You are on page 1of 4

UPACARA ADAT DI SULAWESI SELATAN

I. Rambu Solo

Rambu Solo adalah upacara adat kematian


masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk
menghormati dan mengantarkan arwah orang yang
meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali
kepada keabadian bersama para leluhur mereka di
sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya,
yang terletak di bagian selatan tempat tinggal
manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara
penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian,
karena orang yang meninggal baru dianggap benar-
benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini
digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai
orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup,
yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan
selalu diajak berbicara.

Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting,
karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal
tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat
dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks ini,
upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun
masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada
orang tua mereka yang meninggal dunia. Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan
oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang
dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya.
Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara
24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50
ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan.
Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada
keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan
ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa
menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini.

Keistimewaan
1
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang
dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa
rangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses
pembungkusan jenazah (ma‘tudan, mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas
dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk
disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat
peristirahatan terakhir (ma‘palao).

Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi


budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu
kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang
akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum
disembelih; dan adu kaki (sisemba). Dalam
upacara tersebut juga dipentaskan beberapa musik,
seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong;
serta beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi,
pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan, passailo dan
pa‘pasilaga tedong. Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik
dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas leher kerbau hanya
dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi
kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor.

II. RAMBU TUKA

Pesona alam Tana Toraja memang


terkenal sangat indah dan asri, sehingga dijuluki
objek wisata primadona, untuk di Sulawesi
Selatan dan Indonesia bagian Timur. Julukan ini
pantas karena Tana Toraja sejak tahun 1960
telah dikenal oleh para tourist dari berbagai
mancanegara. Selain keindahan panorama
alamnya yang indah dan udara yang sejuk, Tana
Toraja juga memiliki kesenian dan kerajinan
tangan yang unik dan bernilai seni yang tinggi, keramahtamahan penduduk dan kaya
dengan tradisi budaya yang unik dan menarik, seperti acara adat Rambu Solo, Rambu
Tuka, dan salah satu ritual yang termasuk langka di Tana Toraja yaitu Ma’Nene’, yaitu
sebuah tradisi kegiatan ritual yang dilaksanakan untuk mewujudkan rasa cinta kasih
mereka kepada leluhurnya yang sudah meninggal, dengan cara berkunjung ke
pemakaman untuk membuka kembali peti-peti mati leluhur mereka untuk mengganti
sarung atau pakaian serta menjemur mayat-mayat leluhur mereka.

Sejumlah warga menari Ma' Dondo menjelang prosesi Mangarara Banua di Desa
Kadundung, Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Kamis (21/8). Mangarara Banua
2
merupakan salah satu prosesi Rambu Tuka' yang berupa upacara syukur pasca
penggantian atap rumah adat Tongkonan. Sedangkan pada acara adat Rambu Tuka' yaitu
acara yang berhubungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran
panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang baru selesai
direnovasi. Acara ini menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat
ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua. Upacara ini terkenal dengan
nama Ma’Bua;, Meroek atau Mangrara Banua Sura’. Tanah Toraja yang terletak sekitar
350 km sebelah Utara Makassar memang memiliki sebuah bangunan atau rumah adat
yang sangat terkenal dengan ke-khasan bentuknya, yang bernama Tongkonan. Atapnya
terbuat dari daun nipa atau kelapa dan mampu bertahan sampai 50 tahun. Tongkonan ini
juga memiliki strata sesuai dengan derajat
kebangsawanan masyarakat seperti strata
emas, perunggu, besi dan kuningan.

Sejumlah warga menari Ma' Dondo


menjelang prosesi Mangarara Banua di
Desa Kadundung, Rantepao, Tana Toraja,
Sulawesi Selatan, Kamis (21/8). Mangarara
Banua merupakan salah satu prosesi Rambu
Tuka' yang berupa upacara syukur pasca penggantian atap rumah adat Tongkonan. Untuk
upacara adat adat Rambu Tuka' ini diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu
Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra',
Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'.
Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu)
ditampilkan pada acara adat ini.

III. ACCERA KALOMPONG

Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda


pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari
upacara ini adalah allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa
(mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja
Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa
berikutnya. Adapun benda-benda kerajaan yang dibersihkan di antaranya: tombak rotan
berambut ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi tua (lasippo), keris emas yang
memakai permata (tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa
(sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran
(kolara), anting-anting emas murni (bangkarak ta‘roe), dan kancing emas (kancing
gaukang). Selain benda-benda pusaka tersebut, juga ada beberapa benda impor yang
tersimpan di Museum Balla Lompoa turut dibersihkan, seperti: kalung dari Kerajaan
Zulu, Filipina, pada abad XVI; tiga tombak emas; parang panjang (berang manurung);
penning emas murni pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M.; dan medali emas
pemberian Belanda.
3
Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang diawali
dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta upacara yang
dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar). Khusus untuk senjata-senjata
pusaka seperti keris, parang dan mata tombak, pencuciannya diperlakukan secara
khusus, yakni digosok dengan minyak wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis.
Pelaksanaan upacara ini tidak hanya disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa,
tetapi juga oleh masyarakat umum dengan syarat harus berpakaian adat Makassar pada
saat acara.

Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang
pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng
Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau 20 September
1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun upacara ini belum
dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung
Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan
upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha.
Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng
Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam
Jantan dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni
penyembelihan hewan kurban.

Keistimewaan

Yang menarik dari pelakasanaan upacara Accera Kalompoang adalah pada saat
penimbangan salokoa atau mahkota emas murni seberat 1.768 gram dengan diameter 30
cm dan berhias 250 butir berlian. Penimbangan mahkota tersebut sangat penting bagi
petinggi dan masyarakat Gowa, karena penimbangan itu merupakan petunjuk bagi
kehidupan mereka di masa yang akan datang. Mahkota tersebut tidak pernah diperbaiki
dengan menambah atau mengurangi timbangannya, namun uniknya, pada saat
penimbangan dilakukan dalam upacara Accera Kalompoan ini, timbangan mahkota
tersebut sering berubah-ubah, terkadang berkurang dan terkadang pula lebih. Jika
timbangan mahkota tersebut berkurang, maka itu menjadi pertanda akan terjadi bencana
di negeri mereka. Pernah suatu ketika, timbangan mahkota tersebut berkurang dan
terbukti terjadi tanah longsor di Bawakaraeng yang menelan puluhan korban.
Sebaliknya, jika timbangan mahkota tersebut bertambah, maka itu menjadi pertanda
kemakmuran akan datang bagi masyarakat Gowa. Suatu ketika, mahkota yang beratnya
kurang dari 2 kilogram ini tidak dapat diangkat oleh siapa pun, bahkan 4 orang sekaligus
berusaha mengangkatnya, namun tetap saja tidak sanggup.

You might also like