You are on page 1of 7

1.

Latar Belakang Masalah


Pemanasan global adalah peristiwa naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena gas
dalam atmosfer yang menyerap sinar matahari yang dipancarkan bumi. Gas tersebut disebut gas
rumah kaca (GRK). Dengan penyerapan itu sinar panas terperangkap sehingga naiklah suhu
permukaan bumi. Sudah lama dunia politik internasional ditempatkan dalam paradigma timur vs
barat untuk menyebut sistem ideologi dan militer, developed dan developing nations untuk
menyebut sistem politik dan ekonomi, serta utara vs selatan untuk menyebut “pusat kekuasaan”.
Oposisi ini lahir dari fakta bahwa negara-negara yang sudah jauh merdeka sebelum Perang
Dunia I berkobar, kebetulan merupakan negara-negara industrialis maju dan secara geografis
terletak di utara khatulistiwa, sedangkan terminologi selatan lahir sebagai oposisi dari konsep di
atas, bahwa negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka pasca Perang Dunia II, secara
geografis terletak di bumi belahan selatan, dan konsekuensi dari kemerdekaan yang relatif belum
lama tersebut adalah tingkat kemajuan negara menuju industriliasasi pun masih berproses.
Namun kesepakatan – kesepakatan internasional yang dilaksanakan dalam kerangka United
Nations Framework Convention on Climate Change ( UNFCCC ), yang salah satunya
melahirkan Protokol Kyoto pada tahun 1997, bukanlah sebuah upaya membalikkan keadaan;
utara menjadi selatan, dan selatan menjadi utara. Hal ini dilatarbelakangi oleh kepedulian negara-
negara di dunia terhadap bumi yang semakin panas sebagai akibat dari efek rumah kaca. Kedua,
merupakan bentuk kekhawatiran negara-negara kepulauan di pasifik selatan terhadap kenaikan
permukaan laut, dan yang tak kalah pentingnya yaitu kekhawatiran Least Development
Countries ( LDCs ) atau negara-negara yang pembangunan ekonominya masih terbelakang di
Afrika terhadap perubahan iklim yang mengakibatkan kemarau berkepanjangan dan kesulitan
air. Masalah lingkungan hidup berubah posisi dari “low politics” menjadi “high politics” karena
sudah menyentuh masalah keamanan dan politik luar negeri. Lingkungan pun dipandang sebagai
sumber masalah atau pembawa konflik antar negara, contohnya krisis air yang terjadi di India
dan Timur Tengah ( migrasi besar-besaran terjadi karena tidak meratanya populasi penduduk ).
Lingkungan hidup juga erat kaitannya dengan pengambilan kebijakan suatu negara, karena
berhubungan dengan national interest negara tersebut. Dan bicara tentang lingkungan hidup
tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana caranya agar pertumbuhan ekonomi negara melonjak
naik, serta munculnya krisis lingkungan hidup yang merupakan produk kapitalisme karena
konsumsi dan produksi yang berlebihan. Negara maju adalah pihak yang paling bertanggung
jawab terhadap krisis lingkungan, melalui pola produksi dan konsumsi yang lebih
mengutamakan pertimbangan jangka pendek, yakni penggunaan GNP per kapita sebagai
indikator sukses sebuah negara dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Hal ini
kemudian mendorong negara-negara maju untuk terus meningkatkan industrialisasi di dalam
negeri yang telah menangguk keuntungan luar biasa dari eksploitasi sumber daya alam di negara
ketiga. Fakta ini semakin diperparah oleh kebijakan-kebijakan serupa yang ditempuh oleh
negara yang sedang berkembang dalam merumuskan arah pembangunannya, dimana sumber
daya alam terus menerus dieksploitasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa
memperdulikan ketersediaanya di alam, dan tanpa memperdulikan beban yang kemudian harus
ditanggung lingkungan hidup. Negara-negara berkembang yang memiliki kelimpahan tumbuhan
hijau dan hutan hujan, justru membuka lahan secara besar-besaran sebagai tempat industri
dengan menebang pohon-pohon, dalam rangka mengejar ketertinggalannya dengan negara-
negara utara; sedangkan negara-negara utara yang sejak masa revolusi industri dahulu
mementingkan industrialisasi untuk menekan pertumbuhan ekonomi, kehabisan hutan yang
sedianya dipakai untuk menyerap emisi GRK yang dihasilkan oleh industrialisasi. Fakta inilah
yang semakin mendorong dan memperbanyak kelimpahan GRK di atmosfer bumi, sehingga
sebuah upaya global untuk mempertemukan negara-negara didunia dan meminta komitmen
mereka terhadap penurunan emisi hingga dianggap mutlak.
Sebuah konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan ( UN Conference on Enviroment
and Development ) dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992 untuk rencana aksi
yang lebih konkret dalam mengelaborasi konsep dan membahas mengenai upaya untuk
menstabilkan GRK di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan
sistem iklim. Dan pada tahun 1997 Protokol Kyoto lahir di Jepang pada bulan Desember yang
merupakan amandemen yang dihasilkan oleh konferensi para pihak penandatangan UNFCCC.
Protokol yang dikenal sebagai persetujuan internasional mengenai pemanasan global ini
mengatur tentang kewajiban negara-negara industri dan negara eks USSR yang
perekonomiannya sedang dalam masa transisi menuju ekonomi pasar untuk menurunkan emisi
GRKnya secara kolektif sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2008-2012.
Dibawah Protokol Kyoto, Amerika Serikat sebagai salah satu negara penandatangan UNFCCC
tidak luput dari kewajiban untuk mengurangi emisi GRKnya hingga 7%. Amerika Serikat
meyakini bahwa hal ini akan memukul industri dalam negerinya yang sangat bergantung pada
BBF, sehingga Amerika Serikat mengambil sikap untuk mundur dari protokol dan menolak
untuk meratifikasi.
2. Identifikasi Masalah
Kepentingan nasional AS yang sangat terlihat menyangkut penolakkan Amerika Serikat terhadap
Protokol Kyoto menyangkut national well-being dan national prestige, sebagaimana yang
sudah dijelaskan sejak awal bahwa negara – negara di dunia menggunakan GNP sebagai
indikator national well-being yang diukur berdasarkan nilai total barang dan jasa yang dihasilkan
suatu negara dalam satu tahun. Meskipun tidak mencerminkan distribusi pendapatan yang
merata, namun GNP menjadi faktor utama dalam paradigma oposisi yang membagi negara-
negara dunia dalam kategori developed countries vs developing countries. Kategorisasi ini
berdampak pada tingkat demokrasi, model pemerintahan yang paling banyak didunia. Dimana
tingkat kemakmuran berbanding lurus dengan tingkat pendidikan warga negara, yang menjadi
salah satu faktor pendorong munculnya demokratisasi di suatu negara, dan pada akhirnya akan
mengubah negara tersebut menjadi demokrasi. Label demokratis menjadi faktor utama
menyangkut national prestige. Protection and Advancement of Technology dan The Pursuit
of Power menjadi alasan lain menyangkut teori kepentingan nasional Amerika Serikat menyoal
penolakkannya terhadap Protokol Kyoto. Protokol kyoto mengatur tentang financial commitment
dan emmision trading, dan sebagai derivat dari dua hal ini negara – negara maju berkewajiban
untuk melakukan transfer teknologi yang ramah lingkungan kepada negara-negara sedang
berkembang. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan dunia
terhadap BBF dan menggantinya dengan bahan bakar alternatif. Seiring dengan menguatnya
peran-peran lembaga dunia semisal World Bank dan WTO, negara-negara maju bisa “mangkir”
dari kewajiban ini dengan menggunakan Trade Related Intellectual Property Rights ( TRIPs )
sebagai dasar bertindak. Ini tidak lain sebagai usaha untuk memproteksi kemajuan teknologi, dan
jikapun transfer tersebut ada, harga yang harus dibayarkan oleh negara-negara berkembang
sangat mahal. Amerika Serikat bersama Jepang, Swizterland, Canada, Australia, Norway, dan
New Zealand yang tergabung dalam kelompok negara JUSSCANNZ menginginkan adanya
kegiatan penurunan emisi yang dapat dilakukan di luar negeri mengingat tingginya opportunity
cost yang harus dibayarkan jika semuanya harus dilakukan secara domestik. JUSSCANNZ juga
keberatan terhadap target penurunan emisi yang harus dilakukan secara ketat. Namun ketika
akhirnya beberapa negara mulai melunak dengan target penurunan emisi di dalam negeri,
Amerika Serikat tetap bersikeras tidak akan melakukan tindakan apapun. Hal ini dipahami
sebagai akibat kegiatan industrialisasi perusahaan – perusahaan besar yang menjadi tulang
punggung perekonomian Amerika Serikat yang sangat bergantung pada penggunaan BBF.
Small Group Theory menyatakan bahwa perilaku politik luar negeri suatu negara ditentukan
oleh sekelompok kecil orang yang memiliki akses tertentu terhadap sumber daya tertentu.
Mundurnya Amerika Serikat sebagai pihak peratifikasi Protokol Kyoto diakibatkan oleh lobby
kelompok bernama Global Climate Coalition yang terdiri dari koalisi perusahaan-perusahaan
besar yang bergerak di bidang eksplorasi minyak dan otomotif, yaitu Exxon Mobil Corporation,
Ford Motor Company, Royal Dutch Shell, Texaco, British Petroleum, General Motors, dan
Daimler Chrysler. Kelompok ini terbentuk sebagai respon terhadap laporan-laporan ilmiah yang
dikeluarkan oleh Intergovermental Panel on Climate Change, yaitu panel ilmiah yang ditunjuk
oleh pemerintah anggota UNFCCC untuk melakukan pengkajian terhadap perubahan iklim.
William K. Tabb dalam bukunya “Tabir Politik Globalisasi” menyebutkan bahwa, “di dalam
pemerintahan yang kebanyakkan pemain kuncinya adalah orang-orang yang pernah berkarir di
bisnis energi, bahwa upaya-upaya penggulingan bukanlah suatu kebetulan belaka”. Penggulingan
disini maksudnya adalah usaha Amerika Serikat untuk merusak semangat forum atau tidak setuju
dengan forum dengan menolak ratifikasi Protokol Kyoto. Selain itu Amerika Serikat juga
menciptakan “ protokol tandingan “ bernama Asia Pacific Partnership for Clean Development
and Climate, yang lahir bersamaan dengan pertemuan ASEAN Regional Forum, yaitu pada
tanggal 28 Juli 2005. Yang menjadi mitra AS dalam perjanjian kerjasama ini adalah Australia,
China, India, Jepang, dan Korea Selatan. Perjanjian ini mengatur mengenai kerjasama dalam
bidang pembangunan dan transfer teknologi yang membantu mengurangi emisi GRK. Tidak
seperti Protokol Kyoto, perjanjian kerjasama ini sama sekali tidak mengikat secara hukum, tidak
mengakomodir masalah menyangkut periode komitmen, serta tidak memiliki mekanisme
penataan.
3. Research Questions
Pembahasan mengenai “Protokol Kyoto” ini akan terangkum dalam research question berikut
ini, yaitu :
– Apa Tujuan dari Pembentukan Protokol Kyoto ?
– Alasan apa yang membuat AS menarik diri ?
4. Pembahasan
Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim (UNFCCC). Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk
mengurangi emisi GRK atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga atau
menambah jumlah emisi gas-gas tersebut, yamg telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika
sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara
0,02˚C dan 0,28˚C pada tahun 2050.
Selain itu Protokol kyoto juga mengatur mengenai target penurunan emisi dan memiliki
implikasi sebagai berikut :
→ mengikat secara hukum
→ adanya periode komitmen
→ digunakan pendataan untuk mencapai target
→ adanya jatah emisi
→ dimasukkannya enam jenis GRK dan disetarakan CO²
Penolakkan Amerika Serikat terhadap mekanisme Protokol Kyoto disampaikan dalam sebentuk
surat tertanggal 13 Maret 2001 terhadap anggota senat dari Partai Republik yaitu Senator Hagel,
Helms, Craig, dan Roberts. AS sendiri sempat tarik ulur menyangkut keterlibatannya sebagai
pihak yang meratifikasi protokol, hal ini terlihat dari dukungan yang diberikan Amerika Serikat
terhadap Conference of Parties ( CoP ) yaitu badan tertinngi konvensi yang berwenang untuk
membuat keputusan, sekaligus merupakan asosiasi para pihak yang meratifikasi UNFCCC. Pada
CoP6 yang diselenggarakan di Bonn, Jerman pada tahun 2001, AS telah mundur dari Protokol
Kyoto. Situasi ini sangat bertolak belakang dengan saat pidato Bill Clinton yang disiarkan secara
luas oleh CNN yang saat itu beliau mengusulkan keranjang emisi ditambah dengan beberapa zat
baru dan tingkat emisi dunia dikembalikan pada tingkat tahun 1990 dalam periode 2008-2012,
lalu sesudah itu akan diturunkan lagi. AS juga mengusulkan tentang dimasukkannya Joint
Implementation dan Emission Trading ke dalam mekanisme Protokol Kyoto, selain menekankan
mengenai pentingnya partisipasi aktif dari negara berkembang dalam pencapaian target
penurunan emisi.
Mengapa Amerika menarik diri?
Presiden Bush menarik Amerika dari protokol ini pada tahun 2001 dengan alasan
pelaksanaannya akan merusak ekonomi Amerika. Pemerintahnya menyebut traktat itu “sangat
cacat” sebagian karena tidak meminta negara-negara berkembang berjanji mengurangi emisi.
Bush mengatakan dia mendukung pengurangan emisi secara suka rela dan teknologi energi baru.
Dalam suratnya kepada para senator, Presiden Bush menekankan beberapa hal yang menjadi
alasan bagi AS untuk menolak perjanjian internasional ini karena beberapa alasan :
– Delapanpuluh persen penduduk dunia termasuk yang berpenduduk besar seperti China
dan India dibebaskan dari kewajiban menurunkan emisi.
– Implementasi Protokol Kyoto akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi AS
karena penggantian pembangkitan energi dengan batu bara menjadi gas akan sangat mahal.
– Protokol Kyoto adalah cara mengatasi masalah perubahan iklim global yang tidak adil dan
tidak kreatif.
– Karbondioksida menurut UU AS Clean Air Act tidak dianggap sebagai pencemar sehingga
secara domestik tidak perlu diatur emisinya.
– Kebenaran ilmiah perubahan iklim dan cara – cara untuk memecahkan persoalannya didukung
oleh pemahaman ilmiah yang terbatas.
Dan mengusulkan untuk :
– Meninjau kembali isu perubahan ilkim, termasuk pemahaman ilmiahnya, teknologi mitigasi,
sistem insentif dan pilihan – pilihan inovatif untk mengatasi perubahan iklim.
– Mengubah fokus pemecahan masalahnya dengan bekerja sama sekutu AS.
Dengan penolakan ini berarti AS tidak terlibat dalam target penurunan emisi
dan tidak terikat ke dalam mekanisme penataan penurunan emisi. AS juga tidak berhak
mengikuti berbagai mekanisme penurunan emisi yang diatur oleh protokol dan tidak berhak
berbicara mengenai pasal-pasal Protokol Kyoto dalam perundingan CoP, apalagi ikut mengambil
keputusan dalam CoP. Namun demikian AS masih tetap merupakan Pihak Konvensi Perubahan
Iklim sehingga mereka masih aktif dalam CoP. Sesuai dengan ketentuan Protokol kyoto, tuntutan
komitmen AS untuk menurunkan 7% dari tingkat emisi tahun 1990 sebenarnya sudah sangat
rendah dibandingkan dengan penurunan yang seharusnya dilakukan secara mutlak. China yang
dijadikan target incaran Presiden Bush justru berhaasil menurunkan emisinya sebesar 17%
selama 2 tahun ( 1997 – 1999 ). Selain itu, dipakainya Clean Air Act sebagai alasan untuk tidak
perlu mengatur emisi di dalam negeri menunjukan ketidakpedulian AS akan isu global. Setiap
negara memang memiliki perturan dan hukum nasional tersendiri namun memberlakukan hal
tersebut secara internasional sangatlah tidak relevan karena emisi tersebut tidak dapat dibatasi
agar tidak keluar dari batas fisik nasional. Emisi terbesar AS akan secara langsung
mempengaruhi sistem iklim global, tidak hanya sistem iklim di AS saja.
Mundurnya AS jelas akan mengancam efektifitas negara-negara pihak pengamandemen
UNFCCC untuk mencapai target Kyoto mengenai penurunan emisi kolektif pada periode waktu
2008-2012. Segera setelah AS mendeklarasikan penolakkannya tehadap Protokol Kyoto, EU
mengirimkan misi diplomatiknya ke Jepang, Australia, Federasi Rusia, dan Iran untuk
memelihara dukungan mereka terhadap efektivitas Protokol Kyoto. Selain itu , EU, Inggris, dan
Jepang juga mengirimkan misi yang berusaha membujuk agar AS mengubah pendiriannya
dengan membuka kemungkinan amandemen terhadap protokol, namun hal ini tidak mendapat
sambutan yang berarti. Menyikapi penolakkan pemerintahn George W. Bush terhadap ratifikasi
Protokol Kyoto, negara – negara bagian yang berada di timur laut Amerika Serikat membentuk
sebuah inisiasi regional yang diberi nama Regional Greenhouse Gas Initiative ( RGGI ) dalam
rangka mengurangi emisi GRK. Pada bulan Agustus 2005 lalu RGGI telah mengajukan program
pengurangan emisi yang akan dimulai efektif pada tahun 2005 dan ditujukan untuk menstabilkan
emisi GRK pada tingkat yang tidak membahayakan pada periode 2005-2015. Hingga 13
September 2005, tercatat sembilan negara bagian telah berpartisipasi dalam RGGI, yaitu negara
bagian Maine, Massachusetts, New Hampshire, Vermont, Rhode Island, Connecticut, New York,
New Jersey, Delaware. Sedangkan Pennsylvania, Maryland, District of Columbia, dan Eastern
Canadian Provinces masih tercatat sebagai pengamat.
Kesimpulan
Penolakan Amerika Serikat tidak kemudian menjadi penghalang bagi implementasi dan
efektivitas Protokol Kyoto. Protokol Kyoto yang telah mulai dibuka untuk ditandatangani sejak
11 Desember 1997 di Jepang telah mulai berlaku efektif sajak tanggal 16 Februari 2005 lalu.
Fakta ini menjadi catatan bahwa peran kunci yang dimainkan Amerika Serikat sebagai pengemisi
tebesar namun malah menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto, tidak kemudian menjadikan
negara – negara lain di dunia kehilangan komitmen globalnya dalam menyikapi global
warming, bahkan mereka membentuk sinergi baru dengan keluarnya Amerika Serikat dari
koalisi, yakni dengan menggandeng Federasi Rusia. Amerika Serikat mungkin merasa aman
dengan berlindung di balik jubah sovereignty ( kedaulatan ), ratifikasi tehadap Protokol Kyoto
akan mengakibatkan Amerika Serikat “melanggar” hukum nasional berupa Clean Air Act yang
telah lebih dulu diundangkan, bahwa tidak ada hukum internasional yang bisa mengikat suatu
negara karena hanya secara sukarela, dan apabila kepentingan negara terlanggar hukum
internasional maka negara itu boleh membuat undang-undang untuk melindungi kepentingannya
dan mengesampingkan hukum internasional, karena yang menang adalah undang-undang
nasional dan hukum internasional walau disetujui oleh negara bersangkutan di masa lalu,
dikalahkan. Amerika Serikat boleh menggunakan dalih apapun untuk menolak ratifikasi terhadap
Protokol Kyoto, bahkan dengan argumen bahwa hukum internasional dan perjanjian
internasional tidak memiliki payung konstitusi. Dan Regional Greenhouse Gas Initiative yang
telah diterapkan di sembilan negara bagian diharapkan dapat menjadi sebuah tekanan terhadap
pemerintahan federal untuk meratifikasi Protokol Kyoto dan memuluskan jalan bagi komitmen
negara-negara di dunia terhadap pemanasan global. Jika tidak dampak negatif dari pemanasan
global tersebut sangat fatal, karena berakibat pada :
– Terjadinya perubahan iklim sedunia yang di Indonesia saja mengakibatkan meluasnya demam
berdarah dan merenggut banyak korban, dan juga mengakibatkan terjadinya kelangkaan pangan.
– Naiknya frekuensi dan intensitas badai.
– Bertambahnya volume air laut menyebabkan tenggelamnya sebagian pulau dan tempat rendah.
Dikhawatirkan Amerika Tengah berubah menjadi gurun.
– Melelehnya es abadi di pegunungan dan Kutub Utara dan di Antartika.
– Terjadinya migrasi penduduk bumi dengan potensi kekacauan sosial umat secara global.
Daftar Pustaka
Khor, Martin. 2005. Globalisasi dan Krisis Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta : Pustaka
Rakyat
Protokol Kyoto; Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Situs Pilihan
En.wikipedia.org/wiki/KyotoProtocol
www.pk-sejahtera.org/modules/nesa/article.php?storyid=1269
Protokol Kyoto
Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global.
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran
karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi
jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan
pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-
rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003)
Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework
Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim). Ia dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk
penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai
berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November
2004.
Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:
"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara
perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif
sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu
diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada
tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%).
Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah
kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan
PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-
12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk
AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan
sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."
Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim
(UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak
dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar
tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi
UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku
terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.
Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, ia telah diratifikasi oleh 141 negara,
yang mewakili 61% dari seluruh emisi. Negara-negara tidak perlu menanda tangani persetujuan
tersebut agar dapat meratifikasinya: penanda tanganan hanyalah aksi simbolis saja. Daftar
terbaru para pihak yang telah meratifikasinya ada di sini. Menurut syarat-syarat persetujuan
protokol, ia mulai berlaku "pada hari ke-90 setelah tanggal saat di mana tidak kurang dari 55
Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada
setidaknya 55 persen dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari Pihak-pihak dalam
Annex I, telah memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau pemasukan."
Dari kedua syarat tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei 2002 ketika Islandia
meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat "55 persen" dan
menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16 Februari 2005.
Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada,
Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania
dan Bulgaria. Ada dua negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi protokol
tersebut: Amerika Serikat (tidak berminat untuk meratifikasi), dan Kazakstan. Pada awalnya AS,
Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan
strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat
mengekang. Namun pada awal Desember 2007 Australia akhirnya ikut seta meratifikasi protokol
tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan di negera tersebut.

You might also like