You are on page 1of 13

Beberapa Tantangan Akuntabilitas dan Internal Governance

dalam Pengembangan Efektivitas ORNOP Indonesia

Oleh Rustam Ibrahim1

Dunia awal abad ke-21 menyaksikan terjadinya pergeseran dalam tata-


pemerintahan global. Kekuasaan tidak lagi sepenuhnya didominasi negara dan
pasar tetapi juga oleh masyarakat sipil. Masyarakat sipil diakui merupakan salah
satu pemain kunci dalam mengembangkan dan memperluas demokrasi dan
pembangunan sosial. Peran ORNOP, salah satu komponen penting masyarakat sipil,
sangat meningkat baik di forum-forum internasional mau pun pada skala nasional.

Pada tingkat nasional, di negara-negara demokratis, pemerintah sebagai


penyelenggara negara tidak lagi dapat sendiri memonopoli penyelenggaraan
pemerintahan karena dinilai tidak memadai untuk menjawab kompleksitas yang
dihadapi. Pemerintahan harus melibatkan pemangku kepentingan lain seperti
sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil (OMS). Karena itu konsep
pemerintah (government) juga tidak lagi memadai maka diperkenalkan istilah
governance (tata-pemerintahan) yang merupakan perluasan dari konsep
government. Tata-pemerintahan merujuk kepada suatu gagasan atau konsep
mengenai “tindakan dan perilaku dalam menjalankan kekuasaan (organisasi)”,
apakah itu pemerintah, perusahaan atau OMS. Diperkenalkan pula istilah good
governance (tata-pemerintahan yang baik). Prinsip good governance ini tidak
hanya berlaku bagi pemerintah tetapi juga bagi sektor swasta dan OMS.

Seperti halnya dengan pemerintahan, kata governance bagi OMS berarti adalah
cara-cara bagaimana keputusan dibuat di dalam organisasi, khususnya keputusan-
keputusan yang menyangkut arah dan tujuan organisasi dan proses yang diikuti,
untuk menjamin bahwa OMS akuntabel kepada mereka yang membentuknya, yang
menjalankannya, yang mendukungnya dan yang memperoleh manfaat darinya.

Perluasan peran pasar dan masyarakat sipil diperlukan dalam keseluruhan proses
perumusan kebijakan publik, termasuk dalam pengambilan keputusan dan
implementasinya. Dengan perubahan ini tata-pemerintahan memberikan peran dan
ruang yang lebih besar kepada lembaga-lembaga non-pemerintah bukan hanya
lebih partisipatif, tetapi juga lebih responsif dan akuntabel kepada kepentingan
publik. (Dwiyanto, 2002).

Sejalan dengan meningkatnya pengaruh maka sebagai konsekuensinya kepada


ORNOP dituntut akuntabilitas publik yang lebih besar pula. Dalam beberapa tahun

1
Ketua Kelompok Kerja untuk Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil, Ketua Pengurus Perhimpunan
LP3ES, Anggota Pembina YAPPIKA dan Anggota Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk
Demokrasi (KID).

1
belakangan ini Kritik-kritik mulai santer yang dialamatkan kepada ORNOP. Beberapa
pertanyaan mendasar diajukan seperti: apa yang menjadi dasar serta tujuan
keberadaan ORNOP? Siapa yang mereka wakili atau siapa yang menjadi konstituen
mereka? Prof. Dr. Frank Bliss dari Universitas Hamburg, Jerman, misalnya menulis
bahwa sampai saat ini masih “sedikit sekali perhatian kepada aspek legitimasi di
dalam wacana atau debat mengenai peran organisasi masyarakat sipil di negara-
negara sedang berkembang.”2 Sedangkan Hugo Slim dalam salah satu tulisannya
menyebutkan bahwa mulai banyak dipersoalkan tentang masalah representasi
organisasi masyarakat sipil (OMS). Siapa yang memberikan mandat kepada OMS
untuk mewakili atau bertindak sebagai, atas nama atau untuk kepentingan rakyat
atau kelompok-kelompok dalam masyarakat?3

Era reformasi merupakan “era kebangkitan masyarakat sipil”. Organisasi dan


kelompok-kelompok dalam masyarakat tumbuh bagaikan “ribuan bunga
berkembang”. Di dalam situasi demokrasi yang baru tumbuh ORNOP Indonesia
menuntut berbagai haknya: hak untuk bersuara dalam berbagai pengambilan
kebijakan; hak untuk berpartisipasi dalam wacana politik; hak untuk menggalang
suatu gerakan dan melayani masyarakat; hak untuk berorganisasi, hak untuk
mengamati, mengawasi, memantau, mengomentari, mengkritik dan memprotes
suatu proses pemerintahan; hak untuk memperoleh informasi publik, dan
sebagainya. Era demokrasi telah memungkinkan ORNOP untuk memperluas
perannya. ORNOP Indonesia kini terlibat dalam pelayanan sosial dan ekonomi
masyarakat dan advokasi; juga mengawasi kinerja pemerintah, lembaga negara
dan lembaga politik lainnya. ORNOP menuntut tata-pemerintahan yang baik berupa
pemerintah yang bersih, akuntabel dan transparan; melakukan advokasi terhadap
pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pelayanan publik yang lebih baik, serta
perluasan demokrasi dan desentralisasi.

Pertumbuhan pesat ORNOP dalam situasi masyarakat yang berubah, sayangnya


belum banyak diikuti dengan perubahan dalam strategi ORNOP menghadapinya.
ORNOP dalam banyak hal tampaknya belum juga dapat memposisikan dirinya
secara tepat dalam konstelasi politik yang baru. Demokrasi telah menciptakan
pemerintah yang dipilih rakyat dan kekuasaan tidak lagi tersentralisir tetapi mulai
terdistribusi pada beberapa pusat kekuasaan seperti pemerintah, parlemen dan
lembaga peradilan. ORNOP tidak dapat lagi menyebut dirinya sebagai satu-satunya
institusi yang melakukan pengawasan dan kontrol terhadap lembaga-lembaga
negara. Peran ini juga dilakukan media, akademisi, dan organisasi-organisasi
masyarakat sipil lainnya. Sikap oposisi terhadap institusi-institusi negara ini
menyebabkan mereka kurang menghargai kehadiran dan kontribusi ORNOP
terhadap publik. Bukan hanya dari pemerintah, kini tuduhan bahwa ORNOP
Indonesia sebagai agen asing dan menjual kemiskinan juga datang dari kalangan
partai politik dan anggota parlemen.

2
Frank Bliss, “What is Civil Society: Too little attention to the aspect of legitimacy”, D+C, Vol.30, Mei
2003, hal. 195-199
3
Lihat Hugo Slim, “By What Authority? The Legitimacy and Accountability of Non-Governmental y org

2
Ketika ORNOP semakin lantang menyuarakan pendapat mereka dalam berbagai
debat kebijakan publik, melakukan perlawanan terhadap praktik-praktik korupsi mau
pemerintah yang tidak transparan, mereka yang kepentingan politiknya terancam
mulai mengarahkan serangan balik kepada ORNOP. Kelemahan akuntabilitas
dijadikan bungkus serangan politis oleh pihak-pihak tertentu yang ingin
membungkam suara ORNOP. Kalangan politisi misalnya menuntut agar ORNOP
sebagai institusi yang memperoleh dana publik dan bergerak untuk kepentingan
publik harus akuntabel kepada publik. Menurut mereka penerapan prinsip-prinsip
transparansi dapat melepaskan kecurigaan terhadap ORNOP yang selama ini
melakukan kegiatan yang besar yang tentu disokong oleh dana yang besar pula.
Hanya saja akuntabilitas terutama ditafsirkan sebagai financial accounting, bahwa
dana ORNOP yang berasal dari donor asing itu perlu diaudit dan diumumkan
kepada publik. Pemerintah juga mulai mempersoalkan legalitas ORNOP dengan cara
mempersulit akses ke, atau membatasi sumber-sumber, dukungan finansial melalui
peraturan dan meminta kelengkapan administratif yang sulit dipenuhi.

Namun bagaimana pun juga kritik-kritik ini tidak seluruhnya didasarkan pada motif
politik. Pertanyaan mengenai akuntabilitas muncul sekurang-kurangnya atas tiga
alasan yang masuk akal. Yaitu, pertumbuhan ORNOP yang sangat cepat baik dalam
jumlah maupun volume kegiatan, semakin besarnya jumlah dana publik yang
disalurkan melalui ORNOP dan semakin kuatnya peran ORNOP dalam
pembentukan kebijakan publik. Untuk menanggulangi bencana Tsunami, misalnya,
sumbangan dari masyarakat internasional yang berada di tangan ORNOP Indonesia
cukup besar yang dapat menimbulkan irihati badan-badan pemerintah yang
berhubungan dengan penanggulangan bencana alam.

Beberapa masalah akuntabilitas


Ada beragam definisi mengenai akuntabilitas. Suatu definisi yang cukup
komprehensif misalnya dikemukakan oleh Hugo Slim bahwa akuntabilitas adalah
proses di mana ORNOP mengakui dirinya secara terbuka bertanggungjawab
terhadap apa yang diyakininya, yang dilakukan dan yang tidak dilakukan dengan
cara melibatkan semua pihak yang terkait dan secara aktif memberikan respons
terhadap pelajaran yang diperolehnya.4

Peter van Tuijl mengatakan bahwa akuntabilitas mencakup penjelasan kepada


publik mengenai siapa kita (ORNOP), apa yang kita inginkan, apa yang kita lakukan,
mengapa, dengan siapa kita bekerjasama, dari mana kita memperoleh uang dan
bagaimana kita menggunakannya.

Definisi akuntabilitas seperti ini tentu jauh lebih luas dari sekedar akuntansi
keuangan dan pelaporan keuangan. Suatu definisi kerja tentang akuntabilitas akan
selalu mencakup tiga aspek: pelaporan atau pemberian informasi (reporting) ,
pelibatan (involving) dan cepat-tanggap (responding).

4
Hugo Slim, “By What Authority? The Legitimacy and Accountability of Non-Governmental
Organizations,” makalah yang disajikan pada International Meeting on Global Trends and Human Rights –
Before and After September 11, Geneva, January 10-12, 2002

3
Akuntabilitas merupakan obligation to inform. ORNOP wajib memberikan informasi
atau menjelaskan kinerjanya baik dalam bentuk keputusan-keputusan yang dibuat
dan tindakan-tindakan yang diambil kepada para pihak yang terkait dan
bertanggungjawab atas tindakan-tindakan tersebut. Akuntabilitas sesungguhnya
bertujuan ganda. Dengan memberikan penjelasan, memungkinkan organisasi
meningkatkan kinerjanya dengan memberikan kesempatan kepada berbagai pihak
memberikan reaksi atau umpan balik dalam bentuk kritik atau penghargaan yang
pada gilirannya akan meningkatkan kinerja organisasi itu sendiri.

Tidak semua informasi merupakan wujud akuntabilitas, tetapi akuntabilitas


memerlukan sejumlah informasi penting. Oleh karena itu ORNOP harus tahu
informasi apa saja yang sesuai untuk akuntabilitas. 5 Transparansi merupakan
aspek yang primer dari akuntabilitas.

Siapa saja yang menjadi pemangku kepentingan dan jenis-jenis informasi apa saja
yang perlu diberikan, telah mengalami perubahan pengertian dalam dua dasawarsa
terakhir ini seiring dengan perkembangan global. Dalam pendekatan tradisional
akuntabilitas hanya ditujukan kepada beberapa para pihak yang mempunyai
kekuasaan atau wewenang formal untuk mempengaruhi organisasi, khususnya yang
mempunyai kekuasaan dalam bidang hukum dan keuangan. Para fihak ini ada di
dalam organisasi sendiri (internal stakeholders) dan di luar organisasi (external
stakeholder). Yang termasuk ke dalam internal stakeholders adalah (dewan)
penyantun, pembina, pengawas, pengurus, dan para pimpinan pelaksana organisasi
sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud dengan external stakeholders terbatas
kepada para donor dan pemerintah di mana organisasi-organisasi tersebut
berdomisili.

Pendekatan tradisional itu dipandang tidak lagi memadai. Jumlah para pihak
kemana organisasi harus akuntabel menjadi semakin melebar. Tidak hanya terbatas
kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan dan wewenang mempengaruhi
organisasi, tetapi juga individu-individu atau kelompok-kelompok yang dipengaruhi
oleh tindakan-tindakan organisasi. 6 Akuntabilitas tidak hanya ditujukan “ke atas”
(upward) tetapi juga “ke bawah” (downward). Kedalam pemangku kepentingan
dimasukkan komunitas atau kelompok-kelompok masyarakat lokal yang secara
langsung dipengaruhi oleh organisasi bersangkutan, apakah itu namanya kelompok
partisipan, kelompok dampingan, kelompok sasaran, rekan jejaring, dan sebagainya.

Jenis informasi yang diberikan dari waktu ke waktu juga semakin luas. Akuntabilitas
dalam pengertian yang sangat sempit, yaitu akuntabilitas keuangan juga dinilai tidak
cukup. Konsep akuntabilitas jauh lebih luas, mencakup beberapa hal yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, akuntabilitas keuangan, dengan

5
Juliana Martinez Franzoni dan Gina Sibaja, “Civil Organizations and Accountability in Costa Rica and
Nicaragua: Caveat from without and caveats from within”, makalah yang dipersiapkan untuk Writer”s
Workshop on i ORNOPs an d Accountability , The Hague, June 21-22, 2004 2004
6
Lihat Hetty Kovach, “Addressing Accountability at the Global Level: The Challenges Facing International
ORNOP s”, 2005.

4
memberikan informasi dan melaporkan penggunaan sumberdaya (dana) yang
diperoleh dan dipercayakan kepadanya. Kedua akuntabilitas kinerja dengan
mendokumentasikan dan memberikan informasi atau penjelasan mengenai hasil-
hasil yang diperoleh dibandingkan dengan sasaran dan tujuan yang ditetapkan.
Ketiga akuntabilitas ucapan, jujur dan akurat mengenai apa yang disuarakan dan
mempunyai otoritas untuk menyuarakannya. Keempat, akuntabilitas untuk
memperbaiki diri, tanggap terhadap umpan-balik, melakukan evaluasi dan
memberikan informasi kepada publik mengenai tindakan-tindakan yang diambil
sehubungan dengan kritik-kritik yang disampaikan.

Bagaimana proses akuntabilitas dilakukan dan tools apa saja yang dipergunakan
disebut dengan mekanisme akuntabilitas. Mekanisme akuntabilitas berhubungan
erat dengan transparansi. Akuntabilitas seharusnya menjadi salah satu mandat bagi
ORNOP, – sebagai bagian dari perubahan paradigma yang mencoba untuk membuat
organisasi lebih responsif terhadap lingkungan sekitarnya.
.
Akuntabilitas kinerja
Informasi adalah kombinasi antara data dan elemen yang membuat data itu dapat
ditafsirkan. Hakekat informasi adalah mengumpulkan, mengembangkan,
memproses, menyebarluaskan dan menjelaskan kinerja organisasi (atau aktor-
aktor dalam organisasi tersebut). Untuk melayani pemangku kepentingan informasi
harus tepat waktu (tersedia pada waktu dibutuhkan), relevan (difokuskan pada
aspek-aspek pokok dari kinerja organisasi) dan dapat diverifikasi kebenarannya.

Akuntabilitas kinerja berhubungan dengan kewajiban ORNOP untuk


mendokumentasikan dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai apa
saja yang menjadi program organisasi tersebut. Aspek ini juga mencakup
kesesuaian antara hasil-hasil yang dicapai dibandingkan dengan sasaran, tujuan dan
harapan yang telah ditetapkan. Program merupakan penjabaran dari misi yang
kemudian diterjemahkan ke dalam kegiatan organisasi. Program organisasi
seyogianya senantiasa mengacu pada visi dan misi organisasi.

Persoalan yang dihadapi sebagian besar ORNOP Indonesia, terutama karena


ketergantungan akan dana dari pihak luar, menyebabkan tidak banyak ORNOP
yang mampu membuat perencanaan yang baik untuk jangka panjang dan menengah,
bahkan untuk jangka pendek (tahunan) sekalipun.

Bagi ORNOP yang berkesempatan memperoleh bantuan dana dari badan-badan


internasional, apalagi yang berjangka panjang dan berkelanjutan, pada umum
memiliki pengetahuan dan peralatan metodologi untuk mengukur tingkat
keberhasilan yang dapat dijadikan dasar bagi perencanaan, implementasi,
pemantauan dan evaluasi serta pelaporan program.

Karena sudah tercermin di dalam proposal yang diajukan kepada lembaga


penyandang dana, sejumlah ORNOP yang mengelola dana yang cukup besar pada
umumnya sudah menerapkan berbagai metode tertentu dalam perencanaan,
implementasi, pemantauan, evaluasi maupun pelaporan-pelaporan proyeknya. Akan

5
tetapi tentu saja masih banyak yang belum/tidak melakukannya. Baik karena
kurangnya pengetahuan tentang itu ataupun ataupun karena tidak diminta oleh
mereka yang memberikan bantuan.

Untuk sebagian besar ORNOP dapat dikatakan tidak realistis untuk


menghubungkan akuntabilitas dengan sistem perencanaan dan evaluasi karena
hampir-hampir tidak ada perencanaan proyek dan indikator-indikator keberhasilan
yang dipilih secara hati-hati. Lebih daripada itu evaluasi mengenai kinerja organisasi
tampaknya tidak memadai untuk mengukur akuntabilitas organisasi. Ini karena
informasi yang dipublikasikan melalui evaluasi sangat terbatas. Sehingga tidak
membuat ORNOP menjadi akuntabel terhadap keputusan-keputusan yang dibuatnya.

Untuk menyelesaikan dilema ini penekanan perlu ditempatkan kepada pemenuhan


dari komitmen-komitmen organisasi. Dengan parameter seperti ini akuntabilitas
harus menggambarkan perbandingan antara komitmen dan harapan dengan
kenyataan. Antara apa yang dikatakan organisasi dengan apa yang dilakukannya.
Antara outcome (hasil) yang diharapkan dengan yang aktual. Akuntabilitas
mencakup perbandingan antara keputusan dengan tindakan.

Evaluasi yang partisipatif terhadap program-program ORNOP masih terbatas


dilakukan. Apakah dengan mengundang mitra/dampingan maupun dengan
mengundang evaluator dari luar. Kalaupun ada hasil evaluasi ini tidak banyak
artinya dalam meningkatkan akuntabilitas ORNOP. Sebanyak besar ORNOP hanya
menggunakan hasil evaluasi tersebut sebagai dokumen internal dan hanya sedikit
hanya menggunakan untuk kepentingan umum.

Akuntabilitas Keuangan
Akuntabilitas keuangan untuk sebagian terbesar ORNOP masih bersifat “demand-
driven” dalam arti sangat tergantung dari permintaan lembaga penyandang dana
(donor). Kalau donor cukup ketat dalam pengawasan keuangan seperti keharusan
dilakukannya audit atas laporan maka barulah ORNOP tersebut melaksanakannya.
Karena penolakan dapat berarti mempengaruhi keberlanjutan program-program
yang didukung lembaga donor tersebut.

ORNOP sangat tergantung dari lembaga-lembaga penyandang dana internasional.


Apakah itu lembaga-lembaga bantuan pembangunan bilateral, multilateral maupun
ORNOP-ORNOP internasional. Dalam suatu survai yang pernah dilakukan LP3ES
sekitar tahun 2004 misalnya ditemukan bahwa 95,7% persen ORNOP memperoleh
dana dari badan-badan internasional dan 44.3% mengatakan memperoleh dana
melalui proyek-proyek pemerintah (yang sebagian besar dananya juga berasal dari
pinjaman luar negeri). Sekitar 14,3% ORNOP mengatakan ada memperoleh dana
dari perusahaan-perusahaan swasta dan 27.1% menyataka memperoleh
sumbangan dari publik/individual.7

7
Draft Laporan Survai Pemetaan Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Kerja untuk
Akuntabilitas OMS bekerja dengan LP3ES, 2003

6
Meskipun jumlah ORNOP Indonesia katanya mencapai puluhan ribu, namun yang
sudah menerapkan praktek-praktek akuntansi yang didasarkan atas prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum jumlahnya masih terbatas. Yang sudah membuat
laporan keuangan yang dapat diaudit secara teratur setiap tahun oleh akuntan
publik jumlahnya lebih terbatas lagi. Kebutuhan itu baru mulai dirasakan ketika
ORNOP memperoleh sumbangan dana dari luar, terutama dari donor-donor
internasional. Dari survai yang dilakukan sebanyak 59% ORNOP-ORNOP yang
menerima dana dari badan-badan internasional menyatakan diaudit oleh akuntan
atau auditor yang ditugaskan oleh para donor. Hanya sebanyak 37% ORNOP yang
mengatakan bahwa laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik. Sedangkan
sisanya (4%) menyatakan tidak diaudit oleh para donor dan tidak diaudit oleh oleh
akuntan publik.

UU Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2004


tentang Yayasan menetapkan prinsip-prinsip keterbukaan dan akuntabilitas
keuangan. Yayasan wajib menyusun laporan keuangan tahunan. Sedangkan yayasan
yang memperoleh bantuan pihak luar (pemerintah, bantuan luar negeri, swasta,
publik) yang melebihi Rp 500 juta atau mempunyai kekayaan sebesar Rp 20 milyar
wajib diaudit oleh akuntan publik. Dan laporan keuangan tersebut harus disusun
sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.8 Sebagian besar ORNOP
Indonesia masih belum menerapkan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang
diminta oleh undang-undang tersebut.

Terdapat keengganan kalangan ORNOP terutama yang kecil-kecil untuk untuk


melaksanakan audit keuangan dengan mengundang akuntan publik. Selain biayanya
yang relatif besar dibandingkan dengan dana yang diterima, untuk sebagian besar
ORNOP memang belum menerapkan sistem pembukuan yang memungkinkan
mereka untuk diaudit. Biaya untuk audit dapat berkisar sampai dengan 25 juta
untuk audit yang dilakukan oleh akuntan lokal di daerah dan dapat mencapai lebih
Rp 100 juta untuk audit yang dilakukan oleh akuntan publik bertaraf internasional
atau yang berafiliasi dengan perusahaan-perusahaan akuntan publik internasional.

Sejak tahun 2000 Kantor Akuntan Publik telah menggunakan PSAK 45 (Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan No. 45 tentang Pelaporan Keuangan Organisasi
Nirlaba sebagai pedoman dalam melakukan audit atas laporan keuangan ORNOP.
Pada kenyataannya masih banyak ORNOP yang belum mengetahui keberadaan dari
PSAK 45. Bahkan sebagian besar ORNOP Indonesia belum mempunyai pelaporan
keuangan organisasi secara keseluruhan dan sebagian terbesar belum pernah
diaudit oleh akuntan publik.

Secara umum kualitas sumberdaya manusia (SDM) ORNOP dalam bidang akuntansi
keuangan masih rendah. Banyak diantaranya yang tidak berlatar pendidikan (formal)
dalam bidang akuntansi dan/atau memiliki pengalaman cukup di bidang keuangan

8
Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004.

7
dan akuntansi. Untuk sebagian ORNOP yang kecil-kecil adakalanya tidak ada
pemisahan antara bagian program dan bagian pembukuan.

Akses publik terhadap informasi


Sepanjang yang berhubungan dengan pengelolaan dan pengambilan keputusan
organisasi, tampaknya sedikit sekali ORNOP yang memberikan informasinya kepada
publik. Kerahasiaan masih merupakan “norma” baik itu dimaksudkan secara
sengaja atau tidak. Sumber pendanaan, budget, upah, biaya administrasi dan
keseluruhan informasi yang menunjukkan hubungan alokasi sumberdaya dengan
misi organisasi biasanya tidak dipublikasikan. ORNOP masih mengalami defisit
informasi yang mempengaruhi baik dalam hubungan-hubungan dalam internal
organisasi maupun dengan pihak luar. Ini tantangan yang harus dihadapi oleh
Indonesia. Apalagi dengan diterapkannya UU 14/2008 tentang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik, yang kelahirannya sangat didorong ORNOP sendiri.
Undang-undang itu menyebutkan bahwa “setiap Badan Publik mempunyai kewajiban
untuk membuka akses atas informasi publik yang berkaitan Badan Publik tersebut
kepada masyarakat luas”. Badan Publik ini mencakup organisasi non-
pemerintah/lembaga swadaya masyarakat “yang mengelola dana atau
menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD,
sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri”. Dan undang-undang ini sudah
berlaku sejak tanggal 1 Mei 2010.

Salah satu ukuran yang dapat dipakai untuk mengukur transparansi dan
akuntabilitas ORNOP adalah adanya publikasi laporan tahunan (annual report).
Suatu laporan tahunan yang lengkap biasanya berisikan informasi mengenai visi dan
misi organisasi, susunan pengurus dan pelaksana, program dan kegiatan yang
dilakukan, jumlah dan sumberdana yang diproleh mau dana yang dikeluarkan,
termasuk hasil dan dampak dari kegiatan organisasi tersebut.

Berdasar yang diajukan dalam FGD yang diselenggarakan Kelompok Kerja untuk
Akuntabilitas OMS di 4 kota (Padang, Palembang, Mataram dan Makassar) pada
tahun 2009. Dari 54 ORNOP hanya sebanyak 24% yang laporan keuangannya
dapat diketahui masyarakat umum.

Dari FGD dan survai itu juga terungkap bahwa hanya sekitar 15% yang membuat
laporan tahunan kepada publik baik dalam bentuk barang cetakan atau melalui
website. Namun sebagian besar hanya berisikan program dan kegiatan yang
dilakukan, tanpa disertai dengan laporan keuangan organisasi bersangkutan.

Sebagian besar ORNOP Indonesia memang memperlakukan produk-produk


informasi sebagai bagian dari hubungan masyarakat dan bukan bagian dari
mekanisme akuntabilitas.

8
Beberapa masalah internal governance
Penyelenggaraan governance ORNOP haruslah tertuju ke dua arah: (a) public
governance dan (b) internal governance. Public governance merujuk kepada jalinan
relasional antara ORNOP dengan negara/pemerintah, sektor swasta dan publik
yang lebih luas. Public governance ini berhubungan dengan partisipasi ORNOP dalam
melindungi dan mempromosikan kepentingan umum, otoritas dan kapasitas ORNOP
dalam membantu menyelesaikan masalah-masalah publik, keterlibatan dalam
pengambilan keputusan, kapasitas dan otoritas dalam mengalokasikan sumberdaya
untuk kepentingan masyarakat, kepatuhan kepada hukum dan perundang-undangan
yang berlaku serta keterbukaan kepada publik mengenai visi dan misi organisasi,
keuangan, program dan dampak kegiatan.

Sedangkan dengan internal governance lebih mengacu pada sejumlah fungsi yang
meliputi upaya-upaya:
1. Penentuan visi, misi, tujuan serta strategi organisasi;
2. Penetapan prosedur operasional standar untuk efektivitas dan efisiensi
pemanfaatan sumberdaya organisasi;
3. Pendefinisian dan pemeliharaan hubungan-hubungan antar komponen dalam
organisasi seperti board, staf, anggota, sukarelawan dan kelompok
partisipan/dampingan/sasaran/rekan jejaring, dan sebagainya;
4. Pengintegrasian organisasi dengan masyarakat luas seperti komunitas lokal,
pemerintah, media, pemberi dana dan sumber-sumber keuangan lainnya; dan
5. Memastikan bahwa organisasi bekerja sesuai dengan misinya antara lain
mencakup struktur dan proses dalam menentukan tujuan dan sasaran
organisasi, termasuk efektivitas manajemen dan program, menjamin
akuntablitas dan sustainabilitas keuangan dan ketepatan penggunaan dana.

Sebagian besar ORNOP Indonesia berbadan hukum yayasan, hanya sedikit sekali
yang mempunyai badan hukum perkumpulan. Akan tetapi sebagian besar ORNOP
tampaknya belum menyesuaikan diri dengan undang-undang yayasan tersebut. Dari
FGD yang dilakukan Kelompok Kerja Akuntabilitas OMS baru sekitar 15% yang
menyesuaikan dirinya. Ada berbagai alasan yang dikemukakan. Ada yang
berpendapat bahwa struktur organisasi sebagaimana yang diminta undang-undang
tersebut sangat hirarkis. Ada pula yang mengatakan bahwa proses pengurusannya
sangat sulit..
Adanya check and balances dalam bentuk pemisahan antara Pengurus sebagai
organ yang membuat kebijakan dan Badan Pelaksana yang melaksanakan kegiatan
belum sepenuhnya dilakukan oleh ORNOP. Sekitar 40% ORNOP yang berbentuk
Yayasan menyatakan bahwa di dalam organisasinya masih ada rangkap jabatan
antara Pengurus dan Badan Pelaksana. Bentuknya Ketua Pengurus sekaligus
merangkap sebagai Direktur Eksekutif atau Anggota Pengurus sekaligus juga
menjadi staf/karyawan.

Peran Pengurus yang secara hukum bertanggungjawab penuh atas kepentingan dan
pencapaian tujuan ORNOP ternyata masih terbatas. Hasil survai menunjukkan

9
bahwa hanya separuh dari ORNOP yang disurvai yang menyatakan bahwa rapat-
rapat pengurus berlangsung secara periodik, sementara separuh lagi menyatakan
rapat pengurus hanya dilaksanakan sekali-sekali jika diperlukan atau hampir tidak
pernah diselenggarakan.

Peran Pengurus yang terutama dilihat dalam menetapkan kebijakan-kebijakan


organisasi dan dalam upaya memasarkan program atau menggalang dana, dan
melakukan monitoring kegiatan organisasi. Peran lain yang dilakukan adalah dalam
capacity building dan kontribusi keahlian serta membangun jaringan. Akan tetapi
disebagian ORNOP ada pelaksana yang melihat bahwa Pengurus hampir tidak ada
kontribusinyaa alias menjadi sleeping board.

Visi, misi dan tujuan organisasi


Tantangan-tantangan yang dihadapi OMS dalam mengembangkan akuntabilitasnya
juga terkait erat dengan legitimasi yang dimilikinya. Dengan legitimasi dimaksudkan
sebagai status yang dimiliki (dirasakan dimiliki) oleh sesuatu organisasi yang
memungkinkannya bekerja atas persetujuan berbagai pemangku kepentingan, untuk
kebaikan publik. Termasuk dalam hal ini persetujuan dari mereka yang
memperoleh manfaat langsung dari keberadaan organisasi tersebut.

Untuk yang berbadan hukum Yayasan legitimasi ORNOP lebih problematik


dibandingkan dengan OMS yang berbasiskan keanggotaan yang cukup luas seperti
halnya organisasi sosial-keagamaan dan serikat buruh. Organisasi-organisasi ini
memperoleh mandat dari anggota-anggotanya melalui prosedur demokratis, karena
itu organisasi-organisasi ini dapat mengklaim dirinya lebih representatif dalam
mewakili kepentingan-kepentingan konstituennya, baik untuk berpartisipasi dalam
proses perumusan kebijakan publik maupun untuk didengar suaranya.

Sebagian besar ORNOP memberikan mandat kepada dirinya sendiri. Karena itu
legitimasi ORNOP akan sangat tergantung dari kesetiaan dan kejujurannya dalam
menjalankan visi, misi dan tujuan organisasi yang ditetapkan pendiri-pendirinya,
serta dukungan yang diharapkan dari pihak-pihak lain.

Visi biasanya selalu stabil atau tidak berubah dalam jangka waktu yang relatif lama.
Akan tetapi misi dapat berubah sebagai tanggapan terhadap lingkungan yang
berubah. Akan tetapi perlu ada hasil, yang membawa organisasi semakin dekat
pada pencapaian misinya. Peninjauan (review) atas visi dan misi organisasi secara
teratur dalam suatu periode tertentu yang disesuaikan pada perkembangan
keadaan di luar dan di dalam organisasi menunjukkan pula kepekaan organisasi
terhadap dinamika lingkungannya.

Adalah penting untuk menjamin bahwa organisasi tetap setia kepada misinya; untuk
menjaga nilai, identitas dan integritas organisasi tidak diubah, dibelokkan atau
disalahgunakan untuk kepentingan individu maupun organisasi itu sendiri (self-
interest).

10
Organisasi ORNOP yang tidak mempunyai visi serta misi yang jelas atau tidak
dijalankan dengan konsisten dan jujur dapat berubah menjadi sekedar public service
contractor (PSC) dan menjadikan aktivitasnya sebagai bisnis. Misalnya ORNOP-
ORNOP yang bergerak dalam pelayanan masyarakat (service delivery) atau
pengembangan masyarakat (community development) dapat berubah-ubah
kegiatannya tergantung pada proyek-proyek yang dapat diperoleh dari pemerintah
maupun lembaga-lembaga donor internasional.

Karena itu visi dan misi bukan hanya sesuatu yang harus ada dalam setiap
organisasi, tetapi juga seyogianya dirumuskan dengan melibatkan stakeholder
(pendiri, jajaran manajemen dan staf, mitra ORNOP dan kelompok dampingan).
Dengan perkataan lain penetapan visi, misi dan tujuan organisasi seharusnya
dilakukan secara partisipatif.

Meskipun pada umumnya ORNOP Indonesia mempunyai visi dan misi organisasi
yang disusun secara tertulis namun dalam proses perumusannya tidak sepenuhnya
melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya pihak-pihak yang akan
dipengaruhi oleh tindakan organisasi tersebut.

Dilema menerapkan
menerapkan akuntabilitas

Mungkin di kalangan ORNOP sudah ada kesadaran bahwa akuntabilitas adalah


penting. Akan tetapi kerangka kelembagaan untuk itu belum dikembangkan
dengan baik. Hanya sedikit ORNOP yang mempunyai instrumen-instrumen seperti
kode etik atau kode perilaku. Tidak ada organisasi payung ORNOP yang dibentuk
untuk menegakkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparasni ORNOP serta yang
memperjuangkan prinsip, nilai-nilai dan kepentingan ORNOP kepada pihak luar.

Secara umum wacana tentang akuntabilitas selama ini kurang bergema di


kalangan ORNOP karena untuk menegakkan akuntabilitas secara serius menuntut
biaya tinggi. Siapa yang memiliki waktu dan sumberdaya untuk menerapkan proses
partisipatoris yang mendalam untuk benar-benar menelaah kebutuhan para
pemangku kepentingan, dan lalu mengubah kebijakan serta struktur organisasi agar
sesuai dengannya. Menyusun laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik
serta menyusun laporan tahunan yang dapat diakses publik yang lebih luas,
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara sebagian besar ORNOP
Indonesia sedang berjuang untuk keberlanjutan keuangannya terutama dengan
semakin berkurangnya dana-dana yang bersumber dari donor internasional

Untuk benar-benar transparan merupakan dilema besar yang dihadapi ORNOP


Indonesia. Persoalannya jauh lebih rumit, kontroversial dan politis daripada yang
dipikirkan banyak orang. Ada rasa malu, enggan, kuatir serta pertimbangan-
pertimbangan politik lainnya untuk memberikan informasi mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan sumber dana, jumlah dana yang diterima dan bagaimana
penggunaannya. Selama lebih dari 40 tahun (di bawah rezim otoriter maupun
demokratis) sumber pendanaan ORNOP Indonesia tidak mengalami banyak
perubahan. Pendanaan ORNOP sangat tergantung kepada luar negeri. Hal ini

11
hampir seratus persen berlaku bagi ORNOP-ORNOP advokasi. Kalaupun ada ORNOP
Indonesia yang berhasil mengembangkan sumber dananya sendiri hal ini adalah
berupa pengecualian.

Mengumumkan kepada masyarakat bahwa dana bersumber pemerintah dan ORNOP


asing seakan membenarkan tuduhan bahwa ORNOP adalah “alat kepentingan
asing”, tidak nasionalis, menjual kemiskinan rakyat Indonesia untuk memperoleh
dana, dan sebagainya. Hal ini terutama berlaku bagi ORNOP yang bergerak di
bidang advokasi seperti: hak asasi manusia, corruption watch, pemantauan Pemilu,
perlindungan lingkungan hidup, isyu-isyu pluralisme agama dan dialog antar-iman.
Yang terakhir misalnya dengan mudah dapat diserang oleh kaum fundamentalis
Islam sebagai menyebar-luaskan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Ada kekuatiran bahwa akuntabilitas ORNOP dengan cara lebih membuka diri kepada
publik—dapat dipakai untuk menghancurkan organisasi tersebut atau menutup
aksesnya terhadap sumberdaya, bukan menjadi insentif untuk memperbaiki
kinerjanya.

Karena itu adalah penting untuk memahami persoalan akuntabilitas secara


kontekstual, karena tidak ada jawaban universal bagi dilema akuntabilitas ORNOP.
Namun demikian mekanisme akuntabilitas yang efektif senantiasa menuntut
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Di satu pihak harus ada kebebasan
sehingga ada ruang gerak ORNOP yang independen, akan tetapi perlu diimbangi
dengan aturan-aturan untuk mengarahkan agar ORNOP bekerja secara murni untuk
kepentingan masyarakat. Paling tidak harus dapat dipastikan bahwa berbagai
bentuk kegiatan yang dilakukan senantiasa transparan dan terbuka untuk diketahui
masyarakat. Kesempatan untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh suatu
organisasi dan untuk mempertanyakannya adalah jelas merupakan landasan dari
akuntabilitas.

Penerapan akuntabilitas ORNOP haruslah mempertimbangkan karakter utama dari


sebuah ORNOP yang terletak pada sifatnya yang mengatur diri sendiri, swasta,
nirlaba dan memiliki misi sosial yang jelas. Mekanisme akuntabilitas ORNOP jelas
berbeda dengan akuntabilitas korporasi yang titik berat aktivitasnya adalah
memaksimalkan profit.

Masyarakat sipil Indonesia telah memperoleh kebebasannya. ORNOP meledak


jumlahnya. Tetapi ORNOP Indonesia masih menghadapi kesulitan besar dalam
mendefinisikan dan menunjukkan peran mereka dalam konteks sebuah negara
dalam sistem politik yang lebih demokratis. Bagaimana mengubah posisinya dari
kelompok yang beroposisi terhadap negara ke arah strategi keterlibatan yang baru.

Tantangan yang dihadapi ORNOP Indonesia dalam menyelesaikan masalah


akuntabilitas akan banyak tergantung banyak pada reposisi hubungan dengan
pemerintah dan sektor swasta. Sudah waktunya ORNOP Indonesia melihat bahwa
pemerintah memperoleh sumber pembiayaannya berasal dari pajak yang dibayar
rakyat, karena itu merupakan sumber pendanaan yang sah dan legitimate bagi
ORNOP. Masalahnya bagaimana memperoleh dana-dana ini dengan cara kompetitif,

12
adil dan transparan tanpa adanya praktek-praktek suap yang dewasa ini masih
merajalela di Indonesia. ORNOP Indonesia juga perlu memperpaiki hubungannya
dengan sektor swasta dengan mengapresiasi peran bisnis sebagai salah satu sektor
yang vital dalam kehidupan masyarakat, di samping masyarakat sipil dan negara,
tanpa kehilangan sifat kritisnya terhadap pelanggaran hak asasi dan eksploitasi
sumberdaya alam yang dilakukan korporasi. Ini akan memungkinkan ORNOP
mendapatkan simpati dan dana-dana filantropis dari orang-orang kaya di Indonesia
maupun dana-dana bersumber dari apa yang disebut dengan CSR (corporate social
responsibility).

Bagaimana pun juga dunia internasional mengakui bahwa peran pemerintah


berperan penting untuk menjamin keamanan, ketertiban dan pembangunan dan
ORNOP harus tetap berada dalam kerangka kerja pemerintah yang sah. Negara
dilihat memainkan peranan sentral dalam pembangunan. Apalagi kekuatiran donor
akan meningkatnya terorisme dan sumber-sumber pendanaannya semakin
mendorong kebijakan seperti itu, termasuk mendorong agar ORNOP lebih akuntabel
dan transparan mengenai sumber-sumber keuangannya

***

13

You might also like