You are on page 1of 14

Reformasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah:
Tinjauan terhadap RUU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Oleh:
Armida S. Alisjahbana*
Disampaikan pada
“Lokakarya Nasional Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah”
Bandung, 24 April 1999
* KetuaJurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, Jl.
Dipati
Ukur no. 35, Bandung 40132. Makalah ini merupakan revisi atas makalah: “Otonomi Daerah dan
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang disampaikan penulis pada Seminar
Nasional “Platform untuk Masa Depan Ekonomi Indonesia” diselenggarakan oleh ISEI Cabang
Bandung
dan LPEM FE-UI, Bandung 25 Maret 1999.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
2
Reformasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah:
Tinjauan terhadap RUU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Oleh:
Armida S. Alisjahbana*
1. Pendahuluan
RUU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
merupakan respons pemerintah terhadap berbagai tuntutan masyarakat tentang
reformasi
hubungan keuangan Pusat-Daerah. Tuntutan ini sangat gencar dilakukan oleh Daerah,
terutama daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. RUU ini merupakan
penjabaran lebih lanjut dari Tap MPR nomor XV tentang penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. RUU ini disusun bersama-sama dengan RUU tentang
Pemerintahan Daerah yaitu RUU yang diharapkan akan mengganti kedudukan
Undangundang
nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah dan
Undangundang
nomor 5 tahun 1979 yang mengatur tentang Pemerintahan Desa.
Baik RUU Pemerintahan Daerah maupun RUU tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah saat ini sudah sampai pada tahap akhir
pembahasan
di DPR. Bahkan RUU Pemerintahan Daerah sudah mendapat persetujuan DPR
beberapa
hari yang lalu untuk dijadikan Undang-undang. Dengan demikian kedua RUU
diperkirakan hendak dijadikan Undang-undang pada masa pemerintahan yang
sekarang,
sehingga tidak menunggu hasil Pemilihan Umum Juni 1999. Mengingat kedua RUU
ini
akan mengatur penyelenggaraan pemerintahan, khususnya pemerintahan daerah, yang
dikaitkan dengan implikasi keuangan dari penyelenggaraan pemerintahan tersebut,
maka
berikut ini akan dibahas: pertama, pola hubungan keuangan Pusat Daerah yang
berlaku
selama ini, kedua, pokok-pokok RUU tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah
Pusat dan Daerah termasuk pokok-pokok penyelenggaran otonomi daerah yang
* KetuaJurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Jl.
Dipati
Ukur no. 35, Bandung 40132.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
3
mendasari RUU tersebut, dan ketiga, tinjauan atas RUU tentang Perimbangan
Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah berdasarkan naskah Maret 1999 (serta beberapa
informasi tambahan dari pembahasan RUU tersebut di DPR yang disiarkan media
massa).
2. Pola hubungan keuangan Pusat-Daerah yang berlaku selama ini
Hubungan keuangan Pusat-Daerah yang berlaku selama ini dapat dilihat dari pola
sentralisasi baik dari segi penerimaan maupun pengeluaran pemerintah, seringkali
dijumpainya kerancuan pembiayaan dalam pelaksanaan azas-azas penyelenggaran
pemerintahan daerah, dan mekanisme transfer pemerintah pusat ke daerah yang
sangat
ditentukan oleh keinginan pusat.
Sentralisasi penerimaan dan pengeluaran pemerintah
Indonesia sebagai negara kesatuan terdiri dari tiga tingkat pemerintahan: Pusat,
Dati I, dan Dati II dimana pemerintah daerah mengemban tugas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas perbantuan. Hal ini membawa konsekuensi pada hubungan
keuangan antar tingkat pemerintahan yang ditandai oleh sentralisasi penerimaan dan
pengeluaran pemerintah.
Berdasarkan data tahun 1995/96, penerimaan pemerintah pusat (rutin dan
pembangunan) merupakan 78 persen dari total penerimaan semua tingkatan
pemerintahan
(lihat Tabel 1). Hanya sekitar, masing-masing 10 persen yang merupakan penerimaan
di
tingkat pemerintah Dati I dan Dati II.
Tabel 1
Penerimaan Pemerintah Pusat, Dati I, dan Dati II
(Rp. milyar)
Tingkat pemerintahan 1990-91 1995-96
Pusat
Daerah Tingkat I
Daerah Tingkat II
Desa
49.451 (82,9%)
5.455 (9,1%)
4.117 (6,9%)
660 (1,1%)
78.024 (78%)
11.313 (10,5%)
11.203 (10,5%)
990 (1%)
Sumber: RAPBN berbagai tahun
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
4
Pola yang sama dapat kita amati untuk penerimaan pajak dan non-pajak menurut
tingkatan pemerintahan. Pajak-pajak yang besar dan potensial, seperti: Pajak
Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Ekspor, Bea Masuk, Cukai merupakan
pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Sumber penerimaan ini merupakan
sekitar
90 persen dari penerimaan total pemerintah di tahun 1995/96. Hanya sekitar 10 persen
penerimaan total pemerintah yang berasal dari pendapatan di tingkat Dati I dan Dati
II.
Di sisi pengeluaran, kita juga melihat pola pengeluaran yang sentralistis, dimana
pusat memiliki kewenangan yang besar dalam menentukan pengeluaran rutin dan
pembangunan di setiap tingkatan pemerintahan termasuk di tingkat daerah.
Mekanisme
pemberian dana pemerintah pusat untuk pembiayaan pembangunan daerah terbagi ke
dalam:
Dana pengeluaran pembangunan Daftar Isian Proyek (DIP) sektoral APBN dibawah
wewenang Bappenas dan departemen sektoral. Dana DIP yang merupakan bagian
terbesar dari pembiayaan pembangunan yang berasal dari pusat, tidak melalui
anggaran APBD dan peran serta partisipasi daerah sangat terbatas.
Sumbangan pemerintah dalam bentuk transfer Subsidi Daerah Otonom (SDO) untuk
membiayai pengeluaran rutin Dati I dan Dati II, yang terdiri dari gaji pegawai negeri,
belanja pegawai, dan belanja lainnya. Nilai transfer SDO merupakan rata-rata 75
persen dari total transfer berupa sumbangan dan bantuan pusat ke daerah.
Dana Inpres sebagai bantuan pembangunan yang diberikan pusat ke Dati I dan Dati
II
yang terdiri dari Inpres umum (block grant) dan Inpres khusus (specific grant). Nilai
bantuan Inpres merupakan sekitar 25 persen dari nilai total transfer berupa
sumbangan dan bantuan pusat ke daerah.
Disamping pembiayaan pembangunan daerah yang berasal dari pembiayaan
anggaran APBN untuk proyek DIP sektoral, dan pembiayaan Inpres bantuan
pembangunan, sebagian pembiayaan juga bersumber dari daerah sendiri berupa
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Meskipun persentase pembiayaan pembangunan
daerah
yang berasal dari PAD relatif kecil (sekitar 30 persen) dibandingkan dengan
pembiayaan
DIP sektoral dan Inpres bantuan pembangunan, tetapi sumber PAD memiliki arti yang
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
5
strategis karena digunakan untuk membiayai proyek/program pembangunan yang
direncanakan daerah sendiri.
Dengan pola pengembalian dana yang ditarik Pusat ke Daerah serta Pendapatan
Asli Daerah yang berlaku selama ini, maka dari total penerimaan negara di seluruh
tingkatan pemerintahan yang kembali ke daerah adalah sekitar 25 persen dengan
perincian sebagai berikut (Depdagri, 1998):
SDO:12 persen
Inpres (sekarang Bantuan Pembangunan Daerah): 7 persen
Bagi hasil pajak dan bukan pajak: 0,3 persen
Pendapatan Asli Daerah: 5 persen
Kerancuan pembiayaan dalam pelaksanaan azas-azas penyelenggaran pemerintahan
daerah
Sampai saat ini belum terdapat sistem yang jelas tentang tata cara pembiayaan
ketiga azas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu azas desentralisasi, azas
dekonsentrasi dan tugas perbantuan (Hirawan, 1998). Seringkali ditemui kerancuan
dalam pelaksanaan pembiayaan pembangunan atas dasar ketiga azas tersebut sebagai
berikut:
1. Berbagai tugas yang seharusnya merupakan urusan Pemda dalam rangka
desentralisasi, ternyata dilaksanakan oleh Departemen sektoral dan dibiayai melalui
DIP Departemen tersebut.
2. Beberapa urusan Pemerintah Pusat yang dilaksanakan Pemda dalam rangka tugas
perbantuan, dibiayai sebagian atau seluruhnya dari Pendapatan Asli Daerah, padahal
seharusnya dibiayai dari sumber dana tingkat pemerintahan yang menugaskannya.
3. Berbagai tugas yang dilaksanakan instansi vertikal Pusat di daerah dalam rangka
azas
dekonsentrasi dibiayai dari dana APBD.
Kerancuan penggunaan dana APBD untuk membiayai ketiga azas penyelenggaraan
pemerintahan tersebut telah mengakibatkan kekaburan tentang tingkat pemerintahan
yang
seharusnya bertanggung jawab atas pembiayaan tugas-tugas tersebut dan
ketidakterpaduan pelaksanaan dan perencanaan proyek, khususnya proyek-proyek
Departemen sektoral (Hirawan, 1998).
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
6
Mekanisme transfer pemerintah pusat
Selama ini mekanisme transfer perimbangan keuangan pusat-daerah dilakukan
melalui sumbangan Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan bantuan pembangunan
dengan
mekanisme Bantuan Pembangunan Daerah (Inpres). Transfer SDO diberikan untuk
membiayai pengeluaran rutin pemerintah Dati I dan II yang sebagian besar untuk
keperluan gaji pegawai, belanja pegawai dan belanja non-pegawai. Mekanisme
transfer
perimbangan keuangan pusat-daerah yang mempengaruhi pembangunan daerah
dilakukan melalui bantuan Inpres, yang terdiri dari Inpres bantuan umum dan Inpres
bantuan khusus. Inpres bantuan umum terdiri dari Inpres Dati I dan Inpres Dati II,
yang
jumlahnya diatur oleh pusat namun penggunaannya diserahkan pada daerah. Inpres
khusus, yang terdiri dari, antara lain: Inpres SD, Inpres Kesehatan, baik jumlah
maupun
penggunaannya sudah ditentukan oleh pusat.
Meskipun kriteria pemberian Inpres bantuan umum mengalami beberapa kali
perubahan, namun kriteria pemberian bantuan dasar dan kriteria pemberian bantuan
tambahan berdasarkan luas wilayah daratan yang ditetapkan sejak tahun 1994/95
sama
sekali belum memasukkan unsur perbedaan potensi sosial-ekonomi dan sumber daya
alam yang dimiliki masing-masing daerah. Sejak tahun 1994/95, kebijaksanaan
pemberian bantuan pembangunan Inpres secara bertahap telah dialihkan ke bentuk
umum
(quasi-block grant), sehingga secara proporsional peranan Inpres bantuan khusus
(specific grant) akan semakin berkurang. Inpres bantuan umum bersifat quasi-block
grant, karena pemerintah pusat masih menentukan arahan sasaran-sasaran
pembangunan,
dan daerah diberi keleluasaan menggunakan dana ini sesuai dengan sasaran yang
ditetapkan pemerintah pusat. Sebaliknya, Inpres bantuan khusus digunakan
membiayai
kegiatan pembangunan sesuai dengan yang ditetapkan pusat.
Maksud perubahan ini untuk memberi peran yang lebih besar kepada daerah
dalam menentukan program/proyek pembangunan yang sesuai dengan prioritas
daerah
masing-masing. Namun demikian, perubahan-perubahan yang dilakukan pada
mekanisme Inpres sampai sejauh ini belum secara mendasar mengubah kriteria dan
sistem perimbangan keuangan pusat-daerah. Perubahan yang dilakukan baru sebatas
pergeseran kategori pos pengeluaran, dari Inpres khusus yang sebelumnya berdiri
sendiri
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
7
dan diatur pusat menjadi Inpres khusus yang sekarang dananya dikelola oleh Dati I
dan
Dati II. Misalnya: pengalihan sebagian Inpres SD dan Inpres Kesehatan ke dalam
Inpres
Dati II.
Perubahan terakhir kali dari mekanisme Inpres tercatat dilakukan pada tahun
1999/2000 melalui RAPBN 1999/2000, yaitu: dana Inpres diubah namanya menjadi
Dana
Pembangunan Daerah. Prosedurnya disederhanakan dengan menghilangkan berbagai
program Inpres yang bersifat sektoral, dan menggabungkannya ke dalam Dana
Pembangunan Daerah menurut tingkat otonominya. Dana Pembangunan Daerah juga
mencakup dana Perluasan Jaring Pengaman Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat,
yang
merupakan konsolidasi dari program-program pemberdayaan masyarakat dan
kegiatankegiatan
untuk menangani krisis ekonomi di daerah. Komposisi dan perkembangan
anggaran pembangunan yang dialihkan ke daerah serta perkembangannya dapat
dilihat di
Tabel 2 berikut ini.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
8
Tabel 2
APBN
1994/1995
APBN
1995/1996
APBN
1996/1997
APBN
1997/1998
APBN
1998/1999
I. RUPIAH MURNI 1 6,100.9 17,386.3 19,038.8 22,118.8 25,901.9 31,059.3 115,505.1
A. Anggaran yang didaerahkan 5 ,895.9 6,822.4 7,334.7 8,491.0 9,910.1 13,806.3 46,364.5
1) Bantuan Pembangunan Daerah 4 ,826.6 5,340.3 5,584.4 6,418.7 7,630.5 10,757.3 35,731.2
1. Bantuan Pembangunan Desa 3 90.2 423.3 426.0 459.3 468.8 477.0 2,254.4
2. Bantuan Pembangunan Desa Tertinggal - 389.3 473.7 479.8 480.0 204.6 2,027.4
3. Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II 1 ,029.6 2,417.8 2,525.3 2,905.4 3,484.0 3,765.4 15,097.9
4. Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I 7 83.0 1,218.7 1,277.1 1,423.5 1,661.9 1,741.1 7,322.3
5. Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar 7 47.9 497.9 498.5 595.1 663.2 595.0 2,849.7
6. Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan 3 93.3 393.3 369.5 525.6 607.8 845.9 2,742.1
7. Bantuan Pembangunan dan Pemugaran Pasar 5 .0 - - - - - -
8. Bantuan Penghijauan dan Reboisasi 1 04.3 - - - - - -
9. Bantuan Peningkatan Jalan dan Jembatan 1 ,373.3 - - - - - -
10. Prasaraa Perdesaan - - 14.3 30.0 - - 4 4.3
11. Bantuan PMT-AS - - - - 264.8 414.5 6 79.3
12. Program Perluasan Jaringan Pengaman Sosial - - - - - 2,713.8 2,713.8
2) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 1 ,069.3 1,482.1 1,750.3 2,072.3 2,279.6 2,649.0 10,233.3
1. PBB Daerah Tingkat II - - 1,438.8 1,703.4 1,873.8 2,177.4 7,193.4
2. PBB Daerah Tingkat I - - 311.5 368.9 405.8 471.6 1,557.8
3) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) - - - - - 400.0 4 00.0
1. BPHTB Daerah Tingkat II - - - - - 320.0 3 20.0
2. BPHTB Daerah Tingkat I - - - - - 80.0 8 0.0
B. Anggaran yang dikelola oleh instansi di Tingkat Pusat 1 0,205.0 10,563.9 11,704.1 13,627.8 15,991.8 17,253.0 69,140.6
1) Departemen/Lembaga 9 ,265.3 9,945.6 10,910.0 12,722.2 14,914.6 14,397.0 62,889.4
2) Anggaran XVI (Diluar Inpres PBB dan BPHTB) 9 39.7 618.3 794.1 905.6 1,077.2 2,856.0 6,251.2
II. BANTUAN PROYEK (BLN) 9 ,126.3 10,012.0 11,759.0 12,413.6 13,026.0 40,540.9 87,751.5
JUMLAH 2 5,227.2 27,398.3 30,797.8 34,532.4 38,927.9 71,600.2 203,256.6
Sumber:
Gunawan Sumodiningrat, 1998
URAIAN
KOMPOSISI ANGGARAN PEMBANGUNAN (RUPIAH MURNI dan BLN) YANG DIALIHKAN KE DAERAH SELAMA REPELITA VI
(dalam miliar rupiah)
Total APBN
Repelita VI
Akhir
REPELITA V
REPELITA VI
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
9
3. Pokok-pokok RUU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah
3.1. Pokok-pokok penyelenggaraan otonomi daerah1
RUU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
disusun atas dasar prinsip Otonomi Daerah yang dilaksanakan dengan pemberian
kewenangan dan tanggung jawab yang lebih luas kepada Daerah Otonom atas dasar
pengaturan seperti yang tercantum pada RUU tentang Pemerintahan Daerah.
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh menurut RUU tentang Pemerintahan
Daerah akan dilaksanakan oleh Kabupaten dan Kota (Daerah Tingkat II), sedangkan
Otonomi Daerah Propinsi merupakan Otonomi yang terbatas. Antara Daerah Otonom
Propinsi dengan Daerah Otonom Kabupaten dan Kota tidak mempunyai hubungan
hierarki.
Kedudukan Propinsi adalah sebagai Daerah Otonomi sekaligus Daerah
Administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi
kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya akan tetapi tidak menjadi Daerah
atasan Kabupaten atau Kota. Pemberian Otonomi Daerah kepada Daerah Kabupaten
dan
Kota dalam RUU ini diselenggarakan atas dasar Otonomi luas. Kewenangan Otonomi
Daerah adalah keseluruhan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan seperti
perencanaan, perijinan, pelaksanaan dan lain sebagainya, kecuali kewenangan
dibidangbidang
Pertahanan Keamanan, Peradilan, Politik Luar Negeri, Moneter/Fiskal dan agama
serta kewenangan lainnya yang diatur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Penyelenggaraan Otonomi pada tingkat Propinsi meliputi kewenangan-kewenangan
lintas
Kabupaten dan Kota dan kewenangan-kewenangan yang tidak atau belum
dilaksanakan
Daerah Otonom Kabupaten dan Kota serta kewenangan bidang Pemerintahan lainnya.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut RUU Pemerintahan Daerah
berdasarkan pada azas desentralisasi dan azas dekonsentrasi. Azas desentralisasi
dalam
RUU ini menganut pengertian: (1) Pemberian wewenang pemerintahan yang luas
pada
Daerah Otonom, kecuali wewenang dalam bidang Pertahanan Keamanan, Politik Luar
Negeri, Peradilan dan Moneter/Fiskal serta kewenangan bidang Pemerintahan
lainnya;
1 BerdasarkanRUU Pemerintahan Daerah serta penjelasannya, naskah Maret 1999.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
10
(2) Proses dalam pembentukan Daerah Otonom yang baru berdasarkan azas
desentralisasi, atau mengakui adanya Daerah Otonom yang sudah dibentuk
berdasarkan
perundang-undangan sebelumnya.
Azas dekonsentrasi yang dianut dalam RUU ini mengandung pengertian: (1)
Pelimpahan wewenang Pemerintahan dari Pemerintah kepada perangkatnya di
Daerah;
(2) Pembentukan propinsi sebagai Daerah Administrasi dan pelimpahan wewenang
dari
Pemerintah kepada Gubernur. Pada prinsipnya dalam pemerintahan daerah tidak ada
lagi
perangkat dekonsentrasi, kecuali perangkat dekonsentrasi untuk melaksanakan
kewenangan-kewenangan Pemerintah dalam bidang-bidang Pertahanan/Keamanan,
Politik Luar Negeri, Peradilan, Fiskal/Moneter, agama serta kewenangan bidang
Pemerintahan lainnya dan/atau Kebijakan Strategis yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Bidang lainnya yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:
1. Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan sektoral dan nasional secara
makro;
2. Kebijakan dana perimbangan keuangan;
3. Kebijakan sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara;
4. Kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia;
5. Kebijakan pendayagunaan teknologi tinggi dan strategis, serta pemanfaatan
kedirgantaraan, kelautan, pertambangan dan kehutanan/lingkungan hidup;
6. Kebijakan konservasi;
7. Kebijakan standarisasi nasional.
Sedangkan di tingkat Propinsi, kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat
lintas kabupaten dan kota yang menjadi tanggung jawab Propinsi, misalnya adalah
kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan
disamping kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya mencakup:
1. Perencanaan pembangunan regional secara makro;
2. Pelatihan kejuruan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
3. Pelabuhan regional;
4. Lingkungan hidup;
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
11
5. Promosi dagang dan budaya/pariwisata;
6. Penanganan penyakit menular dan hama tanaman;
7. Perencanaan tata ruang Propinsi.
Gubernur dalam konsep RUU ini bertindak sebagai Kepala Eksekutif Daerah
yang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Propinsi dan bertanggung
jawab
kepada DPRD. Disamping itu, Gubernur juga bertindak sebagai Wakil Pemerintah
Pusat
yang dapat diserahi tugas dan fungsi tertentu oleh Pusat dan bertanggung jawab
kepada
Presiden. Kepala Daerah, Gubernur maupun Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD
setempat berdasarkan suara terbanyak dan bertanggung jawab kepada Dewan.
Khusus mengenai kepegawaian, Daerah memiliki kewenangan untuk melakukan
pengangkatan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan dan kesejahteraan
pegawai, pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah
menurut norma, standar dan prosedur yang berlaku secara nasional. Daerah Propinsi
diberi kewenangan melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian
dan
pengembangan karier pegawai.
3.2. Pokok-pokok perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah2
RUU ini mencoba mengatur suatu perimbangan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah yang berdasarkan atas hubungan fungsi, yaitu berupa
sistem keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan
tanggung jawab antar tingkat pemerintahan sesuai dengan pengaturan pada RUU
tentang
Pemerintahan Daerah. RUU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah meliputi ruang lingkup pengaturan dari:
1. Prinsip-prinsip pembiayaan fungsi pemerintahan di Daerah.
2. Sumber-sumber pembiayaan fungsi dan tugas tanggung jawab Daerah yang
meliputi:
Pendapatan Asli Daerah
Dana Perimbangan
Pinjaman
Pembiayaan pelaksanaan azas dekonsentrasi bagi Propinsi
2 BerdasarkanRUU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta penjelasannya,
naskah Maret 1999.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
12
3. Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
4. Sistem informasi keuangan daerah.
Prinsip-prinsip pembiayaan fungsi pemerintahan di daerah
Dasar-dasar pembiayaan pemerintahan daerah dilakukan menurut hubungan
fungsi berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab antar tingkat
pemerintahan. Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan azas
desentralisasi menjadi beban APBD, sedangkan tugas Pusat yang dilaksanakan oleh
perangkat Daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dibiayai dari
APBN.
Sumber-sumber pembiayaan fungsi dan tugas tanggung jawab Daerah
Sumber-sumber penerimaan Daerah untuk melaksanakan azas desentralisasi
terdiri dari:
1. Pendapatan Asli Daerah;
2. Dana Perimbangan (kecuali dana Alokasi Khusus);
3. Pinjaman Daerah;
4. Lain-lain penerimaan yang sah.
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari:
Hasil pajak daerah;
Hasil retribusi daerah;
Hasil perusahaan milik Daerah;
Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah
Dana Perimbangan terdiri dari:
Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak
Atas
Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
Dana alokasi umum;
Dana alokasi khusus
Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
13
umum merupakan bagian dari penerimaan umum Daerah.3 Dana alokasi umum
berfungsi
pemerataan antar Daerah dengan tujuan semua Daerah memiliki kemampuan yang
relatif
sama untuk membiayai pengeluarannya dalam pelaksanaan azas desentralisasi. Dana
alokasi umum dialokasikan berdasarkan suatu rumus yang memasukkan unsur potensi
penerimaan Daerah dan kebutuhan obyektif pengeluaran Daerah, dan dengan
memperhatikan ketersediaan dana APBN. Penghitungan dana alokasi tersebut
dilakukan
oleh Sekretariat Tetap Bidang Perimbangan Keuangan.4
Dana perimbangan yang berasal dari dana alokasi khusus berasal dari dana APBN
kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus dengan
memperhatikan
ketersediaan dana APBN. Pembiayaan kebutuhan khusus disyaratkan dana
pendamping
dari Penerimaan Umum APBD.5 Kebutuhan khusus yang dimaksud di sini adalah:
Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus; dan atau
Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional
Disamping dana PAD dan Perimbangan Keuangan, Daerah dapat melakukan
pinjaman
dari sumber dalam negeri atau luar negeri melalui Pusat untuk membiayai sebagian
anggarannya yang pengaturannya dilakukan lebih lanjut melalui Peraturan
Pemerintah.
Daerah dapat juga memperoleh Dana Darurat, yaitu dana yang dialokasikan dari
APBN
kepada Daerah tertentu untuk keperluan mendesak, misalnya jika terjadi bencana
alam,
dan sebagainya. Pengaturan lebih lanjut dari Dana Darurat ini dilakukan melalui
Peraturan Pemerintah.
Pembiayaan pelaksanaan azas dekonsentrasi
Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dilakukan melalui
Departemen/Lembaga Pemerintah non Departemen yang bersangkutan. Pelaksanaan
azas dekonsentrasi dilakukan oleh perangkat Daerah Propinsi sedangkan
pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan tersebut dilakukan oleh perangkat
3 Menurut RUU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah Naskah Maret 1999, besaran dan tata cara
perhitungan atas bagian Daerah dari penerimaan PBB serta BPHTB diatur dengan UU, sedangkan
penerimaan yang berasal dari sumber daya alam diatur melalui Peraturan Pemerintah. Informasi
terakhir
(23 April 1999) yang diperoleh dari hasil pembahasan di DPR adalah adanya kesepakatan tentang bagi
hasil pajak/bukan pajak antara Pusat dan Daerah sebagai berikut: PBB (10% pusat, 90% daerah);
BPHTB
(20% pusat; 80% daerah), dan Migas (85% pusat; 15% daerah).
4 Pengaturan lebih lanjut tentang dana alokasi umum dilakukan melalui Peraturan Pemerintah.
5 Pengaturan lebih lanjut tentang dana alokasi khusus dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
14
Daerah Propinsi langsung kepada Departemen/Lembaga Pemerintah non Departemen
yang bersangkutan. Demikan juga dengan administrasi keuangan pelaksanaan azas
dekonsentrasi dilakukan terpisah dari administrasi keuangan pelaksanaan azas
desentralisasi. Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan azas dekonsentrasi dilakukan
oleh
instansi pemeriksa keuangan Negara.
Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi
Semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi
tercatat dan dikelola dalam APBD. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan
Daerah
ditetapkan Kepala Daerah sesuai Peraturan Daerah dan Kepala Daerah
mempertanggung
jawabkan pengelolaan Keuangan Daerah kepada Dewan. Pemeriksaan atas keuangan
Daerah termasuk kinerja daerah hanya dapat dilakukan oleh pemeriksa keuangan
daerah
(auditor) dan Bepeka.
Sistem informasi keuangan daerah
Pusat menyelenggarakan suatu sistem informasi keuangan daerah berdasarkan
informasi yang berkaitan dengan keuangan Daerah yang disampaikan Daerah ke
Pusat.
Informasi tersebut merupakan data terbuka yang dapat diketahui masyarakat.
Sekretariat tetap bidang perimbangan6
Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan pemerintah
pusat melalui sekretariat tetap bidang perimbangan yang bertugas untuk:
Memonitor pelaksanaan dana alokasi umum dan melakukan penyesuaian terhadap
perubahan/perkembangan variabel dan kriteria yang ditetapkan;
Memberikan pertimbangan kepada Pusat atas kebijaksanaan pembiayaan Daerah;
Memonitor dan memberikan penilaian/akreditasi kualifikasi pemeriksa Keuangan
Daerah;
Melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
Daerah
6 Anggotasekretariat tetap terdiri dari wakil Pusat dan wakil Daerah.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
15
4. Tinjauan atas RUU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
Pada penjelasan atas RUU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, disebutkan tujuan-tujuan pokok dari RUU ini sebagai berikut:
Menciptakan sistem pembiayaan Daerah yang adil, rasional, transparan, partisipatif,
bertanggung jawab dan pasti;
Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi Daerah;
Mengubah sistem pertanggung jawaban keuangan oleh Daerah kepada pemerintah
atasan menjadi kepada masyarakat
RUU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah disusun
atas
dasar prinsip Otonomi Daerah yang dilaksanakan dengan pemberian kewenangan dan
tanggung jawab yang lebih luas kepada Daerah Otonom atas dasar pengaturan seperti
yang tercantum pada RUU tentang Pemerintahan Daerah.
Berikut adalah tinjauan terhadap RUU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah:
Peran pemerintah pusat
Peran pemerintah pusat masih sangat besar, dalam penentuan kebijakan dana
perimbangan, pelaksanaan azas dekonsentrasi, dana alokasi khusus, penetapan
berbagai
Peraturan Pemerintah yang diperlukan guna pelaksanaan lebih lanjut dari UU
Perimbangan Keuangan ini, keberadaan Sekretariat Tetap Bidang Perimbangan
dengan
Wakil Pusat yang terdiri dari pejabat Eselon I, disamping Wakil Daerah, dan
sebagainya.
Disamping itu, banyaknya ketentuan yang akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan
Pemerintah di dalam RUU ini memungkinkan peran Pemerintah Pusat yang besar di
dalam rancangan maupun implementasi dari Peraturan Pemerintah yang akan disusun
lebih lanjut tersebut, misalnya: PP tentang dana alokasi umum dan PP tentang dana
alokasi khusus. Dari 9 bab dan 30 pasal yang diajukan dalam RUU ini, terdapat 11
pasal
menyatakan akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
16
Dana perimbangan
Dalam penjelasan RUU dikatakan bahwa pelaksanaan perimbangan keuangan
dilaksanakan dengan memperhatikan ketersediaan pembiayaan bagi fungsi stabilisasi
(pembiayaan bagi pertahanan-keamanan, moneter dan fiskal, termasuk kewajiban
pengembalian pinjaman Pusat), dan bagi pelaksanaan fungsi distribusi, seperti:
perencanaan ekonomi nasional, pemerataan pembangunan, pemerataan kesempatan
kerja
dan berusaha. Khusus mengenai dana alokasi umum, dikatakan akan sangat
tergantung
pada penerimaan dalam negeri dari APBN.
Sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang akan diterapkan, berarti beban
pengeluaran rutin pemerintah daerah yang harus dibiayai dari APBD, khususnya
Kabupaten dan Kota akan meningkat pesat. Sebagian besar sumber dana ini akan
berasal
dari dana alokasi umum. Khusus mengenai dana alokasi umum permasalahannya
terletak
pada alokasi yang berdasarkan pada penerimaan dalam negeri APBN dengan
pengertian
setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang menjadi beban pusat seperti tersebut di
atas
(biaya tersebut dapat sangat besar).
Keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional dan regional
Pemberian otonomi luas ke daerah Kabupaten dan Kota serta tidak adanya hubungan
hierarki antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi yang menjadi daerah di atasnya telah
menyebabkan keraguan akan dapat tercapainya keterpaduan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan di tingkat nasional dan regional. Hal ini menyangkut
kebijakan dalam pemberian otonomi luas langsung ke daerah Kabupaten/Kota dan
bukan
ke Daerah Propinsi, misalnya.
Pendapatan Asli Daerah
Keterbatasan Daerah dalam mengembangkan sumber yang berasal dari PAD,
meskipun
dijelaskan tentang rencana perubahan terhadap UU nomor 18 tahun 1997 tentang
Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah agar sesuai dengan kebutuhan pembiayaan Daerah
Propinsi,
Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
17
Pengaturan dana bantuan/pinjaman luar negeri oleh Pusat dan dana-dana yang
langsung
ke Pokmas
Peran pusat yang masih sangat besar dalam pengaturan pinjaman/bantuan luar negeri
yang dilakukan pusat termasuk penyalurannya ke daerah. Termasuk di sini adalah
danadana
yang berasal dari APBN dan langsung disalurkan ke Pokmas-pokmas, seperti dana
dalam rangka Jaring Pengaman Sosial.
Kemampuan manajemen dan kesiapan aparatur di tingkat Kabupaten/Kota
Implikasi pada kemampuan manajemen dan kesiapan aparatur SDM di tingkat
Kabupaten
dan Kota untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi berbagai program
pembangunan; dilain pihak pengurangan peran pemerintah pusat dan propinsi dalam
penyelenggaran pemerintahan daerah memerlukan perampingan organisasi dan
manajemen di pusat dan propinsi.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
18
5. Penutup
Perubahan sistem dan mekanisme Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah
hendaknya dilihat sebagai bagian dari reformasi hubungan keuangan pusat-daerah
yang
menyeluruh sebagai implikasi dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Reformasi
Hubungan Keuangan Pusat-Daerah disamping bertujuan untuk mengubah sistem dan
mekanisme hubungan keuangan pusat-daerah, reformasi ini juga harus dapat
menjawab
permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan:
Peningkatan pendapatan pemerintah daerah
Penyesuaian pendapatan daerah dengan tanggung jawab dan wewenang
(pengeluaran)
pemerintah daerah
Pengembangan sistem dan kerangka untuk perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan atas anggaran pemerintah daerah sehingga manajemen keuangan daerah
dapat dilaksanakan secara jelas, rasional dan transparan
Meningkatkan kapasitas kelembagaan, termasuk kemampuan sumber daya
manusia/aparatur pemerintahan daerah
Perubahan pengaturan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah dengan segala implikasinya seperti yang dijelaskan di atas, harus dapat
diimbangi
oleh pemberdayaan atau peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah, sehingga
Pemerintah Daerah mampu berperan aktif dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan
dan
evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
19
Daftar Pustaka
Armida S. Alisjahbana, 1999, “Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
“Platform untuk Masa Depan Ekonomi Indonesia” diselenggarakan oleh ISEI
Cabang Bandung dan LPEM FE-UI, Bandung 25 Maret.
__________________, 1999, “Visi dan Kebijaksanaan Pembangunan Daerah:
Tinjauan
Aspek Otonomi Daerah dan Keseimbangan Spasial”. Makalah disampaikan pada
Seminar dan Lokakarya: “Pelatihan Perencanaan Pembangunan Sumber Daya
Manusia Propinsi Riau” diselenggarakan oleh: Universitas Riau dan Bapeko,
Batam 15-20 Maret.
__________________, 1999, “Krisis Ekonomi serta implikasi Fiskal Hubungan
Keuangan Pusat Daerah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: “Upaya
untuk Mengatasi Krisis Ekonomi Indonesia” diselenggarakan oleh ISEI Cabang
Bandung dan Kantor Menteri Negara urusan BUMN, Bandung 20 Februari.
_________________ , 1998, “Desentralisasi Kebijakan Fiskal dan Tuntutan
Perimbangan
Keuangan Pusat-Daerah”. Orasi Ilmiah pada Dies ke 41 Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran, Bandung 24 Oktober 1998.
Devas, Nick, 1988, “Local Taxation in Indonesia: Opportunities for Reform”, Bulletin
of
Indonesian Economic Studies 24 (2): 58-85.
Gunawan Sumodiningrat, 1998, “Stabilisasi Ekonomi dan Jaring Pengaman Sosial:
Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat”, Makalah disampaikan pada Rakernas 1998,
Perpustakaan Nasional RI, 26 Oktober 1998.
Harian Kompas, penerbitan tanggal 2, 7, 19 Oktober, 12 November 1998, 6 Januari,10
April 1999.
Hill, Hal (ed), 1991, “Unity and Diversity: Regional Development in Indonesia since
1970”, Oxford University Press, Singapore.
Kelly, Roy, Johan Sebastian and Karsono Suryowibowo, 1993, “Regional
Government in
Indonesia: An Examination of Ongoing Reforms”, Development Discussion
Paper no. 461, Harvard Institute for International Development, Cambridge,
Massachusetts.
Mudrajad Kuncoro, 1995, “Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Dilema Otonomi dan
Ketergantungan”, Prisma 4 (April): 3-17.
Republik Indonesia, berbagai tahun, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Jakarta.
Reformasi Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
20
________________, 1999, RUU Pemerintahan Daerah dan RUU Perimbangan
Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Maret.
Shah, Anwar, 1994, “The Reforms of Intergovernmental Fiscal Relations in
Developing
and Emerging Market Economies,” The World Bank, Washington, DC.
__________, 1991, “Perspectives on the Design of Intergovernmental Fiscal
Relations”,
Country Economics Department, the World Bank, Washington, DC.
Susiyati B. Hirawan, 1998, “Desentralisasi Kebijaksanaan Fiskal dan Tuntutan
Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah”, Makalah disampaikan pada Seminar
dalam rangka Dies ke 41 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, 31 Oktober
1998.

You might also like