You are on page 1of 2

Kebebasan Pers Orde Baru

Oleh Citra Mustikawati / 41808016

Kata Pers sudah tak asing lagi ditelinga kita. Pertama kali muncul pers pada zaman
pemerintahan Cayus Julius (100-44 SM) di negara Romawi. Saat itu dipancangkan beberapa
papan tulis putih di lapangan terbuka tempat rakyat berkumpul. Papan tulis yang disebut
Forum Romanum itu berisi pengumuman-pengumuman resmi. Menurut isinya, papan
pengumuman ini dapat dibedakan atas dua macam. Pertama Acta Senatus yang memuat
laporan-laporan singkat tentang sidang-sidang senat dan keputusan-keputusannya. Kedua,
Acta Diurna Populi Romawi yang memuat keputusan-keputusan dari rapat-rapat rakyat dan
berita-berita lainnya. Acta Diurna ini merupakan alat propaganda pemerintah Romawi yang
memuat berita-berita mengenai peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui oleh rakyat.

Dalam pandangan orang awam, jurnalistik dan pers dipandang sama atau bisa
dipertukarkan satu sama lain. Namun pada kenyataannya tidak, jurnalistik menujuk pada
proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian jurnalistik
pers berarti proses kegaitan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat dan
menyebarkan berita melalui media berkala pers yakni surat kabar, tabloid atau majalah
kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.

Pada masa orde baru, yakni masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia
dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Pada saat itu pemerintah
seolah mengatakan bahwa sistem pers Indonesia adalah sistem pers liberal. Esensi dasar
sistem ini memandang manusia mempunyai hak asasi dan meyakini bahwa manusia akan bisa
mengembangkan pemikirannya secara bijak jika diberi kebebasan.

Euforia akan kebebasan pun melanda masyarakat Indonesia saat itu. Masyarakat
membayangkan kebebasan berpendapat dalam hal ini pers, terbuka lebar dan diharapkan akan
mengubah keterpurukan akibat pemerintahan orde lama. Berbagai aspek seperti ekonomi,
politik, budaya, dan psikologis rakyat mulai dipulihkan. Presiden Soeharto menggerakkan
pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan yakni stabilitas, pertumbuhan dan
pemerataan. Namun, kebebasan Pers dianaktirikan oleh pemerintah saat itu. Janji-jani awal
tentang kebebasan pun hanya janji.

Pada posisi ini pers mendapatkan begitu banyak tekanan dari pemerintah. Keberadaan
pers atau media dikuasai penuh oleh pemerintah. Ini dikarenakan sistem pemerintahan orde
baru yang otoriter. Tidak heran sistem pers Indonesia saat itu pun berbau otoriter bisa
dikatakan sistem pers pada masa orde baru adalah sistme pers otoriter. Teori ini dikenal

1
sebagai sistem yang paling tua karena dimulai pada masa pemerintahan absolut. Pers dalam
sistem ini berfungsi sebagai penunjang negara untuk memajukan rakyat. Media dikuasai
penuh sekaligus diawasi oleh pemerintah. Berbagai informasi yang akan diberitakan
dikontrol oleh pemerintah karena kekuasaan yang mutlak.

Pers dalam masa orde baru seakan-akan kehilangan jati dirinya sebagai media yang
bebas berpendapat dan menyampaikan informasi. Gerak pers seakan dikekang, pemikiran
media terpenjara oleh kekuasaan pemerintahan orde baru. Pers pun tidak mau hanya diam dan
terus mengikuti permainan politik orde baru. Karena itulah banyak media massa yang
memberontak melalui tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintah, bahkan banyak pula yang
membeberkan keburukan pemerintah. Itulah sebabnya pada tahun 1994 banyak media yang
dibredel, seperti Tempo, deTIK, dan Monitor.

Daftar Pustaka

Ardy, Vera Widiaswari, 2008, Sistem Pers Indonesia Masa Orde Baru, [online],
http://disinijurnalvera.blogspot.com/2008/12/sistem-pers-indonesia-masa-orde-baru.html
(diakses pada tanggal 19 Mei 2010)

Surya, Desayu Eka, 2010, Sistem Pers, [ppt], disampaikan pada kuliah Sistem Komunikasi
Indonesia pertemuan ke-9 dan ke-10, kelas IK-1 Ilmu Komunikasi UNIKOM.

Yuniarsih, Shinta, 2010, Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru, [doc],
http://www.scribd.com/shintayuniarsih, (diakses pada tanggal 19 Mei 2010)

You might also like