You are on page 1of 14

MAKALAH KELOMPOK 4

“KONSTITUSI”

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

Hans Jonni E21109255


Sri Hasnaeni Asiz E21109256
Ainun Azwariah E21109257

Jurusan Ilmu Administrasi Negara


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
Rahmat, hidayah dan karunia-Nya yang tiada ternilai kepada kelompok
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah kelompok
ini. Penulisan makalah kelompok ini yang berjudul ”Konstitusi” adalah
upaya pembelajaran mengenai sistem ”Konstitusi” yang berlaku di
Indonesia.

Banyak rintangan dan hambatan yang kelompok kami hadapi dalam


penyusunan makalah ini. Namun berkat bantuan dan dukungan berbagai
pihak , baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, Alhamdulillah
kelompok kami dapat menyelesaikannya. Penulis ucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan
dan do’a, semoga Tuhan membalas amal baik yang telah dilakukan umat-
Nya.

Penulis

Kelompok 4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Konstitusi merupakan seperangkat aturan main dalam kehidupan


bernegara yang mengatur hak dan kewajiban warga negara dan negara.
Konstitusi biasa disebut dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Keberadaan
konstitusi di suatu negara diharapkan dapat melahirkan sebuah negara
yang demokratis. Namun hal itu tidak akan terwujud apabila terjadi
penyelewengan atas konstitusi oleh penguasa yang otoriter.

B. Rumusan Masalah

Pada pembahasan ini akan diuraikan tentang unsur-unsur dalam konstitusi


meliputi:

1. Pengertian konstitusi

2. Tujuan, fungsi dan ruang lingkup konstitusi

3. Klasifikasi konstitusi

4. Sejarah perkembangan konstitusi

5. Sejarah kelahiran dan perkembangan konstitusi di Indonesia

6. Perubahan konstitusi di Indonesia

7. Lembaga kenegaraan pasca amandemen UUD ’45

8. Tata urutan perundang-undangan Indonesia

9. Sistem Ketatanegaraan Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Konstitusi

Konstitusi berasal dari bahasa Perancis “Constituer”yang berarti


membentuk. Maksud dari istilah tersebut adalah pembentukan,
penyusunan atau pernyataan akan suatu negara. Dalam bahasa Latin,
konstitusi merupakan gabungan dua kata “Cume” berarti “bersama
dengan ….” dan “Statuere” berarti: “membuat sesuatu agar berdiri atau
mendirikan, menetapkan sesuatu”. Sedangkan Undang-Undang Dasar
merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Grondwet”. “Grond” berarti
tanah atau dasar, dan “Wet” berarti Undang-Undang.

Menurut istilah, konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan


baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat
cart-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.

Menurut F. Lasele konstitusi dibagi menjadi 2 pengertian, yakni:

1. Sosiologis dan politis. Secara sosiologis dan politis, konstitusi adalah


sintesa faktor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat.

2. Yuridis. Secara yuridis konstitusi adalah suatu naskah yang memuat


semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.

2. Tujuan, Fungsi dan Ruang Lingkup Konstitusi

Secara garis besar, tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan


sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah
dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Sedangkan
fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen nasional dan alat untuk
membentuk sistem politik dan sistem hukum negara.

Menurut A. A. H. Struycken ruang lingkup konstitusi meliputi:

a. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau

b. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa

c. Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwajibkan, baik waktu sekarang


maupun untuk masa yang akan datang.
d. Suatu keinginan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan
bangsa hendak dipimpin.

3. Klasifikasi Konstitusi

K. C. Weare mengklasifikasikan konstitusi menjadi 5, yaitu:

a. Konstitusi tertulis dan tidak tertulis

Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang memiliki


“kesakralan khusus” dalam proses perumusannya. Sedangkan konstitusi
tidak tertulis adalah konstitusi yang lebih berkembang atas dasar adat-
istiadat dari pada hukum tertulis.

b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi kaku

Konstitusi yang dapat diubah atau diamandemen tanpa adanya prosedur


khusus disebut dengan konstitusi fleksibel. Sebaliknya, konstitusi yang
mempersyaratkan prosedur khusus untuk perubahan atau
amandemennya adalah konstitusi kaku.

c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi

Konstitusi derajat tinggi ialah konstitusi yang mempunyai kedudukan


tertinggi dalam negara. Sedangkan konstitusi tidak derajat tinggi ialah
konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti
konstitusi derajat tinggi.

d. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan

Bentuk ini berkaitan dengan bentuk negara; jika negara itu serikat, maka
akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara
serikat dengan pemerintah negara bagian

e. Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem


pemerintahan parlementer

Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial :

- Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih


- Presiden bukan pemegang kekuasaan legislatif

- Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan


tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.

Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial

- Kabinet yang dipilih PM dibentuk atau berdasarkan ketentuan yang


menguasai parlemen

- Para anggota kabinet sebagian atau seluruhnya adalah anggota


parlemen

- Kepala negara dengan saran PM dapat membubarkan parlemen dan


memerintahkan diadakannya pemilu.

4. Sejarah Perkembangan Konstitusi

Konstitusi telah lama dikenal sejak jaman bangsa Yunani. Pada masa itu
pemahaman tentang konstitusi hanyalah merupakan suatu kumpulan dari
peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Sejalan dengan perjalanan
itu, pada masa kekaisaran Roma konstitusi berubah makna, yakni; suatu
kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar,
pernyataan dan pendapat ahli hukum, negarawan, serta adat kebiasaan
setempat selain undang-undang.

Selanjutnya pada abad VII lahirlah piagam Madinah atau konstitusi


Madinah yang merupakan satu bentuk konstitusi pertama di dunia yang
telah memuat materi sebagaimana layaknya konstitusi modern dan telah
mendahului konstitusi-konstitusi lainnya di dalam meletakkan dasar
pengakuan terhadap hak asasi manusia.

Pada tahun 1789 meletus revolusi di Perancis, ditandai oleh ketegangan-


ketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara.
Maka pada tanggal 14 September 1791 tercatat diterimanya konstitusi
Eropa pertama oleh Louis XVI. Sejak peristiwa inilah, sebagian besar
negara-negara di dunia sama-sama mendasarkan prinsip
ketatanegaraannya pada sandaran konstitusi.

Dan akhirnya, muncullah konstitusi dalam bentuk tertulis yang dipelopori


oleh Amerika. Namun, konstitusi pada waktu itu belum menjadi hukum
dasar yang penting. Konstitusi sebagai UUD, atau “Konstitusi Modern”
baru muncul bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi
perwakilan.

5. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Konstitusi di Indonesia

Undang-Undang Dasar atau konstitusi negara republik Indonesia disahkan


dan ditetapkan oleh panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada
tanggal 18 agustus 1945 diketuai oleh Ir. Soekarno. Dalam perjalanan
sejarah, konstitusi Indonesia telah beberapa kali mengalami pergantian
baik nama maupun substansi materi yang dikandungnya. Berikut
perjalanan sejarahnya ;

1. Undang-Undang Dasar 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus


1945 – 27 Desember 1949.

2. Konstitusi RIS dengan masa berlakunya sejak 27 Desember 1949 – 17


Agustus 1950.

3. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950


yang masa berlakunya sejak 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959.

4. Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali


konstitusi pertama Indonesia dengan masa berlakunya sejak Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 – sekarang.

6. Perubahan Konstitusi di Indonesia

Berdasarkan pasal 37 UUD 1945, tata cara perubahan Undang-Undang di


Indonesia adalah :

1. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR


apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

2. Setiap usul perubahan pasal-[asal UUD diajukan secara tertulis dan


ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta
alasannya.

3. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-


kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu
anggota dari seluruh anggota MPR.

7. Lembaga Kenegaraan Pasca Amandemen UUD ’45

Reformasi ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga


kenegaraan sebagai hasil dari proses amandemen UUD 1945
dikelompokkan dalam kelembagaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
sebagaimana dijelaskan di bawah ini :

1. Lembaga Legislatif

Dalam ketatanegaraan Indonesia, legislatif terdiri dari tiga lembaga, yakni


DPR, DPD dan MPR. DPR adalah lembaga negara dalam sistem
ketatanegaraan republik Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan
rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Diantara
tugas DPR adalah membentuk Undang-Undang yang dibahas oleh
presiden untuk mendapat persetujuan bersama, membahas dan
memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang dan lain sebagainya.

Sedangkan DPD merupakan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan


Indonesia yang merupakan wakil-wakil daerah propinsi.

2. Lembaga Eksekutif

Lembaga eksekutif di Indonesia dilakukan oleh presiden yang dibantu oleh


wakil presiden dalam menjalankan kewajiban negara. Dalam hal ini,
presiden sebagai simbol resmi negara dan juga sebagai kepala
pemerintahan, yang di dalamnya presiden dibantu oleh menteri-menteri
dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk menjalankan tugas-
tugas pemerintahan sehari-hari.

3. Lembaga Yudikatif

Cabang kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang


terdiri dari Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
8. Tata Urutan (Hierarki) Perundang-Undangan Indonesia

Hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPR No.


III Tahun 2000 adalah sebagai berikut :

1. UUD 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

5. Peraturan Pemerintah

6. Keputusan Presiden

7. Perda (Peraturan Daerah)

Kemudian hierarki perundang-undangan tersebut diganti dengan hierarki


perundang-undangan baru yang diatur dalam Pasal 7, yaitu :

1. UUD 1945

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

3. Peraturan Pemerintah

4. Peraturan Presiden

5. Perda, meliputi: Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, Peraturan Desa.

Sistem “Pemerintahan Sendiri”.

Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD


1945, sistem
pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial.
Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR
tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power,
lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1)
menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan
karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats
fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih
lanjut dalam Penjelasan UUD 1945. Sistem presidensial tidak mengenal
adanya lembaga pemegang supremasitertinggi. Kedaulatan negara
dipisahkan (separation of power) ke 3 cabang yaknilegislatif, eksekutif
dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politicaoleh
Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat
untuk masa kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi
kekuasaan berada pada Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu-
pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab kepada
Presiden. Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang
merupakan kaidah dasar baru sistem pemerintahan negara Indonesia,
akan membawa bangsa ini semakin dekat dengan cita-cita para perumus
konstitusi, suatu pemerintahan konstitusional yang demokratis, stabil dan
efektif untuk mencapai tujuan negara? Apakah sistem pemerintahan
negara yang tidak konsisten dengan harapan para perancang konstitusi
seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan menjamin
kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia?

Ternyata tafsiran Panja Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR,


tentang
sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para
perancang
Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen
lengkap rapatrapat BPUPK sekitar 11 – 15 Juli 1945 dan PPKI pada 18
Agustus 1945 yang terdapat pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K.
Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman
pandangan para founding fathers tentang sistem
pemerintahan negara. Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang
baru-baru ini diungkapkan kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen
Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum U.I., dalam sebuah monograf
berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan Fakultas Hukum
U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran
bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-
citakan para perancang Konstitusi Indonesia.
Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai
Juli 1945
memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para
Bapak Bangsa
tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof.
Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan
pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk
mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica ala Montesqieue
bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin
artinya Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot
dan tidak dipraktekkan lagi di negara Eropah Barat. Pada rapat Panitia
Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai kesepakatan
bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer
seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan
individualisme. Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan
kekuasaan secara tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif terdapat
fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah „bagian“
dari kekuasaan legislatif.

Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif


adalah anggota parlemen. Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang
tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut
mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial mengandung
resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat
kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya
berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di
Amerika Serikat bertentangan dengan semangat dbemokrasi.Indonesia
yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“ sesuai usulan Dr.
Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua
Panitia KecilBPUPK. Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang
berbeda untuk menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny
menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, Padmo Wahono menamakannya
Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem
MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik
sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial.
Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang
UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem
parlementer. “Sistem sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan
yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing
tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden adalah eksekutif
tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat
diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat
dan bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem
presidensial. Sistem pemerintahan khas Indonesia juga
mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR
ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan
negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer.
Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR sebagai
perwujudan seluruh rakyat.

Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang


memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah
serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga
perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR Presiden yang menjalankan
kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah
unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislative (legislative
councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak
dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun
undang-undang.

Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal
18
Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang
kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan
dari seluruh
rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis
yang amat
kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih,
DPR,
wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat.
Dengan kata lain,
MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral.

9. Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Sistem ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945,


sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja
berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum
yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi manusia dan lain-lan.
Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah
air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di bidang
sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional.

Tentu semua cakupan masalah yang begitu luas, tidak dapat saya
ketengahkan dalam ceramah yang singkat ini. Ceramah ini hanya akan
menyoroti beberapa aspek perubahan konstitusi dan pengaruhnya
terhadap lembaga-lembaga negara, yang menjadi ruang lingkup kajian
hukum tata negara. Terkait dengan hal itu, saya tentu harus menjelaskan
sedikit latar belakang sejarah, gagasan dan hasil-hasil perubahan, yang
menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dengan UUD 1945 sebelum
amandemen. Saya ingin pula mengetengahkan serba sedikit analisis,
tentang kelemahan-kelemahan UUD 1945 pasca amandemen, untuk
menjadi bahan telaah lebih mendalam, dan mungkin pula dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan bagi penyempurnaan UUD 1945 pasca
amandemen.
BAB III

PENUTUP

You might also like