You are on page 1of 18

PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI INSTITUSI

PENDIDIKAN

A. Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling

Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah,

bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-

undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya

memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseling, agar mampu

mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya

(menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual). Konseling sebagai

seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on

becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai

kematangan tersebut, konseling memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang

memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman

dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa

proses perkembangan konseling tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari

masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier,

lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.

Perkembangan konseling tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis

maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang

terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat.

Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan,
maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseling, seperti terjadinya

stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan

perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan

perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat,

pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi

informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat

dari agraris ke industri.

Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi

di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat

terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan

dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup

konseling (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah

moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran,

meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika,

Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-

sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex). Penampilan perilaku remaja seperti di

atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia

yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun

2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak

mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan

rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa

tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi

imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa

memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan


tersebut. Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti

disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseling dan memfasilitasi mereka secara

sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini

merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif

dan berbasis data tentang perkembangan konseling beserta berbagai faktor yang

mempengaruhinya.

Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang

mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif

dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan

konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional

dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan

konseling yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki

kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.

Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling,

yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada

konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan

bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau

bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling).

Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian

tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseling.

Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai

konseling, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar
(standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi

kemandirian .

Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan

para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan

staf administrasi), orang tua konseling, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi

pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan

proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para

konseling agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh,

baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Atas dasar itu, maka

implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya

memfasilitasi perkembangan potensi konseling, yang meliputi as-pek pribadi, sosial,

belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseling sebagai makhluk

yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).

Kegiatan bimbingan merupakan bagian dari KBK yang menyentuh ranah efektif

sementara kegiatan pengajaran yang bersifat formal lebih mengarah pada ranah kognitif

untuk memperoleh pengetahuan. Salah satu elemen penting yang ada di lingkup sistem

pendidikan sekolah adalah keberadaan layanan Bimbingan dan Konseling. Dalam SK

MenDikBud No.025/D/1995 tercantum pengertian Bimbingan Konseling merupakan

pelayanan bantuan untuk peserta didik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri

dan berkembang secara optimal dalam bimbingan pribadi, sosial, belajar dan bimbingan

karir melalui berbagai layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang

berlaku. Bimbingan dan Konseling merupakan pelayanan bantuan artinya kegiatan ini

harus mampu memberikan hal-hal positif kepada peserta didik, membantu meringankan
beban, menemukan alternatif pemecahan masalah, mendorong semangat dan memberikan

penguatan serta ketenangan kepada peserta didik secara tepat. Peyanan tersebut dapat

dilakukan secara individu maupun kelompok.

Kaitan Bimbingan dan Konseling (BK) dengan Kurikulum berbasis kompetensi

sangatlah erat, Undang - Undang sistem Pendidikan Nasional (USPN) no:2 tahun 1989

pasal 1 ayat 1 sebagai acuan dari implementasi KBK menyatakan bahwa Pendidikan

adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,

pengajaran dan latihan bagi peran peserta didik dimasa yang akan datang. Hubungan yang

terlihat dalam pengertian ini adalah kegiatan bimbingan merupakan bagian dari KBK yang

pelayanannya menyentuh ranah afektif. Sementara kegiatan pengajaran yang bersifat

formal lebih mengarah pada ranah kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Disinilah

peran Bimbingan dan Konseling, yaitu membantu peserta didik untuk mengembangkan

potensi, tanggung jawab, hubungan interpersonal, motivasi, komitmen, daya juang serta

pengembangan karir. Profesi Bimbingan Konseling merupakan keahlian pelayanan yang

bersifat psikopedagogis dalam bingkai budaya artinya bahwa pelayanan yang diberikan

harus mengacu pada upaya pendidikan dengan memperhatikan aspek psikologis dan unsur

budaya yang menyertainya. Tentu saja aspek budaya disesuaikan dengan kondisi daerah

sekolah tersebut. Kebiasaan yang terjadi pada sekolah-sekolah di daerah tidak bisa dibuat

pola yang sama dengan sekolah yang ada di kota. Misalnya dari sisi kebiasaan, sopan

santun, kemampuan dsb. Profesi ini juga harus berlatarbelakang pendidikan yang sesuai

dengan bidang psikologis.

Tugas Konselor sangat banyak karena selain administrasi juga mencakup beberapa

layanan antara lain :


1.Layanan orientasi

Layanan ini mencakup pengenalan lingkungan sekolah yang baru baik dari sisi

kurikulum, kegiatan pendukung, maupun struktur organisasi sekolah. Langkah awal yang

bisa dilakukan dengan memasukkannya pada program kegiatan MOS dan diperjelas pada

saat bimbingan klasikal di kelas.

2.Layanan informasi

Layanan mencakup berbagai informasi untuk menambah wawasan dalam

merencanakan masa depan.

3.Layanan penempatan

Layanan ini membantu siswa menyalurkan bakat, minat atau kelanjutan studi yang

dipilih melalui hasil belajar serta hasil psikotes sebagai bahan pertimbangan.

4.Layanan pembelajaran

Layanan ini membantu siswa mengembangkan diri kerkaitan dengan sikap dan

kebiasaan belajar, materi belajar yang cocok dengan kemampuannya serta berbagai aspek

tujuan dan kegiatan belajar lainnya.

5.Layanan konseling individu/kelompok

Melalui layanan ini, siswa mendapat layanan langsung tatap muka untuk membantu

mengatasi masalah baik yang disadari maupun tidak disadari oleh siswa secara individu

atau kelompok. Layanan konseling dilakukan berdasarkan data administrasi bisa berupa

angket, informasi dari berbagai pihak, observasi baik di dalam maupun di luar kelas, hasil

belajar , penggalian masalah melalui materi bimbingan klasikal dll. Layanan konseling
akan memberi nuansa berbeda jika ruang konseling terpisah dengan ruang administrasi

sehingga privasi siswa maupun orang tua terjaga. Hal itu perlu mengingat masalah yang

perlu diselesaikan bisa bersifat sangat pribadi.

6.Layanan bimbingan kelompok.

Layanan bimbingan kelompok bisa diberikan secara klasikal di kelas, layanan ini

memberi banyak kesempatan untuk menyampaikan berbagai informasi yang terkait dengan

bimbingan pribadi, sosial, belajar , karir dan layanan-layanan pada point di atas sekaligus

menggali permasalahan siswa sebagai salah satu bentuk upaya menjemput bola. Karena

Bimbingan dan Konseling tidak mempunyai kurikulum khusus maka materi yang dibuat

berdasarkan berbagai sumber baik itu berupa literatur, browsing di internet, media

elektronika maupun peristiwa hidup sehari-hari. Selain dapat memberi informasi, layanan

ini juga mpermudah observasi terhadap anak dalam berperilaku di kelas, juga menggali

berbagai data yang diperlukan untuk menyempurnakan pelayanan, sehingga jam masuk

kelas setiap minggunya sangat mendukung tugas konselor.

Bentuk tugas yang sifatnya administrasi juga tidak kalah seru dari mulai membuat

program kerja, mengumpulkan data, menghimpun data, mengadakan konfrensi kasus

dengan pihak-pihak yang terkait, dan jika diperlukan mengadakan kunjungan rumah serta

alih tangan kasus pada ahli yang lebih perkompeten. Namun paradigma yang berkembang

saat ini terhadap peran petugas Bimbingan Konseling yang disebut Konselor sekolah masih

dianggap sebagai momok oleh kebanyakan siswa, karena citra dan peran Konselor sekolah

itu sendiri menampakkan sebutan tersebut. Konselor hanya berperan sebagai pemberi

sangsi, menunggu bola dengan duduk anis menanti siswa yang ingin mendapatkan layanan

konseling dan baru mengambil tindakan ketika masalah muncul.


Sebaiknya konselor sekolah tidak menjadi bagian dari ketertiban sekolah. Jangan

sampai muncul sebutan Konselor sebagai polisi sekolah. Sebutan tersebut juga terkait

dengan keterlibatan Konselor dalam bidang ketertiban, hal itu terjadi karena pelanggaran

yang dilakukan siswa akan mendapat sangsi yang mungkin sifatnya fisik, sementara

konselor menangani masalah yang sifatnya psikis. Kesulitan untuk membedakan peran ini

yang mempertegas sebutan tersebut. Kalaupun Konselor harus bertindak secara tegas untuk

menangani pelanggaran yang dilakukan siswa maka hendaknya menggunakan pendekatan

yang membuat siswa tetap merasa diakui sebagai pribadi yang berharga, dengan demikian

siswa akan dengan rela menjalani resiko dari pelanggaran yang dibuat tanpa merasa

terpaksa. Di samping itu masih ada institusi pendidikan yang mengangkat Konselor dari

latarbelakang non psikologi sehingga tidak menutup kemungkinan tugas Konselor menjadi

kabur. Pelayanan dan tugas dalam Bimbingan dan Konseling membutuhkan tenaga yang

ekstra karena jenis tugas yang diemban bersifat psikis. Pola pendekatan yang tepat sangat

mendukung pelaksanaan tugas-tugas tersebut.

Di sekolah menengah peran yang diberikan adalah sebagai Guru, Orang tua dan

Teman. Peran tersebut harus diberikan pada waktu yang sesuai misalnya ketika konseling (

siswa yang mendapat layanan konseling ) susah untuk digali permasalahannya maka

konselor harus datang sebagai seorang teman/sahabat. Hal itu perlu karena sesuai dengan

tugas perkembangan siswa yang mendapat layanan konseling di sekolah menengah telah

memasuki masa remaja. Memang peran ini oleh sebagian rekan guru dianggap sebagai

bentuk menjatuhkan wibawa karena siswa menjadi akrab dan norma-norma kesantunan

sedikit bergeser padahal jika situasi itu terjadi peran sebagai Guru dimunculkan untuk

mempertegas garis hubungan. Peran sebagai orang tua diperlukan saat konseling mampu

mengungkapkan masalah, didengar, dibantu dan diteguhkan. Oleh karena itu peran sebagai
guru, orang tua dan sahabat akan menjadi kunci penting mengadakan pendekatan dengan

siswa.

Konselor memerlukan kepekaan dalam melakukan peran dan tugasnya, ibaratnya

semua fungsi indera kita dapat digunakan untuk menangkap permasalahan yang dihadapi

siswa. Misalnya dengan sekedar mendengarkan rekan guru bercerita tentang seorang siswa

pada saat mengikuti PBM maka sudah bisa menjadi data yang bisa ditindaklanjuti dengan

melengkapi data-data dari sumber lain. Penanganan masalah siswa tidak lepas dari kerja

sama berbagai pihak antara lain wali kelas, orang tua dan pimpinan sekolah. Wali kelas

merupakan relasi yang sangat erat karena mereka yang pertama kali dilibatkan dalam

menangani masalah siswa di kelasnya. Segala permasalahan didiskusikan bersama dan

dicari pemecahannya.

Orang tua dipanggil ke sekolah setelah permasalahan dicoba selesaikan oleh siswa

sendiri dibantu Konselor, kecuali jika kasus mendesak yang harus segera diselesaikan

bersama orang tua. Peran pimpinan sekolah sebagai pendukung semua program akan

sangat membantu terlaksanannya semua layanan, karena kebijakan yang diambil tidak

lepas dari persetujuan impinan sekolah, begitu juga dengan pengadaan fasilitas Bimbingan

dan Konseling.Bentuk pertanggungjawaban tugas konselor sekolah kepada pimpinan

sekolah dengan membuat laporan tertulis mengenai kegiatan yang dilakukan dalam satu

bulan meliputi kegiatan harian, layanan konseling, bimbingan klasikal di kelas dan absensi

siswa.

Sistem KTSP yang mengharuskan ada aspek pengembangan diri juga menjadi

bagian utama konselor. Pengembangan diri mencakup penerapan nilai yang diukur dengan

skala tertentu. Hal itu penting mengingat tujuan pendidikan bukan hanya mencetak lulusan
dengan nilai akademis tinggi tetapi juga mencetak lulusan dengan kondisi emosi sosial

yang baik. Pengembangan diri menuntut aplikasi penerapan nilai yang dipantau oleh semua

guru bidang studi dan dikelola oleh konselor sekolah. Pemantauan tersebut berdasarkan

nilai-nilai hidup yang dilakukan saat siswa berada di sekolah, juga disisipkan dalam setiap

kegiatan belajar mengajar. Pada akhirnya, tidak ada bagian yang lebih penting dibanding

bagian yang lain karena masing-masing bagian dalam sistem pendidikan di sekolah

mempunyai peran dan fungsi sendiri-sendiri yang bersinergi dan saling melengkapi untuk

membantu siswa mencapai kedewasaan yang optimal dalam berbagai aspek.Untuk itu,

Konselor harus selalu mau belajar baik dari sisi mental spiritual maupun dari sisi

tekhnologi yang semakin canggih.

Fungsi atau peran lembaga bimbingan dan konseling (BK) di sekolah saat ini

kebanyakan belum optimal. Sebab, belum berorientasi kebutuhan siswa dan

pengembangan diri. Fungsinya lebih sekadar kuratif ketimbang preventif. ”Selama ini, BK

kan lebih dianggap sebagai polisi sekolah. Orientasinya sebatas pada pemecahan masalah.

Sehingga, tidak berkembang. Padahal, yang ideal, BK itu harus bisa berorientasi untuk

pengembangan pribadi siswa,” ujar dosen bimbingan konseling UPI, Uman Suherman,

Kamis (31/1). Uman mengatakan, kekeliruan persepsi lembaga BK inilah yang perlu

diluruskan. Seiring dengan upaya itu, perlu peningkatan kompetensi guru. Sudah saatnya

lembaga BK ini dipegang oleh guru-guru yang memiliki latar belakang keahlian di bidang

BK atau setidaknya psikologi. ”Profesionalisme inilah yang kini masih jadi masalah,”

ucapnya.

Menurut Roesleny, guru BK di SMPN 20 Kota Bandung, kendala BK di sekolah

umumnya adalah keterbatasan personil. ”Rata-rata sekolah hanya ada dua, tiga guru BK.
Ini jadi tidak efektif. Yang namanya BK idealnya kan tahu karakter psikologis individu,”

ujar guru yang aktif melakukan penelitian terhadap ilmu BK ini. Dalam praktik di

lapangan, tidak jarang guru BK kerap mengalami benturan kerja dengan pengajar-pengajar

bidang studi. Terutama, soal perbedaan paham terhadap siswa yang indisipliner. ”Mereka

dicap sebagai siswa nakal atau bodoh. Padahal, dalam konteks kurikulum saat ini,

sebetulnya tidak ada siswa yang bodoh. Potensinya kan berbeda-beda. Tinggal mau

diprioritaskan ke mana. Itulah fungsinya BK,” paparnya.

Berdasarkan hasil kajiannya, faktor lingkungan dan latar belakang psikologis bisa

berdampak signifikan terhadap motivasi belajar siswa. Semakin kita tahu inti persoalan itu,

makin mudah kita menyelesaikan persoalan dan memotivasi siswa. Maka, layanan BK di

sekolah yang bertumpu pada aspek formal saatnya ditinggalkan. Di sejumlah sekolah,

lembaga BK bahkan mampu menjembatani kebutuhan siswa dengan minat untuk mencari

perguruan tinggi. Ini misalnya dilakukan di SMAN 5 Kota Bandung. Sehingga, dalam

konteks ini, layanan BK terasa lebih konkret dan bersifat pre-emptif. Tidak lagi sekadar

kuratif atau memperbaiki.

B. Revitalisasi Peran Guru BK

Kehadiran guru bimbingan dan konseling (guru BK) di Indonesia masih relatif

baru. Pada awal 1970-an, profesi ini baru diperkenalkan di negeri ini. Di negeri Paman

Sam tempat dilahirkannya profesi ini; guru BK dikenal dengan istilah scholl counselor

(konselor sekolah). Di Indonesia, pada awalnya dikenal dengan sebutan guru BP

(bimbingan penyuluhan). Karena dalam konteks tugas istilah "konseling" lebih sesuai

daripada "penyuluhan", pada tahap selanjutnya sebutan guru BP berubah menjadi guru BK

(bimbingan konseling).
Pada beberapa daerah ada pula guru BP yang disebut dengan istilah guru

pembimbing. Akhir-akhir ini, penggunaan sebutan "konselor" lebih dianjurkan. Dalam UU

Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (6) disebut istilah "konselor" untuk profesi pendidik

ini. Lebih lanjut dalam buku Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling

dalam Jalur Pendidikan Formal yang dikeluarkan Dirjen PMPTK Depdiknas tahun 2007,

dijelaskan pendidikan minimal konselor adalah sarjana (S1) program studi bimbingan dan

konseling. Diharapkan setelah lulus pendidikan akademik dan memperoleh gelar sarjana

pendidikan (S.Pd) jurusan bimbingan dan konseling, lulusan dapat melanjutkan pendidikan

profesi konselor (PPK).

Alumni program pendidikan profesi konselor ini akan mendapat tambahan gelar

kons di belakang namanya. Kehadiran profesi konselor sekolah ini semata-mata didasari

bahwa pendidikan tidak semata-mata untuk pengembangan aspek kognitif intelektual saja

tetapi juga untuk pengembangan kepribadian, ketrampilan sosial, dan pembinaan karier. Di

Indonesia urgensi profesi ini juga dirasakan. Pemerintah dan pakar pendidikan telah

menyepakati tujuan pendidikan nasional tidak semata-mata untuk membangun kecerdasan

otak. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghadirkan profesi ini dalam kancah

pendidikan. Kegiatan crash program, short course, upgrading dari guru mata pelajaran

menjadi guru BK serta pembukan program diploma tiga (D-3) telah dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan awal guru BK. Namun dalam perkembangannya, peran dan

eksistensi guru BK tidak berjalan optimal. Peran konselor dengan lembaga bimbingan

konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang

sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam

konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disiplin siswa. Memanggil, memarahi,


menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak sekolah. Dengan kata

lain, BK diposisikan sebagai "musuh" bagi siswa bermasalah atau nakal.

Faktor proses pendidikan calon guru BK, lemahnya dukungan kebijakan, keterbatasan

fasilitas, sentimen negatif dalam anggaran dan back ground pendidikan guru BK yang

tidak relevan tampaknya menjadi penyebab utama.

Alhasil, fungsi dan tujuan pendidikan nasional hanya sekadar slogan dan komoditas

politik semata. Tinggi dan luhurnya tujuan pendidikan nasional tidak mampu tersentuh

oleh tangan-tangan pendidik yang cebol. UU No. 20 tahun 2003 Pasal (3) menjelaskan

tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut: "Pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional ini tidak jauh berbeda dengan fungsi dan

tujuan yang pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas terdahulu. Dalam prakteknya, para

pendidik dan tenaga kependidikan lebih mengarahkan keberhasilan pendidikan pada

tingginya nilai rata-rata siswa dan persentase kelulusan dalam ujian nasional. Guru dan

kepala sekolah merasa sangat malu apabila anak didiknya tidak lulus ujian nasional.

Tetapi, mereka tidak malu mengajarkan nilai-nilai yang tidak baik kepada anak didiknya.

Agar tidak malu, mereka rela menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai rata-rata dan

persentase kelulusan yang tinggi dalam ujian nasional.


Yang lebih gila lagi, guru dan kepala sekolah dengan sadar dan sengaja

mengajarkan trik-trik curang dalam ujian nasional, seperti strategi menyontek, memberi

jawaban melalui short message service (SMS) dan cara-cara licik lainnya. Dengan kata

lain, guru dan kepala sekolah telah menentang undang-undang dan nilai-nilai luhur dengan

mengajarkan kebohongan, kecurangan, tipu muslihat, ketidakmandirian, kepalsuan, tidak

bertanggung jawab dan bekerja sama dalam kemungkaran kepada anak didiknya.

Akibatnya, proses pendidikan telah kehilangan bobot dalam proses pembentukan pribadi.

Pembentukan pribadi, pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values)

dan pemeliharaan kepribadian siswa (cura personalis) terabaikan.

Jika kondisi sekarang banyak pejabat yang korupsi, aparat yang tidak disiplin,

pengusaha yang curang, hakim yang tidak adil, pemimpin yang tidak amanah, politisi yang

ingkar, suami yang tidak bertanggung jawab, sesungguhnya itu bagian dari hasil

pendidikan kita yang salah arah. Sandiwara ini harus segera kita hentikan. Kita harus

segera sadar bahwa hidup ini nyata dan bukan sekadar sandiwara. Khusus kepada rekan-

rekan konselor, mari kita bangun dari tidur yang panjang ini.

Berbagai permasalahan kompleks dunia pendidikan telah menanti kita di depan

mata. Mari segera kita amalkan ilmu-ilmu yang telah kita peroleh untuk kemaslahatan

umat. Sudah tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bisa berbuat dan bertindak.Dalam

kondisi darurat seperti saat ini, keterbatasan fasilitas dan anggaran serta lemahnya

dukungan kebijakan tidak boleh jadi penghalang. Tak ada rotan akar pun jadi.

ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), rumah tempat kita

bernaung, berkumpul, dan bertukar pikiran yang selama ini kosong, marilah segera kita
bersihkan, kita rawat, dan kita huni kembali. Kita nyalakan lenteranya sehingga di

dalamnya terdapat sinar yang terang benderang dan mudah-mudahan bisa menerangi

lingkungan di sekitar kita. Dengan berkumpul di sinilah kita akan merasa kuat dan mampu

untuk berbuat. Dengan berbuat kebajikan, akan membuat diri dan bangsa kita menjadi

bermartabat.

DAFTAR PUSTAKA

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor.
Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia.
Bandung: ABKIN

Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.

Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,


Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling.
Jakarta : Balitbang Depdiknas.

Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan
Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan
dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII).
Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.

yamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung :
CV Bani Qureys.

——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya.

Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be
Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.

Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

PERAN BIMBINGAN dan KONSELING di INSTITUSI

PENDIDIKAN
ASWIDY WIJAYA CIPTA

084404071

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2008-2009

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah AWT, atas limpahan berkah, rahmat dan hidayahNya. Salam

dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya

yang telah membimbing manusia menuju jalan yang benar. Makalah ini dapat terwujud

berkat, bantuan dari berbagai pihak. Dan sumber-sumber pustaka yang cukup mudah

dalam proses pengutipannya.

Penulis menyadari segala kekurangan dan keterbatasan bahan perkuliahan ini, oleh

karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis menerima segala perbaikan dari para

pembaca. Akhirnya, mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa tetap mencurahkan

rahmat-Nya pada kita.


Fastabiqul Khaerat

Makassar, Desember 2008

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………………………….i

Kata Pengantar …………………………………………………………………….ii

Daftar Isi …………………………………………………………………………..iii

PERAN BIMBINGAN dan KONSELING di INSTITUSI PENDIDIKAN

A. Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling…………………………..1

B. Revitalisasi Peran Guru BK………………………………………………..13

Daftar Pustaka …………………………………………………………………….18

You might also like