You are on page 1of 11

Perguruan Tinggi sebagai Lembaga Birokrasi

Pengertian awal tentang birokrasi biasanya merujuk kepada tulisan Max


Weber (1947) yang monumental tentang birokrasi. Weber sendiri sebenarnya
mengembangkan teori birokrasi ini dari karya Gullic (1937) tentang administrasi
publik. Bila dilacak lebih jauh ke belakang, teori birokrasi masih memiliki hubungan
yang erat dengan teori pendekatan ilmiah yang dikemukaan oleh Taylor (1924).
Weber sebenarnya adalah seorang sosiolog Jerman yang kenamaan abad ke-19 yang
gagasan-gagasannya sangat berpengaruh terhadap negara-negara Eropa, khususnya
negara-negara yang berbahasa Inggris. Salah satu karyanya yang sangat berpengaruh
tersebut adalah tentang konsep tipe ideal birokrasi. Menurut Dowding (1995) konsep
ini sebenarnya muncul tidak lepas dari keadaan semasa Weber hidup. Weber
berpendapat bahwa tidak mungkin kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada
secara keseluruhan, tetapi yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian
dari gejala tersebut. Dengan demikian tipe ideal organisasi adalah abstaksi dari aspek-
aspek yang amat sangat penting dan krusial yang membedakan antara kondisi
organsisasi tertentu dengan organisasi lainnya. Akan tetapi satu konsep tipe ideal
hanyalah sebuah konstruksi yang bisa menjawab suatu masalah tertentu pada kondisi
waktu dan tempat tertentu. Tipe ideal tersebut bisa dipergunakan untuk membanding
antara birokrasi orangasasi yang satu dengan organisasi yang lain. Tipe ideal birokrasi
ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi mempunyai bentuk yang
pasti di mana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional.
Weber (1964) menetapkan seperangkat prinsip-prinsip organisasi, yang
dianggap universal dalam aplikasinya. Prinsip-prinsip ini akan menuntun suatu
organisasi menuju tingkat efisiensi maksimum yang lebih tinggi.
1. Struktur Hirarkis: Otoritas dalam suatu organisasi didistribusikan dalam
konfigurasi piramid; tiap pejabat bertanggungjawab terhadap tindakan dan
keputusan bawahannya.
2. Pembagian Kerja: Karena berbagai tugas yang harus dikerjakan dalam suatu
organisasi terlalu kompleks untuk dipelajari semua orang dengan kompetensi yang
sama, timbul efisiensi yang lebih besar ketika tugas dibagi-bagi kedalam bidang-
bidang keahlian khusus dan orang-orang ditentukan tugas-tugasnya sesuai dengan
pelatihan, skill, dan pengalamannya.
3. Kontrol oleh peraturan: Keputusan dan tindakan pejabat diarahkan oleh
peraturan yang terkodifikasi, sehingga menjamin keseragaman, prediktabilitas,
dan stabilitas.
4. Hubungan Impersonal: Kontrol atas orang dan aktivitas dalam suatu
organisasi dapat diadakan secara lebih efisien jika unusr-unsur yang murni
personal, emosional, dan irasional dihilangkan. Para anggota organisasi tunduk
pada disiplin yang keras dan sistematik dalam perilaku dan kontrol atas jabatan
mereka.
5. Orientasi pada Karir: Kesempatan kerja didasarkan pada keahlian, promosi
diberikan sesuai dengan senioritas dan/atau jasa, gaji dikaitkan dengan kedudukan
dalam hirarki, individu selalu bebas untuk berhenti, dan terdapat ketentuan
pensiun. Semua unsur ini berkontribusi bagi pembentukan karir karyawan.
Menurut Robert Merton (1957), manfaat utama birokrasi terletak pada
efisiensi teknisnya, bersifat presisi, cepat, terkontrol, kontinyu dan memiliki hasil
yang optimal. Di samping itu dalam birokrasi hubungan-hubungan yang bersifat
personal dan pertimbangan-pertimbangan yang tidak rasional seperti permusuhan,
kebencian, hubungan persaudaraan, tidak dijadikan sebagai dasar bagi penetapan
struktur.
Lebih jelasnya, menurut Weber dalam Miftah Thoha (2003: 17-18) bahwa
tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi
dibatasi oleh jabatannya manakala is menjalankan tugas-tugas atau
kepentingan individual dalam jabs tannya. Pejabat tidak bebas menggunakan
jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk
keluarganya.
2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki
dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan
bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang
lebih kecil.Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik
berbeda satu sama lainnya.
3. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus
dijalankan. Uraian tugas (job description) masingmasing pejabat merupakan
domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai
dengan kontrak.
4. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profe-
sionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
5. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk
menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya.
6. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa
diakhiri dalam keadaan tertentu.
7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas
dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan
yang objektif.
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan
jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan peng-
awasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin. (Weber, 1978 dan Albrow, 1970)
Meskipun prinsip-prinsip birokrasi yang dijelaskan Weber di atas kelihatan
bagus dan ideal, sayangnya banyak orang yang bingung dengan tipe ideal tersebut,
sehingga mereka menganggap birokrasi Weber tidak bisa lagi diterapkan dalam
organisasi modern. Karena itu, muncullah banyak kritik tentang penerapan birokrasi
Weber tersebut dengan alasan yang bervariatif. Di antara mereka yang mengkritik
sistem birokrasi model Weberian adalah Warrant Bennis (1967). Dia mengatakan
bahwa birokrasi Weberian, 25 hingga 50 tahun yang akan datang akan jatuh dan
diganti dengan sistem sosial yang baru yang sesuai dengan harapan masyarakat pada
abad ke-20. Bennis menjelaskan bahwa setiap zaman tertentu akan mengembangkan
suatu tatanan sistem organisasi yang sesuai dengan zamannya. Karena itu, tidak heran
jika bentuk birokrasi piramidal model Weberian ini oleh sebagian kaum pebisnis
disebut dengan "The Damm Bureucracy" (birokrasi terkutuk) karena dianggap telah
ketinggalan zaman.
Kritikan serupa juga dilontarkan oleh Lawrence dan Lorch (1967). Ia
mengatakan bahwa sistem birokrasi hanya cocok untuk situasi lingkungan yang
kompleks dan tidak menentu, jika birokrasi ingin selalu bertahan, maka birokrasi
harus mau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah.
Akhir-akhir ini, kritikan terhadap sistem birokrasi juga masih gencar
dilakukan, seperti yang dilontarkan oleh Heckscher dan Donellon (1994). Mereka
mengatakan bahwa bentuk organisasi yang cocok untuk masa depan adalah apa yang
mereka namakan dengan Post Bureaucratic Organization yang berbeda dengan
birokrasi model Weberian. Menurut mereka berdua bahwa bentuk organisasi masa
depan tidak hanya menempatkan diri pada koherensi internal dan pemusatan
kekuasaan, akan tetapi juga memusatkan pada interaksi eksternal dan interaksi sosial
yang berhubungan dengannya. Menurut Bachrach (1992), kekuasaan bukan satu-
satunya alat yang ampuh untuk melaksanakan birokrasi tanpa diimbangi kewenangan
melalui persuasi dan dialog.
Hanson (1991) menjelaskan beberapa sifat buruk birokrasi sebagai akibat tak
terduga dari penerapan prinsip-prinsip birokrasi klasik yang ketat. Di antara sifat
buruk tersebut adalah: Pertama, Birokrasi menghalangi proses perubahan. Semua
organisasi formal pasti mempunyai hirarki, tetapi adanya mekanisme seperti itu,
dengan asumsi-asumsi rasionalitasnya, mempunyai banyak sekali akibat tak terduga.
Menurut Max Abbott (1969), hirarki dapat menghalangi proses perubahan. Dalam
suatu hirarki dengan lima tingkat, misalnya, terdapat setidaknya empat orang yang
dapat menghalangi dengan kekuasaannya sebuah ide cemerlang yang datang dari
tingkat terendah (yang tentu saja paling dekat dengan masalah yang ada). Dengan
demikian, hirarki organisasi mempunyai kecenderungan untuk memperlambat proses
perubahan. Begitu juga, dalam etos masyarakat kapitalis ada pandangan bahwa
kesuksesan dan status dalam kehidupan kerja seseorang dicapai dengan menaiki
hirarki. Daftar gaji disusun untuk mencerminkan pandangan bahwa kian tinggi orang
menaiki hirarki, kian berharga orang tersebut bagi organisasi dan dengan demikian
lebih banyak uang yang akan diterima seseorang. Situasi yang patut disayangkan yang
sering timbul dari kondisi-kondisi ini adalah bahwa guru-guru yang baik sering
meninggalkan ruang kelas demi posisi administrasi agar “sukses” dalam profesi.
Sayangnya, skill yang diperlukan untuk menjadi guru yang baik dan skill yang
diperlukan untuk menjadi administrator yang baik sama sekali berbeda. Akibatnya,
guru yang baik sering menjadi administrator yang buruk.
Kedua, birokrasi dapat menyebabkan munculnya peraturan yang mencemooh,
peraturan representatif, dan peraturan yang berpusat pada hukuman
Hanson mengutip tulisan Alvin Gouldner bahwa peraturan memiliki lima
fungsi dalam organisasi:
1. Peraturan ada seperti sebagai padanan dari perintah langsung yang bersifat
personal.
2. Peraturan menyediakan pengganti pengulangan perintah personal oleh
seorang pengawas.
3. Peraturan bekerja menetapkan dan membatasi bidang diskresi
pengambilan keputusan seorang bawahan.
4. Peraturan memfasilitasi kemampuan “kendali jarak jauh” bagi manajer.
5. Peraturan menjalankan fungsi pelegitimasi hukuman.
Dari kelima fungsi di atas, menurut Gouldner dapat menyebabkan munculnya
tiga bentuk peraturan dalam organisasi, yaitu peraturan yang mencemooh, peraturan
yang representatif dan peraturan yang berpusat pada hukuman.
Peraturan yang mencemooh adalah peraturan yang ditetapkan oleh
sekelompok orang yang hanya berlaku bagi orang di luar organisasinya, tetapi tidak
berlaku bagi orang dalam, baik menejer maupun pekerja.
Peraturan yang representatif adalah peraturan yang dibuat oleh managemen
dan dipatuhi oleh pekerja. Manajemen dan pekerja bisa bersama-sama membuat
peraturan yang berlaku bagi mereka sendiri. Misalnya, tenaga pengajar dan
administrator membuat aturan mengenai keselamatan anak-anak pada saat di bangku
sekolah dan aturan yang menginginkan para orang tua untuk meneliti terlebih dahulu
keadaan ruangan kepala sekolah sebelum masuk ke kelas dan berbicara dengan guru.
Aturan yang berhubungan dengan hukuman muncul “sebagai tanggapan
terhadap tekanan baik dari para pekerja atau pihak manajemen, tapi tidak dijalankan
oleh mereka. Kelompok yang tidak menjalankan aturan tersebut menggambarkan ini
sebagai hal yang dipaksakan oleh orang lain”. Pemaksaan aturan-aturan ini bisa
mengganggu nilai satu kelompok dan “membawakan tekanan dan konflik yang cukup
besar”. Aturan-aturan ini dipaksakan dengan hukuman. Contoh dari aturan ini adalah
larangan bagi pegawai pemerintah untuk mengadakan demo. Pengajar cenderung
menggambarkan aturan ini sebagai alat dari manajemen dan terus menerus
menentangnya dengan cara keluar dari pekerjaan dan menciptakan konflik.
Meskipun birokrasi dianggap memiliki banyak kelemahan dalam
penerapannya, akan tetapi hingga sekarang prinsip-prinsip birokrasi masih dipakai
untuk mengatur segala macam organisasi, terutama organisasi formal, baik organisasi
yang berada di bawah naungan pemerintah maupun swasta. Di antara organisasi yang
menerapkan sistem birokrasi adalah pendidikan tinggi.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka bahwa perguruan tinggi adalah
lembaga yang memiliki tiga misi utama, yaitu penelitian, pendidikan dan pengajaran,
dan pengabdian kepada masyarakat. Menurut Parkin (1966) ketiga misi utama
tersebut mengacu pada tiga aspek pengetahuan, yaitu penggalian (acquisiton),
pemindahan (transmision), dan penerapan (aplication). Pengetahuan diperoleh atau
digali melalui proses penelitian, pengetahuan yang diperoleh tersebut kemudian
dialihkan dari satu generasi ke generasi berikutnya supaya dapat dipelihara
kelangsungan hidupnya (survive). Setelah pengetahuan tersebut ditransfer, maka
harus diterapkan dalam masyarakat supaya tidak hanya menjadi teori yang
berkembang dari buku ke buku. Agar semua misi pokok perguruan tinggi tersebut
dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan organisasi yang mengaturnya.
Menurut Victor (1986) Perguruan tinggi merupakan organisasi yang unik,
yang berbeda dengan organisasi industri, birokrasi pemerintah dan organisasi bisnis.
Perguruan tinggi merupakan organisasi yang komplek. Seperti organisasi lainnya,
perguruan tinggi memiliki tujuan, sistem dan struktur hirarki, para pegawai yang
mengerjakan tugas-tugas tertentu, ada proses pembuatan keputusan yang menentukan
kebijakan institusi, ada administrasi birokratis yang menangani urusan-urusan rutin.
Akan tetapi perguruan tnggi juga memiliki banyak karakter yang berbeda dengan
organisasi-organisasi lain yang berakibat pada proses pembuatan keputusan-
keputusannya.
Kebanyakan organisasi berorientasi pada tujuan, sebagai konsekuensinya
mereka dapat membuat struktur keputusan yang fleksibel untuk mencapai tujuan-
tujuannya yang telah ditetapkan. Organisasi bisnis misalnya ingin mendapatkan profit,
birokrasi pemerintah memiliki tugas-tugas yang diatur dalam undang-undang, rumah
sakit berusaha mengobati orang sakit dan sebagainya. Sebaliknya perguruan tinggi
memiliki tujuan yang kadang ambigu dan mereka harus membuat proses keputusan
yang rumit yang disertai dengan ketidakpastian dan konflik. Apakah tujuan perguruan
tinggi? Ini merupakan pertanyaan yang susah dijawab. Mungkin akan dijawab bahwa
tujuan perguruan tinggi adalah untuk memberikan pengajaran, penelitian, pelayanan
kepada masyarakat lokal, mengadministrasikan penemuan ilmiah, mendukung seni,
memberikan solusi pada masalah-masalah sosial dan sebagainya. Tetapi tujuan yang
secara pasti memang sulit untuk didapatkan. Karena ambiguitas inilah yang kemudian
Cohen dan March (1974: 195) mengatakan,
"Almost any educated person could deliver a lecture entitle "The goals of the
University". Almost no one will listen to the lecture voluntarily. For the part, such
lectures and their companion essays are well intentioned exercises in social rhetoric,
with little operational content. Effort to generate normative statements of the goals of
the university tend to peduce that are either meaningless or dubious…"

Karena itulah kemudian Victor menjadikan "tujuan yang ambigu" menjadi


salah satu karakteristik utama organisasi akademik. Sangat jarang di antara perguruan
tinggi-perguruan tinggi itu yang memiliki tujuan yang sama. Sebaliknya, mereka
sering mencoba segala hal kepada semua orang. Karena tujuan mereka yang utama
tidak jelas, maka mereka pun sulit menolak tujuan-tujuan baru yang muncul. Edward
Gross (1968) pernah menganalisis tujuan-tujuan fakultas dan administrator di
sebagian besar universitas Amerika dan mendapatkan hasil yang sangat
mencengangkan. Dia menemukan lebih dari 40 tujuan yang berbeda-beda antara satu
perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lainnya. Jumlah perbedaan tujuan itu, sama
banyaknya dengan jumlah perguruan tinggi yang ada di Amerika.
Karakteristik lain dari perguruan tinggi adalah rentan terhadap lingkungan.
Hampir semua organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya untuk bisa
eksis. Memang tidak ada organisasi yang sangat otonom dalam menentukan
langkahnya, tetapi bisa jadi satu organisasi lebih otonom dibandingkan dengan
organisasi lain. Tingkat otonomi suatu organisasi ketika berhadapan dengan
lingkungannya merupakan salah satu diterminan penting untuk menentukan
bagaimana ia akan diatur. Misalnya, ekonomi pasar bebas, firma bisnis, dan idustri
memiliki tingkat otonomi yang substansial. Meskipun mereka diatur oleh agen-agen
pemerintah dan didesak oleh para pelanggannya, secara esensial mereka adalah agen
yang bebas merespon kebutuhan pasar daripada kontrol pemerintah. Di sisi lain, ada
organisasi yang kelihatannya bebas tetapi sebenarnya selalu ditekan oleh
lingkungannya. Misalnya sekolah-sekolah negeri, pada dasarnya mereka selalu
diawasi dan ditekan oleh masyarakat yang mereka awasi.
Begitu juga perguruan tinggi. Pada saat ini perguruan tinggi mulai bergerak
dari organisasi yang independen menuju organisasi yang terkooptasi. Dalam beberapa
hal perguruan tinggi memang terisolasi dari lingkungannya. Tetapi akhir-akhir ini,
kekuatan eksternal telah mulai menekan perguruan tinggi (Victor, 1986) dan apa yang
terjadi kemudian? Fakultas dan adninistrator kehilangan kontrol mereka terhadap
kurikulum, tujuan dan kegiatan harian institusi. Pada tahap selanjutnya, para
profesional akademis sedikit demi sedikit kehilangan otonominya hingga mereka
menjadi seperti seorang buruh yang mengerjakan segala sesuatu di bawah kekuasaan
birokrasi.
Memang, sejak diterimanya konsep birokrasi ke dalam pengaturan organisasi,
maka dengan cepat sistem birokrasi dipakai dalam mengatur berbagai macam bentuk
organasisai, baik milik swasta maupun milik pemerintah. Sistem birokrasi juga tidak
hanya digunakan dalam mengatur organisasi perusahaan atau industri, tetapi juga
organisasi-organisasi pemerintahan termasuk pendidikan. Hampir semua lembaga
pendidikan menerapkan sistem birokrasi dalam mengatur urusan-urusan
rumahtangganya, baik urusan yang berkaitan dengan masalah akademik maupun non
akademik. Meskipun para pakar menyebut birokrasi pendidikan dengan sebutan yang
berbeda-beda, tetapi semuanya mengakui adanya birokrasi dalam pengelolaan sekolah
atau perguruan tinggi. Jaap Scheerens (1992: 22) mengutip dari Mintzberg (1979:
373) menyebut birokrasi dalam lembaga pendidikan itu dengan birokrasi profesional.
Demikian itu karena struktur organisasi dalam dunia pendidikan bersifat "datar", yang
mana kebanyakan kekuatan dikesampingkan karena profesionalitas. Kepemimpinan
dalam birokrasi profesional hanya berfungsi menangani gangguan, memelihara atau
membatasi tugas-tugas yang berkaitan dengan profesionalitas.
Victor (1986: 13) teleh merekam catatan para sosiolog yang melakukan
sejumlah observasi penting tentang ciri-ciri para pekerja profesional dimanapun
mereka bekerja. Ciri-ciri mereka adalah sebagai berikut:
1. Para profesional membutuhkan otonomi dalam kerja mereka. Karena merasa
memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang mereka, maka mereka
membutuhkan kebebasan dari pengawasan dalam menerapkan keahliannya.
2. Para profesional biasanya memiliki loyalitas yang terpecah. Mereka memiliki
kencenderungan "kosmopolitan" dan memiliki loyalitas yang tinggi kepada
"teman-teman seprofesi" mereka pada tingkat nasional, yang kadang-kadang
mengalahkan loyalitasnya kepada organisasi lokal.
3. Ada tekanan yang kuat antara nilai-nilai profesionalitas dan harapan birokrasi
dalam organisasi. Hal ini secara intensif bisa menimbulkan konflik antara pekerja
profesional dengan manejer organisasi.
4. Para profesional membutuhkan kelompok evaluasi untuk kerja mereka.
Mereka percaya bahwa hanya kolega mereka saja yang bisa mengkritisi
performansi mereka dan mereka menolak evaluasi dari orang lain, termasuk
orang-orang yang secara teknik lebih superior dalam hirarki organisasi.
Semua karakteristik di atas akhirnya memotong norma-norma birokrasi
tradisional, menolak hirarkinya, struktur kontrol, dan prosedur manajemen. Karena
itulah menurutnya, dibutuhkan tipe manajemen berbeda dalam organisasi profesional.
Salah satunya adalah dengan cara memecah staf profesinal. Maksudnya para
profesional dibagi berdasarkan profesi mereka masing-masing ke dalam kelompok-
kelompok kecil. Dalam hal ini Burton R. Clark mengatakan:
The internal controls of the medical profession are strong and are substituted
for those of the organization. But in the college or university this situation does
not
obtain; there are twelve, twenty-five, or fifty clusters of experts. The experts
are prone to identify with their own disciplines, and the "academic profession"
overall comes off a poor second. We have wheels within wheels, many professions
within a profession. No one of the disciplines on a campus is likely to dominate the
others.... The campus is not a closely knit group of professionals who see the
world from one perspective. As a collection of professionals, it is decentralized,
loose, and flabby.
The principle is this: where professional influence is high and there is one
dominant professional group, the organization will be integrated by the
imposition of professional standards. Where professional influence is high and
there are a number of professional groups, the organization will be split by
professionalism. The university and the large college are fractured by
expertness, not unified by it. The sheer variety supports the tendency for
authority to diffuse toward quasi-autonomous clusters (Clark, 1963: 97, 51).

Pernyataan di atas menggambarkan bahwa menurut Clark dominasi


profesional tertentu di perguruan tinggi jarang terjadi karena di perguruan tinggi
terdapat kelompok-kelompok profesional yang jumlahnya relatif sama besar, sehingga
mudah dikendalikan. Jika para profesional lebih dominan dalam organisasi, maka
kekuasaan dalam organisasi itu akan terpecah antara pejabat birokrasi dan para
profesional. Karena itu kembali lagi pada pernyataan Minzberg dan Jaap Sheeren di
atas bahwa birokrasi yang diterapkan dalam mengatur sekolah pada umumnya dan
pendidikan tinggi pada khususnya adalah birokrasi profesional yang bersifat datar dan
fleksibel.
Namun demikian, sejumlah pakar lain mengatakan bahwa dalam organisasi
perguruan tinggi, model birokrasi Weberian sangat mungkin diterapkan. Menurut
Herbert Stroup (1966) ada banyak hal dalam birokrasi perguruan tinggi yang memiliki
karakteristik yang sama dengan model birokrasi Weber. Sebagaimana dikemukakan
pada sub bab sebelumnya bahwa birokrasi Weberian memiliki karakteristik umum
sebagai berikut: kompetensi merupakan kriteria yang dijadikan dasar untuk ditunjuk
menduduki jabatan, para pejabatnya ditunjuk langsung tanpa pemilihan, gaji
ditetapkan langsung berdasarkan jabatan, adanya tingkat wewenang diakui
keberadaannya dan dihormati, tugas-tugas bersifat eksklusif dan tidak mengerjakan
tugas lain, pola hidup anggota organisasi terpusat pada organisasi, keamanan terjamin
jika mengikuti sistem, dan antara individu dan organisasi dibedakan.
Berdasarkan kriteria-kriteria di atas maka Stroup yakin bahwa paradigma
birokrasi Weber dapat diterapkan pada perguruan tinggi dan banyak pengamat
menyadari adanya faktor-faktor birokrasi terlibat dalam administrasi perguruan tinggi.
Menurut Victor (1986) di antara karakteristik yang menonjol dari bentuk birokrasi di
perguruan tinggi adalah sebagai berikut:
1. Perguruan Tinggi merupakan organisasi kompleks yang berada di bawah
kekuasaan pemerintah sebagaimana birokrasi-birokrasi lainnya. Ini merupakan
kenyataan yang tidak bisa dielakkan, sehingga memiliki konsekuensi-konsekuensi
birokratis tertentu, khususnya ketika pemerintah ingin meningkatkan kontrolnya
terhadap Perguruan Tinggi.
2. Perguruan Tinggi memiliki hirarkhi formal di antara pegawai dan ada aturan-
aturan tertentu yang mengatur hubungan antar para pegawai. Professor, dosen dan
asisten peneliti mungkin dianggap sebagai pegawai birokratis seperti dekan, ketua
dan presiden.
3. Ada hubungan komunikasi formal yang harus dihormati bersama.
4. Ada hubungan otoritas birokrasi tertentu yang mana seorang pejabat
menerapkannya kepada yang lain. Di Perguruan Tinggi hubungan otoritas ini
sering berganti dan bergeser, tetapi tidak seorang pun menyanggah bahwa otoritas
birokrasi itu ada.
5. Ada keputusan dan aturan formal yang mengatur sebagian besar kerja institusi,
seperti pedoman perpustakaan, pedoman keuangan, prosedur senat Perguruan
Tinggi dan sebagainya.
6. Elemen birokrasi Perguruan Tinggi semakin kelihatan jelas pada aspek-aspek
"people processing" seperti: pendataan siswa, registrasi, syarat-syarat kelulusan,
dan rutinitas kampus lainnya, yang mana dari hari ke hari, aktivitas-aktivitas itu
didesain untuk membantu Perguruan Tinggi modern menangani urusan-urusan
yang berhubungan dengan mahasiswa.
7. Proses-proses pengambilan keputusan sangat birokratis, utamanya oleh para
pejabat yang bertanggung jawab membuat keputusan tersebut berdasarkan struktur
administrasi formal. Misalnya, keputusan tentang masalah akademik ditangani
oleh bagian akademik, keputusan tentang masalah keuangan ditetapkan oleh
pejabat bidang keuangan, keputusan dalam bidang administrasi diputuskan oleh
pejabat administrasi dan sebagainya.

You might also like