You are on page 1of 6

Apa Itu Filsafat?

MELALUI FILSAFAT terjadi dentuman reformasi intelektual


yang membawa manusia dari pemikiran mistis soal alam semesta
menuju ke pemikiran rasional, sistematis, reflektif, kritis, analitis,
tentang realitas dunia dan manusia. Filsafat membuka segala
kemungkinan dan horizon baru, karena filsafat tidak terbatas oleh
hal-hal yang empiris, sehingga filsafat disebut juga metafisika yaitu
melampauhi yang fisik (tampak). Filsafat disebut juga mater
scientiarum atau induk ilmu pengetahuan, karena dari filsafatlah
lahir segala ilmu yang ada.
Secara etimologi kata filsafat berasal dari dua suku kata Yunani,
philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan/wisdom). Jadi, philosophos adalah a lover of wisdom.
Arti filsafat ini sering dikaitkan dengan ilmu teologi atau theophilia atau a lover of God. Kata
“God” sering diidentikkan dengan “kebijaksanaan”. Akibatnya filsafat itu sering disamakan
dengan teologi (filsafat melebur dalam teologi karena Allah dianggap sebagai sumber
kebijaksanaan). Ada beberapa pertanyaan yang muncul seputar filsafat. Bagaimana kita
mencintai kebijaksanaan? Socrates menjawab bahwa untuk mencintai kebijaksanaan, manusia
harus mengenal dirinya sendiri. Dengan kata lain filsafat adalah buah atau hasil dari pengetahuan
akan dirinya sendiri (gnothi sealfon). Apa arti pengetahuan akan diri (self to know) dan kapan
orang mengenal diri? Sokrates menjawab bahwa seseorang mengenal dirinya kalau ia mengenal
batas-batas dirinya sendiri (knowing the limit of the self). Ada tiga batas yang harus disadari oleh
manusia.
Pertama, batas epistemologis yaitu batas pengetahuan. Manusia harus sadar dan dapat
membedakan antara benar dan salah, tahu dan tidak tahu, agar manusia mampu
mempertanggungjawabkan semua tindakan, perbuatan dan pemikirannya terhadap diri sendiri
dan orang lain.
Kedua, batas etis yaitu batas tindakan, sikap dan perilaku. Manusia harus tahu mana
tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mana yang jahat dan yang baik.
Ketiga, batas eksistensial yaitu batas sikap atau hidup. Manusia harus sadar bahwa
nasibnya tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri, sebab nasib manusia juga ditentukan oleh
faktor-faktor misterius yang ada dalam dirinya yang tidak mampu dipahami olehnya.
Orang pertama yang memunculkan filsafat adalah para filsuf alam dari Yunani. Mereka adalah
Thales dari Miletos, menurutnya alam semesta ini terdiri dari: air. Anaximenes, asal mula dan
dasar alam semesta ini adalah apeiron (sesuatu yang tidak dapat dipahami atau
dijelaskan/dirupakan). Menurut Anaximandros prinsip utama alam semesta ini terdiri dari air,
api, tanah dan udara. Setelah muncul Socrates filsafat tidak lagi berbicara soal alam semesta,
melainkan berbicara soal manusia. Socrates memulai babak baru di mana soal etika dan
keutamaan menjadi pokok pemikirannya. Ia mulai mempertanyakan apa arti hidup manusia?
Setelah itu muncullah Plato muridnya yang mulai membedakan antara doxsa dan episteme.
Doxsa adalah pendapat pribadi yang belum teruji kebenarannya dan episteme adalah
pengetahuan yang sudah diuji kebenarannya. Menurut Plato realitas di dunia ini hanyalah
bayang-bayang, pantulan, fotokopian, maya, dari dunia yang sebenarnya. Dunia yang
sesungguhnya adalah dunia “idea” yang tidak dapat berubah dan diubah. Dunia realitas ini sering
kali berubah dan tidak menetap. Jadi esensinya adalah dunia “idea” dan bukan realitas.
Aristoteles (384-322 sM) berbeda pendapat dengan gurunya Plato. Menurutnya dunia yang
sesungguhnya adalah dunia realitas (esensi itu adalah realitas). Dunia realitas itu bisa dijelaskan
dengan hukum causalitas dan abstraksi sementara dunia idea adalah dunia utopia yang tidak
jelas keberadaannya apakah ada atau tidak. Sebab tidak bisa diverifikasi exitensinya. Menurut
Aristoteles manusia adalah animal rasionale; animal simbolicum; homo faber (mahluk pekerja);
homo ludens (mahluk yang suka bermain).
Filsafat disebut juga sebagai ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan atau salah
satu khazanah pengetahuan. Mengapa filsafat penting? Karena dunia manusia sekarang ini
semakin ditentukan oleh IPTEK. Hampir dalam segala hal, mulai dari pola pikir, cara hidup dan
kebutuhannya. Dapat dikatakan bahwa teknologi itu sudah menjadi bagian dari hidup manusia.
Akibatnya muncul berbagai praktek pendewaan terhadap ilmu pengetahuan. Pada abad ke 18-19
muncul aliran Scienticum (Saintisme) yaitu ideologi yang berlebihan. Ideologi ini meyakini
bahwa IPTEK adalah satu-satunya jalan kebenaran. Maka diluar yang sifatnya ilmiah, tidak
benar dan harus dibasmi.
Rene Descartes menyamakan filsafat dengan pohon, yang memiliki akar, batang, dan rantingnya.
Akar filsafat adalah ontologi atau metafisika (teori atau pandangan tentang kepastian realitas).
Ilmu metafisika berusaha mewujudkan apakah realitas itu bersifat terbatas (finit) dan tidak
terbatas (infinit) dalam ruang dan waktu. Apakah realitas itu imanen (dekat) atau transenden
(jauh). Batangnya adalah epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan. Bagaimana manusia bisa
mengumpulkan pengetahuan. Apakah manusia pernah tahu sesuatu atau tidak pernah tahu
sesuatu atau seluruhnya. Bagaimana menjelaskan perbedaan epistemology dan doxsa. Apakah
opini sama dengan pengetahuan? Dan apa itu kebenaran? Kapan kita sadar bahwa kita telah
mencapai kebenaran dan mengapa kita jatuh dalam kesalahan, lalu apa bedanya kebenaran dan
kesalahan?
Menurut Descartes filsafat adalah ilmu-ilmu praktis yang bermanfaat dan berguna untuk
menyumbangkan kedamaian, dan kesejahteraan manusia. Ada empat cabang filsafat. Pertama,
ilmu kedokteran, manfaatnya menjaga, memelihara, dan memulihkan kesehatan manusia. Kedua,
ilmu Hukum manfaatnya berusaha mengatur, menertipkan interaksi manusia. Mengubah manusia
dari lupus (serigala) menjadi socius (teman). Ketiga, ilmu mekanika (iptek) yaitu ilmu hukum
alam yang memproduksi barang-barang dari alam. Descartes mengatakan bahwa manusia harus
menjadi master of natur. Keempat, Ilmu teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan
tujuan akhir hidup manusia. Manusia bukan hanya insan duniawi tapi juga insan rohani. Tujuan
hidup manusia adalah mengatasi dunia ini agar mampu menuju kepada Allah dan memperoleh
hidup surgawi. Itulah sebabnya filsafat disebut sebagai ibu; sumber dan akar dari segala ilmu
pengetahuan yang ada. Filsafat merangkum dan mengintegrasikan semua pengetahuan manusia.
Karena pada zaman Yunani hingga abad 19 filsuf adalah juga seorang ilmuwan.

Kapan manusia mulai berfilsafat?


Filsafat bermula dari sebuah pertanyaan. Ada beberapa hal yang merangsang manusia untuk
berfilsafat yaitu:
Pertama, ketakjuban. Ketika manusia takjub terhadap peristiwa-peristiwa alam, gaib dan
segala sesuatu yang memungkinkan manusia untuk kagum. Bagi Plato pengamatan terhadap
bintang-bintang, matahari, dan lagit merangsang manusia untuk melakukan penelitian. Padangan
ini semakin diperjelas oleh Aristoteles. Menurutnya karena takjub manusia mulai berfilsafat.
Sementara bagi Immanuel Kant ( abad 1 bukan hanya takjub terhadap alam ini, melainkan ia
juga terpukau memandang hukum moral dalam hatinya, sebagaimana tertulis di batu nisan
kuburannya : coelum stellatum supra me, lex moralis intra me (bintang di langit di atasku, tapi
hukum moral ada di bawahku).
Kedua, ketidakpuasan. Manusia tidak puas akan jawaban dari mitos-mitos terhadap segala
pertanyaanya. Maka manusia mulai mencari jawaban yang meyakinkan dirinya dan bersifat
pasti. Akhirnya lambat laun manusia mulai berpikir secara rasional. Akibatnya akal budi mulai
berperan. Maka lahirlah filsafat.
Ketiga, hasrat bertanya. Hasrat bertanya membuat manusia mempertanyakan segalanya.
Pertanyaan-pertanyaan yang diwujudkan itu tidak hanya sekedar terarah pada wujud sesuatu,
melainkan juga terarah pada dasar dan hakikatnya. Inilah salah satu yang menjadi ciri khas
filsafat. Mempertanyakan segala sesuatu dengan cara berpikir radikal, sampai ke akar-akarnya,
tetapi juga bersifat universal.
Keempat, keraguan. Pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh kejelasan yang pasti pada
hakikatnya merupakan suatu pernyataan tentang adanya atau apriori (keraguan atau
ketikdakpuasan dan kebingungan) di pihak manusia yang bertanya. Keraguan ini merangsang
manusia untuk terus bertanya. Kemudian menggiring manusia untuk berfilsafat.

Mengapa berfilsafat?
Manusia berfilsafat karena manusia ingin tahu rahasia alam semesta dan segala peristiwa yang
ada di dalamnya. Why is there something rather there nothing (mengapa ada sesuatu dan
bukannya ketiadaan semata). Mengapa ada manusia; mengapa ada kematian; penderitaan;
ketidakadilan; kejahatan? Kemudian pertanyaanya berlanjut “Apa penyebab adanya segala
sesuatu? Apa penyebab penderitaan dan keberadaan manusia? Setelah itu manusia mulai
bertanya “apa arti segala sesuatu?” apa arti perang, penderitaan, hidup manusia, kedamaian,
kematian dsb. Dalam wilayah ini manusia tidak lagi bertanya mengenai “penyebab” tapi
“mengapa ada kematian” Apa tujuan hidup? Apa makna di balik penderitaan? Apakah
penderitaan itu memanusiakan manusia atau sebaliknya?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong manusia untuk berfilsafat. Kehausan manusia
untuk mencari jawaban terhadap segala hal yang dipertanyakannya. Dalam berfilsafat manusia
tidak terbatas terhadap hukum-hukum alam dan kitab suci manapun. Berbeda dengan ilmu-ilmu
empiris yang membatasi dirinya pada bidangya masing-masing seturut hukum dan aturannya.
Sementara filsafat selalu mencari kemungkinan-kemungkinan baru yang memungkinkan
penciptaan-penciptaan baru.

Bagaimana manusia berfilsafat?


Sebenarnya manusia berfilsafat dengan banyak cara. Tidak ada batas dan patokan untuk
berfilsafat. Meskipun demikian ada beberapa hal yang sering menjadi ciri khas filsafat dalam
mencari kebenarannya. Berpikir rasional dan masuk akal adalah langkah awal dalam berfilsafat.
Kemudian menghasilkan permenungan yang mendalam terhadap segala yang dipikirkannya.
Pemikiran tersebut dilengkapi dengan cara berpikir “holistik” yang sifatnya menyeluruh atau
universal. Dalam arti, filsafat tidak berpikir dalam satu bidang dan ilmu tertentu, sebab jika
demikian maka akan menimbulkan kecenderungan mendewakan yang satu dan menindas yang
lain. Seperti yang terjadi di zaman berjayanya sains. Para kaum rasionalisme mengklaim bahwa
realitas ini bekerja secara rasional, logis, objektif, karena itu rasio manusia mampu memahami
segala hal. Konsekuensinya adalah segala hal yang gaib, misterius, ilahi atau irasional tidak ada,
paling banter “belum diketahui”. Jadi keyakinan religius (agama) atau prinsip “credo quia
impossible” (saya percaya karena tidak mungkin [percaya terhadap Allah yang tidak dapat
dibuktikan secara rasional]) dianggap omong kosong. Filsafat mencoba mencegah cara-cara
berpikir seperti ini yang menganggap bahwa yang benar hanyalah yang memiliki standar-standar
yang jelas, dalam arti “clara et distincta” (jelas dan tegas). Cara berpikir seperti ini cenderung
mereduksi arti kehidupan itu sendiri. Segala hal yang ada di dunia ini tidak dapat dipahami hanya
secara rasional saja. Ada banyak hal yang tidak dapat dilihat secara rasional juga tapi nyata dan
dapat dirasakan.
Maka muncullah tokoh-tokoh filsafat yang menentang dominasi sains. Misalnya F. Nietszche
mengatakan bahwa sains adalah upaya keras untuk mendasarkan segala hal secara harafiah dan
logis, tapi defakto sebenarnya tidak lebih dari metafor-metafor yang mati. Karena sains melihat
persamaan dalam perbedaan. Sains justru memaksakan persamaan dalam hal-hal yang sungguh
tidak sama. Maka baginya sains itu mandul. Lihatlah penyimpulan terhadap binatang mamalia,
sebenarnya banyak hal yang tidak sama di antara binatang-binatang ini, ikan paus dengan
kelinci, yang sama hanyalah sifatnya yang mamalia, tapi sesungguhnya binatang ini sangat
berbeda.
Filsafat juga menggunakan metode “hermeneutik filosofis” yaitu berfilsafat dengan cara
menafsir. Heidegger mengatakan bahwa hidup manusia adalah menafsir, sebab tidak ada di dunia
ini yang tanpa tafsiran, bahkan manusia tidak dapat hidup tanpa menafsir. Setiap tafsir selalu
mengandung pra-pemahaman; pra-sangka, dan istilah pra- inilah yang memungkinkan
penafsiran. Sebuah objek dapat menimbulkan banyak penafsiran bagi setiap orang yang
memandangnya. Oleh karena itu segala hal itu hanyalah tafsiran yang suatu saat akan disangkal
oleh tafsiran yang lain. Contoh yang jelas akhir-akhir ini adalah planet Pluto yang dieliminasi
dalam lingkungan tata surya. Maka sains bukanlah pengetahuan murni tanpa pra-sangka. Sains
hanyalah salah satu bentuk cara berpikir. Sebenarnya banyak hal di dunia ini yang sifatnya
“Lebenswelt” artinya kesatuan dasar berpikir manusia dan realitas itu, pada dasarnya inarticulate
exhaustively, tidak bisa dirumuskan secara total.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah sebuah proses pencarian identitas
mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta). Dan ini hanya dapat diperoleh lewat
permenungan dan abstraksi. Di mana manusia ke luar dari kesempitan berpikir dan berani
berpikir secara universal atau global. Segala hal dilihat dalam perspektif mendasar. Apa esensi
dari segalanya dan untuk apa itu ada serta mengapa dia ada dan hubungannya dengan keberadaan
manusia.[]

You might also like