You are on page 1of 7

PEMBELAJARAN BERBASIS TIK

DAN PERMASALAHANNYA

Oleh : Yulianto Dwi Martono

Pendahuluan

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,


inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik.

Secara jujur harus diakui, proses pembelajaran yang didesain oleh guru saat ini
masih mengebiri potensi siswa didik. Alih-alih berlangsung interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik, proses pembelajaran pun tak jarang berlangsung monoton dan
membosankan.

Yang lebih memprihatinkan, masih muncul opini di kalangan sebagian besar guru
bahwa pembelajaran dikatakan berhasil apabila suasana kelas berlangsung diam
alias bisu dan siswa patuh dengan komando. Suasana kelas pun seringkali
berubah mirip ruang karantina untuk “mencuci otak” siswa didik. Pembelajaran
jauh dari dialog, bercurah pikir, apalagi dialog interaktif. Siswa yang kritis dan
sering bertanya justru sering diberi stigma sebagai siswa “ngeyelan” dan cerewet.
Siswa ber-”talenta” semacam itu tak jarang memancing adrenalin emosi guru yang
tidak siap menjawab pertanyaan siswa. Dengan otoritas yang dimilikinya, guru bak
sipir penjara yang tengah mengawasi perilaku narapidana (tengok di sini, di sini,
dan di sini).

Kedua, dunia persekolahan kita masih jauh dari sentuhan teknologi informasi dan
komunikasi. Memang, sudah banyak sekolah yang telah menjadi clien ICT.
Namun, sudahkah guru memaksimalkan penggunaannya untuk kepentingan
pembelajaran? Ini sebuah “penyakit” yang sering kambuh dalam dunia pendidikan
kita. “Pintar melakukan pengadaan barang, tapi gagap dalam merawat,
memelihara, dan mengoperasikannya”. Nilai gengsi dan prestise lebih diutamakan
ketimbang substansi kepentingan dan manfaatnya.

Ketiga, belum ada perubahan paradigma pendidikan dalam dunia persekolahan


kita. Meskipun sistem telah berubah, dari sentralistis ke desentralistis, tapi gaya
pengelolaan dunia persekolahan kita tak ada bedanya dengan yang dulu-dulu.
Kepemimpinan sekolah masih bergaya feodalistis bak borjuis kecil. Para
penyelenggara pendidikan yang seharusnya melayani, tetapi justru minta dilayani.
Praktik pendidikan pun masih selalu menunggu petunjuk dari atas; miskin
kreativitas dan inovasi. Sekolah banyak mendapatkan droping peralatan dan
fasilitas, tapi mereka tidak pernah mau belajar bagaimana cara menggunakannya.
Tidak heran apabila subsidi perangkat televisi yang seharusnya sudah
dimanfaatkan mengakses siaran TV-Education, masih banyak yang “ndongkrok”,
bahkan masih terbungkus rapi.

Keempat, pemberdayaan profesionalisme guru yang masih “jalan di tempat”. Kini,


era digital sudah merasuki lorong-lorong kehidupan masyarakat di negeri ini. Dunia
maya mampu menyajikan berbagai informasi terbaru, menarik, dan aktual. Namun,
sudah banyakkah rekan-rekan guru di negeri ini yang telah mencoba
mengaksesnya untuk kepentingan pembelajaran? Dalam hal mengakses
informasi, guru tak jarang “kalah bersaing” dengan murid-muridnya. “Siswa
didiknya sudah melaju mulus di atas jalan tol, tetapi sang guru masih bersikutat di
balik semak belukar”.Mereka sudah biasa mengakses internet, baik milik orang
tuanya maupun warnet, dan sudah begitu akrab dengan istilah-istilah dasar
“ngenet”, seperti browsing, search engine, e-mail, atau chatting. Oleh karena itu,
sungguh pandangan yang keliru kalau pada abad gelombang informasi seperti
sekarang ini masih ada seorang guru yang masih memosisikan dirinya sebagai
satu-satunya sumber belajar.
Menurut hemat saya, TIK bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan
pembelajaran apabila para guru yang berdiri di garda depan dalam dunia
pendidikan kita tidak “gaptek”. Minimal, mereka bisa mengoperasikannya sehingga
siswa didik bisa “menikmati” media pembelajaran dengan segenap emosi dan
pikirannya. Sebuah kesia-siaan apabila sekolah “dimanja” dengan berbagai piranti
teknologi mutakhir, tetapi mereka tak sanggup memanfaatkannya secara
maksimal.

Sebagai “agen perubahan dan peradaban” dunia persekolahan kita tampaknya


memang harus sudah mulai mengakrabi TIK. Di kelaslah “ruh kurikulum” berada.
Dalam benak saya terbersit bayangan, di sekolah yang telah memanfaatkan TIK
untuk merevitalisasi pembelajaran, ada sebuah moving class, yang bisa
dimanfaatkan secara bergiliran –sesuai jadwal– oleh guru dari berbagai mata
pelajaran. Di klas itu sudah tersedia komputer (PC atau notebook) online, LCD,
scanner, printer, dan berbagai software pembelajaran yang menarik dan memikat
perhatian siswa didik. Dengan terampil, sang guru akan mengemas
pembelajarannya melalui berbagai tayangan media yang menarik, sehingga
mampu menggugah emosi dan pikiran siswa untuk bersikap kreatif, penuh inistatif,
dan kritis. Dengan demikian, pembelajaran betul-betul berlangsung secara aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Ini artinya, setiap guru, mau atau
tidak, harus siap menyongsong “era baru” melalui pemanfaatan TIK dalam
kegiatan pembelajaran. Alasan “tidak bisa”, “tidak berbakat” perlu dikubur dalam-
dalam karena siapa pun bisa menggunakan TIK asalkan mau belajar dan tidak
malu bertanya.

Untuk menciptakan atmosfer baru dalam dunia pembelajaran di sekolah, harus


ada upaya serius untuk memberdayakan guru agar mereka tidak “gaptek” lagi
dalam memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran. Jika tidak ada upaya
serius dan intensif, disadari atau tidak, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran
hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka.
Bagaiman dengan kita para guru, siapa lagi kalau bukan kita yang memulainya ?.
Hambatan dan harapan

Era reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 diakui telah melahirkan kebebasan
dan keterbukaan di segenap aspek dan ranah kehidupan. Urusan pendidikan yang
semula berada dalam genggaman tangan pemerintah pusat, maka mulai
dikonsentrasikan ke daerah-daerah melalui kebijakan otonomi daerah yang
dianggap lebih aspiratif dan akomodatif terhadap keberagaman dan tuntutan
daerah. Namun, era reformasi tidak akan memberikan imbas positif terhadap mutu
pendidikan apabila tidak diikuti dengan perubahan paradigma, sikap mental, dan
kultur para pengambil kebijakan dan pelaksana pendidikan di tingkat praktis.

Hambatan yang dihadapi para guru untuk malakukan inovasi pembelajaran, yang
berkesan mahal ini umumnya justru pada tataran para pengambil kebijakan
tersebut di atas. Apalagi jika menyangkut biaya mahal (setidaknya menurut
pendapat mereka). Harus dikalkulasi ulang, yang tidak jarang mereka
menggunakan perhitungan politis. Bagaimana untung ruginya dilihat dari sisi
“kursi” kekuasaannya. Yang sangat memprihatinkan jika mereka mengorbankan
kepentingan kemajuan pendidikan untuk sebuah “kenyamanan” yang sudah
mereka peroleh selama ini.

Harus diakui, reformasi di dunia persekolahan kita berjalan lamban, kalau tidak
boleh dibilang “jalan di tempat”. Menurut hemat saya, paling tidak ada tiga
penghambat laju reformasi sekolah. Pertama, faktor kepemimpinan sekolah yang
cenderung masih bergaya feodalistis. Ini merupakan faktor kultural yang amat sulit
untuk diubah. Masih amat jarang kepala sekolah di negeri ini yang dengan amat
sadar mau melakukan perubahan. Status quo dan kenyamanan merupakan jalan
yang paling gampang bagi seorang kepala sekolah untuk tetap menduduki
kursinya. Ironisnya, ketika ada guru yang dengan kreatif mencoba melakukan
inovasi pembelajaran di kelas dianggap “nyleneh” dan tidak becus mengajar,
apalagi kalau suasana kelas ramai. Kepemimpinan semacam itu tak lepas dari
proses rekruitmen yang salah urus. Keluarga, balasa jasa, kawan politik lah dan
entah apalagi namanya.
Kedua, kinerja pengawas sekolah yang buruk. Tugas mereka tak lebih hanyalah
melakukan supervisi administrasi di ruang kepala sekolah. Kalau melakukan
supervisi kepada guru pun, mereka cenderung bersikap instruktif, komando,
bahkan menakut-nakuti. Supervisi klinis yang diharapkan mampu membantu guru
dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran
pun tak bisa jalan

Sungguh ironis. Ketika arus reformasi begitu deras mengalir ke berbagai sudut,
dunia persekolahan yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan dan agen
peradaban tak lebih hanya seperti “sapi ompong” yang mandul. Sistem memang
telah berubah. Pola sentralistis telah berubah alurnya menjadi gaya desentralistis
melalui gerakan otonomi sekolah. Namun, perubahan sistem semacam itu tidak
bisa jalan kalau tidak diimbangi dengan perubahan kultural di tingkat bawah.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) pun hanya retorika dan slogan yang hanya
gencar digembar-gemborkan di ruang-ruang seminar. Bagaimana sekolah dapat
melaksanakan manajemen berbasis sekolah jika partisipasi masyarakat terhadap
sekolah diambil alih oleh pengambil kebijakan di tingkat daerah. Memang APBS
disusun sekolah, tetapi semua mata anggarannya mengadopsi pola anggaran
instansi lain di luar institusi sekolah. Mereka tidak sadar bahwa manajemen
sekolah itu unik tidak sama dengan instansi non sekolah. Semua tingkatkan
manajerialnya ditangani oleh fungsional guru di luar tugas pokoknya, seperti wakil
kepala sekolah, pembantu urusan, wali kelas, dan tugas-tugas tambahan lainnya.
Mereka ini sangat dibutuhkan keberadaannya di sekolah. Sudah selayaknya para
guru yang mendapatkan tugas tambahan ini memperoleh kesejahteraan
tambahan. Secara struktural kepegawaian mereka ini jelas tidak diperhitungkan,
sehingga tidak ada namanya tunjungan jabatan. Siapa yang memikirkan mereka
jika komite sekolah sudah tidak berfungsi. Sementara tugas-tugas mereka harus
berjalan terus tidak boleh berhenti. Sedangkan keberadaan Tata Usaha di sekolah
yang diharapkan dapat membantu jalannya proses pendidikan sama sekali masih
jauh dari memadai.
Dengan berbagai hambatan di atas saya berharap semua iu tidak mengendorkan
semangat rekan-rekan guru untuk selalu berinovasi dan berkreasi dalam rangka
mencerdaskan bangsa ini. Saya yakin api semangat itu tentu masih tetap
membara di dada kita para guru. Tanpa pamrih berjuang demi bangsa ini. Sudah
selayaknyalah kita untuk meningkatkan profesionalisme guru yang pantas digugu
dan ditiru. Menjadi panutan anak-anak bangsa yang nyaris kehilangan
keteledanan baik di keluraga maupun masyarakat sekitarnya.

Kita beruntung masih memiliki tempat bersandar dan bergantung, yaitu pemimpin
yang absolute di atas segala pemimpin. Allah Yang Maha Adil dan Bijaksana. Kita
serahkan semua persoalan dunia ini kepadaNya, selayaknya kita selalu berdoa
semoga para pemimpin bangsa ini selalu diberi kekuatan sehingga dapat
menjalankan tugasnya demi kemaslahatan orang banyak, diberikan cahaya iman
sehingga dapat dijadikan sandaran ketika rakyatnya sedang terbelit persoalan-
persoalan duniawi.

Adalah tugas kita para guru untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional kita
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa secara utuh dan “paripurna” yang tidak
hanya cerdas intelegensinya tetapi juga cerdas secara emosional, memiliki
moralitas dan kepribadian yang adi luhung. Menjadikan bangsa ini disegani oleh
bangsa-bangsa lain bukan karena kekuatan fisiknya tetapi lebih kepada
kepribadiannya. Bangsa yang terbuka menerima perubahan dan teknologi maju
namun tetap berpijak pada landasan kepribadian dan adat ketimuran yang
beradab.

Tugas kita juga para guru untuk mencetak profesi-profesi seperti, guru, dokter,
pengusaha, pengacara bahkan pejabat-pejabat negeri seperti lurah, camat, bupati,
gubernur bahkan presiden. Hendaknya kecuali ilmu pengetahuan dan agama kita
juga mesti goreskan nilai-nilai etika dan estetika serta sendi-sendi moralitas yang
baik kepada pesereta didik, sehingga pada saatnya menjadi dokter, pengusaha,
pengacara, camat, bupati, presiden adalah dokter, pengusaha, pengacara, camat,
bupati, presiden yang tidak lupa kacang akan kulitnya.
Dalam konteks pembelajaran berbasis TIK, marilah kita tumbuhkan minat dan
kemauan yang besar untuk sama-sama belajar dan saling berbagi informasi.
Sekarang ini sudah terbuka lebar kran informasi dan sumber-sumber belajar baik
melalui buku-buku atau media elektronik. Jangan berkutat pada satu buku
referensi saja, kalau tidak mau dikatakan “gaptek”. Kedua, jangan pernah merasa
sudah cukup pintar, jika demikian maka anda akan seperti katak dalam tempurung.
Ketiga, sesekali kunjungi situs-situs internet yang menyajikan berbagai ilmu
pengetahuan yang bermanfaat sehingga dapat memperluas cakrawala
pengetahuan. Sepatutnya kita berterimakasih kepada pemerintah yang sudah
tanggap akan kebutuhan informasi. Sekarang ini kita sudah bisa akses internet
secara gratis melalui jejaring pendidikan nasional (Jardiknas) untuk sekolah-
sekolah yang sudah terjangkau. Manfaatkan fasilitas tersebut secara optimal,
gunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Pada akhir tulisan saya ini saya mengajak kepada para guru untuk saling bahu
membahu, bertukar pikiran, berbagi pengetahuan dalam rangka memajukan dunia
persekolahan kita.

Saya juga ikut merasa senang dan terharu semakin banyak rekan-rekan guru yang
terus meningkatkan jalinan komunikasi, sharing, bertukar pikiran melaui blog-blog
ataupun website dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajarannya. Walau
tidak mengenal secara pribadi mereka ini tampak akrab seperti saudara sendiri,
ikatan profesi dan tanggung jawab moral-lah yang mengikatnya menjadi sebuah
komunitas tersendiri jauh dari exclusivisme. Terimakasih juga kepada semua pihak
di luar profesi guru dan instansi terkait, seperti jurnalis, pengamat, akademisi, para
ahli yang masih memiliki kepedulian dan kepekaan yang tinggi terhadap dunia
pendidikan kita.

You might also like