Professional Documents
Culture Documents
Al Afdal Permana
0810842026
Untuk mengetahui sejarah pelaksanaan adminisrasi negara di negeri ini, dapat ditelisik
buku karangan Bintoro Tjokroamidjojo yang berjudul “Perkembangan Ilmu Administrasi
Negara di Indonesia: Research di Indonesia 1945-1966.”
Di dalamnya dikatakan, sebelum tahun 1945, administrasi yang dianut oleh negeri ini
adalah sistem administrasi pemerintahan Kerajaan Belanda, karena pada masa itu
Indonesia belum merdeka akibat penjajahan Belanda. Pengaruh konsep kontinental sangat
kuat saat itu, di mana pendidikan hukum dianggap sebagai persiapan utama dan bahkan
satu-satunya syarat untuk membentuk dan mempersiapakan seorang administrator yang
akan bertugas. Akibatnya, corak administrasi negara saat itu bersifat terlampau legalistis-
formal dan normatif, yang pada akhirnya menjadikan birokrasi sebagai lembaga yang
steril.
Selepas Indonesia merdeka pada tahun 1945, barulah negeri ini berkuasa secara
penuh dan otonom untuk melaksanakan sistem administrasinya sesuai dengan suasana
dan keadaan lingkungan saat itu dan sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan saat itu.
Ditambah dengan semangat untuk lepas dari warisan kolonial dan euforia kemerdekaan
bergelora di masyarakat, maka berusahalah diciptakan pembaruan tatanan administrasi
negara. Namun seperti yang telah dijelaskan dalam tulisan pembuka bab ini bahwa
administrasi pada dasarnya berjalan secara incremental dan tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh masa lalu, maka dapat ditebak penyelenggaraan administrasi negara pada masa
pascakemerdekaan tidak jauh berbeda dengan praktik yang telah ada sebelumnya karena
masih kuatnya pengaruh sistem administrasi Belanda. Selain itu, sistem administrasi juga
tidak dapat berjalan dengan efisien dan efektif karena para administrator dan pejabat
negara pada waktu itu menempati posisi-posisi administrasi tanpa pernah mengecap
pendidikan administrasi negara sebelumnya, dan juga tanpa kesempatan bekerja di bawah
pengawasan ahli administrasi yang berpengalaman dan kompeten.
Cerita di atas dapat dikatakan merupakan buah dari reformasi administrasi pertama
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Selanjutnya, reformasi administrasi yang kedua
terjadi seiring dengan pergantian pucuk kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto, dari
rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru.
Reformasi kedua yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto ini menurut
penulis bukanlah merupakan suatu reformasi administrasi yang dilakukan karena
kebutuhan untuk melakukan reformasi administrasi itu sendiri, melainkan hanya
merupakan ekses, atau bahkan dapat dikatakan externalities yang mau tak mau harus
terjadi, dari kebijakan penguasa.
Dari perspektif ilmu administrasi publik, program pembangunan Orde Baru ini dapat
dikatakan menghancurkan bangunan pemahaman akan konsepsi dan pengimplementasian
ilmu administrasi publik yang sejati yang dilakukan oleh Indonesia yang sedang
membangun dan berkembang usai kemerdekaan diraih. Pada masa itu, dikenalkan suatu
konsep baru administrasi yang terkesan berusaha untuk dikompatibelkan terhadap
program pembangunan pemerintah, yaitu administrasi pembangunan.
Kini setelah Orde Baru tumbang dan memasuki Orde Reformasi, wajarlah kiranya bila
istilah adminstrasi negara di Indonesia diganti menjadi administrasi publik, sesuai dengan
terjemahan harafiah dari sumber aslinya: public administration. Hal ini sudah seharusnya
terjadi karena dengan bergantinya penyelenggaraan negara dari otoriter menjadi
demokratis, maka penyelenggaraan administrasi publik pun haruslah sesuai dengan
semangat dan asas yang terjadi di ranah politik: bersifat demokratis. Dalam bahasa yang
lain, Indonesian public administration yang baru merupakan perubahan paradigma dari
proses pemerintahan (government) menjadi proses kepemerintahan (governance). Secara
ideologis, perubahan ini dapat dikatakan telah mengembalikan administrasi publik yang
selama ini telah hilang dengan mengembalikannya kepada jati diri aslinya, di mana
melayani kepentingan masyarakat tanpa reserve merupakan tujuan utamnya.
Maka dari itu, segala praktik penyelenggaraan public administration yang terjadi pada
masa sebelumnya harus dirombak total, karena sudah tidak sesuai dengan semangat
zaman dan tidak kompatibel dengan perspektif baru penyelenggaraan negara yang
bersifat demokratis. Hal ini secara tersirat juga diamini oleh pemerintahan setelah Orde
Baru, di mana jargon demokratisasi birokrasi (pelayanan publik) sebagai fokus kegiatan
administrasi publik sering disuarakan oleh aktor-aktor pemerintah.
Mulai pemerintahan reformasi yang dilakukan di awal tahun 1998, pemerintah hingga
kini belum pernah melakukan reformasi dan bahkan pemerintah yang silih berganti itu
kurang perhatiannya terhadap sistem dan tata laksana administrasi negara kita. Apa visi
pemerintah terhadap reformasi atau perubahan sistem administrasi negara sampai
sekarang saya belum mengetahui secara jelas.
Kelembagaan dan sistem administrasi negara kita hingga sekarang ini masih seperti
yang direformasi oleh Presiden Soeharto. Belum ada perubahan sedikitpun. Susunan dan
struktur organisasi kelembagaan birokrasi pemerintah masih seperti dulu. Sementara itu
lingkungan strategis nasional dan global baik politik maupun ekonomi telah mengalami
perubahan yang dahsyat.1
Sebagai bukti bahwa reformasi administrasi publik di Indonesia tidak bergerak maju
secara signifikan, selama ini masih banyak terdengar keluhan dari masyarakat terhadap
performa birokrasi.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang tecermin dari hasil jajak
pendapat tersebut sebaiknya tidak kita telan mentah-mentah, melainkan seharusnya kita
kritisi pula. Indonesia merupakan masyarakat multikultur. Sebagaimana ciri dominan
masyarakat multikultur, seingkali apriori buruk sangka dan stereotip negatif
mengakibatkan kebanyakan warga masyarakat lebih memosisikan lembaga birokrasi dan
personel anggotanya dalam kesan yang kurang atau tidak baik atau buruk, ketimbang
dalam posisi in between di antara yang baik dan yang buruk. Kebiasaan itu juga
menyebabkan masyarakat kehilangan kemampuan untuk tidak selalu mengutamakan nilai-
nilai dan idealisasi berbasis kultur dominan dalam menilai segala sesuatunya.
Mengapa perubahan administrasi publik yang diharapkan itu tak kunjung terjadi?
Miftah Thoha dalam Administrasi Publik Kontemporer memberikan pendapat pribadinya
mengenai hal ini:
Mulai pemerintahan reformasi yang dilakukan di awal tahun 1998, saya mempunyai
pandangan bahwa pemerintah kita hingga kini belum pernah melakukan reformasi dan
1
Miftah Thoha, 2008, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana, Jakarta, hlm: 66.
bahkan pemerintah yang silih berganti itu kurang perhatiannya terhadap sistem dan tata
laksana administrasi negara kita. Apa visi pemerinah terhadap reformasi atau perubahan
sistem administrasi negara sampai sekarang saya belum mengetahui secara jelas.2
Lebih jauh, penyelenggaraan administrasi publik di Indonesia selain jauh dari ideal juga
dapat dikatakan tercerabut dari akarnya karena tidak dapat diidentifikasinya ciri-ciri pokok
yang terkandung dalam administrasi publik. Salah satunya yaitu ciri dari administrasi
publik di mana dalam memberikan pelayanannya tidak dikendalikan oleh harga pasar,
melainkan ditentukan oleh rasa pengabdian kepada masyarakat umum.
Kalau kita lihat struktur dan hirarki dari Administrasi tidak terjadi perubahan yang
signifikan, gambarkan dalam bagan struktur itu menurut UUD 45 menurut
RAINER dan menrut UUD45 yg telah di amandemen!! Dan jelaskan satu
persatu posisi dan kedudukan lembaga tertinggi negara tersebut!!
The MPR “acts as a channel of political and social aspirations prevalent in society and is
therefore holding the supreme power in the state” (GOI 1991b: 89). It holds the
“sovereignty of the people” and is as such the highest state institution. It meets
usually only once every five years at the beginning of what is called the “National
leadership Mechanism” to receive the report of the President on the implementation of
the state policies for the previous legislative period, to elect a new President and Vice-
President and to determine the state policies for the next five years (the GBHN). It
consists of 1000 representatives, including the 500 deputies of the DPR. The other 500
2
Sama dengan catatan kaki No. 1, hlm: 65-66.
representatives are nominated by the provinces (147 delegates) or are appointed by
the President as representatives of the various groups in the society. The
representatives are grouped into five factions: the factions of the representatives of
the Armed Forces (ABRI), the factions of the political parties (PDI, PPP and GOLKAR)
and the faction of the representatives of the regions.
The President is the chief executive of the government and at the same time the head of
state. He is regarded as the “mandatory” of the MPR, who executes the policies
determined by the MPR and who is accountable to the MPR. Beside having executive
functions, the President has also certain legislative functions in cooperation with the
“principal legislative body” (Thoolen 1987:54), the Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(House of Representatives). The
President is not accountable to DPR, but should take into account the opinion of the
DPR. Since all members of the DPR are at the same time members of the MPR, they
can initiate to summon an extraordinary session of the MPR. The Presiden’s power is
mainly limited by the rights and functions of the MPR.
The DPR (House of Representatives) can be regarded as the working parliament of the
Indonesian state which shares legislative powers with the President, approves the
budget, has the right to declare war and peace, and has control functions concerning
the implementation of the state policies, the execution of laws and the activities of the
public administration under the leadership of the President. It controls the
implementation of the budget and the management of the state finances, and receives
and discusses the reports of the State Audit Board. 425 of the 500 deputies of the DPR
are elected every five years in general elections according to the proportional strength
of the three political parties which are allowed to file candidates. The remaining 75
deputies are nominated by the ABRI. Like the MPR, the 500 deputies of the DPR have
formed factions according to their affiliation to the political parties or the Armed
Forces. The work of the DPR is mainly done in its 11 committees which are each
responsible for a certain sector of governments activities.
The State Audit Board (Badan Pemeriksa Keuangan-BPK/Bepeka) examines the state finances
(the revenues and expenditures) according to the approved budget. Beside the
national budget, the Bepeka can also examine budgets of the regional governments
and of the state enter-prises. Examination of budgets is not only in respect to
adherence to the budget regulations, but increasingly also in respect to efficiency and
effectiveness of public spending (GOI 1991b:107f). The members of the Bepeka are
appointed by the President form a list of candidates proposed by the DPR. The Bepeka
reports its findings to the DPR, in cases of criminal behavior it can also involve the
state prosecutor directly. Activities of the Bepeka are based on a five-year plan
(Rencana Kerja Lima Tahun-RKLT).
The Supreme Advisory Council (Dewan Pertimbangan Agung-DPA) is a advisory council to the
government, which is involved at the request of the President, but which can also
submit recommendations to the President on its own initiative. It has an autonomous
status, “free from influences of the executive and social forces” (GOI 1991b:101). The
members of the DPA are appointed by the President, and can also be dismissed by the
President. The topics of the council’s work cover a wide range of issues, from
economic planning to questions of the state ideology Pancasila and issues of national
education.
The Supreme Court (Mahkamah Agung-MA) is the highest judiciary body handling appeals and
revisions of all the various branches of the judiciary system. It also gives judicial
advice to the President (in cases of clemency). Materially, it can examine only legal
instruments below the level of a law and cannot for instance rule on the
constitutionality of laws. Judges to the Supreme Court are appointed by the President
from a list of candidates nominated by the DPR.
The Public Administration Indonesia Structure and Hierarchy based UUD 1945 after
amandement
UUD 1945
• Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka,
penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip
due process of law.
• Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti
Hakim.
• Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu
setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
• Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
• Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa
lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara
berdasarkan hukum.
• Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara
disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
MPR
• Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya
seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
• Menghilangkan supremasi kewenangannya.
• Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
• Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara
langsung melalui pemilu).
• Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
• Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
DPR
BPK
PRESIDEN
MAHKAMAH AGUNG
MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh karena itu, pemahaman istilah public seperti yang dilekatkan sebagai
predikat pada istilah administration hendaknya dipahami sebagai predikat
terhadap proses ke pemerintahan (governance) yang selaras dengan perubahan
paradigma tersebut. Dengan demikian, istilah administrasi publik dapat diartikan
sebagai administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk
kepentingan masyarakat. Pemahaman seperti ini hakikatnya merupakan jiwa dari
ilmu administrasi negara yang sejak pertama kali dikembangkan dan yang tujuan
eksistensinya untuk melayani kepentingan masyarakat pada umumnya (Wilson,
1978).
Dalam kerangka ilmu politik istilah administrasi publik bisa diganti dengan istilah
Birokrasi meskipun sebanarnya administrasi publik itu lebih luas dari birokrasi
namun secara konsep sederhana dan awam administrasi publik itu adalah birokrasi.
Hal ini tak terlepas dari makna “public” itu sendiri. Publik bisa menunjukan pada
mereka yang bekerja untuk kepentingan masyarakat luas atau dikenal dengan
“lembaga pemerintah”.
Jelaskan beda antara Administrasi dengan manajemen serta fungsi dari : teori,
organisasi dan Administrasi Negara Indonesia
Antara manajemen dan administrasi memiliki satu hal pokok yang sama yaitu teori
organisasi. Namun, Ilmu administrasi menempati posisi yang berbeda dari
manajemen. Berkaitan dengan teori organisasi, dapat dikatakan bahwa ilmu
administrasi pada dasarnya berjalan kurang lebih seiring teori organisasi. Jika teori
organisasi menggambarkan abstraksi mengenai apa itu organisasi, yaitu
bagaimana menerapkannya ke dalam pengelolaan organisasi, khususnya pada level
strategi atau penentuan arah organisasi (pemimpin atau executive).