Pemanasan global adalah peristiwa naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena gas dalam atmosfer yang menyerap sinar matahari yang dipancarkan bumi. Gas tersebut disebut gas rumah kaca (GRK). Dengan penyerapan itu sinar panas terperangkap sehingga naiklah suhu permukaan bumi. Sudah lama dunia politik internasional ditempatkan dalam paradigma timur vs barat untuk menyebut sistem ideologi dan militer, developed dan developing nations untuk menyebut sistem politik dan ekonomi, serta utara vs selatan untuk menyebut “pusat kekuasaan”. Oposisi ini lahir dari fakta bahwa negara-negara yang sudah jauh merdeka sebelum Perang Dunia I berkobar, kebetulan merupakan negara-negara industrialis maju dan secara geografis terletak di utara khatulistiwa, sedangkan terminologi selatan lahir sebagai oposisi dari konsep di atas, bahwa negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka pasca Perang Dunia II, secara geografis terletak di bumi belahan selatan, dan konsekuensi dari kemerdekaan yang relatif belum lama tersebut adalah tingkat kemajuan negara menuju industriliasasi pun masih berproses. Namun kesepakatan – kesepakatan internasional yang dilaksanakan dalam kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change ( UNFCCC ), yang salah satunya melahirkan Protokol Kyoto pada tahun 1997, bukanlah sebuah upaya membalikkan keadaan; utara menjadi selatan, dan selatan menjadi utara. Hal ini dilatarbelakangi oleh kepedulian negara- negara di dunia terhadap bumi yang semakin panas sebagai akibat dari efek rumah kaca. Kedua, merupakan bentuk kekhawatiran negara-negara kepulauan di pasifik selatan terhadap kenaikan permukaan laut, dan yang tak kalah pentingnya yaitu kekhawatiran Least Development Countries ( LDCs ) atau negara-negara yang pembangunan ekonominya masih terbelakang di Afrika terhadap perubahan iklim yang mengakibatkan kemarau berkepanjangan dan kesulitan air. Masalah lingkungan hidup berubah posisi dari “low politics” menjadi “high politics” karena sudah menyentuh masalah keamanan dan politik luar negeri. Lingkungan pun dipandang sebagai sumber masalah atau pembawa konflik antar negara, contohnya krisis air yang terjadi di India dan Timur Tengah ( migrasi besar-besaran terjadi karena tidak meratanya populasi penduduk ). Lingkungan hidup juga erat kaitannya dengan pengambilan kebijakan suatu negara, karena berhubungan dengan national interest negara tersebut. Dan bicara tentang lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana caranya agar pertumbuhan ekonomi negara melonjak naik, serta munculnya krisis lingkungan hidup yang merupakan produk kapitalisme karena konsumsi dan produksi yang berlebihan. Negara maju adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap krisis lingkungan, melalui pola produksi dan konsumsi yang lebih mengutamakan pertimbangan jangka pendek, yakni penggunaan GNP per kapita sebagai indikator sukses sebuah negara dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Hal ini kemudian mendorong negara-negara maju untuk terus meningkatkan industrialisasi di dalam negeri yang telah menangguk keuntungan luar biasa dari eksploitasi sumber daya alam di negara ketiga. Fakta ini semakin diperparah oleh kebijakan-kebijakan serupa yang ditempuh oleh negara yang sedang berkembang dalam merumuskan arah pembangunannya, dimana sumber daya alam terus menerus dieksploitasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa memperdulikan ketersediaanya di alam, dan tanpa memperdulikan beban yang kemudian harus ditanggung lingkungan hidup. Negara-negara berkembang yang memiliki kelimpahan tumbuhan hijau dan hutan hujan, justru membuka lahan secara besar-besaran sebagai tempat industri dengan menebang pohon-pohon, dalam rangka mengejar ketertinggalannya dengan negara- negara utara; sedangkan negara-negara utara yang sejak masa revolusi industri dahulu mementingkan industrialisasi untuk menekan pertumbuhan ekonomi, kehabisan hutan yang sedianya dipakai untuk menyerap emisi GRK yang dihasilkan oleh industrialisasi. Fakta inilah yang semakin mendorong dan memperbanyak kelimpahan GRK di atmosfer bumi, sehingga sebuah upaya global untuk mempertemukan negara-negara didunia dan meminta komitmen mereka terhadap penurunan emisi hingga dianggap mutlak. Sebuah konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan ( UN Conference on Enviroment and Development ) dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992 untuk rencana aksi yang lebih konkret dalam mengelaborasi konsep dan membahas mengenai upaya untuk menstabilkan GRK di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Dan pada tahun 1997 Protokol Kyoto lahir di Jepang pada bulan Desember yang merupakan amandemen yang dihasilkan oleh konferensi para pihak penandatangan UNFCCC. Protokol yang dikenal sebagai persetujuan internasional mengenai pemanasan global ini mengatur tentang kewajiban negara-negara industri dan negara eks USSR yang perekonomiannya sedang dalam masa transisi menuju ekonomi pasar untuk menurunkan emisi GRKnya secara kolektif sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2008-2012. Dibawah Protokol Kyoto, Amerika Serikat sebagai salah satu negara penandatangan UNFCCC tidak luput dari kewajiban untuk mengurangi emisi GRKnya hingga 7%. Amerika Serikat meyakini bahwa hal ini akan memukul industri dalam negerinya yang sangat bergantung pada BBF, sehingga Amerika Serikat mengambil sikap untuk mundur dari protokol dan menolak untuk meratifikasi. 2. Identifikasi Masalah Kepentingan nasional AS yang sangat terlihat menyangkut penolakkan Amerika Serikat terhadap Protokol Kyoto menyangkut national well-being dan national prestige, sebagaimana yang sudah dijelaskan sejak awal bahwa negara – negara di dunia menggunakan GNP sebagai indikator national well-being yang diukur berdasarkan nilai total barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam satu tahun. Meskipun tidak mencerminkan distribusi pendapatan yang merata, namun GNP menjadi faktor utama dalam paradigma oposisi yang membagi negara- negara dunia dalam kategori developed countries vs developing countries. Kategorisasi ini berdampak pada tingkat demokrasi, model pemerintahan yang paling banyak didunia. Dimana tingkat kemakmuran berbanding lurus dengan tingkat pendidikan warga negara, yang menjadi salah satu faktor pendorong munculnya demokratisasi di suatu negara, dan pada akhirnya akan mengubah negara tersebut menjadi demokrasi. Label demokratis menjadi faktor utama menyangkut national prestige. Protection and Advancement of Technology dan The Pursuit of Power menjadi alasan lain menyangkut teori kepentingan nasional Amerika Serikat menyoal penolakkannya terhadap Protokol Kyoto. Protokol kyoto mengatur tentang financial commitment dan emmision trading, dan sebagai derivat dari dua hal ini negara – negara maju berkewajiban untuk melakukan transfer teknologi yang ramah lingkungan kepada negara-negara sedang berkembang. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan dunia terhadap BBF dan menggantinya dengan bahan bakar alternatif. Seiring dengan menguatnya peran-peran lembaga dunia semisal World Bank dan WTO, negara-negara maju bisa “mangkir” dari kewajiban ini dengan menggunakan Trade Related Intellectual Property Rights ( TRIPs ) sebagai dasar bertindak. Ini tidak lain sebagai usaha untuk memproteksi kemajuan teknologi, dan jikapun transfer tersebut ada, harga yang harus dibayarkan oleh negara-negara berkembang sangat mahal. Amerika Serikat bersama Jepang, Swizterland, Canada, Australia, Norway, dan New Zealand yang tergabung dalam kelompok negara JUSSCANNZ menginginkan adanya kegiatan penurunan emisi yang dapat dilakukan di luar negeri mengingat tingginya opportunity cost yang harus dibayarkan jika semuanya harus dilakukan secara domestik. JUSSCANNZ juga keberatan terhadap target penurunan emisi yang harus dilakukan secara ketat. Namun ketika akhirnya beberapa negara mulai melunak dengan target penurunan emisi di dalam negeri, Amerika Serikat tetap bersikeras tidak akan melakukan tindakan apapun. Hal ini dipahami sebagai akibat kegiatan industrialisasi perusahaan – perusahaan besar yang menjadi tulang punggung perekonomian Amerika Serikat yang sangat bergantung pada penggunaan BBF. Small Group Theory menyatakan bahwa perilaku politik luar negeri suatu negara ditentukan oleh sekelompok kecil orang yang memiliki akses tertentu terhadap sumber daya tertentu. Mundurnya Amerika Serikat sebagai pihak peratifikasi Protokol Kyoto diakibatkan oleh lobby kelompok bernama Global Climate Coalition yang terdiri dari koalisi perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang eksplorasi minyak dan otomotif, yaitu Exxon Mobil Corporation, Ford Motor Company, Royal Dutch Shell, Texaco, British Petroleum, General Motors, dan Daimler Chrysler. Kelompok ini terbentuk sebagai respon terhadap laporan-laporan ilmiah yang dikeluarkan oleh Intergovermental Panel on Climate Change, yaitu panel ilmiah yang ditunjuk oleh pemerintah anggota UNFCCC untuk melakukan pengkajian terhadap perubahan iklim. William K. Tabb dalam bukunya “Tabir Politik Globalisasi” menyebutkan bahwa, “di dalam pemerintahan yang kebanyakkan pemain kuncinya adalah orang-orang yang pernah berkarir di bisnis energi, bahwa upaya-upaya penggulingan bukanlah suatu kebetulan belaka”. Penggulingan disini maksudnya adalah usaha Amerika Serikat untuk merusak semangat forum atau tidak setuju dengan forum dengan menolak ratifikasi Protokol Kyoto. Selain itu Amerika Serikat juga menciptakan “ protokol tandingan “ bernama Asia Pacific Partnership for Clean Development and Climate, yang lahir bersamaan dengan pertemuan ASEAN Regional Forum, yaitu pada tanggal 28 Juli 2005. Yang menjadi mitra AS dalam perjanjian kerjasama ini adalah Australia, China, India, Jepang, dan Korea Selatan. Perjanjian ini mengatur mengenai kerjasama dalam bidang pembangunan dan transfer teknologi yang membantu mengurangi emisi GRK. Tidak seperti Protokol Kyoto, perjanjian kerjasama ini sama sekali tidak mengikat secara hukum, tidak mengakomodir masalah menyangkut periode komitmen, serta tidak memiliki mekanisme penataan. 3. Research Questions Pembahasan mengenai “Protokol Kyoto” ini akan terangkum dalam research question berikut ini, yaitu : – Apa Tujuan dari Pembentukan Protokol Kyoto ? – Alasan apa yang membuat AS menarik diri ? 4. Pembahasan Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga atau menambah jumlah emisi gas-gas tersebut, yamg telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02˚C dan 0,28˚C pada tahun 2050. Selain itu Protokol kyoto juga mengatur mengenai target penurunan emisi dan memiliki implikasi sebagai berikut : → mengikat secara hukum → adanya periode komitmen → digunakan pendataan untuk mencapai target → adanya jatah emisi → dimasukkannya enam jenis GRK dan disetarakan CO² Penolakkan Amerika Serikat terhadap mekanisme Protokol Kyoto disampaikan dalam sebentuk surat tertanggal 13 Maret 2001 terhadap anggota senat dari Partai Republik yaitu Senator Hagel, Helms, Craig, dan Roberts. AS sendiri sempat tarik ulur menyangkut keterlibatannya sebagai pihak yang meratifikasi protokol, hal ini terlihat dari dukungan yang diberikan Amerika Serikat terhadap Conference of Parties ( CoP ) yaitu badan tertinngi konvensi yang berwenang untuk membuat keputusan, sekaligus merupakan asosiasi para pihak yang meratifikasi UNFCCC. Pada CoP6 yang diselenggarakan di Bonn, Jerman pada tahun 2001, AS telah mundur dari Protokol Kyoto. Situasi ini sangat bertolak belakang dengan saat pidato Bill Clinton yang disiarkan secara luas oleh CNN yang saat itu beliau mengusulkan keranjang emisi ditambah dengan beberapa zat baru dan tingkat emisi dunia dikembalikan pada tingkat tahun 1990 dalam periode 2008-2012, lalu sesudah itu akan diturunkan lagi. AS juga mengusulkan tentang dimasukkannya Joint Implementation dan Emission Trading ke dalam mekanisme Protokol Kyoto, selain menekankan mengenai pentingnya partisipasi aktif dari negara berkembang dalam pencapaian target penurunan emisi. Mengapa Amerika menarik diri? Presiden Bush menarik Amerika dari protokol ini pada tahun 2001 dengan alasan pelaksanaannya akan merusak ekonomi Amerika. Pemerintahnya menyebut traktat itu “sangat cacat” sebagian karena tidak meminta negara-negara berkembang berjanji mengurangi emisi. Bush mengatakan dia mendukung pengurangan emisi secara suka rela dan teknologi energi baru. Dalam suratnya kepada para senator, Presiden Bush menekankan beberapa hal yang menjadi alasan bagi AS untuk menolak perjanjian internasional ini karena beberapa alasan : – Delapanpuluh persen penduduk dunia termasuk yang berpenduduk besar seperti China dan India dibebaskan dari kewajiban menurunkan emisi. – Implementasi Protokol Kyoto akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi AS karena penggantian pembangkitan energi dengan batu bara menjadi gas akan sangat mahal. – Protokol Kyoto adalah cara mengatasi masalah perubahan iklim global yang tidak adil dan tidak kreatif. – Karbondioksida menurut UU AS Clean Air Act tidak dianggap sebagai pencemar sehingga secara domestik tidak perlu diatur emisinya. – Kebenaran ilmiah perubahan iklim dan cara – cara untuk memecahkan persoalannya didukung oleh pemahaman ilmiah yang terbatas. Dan mengusulkan untuk : – Meninjau kembali isu perubahan ilkim, termasuk pemahaman ilmiahnya, teknologi mitigasi, sistem insentif dan pilihan – pilihan inovatif untk mengatasi perubahan iklim. – Mengubah fokus pemecahan masalahnya dengan bekerja sama sekutu AS. Dengan penolakan ini berarti AS tidak terlibat dalam target penurunan emisi dan tidak terikat ke dalam mekanisme penataan penurunan emisi. AS juga tidak berhak mengikuti berbagai mekanisme penurunan emisi yang diatur oleh protokol dan tidak berhak berbicara mengenai pasal-pasal Protokol Kyoto dalam perundingan CoP, apalagi ikut mengambil keputusan dalam CoP. Namun demikian AS masih tetap merupakan Pihak Konvensi Perubahan Iklim sehingga mereka masih aktif dalam CoP. Sesuai dengan ketentuan Protokol kyoto, tuntutan komitmen AS untuk menurunkan 7% dari tingkat emisi tahun 1990 sebenarnya sudah sangat rendah dibandingkan dengan penurunan yang seharusnya dilakukan secara mutlak. China yang dijadikan target incaran Presiden Bush justru berhaasil menurunkan emisinya sebesar 17% selama 2 tahun ( 1997 – 1999 ). Selain itu, dipakainya Clean Air Act sebagai alasan untuk tidak perlu mengatur emisi di dalam negeri menunjukan ketidakpedulian AS akan isu global. Setiap negara memang memiliki perturan dan hukum nasional tersendiri namun memberlakukan hal tersebut secara internasional sangatlah tidak relevan karena emisi tersebut tidak dapat dibatasi agar tidak keluar dari batas fisik nasional. Emisi terbesar AS akan secara langsung mempengaruhi sistem iklim global, tidak hanya sistem iklim di AS saja. Mundurnya AS jelas akan mengancam efektifitas negara-negara pihak pengamandemen UNFCCC untuk mencapai target Kyoto mengenai penurunan emisi kolektif pada periode waktu 2008-2012. Segera setelah AS mendeklarasikan penolakkannya tehadap Protokol Kyoto, EU mengirimkan misi diplomatiknya ke Jepang, Australia, Federasi Rusia, dan Iran untuk memelihara dukungan mereka terhadap efektivitas Protokol Kyoto. Selain itu , EU, Inggris, dan Jepang juga mengirimkan misi yang berusaha membujuk agar AS mengubah pendiriannya dengan membuka kemungkinan amandemen terhadap protokol, namun hal ini tidak mendapat sambutan yang berarti. Menyikapi penolakkan pemerintahn George W. Bush terhadap ratifikasi Protokol Kyoto, negara – negara bagian yang berada di timur laut Amerika Serikat membentuk sebuah inisiasi regional yang diberi nama Regional Greenhouse Gas Initiative ( RGGI ) dalam rangka mengurangi emisi GRK. Pada bulan Agustus 2005 lalu RGGI telah mengajukan program pengurangan emisi yang akan dimulai efektif pada tahun 2005 dan ditujukan untuk menstabilkan emisi GRK pada tingkat yang tidak membahayakan pada periode 2005-2015. Hingga 13 September 2005, tercatat sembilan negara bagian telah berpartisipasi dalam RGGI, yaitu negara bagian Maine, Massachusetts, New Hampshire, Vermont, Rhode Island, Connecticut, New York, New Jersey, Delaware. Sedangkan Pennsylvania, Maryland, District of Columbia, dan Eastern Canadian Provinces masih tercatat sebagai pengamat. Kesimpulan Penolakan Amerika Serikat tidak kemudian menjadi penghalang bagi implementasi dan efektivitas Protokol Kyoto. Protokol Kyoto yang telah mulai dibuka untuk ditandatangani sejak 11 Desember 1997 di Jepang telah mulai berlaku efektif sajak tanggal 16 Februari 2005 lalu. Fakta ini menjadi catatan bahwa peran kunci yang dimainkan Amerika Serikat sebagai pengemisi tebesar namun malah menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto, tidak kemudian menjadikan negara – negara lain di dunia kehilangan komitmen globalnya dalam menyikapi global warming, bahkan mereka membentuk sinergi baru dengan keluarnya Amerika Serikat dari koalisi, yakni dengan menggandeng Federasi Rusia. Amerika Serikat mungkin merasa aman dengan berlindung di balik jubah sovereignty ( kedaulatan ), ratifikasi tehadap Protokol Kyoto akan mengakibatkan Amerika Serikat “melanggar” hukum nasional berupa Clean Air Act yang telah lebih dulu diundangkan, bahwa tidak ada hukum internasional yang bisa mengikat suatu negara karena hanya secara sukarela, dan apabila kepentingan negara terlanggar hukum internasional maka negara itu boleh membuat undang-undang untuk melindungi kepentingannya dan mengesampingkan hukum internasional, karena yang menang adalah undang-undang nasional dan hukum internasional walau disetujui oleh negara bersangkutan di masa lalu, dikalahkan. Amerika Serikat boleh menggunakan dalih apapun untuk menolak ratifikasi terhadap Protokol Kyoto, bahkan dengan argumen bahwa hukum internasional dan perjanjian internasional tidak memiliki payung konstitusi. Dan Regional Greenhouse Gas Initiative yang telah diterapkan di sembilan negara bagian diharapkan dapat menjadi sebuah tekanan terhadap pemerintahan federal untuk meratifikasi Protokol Kyoto dan memuluskan jalan bagi komitmen negara-negara di dunia terhadap pemanasan global. Jika tidak dampak negatif dari pemanasan global tersebut sangat fatal, karena berakibat pada : – Terjadinya perubahan iklim sedunia yang di Indonesia saja mengakibatkan meluasnya demam berdarah dan merenggut banyak korban, dan juga mengakibatkan terjadinya kelangkaan pangan. – Naiknya frekuensi dan intensitas badai. – Bertambahnya volume air laut menyebabkan tenggelamnya sebagian pulau dan tempat rendah. Dikhawatirkan Amerika Tengah berubah menjadi gurun. – Melelehnya es abadi di pegunungan dan Kutub Utara dan di Antartika. – Terjadinya migrasi penduduk bumi dengan potensi kekacauan sosial umat secara global. Daftar Pustaka Khor, Martin. 2005. Globalisasi dan Krisis Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta : Pustaka Rakyat Protokol Kyoto; Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Situs Pilihan En.wikipedia.org/wiki/KyotoProtocol www.pk-sejahtera.org/modules/nesa/article.php?storyid=1269 Protokol Kyoto Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata- rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003) Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Ia dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004. Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB: "Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008- 12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia." Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC. Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, ia telah diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61% dari seluruh emisi. Negara-negara tidak perlu menanda tangani persetujuan tersebut agar dapat meratifikasinya: penanda tanganan hanyalah aksi simbolis saja. Daftar terbaru para pihak yang telah meratifikasinya ada di sini. Menurut syarat-syarat persetujuan protokol, ia mulai berlaku "pada hari ke-90 setelah tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55 persen dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari Pihak-pihak dalam Annex I, telah memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau pemasukan." Dari kedua syarat tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei 2002 ketika Islandia meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat "55 persen" dan menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Ada dua negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi protokol tersebut: Amerika Serikat (tidak berminat untuk meratifikasi), dan Kazakstan. Pada awalnya AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. Namun pada awal Desember 2007 Australia akhirnya ikut seta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan di negera tersebut.