk maya uang asing
ε nilai tukar (mata uang rupiah per mata uang asing)
λi: pangsa pengeluaran untuk komoditas i (0 ≤ λi ≤ 1, Σλi = 1)
pmi = ε ⋅ pwmi
(13)
dengan:
pei: harga ekspor komoditas i dalam rupiah
pwei: harga ekspor komoditas i dalam mata uang asing (eksogen)
pmi: harga impor komoditas i dalam rupiah
pwmi: harga impor komoditas i dalam mata uang asing (eksogen)
Neraca pembayaran dalam mata uang asing dinyatakan dalam persamaan
sebagai berikut:
∑i
pwei Ei + SF = ∑ pwmi M i
i
(14)
dengan:
Ei: ekspor komoditas i
Mi: impor komoditas i
e. Asumsi Armington
Barang impor, ekspor dan domestik diasumsikan merupakan barang
substitusi (asumsi Armington). Pertama, barang impor dan domestik diagregasi
sebagai barang komposit. Diasumsikan bahwa barang impor merupakan
substitusi yang tidak sempurna terhadap barang domestik. Sehingga perilakunya
dapat diturunkan berdasarkan optimasi berikut ini.
max QPi = pqi Qi − ( pmi M i + pd i Di )
(15)
dengan kendala:
( )
1
Qi = γ i δmi M iηi + δd i Diηi ηi
(16)
dan:
QPi: keuntungan barang komposit perusahaan i
pqi: harga barang komposit i
Qi: barang komposit i
Di: barang domestik i
γi: parameter produktivitas barang komposit i
( )
1
Z i = θ i ξei EiΦ i + ξd i DiΦ i Φi
(20)
dan:
ZPi: keuntungan transformasi perusahaan i
θi: parameter produktivitas fungsi transformasi perusahaan i
ξei dan ξdi: parameter pangsa fungsi transformasi perusahaan i
φi: parameter yang berhubungan dengan elastisitas transformasi
ψ i: elastisitas transformasi
Kondisi optimal dicapai bila:
1
⎛ θ iΦ i ξei (τ i + ps i ) ⎞ 1−Φ i
E i = ⎜⎜ ⎟
⎟ Zi
⎝ pe i ⎠
(21)
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 287
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
1
⎛ θ Φ i ξd i (τ i + ps i ) ⎞ 1−Φ i
Di = ⎜⎜ i ⎟
⎟ Zi
⎝ pd i ⎠
(22)
f. Market Clearing
Supaya diperoleh keseimbangan pasar maka harus memenuhi kondisi
market clearing sebagai berikut.
Qi = XPi + XGi + XVi + ∑ X ij
j
(23)
∑Fj
hj = FFh
(24)
dengan FFh adalah total endowment yang diset sebagai variabel eksogen.
g. Macro Closure
Dari penurunan persamaan-persamaan tersebut di atas diperoleh sistem
persamaan simultan. Dalam sistem jumlah variabel endogen melebihi jumlah
persamaan sehingga perlu persamaan penutup yang disebut macro closure.
S = ss ∑ rh FFh
h
(25)
SG = ssg ∑ T j
j
(26)
Lt +1 = Lt (1 + rl )
dengan:
depr : tingkat depresiasi
DK : investasi baru
rl : perumbuhan tenaga kerja
4. Pembahasan
Banyak kebijakan energi di negara berkembang yang tidak dievaluasi
dampaknya sehingga bisa muncul kebijakan yang bersifat kontradiktif.
Kebijakan diversifikasi penggunaan energi di satu sisi dengan kebijakan subsidi
harga BBM di sisi lain merupakan salah satu contoh kebijakan energi yang
kontradiktif di Indonesia.
Penelitian tentang dampak kebijakan energi di Indonesia di Indonesia
belum banyak dilakukan. Danar (1994) dengan menggunakan analisis korelasi
meneliti pengaruh kebijakan energi terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil
menunjukkan bahwa sejak tahun 1975 kebijakan diversifikasi energi sudah
menampakkan hasilnya. Lebih jauh Danar menyimpulkan bahwa pertumbuhan
konsumsi energi mempunyai korelasi yang positip terhadap pertumbuhan
ekonomi. Hope dan Singh (1995) meneliti dampak kenaikan harga energi
terhadap rumah tangga, industri dan perekonomian makro di negera-negara
berkembang termasuk Indonesia. Hasil untuk Indonesia menunjukkan bahwa
kenaikan harga minyak diesel menyebabkan penurunan penggunaan minyak
diesel di sektor industri. Kenaikan harga minyak tanah menyebabkan penurunan
kesejahteraan di sektor rumah tangga dan secara ekonomi makro dengan
kenaikan harga minyak maka target pendapatan nasional akan dapat tercapai.
Baik studi Danar (1994) maupun Hope dan Singh (1995) menggunakan model
ekonometri untuk menganalisis dampak kebijakan energi tersebut.
Kleeman (1994:11-34) melakukan studi untuk membuat strategi
perencanaan energi di Indonesia yang berwawasan lingkungan. Studi ini
menggunakan model Markal (Market Allocation) yang berdasarkan optimasi
dengan menggunakan persamaan simultan dalam bentuk linier programming.
Model ini merupakan model keseimbangan parsial karena hanya
memperhitungkan sektor energi. Dampak lingkungan dari penggunaan energi
ditentukan berdasarkan emisi yang ditimbulkan dalam penggunaan energi yang
berupa emisi partikel, nitrogen dioksida (NO2), volatile hydrocarbon (VHC)
dan sulfur dioksida (SOx). Besarnya emisi dihitung berdasarkan faktor emisi
untuk masing-masing jenis energi dan kemudian dilakukan analisis lebih lanjut
dengan model dispersi dan deposisi emisi. Model ini membuat simulasi
penyediaan energi dengan berbagai skenario. Hasil menunjukkan bahwa dengan
skenario tanpa menggunakan teknologi bersih, polusi di daerah perkotaan di
Pulau Jawa akan melampaui ambang batas sehingga perlu dilakukan langkah-
langkah untuk mengurangi polusi akibat penggunaan energi.
Marks (2003) menganalisis kenaikan harga energi terhadap berbagai
sektor perekonomian dengan menggunakan Tabel Input-Output. Hasil studi
menunjukkan bahwa kenaikan harga energi akan berpengaruh paling besar pada
sektor transportasi. Analisis yang digunakan Marks hanya mempertimbangan
keterkaitan statis antar sektor melalui matriks koefisien input-output.
Penggunaan model keseimbangan umum merupakan pengembangan lebih lanjut
dengan mempertimbangkan perilaku setiap pelaku perekonomian. Model
keseimbangan umum dalam penerapan untuk studi empiris selanjutnya lebih
dikenal dengan model computable general equilibrium (CGE). Penggunaan
model CGE untuk mengalisis kebijakan harga energi di Indonesia telah
dilakukan oleh Nikensari (2001), IUC-ES (2001), Said dkk. (2001), Clements
dkk. (2003) dan Ikhsan dkk. (2005). Model CGE yang digunakan merupakan
modifikasi dari model CGE yang digunakan untuk studi sebelumnya, kecuali
model yang digunakan oleh Clements dkk.
Nikensari (2001:8-9) memodifikasi model Lewis (1991) untuk
menganalisis pengaruh pengurangan subsidi harga BBM terhadap sektor
industri. IUC-ES (2001) memodifikasi model Indorani untuk menganalisis
dampak kebijakan harga energi terhadap ekonomi makro dan sektoral. Model
menggunakan Tabel Input-Output 1995 yang diperbarui untuk tahun 2000 untuk
kalibrasi. Studi ini memberi gambaran yang rinci tentang aspek pembuatan
model dan hasilnya digunakan sebagai dasar penyusunan studi dari Said dkk.
(2001). Model CGE yang digunakan oleh Said dkk. selanjutnya disebut
Indoceem (Indorani Comprehensive Energy-Economy Model).
Clements dkk. (2003) mengembangkan model CGE yang dikalibrasi
dengan menggunakan Tabel Input-Output tahun 1995 untuk menganalisis
dampak liberalisasi harga BBM. Ikhsan dkk. (2005) mengintegrasikan
Indoceem dan metodologi perhitungan kemiskinan untuk menganalisis dampak
kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan.
5. Penutup
Model CGE merupakan sistem persamaan simultan tak-linier yang
mensimulasikan perilaku optimal dari semua konsumen dan produsen yang ada
di dalam suatu perekonomian. Dengan menggunakan model ini maka dapat
disimulasikan berbagai kebijakan energi dan pengaruhnya terhadap sektor
perekonomian secara umum. Dalam pembahasan sudah diturunkan persamaan
matematis untuk model CGE energi yang akan dikembangkan. Model tersebut
dikalibrasi dengan menggunakan SAM tahun 2000 dan supaya dapat menjawab
tujuan penelitian maka perlu adanya disagregasi maupun agregasi sektor dalam
SAM. Untuk keperluan disgaregasi sektor maka dapat digunakan data yang ada
dalam Tabel Input-Output untuk tahun yang sama.
Saat ini model masih dalam pengembangan dan diharapkan akan dapat
diaplikasikan karena didukung adanya perangkat lunak GAMS (General
Algebraic Modeling System). GAMS dapat digunakan untuk menyelesaikan
persamaan simultan seperti model CGE yang dikembangkan dalam penelitian
ini. GAMS dapat digunakan untuk melakukan optimasi dengan fungsi kendala
dan fungsi obyektif tertentu (Brooke dkk, 1998). Persamaan simultan dalam
model CGE ini merupakan persoalan nonlinear programming yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan modul Minos yang merupakan optimizer
dari GAMS.
Daftar Referensi
Manne, A.S., R.G. Richels, and J.P. Weyant (1979) Energy Policy Modeling: A
Survey, Operations Research, Vo.27, No.1, p.1-36.
Marks, S.V. (2003) The Impact of Proposed Energy Price Increases on Prices
Throughout the Indonesian Economy: An Input-Output Analysis,
Technical Report, Partnership for Economic Growth Project, United
States Agency for International Development.
MEMR (2008) Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia,
Center for Energy and Mineral Resources Data and Information, Ministry
of Energy and Mineral Resources.
Nikensari, S.I. (2001) Pengaruh Perubahan Kebijakan Harga Energi terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor Industri di Indonesia: Suatu Model
Analisa Keseimbangan Umum, Tesis Tidak Dipublikasi, Universitas
Indonesia.
Nordhaus, W.D. (1973) The Allocation of Energy Resources, Brookings Papers
on Economic Activity, No.3, p.529-570.
Panaka, P. (1992) Konversi Batubara dalam Kaitannya dengan Pemanfaatan
Teknologi Batubara Bersih, KNI-WEC, Jakarta.
Pangestu, M (1996) Indonesian Energy Sector: Facing Globalization
Challenges, Presented at National Symposium of Society of Indonesian
Petroleum Engineers, Jakarta, 6th August 1996.
Peterson, S. (2003) CGE Models and Their Application for Climate Policy
Analysis, Preparatory Lecture, International Workshop on Integrated
Climate Model, ICTP, Italy, September 30th – October 3rd.
Pogany, P (1996) Computable General Equilibrium Models: An Historical
Perspective, Working Paper No.96-09-B, U.S. International Trade
Commission.
Prawiraatmadja, W. (1997) Indonesia’s Transisition to a Net Oil Importing
Country: Critical Issues in the Downstream Oil Sector, Bulletin of
Indonesian Economic Studies, Vol.33, No.2, p.47-71.
Resosudarmo, B.P. (2002) Indonesia’s Clear Air Program, Bulletin of
Indonesian Economic Studies, Vol.38, No.3, p.343-65.
Resosudarmo, B.P. (2003) Computable General Equilibrium Model on Air
Pollution Abatement Policies with Indonesia as a Case Study, The
Economic Record, Vol.79, Special Issue, June, p.63-73.
Said, U., E. Ginting, M. Horridge, N.S. Utami, Sutijastoto dan H. Purwoto
(2001) Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan BBM, Laporan Akhir, USAID
bekerja sama dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Sari, A.P. (2002) Kehidupan Tanpa Minyak: Masa Depan yang Nyata, Makalah
dimuat dalam Life After Oil: Energi untuk Mendukung Pembangunan
yang Berkelanjutan, www.pelangi.or.id, diakses 23 Oktober 2002.
Abstract
A. Latar Belakang
Pembentukkan usaha baru dan dorongan terhadap budaya
kewirausahaan merupakan isu sentral di banyak negara termasuk di Indonesia.
Isu tersebut menjadi alternatif sumber pembangunan ekonomi suatu negara.
Mobilitas investasi sektor riil yang tinggi mendorong suatu negara harus dapat
melepaskan diri dari ketergantungan investasi asing dalam meningkatkan
∗
Sebelas Maret University and Student of Post-Graduate Program on Economics,
Faculty of Economics University of Indonesia
berada dalam kategori UMKM. Sementara itu, Romer (1990) dan Krugman
(1991) menekankan bahwa kunci utama pertumbuhan ekonomi baru terletak
pada efek pengganda kreativitas dan ide yang berasal dari wirausahawan. Oleh
karena itu, UMKM menjadi salah satu jalan masuk hubungan antara
kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian
pertumbuhan UMKM belum dapat digunakan sebagai indikasi utama tingkat
kewirausahaan dalam suatu perekonomian.
Seperti halya dengan di negara-negara lain, UMKM di Indonesia juga
memegang peran sentral terhadap perekonomian. Peran ini semakin nyata pasca
krisis ekonomi tahun 1997. Beberapa indikator menunjukkan UMKM
memegang peranan penting dalam pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis.
Terdapat tiga indikator penting yang dapat menunjukkan peran UMKM dalam
perekonomian Indonesia yang menunjukkan peran penting UMKM dalam
pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis. Tiga indikator tersebut antara lain
yaitu: kontribusi UMKM terhadap nilai tambah industri, kontribusi UMKM
terhadap sektor utama GDP, serta peran UMKM terhadap penyerapan tenaga
kerja baru.
Peran penting UMKM di Indonesia ditunjukkan oleh besarnya jumlah
UMKM. Secara total jumlah UMKM cukup besar di Indonesia dan terus
tumbuh meskipun pertumbuhan ekonomi berada dalam tren negatif akibat krisis
ekonomi. Pertumbuhan UMKM secara diikuti dengan pertumbuhan
pembentukkan lapangan kerja. Tabel 1 menunjukkan rata-rata hanya terdapat
sekitar 1,28 persen tenaga kerja bekerja pada industri besar. Hal tersebut
menunjukkan bahwa UMKM memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja
lebih banyak dibandingkan dengan usaha besar. Sehingga pembentukkan
UMKM melalui konsep wirausaha akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja
baru secara masif. Penyerapan tenaga kerja oleh UMKM selama kurun waktu
tahun 1997-2000 oleh UMKM ditunjukkan tabel di bawah ini.
Tabel 1
Total Tenaga Kerja UMKM per Sektor 1997-2000 (orang)
No Sektor 1997 1998 1999 2000
1 Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan 29.891.389 24.224.109 32.523.873 33.036.240
2 Pertambangan dan Penggalian
467.942 374.740 420.833 558.167
3 Industri Pengolahan
10.067.165 8.329.527 8.301.852 14.191.921
4 Listrik, Gas dan Air Bersih
134.615 112.810 82.701 174.728
5 Bangunan
1.012.215 705.586 637.159 985.860
6 Perdagangan, Hotel dan
Restoran 16.064.421 14.783.478 16.948.808 18.436.559
7 Pengangkutan dan
Komunikasi 2.662.379 2.146.424 2.323.475 2.570.734
8 Keuangan, Persewaan dan
Jasa Perusahaan 689.987 323.772 233.200 413.591
9 Jasa-jasa
4.218.843 3.313.127 3.250.436 3.995.178
Tenaga Kerja UMKM 65.208.956 54.313.573 64.722.337 74.362.978
Tenaga Kerja UMKM dan 65.482.688 54.678.066 67.082.448 74.746.551
Usaha Besar
Sumber: Menegkop & UMKM
Tabel 2
Sumbangan UMKM per Sektor 1997-2000 berdasar harga konstan 1993 (juta Rp)
No Sektor 1997 1998 1999 2000
1 Pertanian, Peternakan, 3.611.554 3.320.427 3.485.057 3.121.115
Kehutanan dan Perikanan
2 Pertambangan dan Penggalian 407.730 194.037 197.483 184.441
3 Industri Pengolahan 2.210.808 1.495.509 1.313.107 1.241.556
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 26.478 18.375 19.531 18.431
5 Bangunan 886.674 678.419 706.002 678.507
6 Perdagangan, Hotel dan 3.594.726 2.637.914 2.908.181 2.581.429
Restoran
7 Pengangkutan dan 901.105 572.065 719.066 665.850
Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan 1.152.056 803.964 670.887 619.814
Jasa Perusahaan
9 Jasa-jasa 868.661 590.537 638.884 554.844
PDB sumbangan UMKM 13.659.792 10.311.246 10.658.198 9.665.987
Persentase terhadap total PDB 57,7 58,2 57,7 56,8
Sumber: Menegkop & UMKM (diolah)
Tabel 3
Nilai Tambah Subsektor UMKM Berdasar Harga Nominal (juta Rp)
Rata-rata
No Subsektor 1997 1998 1999 2000 2001 Pertum-
buhan
1 Manufaktur Non 53,501 74,547 85,265 95,591 110,072 20.24%
Migas
2 Makanan, dan Rokok 25,824 45,192 53,795 54,730 61,020 26.82%
3 Tekstil, garmen dan 8,306 8,292 7,980 9,355 11,047 7.85%
kulit
4 Kayu dan Produk 3,869 5,490 5,625 5,956 5,783 11.83%
Kayu
5 Kertas, cetak dan 1,820 2,356 2,754 3,155 3,654 19.18%
Publikasi
6 Kimia 5,338 5,676 6,812 9,929 11,842 22.84%
7 Produk Mineral Non 2,318 2,805 3,041 4,089 4,876 20.78%
logam
8 Baja Dasar dan Produk 460 274 355 393 608 13.65%
Baja
9 Mesin dan Produk 4,733 3,821 4,268 7,358 10,457 26.74%
Mesin
10 Manufaktur Lainnya 835 641 1,644 629 785 24.11%
Sumber: Menegkop & UMKM (diolah)
B. Landasan Teori
B.1. Definisi Kewirausahaan
Kewirausahaan didefiniskan sebagai seseorang yang mengorganisasi
suatu kegiatan usaha dengan asumsi suatu risiko akan menghasilkan keuntungan
yang tidak menentu (Cantillon, 1734). Pada abad berikutnya John Stuart Mill
(1848) mempopulerkan dalam perkembangan teori ekonomi. Istilah tersebut
populer dalam karya klasiknya Principlesof Political Economy. Selanjutnya
konsep kewirausahaan tidak terlalu popler dalam ekonomi seiring penggunaan
matematika dalam analisis ekonomi.
Joseph Schumpeter (1934) merivitalisasi konsep wirausaha dalam
perekonomian dengan mendefinisikan wirausaha sebagai seorang yang
melakukan kombinasi dan mengkreasi hal baru dalam bentuk produk baru,
proses produksi baru, pasar baru, bentuk organisasi baru dan sumber penawaran
baru. Teori ini selanjutnya berkembang sebagai teori inovasi dalam ekonomi.
Sementara itu, dalam pengertian modern kewirausahaan didefinisikan sebagai
suatu kegiatan membentuk suatu organisasi baru (Lambing dan Kuehl, 2003).
B.2. Kewirausahaan dan Perkembangan Bisnis
Perkembangan perekonomian saat ini diiringi dengan pesatnya
pertumbuhan perusahaan-perusahaan dalam sektor-sektor bisnis yang berbeda-
beda. Meskipun demikian dalam perekembangannya terdapat bisnis yang tetap
menjadi suatu bisnis kecil atau tumbuh lambat, namun terdapat pula bisnis yang
kemudian tumbuh menjadi suatu bisnis yang besar. Sebagian besar peneliti
memfokuskan perbedaan tersebut dalam perspektif pendiri perusahaan seperti
aspek personalitas pendiri perusahaan, skill manajemen pendiri perusahaan, visi
dan tujuan yang kuat dari pendiri perusahaan dan sebagainya (Lambing dan
Kuehl, 2003).
Eagers dan Leahy (1995) mengidentifikasi pertumbuhan bisnis dalam
beberapa tahap antara lain yaitu: tahap konsepsi bisnis, tahap bertahan, tahap
stabilisasi, orientasi pertumbuhan, pertumbuhan cepat dan tahap kemantapan
(maturity). Dalam riset tersebut Eagers dan Leahy menemukan salah satu faktor
perubahan dari suatu tahapan ke tahapan lainnya adalah kemampuan dan gaya
kepemimpinan pengusaha. Lambing dan Kuehl (2003) lebih lanjut
mengidentifikasi bahwa titik kritis permaslahan usaha dalam tahapan-tahapan
tersebut yang memerlukan kemampuan dan kepemimpinan pengusaha adalah
manajemen sumber daya manusia dan manajemen keuangan. Di sisi lain,
kemampuan pengorganisasian usaha menjadi aspek penting konsep
kewirausahaan itu sendiri. Dengan kata lain, perkembangan bisnis tidak dapat
dilepaskan dari aspek kewirausahaan.
Merrill dan Sedgewick (1994), dalam studi mereka berhasil
memberikan rekomendasi bagaimana mengelola skala perusahaan kepada para
entrepreneur. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain yaitu:
a. Craftperson: rekomendasi ini berlaku bila wirausahawan tidak dapat
mempercayai orang lain, sehingga bentuk perusahaan pribadi menjadi
bentuk pilihan perusahaannya. Kelemahan dalam kondisi ini adalah skala
perusahaan tersebut sulit berubah menjadi skala perusahaan yang lebih
besar.
b. Koordinator: Pendekatan ini dilakukan dengan metode outsourcing,
sehingga dapat meminimumkan sumber daya dalam pengelolaan
perusahaan.
c. Manajemen Klasik Kewirausahaan: Pendekatan ini dilakukan dengan cara
wirausahawan mengelola perusahaan dengan mempekerjakan beberapa
orang sebagai pegawainya dengan struktur organisasi tertentu.
d. Kewirausahaan tim: Konsep ini menggunakan upaya pendelegasian
wewenang kepada partnernya dalam pengelolaan perusahaan.
Penjelasan teori di atas disebut juga pandangan tradisiopnal siklus
hidup model perkembangan bisnis. Beer (1995) dan Garrick (1998)
mengembangkan konsep tradisional perkembangan bisnis tersebut dalam
konsep yang lebih modern. Beer (1995) membagi tahapan perkembangan bisnis
yang berbeda dengan pandangan tradisional perkembangan bisnis dalam
Perusahaan Perusahaan
Desentralisasi Fleksibel Inovatif
Gambar 2.1.
Siklus Hidup Organisasi Perusahaan
C. Metodologi Penelitian
C.1. Penentuan Ukuran Kewirausahaan dalam Perekonomian
Sebagian besar ekonom berpendapat bahwa pengukuran kewirausahaan
dalam perekonomian merupakan hal yang sulit dilakukan (Storey, 1991).
Meskipun demikian, OECD mengembangkan pengukuran kewirausahaan
dengan beberapa pendekatan dalam perspektif data internasional. Sejalan
dengan itu, penelitian ini juga berusaha memberikan alternatif pengukuran
kewirausahaan dengan tetap memperhatikan beberapa aspek antara lain: 1)
Ketercakupan; 2) kesederhanaan dan kemudahan; 3) kelayakan dan 4) dapat
dibandingkan antar satu dengan yang lain (Briguglio dkk., 2006).
Gambar 4
Grafik Tingkat Kewirausahaan di Beberapa Negara OECD
simplifikasi diasumsikan bahwa teknologi serta peran tenaga kerja dan modal
dalam perekonomian adalah identik antara UMKM dan industri besar. Situasi
ini ditunjukkan oleh persamaan berikut ini:
Yi ,t = α K ib,t β ( AL )i ,t + (1 − α ) K ik,t β ( AL )i ,t
b 1− β k 1− β
............ (1)
Yi,t adalah output perekonomian yang disumbangkan oleh industri besar dan
sedang dengan kontribusi sebesar α dan kontribusi industri kecil dan UMKM
sebesar (1- α). Teknologi (A) serta tenaga kerja (L) dan perannya dalam
perekonomian sebesar (β) juga modal (K) dan perannya dalam fungsi produksi
sebesar (1-β).
Guna mengadopsi definisi kewirausahaan sebagai variabel ekonomi
yang terukur model di atas disesuaikan sebagai berikut:
n n
Yz ,t = ∑ K ib,t β ( AL )i ,t + ∑ K ik,t β ( AL )i ,t
b 1− β k 1− β
............ (2)
i =1 i =1
Tanda pangkat b merupakan representasi industri menengah dan besar
sedangkan tanda pangkat k merupakan representasi industri kecil. Sehingga
output dalam perekonomian daerah z merupakan penjumlahan dari output yang
dihasilkan seluruh industri besar/sedang dan seluruh industri kecil/UMKM.
Sifat perusahaan besar/sedang dan kecil/UMKM adalah stok perusahaan pada
waktu t. Dengan mengurangi dengan Yz,t-1 maka diperoleh persamaan sebagai
berikut
n n
dYz ,t = d ∑ K ib,t β ( AL )i ,t + d ∑ K ik,t β ( AL )i ,t
b 1− β k 1− β
............ (3)
i =1 i =1
Berdasarkan definisi kewirausahaan di atas, dinyatakan bahwa
kewirausahaan adalah suatu kegiatan pembentukkan organisasi usaha baru
dalam lingkup besar, menengah, kecil maupun mikro. Kegiatan pembentukkan
usaha diukur melalui selisih jumlah perusahaan pada t terhadap jumlah
perusahaan pada t-1. Kondisi ini selanjutnya diidentifikasi sebagai variabel
kewirausahaan. Berdasarkan situasi ini maka akan dperoleh model estimasi
yang ditunjukkan dalam persamaan berikut.
dYz ,t = χ + γ Eb + δ Ek ............ (4)
n n
∑ K β ( AL ) ∑ K β ( AL )
b 1− β k 1− β
dimana Eb = d b
i ,t i ,t
dan Ek = d k
i ,t i ,t
i =1 i =1
D. Analisis
D.1. Perkembangan UMKM di Subosukasraten
Secara umum seiring dengan transformasi sektor industri yang terjadi
dalam perekonomian Subosukawonosraten pada awal tahun 1990-an,
Perkembangan jumlah perusahaan baik kategori industri besar maupun kecil di
Subosukawonosraten meningkat cukup signifikan. Khusus pada sektor industri
kecil, seiring dukungan kredit pemerintah terhadap industri kecil serta
diberlakukannya UU No.9/1995 tentang industri kecil; perkembangan industri
kecil menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh
gambar di bawah ini.
40000
35000
30000
Ind Kecil B o yo lali
25000 Ind Kecil Skh
Ind Kecil Surakarta
20000
Ind Kecil Karanganya
15000 Ind Kecil Sragen
Ind Kecil Klaten
10000
5000
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gambar 1
Grafik Perkembangan Industri Kecil di Subosukasraten
100%
80%
60%
Industri Besar
40% UMKM
20%
0%
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gambar 2
Penyerapan Tenaga Kerja Industri Besar dan UMKM di
Kabupaten Sukoharjo
2004
2003
2002
2001
2000
UM KM
1999
Industri B esar
1998
1997
1996
1995
0% 50% 100%
Gambar 3
Penyerapan Tenaga Kerja Industri Besar dan UMKM di Kabupaten Sragen
3 30 80
8
2 20
60
4
1 10
40
0 0 0
20
-1 -10
-4
0
-2 -20
-8 -20
-3 -30
8000 124
100
200
122
6000
50
120 160
4000
0 118
2000 120
116
-50
0
114
80
-2000 -100
112
4000 100 12
160
10
3000 80
120 8
2000 60
80 6
1000 40
4
40
0 20 2
-1000 0 0 0
1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004
Gambar 4
Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual dan Tingkat Keseimbangan
Kewirausahaan Industri Besar di Subosukasraten
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 316
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
12000
40000
10000
8000 30000
6000
20000
4000
2000
10000
0
-2000 0
1994 1996 1998 2000 2002 2004 1994 1996 1998 2000 2002 2004
6000
20000
5000
16000
4000
12000 3000
8000
2000
1000
4000
0
0
1994 1996 1998 2000 2002 2004 -1000
1994 1996 1998 2000 2002 2004
ACTIKKRA IKKRA
ACTIKSKA IKSKA
20000
20000
16000
16000
12000
12000
8000
4000 8000
0 4000
-4000
1994 1996 1998 2000 2002 2004 0
1994 1996 1998 2000 2002 2004
ACTIKSKH IKSKH
ACTIKSRG IKSRG
Gambar 5
Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual dan Tingkat Keseimbangan
Kewirausahaan UMKM di Subosukasraten
140
120
100
80
60
40
20
0
-20 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
-40
-60
Boyolali Sukoharjo
Surakarta Karanganyar
Sragen Klaten
Rata-rata Subosukasraten
Gambar 6
Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual Industri Kecil/UMKM di Subosukasraten
100
80
60
40
20
0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
-20
-40
-60
-80
Boyolali Sukoharjo
Surakarta Karanganyar
Sragen Klaten
Rata-rata Subosukasraten
Gambar 7
Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual Industri Besar di Subosukasraten
E. Kesimpulan
Secara umum, penelitian ini menghasilkan suatu fakta yang mendukung
teori dan beberapa penelitian terdahulu seperti menunjukkan peran penting
kewirausahaan terhadap pembangunan ekonomi daerah khususnya pertumbuhan
ekonomi di daerah Subosukasraten. Selain temuan umum di atas, beberapa
temuan khusus yang diperoleh melalui proses penelitian yang panjang ini adalah
penggunaan suatu indikator nominal kewirausahaan dalam suatu analisis
ekonomi. Indikator kewirausahaan dalam penelitian ini merupakan hasil inovasi
yang dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif dalam penyusunan
indikator kewirausahaan berdasarkan basis data sekunder seperti yang telah
dilakukan sebelumnya oleh Thurik dan Verheul (2002).
Indikator kewirausahaan yang digunakan dalam penelitian ini, pemisahan
antara tingkat kewirausahaan pada industri besar dan kecil serta pengukuran
yang menggunakan deviasi antara keseimbangan umum perkembangan usaha
besar dan usaha kecil adalah beberapa inovasi sederhana dalam melakukan
pengukuran terhadap tingkat kewirausahaan. Subosukasraten memiliki potensi
Daftar Pustaka
Acs, Z.J., D.B. Audretsch and M.P. Feldman (1992), “Real Effects of Academic
Research”, American Economic Review, 82(1), pp. 363-367.
Anderson, Dennis, (1982), “Small-Scale Industry in Developing Countries: A
discussion of the Issues” World Development
Audretsch, D., dan A.R. Thurik (2001), “Linking Entrepreneurship to Growth”,
Organisation For Economic Co-operation dan Development
Audretsch, D., W. Baumol and A. Burke (2001), “Competition Policy in
Dynamic Markets”, International Journal of Industrial Organization,
19(5), pp. 613-634.
Audretsch, D.B., M.A. Carree, A.J. van Stel and A.R. Thurik (2000), “Impeded
Industrial Restructuring: The Growth Penalty”, Centre for Economic and
Policy Research Discussion Paper
Briguglio, Lino. dkk. (2006), “Conceptualizing and Measuring Economic
Resilience” Department of Economics University of Malta:Working
Papers
Chandler, A.D. Jr. (1990), Scale and Scope: The Dynamics of Industrial
Capitalism, Harvard University, Cambridge.
Dosi, G. (1988), “Sources, Procedures and Microeconomic Effects of
Innovations”, Journal of Economic Literature 26, pp. 1120-1171.
Hoselitz, B.F. (1979), “Small Industry in Underdeveloped Countries” Journal of
Economic History”, 19(1) (Reprinted in Ian Livingston (ed),
Development Economics Policy: Readings, George Allen an Unwin)
Kaldor, N. (1934), “The Equilibrium of the Firm”, Economic Journal 44,
March, pp. 60-76
Krugman, P. (1991), Geography and Trade, MIT Press, Cambridge.
Loveman, G. and W. Sengenberger (1991), “The Re-emergence of Small-scale
Production: An International Comparison”, Small Business Economics 3,
pp. 1-37.
Lambing, Peggy.A. Kuehl, Charles, R. (2003), “Entrpreneurship”. Prentice
Hall: New Jersey
Lucas, R.E. (1978), “On the Size Distribution of Business Firms”, Bell Journal
of Economics 9,pp. 508-523
Menegkop & UKM (2001), “Statistik Pengusaha Kecil dan Menengah Tahun
2001”
Penandiker, Pai. D.H, (1996), “Status of SMEs in terms of their competitive
strength” paper presented for the IX International Conference on Small
and Medium Enterprises, New Delhi, 17-19 April WASME.
Piore, Michael J.dan Charles F Sobel, (1984), “The Second Industrial
Divide”Basic Book, New York
Postigo, Sergio, (2004), “Fostering Entrepreneurship in Crisis Context: The
Case of Argentina” Working Papers of Karel Steuer Chair of
Entrperenesurship Universidad de San Andres
Reynolds, Paul D., David J. Storey and Paul Westhead (1994), “Cross National
Comparison of the Variation on the New Firm Formation Rates”,
Regional Studies 27, pp. 443-456
Romer, Paul M. (1986), “Increasing Return and Long-Run Growth”, Journal of
Political Economy 94
Romer, Paul M. (1990), “Endogenous Technological Change”, Journal of
Political Economy 98, pp. 71-101.
Schumpeter, J.A. (1934), “The Theory of Economic Development”. Cambridge,
MA: Harvard Press
Scherer, F.M. and D. Ross (1990), Industrial Market Structure and Economic
Performance, Houghton Mifflin Company, Boston, MA.
Tambunan, Tulus TH. (2006), “Development of Small & Medium Enterprises
in Indonesia from the Asia-Pasific Perspective”
Viner, Jacob (1932), “Cost Curves and Supply Curves”, Zeitschrift fur
Nationaloekonomie 3, pp. 23-46.
Wennekers, S. dan A.R. Thurik (1999), “Linking Entrepreneurship and
Economic Growth”, Small Business Economics 13, pp. 27-55
Joko Susanto∗
Abstract
This research analysis the nominal wage rigidity for the case of production
workers in Indonesian chemical industries and analysis the factor that
influence this rigidity by utilizing panel data for the period 1997-2005.
The statistical data form BPS is used in this research. Making use of the
condition that the employers who try to maximize their profit will pay a
nominal wage as high as the marginal value product of labor, the first
regression function is developed. This function regress nominal wage on
the workers` productivity. The first regression function is estimated by
GMM (Generalized Method of Moment) estimation method and common
effects specification. Furthermore, the second function regress the
downward nominal wage rigidity on the workers’ productivity, price of
output, bill of worker union, and provincial minimum wage by sector. This
function is estimated by logit method. The results of this study show that
the nominal base wage of the production worker is rigid. The decreasing
productivity of the workers does not lower the nominal base wage of the
production workers. On the other hand, the nominal wage of the
production workers is not rigid. The increasing of workers productivity
and price of output lower the odds of the nominal wage decreasing,
meanwhile the bill of worker union, and provincial minimum wage by
sector don’t have impact.
Key words: worker’s productivity, nominal base wage, nominal total wage,
production workers.
∗
Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi FEB
UGM Yogyakarta dan staf pengajar di Univ. Pembangunan Nasional Yogyakarta
1. Pendahuluan
turun, termasuk output industri kimia. Penurunan jumlah output yang diminta
menyebabkan penurunan pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia.
Penurunan jumlah output diminta mengakibatkan penurunan
pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia. Pada masa sebelum krisis
moneter (tahun 1996), pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia mencapai
76,04 persen. Nilai tersebut turun menjadi 70,09 persen pada tahun 1997, dan
mencapai nilai terendah dengan pemanfaatan kapasitas terpasang setinggi 68,21
persen pada tahun 1998. Mulai tahun 2000 pemanfaatan kapasitas terpasang
industri kimia meningkat. Selanjutnya pada tahun 2004, pemanfaatan kapasitas
terpasang industri kimia sudah mendekati nilai pemanfaatan kapasitas
terpasang pada masa sebelum krisis moneter (Tabel 1).
mengalami penurunan. Hal ini berarti kurva permintaan tenaga kerja berlereng
negatif. Kenaikan upah nominal mengurangi jumlah tenaga kerja yang diminta,
dan sebaliknya.
Sementara itu, berdasar hubungan antara tingkat upah dengan jam kerja,
dapat diturunkan kurva penawaran tenaga kerja individual yang
menggambarkan kombinasi tingkat upah dengan jam kerja ditawarkan. Berdasar
pendekatan ini dikembangkan kurva penawaran tenaga kerja agregat yang
menunjukkan kombinasi antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang
bersedia bekerja (Bosworth et al. 1996: 13). Kurva penawaran tenaga kerja
berlereng positif menunjukkan bahwa semakin tinggi upah nominal, semakin
besar jumlah tenaga kerja yang bersedia bekerja.
Pasar tenaga kerja merupakan pertemuan antara permintaan dengan
penawaran tenaga kerja. Interaksi antara permintaan dan penawaran tenaga
kerja akan menentukan tingkat upah dan tingkat employment (McConnell et
al. 2003: 169). Keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai pada saat kurva
permintaan tenaga kerja berpotongan dengan kurva penawaran tenaga kerja.
Pada kedudukan ini, jumlah tenaga kerja diminta sama dengan jumlah tenaga
kerja yang bersedia bekerja. Apabila tidak ada campur tangan dari luar, maka
tidak terdapat kecenderungan tingkat upah dan employment untuk berubah.
2.2. Penelitian Sebelumnya
Campbell dan Kamlani (1997: 759-789) melakukan survai terhadap
sejumlah perusahaan tambang, konstruksi, manufaktur, dan jasa di Amerika
Serikat dengan mengirimkan kuesioner kepada para manajer perusahaan
tersebut. Survai ini menggunakan metode deskriptif dan memperoleh temuan
bahwa perusahaan tidak menurunkan tingkat upah nominal pekerjanya selama
masa resesi. Responden menyatakan bahwa penurunan upah nominal
menyebabkan pekerja terbaik segera keluar dari perusahaan. Pertimbangan lain
adalah karena penurunan upah nominal menyebabkan naiknya turn over
pekerjanya yang selanjutnya berdampak pada kenaikan biaya perekrutan dan
pelatihan.
Bewley (1998: 459-490) meneliti ketegaran upah nominal untuk turun
dengan melakukan wawancara terhadap sejumlah pelaku bisnis pada bidang
konstruksi, manufaktur dan jasa di Amerika Serikat. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dan memperoleh temuan bahwa pengusaha
enggan untuk menurunkan upah nominal karena mereka yakin bahwa
penurunan upah nominal akan menurunkan moral pekerja dan pada akhirnya
menurunkan produktivitas pekerja. Penurunan upah nominal bukan solusi tepat
untuk mengatasi resesi yang dihadapi perusahaan. Penurunan upah nominal
tidak akan membuat perusahaan menjadi lebih baik. Perusahaan lebih memilih
untuk mengurangi jumlah pekerja daripada menurunkan upah nominal.
Penurunan moral pekerja akibat penurunan upah nominal lebih besar
dibandingkan penurunan moral pekerja akibat pemberhentian pekerja.
Lebow et al. (1999) meneliti ketegaran upah nominal untuk turun di
Amerika Serikat dengan menggunakan uji Lebow, Stockton dan Wilson (LSW)
Asymmetry. Penelitian ini menggunakan data dari sejumlah perusahaan yang
terdapat pada US Bureau of Labor Statistics (BLS). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa upah nominal tegar untuk turun. Perusahaan dapat
menghindari ketegaran upah nominal untuk turun dengan melakukan variasi
pada kompensasi pekerja. Kompensasi yang diterima pekerja terdiri atas upah
nominal dan berbagai tunjangan. Ketegaran kompensasi untuk turun lebih
lemah daripada ketegaran upah nominal untuk turun.
Oyer (2005) menguji ketegaran upah nominal untuk turun di AS
berdasar data tahun 1953-1977. Data penelitian mencakup berbagai industri
yang terdapat pada publikasi US Bureau of Labor Statistics (BLS). Penelitian
tersebut menggunakan alat analisis ekonometri dengan metode estimasi
ordinary least square (OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa upah
nominal bersifat tegar untuk turun. Perusahaan mengalami kesulitan untuk
menurunkan upah nominal termasuk pada saat kondisi perekonomian
memburuk. Untuk itu, perusahaan menggunakan skema tunjangan. Perusahaan
dapat menurunkan biaya tenaga kerja dengan cara menurunkan tunjangan.
3. Metode Riset
λ ij ECT t −1 + e it (1)
Dalam persamaan ini, variabel RIGID bernilai 1 bila upah nominal turun dan
bernilai 0 bila upah nominal tidak turun. Adapun koefisien φ , ω, β dan γ pada
Persamaan (2) diharapkan bertanda negatif.
k k k k
RIGIDit = α i + ∑φij dYit +∑ωij dPQit − j + ∑ β ij SPit + ∑γ ij dUPMINit − j + uit
j =1 j =1 j =0 j =1
(2)
Dalam persamaan di atas, variabel RIGIDit akan mencakup
RIGID1it adalah ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi untuk turun
RIGID2it adalah ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun
belah silang. Apabila parameter regresi sama untuk semua unit belah silang,
maka unit belah silang yang ada dalam model dapat digabung, dan sebaliknya.
Untuk mengetahui apakah unit-unit belah silang dalam model bisa digabung
atau tidak bisa digabung dilakukan uji poolability. Pengujian ini mengikuti
kaidah distribusi F.
Hasil pengujian poolability menunjukkan bahwa seluruh unit belah
silang dalam model dapat digabung (poolable) sehingga model yang benar
adalah model dengan paramater regresi yang sama untuk setiap unit belah
silang. Seluruh unit belah silang pada penelitian ini merupakan industri kimia
dengan kandungan bahan baku impor tinggi sehingga memiliki karakteristik
sama. Karakteristik yang sama ditunjukkan oleh adanya kesamaan perilaku
antar unit belah silang yang ditandai dengan kesamaan parameter regresi untuk
seluruh unit belah silang.
4.6. Pengujian F- Terkendala (Restricted F Test).
Setelah diketahui bahwa paramater regresi sama untuk tiap-tiap unit
belah silang, maka permasalahan berikutnya adalah apakah intercept tiap unit
belah silang sama atau berbeda. Untuk memilih model yang baik apakah dengan
intercept sama atau intercept berbeda-beda untuk tiap unit belah silang
dilakukan pengujian F-terkendala (Restricted F test). Pengujian F terkendala
dilakukan pada estimasi persamaan upah pokok dan upah total nominal
(Persamaan 1), sedangkan pada model ketegaran upah nominal (Persamaan 2)
tidak dilakukan uji F terkendala. Hal ini dikarenakan keterbatasan pada
software sehingga estimasi logit dilakukan berdasar model common effets.
Hasil pengujian F terkendala menunjukkan nilai F-hitung yang tidak
signifikan. Dengan demikian model yang baik adalah model dengan intercept
sama untuk tiap unit belah silang. Hal ini berarti terdapat kesamaan karakteristik
antar unit belah silang (Gujarati 2003 : 642). Kesamaan intercept
mengindikasikan kesamaan kebijakan pengupahan pada seluruh industri kimia
yang menjadi obyek penelitian. Selanjutnya, karena model yang baik adalah
model dengan intercept sama untuk tiap unit belah silang (common intercept),
maka tidak dilakukan pengujian Hausman.
4.7. Ketegaran Upah Pokok Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun
Melalui estimasi model common effects dan reduksi terhadap
paramater-paramater yang tidak signifikan diperoleh hasil estimasi yang
sederhana (Tabel 5). Hasil pengujian redundant coefficient menunjukkan bahwa
F hitung tidak signifikan sehingga model reduksi dapat digunakan sebagai dasar
analisis. Hasil estimasi menunjukkan koefisien variabel ECT1i,t-1 signifikan dan
bertanda negatif. Dengan demikian model upah pokok nominal pekerja produksi
(W1) memiliki keseimbangan jangka panjang dan terdapat proses koreksi
kesalahan menuju keseimbangan. Nilai koefisien ECT1i,t-1 sebesar -0,173,
menunjukkan bahwa kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) upah pokok
nominal aktual pekerja produksi menuju ke kondisi keseimbangan adalah
sebesar 173 rupiah per tahun.
output menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga upah
nominal tidak mengalami penurunan. Nilai mutlak koefisien regresi variabel
harga output sebesar 0,126 sehingga nilai anti-ln dari koefisien tersebut sama
dengan 1,134. Dalam jangka pendek, kenaikan harga output sebesar 1 satuan
(cetiris paribus), mengurangi kemungkinan adanya penurunan upah pokok
nominal pekerja produksi sebesar 1,134 (e 0,126).
Variabel kelembagaan (undang-undang serikat pekerja dan upah
minimum sektoral propinsi) yang tidak signifikan menunjukkan bahwa faktor
kelembagaan tidak berpengaruh pada ketegaran upah pokok nominal pekerja
produksi untuk turun. Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000
tentang serikat pekerja dan ketentuan upah minimum sektoral propinsi tidak
menjadikan upah pokok nominal pekerja produksi semakin tegar untuk turun.
Desentralisasi hubungan industrial ini tidak dapat meningkatkan kekuatan tawar
serikat pekerja. Jumlah serikat pekerja yang berlebihan dan tidak adanya kerja
sama antar serikat pekerja menjadi kontra produktif bagi kepentingan
perjuangan serikat pekerja itu sendiri. (www.apindo.co.id).
Selanjutnya, variabel upah minimum sektoral propinsi yang tidak
signifikan diduga karena upah yang diberikan industri kimia telah melebihi
upah minimum sektoral propinsi. Pengusaha telah memberikan upah yang
besarnya melebihi tingkat upah minimum sekaligus melebihi tingkat upah
pasar. Dengan demikian untuk variabel produktivitas pekerja dan harga output
maka hipotesis 1 tidak ditolak, sedangkan untuk variabel pengesahan undang-
undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi hipotesis 1 ditolak.
Temuan ini mendukung hasil penelitian Campbell dan Kamlani (1997:
759-789) yang menyatakan bahwa perusahaan tidak menurunkan tingkat upah
nominal pekerjanya selama masa resesi. Penurunan upah nominal menyebabkan
pekerja terbaik segera keluar dari perusahaan. Pertimbangan lain adalah karena
penurunan upah nominal menyebabkan naiknya turn over pekerjanya yang
selanjutnya berdampak pada kenaikan biaya perekrutan dan pelatihan. Temuan
ini juga mendukung hasil penelitian Bewley (1998:459-490) yang menyebutkan
bahwa pengusaha enggan untuk menurunkan upah nominal karena hal tersebut
akan mengakibatkan penurunan moral pekerja dan pada akhirnya menurunkan
produktivitas pekerja. Penurunan upah nominal tidak akan membuat perusahaan
lebih baik.
Nilai F hitung pada model regresi upah nominal pekerja produksi adalah
sebesar 5,828 dan signifikan sehingga secara bersama-sama variabel sisi kanan
persamaan berpengaruh signifikan pada upah total nominal pekerja produksi.
Akan tetapi, secara individual interaksi antara variabel produktivitas dan
variabel dummy (DUM*DYi,t) tidak signifikan. Demikian pula variabel tingkat
upah total nominal pekerja produksi tahun sebelumnya (DW2 i,t ) yang tidak
signifikan.
Dampak perubahan produktivitas pekerja terhadap upah total nominal
pekerja produksi ditunjukkan oleh koefisien produktivitas pekerja (DYi,t) dan
interaksi variabel produktivitas pekerja dengan variabel dummy (DUM*DYi,t,
dan DUM*DYi,t-2). Variabel DYi,t signifikan sehingga kenaikan produktivitas
pekerja mengakibatkan kenaikan upah total nominal pekerja produksi sebesar
koefisien variabel DYi,t. Sebaliknya penurunan produktivitas pekerja
mengakibatkan perubahan upah total nominal pekerja produksi sebesar hasil
penjumlahan koefisien DYi,t, DYi,t-2, DUM*DYi,t, dan DUM*DYi,t-2.
Guna mengetahui apakah upah total nominal pekerja produksi tegar
untuk turun, maka dilakukan pengujian terhadap hasil penjumlahan koefisien
DYi,t, DYi,t-2, DUM*DYi,t, dan DUM*DYi,t-2 dengan menggunakan uji Wald.
Hasil pengujian Wald menunjukkan t-hitung yang besarnya melebihi t-tabel (
α = 5%) sehingga hipotesis 2 ditolak. Dengan demikian upah total nominal
Walaupun upah total nominal pekerja produksi tidak tegar untuk turun,
namun terdapat faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan derajat ketegaran
upah tersebut. Analisis pengaruh faktor-faktor yang diduga berpengaruh pada
ketegaran upah total nominal pekerja produksi didasarkan pada hasil estimasi
model ketegaran upah total nominal pekerja produksi dengan estimasi logit.
Nilai F hasil pengujian redundant coeficient tidak signifikan. Dengan
demikian model reduksi dapat digunakan sebagai dasar analisis. Selanjutnya
hasil estimasi logit menunjukkan nilai LR statistik sebesar 24,438 dan
signifikan. Hal ini berarti variabel produktivitas pekerja, harga output, undang-
undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi secara serentak
berpengaruh pada upah total nominal pekerja produksi. Selanjutnya berdasar uji
z, maka secara individual variabel produktivitas pekerja dan harga output
bertanda negatif dan signifikan, sedangkan variabel undang-undang serikat dan
pekerja upah minimum sektoral propinsi tidak signifikan.
ini berarti kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja,
(cetiris paribus), meningkatkan kemungkinan upah total nominal pekerja
produksi tegar untuk turun sebesar 1,001 (e0,001 ).
Koefisien regresi variabel harga output (DPi,t-1) bertanda negatif
menunjukkan bahwa kenaikan harga output menyebabkan semakin kecilnya
kemungkinan terjadi penurunan upah total nominal pekerja produksi. Hal ini
berarti derajat ketegaran upah total nominal pekerja produksi mengalami
kenaikan. Kenaikan harga output menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal
tenaga kerja sehingga tingkat upah nominal tidak mengalami penurunan.
Kenaikan harga output sebesar 1 satu satuan, (cetiris paribus), meningkatkan
kemungkinan upah total nominal pekerja produksi tegar untuk turun sebesar
1,030 (e0,030 ).
Sementara itu, variabel undang-undang serikat pekerja (UUSPit) yang
tidak signifikan menunjukkan bahwa pengesahan Undang-Undang Nomor 21
tahun 2000 tentang serikat pekerja tidak meningkatkan derajat ketegaran upah
total nominal pekerja produksi untuk turun. Desentralisasi hubungan industrial
ternyata tidak dapat meningkatkan kekuatan tawar serikat pekerja. Jumlah
serikat pekerja yang berlebihan menjadikan kerja sama antar serikat pekerja
sulit diujudkan. Hal ini mengakibatkan efektivitas perjuangan serikat pekerja
berkurang (www.apindo.co.id).
Selanjutnya, variabel upah minimum sektoral propinsi yang tidak
signifkan menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum sektoral propinsi tidak
menyebabkan upah total nominal pekerja produksi semakin tegar untuk turun.
Upah total nominal pekerja produksi terdiri dari upah pokok dan tunjangan.
Tunjangan pekerja produksi bersifat variabel sesuai dengan kinerja perusahaan.
Kenaikan upah minimum sektoral propinsi tidak berdampak pada besarnya
tunjangan pekerja produksi sehingga juga tidak berdampak pada derajat
ketegaran upah total pekerja poduksi untuk turun. Hal ini berarti untuk variabel
produktivitas pekerja dan harga output maka hipotesis 2 tidak ditolak,
sedangkan untuk variabel undang-undang serikat pekerja dan upah minimum
sektoral propinsi hipotesis 2 ditolak.
Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lebow et al., (1999) yang
menyatakan bahwa ketegaran kompensasi untuk turun lebih lemah daripada
ketegaran upah untuk turun. Perusahaan dapat menghindari ketegaran upah
untuk turun dengan melakukan variasi pada kompensasi pekerja. Kompensasi
yang diterima pekerja terdiri dari upah dan berbagai tunjangan. Tunjangan
pekerja bersifat variabel sesuai dengan kondisi perusahaan. Pada saat kondisi
perusahaan memburuk tunjangan ini dimungkinkan untuk diturunkan. Hasil
penelitian ini juga mendukung temuan Oyer (2005) yang menunjukkan bahwa
perusahaan cenderung menggunakan skema tunjangan. Pada saat kondisis
perekonomian memburuk, perusahaan dapat menurunkan biaya tenaga kerja
dengan cara menurunkan tunjangan.
5.1. Simpulan
Penurunan produktivitas pekerja tidak mengakibatkan upah pokok
nominal pekerja produksi turun. Hal ini berarti hipotesis 1 yang menyatakan
bahwa upah pokok nominal pekerja produksi industri kimia di Indonesia diduga
tegar untuk turun tidak ditolak. Ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi
untuk turun dipengaruhi secara positif oleh (1) produktivitas pekerja dan (2)
harga output. Kenaikan produktivitas pekerja dan harga output menyebabkan
kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga kemungkinan terjadinya
penurunan upah pokok nominal pekerja produksi semakin kecil. Sementara itu,
pengesahan undang-undang serikat pekerja dan peraturan upah minimum
sektoral propinsi tidak berpengaruh pada ketegaran upah pokok nominal pekerja
produksi.
Sementara itu, penurunan produktivitas pekerja mengakibatkan upah
total nominal pekerja produksi turun. Hal ini berarti hipotesis 2 yang
menyatakan bahwa upah total nominal pekerja produksi industri kimia di
Indonesia diduga tegar untuk turun ditolak. Upah total nominal pekerja produksi
tidak tegar untuk turun. Tunjangan pekerja produksi yang bersifat variabel
menjadikan upah total pekerja produksi tidak tegar untuk turun. Derajat
ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun dipengaruhi secara
positif oleh (1) produktivitas pekerja dan (2) harga output. Kenaikan
produktivitas pekerja dan harga output akan meningkatkan nilai produk marjinal
tenaga kerja sehingga kemungkinan terjadinya penurunan upah total nominal
pekerja produksi semakin kecil. Sementara itu, pengesahan undang-undang
serikat pekerja dan peraturan upah minimum sektoral propinsi tidak
berpengaruh pada ketegaran upah total nominal pekerja produksi.
5.2. Keterbatasan
Penelitian ini hanya meliput pekerja produksi industri kimia, sedangkan
pekerja pada industri tersebut terdiri dari pekerja produksi dan non-produksi.
Walaupun demikian penelitian ini tetap memberikan hasil analisis yang akurat
karena sebagian besar pekerja pada industri kimia adalah pekerja produksi.
Keterbatasan lain adalah bahwa penelitian ini hanya meliput pekerja produksi
secara keseluruhan. Sementara dalam kenyataannya pekerja produksi terdiri dari
berbagai macam pekerja seperti pekerja produksi di bawah mandor, mandor,
satu tingkat di atas mandor, dua tingkat di atas mandor, tiga tingkat di atas
mandor dan tenaga ahli. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan data. Publikasi
Statistik Industri dari Badan Pusat Statistik, tidak membagi pekerja produksi
dalam unit-unit yang lebih spesifik. Untuk itu, penelitian berikut dapat
melakukan analisis yang sama menurut unit pekerja yang lebih spesifik berdasar
publikasi “Statistik Struktur Upah” yang mulai dipublikasikan oleh Badan Pusat
Statistik. Penggunaan pekerja produksi dalam unit yang lebih spesifik sebagai
dasar analisis akan dapat memberikan hasil analisis lebih akurat.
Selanjutnya, dalam penelitian ini produktivitas pekerja diukur dari
jumlah barang yang dihasilkan dibagi jumlah pekerja. Sebenarnya masih
terdapat output lain misalnya tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang
diberikan pihak lain, keuntungan dari barang yang dijual kembali, selisih nilai
stok barang setengah jadi dan penerimaan lain dari jasa non-industri.
Penggunaan variabel jumlah barang dihasilkan sebagai proksi terhadap nilai
output dirasa tepat karena sebagian besar dari nilai output berasal dari nilai
barang yang dihasilkan.
5.3. Implikasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upah pokok nominal pekerja
produksi tegar untuk turun. Perusahaan tidak dapat menurunkan upah pokok
nominal pekerja produksi walaupun produktivitas pekerja sedang mengalami
penurunan. Biaya upah pokok pekerja produksi tidak akan berkurang. Untuk itu,
perusahaan dapat mendesain sistem pengupahan agar pada saat skala produksi
dan produktivitas pekerja mengalami penurunan, perusahaan tidak terlalu
dibebani dengan biaya upah pokok pekerja produksi. Upah pokok nominal
pekerja produksi cukup ditetapkan sama atau sedikit lebih tinggi dari Upah
DAFTAR REFERENSI
Flatters, Frank, 2005. “The Economics of MIDP and the South African Motor
Industry”, Discussion Paper, Queen’s University, Canada.
Feridhanusetyawan, Tubagus, Haryo Aswicahyono, dan Titik Anas, 2000. “The
Economic Crisis and the Manufacturing Industry: The Role of Industrial
Networks”, Working Paper, CSIS, Jakarta.
Feridhanusetyawan, Tubagus, dan Mari Pangestu, 2004. “Indonesia in Crisis:
An Macroeconomic Perspective”, Working Paper, CSIS, Jakarta.
Gujarati, D.N., 2003, Basic Econometric, McGraw-Hill, Inc.
Im, K.S., S.C., Pesaran dan Y. Shin, 1997, “Testing for Unit Roots in
Heterogeneous Panel”, Working Paper, University of Cambridge.
Kahneman, D, J.L. Knetsch dan R. Thaler, 1986. “Fairness as a Constraint on
Profit Seeking: Entitlement in the Market”, American Economics
Review,76: 728-41.
Lebow, David, E., R.E. Saks dan B.A. Wilson, 1999, “Downward Nominal
Wage Rigidity”, Working Paper, Federal Reserve Bank.
Liew, Venus Khim−Sen, 2004. "Which Lag Length Selection Criteria Should
We Employ?." Economics Bulletin, 33:1−9
Manajemen, Nomor.121, September, 1998.
McConnel, Champbell, R., Stanley L. Brue, dan David A. Macpherson, 2003.
Contemporary Labor Economics, McGraw-Hill, New York.
Nicholson, 1995, Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions,
Sixth Edition, The Dryden Press
Oyer, Paul, 2005. “Can Employee Benefits Ease the Effects of Nominal Wage
Rigidity?: Evidence from Labor Negotiations”, Working Paper, Stanford
University Graduate School of Business.
Patterson, Kerry, 2000. An Introduction to Applied Econometrics : A Time
Series Approach, Palgrave, New York.
Pedroni, Peter, 1999. “Critical Values For Cointegration Tests in Heterogeneous
Panels with Multiple Regressors”, Oxford Bulletin of Economics and
Statistics, Special Issues, 563-70.
Pindyck, Robert S., dan D. L. Rubinfeld, 2001, Microeconomics, Prentice Hall,
New Jersey.
SMERU, 2001. “Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in
the Indonesian Urban Labor Market”, Research Report, Jakarta
LAMPIRAN
Tabel 1
Perkembangan Pemanfaatan Kapasitas Terpasang dan Produktivitas Pekerja
Industri Besar dan Sedang Kimia 1996-2005
Tahun Pemanfaatan Produktivitas Pekerja
Kapasitas Terpasang (juta rupiah per pekerja)
(persen)
1996 76,04 272,34
1997 70,09 268,94
1998 68,21 247,81
1999 70,91 198,23
2000 75,07 149,04
2001 71,57 153,21
2002 68,53 216,89
2003 71,13 168,13
2004 74,99 171,26
2005 75,99 174,40
Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Industri, beberapa periode (diolah kembali)
Biaya,
Harga MC2 = S2
MC1 = S1
P P=MR
O q1 q2 Output
Gambar 1
Upah
SL
EB EA
WA
WB
DLA
DLB
O LB LC LA Jumlah Pekerja
Gambar 2
Tabel 2
Hasil Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi
Berdasar Model Im, Pesaran dan Shin (1997)
Tabel 3
Hasil Uji Kointegrasi Pedroni Untuk Model Persamaan Upah Pokok dan
Upah Total Nominal Pekerja Produksi
Nomor Panel Statistik Model Upah Pokok Model Upah Total Nilai Kritis
Nominal Pekerja Nominal Pekerja Pedroni
Produksi Produksi ( α = 5% )
1. Panel V-stat 1,031 0,533 1,645
2. Panel Rho-stat -0,633 -0,379 -1,645
3. Panel PP-stat -2,463)* -2,458)* -1,645
4. Panel ADF-stat -3,544)* -3,708)* -1,645
5. Panel Rho-stat 1,454 1,679 -1,645
6. Panel PP –stat -1,706)* -1,737)* -1,645
7 Panel ADF-stat -3,099)* -3,099)* -1,645
*) signifikan pada (α = 5% )
Tabel 4
Hasil Uji Kointegrasi Pedroni Untuk Model Ketegaran Upah Pokok dan
Upah Total Nominal Pekerja Produksi
Tabel 5.
Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Persamaan Upah Pokok Nominal
Pekerja Produksi (Common Effects)
Tabel 6
Pengujian Ketegaran Upah Pokok Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun
Dengan Menggunakan Uji Wald
Tabel 7
Dampak Kenaikan dan Penurunan Produktivitas Pekerja Pada
Upah Pokok Nominal Pekerja Produksi Dalam Jangka Pendek
Tabel 8
Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Ketegaran Upah Pokok
Nominal Pekerja Produksi (RIGID1)
Tabel 9
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 359
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Tabel 10
Pengujian Ketegaran Upah Total Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun
Dengan Menggunakan Uji Wald
Tabel 11
Tabel 12
Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Ketegaran Upah Total
Nominal Pekerja Produksi (RIGID2)
ABSTRACT
The research is aimed to analyze the factors affecting the household
electricity energy demand for every stratum of tariff category which has
different characteristics. The research was carried out in Medan City by
interviewing 383 (household) respondents. The OLS was employed to analyze
the data. The model is specified into basic-model and developed-model. The
basic model consists of consumer’s income, WTP per KWh (kilowatt-hours),
home appliances index, number of household members, number of rooms, price
of other energy (fuel and gas), and ethnic variables. While, the developed-
model composed by variables occupation of household (head), household
member’s education, family activities, location, and PLN’s service quality.
The results showed that demand for electricity (by strata) in Medan City
are influenced by income (significant at 10 % level), willingness to pay per
KWh (1 %), home appliances index (5 %), number of household members (5
%), number of rooms (5 %), price of fuel (5 %), and family activities (10 %).
While the demographic/household variables are only influenced for individual
demand by its strata. Household member’s education (5 %) and PLN’s service
quality (10 %) variables are only influenced for stratum 2200 VA and 1300 VA
respectively. The variables of etnic (10 %), occupation of household (head) (5
%), and location (5 %) variables are only significantly different for stratum
1300 VA, 2200 VA, and 450 VA respectively. The study found that electricity at
the moment is considered as a normal goods with inelastic in the demand
character.
The research suggest that PLN’s consumers in Medan City could utilize
the electricity more efficient with less in usage of appliances due to limited
power supplied by PT PLN. Moreover, PT PLN should improve its
management in some extents of electric power station, and favourable tariff to
the customers.
∗
Alumni Program Doktor Ilmu Ekonomi UNDIP Semarang dan staf pengajar FE
Universitas HKBP Nommensen Medan
I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Pembangunan ketenagalistrikan dihadapkan pada berbagai tantangan dan
permasalahan. Dalam RPJMN Tahun 2004-2009 dinyatakan bahwa tantangan
tersebut antara lain kondisi geografis yang luas dan terdiri atas banyak
kepulauan serta kondisi demografi dengan densitas yang sangat variatif antar
berbagai wilayah sehingga sulit untuk mengembangkan sistem kelistrikan yang
optimal dan efisien. Dalam RPJMN tersebut juga dikemukakan beberapa
permasalahan ketenagalistrikan, yaitu : (1) keterbatasan kapasitas pembangkit,
(2) keterbatasan kemampuan pendanaan, (3) kurangnya kemandirian industri
ketenagalistrikan, (4) tingginya ketergantungan terhadap bahan bakar minyak,
(5) rendahnya kinerja sarana dan prasarana, dan (6) belum tercapainya tingkat
tarif yang ekonomis.
Sampai saat ini sumber pembangkit tenaga listrik di Indonesia masih
didominasi oleh PT PLN (Persero) dengan kapasitas pembangkit sebesar
25.087 MW. Kapasitas terpasang tersebut sebagian besar (78 %) berada pada
sistem Jawa Bali, sedangkan sisanya (22%) berada di luar sistem Jawa Bali.
Pada sistem Jawa Bali, permintaan energi listrik pada beban puncak telah
terpenuhi tetapi dengan reserve margin di bawah 5 %. Kondisi ini dianggap
krisis, padahal reserve margin normal yang ditetapkan PLN sebesar 40 %.
Apabila reserve margin dipertimbangkan, kekurangan daya akan lebih besar
lagi. Pada sistem luar Jawa Bali, daya mampu tidak dapat mengimbangi
permintaan beban puncak sebesar. Jika reserve margin dipertimbangkan,
kekurangan daya pada sistim luar Jawa Bali akan lebih besar lagi (RUPTL 2006
– 2015). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum permintaan energi listrik
belum dapat dipenuhi oleh sisi penawaran (demand > supply).
Salah satu sistem kelistrikan luar Jawa Bali tersebut adalah sistem
kelistrikan Sumatera dengan salah satu wilayah operasinya adalah PT PLN
(Persero) Wilayah II Sumatra Utara. PT PLN (Persero) Wilayah II Sumatra
Utara memiliki beberapa cabang, di antaranya adalah PT PLN Cabang Kota
Medan. Sejak tahun 1995 hingga tahun 2005 tidak ada pertambahan mesin
pembangkit yang signifikan. Kebutuhan masyarakat di Sumatra Utara terhadap
penggunaan energi listrik dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang
cukup tinggi. Tingkat pertumbuhan demand pada tahun 2005 mencapai 9,97 %.
Hal ini tidak sebanding lagi dengan ketersediaan sumber energi listrik dari
pembangkit PLN. Dengan kondisi normal saja pembangkit yang ada hanya
mampu menghasilkan daya sebesar 950 MW. Sementara, kebutuhan masyarakat
sudah mencapai 1047 MW. Ketidakseimbangan daya mampu PLN dengan
kebutuhan pemakaian mengakibatkan PLN Sumatra Utara mengalami
kekurangan pasokan energi listrik sebesar 100 MW hingga 120 MW. Kondisi
inilah yang memaksa PLN melakukan pemadaman listrik secara bergilir di
seluruh Provinsi Sumatra Utara (PT. PLN Regional Sumatra Utara, 2004).
Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Medan memperkirakan bahwa
kebutuhan energi listrik di Kota Medan terus meningkat selama periode lima
tahun mendatang (2004–2009) dan diperkirakan pertumbuhan kebutuhan
listrik rata-rata sebesar 2,45 % per tahun (RUTRK Medan 2003).
Fenomena-fenomena atau isu yang menunjukkan permintaan energi listrik
yang melebihi penawaran atau penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN menjadi
sangat penting dan menarik untuk diteliti. Akan tetapi, penelitian ini hanya
mengkaji dan menganalisis sisi permintaaan energi listrik serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya dengan alasan bahwa : (a) industri kelistrikan
merupakan pengusahaan monopoli oleh negara (Kadir 1995), (b) karena sisi
penawaran energi banyak diartikan sebagai keputusan atau kebijakan investasi
pemerintah (Yusgiantoro 2000).
Banyak faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik. Pola dan
besarnya penggunaan energi listrik akan berbeda untuk setiap kelompok
konsumennya yang tergantung pada dua faktor, yaitu 1) untuk objek apa energi
listrik tersebut digunakan, dan 2) waktu penggunaan (hours load) (Philipson
dan Willis 1999). Fluktuasi permintaan tenaga listrik dari kelompok pelanggan,
baik yang menyangkut besarnya daya, maupun yang menyangkut waktu,
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti (1) cuaca, (2) industri musiman dan
daerah hiburan, 3) adanya kejadian-kejadian penting (Kadir 2000). Lebih luas
lagi, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik adalah kondisi
ekonomi, waktu pemakaian dalam hitungan harian maupun mingguan,
kondisi cuaca, sikap terhadap konservasi, penduduk, penggunaan televisi,
lingkungan peraturan, harga listrik, teknologi, energi alternatif, dan keadaan
demografik (Nagurney dan Arneaux 1991). Secara umum, untuk semua
kelompok konsumen energi listrik, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kebutuhan atau permintaan listrik adalah (1) pendapatan konsumen, (2) tarif
atau harga listrik, (3) ketersediaan listrik, (4) harga energi substitusi, dan (5)
kepemilikan peralatan, harga dan efisiensi penggunaan peralatan listrik (PT
PLN Wilayah Sumut 2004).
Variabel utama paling mendasar yang berpengaruh pada permintaan energi
listrik rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga, harga (tarif) energi
listrik, dan stok/jumlah peralatan listrik (stock of appliances) (Anderson 1973 ;
Wilder dan Willenborg 1975 ; Acton et al.1980 ; Fujii dan Mak 1984 ; Jaffee et
al. 1982 ; Terza 1986, Filippini 1995 ; Halvorsen dan Larsen 1999a, 1999b ;
Matsukawa 2000 ; Langmore dan Dufty 2004). Selain variabel-variabel
tersebut, beberapa penelitian lain memasukkan variabel-variabel karakteristik
rumah tangga dan demografik dalam mengestimasi permintaan energi listrik
rumah tangga, seperti yang dilakukan oleh Taylor 1979 ; Barnes et al. 1981 ;
Archibald et al. 1982 ; Maddigan et al. 1983 ; Garbacz 1984 ; Reiss dan White
2001 ; Larsen dan Nesbakken 2002 ; Halvorsen et al. 2003. Beberapa peneliti
lainnya juga telah memasukkan jenis energi lain seperti kayu bakar, bahan bakar
minyak, dan gas dalam model permintaan energi listrik sebagai variabel
substitusi (Maddigan et al. 1983 ; Halvorsen et al. 2003 ; Langmore dan Dufty
2004).
Uraian-uraian di atas menunjukkan belum lengkapnya faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga. Beberapa perbedaan
pendapat atau hasil temuan sebagai research gap pada penelitian ini, terutama
mengenai hubungan karakteristik demografik/rumah tangga dan permintaan
energi listrik rumah tangga perlu dikaji. Beberapa temuan sebagaimana
diuraikan di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor karakteristik
demografik/rumah tangga merupakan hal yang sangat penting bagi determinan
permintaan energi listrik rumah tangga. Penelitian ini dimaksudkan untuk
memperjelas bagaimana faktor-faktor demografik/rumah tangga mempengaruhi
permintaan energi listrik rumah tangga, sehingga diperoleh model permintaan
energi listrik rumah tangga yang lebih baik.
Analisis permintaan energi listrik dalam penelitian ini, dibatasi hanya untuk
daerah Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, sebagai wilayah operasi PT PLN
(Persero) Cabang Medan. Pelanggan energi listrik PLN di Kota Medan terdiri
atas kelompok sosial, rumah tangga, bisnis, industri, publik, dan multiguna.
Hanya saja, yang menjadi objek penelitian ini adalah kelompok rumah tangga,
yang terbagi lagi dalam segmen-segmen berdasarkan strata golongan tarif yaitu:
R-1/TR 450 VA, R-1/TR 900 VA, R-1/TR 1300 VA, R-1/TR 2200 VA, R-2/TR
> 2200 VA s/d 6600 VA, dan R-3/TR > 6600 VA. Pemilihan kelompok rumah
tangga didasarkan pada pertimbangan bahwa : 1) porsi terbesar pelanggan
listrik PLN Kota Medan adalah rumah tangga (90,20 %), 2) pelanggan rumah
tangga termasuk dalam kelompok pemakai terbesar energi listrik PLN di Kota
Medan setelah kelompok industri, 3) sasaran program elektrifikasi adalah
rumah tangga, 4) penggunaan alat-alat listrik lebih banyak dijumpai pada
pelanggan rumah tangga, 5) pelanggan rumah tangga memiliki sensitivitas yang
lebih tinggi terhadap kebijakan PLN dibanding dengan kelompok pelanggan
lainnya.
1. 2 Perumusan Masalah
Permintaan energi listrik rumah tangga diprediksi akan terus meningkat
pada tahun-tahun mendatang, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi, kegiatan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan harga barang-barang
elektronika (appliances) yang semakin terjangkau oleh masyarakat. Dalam
penelitian ini, energi listrik dalam rumah tangga adalah sebagai produk akhir.
Permintaan energi listrik rumah tangga tersebut dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti faktor-faktor ekonomi, peralatan-peralatan listrik, karakteristik
rumah tangga, karakteristik demografik, dan faktor-faktor lain yang relevan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik mencakup
variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen terdiri atas
permintaan energi listrik, sedangkan variabel independen terdiri atas (1)
pendapatan, (2) harga yang diproksi dengan WTP, (3) indeks ala-alat listrik, (4)
harga energi lain, (5), jumlah anggota keluarga, (6) jumlah ruangan, (7) tingkat
pendidikan, (8) pekerjaan kepala keluarga, (9) kegiatan keluarga, (10) etnis,
(11) lokasi, dan 12) pelayanan pihak PLN. Oleh karena itu, masalah penelitian
adalah bagaimana mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan energi listrik rumah tangga serta bagaimana pemilihan model-model
estimasinya sesuai dengan karakterisitik pelanggan listrik rumah tangga di Kota
Medan.
Dari penelitian-penelitian terdahulu tentang permintaan energi listrik rumah
tangga diketahui bahwa penelitian hanya menganalisis permintaan energi listrik
secara keseluruhan. Penelitian-penelitian terdahulu belum diarahkan untuk
menganalisis permintaan energi listrik untuk setiap strata golongan atau tarif.
melakukan estimasi permintaan energi listrik kelompok rumah tangga, (2) untuk
memberikan informasi bagi pihak manajemen PT PLN (Persero) dan
perusahaan-perusahaan pengelola energi lainnya dalam merumuskan kebijakan
pembangunan ketenagalistrikan, (3) sebagai bahan kajian dan informasi untuk
penelitian-penelitian selanjutnya di bidang energi.
karena harga listrik selalu ditetapkan oleh pemerintah (regulated) dengan alasan
bahwa listrik adalah barang publik yang harus disubsidi untuk tujuan-tujuan
keadilan dan sosial. Oleh karena itu, dalam penelitian ini harga/tarif listrik akan
diproksi dengan variabel WTP (willingness to pay) dengan menggunakan
metode CV (contingent valuation). Proksi harga/tarif dengan WTP melalui
metode CV diartikan sebagai upaya untuk memperoleh langsung berapa
kemauan/kesediaan konsumen untuk membayar terhadap harga/tarif listrik yang
digunakan. Adapun format metode CV yang akan digunakan untuk memperoleh
nilai WTP adalah closed-ended referendum format (pertanyaan tertutup).
Penggunaan variabel WTP sebagai proksi terhadap harga/tarif listrik dapat
dimungkinkan dengan alasan 1) WTP konsumen dapat mengungkapkan nilai
atau harga yang sebenarnya dari suatu barang atau jasa (Nam dan Son 2005), 2)
sistem penetapan harga/tarif listrik di Indonesia berbentuk increasing block-rate
pricing sehingga harga berbeda untuk setiap tingkat penggunaan dan strata
golongan tarif (daya). Variabel harga yang sesuai dengan bentuk ini adalah
harga marginal ataupun harga rata-rata, tetapi jika datanya adalah data runtut
waktu (time series) (Amarullah 1984). Sedangkan dalam penelitian ini data
yang digunakan adalah data cross section dari konsumen rumah tangga.
Pada penelitian-penelitan terdahulu, variabel-variabel lain telah
dimasukkan dalam estimasi permintaan energi listrik rumah tangga. Di
antaranya adalah (1) variabel musim (suhu atau cuaca) oleh Willen dan
Willenborg 1975 ; Halverson 1975 ; Matsukawa et al. 2000 ; Akmal dan Stern
2001 ; Reiss & White 2001 ; Brown dan Koomey 2003, (2) variabel struktur
perumahan (bentuk, ukuran, lokasi) oleh Willen dan Willenborg 1975, Wilder
at al. 1992, Munley et al. 1990 ; Filippini 1999 ; Reiss dan White 2001 ; dan (3)
variabel karakteristik rumah tangga (jumlah penduduk, jumlah anggota
keluarga, usia) oleh Wilder dan Willenborg 1975 ; Amarullah 1983 ; Jung 1993
; Munley et al. 1990 ; Filippini 1999 ; Reiss dan White 2001 ; Peterson 2002.
Estimasi model atau fungsi permintaan energi listrik rumah tangga dapat
dispesifikasikan dalam bentuk persamaan tunggal dan persamaan simultan.
Beberapa studi seperti yang dilakukan oleh Amarullah 1983 ; Wilder 1992 ;
Jung 1993 menggunakan model permintaan energi listrik rumah tangga dalam
bentuk persamaan tunggal dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS).
Estimasi model atau fungsi permintaan energi listrik rumah tangga yang
Dalam penelitian ini, estimasi permintaan energi listrik rumah tangga hanya
dispesifikasikan dalam bentuk persamaan tunggal, dengan variabel
dependennya adalah permintaan energi listrik rumah tangga. Estimasi
persamaan tunggal dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat beberapa
modifikasi. Adapun modifikasi-modifikasi tersebut adalah :
1. Estimasi permintaan energi listrik rumah tangga dimodelkan pada setiap
strata pelanggan atau konsumen rumah tangga,
2. Model akan diestimasi dalam dua bentuk yaitu model dasar dan model
pengembangan.
Model dasar akan menggunakan variabel-variabel independen pokok (dasar)
yang meliputi variabel-variabel pendapatan, harga dengan proksi WTP, indeks
alat listrik, jumlah anggota keluarga, jumlah ruangan/kamar dalam rumah, harga
energi lain, dan etnis.
Khusus untuk variabel harga listrik yang diproksi dengan WTP dapat
dimungkinkan dengan alasan (1) WTP konsumen dapat mengungkapkan nilai
atau harga yang sebenarnya dari suatu barang atau jasa, (2) WTP dapat
merupakan dasar dalam penentuan harga, (3) WTP masih dapat memenuhi
asumsi model permintaan Marhallian, yaitu bahwa harga yang ditetapkan bukan
(regulated) oleh pemerintah (Nam dan Son 2005 ; Turvey dan Anderson 1997).
Namun, karena harga listrik yang digunakan dalam estimasi haruslah harga per
KWh (kilowatt-hours), maka untuk mendapatkan harga per KWh tersebut, WTP
responden rumah tangga harus dibagi dengan rata-rata jumlah permintaan energi
listrik rumah tangga per bulan sehingga diperoleh WTP per KWh.
Dalam model pengembangan variabel-variabel independen akan ditambah
dengan variabel-variabel lainnya, terutama variabel-variabel yang berhubungan
dengan demografik/rumah tangga yang belum pernah diestimasi sebelumnya
ataupun sudah pernah diestimasi, tetapi masih perlu dikembangkan. Variabel-
variabel ini diduga kuat ikut mempengaruhi permintaan energi listrik rumah
tangga. Variabel-variabel tersebut meliputi jenis pekerjaan kepala keluarga,
tingkat pendidikan anggota keluarga, kegiatan-kegiatan keluarga, lokasi, dan
tingkat pelayanan. Tujuan pengembangan model adalah untuk memperoleh
model permintaan energi listrik yang lebih baik daripada model dasar.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Energi listrik termasuk dalam barang normal (Langmore dan Dufty 2004 ;
Maddigan et al.1983).
2. Dalam jangka pendek stok alat-alat listrik rumah tangga dianggap konstan
atau tidak berubah (Wilder dan Willenborg 1975 ; Amarullah 1984 ; Silk
dan Joutz 1997 ; Reiss dan White 2001).
3. Karena model fungsi permintaan dalam penelitian ini menggunakan model
fungsi permintaan Marshallian, berlaku asums-asumsi (a) semua rumah
tangga konsumen listrik untuk setiap strata golongan tarif mempunyai
selera yang identik selama periode observasi ; (b) pendapatan rumah
tangga untuk setiap strata golongan tarif dianggap konstan selama periode
observasi ; (c) harga barang energi lain dianggap konstan selama periode
observasi.
Dengan demikian, model persamaan tunggal dalam penelitian ini
terdiri atas variabel dependen yaitu permintaan energi listrik (PELRT),
sedangkan variabel independen terdiri dari pendapatan (PENDPTN), harga/tarif
yang diproksi dengan willingness to pay (WTP) per KWh (WTPKWH), indeks
alat-alat listrik (INDALIST), jumlah anggota keluarga (JAKEL), jumlah
ruangan/kamar (JUMRUANG), harga energi lain (HBLBBM dan HBLGAS),
dan status kewarganegaraan (ETNIS), jenis pekerjaan kepala keluarga
(PEKERJN), tingkat pendidikan anggota keluarga (TIPENDIK), kegiatan-
kegiatan keluarga (KEKEL), lokasi/tempat tinggal rumah tangga (LOKASI),
dan pelayanan pihak PT PLN (LAYANAN). Model permintaan energi listrik
rumah tangga dibuat untuk setiap strata/golongan tarif yang terdiri atas strata
R-1/450 VA, strata R-1/900 VA, strata R-1/1300 VA, strata R-1/2200 VA,
strata R-2/ > 2200 VA s.d. 6600 VA) dan strata R-3/ > 6600 VA. Berdasarkan
uraian di atas secara skematis, kerangka teoritis disajikan pada Gambar 1
(Lampiran 1).
Berdasarkan kerangka teoritis, dapat dikemukakan beberapa hipotesis
sebagai berikut :
Hipotesis 1 : Variabel pendapatan konsumen berpengaruh positif dan signifikan
terhadap permintaan energi listrik rumah tangga . Semakin tinggi jumlah
pendapatan rumah tangga, semakin meningkat jumlah energi listrik yang
dikonsumsi.
Hipotesis 2 : WTP per KWh berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
permintaan energi listrik rumah tangga. Semakin tinggi tuntutan WTP per
KWh, semakin berkurang jumlah energi listrik yang dikonsumsi.
September 2007 ; (3) stok-kapital alat-alat listrik dalam rumah tangga yang
meliputi : jumlah alat-alat listrik dan daya kapasitas (watt) setiap alat listrik ;
(4) pendapatan rumah tangga ; (5) WTP konsumen rumah tangga terhadap
energi listrik diperoleh dengan metode contingent valuation dengan
menanyakan kepada ayah, ibu, atau anak yang memahami tentang penggunaan
energi listrik ; (6) karakteristik-karakteristik rumah tangga, seperti : jumlah
anggota keluarga, usia anggota keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan kepala
keluarga, kegiatan keluarga, etnis, lokasi, dan persepsi terhadap pelayanan
listrik secara umum oleh PT PLN (Persero) ; (7) karakteristik-karakteristik
bangunan rumah, seperti jumlah ruangan/kamar, ukuran/luas bangunan.
Data sekunder meliputi data-data kelistrikan Kota Medan yang diperoleh
dari PT PLN (Persero) Cabang Medan. Pengumpulan data dilakukan selama
periode bulan Januari 2007 sampai dengan periode bulan September 2007. Data
WTP dalam penelitian ini diperoleh melalui metode Contingent Valuation
(CV). Metode CV dilakukan dengan prosedur berikut (Nam dan Son 2005) : (1)
memberntuk FGD (Focus Group Discussion) ; (2) mendesain dan
menyempurnakan instrumen survey ; (3) melakukan pre-test ; (4) melaksanakan
survei utama.
3. 3 Spesifikasi Model
Spesifikasi model permintaan energi listrik rumah tangga (PELRT strata
j) di Kota Medan diformulasikan dalam dua bentuk yaitu 1) model dasar, dan 2)
model pengembangan :
1). Model Dasar :
PELRTstrata j = f (PENDPTN, WTPKWH, INDALIST, JAKEL,
JUMRUANG, HBLBBM, HBLGAS, ETNIS).
2). Model Pengembangan :
PELRTstrata j = f (PENDPTN, WTPKWH, INDALIST, JAKEL,
JUMRUANG, HBLBBM, HBLGAS, ETNIS,
PEKERJN, TIPENDIK, KEKEL, LOKASI,
LAYANAN).
Persamaan fungsi PELRT strata j dalam bentuk model dasar dan pengembangan
model akan diestimasi dalam setiap strata golongan tarif.
Metode Analisis
Kedua bentuk model persamaan fungsi PELRT (model dasar dan
pengembangan model) di atas dianalisis dengan Regresi Linier Berganda.
Bentuk matematis regresi linier berganda yang akan diestimasi dalam penelitian
ini diformulasikan sebagai berikut :
Model Dasar (Model I) :
PELRTstrata j = β0 + β1PENDPTN + β2WTPKWH + β3 INDALIST + β4
JAKEL + β5 JUMRUANG + β6HBLBBM + β7HBLGAS +
β8ETNIS + u
terdiri dari : 1) strata gabungan, 2) strata 450 VA, 3) strata 900 VA, 4) strata
2200 VA, dan 5) strata R-2 ( > 2200 – 6600 VA). Secara umum, hasil estimasi
menunjukkan bahwa untuk setiap strata, dari kemungkinan pilihan model dasar
(Model I) dan model pengembangan (Model II) diketahui kalau Model II
(Pengembangan Model) adalah model yang lebih baik, sebagaimana disajikan
pada Tabel 3 (Lampiran 6).
4. 2 Analisis Elastisitas
Untuk mengetahui dampak perubahan variabel-variabel independen maka
digunakan analisis elastisitas. Rangkuman hasil perhitungan elastisitas
permintaan dari model terpilih untuk setiap strata disajikan pada Tabel 4
(Lampiran 7).
4. 3 Analisis Model Permintaan Energi Listrik Rumah Tangga
Analisis model permintaan energi listrik rumah tangga untuk setiap variabel
independen adalah sebagai berikut.
4. 3. 1 Pendapatan (PENDPTN)
Estimasi untuk setiap strata menunjukkan bahwa hubungan antara variabel
pendapatan (PENDPTN) dengan permintaan energi listrik rumah tangga
(PELRT) adalah positif. Variabel pendapatan berpengaruh positif secara
signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Dengan demikian,
untuk setiap strata hipotesis 1 terbukti atau dapat diterima. Hasil temuan ini
konsisten dengan studi Wilder dan Willenborg 1975 ; Jaffee et al. 1982 ;
Matdigan et al. 1983 ; Garbacz 1984 ; dan Jung 1993 ; Akmal dan Stern 2001
yang menunjukkan bahwa hubungan antara pendapatan dan permintaan energi
listrik adalah positif dan signifikan.
Elastisitas pendapatan untuk setiap strata adalah positif (0 < e < 1). Hal
ini menunjukkan bahwa listrik adalah barang normal. Secara umum semakin
besar daya terpasang listrik pada rumah tangga, elastisitas pendapatan semakin
besar kecuali untuk strata R-2 yang justru memiliki nilai elastisitas pendapatan
yang lebih rendah dibanding dengan strata 2200 VA. Namun, secara umum ini
berarti bahwa untuk strata rumah tangga dengan daya listrik yang lebih besar
(dengan pendapatan rata-rata lebih tinggi) memiliki pola konsumsi listrik yang
lebih tinggi. Dari temuan ini dapat diprediksi bahwa permintaan energi listrik
rumah tangga akan terus meningkat sehubungan dengan naiknya pendapatan
dan bertambahnya jumlah penduduk. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan
temuan Wilder dan Willenborg 1975 dengan nilai elastisitas 0,34. Di Indonesia,
Amarullah 1983 menemukan bahwa elastisitas pendapatan jangka pendek
adalah 0,80 dan menunjukkan bahwa listrik adalah barang normal.
Rendahnya nilai elastisitas pendapatan untuk setiap strata berhubungan
dengan daya kapasitas yang terbatas setiap strata. Artinya, penggunaan energi
listrik untuk setiap strata dibatasi sampai daya tertentu. Oleh karena itu,
walaupun pendapatan rumah tangga naik yang dapat meningkatkan pembelian
alat-alat listrik, tetapi karena pemakaian listrik dibatasi sampai batas daya
tertentu maka pengaruh kenaikan pendapatan tersebut terhadap perubahan
permintaan listrik adalah kecil (rendah). Dengan demikian, jika pendapatan
rumah tangga naik dan ingin meningkatkan permintaan listrik dengan
menambah alat-alat listrik, maka konsumen rumah tangga harus terlebih dulu
menambah kapasitas daya listriknya. Misalnya, untuk strata 450 VA kapasitas
daya listriknya dapat dinaikkan menjadi 900 VA atau 1300 VA, dan
seterusnya, begitu juga untuk strata-strata lainnya.
Jika diamati lebih lanjut, nilai-nilai elastisitas pendapatan di atas
menunjukkan nilai-nilai yang semakin meningkat jika semakin tinggi
strata/golongan tarif untuk strata 450 VA, 900 VA, 1300 VA dengan nilai
masing-masing 0,154 ; 0,160 ; 0,431 ; namun elastisitas menurun kembali untuk
strata 2200 VA dan strata R-2 dengan nilai 0,283 dan 0,197. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendapatan jumlah konsumsi listrik
juga meningkat, atau sebaliknya. Tetapi untuk strata 2200 VA dan R-2 semakin
rendah nilai elastisitasnya menunjukkan dampak perubahan pendapatan adalah
rendah, dan bukan pendapatan dan konsumsi listriknya yang rendah. Temuan ini
juga menunjukkan bahwa semakin tinggi strata/golongan tarif, persentase dari
pendapatan yang digunakan untuk membayar listrik juga meningkat. Semakin
tinggi pendapatan rata-rata maka persentase willingness to pay (WTP) untuk
listrik dari pendapatan rata-rata semakin tinggi pula. Indikasi ini juga terjadi
pada penggunaan energi listrik, yaitu semakin tinggi strata/golongan tarif dan
pendapatan semakin tinggi, energi listrik semakin banyak digunakan juga
semakin meningkat. Terutama untuk strata R-2 (rumah tangga besar) banyak
menggunakan alat-alat listrik yang mewah, yang tentu saja akan menambah
persentase pengeluaran dari pendapatan karena pada umumnya alat-alat listrik
mewah ini mempunyai daya (watt) yang cukup tinggi.
2. Daya (watt) untuk setiap jenis alat listrik sangat berbeda-beda, ada dayanya
yang rendah dan ada yang tinggi. Angka atau jumlah daya sangat
menentukan dalam perhitungan indeks.
Dalam penelitian ini, secara umum ditemukan bahwa semakin tinggi daya
kapasitas listriknya, indeks alat listriknya semakin tinggi, yang berarti semakin
banyak jumlah alat listrik yang dimiliki dan secara langsung meningkatkan
penggunaan listrik. Berbeda dengan strata 900 VA. Rata-rata jumlah alat listrik
yang dimiliki oleh strata 900 VA lebih banyak dari rata-rata jumlah alat listrik
yang dimiliki strata oleh 450 VA, tetapi indeks alat listrik strata 900 VA sebesar
18 lebih kecil dari indeks alat listrik strata 450 VA (20,07). Hal ini
menunjukkan bahwa strata 900 VA menggunakan alat-alat listrik yang lebih
hemat daya (watt) listriknya dibandingkan dengan strata 450 VA.
Nilai elastisitas INDALIST adalah rendah untuk setiap strata, masing-
masing 0,204 ; 0,274 ; 0,517 ; 0,414 ; dan 0,474. Secara umum, hal ini
mengindikasikan perubahan indeks kepemilikan alat-alat listrik tidak terlalu
peka terhadap permintaan energi listrik. Nilai-nilai elastisitas INDALIST juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi strata atau kapasitas daya rumah tangga,
maka intensitas pemakaian alat-alat listrik semakin tinggi dan juga jumlah alat-
alat listrik yang dimiliki semakin banyak.
4.3.4 Jumlah Anggota Keluarga (JAKEL)
Hubungan antara variabel JAKEL dengan PELRT untuk setiap strata adalah
positif. Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh secara signifikan pada
permintaan energi listrik rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis 4
terbukti atau dapat diterima untuk setiap strata. Temuan penelitian ini sesuai
dengan studi Wilder dan Willenborg 1975 ; Jung 1993 ; Filippini 1998 ; dan
Damsgaard 2003. Temuan serupa juga dikemukakan oleh Petersen 2002, tetapi
variabel jumlah anggota keluarga dibatasi hanya untuk jumlah anak yang dibagi
dalam 8 kelompok umur. Semua kelompok umur signifikan secara positif
terhadap permintaan energi listrik rumah tangga pada signifikansi 5%. Akan
tetapi, temuan Filippini dan Pachauri 2004 berbeda pada masyarakat India,
yaitu bahwa jumlah anggota keluarga listrik tidak berpengaruh secara signifikan
pada jumlah permintaan energi listrik rumah tangga.
Hasil studi Maddigan et al. 1983 berbeda lagi, dia menyimpulkan bahwa
koefisien variabel ukuran (jumlah) anggota keluarga bisa positif bisa negatif.
Alasannya adalah besarnya konsumsi listrik tergantung pada banyaknya alat
listrik yang digunakan. Namun, dia juga sependapat bahwa jika ukuran keluarga
semakin besar ada kecenderungan lebih banyak menggunakan energi listrik.
Sedangkan Reiss dan White 2001 di California, USA menemukan bahwa
jumlah anak berpengaruh secara signifikan hanya untuk alat-alat listrik load
based (alat-alat listrik yang hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan pokok
seperti memasak, mencuci, lampu, AC, dll).
Nilai elastisitas JAKEL rendah, masing-masing 0,225 ; 0,263 ; 0,277 ;
0,420 ; 0,301 ; dan 0,429. Hal ini berarti perubahan jumlah anggota keluarga
tidak terlalu peka terhadap permintaan energi listrik.
4.3.5 Jumlah Ruangan/Kamar (JUMRUANG)
Untuk setiap strata, hubungan antara variabel JUMRUANG dengan PELRT
adalah positif. Variabel jumlah ruangan/kamar berpengaruh secara signifikan
pada permintaan energi listrik rumah tangga, berarti hipotesis 5 terbukti atau
dapat diterima untuk setiap strata. Hasil penelitian ini sesuai dengan studi
Jaffee et al. 1982 ; Reiss dan White 2001. Mereka menemukan bahwa jumlah
kamar dan jenis bangunan berpengaruh signifikan dan positif pada penggunaan
alat-alat listrik dan secara langsung mempengaruhi jumlah permintaan energi
listrik rumah tangga. Berbeda dengan studi Jung 1993 di Korea. Dia lebih
menekankan pada luas bangunan daripada jumlah kamar. Dia menemukan
bahwa semakin besar (luas) kamar, semakin banyak penggunaan listrik.
Nilai elastisitas JUMRUANG lebih rendah pada strata 450 VA dan 900 VA
yaitu 0,088 ; 0,388. Tetapi untuk strata 1300 VA, strata 2200 VA, dan strata R-2
elastisitanya lebih tinggi yaitu 0,688 ; 0,524 ; dan 0,629. Ini berarti untuk ketiga
strata tersebut, perubahan jumlah ruangan/kamar lebih peka terhadap
permintaan energi listrik. Secara umum, hal ini mengindikasikan bahwa
pertambahan jumlah ruangan/kamar dalam rumah yang dapat meningkatkan
permintaan energi listrik selalu dibatasi oleh kapasitas daya (watt).
4.3.6 Harga Barang Energi Lain (Bahan Bakar Minyak dan Gas)
(HBLBBM dan HBLGAS)
Hubungan antara variabel HBLBBM dengan PELRT adalah positif, yang berarti
setiap kenaikan harga BBM akan meningkatkan permintaan energi listrik rumah
tangga. Varibel harga barang lain (bahan bakar minyak) berpengaruh secara
signifikan terhadap permintaan energi listrik. Dengan demikian hipotesis 6
untuk harga bahan bakar terbukti atau dapat diterima untuk semua strata.
Koefisien variabel HBLBBM bertanda positif menunjukkan bahwa bahan bakar
minyak adalah barang substitusi bagi energi listrik. Peningkatan harga bahan
bakar minyak (BBM) terjadi karena penggunaan bahan bakar minyak untuk
generator listrik untuk menggantikan listrik PT PLN. Namun, secara umum
telah menaikkan kembali penggunaan energi listrik rumah tangga.
Variabel HBLGAS hanya diestimasi untuk strata 2200 VA dan R-2. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa koefisien variabel HBLGAS adalah positif.
Artinya, setiap kenaikan gas akan menaikkan permintaan energi listrik rumah
tangga. Namun hasil estimasi menunjukkan baik untuk strata 2200 VA maupun
strata R-2 variabel HBLGAS tidak berpengaruh secara signifikan. Dengan
demikian, hipotesis 6 tentang gas tidak terbukti atau ditolak. Koefisien
variabel HBLGAS bertanda positif menunjukkan bahwa gas adalah barang
substitusi bagi energi listrik. Secara umum, untuk kedua strata, energi gas hanya
digunakan untuk memasak.
Hasil studi terdahulu seperti temuan Maddigan et al. 1983 di lima wilayah
koperasi kelistrikan di USA, menunjukkan bahwa bahan bakar minyak
merupakan substitusi bagi energi listrik dan berpengaruh secara signifikan,
sedangkan untuk gas tidak signifikan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini sesuai
dengan temuan Maddigan et al. 1983. Berbeda dengan studi yang dilakukan
oleh Akmal dan Stern 2001 di Australia yang menemukan bahwa gas sangat
signifikan berpengaruh terhadap listrik. Begitu juga dengan hasil penelitian
Petersen (2002) di Denmark, variabel gas secara signifikan berpengaruh positif
terhadap permintaan energi listrik rumah tangga dan merupakan barang
substitusi.
Nilai elastisitas harga silang untuk setiap strata adalah positif, sekaligus
menunjukkan bahwa BBM dan gas adalah barang substitusi untuk energi listrik.
Nilai elastisitas harga silang BBM untuk masing-masing strata adalah 0,472 ;
0,583 ; 0,386 ; 0,783 ; dan 1,083. Secara umum dapat dilihat bahwa semakin
tinggi strata atau kapasitas daya elastisitas HBLBBM semakin tinggi, karena
strata yang lebih tinggi (strata 2200 VA dan strata R-2) sudah lebih banyak
menggunakan BBM, misalnya untuk generator ; sedangkan untuk strata yang
lebih rendah BBM hanya digunakan untuk penerangan saja. Di lain pihak, nilai
elastisitas harga silang yang lebih rendah pada strata/golongan tarif yang lebih
rendah juga menunjukkan tidak banyak pilihan terhadap barang substitusi
karena dibatasi oleh pendapatan yang rendah. Begitu juga sebaliknya, nilai
elastisitas harga silang akan semakin tinggi pada strata/golongan tarif yang lebih
tengah kota sebanyak 114,84 KWh per bulan, sedangkan untuk rumah tangga di
pinggir kota sebanyak 95,30 KWh per bulan.
Untuk strata 900 VA, strata 2200 VA, dan strata R-2 permintaan energi
listrik berbeda tidak signifikan antara rumah tangga di tengah kota dan di
pinggir kota. Untuk ketiga strata tersebut, koefisien regresinya adalah negatif
yang mengindikasikan bahwa permintaan energi listrik lebih sedikit untuk
rumah tangga yang tinggal di tengah kota dibanding dengan yang tinggal di
pinggir kota. Temuan ini mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa rumah
tangga dengan strata/golongan tarif yang lebih besar dan mempunyai
pendapatan yang lebih besar lebih suka atau lebih nyaman jika tinggal di pinggir
kota, sehingga permintaan listrik di pinggir kota pun semakin tinggi.
Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan Garbacz 1984. Menurutnya,
permintaan energi listrik rumah tangga berbeda signifikan pada setiap lokasi
rumah tangga di USA. Garbacz membagi wilayah USA dengan empat wilayah :
Region North East, Region North Central, Region West dan Region South.
5. 2. 12 Pelayanan pihak PT PLN (LAYANAN)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa untuk semua strata (gabungan, 450 VA,
900 VA, 2200 VA, dan R-2) kecuali strata 1300 VA variabel LAYANAN tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap PELRT. Ini berarti hipotesis 12 tidak
terbukti atau ditolak. Hal ini mengindikasikan bahwa pelayanan yang
diberikan oleh PT PLN (Persero) tidak direspons oleh konsumen rumah tangga,
karena konsumen hanya dapat menerima saja apapun kebijakan pihak PT PLN.
Hal ini terjadi karena energi listrik hanya dimonopoli oleh PT PLN. Pada saat
penelitian ini dilakukan keadaan kelistrikan di daerah penelitian berada pada
masa kritis dimana sering dilakukan pemadaman karena kurangnya suplai listrik
dari PLN. Dalam situasi tersebut pihak PLN memberikan informasi pelayanan
tentang gerakan penghematan penggunaan listrik dengan cara 1) mengganti
alat-alat listrik dengan daya (watt) yang lebih rendah, 2) mengurangi pemakaian
listrik pada beban puncak (pukul 17.00 s.d. 22.00 WIB).
lagi hanya untuk penerangan, tetapi sudah digunakan untuk menghidupkan alat-
alat listrik lainnya seperti kulkas, AC, dan lain-lain. Nilai elastisitas harga gas
lebih peka pada strata 2200 VA dibandingkan dengan strata R-2 ( > 2200 VA –
6600 VA). Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan gas relatif lebih besar
untuk strata 2200 VA dibandingkan dengan kebutuhan gas untuk strata R-2.
5. 2 Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah : (1) Belum mengestimasi
permintaan energi listrik untuk rumah tangga yang kapasitas dayanya lebih
besar (Strata R-3/ > 6600 VA) ; (2) Penelitian ini belum mengungkap faktor-
faktor yang berhubungan atau yang mempengaruhi estimasi harga energi listrik
dan estimasi stok kapital alat-alat listrik ; (3) Penelitian ini dilakukan dengan
studi kasus di Kota Medan, sehingga kesimpulan hanya berlaku di Kota Medan
; (4) Penelitian ini hanya mengestimasi model permintaan energi listrik untuk
kelompok pengguna rumah tangga saja ; (5) Penelitian ini hanya mengestimasi
sisi permintaan energi listrik saja belum mengestimasi sisi penawaran atau
produsen (PT PLN).
5. 3 Implikasi
5. 3. 1 Implikasi Kebijakan
1. Dari semua variabel-variabel yang dapat mempengaruhi permintaan energi
listrik rumah tangga, hanya variabel willingness to pay (WTP) yang dapat
langsung memengaruhi kebijakan pihak PT PLN karena berhubungan
dengan penetapan harga/tarif listrik, sedangkan variabel-variabel
demografik lainnya tidak dapat dikontrol dan hanya dapat dianstisipasi
terhadap utilitas penggunaan listrik suatu rumah tangga. Oleh karena itu, PT
PLN (Persero) sudah perlu membebankan harga/tariff listrik dengan
mempertimbangkan WTP konsumen.
2. Rendahnya elastisitas pendapatan dan elastisitas WTP terutama pada
kelompok rumah tangga sederhana (strata 450 VA dan 900 VA)
menunjukkan keterbatasan pendapatan yang pada gilirannya membatasi
konsumsi listriknya. Namun untuk strata rumah tangga menengah dan besar
(strata 2200 VA dan R-2), elastisitas pendapatan dan WTP yang rendah
bukan menunjukkan karena rendahnya pendapatan atau WTP mereka, tetapi
karena keterbatasan pihak PT PLN menyediakan listrik yang cukup
sehingga perubahan pendapatan tidak terlalu peka terhadap penggunaan
listrik. Dalam situasi seperti ini, rumah tangga strata menengah dan besar
DAFTAR REFERENSI
Philipson, L., dan L.Willis. 1999. Understanding Electric Utilities and De-
Regulation, New York : Marcel Decker Inc.
PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatra Utara. 2004. Prakiraan Kebutuhan Tenaga
Listrik Model DKL 3.01 .Materi Workshop (12 Mei 2004).
Reiss, P. C., dan M. W. White. 2001. Household Electricity Demand, Revisited.
Working Papers. http://www.nberg.org/ [12 Mei 2004].
RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) Tahun 2006 – 2015,
http://www.pln.go.id.[24-3-2006].
RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) Kota Medan, 2003.
Sexton, R. D., dan T. A. Sexton. 1987. Theoritical and Methodological
Perspectives on Consumer Response to Electricity Information. The
Journal of Consumer Affairs, 21, No. 2 : 238-257.
Silk, J. I., dan F. L. Joutz. 1997. Short and Long-run Elasticities in US
Residential Electricity Demand : A Co-integration Approach. Energy
Economics (ENG), 19, Iss. 4 (October) : 493-513.
Susilowati, I. 1998. Economics of Regulatory Compliance in the Fisheries of
Indonesia, Malaysia, and Philippines. Ph. D. dissertation. Faculty of
Economics and Management, Universiti Putra Malaysia.
Tarigan, B. 1998. Peramalan Kebutuhan Tenaga Listrik Kotamadya Medan
Tahun 1998 – 2007. Tesis. Program Studi Teknik Elektro, Program
Pascasarjana, Universitas Indonesia.
Tarigan, U. ; S. Hardi ; dan Siswarni. 2002. Analisis Kebutuhan Listrik Rumah
Tangga : Studi Kasus Propinsi Sumatra Utara. Laporan Penelitian.
Kerjasama Proyek Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi dan Fakultas Teknik Universitas Sumatra
Utara.
Taylor, L. D. 1979. Time-of-Day and Seasonal Demand for Electric Power.
Growth & Change, 10, Iss. 1 (January) : 105-110.
Terza, J. T., dan W. P. Welch. 1982. Estimating Demand Under Block Rates :
Electricity and Water. Land Economics, 58, No. 2 (May) : 181-188.
Turvey, R., dan D. Anderson. 1997. Electricity Economics : Essay and Case
Study. Working Papers. The International for Reconstruction and
Development, The World Bank, The John Hopkins University Press.
Westley, G. D. 1989. Commercial Electricity Demand in A Central American
Economy. Applied Economics, 21 : 1-17.
Lampiran 1
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Teori
MODEL DASAR
(MODEL I)
PENDPTN
WTPKWH
INDALIST
JAKEL
JUMRUANG
STRATA/GOLONGAN
HBLBBM TARIF
HBLGAS
R-1/450 VA
ETNIS
R-1/900 VA
PENGEMBANGAN
MODEL PERMINTAAN ENERGI
(MODEL II)
LISTRIK R-1/1300 VA
PENDPTN RUMAH TANGGA
(PELRT)
R-1/2200 VA
WTPKWH
INDALIST R-2/2201 VA -
6600 VA
JAKEL
R-3/ > 6600 VA
JUMRUANG
HBLBBM
HBLGAS
ETNIS
PEKERJN
TIPENDIK
KEKEL
LOKASI
LAYANAN
Lampiran 2
Tabel 1
Populasi Konsumen Pada Rayon dan Ranting Terpilih Konsumen
Energi Listrik Rumah Tangga PT. PLN Cabang Kota Medan
(unit rumah tangga)
Lampiran 3
Gambar 2
Sistematika Penarikan Sampel
POPULASI :
Kelompok Konsumen Rumah Tangg PT. PLN Cabang Medan
CLUSTER
UNIT SAMPEL :
Konsumen Rumah Tangga PLN Justifikasi
Justifikasi Statistik Metodologi
Yang terpilih Berdasarkan Strata Golongan Penelitian
Tarif/Daya
Lampiran 4
Tabel 2
Distribusi Sampel Penelitian Konsumen Energi Listrik
Rumah Tangga PT. PLN Cabang Kota Medan
(unit rumah tangga)
Distribusi Sampel ***)
Golongan/Strata Jumlah Jumlah Tengah Kota Pinggir Kota
Tarif sampel *) sampel** (Rayon) (Ranting)
) Medan Medan Helveti Sungga
Kota Timur a l
R-1/TR 450VA 170 170 40 63 43 24
R-1/TR 900VA 115 115 30 37 30 18
R-1/TR 1300VA 37 60 15 15 15 15
R-1/TR 2200VA 43 64 19 15 15 15
R-2/TR 2201 - 17 60 15 15 15 15
6600VA 2 60 15 15 15 15
R-3/TR > 6600VA
Jumlah 383 529 134 160 133 102
Catatan : Rule of the thumb : distribusi jumlah sampel bila dipandang terlalu kecil (n < 15), jumlah sampel dapat
dinaikkan menjadi 15 atau ½ dari sampel kecil (n = 30).
*) Jumlah sampel berdasarkan hasil perhitungan formula
**) Jumlah sampel berdasarkan kaidah statistik
***) Distribusi sampel berdasarkan kaidah statistik
Lampiran 5
Rp ................./bulan. (Lihat pilihan tawaran di bawah ini, isi tanda □ dengan tanda X )
1. Di atas Rp 200.000,- per bulan : Jika Ya, sebutkan jumlahnya ;
Rp ............../bulan ; jika ٱTidak, lanjut ke pertanyaan 2
2. Rp 200.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 3
3. Rp 150.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 4
4. Rp 100.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 5
5. Rp 50.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 6
6. Rp 40.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 7
7. Rp 30.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 8
8. Rp 20.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 9
9. Rp 10.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran10
10. Di bawah Rp 10.000,- : Jika Ya, sebutkan jumlahnya : Rp ...................../bulan”
”Jika kualitas listrik meningkat di masa yang akan datang, apakah Anda
bersedia meningkatkan kapasitas listrik Anda menjadi 900 VA ?
□ Ya, bersedia □ Tidak bersedia, tetap pada 450 VA”
Abstrak
Behavioral researches mostly have to face social desirability bias (SDB). Even it hard
to eliminated, but the effort to it must do. This paper tried to explore what, why, when of
SDB issue and how to overcome. Some empirical examples given to make the
techniques to eliminate SDB more clearly.
Salah satu isu penting dalam pengukuran variabel penelitian adalah berkaitan
dengan kejujuran responden/partisipan dalam menjawab wawancara atau
mengisi kuesioner penelitian. Beberapa permasalahan penelitian sering kali
dianggap sensitif atau mengancam gambaran diri bagi responden/partisipan
sehingga ia memberikan jawaban yang tidak sebenarnya. Bila hal tersebut
terjadi maka tentu akan menimbulkan bias pada hasil penelitian. Hal ini yang
kemudian memunculkan isu Social Desirability Bias (SDB).
Artikel ini bermaksud untuk mengupas lebih dalam mengenai apa, kapan,
konsekuensi dan solusi permasalahan SDB. Contoh pada penelitian berkaitan
dengan pembelian impuls akan disajikan pada bagian selanjutnya untuk
melengkapi gambaran mengenai SDB.
∗
Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga dan Dosen kelas
Matrikulasi Program MSi Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 410
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
1
Mereka mendengarkan tapi hati mereka mengingkarinya
2
Mereka bersumpah bahwa mereka beriman adalah untuk menjaga harta mereka,
supaya jangan dibunuh atau ditawan.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 411
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
pengertian pertama ini Singh (1986, p 116) memberikan istilah bahwa orang
tersebut berpura-pura baik (faking good). Pengertian kedua adalah seperti
dikemukakan Singh (1986, pp 116-117) adalah berpura-pura untuk
terlihat/terkesan negatif. (faking bad). Contoh yang diberikan Singh adalah
seseorang anggota militer yang dengan tujuan agar bisa pulang ke rumah
berupaya untuk memberikan kesan bahwa ia mengalami kelelahan mental
dalam tes kepribadian dan psikologi.. Dengan demikian ia bahkan melakukan
overreporting sesuatu yang negatif dengan tujuan untuk mendapatkan simpati,
perhatian dan bantuan dari orang lain. Walaupun memiliki pengertian yang
berbeda namun kesemua hal diatas memiliki kesamaan yakni adanya aktivitas
mengelabui pihak lain untuk mendapatkan kesan diri yang sesuai dengan
tujuannya.
menjadikan seseorang menjawab dengan tidak jujur dengan tujuan untuk dapat
memunculkan imej positif di mata interviewer.
Beberapa isu yang telah diidentifikasi sensitif dan/atau mengancam serta
dapat memunculkan kemungkinan responden/partisipan berbohong atau
menghindar untuk menjawab antara lain: perilaku dan fantasi seksual;
pendapatan yang diperoleh; patriotisme dan ethnosentrisme, tingkat religiusitas;
pemberian donasi yang dilakukan; masalah rasial dalam voting politik (Bradley
Effect3), perilaku illegal/melawan hukum seperti pengkonsumsian obat-obatan
terlarang, kepemilikan senjata serta keikutsertaan dalam organisasi terlarang dll
(wikipedia.org; Vinten 1995). Spesifik untuk disiplin pemasaran, permasalahan
SDB akan sering ditemui peneliti, mengingat tren isu pemasaran saat ini adalah
seputar pemanasan global, pemasaran beretika, pemasaran hijau (green
marketing), pemasaran sosial, serta pemasaran dengan tanggung jawab sosial
(corporate social responsibility) (Nancarrow et.al 2001).
Lebih lanjut Vinten (1995) menyatakan bahwa aspek kepribadian dan
karakteristik item dapat saling berhubungan, yang menjadikan kepribadian yang
berorientasi pada lingkungan sosial sekitarnya (SD) sebagai kepribadian yang
bersifat situasional dan tidak statis tergantung pada karakteristik item yang
ditanyakan. Namun hubungan tersebut masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.
Studi empirik dari Chung dan Monroe (2003) memberikan dukungan
bahwa ada korelasi antara SDB dengan aspek tema riset (etis-non etis) dan
karakteristik subyek penelitian (tingkat relijiusitas dan gender). SDB semakin
tinggi bila suatu tindakan yang dimunculkan dalam riset dipandang tidak etis.
Individu yang memiliki tingkat relijiusitas tinggi juga cenderung memiliki skor
SDB tinggi dibanding yang memiliki tingkat relijiusitas rendah. Adapun wanita
memiliki skor SDB lebih tinggi dibanding pria.
3
Bradley effect or Wilder effect mengacu pada upaya untuk menjelaskan
kemungkinan ketidakakuratan polling opini dalam kampanye politik di Amerika antara
kandidat berkulit putih dan berkulit hitam atau berwarna. Para peneliti berargumentasi
bahwa pemilih berkulit putih memberikan respon polling yang tidak akurat karena
mereka takut bila menyatakan pilihan yang sesungguhnya akan tampak oleh orang lain
sebagai orang yang rasis (racially prejudiced). Sumber www.wikipedia.org.
Konsekuensi
Dari hasil review atas berbagai literatur yang berkaitan dengan pengukuran dan
pengendalian atas SDB, Nederhof (dalam Snir dan Harpaz 2002) mengklaim
bahwa SDB merupakan salah satu sumber bias yang paling umum terjadi yang
dapat mempengaruhi validitas dari temuan penelitian baik untuk penelitian
dengan survei maupun eksperimen. Bila responden/partisipan menjawab sesuatu
tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, maka hasilnyapun tentunya menjadi
bias. Terdukung atau tidak terdukungnya hipotesis yang diajukan menjadi
sesuatu yang tidak nyata.
Lebih lanjut, bila hasil temuan riset bias, maka efek selanjutnya adalah
bias pada kontribusi penelitian baik kontribusi konseptual maupun praktikal.
Kesalahan penarikan kesimpulan dan preskripsi kemudian dapat terjadi.
Mengingat dampaknya yang cukup signifikan, maka perhatian penuh
terhadap upaya mengeliminasi kemungkinan terjadinya SDB harus dilakukan.
Penggunaan kata eliminasi mengandung arti bahwa sangat sulit bagi peneliti
untuk mengetahui secara pasti bahwa SDB tidak terjadi sama sekali, namun
upaya ke arah itu harus dilakukan.
lain juga dapat muncul dalam hal ini yakni apakah pertanyaan kepada
responden/partisipan yang diajukan juga terbebas dari permalahan SD.
4. Noting physiological manifestations of unease
Pengamatan terhadap berbagai respon fisik juga dapat dilakukan seperti
mengamati perubahan ukuran pupil mata, respons galvanik dari kulit atau
pergerakan otot muka. Hal ini biasanya dilakukan dalam eksperimen di
laboratorium, dengan alat-alat observasi khusus. Namun tentu saja alternatif
ini memerlukan waktu dan biaya yang lebih besar.
5. Experiment involving SDB reduction technique versus no SDB reduction
technique as control.
Pilihan ini pada dasarnya lebih meneliti kepada penelitian ekseprimen
tersendiri yakni dengan membuat kelompok kontrol dan kelompok yang
dimanipulasi. Kedua kelompok tersebut kemudian dilihat ada atau tidaknya
signifikansi perbedaan antara kedua kelompok untuk mengetahui ada atau
tidaknya fenomena SDB.
Penutup
SDB merupakan fenomena yang kerap terjadi untuk isu riset yang sensitif. SDB
harus diupayakan untuk dieliminasi agar hasil dan kontribusi yang diperoleh
menjadi lebih bermakna. Namun bagaimanapun upaya yang dilakukan tidak ada
satu hal pun yang bisa menjamin kesuksesan metode yang digunakan. Hal ini
Referensi
Kuntari Erimurti∗
ABSTRACT
Need for closure (NFC) is a multidimensional variable and measured by
reflective model specification. Empirical evidence shows that close mindendess and
tendency toward decisiveness is reduced (DeBacker dan Crowson, 2006; Kosic, 2000).
Other test with different sample disclose that close mindedness, tendency toward
decisiveness and preference for predictability have low internal consistency and
eliminated, therefore preference for order and structure and discomfort with ambiguity
are remained scale (Erimurti, 2006). NFC is high correlated with personal need for
structure (PNS) on preference for order and structure, preference for predictability and
discomfort with ambiguity dimensions (Neuberg et al., 1997; Leone et al., 1999).
Therefore, reflective model specification is doubted to be the adequate measurement for
need for closure construct.
Theoritically, NFC is not prohibit positive, negative or null correlations among
dimensions (Kruglanski et al., 1997), therefore each dimension is equal. This concept
imply that NFC is a composite latent construct. In addition, Webster and Kriglanski
(1994) treat the NFC scale as a common latent construct and measured by total score.
This reflective model measurement is stimulated research, but the result is confusing,
due to the ambiguous interpretation of aggregation of the result (Neuberg et al. 1997).
This hybrid measurement produces model misspecification (MacKenzie et al. 2005).
The composite latent construct of NFC should be measured by formative model.
This paper evaluates measurement model specification for composite latent
construct of NFC and compare the goodness of fit of both formative and reflective
model specifications.
Kata kunci: spesifikasi model pengukuran, formatif, reflektif, need for closure
∗
Mahasiswa program Doktoral, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UGM; Staf pengajar dan
peneliti Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(PPPPTK) Seni dan Budaya, Yogyakarta.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 423
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
LATAR BELAKANG
Need for closure (selanjutya disebut dengan NFC) merupakan variabel
multidimensi dan diukur dengan menggunakan model pengukuran reflektif.
Pengujian dengan model ini menunjukkan bahwa dimensi closed mindedness
dan/atau tendency toward decisiveness mengalami reduksi (DeBacker dan
Crowson, 2006; Kosic, 2000). Pengujian dengan sampel yang berbeda
mengungkap bahwa dimensi closed mindedness, tendency toward decisiveness
dan preference for predictability memiliki reliabilitas konsistensi internal yang
sangat rendah dan di eliminasi dari skala pengukuran sehingga konstruk NFC
hanya diukur melalui dimensi preference for order and structure dan discomfort
with ambiguity (Erimurti, 2006). NFC juga berkorelasi tinggi dengan konstruk
personal need for structure (PNS) pada dimensi preference for order and
structure, preference for predictability dan discomfort with ambiguity (Neuberg
et al., 1997; Leone et al., 1999). Dengan demikian model pengukuran reflektif
untuk variabel NFC masih belum menunjukkan stabilitas konstruk latennya.
Teori NFC memperbolehkan terjadinya korelasi positif, nol atau bahkan
negatif antar dimensinya (Kruglanski et al., 1997), sehingga masing-masing
dimensi adalah setara (equal). Konsep ini secara tidak langsung menunjukkan
bahwa NFC merupakan konstruk laten komposit (composite latent construct),
yang seluruh dimensinya merupakan pembentuk konstruk. Webster dan
Kriglanski (1994) selanjutnya memperlakukan skala pengukuran NFC sebagai
instrumen unidimensional. Cara pengukuran ini memang bisa merupakan cara
termudah untuk menstimulasi penelitian tetapi hasilnya sering membingungkan
karena temuan berdasar hitungan agregat akan mengakibatkan interpretasi yang
ambigu (Neuberg et al. 1997) dan terjadi kesalahan spesifikasi model
(MacKenzie et al. (2005). Pengukuran konstruk laten komposit ini seharusnya
menggunakan model formatif bukan model reflektif.
Proses pengembangan skala pengukuran sikap dan kepribadian
kebanyakan merekomendasikan bahwa item yang memiliki korelasi rendah
dengan skor total harus di eliminasi dari skala untuk meningkatkan reliabilitas
konsistensi internal. Rekomendasi ini hanya berlaku untuk model pengukuran
reflektif karena seluruh item merupakan manifestasi dari domain yang sama.
Jika rekomendasi ini diberlakukan untuk konstruk yang memiliki indikator atau
dimensi formatif, maka eliminasi item atau dimensi akan mengakibatkan
Hasrat yang berkaitan dengan need for closure adalah hasrat terhadap
pengetahuan yang disebut curiousity (keingintahuan) yaitu motiv dari hasrat
terhadap pengetahuan (Reiss, 2004). Pada dasarnya “each basic desire is
theoretically regarded as a continuum of potential motivation anchored by
opposite values” (Reiss, 2004: 186). Kecenderungan individu yang memiliki
informasi untuk menghasilkan dugaan (dan mencari informasi yang relevan
untuk dugaannya) diasumsikan bergantung pada motivasi terhadap informasi
sebagai suatu obyek. Berdasar teori hasrat (Reiss, 2004) dan teori lay epistemic1
(Kruglanski, 1990) motivasi epistemik tersebut diklasifikasi menjadi dua
dimensi ortogonal, dari pencarian sampai menghindari closure, dan dari non-
spesifik sampai spesifik. Klasifikasi tersebut menghasilkan tipologi empat
orientasi motivasional yang ditandai dengan (1) need for non-specific closure,
(2) need to avoid non-specific closure, (3) need for specific closure, dan (4)
need to avoid specific closure (Kruglanski dan Webster, 1996). Tabel 1
menunjukkan dimensi ortogonal motivasi episemik.
Tabel 1: Klasifikasi dua dimensi ortogonal motivasi epistemik
Type of motivating Disposition toward closure
closure Avidance Seeking
Need to avoid to non- Need for non-specific
Non-specific
specific closure closure
Need to avoid to need
Specific Need for specific closure
for specific closure
Sumber: Kruglanski (1990)
1
Teori lay-epistemic membahas proses membentuk dan memodifikasi informasi
manusia, menekankan fungsi epistemik dalam menghasilkan dan memvalidasi dugaan.
Untuk dapat menghasilkan dugaan, seseorang harus memiliki cukup informasi.
Informasi didefinisikan dalam bentuk proposisi atau bodi proposisi dengan tingkat
keyakinan tertentu. Definisi ini memiliki dua persyaratan fungsional pada pembentukan
informasi yaitu (1) isinya proposisional, sehingga perlu proses agar dapat menghasilkan
dugaan, dan (2) dugaan yang dihasilkan perlu memperoleh keyakinan, sehingga perlu
tahap validasi dugaan.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 426
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Need for
Closure/N
FC
4
Chaos: complete disorder;
5
Uncertain: not able to be accurately known or predicted (McLeod, 1987)
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 431
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Hasrat menyimpan
closure Close Menghindari
Mindedness konfrontasi
Hasrat segera
memperoleh
Tendency Melakukan penilaian
closure
toward secara langsung
Urgent desire to (SEIZING)
reach closure Immediate judgment
Hasrat terhadap
aturan dan struktur
yang pasti Preference
Menolak situasi kacau
for order and
Desire for definite saat ini
tructure (O)
Need for
Closure/
NFC
4 Lihat: Roets, Arne and Van Hiel, Alain (2007) “Separating Ability From Need: Clarifying the Dimensional
Structure of the Need for Closure Scale,” Personality and Sociol Psychology Bulletin, Vol. 33, No. 2, pp. 266-
280.
Decisiveness
Close mindedness
(C)
Need for closure
Komposit
(O) + (D)
Estimasikan model CFA untuk konstruk Estimasikan model CFA untuk konstruk
reflektif (common latent construct) formatif (composit latent construct)
Evaluasi goodness of fit (mis.: GFI dan Evaluasi goodnes of fit (mis.: GFI dan
RMR) RMR)
Evaluasi validitas item (mis.: significant Evaluasi validitas item (mis.: potential of
and magnitude factor loadings) non-significant loadings)
Evaluasi reliabilitas item (mis.: item to Evaluasi reliabilitas item (mis.: test re-test
total correlation) reliability)
Eliminasi item yang memiliki validitas Eliminasi item yang memiliki validitas
atau reliabilitas rendah atau reliabilitas rendah
6
Hasrat yang berkaitan dengan need for closure adalah hasrat terhadap pengetahuan
yang disebut curiousity (keingintahuan) yaitu motif dari hasrat terhadap pengetahuan
(Reiss, 2004).
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 441
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
C10 .819 Saya kesal ketika ada orang yang tidak setuju dengan pendapat
saya.
C4 .640 Saya tidak menyukai jawaban yang tidak pasti.
C44 Saya tidak membutuhkan saran dari orang lain.
CR2 .844 Saya selalu ingin mempertimbangkan pendapat yang berbeda.*
CR25 .764 Saya membutuhkan saran dari orang lain ketika hendak membuat
keputusan.*
CR29 .825 Saya suka mempertimbangkan sebanyak mungkin pendapat yang
berbeda.*
CR36 .572 Saya lebih memilih teman yang mempunyai gagasan yang
berbeda.*
CR41 .646 Saya selalu menemukan berbagai solusi untuk mengatasi
masalah.*
D14 .844 Saya biasa menemukan solusi terbaik dengan sangat cepat.
D17 .866 Saya biasa membuat keputusan penting dengan cepat dan
meyakinkan.
DR12 .803 Saya adalah seorang peragu.*
DR13 .740 Saya sulit memutuskan produk yang sebenarnya ingin saya beli.*
DR16 .535 Saya cenderung membuat keputusan penting pada menit terakhir*
DR23 .748 Saya sulit membuat keputusan.*
DR40 .560 Saya sering melihat banyak pilihan yang justru membingungkan.*
P26 .657 Saya tidak menyukai orang yang tindakannya tidak dapat saya
prediksikan sebelumnya.
P27 .747 Saya lebih suka berteman dengan orang yang sudah saya kenal
karena saya tahu persis sifat-sifatnya.
P30 Saya tidak suka bekerja tanpa tujuan yang jelas.
P45 .698 Saya tidak suka situasi yang tidak dapat diprediksi.
P8 .715 Saya lebih suka berkunjung ke tempat yang sudah saya kenal
sebelumnya.
PR19 .624 Saya lebih suka mengubah rencana pada saat-saat terakhir.*
PR5 .750 Saya lebih senang berteman dengan orang yang tidak bisa saya
perkirakan sebelumnya.*
PR7 .852 Saya lebih memilih situasi yang tidak dapat diprediksi.*
CUR22 .808 Saya tidak memiliki motivasi untuk mencari informasi yang
saya butuhkan.*
CUR46 .944 Saya tidak ingin mencari informasi yang lain selain
pengetahuan yang sudah saya miliki.*
CURR18 .812 Saya termotivasi untuk mencari informasi yang saya
butuhkan untuk memenuhi keingintahuan saya.
CURR39 .812 Saya termotivasi mencari informasi untuk bisa membuat
keputusan yang akurat.
CURR43 .761 Saya selalu berhasrat mencari informasi untuk memenuhi
keingintahuan saya.
ecur18 ecur39
(0.071) (0.066)
Cur1 Cur3
0.867 0.675
eNeed
for
closure
Need for
(0.050)
Closure
A1 A3 A3 A33 A3 A9 C2 C25 C29 C36 C41 D12 D13 D23 D40 O1 O1 O2 O3 O3 O3 O6 P26 P27 P45 P8
0,71, discomfort with ambiguity dengan alpha 0,77 dan 0,55 untuk close
mindedness. Sedangkan reliabilitas konsistensi internal untuk konstruk NFC
adalah 0,89. Pierro et al. (2003) mereduksi dimensi tendency toward
decisiveness.
Moneta dan Yip (2004) melakukan validitas NFC dengan menggunakan
skala pengukuran kombinasi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Cina untuk
sampel mahasiswa psikologi Hong Kong. Skala kombinasi didasarkan pada
analisis Neuberg et al., (1997) yang menyatakan bahwa NFC tumpang tindih
dengan PNS dan PFI. Item kuesioner yang digunakan berjumlah 62 dengan
urutan PFI (14 item), NFC (42 item) dan PNS (6 item). Hasil studi Moneta dan
Yip menunjukkan bahwa reliabilitas konsistensi internal NFC adalah 0,770,
preference for order and strcture (alpha 0,748), preference for predictability
(alpha 0,736), tendency toward decisiveness (alpha 0,749), discomfort with
ambiguity (alpha 0,477), close mindedness (alpha 0,443). Ketika standard ideal
reliabilitas konsistensi internal untuk konstruk kepribadian adalah 0,85 sampai
0,90 dengan mean 0,77 (Charter, 2003) maka dimensi tendency toward
decisiveness dan discomfort with ambiguity tidak handal mengukur konstruk
NFC. Hasil selanjutnya menunjukkan bahwa korelasi antara NFC dan PNS
adalah 0,82 pada p <0,01 dan korelasi NFC dan PFI adalah 0,008. Hasil uji ini
menunjukkan bahwa NFC tidak terdiskriminasi dari PNS dan NFC benar-benar
mengukur aspek yang berbeda dari PFI.
Van Hiel et al. (2004) menguji reliabilitas konstruk NFC dengan dua
sampel mahasiswa psikologi tahun pertama di universitas di Belgia. Sampel 1
berjumlah 399 dan sampel 2 berjumlah 330. Hasil studi menunjukkan tiga
dimensi valid mengukur konstruk NFC yaitu preference for order and structure
(alpha 0,80/S1 dan 0,82/S2), preference for predictability (alpha 0,79/S1 dan
0,72/S2) dan tendency toward decisiveness (alpha 0,80/S1 dan 0,72/S2.
Sedangkan dua dimensi berikut tidak reliabel mengukur konstruk NFC yaitu
discomfort with ambiguity (alpha 0,53/S1 dan 0,41/S2) dan close mindedness
(alpha 0,51/S1 dan 0,58/S2). Meskipun dua dimensi tereduksi, studi ini
menggunakan reliabilitas komposit untuk mengukur korelasi dengan variabel
reflektif lainnya.
Studi Federico et al. (2005) mengubah skala pengukuran konstruk NFC
menjadi rentang 1-7, 1 untuk sangat tidak setuju dan 7 untuk sangat setuju.
Federico et al. (2005) menggunakan 217 sampel mahasiswa dan hanya
Tabel 9: Reliabilitas konsistensi internal konstruk dan dimensi need for closure
Reliabilitas Dimensi NFC
Jumlah Reliabilitas
Jumlah
Peneliti Item Konstruk 1 2 3 4 5
Responden
Kuesioner NFC
Webster dan 42 281 0,84 0,82 0,79 0,70 0,67 0,62
Kruglanski (1994) 42 172 0,84 0,77 0,72 0,79 0,80 0,62
Neuberg et al. 42 452 - - - - - -
(1997) c
Leone et a.l (1999) 42 72 0,89 0,83 0,83 - - -
Hougton dan 42 728 0,83 0,80 0,80 0,75 0,63 0,62
Grewal (2000) 20 724/128 0,81 0,80 0,72 0,73 0,63 0,62
Kosic (2002b) 42 146 0,84 - - - - -
Vermeir (2003) 42 200 0,86 0,85 0,81 0,70 0,46 0,63
25 695 0,88 0,83 0.87 0,75 0,79 0,82
Nelson et al. (2003) 42 63 0,70 - - - - -
42 112 0,88 - - - - -
Pierro et al. (2003) 42 48 0,89 0,67 0,71 - 0,77 0,55
Moneta dan Yip 62 292 0,77 0,75 0,74 0,75 0,48 0,44
(2004)a
Van Hiel et al. 42 399 0,80 0,80 0,79 0,80 0,53 0,51
(2004)
42 330 0,82 0,82 0,72 0,72 0,41 0,58
Federico et al. 42 217 0,85 - - - - -
(2005)
Erimurti (2005) 42 225 0,79 0,74 0,56 0,63 0,50 0,51
Erimurti (2006) b 42 145 0.69 0.83 0.46 0.57 0.63 0.51
10 145 0.74 0.76 - - 0.63 -
Stalder (2007) c 42 130 - - - - - -
De Backer (2007) d 42 259 - 0,79 0,84 - 0,66 -
Roets dan Van Hiel 42 400 0,88 e - - - - -
(2007) 42 434 0,87 f - - - - -
Keterangan: (1) Preference for Order and Structure, (2) Preference for Predictability,
(3) Tendency toward decisiveness, (4) Discomfort with Ambiguity, dan (5) Close
mindedness.
a skala NFC + PNS + OFI (total 62 item)
b skala 1-7
c tidak melaporkan hasil uji reliabilitas konsisteni internal NFC dan dimensi-
dimensinya
d tidak melaporkan hasil uji reliabilitas konsistensi internal NFC
Need for
Closure
e e e e e
(0.095) (0.195) (0.353) (0.053) (0.091)
Ambiguity Close Decisive Order Predict
A15 A3 A32 A33 A38 A9 C2 C25 C29 C36 C41 D12 D13 D23 D40 O1 O11 O24 O34 O35 O37 O6 P26 P27 P45 P8
KESIMPULAN
Teori NFC memperbolehkan terjadinya korelasi positif, nol atau bahkan
negatif antar dimensinya (Kruglanski et al., 1997), sehingga masing-masing
dimensi adalah setara (equal). Konsep ini secara tidak langsung menunjukkan
bahwa NFC merupakan konstruk laten komposit (composite latent construct),
yang seluruh dimensinya merupakan pembentuk konstruk. Dengan demikian
spesifikasi model konstruk ini adalah formatif, namun Webster dan Kriglanski
(1994) memperlakukan NFC sebagai konstruk unidimensional dan spesifikasi
modelnya adalah reflektif. Cara pengukuran hibrid ini memang bisa merupakan
cara termudah untuk menstimulasi penelitian tetapi hasilnya sering
membingungkan karena temuan berdasar hitungan agregat akan mengakibatkan
interpretasi yang ambigu (Neuberg et al. 1997) dan terjadi kesalahan spesifikasi
model (MacKenzie et al. (2005).
Pengujian konstruk laten komposit NFC dengan model formatif secara
statistik lebih unggul daripada menggunakan model reflektif. Keunggulan ini
ditunjukkan dengan CMIN/DF untuk model formatif lebih kecil 0,129 daripada
model reflektif. Artinya model formatif memliki distribusi penyampelan lebih
luas daripada model reflektif. Meskipun model ini tidak fit dengan data,
ditunjukkan dengan GFI kurang dari 0,9 (Hair et al., 1998), namun model
formatif menunjukkan 0,006 lebih kuat daripada model reflektif.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James C; Gerbing, David W and Hunter, John E (1987) “On the
Assesment of Unidimensional Measurement: Internal and External
Consistency, and Overall Consistency Criteria,” Journal of Marketing
Research, Vol. 24, pp. 432-437.
Bollen, K. A., and Lennox, R. (1991) “Conventional wisdom on measurement:
A structural equation perspective,” Psychological Bulletin, Vol. 110, pp.
305–314 di dalam MacKenzie, Scott B., Podsakoff, Philip M., dan Jarvis.
Cheryl Burke, (2005) “The Problem of Measurement Model
Misspecification in Behavioral and Organizational Research and Some
Recommended Solutions, “ Journal of Applied Psychology, Vol. 90, No. 4,
pp. 710–730.
Charter, Richard A (2003) “A breakdown of reliability coefficients by test type
and reliability method, and the clinical implications of low reliability,” The
Journal of General Psychology, Vol. 13, No. 3, pp. 290-304.
Crowley, Ayn, E., and Hoyer, Wayne, D. (1989) “The relationship between
need for cognition and other individual differences variables: A two-
dimensional framework,” Advances in Consumer Research, Vol. 16, pp.
37-43.
Darwall, Stephen (2003) “Desires, reason, and causes,” Philosophy and
Phenomenological Research, Vol. 67, No. 2, pp. 436-443.
DeBacker, Teresa K. and Crowson, H. Michael (2006) “Influences on cognitive
engagement: Epistemological beliefs and need for closure,” British Journal
of Educational Psychology, Vol.: 76, pp.: 535–551.
Diamantopoulos, Adamantios, dan Winklhofer, Heidi M., (2001) “Index
Construction with Formative Indicators: An Alternative to Scale
Development,” Journal of Marketing Research (JMR), Vol. 38, Issue 2
Erimurti, Kuntari (2005) “Pengaruh Need for Closure pada perilaku konsumen:
Validasi konstruk Need for Closure,” Research Project, tidak
dipublikasikan.
Erimurti, Kuntari (2006) “Studi pendahuluan: Analisis Pengukuran Need for
Closure, Analisis Produk Dicari di Internet, Analisis Waktu Akses dan
Analisis Keluasan Pop-up Windows,” tidak dipublikasikan.
Federico, Christopher M., Golec, Agnieszka and Dial, Jessica L. (2005) “The
Relationship Between the Need for Closure and Support for Military
Action Against Iraq: Moderating Effects of National Attachment,”
Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 31, No. 5, pp. 621-632.
Federico, Christopher M., Golec, Agnieszka and Dial, Jessica L. (2005) “The
Relationship Between the Need for Closure and Support for Military
Need for Closure, Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 29, No.
3, pp. 405-417.
Reiss, Steven (2004) “Multifaceted Nature of Intrinsic Motivation: The Theory
of 16 Basic Desires,” Review of General Psychology, Vol. 8, No. 3, pp.
179–193.
Roets, Arne and Van Hiel, Alain (2007) “Separating Ability From Need:
Clarifying the Dimensional Structure of the Need for Closure Scale,”
Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 33 No. 2, pp. 266-280.
Roets, Arne and Van Hiel, Alain (2007) “Separating Ability From Need:
Clarifying the Dimensional Structure of the Need for Closure Scale,”
Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 33 No. 2, pp. 266-280.
Rokeach, Milton (1960), The open and closed mind: Investiations into the
nature of belief systems and personality systems, Basic Book, New York,
Northwestern University, in Winch, Robert, F., (2000) Review on
Rokeach, Milton (1960), The open and closed mind: Investiations into the
nature of belief systems and personality systems, Basic Book, New York,
Northwestern University.
Sharma, S., 1996, Applied Multivariate Techniques, John Willey & Sons Inc.,
New York, USA.
Stalder, Daniel, R. (2007) Need for closure, the big five and public self-
conciousness, The Journal of Social Psychology, Vol. 147, No. 1, pp. 91-
94.
Van Hiel, Alain, and Merveilde, Ivan (2003) “The Need for Closure and the
spontaneous use of complex and simple cognitive structures,” The Journal
of Social Psychology, Vol. 143, No. 5, pp. 559-568.
Van Hiel, Alain; Pandelaere, Mario and Duriez, Bart (2004) “The Impact of
Need for Closure on Conservative Beliefs and Racism: Differential
Mediation by Authoritarian Submission and Authoritarian Dominance,”
Personality and Social Psychology Bulettin, Vol. 30, No. 7, pp. 824-837.
Vermeir, Iris (2003) “The influence of Need for Closure on consumer
behaviour,” Dissertation, open source, http://www.fetew.ugent.be.
Vermeir, Iris and Geuens, Maggie (2004) “Need for Closure and leisure of
youngsters,” in press, Ghent University, Faculty of Economics and Applied
Economics, Department of Marketing, Hoveniersberg 24, 9000 Gent,
Belgium.
Webster, Donna, M., and Kruglanski, Arie, W. (1994) “Individual differences in
need for cognitive closure,” Journal of Personality and Social Psychology,
Vol. 67, No. 6, pp. 1049-1062.
MARGANI PINASTI∗
MEINARNI ASNAWI∗∗
ABSTRAK
Pengukuran variabel kualitas laba dalam riset-riset empiris sangat
beragam. Makalah ini berusaha memaparkan berbagai proksi
pengukur kualitas laba yang digunakan dalam riset-riset empiris,
menyusun suatu kategorisasi atas ukuran-ukuran kualitas laba, dan
menelaah bagaimana riset-riset empiris mensiasati adanya beragam
ukuran kualitas laba. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk bersifat
exhaustive dalam memaparkan beragam proksi pengukur kualitas laba.
Berdasarkan penalaran yang mendasari tiap-tiap proksi ukuran
kualitas laba, dapat disusun suatu kategorisasi atas beragam ukuran
kualitas laba.
Telaah terhadap artikel-artikel empiris tentang kualitas laba yang
dipublikasikan sepanjang tahun 2005 sampai dengan 2008
menunjukkan bahwa dalam menghadapi adanya berbagai proksi
ukuran kualitas laba, beberapa riset empiris memilih salah satu ukuran
yang relevan dengan pertanyaan risetnya. Beberapa riset empiris
lainnya menggunakan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam
riset mereka, dan menganalisis berbagai ukuran kualitas laba tersebut
secara terpisah. Analisis secara terpisah untuk tiap-tiap ukuran
kualitas laba sampai sejauh ini merupakan solusi yang diambil dalam
riset-riset empiris ketika menghadapi adanya berbagai proksi ukuran
kualitas laba.
Selain masalah pengukuran kualitas laba, makalah ini juga
memaparkan isu pengukuran fair value dalam akuntansi, dan
mengkaitkannya dengan pendekatan pengukuran yang diadopsi profesi
penilai properti.
∗
Universitas Jenderal Soedirman
∗∗
Universitas Cendrawasih
1. PENDAHULUAN
Hodge (2003) ”the extent to which net income reported on the income statement
differs from true earnings.”
Schipper & Vincent ”the extent to which reported earnings faithfully represent
(2003) Hicksian income ... the change in net economic assets other than
from transactions with owners.”
Bellovary et al. “the ability of reported earnings to reflect the company’s true
(2005) earnings, as well as the usefulness of reported earnings to predict
future earnings.”
Francis et al. (2006) ‘we consider earnings to be of high quality if they are precise
with respect to an underlying construct that pertains to capital
market decisions.”
dipandang sebagai ukuran kualitas akrual total yang berbeda dari ukuran
kualitas akrual Dechow & Dichev (2002).
Banyak penelitian empiris yang mengadopsi model Jones (1991) dan
berbagai perluasannya untuk mengestimasi akrual abnormal sebagai
pengukur kualitas laba. Beberapa artikel diantaranya adalah Platikanova
(2008), Francis et al. (2008), Francis & Wang (2008), Jaffar et al. (2007),
Kwon et al. (2007), Larcker et al. (2007), Blouin et al. (2007), Lee et al.
(2007), Crutchley et al. (2007), Wang (2006), Aboody et al. (2005), Ghosh
et al. (2005).
3. Persistensi (persistence)
Persistensi merupakan suatu ukuran kualitas laba yang didasari
pandangan bahwa laba yang lebih sustainable merupakan laba dengan
kualitas yang lebih tinggi. Dalam bentuknya yang paling sederhana,
persistensi laba diukur dari estimasi koefisien (slope coefficient estimate),
φ1j, dari suatu model autoregresif order satu (AR1) untuk laba per saham
tahunan (Xj,t yang diukur dari laba bersih sebelum pos luar biasa perusahaan
j pada tahun t dibagi dengan rata-rata tertimbang jumlah lembar saham yang
beredar sepanjang tahun t):
X j ,t = φ0 j + φ1 j X j ,t −1 + ν j ,t (3
Persamaan (3) pada umumnya diestimasi secara time-series untuk tiap-tiap
perusahaan. Estimasi φ1j yang dihasilkan menunjukkan persistensi laba
perusahaan j. Nilai φ1j yang mendekati satu menunjukkan persistensi laba
yang tinggi (atau kualitas laba tinggi), sedangkan nilai φ1j yang mendekati
nol menunjukkan tingginya laba transitori (atau kualitas laba rendah).
Beberapa artikel empiris yang menggunakan persistensi laba sebagai
ukuran kualitas laba, antara lain Krishnan & Parsons (2008), Machuga &
Teitel (2007), Wang (2006), Anctil & Chamberlain (2005), Ghosh et al.
(2005).
4. Prediktabilitas (predictability)
Prediktabilitas didefinisikan sebagai kemampuan laba untuk
memprediksi dirinya sendiri (Lipe, 1990). Pandangan yang mendasari
digunakannya prediktabilitas sebagai ukuran kualitas laba adalah: angka
laba yang cenderung mengulang dirinya sendiri merupakan angka laba
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 466
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
berkualitas tinggi (Francis et al., 2006). Angka laba yang berkualitas tinggi
bersifat representatif (atau merupakan prediktor yang baik) atas laba yang
akan datang.
Salah satu pengukur prediktabilitas laba diturunkan dari model
spesifik-perusahaan yang sama dengan model yang digunakan untuk
mengestimasi persistensi laba (persamaan (3)). Ukuran prediktabilitas laba
yang pada umumnya digunakan adalah akar dari variansi residual dari
persamaan (3).
Pr ediktabili tas j = σ 2 (νˆ j )
Semakin besar nilai Prediktabilitas, semakin rendah kualitas laba;
sebaliknya semakin kecil nilai Prediktabilitas, semakin tinggi kualitas laba.
Beberapa artikel empiris yang menggunakan prediktabilitas laba
sebagai ukuran kualitas laba, antara lain Machuga & Teitel (2007), Sen
(2005), Cheng (2005). Terdapat beberapa artikel empiris yang mengukur
prediktabilitas laba berdasarkan kemampuan laba perioda saat ini untuk
memprediksi arus kas perioda mendatang, yaitu Linck et al. (2007),
Khurana et al. (2006).
5. Kehalusan (smoothness)
Kehalusan (smoothness) laba pada umumnya diukur relatif terhadap
ukuran arus kas. Pengukuran ini menggunakan arus kas sebagai konstruk
referensi untuk laba yang tidak diratakan (unsmoothed earnings), dan
mengasumsikan bahwa arus kas tidak dimanipulasi (unmanaged). Sebagai
suatu indikator kualitas laba, kehalusan laba merefleksikan gagasan bahwa
manajer menggunakan informasi privat mereka tentang laba yang akan
datang untuk meratakan fluktuasi transitori dan memperoleh suatu angka
laba yang lebih representatif (yaitu dinormalkan). Jika laba yang diratakan
tersebut, yang lebih representatif menggambarkan laba yang akan datang,
merupakan laba yang berkualitas tinggi; maka laba yang lebih smooth
mengindikasikan laba berkualitas tinggi. Akan tetapi, tidak semua peneliti
menerima premis bahwa manajer menggunakan informasi privat mereka
tentang laba yang akan datang untuk memanipulasi akrual dengan tujuan
untuk memperoleh angka laba yang lebih representatif. Pandangan alternatif
atas perataan laba, sebagaimana yang dinyatakan oleh Leuz et al. (2003),
9. Ketepatwaktuan (timeliness)
Serupa dengan relevansi-nilai, ukuran ketepatwaktuan (timeliness)
laba didasarkan pada konstruk referensi (reference construct) return saham
dan diukur berdasarkan kemampuan menjelaskan (explanatory power) dari
laba. Ketepatwaktuan menunjukkan kemampuan laba untuk merefleksikan
berita baik (good news) dan berita buruk (bad news) yang tertangkap dalam
return saham. Ketepatwaktuan ini diukur dengan kemampuan menjelaskan
(explanatory power) dari regresi laba terhadap return saham. Penggunaan
ketepatwaktuan laba sebagai suatu ukuran kualitas laba didasari pandangan
yang sama yang mendukung relevansi-nilai sebagai ukuran kualitas laba.
Berdasarkan Ball et al. (2000), Francis et al. (2004) mengukur
ketepatwaktuan laba berdasarkan persamaan regresi berikut ini:
EARN j ,t = α 0, j + α1, j NEG j ,t + β1, j RET j ,t + β 2, j NEG j ,t .RET j ,t + ξ j ,t
NEGj,t bernilai 1 jika RETj,t < 0 dan bernilai 0 untuk kondisi sebaliknya;
variabel EARNj,t dan RETj,t telah didefinisikan sebelumnya.
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 471
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
perhitungan internal. Prinsip utama atas estimasi fair value ini adalah
keutamaan ukuran berbasis pasar (market-based measures), yang didasari
pandangan bahwa harga pasar atau data pasar lebih informatif dan lebih dapat
diandalkan dibanding estimasi internal. Jadi, harga pasar merepresentasikan
estimasi terbaik atas fair value, jika kondisi pasar memenuhi definisi fair value.
‘Kualitas’ harga pasar yang relevan dinilai berdasarkan kriteria pasar aktif, yaitu
bahwa perdagangan reguler atas item terkait pada suatu pasar yang cukup likuid
disyaratkan agar harga pasar layak sebagai estimasi fair value. Jika harga pasar
tidak menunjukkan kualitas yang cukup atau tidak tersedia, maka level kedua
dari hirarki estimasi mensyaratkan untuk mempertimbangkan harga pasar
(modifikasian) dari item-item sebanding, di mana komparabilitas secara natural
merujuk kepada profil arus kas. Hanya jika kedua jenis harga pasar tersebut
tidak dapat digunakan, maka marking-to-market gagal dan fair value harus
diestimasi menggunakan estimasi dan perhitungan internal.
Item-item yang dilaporkan dalam laporan keuangan diukur dengan atribut yang
berbeda, tergantung sifat-sifat item, relevansi serta reliabilitas dari atribut yang
diukur.
yang setara dengan aslinya atau sesuatu yang dapat memberikan kegunaan
yang sebanding, tanpa ada biaya tambahan karena penundaan waktu.
7. SIMPULAN
laba berdasarkan hubungan laba, akrual, dan kas. Ukuran kualitas laba
berdasarkan properti time-series laba meliputi: persistensi, prediktabilitas,
smoothness, dan variabilitas laba. Ukuran kualitas laba berdasarkan hubungan
laba, akrual, dan kas meliputi: rasio arus kas operasi dengan laba, perubahan
total akrual, akrual abnormal (model Jones dan modifikasiannya), dan kualitas
akrual (model Dechow & Dichev). Sedangkan ukuran kualitas laba berbasis
pasar, meliputi: relevansi-nilai laba, keinformatifan laba, dan ketepatwaktuan.
Menghadapi adanya berbagai proksi ukuran kualitas laba, beberapa riset
empiris (antara tahun 2005-2008) memilih salah satu ukuran yang relevan
dengan pertanyaan risetnya. Beberapa riset empiris lainnya menggunakan
beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam riset mereka untuk mengukur
variabel kualitas laba, dan menganalisis berbagai ukuran kualitas laba tersebut
secara terpisah. Penggunaan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam
suatu riset dimaksudkan untuk memperoleh robustness atas hasil riset tersebut.
Analisis secara terpisah untuk tiap-tiap ukuran kualitas laba sampai sejauh ini
merupakan solusi yang diambil dalam riset-riset empiris ketika menghadapi
adanya berbagai proksi ukuran kualitas laba.
Isu pengukuran fair value dalam akuntansi semakin berkembang pada
saat ini, terutama setelah diterbitkannya SFAC No.7 tentang penggunaan
informasi arus kas dan nilai sekarang (present value) dalam pengukuran
akuntansi. Berkembangnya profesi penilai properti yang mendasarkan
penilaiannya pada beragam pendekatan selain historical cost, mendorong arti
pentingnya pengukuran fair value. Atribut pengukuran akuntansi non-historical
cost bersesuaian dengan pendekatan pengukuran penilaian properti. Pendekatan
data pasar bersesuaian dengan atribut current market value; pendekatan
pendapatan bersesuaian dengan atribut present (discounted) value of future cash
flows; dan pendekatan biaya bersesuaian dengan atribut current (replacement)
cost.
REFERENSI
Aboody, D.; Hughes, J.; Liu, J. 2005. “Earnings Quality, Insider Trading, and Cost of
Capital.” Journal of Accounting Research, Dec 2005, Vol. 43 Issue 5, p651-673.
Al-Attar, A.; Hussain, S.; Zuo, L.Y. 2008. ”Earnings Quality, Bankruptcy Risk and
Future Cash Flows.” Accounting & Business Research, Vol. 38 Issue 1, p5-20
Anctil, R.M.; Chamberlain, S. 2005. “Determinants of the Time Series of Earnings and
Implications for Earnings Quality.” Contemporary Accounting Research, Fall
2005, Vol. 22 Issue 3, p483-517.
Ball, R., S. P. Kothari, and A. Robin. 2000. “The effect of international institutional
factors on properties of accounting earnings”. Journal of Accounting and
Economics 29: 1–51.
Ball, R.; Shivakumar, L. 2006. “The Role of Accruals in Asymmetrically Timely Gain
and Loss Recognition.” Journal of Accounting Research, May 2006, Vol. 44 Issue
2, p207-242.
Barker, R.; Imam, S. 2008. “Analysts' perceptions of 'earnings quality'.” Accounting &
Business Research, Vol. 38 Issue 4, p313-329.
Bellovary, J.L.; Giacomino, D.E.; Akers, M.D. 2005. “Earnings Quality: It's Time to
Measure and Report.” CPA Journal, Nov 2005, Vol. 75 Issue 11, p32-37.
Bennett, B.; Bradbury, M.E. 2007. ”Earnings Thresholds Related to Dividend Cover.”
Journal of International Accounting Research, Vol. 6 Issue 1, p1-17.
Blouin, J.; Grein, B.M.; Rountree, B.R. 2007. “An Analysis of Forced Auditor Change:
The Case of Former Arthur Andersen Clients.” Accounting Review,
May 2007, Vol. 82 Issue 3, p621-650.
Chan, K.; Chan, L.K.C.; Jegadeesh, N.; Lakonishok, J. 2006. “Earnings Quality and
Stock Returns.” Journal of Business, May 2006, Vol. 79 Issue 3, p1041-1082.
Chen, L.H.; Dhaliwal, D.S.; Trombley, M.A. 2008. “The Effect of Fundamental Risk on
the Market Pricing of Accruals Quality.” Journal of Accounting, Auditing &
Finance, Fall 2008, Vol. 23 Issue 4, p471-492.
Chen, S.; Shevlin, T.; Tong, Y.H. 2007. “Does the Pricing of Financial Reporting
Quality Change Around Dividend Changes?” Journal of Accounting Research,
Mar 2007, Vol. 45 Issue 1, p1-40.
Cheng, Q. 2005. “The Role of Analysts’ Forecasts in Accounting-Based Valuation: A
Critical Evaluation.” Review of Accounting Studies, Mar 2005, Vol. 10 Issue 1,
p5-31.
Collins, D., E. Maydew & I. Weiss. 1997. “Changes in the Value-relevance of Earnings
and Book Values over the Past Forty Years”. Journal of Accounting and
Economics 24, pp. 39-67.
Cornell, B., & Landsman, W.R. 2003. “Accounting Valuation: Is Earnings Quality an
Issue?” AIMR, November/December, pp. 20-28.
Crutchley, C.E.; Jensen, M.R.H.; Marshall, B.B. 2007. “Climate for Scandal: Corporate
Environments that Contribute to Accounting Fraud.” Financial Review, Feb 2007,
Vol. 42 Issue 1, p53-73.
Dechow, P.M., & Dichev, I.D. 2002. “The Quality of Accruals and Earnings: The Role
of Accrual Estimation Errors.” The Accounting Review, Vol. 77, Supplement, pp.
35-59.
Desai, H.; Krishnamurthy, S.; Venkataraman, K. 2006. ”Do Short Sellers Target Firms
with Poor Earnings Quality? Evidence from Earnings Restatements.” Review of
Accounting Studies, Mar 2006, Vol. 11 Issue 1, p71-90.
Duncan, J.R. 2002. “Quality of Earnings and Accounting Estimates: A Case of
Decision.” Issues in Accounting Education, Vol. 17, No. 4, pp. 401-409.
Ecker, F.; Francis, J.; Kim, I.; Olsson, P.M.; Schipper, K. 2006. “A Returns-Based
Representation of Earnings Quality.” Accounting Review, Jul 2006, Vol. 81 Issue
4, p749-780.
Ewert, R.; Wagenhofer, A. 2005. “Economic Effects of Tightening Accounting
Standards to Restrict Earnings Management.” Accounting Review, Oct 2005, Vol.
80 Issue 4, p1101-1124.
Figelman, I. 2007. “Interaction of Stock Return Momentum with Earnings Measures.”
Financial Analysts Journal, May/Jun 2007, Vol. 63 Issue 3, p71-78.
Financial Accounting Standards Board (FASB). 1980. Statement of Financial
Accounting Concepts No.2, Qualitative Characteristics of Accounting Information.
Stamford, CT: FASB.
Financial Accounting Standards Board (FASB). 1984. Statement of Financial
Accounting Concepts No.5, Recognition and Measurement in Financial Statements
of Business Enterprises. Stamford, CT: FASB.
Financial Accounting Standards Board (FASB). 2000. Statement of Financial
Accounting Concepts No.7, Using Cash Flow Information and Present Value in
Accounting Measurements. Stamford, CT: FASB.
Francis, J. & K. Schipper. 1999. “Have Financial Statements Lost Their Relevance?”
Journal of Accounting Research, Vol. 37, No. 2 (Autumn), pp. 319-352.
Francis, J.; Lafond, R.; Olsson, P.; Schipper, K. 2004. “Cost of Equity and Earnings
Attributes.” The Accounting Review, Vol. 79, No.4, pp. 967-1010.
Francis, J.; Olsson, P.; Schipper, K. 2006. “Earnings Quality.” Foundations & Trends in
Accounting, Vol. 1 Issue 4, p259-328.
Francis, J.R.; Ke, B. 2006. “Disclosure of fees paid to auditors and the market valuation
of earnings surprises.” Review of Accounting Studies, Dec 2006, Vol. 11 Issue 4,
p495-523.
Francis, J.; Lafond, R.; Olsson, P.; Schipper, K. 2007. “Information Uncertainty and
Post-Earnings-Announcement-Drift.” Journal of Business Finance & Accounting,
Apr/May 2007, Vol. 34 Issue 3/4, p403-433.
Francis, J.; Huang, A.H.; Rajgopal, S.; Zang, A.Y. 2008. “CEO Reputation and
Earnings Quality.” Contemporary Accounting Research, Spring2008, Vol. 25
Issue 1, p109-147.
Francis, J.R.; Wang, D. 2008. “The Joint Effect of Investor Protection and Big 4 Audits
on Earnings Quality around the World.” Contemporary Accounting Research,
Spring 2008, Vol. 25 Issue 1, p157-191
Ghosh, A.; Gu, Z.; Jain, P.J. 2005. “Sustained Earnings and Revenue Growth, Earnings
Quality, and Earnings Response Coefficients.” Review of Accounting Studies, Mar
2005, Vol. 10 Issue 1, p33-57.
Ghosh, A.; Moon, D. 2005. “Auditor Tenure and Perceptions of Audit Quality.”
Accounting Review, Apr 2005, Vol. 80 Issue 2, p585-612.
Gleason, C.A.; Jenkins, N.T.; Johnson, W.B. 2008. “The Contagion Effects of
Accounting Restatements.” Accounting Review, Jan 2008, Vol. 83 Issue 1, p83-
110.
Haber, J.; Braunstein, A. “Earnings Quality Ratings and Corporate Governance: A
Comparison of Two Models.” Journal of Theoretical Accounting Research,
Spring2008, Vol. 3 Issue 2, p44-56
Higgs, J.L.; Skantz, T.R. 2006. ”Audit and Nonaudit Fees and the Market's Reaction to
Earnings Announcements.” Auditing, May 2006, Vol. 25 Issue 1, p1-26.
Hitz, J.M. 2007. “The Decision Usefulness of Fair Value Accounting – A Theoretical
Perspective.” European Accounting Review, Vol.16, No.2, pp.323-362.
Hodge, F.D. 2003. “Investors’ Perceptions of Earnings Quality, Auditor Independence,
and the Usefulness of Audited Financial Information.” Accounting Horizons,
Supplement, pp. 37-48.
Jaffar, R.; Jamaludin, S.; Rahman, M.R.C.A. 2007. “Determinant Factors Affecting
Quality of Reporting in Annual Report of Malaysian Companies.” Malaysian
Accounting Review, Vol. 6 Issue 2, p19-42.
Jones, J. 1991. “Earnings Management during Import Relief Investigation.” Journal of
Accounting Research, Vol. 29, No.2, pp. 193-228.
Kerstein, J.; Rai, A. 2007. “Working Capital Accruals and Earnings Management.”
Investment Management & Financial Innovations, Vol. 4 Issue 2, p33-47.
Khurana, I.K.; Raman, K. K.; Wang, D. 2006. “Does the Threat of Private Litigation
Increase the Usefulness of Reported Earnings? International Evidence.” Journal of
International Accounting Research, Vol. 5 Issue 2, p21-40.
Koehn, D.; Ueng, J. 2005. “Evaluating the Evaluators: Should Investors Trust Corporate
Governance Metrics Ratings?” Journal of Management & Governance, Jun 2005,
Vol. 9 Issue 2, p111-128.
Krishnan, G.; Parsons, L. 2008. “Getting to the Bottom Line: An Exploration of Gender
and Earnings Quality.” Journal of Business Ethics, Mar 2008, Vol. 78 Issue 1/2,
p65-76.
Kwon, S.Y.; Lim, C.Y.; Tan, P.M. 2007. “Legal Systems and Earnings Quality: The
Role of Auditor Industry Specialization.” Auditing, Nov 2007, Vol. 26 Issue 2,
p25-55.
Lang, J. S. Raedy, and M. H. Yetman. 2003. “How representative are firms that are
cross-listed in the United States? An analysis of accounting quality.” Journal of
Accounting Research 41: 363– 386.
Larcker, D.F.; Richardson, S.A.; Tuna, İ. 2007. “Corporate Governance, Accounting
Outcomes, and Organizational Performance.” Accounting Review, Jul 2007, Vol.
82 Issue 4, p963-1008.
Lee, K.W.; Lev, B.; Yeo, G. 2007. ”Organizational Structure and Earnings
Management.” Journal of Accounting, Auditing & Finance, Spring 2007, Vol. 22
Issue 2, p293-331.
Leuz, C., N. Dhananjay, and P. D. Wysocki. 2003. “Earnings management and investor
protection: An international comparison”. Journal of Financial Economics 69:
505–527.
Li, J.; Lin, J.W. 2005. ”The Relation Between Earnings Management and Audit
Quality.” Journal of Accounting & Finance Research, Apr 2005, Vol. 13 Issue 1,
p1-11.
Linck, J.; Lopez, T.; Rees, L. 2007. “The valuation consequences of voluntary
accounting changes.” Review of Quantitative Finance & Accounting, May 2007,
Vol. 28 Issue 4, p327-352.
Lipe, R. 1990. “The relation between stock returns and accounting earnings given
alternative information”. The Accounting Review 65: 49–71.
Lui, D.; Markov, S.; Tamayo, A. 2007. “What Makes a Stock Risky? Evidence from
Sell-Side Analysts' Risk Ratings.” Journal of Accounting Research, Jun 2007, Vol.
45 Issue 3, p629-665.
Machuga, S.; Teitel, K. 2007. “The Effects of the Mexican Corporate Governance Code
on Quality of Earnings and its Components.” Journal of International Accounting
Research, Vol. 6 Issue 1, p37-55.
MAPPI. Panduan Penerapan Penilaian Indonesia 5 (PPPI 5) – Penilaian Personal
Properti. Exposure Draft.
Mcnamara, R.; Whelan, C. 2006. “Sales Growth versus Cost Control: Audit
Implications.” Journal of American Academy of Business, Cambridge, Sep 2006,
Vol. 10 Issue 1, p14-20.
Penman, S.H. 2003. “The Quality of Financial Statements: Perspectives from the Recent
Stock Market Bubble.” Accounting Horizons, Vol. 17, Issue 1, pp. 77-96.
Pergola, T.M. 2005. “Management Entrenchment: Can It Negate the Effectiveness of
Recently Legislated Governance Reform?” Journal of American Academy of
Business, Cambridge, Mar 2005, Vol. 6 Issue 2, p177-183.
Platikanova, P. 2008. “Long-Term Price Effect of S&P 500 Addition and Earnings
Quality.” Financial Analysts Journal, Sep/Oct2008, Vol. 64 Issue 5, p62-76.
Schipper, K., & Vincent, L. 2003. “Earnings Quality.” Accounting Horizons,
Supplement, pp. 97-110.
Sen, P.K. 2005. “Reported Earnings Quality Under Conservative Accounting and
Auditing.” Journal of Accounting, Auditing & Finance, Summer 2005, Vol. 20
Issue 3, p229-256.
Singh, D.; Kohli, G. 2006. “Evaluation of Private Sector Banks in India.” Journal of
Management Research, Aug 2006, Vol. 6 Issue 2, p84-101.
Sloan, R. G. 1996. “Do stock prices fully reflect information in accruals and cash flows
about future earnings?” The Accounting Review 71: 289–315.
Vafeas, N. 2005. “Audit Committees, Boards, and the Quality of Reported Earnings.”
Contemporary Accounting Research, Winter 2005, Vol. 22 Issue 4, p1093-1122.
Wang,D. 2006. “Founding Family Ownership and Earnings Quality.” Journal of
Accounting Research, Jun 2006, Vol. 44 Issue 3, p619-656
Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 488
Kolokium Nasional Program Doktor 2009
Data Pemakalah
Tongam Sihol Nababan Ilmu Ekonomi FE UNDIP HKBP Nommensen Medan ts_nababan@yahoo.com
Gancar Candra Manajemen FEB UGM Universitas Airlangga Gancar_premananto@yahoo.com
Premananto
Kuntari Erimurti Manajemen FEB UGM PPPPTK Seni dan Budaya, erimurti@gmail.com
Yogyakarta
Margani Pinasti Akuntansi FEB UGM Universitas Jenderal margani_pinasti@yahoo.co.id
Sudirman