Professional Documents
Culture Documents
Bayu pratamajati
Maret
21 undefined
KURANGI NONTON TV, NIKMATI HIDUP!
Mari kita kendalikan teknologi agar teknologi tidak mengendalikan kita
Pengaruh Media terhadap anak makin besar, teknologi semakin canggih & intensitasnya semakin
tinggi. Padahal orangtua tidak punya waktu yang cukup untuk memerhatikan, mendampingi &
mengawasi anak. Anak lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV ketimbang melakukan
hal lainnya. Dalam seminggu anak menonton TV sekitar 170 jam. Apa yang mereka pelajari
selama itu? Mereka akan belajar bahwa kekerasan itu menyelesaikan masalah. Mereka juga
belajar untuk duduk di rumah dan menonton, bukannya bermain di luar dan berolahraga. Hal ini
menjauhkan mereka dari pelajaran-pelajaran hidup yang penting, seperti bagaimana cara
berinteraksi dengan teman sebaya, belajar cara berkompromi dan berbagi di dunia yang penuh
dengan orang lain.
Faktanya..
• Anak merupakan kelompok pemirsa yang paling rawan terhadap dampak negatif siaran TV.
• Data th 2002 mengenai jumlah jam menonton TV pada anak di Indonesia adalah sekitar 30-35
jam/minggu atau 1560-1820 jam/ tahun . Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di
sekolah dasar yang tidak sampai 1000 jam/tahun.
• Tidak semua acara TV aman untuk anak. Bahkan, “Kidia” mencatat bahwa pada 2004 acara
untuk anak yang aman hanya sekira 15% saja. Oleh karena itu harus betul-betul diseleksi.
• Saat ini jumlah acara TV untuk anak usia prasekolah dan sekolah dasar perminggu sekitar 80
judul ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahal dalam seminggu ada 24
jam x 7 = 168 jam! Jadi, selain sudah sangat berlebihan, acara untuk anak juga banyak yang
tidak aman.
• Acara TV bisa dikelompokkan dalam 3 kategori: Aman, Hati-hati, dan Tidak Aman untuk
anak.
• Acara yang ‘Aman’: tidak banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara ini
aman karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anak-anak boleh
menonton tanpa didampingi.
• Acara yang ‘Hati-hati’: isi acara mengandung kekerasan, seks dan mistis namun tidak
berlebihan. Tema cerita dan jalan cerita mungkin agak kurang cocok untuk anak usia SD
sehingga harus didampingi ketika menonton.
• Acara yang “Tidak Aman”: isi acara banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis
yang berlebihan dan terbuka. Daya tarik yang utama ada pada adegan-adegan tersebut.
Sebaiknya anak-anak tidak menonton acara ini.
• Mengurangi konsentrasi
Rentang waktu konsentrasi anak hanya sekitar 7 menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan,
akan dapat membatasi daya konsentrasi anak.
• Mengurangi kreativitas
Dengan adanya TV, anak-anak jadi kurang bermain, mereka menjadi manusia-manusia yang
individualistis dan sendiri. Setiap kali mereka merasa bosan, mereka tinggal memencet remote
control dan langsung menemukan hiburan. Sehingga waktu liburan, seperti akhir pekan atau libur
sekolah, biasanya kebanyakan diisi dengan menonton TV. Mereka seakan-akan tidak punya
pilihan lain karena tidak dibiasakan untuk mencari aktivitas lain yang menyenangkan. Ini
membuat anak tidak kreatif.
Bagaimana Caranya?
Bayu
sumber: http://dranak.blogspot.com/2007/05/pengaruh-nonton-tv-pada-anak-anak.html
http://anggadewe.student.umm.ac.id/category/gaya-kehidupan-bebas-ala-anak-
remaja/
Setiap teknologi memberikan efek positif dan negatif . Maraknya penggunaan ponsel telah
menurunkan interaksi individu secara langsung. Hal ini akan cenderung membuat pola hidup
manusia menjadi indivualistis. Dampak negatif ini tentunya dapat dikurangi bahkan dihindari
jika saja si pengguna memiliki pemahaman/pengetahuan, etika dan sikap yang kuat (bijak-
positif) untuk memanfaatkan sesuatu secara selektif dan tepat guna.
Inilah titik permasalahannya bagi anak dan remaja. Penyaring internal (pemahamam, etika dan
sikap) anak dan remaja kita masih sangat rapuh. Di era kompleksitas arus kehidupan saat ini,
orang tua (terutama di perkotaan) telah kehilangan daya mendidik dan membangun keluarga bagi
anak-anaknya. Hal ini diperparah dengan maraknya “racun-racun” yang diterima oleh anak-anak
kita saat ini. Adegan-adegan kekerasan, seksual, mistik, dan hedonisme di media TV, koran dan
internet, serta sistem pendidikan sekolah yang gagal membangun karakter anak, telah menyerang
anak-anak kita saat ini.
Di sisi lain, rendahnya regulasi dan law inforcement dari pemerintah dan aparaturnya, telah
menyebabkan oknum-oknum perusak generasi muda kita “berkembang biak: secara pesat. KKN
antara pihak penguasa dengan pengusaha dalam regulasi, publikasi dan distribusi media
menyebabkan jutaan pemimpin masa depan Indonesia di ujung kepunahan. Sederet keprihatinan
anak dan remaja saat ini seperti kenakalan remaja, pola hidup konsumtif-hedonistik, pergaulan
bebas, rokok, narkoba, dan kecanduan game on line hampir menuju budaya “gaya hidup” remaja
masa kini.
Teknologi tanpa filtrasi (perlu regulasi agar kebebasan tidak jebol) dan rapuhnya
edukasi/karakter manusia mengakibatkan kehancuran bangsa.
Rokok, Narkoba, Seks, dan AIDS
Ditengah berita siswa-siswi berprestasi dalam ajang penelitian, olimpiade sains, seni dan
olahraga, anak muda Indonesia saat ini terancam dalam masa chaos. Jutaan remaja kita menjadi
korban perusahaan nikotin-rokok. Lebih dari 2 juta remaja Indonesia ketagihan Narkoba (BNN
2004) dan lebih 8000 remaja terdiagnosis pengidap AIDS (Depkes 2008). Disamping itu, moral
anak-anak dalam hubungan seksual telah memasuki tahap yang mengawatirkan. Lebih dari 60%
remaja SMP dan SMA Indonesia, sudah tidak perawan lagi. Perilaku hidup bebas telah
meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat kita.
Berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga
Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa :
- Sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks.
- Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan.
- Sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi.
- Dari 2 juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja perempuan.
- Sebanyak 97% pelajar SMP dan SMA mengaku suka menonton film porno.
Pengakuan Siswi SMA, Beginikah Remaja Kita?
“Sekarang gue lagi jomblo. Sudah dua tahun putus. Sakit juga! Habis pacaran empat tahun, dan
sudah kayak suami-istri. Dulu, tiap kali ketemu, gejolak seks muncul begitu saja. Terus ML
(making love) deh. Biasanya kita lakuin kegiatan itu di hotel. Kadang di rumah juga, kalau orang
rumah lagi pergi semua. Kalau rumah nggak lagi sepi ya paling cuma berani ciuman dan raba
sana-sini. Buat gue, semua itu biasa. Gue nglakuinnya karena merasa yakin doi bakal jadi suami
gue. Gue nggak takut dosa. Kan kita sama-sama mau, jadi nggak ada paksaan. Dosa terjadi kan
kalau ada paksaaan. Gitu menurut gue! Waktu putus, gue nggak nyesel sudah nglakuin itu,
habis, mau gimana lagi! Santai saja! Tentang pendidikan seks, gue nggak pernah terima dari
orangtua. Paling dari teman, majalah, buku, atau film”
Itulah penuturan Neila (samaran), pelajar kelas 3 sebuah SMA di Jakarta Timur, yang baru saja
menjalani UAN. Tanpa beban, remaja manis bertubuh mungil ini menceritakan pengalamannya.
Ia dan sang kekasih tahu harus melakukan apa supaya hubungan seks pranikah itu tidak
membuatnya hamil.
Sampai saat ini, Neila yakin orangtuanya sama sekali tidak tahu perilaku putri keduanya itu.
”Gue nggak bakal ceritalah, bisa mati mendadak mereka. Teman malah ada yang tahu, tentu saja
yang punya pengalaman sama,” katanya sambil memilin-milin rambutnya.
Menurutnya, ML di kalangan remaja sekarang bukan hal yang terlalu asing lagi. Malah, ada yang
sengaja merayu pria dewasa yang bisa ditemui di mal dan tempat umum lain, untuk mendapatkan
uang atau barang berharga, seperti telepon seluler model terbaru, jam tangan bermerek, baju,
sepatu, tas, dan sebagainya. ”Bukan profesi sih, cuma iseng. Hitung-hitung bisa buat gaya.
Mending gue `kan, yang nglakuinnya cuma sama pacar dan bukan demi duit,” sergahnya.
Biarkan atau Bertindak?
Sudah seharusnya kita kembali ke akar budaya bangsa kita. Jauh sebelumnya, bangsa Indonesia
adalah bangsa yang memiliki nilai akar (root value) budaya yang menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan dan kesusilaan seperti tertuang dalam falsafah dan nilai Pancasila. Kondisi yang
menimpa generasi muda saat ini, harus dibina dan dididik agar mereka menjadi pemimpin yang
memiliki moralitas yang tinggi untuk membangun bangsa dan negaranya.
Semua pihak haruslah merasa bertanggung jawab atas kasus ini. Disamping orang tua, peran
masyarakat sangatlah penting. Sistem pendidikan kita juga harus diubah. Jangan naikkan
anggaran tanpa meningkatkan nilai yang sesungguhnya dari pendidikan. Pemerintah sudah
seharusnya tegas melaksanakan undang-undang, dan para pengusaha, pedagang, dan web
internet cobalah berhenti menyebarkan hal-hal yang merusak (karena generasi kita masih rapuh).
Hal-hal yang harusnya dilakukan:
- Pemerintah filtrasi tegas sinetron, film atau iklan yang berisi kekerasan seksual, pergaulan
bebas, mistis-religi, kekerasan-religi, ramalan serta judi.
- Menindak tegas para pelanggar UU Perlindungan Anak
- menfilter situs-situs porno di Indonesia. Hingga saat ini saja ada 6 Situs Porno yang Paling
Banyak diakses di Indonesia
- Membangun Youth Centre, pusat pendidikan dan kreasi bagi remaja-remaja agar beraktivitas
yang positif.
- Secara aktif mengontrol promosi (iklan) dan peredaran rokok.
- Memprioritaskan program pencegahan perdagangan anak, eksploitasi seksual komersial anak,
dan narkoba.
- Edukasi pada masyarakat bahwa jangan mengasingkan anak-anak (yang menjadi korban),
bantulah mereka untuk keluar dari permasalahan mereka (material maupun moril).
No Comments
2010
02.04
2. Hair Style. ada apa dengan rambut? apa hubungannya dengan berhemat? Kalo
dilihat dan diperhatikan, gaya rambut juga berpengaruh terhadap pengeluaran.
Gaya rambut panjang apalagi kribo menjulang seperti menara:D akan sangat
membutuhkan sampo dalam intensitas lebih tinggi dibandingkan dengan model
rambut cepak ataupun gundul, sehingga satu minggu saja sampo botolan di kamar
mandi sudah habis, belum lagi kutu dan masalah kebesihannya, sehingga akan
mengeluarkan duit lebih untuk membeli obat pembasmi kutu:D. Menurut saya gaya
rambut agak botak atau istilah kerennya cepak keliatan lebih rapi dan intelectual
looking serta membantu dalam menghemat biaya untuk membeli sampo dan
perawatan rambut, tidak usah kawatir akan masalah kutu, soalnya kutunya keliatan
jadi bisa di tangkap:))
3. Mandi. mandi? kok jadi larinya ke mandi sich?. Mandi berhubungan dengan
sabun, dan sabun berhubungan dengan pengeluaran, semakin banyak kita mandi,
semakin banyak pula intensitas sabun yang di keluarkan:D. Saya melihat kebiasaan
anak-anak kos yang males mandi, apalagi sedang liburan atau sedang tidak ada
kegiatan kuliah, mungkin seharian badan tidak akan menyentuh air. Saya pikir itu
adalah salah satu cara berhemat yang paling jorok:D.
http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?
printertopic=1&t=21288&postdays=0&postorder=asc&&start=0
Diduga kuat, masyarakat pemirsa televisi saat ini, umumnya sedang terkena sihir informasi
media siaran TV yang begitu menggoda dan menghibur, tetapi belum tentu mendidik dan
mencerahkan. Bahkan, sangat boleh jadi, TV dengan kemasan program acaranya saat ini, telah
terposisikan sebagai 'agama baru' masyarakat Indonesia. Di antara alasan menjadikan TV
sebagai agama baru adalah karena TV telah cenderung mengambil alih sejumlah ciri dan fungsi
sebuah agama berikut.
Pertama, TV telah menjadi sesuatu yang sangat dipentingkan dan diutamakan. Nilai pentingnya
sebuah TV dalam rumah tangga telah menjadi kebutuhan dasar secara berjamaah, sebagaiman
layaknya sebuah agama. Di samping itu, TV tidak hanya sebagai kebutuhan dasar, tapi telah
menjadi simbol prestise, sekaligus aksesori utama.
Kedua, sebagai 'agama baru', TV dengan program acaranya juga sudah dapat mengatur
jadwal seseorang menjadi kegiatan yang bersifat rutin dalam sehari semalam, sebagaimana
layaknya kewajiban beribadah secara rutin dari sebuah ajaran agama. Tengoklah, bagaimana
para pemirsa mengikuti siaran langsung sepak bola dunia pada dini hari. Mereka rela begadang
semalaman dan pada akhirnya kerap meninggalkan kewajiban agama berupa shalat shubuh.
Dengan kata lain, saat itu, mereka telah melakukan 'perpindahan' agama.
Ketiga, jika agama mempunyai penyeru yang oleh pengikutnya dijadikan idola dan panutan,
maka saat ini pun, TV sudah memiliki ciri tersebut. TV telah melahirkan sejumlah 'nabi'
baru, berikut ajarannya, yang kemudian dengan setia diikuti secara fanatik oleh sejumlah
pengikutnya. Umumnya, pengikut ajaran 'agama baru' dari TV tersebut, telah menganut agama
formal sesuai yang tercantum di KTP secara turun-temurun.
Dengan demikian, sangat boleh jadi mereka telah mempraktikkan secara berbaur kedua ajaran
tersebut. Namun, saat jadwal keduanya bertabrakan dan harus memilih salah satunya, maka
yang paling sering memenangkannya adalah 'ajaran agama' yang diperkenalkan oleh TV.
Tidak mendidik
Simaklah, bagaimana wajah sinetron kita yang tak bosan-bosannya memilih setting rumah
mewah, dengan hidup gaya aktor dan artis yang glamour > , kemudian memainkan peran
yang kental diwarnai konflik perselingkuhan, perebutan harta, persaingan jabatan dalam bisnis
eksekutif, dan sebagainya. Akal sehat dalam memandang gerak kehidupan yang seharusnya lebih
dominan bernuansa kerja keras, disertai do'a dengan tata cara beragama secara benar, nyaris tak
kelihatan dalam sinetron kita. Jika ditampilkan, maka itu pun dikemas dengan cara yang amat
sederhana.
Hidup berdasarkan agama, digambarkan begitu simpel atau simplistik. Sebagai gambaran
singkat, dari tahun 2006 terdapat sekitar 180 judul sinetron dengan 3.641 episode dan 4.020 jam
tayang. Kesemuanya, hanya menggambarkan tema di seputar seks, kekerasan dan mistik,
serta glamournya kehidupan elite kota. :toe:
Khusus untuk tahun ini, sejak bulan Agustus lalu, frekuensi penayangan sinetron remaja
dominan mewarnai stasiun TV besar. Di pekan terakhir Agustus misalnya, jumlah episode
sinetron remaja mencapai kurang lebih 91 episode di sejumlah stasiun TV dengan masa tayang
sekitar 123 jam dalam sepekan.
Keluhan dari berbagai lapisan masyarakat sudah menunjukkan keprihatinan yang mendalam dan
mengkhawatirkan. Hal-hal yang terkait dengan kekerasan, seks, mistik, dan moral rendah,
digambarkan dalam format yang tidak semestinya ada dalam tayangan yang ditujukan untuk
remaja.
Adegan pertengkaran, intrik, pacaran sebagai hal biasa dan wajar, pelecehan guru, dan atribut
sekolah, dengan tampilan pakaian sekolah secara semi transparan dan minim, cukup banyak dan
sering ditampilkan untuk segmen remaja.
Keprihatinan kita semakin serius, karena saat jam penayangannya, juga serta-merta dapat
ditonton oleh anak usia SD, karena jam tayang yang acak, serta selisih waktu antara Indonesia
bagian barat dan timur Selama ini, kehidupan Jakarta dengan segala problematikanya, telah
mendominasi segmen dan setting acara TV, khususnya TV swasta.
Dampak dari pola setting dan segmen acara yang sangat Jakarta sentris tersebut, akhirnya
berakibat pada imitasi tingkah laku khalayak pemirsa yang berpatron pada pola dan gaya
hidup ala Jakarta. Sementara itu, akar persoalan khalayak pemirsa pada umumnya, justru lebih
bernuansa lokal. Akibatnya, banyak terjadi alienasi dalam menyelesaikan persoalan kehidupan di
masyarakat pedesaan.
Kesemua buah permasalahan tersebut, tidaklah terlepas dari sistem dan struktur penyiaran yang
sepenuhnya belum berubah dalam memperlakukan ruang publik, sesuai tuntutan reformasi, guna
memenuhi hak atas aspirasi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Padahal, secara perundang-undangan telah dengan jelas diatur upaya untuk mengantisipasi
berbagai permasalahan, yang selama ini diduga kuat sebagai kondisi dan faktor yang tidak lagi
layak untuk dipertahankan dalam pertumbuhan peran dunia penyiaran Indonesia.
Di antara aspek yang diatur tersebut, adalah keharusan bagi segenap lembaga penyiaran swasta
(Khususnya televisi) untuk segera (Desember 2007) menyesuaikan diri (setelah diberi waktu
selama lima tahun) dalam sistem siaran yang berjaringan
Namun, tuntutan undang-undang tersebut yang kemudian diperkuat oleh desakan Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) agar segenap lembaga penyiaran TV swasta segera
mengalokasikan program siaran yang bernuansa lokal, berikut struktur penyiaran yang
berjaringan, ternyata tak direspons secara positif oleh segenap lembaga penyiaran swasta.
Pemilik dan sebagian pengelola TV swasta merasa keberatan, dengan alasan takut rugi secara
finansial... :awas:. Berjaringan, berarti harus berinvestasi ke daerah, sementara dalam
hitungannya, modal belum tentu bisa kembali. Meskipun telah diketahui bersama, bahwa selama
ini sebagian dari mereka telah maraup keuntungan ekonomi yang tidak sedikit.
Pertanyaannya adalah, apakah keuntungan ekonomi yang mereka peroleh itu, telah disadari
sebagai hasil dari pemanfaatan frekuensi yang pemilik azalinya adalah rakyat yang sebagaian
besar ada di daerah luar Jakarta? Mereka sebagai pengguna yang kemudian menguasai frekuensi
yang terbatas itu,
sesungguhnya hanyalah diamanati lewat lembaga negara (KPI dan pemerintah) untuk
mengunakannya sebaik dan sebenar mungkin. Bahwa sampai detik ini, cara menggunakan
amanat frekuensi tersebut justru cuma menghasilkan sampah informasi, maka di situlah
persoalannya.
(Penulis Aswar Hasan adalah alumnus The International Institute of Human Rights Strasbourg
Perancis, Ketua KPID Sulawesi Selatan)
**********************
10. Peran Media Komunikasi Modern (TV) sebagai Sarana untuk Menghancurkan
http://ccc.1asphost.com/assalam/ArtikelIslam/media/artikel_detail.asp?Id=101
Lain-lain disini:
http://ccc.1asphost.com/assalam/ArtikelIslam/media/artikel.asp
#2: Pemasang: shincan2, Lokasi: sekarang di DUMAI...selamat tinggal Jakarta Dikirim: 04
Mar 2008 09:39 pm
----
[center]TV DAN INTERNET BERI ANDIL MELEDAKNYA ANGKA
SEKS PRANIKAH[/center]
*** Pengaruh tayangan televisi yang menonjolkan pornografi dan pornoaksi, maraknya
penjualan keping disk khusus dewasa serta kebebasan membuka situs pornografi di internet
diduga semakin `meledakkan` angka seks pra nikah yang dilakukan para remaja di Jawa Barat.
Tampil sebagai pembicara Ketua Divisi Pemuda Aliansi Selamatkan Anak Indonesia (ASA) Arif
Srisardjono S Sos, sosiolog dari STAIN Cirebon Prof Dr Abdullah Ali MA, dan Shakina Mirfa
Nasution SE MApp.Fin juga dari ASA. .
Menurut Arif Srisardjono, angka seks pra nikah yang menghinggapi remaja di Jawa Barat
diperkirakan lebih dari 40 persen, karena hasil survei tahun 2002 menunjukkan 40 persen remaja
berusia 15-24 tahun telah mempraktekan seks pranikah. :wataw: :wataw:
Demikian juga survei Yayasan Kita dan Buah Hati tahun 2005 di Jabodetabek didapatkan hasil lebih
dari 80 persen anak-anak usia 9-12 tahun telah mengakses materi pornografi dari sejumlah media
termasuk internet.
"Jika saja ada kembali survei tahun 2007 ini maka angka seks pra nikah mungkin lebih besar
lagi," katanya.
Ia mendesak agar UU Pornografi yang memberikan perlindungan kepada anak dan remaja segera
diundangkan dan UU tersebut harus mengakomodir klausul khusus tentang perlindungan anak
dari pemanfaatan dalam produksi pornografi.
"Di China sangat keras proteksi untuk itu dimana semua warung
internet diwajibkan memblok situs-situs pornografi, tetapi di sini tidak
ada pengawasan itu," katanya.
Ia mengungkapkan, masyarakat harusnya menyadari bahwa serangan pronografi dan
pornoaksi itu telah muncul di berbagai tempat sehingga selain mengawasi segala aktifitas
anak-anaknya, juga harus semakin mempertebal keimanan mereka.
Melebihi kokain:
Menurut Shakina, kerusakan otak yang diakibatkan pornografi yang dilihat, didengar
dan dirasakan akan melebihi kokain karena pornografi akan mengaktifan jaringan seks yang
diciptakan Tuhan untuk orang yang sudah menikah.
"Tuhan menciptakan enam jenis hormon yang aktif pada hubungan pasangan yang sudah
menikah. Kini hormon tersebut diaktifkan pada anak dan tanpa pasangan," katanya.
:hmmm:
sumber:
http://www.bkkbn.go.id/article_detail.php?aid=843
#3: Pemasang: shincan2, Lokasi: sekarang di DUMAI...selamat tinggal Jakarta Dikirim: 04
Mar 2008 09:44 pm
----
Taufik Ismail: Film -Sinetron 'Ekspresi Syahwat' yang Mengubah
Perilaku
Keberadaan film dan sinetron Indonesia yang muncul sejalan dengan proses reformasi
merupakan salah satu komponen gerakan syahwat merdeka,
>> http://myquran.org/forum/index.php/topic,21251.0.html
sebab akhir-akhir terdapat kecenderungan perubahan budaya prilaku masyarakat yang tidak
pernah terfikirkan sebelumnya.
"Pembuatan film dan sinetron di televisi yang merupakan ekspersi syahwat yang
itu ditonton tidak tanggung-tanggung oleh 170 juta pemirsa, " ujar Budayawan
Taufik Ismail dalam sidang pleno pengujian UU No.8 Tahun 1992 tentang perfilman, di Gedung
Mahkamah Kostitusi, Jakarta, Kamis(24/1).
Ia menjelaskan, selain film dan sinetron, komponen lain yang dibawa oleh kelompok permisif
dan adiktif ini masuk ke dalam tanah air yaitu, perilaku seks bebas, penerbit Majalah dan
tabloid mesum bebas tanpa SIUPP menjual wajah dan kulit perempuan muda, 4, 2 juta situs
porno dunia dan 100 ribu situs porno Indonesia dengan berbagai imaji seks, VCD porno yang
menjadikan Indonesia surga besar dari pornografi yang paling murah didunia,
peredaran komik cabul yang sasarannya anak-anak sekolah, produsen dan pengedar narkoba
yang mencengkram 3 juta anak-anak muda, pabrik dan pengguna alkohol yang bisa merdeka
sampai ke desa-desa, serta produsen nikotin. :toe:
"Kenapa alkohol, narkoba, dan nikotin termasuk dalam kontributor arus ini, karena sifat adiktifnya
kecenderungan fanatis, itu interaksi dengan seks, " jelasnya.
Ia menilai, perubahan politik yang membawa berkah ini melalui reformasi, akan tetapi disisi
lain menimbulkan laknat yang tidak sedikit. "Rasa malu bangsa ini yang sudah terkikis,
dengan mereka yang sudah mabuk karena reformasi ini. Apakah bisa berbicara dengan kaidah-
kaidah agama atau kaidah moral, tidak lagi, karena akan ditertawakan, " imbuhnya.
Senada dengan itu, Ketua MUI H. Amidhan menyatakan, tanda-tanda mengaburkan suatu
kebenaran yang bersumber pada nilai-nilai yang berlaku dalam agama dan masyarakat saat ini
sudah terjadi pada beberapa kelompok masyarakat di Indonesia. Bahkan, lanjutnya, kelompok
tersebut memandang pemikiran yang benar itu, sebagai sesuatu yang dokmatis, pragmatis,
fundamentalis dan sebagainya. :koran:
Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional Deddy Mizwar mengatakan, masalah industri
perfilman tidak hanya terkait dengan sensor saja, namun bagaimana meningkatkan kreativitas
untuk memajukan industri perfilman Indonesia.
Ia menilai, meski lembaga sensor film dirasakan belum menjalan tugasnya secara optimal,
karena itu perlu melakukan perbaikan untuk kedepannya. "Keberadaan LSF perlu
disempurnakan, " ujar Pemeran Utama Ustadz Husein di Sinetron Lorong Waktu ini. (novel)
Sumber:
http://www.eramuslim.com/berita/nas/8124145310-taufik-ismail-film--sinetron-039ekspresi-
syahwat039-mengubah-perilaku.htm
#4: Pemasang: shincan2, Lokasi: sekarang di DUMAI...selamat tinggal Jakarta Dikirim: 04
Mar 2008 09:47 pm
----
[center]Menggugat Sinetron Berlatar Sekolah[/center]
Entah pikiran apa yang ada di benak penulis skenario sinetron tentang pendidikan
ketika dia sedang menulis. Yang pasti, hasil khayalannya dalam sinetron yang kita lihat selalu
mewujudkan dunia pendidikan dalam gambaran yang suram, naif, memelas, bahkan cenderung
memalukan. Terutama wujud sosok guru alias pahlawan tanpa tanda jasa. Tanpa sadar penulis
sinetron mengolok-olok bahkan melecehkan keberadaan sang guru.
Sosok guru dalam sinetron selalu digambarkan sebagai tokoh yang serba kekurangan secara
total. Kekurangan lahir batin! Penampilan yang culun dan naif. Sikap yang mengundang tawa
dan memelas tampaknya belum memuaskan penulis sinetron sehingga dia perlu melengkapinya
dengan menyerahkan pemeran guru kepada seorang badut! Bayangkan, seorang tokoh yang
mestinya dihormati dan diteladani diperankan oleh seorang badut yang sepanjang durasi
tayangan diharapkan mampu mengocok perut pemirsa.
Yang pasti, tokoh sang guru teraniaya dalam sinetron! Tidak ada lagi penghormatan kepadanya,
bahkan tokoh guru dijadikan eksplorasi cemoohan dan ini seolah sudah menjadi salah satu kiat
penulis sinetron, mungkin sutradara, bahkan si produser, untuk lebih mengangkat nilai jual
sinetron tersebut.
Tayangan adegan suasana pelajaran pun terasa kontras sekali dengan kenyataan sebenarnya.
Dalam adegan-adegan tersebut, sang guru selalu berada dalam keadaan kalah dan salah. Ujung-
ujungnya, sang guru pun menjadi bahan ledekan. Tak ada lagi siswa yang segan, apalagi
menghargai sang guru. Sikap para siswa pun tampak berlebihan dan sama sekali tidak
menampakkan mereka membutuhkan guru atau sekolah.
Penampilan sosok para siswa dalam sinetron pun sangat berlebihan. Tidak lagi sesuai dengan
norma-norma pendidikan. Siswa putra biasanya digambarkan dengan rambut yang panjang
(sekalipun untuk siswa SMP), gelang, dan kalung rantai. Siswa putri juga tampak tidak
mencerminkan seorang siswa sekolah. Atribut kewanitaannya lebih mengarah kepada suasana
pesta. Bahkan, pernah ada pada suatu sinetron yang tokoh wanitanya (seorang siswi) memakai
atribut yang sangat tidak mungkin diizinkan untuk dipakai di sekolah sekalipun oleh sekolah di
Jakarta.
Ada suatu ingatan yang masih mengganggu dalam ingatan penulis, yaitu ketika menyaksikan
klip video lagu anak-anak. Dalam lagu yang bersyair tentang perjumpaan guru dengan siswa di
sekolah, ada hal yang terasa janggal. Yaitu tokoh guru dalam klip video tersebut diperankan
seorang yang (maaf) cebol! Sang guru cebol itu memeragakan akting yang berlebihan.
Syukurlah, lagu itu mungkin tidak bermutu sehingga hanya beberapa kali muncul di layar
televisi. Allhamdulillah!
Gambaran ekonomi pun tertampilkan dengan hal yang sangat tidak sesuai (kontradiksi). Begitu
berlebihannya si penulis sinetron dalam mengumbar kemewahan yang dipunyai oleh para siswa
yang nota bene masih sangat anak-anak. Hampir tidak ada tokoh siswa yang memakai sepeda
pancal ketika datang ke sekolah. Kebanyakan para siswa itu memakai sepeda motor. Bahkan, ada
yang sangat kelewatan, yakni adanya siswa SMP yang memakai mobil! Sungguh manakjubkan
anak SMP di Indonesia!
Bukankah rata-rata anak SMP usianya belum memenuhi syarat untuk mempunyai SIM? Lalu,
alasan apa yang dipakai oleh si penulis sinetron dan sutradara dengan menampilkan adegan itu?
Bukankah ini membawa dampak yang tidak baik bagi siswa yang tidak berada dalam sinetron
alias dalam kehidupan nyata?
Dalam kasus ini, tampaknya, penulis sinetron ataupun sutradara melupakan satu hal, yaitu telah
berubahnya pola pikir masyarakat di mana tontonan telah menjadi tuntunan? (mudah-mudahan
penulis salah).
Ada satu hal mendasar yang menyebabkan begitu sinisnya dunia persinetronan terhadap dunia
persekolahan: observasi. Kurangnya atau lebih tepatnya tidak adanya observasi dari penulis
sinetron terhadap situasi persekolaham membuat tayangan sinetron begitu berlepotan.
Perkembangan dunia persekolahan yang telah berubah dengan sangat pesat tidak diketahui atau
terekam oleh penulis sinetron.
Sebenarnya, sebagai suatu komunitas, ada beberapa warna sosial di sekolah. Ada warna
kepatuhan siswa terhadap guru, ketaatan dan kedisiplinan terhadap aturan, dan semaraknya mode
terkini. Juga ada kesetiakawanan dan persahabatan di kalangan siswa. Dan yang paling menonjol
adalah kepatuhan atau sikap hormat siswa kepada guru dan ketaatan siswa terhadap tata tertib
sekolah. Memang sih tidak semua sekolah, tapi yang sebenarnya adalah, hal-hal yang baik-baik
masih menjadi urat nadi hidup dan kehidupan sekolah-sekolah di Indonesia!
Dalam warna kepatuhan yang mendalam itulah sosok guru berada. Ia pun menjadi tokoh sentral
yang karismatik dan diteladani secara sadar oleh siswa-siswanya. Maka sang guru pun harus bisa
tampil sesempurna mungkin baik dalam keberadaannya di dalam maupun di luar kelas.
Yang pasti, potret sosok sang guru dalam kehidupan nyata berbeda terbalik dengan sosok guru
dalam sinetron yang ber-setting sekolah. Para penulis sinetron harus tahu itu!
Banyak rambu yang mesti diperhatikan oleh kalangan penulis sinetron dalam berkarya
ketika menggunakan sekolah sebagai setting atau latar dalam karyanya. Pengetahuan yang luas
dan mendalam tentang sekolah plus penghuninya harus betul-betul dikuasainya. Sebab,
bagaimanapun, lingkungan sekolah adalah lingkungan yang bermartabat tinggi dan itu telah
dirasakan dan diakui oleh masyarakat kita, lebih-lebih kalangan menengah ke bawah.
Ada beberapa karakter yang tidak boleh dibuat main-main dalam lingkungan pendidikan.
Karakter itu harus diperlakukan dengan semestinya, apa adanya. Sangat ditabukan bila berlebih-
lebihan-ini yang biasanya tampak dalam sinetron kita. Karakter-karakter itu adalah sosok
pahlawan tanpa tanda jasa alias sang guru dengan segala problematiknya, silaturahmi siswa
dengan guru, dan ketaatan siswa kepada sekolah. Ringkasnya adalah segala gerak gerik penghuni
sekolah secara keseluruhan. (*)
Rochmat Santoso
Guru SMP Negeri I Dagangan, Madiun
http://jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=328062
BACA LAGI:
http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=17754