Peran Strategis Perguruan Tinggi Dalam Pembangunan Bangsa
Masyarakat yang beradab cenderung memiliki lembaga pendidikan yang baik
dan berkualitas. Sebaliknya, masyarakat yang tertinggal cenderung memilki lembaga yang tidak berkualitas dan asal-asalan. Salah satu bentuk lembaga pendidikan yang berkualitas adalah lembaga pendidikan yang mampu menggali, mengembangkan, mentransfer dan menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang diperlukan untuk memajukan masyarakat yang bersangkutan. Karena itu tidak heran jika perguruan tinggi dijadikan sebagai salah satu pertanda peradaban suatu masyarakat. Keberadaan pendidikan tinggi di Indonesia belum mempunyai sejarah yang panjang bila dibandingkan dengan perkembangan perguruan tinggi di negara-negara Barat dan Timur Tengah. Memang ada sebagian penelitian yang menyebutkan bahwa sejarah perguruan tinggi di Indonesia telah ada sejak tahun 1851 dengan berdirinya sekolah Dokter Jawa. Lalu pada tahun 1902 sekolah tersebut berubah menjadi School Tot Opleiding Van Inlandsch Artzen (STOVIA). Pada tahun 1920-an berdiri Technische Hoge School (THS) yang menjadi cikal bakal Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah itu berdirilah Rech Hoge School (RHS) dan disusul dengan Sekolah Darurat di Jakarta pada tahun 1947 yang kemudian menjadi cikal bakal Universitas Indonesia (UI). Akan tetapi sebenarnya, perguruan tinggi di Indonesia, baru mulai memperlihatkan sebagai perguruan tinggi yang mapan pada tahun 1950-an, setelah bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, yang ditandai dengan munculnya beberapa perguruan tinggi yang menawarkan berbagai macam bidang studi yang bervariatif . Menurut catatan Soehendro (1996), pada tahun 1950 hanya ada dua perguruan tinggi negeri di tanah air, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM) yang didirikan pada tahun 1949 sebagai manifestasi perjuangan kemerdekaan, dan Universitas Indonesia (UI) yang resmi didirikan pada tahun 1950. Pada tahun 1946 berbagai fakultas yang didirikan sebelum perang dunia ke-2 dan yang tersebar di beberapa kota besar dikonsolidasi di bawah naungan satu payung kelembagaan bernama Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia, berkedudukan di Jakarta. Lembaga Pendidikan ini kemudian menjadi Universitas Indonesia pada tahun 1950. Pada dasawarsa 1951-1960 fakultas-fakultas di luar kota Jakarta yang pada tahun 1950 menjadi bagian dari Universitas Indonesia kemudian berkembang menjadi empat lembaga pendidikan tinggi yang terpisah. Universitas Airlangga didirikan pada tahun 1954 di Surabaya, Universitas Hasanuddin pada tahun 1956 di Ujungpandang, Institut Teknologi Bandung pada tahun 1959; dan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1963. Semua fakultas yang berkedudukan di Jakarta menjadi inti dari Universitas Indonesia. Dasawarsa 1951-1960 menyaksikan pertumbuhan yang sangat pesat dalam jumlah lembaga pendidikan tinggi. Di samping UGM dan UI, lembaga pendidikan tinggi bertambah dengan 16 buah, yaitu 13 universitas dan institut negeri, serta 3 institut perndidikan tinggi negeri, tersebar di seluruh tanah air. Sebanyak 16 universitas dan institut negeri, serta 7 institut pendidikan tinggi negeri dibangun dalam dasawarsa 1961-1970. Dengan demikian terwujudlah aspirasi politik untuk mendirikan sekurang-kurangnya satu perguruan tinggi negeri di setiap propinsi. Sampai tahun 1950-an kelembagaan pendidikan tinggi di Indonesia menyerupai pola Eropa kontinental pra-Perang Dunia ke-2. Perubahan ke arah yang lebih mirip dengan sistem Amerika kontinental terjadi mulai pertengahan dasawarsa 1950-an dengan adanya bantuan luar negeri untuk mengembangkan IPB, ITB, UI, dan UGM. Tenaga pengajar muda empat perguruan tinggi itu dikirim dalam jumlah yang sangat besar untuk mengikuti program master dan doktor di Amerika Serikat. Kekosongan tenaga pengajar yang terjadi di isi oleh guru besar dari perguruan- perguruan tinggi di negeri itu. Gagasan tentang pembaharuan di perguruan tinggi mengemuka setelah para tenaga pengajar kembali dari tugas belajar di luar negeri dan iklim politik pasca tahun 1965 memungkinkan perwujudannya. Pada awal dasawarsa 1970-an diselenggarakan proyek percontohan untuk menjajaki sistem studi terencana guna mengganti sistem studi bebas warisan masa sebelum Perang Dunia ke-2.Perintisan melalui proyek percontohan ini pada akhirnya menegakkan sistem pengajaran baru yang memungkinkan mahasiswa menempuh studi secara lebih terencana, karena sistem ini : (1) mewajibkan mahasiswa mengikuti kuliah dan mengerjakan tugas latihan, (2) memperhitungkan beban kerja pengajar dan mahasiswa, (3) memiliki acara serta jadwal pengajaran dan ujian yang teratur, serta (4) menerapkan adminsitrasi pengajaran yang lebih rapih. Cara baru yang kemudian dikenal sebagai Sistem Kredit Semester ini membuka jalan untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi berskala besar dengan efektif dan efsien. Pertumbuhan dalam jumlah lembaga yang demikian pesat, serta perubahan ke sistem studi terencana yang lebih menekankan efisiensi dalam penyelenggaraan pendidikan, telah menimbulkan situasi transisi yang dicirikan oleh perkembangan tanpa kesatuan pola dan kinerja yang kurang meyakinkan. Karena itu, pemerintah berhasrat untuk memperbaiki keadaan perguruan tinggi di Indonesia itu, yang seiring dengan pembangunan bangsa Indonesia melalui program-program Repelita, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Paling tidak ada dua peran yang dimainkan perguruan tinggi dalam mendukung pembangunan bangsa Indonesia ini menuju bangsa yang maju dan beradab. Kedua peran tersebut adalah: 1. Perguruan Tinggi sebagai agen perubahan (agent of change) 2. Perguruan Tinggi sebagai pencipta dan pendukung gagasan-gagasan baru Peran perguruan tinggi dalam pengembangan sumber daya manusia Indonesia ini sangat besar, terutama sebagai penghasil agen-agen perubahan (change agent) yang mampu merancang, mendorong dan mempelopori perbuhan. Perguruan tinggi adalah pencipta dan pendukung gagasan-gagasan baru, dan perguruan tinggi telah memberi sumbangan yang besar bagi kemajuan intelektual dan sosial masyarakat. Perguruan tinggi sebagai pendorong kemajuan intelektual dan sosial masyarakat memiliki posisi yang sangat strategis dalam membangun bangsa ini lewat pendidikan yang diselenggarakannya. Karena itu, kualitas perguruan tinggi harus senantiasa diperhatikan dan tidak diselenggarakan secara asal-asalan. Jika perguruan tinggi diselenggarakan secara asal-asalan, maka alumni yang dihasilkannya juga akan menjadi orang-orang yang asal-asalan. Karena itu pula, pemerintah harus lebih ketat lagi dalam melakukan pengawasan terhadap kualitas penyenggaraan perguruan tinggi dan tidak dengan mudahnya memberikan izin penyelenggaraan perguruan tinggi jika sarana dan prasarana yang dibutuhkan tidak mendukung. Perguruan tinggi bukan hanya sekedar tempat untuk pengajaran atau kuliah saja, tetapi sebagai pencipta dan pendukung gagasan-gagasan baru melalui penelitian dan pengabdian masyarakat. Jika perguruan tinggi tidak melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat, maka peran perguruan tinggi sebagai agent of change dan pencipta gagasan-gagasan baru di masyarakat kurang dirasakan manfaatnya. Wallahu a’lam bishawab.