You are on page 1of 26

Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Ilmu Ushul Fiqih

Kelompok IV:
Deden Mauludin
Yosep Saeful Azhar
Basyir Japidung
Galih Permana
Ikrima Nisa Habibah

2
3
SEMESTER II
April 2010

PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, dengan curahan rahmat dan inayah-Nya, akhirnya kami bisa juga
menyelesaikan penyusunan makalah tentang Dalil-Dalil Hukum yang merupakan tema pokok dari
pembahasan ilmu Ushul Fiqih. Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Ushul Fiqih di jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyyah STAIPI Bandung.
Dengan penugasan seperti ini, kami berharap dapat meningkatkan analisa kami terhadap
berbagai pembahasan dan pandangan yang dikemukakan oleh para ulama Ushuliyyin, sehingga hal
itu menjadi daya dorong yang kuat bagi kami untuk mengembangkan dan meningkatkan bahan
bacaan, baik secara langsung yang berkaitan dengan tema Ushul Fiqih maupun secara tidak
langsung dari buku-buku yang membahas tentang kedudukan dalil hukum dalam ajaran Islam.
Penyusunan makalah ini terbagi menjadi dua pembahasan. Pertama, pendahuluan yang
membahas tentang pengenalan dasar definisi dalil dan sumber hukum. Pembahasan ini, kami rasa,
sangat perlu diuraikan mengingat adanya kemungkinan dari sebagian mahasiswa yang masih
berpikir bahwa yang disebut dalil itu hanya al-Quran dan as-Sunnah. Kedua, materi inti yang
membahas berbagai dalil yang telah dikemukakan oleh para ulama Ushul Fiqih dan dijadikan dasar
pijakan oleh para ulama dalam menetapkan suatu hukum di beberapa madzhab fiqih.
Dengan dua pembahasan sebagaimana keterangan di atas, mudah-mudahan bisa menjadi
wahana penerang pikiran bagi seluruh mahasiswa dalam menyikapi ketetapan hukum dari para
ulama, baik dari kalangan ulama salaf maupun dari ulama khalaf. Selain itu, sesuai dengan tujuan
paling mendasar dari pembelajaran Ushul Fiqih, kajian ini dapat mengantarkan setiap orang pada
sikap yang bersih dari benih-benih taqlid sehingga bisa bebas dari belenggu-belenggunya, walaupun
untuk sampai pada derajat mujtahid bukan merupakan sesuatu yang mudah. Secara sederhana,
seseorang bisa mencapai derajat muttabi’ merupakan suatu keistimewaan tersendiri bila dilihat dari
upaya yang telah dilakukannya.
Karena penyusunan makalah ini ditugaskan kepada beberapa orang (kelompok), kami pun
berbagi tugas sebagai berikut; Ikrima Nisa Habibah (Al-Quran dan Al-Sunnah), Ust. Deden
Mauludin (Al-Istihsan dan Saddu al-Dzari’ah), Galih Permana (Al-Ijma dan Al-Qiyas), Basyir
Japidung (Al-‘Urf dan Al-Istishhab), dan Yosep Saeful Azhar (4 bahasan lainnya).
Semoga bermanfaat!
4
Bandung, April 2010

PENYUSUN
DAFTAR ISI

PENGANTAR ……………………………………………… 1
DAFTAR ISI ……………………………………………… 2
BAB I : PENDAHULUAN
1) Definisi Dalil ………………………………………………
3
2) Definisi Sumber Hukum ……………………………………………… 4

BAB II : DALIL-DALIL HUKUM


1) Al-Quran ……………………………………………… 5
2) Al-Sunnah ………………………………………………
9
3) Al-Ijma’ ……………………………………………… 11
4) Al-Qiyas ……………………………………………… 11
5) Madzhab Shahabi ………………………………………………
12
6) Syar’u Man Qablana ……………………………………………… 12
7) Al-Mashlahah Al-Mursalah………………………………………………
13
8) Al-Istishhab ………………………………………………
14
9) Al-Istihsan ………………………………………………
16
10) Al-‘Urf ……………………………………………… 16
11) Saddu al-Dzari’ah ………………………………………………
18
12) Dilalat al-Iqtiran ……………………………………………… 19

DAFTAR PUSTAKA
MAPPING TEMA KAJIAN

5
BAB I
PENDAHULUAN

1) Definisi Dalil
Ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu hukum
berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih
tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum.
Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk,
buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk
(petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi). (Rusli,
1999: 20)
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan beberapa definisi, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan
(orang) ---dengan menggunakan pikiran yang benar--- untuk mencapai objek informatif
yang diinginkannya.
2. Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang
mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek
informatif”.
3. Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat
praktis.
Berdasarkan pengertian di atas, Abdul Wahhab Khalaf, ketika membicarakan mashlahah
menurut pandangan al-Thufi, menghitung adanya sembilan belas dalil, yaitu: al-Quran, al-Sunnah,
Ijma’ Ummat, Ijma’ penduduk Madinah, Qiyas, Qaul Shahabi, al-Mashlahah al-Mursalah, al-

6
Istishhab, al-Bara’ah al-Ashliyah, ‘Awa’id, al-Istiqra, Sadd al-Dzara’i, al-Istidlal, al-Istihsan,
mengambil yang paling ringan, al-‘Ishmah, Ijma’ penduduk Kufah, Ijma’ Ahl al-Bait, dan Ijma’
Khalifah yang empat. Akan tetapi, umumnya para ulama biasa menempatkan sebelas dalil, yaitu: al-
Quran, al-Sunnah, Ijma’, Qiyas, Qaul Shahabi, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishhab, Sadd al-
Dzara’i, al-Istihsan, dan Syar’u Man Qablana.
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan al-Sunnah sebagai dalil dan
berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada yang
menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya. (Rusli, 1999: 23)

2) Definisi Sumber Hukum


Dari uraian di atas akan muncul pertanyaan: apakah dalil ---seperti telah disebutkan --- sama
dengan sumber hukum atau berlainan? Pertanyaan ini timbul seiring dengan pandangan bahwa
beberapa dalil yang telah disebutkan di atas tidak sesuai jika disebut sebagai sumber, seperti al-
Istihsan, al-Istishhab, dan sebagainya. Beberapa kategori dalil di atas, oleh para ahli Ushul Fiqih,
ada yang dimasukkan sebagai metode istinbath al-ahkam.
Adapun istilah sumber, dalam bahasa Arab, disebut mashdar, kata jamaknya adalah
mashadir. Kata mashdar sendiri, menurut pengertian bahasa mengandung beberapa arti, yaitu: asal
atau permulaan sesuatu, sumber, dan tempat munculnya sesuatu. Istilah ini kemudian dipakai
sebagai istilah Ushul Fiqih sehingga menjadi mashdar al-hukm (sumber hukum) atau dalam bentuk
jamaknya mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum).
Lalu, apakah dalil sama dengan sumber? Dalam hal ini, Abdul Wahhab Khallaf dan Zaki al-
Din Sya’ban, sebagaimana dikutip Rusli (1999: 24), nampaknya cenderung mengidentikkan antara
keduanya. Akan tetapi, bila kita memperhatikan makna kebahasaan dua istilah tersebut, akan
terlihat bahwa “dalil” merupakan penunjuk atau alasan untuk melihat dan mengetahui sesuatu,
sedangkan “sumber” merupakan asal sesuatu. Jika kata mashdar (sumber) ditempatkan dalam
kajian hukum, maka ia merupakan “asal” yang menjadi sumber tempat munculnya suatu hukum.
Dengan pengertian ini, yang disebut dengan mashadir al-ahkam hanya terbatas pada al-Quran dan
al-Sunnah.
Dengan demikian, yang menjadi sumber hukum dalam Islam ialah al-Quran dan al-Sunnah,
yang sekaligus pula sebagai dalil hukum. Sedangkan yang lainnya berfungsi sebagai dalil hukum
yang merupakan penunjuk atau alasan yang dapat mengantarkan cara berpikir kepada suatu
keputusan (hukum).

7
BAB II
DALIL-DALIL HUKUM

Dalam makalah ini, kita akan membahas tentang beberapa sumber atau metode yang
dijadikan dalil dalam menentukan suatu hukum. Para ulama menetapkan sumber atau dalil hukum
tersebut, secara garis besar, ke dalam dua bagian sebagai berikut.
1. Dalil hukum yang disepakati.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf (tt: 21), jumhur ulama bersepakat menetapkan empat sumber
dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi,
ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan Qiyas). A.
Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma, terutama setelah masa
sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan madzhab Zhahiri
(di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari
kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati.
2. Dalil hukum yang diperselisihkan.
Selain dari sumber dan dalil di atas, jumhur ulama menyatakan secara mufakat bahwa dalil-dalil
tersebut merupakan dalil-dalil yang tidak disepakati atau diperselisihkan (mukhtalaf), baik di
kalangan ulama Fiqih maupun ulama Ushul Fiqih.

1. AL-QUR’AN

a. Definisi Al-Qur’an

Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a,
qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun

8
huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”.

Menurut A. Hasan, al- Qur’an ialah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw. yang diperintahkan untuk dicatat atau dikitabkan.

Definisi lainnya, al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang
ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada
keraguan (Al- Wajiz, hlm. 152)

Cukup banyak istilah-istilah atau ta’rif-ta’rif yang dibuat oleh para ulama, adapun jika
digabungkan beberapa ta’rif dari para ulama maka kurang lebih akan menghasilkan rangkuman kata
sebagai berikut, Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat
jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan
diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan
dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.

b. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum

Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia
agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia
berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan
pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah
dikoreksi oleh Allah.

Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi


kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang
bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.

Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-
dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai
pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu
dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh
seorang juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi
segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral
dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah
materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara
dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.

9
10
Artinya: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu
menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk
daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat
dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thoha: 123-
124)

Kaum muslimin sendirilah yang membangun obor di tengah-tengah gelapnya sistem-sistem


dan prinsip-prinsip lain. Mereka harus menjauhkan diri dari segala kegemerlapan yang palsu.
Mereka harus membimbing manusia yang berada dalam kebingungan dengan al-Qur’an sehingga
terbimbing ke pantai keselamatan.

c. Hukum-hukum dalam Al-Qur’an

Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:

Pertama, hukum-hukum i’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan


kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya.
Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.

Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban
mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-
sifat yang tercela.

Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan,


perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori
yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul
Fiqih.

Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:

1) Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum
ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.

2) Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi


kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-
hukum mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia
dengan manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.

Hukum-hukum selain ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat. Tetapi
menurut hukum modern hukum mu’amalat itu mempunyai nama yang berbeda-beda sesuai dengan

11
sifat, hubungan dan maksud diadakannya. Nama-nama itu, menurut catatan Abdul Wahhab Khalaf,
ialah sebagai berikut.

1) Ahwalus-syakhshiyah (hukum keluarga) yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan


kekeluargaan sejak mula pertama dibinanya. Tujuan dan hukum tersebut ialah untuk
mengatur hubungan kehidupan suami-isteri, anak keturunan dan kerabat satu sama lain.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ahwalusy-syakhshiyah ini kurang lebih 71
ayat.

2) Ahkamul-madaniyah (hukum privat) yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan hak


manusia satu sama lain dalam tukar-menukar kebendaan dan manfa’at, seperti jual beli,
perserikatan dagang, sewa-menyewa, hutang-piutang dan lain-lain. Keberadaan hukum ini
bertujuan untuk mengatur hak kebendaan setiap orang dan memeliharanya. Ayat-ayat Al-
Qur’an yang berhubungan dengan hukum privat ini kurang lebih ada 70 ayat.

3) Ahkamul-jiniiyah (hukum pidana) yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan tindak


pidana dan sanksi-sanksinya. Tujuan hukum ini ialah untuk memelihara kehidupan
manusia, harta benda, kehormatan dan hak-hak mereka. Jumlah ayat-ayat yang
berhubungan dengan hukum pidana ini kurang lebih 30 ayat.

4) Ahkamul-murafa’at (hukum acara) yaitu hukum-hukum yang erat sekali hubungannya


dengan peradilan, persaksian, bukti-bukti, sumpah dan lain sebagainya. Hukum ini
bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Jumlah ayat-ayat yang
berhubungan dengan hukum acara ini sebanyak 13 ayat.

5) Ahkamud-dusturiyah (hukum perundang-undangan) yaitu hukum yang berhubungan


dengan asas dan cara pembuatan undang-undang. Tujuan hukum ini ialah untuk menjamin
hak-hak perseorangan dan masyarakat serta mengatur hubungan penguasa dengan rakyat.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum ini sebanyak 10 ayat.

6) Ahkamud-dauIiyah (hukum internasional) yaitu hukum yang mengatur hubungan negara


Islam dengan negara lainnya dalam bidang-bidang perdamaian, keamanan, perekonomian,
kebudayaan dan lain-lain. Juga mengatur muamalat antara warga negara non-muslim yang
berada di negara Islam dengan warga negara Islam itu sendiri. Jumlah ayat Al-Qur’an
yang berhubungan dengan hukum internasional ini lebih kurang 25 ayat.

7) Ahkamul-iqtishadiyah wal-maliyah (hukum ekonomi dan keuangan) yaitu hukum-hukum


yang mengatur sumber-sumber keuangan dan pengeluarannya, hak-hak fakir miskin
terhadap harta kekayaan orang yang berada, kewajiban orang-orang kaya terhadap fakir
miskin dan hubungan keuangan antara pemerintah dan warga negaranya. Ayat-ayat Al-

12
Qur’an yang berhubungan dengan hukum ekonomi dan keuangan lebih kurang ada 10
ayat.

Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan
hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan ibadat dan
ahwalus-syakhshiyah sudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat)
sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan hukum ini
bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan lingkungan.

Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata,
pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi dan
keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan
yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal
itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan. Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi
ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai
kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan
kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
(dalil-dalil) dan jiwa syari’at.

2. AL-SUNNAH

a. Definisi Al-Sunnah

Al-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang dari Rasulullah Saw, baik berupa qaul
(ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. (Khallaf, tt: 36)

Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu
dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

1) Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian.
Misalnya sabda beliau sebagai berikut.

13
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).

Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam
agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.

2) Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau
melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-
rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.

3) Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya
maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan
disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan
yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan
oleh beliau sendiri.

b. Kehujjahan Al-Sunnah

Kedudukan al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-
ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah
bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw.

Para ulama telah sepakat bahwa al-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam
menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah (diikuti) yaitu tha’ah dan
qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada
juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang
dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang
disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari
dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.

Hukum-hukum yang dipetik dari al-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang
diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59
dan 65, dan Al- ahzab: 36.

c. Hubungan Al-Sunnah dengan Al-Qur’an

Al-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni
hubungannya dengan Al-Qur’an dan al-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya
dengan al-Quran, al-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, al-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an
14
disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr:
7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.

d. Fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Qur’an

Fungsi al-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi
sebagai berikut.

1) Al-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-
Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap
hukum dan Al-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.

2) Al-Sunnah sebagai bayan (penjelas); takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap
ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu
ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana,
dijelaskan dan dijabarkan dalam Al-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal
dijabarkan dengan Al-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat
(mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
3) AL-IJMA’
a. Pengertian
Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat
Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu masalah.
Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid di kalangan umat
Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian
tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.

b. Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :
a) Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian dengan
menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa
atau memberi keputusan.
b) Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara
jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid lainnya
tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi
dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
15
a) Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan
lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad
hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.
b) Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat
mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil
ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.

4) AL-QIYAS
a. Pengertian

Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama Ushul
Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang
ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian
itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang
hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90.
Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan
hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.

b. Rukun-Rukun Al-Qiyas

Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut.


a) Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut Maqis
‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
b) Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya disamakan
kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur).
c) Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai sebagai
hukum asal bagi al-Far’u.
d) Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u itu
disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.

5) MADZHAB SHAHABI
Madzhab Shahabi adalah pendapat para shahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus, baik
berupa fatwa maupun ketetapan hokum, sedangkan nash tidak menjelaskan hukum tersebut. Dalam
hal ini, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat setidak-tidaknya terbagi menjadi empat
pandangan sebagai berikut.
a) Madzhab shahabat tidak dapat dijadikan sebagai dalil hukum.

16
Pandangan ini dikemukakan oleh jumhur ulama Syafi’iyyah, salah satu riwayat dari Ahmad,
ulama mutaakhirin dari Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki, dan Ibnu Hazm dari Madzhab
Zhahiri.
b) Madzhab shahabat bisa dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari qiyas.
Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama dari Madzhab Hanafi, Imam Malik, qaul
qadim Imam al-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
c) Madzhab shahabat bisa dijadikan dalil hukum bila dikuatkan oleh qiyas.
Salah satu pandangan yang mendukung terhadap pendapat ini adalah qaul jadid dari Imam
al-Syafi’i.
d) Madzhab shahabat bisa dijadikan dalil hukum bila terjadi kontroversi dengan qiyas.
Sifat kontroversinya itu menunjukkan bahwa hal itu bukan termasuk qiyas, tetapi merupakan
bagian dari sunnah. Pendapat ini bersumber dari Madzhab Hanafi.

6) SYAR’U MAN QABLANA


Syar’u man qablana adalah syariat umat sebelum Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Para ulama Ushul Fiqh mengkaji syariat sebelum Islam dalam kaitannya dengan penerapan syariat
tersebut bagi umat Islam. Dalam perkara ini, ada bagian-bagian dari syariat sebelum Islam yang
telah dibatalkan oleh syariat Islam, baik diiringi dengan dalil yang sharih maupun tidak diiringi
dengan dalil yang sharih tetapi menunjukkan dalil lain yang sifatnya berbeda. Misalnya, taubat
zaman Nabi Musa as dengan cara membunuh setiap orang yang ditemuinya tidak akan diperoleh
satu keterangan pun yang melegalkan cara taubat seperti ini bagi umat Nabi Muhammad Saw. Di
samping itu, ada juga syariat yang masih tetap diberlakukan dan disertai dengan dalil, seperti ibadah
shaum sebagaimana disebutkan dalam QS al-Baqarah ayat 183, “Sebagaimana telah diwajibkan
pula kepada umat sebelum kamu”.
Dalam hal syariat yang diiringi dengan dalil, baik penetapannya maupun perubahannya, para
ulama tidak merasa kesulitan dalam memutuskan penerapannya bagi umat Islam. Akan tetapi,
syariat yang tidak diiringi dengan suatu dalil menjadi persoalan pelik di kalangan para ulama. Di
antara mereka terjadi perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama Madzhab Hanafi, Madzhab
Maliki, sebagian ulama Madzhab al-Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad, syariat umat
sebelum Islam masih tetap berlaku. Di sisi lain, Madzhab Asy’ari, Mu’tazilah, Syiah, yang kuat
dalam Madzhab al-Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, Imam al-Ghazali, al-Amidi, al-
Razi, dan Ibnu Hazm menetapkan bahwa syariat sebelum Islam tidak dapat diberlakukan bagi umat
Islam sehingga ada dalil yang menegaskannya.

7) AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH

17
A. Pengertian
Al-Mashlahah al-Mursalah adalah sesuatu yang didapat secara makna mengandung suatu
hukum yang sesuai dengan pikiran (akal) dan tidak diperoleh asalnya (Hakim, 1927: 39).
Secara rinci dapat dikemukakan bahwa al-Mashlahah al-Mursalah merupakan suatu upaya
penetapan hukum yang didasarkan atas suatu kemaslahatan, yang kendati tidak terdapat di dalam
nash atau ijma’, dan tidak ada pula penolakan atasnya secara tegas, tetapi kemaslahatan ini
didukung oleh dasar syariat yang bersifat umum dan pasti sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
syariat yang lima (Hifdzu al-Dien, Hifdzu al-Mal, Hifdzu al-Nafsi, Hifdzu al-Nasl, Hifdzu
al-‘Irzhi).
Istilah Mashlahah Mursalah digunakan dalam ilmu ushul fiqih dengan berbagai istilah, di
antaranya al-istidlal sebagaimana digunakan oleh Imam al-Haramain al-Juwaini dan Ibn al-Sam’ani
dan al-istidlal al-mursal sebagaimana sebutan dari para ahli ushul yang lain. Abdul Wahhab Khalaf
menyebutnya sebagai al-Munasib al-Mursal.
B. Kehujjahan
Di antara para ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai status hukum al-Mashlahah al-
Mursalah. Secara garis besar pandangan-pandangan itu terbagi menjadi empat bagian sebagai
berikut (Rusli, 1999: 141).
a) Ulama yang tidak memakai istishlah secara mutlak.
Ulama yang tidak memakai istishlah secara mutlak, di antaranya, adalah ulama dari
Madzhab Hanafi yang lebih memilih al-Istihsan daripada al-Istishlah ini. Imam al-Syafi’i tidak
menyatakan secara jelas penolakannya. Beliau hanya menegaskan bahwa apa saja yang tidak
mempunyai rujukan nash tidak dapat diterima sebagai dalil hukum.
b) Ulama yang menerapkan istishlah secara mutlak.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip Hakim (1927: 38), berkata, “Jika
seorang peneliti merasa musykil tentang hukum sesuatu, apakah ia haram atau mubah, maka
perhatikanlah mafsadat atau maslahatnya”.
Menurut ulama dari Madzhab Maliki dan Madzhab Hanbali, istishlah merupakan deduksi
logis terhadap sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas.
Konsep ini kemudian dikembangkan secara liberal oleh Najmuddin al-Thufi (w. 716 H).
Menurutnya, inti segenap ajaran Islam yang dikandung oleh nash adalah kemaslahatan manusia.
Karena itu, segala bentuk kemaslahatan disyariatkan dan kemaslahatan tersebut tidak perlu
didukung oleh nash atau kandungannya. (Rusli, 1999: 33-34)
c) Ulama yang membolehkan memakai istishlah sebagai dalil.
Kelompok ketiga ini menetapkan persyaratan, bahwa istishlah boleh dijadikan sebagai dalil
jika mula’imah (sesuai) dengan ashl al-kulli (prinsip umum) dan ashl al-juz’i (prinsip parsial) dari

18
prinsip-prinsip syariat.
d) Ulama yang menerima istishlah dengan tiga persyaratan.
Di antara ulama yang menetapkan tiga persyaratan diterimanya Istishlah adalah Imam al-
Ghazali. Yang dimaksud dengan tiga syarat tersebut adalah; (1) terdapat kesesuaian maslahah
dengan maksud syara’ dan tidak bertentangan dengan dalil yang qath’i; (2) maslahah tersebut dapat
diterima oleh akal sehat; (3) maslahah bersifat dharuri, yakni untuk memelihara salah satu dari:
agama, akal, keturunan, kehormatan, dan harta benda.

8) AL-ISTISHHAB
A. Pengertian
Secara bahasa Istishhab berarti persahabatan atau kelanggengan persahabatan”.
Sedangkan menurut istilah para ulama, Istishhab adalah “Menetapkan sesuatu berdasarkan
keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan
keadaan itu”.
Ada juga yang menyatakan bahwa Istishhab adalah “Menetapkan hukum yang ditetapkan
pada masa lalu secara abadi berdasarkan keadaan, hingga terdapat dalil yang menunjukkan adanya
perubahan”.
Karena itu, jika mujtahid berhadapan dengan pertanyaan mengenai kontrak atau
pemeliharaan yang tidak ditemukan nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-sunnah atau tidak ada dalil
syara’ yang mutlak hukumnya, maka kontrak atau pemeliharaan itu hukumnya dibolehkan
berdasarkan kaidah bahwa asal sesuatu itu adalah boleh (mubah). Dengan demikian, jika tidak
terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan, maka sesuatu itu hukumnya boleh (mubah)
sesuai dengan sifat kebolehan asalnya.

B. Macam-Macam Istishhab
Istishhab terbagi kepada empat macam, yaitu sebagai berikut.
1. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyyah (kebebasan dasar). Ibn al-Qoyyim menyebutnya dengan
istilah al-Bara’ah al-‘Adam al-Ashliyyah. Contohnya, bebas dari kewajiban-kewajiban
(taklif) syar’i sampai ada dalil yang menunjukkan adanya taklif. Seorang anak kecil terbebas
dari taklif sampai ia mencapai usia balig.
2. Istishhab yang diakui eksistensinya oleh syara’ dan akal. Seperti istishhab mengenai
pertanggung-jawaban utang sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa utang itu telah
dibayar atau dibebaskan.
3. Istishhab hukum, yaitu apabila dalam suatu kasus sudah ada ketentuan hukumnya, baik
mubah atau haram. Ketentuan itu terus berlaku sampai ada dalil yang mengharamkan

19
perkara mubah dan memperbolehkan perkara haram. Sebab hukum asal segala sesuatu
adalah mubah selain urusan harta dan kehormatan.
4. Istishhab sifat, seperti sifat hidup bagi orang yang hilang. Sifat ini dianggap masih tetap
melekat pada orang hilang sampai ada indikator atas kematiannya. Contoh lainnya adalah
sifat suci bagi air. Sifat ini tetap melekat hingga ada tanda-tanda atas kenajisannya, baik
berubah warnanya, baunya atau rasanya.

C. Kehujjahan Istishhab
Istishhab diterima sebagai sumber hukum bisa dilihat dari segi syara’ atau akal. Dari segi
syara’, ternyata berdasarkan istiqra (penelitian) terhadap hukum-hukum syara’ disimpulkan bahwa
hukum-hukum itu tetap berlaku sesuai dengan dalil yang ada sampai ada dalil yang mengubahnya.
Anggur yang memabukkan, berdasarkan ketetapan dari syara’ adalah minuman haram kecuali
apabila telah berubah sifatnya, yakni sifat iskar (memabukan), baik dengan dicampur air atau
berubah dengan sendirinya menjadi cuka.
Dari segi logika, akal sehat dengan mudah dapat menerima dan mendukung penggunaan
istishhab. Di sini dapat dikemukakan beberapa contoh:
1. Tak seorang pun yang berhak menuduh bahwa si fulan halal darahnya lantaran murtad,
kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan atas kemurtadannya. Sebab menurut hukum
asal, setiap orang haram darahnya.
2. Seorang yang adil tidak boleh dituduh fasik, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan
kefasikannya, karena sifat adil jika terdapat pada diri seseorang, ia menjadi sifaty yang
melekat pada jati dirinya sampai orang yang bersangkutan berperilaku dengan sifat yang
berlawanan, yaitu sifat fasik.
Apabila seseorang diketahui masih hidup, ia tidak bisa dianggap telah meninggal kecuali apabila
ada bukti yang menunjukkan kematiannya.

9) AL-ISTIHSAN
Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena terdapat
dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia. Menurut al-Zuhaili,
Istihsan pada intinya mencakup dua bentuk; (1) menguatkan qiyas khafi (tidak jelas) atas qiyas jail
(jelas) didasarkan atas suatu dalil; (2) mengecualikan masalah juz’i dari kaidah umum didasarkan
atas suatu dalil yang lebih khusus.
Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah menjadikan istihsan sebagai dalil
hukum. Akan tetapi, di antara mereka terjadi perbedaan dalam volume penerapannya. Ulama
Hanafiyah termasuk ulama yang lebih banyak forsinya dalam menerapkan sistem istihsan ini.

20
Sebaliknya, ulama Syafi’iyah, Zhahiriyah, Syiah dan Mu’tazilah menolak istihsan sebagai
dalil. Al-Syafi’i pernah menyatakan, “Siapa saja yang menggunakan istihsan, ia telah membuat
syariat”. Sementara itu, Ibnu Hazm dari kalangan Zhahiriyah memandang bahwa penggunaan
istihsan sebagai sesuatu yang mengikuti hawa nafsu dan membawa pada kesesatan.

10) AL-‘URF
A. Pengertian
‘Urf adalah sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau
tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau erat kaitannya dengan meninggalkan perbuatan
tertentu. Kadang-kadang ‘Urf ini disebut juga adat.

B. Macam-Macam ‘Urf
Urf terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut.
1. ‘Urf Shahih, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal dan tidak berlawanan dengan dalil
syara’, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban.
2. ‘Urf Fasid, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia tetapi berlawanan dengan
syara’ atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.
Dari segi objeknya, urf dibagi kepada 'urf lafdzy dan 'urf amali.
'Urf lafdzi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu
dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam
pikiran masyarakat. Contohnya, ungkapan "daging" mencakup seluruh daging yang ada. Apabila
seseorang menjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu
pembeli mengatakan "Saya beli daging satu kilogram" pedagang itu
langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan
penggunaan daging pada daging sapi.
'Urf ‘Amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau
muamalah (perdata). Adapun yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan
libur kerja dalam satu minggu.
Dari segi cakupannya, 'urf dibagi dua, yaitu 'urf am dan 'urf khash.
'Urf 'Am adalah 'urf yang berlaku pada sesuatu tempat, masa, dan
keadaan. Atau kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat
dan diseluruh daerah. Contohnya, memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasa
kepada kita.
'Urf Khash adalah urf yang berlaku hanya pada suatu tempat, masa dan keadaan tertentu

21
saja, atau kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Contohnya, mengadakan halal
bihalal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai
menunaikan ibadah shaum Ramadhan, sedangkan negara-negara Islam lainnya tidak melakukannya.

C. Kehujjahan
‘Urf merupakan salah satu sumber hukum yang digunakan oleh madzhab imam Al-Syafi’i
dan Hanafi yang berada di luar nash. Sumber hukum asalnya diperoleh melalui sabda Nabi
Muhammad Saw:
“Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai
perkara baik”.
Hadis ini, baik dari segi ibarat maupun tujuannya, menunjukkan bahwa setiap perkara yang
telah mentradisi di kalangan kaum muslimin dipandang baik di hadapan Allah. Menentang ‘Urf
(tradisi) yang telah dipandang baik oleh masyarakat akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan.
Allah SWT berfirman:
“Dan Allah tidak menjadikan atas kamu dalam agama suatu kesempitan”.
Oleh karena itu, ulama Madzhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa hukum yang
ditetapkan berdasarkan ‘urf yang shahih (benar), bukan yang fasid (rusak/cacat), sama dengan yang
ditetapkan berdasarkan dalil syar’i. Secara lebih singkat, pensyarah kitab Al-Asybah wa al-Nazhair
mengatakan:
“Menetapkan (hukum) yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan menetapkan hukum yang
ditetapkan berdasarkan dalil syar’i”.

11) SADD AL-DZARI’AH


Sadd al-Dzari’ah (menutup sarana). Yang dimaksud dengan al-Dzari’ah dalam ushul fiqh
ialah sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau dihalalkan. Jika terdapat sesuatu
sebagai sarana kepada yang diharamkan, maka sarana tersebut harus ditutup atau dicegah. Inilah
yang disebut dengan Sadd al-Dzari’ah. Sedangkan kebalikannya adalah Fath al-Dzari’ah, yakni
membuka berbagai sarana yang mendekatkan kepada sesuatu yang halal dan membawa kepada
kemaslahatan.
Imam Malik dan Imam Ahmad menempatkan Sadd al-Dzari’ah sebagai salah satu dalil
hukum. Sedangkan Imam al-Syafi’i (menurut salah satu interpretasi), Imam Abu Hanifah, dan
Madzhab Syiah menerapkannya pada kondisi-kondisi tertentu. Adapun Madzhab Zhahiri
menolaknya secara tegas dan totaliter.

12) DILALAT AL-IQTIRAN

22
A. Pengertian
Dari aspek bahasa, dilalah artinya petunjuk, sedangkan iqtiran artinya bersama-sama.
Adapun menurut istilah, dilalatul iqtiran ialah suatu petunjuk karena ada suatu perkara yang disebut
bersama-sama dengan perkara yang lain, maka keduanya atau lebih yang bersama-sama itu diberi
hukum yang sama pula.

B. Kehujjahan
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan dan kehujjahan dilalatul iqtiran. Jumhur
ulama mengatakan bahwa dilalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah. Alasannya, bersama-sama
dalam suatu perkara, belum tentu dan tidak harus bersama-sama pula dalam ketetapan hukum.
Sedangkan para imam madzhab, seperti Imam al-Syafi’i, Abu Hanifah, dan Imam Malik
berpendapat bahwa dilalatul iqtiran dapat dijadikan hujjah dengan alasan bahwa ‘athaf itu
menunjukkan musyarakah (bersama-sama).

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. 19. Ushul Fiqh. Damaskus: Dar al-Fikr.
Al-Qattan, Manna Khalil. 2009. Cet. 2. (Terj. Mudzakir AS). Studi Ilmu-Ilmu Quran. Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa.
Dewan Hisbah Persatuan Islam. Thuruq al-Istinbath Dewan Hisbah Persatuan Islam. Bandung:
Persis Press.
Firdaus. 2004. Ushul Fiqih: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.
Jakarta: Zikrul Hakim.
Hakim, Abdul Hamid. 1927. As-Sullam. Jakarta: Sa’adiyah Putra.
http://www.scribd.com/doc/22808462/Makalah-Ushul-Fiqh
http://www.shamela.ws
Khallaf, Abd al-Wahhab. tt. Ilmu Ushul Fiqh. Dar al-Qalam.
Nata, Abudin. 1999. Cet. 2. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rusli, Nasrun. 1999. Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Logos.
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. Tanpa Tahun. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami.
Bandung: Al-Ma’arif.

23
24
25
26

You might also like