Pengertian awal tentang birokrasi biasanya merujuk kepada tulisan Max
Weber (1947) yang monumental tentang birokrasi. Weber sendiri sebenarnya mengembangkan teori birokrasi ini dari karya Gullic (1937) tentang administrasi publik. Bila dilacak lebih jauh ke belakang, teori birokrasi masih memiliki hubungan yang erat dengan teori pendekatan ilmiah yang dikemukaan oleh Taylor (1924). Weber sebenarnya adalah seorang sosiolog Jerman yang kenamaan abad ke-19 yang gagasan-gagasannya sangat berpengaruh terhadap negara-negara Eropa, khususnya negara-negara yang berbahasa Inggris. Salah satu karyanya yang sangat berpengaruh tersebut adalah tentang konsep tipe ideal birokrasi. Menurut Dowding (1995) konsep ini sebenarnya muncul tidak lepas dari keadaan semasa Weber hidup. Weber berpendapat bahwa tidak mungkin kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan, tetapi yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian dari gejala tersebut. Dengan demikian tipe ideal organisasi adalah abstaksi dari aspek- aspek yang amat sangat penting dan krusial yang membedakan antara kondisi organsisasi tertentu dengan organisasi lainnya. Akan tetapi satu konsep tipe ideal hanyalah sebuah konstruksi yang bisa menjawab suatu masalah tertentu pada kondisi waktu dan tempat tertentu. Tipe ideal tersebut bisa dipergunakan untuk membanding antara birokrasi orangasasi yang satu dengan organisasi yang lain. Tipe ideal birokrasi ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi mempunyai bentuk yang pasti di mana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Weber (1964) menetapkan seperangkat prinsip-prinsip organisasi, yang dianggap universal dalam aplikasinya. Prinsip-prinsip ini akan menuntun suatu organisasi menuju tingkat efisiensi maksimum yang lebih tinggi. 1. Struktur Hirarkis: Otoritas dalam suatu organisasi didistribusikan dalam konfigurasi piramid; tiap pejabat bertanggungjawab terhadap tindakan dan keputusan bawahannya. 2. Pembagian Kerja: Karena berbagai tugas yang harus dikerjakan dalam suatu organisasi terlalu kompleks untuk dipelajari semua orang dengan kompetensi yang sama, timbul efisiensi yang lebih besar ketika tugas dibagi-bagi kedalam bidang- bidang keahlian khusus dan orang-orang ditentukan tugas-tugasnya sesuai dengan pelatihan, skill, dan pengalamannya. 3. Kontrol oleh peraturan: Keputusan dan tindakan pejabat diarahkan oleh peraturan yang terkodifikasi, sehingga menjamin keseragaman, prediktabilitas, dan stabilitas. 4. Hubungan Impersonal: Kontrol atas orang dan aktivitas dalam suatu organisasi dapat diadakan secara lebih efisien jika unusr-unsur yang murni personal, emosional, dan irasional dihilangkan. Para anggota organisasi tunduk pada disiplin yang keras dan sistematik dalam perilaku dan kontrol atas jabatan mereka. 5. Orientasi pada Karir: Kesempatan kerja didasarkan pada keahlian, promosi diberikan sesuai dengan senioritas dan/atau jasa, gaji dikaitkan dengan kedudukan dalam hirarki, individu selalu bebas untuk berhenti, dan terdapat ketentuan pensiun. Semua unsur ini berkontribusi bagi pembentukan karir karyawan. Menurut Robert Merton (1957), manfaat utama birokrasi terletak pada efisiensi teknisnya, bersifat presisi, cepat, terkontrol, kontinyu dan memiliki hasil yang optimal. Di samping itu dalam birokrasi hubungan-hubungan yang bersifat personal dan pertimbangan-pertimbangan yang tidak rasional seperti permusuhan, kebencian, hubungan persaudaraan, tidak dijadikan sebagai dasar bagi penetapan struktur. Lebih jelasnya, menurut Weber dalam Miftah Thoha (2003: 17-18) bahwa tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala is menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabs tannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya. 2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya. 3. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masingmasing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak. 4. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profe- sionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif. 5. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. 6. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu. 7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif. 8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. 9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan peng- awasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin. (Weber, 1978 dan Albrow, 1970) Meskipun prinsip-prinsip birokrasi yang dijelaskan Weber di atas kelihatan bagus dan ideal, sayangnya banyak orang yang bingung dengan tipe ideal tersebut, sehingga mereka menganggap birokrasi Weber tidak bisa lagi diterapkan dalam organisasi modern. Karena itu, muncullah banyak kritik tentang penerapan birokrasi Weber tersebut dengan alasan yang bervariatif. Di antara mereka yang mengkritik sistem birokrasi model Weberian adalah Warrant Bennis (1967). Dia mengatakan bahwa birokrasi Weberian, 25 hingga 50 tahun yang akan datang akan jatuh dan diganti dengan sistem sosial yang baru yang sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20. Bennis menjelaskan bahwa setiap zaman tertentu akan mengembangkan suatu tatanan sistem organisasi yang sesuai dengan zamannya. Karena itu, tidak heran jika bentuk birokrasi piramidal model Weberian ini oleh sebagian kaum pebisnis disebut dengan "The Damm Bureucracy" (birokrasi terkutuk) karena dianggap telah ketinggalan zaman. Kritikan serupa juga dilontarkan oleh Lawrence dan Lorch (1967). Ia mengatakan bahwa sistem birokrasi hanya cocok untuk situasi lingkungan yang kompleks dan tidak menentu, jika birokrasi ingin selalu bertahan, maka birokrasi harus mau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah. Akhir-akhir ini, kritikan terhadap sistem birokrasi juga masih gencar dilakukan, seperti yang dilontarkan oleh Heckscher dan Donellon (1994). Mereka mengatakan bahwa bentuk organisasi yang cocok untuk masa depan adalah apa yang mereka namakan dengan Post Bureaucratic Organization yang berbeda dengan birokrasi model Weberian. Menurut mereka berdua bahwa bentuk organisasi masa depan tidak hanya menempatkan diri pada koherensi internal dan pemusatan kekuasaan, akan tetapi juga memusatkan pada interaksi eksternal dan interaksi sosial yang berhubungan dengannya. Menurut Bachrach (1992), kekuasaan bukan satu- satunya alat yang ampuh untuk melaksanakan birokrasi tanpa diimbangi kewenangan melalui persuasi dan dialog. Hanson (1991) menjelaskan beberapa sifat buruk birokrasi sebagai akibat tak terduga dari penerapan prinsip-prinsip birokrasi klasik yang ketat. Di antara sifat buruk tersebut adalah: Pertama, Birokrasi menghalangi proses perubahan. Semua organisasi formal pasti mempunyai hirarki, tetapi adanya mekanisme seperti itu, dengan asumsi-asumsi rasionalitasnya, mempunyai banyak sekali akibat tak terduga. Menurut Max Abbott (1969), hirarki dapat menghalangi proses perubahan. Dalam suatu hirarki dengan lima tingkat, misalnya, terdapat setidaknya empat orang yang dapat menghalangi dengan kekuasaannya sebuah ide cemerlang yang datang dari tingkat terendah (yang tentu saja paling dekat dengan masalah yang ada). Dengan demikian, hirarki organisasi mempunyai kecenderungan untuk memperlambat proses perubahan. Begitu juga, dalam etos masyarakat kapitalis ada pandangan bahwa kesuksesan dan status dalam kehidupan kerja seseorang dicapai dengan menaiki hirarki. Daftar gaji disusun untuk mencerminkan pandangan bahwa kian tinggi orang menaiki hirarki, kian berharga orang tersebut bagi organisasi dan dengan demikian lebih banyak uang yang akan diterima seseorang. Situasi yang patut disayangkan yang sering timbul dari kondisi-kondisi ini adalah bahwa guru-guru yang baik sering meninggalkan ruang kelas demi posisi administrasi agar “sukses” dalam profesi. Sayangnya, skill yang diperlukan untuk menjadi guru yang baik dan skill yang diperlukan untuk menjadi administrator yang baik sama sekali berbeda. Akibatnya, guru yang baik sering menjadi administrator yang buruk. Kedua, birokrasi dapat menyebabkan munculnya peraturan yang mencemooh, peraturan representatif, dan peraturan yang berpusat pada hukuman Hanson mengutip tulisan Alvin Gouldner bahwa peraturan memiliki lima fungsi dalam organisasi: 1. Peraturan ada seperti sebagai padanan dari perintah langsung yang bersifat personal. 2. Peraturan menyediakan pengganti pengulangan perintah personal oleh seorang pengawas. 3. Peraturan bekerja menetapkan dan membatasi bidang diskresi pengambilan keputusan seorang bawahan. 4. Peraturan memfasilitasi kemampuan “kendali jarak jauh” bagi manajer. 5. Peraturan menjalankan fungsi pelegitimasi hukuman. Dari kelima fungsi di atas, menurut Gouldner dapat menyebabkan munculnya tiga bentuk peraturan dalam organisasi, yaitu peraturan yang mencemooh, peraturan yang representatif dan peraturan yang berpusat pada hukuman. Peraturan yang mencemooh adalah peraturan yang ditetapkan oleh sekelompok orang yang hanya berlaku bagi orang di luar organisasinya, tetapi tidak berlaku bagi orang dalam, baik menejer maupun pekerja. Peraturan yang representatif adalah peraturan yang dibuat oleh managemen dan dipatuhi oleh pekerja. Manajemen dan pekerja bisa bersama-sama membuat peraturan yang berlaku bagi mereka sendiri. Misalnya, tenaga pengajar dan administrator membuat aturan mengenai keselamatan anak-anak pada saat di bangku sekolah dan aturan yang menginginkan para orang tua untuk meneliti terlebih dahulu keadaan ruangan kepala sekolah sebelum masuk ke kelas dan berbicara dengan guru. Aturan yang berhubungan dengan hukuman muncul “sebagai tanggapan terhadap tekanan baik dari para pekerja atau pihak manajemen, tapi tidak dijalankan oleh mereka. Kelompok yang tidak menjalankan aturan tersebut menggambarkan ini sebagai hal yang dipaksakan oleh orang lain”. Pemaksaan aturan-aturan ini bisa mengganggu nilai satu kelompok dan “membawakan tekanan dan konflik yang cukup besar”. Aturan-aturan ini dipaksakan dengan hukuman. Contoh dari aturan ini adalah larangan bagi pegawai pemerintah untuk mengadakan demo. Pengajar cenderung menggambarkan aturan ini sebagai alat dari manajemen dan terus menerus menentangnya dengan cara keluar dari pekerjaan dan menciptakan konflik. Meskipun birokrasi dianggap memiliki banyak kelemahan dalam penerapannya, akan tetapi hingga sekarang prinsip-prinsip birokrasi masih dipakai untuk mengatur segala macam organisasi, terutama organisasi formal, baik organisasi yang berada di bawah naungan pemerintah maupun swasta. Di antara organisasi yang menerapkan sistem birokrasi adalah pendidikan tinggi. Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka bahwa perguruan tinggi adalah lembaga yang memiliki tiga misi utama, yaitu penelitian, pendidikan dan pengajaran, dan pengabdian kepada masyarakat. Menurut Parkin (1966) ketiga misi utama tersebut mengacu pada tiga aspek pengetahuan, yaitu penggalian (acquisiton), pemindahan (transmision), dan penerapan (aplication). Pengetahuan diperoleh atau digali melalui proses penelitian, pengetahuan yang diperoleh tersebut kemudian dialihkan dari satu generasi ke generasi berikutnya supaya dapat dipelihara kelangsungan hidupnya (survive). Setelah pengetahuan tersebut ditransfer, maka harus diterapkan dalam masyarakat supaya tidak hanya menjadi teori yang berkembang dari buku ke buku. Agar semua misi pokok perguruan tinggi tersebut dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan organisasi yang mengaturnya. Menurut Victor (1986) Perguruan tinggi merupakan organisasi yang unik, yang berbeda dengan organisasi industri, birokrasi pemerintah dan organisasi bisnis. Perguruan tinggi merupakan organisasi yang komplek. Seperti organisasi lainnya, perguruan tinggi memiliki tujuan, sistem dan struktur hirarki, para pegawai yang mengerjakan tugas-tugas tertentu, ada proses pembuatan keputusan yang menentukan kebijakan institusi, ada administrasi birokratis yang menangani urusan-urusan rutin. Akan tetapi perguruan tnggi juga memiliki banyak karakter yang berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berakibat pada proses pembuatan keputusan- keputusannya. Kebanyakan organisasi berorientasi pada tujuan, sebagai konsekuensinya mereka dapat membuat struktur keputusan yang fleksibel untuk mencapai tujuan- tujuannya yang telah ditetapkan. Organisasi bisnis misalnya ingin mendapatkan profit, birokrasi pemerintah memiliki tugas-tugas yang diatur dalam undang-undang, rumah sakit berusaha mengobati orang sakit dan sebagainya. Sebaliknya perguruan tinggi memiliki tujuan yang kadang ambigu dan mereka harus membuat proses keputusan yang rumit yang disertai dengan ketidakpastian dan konflik. Apakah tujuan perguruan tinggi? Ini merupakan pertanyaan yang susah dijawab. Mungkin akan dijawab bahwa tujuan perguruan tinggi adalah untuk memberikan pengajaran, penelitian, pelayanan kepada masyarakat lokal, mengadministrasikan penemuan ilmiah, mendukung seni, memberikan solusi pada masalah-masalah sosial dan sebagainya. Tetapi tujuan yang secara pasti memang sulit untuk didapatkan. Karena ambiguitas inilah yang kemudian Cohen dan March (1974: 195) mengatakan, "Almost any educated person could deliver a lecture entitle "The goals of the University". Almost no one will listen to the lecture voluntarily. For the part, such lectures and their companion essays are well intentioned exercises in social rhetoric, with little operational content. Effort to generate normative statements of the goals of the university tend to peduce that are either meaningless or dubious…"
Karena itulah kemudian Victor menjadikan "tujuan yang ambigu" menjadi
salah satu karakteristik utama organisasi akademik. Sangat jarang di antara perguruan tinggi-perguruan tinggi itu yang memiliki tujuan yang sama. Sebaliknya, mereka sering mencoba segala hal kepada semua orang. Karena tujuan mereka yang utama tidak jelas, maka mereka pun sulit menolak tujuan-tujuan baru yang muncul. Edward Gross (1968) pernah menganalisis tujuan-tujuan fakultas dan administrator di sebagian besar universitas Amerika dan mendapatkan hasil yang sangat mencengangkan. Dia menemukan lebih dari 40 tujuan yang berbeda-beda antara satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lainnya. Jumlah perbedaan tujuan itu, sama banyaknya dengan jumlah perguruan tinggi yang ada di Amerika. Karakteristik lain dari perguruan tinggi adalah rentan terhadap lingkungan. Hampir semua organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya untuk bisa eksis. Memang tidak ada organisasi yang sangat otonom dalam menentukan langkahnya, tetapi bisa jadi satu organisasi lebih otonom dibandingkan dengan organisasi lain. Tingkat otonomi suatu organisasi ketika berhadapan dengan lingkungannya merupakan salah satu diterminan penting untuk menentukan bagaimana ia akan diatur. Misalnya, ekonomi pasar bebas, firma bisnis, dan idustri memiliki tingkat otonomi yang substansial. Meskipun mereka diatur oleh agen-agen pemerintah dan didesak oleh para pelanggannya, secara esensial mereka adalah agen yang bebas merespon kebutuhan pasar daripada kontrol pemerintah. Di sisi lain, ada organisasi yang kelihatannya bebas tetapi sebenarnya selalu ditekan oleh lingkungannya. Misalnya sekolah-sekolah negeri, pada dasarnya mereka selalu diawasi dan ditekan oleh masyarakat yang mereka awasi. Begitu juga perguruan tinggi. Pada saat ini perguruan tinggi mulai bergerak dari organisasi yang independen menuju organisasi yang terkooptasi. Dalam beberapa hal perguruan tinggi memang terisolasi dari lingkungannya. Tetapi akhir-akhir ini, kekuatan eksternal telah mulai menekan perguruan tinggi (Victor, 1986) dan apa yang terjadi kemudian? Fakultas dan adninistrator kehilangan kontrol mereka terhadap kurikulum, tujuan dan kegiatan harian institusi. Pada tahap selanjutnya, para profesional akademis sedikit demi sedikit kehilangan otonominya hingga mereka menjadi seperti seorang buruh yang mengerjakan segala sesuatu di bawah kekuasaan birokrasi. Memang, sejak diterimanya konsep birokrasi ke dalam pengaturan organisasi, maka dengan cepat sistem birokrasi dipakai dalam mengatur berbagai macam bentuk organasisai, baik milik swasta maupun milik pemerintah. Sistem birokrasi juga tidak hanya digunakan dalam mengatur organisasi perusahaan atau industri, tetapi juga organisasi-organisasi pemerintahan termasuk pendidikan. Hampir semua lembaga pendidikan menerapkan sistem birokrasi dalam mengatur urusan-urusan rumahtangganya, baik urusan yang berkaitan dengan masalah akademik maupun non akademik. Meskipun para pakar menyebut birokrasi pendidikan dengan sebutan yang berbeda-beda, tetapi semuanya mengakui adanya birokrasi dalam pengelolaan sekolah atau perguruan tinggi. Jaap Scheerens (1992: 22) mengutip dari Mintzberg (1979: 373) menyebut birokrasi dalam lembaga pendidikan itu dengan birokrasi profesional. Demikian itu karena struktur organisasi dalam dunia pendidikan bersifat "datar", yang mana kebanyakan kekuatan dikesampingkan karena profesionalitas. Kepemimpinan dalam birokrasi profesional hanya berfungsi menangani gangguan, memelihara atau membatasi tugas-tugas yang berkaitan dengan profesionalitas. Victor (1986: 13) teleh merekam catatan para sosiolog yang melakukan sejumlah observasi penting tentang ciri-ciri para pekerja profesional dimanapun mereka bekerja. Ciri-ciri mereka adalah sebagai berikut: 1. Para profesional membutuhkan otonomi dalam kerja mereka. Karena merasa memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang mereka, maka mereka membutuhkan kebebasan dari pengawasan dalam menerapkan keahliannya. 2. Para profesional biasanya memiliki loyalitas yang terpecah. Mereka memiliki kencenderungan "kosmopolitan" dan memiliki loyalitas yang tinggi kepada "teman-teman seprofesi" mereka pada tingkat nasional, yang kadang-kadang mengalahkan loyalitasnya kepada organisasi lokal. 3. Ada tekanan yang kuat antara nilai-nilai profesionalitas dan harapan birokrasi dalam organisasi. Hal ini secara intensif bisa menimbulkan konflik antara pekerja profesional dengan manejer organisasi. 4. Para profesional membutuhkan kelompok evaluasi untuk kerja mereka. Mereka percaya bahwa hanya kolega mereka saja yang bisa mengkritisi performansi mereka dan mereka menolak evaluasi dari orang lain, termasuk orang-orang yang secara teknik lebih superior dalam hirarki organisasi. Semua karakteristik di atas akhirnya memotong norma-norma birokrasi tradisional, menolak hirarkinya, struktur kontrol, dan prosedur manajemen. Karena itulah menurutnya, dibutuhkan tipe manajemen berbeda dalam organisasi profesional. Salah satunya adalah dengan cara memecah staf profesinal. Maksudnya para profesional dibagi berdasarkan profesi mereka masing-masing ke dalam kelompok- kelompok kecil. Dalam hal ini Burton R. Clark mengatakan: The internal controls of the medical profession are strong and are substituted for those of the organization. But in the college or university this situation does not obtain; there are twelve, twenty-five, or fifty clusters of experts. The experts are prone to identify with their own disciplines, and the "academic profession" overall comes off a poor second. We have wheels within wheels, many professions within a profession. No one of the disciplines on a campus is likely to dominate the others.... The campus is not a closely knit group of professionals who see the world from one perspective. As a collection of professionals, it is decentralized, loose, and flabby. The principle is this: where professional influence is high and there is one dominant professional group, the organization will be integrated by the imposition of professional standards. Where professional influence is high and there are a number of professional groups, the organization will be split by professionalism. The university and the large college are fractured by expertness, not unified by it. The sheer variety supports the tendency for authority to diffuse toward quasi-autonomous clusters (Clark, 1963: 97, 51).
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa menurut Clark dominasi
profesional tertentu di perguruan tinggi jarang terjadi karena di perguruan tinggi terdapat kelompok-kelompok profesional yang jumlahnya relatif sama besar, sehingga mudah dikendalikan. Jika para profesional lebih dominan dalam organisasi, maka kekuasaan dalam organisasi itu akan terpecah antara pejabat birokrasi dan para profesional. Karena itu kembali lagi pada pernyataan Minzberg dan Jaap Sheeren di atas bahwa birokrasi yang diterapkan dalam mengatur sekolah pada umumnya dan pendidikan tinggi pada khususnya adalah birokrasi profesional yang bersifat datar dan fleksibel. Namun demikian, sejumlah pakar lain mengatakan bahwa dalam organisasi perguruan tinggi, model birokrasi Weberian sangat mungkin diterapkan. Menurut Herbert Stroup (1966) ada banyak hal dalam birokrasi perguruan tinggi yang memiliki karakteristik yang sama dengan model birokrasi Weber. Sebagaimana dikemukakan pada sub bab sebelumnya bahwa birokrasi Weberian memiliki karakteristik umum sebagai berikut: kompetensi merupakan kriteria yang dijadikan dasar untuk ditunjuk menduduki jabatan, para pejabatnya ditunjuk langsung tanpa pemilihan, gaji ditetapkan langsung berdasarkan jabatan, adanya tingkat wewenang diakui keberadaannya dan dihormati, tugas-tugas bersifat eksklusif dan tidak mengerjakan tugas lain, pola hidup anggota organisasi terpusat pada organisasi, keamanan terjamin jika mengikuti sistem, dan antara individu dan organisasi dibedakan. Berdasarkan kriteria-kriteria di atas maka Stroup yakin bahwa paradigma birokrasi Weber dapat diterapkan pada perguruan tinggi dan banyak pengamat menyadari adanya faktor-faktor birokrasi terlibat dalam administrasi perguruan tinggi. Menurut Victor (1986) di antara karakteristik yang menonjol dari bentuk birokrasi di perguruan tinggi adalah sebagai berikut: 1. Perguruan Tinggi merupakan organisasi kompleks yang berada di bawah kekuasaan pemerintah sebagaimana birokrasi-birokrasi lainnya. Ini merupakan kenyataan yang tidak bisa dielakkan, sehingga memiliki konsekuensi-konsekuensi birokratis tertentu, khususnya ketika pemerintah ingin meningkatkan kontrolnya terhadap Perguruan Tinggi. 2. Perguruan Tinggi memiliki hirarkhi formal di antara pegawai dan ada aturan- aturan tertentu yang mengatur hubungan antar para pegawai. Professor, dosen dan asisten peneliti mungkin dianggap sebagai pegawai birokratis seperti dekan, ketua dan presiden. 3. Ada hubungan komunikasi formal yang harus dihormati bersama. 4. Ada hubungan otoritas birokrasi tertentu yang mana seorang pejabat menerapkannya kepada yang lain. Di Perguruan Tinggi hubungan otoritas ini sering berganti dan bergeser, tetapi tidak seorang pun menyanggah bahwa otoritas birokrasi itu ada. 5. Ada keputusan dan aturan formal yang mengatur sebagian besar kerja institusi, seperti pedoman perpustakaan, pedoman keuangan, prosedur senat Perguruan Tinggi dan sebagainya. 6. Elemen birokrasi Perguruan Tinggi semakin kelihatan jelas pada aspek-aspek "people processing" seperti: pendataan siswa, registrasi, syarat-syarat kelulusan, dan rutinitas kampus lainnya, yang mana dari hari ke hari, aktivitas-aktivitas itu didesain untuk membantu Perguruan Tinggi modern menangani urusan-urusan yang berhubungan dengan mahasiswa. 7. Proses-proses pengambilan keputusan sangat birokratis, utamanya oleh para pejabat yang bertanggung jawab membuat keputusan tersebut berdasarkan struktur administrasi formal. Misalnya, keputusan tentang masalah akademik ditangani oleh bagian akademik, keputusan tentang masalah keuangan ditetapkan oleh pejabat bidang keuangan, keputusan dalam bidang administrasi diputuskan oleh pejabat administrasi dan sebagainya.