You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar yang ada di dunia, Indonesia terdiri dari
17.504 pulau. Terbentang dari Sabang sampai dengan Merauke, terletak di antara benua Asia
dan Australia, yang merupakan wilayah yang strategis, hal ini yang membuat Indonesia
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap sektor ekonomi, budaya, politik, dan sosial.
Luasnya Negara Indonesia membuat Indonesia memiliki beragam kebudayaan dan suku-suku.
Kebudayaan yang dimiliki Indonesia tak jarang menjadi alasan utama para turis-turis yang
datang dari luar negeri, oleh karena itu kebudayaan yang ada di Indonesia harus di lestarikan
agar tidak hilang digantikan oleh budaya modern yang sedang melanda dunia.
Mengenai kebudayaan ini, kami ingin memaparkan kebudayaan dari salah satu kota di
Indonesia, yaitu pulau Tidore, di pulau Tidore ini terdapat unsur-unsur kebudayaan yang di
antaranya, bahasa, sistem pengetahuan, sistem religi, kesenian, sistem peralatan hidup, dan
lain-lain.
Tidore adalah salah satu pulau kecil di daerah Maluku Utara, yang terletak di pantai barat
dari sebuah pulau besar, yaitu Pulau Halmahera. Selain itu terdapat pula Pulau Ternate, Pulau
Makian, Pulau Morotai. Sekarang. Di Pulau Tidore terdapat istana para Sultan, dan banyak
kastil-kastil peninggalan dari jaman kolonial yang banyak sekali menyimpan sejarah dan
budaya dari masyarakat Tidore.
Mengenai masalah kebudayaan, Tidore termasuk wilayah yang kaya akan kebudayaan di
Indonesia. Memiliki wilayah yang sangat luas, setidaknya ada puluhan etnis yang tersebar di
Pulau Tidore. Puluhan etnis tersebut memiliki keragaman bahasa yang bahkan mereka sendiri
tidak mengerti bahasa tersebut namun tetap mempunyai rasa saling hormat terhadap etnis lain.

1.2 RUMUSAN MASALAH / PERMASALAHAN


4
Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, yaitu :
1. Bagaimana lokasi lingkungan alam dan demografi ?

2. Bagaimana asal mula dan sejarah suku Tidore ?

3. Bagaimana sistem bahasa pada suku Tidore ?

4. Bagaimana sistem teknologi suku Tidore ?

5. Bagaimana sistem mata pencaharian suku Tidore ?

6. Bagaimana sistem organisasi sosial pada suku Tidore ?

7. Bagaimana sistem pengetahuan suku Tidore ?

8. Bagaimana kesenian pada suku Tidore ?

9. Bagaimana sistem religi suku Tidore ?

1.3 TUJUAN dan MANFAAT PENULISAN


1.3.1 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan ini, yaitu :
 Untuk mengetahui lokasi lingkungan alam dan demografi suku Tidore.
 Untuk mengetahui asal mula dan sejarah suku Tidore.
 Untuk mengetahui bahasa pada suku Tidore.
 Untuk mengetahui sistem teknologi suku Tidore.
 Untuk mengetahui sistem mata pencaharian suku Tidore.
 Untuk mengetahui sistem organisasi sosial pada suku Tidore.
 Untuk mengetahui sistem pengetahuan suku Tidore.
 Untuk mengetahui kesenian pada suku Tidore.
 Untuk mengetahui sistem religi suku Tidore.

1.3.1 MANFAAT PENULISAN


Sedangkan manfaat dari penulisan ini, yaitu :
 Dapat menambah pengetahuan mengenai suku Tidore.
 Dapat dijadikan sebagai referensi bagi yang ingin mempelajari Suku
Tidore.
 Dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi penulis-penulis lain yang ingin

4
Membuat karya tulis mengenai Suku tidore.
1.1 METODELOGI PENULISAN

1.4.1 STUDI KEPUSTAKAAN


Penulis melakukan pencarian data-data mengenai suku-suku yang terletak d
Ternate,yang dibutuhkan untuk mendukung penulisan makalah.

1.4.2 STUDI DUNIA MAYA


Dalam metode ini, penulis mengumpulkan data-data yang di ambil dari internet
untuk melengkapi bahan-bahan penulisan makalah ini.

1.4.3 INSTRUMEN PENELITIAN


Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan beberapa alat untuk
mempermudah pencarian data, diantaranya adalah sebagai berikut :
• Note Book / PC, untuk membuat data.
• Internet, untuk sambungan koneksi pencarian data di internet.

1.4 SISTEMATIKA PENULISAN


Penulisan dibagi menjadi tiga bab yang akan menjabarkan tulisan-tulisan mengenai suku
Tidore secara lengkap. Berikut adalah pembagian pembahasan setiap bab yang ditulis
dalam penelitian ini :

BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan tentang uraian latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metodelogi penulisan,
dan sistematika penulisan.

BAB II : PEMBAHASAN
Berisikan mengenai Suku Tidore secara keseluruhan
berdasarkan 9 unsur kebudayaan.

BAB III : PENUTUP

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 LOKASI LINGKUNGAN ALAM DAN DEMOGRAFI

Provinsi Maluku Utara merupakan Provinsi kepulauan yang


terdiri dan 397 buah pulau besar dan kecil. Dari jumlah itu,
sebanyak 64 pulau telah di huni, sedangkan 333 pulau lainnya
tidak dihuni. Luas total wilayah Provinsi Maluku Utara
mencapai 145.819,1 km2. Sebagian besar merupakan wilayah
laut, yaitu seluas 100.731,44 km2 (69,08%). Sisanya seluas
45.087,66 km2 (30,92 %), adalah daratan.
Pulau yang tergolong relatif besar adalah Pulau Halmahera
(18.000 km2), pulau yang ukurannya relatif sedang yaitu Pulau
Obi (3.900 km2), Pulau Taliabu(3.195 km2), Pulau Bacan (2.878 km2), dan Pulau Morotai
(2.325 km2). Pulau-pulau yang relatif kecil antara lain Pulau Temate, Tidore, Makian, Kayoa,
Gebe dan sebagainya.
Secara geografis, Provinsi Maluku Utara berada pada 3° Lintang Utara hingga 3° Lintang
Selatan dan 124° hingga 129° BujurTimur. Luas wilayah maupun batas wilayah Kabupaten /
Kota di Provinsi Maluku Utara dapat terlihat dalam tabel berikut ini:
LUAS WILAYAH (KM2)
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA DARAT LAUT JUMLAH
45.096,6 100.731,4 145.801,1
PROVINSI MALUKU UTARA 6 4 0
KABUPATEN HALMAHERA BARAT 2.612,24 11.623,42 14.235,66
KABUPATEN HALMAHERA TENGAH 2.276,83 6.104,65 8.381,48
KABUPATEN HALMAHERA UTARA 5.447,30 19.536,02 24.983,32
KABUPATEN HALMAHERA SELATA
N 8.779,32 31.484,40 40.263,72
KABUPATEN HALMAHERA TIMUR 6.506,20 7.695,82 14.202,02
KABUPATEN KEPULAUAN SULA 9.632,92 14.449,38 24.082,30
KOTA TERNATE 250,85 5.544,55 5.795,40
KOTA TIDORE KEPULAUAN 9.564,00 4.293,20 13857,20
Sumber : BAPPEDA Provinsi Maluku
Utara

5
Penduduk
Jumlah penduduk Provinsi Maluku Utara tahun 2004 berdasarkan hasil yang tercatat oleh
BPS sebanyak 910.656 jiwa yang tersebar di 6 (enam) Kabupaten dan 2 (dua) Kota, dengan
laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,03 persen per tahun dan tingkat kepadatan penduduk 20
jiwa per kilometer persegi.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Provinsi Maluku Utara Tahun 2004 :

Karakteristik Spesifik

a. Topografi
Sebagian besar wilayah Maluku Utara bergunung-gunung dan berbukit-bukit yang terdiri
dan pulau-pulau vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian lainnya merupakan dataran.
Pulau Halmahera mempunyai banyak pegunungan yang rapat mulai dan Teluk Kao, Teluk
Buli, Teluk Weda, Teluk Payahe dan Dodinga. Disetiap daerah terdapat punggung gunung
yang merapat ke pesisir, sedangkan pada daerah sekitar Teluk Buli (di Timur) sampai Teluk
Kao (di Utara), pesisir barat mulai dan Teluk Jailolo ke utara dan Teluk Weda ke selatan dan
utara ditemui daerah dataran yang luas.

b. Iklim
Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim. Oleh karena
itu iklimnya sangat dipengaruhi oleh lautan dan bervariasi antara tiap bagian wilayah yaitu
iklim Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan
Kepulauan Sula. Daerah lklim Halmahera Utara, musim hujan berada pada bulan Desember-
Februari dan kemarau dalam bulan Agustus-Desember yang diselingi pancaroba pada bulan
Nopember-Desember. Daerah Iklim Halmahera Tengah dan Halmahera Barat; dimana
dipengaruhi muslim Utara pada bulan Oktober-Maret, pancaroba pada bulan April.
5
Musim Selatan pada bulan April-September yang diselingi angin Timur dan pancaroba
pada bulan September. Daerah Iklim Halmahera Selatan, dipengaruhi oleh dua musim yaitu
musim Utara pada bulan Oktober-Maret yang diselingi angin Barat dan pancaroba pada bulan
April, musim Selatan pada bulan September diselingi angin Timur dan pancaroba dalam bulan
September. Daerah Iklim Kepulauan Sula; terdiri atas dua musim, musim Utara pada bulan
Oktober-Maret diselingi angin Barat dan pancaroba pada bulan April dan musim Selatan pada
bulan April-September, diselingi angin Timur dan pancaroba pada bulan September.
Sedangkan jenis curah hujan adalah sebagai berikut:
Curah hujan antara 1000 mm — 2000 mm, meliputi pulau Tobelo, pulau Mangote,
pulau Sulabesi, pulau Obi dan sekitarnya, pulau Bacan dan sekitamya, pulau Halmahera
bagian Selatan. Curah hujan antara 2500 mm — 3000 mm, meliputi pulau Halmahera bagian
Utara, sebagian Kecamatan Ibu. Galela dan Loloda. Sedangkan wilayah Iainnya adalah curah
hujan antara 2000 — 2500 mm per tahun.

c. Tanah
Jenis tanah yang tersebar di Provinsi Maluku Utara yaitu terdiri dari:
Jenis Tanah Mediteran terdapat di Pulau Morotai bagian barat, timur dan selatan, Pulau
Doi Kecamatan Loloda.
Jenis Tanah Podsolik Merah Kuning terdapat di Pulau Halmahera dan Utara ke Selatan,
Tobelo, Ibu, Obi bagian Timur, Sanana, Pulau Taliabu, Wasiley, Oba, Weda, Patani dan
Maba.
Jenis Tanah Kompleks terdapat di Pulau Morotai bagian Barat dan Timur, Obi bagian
tengah, Pulau Halmahera bagian tengah sampai timur.
Jenis Latosol terdapat di Lologa, Calela, Jailolo bagian Selatan, Cane Barat, Cane Timur,
Bacan, Obi, Wasilei, Weda dan Maba.
Jenis Tanah Regosol terdapat di Loloda, Calela, Sahu, Kao, Pulau Ternate, Pulau Makian,
Pulau Obi di pesisir utara.
Jenis Tanah Alivial terdapat di Pulau Obi bagian barat, Pulau Taliabu bagian utara dan
tenggara, Oba, Wasilei, Weda, Patani dan Maba.
a. Penggunaan Lahan
Secara keseluruhan, penggunaan lahan di Provinsi Maluku Utara didominasi oleh
penggunaan lahan hutan dan lahan perkebunan. Dan luas daratan seluas 45.069,66 Km2

5
diantaranya merupakan lahan perkebunan dengan luas 830.683,6 Ha atau 8.306.836 Km2 dan
luas lahan hutan 534.409,0 Ha atau 5.344.090 Km2 serta selebihnya adalah lahan untuk
sawah, perumahan dan permukiman, tegalan dan bangunan lainnya. Penggunaan lahan di
Provinsi Maluku Utara seperti terlihat pada tabel:

2.1 ASAL MULA SEJARAH

Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat di


gugusan kepulauan Maluku. Sebelum Islam datang ke
bumi nusantara, Tidore dikenal dengan nama Kie Duko,
yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini
sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki
gunung api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan
Maluku– yang mereka namakan gunung Marijang. Saat
ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan dua
rangkaian kata bahasa Tidore dan Arab dialek Irak: bahasa Tidore, To ado re, artinya, ‘aku
telah sampai’ dan bahasa Arab dialek Irak anta thadore yang berarti ‘kamu datang’.
Penggabungan dua rangkaian kata dari dua bahasa ini bermula dari suatu peristiwa yang
terjadi di Tidore.
Menurut kisahnya, di daerah Tidore ini sering terjadi pertikaian antar para Momole
(kepala suku), yang didukung oleh anggota komunitasnya masing-masing dalam
memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan. Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan

5
pertumpahan darah. Usaha untuk mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami kegagalan.
Suatu ketika, diperkirakan tahun 846 M, rombongan Ibnu Chardazabah, utusan Khalifah al-
Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu, di Tidore
sedang terjadi pertikaian antar momole. Untuk meredakan dan menyelesaikan pertikaian
tersebut, salah seorang anggota rombongan Ibnu Chardazabah, bernama Syech Yakub turun
tangan dengan memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan
disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang. Kesepakatannya, momole yang
tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan
memimpin pertemuan.
Dalam peristiwa itu, setiap momole yang sampai ke lokasi
pertemuan selalu meneriakkan To ado re, karena merasa dialah yang
datang pertama kali dan menjadi pemenang. Namun, ternyata beberapa
orang momole yang bertikai tersebut tiba pada saat yang sama, sehingga
tidak ada yang kalah dan menang. Berselang beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang
menjadi fasilitator juga tiba di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena
para momole datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang,
akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syech Yakub. Konon, sejak saat itu mulai
dikenal kata Tidore, kombinasi dari dua kata: Ta ado re dan Thadore. Demikianlah, kata
Tidore akhirnya menggantikan kata Kie Duko dan menjadi nama sebuah kerajaan besar.
Menurut catatan Kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik
tahta pada 12 Rabiul Awal 502 H (1108 M). Namun, sumber tersebut tidak menjelaskan
secara jelas lokasi pusat kerajaan pada saat itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah
kedatangan Djafar Noh dari negeri Maghribi di Tidore. Noh kemudian mempersunting
seorang gadis setempat, bernama Siti Nursafa. Dari perkawinan tersebut, lahir empat orang
putra dan empat orang putri. Empat putra tersebut adalah: Sahjati, pendiri kerajaan Tidore;
Darajati, pendiri kesultanan Moti; Kaicil Buka, pendiri kesultanan Makian; Bab Mansur
Malamo, pendiri kesultanan Ternate. Sedangkan empat orang putri adalah: Boki Saharnawi,
yang menurunkan raja-raja Banggai; Boki Sadarnawi, yang menurunkan raja-raja Tobungku;
Boki Sagarnawi, yang menurunkan raja-raja Loloda; dan Boki Cita Dewi, yang menurunkan
Marsaoli dan Mardike. Kerajaan Tidore merupakan salah satu pilar yang membentuk Kie
Raha, yang lainnya adalah Ternate, Makian dan Moti.

5
Berdasarkan legenda asal usul di atas, tampak
bahwa empat kerajaan ini berasal dari moyang yang
sama: Djafar Noh dan Siti Nursafa. Terlepas dari
benar atau salah, kemunculan dan perkembangan
legenda asal-usul tersebut secara jelas menunjukkan
adanya kesadaran persaudaraan di antara kerajaan
Kie Raha (gabungan empat kerajaan utama di Maluku Utara, yaitu: Ternate, Tidore, Makian
dan Moti) sehingga mereka kemudian melegitimasinya dengan sebuah mitos asal-usul. Sejak
awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan. Barulah
pada era Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore
sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun
para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan dimana sebenarnya Balibunga
ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah
pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama
yang memakai gelar sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan
Mansur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan
perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate,
dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan
tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka
ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah)
ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan
Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan.
Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah
membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar memeluk Islam.
Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saifudin (Jou
Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soasio hingga saat ini. Pada abad
ke 16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku –termasuk Tidore– untuk mencari
rempah-rempah, momonopoli perdagangan kemudian menguasai dan menjajah negeri
kepulauan tersebut. Dalam usaha untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali
pertempuran antara kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis dan

5
Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga kolonial Eropa
tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan kerajaan lainnya.
Sepeninggal Portugis, datang Belanda ke
Tidore dengan tujuan yang sama: memonopoli
dan menguasai Tidore demi keuntungan
Belanda sendiri. Dalam sejarah perjuangan di
Tidore, sultan yang dikenal paling gigih dan
sukses melawan Belanda adalah Sultan Nuku
(1738-1805 M). Selama bertahun-tahun, ia
berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh kepulauan Maluku, termasuk Ternate, Bacan
dan Jailolo. Perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan
Nuku pada 21 Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kembali merdeka
dari kekuasaan asing. Inggris yang juga ikut membantu Tidore dalam mengusir Belanda
kemudian diberi kebebasan untuk menguasai Ambon dan Banda, dan mengadakan perjanjian
damai dengan Sultan Nuku, sehingga relasi antara kedua belah pihak berjalan cukup
harmonis. Di masa Sultan Nuku inilah, Tidore mencapai masa kegemilangan dan menjadi
kerajaan besar yang disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh kolonial Eropa. Di masa
Sultan Nuku juga, kekuasaan Tidore sampai ke Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah
Tidore, Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi nama pulau-pulau yang ia kuasai, dari
Mikronesia hingga Melanesia dan Kepulauan Solomon. Nama-nama pulau yang masih
memakai nama Nuku hingga saat ini adalah Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau,
Nuku Lae-lae, Nuku Fetau dan Nuku Nono. Seiring dengan masuknya kolonial Eropa, agama
Kristen juga masuk ke Tidore. Namun, karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar,
maka agama ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore.

2.2 BAHASA

Suku Tidore dengan populasi 26.000 berdiam di pulau


Tidore. Pulau ini merupakan salah satu pulau dari banyak
pulau di kepulauan Maluku. Secara administratif, pulau

5
Tidore termasuk ke dalam wilayah kabupaten Halmahera Tengah, propinsi Maluku. Dengan
Soa-siu sebagai kota kecamatan yang di dalamnya tinggal berbagai etnis. Sedangkan
mayoritas penduduk di desa-desa adalah orang-orang Tidore asli. Diketahui telah ada 20
orang yang percaya Tuhan Yesus dari suku Tidore. Penduduk Maluku terdiri dari bermacam-
macam suku yang diindikasikan dalam bahasa lokal yang masih aktif berjumlah 117 bahasa,
dari jumlah yang pernah ada sebanyak 130-an bahasa local. Untuk berkomunikasi dalam
kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam
rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan
sastra lisan dan tulisan. Bentuk sastra lisan yang populer adalah /dola bololo/(semacam
peribahasa atau pantun kilat), /dalil tifa/ (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau
gendang), /kabata/ (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap,
argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dsb). Sebagian di antara sastra lisan ini
disampaikan dan dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sastra tulisan juga
cukup baik berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan manuskrip kesultanan
Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta. Dan boleh jadi,manuskrip-
manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan masyarakat secara individual.
Di samping itu mereka juga dapat mengerti bahasa Ternate yang sejak lama menjadi
lingua france di kawasan Halmahera. Para pengamat kebudayaan pernah membagi wilayah
Maluku Utara dan Halmahera Tengah menjadi beberapa daerah kebudayaan. Daerah-daerah
tersebut adalah daerah kebudayaan Ternate, daerah kebudayaan Tidore dan daerah
kebudayaan Bacan. Daerah kebudayaan Tidore sendiri mencakup kepulauan Halmahera
Tengah dan Halmahera Timur.

Berikut ini adalah contoh penggunaan bahasa Ternate dalam kosakata umum :

5
2.3 SISTEM TEKNOLOGI

2.4 SISTEM MATA PENCAHARIAN

Mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat Tidore adalah bercocok-tanam,


nelayan, berdagang, atau menjadi pegawai negeri. Berbagai jenis tanaman yang banyak
ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh,
pala, kelapa dan coklat adalah jenis rempah-rempah yang menjadi komoditas andalan yang
menjadi ciri kepulauan Maluku. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore terkenal,
dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para
kolonial kulit putih.
Peternakan
Luas areal pengembangan peternakan di wilayah yang terkenal rempah-rempahnya di zaman
kolonial Belanda ini tidak kurang dari 1,8 juta ha.
Sebagian besar, yaitu 1,6 juta ha merupakan lahan yang
cocok untuk budidaya sapi potong. Namun, luasan
tersebut baru dihuni sekitar 36 ribu ekor sapi. Dari
pengamatan pemerintah daerah jenis-jenis ternak yang
dapat dikembangkan di Maluku Utara adalah sapi,
kambing kacang, kuda, babi, dan unggas yang terdiri atas ayam kampung, layer, dan broiler.

4
Sementara berdasarkan potensi wilayahnya di propinsi ini terpeta lima kawasan
pengembangan jenis ternak, yaitu kawasan Kepulauan Sula, Halmahera Selatan, Halmahera
Tengah dan Timur, Halmahera Utara dan Barat, serta kawasan Ternate dan Tidore. Komoditas
unggulan di Kepulauan Sula yang meliputi Kecamatan Sula Barat dan Sanana adalah
kambing, ayam kampung, itik dan ayam ras. Sedangkan untuk Kecamatan Taliabu Barat dan
Timur serta Mangoli Barat dan Timur komoditas unggulannya adalah ternak sapi dan kerbau.
Sedangkan kawasan Halmahera Selatan diperuntukkan bagi ternak kambing, sapi, ayam ras,
ayam kampung dan itik. Kawasan Halmahera Utara dan Barat tampaknya lebih cocok untuk
pengembangan budidaya ayam kampung, ayam ras, kambing, itik, dan sapi. Sementara
Halmahera Tengah dan Timur lebih sesuai untuk beternak sapi, sedangkan kawasan Ternate
dan Tidore komoditas unggulannya adalah ternak kambing, ayam kampung, ayam ras, itik,
puyuh, dan sapi. Sejak 20 tahun yang lalu propinsi yang makanan pokok masyarakatnya
berupa jagung, pisang, dan beras ini mengirim sekitar 1.500 ekor sapi ke Sorong, Papua tiap
tahunnya. Sedangkan yang dipotong sendiri sekitar 7.000 ribu ekor/tahun.
Masyarakat Malut lebih menyukai beternak sapi
ketimbang bekerja di kebun karena lebih efisien. Pasalnya
harga seekor sapi yang mencapai Rp. 5 juta/ekor setara
dengan 10 ton kopra. Bibit sapinya sendiri saat ini masih
didatangkan dari Pulau Buru dan Sulawesi Tenggara
dengan harga Rp. 5 juta/ekor. Sementara untuk komoditas
kambing kacang, bibitnya telah dipenuhi oleh pasokan
lokal. Produksi pun hanya untuk konsumsi masyarakat sendiri. Dipilihnya jenis kambing
kacang ini sebagai ternak unggulan karena binatang ruminansia kecil tersebutlah yang paling
mampu bertahan di Maluku Utara yang beriklim tidak menentu.
Warga Maluku Utara adalah pemakan ikan. Hal ini membuat konsumsi daging, baik
daging sapi, kambing dan ayam kampung menjadi rendah, yaitu hanya sekitar 3,1
kg/kapita/tahun. Hal itu membuat peternakan unggas kurang berkembang. Peternak yang ada
baru di Kota Ternate saja. Itu pun baru enam orang. Namun begitu warga di daerah perkotaan
mulai terbiasa mengonsumsi produk unggas yang berupa daging dan telur sehingga
pertumbuhan tingkat konsumsi terus mengalami peningkatan. Hal ini berbeda dengan warga
pedesaan yang selama ini hanya mengonsumsi produk unggas pada acara hajatan, hari raya,
tahun baru, dan natal.

5
2.5 ORGANISASI SOSIAL

Dari sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah


berkuasa 38 orang sultan di Tidore. Saat ini, yang
berkuasa adalah Sultan Hi. Djafar Syah.
Periode Pemerintahan
Kerajaan Tidore berdiri sejak 1108 M dan berdiri
sebagai kerajaan merdeka hingga akhir abad ke-18 M.
setelah itu, kerajaan Tidore berada dalam kekuasaan kolonial Belanda. Setelah Indonesia
merdeka, Tidore menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Struktur Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi
kekuasaan berada di tangan sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota
sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi sultan dilakukan
melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil
marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus.
Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan. Ketika Tidore
mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah berjalan
dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore
disebut /Syara, adat se nakudi/. Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana tugasnya
diserahkan kepada /Joujau/ (perdana menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari /Bobato
pehak raha/ (empat pihak bobato; semcam departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan.
Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat
bobato tersebut adalah: (1) /pehak labe/, semacam departemen agama yang membidangi
masalah syariah. Anggota pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modim; (2)
/pehak/ adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau
(panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri urusan
dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet); (3) /Pehak Kompania/ (bidang pertahanan
keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor dan Kapita Ngofa; (4) /pehak/ juru tulis
yang dipimpin oleh seorang berpangkat /Tullamo/ (sekretaris kerajaan). Di bawahnya ada
/Sadaha/ (kepala rumah tangga), /Sowohi Kie/ (protokoler kerajaan bidang kerohanian),

4
/Sowohi Cina/ (protokoler khusus urusan orang Cina), /Fomanyira Ngare/ (/public relation/
kesultanan) dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran).
Selain struktur di atas, masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan tugas
pemerintahan, seperti /Gonone /yang membidangi intelijen dan /Serang oli/ yang membidangi
urusan propaganda.
Wilayah Kekuasaan
Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas
hingga mencapai Kepulauan Pasifik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian
wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram. Di Kepulauan
Pasifik, kekuasaan Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas, Marshal, Ngulu,
Kepulauan Kapita Gamrange, Melanesia, Kepulauan Solomon dan beberapa pulau yang
masih menggunakan identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku Oro, Nuku Maboro dan Nuku
Nau. Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan Tidore adalah Haiti dan Kepulauan
Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku Nono.
Keturunan
Sistem garis keturunan pada suku Tidore berdasarkan prinsip patrilineal. Salah satu
kelompok kekerabatan yang penting adalah marga patrilineal, yang mereka sebut soa.
Perkawinan ideal menurut adat mereka adalah kawin antara saudara sepupu (kufu). Adat
menetap bagi pasangan sesudah menikah bersifat utrolokal. Dalam adat ini pasangan
pengantin bebas memilih untuk menetap di lingkungan kerabat suami atau di lingkungan
kerabat istri. Suku Tidore umumnya merupakan pemeluk agama Islam. Tidore pernah menjadi
satu kesultanan pada masa silam. Kesultanan Tidore merupakan salah satu pusat
pengembangan dan penyebaran agama Islam di Maluku. Sampai sekarang tampak bahwa
mereka adalah pemeluk agama Islam yang taat. Setiap desa memiliki paling tidak sebuah
mesjid atau surau. Di desa-desa para ustad dan ulama menjadi pemimpin informal
masyarakaat Tidore. Wilayah kepulauan Maluku adalah daerah yang kaya akan sumber alam,
terutama kekayaan maritim. Walaupun demikian di daerah ini masih terdapat banyak desa
miskin atau tertinggal. Diperlukan usaha-usaha guna meningkatkan hasil pertanian, perikanan
dan penambahan sarana dan tenaga medis.

2.6 SISTEM PENGETAHUAN

5
2.7 KESENIAN

2.7.1 Musik
Alat musik yang terkenal adalah Tifa (sejenis gendang) dan
Totobuang. Masing-masing alat musik dari Tifa Totobuang
memiliki fungsi yang bereda-beda dan saling mendukung satu sama
lain hingga melahirkan warna musik yang sangat khas. Namun
musik ini didominasi oleh alat musik Tifa. Terdiri dari Tifa yaitu,
Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas,
ditambah sebuah Gong berukuran besar dan Toto Buang, yang
merupakan serangkaian gong-gong kecil yang di taruh pada sebuah meja, dengan beberapa
lubang sebagai penyanggah. Adapula alat musik tiup yaitu Kulit Bia (Kulit Kerang).
Dalam kebudayaan Maluku, terdapat pula alat musik petik yaitu Ukulele dan Hawaiian
seperti halnya terdapat dalam kebudayaan Hawaii di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat
ketika musik-musik Maluku dari dulu hingga sekarang masih memiliki ciri khas dimana
terdapat penggunaan alat musik Hawaiian baik pada lagu-lagu pop maupun dalam mengiringi
tarian tradisional seperti Katreji.
Musik lainnya ialah Sawat. Sawat adalah perpaduan dari budaya Maluku dan budaya
Timur Tengah. Pada beberapa abad silam, bangsa Arab datang untuk menyebarkan agama
Islam di Maluku, kemudian terjadilah campuran budaya termasuk dalam hal musik. Terbukti
pada beberapa alat musik Sawat, seperti rebana dan seruling, yang mencirikan alat musik
gurun pasir.
Diluar daripada beragamnya alat musik, orang Maluku terkenal handal dalam bernyanyi.
Sejak dahulupun, mereka sudah sering bernyanyi dalam mengiringi tari-tarian tradisional. Tak
ayal bila sekarang, terdapat banyak penyanyi terkenal yang lahir dari kepulauan ini. Sebut saja
para legenda seperti Broery Pesoelima dan Harvey Malaihollo. Belum lagi para penyanyi
kaliber dunia lainnya seperti Daniel Sahuleka, Ruth Sahanaya, Monica Akihary, Eric
Papilaya, Danjil Tuhumena, Romagna Sasabone, Harvey Malaihollo serta penyanyi-penyanyi
muda berbakat seperti Glen Fredly, Ello Tahitu dan Moluccas.

5
2.7.2 Tarian
Tari yang terkenal adalah tari Cakalele yang menggambarkan Tari perang. Tari ini biasanya
diperagakan oleh para pria dewasa sambil memegang Parang dan Salawaku (Perisai). Ada
pula Tarian lain seperti Saureka-Reka yang menggunakan pelepah pohon sagu. Tarian yang
dilakukan oleh enam orang gadis ini sangat membutuhkan ketepatan dan kecepatan sambil
diiringi irama musik yang sangat menarik.
Tarian yang merupakan penggambaran pergaulan anak muda adalah Katreji. Tari Katreji
dimainkan secara berpasangan antara wanita dan pria dengan gerakan bervariasi yang enerjik
dan menarik. Tari ini hampir sama dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena Katreji
juga merupakan suatu akulturasi dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan budaya
Maluku. Hal ini lebih nampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak
yang masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses biligualisme.
Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas, guitar, tifa dan bas gitar,
dengan pola rithm musik barat (Eropa) yang lebih menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan
digemari oleh masyarakat Maluku sampai sekarang.
Selain Katreji, pengaruh Eropa yang terkenal adalah Polonaise yang biasanya dilakukan
orang Maluku pada saat kawinan oleh setiap anggota pesta tersebut dengan berpasangan,
membentuk formasi lingkaran serta melakukan gerakan-gerakan ringan yang dapat diikuti
setiap orang baik tua maupun muda.
2.7.3 Musik Daerah Maluku
Musik di daerah Maluku, alat-alat yang asli sudah hilang. Instrumen musiknya diseluruh
Maluku hampir sama yaitu ; gong (dari Jawa), arababu (rebab) dengan resonator dari
tempurung, idiokordo yang disebut tatabuhan, korno (alat musik tiup) yang terbuat dari siput
dan disebut fuk-fuk, bermacam-macam gendang yang disebut tifa. Untuk daerah–daerah
Islam seperti Halmahera, Bacan, Ternate, dan Tidore dengan sendirinya memiliki alat-alat
musik Islam seperti gambus, rebana, bangsil (suling) dan sulepe (alat musik yang sumber
bunyinya dari tali/dawai tapi resonatornya dari tempurung)
2.7.4 Fungsi Musik Daerah
1. Fungsi Individual
Musik merupakan atau mengekspresikan gejolak hati, jiwa,perasaan, atau kegalauan yang
terpendam dalam hatinya. Melalui syair lagu misalnya seniman musik dapat

4
mengkritik/memprotes kondisi lingkungan, rasa cinta sesama manusia, alam dan Sang
Pencipta.
2 Fungsi SosialMusik memiliki peran besar dalam kehidupan manusia, dalam sebuah
upacara adat, upacara kenegaraan, upacara keagamaan, penyambutan tamu, pesta
pernikahan, dan lain-lain.
a) Media Rekreasi atau Hiburan
b) b) Media Komunikasi
c) Media Pendidikan
d) Media Pemujaan ( Keagamaan)

2.1 SISTEM RELIGI

Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan


Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan
Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan Kekristenan,
dan pengaruh Kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan
Islam di wilayah Maluku serta Pedagang Arab di pesisir Pulau
Ambon dan sekitarnya sebelumnya. Seiring dengan masuknya
kolonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore. Namun,
karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar, maka agama
ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore.
Tidore pernah menjadi satu kesultanan pada masa silam. Kesultanan Tidore merupakan
salah satu pusat pengembangan dan penyebaran agama Islam di Maluku. Sampai sekarang
tampak bahwa mereka adalah pemeluk agama Islam yang taat. Setiap desa memiliki paling
tidak sebuah mesjid atau surau. Di desa-desa para ustad dan ulama menjadi pemimpin
informal masyarakat Tidore. Masyarakat di Kesultanan Tidore merupakan penganut agama
Islam yang taat, dan Tidore sendiri telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di
kawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala. Karena kuatnya pengaruh agama Islam
dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki status dan peran yang penting di
masyarakat. Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan
adat mereka:

5
/Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah /(Adat bersendi Syara, Syara bersendi
Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini. Berkenaan dengan garis
kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun, tampaknya terjadi
perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di Tidore. Klen
patrilineal yang terpenting mereka sebut /soa/. Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan
dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis upacara adat. Di antara
upacara tersebut adalah upacara /Legu Gam Adat Negeri/, upacara /Lufu Kie daera se Toloku/
(mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara /Ngam Fugo/, /Dola Gumi, Joko
Hale/ dan sebagainya.

Tradisi Hari Raya Idul Adha


Setiap hari kesepuluh bulan Djulhijah, umat Muslim di seluruh dunia memperingati Hari
Raya Idul Adha atau disebut Idul Qurban. Setiap kali perayaan Idul Adha, ada sebuah tradisi
unik dan menarik di masyarakat Negeri (desa) Tulehu Kecamatan Salahutu Kabupaten
Maluku Tengah.
Ratusan pria, mulai dari anak-anak yang baru beranjak
remaja hingga orang dewasa berlari-lari dan
berlompatan, saling injak hanya demi bisa memegang
sebuah bendera. Sebagian dari mereka bahkan tanpa rasa
takut mencari tempat yang tinggi dengan menaiki pagar
maupun atap rumah dan kemudian melompat ke tengah-
tengah kerumunan massa, semata-mata ingin mencapai
bendera yang diperebutkan tadi. Sementara itu, sekelompok pemuda lainnya menusuk-nusuk
dadanya sendiri dengan paku besar yang berbentuk semacam mata tombak hingga berdarah-
darah. Mereka yang melakukan ini adalah kelompok lain yang jumlahnya jauh lebih sedikit
yakni tidak lebih dari 20 orang. Kedua peristiwa ini adalah gambaran dari atraksi abda’u dan
dabus.
Para pelakunya mengaku, saat memperagakannya mereka tidak merasakan sakit. Atraksi
yang bisa menimbulkan rasa nyilu bagi penontonnya itu dilakukan masyarakat Tulehu, saat
perayaan Idul Adha. Sudah menjadi tradisi masyarakat Tulehu, setiap tahun saat Idul Adha
melakukan kegiatan bernuansa religius maupun adat yang dipusatkan di depan Mesjid Jamie
Tulehu. Selain kedua atraksi tadi, sejumlah atraksi lain juga menyemarakkan suasana

5
perayaan Idul Adha di desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam itu. Ribuan warga
Tulehu maupun dari negeri-negeri tetangga dan masyarakat Ambon berdatangan memenuhi
desa yang berjarak 24 kilometer dari Kota Ambon. Tujuan kedatangan mereka tidak lain ingin
menyaksikan ritual tahunan masyarakat Tulehu saat Idul Adha. Acara diawali dengan
penjemputan Raja Negeri Tulehu oleh pasukan abda’u di kediaman raja. Saat penjemputan
tersebut, raja memberikan petuah kepada segenap pemuda yang akan menjadi pasukan abda’u
untuk mengingatkan kembali makna dari perayaan yang telah dilakukan sejak beratus tahun
yang lalu di negeri mereka.
“Abda’u merupakan tradisi tahunan Negeri Tulehu yang sangat kental akan nuansa
agama, dan tradisi ini harus terus kita peliara,” kata Raja Tulehu Jhon Ohorella. Usai
memberikan petuah, raja bersama imam mesjid Tulehu kemudian menyerahkan bendera
berwarna hijau bertuliskan kalimat tauhid kepada pasukan abda’u. Bendera ini setiap hari
terpampang di mimbar Mesjid Jamie Tulehu, dan hanya keluar saat abda’u. Bendera ini yang
akan direbutkan pasukan abda’u saat atraksi nanti. Raja bersama imam masjid kemudian
dikawal pasukan abda’u, berjalan menuju panggung utama yang telah dinanti sejumlah
pejabat daerah baik dari provinsi maupun kabupaten. Serangkaian acara peringatan Idul Adha
dilakukan, diisi dengan pawai karnaval menghadirkan berbagai atraksi budaya dan agama.
Selain menampilkan atraksi abda’u dan dabus, berbagai atraksi lain juga meramaikan
diantaranya, rombongan penari dan penyanyi hadrat, tari Patimura (tarian perang perjuangan
Kapitan Patimura), atraksi bambu gila, atraksi ilmu kebathinan (alfitrah) yang diperagakan
sekelompok pemuda memerankan tokoh wali songo, serta drama siswa sekolah dasar yang
menceritakan keteguhan Nabi Ismail saat akan dikorbankan ayahnya Nabi Ibrahim atas
petunjuk Allah, namun akhirnya diganti dengan seekor domba. Pawai karnaval ini menyusuri
ruas jalan kampung sekitar 700 meter.
Usai pawai karnaval, pasukan abda’u kemudian bergegas menuju belakang Masjid Jamie
Tulehu. Di tempat itu kemudian dilakukan penyembelian tiga ekor kambing yang turut
dibawa serta dalam pawai. Darah hasil penyembelian kambing diperebutkan pasukan abda’u
dan dilumuri di sekujur tubuh mereka karena diyakini bisa menghilangkan rasa sakit dan
capek setelah melakukan abda’u. Sebagian besar dari mereka juga yakin, darah kambing itu
bisa membuat tubuh mereka bertambah kuat.
Karena terbatasnya darah kambing, ratusan orang yang menjadi peserta abda’u saling
rebut demi mendapatnya. Saking terbatasnya, sampai-sampai kain putih yang dipakai selama

5
abda’u dilumuri darah untuk kemudian diusap ke tubuh dan wajah mereka secara bergantian
dengan rekan mereka yang lain. Menurut tokoh masyarakat Tulehu Mochtar Ohorella (60),
abda’u adalah atraksi pemuda yang menceritakan sejarah kemenangan Islam saat
mengalahkan tentara Kafir Qurais di tanah Arab. Para pemuda yang melompat-lompat dan
berusaha memegang bendera bertuliskan kalimat tauhid itu menggambarkan mereka sedang
bersuka cita setelah memperoleh kemenangan.
Meskipun saat ini tidak ada penjelasan resmi asal muasal abda’u, namun tradisi ini sudah
menjadi bagian dari budaya masyarakat Tulehu saat merayakan Idul Adha. Sedangkan atraksi
dabus, masih menurut Sandia, merupakan tradisi kaum Syiah di Iran yang diadopsi oleh
sebagian masyarakat muslim di Maluku. Di Maluku sendiri, lanjut dia, tradisi dabus dibawa
dari Kerajaan Islam Tidore di Maluku Utara. Saat perlawanan Sutan Nuku melawan Belanda,
penguasa Tidore ini kemudian mengekspansi bala pasukannya ke beberapa daerah di Maluku
seperti Maluku Tenggara dan Geser (Pulau Seram). Saat itu, atraksi ini diperagakan pasukan
Nuku di daerah-daerah tersebut, dan kemudian menjadi membudaya di masyarakat setempat.

6
BAB III
PENUTUP

3.1KESIMPULAN

Dari hasil penulisan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang diperoleh

adalah

1. Masih adanya nilai-nilai adat yang sangat melekat dalam darah orang Tidore

2. Kehidupan suku Tidore yang sedikit demi sedikit memasuki peradaban dunia

modern, tidak lagi hidup di pedalaman untuk bertahan hidup

3. Masih adanya kehidupan yang membedakan satu orang dengan yang lainnya

berdasarkan stratifikasi sosial

3.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka diberikan saran-saran yang sekiranya

dapat membantu para pembaca untuk masa mendatang, yaitu

1. Para pembaca harus lebih concern terhadap kehidupan asing di suku-suku lain di

Indonesia

2. Pemerintah harus menjaga suku-suku asing yang ada di Indonesia agar mereka tidak

punah

3. Pemerintah juga harus mematenkan kebudayaan yang ada di Indonesia agar tidak di

klaim sebagai kebudayaan Negara Luar.

BIOGRAFI PENULIS
8
Indra Purnama, 20 September 1989, Bandung

Hadi Permana, 18 Maret 1990, Purwakarta

Prasetya Budianto, 21 Agustus 1989, Subang

Viktor Supriatna, 02 Agustus 1985, Bandung

Welli Kesuma Putra, 12 November 1988, Kalimantan

6
DAFTAR PUSTAKA

B. Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah Ternate, Depdikbud, Jakarta.

Sumber media Internet :

• http://nukusyamsul.blogspot.com/2008/12/kesultanan-tidore.html?zx=b8d075cf65c31541
• http://id.wikipedia.org/wiki/Maluku
• http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=print&sid=1020

You might also like