Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Di pihak lain, permintaan terhadap suatu item (atau part) disebut dependen
bila terdapat hubungan langsung antara permintaan part tersebut dan permintaan
part lain. Dependensi ini terjadi karena untuk pembentukan suatu part dengan
level tertentu membutuhkan part lain dengan level yang lebih rendah, seperti
dalam pola hubungan dependensi antara bahan mentah, komponen, subrakit
(subassembly) dan produk jadi. Contoh permintaan yang bersifat dependen adalah
permintaan roda sepeda motor dengan permintaan sepeda motor lengkap: dua
buah roda dibutuhkan untuk membuat sebuah sepeda motor lengkap. Dengan
demikian, permintaan terhadap roda tergantung (dependent) kepada permintaan
terhadap sepeda motor: bila dibutuhkan 100 sepeda motor, maka akan dibutuhkan
200 roda. Permintaan terhadap produk jadi (misalnya sepeda motor) bisa saja
bersifat independen, tetapi permintaan terhadap subrakit, komponen dan bahan
mentah yang membentuk produk jadi tersebut akan bersifat dependen terhadap
permintaan produk jadi.
Sifat dependensi pada suatu produk jadi tertentu ditunjukkan oleh struktur
produk (product structure) atau bill of material (BOM) seperti diperlihatkan
dengan Gambar 8.1. Struktur produk memperlihatkan 2 jenis dependensi, yaitu
dependensi vertikal dan dependensi horisontal. Dependensi vertikal terjadi antara
part yang berbeda level, yang menunjukkan bahwa suatu part (atau subrakit)
terbentuk dari beberapa komponen; dependensi vertikal ini memperlihatkan
kondisi bahwa bila salah satu komponen tersebut tidak tersedia maka part atau
subrakit tersebut tidak akan bisa terbentuk. Sedangkan dependensi horisontal
menunjukkan dependensi antara part (atau komponen) dalam satu level yang
sama; depedensi horisontal ini memperlihatkan kondisi bahwa seluruh komponen
harus selesai diproses (tersedia) pada saat yang sama agar bisa dirakit sehingga
membentuk subrakit (atau produk akhir) tertentu. Item (atau subrakit) yang berada
pada level persis di atas level suatu (atau sejumlah) komponen disebut sebagai
parent, sedangkan komponen-komponen pada level (persis) di bawahnya yang
membentuk parent tersebut disebut sebagai children.
Le v e l 0
Le v e l 1
Dependensi Vertikal
Le v e l 2
Le v e l 3
D e p e n d e n s i H o r is o n t a l
Ball Point
Plastik Plastik
1. Laras
2. Tutup bawah
3. Per
4. Tinta
5. Tutup
6. Penekan
7. Klip
Status Struktur
MPS
Inventory Produk
M RP
Lot for lot menentukan ukuran lot sama besarnya dengan NR. Asumsi
yang ada di balik metoda ini adalah bahwa pemasok (dari luar atau dari lantai
pabrik) tidak mensyaratkan ukuran lot tertentu; artinya berapapun ukuran lot yang
dipilih akan dapat dipenuhi. Contoh pemakaian metoda LFL ini adalah sebagai
berikut:
Minggu
0 1 2 3 4 5 6 7 8
GR 50 60 38 20 56 45 35 40
SR
POH 150 100 40 10 10 10 10 10 10
NR 8 10 56 45 35 40
PORec 8 10 56 45 35 40
PORel 8 10 56 45 35 40
Minggu
0 1 2 3 4 5 6 7 8
GR 50 60 38 20 56 45 35 40
SR
POH 150 100 40 86 66 10 45 10 10
NR 8 45 40
PORec 84 80 40
PORel 84 80 40
Besarnya ukuran lot tersebut ditentukan dengan cara mencoba menghitung
ongkos per unit mulai dari bila ukuran lot hanya untuk memenuhi kebutuhan pada
perioda 3 saja. Ongkos per unit dengan ukuran lot sebesar 8 unit (LS=8) adalah
Rp. 625. Kemudian dihitung ongkos per unit bila LS=28 (dihitung dari 8+20), dan
menghasilkan ongkos per unit sebesar Rp. 250. Perhitungan dilanjutkan dengan
LS=84 unit dan 129 unit, seperti terlihat pada tabel di bawah ini:
Dapat dilihat bahwa ongkos per unit minimum dicapai bila ukuran lot
sebesar 84 unit, sehingga ukuran ini dipilih sebagai ukuran lot yang harus diterima
(planned order receipts) pada perioda 3. Dengan cara yang sama, bila dilanjutkan
penerapan metoda LUC ini, akan diperoleh ukuran lot untuk penerimaan pada
perioda 6 sebesar 80 unit dan pada perioda 8 sebesar 40. Dengan menggunakan
metoda LUC ini maka ongkos persediaan yang timbul adalah sebesar {(3 x Rp.
5000,00) + (227 x Rp.100,00)} atau Rp. 37.700,00.
Metoda LTC ini berangkat dari logika bahwa untuk permintaan yang bersifat
diskrit maka ongkos total minimum akan dicapai pada saat ongkos simpan dan
ongkos pesan berimbang. Oleh karena itu, metoda LTC ini dijalankan dengan
langkah-langkah berikut:
Minggu
0 1 2 3 4 5 6 7 8
GR 50 60 38 20 56 45 35 40
SR
POH 150 100 40 30 10 55 10 50 10
NR 8 56 35
PORec 28 101 75
PORel 28 101 75
Minggu NR Perioda simpan Ongkos simpan Ongkos simpan
kumulatif
3 8 0 0 0
4 20 1 20 x 100 x1= 2000
2000
5 56 2 56 x 100 x2= 13.200
11.200
5 56 0 0 0
6 45 1 45 x 100 x1= 4500
4500
7 35 2 35 x 100 x2= 11500
7000
7 35 0 0 0
8 40 1 40 x 100 x1= 4000
4000
Dari tabel di atas terlihat bahwa ongkos simpan kumulatif yang terdekat ke
nilai ongkos pesan (Rp. 5000,00) adalah sebesar Rp. 2000,00, yaitu pada saat
ukuran lot sebesar 8+20 atau 28 unit, yang mencakup permintaan untuk Perioda 3
dan 4. Demikian juga untuk ukuran lot berikut dapat dilihat bahwa Rp. 4500,00
lebih dekat ke Rp. 5000,00 dibandingkan Rp. 11.500,00 sehingga ukuran lot dapat
ditentukan sebesar 101 unit, yaitu untuk pemenuhan permintaan pada Periode 5
dan 6. Ukuran lot yang terakhir adalah ditentukan sebesar 75 unit, yaitu untuk
pemenuhan permintaan pada Perioda 7 dan 8. Penentuan ukuran lot dengan
metoda ini mengakibatkan perlunya 3 kali setup dan 165 unit tersimpan, sehingga
total ongkos menjadi Rp. 31.500,00.
Metoda ini sama saja dengan metoda LTC hanya saja langkah yang
dilakukan bukan menjumlahkan ongkos simpan kumulatifnya tetapi part-period
kumulatif. Ukuran lot dipilih bila part period kumulatif ini mendekati part period
ekonomis (PPE). PPE ini merupakan rasio antara ongkos pesan dan ongkos
simpan.
Sumber : http://www.ti.itb.ac.id/~myti/files/Semester%205/PPP/PPP%20-
%20Dida/MRP.doc.
HASIL REVIEW
Penjadwalan item pada saat dibutuhkan (tidak lebih awal dan tidak terlambat
• Lead time untuk seluruh item yang diketahui atau dapat diperkirakan.
• Semua komponen untuk suatu perakitan harus tersedia pada saat suatu
pesanan untuk perakitan tersebut dilakukan.
• Proses pembuatan suatu item dengan item yang lain bersifat idependen.
Catatan persediaan
1. Mekanisme MRP
• Netting
• Offsetting
Merupakan proses yang bertujuan menentukan saat yang tepat untuk
melakukan pemesanan dalam memenuhi kebutuhan bersih.
• Lotting
• Exploding/Eplotion
1. Lotting
• Proses penentuan jumlah tenaga kerja dan mesin yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan kegiatan produksi.
PEMBAHASAN
1. Produk : J
J
LT=1
M(1) P(2)
LT=1 LT=4
Lead time : 1 safety stock : 0 PERIODE
Ukuran lot: LFL produk: J PD 1 2 3 4 5 6 7 8
Gross requirements 0 50 80 10 0 60 10 25
Scheduled receipts
Projected on hand 15
Net requirements
Scheduled receipts 30
Projected on hand 225
Net requirements
➢ Penyelesaian
1) PRODUK: J
Projected on hand 15 15 0 0 0 0 0 0 0
Net requirements 35 80 10 60 10 25
Planned order receipts 35 80 10 60 10 25
Planned order releases 35 80 10 60 10 25
2) Komponen: M
3) Komponen:P
Projected on hand 50
Net requirements
Scheduled receipts 30
Projected on hand 225
Net requirements
➢ Penyelesaian
1) PRODUK: K
2) Komponen: M
3) Komponen: R
KESIMPULAN
• Material Requirement Planning (MRP) adalah Suatu prosedur logis berupa
aturan keputusan dan teknik transaksi berbasis komputer yang dirancang
untuk menterjemahkan jadwal induk produksi menjadi “kebutuhan bersih”
untuk semua item (Baroto,2002).
• MRP merupakan suatu konsep dalam sistem produksi untuk menentukan cara
yang tepat dalam perencanaan kebutuhan material dalam proses produksi,
sehingga material yang dibutuhkan dapat tersedia sesuai dengan yang
dijadwalkan. Tujuannya untuk mengurangi kesalahan dalam memperkirakan
kebutuhan material, karena kebutuhan material didasarkan atas rencana
jumlah produksi.
• Dari penghitungan lotting produk J maka Planned order releases produk J,
enam kali yaitu 35.80.10.60.10.25 dan untuk komponen M tidak ada Planned
order releases karena komponen barang pada Projected on hand cukup untuk
memenuhi kebutuhan.
• Dari penghitungan lotting produk K maka Planned order releases produk
K,tiga kali 110.60.15
DAFTAR PUSTAKA
http://www.ti.itb.ac.id/~myti/files/Semester%205/PPP/PPP%20-
%20Dida/MRP.doc