You are on page 1of 16

Mantik: Hakikat dan Sejarahnya

Salah satu perbedaan manusia dari binatang adalah kemampuannya untuk


mengabstraksi sesuatu. Yakni, ketika inderanya mencerap suatu benda, akal
bekerja melepaskan benda itu dari sifat-sifat material, lalu membandingkannya
dengan benda-benda lain yang serupa dengannya dan memproduksi sebuah
konsep bersama. Akal terus menerus mengabstraksi hingga mencapai sebuah
konsepsi universal paling abstrak (basith) yang mewadahi semua wujud. Ketika
ia melihat manusia, misalnya, imajinasinya mengabstraksi benda itu menjadi
sebuah spiecies (nau’) yang menaungi semua manusia yang lain. Ia kemudian
membandingkan konsep ini dengan konsep binatang, lalu mengabstraksinya
menjadi sebuah genus (jenis) yang menaungi keduanya. Proses abstraksi ini
berlanjut ketika ia membandingkannya dengan konsep tumbuhan, demikian
seterusnya hingga mencapai genus tertinggi yang disebut substansi (jauhar).
Pada saat itu, akal berhenti mengabstraksi.
Ahli mantik berkata bahwa pengetahuan yang dicapai manusia hanya dua
macam, yakni tashawwur (pengetahuan konseptual), tanpa menetapkan hukum
apa-apa atasnya, dan tashdiq (pengetahuan relasional) antara dua hal dengan
menetapkan penilaian benar atau salah. Atas dasar ini, aktifitas berpikir manusia
hanyalah menyusun satu persatu konsepsi universal (kulliyyat) di otaknya untuk
menghasilkan konsepsi universal baru yang sesuai dengan realitas, atau menilai
sesuatu dengan sesuatu lainnya. Aktifitas berpikir ini bisa keliru dan bisa juga
benar. Maka dibutuhkan sebuah aturan-aturan berpikir tertentu untuk menjaga
akal dari kekeliruan berpikir. Dan kumpulan aturan-aturan berpikir itu disebut
mantik (logika).
Sebenarnya, Aristoteles bukan orang pertama yang menyusun aturan-aturan
berpikir ini, sebab sebelumnya Socrates dan Plato pernah berbicara tentang hal
ini. Namun karena Aristoteles adalah orang pertama yang mengumpulkan dan
menyusunnya, menetapkannya sebagai kunci ilmu pengetahuan serta
menulisnya dalam sebuah karya, ia digelari sebagai “guru pertama”. Organon,
bukunya tentang mantik, terdiri dari delapan bagian: Categoria (membahas
tentang genus dan bagian-bagiannya), Hermeneutika (tentang proposisi),
Sylogisme (tentang qiyas), Demonstrasi (tentang qiyas yang menyimpulkan
keyakinan), Dialektika (ilmu debat), Sofistika (qiyas yang menyesatkan), Retorika
(seni agitasi massa) dan Poetica (seni menyusun kata-kata puitis).
Pada masa penerjemahan literatur asing atas perintah Khalifah Al Makmun (w.
218 H), buku-buku ini menarik perhatian banyak cendikiawan muslim pada saat
itu hingga beberapa dekade setelahnya. Abu Nashr Al Farabi, Abu Ali Ibn Sina
dan Ibn Rusyd menulis berbagai komentar dan penjelasan tentang cabang ilmu
ini. Kemudian datang generasi selanjutnya yang menyempurnakan ilmu ini
dengan memandangnya sebagai ilmu tersendiri, bukan hanya ilmu alat
(organon), dengan menambah yang kurang dan membuang yang tidak perlu.
Orang pertama yang melakukan ini adalah Imam Fajruddin bin Al Khatib lalu
Afdhaluddin Khawanji. Proyek mereka sungguh sukses sehingga berhasil
menenggelamkan karya tokoh-tokoh sebelumnya dan mengalahkan metode
mereka.
Al Ghazali dan Mantik
Sejak awal kehadirannya di dunia Islam, mantik menyalakan perdebatan sengit
di kalangan para ulama, terutama ahli kalam. Mereka sangat anti kepada mantik
dan melarang manusia untuk mempelajarinya. Ibn Khaldun berkata bahwa
antipati ini lahir karena persinggungan prinsip ilmu kalam dengan mantik yang
melahirkan pilihan: terima mantik maka tinggalkan kalam atau terima kalam
maka tinggalkan mantik. Padahal, ilmu kalam adalah ilmu dasar yang bertugas
menetapkan akidah islamiah menyangkut keesaan Allah dan kebaharuan alam
semesta. Bahkan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani menyatakan bahwa prinsip-
prinsip ilmu kalam adalah bagian dari akidah. Menyerangnya sama dengan
berusaha menghancurkan sendi-sendi akidah islamiah.
Kemudian datang Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali (w. 505 H) yang
mendamaikan keduanya. Kharisma dan argumentasinya berhasil mengakhiri
perdebatan ini dan membuat ilmu mantik diterima di kalangan sunni. Meski
terkenal sebagai musuh besar filsafat, bahkan berhasil membuatnya pingsan
dengan Tahafut ul Falasifah-nya, Al Ghazali sangat menyayang anak kandung
filsafat ini. Ia menulis beberapa karya tentangnya, antara lain Mi’yar ul-‘Ilm, Al
Mankhul, Mihak un-Nazhar, beberapa lembar di mukaddimah Al Mustashfa dan
secara tersirat dalam dialog dengan seorang penganut Syiah Ismailiah di Al
Qisthas ul-Mustaqim. Berikut sedikit ringkasan tentang mantik ala Al Ghazali
yang bisa penulis tampilkan pada kesempatan kali ini.
Seperti Al Farabi dan Ibn Sina, Al Ghazali berpendapat bahwa mantik adalah
aturan-aturan berpikir yang berfungsi meluruskan akal dalam menarik
kesimpulan dan membebaskannya dari campuran prasangka dan imajinasi.
Tugas utama mantik dengan demikian adalah menjaga akal dari kesalahan
berpikir. Mantik bagi akal sepadan dengan posisi nahwu bagi bahasa Arab dan
ilmu ‘Arud bagi ritme puisi (syair). Meminjam analogi Al Farabi, mantik bagi akal
ibarat neraca dan takaran yang berfungsi mengukur bobot benda yang tak bisa
diketahui ukurannya dengan tepat jika hanya menggunakan indera. Atau ibarat
penggaris untuk mengukur panjang dan lebar sesuatu yang indera manusia
sering keliru dalam memastikannya.
Al Ghazali bahkan menegaskan bahwa mantik merupakan mukaddimah
(organon) seluruh ilmu –bukan hanya pengantar filsafat. Maka barangsiapa yang
tidak menguasai mantik, seluruh pengetahuannya rusak dan diragukan.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pengetahuan manusia terbagi dua, yaitu
tashawur dan tashdiq. Pengetahuan tashawur terbagi dua: pertama,
pengetahuan yang telah ada di otak manusia sejak awal (a priori) sehingga
pengetahuan tentangnya tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar. Contoh,
pengetahuan tentang makna ‘ada’, ‘banyak’ dan beberapa benda-benda inderawi
lainnya. Kedua, pengetahuan tentang konsep-konsep samar yang memerlukan
penjelasan lebih lanjut. Untuk yang kedua ini diperlukan sebuah definisi
(had/ta’rif) yang memperjelas makna kata tersebut. Sementara itu, pengetahuan
tashdiq juga terbagi menjadi dua: relasi aksiomatik (musallamah) yang
kebenarannya tidak perlu pembuktian dan relasi hipotetik (nazhariah) yang harus
dibuktikan kebenarannya. Alat pembuktian itu disebut demonstrasi (sylogisme).
Dengan demikian, pokok bahasan mantik tersimpul pada empat komponen, yaitu
pembahasan tentang tashawwur, had (definisi), tashdiq dan sylogisme. Di atas
kita telah membahas tentang makna tashawwur dan tashdiq, maka pembahasan
berikutnya adalah tentang had dan sylogisme.

1. Definisi (Had)
Ahli mantik sepakat bahwa definisi menghasilkan pengetahuan hakikat sesuatu
dan tanpanya pengetahuan tashawwur tidak bisa didapatkan. Untuk membuat
sebuah definisi sempurna, harus diperhatikan beberapa aturan (qanun) penting
berikut ini. Aturan pertama, definisi adalah jawaban untuk sebuah pertanyaan.
Karena bentuk pertanyaan yang dilontarkan bermacam-macam, maka
jawabannya pun bermacam-macam pula, sehingga mempengaruhi bentuk
definisi. Memahami bentuk pertanyaan dengan demikian menentukan kualitas
sebuah jawaban, maka pembahasan tentang bentuk-bentuk pertanyaan harus
dikuasai terlebih dahulu. Pertanyaan ‘apa’ menuntut tiga hal: penjelasan kata
(apa itu reformasi? Reformasi adalah pembentukan kembali), penjelasan tentang
uraian sesuatu yang membedakannya dengan sesuatu yang lain dengan ciri-ciri
lazimnya (apa itu khamr? Khamr adalah benda cair yang berbusa), dan
penjelasan hakikat serta essensi sesuatu (apa itu khamr? Khamr adalah
minuman memabukkan yang dibuat dari perasan anggur). Definisi pertama
disebut definisi lafzhi, sebab hanya menjelaskan makna kata. Kedua disebut
rasmi, sebab hanya menjelaskan ciri eksternal (rasm) sesuatu, bukan
hakikatnya. Dan yang ketiga disebut definisi hakiki, sebab ia menjelaskan hakikat
dan essensi sesuatu dengan mendalam. Pertanyaan ‘mengapa’ menuntut
pembuktian dengan sylogisme yang akan dijelaskan nanti. Dan pertanyaan ‘yang
mana’ meminta pemilahan antara dua hal yang hampir serupa. Pertanyaan
dengan ‘bagaimana’, ‘di mana’, ‘kapan’ dan bentuk-bentuk lain termasuk dalam
penjelasan dari pertanyaan ‘apakah’ yakni menuntut penjelasan tentang sifat
sesuatu.
Aturan kedua, seorang pembuat definisi harus bisa membedakan antara sifat
essensial (dzati), aksidental (‘aridh) dan lazim dari sesuatu. Sifat essensial
(dzati) adalah sifat yang masuk dalam essensi dan hakikat sesuatu, tidak
mungkin sesuatu itu dipahami tanpa menyertakan sifat ini. Contoh sifat essensial
adalah makna ‘warna’ yang dipahami dari kata ‘hitam’, dan makna ‘benda’ dari
kata ‘pohon’, misalnya. Sifat lazim adalah sifat yang selalu menyertai benda
namun pemahaman hakikat benda itu tidak tergantung padanya. Seperti
bayangan yang menyertai fostur manusia ketika matahari terbit. Memahami
hakikat manusia bisa dilakukan tanpa menyertai kata bayangan sedikitpun. Sifat
aksidental (‘aridh) adalah sifat yang harus menyertai benda namun bisa hilang
cepat atau lambat.
Untuk menyusun sebuah definisi yang logis, diperlukan sifat essensial untuk
menjelaskan hakikat sesuatu. Sifat essensial terbagi menjadi umum, selanjutnya
disebut genus (jins), dan khusus, selanjutnya disebut spesies (nau’). Makhluk
adalah genus untuk kata manusia, binatang dan tumbuhan. Selanjutnya,
manusia adalah genus untuk kata Usman, Fatimah dan lain-lain.
Aturan ketiga, dalam membuat definisi logis, pertama kali yang harus Anda
lakukan adalah memasukkan semua komponen definisi, yakni genus dan
differensia (fashal). Contoh, manusia adalah hewan (genus) yang berpikir
(differensia). Kedua, Anda harus inventaris sifat-sifat essensial dari obyek yang
hendak didefinisikan. Ketiga, jika Anda menemukan genus yang dekat, jangan
pilih yang lebih jauh. Contoh, genus terdekat untuk khamar adalah minuman,
maka jangan pilih kata benda cair untuk mendefinisikannya. Keempat, hindari
sebisa mungkin kata-kata samar dan kiasan.
Singkatnya, sebuah definisi yang baik harus terbuka-tertutup (muththarid wa
mun’akis), yakni terbuka untuk semua entitas dari sesuatu yang hendak
didefinisikan (kulli fardin min afrad al mu’arraf) dan tertutup untuk selain entitas-
entitas itu.
2. Sylogisme
Ahli mantik sepakat bahwa sylogisme adalah satu-satunya jalan mencapai
pengetahuan tashdiq dan melahirkan pengetahuan meyakinkan. Sylogisme
adalah beberapa proposisi yang disusun sedemikian rupa dengan syarat-syarat
tertentu sehingga melahirkan kesimpulan (natijah) yang dicari. Proposisi ini
disebut premis (muqaddimah), ysng terbagi dua menjadi mayor (muqaddimah
kubra) dan minor (muqaddimah shughra). Sylogisme yang baik adalah yang
tersusun dari premis-premis sahih dan meyakinkan, serta disusun dengan cara
yang benar. Ibarat membangun sebuah rumah, yang harus diperhatikan pertama
kali adalah bahan material (batu, semen dan kayu) yang membentuk rumah itu,
kemudian cara pembuatannya dan terakhir bentuk rumah tersebut. Begitu juga
dalam membangun sebuah sylogisme, yang harus diperhatikan pertama kali
adalah kata dan makna yang menjadi materi premis, kemudian cara penyusunan
premis-premis yang sah, lalu bentuk sylogisme yang dapat menghasilkan
kesimpulan. Maka pembahasan sylogisme ini akan dimulai dengan pembahasan
tentang makna dan kata, dilanjutkan dengan pembahasan tentang cara
penyusunan premis dan terakhir pembahasan tentang bentuk-bentuk sylogisme.
a. Makna dan Kata
Penunjukan kata untuk makna terjadi dalam tiga bentuk: muthabaqah,
tadhdmmun dan iltizam. Kata rumah disebut muthabaqah jika merefers kepada
makna rumah secara konvensional. Disebut tadhammun jika kata tersebut
merefers kepada atap saja, misalnya. Dan relasi sebuah kata dengan makna
disebut iltizam jika kata tersebut merefers kepada hal yang diluar pengertian kata
itu namun sesuatu yang selalu mengiringinya. Seperti menyebut kata atap untuk
menunjuk tembok.
Relasi kata dan makna yang lain adalah sebuah kata disebut mu’ayyan jika
hanya merujuk kepada satu obyek tertentu, namun jika merujuk kepada banyak
obyek disebut mutlaq. Contoh mu’ayyan, kata Zaid, Ahmad dan lain-lain. Contoh
mutlaq, kata manusia, pohon dan seterusnya.
Pembagian kata yang lain adalah mutaradifah, mutabayinah, mutawathiah dan
musytarakah. Hubungan antara kata “bisa” dan “racun” disebut mutaradifah
(sinonim). Hubungan antara kata “singa”, “langit”, “kunci” disebut mutabayinah
(tak ada kesamaan). Hubungan antara kata “Zaid”, “Ahmad”, “Hasan” dengan
kata laki-laki disebut mutawathiah (hiponimi). Hubungan antara kata “bisa” yang
berarti racun dan kata “bisa” yang berarti mampu disebut musytarakah
(homonim).
b. Proposisi
Penyusunan dua makna yang melahirkan justifikasi benar-salah disebut
proposisi (qadhiyah). Proposisi terbagi empat: ta’yin (contoh, Zaid seorang
sekretaris), umum (contoh, setiap benda pasti berbobot), khusus (contoh,
sebagian manusia berilmu) dan muhmal (contoh, manusia dalam kerugian).
c. Kontradiksi
Suatu proposisi kadang dengan mudah disimpulkan kebenarannya hanya
dengan melihat kelirunya proposisi yang menjadi lawannya. Contoh, alam ini
kekal atau alam ini tidak kekal. Jika proposisi yang pertama benar, maka yang
kedua salah, demikian sebaliknya. Syarat sahnya kontradiksi ada enam, yaitu
satu dalam subyek, satu dalam predikat, satu dalam relasi (idhafah), satu dalam
potensi dan aktual, satu dalam universal dan partikular, satu dalam tempat dan
waktu.
d. Macam-macam Qiyas (Sylogisme)
Ahli mantik berkata bahwa dalil yang menghasilkan pengetahuan hanya tiga,
yaitu deduksi, induksi dan penyerupaan (tamtsili). Sebab pembuktian hanya bisa
dilakukan dengan pembuktian universal atas particular (kulli ‘ala juz’i), partikular
atas universal (juz’i ‘ala kulli) dan partikular atas particular (juz’i ‘ala juz’i). Yang
pertama disebut deduksi (menempati peringkat pertama dalam pembuktian).
Yang kedua disebut induksi (menempati peringkat kedua). Dan yang ketiga
disebut penyerupaan (menempati peringkat terendah).
Qiyas penyerupaan adalah perpindahan dari satu particular ke particular lain
yang memiliki keserupaan dalam sifat dengannya. Qiyas ini sering digunakan
para fuqaha dalam menyimpulkan hukum syar’i atas sesuatu. Jika seseorang
bertanya, “Apa itu roti,” lalu diperlihatkan kepadanya sebuah roti, maka
selanjutnya ia akan menyebut roti untuk sesuatu yang serupa dengan yang ia
lihat itu, meski bentuk dan warnanya berbeda.
Induksi terbagi dua: jika bagian-bagiannya (al afrad) terbatas sehingga bisa
diteliti semuanya maka induksi ini sempurna dan melahirkan pengetahuan
meyakinkan. Namun jika bagian-bagiannya tak terbatas sehingga hanya
menetapkan hukum atas sebagian besarnya, maka disebut induksi tidak
sempurna dan tidak menghasilkan keyakinan (zhan).
Terakhir deduksi, jika premis-premisnya terdiri dari materi meyakinkan dengan
bersandarkan kepada dalil-dalil aksiomatik (yaitu inderawi lahir, perasaan batin,
ekperimental, berita mutawatir dan kepastian rasional), menghasilkan
kesimpulan meyakinkan. Qiyas ini disebut demonstrasi (burhan). Jika tidak,
maka salah satu dari retorika (khithabi), dialektika (jadali), poetika (syi’ri) atau
sofistika (sufusthah).

e. Bentuk demonstrasi
Bentuk demonstrasi ada tiga: Bentuk pertama, yakni proposisi yang saling
sepadan (ta’adul) terdiri dari tiga skema;
Pertama, illat (kopula) berada di predikat (premis I) dan di subyek (premis II).
Setiap bir memabukkan.
Setiap yang memabukkan hukumnya haram
Kesimpulan : Setiap bir hukumnya haram
Kedua, illat berada di predikat kedua premis.
Sang Pencipta tidak tersusun
Setiap benda tersusun
Kesimpulan : Sang Pencipta bukan benda
Ketiga, illat berada di subyek kedua premis.
Setiap hitam adalah sifat
Setiap hitam adalah warna
Kesimpulan : Sebagian sifat adalah warna
Bentuk kedua, yaitu proposisi yang saling menentukan (talazum). Pakar logika
menyebutnya syarat bersambung (syarti al muttashil). Bentuk ini terdiri dari
empat skema, namun hanya dua yang berkesimpulan. Keduanya adalah:
Pertama, menerima sebab berarti menerima akibat.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Shalat itu sah
Kesimpulan : pelakunya suci
Kedua, menerima negasi akibat berarti menerima negasi sebab.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Pelakunya tidak suci
Kesimpulan : shalatnya tidak sah
Kedua skema yang tidak berkesimpulan adalah:
Pertama, menerima akibat belum tentu menerima sebab.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Pelakunya suci, tapi belum tentu shalatnya sah (sebab boleh jadi shalat itu batal
karena hal lain).
Kedua, menerima negasi sebab, belum tentu menyimpulkan akibat atau negasi
akibat.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Shalatnya tidak sah, belum tentu karena pelakunya tidak suci.
Bentuk ketiga, disebut bentuk saling menentang (ta’anud). Pakar logika
menyebutnya syarat terpisah (syarti al munfashil), sementara ahli kalam
menyebutnya Sabr wa Taqsim. Bentuk ini juga terbagi menjadi empat
pengandaian:
Contoh: Alam ini kekal atau diciptakan
Pengandaian pertama: Alam ini diciptakan
Kesimpulan: Alam ini tidak kekal
Pengandaian kedua: Alam ini kekal
Kesimpulan: Alam ini tidak diciptakan
Pengandaian ketiga: Alam ini tidak diciptakan
Kesimpulan: Alam ini kekal
Pengandaian keempat: Alam ini tidak kekal
Kesimpulan: Alam ini diciptakan
f. Mantik di Dalam Al Qur’an?
Menariknya, Abu Hamid al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan
tiga cara penyimpulan logis ini (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab
argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan
‘Neraca Al Qur’an’ (mizan Al Qur’an), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang
menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta’anud, Al
Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya.
Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz,
“Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan)
terbitkanlah dari barat!” (Qs Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian
merangkainya dalam bentuk burhan, ia berkata:
Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)
Allah mampu menerbitkan matahari (premis II)
Kesimpulan: Allah tuhan
Al Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta’adul ini dengan neraca
besar. Berikutnya adalah neraca pertengahan, yaitu terdapat dalam ayat (masih
tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan),
“Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam.”
(Qs Al An’am [6]: 7) Uraiannya sebagai berikut:
Bulan tenggelam
Tuhan tidak mungkin tenggelam
Kesimpulan: Bulan bukan tuhan
Skema terakhir dari neraca ta’adul adalah neraca kecil, yaitu terdapat dalam
firman Allah, “Mereka tidak menghargai Allah dengan seharusnya ketika mereka
berkata Allah tidak menurunkan (wahyu) apapun kepada manusia. Katakanlah,
‘Lalu siapa yang menurunkan Kitab kepada Musa sebagai cahaya dan petunjuk
bagi manusia?’” Uraian logisnya sebagai berikut:
Musa As manusia
Musa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah
Kesimpulan: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu
Neraca talazum terdapat dalam ayat, “Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit
dan bumi akan hancur.” (Qs Al Anbiya [21]: 22). Rinciannya:
Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan hancur
Nyatanya dunia tidak hancur
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lain
Terakhir, neraca ta’anud terdapat dalam ayat, “Katakanlah (wahai Muhammad),
‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?’ katakanlah,
‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang
nyata.’” (Qs Saba [34]: 24). Uraiannya adalah:
Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam kesesatan
Kami tidak dalam kesesatan
Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan
Perhatikan bagaimana Al Ghazali menempatkan mantik bukan sebagai warisan
tradisi Hellenistik, tetapi merupakan bagian inheren dari Al Qur’an. Maka jangan
heran jika kemudian hari Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa mempelajari
ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan barangsiapa tidak menguasai ilmu ini
pengetahuannya patut diragukan.
Ibn Taymiah dan Kritik Mantik
Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah Ibn Taymiah
lahir di Haran pada Rabi’ ul Awal 661 H. Pada tahun 667 H, ayahnya
membawanya ke Damaskus ketika bangsa Tartar menyerbu Haran. Di kota ini, ia
mempelajari hadis, fiqih, ushul, tafsir bahkan juga fiksafat dan logika. Allah
menganugerahinya banyak buku, kecerdasan dalam memahami sesuatu serta
hafalan kuat sehingga tidak pernah melupakan sesuatu yang pernah dihafalnya.
Selain itu, ia juga seorang zuhud dan ikhlas dalam memerintahkan kebaikan dan
melarang kemunkaran. Persengketaan yang terjadi antara dirinya dan para
pendengki membuahkan penahanan dirinya di benteng (qal’ah) Damaskus,
dekat makam Abu Darda. Setelah beberapa hari menderita sakit
dipengasingannya, pada tahun 728 H beliau meninggal dunia lalu dimakamkan
di pekuburan Shufiah dengan diiringi ribuan manusia.
Ibn Taymiah terkenal sebagai ulama yang sangat keras mempertahankan
sunnah dan menentang bid’ah. Termasuk dalam hal ini adalah penentangannya
terhadap mantik sebagai produk pemikiran Yunani yang bertentangan dengan
tradisi para salaf saleh. Buku-bukunya tentang hal ini antara lain adalah Naqdh
ul-Mantiq, Ar-Rad ‘ala Manthiqiyyin dan Nashihat Ahl il-Iman fir Radd ‘ala Mantiq
il-Yunan. Dalam tulisan kali ini, saya akan memfokuskan pembahasan kritik
mantik Ibn Taymiah kepada satu pengantar, yaitu pernyataan bahwa hukum
mempelajari mantik adalah fardhu kifayah, dan dua bahasan pokok yang
berkenaan dengan definisi dan sylogisme.
a. Pengantar: Mantik Wajib Dipelajari?
Penegasan Al Ghazali yang menyatakan bahwa hukum mempelajari mantik
fardhu kifayah menyulut kritikan dari berbagai ulama hingga berabad-abad
kemudian. Abu Bakar Ibn Al ‘Arabi, murid Al Ghazali sendiri, mengomentari, “Al
Ghazali, guru kita, menelan filsafat lalu mencoba memuntahkannya kembali,
namun ia tidak bisa.” Abu Amr Ibn Shalah menolak pendapat Al Ghazali dan
mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis
tanpa harus belajar mantik. Berdiri dalam barisan penolak ini, Ibn Taymiah
berkata, “Pendapat Abu Hamid (Al Ghazali) ini salah besar, baik dilihat dari segi
rasional maupun agama. Dari segi rasional, terbukti bahwa manusia-manusia
cerdas yang berbicara tentang ilmu bisa menguraikan pengetahuan mereka
tanpa mantik Yunani. Secara agama, siapapun tahu bahwa agama tidak pernah
mewajibkan kita untuk mempelajari mantik.”
Ibn Taymiah juga menyalahkan penafsiran kata al mizan dalam Al Qur’an dengan
mantik Yunani dengan beberapa alasan. Pertama, Allah telah menurunkan
Neraca Qur’ani jauh sebelum Aristoteles menemukan mantik. Kedua, umat Islam
telah menggunakan Neraca Qur’ani ini sebelum buku-buku mantik diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Ketiga, sejak masa penerjemahan buku-buku ini hingga
sekarang, tokoh-tokoh Islam selalu mengajukan keberatannya terhadap mantik
dan menulis bantahan-bantahan terhadapnya. Neraca yang Allah turunkan
bersama Al Kitab itu, menurut Ibn Taymiah, adalah neraca keseimbangan (mizan
‘adilah) yang memuat aktualisasi fitrah manusia yang menyamakan dua hal yang
mirip satu sama lain (mutamatsilain) dan memisahkan dua hal yang berbeda
(mukhtalifain). Sebagai contoh, firman Allah, “Apakah kalian mengira bahwa
kalian akan masuk surga padahal kalian belum menemui (kesulitan) seperti umat
sebelum kalian?” (Qs Al Baqarah [2]: 214) dalam menyamakan antara generasi
saat ini dengan generasi sebelumnya. Dan Allah berfirman, “Apakah (kalian
mengira) bahwa Kami akan memperlakukan orang-orang yang beriman seperti
para durjana?” (Qs Al Qalam [68]: 35) dalam membedakan antara kedua
golongan yang berbeda ini.
b. Bantahan Terhadap Definisi
Benarkah pengetahuan tashawwuri tidak bisa diperoleh tanpa definisi logis
dengan lima universalitasnya (kulliyat al khams), yakni genus (jins), differensia
(fashl), species (nau’), aksiden umum (‘ardh ‘am) dan aksiden khusus (‘ardh
khash)? Ibn Taymiah mengajukan 11 kritik untuk membantah pernyataan ini.
Pada kesempatan kali ini, saya hanya akan mencantumkan empat dari sebelas
kritik itu.
1. Penegasian (nafy), seperti juga penetapan (itsbat), jika bukan aksiomatik
harus dilandasi bukti. Karena tidak ada bukti yang mendukungnya, maka
pernyataan ini wajib ditolak.
2. Jika definisi adalah ucapan seorang pembuat definisi, maka ia telah
mengetahui benda yang akan didefinisikan ini lewat definisi atau tidak. Jika ya,
maka mewajibkan argumentasi berputar (daur) dan berantai (tasalsul) yang tidak
akan habis. Jika tidak, maka batal ucapan negasi mereka.
3. Konsepsi hakikat tidak bisa dilakukan kecuali lewat definisi hakiki yang terdiri
dari essensi universal (musytarakah) dan terpilah (mutamayyizah), yakni yang
tersusun dari genus dan defferensia, dan ini mustahil atau sangat sulit
sebagaimana pengakuan mereka sendiri. Dengan demikian, mustahil atau
sangat sulit mengkonsepsikan hakikat, padahal terbukti hakikat itu bisa
dikonsepsikan manusia, maka batallah pernyataan mereka.
4. Benda-benda konseptual bisa diketahui dengan indera lahir (seperti warna,
rasa dan bau) atau dengan indera batin (seperti lapar, cinta, benci, keinginan dan
lain-lain). Semua ini bisa diketahui tanpa memerlukan definisi. Jadi, batal
pernyataan mereka bahwa konsepsi (tashawwur) tidak bisa dicapai tanpa
definisi.
Persoalan berikutnya, benarkan definisi menghasilkan pengetahuan tentang
hakikat sesuatu? Menurut Ibn Taymiah, definisi tidak memberikan pengetahuan
tentang hakikat, akan tetapi hanya membedakan sesuatu dari lainnya. Definisi
seperti nama, hanya membedakan seseorang dari orang lain tanpa menjelaskan
hakikatnya. Untuk ini, Ibn Taymiah mengajukan beberapa bukti:
1. Definisi hanyalah pernyataan pembuatnya tanpa bukti. Ketika seseorang
berkata, “Manusia adalah hewan yang berpikir”, ini hanya kalimat informatif
tanpa bukti. Maka sudahkah pendengar mengetahui kebenarannya tanpa
ucapan ini atau belum? Jika sudah, definisi ini tidak menghasilkan pengetahuan
tentang sesuatu itu. Jika belum, bagaimana ia bisa meyakini kebenarannya
hanya berdasarkan informasi satu orang yang tidak terjaga dari kesalahan?
2. Mereka berkata bahwa definisi tidak bisa dibuktikan, hanya bisa ditentang.
Jawab: jika seorang pembuat definisi tidak mengajukan bukti, pendengar bisa
saja tidak menerima definisi itu. Sebab ia tidak bisa mengetahui sesuatu yang
didefinisikan itu tanpa ucapannya, sementara ucapannya mengandung
kemungkinan benar dan salah, maka ia bisa menolak menerimanya.
Sumber kesalahan ahli mantik yang lain adalah pemilahan antara hakikat dan
wujud sesuatu. Menurut mereka, keduanya ada di alam nyata. Jadi, hakikat-
hakikat universal dari benda-benda parsial, seperti manusia, kuda dan lain-lain,
adalah realitas sebagaimana wujudnya yang kita lihat ini. Realitas-realitas ini
azali dan tidak bisa berubah, inilah yang mereka sebut sebagai “ide-ide platonis”.
Menurut Ibn Taymiah, ini pemilahan yang sangat keliru. Pemilahan yang benar
adalah pemilahan antara abstraksi yang ada di otak manusia dengan benda
yang ada di alam nyata, sebab pemilahan ini tak diragukan kebenarannya. Dan
hakikat berada di alam nyata, bukan di benak manusia (al haqiqah fil a’yan la fil
azhan). Sementara memperkirakan adanya hakikat yang tidak didukung dalil
ilmiah dan realitas hanyalah sebuah kebodohan.
c. Bantahan Terhadap Sylogisme
Menurut Ibn Taymiah, sylogisme tidak menghasilkan apa-apa selain kerumitan
dan kepusingan. Seperti orang yang ditanya, “Mana telingamu?”, ia lalu
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi kemudian menunjukkan telinga
kirinya. Meski begitu, Ibn Taymiah mengakui bahwa sebuah sylogisme yang
terdiri dari premis-premis meyakinkan (atau disebut demonstrasi [burhan])
menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Kritik Ibn Taymiah hanya ditujukan
kepada pernyataan mereka bahwa sylogisme satu-satunya cara mencapai
kesimpulan meyakinkan dengan menafikan cara-cara lainnya. “Mereka benar
dalam apa yang mereka tetapkan, namun keliru dalam apa yang mereka
negasikan,” demikian Ibn Taymiah, “dan negasi mereka inilah sumber kesesatan
dan kefasikan mereka.”
Ibn Taymiah kemudian menyebutkan bukti-bukti kelirunya pernyataan ini. Ia
menyebutkan bahwa para nabi dan para wali memiliki pengetahuan yang mereka
peroleh tanpa jalan sylogisme. Begitu juga, ilmu firasat yang terbukti
kebenarannya, diperoleh tanpa sylogisme. Bagi orang tertentu, terbit bintang
tertentu menunjukkan arah Ka’bah, terbitnya bintang ini menunjukkan tenggelam
atau terbitnya bintang lain di ufuk, dan lain-lain. Allah berfirman, “Dan dengan
bintang, mereka mendapatkan petunjuk.” Juga, bagi orang yang mengetahui
jarak antar bintang, melihat posisi bintang memberitahunya waktu malam yang
tersisa. Begitu juga, orang tertentu bisa mengetahui nama negeri yang ia datangi
dengan gunung, sungai dan angin yang ia lihat dan rasakan. Semua ini tidak
menggunakan sylogisme logis ala Yunani sama sekali.
Oleh karena itu, para tokoh muslim tidak menggunakan dalil sylogisme ini.
Sebab menurut mereka, dalil adalah sarana yang membawa kepada tujuan.
Yakni mengetahui dalil harus membawa kepada pengetahuan yang dituju, atau
kepada keyakinan yang benar. Mereka lebih menyukai pembuktian dengan dalil
persamaan (tamsil), sebab pembuktian ini lebih meyakinkan dan lebih dekat
dengan metode Al Qur’an. Pembuktian ini bertumpu kepada dalil sesuatu me-
lazim-kan sesuatu yang lain, atau keduanya saling me-lazim-kan. Contoh:
adanya alam semesta melazimkan adanya pencipta. Selain itu, pembuktian ini
juga bertumpu kepada kemungkinan yang benar-benar nyata (imkan khariji),
bukan kemungkinan rasional semata (imkan dzihni) yang belum tentu ada
kenyataannya. Kemungkinan nyata dapat diketahui dengan melihat terjadinya
sesuatu yang mirip dengannya atau yang lebih sulit darinya. Ini cara Al Qur’an
dalam membuktikan adanya hari kebangkitan. Yakni dengan menguraikan fakta
historis terjadinya kebangkitan orang yang telah mati sebagaimana yang terjadi
pada kaum Nabi Musa, penghuni gua (ashhabul kahfi), dan mukjidzat Nabi Isa.
Atau dengan menjelaskan proses penciptaan manusia, sebab menghidupkan
kembali lebih mudah daripada menciptakannya pertama kali.

Penutup:

Pengaruh ibn Taymiah


Ketika sekilas saya mengamati buku “Kubra Al Yaqiniat Al Kauniah: Wujud ul-
Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq” karya Dr Said Ramadhan Al Buthi, saya
menemukan sedikit peninggalan Ibn Taymiah di dalamnya. Dalam pengantar
cetakan ketiga-nya, Dr Said menulis, “Apakah dalam menguraikan pembahasan
akidah islamiah dalam buku ini kami berpedoman kepada filsafat Yunani dan
logika formal (mantik shuri)?…Kami tidak menggunakannya sama sekali. Kami
hanya menyajikan kepada pembaca dalil-dalil dan bukti-bukti yang diakui
akurasinya sepanjang sejarah meski diungkapkan dengan bahasa yang
berbeda-beda.”
Selanjutnya, setelah menyebutkan kekurangan dan kelebihan mantik, Dr Buthi
berkata, “Kami tidak berkata bahwa filsafat Yunani dan logika Aristoteles
semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dan pikiran
darinya. Di dalamnya banyak hal yang bermanfaat, namun banyak pula yang
menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu hendak
membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih
yang baik dari orang lain, daripada menolaknya sama sekali.” Ini pendirian Ibn
Taymiah yang mengakui adanya hal-hal positif dalam mantik, karena itu ia tidak
membantah demonstrasi yang didukung premis-premis meyakinkan, meski
negatifnya lebih banyak daripada positifnya.
Kemudian, di pembukaan (tamhid) yang membandingkan metode ilmiah pemikir
muslim dan pemikir Barat, Dr Buthi menyebutkan bahwa analisa rasional yang
digunakan kaum muslimin dalam membahas sesuatu yang tidak diberitakan oleh
Al Qur’an dan hadis mutawatir adalah dilalah iltizam dan qiyas ‘illat. Dan
keduanya benar-benar metode alternatif yang ditawarkan Ibn Taymiah.

Wallahu A’lam.

You might also like