You are on page 1of 118

Pembagian Waris

Menurut Islam
oleh :
Muhammad Ali ash-Shabuni
penerjemah
A.M.Basamalah
Gema Insani Press,
1995

Diambil Dari :
http://media.isnet.org/islam/Waris/Mukadimah.html
PENGANTAR PENERBIT
HUKUM waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah mengubah hukum
waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatannya,
bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya
harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak
diperkenankan memiliki harta benda --kecuali wanita dari kalangan elite-- bahkan
wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.

Islam merinci dan menjelaskan --melalui Al-Qur'an Al-Karim-- bagian tiap-tiap ahli
waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat. Meskipun demikian,
sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya
keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan dan
ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli
waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.

Kekurangpedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak kita pungkiri,
bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: "Betapa banyak manusia sekarang
mengabaikan ilmu faraid."

Atas dasar itulah kami terpacu untuk menerbitkan buku Pembagian Waris menurut
Islam. Mudah-mudahan apa yang kami persembahkan kepada pembaca menjadi suatu
amal kebajikan dan menjadi bukti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Penerbit

SAMPUL BELAKANG
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi krusial
yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan keluarga.
Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di samping karena
kekurang-tahuan pihak-pihak yang terkait mengenai hukum pembagian waris.
Padahal, Allah SWT di dalam Al-Qur'an mengatur pembagian waris secara lengkap.
Sementara itu, di sisi lain, kita jumpai kenyataan bahwa beberapa kalangan --
termasuk para pelajar di sekolah-sekolah Islam---menganggap faraid (ilmu yang
mengatur pembagian harta pusaka) sebagai momok yang menakutkan.

Berawal dari beberapa keprihatinan itulah buku ini diwujudkan, yang sebelumnya
hanya merupakan kumpulan materi perkuliahan untuk mata kuliah waris pada
Fakultas Syari'ah di Mekah al-Mukarramah. Muhammad Ali ash-Shabuni, penulis
buku ini, berusaha menghilangkan kesan "seram" tentang disiplin ilmu ini dengan
cara menyederhanakan berbagai istilah dan rumusan perhitungan yang selama ini
dianggap sebagai kendala.

Bukan hanya itu, sistematika penyajiannya pun sangat sederhana dan tidak bertele-
tele. Kesederhanaan metode dan gaya bertutur memang menjadi keunggulan buku ini.

ISBN 979-561-321-9
MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah, pengatur alam semesta, seluruh isi langit dan bumi. Dialah
Yang Maha Kekal, tidak akan rusak dan tidak akan mati, yang telah berfirman dalam
Al-Qur'an:

"Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya, dan
hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan." (Maryam: 40)

Semoga shalawat dan salam tetap Allah anugerahkan kepada sang pembawa cahaya,
perintis kemanusiaan dan penunjuk jalan, junjungan kita Muhammad saw.
Dengannyalah Allah SWT menghilangkan kesesatan dan kegelapan, dan
dengannyalah Allah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada alam yang
terang benderang.

Semoga shalawat dan salam juga Allah berikan kepada seluruh kerabatnya, para
sahabatnya, dan siapa pun yang mengikuti jejaknya.

Buku ini merupakan kumpulan materi perkuliahan untuk mata kuliah waris yang
pernah saya berikan kepada para mahasiswa Fakultas Syari'ah di Mekah al-
Mukarramah. Kemudian saya tergerak untuk mengumpulkan dan menyatukannya
hingga menjadi buku dengan harapan dapat dimanfaatkan secara lebih luas. Buku ini
saya susun dengan sistematika yang sangat sederhana dan tidak bertele-tele.

Saya bermohon kepada Allah semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi para
mahasiswa, dan umumnya bagi seluruh kaum muslim yang memiliki keinginan untuk
mengetahui dengan pasti mengenai faraid (ilmu yang mengatur pembagian harta
pusaka).

Sesungguhnya Allah Maha Mendengar semua doa dan Maha Mampu untuk
memenuhinya.

Mekah, Jumadil Akbir 1389 H


Muhammad Ali ash-Shabuni
I. AYAT-AYAT WARIS
ALLAH SWT berfirman

"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu,


bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)

"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-
utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak
memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun." (an-Nisa': 12)

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi


fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak;
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(an-Nisa': 176)
A. Penjelasan

Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam surat
an-Nisa'-- menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak
untuk menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan gamblang menjelaskan dan
merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan dan
orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan
keadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan
pula ia menerimanya secara 'ashabah.

Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di
dalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris
secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-
ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus
mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.

Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris.
Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian
hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia
menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia,
meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku
kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati
orang-orang yang lemah.

Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut


merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh
karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga kedudukannya
menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari Abdullah Ibnu
Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan
ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan
ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang
yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun
keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. "
(HR Daruquthni)

Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu
ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah faraid ini.
Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun
demikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia (terutama pada masa kini)
mengabaikan dan melecehkannya."1

Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh para
ulama merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga
ayat tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat jelas:
membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum
dan syariat-Nya.
Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yang
berkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?

Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris
bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti
diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah
berikut:

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)

"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-
orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu
(seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-
Ahzab: 6)

Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain
dari ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan.

Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat
pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya
yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih
berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.

Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum
muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan
yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum
Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling
mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan.
Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum
muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah
agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa
penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan
yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan
nasab dan kekerabatan.

Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan
bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan
anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta
dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara
penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara
imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun
wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun
pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat
pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling
mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun
demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-
kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini
disebut mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya
nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).

Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-
tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita,
padahal kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di samping
memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun
materiil?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya
syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:

1. Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam
hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya,
anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
2. Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini.
Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi
nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan
atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
3. Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum
wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan
memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
4. Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya,
menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan
sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya
sandang, pangan, dan papan.
5. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan
lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara
kaum wanita tidaklah demikian.

Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan
pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja
tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah
tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab
besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang
lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum
Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar
daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat
dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa
yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru
lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki.
Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-
laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung
nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi
tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya
meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya
(keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun
wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang
berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam
hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)

Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh
kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih
jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum
laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.

Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu
perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3
juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta
sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.

Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia
berkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya.
Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar
Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak
tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberi
nafkah istrinya.

Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga,
dialah yang mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu
sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta
(satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon suaminya).
Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayai
kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan
hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban
memberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan
anak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.

Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang
lebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah
wanita? Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua
kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.

1 Tafsir al-Qurthubi, juz V, hlm. 56.

B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam

Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk
menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan
dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya.
Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami
memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak
pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula
berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta
warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.

Sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan
kaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita
dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka.
Barulah setelah Islam datang ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk
mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh
kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa
pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam
syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.

Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris--
kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat
berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus
(mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita
dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama
mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu
Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan
Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-
laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab
merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada keheranan sambil
mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada
kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian
harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan?
Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan
musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak
perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan
mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk
mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah,
haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal
kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan
hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat
menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?'"

Inilah salah satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum wanita;
Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman.
Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya tidak memiliki
hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban
yang telah Allah tetapkan bagian warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini
masih saja kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-
orang yang berhati buruk. Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum
wanita dalam hal hak waris, karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-
laki.
Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk memperdaya kaum wanita
tentang hak yang mereka terima. Mereka berpura-pura akan menghilangkan
kezaliman yang menimpa kaum wanita dengan cara menyamakan hak kaum wanita
dengan hak kaum laki-laki dalam hal penerimaan warisan.

Mereka yang memiliki anggapan demikian sama halnya menghasut kaum wanita agar
mereka menjadi pembangkang dan pemberontak dengan menolak ajaran dan aturan
hukum dalam syariat Islam. Sehingga pada akhirnya kaum wanita akan menuntut
persamaan hak penerimaan warisan yang sama dan seimbang dengan kaum laki-laki.

Yang sangat mengherankan dan sulit dicerna akal sehat ialah bahwa mereka yang
berpura-pura prihatin tentang hak waris kaum wanita, justru mereka sendiri sangat
bakhil terhadap kaum wanita dalam hal memberi nafkah. Subhanallah! Sebagai bukti,
mereka bahkan menyuruh kaum wanita untuk bekerja demi menghidupi diri mereka,
di antara mereka bekerja di ladang, di kantor, di tempat hiburan, bar, kelab malam,
dan sebagainya.

Corak pemikiran seperti ini dapat dipastikan merupakan hembusan dari Barat yang
banyak diikuti oleh orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan mereka. Kultur
seperti itu tidak menghormati kaum wanita, bahkan tidak menempatkan mereka pada
timbangan yang adil. Budaya mereka memandang kaum wanita tidak lebih sebagai
pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil dalam memberikan nafkah kepada kaum
wanita, dan mengharamkan wanita untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecuali
dengan seizin kaum laki-laki (suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka
mengharuskan kaum wanita bekerja guna membiayai hidupnya. Kendatipun telah
nyata demikian, mereka masih menuduh bahwa Islam telah menzalimi dan
membekukan hak wanita.

C. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris

Banyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di


antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri
Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang
putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi'
yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri
Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan
barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga
Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-
Nisa': 11).

Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan
memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad
kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian
seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung Sa'ad.

Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa
Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara
perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan
direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu
mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai
jawaban persoalan itu.

Masih ada sederetan riwayat sahih yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat
waris ini. Semua riwayat tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan,
artinya bahwa turunnya ayat waris sebagai penjelasan dan ketetapan Allah disebabkan
pada waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian harta warisan.

D. Kajian terhadap Ayat-ayat Waris

Pertama:

Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:

1. Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-
laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk
keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan
satu bagian.
2. Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak
perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
3. Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti
suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah
ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada
dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak
perempuan satu bagian.
4. Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut
mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara
sharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat
diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip
sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali
lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya)
"jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta".
Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris
hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta
peninggalan pewaris.
5. Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian
mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal
terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anak
kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.

Kedua:

Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-
hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam."
Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
1. Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang
meninggal mempunyai keturunan.
2. Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian
sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga
menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya
menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak
disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
3. Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau
lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah
mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah
mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan
hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika
misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris
terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih)
ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris
ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib
tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka,
dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi,
kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu,
yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.

Ketiga:

Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah
(artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya."
Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang orang yang
meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan.
Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakan
wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan
Rasulullah saw..

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman
Allah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-
utang orang yang meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya."

Hikmah mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalah


karena utang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang utang,
baik ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan tetap
dituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila yang berutang meninggal,
yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya.

Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak
ditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak
melecehkan wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris),
maka Allah SWT mendahulukan penyebutannya.

Keempat:

Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini
dengan tegas memberi isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak
untuk mengatur pembagian harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia,
siapa pun orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk
usaha manusia untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya
secara sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil
seperti yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.

Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang tua dan anak yang lebih dekat atau
lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya,
Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil.
Bila demikian, siapakah yang dapat membuat aturan dan undang-undang yang lebih
baik, lebih adil, dan lebih relevan bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah?

Kelima:

Firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut
menjelaskan tentang hukum waris bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-
masing mempunyai dua cara pembagian.

Bagian suami:

1. Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka
suami mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
2. Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka
suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.

Bagian istri:

1. Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan),
maka bagian istri adalah seperempat.
2. Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka
istri mendapat bagian seperdelapan.

Keenam:

Hukum yang berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara perempuan
seibu. Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan,
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). "
Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalah
saudara laki-laki atau saudara perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak mencakup
saudara kandung dan tidak pula saudara laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain
ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama.

Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --
dalam firman-Nya-- tentang hak waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang
pertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yang
disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat seperenam bagian, sedangkan bila
jumlah saudaranya banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dan
dibagi secara rata.

Sementara itu, ayat akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika
sendirian, mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia
mendapat bagian dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat
ini harus dibedakan dengan pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat akhir surat
an-Nisa' untuk meniadakan pertentangan antara dua ayat.

Sementara itu, karena saudara kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih
dekat --dalam urutan nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkan
bagian keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapat
dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12) adalah
'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama di dalam akhir surat an-Nisa'
memiliki pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara seayah'.

Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu


A. Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki
seibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya
adalah seperenam.
B. Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka
mendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir
dari firman-Nya [tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi
dengan rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yang
sama dengan bagian saudara perempuan.

Makna Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun
keturunan; atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata
kalaalah diambil dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya
digunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah dan
hilang kekuatannya'.

Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak
mempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-
Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila
pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-
Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah
terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang
meninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak. "

Ketujuh:

Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah
dibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat
tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata
mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatif
mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat untuk
menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksud
berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahal
sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat menimbulkan
mudarat (berdampak negatif) pada ahli waris tidak wajib dilaksanakan.

Hukum Keadaan Saudara Kandung atau Seayah


Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa
keadaan tentang bagian saudara kandung atau saudara seayah.

A. Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara


kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta
peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau
anak.
B. Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah
ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua
per tiga dibagi secara rata.
C. Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara
kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki
mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
D. Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai
ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara
kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu--
maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara
seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudara
perempuan yang sekandung.
II. WARIS DALAM PANDANGAN ISLAM
SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan
adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-
laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak
pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,
dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan


dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus
diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia
sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas
saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian
waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah
saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan
syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan
rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah
satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa
harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat

A. Definisi Waris

Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-
yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan
dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah
berfirman:

"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)

"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)

Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:

'Ulama adalah ahli waris para nabi'.

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya
segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai
peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang
piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau
utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan
(misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).

Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan


Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta
peninggalan adalah:

1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan


harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan
pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak
wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain
kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat
peristirahatannya yang terakhir.

Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan
tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.

2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih


dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan
kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."

Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia.
Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar
zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di
kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi
berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya
sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya.

Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut


merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal
dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat
dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah
meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi
orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat
sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja
merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila
sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun,
bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.

Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk
menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja
seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan
amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi
termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli
waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.

Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan
sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan
mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib
ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang
piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini
lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba
daripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan
antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib
ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan
kepada setiap ahli waris.

3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga
dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan
bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan
seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian
harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil
untuk membayar utangnya.

Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan
semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab
pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat
menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda:
"... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para
ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."

4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli
waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan
lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa
harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).

Catatan:

Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang.
Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan,
baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan
wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-
benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-
kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang
piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat
tersebut.

B. Derajat Ahli Waris

Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan
urutan. Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:

1. Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan.
Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an,
As-Sunnah, dan ijma'.
2. Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah
menerima bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris
yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata
tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan.
Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara
kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.
3. Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila
harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga
tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh masing-masing
sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak
berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris
bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan
kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan
lainnya.
4. Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat
pewaris yang masih memiliki kaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudh
juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara
ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak
perempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul
furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim
dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.
5. Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli
waris yang termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat
yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi
milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki
kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian
seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya
merupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruh
harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta
peninggalan istri yang meninggal.
6. Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah
orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun
perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta
warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli
warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.
7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di
sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya,
seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal ia
terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar
memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah
satu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh
memberikan seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.
8. Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai
ahli waris ataupun kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh harta
peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.

C. Bentuk-bentuk Waris

A. Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).


B. Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
C. Hak waris secara tambahan.
D. Hak waris secara pertalian rahim.

Pada bagian berikutnya butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.

D. Sebab-sebab Adanya Hak Waris

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak,
saudara, paman, dan seterusnya.
2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang
laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim
(bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak,
tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi
dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan
budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang
dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu
Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya
kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

E. Rukun Waris

Rukun waris ada tiga:

1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk
mewarisi harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau
ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
F. Syarat Waris

Syarat-syarat waris juga ada tiga:

1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum


(misalnya dianggap telah meninggal).
2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal
dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing.

Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris

Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara
hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli
warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap
seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang
hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim
memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.

Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang
masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak
kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia
meninggal.

Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris

Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang
secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki
hak untuk mewarisi.

Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi
meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat
saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh
kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu
kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan,
mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.

Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris

Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami,
istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah
bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum
waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang
pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara
seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada
yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena
'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada
yang tidak terhalang.

G. Penggugur Hak Waris

Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris
seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:

1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi
sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung
menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar
(budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak
yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan
yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur
hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak
milik.

2. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh
ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:

"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "

Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di
kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan
agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan
bagiannya."

Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya,


mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris
adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.

Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang
direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat
bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis
pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau
membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.

Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya
tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu
dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para
saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut
saya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
3. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa
pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir
mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)

Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini
berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat
Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang
kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa
Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).

Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak
mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang
murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam
kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.

Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat


orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah
seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?

Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim
tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka,
orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis
orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw.
dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta
kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat
mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya
yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.

Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat)
dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus
diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal
yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.

Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub


Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang
terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena
itu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.

Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat
menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan
fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak
waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat
kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek
bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung.
Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya
dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu
ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian
disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam
hal ini disebut dengan istilah mahjub.

Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari
keduanya.

Contoh Pertama

Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung,
dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya
sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris
dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada,
menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah

Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang
mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri
seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan
sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang
ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.

Contoh Kedua

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung.
Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh
adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah
pewaris.

H. Ahli Waris dari Golongan Laki-laki

Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada
lima belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4)
kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah,
(7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anak
laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11)
paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung
ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang
memerdekakan budak.

Catatan

Bagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak
dari cucu) dan seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki.
Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.
I. Ahli Waris dari Golongan Wanita

Adapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3)
anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek
(ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8)
saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.

Catatan

Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang
penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud
dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.
III. PEMBAGIAN WARIS MENURUT AL-QUR'AN
JUMLAH bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah
(1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli
waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.

A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan
pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima
ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.
Rinciannya seperti berikut:

1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat
apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya
adalah firman Allah:
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istri-
istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)

2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris,


dengan dua syarat:

a. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan


tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
b. Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah
firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka
ia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratan
tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat
bagian setengah.

3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan
tiga syarat:

a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari


keturunan anak laki-laki).
b. Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
c. Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-
laki.

Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2).
Sebab cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan
anak kandung perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya
"yushikumullahu fi auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan
anak, dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.
4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan
tiga syarat:

a. Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.


b. Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
c. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai
keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.

Dalilnya adalah firman Allah berikut:

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi


fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)

5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan
peninggalan pewaris, dengan empat syarat:

a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.


b. Apabila ia hanya seorang diri.
c. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
d. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik
anak laki-laki maupun perempuan.

Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan
ulama.

B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta
peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:

1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan
istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki
dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya
ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:

"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12)

2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan
suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik
anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini
berdasarkan firman Allah berikut:

"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)

Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang
bagian istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi seluruh
istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain,
sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap
mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman
Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang
bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun
empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan.

C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan

Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8)
yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta
peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut
lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)

D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan
pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:

1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.


2. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
3. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:

1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki,
yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per
tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)

Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami
hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak
perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini
merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw.
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis
Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana
diungkapkan dalam bab sebelum ini.

Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini
adalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud
ayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi
ijma' para ulama. Wallahu a'lam.

2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian
dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau
perempuan.
b. Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
c. Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.

3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga
dengan persyaratan sebagai berikut:

a. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun


perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
b. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai
saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
c. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:

"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per
tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)

4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga
dengan syarat sebagai berikut:

a. Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.


b. Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-
laki seayah.
c. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun
perempuan).

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk
mendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara
kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan
adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama,
yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,
maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal
..." (an-Nisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan
seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat
tersebut. Wallahu a'lam.

E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga

Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya
dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.

Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:

1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-
laki.
2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun
perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya
adalah firman Allah:
"... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)

Juga firman-Nya:

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)

Catatan:

Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus
bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --
sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam
bahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam
istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai
imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal ini
adalah firman Allah berikut:

"Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah
condong (untuk menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)

Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan
mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:

1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga
tidak mempunyai ayah atau kakak.
2. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.

Adapun dalilnya adalah firman Allah:

"... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)

Catatan

Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah
'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan
saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga
menjelaskan hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuan
seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yang
dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu.

Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum
syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu
menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara
laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh
bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara laki-
laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga,
dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan. Pembagian
mereka berbeda dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah,
yang dalam hal ini bagian saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.

Masalah 'Umariyyatan

Pada asalnya, seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta
peninggalan pewaris bila ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telah
saya jelaskan--- berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga".

Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan
fuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal
ini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat
ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang cemerlang',
karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya diberi sepertiga
bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian suami
atau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.

Contoh Pertama
Seorang istri wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat bagian
setengah (1/2) dari seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat sepertiga (1/3) dari
sisa setelah diambil bagian suami. Kemudian ayah mendapat seluruh sisa yang ada.
Untuk lebih jelas lagi saya berikan tabelnya:

Pokok masalahnya dari 6

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Suami 1/2 3
Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian suami 1
Ayah Seluruh sisa peninggalan sebagai 'ashabah 2

Dalam contoh kasus ini ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah diambil
bagian suami pewaris, sebab bila ia memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang ada
maka ia akan mendapat bagian dua kali lipat bagian ayah. Hal ini tentunya
bertentangan dengan kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an
dalam bagian ayat "lidzdzakari mitslu hazhzhil untsayain". Karenanya untuk tetap
menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat bagian sepertiga dari harta warisan
setelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi dua kali lipat
dari bagian yang diterima ibu.
Contoh Kedua
Seorang suami meninggal dunia dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri
mendapat bagian seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya,
sedangkan ibu mendapat bagian tiga per empat dari sisa setelah diambil hak istri.
Sedangkan bagian ayah adalah sisa harta yang ada sebagai 'ashabah.

Pokok masalahnya dari 4

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Isteri 1/4 1
Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian isteri 1
Mendapat bagian seluruh sisa peninggalan yang ada sebagai
Ayah 2
'ashabah

Dari kedua contoh tersebut tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya bagian ibu pada
tabel pertama adalah seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua adalah seperempat
(1/4). Adapun penyebutannya dengan istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak
suami atau istri adalah karena menyesuaikan adab qur'ani.

Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin
Khathab r.a.. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat
pertama dintarakan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhur
ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa bagian
ibu adalah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.

Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu
tetap mendapat bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau
istri (anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah
memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami
atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam Kitabullah juga tidak
disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang ada bila
ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan
di dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu".

Jadi, menurut hemat saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama
serta ditetapkan oleh Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.

F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam

Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh
orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli,
(7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.

1. Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai
anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "...
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)

2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila
pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan
anak --dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah
seorang kakek akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan
yang akan saya rinci dalam bab tersendiri.

3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris,
dengan dua syarat:

a. Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-
laki keturunan anak laki-laki.
b. Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara
laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu.
Dalilnya firman Allah (artinya):

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11).

4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat
bagian seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak
perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian
setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapat
seperenam (1/6), sebagai pelengkap dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya
tentang masalah warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan,
cucu perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa
kemudian menjawab: "Bagi anak perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan yang
setengah sisanya menjadi bagian saudara perempuan."

Merasa kurang puas dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu
Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah
diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan
pewaris, dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian
seperenam (1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara
perempuan pewaris."

Mendengar jawaban Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-
Asy'ari dan memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata:
"Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah
kalian."

Catatan

Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam
(1/6) dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anak
laki-laki, maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris
juga tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih dari
satu orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3), dan
sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki pewaris.

5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam
(1/6), apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini
hukumnya sama denga keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki
bersamaan dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau
lebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung
memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang
memang merupakan hak saudara perempuan seayah.

6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing


seperenam (1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya) "jika
seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta". Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak
mempunyai pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki
atau perempuan).

7. Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi
mempunyai ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari
jalur ayah maupun ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepada
mereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih
dan ijma' seluruh sahabat.

Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-
Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak
mendapati hakmu dalam Al-Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku
menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah saw." Kemudian al-Mughirah bin
Syu'bah mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu ketika aku pernah menjumpai
Rasulullah saw. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar
pernyataan al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan
memberinya seperenam (1/6). Wallahu a'lam.
IV. DEFINISI 'ASHABAH
KATA 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.
Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan
melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai
ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini
sering kali digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:

"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang
kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (Yusuf:
14)

Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan
mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.

Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak
disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara
kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah).
Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.

Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang
menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga
menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan
mengambil bagian masing-masing.

A. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah

Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya): "dan
untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-
masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi
bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi
milik kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak
mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut
tidak menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah
diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian,
penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.

Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak." (an-Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan
justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta
peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian,
makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan
menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa
menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada
ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang
paling utama dari 'ashabah.

Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah
dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas
menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah
paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup
umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan
menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna
sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata "dzakar".

B. Macam-macam 'Ashabah

'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah
(karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh
sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang
dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.

Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya
tidak tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang
lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).

Catatan

Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya
(tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin
nafs.

'Ashabah bin nafs


'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri
kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:

1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu,
cicit, dan seterusnya.
2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari
pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki
keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas
pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka,
namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak
termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang
seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.

Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak
lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada
arah saudara.

Hukum 'Ashabah bin nafs


Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat
kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian)
menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh
warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul
furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul
furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya,
maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan
meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.

Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian
setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh
telah menghabiskannya.

Adapun bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya
(pengunggulannya) sebagai berikut:

Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih,
maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan
dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada,
atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian
masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-
laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara
kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki.
Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk
ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki.
Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan
arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung laki-laki maupun
saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya Allah akan saya
paparkan pada bab tersendiri.

Kedua: Pentarjihan secara Derajat


Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah bi
nafsihi, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat
derajat mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepada
pewaris. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan
anak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak,
sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada
pewaris dibandingkan cucu laki-laki.

Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan
anak dari saudara kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia
lebih dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti ini
disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.

Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan

Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang
sama dalam arah dan derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah di
antara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh,
saudara kandung lebih kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada
paman seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara
seayah, dan seterusnya.

Catatan

Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini,
bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah
bapak. Artinya, pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah
saudara dan arah paman.

Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?


Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah di
dalamnya. Sebab, keduanya memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada
seseorang, ayah sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini
sebaiknya garis anak tidak didahulukan daripada garis ayah.

Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan
pertama berupa dalil Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya
(artinya) "dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (an-Nisa: 11).

Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bila
pewaris mempunyai anak, sedangkan bagian anak tidak disebutkan. Dengan
demikian, jelaslah bahwa anak akan mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan
pewaris, setelah masing-masing dari ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garis
bapak.

Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir terhadap anak
(keturunannya), baik dalam hal keselamatannya maupun kehidupan masa depannya.
Oleh sebab itu, orang tua berusaha bekerja keras untuk memperoleh harta dan
berhemat dalam membelanjakannya, semuanya demi kesejahteraan keturunannya.
Bahkan, tidak sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam
membelanjakan hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat
apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu mabkhalah
majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil dan pengecut).

Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut--
karena sangat khawatir terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak segan-
segan menimbun harta dan kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masa
mendatang. Tidak sedikit orang tua yang menjadi pengecut hanya disebabkan
menjaga kemaslahatan keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka
takut berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan
rezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknya
dibandingkan kepada ayahnya. Wallahu a'lam.

Catatan

Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan laki-
laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika
demikian berarti wanita tersebut sebagai 'ashabah bi nafsihi, bila budak yang
dibebaskannya tidak mempunyai keturunan (kerabat).

'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya


'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya
wanita:

1. Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-
lakinya (yakni anak laki-laki).
2. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila
berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni
cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan
lebih di bawahnya.
3. Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara
kandung laki-laki.
4. Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan
saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan.

Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi


'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan
berikut:

Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan
dari ashhabul furudh, maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh,
anak perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan
adanya saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan
demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.
Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya,
anak laki-laki tidak dapat menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan
anak laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai
pen-tahjib (penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara
laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan disebabkan tidak
sederajat.

Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan
shahibul fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara
kandung perempuan. Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya
daripada saudara laki-laki seayah.

Catatan

Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika sendirian, ia
berhak mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila menerima bersama saudara
perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah bila mempunyai saudara laki-laki. Kaidah
ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan
(yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung
perempuan, dan saudara perempuan seayah).

Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi


Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih adalah firman Allah (artinya): "bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan" (an-Nisa': 11).
Dan juga berlandaskan firman-Nya (artinya): "dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).

Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat tersebut
adalah saudara laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang seayah. Mereka
berpendapat bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuan
yang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabul
furudh) bukan sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki dan
perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya): "maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).

Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi


Adapun sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat
wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan
tetapi karena adanya 'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-
laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi nafsihi itu tidak
ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.

'Ashabah ma'al Ghair


'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun
saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang
tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun
saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu
perempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis
'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.

Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitab
Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan seayah)
menjadi 'ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar bagian
saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak
terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan secara
fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akan
berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu
digugurkan, karena itu dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudara
perempuan seayah sebagai 'ashabah agar terkena pengurangan."

Dalil 'Ashabah ma'al Ghair


Yang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya
tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan
saudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak
perempuan separo, dan bagian saudara perempuan separo."

Penanya itu lalu pergi menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku
akan memvonis seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuan
setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki seperenam (1/6)
sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan sisanya menjadi hak saudara
perempuan kandung atau seayah."

Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yang
telah diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian
menanyakannya kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."

Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila
mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian
yang ada. Hal ini berarti saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayah
sebagai 'ashabah ma'al ghair.

Catatan

Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang saudara kandung
perempuan menjadi 'ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandung
laki-laki sehingga dapat menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki
maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di
bawah mereka, seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman kandung ataupun
yang seayah.

Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair ketika
mewarisi bersama anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara
laki-laki seayah hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.
Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:

Contoh Pertama
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan,
dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

Pokok masalahnya dari 2

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Anak perempuan 1/2 1
Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair 1/2 1
Saudara laki-laki seayah gugur 0

Keterangan

Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian
saudara kandung perempuan disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair, yang
kekuatannya seperti saudara kandung laki-laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah
terhalang karena saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah.

Contoh Kedua
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara laki-
laki seayah. Maka pembagiannya seperti dalam tabel berikut:

Pokok masalahnya dari 4

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Suami 1/4 1
Cucu perempuan 1/2 2
Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair 1
Saudara laki-laki seayah mahjub 0

Keterangan

Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai cabang ahli


warisnya. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian
setengah secara fardh, kemudian sisanya yaitu seperempat-- menjadi hak dua saudara
kandung perempuan pewaris sebagai 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara
laki-laki seayah gugur karena adanya dua saudara kandung.
Contoh Ketiga
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara
perempuan seayah, dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya
seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 3

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Dua anak perempuan 2/3 2
Saudara perempuan seayah 'ashabah ma'al ghair 1
Anak saudara laki-laki mahjub 0

Keterangan

Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudara
perempuan seayah disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak
saudara laki-laki ter-mahjub oleh saudara perempuan seayah.

Contoh Keempat
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan
paman kandung (saudara dari ayah kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 6

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Anak perempuan 1/2 3
Cucu perempuan 1/6 1
Ibu 1/6 1
Saudara perempuan seayah 'ashabah ma'al ghair 1

Keterangan

Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu
mendapatkan seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah
sebagai 'ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah
sehingga ia menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya.

Catatan

Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila
pewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi
penggugur hak saudara (laki-laki/perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi
'ashabah.

C. Perbedaan 'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al Ghair

Dari uraian sebelumnya dapat kita ketahui bahwa 'ashabah bil ghair adalah setiap
wanita ahli waris yang termasuk ashhabul furudh, dan akan menjadi 'ashabah bila
berbarengan dengan saudara laki-lakinya. Misalnya, anak perempuan menjadi
'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki pewaris). Saudara
kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah menjadi 'ashabah bil ghair
dengan adanya saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah. Dalam hal
ini bagi yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.

Adapun 'ashabah ma'al ghair adalah para saudara kandung perempuan ataupun
saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan, dan dalam hal
ini mereka mendapatkan bagian sisa seluruh harta peninggalan sesudah ashhabul
furudh mengambil bagian masing-masing. Tampak semakin jelas perbedaan antara
dua macam 'ashabah itu, pada 'ashabah bil ghair selalu ada sosok 'ashabah bi nafsih,
seperti anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-
laki dan saudara laki-laki seayah. Sedangkan dalam 'ashabah ma'al ghair tidak
terdapat sosok 'ashabah bi nafsih.

Jadi, secara ringkas, pada 'ashabah bil ghair para 'ashabah bi nafsih menggandeng
kaum wanita ashhabul furudh menjadi 'ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya.
Sedangkan 'ashabah ma'al ghair tidaklah demikian. Seorang saudara perempuan
sekandung atau seayah tidak menerima bagian seperti bagian anak perempuan atau
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan atau
cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudian
saudara perempuan sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan
keduanya.

Dapatkah Seseorang Mewarisi dari Dua Arah?


Kita mungkin sering mendengar pertanyaan seperti itu, dan tentu saja hal ini
memerlukan jawaban. Maka dapat ditegaskan bahwa seseorang bisa saja mendapatkan
warisan dari dua arah yang berlainan, misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan juga
sebagai 'ashabah, atau satu dari arah fardh dan yang kedua dari arah karena rahim.
Agar persoalan ini lebih jelas, saya sertakan contoh:

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu,
dan seorang suami, yang juga merupakan anak paman kandung pewaris. Maka
pembagiannya sebagai berikut: Untuk nenek seperenam (1/6), saudara laki-laki seibu
seperenam (1/6), suami setengah (1/2) sebagai fardh-nya, dan sisanya untuk suami
sebagai 'ashabah karena ia anak paman kandung.

Contoh lain: seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan dua anak perempuan,
bibi (saudara ibu) yang salah satunya menjadi istrinya. Maka pembagiannya seperti
berikut: sang istri mendapat bagian seperempat sebagai fardh-nya karena adanya
ikatan perkawinan, dan hak lainnya ialah ikut mendapat bagian sisa yang ada karena
ikatan rahim.
V. PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)
A. Definisi al-Hujub

Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-
Qur'an Allah SWT berfirman:

"Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari
(melihat) Tuhan mereka" (al-Muthaffifin: 15)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang,
tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.

Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau
penjaga pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu
tanpa izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.

Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul
(objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang
menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang
yang terhalang mendapatkan warisan.

Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan


hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja
disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

V. PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)


A. Definisi al-Hujub

Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-
Qur'an Allah SWT berfirman:

"Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari
(melihat) Tuhan mereka" (al-Muthaffifin: 15)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang,
tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.

Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau
penjaga pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu
tanpa izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.

Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul
(objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang
menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang
yang terhalang mendapatkan warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan
hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja
disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

B. Macam-macam al-Hujub

Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-
syakhshi (karena orang lain).

Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari
mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh
pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.

Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang


dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi
asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu
penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya
hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena
adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung,
terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.

Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris
seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan
terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam
disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak). Demikian juga seperti
penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi
seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris
mempunyai anak, dan seterusnya.

Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub
disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini
merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.

Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman


Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri
dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut
adalah anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri.
Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka
semuanya harus mendapatkan warisan.

Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman


Sederetan ahli waris yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri
dari laki-laki dan lima dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:

1. Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh adanya ayah, dan juga oleh
kakek yang lebih dekat dengan pewaris.
2. Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan keturunan
laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
3. Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-
laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah
ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak,
cucu, cicit, dan seterusnya).
4. Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah,
kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
5. Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-
laki. Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu yang paling dekat
(lebih dekat).
6. Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki) akan terhalangi dengan
adanya ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki, serta oleh
saudara laki-laki seayah.
7. Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah) akan terhalangi
dengan adanya orang-orang yang menghalangi keponakan (dari anak saudara
kandung laki-laki), ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki dari
keturunan saudara kandung laki-laki).
8. Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya anak
laki-laki dari saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yang
menghalangi keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
9. Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi paman
kandung, dan juga dengan adanya paman kandung.
10. Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung) akan terhalangi oleh adanya
paman seayah, dan juga oleh sosok yang menghalangi paman seayah.
11. Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan terhalangi dengan adanya sepupu
laki-laki (anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang menghalangi
sepupu laki-laki (anak paman kandung).

Sedangkan lima ahli waris dari kelompok wanita adalah:

1. Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan adanya
sang ibu.
2. Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan terhalang oleh adanya anak
laki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akan
terhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada
'ashabah.
3. Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu,
cicit, dan seterusnya (semuanya laki-laki).
4. Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan adanya saudara kandung
perempuan jika ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Selain itu, juga terhalang oleh
adanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya, khusus kalangan
laki-laki) serta terhalang oleh adanya dua orang saudara kandung perempuan
bila keduanya menyempurnakan bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya
'ashabah.
5. Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya sosok laki-laki (ayah,
kakek, dan seterusnya) juga oleh adanya cabang (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya) baik laki-laki ataupun perempuan.
Saudara Laki-laki yang Berkah
Apabila anak perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah
hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia mempunyai
saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki) yang sederajat
ataupun yang lebih rendah dari derajat cucu perempuan, maka cucu laki-laki dapat
menyeret cucu perempuan itu sebagai 'ashabah, yang sebelumnya tidak mendapat
fardh. Keadaan seperti ini dalam faraid disebut sebagai kerabat yang berkah atau
saudara laki-laki yang berkah. Disebut demikian karena tanpa cucu laki-laki, cucu
perempuan tidak akan mendapat warisan.

Kemudian, apabila saudara kandung perempuan telah sempurna mendapat bagian dua
per tiga (2/3), gugurlah hak waris para saudara perempuan seayah, kecuali bila ada
saudara laki-laki seayah. Sebab saudara laki-laki seayah itu akan menggandengnya
menjadi 'ashabah. Keadaan seperti ini dinamakan sebagai saudara yang berkah, sebab
tanpa keberadaannya para saudara kandung perempuan itu tidak akan menerima hak
waris mereka.

Saudara Laki-laki yang Merugikan


Kalau sebelumnya saya jelaskan tentang saudara laki-laki yang membawa berkah,
maka kini saya akan menjelaskan kebalikannya, yakni saudara laki-laki yang
merugikan. Disebut saudara laki-laki yang merugikan karena keberadaannya
menyebabkan ahli waris dari kalangan wanita tidak mendapatkan warisan. Padahal,
apabila saudara laki-laki itu tidak ada, ahli waris wanita itu akan mendapatkan waris.
Agar lebih jelas saya berikan beberapa contoh kasus.

Pertama:

Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anak
perempuan, dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti
berikut: suami seperempat (1/4) bagian, ibu seperenam (1/6) bagian, ayah juga
seperenam (1/6) bagian, anak perempuan setengah, dan cucu perempuan keturunan
anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per
tiga (2/3) karena merupakan bagian wanita.

Seandainya dalam kasus ini terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, maka
gugurlah hak cucu perempuan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan saudara laki-laki
dari cucu perempuan keturunan anak laki-laki itu merugikannya. Inilah rahasia
mengapa ulama faraid mengistilahkannya sebagai "saudara laki-laki yang merugikan".

Kedua:

Untuk lebih memperjelas, dalam contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki yang
merugikan. Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, ayah,
anak perempuan, serta cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki.
Maka pembagiannya seperti berikut: suami memperoleh seperempat (1/4) bagian
karena istri mempunyai anak (keturunan), ibu seperenam (1/6) bagian, ayah
seperenam (1/6) bagian, sedangkan anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian
karena tidak ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan perempuan tidak mendapat
bagian.

Itulah contoh tentang saudara laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidak
merugikan karena memang tidak ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, sehingga
cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai
penyempurna saham dua per tiga (2/3). Sedangkan dalam contoh kedua, cucu
perempuan dirugikan --tidak mendapat waris-- karena ia mempunyai saudara laki-laki
yang sederajat, yakni adanya cucu laki-laki keturunan dari anak laki-laki.

Ilustrasi seperti itu dapat kita ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucu
perempuan keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah dan
posisi cucu laki-laki keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara laki-laki seayah.
Maka, saudara perempuan seayah akan mendapat waris bila tidak mempunyai saudara
laki-laki seayah yang masih hidup. Namun, bila mempunyai saudara laki-laki seayah,
maka saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apa-apa.

C. Tentang Kasus Kolektif

Menurut kaidah yang biasa dikenal dan dipakai ulama faraid, pembagian harta waris
dimulai dengan ashhabul furudh, kemudian baru kepada para 'ashabah. Para ulama
menyandarkan kaidah ini pada hadits Rasulullah saw. (artinya): "Berikanlah hak waris
kepada ashhabul furudh, dan sisanya diberikan kepada kerabat laki-laki yang lebih
dekat."

Namun demikian, dalam masalah ini ternyata terjadi sesuatu yang kontradiktif,
sesuatu yang keluar dan menyimpang dari kaidah aslinya. Masalah ini dikenal juga
dengan istilah "kasus musytarakah" (kasus kolektif). Sementara itu, di sisi lain
masalah ini telah memancing perbedaan pendapat sejak masa para sahabat, tabi'in,
dan imam mujtahidin.

Contoh permasalahannya sebagai berikut; seorang wanita wafat dan meninggalkan


seorang suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu (atau lebih dari dua orang), dan dua
orang saudara kandung laki-laki (atau lebih dari dua orang). Pembagiannya adalah
seperti berikut: suami mendapat setengah (1/2) bagian dikarenakan pewaris tidak
mempunyai anak secara fardh, ibu mendapat seperenam (1/6) bagian disebabkan
pewaris mempunyai dua orang saudara laki-laki atau lebih, dan dua orang saudara
seibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Sedangkan saudara kandung laki-laki tidak
mendapatkan bagian karena ia sebagai 'ashabah --sedangkan harta waris yang
dibagikan telah habis.

Berdasarkan kaidah yang berlaku, saudara kandung laki-laki sebenamya memiliki


kekerabatan lebih kuat dibandingkan saudara laki-laki seibu, tetapi pada kasus ini
justru terjadi sebaliknya. Karena, masalah ini merupakan kasus kolektif, selain
sebagai masalah yang menyimpang dari kaidah aslinya, juga karena para sahabat,
tabi'in, serta para imam mujtahidin --dalam contoh kasus seperti ini-- menyatakan
bahwa saudara kandung laki-laki disamakan dengan saudara laki-laki yang seibu,
hingga mereka mendapat sepertiga (1/3) bagian dan dibagikan secara rata di antara
mereka (termasuk saudara kandung laki-laki). Di samping itu, masalah ini juga
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama, sejak masa para
sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin.

Perbedaan Pendapat Para Fuqaha


Dalam masalah musytarakah (kolektif) ini ada dua kubu pendapat yang masyhur
dalam hal membagi hak waris sebagaimana contoh kasus tersebut. Pendapat pertama
menyatakan bahwa hak waris saudara kandung digugurkan sebagaimana mengikuti
kaidah yang ada. Pendapat ini pernah dilakukan oleh Abu Bakar, Ali, Ibnu Abbas, dan
lainnya.

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa hak waris pada saudara kandung
dikolektifkan dengan hak waris para saudara laki-laki seibu. Pendapat ini dilakukan
oleh Zaid bin Tsabit, Utsman, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Pendapat pertama dianut dan
diikuti oleh mazhab Hanafi dan Hambali, sedangkan pendapat yang kedua diikuti dan
dianut oleh mazhab Maliki dan Syafi'i.

Selain itu, masalah ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan "umariyah",
karena Umar bin Khathab pernah memvonis masalah ini --juga pernah dikenal dengan
sebutan Himariyah, Hajariyah, dan Yammiyah.

Diriwayatkan bahwa masalah musytarakah ini pernah diajukan ke hadapan Umar bin
Khathab r.a.. Umar baru pertama kali menjumpai kasus seperti ini dan memvonis:
saudara kandung tidak mendapat bagian hak waris sedikit pun. Kemudian pada tahun
berikutnya, masalah ini diajukan kembali kepadanya. Ketika ia hendak memvonis
seperti tahun lalu, proteslah salah seorang ahli warisnya: "Wahai Amirul Mukminin,
sungguh mustahil bila ayah kami dianggap keledai atau batu yang terbuang di sungai.
Bukankah kami ini anak dari seorang ibu?" Umar menyimak perkataan orang itu dan
berpikir bahwa apa yang diucapkannya benar dan tepat. Maka ia memvonis dengan
memberi hak kepada mereka (saudara seibu dan saudara sekandung) secara
bersamaan dan dibagi sama rata. Contohnya adalah sebagai berikut:

Asal masalah dari enam 6 naik menjadi 18

Suami 1/2 harta waris yang ada secara fardh 3 9


Ibu 1/6 harta waris yang ada secara fardh 1 3
Saudara seibu 1/3 secara fardh dan dibagi merata dengan saudara kandung 2 4
Saudara kandung dapat hak waris, karena dianggap seperti saudara seibu
- 2
dengan mendapat bagian sepertiga (1/3) dibagi adil

Persyaratan Masalah Kolektif


1. Jumlah saudara seibu dua orang atau lebih, baik laki-laki atau perempuan.
2. Saudara yang ada benar-benar saudara kandung, sebab bila saudara seayah
maka gugurlah haknya secara ijma'. Dan dalam hal ini tidak berbeda apakah
hanya satu orang atau banyak.
3. Saudara kandung itu harus saudara laki-laki. Sebab bila perempuan, maka
akan mewarisi secara fardh, dan masalahnya pun akan naik, serta kekolektifan
ini akan batal.

Beberapa Kaidah Penting


Hak waris banul a'yan (saudara kandung laki-laki/perempuan), dan banul 'allat
(saudara laki-laki/perempuan seayah), serta banul akhyaf (saudara laki-
laki/perempuan seibu) akan gugur (terhalangi) oleh adanya anak laki-laki pewaris,
cucu laki-laki (keturunan anak laki-laki), dan ayah. Hal ini merupakan kesepakatan
seluruh ulama.

Menurut mazhab Abu Hanifah hak mereka juga digugurkan oleh adanya kakek
pewaris. Sedangkan menurut ketiga imam mazhab yang lain tidaklah demikian. Masih
menurut mazhab Hanafi, hak waris banul akhyaf digugurkan dengan adanya anak
perempuan pewaris, cucu perempuan keturunan anak laki-laki pewaris, dan
seterusnya.

Kaidah yang lain ialah bahwa banul akhyaf mendapatkan hak waris secara merata
pembagiannya antara yang laki-laki dengan yang perempuan. Hal ini berdasarkan
firman Allah (artinya) "mereka bersekutu dalam yang sepertiga."
VI HAK WARIS KAKEK DENGAN SAUDARA
A. Pengertian Kakek yang Sahih

Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak
tercampuri jenis wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek
yang berasal garis wanita disebut sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya
ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan sesuai dengan kaidah
yang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita masuk ke dalam nasab laki-laki,
maka kakek menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak termasuki unsur wanita, itulah
kakek yang sahih."

B. Hukum Waris antara Kakek dengan Saudara

Baik Al-Qur'an maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris bagi
kakek yang sahih dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu,
mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini, bahkan mereka
cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini.
Ibnu Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kami
tentang masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan
kepadaku tentang masalah warisan kakak yang sahih dengan saudara."

Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib:

"Barangsiapa yang ingin diceburkan ke dalam neraka Jahanam, maka hendaklah ia


memvonis masalah waris antara kakek yang sahih dengan para saudara."

Ketakutan dan kehati-hatian para sahabat dalam memvonis masalah hak waris kakek
dan saudara itu tentu sangat beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an atau hadits
Nabi yang menjelaskannya. Dengan demikian, menurut mereka, masalah ini
memerlukan ijtihad. Akan tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat mengkhawatirkan
mereka, karena jika salah berarti mereka akan merugikan orang yang sebenarnya
mempunyai hak untuk menerima warisan, dan memberikan hak waris kepada orang
yang sebenamya tidak berhak. Terlebih lagi dalam masalah yang berkenaan dengan
materi, atau hukum tentang hak kepemilikan, mereka merasa sangat takut kalau-kalau
berlaku zalim dan aniaya.

Perlu saya tekankan bahwa masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif. Karena
itu Allah SWT tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah
hak kepemilikan materi ini. Dia menjelaskannya di dalam Al-Qur'an dengan detail
agar tidak terjadi kezaliman dan perbuatan aniaya di kalangan umat manusia,
khususnya para ahli waris.

Namun demikian, masalah yang sangat dikhawatirkan itu hilang setelah munculnya
ijtihad para salaf ash-shalih dan para imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebut
dijaga serta dibukukan secara lengkap dan detail beserta dalil-dalilnya. Hal ini akan
memudahkan setiap orang yang ingin mengetahuinya sambil bersandar kepada ijtihad
yang dianggapnya lebih rajih (kuat dan tepat) serta dapat dijadikannya sandaran
dalam berfatwa.
C. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek

Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai hak waris kakak bila bersamaan
dengan saudara, sama seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat
Rasulullah saw.. Perbedaan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua mazhab.

Mazhab pertama: mereka menyatakan bahwa para saudara --baik saudara kandung,
saudara seayah, ataupun seibu-- terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanya
kakek. Mereka beralasan bahwa kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telah
tiada, karena kakek merupakan bapak yang paling 'tinggi'. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah saya
sebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata 'ashabah banyak arahnya, maka yang lebih
didahulukan adalah arah anak (keturunan), kemudian arah ayah, kemudian saudara,
dan barulah arah paman. Sekali-kali arah itu tidak akan berubah atau berpindah
kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu hilang atau habis. Misalnya,
jika 'ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah arah anak. Bila
'ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang didahulukan adalah arah
saudara, kemudian barulah arah paman.

Lebih lanjut golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah --mencakup
kakek dan seterusnya-- lebih didahulukan daripada arah saudara. Karena itu hak waris
para saudara akan terhalangi karena adanya arah kakek, sama seperti gugurnya hak
waris oleh saudara bila ada ayah.

Mazhab ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu
Umar. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Hanafi.

Mazhab kedua: berpendapat bahwa para saudara kandung laki-laki/perempuan dan


saudara laki-laki seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek.
Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara kandung dan yang seayah,
sama seperti halnya ayah.

Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan
saudara dan kakek dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati
ayah, demikian juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah, sedangkan saudara
adalah cabang dari ayah, karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu
dari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu dan
mencegah yang lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang dapat
diterima. Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara kandung
kemudian di antara mereka ada yang tidak diberi.

Alasan lain yang dikemakakan mazhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara --yang
jelas lebih muda daripada kakek--terhadap harta jauh lebih besar ketimbang para
kakek. Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan
kepada para kakek, kemudian ia wafat, maka harta peninggalannya akan berpindah
kepada anak-anaknya yang berarti paman para saudara. Dengan demikian para paman
menjadi ahli waris, sedangkan para saudara tadi hanya kebagian tangis, tidak
mendapat warisan dari saudaranya yang meninggal.
Pendapat ini dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam
Ahmad bin Hambal, dan diikuti oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu
Muhammad dan Abu Yusuf. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat dan
tabi'in, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan Ahli
Madinah ridhwanullah 'alaihim.

D.Tentang Mazhab Jumhur

Untuk lebih menjelaskan pendapat yang rajih --yakni pendapat jumhur ulama-- maka
saya perlu mengatakan bahwa sesungguhnya jika kakak mewarisi bersamaan dengan
saudara, maka ia mempunyai dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukum
tersendiri.

Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada
ahli waris lain dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan, dan
sebagainya.

Keadaan kedua: kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang
lain, seperti ibu, istri, dan anak perempuan.

Hukum Keadaan Pertama


Bila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa ashhabul
furudh yang lain, maka bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal baginya --agar
lebih banyak memperoleh harta warisan-- dari dua pilihan yang ada. Pertama dengan
cara pembagian, dan kedua dengan cara mendapatkan sepertiga (1/3) harta warisan.
Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih baik bagi kakek, itulah yang menjadi
bagiannya. Bila pembagian lebih baik baginya maka hendaklah dengan cara
pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yang
menjadi haknya.

Makna Pembagian
Makna pembagian menurut ulama faraid adalah kakek dikategorikan seperti saudara
kandung, ia mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara kandung laki-laki.
Apabila kakek berhadapan dengan saudara perempuan kandung, maka ia menempati
posisi yang sama seperti saudara kandung laki-laki. Berarti kakek mendapatkan
bagian dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.

Bila cara pembagian tersebut kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan dengan
memilih cara mendapat sepertiga (1/3) harta waris yang ada.

Pembagian yang Lebih Menguntungkan Kakek


Ada lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara
pembagian. Kelima keadaan tersebut sebagai berikut:

1. Kakek dengan saudara kandung perempuan.


2. Kakek dengan dua orang saudara kandung perempuan.
3. Kakek dengan tiga orang saudara kandung perempuan.
4. Kakek dengan saudara kandung laki-laki.
5. Kakek dengan saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan.

Adapun penjelasannya seperti berikut:

Pada keadaan pertama kakak mendapat dua per tiga (2/3).

Pada keadaan kedua kakek mendapat setengah (1/2).

Pada keadaan ketiga kakek mendapat dua per lima (2/5).

Pada keadaan keempat kakek mendapat setengah (1/2).

Pada keadaan kelima kakek mendapat dua per lima (2/5).

Kelima keadaan itu lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian.

Pembagian dan Jumlah 1/3 yang Berimbang


Ada tiga keadaan yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baik
secara pembagian ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketiga
keadaan itu sebagai berikut:

1. Kakek dengan dua orang saudara kandung laki-laki.


2. Kakek dengan empat orang saudara kandung perempuan.
3. Kakek dengan seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara
kandung perempuan.

Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan Kakek


Selain dari delapan keadaan yang saya kemukakan itu, maka pemberian sepertiga
(1/3) kepada sang kakek lebih menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang kakek dan tiga orang saudara, atau seorang kakek dan lima
saudara kandung perempuan atau lebih. Dalam hal ini kakek mendapat sepertiga
(1/3), dan sisanya dibagikan kepada para saudara, yang laki-laki mendapat dua kali
lipat bagian wanita.

Kalau saja dalam keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian, maka kakek akan
dirugikan karena akan menerima kurang dari sepertiga harta warisan.

Catatan

Hukum tentang hak waris saudara laki-laki dan perempuan seayah ketika bersama
dengan kakek --tanpa saudara kandung laki-laki atau perempuan-- maka hukumnya
sama dengan hukum yang saya jelaskan di atas.
Hukum Keadaan Kedua
Bila kebersamaan antara kakek dengan para saudara dibarengi pula dengan adanya
ashhabul furudh yang lain --yakni ahli waris lainnya-- maka bagi kakek dapat memilih
salah satu dari tiga pilihan yang paling menguntungkannya. Yaitu, dengan pembagian,
menerima sepertiga (1/3), atau menerima seperenam (1/6) dari seluruh harta waris
yang ditinggalkan pewaris. Dan hal ini pun dengan syarat bagiannya tidak kurang dari
seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Kalau jumlah harta waris setelah
dibagikan kepada ashhabul furudh tidak tersisa kecuali seperenam atau bahkan
kurang, maka tetaplah kakek diberi bagian seperenam (1/6) secara fardh, dan para
saudara kandung digugurkan atau dikurangi haknya. Ketetapan ini telah menjadi
kesepakatan bulat imam mujtahid.

Adapun bila cara pembagian --setelah para ashhabul furudh mengambil bagiannya--
bagian sang kakek lebih menguntungkannya, maka hendaknya dibagi dengan cara itu.
Dan jika sepertiga (1/3) sisa harta waris yang ada malah lebih menguntungkannya,
maka itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek tidaklah boleh kurang dari
seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Sebab bagian tersebut adalah bagiannya
yang telah ditentukan syariat.

Contoh Keadaan Kedua


Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakak, dan saudara
kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami faradh-nya setengah
(1/2) karena pewaris tidak mempunyai anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakak
seperempat dan saudara kandung laki-laki juga seperempat.

Pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan cara
pembagian. Sebab dengan pembagian ia mendapatkan bagian lebih dari seperenam
(1/6).

Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua saudara kandung
laki-laki dan dua saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut:
ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) dari sisa harta
yang ada, dan sisanya dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan, dengan
ketentuan bagi laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.

Dalam contoh kedua ini bagian kakek lebih menguntungkan, ia mendapatkan


sepertiga dari sisa harta setelah diambil hak sang ibu. Berarti kakek mendapat
sepertiga (1/3) dari lima per enam (5/6).

Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek,
kakek, dan tiga saudara kandung perempuan. Pembagiannya sebagai berikut: bagi
anak perempuan setengah (1/2), nenek seperenam (1/6), kakek seperenam (1/6), dan
sisanya dibagikan kepada para saudara kandung perempuan sesuai jumlah orangnya
secara rata.

Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami,
kakek, dan empat saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
suami mendapat seperempat (1/4), lima anak perempuan mendapat dua per tiga (2/3),
dan kakek mendapat seperenam (1/6), sedangkan empat saudara laki-laki tidak
mendapatkan apa-apa. Hal ini telah disepakati ulama mujtahid.

Contoh kelima: seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak
perempuan, seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu, dan
sepuluh saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: untuk
kedua orang istri seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), dan cucu
perempuan keturunan dari anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua
per tiga (2/3), ibu mendapatkan seperenam (1/6), dan sang kakek juga seperenam.
Sedangkan sepuluh saudara kandung perempuan tidak mendapatkan apa-apa sebab
ashhabul furudh telah menghabiskan bagian yang ada.

E. Bila Saudara Kandung dan Seayah Mewarisi bersama Kakek

Persoalan yang saya jelaskan sebelumnya berkisar mengenai bagian kakek bila hanya
bersamaan dengan saudara kandung. Pada bagian ini akan dijelaskan bagian kakek
jika ia tidak hanya bersama dengan saudara kandung, tetapi sekaligus bersama dengan
saudara seayah. Untuk keadaan seperti ini, ulama faraid menyatakan bahwa para
saudara seayah dikategorikan sama dengan saudara kandung, mereka dianggap satu
jenis.

Apabila pemberian dilakukan secara pembagian, keberadaan saudara seayah dalam


keadaan seperti ini dikategorikan sebagai merugikan kakek. Meskipun setelah kakek
mendapatkan bagian, seluruh sisa harta waris yang ada hanya menjadi hak para
saudara kandung -- sebab jika saudara kandung dan seayah bersama-sama, maka
saudara seayah mahjub, haknya menjadi gugur.

Akan tetapi, jika saudara seayah mewarisi bersama kakek dan seorang saudara
kandung perempuan, maka para saudara laki-laki seayah akan mendapatkan bagian
sisa harta yang ada, setelah diambil hak saudara kandung perempuan (1/2) dan hak
kakek (1/3).

Agar persoalan ini tidak terlalu kabur dan membingungkan saya sertakan beberapa
contoh kasus.

Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan kakek, saudara kandung laki-
laki dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya sebagai berikut: kakek
mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan saudara kandung laki-laki memperoleh dua per
tiga (2/3) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah mahjub (terhalangi) karena
adanya saudara kandung laki-laki.

Dalam contoh pertama, saudara laki-laki dikategorikan sebagai ahli waris, karena itu
bagian kakek sepertiga (1/3), hak saudara kandung laki-laki dua per tiga (2/3),
sedangkan saudara laki-laki seayah terhalangi oleh adanya ahli waris yang lebih kuat
dan dekat, yakni saudara kandung laki-laki.

Jumlah sepertiga (1/3) bagi kakek dalam contoh kasus ini sesuai dengan kaidah yang
ada: "hendaklah kakek diberi dengan salah satu dari dua cara yang paling
menguntungkannya, mendapat sepertiga harta waris atau dengan cara pembagian".
Kebetulan dalam kasus ini kedua cara pemberian waris bagi kakek menghasilkan
bagian yang sama, yaitu sepertiga.

Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung


perempuan, kakek, seorang saudara laki-laki seayah, dan dua orang saudara
perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: saudara kandung perempuan
mendapat setengah (1/2) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, sedangkan
sisanya diberikan kepada para saudara laki-laki dan perempuan seayah --dengan
ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.

Pada contoh kedua ini, saya langsung memberikan hak kakek sepertiga (1/3), tanpa
menggunakan cara pembagian. Karena sebagaimana telah saya kemukakan bahwa
keberadaan para saudara laki-laki/perempuan seayah sebagai perugi, yakni merugikan
kakek pada cara pembagian. Kalaulah pemberian kepada kakak dalam contoh ini
menggunakan cara pembagian, tentu hal ini akan merugikannya karena ia akan
menerima bagian kurang dari sepertiga (1/3) harta waris yang ada. Oleh sebab itu,
saya berikan haknya dengan cara yang paling menguntungkannya, yaitu sepertiga
(1/3).

Setelah itu saya berikan hak waris saudara kandung perempuan setengah secara fardh,
karena ia lebih kuat dan lebih dekat kekerabatannya terhadap pewaris dibandingkan
para saudara laki-laki/perempuan seayah. Sisanya barulah untuk mereka.

Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudara
kandung laki-laki, dan seorang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya
seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek memperoleh dua per
enam (2/6) bagian, dan sisanya diberikan kepada saudara kandung laki-laki. Dalam
hal ini saudara perempuan seayah gugur sebab ada saudara kandung, dan
keberadaannya hanya merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian.

Catatan

Pada contoh ketiga --seperti telah diutarakan-- keberadaan saudara laki-


laki/perempuan seayah merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian.
Kemudian, dalam masalah ini kita berikan nasib (bagian) saudara perempuan seayah
sebanyak dua per enam (2/6), dan itu menjadi bagian saudara laki-laki kandung, sebab
saudara perempuan seayah gugur haknya oleh adanya saudara laki-laki kandung. Bila
kita lihat secara seksama akan tampak oleh kita bahwa yang lebih menguntungkan
kakek dalam hal ini adalah cara pembagian, bukan dengan cara menerima sepertiga
(1/3) sisa harta waris setelah diambil ashhabul furudh -- dalam contoh ini adalah ibu.

Barangkali untuk lebih memperjelas masalah ini perlu pula saya sertakan tabelnya.

Masalahnya 12
Bagian ibu 1/6 secara fardh 2
Bagian kakek 2/6 secara pembagian dengan saudara kandung laki-laki 4
Bagian saudara kandung (sisanya) 6
Bagian saudara perempuan seayah mahjub 0
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, kakek, saudara
kandung perempuan, dan dua orang saudara seayah. Maka pembagiannya seperti
berikut: ibu memperoleh seperenam (1/6) bagian, kakek sepertiga (1/3), dan saudara
kandung perempuan mendapat setengah (1/2), sedangkan bagian dua orang saudara
seayah sisanya. Tabelnya sebagai berikut:

Masalahnya 12 dan naik menjadi 36


Bagian ibu 1/6 6
Bagian kakek 1/3 (sisa setelah diambil ibu) 10
Bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) 18
Bagian dua orang saudara laki-laki seayah (sisanya) 2

Catatan

Apabila pewaris hanya meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-saudara laki-
laki/perempuan seibu saja, maka seluruh warisan merupakan bagian kakek. Sebab,
seperti yang telah disepakati seluruh imam mujtahid, kakek dapat menggugurkan hak
waris saudara seibu. Dan hak waris saudara seibu hanyalah bila pewaris sebagai
kalalah, yakni tidak mempunyai pokok (ayah dan seterusnya) dan tidak pula
mempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).

Di samping itu, hal lain yang telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hak
waris dari keturunan para saudara kandung ataupun seayah menjadi gugur karena
adanya kakek. Misalnya, bila seseorang meninggal dan hanya meninggalkan kakek
serta anak saudaranya, maka seluruh warisannya menjadi hak kakek.

F. Masalah al-Akdariyah

Istilah al-akdariyah muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita
dari bani Akdar.

Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah
al-akdariyah --yang artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukup
mengotori mazhab Zaid bin Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah akan
kemahirannya dalam faraid, penj.). Dia pernah menghadapi masalah waris dan
memvonisnya dengan melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari
kaidah-kaidah faraid yang masyhur.

Permasalahannya seperti berikut: bila seseorang wafat dan meninggalkan seorang


suami, ibu, kakek, dan seorang saudara kandung perempuan. Apabila berpegang pada
kaidah yang telah disepakati seluruh fuqaha --termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit
sendirimaka pembagiannya adalah dengan menggugurkan hak saudara kandung
perempuan. Sebab, suami mendapat setengah (1/2), bagian, ibu mendapat sepertiga
(1/3) bagian, dan sisanya hanya seperenam (1/6) yang tidak lain sebagai bagian kakek
yang tidak mungkin digugurkan --karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebab
itu, sudah semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan karena tidak
ada sisa harta waris.
Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi kaidah
yang ada. Dia memberi saudara kandung setengah (1/2) bagian, dan menaikkan
masalahnya dari enam (6) menjadi sembilan (9). Kemudian ia menyatukan hak
saudara kandung perempuan dengan saham kakak, dan membaginya menjadi bagian
laki-laki dua kali lipat bagian wanita. Setelah ditashih, masalahnya menjadi dua puluh
tujuh (27), dan pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan (9) bagian,
ibu enam (6) bagian, kakek delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuan
empat (4) bagian.

Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan
Zaid bin Tsabit, sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua
imam tersebut.

Berikut ini saya sertakan tabelnya, dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinya
hingga setelah ditashih.

Masalahnya adalah dari enam (6)


Suami mendapat setengah (1/2) secara fardh 3
Ibu mendapat sepertiga (1/3) secara fardh 2
Kakek mendapat seperenam (1/6) sisanya/fardh-nya 1
Saudara kandung perempuan mahjub 0

Adapun tabel setelah ditashih menurut al-akdariyah seperti berikut:

Masalahnya naik dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)
Bagian suami menjadi 9
Bagian ibu menjadi 6
Bagian kakek menjadi 8
Bagian saudara kandung perempuan menjadi 4

Catatan

Dalam masalah al-akdariyah ini sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila ada
salah satu yang diubah, maka berarti telah keluar dari hukum tersebut. Wallahu a'lam.
VII. MASALAH AL 'AUL DANAR-RADD
A. Definisi al-'Aul

Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm
(aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:

"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)

Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang
artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampak
dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.

Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian
fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.

Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang
dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam
keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga
seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski
bagian mereka menjadi berkurang.

Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat
berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok
masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal
ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya
memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain,
bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.

B. Latar Belakang Terjadinya 'Aul

Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
kasus 'aul atau penambahan --sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian
waris-- tidak pernah terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah
Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali menambahkan
pokok masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika
fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."

Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan
meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur
dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2),
sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengan
demikian, berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian,
suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang
ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetap
menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.

Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku


tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang
diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuan
pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku
berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan
berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini
kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan
menganjurkan kepada Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid
dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat
menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul (penambahan)
fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.

C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-
'aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.

Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua
puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat,
yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

Sebagai contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan
suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai
berikut: pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan
bagian saudara kandung perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Maka
dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu
mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini
pokok masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.

Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan
saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya
dari empat (4), bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya
(yakni 3/4) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung
perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak
perempuan, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian,
anak setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung perempuan
menerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya
kemukakan semuanya tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau
tepat dengan bagian para ashhabul furudh.

Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kan


Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang
dapat di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24).
Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat
tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka
sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih
dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan
empat kali saja.

Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas
(17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas
(12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17).
Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali
saja.

Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua
puluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang
masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".

Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok


masalah yang di-'aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.

Beberapa Contoh Masalah 'Aul


1. Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu
perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian, bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian anak
perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) --sebagai
penyempurna dua per tiga-- berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada
'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, bagian
saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan bagian
saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh
kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok
masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian, jumlah
bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan,
dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu
seperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah
(1/2) berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti
satu bagian. Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok
masalah, yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu, asal pokok masalah
enam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah al-mubahalah.
4. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara
kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka
pembagianya seperti berikut: pokok masalahnya enam (6). Bagian suami
setengah (1/2) berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara kandung
perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat bagian, dan bagian dua saudara
laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena
itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian
sesuai dengan pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan
masalah marwaniyah.
5. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan
seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: pokok masalahnya enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu
seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga
(2/3) berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu
sepertiga (1/3) berarti dua bagian.

Dalam contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu
enam banding sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya
yang semula enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal
dengan istilah syuraihiyah.

Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)


Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-
kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17).
Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:

1. Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua
belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam
(1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung
perempuan dua per tiga (2/3) berarti delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya,
yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga
tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara
kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya
dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat
seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperoleh
setengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah
seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua pertiga-- berarti dua bagian, dan
bagian saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima
belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas
(15).
3. Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan
orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian
ketiga orang istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan
bagian kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi
kedelapan saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti delapan
bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yang
berarti empat bagian.
Dalam contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah
melampaui pokok masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu
pokok masalahnya harus di-'aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.

Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)


Pokok masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat
di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya
ada dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah.
Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah
ini sedang berada di atas mimbar (podium).

Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri,
ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka
pembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat
seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat
bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan
mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan
keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua
per tiga (2/3)-- berarti empat bagian.

Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau
yang menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu
kita harus meng-'aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang
harus diberikan kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah
al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan menjadi
angka dua puluh tujuh.

Catatan

1. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang
berhak mendapatkan bagian setengah (1/2) dari harta waris, kemudian yang
lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-
masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2), maka pokok masalahnya
dari dua (2), dan tidak dapat di-'aul-kan.
2. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang
berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lain sisanya, atau dua orang
ahli waris yang satu berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya
dua per tiga (2/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada 'aul.
3. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang
berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau dua
orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperempat (1/4) dan yang lain
berhak mendapat setengah (1/2), maka pokok masalahuya dari empat (4), dan
dalam hal ini tidak ada 'aul.
4. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang
berhak mendapat bagian seperdelapan (1/8) dan yang lain sisanya, atau dua
orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya
setengah, maka pokok masalahnya dari delapan, dan tidak ada 'aul.
D. Definisi ar-Radd

Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna


'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:

"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)

"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh
kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)

Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah,
palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).

Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah
dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan
kebalikan dari al-'aul.

Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul
furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih
tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta
waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan
bagian mereka masing-masing.

E. Syarat-syarat ar-Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat
seperti di bawah ini:

1. adanya ashhabul furudh


2. tidak adanya 'ashabah
3. ada sisa harta waris.

Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak
akan terjadi.

F. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd

Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri.
Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan
dari sisa harta waris yang ada.

Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:

1. anak perempuan
2. cucu perempuan keturunan anak laki-laki
3. saudara kandung perempuan
4. saudara perempuan seayah
5. ibu kandung
6. nenek sahih (ibu dari bapak)
7. saudara perempuan seibu
8. saudara laki-laki seibu

Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh
dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab
dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya
--ayah atau kakek-- -maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan
menerima waris sebagai 'ashabah.

G. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd

Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd
hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena
nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan
tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu
mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat
bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu
keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau
istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

H. Macam-macam ar-Radd

Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum
tersendiri. Keempat macam itu:

1. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
2. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
3. adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
4. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Hukum Keadaan Pertama


Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh dengan
bagian yang sama --yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat
bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya)-- dan dalam keadaan itu tidak
terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli
waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar lebih cepat
sampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah.

Sebagai misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka
pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai
fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu
pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan
ahli waris dari bagian yang sama.

Contoh lain, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung
perempuan, maka pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secara
fardh dan ar-radd.
Misal lain, seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan
seibu. Maka pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama.

Hukum Keadaan Kedua


Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam --dan tidak ada
salah satu dari suami atau istri-- maka cara pembagiannya dihitung dan nilai
bagiannya, bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal, seseorang wafat
dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka
pembagiannya, bagi ibu seperenam (1/6), untuk kedua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3). Di sini tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka yang dijadikan
pokok masalah, yakni tiga.

Contoh-contoh keadaan kedua


1. Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu
perempuan keturunan anak lak-laki. Maka pokok masalahnya dari empat,
karena jumlah bagiannya ada empat.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan,
serta saudara laki-laki seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah
pokok masalahnya.
3. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta
seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlah
bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
4. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudara
perempuan seayah. Maka pokok masalahnya empat, karena jumlah bagiannya
empat.
5. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya
lima, karena jumlah bagiannya adalah lima.

Begitu seterusnya, yang penting tidak ada salah satu dari suami atau istri.

Hukum keadaan Ketiga


Apabila para ahli waris semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai salah
satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok
masalahnya dari sahib fardh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah
sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan.
Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat)
dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok
masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu,
dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara
rata.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-
laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari
empat, karena angka itu diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu
istri, yang bagiannya dalam keadaan demikian seperempat (1/4).

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak
perempuan. Pokok masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardh
yang tidak dapat di-radd-kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka istri mendapatkan
seperdelapan (1/8) bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya tujuh per
delapan (7/8) merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di
antara mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan setelah ditashih pokok masalahnya
menjadi empat puluh, hitungan (bagiannya) sebagai berikut: ibu mendapatkan
seperdelapan dari empat puluh, berarti lima bagian, sedangkan sisanya --tiga puluh
lima bagian-- dibagikan secara merata kepada kelima anak perempuan pewaris,
berarti masing-masing menerima tujuh bagian.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anak
perempuan. Dalam hal ini pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai
sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkan
seperempat (1/4) bagian, sedangkan sisanya --tiga per empat (3/4)-- dibagi secara
merata untuk keempat anak perempuan pewaris.

Dalam contoh ini juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karena
itu, pokok masalah yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehingga
pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4) dari enam belas berarti
empat bagian. Sedangkan sisanya dua belas bagian dibagikan secara merata kepada
keempat anak perempuan pewaris. Dengan demikian, setiap anak memperoleh tiga
bagian.

Hukum keadaan Keempat


Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dan
di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kita
harus menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak
menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau
istri. Kemudian kita buat diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah kita lihat
kedua ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga kriteria yang ada, mana yang
paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang dimaksud ialah tamaatsul (kemiripan),
tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).

Untuk lebih memperjelas masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contoh
kasusnya:

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan
seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:


Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari jumlah
bagian yang ada).

Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian.


Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.

Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:


Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat
di-radd-kan, yaitu istri.

Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian.

Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan
seibu.

Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian
nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga
tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.

Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta
waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan
masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah kita jadikan
ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.

Contoh lain: seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu.

Pada ilustrasi pertama --tanpa menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari
enam, dan dengan ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian yang ada.

Sedangkan dalam ilustrasi kedua --menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya


dari delapan, karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-kan, yakni istri.

Apabila istri mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya tujuh per
delapan (7/8), dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secara
fardh dan radd.

Seperti kita ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian
langkah berikutnya kita kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok
masalah pertama (lima). Maka hasil perkalian antara kedua pokok masalah itu adalah
pokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut.

Kini, setelah kita kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, maka
bagian istri adatah seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada, berarti ia
mendapat lima (5) bagian.

Bagian kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri --yang
tersisa tiga puluh lima (35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut: bagian
kedua anak perempuan adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam ilustrasi
pertama) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian pada ilustrasi kedua) berarti dua
puluh delapan (28) bagian.
Adapun bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama
(satu bagian) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi kedua) berarti
tujuh (7) bagian.

Jadi, dari jumlah keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak
perempuan, ditambah bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40. Lihat tabel berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami/istri


Pokok masalahnya aslinya dari 65, dengan radd, menjadi 5
Bagian kedua anak perempuan 2/3 berarti 4
Bagian ibu seperenam (1/6) berarti 1
Jumlah bagian 5

Ilustrasi kedua dengan menyertakan suami/istri

Pokok masalah dari delapan, diambil dari ahlul fardh setelah tashih
40
yang tak dapat di-radd menjadi
Bagian istri 1/8, berarti 1 setelah tashih 5
Bagian dua anak perempuan dan ibu 7
setelah tashih bagian anak perempuan 4x7 28
bagian ibu 4x7 7
VIII. PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHAN
MENGETAHUI pokok masalah merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji
ilmu faraid. Hal ini agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris,
hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak
masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid dikenal
dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalam
hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian
hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama
ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar
(maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.).

Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli
warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya
termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara
'ashabah dengan ashhabul furudh.

Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya
dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat
dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau
seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok
masalahnya dari sepuluh.

Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu
anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini
diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.

Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki
dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila
mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok
masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.

Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang
sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan
seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua
(2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga
setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --
misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya
dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari
tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok
masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.

Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --
yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan
sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan,
yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (saling
berpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh
para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk
memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang
mempunyai bagian berbeda-beda.

Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:

Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).

Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2,
1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila
dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat
(1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).

Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh
setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat
dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila
dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan
seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok
masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam.
Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.

Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh
kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6)
diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang
dimaksud seperti tersebut di bawah ini:

1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau
semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
3. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).

Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, perlu saya utarakan beberapa contoh.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan
paman kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: suami mendapat setengah
(1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga (1/3), sedangkan paman
sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerima
bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.

Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2)
dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua.
Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam. Lihat
diagram:
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2) 3
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6) 1
Ibu sepertiga (1/3) 2
Paman kandung, sebagai 'ashabah 0

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki
seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:
bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang
termasuk kelompok pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka
berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut
merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga
(sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:

Pokok masalah dari dua belas (12)


Istri seperempat (1/4)) 3
Ibu seperenam (1/6) 2
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) 4
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya) 3

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya
sebagai berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2),
cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan saudara
kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta waris bila
ternyata masih tersisa.

Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok
pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah
yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini
tabelnya:

Pokok masalah dari 24


Bagian istri seperdelapan (1/8) berarti 3
Bagian anak perempuan setengah (1/2) berarti 12
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6) berarti 4
Bagian ibu seperenam (1/6) berarti 4
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa) 1
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai
hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24).
Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti
ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih,
karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan
dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.

A. Tentang Tashih

Agar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, maka
kita harus mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat istilah perhitungan.
Yaitu, at-tamaatsul (kemiripan/kesamaan), at-tadaakhul (saling terkait/saling
bercampur), at-tawaafuq (saling bertautan), dan at-tabaayun (berbeda/saling
berjauhan).

Apabila pokok masalah --harta waris-- dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai)
dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu
menggunakan cara-cara yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta waris
tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau jumlah
bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini
memerlukan pentashihan pokok masalahnya.

Definisi Tashih
Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut
ulama ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli
waris tanpa pecahan dalam pembagiannya.

Definisi at-Tamaatsul
At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'.
Sedangkan menurut ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang satu
tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga berarti sama
dengan tiga, dan lima sama dengan lima, dan seterusnya.

Definisi at-Tadaakhul
At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan kata
dari "keluar". Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang besar
oleh angka yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi angka atau
jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8) dengan angka empat (4), angka
delapan belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27) dengan angka
sembilan (9).

Definisi at-Tawaafuq
At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah ilmu
faraid ialah setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga menurut
mereka di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka 8 dengan 6
keduanya dapat dibagi oleh angka 2. Angka 12 dengan angka 30 sama-sama dapat
dibagi oleh angka 6. Angka 8 dengan 20 sama-sama dapat dibagi oleh angka 4,
demikian seterusnya.

Definisi at-Tabaayun
At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau saling
berbeda. Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap bilangan yang
satu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat dibagi oleh bilangan
lain (ketiga). Misalnya angka 7 dengan angka 4, angka 8 dengan 11, angka 5 dengan
9.

Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, kita bandingkan pengertiannya


dengan istilah lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, maka
kedua bilangan itu tadaakhul. Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angka
yang kecil --tetapi dibagi angka yang lain-- maka kedua bilangan itu ada tawaafuq.
Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain, maka disebut
tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama, maka di antara kedua bilangan
tersebut adalah mutamaatsilan.

B. Cara Mentashih Pokok Masalah

Setelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-


tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat atau
memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,

Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan


pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan,
penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam
pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha
mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak
mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat
baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang
menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam.

Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkah
pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per
kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang
berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan.
Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris
yang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum
mendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal
itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per
kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah per
kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah atau
dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari
6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya
dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu
yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok
masalah" oleh kalangan ulama faraid.

Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan


dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us
sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada
pokok masalah.

Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehingga
pembaca dapat lebih memahaminya.

Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah


Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu
perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3)
berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga
seperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang,
penj.).

Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian
yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan
pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak
perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam
pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima satu bagian.

Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara
perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh
(7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara
perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat
saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.

Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak
memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang
dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang
mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat bagian,
maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak
memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa
contoh masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul.

Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8)
anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga
(2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya
(satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.
Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak
perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua
itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahm
kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam
(6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung
perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9).
Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara
kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua
saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.

Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para
saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2).
Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita
kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3
x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok
masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat
sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian,
dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti
tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu
perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian,
dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin
nafsihi. Inilah tabelnya:

3
12 36
Suami 1/4 3 9
Anak perempuan 1/2 6 18
Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 2 6
Saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 3

Berdasarkan tabel tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan keturunan anak
laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun
(perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12
= 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil pentashihan.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu,
dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokok
masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima
anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4,
dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki
mahjub (terhalang). Inilah tabelnya:
5
24 27 135
Istri 1/8 3 15
Lima anak perempuan 2/3 16 80
Ayah 1/6 4 20
Ibu 1/6 4 20
Saudara kandung laki-laki (mahjub) - -

Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagi
oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun
(perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27)
dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka itu merupakan pokok
masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan juz'us sahm.

Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan,
dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu.
Pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan
mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-
laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan
tabel berikut:

28
24 672
3 istri bagiannya 1/8 3 84
7 anak perempuan 2/3 16 448
2 orang nenek 1/6 4 112
saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 28
Saudara laki-lah seibu (mahjub - -

Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per
kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian keempat
saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka ada
perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan
jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara
kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us
sahm. Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24
= 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihan
seperti ini dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain.

C. Pembagian Harta Peninggalan

At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan


yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan
itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian
yang harus mereka terima.

Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa cara
yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua -
- dalam hal yang berkenaan dengan harta yang dapat ditransfer.

Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan
dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian masing-
masing ahli waris.

Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh.
Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan
jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokok
masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari masing-masing ahli
waris.

Contoh Cara Pertama


Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan
harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak
perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan
sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.

Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada
(480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per
bagian.

Jadi, bagian istri 3 bagian x 20 dinar = 60 dinar


Anak perempuan 12 bagian x 20 dinar = 240 dinar
Ibu 4 bagian x 20 dinar = 80 dinar
Ayah ('ashabah) 5 bagian x 20 dinar = 100 dinar
Total = 480 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan,
ibu, suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada
sebanyak 960 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12
kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang
berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh
1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung
perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti berikut:

2
12 24
24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 6 12
Suami 1/4 1/4 3 6
Ibu 1/6 1/6 2 4
2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair) 1 2

Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing ahli
waris:

Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki 12 x 40 dinar = 480 dinar


Suami 6 x 40 dinar = 240 dinar
Ibu 4 x 40 dinar = 160 dinar
Dua saudara kandung perempuan 2 x 40 dinar = 80 dinar
Total = 960 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak
laki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya
3.000 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian
ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan
1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan
bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4
bagian (masing-masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian
(masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub. Simak tabel
berikut:

2
6 12
Empat anak perempuan 4 4
Dua anak laki-laki 3 4
Ayah 1/6 1 2
Ibu 1/6 1 2
Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub) - -

Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar

Jadi, Jadi bagian 4 anak perempuan 4 x 250 dinar = 1.000 dinar


dua anak laki-laki 4 x 250 dinar = 1.000 dinar
ibu 2 x 250 dinar = 500 dinar
ayah 2 x 250 dinar = 500 dinar
Total = 3.000 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan,
dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya
9.900 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian
di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9. Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara
kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti
2, sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel berikut:

6 9
Suami 1/2 3
Saudara kandung perempuan 1/2 3
Saudara laki-laki seibu 1/3 2
Nenek 1/6 1

Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar

Jadi, Suami 3 x 1.100 dinar = 3.300 dinar


Saudara perempuan kandung 3 x 1.100 dinar = 3.300 dinar
Dua saudara laki-laki seibu 2 x 1.100 dinar = 2.200 dinar
Nenek 1 x 1.100 dinar = 2.200 dinar
Total = 9.000 dinar

Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki,
sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka pembagiannya seperti
berikut:

Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4
(berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan
2/3 (berarti 8 bagian).

Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka
tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul
furudh. Perhatikan tabel berikut:

12 13
Suami 1/4 3
Ibu 1/6 2
Dua anak perempuan 2/3 8
Tiga cucu perempuan
'ashabah -
Dua cucu perempuan
Jadi, Suami 3 x 585:13 dinar = 135 dinar
Ibu 2 x 585:13 dinar = 90 dinar
Dua anak perempuan 8 x 585:13 dinar = 360 dinar
Total = 585 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah
240 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian
ditashih menjadi 24, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2
(berarti 12 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4
(berarti 6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.

12 24
Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 6 12
Ibu 1/6 2 4
Suami 1/4 3 6
Dua saudara kandung ('ashabah) 1 2
Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 x 240:24 dinar = 120 dinar
Ibu 4 x 240:24 dinar = 40 dinar
Suami 6 x 240:24 dinar = 60 dinar
Dua saudara kandung ('ashabah) 2 x 240:24 dinar = 20 dinar
Total = 240 dinar

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan,
saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan keturunan
anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6, ibu mendapatkan 1/6 (berarti
satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian), dan sisanya --dua bagian--
menjadi hak kedua saudara perempuan kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli
waris yang lain ter- mahjub. Inilah tabelnya:

6
Ibu 1/6 1
Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 3
Dua saudara kandung pr. ('ashabah) 2
Saudara perempuan seayah,
-
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub)

Masalah Dinariyah ash-Shughra


Ada dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyah
ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra memiliki
pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya
menerima satu dinar.

Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2)
orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara
perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17. Tiga orang istri
mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2
bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian),
sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian).
Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun
17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti ini
disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:

12 17
Ke-3 istri 1/4 3 masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Kedua nenek 1/6 2 masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-8 sdr. pr. seayah 2/3 8 masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-4 sdr. pr. seibu 1/3 4 masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Masalah Dinariyah al-Kubra


Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang
ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-
masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan bagian satu (1)
dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan sebagian lagi ada yang
mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut ad-
dinariyah al-kubra.

Contoh masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat meninggalkan istri,
ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara
kandung perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih
menjadi 600. Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4
bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1)
bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara
kandung perempuan sebagai 'ashabah.

Jadi, bagian Istri 3 x 600:24 dinar = 75 dinar


Ibu 4 x 600:24 dinar = 100 dinar
Kedua anak perempuan 16 x 600:24 dinar = 400 dinar
Total = 575 dinar

Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan
mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anak
laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar dibagikan
kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan masing-masing mendapat dua (2) dinar,
dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung perempuan. Berikut ini tabelnya:

25
24 600
Istri 1/8 3 75
Ibu 1/6 4 100
Kedua anak perempuan 2/3 16 100
12 saudara kandung laki-laki 1 24
1 saudara kandung perempuan ('ashabah) 1
Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih
(seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan
memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi,
wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnya
hingga memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.

Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak
menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi
Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak
perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanita
tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidak
kurang."

Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa
hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang
diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab
IX. HUKUM MUNASAKHAT
A. Definisi Munasakhat

Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan',


misalnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil
(memindahkan) kepada lembaran lain'; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti
'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.

Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah


SWT berikut:

"... Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-
Jatsiyah: 29)

Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut:

"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu?" (al-Baqarah: 106)

Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya


sebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah
kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia
belum menerima hak warisnya (karena memang belum dibagikan), maka hak
warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatu
masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah.

Al-munasakhat mempunyai tiga macam keadaan:


Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan
sosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan
cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan
meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak itu ada
yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali
saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikan
kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidak
ada dari awalnya.

Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris dari
pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka
terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri yang
pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri kedua
mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal, berarti ia
meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga perempuan).
Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta waris
peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok
ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat
perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan yang
pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi
dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadap
yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan
sebagai saudara kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda,
dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut oleh kalangan
ulama faraid sebagai masalah al-jami'ah.

Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris
pertama. Atau sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima
waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam hal
seperti ini kita juga harus melakukan teori al-jama'iyah, sebab pembagian bagi tiap-
tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan.

B. Rincian Amaliah al-Munasakhat

Sebelum kita melakukan rincian tentang amaliah al-munasakhat, kita terlebih dahulu
harus melakokan langkah-langkah berikut:

1. Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan memberikan hak waris


kepada setiap ahlinya, termasuk hak ahli waris yang meninggal.
2. Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan dengan kematian pewaris
kedua, tanpa mempedulikan masalah pertama.
3. Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam masalah pertama, dengan
pentashihan masalah dan para ahli warisnya dalam masalah kedua.
4. Perbandingan antara keduanya itu dalam kecenderungannya terhadap ketiga
nisbat, yaitu al-mumatsalah, al-muwafaqah, dan al-mubayanah. Bila antara
keduanya --yakni antara bagian pewaris yang kedua dan masalah ahli warisnya
yang lain-- ada mumatsalah (kesamaan), maka dibenarkan kedua masalah
hanya dengan tashih yang pertama (lihat tabel).

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan tiga anak perempuan, dua saudara
kandung perempuan, dan seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian salah seorang
saudara kandung perempuan itu meninggal. Berarti ia meninggalkan seorang saudara
kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari tiga (3). Ketiga anak perempuan mendapat 2/3
(2 bagian). Dan sisanya (satu bagian) merupakan hak para 'ashabah (yakni dua
saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki).

Kemudian kita lihat jumlah per kepalanya ada tabayun (perbedaan), maka 3 x 4 = 12.
Kemudian angka ini kita kaLikan dengan pokok masalahnya, berarti 3 x 12 = 36.
Bilangan inilah yang kemudian menjadi pokok masalah hasil pentashihan. Jadi,
pembagiannya seperti berikut: ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (24 bagian), dan
sisanya (12 bagian) dibagikan untuk dua orang saudara kandung perempuan dan
seorang saudara kandung laki-laki, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian
anak perempuan, jadi setiap saudara kandung perempuan mendapat tiga (3) bagian,
dan saudara laki-laki kandung enam (6) bagian.
Kemudian, kita lihat antara bagian pewaris kedua (yaitu 3) dengan pokok masalahnya
(juga dari 3) ada kesamaan (tamatsul). Karena itu, al-jami'ah di sini sama dengan hasil
pentashihan pada masalah yang pertama (yakni dari 36).

Kemudian, hak waris/bagian saudara kandung perempuan yang meninggal (3 bagian)


hanya dibagikan kepada ahli waris, yaitu seorang saudara kandung perempuan dan
seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian, hasil pembagian itu ditambahkan pada
hasil bagian mereka yang pertama. Maka, bagian saudara kandung perempuan
menjadi empat (4): tiga (3) bagian --yang diperolehnya dari masalah pertama--
ditambah dengan bagian yang berasal dari saudara kandung perempuan yang
meninggal, yaitu satu (1) bagian (3 + 1 = 4).

Sedangkan saudara kandung laki-laki mendapatkan dua (2) bagian, yang kemudian
ditambahkan dengan perolehannya dari peninggalan pada masalah pertama, yaitu
enam (6) bagian. Maka saudara laki-laki kandung memperoleh delapan (8) bagian.

Adapun tiga anak perempuan pewaris pertama, dalam masalah kedua ini tidak
mendapatkan hak waris, disebabkan kedudukannya hanyalah sebagai keponakan
pewaris kedua, yakni anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris kedua. Karena
itu, mereka mahjub. Berikut ini saya sertakan tabelnya:

Jumlah kepala Tashih masalah ke I al-Jami'ah


12 3 36 3 36
3 anak pr. 2/3 2 24 - 24
Sdr. kandung pr. 3 meninggal - -
Sdr. kandung pr. 1 3 Sdr. kandung pr. 1 3+1=4
Sdr. kandung lk. 6 Sdr. kandung lk. 2 6+2=8

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, ibu, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki. Kemudian cucu tersebut meninggal dengan meninggalkan
suami, ibu, tiga anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti
berikut:

Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24). Istri mendapatkan 1/4 (3 bagian), ibu
1/6 (4 bagian), cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 (12 bagian), sedangkan
sisanya (lima bagian) merupakan bagian ayah sebagai jumlah 'ashabah. Jumlah
semuanya adalah dua puluh empat (24) bagian.

Kemudian, kita lihat al-jami'ah dalam masalah ini sama dengan pokok masalah
pertama, yaitu dua puluh empat (24). Hal ini karena kita dapati bagian pewaris kedua
(cucu perempuan keturunan anak laki-laki) dalam masalah pertama ada tamatsul
(kesamaan) dengan pokok masalah yang kedua. Dalam keadaan demikian, kaidah
yang berlaku di kalangan ulama faraid adalah kita menjadikan pokok masalah
pertama sebagai al-jami'ah, yang berarti bagian pewaris kedua hanya dibagikan
kepada ahli warisnya. Oleh sebab itu, kita tidak lagi membuat al-jami'ah yang baru,
tetapi cukup menjadikan al-jami'ah yang pertama itu berlaku pada masalah kedua.
Berikut ini tabelnya:
Pokok Masalah Pokok Masalah al-
I II Jami'ah
24 12 24
Istri 1/8 3 3
Ibu 1/6 4 - 4
Ayah ('ashabah) 5 - 5
Cucu pr. keturunan anak lk.
12 meninggal -
1/2
Suami 1/4 3 3

Contoh yang memiliki kasus al-mubayanah: seseorang wafat dan meninggalkan


suami, ayah, ibu, dan dua anak perempuan. Kemudian suami wafat dan meninggalkan
saudara kandung perempuan, ibu, istri, dan saudara laki-laki seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari dua belas (12) kemudian di-'aul-kan menjadi lima belas (15).
Sedangkan pokok masalah yang kedua dari dua belas (12) yang di-'aul-kan menjadi
tiga belas (13).

Suami mendapatkan seperempat (1/4) berarti tiga bagian. Ayah mendapatkan


seperenam (1/6) berarti dua bagian, begitu juga dengan bagian ibu yakni seperenam
(1/6), berarti dua bagian.

Kemudian dua anak perempuan mendapatkan dua per tiga (2/3) berarti delapan (8)
bagian. Jumlahnya lima belas (15) bagian.

Kemudian, antara masalah yang pertama dengan masalah yang kedua ada mubayanah
(perbedaan), karenanya kita kalikan pokok masalah pertama (yakni 15) dengan pokok
masalah yang kedua (yakni 13). Maka hasil dari perkalian itu (yakni 15 x 13 = 195)
merupakan al-jami'ah (penyatuan) antara dua masalah.

Lalu kita tempatkan bagian pewaris yang kedua (suami, yang mendapat tiga bagian)
di atas pokok masalah kedua, dan ini merupakan juz'us sahm (bagian dari bagian hak
waris). Juz'us sahm ini kemudian kita kalikan dengan bagian tiap-tiap ahli waris yang
ada, maka akan merupakan hasil bagian ahli waris dari al-jami'ah (penyatuan dari dua
masalah). Untuk lebih meyakinkan kebenaran masalah kedua ini, kita lihat hasil
perkaliannya: perkalian antara juz'us sahm yaitu tiga (3) dengan pokok masalahnya
setelah di-'aul-kan, berarti 3 x 13 = 39. Maka angka 39 ini merupakan jumlah bagian
seluruh ahli waris dalam masalah kedua. Lihat tabel berikut:

13 3
12 15 12 13 39
Suami 1/4 3 meninggal - -
Ayah 1/6 2 - 26
Ibu 1/6 2 - 26
2 anakperempuan (2/3) 8 - 104
Sdr. Kandung perempuan (2/3) 6 18
Ibu 1/6 2 6
Istri 1/4 3 9
Sdr. laki-laki seibu 1/6 2 6

Catatan

Kemungkinan besar dapat pula terjadi adanya al-jami'ah lebih dari satu. Misalnya,
dalam suatu keadaan pembagian waris salah seorang ahli warisnya wafat sebelum
pembagian, kemudian ada lagi yang meninggal, dan seterusnya. Maka jika terjadi hal
seperti ini, kita tetap harus menempuh cara seperti yang telah kita tempuh dalam al-
munasakhat, takni kita tempatkan tashih kedua pada posisi pertama, dan tashih ketiga
pada posisi kedua, dan seterusnya. Dan hasilnya dinamakan al-jami'ah kedua, al-
jami'ah ketiga, dan seterusnya.

Untuk menjelaskan hal ini perlu kiranya saya kemukakan contoh tentang bentuk al-
jami'ah yang lebih dari satu ini. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan suami,
saudara perempuan seibu, dan paman kandung (saudara ayah). Kemudian suami wafat
dan meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ayah,
dan ibu. Kemudian anak perempuan juga meninggal, dan meninggalkan nenek, dua
saudara kandung perempuan, dan dua saudara laki-laki seibu. Perhatikan tabel
berikut:

2 1 7 3 8
6 6 12 6 7 84
Suami 1/2 3 meninggal -
Sdr.pr. seibu 1/6 1 2 14
Paman ('ashabah) 2 4 28
Anak perempuan 1/2 3 3 meninggal
Cucu pr. 1/6 1 1 - 7
Ayah 1/6 1 1 - 7
Ibu 1/6 1 1 - 7
Nenek 1/6 1 3
2 sdr. kandung pr. 2/3 4 12
2 sdr. lk. saudara seibu 1/3 2 6

C. At-Takharuj min at-Tarikah

Yang dimaksud dengan at-takharuj min at-tarikah ialah pengunduran diri seorang ahli
waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar'i). Dalam hal
ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah
seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dalam
syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.
Syariat Islam juga memperbolehkan apabila salah seorang ahli waris menyatakan diri
tidak akan mengambil hak warisnya, dan bagian itu diberikan kepada ahli waris yang
lain, atau siapa saja yang ditunjuknya. Kasus seperti ini di kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah "pengunduran diri" atau "menggugurkan diri dari hak
warisnya".

Diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf r.a. adalah seorang sahabat yang
mempunyai empat orang istri. Ketika ia wafat, salah seorang istrinya, Numadhir binti
al-Asbagh, menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil hak waris sekadar
seperempat dari seperdelapan yang menjadi haknya. Jumlah yang diambilnya --
sebagaimana disebutkan dalam riwayat-- ialah seratus ribu dirham.

Tata Cara Pelaksanaannya


Apabila salah seorang ahli waris ada yang menyatakan mengundurkan diri, atau
menyatakan hanya akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, maka ada dua
cara yang dapat menjadi pilihannya. Pertama, ia menyatakannya kepada seluruh ahli
waris yang ada, dan cara kedua, ia hanya memberitahukannya kepada salah seorang
dari ahli waris yang ditunjuknya dan bersepakat bersama.

Cara pertama: kenalilah pokok masalahnya, kemudian keluarkanlah bagian ahli waris
yang mengundurkan diri, sehingga seolah-olah ia telah menerima bagiannya, dan
sisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa bagian yang ada
itulah pokok masalahnya.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri.
Kemudian sebagai misal, pewaris meninggalkan sebuah rumah, dan uang sebanyak
Rp 42 juta. Kemudian istri menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil rumah,
dan menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah Rp 42
juta itu. Dalam keadaan demikian, maka warisan harta tersebut hanya dibagikan
kepada anak perempuan dan ayah. Lalu jumlah bagian kedua ahli waris itulah yang
menjadi pokok masalahnya. Rincian pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24), kemudian kita hilangkan (ambil) hak
istri, yakni seperdelapan dari dua puluh empat, berarti tiga (3) saham. Lalu sisanya
(yakni 24 - 3 = 21) merupakan pokok masalah bagi hak ayah dan anak perempuan.
Kemudian dari pokok masalah itu dibagikan untuk hak ayah dan anak perempuan.
Maka, hasilnya seperti berikut:

Nilai per bagian adalah 42.000.000: 21 = 2.000.000


Bagian anak perempuan adalah 12 x 2.000.000 = 24.000.000
Bagian ayah 9 x 2.000.000 = 18.000.000
Total = 24.000.000 + 18.000.000 = 42.000.000

Cara kedua: apabila salah seorang ahli waris menyerahkan atau menggugurkan
hakuya lalu memberikannya kepada salah seorang ahli waris lainnya, maka
pembagiannya hanya dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yang
mengundurkan diri itu kepada bagian orang yang diberi. Misalnya, seseorang wafat
dan meninggalkan seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki.
Kemudian anak perempuan itu menggugurkan haknya dan memberikannya kepada
salah seorang dari saudara laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah disepakati
oleh keduanya. Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri dan kedua
anak laki-laki, sedangkan bagian anak perempuan dilimpahkan kepada salah seorang
saudara laki-laki yang diberinya hak bagian. Perhatikan tabel berikut:

Pokok masalah 8 Tashih 40 40


Isteri 1/8 1 5 5
Anak laki laki ('ashabah) 14 14
Anak laki laki ('ashabah) 7 14 14+14
Anak perempuan ('ashabah) 7 -

Maka, pokok masalahnya dari delapan, dan setelah ditashih menjadi empat puluh. Istri
mendapat seperdelapan (1/8) berarti lima (5) bagian, dan bagian setiap anak laki-laki
empat belas (14) bagian, dan sisanya --yakni tujuh bagian-- adalah bagian anak
perempuan. Kemudian, hak anak perempuan itu diberikan kepada salah seorang
saudara laki-lakinya yang ia tunjuk sebelumnya.
X. HAK WARIS DZAWIL ARHAM
A. Definisi Dzawil Arham

Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab
berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian
dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak
ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal
mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna
'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allah
berfirman:

"... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. " (an-Nisa': 1)

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka
bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Muhammad: 22)

Rasulullah saw. bersabda:

"Barangsiapa yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan


ajalnya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan
lainnya)

Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat
pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an
ataupun Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil
arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah.
Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan
pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula
secara 'ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara
laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak
perempuan, dan sebagainya.

B. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham

Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama
halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah
saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak
berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak
ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu
dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan
masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta
tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat
demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat
darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i
rahimahumullah.

Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak
mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima
harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham adalah
lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab mereka
memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan untuk
menerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama,
di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga
merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.

Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan
pertama) ialah:

1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya
nash syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu
pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk
mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham)
berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini
menurut syariat Islam adalah batil.

2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupun
dari ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan
kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun."

Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun
saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak
berhak untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin
dan tidak dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan
bibi tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah
tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian
bahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, maka
tidak pula kepada kerabat yang lain.

3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik
dari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmal
akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan
faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya,
maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja
yang merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa
kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas
dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang
tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para kerabat.

Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan
bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari
pendapatnya itu dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang
dimaksud ialah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau
bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk
mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang
berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain
keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan
rahim atau lebih umumnya hubungan darah.

Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun
mereka, baik ashhabul furudh, para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalah
yang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila
pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka
berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain.
Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak
waris ketimbang baitulmal.

Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain:

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisa': 7)

Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita
mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit
ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud
dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham)
berhak untuk menerima warisan.

Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-
mansukh (menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaum
muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini,
maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham).
Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima harta
peninggalan seorang pewaris.

Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah
riwayat masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjah
meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah
engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu
dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya
anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir.
Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu
Lubabah bin Abdul Mundzir.

Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan
kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan
pemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan
dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata
pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para
'ashabah.

Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu
Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan
bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan
seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni
saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada
Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena
sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai
keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya."

Atsar ini --yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.---
merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris
peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk
menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari
ashhabul furudh dan 'ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan
memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada
paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam
yang dikenal sangat mengu tamakan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.

Adapun dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak
untuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara
baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewaris
seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan
ikatan rahim.

Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan
ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung
laki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris,
yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab,
ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari
ayah.

Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang
dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya
ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah
atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudh
atau para 'ashabah.

Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawaban
Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau
ada 'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas
bertentangan.
Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa
pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena
memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di
samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil
apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini.

Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal


ketimbang kerabat, sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal
dengan persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya,
adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna
dalam menyalurkan harta baitulmal.

Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnya


pada masa kita sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu
kecuali: "telah lama tiada". Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-
musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup khilafah Islam dengan
memporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian
membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan.
Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya:
"Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidak
mempunyai imam."

Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i
mutakhir memberikan fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal,
khususnya setelah abad ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur
sehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kedua
kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakan
pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat terlihat
tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada, dari mulai
akhir abad ketiga Hijriah hingga masa kita dewasa ini.

C. Cara Pembagian Waris Para Kerabat

Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak
waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.

1. Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa
semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya
kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.

Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan


anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi
(saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki
keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian
waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris
yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang
menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli
waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta
lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh
ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.

Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun
dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat
ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang
masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.

2. Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli
waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak
memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang
lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka
akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih
dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga
merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.

Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-
contoh seperti berikut:

1. Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak


perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan
keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini
dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara
kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu,
pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2)
bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian,
sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub)
disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu ia
mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:

Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara
kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan
seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu
perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Maka
pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara
kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan
perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam
(1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunan
saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh,
dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan
seperenam (1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja
dengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah
gambarnya:
Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6

Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat
kekerabatannya kepada pewaris.

Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu'
(sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada
seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan
saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah)
dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari
pihak ibu).

Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan
tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan
keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung
perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan
dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini
menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud
menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka.

Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat
logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan
kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan
rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan
secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena
memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan
lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah
dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk
mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau
menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada
pewaris.

3. Menurut Ahlul Qarabah


Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan
dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka,
dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling
berhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari
segi dekat dan kuatnya kekerabatan.

Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk


dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama
seperti membagi hak waris para 'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat
hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di
antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum
pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.

Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama
mazhab Hanafi.
Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham
menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai
cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan
cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah:

1. Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.


2. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris.
3. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris.
4. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek
pewaris.

Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut:

a. Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki


ataupun perempuan.
b. Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki,
dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.

Yang dinisbati oleh pewaris:

a. Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari
ayahnya ibu (kakek dari ibu).
b. Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari
ibu ayahnya ibu.

Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris:

a. Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu,
baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.
b. Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan
seterusnya.
c. Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.

Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:

a. Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu.
Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan
ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.
b. Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari pamannya
(saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara perempuan ibu), keturunan
paman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan seterusnya.
c. Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua
pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara
ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang
kandung maupun yang seayah).
d. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya
keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah.
e. Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --
baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek.
f. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e) dan
seterusnya.

Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek
pewaris.

Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah


Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang
jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:

1. Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan


tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah
menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai
analogi dari 'ashabah bi nafsihi..
2. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang
lain adalah "dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau
'ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah
"dekatnya dengan kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian
kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.

Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah


Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan
urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan
demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah
keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka
pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan
saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman
(dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang
sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah.
Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok
ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.

D. Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham

1. Tidak ada shahibul fardh. Sebab, jika ada shahibul fardh, mereka tidak sekadar
mengambil bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena
merupakan hak mereka secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan
ahli waris secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih didahulukan
dibandingkan dzawil arham.
2. Tidak ada penta'shib ('ashabah). Sebab 'ashabah akan mengambil seluruh hak
waris yang ada, bila ternyata tidak ada shahibul fardh. Dan bila ada shahibul
fardh, maka para 'ashabah akan menerima sisa harta waris yang ada, setelah
diambil hak para shahibul fardh.

Namun, apabila shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akan
menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham.
Sebab kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawil
arham. Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil arham.
Beberapa Catatan Penting:
Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahli
waris, maka ia akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan
dengan salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bila
bersamaaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai berikut:

a. Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya, pewaris meninggalkan ahli


waris cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, dengan anak cucu perempuan
dari keturunan anak perempuan, maka yang didahulukan adalah cucu perempuan dari
anak perempuan. Begitu seterusnya.
b. Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebih
berhak untuk dintamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris lewat
shahibul fardh atau 'ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari
keturunan anak perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki.
Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris,
keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai
cucu. Hanya saja, cucu perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada
pewaris lewat ahli waris, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anak
perempuan melalui dzawil arham.
c. Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslah
mengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dari saudara kandung
laki-laki (yakni keponakan kandung) dengan anak perempuan dari saudara
laki-laki seayah (keponakan bukan kandung), maka dalam keadaan seperti ini
kita harus mengutamakan keponakan kandung, dan berarti seluruh harta waris
menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan kandung lebih kuat
kekerabatannya. Begitulah seterusnya.
d. Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannya
dilakukan secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhak
menerima bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak
perempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anak
paman yang lain (kandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman
kandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini
meninggalkan tiga putri keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnya
dibagi secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki derajat yang
sama dari segi kekerabatan.

Catatan lain
Di antara persoalan yang perlu saya kemukakan di sini ialah bahwa dalam pemberian
hak waris terhadap para dzawil arham , bagian laki-laki dua kali lebih besar bagian
perempuan, seperti halnya dalam pembagian para 'ashabah, sekalipun dzawil arham
itu keturunan saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.
Penutup
Itulah sekelumit mengenai hak waris para dzawil arham menurut mazhab ahlul
qarabah yang merupakan mazhab imam Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama
mazhab Hanafi. Pendapat ini banyak diterapkan di sebagian negara Arab dan negara
Islam lainnya.

Sebenamya, di kalangan ulama mazhab ini banyak dijumpai perbedaan tentang cara
pembagian masing-masing kelompok tadi, terutama antara Imam Abi Yusuf dan
Imam Muhammad (keduanya murid dan teman dekat Abu Hanifah, penj.). Namun,
saya tidak mengemukakannya di sini sebab akan bertele-tele dan menjenuhkan. Oleh
karenanya, bagi yang menghendaki pengetahuan lebih luas dalam masalah ini dapat
merujuknya pada kitab-kitab fiqih. Selain itu, pada prinsipnya yang banyak diamalkan
adalah pandangan mazhab ahlut-tanzil sebagai mazhab Imam Ahmad, yang kemudian
dianut oleh ulama muta'akhirin mazhab Maliki dan Syafi'i ---karena dari segi
pengamalannya memang lebih mudah.
XI. HAK WARIS BANCI DAN WANITA HAMIL
A. Definisi Banci

Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti
'lunak' atau 'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila
ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-
lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai
laki-laki."

Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat
kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai
alat kelamin sama sekali. Keadaan yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakan
khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya
mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin
perempuan.

Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia


berhak menerima harta waris sesuai bagiannya.

Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekali
tidak ada-- -disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada
kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi,
misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenya
keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris
sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia
divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila
ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara
berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan
tetap musykil hingga datang masa akil baligh.

Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati
pertumbuhan badannya, atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai
pembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi
dewasa (maksudnya mimpi dengan mengeluarkan air mani, penj.), apakah ia tumbuh
kumis, apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila
tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.

Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa
jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa,
bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir
kemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan.

Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arab


meninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan
tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah,
budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab
yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalan
tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi,
dan vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya."

Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. Maka dengan segera ia menemui
kaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai
kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-
laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan." Ternyata vonis
ini diterima secara aklamasi.

Ketika Islam datang, dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.
bahwa Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam
keadaan demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempat
keluarnya air seni."

B. Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci

Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris
kepada banci musykil ini:

1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih)
sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan ini
merupakan salah satu pendapat Imam Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.
2. Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci
hendaklah tengah-tengah di antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula
permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan dibagi
menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian banci.
3. Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan
dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih
meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris
yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris
hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap
paling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi'i.

C. Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya

Untuk banci --menurut pendapat yang paling rajih-- hak waris yang diberikan
kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya --keadaan bila ia
sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang
menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada
kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga
bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.

Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha
mawarits mu'amalah bil adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai wanita bagiannya
lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan
bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis
sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus
ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli
waris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni
sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya.

Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci


1. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak
perempuan, dan seorang anak banci. Bila anak banci ini dianggap sebagai anak laki-
laki, maka pokok masalahnya dari lima (5), sedangkan bila dianggap sebagai wanita
maka pokok masalahnya dari empat (4). Kemudian kita menyatukan (al-jami'ah)
antara dua masalah, seperti dalam masalah al-munasakhat. Bagian anak laki-laki
adalah delapan (8), sedangkan bagian anak perempuan empat (4), dan bagian anak
banci lima (5). Sisa harta waris yaitu tiga (3) kita bekukan untuk sementara hingga
keadaannya secara nyata telah terbukti.

2. Seseorang wafat meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara laki-laki banci.
Pokok masalahnya dari enam (6) bila banci itu dikategorikan sebagai wanita,
kemudian di-'aul-kan menjadi delapan (8). Sedangkan bila sang banci dianggap
sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dari enam (6) tanpa harus di- 'aul-kan. Dan
al-jami'ah (penyatuan) dari keduanya, menjadilah pokok masalahnya dua puluh empat
(24).

Sedangkan pembagiannya seperti berikut: suami sembilan (9) bagian, ibu enam (6)
bagian, saudara laki-laki banci tiga (3) bagian, dan sisanya kita bekukan. Inilah
tabelnya:

6 8 6 24
Suami 1/2 3 Suami 1/2 3 9
Ibu 1/3 2 Ibu 1/3 2 6
Banci 3 Banci kandung 1 4

Pada tabel tersebut sisa harta yang ada yaitu lima (5) bagian dibekukan sementara,
dan akan dibagikan kembali ketika keadaan yang sebenamya telah benar-benar jelas.

3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan


saudara laki-laki seayah banci. Maka pembagiannya seperti berikut:

Bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dua (2),
sedangkan bila dikategorikan sebagai perempuan maka pokok masalahnya dari tujuh
(7), dan penyatuan dari keduanya menjadi empat belas (14).

Bagian suami enam (6), saudara kandung perempuan enam (6) bagian, sedangkan
yang banci tidak diberikan haknya. Adapun sisanya, yakni dua (2) bagian dibekukan.
Ini tabelnya:

2 6 7 14
Suami 1/2 1 Suami 1/2 3 6
Sdr. kdg. pr. 1/2 1 Sdr. kdg. pr. 1/2 3 6
Banci lk. - Sdr. pr. seayah 1/6 1 -

D. Definisi Hamil

Al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata
hamalat. Dikatakan: "al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (wanita
itu hamil apabila ia sedang mengandung janin).

Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula) ..." (al-Ahqaf: 15)

Sedangkan menurut istilah fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya,
baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam masalah hamil ini ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hak waris, dan
pada kesempatan ini saya hanya akan utarakan secara global. Hanya kepada Allah
saya memohon pertolongan.

Pada pembahasan sebelumnya --tentang persyaratan hak waris/mewarisi-- telah saya


kemukakan bahwa salah satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris adalah
keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masih
di dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya,
karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir
selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, dan satu atau kembar. Setelah bayi
tersebut lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalam
keadaan hidup pada saat pewaris wafat; demikian juga jika ia lahir dalam keadaan
mati, maka kita nyatakan bahwa ahli waris tidak ada ketika pewaris wafat.

Secara ringkas dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat diketahui
dengan pasti keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian
waris yang harus diterimanya. Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus
menunggu setelah bayi itu lahir.

Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat -
-menyangkut kemaslahatan sebagian ahli waris-- yang mengharuskan kita untuk
segera membagi harta warisan dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikan
kepada masing-masing ahli waris secara lengkap setelah kelahiran bayi. Berkaitan
dengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukum-hukum khusus secara rinci
dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris
yang ada.

E. Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan

Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya
ketika pewaris wafat.
2. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat
dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.

Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan
keluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris,
jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan
Aisyah r.a.:

"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun
berada dalam falkah mighzal."

Pernyataan Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah
saw.. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu
pendapat Imam Ahmad.

Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan
maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam
Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.

Sedangkan persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan
nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir
adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang
semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan
apa saja dari bayi tersebut.

Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim
ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup
menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan
hewan yang dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan
demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka
hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)

Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika
keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan
hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak
ada.

F. Keadaan Janin

Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan
tersebut:

1. Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut
berkelamin laki-laki ataupun perempuan.
2. Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau
perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda
(banci).
3. Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun
perempuan.
4. Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki
ataupun perempuan.
5. Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub
(terhalang) hak warisnya karena adanya janin.

Keadaan Pertama
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yangada secara langsung,
tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan
janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang
hamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki
seibu pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya oleh adanya
ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan kepada istri
seperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan sisanya
menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4).

Keadaan Kedua
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan
menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun
untuk sementara bagiannya dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahir
dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun, bila lahir dan
ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan
lagi kepada ahli waris yang ada.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan
ipar perempuan yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka
pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya yang dua
per tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan itu lahir. Bila
yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa harta yang
dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-laki
keturunan saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibanding
kedudukan paman kandung.

Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu
menjadi hak paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan
saudara laki-laki) termasuk dzawil arham.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuan
seibu, dan istri ayah yang sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istri
ayah tersebut melahirkan bayi laki-laki, berarti menjadi saudara laki-laki seayah.
Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan waris, karena tidak ada
sisa dari harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada.
Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuan
seayah, maka dalam hal ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokok
masalahnya dari enam (6) di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudh
menerima bagian masing-masing, kita lihat sisanya yang menjadi bagian bayi yang
masih dalam kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa bagian yang
dibekukan menjadi bagiannya, namun bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa
harta waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada.
Tabelnya seperti berikut:

6 9
Suami 1/2 3
Ibu 1/6 1
3 sdr. pr. seibu 1/3 1
Sdr.pr.seayah (hamil) 1/2 1

Sisanya tiga (3), untuk sementara dibekukan hingga janin telah dilahirkan.

Keadaan Ketiga
Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala
keadaannya --hanya saja hak waris yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki dan
bisa perempuan)-- maka dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan dua
ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi,
jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh bagian
daripada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita
berikan bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan
hendaknya kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli
waris yang ada lebih sedikit dari bagian-bagian masing-masing.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan
ayah. Dalam keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki,
berarti kedudukannya sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya seperti
berikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan
(1/8), dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai 'ashaloub.

Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka perlu saya kemukakan contoh tabel dalam
dua kategori (laki-laki dan perempuan).

24 24 24
Istri 1/8 3 Istri 1/8 3 3
Ayah 1/6 4 Ayah 'ashabah 5 4
Ibu 1/6 4 Ibu 1/6 4 4
Janin lk. sbg. 'ashabah 13 Janin pr. 1/2 12 12

Sisanya satu (1), dibekukan.


Keadaan Keempat

Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun
perempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli
waris yang ada secara sempurna.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan,


saudara perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris).
Apabila janin telah keluar dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam
(1/6), baik ia laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-
laki seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian,
kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua
keadaannya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Inilah tabelnya.

6 6
Sdr. kdg. pr. 1/2 3 Sdr. kdg. pr. 1/2 3
Sdr. pr. seayah 1/6 1 Sdr. pr. seayah 1/6 1
Ibu (hamil) 1/6 1 Ibu 1
(Janin) sdr. seibu 1/6 1 (Janin) sdr. seibu 1/6 1

Keadaan Kelima
Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli
waris lain akan tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan
seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin
tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah yang akan mengambil
hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang ada
akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang
hamil (istri dan anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih
dalam kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki atau
perempuan. Karenanya, akan menggugurkan hak waris saudara laki-laki pewaris yang
seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti kedudukannya sebagai
cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu ia akan mengambil seluruh
sisa harta waris yang ada karena ia sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai
perempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan
mendapat bagian separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan
sebagai tambahan (ar-radd) bila ternyata tidak ada 'ashabah.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudara
kandung laki-laki. Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara laki-laki
tidak mendapat bagian bila janin yang dikandung tadi laki-laki. Akan tetapi, bila bayi
tersebut perempuan maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, anak
perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung
laki-laki sebagai 'ashabah.
XII HAK WARIS ORANG YANG HILANG,
TENGGELAM, DAN TERTIMBUN
A. Definisi

Al-mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna 'hilang'. Dikatakan faqadtu
asy-syai'a idzaa adha'tuhu (saya kehilangan bila tidak mengetahui di mana sesuatu itu
berada). Kita juga bisa simak firman Allah SWT berikut:

"Penyeru-penyeru itu berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya." (Yusuf: 72)

Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputus
beritanya, dan tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah mati.

Hukum Orang yang Hilang


Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang
hilang/menghilang, di antaranya: istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan, hartanya
tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-
benar diketahui keadaannya dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau
telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum -- telah mati, dan
hakim pun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap telah mati.

Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan
asalnya, hingga benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar
sudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang
wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah
seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk
dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian suaminya."

B. Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atau


Mati

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini terutama para ulama
dari mazhab yang empat.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang hilang dan tidak dikenal rimbanya
dapat dinyatakan sebagai orang yang sudah mati dengan melihat orang yang sebaya di
wilayahnya --tempat dia tinggal. Apabila orang-orang yang sebaya dengannya sudah
tidak ada, maka ia dapat diputuskan sebagai orang yang sudah meninggal. Dalam
riwayat lain, dari Abu Hanifah, menyatakan bahwa batasnya adalah sembilan pulah
tahun (90).

Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah tujuh puluh tahun
(70). Hal ini didasarkan pada lafazh hadits secara umum yang menyatakan bahwa
umur umat Muhammad saw. antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun.
Dalam riwayat lain, dari Imam Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang hilang
di wilayah Islam --hingga tidak dikenal rimbanya-- dibolehkan mengajukan gugatan
kepada hakim guna mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan dugaan yang dapat
mengenali keberadaannya atau mendapatkan informasi secara jelas melalui sarana dan
prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami jalan buntu, maka sang
hakim memberikan batas bagi istrinya selama empat puluh tahun untuk menunggu.
Bila masa empat puluh tahun telah usai dan yang hilang belum juga diketemukan atau
dikenali rimbanya, maka mulailah ia untuk menghitung idahnya sebagaimana
lazimaya istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari. Bila usai
masa idahuya, maka ia diperbolehkan untuk menikah lagi.

Sedangkan dalam mazhab Syafi'i dinyatakan bahwa batas waktu orang yang hilang
adalah sembilan puluh tahun, yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebaya di
wilayahnya. Namun, pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam Syafi'i
ialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi,
cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnya
sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Syafi'i, seorang hakim
hendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak lagi
dikenal rimbanya sebagai orang yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu --
kebanyakan orang tidak hidup melebihi waktu tersebut.

Sementara itu, mazhab Hambali berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu dalam
keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti jika terjadi peperangan, atau
menjadi salah seorang penumpang kapal yang tenggelam-- maka hendaknya dicari
kejelasannya selama empat tahun. Apabila setelah empat tahun belum juga
diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh dibagikan kepada
ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa idahnya, dan ia boleh
menikah lagi setelah masa idah yang dijalaninya selesai.

Namun, apabila hilangnya orang itu bukan dalam kemungkinan meninggal, seperti
pergi untuk berniaga, melancong, atau untuk menuntut ilmu, maka Imam Ahmad
dalam hal ini memiliki dua pendapat. Pertama, menunggu sampai diperkirakan
umurnya mencapai sembilan puluh tahun Sebab sebagian besar umur manusia tidak
mencapai atau tidak melebihi sembilan puluh tahun. Kedua, menyerahkan seluruhnya
kepada ijtihad hakim. Kapan saja hakim memvonisnya, maka itulah yang berlaku.

Menurut hemat penulis, pendapat mazhab Hambali dalam hal ini lebih rajih (lebih
tepat), dan pendapat inilah yang dipilih az-Zaila'i (ulama mazhab Hanafi) dan
disepakati oleh banyak ulama lainnya. Sebab, memang tidak tepat jika hal ini hanya
disandarkan pada batas waktu tertentu, dengan alasan berbedanya keadaan wilayah
dan personel. Misalnya, orang yang hilang pada saat peperangan dan pertempuran,
atau banyak perampok dan penjahat, akan berbeda halnya dengan orang yang hilang
bukan dalam keadaan yang demikian. Karena itu, dalam hal ini ijtihad dan usaha
seorang hakim sangat berperan guna mencari kemungkinan dan tanda-tanda kuat yang
dapat menuntunnya kepada vonis: masih hidup atau sudah mati. Inilah pendapat yang
lebih mendekatkan kepada wujud kemaslahatan.
C. Hak Waris Orang Hilang

Apabila seseorang wafat dan mempunyai ahli waris, dan di antara ahli warisnya ada
yang hilang tidak dikenal rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada dua
keadaan:

1. Ahli waris yang hilang sebagai hajib hirman bagi ahli waris yang lain.
2. Bukan sebagai hajib (penghalang) bagi ahli waris yang ada, tetapi bahkan
sama berhak mendapat waris sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yakni
termasuk ashhabul fardh)

Pada keadaan pertama: seluruh harta warisan peninggalan pewaris dibekukan --tidak
diberikan kepada ahli waris-- untuk sementara hingga ahli waris yang hilang muncul
atau diketahui tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata masih hidup, maka
dialah yang berhak untuk menerima atau mengambil seluruh harta warisnya. Namun,
bila ternyata hakim telah memvonisnya sebagai orang yang telah mati, maka harta
waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada dan masing-masing
mendapatkan sesuai dengan bagian atau fardh-nya.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung laki-
laki, saudara kandung perempuan, dan anak laki-laki yang hilang. Posisi anak laki-
laki dalam hal ini sebagai "penghalang" atau hajib hirman apabila masih hidup.
Karena itu, seluruh harta waris yang ada untuk sementara dibekukan hingga anak laki-
laki yang hilang telah muncul. Dan bila ternyata telah divonis oleh hakim sebagai
orang yang telah meninggal, maka barulah harta waris tadi dibagikan untuk ahli waris
yang ada.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung laki-laki, saudara
laki-laki seayah, dan dua saudara perempuan seayah. Posisi saudara kandung bila
masih hidup adalah sebagai haiib bagi seluruh ahli waris yang ada. Karenanya untuk
sementara harta waris yang ada dibekukan hingga hakikat keberadaannya nyata
dengan jelas.

Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagian
yang paling sedikit di antara dua keadaan orang yang hilang (sebagai ahli waris yang
hidup atau yang mati, atau mirip dengan pembagian hak waris banci). Maksudnya,
bila ahli waris yang ada --siapa saja di antara mereka-- yang dalam dua keadaan orang
yang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secara
sempurna (tanpa dikurangi atau dilebihkan, atau tanpa ada yang dibekukan). Namun,
bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris
yang hilang tadi (yakni keadaan hidup dan matinya), maka mereka diberi lebih sedikit
di antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untuk
mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya tidak
berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan maninggalkan istri, ibu, saudara laki-laki seayah,
dan saudara kandung laki-laki yang hilang. Dalam keadaan demikian, bagian istri
adalah seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dan sisanya (yakni yang seperenam)
lagi untuk sementara dibekukan hingga ahli waris yang hilang telah nyata benar
keadaannya, atau telah divonis sebagai orang yang sudah meninggal. Sedangkan
saudara laki-laki yang sesyah tidak mendapat hak waris apa pun.

Dalam contoh tersebut, tampak ada penyatuan antara ahli waris yang tidak berbeda
bagian warisnya dalam dua keadaan orang yang hilang --yaitu bagian istri seperempat
(1/4)--dengan ahli waris yang berbeda hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris
yang hilang tadi, yaitu bagian ibu seperenam (1/6). Sebab bila ahli waris yang hilang
tadi telah divonis hakim sebagai orang yang telah meninggal, maka ibu akan
mendapat bagian sepertiga (1/3).

Contoh-contoh Kasus
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara
kandung laki-laki yang hilang, maka pembagiannya sebagai berikut:

Dalam hal ini kita harus memboat dua cara pembagian, yang pertama dalam kategori
orang yang hilang tadi masih hidup, dan yang kedua dalam kategori sudah meninggal.
Kemudian kita menggunakan cara al-jami'ah (menyatukan) kedua cara tadi. Dari
sinilah kita keluarkan hak waris masing-masing, kemudian membekukan sisanya.
Tabelnya sebagai berikut:

4 7 8
Anggapan msh. hdp. 2 8 Anggapan sdh. mati 6 7 56
Suami 1/2 1 4 Suami 1/2 3 24
yang dibekukan 4
Sdr. kdg. pr 1 Sdr. kdg. pr 2 16
yang dibekukan 9
2/3
Sdr. kdg. pr 1 1 Sdr. kdg. pr 2 16
yang dibekukan 9
Sdr. kdg. lk. hlg 1 Sdr. kdg. lk. hlg - -

Misal lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, saudara kandung, dan cucu
laki-laki dari keturunan anak laki-laki, maka bagian masing-masing ahli waris itu
seperti berikut:

1 2
Anggapan msh. hdp. 24 Anggapan sdh. mati 12 24
Istri 1/8 3 Istri 1/4 3 6
yang dibekukan 3
Ibu 1/6 4 Ibu 1/3 4 8
yang dibekukan 4
Sdr. lk. mahjub - Sdr.lk.kdg.'ashabah 5 10
yang dibekukan 10
Cucu lk. (hilang) 17 Cucu lk. (hilang)
Jumlah yang dibekukan 17

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan anak laki-laki yang hilang, maka
bagian masing-masing seperti berikut:

Anggapan msh. hdp. 4 Anggapan sdh. mati 4 4


Suami 1/4 1 Suami 1/4 1 1
Cucu pr.dr.anak.lk.
- Cucu pr.dr.anak.lk. 1/2 2 2
(mahjub)
yang dibekukan 2
Sdr.kdg.pr. (mahjub) - Sdr.kdg.pr. 'ashabah 1 1
yang dibekukan 1
Anak lk. (hilang) 3 Anak lk. (hilang) - -

Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki seibu, anak
paman kandung (sepupu), dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka
rincian pembagiannya seperti berikut:

Anggapan msh. hdp. 8 Anggapan sdh. mati 12 24


Istri 1/8 1 Istri 1/4 3 6
yang dibekukan 3
Sdr.lk.seibu (mahjub) - Sdr.lk. seibu 1/6 2 4
yang dibekukan 4
Sepupu. lk. 'ashabah 3 Sepupu. lk. 'ashabah 7 14
yang dibekukan 5
Cucu pr. (hilang) 4 Cucu pr. (hilang) - -
yang dibekukan 12

Demikianlah beberapa contoh tentang hak waris yang di antara ahli warisnya ada
yang hilang atau belum diketahui keadaannya.

D. Hak Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun

Betapa banyak kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini.
Sayangnya, sangat sedikit di antara kita yang mau mengambil i'tibar (pelajaran).
Terkadang kejadian dan musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal
ini sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya, bahkan sebagian
manusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalam
menghadapinya.

Hanya orang-orang mukmin yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah,
ujian, dan cobaan, karena mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, dan
berpegang teguh pada salah satu rukunnya --yaitu iman kepada qadha dan qadar-Nya.
Semua yang menimpa mereka terasa sebagai sesuatu yang ringan, sementara lisan
mereka --jika menghadapi musibah-- senantiasa mengucapkan: "sesungguhnya kita
berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".

Begitulah kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadangkadang manusia tertawa
dan merasa lapang dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya.
Oleh karenanya tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah
diri kepada-Nya. Perhatikan firman Allah SWT berikut:

"... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-
orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa innaa
ilaihi raaji'un.'" (al-Baqarah: 155-156)

Bukan sesuatu yang mustahil jika dalam suatu waktu dua orang bersaudara bepergian
bersama-sama menggunakan pesawat terbang atau kapal laut, lalu mengalami
kecelakaan. Atau mungkin saja terjadi bencana alam yang mengakibatkan rumah yang
mereka huni runtuh, sehingga sebagian anggota keluarga mereka menjadi korban.
Maka jika di antara mereka ada yang mempunyai keturunan, tentulah akan muncul
persoalan dalam kaitannya dengan kewarisan. Misalnya, bagaimana cara pelaksanaan
pemberian hak waris kepada masingmasing ahli waris?

Kaidah Pembagian Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun


Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris orang yang tenggelam dan
tertimbun yaitu dengan menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulu
meninggal. Apabila hal ini telah diketahui dengan pasti, pembagian waris lebih
mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada orang yang
meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal,
maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak.
Begitulah seterusnya.

Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang
seorang meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat
kemudian, maka yang mati kemudian inilah yang berhak menerima hak waris,
sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya yang
pertama. Menurut ulama faraid, hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi, yaitu
hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris.

Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan


kemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada
hak waris di antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai
dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: "Tidak
ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara
bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan,
serta yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya."

Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu
persyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada
segera dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup.

Sebagai contoh, dua orang bersaudara mati secara berbarengan. Yang satu
meninggalkan istri, anak perempuan, dan anak paman kandung (sepupu); sedangkan
yang satunya lagi meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-laki paman
kandung (sepupu yang pertama disebutkan). Maka pembagiannya seperti berikut: istri
mendapat seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan yang pertama setengah (1/2),
dan sisanya untuk bagian sepupu sebagai 'ashabah.

Adapun bagian kedua anak perempuan (dari yang kedua) adalah dua per tiga (2/3),
dan sisanya merupakan bagian sepupu tadi sebagai 'ashabah.

Misal lain, suami-istri meninggal secara bersamaan dan mempunyai tiga anak laki-
laki. Suami-istri itu masing-masing mempunyai harta. Kemudian sang istri pernah
mempunyai anak laki-laki dari suaminya yang dahulu, begitupun sang suami telah
mempunyai istri lain dan mempunyai anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti
berikut:

Harta istri yang meninggal untuk anaknya, sedangkan harta suami yang meninggal
seperdelapannya (1/8) merupakan bagian istrinya yang masih hidup, dan sisanya
adalah untuk anak laki-lakinya dari istri yang masih hidup itu. Kemudian, harta ketiga
anak laki-laki, seperenamnya (1/6) diberikan atau merupakan bagian saudara laki-laki
mereka yang seibu, dan sisanya merupakan bagian saudara laki-lakinya yang seayah
dengan mereka.

Pembahasan tentang hak waris-mewarisi bagi orang-orang yang mati tenggelam atau
tertimbun reruntuhan atau musibah lainnya merupakan bagian terakhir dari buku ini.
Semoga apa yang saya lakukan dapat memberikan banyak manfaat bagi para penuntut
ilmu faraid, amin. Allahlah yang memberi taufik dan petunjuk kepada kita, dan saya
akhiri pembahasan ini dengan pujian kepada Rabb semesta alam.

You might also like