You are on page 1of 20

Nama : Hally Nababan

Jona Simanungkalit
Kalpin Sigalingging
Leo Simbolon
Patar Situmorang
Mata Kuliah : Agama Islam I
Dosen : Pdt. P.N.B. Pardede, M.Th

SISTEM PEMERINTAHAN/POLITIK ISLAM

1 Pendahuluan

Sistem pemerintahan Islam adalah system yang menjelaskan bentuk,


sifat, dasar, pilar, struktur, asas yang menjadi landasan, pemikiran, konsep,
serta standar-standar yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat,
serta undang-undang dasar dan perundangan-undangan yang diberlakukan.
Inilah system yang khas dan unik bagi sebuah Negara yang unik, yang
berbeda dengan semua system pemerintahan manapun yang ada di dunia
dengan perbedaan yang mendasar. Baik dari segi asas yang dipergunakan
sebagai landasan system tersebut, atau dari segi pemikiran, konsep serta
standar yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, atau dari segi
bentuk yang terlukis dari sana, maupun undang-undang dasar serta
perundangan-undangan yang diberlakukanya.
Sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan yang
menggunakan Al Quran dan Sunnah sebagai rujukan dalam semua aspek
hidup, seperti dasar undang-undang, mahkamah perundangan, pendidikan,
dakwah dan perhubungan, kebajikan, ekonomi, sosial, kebudayaan dan
penulisan, kesehatan, pertanian, sain dan teknologi, penerangan dan
peternakan. Dasar negaranya adalah Al Quran dan Sunnah. Para pemimpin
dan pegawai-pegawai pemerintahannya adalah orang-orang baik,
bertanggung jawab, jujur, amanah, adil, faham Islam, berakhlak mulia dan
bertakwa. Untuk lebih jelas kita memahami tentang system pemerintahan
Islam maka kelompok kami membuat susunan topik ini sebagaimana
penjelasan isi di bawah ini.

1
2. Isi

2. 1 Definisi Islam

Islam (bahasa Arab, al-islām, “berserah diri kepada Tuhan“) adalah


agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Agama ini termasuk agama
samawi (agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari
langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim. Dengan lebih dari satu
seperempat milyar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai
agama terbesar kedua di dunia. Pengikut ajaran Islam dikenal dengan
sebutan Muslim, adapun lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan
Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan
firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan
meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah
nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah. 1

2. 2 Definisi Sistem Pemerintahan

2. 2. 1. Definisi Sistem Pemerintahan Secara Luas

Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan


masyarakat ,menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas,
menjaga fondasi pemerintahan , menjaga kekuatan politik , pertahanan,
ekonomi , keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontiniu
dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam
pembangunan sistem pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit
negara yang bisa mempraktekkan sistem pemerintahan itu. 2

2. 2. 2. Definisi Sistem Pemerintahan Secara Sempit

Secara sempit, sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok


untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara
dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun
radikal dari rakyatnya itu sendiri.
1
Ellysa KH Dharwis, Agama Demokrasi dan Keadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001 ;
hlm. 85
2
Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, Bagil Jawa Timur, Al-Izzah 1997 hlm. 14

2
Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama
sekali dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada di dunia. Baik dari
aspek asas yang menjadi landasan berdirinya, pemikiran, pemahaman,
standar serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan
umat, maupun dari aspek undang-undang dasar serta undang-undang yang
diberlakukannya, ataupun dari aspek bentuk yang menggambarkan wujud
negara tadi, maupun hal-hal yang menjadikannya beda sama sekali dari
seluruh bentuk pemerintahan yang ada di dunia.3

3. SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM TIDAK SAMA DENGAN SISTEM


PEMERINTAHAN YANG LAIN.
3. 1. Pemerintahan Islam Bukan Monarchi
Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarchi. Bahkan, Islam
tidak mengakui sistem monarchi, maupun yang sejenis dengan sistem
monarchi.
Kalau sistem monarchi, pemerintahannya menerapkan sistem waris
(putra mahkota), dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang
putra mahkota dari orang tuanya, seperti kalau mereka mewariskan harta
warisan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris.
Namun, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibai'at oleh umat
dengan penuh ridla dan bebas memilih.

3. 2. Pemerintahan Islam Bukan Republik


Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem
republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya jelas di
tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat
aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan
seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya.
Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta
perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta
merubahnya.4

3
Rachman Budhy Mnawar, Islam Pluralis, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 2004 ; hlm. 358
4 H. Madjid H. Abdulah, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia “Mencari Format Studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam ,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2005 hlm. 208-210.

3
Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar akidah Islam,
serta hukum-hukum syara'. Dimana kedaulatannya di tangan syara', bukan di
tangan umat. Dalam hal ini, baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat
aturan sendiri. Karena yang berhak membuat aturan adalah Allah SWT.
semata. Sedangkan khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-
hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-
undangan dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak
untuk memecat khalifah.

3. 3. Pemerintahan Islam Bukan Kekaisaran


Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan
sistem kekaisaran jauh sekali dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang
diperintah dengan sistem Islam sekalipun ras dan sukunya berbeda serta
sentralisasi pada pemerintah pusat, dalam masalah pemerintahan tidak sama
dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan, berbeda
jauh dengan sistem kekaisaran, sebab sistem ini tidak menganggap sama
antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam
wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam
bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat.

3. 4. Pemerintahan Islam Bukan Federasi


Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi
wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam
pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem
kesatuan. Yang mecakup seluruh negeri seperti Marakis di bagian barat dan
Khurasan di bagian timur. Seperti halnya yang dinamakan dengan mudiriyatul
fuyum ketika ibu kota Islam berada di Kairo. Harta kekayaan seluruh wilayah
negera Islam dianggap satu. Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan
secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya.

3.5. Tanggapan Kelompok


Setelah kelompok berdiskuis mengenai pemerintahan Islam, maka
kelompok lebih menyetujui bentuk pemerintahan yang cocok untuk Negara
Indonesia adalah pemerintahan Republik. Kelompok kurang setuju apabila

4
bentuk pemerintahan Islam yaitu syariat Islam diterapkan di Indonesia.
Karena Negara Indonesia bukanlah Negara Agama dan bukan hanya dimiliki
oleh satu agama yaitu Islam. Indonesia adalah Negara yang memiliki
beragam kepercayaan (agama) atau disebut juga pluralistik. Selain itu, kita
juga harus melihat kebelakang yaitu latar belakang sejarah Indonesia.
Orang-orang yang memperjuangkan bangsa Indonesia dari penjajahan
bukan hanya orang yang beragama Islam saja. Melainkan dari berbagai
latarbelakang agama seperti Kristen juga ikut ambil bagian dalam
mempertahankan dan memperjuangkan serta membela bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang bersatu dan berdaulat, sehingga akhirnya bangsa
Indonesia dapat merdeka. Oleh karena itu, bentuk pemerintahan Negara
Indonesia yang lebih cocok yaitu sistem Republik dan UUD 1945, yang
memberi kebebasan beragama. Apabila hukum atau syariat Islam diterapkan
sebagai sistem pemerintahan bangsa Indonesia, maka tidak tertutup
kemungkinan beberapa tahun kedepan bangsa Indonesia akan menjadi
Negara Islam. Hal ini yang kami khawatirkan akan terjadi. Oleh karena itu,
kami sangat setuju bahwa piagam Jakarta dihapuskan. Namun demikian, kita
juga dapat melihat bahwa Nangroh Aceh Darussalam menerapkan hukum
Islam di Jakarta tersebut. Hal ini terjadi karena Aceh merupakan daerah
istimewa sehingga dapat menerapkan hukum Islam di daerah tersebut dan
hukum Islam tersebut hanya berlaku bagi mereka yang mendiami Daerah
Istimewa Aceh Darussalam.

4. BENTUK PEMERINTAHAN ISLAM

4. 1. Kedaulatan ditangan syarak (As siyadah li as syar’i).

Pilar yang pertama ialah kedaulatan di tangan syara’. Pilar ini memiliki
fakta, yaitu berasal dari kata as siyadah atau kedaulatan. Dimana kata as
siyadah atau kedaulatan tersebut memiliki bukti, bahwa kedaulatan tersebut
adalah di tangan syara’ dan bukan di tangan umat, untuk lebih jelasnya
mengenai syara dapat kita lihat sebagaimana di bawah ini5:

55
Taqiyuddin Op.cit, hlm 49

5
a. Menjadikan pengendalian dan penguasa adalah hukum syarak.
b. Mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum syarak tanpa
membedakan penguasa {khalifah} maupun rakyat {umat}

c. Ketaatan kepada khalifah terikat dengan ketentuan hukum


syarak,bukannya ketaatan secara mutlak. Tidak pada perkara kemaksiatan.

d. Wajib mengembalikan masalah kepada hukum syarak apabila berlaku


perselisihan antara umat dengan khalifah.

e. Wajib ada kawalan ke atas negara dilakukan oleh parti/jamaah islam.


f. Adanya mahkamah yang bertugas utk menghilangkan penyimpangan
terhadap hukum syarak iaitu mahkamah mazalim.

g.Mengangkat senjata untuk mengambil alih kekuasaan apabila khalifah


menyimpang dari hukum syarak. Pengangkat senjata tidak dihukumi sebagai
tindakan pembangkang. Dalil kedaulatan ditangan Syarak:

“Hai orang yang beriman, taatlah Allah dan taatlah Rasul-Nya, dan ulil amri
(penguasa) diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah(Al Quran) dan rasul(sunnahnya),
jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”

(Surah An Nisa;ayat 59)

4. 2.Kekuasaan Ditangan umat (as sulthan li al ummat)

Adapun pilar kedua, yaitu kekuasaan di tangan umat, diambil dari fakta
bahwa syara’ telah menjadi pengangkatan khalifah oleh umat, dimana
seorang khalifah hanyan memiliki kekuasaan melalui bai’at. Dalil bahwa
syara’ telah menjadi pengankatan khalifah oleh umat adalah tegas sekali da
dalam hadis-hadis tentang bai’at6. Lebih rincinya penjelasan mengenai hal di
atas tertera di bawah ini:

6
Taqiyuddin op.cit, hlm 50-51

6
a. Tiada kekuasaan yang diperolehi oleh seorang muslim kecuali diberikan
oleh umat. Dengan cara bai’at itu, hukum fardhu untuk mengangkat khalifah.
Hukum fardhu ain untuk mentaati khalifah.

b. Umat mempunyai hak untuk mengangkat khalifah dengan redha (rela)


seperti Muawiyah yang mulanya diambil dengan paksa dari khalifah Ali bin
Abu talib.

c. Pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan yang diperoleh dengan


warisan. Kuasa ditangan umat kepada khalifah secara bai’at perlu diserahkan
kepada umatnya juga.

d. Meskipun umat berhak mengangkat penguasa namun kedudukannya


bukan sebagai mustajir (majikan) dan khalifah bukan sebagai ajir
(buruh).tidak seperti sistem demokrasi, rakyat (majikan) memilih/mengangkat
pemimpin(buruh),rakyat pengubal undang-undang dan pemimpin
melaksanakan undang-undang tersebut. Sistem pentadbiran Islam tidak
seperti itu. Tak sama langsung. Khalifah bertindak tegas terhadap
rakyat/umat jika berlaku penyelewengan dari hukum syarak.

e. Umat berhak syura (berbincang/bersuara) dengan khalifah, meskipun tidak


mempunyai hak untuk melucutkan jabatan khalifah.

f. Khalifah adalah pelayan umat dengan memenuhi maslahat mereka dan


mencegah mudarat yang menimpa mereka. Diantara salah satu dalil
kekuasaan ditangan umat: Dari Nafi’ berkata:Abdullah bin Umar berkata
kepadaku: ;
“Sesiapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan kepada Alllah, ia akan
bertemu dengan Allah di hari kiamat tanpa hujjah, dan siapa saja mati
sedangkan diatas pundaknya (bahunya) tiada bai’at,maka ia mati seperti mati
jahiliyah” [HR Muslim]

4. 3. Pengangkat satu khalifah untuk seluruh muslimin hukumnya wajib


(wujub nashbi al khalifah al -wahid li al muslimin)

7
Pilar yang ketiga adalah mengangkat satu khalifah hukumnya fardlu
bagi seluruh kaum muslimin. Dimana hokum fardlu tersebut sebenarnya telah
ditetapkan di dalam hadits7.

4. 3. 1 Khalifah

Khalifah – Khalifah adalah individu yang mewakili umat dalam urusan


pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum syara’. Oleh
sebab Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan tersebut milik
umat, dalam hal ini, umat mewakilkan kepada seseorang untuk
melaksanakan urusan tersebut sebagai wakilnya. Bahkan Allah juga telah
mewajibkan kepada umat untuk menerapkan hukum syara’ secara
keseluruhannya. Dengan demikian, Khalifah adalah orang yang diangkat oleh
umat Islam untuk menerapkan hukum Allah secara kaffah. Oleh karena itu
juga, tidak ada seorang Khalifah pun yang akan terlantik kecuali setelah
dibai’at oleh umat. Bai’at yang dilakukan oleh umatlah yang akan menjadikan
seseorang itu sebagai wakil umat sekali gus sebagai seorang Khalifah

Pengangkatan seorang Khalifah oleh umat dengan bai’at berarti umat


telah memberikan kekuasaan (untuk memerintah) kepada Khalifah dan umat
wajib mentaatinya selama mana dia (Khalifah) menerapkan hukum syara’
Orang yang memimpin urusan kaum Muslimin tidak boleh disebut Khalifah
kecuali setelah ia dibai’at oleh ahlu halli wal aqdi yang ada di kalangan umat
dengan bai’at in’iqad (bai’at pengangkatan) yang sah dari segi syara’, yaitu ia
mesti dilakukan dengan redha dan kebebasan memilih (tidak dipaksa) serta
calon Khalifah tersebut memenuhi syarat-syarat in’iqad. Syarat in’iqad
Khalifah ada tujuh yaitu dia mestilah seorang Muslim, lelaki, baligh, berakal,
adil, merdeka dan mampu. Selain tujuh syarat ini, terdapat juga syarat
afdhaliyyah (keutamaan) yang didukung oleh nas-nas sahih ataupun rentetan
dari nas-nas sahih. Sebagai contoh, Khalifah itu harus dari kalangan Quraisy,
seorang mujtahid, pemberani, seorang politikus yang ulung, pakar perang dan
sebagainya. Walau yang berhak yang menjadi khafilah adalah kaum laki-laki
kita tidak pungkiri seorang khafilah ada dari kaum perempuan sebagai
pemimpin pemerintahan. Hal ini didasarkan bahwa paham Islam ada yang
7
Taqiyuddin op.cit, hlm 53

8
memberi peluang untuk itu yakni : perempuan adalah pemimpin pemerintahan
bukan pemimpin agama.8

Khalifah tidak periodik. Dia tetap Khalifah selama dia mampu memikul
tanggungjawab khalifah dan selama mana dia menerapkan hukum Allah.
Tidak sama seperti Sistem Demokrasi yang menetapkan masa jabatan,
karena dianggap salah satu implikasi yang menggugat kestabilan Negara.

4. 3. 2. Khalifah Islam wajib hanya ada satu.

Tidak boleh ada lebih dari satu khalifah dalam satu zaman seperti pada
zaman Abbasiyah adalah kesalahan yang tidak dijadikan sebagai dasar
hukum syarak.

4. 3. 3. Bentuk negara kekhalifahan Islam adalah berbentuk kesatuan.

Hanya dibenarkan ada satu ketua negara{khalifah},satu undang-


undang dan hanya satu negara (tanpa sempadan antara negara islam
dengan negara islam seperti sekarang).

4. 3. 4 Sistem pemerintahan khalifah Islam mengikut sistem pusat.

Pemerintahan merupakan kuasa khalifah dan kekuasaan dalam satu


negara adalah tunggal. Dalam dunia ini hanya ada satu negara Islam sahaja.

4. 3. 5. Khalifah adalah negara.

Ahli politik barat mendefinisikan negara adalah kumpulan daripada


wilayah, rakyat dan pemerintahan. Islam menggambarkan negara sebagai
kekuasaan kerana wilayah islam sentiasa berkembang. Dalil mengenai tajuk
di atas: Dari Adi Said Al Khudri dari Nabi saw bersabda; “Apabila dibai’at dua
khalifah,maka bunuhlah yang terakhirnya dari keduanya” [HR. Muslim]

8
Said Al-Afghani, Pemimpin Wanita di Kancah Politik, Pustaka Pelajar, Jakarta 2001 ; hlm.7

9
4. 4. Khalifah mempunyai hak untuk mengambil dan menetapkan hukum
syarak untuk menjadi UU (li al Khalifah wahdah haq at tabanni)

Pilar yang keempat adalah, bahwa hanya khalifah yang berhak melakukan
tabanni (adopsi) terhadap hokum-hukum syara,. Pilar ini ditetapkan
berdasarkan dalil ijma’ sahabat. Ijma, sahabat telah menetapkan bahwa
hanya khalifah yang berhak untuk mengadopsi hokum-hukum syara9. Selain
hal ini kita juga dapat melihat penjelasan mengenai hak-hak seorang khalifah
di bawah ini:
a. Mengambil dan menetapkan hukum mestilah terikat dengan hukum syarak.
Hanya menggunakan Al Quran,Al hadis,Ijmak sahabat dan Qisas sebagai
landasannya.
b.Untuk menghilangkan perselisihan ditengah masyarakat.
c. Kepimpinan secara tunggal,tiada perlembagaan lain setanding kuasa
khalifah
d Tiada hak membuat undang-undang kecuali khalifah.termasuk majelis umat
tidak berhak membuat undang-undang dan tiada lembaga legislatif didalam
khalifah. Tiada konsep pengasingan kuasa seperti legislatif,eksekutif dan
judikatif. Hanya khalifah yang memiliki hak . Dalil ini diambil dalil ijimak
sahabat. Berdasarkan Ijimak Sahabat ini diambil kaidah ushul fiqih sangat
popular:
“Perintah Imam {khalifah} menghilang perselisihan” “Perintah Imam{khalifah}
harus dilaksanakan”

5. Landasan Politik di Masa Rasulullah


Langkah-langkah Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah
hijrahnya ke Madinah, juga beberapa kejadian sebelumnya, menegaskan
bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah masyarakat dalam apa yang disebut
sekarang sebagai negara. Beberapa bukti bisa disebut, diantaranya:
5.1. Bai’at Aqabah
Pada tahun kesebelas kenabian, enam orang dari suku Khajraz di
Yathrib bertemu dengan Rasululah di Aqabah, Mina. Mereka datang untuk

9
Taqiyuddin op.cit, hlm 54

10
berhaji. Sebagai hasil perjumpaan itu, mereka semua masuk Islam. Dan
mereka berjanji akan mengajak penduduk Yathrib untuk masuk Islam pula.
Pada musim haji berikutnya, dua belas laki-laki penduduk Yathrib menemui
Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka, selain masuk Islam, juga
mengucapkan janji setia (bai’at) kepada Nabi untuk tidak menyekutukan
Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, serta tidak mengkhianati
Nabi. Inilah Bai’at Aqabah Pertama. Kemudian pada musim haji berikutnya
sebanyak tujuh puluh lima penduduk Yathrib yang sudah masuk Islam
berkunjung ke Mekkah. Nabi menjumpai mereka di Aqabah. Di tempat itu
mereka mengucapkan bai’at juga, yang isinya sama dengan bai’at yang
pertama, hanya saja pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka berjanji
akan membela Nabi sebagaimana membela anak istri mereka, bai’at ini
dikenal dengan Bai’at Aqabah Kedua.
Kedua bai’at ini menurut Munawir Sadjali (Islam dan Tata Negara,
1993) merupakan batu pertama bangunan negara Islam. Bai’at tersebut
merupakan janji setia beberapa penduduk Yathrib kepada Rasulullah, yang
merupakan bukti pengakuan atas Muhammad sebagai pemimpin, bukan
hanya sebagai Rasul, sebab pengakuan sebagai Rasulullah tidak melalui
bai’at melainkan melalui syahadat. Dengan dua bai’at ini Rasulullah telah
memiliki pendukung yang terbukti sangat berperan dalam tegaknya negara
Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar bai’at ini pula Rasulullah meminta
para sahabat untuk hijrah ke Yathrib, dan beberapa waktu kemudian
Rasulullah sendiri ikut Hijrah bergabung dengan mereka.

5.2. Piagam Madinah


Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah hijrah ke
Yathrib, yang kemudian berubah menjadi Madinah. Di Madinahlah untuk
pertama kali lahir satu komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah
pimpinan Nabi Muhammad, Penduduk Madinah ada tiga golongan. Pertama
kaum muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, dan ini adalah
kelompok mayoritas. Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan
Kharaj yang belum masuk Islam, kelompok ini minoritas. Ketiga, kaum Yahudi
yang terdiri dari empat kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam kota
Madinah, yaitu Banu Qunaiqa. Tiga kelompok lainnya tinggal di luar kota

11
Madinah, yaitu Banu Nadlir, Banu Quaraizhah, dan Yahudi Khibar. Jadi
Madinah adalah masyarakat majemuk. Setelah sekitar dua tahun berhijrah
Rasulullah memaklumkan satu piagam yang mengatur hubungan antar
komunitas yang ada di Madinah, yang dikenal dengan Piagam (Watsiqah)
Madinah.Inilah yang dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di
dunia. Piadam Madinah ini adalah konstitusi negara yang berasaskan Islam
dan disusun sesuai dengan syariat Islam.

5.3. Peran Sebagai Kepala Negara


5.3.1. Dalam negeri
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah sadar betul akan arti pengembangan
sumber daya manusia, dan yang utama sehingga didapatkan manusia yang
tangguh adalah penanaman aqidah dan ketaatan kepada Syariat Islam. Di
sinilah Rasulullah, sesuai dengan misi kerasulannya memberikan perhatiaan
utama. Melanjutkan apa yang telah beliau ajarkan kepada para sahabat di
Mekkah, di Madinah Rasul terus melakukan pembinaan seiring dengan
turunnya wahyu. Rasul membangun masjid yang dijadikan sebagai sentra
pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan Rasulullah melakukan
pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di bidang pemerintahan,
sebagai kepala pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa sahabat
untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen
pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul mengangkat Abu Bakar
dan Umar bin Khattab sebagai wajir. Juga mengangkat beberapa sahabat
yang lain sebagai pemimpin wilayah Islam, diantaranya Muadz Bin Jabal
sebagai wali sekaligus qadhi di Yaman.
5.3.2. Luar Negeri
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan
negara-negara lain. Menurut Tahir Azhari (Negara Hukum, 1992) Rasulullah
mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada kepala negara lain, diantaranya
kepada Al Muqauqis Penguasa Mesir, Kisra Penguasa Persia dan Kaisar
Heraclius, Penguasa Tinggi Romawi di Palestina. Nabi mengajak mereka
masuk Islam, sehingga politik luar negeri negara Islam adalah dakwah
semata, bila mereka tidak bersedia masuk Islam maka diminta untuk tunduk,
dan bila tidak mau juga maka barulah negara tersebut diperangi.

12
5.4. Hubungan Rakyat dan Negara
5.41. Peran Rakyat
Dalam Islam sesungguhnya tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara,
karena negara didirikan justru untuk kepentingan mengatur kehidupan rakyat
dengan syariat Islam. Kepentingan tersebut yaitu tegaknya syariat Islam
secara keseluruhan di segala lapangan kehidupan.10 Dalam hubungan antara
rakyat dan negara akan dihasilkan hubungan yang sinergis bila keduanya
memiliki kesamaan pandangan tentang tiga hal (Taqiyyudin An Nabhani,
Sistem Pemerintahan Islam, 1997), pertama asas pembangunan peradaban
(asas al Hadlarah) adalah aqidah Islam, kedua tolok ukur perbuatan (miqyas
al ‘amal) adalah perintah dan larangan Allah, ketiga makna kebahagiaan
(ma’na sa’adah) dalam kehidupan adalah mendapatkan ridha Allah. Ketiga
hal tersebut ada pada masa Rasulllah. Piagam Madinah dibuat dengan asas
Islam serta syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan.
Adapun peran rakyat dalam negara Islam ada tiga, pertama melaksanakan
syariat Islam yang wajib ia laksanakan, ini adalah pilar utama tegaknya
syariat Islam, yakni kesediaan masing-masing individu tanpa pengawasan
orang lain karena dorongan taqwa semata, untuk taat pada aturan Islam,
kedua, mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh negara dan jalannya
penyelenggaraan negara, ketiga, rakyat berperan sebagai penopang
kekuatan negara secara fisik maupun intelektual, agar menjadi negara yang
maju, kuat, disegani di tengah-tengah percaturan dunia. Di sinilah potensi
umat Islam dikerahkan demi kejayaan Islam (izzul Islam wa al Muslimin).

5.4.2. Aspirasi Rakyat


Dalam persoalaan hukum syara’, kaum muslimin bersikan sami’ na wa
atha’na. Persis sebagaimana ajaran al Qur’an, kaum muslimin wajib
melaksanakan apa saja yang telah ditetapkan dan meninggalkan yang
dilarang. Dalam masalah ini Kepala Negara Islam menetapkan keputusannya
berdasarkan kekuatan dalil, bukan musyawarah, atau bila hukumnya sudah
10
H. Akhmad Wardi Muslik, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta 2003, hlm.4

13
jelas maka tinggal melaksanakannya saja. Menjadi aspirasi rakyat dalam
masalah tasyri’ untuk mengetahui hukum syara’ atas berbagai masalah dan
terikat selalu dengannya setiap waktu. Menjadi aspirasi mereka juga agar
seluruh rakyat taat kepada syariat, dan negara melaksanakan kewajiban
syara’nya dengan sebaik-baiknya. Rakyat akan bertindak apabila terjadi
penyimpangan.
Di luar masalah tasyri’, Rasulullah membuka pintu musyawarah. Dalam
musyawarah kada Rasulullah mengambil suara terbanyak, kadang pula
mengambil pendapat yang benar karena pendapat tersebut keluar dari
seorang yang ahli dalam masalah yang dihadapi. Dan para sahabat pun tidak
segan-segan mengemukakan pendapatnya kepada Rasulullah, setelah
mereka menanyakan terlebih dahulu apakah hal ini wahyu dari Allah atau
pendapat Rasul sendiri.

5.4.3. Penegakkan Hukum


Hukum Islam ditegakkan atas semua warga, termasuk non muslim di luar
perkara ibadah dan aqidah. Tidak ada pengecualian dan dispensasi. Tidak
ada grasi, banding, ataupun kasasi. Tiap keputusan Qadhi adalah hukum
syara’ yang harus dieksekusi. Peradilan berjalan secara bebas dari pengaruh
kekuasaan atau siapapun.
Kalau teori sosial, khusunya kritikal teori, selalu melihat hubungan teori
sosial dan praktik politik, dibalik pemikiran apa pun dari mereka, pada
hakikatnya termuat pandangan mengenai praktik politik. Demikianlah setiap
pemikiran Islam pun, pada hakikatnya-baik secara implisit maupun eksplisit
mempunyai kandungan politik tertentu. Hubungan antara sebuah refleksi
pemikiran kesilamam demgan praltol politik inilah yang lain dilihat untuk
memperjelas spektrum pemikiran cendikiawan “neo-modernis”11
Sifat religius syariah dan fokisnya pada pengaturan hubungan antara
Tuhan dan manusia mungkin satu-satunya lasan utama bertahan dan
berkembangnya pegadilan-pengadilan sekular yang berfungsi memutuskan
perkara-perkara praktis alam pelaksanaan peradilan dan pemerintahan
secara umum. Aspek lain dari sejarah hokum masyarakat Islam yang
diasosiasikan dengan sifar religius syariah adalah perkembangan fatwa (ifta).
11
Rachman, Op. cit., hlm. 352

14
Umum diketahui bahwa Islam merupakan agama monoteistik yanhg
disebarkan Nabi Muhammad Saw. Antara 610-632 Masehi manakala beliau
menyampaikan Al-Quran dan menguraikan makna-makna dan aplikasi-
aplikasi secara terperinci melalui apa yang kemudian diknal sebagai Sunnah
Nabi, merupakan dasar dari pengertian istilah Islam dan konsep-konsep
turunan serta ajektiva yang digunakan, khususnya di kalangan umat Islam. Al-
Quran dan Sunnah Nabi adalah sumber rukum iman yang dijunjung tinggi
oleh individu-individu Muslim, sumber praktik-praktik ritual yang mesti mereka
jalankan, serta ajaran-ajaran moral dan etika yang mereka hormati. Al-Quran
dan Sunnah Nabi juga adlaah pedoman bagi umat islam dalam
mengembangkan hubungan2 sosialdan politik, serya mengembangkan
norma-norman dan institusi2 hukumnya. Islam dalam artian pokok ajaran ini
adalah tentang bagaimana mewujudkan kekuatan yang membebaskan dari
sebuah kesaksian yang hidup dan proaktif akan Tuhan yang Maha Esa,
Mahakuasa, dan Mahaada (tauhid). 12

5.4.4. peranan militer


pemerintahan islam bukan pemerintahan militer. Oleh karena itu,
militer dalam daulah islam bukan untuk melayani dan mengendalikan urusan-
urusan rakyat. Artinya adalah bahwa militer tidak identik dengan kekuasaan,
sekalipun adanya militer, pembentukannya, pengaturan serta penyiapannya
hanya bias diwujudkan dengan adanya kekuasaan. Militer meruipakan
gambaran kekuataan fisik, yang tercermin dalam angkatan bersenjata
termasuk di dalamnya polisi. Dimana penguasa akan mempergunakan untuk
menerapkan hokum-hukum syara, serta untuk menekan tindakan para pelaku
criminal dan orang-orang fasik. Militer juga bias dipergunakan untuk
memaksa orang-orang yang keluar dari kekuasaan daulah islam serta
menyeret para pembangkang13.

5.4.5. Melakukan koreksi kepada penguasa


Islam wajib memerangi penguasa yang jelas-jelas kafir sebagaimana
perintah ketaatan di atas telah dikecualikan dari satu hal, yaitu dari perintah
12
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular, Mizam Media Utama, Bandung 2007,
hlm. 26
13
Taqiyuddin Op.cit, hlm 343

15
untuk melakukan kemaksiatan, maka demikian halnya keharaman untuk
memisahkan diri dari kekuasaan seorang penguasa, serta mengankat senjata
dalam rangka menentangnya juga dikecualikan dari suatu hal, yaitu adanya
kekufuran yang nyata. Kalau kekufuran yang nyata itu benar-benar telah
nampak maka wajib diperangi14.

5.4.6. Mendirikan partai politik


Untuk melakukan koreksi terhadap penguasa yang telah diperintahkan
allah atas kaum muslimin, esensinya merupakan tugas individu sebagai
pribadi serta tugas jamaah dan partai sebagai kelompok. Allah SWT telah
memerintah berdakwa kepada islam dan serta mengoreksi kepada para
penguasa, maka Allah juga memerintah mereka untuk mendirikan partai
politik diantara mereka, yang berdiri sebagai sebuah kelompok dakwa yang
menyeru kepada kebaikan atau kepada islam15.

6. Kesimpulan

1. Madinah adalah negara Islam pertama dengan Muhammad Rasulullah


sebagai kepala negara. Praktek kenegaraan di segala bidang berjalan
dengan baik di bawah kepemimpinan Rasul.

2. Tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara. Keduanya adalah pilar
penopang tegaknya hukum Allah dan penentu tegaknya Izzul Islam wa al
muslimin
3. Yang disebut sebagai aspirasi rakyat dalam negara Islam adalah
terlaksananya serta terselenggaranya pemerintahan dengan sebaik-
baiknyademi tercapainya tujuan dakwah Islam. Di luar masalah tasyri’,
menjadi tuntunan Islam keputusan diambil dengan musyawarah baik
berdasarkan suara terbanyak atau pendapat yang paling benar. Demi
terselenggaranya praktek kenegaraan dengan baik, penting sekali peran
muhasabah (koreksi) dari rakyat kepada penguasa
4. Hukum Islam dijalankan atas semua warga, tanpa kecuali.

14
Taqiyuddin op.cit, hlm 347
15
Taqiyuddin op.cit, hlm 355

16
5. Bentuk Pemerintahan Islam yaitu :
Khalifah mempunyai hak untuk mengambil dan menetapkan hukum syarak
untuk menjadi UU, pengangkat satu khalifah untuk seluruh muslimin
hukumnya wajib, kekuasaan ditangan umat,kedaulatan ditangan syarak.
6. Landasan Politik di Masa Rasulullah : Bai’at Aqabah, piagam Madinah,
peran sebagai Kepala Negara.
7. Sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan yang
menggunakan Al Quran dan Sunnah sebagai rujukan dalam semua aspek
hidup, seperti dasar undang-undang, mahkamah perundangan, pendidikan,
dakwah dan perhubungan, kebajikan, ekonomi, sosial, kebudayaan dan
penulisan, kesehatan, pertanian, sain dan teknologi, penerangan dan
peternakan.

Pertanyaan dan Jawaban Kelompok :


1. Saudara Erik Sitanggang :
P: Presiden RI beragama Islam, apakah ada unsur politik sehingga
Presiden selalu beragama Islam?
J: Memang kita akui bahwa Agama Islam di Indonesia adalah mayoritas.
Umat Islam di Indonesia memegang tatanan politik di Negara kita ini.
Selanjutnya dalam hal pemilihan Presiden, kelompok kami berpendapat
bahwa mereka ingin umat Islam-lah yang menduduki Negara ini bahkan kita
ketahui ingin menjadikan Negara Islam (Piagam Jakarta). Dengan istilah
dalam bahasa batak : ”ndang tumagon tu halak, adong do dihita” . Ini
menunjukkan bahwa persahabatan mereka juga terjadi dalam bidang politik di
Indonesia.
2. Saudara Ronaldy Maharaja :
P: Apakah sistem yang pertama kali dipegang oleh umat Islam, dan di
Indonesia sistem bagaimana yang dianut?
J: Sistem yang pertama kali dipegang oleh umat Islam adalah sistem
Negara dimana Muhammad sebagai Rasul dan pemimpin Negara. Namun
karena keberadaan Muhammad yang sudah meninggal, sehingga akhirnya
orang Islam mengambil inisiatif untuk memimpin umat Islam, yaitu adanya
Hukum Syariat dan Khalifah. Dan di Indonesia menganut sistem republik.
3. Saudara Juvenri Simatupang

17
P: Mengenai zaman Rasullah reka tidak mengikuti jejak sejarah
kegemilangan Islam di zaman Rasul dan Khulafaur Rasyidin serta
Salafussoleh. Pertanyaan, bagaimana sistem pemerintahan pada zaman itu?
Dan mengapa orang Islam zaman sekarang tidak mengikuti sistem
pemerintahan pada zaman itu?

J: Menurut kelompok kami, dengan berkembangnya zaman, begitu juga


dengan pola piker yang semakin luas. Hal ini mengakibatkan terjadinya
perubahan sistem pemerintahan Islam, munculnya partai-partai politik, namun
karena keberadaan partai politik yang pecah dan tidak bisa bersatu
mengakibatkan orang Islam sekarang tidak bisa meniru atau mengikuti
kejayaan Rasullah.

4. Saudara Jusuf Turnip

P: Bagaimana pendapat kelompok mengenai kepemimpinan khalifah di


agama Islam dibandingkan dengan zaman orde baru?

J: Kalau dilihat dari Soeharto sebagai Presiden RI yang ke-dua. Dan


pengangkatannya pada saat itu, menunjukkan sistem Soeharto tidak ada
hubungannya dengan khalifat melainkan mengikuti sistem Demokrasi.

5. Saudara Christian Silaen

P: Sistem pemerintahan (politik) Islam sangat jauh berbeda dengan


sistem politik, ideologi-ideologi dan isme-isme akal manusia. Yang
dipertanyakan : Sistem politik yang bagaimana?

J: Yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah berbeda dengan sistem


politik/pemerintahan Monarchi, Republik, Kekaisaran, Federasi.

6. Saudara Sardono Siburian

18
P: Khalifah diangkat oleh umat. Selanjutnya kita melihat Negara kita
Republik Indonesia, dimana DPR dan MPR mengangkat Presiden. Apa
perbedaan pengangkatan presiden dengan khalifah?

J: Khalifah dipilih oleh umat dan umat tidak berhak untuk memecat
khalifah. Sedangkan Presiden memiliki batas periode tertentu, dan dipilih
oleh rakyat secara langsung dan dapat dipecat melalui jalur hukum formal.

Dan khalifah tidak dapat digantikan oleh orang lain sebelum dia
meninggal atau hilang ingatan atau bisa juga disandera pada saat
peperangan (Penjelasan Dosen Pdt. P. N. B. Pardede, M.Th pada tanggal 5
Maret 2010 di ruang 15).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular, Mizam Media Utama
Bandung 2007.

Ellysa KH Dharwis, Agama Demokrasi dan Keadilan, Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta 2001.

H. Akhmad Wardi Muslik, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta 2003.

19
H. Madjid H. Abdullah, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia “Mencari
Format Studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam”, Pustaka Pelajaran,
Yogyakarta 2005 .

Rachman Budhy Mnawar, Islam Pluralis, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 2004.

Said Al-Afghani, Pemimpin Wanita di Kancah Politik, Pustaka Pelajar, Jakarta


2001.

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, Bagil Jawa Timur, Al-Izzah


1997.

Sumber lain : wahidin.blogspot.com/158202002.html, dikutip 2 Maret 2010, pukul


09.30 WIB

20

You might also like