You are on page 1of 13

PENDAHULUAN

Kita tidak habis mengerti atas tragedi yang terjadi di Tanjung


Priok. Bentrokan antara Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
dengan masyarakat sampai menyebabkan beberapa korban tewas
dan sedikitnya 80 orang lainnya luka-luka. Bagaimana sebuah
upaya pembebasan lahan bisa berakibat fatal seperti itu. Bukan
hanya bentrokan yang brutal kita saksikan, tetapi peristiwa
kekerasan yang dipertontonkan sungguh sangat tidak
berperikemanusiaan. Kita ingin mengritik secara keras perilaku
yang diperlihatkan Satpol PP. Mereka sama sekali tidak
memperlihatkan dirinya sebagai aparat pemerintah daerah yang
seharusnya mengayomi warganya. Perilaku kekerasan sepertinya
menjadi bagian keseharian mereka. Bukan di Koja saja mereka
memperlihatkan sikap pamer kekuasaannya, tetapi dalam tindak
tanduk sehari-hari mereka selalu mempertontonkan sikapnya yang
menyakiti hati warga.Tidak ada hari dari tindakan mereka yang
tidak diwarnai aksi kekerasan. Kita lihat sikap yang mereka
pertontonkan sehari sebelumnya ketika mengusir secara kasar
warga China Benteng di Tangerang.Tindakan brutal yang dilakukan
Satpol PP di Koja sungguh tidak bisa kita benarkan. Mereka boleh
kesal dan marah atas tindakan warga yang melawan dan bahkan
melukai mereka. Namun ketika mereka menyeret warga apalagi
yang usianya masih muda tanpa henti-hentinya mereka pukuli,
merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan.

Apa yang terjadi di Koja merupakan cerminan dari kegagalan


Gubernur DKI Jakarta untuk membina aparat Satpol PP. Bagaimana
aparat Pemda itu bisa terus menerus menunjukkan perilaku yang
sarat dengan kekerasan.Ketika hal itu terjadi di zaman Orde Baru,
kita bisa memahami karena sistem politik yang berlaku adalah
sistem otoriter yang cenderung represif. Ketika kemudian kita
melakukan reformasi dan mengubah sistem politik menjadi
demokrasi, maka sikap dan perilaku kita haruslah berubah.Sistem
demokrasi sangatlah mengharamkan adanya kekerasan. Segala
macam persoalan harus dilakukan dengan cara negosiasi dan
hukum. Tidak boleh lagi ada kekerasan yang dipakai untuk
menyelesaikan perbedaan.Cara negosiasi dan persuasi itulah yang
seharusnya dipakai ketika hendak membebaskan lahan milik PT
Pelindo di Koja. Kalau pun tahu bahwa pembebasan itu menjadi
sensitif karena ada makam Mbak Priok, seharusnya dicari cara
untuk bernegosiasi dengan pemuka masyarakat.

Satpol PP terlalu biasa untuk memaksakan kehendak. Mereka


terlalu terbiasa untuk menggunakan kekuasaan dalam menjalankan
tugasnya. Mereka selalu merasa bahwa dengan kekuatannya tidak
ada yang pernah menghalangi mereka.Apa yang dipertontonkan
Satpol PP di Koja harus dimintai pertanggungjawabannya. Gubernur
DKI Jakarta merupakan pihak yang paling harus bertanggung jawab,
karena membiarkan kekerasan terjadi begitu telanjang.Satu yang
kita khawatirkan, kekerasan yang dipertontonkan begitu telanjang
akan memancing kemarahan masyarakat. Kejadian di Koja akan
mudah menjadi pemicu pelampiasan kekecewaan atas kehidupan
yang semakin mengimpit. Kita pernah mengalami pengalaman pahit
seperti ini di tahun 1998. Kita tentunya tidak ingin peristiwa kecil
sampai merusak seluruh Jakarta.Kita sudah melihat bagaimana
warga kemudian kehilangan rasa hormatnya kepada aparat. Mereka
berani untuk melawan dan bahkan merebut peralatan yang
dipegang aparat. Mereka bahkan merusak dan membakari
kendaraan milik Satpol PP.Kerusuhan yang terjadi di Koja
sepantasnya membuat pimpinan nasional untuk turun tangan.
Kekerasan yang dipertontonkan tidak bisa lagi ditolerir. Tindakan
brutal dari Satpol PP sungguh merupakan pelanggaran terhadap
nilai-nilai kemanusiaan.Jangan salah bahwa kejadian itu terjadi di
ibu kota negara. Di depan mata para petinggi Republik ini. Aneh
apabila itu tidak memantik rasa prihatin. Ini sungguh-sungguh
merupakan pelanggaran kemanusiaan yang sangat bertentangan
dengan sistem demokrasi yang sedang kita bangun.Satpol PP telah
mencoreng demokrasi yang sudah susah payah kita tegakkan.
Mereka jauh dari sikap menghormati nilai kemanusiaan dan
sepantasnya mereka untuk dihukum. Tanpa itu mereka akan terus
memperlihatkan sikap brutal yang hanya menyakiti hati warga.

SEJARAH

Nama Tanjung Priok disebut berasal dari Mbah Priok atau Habib
Hasan bin Muhammad Al-Hadad. Beliau lahir di Ulu Palembang
tahun 1727. Habin Hasan disertai para pengikutnya kemudian
berlayar ke Jawa tahun 1756 untuk menyebarkan dakwah Islam.
Menurut catatan, dalam perjalanannya, perahu layar Habib Hasan
lalu dibom oleh Belanda. Bom itu meleset, tapi kemudian ombak
besar menggulung kapal yang ditumpangi sang Habib. Akibat
ombak besar, perahu tersebut tenggelam, mengakibatkan wafatnya
Habib Hasan bin Muhammad Al-Hadad yang dijuluki Mbah Priok.
Nama lengkapnya Al Imam Al`Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan
bin Muhammad Al Haddad RA.Jasadnya kemudian ditemukan
penduduk. Di samping jasadnya ditemukan periuk nasi. Setelah
dimakamkan, periuk nasi itu serta dayung perahu kemudian
diletakkan di makamnya, sekaligus sebagai nisan yang menandai
makamnya. Mitos berbau mistik yang dihubungkan dengan periuk
nasi itu, kemudian berkembang menjadi kisah turun temurun.
Misalnya periuk nasi itu seakan mengeluarkan cahaya, atau nampak
seakan-akan membesar, dan mitos lainnya. Mitos tentang periuk ini
begitu melekat, sehingga penduduk menamakannya Mbah Priok.
Terilhami dari kata periuk nasi. Dari kata ini, daerah di sekitarnya
kemudian dinamakan Tanjung Priok.Di balik segala mitos itu, satu
hal yang tidak dilupakan masyarakat, yaitu Habib Hasan bin
Muhammad Al-Hadad atau Mbah Priok kemudian dihormati sebagai
tokoh yang gugur karena tujuan mulia, yaitu ingin menyiarkan
dakwah kebenaran dan kebaikan melalui Islam. Hal ini pula yang
menimbulkan kemarahan masyarakat, yang menilai Pemda kurang
menghargai jejak historis yang turun-temurun sudah hidup menjadi
legenda sekaligus peninggalan sejarah yang sangat berarti bagi
masyarakat. Bagaimanapun juga ketokohan seorang pendakwah
syiar Islam seperti Mbah Priok, selalu mendapat tempat khusus dan
terhormat di hati umatnya. Penggusuran makam bernilai sejarah
dengan dalih apapun, sepantasnya didasari pertimbangan dan
kesediaan memahami kondisi sosial-kultur masyarakat, demi
menghindari pertumpahan darah.Kerusuhan makam Mbah Priok
terpicu akibat kepentingan pembangunan terminal peti kemas,
sayang sekali membuat rakyat harus menyaksikan korban-korban di
dalam peti mati, tercatat 3 korban jiwa, 134 korban luka-luka dan
puluhan mobil rusak dibakar massa.Azas legalitas yang menjadi
pegangan pemerintah kota, ternyata menjadi tak bermakna jika itu
sudah memakan beberapa korban jiwa yang tak perlu.

PEMBAHASAN

Kejadian diatas tentu saja menciptakan citra negatif


masyarakat terhadap Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Aparat, dalam hal ini polisi dan khususnya Satpol PP, terlanjur
dibenci banyak orang. Akumulasi kemuakan masyarakat melihat
tindakan sewenang-wenang mereka sulit dibendung. Rumah, kios
dan toko warga dihancurkan dan diobrak-abrik. Rakyat kecil
dipukuli. Pernah, warga melihat oknum Satpol PP menendang
pengemis wanita yang sedang hamil, tanpa sebab yang jelas. Tak
heran ketika ada kesempatan, akumulasi itu dilampiaskan-dan
akibatnya mengerikan.
Tentu tuntutan pembubaran Satpol PP, atau setidaknya
perombakan, menjadi wacana yang perlu dibahas dengan serius.
Harus dipikirkan bagaimana aparat tegas dalam bekerja, namun
tidak sewenang-wenang. Sulit, namun harus dikerjakan.

Begitu juga dengan hukum. Sudah bukan rahasia lagi, hukum


di Indonesia, tidak berpihak pada rakyat kecil. Dalam masalah lahan
Makam Priok, pihak Pelindo II seakan alpha, bahwa ini adalah hal
sensitif, karena menyangkut solidaritas sejarah, sosial budaya, dan
agama. Bagi orang-orang disana, makam ini dianggap keramat-jauh
lebih keramat daripada keputusan pengadilan. Tidak heran massa
mudah terprovokasi. Perlu dilakukan pendekatan lebih persuasif,
apalagi jika benar makam bukan mau digusur, tapi justru diperluas,
dibersihkan, bahkan diperbaiki. Dialog dengan tokoh masyarakat
wajib diutamakan.

Agama memiliki peran yang penting disini. Tidak bisa


dipungkiri, isu telah menjadi masalah agama. Hans Kung, seperti
dikutip Benyamin Intan dalam buku Public Religion-nya, berbicara
mengenai dua sisi agama. Pertama, peran pasif dan negatif: agama
harus berjuang agar tidak menjadi sumber konflik. Agama harus
menahan diri dan waspada, untuk menghindar dari kemungkinan
memicu konflik yang bisa merusak kedamaian. Sejarah
menunjukkan bagaimana agama, dibalik wajah damainya, kapanpun
bisa berubah menjadi sesuatu yang mengerikan dan menakutkan.
Bagaimanapun, wajah mengerikan dari agama bukanlah wajah
sejatinya. Motivasi dan keinginan rekonsiliasi antara berbagai
kelompok agama, mencerminkan sisi lain agama, peran aktif dan
positif agama. Kung sangat optimis bahwa agama memiliki
kontribusi signifikan dalam perdamaian dunia.

Disinilah peran penting pemuka agama, terutama dari arus utama


yang moderat. Karena hakikinya, agama tidak pernah mengajarkan
umatnya untuk membunuh, membakar, apalagi menjarah.
Kekerasan agama biasa hanya diajarkan dan dilakukan sekelompok
kecil ekstrimis agama. Namun disinilah ironinya, entah kenapa
kelompok kecil ini bisa memiliki pengaruh yang cukup besar dan
terkesan lebih mewakili ketimbang kelompok arus utama. Satu PR
penting bagi kelompok arus utama untuk menunjukkan bahwa
agama mereka tidaklah identik dengan kekerasan. Dan upaya ini
harus bisa menjangkau kalangan akar rumput jika tidak ingin sia-
sia.

Media massa, khususnya televisi harus menyadari besarnya


pengaruh mereka. Bias, opini pribadi, dan tidak mengindahkan azas
praduga tak bersalah harus dihindari. Dalam kasus ini, setidaknya
ada tiga kelemahan televisi-kemungkinan terjadi demi eksklusivitas
dan memenangi persaingan-kesalahan informasi mengenai eksekusi
makam, penayangan gambar yang tidak pantas, dan pengulangan
gambar-gambar yang bisa menimbulkan bias. Televisi menulis
bahwa makam akan digusur, sedangkan pihak pemerintah
mengatakan hanya akan membongkar gapura dan pendapa, bukan
makam. Dan re-chek ke pemerintah dilakukan terlambat-setelah
kerusuhan pecah. Kedua, gambar-gambar manusia dinjak-injak,
terkapat bersimbah darah, dan teriakan “bunuh!bunuh!” bukan
tidak mungkin membuat pihak yang menonton marah, tanpa
dengan tepat mengatahui duduk persoalanya menuding salah
benar. Tambahkan dengan pengulangan terus menerus gambar-
gambar ini, apa yang kita dapat?

Puluhan kilometer dari Tanjung Priok, sekelompok orang,


mungkin ratusan, menyerbu kantor dan mengancam membakar
kantor walikota di Jakarta Pusat, membuat wakil gubernur harus
dievakuasi. Bukan tidak mungkin peristiwa anarkis yang sama
dilakukan ditempat lain dengan alasan solidaritas. Beruntung
sebagian televisi cepat tanggap, mengundang pemuka-pemuka
agama yang terpandang untuk menghimbau massa. Hal yang
seharusnya dilakukan dalam situasi konflik, bukan memancing
kemarahan yang lebih luas, tapi memberikan pesan perdamaian.
Dan televisi, diatas semua medium lainnya, memiliki kemampuan
untuk itu.

Apa dan mengapa hal ini bisa terjadi?

Masyarakat adalah manusia yang menganggap dirinya orang-orang


yang harus dibela dan berkuasa atas apa yang ada ditengah-tengah
negeri ini.Pemerintah adalah orang-orang yang menganggap dirinya
memerintah dan berkuasa atas pemerintahan.Aparat Hukum adalah
orang-orang yang menganggap dirinya mengerti hukum dan
berkuasa atas hukum.

Lalu Siapa yang salah dan dimana letak kesalahan?Mari kita


pandang dari mata yang berbeda.

1. Masyarakat
Indonesia adalah orang-orang yang hidup teratur dibawah Hukum
dan pemerintahan di Negara Indonesia. Sudahkah Kita hidup
sebagai masyarakat yang teratur dan mau diatur? Pada saat
peraturan dibuat, masyarakat sangat sulit untuk mematuhi, saat
dilakukan teguran secara langsung dan halus, maka masyarakat
menganggap itu sebagai teguran yang biasa saja dan tidak perlu
dipatuhi.
Contoh :
• Memakai helm, meski sudah berjuta kali diingatkan dan diberi
sanksi, ternyata, semua itu dianggap sebagai angin lalu saja
• Pedagang Kaki Lima, meski sudah disediakan tempat dan
dilarang berjualan di daerah yang dianggap mengganggu,
begitu banyak alasan, seperti di kaki lima lebih banyak
pembeli, gratis, terkadang nurut sama aturan, tapi hanya
sehari, besok akan di ulang lagi. dll contoh yang banyak sekali
terjadi.

Kalimat yang muncul apa?


← “Saya kan rakyat, yang membayar pajak, jadi hargai saya donk,
bela saya donk !”

Seharusnya kalau anda merasa rakyat yang harus dibela, sadar


donk untuk bisa menjadi masyarakat yang teratur.Lalu berdasarkan
fakta dan kejadian di atas, berdasarkan sifat ketidakteraturan dan
sifat tidak mau diatur, sifat mau menang sendiri pada masyarakat
sendiri, apa masalah bisa terselesaikan?

2. PEMERINTAH

Indonesia adalah orang-orang yang menjadi wakil rakyat untuk


melakukan pengaturan dan pemberdayaan di tengah-tengah
Negara Indonesia. Tapi apakah Pemerintah sudah menjadi
pemerintah yang adil, tanggap dan teratur? Ternyata tidak,
Pemerintah tidak memiliki Manajemen yang baik ditengah-tengah
pemerintahannya. Negara ini sudah terlanjur jatuh dan bobrok
terlalu dalam. Sudah terlanjur berkarat penyakit KKN.
Mementingkan diri sendiri.Pemerintah belum memiliki ketegasan
Terhadap Masyarakat, pemerintah belum memiliki komunikasi yang
baik dengan masyarakat.Contoh :

• Jika saja pemerintah benar-benar bertindak tegas terhadap


masyarakat dari awal peraturan dibuat, pastinya masyarakat
tidak akan melakukan hal-hal berulang. Seperti penggunaan
Helm di jalan raya. Jelas sekali, dari awal sudah terjadi
kesalahan, Pengendara tidak mematuhi peraturan, Uang bisa
bekerja. Sudah sulit untuk mengembalikan citra yang benar
• Jika saja pemerintah sadar akan posisi dan tugasnya, Negara
ini sejahtera. Sayangnya Korupsi terlalu tinggi, pemerintah
yang mengaku pemerintah terlalu mementingkan dirinya
sendiri, memperkaya dirinya sendiri, tidak sadar jika dia telah
menelantarkan kepentingan rakyat.
• dan contoh lainnya masih sangat banyak

APARAT HUKUM

Semau saya dan sesuka saya, saya tahu hukum, dan anda tidak
tahu hukum. Pantaskah? Jika Anda aparat hukum tau dan mengerti
hukum, berikan contoh pelaksanaan hukum yang benar di negeri
ini. Masyarakat tak akan perduli hukum jika penegak hukum sendiri
sudah busuk dari dalam. Apa rakyat akan percaya? Jangan
menegakkan hukum dengan meninggalkan jejak kotor pada hukum
yang sebenarnya sudah bersih.Contoh :
• Hukum sudah disalah gunakan oleh oknum tertentu untuk
kepentingan pribadi, Sogok menyogok bagi yang memiliki
Uang
• Masyarakat tidak lagi percaya akan setiap hukum yang
berlaku dan diberlakukan. Karena dalam pikiran masyarakat,
bahwa hukum itu sudah merupakan sebuah permainan

Akhirnya Kejadian berdarah Tanjung Priok, siapa yang harus


disalahkan?

• Masyarakat sudah terlalu anti terhadap Satpol PP yang selama


ini dianggap “sewenang-wenang”, padahal masyarakat juga
ikut berkontribusi terhadap ketidak “sewenang-wenang”an
itu. Tapi tidak tersadari oleh mereka.
• Satpol PP sudah menganggap masyarakat adalah orang yang
tidak bisa diatur, termasuk mereka hanya menjalankan tugas
dan perintah dari pengadilan. Bukankah Pemerintah ikut ambil
bagian dalam Kejadian ini?

Maka mari kita bijak dalam menilai, mari kita bijak dalam
mengambil keputusan, mari kita bijak dalam menggunakan emosi
dan kata-kata, mari kita bijak dalam bertindak. Bijaklah sebagai
masyarakat dalam bertindak, berpikir dan berbuat. Baikkah
tindakan dan cara kita dalam menyikapi kondisi? Bijaklah sebagai
pemerintah yang membuat peraturan , sudah pantaskah itu
diterapkan, atau perlukan melakukan pendekatan emosional yang
lebih baik.? Turunlah ke masyarakat dan berbicaralah dari hati ke
hati. Jangan Hanya duduk di kursi empuk anda. Bijaklah sebagai
pelaksana hukum, dalam mengambil keputusan dan memutuskan.
Jangan Melihat kepada meareka yang punya uang dan berpaling
dari mereka yang kecil. Emosi akan ditunggangi oleh pihak-pihak
yang merasa berkepentingan demi mendapatkan kemauannya,
sehingga emosi akan merusak diri dan milik kita sendiri.

BAGAIMANA MEMPERBAIKI CITRA NEGATIF SATUAN PAMONG


PRAJA MENJADI CITRA POSITIF DI MATA MASYARAKAT

Menurut Pasal 136, 137, 138, 139,140, 147, 148, dan 149 Undang-
Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Pemda), dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, Satpol PP merupakan
perangkat pemda dalam memelihara dan menyelenggarakan
ketenteraman, ketertiban umum, serta menegakkan perda.

Dalam hal ini, Satpol PP merupakan aparatur yang melaksanakan


tugas kepala daerah dengan berbagai kebijakannya dalam
memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman, ketertiban
umum, menegakkan perda dan keputusan kepala daerah sekaligus
membina masyarakat demi tegaknya perda.

Tugas dari kepala daerah inilah yang terkadang melampaui batas.


Sangat tidak pas Satpol PP ditugaskan untuk mengamankan
pelaksanaan eksekusi atau terlibat langsung dalam eksekusi.
Apalagi untuk eksekusi tanah lain yang tidak ada urusannya dengan
aset pemda.

Pemberian tugas seperti itu sangat rawan menjadikan posisi Satpol


PP terjepit dan kadang harus bentrok dengan masyarakat. Lebih
ironis kalau tugas diberikan berdasarkan putusan pengadilan,
kepentingan kapitalis, sedangkan tentang kebenaran sejarah tanah,
perlindungan situs-situs sejarah, dan perlindungan hak-hak
masyarakat, dikesampingkan.

Sama halnya ketika Satpol ditugaskan menertibkan pedagang kaki


lima (PKL), sedangkan solusi tepat di balik penertibannya tidak ada
sehingga memicu terjadinya bentrok. Ironisnya, instansi yang
menangani PKL, justru banyak melemparkan tugas penertiban
kepada Satpol PP, sedangkan mereka sebenarnya punya petugas
penertiban dan ada biaya operasionalnya yang tidak kecil.

Semua itu jelas sangat tidak menguntungkan Satpol PP yang


cenderung dijadikan alat yang sering harus berbenturan dengan
masyarakat secara langsung. Muncullah kemudian kesan buruk
pada Satpol PP dan terkadang memunculkan kebencian.
Oknum yang Nakal Lebih tidak menguntungkan ketika dalam tugas,
banyak oknum Satpol PP nakal dan over acting, termasuk main
pukul, dan keroyok. Malah ada pula yang memerintahkan
melakukan penyerangan, penyerbuan, dan perusakan. Parahnya,
ketika anggota Satpol terlibat bentrok dengan massa atau terdesak,
pimpinan tidak ada dan tidak ada perintah mundur mencegah
benturan.
Lebih parah ketika bentrok, ada perintah yang justru berbalikan
dengan perintah sebelumnya. Muncullah kesan Satpol PP diadu
dengan massa. Seperti di Tanjung Priok kali ini, atau penertiban PKL
di kawasan Johar beberapa tahun lalu.

Kalau sekarang ini ada tragedi berdarah Tanjung Priok II dan jatuh
banyak korban di pihak Satpol, tentu keberadaan Satpol PP dan
tugas pokok serta fungsinya perlu ditinjau ulang. Minimal soal tugas
yang terkait pelaksanaan tugas kepala daerah dan berbagai
kebijakannya harus diberi batasan yang jelas.

Batasan ini penting agar tidak ada lagi Satpol PP ditugaskan


melakukan kegiatan yang lebih pas sebenarnya menjadi tugas Polri,
atau tugas yang berbenturan dengan aturan hukum yang
sebenarnya harus lebih dihormati. Termasuk dalam eksekusi tanah,
pembongkaran makam dan situs-situs yang dilindungi undang-
undang.

Satpol PP dengan semua anggotanya sebagai perangkat pemda


bukanlah robot. Jangan rusak hati nurani mereka, jangan rusak akal
sehat mereka, dan jangan benturkan mereka dengan masyarakat
melalui pemberian tugas yang melampaui batas kewenangannya.
Jangan adalagi anggota Satpol PP yang jadi korban perintah, apalagi
sampai luka dan meninggal dunia.

Satpol PP sudah saatnya dipimpin oleh mereka yang memang


mempunyai sikap cerdas, tegas, berani, bertanggung jawab, dan
tahu yang dibutuhkan anggota. Jangan ada pimpinan Satpol PP
hanya bisa ‘’siap’’ tanpa berani menyatakan ‘’tidak’’ ketika
diperintahkan untuk mengerahkan anggota melaksanakan tugas
yang melampaui kewenangan.
Kalau personel Satpol PP punya risiko besar di tengah tugas yang
kadang tidak dapat diterima akal sehat dan nurani, sudah saatnya
mereka mendapat perlindungan dan kesejahteraan secara baik.
Termasuk asuransi kesehatan, jiwa, dan biaya perawatan serta
jaminan hari tua atau bagi keluarga bila risiko buruk sampai terjadi
dalam pelaksanaan tugas.

Keberadaan satpol PP harus dipertahankan, hal itu adalah


konsekwensi otonomi daerah yang melembaga di struktural pemda.
bayangkan kalo setiap Perda tak ada lagi yang mengawalnya.
Kepolisian tidak bisa masuk dalam ranah kebijakan pemerintah
daerah. Setiap peraturan dimanapun itu harus ada yang
mengawalnya untuk kesejahteraan masyarakat. Sistematika fungsi
Satpol PP yang harus direformasi, bukan malah membubarkannya.
Ada evaluasi internal di Satpol PP. Bagaimana mereka menegakkan
ketertiban dan keamanan, trantib kan keamanan dan ketertiban
dengan cara-cara yang lebih persuasif. Itu paling penting, lebih
persuasif mengutamakan dialog dengan masyarakat.
2.

You might also like