Professional Documents
Culture Documents
I. Rambu Solo
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting,
karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal
tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat
dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks ini,
upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun
masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada
orang tua mereka yang meninggal dunia. Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan
oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang
dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya.
Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara
24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50
ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan.
Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada
keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan
ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa
menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini.
Keistimewaan
1
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang
dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa
rangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses
pembungkusan jenazah (ma‘tudan, mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas
dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk
disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat
peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Sejumlah warga menari Ma' Dondo menjelang prosesi Mangarara Banua di Desa
Kadundung, Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Kamis (21/8). Mangarara Banua
2
merupakan salah satu prosesi Rambu Tuka' yang berupa upacara syukur pasca
penggantian atap rumah adat Tongkonan. Sedangkan pada acara adat Rambu Tuka' yaitu
acara yang berhubungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran
panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang baru selesai
direnovasi. Acara ini menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat
ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua. Upacara ini terkenal dengan
nama Ma’Bua;, Meroek atau Mangrara Banua Sura’. Tanah Toraja yang terletak sekitar
350 km sebelah Utara Makassar memang memiliki sebuah bangunan atau rumah adat
yang sangat terkenal dengan ke-khasan bentuknya, yang bernama Tongkonan. Atapnya
terbuat dari daun nipa atau kelapa dan mampu bertahan sampai 50 tahun. Tongkonan ini
juga memiliki strata sesuai dengan derajat
kebangsawanan masyarakat seperti strata
emas, perunggu, besi dan kuningan.
Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang
pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng
Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau 20 September
1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun upacara ini belum
dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung
Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan
upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha.
Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng
Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam
Jantan dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni
penyembelihan hewan kurban.
Keistimewaan
Yang menarik dari pelakasanaan upacara Accera Kalompoang adalah pada saat
penimbangan salokoa atau mahkota emas murni seberat 1.768 gram dengan diameter 30
cm dan berhias 250 butir berlian. Penimbangan mahkota tersebut sangat penting bagi
petinggi dan masyarakat Gowa, karena penimbangan itu merupakan petunjuk bagi
kehidupan mereka di masa yang akan datang. Mahkota tersebut tidak pernah diperbaiki
dengan menambah atau mengurangi timbangannya, namun uniknya, pada saat
penimbangan dilakukan dalam upacara Accera Kalompoan ini, timbangan mahkota
tersebut sering berubah-ubah, terkadang berkurang dan terkadang pula lebih. Jika
timbangan mahkota tersebut berkurang, maka itu menjadi pertanda akan terjadi bencana
di negeri mereka. Pernah suatu ketika, timbangan mahkota tersebut berkurang dan
terbukti terjadi tanah longsor di Bawakaraeng yang menelan puluhan korban.
Sebaliknya, jika timbangan mahkota tersebut bertambah, maka itu menjadi pertanda
kemakmuran akan datang bagi masyarakat Gowa. Suatu ketika, mahkota yang beratnya
kurang dari 2 kilogram ini tidak dapat diangkat oleh siapa pun, bahkan 4 orang sekaligus
berusaha mengangkatnya, namun tetap saja tidak sanggup.