You are on page 1of 12

PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK

Soegeng Soegijanto

Lab. Ilmu Kesehatan Anak – FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo Surabaya


Tropical Disease Center – Universitas Airlangga

PENDAHULUAN

Pada awal ditemukan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Surabaya dan
Jakarta pada tahun 1968, penatalaksanaan penyakit DBD ditujukan kepada dugaan
keracunan. Oleh karena itu angka kematiannya cukup tinggi sekitar 41,5%, sehingga
masyarakat sangat resah bila putra-putrinya terserang penyakit DBD.
Memperhatikan kejadian ini, para dokter anak berusaha keras untuk menemukan
penatalaksanaan yang betul-betul sesuai dengan alur pikir patogenesis DBD dengan
mengupayakan dan mempelajari beberapa literatur DBD dari Thailand, Filipina,
Singapura dan Malaysia. Beberapa masukan patogenesis DBD yang masih dapat dipakai
dan dianut sampai sekarang yaitu: kejadian reaksi imun sekunder pada penderita DBD.
Halstead, Sucitra, Suvatte, Kurane dan Ennis mengemukakan bahwa patogenesa
kejadian infeksi virus dengue sangat komplek. Walaupun demikian berdasarkan kejadian
klinis pada penderita DBD, “Secondary heterologouse anamnestik immune respon”
masih dapat dianut untuk menjelaskan kejadian kebocoran plasma yang ditemukan pada
penderita dengan bukti klinis ditemukannya gejala syok, efusi pleura dan ascites.
Berdasarkan alur pikir hipotesa tersebut dibutuhkan diagram penatalaksanan DBD
yang disertai syok dan tidak syok, selanjutnya setiap 3-5 tahun yang disempurnakan
sehingga angka kematian penderita DBD dapat menurun tajam samapi dibawah 2,5%.
Walaupun demikian kasus-kasus kegawatan karena peran faktor-faktor: a) keterlambatan
b) kegemukan c) gizi buruk dan d) umur bayi muda yang beresiko infeksi sekunder, maka
perlu juga dipikirkan alur penanganannya agar mereka dapat tertolong. Maka pada
seminar ini pentalaksanaan DBD ini akan dibahas juga kasus DBD yang disertai syok
yang mengidap penyulit perdarahan, sepsis dan DIC yang dimungkinkan untuk dapat
ditolong dengan temuan obvat baru, yang dapat mencegah proses pembekuan darah dan
obat antibiotika generasi baru yang masih dapat mengatasi resistensi kuman.

PENATALAKSANAAN

Pada seminar ini akan dibahas penatalaksanaan : 1) kasus DBD yang memungkinkan
untuk berobat jalan, 2) kasus DBD derajat I & II, 3) kasus DBD derajat III & IV, dan 4)
kasus DBD dengan penyulit.

1. Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan


Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum masih
baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan memberikan obat

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika simptom panas
masih nyata diatas 38,5 0C. Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai
resiko terjadinya penyulit perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DBD yang
berobat jalan ini adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari
pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan penyulit lainnya.
Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan
konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan di rawat inap.

2. Kasus DBD derajat I & II


Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai
resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut, penderita
disarankan diinfus cairan kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5, 3.
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit yang
biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20%
dari harga normal, merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan ssebaiknya
penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24
jam.
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut
dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita
dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah
sakit untuk segera memperoleh cairan pengganti.
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti yang
digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan)
tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan kembali dalam
waktu 203 jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48
jam saat kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit ecara seri ditentukan
setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau
mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang cuykup dan cegah
pemberian transfusi berulang. Perhitungan secara kasar sebagai berikut :

(ml/jam) = ( tetesan / menit ) x 3

Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang cukup
untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48
jam), pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal
pernafasan (efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang
berakhir dengan edema.

Jenis Cairan
(1) Kristaloid
Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali), dan
5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
(2) Koloidal
Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
Plasma

Kebutuhan Cairan

Tabel 1. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi sedang


Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg BB per hari
<7 220
7 – 11 165
12 – 18 132
> 18 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat
badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi
yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat
badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan
dari tabel berikut.

Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan


Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10 – 20 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)
> 20 1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)

3. Kasus DBD derajat III & IV


“Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus kegawatan
yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti
secara cepat.
Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini perlu
dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah
mendorong terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan
renjatan yang sukar diatasi.
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam isotonik
(Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose dalam
larutan Ringer Asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1
jam atau pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1
atau 2x).
Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran
dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat
diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai
dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan
tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan cetral
venous pressure dan kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DBD

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan
kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang
cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam
faali (5% dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan
5% dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi
dibawah 1 tahun, jika kadar natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila
hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urine
baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup baik. Nafsu makan yang
meningkat menjadi normal dan produksi urine yang cukup merupakan tanda
penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi
membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah
membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan dapat
terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini hematokrit
yang menurun pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai perdarahan dalam
organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine
cukup dengan tanda-tanda vital yang baik.

Koreksi Elektrolit dan Kelainan Metabolik


Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai, oleh
karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya ditentukan secara teratur
terutama pada kasus dengan renjatan yang berulang. Kadar kalium dalam serum kasus
yang berat biasanya rendah, terutama kasus yang memperoleh plasma dan darah yang
cukup banyak. Kadanga-kadang terjadi hipoglemia.

Obat Penenang
Pada beberapa kasus obat penenang memang dibutuhkan terutama pada kasus yang
sangat gelisah. Obat yang hepatotoksik sebaiknya dihindarkan, chloral hidrat oral atau
rektal dianjurkan dengan dosis 12,5-50 mg/kg (tetapi jangan lebih dari 1 jam)
digunakan sebagai satu macam obat hipnotik. Di RSUD Dr. Soetomo digunakan
valium 0,3 – 0,5 mg/kg/BB/1 kali (bila tidak terjadi gangguan pernapasan) atau
Largactil 1 mg/kgBB/kali.

Terapi Oksigen
Semua penderita dengan renjatan sebaiknya diberikan oksigen

Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena
diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk
mengganti volume masa sel darah merah agar menjadi normal.

Kelainan Ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular
telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2
ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk
jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum
mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka
pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman
pemberian cairan selanjutnya.

Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
• Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit
atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
• Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil
• Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
• Jumlah dan frekuensi diuresis.

Kriteria Memulangkan Pasien


Pasien dapat dipulangkan, apabila:
• Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
• Nafsu makan membaik
• Tampak perbaikan secara klinis
• Hematokrit stabil
• Tiga hari setelah syok teratasi
• Jumlah trombosit > 50.000/μl
• Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

Ruang Khusus Gawat Darurat Penderita DBD


Untuk mencapai pelayanan yang lebih baik, penderita DBD sebaiknya diletakkan di
ruang kegaatan yang dilengkapi sarana mencegah penularan penyakit DBD di rumah
sakit.
Paramedis dan orang tua diharapkan dapat membantu pemberian cairan per oral dan
mengamati cairan yang diberikan melalui infus dan keadaan umum penderita.

4. Kasus DBD dengan penyulit


I. Sepsis
II. DIC
III. Ensefalopati

I. Sepsis
Patogenesis sepsis masih belum jelas benar, kaskade inflamasi umumnya sangat
dipengaruhi oleh sitokin atau mediator inflamasi. Mediator ini bertanggung jawab
terhadap kerusakan endotel kapiler. Diyakini ada mekanisme yang akan menghambat
kerja dari mediator tersebut sehingga terjadi keseimbangan antara sel pro inflamsi dan
anti inflamasi. Bila reaksi tubuh tersebut berlebihan maka keseimbangan tadi akan
terganggu dan tubuh tidak dapat mengatasi hal tersebut.

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
Endotoksin yang masuk sirkulasi akan memacu makrofag untuk mengeluarkan
mediator, misalnya TNFα dan interleukin. Sitokin pro inflamasi ini merangsang
terjadinya adhesi pada endotel vaskular, aktivasi faktor pembekuan darah dan
terbentuknya mediator-mediator lain seperti PAF, protease, prostaglandin, lekotrin
dan juga dibebaskannya sitokin anti inflamasi seperti Interleukin-6 dan Interleukin-1.
Melalui proses ini juga akan dirangsang sistem komplemen dan akan mengakibatkan
pula netrofil teraktivasi dan keluarnya radikal bebas yang toksik terhadap sel.
Mediator tersebut juga akan menyebabkan depresi miokard terganggu sehingga dapat
menimbulkan renjatan. Pada akhirnya mediator-mediator tersebut juga akan
mengakibatkan kerusakan pada endotel kapiler sehingga terjadi kaskade sepsis
dengan akibat terjadi kegagalan multi organ dan kematian.
Diagnosis sepsis ditegakkan dengan ditemukannya dua atau lebih dari
manifestasi respons inflamasi sistemik dan kecurigaaan terdaptnya infeksi. Paru
adalah organ yang paling sering ditemukan infeksi, diikuti oleh abdomen dan saluran
kemih; tetapi pada 20-30% penderita, lokasi yang pasti dan dapat menyebabkan
terjadinya infeksi tidak dapat ditentukan. Pada sepsis tidak selalu pemeriksaan
mikrobiologi menunjukkan kuman positif. Kultur darah positif hanya terdapat pada
kurang lebih 30%.
Penderita yang termasuk rentan terhadap sepsis : usia lanjut, malnutrisi,
imunodefisiensi, kanker, penyakit kronik, trauma, luka bakar, diabetes melitus,
prosedur invasif, pemakaian imunosupresi dan transplantasi.
Beberapa perkembangan pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis
dan menilai prognosis adalah pemeriksaan prokalsitonin, laktat, lipopolisakarida
(limulus) dan jamur (glukan).
Penatalaksanaan sepsis mempunyai tujuan utama menghilangkan sumber
infeksi, memperbaiki dan mengembalikan perfusi jaringan, memperbaiki dan
mempertahankan fungsi ventrikel dan upaya suportif lain. Penanganan renjatan septik
dapat dibagi tiga kategori yaitu : 1) baku, 2) kontroversial, dan 3) masa depan
(emerging).

1) Pengobatan Baku
a. Resusitasi cairan
Resusitasi cairan merupakan lini pertama dari penatalaksanaan sepsis.
Resusitasi cairan ini dapat menggunakan cairan kristaloid atau koloid. Sampai
saat ini belum didapatkan bukti bahwa salah satu jenis cairan tersebut lebih baik
dibandingkan dari yang lain. Kristaloid membutuhkan jumlah cairan yang lebih
banyak (dua sampai tiga kali) dibandingkan koloid dalam memberikan efek
hemodinamik dan dapat menyebabkan edema perifer.
Pada tahap pertama dapat diberikan 10-20 ml/Kg BB/cairan kristaloid atau
koloid dalam 30 menit. Diharapkan tekanan darah dapat mencapai lebih dari 90
mmHg dan sebaiknya pemantauan dilakukan dengan tekanan vena central (CVP).
Apabila tekanan vena sentral sudah mencapai 12-15 mmHg, tetapi keadaan belum
membaik maka pemberian cairan harus hati-hati karena dapat terjadi edema paru.
Pada saat ini dipertimbangkan untuk memasang kateter arteri pulmonalis
(swangnz catheter).

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
b. Osigenasi dan Bantuan Ventilasi
Oksigen harus diberikan pada penderita sepsis terutama renjatan septik. Bila
renjatan spetik menetap selama 24-48 jam perlu dipertimbangkan intubasi
endrotakel dan ventilasi mekanik. Pada resusitasi cairan perlu dipantau hati-hati
karena dapat menyebabkan edema paru. Pada sindrom gagal napas (ARDS)
sebagai komplikasi dari sepsis diberikan bantuan ventilasi dengan PEEP (Positive
End Expiratory Pressure) untuk mencegah kolaps alveoli.

c. Antibiotika
Semua sumber infeksi harus dihilangkan. Pemilihan antibiotika tidak perlu
menunggu hasil bikan kuman dan pada awalnya diberikan antibiotika spektrum
luas. Pemilihan antibiotika ditentukan oleh lokasi dan hasil yang terbaik secara
empirik dari dugaan kuman penyebab (best-guess). Bila sumber infeksi tak jelas,
semua dugaan bakteri yang dapat menimbulkan sepsis harus dilenyapkan : bakteri
gram negatif, gram positif, anaerob, dan pada hal tertentu dipikirkan pula jamur
sistemik.

Panduan pemilihan antibiotika pada sepsis (Bartlett, modifikasi) :


1. Pengobatan awal aminoglikosid ditambah salah satu sefalosporin
generasi ke-3 (sefitriaxsone, sefoperazon atau seftazidim), Tikarsilin-Asam
Klavunalat, imipenem-Cilastatin
2. Bila dicurigai MRSA (Methicillin Resistance Staphylococcus
Aureus) : ditambah vankomisin, rifampisin
3. Infeksi intra abdominal : ditambah metronidazole atau klindamisin
untuk kuman anaerob
4. Infeksi saluran kemih
5. Netropenia : monoterapi dengan seftazidin atau imipenem /
meropenem

d. Vasoaktif dan Inotropik


Vasoaktif dan inotropik diberikan pada renjatan septik setelah resusitasi
cairan adekuat. Nonadrenalin (norepinefrin) dosis 0,1 – 2,0 μg/kgBB/mm dan
dopamin dosis 2 – 30 μg/kgBB/mm dapat diberikan dan perlu dipertimbangkan
ditambah dengan dobutamin dosis 2 – 20 μg/kgBB/mm. Pada penderita dengan
takiaritmia noradrenalin lebih baik dibandingkan dengan dopamin, selain itu dapat
diberikan fenilefrin. Pemakaian dopamin dosis rendah tidak didapatkan bukti kuat
akan memperbaiki fungsi ginjal. Adrenalin walaupun dapat meningkatkan
tekanan darah tidak dianjurkan karena akan menyebabkan gangguan pada perfusi
splangnik dan metabolisme jaringan termasuk meningkatkan produksi asam
laktat.

e. Nutrisi
Dukungan nutrisi diperlukan pada penderita sepsis karena mempunyai
kebutuhan kalori dan protein yang tinggi. Saat ini masih terjadi perdebatan
mengenai kapan dimulai nutrisi enteral, komposisi dan jumlah yang diberikan.
Nutrisi enteral dapat ditunda untuk beberapa saat sampai keadaan stabil (misal : 1-

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
2 hari), keuntungan pemberian nutrisi enteral antara lain dapat dipertahankan
buffer pH lambung dan mukosa usus, menghinbdari translokasi bakteri dari usus
ke sirkulasi dan menghindari pemakaian kateter nutrisi parenteral yang akan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi baru.

f. Bantuan Suportif Lain


Transfusi darah harus dipertimbangkan pada Hb < 8,0 g/dl dan diusahakan
dipertahankan antara 8,0 – 10,0 g/dl. Belum didapatkan bukti bahwa Hb > 10 g/dl
akan memperbaiki konsumsi oksigen pada penderita dengan renjatan septik. Perlu
diperhatikan bahwa resusitasi cairan akan menyebabkan hemodilusi, pemberian
transfusi darah merah akan meningkatkan viskositas darah yang akan
mengganggu mikrosirkulasi aliran darah pada penderita sepsis dan resiko karena
transfusi seperti reaksi transfusi dan infeksi.
Koreksi gangguan asam basa dan regulasi gula darah perlu dipertimbangkan
terutama bila terdapat gangguan asam basa yang berat dan hiperglikemia atau
hipoglikemia. Pemberian profilaksis terhadap stress ulcer dengan antagonis H 2
reseptor atau penghambat pompa proton diindikasikan pada penderita dengan
resiko tinggi seperti dalam ventilator dan tidak dapat diberikan nutrisi secara
enteral. Heparin biasa dan heparin dosis rendah dapat diberikan bila tidak
terdapat kontra indikasi untuk pencegahan terjadinya trombosis vena dalam.

2) Pengobatan Kontroversial
1. Korkosteroid
2. Nalokson
3. Anti Inflamasi Non Steroid

3) Pengobatan Masa Depan (Emerging)


a. Anti Trombin III
Anti Trombin II merupakan glikoprotein rantai tunggal dengan berat
molekul 65.000 Dalton, diproduksi di hari. AT III ini merupakan penghambat
proses koagulasi yang penting. Pada sepsis kadamg terjadi penurunan kadar
plasma AT III karena konsumsi akut. Sitokin proinflamasi menyebabkan
pelepasan Plasminogen Activator Inhibitor – I atau PAI-I yang merupakan
penghambat fibrinolisis kuat. Pada keadaan sepsis ini terjadi
ketidakseimbangan antara faktor koagulasi dan fibrinolisis sehingga terjadi
keadaan hiperkoagulasi. Pemberian AT III akan mempertahankan kadar AT
III dan menyebabkan penurunan konsentrasi PAI-I sehingga diharapkan akan
efektif untuk memperbaiki atau mencegah gagal organ. Peranan AT III diduga
mempunyai peran juga sebagai anti sitokin dan anti aktivasi leukosit pada
endotel pembuluh darah selain efek anti – trombin pada sirkulasi darah.

b. Immunoglobulin
Penggunaan Immunoglobulin telah dilakukan pada penderita sepsis dan
meningitis bakterial. Kalbeim melaporkan penggunaan 5 S Immunoglobulin
pada 5 penderita sepsis, dimana 4 orang hidup dan 1 orang lainnya meninggal.

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
c. Anti Endotoksin
Penelitian terhadap antibodi monoklonal menggunakan E 5 murin, suatu
IgM pada Lipid A dilakukan terhadap 468 penderita dengan sepsis gram
negatif yang diberikan 2 mg/kg BB dalam 24 jam intravena pada 242
penderita dan 226 lainnya plasebo. Hasil penelitian menunjukkan penurunan
angka mortalitas setelah 30 hari pada pendeita yang tidak mengalami renjatan
(30% yang diberikan E 5 murin dan 43% plasebo).

d. Anti Tumor Necrosis Factor (TNF)


Penelitian awal dari Exley dkk, pada 14 penderita dengan renjatan septik
yang diberikan rekombinan anti TNF dengan dosis 0,4 – 10 mg/kg BB
didapatkan hasil anti TNF akan memperbaiki hasil tekanan arterial rata-rata 24
jam. Penelitian multisenter yang besar (Intersept) didapatkan hasil tidak
terdapat perbedaan bermakna pada angka mortalitas antara yang diberikan anti
TNF dan plasebo. Pada penderita dengan renjatan septik didapatkan waktu
pemulihan setelah renjatan lebih cepat pada kelompok yang diberi anti TNF
dibanding plasebo.

e. Antagonis Reseptor interleukin-1


Gordon dkk, melaporkan bahwa antagonis reseptor interleukin-1 efektif
dalam menurunkan angka mortalitas setelah 28 hari pada penderita dengan
sindrom sepsis dan hal ini bergantung pada dosis yang diberikan.

f. Anti Nitric Axide (NO)


Produksi NO yang berlebihan (inducible NO) akan menyebabkan
vasoplegia, dan gangguan fungsi miokard yaitu : gangguan pada regulasi
aliran darah lokal dan melalui berbagai interaksi dengan radikal bebas akan
menyebakan kerusakan sel. NO diproduksi melalui jalur L Arginine yang
membutuhkan enzim NO synthase. Saat ini berbagai penelitian sedang
dilakukan untuk menghambat terjadinya pembentukan NO yang berlebihan.

II. DIC
Secara klinis, DIC seringkali menyertai proses penyakit sistemik yang berat
tanda-tanda perdarahan sering terjadi pada bekas tukusan jarum yang ditusukkan ke
dalam pembuluh darah atau sayatan pembedahan. DI kulit dapat ditemukan tanda
pateki dan ekimosis. Nekrosis jaringan dapat terjadi pada banyak organ dan terlihat
tanda infark yang luas di kulit, di jaringan sub kutan atau ginjal. Anemidisebabkan
karena hemolisis yang terjadi secara cepat sehingga terwwujud sebagai
mikroangiopati hemolitik anemi. Penemuan pemeriksaan laboratorium tidak dapat
ditentukan secara nyata yang sesuai dengan alur kejadiannya.
Faktor koagulasi II : V : VIII fibrinogen dan trombosit dikonsumsi terus seiring
dengan kejadian proses pembekuan di dalam pembuluh darah. Hal ini ditandai dengan
perpanjangan waktu protrombin, tromboplastin parsial dan trombin. Hitung sel
trombosit menunjukkan penurunan yang tajam. Pemeriksaan hapusan darah bisa
tampak sel darah merah terpecah-pecah, sel darah merah yang mengkerut dan sel
darah merah yang bentuknya tidak teratur. Selanjutnya munculnya peningkatan FDP

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
(Fibrinogen Degradation Product) sebagai akibat aktivasi mekanisme fibrinolitik.
Pemeriksaan D-Dimer sama sensitif atau lebih spesifik daripada pemeriksaan FDP.
D-Dimer dibentuk dari fibrinolisis ikatan melintang pada setiap bekuan fibrin.

Patofisiologi DIC
Karena adanya faktor-faktor etiologi dari DIC maka terjadilah pelepasan bahan-
bahan mediator yaitu zat-zat yang dapat memacu secara terus menerus sistem
Protrombotik (Koagulasi Primer + Koagulasi Sekunder) hingga terjadilah trombosis
yang luas di organ-organ tubuh hingga menimbulkan Multiple Organ Dysfunction
(MOD) dan faktor-faktor koagulasi (trombosit + plasma factors) akan terpakai
(consumed) hingga terjadi juga defisiensi faktor-faktor tersebut dan dapat
menimbulkan perdarahan.
Mediator-mediator itu dapat langsung dilepas oleh penyakit dasarnya maupun
melalui kerusakan endotil pembuluh darah yang merupakan pusat kendali sistem
hemostatis.
Faal Antitrombosis mengimbangi proses koagulasi diatas dengan memacu :
a. Subsistem Antikoagulasi (AK) untuk mencegah terjadinya trombus,
hingga terjadi juga konsumsi dan defisiensi faktor-faktor dalam sus-sistem ini
(AT.III, prot. C & S, dsb.)
b. Subsistem Fibrinolisis juga dipacu untuk melisis trombus yang telah
terjadi hingga menyebabkan defisiensi trombosit.
Jadi pada DIC terjadi defisiensi trombosit dan faktor-faktor koagulasi plastin (faktor
VIII, fibrinogen, dsb) yang dapat menyebabkan perdarahan disertai juga dengan
defisiensi AT III. prot C & S dan plasminogen yang dapat menyebabkan trombosis.
Jadi perdarahan dan trombosis terjadi bersama-sama.

Pengobatan
Yang penting mengatasi proses yang memacu terjadinya DIC seperti : infeksi,
syok, asidosis dan hipoxia. Jika hasil pemeriksaan darah menunjukkan kekurangan
komponen darah dan faktor-faktor pembekuan darah, maka untuk mengatasi masalah
ini penderita diinfus dengan komponen trombosit apabila penderita menunjukkan
gejala trombositopenis berat; diberikan cryoprecipitat apabila penderita menunjukkan
hipofibrinogenemia dan atau fresh frozen plasma untuk mengganti faktor-faktor
koagulasi dan inhibitor natural yang lain.
Pada beberapa penderita pengobatan primer pada penyakitnya tidak memadai
atau tidak tuntas atau pengobatan pengganti tidak efektif untuk mencegah perdarahan;
apabila hal ini terjadi. DIC dapat diobati dengan heparin untuk mencegah konsumsi
faktor koagulasi yang berlanjut. Sejak pemakaian heparin pada penderita yang
mengidap kekurangan factor pembekuan dan trombosit dapat menyebabkan
perdarahan hebat, maka untuk mengatasi masalah ini pemberian heparin biasanya
dimulai bersama-sama dengan faktor pembekuan dan trombosit. Heparin biasanya
dipakai berkelanjutan, diawali dengan dosis rendah 5-10 µ /kg/jam. Sejak kadar anti
koagulasi menjadi rendah sebagai akibat dikonsumsi pengobatan dengan AT III
memungkinkan dapat menolong dan akan mempunyai efek potenasi anti trombotik
dari heparin. Lama dan efektivitas pengobatan heparin dapat ditentukan dengan
pemeriksaan secara seri jumlah trombosit, kadar fibrinogen dan D-Dimer. Percobaan

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
awal pengobatan dengan protein-C konsentrat pada penderita DIC tampaknya
memberikan harapan terutama untuk purpura fulminan. Pengalaman ini bernah
diberikan kepada seorang anak dengan DIC yang ada hubungannya dengan purpura
fulminan dan promyelositik leukemia. Pemberian heparin terus menerus dengan dosis
10-15 µ /kg/jam tanpa loading dose pernah diberikan pada penderita progranulositik
leukemia.
Heparin tidak diindikasikan dan tidak efektif pada penderita septic syok, digigit
ular beracun, heatstroke, luka kepala yang luas, reaksi transfuse darah yang tidak jelas
ditemukan tanda trombosis vaskuler.

III. Tatalaksana Ensefalopati Dengue


Pada enselopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok
telah teratasi, selanjutnya cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3
dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dekstrosa segera
ditukar dengan larutan NaCl (0.9%) : glukosa (5%) = 3:1. Untuk mengurangi edema
otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya
kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg, mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila
perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas
dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat
diberikan neomisisn dan laktulosa. Pada DBD enselopati mudah terjadi infeksi
bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis
(kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Apabila
obat-obat tersebut sudah menunjukkan tanda resistan, maka obat ini dapat diganti
dengan obat-obat yang masih sensitive dengan kuman-kuman infeksi sekunder,
seperti cefotaxime, cefritriaxsone, amfisilin+clavulanat, amoxilline+clavulanat, dan
kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan aminoglycoside. Usahakan tidak
memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya: antasid, anti muntah) untuk
mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau
komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan transfusi
tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.

RANGKUMAN

Makalah ini telah menguraikan penatalaksanaan penderita demam berdarah dengue


sejak awal datang ke dokter untuk minta pertolongan sampai disarankan rawat inap di
rumah sakit. Oleh karena itu, untuk memudahkan dan memahami penatalaksanaan ini
maka pembahasan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1) kasus DBD yang
memungkinkan untuk berobat jalan, 2) kasus DBD derajat I & II, 3) kasus DBD derajat
III & IV, dan 4) kasus DBD dengan penyulit.
Kasus DBD dengan penyulit telah dikutipkan beberapa tinjauan perpustakaan
mengenai Spesis, DIC dan Enselopati dari berbagai kepustakaan baru yang sedang ramai
dibahas di seminar, terutama adanya temuan obat-obat baru untuk mengatasi Sepsis, DIC
dan Enselopati.

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
DAFTAR PUSTAKA

1. Praset Thongcharoen, Chantopongwasi, Pilaipan Puthavathana. Dengue Viruses,


Monograph on Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever. WHO Regional Publication
SEARO New Delhi No. 22, 1993.
2. Suchitra Nimmanitya. Management of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.
WHO Regional Publication SEARO New Delhi No. 23, 1993.
3. Sri Rezeki, Soegeng Soegijanto, Suharyono W dan Thomas Suroso. Tatalaksana
Demam Dengue / Demam Berdarah Dengue. Sub Direktorat Arbovirosis Dirjen PPM
& PLP Depkes RI, 1998.
4. Scott B. Halstead. Nelson Text Book of Pediatrics; Chapter 260, Dengue
Fever/Dengue Hemorrhagic Fever, Jilid 1 page 1005, 2000.
5. Nelson Text Book of Pediatrics; Acquired Inhibitors of Coagulation, Chapter 488
Jilid 2, page 1519, 2000
6. Tatty Ermin Setiati. Penatalaksanaan Mutakhir Syok Septik Pediatrik. Bagian
IKA FK Undip, RS Dr. Kariadi Semarang.
7. Siripen Kalayanarooj. Standardized Clinical Management. Seminar Sepsis dan
DIC, Jakarta, Oktober 2000; Evidence of Reduction of Dengue Haemorrhagic Fever
Case-Fatality Rate in Thailand; WHO Dengue Bulletin Vol. 23 Desember 1999.
8. Sri Rezeki Hadinegoro, Susetyo H. Purwanto, Firmansyah Chatab. Dengue Shock
Syndrome: Clinical Manifestations, Management and Outcome – A Hospital Based
Study in Jakarta, Indonesia. WHO Dengue Bulletin Vol. 23 Desember 1999.
9. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue, Petunjuk
Lengkap. Terjemahan WHO Regional Publication SEARO No. 29. WHO & DEpKes
RI 2000.
10. The First International Conference on Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever,
“Abstract Book”. Chiang Mai, Thailand 2000.

Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001

You might also like