You are on page 1of 9

Merombak sistem birokrasi pendidikan

Tema pendidikan selalu menarik untuk dikaji kapanpun dan dimana saja berada. Salah
satunya adalah mengenai struktur dan sistem birokrasi pendidikan di tanah air
tercinta. Secara menyeluruh pendidikan di Indonesia ditangani oleh Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) di bawah kendali Menteri Pendidikan Nasional.
Tetapi, dalam prakteknya banyak juga penyelenggaraan pendidikan yang
dikendalikan oleh Departemen atau intansi lain, seperti Departemen Agama (Depag)
membawahi sekolah yang berlabel Madrasah dan Kampus Islam (PTAI), Departemen
.Keuangan membawahi STAN, Kepolisian, dan sebagainya
Fakta di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan dalam dunia pendidikan akibat
dari tidak bersatunya dalam pengelolahan sistem pendidikan ini. Banyak yang
berpendapat sekolah yang di bawah asuhan Depag memiliki kualitas yang tidak lebih
.baik dibanding dengan sekolah yang ditangani oleh Depdiknas
Dalam tulisan ini, penulis memfokuskan pembahasannya hanya pada pendidikan
tinggi. Misalnya, ketika pihak IAIN/STAIN mengajukan permohonannya untuk
berubah menjadi Univeritas Islam Negeri (UIN) terjadi perdebatan yang sangat alot
antara Depdiknas dan Depag. Menurut perundangan yang berlaku, maka Universitas
hanya ditangani oleh Depdiknas. Dengan demikian akan ada pengalihan anggaran dari
Depag ke Depdiknas khususnya yang terkait dengan perubahan status dari
.IAIN/STAIN menjadi Universitas
Tetapi, seperti yang kita saksikan saat ini, PTAIN yang telah berubah menjadi
Universitas secara struktural tetap ditangani Depag, namun untuk program studi non-
agama dalam pelaksanaannya di bawah pembinaan Depdiknas. Sehingga perjalanan
UIN akan mengalami banyak hal yang dilematis, karena harus mengikuti sistem
pendidikan yang berlaku di Depag maupun di Depdiknas. Program studi umum di
UIN akan memiliki kualitas rendah dibanding dengan program studi yang di bawah
kendali Depdiknas. Salah satu faktor penyebabnya adalah Depag tidak memiliki atau
kekurangan tenaga yang ahli di bidang non-agama. Sementara kalau mengikuti aturan
di Depdiknas itu hanya sebatas konsultasi (baca: pembinaan) saja sehingga kurang
.maksimal dan dalam pelaksanaannya cenderung hanya formalitas saja
Terkait hal ini, penulis mencoba menelorkan wacana dalam dunia pendidikan, yakni
memberikan dua pilihan untuk kembali melakukan perombakan sistem birokrasi
pendidikan kita. Hal ini dimaksudkan agar sistem pendidikan kita benar-benar
profesional dan lulusan yang dihasilkan juga profesional. Semestinya, kalau berpijak
pada landasan fungsional Depdiknas di tanah air ini, tentunya memiliki tugas untuk
mengurusi segala yang berhubungan dengan pendidikan, mulai dari tingkat dasar,
menengah, hingga perguruan tinggi. Baik itu yang berbentuk pendidikan formal
maupun non formal. Kesemuanya itu seharusnya ditangani oleh pakar-pakar
.pendidikan yang tergabung dalam Depdiknas
Dengan demikian, maka tidak akan ada Depertemen lain yang mengurusi pendidikan.
Departemen Agama yang tugasnya menangani bidang pembinaan keagamaan maka ia
tidak berhak untuk mengurusi pendidikan. Mengacu pada hal ini, maka keberadaan
madrasah, IAIN, UIN atau lainnya seharusnya berada di bawah naungan Depdiknas.
Begitu juga Departemen Keuangan yang menangani Sekolah Tinggi Akuntasi Negara
(STAN), Akademi Kepolisian. Kalau memang sistem yang diterapkan demikian,
maka struktur dalam tubuh Depdiknas menjadi gemuk. Tetapi agar professional, maka
harus dibentuk sub-sub yang menangani bidang-bidang tertentu. Misalkan Sub
pendidikan agama yang mengurusi IAIN/UIN, sub bidang ekonomi yang menangani
jurusan-jurusan ekonomi, sub bidang Riset dan Teknologi membawahi jurusan
.Teknik, dan seterusnya
Jika wacana ini diamini, maka peralihan sistem pendidikan dari depertemen di luar
Depdiknas harus tetap dalam bingkai standarisasi pendidikan nasional. Artinya, Jika
kita ingin menghasilkan mutu pendidikan yang standar, maka manajemen, kurikulum,
dan kualifikasi pengajar pada depertemen non-Depdiknas pun harus ikut
menyesuaikan dengan apa yang berlaku di Depdiknas. Yang lebih penting peralihan
ini tidak hanya perubahan sistem birokrasi saja, tetapi harus dapat menyesuaikan
sistem dan manajemen pendidikan yang sesuai dengan Undang-Sundang Sisdiknas
yang berlaku. Di Depag misalnya, penyelenggaraan IAIN/UIN harus dipisahkan dari
sudut pandang agama. IAIN/UIN harus dilihat sebagai persekolahan atau bagian dari
pendidikan nasional. Karena itu, IAIN/UIN hendaknya dikelola secara profesional
.oleh Depdiknas seperti halnya perguruan tinggi umum
Alternatif yang kedua adalah menghilangkan fungsi Depdiknas (bisa juga
keberadaanya dibubarkan). Dalam prakteknya, pendidikan akan dikelola oleh masing-
masing depertemen yang sesuai bidang ilmunya masing-masing. Misalnya, ada
jurusan kedokteran, keperawatan, maka ia akan bertanggungjawab kepada Menteri
Kesehatan bukan ke Mendiknas, ada jurusan manajemen dan ekonomi maka akan
berada di bawah kendali Menteri Perekonomian, begitu seterusnya. Sistem pendidikan
yang dijalankan dengan model kedua ini akan memiliki tingkat keprofesionalan yang
tinggi karena didukung tenaga-tenaga yang memang benar-benar ahli di bidangnya
.tetapi berakibat lemah pada aspek manajemen
Menyinggung masalah profesionalisme, maka sebenarnya pilihan pertama juga tidak
lebih rendah dibanding pilihan kedua. Ketika urusan pendidikan semuanya
ditanggung oleh Depdiknas, maka dalam pelaksanaannya, Depdiknas tidak harus
berdiri sendiri, misalnya untuk menangani jurusan Teknik, Depdiknas dapat
berkonsultasi dan melakukan koordinasi dengan Menteri Riset dan Teknologi, begitu
juga lainnya. Sehingga kalau ini dapat berjalan efektif maka akan mengungguli pada
opsi yang kedua. Kelemahan pada opsi kedua adalah orang-orangnya masih diragukan
.kemampuannya untuk mengelola sistem pendidikan
Berpijak pada pemikiran di atas, masing-masing opsi memiliki kelebihan dan
kekurangan. Hemat penulis, bahwa pendidikan akan dapat berjalan secara profesional
dan menghasilkan lulusan yang berkualitas, apabila didukung oleh tenaga edukatif
yang memiliki keahlian sesuai bidangnya dan didukung tenaga profesional yang
memiliki kemampuan dalam manajemen sistem pendidikan, karena penyelenggaraan
pendidikan di tanah air kita tidak dapat dilepaskan dari sistem administrasi-birokrasi.
Sehingga ke depan, pendidikan Indonesia harus lebih baik dari sekarang. Sistem
pendidikan Indonesia harus dikelola oleh dua tenaga, yaitu tenaga edukatif yang
mumpuni dan tenaga profesional yang canggih. Sudah bukan waktunya lagi, kita
rebutan proyek pendidikan , siapa sebenarnya yang paling berhak menjadi atasannya,
sebaiknya pendidikan dikelola secara kolektif yang nantinya akan menghasilkan buah
pendidikan yang juga dapat dirasakan secara kolektif. Dengan sistem pendidikan yang
.baik, maka masa depan Indonesia juga akan semakin maju
Dengan demikian, maka harus ada satu departemen yang khusus menangani bidang
pendidikan sejak tingkat dasar sampai jenjang perguruan tinggi. Dalam hal ini
seharusnya hanya Depdiknas yang berhak mengurusi bidang pendidikan. Namun,
sesuai dengan paparan di atas, agar dalam pelaksanaannya pendidikan lebih
professional maka Depdiknas harus selalu saja melakukan konsultasi dan koordinasi
dengan departemen atau intansi terkait yang sesuai dengan bidang keilmuan. Sekali
lagi, yang perlu ditekankan adalah sistem birokrasi pendidikan di Negara kita
sebaiknya harus melebur ke depdiknas saja, dengan harapan agar semuanya dapat
terkontrol dengan baik secara profesional, tidak ada yang di anak-emaskan maupun
(anak-tirikan. (http://www.penulislepas.com/v2/?p=501
Ditulis Oleh: Abdul Halim Fathoni

Birokrasi Pendidikan ditinjau dari aspek ontologis

http://azharighalib.wordpress.com/2008/07/28/birokrasi-pendidikan-
/ditinjau-dari-perspektif-ontologi

Pendahuluan
Hampir sepuluh tahun setelah Indonesia memasuki era “reformasi”
(pascakepemimpinan Soeharto), negara ini tetap belum mampu membangun sebuah
tata kelola pemerintahan yang baik, yang menempatkan kepentingan rakyat di atas
.segalanya dan mampu meredam ambisi pribadi para pengelolanya
Kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar
biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Namun,
.yang saat ini terjadi justru sebaliknya
Birokrasi Indonesia—sebut saja sekitar 3,6 juta pegawai negeri di luar polisi dan
militer—justru menjadi beban negara. Sampai-sampai pemerintah sempat
mengeluarkan kebijakan zero growth untuk mengurangi kemubaziran tenaga
.pemerintah di instansi-instansi sipil
Mengapa birokrasi kita tak mampu menjadi sebuah kekuatan pengubah? Bisa jadi
karena pemerintah memang tak memiliki visi kepemimpinan maupun grand design
.untuk melakukan reformasi
Belum lagi struktur kepegawaian sipil di Indonesia begitu “gemuk”. Terdiri dari lima
eselon (tertinggi eselon 1), empat golongan (tertinggi golongan IV), Begitu juga
birokrasi dalam pendidikan belum mampu memberikan konstribusi yang berarti bagi
peningkatan mutu pendidikan. Dalam tulisan ini ingin dikaji tentang hakikat birokrasi
pendidikan (aspek ontologi) yang mungkin bisa mengurai benang kusut birokrasi
.pendidikan
Asumsi Dasar
Dalam dunia pendidikan, sebuah organisasi sangat diperlukan dalam rangka
memperlancar fungsi dan proses pendidikan. Dalam menjalankan fungsi pendidikan
tidaklah dapat dipisahkan dengan birokrasi. Pada dasarnya, birokrasi ini hakikatnya
adalah salah satu perangkat yang fungsinya untuk memudahkan pelayanan publik.
Birokrasi digunakan untuk dapat membantu mempermudah dalam memberikan
layanan pendidikan yang pasti akan mempengaruhi dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan. Birokrasi merupakan instrumen pembangunan pendidikan. Kekuatan
birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila
mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Jika birokrasi
dijalankan dengan benar, konsisten dan bertanggungjawab, maka kualitas pendidikan
akan maju. Singapura, Hongkong, Malaysia dan Thailand merupakan contoh nyata
negara yang menerapkan birokrasi dengan baik, sehingga pendidikan mereka
mempunyai kualitas lebih baik dikarenakan birokrasinya yang profesional, tegas dan
.efisien
Namun terdapat gejala atau fakta yang menunjukkan bahwa birokrasi tidak mampu
memberikan layanan yang baik kepada pelanggan pendidikan. Hal ini dapat dilihat
: dari fakta-fakta berikut ini
.Adanya keterlambatan dalam mensosialisasikan tentang perubahan kurikulum .1
Menurut laporan banyaknya pungutan liar pada instutusi pendidikan yang bermula .2
.dari birokrasi yang salah
Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara birokratik-sentralistik;(Husaini .3
(Usman, 2002
Pembayaran tunjangan guru yang lamban dikarenakan rumitnya birokrasi .4
TV trans7 memberitakan bahwa keterlambatan penerbitan ijazah SD s/d SLTA .5
.disinyalir karena birokrasi yang lamban
Menurut penelitian ditemukan bahwa birokrasi pendidikan ternyata mengidap .6
patologis yang tingkat keparahannya cukup memprihatinkan. Paling tidak dalam
penelitian tersebut ditemukan empat jenis penyakit
,rigiditas pelayanan (1
,pungutan birokrasi (2
formalitas aktivitas birokrasi, dan (3
(sikap instruktif aparat. (Sugeng Bayu Wahyono (1997:11-12 (4
Jajak pendapat Kompas 16-17 Maret 2005 menyimpulkan bahwa mentalitas .7
birokrasi yang dilumuri KKN rupanya masih melekat dimata publik setiap kali
berhadapan dengan aparatur pemerintah dan cara kerja mereka yang lambat dan
berbelit-belit serta berbiaya tinggi. Anggapan negatif menemukan aktualisasinya pada
keefektifan dan ketidakefienan mereka dalam melayani masyarakat. (Kompas
(g,2005:50
Pengertian Birokrasi
Birokrasi berasal dari bahasa Prancis “bureau” yang berarti meja. Pengertian meja ini
berkembang menjadi kekuasaan yang diwenangkan kepada meja kantor. Dalam
kamus bahasa Indonesia, birokrasi mempunyai 3 (tiga) arti (1) pemerintahan yang
dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat (2) cara pemerintahan
yang dikuasai oleh pegawai negeri (3) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba
(lambat (WJS. Purwadaminta, 2007:164
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa birokrasi selalu identik dengan
pegawai negeri yang kerjanya lamban, bertele-tele dan berliku-liku dalam
.memberikan layanan
:Sementara itu birokrasi menurut Weber memiliki 6 pokok
Dalam organisasi ada pembagian tugas dan spesialisasi .1
Hubungan dalam organisasi bersifat impersonal .2
Dalam organisasi ada hiearki wewenang, dimana yang rendah patuh kepada .3
.perintah yang lebih tinggi
.Administrasi selalu dilaksananakan dengan dokumen tertulis .4
Orientasi pengembangan pegawai adalah pengembangan karir yang berarti keahlian .5
merupakan ktiteria utama yang diterima atau ditolaknya seseorang sebagai suatu
.organisasi dan berlaku pula untuk mempromosikannnya
Untuk mendapatkan efisiensi maksimal, setiap tindakan yang diambil harus selalu .6
,dikaitkan dengan besarnya sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi
;Selanjutnya dari enam pokok tersebut diatas, Weber membagi birokrasi dalam 2 tipe
Organisasi karismatik, organisasi yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang .1
.memiliki pengaruh pribadi yang sangat besar bagi anggotanya
Organisasi tradisional, organisasi yang pemimpinnya diangkat berdasarkan .2
.warisan
Dalam mengambil keputusan, Weber berpendapat bahwa keputusan yang diambil
harus menghindari penggunaan emosi dan perasaan suka atau tidak suka. Birokrasi
menurutnya adalah usaha untuk menghilangkan tradisi organisasi yang membuat
keputusan secara emosional atau berdasarkan ikatan kekeluargaan yang dapat
.menyebabkan organisasi tidak efektif dan efisien serta tidak sehat
Dilihat dari berbagai teori tentang birokrasi yang dikemukakan Weber, dapat diambil
: kesimpulan bahwa kelebihan birokrasi Weber antara lain
Cocok dengan budaya Indonesia yang paternalistik .1
dapat menstabilkan kesatuan dan persatuan bangsa .2
ketepatan, kejelasan, kontinuitas, keseragaman memudahkan kontrol dan kepatuhan .3
.pegawai
Namun dibalik kelebihan tersebut diatas terdapat pula kelemahan dari birokrasi
Weber
merangsang berpikir mengutamakan konformitas .1
merupakan rutinitas yang membosankan .2
ide-ide inovatif tidak sampai kepada pengambilan keputusan karena panjangnya .3
jalur komunikasi
tidak memperhitungkan organisasi nonformal yang seringkali lebih berpengaruh .4
.kepada organisasi formal
dijalankan secara berlebihan sehingga terjadi over bureaucratization .5
kecendrungan menjadi parkinsonian, yaitu terlalu banyak aturan yang berbelit-belit .6
(simpul-simpul birokrasi) yang diatur oleh orang-orang yang menjadikan simpul-
simpul birokrasi untuk menyelewengkan wewenang
kecendrungan menjadi orwelian, yaitu keinginan birokrasi mencampuri (turut .7
.melaksanakan) bukan mengendalikan urusan
: Menurut Husaini birokrasi berkembang secara berlebihan karena
Lemahnya kontrol .1
Ambisi berlebihan untuk menambah pemasukan daerah .2
adanya unjuk kekuasaan pejabat bahwa dirinya harus diangggap penting, sehingga .3
segala sesuatunya harus melalui persetujuannya
.Memang dikondisikan untuk membuka peluang pungutan liar, kolusi, dan korupsi .4
Birokrasi Pendidikan
Sebelum masuk pada pengertian birokrasi pendidikan, alangkah baiknya diluas
pengertian pendidikan. Pendidikan dalam arti luas adalah segala kegiatan
pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan
kehidupan. Pendidikan berlangsung disegala jenis, bentuk dan tingkat lingkungan
hidup yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada dalam diri
individu. Dengan kegiatan pembelajaran seperti itu, individu mampu mengubah dan
mengembangkan diri menjadi semakin dewasa, cerdas dan matang. Jadi singkatnya,
pendidikan merupakan system proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan
dan pematangan diri. Pada dasarnya pendidikan adalah wajib bagi siapa saja dan
kapan saja dan dimana saja, karena menjadi dewasa, cerdas dan matang adalah hak
.asasi manusia pada umumnya
Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan adalah seluruh kegiatan belajar yang
direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam
system pengawasan dan diberikan evaluasi berdasar pada tujuan yang telah
ditentukan. Kegiatan belajar seperti itu dilaksanakan didalam lembaga pendidikan
sekolah. Tujuan utamanya adalah pengembangan potensi intelektual dalam bentuk
.penguasaan bidang ilmu khusus dan kecakapan merakit system tekhnologi
Dari pendekatan dikotomis antara arti luas dan dan arti sempit, muncul pemikiran
alternative. Secara alternative, pelaku pendidikan adalah keluarga, masyarakat, dan
sekolah (dibawah otoritas pemerintah) dalam suatu sistem integral yang disebut
tripartite pendidikan. Fungsi dan peran tripartit pendidikan adalah menjembatani
pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat luas.
Tujuannya, agar aspirasi pendidikan yang tumbuh dari setiap keluarga dapat
dikembangkan didalam kegiatan pendidikan sekolah, untuk kemudian dapat
.diimplementasikan didalam kehidupan masyarakat luas
Sementara itu birokrasi pendidikan yang dimaksud disini adalah penggunaan praktik-
praktik birokrasi dalam pendidikan. Banyak persoalan yang seharusnya bisa
diselesaikan dengan segera menjadi berlarut-larut karna rumitnya birokrasi contoh
kasus tentang usulan perbaikan dan perawatan sarana dan prasarana serta
perlengkapan ¬pendidikan yang diajukan oleh sekolah kepada pemerintah bahkan
diajuka¬n setiap tahun, namun tidak ada respon dan penyelesaian yang memadai dari
birokrasi pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten/kota maupun pemerintah
pusat. Kondisi objektif ini menunjukkan bahwa sistem sentralistik kebijakan
pendidikan, penentuan alokasi anggaran yang selama ini terjadi, meskipun sudah
dilakukan kebijakan desentralisasi pemerintahan, bagi sekolah pola sentralistik dari
.sekolah ke pemerintah ¬daerah masih berjalan
PP No. 38 tahun 1992 masih berlaku hingga kini, dan dalam PP ¬tersebut tidak
dinyatakan bahwa Kantor Departemen Pendidikan maupun Dinas Pendidikan di
Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai institusi pendidikan yang diurus atas dasar
profesionalisme kependidikan, kemudian persyaratan para pimpinan : pejabatnya juga
.bukan berlatar belakang tenaga kependidikan
Hal yang sama dalam Pasal 1 Ayat 10 UUSPN No. 20 tahun 2003 mengatatakan
bahwa satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada
jenjang dan jenis pendidikaN. ¬Hal ini berarti Dinas Pendidikan di Provinsi dan
Kabupaten/Kota merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Oleh karena itu
persyaratan pejabat yang ada pada ¬lingkungan Dinas Pendidikan adalah persyaratan
pengangkatan jabatan pada Pemerintah Daerah yaitu pengangkatan personal yang
menduduki jabatan pada Dinas Pendidikan pada umumnya atas dasar golongan
kepangkatan, pendidikan kedinasan eselon jabatan sebelumnya, dan DP3 terakhir
bukan atas dasar profesionalitas pendidikan dalam arti berijazah pendidikan dan
pengalamannya dalam bidang pengelolaan pendidikan. Pernyataan ini diperjelas oleh
PP No. 38 tahun 1992 Pasal 4 Ayat 1 mengatakan hirarki yang diberlakukan untuk
tenaga pendidik di masing-masing satuan pendidikan didasarkan atas dasar wewenang
dan tanggung jawab dalam kegiatan belajar mengajar, Ayat 2 mengatakan hirarki
yang diberlakukan untuk tenaga kependidikan yang bukan tenaga pendidik didasarkan
pada pengaturan wewenang dan tanggung jawab dalam bidang pekerjaan masing-
masing. Penempatan dan formasi bagi tenaga kependidikan pada pemerintah provinsi
.dan kabupaten/kota tidak jelas atau kabur
Sekolah dalam Birokrasi Pemerintah
Rendahnya biaya pendidikan yang disediakan negara pada negara berkembang
menjadi alasan klasik rendahnya kemampuan pemerintah mendukung
penyelenggaraan pendidikan yang memenuhi kebutuhan sekolah yang sangat
mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal inilah yang membedakan kualitas pendidikan
pada negara berkembang dengan negara maju (Fangerlind, I dan Saha, L. J., 1983).
Dunia pendidikan kita telah terpuruk. Pendidikan telah mendapat perhatian yang
tinggi dari para birokrasi pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Tetapi perhatian
itu hanya berbentuk sloganisme, secara faktual fasilitas dan sarana pendidikan
memburuk, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan rendah yaitu hanya mampu
memenuhi kebutuhan dan pangan tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan
pendidikan anak¬-anaknya dan kesehatan keluarganya. Jika hanya mengandalkan gaji
dari guru, fasilitas pembelajaran tidak memadai, penerapan strategi belajar mengajar
di kelas tidak memadai (monoton), dan kualitas lulusan seadanya saja tidak
.mempunyai daya saing yang memadai
Sebagai implikasinya bagi generasi muda potensial memandang jabatan guru dan
tenaga kependidikan adalah lahan kering, tidak memberikan jaminan kesejahteraan.
Oleh karena itu generasi yang merasa memiliki kemampuan dan kecerdasan yang
memadai tidak memilih jabatan guru atau tenaga kependidikan sebagai pilihan. Hal
ini menggambarkan kemerosotan kualitas sumber daya manusia pendidikan yang
cukup memprihatinkan. Dewasa ini satuan pendidikan atau sekolah pada semua
jenjang dan jenis dihadapkan pada persaingan mutu yang ketat dan manajemen
sekolah yang kompleks, sehingga pemahaman yang akurat tentang tujuan serta
.metode oleh setiap kepala sekolah untuk mencapai tujuan amat vital
Namun dilihat dari posisi kepala sekolah di hadapan birokrasi pemerintahan seperti
birokrasi Dinas Pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota, birokrasi ini tidak banyak
memberi dorongan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pendekatan yang
dilakukan pendekatan birokrasi antara bawahan dan atasan. Berbagai hasil penelitian
menunjukkan para birokrat pendidikan pada pemerintah daerah tersebut menempatkan
diri sebagai atasan yang dipandang dapat mengambil kebijakan yang mengancam
posisi kepala sekolah. Kepala sekolah dapat saja diusulkan oleh kepala dinas kepada
bupati/walikota untuk diganti dalam waktu-waktu yang mengejutkan kepala sekolah.
Kondisi demikian menjadikan kepala sekolah pada posisi yang gamang, tidak dapat
melaksanakan tugas dengan optimal, tidak ada jaminan programnya menjadi perhatian
memadai dinas pendidikan maupun pemerintah daerah di mana sekolah itu berada.
Birokrasi tersebut cenderung memperlakukan kepala sekolah hanya sebagai unit kerja
mereka, bukan dipandang sebagai pemimpin institusi profesional kependidikan yang
memiliki otonomi atas dasar profesional tersebut. Perlakuan birokrasi yang demikian
ini terhadap kepala sekolah tentu saja berkontribusi positif terhadap rendahnya mutu
dan martabai pendidikan, bahkan menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas
sumberdaya manusia Indonesia. Perilaku birokrat yang sangat mempersempit ruang
profesional kepala sekolah dan para guru serta tenaga kependidikan lainnya yang
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pembelajaran. Meskipun demikian,
tentu saja ada birokrat pendidikan dan kepala dinas pendidikan yang visioner dan
memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan pendidikan dan juga memperhatikan
serta mempertahankan kepala sekolah yang menunjukkan kinerja yang berkualitas.
Tetapi kita tidak dapat menunjukkan seberapa banyak birokrat pendidikan dan kepala
.dinas yang visioner
Kesimpulan
Pada dasarnya, birokrasi ini hakikatnya adalah salah satu perangkat yang fungsinya .1
untuk memudahkan pelayanan publik. Birokrasi pendidikan diharapkan dapat
.mempercepat peningkatan mutu pendidikan
Namun, fakta yang berbicara adalah birokrasi selalu saja hanya sebatas propaganda .2
yang bersifat “melayani”, memudahkan hubungan antarwarga dan hubungan warga
dengan negara.Yang sungguh sangat ironis lagi, birokrasi telah menjadi alat kontrol
negara serta menjadi mesin penyedot uang bagi negara dan sekelompok oknum di
dalamnya, atau dengan kata lain birokrasi justru menjadi “raja zalim” yang harus
.”selalu “diabdi dan dilayani
Birokrasi akan berjalan efektif, jika strukturnya ramping. Namun sebaliknya, jika .3
strukturnya gemuk, maka pelayanannya akan semakin lambat, bertele-tele dan tidak
.profesional
DAFTAR PUSTAKA
WJS. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesi, Jakarta: Balai Pustaka
Sagala, Syaiful. 2007. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan.
.Bandung: Alfabeta
.Suhartono Suparlan. (2007). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar ruzz Media
Tilaar, H. A. R. 2003. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja
.Rosdakarya
Tony Bush & Marianne Coleman. 2008. Manajemen Strategis Kepemimpinan
.Pendidikan. Yogyakarta: Ircisod
Usman, Husaini. 2006. Manajemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta:
.Bumi Aksara

Judul: sistem birokrasi pendidikan swasta


Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi bagian SISTEM PENDIDIKAN / EDUCATION
.SYSTEM
Nama & E-mail (Penulis): Robi Sudrajat
Saya Mahasiswa di FISIP Unpas
Topik: kapitalisme pendidikan hingga menjadi premanisme
Tanggal: 27 Agustus 2006

http://re-searchengines.com/0806robi.html
Pendidikan merupakan sebuah modal bangsa untuk bersanding dalam dunia globalisasi yang
kian berkembang.mekanisme yang diterapkan pemerintah bisa dikatakan cukup oleh
pemerintah sendiri, namun kenyataannya dinamisasi yang terjadi tidaklah semudah
merumuskan aturan di dalam ruang ber-ac dan empuknya kursi mahal yang diduduki
.pemerintah

Bangku sekolah, bangku kuliah atau sarana pendidikan pun menjadi modal utama majunya
pendidikan itu sendiri, tapi sistem yang terjadi adalah adanya sebuah era dalam pendidikan
.yang menjadikannya sumber kapitalisme berkedok jasa pendidikan

Birokrasi pendidikan ternyata tidak seluruhnya dipegang oleh pemerintah, hal ini terbukti
dengan adanya swasta pendidikan yang disebut yayasan. sistem yang dibuat oleh yayasan
secara persentase adalah kurang lebih 75% perusahaan yang mencari keuntungan dan 10%
amal dan 15% pendidikan. kapitalisme yang berkedok jasa pendidikan adalah penghancur
masa depan bangsa. hal ini dapat dilihat dari pola sistem yang diterapkan seperti, biaya
kuliah atau sekolah yang mahal, fasilitas yang dominan tidak memuaskan bahkan
penindasan dalam pendidikan pun terjadi, seperti yang terjadi pada mahasiswa IKIP makasar
yang mengakibatkan korban jatuh karena diktatoris yayasannya yang diawali dengan
pemecatan para rektorat dan dekanat kampus yang di sinyalir karena tidak sesuai dengan
tujuan yayasan atau tidak loyal.kemudian mengangkat rektorat baru yang menurut yayasan
itu loyal dan menaikan DPP atau dan pembayaran untuk kuliah, hal ini mengakibatkan
mahasiswa yang merasa tertindas untuk berunjuk rasa. namun yayasan bukan berfikir secara
rasionalime manusia yang berpendidikan, sehingga membuka jalur menuju kekerasan dalam
kampus atau premanisme. yang memakai penjagaan dalam demonstrasi mahasiswa itu
.dengan para preman yang mengaku dirinya sebagai massa pendukung yayasan

Lalu apa yang terjadi setelah itu? siapakah yang harus bertanggung jawab atas semuanya?
pemerintah kah?atau yayasan? karena imbasnya adalah mahasiswa, orangtua mahasiswa,
dan masyarakat/ bangsa. siapa yang akan bertanggung jawab?karena sistem dalam negara
ini hanya akan berjalan dan berlaku ketika sesuatu itu telah terjadi dan hukum di sini bersifat
!menundaklanjuti, bukan mengantisipasi

Seharusnya, pemerintah lebih waspada terhadap swasta yang mengadakan sarana


pendidikan, ketika bicara tentang UUD tentang hak, maka pendidikan pun adalah hak, maka
setidaknya aturan yang diberlakukan pemerintah terhadap sarana pendidikan swasta harus
ditegaskan dengan loyalitas terhadap arti hukum yang sesungguhnya, dengan artian bukan
hanya menindaklanjuti keadaan tapi juga hukum berlaku untuk mengantisipasi, bahkan
.sebagai kontrol dalam kemajuan bangsa

Kesejahteraan pendidikan harus lebih diperhatikan.perhatian ini bahkan bukan sesekali


bahkan terlalu sering masyarakat mengingatkan dan berharap. sehingga mekanisme
pendidikan lebih baik dan terjamin.terlebih bagi masyarakat yang tidak mampu.sehingga
jangan sampai pemerintah yang menggemborkan yuntuk mencerdaskan bangsa itu hanya
.sebatas tulisan dalam secarik berkas negara
Saya Robi Sudrajat setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage
Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak
. .(ada copyright

You might also like