You are on page 1of 644

•>
( IBNU HAJAR AL ASQALANI C

Penjelasan
Kitab Shahih Al Bukhari
Peneliti:
Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Terbitan (KDT)

Ibnu Hajar Al Asqaiani, Al Imam Al Hafizh


Fathul Baari syarah : Shahih Bukhari / Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar
Al Asqalani; penerjemah, Amiruddin, Lc. - Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
644 hlm.; 23.5 cm

Judul asli: Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari.


ISBN 979-3002-03-4
ISBN 979-3002-05-0

1. Hadis I. Judul II. Amiruddin, Lc.

297 .132

Judul Asli Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari


Pengarang Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani
Penerbit Maktabah Darussalam, Riyadh
Tahun Terbit Cetakan I, tahun 1418 H./1997M

Edisi Indonesia:
FATHUL BAARI
Syarah S h a h i h Al Bukhari
Buku 2
Penerjemah Amiruddin, Lc.
Editor Abu Rania, Lc.
Titi Tartilah, S. Ag.
Desain Cover DEA Grafis
Cetakan Pertama, Juli 2002 M
Penerbit PUSTAKA AZZAM
Anggota IKAPI DKI
Alamat Jl. Kampung Melayu Kecil III/15 Jak-Sel 12840
Telp (021)8309105/8311510
Fax (021)8309105
E-Mail:pustaka_azzam@telkom.net

VI — FATHUL BAARI
DAFTAR ISI

Daftar Isi VII

KITABUL WUDHU

WUDHU 2
Tentang Wudhu 2
Tidak Diterima Shalat tanpa Bersuci 10
Keutamaan Wudhu, Cahaya di Wajah, Tangan dan Kaki karena
Bekas Wudhu 13
Tidak Berwudhu karena Syak (Ragu) hingga Benar-benar Yakin 17
Berlaku Ringan dalam Berwudhu 22
Menyempurnakan Wudhu 26
Membasuh Muka dan Tangan Lebih dari Satu Cidukan 29
Membaca Basmalah dalam Setiap Keadaan dan Saat Melakukan
Hubungan Suami Istri 32
Apa yang Diucapkan saat Buang Hajat 34
Bab Menyiapkan Air di Tempat Buang Hajat 41
Tidak Boleh Menghadap Kiblat Saat Membuang Air Besar atau Kecil,
Kecuali Bila Berada dalam Suatu Bangunan atau Terhalang Tembok
Maupun yang Sepertinya 42
Buang Hajat di Atas Dua Batu Bata 48
Keluarnya Wanita ke tempat Buang Hajat 53
Buang Hajat di Rumah 56
Istinja' Dengan Air 58
Orang yang Dibawakan Air Untuk Dipakai Bersuci 61

FATHUL BAARI — VII


Membawa Tombak dan Air Waktu Istinja' 63
Larangan Istinja' dengan Tangan Kanan 66
Tidak Boleh Memegang Kemaluan dengan Tangan Kanan waktu
Kencing 69
Istinja' dengan Batu 72
Tidak Boleh Istinja" dengan Menggunakan Kotoran Binatang 75
Berwudhu Satu Kali Satu Kali 80
Berwudhu Dua Kali Dua Kali 0
V

Berwudhu Tiga Kali Tiga Kali .. > 1


Memasukkan Air ke Dalam Hidung Saat Wudhu 9U
Bersuci dengan Batu dalam jumlah yang Ganjil 95
Mencuci Kedua Kaki dan Tidak Menyapun>a .''l
Berkumur-Kumur Saat Berwudhu - '. '-'4
Membasuh Mata Kaki 1 ».'"
Membasuh Kedua Kaki Sambil Memakai SaadaJ &ML TJOM. V n ^ - s a r
Bagian Atas Sandal . '. 0 9
Mendahulukan yang Kanan Saat Berwudhu dan Man-d: .114
Mencari Air Ketika Waktu Shalat Tiba 119
Air yang Dipakai Mencuci Rambut Manusia 122
Orang yang Berpendapat tidak Ada Wudhu Kecuali Karer.a Sesuaru
yang Keluar dari Dua Jalan, (Qubul & Dubur) 149
Mewudhukan Orang Lain 164
Membaca Al Qur'an Setelah Hadats dan Selainnya 168
Tidak Berwudhu Kecuali Karena Hilangnya Kesadaran yang Cukup
Berat 174
Mengusap Kepala Secara Keseluruhan 177
Membasuh Kedua Kaki hingga Mata Kaki 193
Mempergunakan Sisa Air Wudhu Orang Lain 195
Orang yang Berkumur-kumur dan Mengeluarkan Air dan Hidung
dengan Satu Cidukan 202
Membasuh Kepala Satu Kali 204
Seorang Laki-laki Berwudhu Bersama Istrinya, Air Sisa Wudhu
Wanita, Umar Pernah Berwudhu dengan Air Panas di Rumah Seorang
Wanita Nasrani 208
Nabi SAW Menyiramkan Air Wudhunya Kepada orang yang
Pingsan 216
Mandi dan Air Wudhu di Mikhdhab, Qadah, Kayu dan Batu 217
Berwudhu dari Taur 222
Berwudhu dengan Satu Mud 226
Mengusap Bagian Atas Sepasang Sepatu 228
Seseorang yang Memakai Sepatu sedang Kedua Kakinya dalam
Keadaan Suci 239

VIII — F A T H U L B A A R I
Tidak Berwudhu karena Makan Daging Kambing dan Sawiq 243
Berkumur-Kumur karena Makan Sawiq dan Tidak Berwudhu 248
Haruskah Berkumur-Kumur karena Minum Susu? 251
Berwudhu karena Bangun Tidur, dan Pendapat Tidak Ada Wudhu
karena Rasa Kantuk Ringan 253
Berwudhu Bukan karena Hadats 259
Termasuk Dosa Besar Tidak Menutup Diri Saat Buang Air Kecil 262
Membersihkan Kencing 275
Nabi SAW dan Orang-orang Membiarkan Seorang Arab Badui
Menyelesaikan Kencingnya di Masjid 278
Menyiram Kencing Di Masjid dengan Air 280
Kencing Bayi Laki-Laki 286
Kencing Sambil Berdiri dan Duduk 293
Kencing di samping Seorang Sahabat dan Berlindung di Balik
Tembok 297
Kencing di Tempat Pembuangan Sampah Suatu Kaum 299
Mencuci Darah 303
Mencuci dan Mengerik Mani serta Mencuci Apa yang Menyentuh
Wanita 308
Membersihkan Bekas Junub (mani) dan Lainnya Namun Bekasnya
tidak Hilang 313
Kencing Unta, Binatang Ternak, Kambing dan Tentang Kandangnya... 314
Najis yang Jatuh ke dalam Minyak Samin atau Air 335
Kencing di Air yang Tergenang 346
Apabila Di Letakkan Kotoran atau Bangkai di Punggung Orang yang
Shalat, Maka Shalatnya tidak Batal 354
Air Liur, Ingus dan Sepertinya di Pakaian 368
Tidak Boleh Berwudhu dengan An-Nabidz dan Sesuatu yang
Memabukkan 370
Seorang Wanita Mencuci Darah di Wajah Bapaknya 373
Siwak 375
Menyerahkan Siwak kepada yang Lebih Tua 377
Keutamaan Orang yang Tidur Malam dalam Keadaan Berwudhu 380

KITABUL GUSHLI

MANDI 386
Wudhu Sebelum Mandi 389
Suami Istri Mandi Bersama 399
Mandi dengan Satu Sha' dan Sepertinya 401
Orang yang Menyiram Kepalanya Tiga Kali 406
Mandi Satu Kali 410

FATHUL BAARI — IX
Orang yang Memulai dengan Hilab atau Harum-haruman Ketika
Mandi 411
Berkumur-Kumur dan Memasukkan Air Ke Dalam Hidung ketika
Junub 418
Menggosok Tangan dengan Debu supaya Lebih Bersih 420
Apakah Orang yang Junub Boleh Memasukkan Tangannya ke Dalam
Bejana sebelum Mencucinya Jika Tidak ada Kotoran selain Junub di
Tanganya 421
Memisahkan Mandi dengan Wudhu 426
Orang yang Menuangkan (Air) dengan Tangan Kanan ke Tangan Kiri
Ketika Mandi 428
Orang yang Menggauli (Istrinya) Kemudian Mengulanginya dan
Orang yang Mendatangi Istri-istrinya dengan Sekali Mandi 430
Membersihkan Madzi dan Berwudhu Karenanya 438
Orang yang Memakai Harum-Haruman Lalu Mandi dan Aroma
Wanginya Masih Ada 443
Menyela-nyela Rambut dan Menyiramnya ketika Kulit Kepala Terasa
Basah 444
Orang yang Berwudhu dalam Keadaan Junub Lalu Membasuh Bagian
Tubuh Lainnya dan Tidak membasuh Anggota Wudhu lagi 446
Jika Seseorang Teringat dalam Masjid bahwa Ia Sedang Junub Lalu
Keluar Tidak Bertayamum 449
Mengibaskan atau Membersihkan (Air) dengan Tangan setelah Mandi
Junub 451
Memulai Mandi dengan Bagian Kanan Kepala 452
Mandi Telanjang Sendirian di Tempat Sepi, dan bagi yang Menutup
Diri adalah Lebih Baik 453
Menutup Diri Ketika Mandi Jika Ada Orang Lain 459
Apabila Wanita Mimpi Bersenggama 461
Keringat Orang yang Junub dan Seorang Muslim Tidak Najis 466
Orang yang Junub Keluar dan Berjalan di Pasar atau (tempat) Lainnya 469
Orang Junub yang Berdiam Di Rumah Jika Berwudhu Sebelum Mandi
(Wajib) 471
Tidurnya Orang yang Junub 473
Orang yang Junub Berwudhu lalu Tidur 474
Bertemunya Dua Khitan 478
Mencuci Apa yang Menyentuh Kemaluan Wanita 481

KITABUL HAID

HAID 490
Bagaimana Permulaan Haid 491

X — FATHUL BAARI
Masalah yang Berkenaan dengan Wanita Nifas (Haid) 493
Wanita Haid Mencuci Kepala Suaminya serta Menyisir Rambutnya 495
Seorang Suami Membaca Al Qur'an Sambil Berbaring di Pangkuan
Istrinya yang sedang Haid 497
Orang yang Menamakan Nifas dengan Haid 499
Bercumbu dengan Istri yang sedang Haid 502
Wanita Haid tidak Berpuasa 506
Wanita Haid Melakukan Seluruh Manasik Haji kecuali Thawaf di
Baitullah 512
Istihadhah 518
Mencuci Darah Haid 521
I'tikaf bagi Wanita Mustahadhah 523
Bolehkah Wanita Shalat dengan Menggunakan Kain yang Dipakainya
Saat Haid? 528
Harum-Haruman Bagi Wanita Saat Bersuci dari Haid 530
Wanita Menggosok Badannya Saat Bersuci dari Haid. Bagaimana Ia
Mandi dan Mengambil Kapas yang Diberi Minyak Wangi
Untuk Membersihkan Bekas Darah 532
Mandi (Suci) dari Haid 537
Wanita Menyisir Rambutnya Setelah Mandi (suci) dari Haid 538
Wanita Mengurai Rambutnya Saat Mandi Haid 540
Yang Sempurna Kejadiannya dan Yang tidak Sempurna 543
Bagaimana Wanita Haid Melaksanakan Ikhram Haji dan Umrah 546
Awal dan Akhir Masa Haid 547
Wanita Haid Tidak Mengqadha' Shalat 551
Tidur Bersama Wanita yang sedang Haid dan Dia Memakai
Pakaiannya 554
Memakai Pakaian Haid Selain Pakaian Pada Waktu Suci 555
Wanita Haid Turut Hadir Pada Shalat Dua Hari Raya dan Da'wah
Kaum Muslimin, tapi Mereka Tidak Mendekati Mushalla 556
Jika Wanita Mengalami Tiga Kali Haid dalam Sebulan. Apa yang
Dibenarkan bagi Wanita Selama Haid atau Hamil dan Apa yang
Mungkin dari Haid 559
Cairan Kuning dan Coklat selain Masa Haid 563
Penyakit Istihadhah 564
Wanita Mengalami Haid setelah Ifadhah 567
Apabila Wanita Mustahadhah Melihat Tanda Suci 568
Menshalati Wanita yang Meninggal Saat Nifas dan Sunnahnya 570
Bab 572

FATHUL BAARI — XI
KITABUT TAYAMUM

TAYAMUM 576
Bab 576
Jika Tidak Didapatkan Air dan Debu (Tanah) 603
Tayamum Saat Mukim (Tidak Berpergian) Jika Tidak Menemukan Air
dan Khawatir Waktu Shalat Habis 605
Apakah Orang yang Bertayamum Meniup (Debu) Pada Kedua
Tangannya? 610
Tayamum Untuk Muka Dan Kedua Telapak Tangan 614
Tanah (Debu) Yang Baik Cukup Untuk Wudhu Orang Muslim Jika
Tidak Ada Air 618
Orang yang Junub Melakukan Tayamum karena Khawatir dirinya Akan
Sakit, Mati dan Kehausan 635
Tayamum Dengan Satu Kali Pukulan (Tepukan) 638
Bab 643

YA mMPUMG$UM9Uk

XII — FATHUL BAARI


WUDHU

1. Tentang Wudhu

Allah SWT berfirman,

J\ '^fn Sj^^\ 3 jii^Ji

''Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan


tangan kamu sampai siku. Dan sapulah kepala kamu serta (basuh) kedua
kaki kamu sampai dengan kedua mata kaki."
<Qs. Al Maa'idah (5): 6>

I*. "f f*. ' ; O >. > I. » . . f S


l . ' 4
' \ > O' t > l._

cA_!i ( - J l ^ l ^ l p-M J-*' 0


J ^ J .o%' ^ JJJ 1 5 j jlf^
* * ' ^ s s- s

M Jty & IjjJ^o Olj

Artinya, Abu Abdullah (Imam Bukhari) berkata, "Nabi SAW telah


menjelaskan bahwa fardhu wudhu itu adalah satu kali-satu kali, namun
beliau SA W juga pernah berwudhu (membasuh setiap anggota wudhu)
dua kali-dua kali dan tiga kali. Tapi beliau SAW tidak pernah melakukan

2 — FATHUL BAARI
lebih dari tiga kali. Di samping itu para ulama tidak menyukai
berlebihan dalam wudhu dan melebihi apa yang dilakukan Nabi S A W"

Keterangan:

Maksud wudhu di sini adalah penjelasan tentang hukum-hukum


wudhu, syarat-syarat, sifat-sifat (cara-cara) dan persiapan untuk me-
ngerjakannya. Kata wudhu (sj-Ji>^)i) berasal dari akar kata Al Wadha 'ah

(5«.L_js}li) yang berarti bersih dan cerah. Hal itu, karena seorang yang
shalat terlebih dahulu membersihkan dirinya dengan jalan melakukan
wudhu sehingga ia menjadi bersih dan cerah. Lalu beliau (Imam Bukhari)
mengisyaratkan dengan perkataannya, "tentang wudhu" akan adanya
perselisihan para ulama salaf mengenai makna ayat di atas. Mayoritas
mereka berpendapat, bahwa sebagian makna ayat tersebut tidak
disebutkan secara tekstual (dihilangkan), sehingga makna ayat tersebut
adalah, j—iJ^i 5*)L<a3i lil (Jika kamu hendak mengerjakan shalat

sedangkan kamu dalam keadaan berhadats).

Akan tetapi ulama yang lain berpendapat, "Sesungguhnya perintah


untuk berwudhu dalam ayat itu berlaku secara umum (baik yang
berhadats maupun tidak -Penerj.) tanpa ada bagian yang dihilangkan.
Hanya saja perintah itu hukumnya wajib bagi mereka yang berhadats,
sedangkan bagi mereka yang tidak berhadats hukumnya sunah." Lalu
sebagian ulama juga mengatakan, "Dahulunya wudhu itu wajib pula
dilakukan oleh mereka yang tidak berhadats, namun kemudian hukumnya
dihapus sehingga menjadi sunah."

Pendapat terakhir ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh


Imam Ahmad dan Abu Dawud dari jalur periwayatan Abdullah bin
Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, bahwa Asma' binti Zaid bin Al
Khaththab bercerita kepada bapaknya -yakni Abdullah bin Umar- bahwa
Abdullah bin Hanzhalah Al Anshari menceritakan kepadanya,
"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah diperintah untuk berwudhu pada
setiap kali hendak shalat baik dalam keadaan suci (tidak berhadats)
maupun dalam keadaan tidak suci (berhadats). Ketika hal itu

FATHUL BAARI — 3
memberatkan beliau, maka kewajiban itu dihapus kecuali dalam keadaan
berhadats."

Sementara dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Buraidah


disebutkan, "Dahulunya Nabi SAW berwudhu setiap kali hendak shalat,
namun pada saat penaklukan kota Makkah, beliau melakukan beberapa
kali shalat dengan saru kali wudhu. Maka umar berkata kepadanya,
"Sesungguhnya engkau telah melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak
pernah engkau lakukan." Beliau SAW menjawab, "Aku sengaja
melakukannya." Yaitu untuk menjelaskan bahwa hal itu diperbolehkan.
Dalam pembahasan selanjutnya akan disebutkan hadits Anas mengenai
hal itu pada bab "Berwudhu bukan karena hadats".

Selanjutnya para ulama berbeda pendapat mengenai faktor yang


mewajibkan wudhu. Sebagian mereka mengatakan, "Wudhu itu wajib
bila sedang berhadats, sebagai suatu kewajiban muwassa"Ada pula
yang mengatakan bahwa wudhu itu menjadi wajib sebab seperti di atas,
dan apabila hendak melakukan shalat. Pandangan ini dikuatkan oleh
sejumlah ulama pengikut madzhab Syafi'i. Tapi ada pula yang
berpendapat bahwa wudhu diwajibkan apabila hendak melaksanakan
shalat saja. Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh
para penulis kitab Sunan, dari hadits Ibnu Abbas dari Nabi SAW,
"Sesungguhnya aku diperintah berwudhu jika hendak melaksanakan
shalat."

Sebagian ulama telah mengambil istinbath (kesimpulan hukum)


akan wajibnya niat dalam berwudhu berdasarkan firman Allah SWT,

iHLai\ jU*9 lij (Apabila kamu hendak mengerjakan shalat) sebab makna

lengkap ayat ini adalah, l ^ r S l ' j j ^ j ^ 5*>CaJi J\ tii (Jika kamu hendak
mengerjakan shalat, hendaklah kamu berwudhu karenanya). Hal ini sama
dengan arti perkataan orang Arab, "Jika engkau melihat pemimpin
hendaklah engkau berdiri." Maksudnya, berdirilah karenanya.

Yakni waktu untuk melakukan kewajiban seperti ini dapat pula dipergunakan untuk
melakukan kewajiban lain -Penerj.

4 — FATHUL BAARI
Ayat ini juga telah dijadikan landasan oleh mereka yang
mengatakan bahwa wudhu itu pertama kali diwajibkan di kota Madinah.
Adapun sebelumnya telah dinukil oleh Ibnu Abdil Barr mengenai ke-
sepakatan ahli sejarah, bahwa mandi junub telah diwajibkan kepada Nabi
SAW saat masih berada di Makkah sebagaimana diwajibkannya shalat.
Sesungguhnya beliau SAW tidak pernah shalat melainkan dalam keadaan
berwudhu. Lalu Ibnu Abdil Barr menambahkan, "Ini telah diketahui oleh
para ulama."

Kemudian Al Hakim berkata dalam kitab Al Mustadrak, "Ahlu


Sunnah membutuhkan dalil untuk membantah mereka yang berpandang-
an bahwa wudhu itu tidak ada sebelum turunnya ayat (tentang wudhu)
dalam surah Al Maa'idah." Selanjutnya beliau (Al Hakim) menyitir
hadits Ibnu Abbas yang berbunyi, "Fathimah masuk menemui Nabi SAW
dalam keadaan menangis lalu berkata, 'Orang-orang Quraisy telah
sepakat untuk membunuhmu.' Nabi SAW bersabda, 'Bawalah kepadaku
tempat wudhu.' Maka beliaupun berwudhu..." (Al Hadits).

Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Hadits ini dapat menjadi dalil untuk
membantah mereka yang mengingkari adanya (syariat) wudhu sebelum
hijrah, dan tidak dapat menjadi dalil untuk membantah mereka yang
mengingkari kewajiban wudhu pada masa itu."

Sementara Ibnu Al J a h m 2)
Al Maliki telah menetapkan bahwa
hukum wudhu sebelum hijrah adalah sunah, dan Ibnu Hazm menegaskan
bahwa wudhu hanya disyariatkan di Madinah.

Adapun bantahan untuk pandangan kedua imam ini adalah hadits


yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi'ah dalam bab Al Maghazi, dimana
hadits itu beliau nukil dari Abu Al Aswad (anak yatim Urwah) dari
Urwah, "Sesungguhnya Jibril mengajari Nabi SAW tentang wudhu pada
saat Jibril datang kepada beliau dengan membawa wahyu." Hanya saja
hadits ini mursal (disandarkan langsung oleh tabi'in kepada Nabi SAW).
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula hadits ini secara
bersambung sampai kepada Nabi SAW melalui jalur periwayatan Ibnu

Pada catatan kaki cetakan Bulaq disebutkan, "Pada salah satu naskah Fathul Baari' tertulis
Ibnu Al Hakam."

FATHUL BAARI — 5
Lahi'ah juga, akan tetapi disebutkan, "Diriyawatkan dari Zuhri, dari
Urwah, dari Usamah bin Zaid dari bapaknya."

Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Risydin bin Sa'ad, dari


Uqail, dari Zuhri sama seperti di atas, hanya saja Zaid bin Haritsah tidak
disebutkan dalam sanadnya. Ath-Thabrani telah meriwayatkan dalam
kitab Mu jam Al Ausath dari jalur periwayatan Al-Laits dari Uqail secara
bersambung sampai kepada Nabi SAW. Andaikata jalur yang terakhir ini
terbukti kebenarannya, niscaya ia memenuhi syarat hadits shahih sesuai
ketentuan Imam Bukhari. Akan tetapi yang terkenal adalah riwayat Ibnu
Lahi'ah.

iy> a'jA iyfi'£\ d'\ jl'j (Dan Nabi SA W telah menjelaskan


bahwa fardhu wudhu itu adalah satu kali-satu kali), maksudnya
sesungguhnya fardhu atau kewajiban dalam berwudhu adalah mencuci
anggota wudhu sebanyak satu kali. Beliau mengulangi perkataannya
"Satu kali-satu kali" adalah untuk memberi perincian, yakni untuk muka
satu kali, tangan satu kali dan seterusnya.

Adapun keterangan beliau (Imam Bukhari) "Nabi SAW telah


menjelaskan fardhu w u d h u . . . " ada kemungkinan beliau rahimahullah
mengisyaratkan kepada hadits yang akan diriwayatkannya sendiri pada
pembahasan mendatang, yakni hadits Ibnu Abbas yang menyatakan
bahwa Nabi SAW berwudhu satu kali-satu kali. Ini adalah penjelasan
ayat (tentang wudhu) secara global. Sebab suatu perintah pada dasarnya
hanya berkonsekuensi pada perwujudan hakikat (yang terkandung dalam
perintah itu sendiri), dan tidak ada sangkut pautnya dengan jumlah
pelaksanaannya. Maka, Rasulullah telah menjelaskan bahwa satu kali
hukumnya wajib sedangkan selebihnya adalah sunah. Hadits-hadits
mengenai hal itu akan disebutkan pada penjelasan selanjutnya.

Adapun hadits Ubay bin Ka'ab, bahwa Nabi SAW minta


dibawakan tempat berisi air lalu berwudhu satu kali-satu kali kemudian
bersabda, "Ini adalah wudhu, dimana Allah tidak akan menerima shalat
tanpa wudhu", dalam hadits ini terdapat penjelasan Rasulullah melalui
perbuatan dan perkataan sekaligus. Tetapi hadits ini dhai 'if (lemah).
Hadits ini juga memiliki jalur-jalur periwayatan yang lain namun
semuanya lemah.

6 — FATHUL BAARI
J^TJ* COJJ Ce'Jj (Dan beliau juga berwudhu dua kali-dua kali)
Demikian juga lafazh hadits yang diriwayatkan Abu Dzarr, dan ada juga
yang meriwayatkan tanpa mengulang kata j—°/y>. Pada pembahasan
selanjutnya beliau akan menyebutkannya secara bersambung hingga
kepada Nabi SAW dalam satu bab khusus disertai pembahasan mengenai
hadits tersebut.

\—^JJ (Tiga kali), maksudnya bahwa Nabi SAW pernah pula


membasuh anggota wudhunya sebanyak tiga kali-tiga kali. Pernyataan ini
juga merupakan lafazh hadits yang nanti akan beliau sebutkan dalam bab
tersendiri.

d)*5i_J ^Js- iy_ ^Jj (Dan beliau tidak melebihkan dari tiga kali), yakni
tidak disebutkan dalam satu haditspun yang membahas sifat wudhu
beliau SAW atau adanya keterangan bahwa beliau SAW pernah
membasuh anggota wudhu melebihi tiga kali. Bahkan, telah dinukil dari
beliau SAW celaan bagi mereka yang melakukan wudhu melebihi jumlah
tersebut. Keterangan ini dapat ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan selainnya dari jalur periwayatan Amru bin Syu'aib,
dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW berwudhu seraya
membasuh anggota wudhunya sebanyak tiga kali-tiga kali, kemudian
beliau bersabda, "Barangsiapa yang melebihkan dari yang seperti ini
ataupun menguranginya, maka sungguh ia telah melakukan perbuatan
buruk atau berlaku zhalim." Hadits ini memiliki sanad jayyid (baik).

Akan tetapi Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam klasifikasi


riwayat munkar yang dinukil dari Amru bin Syu'aib, sebab secara
lahiriah makna hadits ini mencela wudhu yang dilakukan kurang dari tiga
kali. Namun pernyataan Imam Muslim ini dijawab bahwa ini adalah
persoalan yang tidak baik, sedangkan hal yang tidak baik itu sendiri
berhubungan dengan upaya untuk mengurangi, sementara kezhaliman
berhubungan dengan upaya untuk menambah.

Ada pula pendapat lain yang mengatakan, bahwa sebagian makna


hadits ini tidak disebutkan secara tekstual, adapun makna lengkapnya
adalah, "Barangsiapa yang mengurangi dari satu kali." Pendapat terakhir
ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu N u ' a i m bin

FATHUL BAARI — 7
Hammad dari jalur riwayat Al Muthalib bin Hanthab dari Nabi SAW,
"Wudhu itu dapat dilakukan sebanyak satu kali, dua kali dan tiga kali.
Barangsiapa yang mengurangi dari satu kali atau melebihkan di atas
tiga kali sungguh ia telah melakukan kesalahan." Derajat hadits ini
mursal (langsung disandarkan oleh tabi'in kepada Nabi SAW), namun
para perawinya adalah orang-orang tsiqah (terpercaya). Akan tetapi
pendapat ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa para perawi hadits
yang mereka jadikan sebagai pijakan tersebut tidak seluruhnya
menyebutkan kurang dari satu kali, bahkan kebanyakan mereka hanya
menukil lafazh yang mengatakan, "Barangsiapa yang melebihkan",
seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya dan
lainnya.

Di antara sesuatu yang ganjil, adalah apa yang dinukil oleh Syaikh
Abu Hamid Al Isfirayini dari sebagian ulama, bahwa tidak boleh
membasuh anggota wudhu kurang dari tiga kali. Seakan-akan beliau
berpijak pada makna lahir hadits terdahulu. Pendapat beliau ini disangkal
oleh ijma' (yang membolehkan hal tersebut). Adapun perkataan Imam
Malik dalam kitab Al Mudawwanah, "Aku tidak menyukai membasuh
anggota wudhu satu kali kecuali jika hal itu dilakukan oleh ulama", sama
sekali tidak mengindikasikan adanya kewajiban untuk membasuh
anggota wudhu lebih dari satu kali.

A—'j Jt\j—Li^fl p—UJl J—AI a j f j (Dan para ulama tidak menyukai

berlebihan dalam wudhu) ini adalah suatu isyarat terhadap hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dari jalur periwayatan Hilal bin
Yasaf (salah seorang tabi'in). Beliau berkata, "Telah dikatakan bahwa,
termasuk perbuatan tidak disukai dalam wudhu adalah berlebihan
meskipun engkau berada di tepi sungai." Hadits yang serupa telah
diriwayatkan dari Abu Darda' dan Ibnu Mas'ud, sebagaimana telah
dinukil sebuah hadits yang semakna dengannya secara bersambung
kepada Nabi SAW, seperti dikutip oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah
dengan sanad layyin (lemah) dari riwayat Abdullah bin Amru bin Ash.

u — ^ J** hJJ^H &h (Dan melebihi apa yang dilakukan oleh Nabi)
juga merupakan isyarat terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari Ibnu Mas'ud. Ia berkata, "Tidak ada membasuh (anggota

8 — FATHUL BAARI
tubuh) melebihi tiga kali." Imam Ahmad dan Ishaq maupun selain
keduanya berkata, "Tidak diperbolehkan (membasuh) melebihi tiga kali."
Lalu Ibnu Mubarak mengatakan, "Aku tidak menjamin (jika melebihi
tiga kali) pelakunya akan berdosa." Sementara Imam Syafi'i me-
negaskan, "Aku tidak menyukai orang yang membasuh lebih dari tiga
kali. Namun jika ia melakukannya lebih dari itu, maka aku tidak
memakruhkannya." Beliau tidak mengharamkannya, sebab perkataannya
"tidak menyukai" berindikasi pada kemakruhan. Inilah pandangan yang
benar dalam madzhab Syafi'i, yakni membasuh anggota wudhu lebih dari
tiga kali adalah makruh hukumnya.

Kemudian Ad-Darimi telah meriwayatkan dari ulama-ulama


tersebut, bahwa membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali dapat
membatalkan wudhu sebagaimana tambahan dalam shalat. Namun ini
adalah qiyas (analogi) yang tidak dapat diterima, sebab perkataan yang
mengharamkan ataupun memakruhkan untuk melebihkan membasuh
anggota wudhu di atas tiga kali berkonsekuensi tidak disukainya
memperbaharui wudhu secara mutlak.

Selanjutnya ulama madzhab Syafi'i telah berbeda pendapat


mengenai batasan wudhu yang dilarang tersebut. Yang benar dari
madzhab mereka adalah jika wudhu itu dilakukan untuk menunaikan
shalat fardhu ataupun sunah, namun ada yang mengkhususkan untuk
shalat fardhu saja. Pendapat lain dari madzhab ini mengatakan, "Jika
wudhu itu dilakukan untuk menunaikan ibadah yang seperti itu, hingga
sujud tilawah, sujud syukur atau menyentuh mushhaf. "Bahkan dikatakan
pula berlaku untuk semua amalan yang mana wudhu dilakukan
karenanya, ini merupakan pandangan yang lebih luas cakupannya. Masih
dalam madzhab Syafi'i, dinukil pula suatu pendapat yang mengatakan
bahwa larangan membasuh lebih dari tiga kali tersebut berlaku jika
wudhu pertama telah berlangsung dalam jarak waktu -menurut
kebiasaan- yang membatalkan wudhu.

Adapun dalam madzhab Hanafi dikatakan, bahwa batasan wudhu


yang dilarang membasuh anggotanya wudhu lebih dari tiga kali itu
kembali kepada keyakinan masing-masing. Jika orang yang berwudhu
berkeyakinan bahwa membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali
adalah sunah, maka ia telah melakukan kesalahan dan masuk dalam

FATHUL BAARI — 9
ancaman seperti dalam hadits. Sedangkan jika ia tidak berkeyakinan
seperti itu, maka tidak disyaratkan batasan jumlah tertentu. Bahkan jika
ia melebihkan hingga empat kali juga tidak mengapa, terutaman jika
pelakunya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini
berdasarkan hadits
adalah cahaya."

Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Hadits ini dha 'if (lemah), dan ada
kemungkinan penulis (Imam Bukhari) telah mengisyaratkan pula akan
riwayat ini. Pembahasan secara luas mengenai hal ini akan diterangkan
pada awal pembahasan tentang tafsir surah Al Maa'idah, insya Allah."

Ada pengecualian dalam larangan membasuh anggota wudhu lebih


dari tiga kali, yaitu jika mengetahui bahwa ada sebagian anggota wudhu
yang belum terkena air setelah membasuhnya tiga kali, maka dalam
kondisi seperti ini diperbolehkan membasuh tempat yang belum terkena
air. Adapun jika membasuh lebih dari tiga kali itu dilakukan karena
adanya perasaan ragu-ragu setelah wudhu, maka hal itu tidak diperboleh-
kan supaya tidak menimbulkan perasaan was-was.

2. Tidak Diterima Shalat tanpa Bersuci

135. Telah diriwayatkan dari Hammam bin Munabbih bahwasanya


ia mendengar Abu Hurairah berkata, "Rasulullah SAW bersabda,
'Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga ia

10 — FATHUL BAARI
berwudhu.' Seseorang laki-laki dari Hadramaut bertanya, 'Apakah
hadats itu wahai Abu Hurairah?' Beliau menjawab, 'Angin (kentut)
yang mendesis maupun yang keluar dengan suara keras.'"

Keterangan Hadits:

(Tidak diterima shalat tanpa bersuci), maksudnya adalah sesuatu


yang lebih umum dari wudhu dan mandi wajib. Judul bab ini sendiri
adalah lafazh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan
selainnya dari hadits Ibnu Umar. Demikian pula diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan selainnya dari jalur Abu Mulaih bin Usamah dari bapaknya.
Riwayat ini memiliki jalur yang sangat banyak, namun tidak ada satupun
yang memenuhi persyaratan Bukhari. Oleh karena itu, beliau hanya
menempatkannya sebagai salah satu judul bab, lalu menyebutkan di
bawah bab itu hadits lain yang dapat menggantikan kedudukannya.

J H (Tidak diterima) telah diriwayatkan pula oleh Abu Dawud


dan Ahmad dari Abdurrazzaq, "Allah tidak menerima.'" Maksud
"menerima" di sini adalah sesuatu yang sinonim dengan kata sah atau
mencukupi. Adapun hakikat penerimaan itu sendiri adalah hasil dari
suatu ketaatan yang dianggap mencukupi dan dapat menghilangkan
beban yang ada dalam tanggung jawab (dzimmah). Oleh karena
memenuhi segala persyaratan shalat merupakan perkara yang sangat
menentukan diterimanya shalat, maka hal itu diungkapkan dengan
"penerimaan" dalam bentuk kiasan. Sedangkan penerimaan yang
dinafikan (ditiadakan) seperti sabda Nabi SAW, "Barangsiapa yang
mendatangi tukang tenung maka tidak diterima shalatnya", adalah tidak
diterima secara hakikatnya. Sebab, terkadang suatu amalan dinyatakan
sah namun tidak diterima karena adanya sebab yang menghalanginya.
Atas dasar ini maka seorang ulama salaf -yakni Ibnu Umar- mengatakan,
"Sesungguhnya diterimanya satu shalat yang aku lakukan lebih aku sukai
daripada dunia dan seisinya." Lalu beliau melanjutkan, "Karena
sesungguhnya Allah SWT telah berfirman, 'Sesungguhnya Allah hanya
menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.'" (Qs. Al
Maa idah(5): 27)

FATHUL BAARI — 11
*^>J—(Berhadats) maksudnya adalah sesuatu yang keluar dari dua
jalan (qubul dan dubur). Hanya saja Abu Hurairah menafsirkan makna
hadats dengan makna yang lebih khusus, untuk memberi peringatan akan
hadats ringan (mukhaffafah) dari yang berat (mughallazhah). Di samping
itu, kedua perkara yang disebutkan oleh Abu Hurairah ini lebih banyak
terjadi pada orang yang sedang shalat daripada hadats-hadats lainnya.

Adapun macam-macam hadats yang masih diperselisihkan oleh


para ulama seperti menyentuh kemaluan, menyentuh wanita, muntah
dalam kadar yang banyak serta berbekam, ada kemungkinan beliau (Abu
Hurairah) berpandangan bahwa wudhu tidak batal karena hal-hal
tersebut. Pandangan ini pula yang diikuti oleh penulis (Imam Bukhari)
sebagaimana akan dijelaskan dalam bab, "Pandangan yang mengatakan
bahwa wudhu tidak batal kecuali oleh sesuatu yang keluar dari dua
jalan".

Kemudian ada yang mengatakan bahwa Abu Hurairah sengaja


mencukupkan jawabannya pada kedua hal itu, karena ia mengetahui
bahwa sang penanya telah mengetahui macam-macam hadats selain
kedua macam ini. Akan tetapi penafsiran ini terlalu jauh menyimpang.

Hadits ini dijadikan sebagai dalil batalnya shalat seseorang yang


berhadats, baik hadats itu keluar atas kehendaknya maupun karena
terpaksa. Demikian pula hadits ini dijadikan dalil bahwa wudhu tidaklah
wajib dilakukan setiap kali hendak melaksanakan shalat, karena tidak
diterimanya shalat berakhir hingga seseorang telah berwudhu, sementara
hukum setelah berwudhu itu berbeda dengan hukum sebelumnya. Dari
sini timbul suatu konsekuensi bahwa shalat itu tetap diterima setelah
seseorang berwudhu.

i (Berwudhu), maksudnya dengan menggunakan air ataupun


sesuatu yang dapat menggantikannya. Diriwayatkan oleh Imam An-
Nasa'i dengan sanad (jalur periwayatan) yang kuat dari Abu Dzarr, dari
Nabi SAW, "Debu yang baik adalah wudhu seorang muslim." Di sini
syariat telah menamakan tayamum sebagai wudhu, karena tayamum itu
dapat menggantikan kedudukan wudhu. Maka yang dimaksud diterima-
nya shalat seseorang yang berhadats bila ia telah berwudhu, adalah jika ia
menyempurnakan pula syarat-syarat shalat yang lainnya. Wallahu A Jam.

12 — FATHUL BAARI
3. Keutamaan Wudhu, Cahaya di Wajah, Tangan dan
Kaki Karena Bekas Wudhu

- ' - i * ' ' , - -

. JJLaJi 4J

136. Telah diriwayatkan dari Nu'aim Al Mujmir, ia berkata, "Aku


pernah naik bersama Abu Hurairah ke atap masjid, lalu ia
berwudhu kemudian berkata, 'Aku pernah mendengar Nabi SAW
bersabda, 'Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat
dengan cahaya di wajah, tangan dan kaki karena bekas wudhu.
Barangsiapa di antara kamu ada yang mampu untuk memper-
panjang (memperbesar) cahayanya, maka hendaklah ia me-
lakukannya.''''''

Keterangan Hadits:

(Keutamaan wudhu dan cahaya di wajah, tangan dan kaki). Hal ini
memiliki beberapa kemungkinan; pertama, beliau menukil lafazh yang
disebutkan pada sebagian jalur periwayatan hadits ini dimana dikatakan,
"Kamu adalah orang-orang yang memiliki cahaya di wajah, tangan dan
kaki." Lafazh seperti ini dinukil oleh Imam Muslim. Kedua, beliau
sengaja meninggalkan sebagian teks pernyataannya, adapun makna
lengkapnya adalah, "Orang-orang yang memiliki cahaya di wajah, tangan
dan kaki, maka bagi mereka keutamaan." Ketiga, dalam riwayat Al
Mustamili (salah seorang yang meriwayatkan kitab Shahih Bukhari -
penerj.) dikatakan bahwa maknanya, "Keutamaan orang-orang yang

FATHUL BAARI — 13
memiliki cahaya di wajah, tangan dan kaki", sebagaimana dikatakan oleh
Al Ashili dalam riwayatnya.

Adapun perkataan Nu'aim, "Aku pernah naik bersama Abu


Hurairah ke atap masjid, lalu ia berwudhu", demikianlah yang kami
temukan dalam kebanyakan naskah perawi yang menukil Shahih
Bukhari. Akan tetapi dalam naskah yang diriwayatkan oleh Al
Kasymihani lafazh i Jsjrf (lalu ia berwudhu) diganti dengan lafazh vijj
(hari), yakni "Pada suatu hari aku pernah naik bersama Abu Hurairah ke
atap masjid."

Namun penggantian ini adalah kesalahan dalam penyalinan, karena


telah diriwayatkan pula oleh Al Isma'ili dan lainnya -melalui jalur
periwayatan yang sama dengan jalur yang dipakai oleh Imam Bukhari-
dengan menggunakan lafazh t — B a h k a n , dalam riwayat Isma'ili ini
terdapat tambahan, "Maka beliau membasuh mukanya dan kedua
tangannya hingga pangkal lengan, lalu beliau membasuh kakinya hingga
betis."

Lafazh seperti ini dinukil pula oleh Imam Muslim melalui dua jalur
periwayatan; Pertama, dari Amru bin Al Harits dari Sa'id bin Abu Hilal.
Kedua, dari Umarah bin Ghaziyah dari Nu'aim. Lalu pada jalur ini
terdapat tambahan yang lain, dimana disebutkan bahwa Abu Hurairah
berkata, "Demikianlah aku telah melihat Rasulullah SAW berwudhu."
Lafazh dalam riwayat terakhir ini memberi keterangan bahwa hadits ini
marfu' (disandarkan langsung kepada Nabi SAW). Hal ini membantah
pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan seperti ini adalah pendapat
Abu Hurairah semata, yang benar perbuatan ini adalah riwayat yang
beliau nukil dari Nabi dan sekaligus pendapatnya.

^—jit (Umatku). Maksudnya adalah umat yang menyambut dakwah


beliau SAW, yakni kaum muslimin, sebab terkadang lafazh umat itu
dimaksudkan pula umat yang menjadi obyek dakwah (manusia secara
umum). Akan tetapi, pengertian seperti ini tidak dimaksudkan dalam
konteks hadits ini.

Al Hulaimi menggunakan hadits ini sebagai dalil bahwa wudhu


merupakan kekhususan (keistimewaan) umat ini. Namun pernyataan

14 — FATHUL BAARI
seperti itu masih perlu ditinjau kembali. Karena telah disebutkan oleh
penulis (Imam Bukhari) pada kisah Sarah RA bersama sang raja, dimana
pada saat raja tersebut hendak mendekatinya maka ia berwudhu lalu
shalat. Demikian pula dalam kisah Juraij, dimana beliau berwudhu dan
shalat lalu setelah itu terjadi dialog antara beliau dengan bayi. Yang lebih
kuat, sesungguhnya yang menjadi kekhususan umat ini hanyalah cahaya
di wajah, tangan dan kaki saja, dan bukan wudhu itu sendiri.

Pernyataan kami ini telah dinyatakan secara tegas dalam riwayat


Imam Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, "Tanda seperti ini
bukan untuk seorang pun selain kamu.'''' Hadits seperti ini diriwayatkan
juga oleh Imam Muslim dari Abu Huzhaifah.

Sebagian ulama membantah pendapat Al Hulaimi berdasarkan


hadits, -Lj* ^
tS * «-j^jj j^'j^J
1
(Ini adalah wudhuku dan wudhu para
nabi sebelumku). Akan tetapi, hadits ini lemah (dha'if) dan tidak dapat
dijadikan dalil seperti yang telah dijelaskan. Di samping itu, hadits ini
mungkin untuk diberi pengertian bahwa wudhu adalah kekhususan para
nabi tapi tidak berlaku bagi umat-umat mereka, kecuali umat Islam.

J — * JJsu j( (Barangsiapa di antara kamu


yang mampu untuk memperpanjang cahaya di wajahnya, maka
hendaklah ia melakukannya). Termasuk pula cahaya di tangan dan
kakinya. Dalam hadits ini sengaja disebutkan salah satunya untuk
menunjukkan yang lainnya. Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan Dia
jadikan bagi kamu pakaian yang melindungi kamu dari panas." (Qs. An-
Nahl(16): 81) Maka disebutkannya cahaya di wajah tanpa menyebutkan
cahaya di tangan dan kaki, karena wajah merupakan anggota wudhu
paling mulia dan yang pertama kali dilihat pada diri seseorang. Hanya
saja dalam riwayat Imam Muslim dari Umarah bin Ghaziyah disebutkan
wajah dan yang lainnya. Adapun lafazhnya, '^j*- J44^ (Hendaklah
ia memperpanjang cahaya di wajah, tangan dan kakinya).
Ibnu Baththal berkata, "Abu Hurairah hanya menyebutkan wajah
tanpa menyebutkan tangan dan kaki. Hal itu adalah merupakan bentuk
kiasan, karena dalam membasuh wajah tidak mungkin untuk diper-
panjang atau dilebihkan." Akan tetapi perkataan Ibnu Baththal ini perlu

FATHUL BAARI — 15
untuk dicermati, karena perkataan tersebut dapat memutarbalikkan
bahasa. Apa yang ia anggap tidak mungkin itu bisa saja terjadi, sebab
memanjangkan membasuh muka bisa saja dilakukan, seperti membasuh
sebagian leher. Telah dinukil oleh Ar-Rafi'i dari sebagian ulama, bahwa
lafazh Al Ghurrah (cahaya di wajah) dapat diartikan juga cahaya di
tangan dan kaki.
Secara lahiriah, perkataan "Barangsiapa yang ingin memanjang-
kan cahayanya..." masih merupakan sambungan hadits. Akan tetapi
diriwayatkan oleh Ahmad dari Fulaih dari Nu'aim, dimana di bagian
akhirnya disebutkan, "Nu'aim berkata, 'Aku tidak tahu perkataan
barangsiapa...dan seterusnya, apakah termasuk perkataan Nabi SAW
ataukah perkataan Abu Hurairah." Saya (Ibnu Hajar) tidak menemukan
lafazh, "Barangsiapa yang ingin memanjangkan...dst." dalam riwayat
siapa pun yang menukil hadits ini dari para sahabat yang berjumlah
sepuluh orang. Demikian pula saya tidak menemukan lafazh seperti itu
dalam riwayat mereka yang menerima hadits ini dari Abu Hurairah
kecuali dalam riwayat Abu N u ' a i m saja, wallahu a 'lam.

Selanjutnya para ulama berbeda pendapat tentang batasan yang


disukai untuk dilebihkan dalam membasuh tangan dan kaki. Pendapat
pertama, batasannya adalah sampai bahu dan lutut. Batasan seperti ini
telah disebutkan dari Abu Hurairah baik dalam bentuk riwayat maupun
pendapat, dan dinukil pula dari Ibnu Umar tentang praktek seperti itu
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abu Ubaid dengan
sanad hasan. Pendapat kedua, batasan yang disukai adalah sampai
pertengahan lengan dan betis. Pendapat ketiga, dilebihkan sedikit dari
batasan pendapat kedua. Ibnu Baththal dan sebagian ulama madzhab
Maliki mengatakan, "Tidak disukai membasuh kaki dan tangan melebihi
mata kaki dan siku berdasarkan sabda Nabi SAW, 'Barangsiapa
melebihkan dari yang seperti ini, maka sungguh ia telah melakukan
perbuatan buruk dan zhalim.'" Namun perkataan mereka ini dapat
disanggah dari berbagai segi. Sementara riwayat Muslim (yang
terdahulu) demikian tegas menyatakan bahwa perbuatan itu disukai,
maka tentu saja riwayat ini lebih kuat daripada pandangan mereka yang
masih terbuka untuk dikritik.

16 — FATHUL BAARI
Adapun klaim mereka bahwa ulama telah sepakat memilih
pendapat yang berbeda dengan pandangan Abu Hurairah dalam masalah
ini, tidak dapat diterima berdasarkan riwayat yang telah kami nukil dari
Ibnu Umar. Di samping itu sejumlah kaum salaf telah menegaskan bahwa
hal tersebut disenangi, demikian pula mayoritas ulama madzhab Syafi'i
dan Hanafi. Sedangkan penakwilan mereka bahwa yang dimaksud
dengan memperpanjang di sini adalah "senantiasa melakukan wudhu "
juga harus ditolak, karena seorang perawi lebih paham apa yang diri-
wayatkannya. Apalagi dalam hal ini beliau telah menisbatkan langsung
kepada Nabi SAW.

Dalam hadits ini terdapat makna yang sesuai dengan bab yang ada
berupa keutamaan wudhu, sebab keutamaan yang diperoleh berupa
cahaya di wajah, tangan dan kaki adalah pengaruh dari perbuatan yang
melebihi dari yang wajib. Lalu bagaimana dengan prasangka yang
mengatakan bahwa hal itu diperoleh dengan melakukan yang wajib saja?
Sehubungan dengan ini telah diriwayatkan sejumlah hadits shahih dan
tegas seperti dinukil oleh Imam Muslim dan lainnya. Dalam hadits ini
juga terdapat keterangan bolehnya wudhu di atas masjid, namun hal itu
bila tidak membawa efek buruk bagi masjid ataupun bagi orang-orang
yang berada di dalamnya, Wallahu a 'lam.

4. Tidak Berwudhu karena Syak (Ragu) hingga Benar-


benar Yakin

O s 9 y O / O s s y s s

FATHUL BAARI — 17
137. Diriwayatkan dari Sa'id bin Musayyab, dari Abbad bin
Tamim dari pamannya, bahwasanya ia mengadu kepada Rasulullah
SAW perihal seorang laki-laki yang merasakan sesuatu dalam
shalat?" Nabi SAW menjawab, "Janganlah ia berpaling
(menghentikan shalatnya) hingga ia mendengar bunyi atau
mencium bau."

Keterangan Hadits:

p-gj iC* J P J (Dan dari Abbad bin Tamim), maksudnya hadits ini
diriwayatkan oleh dua orang; yakni Sa'id bin Musayyab dan Abbad bin
Tamim. Dalam riwayat yang dinukil oleh Karimah terjadi kesalahan,
dimana tidak tercantum kata sambung 'dan'. Jelas ini merupakan
kekeliruan, karena Sa'id bin Musayyab tidak pernah meriwayatkan hadits
dari Abbad bin Tamim. Kemudian ada kemungkinan bahwa syaikh
(guru) Sa'id bin Musayyab adalah paman Abbad, sehingga seakan-akan
beliau (Imam Bukhari) berkata, "Keduanya meriwayatkan dari paman
Abbad." Ada pula kemungkinan syaikh Sa'id tidak disebutkan di tempat
ini, dan hadits ini termasuk riwayat mursal Sa'id bin Musayyab (yakni
beliau langsung menyandarkan kepada Nabi tanpa menyebutkan sahabat
-Penerj.)

Kemungkinan yang pertama dipilih oleh penulis kitab Al Athraaf,


sedangkan kemungkinan yang kedua diperkuat oleh riwayat M a ' m a r
terhadap hadits ini, dimana ia meriwayatkan dari Az-Zuhri dari Sa'id bin
Musayyab dari Abu Sa'id Al Khudri. Hadits Ma'mar dinukil oleh Ibnu
Majah, dan para perawinya adalah tsiqah (terpercaya), hanya saja ketika
hadits ini ditanyakan kepada Imam Ahmad, beliau berkata, "hadits ini
adalah hadits munkar."

f-** j * (Dari pamannya), maksudnya adalah Abdullah bin Zaid bin


Ashim Al Mazini Al Anshari. Namanya disebutkan oleh Muslim dan
selainnya dalam riwayat mereka terhadap hadits tersebut melalui jalur
Ibnu Uyainah. Lalu para ulama berbeda pendapat, apakah ia paman
Abbad dari pihak bapaknya atau dari pihak ibunya?

18 — FATHUL BAARI
l£—i> *—"f (Bahwasanya ia mengadu), yang mengadu di sini adalah
perawi hadits (paman Abbad). Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Ibnu
Khuzaimah melalui riwayat Abdul Jabbar bin Alla' dari Sufyan (dan
lafazh ini adalah versi beliau) dari pamanya yakni Abdullah bin Zaid. Ia
berkata, "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang se-
seorang yang.. .dan seterusnya." Lalu dalam sebagian riwayat disebutkan
dengan lafazh, "Telah diadukan..." yakni dalam bentuk pasif. Demikian
pula yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim sebagaimana
diterangkan oleh An-Nawawi. Kemudian Imam An-Nawawi berkata,
"Dan tidak disebutkan siapa sebenarnya yang mengadukan hal ini."
Beliau menambahkan, "Disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari bahwa
yang mengadu adalah perawi hadits itu sendiri."

4—lll J — J K J maksudnya adalah dzan (menduga). Makna dzan di sini


jauh lebih luas daripada pengertiannya yang terkenal, yakni adanya dua
kemungkinan yang mana tidak ada satupun yang lebih kuat. Bahkan,
maksud dzan (dugaan) dalam hadits ini adalah segala sesuatu yang
menyelisihi keyakinan.

J *A (Mendapatkan atau merasakan sesuatu) maksudnya


adalah hadats yang keluar darinya. Pengertian ini dapat kita temukan
dalam riwayat Al Isma'ili,

i[g—'S» 4—L» ^ j — « J «*JTl *0&> J> ^ ! J ^ v (Dikhayalkan kepadanya saat


shalat bahwa telah keluar darinya sesuatu). Di sini terdapat petunjuk
untuk tidak menyebutkan langsung sesuatu yang tidak baik dengan
namanya kecuali dalam situasi yang mengharuskan atau membutuhkan-
nya.

^aJi (Dalam shalat). Sebagian ulama madzhab Maliki

berpegang dengan makna lahir lafazh ini, sehingga mereka mengkhusus-


kan hukum ini bagi mereka yang sedang shalat saja dan mewajibkan
wudhu bagi orang yang ragu di luar shalat. Perbedaan ini mereka dasari
dengan alasan bahwa seseorang dilarang untuk membatalkan ibadah,
padahal larangan untuk membatalkan ibadah sangat tergantung dengan
keabsahan ibadah itu sendiri. Maka, alasan yang mereka kemukakan itu

FATHUL BAARI — 19
tidaklah tepat. Di samping itu, sesuatu yang membatalkan wudhu di luar
shalat juga dapat membatalkan wudhu di dalamnya, sebagaimana hal-hal
lain yang membatalkan wudhu.

<jj—r<4ftj' (jangan terbalik atau jangan membatalkan shalat), ini


adalah keraguan dari perawi hadits. Ia ragu apakah Nabi S A W
mengatakan jangan berpaling ataukah jangan berbalik. Nampaknya
keraguan ini timbul dari salah seorang perawi yang bernama Ali, sebab
perawi lainnya yang meriwayatkan dari Sufyan dengan tegas
mengatakan, "Janganlah berbalik" tanpa ada keraguan.

J—*4 j ' (atau ia menemukan {merasakan}). Di sini beliau SAW


menggunakan kata "menemukan" dan bukan mencium, agar mencakup
pula seseorang yang menyentuh bagian tersebut lalu mencium tangannya.
Akan tetapi pernyataan ini tidak boleh dijadikan dalil oleh mereka yang
berpendapat bahwa menyentuh dubur tidak membatalkan wudhu, sebab
bisa saja yang disentuh hanyalah daerah sekitarnya dan bukan tempat
keluarnya secara langsung.

Hadits ini memberi keterangan sahnya shalat selama seseorang


belum yakin kalau ia telah berhadats. Hadits ini tidak bermaksud untuk
mengkhususkan keyakinan bagi kedua hal ini. Karena jika makna suatu
teks dalil lebih luas daripada lafazhnya, maka yang menjadi pedoman
hukum adalah maknanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Al
Khaththabi.

Imam An-Nawawi berkata, "Hadits ini merupakan dasar kaidah


yang mengatakan, bahwa hukum segala sesuatu sebagaimana asalnya
sampai ada keyakinan yang menunjukkan sebaliknya; dan keraguan yang
timbul tersebut tidak dapat mendatangkan mudharat (bahaya)."

Jumhur ulama berpendapat sebagaimana kandungan hadits ini.


Diriwayatkan dari Malik, beliau berpendapat bahwa wudhu tetap batal
bila seseorang ragu apakah telah keluar sesuatu darinya atau belum. Lalu
diriwayatkan dari Imam Malik bahwa wudhu orang seperti itu batal jika
berada di luar shalat dan tidak batal bila dalam shalat. Perincian seperti
ini dinukil pula dari Al Hasan Al Bashri. Namun pendapat pertama
merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik seperti

20 — FATHUL BAARI
dikatakan oleh Al Khaththabi, yang diriwayatkan Ibnu Al Qasim darinya.
Kemudian diriwayatkan pula oleh Ibnu Nafi' dari Imam Malik, beliau
berpendapat bahwa wudhu orang yang ragu tersebut tidak batal, sama
seperti pendapat jumhur ulama. Sedangkan Ibnu Wahab meriwayatkan
bahwa Imam Malik berkata, "Yang lebih aku sukai jika ia berwudhu."
Adapun riwayat yang membedakan antara di dalam dan di luar shalat
tidak terbukti berasal dari pendapat Imam Malik, tapi berasal dari para
pengikutnya.

Kemudian sebagian ulama memahami hadits ini untuk mereka


yang memiliki sikap was-was. Alasan mereka adalah, bahwa pengaduan
itu tidak mungkin ada kecuali adanya sebab tertentu. Sebagaimana
diterangkan dalam hadits yang lebih umum, yaitu hadits Abu Hurairah
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Apabila salah seorang di antara
kamu merasakan dalam perutnya sesuatu lalu ia ragu apakah telah
keluar darinya sesuatu atau belum, maka janganlah ia keluar dari masjid
hingga mendengar bunyi atau menemukan (mencium) bau.'" Sabda beliau
SAW, "Janganlah ia keluar dari masjid", maksudnya adalah shalat,
sebagaimana ditegaskan oleh Abu Dawud dalam riwayatnya.

Al Iraqi berkata, "Pandangan yang dikemukakan oleh Imam Malik


adalah pendapat yang lebih kuat, sebab beliau lebih menjaga shalat yang
merupakan tujuan utama sehingga beliau tidak memperhitungkan keragu-
raguan dalam membatalkan shalat tersebut. Sementara selain beliau lebih
menjaga wudhu yang merupakan sarana, lalu mereka tidak memper-
hitungkan keragu-raguan dalam hal hadats yang dapat membatalkan
wudhu tersebut. Padahal, menjaga sesuatu yang menjadi tujuan utama
adalah lebih diutamakan daripada menjaga sesuatu yang hanya berfungsi
sebagai sarana."

Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Pandangan ini cukup kuat menurut


logika, tetapi tidak sesuai dengan indikasi hadits, dimana seseorang
diperintahkan untuk tidak berbalik (membatalkan shalat) hingga benar-
benar yakin (keluar angin)."

Al Khaththabi berkata, "Hadits ini dijadikan dalil oleh mereka yang


mewajibkan dijatuhkannya hukuman dera bagi seseorang yang tercium
dari mulutnya bau khamer, sebab dalam hadits ini beliau SAW telah

FATHUL BAARI — 21
menjadikan bau itu sebagai sesuatu yang dapat dijadikan pedoman untuk
menetapkan hukum." Akan tetapi ada kemungkinan untuk dibedakan
antara dua perkara ini, sebab hadd (hukum pidana) dalam Islam harus
digugurkan bila ada syubhat (kesamaran) yang mengiringinya. Sementara
masalah bau khamer adalah hal yang syubhat, berbeda dengan persoalan
pertama (bau kentut) yang tidak mengandung syubhat.

5. Berlaku Ringan Dalam Berwudhu

' ' si'' ^ s Z ^ s ' s Z s ' s - ^ ' i ' i

Jl_» \ J^> ^iJ ^ f\J % "J£\ j !


y * s * * . 'y s * * ' y ' . > y ,

^ J Oy t y y o <M \ l " I **''


0
1 ^ Oy O y o y O y
5
•J"** ^ ^ <j"W* JJL ^ ^ _J^P
y f s s ? f

% c ii j i i j i r d i jiii ^ S ^ r £
* y ' " y**' y' -y* y** y * * y * * yt o «S '
^Ui2j ^^-5 J AILIJj J^r*-^ 4-2-*^! L^"- U-J-^J
4 1
(jj^*-* (j-»^ ^y* W ' ^ *

y * ' * Z * o ' ' ' s ' o *


9
y
y ''''^ y'' % *t 0
i ^ i ' ' ' 0 z*
4 m> ^Lai o^C^llj «uili (_^iLuJl olJl ^tij ^»u* ^ar)?./»! j»J
& s yy ^ * 0
* 2^ " 31
' ' & '
' * ' '
yy -y ''y?'* ' ' yM * ' ^ ' f'

J15 <ui5 Vj <ulp ^ll? ^ 4JJL J y* j


^y O ' ' <* ' y * g O f- f * j9

o^
- 1 > '.F

138. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW tidur


hingga mendengkur, kemudian beliau SAW shalat -dan barangkali

22 — FATHUL BAARI
ia mengatakan, "Beliau berbaring hingga mendengkur kemudian
bangun lalu shalat" (Ali bin Abdullah berkata), "Setelah itu
Sufyan menceritakan kejadian ini kepada kami berkali-kali. Cerita
itu beliau riwayatkan dari Amru dari Kuraib dari Ibnu Abbas,
bahwasanya beliau berkata, 'Pada suatu malam aku pernah
menginap di rumah bibiku yang bernama Maimunah, Nabi SA W
berdiri (bangun) di malam itu, maka ketika pada sebagian malam
nabi SAW berdiri (bangun) lalu berwudhu dari suatu bejana yang
tergantung dengan wudhu yang ringan -Amru menggambarkan
betapa ringan dan sedikitnya wudhu tersebut- setelah itu beliau
berdiri untuk shalat. Akupun berwudhu sebagaimana wudhu
beliau, kemudian aku menghampirinya dan berdiri di sebelah
kirinya. Lalu Nabi memindahkanku dan menempatkanku di sebelah
kanannya. Nabi SA W shalat sebagaimana yang dikehendaki Allah,
setelah itu beliau SAW tidur hingga mendengkur. Akhirnya
datanglah kepadanya juru adzan untuk memberitahukan kepada-
nya (waktu) shalat (telah masuk). Maka Nabi SAW pergi bersama
orang itu lalu shalat tanpa berwudhu lagi.' Kami bertanya kepada
Amru, 'Sesungguhnya manusia mengatakan bahwa Rasulullah
SAW tidur matanya tapi tidak tidur hatinya.' Amru berkata, 'Aku
mendengar Ubaid bin Umair berkata, bahwa Mimpi para nabi
adalah wahyu.' Kemudian beliau membaca, 'Sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu."' ^ Q s . Ash-
Shaffaat (37): 102>

Keterangan Hadits:

(Berlaku ringan dalam berwudhu) maksudnya boleh berlaku ringan


dalam wudhu.

£_'^eLfi\ Jl i UJjj (Dan barangkali ia mengatakan, "Beliau SAW


berbaring...) Maksudnya bahwa Sufyan terkadang mengatakan, "Beliau
SAW tidur" dan kadang ia mengatakan, "Beliau SAW berbaring." Kedua
lafazh ini bukan kata sinonim. Bahkan, antara keduanya mempunyai
pengertian umum dan khusus dilihat dari satu segi. Beliau (Sufyan) tidak
memaksudkan dalam hal ini untuk menggunakan salah satu dari lafazh

FATHUL BAARI — 23
tersebut untuk menggantikan fungsi atau makna lafazh yang lainnya.
Bahkan, apabila beliau meriwayatkan hadits ini dengan panjang lebar
maka dikatakannya, "Beliau SAW berbaring lalu tidur" seperti yang akan
disebutkan. Sedangkan jika beliau menceritakan hadits ini secara ringkas
maka ia mengatakan, "Beliau SAW tidur" maksudnya dalam keadaan
berbaring, atau "Beliau SAW berbaring" maksudnya dalam keadaan
tidur.

^\—ai AD (Pada suatu malam, maka Nabi SAW bangun...) demikian

lafazh yang dinukil sebagian besar perawi. Tetapi dalam riwayat Ibnu As-
Sakan dikatakan, ^—J (maka Nabi SAW tidur). Riwayat ini dibenarkan

oleh Al Qadhi Iyadh sesuai teks selanjutnya, —s JlUt jaZo J> olS' Uii

(Maka ketika pada sebagian malam Nabi SAW bangun).

Akan tetapi tidak boleh untuk menetapkan bahwa lafazh yang


dinukil oleh sebagian besar perawi tersebut salah, sebab masih dapat
dipadukan. Karena, kata W* (maka ketika) adalah penjelasan dari yang

sebelumnya. Sehingga kalimat kedua ini meskipun kandungannya sama


dengan kalimat pertama, namun keduanya berbeda maknanya.

i—Uijj /j—^i- *—«~ (Amru menggambarkan betapa ringan dan

sedikitnya wudhu tersebut). Ibnu Munir berkata, "Meringankan,


maksudnya tidak banyak menggosok; dan maksud menyedikitkan adalah
tidak membasuh lebih dari satu kali." Ibnu Munir menambahkan, "Dalam
hadits ini terdapat dalil akan kewajiban menggosok anggota wudhu.
Sebab jika hal itu boleh ditinggalkan, maka dalam kondisi demikian tentu
akan ditinggalkannya. Namun, ternyata beliau tetap melakukannya."
Akan tetapi ini adalah pernyataan yang tidak dapat diterima, sebab tidak
ada dalam riwayat itu yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
menggosok anggota wudhu, karena cukup mengalirkan air di atas
anggota wudhu adalah lebih ringan daripada menggosok meskipun
sedikit.

L-^'ji i — t j k * (sebagaimana beliau wudhu). Al Karmani berkata,

"Ibnu Abbas tidak mengatakan berwudhu sama seperti wudhu beliau,


karena kesamaan tersebut tidak akan dapat dicapai oleh orang lain."

24 — FATHUL BAARI
Hanya saja telah disebutkan dalam hadits ini sebagaimana akan
diterangkan kemudian, bahwa Ibnu Abbas berkata, "Akupun berdiri dan
melakukan seperti apa yang beliau lakukan." Penggunaan kata mitsl
(seperti) tidaklah berkonsekuensi pada musawat (persamaan) dari segala
segi.

UPJ^J J^IJ ^Uai (shalat tanpa berwudhu lagi) merupakan dalil bahwa
tidur tidak termasuk hadats (perkara yang membatalkan wudhu). Ia
hanyalah suatu keadaan dimana sering menyebabkan hadats. Sebab mata
beliau SAW tertidur namun hatinya terjaga. Jika terjadi sesuatu yang
membatalkan wudhu pada diri beliau, maka beliau akan mengetahuinya.
Oleh karena itu, apabila beliau SAW bangun tidur kadang beliau
berwudhu dan kadang tidak mengulanginya lagi. Al Khaththabi berkata,
"Hati beliau tidak tidur untuk memahami wahyu yang datang kepadanya
pada saat beliau tidur."

\—iJi (Kami bertanya). Yang bertanya adalah sufyan, dan hadits


tentang ini adalah shahih sebagaimana akan disebutkan dari jalur
periwayatan yang lain. Adapun Ubaid bin Umair adalah salah seorang
pemuka di kalangan tabi'in.

^ - j *CJ*jlUjj (Mimpipara nabi adalah wahyu). Telah diriwayatkan


oleh Imam Muslim dengan silsilah periwayatan yang bersambung kepada
Nabi SAW, demikian pula hadits ini akan disebutkan kembali oleh Imam
Bukhari pada kitab Tauhid dari riwayat Syuraik dari Anas. Adapun
konteks ayat yang dibacakan dengan perkataannya bahwa mimpi para
nabi termasuk wahyu adalah, apabila mimpi tidak termasuk wahyu maka
tidak boleh bagi nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya demi
melaksanakan mimpinya.

Sementara Ad-Dawudi (salah seorang pensyarah hadits Bukhari)


merasa heran dan berkata, "Perkataan Ubaid bin Umair tidak ada
korelasinya dengan persoalan yang dibahas dalam bab ini." Hal itu
karena Ad-Dawudi telah membuat komitmen tersendiri terhadap Imam
Bukhari untuk tidak menukil suatu hadits kecuali yang ada hubungannya
dengan pembahasan yang ada. Namun tidak ada seorang pun selain
beliau yang membuat persyaratan seperti ini. Adapun jika yang beliau

FATHUL BAARI — 25
(Ad-Dawudi) maksudkan dengan perkataannya, bahwa perkataan Ubaid
ini tidak ada sangkut pautnya dengan hadits yang dinukil dalam bab ini,
maka hal itu tidak dapat diterima.

Pembahasan selanjutnya tentang hadits ini akan dijelaskan lebih


lanjut pada bagian Witir dalam kitab Shalat, insya Allah.

6. Menyempurnakan Wudhu

Ibnu Umar berkata, "Menyempurnakan wudhu artinya


membersihkan dengan sebersih-bersihnya."

139. Telah diriwayatkan dari Kur aib (budak Ibnu Abbas) dari
Usamah bin Zaid bahwasanya beliau mendengar Usamah berkata,
"Rasulullah SA W bergerak meninggalkan Arafah. Ketika tiba di
suatu jalan pada suatu bukit, beliau turun dan buang air kecil
kemudian berwudhu, namun tidak menyempurnakan wudhunya.
Aku pun berkata, Apakah engkau akan shalat wahai Rasulullah?"

26 — FATHUL BAARI
Beliau menjawab, 'Nanti di tempat perhentian di depan.' Beliau
SAW kembali menaiki (kendaraannya). Ketika sampai di
Muzdalifah, beliau SA W turun lalu berwudhu dan menyempurna-
kan wudhunya. Setelah itu dikumandangkan iqamat untuk shalat,
maka Nabi SAW shalat maghrib. Selanjutnya setiap orang
menambatkan hewan kendaraannya di tempat masing-masing.
Kemudian dikumandangkan igamat untuk shalat isya dan nabipun
shalat. Beliau SA W tidak shalat (sunah) di antara kedua shalat itu
(maghrib dan isya')."

Keterangan Hadits:

j - » * '{/) J ^ j (Ibnu Umar berkata). Hadits tanpa silsilah periwayatan


ini (hadits mu'allaq) telah dinukil oleh Abdurrazzaq berikut para
periwayatnya dalam kitab Al Mushannaf, dimana silsilah periwayatnya
adalah shahih. Hal ini termasuk menafsirkan sesuatu dengan hal yang
menjadi konsekuensinya. Karena menyempurnakan wudhu berkonse-
kuensi pada bersihnya anggota wudhu. Telah diriwayatkan oleh Ibnu
Mundzir melalui silsilah periwayatan yang shahih, bahwa Ibnu Umar
mencuci kedua kakinya saat berwudhu sebanyak tujuh kali. Seakan-akan
beliau benar-benar mencuci anggota wudhu ini melebihi dari yang
lainnya karena kaki pada umumnya merupakan bagian yang bersentuhan
dengan kotoran. Hal itu karena disebabkan kebiasaan mereka yang
berjalan tanpa alas kaki, wallahu a 'lam.

s-j—^jJi —W Jt—Ij (Namun tidak menyempurnakan wudhunya)


maksudnya berlaku ringan dalam melakukan wudhu atau sekedarnya
saja. Hal ini seperti pembahasan pada bab terdahulu.

W—lai\ c—U» (Akupun berkata, "Apakah kita akan shalatT'). Kata

dibaca fathah yang mempunyai dua kemungkinan; Pertama,


sebagai suatu anjuran, yakni alangkah baiknya kita shalat. Kedua, sebagai
pertanyaan, yakni "Apakah engkau hendak melakukan shalat wahai
Rasulullah?" Kemungkinan kedua ini diperkuat oleh perkataan Usamah
sendiri dalam salah satu riwayat, Vtft laJi >Xij\ cJii (Akupun berkata,

FATHUL BAARI — 27
''Apakah engkau (Rasulullah) hendak melakukan shalat?"). Kata

itu bisa juga dibaca dhammah, yakni, S^CaJi yang berarti «*>CaJl c i j cJl?-
(telah tiba waktu shalat).

iX»L_»l 9">CaJl Jlii {Beliau menjawab, "Nanti di tempat perhentian di

depan"). Hal ini merupakan dalil disyari'atkannya wudhu agar


senantiasa dalam keadaan suci, karena beliau SAW tidak melakukan
shalat apapun dengan wudhu tersebut. Sedangkan mereka yang
mengatakan bahwa maksud wudhu di sini adalah istinja' (cebok), adalah
pendapat yang salah berdasarkan perkataan Usamah riwayat lain, cJjvzi
\—'j—»j £Xt o ^ i {Maka akupun menuangkan air sedang beliau SA W

berwudhu) Juga berdasarkan hadits di atas, sj—!>jJi ^ - J {Namun


beliau tidak menyempurnakan wudhunya).

i j—is^il lt\i '£e'j£ Jjf {Beliau SAW turun lalu berwudhu seraya

menyempurnakan wudhunya) Di sini terdapat dalil disyariatkannya


mengulangi wudhu tanpa harus diselingi dengan shalat. Akan tetapi Al
Khaththabi berkata, "Perkataan ini masih perlu dipertanyakan, sebab
mungkin Nabi SAW melakukan wudhu untuk yang kedua kalinya karena
beliau SAW berhadats."

Catatan:

Air yang dipakai berwudhu pada saat itu adalah air zamzam.
Keterangan tentang ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin
Hambal dalam tambahan-tambahan beliau terhadap musnad bapaknya,
dimana silsilah periwayatan yang beliau sebutkan mempunyai derajat
hasan, dan riwayat itu berasal dari hadits Ali bin Abu Thalib. Hal ini
merupakan sanggahan bagi mereka yang melarang menggunakan air
zamzam selain untuk minum. Pembahasan selanjutnya tentang hadits ini
akan dijelaskan pada bab Haji.

28 — FATHUL BAARI
7. Membasuh Muka dan Tangan Lebih dari Satu
Cidukan

^ S S f s s
i' l' ' ' t ' 0
*• • • * ^ f "* J.
0
' ' O'O . ' ' ' O ' . ^0

& S S S £ j, } ^ * S S £ 0 S S £ S S

J' -- f g ^ J f * ' ' 0

0 > r
l 0
t''"'* ^ if *•
0
- * • • T * u \ ' \' •
0 f
'° \i

140. Diriwayatkan dari Atha' bin Yasar dari Ibnu Abbas, bahwa ia
berwudhu lalu membasuh mukanya. Beliau mengambil air dengan
tangannya kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke
hidung serta mengeluarkannya. Setelah itu beliau mengambil satu
ciduk air lagi dengan tangannya lalu menjadikannya seperti ini -
dituangkannya di atas tangannya yang lain- dan beliau membasuh
mukanya dengan kedua tangannya itu. Seterusnya beliau
mengambil air lagi lalu membasuh tangan kanannya, dan
mengambil satu ciduk lagi kemudian membasuh tangan kirinya.
Selanjutnya beliau mengusap kepalanya. Kemudian beliau
mengambil seciduk air dengan tangannya dan memercikkan ke
kaki kanannya hingga membasuhnya, dan beliau mengambil satu
ciduk lagi lalu membasuh kakinya -yakni yang kiri- setelah itu
beliau berkata, 'Demikianlah aku melihat Rasulullah SAW
berwudhu."

FATHUL BAARI — 29
Keterangan Hadits:
"Bab membasuh muka dan tangan dengan satu cidukan". Imam
Bukhari memaksudkan perkataan ini untuk memberi penegasan tentang
tidak disyaratkannya menciduk air dengan kedua tangan secara
bersamaan, sekaligus sebagai isyarat akan kelemahan hadits yang
mengatakan bahwasanya Nabi SAW biasa membasuh muka dengan
tangan kanannya. Lalu Al Hulaimi mencoba memadukan kedua riwayat
itu. Beliau mengatakan, "Mengambil air dengan satu tangan dapat
dipraktekkan pada saat seseorang berwudhu dari suatu bejana dimana
tangan kirinya dipakai untuk menuangkan air ke tangan kanannya,
sedangkan mengambil air dengan menggunakan kedua tangan dapat
dilakukan pada saat menciduk air dari bejana secara langsung." Akan
tetapi konteks lafazh hadits ini tidak sejalan dengan keterangan beliau,
karena di sini disebutkan bahwa setelah menciduk air dengan satu
tangannya, beliau menuangkan ke tangannya yang lain lalu membasuh
mukanya dengan kedua tangan tersebut.

i i?j3 tis (Bahwasanya ia bei~wudhu), dalam riwayat yang dinukil


oleh Abu Dawud terdapat tambahan sebelum lafazh ini. Abu Dawud
meriwayatkannya dari jalur Hisyam bin Sa'id dari Zaid bin Aslam,
dimana dikatakan,

# " ^

(Apakah kamu mau untuk aku perlihatkan bagaimana Rasulullah


SAW berwudhu? Dia minta dibawakan satu bejana yang berisi air...)
Sementara dalam riwayat An-Nasa'i dari Muhammad bin Ajian dari
Zaid, pada bagian awal hadits dikatakan, "Rasulullah SAW berwudhu
lalu mengambil air dengan satu kali cidukan."

"ii'jf- JbM (Beliau mengambil satu ciduk air). Secara lahiriah, bahwa
berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung serta mengeluar-
kannya termasuk dalam lingkup membasuh muka. Akan tetapi yang
dimaksud dengan membasuh muka pada kali pertama seperti tersebut
dalam hadits ini lebih umum daripada makna yang wajib (membasuhnya)
maupun sunah, karena beliau kembali membasuh muka untuk kedua
kalinya setelah berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung serta

30 — FATHUL BAARI
mengeluarkannya; dan kali ini dilakukan dengan satu cidukan air
tersendiri. Pada hadits ini terdapat pula keterangan untuk menyatukan
antara berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung serta
mengeluarkannya dengan satu kali cidukan. Demikian pula dengan
membasuh muka dengan kedua tangan sekaligus apabila dilakukan
dengan satu kali cidukan, sebab satu tangan kadang tidak dapat meliputi
semua bagian muka.
8.
i (Selanjutnya beliau mengusap kepalanya) Tidak

disebutkan bahwa mengusap kepala di sini menggunakan air tersendiri,


maka keterangan ini dijadikan pegangan oleh mereka yang mengatakan
bahwa air musta 'mal (bekas dipakai) hukumnya adalah suci. Akan tetapi
dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, "Kemudian beliau mengambil air
dengan tangannya lalu mengibaskan tangannya, setelah itu ia mengusap
kepalanya." Ditambahkan oleh Imam An-Nasa'i dari riwayat Abdul Aziz
Ad-Darawardi dari Zaid, "Dan kedua telinganya sebanyak satu kali."
Dari riwayat Ibnu Ajian dikatakan, "Bagian dalamnya dengan telunjuk
dan bagian luarnya dengan ibu jari." Sedangkan dalam riwayat Ibnu
Khuzaimah, "Beliau memasukkan kedua jari telunjuknya pada kedua
telingannya."

4Jjrj ^Js- J>'j (memerciki kakinya), maksudnya membasahi kakinya

sedikit demi sedikit sampai dapat dikatakan membasuh.

U j i — J » - (Hingga beliau membasuhnya) adalah penjelasan yang

menegaskan bahwa beliau tidak hanya sekedar memercikkan air ke


kakinya. Adapun hadits yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud dan
Hakim, "Beliau memerciki kaki kanannya, dan saat itu beliau sedang
memakai sandal. Kemudian beliau mengusap kaki tersebut dengan kedua
tangannya, satu tangan di bagian atas kaki dan satu lagi di bagian bawah
sandal." Sesungguhnya yang dimaksud "mengusap" di sini adalah
meratakan air ke seluruh bagian (kaki). Sementara telah dinukil riwayat
shahih yang menyatakan bahwa beliau SAW pernah berwudhu sambil
memakai sandal, sebagaimana akan disebutkan oleh Imam Bukhari dalam
pembahasan selanjutnya dari hadits Ibnu Umar. Sedangkan pernyataan
dalam hadits ini "Di bawah sandal" jika tidak pahami sebagai kata kiasan

FATHUL BAARI — 31
dari kaki, maka termasuk riwayat syadz (menyelisihi riwayat yang lebih
kuat). Perawinya adalah Hisyam bin Sa'ad, seorang yang tidak diterima
bila meriwayatkan hadits secara sendirian, lalu bagaimana lagi jika
riwayatnya itu menyelisihi riwayat yang lebih kuat?

iUrj J_~*i (Dan beliau mengambil lagi satu ciduk air


dengan tangannya lalu membasuh kakinya -yakni yang kiri) yang
mengucapkan kata "yakni" adalah Zaid bin Aslam (perawi yang
menerima hadits ini dari Atha") ataupun para perawi sesudahnya.

Hadits ini telah dijadikan dalil oleh Ibnu Baththal untuk


menunjukkan bahwa air musta 'mal (yang telah dipakai bersuci) adalah
suci hukumnya. Karena satu anggota wudhu bila dibasuh satu kali, maka
air bekas membasuh yang masih tersisa di tangan akan menyentuh
anggota wudhu berikutnya. Demikian pula cidukan air yang berada di
tangan bila dibasuhkan kepada anggota wudhu, maka dianggap sebagai
air musta 'mal bagi anggota wudhu yang dibasuh (karena sebelumnya ia
telah tersentuh oleh tangan). Namun perkataan ini dapat dijawab dengan
mengatakan, "Selama air itu belum berpisah dengan tangan tidak dapat
dikatakan air musta 'mal. Akan tetapi, jawaban ini butuh analisa yang
lebih mendalam lagi."

8. Membaca Basmalah dalam Setiap Keadaan dan Saat


Melakukan Hubungan Suami Isteri

141. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, "Apabila


salah seorang di antara kamu mendatangi istrinya (bersetubuh)
dan mengucapkan, 'Dengan nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah
kami dari syetan dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau

32 — FATHUL BAARI
anugerahkan sebagai rezeki bagi kami', lalu ditetapkan bagi
mereka berdua seorang anak, maka syetan tidak akan
membahayakannya^

Keterangan Hadits:

"Bab membaca basmalah dalam setiap keadaan dan saat melakukan


jima' (hubungan suami isteri)." Kata ( j i ' ) telah dianeksasikan (athaf)
m a

dengan kata sebelumnya (hal). Hal ini tergolong aneksasi makna yang
khusus terhadap makna yang umum, untuk memberi penekanan agar
lebih diperhatikan. Sementara keumuman itu tidak kita dapatkan dari
makna lahiriah hadits tersebut, melainkan dapat kita pahami dari metode
Al Aula (lebih utama). Karena apabila basmalah disyariatkan saat
melakukan jima' (hubungan suami isteri), sementara pada kondisi
demikian lebih dianjurkan untuk diam, maka tentu pada kondisi selain itu
lebih utama lagi untuk mengucapkan basmalah.

Dalam bab ini terdapat pula isyarat mengenai bantahan terhadap


riwayat yang tidak menyukai menyebut nama Allah dalam keadaan
buang air besar dan melakukan jima'. Meskipun kebenaran hadits ini
dapat diterima, tetapi hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits
yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam bab ini. Sebab riwayat yang
menyatakan tidak disukai menyebut basmalah saat hubungan suami isteri
dibatasi pada kondisi saat menginginkan hubungan biologis, sebagaimana
akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya dari jalur periwayatan yang
lain. Adapun hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari di sini
pengertiannya dibatasi oleh riwayat yang dinukil oleh Imam Ibnu Abi
Syaibah dari jalur Al Qamah dari Ibnu Mas'ud, "Biasanya Rasulullah
SAW bila melakukan hubungan dengan isterinya, maka beliau
mengucapkan, i—'-LOJ ii\ia^ii JjwjJ (Ya Allah, janganlah

Engkau jadikan bagian bagi syetan terhadap rezeki yang Engkau berikan
kepadaku).

Selanjutnya hadits ini akan dibahas dalam bab nikah. Lalu Al


Karmani menyebutkan bahwa dia pernah membaca pada naskah yang
pernah dibacakan di hadapan Al Firabri, "Ditanyakan kepada Abu
Abdullah ( I m a m Bukhari), 'Apakah boleh bagi mereka yang tidak dapat

FATHUL BAARI — 33
berbahasa Arab mengucapkan doa itu dalam bahasa Persia?' Beliau
menjawab, 'Ya, boleh.'

9. Apa yang Diucapkan Saat Buang Hajat

LISI W? *^S\ O L I ' Jyu L~JL C J T ^ J L I J>. 'J*

(cJC^>\J ^iJiJl ^> dJL i_^F Jl ^ 1 ) : J L I F *>LKJL Jio


V'- O y y s % y yy y y

, • I, y f , 0
^ ^ « . T,- 0 ^ „ ' ' O ' > 0 % y y y

>JI ^Jl B L ) ;4_;jiu^ ^ P J - U P J I I J ^P *J&J& ^ J L

"'I ^- $ ' % $ % y ' " ' ' ' y


O X ' ''

L_£b- J—; j J x ^ Jli (Jio lil) :jLU- Jli j


.(J>-JU 0 1 JLJL LISI) '.jJjiilJLP

142. Diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Shuhaib, ia berkata, "Aku


mendengar Anas berkata bahwa, 'Biasanya apabila Nabi SAW
memasuki tempat buang hajat, maka beliau berdoa, 'Ya Allah, Aku
berlindung kepada-Mu dari Al Khubuts dan Al Khaba 'its.

Hadits ini diriwayatkan juga dari Ibnu Ar'arah dari Syu'bah.


Ghundar berkata, "Telah diriwayatkan dari Syu'bah, 'Apabila salah
seorang di antara kamu mendatangi tempat buang hajat..."' Lalu Musa
berkata, "Telah diriwayatkan dari Hammad, 'Apabila telah masuk.' '''' 1

Sementara Sa'id bin Zaid berkata, "Telah menceritakan kepada kami


Abdul Aziz, 'Apabila hendak masuk..."'

Keterangan Hadits:
"Bab apa yang diucapkan saat buang hajat", yakni saat hendak
masuk ke tempat buang hajat jika tempat tersebut memang khusus
dipersiapkan untuk buang hajat, sedangkan jika ia bukan tempat yang

34 — FATHUL BAARI
dikhususkan untuk buang hajat, maka perkataan Imam Bukhari di atas
dipahami sebagaimana makna tekstualnya.
Penyebutan bab ini dan beberapa bab sesudahnya (yakni sampai
pada bab wudhu satu kali) telah menimbulkan kemusykilan tersendiri,
sebab beliau (Imam Bukhari) memulai kitab wudhu ini dengan
menyebutkan bab-bab yang berhubungan dengan wudhu. Di antaranya
beliau menyebutkan wajib wudhu, syarat dan keutamaannya. Demikian
pula beliau menyebutkan bolehnya meringankan pelaksanaan wudhu,
keutamaan untuk menyempurnakannya, mencuci muka dan membaca
basmalah. Meski bab yang membahas tentang basmalah disebutkan lebih
akhir daripada membasuh muka, namun hal itu tidak memberi pengaruh
yang berarti. Sebab, penyebutan basmalah beriringan dengan awal mula
membasuh muka. Untuk itu, masalahnya tidak berbeda apakah basmalah
disebutkan sebelum masalah membasuh muka atau sebaliknya. Akan
tetapi yang menjadi permasalahan bahwa setelah menyebutkan persoalan
yang berhubungan dengan basmalah, beliau menerangkan mengenai apa
yang diucapkan oleh seseorang saat mau ke tempat buang hajat.
Selanjutnya beliau menyebutkan dengan bab-bab yang berhubungan
dengan istinja'. Setelah itu beliau kembali lagi ke masalah wudhu yang
dilakukan dengan membasuh -anggota wudhu- satu kali.

Nampaknya hubungan antara bab yang satu dan bab lainnya di


tempat ini tidaklah diketahui dengan baik oleh Al Karmani, sehingga
beliau berkata, "Dalam konteks apa sehingga bab tentang 'basmalah'
disebutkan lebih akhir daripada bab-bab sebelumnya, padahal
sesungguhnya 'basmalah' diucapkan sebelum membasuh muka?
Kemudian apa hubungannya sehingga bab-bab tentang buang hajat
disisipkan di antara bab-bab tentang wudhu?" Selanjutnya beliau
menjawab, "Aku katakan bahwa Imam Bukhari tidak terlalu
memperhatikan urutan bab-bab yang beliau sebutkan, karena maksud
utama beliau adalah menukil hadits-hadits dan apa yang berkaitan dengan
kitab shahih beliau, tidak ada maksud lain."

Akan tetapi jawaban yang beliau paparkan di tempat ini beliau


bantah sendiri dalam kitab tafsir, dimana setelah beliau (Al Karmani)
mendiskusikan perbuatan Imam Bukhari yang telah menukil beberapa
masalah yang berhubungan dengan penafsiran beberapa lafazh, maka

FATHUL BAARI — 35
beliau berkata, "Andaikata Bukhari tidak menyebutkan masalah ini
niscaya hal ini lebih utama, sebab semua itu tidak masuk dalam lingkup
pembahasan kitab beliau."

Demikian juga yang beliau katakan di berbagai tempat pada saat ia


tidak menemukan kesesuaian antara apa yang dikatakan oleh Imam
Bukhari dengan bahasan kitabnya. Padahal segala apa yang disebutkan
oleh Imam Bukhari dalam menafsirkan lafazh-lafazh yang rumit beliau
nukil dari para pakar di bidang itu; seperti Abu Ubaidah, An-Nadhr bin
Syamuel dan Al Farra' serta selain mereka. Adapun dalam masalah-
masalah fikih, umumnya beliau berpedoman dengan pendapat Syafi'i dan
Abu Ubaid serta lainnya. Sedangkan seluk beluk ilmu kalam dinukil dari
Al Karabisi, Ibnu Kilah dan lainnya.

Yang lebih aneh lagi, Al Karmani mengatakan bahwa Imam


Bukhari tidak bermaksud untuk menyusun secara baik urutan bab-bab
dalam kitab ini. Padahal tidak ada di antara sekian banyak penulis yang
dikenal memperhatikan persoalan ini dengan baik selain Imam Bukhari.
Hingga sejumlah ulama berkata, "Sungguh Imam Bukhari memiliki
pemahaman yang benar-benar mendalam dalam menyusun urutan bab-
bab dalam kitab ini."

Dalam syarah ini saya telah menyebutkan dengan jelas ketelitian


Imam Bukhari. Setelah melakukan penelitian dalam masalah ini, sekilas
saya mendapatkan apa yang diduga oleh orang-orang yang beranggapan
bahwa Imam Bukhari tidak memperhatikan penyusunan bab-bab dengan
urutan yang baik seperti yang dikatakan oleh Al Karmani. Akan tetapi
dalam masalah shalat, beliau telah memperhatikan urutan-urutan bab
secara sempurna sebagaimana yang akan saya jelaskan.

Adapun dalam pembahasan tentang wudhu ini, terbersit dalam


benak saya bahwa Imam Bukhari terlebih dahulu menyebutkan
kewajiban wudhu sebagaimana yang telah saya sebutkan, karena wudhu
merupakan syarat sahnya shalat. Setelah itu beliau menyebutkan
keutamaan wudhu serta keterangan bahwa wudhu tidak wajib melainkan
benar-benar yakin berhadats.
Ia juga menyebutkan bahwa membasuh anggota wudhu melebihi
dari batasan yang ditetapkan adalah bukan menjadi syarat, tetapi jika hal

36 — FATHUL BAARI
itu dilakukan maka lebih utama. Di samping itu beliau menyebutkan pula
keterangan untuk membasuh sebagian anggota wudhu dengan sekali
cidukan tangan. Demikian pula membaca basmalah saat akan wudhu,
disyariatkan sebagaimana hal ini disyariatkan bagi mereka yang akan
buang hajat.

Lalu dari sini beliau menyebutkan adab istinja' dan syarat-


syaratnya. Setelah itu beliau kembali menerangkan bahwa yang wajib
dalam berwudhu adalah membasuh anggota wudhu satu kali-satu kali,
sedangkan membasuhnya dua atau tiga kali adalah sunah. Selanjutnya
beliau menyebutkan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) sebagai
isyarat untuk membersihkan anggota yang tersembunyi sebelum yang
biasa nampak. Oleh karena dalam hadits tentang istinsyaq terdapat
perintah untuk istinja* (cebok) dengan menggunakan batu dalam jumlah
yang ganjil, maka beliau memuatnya dalam judul bab tersendiri karena
masih dalam lingkup kebersihan.

Lalu beliau kembali membahas hukum berlaku ringan dalam


berwudhu. Beliau menulis satu bab dengan judul membasuh kaki dan
bukan mengusap sepatu, dimana hal ini sebagai isyarat bahwa berlaku
ringan saat berwudhu tidak cukup dengan sekedar mengusap dalam artian
tidak mencapai kategori membasuh. Kemudian beliau membahas
masalah berkumur-kumur, karenanya merupakan bagian yang mengiringi
istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung).

Setelah itu beliau menyebutkan masalah "membasuh kedua mata


kaki", agar tidak timbul dugaan bahwa keduanya bukan termasuk kaki.
Beliau menyebutkan pula "membasuh kedua kaki yang memakai sandal",
sebagai bantahan bagi mereka yang mencukupkan membasuh sandal bagi
yang memakainya. Setelah itu beliau menyebutkan keutamaan memulai
anggota wudhu bagian kanan, kapan seseorang wajib mencari air wudhu,
hukum air yang dipakai berwudhu, hal-hal yang mewajibkan wudhu dan
meminta bantuan saat berwudhu.

Kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan


oleh orang yang tidak dalam keadaan berwudhu. Setiap kali beliau
menyebutkan salah satu anggota selalu diiringinya dengan hal-hal yang
ada hubungannya dengan hal itu bagi mereka yang memperhatikannya

FATHUL BAARI — 37
dengan cermat, hingga akhirnya beliau mengakhiri kitab wudhu dengan
metode seperti ini. Namun pada bagian shalat, beliau (Imam Bukhari)
menempuh metode yang lebih mudah, dimana beliau menyebutkan
urutan bab dengan kesesuaian yang sangat jelas. Seakan-akan beliau
begitu mendalami persoalan tersebut, wallahu a 'lam.

Lafazh C £Ji adalah bentuk jamak dari u-L^ ,


1
sedangkan tij£*Ji

adalah bentuk jamak dari KLSJT. Adapun maksudnya adalah syetan jenis
laki-laki dan perempuan, demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi
dan Ibnu Hibban serta lainnya.
Disebutkan dalam Naskah Ibnu Asakir, "Abu Abdullah (Imam
Bukhari) berkata, iafazh — k a d a n g pula dibaca yang berarti
sesuatu yang tidak disukai, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Al
Arabi. Jika dalam bentuk perkataan, maka berarti caci maki. Apabila
dalam bentuk ideologi, maka berarti kekufuran. Jika berupa makanan,
maka ia adalah makanan yang haram. Apabila berbentuk minuman, maka
ia adalah minuman yang berbahaya. Atas dasar ini, maka yang dimaksud
dengan Al Khaba 'its adalah maksiat ataupun perbuatan-perbuatan tercela
secara umum. Oleh karena itu, maka dalam riwayat Tirmidzi dan yang
lainnya disebutkan, "Aku berlindung kepada Allah dari Al Khubts dan Al
Khabiits" atau "Al Khubuts dan Al Khaba 'its" yakni dari segala sesuatu
yang tidak disukai dan yang tercela, ataupun syetan laki-laki dan
perempuan.

Nabi SAW memohon perlindungan tersebut untuk menampakkan


sikap penghambaan. Di samping itu, Nabi juga mengeraskan suaranya
saat membacanya, hal itu untuk mengajari para sahabatnya. Hadits ini
telah diriwayatkan oleh Al Umari melalui jalur periwayatan Abdul Aziz
bin Al Mukhtar dari Abdul Aziz bin Shuhaib dalam bentuk perintah,
beliau bersabda, "Apabila kamu masuk ke tempat buang hajat maka
ucapkanlah, 'Dengan nama Allah, aku berlindung kepada Allah dari Al
Khubuts dan Al Khaba 'its."' Silsilah periwayatan hadits ini sesuai
klasifikasi hadits shahih yang dimuat dalam kitab Imam Muslim. Dalam
riwayat ini terdapat tambahan untuk mengucapkan basmalah, dan aku
tidak menemukannya kecuali dalam riwayat ini.

38 — FATHUL BAARI
\'j—£-°f- J—>) iij'li (Hadits ini diriwayatkan pula dari Ibnu Ar 'arah).
Nama beliau adalah Muhammad, dan hadits yang beliau riwayatkan
dinukil oleh Imam Bukhari dalam bab doa.

y &J 1
5j (Dan Ghundar berkata). Hadits tanpa silsilah
periwayatan ini disebutkan oleh Al Bazzar berikut para perawinya dalam
musnad beliau dari Muhammad bin Basysyar Bandar, dari Ghundar
dengan redaksi beliau. Hadits ini dinukil pula oleh Ahmad bin Hambal
dari Ghundar dengan lafazh, J — t i j (Apabila salah seorang di antara
kamu masuk).

J l i j (Musa berkata) maksudnya adalah Musa bin Isma'il At-


Tabudzaki. Sedangkan Hammad adalah Ibnu Salamah, yakni Abdul Aziz
bin Shuhaib. Hadits melalui jalur periwayatan ini, para perawinya
disebutkan secara lengkap oleh Al Baihaqi dengan lafazh seperti di atas.

j—ij 'J IJU* JV9J (Sementara Sa 'id bin Zaid berkata). Beliau adalah
saudara Hammad bin Zaid, dan riwayat beliau ini disebutkan oleh Imam
Bukhari berikut silsilah periwayatannya dalam kitab Al Adab Al Mufrad,
dimana beliau berkata, "Abu N u ' m a n telah menceritakan kepada kami
dari Sa'id bin Zaid, dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas. Ia berkata,
'Biasanya Nabi SAW jika ingin memasuki tempat buang hajat, beliau
mengucapkan..." seperti hadits dalam bab ini."

Riwayat ini memberi penjelasan mengenai maksud dari lafazh


hadits di atas yang berbunyi, "Biasanya apabila Nabi SAW memasuki
tempat buang hajat." Yakni beliau mengucapkan doa pada saat akan
masuk, bukan setelah masuk. Ini khusus tempat yang telah disiapkan
untuk buang hajat, hal itu dapat dipahami dari kata "masuk ". Maka Ibnu
Baththal berkata, "Apabila salah seorang di antara kamu mendatangi
tempat buang hajat..." jauh lebih umum karena cakupannya cukup luas.

Dalam hal ini ada dua pembahasan yang perlu diperhatikan;


Pertama, apakah dzikir ini khusus pada tempat-tempat yang khusus
disiapkan untuk buang hajat dikarenakan tempat-tempat tersebut didiami
syetan sebagaimana disebutkan dalam hadits Zaid bin Arqam dalam kitab
As-Sunan, ataukah dzikir ini diucapkan secara umum, bahkan seseorang

FATHUL BAARI — 39
yang kencing di samping rumah? Yang lebih benar adalah pandangan
kedua, selama seseorang belum memulai buang hajat.
Pembahasan kedua, kapankah dzikir itu diucapkan? Barangsiapa
yang memandang makruh untuk menyebut nama Allah dalam kondisi
seperti ini, maka ia memberi perincian sebagai berikut; apabila di tempat
yang disiapkan khusus untuk buang hajat maka diucapkan pada saat
sebelum masuk. Adapun pada tempat selain itu, maka diucapkan pada
awal mula melakukan pekerjaan buang hajat seperti saat hendak
menyingkap pakaian. Demikian pendapat jumhur ulama. Mereka
mengatakan pula bahwa bagi orang yang lupa, maka ia mengucapkannya
dalam hati, bukan dengan lisannya. Sedangkan mereka yang
membolehkan seperti dinukil dari Malik, tidak membutuhkan perincian
seperti di atas.

Perlu diperhatikan bahwa Sa'id bin Zaid yang meriwayatkan


keterangan tentang makna dari perkataan, "Apabila Nabi SAW masuk
tempat buang hajat", adalah orang yang shaduq, sebagian ulama telah
memperbincangkan tentang hafalannya. Riwayat beliau tidak disebutkan
oleh Imam Bukhari kecuali di tempat ini, dan itupun hanya dalam bentuk
ta 'liq (tanpa menyebutkan silsilah periwayatannya). Akan tetapi yang
meriwayatkan lafazh seperti ini bukan hanya beliau sendiri, dimana
lafazh serupa telah diriwayatkan oleh Musaddad dari Abdul Warits dari
Abdul Aziz. Lalu diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dari jalur
periwayatan Abdul Aziz, dimana kedudukannya sama seperti klasifikasi
hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari.

KAMHJMGSUMMAH

40 — FATHUL BAARI
10. Bab Menyiapkan Air di Tempat Buang Hajat

143. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SA W masuk


ke tempat buang hajat, dan aku menyiapkan air wudhu untuknya.
Maka Nabi SA W bertanya, "Siapakah yang menyiapkan air ini? "
Lalu diberitahukan kepadanya bahwa aku yang meletakkannya,
lalu beliau berdoa, "Ya Allah, berilah dia pemahaman yang
mendalam tentang agama."

Keterangan Hadits:

i*j *<>j & c-*i>jj (aku menyiapkan air wudhu untuknya), yakni air
untuk beliau pakai berwudhu. Lalu ada pula yang mengatakan bahwa ada
kemungkinan air tersebut diberikan oleh Ibnu Abbas kepada Nabi untuk
dipakai beristinja' (cebok). Akan tetapi, pandangan ini perlu dicermati
lebih lanjut.

j^—» (Lalu diberitahukan) telah disebutkan dalam kitab "Ilmu"


bahwa yang memberitahukan hal itu adalah Maimunah binti Al Harits
(bibi Ibnu Abbas). At-Taimi berkata, "Dalam hadits ini terdapat
keterangan bahwa membalas suatu kebaikan dengan doa adalah sangat
dianjurkan." Lalu Ibnu Al Munir berkata, "Kesesuaian doa untuk Ibnu
Abbas agar diberi pemahaman tentang agama setelah beliau menyiapkan
air tersebut, adalah karena Ibnu Abbas merasa ragu apa yang harus
dilakukan antara tiga hal berikut ini; yaitu masuk ke tempat Nabi sambil
membawa air, meletakkan air di dekat tempat tersebut agar mudah
didapat, atau tidak melakukan apa-apa. Kemudian Nabi melihat bahwa
apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Abbas itu lebih tepat. Karena jika ia
masuk dengan membawa air, maka hal itu dapat menyingkap aurat beliau
SAW. Sementara jika ia tidak berbuat apa-apa, maka akan menyulitkan
beliau SAW untuk mendapatkan air. Perbuatan Ibnu Abbas ini

FATHUL BAARI — 41
menunjukkan kecerdasannya, maka Nabi mendoakannya untuk diberi
pemahaman tentang agama agar ia dapat memperoleh manfaat.
Sementara sebagian pembahasan hadits ini telah diterangkan terdahulu
dalam bab Ilmu.

1 1 . Tidak Boleh Menghadap Kiblat Saat Buang Air


Besar atau Kecil, Kecuali Bila Berada Dalam Suatu
Bangunan atau Terhalang Tembok Maupun yang
Sepertinya

J\ b l : s | | aUI J j ^ j J l i : J l i ^JC^S\ ^~>y\ J\°^


y O y t % ^ y 'i* ^ y y yy O O y y y O

.1 y'j> j l 1 o'J$±z>ty'jj,V j SilaJl J~alLj *>^i JaiUvJl

144. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al Anshari bahwa ia berkata,


"Rasulullah SAW bersabda, Apabila salah seorang di antara
kamu mendatangi tempat buang air besar, maka janganlah ia
menghadap ke arah kiblat dan jangan pula membelakanginya.
Akan tetapi, menghadaplah ke timur atau ke barat."

Keterangan Hadits:
Pengertian "Kecuali bila berada di suatu bangunan, terhadang
tembok maupun yang sepertinya" adalah seperti batu besar, pagar, pohon
dan pembatas-pembatas lain. Al Isma'ili berkata, "Dalam hadits yang
disebutkan pada bab ini tidak ada keterangan yang mengindikasikan
pengecualian seperti itu." Perkataan ini aku jawab dengan tiga jawaban:
Pertama, bahwa pengecualian itu didasarkan pada hakikat lafazh Al
Gha'ith (tempat buang air besar) di mana menurut hakikat bahasa, Al
Gha'ith adalah suatu tempat datar di muka bumi yang terdapat di
lapangan terbuka. Meskipun setelah itu lafazh Al Gha Jth dipakai untuk
nama semua yang dikhususkan sebagai tempat buang air besar dalam arti

42 — FATHUL BAARI
majaz (kiasan). Maka, larangan dalam hadits di atas khusus untuk tempat
yang terbuka. Sebab suatu lafazh bila tidak dibatasi dengan sesuatu, maka
maknanya kembali kepada hakikat lafazh tersebut. Jawaban ini di-
kemukakan oleh Al Isma'ili yang merupakan jawaban yang terkuat.
Kedua, menghadap ke arah kiblat dapat terealisasi bila seseorang
berada di lapangan terbuka, sementara bila terhalang tembok atau
bangunan, maka secara adat kebiasaan dinamakan menghadap kepada
hal-hal tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Al Munir.
Pendapat ini menjadi kuat bila dikatakan bahwa tempat-tempat untuk
buang air besar tidak dapat digunakan untuk shalat, sehingga tidak ada
istilah kiblat pada tempat-tempat tersebut. Akan tetapi jawaban ini
dikritisi, karena hal itu mengakibatkan tidak sahnya shalat seseorang
yang antara ia dengan Ka'bah ada tempat yang tidak sah untuk
dipergunakan shalat, dan ini adalah batil. Ketiga, pengecualin di atas
adalah berdasarkan hadits Ibnu Umar yang disebutkan setelah bab ini,
sebab hadits-hadits Nabi SAW adalah merupakan satu kesatuan. Jawaban
ini diutarakan oleh Ibnu Baththal serta disetujui oleh Ibnu Tin dan
lainnya.

Apabila dikatakan, "Mengapa kamu memberi m a k n a - / Ghalth


sebagaimana arti hakikinya dan tidak mengartikannya dengan arti yang
lebih luas, sehingga dapat mencakup tempat terbuka maupun bangunan
tertutup. Terlebih lagi sahabat yang meriwayatkan hadits ini telah
memberi makna hadits tadi dalam arti yang luas dan umum, dimana
beliau -sebagaimana yang akan disebutkan oleh Imam Bukhari dalam
bab Kiblat penduduk Madinah pada awal mula disyariatkannya shalat-
berkata, "Kami mendatangi negeri Syam, lalu kami temui tempat-tempat
untuk buang hajat telah dibangun menghadap kiblat, maka kami pun
berpaling (mengambil arah berlawanan) dari arah bangunan itu seraya
memohon ampun."

Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengatakan, "Abu Ayyub Al


Anshari (perawi hadits yang dimaksud) telah memberi makna lafazh Al
Gha 'Uh dari segi hakikat dan majaz sekaligus, dan itulah yang seharus-
nya dilakukan. Seakan-akan hadits yang mengkhususkan makna itu
hanya pada tempat terbuka belum sampai kepada beliau. Adaikata tidak
ada hadits Ibnu Umar yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud
dengan larangan menghadap kiblat saat buang air besar tidak berlaku
pada tempat tertutup seperti bangunan, niscaya kami akan berpendapat

FATHUL BAARI — 43
pula bahwa larangan itu berlaku umum baik di tempat terbuka maupun
tertutup. Sementara mengamalkan kedua dalil yang ada lebih utama
daripada mengabaikan salah satunya. Disebutkan dalam hadits Jabir, -
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Khuzaimah dan lainnya- sebuah keterangan yang menguatkan pandangan
ini. Adapun lafazh hadits tersebut versi Imam Ahmad, adalah:

«Juli J-Jk*« < J J J ^LII AJ^i JJ

{Rasulullah SA W melarang kami membelakangi atau menghadap


kiblat dengan kemaluan-kemaluan kami saat kami menumpahkan air
(kencing). Jabir menambahkan, "Kemudian aku pernah melihat beliau
SAW setahun sebelum wafat kencing dengan menghadap kiblat")
Sebenarnya hadits ini bukan sebagai penghapus hukum larangan
menghadap kiblat sebagaimana anggapan sebagian orang, akan tetapi
hadits ini harus dipahami bahwa kejadian tersebut berlangsung di tempat
tertutup (bangunan) mengingat kebiasaan Nabi SAW yang senantiasa
menutup diri bila melakukan hal-hal seperti itu. Adapun ketika Ibnu
Umar melihat beliau sedang kencing adalah tanpa sengaja -sebagaimana
disebutkan kemudian- demikian pula dengan kejadian yang dialami oleh
Jabir.

Pandangan yang mengatakan bahwa perbuatan itu hanyalah khusus


dibolehkan bagi Nabi tidak dapat dibenarkan, karena perkara yang
khusus bagi Nabi SAW tidak ditetapkan dengan dalil yang masih
memiliki kemungkinan lain. Sementara hadits Ibnu Umar yang akan
disebutkan kemudian memberi keterangan bolehnya buang hajat sambil
membelakangi kiblat apabila berada di tempat tertutup (bangunan),
sementara hadits Jabir menunjukkan kebolehan menghadap kiblat.
Andaikata bukan karena hadits Jabir ini, tentu hadits Abu Ayyub (tentang
larangan menghadap kiblat saat buang hajat) tidak dikhususkan dengan
hadits Ibnu Umar selain kebolehan untuk membelakanginya saja, dan
tidak boleh dikatakan bahwa kebolehan untuk menghadap kiblat diana-
logikan dengan keterangan yang membolehkan membelakanginya.
Analogi dalam hal ini tidak diperbolehkan, karena menghadap kiblat jauh
lebih berat kadarnya dibandingkan dengan membelakanginya.

Lalu sebagian ulama ada yang berpedoman dengan hadits ini


sehingga membolehkan untuk membelakangi kiblat saat buang hajat dan

44 — FATHUL BAARI
tidak boleh untuk menghadapnya, pendapat ini dinukil dari Abu Hanifah
serta Ahmad. Di samping itu ada pula pendapat yang membedakan antara
tempat terbuka dan tempat tertutup (dalam bangunan tertentu), dimana
mereka memperbolehkannya di tempat tertutup dan melarangnya di
tempat terbuka, baik menghadap maupun membelakangi-nya. Jumhur
ulama berkata, "Pendapat terakhir ini adalah pendapat madzhab Imam
Malik, Imam Syafi'i dan Ishaq. Ini merupakan pendapat yang paling
netral, karena ia telah mengamalkan seluruh dalil yang ada. Pendapat ini
diperkuat pula dari sisi logika -seperti yang telah disebutkan terdahulu
dari Ibnu Munir- bahwa menghadap kiblat dalam ruangan (bangunan)
menurut kebiasaan dikatakan menghadap ke dinding (bukan ke kiblat),
dan di samping tempat-tempat khusus untuk buang hajat adalah tempat
syetan, sehingga tidak pantas dikatakan bahwa tempat itu memiliki kiblat,
berbeda dengan tempat yang terbuka atau tanah lapang."

Ulama yang lain berpendapat bahwa menghadap dan mem-


belakangi kiblat adalah haram mutlak. Ini adalah pendapat yang masyhur
dari Abu Hanifah serta Ahmad. Demikian pula pendapat Abu Tsaur
(salah seorang ulama mazhab Syafi'i). Adapun yang mendukung
pendapat ini dari madzhab Maliki adalah Ibnu Al Arabi, sementara dari
madzhab Azh-Zhahiriyah adalah Ibnu Hazm. Hujjah (alasan) yang
mereka kemukakan adalah sesungguhnya larangan harus didahulukan
daripada pembolehan, sementara mereka menganggap hadits Jabir yang
telah kami isyaratkan terdahulu sebagai hadits yang tidak shahih.
Di sisi lain ada pula ulama yang membolehkan secara mutlak, dan
ini adalah pandangan Aisyah, Urwah, Rabi'ah dan Dawud. Mereka
beralasan bahwa hadits-hadits dalam masalah ini saling bertentangan,
maka dari itu kita harus kembali kepada hukum asal yaitu ibahah (boleh).
Demikianlah empat madzhab yang masyhur di kalangan ulama,
dimana Imam Nawawi tidak menukil dalam kitabnya Syarh Al Muhadz-
dzab selain keempat pendapat tersebut. Namun dalam persoalan ini masih
ada lagi tiga pendapat lain, yaitu; pertama, boleh menghadap kiblat saat
berada dalam bangunan saja dengan berpegang pada makna lahir (zhahir)
hadits Ibnu Umar. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Yusuf. Kedua,
Haram secara mutlak meskipun sekedar menghadap kiblat yang telah
dihapus, yakni Baitul Maqdis. Pendapat ini dinukil dari Ibrahim dan Ibnu
Sirin. Mereka berpedoman dengan hadits Ma'qil Al Asadi,

FATHUL BAARI — 45
(Rasulullah SA W melarang kita untuk menghadap dua kiblat pada
saat kencing dan buang air besar). (HR. Abu Dawud dan lainnya. Hadits
ini dha 'if (lemah) karena dalam silsilah periwayatannya terdapat seorang
perawi yang majhul (tidak dikenal).
Seandainya hadits ini shahih, mesti dipahami bahwa yang
dimaksud adalah penduduk Madinah dan daerah yang searah, sebab bila
mereka menghadap ke Baitul Maqdis berarti telah membelakangi Ka'bah.
Sesungguhnya yang menjadi sebab larangan itu adalah membelakangi
Ka'bah, bukan menghadap Baitul Maqdis. Lalu Imam Al Khaththabi
mengklaim adanya ijma' (kesepakatan ulama) yang mengatakan tidak
haram menghadap Baitul Maqdis jika menghadapnya tidak mem-
belakangi Ka'bah. Akan tetapi apa yang beliau katakan ini masih
dipertanyakan berdasarkan keterangan yang telah kami sebutkan, yaitu
pendapat Ibrahim dan Ibnu Sirin dimana pendapat ini juga disetujui oleh
sebagian ulama madzhab Syafi'i, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Abi Ad-
Damm.

Ketiga, pengharaman tersebut hanya berlaku bagi penduduk


Madinah dan daerah yang searah dengannya. Adapun negeri-negeri yang
kiblatnya berada di bagian timur dan barat diperbolehkan menghadap
atau membelakangi kiblat saat buang hajat, baik berada dalam bangunan
maupun di tempat terbuka. Pendapat ini berdasarkan pada keumuman
lafazh dalam sabda beliau SAW, i j—(/• j i i (Akan tetapi hendaklah
kamu menghadap ke timur atau ke barat). Abu Awanah -salah seorang
sahabat Imam Al Muzani- berkata, "Imam Bukhari justeru memahami
sebaliknya, dimana beliau menjadikan hadits ini untuk menunjukkan
bahwa kiblat tidaklah berada di timur maupun barat." Keterangan ini
akan dipaparkan pada bab tentang kiblat penduduk Madinah dalam kitab
shalat, insya Allah Ta 'ala.

J-as—1~J i (Janganlah ia menghadap ke arah kiblat) maksudnya


adalah Ka'bah. Sedangkan perkataan beliau, "dan jangan pula
membelakanginya..." dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan,
Jafl—(• j i J j J (Saat kencing dan buang air besar). Secara lahir (zhahir)

lafazh Jj—'-> (kencing) merupakan larangan khusus bagi sesuatu yang

46 — FATHUL BAARI
keluar dari aurat, dimana tujuan larangan tersebut adalah memuliakan
kiblat agar tidak dicemari dengan mengarahkan najis kepadanya.
Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat Jabir yang mengatakan, 'i*

s-UJl (apabila kami menumpahkan air [kencing]).

Ada pula yang mengatakan bahwa tujuan larangan tersebut adalah


terbukanya aurat (dalam menghadap kiblat), sehingga atas dasar ini
larangan untuk menghadap kiblat tersebut berlaku secara umum dalam
semua yang dapat menyebabkan terbukanya aurat, seperti saat melakukan
hubungan suami isteri.
Ibnu Syasy Al Maliki telah menukil bahwa pendapat di atas
merupakan salah satu pandangan dalam madzhab mereka (Maliki),
seakan-akan orang yang mengemukakan pendapat ini berpegang pada
riwayat dalam kitab Al Muwatha' dengan lafazh, j ^ S c r j ^ iilaJi \'jLJL\.J ^
(Janganlah kamu menghadap kiblat dengan kemaluan kamu (dalam
keadaan terbuka)). Akan tetapi makna hadits ini dipahami sebagaimana
hadits sebelumnya, yakni saat seseorang buang hajat. Hal itu sebagai
langkah untuk memadukan antara dua riwayat yang ada, wallahu a 'lam.
Adapun perkataan Abu Ayyub, >-* J^i (maka kami pun berpaling
(mengambil arah berlawanan) daripada arah bangunan itu seraya
memohon ampun) akan kami jelaskan kemudian, dimana hadits itu
disebutkan oleh Imam Bukhari pada permulaan pembahasan tentang
shalat.

FATHUL BAARI — 47
12. Buang Hajat di Atas Dua Batu Bata

* * * ' ' } * ' s '

01 J J I J OLI" Aj\ AJJI J L P ^ j\Z^


0 0 s- s' S s' B O s' s' s' s' s' s- s' f ^

^-wLsJaJl O ^ J SILIJL ^JJiL-J JJL>-L>- ^ L P O J J J LIL JY'yu

O JIY' lU C ~ J ^^JIP L«JJ O ^ A J J ! J l a J ^ P 4JJI W L P JUII


S' S' 0 0 S' S' & S' ^ S'

; JL I j <o-L>J ^JuiU! *>LAIL~» Y^TTJ ^ J I P |j§| «DLL J J ^ - J


$ s' 0 s s- j 0 J s s- 9 s s s- £ ^ 5> S s'

.4lil j lijilN ^FLJJL J £ O Y ^ A J Y.JJL ^

j—ftj J J * — L O ^ J ^ L Js- ^^Caj (^JJL I^JU d\X» JLI

145. Diriwayatkan dari W asi' bin Habban dari Abdullah bin Umar
bahwasanya dia berkata, "Sesungguhnya manusia mengatakan,
'Apabila engkau duduk untuk buang hajat, maka janganlah
menghadap kiblat dan jangan pula menghadap Baitul Maqdis.
Maka Abdullah bin Umar berkata, "Sungguh aku telah naik ke
atap rumah milik kami, maka aku melihat Rasulullah SA W (duduk)
di atas dua batu bata seraya menghadap Baitul Maqdis untuk
buang hajat." Beliau berkata, "Barangkali engkau termasuk
orang-orang yang shalat di atas pangkal paha. " Akupun
menjawab, "Aku tidak tahu, demi Allah."
Malik berkata, "Yakni orang yang shalat namun tidak terangkat
badannya dari bumi, sujud dengan kondisi badan menempel ke tanah."

Keterangan hadits:
Yang dimaksud dalam kalimat, "bahwasanya dia berkata..." adalah
Ibnu Umar, sebagaimana telah dinyatakan secara tegas oleh Imam
Muslim dalam riwayatnya, dan lafazh hadits ini akan disebutkan
kemudian. Adapun mereka yang mengatakan bahwa yang berkata di sini

48 — FATHUL BAARI
adalah Wasi' bin Habban, maka mereka telah salah. Sedang perkataan,
"Maka Abdullah bin Umar berkata..." bukanlah sebagai jawaban atas
perkataan Wasi' bin Habban. Tetapi untuk menjelaskan sebab, dimana
pada perkataan sebelumnya beliau mengingkari pendapat Wasi'. Maka,
pada perkataan selanjutnya beliau menjelaskan sebab pengingkaran
tersebut berdasarkan apa yang dia riwayatkan dari Nabi SAW. Untuk itu
dia bisa saja mengatakan "Sungguh aku telah melihat Rasulullah SAW
..." akan tetapi orang yang meriwayatkan hadits ini dari beliau (yakni
Wasi') ingin memberi penekanan dengan mengulangi perkataannya,
"Ibnu Umar berkata... dan seterusnya."

j j (Sesungguhnya manusia) menunjukkan pendapat sebagian


orang yang mengatakan bahwa larangan menghadap kiblat saat buang
hajat adalah bersifat umum. Pendapat ini dinukil dari Abu Ayyub, Abu
Hurairah, Ma'qil Al Asadi dan lainnya.

oli ii \i\ (Apabila engkau duduk). Disebutkannya lafazh "duduk"


dalam hadits ini adalah karena umumnya orang yang buang hajat adalah
duduk, tetapi pada dasarnya berdiri juga memiliki hukum yang sama
seperti itu.

\ — c - j Jfe ^s- (Ke atap rumah milik kami). Dalam riwayat Yazid
pada pembahasan berikut disebutkan, 1%j f& ^Ji- (Ke atap rumah kami).
Dalam riwayat Ubaidillah bin Umar yang juga akan disebutkan pada
pembahasan selanjutnya, diriwayatkan dengan lafazh,'Los»-c J j Jfe Js-
l

(Ke atap rumah Hafshah), yakni saudara perempuan Ibnu Umar,


sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Muslim dalam riwayatnya.
Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dikatakan, c«L"Coso-Js- c i £ o

c—131'Ji—)i>CJ'SMS J»S> (Aku masuk menemui Hafshah, lalu aku naik ke


atas atap rumah). Untuk menyatukan lafazh-lafazh hadits ini dapat
dikatakan: Pada saat beliau mengatakan "rumah milik kami" adalah
sebagai kata kiasan, sebab Hafshah, adalah saudara perempuan beliau
sendiri. Sedangkan pada saat beliau menisbatkan kepemilikan rumah itu
kepada Hafshah dikarenakan rumah itu adalah tempat dimana Nabi SAW
menempatkan Hafshah, dan kepemilikannya tetap berada di tangannya
hingga beliau wafat dan menjadi salah satu harta peninggalannya. Dalam
bab Al Khumus (seperlima dari harta rampasan perang), Imam Bukhari

FATHUL BAARI — 49
akan menerangkan faidah hadits ini lebih lanjut. Pada saat Ibnu Umar
menisbatkan kepemilikan rumah itu kepada dirinya sendiri, hal itu
didasarkan pada keadaan yang akan datang dimana beliau adalah ahli
waris dari saudara perempuannya (Hafshah), sebab Hafshah tidak
meninggalkan ahli waris lain yang dapat menghalangi Ibnu Umar untuk
memiliki rumah itu sepenuhnya.

j — t ^ * (di atas dua batu bata). Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah


dikatakan, "Aku memandangi Rasulullah SAW dari ketinggian,
sementara beliau berada di tempat buang hajat." Dalam riwayat lain oleh
Ibnu Khuzaimah dikatakan, "Aku melihat beliau sedang buang hajat
dengan ditutupi atau dibatasi batu bata." Sementara dalam riwayat Al
Hakim dan Tirmidzi melalui silsilah periwayatan yang shahih disebutkan,
"Aku melihat beliau SAW berada di tempat tertutup."
Berdasarkan riwayat-riwayat ini maka gugurlah alasan orang yang
membolehkan menghadap kiblat secara mutlak saat buang hajat, dimana
mereka mengatakan bahwa ada kemungkinan Ibnu Umar melihat beliau
SAW di tempat terbuka. Demikian pula perkataan mereka bahwa adanya
batu bata seperti disebutkan dalam lafazh hadits tidaklah menunjukkan
bahwa beliau menggunakannya sebagai pembatas, sebab bisa saja batu
bata itu digunakannya sebagai tempat untuk berpijak agar berada dalam
posisi sedikit lebih tinggi. Akan tetapi kemungkinan yang mereka
katakan ini terbantah dengan sikap Ibnu Umar sendiri yang tidak
membolehkan seseorang menghadap kiblat saat buang hajat apabila
berada di tempat terbuka kecuali bila ada pembatas, sebagaimana
disebutkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim dengan sanad tidak apa-apa
(laa ba sa bihi).
Perbuatan Ibnu Umar yang naik ke atap bukanlah bermaksud
mengintip Nabi dalam kondisi demikian, akan tetapi beliau naik ke atap
karena suatu keperluan seperti diterangkan dalam riwayat berikut ini.
Namun tiba-tiba ia sempat melihat Nabi sebagaimana yang disebutkan
oleh Al Baihaqi melalui jalur periwayatan Nafi' dari Ibnu Umar. Nasihat
tanpa sengaja ini tidak disia-siakan oleh Ibnu Umar, dari sini beliau
sempat memetik satu hukum syariat. Seakan-akan beliau melihat Nabi
SAW dari bagian belakangnya sehingga memungkinkan baginya untuk
memperhatikan posisi Nabi tanpa melanggar larangan tertentu. Kejadian
ini juga memberi keterangan tentang antusias yang demikian tinggi dari

50 — FATHUL BAARI
para sahabat untuk mengetahui kondisi Nabi agar dapat diikuti, demikian
pula dengan Abdullah bin Umar.

Jl—Jj (Dia berkata), maksudnya adalah Ibnu Umar. Sedangkan

perkataan, illAJ (Barangkali engkau termasuk...) ditujukan kepada Wasi'.


Orang yang mengatakan bahwa perkataan ini berasal langsung dari Nabi
SAW telah melakukan kekeliruan.
Lalu Imam Malik menafsirkan perkataan Ibnu Umar, "Orang-orang
yang shalat di atas pangkal p a h a . . . " maksudnya adalah orang-orang yang
sujud dengan menempelkan perutnya ke pangkal paha. Posisi seperti ini
menyalahi sifat sujud yang disyariatkan, yakni merenggangkan badan
dari paha sebagaimana akan dijelaskan. Sementara dalam kitab An-
Nihayah, "Perkataan Ibnu Umar itu ditafsirkan pula dengan posisi
merenggangkan kedua lutut, seakan-akan beliau bertumpu pada kedua
pangkal paha."
Lalu terjadi kesulitan mengenai kesesuaian antara perkataan Ibnu
Umar, "Orang-orang yang shalat di atas pangkal p a h a . . . " dengan
persoalan sebelumnya. Sebagian mengatakan, "Ada kemungkinan beliau
menyebutkan perkataannya ini karena orang yang sedang diajak
berbicara tidak mengerti tentang Sunnah. Sebab andaikata ia memahami
Sunnah niscaya dengan sendirinya ia akan mengerti perbedaan antara
buang hajat di tempat terbuka dan di tempat selain itu, atau perbedaan
antara Ka'bah dan Baitul Maqdis. Hanya saja Ibnu Umar memakai kata
kiasan bagi seseorang yang tidak mengetahui Sunnah sebagai orang yang
shalat di atas pangkal paha, karena yang melakukan hal seperti itu tidak
lain pasti tidak mengerti tentang Sunnah." Jawaban ini dikemukakan oleh
Al Karmani. Akan tetapi jawaban ini terlalu dipaksakan. Karena tidak
ada dalam konteks hadits keterangan yang menyebutkan bahwa Wasi'
bertanya tentang hukum buang hajat, sehingga dapat dikatakan ia tidak
mengerti persoalan tersebut. Lalu pada bagian akhir jawaban ini juga
tidak dapat diterima, karena tidak tertutup kemungkinan orang yang
mengerti Sunnah saat buang hajat namun sujudnya tidak benar.

Menurut pandangan saya bahwa kesesuaian yang tampak dari


perkataan Ibnu Umar ini adalah apa yang diindikasikan pada bagian awal
teks hadits ini dalam riwayat Imam Muslim, dimana disebutkan "Telah
diriwayatkan dari Wasi', ia berkata, 'Aku pernah shalat di masjid
sementara Abdullah bin Umar sedang duduk. Setelah aku menyelesaikan

FATHUL BAARI — 51
shalat akupun mendatanginya dari arah samping. Maka Abdullah bin
Umar mengatakan, sesungguhnya manusia mengatakan....'" dan seterus-
nya hingga akhir hadits seperti di atas.
Ada kemungkinan Ibnu Umar melihat adanya kekeliruan cara sujud
Wasi' sehingga beliau bertanya kepadanya sebagaimana tertera dalam
hadits pada bab ini. Lalu Ibnu Umar memulai dengan kisah pertama
tersebut, karena hal itu adalah sesuatu yang benar-benar beliau
riwayatkan dari Nabi SAW. Oleh sebab itu, cerita ini lebih didahulukan-
nya daripada persoalan yang masih dalam dugaan. Tidak tertutup pula
kemungkinan bahwa peristiwa ini terjadi di masa orang-orang yang
berpendapat seperti apa yang beliau nukil, sehingga beliau ingin
menjelaskan hukum ini kepada tabi'in agar mereka menukil darinya
hukum dalam masalah itu.

Di samping itu, tidak ada halangan bila dikatakan antara dua


perkara ini terdapat hubungan secara khusus, yakni perkara yang satu
memiliki kaitan dengan perkara lainnya, misalnya dikatakan,
"Kemungkinan orang yang sujud dengan kondisi perut menempel di paha
memiliki dugaan tidak boleh menghadap kiblat dengan kemaluan terbuka
dalam situasi seperti yang telah kami jelaskan terdahulu saat membahas
perkara yang menjadi inti larangan dimaksud." Sementara kondisi dalam
shalat dapat digolongkan menjadi empat bagian: Berdiri, ruku', sujud dan
duduk. Menghimpit dalam kondisi-kondisi seperti itu adalah hal yang
mungkin kecuali jika seseorang merenggangkan antara kedua pangkal
pahanya saat sujud. Maka dari sini Wasi' merasa perlu merapatkan kedua
pahanya demi untuk menghimpit kemaluannya.
Akhirnya, hal ini dipraktekkannya sehingga menjadi suatu
fenomena bid'ah dan sikap berlebihan dalam agama. Padahal Sunnah
berbeda dengan yang seperti itu. Sebab menutup (aurat) dengan kain
telah mencukupi, sebagaimana halnya tembok telah dianggap cukup
sebagai pembatas antara aurat yang terbuka dengan kiblat, seandainya
kita sependapat dengan mereka yang mengatakan bahwa inti larangan itu
adalah menghadapkan kemaluan dalam keadaan terbuka ke kiblat.
Setelah Ibnu Umar menceritakan kepada tabi'in mengenai hukum
perkara yang pertama, beliau mengisyaratkan pula pada hukum kedua
untuk memberi teguran secara halus atas kekeliruan yang ia duga
dilakukan oleh sang tabi'in dalam shalatnya. Adapun perkataan Wasi',
"Aku tidak tahu.." memberi petunjuk bahwa tidak ada padanya

52 — FATHUL BAARI
sedikitpun perkara yang diduga oleh Ibnu Umar, maka Ibnu Umar tidak
bersikap keras saat mengemukakan larangan tersebut.

13. Keluarnya Wanita ke tempat Buang Hajat

.J&BLLJ 4L j\s "o\y>\ c J l S " j .«.LLISP ^OJl y? ^ ^ R- jj


• ** - ^ ~

o y 0 r- s % y O y s y

J ° ' • f [ ' i * ° ' l' \\'• ' ' - %. U f ' *


0 0

y 1 Jl ^Js- U»j>- . y y u 1)U3y Si }l :


0
' s~ ' s oi'

146. Te/a/; diriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya para isteri Nabi


SA W apabila hendak buang hajat pada malam hari, mereka pergi
ke tanah lapang. Maka Umar bin Khaththab berkata kepada Nabi,
"Hijablah isteri-isterimu. "Akan tetapi Nabi SA W tidak melakukan
hal itu. Suatu malam menjelang isya' Saudah binti Zam 'ah -salah
seorang isteri Nabi SA W, dan beliau adalah wanita dengan postur
tubuh yang agak tinggi- keluar, maka Umar menyapanya,
"Ketahuilah, sungguh kami telah mengenalmu wahai Saudah? "
Beliau sangat mengharapkan diturunkan ayat hijab, akhirnya
Allah menurunkan ayat hijab."

Keterangan hadits:

L ^ - 1 (Hijablah) maksudnya, cegahlah istri-istrimu untuk keluar


dari rumah mereka. Buktinya bahwa setelah ayat tentang hijab turun,
maka Umar mengatakan kepada Saudah seperti yang akan diterangkan.

FATHUL BAARI — 53
Namun, ada pula kemungkinan yang beliau maksudkan adalah
memerintahkan untuk menutup wajah mereka. Lalu setelah turun perintah
sebagaimana yang diharapkannya, maka beliau menginginkan pula agar
para isteri Nabi SAW menutup diri pula (dalam rumah). Akan tetapi, hal
ini tidak diwajibkan karena adanya sebab yang mengharus-kan mereka
keluar. Kemungkinan kedua ini jauh lebih kuat daripada kemungkinan
pertama. Umar bin Khaththab menganggap turunnya ayat hijab
merupakan salah satu peristiwa, dimana kehendaknya bertepatan dengan
perintah Allah, sebagaimana akan disebutkan pada tafsir Surah Al
Ahzaab. Atas dasar ini maka menutup diri bagi para isteri Nabi terjadi
dalam beberapa keadaan, diantaranya, menutup diri dengan kegelapan
malam, sebab mereka hanya keluar di waktu malam dan tidak mau
menampakkan diri di waktu siang. Hal ini digambarkan oleh Aisyah
dalam hadits ini, "Bahwasanya para isteri Nabi biasa keluar di waktu
malam." Lalu akan diterangkan pula keterangan serupa dalam hadits
Aisyah berkenaan dengan berita dusta yang dituduhkan kepada dirinya,
dimana dikatakan, "Ummu Misthah keluar bersamaku ke tanah lapang
tempat kami buang hajat. Saat itu kami tidak keluar melainkan di waktu
malam saja."

Kemudian turunlah ayat hijab, maka mereka menutup diri dengan


pakaian. Akan tetapi penampilan mereka kadang masih saja nampak, oleh
sebab itu maka Umar berkata kepada Saudah pada kali kedua setelah
turunnya ayat hijab, "Ketahuilah, demi Allah engkau tidak tersembunyi
bagi kami." Setelah itu dibuatlah tempat tertutup dalam rumah dan
mereka pun senantiasa berada di tempat tersebut sebagaimana disebutkan
dalam hadits Aisyah yang berhubungan dengan kabar dusta yang
dituduhkan kepada dirinya, dimana dalam hadits itu dikatakan, "Yang
demikian itu terjadi sebelum dibuat tempat tertutup dalam rumah." Kisah
mengenai berita dusta atas diri Aisyah ini terjadi sebelum turunnya ayat
hijab, sebagaimana yang akan dijelaskan insya Allah.

—svJi <dJl JjSis (Akhirnya Allah menurunkan hijab) dalam naskah

Al Mustamli tertulis, <~A*?Ji AJT (ayat hijab), lalu ditambahkan oleh Abu
Awanah dalam kitab Shahih-nya dari riwayat Az-Zubaidi dari Ibnu
Syihab, "Maka Allah menurunkan hijab, 'Wahai orang-orang yang
beriman janganlah kamu masuk ke rumah-rumah nabi. "' (Qs. Al Ahzaab
(33): 53) yang akan disebutkan dalam tafsir surah Al Ahzaab bahwa
sebab turunnya ayat itu berhubungan dengan kisah Zainab binti Jahsy

54 — FATHUL BAARI
ketika melangsungkan walimah, kemudian ada tiga orang di antara
undangan yang tidak segera pamitan, sementara Nabi SAW merasa malu
untuk memerintahkan agar mereka pulang. Maka, turunlah ayat tentang
hijab ini.
Demikian pula akan disebutkan hadits Umar yang berbunyi, "Aku
berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu masuk
menemui mereka; orang yang baik-baik maupun orang yang berbuat
dosa. Maka alangkah baiknya jika anda memerintahkan mereka untuk
berhijab.' Akhirnya, turunlah ayat hijab." Disebutkan oleh Ibnu Jarir
dalam kitab tafsirnya dari riwayat Mujahid, "Ketika Nabi SAW sedang
makan bersama sebagian sahabatnya, sementara Aisyah makan bersama
mereka, tiba-tiba tangan salah seorang di antara mereka menyentuh
tangan Aisyah. Nabi tidak menyenangi kejadian tersebut, akhirnya
turunlah ayat hijab."

Cara untuk mengompromikan riwayat-riwayat yang ada adalah


dengan mengatakan bahwa sebab-sebab turunnya ayat hijab cukup
banyak dan beragam. Namun kisah Zainab merupakan sebab yang
terakhir, karena ia disebutkan secara transparan dalam ayat. Adapun yang
dimaksud dengan ayat hijab pada sebagian riwayat itu adalah firman
Allah SWT, "Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka." (Qs. Al Ahzaab (33): 59)

t, - i ' . s o t o s * . f o , . 11 ' \ " 0


'

JL_J ( J>J>-B- j^-j>x3 oi OIL -B JLI 2GL ^ J I L I jf- AJJIP JS-

147. Diriwayatkan dari Aisyah, dari Nabi SAW bahwa beliau


bersabda, "Telah diizinkan bagi kamu keluar untuk keperluan
kamu. " Hisyam berkata, "Yakni buang hajat."

Keterangan Hadits:
Ringkasan kandungan hadits ke-147 ini adalah bahwasanya Saudah
-beliau adalah seorang yang memiliki postur tubuh besar- keluar rumah
untuk keperluannya setelah turun kewajiban berhijab. Maka Umar bin
Khaththab melihatnya lalu berkata, "Wahai Saudah, ketahuilah demi

FATHUL BAARI — 55
Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami, perhatikanlah bagaimana
engkau sampai keluar (rumah)?" Saudah kembali dan mengadukan hal itu
kepada Nabi SAW pada saat beliau sedang makan malam, maka turunlah
wahyu kepadanya. Kemudian beliau bersabda, "Sungguh telah diizinkan
bagi kalian keluar untuk keperluan kalian."
Ibnu Baththal berkata, "Hukum fikih yang terdapat dalam hadits ini
adalah dibolehkan bagi wanita untuk melakukan hal-hal yang memiliki
kemaslahatan bagi mereka. Dalam hadits ini terdapat pula keterangan
bolehnya seorang yang lebih rendah kedudukannya menanggapi pendapat
seorang yang lebih tinggi kedudukannya, apabila ia berkeyakinan berada
di jalan yang benar dan tidak ada maksud untuk membangkang."
Faidah hadits yang lain; adalah keterangan mengenai kedudukan
Umar bin Khaththab, bolehnya berbicara antara laki-laki dan wanita di
jalan karena suatu keperluan yang mendesak, bolehnya berbicara dengan
keras bagi yang menghendaki kebaikan, dibolehkan bagi seseorang
menasihati ibunya dalam persoalan agama karena Saudah adalah ibu
kaum mukminin, dan terdapat pula keterangan bahwa Nabi senantiasa
menunggu turunnya wahyu dalam perkara-perkara syar'i. Karena beliau
S A W tidak memerintahkan isteri-isterinya berhijab padahal kondisi telah
menghendaki hal itu, hingga akhirnya turun ayat hijab. Demikian pula
dengan izin beliau kepada mereka untuk keluar (rumah).

14. Buang Hajat di Rumah

'a *J 3 v^jb- o~u jp? L J O - . * I j l Jli JAS- ^ji 4JU1 J L p i jf-

s s " "

56 — FATHUL BAARI
148. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, "Aku naik
ke atap rumah Hafshah untuk suatu keperluan, tiba-tiba aku
melihat Rasulullah SAW sedang buang hajat dengan mem-
belakangi kiblat dan menghadap ke Syam."

Maksud Imam Bukhari menyebutkan bab "Buang hajat di rumah"


setelah bab sebelumnya, adalah untuk memberi penjelasan bahwa
keluarnya wanita untuk buang hajat tidaklah berlangsung terus-menerus.
Bahkan, tak lama kemudian dibuatlah tempat-tempat khusus untuk buang
hajat di dalam rumah sehingga para wanita tidak perlu lagi keluar rumah
hanya untuk buang hajat, kecuali karena hal-hal lain yang sangat
mendesak.

149. Diriwayatkan dari Muhammad bin Yahya bin Habban


bahwasanya pamannya -Wasi' bin Habban- telah mengabarkan
kepadanya bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar menceritakan
kepadanya, "Pada suatu hari aku naik ke atap rumah kami, tiba-
tiba aku melihat Rasulullah SA W duduk di atas dua batu bata
dengan menghadap Baitul Maqdis."

Dalam riwayat-riwayat ini kadang dikatakan menghadap ke Syam


dan kadang pula dikatakan menghadap ke Baitul Maqdis. Hal itu karena
para perawi telah meriwayatkan hadits tersebut dengan maknanya, bukan
dengan lafazhnya. Hal ini karena kedua tempat itu berada pada satu arah.

FATHUL BAARI — 57
15. Istinja' Dengan Air

150. Telah diriwayatkan dari Abu Mu 'adz -namanya adalah Atha'


bin Abu Maimunah- ia berkata, 'Aku mendengar Anas bin Malik
berkata, 'Biasa Nabi SAW jika keluar untuk buang hajat, maka aku
bersama seorang anak membawakan untuknya bejana berisi air.
Yakni, untuk beliau pakai beristinja''".

Keterangan Hadits:
Maksud Imam Bukhari memberi judul "Beristinja dengan air",
1

adalah untuk membantah mereka yang memakruhkan (tidak menyukai)


beristinja' (cebok) dengan menggunakan air, sekaligus bantahan untuk
mereka yang beranggapan bahwa hal itu tidak pernah dilakukan oleh
Nabi SAW.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dengan sanad (silsilah
periwayatan) shahih dari Hudzaifah bin Al Yaman bahwa beliau ditanya
tentang istinja' (cebok) dengan menggunakan air, maka beliau berkata,
"Jika demikian, maka kotoran tidak akan hilang dari tanganku."
Diriwayatkan pula dari Nafi' bahwasanya Ibnu Umar tidak menggunakan
air saat istinja". Sementara dari Ibnu Zubair diriwayatkan, "Kami tidak
pernah melakukan hal seperti itu." Kemudian Ibnu At-Tin menukil
riwayat dari Imam Malik bahwa beliau mengingkari jika Nabi SAW
pernah istinja' (cebok) dengan menggunakan air. Lalu dinukil pula
riwayat dari Ibnu Habib (salah seorang ulama madzhab Maliki) bahwa
beliau melarang menggunakan air saat istinja', karena air termasuk
sesuatu yang dikonsumsi.

58 — FATHUL BAARI
f$—f-j IJI (Aku bersama seorang anak). Dalam riwayat berikut
ditambahkan,LJL» ^*Apj Ul t^A (Seorang anak dari kami), maksudnya dari
golongan Anshar. Hal ini dinyatakan secara tegas oleh Al Isma'ili dalam
riwayatnya. Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim di katakan, ftej

ijy*j (Seorang anak sepertiku), yakni sebaya denganku.

Adapun kata fj adalah anak yang sedang dalam usia


pertumbuhan, demikian yang dikatakan oleh Abu Ubaid. Sementara
dalam kitab Al Muhkam dikatakan, "Ghulam adalah sebutan bagi seorang
anak sejak disapih hingga usia tujuh tahun." Lalu diriwayatkan oleh
Zamakhsyari dalam kitab Asas Al Balaghah bahwa yang disebut ghulam
itu adalah sejak usia kecil hingga tumbuh jenggotnya. Apabila telah
tumbuh jenggotnya dan masih dikatakan ghulam, maka sebutan itu hanya
dalam bentuk majaz (kiasan).

4 — ; ^ . l - . , ° . t ^—Ju (Yakni untuk beliau pakai beristinja') Yang


mengucapkan kata "yakni" ini adalah Hisyam, sebab hadits ini telah
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab selanjutnya melalui jalur
periwayatan Sulaiman bin Harb tanpa menyebut kata tersebut. Tetapi
telah diriwayatkan oleh Uqbah melalui jalur periwayatan Muhammad bin
Ja'far dari Syu'bah disebutkan, «UU (Beliau beristinja' dengan air).
Dalam riwayat Isma'ili melalui jalur periwayatan Ibnu Marzuq dari
Syu'bah disebutkan, lg—L» j*£~>. ^ ^ ? « j ^ ! j&stt' j? ^
^—3\ (Maka aku berangkat bersama seorang anak dari kalangan Anshar
dengan membawa bejana berisi air untuk dipakai Nabi beristinja').

Imam Bukhari meriwayatkan pula hadits ini melalui jalur


periwayatan Ruh bin Qasim dari Atha' bin Abu Maimunah,~**r&lj'Jf

i-i J — i j frUi isJl (Apabila beliau buang hajat, maka aku membawakan air
untuknya lalu beliau pakai untuk membersihkannya). Sedangkan dalam
riwayat Imam Muslim dari jalur periwayatan Khalid Al Hidza' dari Atha'
dari Anas, sLll* Q* ^'j^ (Maka beliau keluar menemui kami
sedangkan beliau telah beristinja' dengan menggunakan air).

F A T H U L BAARI — 59
Berdasarkan riwayat-riwayat ini jelaslah bahwa lafazh istinja s

(cebok) adalah perkataan Anas, perawi hadits tersebut. Dari sini


diperoleh bantahan terhadap Al Ashili dimana beliau mengkritik
pandangan Imam Bukhari yang berdalil dengan lafazh ini untuk
menunjukkan istinja' dengan menggunakan air. Beliau berkata, "Karena
sesungguhnya lafazh dalam hadits, 'Beristinja' dengan air' bukanlah
perkataan Anas bin Malik, akan tetapi itu adalah perkataan Abu Walid,
yakni salah seorang yang meriwayatkan hadits ini dari Syu'bah di mana
hadits ini telah diriwayatkan oleh Sulaiman bin Harb dari Syu'bah tanpa
menyebut lafazh tersebut." Beliau melanjutkan, "Ada pula kemungkinan
air tersebut adalah untuk beliau SAW pakai berwudhu." Namun semua
kemungkinan yang beliau paparkan ini tidak dapat diterima berdasarkan
riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan di atas.

Demikian pula riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan menjadi


bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa lafazh, "Beristinja
dengan air" adalah perkataan perawi yang disisipkan dalam hadits, yakni
perkataan Atha' (salah seorang yang menukil hadits ini dari Anas bin
Malik). Dengan demikian lafazh tersebut berstatus mursal (disandarkan
oleh seorang tabi'in langsung kepada Nabi SAW), sehingga tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah (landasan argumentasi). Pendapat ini dinukil
oleh Ibnu Tin dari Abu Abdul Malik Al Buni. Sedangkan riwayat Khalid
seperti yang telah kami sebutkan di atas memberi ketegasan bahwa lafazh
tersebut adalah perkataan Anas, dimana beliau mengatakan, "Maka
beliau keluar menemui k a m i . . . "
Lalu dalam tulisan Al Badr Az-Zarkasyi terjadi kesalahan
penulisan, dimana dia menisbatkan kritik di atas kepada Al Isma'ili,
padahal yang benar itu berasal dari Al Ashili. Di samping itu, Al Badr
mengakui perkataan tersebut sehingga menimbulkan kesan bahwa beliau
menyetujuinya, padahal pendapat itu tidak patut untuk disetujui
sebagaimana yang telah kami jelaskan. Demikian pula Al Karmani telah
menisbatkan kritik tersebut kepada Ibnu Baththal dan mengakuinya,
padahal Ibnu Baththal hanya menukil dari Al Ashili.

60 — FATHUL BAARI
16. Orang yang Dibawakan Air untuk Dipakai Bersuci

Abu Darda' berkata, "Bukankah di antara kamu ada pemilik


sepasang sandal, alat untuk bersuci serta bantal."

j * o j b l liat* \1A ^ * > ^ - J UI o t J <o-li>J ^ y - ISI is-p AJJ) J J » - J

..c

1 5 1 . D a n y46/ Mw 'a<iz -v4i7ia' bin Abi Maimunah, ia berkata, "Aku


mendengar Anas berkata, 'Biasanya apabila Rasulullah SAW
keluar untuk buang hajat, maka aku bersama seorang anak dari
kami mengikutinya dengan membawa bejana berisi air.'"''

Keterangan Hadits:

j, £ls jJJi frbji y\ Jt3j (Abu Darda berkata, "Bukankah di antara


kamu...) Pembicaraan ini ditujukan kepada Al Qamah bin Qais. Yang
dimaksud dengan pemilik sepasang sandal, alat untuk bersuci serta bantal
adalah Abdullah bin Mas'ud, karena beliau adalah orang yang bertugas
untuk melayani keperluan Nabi sehubungan dengan hal-hal tersebut.
Akan tetapi pada dasarnya pemilik sepasang sandal itu adalah Nabi SAW
sendiri, namun hal ini dinisbatkan kepada Abdullah bin Mas'ud dalam
bentuk majaz, karena dia yang selalu membawa sandal beliau. Penggalan
hadits ini akan disebutkan secara lengkap oleh Imam Bukhari berikut
silsilah periwayatannya dalam bab Al Manaqib (keutamaan-keutamaan),
insya Allah.

FATHUL BAARI — 61
Dengan disebutkannya hadits Anas oleh Imam Bukhari bersamaan
dengan penggalan hadits tersebut dari riwayat Abu Darda', telah
memberi kesan sangat kuat bahwa yang dimaksud dengan ghulam
(seorang anakj dalam hadits Anas adalah Abdullah bin Mas'ud, dimana
pada pembahasan terdahulu telah kami ketengahkan bahwa lafazh
ghulam (anak) dapat pula digunakan selain anak kecil dalam arti kiasan.
Sementara Nabi SAW pernah bersabda kepada Ibnu Mas'ud saat ia masih
berada di Makkah sebagai penggembala kambing, "Sesungguhnya
engkau adalah seorang anak (ghulam) yang terdidik." Jika demikian
maka makna perkataan Anas, "Seorang anak dari kami.." maksudnya dari
kalangan sahabat atau di antara para pembantu Nabi SAW.

Adapun mengenai riwayat Al Isma'ili yang disebutkan lafazh,


"Dari kalangan Anshar.." ada kemungkinan hanyalah perkataan sebagian
perawi hadits ini, dimana setelah ia melihat dalam lafazh hadits ini
ucapan Anas, "seorang anak dari k a m i . . . " maka perawi tersebut
menganggap bahwa yang dimaksud oleh Anas adalah kabilahnya.
Akhirnya, ia meriwayatkan hadits tersebut dari segi maknanya dengan
mengatakan dari kalangan Anshar. Atau kemungkinan lain bahwa lafazh
"Anshar" itu dipergunakan bagi seluruh sahabat, meskipun secara
kebiasaan (urf) hanya dikhususkan bagi suku Aus dan Khazraj.

Kemudian dalam riwayat Abu Dawud dari hadits Abu Hurairah, ia


berkata, "Biasanya jika Nabi SAW mendatangi tempat buang hajat, maka
aku membawakan kepadanya air dalam bejana untuk beliau pakai
beristinjaV Berdasarkan riwayat ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa
yang dimaksud dengan ghulam dalam hadits Anas adalah Abu Hurairah.
Kemungkinan ini lebih diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari sendiri pada pembahasan tentang jin, dimana beliau
menyebutkan hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa beliau (Abu
Hurairah) biasa membawakan bejana (berisi air) buat Nabi untuk dipakai
berwudhu serta keperluan lainnya." Di samping itu, dalam riwayat lain
oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Anas menyebutkan sifat orang
yang pergi bersamanya sebagai seorang yang termuda, sehingga sangat
jauh kemungkinan jika yang dimaksud adalah Ibnu Mas'ud, wallahu
alam. Sedangkan jika orang yang bersama Anas tersebut adalah Abu
Hurairah, maka yang dimaksud dengan "yang termuda " dalam riwayat
Anas ditinjau dari segi kondisi, yakni paling muda (belum lama) dalam
memeluk Islam.

62 — F A T H U L BAARI
Sementara dalam riwayat Imam Muslim dari hadits panjang yang
dinukil dari Jabir disebutkan bahwa Nabi SAW pergi untuk buang hajat,
maka Anas mengikutinya seraya membawa bejana (berisi air). Dengan
demikian ada pula kemungkinan orang yang tidak disebutkan namanya
dalam riwayat Anas adalah Jabir, terlebih lagi beliau adalah seorang yang
berasal dari kalangan Anshar.
Lalu dalam riwayat Al Isma'ili dari jalur periwayatan Ashim bin
Ali dari Syu'bah disebutkan, — i *3ls (Maka aku mengikutinya
sementara aku masih anak-anak). Akan tetapi riwayat ini dikomentari
oleh Al Isma'ili dengan perkataannya, "Sesungguhnya yang benar adalah
lafazh, & (Aku dan seorang anak).

17. Membawa Tombak dan Air Waktu Istinja"

2 % ^ y y y % % s ' J o i ' 0

JJ^J JLS" Jj-flJ Cf- U~** ^J*^* ^ 0^


# y <• y y \* -- % y s f yy yy O % ^

aj^Pj a j b l ,»*>IPj lil J^-LJ f-^AiJl J-^^i ii§l

<U!P L-aP ajl*Jl i o u i ^ p oliLij

152. Diriwayatkan dari Atha' bin Abi Maimunah bahwa ia


mendengar Anas bin Malik berkata, "Biasanya Nabi SAW masuk
tempat buang hajat, maka aku bersama seorang anak
membawakan bejana yang berisi air serta tongkat pendek dan
runcing, kemudian beristinja' dengan air itu"
Hadits ini diriwayatkan pula dari Syu'bah oleh An-Nadhr dan
Syadzan, bahwa Anazah adalah tongkat yang bagian bawahnya ada besi
runcing (tombak).

FATHUL BAARI — 63
Keterangan Hadits:

«."AyJl J>lu 4ii J j l i j olT (Biasanya Nabi SAW masuk tempat


buang hajat). Yang dimaksud dengan tempat buang air di sini
adalah tempat yang terbuka (bukan bangunan) berdasarkan
perkataan Anas pada riwayat lain, j—«*-£J ^f- ii| olST (Biasanya
Nabi SAW jika keluar untuk buang hajat). Di samping itu
penafsiran ini dapat pula diperkuat oleh pernyataan dalam hadits
"Dibawakan untuk beliau SAW tongkat pendek lagi runcing
(tombak) serta air", sebab shalat menghadap tongkat dan yang
sepertinya hanya dilakukan pada tempat yang tidak ada
pembatasnya (sutrah) selain tongkat itu. Kemudian jika yang
dimaksud adalah tempat khusus buang hajat yang terdapat dalam
rumah, maka pelayanan kepada beliau SAW dilakukan oleh isteri-
isterinya.

Sebagian ulama memahami dari judul bab yang disebutkan oleh


Imam Bukhari ini, bahwa tombak tersebut sengaja dibawakan buat Nabi
SAW untuk dipakai sebagai penutup dirinya untuk menghindari meng-
hadap kiblat secara langsung. Akan tetapi pemahaman ini butuh analisa
lebih jauh lagi, karena yang dapat dikategorikan sebagai pembatas dalam
kaitannya dengan buang hajat adalah sesuatu yang dapat menutupi tubuh
bagian bawah sementara tongkat tidaklah demikian. Meskipun tidak
tertutup kemungkinan bahwa tombak tersebut ditancapkan di depannya
lalu beliau SAW meletakkan pakaian di atasnya sebagai pembatas agar
tidak menghadap kiblat secara langsung.
Kemungkinan lain, tongkat tersebut sengaja dibawakan untuk
ditancapkan di samping beliau SAW sebagai isyarat larangan bagi orang-
orang untuk lewat di dekatnya. Kemungkinan pula tombak itu di-
pergunakan untuk menggali tanah yang keras, atau untuk menjaga diri
dari gangguan binatang disebabkan beliau bila buang hajat memilih
tempat yang sangat jauh dari pemukiman. Selain itu, ada pula
kemungkinan bahwa tombak itu sengaja dibawakan karena kebiasaan
beliau jika istinja' (cebok) maka diiringi dengan wudhu; dan apabila telah
wudhu maka beliau SAW melakukan shalat (dan tombak itu dipakai
sebagai pembatas- penerj.). Inilah kemungkinan yang lebih dapat
diterima. Hal ini akan disebutkan dalam bab tersendiri tentang tombak
yang dipakai sebagai pembatas (sutrah) dalam shalat.

64 — FATHUL BAARI
Hadits ini dijadikan dalil oleh Imam Bukhari untuk membersihkan
kencing, sebagaimana akan diterangkan kemudian. Dalam hadits ini
terdapat pula keterangan bolehnya mengambil para pembantu dari
kalangan orang-orang merdeka -khususnya bagi yang telah memper-
sembahkan diri mereka untuk hal itu- agar terbina untuk bersikap rendah
hati. Demikian juga hadits ini terdapat keterangan bahwa berkhidmat
kepada orang berilmu merupakan kemuliaan tersendiri, karena Abu
Darda" memuji Ibnu Mas'ud yang telah melakukan hal itu.

Hadits ini merupakan dalil yang membantah pendapat Ibnu Habib,


yang melarang seseorang beristinja" dengan menggunakan air dengan
alasan bahwa air adalah sesuatu yang dikonsumsi, dan karena air di
Madinah rasanya tawar. Selanjutnya hadits ini dijadikan dalil oleh
sebagian ulama untuk menyatakan disukainya wudhu dari bejana
daripada berwudhu dari sungai ataupun kolam. Akan tetapi hadits ini
tidak dapat mendukung pendapat tersebut kecuali bila ada keterangan
bahwa saat itu Nabi SAW menemukan sungai atau kolam, namun beliau
SAW lebih memilih untuk berwudhu dengan air dalam bejana.

'j—!jal)i t—«ili (Hadits ini diriwayatkan pula dari Syu 'bah oleh An-
Nadhr), yakni An-Nadhr bin Syumail. Beliau meriwayatkan hadits
tersebut dari Syu'bah sebagaimana halnya Muhammad bin Ja'far.
Adapun hadits An-Nadhr ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa'i berikut
silsilah periwayatannya.

olil_iij (Syadzan) Dia adalah Al Aswad bin Amir, dan hadits beliau
disebutkan oleh Imam Bukhari dalam bagian shalat dengan lafazh, "Kami
membawa Ukazah (tongkat yang dipakai untuk bertumpu), Asha (tongkat
biasa) atau Anazah (tombak)." Nampaknya perkataan "atau " dalam
riwayat ini adalah keragu-raguan dari sebagian perawinya, sebab riwayat-
riwayat lain menyebutkan yang dibawa saat itu adalah Anazah (tombak).
Semua perawi hadits yang disebutkan pada ketiga bab terakhir ini berasal
dari Bashrah.

FATHUL BAARI — 65
18. Larangan Istinja' dengan Tangan Kanan

b l : £j& 4 Ul JlS JIS 4_J iblis J 4U1 _Lp


^ s " y y

f s s s s s s s 0 s s s 0 3> ^ ^ ^ % S- '

153. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abu Qatadah dari bapaknya,


dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, Apabila salah seorang di
antara kamu minum maka janganlah menghembuskan nafasnya di
wadah tempat minum, dan apabila salah seorang di antara kamu
mendatangi tempat buang hajat maka jangan menyentuh
kemaluannya dengan tangan kanannya dan jangan pula
membasuhnya dengan tangan kanan."

Keterangan Hadits:
(Larangan istinja' dengan tangan kanan) Imam Bukhari memberi
judul bab ini dengan kata "larangan" sebagai isyarat bahwa hal itu belum
jelas bagi beliau, apakah larangan ini bersifat haram atau sekedar untuk
kesucian (tanzih). Di samping itu, ada pula kemungkinan bahwa faktor
(qarinah) yang memalingkan larangan tersebut dari makna haram kepada
makna yang lain belum jelas bagi beliau. Yang mana faktor (qarinah)
yang dimaksud dalam hal ini adalah karena perbuatan itu termasuk
bagian dari adab (etika).
Mayoritas ulama mengatakan bahwa larangan di atas hanyalah
sekedar untuk kesucian (tanzih). Sementara di sisi lain, golongan
zhahiriyah berpandangan bahwa indikasi larangan tersebut adalah haram.
Dalam perkataan sejumlah ulama madzhab Syafi'i dapat ditangkap
pengertian yang mengarah kepada perkataan golongan zhahiriyah, hanya
saja Imam An-Nawawi berkata, "Perkataan mereka (ulama madzhab
Syafi'i) yang tidak membolehkan istinja' dengan menggunakan tangan
kanan, maksudnya adalah perbuatan itu bukanlah hal yang mubah, dalam

66 — FATHUL BAARI
artian sama saja apakah dilakukan atau ditinggalkan. Bahkan makruh dan
sangat tepat bila ditinggalkan."
Apabila seseorang beristinja' dengan tangan kanan, maka menurut
mereka yang berpendapat bahwa perbuatan itu hukumnya haram berarti
pelakunya telah mengerjakan perbuatan tidak terpuji, namun istinja' yang
dilakukannya tetap dianggap telah mencukupi. Sementara golongan
zhahiriyah dan sebagian ulama madzhab Hambali berkata, "Istinja' yang
dilakukan oleh orang itu dianggap tidak mencukupi."
Sesungguhnya perselisihan itu timbul apabila tangan menyentuh
tempat yang akan dibersihkan disertai alat bersuci lain seperti air.
Adapun jika tangan langsung menyentuh tempat yang akan dibersihkan
tanpa disertai alat bersuci lain, maka terjadi kesepakatan di antara ulama
bahwa hukumnya adalah haram dan istinja' tidak dianggap mencukupi,
dan tangan kiri dalam hal ini hukumnya sama dengan tangan kanan.

(Dari bapaknya) dia adalah Abu Qatadah Al Harits. Ada


yang mengatakan namanya Al Amr, dan ada pula yang mengatakan
namanya adalah An-Nu'man Al Anshari sang pahlawan pendamping
Rasulullah SAW. Pertempuran yang pertama kali diikutinya adalah
perang Uhud. Beliau wafat pada tahun 54 H menurut pendapat yang
paling akurat.

*L_5)|l ^J> 'JJ&J (Jangganlah menghembuskan nafasnya di wadah)


maksudnya di dalam wadah. Adapun jika ia menjauhkan wadah itu lalu
bernafas di luarnya, maka ini adalah sunnah sebagaimana akan dijelaskan
dalam hadits Anas pada pembahasan tentang minuman, insya Allah.
Larangan ini bertujuan memberi pelajaran etika dalam mencapai
kebersihan yang sempurna. Sebab bisa saja bersamaan dengan hembusan
nafas keluar ludah atau ingus maupun uap yang busuk sehingga
menjadikan bau tak sedap, sehingga menjadikan orang yang minum
tersebut ataupun selainnya merasa jijik untuk minum di wadah yang
dimaksud.

«•^—?Ji \ (Jika mendatangi tempat buang hajat) lalu ia buang


air kecil (kencing), sebagaimana yang disebutkan pada hadits selanjut-
nya.

FATHUL BAARI — 67
i — ^ V«j ^—9 (Jangan dengan tangan kanan), yakni jangan
beristinja' dengan tangan kanan. Al Khaththabi telah menulis
pembahasan panjang lebar mengenai persoalan ini. Telah diriwayatkan
dari Abu Ali bin Abu Hurairah, bahwasanya beliau pernah berdialog
dengan seorang ulama dari Khurasan. Lalu Abu Ali bertanya tentang
perkara ini, maka ulama tersebut tidak mampu untuk menjawabnya.
Kemudian Al Khaththabi memberikan jawaban terhadap pertanyaan
tersebut, namun jawaban yang ia berikan masih perlu dikritisi.
Inti persoalan tersebut adalah bahwa apabila seseorang yang
beristinja" dengan menggunakan batu atau sepertinya, lalu ia memegang
batu tersebut dengan tangan kirinya, maka tidak dapat dihindari ia harus
memegang kemaluannya dengan tangan kanannya. Sedangkan jika ia
memegang kemaluannya dengan tangan kirinya, berarti ia harus
memegang batu dengan tangan kanannya. Padahal kedua keadaan ini
masuk dalam cakupan larangan yang tersebut dalam hadits di atas.
Adapun kesimpulan dari jawaban yang diberikan adalah, bahwa
dalam keadaan demikian seseorang yang hendak beristinja' mendatangi
sesuatu yang kokoh yang tidak dapat bergeser dengan gerakan apapun,
seperti tembok atau yang serupa dengannya. Lalu orang itu
menggosokkan tempat keluarnya kencing pada benda tersebut.
Sedangkan jika ia tidak menemukan benda seperti itu, maka yang harus
dilakukannya adalah duduk di atas tanah lalu menjepit batu dengan kedua
mata kakinya ataupun menahannya dengan ibu jari kaki, setelah itu ia
memegang kemaluannya dengan tangan kirinya untuk digosokkan pada
batu tersebut. Dengan demikian, pada dua keadaan ini ia tidak
menggunakan tangan kanannya.
Gerakan seperti ini sangatlah sulit dan bahkan tidak mungkin untuk
dilakukan, sehingga Ath-Thaibi mengomentari persoalan ini dengan
perkataannya, "Sesungguhnya larangan untuk istinja' dengan mengguna-
kan tangan kanan hanyalah khusus dubur (bagian belakang), sedangkan
larangan untuk menyentuh hanyalah khusus qubul (kemaluan). Artinya,
jawaban seperti di atas sejak awalnya sudah tidak berdasarkan dalil yang
kuat."
Akan tetapi, klaim beliau bahwa larangan istinja' dengan meng-
gunakan tangan kanan hanya berlaku khusus dubur tidak dapat diterima.
Adapun larangan menyentuh meskipun khusus qubul (kemaluan) namun

68 — FATHUL BAARI
diikutkan juga dubur berdasarkan analogi (qiyas). Karena penyebutan
kata dzakar (kemaluan laki-laki) tidaklah berarti hukum hanya berlaku
padanya, sebab kemaluan wanita memiliki hukum yang sama. Adapun
kata dzakar disebutkan secara tekstual dalam hadits itu karena umumnya
teks-teks dalil ditujukan kepada laki-laki, sementara wanita adalah
saudara kaum laki-laki dalam perkara hukum, kecuali hal-hal tertentu
yang memang dikhususkan bagi kaum laki-laki.
Jawaban yang benar sehubungan dengan perkara yang dijawab oleh
Al Khaththabi adalah apa yang dikatakan oleh Imam Al Haramain dan
ulama sesudahnya, seperti Al Ghazali dalam kitab Al Wasith dan Al
Baghawi dalam kitab At-Tahdzib, yaitu; orang yang hendak beristinja'
dengan menggunakan batu atau yang sepertinya, hendaklah memegang
batu itu dengan tangan kanannya tanpa menggerak-gerakkannya. Lalu ia
memegang kemaluannya dengan tangan kirinya kemudian menggosok-
kan di batu tersebut. Dengan demikian, ia tidak dikatakan beristinja'
dengan tangan kanannya dan tidak pula menyentuh kemaluan dengan
tangan kanan. Barangsiapa yang mengatakan bahwa dalam keadaan
seperti ini seseorang tetap dikatakan telah beristinja' menggunakan batu
dengan tangan kanannya, maka sungguh ia telah keliru. Bahkan,
sesungguhnya orang itu sama seperti seseorang yang menuangkan air
dengan tangan kanannya lalu menggosok kemaluan dengan tangan
kirinya pada saat istinja'.

19. Tidak Boleh Memegang Kemaluan dengan Tangan


Kanan Waktu Kencing

Jl—> b l : J l 1 ^1)1 Jf- AJ\ Vp ~ }\si


0 ^\ «Jjl JUP

FATHUL BAARI — 69
154. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Abu Qatadah dari
bapaknya, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, 'Apabila salah
seorang di antara kamu buang air kecil (kencing) maka janganlah
menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya, jangan pula
istinja' dengan tangan kanannya, dan jangan pula menghembus-
kan nafas di wadah (tempat minum) waktu minum.''''

Keterangan Hadits:
Judul bab ini menunjukkan, bahwa larangan menyentuh kemaluan
dengan tangan kanan secara mutlak seperti bab terdahulu hanya berlaku
pada saat buang air kecil (kencing). Dengan demikian, maka selain
keadaan ini diperbolehkan. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat,
"Larangan untuk memegang kemaluan tetap saja berlaku pada saat
seseorang tidak sedang kencing, karena seseorang dilarang memegang
kemaluannya saat kencing, padahal dalam keadaan demikian ia perlu
melakukannya."

Kemudian pendapat ini dikomentari oleh Abu Muhammad bin Abu


Jamrah, ia mengatakan bahwa kondisi seseorang perlu memegang
kemaluannya bukan hanya pada waktu istinja'. Akan tetapi larangan itu
dikhususkan pada saat seseorang buang air kecil (kencing), karena
ditinjau dari segi "berdampingan dengan sesuatu menghasilkan
kesamaan hukum. " Dalam artian ketika dilarang untuk istinja' dengan
tangan kanan, maka dilarang pula untuk menyentuh kemaluan.
Lalu Abu Muhammad bin Abu Jamrah berdalil tentang bolehnya
menyentuh kemaluan (selain pada waktu kencing) dengan sabda Nabi
SAW kepada Thalq bin Ali ketika ia bertanya tentang hukum menyentuh
s * 't, ' t ' '

kemaluan, iJ—i» *—«I&J y» UJJ (Sesungguhnya ia adalah bagian darimu).


Hadits ini mengindikasikan bolehnya menyentuh kemaluan dalam semua
keadaan. Kemudian hukum tersebut dikecualikan pada waktu buang air
kecil berdasarkan hadits shahih yang disebutkan pada bab ini. Hadits
yang dikutip oleh Abu Muhammad tersebut derajatnya shahih, atau
minimal memiliki derajat hasan.
Untuk membantah pendapat seperti yang dikemukakan oleh
Muhammad bin Abu Jamrah dapat dikatakan, "Sesungguhnya menarik
dalil yang bersifat mutlak kepada dalil muqayyad (terbatas) tidaklah
disepakati oleh seluruh ulama, sedangkan orang yang memperbolehkan-

70 — FATHUL BAARI
nya membuat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi." Hanya saja
Ibnu Daqiq Al 'Id memberi catatan penting bahwa titik perbedaan
pendapat sehubungan dengan menarik dalil mutlaq kepada dalil
muqayyad (terbatas), adalah jika sumber kedua hadits itu berbeda hingga
dapat dikatakan bahwa keduanya adalah hadits yang berbeda. Adapun
jika sumber keduanya satu, lalu perbedaannya berasal dari sebagian
perawi hadits itu, maka menjadi keharusan untuk membawa dalil mutlaq
kepada dalil muqayyad (terbatas) tanpa ada perselisihan di antara ulama.
Sebab, pembatasan pada saat seperti ini masuk kategori penambahan
riwayat yang dilakukan oleh orang yang 'adil (tidak fasik), maka harus
diterima.

oi£-G*A3 (Maka janganlah menyentuh). Lafazh ini sesuai dengan


judul bab, yakni d L J J "i (tidak boleh memegang). Demikian pula dalam
riwayat Imam Muslim melalui jalur Al Hammam dari Yahya, diungkap-
kan dengan lafazh, —1~*J' (memegang) sementara dalam riwayat Al

Isma'ili disebutkan, *i (tidak menyentuh).

Riwayat Al Isma'ili ini dijadikan sebagai bahan untuk mengkritik


Imam Bukhari sehubungan dengan judul bab ini, sebab lafazh menyentuh
lebih umum daripada lafazh memegang. Lalu bagaimana hingga beliau
berdalil dengan makna yang lebih umum terhadap masalah yang bersifat
khusus? Akan tetapi kritik ini tidak memberi pengaruh berarti ber-
dasarkan apa yang telah kami jelaskan terdahulu.
Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama telah menetapkan hukum
mengenai larangan istinja' dengan tangan yang memakai cincin
bertuliskan nama Allah. Karena yang menjadi sebab larangan dalam
hadits ini adalah kemuliaan tangan kanan, maka tentu tangan yang
memakai cincin bertuliskan nama Allah lebih pantas untuk dimuliakan.
Sedangkan riwayat yang dinukil dari Imam Malik yang menyatakan
perbuatan tersebut tidak makruh, telah diingkari oleh para ulama
terkemuka dalam madzhab Maliki.
Sebagian ulama ada yang mengatakan, sesungguhnya hikmah
larangan itu adalah karena tangan kanan dipakai untuk makan. Andaikata
seseorang menggunakan tangan kanannya untuk istinja", maka sangat
mungkin ia mengingatnya saat makan dan hal itu bisa menimbulkan rasa
jijik.

FATHUL BAARI — 71
\Jt Ir^i (Dan jangan pula menghembuskan nafas di wadah
tempat minum). Ada kemungkinan hikmah disebutkannya hal ini
mengiringi persoalan-persoalan terdahulu, karena telah menjadi akhlak
kaum mukminin untuk mengikuti perbuatan Nabi SAW. Sementara
beliau SAW apabila buang air kecil maka diiringinya dengan wudhu,
bahkan telah dinukil riwayat yang mengatakan bahwa beliau SAW
pernah meminum sisa air wudhunya. Oleh karena itu, seorang muslim
berada dalam kondisi siap untuk mengikuti perbuatan tersebut. Untuk itu
Nabi SAW mengajari mereka adab minum, yaitu larangan bernafas di
wadah tempat minum ketika minum, sebagaimana yang diindikasikan
oleh konteks riwayat sebelumnya. Telah diriwayatkan oleh Al Hakim
dari hadits Abu Hurairah, *——~> oL_f lij fti J, ^ J b - i '^J&ri

(Janganlah salah seorang diantara kamu menghembuskan nafasnya di


suatu wadah (tempat minum) jika ia sedang minum dari wadah tersebut.)
Wallahu a 'lam.

20. Istinja" dengan Batu

155. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata,


"Aku mengikuti Nabi SAW saat beliau keluar untuk buang hajat,
maka beliau tidak menoleh ke belakang. Akupun mendekatinya lalu
beliau bersabda, 'Carilah untukku batu-batu kecil agar aku pakai
untuk beristinja \ dan jangan engkau bawakan kepadaku tulang
dan jangan pula kotoran binatang (yang telah mengeras).' Akupun

72 — FATHUL BAARI
membawakan untuknya batu-batu dengan ujung pakaianku lalu
aku letakkan di dekatnya, kemudian aku menjauh darinya. Ketika
selesai, beliau pun beristinja' dengan batu-batu tersebut."

Keterangan Hadits:
Imam Bukhari memaksudkan bab ini sebagai bantahan terhadap
orang yang mengatakan bahwa istinja' hanya menggunakan air. Adapun
dalil yang mengindikasikan hal itu dapat kita pahami dari perkataan
beliau, l# °jni£r°J (Agar aku pakai untuk beristinja').

*—i? « ^ j — ( A k u p u n mendekatinya). Dalam riwayat Al Isma'ili

ditambahkan, j . 'j-j\Lt\ (Dengan perlahan seraya aku batuk-batuk


kecil). Maka beliau SAW bertanya, "Siapa itu?" Aku menjawab, "Abu
Hurairah."
i ,' '
—; (Dan jangan engkau bawakan kepadaku) seakan-akan
beliau SAW merasa khawatir jika Abu Hurairah memahami sabdanya,
"Agar aku pakai untuk beristinja'..." yaitu semua yang dapat
menghilangkan bekas najis serta membersihkan tempat keluarnya juga
dapat mencukupi (untuk dipakai beristinja'), dan bukan hanya batu.
Beliau SAW hanya menyebutkan tulang dan kotoran adalah sebagai
isyarat bahwa selain keduanya dapat dipakai untuk beristinja".
Andaikata yang dipakai beristinja' selain air hanyalah batu -
sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama madzhab Hambali dan
golongan zhahiriyah- niscaya penyebutan tulang dan kotoran pada teks
hadits akan kehilangan maknanya. Hanya saja batu disebutkan secara
khusus dalam teks hadits, karena batu merupakan benda yang banyak
ditemukan dan mudah didapat di mana-mana.

Lalu Imam Bukhari menambahkan lafazh hadits ini dengan


mengatakan bahwa Abu Hurairah bertanya kepada Nabi SAW setelah
beliau selesai beristinja', "Ada apa dengan tulang dan kotoran?" Nabi
SAW menjawab, ^r^ 1
j? (Keduanya adalah makanan jin). Sebab,
yang disebutkan dalam riwayat ini secara lahir memberi indikasi bahwa
larangan itu hanya berlaku khusus bagi kedua benda tersebut. Kemudian
kedua hal itu dianalogikan dengan semua makanan manusia, karena

FATHUL BAARI — 73
makanan manusia lebih pantas untuk tidak dipakai beristinja'
dibandingkan makanan jin. Demikian pula dengan hal-hal yang
dimuliakan seperti kertas yang bertuliskan ilmu.
Adapun mereka yang berpandangan bahwa yang menjadi sebab
larangan beristinja' dengan kotoran adalah karena kotoran tersebut
termasuk najis, maka mereka memperluas larangan tersebut pada seluruh
benda yang tergolong najis. Demikian pula dengan pandangan yang
mengatakan bahwa sebab larangan menggunakan tulang untuk
beristinja', adalah karena sifatnya yang licin sehingga tidak dapat
menghilangkan najis secara baik, maka hukum ini diberlakukan pula bagi
seluruh benda yang memiliki sifat serupa; misalnya kaca dan sebagainya.
Pendapat ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ad-
Daruquthni (seraya beliau menshahihkannya) dari hadits Abu Hurairah
bahwasanya Nabi SAW melarang seseorang untuk istinja' dengan
kotoran atau tulang, dan beliau SAW bersabda, 01^ S=JV U^—'l
(Sesungguhnya keduanya tidak dapat mensucikan).
Riwayat Ad-Daruquthni ini merupakan bantahan bagi pendapat
yang mengatakan bahwa beristinja' dengan menggunakan tulang dan
kotoran dianggap mencukupi, meskipun hal itu terlarang. Pada
pembahasan mendatang akan disebutkan kisah utusan jin serta kapan
peristiwa itu terjadi.

i S - ^ u l i (Ketika telah selesai) yakni selesai buang hajat, beliaupun


beristinja'. Dalam hadits ini terdapat keterangan bolehnya untuk
mengikuti orang-orang terhormat, meski tanpa diperintah. Juga
diperkenankan bagi seorang imam (pemimpin) memperbantukan
sebagian masyarakatnya untuk memenuhi keperluannya. Faidah lain
adalah; keharusan memalingkan muka dari orang yang sedang buang
hajat, membantu menghadirkan hal-hal yang dapat dipakai beristinja' dan
menyiapkannya di dekatnya agar orang yang sedang buang hajat itu tidak
perlu lagi mencari apa yang dia gunakan untuk beristinja' setelah selesai
buang hajat, sehingga tidak mengakibatkan bau yang tidak enak.

74 — FATHUL BAARI
21. Tidak Boleh Istinja" dengan Menggunakan Kotoran
Binatang

s* t „ ' * j — O —• y - > t o s • 0 ' . JO S O Z . f Os O y

Jl ' . j y u <uJi j l p 4j| ^ p : > j ^ ^ l ^yi y*^~_yl i Jlp ^

as ' y a s y, T^ 0
f -W I * ' 'T f ^ ^ f • I I ^ T , dq3* * "'T

.[jSj l - i i J l i j 3jj^3\ J&j

% Oy -J* y m s O f ° ^ * 0 s s % % > O > l'l


J 0
^ I1

J 4 _ s ^ J o - < j b ^ » l ^ 1 ^ J P Ajrfl J p (Jl— J J ^jJ JJI J U J

156. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Al Aswad dari bapaknya


bahwa ia mendengar Abdullah berkata, "Nabi mendatangi tempat
buang hajat, lalu beliau memerintahkan kepadaku untuk mem-
bawakan tiga batu, akupun mendapatkan dua batu lalu mencari
yang ketiga namun tidak kutemukan. Akhirnya aku mengambil
kotoran binatang (yang mengeras) dan membawanya kepada
Rasulullah. Beliau mengambil kedua batu itu dan membuang
kotoran binatang tersebut seraya bersabda, 'Ini adalah kotor
(najis).
Ibrahim bin Yusuf berkata dari bapaknya dari Ishaq, telah
menceritakan kepadaku Abdurrahman.

Keterangan Hadits:

^L?ii-i i5*)ta iiT (Membawakan untuknya tiga batu) ini merupakan

pengamalan terhadap larangan pada hadits Salman dari nabi SAW,

j l — j — f t t f j * J i b '^•i^A glsLJ (Dan janganlah salah seorang di antara


kamu beristinja" dengan menggunakan batu yang jumlahnya kurang dari
tiga). (HR. Muslim)

FATHUL BAARI — 75
Demikianlah yang menjadi pendapat Imam Syafi'i, Imam Ahmad
serta para pakar hadits, dimana mereka mensyaratkan jumlah batu yang
dipakai untuk beristinja' tidak kurang dari tiga, di samping harus tetap
diperhatikan kebersihannya. Apabila menggunakan tiga batu belum juga
bersih, maka ditambahkan lebih dari tiga batu hingga benar-benar bersih.
Hendaknya batu yang digunakan jumlahnya ganjil, berdasarkan sabda
beliau SAW, "Barangsiapa yang istinja' dengan menggunakan batu
hendaklah ia mengganjilkannya" Namun hal ini tidaklah wajib
berdasarkan riwayat yang dinukil oleh Abu Dawud dimana disebutkan
tambahan, "Barangsiapa yang tidak meng-ganjilkannya maka tidak
mengapa." Dengan demikian, riwayat-riwayat dalam persoalan ini dapat
dikompromikan satu sama lain.

Al Khaththabi berkata, "Andaikata maksud istinja' itu semata-mata


untuk membersihkan najis, niscaya hilanglah faidah disyaratkannya
jumlah tertentu. Maka setelah teks hadits mensyaratkan jumlah tertentu
dan maknanya mengisyaratkan maksud yang hendak dicapai adalah
kebersihan, maka kedua hal itu menjadi wajib. Sama halnya dengan
iddah (masa menunggu wanita setelah dicerai), dimana jumlah masa haid
disyaratkan meskipun sebenarnya kosongnya rahim dari janin dapat
diketahui dengan satu kali haid.
* se s % o s s

l—Jjj oJJM—i (Akhirnya aku mengambil kotoran binatang). Ibnu


Khuzaimah menambahkan dalam riwayatnya, yaitu kotoran himar
(keledai). Lalu At-Taimi menukil bahwa lafazh rauts (kotoran binatang)
adalah khusus kotoran kuda, bighal (hewan hasil perkawinan antara
keledai yang kuda) dan himar (keledai).

i—~j'J\ ^jfll'j (Dan membuang kotoran binatang tersebut). Lafazh ini


dipergunakan oleh Ath-Thahawi sebagai dalil bahwa batu yang
digunakan beristinja' tidak disyaratkan berjumlah tiga buah. Beliau
berkata, "Sebab jika yang demikian itu merupakan suatu syarat, maka
beliau SAW akan minta dibawakan batu yang ketiga." Tapi dengan
sikapnya ini, beliau telah mengabaikan hadits yang dinukil oleh imam
Ahmad dalam Musnad-nya dari jalur Abu Ishaq dari Al Qamah dari Ibnu
Mas'ud, dimana disebutkan, "Maka beliau membuang kotoran binatang
lalu bersabda, 'Sesungguhnya ia adalah najis, bawakanlah untukku satu
batu yang lain.'"

76 — FATHUL BAARI
Para perawi hadits ini tergolong tsiqah (terpercaya) lagi (sabit
(teliti). Hadits yang diriwayatkan dari Ma'mar ini dinukil pula oleh Ad-
Daruquthni melalui jalur Abu Syu'bah Al Wasithi, namun ia dikenal
lemah dalam bidang periwayatan. Selanjutnya, yang meriwayatkan hadits
ini dari Abu Ishaq selain Ma'mar dan Abu Syu'bah, juga diriwayatkan
oleh Ammar bin Raziq yang dikenal sebagai salah seorang perawi yang
tsiqah (terpercaya) di antara para perawi yang menerima hadits dari Abu
Ishaq.
Lalu ada yang mengatakan bahwa Abu Ishaq tidak mendengar
hadits ini secara langsung dari Al Qamah, akan tetapi Al Karabisi justeru
telah menegaskan bahwa hadits ini telah didengar langsung oleh Abu
Ishaq dari Al Qamah. Kalaupun hadits ini mursal (yakni Abu Ishaq tidak
menyebutkan perawi antara ia dengan Al Qamah) tetap menjadi hujjah,
sebab ulama yang tidak mempersyaratkan jumlah batu tidak boleh kurang
daripada tiga (yakni golongan Hanafi- Penerj.) berpandangan bahwa
hadits mursal dapat dijadikan sebagai hujjah (landasan dalam
menetapkan hukum). Sebagaimana kami juga berhujjah dengan hadits
mursal apabila ada faktor-faktor tertentu yang menguatkannya.

Di samping jawaban yang telah kami sebutkan di atas, sesungguh-


nya cara penetapan hukum yang ditempuh oleh Imam Ath-Thahawi tidak
luput dari kritik. Sebab ada kemungkinan beliau SAW tidak lagi
memerintahkan untuk dibawakan batu ketiga, karena beliau telah
mencukupkan dengan perintah pertama kali yang mengharuskan untuk
dibawakan tiga buah batu. Sehingga beliau SAW merasa tidak perlu lagi
mengulangi perintah tersebut dengan perintah yang baru. Kemungkinan
lain, beliau SAW mencukupkan jumlah batu yang ketiga dengan cara
menggunakan kedua sisi salah satu dari dua batu tersebut, sebab maksud
daripada jumlah tiga biji batu itu adalah agar disapukan ke tempat keluar
najis sebanyak tiga kali, dan ini dianggap telah tercapai apabila satu batu
telah disapukan sebanyak tiga kali. Dalil yang menunjukkan keterangan
ini adalah jika seseorang beristinja' dengan menggunakan satu sisi batu
lalu datang orang lain beristinja' dengan menggunakan sisi lain dari batu
tersebut maka dianggap mencukupi keduanya, tanpa ada ulama yang
menyelisihi hal itu.

Abu Hasan bin Qishar Al Maliki berkata, "Telah diriwayatkan


bahwa beliau (Abdullah) kembali membawakan kepada Nabi SAW batu
yang ketiga." Namun riwayat ini tidak shahih. Andaikata hadits ini

FATHUL BAARI — 77
shahih, maka ia merupakan salah satu alasan cukup kuat bagi golongan
yang mensyaratkan jumlah batu tidak boleh kurang dari tiga buah. Sebab
dengan demikian, beliau SAW telah beristinja' untuk dua tempat
(kemaluan depan dan belakang) hanya menggunakan tiga batu. Artinya,
beliau SAW menggunakan batu yang kurang dari tiga buah pada kedua
tempat keluar najis tersebut (kemaluan depan dan dubur). Demikian
perkataan Abu Hasan Al Qishar.

Pendapat yang dikatakan oleh Abu Hasan Al Qishar ini masih


dapat dipertanyakan, sebab hadits yang menyatakan adanya penambahan
batu yang ketiga merupakan riwayat yang shahih seperti telah kami
sebutkan. Seakan-akan Abu Hasan hanya meneliti silsilah periwayatan
hadits ini yang dinukil oleh Ad-Daruquthni. Di samping itu, ada
kemungkinan bahwa beliau SAW saat itu hanya buang hajat melalui satu
jalan saja. Kalaupun benar bahwa beliau SAW telah buang hajat melalui
dua jalan (buang air besar dan kencing), tetap ada kemungkinan bahwa
beliau SAW mencukupkan dengan menyapukan kemaluan bagian
depannya ke tanah lalu menggunakan ketiga batu yang ada untuk
menyapu tempat keluar najis bagian belakang. Atau dapat pula beliau
telah menggunakan dua sisi dari masing-masing ketiga batu tersebut.

Adapun dalil yang mereka kemukakan untuk menyatakan bahwa


tidak ada persyaratan yang tidak membolehkan beristinja" kurang dari
tiga batu, dimana mereka menganalogikan hal ini dengan menyapu
kepala saat wudhu, adalah suatu pendapat yang memiliki pijakan
pemikiran yang rusak. Sebab analogi seperti itu menyalahi nash (teks
dalil) yang sangat tegas, sebagaimana telah kami sebutkan pada hadits
Abu Hurairah dan Salman.

i—j i j—'t- U—Ljl j—J ^—jbl^i J l i j (Ibrahim bin Yusuf berkata dari
bapaknya) yakni Yusuf bin Ishaq bin Abu Ishaq As-Subai'i dari Abu
Ishaq, yakni kakek Ibrahim bin Yusuf. Beliau berkata, "Telah
menceritakan kepadaku Abdurrahman, yakni Ibnu Al Aswad bin Yazid."
Sama seperti silsilah yang disebutkan pada permulaan hadits.
Maksud Imam Bukhari menyebutkan catatan tambahan ini adalah
untuk membantah mereka yang mengatakan bahwa Abu Ishaq melakukan
tadlis (penyamaran riwayat) terhadap hadits ini. Anggapan seperti ini
telah dinukil dari Sulaiman Asy-Syadzakuni, dimana dia berkata, "Tidak
didengar dalam perkara tadlis (penyamaran riwayat) yang lebih

78 — FATHUL BAARI
tersembunyi daripada periwayatan hadits ini." Lalu Al Isma'ili
mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan Abu Ishaq telah mendengar
hadits ini langsung dari Abdurrahman, dimana Yahya Al Qaththan telah
meriwayatkan hadits tersebut melalui Zuhair, yaitu "Al Cjaththan tidak
mau meriwayatkan hadits Zuhair yang ia terima dari Abu Ishaq kecuali
hadits-hadits yang didengarkan secara langsung oleh Abu Ishaq dari
guru-gurunya." Seakan-akan Al Isma'ili mengetahui hal itu dari hasil
penelitiannya yang mendalam terhadap sikap Al Cjaththan dalam
meriwayatkan hadits, atau bisa juga karena pernyataan langsung dari Al
Cjaththan sendiri. Maka dengan alasan ini beliau (Al Isma'ili) menafikan
adanya tadlis dalam periwayatan hadits yang dimaksud.

Sebagian ulama ada pula yang sangsi terhadap keshahihan hadits


ini dengan alasan bahwa hadits tersebut adalah hadits mudhtharib, artinya
jalur-jalur periwayatan hadits ini memberikan versi yang berbeda-beda.
Sementara Ad-Daruquthni menyebutkan bahwa perbedaan itu sendiri
terjadi pada Abu Ishaq sebagaimana dinukil dalam kitab Hal, dan saya
telah membahasnya secara panjang lebar pada mukaddimah Asy-Syarh Al
Kabir.

Akan tetapi jalur periwayatan Zuhair (yakni hadits yang disebutkan


dalam bab ini) menurut Imam Bukhari jauh lebih akurat dibandingkan
dengan jalur periwayatan lainnya, sebab jalur periwayatan Zuhair dari
Abu Ishaq telah diperkuat oleh riwayat Ibrahim bin Yusuf yang
menerima hadits itu dari bapaknya (Yusuf bin Abu Ishaq) dari kakeknya
(Abu Ishaq). Lalu riwayat Zuhair dan Ibrahim bin Yusuf lebih diperkuat
lagi oleh riwayat yang dinukil melalui Syuraik Al Qadhi serta Zakaria bin
Abu Yahya dan lainnya.
Yang meriwayatkan hadits ini dari Abdurrahman di samping Abu
Ishaq adalah Laits bin Abu Sulaim, seperti dinukil oleh Ibnu Abi
Syaibah. Sementara riwayat Laits bin Abu Sulaim dapat dijadikan
sebagai pendukung bagi riwayat lain.
Bukti lain yang mendukung keakuratan jalur periwayatan Zuhair
adalah keterangan dimana Abu Ishaq menyebutkan dua jalur kontroversi
itu sekaligus, yakni selain menyebutkan riwayat Abdurrahman bin Al
Aswad beliau mengutip pula riwayat melalui jalur Abu Ubaidah. Namun
kemudian beliau (Zuhair) lebih memilih riwayat melalui jalur
Abdurrahman. Hal ini berbeda dengan riwayat Isra'il dari Abu Ishaq dari
Abu Ubaidah, dimana riwayat Abdurrahman tidak disebutkan sama

FATHUL BAARI — 79
>ekali. Kenyataan ini membuktikan bahwa Zuhair mengetahui kedua jalur
periwayatan yang ada, namun beliau lebih menguatkan riwayat Abu
Ishaq dari Abdurrahman, wallahu a 'lam.

22. Berwudhu Satu Kali Satu Kali

» / « / # L>JJ" J l i ^Is- JJ\ j&

157. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Nabi SAW


pernah berwudhu satu kali-satu kali.''''
"Berwudhu satu kali-satu kali", yakni membasuh setiap anggota
wudhu satu kali. Penjelasan ini telah disebutkan pada bab membasuh
muka dan tangan dari satu cidukan.

23. Berwudhu Dua Kali Dua Kali

j * s J*'y J l
\HJ CJ- ^ c/-
158. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, bahwasanya Nabi
SAW pernah berwudhu dua kali-dua kali.

Keterangan Hadits:
"Berwudhu dua kali-dua kali", maksudnya membasuh setiap
anggota wudhu dua kali. Hadits ini adalah ringkasan dari hadits masyhur
yang membahas tentang sifat wudhu Nabi SAW sebagaimana akan
disebutkan dari riwayat Malik dan lainnya. Akan tetapi, tidak disebutkan
dalam riwayat tersebut membasuh dua kali selain pada saat membasuh
kedua tangan sampai siku. Hanya saja tidak dapat diingkari bahwa An-
Nasa'i telah meriwayatkan Hadits Abdullah bin Zaid ini dari jalur Sufyan
bin Uyainah, dimana disebutkan tentang membasuh tangan dan kaki dua

80 — FATHUL BAARI
kali, menyapu kepala serta membasuh muka tiga kali. Akan tetapi hadits
yang kami sebutkan ini perlu dianalisa kembali, dan itu akan kami
paparkan pada pembahasan selanjutnya, insya Allah. Maka atas dasar ini,
tepatnya hadits Zaid di atas disebutkan di bawah bab yang memberi
keterangan tentang membasuh sebagian anggota wudhu satu kali,
sebagian lagi dua kali dan sebagian yang lain tiga kali.
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi serta
dishahihkan oleh Ibnu Hibban dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi
SAW berwudhu dua kali-dua kali. Ini menjadi pendukung terkuat bagi
riwayat Fulaih seperti disebutkan oleh Imam Bukhari dalam bab ini.
Dengan demikian ada kemungkinan hadits Zaid dalam bab ini merupakan
hadits tersendiri selain hadits Malik, dimana keduanya memiliki jalur
periwayatan yang berbeda, wallahu a 'lam.

24. Berwudhu Tiga Kali Tiga Kali

159. Humran (hamba sahaya Utsman yang telah dimerdekakan),


mengabarkan bahwa dia telah melihat Utsman bin Affan meminta
dibawakan sebuah bejana, lalu ia menuangkan air ke telapak

FATHUL BAARI — 81
tangannya seraya membasuh kedua telapak tangannya tiga kali.
Kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana lalu
berkumur-kumur seraya memasukkan air ke hidung serta
mengeluarkannya, setelah itu ia membasuh mukanya tiga kali dan
kedua tangannya hingga siku tiga kali. Selanjutnya ia menyapu
kepalanya lalu membasuh kakinya tiga kali hingga ke mata kaki.
Kemudian ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa
yang berwudhu sebagaimana wudhuku ini lalu ia shalat dua rakaat
tanpa menyibukkan dirinya (dengan perkara-perkara lain) dalam
melakukan dua rakaat tersebut, maka akan diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu.

Keterangan Hadits:
"Berwudhu tiga kali-tiga kali", maksudnya membasuh setiap
anggota wudhu tiga kali.

frUb IP i (Meminta di bawakan sebuah bejana) Dalam riwayat Al-


Laitsi yang akan disebutkan setelah ini disebutkan, "Memohon
dibawakan air wudhu." Demikian pula yang dinukil oleh Imam Muslim
dari riwayat Yunus. Di sini terdapat keterangan bolehnya meminta
bantuan pada orang lain untuk menghadirkan sesuatu yang akan dipakai
untuk berwudhu.

j'j—f ^ (Ke telapak tangannya seraya membasuh kedua


telapak tangannya tiga kali). Ini merupakan keterangan mencuci kedua
tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana, meskipun bukan
karena bangun tidur sebagai tindakan hati-hati.

Dalam naskah Amiriyah disebutkan ^—'JIUZZL** sedangkan

dalam riwayat Al Kasymihani disebutkan J—il£-tj sebagai ganti j i ^ ' j


Saya tidak mendapatkan satu pun jalur periwayatan hadits ini yang
menjelaskan bahwa berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam
hidung lalu mengeluarkannya dilakukan dalam jumlah tertentu. Ke-
tentuan jumlah itu hanya disebutkan oleh Ibnu Mundzir melalui jalur
periwayatan Yunus dari Zuhri, sebagaimana hal itu juga dinukil oleh Abu
Dawud melalui dua jalur periwayatan yang berbeda dari Utsman. Namun,

82 — FATHUL BAARI
semua riwayat itu tidak berbeda dalam menyebutkan kata Ja—'<UOJ>
(berkumur-kumur).
' ' ' s *

*—<prj J—'->•*•'<*—*(Setelah itu ia membasuh mukanya) Kalimat ini


menjelaskan bahwa membasuh muka dilakukan setelah berkumur-kumur
dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu para ulama menyebutkan
bahwa hikmah perbuatan ini adalah untuk mengetahui sifat air yang akan
digunakan untuk berwudhu. Sebab warna dapat diketahui dengan
penglihatan, rasa dapat diketahui melalui lidah (mulut) dan bau dapat
diketahui melalui penciuman. Maka didahulukanlah berkumur-kumur dan
memasukkan air ke dalam hidung -yang mana keduanya merupakan
perbuatan sunah- daripada membasuh muka yang merupakan kewajiban,
adalah untuk kehati-hatian dalam beribadah. Adapun hikmah memasuk-
kan air ke dalam hidung ini akan dijelaskan dalam bab berikutnya.

j lii^Ji J J AJAJJ (Dan (membasuh) kedua tangannya hingga siku)


Yakni setiap salah satunya dibasuh tiga kali. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Bukhari dalam riwayat M a ' m a r dari Zuhri pada
pembahasan tentang puasa. Demikian pula yang disebutkan oleh Imam
Muslim melalui jalur periwayatan Yunus. Dalam hadits ini terdapat
keterangan mendahulukan yang kanan dari yang kiri, dimana keduanya
dipisahkan dengan kata ^—J (kemudian). Begitu pula dengan membasuh
kedua kaki.

* «ilj £—-*» p—J (Selanjutnya ia mengusap kepalanya). Tidak


ditemukan satupun riwayat Bukhari dan Muslim yang menyebutkan
pengulangan dalam menyapu kepala, dan ini menjadi pendapat mayoritas
ulama.
Namun Imam Syafi'i berkata, "Mengusap anggota wudhu se-
banyak tiga kali adalah disukai sebagaimana halnya membasuh." Lalu
beliau melandasi pendapatnya ini dengan makna lahiriah yang
terkandung dalam riwayat Imam Muslim, dimana disebutkan bahwa Nabi
SAW berwudhu tiga kali-tiga kali. Akan tetapi alasan beliau dapat
dijawab dengan mengatakan, "Riwayat Imam Muslim tersebut masih
bersifat global, sementara dalam riwayat-riwayat shahih yang
menerangkan praktek wudhu secara terperinci disebutkan bahwa
menyapu kepala hanya dilakukan sekali saja. Dengan demikian, makna

FATHUL BAARI — 83
riwayat Muslim yang menyatakan Nabi SAW berwudhu tiga kali-tiga
kali adalah berlaku untuk sebagian besar anggota dan bukan untuk
keseluruhannya, atau berwudhu tiga kali-tiga kali tersebut hanya berlaku
pada anggota wudhu yang dibasuh dan bukan pada yang diusap."

Abu Dawud berkata dalam kitab Sunan-nya, "Hadits-hadits


Utsman (tentang wudhu) yang diriwayatkan melalui silsilah periwayatan
yang shahih semuanya memberi keterangan, bahwa menyapu kepala
hanya dilakukan sekali saja." Senada dengan itu perkataan Ibnu Mundzir,
"Riwayat yang akurat berasal dari Nabi SAW semuanya menunjukkan
bahwa menyapu kepala hanya satu kali, dan menyapu itu untuk tujuan
memberi keringanan, maka tidak boleh disamakan dengan membasuh
dalam artian meratakan air ke seluruh bagian anggota wudhu yang
dibasuh. Di samping itu, apabila jumlah tertentu diberlakukan pula pada
saat mengusap, maka akan sama dengan membasuh. Sebab hakikat
membasuh adalah meratakan air ke seluruh bagian anggota wudhu,
sedangkan menggosok bukanlah suatu persyaratan sesuai pendapat yang
shahih menurut sebagian besar ulama."

Abu Ubaid berlebihan dalam hal ini, dia berkata, "Kami tidak
mengenal seorang pun di kalangan salaf yang berpendapat disukainya
menyapu kepala tiga kali kecuali Ibrahim At-Taimi." Namun apa yang
dikatakan oleh beliau masih perlu disangsikan karena pendapat
disukainya menyapu kepala tiga kali telah dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah
dan Ibnu Mundzir dari Anas dan Atha' serta lainnya. Hadits Utsman telah
diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui dua jalur periwayatan yang mana
salah satunya dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainnya, yang
menyebutkan menyapu kepala tiga kali. Sementara tambahan keterangan
yang dinukil oleh para perawi yang dapat dipercaya (tsiqah) dapat
diterima (dijadikan hujjah). (3)

i j—» ^—\ye>i j — * j (Sebagaimana wudhuku ini) Imam An-Nawawi

berkata, "Di sini beliau tidak mengatakan, U—a ^— \yj> j Ji? (Seperti

Akan tetapi riwayat yang dimaksud oleh penulis (Ibnu Hajar) tergolong riwayat5)Wz,
maksudnya ia merupakan riwayat orang-orang yang tsiqah (terpercaya) namun
menyelisihi riwayat orang-orang yang lebih tsiqah daripada mereka. Riwayat yang syadz
tidak dapat dijadikan hujjah, sebagaimana perkataan Abu Dawud yang telah disebutkan
sebelumnya.

84 — FATHUL BAARI
wudhuku ini), karena hakikat persamaan yang sesungguhnya tidak dapat
dilakukan oleh selainnya."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Akan tetapi lafazh seperti itu telah
disebutkan dalam riwayat yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam
pembahasan Ar-Riqaq (kelembutan hati) melalui riwayat Mu'adz bin
Abdurrahman dari Humran dari Utsman. Adapun lafazhnya, j i ? &sj3 °J>

*^_je>jJi \ jj> (Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhu ini), lalu pada bab
"puasa" beliau menyebutkan hadits Ma'mar dengan lafazh, J>,j~ej '&>y 'J
UJ* (Barangsiapa berwudhu dengan wudhuku ini). Dalam riwayat Muslim
melalui jalur periwayatan Zaid bin Aslam dari Humran dengan lafazh,
f.°j—\j—a O»}; (Berwudhu seperti wudhuku ini). Dengan demikian

sesungguhnya lafazh, t J—» ^-jjo^ (Sebagaimana wudhuku ini)

bersumber dari sebagian perawi, karena kata 'yu (sebagaimana) dipakai

juga untuk mengungkapkan J*? (persamaan) meski hanya dalam bentuk

majaz (kiasan). Kata Ji» (Seperti) sendiri menunjukkan persamaan secara


lahiriah, namun dapat pula dipakai untuk mengungkap-kan persamaan
secara global. Dengan demikian kedua versi riwayat itu dapat diarahkan
pada satu titik temu, dan boleh meninggalkan salah satunya selama tidak
mempengaruhi maksudnya.

j j ^—Uc 'p—" (Lalu ia shalat dua rakaat). Hal ini menjelaskan


bahwa shalat dua rakaat setelah wudhu adalah disukai, dan hal ini akan
disebutkan dalam pembahasan shalat tahiyatul masjid.

«i -jjj U^J <JJJJXJ V (Tanpa menyibukkan dirinya (dengan perkara-


perkara lain)) dalam melakukan dua rakaat tersebut), maksudnya adalah
perkara-perkara yang biasa mengganggu pikiran seseorang dan mungkin
untuk menghilangkannya. Karena perkataannya olbW (menyibukkan diri)
mengindikasikan bahwa hal itu adalah perbuatannya sendiri. Adapun
gangguan berupa bisikan-bisikan hati dan rasa was-was yang tidak ada
kemampun bagi seseorang untuk menghilangkannya, maka hal itu
dimaafkan.

FATHUL BAARI — 85
Al Qadhi Iyadh menukil perkataan sebagian ulama, bahwa yang
dimaksud dengan mereka yang tidak menyibukkan diri dengan perkara
selain shalat adalah mereka yang tidak terbetik sedikit pun sesuatu dalam
hati dan pikirannya. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang dikutip
oleh Ibnu Mubarak dalam kitab Zuhud dimana dikatakan, "Tidak terbetik
sesuatu pada saat melakukan kedua rakaat tersebut." Namun pendapat ini
dibantah oleh An-Nawawi dengan perkataannya, "Yang benar,
sesungguhnya keutamaan seperti tersebut dalam hadits itu dapat dicapai
oleh mereka yang shalat disertai bisikan-bisikan jiwa yang tidak
membuatnya larut." Meskipun demikian, tetap diakui bahwa mereka
yang shalat tanpa terbetik sedikit pun gangguan dalam hati dan pikiran
memiliki derajat lebih utama.

Kemudian di antara bisikan-bisikan itu ada yang berhubungan


dengan perkara-perkara dunia, dan jika bisikan seperti ini yang timbul,
maka harus ditolak. Telah disebutkan dalam riwayat Hakim dan Tirmidzi
dalam hadits ini, Cih j * i^j. '**~J>J CJ'^U 'i (Tidak menyibukkan dirinya
dengan perkara keduniaan). Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu
Mubarak dalam kitab Zuhud dan Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Al
Mushannaf. Ada pula di antara bisikan tersebut yang berhubungan
dengan perkara akhirat. Maka jika ia tidak ada hubungannya dengan
shalat, kedudukannya sama dengan perkara keduniaan. Sedangkan jika
berkaitan dengan shalat yang sedang dilakukan, maka tidaklah mengapa.
Pembahasan lebih lanjut tentang hal ini akan dipaparkan pada
pembahasan tentang shalat, insya Allah.

j—j—» (dari dosa-dosanya). Secara lahiriah diampuni semua


dosanya, baik yang besar maupun yang kecil. Akan tetapi para ulama
mengkhususkan maknanya dengan dosa-dosa kecil, sebab dalam riwayat-
riwayat lain disebutkan pengecualian. Hal itu bagi mereka yang
mempunyai dosa besar dan kecil. Namun barangsiapa yang hanya
memiliki dosa-dosa kecil, maka ia dapat diampuni. Sedangkan mereka
yang hanya memiliki dosa besar, maka diringankan untuknya sebagai-
mana kadar dosa-dosa kecil yang diampuni. Adapun mereka yang tidak
memiliki baik dosa besar maupun dosa kecil, maka ditambahkan
kebaikannya sama dengan kadar dosa-dosa kecil yang diampuni.
Hadits ini memberi pelajaran tentang perlunya mengajarkan
sesuatu melalui praktek, sebab ia lebih mudah diresapi oleh orang yang

86 — FATHUL BAARI
sedang belajar. Di samping itu, terdapat pula keterangan membasuh
anggota wudhu secara berurutan sebagaimana urutan yang disebutkan
dalam hadits, karena setiap anggota wudhu tersebut dipisahkan dengan
kata p yang berarti "kemudian" atau "setelah itu".

Faidah lain dari hadits di atas adalah; anjuran berlaku ikhlas,


ancaman bagi mereka yang shalat sambil memikirkan perkara keduniaan
yaitu shalatnya tidak diterima, terlebih lagi jika yang dipikirkan itu
adalah hal-hal yang bernilai maksiat. Sebab, terkadang seseorang
memikirkan suatu persoalan dalam shalat lebih mendalam dibandingkan
jika ia memikirkannya di luar shalat.
Telah disebutkan oleh Imam Bukhari pada bagian Ar-Raqa'iq
(kelembutan hati) suatu tambahan di akhir hadits ini dengan lafazh, V

i j / — ~ (Dan janganlah kamu terpedaya). Yakni janganlah kamu banyak


melakukan amalan-amalan buruk karena beranggapan bahwa shalat dapat
menghapuskannya, sebab shalat yang dapat menghapus dosa hanyalah
shalat yang diterima oleh Allah SWT. Lalu bagaimana seseorang dapat
mengetahui bahwa shalatnya diterima atau tidak?

UjJL^- LisJ-b-1 ^1 J l i j U i P U=>y l i l i jlJ+^- °j£- ejy

160. Urwah telah meriwayatkan dari Humran, 'Setelah Utsman


menyelesaikan wudhunya, beliau berkata, 'Maukah kamu aku
ceritakan suatu hadits yang andaikata bukan karena satu ayat,
niscaya aku tidak akan menceritakannya?' Aku mendengar
Rasulullah SA W bersabda, 'Tidaklah seseorang yang berwudhu

FATHUL BAARI — 87
dengan memperbaiki wudhunya lalu melakukan shalat melainkan
akan diampuni dosa yang ada antara wudhu dengan shalat sampai
ia melaksanakan shalat. "'
Urwah berkata, "Ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT,
'Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yangjelas).'" (Qs. Al Baqarah
(2): 159)

Keterangan Hadits:

3—JT (Andaikata bukan karena satu ayat...) dalam riwayat Imam

Muslim terdapat tambahan, -iiii yjUf J> (Dalam kitab Allah).

W—Uli ^ Ufljj (Lalu melakukan shalat), maksudnya shalat wajib.

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, ^-Ja^Ji olji-oJl SAA J^OJJ (Lalu
ia melakukan shalat lima waktu ini).

W—««Jl 'j (Antara wudhu dengan shalat) maksudnya shalat


yang berikutnya, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Muslim melalui
riwayat Hisyam bin Urwah.

\\ \V,fli J*- (Hingga ia melakukan shalat tersebut) artinya hingga ia


mulai melakukan shalat yang kedua (yang berikutnya).

(OlO J UI jJi U JyJ&i jiJJi jl) ij'jf- J J (Urwah berkata, "Ayat


yang dimaksud adalah firman Allah SWT, 'Sesungguhnya orang-orang
yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan.'") yakni ayat yang
terdapat dalam surah Al Baqarah sampai pada firman-Nya, Oj—'s-W
(Orang-orang yang melaknat), seperti ditegaskan oleh Imam Muslim.
Maksud Utsman, bahwa ayat ini menganjurkan bagi seseorang untuk
menyampaikan (apa yang diketahui). Meskipun ayat itu turun
berhubungan dengan Ahli Kitab, akan tetapi yang menjadi pedoman
dalam menetapkan hukum adalah keumuman lafazh tersebut. Hal yang
serupa dengan ini telah dibahas dari perkataan Abu Hurairah dalam bab
ilmu. Hanya saja Utsman lebih memilih untuk tidak menyampaikan
hadits tersebut -kalau bukan karena satu ayat dalam kitab Allah- sebab
beliau khawatir orang-orang akan terpedaya karenanya, wallahu a 'lam.

88 — FATHUL BAARI
Hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Imam Malik dalam kitab Al
Muwaththa' dari Hisyam bin Urwah, namun tidak disebutkan ayat yang
dimaksud. Lalu ia berkata atas dasar pandangannya sendiri, dan saya
melihat bahwa yang dia maksud adalah firman Allah,

O U l l J l J - ? * ^ O l i - J J l j l JllJl 'j» LiJjj jUj3l j>'Je

"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-
perbuatan yang buruk" (Qs. Huud (11): 114) Akan tetapi apa yang
dikatakan dengan pasti (tanpa ragu-ragu) oleh Urwah dan ia adalah
perawi hadits tersebut, lebih pantas untuk diterima, wallahu a 'lam.

WHGWMMiUt

FATHUL BAARI — 89
25. Memasukkan Air Ke dalam Hidung Saat Wudhu

Hal ini disebutkan oleh Utsman, Abdullah bin Zaid dan Ibnu Abbas
radhiyallahu "anhum dari Nabi SAW.

1 6 1 . Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW


bersabda, "Barangsiapa yang berwudhu hendaklah ia memasuk-
kan air ke hidung, dan barangsiapa yang menggunakan batu
hendaklah ia mengganjilkannya."

Keterangan Hadits:
"Memasukkan air ke hidung", maksudnya menghirup air ke hidung
saat berwudhu, baik menggunakan tangan atau tidak. Namun telah
dinukil dari Imam Malik mengenai keterangan tidak disukainya me-
masukkan air ke hidung tanpa menggunakan tangan, sebab hal itu
menurut beliau menyerupai hewan. Akan tetapi pandangan yang masyhur
dari beliau adalah, bahwa perbuatan itu bukan suatu hal yang tidak
disukai. Apabila seseorang mengeluarkan air dari hidung dengan tangan,
maka sangat disukai apabila menggunakan tangan kiri. Keterangan ini
dijadikan judul tersendiri oleh Imam An-Nasa'i dengan menyebutkan
hadits Ali RA.

»j—fi (Hal ini disebutkan) maksudnya masalah memasukkan air ke


hidung dan mengeluarkannya telah diriwayatkan dalam hadits Utsman
yang telah disebutkan - serta diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zaid.
Adapun perkataan beliau, "Dan Ibnu A b b a s . . . " haditsnya telah
disebutkan pada bab "Membasuh muka dan tangan dari satu cidukan".
Seakan-akan penulis (Imam Bukhari) mengisyaratkan dengan
perkataannya ini akan hadits Ibnu Abbas yang dinukil oleh Imam Ahmad

90 — FATHUL BAARI
dan Abu Dawud serta Hakim dari Nabi SAW, iftU ji js=*i^' jlf^ ^jr*-»'
(Masukkanlah air ke hidung hingga ke bagian dalamnya, dua atau tiga
kali). Dalam riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi disebutkan, LJi>y lij

l—J*AJ ji o — i i A J i J * ^ * j ^ ' j ^"-*^*' (7//:« sa/a/z seorang di antara kamu


berwudhu lalu ia memasukkan air ke hidung serta mengeluarkannya,
hendaklah ia melakukan dua atau tiga kali). Silsilah periwayatan hadits
ini adalah hasan (baik).

°j£—1~JJ (Hendaklah ia memasukkan air ke hidung) secara lahiriah


perintah ini adalah suatu kewajiban. Maka menjadi konsekuensi mereka
yang berpandangan wajibnya mengeluarkan air dari hidung dengan sebab
adanya perintah dalam hal itu (seperti Imam Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid,
Abu Tsaur dan Ibnu Mundzir) untuk mewajibkan pula memasukkan air
ke dalam hidung, karena dalam hadits ini terdapat perintah untuk
melakukannya. Di samping itu, disyariatkannya mengeluarkan air dari
hidung (istinsyaa) tidak dapat terlaksana tanpa disyariatkannya
memasukkan air ke dalam hidung (istintsar). Maka Ibnu Baththal
menjelaskan, bahwa sebagian ulama menegaskan wajibnya memasukkan
air ke dalam hidung. Ini merupakan tanggapan bagi mereka yang telah
menukil adanya ijma' yang menyatakan bahwa memasukkan air ke dalam
hidung tidak wajib.

Adapun jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa indikasi


perintah dalam ayat ini adalah sunah (bukan wajib) berdasarkan riwayat
yang dinukil oleh Imam Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Hakim, yakni
sabda beliau kepada seorang Arab badui, *»i £j>\ UT C?jJ (Berwudhulah
sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepadamu). Lalu beliau
SAW mengalihkannya kepada ayat yang tidak menyebutkan istinsyaq.
Akan tetapi alasan ini dapat dijawab dengan mengatakan, bahwa
yang dimaksud dengan perintah itu lebih umum daripada sekedar ayat
wudhu, karena Allah SWT telah memerintahkan untuk mengikuti Nabi-
Nya dimana beliau adalah pemberi penjelasan terhadap perintah-perintah-
Nya. Tidak seorang pun di antara mereka yang meriwayatkan sifat wudhu
beliau SAW secara rinci tanpa menyebutkan masalah istinsyaq atau
berkumur-kumur, maka ini menjadi bantahan pula bagi mereka yang
tidak mewajibkan berkumur-kumur saat wudhu. Padahal telah disebutkan
juga perintah berkumur-kumur dalam satu hadits yang terdapat dalam

FATHUL BAARI — 91
Sunan Abu Dawud dengan silsilah periwayatan yang shahih. Lalu
disebutkan oleh Ibnu Mundzir, bahwa Imam Syafi'i tidak mengeluarkan
suatu hujjah (alasan) untuk mendukung pendapatnya yang tidak
mewajibkan memasukkan air ke dalam hidung -meskipun perintah
tentang itu sangat akurat- karena beliau tidak mendapati adanya
perbedaan di antara ulama bahwa orang yang meninggalkannya tidak
perlu mengulangi wudhu. Ini merupakan alasan yang sangat kuat, karena
hal itu tidak dikenal dari kalangan sahabat maupun tabi'in kecuali Atha'.
Namun telah terbukti bahwa Atha' telah meralat pendapat tentang
wajibnya mengulang wudhu bagi yang tidak melakukan istinsyaq,
sebagaimana disebutkan secara keseluruhan oleh Ibnu Mundzir.

Dalam riwayat Imam Bukhari ini tidak disebutkan keterangan


tentang jumlahnya. Penjelasan tentang itu disebutkan pada riwayat
Sufyan dari Abu Zinad dengan lafazh, 'j—jj jils '—2\b'^L>\bi {Jika
seseorang memasukkan air ke hidung hendaklah ia mengganjilkannya).
Riwayat ini dikutip oleh Al Humaidi dalam Musnad-nya, dan sumbernya
terdapat dalam riwayat Imam Muslim. Lalu dalam riwayat yang dinukil
dari Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah seperti disebutkan oleh Imam
Bukhari pada bagian permulaan penciptaan, dengan lafazh ha'" ..i lij

4 ^ _ i ^ Js. c l i o l k i l i J\i ,l£>\) ^ L J l i 'Ce'yi 'JA ^'^A (Apabila salah

seorang di antara kamu bangun dari tidurnya lalu ia berwudhu maka


hendaklah ia memasukkan air ke hidung sebanyak tiga kali, karena
sesungguhnya syetan tidur dalam rongga hidungnya). Berdasarkan
keterangan ini maka maksud memasukkan air ke dalam hidung adalah
untuk kebersihan, karena yang demikian itu dapat membantu seseorang
dalam membaca. Sebab dengan membersihkan hidung, menjadikan
seseorang mampu untuk mengeluarkan huruf dengan tepat. Adapun
maksud memasukkan air ke hidung bagi yang bangun tidur adalah untuk
mengusir syetan. Pembahasan selanjutnya tentang hadits ini akan kami
sebutkan, insya Allah.

y&c. L-i j i j (Dan barangsiapa yang menggunakan batu),


maksudnya beristinja' dengan menggunakan batu. Ada pula yang
memahami hadits ini dengan membakar wewangian seperti kemenyan
dan sebagainya, sebab dalam hadits itu disebutkan lafazh 'y#£~>\ yang
mengandung dua pengertian; menggunakan batu dan membakar wangian.

92 — FATHUL BAARI
Pengertian hadits dengan makna yang kedua ini diriwayatkan oleh Ibnu
Habib dari Ibnu Umar namun penukilan dari beliau tidak akurat. Lalu
keterangan yang sama dinukil pula oleh Ibnu Abdil Barr dari Malik,
namun telah diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya
keterangan yang menyalahi apa yang dinukil Ibnu Abdil Barr. Kemudian
Abdurrazzaq menukil riwayat dari Ma'mar yang sesuai dengan
pandangan jumhur (yakni memahami hadits tersebut dengan makna yang
pertama). Adapun pembahasan tentang makna perkataan beliau,
"Hendaklah ia menggantikannya" telah diterangkan dalam membahas
hadits Ibnu Mas'ud.

Sementara itu sebagian ulama berdalil dengan hadits ini untuk


menunjukkan tidak wajibnya istinja", sebab perintah dalam hadits ini
disebutkan dalam bentuk syarat, yakni bagi yang berkeinginan. Namun
tidak ada indikasi hadits tersebut terhadap apa yang mereka katakan,
sebab yang dapat dipahami dari hadits itu adalah pemberian pilihan bagi
seseorang antara istinja" dengan menggunakan batu atau menggunakan
air, wallahu a 'lam.

26. Bersuci dengan Batu dalam jumlah yang Ganjil

J «JU L%y bl :Jli £ § | AUI J yy J j l 'oy°y* ^jl 'j*


f . - - s s s 0 ' > „ f ,

t^y cy r 5
^ bij yy^ 3
y ^ - 1
csi J^, r' ^ ^
s s } s 3* s y / 0 s s s } 9 O y

...

162. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah


SA W bersabda, 'Apabila salah seorang di antara kamu berwudhu,
hendaklah ia memasukkan ke dalam hidungnya lalu hendaklah ia
(4>

mengeluarkannya. Barangsiapa yang menggunakan batu,

Dalam dua naskah yang lain tertulis tambahan kata: Air.

FATHUL BAARI — 93
hendaklah ia mengganjilkannya. Apabila salah seorang di antara
kamu bangun dari tidurnya hendaklah ia mencuci kedua tangannya
terlebih dahulu sebelum memasukkannya ke dalam tempat wudhu,
karena sesungguhnya salah seorang di antara kamu tidak tahu
dimana tangannya waktu dia tidur."

Keterangan Hadits:

"Bersuci dengan batu dalam jumlah yang ganjil", maksud


disebutkannya bab ini di sela-sela pembahasan wudhu merupakan
perkara yang menjadi obyek pertanyaan. Adapun jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikatakan bahwa bukan hanya bab
ini saja yang perlu untuk dicermati, sebab bab-bab tentang membersihkan
najis dalam kitab ini tidaklah dipisahkan dari bab-bab yang menjelaskan
sifat wudhu, karena keduanya merupakan masalah yang memiliki
keterkaitan. Ada pula kemungkinan pemuatan bab ini dilakukan oleh
orang-orang yang menukil kitab ini setelah Imam Bukhari, sebagaimana
yang telah kami isyaratkan pada mukaddimah kitab ini, wallahu a 'lam.
Saya telah menjelaskan hal itu di bagian awal kitab "wudhu".

\ i>jJ \}\ (Apabila salah seorang di antara kamu berwudhu)


maksudnya saat mulai melakukan wudhu.

t.\—i A—oJl ^j) J — ( H e n d a k l a h


t ia memasukkan air ke dalam
hidungnya) demikianlah yang tertulis dalam riwayat Abu Dzar, namun
lafazh frl—• (Air) tidak dimuat dalam riwayat selain beliau. Demikian pula
para perawi dalam kitab Al Muwaththa' telah berbeda-beda, di antara
mereka ada yang menyebutkan dan ada pula yang tidak menyebutkannya.
Adapun dalam riwayat Muslim dari Sufyan dari Abu Zinad telah
mencantumkan lafazh tersebut.

Ja£s—LII lijj (Dan apabila salah seorang di antara kamu bangun),


demikian Imam Bukhari menyambung lafazh ini dengan yang sebelum-
nya, sehingga memberi kesan bahwa ini adalah satu hadits, akan tetapi
kenyataannya tidak demikian seperti dalam kitab AlMuwaththa\ Telah
diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitab Mustakhraj dari Al
Muwaththa' Yahya bin Bukair melalui jalur periwayatan Abdullah bin
Yusuf (guru Imam Bukhari) yang mana masing-masing disebutkan

94 — FATHUL BAARI
sebagai hadits tersendiri. Demikian pula yang terdapat dalam kitab
Muwaththa' Yahya bin Bukair serta selain beliau, sebagaimana Al
Isma'ili membedakan antara kedua hadits itu melalui riwayat Imam
Malik. Sementara Imam Muslim meriwayatkan bagian pertama hadits ini
melalui Ibnu Uyainah dari Abu Zinad, sedangkan bagian kedua beliau
riwayatkan melalui Al Mughirah bin Abdurrahman dari Abu Zinad. Atas
dasar ini maka seakan-akan Imam Bukhari berpandangan bolehnya
mengumpulkan dua hadits yang memiliki satu silsilah periwayatan,
sebagaimana beliau membolehkan untuk memisahkan satu hadits bila
memuat dua hukum yang berbeda.

j »y 'j » (Dari tidurnya) Imam Syafi'i dan jumhur ulama


berpedoman dengan keumuman lafazh ini, yakni disukainya perbuatan
tersebut setiap kali seseorang bangun tidur. Sedangkan Imam Ahmad
berpendapat bahwa hal itu disukai bagi mereka yang bangun tidur malam
saja berdasarkan sabda Nabi SAW di akhir hadits tersebut, yakni lafazh
"Dimana tangannya waktu ia tidur malam". Sebab, lafazh seperti itu
menunjukkan tidur malam saja. Dalam riwayat Abu Dawud yang mana
silsilah periwayatannya disebutkan oleh Imam Muslim disebutkan, bj

J—lAJi j ? (Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidur


malam). Demikian pula yang diriwayatkan oleh Tirmidzi melalui silsilah
periwayatan yang lain dengan derajat shahih. Lalu dalam riwayat Abu
Awanah yang jalur periwayatannya juga disebutkan oleh Imam Muslim
disebutkan, j l f «. J\ f i» \i\ (Jika salah seorang di antara
kamu bangun untuk berwudhu di waktu shubuh).
Akan tetapi alasan tersebut, mencakup pula tidur siang. Hanya saja,
disebutkannya tidur malam di sini karena pada umumnya malam hari
adalah waktu untuk tidur.
Ar-Rafi'i berkata dalam Syarh Al Musnad, "Tidak tertutup
kemungkinan untuk dikatakan bahwa memasukkan tangan ke dalam
bejana yang berisi air bagi mereka yang bangun tidur malam jauh lebih
dimakruhkan daripada mereka yang melakukan hal itu setelah bangun
tidur siang. Sebab pada tidur malam kemungkinan melakukan perbuatan
seperti disebutkan dalam hadits jauh lebih dekat (mungkin), karena
umumnya tidur malam adalah lebih lama."

FATHUL BAARI — 95
Kemudian indikasi perintah ini menurut jumhur (mayoritas) ulama
adalah sunah. Sementara Imam Ahmad memahami indikasi perintah
tersebut sebagai suatu kewajiban bagi mereka yang bangun tidur malam
tanpa ada sangkut pautnya dengan mereka yang bangun tidur siang.
Namun dalam salah satu riwayat dari beliau menyatakan, bahwa
perbuatan itu disukai pula bagi mereka yang bangun tidur siang.

Selanjutnya ulama yang disebutkan terdahulu sepakat bahwa bila


orang yang bangun tidur tersebut memasukkan tangannya ke dalam air
tanpa mencucinya lebih dahulu, maka hal itu tidak mempengaruhi
kesucian air. Diriwayatkan dari Ishaq, Dawud serta Thabari bahwa air
tersebut berubah menjadi najis. Mereka melandasi pandangan ini dengan
riwayat yang memerintahkan agar air tersebut ditumpahkan, akan tetapi
hadits tersebut adalah hadits lemah yang diriwayatkan oleh Ibnu Addi.
Adapun faktor yang telah mengalihkan perintah itu dari indikasi
wajib kepada sunah adalah alasan yang disebutkan dalam hadits itu
sendiri, yaitu adanya keraguan. Sementara keraguan dalam masalah ini
tidak menunjukkan kewajiban, karena hukum asal tangan itu adalah suci.
Lalu Abu Awanah beralasan tentang tidak wajibnya perbuatan itu dengan
hadits yang menyatakan bahwa beliau SAW berwudhu dari bejana yang
tergantung saat beliau bangun tidur tanpa mencuci tangan lebih dulu,
sebagaimana akan disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas. Hanya saja
alasan yang dikemukakan oleh Abu Awanah ini dapat dibantah dengan
mengatakan bahwa sabda beliau yang berbunyi, (Salah seorang di
antara kamu) menunjukkan bahwa hukum ini hanya berlaku bagi selain
beliau SAW.
Tapi bantahan ini dapat dijawab dengan mengatakan, "Telah
disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa Nabi telah mencuci kedua
tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana, dan hal itu beliau
lakukan bukan setelah bangun tidur. Maka, jika hal itu dilakukan setelah
bangun tidur tentu lebih disukai. Hanya saja beliau SAW sengaja tidak
melakukan hal itu, untuk menjelaskan bahwa hukum meninggalkannya
adalah boleh (jawaz)"
Di samping itu telah disebutkan dalam hadits ini, pada riwayat
Imam Muslim dan Abu Dawud serta selain keduanya dengan lafazh,
l btf u $ J — ( H e n d a k l a h ia mencuci kedua tangannya tiga kali).
Sedangkan telah diketahui bahwa pembatasan dengan jumlah tertentu

96 — FATHUL BAARI
selain najis yang nyata menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah sesuatu
yang disukai.
Dalam riwayat Hammam dari Abu Hurairah seperti dikutip oleh
Imam Ahmad disebutkan, Uji—~«J ije'^ J »x>_ '^OJ *>l3 (Janganlah ia
memasukkan tangannya ke dalam tempat wudhu hingga ia mencucinya).
Indikasi larangan dalam hadits ini bernilai tanzih (kebersihan) seperti
telah kami sebutkan. Jika seseorang melakukannya maka hal itu disukai,
dan bila tidak maka hukumnya menjadi makruh (tidak disukai). Imam
Syafi'i mengatakan, bahwa makruhnya seseorang untuk memasukkan
tangan ke dalam bejana saat bangun tidur tidaklah hilang hingga ia
mencuci tangannya sebanyak tiga kali.

Maksud "tangan" dalam hadits ini adalah telapak tangan secara


khusus, menurut kesepakatan seluruh ulama. Semua pembahasan
terdahulu berhubungan dengan mereka yang bangun tidur, sedangkan
bagi mereka yang terjaga disukai juga melakukannya berdasar-kan hadits
Utsman dan Abdullah bin Zaid. Namun tidak melakukannya
(meninggalkan) tidak makruh hukumnya, karena tidak ada hadits yang
melarang hal itu. Telah diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dengan
silsilah periwayatan yang shahih dari Abu Hurairah bahwasanya beliau
melakukan hal itu dan berpendapat tidak apa-apa dalam meninggalkan-
nya. Pada pembahasan selanjutnya akan disebutkan riwayat yang senada
dengan itu dari Ibnu Umar dan Barra'.

U^—[?-JJ oi J—'J (Sebelum memasukkannya). Dalam riwayat Imam


Muslim dan Ibnu Khuzaimah serta selain keduanya disebutkan, J~**>.
Uji—~*J ^—*lJ)H J OJJ (Janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam
bejana hingga ia mencucinya). Riwayat ini lebih jelas dalam menerang-
kan maksud riwayat dengan lafazh, ^—1> i» oi (memasukkan). Sebab
sekedar memasukkan tangan ke dalam bejana tidaklah berarti harus ber-
akibat makruh, seperti seseorang yang memasukkan tangannya ke dalam
bejana yang besar lalu ia mengambil air bejana itu dengan timba yang
kecil, dan tangannya tidak menyentuh air.

4—\Je >i ^—i (Ke dalam tempat wudhu) maksudnya bejana yang
disiapkan sebagai tempat wudhu. Dalam riwayat Al Kasymihani

FATHUL BAARI — 97
disebutkan, «-t—'V 1/—?
1
(Ke dalam bejana), lafazh ini juga merupakan
riwayat Imam Muslim melalui jalur periwayatan selain yang tercantum
pada riwayat Imam Bukhari. Sementara riwayat Ibnu Khuzaimah
menyebutkan, /—\y^5 j ' *—^-J (Ke dalam bejananya atau tempat
wudhunya), yakni ada keraguan dalam menentukannya. Makna zhahir
riwayat ini mengindikasikan bahwa yang demikian itu berlaku khusus
bagi bejana tempat wudhu, namun diikutkan pula padanya hukum bejana
tempat mandi, sebab bejana tempat mandi adalah bejana tempat wudhu
juga selain juga digunakan untuk keperluan lainnya. Lalu dianalogikan
pula dengannya bejana-bejana yang lainnya, akan tetapi untuk bejana-
bejana yang lain ini hukumnya hanya disukai bila dilakukan dan tidak
makruh bila ditinggalkan, sebab tidak ada keterangan yang melarang
untuk memasukkan tangan sebelum dicuci ke dalam bejana-bejana ini,
wallahu a 'lam.

Dengan disebutkannya kata, "bejana" pada hadits ini, maka tidak


termasuk di dalamnya kolam maupun danau yang airnya tidak menjadi
rusak (najis) apabila tangan yang belum dicuci dicelupkan ke dalamnya,
meskipun kita anggap tangan itu najis.

jt-T^i o\s (Karena sesungguhnya salah seorang di antara kamu) Al


Baidhawi berkata, "Di sini terdapat isyarat bahwa yang menyebabkan
diperintahkannya hal itu adalah adanya kemungkinan bahwa tangan
tersebut najis. Sebab syariat ini bila menyebutkan suatu hukum lalu
mengiringinya dengan Ulat (penyebabnya), maka hal itu menunjukkan
bahwa hukum ditetapkan berdasarkan sebab tersebut." Sama seperti ini
sabda beliau SAW tentang seorang yang sedang ihram lalu terjatuh
kemudian mati, dimana beliau SAW mengatakan sesungguhnya orang itu
akan dibangkitkan sambil mengucapkan talbiyah (yakni Labbaik
Allahumma Labbaik). Ini disebutkan setelah beliau melarang para sahabat
untuk memandikan orang yang mati tersebut. Di sini beliau
mengisyaratkan bahwa Ulat (sebab) larangan adalah karena orang itu
sedang ihram.

ijj'-i—; *i (Tidak tahu) Di sini terdapat keterangan bahwa sebab


larangan itu adalah karena adanya kemungkinan apakah tangannya
bersentuhan dengan sesuatu yang dapat merusak kesucian air atau tidak.
Kemudian dimasukkan pula dalam hukum tersebut, orang yang ragu akan

98 — FATHUL BAARI
kesucian tangannya meskipun dalam keadaan terjaga (tidak bangun
tidur). Makna implisit lafazh ini menyatakan bahwa orang yang
mengetahui dimana tangannya berada pada waktu ia tidur malam, seperti
orang yang menggulung tangannya dengan kain lalu bangun sementara
tangannya masih tetap terbungkus, maka tidak makruh baginya
memasukkan tangan ke dalam air tanpa mencuci terlebih dahulu. Hanya
saja tetap disukai baginya untuk mencucinya sebelum dimasukkan ke
dalam bejana menurut pendapat yang lebih utama, sebagaimana halnya
orang yang dalam kondisi terjaga.
Bagi mereka yang mengatakan bahwa Ulat (sebab) larangan dalam
hadits ini adalah untuk tujuan ibadah -seperti Imam Malik- maka ia tidak
membedakan antara orang yang ragu akan kesucian tangannya dengan
orang yang yakin.
Hadits ini dijadikan pula sebagai dalil untuk membedakan antara
air yang kemasukan najis dan najis yang masuk ke dalam air, dimana
masalah ini cukup jelas dalam hadits. Di samping itu ia menjadi dalil
bahwa najis sangat mempengaruhi (kesucian) air, dan ini merupakan
pendapat yang benar. Akan tetapi keberadaan najis dapat merubah status
air menjadi najis meski tidak berubah salah satu sifatnya adalah pendapat
yang masih perlu ditinjau kembali. Sebab, pengaruh tersebut masih
bersifat umum tidak khusus karena najis. Tidak tertutup kemungkinan,
bahwa hukum makruh dengan sesuatu yang diyakini lebih keras daripada
sesuatu yang masih dalam dugaan, demikian yang dikatakan oleh Ibnu
Daqiq Al Id. Adapun maksud beliau adalah, tidak ada dalil qath 'l (pasti)
yang mendukung pendapat mereka bahwa air tidak berubah menjadi najis
kecuali salah satu sifatnya berubah.

aJ__i c i l i 'J) (Dimana tangannya berada pada waktu tidur malam),


yakni di bagian badan yang mana. Imam Syafi'i berkata, "Kebiasaan
mereka adalah beristinja' dengan menggunakan batu, sementara daerah
mereka beriklim panas. Sehingga bila mereka tidur terkadang
berkeringat, maka ada kemungkinan tangannya memegang tempat
keluarnya najis, memegang bisul atau darah hewan maupun kotoran
lainnya". Kemudian pendapat ini dikomentari oleh Abu Al Walid Al
Baji, bahwa pandangan seperti itu berkonsekuensi perintah untuk
mencuci pakaian orang yang bangun tidur, sebab hal-hal yang terkena
tangan dapat pula terkena pakaian. Namun komentar ini dijawab dengan
mengatakan, "Pandangan Imam Syafi'i tersebut dipahami apabila

FATHUL BAARI — 99
keringat tersebut pada tangan dan bukan pada tempat yang dipegang"
atau dikatakan, "Orang yang bangun tidur tidak menghendaki
mencelupkan tangannya ke dalam air kecuali jika diperintahkan untuk
melakukannya, berbeda dengan tangan dimana seseorang sangat butuh
untuk mencelupkannya ke dalam air."
Jawaban kedua adalah yang terkuat di antara dua jawaban yang
ada. Adapun dalil bahwa hal itu tidak khusus bagi tempat keluarnya najis
adalah riwayat yang dinukil oleh Ibnu Khuzaimah serta selain beliau
melalui jalur periwayatan Muhammad bin Al Walid dari Muhammad bin
Ja'far dari Syu'bah dari Khalid Al Hadza dari Abdullah bin Syaqiq dari
Abu Hurairah, yang mana disebutkan pada bagian akhirnya, "dimana
tangannya bermalam di bagian badannya". Sumber riwayat ini sendiri
terdapat dalam Shahih Muslim, tanpa lafazh "pada badannya".

Ad-Daruquthni berkata, "Yang meriwayatkan lafazh seperti itu


hanya Syu'bah." Adapun Al Baihaqi berkata, "Bahkan yang meriwayat-
kannya hanyalah Muhammad bin Al Walid." Saya (Ibnu Hajar) katakan,
"Jika yang dimaksud oleh Al Baihaqi bahwa yang meriwayatkan lafazh
tersebut dari Muhammad bin Ja'far hanyalah Muhammad bin Al Walid,
maka perkataannya dapat diterima. Namun jika yang beliau maksudkan
bahwa tak ada yang meriwayatkan lafazh "Pada badannya" selain
Muhammad bin Al Walid saja, maka perlu dipertanyakan. Karena Ad-
Daruquthni mengatakan, 'Lafazh "Pada badannya" selain diriwayatkan
oleh Muhammad bin Al Walid, juga telah diriwayatkan oleh Abd.
Shamad dari Syu'bah. Riwayat ini telah dinukil pula oleh Ibnu Mandah
dari jalur Abd. Shamad.'"
Pada hadits yang disebutkan dalam bab ini terdapat keterangan
untuk mengamalkan yang lebih meyakinkan serta berhati-hati dalam
beribadah. Juga kebolehan untuk memakai kata kiasan pada hal-hal yang
kurang pantas diucapkan secara terus terang, asalkan maksud dari
pembicaraan dapat dipahami.
Di samping itu, pada hadits terdapat keterangan disukainya
mencuci najis sebanyak tiga kali. Sebab ketika kita diperintah untuk
mencucinya sebanyak jumlah tersebut sementara najisnya belum pasti
ada, maka setelah najis itu diyakini keberadaannya tentu lebih baik lagi
untuk dicuci sebanyak tiga kali.

1 0 0 — FATHUL BAARI
Sebagian ulama telah menyimpulkan beberapa faidah lain dari
hadits tersebut, di antaranya: Pertama, tempat keluarnya najis mendapat-
kan keringanan dalam kebolehan melakukan shalat meski bekas najis di
tempat keluarnya masih ada, ini dikatakan oleh Al Khaththabi. Kedua,
kewajiban berwudhu ketika bangun tidur, ini dikatakan oleh Ibnu Abdil
Barr. Ketiga, sebagai dalil yang menguatkan pandangan mereka yang
mewajibkan wudhu karena menyentuh kemaluan, ini dinukil oleh Abu
Awanah dalam Shahih-nya. dari Ibnu Uyainah. Keempat, air yang sedikit
tidak berubah menjadi air musta 'mal (bekas dipakai) apabila seorang
yang berwudhu memasukkan tangan ke dalamnya, demikian dikatakan
oleh Al Khaththabi sebagai salah seorang pemuka ulama Syafi'iyah.

27. Mencuci Kedua Kaki dan Tidak Menyapunya

i. V' l Z , *s , ' ' 0 ^ 0 * 0 ' O '

o jl y ^ j l 's- ^ l ! l j d s J : J l i J J I P J>\ AUI J I P J P


(w

yj Ld*ati l l i i j l J i j llS'j^li L&liyll*


S -"
5
s Q s y ^ s y^ y y y y y } ^ £

.C*>IJ jl ^ y jllJl I_JL5P!>U J J J 4jj^9 ^ ^ I J ti^ll» ^r^J

163. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru, ia berkata, "Nabi SAW


sengaja tertinggal di belakang kami dalam suatu perjalanan yang
pernah kami lakukan. Lalu beliau pun menyusul kami sementara
waktu ashar mendapati kami (telah tiba). Saat itu kami berwudhu
seraya menyapu kaki-kaki kami. Maka beliau berseru dengan
suara keras, 'Wail bagi tumit-tumit dari api neraka. ' la
mengatakannya dua atau tiga kali. "

Keterangan hadits:

iji—-> ^ — » ( D a l a m suatu perjalanan). Dalam riwayat Karimah ada


tambahan kalimat LaUyL—i. Lafazh ini seakan memberi pengertian bahwa
Abdullah bin Amru turut pula dalam perjalanan tersebut. Lalu disebutkan

FATHUL BAARI — 101


dalam riwayat Imam Muslim bahwa perjalanan yang dimaksud
berlangsung dari Makkah ke Madinah, sementara Abdullah bin Amru
tidak pernah menyertai Nabi SAW dalam perjalanan dari Makkah ke
Madinah kecuali pada saat haji Wada'. Adapun pada saat penaklukan
kota Makkah, Abdullah bin Amru turut pula bersama Nabi SAW. Namun
beliau tidak berangkat dari Makkah ke Madinah, melainkan dari Ji'ranah.
Ada kemungkinan perjalanan yang dimaksud adalah saat umrah qadha'
(umrah pengganti), sebab hijrahnya Abdullah bin Amru ke Madinah pada
masa-masa tersebut.

a i » j i (Telah mendapati kami). Ibnu Baththal berkata, "Para sahabat


saat itu sengaja mengakhirkan shalat, karena berharap Nabi SAW akan
dapat menyusul agar mereka dapat shalat bersamanya. Ketika waktu
shalat hampir masuk mereka segera wudhu; dan karena terburu-buru,
maka mereka tidak sempat menyempurnakan wudhu. Lalu Nabi SAW
mendapati mereka dalam kondisi demikian, maka beliau mengingkarinya.
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Apa yang beliau katakan bahwa para
sahabat sengaja mengakhirkan shalat dapat diterima sebagai satu
kemungkinan. Kemungkinan lainnya, mereka mengakhirkannya karena
tidak dalam keadaan bersuci atau karena mereka berharap sampai ke
tempat air. Kemungkinan ini diindikasikan oleh riwayat yang dinukil
oleh Imam Muslim, J~e*b\ fji J.j^V uT lij Js- (Hingga tiba-
tiba kami mendapatkan air di samping jalan, maka kami pun terburu-
buru pada saat ashar). Yakni hampir masuk waktu ashar, lalu mereka
berwudhu dengan terburu-buru."

\—DJrji Js- £~LVJ (Seraya menyapu kaki-kaki kami). Dari lafazh ini
Imam Bukhari berkesimpulan bahwa yang mendorong Nabi SAW
mengingkari para sahabat adalah karena perbuatan mereka yang
mengusap kaki, dan bukan karena mereka hanya membasuh sebagian
kaki saja. Oleh sebab itu beliau memberi judul bab ini, "Dan tidak
mengusap keduanya". Kesimpulan beliau ini merupakan makna zhahir
dari riwayat yang dinukil oleh beliau dan Imam Muslim. Sementara
dalam riwayat yang hanya dinukil oleh Imam Muslim disebutkan, "Maka
kami menyusul mereka sementara mata kaki mereka nampak kering
belum tersentuh air". Lafazh ini dijadikan landasan oleh mereka yang
membolehkan mengusap kaki tanpa dibasuh. Adapun adanya penging-
karan disebabkan mereka tidak mengusapnya secara merata. Akan tetapi

1 0 2 — FATHUL BAARI
riwayat Imam Bukhari dan Muslim lebih kuat, sehingga hadits yang
hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim maknanya perlu disesuaikan
dengan riwayat di atas. Sehingga kemungkinan yang dimaksud dengan
perkataannya, "Belum disentuh air" artinya tidak meratakan air saat
membasuh kaki. Pengertian ini ditempuh untuk menyatukan antara dua
riwayat yang ada.
Keterangan yang lebih tegas dari apa yang kami katakan, adalah
riwayat yang juga dinukil oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa
Nabi SAW melihat seorang laki-laki yang belum membasahi mata
kakinya, maka beliau mengatakan seperti sabda di atas. Di samping itu,
mereka yang mengatakan bahwa kaki cukup hanya diusap, tidak
memasukkan mata kaki sebagai bagian yang wajib untuk diusap.
Sementara hadits ini merupakan bantahan terhadap mereka.
Ath-Thahawi berkata, "Oleh karena beliau memerintahkan para
sahabatnya untuk meratakan air saat membasuh kaki hingga tidak tersisa
sedikitpun yang belum tersentuh air, maka hal itu menunjukkan wajibnya
membasuh kaki saat wudhu." Namun pandangan ini dikomentari oleh
Ibnu Munir dengan perkataannya, "Sesungguhnya perintah untuk
meratakan air tidaklah berarti harus dibasuh. Sebab kepala juga diusap
secara merata, padahal ia tidak wajib dibasuh."

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna kata J J J .


Yang paling menonjol di antaranya adalah pendapat yang diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya dari hadits Abu Sa'id, dari
Nabi SAW, "Wail adalah sebuah lembah di neraka jahanam."
Ibnu Khuzaimah berkata, "Andaikata orang yang hanya menyapu
kaki dianggap telah menunaikan kewajiban, tentu ia tidak akan diancam
dengan neraka." Beliau mengisyaratkan dengan perkataannya ini akan
pendapat yang terdapat dalam kitab Perbedaan tentang Kaum Syi 'ah,
yang disebutkan bahwa yang wajib adalah mengusap kaki (bukan
membasuh). Pendapat ini berdasarkan makna firman Allah dalam surah
Al Maa'idah ayat 6, yakni apabila lafazh j*&*-j' dibaca j t ^ r j ' .

Sementara berita-berita tentang sifat dan praktek wudhu Nabi telah


dinukil secara mutawatir (dalam jumlah banyak dan tidak dibantah
kebenarannya), yang mana semuanya menyatakan bahwa beliau
membasuh kedua kakinya, dan ini merupakan penjelasan terhadap

FATHUL BAARI — 103


perintah Allah. Telah disebutkan dalam hadits yang panjang,
diriwayatkan oleh Amru bin Anbasah seperti dikutip oleh Ibnu
Khuzaimah dan lainnya tentang keutamaan wudhu dimana dikatakan, j»i

«j—»1 \—<£ i—~»Ai J *j (Kemudian beliau membasuh kedua kakinya


sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah).
Tidak dinukil dari para sahabat keterangan yang menyelisihi
pendapat tersebut kecuali dari Ali, Ibnu Abbas dan Anas, sementara telah
dinukil melalui riwayat yang dapat dibuktikan kebenarannya bahwa
mereka bertiga telah meralat pendapat yang hanya mewajibkan mengusap
kaki saat wudhu. Abdurrahman bin Abu Laila berkata, "Para sahabat
Nabi telah sepakat untuk membasuh kedua kaki." Perkataan ini diri-
wayatkan oleh Sa'id bin Manshur. Lalu Ath-Thahawi dan Ibnu Hazm
mengklaim bahwa kebolehan untuk mengusap kaki hukumnya telah
dihapus (mansukh).

5PSU (Bagi tumit-tumit). Yakni tumit yang Nabi lihat pada saat
itu, lalu disamakan pula hukumnya bagi tumit yang keadaannya seperti
itu. Al Baghawi berkata, "Wail bagi para pemilik tumit yang tidak
membasuhnya dengan sempurna." Ada pula yang mengatakan bahwa
siksaan itu hanya khusus pada tumit yang tidak dibasuh dengan
sempurna.

Pelajaran yang dapat diambil


1. Mengajari orang yang bodoh atau tidak tahu.
2. Mengeraskan suara untuk mengingkari suatu kemungkaran.
3. Mengulang-ulang suatu persoalan agar dapat dipahami. Masalah ini
telah dibahas pada bab ilmu.

28. Berkumur-Kumur Saat Berwudhu

I, y * Oy \ y ' a > ^ A Oy .Zs * . -'t,-

" y y - y ?

1 0 4 — FATHUL BAARI
Masalah ini telah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Abdullah bin
Zaid radhiyallahu 'anhum dari Nabi SAW.

jLaP ^ jCkiP AJ\ j U p jjj j C j i P Jy> jlj^>- JJ^


0 / , \ ^ y y y y y y y Osy
1 ^ f "* * I ' ». I - I ^ l ' ' ' 1 ''t ° 0-'-- I ^ . ^ . f . -*

J SOI ^ OjAj 1 -o fll .,.««3 4 J U | ^JA AJJJ ^ i p C * £ j ^ P ji


. y y y ^ ^ y y y , J 0

& f / S g
J — P Jl ^
y y &y y y y 0 y y fiy y

P ^ cjX^
L ! b

# y y y y

° ' ^ \ \- \ ' ' >* y $ s y yy "J^) ^ ^11 "* ° f


t ^ 1 l ** ^ i itltt
J * J l i j I- -* i 5 'j-^'J
1
=
J
U ^ j v i 2 © ? ^^jH' O J ' J I J*-* (*-> l" ^ , J

' • ' i ' ' • • ' ' v r °" l ' " " - l ' ' ' " ' f * " . ' -

o' o ' S'^ , f', f*. s' '.

164. Telah diriwayatkan dari Humran (mantan budak Utsman),


bahwasanya ia melihat Utsman bin Affan minta dibawakan sebuah
bejana, lalu ia menuangkan air dari bejananya itu ke telapak
tangannya dan mencuci keduanya tiga kali. Kemudian ia
memasukkan tangan kanannya ke dalam tempat wudhu itu lalu
berkumur-kumur seraya memasukkan air ke hidung serta
mengeluarkannya. Setelah itu ia membasuh mukanya tiga kali dan
kedua tangannya hingga siku tiga kali. Selanjutnya ia mengusap
kepalanya lalu membasuh setiap salah satu dari kedua kakinya
tiga kali. Kemudian ia berkata, "Aku melihat Rasulullah berwudhu
sebagaimana wudhuku ini, lalu beliau bersabda, 'Barangsiapa
yang berwudhu sebagaimana wudhuku ini lalu ia shalat dua rakaat
tanpa menyibukkan dirinya (dengan perkara-perkara lain) dalam
melakukan dua rakaat tersebut, maka Allah akan mengampuni
baginya dosa-dosanya yang telah terdahulu"

FATHUL BAARI — 105


Keterangan Hadits:
"Berkumur-kumur saat berwudhu". Asal kata berkumur-kumur
dalam bahasa Arab adalah 'ja '*^a* yang artinya secara bahasa adalah

menggerak-gerakkan. Misalnya dikatakan, f-L* J> yliJi 'ja^a* artinya


kedua matanya bergerak karena rasa kantuk. Kemudian kata tersebut
menjadi masyhur dipakai untuk menamakan perbuatan seseorang yang
memasukkan air ke dalam mulutnya lalu menggerak-gerakkannya.
Adapun makna berkumur itu dalam pengertian syariat adalah, seseorang
memasukkan air ke dalam mulutnya kemudian memutar-mutarnya dalam
mulut lalu menyemprotkannya keluar. Namun pendapat yang masyhur
dari golongan Syafi'i tidak mensyaratkannya untuk menggerak-gerakkan
air dan tidak pula menyemprotkannya, akan tetapi ini adalah pandangan
yang cukup aneh. Barangkali yang mereka maksudkan bahwa air yang
ada dalam mulut itu tidak harus disemprotkan. Bahkan andaikata
seseorang menelan air tersebut atau membiarkannya hingga mengalir
keluar dengan sendirinya, maka hal itu telah mencukupi baginya.

y — ^ j—>}'i—lii (Masalah ini telah dikatakan oleh Ibnu Abbas),


haditsnya telah disebutkan pada permulaan bab wudhu.

oJj 'j» <&l J I P J (dan Abdullah bin Zaid) Haditnya akan disebutkan.

J—J—S' J (Lalu membasuh setiap salah satu dari kedua


kakinya) demikian riwayat yang dinukil oleh Al Ashili dan Al
Kasymihani. Adapun riwayat yang dinukil oleh Ibnu Asakir disebutkan,
jl&rj lilf J~~P ~p> (Lalu membasuh kedua kakinya), dan lafazh inilah yang
dijadikan pedoman oleh penulis kitab Al Umdah. Sementara dalam
riwayat Al Mustamli dan Al Hamawi disebutkan, *—i/rj J—S' (setiap
kakinya), dan ini memberi makna meratakan air kepada kedua kaki
dengan cara membasuhnya. Dalam salah satu naskah disebutkan, &*rj
(kedua kakinya), hal ini sama seperti pengertian hadits di atas.

OJ PXJ V (Tanpa menyibukkan dirinya), hal ini telah dibahas


sebelumnya. Sebagian ulama mengatakan, "Ada kemungkinan yang
dimaksud adalah keikhlasan atau meninggalkan rasa takjub terhadap diri

1 0 6 — FATHUL BAARI
sendiri, karena dikhawatirkan akan berubah menjadi angkuh dan binasa
karenanya."

i—! 'i—131 j «p (Maka Allah akan mengampuni baginya), demikian


riwayat yang dinukil oleh Al Mustamli. Sedangkan pada riwayat yang
disebutkan oleh selain beliau disebutkan, *—1'YIE-(Diampuni baginya).
Pembahasan mengenai hal ini juga telah dibahas, hanya saja di sini
terdapat tambahan yakni penyandaran sifat wudhu yang beliau lakukan
kepada Nabi SAW. Lalu Imam Muslim memberi tambahan, "Zuhri
berkata, 'Para ulama mengatakan, ini adalah sifat wudhu yang paling
sempurna dilakukan oleh seseorang untuk shalat.'" Hadits ini telah
dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa mengusap kepala
hanya dilakukan sekali saja, sebagaimana akan dijelaskan pada bab
mengusap kepala satu kali, insya Allah.

29. Membasuh Mata Kaki

U<3Y W j»_il?xJl £-v2Y* J""°M 0-^ " R W


*' Cf^ '-jlS'j

Ibnu Sirin biasa membasuh tempat cincin saat wudhu.

% ^ y a s s s s y y y , y y,

.•"t, 1' ** ^ • 1 f" 0


' -* . 'f -* 3
' tI- •' * O * + ' * . y^ y

' 1

y y y 3 y s» yy O y y y 9 0 y }y

; Jli S ^Uil Ll Oli TY^'Y\\ \Y\S\ IJ l i 0 Y> JY^PYJ

0 iiii -j, $;3

165. Diriwayatkan dari Muhammad bin Ziyad, ia berkata, 'Aku


mendengar Abu Hurairah -yang pada saat itu bersama kami
melewati orang-orang yang sedang berwudhu dari satu bejana-

FATHUL BAARI — 107


mengatakan, 'sempurnakanlah wudhu, karena sesungguh-nya Abu
Qasim (Rasulullah) bersabda, 'Wail bagi tumit-tumit dari
neraka."'

Keterangan Hadits:
Nukilan dari Ibnu Sirin ini disebutkan beserta silsilah periwayatan-
nya oleh Imam Bukhari dalam kitabnya At-Tarikh, melalui riwayat Musa
bin Isma'il dari Mahdi bin Maimun dari Ibnu Sirin. Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Abi Syaibah dari Husyaim dari Khalid dari Ibnu Sirin bahwa
Nabi ketika berwudhu, beliau menggerakkan cincinnya. Kedua silsilah
periwayatan ini adalah shahih. Ada kemungkinan cincin beliau cukup
longgar sehingga air sampai ke kulit bagian bawahnya hanya dengan
menggesernya. Kemudian dalam riwayat Ibnu Majah dari riwayat Rafi'
dari Nabi SAW disebutkan bahwa beliau melakukan perbuatan seperti
itu, namun silsilah periwayatannya lemah.

t.^jfi'^S \ jLL>'\ (Sempurnakanlah wudhu), seakan-akan beliau melihat


mereka tidak sempurna dalam berwudhu sehingga beliau mengkhawatir-
kannya.

^—~>j i—11P AJJI Ui uu (Karena sesungguhnya Abu Qasim


SAW). Di sini Rasulullah disebut dengan gelarnya, dan itu adalah suatu
hal yang baik. Namun menyifati beliau sebagai Rasul adalah lebih baik.
Dalam hadits ini terdapat pula keterangan agar seorang yang
berilmu hendaknya mengemukakan dalil atas fatwa yang disampaikan-
nya, agar dapat meresap di hati orang yang mendengarnya.
Disebutkannya "mata kaki" secara khusus karena ia merupakan
penyebab ditetapkannya hukum seperti itu, sebagaimana penjelasan pada
hadits Abdullah bin Amru yang terdahulu. Maka, diikutkan dalam hukum
segala yang semakna dengannya di antara seluruh anggota wudhu yang
kadang diremehkan untuk dibasuh secara sempurna. Dalam riwayat
Hakim dan selain beliau dari hadits Abdullah bin Al Harits d i s e b u t k a n j j j

j> l_3i J j-JiS ' O'J^.J


1
^liiS'J "Wail bagi tumit-tumit dan telapak kaki-telapak
kaki dari neraka". Atas dasar inilah sehingga dalam judul bab ini
disebutkan perbuatan Ibnu Sirin yang membasuh kulit di bawah cincin,

1 0 8 — FATHUL BAARI
sebab terkadang tempat tersebut tidak tersentuh oleh air apabila
cincinnya agak sempit. Wallahu a 'lam.

30. Membasuh Kedua Kaki Sambil Memakai Sandal


dan Tidak Mengusap Bagian atas Sandal

' O i , O' A , , , >• o ., t, . ' . ' >$i o, t o O'/ O '

J - ^~ J\ J - P bl b y>S- jj 4l)l JLJO J l i 4JI £ C J y - J l ^ P j^P

' ' ' 11 - 1 ' '° ' ' l i ' 0


f a
t #
' f ^ f 0
f i #
' ° f ' ' ' 0
''l' 1 0
f'

b ^yi» L»j JL» 1 g»:•/? j viX;b>t^'l y lJb>-l j l L*jjl *j<JJSJ\j

JLJ ^ 1 ^ JlfT oJ( ^ J*«Jl l ^ 'M ^ > '

0 Si vi S Jji j ^ ^1 | J J i i o i r ^ i £f :AJJi
* " y 0
& s y yy ^ y J ^ J ^ yy

( _ 3
r Jllil AJJI 1} y y j O-jfj ^Jl* A ^ l J l J l i l i l
yy *' f O f y sy Oy o y t J yy > , y

c u j I J ^ j l i o^fl./?)l L»lj l-^-w^JI j l 1 p~\ Lili L ^ J U i j y j j L^i


u y f y y b s t J bin
166. 7e/aA Odiriwayatkan
- yy y
dari Ubaid yy
Juraij,
J
bahwasanya
& y
iay
L s J*x**
^berkata I L» IAbdullah
kepada J Lgj k_^-l Uli
binj l Umar, Lgj £-~^2j
"Wahai Abu AJJI J
Abdurrahman,
aku melihat engkau. - u imelakukan
^ l j 4j o ^ j empat
" perkara
j& '0> dimana
AJJi J _ ^aku
, j j llihat
p
tidak seorang pun di antara sahabatmu yang melakukannya. "Ibnu
Umar berkata, "Apakah itu wahai Ibnu Juraij? " Ibnu Juraij
berkata, "Aku lihat engkau tidak menyentuh semua sudut Ka 'bah
kecuali dua sudut yang menghadap ke Yaman, aku lihat engkau
memakai sandal sibtiyah (sandal kulit yang tidak berbulu), aku

FATHUL BAARI — 109


melihat engkau mencelup pakaian dengan warna kuning dan aku
lihat jika engkau di Makkah, orang-orang telah berihram sejak
melihat hilal sedangkan engkau tidak berihram hingga hari
tarwiyah (8 Dzulhijjah). " Abdullah berkata, "Adapun mengenai
sisi-sisi Ka 'bah itu, sesungguhnya aku tidak pernah melihat
Rasulullah menyentuh kecuali dua sudut yang menghadap ke
Yaman. Adapun sandal sibtiyah, karena sesungguhnya aku melihat
Rasulullah memakai sandal yang tidak berbulu lalu berwudhu
dengan memakai sandal itu, maka aku suka memakainya.
Mengenai mencelup pakaian dengan warna kuning, karena aku
melihat Rasulullah mencelup dengan warna tersebut, maka aku
suka untuk mencelup dengan warna itu. Sedangkan mengenai
ihram, karena sesungguhnya aku tidak pernah melihat Rasulullah
berihram hingga kendaraannya siap berangkat."

Keterangan Hadits:
"Membasuh kedua kaki sambil memakai sandal". Tidak ada dalam
hadits keterangan tegas mengenai hal ini, akan tetapi keterangan seperti
itu hanya diambil dari kalimat 1$—J (Berwudhu dengan memakai

sandal itu) sebab hadits tersebut memakai kata l$J. Jika yang dimaksud

adalah mengusap, niscaya akan dikatakan Ujll* (atasnya).

(Dan tidak mengusap bagian atas sandal), yakni tidak cukup hanya
dengan mengusap keduanya sebagaimana khuf (sepatu). Imam Bukhari
mengisyaratkan dengan perkataannya ini akan apa yang diriwayatkan
dari Ali serta selain beliau di antara sahabat, bahwa mereka mengusap
sandal saat berwudhu lalu melaksanakan shalat. Diri .vayatkan pula
sehubungan dengan itu sebuah hadits yang langsung disandarkan kepada
Nabi SAW, sebagaimana dikutip oleh Abu Dawud dan lainnya dari hadits
Al Mughirah bin Syu'bah, akan tetapi hadits ini digolongkan sebagai
hadits lemah oleh Abdurrahman bin Mahdi serta para imam yang lain.
Imam Ath-Thahawi mendasari argumentasi yang menyatakan
bahwa tidak cukup bagi seseorang sekedar mengusap kedua sandal
dengan adanya ijma" (kesepakatan) jika sepatu itu sobek dan kedua kaki
menjadi kelihatan, maka saat itu membasuh kaki tidak dianggap cukup
bila hanya diusap atasnya saja. Beliau mengatakan, "Demikian pula

1 1 0 — FATHUL BAARI
halnya dengan kedua sandal, karena keduanya tidak dapat menggantikan
kedudukan kedua kaki." Demikian nukilan dari Imam Ath-Thahawi. Ini
adalah cara penetapan dalil yang benar, hanya saja pernyataan beliau
mengenai adanya ijma dalam persoalan itu perlu dibahas lebih jauh.
Selanjutnya, di sini bukanlah tempat untuk membahas masalah
membasuh kaki atau mengusapnya, namun kami akan menyebutkannya
secara singkat. Mereka yang berpendapat bahwa kaki cukup diusap,
adalah berdasarkan firman Allah, ^SJJrj'j (dan kaki kamu sekalian) yang
menurut mereka kalimat ini diathafkan (dianeksasikan) dengan kalimat
sebelumnya, yakni firman-Nya, '^-r'jjy. ij*—J>lj (Dan usaplah kepala-
kepala kamu). Sementara satu kata yang digandengkan dengan kata
sebelumnya, maka hukum keduanya adalah sama. Maka jika kepala
diusap, kaki pun harus diusap.

Makna seperti ini telah dipegang oleh sejumlah sahabat dan tabi'in.
Pendapat yang menganggap mengusap kaki telah mencukupi dinukil dari
Ibnu Abbas, namun riwayatnya lemah. Sementara riwayat yang akurat
berasal dari beliau justeru sebaliknya. Pendapat ini diriwayatkan pula dari
Ikrimah, Sya'bi serta Qatadah yang merupakan pandangan madzhab
Syi'ah.
Sementara Hasan Al Bashri berkata, "Wajib bagi kaki untuk
dibasuh atau diusap." Sementara golongan ahli zhahir mengatakan wajib
untuk menyatukan antara keduanya (membasuh dan mengusap).
Adapun hujjah (landasan argumentasi) jumhur ulama adalah
hadits-hadits shahih yang diriwayatkan tentang sifat wudhu Nabi SAW,
karena sesungguhnya hal itu merupakan penjelasan maksud ayat. Lalu
mereka menjawab argumentasi lawan (orang yang mengatakan wajibnya
mengusap) sehubungan dengan ayat di atas dengan berbagai jawaban, di
antaranya bahwa kata tersebut tidak dibaca, J » ^ r j 5 akan tetapi ia dibaca

jt—S^jJrjl yakni dengan fathah. Dengan demikian ia tidak dianeksasikan

dengan kata j*£—^jj^f namun dianeksasikan dengan kata sebelum itu,

yakni j»—Ss^'j (membasuh kedua tangan). Dengan demikian, maka yang

wajib adalah membasuh kaki saat berwudhu.

FATHUL BAARI — 111


Jawaban yang lain dikatakan bahwa kata tersebut dibaca j^isr j

karena disamakan dengan kedudukan kata j j dan bukan disamakan

dari segi lafazhnya sebagaimana firman Allah j^—kJij 4—%


' » ^>j\ J C»- G

dimana kata ^—JaJ'j dibaca fathah. Ada pula yang mengatakan bahwa
meski ayat itu bermakna "mengusap", namun maksudnya adalah
mengusap sepatu bukan mengusap kaki.
Abu Bakar bin Al Arabi telah membahas persoalan ini dengan
baik, dan secara ringkasnya dapat dikatakan sebagai berikut, "Yang jelas,
antara kedua bacaan itu, yakni ^ _ i j J r d a n jU^rji terdapat perbedaan
yang nyata. Sementara telah menjadi ketentuan jika terdapat dua dalil
yang tampak kontradiksi, apabila memungkinkan untuk diamalkan
sekaligus maka cara ini wajib ditempuh. Sedangkan jika tidak mungkin
demikian, maka kedua dalil itu diusahakan untuk diamalkan semaksimal
mungkin. Adapun dalam persoalan yang sedang dibahas kedua dalil yang
nampak kontradiksi tidak mungkin untuk diamalkan secara bersamaan,
sebab mengusap dan membasuh tidak dapat dipraktekkan sekaligus pada
satu kesempatan terhadap anggota wudhu yang sama karena hal itu
berakibat terulangnya mengusap, dimana diketahui bahwa membasuh
satu anggota wudhu juga telah mencakup mengusap anggota wudhu
tersebut. Padahal, suatu perbuatan yang diperintahkan secara mutlak
(tanpa dibatasi oleh jumlah tertentu) tidak berkonsekuensi pada
terulangnya perbuatan yang dimaksud. Akhirnya, tidak ada jalan yang
dapat ditempuh kecuali mempraktekkan kedua perbuatan itu (yakni
membasuh dan mengusap) pada dua kondisi yang berbeda (maksudnya
sekali waktu dibasuh dan sekali waktu diusap- Penerj). Hal ini ditempuh
untuk memadukan dua bacaan yang berbeda terhadap ayat di atas,
sekaligus mengamalkan secara maksimal kedua dalil yang ada".
Adapula ulama yang mengatakan bahwa membasuh kaki sengaja
dikaitkan dengan anggota yang diusap (kepala), sebab membasuh kaki
merupakan tempat dimana seseorang menggunakan air yang banyak.
Sehingga untuk mencegah pemborosan air, maka membasuh kaki
dikaitkan dengan mengusap kepala, tapi bukan berarti kaki harus diusap.
Bukti yang mendukung pendapat ini adalah firman Allah dalam surah Al
Maa'idah, j — l ^ ^—!j (Hingga mata kaki). Karena menyapu anggota
1

wudhu merupakan satu bentuk keringanan (rukhsah), oleh sebab itu tidak

1 1 2 — FATHUL BAARI
boleh ditetapkan batasan tertentu. Di samping itu, sesungguhnya
menyapu juga dipergunakan untuk menamakan membasuh yang ringan,
seperti disebutkan oleh Abu Zaid -sang ahli bahasa- dan Ibnu Qutaibah
serta selain keduanya.
Ubaidillah bin Juraij adalah Ubaidillah bin Juraij Al Madani,
mantan budak bani Taim. Antara beliau dengan Ibnu Juraij Al Faqih Al
Makki (mantan budak bani Umayah) tidak mempunyai hubungan nasab,
sebab Ibnu Juraij Al Faqih namanya adalah Abdul Malik bin Abdul Aziz
bin Al Juraij. Terkadang seseorang menyangka bahwa Ibnu Juraij yang
meriwayatkan hadits di atas adalah paman Ibnu Juraij Al Faqih, akan
tetapi yang sebenarnya tidaklah demikian.

ilji—?w>i j — • 'J ji j*J (Aku tidak melihat seorangpun di antara


sahabatmu) Yakni para sahabat Nabi SAW, dan yang dimaksud adalah
sebagian mereka. Konteks hadits ini memberi gambaran, bahwa Ibnu
Umar adalah satu-satunya sahabat yang melakukan perbuatan tersebut
yang dilihat oleh Ubaid. Al Maziri berkata, "Ada kemungkinan yang
dimaksud bahwa selain Ibnu Umar tidak melakukan perkara-perkara
tersebut secara keseluruhan, meskipun mereka melakukannya sebagian."

o\—fj^i (Sudut-sudut), maksudnya adalah keempat sudut Ka'bah.


Secara lahiriah, para sahabat Nabi -selain Ibnu Umar- yang dilihat oleh
Ubaid menyentuh seluruh sudut Ka'bah. Perbuatan seperti ini telah
terbukti diriwayatkan dari Mu'awiyah dan Ibnu Zubair. Pembahasan
selanjutnya mengenai masalah ini akan dibahas pada bab haji, insya
Allah.

4 J £ — U i (Sandalyang tak berbulu). Asal katanya adalah o l t J i yang

artinya j l s J i (mencukur), demikian yang dinukil dalam kitab At-Tahdzib.

Ada pula yang mengatakan bahwa c.L-'.Ji adalah nama kulit sapi yang

telah disamak. Pendapat lain mengatakan bahwa A^ILJi berasal dari kata

c 4 - J i , yaitu sejenis tanaman yang dipakai untuk menyamak, sebagaimana


dikatakan oleh penulis kitab Al Muntaha. Sementara Al Harawi
mengatakan, "Dinamakan sibtiyah karena sifatnya yang menjadi lunak
karena disamak."

FATHUL BAARI — 113


(Engkau mencelup). Apakah yang dimaksud adalah mencelup
baju ataukah menyemir rambut? Penjelasan mengenai hal itu akan
disebutkan pada kitab tentang pakaian, insya Allah.

j"l H' J*i (Orang-orang berihram), artinya mereka mengeraskan

hingga hari Tarwiyah), yakni tanggal 8 Zhulhijjah. Dari jawaban Ibnu


Umar mengenai hal ini menjadi jelas, bahwa beliau tidak mengucapkan
talbiyah kecuali setelah kendaraannya siap berangkat ke Mina.
Pembahasan selanjutnya tentang hal ini akan diterangkan pada kitab haji,
insya Allah.

*—JJi J — J ' — i (Abdullah berkata), maksudnya Abdullah bin Umar


berkata dalam rangka menjawab pertanyaan Ubaid. Dalam riwayat Imam
Bukhari bab pakaian dikatakan, "Maka Abdullah bin Umar berkata
kepadanya (Ubaid)".

jllil—*J| (Dua sudut yang menghadap ke Yaman), yang dimaksud


adalah sudut Al Aswad dan sudut yang menghadap ke arah Shafa.

31. Mendahulukan yang Kanan Saat Bewudhu dan


Mandi

167. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata, "NabiSAW


bersabda kepada mereka saat memandikan puterinya, 'Dahulu-
kanlah oleh kamu bagian kanan dan tempat-tempat wudhunya.'"

1 1 4 — FATHUL BAARI
4 U-Jj 4jJcJ ^J) J<J~>\ ^-H* ^
0
«f^ v^Jli
O , ^ > s

^ a
jj4^j

168. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, "Telah menjadi


kebiasaan Nabi SA W memulai dengan yang kanan ketika memakai
sandal, menyisir rambut, bersuci dan dalam segala urusannya"

Keterangan Hadits:

4—»l jLs- J (Saat memandikan puterinya) yakni puteri Nabi SAW


yang bernama Zainab RA. Keterangan mengenai hal ini akan dijelaskan
dalam pembahasan tentang Al Jana'iz (Jenazah), insya Allah. Imam
Bukhari sengaja menyebutkan penggalan hadits Ummu Athiyah untuk
menjelaskan maksud perkataan Aisyah dalam hadits berikutnya, yaitu
"Telah menjadi kebiasaan Nabi SAW menyukai bagian kanan", sebab
lafazh bagian kanan dalam bahasa Arab disebut "Tayammun". Lafazh ini
merupakan lafazh musytarak (memiliki makna lebih dari satu). Kata
tersebut dapat berarti memulai dari bagian kanan, melakukan sesuatu
disertai sumpah, tabarruk (memohon berkah) dan mengambil arah kanan.
Maka, dengan adanya hadits Ummu Athiyah menjadi jelas bahwa yang
dimaksud adalah makna yang pertama.
, '' i. / >,,,
fljj^—y j 4 &rjj d*Z j> (Saat memakai sandal, menyisir rabut dan
bersuci). Dalam riwayat Abu Dawud dari Muslim bin Ibrahim dari
Syu'bah terdapat tambahan, *f'jr'J (Serta saat menyikat gigi).

j—*3 4 jrii; CSs- 4lJi ^JJi OlT (Telah menjadi kebiasaan


Nabi SA W menyukai bagian kanan). Sebagian ulama mengatakan bahwa
penyebab disukainya perbuatan ini karena beliau SAW menyukai sikap
optimis, dimana golongan kanan adalah penghuni surga. Lalu dalam kitab
Shalat, Imam Bukhari memberi tambahan riwayat ini dengan lafazh t»

^tkLJLal (selama ia mampu). Adanya tambahan riwayat ini merupakan

FATHUL BAARI — 115


pemberitahuan bahwa mendahulukan yang kanan dilakukan selama tidak
ada penghalang.
" i'
* 15" J ) j (dalam segala urusannya). Demikianlah lafazh yang
dinukil dari sebagian besar para perawi, yakni tanpa menggunakan kata
sambung (jij). Sementara dalam riwayat Abu Al Waqt tercantum kata
sambung yang dimaksud. Syaikh Taqiyuddin berkata, "Ini adalah lafazh
yang bersifat umum, namun cakupannya terbatas. Karena masuk tempat
buang hajat dan keluar masjid atau yang seperti keduanya, hendaknya
i,

dimulai dengan bagian kiri." Sehingga kalimat <uti yang dipertegas

dengan * ^ (Secara keseluruhan), adalah untuk menunjukkan


keumumam, artinya mendahulukan yang kanan berlaku untuk semua
perbuatan.
Dengan adanya penegasan tersebut menutup kemungkinan bahwa
yang dimaksud adalah makna majaz (kiasan). Sehingga mungkin
dikatakan, bahwa hakikat "urusan" adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, sementara perbuatan yang disukai dengan
mendahulukan yang kiri bukanlah perbuatan yang dilakukan secara
sengaja. Bahkan, mungkin merupakan perbuatan yang harus ditinggalkan
atau perbuatan yang tidak ada unsur kesengajaan.
Semua pembicaraan ini dikemukakan atas dasar bahwa riwayat
tersebut menggunakan kata sambung (waw). Sedangkan jika yang
menjadi dasar pembahasan adalah riwayat yang tidak menggunakan kata
sambung, maka perkataannya "Dalam segala urusannya secara
keseluruhan" berkaitan dengan kata *—J**» (menyukai), dan bukan

berkaitan dengan kata j — * 3 (bagian kanan). Artinya, beliau menyukai


dalam segala keadaannya untuk mendahulukan bagian kanan saat
memakai sandal...dan seterusnya. Beliau tidak pernah meninggalkan
perbuatan seperti itu baik saat berada dalam perjalanan maupun tidak,
pada waktu luang maupun di tengah kesibukan.

Ath-Thaibi berkata, kalimat ^ — \ (dalam segala urusannya)

merupakan penjelas kalimat * — ^ — \ (Saat memakai sandal). Lalu dia


menambahkan, "Seakan-akan beliau menyebutkan memakai sandal
karena perbuatan ini berhubungan dengan kaki, beliau menyebutkan

1 1 6 — FATHUL BAARI
menyisir karena perbuatan ini berhubungan dengan kepala dan beliau
menyebutkan bersuci karena perbuatan ini merupakan kunci ibadah.
Dengan demikian, seakan-akan beliau telah menyebutkan semua anggota
badan." Aku katakan, "Dalam riwayat Muslim lafazh "Dalam segala
urusannya secara keseluruhan' disebutkan lebih dahulu daripada kata
'saat memakai sandal... dst'. Inilah yang menjadi landasan penjelasan
Ath-Thaibi."
Semua pembahasan yang kami kemukakan di atas berdasarkan
makna lahir dari konteks kalimat hadits yang disebutkan di tempat ini.
Akan tetapi telah dijelaskan oleh Imam Bukhari pada kitab Ath 'imah
(tentang makanan) melalui riwayat Abdullah bin Mubarak dari Syu'bah,
bahwa Asy'ats menceritakan hadits ini kepada Syu'bah dimana beliau
terkadang hanya menyebutkan lafazh "Dalam segala urusannya secara
keseluruhan", dan terkadang pula hanya menyebutkan lafazh "Saat
memakai sandal....dan seterusnya."
Al Isma'ili menambahkan bahwa Aisyah RA terkadang mencerita-
kan hadits ini secara global, dan terkadang pula menceritakannya secara
terperinci. Atas dasar ini, timbul kesan bahwa yang menjadi dasar
riwayat ini adalah lafazh "Saat memakai sandal, menyisir rambut dan
bersuci". Hal ini diperkuat oleh riwayat Imam Muslim dari jalur Abu Al
Ahwash serta Ibnu Majah dari jalur periwayatan Amru bin Ubaid, yang
mana keduanya (Abu Al Ahwash dan Amru bin Ubaid) meriwayatkan
hadits ini dari Asy'ats. Dalam riwayat ini, lafazh *—IT 4j& ji (Dalam
segala urusannya secara keseluruhan) tidak dicantumkan. Sedangkan
riwayat yang hanya menyebutkan lafazh tersebut, adalah riwayat yang
dinukil dengan makna (riwayat bil ma 'na).
Hadits ini merupakan keterangan yang menjelaskan disukainya
memulai rambut kepala bagian kanan saat menyisir, mandi maupun
mencukur. Tidak boleh dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan ini masuk
kategori menghilangkan sesuatu, sehingga harus dimulai dengan bagian
kiri. Bahkan, semua perbuatan tersebut termasuk ibadah dan berhias.
Pada pembahasan selanjutnya akan dinukil riwayat yang memberi
keterangan untuk memulai bagian kanan saat mencukur rambut.
Hadits ini juga merupakan keterangan disukainya mendahulukan
kaki kanan saat memakai sandal, dan mendahulukan yang kiri saat
melepaskannya. Disukai pula untuk mendahulukan tangan kanan saat

FATHUL BAARI — 117


berwudhu, demikian juga dengan kaki serta disukai mendahulukan badan
bagian kanan saat mandi.
Hadits ini juga dijadikan dalil untuk mendukung pendapat yang
mengatakan disukainya shalat di shaf bagian kanan imam atau bagian
kanan masjid, serta menggunakan tangan kanan ketika makan dan
minum. Imam Bukhari telah menyebutkan hadits ini sehubungan dengan
perbuatan-perbuatan tersebut.
Imam An-Nawawi berkata, "Kaidah syara' senantiasa menyukai
mendahulukan yang kanan dalam hal-hal yang bersifat penghormatan dan
berhias, sementara kebalikan dari yang demikian maka disukai memulai
dengan yang kiri." Beliau berkata pula, "Para ulama telah sepakat bahwa
mendahulukan bagian kanan saat berwudhu adalah sunah. Adapun orang
yang menyelisihinya tidak mendapat keutamaan, meskipun wudhunya
dianggap sempurna." Maksud beliau adalah ulama Ahli Sunnah, karena
ulama madzhab Syi'ah mewajibkan hal tersebut. Dari sini diketahui
kesalahan yang dilakukan oleh Al Murtadha saat menisbatkan pendapat
yang mewajibkan mendahulukan bagian kanan saat wudhu kepada Imam
Syafi'i. Seakan beliau (Al Murtadha) beranggapan bahwa pendapat
seperti ini merupakan konsekuensi pandangan Imam Syafi'i yang
mewajibkan pelaksanaan wudhu secara berurutan (tertib). Akan tetapi
sesungguhnya Imam Syafi'i tidak mewajibkan hal itu pada saat
membasuh tangan dan kaki, sebab kedua tangan maupun kaki dianggap
sebagai satu anggota wudhu, disamping keduanya disebutkan dengan
lafazh jamak (plural) dalam Al Qur'an. Hanya saja yang menjadi
pertanyaan tersendiri bagi para ulama pengikut madzhab Syafi'i, yaitu
pernyataan mereka bahwa air dianggap musta 'mal (bekas dipakai)
apabila berpindah dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Sementara di
sisi lain mereka mengatakan, bahwa air tidaklah dianggap musta 'mal
(bekas dipakai) selama belum berpisah dari satu anggota wudhu. Adapun
dalil yang mereka pergunakan untuk mendukung pendapat wajibnya
melakukan perbuatan wudhu secara berurutan (tertib), karena tidak
seorang pun perawi tentang sifat wudhu Nabi S A W yang menyebutkan
bahwa beliau pernah berwudhu dengan tidak berurutan (tertib),
sebagaimana tidak seorang pun yang meriwayatkan bahwa beliau pernah
mendahulukan yang kiri atas yang kanan (dalam berwudhu). Dalam kitab
Al Bayan oleh Al Umrani serta kitab At-Tajrid oleh Al Bandaniji
disebutkan, bahwa pendapat yang mewajibkan pelaksanaan wudhu secara

1 1 8 — FATHUL BAARI
berurutan (tertib) merupakan pandangan para ahli fikih yang tujuh
(fuqaha sab'ah). Namun pada dasarnya pernyataan ini adalah suatu
kekeliruan dalam penyalinan naskah, sebab sesungguhnya yang
dimaksud adalah ahli fikih Syi'ah bukan sab'ah.
Pada perkataan Ar-Rafi'i terdapat keterangan yang mengindikasi-
kan bahwa Ahmad mewajibkan pula hal tersebut, akan tetapi pendapat
demikian tidak dikenal dari beliau. Bahkan Syaikh Al Muwaffiq (Ibnu
Qudamah) berkata dalam kitab Al Mughni, "Kami tidak mengetahui
adanya perbedaan mengenai tidak wajibnya perbuatan ini."

32. Mencari Air Ketika Waktu Shalat Tiba

f i 'i " / a f a " * ' 3


f* ' J * 3 ' "

JJ-i-jj tuJl ^r..*,ZaJl oj^&>- AJLSIP cJlij


Aisyah berkata, "ketika waktu shubuh telah tiba, maka airpun
dicari namun tidak ditemukan. Akhirnya, turunlah syariat tayammum."

a*>Co C J I 0 fiil Jj~*j c J l j i Jli iii dJJC» j ! ^jS\

Jl ^«.1 Jl y>lj aib j.b y I liJJi rs


AJJI J J ^ - J j.J-^JJ.

• *. ' i S
' i ' f o a ; <
. ^ ' , ° .1 ' i ' •» ° . i ' "

o — o o
•r*^' ^ J ^
169. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwasanya ia
berkata, 'Aku pernah melihat Rasulullah SAW, saat itu waktu
shalat ashar telah masuk, maka orang-orang mencari air wudhu
namun mereka tidak menemukannya. Lalu didatangkan kepada
Rasulullah SAW satu wadah, maka Rasulullah SAW meletakkan
tangannya di bejana tersebut seraya memerintahkan kepada

FATHUL BAARI — 119


manusia untuk berwudhu dari bejana itu. Anas berkata, 'Aku
melihat air memancar dari bawah jari-jari tangannya, hingga
orang yang paling akhir di antara mereka berwudhu dengan air
itu.

Keterangan Hadits:

i—ij'tp cJl—Sj (Aisyah berkata). Ini adalah penggalan dari hadits


beliau sehubungan dengan kisah turunnya ayat tayammum seperti yang
akan disebutkan pada kitab Tayammum, insya Allah. Lafazh yang beliau
(Imam Bukhari) sebutkan di sini adalah riwayat Amru bin Al Harits dari
Abdurrahman bin Al Qasim dari bapaknya dari Aisyah, dan riwayat ini
beliau sebutkan berikut silsilah periwayatannya saat menafsirkan surah
Al Maa' idah. Ibnu Munir berkata, "Maksud Imam Bukhari menyebutkan
bab ini adalah untuk memberi keterangan sekaligus mengemukakan dalil
tentang tidak wajibnya mencari air untuk bersuci sebelum waktu shalat
tiba. Sebab Nabi SAW tidak mengingkari perbuatan para sahabat yang
mengakhirkan mencari air hingga waktu shalat tiba, dan ini menunjukkan
bahwa hal itu diperbolehkan."
* y , * » 9
* f ' t'
j»J—J j 4—llp 4—Ul u» 4 Ut J ^Jli (Lalu didatangkan kepada
Rasulullah SA W). Pada riwayat yang dinukil melalui Qatadah dijelaskan
oleh Imam Bukhari bahwa peristiwa ini terjadi di Az-Zaura', yakni di
pasar kota Madinah.

t j—'•*>'}>. (Satu wadah), maksudnya sebuah bejana yang berisi air


untuk dipakai berwudhu. Dalam riwayat Ibnu Al Mubarak disebutkan,
"Maka seorang laki-laki datang sambil membawa ember berisi sedikit air,
ember tersebut terlalu sempit bagi Nabi untuk merenggangkan tangannya.
Akhirnya, beliau menggenggam jari-jarinya". Sama seperti ini riwayat
yang dinukil oleh Humaid seperti yang akan disebutkan pada bab
"Berwudhu dari bejana yang biasa dipakai untuk mencuci pakaian".

fwCoi cJ*i 'j» (Air memancar dari bawah jari-jari tangannya).


Pembahasan selengkapnya mengenai masalah ini akan disebutkan pada
bab Tanda-tanda Kenabian, insya Allah Ta 'ala.

1 2 0 — FATHUL BAARI
^_»yT xs. j» \j£e'J (Hingga orang yang paling akhir di antara
mereka pun berwudhu). Al Karmani berkata yang maksudnya adalah
sebagai berikut, "Orang-orang pun berwudhu hingga orang yang terakhir
di antara mereka. Artinya mereka semua berwudhu." Sementara Al Taimi
mengatakan, "Maksudnya bahwa orang-orang tersebut telah berwudhu
hingga sampailah giliran yang terakhir di antara mereka."
Dalam hadits di atas terdapat keterangan bahwa memberi bantuan
berupa air termasuk hal yang disyariatkan saat kondisi mendesak
(darurat), yakni bagi mereka yang memiliki kelebihan air wudhu. Hadits
ini juga merupakan dalil bahwa seseorang yang berwudhu bila menciduk
air dalam jumlah sedikit dengan tangannya tidak mengubah status air
tersebut menjadi musta'mal (bekas dipakai). Selanjutnya Imam Syafi'i
berpegang dengan hadits ini untuk menguatkan pendapatnya yang
mengatakan bahwa perintah mencuci tangan sebelum memasukkannya ke
dalam bejana hanyalah memiliki indikasi sunah bukan wajib.

Catatan penting:
Ibnu Baththal berkata, "Hadits ini -yakni tentang memancarnya air
dari jari-jari beliau- telah disaksikan oleh sekelompok besar sahabat
Nabi. Akan tetapi peristiwa tersebut tidaklah diriwayatkan kecuali
melalui Anas. Hal ini karena usia beliau yang panjang serta adanya usaha
manusia agar mendapatkan silsilah periwayatan yang lebih dekat kepada
sumber utamanya." Akan tetapi Qadhi Iyadh mengatakan, "Hadits ini
telah diriwayatkan oleh para perawi dalam jumlah yang banyak, dimana
mereka adalah para perawi tsiqah (terpercaya) yang telah menerima
hadits ini dari sejumlah sahabat. Bahkan, tidak dinukil satu berita bahwa
ada salah seorang di antara sahabat yang mengingkari peristiwa ini.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi jika hal ini termasuk salah satu di
antara mukjizat beliau SAW." Perhatikanlah, bagaimana perbedaan
antara kedua perkataan di atas, dan kami akan membahas secara
mendetail mengenai masalah ini pada bab Tanda-tanda Kenabian, insya
Allah.

FATHUL BAARI — 121


33. Air yang Dipakai Mencuci Rambut Manusia

Jl J^lj b j jsJl Js^JL j l L-l; 4J V f-UaP jlT J

' y yy y i } y yy O + ' ' ^ 0

J j ^ I ) frU'l ^ ^Jj \ i [ :<J y \ " y \ J l i j . J b s J L U l ^ I A ^ J . J t_^!AxJI

9 ' '' , * ' l O' f' ' ' ' ' ' ' t ' " 1$ 1 11 * t »' * f '

j, L») ^ J > * i * ~ s * * \ jLil- Jli J .4j U t f ^ l i a jJr f. yj> J


. „ l' •* . t ' ' * ' ' . ' ' *

t i '" ti'" o 'x to i. . ' .' f i ", ' f c

Atha' berpendapat bahwa rambut yang dijadikan benang atau tali


adalah tidak mengapa hukumnya. Begitu juga air sisa jilatan anjing serta
tempat lewat anjing-anjing tersebut dalam masjid. Zuhri berkata, "Jika
anjing menjilat air di suatu bejana lalu tidak ada air selain yang ada
dalam bejana tersebut, maka air tersebut boleh dipakai berwudhu."
Sementara Sufyan berkata, "Ini adalah fikih (pemahaman) yang
sebenarnya, Allah telah berfirman, 'dan kamu tidak menemukan air maka
bertayamumlah.''" (Qs. Al Maa'idah (5): 6) sementara ini adalah air.
Namun masih ada ganjalan dalam hatiku mengenai hal itu. Hendaklah
orang itu berwudhu dengan air tersebut lalu bertayammum."

Keterangan Hadits:
"Air..." Yakni bab tentang hukum air bekas mencuci rambut
manusia. Di sini Imam Bukhari memberi isyarat bahwa hukum air
tersebut adalah suci, karena rambut seseorang yang sedang mandi
terkadang jatuh ke dalam air yang ia pakai. Andaikata rambut itu najis,
niscaya air tersebut akan berubah menjadi najis setelah bersentuhan
dengan rambut. Sementara tidak dinukil bahwa Nabi SAW berusaha
untuk menghindari yang demikian itu saat beliau mandi (wajib). Bahkan,
menjadi kebiasaan beliau untuk menyela-nyela rambut kepala dengan
jari-jari tangannya sebagaimana yang akan diterangkan. Padahal
umumnya perbuatan ini dapat menyebabkan jatuhnya beberapa helai
rambut ke dalam tempat mandi, maka hal ini merupakan bukti
kesuciannya. Pendapat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

1 2 2 — FATHUL BAARI
Demikian pula pendapat Imam Syafi'i yang lama, dan beliau
sebutkan pula secara mendalam pendapatnya yang baru. Lalu pendapat
tersebut disetujui oleh sejumlah pengikutnya, yakni mereka yang
mengikuti cara yang ditempuh oleh ulama Khurasan. Di pihak lain
terdapat juga sejumlah ulama yang lebih memilih pendapat yang
mengatakan bahwa air yang kejatuhan rambut adalah najis hukumnya,
mereka ini mengikuti cara yang ditempuh oleh ulama Irak.
Imam Bukhari mendasari pendapatnya tentang sucinya air yang
kejatuhan rambut manusia dengan hadits yang dinukil langsung dari Nabi
SAW. Namun pendapat beliau itu dikritik dari sisi bahwa rambut Nabi
SAW adalah mulia, maka tidak boleh dianalogikan dengan rambut
manusia selain beliau. Akan tetapi kritikan ini dibantah oleh Ibnu
Mundzir dan Al Khaththabi serta lainnya, dimana mereka mengatakan
bahwa suatu hukum yang khusus bagi Nabi tidak dapat ditetapkan
melainkan bila ada dalil yang menunjukkan hal itu, sebab pada dasarnya
semua hukum berlaku bagi Nabi dan selainnya.

Mereka mengatakan pula, "Menjadi konsekuensi orang yang


berpendapat seperti di atas untuk tidak menjadikan perbuatan Aisyah RA
yang menghilangkan air mani dari pakaian nabi, sebagai alasan akan
sucinya air mani. Karena bisa saja dikatakan bahwa air mani beliau suci
dan tidak dapat dianalogikan dengan air mani orang lain."
Adapun yang benar adalah, hukum yang berlaku bagi beliau juga
berlaku bagi semua umatnya yang telah memenuhi syarat dibebani
kewajiban syariat, kecuali perkara-perkara yang dinyatakan dalam dalil
berlaku khusus bagi beliau SAW. Telah dinukil sejumlah riwayat yang
menyatakan bahwa kotoran beliau adalah suci, namun para imam
memasukkan hal ini dalam klasifikasi hukum yang berlaku khusus bagi
Nabi.
Untuk itu tidak boleh menggubris pernyataan-pernyataan yang
tertuang dalam kitab-kitab ulama madzhab Syafi'i yang menyelisihi
pandangan para imam di atas, sebab telah menjadi ketetapan di kalangan
para pemuka madzhab mereka akan sucinya air yang kejatuhan rambut
manusia.
Adapun mengenai rambut hewan yang tidak dimakan dagingnya
telah diperselisihkan oleh para ulama. Perselisihan ini sendiri kembali
kepada perbedaan pandangan mereka mengenai rambut hewan tersebut,

FATHUL BAARI — 123


apakah merupakan bagian yang hidup sehingga berubah menjadi najis
bila telah mati atau tidak? Madzhab Syafi'i, berpendapat bahwa rambut
berubah menjadi najis setelah hewan tersebut mati. Sementara mayoritas
ulama lainnya memilih pendapat yang berbeda. Sehubungan dengan ini,
Ibnu Mundzir melegitimasi pendapat yang menyatakan bahwa rambut
tidak termasuk bagian yang hidup sehingga tidak berubah menjadi najis
karena proses kematian dan tidak pula karena terpisah dari hewan itu
sendiri di saat ia masih hidup. Legitimasi ini dinukil dengan adanya
kesepakatan di kalangan ulama, bahwa bulu hewan hidup yang terpisah
darinya maka hukumnya adalah suci. Sedangkan jika yang terpisah itu
adalah bagian-bagian badannya yang lain, maka hukumnya najis.
Kesepakatan ulama ini menunjukkan adanya perbedaan hukum antara
bulu hewan dengan bagian-bagian badannya yang lain, serta
mengindikasikan adanya persamaan antara bulu hewan yang telah mati
dengan bulu yang terpisah dari hewan yang masih hidup, wallahu a 'lam.

Al Baghawi berkata dalam kitab Syarh Sunnah saat membahas


sabda Nabi SAW mengenai kambing milik Maimunah, "Sesungguhnya
yang diharamkan adalah memakannya", bahwa sabda Nabi SAW ini
menjadi dalil (landasan argumentasi) bahwa selain yang dimakan dari
bagian-bagian bangkai tidaklah diharamkan untuk dimanfaatkan."
Adapun mengenai pembahasan hukum bulu bangkai dan tulangnya akan
dijelaskan pada bab tersendiri, insya Allah.

«•I Sap ol—S"j (Atha' berpendapat). Berita yang tanpa silsilah


periwayatan ini telah dinukil oleh Muhammad bin Ishaq Al Fakihi dalam
kitab Akhbar Makkah, dengan silsilah periwayatan yang shahih sampai
kepada Atha' bin Abu Rabah, dimana dikatakan bahwa beliau
berpendapat tidak mengapa untuk memanfaatkan rambut manusia yang
dicukur saat di Mina.

jj—'j (Air sisa jilatan anjing) Maksudnya adalah bab


tentang air sisa jilatan anjing, yakni apakah hukumnya? Yang dapat
dipahami dari kebiasaan Imam Bukhari jika mengeluarkan pernyataan
seperti ini, berarti beliau berpendapat air tersebut adalah suci. Lalu pada
sebagian naskah setelah perkataannya "Dalam masjid", terdapat tam-
bahan "Dan (sisa) makanannya".

1 2 4 — FATHUL BAARI
S j—ajJ'J'—*j (Zuhri berkata, "Jika anjing menjilat air di suatu
bejana. "). Dalam bab ini Imam Bukhari telah mengumpulkan dua
persoalan sekaligus, yaitu hukum rambut manusia dan hukum air sisa
jilatan anjing. Beliau menyebutkan judul bab persoalan pertama disertai
berita dari generasi terdahulu mengenai hal itu, lalu diiringi dengan
persoalan berikutnya disertai pula kutipan berita dari generasi terdahulu
dalam masalah yang dimaksud. Setelah itu beliau kembali lagi kepada
persoalan pertama dengan menyebutkan hadits yang diriwayatkan
langsung dari Nabi SAW, dan seterusnya beliau menuturkan dalil-dalil
persoalan kedua.

Adapun perkataan Zuhri yang beliau (Imam Bukhari) kutip di


tempat ini telah diriwayatkan oleh Al Walid bin Muslim dalam kitabnya
Al Mushannaf dari Al Auza'i dan lainnya, yang dikatakan, "Aku
mendengar Zuhri (ditanya) tentang bejana yang dijilat anjing lalu tidak
ditemukan air selain yang ada di bejana tersebut, maka beliau berkata,
'Boleh berwudhu dengan air tersebut."' Riwayat ini disebutkan pula oleh
Ibnu Abdil Barr dalam kitab At-Tamhid dengan silsilah periwayatan yang
shahih.

oCa—1* Jl—s (Sufyan berkata). Pertama kali dipahami bahwa yang


dimaksud adalah Sufyan bin Uyainah, karena beliau yang terkenal
banyak meriwayatkan hadits dari Zuhri. Namun, kenyataannya yang
dimaksud adalah Sufyan Ats-Tsauri. Hal itu diketahui dari perkataan Al
Walid bin Muslim setelah menyebutkan pernyataan Az-Zuhri di atas,
"Maka aku menceritakan perkataan Az-Zuhri kepada Sufyan Ats-Tsauri,
dan ia pun berkata, 'Demi Allah, ini adalah fikih (pemahaman) yang
sebenarnya... dst.'" Lalu setelah menyebutkan perkataan Sufyan 'Namun
masih ada ganjalan dalam hatiku mengenai hal itu,' beliau menambah-
kan, "Aku berpendapat agar orang itu berwudhu dengan air tersebut lalu
bertayammum."

Di sini Ats-Tsauri menyebut cara menetapkan hukum berdasarkan


keumuman suatu dalil sebagai fikih, dan ini tercakup dalam firman-Nya,
"Dan kamu tidak menemukan air". Sebab kata (Air) dalam firman
Allah tersebut adalah nakirah (indefinit) dalam bentuk kalimat nafyi
(negatif), yang mana konteks kalimat seperti ini dalam bahasa Arab
memiliki kandungan makna yang bersifat umum dan tidak terbatas,
kecuali ada dalil yang menunjukkan pembatasan tersebut. Padahal,

FATHUL BAARI — 125


najisnya air karena jilatan anjing bukanlah perkara yang disepakati
ulama. Kemudian dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau (Az-
Zuhri) menambahkan agar orang yang menggunakan air sisa jilatan
anjing melakukan tayamum sebagai sikap hati-hati.
Al Isma'ili berkata dalam menanggapi perkataan Az-Zuhri di atas,
"Sesungguhnya pernyataan beliau yang mensyaratkan bahwa air tersebut
baru dapat dipakai jika tidak ada lagi air yang lain, justeru merupakan
bukti akan najisnya air sisa jilatan anjing. Karena pada dasarnya apabila
air itu suci, tentu bisa saja dipakai berwudhu meskipun ada air yang lain."
Sebagai jawaban atas tanggapan ini saya katakan, "Maksud
persyaratan tersebut adalah mempergunakan air yang tidak diperselisih-
kan lagi mengenai kesuciannya jauh lebih utama daripada memperguna-
kan air sisa jilatan anjing. Sedangkan jika tidak ada lagi air yang lain,
maka tidak boleh bagi seseorang bertayammum selama air sisa jilatan
anjing itu masih ada. Hal itu apabila ia meyakini kesucian air tersebut."

Adapun fatwa Sufyan Ats-Tsauri agar seseorang bertayammum


setelah selesai berwudhu dengan menggunakan air sisa jilatan anjing,
adalah karena beliau beranggapan bahwa air sisa jilatan anjing diragukan
statusnya dan diperselisihkan kesuciannya, maka iapun menempuh
langkah lebih berhati-hati untuk ibadah. Lalu perkataan Sufyan
ditanggapi dengan mengatakan, "Setelah memakai air sisa jilatan anjing,
maka badan seseorang menjadi suci tanpa diragukan lagi. Lalu dengan
adanya anjuran untuk tayammum menunjukkan keraguan dalam
kesuciannya." Oleh sebab itu, sebagian ulama mengatakan langkah yang
paling utama adalah membuang air sisa jilatan anjing, kemudian
bertayammum, wallahu a'lam.

Catatan Penting
Dalam riwayat Abu Al Hasan Al Qabisi dari Abu Zaid Al Marwazi
disebutkan bahwa Sufyan berkata, Allah berfirman, t & \y*J Oi» (Maka
apabila kamu tidak menemukan air) Demikian pula lafazh yang
diriwayatkan oleh Abu N u ' a i m dalam kitab Al Mustakhraj 'ala Shahih Al
Bukhari. Sementara pada jalur-jalur periwayatan yang lain dicantum-
kan, *l—i ijisJ jU» (Dan kamu tidak menemukan air) Inilah lafazh yang
sesuai dengan yang termaktub dalam Al Qur"an.

1 2 6 — FATHUL BAARI
Al Qabisi berkata, "Lafazh (Maka apabila kamu tidak menemukan
air) termaktub dalam kitab Al Ahkam oleh Al Isma'ili Al Qadhi dari
Sufyan Ats-Tsauri. Hanya saja Al Isma'ili berkata, 'Aku tidak mengenal
seorang pun yang membaca ayat tersebut demikian.'" Aku (Ibnu Hajar)
katakan, "Ada kemungkinan Ats-Tsauri meriwayatkan makna ayat
tersebut dan beliau memiliki pandangan bolehnya perbuatan seperti itu."
Seakan-akan hal ini yang menjadi landasan Imam Bukhari sehingga
beliau memberi judul dengan lafazh seperti itu pada salah satu bab dalam
kitab At-Tayammum, seperti yang akan disebutkan.

FATHUL BAARI — 127


-f
4.
t J o^
1 1
J*

1 7 0 . Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, ia berkata, "Aku berkata


kepada Abidah, 'Kami memiliki rambut Nabi SAW yang kami
dapatkan dari Anas -atau dari keluarga Anas'Abidah berkata,
'Sesungguhnya memiliki sehelai rambut beliau lebih aku sukai
daripada dunia dan segala isinya.'"

171. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin dari Anas bahwa Nabi SAW
ketika mencukur rambutnya, maka saat itu Abu Thalhah pertama
kali mengambil rambut beliau.

Keterangan Hadits:
Ibnu Sirin namanya adalah Muhammad, sedangkan Abidah adalah
Ibnu Umar As-Salmani salah seorang pemuka tabi'in yang memeluk
Islam di masa Nabi, namun tidak sempat bertemu beliau. Abidah masuk
Islam dua tahun sebelum wafatnya Nabi.

«t—'±~e>\ (Yang kami dapatkan), maksudnya mereka memperoleh


rambut tersebut dari Anas bin Malik. Adapun maksud Imam Bukhari
menyebutkan riwayat ini adalah untuk memberi keterangan bahwa
rambut Nabi yang didapatkan Thalhah -seperti disebutkan pada hadits
no. 171 di atas- tetap disimpan oleh keluarganya hingga sampai ke tangan
para mantan budak keluarga tersebut, sebab Ibnu Sirin adalah mantan
budak Anas bin Malik, sementara Anas adalah anak tiri Abu Thalhah.

128 FATHUL BAARI


Adapun konteks riwayat ini dengan judul bab adalah, bahwa
hukum rambut adalah suci. Sebab jika tidak demikian, tentu mereka tidak
akan menyimpannya dan Abidah tidak akan berharap untuk memiliki
rambut beliau meski hanya sehelai. Apabila hukum rambut suci, maka air
yang bersentuhan dengannya juga suci hukumnya.

j—^-'—«J (Ketika mencukur rambutnya), maksudnya beliau SAW


memerintahkan tukang cukur untuk melakukan hal itu. Adapun
penyandaran perbuatan itu kepada diri beliau hanyalah sebagai bentuk
majaz saja. Peristiwa ini terjadi pada saat pelaksanaan haji Wada',
sebagaimana yang akan kami terangkan.

i j j j ? jf\ olT (Maka saat itu Abu Thalhah), maksudnya Abu Thalhah
Al Anshari, suami Ummu Sulaim (ibu Anas bin Malik). Hadits ini telah
diriwayatkan oleh Abu Awanah dalam kitab Shahih-nya melalui riwayat
Sa'id bin Sulaiman, dimana riwayat beliau lebih jelas daripada riwayat
yang diketengahkan oleh Muhammad bin Abdurrahim. Berikut ini
riwayat Sa'id bin Sulaiman, "Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan
tukang cukur untuk mencukur rambutnya, lalu beliau memberikan
rambut kepalanya bagian kanan kepada Abu Thalhah, sedangkan rambut
kepala bagian kiri beliau SAW perintahkan untuk dibagi-bagikan di
antara manusia."

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari Ibnu Uyainah
dari Hisyam bin Hisan dari Ibnu Sirin dengan lafazh, "Ketika (beliau
SAW) selesai melontar jumrah dan menyembelih hewan, maka tukang
cukur mencukur rambut kepalanya bagian kanan. Lalu beliau SAW
memanggil Abu Thalhah kemudian memberikan rambut tersebut
kepadanya. Setelah itu tukang cukur kembali mencukur rambut kepala
bagian kiri, lalu beliau memberikan rambut tersebut kepada Thalhah
untuk dibagi-bagikan di antara manusia."

Masih dalam riwayat Muslim disebutkan pula dari Hafsh bin


Ghiyats dari Hisyam, bahwasanya beliau SAW membagikan rambut
kepala bagian kanan kepada orang-orang yang ada di dekatnya.
Sementara dalam salah satu lafazh disebutkan, "Beliau membagikan
rambutnya kepada manusia, dimana salah seorang di antara mereka ada
yang mendapat sehelai atau dua helai rambut. Lalu beliau memberikan
rambut kepala bagian kiri kepada Ummu Sulaim." Dalam lafazh yang
lain lagi dikatakan, "kepada Abu Thalhah."

FATHUL BAARI — 129


Riwayat-riwayat di atas tidak saling kontradiksi, bahkan semua
riwayat tersebut mungkin untuk dikompromikan, yakni dengan
mengatakan bahwa beliau SAW memberikan seluruh rambut kepalanya
(baik bagian yang kanan maupun yang kiri) kepada Thalhah. Adapun
rambut bagian kanannya, dibagi-bagikan oleh Abu Thalhah kepada
manusia atas perintah langsung dari beliau SAW. Sementara rambut
bagian kiri diberikan oleh Abu Thalhah kepada isterinya Ummu Sulaim,
juga atas perintah Nabi.
Pada salah satu riwayat Imam Ahmad ditemukan tambahan
keterangan, "Agar ia (Ummu Sulaim) menyimpan rambut tersebut di
tempat harum-haruman." Atas dasar ini, maka kata ganti " n y a " y a n g
disebutkan dalam riwayat Abu Awanah, "Dia membagikannya" yaitu
rambut kepala bagian kanan. Demikian pula dengan kata ganti " i a " p a d a
sabda beliau dalam riwayat Ibnu Uyainah yang berbunyi, "Bagikanlah ia
di antara manusia."

Imam An-Nawawi berkata. "Dalam hadits ini terdapat keterangan


disukainya mendahulukan mencukur rambut kepala bagian kanan
menurut jumhur ulama, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Hadits
ini juga merupakan dalil tentang sucinya rambut manusia seperti yang
dikatakan oleh jumhur ulama, dan itu pula pendapat yang benar dalam
madzhab kami (Syafi'iyah). Terdapat pula penjelasan kebolehan tabarruk
(mencari berkah) dengan rambut beliau dan menyimpannya. Di samping
itu, hadits ini menunjukkan disukainya memberi santunan kepada sesama
teman dalam bentuk pemberian maupun hadiah. Aku (Ibnu Hajar)
katakan, "Hadits ini menjelaskan bahwa santunan yang diberikan kepada
teman-teman tidak mesti sama ukurannya" Selanjutnya hadits ini memuat
pula keterangan bolehnya melebihkan bagian seseorang yang melakukan
tugas tertentu atas orang lain."
Beliau (Imam An-Nawawi) menambahkan, "Para ulama berbeda
pendapat mengenai nama orang yang mencukur beliau SAW saat itu, dan
yang benar orang itu adalah Ma'mar bin Abdullah, sebagaimana yang
dikatakan oleh Bukhari. Pendapat lain mengatakan, orang itu adalah
Kharasy bin Umayyah." Demikian kutipan dari An-Nawawi. Tapi yang
tepat, Kharasy adalah orang yang mencukur rambut beliau SAW saat
berada di Hudaibiyah, wallahu a 'lam.

1 3 0 — FATHUL BAARI
Dalam naskah Imam Bukhari yang dinukil dari Ibnu Asakir,
sebelum menyebutkan hadits berikut, tercantum satu bab dengan judul
"Apabila anjing minum dalam bejana".

^ Q S O y y y y

*_JL^Jl u j - i ISI : J l i H *M J y j 01 : Jl» ^ o*

. u l i - AJLJLJJ ^ « . L * !

172. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, "Sesungguhnya


Rasulullah SAW bersabda, Apabila anjing minum di bejana salah
seorang di antara kamu, hendaklah ia mencucinya tujuh kali."'

Keterangan Hadits:

v>jli lit (apabila anjing minum) demikian yang terdapat dalam


kitab Al Muwaththa\ sementara yang masyhur dari Abu Hurairah melalui
riwayat mayoritas perawi adalah dengan lafazh £Jj bj (Apabila anjing
menjilat). Inilah lafazh yang masyhur dari segi bahasa.

Apabila dikatakan £_JJ-£!J berarti anjing minum air dengan ujung


lidahnya, atau memasukkan lidahnya ke dalam air dan menggerak-
gerakkannya. Tsa'lab berkata, "Makna kata jJj adalah memasukkan lidah
ke dalam air ataupun zat cair lainnya, lalu lidah tersebut digerak-
gerakkan." Ibnu Darastawaih menambahkan, "Baik ia minum atau tidak."
Ibnu Makki berkata, "Jika menjilat pada selain zat cair, maka dinamakan
J «J." Kemudian Al Mathrazi mengatakan, bahwa jika jilatan itu

dilakukan pada wadah yang kosong maka dinamakan J-^i.

Ibnu Abdul Barr mengklaim bahwa lafazh o_pi (meminum) tidak


diriwayatkan selain Malik, dan perawi-perawi lain menukil hadits ini
dengan lafazh jJj (Menjilat). Akan tetapi kenyataan tidaklah seperti yang
beliau katakan, sebab telah diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Mundzir melalui dua jalur periwayatan dari Hisyam bin Hisan dari Ibnu

FATHUL BAARI — 131


Sirin dari Abu Hurairah, dengan lafazh, ^ p > iij (Apabila anjing minum).
Akan tetapi yang masyhur dinukil dari Hisyam bin Hisan adalah dengan
lafazh, £—!j lii (Apabila anjing menjilat) sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Muslim dan lainnya melalui berbagai jalur periwayatan dari beliau
(Hisyam). Telah diriwayatkan oleh Abu Zinad (salah seorang guru Imam
Malik) dengan lafazh, <->j—i lij (Apabila anjing minum), demikian pula
Warqa' bin Umar sebagaimana yang dikutip oleh Al Jawazqi. Begitu juga
yang diriwayatkan melalui Al Mughirah bin Abdurrahman, seperti
dikutip oleh Abu Ya'la.
Perlu diketahui, bahwa Imam Malik meriwayatkandengan lafazh,
£_!j (Apabila anjing menjilat) sebagaimana yang dikutip oleh Abu
Ubaid dalam kitab beliau yang berjudul Ath-Thaharah melalui jalur
periwayatan Isma'il bin Umar, dan dari jalur ini pula hadits ini dinukil
oleh Al Isma'ili. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni
dalam kitabnya Al Muwathaat melalui jalur periwayatan Abu Ali Al
Hanafi dari Malik, terdapat dalam Naskah Sunan Ibnu Majah yang
otentik (shahih) melalui riwayat Ruh bin Ubadah dari Malik. Dari sini
diketahui bahwa seakan-akan Abu Zinad meriwayatkan dengan dua
lafazh tersebut, karena makna keduanya sangatlah mirip. Hanya saja «-r'r*

(meminum) memiliki makna yang lebih khusus daripada j l j (menjilat),


oleh sebab itu kata "meminum" tidak dapat menggantikan fungsi kata
"menjilat."

Makna implisit (tersirat) dari kata j—lj memberi indikasi, bahwa


hukum ini hanya terbatas apabila anjing itu memasukkan lidahnya ke
dalam bejana berisi air dan menggerak-gerakkannya. Namun apabila
dikatakan bahwa perintah untuk mencuci bejana tersebut karena
tercemari najis, maka tentu hukum pun berlaku apabila anjing menjilat
tempat kering (j—*J) maupun menjilat bejana dalam keadaan kosong

Cj-—?<J). Sehingga, penggunaan kata j—Jj hanyalah karena lafazh ini


merupakan fenomena yang umum.
Adapun mengenai masalah apakah bagian badan anjing yang
lainnya memiliki hukum yang sama dengan mulutnya? Menurut pendapat
yang tertera dalam teks madzhab menyatakan, bahwa hukumnya adalah

1 3 2 — FATHUL BAARI
sama. Alasannya karena mulut adalah sesuatu yang paling mulia pada
dirinya, maka tentu bagian-bagian badannya selain mulut kedudukannya
di bawah derajat mulut.
Namun dalam madzhab Imam Syafi'i yang lama disebutkan,
bahwa hukum seperti itu hanya berlaku bagi mulut anjing dan tidak
mencakup bagian-bagian badannya yang lain. Maka sehubungan dengan
itu Imam An-Nawawi berkata dalam kitab Ar-Raudhah, "Ini adalah
pandangan yang ganjil (syadz)" Sementara dalam Syarh Al Muhadzab
dikatakan, "Pandangan tersebut sangat kuat dari segi dalil. Sementara
alasan yang dikemukakan bahwa mulut merupakan bagian paling mulia
pada anjing tidak dapat diterapkan sepenuhnya, sebab mulut ini kadang
dipergunakan untuk memakan najis."

j,—To^-l t\—i] ^—i (Di bejana salah seorang di antara kamu) Secara
lahiriah hal ini berlaku umum pada semua bejana, dan secara implisit ia
tidak mencakup air yang tergenang. Kesimpulan ini berlaku mutlak
(tanpa batasan) menurut Al Auza'i. Namun sekali lagi jika dikatakan
bahwa perintah untuk mencuci bejana disebabkan tercemar najis, maka
hukum tersebut berlaku pada air yang sedikit dan tidak mencakup air
yang banyak. Sedangkan penyandaran bejana itu kepada seseorang tidak
berpengaruh dalam menetapkan hukum, sebab hukum itu tetap berlaku
meski bejana itu tidak ada pemiliknya. Demikian pula sabda beliau,
"Hendaklah ia mencucinya", tidak berarti bahwa yang mesti mencuci
adalah pemilik bejana itu sendiri.

Kemudian ditambahkan oleh Imam Muslim dan An-Nasa'i dari


jalur periwayatan Ali bin Mushir dari Al A'masy dari Abu Shalih dan
Abu Razin, dari Abu Hurairah sehubungan dengan hadits ini, "Hendaklah
ia menumpahkan air tersebut". Ini memperkuat pendapat bahwa perintah
untuk mencuci adalah karena bejana tersebut telah tercemar oleh najis,
dimana sesuatu yang ditumpahkan bisa saja berupa makanan ataupun
minuman. Maka seandainya bekas jilatan anjing itu suci, tentu tidak
diperintahkan untuk ditumpahkan karena adanya larangan untuk tidak
menyia-nyiakan harta.

Hanya saja Imam An-Nasa'i berkata, "Aku tidak tahu ada perawi
lain yang menukil lafazh 'Hendaklah ia tumpahkan' kecuali Ali bin
Mushir." Lalu Hamzah Al Kannani berkata, "Sesungguhnya riwayat Ali
ini menyelisihi riwayat orang-orang yang lebih tsiqah (terpercaya)

FATHUL BAARI — 133


darinya."' Ibnu Abdul Barr menambahkan, "Para perawi terkemuka di
antara murid-murid A'masy seperti Mu'awiyah dan Syu'bah tidak pernah
menukil lafazh seperti itu." Demikian pula Ibnu Mandah berkata, "Lafazh
seperti itu tidak dikenal diriwayatkan dari Nabi SAW kecuali melalui
jalur periwayatan Ali bin Mushir."
Aku Katakan, "Perintah untuk menumpahkan sisa jilatan anjing
telah dinukil pula melalui riwayat Atho' dari Abu Hurairah dari Nabi
SAW, seperti dikutip oleh Ibnu Adji. Akan tetapi penisbatan riwayat
tersebut langsung kepada Nabi masih perlu dianalisa lebih lanjut, bahkan
yang benar silsilah periwayatannya hanya sampai kepada Abu Hurairah.
Demikian pula perintah untuk menumpahkan sisa jilatan anjing telah
disebutkan oleh Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Ibnu Sirin dari Abu
Hurairah, dimana silsilah periwayatannya menduduki derajat shahih.
Riwayat ini disebutkan oleh Ad-Daruquthni serta para pakar hadits
lainnya."

«d ~«-AJ (Hendaklah ia mencucinya) perintah ini berindikasi untuk


dilaksanakan secepatnya, namun mayoritas ulama berpendapat bahwa hal
itu hanyalah berstatus disukai (mustahab).

£—-> (Tujuh kali). Dalam riwayat Imam Malik tidak disebutkan


masalah mencampur air dengan tanah pada salah satu di antara ketujuh
pencucian tersebut. Masalah ini juga tidak diriwayatkan oleh para perawi
yang menerima hadits ini dari Abu Hurairah kecuali riwayat yang dinukil
melalui jalur Ibnu Sirin, bahkan sebagian perawi yang menerima hadits
ini dari beliau juga tidak mencantumkan masalah yang dimaksud.
Selanjutnya para perawi yang menerima hadits tersebut dari Ibnu
Sirin berbeda dalam menentukan manakah di antara ketujuh pencucian
itu yang dicampur dengan tanah. Imam Muslim dan selain beliau
meriwayatkan dari jalur Hisyam bin Hisan dari Ibnu Sirin bahwa pada
pencucian pertamalah yang dicampur dengan tanah. Inilah versi yang
paling banyak dinukil oleh para perawi dari Ibnu Sirin, yang juga dinukil
oleh Abu Rafi'.
Kemudian terjadi kontroversi di antara para perawi yang menerima
hadits tersebut melalui jalur Qatadah dari Ibnu Sirin. Sa'id bin Basyir
menyebutkan dalam riwayatnya dari Qatadah dari Ibnu Sirin, bahwa
pencucian yang dicampur dengan tanah adalah pada kali yang pertama,

1 3 4 — FATHUL BAARI
sebagaimana dikutip oleh Ad-Daruquthni. Sementara Abban menyebut-
kan dalam riwayatnya dari Qatadah dari Ibnu Sirin bahwa yang dicampur
dengan tanah adalah yang ketujuh, seperti dinukil oleh Abu Dawud.
Sedangkan Imam Syafi'i menyebutkan dalam riwayatnya dari Sufyan
dari Ayyub dari Ibnu Sirin dengan lafazh, "Pada kali yang pertama atau
pada salah satu di antara (ketujuh) pencucian tersebut." Namun dalam
riwayat As-Sudi dari Al Bazzar hanya mencantumkan lafazh, "pada salah
satu di antara (ketujuh) pencucian tersebut", sebagaimana lafazh ini juga
disebutkan oleh Hisyam bin Urwah dari Abu Zinad dari Ibnu Sirin.
Adapun cara yang ditempuh untuk mengkompromikan riwayat-
riwayat yang saling kontroversi tersebut adalah dengan mengatakan,
"Riwayat dengan lafazh, 'Salah satu di antara (ketujuh) pencucian
tersebut' belum memberi penjelasan rinci. Sementara riwayat dengan
lafazh 'Pada kali yang pertama" dan "Pada kali yang ketujuh" sama-sama
memberi keterangan secara rinci. Adapun riwayat dengan lafazh, "Pada
kali yang pertama atau pada salah satu di antara (ketujuh) pencucian
tersebut' jika kata 'atau' pada riwayat ini memberi makna pilihan, yakni
boleh memilih salah satu di antaranya, maka lafazh ini harus
dikembalikan kepada salah satu di antara dua riwayat yang ada (yakni
riwayat yang menyatakan pada kali yang pertama dan riwayat yang
menyatakan pada kali yang ketujuh) berdasarkan kaidah 'lafazh mutlaq
(tanpa menyebutkan batasan) harus dikembalikan kepada lafazh
muqayyad (yang menyebutkan batasan tertentu)."

Demikianlah yang dicantumkan oleh Imam Syafi'i secara tekstual


dalam kitabnya Al Umm, dan ini pula pendapat yang dinyatakan secara
tegas oleh Al Mur'isyi serta selain beliau di antara ulama madzhab
Syafi'i. Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Daqiq Al 'Id dan
As-Subki dalam pembahasan tersendiri. Sedangkan jika kata "atau" pada
riwayat di atas hanya timbul dari keraguan perawi, maka riwayat mereka
yang menyebutkan tanpa ragu-ragu lebih pantas untuk diterima.

Dengan demikian langkah selanjutnya adalah menentukan


manakah yang lebih akurat di antara dua riwayat yang ada, apakah
riwayat dengan lafazh "pada kali pertama" ataukah riwayat dengan lafazh
"pada kali ketujuh?" Apabila dicermati dengan teliti dapat disimpulkan
bahwa riwayat dengan lafazh "Pada kali yang pertama" jauh lebih akurat
ditinjau dari segi jumlah periwayat, ketelitian maupun logika. Sebab bila
pencucian yang terakhir dicampur dengan tanah, maka seseorang butuh

FATHUL BAARI — 135


kepada pencucian yang lain untuk membersihkan bejana yang ia cuci.
Imam Syafi'i telah menyebutkan secara tekstual dalam kitab Harmalah
bahwa riwayat pertama lebih tepat, wallahu A 'lam.
Hadits ini memberi keterangan tentang beberapa persoalan, di
antaranya najis ditinjau dari segi hukum dapat menyebar ke tempat
sekitarnya dengan syarat tempat tersebut berupa zat cair. Zat cair dapat
berubah menjadi najis bila pada salah satu bagiannya terkena najis, dan
bejana yang berisi air seperti itu dihukumi tercemar najis. Air yang
sedikit dapat berubah menjadi najis bila kejatuhan najis meskipun tidak
berubah salah satu sifatnya, sebab jilatan anjing umumnya tidak dapat
merubah sifat-sifat dasar air. Adanya perbedaan hukum air yang
kejatuhannya dan air yang ditumpahkan ke dalam najis, karena
Rasulullah memerintahkan untuk menumpahkan air yang kejatuhan najis,
dan hakekat perintah ini adalah untuk menumpahkan air seluaihnya.
Setelah itu diperintahkan pula agar bejana tersebut dicuci, dan tentu saja
hakikat perintah ini mengacu pada suatu perbuatan yang dapat dinamakan
mencuci, meskipun air yang dipakai mencuci tersebut lebih sedikit
daripada yang dibuang.

Pelajaran yang dapat diambil


Ulama madzhab Maliki dan Hanafi memilih pendapat yang
berbeda dengan makna zhahir hadits tersebut. Ulama Maliki mengatakan
bahwa tidak ada di antara ketujuh pencucian yang dicampur dengan
tanah, meskipun menurut riwayat yang masyhur dari mereka mengatakan
wajib untuk mencuci bejana yang berisi air bekas jilatan anjing sebanyak
tujuh kali. Hal ini karena keterangan untuk mencampur salah satu
pencucian tersebut dengan tanah tidak dinukil dalam riwayat Imam
Malik. Al Qarafi (salah seorang ulama madzhab Maliki) berkata,
"Terdapat sejumlah hadits Shahih mengenai hal itu, maka sangat
mengherankan mengapa mereka tidak berpendapat sebagaimana
kandungan hadits-hadits tersebut."
Lalu diriwayatkan pula pendapat dari Imam Malik yang
menyatakan bahwa mencuci bejana sebanyak 7 kali adalah sunah
hukumnya. Akan tetapi pendapat yang terkenal di kalangan sahabatnya
menyatakan bahwa perintah untuk mencuci sebanyak 7 kali hukumnya
wajib, namun tujuannya hanyalah bersifat ibadah semata bukan karena

1 3 6 — FATHUL BAARI
bejana tersebut tercemar najis. Sebab, menurut pandangan mereka anjing
adalah suci. Kemudian ulama-ulama generasi berikutnya dalam madzhab
Maliki menyebutkan hikmah yang terkandung dalam perintah untuk
mencuci bejana tersebut, bukan karena bejana itu tercemar najis, seperti
akan kami terangkan pada pembahasan selanjutnya. Ada satu riwayat dari
Imam Malik yang mengatakan bahwa bejana tersebut hukumnya
tercemar najis, namun kaidah dasar beliau mengatakan, "Air tidak
berubah menjadi najis kecuali bila berubah salah satu sifatnya." Oleh
sebab itu kewajiban mencuci bejana berisi air bekas jilatan anjing
sebanyak tujuh kali bukan karena bejana itu tercemar najis, melainkan
demi tujuan ibadah semata. Akan tetapi pendapat ini tidak sejalan dengan
sabda Nabi di bagian awal hadits dalam masalah ini, yakni riwayat yang
dinukil oleh Imam Muslim serta ahli hadits lainnya dari Muhammad bin
Sirin dan Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah, dimana dikatakan,
"Sucinya bejana salah seorang di antara kamu apabila dijilat anjing
adalah dengan dicuci sebanyak tujuh kali."

Letak kontradiksi antara hadits ini dengan pendapat Imam Malik


adalah pada kata, "Sucinya". Hal itu karena kata "suci" biasanya hanya
dipergunakan untuk menyatakan sesuatu apabila bersih dari hadats
(junub) ataupun najis, sementara mengenai perintah untuk mencuci
bejana yang berisi air bekas jilatan anjing tentu bukan untuk membersih-
kan hadats. Dengan demikian, dapat dipastikan tujuan mencuci di sini
adalah untuk menghilangkan najis.

Namun argumentasi ini dapat pula dijawab dengan mengatakan


bahwa kata "suci" penggunaannya tidak hanya terbatas pada bersihnya
sesuatu dari hadats (junub) ataupun najis. Sebab telah diketahui bahwa
tayammum tidak dapat menghilangkan hadats (junub), namun Nabi SAW
menamakannya sebagai perkara yang mensucikan seorang muslim. Di
samping itu, kesucian juga dipergunakan pada selain makna di atas,
seperti firman Allah, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (Qs. At-
Taubah(9): 103) Demikian pula dengan sabda Nabi, "Siwak (menggosok
gigi) merupakan kesucian bagi mulut."

Adapun jawaban untuk bantahan pertama dikatakan, "Sesungguh-


nya tayammum dilaksanakan karena hadats (junub). Oleh karena
tayammum itu menggantikan fungsi sesuatu yang dapat mensucikan
hadats, maka ia pun dinamakan sebagai sesuatu yang mensucikan."

FATHUL BAARI — 137


Namun bagi mereka yang berpandangan bahwa tayammum dapat pula
menghilangkan hadats (junub), maka kritik yang dikemukakan tidak
mempunyai landasan yang kuat." ' 5

Sedangkan jawaban untuk bantahan kedua dikatakan, "Sesungguh-


nya lafazh-lafazh yang telah menjadi istilah syariat jika indikasi
maknanya menunjukkan pengertiannya secara bahasa dan sekaligus
menunjukkan pengertiannya secara syariat, maka lafazh seperti ini mesti
diartikan sebagaimana pengertiannya syariat, kecuali bila ada keterangan
yang menunjukkan makna yang lain. Adapun klaim sebagian ulama
madzhab Maliki bahwa perintah untuk mencuci tersebut hanya berlaku
bagi anjing yang dilarang untuk dipelihara, perlu dibuktikan terlebih
dahulu bahwa larangan untuk memelihara anjing lebih dahulu ditetapkan
daripada perintah untuk mencuci bejana yang berisi air bekas jilatan
anjing. Di samping itu, perlu pula faktor penjelas yang menyatakan
bahwa perintah tersebut hanya berlaku bagi jilatan anjing yang dilarang
untuk dipelihara, sebab kata anjing pada dasarnya mencakup semua jenis
anjing (baik yang boleh dipelihara maupun yang dilarang). Oleh sebab
itu, klaim seperti di atas perlu pembuktian."

Sama seperti itu, pernyataan mereka yang membedakan antara


anjing dari dusun dan anjing perkotaan. Demikian pula dengan klaim
mereka bahwa anjing yang dimaksud adalah anjing gila, dan
sesungguhnya hikmah perintah mencuci bejana tersebut karena atas
pertimbangan medis. Hal ini karena syariat telah memberi perhatian
tersendiri terhadap angka tujuh ini sehubungan dengan masalah-masalah
medis, seperti sabda beliau, "Siramilah aku sebanyak tujuh timba", dan
sabdanya, "Barangsiapa di pagi hari makan tujuh biji kurma ajwah..."

Kemudian argumentasi ini dibantah dengan mengatakan bahwa


anjing gila sama sekali tidak mau mendekati air, lalu bagaimana mungkin
diperintahkan mencuci bejana berisi air bekas jilatannya? Selanjutnya
pertanyaan ini dijawab oleh Hafizh Ibnu Rusyd, "Anjing gila tidak
mendekati air pada saat penyakitnya parah, namun pada awal penyakit itu
menjalar ia tetapi minum air."

Inilah pendapat yang benar berdasarkan indikasi Al Qur'an serta hadits, dan tidak ada
suatu dalil yang dapat dijadikan pegangan oleh mereka yang mengatakan bahwa
tayammum tidak menghilangkan hadats.

1 3 8 — FATHUL BAARI
Alasan yang dikemukakan oleh ulama madzhab Maliki meskipun
memiliki kesesuaian dengan perintah yang ada, namun pengkhususan ini
tidak berdasarkan dalil. Adapun alasan perintah mencuci bejana tersebut
disebabkan tercemar najis jauh lebih kuat, karena makna tersebut tertera
dalam hadits secara tekstual. Sementara telah dinukil riwayat yang akurat
dari Ibnu Abbas, bahwa sebab perintah mencuci bejana tersebut adalah
karena tercemar najis. Riwayat ini dinukil oleh Muhammad bin Al
Marwazi melalui silsilah periwayatan yang shahih dan tidak ada satupun
riwayat dari para sahabat lain yang menyelisihinya.

Di antara pendapat madzhab Maliki yang masyhur adalah mem-


bedakan hukum antara bejana berisi air dengan bejana berisi makanan
jika dijilat anjing. Bila bejana tersebut berisi air, maka airnya
ditumpahkan. Sedangkan bila berisi makanan, maka makanan itu
dimakan lalu bejananya dicuci sebagai wujud ibadah. Alasan mereka
bahwasa perintah untuk membuang isi bejana yang dijilat anjing masih
bersifat umum, maka ada pengecualian dalam hal ini makanan disebab-
kan ada larangan menyia-nyiakan harta.

Namun dikatakan kepada mereka, "Justeru larangan menyia-


nyiakan harta telah dibatasi dengan perintah menumpahkan air bekas
jilatan anjing. Pandangan ini diperkuat adanya kesepakatan ulama yang
mengharuskan membuang zat cair -dalam ukuran yang sedikit- apabila
dijilat anjing, meskipun harganya mahal. Dari sini terbukti bahwa
larangan menyia-nyiakan harta telah dibatasi oleh perintah untuk
menumpahkan air bekas jilatan anjing."

Setelah jelas bahwa air sisa jilatan anjing hukumnya najis, maka
ada kemungkinan hal itu disebabkan air liur anjing itu sendiri adalah
najis. Ada pula kemungkinan bahwa air liur anjing pada dasarnya adalah
suci, namun ia menjadi najis karena faktor-faktor dari luar, seperti karena
kebiasaan anjing memakan bangkai. Akan tetapi kemungkinan pertama
lebih beralasan, sebab inilah yang menjadi dasar. Di samping itu jika
dikatakan najisnya air bekas jilatan itu karena kemungkinan kedua, maka
konsekuensinya hukum ini berlaku pula pada binatang yang lain,
misalnya kucing.
Setelah jelas bahwa yang menyebabkan najisnya air sisa jilatan
anjing adalah karena memang air liurnya adalah najis, maka hal itu tidak
langsung menjadi alasan untuk menetapkan najisnya bagian-bagian
anjing yang lain, kecuali bila ditetapkan melalui giyas (analogi). Seperti

FATHUL BAARI — 139


dikatakan, "Apabila air liur anjing adalah najis, maka mulutnya juga
najis. Sebab air liur diproses melalui mulut dan air liur berkedudukan
sebagai keringat mulutnya, sementara mulut adalah bagian termulia
darinya, maka dengan demikian keringat badannya juga najis. Lalu
apabila keringat badannya najis, maka seluruh badannya termasuk najis
pula sebab keringat diproses dari badan. Hanya saja apakah bagian-
bagian badan anjing yang lain disamakan dengan air liurnya, dalam artian
bekasnya mesti dicuci pula sebanyak tujuh kali dimana salah satunya
dicampur dengan tanah ataukah tidak demikian? Isyarat mengenai hal ini
telah disebutkan dalam perkataan Imam An-Nawawi pada pembahasan
terdahulu.

Di lain pihak, ulama madzhab Hanafi disamping tidak mewajibkan


mencampur salah satu air cucian dengan tanah, mereka tidak pula
mewajibkan untuk mencuci sebanyak tujuh kali. Lalu Imam Ath-Thahawi
serta ulama-ulama yang lain mengemukakan sejumlah alasan untuk
memperkuat pendapat tersebut, di antaranya karena Abu Hurairah
sebagai perawi hadits dalam masalah ini justeru berfatwa untuk mencuci
bejana bekas jilatan anjing sebanyak tiga kali. Hal ini menurut mereka
sebagai bukti bahwa kewajiban mencuci sebanyak tujuh kali telah
dihapus (mansukh). Lalu alasan ini dibantah dengan mengatakan bahwa
ada kemungkinan Abu Hurairah berpandangan mencuci tujuh kali
hukumnya hanyalah sunah bukan wajib, atau ada pula kemungkinan
beliau lupa akan apa yang diriwayatkannya.

Dengan adanya kemungkinan seperti ini, penghapusan hukum


tersebut tidak dapat dipastikan. Di samping itu, telah diriwayatkan pula
bahwa Abu Hurairah pernah berfatwa untuk mencuci bejana bekas jilatan
anjing sebanyak tujuh kali. Sementara riwayat tentang fatwa beliau yang
sesuai dengan apa yang ia riwayatkan jauh lebih akurat dibanding riwayat
tentang fatwa beliau yang menyelisihi apa yang ia riwayatkan, baik
ditinjau dari segi silsilah periwayatan maupun dari sisi logika.

Adapun dari sisi logika nampak jelas, sedangkan dari segi silsilah
periwayatan sesungguhnya riwayat tentang fatwa beliau yang sesuai
dengan apa yang ia riwayatkan telah dinukil dari Hammad bin Zaid dari
Ayyub dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah, yang mana ini adalah sanad
paling shahih. Sedangkan riwayat tentang fatwa beliau yang menyelisihi
apa yang ia riwayatkan telah dinukil dari jalur Abdul Malik bin Abu

1 4 0 — FATHUL BAARI
Sulaiman dari Atha' dari Abu Hurairah, dimana silsilah periwayatannya
jauh di bawah derajat silsilah periwayatan yang pertama.
Alasan lain yang mereka kemukakan adalah, sesungguhnya tingkat
kenajisan kotoran (tahi) jauh lebih berat daripada air sisa jilatan anjing,
namun untuk membersihkan kotoran tersebut tidak disyaratkan untuk
dicuci sebanyak tujuh kali. Dari sini maka tentu mencuci bejana bekas
jilatan anjing lebih pantas lagi untuk tidak dibatasi dengan jumlah
tertentu. Jawaban untuk argumentasi ini saya (Ibnu Hajar) katakan,
"Tidak ada kemestian bahwa sesuatu yang lebih tinggi tingkat kenajisan-
nya akan lebih berat pula dalam tinjauan hukumnya. Di samping itu
perkataan tersebut merupakan analogi yang menyalahi nash (teks hadits),
maka dianggap rusak."

Mereka mengklaim pula bahwa perintah untuk mencuci bejana


bekas jilatan anjing sebanyak tujuh kali ditetapkan pada saat
diperintahkan untuk membunuh anjing. Maka ketika dilarang untuk
membunuh anjing, perintah untuk mencuci bejana sebanyak tujuh kali
ikut terhapus. Klaim ini dibantah berdasarkan bukti bahwa perintah untuk
membunuh anjing dikeluarkan pada permulaan hijrah, sedangkan
mencuci bejana bekas jilatan anjing sebanyak tujuh kali diperintahkan
pada masa akhir kehidupan Rasulullah. Sebab, hadits ini adalah riwayat
Abu Hurairah dan Abdullah bin Mughaffal. Sementara telah disebutkan
oleh Abdullah bin Mughaffal, bahwa beliau mendengar Nabi
memerintahkan mencuci bejana di saat ia masuk Islam. Padahal beliau
masuk Islam pada tahun ketujuh hijrah, sama seperti Abu Hurairah.
Bahkan, konteks riwayat Imam muslim sangat jelas menyatakan bahwa
perintah mencuci bejana yang dijilat anjing dikeluarkan setelah perintah
membunuh anjing.

Ulama madzhab Hanafi memperkuat pendapat mereka yang tidak


sejalan dengan hadits tersebut, seraya berdalih bahwa ulama madzhab
Syafi'i juga tidak komitmen mengamalkan hadits yang dimaksud. Sebab
bila mereka komitmen mengamalkan hadits itu niscaya mereka
menetapkan bahwa mencuci bejana bukan hanya tujuh kali tapi delapan
kali, berdasarkan kandungan hadits Abdullah bin Mughaffal yang
diriwayat-kan oleh Imam Muslim, dengan lafazh, sjj&j ^y> «jL~z\b

L-JIJ-JI j, (Cucilah bejana itu tujuh kali, lalu campurkanlah yang

FATHUL BAARI — 141


kedelapan dalam tanah). Dalam riwayat Ahmad disebutkan, ^O^—>
1

(dengan tanah).
Jawaban pernyataan ini aku (Ibnu Hajar) katakan, "Sikap ulama
madzhab Syafi'i yang tidak mengamalkan makna lahiriah hadits
Abdullah bin Mughaffal tidaklah menjadi dalih bagi mereka (ulama
madzhab Hanafi) untuk meninggalkan hadits dalam persoalan ini. Sebab
jika tepat alasan yang dikemukakan oleh ulama madzhab Syafi'i untuk
tidak mengamalkan makna lahir yang terkandung dalam hadits Abdullah
bin Mughaffal, maka gugurlah dalih yang di-kemukakan oleh ulama
madzhab Hanafi. Sedangkan jika tidak, maka kedua madzhab ini sama-
sama tidak mengamalkan hadits, demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiq Al
•Id."

Adapun mengenai alasan ulama madzhab Syafi'i sehingga tidak


mengamalkan kandungan hadits Abdullah bin Mughaffal terdiri dari
beberapa hal. Sebagian mereka ada yang beralasan karena hadits tersebut
menyalahi ijma ' (kesepakatan) untuk mencuci bejana yang dijilat anjing
sebanyak tujuh kali saja. Namun perkataan ini perlu ditinjau lebih jauh,
sebab pendapat seperti itu telah dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri, dan
ini pula yang menjadi pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat
dari beliau seperti dinukil oleh Harb Al Karmani. Lalu diriwayatkan dari
Imam Syafi'i, ia berkata, "Ini adalah hadits yang tidak aku ketahui
keshahihannya." Akan tetapi, perkataan beliau ini tidaklah menjadi
alasan untuk tidak mengamalkan hadits tersebut bagi mereka yang telah
mengetahui keshahihannya.

Sebagian ulama madzhab Syafi'i lebih cenderung menguatkan


hadits Abu Hurairah daripada hadits Abdullah bin Mughaffal, padahal
menguatkan salah satu dari dua riwayat yang ada tidak boleh ditempuh
selama kedua riwayat itu masih dapat dipadukan. Dengan mengamalkan
hadits Abdullah bin Mughaffal berarti telah mengamalkan pula hadits
Abu Hurairah, namun tidak sebaliknya. Lalu tambahan keterangan dari
perawi tsiqah (terpercaya) dapat diterima.

Andaikata kita lebih memilih cara menguatkan salah satu dari dua
riwayat yang ada, maka kita tidak akan berpendapat untuk mencampur
salah satu pencucian tersebut dengan tanah. Sebab, riwayat Imam Malik
yang tidak menyebutkan hal ini jauh lebih kuat daripada riwayat yang
menyebutkannya. Meskipun demikian, kita tetap berpendapat untuk

1 4 2 — FATHUL BAARI
mencampur salah satu pencucian dengan tanah untuk pengamalan
tambahan keterangan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah
(terpercaya).
Sebagian ulama berusaha mengompromikan antara hadits Abu
Hurairah (yang menyatakan mencuci tujuh kali) dengan hadits Abdullah
bin Mughaffal (yang menyatakan mencuci delapan kali) dari segi majaz
(kiasan). Mereka mengatakan, "Karena tanah merupakan jenis lain dari
air, maka percampuran keduanya (antara air dan tanah) pada satu kali
cucian dihitung dua kali."
Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh Ibnu Daqiq Al Id dengan
mengatakan bahwa sabda beliau, ^^ili ijf&j (dan campurlah yang
kedelapan dengan tanah) sangat jelas memberi keterangan adanya
pencucian tersendiri di samping tujuh kali cucian yang lain. Akan tetapi
apabila sebelum dicuci dengan air tujuh kali, bejana tersebut terlebih
dahulu digosok dengan tanah, maka bisa saja dikatakan menggosok
dengan menggunakan tanah ini dianggap pula mencuci, meski hanya
dalam pengertian majaz (kiasan). Cara terakhir ini juga merupakan faktor
yang lebih menguatkan bahwa mencampur tanah dilakukan pada awal
mencuci.

Pembicaraan mengenai persoalan ini dan apa yang berhubungan


dengannya sangatlah luas sehingga dapat dijadikan satu tulisan tersendiri,
namun apa yang telah kami sebutkan dalam tulisan singkat ini telah
mencukupi, wallahu a lam.

173. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, "Bahwa-


sanya seorang laki-laki melihat seekor anjing memakan pasir
karena sangat haus, maka laki-laki tersebut mengambil sepatunya

FATHUL BAARI — 143


lalu digunakannya menimba air untuk memberi minum anjing itu
hingga hilang hausnya. Maka Allah mensyukuri orang itu dan
memasukkannya ke dalam surga."

Keterangan hadits:

VJrj ui (Bahwa seorang laki-laki). Tidak disebutkan nama laki-laki


yang dimaksud, yang jelas ia berasal dari bani Isra'il sebagaimana akan
diterangkan pada pembahasan berikut.
» ''l,
J' J^U (Memakan pasir), maksudnya menjilati tanah yang agak
basah.

*—< *—J <-9j—*i Jj«r<i (Lalu digunakannya menimba air). Lafazh ini
dijadikan sebagai dalil oleh Imam Bukhari bahwa air bekas jilatan anjing
adalah suci, karena secara lahir orang tersebut memberi minum anjing di
sepatunya. Namun pendapat ini dikritik, karena argumentasi demikian
dibangun di atas dasar yang mengatakan bahwa syariat umat sebelum
Muhammad termasuk syariat bagi umatnya, padahal keabsahan asas ini
masih diperselisihkan. Andaikata asas ini diterima sebagai salah satu
sumber dalam menetapkan hukum, maka ruang lingkupnya berada pada
hal-hal yang belum dihapuskan oleh syariat Muhammad. Meskipun kita
menerima bahwa hukum tersebut belum dihapus, maka tetap saja belum
dapat dijadikan sebagai dalil yang kuat. Sebab masih ada kemungkinan
laki-laki itu memberi minum anjing dengan menumpahkan air di suatu
wadah, atau kemungkinan lain ia mencuci sepatunya setelah memberi
minum anjing itu dan ia tidak langsung memakainya.

J—1 J—Ui 'f.—lii (Maka Allah mensyukuri orang itu), yakni Allah
memujinya lalu memberi pahala atas perbuatannya itu dengan cara
menerima amalannya lalu memasukkannya ke dalam surga. Pembahasan
selanjutnya mengenai hadits ini akan diterangkan pada bab "Keutamaan
Memberi Minum" dalam kitab Asy-Syurbu (minuman), insya Allah.

1 4 4 — FATHUL BAARI
174. Diriwayatkan dari Hamzah bin Abdullah dari bapaknya, ia
berkata, "Biasanya anjing-anjing kencing dan ke sana ke mari
melewati masjid pada zaman Rasulullah, namun mereka tidak
memerciki tempat itu dengan air sedikitpun."

Keterangan Hadits:

* - r » * ^ — C J \ £ " (Biasanya anjing-anjing) Dalam riwayat Abu N u ' a i m


dan Al Baihaqi melalui jalur periwayatan Ahmad bin Syabib terdapat
tambahan, J j J (kencing). Demikian pula disebutkan oleh Al Ashili dalam
riwayat Ibrahim bin Ma'qil dari Imam Bukhari. Lalu diriwayatkan juga
oleh Abu Dawud dan Isma'ili melalui jalur periwayatan Abdullah bin
Wahab dari Yunus bin Yazid (guru Syabib bin Sa'id). Berdasarkan
riwayat-riwayat ini tidak ditemukan suatu hujjah (alasan) untuk
menyatakan bahwa anjing adalah suci, sebab ulama sepakat bahwa
kencing anjing sadalah najis. Demikian perkataan Ibnu Munir. Namun
perkataan beliau dapat dijawab dengan mengatakan, "Adanya pandangan
yang menyatakan anjing termasuk hewan yang dimakan, dan kencing
hewan yang dimakan dagingnya hukumnya suci dapat membatalkan
kesepakatan yang beliau sebutkan." Terlebih lagi telah ada pendapat dari
sejumlah ulama yang menyatakan bahwa kencing semua hewan hukum-
nya suci, kecuali air kencing manusia. Di antara mereka yang ber-
pendapat seperti ini adalah Ibnu Wahab sebagaimana yang dinukil oleh
Al Isma'ili dan lainnya seperti akan dibahas lebih lanjut pada bab
"Membersihkan Kencing".

Al Mundziri berkata, "Maksudnya anjing-anjing itu kencing di luar


masjid dan di tempat tertentu lalu masuk dan berjalan melewati masjid,
sebab saat itu masjid tidak memiliki pintu yang tertutup." Beliau
mengatakan pula, "Sangat jauh kemungkinannya jika anjing dibiarkan

FATHUL BAARI — 145


begitu saja di dalam masjid dan menghinakannya dengan kencing di
dalamnya." Tetapi pendapat ini dibantah pula dengan mengatakan jika
anjing dianggap suci, niscaya perbuatan seperti itu tidaklah terlarang
sebagaimana kucing.
Adapun yang lebih tepat, bahwa yang demikian itu terjadi pada
awal-awal Islam, sebab hukum asal sesuatu adalah mubah. Kemudian
datang perintah untuk memuliakan masjid dan mensucikannya, sekaligus
membuat pintu-pintu tertutup. Pandangan ini disinyalir oleh keterangan
tambahan yang terdapat pada riwayat Al Isma'ili yang beliau nukil dari
jalur Ibnu Wahab sehubungan dengan hadits di atas dari Ibnu Umar,
"Umar pernah berkata dengan suara yang lantang, 'Jauhilah oleh kamu
perkataan yang sia-sia dalam masjid.'" Lalu Ibnu Umar berkata, "Dahulu
aku biasa tidur di masjid pada masa Rasulullah sementara anjing-
anjing.. .dst." Di sini Ibnu Umar mengisyaratkan bahwa peristiwa
masuknya anjing ke dalam masjid terjadi pada masa-masa awal
dibangunnya masjid, setelah itu diperintahkan untuk memuliakan masjid
meskipun hanya sekedar perkataan yang sia-sia. Maka, dengan
keterangan ini tertolaklah pandangan yang menjadikan hadits ini sebagai
dalil yang menyatakan anjing adalah suci.

o j—'i'y. 'j—fjSo j«—u (Namun mereka tidak memerciki tempat itu


(dengan air) sedikitpuri), mengindikasikan tidak dilakukannya pencucian.
Lafazh ini telah dijadikan alasan oleh Ibnu Baththal untuk menyatakan
sucinya air sisa jilatan anjing, sebab kebiasaan anjing adalah mencari
tempat bekas makanan. Padahal tak ada rumah bagi para sahabat saat itu
selain masjid, sehingga tidak tertutup kemungkinan jika air liur anjing ini
mengenai bagian-bagian tertentu di dalam masjid. Kemudian pandangan
Ibnu Baththal ini dibantah dengan mengatakan bahwa sucinya masjid dari
najis merupakan perkara yang telah diyakini, sementara apa yang beliau
sebutkan hanyalah perkara yang diragukan. Padahal, sesuatu yang telah
diyakini tidak dapat dihilangkan oleh perkara yang masih diragukan.
Kemudian indikasi hadits ini tidak pula kontradiksi dengan hadits yang
memerintahkan untuk mencuci bejana yang berisi air bekas jilatan anjing.
Abu Dawud dalam kitabnya As-Sunan menggunakan lafazh hadits
ini sebagai keterangan, bahwa tanah yang terkena najis dapat kembali
suci bila najis tersebut telah mengering. Yakni bahwasanya perkataan
dalam hadits itu "Namun mereka tidak memerciki tempat itu sedikitpun",
lebih tegas lagi menunjukkan bahwa tempat itu tidak disiram air.

1 4 6 — FATHUL BAARI
Andaikata mengeringnya najis tersebut tidak berarti tempat itu telah suci,
niscaya para sahabat tidak akan membiarkan tempat yang terkena najis
tanpa menyiramnya. Namun, cukup jelas bagi kita akan kelemahan yang
terdapat dalam riwayat ini.

Catatan Penting
Telah diriwayatkan oleh Ibnu At-Tin dari Ad-Dawudi (salah
seorang pensyarah Shahih Bukhari), bahwasanya beliau mengganti lafazh
'c i') ' , > 'O ,
Oj ijj (memerciki) dengan <1>J J&j>_ (mengawasi), lalu beliau
menafsirkannya dengan makna tidak takut. Namun tentu saja tafsiran ini
cukup jauh dari makna yang seharusnya, sebab kata mengawasi di sini

diungkapkan dengan lafazh i_~a^j, dimana lafazh ini sinonim dengan kata

'j yakni menunggu. Adapun meniadakan rasa takut dengan sebab


tidak adanya pengawasan atau perhatian terhadap hal tersebut,
merupakan penafsiran sesuatu dengan sebagian daripada konsekuensinya,
wallahu a 'lam.

wy w v£ y y y y y ^ ^ i.

di |K cX.jl bl : JUi % "J^S\ cJll- : Jli ^Jl^ J <s^ "J


j O % 9 y y ^ y O / 0^ y y y y y y y O s* y y yy $ ^ O

• r 1» L«Jli jTli *^i J5"l blj jTi Jiii p-L«-dl


^ J P ^41^ ulu jri; ^ jii > t dsr £ . Wii J i r j~.jf
: y \u s ' iur

175. 7e/a/i diriwayatkan dari Adi bin Hatim, ia berkata, 'Aku


pernah bertanya kepada Nabi SA W, maka beliau bersabda, 'Jika
engkau melepas anjingmu yang telah dilatih lalu ia membunuh
binatang buruan, maka makanlah buruan itu. Namun jika ia
memakannya, maka janganlah kamu makan buruan tersebut, sebab
ia menangkapnya hanyalah untuk dirinya sendiri.' Aku (Adi)
berkata, 'Aku melepas anjingku lalu aku dapati bersamanya anjing
yang lain.' Beliau bersabda, 'Janganlah engkau makan, sebab

FATHUL BAARI — 147


engkau hanya mengucapkan basmalah atas anjingmu dan tidak
mengucapkan basmalah atas anjing yang lain.''"

Keterangan Hadits:

cJl '«> (Aku pernah bertanya), maksudnya mengenai hukum


binatang hasil buruan anjing. Sengaja kalimat pertanyaan itu tidak
disebutkan karena mencukupkan dengan indikasi jawaban. Imam Bukhari
mencantumkan lafazh pertanyaan yang dimaksud secara tekstual dalam
hadits yang diriwayatkan melalui silsilah periwayatan yang lain pada bab
"berburu", sebagaimana pembahasan lebih mendetail tentang hadits ini
akan disebutkan pula di tempat tersebut. Adapun maksud Imam Bukhari
menyebutkan hadits dalam pembahasan ini adalah untuk menguatkan
pandangannya akan sucinya air bekas jilatan anjing. Adapun kesesuaian
hadits ini dengan judul bab terdapat pada perkataan beliau (Imam
Bukhari) pada bagian awal bab ini, yakni pernyataannya, "Dan air sisa
jilatan anjing."

Indikasi hadits ini yang mendukung apa yang dikatakan oleh Imam
Bukhari adalah, bahwa Nabi SAW telah mengizinkan kepada Adi untuk
memakan buruan yang ditangkap oleh anjing tanpa ada keterangan untuk
mencuci bagian yang tersentuh oleh mulut anjing. Atas dasar inilah
sehingga Imam Malik berkata, "Bagaimana mungkin binatang buruan
yang ditangkap anjing boleh dimakan jikalau air liurnya adalah najis?"
Pertanyaan ini dijawab oleh Al Isma'ili dengan menyatakan, bahwa
hadits ini hanyalah memberi keterangan bahwa pembunuhan yang
dilakukan oleh anjing pemburu dianggap sebagai penyembelihan
terhadap buruan tersebut, namun tidak ada keterangan apakah anjing itu
najis atau tidak. Yang menguatkan pendapat ini, bahwa beliau SAW tidak
memerintahkan pula untuk mencuci darah yang keluar karena gigitan
anjing tersebut, namun beliau menyerahkan hal itu kepada ilmu yang
telah diketahui oleh Adi, yakni adanya kewajiban untuk mencuci darah.
Maka tidak tertutup kemungkinan pula beliau tidak memerintahkan
mencuci bagian yang tersentuh mulut anjing, karena hal itu telah
diketahui oleh Adi.
Ibnu Munir berkata, "Dalam madzhab Syafi'i disebutkan bahwa
jika pisau dicuci dengan air yang najis lalu digunakan menyembelih
hewan, maka sembelihan tersebut menjadi najis. Sementara gigi anjing

1 4 8 — FATHUL BAARI
menurut mereka adalah najis. Lalu mereka (ulama madzhab Syafi'i) telah
sepakat dengan kami bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh anjing
buruan merupakan sembelihan secara syar'i, dimana ia tidak menjadikan
binatang sembelihan sebagai najis."
Perkataan Ibnu Munir dijawab pula bahwa adanya kesepakatan
yang menyatakan sembelihan tidak menjadi najis bila digigit oleh anjing,
tidaklah berkonsekuensi adanya kesepakatan bahwa sembelihan tersebut
tidak tercemar oleh najis. Oleh sebab itu, kontradiksi yang menurut
mereka terdapat pada madzhab Syafi'i tidaklah sebagaimana yang
mereka katakan. Di samping dalam persoalan ini terdapat pula perbedaan
pendapat, tapi pendapat yang masyhur adalah wajibnya mencuci tempat
yang digigit oleh anjing tersebut. Namun, di sini bukanlah tempat untuk
memaparkan persoalan ini.

34. Orang yang Berpendapat tidak Ada Wudhu Kecuali


Karena Sesuatu yang Keluar dari Dua Jalan, (Qubul &
Dubur)

Serta Firman Allah, Jafl *Jt j * j*£L» t&r ji "Atau kembali dari
tempat buang hajat." (Qs. Al Maa'idah(5): 6)

'o '° f o s ' ' o " i * i f* o * f o o * ' ' "

~A L-iil y>zj a Jii ^ j l i j j J l a jii r- y > 0 y*-^ &UaP J l i j


t

' a
f 0 ' ^ ' 0
y 0
' '' ' J y 0
t o " ''z

o * J * - ' s % £ ' " 0 ' s ' % * ' ' 'y


0
c

j •* V| i.J^J V Ojjy» j j I J l i j .AJS- ( . ^ k i *JL>- jl

f-I i^il o l i aj^P J* cS£$£§° * J$\ O? ^JU- ^ J b j . o J b -


{

' " ' , ' , ' s ' ' * ' f' ' o * f ' f'

Jli j .;OG J, ^ 3 l b ^ - j {f'j fiil (4—^ J ^ j J»>

FATHUL BAARI — 149


yy b J l i j .p_gJU>-ly- ^ JJUOJ j j U L w < J I J l j L» : ^ l ^ J l
(

^ '"i' i'. ' ' S - ' s " s ? *


L
-° J' O* 1
U > o j j j f-Ul S j i ^ p j.1
O,s s 0
t * s O s O s t J s s ° . s s J J o t s , ' ' ,

.4_iP (J^-J j ^ - J I j JMS- y\ J l i J ^* t^J* ^


3 3

1 ^ JLP VI

/ ^ / w ' berkata tentang seseorang yang keluar cacing dari duburnya


atau keluar sesuatu dari kemaluannya seperti kutu, "Hendaklah
orang itu mengulangi wudhunya. " Jabir bin Abdullah berkata,
"Apabila seseorang tertawa saat shalat, ia mesti mengulangi
shalatnya namun tidak mengulang wudhu. " Al Hasan berkata,
"Jika ia memotong rambutnya atau kukunya maupun melepaskan
sepatunya, maka tidak ada wudhu baginya. " Abu Hurairah
berkata, "Tidak ada wudhu kecuali karena hadats. " Disebutkan
dari Jabir bahwasanya Nabi pada perang Dzat Ar-Riqa\ saat itu
ada seseorang yang dipanah hingga darah keluar dari tubuhnya
namun beliau tetap ruku', sujud dan meneruskan shalatnya. Al
Hasan berkata, "Kaum muslimin senantiasa shalat dalam keadaan
luka-luka. " Thawus, Muhammad bin Ali, Atha ' serta ulama Hijaz,
berkata "Darah tidak menyebabkan wudhu. " Ibnu Umar pernah
memecahkan bisulnya hingga keluar darah namun beliau tak
mengulangi wudhunya. Sementara Ibnu Abu Aufa pernah
mengeluarkan ludah yang bercampur darah namun beliau tetap
meneruskan shalatnya. Ibnu Umar dan Al Hasan berkata tentang
seseorang yang berbekam, "Tidak ada baginya kecuali mencuci
tempat yang dibekam"

(Orang yang berpendapat tidak ada wudhu kecuali karena sesuatu


yang keluar dari dua jalan). Maksudnya tidak wajib berwudhu sebab
keluarnya sesuatu dari tempat-tempat tertentu di badan, kecuali yang
keluar dari dua jalan. Imam Bukhari mengisyaratkan dengan
perkataannya ini akan perbedaan pendapatnya dengan mereka yang

1 5 0 — FATHUL BAARI
mengatakan wajib berwudhu sebab keluarnya sesuatu dari tempat-tempat
di bagian badan, seperti muntah, bekam dan selain keduanya. Mungkin
pula dikatakan, "Sesungguhnya hal-hal yang membatalkan wudhu dapat
dikembalikan kepada dua tempat keluar tersebut. Misalnya, tidur adalah
waktu yang rawan untuk menyebabkan keluarnya angin (kentut),
sementara menyentuh wanita atau menyentuh kemaluan sangat memung-
kinkan untuk menyebabkan keluarnya madzi.

Firman Allah, Jail—*i' j ? ^ tbr ji (Atau kembali dari tempat


buang hajat) Di sini kewajiban berwudhu -atau bertayammum pada saat
air tidak ada- dikaitkan dengan kembalinya seseorang dari tempat buang
hajat. Maka, ini merupakan dalil wajibnya wudhu apabila keluar sesuatu
dari dua jalan tersebut. Sedangkan firman-Nya, * d J i j (Atau kamu
menyentuh wanita) merupakan dalil wajibnya wudhu karena bersentuhan
dengan wanita. Masuk dalam makna ini pula, menyentuh kemaluan
disamping telah ada hadits shahih mengenai hal ini. Hanya saja, hadits ini
tidak memenuhi syarat hadits shahih yang terdapat pada kitab Shahih
Bukhari Muslim. Namun hadits tersebut telah diklasifikasikan sebagai
hadits shahih oleh Malik dan para ahli hadits yang menulis kitab-kitab
hadits shahih selain Bukhari dan Muslim.

tilas- JtSj (Atha' berkata), maksudnya adalah Atha' bin Abu Rabah.
Riwayat tentang perkataan Atha' ini telah dinukil lengkap dengan silsilah
periwayatannya oleh Ibnu Abi Syaibah serta selain beliau, dan redaksinya
sama dengan yang disebutkan di sini. Sedangkan silsilah periwayatannya
adalah shahih. Adapun ulama yang berbeda dengan pandangan ini adalah
Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah dan Hammad bin Abu Sulaiman, dimana
mereka mengatakan, "Wudhu tidak batal bila yang keluar itu hanya
dalam jumlah kecil." Ini merupakan pandangan Imam Malik, dimana
beliau mengatakan, "Kecuali jika yang keluar itu bercampur dengan
najis."

*—M' ^ 'c?- <J^J (Jabir bin Abdullah berkata), riwayat mengenai


perkataan Jabir ini disebutkan oleh Sa'id bin Manshur dan Ad-
Daruquthni serta selain keduanya berikut silsilah periwayatannya. Ini
benar perkataan Jabir. Lalu perkataan seperti ini telah diriwayatkan pula
oleh Ad-Daruquthni dengan silsilah periwayatan yang sampai langsung
kepada Nabi SAW, namun beliau melemahkannya. Adapun yang

FATHUL BAARI — 151


menyelisihi perkataan Jabir ini adalah Ibrahim, Al Auza'i, Ats-Tsauri
serta Abu Hanifah dan para pengikutnya, mereka mengatakan, "Tertawa
dapat membatalkan wudhu pada saat seseorang sedang shalat dan tidak
membatalkan bila di luar shalat."
Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama sepakat bahwa tertawa di luar
shalat tidak membatalkan wudhu, lalu mereka berselisih apabila terjadi
pada saat melakukan shalat. Orang yang mengatakan bahwa tertawa saat
shalat dapat membatalkan wudhu, adalah menyalahi qiyas (analogi) yang
memiliki Ulat (sebab penetapan hukum) yang sangat jelas, lalu mereka
berpedoman dengan hadits yang tidak shahih. Sangat jauh sekali jika para
sahabat Rasulullah yang merupakan figur-figur terbaik umat ini tertawa
di saat menghadap Allah, dengan diimami oleh Rasulullah." Demikian
nukilan dari Ibnu Mundzir. Di samping itu, mereka yang berpendapat
seperti ini tidak mengambil keumuman riwayat tersebut. Bahkan mereka
mengatakan bahwa tertawa yang membatalkan shalat adalah tertawa yang
terbahak-bahak, bukan semua tertawa.

berkata), ia adalah Al Hasan bin Abu Al


Hasan Al Bashri. Perkataan beliau pada persoalan pertama telah
disebutkan oleh Sa'id bin Manshur dan Ibnu Mundzir berikut para
perawinya dengan silsilah periwayatan yang shahih. Adapun ulama yang
menyelisihi perkataan beliau dalam hal itu adalah Mujahid dan Al Hakam
bin Utbah serta Hammad, mereka mengatakan, "Barangsiapa yang
memotong kukunya atau jambangnya maka wudhunya batal." Telah
dinukil oleh Ibnu Mundzir bahwa ijma' (konsensus) ulama telah
menyelisihi perkataan mereka.
Adapun perkataan beliau pada permasalahan kedua (yakni tentang
membuka sepatu, penerj.) telah disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah berikut
para perawinya, dengan silsilah periwayatan yang shahih. Dalam hal ini
beliau disetujui oleh Ibrahim An-Nakha'i, Thawus, Qatadah dan A t h a \
Demikian pula yang difatwakan oleh Sulaiman bin Harb dan Dawud.
Namun mayoritas ulama menyelisihi pendapat mereka berdasarkan dua
pendapat tentang wajibnya berwudhu secara berkesinambungan atau
tidak. Mereka yang mewajibkan hal itu berkata, "Wajib memulai wudhu
lagi bila jarak antara membuka sepatu itu dengan wudhu telah dipisahkan
oleh waktu yang lama." Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan hal
itu berkata, "Cukuplah baginya mencuci kakinya saja." Pendapat inilah
yang paling menonjol di antara pendapat-pendapat yang dinukil dari

1 5 2 — FATHUL BAARI
Imam Syafi'i. Dikatakan dalam kitab Al Muwaththa , "Aku senang orang
seperti itu memulai lagi wudhunya (memperbarui)." Sebagian ulama dari
madzhab Syafi'i serta selain mereka mengatakan, "Wajib mengulangi
wudhu dari awal, meskipun dikatakan berkesinam-bungan dalam
berwudhu bukanlah perkara yang diwajibkan." Sementara dari Laits
dinukil pendapat yang menentang pendapat ini.

~*j—JJ! Jlsj (Abu Hurairah berkata). Perkataan beliau ini dinukil


oleh Isma'il Al Qadhi berikut para perawinya dalam kitab Al Ahkam
dengan silsilah periwayatan yang shahih dari jalur Mujahid dari Abu
Hurairah. Lalu diriwayatkan pula oleh Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi
dari jalur Syu'bah dari Sahal bin Abu Shalih, dari bapaknya, dari Abu
Hurairah, dari Nabi SAW. Lalu ditambahkan padanya lafazh, ^4_> jl (Atau
angin).

y)—j—'t- 'j—S"iij (Dan disebutkan dari Jabir). Riwayat mengenai


perkataan Jabir ini disebutkan oleh Ibnu Ishaq berikut para perawinya
dalam kitab Al Maghazi, beliau berkata, "Telah menceritakan kepadaku
Shadaqah bin Yasar dari Uqail bin Jabir dari bapaknya..." Lalu
disebutkan sebuah hadits yang cukup panjang. Hadits itu dinukil pula
oleh Ahmad, Abu Dawud dan Ad-Daruquthni, serta dishahihkan oleh
Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban serta Al Hakim, semuanya dari jalur
Ibnu Ishaq. Adapun guru beliau (Shadaqah) adalah seorang yang tsiqah
(terpercaya). Sementara itu aku tidak mengenal ada perawi yang
menerima riwayat dari Uqail ini selain Shadaqah, oleh sebab itu sehingga
di tempat ini Imam Bukhari tidak menggunakan kata-kata yang
menunjukkan secara tegas bahwa perkataan itu benar-benar berasal dari
Jabir. Tapi ada pula kemungkinan hal ini beliau (Imam Bukhari) lakukan
karena beliau telah meringkas riwayat tersebut, atau karena adanya
perselisihan pada Ibnu Ishaq.

£ j — o l i »j j—i- ^ — ? (Pada perang Dzat Ar-Riqa') Pembicaraan


mengenai hal ini akan diterangkan pada bab perang, insya Allah.

'(j
|t J*- j l^'ji (Saat itu ada seseorang yang dipanah) Dari konteks
kalimatnya menjadi jelas latar belakang kisah ini. Secara ringkas kisah itu
adalah sebagai berikut; Nabi SAW singgah di suatu lembah, lalu beliau
bertanya, "Siapa yang bersedia menjaga kita pada malam ini?" Berdirilah

FATHUL BAARI — 153


seorang laki-laki dari kalangan Muhajirin serta seorang laki-laki dari
kalangan Anshar. Maka keduanya berjaga malam di pinggiran lembah
seraya membagi tugas jaga. Laki-laki dari kalangan Muhajirin tidur lebih
dahulu, sementara laki-laki dari kalangan Anshar berdiri melakukan
shalat. Saat itu, seorang laki-laki dari pihak musuh datang dan melihat
laki-laki Anshar sedang shalat. Tanpa pikir panjang ia pun langsung
memanah laki-laki Anshar itu, dan anak panah tersebut tepat menancap di
tubuhnya. Laki-laki Anshar itu mencabut anak panah dan terus
melakukan shalat, lalu laki-laki dari pihak musuh kembali memanah
untuk yang kedua kalinya dan laki-laki Anshar kembali mengulangi
perbuatannya seperti pertama. Seterusnya ia dipanah lagi untuk yang
ketiga kalinya, ia kembali mencabut anak panah dari tubuhnya lalu ruku'
kemudian sujud hingga shalatnya selesai. Setelah itu ia membangunkan
sahabatnya. Ketika sahabatnya melihat darah yang mengucur dari
badannya, ia berkata, "Mengapa engkau tidak membangunkanku pada
kali pertama engkau dipanah?" Laki-laki Anshar menjawab, "Aku sedang
membaca satu surah dan aku tidak ingin memutuskannya." Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi melalui jalur periwayatan yang lain
seraya menyebutkan nama laki-laki dari kalangan Anshar tersebut, yakni
Abbad bin Bisyr, sedangkan laki-laki dari kalangan Muhajirin adalah
Ammar bin Yasir. Adapun surah Al Qur'an yang dibaca adalah surah Al
Kahfi.

—li A—b'yi (Hingga darah keluar dari tubuhnya). Imam Bukhari


memaksudkan riwayat ini sebagai bantahan bagi ulama madzhab Hanafi
yang menyatakan bahwa darah dapat membatalkan wudhu. Apabila
dikatakan, "Mengapa ia melangsungkan shalatnya padahal darah telah
mengenai badan dan pakaiannya, sementara menjauhi najis pada waktu
shalat adalah wajib?"

Pertanyaan ini dijawab oleh Al Khaththabi, "Kemungkinan darah


yang keluar dari badannya saat itu memancar sekaligus sehingga tidak
mengenai badan dan pakaiannya." Namun jawaban ini sulit untuk
diterima. Kemungkinan lain dapat dikatakan bahwasanya darah hanya
mengenai pakaian lalu dilepaskannya, sehingga darah tidak mengalir di
badannya kecuali sedikit dan dimaafkan.
Kemudian riwayat ini menjadi hujjah (alasan) bahwa wudhu tidak
batal dengan keluarnya darah dari badan, meskipun belum ada kejelasan
jawaban mengenai pertanyaan di atas. Nampaknya Imam Bukhari

1 5 4 — FATHUL BAARI
berpendapat bahwa keluarnya darah saat seseorang melakukan shalat
tidaklah membatalkan shalat. Buktinya setelah kisah ini beliau
menyebutkan riwayat dari Al Hasan Al Bashri, dimana dikatakan, "Kaum
muslimin senantiasa shalat dalam keadaan luka-luka." Telah dinukil
melalui riwayat yang shahih bahwa Umar bin Khaththab shalat sementara
lukanya mengeluarkan darah.

j>j\—]t> Jl—J j (Thawus berkata), yakni Thawus bin Kaisan seorang


tabi'in yang cukup masyhur. Riwayat mengenai perkataannya ini telah
disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah berikut para perawinya dengan silsilah
periwayatan yang shahih. Adapun lafazhnya, Wjisj f JJI Ji s'ji 1 olS' AJ\

il—LJ- j^J ^JJI ilp J__i' (Beliau tidak menganggap pada darah itu keharusan
untuk berwudhu, darah itu dicuci darinya dan itu telah mencukupinya)

^_Lc 'j—° JJUWJ (Muhammad bin Ali), yakni putera Husain bin Ali
Abu Ja'far Al Baqir. Riwayat mengenai perkataan beliau ini telah kami
sebutkan berikut para perawinya dalam kitab Fawa'id Al HajidzAbu
Bisyr yang terkenal dengan nama Basmawaih, melalui jalur periwayatan
Al A'masy, dimana ia berkata, "Aku bertanya kepada Abu Ja'far Al
Baqir tentang darah yang keluar dari hidung. Maka beliau berkata,
'Andaikata sungai darah mengalir (dari badan), aku tidak akan
mengulangi wudhu karenanya.'" Adapun A t h a ' a d a l a h Ibnu Abi Rabah,
sedangkan riwayat mengenai perkataannya ini telah disebutkan oleh
Abdurrazzaq dari Ibnu Juraij dari beliau (Atha).

jl s v J i J i i j (Serta ulama Hijaz). Kalimat ini merupakan aneksasi


(athaf) sesuatu yang bersifat umum kepada sesuatu yang bersifat khsusus,
sebab ketiga ulama yang telah disebutkan terdahulu juga termasuk ulama
Hijaz. Keterangan seperti ini telah diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari
Abu Hurairah dan Sa'id bin Jubair. Telah disebutkan pula oleh Ibnu Abi
Syaibah dari tujuh ahli fikih Madinah. Pendapat ini juga merupakan
pendapat Imam Malik dan Syafi'i.

t'ji—' j — j _ _ ° > \ j~a*j- (Ibnu Umar memecahkan bisulnya). Riwayat


mengenai perbuatan Ibnu Umar ini telah disebutkan oleh Ibnu Abi
Syaibah berikut para perawinya dengan silsilah periwayatan yang shahih,

FATHUL BAARI — 155


lalu ditambahkan kalimat ^-Le> (lalu shalat) sebelum kalimat
(tanpa mengulangi berwudhu).

_Lo Jy ^»i jJt cJj-jj (Sementara Ibnu Abi Aufa pernah mengeluarkan
ludah yang bercampur darah). Dia adalah Abdullah, seorang sahabat
Nabi dan anak sahabat nabi SAW. Riwayat mengenai perbuatan beliau
ini telah disebutkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dalam kitab beliau yang
berjudul Al Jami', melalui jalur riwayat Atha' bin As-Sa'ib bahwasanya
ia melihat Ibnu Abu Aufa melakukan hal tersebut. Sufyan mendengar
berita ini dari Atha' sebelum hafalannya bercampur baur, maka silsilah
periwayatan hadits ini shahih.

j—** j — ! ' J i i j (Ibnu Umar berkata). Riwayat mengenai perkataan


beliau ini disebutkan oleh Imam Syafi'i dan Ibnu Abi Syaibah dengan
lafazh i*^-iixi J—p j»*u?-t lii ^ ( B i a s a n y a jika ia berbekam cukup dengan
mencuci tempat-tempat bekam tersebut).

'j L^Jij (dan Al Hasan) yakni Al Bashri. Riwayat mengenai


perkataannya ini telah disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan lafazh,
*—**r\*u> j—Ji J—ii Jli ?<Q* lili Jjt^I j * J-H *ji (Bahwasanya beliau
ditanya tentang orang yang berbekam, apakah yang harus dia lakukan?
Beliau berkata, "Mencuci bekas tempat bekamnya)"

Catatan Penting
Disebutkan dalam riwayat Al Ashili serta selainnya, "Tidak ada
keharusan mencuci bekas-bekas tempat bekamnya." Ini pula yang
dikatakan oleh Al Isma'ili. Lalu Ibnu Baththal berkata, "Dalam riwayat
Al Mustamli yang tertulis adalah, 'Tidak ada baginya keharusan kecuali
mencuci bekas-bekas tempat bekam.'" Riwayat seperti ini juga
ditemukan dalam naskah yang ada pada kami dari riwayat Abu Dzar
melalui ketiga perawi tersebut. Penyebutan riwayat-riwayat tanpa sanad
seperti di atas menguatkan keakuratan berita tersebut. Telah diriwayatkan
dari Laits bahwasanya ia berkata, "Cukuplah bagi orang yang berbekam
untuk menyapu tempat bekam lalu shalat tanpa mencucinya."

1 5 6 — FATHUL BAARI
jlS" C iyC^ J> JUJI JljJ V : S ^ J l i : J l i Vjij» ^ O*

"oi tt s * tt Z ' ' ' s tts J si s ' s s °

Sio ^iaJl '— J - ^ - ^


J 2
IJli jA L» I L oJi>Jl

176. 7e/a/z diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW


bersabda, "Seorang hamba akan senantiasa dianggap seperti
dalam shalat selama berada di dalam masjid menunggu shalat
selama ia tidak berhadats." Seseorang laki-laki ajam bertanya,
"Apakah hadats itu wahai Abu Hurairah? " Beliau menjawab,
"Bunyi (yakni kentut)."

Keterangan Hadits:

J*—LJl ^J> j l T U (Selama berada dalam masjid), maksudnya orang


itu diberi pahala seperti orang yang shalat selama ia menunggu shalat.
Sebab jika tidak dipahami demikian maka tentu dilarang bagi seseorang
untuk berbicara atau melakukan aktivitas lainnya.
Al Karmani berkata, "Dengan disebutkannya kata shalat dalam
bentuk nakirah (indefinit), memberi indikasi bahwa shalat yang sedang
ditunggunya itu adalah satu jenis dengan shalat yang telah
dilakukannya." Pembahasan lebih mendetail tentang hadits ini akan
disebutkan pada bab shalat, insya Allah.
i 'O*
j ^ — ( S e s e o r a n g laki-laki ajam), yakni orang yang tidak fasih
berbahasa Arab baik ia keturunan Arab atau dari bangsa lain. Ada
kemungkinan orang ajam ini adalah Al Hadhrami yang telah disebutkan
pada permulaan kitab wudhu.

oj : Jli (Beliau menjawab, "Suara. '). Demikianlah beliau di


tempat ini menafsirkan Al Hadats dengan "suara", dan penafsiran ini
diperkuat oleh keterangan tambahan dalam riwayat Abu Dawud serta ahli
hadits lainnya, dimana dikatakan, g-Jj j l cSy\e JA *i\ ij^>j V (Tidak ada
# *

wudhu kecuali karena suara, atau bau). Seakan-akan beliau mengatakan,


"Tidak ada wudhu kecuali karena kentut dengan suara keras ataupun

FATHUL BAARI — 157


yang sekedar mendesis." Adapun rahasia kedua hal ini disebutkan secara
khusus, karena selain kedua hal ini umumnya tidak keluar dari seseorang
pada saat berada di masjid. Maka nampaknya yang dipertanyakan di sini
adalah hadats yang biasa terjadi dalam shalat, sebagaimana telah
dijelaskan pada permulaan pembahasan tentang wudhu.

<J j UL' V Jli 0 y I jt- <C^°y£- J,_ jlfp 'Je-


- - ?

U ^ j wL>CJ y Uy£> £x>_^0

1 7 7 . Diriwayatkan dari Abbad bin Tamim, dari pamannya dari


Nabi SA W, "Janganlah ia berpaling hingga mendengar suara atau
mencium bau."

Keterangan Hadits:

A—«i 'j* (Dari pamannya) adalah Abdullah bin Zaid Al Mazini, dan
hadits beliau telah dibahas pada bab "Tidak Berwudhu karena Ragu
hingga Yakin". Adapun maksud disebutkannya di sini adalah, karena
hadits tersebut menunjukkan bahwa batalnya wudhu hanya disebabkan
keluarnya sesuatu dari dua jalan. Di awal pembahasan wudhu telah kami
sebutkan hal-hal lain yang membatalkan wudhu.

~"li «JIJU j cJ^T J s - Jli Jli 2.JL>J| J J u i ^ » j^p


y 's yy y y 0 y 0 0 J yy S y y y y y O y

\ 04 4_)L~4 i y* V I ^ .SIJJLJI o ^li AJJI J J — J JLvl jl

. ji»^P^/l
( <U*— * l j j j f J W J ^ l 4 J3

178. Diriwayatkan dari Muhammad bin Al Hanafiyah, ia berkata,


"Ali berkata, Aku adalah seorang laki-laki yang selalu me-

1 5 8 — FATHUL BAARI
ngeluarkan madzi, dan aku pun malu menanyakan hal itu kepada
Rasulullah. Maka aku memerintahkan Miqdad bin Al Aswad.' Lalu
beliau menanyakannya. Nabi SA W bersabda, 'Baginya wudhu.'
Hadits seperti ini diriwayatkan pula oleh Syu 'bah dari A 'masy.

K e t e r a n g a n Hadits:
y 0 f > s ' s

jLiiSl' j * ilkii o i j j j (Diriwayatkan pula oleh Syu 'bah dari A 'masy),


yakni melalui jalur periwayatan yang sama seperti silsilah periwayatan
hadits di atas. Hadits Syu'bah ini telah disebutkan oleh Abu Dawud Ath-
Thayalisi dalam musnadnya, berikut para perawinya.

' % y y & y ) y s s & s s s y

} «"f y y<* f t. s y O y o t * s sO * y y y O , y _ f ^ s , y £ O y

4 Jl 0 J J L > - ^jj JUJ j l Qj^>~\ j L m J ^jj £,IJ2_P j l <U*JL*


yy y yy y ^ O J ^ ^# y y S' y O^ y y

^,-
li ^>
£a\ 7t ybl y y
O sJ I j Iy c-Ji
s £^
<up «UJI ( ^ i ' j
y %^
O I a tp 0^
j ly l i yP J -^^
1

Jl s Oj S^i J^*Juj a*>\y?H W?^i) L k 5 " OL^iP JU '{fH

179. Diriwayatkan dari Abu Salamah bahwasanya Atha' bin Yasar


mengabarkan kepadanya Zaid bin Khalid mengabarkan kepada-
nya, bahwa ia telah bertanya kepada Utsman bin Affan RA. Aku
berkata, "Bagaimana pendapatmu jika seseorang melakukan
hubungan dengan isterinya namun tidak sampai mengeluarkan
mani? " Utsman menjawab, "Hendaklah ia berwudhu sebagaimana
berwudhu untuk shalat dan mencuci kemaluannya. " Utsman
menambahkan, "Aku mendengarnya dari Rasulullah SAW. "
Akupun bertanya tentang hal itu kepada Ali, Zubair, Thalhah dan
Ubay bin Ka 'ab RA dan semuanya memerintahkan seperti itu.

FATHUL BAARI — 159


Keterangan Hadits :

cJijl (Bagaimana pendapatmu) yakni beritahukan kepadaku.

~»y—laii \ — \ — ' A S \—iuji (Hendaklah ia berwudhu sebagaimana


berwudhu untuk shalat) Ini penjelasan bahwa yang dimaksud dengan
wudhu di sini adalah wudhu dalam pengertian syariat, dan bukan dalam
pengertian bahasa. Hukum persoalan ini akan dibahas pada akhir kitab
Mandi, yang mana di sana akan kami jelaskan bahwa masalah ini telah
dihapus (mansukh). Tidak boleh dikatakan, jika benar ia telah dihapus
mengapa masih dipakai sebagai dalil? Sebab kami katakan, bahwa yang
dihapus dari dalil tersebut adalah tidak adanya kewajiban untuk mandi
setelah berhubungan dengan isteri tanpa mengeluarkan mani. Adapun
dalil yang menghapusnya adalah perintah untuk mandi. Sedangkan
perintah untuk wudhu tetap sebagaimana adanya, sebab wudhu masuk
dalam mandi. Hikmah diperintahkannya berwudhu sebelum ada ke-
wajiban mandi, adalah mungkin karena hubungan suami isteri merupakan
waktu paling rawan untuk keluarnya madzi, atau karena menyentuh
wanita. Maka, dari sini nampaklah korelasi hadits ini dengan judul bab.

180. Telah diriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri bahwasanya


Rasulullah SAW menyuruh untuk memanggil seorang laki-laki dari
kalangan Anshar, laki-laki itupun datang sedang air menetes dari
kepalanya. Maka Nabi bersabda, "Barangkali kami telah mem-
buatmu terburu-buru." Orang itu menjawab, "Benar." Rasulullah
SA W bersabda, "Jika engkau terburu-buru atau bersetubuh tanpa
keluar mani, cukuplah engkau berwudhu saja."

1 6 0 — FATHUL BAARI
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Wahab, ia berkata, "Telah
menceritakan kepadaku Syu'bah." Abu Abdullah (Imam Bukhari)
berkata, "Yahya dan Ghundar tidak menukil kata "wudhu" dari Syu'bah."

Keterangan Hadits:

j< ^flj'Vi 'j» J?-J J j (Mengutus untuk memanggil seorang laki-


laki dari kalangan Anshar) dalam riwayat Imam Muslim serta ahli hadits
lainnya disebutkan, J*-j 'J* 'j* "Beliau SAW melewati seorang laki-laki.'"
Namun kedua riwayat ini dapat disatukan dengan mengatakan bahwa
Nabi SAW melewati seorang laki-laki lalu beliau mengutus seseorang
untuk memanggil laki-laki tersebut. Laki-laki Anshar yang dimaksud di
sini telah disebutkan namanya oleh Imam Muslim dalam riwayatnya dari
jalur yang lain dari Abu sa'id, yaitu Itban. Adapun lafazh hadits ini
seperti yang dinukil dari Syarik bin Abi Namr dari Abdurrahman bin Abu
Sa'id dari bapaknya, ia berkata, "Aku pernah keluar bersama Rasulullah
ke Kuba. Hingga ketika kami berada di tempat bani Salim, Rasulullah
berhenti di depan pintu rumah Itban, dan beliau pun keluar seraya men-
julurkan pakainnya ke lantai. Maka Rasulullah bersabda, "Kita telah
membuat laki-laki ini terburu-buru." Lalu beliau menyebutkan hadits
dengan makna yang sama seperti di atas.

Itban yang disebutkan dalam hadits riwayat Muslim ini adalah


Itban bin Malik Al Anshari, sebagaimana nasabnya telah disebutkan oleh
Baqi bin Makhlad saat beliau meriwayatkan hadits di atas. Namun dalam
riwayat Abu Awanah disebutkan bahwa yang dimaksud adalah putera
Itban, akan tetapi riwayat yang pertama lebih shahih. Lalu diriwayatkan
pula oleh Ibnu Ishaq dalam kitab Al Maghazi dari Sa'id bin Abdurrahman
bin Abu Sa'id dari bapaknya dari kakeknya, akan tetapi disebutkan dalam
riwayat ini, "Maka beliau memanggil salah seorang sahabatnya yang
bernama Shalih." Bila riwayat-riwayat ini dikatakan terjadi dalam waktu
yang berbeda-beda, maka persoalan dianggap tuntas, namun jika tidak
demikian, maka jalur periwayatan imam Muslim jauh lebih tepat.

Kisah yang serupa telah terjadi pula pada diri Rafi' bin Khudaij
serta selain beliau, seperti dikutip oleh Imam Ahmad dan para ahli hadits
lainnya. Akan tetapi yang paling tepat bahwa yang dimaksud dengan
laki-laki dalam riwayat Imam Bukhari adalah Itban, wallahu a 'lam.

FATHUL BAARI — 161


'j—iaii (menetes), yakni air menetes dari kepalanya karena selesai
mandi.

»OL_il£t£l I LU) (Barangkali kami telah membuatmu terburu-buru),


yakni membuatmu tergesa-gesa dalam menyelesaikan hubunganmu
dengan isterimu.
Dalam hadits ini terdapat keterangan bolehnya menarik kesimpulan
suatu persoalan berdasarkan faktor-faktor tertentu yang mendukung.
Karena ketika sahabat tersebut agak lama menemui Nabi - y a n g mana
masa tersebut cukup bagi seseorang untuk mandi- dan ini bukan
merupakan kebiasaan dia yang selalu cepat menyambut panggilan Nabi
SAW, dan ketika beliau melihat tetesan-tetesan air jatuh dari kepalanya,
maka hal ini memberi petunjuk bahwa sahabat tersebut selesai melakukan
hubungan dengan isterinya.

Di samping itu, dalam hadits ini terdapat pula keterangan


disukainya untuk senantiasa berada dalam keadaan suci, karena di sini
Nabi SAW tidak mengingkari perbuatan sahabat tersebut yang mandi
lebih dahulu meskipun terlambat menyambut panggilan beliau. Seakan-
akan peristiwa ini terjadi sebelum diwajibkannya menyambut panggilan
Nabi, sebab suatu kewajiban tidak boleh diakhirkan hanya karena
melakukan perkara yang sunah. Saat itu Itban telah memohon kepada
Nabi agar berkunjung kepadanya sekaligus shalat di rumahnya, agar
tempat tersebut dijadikannya sebagai mushalla (tempat shalat), maka
Nabi pun memenuhi permohonannya sebagaimana akan diterangkan
lebih lanjut. Ada kemungkinan peristiwa ini terjadi pada saat itu. Maksud
beliau lebih dahulu mandi agar siap untuk shalat bersama Nabi, wallahu
a 'lam.
s fay a f r-
'c—lafsi jl 'c bx*i \}\ (Jika engkau terburu-buru -atau bersetubuh
* s '
a
i

tanpa mengeluarkan mani) Penulis kitab Al Afal berkata, bj yr~J\


jy—i ^Jj ^ib> (Dikatakan seorang laki-laki telah ditimpa musim kemarau,
apabila tidak mengeluarkan air mani dalam hubungan suami-isteri). Arti
dasar kata Ja—*3 adalah tidak turun hujan dalam waktu lama, lalu kata
tersebut digunakan dalam arti seseorang yang tidak mengeluarkan air
mani saat melakukan hubungan suami-isteri.

1 6 2 — FATHUL BAARI
Al Karmani berkata, lafazh "atau" pada hadits di atas bukan
menunjukkan keraguan dari para perawi, namun untuk menjelaskan
bahwa apakah air mani itu tidak keluar karena sebab dari luar dirinya
atau dari dirinya sendiri adalah sama hukumnya.

1 aj iiJl; (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Wahab), yakni Ibnu


Jarir bin Hazim. Maksudnya di samping diriwayatkan oleh An-Nadhr
(salah seorang perawi hadits di atas), hadits ini diriwayatkan pula oleh
Wahab. Adapun riwayat Wahab ini telah disebutkan oleh Abu Al Abbas
As-Siraj dalam Musnad-nya dari Ziyad bin Ayyub dan sebagainya.
Perkataan beliau, (Yahya dan Ghundar tidak menukil kata "wudhu"
dari Syu'bah) yakni ghundar (Muhammad bin Ja'far) dan Yahya bin
Sa'id Al Qaththan telah meriwayatkan pula hadits ini dari Syu'bah
dengan silsilah periwayatan serta kandungan hadits yang sama seperti di
atas, akan tetapi keduanya tidak menukil lafazh, S-^JJI iOi- (Hendaklah
engkau berwudhu). Adapun Yahya, sebagaimana yang beliau katakan.
Riwayat beliau telah dinukil oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya,
dengan lafazh J—'-~* c\—llc J.—1J (Tidak ada bagimu keharusan mandi).
Sedangkan riwayat Ghundar telah dinukil pula oleh Imam Ahmad dengan
menyebutkan "wudhu". Adapun lafazhnya, «j—i»jJi liille- dllLc- jLs- 'i
(Tidak ada bagimu keharusan mandi dan hendaklah engkau berwudhu).
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibnu Majah, Al
Isma'ili serta Abu Nu'aim dari berbagai jalur periwayatan dari beliau.
Seperti itu pula yang dinukil oleh mayoritas murid Syu'bah, seperti Abu
Dawud Ath-Thayalisi dan lain-lain.
Seakan-akan sebagian guru Imam Bukhari telah menceritakan
kepadanya dari Yahya dan Ghundar secara bersamaan, namun mereka
hanya menyebutkan lafazh yang diriwayatkan oleh Yahya, wallahu
a lam.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat,
sebagaimana yang akan kami sebutkan pada akhir pembahasan tentang
"Mandi", insya Allah.

FATHUL BAARI — 163


35. Mewudhukan Orang Lain

^^Jl Jlp 4i^p J ^?Ls! uli * H Jjl J j ! jjj <UO ^


A J L P STFL C—LjonJ l - B J ^ 4_«L*I J L I <U>-L>- I__~JCJUJI

181. Telah diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, bahwasanya


Rasulullah SAW ketika kembali dari Arafah, beliau SAW
mengambil jalan setapak di suatu bukit lalu menunaikan hajatnya.
Usamah bin Zaid berkata, "Maka aku pun menuangkan air untuk
beliau ketika berwudhu. Lalu aku bertanya, 'Wahai Rasulullah,
apakah engkau akan shalat?'" Beliau bersabda, "Nanti di tempat
perhentian di depan."

Katerangan Hadits:
Maksud judul bab tersebut adalah, apakah hukum perbuatan
tersebut?

\—i»jsjj A—li* "L—[Akupun menuangkan air untuk beliau pakai


berwudhu), lafazh ini telah dijadikan dalil oleh Imam Bukhari untuk
membolehkan minta bantuan orang lain dalam berwudhu. Akan tetapi
mereka yang mengatakan bahwa hal tersebut makruh hukumnya -berlaku
pada saat tidak ada kesulitan atau kebutuhan mendesak- tidak dapat
berdalil dengan hadits Usamah, sebab peristiwa ini terjadi pada saat safar
(bepergian). Demikian pula hadits Mughirah yang telah disebutkan.

Ibnu Munir berkata, "Imam Bukhari menganalogikan persoalan


mewudhukan orang lain dengan perbuatan Usamah yang menuangkan air
wudhu untuk Nabi SAW karena adanya kesamaan, yaitu keduanya sama-
sama meminta bantuan." Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Akan tetapi
perbedaan antara kedua persoalan tersebut sangat jelas."
Dalam persoalan ini Imam Bukhari tidak menegaskan apakah
perbuatan ini boleh atau tidak, sebagaimana yang biasa ia lakukan dalam
masalah-masalah yang tidak memiliki dasar yang jelas.

1 6 4 — FATHUL BAARI
Imam An-Nawawi berkata, "Meminta bantuan dapat di
kelompokkan dalam tiga bagian; p e r t a m a , minta bantuan untuk
dibawakan air, dan ini tidaklah dimakruhkan sama sekali. Aku katakan,
"Akan tetapi yang lebih utama adalah tidak meminta bantuan." K e d u a ,
diwudhukan oleh orang lain, dan ini hukumnya makruh kecuali bila ada
kebutuhan yang mendesak. Ketiga, minta bantuan untuk menuangkan air,
dan ini memiliki dua sisi; yaitu dimakruhkan dan menyalahi yang lebih
utama.

Namun perkataan Imam An-Nawawi ini dibantah dengan


mengatakan, jika telah jelas bahwa Nabi SAW melakukan hal itu, maka
tidak boleh dikatakan hal itu menyelisihi perbuatan yang lebih utama.
Bantahan ini saya (Ibnu Hajar) jawab dengan mengatakan, "Terkadang
Nabi SAW melakukan hal itu untuk menjelaskan kebolehannya, maka
bagi beliau perbuatan itu tidaklah menyelisihi yang lebih utama, berbeda
dengan selain beliau."

Al Karmani mengatakan, "Jika memang lebih utama untuk


ditinggalkan, maka mengapa diperselisihkan tentang kemakruhannya?"
Pertanyaan beliau ini saya jawab, "Semua yang makruh dilakukan, maka
perbuatan itu pasti menyalahi yang lebih utama. Namun hal ini tidak
berlaku sebaliknya, sebab makruh kadang dipergunakan untuk mengung-
kapkan sesuatu yang haram, berbeda dengan yang lain."

A jlj y} y jjpjfe «UJl J y j 4jl <U*^i ji Ojji-«j! jf-


l i f' ' y i, t , ' 'y t * i' f' , y y y'

Alif- {.LaJl ab
o ' , 0

\ v 3 yj j &J •_ -,y>l J j t ? r «Jl*-* 0 1 J A] 4J*-L>*J I

J* c~*-> cr^J

182. Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu 'bah bahwa dia bersama
Nabi SA W dalam suatu perjalanan dan Nabi SA W pergi untuk
buang hajat. Mughirah bin Syu 'bah menuangkan air untuk beliau
ketika berwudhu. Beliau membasuh mukanya dan kedua tangannya
lalu mengusap sepatunya.

FATHUL BAARI — 165


Keterangan Hadits:

A15I ^ L > AJJI


( JjLj JVS' AJ( (Bahwasanya dia bersama Nabi
SA W), di sini Urwah (yang meriwayatkan hadits ini dari Mughirah) telah
meriwayatkan hadits ini sebagaimana teks yang diucapkan oleh bapaknya
sendiri (Mughirah). Sebab, jika tidak demikian maka konteks kalimat itu
harusnya berbunyi, "Sesungguhnya aku". Sama dengan perkataannya,
"Dan bahwasanya Mughirah bin Syu'bah menuangkan air."
Pembahasan secara mendetail tentang hadits ini akan dijelaskan
pada pembahasan mengusap sepatu.
Adapun maksud Imam Bukhari menyebutkannya di tempat ini
adalah sebagai dalil bolehnya minta bantuan dalam wudhu. Ibnu Baththal
berkata, "Ini termasuk perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah namun boleh diwakili orang lain, berbeda dengan shalat." Beliau
menambahkan pula, "Imam Bukhari berdalil dengan perbuatan seseorang
yang membantu menuangkan air untuk saudaranya yang sedang wudhu
sebagai bukti bolehnya mewudhukan orang lain. Karena seseorang yang
berwudhu tidak mungkin menghindar dari menciduk air dengan
tangannya sendiri, maka perbuatan ini boleh diwakilkan kepada orang
lain dengan cara menuangkan air tersebut kepadanya. Demikian pula
dengan amalan wudhu yang lain."

Perkataan Ibnu Baththal ini dibantah oleh Ibnu Munir, "Menciduk


air hanyalah sarana dan bukan tujuan yang sebenarnya. Sebab jika se-
seorang menciduk air lalu berniat wudhu, maka hal ini diperbolehkan.
Sedangkan apabila menciduk air itu suatu amalan tersendiri, niscaya
tidak diperkenankan untuk mengakhirkan niat."
Kesimpulannya, ada perbedaan antara meminta bantuan untuk
menuangkan air dengan meminta bantuan untuk diwudhukan orang lain.
Inilah perbedaan yang telah kami isyaratkan sebelumnya.
Kedua hadits yang telah disebutkan oleh Imam Bukhari memberi
keterangan bahwa meminta bantuan kepada orang lain untuk menuang-
kan air wudhu adalah tidak makruh hukumnya, dan tentu lebih tidak
dimakruhkan lagi jika meminta bantuan untuk dibawakan air. Adapun
minta bantuan diwudhukan orang lain, tidak ada dalam kandungan hadits
tersebut yang mengindikasikan akan hal itu, hanya saja sangat disukai
bila tidak meminta bantuan sama sekali dalam wudhu.

1 6 6 — FATHUL BAARI
Adapun yang diriwayatkan oleh Ja'far Ath-Thabari dari Ibnu Umar
bahwa ia berkata, "Aku tidak perduli siapa yang membantuku dalam
bersuci, ruku' maupun sujud." Dapat dipahami, bahwa yang dimaksud-
kan adalah meminta bantuan dalam menuangkan air berdasarkan apa
yang diriwayatkan oleh Ath-Thabari serta ulama lainnya dari Mujahid,
bahwa beliau biasa menuangkan air untuk Ibnu Umar pada saat beliau
mencuci kedua kakinya.
Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak dari hadits
Ar-Rubai' binti Mu'awwadz bahwa ia berkata, "Aku membawakan Nabi
SAW air wudhu, maka beliau bersabda, 'Tuangkanlah air itu untukku,'
aku pun menuangkan air untuknya." Riwayat ini sangat tegas menyata-
kan tidak adanya hukum makruh dibanding dua hadits terdahulu, sebab
peristiwa ini terjadi saat tidak dalam bepergian (safar), disamping itu
riwayat tersebut disampaikan dengan lafazh perintah. Akan tetapi hadits
ini tidak memenuhi persyaratan hadits shahih yang dimuat dalam kitab
Bukhari maupun Muslim.

FATHUL BAARI — 167


36. Membaca Al Qur"an setelah Hadats dan Selainnya

Manshur berkata dari Ibrahim, "Tidak mengapa membaca dalam


kamar mandi, serta menulis risalah tanpa berwudhu. "Hammad
berkata dari Ibrahim, "Jika mereka memakai sarung maka berilah
salam, dan jika tidak maka janganlah engkau memberi salam.''''

Keterangan Hadits:
(Membaca Al Qur'an setelah hadats), yakni hadats kecil. Sedang
perkataan beliau (dan selainnya), maksudnya kondisi-kondisi yang
diduga adanya hadats. Al Karmani berkata, "Kata ganti pada 'selainnya'
kembali kepada Al Qur'an. Maksudnya, bab membaca Al Qur'an dan
selainnya berupa dzikir, salam atau yang seperti keduanya setelah ber-
hadats." Namun konsekuensi perkataan ini, berarti telah terjadi pemisah-
an antara dua kata yang saling berkaitan. Di samping itu, apabila mem-
baca Al Qur'an dalam keadaan hadats diperbolehkan, maka perbuatan
lain seperti dzikir lebih dibolehkan lagi. Oleh karena itu, tidak perlu
penafsiran seperti yang beliau (Al Karmani) katakan. Berbeda dengan
hal-hal yang membatalkan wudhu selain hadats. Pada pembahasan
terdahulu telah diterangkan apa yang dimaksud dengan hadats, dan ini
mendukung apa yang telah saya jelaskan.

j\—lj (dan Manshur berkata), maksudnya Manshur bin Al


Mu'tamir. Sedangkan Ibrahim adalah Ibrahim An-Nakha'i. Perkataan
An-Nakha'i ini telah disebutkan oleh Sa'id bin Manshur dari Abu
Awanah dari Manshur (bin Al Mu'tamir) dari beliau (Ibrahim An-
Nakha'i). Diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq dari Ats-Tsauri dari
Manshur, ia berkata, "Aku bertanya kepada Ibrahim tentang membaca Al

1 6 8 — FATHUL BAARI
Q u f an saat berada di kamar mandi, maka beliau menjawab, 'Tidak ada
keterangan mengenai hal itu.'" Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Tidak ada
kontradiksi antara riwayat ini dengan yang diriwayatkan oleh Abu
Awanah, sebab riwayat yang dinukil oleh Abu Awanah sekedar memberi
keterangan tentang bolehnya perbuatan itu secara mutlak." Telah
diriwayatkan juga oleh Sa'id bin Manshur dari Muhammad bin Abban
dari Hammad bin Abu Sulaiman, ia berkata, "Aku bertanya kepada
Ibrahim tentang membaca di dalam kamar mandi, maka beliau men-
jawab, 'Hal itu tidak disukai (makruh).' Akan tetapi silsilah periwayatan
yang pertama lebih shahih."

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Ali, ia berkata,


"Seburuk-buruk rumah adalah kamar mandi, dicabut padanya rasa malu,
dan tidak dibaca di dalamnya Kitabullah." Namun perkataan ini tidak
menunjukkan bahwa membaca Al Cjur'an di dalam kamar mandi
hukumnya makruh, bahkan ia hanya menceritakan kenyataan dimana
umumnya kamar mandi bukanlah tempat untuk membaca Al Q u f a n .
Pendapat tentang makruhnya membaca Al Qur'an di dalam kamar
mandi telah dinukil dari Abu Hanifah, akan tetapi sahabat beliau, -yakni
Muhammad bin Al Hasan dan Malik- mengatakan hal itu tidaklah
makruh, sebab tidak ada dalil khusus mengenai hal ini. Pendapat yang
mengatakan tidak makruh membaca Al Qur'an di kamar mandi telah
ditegaskan oleh dua ulama mazhab Syafi'i, masing-masing penulis kitab
Al Uddah serta penulis kitab Al Bayan.
Imam An-Nawawi berkata dalam kitabnya At-Tibyan, "Diriwayat-
kan dari para ulama madzhab kami (Syafi'i), bahwa hal ini tidaklah
makruh." Perkataan ini tanpa perincian sama sekali. Akan tetapi dalam
kitab Syarh Al Kifayah disebutkan, "Tidak sepantasnya membaca Al
Qur'an dalam kamar mandi." Lalu Al Hulaimi menyamakan hukum
membaca Al Qur'an di kamar mandi dengan membacanya saat sedang
buang hajat.

Adapun As-Subki cenderung memilih pendapat yang menganggap


tidak makruh, dan beliau menguatkan pilihannya ini dengan alasan
bahwa membaca Al Qur'an merupakan perkara yang disukai serta
memperbanyak membacanya adalah hal yang dianjurkan. Sementara
hadats kadang seringkah terjadi, maka apabila makruh membaca saat
seperti itu niscaya akan luput kebaikan yang sangat banyak." Kemudian
beliau menambahkan, "Hukum membaca dalam kamar mandi adalah,

FATHUL BAARI — 169


apabila berada di tempat yang bersih tanpa membuka aurat maka tidak
makruh, sedangkan jika tidak demikian maka makruh hukumnya."

Demikian yang banyak


diriwayatkan, yaitu menggunakan kata kerja mudhari' (present tense).
Adapun riwayat Karimah menggunakan lafazh s — = £ J yang diathafkan

(dianeksasikan) kepada kalimat 3«.I^53L>

Riwayat ini juga disebutkan oleh Abdurrazzaq dari Ats-Tsauri dari


Manshur, ia berkata, "Aku bertanya kepada Ibrahim, 'Apakah aku boleh
menulis risalah tanpa berwudhu?' Beliau menjawab, "Ya." Dari riwayat
ini menjadi jelas, bahwa perkataan beliau "tanpa wudhu" berhubungan
dengan "menulis", bukan berkaitan dengan masalah "membaca Al
Qur'an" di kamar mandi. Karena telah menjadi kebiasaan dalam menulis
risalah dimulai dengan ucapan basmalah, maka sang penanya mengira
bahwa menulis risalah makruh hukumnya bagi orang yang tidak ber-
wudhu. Akan tetapi ada kemungkinan bahwa penulis risalah tidak ber-
maksud untuk membaca basmalah, sehingga hukumnya tidak dapat
disamakan dengan orang yang membacanya.

Hammad dalam riwayat tersebut adalah Hammad bin Abu


Sulaiman, salah seorang ahli fikih di Kufah. Sedangkan Ibrahim, yakni
Ibrahim An-Nakha'i.

[«, i °Xt- jlS" jl (Jika mereka memakai), maksudnya orang-orang yang

berada dalam kamar mandi. Perkataan beliau j ' j ! (sarung), maksudnya


setiap salah seorang di antara mereka yang mengenakannya.
Riwayat mengenai perkataan Ibrahim ini telah disebutkan oleh Ats-
Tsauri dalam kitabnya/4/ Jami'. Adapun larangan memberi salam kepada
mereka bisa saja sebagai sikap meremehkan, karena mereka sedang
melakukan bid'ah. Bisa pula karena dengan diberi salam, maka
mengharuskan mereka untuk menjawabnya. Sementara dalam salam itu
ada unsur dzikir kepada Allah, karena salam adalah salah satu di antara
nama-nama-Nya. Di samping itu, ucapan q£4s- j»'AUl termasuk lafazh Al
Qur'an. Adapun orang yang tidak mengenakan pakaian sama seperti
orang yang berada di tempat buang hajat. Berdasarkan penjelasan ini,
dapat dimengerti maksud dicantumkannya riwayat dari Ibrahim An-
Nakha'i di bawah judul bab ini.

1 7 0 — FATHUL BAARI
* . -'O J. s s s s s t 0 s I / 0 t } Os s

^ J' 3 / ^ t 0 s ^ > 0 S $ s % 0 > £ s ss

f J r 1
^ J ^ f e c / ^ 1
J^ ^ 3
s s s " s s
} st
s &s
s
s s , 0 < H ^ s s t j ,
f ' / * ass
3 s- }
W« j_ 0^^
0 y
W
. ^
y }
O .-X
O s
u

183. Telah diriwayatkan dari Kur aib -mantan budak Ibnu Abbas-
sesungguhnya Abdullah bin Abbas mengabarkan kepadanya,
bahwasanya suatu malam dia pernah menginap di rumah
Maimunah salah seorang istri Nabi -dan ia adalah bibi Ibnu
Abbas- maka aku pun berbaring melintang di atas bantal
sementara Rasulullah SAW dan istrinya tidur dengan posisi
membujur. Lalu Rasulullah tidur hingga pertengahan malam -atau
sedikit lebih kurang- Rasulullah bangun, beliau duduk seraya
mengusap matanya dengan tangan untuk menghilangkan rasa
kantuk. Kemudian beliau membaca sepuluh ayat yang terakhir
dalam surah Aali Imraan. Setelah itu beliau berdiri menuju bejana
yang tergantung lalu berwudhu dari bejana tersebut seraya
memperbaiki wudhunya. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan
shalat. Ibnu Abbas berkata, 'Akupun berdiri dan melakukan

FATHUL BAARI — 171


seperti apa yang ia lakukan, kemudian aku menghampirinya dan
berdiri di dekatnya. Maka Rasulullah meletakkan tangannya di
atas kepalaku lalu memegang telinga kananku seraya menjewer-
nya. Beliau SAW shalat dua rakaat, kemudian dua rakaat,
kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat,
kemudian dua rakaat, lalu beliau shalat witir. Setelah itu beliau
berbaring hingga datang Mu'adzdzin kepadanya, maka beliau
shalat dua rakaat dengan ringkas kemudian keluar untuk shalat
shubuhr

Keterangan Hadits:

l^M^aluLi (Maka aku pun berbaring) Yang mengucapkan perkataan


ini adalah Ibnu Abbas, dan di sini terdapat pergantian cara penyajian dari
orang ketiga menjadi orang pertama. Sebab seharusnya dikatakan, "Maka
ia pun berbaring.." karena sebelumnya telah dikatakan, "Bahwasanya
suatu malam dia nginap..."

o t f t l 'JiJA\ j^j (Kemudian beliau membaca sepuluh ayat) yakni


« i ' , i *

dimulai dari firman Allah, J ^ j ^ j o f ^ i l J i j l > J> j j "Sesungguhnya pada


penciptaan langit dan bumi... " ^Qs. Aali Imraan : 190-200^
Ibnu Baththal dengan orang-orang yang sependapat dengannya
berkata, "Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi mereka yang tidak
menyukai membaca Al Qur'an tanpa berwudhu, sebab beliau membaca
ayat-ayat tersebut bangun tidur tanpa berwudhu terlebih dahulu." Akan
tetapi perkataan ini dibantah oleh Ibnu Munir dan lainnya, dimana
mereka mengatakan, "Pendapat di atas berdasarkan bahwa tidur Nabi
juga membatalkan wudhu, padahal kenyataannya tidak demikian. Karena
beliau SAW bersabda, ^ ^ ^ (Kedua mataku tertidur namun
hatiku senantiasa terjaga). Adapun tindakan beliau berwudhu setelah
bangun tidur, ada kemungkinan hal itu hanyalah untuk memperbaharui
wudhu saja atau karena beliau berhadats."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Ini merupakan bantahan yang baik bila
dihadapkan kepada perkataan Ibnu Baththal yang beralasan dengan
perbuatan Nabi SAW yang tidak berwudhu setelah bangun tidur, sebab
tidak ada kejelasan dalam hal ini apakah terjadi hadats pada diri beliau

1 7 2 — FATHUL BAARI
saat tidur. Tetapi karena beliau berwudhu saat bangun tidur, maka
indikasi terkuat yang dapat kita pahami dari perbuatan ini adalah beliau
berhadats. Tidak adanya kemestian bahwa tidurnya Rasulullah tidak
membatalkan wudhu, maka tidak terjadi pula hal-hal yang membatalkan
wudhu pada saat beliau tidur. Hanya saja yang menjadi keistimewaan
beliau, bahwa bila terjadi pada dirinya sesuatu yang membatalkan wudhu
niscaya beliau menyadarinya, berbeda dengan manusia pada umumnya.
Adapun klaim yang mereka kemukakan bahwa perbuatan Nabi tersebut
hanyalah untuk memperbaharui wudhu ataupun karena sebab-sebab lain,
pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak ada." Pada pembahasan
terdahulu telah dikemukakan pandangan Al Isma'ili yang mirip dengan
apa yang dikatakan Ibnu Munir.

Kemungkinan terkuat mengenai hubungan hadits ini dengan judul


bab adalah apabila seseorang berbaring bersama istrinya di tempat tidur,
maka sudah dapat dipastikan akan bersentuhan dengan kulit istrinya.
Kesimpulan ini mungkin dapat ditarik dari perkataan Ibnu Abbas,
"Akupun berdiri dan melakukan seperti apa yang beliau lakukan..."
Imam Bukhari tidak memaksudkan bahwa tidur Nabi dapat
membatalkan wudhu, sebab di akhir hadits ini, seperti yang beliau nukil
di bab "Berlaku ringan dalam berwudhu", beliau menyebutkan perkataan
Ibnu Abbas, "Kemudian beliau berbaring dan tidur hingga mendengkur,
setelah itu beliau shalat."
Dalam Al Halabiyat oleh As-Subki -setelah mencantumkan
bantahan Al Isma'ili- disebutkan, "Ada kemungkinan Imam Bukhari ber-
alasan dengan perbuatan Ibnu Abbas yang beliau lakukan di hadapan
nabi, atau berbaringnya nabi dengan istrinya serta persentuhan diantara
keduanya dapat membatalkan wudhu."
Saya (katakan), "Dari hadits ini dapat dipahami makna hadats pada
judul bab ini, yakni khusus hadats kecil. Sebab jika yang dimaksud
adalah hadats besar, tentu beliau tidak hanya berwudhu, tapi beliau akan
mandi sebelum melakukan shalat."

j—^» U Ji» c*:Vtf c~*i3 (Akupun berdiri dan melakukan seperti apa
yang beliau lakukan), dalam bab 'berlaku ringan dalam berwudhu' telah
disebutkan isyarat mengenai pembahasan ini. Untuk penjelasan lebih
lanjut tentang hadits di atas akan diterangkan pada kitab Witir, insya
Allah.

FATHUL BAARI — 173


Catatan Penting
Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Umar
tentang makruhnya berdzikir kepada Allah setelah berhadats. Tetapi
hadits tersebut tidak memenuhi pensyaratan hadits shahih yang dijadikan
standar oleh Imam Bukhari.

37. Tidak Berwudhu kecuali karena Hilangnya


Kesadaran yang Cukup Berat

D , y O & y Z y O y „ " " ( i ' f'* 0 0


" O f O y O y

y o z ' . * s s V s S ^ y y y g£ O

IlJ I * :olii LS w i J 2^Jli ^ li^j JJLUJ J»Lj ^l-Jt bLi


1* ^ O } s 3> y ^ / yy O y yy

4 jl : o lii 4 Ul jL>J— : c J l i j {.UJLJl j^<J liJLu O j L i l i


y y % f. 't. } 3
" ' j 9
^ ^ jl -* 0 ^ 0 ^- £ •

(3ji iw—s^l C-ljOr j J~*^ J*^^ J^ 0-«-A3 Cj*JU OjLili


^ % y 0 / / # & y ^ y y ^ yy ? g^-

J <ulp J^ ^ ^1 j Uii .^.l* j

y s Z £ s 0 ^ 0 ^ ^ 0 J >
; / iC £ l Z, ' " ' Z ' ' Zs °
s—i/ j 1
j ^ 1
J r^ 5 1
lstj 1
j ^ j
> ^ J x- ^-^ s & s 3 y y
0
y* * - ' f
1
>-0 > yO f O ti-'lf. f fvt L.^^fi ^O.O

-•- y s
/t' S , * * ( ' j w ^ ^ ' * ^ 0 C O ' * C
• "^1 •• ll; IjVli- 4jjl J j — j »L»i»T_4 'y\ J ^ i j
:: cJli dJJi l $ 1
0
O O ' ' O y ' ^ ' f' 9 Z' Z ~' a s i ' s y*'
d\ I TA"& J ai l^JCa jt-> ;<*J J lili u*Jl j ll«l j liorli (_<j JL^Jl j

1 7 4 — FATHUL BAARI
184. D a n Hisyam bin Urwah, dari istrinya (Fathimah), dari
neneknya (Asma' binti Abu Bakar) bahwasanya ia berkata, "Aku
mendatangi Aisyah -istri Nabi SAW- ketika terjadi gerhana
matahari, dan ternyata saat itu manusia sedang berdiri melakukan
shalat, demikian pula Aisyah sedang berdiri melakukan shalat. Aku
berkata, Apa gerangan yang terjadi dengan manusia?' Aisyah
mengisyaratkan dengan tangannya ke arah langit seraya berkata,
'Subhanallah (Maha Suci Allah).' Aku berkata lagi, 'Bukti ke-
kuasaan Allah? 'Aisyah mengiyakan dengan isyarat. Maka aku pun
berdiri hingga hilang kesadaran, lalu aku menyiramkan air ke atas
kepalaku. Ketika Rasulullah selesai, beliau memuji Allah dan
menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda, 'Tidak ada sesuatu-
pun yang belum aku lihat melainkan telah aku lihat di tempat ini,
hingga surga dan neraka. Telah diwahyukan kepadaku bahwa
kamu akan ditimpa fitnah (ujian) di kubur -sama atau hampir
sama- dengan fitnah Dajjal (Fathimah berkata, "Aku tidak tahu
mana di antara kedua perkataan itu yang diucapkan oleh Asma').
Salah seorang di antara kamu akan didatangi lalu dikatakan
kepadanya, 'apakah yang engkau ketahui tentang laki-laki ini? "
Adapun orang yang beriman atau orang yang yakin (Fathimah
berkata, "Aku tidak tahu mana di antara kedua perkataan itu yang
diucapkan oleh Asma ) akan menjawab, "Dia adalah Muhammad
Rasulullah. Dia telah datang kepada kami dengan membawa
penjelasan-penjelasan yang nyata serta petunjuk. Kami pun
menyambut ajakannya, beriman dan mengikutinya. " Maka di-
katakan kepadanya, tidurlah dengan tenang. Sungguh kami telah
mengetahui bahwa engkau adalah seorang yang beriman. Adapun
orang munafik atau orang yang ragu (Fathimah berkata, "Aku
tidak tahu mana di antara kedua perkataan itu yang diucapkan
oleh Asma) akan menjawab, "Aku tidak tahu, aku hanya men-
dengar manusia mengatakan sesuatu maka akupun mengata kan
seperti itu.'"

FATHUL BAARI — 175


Keterangan Hadits:
(Tidak berwudhu kecuali hilang kesadaran) maksud Imam Bukhari
menyebutkan bab ini adalah sebagai isyarat akan sikap beliau yang tidak
sependapat dengan orang yang mewajibkan wudhu akibat hilangnya
kesadaran, tanpa membedakan antara yang ringan maupun berat. Adapun
makna selengkapnya judul bab ini adalah, "Bab yang menerangkan
seseorang tidak berwudhu karena hilangnya kesadaran kecuali kesadaran
yang cukup berat."

^—(Hingga hilang kesadaran). Ibnu Baththal berkata, "Hilang


kesadaran (yang dalam bahasa Arab disebut Al Ghasyyu- Penerj.) adalah
sejenis penyakit yang biasa dialami manusia karena lelah atau lama
berdiri. ' Hal seperti ini termasuk dalam kategori pingsan atau lebih
6

ringan darinya, hanya saja Asma menyiramkan air ke kepalanya untuk


menolak perasaan tersebut. Andaikata hilangnya kesadaran ini cukup
berat maka tentu akan sama dengan pingsan, dimana kondisi seperti ini
akan membatalkan wudhu menurut ijma' ulama."

Keterangan bahwa beliau sendiri yang menyiramkan air ke atas


kepalanya memberi indikasi kalau indranya masih aktif, oleh sebab itu
hal ini tidak membatalkan wudhu. Adapun yang menjadi dasar mengapa
kejadian ini dijadikan sebagai dalil, adalah karena Asma' melakukan itu
saat shalat menjadi makmum kepada Nabi SAW, padahal diketahui
bahwa Nabi SAW melihat apa yang terjadi di belakangnya pada saat
shalat. Sementara tidak dinukil keterangan bahwa beliau SAW meng-
ingkari perbuatan Asma".
Sebagian pembahasan hadits ini telah dijelaskan pada kitab Ilmu.
Pembahasan selanjutnya akan diterangkan pada kitab Shalat Al Kusuf
(gerhana), insya Allah.

6 )
Terkadang pula kejadian seperti ini dialami manusia di saat melihat atau mendengar hal-
hal yang luar biasa (Takjub), seperti kejadian dalam hadits ini.

1 7 6 — FATHUL BAARI
38. Mengusap Kepala Secara Keseluruhan

Berdasarkan firman Allah SWT, 'pZ—^jjjt ljkU>lj "Dan Sapulah


kepala-kepala kamu." (Qs. Al Maa'idah (5): 6)

* s- $s O J- f J- s J-
O l(i °'' ^ ^ ^ i . l'" t l ^ Q s s / O s _c
* H ^ I (l ^ I

Ibnu Musayyab berkata, "Wanita sama dengan laki-laki, dimana ia


harus mengusap kepalanya."
Imam Malik pernah ditanya, "Apakah mencukupi jika mengusap
sebagian kepala saja?" Maka beliau berhujjah dengan hadits Abdullah bin
Zaid.

/ & J- ^ ^ } ' c c <f 0

Ojj y 4JJI Jli Jl o I ^p ^yjUjl l 5 ^ J j^A-f-


& % ^ / s / s j 0
£ Jt i * ) '

A Ul J yy j jlS" y jl ^Jil^jl ^gP*<-l Ji 3

4_JJj ^Jlp ^ y l i «.Uj LPJJ i^JU :Jjj 4JJI J L P JUi ^


^ >• J- j' / . f J' J' j' , } . S

j, 1 \ I*>\J < p r j \y^S- p_i b*>\j ^ i ^ l j ( J ^ ^ 2 - * jvJ jjy> J-~*4


j- 0 J' J- ^ f s J' 0 J' y y ' '

Jj»l . ,

i AJOJJ -U-I J ^
O J- J- i ' '

4
' *

^
\.

^^Jl
0 , 0 .

^l
i.

j^'y
O j-iji J'

^"y>
O StM s 0 J- J'

AJUJ J ~ P
I J' ,

^ 5* s ^. } % / / J- s ^ g^- >- •** Jl £ o £^

I * J O j j*J OLA5 ^Jj <w-JO c_5^ (Jb j J - ^ J

.A!L>-J JI~P ^" AL. IUJ c^iJl j l T U l ^1

FATHUL BAARI — 177


185. Telah diriwayatkan dari Amru bin Yahya Al Mazini, dari
bapaknya bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin
Zaid -dan beliau adalah kakek Amru bin Yahya, 'Apakah engkau
dapat memperlihatkan kepadaku bagaimana caranya Rasulullah
berwudhu? " Abdullah bin Zaid berkata, "Ya. "Maka beliau minta
dibawakan air wudhu, lalu dia menuangkan air ke tangannya dan
mencucinya dua kali. Kemudian beliau berkumur-kumur dan
mengeluarkan air dari hidung sebanyak tiga kali, lalu membasuh
wajahnya tiga kali. Kemudian beliau membasuh kedua tangannya
dua kali-dua kali sampai siku, lalu mengusap kepalanya dengan
kedua tangannya. Beliau menarik kedua tangannya ke arah depan
lalu menariknya ke arah belakang. Beliau memulai dari bagian
depan kepalanya lalu menariknya hingga ke tengkuknya, kemudian
mengembalikan keduanya ke tempat ia memulai. Kemudian beliau
membasuh kedua kakinya."

Keterangan Hadits:
(Mengusap kepala secara keseluruhan) Demikianlah yang disebut-
kan oleh mayoritas perawi, namun dalam riwayat Al Mustamli tidak
disertakan lafazh, "Secara keseluruhan."

V e — J ^ 1
J ^ J (Dan Ibnu Musayyab berkata), maksudnya adalah
Sa'id bin Musayyab. Riwayat ini disebutkan lengkap dengan jalur
fs a - f

periwayatannya oleh Ibnu Abi Syaibah dengan lafazh, ^j—\ «i^i'j J-^
1

s.lj_—i £ — L J l (Laki-laki dan perempuan dalam mengusap kepala adalah


sama). Akan tetapi diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau
berkata, l ^ ' j ^ J i i jUJ J&i (Cukuplah bagi wanita untuk mengusap
bagian depan kepalanya).
HU1U J~1JJ (dan Imam Malik pernah ditanya). Yang bertanya adalah
Ishak bin Isa bin Ath-Thiba' sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu
Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya melalui jalur periwayatan Ishak bin
Isa, "Aku bertanya kepada Malik mengenai seorang laki-laki yang
mengusap bagian depan kepalanya saat berwudhu, apakah hal itu telah
mencukupi?" Maka Imam Malik berkata, "Telah menceritakan kepadaku
Amru bin Yahya dari bapaknya dari Abdullah bin Zaid, ia berkata,

1 7 8 — FATHUL BAARI
(Rasulullah SA W saat berwudhu mengusap bagian ubun-ubunnya
hingga tengkuknya, kemudian beliau mengembalikan tangannya ke ubun-
ubunnya hingga beliau mengusap kepalanya secara keseluruhan).
Riwayat dengan lafazh seperti ini lebih sesuai dengan judul bab di atas
daripada apa yang dinukil oleh penulis (Imam Bukhari) terdahulu.
Adapun sisi penekanan dalil ayat dan hadits adalah bahwa lafazh
ayat berbicara secara global (mujmal), karena makna menyapu kepala
seperti tersebut dalam ayat bisa saja berarti menyapu kepala secara
keseluruhan. Hal itu berdasarkan bahwa huruf " b a " ' pada firman-Nya,
fii'y. berkedudukan sebagai tambahan (za'idah) sehingga tidak
mempengaruhi maknanya. Namun bisa juga yang dimaksud dengan
mengusap kepala dalam ayat itu adalah mengusap atau menyapu
sebagiannya, berdasarkan bahwa huruf " b a " ' pada firman-Nya, ^iL>jj^j
yang menyatakan sebagian (tab'idh). Maka apa yang dilakukan
Rasulullah SAW telah menjelaskan, bahwa maksud ayat tersebut adalah
makna yang pertama (menyapu seluruh kepala). Tidak pernah dinukil
bahwa beliau SAW hanya menyapu sebagian kepala saja saat berwudhu,
kecuali dalam hadits yang diriwayatkan oleh Mughirah, yang dinyatakan
bahwa Nabi SAW mengusap ubun-ubunnya dan sorbannya. Keterangan
dalam hadits Mughirah ini memberi indikasi sesungguhnya menyapu
kepala seluruhnya bukanlah fardhu (wajib). ' Dengan demikian, per-
7

selisihan yang terjadi adalah berkisar pada kadar kepala yang disapu,
bukan pada perbuatan mengusap itu sendiri.

j — ^ 'j—e- (Dari bapaknya) yakni bapak Utsman bin Yahya bin


Ammarah, yaitu anak dari Abu Hasan yang bernama Tamim bin Abdu
Amru. Kakek beliau yang bernama Abu Hasan termasuk seorang sahabat,
demikian pula halnya dengan Umarah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu

Tidak ada dalam hadits Mughirah keterangan yang menyatakan bahwa menyapu kepala
secara keseluruhan saat berwudhu bukanlah fardhu apabila seseorang tidak memakai
sorban. Akan tetapi sesungguhnya hadits itu hanya memberi keterangan bolehnya
menyapu bagian kepala yang nampak dan melanjutkan dengan menyapu sorban di saat
seseorang memakainya. Adapun di saat seseorang tidak memakai sorban, maka yang
wajib dilakukannya adalah mengusap kepala secara keseluruhan sebagai pengamalan
hadits Abdullah bin Zaid. Dari sini menjadi jelas bahwa di antara kedua hadits ini tidak
ada pertentangan. Adapun huruf ba' pada ayat di atas bermakna menempelkan (Al Ilshaq)
dan bukan bermakna sebagian (tab'idh) maupun tambahan (za'idah).

FATHUL BAARI — 179


Abdil Barr. Namun Abu N u ' a i m berkata, "Pernyataan Ibnu Abdil Barr ini
masih perlu dibuktikan lebih lanjut." Para perawi hadits di atas adalah
ulama Madinah kecuali Abdullah bin Yusuf, namun beliau pernah juga
tinggal di Madinah.

^ — T j i>\ (Bahwasanya seorang laki-laki), beliau adalah Amru bin


Abu Hasan sebagaimana yang disebutkan oleh penulis (Imam Bukhari)
dalam hadits yang akan beliau sebutkan melalui jalur Wuhaib dari Amru
bin Yahya. Dari sini dapat dipahami bahwa perkataan Imam Bukhari,
"Dan beliau adalah kakek Amru bin Yahya" bukanlah kakek dalam artian
yang sebenarnya, sebab yang dimaksud adalah paman dari bapak Amru
bin Yahya. Adapun sebab dinamakan kakek dari Amru bin Yahya adalah
karena kedudukannya yang sama dengan kakeknya.

Untuk itu, nampak jelas kekeliruan sebagian orang yang ber-


anggapan bahwa yang dimaksud Imam Bukhari dengan perkataannya,
"Dan beliau adalah kakek Amru bin Yahya" adalah Abdullah bin Zaid.
Karena Abdullah bin Zaid tidak termasuk kakek Amru bin Yahya, baik
dalam arti sesungguhnya maupun makna majaz.

Adapun perkataan penulis kitab Al Kamal serta orang-orang yang


sependapat dengannya mengenai biografi Amru bin Yahya, dimana
mereka mengatakan bahwa ia termasuk salah seorang putra dari anak
perempuan Abdullah bin Zaid, jelas merupakan suatu kesalahan.
Pendapat ini mereka simpulkan dari riwayat di atas. Sementara telah
disebutkan oleh Ibnu Sa'ad bahwa ibu Amru bin Yahya adalah Hamidah
binti Muhammad bin Iyas bin Al Bukair. Namun dia mengatakan bahwa
ibu Amru bin Yahya adalah Ummu Nu'man binti Abu Hayyah, wallahu
a lam.

Kemudian para perawi dalam kitab Al Muwaththa' berbeda


pendapat dalam menentukan siapa orang yang bertanya kepada
Rasulullah dalam konteks riwayat di atas, sebagian besar mereka tidak
menyebutkan namanya secara jelas. Ma'nun bin Isa berkata dalam
riwayatnya dari Amru bin Yahya dari bapaknya, "Sesungguhnya ia
mendengar Abu Hasan -dan beliau adalah kakek Amru bin Yahya-
berkata kepada Abdullah bin Zaid (salah seorang sahabat), lalu Ma'nun
menyebutkan hadits sebagaimana di atas." Muhammad bin Hasan Asy-
Syaibani berkata dari Malik, 'Telah menceritakan kepada kami Amru
dari bapaknya (Yahya), bahwasanya ia mendengar kakeknya Abu Hasan

1 8 0 — FATHUL BAARI
bertanya kepada Abdullah bin Zaid.'" Demikian pula yang disebutkan
oleh Sahnun dalam kitab Al Mudawwanah.
Imam Syafi'i dalam kitab Al Umm berkata, 'Telah diriwayatkan
dari Malik dari Amru dari bapaknya bahwa ia berkata kepada Abdullah
bin Zaid." Sama seperti ini, riwayat Al Isma'ili dari Abu Khalifah dari Al
Qa'nabi dari Malik dari Amru dari bapaknya, ia berkata, "Aku berkata
kepada Abdullah bin Zaid...."
Cara yang ditempuh untuk memadukan antara riwayat-riwayat
yang saling berbeda ini, adalah dengan mengatakan, "Hadir di hadapan
Abdullah bin Zaid saat itu Abu Hasan Al Anshari dan anaknya yang
bernama Amru bin Yahya serta anak dari Amru, yakni Yahya bin
Ammarah bin Abu Hasan. Lalu mereka bertanya kepada Abdullah bin
Zaid mengenai sifat wudhu Nabi SAW, dimana yang menjadi juru bicara
mereka pada saat itu adalah Amru bin Abu Hasan. Untuk itu apabila
dalam riwayat dikatakan bahwa yang bertanya adalah Amru bin Hasan,
maka ini dalam artian yang sesungguhnya."

Keterangan ini diperkuat oleh riwayat Sulaiman bin Bilal yang


disebutkan oleh penulis (Imam Bukhari) dalam bab "Berwudhu dari At-
Taur," dimana beliau berkata, "Telah menceritakan kepadaku Amru bin
Yahya dan bapaknya, ia berkata, 'Telah menjadi kebiasaan pamanku -
yakni Amru bin Abu Hasan- memperbanyak berwudhu, maka beliau
berkata kepada Abdullah bin Zaid, beritahukan k e p a d a k u . . . . ' " Lalu
beliau menyebutkan hadits di atas.
Adapun jika disebutkan dalam riwayat bahwa yang bertanya adalah
Abu Hasan, maka ini hanya sekedar kiasan, karena beliau adalah yang
paling tua serta hadir pula di tempat tersebut. Sedangkan jika disebutkan
dalam riwayat bahwa yang bertanya adalah Yahya bin Ammarah, maka
ini juga kiasan, karena beliau yang menukil riwayat ini hadir pada saat
pertanyaan diajukan.

Telah disebutkan dalam riwayat Imam Muslim dari Muhammad


bin Shabah dari Khalid Al Wasithi dari Amru bin Yahya dari bapaknya
dari Abdullah bin Zaid, dikatakan kepadanya, "Berwudhulah untuk
(mengajari) kami." Di sini tidak disebutkan siapa orang yang bertanya.
Lalu dalam riwayat Al Isma'ili dari jalur Wahb bin Baqiyah dari Khalid
Al Wasithi disebutkan, "Kami berkata kepadanya..." Riwayat-riwayat ini
memperkuat kesimpulan yang telah kami sebutkan terdahulu, yakni

FATHUL BAARI — 181


sesungguhnya mereka bertiga telah sepakat untuk bertanya kepada
Abdullah bin Zaid, hanya saja yang bertindak sebagai juru bicara di
antara mereka saat itu adalah Amru bin Abu Hasan. Hal ini semakin
diperjelas oleh riwayat Ad-Darawardi dari Amru bin Yahya dari
bapaknya dari pamannya dari Amru bin Abu Hasan, ia berkata, "Aku
seorang yang seringkah berwudhu, maka aku pun berkata kepada
Abdullah bin Z a i d . . . " beliau pun menyebutkan hadits seperti di atas.
Hadits Ad-Darawardi ini dinukil oleh Abu N u ' a i m dalam kitab Al
Mustakhraj, wallahu a'lam.

'^Jrr'A (Apakah engkau mampu). Ini merupakan keterangan tentang


keharusan bagi seorang pelajar untuk berlaku santun di hadapan gurunya.
Seakan-akan orang yang bertanya ini menginginkan dari Abdullah bin
Zaid untuk mempraktekkan wudhu secara langsung agar lebih berkesan
dan mudah dipahami. Adapun sebab yang mendorong beliau untuk
bertanya adalah karena terbetik dalam pikirannya kemungkinan Abdullah
bin Zaid sudah lupa karena dipisahkan waktu yang cukup lama.

f.\—'v le-lu (Maka beliau minta dibawakan air). Dalam riwayat yang
dinukil melalui jalur Wahab pada bab berikut disebutkan, "Maka beliau
minta dibawakan sebuah bejana kecil yang berisi air...." Ad-Darawardi
berkata, "Yang dimaksud dengan taur (bejana kecil) adalah sejenis
tempayan." Sementara Al Jauhari mengatakan bahwa yang dimaksud
adalah bejana yang dipakai untuk minum. Ada pula yang mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah bejana yang agak lebar. Lalu sebagian
mengatakan bahwa taur (bejana kecil) adalah sejenis dengan At-Thisth
(bejana yang agak lebar). Dikatakan pula bahwa yang dimaksud dengan
taur (bejana kecil) adalah semacam periuk yang terbuat dari kuningan
atau batu. Dalam riwayat Abdul Aziz bin Abu Salamah yang disebutkan
oleh penulis (Imam Bukhari) pada bab "Mandi di Mikhdhab (bejana yang
digunakan untuk mencuci pakaian, Penerj.)" di bagian awalnya disebut-
kan, "Rasulullah mendatangi kami lalu kami mengeluarkan untuknya At-
Taur (bejana kecil) yang terbuat dari kuningan.''''

fjj>\ 'i (lalu menuangkan). Dalam riwayat Musa dari Wuhaib


disebutkan, "Lalu beliau memiringkan bejana tersebut untuk menuangkan
air ke tangannya."

1 8 2 — FATHUL BAARI
j—«J—e J (Seraya mencuci tangannya sebanyak dua kali)
demikian lafazh yang dinukil dari imam Malik, yaitu menyebut tangan
dengan lafazh tunggal. Sementara dalam riwayat Wuhaib dan Sulaiman
bin Bilal seperti yang dikutip oleh Imam Bukhari sendiri, begitu juga
riwayat Ad-Darawardi seperti dikutip oleh Abu N u ' a i m menggunakan
lafazh ganda, yakni, "kedua tangannya." Untuk itu, lafazh tunggal yang
ada pada riwayat Imam Malik ini dipahami bahwa yang dimaksud adalah
jenisnya.

Persoalan lain, dalam riwayat Imam Malik disebutkan membasuh


tersebut dilakukan sebanyak dua kali, sementara pada riwayat selain
beliau disebutkan sebanyak tiga kali. Begitu pula dengan yang
diriwayatkan dari Khalid bin Abdullah sebagaimana dikutip oleh Imam
Muslim. Mereka yang meriwayatkan dengan lafazh tiga kali tergolong
sebagai pakar hadits, oleh sebab itu riwayat mereka harus lebih
dikedepankan dibandingkan dengan lafazh yang hanya diriwayatkan oleh
satu orang meski ia tergolong pakar pula (hafizh).

Telah disebutkan oleh Imam Muslim dari jalur periwayatan Bahz,


dari Wuhaib bahwa ia mendengar hadits ini dua kali dari Amru bin
Yahya. Keterangan ini semakin memantapkan riwayat beliau daripada
riwayat Imam Malik. Tidak ada kemungkinan jika peristiwa ini terjadi
dua kali, sebab sumber riwayat ini hanya satu dan umumnya suatu
kejadian tidaklah terulang.

Dalam hadits ini terdapat keterangan untuk mencuci tangan


sebelum memasukkannya ke dalam bejana meskipun tidak karena bangun
tidur, sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Utsman. Adapun yang
dimaksud dengan kedua tangan di sini adalah telapak tangan.

'jA*liu> "»J (Kemudian berkumur-kumur dan mengeluarkan air

dari hidung). Dalam riwayat Al Kasymihani disebutkan, J^HLJIJ 'jnV.fi'*


(Kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung).
Mengeluarkan air dari hidung berkonsekuensi memasukkan air ke
dalamnya, tapi memasukkan air ke dalam hidung tidak berkonsekuensi
mengeluarkannya dari hidung, lalu dalam riwayat Wuhaib terdapat
tambahan keterangan bahwa hal itu dilakukan dengan tiga kali cidukan.
Hadits ini dijadikan sebagai dalil disukainya menyatukan antara
berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung sekaligus pada

FATHUL BAARI — 183


setiap cidukan. Dalam riwayat Khalid bin Abdullah berikut ini
disebutkan, t—5%* i L J i Jia o^-ij *JS J j i i s ^ i j ja^&> (Beliau berkumur-
kumur dan memasukkan air ke dalam hidung dari satu telapak tangan
(satu kali cidukan), beliau melakukan hal itu sebanyak tiga kali). Riwayat
Khalid ini sangat tegas menyatakan bahwa berkumur-kumur dan
memasukkan air ke dalam hidung dilakukan dengan satu kali cidukan.
Berbeda dengan riwayat Wuhaib yang masih mengandung kemungkinan
pemisahan antara berkumur-kumur dengan memasukkan air ke dalam
hidung, yaitu satu cidukan untuk berkumur-kumur sedang satu cidukan
lagi untuk dimasukkan ke dalam hidung, sebagaimana telah disinyalir
oleh Ibnu Daqiq Al Id.

Kemudian dalam riwayat Sulaiman bin Bilal yang dikutip oleh


Imam Bukhari pada bab berwudhu dari bejana kecil disebutkan, Ja«.W«i

»->—r'j 'i—J—f o l
j * j ^ ' j (Maka beliau berkumur-kumur dan
mengeluarkan air dari hidung sebanyak tiga kali dengan satu kali
cidukan). Lalu riwayat ini pun dijadikan sebagai dalil untuk menyatukan
antara berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung dengan satu
kali cidukan. Akan tetapi, riwayat ini masih perlu diteliti berdasarkan apa
yang telah kami jelaskan yaitu kesatuan sumber riwayat, sehingga
riwayat yang menyatakan bahwa perbuatan itu dilakukan sebanyak tiga
kali harus lebih didahulukan.
J , o - , >

Dalam riwayat Imam Muslim dari Khalid disebutkan, «-U J*oi

'ja '«'^ntfi \&r'j*£*>\j (Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam


bejana setelah itu dikeluarkannya lalu beliau berkumur-kumur). Riwayat
Imam Muslim ini dijadikan sebagai dalil bahwa berkumur-kumur lebih
didahulukan daripada memasukkan air ke dalam hidung, namun
persoalan ini perlu pembahasan lebih mendalam.
\ — A ^ - J JJc- jiJ (Kemudian beliau membasuh wajahnya tiga kali)
Tidak ada perbedaan riwayat mengenai hal ini. Lalu menjadi konsekuensi
mereka yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya mengusap
seluruh kepala untuk mewajibkan wudhu secara berurutan, sebab dalam
hadits ini disebutkan kata sambung j« S (kemudian) dalam setiap kali
perpindahan dari satu anggota wudhu kepada anggota yang lain. Karena,
mengusap atau menyapu seluruh kepala dan membasuh anggota wudhu

1 8 4 — FATHUL BAARI
secara berurutan yang dijelaskan secara global (mujmal) dalam ayat telah
diterangkan oleh Sunnah dalam bentuk perbuatan Rasulullah.

u—J^'J* t**i J-"* 'f {Kemudian membasuh kedua lengannya dua


kali-dua kali). Demikianlah riwayat ini dinukil dengan pengulangan
lafazh, JJ'J* (dua kali), akan tetapi dalam riwayat Imam Muslim dari jalur
periwayatan Habban bin Wasi' dari Abdullah bin Zaid disebutkan bahwa
beliau melihat Nabi SAW berwudhu. Dalam riwayat itu disebutkan,
"Lalu beliau membasuh lengan kanannya tiga kali dan lengan kirinya tiga
kali." Hadits ini harus dipahami sebagai kejadian yang lain, sebab sumber
keduanya berbeda.

C T - ^ J ^ 1
ij\ (Hingga kedua siku), demikian lafazh yang dinukil oleh
sebagian besar penulis naskah Shahih Bukhari. Sedangkan dalam naskah
Al Mustamli dan Al Hamawi disebutkan dengan lafazh tunggal, yakni
JJ^> (siku) dan maksudnya adalah jenis.

Lalu para ulama berbeda pendapat mengenai apakah kedua siku


masuk pula dalam bagian yang harus dibasuh atau tidak? Mayoritas
mereka mengatakan "Ya", sementara Zufar menyatakan sebaliknya. Pen-
dapat yang berbeda dengan mayoritas juga dinukil oleh sebagian ulama
dari Imam Malik.

Sebagian pendukung pendapat golongan mayoritas memperkuat


pendapat mereka dengan mengatakan bahwa makna huruf J\ (sampai)

pada ayat tentang wudhu diartikan dengan makna (bersama) sebagai-

mana halnya pada firman Allah SWT, p ^ j ^ ^ 1 j ^ ' j * ' i jATl;


1
Artinya,
"Dan janganlah kamu memakan harta mereka (anak yatim) bersama
harta kamu" (Qs. An-Nisaa' (4): 2) Akan tetapi pendapat ini dibantah
bahwa makna seperti itu menyelisihi makna lahir (zhahir) huruf
Namun bantahan ini dapat kami jawab dengan mengatakan bahwa ada
faktor yang mengindikasikan bahwa makna huruf J\ pada firman Allah

SWT j—Ifii^J u—!j adalah "bersama", bukan "sampai" atau "sebatas"


1

meskipun kedua makna ini adalah makna lahir (zhahir) huruf J\.

FATHUL BAARI — 185


Adapun faktor yang dimaksud adalah, apa yang disebutkan setelah
huruf ^ — 1 ' masih merupakan jenis dari apa yang disebutkan sebelumnya.
Ibnu Al Qishar berkata, "Tangan dalam bahasa Arab mencakup hingga
ketiak berdasarkan hadits Ammar bahwa beliau bertayammum hingga
ketiaknya. Sementara beliau (Ammar) seorang yang sangat memahami
bahasa Arab. Maka ketika turun firman Allah SWT, j»'jih J\ (sampai ke
siku-siku kamu), siku mesti dibasuh bersama dengan lengan karena ia
masuk dalam cakupan lafazh tangan."
Demikian perkataan Ibnu Al Qishar. Atas dasar ini, maka
sesungguhnya huruf ^—!j dalam ayat wudhu adalah batasan bagi sesuatu
yang tidak dibasuh, bukan batasan yang mesti dibasuh. Namun untuk
menyatakan bahwa kesimpulan ini merupakan makna lahiriyah ayat,
masih perlu pembahasan tersendiri, wallahu a 'lam.

Zamakhsyari berkata, "Huruf —!i hanya memberi makna batasan


L5

secara mutlak. Adapun mengenai apakah batasan itu masuk dalam bagian
yang disebutkan ataukah tidak, merupakan perkara yang tergantung pada
keterangan yang lain. Maka firman Allah SWT, JM\ J\ ^CaJi \ya) ^> (dan
sempurnakanlah puasa-puasa kamu hingga malam) merupakan dalil tidak
masuknya puasa pada malam hari atau merupakan larangan melakukan
puasa wishal (yakni menyambung puasa hingga malam). Sedangkan
perkataan seseorang, «j—*T ^—![ *Jji j * oT^aJl 'cJai*- (aku menghafal Al
Q u f a n dari awal hingga akhir) memberi indikasi bahwa batasan masuk
dalam bagian yang dimaksud, sebab konteksnya adalah menyatakan
hafalan Al Q u f a n secara keseluruhan."

Lalu firman Allah SWT, j - J V ^ J i ^ — ! j (Sampai siku-siku) tidak


ditemukan indikasi yang menyatakan apakah batasan itu (dalam hal ini
adalah siku) masuk dalam bagian yang disebutkan sebelumnya (dalam
hal ini adalah lengan) ataukah tidak. Beliau menambahkan, "Maka para
ulama mengambil pandangan yang lebih berhati-hati, sementara Zufar
mengambil pendapat yang sudah diyakini."
Mungkin saja perbuatan beliau SAW dijadikan dalil yang me-
nunjukkan bahwa kedua siku masuk dalam bagian yang harus dibasuh
bersama lengan. Dalam riwayat Ad-Daruquthni dengan silsilah peri-

1 8 6 — FATHUL BAARI
wayatan yang baik (hasan) dari hadits Utsman sehubungan dengan sifat
wudhu disebutkan, j ].»Vi*lt k' ^r-* ^ jlai^Jt JUtf (Beliau
membasuh kedua lengannya sampai siku hingga beliau menyentuh
bagian ujung pangkal lengan). Dalam kaitan ini, diriwayatkan pula dari
Jabir RA, * 'J* «-UJl j b i tij h\ Sy~>j OlST (Biasanya Rasulullah
SAW apabila berwudhu, beliau membasahi kedua sikunya dengan air).
Akan tetapi silsilah periwayatan hadits ini lemah. ' Dalam riwayat Imam
8

Bazzar dan Imam Thabrani, diriwayatkan dari hadits Wa'il bin Hujr
sehubungan dengan sifat wudhu Nabi SAW, j i j ^ JJ^ J*~ t&i* 1
S~*J
(Beliau membasuh kedua lengannya hingga melewati siku). Sementara
dalam riwayat Imam Thahawi dan Thabrani dari hadits Tsa'labah bin
Ibad dari bapaknya dari Nabi SAW, J* s-Ui J l ~ j Js- ^Ipiji J—* jij
(Kemudian beliau membasuh kedua lengannya hingga air mengalir di
kedua sikunya). Riwayat-riwayat ini saling menguatkan satu sama lain.

Ishaq bin Rahawaih berkata, "Lafazh —!' dalam ayat wudhu ada
lS

kemungkinan bermakna batasan (sehingga makna ayat, basuhlah lengan-


lengan kamu sebatas siku-siku kamu. Artinya, siku tidak masuk bagian
yang mesti dibasuh-penerj.) dan ada pula kemungkinan bermakna ber-
sama (sehingga makna ayat, basuhlah lengan-lengan kamu bersama siku-
siku kamu. Artinya, siku masuk bagian yang mesti dibasuh -Penerj.) Lalu
hadits tersebut telah menerangkan bahwa lafazh J dalam ayat di atas

bermakna £* (bersama). "

Sementara Imam Syafi'i telah berkata dalam kitab Al Umm, "Aku


tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi pandangan tentang
wajibnya membasuh kedua siku dalam berwudhu."
Dari sini, maka sesungguhnya pendapat Zufar tertolak oleh ijma'
ulama. Demikian pula halnya dengan orang-orang sesudahnya yang ber-
pendapat seperti beliau di kalangan pengikut madzhab Azh- Zhahiriyah.

Hadits yang lebih shahih dari hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam
Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Abu Hurairah RA sehubungan dengan sifat wudhu
Nabi SAW yang mana dikatakan dalam riwayat tersebut, "Kemudian beliau (Abu
Hurairah) membasuh tangannya hingga sampai ke pangkal lengan..." Sampai akhirnya
disebutkan, "Kemudian beliau (Abu Hurairah) membasuh kakinya hingga sampai ke
betis." Hadits ini merupakan hadits yang shahih lagi tegas menyatakan bahwa kedua siku
masuk dalam bagian yang harus dibasuh.

FATHUL BAARI — 187


Sementara riwayat yang menyatakan bahwa siku tidak masuk bagian
yang harus dibasuh, tidak dapat dipastikan berasal dari Imam Malik
secara tegas, akan tetapi sesungguhnya hal itu hanya diriwayatkan
melalui Asyhab dalam bentuk perkataan yang mengandung kemungkinan
untuk diartikan demikian. Adapun yang dimaksud dengan siku adalah
tulang yang agak menonjol diujung lengan bagian atas.

A—g~j> J^J (Kemudian beliau menyapu kepalanya) dalam riwayat


Ibnu Ath-Thiba' diberi tambahan "secara keseluruhan", sebagaimana
disebutkan terdahulu dari riwayat Ibnu Khuzaimah. Dalam riwayat
Khalid bin Abdullah diberi tambahan huruf ba * sehingga lafazh hadits
menurut versi beliau berbunyi, ^S'y »j , sementara pada riwayat selain

beliau hanya disebutkan j (beliau membasuh kepalanya). Imam


Qurthubi berkata, "Huruf ba' maksudnya adalah untuk ta 'diyah
(membantu kata kerja dalam memberi pengaruh pada obyek). Ia boleh
disebutkan dalam kalimat dan boleh pula tidak disebutkan (karena tidak
memberi pengaruh pada makna,-Penerj.) seperti dikatakan ^ ' j c/a-V»

l«—l^ii (aku mengusap kepala anak yatim) dan dikatakan pula, j>\'y cJ*-~»

«
( IJi (aku mengusap kepala anak yatim). Namun ada pula yang

mengatakan bahwa huruf ba" ( v ) pada firman Allah SWT,

—r'JJS- memberi makna tersendiri, yaitu bahwasanya lafazh membasuh


dalam bahasa Arab mengharuskan adanya sesuatu yang dipakai
membasuh. Sedangkan lafazh menyapu atau mengusap tidak berkon-
sekuensi adanya sesuatu yang dipakai untuk mengusap. Oleh karena itu
jika dikatakan 1
_>?*-~»ij , maka boleh menyapu kepala tangan tanpa
air.

Imam Syafi'i berkata, "Firman Allah SWT, pS^jjy \y*L*\j (dan


sapulah kepala-kepala kamu) dapat bermakna menyapu seluruh kepala
dan dapat pula bermakna menyapu sebagiannya. Namun Sunnah
menjelaskan bahwa membasuh sebagian kepala sudah dianggap
mencukupi. Perbedaan ayat di atas dengan firman Allah SWT ij?xU>ij

°p—£j*yr'y. (dan sapulah wajah-wajah kamu) dalam tayammum, adalah


bahwa di sini diharuskan menyapu seluruh wajah saat tayammum dan

1 8 8 — FATHUL BAARI
tidak diperkenankan hanya menyapu sebagiannya, karena tayammum
hanya sebagai pengganti membasuh muka. Sementara menyapu kepala
adalah perbuatan asasi dan bukan sebagai pengganti. Dari sini dapat
dipahami perbedaan makna huruf ba" pada kedua firman Allah SWT
tersebut. Keterangan ini tidak dapat dikritik dengan mengatakan bahwa
kedua sepatu tidak mesti disapu secara keseluruhan padahal perbuatan ini
merupakan ganti daripada membasuh kedua kaki, karena dalam hal ini
telah ada ijma' yang menyatakan adanya keringanan dalam mengusap
sepatu.

Apabila dikatakan, "Barangkali Nabi SAW sengaja mencukupkan


dengan mengusap ubun-ubunnya karena safar (bepergian), dimana safar
adalah saat yang banyak diberi keringanan. Maka beliau SAW mengusap
bagian atas sorbannya setelah mengusap ubun-ubunnya, sebagaimana
yang dapat dipahami dari makna hadits riwayat Imam Muslim dari
Mughiran bin Syu'bah."
Kami katakan, "Telah diriwayatkan, bahwa beliau SAW pernah
menyapu bagian depan kepalanya (ubun-ubun) tanpa meneruskannya
dengan menyapu sorban dan tidak dalam keadaan safar." Riwayat yang
dimaksud adalah hadits yang dinukil oleh Imam Syafi'i dari Atha',
bahwa Rasulullah berwudhu lalu melepas sorban dari kepalanya
kemudian menyapu bagian depan kepala. Meskipun dalam meriwayatkan
hadits ini tabi'in -dalam hal ini Atha'-tidak menyebutkan nama sahabat
yang meriwayatkannya sehingga dikategorikan sebagai hadits mursal,
namun kedudukannya diperkuat oleh jalur periwayatan lain yang
bersambung langsung kepada Nabi SAW (maushul).
Riwayat tersebut adalah hadits yang dinukil oleh Abu Dawud dari
Anas, dan dalam sanadnya terdapat Abu Ma'qil, seorang perawi yang
tidak dikenal kepribadiannya. Kedua riwayat ini saling menguatkan satu
sama lain, sehingga diperoleh kekuatan yang layak dijadikan sebagai
dalil.
Riwayat ini pula yang dijadikan sebagai contoh oleh Imam Syafi'i
ketika menyebutkan syarat hadits mursal yang dapat diterima. Beliau
mengatakan, "Hendaklah hadits mursal tersebut didukung oleh hadits
mursal yang lain, atau diriwayatkan pula dari jalur lain yang bersambung
sampai kepada Nabi SAW (maushul)."

FATHUL BAARI — 189


Dari sini terjawab kritikan yang ditujukan kepada perkataan Imam
Syafi'i di atas, yakni mereka yang mengatakan, "Jika demikian, maka
yang menjadi hujjah (dalil) adalah hadits yang silsilah periwayatannya
bersambung kepada Nabi SAW (maushul), sehingga hadits yang mursal
itu tidak berfungsi." Jawaban kritikan ini telah saya tegaskan dalam
tulisan saya dalam kitab Ulumul Hadits, karangan Ibnu Shalah.
Sehubungan dengan persoalan ini, telah diriwayatkan pula dari
Utsman mengenai sifat wudhu Nabi SAW dimana dikatakan, f J i i

j (Lalu beliau menyapu bagian depan kepalanya). Hadits ini


diriwayat-kan oleh Sa'id bin Manshur. Namun dalam silsilah
periwayatannya ter-dapat Khalid bin Yazid bin Abu Malik, salah seorang
perawi yang diperselisihkan keakuratan riwayatnya.
Sementara itu telah terbukti dalam riwayat bahwa Ibnu Umar
pernah mencukupkan dengan menyapu sebagian kepala saat berwudhu,
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir dan selain beliau. Lalu tidak
ada riwayat shahih dinukil dari para sahabat Nabi SAW yang
mengingkari perbuatan Ibnu Umar tersebut, seperti dikatakan oleh Ibnu
Hazm. Riwayat-riwayat mengenai perbuatan sahabat ini termasuk di
antara hal-hal yang menguatkan hadits mursal yang telah disebutkan.

_4_.ilj ^Jiuj tjj (Beliau memulai dari bagian depan kepalanya), secara
lahiriah, lafazh ini termasuk hadits dan bukan kalimat yang disisipkan
oleh Imam Malik. Oleh karena itu, lafazh ini menjadi bantahan terhadap
mereka yang mengatakan bahwa termasuk sunah memulai menyapu dari
bagian belakang kepala atas dasar makna lahir (zhahir) hadits, "Dia
(Abdullah bin Zaid -penerj.) menyapu kepalanya yang ke arah depan dan
yang ke arah belakang." Untuk alasan yang mereka kemukakan ini dapat
dijawab, "Kata sambung yang digunakan dalam teks hadits tersebut
adalah huruf waw (yang diartikan dengan "dan" atau "lalu" -penerj.),
sementara kata sambung dengan menggunakan huruf waw tidak memberi
makna berurutan (tertib)."
Akan disebutkan oleh penulis (Imam Bukhari) sebuah riwayat dari
Sulaiman bin Bilal, dimana dikatakan, "Beliau (Abdullah bin Zaid)
menyapukan kedua tangannya ke arah belakang lalu ke arah depan."
Dengan demikian makna lahir (zhahir) riwayat yang mereka sebutkan
tidak dapat dijadikan hujjah, karena menarik tangan ke depan dan ke

1 9 0 — FATHUL BAARI
belakang adalah perkara yang relatif. Sementara dalam hadits tidak
dijelaskan mana yang dimaksud dengan arah depan dan arah belakang.
Padahal sumber penukilan kedua riwayat tersebut adalah sama. Oleh
karena itu, keduanya memiliki makna yang sama pula.
Lalu dalam riwayat Imam Malik dijelaskan bahwa beliau SAW
mulai menyapu bagian depan kepala. Dengan demikian lafazh hadits
yang berbunyi, JJtf (menarik ke depan) harus dipahami sebagai salah satu
bentuk gaya bahasa yang menamakan suatu perbuatan dengan permulaan
perbuatan itu sendiri. Sehingga makna hadits tersebut menurut
pemahaman ini adalah, "Beliau mulai bagian depan kepalanya." Namun
ada pandangan yang mengartikan lain.
Hikmah mengarahkan tangan ke bagian depan dan bagian belakang
adalah untuk meratakan sapuan ke seluruh kepala Maka atas dasar ini,
perbuatan tersebut berlaku khusus bagi mereka yang memiliki rambut.
Akan tetapi, pandangan yang masyhur dari mereka yang mewajibkan
menyapu seluruh kepala bagi mereka yang memiliki rambut adalah wajib
hukumnya. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki rambut hukum-
nya sunah. Dari sini menjadi jelas kelemahan pendapat yang menjadikan
hadits ini sebagai dalil untuk mengharuskan menyapu seluruh kepala,
wallahu a 'lam.

*—j J—^ j*J (Kemudian beliau membasuh kedua kakinya). Dalam

riwayat Wuhaib yang akan disebutkan diberi tambahan, Jj&>\ J\ (hingga


kedua mata kaki). Pembahasan masalah ini sama seperti pembahasan
membasuh lengan hingga ke siku. Menurut pendapat yang masyhur
bahwa mata kaki adalah tulang menonjol di pergelangan kaki. Namun
diriwayatkan oleh Muhammad bin Al Hasan dari Abu Hanifah, bahwa
mata kaki adalah tulang agak menonjol di punggung kaki yang
bersentuhan dengan tali sandal. Lalu diriwayatkan pula oleh Ibnu Qasim
dari Imam Malik pendapat seperti itu. Namun pendapat pertama adalah
pendapat yang shahih dan masyhur di kalangan ahli bahasa.

Dalil paling jelas yang mendukung pendapat pertama adalah hadits


shahih dari An-Nu'man bin Basyir sehubungan dengan sifat shaf
(barisan) dalam shalat, yang mana beliau mengatakan, "Aku melihat
setiap orang di antara kami mendekatkan mata kakinya dengan mata kaki
sahabatnya." Lalu dikatakan bahwa Muhammad (mungkin yang di-

FATHUL BAARI — 191


maksud adalah Imam Bukhari-penerj) berpendapat, sesungguhnya dalil
yang menguatkan pendapat pertama adalah hadits tentang seorang yang
memotong kedua sepatunya hingga mata kaki apabila tidak menemukan
sandal pada waktu ihram.

Pelajaran yang dapat diambil:


1. Menuangkan air saat memulai wudhu pada kedua tangan sekaligus.
2. Boleh membasuh sebagian anggota wudhu satu kali, dua kali, atau
tiga kali.
3. Keterangan kedatangan imam ke sebagian rumah rakyatnya lalu
mereka menawarkan apa yang mereka duga menjadi maksud
kedatangan imam tersebut.
4. Boleh minta bantuan untuk menghadirkan air tanpa ada unsur
kebencian.
5. Mengajar dengan perbuatan (praktek).
6. Menciduk air yang sedikit dengan tangan tidak menjadikan air
tersebut musta 'mal berdasarkan lafazh hadits yang diriwayatkan oleh
Wuhaib, "Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu membasuh
mukanya..."

Adapun persyaratan niat saat menciduk air, tidak ditemukan dalam


hadits ini keterangan yang menyetujui maupun yang menolaknya. Lalu
Abu Awanah dalam kitab Shahih-nya berdalil dengan hadits ini mengenai
bolehnya bersuci dengan air musta 'mal, karena niat tidak disebutkan
dalam hadits tersebut. Sementara beliau telah memasukkan air ke dalam
bejana setelah membasuh muka, dimana saat itu merupakan waktu
membasuh tangan. Kemudian Imam Al Ghazali berkata, "Sekedar
memasukkan tangan untuk menciduk air tidaklah menjadikan air tersebut
musta 'mal, karena air yang musta 'mal terjadi pada air yang sudah
diciduk." Demikian pula pendapat yang ditegaskan oleh Imam Al
Baghawi.
Imam Bukhari telah menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk
membasuh kepala secara keseluruhan. Sementara kami telah menjelaskan
bahwa hadits ini mengindikasikan makna tersebut, namun hanya sampai

1 9 2 — FATHUL BAARI
pada tingkat disukai dan bukan wajib. Sebagaimana beliau berdalil pula
dengan hadits ini untuk menyatakan tidak perlu mengulang mengusap
kepala dan mengumpulkan antara berkumur-kumur dan memasukkan air
ke dalam hidung, seperti yang akan dibahas dalam bab tersendiri.
Terakhir beliau menjadikan hadits ini sebagai dalil yang membolehkan
bersuci dari bejana yang terbuat dari tembaga dan lainnya.

39. Membasuh Kedua Kaki hingga Mata Kaki

186. Diriwayatkan oleh Wuhaib dari Amru dari bapaknya, ia


berkata, "Aku pernah menyaksikan Amru bin Abu Hasan bertanya
kepada Abdullah bin Zaid tentang sifat (cara) wudhu Nabi SAW,
maka beliau minta dibawakan sebuah bejana kecil berisi air lalu
mempraktekkan kepada mereka wudhu Nabi SAW. Beliau me-
nuangkan air ke tangannya dari bejana tersebut dan membasuh
kedua tangannya sebanyak tiga kali, kemudian dia memasukkan
tangannya ke dalam bejana lalu berkumur-kumur serta
memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya. Hal itu
dia lakukan sebanyak tiga kali cidukan. Kemudian dia memasuk-
kan tangannya (ke dalam bejana), lalu membasuh mukanya se-

FATHUL BAARI — 193


banyak tiga kali. Selanjutnya dia membasuh kedua lengannya dua
kali hingga siku, lalu memasukkan tangannya dan menyapu
kepalanya. Dia mengarahkan keduanya ke depan dan ke belakang
sebanyak satu kali, kemudian membasuh kedua kaki hingga mata
kaki."

Keterangan Hadits:

(Membasuh kedua kaki hingga mata kaki), pembahasan ini telah


dijelaskan dalam bab sebelumnya. Adapun Amru yang disebutkan dalam
silsilah periwayatan hadits ini adalah Amru bin Yahya bin Ammarah
(guru Imam Malik seperti dijelaskan dalam riwayat terdahulu).
Sedangkan Amru bin Abu Hasan adalah paman bapak beliau (yakni
Amru bin Yahya bin Ammarah), seperti kami jelaskan di atas. Di sini
Amru bin Abu hasan dinamakan sebagai kakek Amru bin Yahya bin
Ammarah bukan dalam arti yang sebenarnya. Yang sangat mengheran-
kan, Al Karmani -mengikuti pendapat penulis kitab Al Kamal- berkata,
"Amru bin Abu Hasan adalah kakek Amru bin Yahya dari pihak ibu."
Sementara di atas telah kami jelaskan bahwa ibu Amru bin Yahya bukan
anak perempuan Amru bin Abu Hasan, sehingga apa yang ia katakan
tidak ada kemungkinan untuk dibenarkan.

i—(pr) J — a J j J>-> 'pi (Kemudian beliau memasukkan tangannya


lalu membasuh mukanya). Dalam riwayat ini dijelaskan tentang memper-
baharui menciduk air untuk setiap anggota wudhu, dan hal itu dilakukan
dengan satu tangan. Demikian pula keterangan yang terdapat dalam
riwayat-riwayat lain dan riwayat Imam Muslim serta lainnya.

Akan tetapi dalam riwayat Ibnu Asakir dari Abu Al Waqt dari jalur
Sulaiman bin Bilal -seperti yang akan disebutkan nanti- dikatakan,
"Kemudian dia memasukkan kedua tangannya." Namun kalimat itu tidak
ada dalam riwayat Abu Dzar dan Al Ashili serta diriwayat-riwayat selain
Bukhari, demikian dikatakan oleh Imam Nawawi. Namun saya mengira
bahwa bejana yang dipakai saat itu cukup kecil, maka beliau menciduk
dengan satu tangan lalu menuangkan air ke tangan yang satunya,
sebagaimana perbuatan seperti ini disebutkan dalam riwayat Ibnu Abbas
yang terdahulu. Karena kalau bukan sebab ini, maka menciduk air
dengan kedua tangan lebih mudah dan lebih banyak memperoleh air,
seperti dikatakan Imam Syafi'i.

1 9 4 — FATHUL BAARI
.JJJ» aJoJ J — p jii (Kemudian beliau membasuh kedua tangannya dua
kali) yang dimaksud adalah membasuh masing-masing dari dua tangan
sebanyak dua kali seperti yang telah disebutkan dari jalur periwayatan
Malik, dimana dikatakan, "Kemudian beliau membasuh kedua tangannya
dua kali-dua kali." Lafazh hadits di atas tidak dimaksudkan mencuci dua
kali untuk kedua tangan, sehingga setiap tangan hanya dicuci satu kali.

40. Mempergunakan Sisa Air Wudhu Orang Lain

^ s , 0 • ' " I I " f Itl °' ° ' ' '

a 5 I yy i ./t a.; 1 jy^yj Jl <u_a>l <Ujl _LP y«r J

Jarir bin Abdullah memerintahkan keluarganya untuk berwudhu


dengan sisa air yang ia pakai bersiwak.

* * S ' o' ' * * ''o J i % ' ' y ' ° ''

' ' * f t * •* ' ' i' ' y l' 0

J ^23 ^y» (jo'LJl Jjt^t-S ^3 f. y}> y fj>^ & j -^t- L^Jl_> ;£§l

i» o o ' a ° '

187. Diriwayatkan oleh Al Hakam, ia berkata, 'Aku mendengar


Abu Juhaifah berkata, 'Rasulullah SAW keluar menemui kami
waktu tengah hari, lalu dibawakan air kepada beliau untuk
berwudhu. Maka manusia mengambil sisa air wudhunya, kemudian
menyapukannya ke badan mereka. Lalu Nabi shalat zhuhur dua
rakaat dan ashar dua rakaat, sementara di hadapannya terdapat
tombak (sebagai tanda atau batas tempat beliau shalat)"

FATHUL BAARI — 195


Keterangan Hadits:
(Mempergunakan sisa air wudhu orang lain), yakni untuk bersuci.
Yang dimaksud dengan sisa air adalah yang tertinggal di wadah setelah
dipergunakan orang lain.

'j >Jr 'j—«iJ (Jarir bin Abdullah memerintahkan) riwayat dan


silsilahnya disebutkan oleh Ibnu Abu Syaibah dan Ad-Daruquthni serta
lainnya dari jalur Qais bin Abu Hazim dari Jarir bin Abdullah. Dalam
sebagian jalur periwayatannya disebutkan, "Biasanya Jarir bersiwak
(menggosok gigi) lalu membenamkan ujung siwaknya di dalam air
kemudian beliau berkata kepada keluarganya, 'Berwudhulah dengan sisa
air ini.'" Beliau berpendapat bahwa hal seperti itu tidaklah mengapa.
Riwayat ini memberi penjelasan akan apa yang dimaksud.

Sementara Ibnu At-Tin dan lainnya menduga bahwa yang di-


maksud dengan sisa siwak tersebut adalah air yang dipakai merendam
batang siwak untuk melembutkannya, oleh sebab itu mereka mengatakan,
"Hal ini mesti dipahami bahwa siwak tersebut tidak merubah sifat air."
Padahal sesungguhnya yang dimaksud oleh Imam Bukhari adalah
menjelaskan bahwa perbuatan seperti itu tidak merubah sifat air,
sebagaimana sekedar menggunakan air tidak lantas merubah sifat air
sehingga boleh untuk dipakai bersuci.

Lalu Ad-Daruquthni telah menshahihkan riwayat ini yang dinukil


dengan lafazh, "Lalu beliau berkata kepada keluarganya, 'Berwudhulah
dengan air yang telah dipakai untuk memasukkan siwak ini.'"
Keterangan seperti ini telah dinukil langsung dari Nabi SAW
sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari hadits Anas, bahwa
Nabi SAW biasa berwudhu dengan sisa air yang beliau gunakan untuk
siwak. Tapi silsilah periwayatan hadits ini lemah.
Disebutkan oleh Abu Thalib dalam rangkuman pertanyaan-
pertanyaannya kepada Imam Ahmad, bahwa ia bertanya kepada Imam
Ahmad mengenai makna hadits ini, maka beliau berkata, "Biasanya
beliau SAW mencelupkan siwak ke dalam bejana lalu bersiwak
dengannya. Apabila selesai, maka dia berwudhu dengan menggunakan
air tersebut."
Kemudian timbul pertanyaan mengenai maksud Imam Bukhari
menyebutkan riwayat Jarir bin Abdullah di bawah bab tentang sucinya air

1 9 6 — FATHUL BAARI
musta'mal. Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya katakan,
"Sesungguhnya telah dinukil dalam riwayat yang dapat dipertanggung-
jawabkan keabsahannya, bahwa siwak dapat membersihkan atau men-
sucikan mulut. Maka apabila ia bercampur dengan air lalu air tersebut
dipakai berwudhu, dalam hal ini terjadi pemakaian air musta 'mal untuk
bersuci."
s t a.

4—\yfi$ J—'^ai 'j—» jji^-U (Manusia mengambil sisa air wudhunya).


Seakan-akan mereka saling berbagi air yang tersisa, namun ada pula
kemungkinan mereka mengambil air yang mengalir di anggota wudhu
Nabi SAW. Di sini terdapat keterangan sangat jelas mengenai sucinya air
musta 'mal (air bekas yang digunakan untuk bersuci).

f" - ' y

188. Abu Musa berkata, "Nabi SA W minta dibawakan satu bejana


kecil (mirip tempayan) yang berisi air, beliau membasuh kedua
tangannya dan mukanya di bejana tersebut serta mengeluarkan air
dari mulutnya ke dalamnya. Kemudian beliau SAW bersabda
kepada keduanya, 'Minumlah sebagian air itu, lalu usapkanlah ke
muka dan leher kalian berdua.''"

Keterangan Hadits:
Abu Musa yang dimaksud adalah Abu Musa Al Asy'ari. Hadits ini
adalah penggalan dari hadits panjang yang disebutkan oleh penulis dalam
kitab Al Maghazi. Adapun permulaannya, "Telah diriwayatkan dari Abu
Musa, ia berkata, "Aku pernah bersama Nabi SAW di Ji'ranah dan beliau
ditemani oleh Bilal, lalu beliau SAW didatangi oleh seorang Arab
badui...." Selanjutnya Abu Musa menceritakan kisah selengkapnya.
Maka dari keterangan ini diketahuilah dua orang yang dimaksud oleh
Nabi SAW dalam sabdanya, "Oleh kalian berdua...", yakni Abu Musa Al

FATHUL BAARI — 197


Asy'ari dan Bilal. Demikian pula Imam Bukhari telah menyebutkan
penggalan lain dari hadits ini pada bab "Mandi dan berwudhu di
Mikhdhab (suatu bejana yang biasa dipakai mencuci pakaian dan yang
lainnya, -penerj.)" sebagaimana akan dijelaskan.

4—J ( v j (Dan mengeluarkan air dari mulutnya ke dalamnya), yakni


beliau menumpahkan kembali air yang telah dipakainya itu ke dalam
bejana. Adapun maksud dari perbuatan ini adalah untuk keberkahan air
tersebut, sebab air liur beliau SAW penuh berkah.

189. Diriwayatkan dari Shalih dari Ibnu Syihab, ia berkata, "Telah


mengabarkan kepadaku Mahmud bin Rabi', dan dialah orang yang
disemprot mukanya oleh Rasulullah SAW dengan air dari mulutnya
pada saat ia masih kanak-kanak, dimana air tersebut berasal dari
sumur milik mereka. " Urwah berkata dari Al Miswar dan se-
lainnya, yang mana setiap salah satu dari mereka membenarkan
yang lainnya, "Apabila Nabi SAW berwudhu, mereka hampir
saling membunuh untuk memperebutkan air sisa wudhu beliau
SAW r

Keterangan Hadits:
Urwah yang dimaksud adalah Urwah bin Az-Zubair, sedangkan
Miswar adalah Miswar bin Makhramah.

o J . — ( d a n selainnya) maksudnya adalah Marwan bin Al Hakam,


seperti akan disebutkan riwayat selengkapnya beserta silsilah peri-

1 9 8 — FATHUL BAARI
wayatannya secara bersambung hingga kepada nabi SAW dalam bab Asy-
Syuruth.
Al Karmani berkata, "Riwayat ini meskipun dinukil dari seorang
yang tidak diketahui (majhul), namun kedudukannya di sini hanyalah
sebagai penguat, sehingga posisinya tidaklah sama dengan riwayat yang
menjadi dasar atau bukan menjadi penguat."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Perkataan Al Karmani benar adanya.
Akan tetapi di tempat ini tidak perlu dijadikan sebagai alasan, sebab
perawi yang tidak disebutkan namanya dalam hadits itu telah diketahui.
Hanya saja beliau tidak menyebutkan namanya di sini untuk meringkas,
sebagaimana beliau meringkas silsilah periwayatannya hingga meng-
hapus sebagian besar para perawinya."

Lalu Al Karmani mengatakan bahwa perkataan beliau, "Urwah


berkata..." dikaitkan dengan perkataan dalam silsilah periwayatan ter-
dahulu, yakni perkataannya "Mahmud telah mengabarkan kepadaku."
Dengan demikian, Shalih bin Kaisan menukil hadits ini dari Ibnu Syihab
(Zuhri) dan hadits Mahmud. Lalu beliau menyambungnya dengan hadits
Urwah, sehingga hadits Urwah tidak dianggap disebutkan tanpa silsilah
periwayatan. Bahkan sesungguhnya jalur periwayatannya telah disebut-
kan secara lengkap, yakni jalur periwayatan Shalih dan orang-orang
sesudahnya.

Akan tetapi karakter para imam hadits menyalahi apa yang beliau
(Al Karmani) katakan. Al Karmani tetap dalam pendiriannya seperti ini
hingga beliau mengklaim bahwa perkataan dalam hadits, "Setiap salah
satu dari mereka membenarkan yang lainnya.." maksudnya adalah
Miswar dan Mahmud. Padahal kenyataan bukan seperti apa yang beliau
klaim, bahkan yang dimaksud di sini adalah Miswar dan Marwan.
Pandangan Al Karmani di atas berdasarkan pertimbangan akal semata,
sementara kembali kepada kaidah periwayatan dalam masalah itu sendiri
merupakan langkah yang lebih baik untuk ditempuh.

d j—Ls* ijAT (Mereka hampir saling membunuh). Demikian riwayat

Abu Dzar, sedangkan yang lainnya menyebutkan 'jalS' (hampir-hampir


mereka) dan inilah yang benar, karena tidak pernah terjadi mereka saling
membunuh dengan sebab memperebutkan air wudhu Nabi SAW. Hanya
saja keterangan seperti itu diriwayatkan oleh Urwah bin Mas'ud Ats-

FATHUL BAARI — 199


Tsaqafi ketika kembali menemui kaum Quraisy untuk memberitahukan
kepada mereka kehebatan para sahabat dalam mengagungkan Nabi SAW.
Adapula kemungkinan perkataan, "Saling membunuh..." hanyalah untuk
memberi gambaran penyangatan.

190. Diriwayatkan dari Ja'd, ia berkata, "Aku mendengar Sa'ib


bin Yazid berkata, 'Bibiku membawaku kepada Nabi SA W.' Lalu ia
berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak saudara perem-
puanku ini terkena penyakit di kakinya. ' Maka Nabi SA W menyapu
kepalaku kemudian mendoakan berkah bagiku. Kemudian Nabi
SAW berwudhu dan aku pun minum air wudhu beliau SAW.
Kemudian aku berdiri di belakangnya dan aku melihat cap ke-
nabian di antara dua pundaknya, sama seperti Zirrul Hajalah. "

Keterangan Hadits:
(Bab) demikian yang diriwayatkan oleh Al Mustamli, seakan-akan
perkataan ini hanyalah sebagai pembatas antara pembahasan sebelum
dengan pembahasan sesudahnya. Adapun perawi Shahih Bukhari selain
Al Mustamli tidak menyebutkan lafazh bab di tempat ini.

J v ^ j * {Diriwayatkan
1
dari Ja 'd), demikian yang tertulis dalam
naskah ini. Namun dalam nukilan mayoritas perawi Shahih Bukhari
tertulis ^ - s * ^ (Al Ju'aid) dan inilah yang masyhur. Adapun As-Sa'ib bin
1

2 0 0 — FATHUL BAARI
Yazid tergolong sahabat yang berumur muda, dan haditsnya akan dijelas-
kan nanti pada pembahasan tentang "Tanda-tanda Kenabian," insya
Allah.

*—IsvJi berasal dari kata JL_*_»JI, maksudnya rumah yang dihiasi

dengan kain, permadani serta gorden terbuat dari tali-tali yang dihiasi
dengan butiran-butiran (seperti kalung,-Penerj.) Adapula yang mengata-
kan bahwa yang dimaksud dengan SLvJi adalah sejenis burung, dimana
jenis betinanya dinamakan Hajalah. Atas dasar makna kedua ini, maka
yang dimaksud dengan Zirr adalah telurnya. Pengertian kedua ini
diperkuat oleh hadits lain yang berbunyi, "(Cap kenabian itu) seperti
telur burung merpati." Pembahasan secara lengkap akan dijelaskan pada
sifat Nabi SAW.
Maksud Imam Bukhari berdalil dengan hadits-hadits di atas adalah
untuk membantah pendapat yang mengatakan najisnya air musta 'mal,
yaitu pendapat Abu Yusuf. Telah diriwayatkan oleh Imam Syafi'i dalam
kitab Al Umm dari Muhammad bin Al Hasan, bahwa Abu Yusuf telah
meralat pendapatnya. Namun setelah dua bulan kemudian beliau kembali
kepada pendapatnya semula.
Adapun dari Abu Hanifah dinukil tiga riwayat; p e r t a m a , air
musta 'mal suci dan tidak dapat dipakai bersuci. Ini merupakan riwayat
Muhammad bin Al Hasan dari Abu Hanifah, sekaligus pendapat
Muhammad bin Al Hasan sendiri serta Imam Syafi'i dalam fatwanya
yang baru dan merupakan pendapat yang difatwakan dalam madzhab
Abu Hanifah. K e d u a , air musta'mal hukumnya najis yang ringan
(mukhaffafah), ini adalah riwayat Abu Yusuf dari Abu Hanifah. Ketiga,
air musta 'mal adalah najis berat (mughalladhah), pendapat ini diriwayat-
kan oleh Al Hasan Al Lu'lu'ai dari Abu Hanifah.
Hadits-hadits di atas membantah pendapat yang menyatakan bahwa
air musta'mal, adalah najis karena najis tidak dapat dipakai untuk men-
dapatkan berkah. Sementara hadits tentang Nabi SAW menyemprotkan
air dari mulutnya ke muka As-Sa'ib bin Yazid meski tidak ada keterang-
an tegas mengenai wudhu, akan tetapi dapat diterangkan dengan me-
ngatakan, "Jika orang yang berpendapat bahwa air musta 'mal hukumnya
najis dengan alasan bahwa air tersebut dinisbatkan atau ditambahkan
kepada sesuatu yang lain, maka dapat dijawab bahwa air tersebut

FATHUL BAARI — 201


dinisbatkan atau ditambahkan kepada sesuatu yang suci dan tidak
berubah salah satu sifatnya, sehingga hukumnya tetap suci.
Demikian pula halnya dengan air yang bercampur dengan air liur,
hukumnya tetap suci sebagaimana diterangkan dalam hadits As-Sa'ib di
atas. Adapun mereka yang beralasan bahwa air musta 'mal dianggap najis,
karena dianggap sebagai air dosa (dipakai membersihkan dosa,-Penerj)
sehingga harus dihindari." Mereka memperkuat pendapatnya dengan
hadits-hadits yang menjelaskan tentang hal itu seperti diriwayatkan oleh
Imam Muslim dan lainnya. Namun hadits-hadits dalam bab ini telah
membantah alasan mereka, sebab sesuatu yang wajib dihindari tidak
boleh dijadikan sarana mendapatkan berkah dan juga tidak bisa diminum.

Ibnu Mundzir berkata, "Dalam ijma' (kesepakatan) ulama disebut-


kan bahwa bekas air yang tersisa di anggota wudhu seseorang yang
berwudhu serta tetesan-tetesan air yang jatuh dan mengenai pakaiannya,
maka hukumnya adalah suci." Perkataan Ibnu Mundzir ini menjadi dalil
sangat kuat tentang sucinya air musta 'mal. Adapun masalah bahwa air
tersebut tidak dapat dipakai untuk bersuci, akan dibahas dalam
pembahasan tentang "Mandi", insya Allah.

41. Orang yang Berkumur-kumur dan Mengeluarkan


Air dari Hidung dengan Satu Cidukan

2 0 2 — FATHUL BAARI
191. Diriwayatkan dari Amru bin Yahya dari bapaknya, dari
Abdullah bin Zaid bahwa dia (Abdullah bin Zaid) menuangkan air
dari bejana kepada kedua tangannya lalu membasuh keduanya.
Kemudian membasuh atau berkumur-kumur dan mengeluarkan air
dari hidung dari satu telapak tangan, dia lakukan hal itu sebanyak
tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya hingga ke siku
sebanyak dua kali-dua kali, dan menyapu kepalanya yang ke arah
depan dan yang ke arah belakang. Kemudian membasuh kedua
kakinya hingga kedua mata kaki, lalu berkata, 'Demikianlah
wudhu Rasulullah SA W."

Keterangan Hadits:
(Orang yang berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung
dengan satu cidukan). Pembahasan ini telah dibahas pada bab mengusap
kepala, dan diterangkan pada hadits Ibnu Abbas di awal pembahasan
wudhu.

J—(Kemudian beliau membasuh) yakni membasuh mulutnya,

'ja—*Iiv» ji (atau berkumur-kumur). Demikian yang disebutkan dalam


riwayat Malik, yakni dengan lafazh yang mengindikasikan keraguan.
Telah diriwayatkan juga oleh Muslim dari Muhammad bin Shabah dari
Khalid dengan silsilah periwayatan yang sama seperti di atas, namun
tidak ada lafazh yang menunjukkan keraguan. Adapun lafazh riwayat
yang dimaksud, J X-r°„<\^ 'ja'<.'&j> L$pr^x£LilJ «aJ J > i i (Kemudian beliau
memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu berkumur-kumur dan
mengeluarkan air dari hidung). Diriwayatkan pula oleh Al Isma'ili dari
jalur Wuhaib bin Baqiyah dari Khalid dengan lafazh yang sama seperti
riwayat Imam Muslim. Dengan demikian, nampaknya lafazh yang
menunjukkan keragu-raguan dalam hadits ini bersumber dari Al
Musaddad, guru Imam Bukhari. Lalu Al Karmani mengemukakan
pendapat yang agak ganjil, dimana beliau berkata, "Secara lahiriah,
keragu-raguan dalam hadits ini berasal dari tabi'in yang meriwayatkan-
nya."

"^ f i
J s
'j* [Dari satu telapak tangan) Demikian yang disebutakan

dalam riwayat Abu Dzar, sedang dalam salah satu teks disebutkan, j ?

FATHUL BAARI — 203


«J—H j f — ( D a r i saru kali cidukan). Ibnu Baththal berkata, "Yang
dimaksud dengan telapak tangan di sini adalah cidukan. Pengertian
tersebut diambil karena lafazh telapak tangan merupakan ungkapan yang
dapat mewakili makna menciduk air."

4—Uji J_~P (Kemudian beliau membasuh kedua tangannya) di sini

secara ringkas tanpa menyebutkan "membasuh muka". Sebagaimana hal


itu disebutkan dalam riwayat Imam Muslim dan selainnya.

42. Membasuh Kepala Satu Kali

O s^ t „ *- Q y y9 y t O ) O y . •';.>»' *' \ — ^ O' . •''.•t* y

S ^—J* frj—Ij 5^ ^ J^ l^ 1
o*
" y y ? " y
y ^ y ^y y y y^y y y ^y y^^, y y

y
.
y fiy
,
y
, • s
y
Qy O
y
y OyO
y
y s O s
y
M y ,
9
,
}
y y
y
, y
Q
f
y

o}l_Jb L—T^J y;:. . J j j J L i - l j ^ ^ ^ j j> oJb Jiol


y O y ^ t & y y ^ y y y O ^ y O y ^ ^ y y

Jiol JJ lj*ylj j U i jlj^l aib Ji-.il JJ «.d oli^p


J 1 0
£ ^ -* , ^ y y O y y y O %

% y Q y s * O yy y O y^y J ^- O

^ i oJu JJ-^l jt-J U-g-,' ^-^Ij 4jJ_j J*»1J 4—1 7T-~~»i «.U^l ^ i
^ ;Jli J i J j i - ;Jli y Uj-lJj .4^1>rj J J J T S {.Ij^I
: ^ J f

192. Diriwayatkan dari Wuhaib, "Telah menceritakan kepada


kami Amru bin Yahya dari bapaknya, ia berkata, 'Aku menyaksi-
kan Amru bin Abu Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid
tentang wudhu Nabi SAW, maka beliau minta dibawakan bejana

2 0 4 — FATHUL BAARI
kecil berisi air lalu berwudhu untuk mereka. Dia menuangkan air
kepada dua tangannya seraya mencuci keduanya tiga kali,
kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu
berkumur-kumur dan memasukkan serta mengeluarkan air dari
hidung sebanyak tiga kali dengan tiga cidukan. Kemudian
memasukkan tangannya di bejana lalu membasuh wajahnya tiga
kali. Kemudian memasukkan tangannya di bejana lalu membasuh
kedua lengannya hingga kedua siku dua kali-dua kali. Kemudian
memasukkan tangannya ke dalam bejana dan menyapu kepalanya
seraya mengarahkan tangannya ke depan dan ke belakang.
Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu
membasuh kedua kakinya.'" Musa telah menceritakan kepada
kami, ia berkata, "Telah menceritakan kepada kami Wuhaib, ia
berkata, "Beliau menyapu kepalanya satu kali."

K e t e r a n g a n Hadits:
(Membasuh kepala satu kali) dalam riwayat Al Ashili, disebutkan
"Satu kali sapuan."

t-—_»'j» j'yj Uvjj (Maka beliau minta dibawakan bejana kecil berisi
air) Demikian lafazh yang dinukil oleh kebanyakan perawi Shahih
Bukhari, sedangkan dalam riwayat Al Kasymihani disebutkan, IpoS

(Beliau minta dibawakan air) tanpa menyebut bejana.

Ui£_ (Menuangkan), maksudnya memiringkan bejana.

aJ_j J J l i (Seraya mengarahkan tangannya ke depan) demikian kata


"tangan" disebutkan di sini dalam bentuk tunggal, sementara dalam
riwayat Al Kasymihani disebutkan dalam bentuk ganda.

(Telah menceritakan kepada kami Wuhaib), yakni


melalui silsilah tersebut di atas beserta hadits dari lafazh beliau.
Sementara jalur periwayatan Musa yang disebutkan di sini telah
dijelaskan terdahulu pada bab membasuh kedua kaki hingga mata kaki,
dimana disebutkan mengenai menyapu kepala satu kali. Disebutkan pula
tentang perselisihan mengenai disukainya menyapu kepala lebih dari satu
kali dalam bab "Berwudhu tiga kali-tiga kali" saat membahas hadits

FATHUL BAARI — 205


Utsman. Kami telah menyebutkan perkataan Abu Dawud,
"Sesungguhnya riwayat-riwayat yang shahih dari Utsman tidak
disebutkan menyapu kepala lebih dari satu kali." Lalu kami telah jelaskan
bahwa riwayat tentang menyapu kepala lebih dari satu kali dinukil dari
dua jalur periwayatan, salah satu di antara kedua jalur itu dianggap
shahih oleh pakar hadits selain Abu Dawud. Sementara tambahan
keterangan dari perawi tsiqah (terpercaya) mesti diterima ' sehingga 9

perkataan Abu Dawud dipahami dengan mengecualikan dua jalur


periwayatan yang beliau sebutkan. Seakan-akan beliau mengatakan,
"Kecuali dua jalur periwayatan ini."

Ibnu Sam'ani dalam kitab Al Isthilam mengatakan, "Adanya


]0)

perbedaan dalam riwayat harus dipahami bahwa kejadian tersebut


berulang, maka dalam hal ini beliau SAW kadang menyapu kepalanya
satu kali dan kadang pula tiga kali. Tidak ada hujjah dalam riwayat yang
menyebutkan menyapu kepala satu kali yang melarang menyapu lebih
dari satu kali. Pendapat bolehnya menyapu kepala lebih dari satu kali
diperkuat dengan pendapat yang menganalogikan menyapu dengan
anggota wudhu lain yang dibasuh. Sebab wudhu adalah thaharah
hukmiyah (bersuci yang bersifat maknawi), dimana antara membasuh dan
menyapu tidak ada perbedaan."

Pendapat ini aku jawab dengan apa yang telah disebutkan


terdahulu, yaitu bahwa dasar mengusap atau menyapu adalah keringanan,
berbeda dengan membasuh. Andaikata disyariatkan mengulang anggota
wudhu yang disapu, maka gambarannya akan sama dengan anggota
wudhu yang dibasuh. Sementara telah disepakati bahwa membasuh
kepala adalah makruh meskipun wudhunya dianggap sah.
Kemudian perkataan kami dijawab lagi dengan mengatakan, "Jika
dikatakan menyapu adalah untuk memberi keringanan, maka sebagai
konsekuensinya seharusnya sapuan itu tidak diratakan ke seluruh kepala.
Padahal kenyataannya hal ini disyariatkan. Maka, seharusnya demikian
pula mengenai menyapu lebih dari satu kali." Kami katakan, "Jawaban
untuk pernyataan ini cukup jelas."

Telah disebutkan terdahulu bahwa ini adalah tambahan yang menyalahi riwayat orang
yang lebih tsiqah (dan riwayat seperti ini dinamakan syadz) sehingga tidak dapat
dijadikan pegangan. Wallahu A 'lam.
Kitab yang beliau tulis dalam rangka membantah Abu Zaid Ad-Dabusi.

2 0 6 — FATHUL BAARI
Dalil terkuat yang menunjukkan tidak adanya pengulangan dalam
menyapu kepala adalah hadits masyhur yang dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dari selainnya dari jalur periwayatan Abdullah bin Amru bin
Al Ash mengenai sifat wudhu Nabi SAW, dimana beliau bersabda setelah
selesai berwudhu, "Barangsiapa yang menambahkan dari yang demikian
ini, sungguh ia telah berlaku buruk lagi zhalim."
Sementara dalam riwayat Sa'id bin Manshur terhadap hadits di atas
terdapat ketegasan, bahwa beliau SAW menyapu kepalanya satu kali. Hal
ini mengindikasikan bahwa menyapu kepala lebih dari satu kali tidaklah
disukai. Adapun riwayat-riwayat yang menerangkan adanya pengulangan
dalam menyapu kepala -apabila terbukti kebenarannya- maka harus
dipahami bahwa maksudnya adalah untuk meratakan sapuan, dimana
pemahaman seperti itu untuk mengompromikannya dengan riwayat-
riwayat yang menyatakan tidak adanya pengulangan dalam menyapu
kepala.

Catatan Penting
Dalam hadits sebelumnya tidak disebutkan "membasuh muka". Al
Karmani mengatakan bahwa sebenarnya membasuh muka inilah yang
dimaksud dengan perkataan perawi, "kemudian beliau membasuh atau
berkumur-kumur..." sehingga -menurut beliau- bunyi lengkap hadits itu
adalah, "Beliau membasuh mukanya atau berkumur-kumur dan
memasukkan air ke hidung." Aku (Ibnu Hajar) berkata, "Tidak
tersembunyi lagi betapa jauhnya pernyataan ini dari yang sebenarnya."
Sebab, hadits yang dimaksud telah diriwayatkan pula oleh Imam Muslim
dan Al Isma'ili. Dalam riwayat keduanya -setelah menyebutkan
mengenai berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung- dikatakan,
"Kemudian beliau membasuh mukanya tiga kali." Dari sini dapat
diketahui bahwa Musaddad telah meringkas hadits ini sebagaimana telah
dijelaskan bahwa lafazh yang mengindikasikan keraguan dalam hadits itu
bersumber darinya.
Al Karmani berkata, "Diperkenankan untuk tidak menyebutkan
"membasuh muka" dalam hadits tersebut karena tidak adanya per-
selisihan. Berbeda dengan selainnya, seperti berkumur-kumur dan me-
masukkan air ke dalam hidung. Yang diperselisihkan adalah, apakah
dilakukan dengan satu cidukan sekaligus atau masing-masing satu

FATHUL BAARI — 207


cidukan. Adapun dalam membasuh tangan yang diperselisihkan adalah,
apakah siku termasuk bagian yang wajib dibasuh atau tidak. Demikian
pula dengan menyapu kaki bahwa yang diperselisihkan adalah apakah
mesti disapu secara keseluruhan atau boleh sebagiannya, serta apakah
harus sampai ke mata kaki atau tidak." Demikian perkataan Al Karmani.

43. Seorang Laki-Laki Berwudhu Bersama Istrinya,


Air Sisa Wudhu Wanita
Umar Pernah Berwudhu dengan Air Panas di Rumah
Seorang Wanita Nasrani

' 0
) ' "* * ' * J- ' ' ' ' ^s' j *

^ 't jjy^>yj j Jli-^Jl j - T Jli <*-)( ^ o - p y «dJl J L P j i -

.l*t~>- 0 aLI J ^ - j jCj

193. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwasanya dia


berkata, "Biasanya laki-laki dan wanita pada zaman Rasulullah
SA W berwudhu bersama-sama.'"

Keterangan Hadits:
(Umar berwudhu dengan air panas), maksudnya air yang hangat.
Dalam riwayat ini disebutkan secara bersambung kepada Umar oleh
Sa'id bin Manshur dan Abdurrazzaq dan selain keduanya dengan silsilah
periwayatan yang shahih. Lafazhnya adalah, < * — O l T 01

\ L» J — J J U J (Sesungguhnya Umar pernah berwudhu dengan air panas


(hangat) dan mandi menggunakan air tersebut). Lalu diriwayatkan oleh
Ibnu Syaibah dan Ad-Daruquthni dengan lafazh, p p&i J> *U <d «l5V_T
t
XI» J—sJJ (Biasa dihangatkan untuknya air di periuk lalu beliau berwudhu

2 0 8 — FATHUL BAARI
darinya). Ad-Daruquthni menambahkan bahwa silsilah peri-wayatan
hadits tersebut shahih.
Adapun kesesuaian riwayat Umar dengan judul bab adalah bahwa
umumnya istri seseorang mengikuti apa yang dilakukan oleh suaminya,
maka dari sini Imam Bukhari memberi isyarat sebagai bantahan terhadap
mereka yang berpendapat tidak boleh bagi seorang wanita berwudhu
menggunakan sisa air yang dipakai oleh laki-laki. Sebab, secara lahiriah
hadits itu mengindikasikan bahwa istri Umar berwudhu dengan sisa air
yang beliau pakai atau berwudhu bersamanya. Dari sini didapatkan
kesesuaian riwayat Umar dengan perkataan Imam Bukhari pada judul
bab, "Seorang laki-laki berwudhu bersama isterinya..." yakni dari satu
bejana. Adapun masalah bersuci dengan air yang hangat (yang
dipanaskan), para ulama sepakat membolehkannya kecuali satu riwayat
yang dinukil dari Mujahid.

(Di rumah seorang wanita Nasrani). Lafazh ini berkaitan dengan


perkataannya (Dengan air panas), maksudnya Umar pernah pula
berwudhu di rumah seorang wanita Nasrani. Riwayat tentang hal ini
dinukil dengan silsilah periwayatan yang bersambung dan sampai kepada
Umar oleh Imam Syafi'i dan Abdurrazzaq serta selain keduanya dari
Ibnu Uyainah dari Zaid bin Aslam dari bapaknya dari Umar. Adapun
lafazhnya menurut versi Imam Syafi'i, "Beliau berwudhu dari satu
tempat air di rumah seorang wanita Nasrani."
Akan tetapi Ibnu Uyainah tidak mendengar riwayat ini secara
langsung dari Zaid bin Aslam. Sebab telah diriwayatkan oleh Al Baihaqi
dari jalur Sa'dan bin Nashr dari Ibnu Uyainah, ia berkata, "Mereka telah
menceritakan kepada kami dari Zaid bin Aslam..." lalu beliau menyebut-
kan hadits selengkapnya.
Diriwayatkan pula oleh Al Isma'ili melalui jalur yang lain dari
Ibnu Uyainah seraya menyebutkan perantara antara beliau dan Zaid bin
Aslam, yang mana dikatakan, "Dari anak Zaid bin Aslam dari bapaknya
dari Umar." Sedangkan anak-anak Zaid bin Aslam adalah Abdullah,
Usamah dan Abdurrahman. Yang paling tsigah serta tertua di antara
mereka adalah Abdullah, dan aku kira Ibnu Uyainah mendengar riwayat
di atas dari Abdullah dari bapaknya. Atas dasar ini sehingga Imam
Bukhari menyebutkan riwayat yang dimaksud dengan lafazh yang
mengisyaratkan akan keshahihannya.

FATHUL BAARI — 209


Dalam riwayat Karimah disebutkan tanpa menyertakan kata "dan"
diantara perkataan "Air panas" dengan perkataannya "Rumah seorang
wanita Nasrani". Hal inilah yang membuat Al Karmani berani
mengatakan, "Sesungguhnya yang dimaksud adalah untuk menjelaskan
hukum berwudhu menggunakan sisa air yang dipakai oleh wanita.
Adapun masalah air panas hanyalah karena kebetulan yang dipakai oleh
beliau saat itu adalah air hangat. Padahal anda telah mengetahui bahwa
keduanya merupakan dua riwayat yang berbeda."
Riwayat kedua ini (yakni bahwa Umar berwudhu di rumah seorang
wanita Nasrani, -penerj) sesuai dengan perkataan Imam Bukhari pada
judul bab "Air sisa wudhu wanita", karena Umar berwudhu dengan air
milik wanita tersebut tanpa penjelasan secara rinci. Sebab ada ke-
mungkinan wanita Nasrani tersebut adalah istri seorang laki-laki muslim,
lalu air yang dipakai oleh Umar adalah sisa air yang ia gunakan untuk
mandi junub.

Telah menjadi kebiasaan Imam Bukhari berdalil dengan riwayat


seperti ini jika tidak disertai perincian lebih lanjut. Walaupun selain
beliau tidak menggunakannya sebagai dalil, namun dalam riwayat itu
terdapat dalil tentang bolehnya bersuci dengan menggunakan sisa air
wudhu wanita muslimah, karena seorang muslimah keadaannya tidak
mungkin lebih buruk daripada wanita Nasrani.
Dalam riwayat ini terdapat pula keterangan bolehnya memakai air
milik orang-orang ahli kitab tanpa minta penjelasan sebelumnya. Imam
Syafi'i dalam kitabnya Al Umm berkata, "Tidak mengapa berwudhu
dengan air seorang musyrik atau menggunakan sisa air yang ia pakai
selama tidak diketahui adanya najis." Ibnu Mundzir berkata, "Ibrahim
An-Nakha'i menyendiri dalam pendapatnya mengenai makruhnya meng-
gunakan air sisa wanita yang junub."

«.I—Ulj J t — r ) \ 01 s (Biasanya laki-laki dan wanita) secara lahir


maknanya adalah kejadian yang umum, dan bukan keseluruhan.

j aIIp aJUI JLP aJJI Jj~.j JUj J> (Di zaman Rasulullah SA W). Dari
sini dapat kita ambil pelajaran bahwa Imam Bukhari berpendapat jika
sahabat menisbatkan suatu perbuatan ke zaman Nabi SAW, maka
perbuatan itu dihukumi sama seperti yang langsung berasal dari Nabi
SAW. Ini merupakan pendapat yang benar. Namun, telah dinukil dari

2 1 0 — FATHUL BAARI
sebagian orang pendapat yang menyelisihinya dengan alasan ada
kemungkinan Nabi SAW tidak mengetahui perbuatan tersebut. Tapi
pendapat ini lemah, karena adanya berbagai kemudahan bagi para
sahabat untuk bertanya langsung kepada Nabi SAW mengenai perkara-
perkara yang terjadi dan belum mereka ketahui hukumnya. Seandainya
mereka tidak bertanya, tentu mereka tidak akan dibiarkan melakukan
perbuatan yang menyalahi syariat di saat wahyu masih turun. Bahkan,
Abu Sa'id dan Jabir telah berdalil tentang bolehnya seseorang melakukan
azal (mengeluarkan air mani di luar rahim istrinya -Penerj) sementara Al
Qur'an masih diturunkan. Seandainya perbuatan itu di-larang, tentu Al
Qur'an melarangnya.

Ibnu Majah memberi tambahan dari jalur Hisyam bin Ammar dari
Malik pada riwayat ini, J f i j 'y» (Dari satu bejana). Abu Dawud juga
menambahkan dari jalur Ubaidillah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar,
\—Zx>\ 4—li ^ — l U (Kami memasukkan tangan-tangan kami ke dalamnya).
Dalam riwayat ini terdapat keterangan bahwa menciduk air sedikit tidak
menjadikan air tersebut menjadi air musta 'mal, sebab bentuk bejana
mereka umumnya kecil seperti yang ditegaskan oleh Imam Syafi'i dalam
kitab Al Umm. Hadits ini juga merupakan dalil sucinya wanita kafir yang
tunduk dalam kekuasaan islam (dzimmiyah) serta sucinya sisa air yang
dia pakai bersuci, karena menikah dengannya diperbolehkan serta tidak
ada pembedaan dalam hadits antara muslimah dan selainnya.

i — ( b e r s a m a - s a m a ) , makna lahiriah hadits ini bahwa mereka


menciduk air bersama dalam satu waktu. Diriwayatkan oleh Ibnu At-Tin,
bahwa makna hadits ini adalah kaum laki-laki dan kaum wanita
dahulunya berwudhu secara bersama-sama di satu tempat, dimana kaum
laki-laki berada di tempat tersendiri dan kaum wanita berada di tempat
tersendiri pula. Akan tetapi tambahan pada riwayat sebelumnya yang
berbunyi, "dari satu bejana" membantah pendapat ini. Seakan-akan orang
yang berpendapat seperti itu hanya ingin menghindar untuk mengatakan
bahwa laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya telah berkumpul di
satu tempat.

Ibnu At-Tin memberi jawaban mengenai hal ini dengan me-


ngatakan, bahwa kaum laki-laki berwudhu lebih dahulu kemudian pergi.
Lalu kaum wanita datang kemudian berwudhu di tempat yang sama.
Hanya saja perkataan Ibnu Tin juga menyelisihi makna lahir yang dapat

FATHUL BAARI — 211


dipahami dari teks hadits yang berbunyi, "bersama-sama". Para pakar
bahasa berkata, "Al JamV (bersama-sama) adalah lawan dari "Al
Mutafarriq " (berpisah-pisah). Sementara telah disebutkan secara tegas
bahwa mereka berwudhu bersama dari satu bejana. Dalam Shahih Ibnu
Khuzaimah dari jalur Ma'mar dari Ubaidillah dari Nafi' dari Ibnu Umar
dikatakan, bahwa beliau melihat Nabi SAW bersama para sahabatnya
bersuci pada satu bejana dan wanita-wanita bersama mereka. Semuanya
bersuci dari bejana tersebut.

Pandangan paling baik dalam hal ini adalah, "Tidak ada halangan
berkumpulnya laki-laki dan wanita sebelum turun ayat tentang hijab.
Adapun setelah ayat itu turun, maka kebolehan tersebut hanya khusus
antara laki-laki dan istri-istrinya maupun wanita-wanita yang menjadi
mahram."
Dinukil oleh Ath-Thahawi kemudian Al Qurthubi serta An-
Nawawi akan adanya kesepakatan para ulama yang membolehkan
seorang laki-laki mandi bersama istrinya dari satu bejana. Akan tetapi
perkataan mereka ini masih perlu dianalisa kembali, karena riwayat Ibnu
Mundzir mengatakan bahwa Abu Hurairah melarang perbuatan seperti
itu. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Barr dari
beberapa ulama. Namun hadits di atas menjadi hujjah untuk menolak
pandangan seperti ini.

Kemudian Imam An-Nawawi menukil pula adanya kesepakatan


ulama mengenai bolehnya wanita menggunakan air sisa laki-laki,
sebaliknya laki-laki tidak boleh menggunakan air sisa perempuan.
Perkataan ini masih perlu dipertanyakan lagi, sebab Ath-Thahawi telah
menegaskan adanya perselisihan ulama mengenai hal itu. Telah dinukil
dari Ibnu Umar, Sya'bi dan Al Auza'i mengenai larangan seorang wanita
menggunakan sisa air yang dipakai laki-laki, dengan syarat jika wanita
itu dalam keadaan haid. Adapun kebalikannya, telah terbukti diriwayat-
kan dari Abdullah bin Sarjis (salah seorang sahabat), Sa'id bin Musayyab
dan Al Hasan Al Bashri, bahwasanya mereka melarang seorang laki-laki
bersuci dengan sisa air yang dipakai oleh wanita. Demikian pula
pendapat Imam Ahmad dan Ishaq, akan tetapi keduanya memberi
persyaratan jika air itu telah dipakai terlebih dahulu oleh wanita.
Pandangan ini mereka kemukakan karena hadits-hadits yang berhubu-
ngan dengan persoalan tersebut secara lahiriah membolehkan seorang

2 1 2 — FATHUL BAARI
laki-laki menggunakan sisa air yang dipakai oleh wanita secara bersama-
sama.
Telah dinukil oleh Al Maimuni dari Imam Ahmad, bahwasanya
hadits-hadits yang melarang seorang laki-laki bersuci dengan sisa air
yang digunakan oleh wanita serta yang membolehkannya adalah hadits-
hadits yang goncang (mudhtharib). Beliau berkata, "Akan tetapi, telah
dinukil melalui riwayat shahih dari sejumlah sahabat tentang keterangan
yang melarang laki-laki menggunakan sisa air yang dipakai wanita
apabila sang wanita sendirian dalam menggunakan air tersebut. Namun
keterangan ini bertentangan dengan pandangan yang membolehkan hal
itu sebagaimana dinukil dari sejumlah sahabat, di antaranya Ibnu Abbas."
Wallahu a 'lam.

Hadits yang paling masyhur mengenai kedua pendapat itu adalah


hadits Al Hakam bin Amru Al Ghifari yang berindikasi larangan, dan
hadits Maimunah yang membolehkannya. Adapun Hadits Al Hakam bin
Amru telah diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan dan digolongkan
sebagai hadits hasan oleh Imam Tirmidzi, serta dishahihkan oleh Ibnu
Hibban. Oleh sebab itu, Imam An-Nawawi mengemukakan pendapat
yang ganjil ketika beliau berkata, "Para ahli hadits telah sepakat me-
lemahkannya (yakni hadits Al Hakam -Penerj)."

Sedangkan hadits Maimunah diriwayatkan oleh Imam Muslim,


akan tetapi hadits ini dianggap cacat oleh sebagian ulama karena adanya
lafazh dalam hadits itu yang mengindikasikan keraguan. Lafazh yang
dimaksud terdapat dalam jalur periwayatan Amru bin Dinar, dimana
beliau mengatakan, "Yang aku ketahui dan yang terbetik dalam
ingatanku bahwa Abu Sya'tsa mengabarkan kepadaku..." Sementara
hadits ini telah dinukil pula dari jalur periwayatan yang lain, namun para
periwayatnya tidak memenuhi syarat ketelitian (dhabth) di samping
menyelisihi riwayat yang lebih kuat. Adapun riwayat lebih kuat yang
dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim dengan lafazh, "Sesungguhnya Nabi SAW bersama Maimunah,
keduanya mandi dari satu bejana."
Riwayat yang berindikasi larangan telah dinukil pula oleh Abu
Dawud dan An-Nasa'i dari jalur Humaid bin Abdurrahman dari Al
Humairi, ia berkata, "Aku pernah bertemu seorang laki-laki yang pernah
bersahabat dengan Nabi SAW selama empat tahun, laki-laki tersebut
berkata, 'Rasulullah melarang wanita mandi dengan sisa air yang

FATHUL BAARI — 213


digunakan oleh laki-laki atau seorang laki-laki mandi dengan sisa air
yang digunakan oleh wanita, kecuali jika mereka menciduk air secara
bersamaan.'" Para perawi hadits ini tergolong tsiqah (terpercaya), dan
aku tidak mengetahui alasan yang kuat dari orang-orang yang melemah-
kannya.
Adapun perkataan Al Baihaqi bahwa hadits ini dihukumi sebagai
hadits mursal tidak dapat diterima. Sebab apabila yang tidak disebutkan
adalah sahabat, maka tidaklah mengurangi nilai suatu hadits, sementara
dalam riwayat ini sang tabi'in (Humaid bin Abdurrahman) telah
menegaskan bahwa ia bertemu dengan sahabat tersebut. Sedangkan klaim
Ibnu Hazm bahwa yang dimaksud dengan Dawud - y a n g meriwayatkan
hadits itu dari Humaid bin Abdurrahman- adalah Dawud bin Yazid yang
dikenal sebagai perawi lemah, juga tidak dapat diterima. Karena yang
benar adalah Dawud bin Abdullah Al Audi, seorang yang tsiqah (ter-
percaya), dimana nama bapak Dawud yang dimaksud telah disebutkan
dengan tegas oleh Abu Dawud dan selainnya.

Kemudian di antara hadits-hadits yang membolehkan seorang laki-


laki bersuci dengan sisa air yang digunakan oleh wanita adalah hadits
yang diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan dan Ad-Daruquthni,
yang dishahihkan oleh Imam Tirmidzi serta Ibnu Khuzaimah dan selain
keduanya dari hadits Ibnu Abbas dari Maimunah. Ia berkata, "Aku junub,
maka aku pun mandi dari bak air, lalu air tersisa dalam bak tersebut.
Kemudian Nabi SAW datang untuk berwudhu, maka akupun
memberitahukan hal itu kepadanya, beliau bersabda, 'Air tidak mengenal
junub.'" Lafazh ini menurut versi Ad-Daruquthni.
Namun hadits ini telah dianggap cacat oleh sebagian ulama, karena
dalam silsilah periwayatannya terdapat seorang yang bernama Samak bin
Harb - y a n g meriwayatkan hadits itu dari Ikrimah- yang biasa menerima
riwayat dengan sistim talqin. Akan tetapi hadits yang dimaksud telah
diriwayatkan oleh Syu'bah, seorang yang dikenal tidak mau meriwayat-
kan hadits dari para gurunya kecuali hadits shahih.
Mengenai perkataan Imam Ahmad bahwasanya hadits-hadits
mengenai hal ini baik yang membolehkan maupun yang melarang adalah
hadits-hadits yang goncang (mudhtharib), hanya dapat dibenarkan jika
tidak ada jalan lagi untuk mengompromikannya. Sementara dalam hal ini
riwayat-riwayat tersebut masih ada kemungkinan untuk dipadukan, yaitu
dengan memahami hadits-hadits larangan khusus bagi air yang menetes

2 1 4 — FATHUL BAARI
dari badan. Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan, berlaku bagi air
yang tersisa di tempat penampungan air. Demikian yang dilakukan oleh
Al Khaththabi. Mungkin dikatakan bahwa riwayat-riwayat tentang
larangan hanya berindikasi tanzih (lebih baik jika tidak dilakukan) demi
untuk menyatukan antara dalil-dalil yang ada, wallahu a 'lam.

\PUMGWNNAM

FATHUL BAARI 215


44. Nabi SAW Menyiramkan Air Wudhunya kepada
orang yang Pingsan

4 Ul J J—'J f-^ -
• Jj^d 1J^^" • J L* j-^JL«Jl ^jJ WUOTL^

? 'A J O? J*?*' ^ u** J* '*J


L

cJy—'i A^yS" ^ y , UJI o l j ^ l y J AJJ| J b '


t o l a i cJjUi

194. Diriwayatkan dari Muhammad bin Al Munkadir, ia berkata,


'Aku mendengar Jabir berkata, ' Rasulullah SAW pernah datang
menjengukku di saat aku sakit dan tak mengerti (pingsan), lalu
beliau berwudhu kemudian menyiramkan kepadaku dari air
wudhunya. Maka akupun kembali mengerti (sadar). ' Aku berkata,
'Wahai Rasulullah, untuk siapakah harta warisan? Sesungguhnya
aku tidak memiliki ahli waris baik dari keturunan maupun dari
arah atas (bapak dan seterusnya), maka turunlah ayat tentang
harta waris.'"

Keterangan Hadits:

^ Myu (Rasulullah SAW pernah datang menjengukku) dalam

pembahasan tentang "pengobatan" ditambahkan oleh Imam bukhari, Q>^>


(Sambil berjalan kaki).
* i'
J—5pi 'i (Aku tak mengerti), maksudnya tak dapat memahami apa
yang terjadi. Sengaja obyek di sini tidak disebutkan untuk menggambar-
kan dahsyatnya kondisi saat itu. Seakan-akan dia ingin mengatakan,
"Aku tidak mengerti sesuatu" sebagaimana dia tegaskan dalam riwayat
yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam kitab Tafsir. Dalam riwayat
beliau dalam pembahasan tentang "pengobatan" disebutkan, "Maka

2 1 6 — FATHUL BAARI
beliau SAW mendapatiku dalam keadaan pingsan". Lafazh inilah yang
sesuai dengan judul bab di atas.

j—ly>j 'y (Dari air wudhunya) ada kemungkinan yang dimaksud di


sini adalah beliau SAW menyiramkan kepadaku sebagian dari air
wudhunya, atau air yang tersisa di tempat wudhunya. Makna sebenarnya
di sini a d a b h pengertian pertama, sebab telah disebutkan oleh Imam
Bukhari dalam kitab Al Tthisham, "Kemudian beliau menumpahkan air
di tempat wudhunya kepadaku." Sementara dalam riwayat Abu Dawud
disebutkan, "Maka beliau berwudhu lalu menyiramkannya kepadaku."

•iitj^Ji j J (Untuk siapakah harta warisan?) maksudnya warisanku.


Hal ini diperkuat oleh riwayat yang terdapat dalam kitab Ali'thisham,
bahwa beliau berkata, "Apa yang harus aku lakukan terhadap hartaku?"
Yang dimaksud dengan ayat tentang pembagian harta warisan di sini
adalah firman Allah SWT, "Mereka meminta fatwa kepadamu tentang
seseorang yang mati tidak meninggalkan ayah (dan seterusnya ke atas)
maupun anak dan seterusnya ke bawah." ^ Q s . An-Nisaa'(4): 176^
sebagaimana akan dijelaskan dalam kitab Tafsir.

45. Mandi dan Wudhu Di Mikhdhab, Qadah, Kayu


dan Batu

195. Diriwayatkan dari Anas, ia berkata, "Waktu shalat telah


masuk, maka berdirilah seseorang yang rumahnya dekat, lalu ia
pergi menuju keluarganya sementara orang-orang tetap di tempat-

FATHUL BAARI — 217


nya masing-masing. Lalu didatangkan kepada Rasulullah SAW
sebuah mikhdhab terbuat dari batu yang berisi air. Ternyata
mikhdhab cukup kecil bagi Rasulullah SAW untuk membuka
telapak tangannya di dalamnya. Maka orang-orang pun berwudhu
semuanya. " Kami bertanya, "Berapakah jumlah kamu saat itu? "
Anas menjawab, "Delapan puluh orang lebih."

Keterangan Hadits:
(Mandi dan wudhu di mikhdhab), maksudnya adalah jenis bejana
yang biasa dipakai untuk mencuci pakaian atau selainnya baik yang
terbuat dari batu maupun kayu. Terkadang lafazh mikhdhab dipergunakan
sebagai nama bagi bejana baik yang besar maupun kecil. Adapun Qadah
umumnya terbuat dari kayu dengan model agak mengecil di bagian
atasnya (mirip tempayan). Adapun disambungkannya kata kayu dan batu
setelah kata mikhdhab dan qadah bukan sekedar untuk menyambung kata
yang umum setelah kata yang khusus, bahkan hal ini untuk menjelaskan
bahwa antara mikhdhab dan Qadah terdapat kesamaan dari satu segi dan
kekhususan dari segi yang lain.

1*^—CJ'JOP- (Waktu shalat telah masuk), maksudnya shalat ashar.

Perkataan beliau, *—1*' ^—ll (menuju keluarganya) untuk mengambil air

wudhu. Sedangkan Perkataan beliau, f ^ ' j (dan orang-orang tetap pada

tempatnya masing-masing), maksudnya tetap berada di hadapan


Rasulullah SAW.

i (Ternyata mikhdhab cukup kecil), yakni bejana


tersebut tidak muat jika Rasulullah SAW membuka telapak tangan di
dalamnya. Dalam riwayat Al Isma'ili disebutkan, "Maka beliau SAW
tidak mampu untuk membuka telapak tangannya dikarenakan mikhdhab
(bejana) yang cukup kecil." Keterangan ini memberi indikasi atas apa
yang telah kami sebutkan terdahulu, yaitu bahwasanya kata mikhdhab
dipergunakan pula untuk nama bejana yang berukuran kecil. Pembahasan
mengenai hadits ini telah dibahas pada bab mencari air wudhu.
Sedangkan pembahasannya yang masih tersisa akan diterangkan pada
penjelasan tentang tanda-tanda kenabian, insya Allah T a 'ala.

2 1 8 — FATHUL BAARI
196. Diriwayatkan dari Abu Musa bahwasanya Nabi SAW minta
dibawakan satu qadah (bejana mirip tempayan) yang berisi air,
lalu beliau membasuh kedua tangannya dan mukanya di qadah
tersebut serta menyemprotkan air di mulutnya ke dalam tempat
tersebut.'"

Materi (matan) hadits ini sebagiannya telah disebutkan pada bab


mempergunakan sisa air wudhu manusia, dan akan disebutkan secara
lengkap dalam pembahasan tentang Al Maghazi (peperangan). Adapun
maksud disebutkannya hadits tersebut di tempat ini adalah untuk
menyebutkan qadah, dan hal itu telah kami sebutkan.

^ iftC.AJ S AJJ| J yy j J\ Jli oJj Ji AJJ| JIP


' s s s s y y ' -Z * ' 0
.
' yy Qy*M s O/iC y Qy y .j, , 4 ^ / O I •* . f «** ^ •* * •

c? y cjis u-^j ^ J-** ^y* y* 9


o? jy"
- - t *
o ' ' s ' ' * s* i' ''i' i'

197. Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, ia berkata, "Rasulullah


SA W datang, maka kami mengeluarkan untuknya air dalam taur
(bejana kecil) yang terbuat dari kuningan. Lalu beliau berwudhu;
membasuh mukanya tiga kali, kedua tangannya dua kali-dua kali
serta menyapu kepalanya. Beliau mengarahkannya ke depan dan
ke belakang, kemudian mencuci kedua kakinya."

FATHUL BAARI — 219


Keterangan Hadits:
» , - » a s> f s

'^—^3 A—^* * — J jLj J\ (Rasulullah SAW datang), dalam


riwayat Al Kasymihani dan Abu Waqt disebutkan, i— iit r
(mendatangi
kami).
'*—J"* **-
(Membasuh mukanya), lafazh ini merupakan perincian
kata "berwudhu". Dalam riwayat ini sebagian lafazh tidak disebutkan,
yang mana selengkapnya adalah, "Lalu beliau berkumur-kumur dan
memasukkan air ke dalam hidung, membasuh mukanya.... dan
seterusnya" sebagaimana yang diindikasikan oleh riwayat-riwayat yang
lain. Sementara sumber riwayat ini dengan riwayat-riwayat yang
dimaksud adalah satu.
Pembahasan mengenai hadits ini telah disebutkan pada bab-bab
sebelumnya, hanya saja di sini Abdul Aziz menambahkan dalam
riwayatnya bahwa taur yang dimaksud terbuat dari kuningan yang baik.

y O y s ' i y . s I , y y y , y y y y V y

I. s* y
y y
0, > y Oy ,~J^n
i j
<*t,
y
' '
y
.
y
* t
$
. f
yy
0
y .
y
y }
0 y
* ,

* * ' " '


% ' ' ' } 9
* % — * % ' i y
"" ' *

j » Jli V o l i J ^ Cr J -^ o " ^ ^- ^ ^
4 1
1 1

y y f

* ' ^y ' ' Oy * ' «T^a-J^


Q ! p 4JLSI iiolp cJ"l^j <up aJUI ^ Cf-

. • y * ' y . . 0 y 0 y y . y

y y " y y~ "

O' T > ° ' S # S 0 y y 0 y O y 9 L'


" y y — f
y ' ' y * y , a
' ' ^ < ' t m ' y 0

,#\. i, 's * u 'l *** • 0


- i i * ' 0
I i ,t -J'y y ii

•cf^ J \ ^ ^ ^ J l
- ^ ^ ^

2 2 0 — FATHUL BAARI
198. Sesungguhnya Aisyah berkata, "Ketika sakit Nabi bertambah
parah, beliau minta izin kepada semua istrinya untuk dirawat di
rumahku, dan mereka pun mengizinkannya. Lalu Rasulullah SA W
keluar dipapah oleh dua orang laki-laki dan kaki beliau membuat
garis di atas tanah. Beliau diapit oleh Abbas dan seorang laki-laki
yang lain. " Ubaidillah berkata, "Aku mengabarkan hal itu kepada
Abdullah bin Abbas, maka beliau berkata, 'Tahukah engkau siapa
laki-laki yang lain itu?' Aku menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas
berkata, 'Dia adalah Ali.'" Selanjutnya Aisyah menceritakan
bahwa Nabi SAW setelah masuk ke dalam rumahnya dan sakitnya
semakin parah, beliau bersabda, "Siramlah aku dengan air yang
masih belum bercampur dengan sesuatu (masih murni) sebanyak
tujuh timba. Mudah-mudahan aku dapat membuat perjanjian
(wasiat) dengan manusia. " Lalu beliau didudukkan di mikhdhab
(bejana) milik Hafshah (salah seorang istri beliau), kemudian kami
mulai menyiramnya dengan air dari tujuh timba tersebut hingga
beliau mengisyaratkan kepada kami "sudah cukup". Kemudian
beliau keluar (pergi ke masjid) menemui manusia (jamaah).

Keterangan Hadits:

J-aJ W (Ketika semakin berat), maksudnya sakit beliau SAW.

t-jj—i £—J 'j» (Sebanyak tujuh timba) Al Khaththabi berkata, "Ada


kemungkinan beliau mencukupkan dengan tujuh timba untuk mencari
berkah dari angka tujuh. Sebab bilangan ini sangat banyak kaitannya
dengan perkara-perkara syariat dan asal penciptaan. Dalam riwayat
Thabrani sehubungan dengan hadits disebutkan, Ji> jtf 'J (dari sumur
yang berbeda-beda). Secara lahiriah, hal itu adalah untuk pengobatan
berdasarkan sabda beliau SAW dalam riwayat yang lain, "Semoga aku
merasa lebih ringan hingga dapat membuat perjanjian dengan manusia."
Maksudnya, memberi wasiat kepada mereka.

l—1oa*J c — l i s y ^ — i J^r^j (Lalu beliau didudukkan di mikhdhab


(bejana) milik Hafshah). Ibnu Khuzaimah melalui jalur Urwah dari
Aisyah menambahkan, bahwa bejana tersebut terbuat dari tembaga. Maka
dari sini diperoleh bantahan terhadap mereka yang memakruhkan mandi
di bejana yang terbuat dari tembaga, sebagaimana pendapat ini

FATHUL BAARI — 221


diriwayatkan dari Ibnu Umar. Atha' berkata, "Sesungguhnya yang tidak
disukai dari tembaga adalah baunya."

*• fj (Kemudian beliau keluar (ke masjid) menemui


jamaah). Imam Bukhari dari jalur Uqail dari Zuhri menambahkan, "Lalu
beliau shalat mengimami mereka kemudian berkhutbah, setelah itu beliau
keluar." Riwayat ini beliau sebutkan pada bab "Wafatnya Nabi S A W "
dalam kitab tentang Al Maghazi. Pembahasan selanjutnya mengenai
hadits ini akan diterangkan dalam kitab tersebut. Demikian pula dengan
kandungannya tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan imam,
akan dibahas pada bab "Batasan orang yang sakit menghadiri shalat
jamaah," insya Allah.

46. Berwudhu dari Taur

199. Telah diriwayatkan dari Amru bin Yahya, dari bapaknya, ia


berkata, "Pamanku senang memperbanyak wudhu, maka ia
berkata kepada Abdullah bin Zaid, 'Beritahukan kepadaku
bagaimana engkau melihat Nabi SAW berwudhu.'Maka Abdullah
bin Zaid minta dibawakan air wudhu. Beliau menuangkan air

2 2 2 — FATHUL BAARI
kepada kedua tangannya dari bejana tersebut lalu membasuh
keduanya sebanyak tiga kali, kemudian memasukkan tangannya ke
dalam taur lalu berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari
hidung sebanyak tiga kali dari satu cidukan. Kemudian
memasukkan tangannya dan menciduk air dengannya lalu
membasuh mukanya tiga kali. Kemudian membasuh kedua
lengannya hingga siku dua kali-dua kali, kemudian mengambil air
dengan tangannya lalu menyapu kepalanya sambil mengarahkan
ke depan dan ke belakang, kemudian membasuh kedua kakinya,
setelah itu berkata, 'Seperti inilah aku melihat Nabi SAW
berwudhu.''"

Keterangan Hadits:
(Berwudhu dari Taur) pembahasan mengenai hadits ini telah
disebutkan sebelumnya. Adapun yang dimaksud dengan taur adalah
bejana yang serupa dengan thist (bejana bundar yang terbuat dari
tembaga atau sejenisnya dan dipakai untuk mencuci). Adapula yang
mengatakan bahwa taur adalah thist. Namun disebutkan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Anas mengenai Mi'raj Nabi SAW, "Lalu
didatangkan sebuah thist yang terbuat dari emas, di dalamnya ada taur. "
Makna hadits ini secara lahiriah, bahwa kedua bejana ini memiliki
perbedaan. Namun adapula kemungkinan keduanya sama, hanya saja
thist lebih besar dari taur.

'jo.—jj—~i j^—i SJ—j J — y - i i j^i (Kemudian beliau memasukkan


tangannya ke dalam taur lalu berkumur-kumur). Dalam lafazh ini
terdapat kalimat yang tidak disebutkan, dan kalimat yang dimaksud
disebutkan oleh Imam Muslim dalam riwayatnya.

—)—'j—*(Dari satu cidukan). Lafazh ini berkaitan dengan


perkataannya, "lalu berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari
h i d u n g . . . " Adapun maknanya adalah beliau mengumpulkan antara kedua
hal itu sekaligus sebanyak tiga kali, setiap kalinya dilakukan dengan satu
kali cidukan. Ada pula kemungkinan lafazh, "dari satu cidukan..."
berkaitan dengan perkataannya, "tiga k a l i . . . " dan maknanya bahwa
beliau mengumpulkan kedua hal itu (yakni berkumur-kumur dan
mengeluarkan air dari hidung) sebanyak tiga kali dengan hanya satu kali

FATHUL BAARI — 223


cidukan. Akan tetapi kemungkinan pertama sesuai dengan riwayat-
riwayat lain yang berhubungan dengan hal ini, oleh sebab itu
kemungkinan ini lebih tepat.

s £ y
' " £ "

A_i R\j U j RJJI> J \ j *C £o 0 y I jl °y£.


o ' f ^ £ j 0
' i?. £ ' ' f * '

j.1 «Jl J l J$SJ\ C-JJtStJ ^-Jl J l i 4*JCSI «_si>JI ja S-^J*


- ' - fi "
' , - , y O , y y y y

J y O* . y Oy y * * y y 0 y y y . if yt . y t t)y O } %0 y

\ Oi*r- > J
I- 4
w^ 9
J-* ^ ( _ / ~ J l JI-* 4AJU=>I ^ jA-^J

200. Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Nabi SAW minta


dibawakan satu bejana berisi air. Lalu dibawakan kepadanya
sebuah bejana yang luas bagian atasnya, di dalamnya terdapat
sedikit air. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam air
tersebut. Anas berkata, "Akupun melihat air keluar dari sela-sela
jari-jarinya." Anas berkata, "Akupun memperkirakan jumlah
orang yang wudhu saat itu sekitar tujuh puluh sampai delapan
puluh orang."

Keterangan Hadits:

pij—'F j (Bejana yang luas bagian atasnya). Al Khaththabi berkata,


"Yakni bejana yang luas bagian dalamnya namun ukurannya pendek
sehingga tidak dapat menampung air yang banyak. Hal ini lebih memberi
gambaran akan kehebatan mukjizat Nabi SAW."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Sifat bejana yang disebutkan oleh Al
Khaththabi ini sama seperti sifat thist, dan dari sini dapat diketahui
hubungan disebutkannya hadits ini di bawah judul bab seperti di atas."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari / '.imad bin
Abdah dari Hammad bin Zaid. Tidak disebutkan bahwa bejana itu besar
di bagian atasnya, namun dikatakan bahwa bejana tersebut terbuat dari
kaca. Lalu beliau (Ibnu Khuzaimah) membuat bab tersendiri bagi hadits

2 2 4 — FATHUL BAARI
yang diriwayatkannya dengan judul bab "Berwudhu dari bejana kaca",
sebagai lawan perkataan golongan tasawuf yang mengatakan perbuatan
seperti itu termasuk berlebih-lebihan karena bejana yang demikian cepat
pecah.
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Lafazh seperti yang dinukil oleh Ibnu
Khuzaimah hanya diriwayatkan dari jalur Ahmad bin Abdah, sementara
para perawi yang lain dari Hammad bin Zaid menyalahi beliau. Mereka
mengatakan, 'bejana yang bagian atasnya'. Sebagian dari mereka
mengatakan, 'Luas bagian mulutnya.''" Lafazh terakhir ini adalah riwayat
Al Isma'ili dari Abdullah bin Najiyah dari Muhammad bin Musa dan
Ishaq bin Abu Isra'il dan Ahmad bin Abdah yang mana semuanya
meriwayatkan dari Hammad bin Zaid. Seakan-akan Al Isma'ili
menyebutkan riwayat menurut versi Muhammad bin Musa.

Kemudian sejumlah ahli ilmu menegaskan bahwa Ahmad bin


Abdah mengalami kesalahan dalam menulis hadits tersebut. Pandangan
para ulama ini diperkuat oleh keterangan bahwa Ahmad bin Abdah
berkata dalam riwayatnya, 'Aku kira...'' Hal ini menunjukkan bahwa
lafazh tersebut belum diyakini secara pasti. Namun apabila lafazh beliau
ini akurat, tidaklah bertentangan dengan lafazh yang dinukil oleh
mayoritas perawi hadits itu dari Hammad bin Zaid. Sebab, bisa saja
mayoritas perawi menyebutkan model bejana sementara beliau me-
nyebutkan jenisnya. Dalam musnad Imam Ahmad disebutkan bahwa raja
Al Muqauqis pernah menghadiahkan kepada Nabi SAW sebuah bejana
kaca, akan tetapi jalur periwayatan hadits ini masih diperbincang-kan."
J» o ,

&jj—(Akupun memperkirakan). Telah disebutkan dari riwayat


Humaid bahwa jumlah mereka saat itu delapan puluh orang lebih,
sementara di sini dia mengatakan antara tujuh puluh sampai delapan
puluh. Untuk mengompromikan antara kedua riwayat itu dikatakan,
"Sesungguhnya Anas tidak mengetahui secara pasti jumlah orang-orang
yang wudhu saat itu, bahkan dia memastikan jumlah mereka lebih dari
tujuh puluh orang. Kemudian beliau agak ragu apakah lebihnya itu
mencapai delapan puluh atau malah lebih banyak lagi, dari sini terkadang
dia mengatakan dengan tegas bahwa jumlah mereka lebih dari delapan
puluh orang karena dugaannya yang kuat mengenai jumlah itu."

Imam Syafi'i menggunakan hadits ini sebagai dalil untuk mem-


bantah ahli ra'yu (rasionalis) yang mengatakan bahwa wudhu ditentukan

FATHUL BAARI — 225


dengan ukuran atau kadar air tertentu. Penetapan dalil oleh imam Syafi'i
dari hadits itu adalah; para sahabat menciduk air dari bejana tersebut
tanpa mengukurnya lebih dahulu, sebab air yang keluar itu tentu belum
mereka ketahui ukurannya, sehingga hal ini menunjukkan tidak adanya
penetapan ukuran. Dari sini dapat dipahami mengapa Imam Bukhari
menyebutkan setelah hadits ini, bab dengan judul "Berwudhu dengan
satu mud". Mud adalah bejana yang dapat menampung 1 1/3 rithl Irak,
demikian yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebagian ulama
madzhab Hanafi mengatakan bahwa satu mud mampu menampang dua
rithl. (1 rithl = 12 uqiyah / 2564 gram, kamus Al Munjid)

47. Berwudhu dengan Satu Mud

201. Diriwayatkan dari Ibnu Jabr, ia berkata, "Aku mendengar


Anas berkata, 'Nabi SAW pernah mencuci-atau mandi-dengan
air sebanyak satu sha' hingga lima mud, dan beliau berwudhu
dengan satu mud.'"

K e t e r a n g a n Hadits:

r j — ° \ (Ibnu Jabr). Barangsiapa yang mengatakan Ibnu Jubair,


maka ia telah mengalami kekeliruan, sebab Ibnu Jubair (yaitu Sa'id) tidak
disebutkan riwayatnya dari Anas dalam kitab Shahih Bukhari. Adapun
yang dimaksud dengan Ibnu Jabr di sini adalah Abdullah bin \bdullah
bin Jabr bin Atiq Al Anshari. Diriwayatkan oleh Al Isma'ili dari jalur
periwayatan Abu Nu'aim (guru Imam Bukhari), ia berkata, "Telah
menceritakan kepada kami Mis'ar, telah menceritakan kepadaku seorang

2 2 6 — FATHUL BAARI
syaikh dari kalangan Anshar yang biasa dipanggil Ibnu Jabr. Dengan
demikian dalam riwayat hadits ini terdapat dua orang ulama Kufah, yaitu
Abu Nu'aim dan gurunya serta dua orang ulama Bashrah, yaitu Anas dan
yang meriwayatkan darinya.

J—~*J (Mencuci), maksudnya mencuci badannya. Adapun lafazh


yang menunjukkan keraguan dalam hadits ini mungkin bersumber dari
Imam Bukhari dan bisa juga bersumber dari Abu Nu'aim saat beliau
menceritakan hadits ini kepada Imam Bukhari. Hadits ini telah diri-
wayatkan oleh Al Isma'ili melalui jalur Abu Nu'aim, dimana disebutkan
dengan lafazh, "beliau mandi..." tanpa ragu.

^L_^aJb (Sebanyak satu sha *) Sha' adalah suatu wadah yang mampu
menampung 5 1/3 rithl ukuran Baghdad. Menurut sebagian ulama
madzhab Hanafi, ia dapat menampung 8 rithl.

iiJ ii jj ^j—l] (Hingga lima mud) yakni kadang beliau


mencukupkan dengan 1 sha' (4 mud) dan kadang pula melebihkan hingga
5 mud. Seakan-akan Anas tidak pernah melihat Nabi SAW memakai air
lebih banyak dari itu, sehingga di sini beliau menjadikan 5 mud sebagai
batasan air terbanyak yang pernah dipakai oleh Nabi SAW. Sementara
telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Aisyah RA bahwa dia
pernah mandi bersama Nabi SAW dari satu bejana yang berisi air
sebanyak Al Faraq. Lalu ibnu Uyainah dan Imam Syafi'i serta lainnya
berkata bahwa Al Faraq sama dengan 3 sha'. Diriwayatkan pula oleh
Imam Muslim dari Aisyah bahwa beliau pernah mandi bersama Nabi
SAW dari bejana yang menampung air sebanyak 3 mud. Riwayat-riwayat
ini memberi keterangan adanya perbedaan ukuran air yang dipakai
berwudhu sesuai kebutuhan.
Dalam hadits Aisyah terdapat pula bantahan bagi mereka yang
menetapkan kadar air untuk wudhu dan mandi dalam hadits bab ini,
seperti pendapat Ibnu Sya'ban dari madzhab Maliki. Demikian pula
ulama-ulama madzhab Hanafi yang berpendapat seperti itu, meski
mereka tidak sependapat dengan Ibnu Sya'ban dalam menetapkan isi sha'
dan mud. Adapun jumhur (mayoritas) ulama memahami bahwa jumlah
kadar air yang tersebut pada hadits ini hanyalah sebagai sesuatu yang
disukai, sebab kebanyakan riwayat yang menyebutkan kadar air wudhu
Nabi SAW sama dengan jumlah di atas. Dalam riwayat imam Muslim

FATHUL BAARI — 227


dari Safinah disebutkan kadar yang sama seperti hadits Anas. Dalam
riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan silsilah periwayatan yang shahih
dari Jabir, juga menyebutkan kadar yang sama. Sehubungan dengan
pembahasan ini telah diriwayatkan pula dari Aisyah, Ummu Salamah,
Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan selain mereka.
Namun perlu diingat, kadar seperti itu hanya disukai bila tidak ada
faktor yang mengharuskan untuk dilebihkan. Masalah inilah yang
diisyaratkan oleh Imam Bukhari di awal kitab wudhu dengan perkata-
annya, "Para ahli ilmu tidak menyukai berlebihan dalam wudhu melebihi
perbuatan nabi SAW."

48. Mengusap Bagian Atas Sepasang Sepatu

S' & O S .S j. - &s i-

^3 u—> J I
J* rr^ A j l
^ ^ u* u^3 ^ u'- ^ u*
S* i' ^ i' i' i' i' i' ^ i' j' ^ &

bt, i diJj_>- b l p_«J : J U i CtJJi JS- J*S- J d J»S- j j aUI XS-


i- 0 i- s s % Q s s s

s } } 0 -• i* • 'O. f O' f ^ I
0
i * t^Ss *" ""t l ' 'f 9
'

['A j 1 ^ y Jli j 0jS- <UP J L . J JJp ^ ^ 1 jS- Aju-


J Si i i - y , - '•
°- t > - > I , _ . f;i - . f ' 'O ^ _ ' . ' , ' f . f ». *|, *f .--'f
-LJO j-o-f- 4j_L>- I J b w j l e ^ > - i <U^L* b l j l ^, •/?;)) ^jjl ^JIy*-<
' o *

202. Diriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqas dari Nabi SAW,
bahwasanya beliau menyapu bagian atas sepasang sepatunya dan
Abdullah bin Umar bertanya tentang hal itu kepada Umar, maka
Umar menjawab, "Benar. Apabila Sa 'ad menceritakan kepadamu
sesuatu yang berasal dari Nabi SA W, maka jangan tanya mengenai
hal itu kepada orang lain. " Musa bin Uqbah berkata, "Telah
menceritakan kepadaku Abu An-Nadhr bahwasanya Abu Salamah
mengabarkan kepadanya, sesungguhnya Sa'ad menceritakan

2 2 8 — FATHUL BAARI
kepadanya... maka Umar berkata kepada Abdullah perkataan
seperti di atas."

Keterangan Hadits:
(Mengusap bagian atas sepasang sepatu) Telah dinukil oleh Ibnu
Mundzir dari Ibnu Mubarak, ia berkata, "Tidak ada perselisihan di antara
sahabat Nabi SAW mengenai mengusap sepasang sepatu. Sebab setiap
individu di antara meraka yang diriwayatkan darinya keterangan yang
mengingkari hal itu, telah diriwayatkan pula dari mereka keterangan lain
yang menyatakan sebaliknya." Ibnu Abdul Barr berkata, "Aku tidak
mengetahui adanya riwayat dari seorang pun di kalangan salaf yang
mengingkari perbuatan ini kecuali apa yang dinukil dari Imam Malik,
sementara riwayat-riwayat yang shahih dari beliau menyatakan sebalik-
nya." Demikian pula Imam Syafi'i telah mengisyaratkan dalam kitabnya
Al Umm tentang pengingkaran terhadap perkataan penganut madzhab
Maliki.

Sementara ada dua pendapat yang dikenal dalam madzhab mereka


saat ini mengenai mengusap sepatu; Pertama, membolehkan secara
mutlak (tanpa batasan). Kedua, boleh bagi musafir dan tidak boleh bagi
orang yang mukim (tidak bepergian). Pendapat kedua ini merupakan
indikasi pernyataan dalam kitab Al Mudawwanah, dan pendapat yang
dipegang teguh oleh Ibnu Hajib. Adapun pendapat pertama dishahihkan
oleh Al Baji, dimana beliau menukilnya dari Ibnu Wahab. Demikian pula
diriwayatkan dari Ibnu Nafi' dalam kitab Al Mabsuthah. Sesungguhnya
Imam Malik tidak mengambil sikap dalam hal ini bagi diri pribadinya
secara khusus, meski beliau memfatwakan kebolehannya. Sikap Imam
Malik ini sama seperti riwayat shahih yang dinukil dari Abu Ayyub
(salah seorang sahabat Nabi).

Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama berbeda pendapat dalam


menentukan manakah kedua perbuatan itu yang lebih utama, apakah
menyapu bagian atas kedua sepatu atau melepaskan keduanya lalu
membasuh kedua kaki." Dia berkata pula, "Pendapat yang aku pilih
bahwa menyapu di atas sepatu lebih utama, karena ada sebagian ahli
bid'ah yang memandang perkara ini secara miring, seperti golongan
Khawarij dan Syi'ah Rafidhah." Ibnu Mundzir menambahkan, "Meng-
hidupkan Sunnah yang dilecehkan oleh orang-orang yang menyimpang

FATHUL BAARI — 229


lebih utama daripada meninggalkannya." Demikian nukilan dari Ibnu
Mundzir.
Muhyiddin berkata, "Sejumlah ulama madzhab kami telah
menegaskan bahwa membasuh kaki lebih utama dengan syarat orang itu
tidak meninggalkan menyapu bagian atas sepatu karena didorong
kebencian terhadap Sunnah, sebagaimana pandangan mereka ketika
mengutamakan meringkas shalat (qashar) daripada melakukannya secara
lengkap (tanpa qashar). Sementara itu sejumlah ahli hadits telah
menegaskan bahwa perbuatan menyapu di atas sepatu dinukil melalui
jalur mutawatir. Sebagian mereka mengumpulkan para perawi hadits
tersebut hingga melebihi jumlah delapan puluh orang, di antaranya
sepuluh orang yang dijamin masuk surga." Dalam riwayat Ibnu Abi
Syaibah dan lainnya dari Al Hasan Al Bashri disebutkan, "Telah
menceritakan kepadaku tujuh puluh orang sahabat tentang menyapu di
atas kedua sepatu."

Seakan-akan Imam Bukhari sengaja mengutip hadits ini dari jalur


Asbagh dikarenakan pernyataan Al Asbagh, "Menyapu di atas kedua
sepatu, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi SAW dan para pemuka
sahabat baik dalam keadaan mukim (tidak bepergian), jauh lebih akurat
bagi kami serta lebih kuat daripada harus mengikuti pendapat Imam
Malik yang menyelisihi hal itu."

xs- oij (Dan bahwasanya Abdullah) lafazh ini dikaitkan dengan


perkataan sebelumnya, yaitu "Dari Abdullah bin U m a r . . . " Dengan
demikian, silsilah periwayatannya bersambung sampai kepada Nabi
SAW apabila kita mengatakan Abu Salamah mendengar hal itu dari
Abdullah bin Umar. Jika tidak demikian, berarti Abu Salamah tidak
menyaksikan langsung kejadian ini. Sementara telah diriwayatkan dari
jalur periwayatan yang lain, dari Abu An-Nadhr, dari Abu Salamah dari
Ibnu Umar, ia berkata, "Aku pernah melihat Sa'ad bin Abi Waqqas
menyapu di atas kedua sepatunya di Irak pada saat berwudhu, maka aku
pun mengingkari perbuatannya itu. Ketika kami berkumpul di hadapan
Umar, Sa'ad berkata kepadaku, 'Tanyalah bapakmu.' Lalu Ibnu Umar
menyebutkan kisah selanjutnya." Diriwayatkan pula oleh Ibnu
Khuzaimah dari jalur Ayyub dari Nafi' dari Ibnu Umar riwayat seperti ini
yang disebutkan bahwa Umar berkata, "Kami dahulu bersama Nabi biasa
menyapu bagian atas kedua sepatu, dan kami menganggap perbuatan itu
tidak mengapa."

2 3 0 — FATHUL BAARI
&JJ- ils- j L i Vi (Maka jangan tanya mengenai hal itu kepada orang
lain). Hal ini karena kepercayaan yang demikian tinggi terhadap apa yang
diriwayatkan Sa'ad. Dalam pernyataan ini terdapat dalil bahwa sifat-sifat
yang menjadi faktor pendukung kebenaran suatu riwayat apabila
berkumpul dan menyertai khabar ahad (hadits yang diriwayatkan oleh
satu orang), maka sifat-sifat tersebut dapat menggantikan fungsi
keberadaan periwayat-periwayat lain. Bahkan menurut sebagian ulama,
hal tersebut dapat menghasilkan ilmu (keyakinan), namun menurut yang
lainnya tidaklah demikian. Demikian pula perkataan Umar mengindi-
kasikan bahwa beliau menerima khabar ahad. Adapun keterangan yang
menyatakan bahwa beliau tawaqquf (tidak menentukan sikap apakah
menerima atau menolak) terhadap khabar ahad hanya apabila terjadi hal-
hal tertentu yang mengundang keraguan, dan ini hanya terjadi pada
sebagian keadaan.

Lalu riwayat ini dijadikan dalil pula oleh sebagian orang yang
berpendapat adanya perbedaan tingkatan 'adalah (komitmen agama
seseorang dalam tinjauan ilmu periwayatan -Penerj). Serta merupakan
dalil dibolehkannya menguatkan salah satu riwayat dari dua riwayat yang
saling kontradiksi. Perbedaan mengenai 'adalah dapat dilihat dalam
masalah periwayatan dan persaksian.
Hadits di atas menerangkan juga penghormatan yang besar dari
Umar bin Khaththab kepada Sa'ad. Di samping itu, hadits ini mengindi-
kasikan bahwa seorang sahabat yang lama bersama Nabi SAW bisa saja
tidak mengetahui perkara-perkara yang lumrah dalam syariat, sementara
sahabat lainnya mengetahui. Sebab, Ibnu Umar mengingkari perkara
mengusap bagian atas kedua kaki padahal beliau tergolong sahabat senior
dan banyak meriwayatkan hadits dari Nabi SAW.

Kisah Ibnu Umar ini disebutkan oleh Imam Malik dalam kitab Al
Muwaththa' dari nafi' dan Abdullah bin Dinar, bahwa keduanya
memberitahukan kepadanya, "Sesungguhnya Ibnu Umar datang ke Kufah
menemui Sa'ad yang saat itu sebagai pemimpin di Kufah. Ibnu Umar
melihat Sa'ad menyapu di atas kedua sepatu dan ia pun mengingkari
perbuatan Sa'ad. Maka Sa'ad berkata kepadanya, 'Tanyakan kepada
bapakmu.' Lalu disebutkan seperti di atas." Namun ada kemungkinan
bahwa yang diingkari oleh Ibnu Umar hanyalah perkara menyapu sepatu
pada saat mukim (berdomisili) dan bukan ketika dalam keadaan safar
(bepergian), berdasarkan makna lahiriah kisah ini.

FATHUL BAARI — 231


*—'J. JL»J (Musa bin Uqbah berkata) riwayat tanpa silsilah
periwayatan ini disebutkan oleh Al Isma'ili dan selainnya dengan jalur
periwayatan yang lengkap.

ijfe- 10*1« i>\ (Sesungguhnya Sa ad menceritakan kepadanya), yakni


menceritakan kepada Abu salamah. Adapun yang menjadi sumber cerita
di sini tidak dijelaskan. Namun hal itu dapat diketahui dari riwayat yang
dinukil melalui jalur periwayatan yang lengkap, dimana dikatakan,
"Bahwasanya Rasulullah SAW menyapu di atas kedua sepatu."

«j—*J (Seperti di atas). Dari keterangan di atas nampak bahwa


perkataan Ibnu Umar dalam riwayat tanpa jalur periwayatan ini semakna
dengan lafazh riwayat yang disebutkan oleh Imam Bukhari beserta
silsilah periwayatannya, meskipun tidak sama dari segi lafazhnya. Lalu
riwayat itu telah disebutkan pula silsilah periwayatannya oleh Al Isma'ili
dari jalur yang lain dari Musa bin Uqbah, "Umar berkata kepada
Abdullah -yakni anaknya dengan nada mencelanya- apabila Sa'ad
menceritakan kepadamu sesuatu dari Nabi SAW, maka janganlah engkau
mencari sesuatu lagi setelah cerita itu."

0 * J ° ' s s' i$ ' O ' y '

•Cx^ ]
J* £~~*-5 9 ^ 'u? &

203. Diriwayatkan dari Urwah bin Al Mughirah dari bapaknya Al


Mughirah bin Syu'bah dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau
keluar untuk buang hajat, maka Al Mughirah mengikutinya sambil
membawakan bejana berisi air. Ia menuangkan kepada beliau
SAW setelah selesai buang hajat, lalu beliau SAW berwudhu dan
menyapu bagian atas sepatunya."

2 3 2 — FATHUL BAARI
K e t e r a n g a n Hadits:

4—yrUnJ — ( B e l i a u keluar untuk buang hajat). Pada bab berikut


diterangkan bahwa peristiwa itu terjadi pada saat safar. Dalam kitab 'Al
MaghazC diterangkan bahwa peristiwa itu terjadi pada perang Tabuk,
meski para perawinya masih meragukan keakuratannya. Se-mentara
dalam riwayat Imam Malik, Ahmad dan Abu Dawud dari jalur Abbad bin
Ziyad dari Urwah bin Al Mughirah disebutkan dengan tegas bahwa
peristiwa itu terjadi pada perang Tabuk, dan itu terjadi menjelang shalat
fajar (shalat shubuh).

4—(Dia Mengikutinya) dalam riwayat Imam Bukhari melalui


jalur Masruq dari Al Mughirah pada pembahasan tentang "Jihad"
diterangkan, bahwa sesungguhnya Nabi SAW yang memerintahkan Al
Mughirah agar mengikutinya dengan membawa bejana. Dalam riwayat
itu ditambahkan pula, "Maka, beliau SAW berjalan hingga tidak
kelihatan olehku. Lalu beliau SAW membuang hajatnya, kemudian
beliau SAW kembali dan berwudhu." Sementara dalam riwayat Imam
Ahmad dari jalur periwayat-an lain dari Al Mughirah disebutkan, bahwa
air yang dipakai berwudhu oleh Nabi SAW diambil oleh Al Mughirah
dari seorang wanita badui, dimana wanita itu menuangkan air untuk Al
Mughirah dari satu bejana yang terbuat dari kulit bangkai. Nabi SAW
berkata kepada Al Mughirah, "Tanyalah wanita itu, apabila ia telah
menyamaknya maka air itu dapat mensucikan." Lalu disebutkan bahwa
wanita itu berkata, "Demi Allah, sungguh aku telah menyamaknya."

(Lalu beliau SA W berwudhu) Dalam pembahasan tentang

"Jihad" ditambahkan, 4-*l_i AJS-J (Dan saat itu beliau memakai jubah

buatan Syam). Sementara dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, J—«*i

f j j j j i ^ - j (Maka beliau membasuh mukanya dan kedua tangannya). Dari


riwayat-riwayat ini menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan per-
kataan dalam hadits, "Lalu beliau SAW berwudhu..." adalah wudhu
sebagaimana yang telah diketahui, bukan hanya sekedar membasuh kaki.
Imam Al Qurthubi berdalil dengan hadits ini tentang bolehnya
berwudhu dengan membasuh anggota yang fardhu saja tanpa me-
nyertakan apa yang menjadi sunah wudhu. Khususnya pada saat jarang
air, seperti sedang safar. Selanjutnya Al Qurthubi mengatakan, "Namun

FATHUL BAARI — 233


ada kemungkinan Nabi SAW mengerjakan pula sunah-sunah wudhu,
tetapi tidak diterangkan oleh Al Mughirah." Lalu dia menegaskan,
"Namun melihat lahiriah hadits, beliau SAW tidak melakukannya."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Bahkan beliau SAW telah melakukan-
nya dan hal itu telah disebutkan oleh Al Mughirah." Dalam riwayat Imam
Ahmad dari jalur Ibad bin Ziyad (seperti tersebut) dikatakan, "Beliau
SAW membasuh kedua tangannya." Menurut riwayat Imam Ahmad dari
jalur lain yang lebih kuat disebutkan, "Beliau SAW membasuh kedua
tangannya dengan sebaik-baiknya." Lalu dia menambahkan, "Aku ragu
apakah ia (Al Mughirah) mengatakan Nabi SAW menggosok kedua
tangannya dengan tanah ataukah tidak."

Demikian pula telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam


pembahasan tentang "Jihad", "Beliau SAW berkumur-kumur dan
memasukkan air ke hidung dan membasuh mukanya." Kemudian
ditambahkan oleh Imam Ahmad, "Sebanyak tiga kali, lalu beliau
berusaha untuk mengeluarkan lengannya dari pergelangan bajunya.
Namun ternyata pergelangan baju tersebut cukup sempit, akhirnya beliau
mengeluarkan keduanya dari bawah jubahnya." Sementara dalam riwayat
imam Muslim melalui jalur lain disebutkan, "lalu beliau menyelimpang-
kan jubah di atas kedua pundaknya." Dalam riwayat Imam Ahmad di-
sebutkan, "Lalu beliau membasuh tangan kanannya sebanyak tiga kali
dan tangan kirinya sebanyak tiga kali pula."

Kemudian dalam riwayat Imam Bukhari dikatakan, "Beliau


mengusap kepalanya." Dalam riwayat Imam Muslim, "Beliau mengusap
ubun-ubunnya serta sorbannya dan kedua sepatunya." Selanjutnya nanti
akan dijelaskan mengenai sabdanya, "Sesungguhnya aku memasukkan
keduanya dalam keadaan suci."
Hadits Al Mughirah seperti tersebut dalam bab ini diriwayatkan
pula oleh Al Bazzar, seraya mengatakan bahwa dia telah meriwayatkan-
nya dari sekitar tujuh puluh orang. Aku telah meringkas jalur-jalur
periwayat-an yang shahih dari hadits ini pada pembahasan di atas.

Pelajaran yang dapat diambil


1. Mencari tempat yang jauh saat buang hajat dan mengambil posisi
yang tidak terlihat oleh manusia.

2 3 4 — FATHUL BAARI
2. Disukainya untuk senantiasa berada dalam keadaan suci ber-
dasarkan perintah beliau SAW kepada Al Mughirah agar
mengikutinya dengan membawa bejana berisi air, padahal air itu
tidak beliau pergunakan untuk istinja' namun hanya dipergunakan
untuk berwudhu saat kembali dari buang hajat.
3. Boleh minta bantuan kepada orang lain saat berwudhu, seperti
dijelaskan pada bab terdahulu.
4. Mencuci tangan yang bersentuhan dengan kotoran saat istinja'
(cebok) menggunakan batu.
5. Kotoran itu tidak dianggap hilang tanpa dicuci dengan air, dan
menggunakan debu atau tanah untuk menghilangkan bau yang
tidak enak.
Dari hadits ini dapat ditarik kesimpulan hukum, bahwa kotoran
yang telah menyebar melebihi kebiasaan maka harus dihilangkan dengan
air. Dalam hadits itu terdapat pula keterangan bolehnya menggunakan
kulit bangkai yang telah disamak, dan boleh memakai pakaian orang kafir
sampai diketahui secara pasti bahwa pakaian tersebut mengandung najis.
Hal ini karena Nabi SAW pernah memakai pakaian buatan orang
Romawi tanpa mengecek terlebih dahulu.

Hadits ini dijadikan pula sebagai dalil oleh Imam Qurthubi untuk
menyatakan bahwa bulu binatang tidak lantas menjadi najis setelah
binatang itu mati, sebab jubah yang dikenakan Nabi SAW saat itu adalah
buatan Syam. Sementara negeri Syam saat itu masih tergolong negeri
kafir, dimana makanan penduduknya umumnya adalah bangkai.
Kemudian hadits ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengata-
kan, bahwa hukum bolehnya menyapu di atas kedua sepatu telah dihapus
oleh ayat tentang wudhu yang tersebut dalam surah Al Maa'idah, karena
ayat ini turun pada saat perang Al Marisi'. Sementara kisah di atas terjadi
pada saat perang Tabuk, dan telah disepakati bahwa perang Tabuk terjadi
setelah perang Al Marisi'. Hadits Jarir Al Bajli yang semakna dengan ini
akan disebutkan pada pembahasan tentang "Shalat", insya Allah.
Faidah lain dari hadits ini adalah; bersungguh-sungguh dan cekatan
dalam melakukan safar (berpergian), boleh memakai pakaian yang tidak
terlalu longgar saat safar karena hal itu lebih memudahkan perjalanan,
senantiasa melakukan sunah-sunah wudhu meskipun dalam perjalanan,
diterimanya khabar ahad meskipun berasal dari seorang wanita, baik

FATHUL BAARI — 235


dalam perkara yang lumrah dan umum maupun pada perkara-peraka
selain itu. Hal ini berdasarkan perbuatan nabi SAW yang menerima berita
dari seorang wanita badui seperti disebutkan. Hadits ini menerangkan
pula, bahwa membasuh sebagian besar pada salah satu anggota wudhu
yang fardhu tidak dianggap mencukupi, sebab beliau SAW mengeluarkan
tangannya dari bawah jubah dan tidak mencukupkan sekedar menyapu
pada bagian yang tidak sempat dibasuh. Selain itu, hadits ini bisa saja
dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat "wajib" menyapu kepala
secara keseluruhan, dimana Nabi SAW menyempurnakan dengan
mengusap sorbannya dan tidak cukup hanya sekedar mengusap apa yang
tersisa dari kedua lengannya.

204. Diriwayatkan dari Ja'far bin Amru bin Umayyah Adh-


Dhamri, bahwa bapaknya mengabarkan kepadanya sesungguhnya
ia melihat Nabi SAW menyapu di atas kedua sepatunya." Hadits
ini diriwayatkan pula oleh Harb bin Syaddad dan Aban dari
Yahya.

£j —*± 18» ^ ^~>Jj <ju ^ J* V>> Ji 3J~* <J>. J***" U*

205. Diriwayatkan dari Ja 'far bin Amru dari bapaknya, ia berkata,


"Aku pernah melihat Nabi SAWmengusap di atas surbannya dan
kedua sepatunya. " Hadits ini diriwayatkan pula melalui jalur

2 3 6 — FATHUL BAARI
Ma 'mar dari Yahya dari Abu Salamah dari Amru. Ia berkata, 'Aku
melihat nabi...."

Keterangan Hadits:

4_J_>-j As»Uf Js> (Di atas sorbannya dan kedua sepatunya) demikian
yang diriwayatkan oleh Al Auza'i yang merupakan lafazh yang masyhur
darinya. Lalu sebagian perawi yang menerima hadits ini dari Al Auza'i
tidak menyebutkan Ja'far dalam jalur periwayatannya. Ini merupakan
suatu kesalahan seperti yang dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi.

Hadits ini diriwayatkan pula melalui jalur M a ' m a r ( M a ' m a r bin


Rasyid). Al Auza'i juga meriwayatkan matan (materi) hadits ini, meski
jalur periwayatan keduanya berbeda. Inilah yang menjadi sebab mengapa
Imam Bukhari menyebutkan lagi silsilah periwayatan ini di akhir hadits
tersebut, yaitu menunjukkan bahwa pada jalur periwayatan M a ' m a r tidak
dicantumkan perawi yang bernama Ja'far.
Matan (materi) hadits yang diriwayatkan melalui jalur M a ' m a r
disebutkan oleh Abu Dzar dalam riwayatnya, yaitu dengan perkataannya,
"Beliau menyapu bagian atas sorbannya." Kemudian ditambahkan oleh
Al Kasymihani dengan lafazh, "dan kedua sepatunya." Matan (materi)
hadits M a ' m a r ini tidak disebutkan dalam seluruh riwayat yang ada
dalam kitab Shahih Bukhari.

Riwayat M a ' m a r yang dimaksud disebutkan oleh Abdurrazzaq


dalam kitabnya Al Musannaf dari M a ' m a r tanpa menyebutkan kata
"surban". Akan tetapi riwayat yang sama disebutkan oleh Ibnu Mandah
dalam kitab Ath-Thaharah dari jalur M a ' m a r dengan mencantumkan kata
tersebut.

Di sini Al Ashili mengambil sikap yang cukup ganjil sebagaimana


dinukil oleh Ibnu Baththal, dimana beliau berkata, "Penyebutan kata
"surban" dalam hadits ini merupakan kesalahan Al Auza'i, sebab Syaiban
dan selainnya telah meriwayatkan pula hadits tersebut dari Yahya tanpa
menyebutkan "surban". Sementara kita harus mengedepankan riwayat
yang dinukil oleh orang banyak daripada yang dinukil oleh satu orang."
Al Ashili menambahkan, "Demikian juga lafazh hadits tersebut yang
dinukil melalui jalur Ma'mar, tidak disebutkan kata "surban". Di samping
itu hadits Al Auza'i tergolong mursal (tidak disebut nama salah seorang

FATHUL BAARI — 237


perawinya, baik sahabat atau tabi'in), sebab Abu Salamah tidak men-
dengar hadits itu langsung dari Amru."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Tidak tertutup kemungkinan jika Abu
Salamah telah mendengar hadits tersebut langsung dari Amru, sebab
Amru meninggal di Madinah pada tahun 60 H sedangkan Abu Salamah
termasuk ulama Madinah dan tidak dikenal sebagai pelaku tadlis
(mengaburkan riwayat). Di samping itu, dia telah mendengar sejumlah
hadits dari orang-orang yang meninggal jauh sebelum Amru."
Telah diriwayatkan oleh Bukair bin Al Asyaj dari Abu Salamah
bahwa dia mengirim Ja'far bin Amru bin Umayah kepada bapaknya
untuk menanyakan hadits ini, lalu utusan itu kembali dan mengabarkan
kepadanya tentang hadits itu. Tidak tertutup kemungkinan jika setelah itu
Abu Salamah sempat bertemu Amru dan mendengar langsung darinya.
Analisa ini diperkuat oleh besarnya kemungkinan mereka bertemu di
Masjid Nabawi. Di atas telah kami sebutkan bahwa Ibnu Mandah
meriwayatkan hadits ini melalui jalur Ma'mar dengan menyebutkan kata
"surban".

Andaikata benar kata "surban" hanya diriwayatkan melalui jalur Al


Auza'i, namun tetap tidak layak untuk menyalahkannya. Sebab dalam
kondisi demikian, kata tersebut merupakan tambahan dari seorang perawi
tsiqah (terpercaya) serta tidak pula bertentangan dengan kata yang
dinukil oleh para perawi yang lebih tsiqah darinya sehingga mesti
diterima dan tidak tergolong syadz (cacat). Tidak ada alasan menolak
riwayat-riwayat shahih hanya dengan argumentasi-argumentasi yang
tidak ada landasannya seperti di atas.

Selanjutnya ulama salaf berbeda pendapat mengenai makna


mengusap di atas surban, sebagian mengatakan perbuatan itu dilakukan
dengan tujuan menyempurnakan mengusap di atas ubun-ubun. Pendapat
ini diisyaratkan oleh riwayat Muslim terdahulu. Adapun pendapat yang
tidak memperkenankan seseorang hanya menyapu ubun-ubun saat
berwudhu merupakan pendapat mayoritas ulama.
Al Khaththabi berkata, "Allah SWT telah memfardhukan meng-
usap kepala, sementara hadits mengusap sorban berindikasi sejumlah
kemungkinan. Untuk itu, tidak boleh ditinggalkan perkara yang telah
diyakini demi mengamalkan sesuatu yang masih diragukan. Beliau
menambahkan, "Menganalogikan membasuh surban dengan membasuh

2 3 8 — FATHUL BAARI
sepatu tidak dapat diterima, karena melepas sepatu telah menimbulkan
kesulitan berbeda dengan melepas surban."
Pandangan Al Khaththabi ini dibantah dengan mengatakan, bahwa
mereka yang membolehkan menyapu surban mensyaratkan jika meng-
alami kesulitan dalam melepaskannya sebagaimana melepaskan sepatu.
Mereka mengatakan pula sesungguhnya kewajiban membasuh anggota
wudhu ini (kepala) gugur waktu melakukan tayammum, maka boleh
mengusap sesuatu yang menutupinya sebagaimana sepatu. Mereka
menambahkan, bahwa ayat di atas tidak menafikan hal ini khususnya
bagi mereka yang mengartikan lafazh muhtamal (mengandung beberapa
kemungkinan) dengan makna hakikat dan majaz (kiasan). Sebab
seseorang yang mengatakan, "Aku mencium kepala si fulan" dapat
dibenarkan meski ia hanya mencium sesuatu yang menutupi kepala orang
itu. Inilah pendapat Al Auza'i, Ats-Tsauri (dalam salah satu riwayat dari
beliau), Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Thabari, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Mundzir dan selain mereka.

Ibnu Mundzir berkata, "Pendapat seperti itu telah dinukil pula dari
Abu Bakar dan Umar, sementara telah diriwayatkan dari Nabi SAW
bahwa beliau bersabda, 'Jika manusia mengikuti Abu Bakar dan Umar
niscaya mereka mendapat petunjuk,'' wallahu a 'lam."

49. Seseorang yang Memakai Sepatu sedang Kedua


Kakinya dalam Keadaan Suci

J • * y y s O yy
y , ( "jZy* ' >"i, yy > 0 ^y . f- a y _ y ' ti 0
- 0
' 0 y

jA ^ S ^Jl £ . C^S Jli ol Jf- bjJ>yA\ j, OJjS- jf.


y y ^ 0 0 / ^S ^ y y y y & ^ s I } C'

206. Diriwayatkan dari Urwah bin Mughirah dari bapaknya, ia


berkata, "Aku pernah bersama Nabi SAW dalam suatu perjalan

FATHUL BAARI — 239


jauh (safar). Akupun bermaksud melepas kedua sepatunya, maka
beliau SAW bersabda, 'Biarkanlah keduanya, karena aku
memasukkan keduanya dalam keadaan suci.'"

Keterangan Hadits:

(Seseorang yang memakai sepatu sedang kedua kakinya dalam


keadaan suci). Ini adalah lafazh riwayat Abu Dawud melalui jalur Yunus
bin Abu Ishaq dari Sya'bi, dan kami akan menjelaskan perbedaan antara
riwayat beliau dengan hadits tersebut dalam bab ini pada pembahasan
selanjutnya.

c J j i l — i (Akupun bermaksud), yakni menjulurkan tanganku. Al


A s h m u ' i berkata, — i - ' c J j i i artinya aku melirik atau mengisyaratkan
kepadanya. Sedangkan yang lainnya mengatakan, bahwa c J j i i berarti
aku bermaksud duduk melakukan perbuatan dari berdiri ke duduk."
Dikatakan pula, bahwa s - } ^ artinya illi)!' (condong).
1

Ibnu Baththal berkata, "Dalam hadits ini terdapat keterangan


disukainya berkhidmat kepada seorang yang berilmu, dan hendaklah
seorang pelayan melakukan apa yang telah menjadi kebiasaan tuannya
sebelum diperintahkan. Di samping itu, terdapat pula keterangan
memahami suatu isyarat serta merespon apa yang dipahami dari isyarat
tersebut berdasarkan sabda beliau SAW, U 4 * i (Biarkanlah keduanya).

—J>\—s (Sesungguhnya aku telah memasukkan keduanya),


maksudnya kedua kaki.

j J ^ a U » (Keduanya dalam keadaan suci). Demikian lafazh yang


dinukil oleh mayoritas perawi, sementara dalam riwayat Al Kasymahani
disebutkan, ^\—f^Us \ — ( S e d a n g kedua kaki itu dalam keadaan suci).

Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan, J U ^ a - » U i j ^ ^ J i J-»^ c J > - i ^t»


(Karena sesungguhnya aku memasukkan kedua kaki ke dalam sepatu
sedang keduanya dalam keadaan suci). Adapun riwayat Al Humaidi
dalam Musnad-nya disebutkan, J»*J : JlS .£&>- j * -J>i ^ - J J i «ui J j l i j li c J i
q

2 4 0 — FATHUL BAARI
J L J j A i t i — i i j U ^ - a i 'i! (Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah salah
seorang di antara kami (boleh) menyapu di atas dua sepatunya?" Beliau
SAW menjawab, "Benar, apabila ia memasukkan kedua kakinya sedang
keduanya dalam keadaan suci")
Lalu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari hadits Shafwan bin
Asal, "Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk menyapu
bagian atas sepatu apabila kami memasukkan keduanya dalam keadaan
suci; selama tiga hari apabila kami melakukan safar, dan sehari semalam
apabila kami mukim (tidak safar)." Ibnu Khuzaimah berkata, "Aku
menyebutkan hadits ini kepada Al Muzanni, maka beliau berkata
kepadaku, "Ulama-ulama madzhab kami meriwayatkan pula yang seperti
ini, dan ini merupakan dalil kuat yang mendukung madzhab Syafi'i."

Hadits Shafwan bin Asal meskipun shahih, namun tidak memenuhi


persyaratan Imam Bukhari. Tetapi hadits di bab ini sejalan dengan hadits
tersebut mengenai keharusan memakai sepatu dalam keadaan suci.
Sedangkan Al Muzanni mengisyaratkan dengan perkataannya terhadap
perselisihan yang terjadi sehubungan dengan masalah ini.

Secara ringkas, Imam Syafi'i dan mayoritas ulama lainnya


memahami bahwa suci di sini adalah dalam pengertian syariat, yakni
dalam keadaan berwudhu. Di sisi lain, Dawud mengatakan, "Apabila
tidak terdapat najis pada kaki saat memakai sepatu, maka boleh
mengusap sepatu tersebut saat berwudhu." Sedangkan apabila melakukan
tayammum dan memakai kedua sepatu, maka tidak boleh mengusap
bagian atasnya, karena tayammum menurut mereka hanya dapat mem-
bolehkan perbuatan-perbuatan yang mesti dilakukan dalam keadaan suci
tapi tidak mengangkat hadats (kotoran maknawi). Hanya saja, dalam hal
ini Al Asbagh menyelisihi pendapat mereka.

Apabila seseorang membasuh kedua kakinya dengan niat wudhu


kemudian memakai kedua sepatu lalu orang itu menyempurnakan
membasuh anggota wudhu yang lain, maka ia tidak boleh mengusap
sepatu menurut Imam Syafi'i dan orang-orang yang sependapat dengan-
nya dalam hal mewajibkan pelaksanaan wudhu secara tertib (berurutan
sebagaimana yang tersebut dalam ayat -Penerj). Demikian pula menurut
mereka yang tidak mewajibkan tertib karena berpandangan bahwa
thaharah (bersuci) tidak dapat dipisah-pisahkan.

FATHUL BAARI — 241


Penulis kitab Al Hidayah (salah seorang ulama Hanafi) berkata,
"Syarat dibolehkannya bagi seseorang untuk menyapu kedua sepatu
adalah hendaknya keduanya dipakai dalam keadaan suci secara
sempurna." Kemudian beliau menjelaskan, "Adapun yang dimaksud
dengan keadaan suci secara sempurna adalah pada waktu hadats dan
bukan saat memakai. Artinya, apabila seseorang telah selesai berwudhu
secara sempurna lalu ia berhadats, maka boleh menyapu bagian atas
sepatu. Karena pada saat terjadinya hadats, ia berada dalam keadaan suci
secara sempurna."

Namun hadits di atas merupakan bantahan bagi pendapat beliau,


sebab dalam hadits itu beliau SAW menjadikan kesucian sebelum
memakai sepatu sebagai syarat bolehnya mengusap sepatu. Sesuatu yang
dikaitkan dengan syarat tertentu tidak sah kecuali bila syarat yang
dimaksud terpenuhi. Padahal beliau telah mengakui, bahwa yang
dimaksud hadits adalah kesucian secara sempurna.
Apabila seseorang berwudhu secara tertib dan tinggal membasuh
satu kaki lagi, saat itu ia memakai sepatu lalu meneruskan membasuh
kaki yang satunya lagi, dan setelah itu ia memakai sepatu yang satunya,
maka dalam kondisi demikian tidak diperkenankan mengusap atas sepatu
(jika berwudhu di kesempatan lain -Penerj) menurut mayoritas ulama.
Akan tetapi menurut Ats-Tsauri, para ulama kufah, Al Muzanni (ulama
madzhab Syafi'i), Al Mutharrif (ulama madzhab Maliki), Ibnu Mundzir
dan selainnya boleh menyapu bagian atas sepatu, karena pada kondisi
demikian boleh dikatakan ia telah memasukkan kedua kakinya ke dalam
sepatu dalam keadaan suci. Kemudian pendapat mereka ini dibantah
dengan mengatakan, sesungguhnya hukum yang menjadi konsekuensi
membasuh dua kaki tidaklah sama dengan hanya membasuh satu kaki.
Demikian pula Ibnu Daqiq Al Id melemahkan pendapat tersebut karena
masih mengandung kemungkinan. Dia berkomentar, "Akan tetapi bila
pendapat tersebut didukung oleh dalil yang menunjukkan bahwa thaharah
(bersuci) tidak dapat dipisah-pisahkan, maka pendapat itu setidaknya
memiliki landasan."
Adapun faidah hadits ini adalah, menyapu sepatu khusus pada saat
wudhu dan tidak boleh pada saat mandi junub menurut kesepakatan
ulama.
Faidah lain; apabila seseorang melepaskan kedua sepatunya
sebelum habis waktu diperbolehkan mengusap sepatu (yakni tiga hari

2 4 2 — FATHUL BAARI
bagi musafir dan satu hari bagi yang mukim), maka mereka yang
menetapkan batasan waktu mengatakan bahwa orang itu harus
mengulangi wudhunya. Demikian pandangan Imam Ahmad, Ishaq dan
selain keduanya. Namun ulama Kufah, Al Muzanni dan Abu Tsaur
berpendapat bahwa orang itu hanya diharuskan membasuh kembali kedua
kakinya. Demikian pula yang dikatakan oleh Imam Malik, kecuali jika
dipisahkan dengan selang waktu yang cukup lama. Al Hasan, Ibnu Abu
Laila dan sejumlah ulama lain berkata, "Orang tadi tidak perlu membasuh
kedua kakinya." Kelompok ini mendasari pendapat mereka dengan
menganalogikan kejadian ini dengan orang yang menyapu kepala lalu ia
mencukur rambut, dimana ia tidak wajib mengulang menyapu kepalanya.
Hanya saja analogi yang mereka kemukakan perlu dianalisa lebih lanjut.

Faidah lainnya, Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits yang


menunjukkan batasan waktu diperbolehkannya seseorang menyapu
sepatunya. Sementara mayoritas ulama menyatakan adanya batasan
waktu. Adapun Imam Malik dalam riwayat yang masyhur dari beliau
menyelisihi pendapat mayoritas, beliau berkata, "Seseorang boleh tetap
menyapu kedua sepatunya selama belum melepaskannya." Pendapat
seperti ini diriwayatkan pula dari Ibnu Umar. Hadits yang memberi
keterangan batasan waktu diperbolehkan menyapu sepatu telah diri-
wayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Shafwan bin Asal sebagaimana
telah disebutkan. Mengenai hal ini telah diriwayatkan pula dari Abu
Bakrah yang dishahihkan oleh Imam Syafi'i dan lainnya.

50. Tidak Berwudhu karena Makan Daging


Kambing dan Sawiq 11}

ijjisj* 'p£z «UJI JUiP j's**) j*i y) jTfj

Abu Bakar, Umar dan Utsman RA memakannya lalu mereka tidak


(mengulangi) wudhu.

Makna sawiq akan dijelaskan pada bab "Berkumur-kumur karena makan sawiq",penerj.

FATHUL BAARI — 243


207. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwasanya
Rasulullah SAW makan paha kambing kemudian shalat tanpa
(mengulang) wudhu."

Keterangan Hadits:
(Tidak berwudhu karena makan daging kambing). Maksud disebut-
kannya daging kambing secara tekstual agar masuk di dalamnya semua
yang sepertinya, terutama yang di bawah derajatnya. Barangkali di sini
Imam Bukhari sengaja mengisyaratkan adanya pengecualian hukum
daging unta, sebab mereka yang mengkhususkan daging unta dan
membolehkan memakan daging secara umum tanpa mengulangi wudhu
beralasan dengan banyaknya lemak yang dikandung oleh daging unta
tersebut sehingga Imam Bukhari tidak membatasi apakah daging tersebut
telah dimasak atau belum. Dalam masalah ini terdapat dua hadits riwayat
Imam Muslim yang merupakan pendapat Imam Ahmad serta dipilih oleh
Ibnu Khuzaimah dan selainnya di antara para ahli hadits madzhab Syafi'i.

Ibnu At-Tin berkata, "Tidak ada dalam hadits-hadits mengenai hal


ini disebutkan lafazh As-Sawiq." Untuk itu aku jawab, "Sesungguhnya
perkara As-Sawiq dimasukkan dengan pertimbangan 'lebihpantas lagi'.
Sebab jika tidak berwudhu karena makan daging kambing padahal ia
mengandung lemak tinggi, tentu lebih dibolehkan lagi tidak berwudhu
karena makan Sawiq. Barangkali beliau mengisyaratkan dengan hal itu
kepada hadits yang ada pada bab selanjutnya.

j $ J ^ ' j (Abu Bakar makan). Lafazh, liJJ (daging) tidak


disebutkan dalam riwayat Abu Dzar kecuali dari Al Kasymihani. Riwayat
itu sendiri telah disebutkan oleh Thabrani lengkap dengan silsilah
periwayatannya dalam kitab Musnad Asy-Syamiyyin dengan jalur peri-
wayatan yang shahih melalui Sulaim bin Amir. Ia berkata, "Aku melihat
Abu Bakar, Umar dan Utsman makan (daging) yang telah disentuh oleh
api (dibakar), kemudian mereka tidak (mengulangi) wudhu." Riwayat ini

2 4 4 — FATHUL BAARI
telah kami nukil melalui jalur periwayatan yang sangat banyak dari Jabir
hingga nabi SAW. Sebagian jalurnya hanya sampai pada tiga orang, baik
sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan.

SL_i 'J.—\€ J 1"\ (Makan paha kambing) maksudnya daging paha


kambing. Dalam pembahasan tentang Al Ath'imah (makanan), Imam
Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan lafazh, yakni makan daging
yang menempel pada tulang.
Al Qadhi Isma'il memberi keterangan bahwa peristiwa itu terjadi
di rumah Dhiba'ah binti Az-Zubair bin Abdul Muthalib, yakni putri
paman Nabi SAW. Namun ada juga kemungkinan peristiwa ini terjadi di
rumah Maimunah sebagaimana yang akan dijelaskan. Maimunah yang
dimaksud adalah bibi Ibnu Abbas, dan Dhiba'ah adalah anak perempuan
pamannya. Kemudian An-Nasa'i menjelaskan melalui hadits U m m u
Salamah, bahwa yang menyeru beliau SAW shalat adalah Bilal.

J' /f y- Z> s / , % s s s s
' " 0
f \ 'f • f f 0 0
" 0
« 0
' ' '° f \ \ - I ' O s

o j»—>-\ obi j l \j>\ jj JJAS- JJ JWST J jj>-\ Jli i-yt^i (jji J&

o*>Ca Si ^ Si JJ «Li ^jcf J» y>J ^ 4JJ1 J ^ j AJI


ii y yy o " *y ' y y°yy

208. Dari Ibnu Syihab, ia berkata "Ja'far bin Amru bin Umayah
telah mengabarkan kepadaku, sesungguhnya bapaknya mengabar-
kan kepadanya, bahwa ia melihat Rasulullah SA W memotong bahu
atau paha kambing. Lalu seorang muadzin menyerunya shalat,
maka beliau meletakkan pisau dan shalat tanpa (mengulangi)
wudhu."

Keterangan Hadits:

js « J (Memotong). Dalam pembahasan tentang "Makanan"


' * ly
diriwayatkan dari jalur Ma'mar dari Zuhri dengan tambahan lafazh, J - ' I J

l$—U (makan darinya), sedangkan dalam kitab Shalat dari jalur Shalih dari

FATHUL BAARI — 245


Zuhri disebutkan, l{—i* jssv £ 1 j i JiTU (Beliau makan paha kambing dan
memotongnya).
^ ~Ji 9 (Meletakkan pisau). Dalam bab "Makanan"
diriwayatkan dari Abu Al Yaman dari Syu'aib dari Zuhri dengan
tambahan lafazh, \—aliJls (Beliau melepaskan paha kambing
tersebut bersama pisau). Kemudian ditambahkan oleh Baihaqi dari jalur
Abdul Karim bin Al Haitsam dari Abu Al Yaman di akhir hadits, "Zuhri
berkata, 'Akupun menyebarkan kisah tersebut diantara manusia.'
Kemudian sejumlah laki-laki di antara sahabat Nabi SAW serta beberapa
istri beliau SAW mengabarkan bahwa beliau bersabda,' Wudhulah kalian
(karena makan) dari apa-apa (maksudnya daging) yang disentuh oleh
api."'' Adapun pendapat Imam Zuhri dalam masalah ini adalah, bahwa
perintah untuk berwudhu karena makan daging yang disentuh oleh api
telah menghapus hukum yang dikandung oleh riwayat-riwayat yang
membolehkan hal itu, sebab riwayat-riwayat yang membolehkannya
lebih dahulu."

Pendapat Imam Zuhri dibantah dengan hadits Jabir, dimana pada


bagian akhir disebutkan, jUii cJ*w» \X* typ^ *>>i Sjr'j 'o* J O ^ 1
'ff~ s

(Persoalan paling akhir dari Rasulullah SA W mengenai kedua hal itu


adalah tidak berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh oleh api).
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa'i serta selain
keduanya, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan
lainnya. Hanya saja Abu Dawud dan lainnya berkata, "Yang dimaksud
dengan Al Amr (perintah) dalam ayat ini adalah dalam konteks berita, dan
bukan Al Amr yang menjadi lawan dari kata An-Nahyu (larangan)."
Lafazh yang dinukil di sini merupakan penggalan dari hadits Jabir yang
masyhur mengenai kisah seorang wanita yang menyajikan hidangan
daging kambing kepada Rasulullah SAW, lalu beliau SAW makan
hidangan tersebut kemudian berwudhu dan shalat zhuhur. Setelah itu
makan lagi, kemudian melaksanakan shalat ashar tanpa (mengulangi)
wudhu. Dengan demikian, ada kemungkinan kisah ini terjadi sebelum ada
perintah untuk benvudhu karena makan daging yang disentuh oleh api.
Tujuan beliau berwudhu ketika shalat zhuhur disebabkan oleh hadats,
bukan sebab makan daging kambing.

2 4 6 — FATHUL BAARI
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Utsman Ad-Darimi bahwa ia
berkata, "Oleh karena hadits-hadits mengenai hal ini saling bertentangan,
dan tidak dapat dipastikan mana yang lebih kuat, maka kami melihat
dengan apa yang dipraktekkan oleh khulafaurrasyidin sepeninggal Nabi
SAW. Dengan dasar inilah kami menguatkan salah satu dari dua versi
yang saling bertentangan tersebut." hal ini disetujui oleh An-Nawawi
dalam kitabnya Al Muhadzdzab.
Untuk itu jelaslah hikmah mengapa Imam Bukhari memulai bab ini
dengan nukilan dari tiga orang khalifah tersebut.
Imam An-Nawawi berkata, "Perbedaan mengenai hal ini sangat
terkenal di kalangan sahabat maupun tabi'in, kemudian terjadi kesepakat-
an bahwa tidak perlu berwudhu karena makan daging yang disentuh oleh
api (dibakar) kecuali daging unta. Sementara Imam Al Khaththabi
menempuh cara lain dalam memadukannya, yaitu bahwa hadits-hadits
dalam konteks perintah berindikasi istihbab (disukai) bukan kewajiban."

Dalam bab "Shalat", Imam Bukhari menggunakan hadits ini


sebagai dalil bahwa perintah mendahulukan makan malam daripada
shalat isya hanya berlaku bagi selain imam tetap. Hadits itu juga
menjelaskan bolehnya memotong daging dengan pisau. Sehubungan
dengan larangan mengenai hal ini telah diriwayatkan satu hadits lemah
dalam kitab Sunan Abu Dawud. Apabila hadits itu terbukti keakuratan-
nya, maka indikasinya dikhususkan bagi mereka yang memakainya tanpa
ada kebutuhan yang mendesak. Hal itu karena perbuatan tersebut
merupakan praktek meniru-niru orang ajam (non Arab) serta mereka
yang hidup dalam kemegahan.

Catatan:
Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits dari Amru bin Umayyah
dalam kitabnya selain riwayat ini dan hadits yang lalu dalam masalah
mengusap sepatu.

FATHUL BAARI — 247


51. Berkumur-Kumur karena Makan Sawiq dan
Tidak Berwudhu

209. Diriwayatkan dari Busyair bin Yasar -budak bani Haritsah


yang telah dimerdekakan- bahwasanya Suwaid bin An-Nu'man
mengabarkan kepadanya. Sesungguhnya ia pernah keluar bersama
Rasulullah SAW pada tahun perang Khaibar, hingga setelah
mereka berada di suatu tempat yang bernama Shahba" -sebelum
Khaibar- beliau SAW shalat ashar. Kemudian Nabi menyuruh
untuk diambilkan bekal (makanan). Saat itu tidak ada yang
dihadirkan ke hadapan beliau SAW selain sawiq, maka beliaupun
memerintahkan agar sawiq tersebut dibasahi. Lalu Nabi SAW
makan dan kami pun makan. Kemudian beliau SAW berdiri untuk
shalat maghrib seraya berkumur-kumur dan kamipun turut
berkumur-kumur. Setelah itu beliau shalat tanpa (mengulangi)
wudhu."

210. Diriwayatkan dari Maimunah, bahwasanya Nabi SA W makan


paha kambing di rumahnya, kemudian beliau SAW shalat tanpa
(mengulangi) wudhu."

2 4 8 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:
(Berkumur-kumur karena sawiq) Ad-Dawudi berkata, "Sawiq
adalah tepung sya'ir (salah satu jenis gandum) atau sejenis makanan yang
digoreng." Selain beliau berkata, "Sawiq terbuat dari qamh (jenis gandum
yang lain)." Seorang Arab badui menerangkan sifat sawiq ini dengan
perkataannya, "Sawiq adalah bekal bagi musafir, makanan instan dan
bubur bagi orang sakit."

(Terletak sebelum Khaibar) yakni ujung arah


Madinah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab "Makanan",
bahwa jarak tempat tersebut adalah satu kali peristirahatan dari Khaibar.
Abu Ubaid Al Bakri dalam kitab Mu jam Al Buldan berkata, "Jarak
Shahba' dengan Khaibar sekitar tiga mil." Kemudian Imam Bukhari di
tempat lain dalam bab "Makanan" dari hadits Ibnu Uyainah menyebut-
kan, bahwa lafazh ini adalah perkataan Yahya bin Sa'id yang disisipkan
ke dalam hadits. Berikut akan disebutkan hadits yang dimaksud tanpa
tambahan lafazh yang disisipkan, dari jalur Sulaiman bin Bilal dari
Yahya.

-IjjSl—i \ — | « — J (Kemudian beliau minta dibawakan bekal). Ini


merupakan keterangan bahwa bekal mereka dalam perjalanan dikumpul-
kan menjadi satu, meskipun sebagian mereka lebih banyak jatah
makannya. Di samping itu, hadits ini memberi penjelasan untuk
membawa bekal saat melakukan safar (perjalanan jauh) dan yang
demikian itu tidak bertentangan dengan prinsip tawakkal.
Lalu dari hadits ini sebagian ulama menetapkan kesimpulan
hukum, bahwa pemimpin (imam) boleh menghukum orang-orang yang
menimbun barang, agar mengeluarkan makanan yang mereka timbun dan
menjualnya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Hadits ini juga
menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan kondisi
prajurit atau rakyatnya, untuk itu ia mengumpulkan makanan agar orang-
orang yang tidak membawa bekal turut makan bersama.

uirfj (Dan kami pun makan) dalam riwayat Sulaiman disebutkan,

C j — i j (dan kami minum). Sementara dalam bab "Jihad" melalui riwayat

Abdul Wahhab disebutkan, £J2>J Uflj -^Ji (Kami pun mengaduknya lalu
makan dan minum).

FATHUL BAARI — 249


'JOXAJI _jj*Jl >>\i 'pi (Kemudian beliau SAW berdiri untuk shalat
maghrib seraya berkumur-kumur), maksudnya berkumur-kumur sebelum
melaksanakan shalat. Adapun faidah berkumur-kumur karena makan
Sawiq padahal tidak mengandung lemak, adalah karena sisanya bisa
menyelip di celah-celah gigi dan mulut, dan hal ini bisa mengganggu
konsentrasi seseorang saat melakukan shalat.

LZeji JUj (Tanpa wudhu), yakni tidak mengulangi wudhunya hanya


karena makan sawiq.
Al Khaththabi berkata, "Di sini terdapat dalil bahwa perintah
berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh api (dibakar) telah
dihapus hukumnya, sebab perintah itu ada terlebih dahulu, sementara
peristiwa Khaibar terjadi pada tahun ketujuh setelah hijrah."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Tidak ada indikasi seperti itu dalam
hadits ini, sebab Abu Hurairah RA hadir bersama Rasulullah SAW
setelah penaklukan Khaibar. Sementara Abu Hurairah turut meriwayat-
kan hadits perintah berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh oleh
api (dibakar), seperti dalam riwayat Imam Muslim. Di samping itu, beliau
berfatwa seperti itu setelah Nabi SAW wafat."

Hadits ini dijadikan dalil oleh Imam Bukhari untuk membolehkan


shalat dua kali atau lebih dengan satu kali wudhu, dan dalil disukainya
berkumur-kumur setelah makan.
Sementara itu, dalam hadits Maimunah tidak ditemukan keterangan
berkumur-kumur sebagaimana judul bab. Untuk itu sebagian ulama
berkata, "Di sini Imam Bukhari ingin memberi isyarat bahwa berkumur-
kumur tidak wajib hukumnya. Dalilnya adalah perbuatan Nabi SAW
yang tidak berkumur-kumur dalam hadits Maimunah ini, padahal
makanan yang beliau makan saat itu mengandung lemak dan perlu bagi
orang yang memakannya untuk berkumur-kumur. Sikap beliau SAW
yang meninggalkan perbuatan tersebut merupakan isyarat akan
kebolehannya."
Al Karmani mengatakan, bahwa dalam naskah Al Firabri yang
ditulis tangan, hadits maimunah lebih dahulu disebutkan daripada bab
sebelumnya. Hal itu merupakan perbuatan penyalin naskah.

2 5 0 — FATHUL BAARI
52. Haruskah Berkumur-Kumur karena Minum
Susu?

S ^ 0 ' ? ' ' l' "* ' } ' ^ (. "

' ' ^ * *
* A I " D' t O f ' t A f f ' '
• L$JL"*-*^* ^JLs^J (_^Jji Ajui! L t _ w O

211. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SA W minum


susu kemudian berkumur-kumur seraya bersabda, "Sesungguhnya
ia berlemak. " Hadits ini diriwayatkan pula oleh Yunus dan Shalih
bin Kaisan dari Az-Zuhri.

Keterangan Hadits:
(Haruskah berkumur-kumur karena minum susu) Hadits yang
disebutkan dalam bab ini adalah salah satu hadits yang diriwayatkan oleh
imam yang lima; yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa i dan x

Tirmidzi. Semuanya dari satu syaikh, yakni Qutaibah.

L_13 <-»Jii (Minum susu). Dalam riwayat muslim ditambahkan, £ a j»i

tUj (Kemudian minta dibawakan air).

C — l o AJ 0J (Sesungguhnya ia berlemak). Ibnu Baththal berkata dari


Muhallab, "Ini merupakan penjelasan sebab (illat) diperintahkannya
seseorang untuk berwudhu karena memakan sesuatu yang disentuh api
(dibakar). Hal itu karena mereka pada masa jahiliyah telah terbiasa tidak
memperhatikan kebersihan, maka diperintahkan untuk berwudhu. Ketika
masalah kebersihan telah menjadi kebiasaan masyarakat Islam, perintah
tersebut dihapus." Demikian perkataan beliau.
Akan tetapi hadits yang disebutkan dalam bab ini tidak ada sangkut
pautnya dengan apa yang beliau sebutkan. Sesungguhnya hadits ini hanya
menjelaskan sebab berkumur-kumur setelah minum susu, dan hal ini
merupakan keterangan disukainya berkumur-kumur setelah memakan
makanan yang berlemak. Dari sini juga dapat diambil ketetapan hukum
akan disukainya mencuci tangan demi kebersihan.

FATHUL BAARI — 251


Hadits ini diriwayatkan pula oleh Yunus, yakni Yunus bin Yazid.
Hadits beliau telah disebutkan oleh Muslim beserta silsilah periwayatan-
nya. Sedangkan hadits Shalih disebutkan silsilah periwayatannya secara
bersambung oleh Abu Abbas As-Siraj dalam Musnad-nya.
Demikian pula hadits ini telah diriwayatkan melalui jalur Al Auza'i
seperti dikutip oleh Imam Bukhari dalam bab "Makanan" dari Abu
Ashim dengan lafazh yang sama seperti hadits pada bab ini.
Akan tetapi diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui jalur Al Walid
bin Muslim, ia berkata, "Telah menceritakan kepada kami Al Auza'i,
dimana disebutkan di sini dalam bentuk perintah, 'Berkumur-kumurlah
kalian karena minum susu.'" Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ath-
Thabari melalui jalur lain dari Laits, sama seperti jalur periwayatan di
atas. Kemudian diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadits Ummu
Salamah dan Sahal bin Sa'ad sama seperti itu, adapun silsilah
periwayatan kedua riwayat ini derajatnya hasan.

Dalil yang menunjukkan bahwa perintah dalam hadits ini istihbab


(disukai), adalah riwayat yang dinukil oleh Imam Syafi'i dari Ibnu Abbas
(perawi hadits yang dimaksud) bahwa beliau minum susu lalu berkumur-
kumur kemudian berkata, "Seandainya aku tidak berkumur-kumur, hal
itu tidak berbahaya bagiku." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan
silsilah periwayatan yang hasan (baik) dari Anas, "Bahwasanya Nabi
S A W minum susu, kemudian beliau tidak berkumur-kumur dan tidak
pula (mengulang) wudhu." Di sini kita melihat suatu keganjilan sikap
Ibnu Syahin, dimana beliau memahami hadits Anas sebagai nasikh
(penghapus) hukum yang ada dalam hadits Ibnu Abbas. Padahal tidak
disebutkan adanya seseorang yang mewajibkan hal ini, sehingga harus
menempuh metode nasakh (penghapusan hukum).

2 5 2 — FATHUL BAARI
53. Berwudhu karena Bangun Tidur, dan Pendapat
Tidak Ada Wudhu karena Rasa Kantuk Ringan

l 5 C_J y>j j U ' ^ - t ^ J J b! : Jli ^ AJJI Jjl-j jl s j u 5 l p [^p

' , r-'-' i' i • i 0


y ' f • i • o ^ i ^ o ' ' ' . ' >' o _ » ' | .
\ ^ 1 i y & j ^^L^ b ] ^.5 JLs-i J l i »^Jl <up ^__j!>Jj SijJi

t y °
t ' i J s' t O 'O s , O '

. <U-_flj i, .-j') jAJCS,-j <U*J <_£J-*J

212. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda,


'Apabila salah seorang di antara kamu ngantukpada saat shalat,
maka hendaklah ia tidur hingga rasa kantuknya hilang. Karena
sesungguhnya jika salah seorang di antara kamu shalat dalam
keadaan ngantuk, ia tidak tahu mungkin memohon ampunan tapi
ternyata mencaci dirinya sendiri."

Keterangan Hadits:
(Berwudhu karena bangun tidur), maksudnya apakah hal itu wajib
atau mustahab (disukai). Secara lahiriah perkataan beliau, yakni ngantuk
(nu'as) dapat juga dinamakan tidur (naum). Sementara pendapat yang
masyhur adalah, bahwa keduanya itu berbeda; yakni barangsiapa yang
fungsi inderanya berkurang, dimana ia mendengar perkataan teman
duduknya namun tidak mengerti maknanya maka orang seperti ini
dinamakan ngantuk. Apabila lebih dari kondisi tersebut, maka dinamakan
tidur. Di antara tanda-tanda tidur adalah mimpi baik yang singkat ataupun
yang berlangsung lama. Sementara dalam kitab Al Ain wal Muhkam
disebutkan, nu 'as (ngantuk) sama dengan naum (tidur), atau kondisi yang
mendekati tidur.
(Pendapat tidak ada wudhu karena rasa kantuk ringan) ini adalah
pendapat kebanyakan ulama. Dari pendapat yang mengatakan lafazh
nu 'as (ngantuk) semakna dengan naum (tidur) akan lahir konsekuensi
bagi mereka yang mengatakan bahwa tidur merupakan sebab yang

FATHUL BAARI — 253


membatalkan wudhu, maka juga menjadi konsekuensi mereka untuk
mewajibkan wudhu karena ngantuk.
Telah riwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya
sehubungan dengan kisah Ibnu Abbas yang shalat bersama Nabi SAW di
suatu malam, dimana ia berkata, "Maka jika aku lalai, beliau menarik
kupingku." Hal ini menunjukkan bahwa wudhu tidak wajib bagi orang
yang tidak nyenyak. Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Ibnu Abbas,
dia berkata, "Wajib wudhu bagi setiap orang yang tidur, kecuali jika
sekedar anggukan kepala."

Ibnu At-Tin berkata, "Khafaqah (anggukan kepala) adalah nu 'as


(ngantuk). Imam Bukhari dalam judul bab ini kembali menyebut lafazh
khafaqah setelah lafazh nu 'as, karena kedua lafadz tersebut berbeda."
Akan tetapi secara lahiriah hal tersebut merupakan penyebutan lafazh
khusus setelah menyebutkan lafazh umum. Para ahli bahasa berkata, j i ^

*—'^j apabila seseorang menganggukkan kepalanya saat ngantuk. Abu


Zaid berkata, y\—*3i 'j* *-?\'j> j& (Ia menganggukkan kepalanya karena

ngantuk) apabila orang itu mencondongkan kepalanya. Sedangkan Al


Harawi berkata, "Apabila dikatakan ^ -jj_> , maksudnya dagu
mereka menempel ke dada." Hal ini mengisyaratkan kepada hadits Anas,
' ' f * * t J * ' * * ' ' t ' ' ' y " 0
f ^ j , ' ' i " '

3"^—^aJi (Biasanya para sahabat Nabi SAW menunggu shalat hingga


ngantuk, sampai kepala mereka terangguk-angguk kemudian mereka
berdiri melakukan shalat). Hadits ini diriwayatkan oleh Muhammad bin
Nahsr dalam bab "Qiyamul lail" dengan silsilah periwayatan yang
shahih, dan sumbernya ada pada riwayat Imam Muslim.
t a *

'ji'J. li (Hendaklah ia tidur). Dalam riwayat Imam An-Nasa'i

melalui jalur Ayyub dari Hisyam disebutkan, J>J-ALIlJ (Hendaklah ia


berbalik), maksudnya salam untuk mengakhiri shalat.
Kemudian Al Muhallab memahami hadits ini sebagaimana lahir-
nya, dia berkata, "Sesungguhnya yang diperintahkan beliau SAW untuk
memutuskan shalat adalah karena rasa kantuk yang sangat, maka apabila
kantuk ringan masih dapat ditolerir (dimaafkan)." Dia menambahkan,
"Para ulama telah sepakat bahwa tidur sedikit tidak membatalkan

2 5 4 — FATHUL BAARI
wudhu." Namun Al Muzanni menyelisihi dengan perkataannya, "Tidur
dapat membatalkan wudhu baik sebentar maupun banyak." Beliau dalam
hal ini telah menyalahi ijma' (kesepakatan ulama). Demikian yang
dikatakan Al Muhallab. Begitu pula yang dinukil dari Ibnu Baththal, Ibnu
At-Tin dan lainnya.
Namun tanggapan mereka terhadap Al Muzanni dalam hal ini
kurang obyektif, sebab Ibnu Mundzir dan selainnya telah menukil dari
sebagian sahabat dan tabi'in suatu pandangan yang menyatakan bahwa
tidur dapat membatalkan wudhu, baik lama maupun sebentar. Pandangan
ini juga merupakan pendapat Abu Ubaid dan Ishaq bin Rahawaih.
Selanjutnya Ibnu Mundzir menegaskan, "Ini pula yang menjadi
pendapatku berdasarkan keumuman hadits Shafwan bin Asal yang
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainnya yang disebutkan di
dalamnya, 'Kecuali karena buang air besar atau kencing atau tidur.' Di
sini hukum tidur disamakan dengan kencing serta buang air besar.
Maksud tidur yang sedikit atau banyak adalah panjang pendeknya waktu
tidur tersebut, bukan kualitasnya."

Adapun orang-orang yang berpendapat tidur merupakan waktu


yang banyak mengakibatkan terjadinya hadats (hal-hal yang membatal-
kan wudhu) maka dalam menentukan tidur yang membatalkan wudhu,
mereka berselisih pendapat; Pertama, membedakan antara tidur yang
sedikit dan banyak, ini adalah pendapat Az-Zuhri dan Malik. Kedua,
membedakan antara posisi berbaring dan posisi lainnya, ini pendapat Ats-
Tsauri. Ketiga, membedakan antara posisi berbaring dan bersandar serta
selain keduanya, ini pendapat ulama ahli ra'yu. Keempat, membedakan
antara posisi berbaring, bersandar dan sujud yang dimaksudkan untuk
tidur serta posisi selain itu, ini adalah pendapat Abu Yusuf. Kelima, tidur
pada posisi selain duduk tidak membatalkan wudhu, ini pendapat Imam
Syafi'i dalam fatwa lamanya. Lalu diriwayatkan pula dari beliau suatu
perincian bahwa apabila posisi tersebut dalam shalat maka tidak
membatalkan wudhu, sedangkan jika berada di luar shalat dapat
membatalkan wudhu. Dalam fatwa beliau yang baru, Imam Syafi'i
memberi perincian tersendiri; apabila seseorang duduk dalam posisi yang
stabil maka wudhunya tidak batal, namun apabila posisinya tidak
demikian maka wudhunya menjadi batal.

Kemudian dalam kitab Al Muhadzdzab dikatakan, "Apabila


seseorang mendapati dirinya tertidur sementara ia dalam posisi duduk,

FATHUL BAARI — 255


dan tempat keluarnya hadats menempel ke tanah (lantai), maka yang
tersebut secara tekstual dalam madzhab kami bahwa wudhunya tidak
batal. Namun dikatakan dalam kitab Al Buwaithi, "Wudhunya menjadi
batal." Pendapat ini yang dipilih oleh Al Muzanni. Demikian nukilan dari
Al Muhadzdzab. Lalu perkataan penulis kitab Al Muhadzdzab dibantah
dengan mengatakan, sesungguhnya lafazh yang ada pada Al Buwaithi
tidaklah tegas memberi keterangan seperti itu, sebab beliau hanya
mengatakan, "Barangsiapa yang tidur dengan posisi duduk atau berdiri
lalu bermimpi, maka ia wajib wudhu." Imam An-Nawawi berkomentar,
"Perkataan ini dapat ditakwilkan (dialihkan maknanya)." ' 12

^—S"lb-l 019 (Karena sesungguhnya salah seorang di antara kamu).


Di sini terdapat isyarat akan Ulat (sebab) yang mengharuskan seseorang
memutuskan shalatnya. Barangsiapa yang berada dalam kondisi demi-
kian, maka wudhunya batal berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian
perkataannya, namun hal itu masih perlu dianalisa kembali. Sebab,
isyarat dalam hadits adalah bolehnya memutuskan shalat atau meninggal-
kan shalat setelah selesai salam. Adapun persoalan batal tidaknya wudhu
tidak dapat dipahami dari penuturan hadits tersebut, sebab memfungsikan
lisan untuk menyebutkan apa yang ada dalam ingatan bisa saja dilakukan
oleh orang yang dalam keadaan ngantuk. Di sisi lain, Muhallab termasuk
salah seorang yang berpandangan bahwa tidur yang ringan tidak
membatalkan wudhu, lalu bagaimana dengan sekedar rasa kantuk.

Perkataan Muhallab tentang kesepakatan dalam hal itu tidak dapat


diterima, karena telah diriwayatkan melalui jalur yang shahih dari Abu
Musa Al Asy'ari, Ibnu Umar dan Sa'id bin Musayyab bahwa tidur tidak
membatalkan wudhu secara mutlak. Dalam Shahih Muslim dan Shahih
Abu Dawud disebutkan, "Biasanya para sahabat Nabi menunggu shalat
bersama beliau SAW, lalu mereka tertidur kemudian shalat tanpa
(mengulangi) wudhu." Maka hadits ini dipahami bahwa mereka
melakukan hal itu dalam posisi duduk. Akan tetapi dalam Musnad Al
Bazzar diriwayatkan melalui silsilah yang shahih sehubungan dengan
hadits ini, —-a)' ^g—i\ d j — « j * j»i f & 'J p&S*r ^ (Mereka pun

Pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa tidur merupakan saat yang umum
mengakibatkan hadats, maka rasa kantuk dan tidur ringan tidaklah membatalkan wudhu.
Akan tetapi tidur yang membatalkan wudhu adalah yang dapat menghilangkan rasa
(indera) secara sempurna. Dengan demikian, hadits-hadits yang disebutkan mengenai hal
ini dapat dipadukan. Wallahu A'Iam.

2 5 6 — FATHUL BAARI
membaringkan badan, diantara mereka ada yang tidur kemudian berdiri
melakukan shalat).
i * /.
t- ~ J (Mencaci), maksudnya memohon celaka atas dirinya.
Keterangan ini dipertegas oleh An-Nasa'i dalam riwayatnya melalui jalur
Ayyub dari Hisyam. Ada kemungkinan sebab larangan ini adalah
dikhawatirkan akan bertepatan dengan saat-saat dikabulkannya doa,
sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abu Jamrah.
Di sini terdapat anjuran untuk mengambil pilihan yang menge-
depankan sikap hati-hati, sebab Nabi SAW mengaitkan anjurannya
dengan sebab dalam bentuk kemungkinan. Sebagaimana hadits ini juga
merupakan dorongan untuk berlaku khusyu' serta menghadirkan hati
dalam beribadah, menjauhi hal-hal makruh dalam ketaatan serta bolehnya
berdoa dalam shalat tanpa ada batasan tertentu.

Catatan:
Hadits ini dikeluarkan berdasarkan suatu sebab, yaitu apa yang
diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr melalui jalur Ibnu Ishaq dari
Hisyam sehubungan dengan kisah Al Haula binti Tuwait seperti diterang-
kan terdahulu dalam bab "Agama (amalan) yang paling disukai oleh
Allah adalah yang berkesinambungan".

S 0
' ' S * J £ ' ' ' .. ji S £

JUIU ~*%^\ J> ^i"-b-f [jSS ISI : J l i 0 ^j3l j*


. 1 yij L* -»JLJp«j

213. Diriwayatkan dari Anas dari Nabi SAW, beliau bersabda,


"Apabila salah seorang di antara kamu mengantuk ketika shalat,
maka hendaklah ia tidur hingga mengetahui apa yang ia baca."

FATHUL BAARI — 257


Keterangan Hadits:

^—'QA (Hendaklah ia tidur). Al Muhallab berkata, "Hal ini khusus


berlaku pada shalat malam, sebab shalat fardhu tidaklah berlangsung
pada waktu-waktu tidur. Tidak pula membutuhkan waktu lama sehingga
melahirkan kondisi demikian." Telah kami jelaskan bahwa hadits ini
dilatarbelakangi oleh kejadian tertentu, akan tetapi yang menjadi
pedoman adalah keumuman lafazh dan bukan khususnya sebab. Untuk
itu, anjuran dalam hadits ini tetap berlaku pada shalat-shalat fardhu.

Catatan:
Al Isma'ili mengisyaratkan bahwa dalam hadits ini terjadi ke-
simpangsiuran (idhthirab). Dia berkata, "Hadits ini diriwayatkan oleh
Hammad bin Zaid dari Ayyub secara mauquf (tidak bersambung kepada
Nabi SAW). Dalam riwayat itu disebutkan, 'Dari Ayyub telah dibacakan
kepadaku dari Abu Qilabah, maka akupun mengenalnya.' Kemudian
hadits ini diriwayatkan pula oleh Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dari Ayyub
tanpa mencantumkan Anas di dalam jalur periwayatannya." Demikian
perkataan Al Isma'ili.

Akan tetapi apa yang beliau sebutkan tidaklah menjadikan hadits


ini sebagai riwayat yang simpang siur (mudhtharib), sebab jalur Abdul
Warits lebih akurat karena didukung oleh riwayat Wuhaib dan Ath-Thawi
dari Ayyub. Adapun perkataan Hammad dari Ayyub, "Telah dibacakan
kepadaku..." tidaklah menunjukkan bahwa beliau tidak mendengar
langsung dari Abu Qilabah, bahkan mesti dipahami bahwa ia mengenal
hadits itu sebagai salah satu riwayat yang didengarnya langsung dari Abu
Qilabah, wallahu a 'lam.

2 5 8 — FATHUL BAARI
54. Berwudhu Bukan karena Hadats

i + ' "* * • \ f**" 11 - I 11 ' 9


'i 9
' i ' 0
' 0
'

\ bjj m ^ JLT : JL* d U > cf.^^^cf. s j** c/-


I iJb-l lSj ->xi . Jl» 'OjjtuaJ *_u5 <_JL5 C J J a%^> 15 J U P

214. Diriwayatkan dari Amru bin Amir dari Anas, ia berkata,


"Biasanya Nabi SAW berwudhu setiap kali akan shalat. " Aku
bertanya, "Bagaimanakah yang biasa kalian lakukan? "Dia men-
jawab, "Cukuplah bagi salah seorang di antara kami satu kali
wudhu selama ia belum berhadats."

Keterangan Hadits:

(Berwudhu bukan karena hadats) yakni tentang bagaimana hukum-


nya, dan yang dimaksud adalah memperbaharui wudhu.
Perselisihan mengenai hal ini telah kami jelaskan pada awal bab
"Wudhu" ketika menyebutkan firman Allah SWT, "Wahai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat..." ^ Q s . Al
Maa'idah (5): 6>
Mayoritas ulama mengatakan bahwa makna ayat itu adalah,
"Apabila kamu hendak mengerjakan shalat sementara kamu berhadats."
Imam Ad-Darimi dalam kitab Musnad-nya memperkuat pendapat itu
dengan sebuah hadits yang berbunyi, i » J y j* % «• H {Tidak ada
wudhu kecuali karena hadats). Kemudian dinukil oleh Imam Syafi'i dari
sejumlah ulama bahwa makna ayat di atas adalah, "Apabila kamu bangun
dari tidur lalu hendak mengerjakan shalat."
Telah dijelaskan pula bahwa sebagian ulama ada yang memahami
ayat itu sebagaimana makna tekstualnya. Mereka berkata, "Wudhu
diwajibkan bagi orang setiap kali hendak melakukan shalat." Namun
mereka berbeda pendapat dalam menentukan apakah kewajiban itu masih
terus berlangsung atau telah dihapus (mansukh). Adapun dalil yang

FATHUL BAARI — 259


menunjukkan dihapusnya kewajiban itu adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya -dan telah dishahihkan oleh
Ibnu Khuzaimah- dari hadits Abdullah bin Hanzhalah bahwa Nabi SAW
diperintahkan untuk berwudhu setiap kali akan shalat. Maka setelah hal
itu memberatkannya, beliau diperintahkan untuk bersiwak.
Ulama lain berpendapat bahwa kewajiban itu masih berlangsung,
pendapat ini diketengahkan oleh Ath-Thahawi serta dinukil oleh Ibnu
Abdul Barr dari Ikrimah dan Ibnu Sirin serta lainnya.
Namun Imam An-Nawawi meragukan bila pendapat seperti ini
benar-benar berasal dari mereka, dan beliau condong untuk menakwilkan
maknanya apabila terbukti pendapat itu telah dikatakan oleh para ulama
tersebut. Bahkan, dengan yakin beliau menegaskan bahwa telah terjadi
kesepakatan mengenai tidak wajibnya berwudhu setiap kali akan shalat."
(apabila wudhunya belum batal -penerj).
Ayat di atas bisa saja dipahami sebagaimana makna tekstualnya
tanpa harus mengatakan hukumnya telah dihapus (mansukh). Akan tetapi
bagi orang yang berhadats indikasinya adalah wajib, sedangkan bagi
yang tidak berhadats indikasinya hanyalah mustahab (disukai).
Penjelasan mengenai hal itu diperoleh melalui Sunnah sebagaimana
hadits di bab ini.

i^C* JS" j i f (setiap kali shalat), yakni shalat fardhu. Imam Tirmidzi

menambahkan dari jalur Humaid dari Anas, y}\—L> 'Js- ji \'yy&> (dalam
keadaan suci atau tidak). Secara lahiriah bahwa hal itu merupakan
kebiasaan Nabi, namun hadits yang diriwayatkan Suwaid dalam bab ini
telah menjelaskan bahwa hal itu merupakan perbuatan yang sering
dilakukan Nabi. Imam Thahawi mengatakan, "Kemungkinan hal itu
merupakan kewajiban yang khusus bagi Nabi, kemudian dihapus pada
hari penaklukan kota Makkah berdasarkan hadits Buraidah yang
diriwayatkan Imam Muslim, bahwa Nabi Shallallah alaihi wasallam
shalat pada hari penaklukan kota Makkah dengan sekali wudhu."
Kemudian umar bertanya kepada beliau, lalu Nabi menjawab, "Hal itu
sengaja aku lakukan." Ath-Thahawi mengatakan, "Mungkin hal itu
dilakukan Nabi sebagai hal yang disukai (istihbab). Kemudian Nabi
khawatir akan dianggap sebagai hal yang wajib, maka beliau meninggal-
kannya untuk menunjukkan jawaz (kebolehan)." Saya (Ibnu Hajar)
katakan, "Itulah pendapat yang mendekati, dengan mengatakan untuk

2 6 0 — FATHUL BAARI
pendapat pertama bahwa nasakh (penghapusan) itu terjadi sebelum
penaklukan kota Makkah berdasarkan hadits Suwaid bin N u ' m a n .
Tepatnya pada peristiwa Khaibar, yaitu sebelum penaklukkan kota
Makkah."

(Bagaimanakah kamu). Yang bertanya di sini adalah


Amru bin Amir, dan yang beliau maksud adalah para sahabat. Dalam
riwayat An-Nasa'i dari jalur Syu'bah dari Amru bahwasanya ia bertanya
kepada Anas, "Apakah Nabi SAW berwudhu setiap kali akan shalat?"
Beliau menjawab, "Ya." Sementara dalam riwayat Ibnu Khuzaimah
disebutkan, "Dahulu kami biasa melakukan bebarapa kali shalat hanya
dengan satu kali wudhu."

\'}\ JJ>-
{ ^lp is§l AJJI J y* j £A L>- y>- J l i jLaJcJl ^y_ J J yy

215. Diriwayatkan dari Suwaid bin Nu'man, ia berkata, "Kami


pernah keluar bersama Rasulullah SAW pada peristiwa Khaibar.
Ketika sampai di Shahba' kami shalat ashar bersama Rasul, dan
setelah selesai shalat, beliau minta dibawakan bekal. Saat itu tidak
ada yang dihadirkan ke hadapan beliau SAW selain sawiq, lalu
kami makan dan minum. Kemudian beliau berdiri untuk shalat
maghrib tanpa (mengulangi) wudhu, dan kami pun turut shalat."

FATHUL BAARI — 261


55. Termasuk Dosa Besar Tidak Menutup Diri Saat
Buang Air Kecil

216. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Nabi SAW


melewati suatu kebun di antara kebun-kebun Madinah -atau
Makkah- maka beliau mendengar suara dua manusia yang disiksa
di alam kubur. Nabi SAW bersabda, 'Keduanya disiksa, dan
tidaklah keduanya disiksa karena dosa besar. Kemudian beliau
melanjutkan sabdanya. 'Salah seorang di antara keduanya disiksa
karena tidak menjaga diri saat kencing, sedangkan yang lainnya
senantiasa membat fitnah agar orang bermusuh-musuhan (tukang
adu domba).' Kemudian beliau minta dibawakan satu pelepah
kurma lalu dipatahkan menjadi dua, beliau meletakkan di setiap
kuburan satu potong. Seorang bertanya kepadanya, 'Wahai
Rasulullah, mengapa anda melakukan hal ini?' Beliau menjawab,
'Mudah-mudahan keduanya mendapat keringanan selama kedua
pelepah ini belum kering. Atau hingga kedua pelepah ini kering."

Keterangan Hadits:

Jajl 9%i («J—IJ ^ J** 'j* (Nabi SAW melewati suatu kebun)
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab "Al Adab", "Nabi SAW
keluar dari salah satu kebun Madinah." Dari hadits ini dipahami bahwa

262 FATHUL BAARI


kebun tempat beliau SAW keluar bukanlah kebun yang beliau lewati.
Sementara dalam kitab Al Afrad oleh Ad-Daruquthni dari hadits Jabir
disebutkan, kebun yang dimaksud adalah milik Ummu Mubasysyir Al
Anshariyah. Keterangan ini menguatkan riwayat yang ada dalam bab "Al
Adab", dimana secara tegas disebutkan bahwa kejadian ini terjadi di
Madinah. Adapun lafazh yang menunjukkan keraguan, yaitu perkataan-
nya, "atau di Makkah" bersumber dari Jarir (salah seorang perawi hadits
ini).
*

Ol—jjiu (Keduanya disiksa) dalam riwayat Al A'masy disebutkan, 'j»

j i j l - i (Beliau SAW melewati dua kuburan). Lalu ditambahkan oleh Ibnu

Hibban dengan lafazh, Jt-k-^r (yang baru).

u k' jiy j <jkA*i (Keduanya disiksa dan tidaklah karena


dosa besar. Kemudian beliau bersabda, "Benar ".). Maksudnya, bahkan
itu adalah dosa besar. Keterangan seperti ini dinyatakan dengan tegas
dalam riwayat yang beliau (Imam Bukhari) sebutkan pada bab "Al Adab"
melalui jalur Abdu bin Humaid dari Manshur, beliau bersabda, oUiij Uj

j l — & ijjj JS J) (Tidaklah keduanya disiksa karena dosa besar, bahkan


sungguh ia adalah dosa besar). Lafazh ini merupakan tambahan riwayat
Manshur terhadap Al A'masy dan tidak diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Riwayat Al A'masy ini dijadikan dalil oleh Ibnu Baththal untuk
menunjukkan bahwa siksaan tidak hanya berlaku pada dosa-dosa besar,
akan tetapi juga terhadap dosa-dosa kecil. Dia mengatakan, "Karena tidak
ada riwayat yang mengindikasikan ancamam dalam hal berhati-hati saat
kencing" yakni sebelum kejadian ini.
Namun pandangan ini terbantah oleh tambahan lafazh yang
diriwayatkan oleh Manshur. Telah disebutkan pula riwayat seperti itu
dari hadits Abu Bakrah dalam riwayat Imam Ahmad dan Thabrani
dengan lafazh, ^ k jS J> JUJ* lij (Tidaklah keduanya disiksa karena
dosa besar, bahkan...." (yakni itu adalah dosa besar -penerj).
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna sabda
beliau SAW, "Sungguh ia adalah dosa besar". Abu Abdul Malik Al
Bunni berkata, "Ada kemungkinan Nabi SAW mengira perkara itu bukan
dosa besar, lalu diwahyukan kepadanya saat itu juga bahwa perbuatan itu

FATHUL BAARI — 263


termasuk dosa besar, maka beliau pun segera meralat ucapannya."
Pendapat ini dibantah, karena konsekuensinya berarti terjadi penghapus-
an hukum (nasakh), sementara penghapusan hukum (nasakh) tidak masuk
dalam lingkup khabar (berita). Tapi bantahan ini dapat pula dijawab
bahwa berita yang bermuatan hukum dapat juga dihapus (mansukh).
Sabda beliau, "Tidaklah keduanya disiksa karena dosa besar" merupakan
berita mengenai hukum. Apabila diwahyukan kepada beliau SAW bahwa
perbuatan itu termasuk dosa besar, maka hal itu merupakan penghapusan
hukum sebelumnya.

Pendapat lain mengatakan, adanya kemungkinan kata ganti


(dhamir) pada sabda beliau & (sesungguhnya ia) kembali kepada siksaan
itu sendiri. Pandangan ini didasarkan pada riwayat yang dinukil dalam
kitab Shahih Ibnu Hibban dari hadits Abu Hurairah RA, laju-i U J I * oUJJu

j—s—'^ J) (Keduanya disiksa dengan siksaan yang pedih karena dosa


yang remeh).
Ada pula yang mengatakan, kata ganti tersebut kembali kepada
salah satu dari dua dosa yang disebutkan sebelumnya, yaitu dosa
mengadu domba. Karena perbuatan ini termasuk dosa besar menurut
kesepakatan, berbeda halnya dengan membuka aurat. Pendapat ini di
samping sangat lemah juga tidak berbobot, sebab menutup diri saat
kencing bukan dimaksudkan hanya membuka aurat saja seperti akan
dijelaskan.

Ad-Dawudi dan Ibnu Al Arabi berkata, "Dosa besar (J~£) yang di-

nafikan (ditiadakan) adalah bermakna yang terbesar G-S"'), sedangkan


dosa besar yang beliau tetapkan adalah salah satu di antara dosa-dosa
besar lainnya. Yakni, perbuatan itu bukanlah dosa terbesar seperti
membunuh, meskipun pada dasarnya ia termasuk dosa besar pula."
Pendapat lain mengatakan perbuatan itu tidaklah besar ditinjau dari
bentuknya, sebab melakukan perbuatan seperti itu dianggap remeh dan
rendah, sementara ia merupakan perbuatan dosa besar.
Ada pula yang mengatakan bahwa makna sabda beliau SAW
adalah kedua perbuatan itu tidak termasuk dosa besar dalam keyakinan
keduanya atau dalam keyakinan manusia pada umumnya, sementara ia
dalam pandangan Allah SWT keduanya termasuk dosa besar. Hal ini

2 6 4 — FATHUL BAARI
sama dengan firman-Nya, "Kamu mengira hal itu adalah remeh padahal
dia di hadapan Allah sangatlah besar." ^ Q s . An-Nuur (24): 15^
Dikatakan pula kedua perbuatan itu tidaklah besar ditinjau dari segi
kesulitan menghindarinya, yakni tidaklah berat untuk menghindari
perbuatan tersebut. Pendapat ini didukung dengan tegas oleh Al Baghawi
dan selain beliau serta dinyatakan sebagai pendapat terkuat oleh Ibnu
Daqiq Al Id bersama sejumlah ulama lainnya.

Pendapat lain mengatakan ia tidaklah besar ditinjau dari perbuatan


itu sendiri, akan tetapi ia menjadi besar karena dilakukan secara terus
menerus. Pandangan ini diindikasikan secara langsung oleh susunan gaya
bahasa hadits tersebut, dimana konteks hadits mengindikasikan bahwa
kedua orang itu senantiasa melakukan perbuatan yang dimaksud secara
terus menerus, karena lafazh hadits disampaikan dalam bentuk kata kerja
mudhari (present tense) 'y£~>. setelah lafazh iL>lT.

'yj.—*i (Tidak menutup diri), dalam riwayat Ibnu Asakir disebut-

kan, 1$y—1«J (Tidak menjauhkan diri). Sementara dalam riwayat Muslim

dan Abu Dawud dari hadits Al A'masy disebutkan, « j ^ - i ^ (tidak men-


sucikan diri).

Berdasarkan riwayat mayoritas, makna ^=I~J *i (tidak menutup diri)


adalah tidak membuat pembatas antara dirinya dengan kencingnya, yakni
tidak menjaga percikannya. Dengan demikian, maknanya sesuai dengan
lafazh tjj£~i *i (tidak menjauhkan diri).

Lalu tersebut dalam kitab Mustakhraj Abu Nu 'aim melalui Waki'


dari Al A'masy dengan lafazh ^— Vyi ^ (tidak menjaga diri), lafazh ini
menafsirkan makna yang dimaksud.
Namun sebagian ulama memahami hadits ini sebagaimana makna
lahiriahnya. Mereka berkata, "Makna hadits itu, adalah tidak menutup
auratnya." Akan tetapi pendapat ini dianggap lemah, sebab bila yang
menjadi sebab adalah menyingkap aurat tentu ancaman akan diarahkan
kepadanya tanpa mengaitkannya dengan sebab. Artinya, siksaan seperti
itu akan menimpa orang yang tidak menutup auratnya baik saat ia
kencing ataupun tidak kencing. Kelemahan perkataan ini cukup jelas, dan

FATHUL BAARI — 265


pada pembahasan mendatang akan kami sebutkan perkataan Ibnu Daqiq
Al Id.

Adapun riwayat dengan lafazh, isJ^-i t (tidak menjauhkan diri)


lebih tegas dalam menganjurkan seseorang agar menjaga dirinya. Lalu
Ibnu Daqiq Al Id memberi tanggapan terhadap riwayat dengan lafazh, V

namun jawaban untuk tanggapan beliau ini sama seperti yang telah
kami sebutkan.

Ibnu Daqiq Al Id berkata, "Apabila lafazh 'JSLJ 'i dipahami secara


tekstual, maka timbul konsekuensi bahwa sekedar membuka aurat dapat
menyebabkan siksa kubur. Sementara dari susunan gaya penyajian hadits
memberi indikasi bahwa kencing memiliki kaitan tersendiri dengan siksa
kubur. Hal ini lebih dipertegas oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, Jj-J' J s-jia*
(Kebanyakan siksa kubur disebabkan oleh kencing). Yakni tidak
menghindarkan atau menjaga diri dari kencing."
Beliau menambahkan, "Pendapat ini semakin diperkuat
bahwasanya lafazh j — » dalam hadits ini ketika dinisbatkan kepada kata

Jj—Jl (kencing) memberi pengertian bahwa tidak menutup diri yang


menjadi sebab siksa kubur dilatarbelakangi oleh kencing. Artinya, per-
mulaan penyebab siksa kubur adalah kencing. Apabila dipahami
penyebab siksa kubur adalah membuka aurat, niscaya konteks hadits
tersebut kehilangan makna. Dengan demikian, menjadi suatu keharusan
untuk memahami hadits ini dalam arti majaz (kiasan) disebabkan lafazh-
lafazh hadits menyatu pada satu makna dan juga sumber semuanya
hanyalah satu." Hal ini diperkuat lagi oleh hadits Abu Bakrah yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah, J jJi J> U*Ji-i lii
(Adapun salah satu dari keduanya di siksa lantaran kencing). Seperti ini
juga diriwayatkan pula dari Thabrani dari Anas.

*—yj J—» (Dari kencingnya), pembahasan mengenai hal ini akan


dijelaskan pada bab berikutnya.

i ^ r-*i (Membuat fitnah agar orang bermusuh-musuhari).


Ibnu Daqiq Al Id berkata, "Maksudnya menyampaikan perkataan

2 6 6 — FATHUL BAARI
manusia yang satu kepada yang lainnya. Perbuatan ini dimaksudkan
untuk menimbulkan mudharat. Adapun jika perbuatan itu menimbulkan
maslahat (kebaikan) ataupun menghindarkan suatu kerusakan, maka
menukil perkataan orang kepada orang lain termasuk sesuatu yang
diharuskan." Demikian perkataan Ibnu Daqiq Id.
Perkataan Ibnu Daqiq Id di atas merupakan penafsiran makna
"namimah" secara umum, sementara perkataan ulama selain beliau
berbeda dengan pandangannya sebagaimana akan kami sebutkan secara
rinci pada pembahasan tentang Al Adab.
Imam An-Nawawi berkata, "Namimah adalah memindahkan
perkataan satu orang kepada orang lain dengan maksud membuat
kerusakan, dimana hal ini termasuk perbuatan paling buruk." Tapi
perkataan Imam An-Nawawi ditanggapi oleh Al Karmani dengan
perkataannya, "Pendapat ini tidak dapat dibenarkan ditinjau dari segi
kaidah yang berlaku di kalangan fuqaha (ahli fikih). Mereka menetapkan
bahwa dosa besar harus mendapat had (hukuman fisik). Sementara
namimah tidak mengharuskan pelakunya dijatuhi hukuman fisik. Kecuali
jika dikatakan sesungguhnya yang menyebabkan namimah masuk
kategori dosa besar apabila dilakukan terus-menerus, sebab dosa-dosa
kecil yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi dosa besar. Atau
yang dimaksud dengan dosa besar di sini adalah makna lain selain makna
yang dikenal dalam istilah syariat." demikian tanggapan Al Karmani.

Pendapat ini bukanlah pendapat semua fuqaha. Akan tetapi seakan-


akan perkataan Ar-Rafi'i lebih mendukung pendapat ini, dimana dia
menyebutkan dua definisi dosa besar; salah satunya seperti di atas dan
yang satunya lagi adalah perbuatan yang diancam dengan ancaman yang
keras. Kemudian dia berkata, "Namun mereka (para ulama) lebih
condong kepada pengertian pertama, sementara pengertian kedua lebih
sesuai dengan perincian yang mereka sebutkan mengenai dosa besar."
Demikian perkataan Ar-Rafi'i.

Namun menjadi kemestian untuk memahami pengertian pertama


dalam lingkup perbuatan yang tidak disebutkan secara tekstual dalam
hadits Nabi SAW, sebab jika tidak demikian maka durhaka kepada kedua
orang tua serta sumpah palsu tidak dapat digolongkan sebagai dosa besar,
padahal Nabi SAW telah menggolongkannya sebagai dosa yang paling
besar.

FATHUL BAARI — 267


Pembahasan selanjutnya mengenai ha) ini akan diterangkan pada
bab "Hukuman (Al Hudud)". Maka dari penjelasan ini dapatlah diketahui
jawaban bagi tanggapan Al Karmani terhadap Imam An-Nawawi, yaitu
namimah telah dinyatakan sebagai dosa besar dalam hadits shahih seperti
dijelaskan.

•i jiy (Kemudian beliau minta dibawakan satu pelepah).


Dalam riwayat A ' m a s y disebutkan,
masy disebutkan, ^—t»j y-1—~*< ' — ( b e l i a u minta
dibawakan asih yang masih basah). Yang dimaksud dengan asih adalah
pelepah yang belum ditumbuhi dedaunan, sebab jika ditumbuhi dedaunan
dinamakan sa 'i/ah.
Ada yang mengatakan bahwa Nabi sengaja mengkhususkan pe-
lepah kurma, karena keringnya lama. Diriwayatkan oleh An-Nasa'i dari
hadits Abu Rafi' dengan silsilah periwayatan yang lemah, bahwa orang
yang membawa pelepah ke hadapan Nabi saat itu adalah Bilal. Lafazh
riwayat ini, J>—as J.—s j> Uli '^L> i) ajU?- j> ^L»^ A!JS- &\ JJ> J]\ LT

fiij—lit^ a J—ly>yj, :J}U (Kami pernah bersama Nabi SAW menghantar


jenazah, tiba-tiba beliau SAW mendengar sesuatu di kuburan. Maka
beliau bersabda kepada bilal, "Bawalah kepadaku pelapah yang masih
hijau:') (Al Hadits).

U»j '.*s3 (Lalu beliau membelahnya), yakni beliau dibawakan


pelepah kurma dan kemudian membelahnya. Dalam hadits Abu Bakrah
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani bahwa Abu Bakrah-
lah yang membawakan pelepah itu kepada Nabi SAW. Adapun yang,
disebutkan oleh Imam Muslim dalam hadits Jabir yang panjang di bagian
akhir kitab bahwa Jabirlah yang membelah pelepah, adalah kisah lain
bukan dalam konteks kisah yang ada dalam hadits di bab ini. Perbedaan
di antara keduanya dapat ditinjau dari berbagai segi, di antaranya
kejadian dalam hadits pada bab ini berlangsung di Madinah dan beliau
SAW bersama-sama dengan sejumlah sahabatnya, sedangkan kisah Jabir
terjadi saat safar dimana Nabi SAW berangkat untuk buang hajat yang
lalu diikuti oleh Jabir seorang diri. Perbedaan lain, pada kisah tersebut
dinyatakan bahwa Nabi SAW sendirilah yang menancapkan pelepah
tersebut setelah dibelah seperti akan diterangkan pada hadits di bab
setelah ini dari riwayat Al A'masy. Sedangkan pada hadits Jabir
disebutkan bahwa beliau SAW memerintahkan Jabir untuk memotong

2 6 8 — FATHUL BAARI
jalur Abdul Wahid bin Ziyad dari Al A'masy, "Kemudian beliau
menancapkan di bagian kepala setiap kuburan satu potong."

*" 1 J—^ (Ditanyakan kepadanya) dalam riwayat Al A'masy


disebutkan, "Lalu mereka bertanya" maksudnya para sahabat. Akan
tetapi, kami belum menemukan keterangan secara pasti siapa diantara
mereka yang menanyakan hal itu.

(Diringankan), maksudnya diringankan siksa dua orang yang


ada dalam kuburan tersebut.

- l ' - 'i< U (Selama kedua pelepah ini belum kering), demikian lafazh
yang disebutkan dalam kebanyakan riwayat. Dalam riwayat Al Kasymi-
hani disebutkan, \—'-2 Jl Si! (Kecuali setelah kedua pelepah ini kering).

Sementara dalam riwayat Al Mustamli dikatakan, i—~1> Jl j ! (Sampai


keduanya kering).
Al Maziri berkata, "Ada kemungkinan diwahyukan kepada beliau
SAW bahwa siksaan kedua orang itu akan diringankan selama waktu
tersebut." Atas dasar ini, maka lafazh J—«3 (semoga) dalam hadits ini
berfungsi sebagai ta 'lil (sebab dilakukannya perbuatan). Lalu Al Maziri
menambahkan, "Tidak ada pengertian lain terhadap hadits tersebut selain
pengertian ini."
Menanggapi pendapat di atas Al Qurthubi berkata, "Andaikata
wahyu telah turun kepada beliau SAW, tentu beliau tidak akan
menggunakan lafazh yang menunjukkan harapan." Akan tetapi perkataan
Qurthubi ini tidak dapat dijadikan sebagai bantahan bagi pendapat Al
#

Marizi jika lafazh J*J (semoga) dikatakan berfungsi sebagai ta lil (sebab
dilakukannya perbuatan).
Imam Al Qurthubi juga berkata, "Ada pandangan yang mengatakan
bahwa beliau SAW memberi syafaat kepada kedua orang itu selama
waktu tersebut sebagaimana disebutkan secara tegas dalam riwayat Jabir,
karena secara lahiriah kisah-kisah ini hanyalah satu kejadian saja."
Demikian pula pendapat yang dianggap kuat oleh Imam An-Nawawi,
yakni kisah-kisah ini merupakan satu kejadian. Namun pendapat ini perlu
dianalisa kembali perbedaan-perbedaan yang ada di antara keduanya
berdasarkan apa yang telah kami jelaskan.

2 7 0 — FATHUL BAARI
dua dahan dari dua pohon yang dipakai oleh Nabi S A W untuk
melindungi dirinya dari pandangan orang saat buang hajat. Kemudian
Jabir diperintah untuk melemparkan salah satu dahan tersebut ke arah
kanan dan yang satunya ke arah kiri tempat Nabi SAW duduk saat buang
hajat. Kemudian jabir bertanya kepadanya mengenai hal itu, maka beliau
bersabda, "Aku melewati dua kuburan yang (kedua penghuninya) disiksa.
Maka aku ingin agar siksaan keduanya diangkat selama kedua dahan itu
masih basah." Dalam kisah Jabir juga tidak disebutkan sebab keduanya
disiksa, dan tidak pula disebutkan harapan Nabi SAW mengenai hal itu
seperti tercermin dari sabdanya, "Semoga..."

Untuk itu jelaslah bahwa kisah ini dan kisah yang dialami oleh
Jabir adalah dua kejadian yang berbeda, dan berulangnya peristiwa
seperti itu bukan hal yang mustahil.
Sementara, telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam kitab
Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah, 41* 'Jt&yS JJb. 'j» jJUj *11* <&I AJI

j—liSr j J 1* ijjrh\j vl> UiQi-i Jjuni t jylb^u ^iji'i : JUsi (Nabi SA W

lewat di suatu kuburan kemudian berhenti di sampingnya, lalu beliau


bersabda, "Bawalah untukku dua pelepah." Kemudian beliau menaruh
salah satunya di bagian kepalanya dan satunya lagi dibagian kakinya).
Tidak tertutup kemungkinan jika kisah ini adalah peristiwa ketiga.
Pandangan ini diperkuat oleh keterangan bahwa pada hadits Abu
Rafi' terdahulu disebutkan, "Maka beliau mendengar sesuatu di
kuburan." Disebutkan pula, "Lalu beliau membelahnya dua bagian seraya
meletakkan satu bagian di arah kepala dan satu bagian di arah kakinya."
Sedangkan dalam kisah mengenai satu orang dikatakan, "Beliau menem-
patkan setengahnya di bagian kepalanya dan setengahnya di bagian
kakinya." Kemudian dalam kisah yang berhubungan dengan dua orang
dikatakan, "Beliau meletakkan pada setiap kuburan satu pelepah."

£—(Beliau meletakkan^ dalam riwayat Al A ' m a s y berikut ini

disebutkan, }j—*s (Beliau menancapkannya). Lafazh ini lebih khusus


daripada lafazh pertama.

a j-l~S" J$ ^ LS^ t ^ J * (Beliau meletakkan pada setiap kuburan


tersebut satu potong). Tersebut dalam Musnad Abdu bin Humaid dari

FATHUL BAARI — 269


Al Khaththabi mengatakan, "Dari hadits ini dipahami bahwa beliau
SAW berdoa agar siksaan kedua orang itu diringankan selama pelepah itu
belum kering. Hal itu bukan berarti ada makna atau kelebihan tersendiri
bagi pelepah yang basah di banding pelepah kering." Kemudian beliau
mengatakan, "Ada pula pendapat mengatakan bahwa hal itu berarti tasbih
selama masih basah, sehingga dapat meringankan mereka dengan berkah
tasbih tersebut." Kemudian hal ini dipahami secara umum untuk semua
jenis pohon atau lainnya selama belum kering, terutama sesuatu yang
mendatangkan berkah seperti dzikir dan bacaan Al Qur'an.

Sementara Ath-Thaibi mengatakan, "Hikmah mengapa kedua


pelepah itu dapat memberikan nikmat selama masih basah, mungkin saja
hal itu tidak dapat kita ketahui, seperti kita tidak mengetahui jumlah
malaikat adzab."
Lalu Imam Al Khaththabi beserta orang-orang yang sepaham
dengannya mengingkari perbuatan manusia yang sengaja meletakkan
pelepah atau yang sepertinya di kuburan untuk mengamalkan hadits ini.
Ath-Thurthusyi berkata, "Karena yang demikian itu atas berkah tangan
beliau SAW." Sedangkan Al Qadhi Iyadh berkata, "Karena beliau SAW
mengaitkan perbuatannya menancapkan kedua pelepah itu dengan
perkara yang gaib, yaitu sabda beliau, 'Keduanya sedang disiksa.'"

Aku (Ibnu Hajar) berkata, "Ketidaktahuan kita apakah orang itu


disiksa atau tidak, bukan berarti kita tidak boleh melakukan suatu sebab
yang dapat meringankan siksaan yang dialaminya seandainya ia berada
dalam siksaan. Sebagaimana ketidaktahuan kita apakah seseorang berada
dalam rahmat atau tidak, bukanlah menjadi halangan bagi kita untuk
mendoakannya supaya mendapat rahmat. Tidak ditemukan dalam
Konteks hadits ini keterangan tegas bahwa beliau SAW langsung
menancapkan kedua pelepah itu dengan tangannya yang mulia, bahkan
ada kemungkinan beliau SAW memerintahkan orang lain untuk
menancapkannya. Sementara itu, Buraidah bin Hushaib -salah seorang
sahabat- telah mempraktekkan perbuatan ini, dimana dia berwasiat agar
diletakkan di atas kuburnya dua pelepah sebagaimana akan dijelaskan
pada bab "Jenazah (Jana'iz)". Buraidah lebih pantas untuk diikuti
daripada selainnya. '*

Yang benar dalam masalah ini adalah apa yang dikatakan oleh Al Khaththabi berupa
pengingkaran untuk meletakkan pelepah atau yang sepertinya di atas kuburan, karena
Rasulullah SAW tidak melakukan hal itu kecuali pada kuburan tertentu yang beliau

FATHUL BAARI — 271


Catatan penting
Tidak diketahui nama kedua orang yang disiksa dalam kuburan
tersebut. Nampaknya ini merupakan kesengajaan perawi hadits demi
untuk menutup aib keduanya, dimana hal ini adalah perbuatan yang baik.
Telah menjadi keharusan untuk tidak meneliti guna mengetahui nama
orang yang mendapatkan celaan.
Adapun riwayat yang disebutkan oleh Al Qurthubi dalam kitab At-
Tadzkirah - y a n g dilemahkan oleh sebagian ulama- bahwa salah seorang
yang dikubur itu adalah Sa'ad bin Mu'adz, merupakan riwayat batil tidak
pantas untuk disebutkan kecuali bila disertai penjelasan mengenai
kebatilannya.
Di antara hal yang menunjukkan kebatilan riwayat yang dinukil
oleh Al Qurthubi adalah bahwa Nabi SAW menghadiri pemakaman
Sa'ad bin Mu'adz, sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari
Muslim. Adapun kisah kedua orang yang disiksa dalam kuburan telah
disebutkan dalam hadits Umamah seperti dinukil oleh Imam Ahmad,
bahwa beliau SAW bertanya kepada para sahabat, "Siapakah yang kamu
kuburkan hari ini di tempat ini?" Sabdanya ini mengindikasikan bahwa
beliau SAW tidak menghadiri pemakaman keduanya.

Hanya saja aku sengaja menyebutkan hal ini untuk membela nama
baik seorang yang telah dinamakan langsung oleh Nabi SAW sebagai
sayyid. Beliau SAW bersabda kepada para sahabatnya, "Berdirilah untuk
sayyid kalian" Beliau bersabda pula, "Sesungguhnya keputusannya sama
seperti keputusan Allah" Sabdanya lagi, "Sesungguhnya Arsy sang
Rahman bergoncang karena kematian Sa 'ad" Aku khawatir sebagian
orang yang dangkal ilmunya terpedaya oleh riwayat yang dinukil oleh
Imam Qurthubi, lalu ia pun meyakini kebenarannya padahal sesungguh-
nya adalah batil.
Selanjutnya para ulama berselisih pendapat mengenai orang-orang
yang dikubur tersebut. Satu pendapat mengatakan, mereka adalah orang-
orang kafir. Pendapat ini diyakini kebenarannya oleh Abu Musa Al
Madini berdasarkan hadits yang beliau riwayatkan dari Jabir dengan
silsilah periwayatan yang di dalamnya terdapat Abu Lahi'ah,

ketahui penghuninya sedang diazab. Andaikata hal ini sesuatu yang disyari'atkan tentu
beliau SAW akan melakukan hal serupa pada setiap kuburan. Disamping itu para pemuka
sahabat -seperti para khalifah- tidaklah melakukan hal itu, padahal mereka lebih mengerti
tentang sunnah dibandingkan Buraidah, semoga Allah meridhai mereka semuanya.

2 7 2 — FATHUL BAARI
"Bahwasanya Nabi SAW melewati dua kuburan bani Najjar yang
keduanya meninggal di masa jahiliyah. lalu beliau SAW mendengar
keduanya sedang disiksa lantaran kencing dan namimah (mengadu
domba)." Abu Musa menegaskan, "Hadits ini meskipun tidak akurat
namun maknanya dapat dibenarkan, sebab jika keduanya adalah muslim
tentu syafaat beliau selama kedua pelepah belum kering akan kehilangan
makna. Akan tetapi ketika beliau SAW melihat kedua orang kafir itu
sedang disiksa, rasa kasih sayang dan rahmatnya mendorongnya untuk
berlaku baik kepada keduanya. Maka, beliaupun memberi syafaat pada
keduanya selama waktu yang disebutkan."

Namun Ibnu Athar dalam kitab Syar Al Umdah menegaskan bahwa


kedua orang itu adalah muslim. Beliau berkata, "Tidak boleh mengatakan
bahwa keduanya adalah kafir, sebab kalau keduanya kafir tentu beliau
SAW tidak akan mendoakan keduanya dan tidak pula mengharapkan
diringankan siksa keduanya. Begitu juga apabila hal itu termasuk
kekhususan baginya, tentu telah beliau jelaskan. Seperti pada kisah Abu
Thalib."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Apa yang beliau katakan di bagian
akhir merupakan jawaban bagi pendapatnya sendiri. Penjelasan yang
beliau pertanyakan sesungguhnya telah ada, karena perkataan yang
khusus tidak mesti disebutkan secara tekstual. Akan tetapi, hadits yang
dijadikan hujjah oleh Abu Musa derajatnya lemah sebagai-mana
pengakuan beliau sendiri. Lalu hadits itu diriwayatkan pula oleh Ahmad
dengan silsilah periwayatan yang memenuhi syarat Imam Muslim, namun
tidak disebutkan sebab penyiksaan. Lafazh mengenai hal itu termasuk di
antara kesalahan periwayatan Abu Lahi'ah. Riwayat Imam Ahmad ini
sejalan dengan hadits Jabir yang panjang yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim seperti yang telah kami sebutkan. Kemungkinan keduanya adalah
kafir pada riwayat tersebut cukup jelas."

Adapun yang nampak dari seluruh jalur periwayatan Imam Bukhari


di bab ini, bahwa keduanya adalah muslim. Dalam riwayat Ibnu Majah
dikatakan, "Beliau melewati dua kuburan yang baru", sehingga tidak
mungkin kedua orang itu mati pada masa jahiliyah. Sementara dalam
riwayat Abu Umamah yang dinukil oleh Imam Ahmad disebutkan,
"Bahwa Nabi SAW melewati Al Baqi' maka beliau bersabda, 'Siapakah
yang kamu kuburkan hari ini di tempat iniV" Hal ini mengindikasikan
bahwa keduanya adalah muslim, sebab Al Baqi' adalah pekuburan orang-

FATHUL BAARI — 273


orang Islam. Pertanyaan ini juga ditujukan kepada orang-orang muslim,
sementara menjadi kebiasaan bahwa suatu jenazah diurus oleh mereka
yang seagama dengannya.
Pendapat yang mengatakan keduanya adalah muslim diperkuat lagi
oleh riwayat Abu Bakrah yang juga dinukil oleh Imam Ahmad dan
Thabrani dengan sanad yang shahih, "Keduanya disiksa, dan tidaklah
keduanya disiksa karena dosa besar" Lalu beliau SAW melanjutkan,
"Bahkan (itu adalah dosa besar), dan tidaklah keduanya disiksa
melainkan karena membicarakan aib orang lain dan masalah kencing"
Lafazh yang membatasi bahwa keduanya hanya disiksa karena kedua hal
itu, menghapus kemungkinan bahwa kedua orang itu adalah kafir. Sebab
seorang kafir meskipun disiksa karena meninggalkan hukum-hukum
Islam, ia juga disiksa karena kekafirannya.

Dalam hadits ini terdapat faidah-faidah selain yang telah disebut-


kan, di antaranya; pertama, menetapkan adanya adzab (siksa) kubur yang
akan dibahas pada bab "Al Jana'iz". Kedua, peringatan agar waspada
terhadap percikan kencing dan seluruh jenis najis supaya tidak mengenai
badan atau pakaian. Ketiga, hadits ini dijadikan dalil wajibnya
menghilangkan najis, berbeda dengan pandangan sebagian orang yang
mengkhususkan kewajiban tersebut pada saat seseorang hendak
melakukan shalat, wallahu a'lam.

KAMMJNGWHMUN

2 7 4 — FATHUL BAARI
56. Membersihkan Kencing

.(j-LuI J ^ L^JT'

Nabi SAW bersabda tentang penghuni kubur, "/a tidak menutup


diri dari kencing," dan beliau tidak menyebutkan selain kencing
manusia.

; 1 ^ ' 4JLJ I 4. j^liJ bl 2§? ^ 1 jLST J l i dJUC ^.Jl j &

. 4j J^JtJ

217. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, "Biasanya


Nabi SA W apabila buang hajat, aku membawakan air untuknya,
maka beliau bersuci dengan air itu."

Keterangan Hadits:

*—'y. j — ?'yj-—~>'i Ci\—T (Ia tidak menutup diri dari kencing) ini
merupakan isyarat hadits sebelumnya.

iy\—31 J j — ' ij'j—-y °j—j»Jj (Dan beliau tidak menyebutkan selain


kencing manusia) Ibnu Baththal berkata, "Maksud Imam Bukhari, bahwa
yang dimaksud dengan sabda beliau, "Ia tidak menutup diri dari
kencing," adalah kencing manusia dan bukan kencing hewan. Maka
hadits ini tidak menjadi hujjah bagi mereka yang memahaminya secara
umum, yaitu (kencing) seluruh jenis hewan. Seakan-akan Imam Bukhari
membantah Al Khaththabi yang mengatakan, 'Ini merupakan dalil bahwa

FATHUL BAARI — 275


seluruh kencing adalah najis.' Adapun inti bantahan tersebut adalah,
sesungguhnya ungkapan umum yang terdapat dalam kalimat, J j-P> 'j»
(dari kencing) memiliki makna khusus berdasarkan sabda beliau SAW,
*—'y 'o* (dari kencingnya). Yakni, kencing orang yang disiksa itu sendiri.
Namun hukum ini mencakup juga air kencing lain, yaitu manusia secara
keseluruhan, karena tidak ada perbedaan antara orang itu dengan manusia
lainnya."
Lalu beliau menambahkan, "Demikian pula halnya dengan hewan
yang tidak dimakan. Adapun hewan yang dimakan dagingnya maka tidak
ada hujjah dalam hadits ini bagi mereka yang menganggap kencingnya
adalah najis. Sementara bagi mereka yang mengatakan air kencing hewan
yang dimakan dagingnya, adalah suci memiliki sejumlah dalil yang lain."
Sementara Imam Al Qurthubi berkata, "Perkataan Imam Bukhari, Jjji j?
(Dari kencing), adalah lafazh tunggal yang tidak mengandung makna
umum. Andaikata tetap dikatakan bahwa lafazh tersebut mengandung
makna umum, maka makna tersebut telah dibatasi oleh dalil-dalil yang
menyatakan sucinya air kencing hewan yang dimakan dagingnya."
Pembahasan mengenai hadits ini telah dijelaskan pada bab "Istinja"
dengan air". Sementara di sini Imam Bukhari menggunakan hadits ini
sebagai dalil untuk membersihkan kencing, lebih umum daripada istinja",
sehingga tidak dianggap sebagai suatu pengulangan.

Bab

& y' ^ , S S S Q I)" -l'- £ Z 5 "S ' Z

»j jb'JJTJ Ll^jl : J l i i jJu_ i$fb ^ J l y> J l i

y • s & s •? 9 s 4 ' £ s * £ ' '

^jii^o AJJ«J : J l i iJuk cJLo jiJ AUI J _ J ^ - J IJ :ljJli olb>-lJ JS"

2 7 6 — FATHUL BAARI
218. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Nabi SAW
melewati dua kuburan, maka beliau bersabda, 'Sesungguhnya
keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa karena
dosa besar. Adapun salah satunya karena terbiasa tidak menutup
diri dari kencing, sedangkan yang lainnya karena selalu menjadi
tukang adu domba.' Kemudian beliau SA W mengambil pelepah
yang masih basah lalu dibelah menjadi dua. Lalu beliau
menancapkan pada setiap kuburan satu pelepah. Para sahabat
bertanya, 'Mengapa engkau melakukan hal ini wahai Rasulullah?'
Beliau SAW bersabda, 'Semoga siksa keduanya diringankan
selama pelepah ini belum kering:"

Ibnu Al Mutsanna berkata, "Telah menceritakan kepada


kami W aki'." Ia berkata, 'Telah menceritakan kepada kami Al
A 'masy. " Ia berkata, "Aku mendengar Mujahid... "dan seterusnya
seperti hadits di atas.

Keterangan Hadits
(Bab), demikian yang tercantum dalam riwayat Abu Dzar. Kami
telah menjelaskan bahwa fungsi bab tanpa judul seperti ini adalah untuk
memisahkan antara pembahasan sebelumnya dengan pembahasan
selanjutnya, namun keduanya masih mempunyai hubungan yang sangat
erat. Penetapan dalil dari hadits ini nampak jelas untuk menunjukkan
wajibnya membersihkan kencing. Akan tetapi telah disebutkan pula
keringanan bagi seseorang yang istijmar (cebok dengan menggunakan
batu), sehingga hadits ini juga menjadi dalil wajibnya membersihkan air
kencing di sekitar tempat keluarnya.

j'j—*& (Beliau tancapkan). Dalam riwayat W a k i ' dalam bab "Al

A d a b " disebutkan dengan lafazh, Jj—i» dan keduanya memiliki makna

FATHUL BAARI — 277


yang sama. Lalu disebutkan oleh Sa'duddin Al Haritsi, bahwa pelepah itu
ditancapkan di bagian kepala orang yang dikubur, dan beliau mengatakan
sesungguhnya keterangan ini disebutkan melalui silsilah periwayatan
yang shahih. Seakan-akan beliau mengisyaratkan kepada hadits Abu
Hurairah yang dinukil oleh Ibnu Hibban sebagaimana lafazhnya telah
kami sebutkan. Kemudian aku menemukan lafazh demikian secara tegas
dalam Musnad Abdu bin Humaid melalui jalur Abdul Wahid bin Ziyad
dari Al A'masy dalam hadits Ibnu Abbas.

£—:f j >—U-i-j ^J&i^'J>)Jtfj {Ibnu AlMutsanna berkata, "Dan telah


menceritakan kepada kami Waki. ") Maksud Imam Bukhari menyebutkan
silsilah periwayatan ini, karena dalam jalur ini disebutkan secara tegas
bahwa Al A'masy telah mendengar hadits ini secara langsung, berbeda
dengan jalur yang lain. Adapun pembahasan materi (matan) hadits ini
telah disebutkan pada bab sebelumnya.

57. Nabi SAW dan Orang-orang Membiarkan


Seorang Arab Badui Menyelesaikan Kencingnya di
Masjid

o's lis ' s s ' ' s ' ' ' > ' ' ' '

.AIIP tC>j lio r j* b[ i jy- ey>2 : JUi

219. Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwasanya Nabi SAW


melihat seorang Arab badui kencing di masjid, maka beliau
bersabda, "Biarkanlah dia. "Hingga setelah selesai kencing beliau
SAW minta dibawakan air lalu disiramkan ke tempat kencing
tersebut"

2 7 8 — FATHUL BAARI
K e t e r a n g a n Hadits:
(Nabi SAW dan orang-orang membiarkan orang Arab Badui),
^s—>yjf-^ adalah bentuk jamak (plural) dari kata ^—(jt- sementara yang

dimaksud dengan ^—(f adalah orang yang tinggal di tempat terpencil


seperti pedusunan, baik bangsa Arab maupun non-Arab.
Hanya saja mereka membiarkan Arab badui itu kencing di masjid,
sebab ia telah mulai melakukan suatu perkara yang tidak benar.
Andaikata dicegah saat itu juga, maka dampak buruk akibat perbuatan itu
akan semakin bertambah. Sementara bila dibiarkan, hanya akan me-
ngotori satu bagian tertentu dari masjid. Seandainya dicegah, maka hanya
ada dua kemungkinan; ia menghentikan kencingnya sehingga menimbul-
kan efek tidak baik baginya, atau ia tidak menghentikannya sehingga
tidak dijamin bahwa kencing tersebut tidak akan mengenai badan dan
pakaiannya ataupun tempat-tempat lain di masjid.

\ lijii CJS'J {Melihat seorang Arab badui). Diriwayatkan oleh Abu


Bakar At-Tarikhi dari Abdullah bin Nafi' Al Mazini, bahwa orang
tersebut bernama Al Aqra' bin Habis At-Tamimi sebagaimana yang akan
dijelaskan.

^ ^ (Hingga), yakni mereka membiarkan orang itu hingga


menyelesaikan kencingnya. Maka ketika selesai, Nabi SAW minta
dibawakan air (yakni di ember besar).

i-JLai (Disiramkannya). Beliau memerintahkan untuk menyiramkan


air tersebut ke tempat kencing orang tersebut, dan hal ini akan dijelaskan.
Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini melalui jalur Ikrimah
bin Ammar dari Ishaq, dimana beliau menyebutkannya secara panjang
lebar dengan kandungan yang sama seperti yang telah kami terangkan.
Hanya saja beliau menambahkan dalam riwayatnya, "Kemudian Nabi
SAW memanggilnya dan bersabda kepadanya, 'Sesungguhnya masjid-
masjid ini tidak pantas untuk tempat kencing dan buang kotoran.
Sesungguhnya ia hanyalah sebagai tempat dzikir kepada Allah, shalat
dan membaca Al Qur'an.''" Adapun faidah hadits ini akan kami sebutkan
pada bab berikutnya, insya Allah.

FATHUL BAARI — 279


58. Menyiram Kencing Di Masjid dengan Air

y y y y y ^ y i' y y & $

i - t I - ^ y 3y •* * AO y 9 ^ yof O . . 9y > 9 >. A OyJ- O y

.*L__» : J U 0 jl j* \J\ J l ^ yu~s ^ <U1P 4jJ| JL^P 4JUI J t ~ P ^


* ' '

' j * j! '

* ' > o r / * '>


^ - U V » iyxJi -J J ^ j — w »

220. Telah diriwayatkan dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah


bin Mas 'ud, bahwasanya Abu Hurairah RA berkata, "Seorang
Arab badui berdiri lalu kencing di masjid, orang-orang pun
mencegahnya. Maka Nabi SAW bersabda kepada mereka,
'Biarkanlah dia, dan siramlah kencingnya dengan satu timba air -
atau satu ember air- karena sesungguhnya kamu diutus untuk
memberi kemudahan dan tidaklah kamu diutus untuk membuat
kesulitan:''''

Keterangan Hadits:

^—Ajb-\ ^1—J (Seorang Arab badui berdiri). Ditambahkan oleh Ibnu


Uyainah dalam riwayat Imam Tirmidzi dan selainnya di bagian awalnya
dengan mengatakan, "Bahwasanya orang itu shalat kemudian berdoa, 'Ya
Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau memberi
rahmat seorang pun bersama kami.' Maka Nabi SAW bersabda
kepadanya, 'Sungguh engkau telah menutup sesuatu yang sangat luas:
Lalu tidak lama setelah itu orang tersebut kencing di masjid."
Tambahan seperti ini akan disebutkan pula oleh Imam Bukhari
secara tersendiri dalam bab "Al Adab" melalui jalur Az-Zuhri dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah. Telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah
dan Ibnu Hibban secara lengkap melalui jalur Muhammad bin Amr dari

2 8 0 — FATHUL BAARI
Abu Salamah dari Abu Hurairah RA. Demikian pula halnya dengan
riwayat Ibnu Majah dari hadits Watsilah bin Al Asqa'.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Musa Al Madini dalam kitab
Ash-Shahabah melalui jalur Muhammad bin Amru bin Atha' dari
Sulaiman bin Yasar. Ia berkata, "Datang dzul Khuwaisharah Al Yamani,
seorang yang tidak mengenal sopan santun." Lalu beliau menyebutkan
kisah yang dimaksud secara lengkap, namun hanya dari segi maknanya
disertai tambahan keterangan. Akan tetapi, derajat riwayat itu sendiri
adalah mursal (tidak disebutkan nama sahabat yang meriwayatkannya).
Di samping itu dalam silsilah periwayatannya terdapat seorang perawi
yang tidak disebutkan secara transparan, yaitu perawi yang berada di
antara Muhammad bin Ishaq dan Muhammad bin Amru bin Atha".

Lalu Abu Musa meriwayatkan pula hadits ini melalui jalur Al


Asham dari Abu Zur'ah Ad-Dimasyqi dari Ahmad bin Khalid Adz-
Dzahabi dari Sulaiman bin Yasar. Kemudian hadits ini disebutkan pula
dalam kitab Kumpulan Musnad Ibnu Ishaq oleh Abu Zur'ah Ad-
Dimasyqi dari jalur para ulama Syam dari Ibnu lshaq, selanjutnya sama
seperti jalur periwayatan tersebut di atas. Akan tetapi dikatakan di bagian
awalnya, "Datang Dzul Khuwaisharah At-Tamimi, seorang yang tidak
mengenal sopan santun." Sementara At-Tamimi adalah Harqus bin
Zuhair yang kelak menjadi pemimpin golongan Khawarij. Untuk itu
sebagian ulama membedakan antara At-Tamimi dengan Al Yamani, akan
tetapi kisah ini memiliki sumber yang akurat.

Dari riwayat ini dapat diketahui nama orang badui yang dimaksud,
sementara telah disebutkan perkataan At-Tarikhi bahwa namanya adalah
Al Aqra'. Kemudian dinukil dari Abu Al Husain bin Faris bahwa nama
orang tersebut adalah Uyainah bin Hishn, wallahu a 'lam.

y\ 3i <djl3 (Orang-orangpun mencegahnya), yakni dengan lisan


(ucapan) mereka. Sementara dalam riwayat Imam Bukhari dalam bab "Al
Adab" disebutkan, "Maka orang-orang bergerak mendekatinya." Lalu
beliau menyebutkan pula dari hadits Anas, "Maka mereka berdiri menuju
kepadanya." Dalam riwayat Al Isma'ili dikatakan, "Maka para
sahabatnya hendak mencegahnya." Kemudian dalam riwayat Anas
disebutkan, "Maka orang-orang melarangnya."
Diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dari jalur Abdan -salah seorang
guru Imam Bukhari- dengan lafazh, "Maka orang-orang dengan suara

FATHUL BAARI — 281


lantang menegurnya." Demikian pula yang dinukil oleh An-Nasa'i dari
jalur Ibnu Mubarak. Dari riwayat-riwayat ini menjadi jelas bahwa
pencegahan yang dilakukan oleh para sahabat adalah dengan lisan
mereka dan bukan dengan menggunakan tangan (kekerasan). Sementara
itu dalam riwayat Imam Muslim dari jalur Ishaq dari Anas disebutkan,
"Maka para sahabat berkata kepadanya, 'berhenti... berhenti...!"'

J,—suJ (—iJ^s (Karena sesungguhnya kamu diutus) Penisbatan kata


"diutus" kepada para sahabat hanyalah dalam bentuk majaz (kiasan),
karena sesungguhnya beliau SAW yang diutus mengemban misi seperti
itu. Akan tetapi oleh karena para sahabat merupakan penyambung lidah
beliau SAW baik di saat masih hidup maupun setelah wafatnya, maka
apa yang menjadi misi beliau dinisbatkan pula kepada para sahabatnya.
Sebab para sahabat dibebani misi demikian oleh beliau SAW.
Demikianlah yang selalu beliau SAW lakukan setiap kali mengutus
seseorang ke setiap pelosok, dimana beliau SAW senantiasa bersabda,
"Permudahlah dan jangan mempersulit."

; Jl » JL*~> JJ L5 r** . J
J^* ^ -4^ Jli Jl-UP UJJJ>-
9
' ' y ° J F * y -I T I y F O

(j^_ji j * ^) m y i J - ±sx* J. o i j -
y y F y y, y y y y y,

j ^ j * . i>H
LS 'J- jLoli— 12J^-J Jli J ^ -
4
,jj LuJo-

Jb* ~Ul «LAJUS» J) J l i » jCJsA «-li- J l i yJLHI» j * C J I W

^> Jjo £§l ^J!5l Y>\ 4?J J^AI l l i i %i " J}\


LI j^fcl^I» (_/-l^l o
^ " y " y

y y 0 l'

221. Abdan Telah menceritakan kepada kami, telah mengabarkan


kepada kami Abdullah, telah mengabarkan kepada kami Yahya bin
Sa 'id, ia berkata, "Aku mendengar Anas bin Malik menceritakan
hadits dari Nabi SAW... (Bab Menyiram Kencing Dengan Air)."
Telah menceritakan kepada kami Khalid, telah menceritakan
kepada kami Sulaiman dari Yahya bin Sa 'id, ia berkata, "Aku

2 8 2 — FATHUL BAARI
mendengar Anas bin Malik berkata, 'Seorang Arab badui datang
dan kencing di salah satu bagian masjid, maka orang-orang
melarang dan mncelanya, lalu Nabi SAW melarang mereka
(melakukan hal itu). Ketika orang itu selesai kencing, Nabi SA W
memerintahkan untuk dibawakan satu timba air lalu disiramkan ke
tempat kencing tersebut:"

Keterangan Hadits:

* Ui J—1P I — ( A b d u l l a h Telah mengabarkan kepada kami)


maksudnya adalah Abdullah bin Mubarak. Sedangkan yang dimaksud
dengan Yahya di sini adalah Yahya bin Sa'id Al Anshari.

jJi—'f i — ( K h a l i d telah menceritakan kepada kami) lafazh ini


dikaitkan dengan lafazh, "Abdan telah menceritakan kepada kami."
Sementara Sulaiman yang disebutkan dalam silsilah periwayatan ini
adalah Sulaiman bin Bilal. Tampak bahwa teks hadits ini adalah menurut
versi Sulaiman bin Bilal, sebab lafazh versi Abdan sedikit berbeda
dengan versi beliau sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya,
yakni lafazh menurut riwayat Abdan dinukil oleh Imam An-Nasa'i.

* (Maka Nabi SAW melarang mereka) dalam riwayat Abdan


disebutkan, "Nabi SAW bersabda, 'Biarkanlah dia,' maka orang-orang
pun membiarkannya."

Pelajaran yang dapat diambil


Pertama, menjaga diri dari najis telah mendapatkan tempat
tersendiri dalam jiwa para sahabat, sehingga mereka dengan segera
mengingkari perbuatan orang Arab badui tersebut di hadapan Nabi SAW
sebelum diizinkan oleh beliau SAW. Di samping itu, perkara amar
ma 'rufnahi munkar telah demikian mendarah daging dalam jiwa mereka.

Kedua, hadits ini dijadikan pula sebagai landasan bolehnya


berpegang (berpedoman) dengan dalil-dalil yang bersifat umum sebelum
ditemukan dalil-dalil bersifat khusus. Ibnu Daqiq Al Id berkata,
"Pandangan yang lebih kuat menyatakan bahwa berpegang (berpedoman)
dengan dalil-dalil yang bersifat umum menjadi kemestian bagi seorang

FATHUL BAARI — 283


mujtahid meskipun ada kemungkinan adanya dalil-dalil yang bersifat
khusus dalam perkara yang dimaksud, dan tidak wajib bagi seseorang
untuk menahan diri untuk mengamalkan hadits-hadits yang bersifat
umum karena alasan kemungkinan tersebut. Hal ini karena para ulama di
berbagai pelosok senantiasa berfatwa berlandaskan dalil-dalil yang
bersifat umum tanpa menahan diri untuk mengamalkannya demi meneliti
dan mencari terlebih dahulu dalil-dalil yang bersifat khusus. Pandangan
demikian diperkuat oleh kisah dalam hadits ini, dimana Nabi SAW tidak
mengingkari perbuatan para sahabat dengan mengatakan, 'Mengapa
kalian mengingkari perbuatan orang Arab badui iniV Bahkan beliau
SAW memerintahkan para sahabat untuk menahan diri demi tercapainya
suatu maslahat yang jauh lebih besar, yaitu menghindari salah satu dari
dua mafsadat (kerusakan) dengan jalan melakukan yang paling ringan
resikonya di antara kedua kerusakan tersebut, atau mendapatkan kemas-
lahatan (kebaikan) terbanyak dengan jalan meninggalkan kemaslahatan
yang sedikit."

Ketiga, keharusan bersegera menghilangkan mafsadat (kerusakan)


apabila halangan untuk itu sudah tidak ada. Hal ini didasarkan pada
perintah beliau SAW untuk menyiram bekas kencing orang Arab badui
setelah selesai.
Keempat, menentukan air sebagai alat untuk menghilangkan najis.
Sebab jika tiupan angin atau pancaran sinar matahari yang dapat
mengeringkan tempat tersebut bisa mensucikannya, tentu beliau SAW
tidak perlu membebani para sahabatnya agar membawakan air untuk
menyiramnya.
Kelima, air yang digunakan untuk membersihkan najis yang ada di
tanah hukumnya suci, lalu diikutkan juga hukum najis yang tidak terletak
di tanah. Sebab tanah yang basah bekas disiram air tersebut termasuk air
yang digunakan membersihkan najis, apabila tidak ada keterangan bahwa
mereka mengangkat tanah yang dikencingi itu. Sementara telah diketahui
bahwa maksud disiramnya tempat tersebut adalah untuk mensucikannya,
maka menjadi jelas bahwa tanah basah tersebut hukumnya adalah suci.
Jika hukumnya suci, maka air yang terpisah dari air yang digunakan
membersihkan najis tersebut hukumnya suci pula karena tidak adanya
perbedaan di antara keduanya. Al Muwaffiq (Ibnu Qudamah -penerj)
berkata dalam kitab Al Mughni setelah menukil perselisihan dalam hal
itu, "Yang paling tepat adalah pendapat yang mengatakan air yang

2 8 4 — FATHUL BAARI
digunakan membersihkan najis adalah suci secara mutlak (tanpa batasan
tertentu), sebab Nabi SAW tidak mensyaratkan sesuatupun saat
menyiram kencing orang Arab badui tersebut."
Keenam, berlaku lembut terhadap orang yang tidak tahu dan
mengajarinya mengenai perkara yang mesti dilakukannya tanpa diiringi
kekerasan jika perbuatan tersebut tidak dilakukannya dalam rangka
pembangkangan. Perlakuan lembut seperti ini lebih dianjurkan untuk
dilakukan terhadap mereka yang perlu dilunakkan hatinya.
Ketujuh, penjelasan tentang kasih sayang dan kelembutan Nabi
SAW serta kebaikan akhlaknya. Disebutkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu
Hibban dalam hadits Abu Hurairah RA, "Setelah orang Arab badui
tersebut memahami ajaran Islam, dia berdiri menghampiri Nabi SAW
seraya berkata, 'Demi bapak dan ibuku, sungguh engkau tidak berlaku
kasar dan tidak mencela.'"
Kedelapan, mengagungkan masjid serta membersihkannya dari
kotoran. Sementara itu menurut konteks hadits Anas bin Malik yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim memberi indikasi tidak boleh melaku-
kan sesuatu di masjid selain apa-apa yang telah disebutkan, yaitu shalat,
membaca Al Qur~an dan dzikir. Tidak diragukan lagi bahwa melakukan
hal-hal selain yang disebutkan atau yang tidak semakna dengannya,
termasuk perbuatan mengesampingkan perkara yang lebih utama,
wallahu a 'lam.
Kesembilan, tanah menjadi suci apabila telah disiram air tanpa
harus digali. Berbeda dengan pandangan ulama Hanafi yang mengatakan,
"Tanah tersebut tetap tidak dianggap suci kecuali bila digali." Demikian
Imam Nawawi dan selainnya menyebutkan pendapat madzhab Hanafi
tanpa perincian lebih lanjut. Sementara pendapat yang disebutkan dalam
kitab-kitab madzhab Hanafi terdapat perincian; apabila tanah tersebut
gembur, dimana air dapat meresap ke dalamnya maka tidak perlu digali.
Sedangkan jika tanahnya keras dan air sulit meresap, maka harus digali
dan membuang tanah galian tersebut. Sebab dalam kondisi demikian, air
tidak mampu membasahi bagian atas dan bawah-nya. Mereka mendasari
pendapat ini dengan hadits yang dinukil melalui tiga jalur periwayatan;
salah satunya diriwayatkan melalui Ibnu Mas'ud dengan silsilah yang
bersambung sampai kepada Nabi SAW, sebagai-mana dinukil oleh At-
Thahawi. Akan tetapi jalur periwayatannya lemah, seperti dikatakan oleh
Imam Ahmad dan lainnya. Adapun dua jalur yang lain, masuk dalam

FATHUL BAARI — 285


kategori riwayat mursal (yakni suatu riwayat yang tidak disebutkan nama
sahabat yang meriwayatkan dari Nabi SAW ataupun periwayat sebelum
sahabat -penerj). Salah satunya dikutip oleh Abu Dawud melalui jalur
Abdullah bin Ma'qil bin Muqrin, sementara satunya lagi diriwayatkan
melalui jalur Sa'id bin Manshur melalui Thawus, dimana para perawi
kedua jalur ini termasuk orang-orang tsiqah (terpercaya).

Ketiga riwayat ini mengharuskan mereka yang berpandangan


bahwa riwayat-riwayat mursal dapat dijadikan hujjah (landasan argumen-
tasi) untuk mengatakan seperti pendapat ulama Hanafi, demikian pula
bagi mereka yang berpendapat bahwa riwayat mursal dapat menjadi
hujjah apabila didukung oleh jalur periwayatan lain yang bersambung
kepada Nabi SAW. Adapun Imam Syafi'i berpandangan bahwa riwayat-
riwayat mursal tidak dapat dijadikan hujjah meski didukung oleh jalur
lain yang bersambung sampai kepada Nabi, kecuali bila perawi yang
langsung menisbatkan hadits tersebut kepada nabi SAW tergolong pem-
besar tabi'in. Di samping itu, apabila ia menjelaskan perawi yang sengaja
tidak disebutkan dalam jalur periwayatannya, maka yang ia sebut
hanyalah para perawi yang tsiqah. Semua persyaratan ini tidak ditemukan
dalam kedua hadits mursal tersebut, sebagaimana yang dapat dipahami
dari kedua jalur periwayatan tersebut, wallahu a'lam. Pembahasan
selanjut nya mengenai faidah hadits ini akan dijelaskan pada bab "Adab",
insya Allah.

59. Kencing Bayi Laki-Laki

2 8 6 — FATHUL BAARI
222. Diriwayatkan dari Aisyah -ummul mukminin- bahwa ia
berkata, 'Dibawakan kepada Nabi SAW seorang bayi laki-laki,
lalu ia kencing di baju Nabi SAW, maka Nabi SAW minta
dibawakan air lalu beliau memercikinya dengan air tersebut."

Keterangan Hadits:
(Kencing bayi laki-laki) Yakni apakah hukumnya, dan apakah
termasuk juga kencing bayi perempuan atau tidak? Telah diri-wayatkan
sejumlah hadits yang membedakan hukum keduanya, namun hadits-
hadits tersebut tidak memenuhi syarat hadits shahih yang disebut-kan
dalam kitab Shahih Bukhari. Di antara hadits tersebut adalah hadits Ali
RA dari Nabi SAW tentang air kencing anak yang masih menyusui, "Air
kencing bayi laki-laki disiram dan air kencing bayi perempuan dicuci."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan para penulis kitab Sunan -
kecuali Nasa'i- melalui jalur periwayatan Hisyam dari Qatadah dari Abu
Harb bin Abu Al Aswad dari bapaknya dari Ali RA. Lalu Qatadah
menjelaskan, "Hal seperti ini berlaku selama keduanya belum makan
makanan." Silsilah periwayatan hadits ini tergolong shahih. Kemudian
hadits ini diriwayatkan pula oleh Sa'id dari Qatadah, namun silsilah
periwayatannya hanya sampai kepada Ali RA (mauquj). Akan tetapi, hal
ini tidak menyebabkan cacat yang mengurangi keakuratan hadits tersebut.
Riwayat lain adalah hadits Lubabah binti Al Harits dari Nabi SAW,
"Sesungguhnya air kencing bayi perempuan dicuci dan air kencing bayi
laki-laki disiram." Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan
Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainya. Senada
dengan itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Samah dengan
lafazh "Diperciki", sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-
Nasa'i serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.

| j - r 4 (Seorang bayi laki-laki) Nampak bagiku bahwa bayi laki-laki


yang dimaksud adalah putra Ummu Qais seperti akan disebutkan nanti,
namun ada pula kemungkinan bayi laki-laki yang dimaksud di sini adalah
Hasan bin Ali atau Husein bin Ali. Karena telah diriwayatkan oleh Imam
Thabrani dalam kitab Al Ausath dari hadits Ummu Salamah dengan
silsilah periwayatan hasan (baik), beliau berkata, "Hasan -atau Husein-
kencing di perut Nabi SAW, maka beliau membiarkannya hingga selesai.
Kemudian beliau minta dibawakan air lalu disiramkannya ke tempat

FATHUL BAARI — 287


kencing tersebut." hadits yang serupa diriwayatkan pula oleh Imam
Ahmad dan selainnya. Lalu diriwayatkan oleh Thahawi melalui jalur ini
dimana dikatakan, "Didatangkan Hasan... " dan seterusnya tanpa ada
lafazh yang menunjukkan unsur keragu-raguan. Demikian pula yang
dinukil oleh Ath-Thabrani dari jalur Abu Umamah.
Hanya saja aku lebih cenderung mengatakan bahwa bayi laki-laki
yang disebutkan pada hadits di bab ini adalah selain Hasan, karena Imam
Bukhari menyebutkan dalam kitab Aqiqah melalui jalur Yahya Al
Qaththan dari Hisyam bin Urwah, "Didatangkan kepada Nabi SAW
seorang bayi untuk beliau tahnik. " Dalam riwayat lain dikatakan, bayi
!>

tersebut kencing di pakaian beliau SAW. Sementara kisah Hasan dalam


hadits Abu Laila dan Ummu Salamah disebutkan bahwa Hasan kencing
di perut nabi SAW. Demikian pula dalam hadits Zainab binti Jahsy yang
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani disebutkan, "Bahwasanya Hasan datang
dengan merangkak sementara nabi SAW sedang tidur. Lalu Hasan
menaikinya seraya meletakkan kemaluannya di atas pusar beliau SAW
kemudian ia kencing." Dari sini nampak jelas perbedaan antara kisah
Hasan dengan hadits di atas.

*—ivfti (Lalu beliau memercikinya), yakni beliau SAW menelusuri


bekas kencing yang ada di kainnya lalu menyiramnya dengan air. Imam
Muslim melalui jalur Abdullah bin Namir dari Hisyam menambahkan,
"Beliau memercikinya namun tidak mencucinya." Sementara dalam
riwayat Ibnu Mundzir dari jalur Ats-Tsauri dari Hisyam disebutkan, "lalu
beliau menuangkan air ke atasnya" Dalam riwayat Thahawi melalui
jalur Za'idah Ats-Tsaqafi dari Hisyam, "Lalu beliau menyiram di
atasnya"

Tahnik adalah mengoles langit-langit (dalam mulut) bayi yang baru lahir dengan kurma
yang telah dihaluskan, penerj.

2 8 8 — FATHUL BAARI
223. Telah diriwayatkan dari Ummu Qais binti Mihshan, bahwa
beliau datang sambil membawa anaknya yang masih kecil yang
belum makan makanan menemui Rasulullah SAW. Maka
Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya, lalu anak kecil
tersebut kencing di pakaian beliau. Akhirnya nabi SAW minta
dibawakan air, kemudian disiramkan tanpa mencucinya:''

K e t e r a n g a n Hadits:

j-—=* f' J * {Dari Ummu Qais). Ibnu Abdil Barr berkata, "Namanya
adalah Jadzamah." Namun menurut As-Suhaili namanya adalah Aminah,
saudara perempuan Ukasyah bin Mihshan Al Asadi, yang termasuk
golongan para wanita yang pertama melakukan hijrah, sebagai-mana
disebutkan dalam Shahih Muslim melalui jalur Yunus dari Ibnu Syihab
sehubungan dengan hadits ini. Hadits yang beliau riwayatkan dalam kitab
Shahih Bukhari Muslim hanyalah hadits ini dan satu lagi dalam kitab
Thibb (ilmu medis), akan tetapi pada kedua riwayat itu hanya berkenaan
dengan kisah anaknya. Sedangkan anaknya sendiri meninggal pada masa
Nabi SAW dalam usia yang masih kecil seperti disebutkan oleh An-
Nasa'i, dan aku tidak menemukan nama anak itu.

ft—«i»Ji JS"i j (J (Belum makan makanan) Maksud makanan di sini


adalah segala sesuatu selain air susu ibu dan kurma yang dioleskan di
langit-langit mulutnya dan madu yang diberikan kepadanya dalam rangka
pengobatan. Maka maksud hadits itu adalah, bahwa anak itu belum
makan makanan yang mengenyangkannya selain air susu ibunya.
Demikianlah konsekuensi perkataan Imam An-Nawawi dalam kitab
Syarh Muslim dan Syarh Al Muhadzdzab. Namun dalam kitab Ar-
Raudhah, beliau memahaminya secara mutlak (sama seperti pendapat
penulis matan kitab tersebut), dimana beliau berpandangan bahwa
maksudnya adalah anak kecil yang belum makan dan minum (apa-apa)
kecuali air susu ibunya.

Lalu disebutkan dalam kitab Naktut-Tanbih, "Maksudnya, anak


kecil tersebut belum makan selain air susu serta kurma yang dioleskan di
langit-langitnya mulut maupun yang seperti itu." Kemudian Al Hamawi
dalam kitab Syarh At-Tanbih memahami perkataan penulis, "Belum
makan" sebagaimana makna tekstualnya, maka beliau berkata, "Artinya

FATHUL BAARI — 289


anak itu belum mampu menyuap makanan sendiri." Adapun menurut
pendapat kami makna pertama lebih sesuai, sebagaimana pendapat ini
ditegaskan oleh Ibnu Qudamah serta selain beliau.
Ibnu At-Tin berkata, "Ada kemungkinan yang dimaksud adalah
anak itu belum menjadikan makanan sebagai kebutuhan primernya dan
belum merasa cukup dengan makanan tersebut tanpa air susu ibunya.
Akan tetapi, ada pula kemungkinan bahwa Ummu Qais datang membawa
anaknya ke hadapan Nabi SAW sesaat setelah dilahirkan, sehingga
penafian (peniadaan) memakan makanan di sini dipahami sebagaimana
cakupannya yang bersifat umum. Pendapat ini diperkuat oleh penjelasan
sebelumnya, yaitu bahwa dalam riwayat Imam Bukhari dikatakan
kejadian itu berlangsung pada saat aqiqah.

*—~JJr-li (Maka Nabi mendudukkan anak itu) yakni beliau SAW


meletakkannya, jika kita mengatakan anak itu baru saja dilahirkan. Ada
pula kemungkinan anak itu duduk dengan sendirinya, jika kita mengata-
kan bahwa ia dalam usia merangkak seperti halnya Hasan saat itu.

j—>°y J* (Di pakaiannya), yakni pakaian nabi SAW. Sementara itu


Ibnu Sya'ban -ulama madzhab Maliki- mengemukakan pendapat yang
ganjil, dimana beliau berkata, "Yang dimaksud di sini adalah pakaian
anak itu sendiri." Yang paling tepat adalah pendapat pertama.

*—^-jaJ (Disiramnya dengan kadar yang ringan) Dalam riwayat


Muslim dari jalur Laits dari Ibnu Syihab disebutkan, "Beliau tidak
menambahkan kecuali sekedar menyiramnya dengan kadar yang
ringan." Kemudian masih dalam riwayat Muslim melalui jalur Ibnu
Uyainah dari Ibnu Syihab disebutkan, "Beliau memercikinya." Kemudian
ditambahkan oleh Abu Awanah dalam kitab Shahih-nya, "Di atasnya."
hanya saja tidak ada perselisihan di antara dua versi riwayat yang ada,
sebab awalnya beliau SAW memerciki tempat tersebut kemudian
berakhir dengan menyiramnya atau menuangkan air ke atasnya.
Keterangan ini diperkuat oleh riwayat Muslim dalam hadits Aisyah
melalui jalur Jarir dari Hisyam, "Maka beliau minta dibawakan air lalu
dituangkannya ke atasnya." Dalam riwayat Abu Awanah disebutkan,
"Beliau menuangkan air ke atas kencing seraya mengikuti bekas kencing
tersebut."

2 9 0 — FATHUL BAARI
il ~*J <—Ij (Tidak mencucinya). Menurut Al Ashili, lafazh ini
bersumber dari Ibnu Syihab (salah seorang perawi hadits ini), sementara
lafazh yang memiliki jalur sampai kepada Nabi SAW hanya sampai pada
perkataan, "Maka beliau menyiraminya.'" Lalu dia menambahkan,
"Lafazh terakhir ini diriwayatkan pula oleh M a ' m a r dari Ibnu Syihab,
sebagaimana riwayat serupa dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah, 'Maka beliau
memercikinya', tanpa ada tambahan apa-apa." Demikian perkataan Al
Ashili.

Akan tetapi dalam konteks lafazh riwayat M a ' m a r tidak ada


keterangan yang mengindikasikan bahwa lafazh "Tanpa mencucinya "
adalah perkataan Ibnu Syihab yang diselipkannya dalam hadits.
Sementara telah diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq dari Ma'mar sama
seperti konteks riwayat Malik tanpa disebutkan, "Tanpa mencucinya ".
lafazh seperti ini di samping disebutkan oleh Imam Malik, juga telah
dinukil oleh Laits, Amr bin Harits serta Yunus bin Yazid. Semuanya dari
Ibnu Syihab, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Khuzaimah, Al Isma'ili dan
selain keduanya melalui jalur Ibnu Wahb dari para perawi tersebut.
Adapun Imam Muslim hanya menukil riwayat Yunus.

Benar, bahwa Ma'mar telah menambahkan dalam riwayatnya,


"Ibnu Syihab berkata, 'Telah disunahkan untuk memerciki kencing bayi
laki-laki dan mencuci kencing bayi perempuan.'" Andaikata lafazh ini
yang ditambahkan oleh Imam Malik dan selainnya ke dalam riwayat
mereka, niscaya ada alasan untuk mengatakan bahwa dalam riwayat
mereka telah disisipi perkataan perawi hadits. Padahal yang ada bukan
lafazh ini, sehingga tidak ada perkataan perawi yang disisipkan pada
lafazh hadits di atas.

Adapun keterangan yang disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah tidak


ada kekhususan dalam hal itu, sebab yang demikian itu adalah lafazh
Ibnu Uyainah dari Ibnu Syihab. Sementara kami telah menyebutkan
bahwa riwayat tersebut juga dinukil oleh Imam Muslim dan selainnya,
disertai penjelasan bahwa ia tidak bertentangan dengan riwayat Imam
Malik, wallahu a 'lam.
Adapun faidah hadits ini, di antaranya; anjuran untuk bergaul
sesama manusia dengan baik serta bersikap rendah hati, berlaku lembut
dengan anak kecil, mengoles langit-langit mulut anak yang baru lahir
dengan kurma, mencari berkah dari orang-orang yang memiliki ke-

FATHUL BAARI — 291


utamaan dan membawa anak kecil ke hadapan mereka baik saat
dilahirkan maupun setelahnya, serta hukum kencing bayi laki-laki serta
bayi perempuan, dimana hal ini merupakan maksud bab di atas.
Adapun mengenai masalah terakhir, para ulama berbeda menjadi
tiga pendapat yang semuanya dapat ditemukan dalam madzhab Imam
Syafi'i. Pendapat paling tepat adalah cukup menyiramkan air pada
kencing bayi laki-laki dan tidak demikian dengan bayi perempuan. Ini
merupakan perkataan Atha', Al Hasan, Az-Zuhri, Ahmad, Ishaq, Ibnu
Wahb dan selain mereka, serta diriwayatkan oleh Al Walid bin Muslim
dari Imam Malik. Namun para pengikut beliau mengatakan bahwa
riwayat ini menyalahi pendapat yang lebih kuat dari beliau.

Pendapat kedua mengatakan, cukup menyiram keduanya (baik


kencing bayi laki-laki maupun perempuan). Ini merupakan madzhab Al
Auza'i dan dinukil dari Imam Malik dan Syafi'i. Namun Ibnu Al Arabi
mengkhususkan hal ini apabila belum ada apa-apa yang masuk dalam
rongga perut keduanya. Adapun pendapat ketiga mengatakan, kencing
keduanya hukumnya wajib dicuci. Demikianlah pen-dapat dalam
madzhab Hanafi dan Maliki.

Ibnu Daqiq Al Id berkata, "Kedua madzhab ini melandasi pendapat


mereka dengan qiyas (analogi) seraya memahami sabda beliau SAW.
"Tanpa mencucinya", dalam arti tidak mencuci secara berlebihan. Akan
tetapi pandangan ini menyalahi makna lahiriah lafazh hadits. Pandangan
ini semakin tipis kebenarannya apabila memperhatikan keterangan-
keterang-an yang terdapat dalam riwayat-riwayat lain -seperti yang telah
kami sebutkan- yang membedakan antara kencing bayi laki-laki dan bayi
perempuan, sementara pendapat kedua madzhab ini tidak membedakan
antara dua jenis kencing tersebut."

Kemudian beliau menambahkan, "Sehubungan dengan perbedaan


antara air kencing bayi laki-laki dan perempuan, telah disebutkan
sejumlah alasan yang di antaranya ada yang kurang argumentatif. Alasan
terkuat yang pernah dikemukakan adalah bahwa jiwa manusia lebih
terpikat dengan bayi laki-laki ketimbang bayi perempuan, sehingga diberi
keringanan pada bayi laki-laki karena adanya kesulitan."
Lalu ulama madzhab Maliki menggunakan hadits ini sebagai dalil
bahwa mencuci harus dalam bentuk perintah tersendiri dan tidak tercakup
dalam perintah mengalirkan air pada sesuatu yang dimaksudkan. Akan

2 9 2 — FATHUL BAARI
tetapi menurutku, pandangan mereka cukup rumit diterapkan dalam
madzhab mereka sendiri, sebab pada dasarnya mereka mengatakan
sesungguhnya yang dimaksud dengan menyiram dalam hadits di atas
maknanya adalah mencuci.

Catatan penting

Al Khatluhabi berkata, "Orang yang membolehkan kencing bayi


laki-laki sekedar dicuci tidaklah berarti mereka berpendapat kencing
tersebut bukan najis, akan tetapi hal itu karena kadar najis ini sangatlah
ringan." Demikian perkataan beliau. Namun Ath-Thahawi menegaskan
adanya perselisihan dalam masalah ini, dimana beliau berkata, "Sebagian
kaum mengatakan bahwa air kencing bayi laki-laki hukumnya suci
sebelum makan makanan, seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Abdul Barr,
Ibnu Baththal, ulama-ulama madzhab Syafi'i dan madzhab Ahmad serta
lainnya yang sependapat dengan keduanya. Akan tetapi pendapat itu
sendiri tidak dikenal, baik dalam madzhab Syafi'i maupun madzhab
Ahmad. Untuk itu Imam An-Nawawi berkata, "Nukilan ini merupakan
sesuatu yang batil." Seakan-akan mereka yang menisbatkan pandangan
seperti itu kepada madzhab Syafi'i dan madzhab Ahmad hanya ber-
pedoman pada konsekuensi pandangan kedua madzhab ini. Sementara
pengikut suatu madzhab lebih mengerti apa yang menjadi maksud
pendangan mereka daripada orang lain, wallahu a 'lam.

60. Kencing Sambil Berdiri dan Duduk

cI «J l i o 'J> LJli J l i i AIPCL ^Jl J l i SiJJb-


f 4 '

f*. "
r
r "* :

224. Telah diriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata, "Nabi SAW


mendatangi pembuangan sampah suatu kaum lalu beliau kencing

FATHUL BAARI — 293


sambil berdiri, kemudian minta dibawakan air maka akupun
mendatanginya seraya membawa air, lalu beliau SAW berwudhu:''

Keterangan Hadits:
(Kencing sambil berdiri dan duduk) Ibnu Baththal berkata,
"Keterangan kencing sambil duduk dari hadits ini ditetapkan berdasarkan
bahwa kencing sambil duduk lebih pantas dibanding kencing sambil
berdiri. Sebab apabila kencing sambil berdiri saja diperbolehkan, tentu
kencing sambil duduk lebih diperbolehkan lagi." Aku (Ibnu Hajar)
katakan, "Ada kemungkinan bahwa Imam Bukhari memaksudkan
perkataannya ini sebagai isyarat terhadap hadits Abdurrahman bin
Hasanah yang dinukil oleh An-Nasa'i dan Ibnu Majah serta selain
keduanya, dimana di dalamnya disebutkan, "Nabi SAW kencing sambil
duduk, maka kamipun berkata, "Perhatikanlah dia, kencing sebagai-
mana (cara) kencingnya wanita-

Diriwayatkan dari sebagian ulama bahwasanya ia berkata, "Telah


menjadi kebiasaan bangsa Arab kencing sambil berdiri, tidakkah kalian
memperhatikan bagaimana mereka berkata dalam hadits Abdurrahman
bin Hasanah, 'Beliau SA W kencing sambil duduk sebagaimana halnya
wanita kencing:" Dalam hadits Hudzaifah dikatakan, "Maka beliau-pun
berdiri sebagaimana salah seorang di antara kamu berdiri"
Hadits Abdurrahman bin Hasanah memberi keterangan bahwa
Nabi SAW menyelisihi para sahabatnya dalam hal buang air kecil,
dimana beliau sengaja mengambil posisi duduk karena kondisi seperti ini
lebih dapat menutup diri serta lebih terhindar dari percikan air kencing.
Hadits tersebut derajatnya shahih sebagaimana dinyatakan oleh Ad-
Daruquthni dan lainnya. Kesimpulan seperti ini didukung pula oleh
hadits Aisyah, dimana beliau berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah
kencing sambil berdiri sejak Al Qur'an diturunkan kepadanya." Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Awanah dalam kitab Shahih-nya serta Al
Hakim.

s»j—i iie'CL (Tempatpembuangan sampah suatu kaum). Maksudnya


adalah sampah atau tumpukan sampah-sampah kecil karena disapu, yang
mana hal seperti ini banyak ditemukan di halaman-halaman setiap rumah.
Umumnya tempat ini gembur sehingga air tidak terpercik kembali kepada
orang yang kencing. Adapun penisbatan pembuangan sampah kepada

2 9 4 — FATHUL BAARI
suatu kaum memberi makna pengkhususan dan bukan kepemilikan, sebab
tempat seperti ini umumnya tidak luput dari najis.
Dari sini terjawab pertanyaan orang-orang yang mempertanyakan
masalah ini, karena kencing dapat mengotori tembok sehingga dapat
memberi mudharat bagi orang lain. Atau dapat pula dikatakan,'sesung-
guhnya beliau SAW hanya kencing di atas pembuangan sampah dan
tidak kencing sambil berdiri menghadap tembok. Ini ditegaskan oleh Abu
Awanah dalam kitab Shahih-nya. Ada pula yang mengatakan, kemung-
kinan beliau SAW telah mengetahui sebelumnya jika kaum tersebut
mengizinkannya kencing di tembok mereka; baik melalui perkataan yang
nyata maupun selainnya. Kemungkinan lain dikatakan, beliau SAW
sengaja kencing di tempat tersebut karena hal itu merupakan perkara
yang direlakan di antara manusia. Atau perbuatan beliau itu berdasarkan
adanya pembolehan bagi beliau SAW untuk memanfaatkan harta
umatnya, karena beliau SAW lebih berhak terhadap kaum mukminin baik
dalam jiwa maupun harta benda. Namun meski kemungkinan terakhir
ditinjau dari segi makna, akan tetapi hal seperti ini tidak pernah dikenal
dalam perjalanan hidup dan kemuliaan akhlak beliau SAW.

i\—*J \ * i 'pj (Kemudian minta dibawakan air). Dalam riwayat Imam

Muslim dan selainnya dari jalur Al A ' M a s y diberi tambahan, : Jli» C J J ^ A


> , * •

<3—ILip J—1P 'C—*i J^- cj'ysi (Aku pun menjauh darinya, maka beliau
bersabda, "Mendekatlah)" Akhirnya aku mendekat hingga berdiri di
belakangnya). Dalam riwayat Imam Ahmad dari Yahya bin Qaththan
disebutkan, \—«JI» JU» «Cip 'j» C J CS^P ^ifols il» CUPUSS f£ J'\
j ]&+ — £ £ l~»j U u j r f tUj t p i j (Beliau SAW mendatangi pembuangan
sampah suatu kaum, akupun menjauh darinya. Maka beliau SAWmen-
dekatkanku hingga berada di belakangnya, lalu beliau SAW kencing
sambil berdiri. Kemudian beliau minta dibawakan air lalu berwudhu
seraya menyapu di atas kedua sepatunya). Demikian pula tambahan
keterangan yang disebutkan oleh Imam Muslim dari selainnya, dimana
disebutkan perihal menyapu sepatu. Tambahan ini juga tercantum dalam
riwayat Al Isma'ili dan selainnya melalui jalur Syu'bah dari Al A'masy.
Selanjutnya ditambahkan oleh Isa bin Yunus dari Al A ' m a s y
bahwa peristiwa tersebut terjadi di Madinah. Riwayat ini dikutip oleh
Ibnu Abdil Barr dalam kitab At-Tamhid dengan silsilah periwayatan yang

FATHUL BAARI — 295


shahih. Namun dalam kitab Al Istidzkar dikatakan bahwa tambahan
keterangan ini hanya diriwayatkan oleh Isa bin Yunus, padahal kenyata-
annya tidaklah demikian.
Tambahan keterangan seperti itu telah diriwayatkan pula oleh Al
Baihaqi melalui jalur Muhammad bin Thalhah bin Musharraf dari Al
A'masy. Di samping itu terdapat pula hadits lain yang mendukungnya,
yaitu hadits Ishmah bin Malik seperti yang akan kami sebutkan.
Para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya membasuh
sepatu pada saat tidak sedang bepergian, dan penetapan kesimpulan ini
dari hadits tersebut cukup jelas. Hanya saja ada kemungkinan Imam
Bukhari sengaja meringkas hadits di atas (yakni tanpa menyebutkan
lafazh tentang menyapu sepatu -penerj), karena tambahan tersebut diri-
wayatkan oleh Al A'masy seorang diri.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Syu'bah bahwa


Ashim meriwayatkan kepadanya dari Abu Wa'il dari Al Mughirah,
"Rasulullah SAW mendatangi pembuangan sampah suatu kaum lalu
kencing sambil berdiri." Ashim berkata, "Sementara Al A ' m a s y meri-
wayatkan pula hadits tersebut dari Abu Wa'il dari Abu Hudzaifah, namun
ia tidak menghafalnya dengan baik." Maksud Ashim, bahwa yang benar
adalah riwayat yang dinukilnya. Kemudian Syu'bah berkata, "Aku pun
menanyakan hal itu kepada Manshur, maka beliau menceritakan
kepadaku dari Abu Wa'il dari Hudzaifah sama seperti yang dikatakan
oleh Al A'masy tanpa menyebutkan perihal menyapu sepatu."
Di sini kita lihat Al Manshur menyetujui riwayat Al A ' m a s y tanpa
tambahan lafazh "menyapu sepatu." Akan tetapi Imam Muslim tidak
memperhitungkan ketimpangan ini, bahkan beliau memasukkan hal
tersebut dalam golongan hadits Al A'masy dengan dasar lafazh ini me-
rupakan tambahan dari seorang yang kuat hafalannya (hafidz).
Imam Tirmidzi berkata, "Hadits Abu Wa'il dari Hudzaifah lebih
akurat." Maksudnya lebih shahih dibanding dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Wa'il dari Mughirah, dan memang demikian yang
sebenarnya. Sementara Ibnu Khuzaimah cenderung untuk menshahihkan
kedua riwayat tersebut disebabkan Hammad bin Abu Sulaiman telah
menyetujui riwayat Ashim dari Al Mughirah, sehingga tidak tertutup
kemungkinan Abu Wa'il mendengar hadits itu dari kedua orang tersebut
sekaligus, dan kedua riwayat itu dapat dibenarkan. Akan tetapi ditinjau

2 9 6 — FATHUL BAARI
dari segi tarjih (mengunggulkan salah satu dari dua riwayat yang
kontroversi) sesungguhnya riwayat Al A'masy dan Manshur dalam batas
yang mereka sepakati lebih shahih dibanding riwayat Ashim dan
Hammad, karena hafalan kedua orang ini masih dipermasalahkan.

61. Kencing di samping Seorang Sahabat dan


Berlindung di Balik Tembok

225. Diriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata, "Aku pernah


mengalami bersama Nabi SAW sedang berjalan, lalu beliau
mendatangi pembuangan sampah suatu kaum di belakang tembok,
kemudian berdiri sebagaimana salah seorang di antara kamu
berdiri, lalu beliau kencing. Aku pun menjauh darinya, maka
beliau memberi isyarat kepadaku sehingga aku mendatanginya.
Aku berdiri di belakangnya sampai beliau SAW selesai."

Keterangan Hadits:
(Kencing di samping seorang sahabat), yakni di samping sahabat
orang yang kencing.

J—i| y—iis (Beliau mengisyaratkan kepadaku). Hal ini memberi


keterangan bahwa Hudzaifah belum berada dalam jarak yang jauh dari
Nabi SAW sehingga masih dapat dilihat. Beliau SAW melakukan hal ini
dalam rangka mengumpulkan dua kemaslahatan sekaligus; agar tidak
dilihat dalam kondisi demikian, dan pembicaraannya dapat didengar bila

FATHUL BAARI — 297


memerlukan sesuatu atau isyaratnya dapat dilihat oleh orang yang sedang
membelakanginya.
Dari sini dapat diketahui bahwa dalam hadits ini tidak terdapat dalil
yang menunjukkan bolehnya berbicara saat kencing, sebab riwayat ini
memberi keterangan sesungguhnya makna lafazh *—'ai (mendekatlah),
seperti yang dinukil oleh Imam Muslim, adalah dengan isyarat bukan
dengan kata-kata.
Adapun sikap beliau SAW dalam riwayat ini yang menyelisihi
kebiasaannya untuk menjauh dari jalan yang biasa dilalui ataupun
pandangan manusia saat buang hajat, maka dapat dikatakan bahwa saat
itu beliau SAW sedang sibuk mengurus kepentingan kaum muslimin.
Kemungkinan juga beliau akan duduk lama dalam majlis sehingga butuh
untuk buang air kecil secepatnya, dan jika beliau mencari tempat yang
jauh akan memberi dampak tidak baik bagi dirinya. Kemudian beliau
SAW menyuruh Hudzaifah agar mendekat kepadanya untuk melindungi
dirinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang mungkin saja lewat di
sekitarnya saat itu, sementara di depannya tertutup oleh tembok. Namun
ada pula kemungkinan perbuatan beliau SAW kali ini untuk memberi
keterangan bolehnya melakukan perbuatan tersebut. Di samping itu,
kejadian ini berhubungan dengan buang air kecil, yang telah diketahui
bahwa hal itu lebih ringan daripada buang air besar, karena buang air
besar memerlukan penghalang untuk lebih menutup diri, disertai bau tak
enak yang biasa mengiringinya. Sementara maksud menjauh dan
menutup diri dapat tercapai dengan menurunkan pakaian dan mendekat-
kan diri kepada sesuatu yang dapat menghalanginya.

Telah diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari hadits Ishmah bin


Malik, ia berkata, "Rasulullah SAW keluar menemui kami di suatu jalan
di Madinah, hingga akhirnya beliau sampai ke tempat pembuangan
sampah suatu kaum, maka beliau SAW bersabda, 'WahaiHudzaifah,
tutuplah diriku."' Lalu beliau menyebutkan hadits selengkapnya seperti
1

di atas.
Pada riwayat Ath-Thabrani ini, menjadi nampak jelas hikmah
diperintahkannya Hudzaifah untuk mendekat kepadanya pada kondisi
seperti itu. Adapun Hudzaifah ketika mendekat maka ia membelakangi
Nabi SAW. Di samping itu -dalam riwayat ini pula- menjadi jelas bahwa

2 9 8 — FATHUL BAARI
memahami bahwa makna "menggunting" di sini adalah mencuci dengan
air.

l~ii i—=1) (Semoga ia berhenti). Dalam riwayat Al Isma'ili

disebutkan, ajJL-iiii l i i a-Cij V j l o ^ i j J (Aku sangat berharap jika


sahabat kamu itu tidak bersikap berlebihan seperti itu).
Hanya saja Hudzaifah berhujjah dengan hadits di atas, karena
seorang yang kencing sambil berdiri bisa saja terkena percikan air
kencingnya. Padahal Nabi SAW tidak memperhitungkan kemungkinan
tersebut, maka dapat diketahui sesungguhnya sikap ekstrim (berlebihan)
dalam perkara ini telah menyalahi Sunnah.
Kemudian Imam Malik menjadikan hadits ini sebagai dalil adanya
keringanan apabila air kencing tersebut mengenai badan dalam kadar
sebesar ujung jarum. Namun pandangan Imam Malik perlu dianalisa
kembali, sebab tidak sedikitpun air kencing itu mengenai badan
Rasulullah SAW. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Ibnu Hibban ketika
menyebutkan sebab beliau SAW kencing sambil berdiri. Ibnu Hibban
berkata, "Beliau SAW tidak menemukan tempat yang layak untuk
kencing sambil duduk, maka beliau kencing sambil berdiri karena
gundukan pembuangan sampah tersebut lebih tinggi. Dengan demikian,
beliau SAW telah mengamankan diri dari percikan air kencing." Lalu
dikatakan bahwa air kencing mudah meresap di tempat pembuangan
sampah yang gembur, sehingga percikannya tidak mengenai orang yang
sedang kencing.

Sebagian yang lain mengatakan bahwa Nabi SAW sengaja kencing


sambil berdiri, karena kondisi seperti ini lebih menjamin untuk tidak
kentut. Hal itu beliau lakukan sebab lokasinya yang cukup dekat dari
rumah penduduk. Pandangan ini diperkuat oleh riwayat Abdurrazzaq dari
Umar RA, j — o i J Ja*-\ IAJIS J j J i (Kencing sambil berdiri lebih menjaga
dubur).
Dikatakan pula bahwa sebab hal itu adalah apa yang diriwayatkan
oleh Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, yaitu kebiasaan bangsa Arab untuk
menyembuhkan sakit pinggang dengan cara kencing berdiri, dan ke-
mungkinan Nabi SAW merasakan hal itu.

FATHUL BAARI — 301


Lalu diriwayatkan pula oleh Al Hakim dan Al Baihaqi dari hadits
Abu Hurairah, ^ — l j *—11* 4J11 *Jii J j JU Uji AJaiU» ^ JIS" pj*4
(Rasulullah kencing sambil berdiri disebabkan luka di bagian belakang
persendian lututnya). Seakan-akan beliau SAW tidak mampu duduk
karena luka tersebut. Andaikata hadits ini shahih, maka sudah cukup dan
tidak butuh pandangan-pandangan terdahulu. Akan tetapi hadits yang
dimaksud telah dianggap lemah oleh Ad-Daruquthni dan Al Baihaqi.
Makna yang paling kuat adalah beliau SAW melakukan hal itu
dengan tujuan menjelaskan kebolehannya, sementara perbuatan yang
paling sering dilakukannya adalah kencing sambil duduk, wallahu a lam.
Kemudian Abu Awanah dalam kitab Shahih-nya dan Ibnu Syahin
mengemukakan pandangan lain yang berbeda dengan pandangan
sebelumnya. Keduanya mengatakan, bahwa hadits yang menyatakan
Nabi SAW kencing sambil berdiri telah dihapus hukumnya (mansukh).
Lalu keduanya memperkuat pendapat mereka dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah di atas, yaitu o~\'J&\ AII* JJJI J l i & l » JU U» (Nabi
SAW tidak pernah kencing sambil berdiri sejak diturunkan Al Qur'an
kepadanya), dan hadits Aisyah yang lain dengan lafazh dVz ill '^J*- 'J

IJ*I—"i ^! J j — U ^ U» s j i j ^ a j *Ai UJli J °JJ (Barangsiapa yang menceritakan


kepada kamu bahwa beliau SAW kencing sambil berdiri, maka janganlah
kamu mempercayainya. Tidaklah beliau SA W kencing melainkan dalam
keadaan duduk).
Akan tetapi yang benar, bahwa hadits tentang Nabi SAW kencing
sambil berdiri hukumnya tidak dihapus (mansukh). Adapun jawaban
hadits Aisyah RA, bahwa hal itu berdasarkan pengetahuannya saja.
Sehingga dapat dipahami apa yang dikatakan oleh Aisyah adalah
perbuatan Nabi SAW saat berada di rumah, sementara di luar rumah
Aisyah tidak mengetahui bagaimana cara Nabi SAW buang air kecil.
Adapun perbuatan Nabi SAW kencing sambil berdiri telah dihafal oleh
Hudzaifah, salah seorang sahabat senior.
Di atas telah kami jelaskan bahwa peristiwa ini berlangsung di
Madinah, sehingga mencakup bantahan bagi mereka yang rr r Ratakan
bahwa perbuatan seperti itu terjadi sebelum turunnya Al Qur'an kepada
Nabi SAW. Di samping itu telah dinukil melalui sumber yang dapat
dipercaya sesungguhnya Umar, Ali, Zaid bin Tsabit dan yang lainnya

3 0 2 — FATHUL BAARI
pernah kencing sambil berdiri. Perbuatan mereka ini menunjuk-kan
kebolehan hal itu tanpa ada unsur makruh (tidak disukai) selama dijamin
tidak terkena percikan air kencing, wallahu a 'lam. Tidak juga ditemukan
keterangan yang kuat bahwa Nabi SAW melarang kencing sambil berdiri,
seperti telah saya jelaskan di bagian awal Syarah At-Tirmidzi.

63. Mencuci Darah

227. Diriwayatkan dari Asma, ia berkata, 'Seorang wanita datang


kepada Nabi SA W lalu berkata, 'Bagaimana pendapatmu apabila
salah seorang di antara kami haid di kain, apakah yang mesti ia
lakukan?' Nabi SAW bersabda, 'Hendaklah ia mengeriknya
kemudian menggosoknya dengan air dan memercikinya, lalu shalat
dengan menggunakan kain tersebut."

Keterangan Hadits:

atj-Jii c - t l — r (Seorang wanita datang). Dalam riwayat Syafi'i dari


Sufyan bin Uyainah dari Hisyam disebutkan, bahwa yang bertanya
adalah Asma' sendiri. Lalu Imam An-Nawawi mengeluarkan pandangan
yang ganjil, dimana beliau melemahkan riwayat Syafi'i tanpa dalil.
Padahal silsilah periwayatan hadits tersebut shahih dan tidak cacat. Tidak
tertutup kemungkinan jika seorang perawi menyembunyikan dirinya
sendiri seperti yang akan disebutkan dalam hadits Abu Sa'id dalam kisah
menjampi dengan menggunakan surah Al Fatihah.

FATHUL BAARI — 303


V^—^ 1^—? 1
CR—s?"* (W<z^
3
&a/«), yakni darah haid mengenai kain.
Dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Malik dari Hisyam
disebutkan dengan lafazh, ja—!^\ 'j» ^Ul l^JJ uO>i lij (Apabila kainnya
terkena darah haid).

i—»>j (Mengeriknya), maskudnya adalah menghilangkan dzatnya


(wujudnya). Sementara dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dinukil dengan
lafazh i£inJ, namun kedua lafazh ini memiliki makna yang sama.

<^t>'ji> (Kemudian menggosoknya), demikian lafazh yang terdapat


dalam riwayat kami. Sementara itu telah dinukil oleh Al Qadhi Iyadh
serta selainnya dengan lafazh 'i-Lp'js jii yakni hendaklah wanita tersebut
menggosok tempat yang terkena darah dengan ujung-ujung jarinya agar
air dapat meresap sehingga darah yang telah masuk ke sela-sela kain
dapat keluar kembali.

I ^ I A J J (Dan memercikinya), maksudnya adalah mencucinya seperti


yang dikatakan oleh Al Khaththabi. Al Cjurthubi berkata, "Yang
dimaksud adalah memercikinya, sebab mencuci darah itu sendiri telah
tercakup dalam lafazh 'Hendaklah ia menggosoknya dengan air:"
Adapun memerciki di sini hanyalah khusus pada bagian kain yang
diragukan telah terkena percikan darah.

Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Atas dasar keterangan Al Khaththabi,


maka kata ganti yang terdapat pada lafazh A ^ V W (memercikinya) kembali

kepada pakaian itu sendiri. Berbeda dengan kata ganti pada lafazh <to*J
(menggosoknya), dimana kata ganti di sini kembali kepada darah.
Kemudian memerciki bagian kain yang diragukan apakah terkena darah
atau tidak, sama sekali tak memberi faidah apa-apa. Sebab jika bagian
tersebut suci, maka tidak ada gunanya untuk diperciki. Sementara apabila
najis, maka ia tidak akan suci hanya sekedar diperciki. Maka pandangan
paling tepat adalah apa yang dikatakan oleh Al Khaththabi."
Al Khaththabi berkata, "Dalam hadits ini terdapat ' 'il yang
menunjukkan bahwa najis hanya dapat dihilangkan dengan menggunakan
air, bukan dengan zat cair lainnya. Sebab seluruh jenis najis sama ke-
dudukannya dengan darah, dimana tidak ada perbedaan di antaranya

3 0 4 — FATHUL BAARI
menurut kesepakatan ulama. Pendapat bahwa air sebagai satu-satunya
alat yang dapat menghilangkan najis merupakan perkataan mayoritas
ulama (jumhur)."
Sementara itu telah dinukil suatu pendapat dari Abu Hanifah dan
Abu Yusuf yang membolehkan membersihkan najis dengan mengguna-
kan semua zat cair yang suci. Dasar yang menjadi landasan pandangan
keduanya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dengan lafazh, U>

J_iytioi (Tidaklah salah seorang di antara kami melainkan hanya memiliki


satu sarung dimana ia haid sambil menggunakannya. Apabila kain
tersebut terkena darah haid, maka ia pun menghilangkannya dengan air
ludahnya lalu menggosok dengan kukunya). Dalam riwayat Abu Dawud
dikatakan, "Ia membasahi dengan air ludahnya." Sisi pengambilan
hukum dari hadits ini adalah, apabila ludah tidak dapat menghilangkan
najis, niscaya najis hanya akan semakin bertambah di tempat tersebut.
Tapi pendapat ini dapat dijawab dengan mengatakan, tidak tertutup
kemungkinan bahwa yang beliau maksud dengan hal itu adalah mengerik
tempat darah, setelah itu diiringi dengan mencucinya. Hal ini akan
dijelaskan kemudian dalam kitab Haid pada bab "Apakah wanita shalat
dengan menggunakan kain yang ia gunakan saat haid."

Pelajaran yang dapat diambil


Sebagian ulama membantah pandangan yang menetapkan air
sebagai satu-satunya alat yang dapat membersihkan najis di antara zat
cair lainnya. Mereka mengatakan bahwa kesimpulan tersebut hanya ber-
dasarkan kenyataan dimana air disebutkan secara khusus, dan hal itu
tidak menjadi dalil bagi mayoritas ulama. Di samping itu, kenyataan ini
hanya didasarkan pada kejadian yang umum bukan dalam bentuk
persyaratan.
Bantahan ini dapat ditanggapi dengan mengatakan, bahwa hadits
tersebut telah menyebutkan "air" secara tekstual, maka untuk menyama-
kannya dengan zat cair lainnya mesti dengan cara analogi (qiyas).
Padahal termasuk syarat dalam hal ini adalah bahwa hukum cabang
(furu') tidak menyalahi Ulat (dasar penetapan hukum) yang ada pada
masalah pokok (yakni masalah yang dijadikan pedoman dalam menetap-

FATHUL BAARI — 305


kan hukum cabang). Sementara pada zat cair selain air tidak ditemukan
unsur-unsur seperti yang ada pada air, seperti kelembutan dan daya
serapnya yang cepat. Dari sini maka zat cair selain air tidak dapat
disamakan hukumnya dengan air dalam membersihkan najis.
Faidah-faidah selanjutnya mengenai hadits ini akan dibahas pada
bab "Mencuci darah haid", insya Allah.

m ^5-4 j ^ - J l i Jitu ^ iLiii i i s > ^


'' ^ -* ' gyy j j o g s s c 0 «w & J- j s ^ s s s

W — ! U 3 l ^olil y\s>xZy\ i\'J*\ J>\ «UJI JJ-J \j :cJU

C — L i l lili ^ / 4 ^ J Syf d^} LJ\ V : &§l AJJI J J Jlli


S f s j-
& s ^ ' s 9 j' 9 9 S J' S s S ^ r' ^

^ La j»J f-AJI dilp ^^L^pli o J}\ lil j a^CaJl ^ Si dJi^su^


. o i j i l dlJi <j^*J «*>C? j £ J (^jf^jJ p ^1 JL»j : Jli

228. Telah diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata bahwa Fathimah


binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi SA W lalu berkata, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku seorang wanita yang menderita
istihadhah maka aku senantiasa tidak suci. Apakah aku boleh
meninggalkan shalat? " Rasulullah bersabda, "Tidak! Sesungguh-
nya yang demikian itu hanyalah kotoran dan bukan haid. Apabila
haidmu telah datang, maka tinggalkanlah shalat; dan apabila
haidmu telah pergi, maka cucilah darimu darah kemudian
hendaklah engkau shalat. " Dia berkata, "Bapakku berkata, 'Ke-
mudian hendaklah engkau berwudhu untuk setiap kali shalat
hingga datang waktu tersebut?''

Keterangan Hadits:
J t

JL???- J CJU <wt>ii Nama Abu Hubaisy adalah Qais bin Mutlialib bin
Asad, dan Fathimah yang dimaksud di sini adalah selain Fathimah binti
Qais yang pernah dithalak tiga.

3 0 6 — FATHUL BAARI
jp\*tL-Li\ (Saya menderita istihadhah). Dikatakan seorang wanita
menderita istihadhah, yakni apabila darah terus keluar darinya setelah
masa haid atau nifas berlalu. Adapun yang dimaksud dengan istihadhah
adalah keluarnya darah dari kemaluan wanita pada masa-masa yang tidak
biasanya darah keluar.

'i (Tidak), maksudnya jangan tinggalkan shalat.

£ l — ( M a s a haidmu), boleh pula dibaca dc'ftV. Yang dimaksud


dengan "datang" dan "pergi" di sini adalah permulaan dan akhir masa
haid.

^ J J (Maka tinggalkanlah shalat). Lafazh ini berimplikasi


larangan bagi seorang wanita yang sedang haid untuk melakukan shalat,
dan shalat wanita yang sedang haid adalah tidak sah, sebagaimana ijma'
(kesepakatan) ulama.

J»J—ll dJ—'s- L~pli (Cucilah darah darimu). Maksudnya, setelah itu


l)?

hendaklah kamu mandi. Adapun perintah untuk mandi sendiri didapatkan


dari dalil-dalil lain sebagaimana akan dijelaskan secara terperinci pada
kitab Haid, insya Allah.

JV3 (dia berkata), yang dimaksud adalah Hisyam bin Urwah.

^—»i J l i j (Dan bapakku berkata), yang dimaksud adalah Urwah bin


Zubair.
Sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat ini disebutkan tanpa
silsilah periwayatan (mu 'allaq), padahal sebenarnya tidaklah demikian.
Bahkan silsilah riwayat ini telah disebutkan sebelumnya melalui jalur
Muhammad dari Abu Mu'awiyah dari Hisyam. Hal ini telah dijelaskan
oleh Imam Tirmidzi dalam riwayatnya.

Ada juga yang menyatakan bahwa lafazh, ^—r^'J (Kemudian


hendaklah engkau berwudhu) termasuk perkataan Urwah. Akan tetapi,
pandangan ini masih perlu dipertanyakan lagi. Sebab jika itu adalah
perkataan Urwah, tentu ia akan m e n g a t a k a n ' — — 5 (Kemudian dia
berwudhu), yakni dalam bentuk berita. Namun, karena dia menyampai-
kannya dalam bentuk perintah, maka sesuai dengan bentuk perintah pada

FATHUL BAARI — 307


lafazh yang diyakini berasal dari Nabi SAW, yaitu sabdanya d£* JL*.S>\j

fi—!i (Cucilah darah darimu). Adapun hukum persoalan ini akan kami
jelaskan pada kitab Haid.

64. Mencuci dan Mengerik Mani serta Mencuci Apa


yang Menyentuh Wanita

) 3 /Jj^*- ' **! 3 . 0 s. ss


0
i
A, 3
* A O, O . s s 0 s

^ J i ^_->JJ y» 4JL>JI J-—^' o J l i 4-ioLp

229. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, 'Akupernah mencuci


junub (mani) dari kain Nabi SA W, lalu beliau SA W keluar untuk
shalat sedang bercak air di pakaiannya (masih kelihatan)"

s S' j 0
' 3
y y y y

° I1 ^ ^ " II ' - ' ' . l ' ' ' (f' t1- l ' ' 3
• I' ° I 3

' ' '


• ' s ' -* ^ ' S
^ ' ' J ' ^ ' f j l ' ' ' ' '

o*>4 l a i l ^ j l ^ ^ p ^ J ii^l «JJl J * _ J J J ^ 4JL^PI o - L S " :cJlii


.frLJi ^ ^J j jlili ^

230. Diriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata, "Aku


pernah bertanya kepada Aisyah tentang mani yang mengenai kain
(pakaian). Aisyah mengatakan. Aku pernah mencucinya dari
pakaian Nabi SAW. Kemudian beliau keluar untuk shalat,
sementara bekas cucian itu kelihatan membasahi kain beliau.''"

Keterangan Hadits:

(Mencuci mani dan mengeriknya). Imam Bukhari tidak meriwayat-


kan hadits tentang mengerik mani, bahkan beliau hanya memberi isyarat
pada judul bab sebagaimana yang dilakukannya. Sebab, riwayat tentang

3 0 8 — FATHUL BAARI
mengerik mani juga dinukil melalui hadits Aisyah seperti yang akan kami
sebutkan. Tidak ada pertentangan antara hadits tentang mencuci mani
dengan mengeriknya, karena untuk memadukan kedua riwayat itu sangat
jelas bagi mereka yang berpandangan bahwa mani adalah suci. Yaitu
dengan memahami bahwa mencuci mani merupakan sesuatu yang disukai
dan bukan hal yang wajib. Demikianlah cara yang ditempuh oleh Imam
Syafi'i, Imam Ahmad dan para ahli hadits. Begitu pula memadukan
kedua riwayat yang dimaksud bisa saja dilakukan oleh mereka yang
berpendapat mani adalah najis, yakni dengan mengatakan sesungguhnya
perintah untuk mencuci dilakukan bila mani dalam keadaan basah.
Sedangkan keterangan tentang mengerik dikhususkan apabila mani telah
mengering, sebagaimana cara yang ditempuh oleh ulama madzhab
Hanafi.

Akan tetapi cara pertama jauh lebih tepat, sebab yang demikian itu
merupakan upaya untuk mengamalkan riwayat dan melakukan qiyas
(analogi) sekaligus. Karena apabila mani itu najis, maka secara logika
untuk menghilangkannya harus dicuci dan tidak boleh hanya dikerik
seperti darah dan najis-najis yang lain. Sementara mereka (golongan
Hanafi) dalam membersihkan darah dalam kadar yang banyak tidak men-
cukupkan dengan mengerik saja.

Cara kedua tertolak dengan apa yang dinukil oleh Ibnu Khuzaimah
melalui jalur lain dari Aisyah, bahwasanya ia pernah menghilangkan
mani dari pakaian Nabi SAW dengan akar idzkhir (salah satu jenis
tumbuhan) kemudian beliau shalat menggunakan pakaian itu. Ia pernah
pula mengerik mani yang telah kering di kain Nabi SAW kemudian
beliau shalat dengan menggunakan kain tersebut. Riwayat ini memberi
keterangan bahwa Aisyah RA tidak mencuci air mani baik dalam
keadaan basah maupun setelah mengering.

Adapun Imam Malik tidak mengenal adanya mengerik, beliau


mengatakan, "Sesungguhnya praktek yang berlangsung dalam madzhab
ini (Maliki) adalah mencuci air mani sebagaimana halnya najis-najis yang
lain." Namun hadits tentang mengerik mani merupakan bantahan kuat
bagi pendapat mereka, hanya saja sebagian ulama madzhab Maliki
memahami makna mengerik dalam hadits tersebut dalam arti menggosok
dengan menggunakan air.
Akan tetapi pemahaman seperti ini juga tertolak oleh keterangan
yang terdapat dalam salah satu riwayat Imam Muslim dari Aisyah,

FATHUL BAARI — 309


dimana dikatakan, "Sungguh aku pernah mengalami dimana aku
mengerik mani yang telah mengering di pakaian Rasulullah dengan
menggunakan kukuku." Demikian juga dengan keterangan salah satu
riwayat yang dishahihkan oleh Imam Tirmidzi dari hadits Hammam bin
Harits, dimana dikatakan bahwa Aisyah RA pernah mengingkari per-
buatan tamunya ketika ia mencuci mani. Aisyah berkata, "Mengapa ia
telah merusak pakaian kami? Sesungguhnya cukuplah baginya mengerik
dengan menggunakan jari-jari tangannya. Karena betapa banyak aku
telah mengerik mani di pakaian Nabi SAW dengan menggunakan jari-jari
tanganku."

Sebagian ulama mengatakan, "Pakaian yang beliau (Aisyah) kerik


saat menghilangkan air mani adalah pakaian tidur, sedangkan pakaian
yang beliau cuci adalah pakaian untuk shalat." Tapi pendapat ini tertolak
oleh keterangan pada salah satu riwayat Imam Muslim dari hadits
Aisyah, dimana disebutkan, "Sungguh aku pernah mengerik mani di
pakaian Nabi SA W, maka beliau shalat menggunakan pakaian tersebut."
Lafazh hadits yang berbunyi "Maka beliau shalat menggunakan pakaian
tersebut," menolak kemungkinan antara mengerik dan shalat setelah
dicuci.

Keterangan lebih tegas lagi mengenai hal ini adalah riwayat Ibnu
Khuzaimah yang berbunyi, "Bahwasanya ia (Aisyah)pernah mengerik
mani di pakaian Nabi SAW pada saat beliau SAW sedang melakukan
shalat." Kemudian seandainya riwayat-riwayat di atas tidak pernah
dinukil, maka hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari tidak pula
mengindikasikan najisnya air mani. Sebab tindakan Aisyah mencuci mani
termasuk kategori perbuatan, sementara perbuatan itu sendiri tidak ber-
konsekuensi kepada kewajiban, wallahu a 'lam.

Lalu pandangan yang berdalil dengan hadits-hadits di atas untuk


menyatakan bahwa air mani itu tidak najis, dibantah oleh sebagian ulama
dengan alasan bahwa mani Nabi SAW hukumnya suci sebagaimana yang
keluar dari tubuhnya. Jawaban untuk pandangan ini dikatakan,
"Kalaupun kita setuju hal ini termasuk kekhususan bagi beliau SAW,
namun mani beliau SAW keluar sebagai hasil melakukan hubungan
biologis yang tentu saja bercampur dengan mani istrinya. Seandainya
mani istrinya hukumnya najis, maka tidak cukup meng-hilangkannya
hanya dikerik." Pandangan seperti ini telah dipergunakan oleh Syaikh Al
Muwaffiq dan ulama selain beliau untuk menyatakan sucinya cairan yang

3 1 0 — FATHUL BAARI
membasahi kemaluan wanita. Beliau berkata, "Barangsiapa yang
mengatakan bahwa mani sangat rawan tercampur oleh madzi, maka
orang ini telah keliru. Karena apabila syahwat telah memuncak, niscaya
air mani akan keluar tanpa diiringi oleh madzi atau kencing sebagaimana
keadaan saat bermimpi."
(Dan mencuci apa-apa yang menyentuh), seperti pakaian dan hal-
hal lain dari wanita saat melakukan hubungan suami-istri.
Dalam masalah ini terdapat sebuah hadits yang memberi
keterangan cukup tegas, yaitu riwayat yang nanti akan disebutkan oleh
Imam Bukhari di bagian akhir kitab Mandi dari hadits Utsman. Akan
tetapi beliau (Imam Bukhari) tidak menukil hadits tersebut di tempat ini,
seakan-akan keterangan untuk mencuci apa-apa yang menyentuh dari
wanita, beliau tarik dari kesimpulan yang telah kami kemukakan, yaitu
bahwa mani yang terdapat di pakaian tidak terlepas dari percampuran
antara mani wanita dan cairan yang biasa membasahi kemaluannya.

«UUsriJ! J—i-\ (Aku mencuci junub), yakni bekas junub (mani).

i—liJlp c J l — i (Aku pernah bertanya kepada Aisyah). Lafazh ini


merupakan bantahan atas perkataan Al Bazzar yang menyatakan, bahwa
Sulaiman bin Yasar tidak mendengar hadits ini langsung dari Aisyah RA.
Al Bazzaar sendiri telah didahului oleh ulama lain mengenai pernyataan
itu, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Syafi'i dalam kitab Al Umm
dari beliau. Beliau menambahkan bahwa para ahli hadits mengatakan,
sesungguhnya Amru bin Maimun telah keliru dalam menisbatkan hadits
ini kepada Aisyah, padahal itu hanyalah fatwa Sulaiman bin Yasar.
Akan tetapi dari pandangan Imam Bukhari yang telah menshahih-
kannya dan Imam Muslim yang menyetujui hal itu, maka jelaslah bahwa
riwayat Sulaiman bin Yasar sangatlah akurat, dan penisbatan hadits ini
langsung kepada Aisyah RA adalah benar. Tidak ada pertentangan antara
fatwa dan riwayat Sulaiman bin Yasar. Demikian juga perbedaan versi
riwayat yang ada tidak berpengaruh, dimana dikatakan pada salah
satunya bahwa Amru bin Maimun bertanya kepada Sulaiman, sedangkan
pada versi lain dikatakan Sulaiman bin Yasar bertanya langsung kepada
Aisyah. Hal itu karena masing-masing perawi mendengar pernyataan
gurunya. Sebagian mereka menghapal apa yang tidak dihapal oleh perawi
lainnya, sementara mereka semua tergolong tsiqah (terpercaya).

FATHUL BAARI — 311


lf-^s
j—*• (Tentang mani) Yakni mengenai hukum mani, apakah
disyariatkan untuk dicuci atau tidak? Jawaban yang diberikan adalah
beliau biasa mencucinya. Akan tetapi dalam pernyataan tersebut tidak
ditemukan indikasi yang menyatakan bahwa hal itu wajib dilakukan.

^3-*r* (Kemudian beliau keluar), maksudnya keluar dari kamarnya


menuju masjid.
Dalam hadits ini terdapat sejumlah faidah, di antaranya; keterangan
wanita menanyakan perkara-perkara yang dianggap tabu demi kemas-
lahatan mempelajari hukum dan khidmat isteri terhadap suaminya.
Lalu hadits ini dijadikan oleh Imam Bukhari sebagai dalil, bahwa
bekas najis yang tersisa tidaklah mengapa selama ujudnya sudah hilang.
Atas dasar ini Imam Bukhari memberi judul hadits ini dengan per-
kataannya, "Bab apabila junub dan selainnya dicuci namun bekasnya
tidak hilang." Kemudian beliau menyebutkan dalam bab ini sebuah hadits
tentang junub seraya mengikutkan yang lainnya dengan cara analogi
(disamakan) dengannya. Atau beliau memaksudkan dengan hal ini
sebagai isyarat terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
selainnya dari Abu Hurairah bahwa Khaulah binti Yasar berkata, "Wahai
Rasulullah, aku tidak memiliki kecuali satu pakaian dan aku mengalami
haid, maka apakah yang mesti aku lakukan?" Beliau SAW bersabda,
"Apabila engkau telah suci, maka cucilah pakaianmu itu lalu shalatlah
dengan menggunakannya." Beliau bertanya lagi, "Bagaimana jika
darah tidak keluar? " Beliau SAW bersabda, "Cukuplah bagimu air dan
tidak mudharat (bahaya) bagimu bekasnya.'''' Pada jalur periwayatan
hadits ini terdapat kelemahan. Ia memiliki pula penguat dengan silsilah
periwayatan mursal (tanpa menyebut perawi langsung dari Nabi), seperti
dikutip oleh Al Baihaqi.

Adapun yang dimaksud dengan bekas adalah sesuatu yang sulit


dihilangkan, demi untuk memadukan antara riwayat ini dengan hadits
Ummu Qais, "Keriklah dengan tulang dan cucilah dengan menggunakan
air serta Sidr (sejenis tumbuhan yang harum)." Diriwayatkan oleh Abu
Dawud dengan silsilah periwayatan yang hasan. Oleh karena hadits ini
tidak sesuai dengan syarat Imam Bukhari, maka makna yang dikandung
oleh hadits ini beliau gali dari hadits yang sesuai dengan syaratnya,
sebagaimana yang biasa dilakukannya.

3 1 2 — FATHUL BAARI
Abu Musa shalat di Darul Barid dan tempat pembuangan sampah,
sementara gurun terbentang di hadapannya, lalu dia berkata, "Di sini atau
di sana sama saja."

9
' 'O ' ' 'O' s 0
i 'y t o y' ' ' ' ^ o A o '

ljy^l_J a L ; >j \J £ P y ^ l i l >si Jli JJJU J ^'i y


i'*
9
£ f, 9
i' " ^ ' j\ j i' ' 9

Uj iGl j 5
1 jjl ^ I y.j^i jl j ^ LS^' -Z*^* ^I^-*^

' ' ^ ^ £ * 'O ' .1^ ^ i ' ' ' / i Z " '"o'

s\ iti ^ >cJl I jiliL-i j JS§| ^^Jl I j^» I UJi I jiUajli


t-^r j0\ l i l i ^*jUT J> jLpl J y ^ ^ 1
, 0 ^0 «'O « ' O S S s- S r' s'

i O ) ) * [ ' .< O .* , .< f ° - ,


' ° f ' l _ . ' ' f .

^ s s & f' ^ ' a s o


. 4j yy j J 4JJI \y j b - J J»-f>Ui

233. Diriwayatkan dari Anas, ia berkata, "Suatu ketika datang


sekelompok manusia dari suku Ukl -atau Urainah- namun mereka
tidak cocok dengan hawa kota Madinah (yang menyebabkan
mereka selalu sakit-sakitan). Maka beliau SAW memerintahkan
mereka untuk mencari unta betina yang sedang menyusui, dan
menyuruh mereka supaya minum air kencing dan susu unta itu.
Orang-orang itu pun berangkat dan melakukan apa yang
dianjurkan oleh Nabi. Setelah sehat kembali, mereka membunuh
penggembala milik Nabi SA W lalu mereka pergi dengan membawa
unta. Berita mengenai hal itu sampai kepada Nabi di pagi hari,
maka Nabi SA W mengirim utusan untuk mengikuti jejak mereka.
Ketika matahari telah meninggi orang-orang tersebut dapat
ditangkap. Maka beliau memerintahkan untuk memotong tangan
dan kaki mereka dan mata mereka, ditusuk kemudian dijemur di
tempat panas. Mereka minta minum namun tidak diberi minum. "
Abu Qilabah berkata, "Orang-orang itu telah mencuri, membunuh
dan kafir setelah beriman serta menantang Allah dan Rasul-Nya"

FATHUL BAARI — 315


K e t e r a n g a n Hadits:
(Kencing unta, binatang ternak dan kambing) Yang dimaksud
dengan binatang ternak di sini adalah hewan yang memiliki tapak, seperti
kuda, bighal (hewan hasil perkawinan silang antara keledai dan kuda.-
ed.) dan keledai. Ada pula kemungkinan penyajian di sini adalah
mengaitkan kata yang bersifat umum kepada sesuatu yang bersifat
khusus, kemudian mengaitkan kata bersifat khusus kepada sesuatu yang
bersifat umum. Akan tetapi, kemungkinan pertama jauh lebih tepat.

Untuk itu Imam Bukhari menukil perbuatan Abu Musa ketika


shalat di DaruI Barid, karena tempat itu adalah tempat tambatan hewan
yang ditunggangi. Demikian pula disebutkannya hadits kaum Urainah
secara khusus adalah untuk menyatakan bahwa air kencing unta adalah
suci, sebagaimana beliau mengutip hadits tentang kandang kambing
untuk mendukung pandangannya tersebut.

(Kandangnya). Di sini Imam Bukhari tidak memberi keterangan


secara tegas mengenai hukumnya, sama seperti kebiasaan beliau dalam
perkara-perkara lain yang diperselisihkan. Akan tetapi dari sikap beliau
yang sengaja menukil hadits kaum Urainah memberi indikasi kuat bahwa
ia lebih cenderung memilih pendapat yang menyatakan air kencing
hewan hukumnya suci. Kesimpulan seperti ini diindikasikan pula oleh
pernyataan beliau saat membahas hadits orang yang disiksa dalam
kuburnya, dimana ia berkata, "Tidak disebutkan selain kencing manusia."

Pandangan yang mengatakan bahwa air kencing hewan hukumnya


suci, juga merupakan pendapat Asy-Sya'bi, Ibnu Aliyah, Dawud dan
selain mereka. Kenyataan ini menolak pula mereka yang menyatakan
adanya ijma' tentang najisnya air kencing hewan yang tidak dimakan
dagingnya. Pembahasan tentang itu telah kami jelaskan.
» -

>J y) J^>j (Dan Abu Musa shalat), yang dimaksud adalah Abu
Musa Al Asy'ari. Riwayat mengenai perbuatan Abu Musa ini disebutkan
lengkap dengan silsilah periwayatannya oleh Abu Nu'aim (guru Imam
Bukhari) dalam kitabnya yang berjudul Shalat, dimana beliau berkata,
"Telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Malik bin Harits -
yakni As-Sulami Al Kufi- dari bapaknya, ia berkata, "Abu Musa shalat
mengimami kami di DaruI Barid, sementara di tempat itu ada
pembuangan sampah dan gurun di hadapannya. Maka orang-orang

3 1 6 — FATHUL BAARI
berkata, 'Alangkah baiknya jika anda shalat mengimami kami di gurun
itu.'" Kemudian disebutkan seperti hadits di atas.
Adapun maksud DaruI Barid yang disebut-sebut dalam riwayat ini
adalah tempat yang terletak di Kufah (salah satu kota di Irak), dimana
para utusan biasa singgah di tempat itu apabila mereka hendak
menyampaikan perintah dari khalifah kepada para pembantunya
(gubernur). Sementara Abu Musa adalah gubernur di Kufah pada masa
pemerintahan khalifah Umar dan beberapa waktu pada masa
pemerintahan khalifah Utsman. DaruI Barid ini terletak di pinggiran, oleh
karena itu ia berhubungan langsung dengan gurun.

Al Mathrazi berkata, "Al Barid pada dasarnya adalah hewan yang


disiapkan untuk berjaga-jaga. Lalu lafazh tersebut dipergunakan bagi
para utusan yang menunggang hewan yang dimaksud. Setelah itu, lafazh
ini dipergunakan untuk nama jarak tertentu yang sudah dikenal."

s-lj—i (Sama saja), maksudnya kedua tempat itu tak ada bedanya
ditinjau dari segi sah tidaknya shalat.
Kemudian ada yang mengatakan bahwa dalam riwayat ini tidak
terdapat indikasi bahwa Abu Musa berpendapat hukum kotoran binatang
adalah suci, sebab ada kemungkinan beliau shalat di tempat itu sambil
memakai alas kain.
Sebagai jawabannya dikatakan, bahwa hukum asal kain yang
dimaksud tidak ada. Telah diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dalam
kitab Jami' pada bagian Musnad AIA 'masy, dimana disebutkan, "Abu
Musa shalat mengimami kami di suatu tempat yang ada sampahnya."
Riwayat Ats-Tsauri ini sangat jelas menunjukkan beliau shalat tanpa alas.
Telah diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dari Sa'id bin Musayyab dan
selain beliau, bahwa shalat dengan menggunakan alas merupakan hal
baru. Silsilah periwayatan hadits ini memiliki derajat shahih.
Adapun tanggapan yang berbobot adalah dengan mengatakan,
sesungguhnya perbuatan seperti itu hanyalah bersumber dari Abu Musa,
sementara sahabat-sahabat lain seperti Ibnu Umar dan lainnya menyalahi
Abu Musa dalam masalah ini. Dengan demikian, pandangan Abu Musa
tidak dapat menjadi hujjah. Atau dikatakan kemungkinan Abu Musa
berpandangan bahwa kesucian tidak termasuk syarat sahnya shalat, tapi
kesucian merupakan kewajiban yang berdiri sendiri menurut pendapat
yang masyhur.

FATHUL BAARI — 317


Keterangan seperti ini telah disebutkan dalam kisah seorang
sahabat yang shalat meskipun darah mengucur dari tubuhnya. Perbuatan
Abu Musa ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa
kotoran binatang tergolong suci, sebagaimana perbuatan sahabat yang
shalat berlumuran darah tidak menjadi alasan untuk menyatakan bahwa
darah itu suci hukumnya.

Adapun upaya untuk menyamakan atau menganalogikan hukum


antara hewan yang dimakan dagingnya dengan hewan yang tidak
dimakan dagingnya, adalah tidak jelas atau rancu sebab perbedaan
keduanya cukup jelas apabila terbukti kotoran hewan yang dimakan
dagingnya hukumnya suci, seperti yang akan kami bahas. Sementara
berpegang dengan makna umum dari hadits Abu Hurairah RA yang
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainnya dari Nabi SAW dengan
lafazh, JAs o l i p ailp jli J J J I J \'ytj]£*>\ (Jauhilah atau berhati-hatilah

kalian dari kencing, karena sesungguhnya kebanyakan adzab kubur itu


bersumber darinya) jauh lebih tepat dan pantas. Sebab secara lahiriah
hadits ini mencakup seluruh jenis air kencing, maka wajib dijauhi
berdasarkan hadits Abu Hurairah tersebut.

y J — ^ * 'j—» (Dari suku Ukl atau Urainah). Unsur yang


i*

menunjukkan keraguan pada lafazh ini bersumber dari Hammad. Imam


Bukhari telah menyebutkan pula hadits ini dalam bab Al Muharibin
melalui jalur Qutaibah dari Hammad, *ij i—ijf-'j*Jli jl 'j* llaij 01
JJs* 'JA Jli *i\ «uJii (Sesungguhnya sekelompok manusia yang berasal dari
suku Ukl atau ia mengatakan berasal dari Urainah. Akan tetapi aku tidak
mengetahui kecuali ia mengatakan berasal dari Ukl). Demikian pula
Imam Bukhari menyebutkan kembali hadits ini dalam kitab Jihad melalui
jalur Wuhaib dari Ayyub, j £ * 'j* Uaij ji (Bahwasanya sekelompok orang
dari Ukf), tanpa menggunakan lafazh yang mengindikasikan sikap ragu-
ragu. Begitu pula yang disebutkan dalam bab "Al Muharibin" melalui
jalur Yahya bin Abi Katsir, dalam kitab Diyat (denda) melalu jalur Abu
R a j a \ dan keduanya meriwayatkannya dari Abu Cjilabah.
Lalu Imam Bukhari meriwayatkan pula dalam kitab Zakat melalui
Qatadah dari Anas, i ^ j * 'j? ^OAj O' (Bahwasanya sekelompok orang yang
berasal dari Urainah), juga tanpa menggunakan lafazh yang mengindi-

3 1 8 — FATHUL BAARI
kasikan keraguan. Begitu pula yang dikutip oleh Imam Muslim dari
Mu'awiyah bin Cjurrah dari Anas.
Dalam kitab Al Maghazi disebutkan melalui Sa'id bin Abi Arubah
dari Qatadah,

j-Z'j* j j £ £ 'j* tfaij 01 (Bahwasanya orang-orang yang berasal dari


Ukl dan Urainah). Yakni dengan menggunakan kata penghubung "dan"
yang merupakan riwayat yang benar.
Kebenaran riwayat yang menggunakan kata penghubung "dan"
didukung oleh riwayat yang dinukil oleh Abu Awanah dan Thabari
melalui jalur Sa'id bin Basyir dari Qatadah dari Anas. Ia berkata, tyif

J _ j £ p JA AJMJJ ZZ'jf- °JA Sijjt (Mereka terdiri dari empat orang yang berasal
dari Urainah dan tiga orang dari Ukl). Lalu riwayat ini tidak pula
menyalahi riwayat yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam kitab "Jihad"
melalui jalur Wuhaib dari Ayyub, dan dalam kitab "Diyat" (denda)
melalui jalur Hajjaj Ash-Shawwaf dari Abu Raja", keduanya berasal dari
Abu Qilabah dari Anas, ia berkata, S—JUJ 'JA tfaij oi (Bahwasanya
sekolompok manusia dari Ukl yang terdiri dari delapan orang).
Dikatakan bahwa riwayat ini tidak bertentangan dengan hadits
sebelumnya, karena ada kemungkinan kedelapan orang yang dimaksud
tidak berasal dari salah satu di antara kedua kabilah tersebut sehingga ia
tidak pula dinisbatkan kepada salah satunya. Adapun mereka yang
menisbatkan kedepalan orang ini pada salah satu dari dua suku di atas,
sungguh ia telah bersikap ceroboh berdasarkan riwayat Abu Ya'la yang
juga dikutip oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Selanjutnya, Ibnu At-Tin melakukan kesalahan saat mengatakan


suku Urainah adalah suku Ukl itu sendiri. Bahkan keduanya adalah dua
suku yang berbeda, Ukl berasal dari Aden sedangkan Urainah berasal
dari Qahthan.
Yang dimaksud dengan suku Ukl adalah suku yang berasal dari
Qabilah Taim Ar-Rabbab. Sedangkan Urainah adalah nama dua suku
yang menempati dua pemukiman, yaitu pemukiman Qudha'ah dan
pemukiman Bujailah. Adapun yang dimaksud di sini adalah suku Urainah
yang menempati pemukiman Bujailah, sebagaimana disebutkan oleh

FATHUL BAARI — 319


Musa bin Uqbah dalam kitab Al Maghazi dan dikutip oleh Ath-Thabari
melalui jalur lain dari Anas.
Kemudian tersebut dalam riwayat Abdurrazzaq dari hadits Abu
Hurairah dengan silsilah periwayatan yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan, bahwasanya rombongan tersebut berasal dari suku Fazarah. Ini
jelas merupakan suatu kekeliruan, sebab suku Fazarah berasal dari
Qabilah Mudhar, dimana mereka tidak pernah bertemu dengan Ukl
maupun Urainah.

Disebutkan oleh Ibnu lshaq dalam Al Maghazi bahwa kedatangan


rombongan tersebut setelah perang Dzi Qard, sementara perang ini
sendiri terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun keenam Hijrah. Namun
Imam Bukhari menyebutkan, bahwa kedatangan rombongan tersebut
berlangsung setelah perjanjian Hudaibiyah di bulan Dzulqa'dah pada
tahun yang sama. Sementara Al Waqidi menyebutkan, bahwa mereka
datang pada bulan Syawwal tahun Hudaibiyah. Pendapat Al Waqidi
diikuti pula oleh Ibnu Sa'ad, Ibnu Hibban dan lainnya, wallahu a 'lam.

Dalam bab "Al Muharibin ", Imam Bukhari menyebutkan bahwa


orang-orang tersebut tinggal di masjid sebagai ahli shuffah sebelum
mereka disuruh pergi ke tempat onta.

ii>xj\ \jf*.\£ (Mereka tidak cocok dengan Madinah). Dalam


riwayat Yahya bin Abu Katsir sebelum lafazh ini terdapat tambahan,
i j l l — ( d a n mereka masuk Islam). Sementara dalam riwayat Abu Raja'

disebutkan, ^ — J * (Maka mereka berjanji setia kepada Rasul


untuk membela Islam).

Ibnu Faris berkata, "Dikatakan J—Ut c jjslri (Aku tidak cocok


dengan suatu negeri) apabila aku tidak senang tinggal di negeri itu,
meskipun aku dalam kenikmatan." Akan tetapi Al Khaththabi
mengkhususkan lafazh tersebut bagi mereka yang mendapatkan mudharat
karena tinggal di negeri yang dimaksud. Hal ini sesuai dengan kisah di
atas.

Al Qazzaz berkata, "Dikatakan ' j j s r (mereka tidak cocok


1
dengan
suatu negeri) apabila makanan penduduk negeri itu tidak sesuai dengan
selera mereka." Menurut Ibnu Al Arabi bahwa lafazh Sy—^ adalah

3 2 0 — FATHUL BAARI
penyakit. Lalu dalam riwayat lain dari Abu Raja' disebutkan dengan
lafazh, \'j^-'y—L>\. Ibnu Al Arabi mengatakan, bahwa kedua lafazh itu
memiliki makna yang sama. Sementara ulama yang lain mengatakan
bahwa lafazh ijtawa adalah sejenis penyakit yang biasa menyerang perut.
Dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Sa'id dari Qatadah,
sehubungan dengan kisah ini dikatakan, "Mereka berkata, 'Wahai Nabi
Allah, sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang biasa beternak
dan tidak terbiasa bertani.'" Kemudian dalam bab tentang pengobatan,
Imam Bukhari menyebutkan pula riwayat yang senada melalui Tsabit
dari Anas. Ia berkata, "Sesungguhnya dahulu ada sekelompok manusia
yang menderita suatu penyakit, maka mereka berkata, 'Wahai Rasulullah,
berilah kami tempat tinggal dan makanan.'" Setelah sembuh mereka
berkata, 'Sesungguhnya Madinah negeri yang membahayakan kesehat-
an.'"

Secara lahiriah, orang-orang tersebut masuk Madinah dalam


keadaan sakit dan ketika sehat mereka merasa tidak senang tinggal di
Madinah karena merupakan daerah penyakit. Adapun penyakit yang
mereka bawa saat masuk Madinah adalah kondisi tubuh yang kurus dan
kelelahan karena rasa lapar.

Dalam riwayat Abu Awanah melalui jalur Ghailan dari Anas,


"Orang-orang itu kurus kering." Lalu beliau meriwayatkan pula dari jalur
Abu Sa'id dari Anas dengan lafazh, "Warna mereka pucat pasi."
Adapun penyakit yang mereka keluhkan setelah sembuh dari
penyakit lama adalah penyakit demam yang biasa menimpa penduduk
Madinah, sebagaimana hal ini disebutkan oleh Imam Ahmad melalui
jalur Humaid dari Anas. Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan
penyakit demam di Madinah dari hadits Aisyah dalam bab "Thibb" (ilmu
medis), dimana disebutkan bahwa Nabi SAW berdoa kepada Allah agar
memindahkan penyakit tersebut ke Juhfah. Lalu disebutkan dalam
riwayat Imam Muslim melalui Mu'awiyah bin Qurrah dari Anas dengan
lafazh, "Di Madinah saat itu menyebar penyakit radang selaput dada."
Sedangkan dalam riwayat Abu Awanah melalui riwayat Hammam dari
Qatadah dari Anas sehubungan dengan kisah ini disebutkan, "Maka
perut-perut mereka membesar"

FATHUL BAARI — 321


—«JJ —» (Maka beliau SAW memerintahkan mereka untuk
mencari unta betina yang sedang menyusui), yakni mereka diperintah
untuk mendatangi tempat pemeliharaan atau penggembalaan unta.
Dalam riwayat Imam Bukhari melalui Hammam dari Cjatadah
disebutkan, "Beliau SAW memerintahkan mereka mendatangi penggem-
balanya." Sementara dalam riwayat Abu Awanah melalui jalur
Mu'awiyah bin Qurrah -dimana silsilah periwayatannya dinukil oleh
Imam Muslim- dengan lafazh, "Bahwasanya mereka memulai memohon
untuk mendatangi tempat peternakan unta seraya berkata, 'Wahai
Rasulullah, sungguh penyakit ini telah terjadi, maka alangkah baiknya
jika engkau berkenan mengizinkan kami pergi ke tempat peternakan
unta.'"

Kemudian dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Wuhaib dari


Ayyub bahwa mereka berkata, "Wahai Rasulullah, carilah untuk kami air
susu." Nabi Menjawab, "Aku tidak mendapatkan air susu untuk kalian,
kecuali jika kamu pergi sendiri ke tempat peternakan unta" Dalam
riwayat Abu Raja' dikatakan, "Ini adalah unta-unta kami yang sedang
keluar, maka keluarlah kamu karenanya."

Makna lahiriah riwayat-riwayat ini memberi kesimpulan bahwa


unta tersebut adalah milik Nabi SAW. Bahkan kesimpulan ini telah
ditegaskan secara transparan dalam riwayat Imam Bukhari pada bab "Al
Muharibin (Pemberontak)" melalui jalur Musa dari Wuhaib, dimana
disebutkan, "Kecuali jika kamu datang ke tempat unta Rasulullah SA W."
Dalam kitab yang sama beliau menukil riwayat melalui jalur Al Auza'i
dari Yahya bin Abi Katsir, "Maka beliau SAW memerintahkan kepada
mereka agar datang ke tempat unta sedekah (zakat)." Demikian juga yang
terdapat dalam kitab Zakat melalui jalur Syu'bah dari Qatadah.
Untuk memadukan riwayat-riwayat tersebut dapat dikatakan,
"Sesungguhnya unta sedekah digembalakan di luar kota Madinah. Pada
saat Nabi SAW mengirim unta miliknya ke tempat penggembalaan,
orang-orang tersebut juga memohon kepada beliau SAW agar diizinkan
keluar kota untuk minum air susu unta. Maka Nabi SAW memerintahkan
mereka untuk keluar bersama penggembala untanya, dan mereka pun
keluar bersama penggembala tersebut lalu mereka melakukan perbuatan
seperti di atas.

3 2 2 — FATHUL BAARI
Dari kejadian ini terbuktilah kebenaran sabda beliau SAW, iiLuJi JJ

^—& ^ (Sesungguhnya Madinah akan membuang sesuatu yang buruk


padanya). Keterangan selengkapnya mengenai hal ini akan disebutkan.
Sementara itu Ibnu Sa'ad mengatakan, bahwa unta milik nabi SAW
berjumlah 15 ekor. Lalu orang-orang tersebut menyembelih salah satunya
yang bernama Al Hanna. Keterangan ini beliau kutip dari Al Waqidi,
padahal Al Waqidi sendiri telah menyebutkan riwayat yang dimaksud
dalam kitab Al Maghazi dengan jalur periwayatan yang lemah lagi
mursal (tanpa menyebut nama perawi dari Rasulullah SAW).

lJJ'J^J olj (Agar mereka minum), yakni beliau SAW memerintah-


kan mereka agar meminum air kencing unta. Dalam riwayat Imam
Bukhari melalui jalur Abu Raja' dikatakan, "Hendaklah kalian keluar dan
meminum air susu dan kencingnya", yakni dalam bentuk perintah.
Kemudian dalam riwayat Syu'bah dari Qatadah disebutkan, "Maka
diberi keringanan bagi mereka untuk datang ke tempat unta sedekah dan
meminum air susunya." Landasan yang melegitimasi perbuatan mereka
untuk minum air susu unta sedekah adalah karena mereka tergolong ibnu
sabil (orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan). Sedangkan
landasan yang membenarkan mereka minum air susu unta milik Nabi
SAW adalah izin dari beliau SAW sendiri.

Perbuatan mereka meminum air kencing unta telah dijadikan dalil


oleh golongan yang menyatakan air kencing hewan adalah suci. Adapun
tentang air kencing unta adalah berdasarkan hadits di atas, sedang
kesucian air kencing hewan yang dimakan dagingnya adalah berdasarkan
qiyas (analogi). Inilah pendapat Imam Malik, Ahmad dan beberapa ulama
salaf. Pandangan itu disetujui oleh ulama madzhab Syafi'i, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Mundzir, Ibnu Hibban, Al Istukhari serta Ar-Rauyani.
Adapun Imam Syafi'i serta mayoritas ulama berpandangan, bahwa air
kencing dan kotoran hewan hukumnya najis, baik yang dimakan
dagingnya ataupun tidak dimakan. Lalu Ibnu Mundzir memperkuat
pendapatnya dengan mengatakan, sesungguhnya hukum asal sesuatu
adalah suci hingga jelas keterangan yang menggolongkannya sebagai
sesuatu yang najis. Beliau menambahkan, "Barangsiapa yang mengata-
kan bahwa kebolehan minum air kencing unta khusus bagi kaum tersebut
sungguh ia telah keliru, sebab hukum-hukum yang berlaku secara khusus
tidak dapat ditetapkan melainkan berdasarkan dalil." Dia juga berkata,

FATHUL BAARI — 323


"Sikap ulama yang membiarkan manusia memperjualbelikan kotoran
kambing di pasar-pasar dari dahulu hingga sekarang tanpa ada yang
mengingkarinya merupakan bukti bahwa ia adalah suci."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Akan tetapi penetapan dalil seperti ini
sangatlah lemah, sebab suatu perkara yang diperselisihkan tidak wajib
diingkari. Maka tidak adanya pengingkaran bukan menjadi bukti
kebolehannya, apalagi menjadi dalil kesuciannya. Sementara indikasi
akan najisnya seluruh jenis air kencing telah disebutkan dalam hadits
Abu Hurairah RA seperti yang kami sebutkan di atas."
Ibnu Al Arabi berkata, "Hadits yang tersebut di bab ini dijadikan
sebagai dalil oleh mereka yang menyatakan air kencing unta adalah suci.
Namun pandangan mereka dibantah dengan mengatakan bahwa mereka
diizinkan untuk minum kencing unta dengan tujuan pengobatan. Akan
tetapi bantahan ini dapat pula dijawab bahwa tujuan pengobatan tidak
termasuk dalam kondisi darurat, sebab berobat itu sendiri tidaklah wajib.
Lalu bagaimana sehingga perkara haram dibolehkan demi sesuatu yang
tidak wajib?

Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Pernyataan bahwa berobat tidak ter-


masuk kondisi darurat adalah tidak dapat dibenarkan, bahkan ia termasuk
dalam kategori darurat berdasarkan berita yang dinukil oleh orang-orang
terpercaya. Sesuatu yang dibolehkan karena kondisi darurat tidak
dinamakan sebagai hal yang haram pada saat menggunakannya ber-
dasarkan firman Allah SWT, " padahal sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali
apa yang terpaksa kamu memakannya" (Qs. Al A n ' a a m (6): 119) Segala
yang terpaksa digunakan oleh seseorang maka hal itu tidaklah haram
baginya, sebagaimana halnya makan bangkai bagi seseorang yang
terpaksa harus memakannya, wallahu a 'lam.
Substansi perkataan beliau (Ibnu Al Arabi) yang menyatakan,
bahwa perkara haram dibolehkan hanya demi tujuan-tujuan yang wajib
juga tidak dapat diterima, karena sesungguhnya tidak berpuasa di siang
hari bulan Ramadhan hukumnya haram. Namun demikian, ia tetap
diperbolehkan hanya karena perkara yang mubah seperti safar.
Adapun perkataan ulama lain yang menyatakan air kencing unta
adalah najis, maka ia tentu tidak boleh dijadikan sebagai obat,
berdasarkan sabda Nabi SAW, 'g y * fj—f 1
—<4? JA J**4 ^ *»' ^!

3 2 4 — FATHUL BAARI
(Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan bagi umatku pada
apa-apa yang diharamkan atas mereka). Diriwayatkan oleh Abu Dawud
dari hadits Ummu Salamah (Adapun jalur lain hadits ini akan disebutkan
dalam pembahasan tentang minuman). Sementara najis adalah haram
hukumnya, maka tidak boleh dijadikan sebagai obat karena tidak dapat
menyembuhkan.

Perkataan ini dapat pula dijawab dengan mengatakan, "Hadits yang


dijadikan dalil berlaku dalam kondisi normal. Adapun pada kondisi
darurat (terpaksa) tidaklah dianggap sebagai hal yang haram, sebagai-
mana bangkai (boleh dimakan) oleh orang dalam kondisi terpaksa. Hal
ini tidak pula bertentangan dengan sabda beliau SAW yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim ketika menjawab pertanyaan tentang berobat dengan
menggunakan khamer, s-b 1$ >\ t ' j j j c — J (Sesungguhnya ia bukan
obat, tapi ia adalah penyakit).
Hadits ini khusus berhubungan dengan khamer dan masuk pula
dalam cakupannya semua yang memabukkan. Perbedaan antara hal-hal
yang memabukkan dengan hal-hal yang najis lainnya bahwa, seseorang
dapat dijatuhi hukuman fisik (had) jika meminum khamer dalam kondisi
normal, sedangkan hal-hal yang najis lainnya tidak demikian. Di samping
itu, meminum khamer dapat mendatangkan banyak kerusakan. Pada masa
jahiliyah mereka berkeyakinan bahwa khamer dapat menyembuhkan
penyakit, maka syariat datang menyalahi keyakinan mereka. Demikian
yang dikatakan oleh At-Thahawi.

Adapun mengenai air kencing unta, telah diriwayatkan oleh Ibnu


Mundzir dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, Jt^jW « - ^ J-i? J ^ j , J !
1 1

(Sesungguhnya pada air kencing unta terdapat kesembuhan bagi orang


yang menderita penyakit di perutnya). Maka, tidak boleh menyamakan
hukum antara sesuatu yang telah dinyatakan tidak mengandung unsur
kesembuhan dengan sesuatu yang telah dinyatakan secara tegas
mengandung kesembuhan, wallahu a 'lam. Dengan cara ini kita dapat
memadukan antara dalil-dalil yang ada ' dan mengamalkan indikasinya.
1

Tidak ada kontradiksi antara dalil-dalil yang disebutkan pada bab ini-segala puji bagi
Allah- dan yang benar adalah air kencing hewan yang dimakan baik unta ataupun lainnya
hukumnya adalah suci, seperti telah diterangkan pada halaman sebelumnya. Telah
disebutkan pula jawaban atas pernyataan Ibnu Hajar di tempat ini. Andaikata air kencing
unta dan yang sepertinya adalah najis, maka tentu Nabi SAW memerintahkan mereka
mencuci mulut karena minum air air kencing tersebut, seraya menerangkan hukumnya.

FATHUL BAARI — 325


l j _ ? w L_Ui (Setelah sehat). Di sini ada kalimat yang tidak

disebutkan, dimana kalimat selengkapnya adalah &ii l^iUtj l$h};i j * 'j/r^*

ij_iw5 (Maka mereka pun minum air kencing dan susu unta tersebut,
setelah mereka sembuh). Lafazh seperti ini disebutkan langsung dalam
hadits di atas melalui jalur Abu Raja\ Sementara dalam riwayat Wuhaib
ditambahkan, \'y+—ij (dan mereka telah gemuk). Dalam riwayat Al

Isma'ili disebutkan, j^'ijif c - « r j j (Dan warna kulit mereka kembali


seperti sediakala).

^LJOl «.L_irJ (Maka datanglah berita). Dalam riwayat Wuhaib dari

Abu Ayyub disebutkan, £ « — i — ( D a t a n g l a h seseorang penyeru),


yakni ia berseru dengan suara lantang mengabarkan apa yang telah
terjadi. Orang yang berseru ini adalah salah seorang penggembala, seperti
disebutkan dalam Shahih Abu Awanah melalui riwayat Mu'awiyah bin
Qurrah dari Anas. Sementara itu, Imam Muslim telah meriwayatkan pula
hadits ini dengan lafazh, i j—13 lu :JU» ^'yr -u Jf-t\ J^\'J\ J*-\ iji3

Jj)!t_j l j — ^ > ~ \ — . e (Maka mereka membunuh salah satu dari dua


pengembala, dan penggembala yang satunya datang dengan ketakutan
lalu berseru, "Mereka telah membunuh saudaraku dan pergi membawa
unta. "). Nama penggembala Nabi SAW yang terbunuh adalah Yasar,
seperti disebutkan oleh Ibnu Ishaq dalam Al Maghazi.
Lalu diriwayatkan pula oleh Imam Ath-Thabrani dengan silsilah
periwayatan yang bersambung sampai kepada Nabi SAW melalui hadits
Salamah bin Al A k w a ' dimana sisilah periwayatannya tergolong baik,
"Nabi SAW memiliki seorang budak yang bernama Yasar." Ibnu Ishaq
menambahkan, "Dia dapatkan pada saat perang bani Tsa'labah." Salamah
berkata, "Nabi SAW melihat orang itu melakukan shalat dengan baik,
maka beliau membebaskannya kemudian mengirimnya untuk menggem-
bala untanya di suatu tempat bernama Hurrah, lalu orang itu menetap di
tempat tersebut." Kemudian ia menyebutkan kisah orang-orang Urainah
dan perbuatan mereka yang membunuhnya. Adapun nama penggembala

Sementara mengakhirkan penjelasan dari waktu dibutuhkannya penjelasan itu tidaklah


diperbolehkan sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fikih, wallahu a 'lam.

3 2 6 — FATHUL BAARI
yang datang membawa berita belum aku dapatkan keterangan tentang itu,
hanya saja nampaknya ia adalah penggembala unta sedekah (zakat).
Riwayat Imam Bukhari tidak berbeda dalam menyebutkan, bahwa
yang terbunuh hanyalah salah seorang penggembala. Demikian pula
dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Namun pada riwayat
yang beliau nukil melalui Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas disebutkan,
"Kemudian mereka menuju para penggembala dan membunuh mereka."
Senada dengan ini, diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban melalui jalur
Yahya bin Sa'id dari Anas. Dari sini ada kemungkinan bahwa unta
sedekah itu digembalakan oleh sejumlah orang, lalu sebagian mereka
terbunuh bersama-sama penggembala unta milik Nabi SAW. Kemudian
sebagian perawi mencukupkan dengan menyebut penggembala milik
Nabi SAW, sedangkan perawi yang lain menyebutkan pula pengem-bala
yang lainnya. Ada pula kemungkinan bahwa sebagian perawi menukil
hadits ini dari segi maknanya saja, sehingga menuturkan hadits ini
dengan lafazh jamak (plural). Kemungkinan terakhir ini jauh lebih kuat,
sebab para penulis kitab Al Maghazi tidak menyebutkan adanya yang
terbunuh dalam kejadian itu selain penggembala yang bernama Yasar,
wallahu a 'lam.

°p*>y—'T 1 (Maka beliau mengirim utusan untuk menelusuri


jejak mereka). Dalam riwayat Al Auza'i ditambahkan "Untuk mencari",
sementara dalam hadits Salamah bin Al Akwa' disebutkan "Beliau
mengutus satu pasukan berkuda di bawah pimpinan Kurz bin Jabir Al
Fihri". Demikian disebutkan oleh Ibnu Ishaq dan sebagian besar ahli
sejarah.

Dalam riwayat An-Nasa'i dari Al Auza'i dikatakan, p+jb Jt

i—sli (Maka beliau mengutus untuk mencari mereka orang-orang ahli


dalam melihat jejak kaki). Kemudian dalam riwayat Imam Muslim dari
Mu'awiyah bin Qurrah dari Anas dikatakan, bahwa pasukan tersebut
terdiri dari para pemuda Anshar yang jumlahnya sekitar 21 orang. Tapi
dalam kitab Al Maghazi oleh Al Waqidi disebutkan, bahwa pasukan
tersebut berjumlah 20 orang tanpa menyebutkan bahwa mereka berasal
dari kalangan Anshar. Bahkan disebutkan di antaranya sejumlah sahabat
dari kalangan Muhajirin, di antaranya Buraidah bin Al Hushaib, Salamah
bin Al Akwa' Al Aslami, Jundub dan Rafi' (dua putra Makits Al
Juhnayan), Abu Dzar Al Ghifari, Abu Rahm Al Ghifari, Bilal bin Harits

FATHUL BAARI — 327


Al Mazni, Abdullah bin Amru bin Auf Al Mazni serta selain mereka.
Sementara berita Al Waqidi tidak layak dipercaya apabila berita itu tidak
dinukil juga dari sumber lain, maka bagaimana jika berita yang beliau
nukil bertentangan dengan riwayat dari sumber yang lain? Ada ke-
mungkinan jika mereka yang tidak disebutkan namanya oleh Al Waqidi
semuanya berasal dari golongan Anshar, sehingga dikatakan bahwa
pasukan itu terdiri dari para pemuda Anshar melihat jumlah mereka yang
mayoritas. Atau seluruh yang tergabung dalam pasukan itu dinamakan
Anshar menurut pengertian yang lebih luas (yakni para penolong-penerj).

Dalam kitab Al Maghazi oleh Musa bin Uqbah dikatakan, bahwa


pemimpin pasukan tersebut bemama Sa'id bin Zaid. Namun menurut
sumber lain. nama pemimpin pasukan tersebut adalah Sa'ad bin Zaid Al
Asyhaii yang juga berasa! dari kalangan Anshar. Dari sini dapat ditarik
suatu kemungkinan bahwa beliau adalah pemimpin golongan Anshar
yang bergabung dalam pasukan khusus, sedangkan Kurz adalah sebagai
pimpinan umum. Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dan lainnya dan hadits
Jarir bin Abdullah Al Bajli bahwa Nabi SAW telah mengutusnya untuk
menelusuri jejak orang-orang Urainah tersebut, akan tetapi silsilah
periwayatan hadits ini cukup lemah. Berita yang masyhur menyatakan
bahwa Jarir masuk Islam jauh setelah kejadian ini, wallahu a 'lam.

£—«jjl Cji (Ketika matahari telah meninggi) Dalam riwayat ini ada
bagian yang tidak disebutkan secara tekstual, dan lafazh selengkapnya
adalah sebagai berikut, '• 'J* j ^ ' ^ j ' ^ iJJi J>
(Maka mereka berhasil mendapatkan orang-orang tersebut di hari itu,
dan ketika matahari telah meninggi, mereka para tawanan itu
dihadapkan kepada Nabi SA W).

£_ki 'y>\i (Maka beliau memerintahkan untuk memotong). Demikian


riwayat yang dikutip oleh Al Ashili, Al Mustamli dan As-Sarakhsi.
Sementara dalam riwayat selain mereka dikatakan, "Maka tangan dan
kaki mereka dipotong."
Ad-Dawudi berkata, "Maksudnya dipotong kedua tangan dan kaki
setiap salah seorang di antara mereka." Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Per-
kataan ini tertolak oleh riwayat Imam Tirmidzi yang menyatakan
dipotong secara menyilang, sebagaimana hal ini disebutkan pula oleh Al
Isma'ili dari Al Faryabi, dari Al Auza'i. Sementara dalam riwayat Imam

3 2 8 — FATHUL BAARI
Bukhari melalui riwayat Al Auza'i disebutkan, 'Beliau tidak menahan
darah.' Maksudnya beliau SAW membakar tangan yang telah dipotong
atau melakukan hal-hal tertentu untuk menahan keluarnya darah, bahkan
beliau membiarkan darah mereka mengalir."

Bukhari semuanya menyebutkan dengan menggunakan huruf ra'. Namun


dalam riwayat Imam Muslim dari Abdul Aziz menyebutkan dengan
menggunakan huruf lam, yakni J * - > i

Al Khaththabi berkata, bahwa arti J'i adalah menusuk mata


dengan apa saja. Sehubungan dengan makna tersebut Abu Dzu'aib Al
Hadzali berkata:
Mata sesudah kepergian mereka
Bagaikan ditusuk dengan duri
Sebelah mata menjadi buta
Sambil meneteskan air mata

Dia juga berkata bahwa'y.—~>merupakan salah satu bentuk

pengucapan kata Ji—> dimana tempat keluar huruf bagi keduanya sangat

berdekatan. Beliau mengatakan, "Ada pula kemungkinan kata'y>~>berasal

dari kata (paku), maksudnya paku yang telah dipanasi ditempelkan

ke mata mereka."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Maksud lafazh ini telah disebutkan
dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Wuhaib dari Ayyub dan
riwayat Al Auza'i dari Yahya, keduanya menukil dari Abu Cjilabah
t' t'*

dengan lafazh, —> ^—L>^3 c4**-'—' — J — ^ f (Kemudian beliau


memerintahkan untuk dibawakan paku lalu dipanaskan, dan setelah itu
ditusukkan ke mata mereka). Riwayat ini memperjelas apa yang telah
disebutkan sebelumnya. Namun ia tidak kontradiksi dengan riwayat yang
menggunakan lafazh Ji—> sebab makna lafazh ini adalah mencungkil
mata dengan cara apa saja seperti yang telah disebutkan.

FATHUL BAARI — 329


« j — ^ ^j—\ ' j ^ b {Lalu dijemur di harrah atau tempat panas), yakni
suatu tempat yang berbatu hitam yang terletak di dekat kota madinah.
Mereka sengaja dilemparkan ke tempat tersebut, sebab lokasi itu dekat
dengan tempat dimana mereka melakukan perbuatannya.

bji—-~i "t—i iiji—(Mereka minta minum namun tidak diberi

minum). Dalam riwayat Wuhaib diberi tambahan lafazh, ijft» J»- (hingga

mati). Sedangkan dalam riwayat Abu Raja' disebutkan, _ uuiJl J>°pkX3^( r

IJJI—" (Kemudian mereka dijemur di bawah terik matahari hingga

mati). Dalam riwayat Syu'bah dari Cjatadah dikatakan, OJLJVJI OjiaiJ

(mereka menggigit batu). Sementara dalam kitab At-Thibb (ilmu medis)

diriwayatkan dari Tsabit bahwa Anas berkata, ^CJu j>ji\ jVJ'


—J -J&- (Aku melihat
lS seseorang di antara mereka menjilat tanah
dengan lidahnya hingga mati). Sedangkan dalam riwayat Abu Awanah
dari jalur yang sama disebutkan, oilsJlj'J*}\J 1 * J \W* \jt>ij Je}i\ 'ja*J
(la menggigit tanah untuk mendapatkan kelembabannya karena panas
yang menimpanya). Lalu Al Waqidi menyatakan bahwa mereka disalib,
akan tetapi riwayat-riwayat yang shahih menyalahinya. Hanya saja dalam
riwayat Abu Uqail dari Anas disebutkan, "Dua orang disalib, dua orang
di potong tangan dan kaki dan dua orang ditusuk mata." Demikianlah, ia
hanya menyebutkan 6 orang saja. Apabila riwayat ini dapat diper-
tanggungjawabkan, maka dapat dipahami bahwa siksaan yang mereka
terima terbagi-bagi.
Kemudian sejumlah ulama -di antaranya Ibnu Al Jauzi- cenderung
menyatakan bahwa hukuman yang mereka terima adalah sebagai qishas
(yakni hukuman yang dijatuhkan sama dengan perbuatan yang dilakukan
-penerj) berdasarkan riwayat Imam Muslim dari hadits Sulaiman At-
Taimi dari Anas, "Nabi SAW mencungkil mata mereka karena mereka
telah mencungkil mata para penggembala." Mereka yang hanya
menisbatkan riwayat ini kepada Tirmidzi dan Nasa'i sungguh telah
melakukan tindakan kurang tepat.
Lalu Ibnu Daqiq Al Id menanggapi, "Sebenarnya yang terjadi
dengan orang-orang Urainah, bahwa tubuh mereka dipotong-potong,
sementara dalam hadits ini hanya disebutkan mengenai pencungkilan

3 3 0 — FATHUL BAARI
mata mereka saja. Untuk itu perlu dibuktikan untuk anggota badan
lainnya."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Seakan-akan para ulama berpegang
pada berita yang dinukil oleh para penulis kitab Al Maghazi
(peperangan), dimana mereka mengatakan bahwa orang-orang Urainah
dijatuhi hukuman berupa pemotongan anggota badan disebabkan mereka
telah memotong-motong anggota badan para penggembala." Namun
sebagian ulama menyatakan bahwa hukuman dengan memotong anggota
badan pelaku kejahatan telah mansukh (dihapus). Ibnu Syahin berkata
setelah menyebutkan hadits Imran bin Hushain sehubungan dengan
larangan memotong anggota badan, "Hadits ini menghapuskan segala
jenis tindakan yang mengarah kepada pemotongan anggota badan."

Lalu perkataan ini ditanggapi oleh Ibnu Al Jauzi dengan


mengatakan, bahwa klaim hukuman tersebut telah mansukh (dihapus)
harus dibuktikan dengan sejarah, yakni manakah yang terdahulu antara
peristiwa ini atau larangan menghukum dengan cara memotong anggota
badan.
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Keterangan bahwa riwayat mengenai
larangan memotong-motong anggota badan ditetapkan lebih akhir, hal itu
diisyaratkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al Jihad dari hadits Abu
Hurairah RA sehubungan dengan larangan menghukum dengan
menggunakan api setelah sebelumnya diperbolehkan. Sedangkan kisah
orang-orang Urainah terjadi sebelum Abu Hurairah masuk Islam.
Meskipun demikian, Abu Hurairah RA telah menyaksikan waktu
pembolehan dan saat terjadinya larangan.

Diriwayatkan oleh Qatadah dari Ibnu Sirin, bahwa kisah orang-


orang Urainah terjadi sebelum turunnya ayat-ayat tentang hudud
(hukuman fisik). Kemudian Musa bin Uqbah menyebutkan dalam kitab
Al Maghazi, "Para perawi menyebutkan bahwa setelah kejadian itu Nabi
SAW melarang untuk menjatuhi hukuman memotong-motong anggota
badan, karena ayat yang ada di surah Al Maa'idah." Imam Bukhari lebih
cenderung kepada pandangan ini, sebagaimana dinukil juga oleh Imam
Al Haramain dari Imam Syafi'i.

Selanjutnya Al Qadhi Iyadh mempertanyakan apa sebabnya


sehingga orang-orang tersebut tidak diberi minum di saat mereka
memintanya, sementara ulama telah bersepakat bahwa mereka yang telah

FATHUL BAARI — 331


dijatuhi hukuman mati lalu meminta minum maka tidak boleh dicegah?
Untuk menjawab pernyataan ini dapat dikatakan, sesungguhnya hal itu
terjadi bukan atas perintah Nabi dan tidak disebutkan pula suatu riwayat
yang menyatakan beliau SAW melarang mereka untuk diberi minum.
Demikian perkataan Al Qadhi. Namun ini merupakan jawaban yang
sangat lemah, sebab tatkala Nabi SAW melihat kejadian itu beliau diam,
maka hal itu cukup menjadi dalil (petunjuk) dalam mengukuhkan hukum
yang dimaksud.

Kemudian Imam An-Nawawi memberi jawaban bahwa seorang


pemberontak lagi murtad tidak harus dihormati baik diberi minum atau
yang lainnya. Hal ini dapat dijadikan pegangan bahwa seseorang yang
tidak memiliki air kecuali sekedar untuk dipakai bersuci, maka tidak
boleh memberikan air tersebut untuk diminum orang kafir sementara ia
sendiri terpaksa bertayammum. Bahkan, ia harus menggunakan air
tersebut untuk bersuci meskipun orang yang murtad itu mati kehausan.
Al Khaththabi berkata, "Nabi SAW melakukan hal itu terhadap
mereka, karena beliau menginginkan agar mereka mati dalam kondisi
seperti itu." Adapula yang mengatakan bahwa hikmah mereka dibiarkan
kehausan adalah sebagai balasan atas sikap mereka yang kufur terhadap
nikmat minuman air susu unta yang telah menghilangkan rasa lapar dan
menyembuhkan penyakit yang mereka derita. Di samping itu Nabi SAW
pernah berdoa agar Allah SWT membuat haus orang-orang yang sengaja
membuat keluarganya kehausan, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam
suatu kisah yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa'i. Maka ada kemung-
kinan bahwa keluarga beliau pada malam itu tidak mendapatkan jatah
minuman air susu dari unta milik beliau SAW, yang biasa dikirimkan
setiap hari, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sa'ad, wallahu a 'lam.

\ fj—*' t-^'y]—J y) Jli (Abu Qilabah berkata, "Orang-orang itu


telah mencuri), yakni mereka telah mengambil unta tersebut dari tempat-
nya. Perkataan ini diucapkan oleh Abu Cjilabah atas dasar istinbath
(pengambilan kesimpulan hukum).

i «Tj (dan mereka kafir) Keterangan seperti ini terdapat dalam


riwayat Sa'id dari Qatadah dari Anas seperti tercantum dalam kitab Al
Maghazi. Demikian pula yang disebutkan dalam riwayat Wuhaib dari
Ayyub dalam kitab Al Jihad sehubungan dengan inti hadits ini. Silsilah
periwayatan pernyataan itu sendiri tidaklah hanya sampai pada Abu

3 3 2 — FATHUL BAARI
Cjilabah, sebagaimana yang diduga oleh sebagian ulama. Begitu pula
dengan lafazh, ij/jl (dan mereka memberontak) dimana telah
disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad melalui jalur Humaid dari Anas,
(dan merekapun lari dalam rangka melakukan
pemberontakan atau pembangkangan).
Pada pembahasan mendatang akan dijelaskan kisah Abu Qilabah
bersama Umar bin Abdul Aziz sehubungan dengan masalah Al Qasamah
(sumpah akibat tuduhan melakukan pembunuhan) dalam kitab Diyat
(hukuman denda), insya Allah.

Pelajaran yang dapat diambil


Dalam hadits ini terdapat sejumlah faidah yang dapat diambil
selain apa yang telah disebutkan, di antaranya:
1. Kedatangan para utusan kepada imam (pemimpin).
2. Keharusan seorang imam untuk memperhatikan kemaslahatan
(kesejahteraan) mereka (para utusan yang datang).
3. Disyariatkannya berobat dan mengobati penyakit dengan susu atau
air kencing unta.
4. Bolehnya membunuh suatu kelompok karena mereka telah
membunuh satu orang, baik karena tipu daya atau pemberontakan,
jika kita berpendapat bahwa membunuh mereka adalah untuk
menegakkan hukum qishash.
5. Bolehnya memotong anggota badan dalam rangka menegakkan
hukum qishash, dan ini tidak termasuk perbuatan memotong
anggota badan yang dilarang.
6. Tetapnya hukum muharabah (pemberontakan) di gurun (luar
pemukiman), adapun di desa (tempat pemukiman) masih
diperselisihkan.
7. Ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan) boleh memanfaatkan unta
sedekah (zakat) untuk diminum susunya atau keperluan lainnya
atas izin sang imam.

FATHUL BAARI — 333


8. Bolehnya mengikuti perkataan ahli dalam mengetahui jejak kaki,
karena bangsa Arab telah memiliki pengetahuan yang mendalam
tentang hal itu.

o l ^ t ' ' ^ } / y y y y y

l^Ji _JL jl Jl»


t5 JUi S Jl» °Js>

234. Diriwayatkan dari Anas, ia berkata, "Sebelum masjid selesai


dibangun, Nabi pernah shalat di tempat-tempat kambing bermalam
(kandang)"

Keterangan Hadits:
Hadits tentang shalat di tempat-tempat berkumpulnya kambing
telah dijadikan dalil oleh mereka yang berpandangan bahwa air kencing
dan kotoran kambing adalah suci. Mereka berkata, "Sebab tempat-tempat
seperti itu tidak luput dari hal-hal tersebut, sehingga menjadi bukti bahwa
mereka bersentuhan langsung ketika shalat, dan itu menunjukkan bahwa
kencing dan kotoran tersebut tidak najis."

Orang-orang yang berdalil seperti ini dibantah dengan mengemu-


kakan adanya kemungkinan bahwa mereka memakai alas. Namun
bantahan ini dapat dijawab dengan mengatakan, bahwa bukan menjadi
kebiasaan mereka shalat dengan menggunakan alas yang membatasi
mereka dengan tanah. Hanya saja pernyataan inipun masih perlu diper-
tanyakan, sebab ia hanya merupakan persaksian atas tidak adanya sesuatu
(sementara tidak adanya pengetahun tentang sesutu tidak dapat dijadikan
bukti bahwa sesuatu itu tidak ada). Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa
pernyataan tersebut disandarkan kepada dalil pokok.
Adapun jawaban yang paling baik adalah riwayat yang dinukil
dalam kitab Shahih Bukhari Muslim dari Anas, bahwa Nabi SAW pernah
shalat di atas tikar di rumah mereka. Telah terbukti pula kebenaran
riwayat yang berasal dari Aisyah, dimana dikatakan bahwa beliau SAW
pernah shalat dengan menggunakan alas selendang.

334 FATHUL BAARI


Ibnu Hazm berkata, "Hadits di atas telah dihapus hukumnya, sebab
di dalamnya disebutkan bahwa perbuatan itu dilakukan sebelum didirikan
masjid yang barang tentu hal itu terjadi pada permulaan hijrah. Sementara
telah diriwayatkan melalui jalur yang shahih dari Aisyah bahwa beliau
SAW memerintahkan mereka membangun masjid di rumah-rumah lalu
diberi wewangian serta selalu dibersihkan, (diriwayatkan oleh Ahmad,
Abu Dawud serta selain keduanya dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah
maupun ulama-ulama yang lain). Senada dengan ini diriwayatkan pula
oleh Abu Dawud dari hadits Samurah, lalu beliau menambahkan, "Dan
hendaklah kami selalu membersihkannya." Ibnu Hazm berkata, "Hal ini
terjadi setelah dibangunnya masjid."

Perkataan beliau tentang penghapusan hukum menandakan bahwa


hal itu pada awalnya dibolehkan kemudian dilarang, tapi hal ini perlu
ditinjau kembali. Sebab, restu dari beliau SAW untuk shalat di tempat-
tempat berkumpulnya kambing dicantumkan dalam riwayat Imam
Muslim dari hadits Jabir bin Samurah. Hanya saja diakui bahwa dalam
riwayat tersebut terdapat indikasi sucinya tempat-tempat berkumpulnya
kambing, akan tetapi dalam riwayat itu pula terdapat larangan untuk
shalat di tempat-tempat berkumpulnya unta. Andaikata izin untuk shalat
di tempat-tempat berkumpulnya kambing berkonsekuensi pada sucinya
tempat-tempat tersebut, maka tentu larangan untuk shalat di tempat-
tempat berkumpulnya unta berkonsekuensi pula pada najisnya tempat-
tempat yang dimaksud. Padahal tidak seorang ulama pun yang membeda-
kan hukum kedua tempat itu, karena sesungguhnya makna yang ter-
kandung dalam izin serta larangan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada
hubungannya dengan masalah suci atau najis. Bahkan makna tersebut
adalah bahwa kambing termasuk hewan surga sedangkan unta diciptakan
dari syetan, wallahu a 'lam.

67. Najis yang Jatuh ke dalam Minyak Samin atau Air

0 s £ f s O 'i' '

FATHUL BAARI — 335


Artinya, Az-Zuhri berkata, "Tidak apa-apa dengan air selama rasa,
bau atau warnanya tidak berubah." Al Hammad berkata, "Tidak apa-apa
dengan bulu bangkai." Az-Zuhri berkata sehubungan dengan tulang
bangkai -seperti gajah dan sepertinya, "Aku mendapatkan para ulama
dahulu menggunakannya sebagai sisir dan menjadikannya sebagai
minyak rambut tanpa mempermasalahkannya." Ibnu Sirin dan Ibrahim
berkata, "Tidak mengapa memperdagangkan gading."

Keterangan
(Najis yang jatuh ke dalam minyak samin atau air) Maksudnya,
apakah najis tersebut dapat menjadikan kedua zat cair tersebut najis atau
tidak? Atau apakah air tidak berubah menjadi najis kecuali apabila
berubah, sementara zat cair lainnya tidak demikian? Inilah maksud yang
dapat dipahami dari apa yang disebutkan oleh Imam Bukhari, baik berupa
hadits maupun perkataan para sahabat dan generasi sesudahnya di bab
ini.

LSJ—»jh J u j (dan Az-Zuhri berkata) Silsilah periwayatan mengenai


hal ini disebutkan secara lengkap (maushul) oleh Ibnu Wuhaib dalam
kitabnya Al Jami' dari Yunus dari Az-Zuhri. Lalu Al Baihaqi meriwayat-
kan pula yang semakna dengannya dari jalur Abu Amru -yakni Al
Auza'i- dari Az-Zuhri.

frl J* *il (Tidak apa-apa dengan air), yakni tidak ada masalah
dalam menggunakannya dalam segala keadaan. Air tetap dianggap suci
selama najis tidak merubah rasa, bau atau warnanya. Sementara dalam
lafazh yang dinukil oleh Yunus dari Az-Zuhri menjelaskan, bahwa segala
sesuatu yang mampu mengalahkan kotoran apa saja yang terjatuh ke
dalamnya sehingga tidak merubah rasa, bau atau warnanya, maka ia tetap
dianggap suci. Artinya, tidak ada perbedaan antara air yang sedikit

3 3 6 — FATHUL BAARI
maupun banyak kecuali kemampuannya untuk mempertahankan wujud
aslinya dari pengaruh kotoran (najis). Yang menjadi pedoman bagi beliau
adalah terjadinya perubahan atau tidak (dalam tiga sifat; yaitu rasa, bau
dan warna). Madzhab Imam Zuhri ini dijadikan dasar oleh sejumlah
ulama.
Lalu Abu Ubaid menanggapi pendapat itu dalam kitab Ath-Thahur
dengan menyatakan, bahwa konsekuensi pandangan tersebut adalah
apabila seseorang kencing di suatu bejana lalu air kencing tidak merubah
salah satu sifat air itu, maka orang itu boleh menggunakan air tersebut,
padahal perbuatan ini sangatlah menjijikkan. Oleh sebab inilah beliau
lebih mendukung pendapat yang membedakan hukum air yang telah
cukup dua qullah dengan air yang kurang dari dua qullah. Hanya saja
Imam Bukhari tidak menyebutkan hadits tersebut dalam kitabnya, karena
adanya pembahasan tersendiri dari segi silsilah periwayatannya. Akan
tetapi para perawi hadits tersebut adalah orang-orang yang terpercaya
(tsiqah) dan dishahihkan oleh sejumlah imam. Hanya saja tidak ada
kesepakatan di antara mereka mengenai ukuran dua qullah. Imam Syafi'i
menyatakan bahwa standar untuk mengetahui jumlah dua qullah adalah
sebanyak lima qirbah (salah satu wadah penyimpanan air yang terbuat
dari kulit -penerj) milik penduduk Hijaz, penetapan ini sendiri berdasar-
kan perkiraan yang mendekati dan lebih hati-hati. Riwayat tentang dua
qullah itu dijadikan oleh Imam Syafi'i sebagai dalil yang membatasi
keumuman hadits Ibnu Abbas yang berbunyi, t-'^ il~*cu *. tUJi (Air itu
tidak dapat dirubah menjadi najis oleh sesuatu). Hadits ini derajatnya
shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa i, Ibnu
N

Majah, Ibnu Khuzaimah dan selain mereka. Kemudian pembahasan ini


akan diberi tambahan pada bab berikutnya.
Perkataan Imam Az-Zuhri di atas tercantum pula dalam salah satu
hadits yang dinisbatkan langsung kepada Nabi SAW. Akan tetapi Imam
Syafi'i berkata mengenai hadits itu, "Para ahli hadits tidak pernah
menyatakan hadits seperti ini sebagai riwayat yang dapat dibuktikan
kebenarannya, namun aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam
masalah ini." Yakni, mengenai najisnya air yang kejatuhan najis lalu
berubah salah satu sifatnya. Hadits yang dimaksud diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dari Abu Umamah dengan silsilah periwayatan yang lemah,
dimana pada jalur periwayatan tersebut terjadi pula berbagai
ketimpangan.

FATHUL BAARI — 337


iLft*- J l i j (dan Hammad berkata). Beliau adalah Hammad bin Abu
Sulaiman, seorang ahli fikih dari Kufah.

j - C» J' J^ty. j>^>. t (Tidak apa-apa dengan bulu bangkai) Maksudnya


tidak najis; dan air yang bersentuhan dengannya juga tidak najis, baik itu
bulu hewan yang dimakan dagingnya maupun yang tidak dimakan
dagingnya. Silsilah periwayatan hadits ini sendiri telah disebutkan secara
lengkap oleh Abdurrazzaq dari M a ' m a r dari Hammad.
. '' • - * ~ , • - . * . t - i'
s j ! — * } J—=aJ' j—** ts-^^ f —k?
1
—? y ^ J ^ J (Az-Zuhri berkata
sehubungan dengan tulang hewan yang mati, seperti gajah dan
sepertinya), yakni hewan -seperti gajah- yang tidak dimakan dagingnya.

iaOjj (Serta menjadikannya sebagai minyak). Hal ini


mengindikasikan bahwa mereka berpandangan hal-hal tersebut hukum-
nya suci, dan kami akan menyebutkan perselisihan mengenai hal ini pada
pembahasan berikutnya.

'f 5?'j5!j 'c?) d^J (Dan Ibnu Sirin serta Ibrahim berkata). As-
Sarakhsi tidak menyebutkan Ibrahim dalam riwayatnya, demikian pula
kebanyakan perawi yang menukil keterangan ini dari Al Firabri. Silsilah
periwayatan perkataan Ibnu Sirin ini telah disebutkan secara lengkap oleh
Abdurrazzaq dengan lafazh, t—'J* £_'—«Jl J> « j ^ U ij.'y. Si OiST iff (Beliau
beranggapan bahwa perdagangan gading adalah tidak apa-apa). Pernyata-
an ini memberi indikasi, bahwa beliau beranggapan gading adalah suci
hukumnya, sebab beliau termasuk salah seorang yang berpandangan tidak
boleh menjual najis ataupun sesuatu yang bercampur dengan najis apabila
tidak mungkin untuk disucikan berdasarkan kisah beliau yang mashyur
dalam masalah minyak.

Sementara gading yang dalam bahasa Arab disebut £_lih adalah


taring gajah. Ibnu Sayyidih berkata, "Taring selain gajah tidaklah di-
namakan sebagai r\ «Jl (gading)." Al Qazzaz berkata, "Al Khalil

mengingkari jika selain taring gajah dinamakan pula sebagai <r'—«J'."


Sedangkan Ibnu Faris dan Al Jauhari mengatakan b a h w a - / 'Aj adalah
tulang gajah, tanpa mengkhususkannya dengan taring. Selanjutnya Al
Khaththabi menyetujui Ibnu Cjutaibah yang mengatakan bahwa ^l—«Jl

3 3 8 — FATHUL BAARI
adalah tulang punggung penyu laut. Akan tetapi pandangan ini perlu
diteliti kembali, sebab dalam kitab Ash-Shihah disebutkan, "Al Misk
adalah gelang yang terbuat dari Al 'Aj atau tulang punggung penyu". Di
sini nampak sang penulis kitab tersebut membedakan keduanya.
Hanya saja Al Qali berkata, "Bangsa Arab menamakan semua
tulang dengan Al 'Aj. " Apabila pernyataan ini benar, maka semua
riwayat tersebut di atas mengatakan bahwa tulang atau gading gajah
adalah suci. Akan tetapi sikap Imam Bukhari yang menyebutkan per-
kataan Ibnu Sirin setelah perkataan Az-Zuhri memberi indikasi untuk
berpegang dengan perkataan Al Khalil.
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai tulang gajah, dimana
perbedaan ini berdasarkan pada persoalan lain, yaitu apakah tulang
termasuk bagian yang dimasuki oleh kehidupan atau tidak? Imam Syafi'i
memilih pendapat yang pertama seraya berdalil dengan firman Allah
SWT, tj-» Jjf UL_2J{ ^jJi i ^ J j i . j ^ j j ) flk.lt ^ 'J* Jli "Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh.
Katakanlah, 'Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang telah menciptakannya
kali yang pertama:" ^ Q s . Yaasiin (36): 18-19} Makna lahiriah ayat ini
sangat jelas menunjukkan, bahwa tulang telah dimasuki oleh kehidupan.
Adapun pandangan kedua -yang merupakan pendapat Abu Hanifah-
dinyatakan, bahwa seluruh jenis tulang hukumnya suci. Sementara Imam
Malik berkata, "Tulang menjadi suci apabila hewan tersebut disembelih
secara syar'i." Pendapat ini berdasarkan pandangannya yang menyatakan,
bahwa hewan yang tidak dimakan dagingnya menjadi suci apabila
disembelih secara syar'i, dan ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah.

cJ&U* 8 j l i Ji*» | § l 4-Ul J yyj j l Aj y^j» y yCJ J*

.pSCU* IJ!S"j 8y-jJs>\J L^Jy- C»j l i y S \ J l i i J

235. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Maimunah bahwa


Rasulullah SAW ditanya mengenai tikus yang jatuh ke dalam
minyak samin. Maka beliau bersabda, "Buanglah tikus itu dan

FATHUL BAARI — 3 3 9
minyak yang ada di sekitarnya, lalu pakailah sisa minyak yang
tinggal."

Keterangan Hadits:

lUy^A 'J* (Dari Maimunah). Maksudnya adalah Maimunah binti Al


Harits, bibi Ibnu Abbas RA.

iy—i 'J- jrr* (Ditanya mengenai tikus) Orang yang bertanya di sini
adalah Maimunah sendiri. Sementara disebutkan dalam riwayat Al
Qaththan dan Juwairiyah dari Malik sehubungan dengan hadits ini,
"Bahwa Maimunah meminta fatwa." (diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni
dan selainnya).

J c V»a'.» (Jatuh ke dalam minyak samin) Dalam riwayat Imam


A n - N a s a i melalui jalur Abdurrahman bin Mahdi dari Malik terdapat
tambahan, ^—'T J*—-J J> (Di minyak samin yang membeku). Kemudian
dalam kitab tentang sembelihan, Imam Bukhari menambahkan lafazh
CJUS (Lalu tikus itu mati).

^—Vjr~ (Dan apa yang ada di sekitarnya), yakni minyak samin


yang ada di sekitar tikus tersebut.

L S —» C-4a^ ojb Ji^ aj£ ^ J l Jl 4 J j P ^ L PJ J I


^ - £ ' '
'''' ' ' ^ ) O y s s A ^ s s s

\ A ,jJJL« !<_*- Jli sy>-J&Ks LjJy>~ C»j


r
4
Jlii »
' s > 0, O, i, 0 s * ' s O l '

,4jyo^A J P ^llp J|l J P Jjij <tyO>-\ V


'

236. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Maimunah bahwa Nabi


SAW ditanya mengenai tikus yang jatuh ke dalam minyak samin,
maka beliau bersabda, "Buanglah tikus itu dan minyak yang ada
di sekitarnya. " Ma 'nun berkata, "Imam Malik telah menceritakan
kepada kami tanpa terhitung berapa jumlahnya, beliau mengata-
kan, 'Dari Ibnu Abbas dari Maimunah.'

3 4 0 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:

ty-'JeL-i ty'y- Uj U » j j > (Buanglah tikus itu dan minyak yang ada di
sekitarnya) Maksudnya buanglah tikus tersebut dan semua minyak samin
yang berada di dekatnya, lalu makanlah (pakailah) minyak yang tersisa
sebagaimana diindikasikan oleh riwayat terdahulu.

j — i » J l* (Ma 'nun berkata). Ungkapan ini adalah perkataan Ali bin


Abdullah, sehingga silsilah periwayatannya bersambung sampai kepada
Imam Bukhari.
Hanya saja Imam Bukhari menyebutkan perkataan Ma'nun di
samping menyebutkan hadits yang diriwayatkannya, meski silsilah
periwayatan di sini jauh lebih panjang daripada riwayat yang pertama,
padahal lafazhnya tidak jauh berbeda. Hal itu untuk memberi isyarat
adanya perselisihan mengenai Imam Malik dalam jalur periwayatan ini,
dimana para penukil kitab Al Muwaththa" telah meriwayatkan hadits
tersebut dari Imam Malik, lalu mereka berbeda penuturan. Di antara
mereka ada yang menukil dari Imam Malik dengan silsilah periwayatan
sebagaimana di atas, seperti Yahya bin Yahya dan lain-lain. Di antara
mereka ada pula yang tidak menyebutkan Maimunah dalam jalur
periwayatannya, seperti Al Cja'nabi dan lainnya. Adapula yang tidak
menyebutkan Ibnu Abbas dalam jalur periwayatannya, seperti Asyhab.
Ada pula di antara mereka yang tidak menyebutkan Ibnu Abbas atau
Maimunah dalam jalur periwayatannya, seperti Yahya b i n B u k a i r d a n
Abu Mush'ab.

Kemudian tidak ada di antara mereka yang menyebutkan lafazh


jUl-sr (yang membeku) kecuali Abdurrahman bin Mahdi, sebagaimana hal
ini disebutkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam Musnad-nya dari
Sufyan bin Uyainah dari Ibnu Syihab. Telah diriwayatkan oleh Al
Humaidi dan para ahli hadits lainnya dari murid-murid Ibnu Uyainah
tanpa menyebut lafazh tersebut -seraya menuturkan silsilah periwayatan
yang sangat baik- dimana mereka menyebutkan Ibnu Abbas serta
Maimunah, dan ini adalah shahih. Lalu diriwayatkan pula oleh
Abdurrazzaq dari Ma'mar dari Ibnu Syihab dengan silsilah periwayatan
yang baik, di samping itu beliau menukil juga dari Ibnu Syihab melalui
jalur periwayatan lain dari Sa'id bin Musayyab dari Abu Hurairah RA
dengan lafazh, "Rasulullah SAW ditanya tentang tikus yang jatuh ke

FATHUL BAARI — 341


dalam minyak samin, maka beliau bersabda, ty'y- U>j Ujiits iJUb> ^

4
J—'J** y—i
^ "Apabila minyak samin itu telah membeku, maka
buanglah tikus itu dan minyak yang ada di sekitarnya. Tapi apabila
minyak samin tersebut cair maka janganlah kamu mendekatinya
(buanglah semua)"
Imam Tirmidzi menceritakan dari Imam Bukhari bahwa beliau
berkata sehubungan dengan riwayat Ma'mar, "Riwayat ini keliru."
Sementara Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari bapaknya, "Riwayat ini
salah." Kemudian Imam Tirmidzi mengisyaratkan bahwa riwayat ter-
sebut termasuk syadz (ganjil/cacat). Lalu Adz-Dzuhli berkata dalam kitab
Az-Zuhriyat, "Kedua jalur periwayatan itu bagi kami sama-sama akurat,
akan tetapi jalur Ibnu Abbas dari Maimunah jauh lebih masyhur."
wallahu a 'lam.

Lalu Ibnu At-Tin mempertanyakan sikap Imam Bukhari yang


menyebutkan perkataan Ma'nun di atas, padahal pernyataan itu sendiri
tidak menyalahi riwayat Isma'il. Untuk itu dikatakan, bahwa maksud
Imam Bukhari adalah untuk menjelaskan sesungguhnya Isma'il tidaklah
menyendiri dalam menuturkan hadits tersebut dengan jalur yang baik.
Hanya saja saya melihat ada kesesuaian yang lain, yaitu bahwa riwayat
Ma'nun disebutkan pada kitab selain Al Muwaththa' dengan jalur
periwayatan seperti di atas, sementara riwayat beliau yang tercantum
dalam kitab Al Muwaththa' tidak menyebutkan Ibnu Abbas serta
Maimunah. Demikianlah yang dikutip oleh Al Isma'ili dan selainnya.
Maka dari sini Imam Bukhari ingin mengisyaratkan bahwa perbedaan
versi tersebut tidaklah mengurangi nilai keakuratan hadits ini, sebab
Imam Malik terkadang meriwayatkannya dengan silsilah periwayatan
yang lengkap dan pada kali yang lain beliau sengaja tidak menyebutkan
sebagian perawinya. Riwayat yang disebutkan dengan silsilah periwayat-
an yang lengkap lebih didahulukan daripada yang lain, karena riwayat ini
telah didengar oleh Ma'nun bin Isa berkali-kali dari Imam Malik serta di-
perkuat pula oleh sejumlah ahli hadits lainnya, wallahu a lam.

Pelajaran yang dapat diambil


Mayoritas ulama berpegang dengan hadits M a ' m a r yang membeda-
kan antara minyak yang telah membeku dengan minyak yang cair. Telah

3 4 2 — FATHUL BAARI
dinukil oleh Ibnu Abdil Barr adanya kesepakatan bahwa zat cair yang
membeku dan kejatuhan najis, maka yang dibuang adalah apa yang ada
di sekitarnya, jika telah diketahui secara pasti bahwa bagian-bagian najis
tersebut hanya tidak mengenai apa yang ada di sekitarnya. Adapun zat
yang masih cair maka para ulama berbeda pendapat, mayoritas mereka
mengatakan bahwa zat cair itu berubah menjadi najis secara keseluruhan
apabila najis itu jatuh ke dalamnya. Lalu segolongan yang lain, di
antaranya Az-Zuhri dan Al Auza'i, menyalahi pandangan mayoritas
tersebut. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini akan diterangkan pada
bab "Sembelihan", demikian juga dengan masalah memanfaatkan minyak
yang tercampur najis.

Ibnu Munir berkata, "Kesesuaian hadits tentang minyak samin


dengan perkataan para ulama yang disebutkan terdahulu adalah untuk
menjelaskan pendapat penulis secara pribadi, bahwa yang menjadi
pedoman najis tidaknya sesuatu adalah perubahan sifat (rasa, bau dan
warna). Adapun bulu dan tulang bangkai dianggap suci, karena bulu dan
tulang tidak berubah setelah hewan tersebut mati. Demikian pula
seharusnya hukum yang berlaku pada minyak samin yang terletak jauh
dari tempat jatuhnya bangkai apabila tidak terjadi perubahan apa-apa.
Menjadi konsekuensi pemikiran ini, adalah apabila ada air yang
kejatuhan najis dan tidak berubah salah satu sifatnya, maka air tersebut
tidak berubah menjadi najis.

237. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau


bersabda, "Setiap luka yang diderita oleh seorang muslim dijalan
Allah (ji sabilillah) maka pada hari kiamat nanti keadaannya akan
seperti semula waktu ia terluka, darahnya memancar dengan
warna merah tapi baunya seperti minyak kasturi"

F A T H U L BAARI — 343
Keterangan Hadits:

f-^ J » - ' J> (Dijalan


1
Allah), kalimat ini berfungsi untuk membatasi
semua luka yang menimpa muslim bukan karena berjuang di jalan Allah.
Dalam bab tentang "Jihad" diberi tambahan lafazh, J) (Uiy j-»-)

*J1—1J (Dan Allah lebih mengetahui siapa yang terluka dijalan-Nya). Di


sini terdapat isyarat bahwa yang demikian itu hanya didapat oleh mereka
niatnya benar dan tulus.

•Jj «J!j (Dan aroma) Adapun hikmah datangnya darah pada hari
kiamat seperti keadaannya saat terluka, adalah untuk menjadi saksi akan
keutaman orang yang terluka serta menjadi bukti atas perbuatan orang
yang menzhaliminya. Adapun aromanya yang wangi adalah berfungsi
agar aroma tersebut menyebar di kalangan mereka yang berada di padang
mahsyar demi untuk menampakkan keutamaannya. Dari sini, maka tidak
disyariatkan memandikan orang yang mati syahid dalam peperangan.
Kemudian sebagian ulama mempertanyakan maksud Imam
Bukhari menyebutkan hadits di atas dalam bab ini. Al Isma'ili berkata,
"Hadits ini tidak ada sangkut pautnya dengan suci atau najisnya darah,
namun disebutkannya di sini untuk menjelaskan keutamaan orang-orang
yang terbunuh di jalan Allah."
Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dikatakan bahwa maksud
Imam Bukhari menyebutkan hadits ini adalah untuk menguatkan pan-
dangannya yang menyatakan air tidak berubah menjadi najis sekedar
bersentuhan dengan najis, selama tidak terjadi perubahan. Beliau berdalil
dengan hadits ini untuk menunjukkan bahwa perubahan sifat memberi
pengaruh pada hukum yang disifati, sebagaimana perubahan sifat darah
menjadi aroma wangi telah mengeluarkannya dari lingkup celaan kepada
pujian. Demikian pula perubahan sifat air bila berubah karena najis, maka
perubahan itu akan mengeluarkannya dari sifat kesuciannya kepada najis.
Pernyataan ini dibantah dengan mengatakan, bahwa yang menjadi tujuan
utama adalah membatasi najisnya zat cair karena adanya per-ubahan.
Sementara apa yang disebutkan hanyalah memberi keterangan bahwa
sesuatu dapat dihukumi najis bila terjadi perubahan (salah satu sifatnya) -
dan ini merupakan masalah yang disepakati- bukan untuk menyatakan
bahwa zat cair tidak dihukumi najis kecuali berubah salah satu sifatnya,
karena masalah ini masih diperselisihkan.

3 4 4 — FATHUL BAARI
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa Imam Bukhari
bermaksud menjelaskan kesucian minyak wangi, hal itu sebagai bantahan
bagi mereka yang berpendapat bahwa minyak wangi (misk) adalah najis
karena terdiri dari darah. Ketika darah tersebut berubah dari bau yang tak
sedap dan tidak disenangi menjadi aroma minyak wangi yang disenangi,
maka statusnya berubah menjadi halal atau berubah dari najis menjadi
suci, sebagaimana halnya khamer apabila berubah menjadi cuka.
Ibnu Rasyid berkata, "Maksudnya perubahan darah menjadi aroma
wangi, itulah yang telah mengubah status hal-hal tersebut dari sesuatu
yang tercela menjadi sesuatu yang disenangi atau terpuji." Dari sini dapat
dipahami bolehnya mengunggulkan satu sifat (bau) dari dua sifat lainnya,
yaitu rasa dan warna.

Berdasarkan hal ini dapat ditarik suatu kesimpulan, jika salah satu
sifat zat cair mengalami perubahan yang baik atau yang buruk (rusak),
maka akan diikuti oleh dua sifat yang lain. Seakan-akan hal ini sengaja
dikemukakan oleh Imam Bukhari sebagai bantahan atas pendapat yang
dinukil dari Rabi'ah dan lainnya yang menyatakan, bahwa perubahan
satu sifat dasar tidaklah memberi pengaruh hingga berkumpulnya dua
sifat.' Beliau menambahkan, "Ada kemungkinan hadits tersebut dijadikan
dalil bahwa air apabila berubah aromanya menjadi wangi (baik), maka
tidak dapat dikatakan bahwa ia bukan lagi dinamakan air. Sebagaimana
darah meskipun baunya telah berubah menjadi aroma minyak wangi,
namun kita tidak dapat menamakan bahwa ia bukan darah lagi, sebab
beliau SAW tetap menamakannya sebagai darah padahal aromanya telah
berubah. Selama nama berhubungan erat dengan sesuatu yang dinamai,
maka hukum akan terus mengikuti penamaan tersebut." demikian per-
kataan Ibnu Rasyid.

Adapun pandangan beliau yang pertama dijawab dengan mengata-


kan, bahwa menjadi keharusan pendapat ini jika ketiga sifat air telah
rusak (tercemar) kemudian salah satu dari sifat tersebut kembali kepada
bentuk aslinya, maka seluruhnya dianggap suci, padahal yang demikian
ini tidaklah benar.
Sedangkan pandangan beliau yang kedua ditanggapi dengan me-
ngatakan, meskipun tetap dinamakan air, tapi tidak mesti untuk tidak
disifati dengan sifat yang melarang untuk mempergunakan air tersebut,
wallahu a 'lam.

FATHUL BAARI — 345


Setelah menukil perkataan mereka yang berpandangan, "Darah
setelah berubah dari sesuatu yang najis menjadi suci -dari kotoran
menjadi minyak wangi- hanya karena perubahan aromanya, hingga
dihukumi sebagai minyak kasturi dan minyak wangi bagi seorang yang
mati syahid. Demikian pula dengan hukum air, dapat berubah karena
baunya dari sesuatu yang suci menjadi najis", maka Ibnu Daqiqi Al Id
berkata, "Pandangan ini sangat lemah dan terkesan mencari-cari alasan."

68. Kencing di Air yang Tergenang

238. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia mendengar


Rasulullah SAW bersabda, "Kita adalah orang-orang terakhir
yang akan mendahului."

t^^J N ^IJLIi ftlUl J> j U ^ l V : Jli a^lH-Lj

239. Melalui silsilah periwayatan yang sama, beliau bersabda,


"Janganlah salah seorang di antara kamu kencing di air yang
tergenang yang tidak mengalir, kemudian mandi (pula) di situ."

Keterangan Hadits:
(Kencing di air yang tergenang), yakni yang tidak mengalir.
Sementara dalam riwayat Al Ashili disebutkan, "Bab Jangan kencing di
air tergenang", dan kedua makna tersebut sama.

3 4 6 — FATHUL BAARI
CijiL)—UJi o/yf-y 'Ju (Kita adalah orang-orang terakhir yang akan
mendahului). Para ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud
Imam Bukhari mendahulukan kalimat ini sebelum hadits yang menjadi
pokok bahasan dalam bab ini. Ibnu Baththal berkata, "Ada kemungkinan
Abu Hurairah mendengar yang demikian itu dari Nabi S A W serta hadits
sesudahnya dalam satu konteks, maka dia menceritakan kedua kalimat
itu. Adapula kemungkinan bahwa hal ini dilakukan oleh perawi yang
bernama Hammam, karena ia mendengarnya dari Abu Hurairah dengan
konteks demikian. Pada dasarnya tidak ada kesesuaian antara lafazh yang
dimaksud dengan judul bab."

Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Kemungkinan pertama dinyatakan


sebagai kemungkinan terkuat oleh Ibnu At-Tin, akan tetapi pernyataan ini
tidak lepas dari kritikan. Sebab jika benar kedua kalimat itu merupakan
satu hadits, tentu Imam Bukhari tidak akan memisahkan antara keduanya
dengan ucapannya, "Melalui silsilah periwayatan yang sama." Di
samping itu, sabda beliau SAW, o O j ^ - ^ i js«J (Kita adalah orang-
orang terakhir yang akan mendahului) merupakan penggalan dari hadits
masyhur saat membahas tentang hari Jum'at sebagaimana akan dibahas,
insya Allah. Andaikata Imam Bukhari memperhatikan apa yang
dikatakan oleh Ibnu At-Tin, tentu beliau akan menyebutkan materi hadits
ini secara keseluruhan. Kemudian hadits yang menjadi pokok pembahas-
an dalam bab ini telah dinukil dari sejumlah jalur periwayatan dari Abu
Hurairah, seperti tercantum dalam kitab-kitab para imam ahli hadits.
Tidak ada pada salah satu jalur periwayatan tersebut yang menyebutkan
lafazh, O j i l - J l t>jjf-*iM (Kita adalah orang-orang terakhir yang akan
mendahului), sebagaimana telah dinukil pula oleh Abu N u ' a i m dalam
kitab Al Mustakhraj tanpa menyebutkan lafazh terakhir ini.
Adapun perkataan Ibnu Baththal, "Ada pula kemungkinan yang
melakukan hal ini adalah perawi yang bernama Hammam, karena ia
mendengarnya dari Abu Hurairah dengan konteks demikian", merupakan
suatu kekeliruan yang ternyata diikuti oleh sejumlah ulama, sebab perawi
yang bernama Hammam tidak disebut-sebut dalam silsilah periwayatan
hadits ini. Sedangkan perkataannya, bahwa tidak ada pada hadits ini
kesesuaian dengan judul bab adalah pernyataan yang benar, meski
sebagian ulama memaksakan diri untuk mencari-cari kesesuaian di antara
keduanya seperti yang akan kami sebutkan.

FATHUL BAARI — 347


Pandangan paling tepat mengenai hal ini, adalah bahwa Imam
Bukhari terkadang menyebutkan sesuatu sebagaimana yang ia dengar
secara keseluruhan, karena pada yang demikian itu terkandung sisi
penetapan dalil yang diperlukan meskipun yang lainnya tidak dibutuhkan
pada persoalan tersebut. Hal ini sebagaimana yang beliau lakukan
sehubungan dengan hadits Urwah Al Bariqi mengenai pembelian
kambing, seperti akan dijelaskan pada bab "Jihad". Contoh semacam itu
sangat banyak ditemukan dalam kitab ini.
Sikap seperti ini dilakukan pula oleh Imam Malik dalam kitab Al
Muwaththa' dimana beliau menyebutkan dalam bab "Shalat shubuh dan
isya " beberapa matan (materi) hadits dengan satu silsilah periwayatan,
yang mana bagian awalnya berbunyi, JaL JrJ 'J (Seorang laki-laki

melewati dahan pohon berduri) dan di bagian akhirnya, J} U» d'JJju jJ

> j — ' J — I j U i j f t f ^ ' j ^ a J ! (Seandainya mereka mengetahui apa yang


terdapat pada shalat shubuh dan isya, niscaya mereka akan mendatangi
keduanya meski dengan merangkak). Padahal yang menjadi pokok
pembahasan beliau tidak lain hanyalah bagian akhir hadits, akan tetapi
beliau menyebutkannya sebagaimana yang beliau dengar.

Ibnu Al Arabi berkata dalam kitab Al Qabs, "Kami melihat orang-


orang yang bodoh bersusah payah untuk menakwilkan (mencari kesesuai-
an) antara hadits dengan judul bab di atas. Padahal antara judul bab
dengan hadits yang disebutkan di bawahnya tidak memiliki keterkaitan
sama sekali." Ulama selain beliau berkata, "Sisi kesesuaian di antara
keduanya, bahwa umat ini merupakan umat terakhir yang dimakamkan di
muka bumi namun yang pertama kali keluar darinya. Sebab sesuatu yang
paling akhir diletakkan dalam sebuah wadah, itu pula yang pertama kali
dikeluarkan darinya. Demikian halnya dengan air tergenang yang
dikencingi, sesungguhnya kencing tersebut adalah yang pertama kali
menyentuh badan orang yang ingin bersuci dengan air tergenang yang
dimaksud, maka harus untuk dijauhi." Namun, kelemahan perkata an ini
cukup jelas.
Dikatakan pula, sisi kesesuaian antara keduanya adalah bahwa bani
Isra'il meskipun lebih dahulu dari segi masa akan tetapi umat Islam lebih
dahulu dalam hal menjauhi air tergenang apabila tercemar kencing.
Kemungkinan bani Isra'il tidak menghindari hal ini. Perkataan ini
dibantah dengan kenyataan bahwa bani Isra'il jauh lebih teliti dalam

3 4 8 — FATHUL BAARI
menjauhi najis hingga bila mengenai pakaian salah seorang di antara
mereka, maka ia pun menggunting kain tersebut. Lalu bagaimana
mungkin dugaan seperti ini ditujukan kepada mereka? Hanya saja,
anggapan kemustahilan ini tidak menghapus adanya kemungkinan
mengenai hal itu. Namun apa yang telah kami kemukakan jauh lebih
tepat.

Pada riwayat Imam Bukhari dalam pembahasan ta'bir mimpi, dia


menukil hadits seperti ini dari jalur Hammam dari Abu Hurairah dimana
hadits tersebut diawali pula dengan lafazh, 0 j i l — - J i o / j ? ^ j»"u (Kita
adalah orang-orang yang terakhir dan yang akan mendahului).

Kesimpulan paling kuat adalah, naskah riwayat Abu Zinad dari Al


A'raj dari Abu Hurairah seperti naskah riwayat M a ' m a r dari Hammam
dari Abu Hurairah. Oleh sebab itu, sedikit sekali hadits yang tercantum
dalam salah satu dari kedua naskah itu yang tidak terdapat pada naskah
yang satunya. Kedua naskah tersebut memuat sejumlah besar hadits yang
umumnya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Lalu kedua
naskah tersebut dimulai dengan hadits yang berbunyi, Jyli.£J\ O j ^ - ^ i jk».
Oleh sebab itulah Imam Bukhari mengawali dengan lafazh hadits yang
beliau nukil dari kedua naskah tersebut, sementara Imam Muslim
menempuh cara lain dalam menukil hadits yang berasal dari naskah
riwayat Hammam, dimana beliau berkata pada setiap hadits yang beliau
kutip dari naskah tersebut, "Rasulullah SAW bersabda . . . " Lalu beliau
berkata lagi,... "dan Rasulullah SAW bersabda..." Maksudnya untuk
menjelaskan bahwa hadits yang disebutkannya berada di tengah naskah
bukan di awalnya, wallahu a 'lam.

tergenang). Dikatakan pula bahwa lafazh ini berfungsi untuk membatasi


makna, yakni untuk mengeluarkan dari pengertian ini "air tergenang yang
sebagiannya mengalir" seperti kolam atau danau. Sebagian lagi mengata-
kan kalimat ini berfungsi untuk mengeluarkan dari pengertian ini "air
tergenang yang banyak", sebab air tersebut dari segi bentuk dianggap
mengalir sedangkan dari segi makna tidaklah demikian.

Atas dasar itu, maka batasan ini tidak disebutkan dalam riwayat
Abu Utsman dari Abu Hurairah yang telah diisyaratkan terdahulu,

FATHUL BAARI — 349


dimana ia hanya menyebutkan lafazh if'^Ji (tenang) sebagai ganti dari

lafazh jijiki (tergenang). Demikian pula diriwayatkan oleh Imam Muslim


dari Hadits Jabir.

J — ' < % — J (Kemudian ia mandi). Menurut riwayat yang masyhur,

kata ini dibaca J—i*j (huruf akhir diberi harakat dhammah). Namun Ibnu

Malik berkata, "Boleh dibaca J (huruf akhir diberi harakat sukun)

berdasarkan lafazh sebelumnya yakni, j — ! J J V (janganlah ia kencing)


dimana lafazh ini pada dasarnya berharakat sukun karena didahului oleh
huruf lam yang berfungsi sebagai larangan. Hanya saja di sini huruf
akhirnya diberi harakat fathah, karena bersambung dengan huruf nun
yang berfungsi untuk mempertegas suatu perkataan.
Namun, Imam Al Qurthubi tidak memperbolehkan lafazh ini untuk
dibaca sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Malik. Dengan alasan jika
lafazh ini berfungsi sebagai larangan, tentu akan dikatakan j l — » 'i J»J
(Kemudian janganlah ia mandi). Sehingga kedudukan kedua larangan ini
menjadi sama, sebab yang menjadi obyek keduanya hanya-lah satu yaitu
air."
Beliau menambahkan, "Karena beliau SAW tidak menuturkannya
dalam bentuk demikian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa beliau
SAW tidak bermaksud mengaitkan lafazh kedua kepada lafazh pertama.
Bahkan beliau SAW hanya memberi perhatian akan akibat yang timbul
saja. Dimana terkadang seseorang yang kencing di air tergenang butuh
untuk menggunakan air tersebut, sementara air itu tidak dapat lagi
digunakannya.

Sama seperti ini sabda beliau SAW, j»i X*H\ ~£Je '&'y>\ '^'^ jjjlia Si
lj—«rCaj "Janganlah salah seorang di antara kamu memukul istrinya
sebagaimana ia memukul budak wanita, kemudian ia menggauli
istrinya:'' Maksud hadits ini adalah larangan bagi suami untuk memukul
istri secara berlebihan, karena ia akan butuh untuk bergaul dengan
istrinya. Jika hal itu terjadi, sang istri akan menolak disebabkan per-
buatan suaminya yang tidak baik terhadapnya."

3 5 0 — FATHUL BAARI
Akan tetapi perkataan ini dibantah dengan mengatakan, bahwa
suatu larangan yang diberi penekanan tertentu (menggunakan huruf
taukid) tidak dilarang untuk dikaitkan dengannya lafazh larangan lain
yang tidak disertai penekanan apa-apa (tanpa huruf taukid). Sebab, boleh
jadi pada salah satu dari kedua hal terlarang itu terdapat makna tertentu
yang tidak didapatkan pada yang lainnya.
Selanjutnya Imam Al Qurthubi berkata, "Tidak boleh pula dibaca
J—-&t 'f—i (huruf akhir diberi harakat fathah), sebab tidak ada kata ganti

setelah lafazh jU " N a m u n hal itu diperbolehkan oleh Ibnu Malik, karena
kata 'f—i (kemudian) di sini diartikan sebagaimana makna huruf sambung
waw (dan).
Kemudian Imam An-Nawawi menolak pendapat Ibnu Malik
dengan alasan bila lafazh ji-J (kemudian) diartikan sebagaimana makna

huruf j (dan), maka larangan tersebut hanya berlaku apabila dikumpul-


kan antara kencing dan mandi di air tersebut, sehingga apabila hanya
kencing saja di tempat itu maka tidak dilarang.
Selanjutnya perkataan Imam An-Nawawi dianggap lemah oleh
Ibnu Daqiq Al Id, sebab menurut beliau tidak harus satu lafazh
mengandung beberapa macam hukum. Larangan mengumpulkan antara
kencing di air tergenang sekaligus mandi didasarkan pada hadits ini
(dengan catatan apabila riwayat yang memberi harakat fathah pada lafazh
J—«=*i terbukti kebenarannya). Sedangkan larangan untuk kedua perbuatan
itu secara sendiri-sendiri didasarkan pada dalil yang lain.
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Dalil yang dimaksud adalah riwayat
Imam Muslim dari Jabir yang berbunyi, & ' ) \ *UJi J>, J j ^ J- &\ J j - ' j J$
1

(Nabi SAW melarang untuk kencing di air yang tergenang). Dalam


riwayat beliau melalui jalur Abu Sa'ib dari Abu Hurairah RA disebutkan
pula dengan lafazh, L^r ^'loJl *CJl J> J—-=*d 'i (Janganlah salah
seorang di antara kamu mandi di air tergenang sementara ia dalam
keadaan junub). Lalu Abu Dawud meriwayatkan akan larangan keduanya
dalam satu hadits, dengan lafazh J & J — * i j plf^ «-UJi Jt jii'iM "J'yk 'i

FATHUL BAARI — 351


i jUkll (Janganlah salah seorang di antara kamu kencing di air
tergenang dan jangan pula ia mandi junub di dalamnya)"
Riwayat-riwayat ini telah dijadikan dalil oleh ulama madzhab
Hanafi untuk menunjukkan bahwa air musta 'mal (bekas pakai) adalah
najis hukumnya. Sebab kencing dapat mengubah air menjadi najis, demi-
kian pula dengan mandi junub. Sementara beliau SAW telah melarang
kedua perbuatan tersebut, dimana larangan ini berindikasi haram, maka
hal ini menunjukkan bahwa air menjadi najis karena dua hal tersebut.
Namun pandangan ini dibantah dengan mengatakan, bahwa ke-
simpulan itu hanya berdasarkan penyesuaian antara dua hal yang ada,
sementara dasar hukum seperti ini sangat lemah. Kalau pernyataan itu
diterima, maka tidak berkonsekuensi pada persamaan keduanya dari segi
hukum dimana dapat dikatakan bahwa indikasi larangan kencing di air
tergenang adalah agar air tersebut tidak tercemar oleh najis, sedangkan
larangan mandi di air tersebut adalah agar air itu tidak kehilangan
sifatnya sebagai alat untuk bersuci.
Keterangan ini semakin diperjelas oleh lafazh dalam riwayat Imam
Muslim, "Bagaimana yang beliau lakukan wahai Abu Hurairah?" ia
menjawab, "Ia menimbanya." Riwayat ini memberi keterangan maksud
dari larangan menyeburkan diri ke dalam air tergenang agar jangan
sampai air itu berubah menjadi air musta'mal, sehingga tertutup
kemungkinan bagi orang lain memakainya untuk bersuci. Sementara
sahabat lebih mengetahui maksud suatu lafazh dibanding generasi
sesudah mereka.
Riwayat ini merupakan dalil terkuat untuk menyatakan air
musta'mal (bekas pakai) tidak dapat digunakan bersuci (wudhu atau
mandi junub -penerj), sementara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa air
musta 'mal hukumnya suci telah disebutkan terdahulu.
Tidak ada perbedaan mengenai hukum air yang tercampur air
kencing dengan air yang kejatuhan najis yang lain, berbeda dengan
pandangan sebagaian ulama madzhab Hambali. Demikian pula tidak ada
perbedaan antara seseorang yang langsung kencing di air atau ia kencing
di suatu bejana lalu menumpahkannya ke dalam air yang tergenang,
berbeda dengan pandangan ulama madzhab Zhahiriyah.
Semua pembahasan ini khusus berlaku pada air yang sedikit
menurut mayoritas ulama, sesuai dengan perbedaan pendapat mereka

3 5 2 — FATHUL BAARI
dalam menentukan batasan air yang sedikit. Telah disebutkan pula
pandangan orang yang hanya berpedoman pada berubah tidaknya salah
satu sifat air, yang mana ini merupakan pendapat yang sangat kuat. Akan
tetapi untuk membedakan antara hukum air dua qullah dengan air yang
tak cukup dua qullah jauh lebih kuat, disebabkan adanya hadits shahih
yang dinukil mengenai hal itu. Keakuratan hadits ini telah diakui sendiri
oleh Thahavvi -salah seorang ulama madzhab Hanafi. Hanya saja beliau
tidak mengamalkan indikasinya, dengan alasan bahwa lafazh qullah
menurut pengertian umum adalah nama wadah (tempat) tertentu baik
besar maupun kecil. Sementara tidak ada keterangan dalam hadits yang
membatasi ukurannya, sehingga indikasinya menjadi global (mujmal)
dan tidak dapat diamalkan. Pendapat beliau ini didukung oleh Ibnu Daqiq
Al Id.

Akan tetapi para ulama selain keduanya berusaha mencari dalil


untuk menentukan ukuran qullah. Abu Ubaid Al Qasim bin salam
berkata, "Qullah yang dimaksud di sini adalah yang berukuran besar,
sebab jika yang dimaksud adalah yang berukuran kecil tidak diperlukan
menyebutkan jumlah qullah. Dua qullah dalam ukuran yang kecil sama
dengan satu qullah dalam ukuran besar. Adapun isi qullah yang ber-
ukuran besar dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat Hijaz. Secara lahiriah, Nabi SAW tidak menetapkan batasan
demi untuk keluasan. Hal itu dapat diketahui karena beliau SAW tidak
berbicara dengan para sahabatnya kecuali apa yang mereka pahami,
sehingga dugaan bahwa ukuran qullah bersifat global hilang dengan
sendirinya."

Dengan demikian, karena tidak adanya ketetapan yang tegas


mengenai batasannya mengakibatkan timbul perselisihan di kalangan
ulama hingga sampai kepada sembilan pendapat seperti dinukil oleh Ibnu
Mundzir. Lalu pada masa-masa selanjutnya isi qullah diukur dengan
menggunakan rithl (satuan ukuran timbangan, kamus Al Ashri -ed),
disertai perselisihan mengenai jumlah atau berapa rithl banyaknya.
Kemudian dinukil dari Imam Malik, bahwa beliau memahami
indikasi larangan di atas adalah larangan dalam bentuk tanzih (lebih
utama bila ditinggalkan -penerj), yakni apabila air tersebut tidak berubah
salah satu sifatnya. Pendapat Imam Malik tersebut merupakan pandangan
ulama selain beliau.

FATHUL BAARI — 353


Imam Al Cmrthubi berkata, "Mungkin juga untuk memahami
indikasi larangan tersebut adalah haram secara mutlak atas dasar kaidah
saddu adz-dzari'ah (menghindari persoalan yang menyebabkan
kerusakan), sebab kencing di air tergenang dapat merubah air tersebut
menjadi najis."

i—i y*£o '{j (Kemudian ia mandi di dalamnya). Dalam riwayat Ibnu

Uyainah dari Abu Zinad disebutkan dengan lafazh, <>—1? J — ? — J


(Kemudian ia mandi darinya). Demikian yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim melalui jalur Ibnu Sirin. Masing-masing kedua lafazh tersebut
memberi hukum secara tekstual dan secara implisit, seperti dikatakan
oleh Ibnu Daqiq Al Id. Adapun keterangan mengenai hal itu adalah,
bahwa kata ^ J (padanya) berindikasi slarangan menyeburkan diri
berdasarkan makna tekstualnya dan mencakup larangan menggunakan air
tersebut meski harus menimba. Sedangkan riwayat dengan menggunakan
lafazh ^—L» memiliki indikasi berbeda dengan makna sebelumnya. Semua
pembahasan ini berdasarkan bahwa air dapat berubah menjadi najis
apabila bersentuhan dengan najis, wallahu a 'lam.

69. Apabila Diletakkan Kotoran atau Bangkai di


Punggung Orang yang Shalat, Maka Shalatnya tidak
Batal

L T ^ J y*3 1 0
9. y L*? i cf- ^ i
b

•S o g- i* s ' y Si ' £> a Z ' Z s 0


% o ' ' ' '

3 )ll?r jl <*J J J J j Jl^> \i\ iJ*JLS\J- (_Jjl~«Jl ^jjl J15 J O w 9

y f ' °' 's°'' Z$,*


0 f
' Z s, a
t 'a ° O-- ° *

Jika Ibnu Umar melihat darah di kainnya, sementara ia sedang


shalat, maka ia menghilangkannya lalu terus melaksanakan

3 5 4 — FATHUL BAARI
shalatnya. Ibnu Musayyab dan Sya 'bi berkata, "Apabila seseorang
shalat sementara di pakaiannya ada darah atau bekas junub
(mani), tidak menghadap ke arah kiblat, atau bertayamum lalu
shalat, kemudian ia mendapatkan air sebelum waktu shalat habis,
maka ia tidak mengulang shalatnya"

Keterangan
(Apabila diletakkan kotoran atau bangkai dipunggung orang yang
shalat), maksudnya sesuatu yang dihukumi najis. (Atau bangkai),
maksudnya adalah bangkai yang busuk.
(Tidak batal). Hukum seperti ini berlaku pada saat seseorang tidak
mengetahui adanya najis, atau ia mengetahui dan segera menghilangkan-
nya. Akan tetapi ada pula kemungkinan shalat orang tersebut tetap sah
meski ia telah mengetahui najis tersebut dan membiarkannya menempel
di badannya, berdasarkan pandangan mereka yang mengatakan bahwa
menjauhi najis saat shalat bukan perkara yang wajib. Juga berdasarkan
pandangan mereka yang mengatakan, bahwa najis tersebut hanya
membatalkan shalat bila telah diketahui ketika hendak memulai shalat.
Adapun bila diketahui atau ada pada saat shalat berlangsung, maka
shalatnya tidak batal. Nampaknya, Imam Bukhari cenderung memilih
pendapat terakhir ini. Berdasarkan pandangan ini, dapat dipahami
perbuatan seorang sahabat yang tetap melangsungkan shalatnya meski
darah mengucur dari badannya akibat tertusuk anak panah saat me-
lakukan shalat. Hadits mengenai hal itu - y a n g diriwayatkan dari Jabir-
telah disebutkan pada bab "Orang yang berpendapat tidak ada wudhu
kecuali karena sesuatu yang keluar dari dua jalan".

j — ' j — ? ' O L j f j (Dan biasanya Ibnu umar). Riwayat mengenai


perbuatan Ibnu Umar ini silsilah periwayatannya telah disebutkan secara
bersambung oleh Ibnu Abi Syaibah melalui jalur Bard bin Sinan dari
Nafi' dari Ibnu Umar. Apabila dia sedang shalat lalu melihat darah di
pakaiannya dan ia mampu menghilangkannya, maka ia segera meng-
hilangkannya. Namun apabila tidak mampu, maka ia keluar kemudian
mencucinya lalu kembali dan meneruskan shalat yang telah dilakukan-
nya." (silsilah periwayatannya tergolong shahih).
Riwayat ini mengindikasikan, bahwa Ibnu Umar membedakan
antara hukum melihat najis di pakaian sebelum memulai shalat dan

FATHUL BAARI — 355


hukum terus melakukan shalat setelah melihat najis. Perbedaan hukum
kedua kondisi ini merupakan pendapat sejumlah ulama yang terdiri dari
para sahabat serta tabi'in, Al Auza'i, Ishaq dan Abu Tsaur. Sedangkan
Imam Syafi'i dan Ahmad berkata, "Orang itu harus mengulangi
shalatnya." Adapun Imam Malik mengaitkannya dengan waktu shalat,
yakni apabila waktu shalat telah keluar maka ia tidak wajib mengulangi
shalatnya. Masalah ini mempunyai pembahasan yang sangat panjang.
Golongan pertama memperkuat pendapat mereka dengan hadits
Abu Sa'id Al Khudri yang menyatakan, bahwa Rasulullah pernah
s

melepas sandalnya saat melakukan shalat, kemudian beliau bersabda, Ji

ijj—* Ukg—j'* 01 JjL-ji-\ JJJ.—f (Sesungguhnya Jibril telah mengabarkan


kepadaku bahwa pada keduanya ada kotoran). Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud serta dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah. Di samping itu ia memiliki penguat dari hadits Ibnu Mas'ud
yang diriwayatkan oleh Al Hakim, dimana tidak disebutkan dalam hadits
tersebut perintah untuk mengulangi shalat. Pendapat ini adalah pendapat
yang dipilih oleh sejumlah ulama madzhab Syafi'i. Adapun mengenai
perkara meneruskan kembali shalat yang telah dilakukan akan dibahas
secara tersendiri pada pembahasan shalat, insya Allah.
"t,Jlj <,,L-'.,..all j _ j l Jl—\% (Ibnu Musayyab dan Sya 'bi berkata)
Demikian lafazh yang dinukil oleh mayoritas perawi, dan inilah yang
benar. Namun dalam riwayat Al Mustamli dan As-Sarakhsi disebutkan,
^-i—ItJij k_Jl~»Ji jji j (Biasanya Ibnu Musayyab dan Sya'bi). Apabila
lafazh ini akurat, maka lafazh selanjutnya yang berbunyi, Jie tii (apabila
ia shalat) bermakna, "Masing-masing dari keduanya apabila shalat "

JU-JJ 'i *—s» j Jt «.UJi i5jil j*S JLe '^4 ji iDiJt JJi ji iiUsr y\ p a*'y Jij
(Sementara di pakaiannya ada darah atau bekas junub (mani), tidak
menghadap kiblat, atau bertayammum lalu shalat, kemudian ia
mendapatkan air sebelum waktu shalat habis, maka ia tidak mengulang
shalatnya). Maksud darah di sini, adalah apabila darah tersebut tidak
diketahui oleh orang yang shalat. Demikian pula dengan bekas junub
(mani) bagi mereka yang berpendapat air mani adalah najis. Sedangkan
yang dimaksud dengan masalah kiblat adalah apabila seseorang telah
melakukan usaha sungguh-sungguh untuk menentukan arah kiblat,

3 5 6 — FATHUL BAARI
namun ternyata ia mengalami kesalahan. Begitu juga dengan tayammum,
yaitu apabila seseorang tidak menemukan air. Semua maksud ini dapat
ditangkap dengan jelas dari konteks keempat atsar (riwayat) yang
disebutkan dari keempat tabi'in itu.
Silsilah periwayatan keempat atsar tersebut telah disebutkan secara
bersambung oleh Abdurrazzaq, Sa'id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah
dengan jalur-jalur yang shahih serta terpisah, dimana aku telah menjelas-
kannya dalam kitab Ta 'liq At-Ta 'liq.
Adapun masalah darah telah dijelaskan. Sedangkan tayamum,
maka tidak adanya kewajiban mengulangi shalat merupakan pendapat
keempat imam dan mayoritas ulama salaf (terdahulu). Sementara itu
sejumlah tabi'in, di antaranya Atha', Ibnu Sirin dan Makhul berpan-
dangan, bahwa orang yang melakukan tayamum lalu shalat kemudian
mendapat air, maka ia wajib mengulangi shalatnya.
Sedangkan mengenai shalat yang diketahui tidak menghadap
kiblat, maka tiga imam (Abu Hanifah, Malik dan Ahmad) serta Imam
Syafi'i dalam pendapatnya yang lama mengatakan, bahwa orang tersebut
tidak wajib mengulang shalatnya. Inilah pendapat mayoritas ulama. Akan
tetapi dalam pendapatnya yang baru Imam Syafi'i mengatakan, bahwa
orang itu wajib mengulang shalatnya.
Golongan pertama memperkuat pendapat mereka dengan sebuah
hadits yang dinukil oleh Imam Tirmidzi melalui jalur Abdullah bin Amir
bin Rabi'ah, dari bapaknya. Ia berkata bahwa hadits ini derajatnya hasan
(baik), akan tetapi ulama-ulama yang lain menganggapnya sebagai hadits
dha 'if (lemah). Al Uqaili berkata, "Hadits tersebut tidak dinukil melalui
jalur yang dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya."
Ibnu Al Arabi berkata, "Landasan pendapat Imam Syafi'i yang
baru (jadid) adalah, bahwa kesalahan seorang mujtahid menjadi batal bila
ditemukan nash (ayat atau hadits) yang menyalahinya." Kemudian dia
berkomentar, "Namun masalah seperti ini tidak dapat diterapkan kecuali
bila berada di Makkah. Adapun di tempat-tempat lain, maka suatu ijtihad
tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain." Pernyataan terakhir Ibnu Al
Arabi dapat dijawab dengan mengatakan, "Masalah ini dapat dibatasi,
yaitu apabila telah diyakini adanya kesalahan, sehingga hal itu
merupakan perpindahan dari kesalahan yang diyakini kepada dugaan

FATHUL BAARI — 357


yang kuat. Maka, dalam hal ini tidak ada proses pembatalan ijtihad
dengan ijtihad." wallahu a 'lam.

C iJl wUP j l S " &§l ^J3l j l 4 j l b - iy\LS 4JJI I L P jl

' ' y » ' ' . . ' ' ^ '


' '0 ( , ' ' ' , <M ' } 0
I. . ' ' • • • . I * ^ l''

' ' " ' y '

^ ' ' ^ ' Y*. ^ $t ' ' ' ' ' *• o. *• ^

0j$ ls> Js- Ajt^aj JS§| J^'*^ fj-iil


*- "' ' '
1j Jl l aju^ j l S " j} U l i - ^ p - l *y ^lijl LMj j l i i S " ^
' l » * X j'' ' j j X ^' ' X

' ' O " 0 0 ' ' X ' ^ ' s ^ £' j|

4_Ul J yu*j y\ 0 j^li» ^ C-?- j i a i C l s l i «J f.\j>r jX>- < U * l j ^ i ^ J


L

o o'' S ' ' i i " " " 0 ' •* o ' ' £ Ji * ' ' ' •* * 2'

j ^ I l p j l i i o f ^ o * A J (cr4^ :
p ^

5j'L>-il^ jJLJl i l l i ^ * a^p-Ol j l j j ^ J I j j L T j : J l i ^ 3!,lp Lp^ i l


' S ' S ' S S & ' ' f
c i
-^J U i^ 'J^ -
^ JI-^ ) 1
p

ji £" ' ' 9


& ' ' y ^0 ' " ' ' y ^

C o l j -Li! asli yJiJ c^wUlji : J l i iJi «jllJl JlPj (j -^- 3 0

' ' **' '


o ' '° o * ' f ' £ *
.jJb <_-^ii * - - ~ ^ ' cs? s*° ^ J^"J ^ <j^^'

240. Abdullah bin Mas'ud menceritakan kepadanya (Amru bin


Maimun), bahwa Nabi SA W pernah shalat di sekitar Ka 'bah
sementara Abu Jahal dan para sahabatnya sedang duduk-duduk.
Tiba-tiba salah seorang berkata kepada yang lain, "Siapakah di
antara kamu yang mau mendatangkan usus unta banifulan lalu
meletakkannya di atas punggung Muhammad ketika dia sujud. "

3 5 8 — FATHUL BAARI
Maka, bangkitlah orang yang paling jahat di antara mereka
(Uqbah bin Abi Mu'aith) lalu pergi untuk kemudian kembali
membawa usus unta tersebut. Kemudian ia menunggu sebentar.
Ketika Nabi SA W sujud, ia meletakkan usus unta di atas tengkuk
beliau SAW, sementara aku melihat, namun aku tidak dapat
melakukan apa-apa. Andai aku memiliki kemampuan mencegah-
nya. Maka mereka pun tertawa seraya sebagian mereka menunjuk
sebagian yang lain, sedang Rasulullah SAW tetap sujud tidak
mengangkat kepalanya hingga datang kepadanya Fathimah lalu
membuang kotoran itu dari punggung beliau. Maka Nabi SA W
mengangkat kepalanya kemudian berdoa, "Ya Allah, hukumlah
kaum Quraisy, " sebanyak tiga kali. Mereka ketakutan ketika Nabi
mendoakan kebinasaan atas mereka, karena mereka tahu bahwa
permohonan beliau di negeri itu dikabulkan. Kemudian beliau
SAW menyebut nama mereka satu-satu, "Ya Allah binasakanlah
Abu Jahal, Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Al Walid bin
Utbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Abi Mu 'aith. " Beliau
menyebut yang ketujuh namun kami tidak mengingatnya."
Abdullah bin Mas'ud berkata, "Demi dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, sungguh aku telah melihat orang-orang yang disebut
oleh Rasulullah SA W mati terkubur dalam lubang bekas sumur,
(waktu perang) Badar.'"''

Keterangan Hadits:

y$ 'W*> i\ (Tiba-tiba salah satu dari mereka berkata) maksudnya


adalah Abu Jahal, seperti disebutkan oleh Imam Muslim melalui riwayat
Zakariya. Kemudian ditambahkan dalam riwayat itu, jjj—^yy

j-^S/U (Dan telah disembelih unta itu sejak kemarin).

*—*^aJ (Lalu meletakkannya) Dalam riwayat Isra'il ditambahkan,

j * — J * - A4*J U*>CPJ U J O J bjj^j J \ iukj (Dan dia sengaja mengambil


kotoran, darah dan ususnya, kemudian ia menunggu sesaat hingga
beliau sujud).

^gfl—ISi' £ J V ' — ' i (Maka bangkitlah orang yang paling jahat di


antara mereka), yang dimaksud adalah Utbah bin Abi Mu'aith. Dalam

FATHUL BAARI — 359


riwayat Imam Bukhari ini nampak disebutkan secara ringkas, sementara
dalam riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi dari Syu'bah, disebutkan,
"Maka datanglah Uqbah bin Abi Mu'aith lalu melempar usus tersebut ke
punggung beliau S A W . "
f 9 Js
l4—i 'i (Aku tidak dapat melakukan) Demikianlah yang dinukil
oleh mayoritas perawi, sementara dalam riwayat Al Kasymihani dan Al
Mustamli disebutkan, "Aku tidak mengubah." Makna keduanya adalah
shahih, yakni aku tidak dapat mencegah kejahatan mereka, atau aku tidak
mampu merubah perbuatan mereka sedikit pun.

J c i l f JJ (Andai aku memiliki kemampuan mencegahnya) An-

Nawawi berkata, " A*i*Ji dengan fathah pada huruf nun, maknanya adalah

8j__aJl (kekuatan)." Imam An-Nawawi juga berkata, "Ada juga riwayat


yang memberi harakat sukun pada huruf nun, namun riwayat ini lemah."
Tetapi Imam Al Qurthubi menegaskan bahwa huruf nun pada lafazh
tersebut diberi harakat sukun (*£»), lalu beliau berkata, "Boleh pula diberi
harakat fathah atas dasar bahwa kata tersebut merupakan bentuk jamak
dari kata JJ' i, sebagaimana halnya kata X£ merupakan bentuk jamak

(plural) dari kata L J ) S'. " A l Qazzaz dan Al Harawi lebih mendukung

pendapat yang memberi harakat sukun huruf nun pada kata berbeda
dengan penulis kitab Al Ishlah yang cenderung menyatakan bahwa huruf
nun kata tersebut diberi harakat fathah (i-*Z>), dan inilah yang menjadi
sumber pendapat Imam An-Nawawi.
Dia berkata, "Ia mengatakan demikian, karena ia tidak memiliki
keluarga di kota Makkah. Sebab Ibnu Mas'ud berasal dari suku Hudzail,
sekutu suku Arab, sementara sekutu-sekutu sukunya saat itu masih dalam
keadaan kafir."
Sementara dalam perkataan ini ada bagian yang tidak disebutkan
dalam teks kalimat, dimana makna selengkapnya adalah, "Seandainya
aku memiliki kemampuan mencegahnya, niscaya aku akan menghilang-
kannya dari Rasulullah SAW." Pernyataan seperti ini disebutkan
langsung dalam teks hadits Imam Muslim melalui jalur periwayatan

3 6 0 — FATHUL BAARI
Zakariya. Sedangkan dalam riwayat Al Bazzar disebutkan, "Aku merasa
takut kepada mereka."

|»4—- * ' J — { S e b a g i a n
a J
mereka tertawa terbahak-bahak sambil
menunjuk), maksudnya mereka saling menisbatkan perbuatan tersebut
kepada yang lain untuk memperolok-olok Nabi. Ada pula kemungkinan
lafazh ini berasal dari kata J—°~y. - J£- yang berarti melompat ke atas
punggung hewan tunggangannya, yakni mereka saling berlompatan
karena kegirangan. Sementara dalam riwayat Imam Muslim disebutkan
dengan lafazh, J—1*JJ (dan mencondongkan badan) karena banyaknya
tertawa. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Isra'il.
Adapun yang dimaksud Fathimah di sini adalah Fathimah putri
Rasulullah SAW. Isra'il menambahkan, "Sementara waktu itu dia masih
belia, datang berjalan tergesa-gesa sementara Nabi SAW tetap saja ber-
sujud."

A—iv-'jai {Lalu menghilangkan usus unta itu). Demikian lafazh yang


dinukil oleh mayoritas perawi, sementara dalam riwayat Al Kasymihani
tidak menyebutkan obyeknya. Lalu Isra'il menambahkan, ^$ll* °cJ2\j

^4*^——JJ (Lalu ia menghadap mereka seraya mencaci maki). Dalam


riwayat Al Bazzar ditambahkan pula, %—i W^A* ^jiji ^ (Mereka tidak
menanggapi caciannya sedikitpun).

4 — i i j «Jy (Maka Nabi SAW mengangkat kepalanya) Dalam riwayat


Al Bazzar melalui Zaid bin Abi Anisah dari Abu Ishaq terdapat
tambahan, "Maka beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya kemudian
berkata, 'Amma ba'du... Ya A l l a h . . . ' " Al Bazzar mengatakan, bahwa
yang menukil lafazh amma ba 'du hanyalah Zaid.
' s f

Jl—1 p—*• (Kemudian berdoa). Kata kemudian ini memberi indikasi


adanya senggang waktu antara mengangkat kepala dari sujud dengan
berdoa itu sendiri, dan memang demikianlah kenyataannya. Sebab dalam
riwayat Al Ajlah seperti dikutip oleh Al Bazzar dikatakan, "Maka beliau
SAW mengangkat kepalanya setelah menyempurnakan sujud sebagai-
mana biasanya, dan ketika selesai shalat beliau berdoa, 'Fa Allah...'"

FATHUL BAARI — 361


Secara lahiriah doa tersebut diucapkan selesai shalat, dan beliau SAW
menghadap ke Ka'bah sebagaimana disebutkan dalam riwayat Zuhair
dari Abu Ishaq dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Jr—Xjh (Binasakanlah kaum Quraisy), maksudnya orang kafir


di antara mereka. Ini merupakan lafazh umum, tapi yang dimaksud
adalah khusus.

(sebanyak tiga kali). Dalam riwayat Isra'il, lafazh yang


dimaksud diulang sebanyak tiga kali, bukan sekedar menyebut angka.
Ditambahkan oleh Imam Muslim dalam riwayat Zakariya, £ a tij J ^ j

\ J d JL> lijj \j% (Dan biasanya apabila beliau berdoa diulang tiga
kali, dan apabila beliau memohon juga diulang tiga kali).

—11* jmii (Maka terasa berat bagi mereka). Dalam riwayat Imam
Muslim melalui jalur Zakariya disebutkan, ^4—•* s — * *0-* *j**l- Wi J

A—'t'ji-i —'^j di—?xlaJl (Ketika mereka mendengar suara beliau SAW,


hilanglah tawa mereka dan timbul rasa takut akibat doa beliau).

Jjj—l 5 (mereka melihat), maksudnya meyakini. Adapun yang


dimaksud dengan negeri dalam hadits ini adalah Makkah. Kemudian
disebutkan dalam kitab Mustakhraj Abu Nu'aim melalui jalur yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, "Pada yang ketiga" sebagai ganti kata,
"di negeri tersebut" Ini sesuai dengan lafazh, "Sebanyak tiga kali."
Mungkin keyakinan itu sebagai pengaruh syariat nabi Ibrahim yang
masih tersisa di antara mereka.

j*J (Kemudian beliau menyebut nama), maksudnya menyebut-


kan secara rinci satu persatu nama-nama mereka.

Si— r
(Abu jahal). Dalam riwayat Isra'il disebutkan, "Umar bin
Hisyam." Ini adalah nama Abu Jahal. Barangkali beliau SAW menyebut
nama dan julukannya sekaligus.
" ' i"
Jt—£• JJ v j (Dan Umayyah bin Khalaf). Dalam riwayat Syu'bah
(

disebutkan, "Atau Ubay bin Khalaf." Keragu-raguan ini berasal dari


Syu'bah. Imam Bukhari telah menyebutkan perselisihan mengenai hal ini

3 6 2 — FATHUL BAARI
setelah riwayat Ats-Tsauri dalam bab tentang jihad, lalu beliau berkata,
"Yang benar adalah Umayyah." Akan tetapi dalam kitab itu beliau
mencantumkan nama Ubay bin Khalaf. Ini merupakan kekeliruan beliau
atau kekeliruan guru beliau yang bernama Abu Bakar bin Abdullah bin
Abi Syaibah saat menceritakan hadits ini kepada Imam Bukhari, karena
guru beliau (Abu Bakar) telah menukil dalam kitab Musnad-nya dengan
lafazh "Umayyah." Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim melalui jalur Abu Bakar, serta Al Isma'ili dan Abu N u ' a i m
melalui jalur Abu Bakar dengan lafazh "Umayyah" pula, dan inilah yang
benar. Di samping itu para penulis kitab Al Maghazi (peperangan) telah
sepakat, bahwa yang terbunuh dalam perang Badar adalah Umayyah,
sedangkan saudaranya yang bernama Ubay bin Khalaf terbunuh pada
perang Uhud. Terbunuhnya Umayyah ini akan diterangkan dalam
pembahasan perang Badar, insya Allah.

ihflks °p±i £iCJl JS-J (Dan beliau menyebut yang ketujuh namun kami
tidak mengingatnya). Al Karmani berkata, "Yang dimaksud dengan
"beliau" dalam lafazh, "Beliau menyebutkan..." adalah Rasulullah
SAW. Sedangkan yang dimaksud dengan "kami" dalam lafazh, "namun
kami tidak mengingatnya" adalah Abdullah bin M a s ' u d atau Amru bin
Maimun (perawi yang menerima dari Ibnu Mas'ud -penerj).
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Aku tidak tahu dari mana Al Karmani
mendapatkan keterangan seperti ini. Padahal dalam riwayat Ats-Tsauri
seperti dikutip oleh Imam Muslim terdapat indikasi, bahwa orang yang
lupa adalah Abu Ishaq. Lafazh riwayat tersebut, adalah Abu Ishaq
berkata, 'Dan aku lupa yang ketujuh.'" Maka atas dasar ini, yang
dimaksud dengan "beliau" dalam lafazh, "Beliau menyebutkan..."
adalah Amru bin Maimun. Bahkan terkadang Abu Ishaq pada kesempat-
an lain mengingat nama orang ke tujuh itu, seraya menyebutkan bahwa
namanya adalah Umarah bin Al Walid, sebagaimana yang dikutip oleh
Imam Bukhari dalam pembahasan shalat melalui riwayat Isra'il dari Abu
Ishaq. Sementara riwayat Isra'il dari Abu Ishaq sangat akurat, karena ia
senantiasa mendampingi Abu Ishaq yang juga termasuk kakeknya."

Abdurrahman Al Mahdi berkata, "Apa-apa yang luput dari hadits-


hadits Ats-Tsauri dari Abu Ishaq melainkan aku berharap pada Isra'il,
sebab beliau selalu menukil hadits dari Abu Ishaq dengan lengkap."
Sementara Isra'il sendiri berkata, "Aku menghafal hadits-hadits yang

FATHUL BAARI — 363


diriwayatkan oleh Abu Ishaq sama seperti aku menghafal surah
Muhammad."
Kemudian sebagian ulama mempertanyakan mengapa Umarah bin
Al Walid dimasukkan di antara orang-orang yang didoakan Nabi SAW
agar dibinasakan. Sebab orang ini tidak terbunuh di perang Badar,
bahkan sebagian ahli sejarah peperangan menyebutkan bahwa Umarah
bin Al Walid meninggal di negeri Habasyah. Di negeri ini beliau
mencatat cerita tersendiri bersama raja Najasyi, dimana ia sempat meng-
ganggu istri raja tersebut, maka raja Najasyi memerintahkan seorang
penyihir untuk menyihir Umarah sebagai hukuman atas perbuatannya.
Akhirnya Umarah menjadi liar dan hidup bersama hewan ternak hingga
mati pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Kisah ini sangat
terkenal.

Jawaban mengenai hal ini dikatakan, "Maksud perkataan Ibnu


Mas'ud, A k u telah melihat mereka dicampakkan di sumur Badar',
adalah sebagian besar mereka dan bukan keseluruhannya. Hal ini
diperkuat oleh kenyataan bahwa Uqbah bin Abu Mu'aith tidak
dimasukkan ke dalam sumur Badar, bahkan beliau terbunuh sebagai
tawanan perang beberapa mil setelah kaum muslimin meninggalkan
Badar. Sedangkan Umayyah bin Khalaf dimasukkan sumur dalam
keadaan terpotong-potong, sebagaimana akan dijelaskan kemudian."
Dalam kitab Al Maghazi (peperangan) akan diterangkan kronologi
tewasnya mereka pada perang Badar serta keterangan yang lebih jelas
mengenai keadaan mereka, insya Allah.

J l i (dia berkata), maksudnya Abdullah bin Mas'ud. Dalam riwayat

Imam Muslim disebutkan, j^Jl—> ' J — ^ « <jJl\j- (Demi Dzat yang


mengutus Muhammad dengan kebenaran). Dalam riwayat An-Nasa'i,
=£)l AIIP J JSI ^ jjlj (Demi Dzat yang menurunkan kepadanya Al Kitab
(Al Qur'an). Seakan-akan Abdullah bin Mas'ud mengucapkan semua
lafazh tersebut untuk memberi ketegasan.

lili ^—'i ^—t-'Je (Tewas di dalam sumur). Dalam riwayat Isra'il

dikatakan, j J - i v 4 ^ ' J\ '<** S^- f J'- jFr" °<*&>h (Sungguh aku


telah melihat mereka tewas pada peperangan Badar kemudian diseret ke

3 6 4 — FATHUL BAARI
sumur Badar). Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Timpakan laknat
kepada para penghuni sumur ini"
Ada kemungkinan lafazh terakhir ini merupakan bagian dari doa
beliau terdahulu, sehingga merupakan salah satu tanda kenabian. Ada
pula kemungkinan beliau SAW mengucapkannya setelah mereka di-
masukkan ke dalam sumur. Ditambahkan oleh Syu'bah dalam riwayat-
nya, "Kecuali Umayyah, karena sesungguhnya ia telah terpotong-
potong." Ditambahkan pula, "Karena ia sangat gemuk."

Para ulama berkata, "Hanya saja beliau SAW memerintahkan agar


mereka dicampakkan ke dalam sumur agar manusia tidak terganggu oleh
bau busuk mereka, karena pada dasarnya orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya tidak wajib dimakamkan. Secara lahiriah sumur tersebut
tidak ada airnya."

Faidah
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dalam kitab Al
Maghazi, dia berkata, "Telah menceritakan kepadaku Al Ajlah dari Abu
Ishaq, lalu dia menyebutkan hadits." Di bagian akhir hadits tersebut dia
menambah dengan kisah Abu Al Bakhtari bersama Nabi SAW
sehubungan dengan pertanyaannya kepada Nabi SAW mengenai kisah
ini. Abu Bakhtari memukul Abu Jahal hingga melukainya. Kisah ini
sangat masyhur dalam sejarah. Kemudian diriwayatkan pula oleh Al
Bazzar melalui jalur Abu Ishaq, bahwa Al Ajlah telah menyendiri dalam
menukil kisah itu dari Abu Ishaq.

Dalam hadits di atas terdapat keterangan betapa orang kafir sangat


mengagungkan doa di Makkah, dan yang demikian itu bagi kaum
muslimin lebih agung lagi. Di samping itu ada pula keterangan akan
pengetahuan kaum kafir tentang kebenaran Nabi SAW, dimana mereka
merasa takut saat didoakan agar mereka binasa. Akan tetapi, rasa dengki
telah mendorong mereka untuk tidak mau mengikuti ajakan beliau SAW.
Hadits tersebut menjelaskan pula tentang sikap santun Nabi SAW
terhadap mereka yang selalu menyakitinya. Dalam riwayat Ath-Thayalisi
dari Syu'bah -sehubungan dengan hadits ini- disebutkan bahwa Ibnu
Mas'ud berkata, "Aku tidak pernah melihat beliau S A W mendoakan
mereka celaka kecuali pada hari itu." Mereka berhak didoakan demikian,

FATHUL BAARI — 365


karena sikap mereka yang terlalu meremehkan beliau SAW saat me-
lakukan ibadah.
Faidah lain dari hadits ini adalah disukainya mengulang doa
sebanyak tiga kali. Telah dijelaskan pada bab ilmu mengenai disukainya
memberi salam dan selainnya sebanyak tiga kali, serta dibolehkan
mendo'akan kebinasaan bagi orang zhalim. Hanya saja sebagian ulama
mengatakan, "Hal itu hanya dapat dilakukan apabila orang zhalim
tersebut adalah kafir. Namun apabila ia muslim, maka disukai agar
dimohonkan ampunan serta taubat baginya." Bahkan tidak tertutup
kemungkinan untuk dikatakan bahwa tidak ada pada hadits tersebut dalil
yang membolehkan mendoakan kecelakaan bagi orang kafir, sebab
mungkin saja Nabi SAW melakukan hal itu disebabkan beliau telah
mengetahui bahwa orang-orang yang disebutkan itu tidak akan beriman.
Maka, yang paling utama adalah mendoakan hidayah bagi semua yang
hidup.

Faidah selanjutnya, bahwa hadits tersebut menunjukkan kekuatan


jiwa Fathimah Az-Zahra sejak kecil. Hal itu disebabkan kemuliaannya di
tengah kaumnya serta kemuliaan dirinya, dimana beliau dengan lantang
mencaci maki para pemuka Quraisy dan mereka tidak membalas cacian-
nya. Di samping itu, hadits ini memberi keterangan bahwa pelaku
langsung lebih berat daripada sekedar penyebab yang memberi bantuan
semata, berdasarkan perkataannya tentang Uqbah sebagai orang yang
paling celaka di antara mereka. Padahal di antara mereka itu ada Abu
Jahal yang jelas lebih hebat kekafiran dan permusuhannya terhadap Nabi
SAW. Akan tetapi kondisi paling celaka ini hanya ditinjau dari segi kisah
tersebut, sebab mereka semua bersekutu dalam perbuatan tersebut.
Namun Uqbah menyendiri dalam melaksanakan perbuatan tersebut, maka
jadilah ia orang yang paling celaka di antara mereka. Oleh sebab itu,
orang-orang tersebut dibunuh di medan perang sementara Uqbah dibunuh
sebagai tawanan dengan kaki dan tangan terikat.
Hadits ini dijadikan dalil, bahwa seseorang yang mengalami se-
suatu dalam shalatnya -dimana hal seperti itu bila terjadi di awal shalat
dapat menghalangi shalatnya- maka hal itu tidak membatalkan shalatnya
meskipun berlangsung dalam waktu lama. Inilah yang menjadi
pandangan Imam Bukhari. Apabila sesuatu yang terjadi itu berupa najis
lalu orang yang shalat menghilangkannya dengan segera tanpa

3 6 6 — FATHUL BAARI
meninggalkan bekas, maka shalatnya dianggap sah menurut kesepakatan
ulama.
Di samping itu, hadits ini dijadikan pula sebagai dalil yang me-
nunjukkan sucinya kotoran binatang yang dimakan dagingnya dan
menghilangkan najis bukan suatu kewajiban, namun pendapat ini sangat
lemah. Bahkan, memahami hadits ini sebagaimana indikasinya yang telah
diterangkan terdahulu adalah lebih tepat. Hanya saja ada yang menang-
gapi, "Sesungguhnya yang diletakkan di punggung beliau SAW bukanlah
kotoran saja, bahkan kotoran tersebut bercampur darah sementara darah
telah disepakati sebagai sesuatu yang najis." Tanggapan ini saya jawab
dengan mengatakan, "Kotoran dan darah yang dimaksud berada dalam
perut besar, sedangkan kulit perut besar itu sendiri hukumnya suci,
sehingga di sini hampir sama dengan seseorang yang membawa botol
berisi kotoran."

Lalu ada pula yang mengatakan unta tersebut merupakan hasil


sembelihan para penyembah berhala, maka seluruh bagiannya adalah
najis karena ia adalah bangkai. Untuk itu saya katakan, "Hal ini terjadi
sebelum ada ketetapan hukum yang mengharamkan sembelihan mereka."
Kemudian jawaban ini dibantah lagi dengan menyatakan, jika demikian
maka butuh kepada kepastian sejarah dan tidak boleh sekedar ke-
mungkinan semata.

Imam An-Nawawi berkata, "Jawaban yang paling baik adalah,


bahwa beliau SAW tidak mengetahui apa yang diletakkan di atas
punggungnya. Maka beliau tetap melangsungkan sujudnya atas dasar
istishab (yakni sesuatu dianggap sebagaimana adanya selama tidak ada
kejelasan telah terjadi perubahan -penerj), dimana pada awalnya beliau
SAW berada dalam keadaan suci maka hal itu tetap sebagaimana adanya
selama belum ada kejelasan bahwa kesucian tersebut telah rusak."
Namun bisa saja dikatakan, bahwa mereka yang mewajibkan
mengulang shalat dalam kondisi demikian, maka perkataan Imam An-
Nawawi tidak luput dari kritikan. Akan tetapi hal itu dapat dijawab
dengan mengatakan, bahwa kewajiban mengulang shalat itu hanya
berlaku pada shalat-shalat fardhu. Sedangkan apabila ternyata shalat yang
beliau SAW lakukan saat itu adalah shalat fardhu maka waktunya masih
luas dan tidak tertutup kemungkinan beliau SAW mengulanginya.

FATHUL BAARI — 367


Hanya saja hal itu masih dapat ditanggapi dengan mengatakan,
"Apabila beliau SAW mengulangi shalatnya tentu akan dinukil kepada
kita, padahal kenyataannya berita mengenai hal itu tidak ada. Di samping
itu, Allah SWT tidak akan membiarkan beliau SAW berlama-lama dalam
melakukan shalat yang rusak. Sementara telah dijelaskan bahwa beliau
SAW melepas sandalnya pada saat shalat, karena Jibril memberitahukan
bahwa pada kedua sandal itu terdapat kotoran. Hal lain yang
menunjukkan bahwa beliau SAW mengetahui apa yang diletakkan di atas
punggungnya adalah sikap Fathimah yang langsung membawa usus unta
tersebut sebelum beliau mengangkat kepalanya, kemudian setelah shalat
beliau SAW mendoakan kebinasaan atas mereka." Wallahu a 'lam.

70. Air Liur, Ingus dan yang Sepertinya di Pakaian

Urwah berkata dari Al Miswar dan Marwan, "Nabi SAW keluar


pada masa Hudaibiyah, lalu beliau menyebutkan hadits yang
berbunyi, 'Tidaklah Nabi SAW mengeluarkan dahak melainkan
jatuh di telapak tangan salah seorang di antara mereka lalu ia
menggosok muka dan kulitnya dengannya"

3 6 8 — FATHUL BAARI
l f Oy f i O * '[-'j,* *M Z t s S 1 i f -** O yf O y

4—UI _ U P j j l J l i 4jy ^ *p ^_J| ; Jli diiU ^ ^.Jt ^


„ -y o- y -.i - > o - s- f - -o - f y y ti> •
J
^0 i . „ o
•.Z s ' £f s O 'O y

241. Diriwayatkan dari Anas, ia berkata, "Nabi SAW meludah di


pakaiannya. " Ibnu Abi Maryam menyebutkannya dengan panjang,
ia berkata, "Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Ayyub,
telah menceritakan kepadaku Humaid, ia berkata, Aku mendengar
Anas dari Nabi SAW'.'"

Keterangan Hadits:
(Di pakaian) atau badan dan lainnya. Masuknya bab ini dalam
pembahasan thaharah (bersuci), karena hal-hal ini tidak merusak air
(kesuciannya) jika bercampur dengannya.

«jj—* J ' i (Urwah berkata), yakni Urwah bin Zubair. Sedangkan


Marwan adalah Ibnu Al Hakam. Riwayat tanpa silsilah periwayatan ini
sengaja disebutkan oleh Imam Bukhari sebagai isyarat kepada hadits
panjang tentang kisah perjanjian Hudaibiyah. Nanti akan dijelaskan
selengkapnya pada bab Asy-Syuruth (syarat-syarat) melalui jalur Zuhri
dari Urwah. Penggalan lain dari hadits panjang tersebut telah disebutkan
pula oleh Imam Bukhari tanpa silsilah periwayatan sebagaimana pada
bab "Mempergunakan sisa air wudhu orang lain".

d—jJ^di "jfSi (Beliau menyebutkan hadits), maksudnya dalam hadits


itu disebutkan, "Tidaklah Nabi SAW mengeluarkan dahak..." Di sini Al
Karmani kurang teliti sehingga beliau mengira bahwa lafazh, "Tidaklah
Nabi SAW mengeluarkan dahak..." adalah hadits lain, sehingga beliau
beranggapan boleh bagi seorang perawi menyebutkan dua hadits dalam
satu penyampaian, atau mungkin persoalan ini terjadi pada masa
Hudaibiyah. Demikian perkataan Al Karmani. Andai beliau meneliti
kembali tempat dimana Imam Bukhari menyebutkan hadits ini, niscaya
akan tampak kebenarannya.

FATHUL BAARI — 369


Maksud disebutkannya riwayat ini adalah untuk menunjukkan
sucinya air liur dan yang sepertinya. Sebagian ulama menukil adanya
kesepakatan mengenai hal itu. Tetapi telah disebutkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dengan silsilah periwayatan yang shahih dari Ibrahim An-
Nakha'i bahwa air liur tidaklah suci. Ibnu Hazm berkata, "Telah terbukti
kebenaran riwayat dari Salman Al Farisi dan Ibrahim An-Nakha'i, bahwa
air liur adalah najis apabila telah terpisah dari mulut."

71. Tidak Boleh Berwudhu dengan An-Nabidz 1}


dan
Sesuatu yang Memabukkan

f % Z A & yi>
8
y Z ' & ' ^ * yy ^ ^ » % s s * % y ' '

*s ji\ j A "J\ L~>-l ."*UaP Jli j 3-^*^ J Cr~*^ ^'r''i


* - ..

Hal itu tidak disukai oleh Al Hasan dan Abu Al Aliyah. Atha' berkata,
"Tayammum lebih aku sukai daripada berwudhu dengan menggunakan
An-Nabidz dan susu."

242. Diriwayatkan dari Aisyah R.A bahwasanya Nabi SAW


bersabda, "Setiap minuman yang memabukkan maka ia adalah
haram y

n
Yang dimaksud dengan An-Nabidz adalah kurma atau anggur yang direndam dengan air
sampai menjadi minuman keras, penerj.

3 7 0 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:

^_L»Jt i* JTJ (Dan hal itu tidak disukai oleh Al Hasan), maksudnya
adalah Hasan Al Bashri. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan
Abdurrazzaq melalui dua jalur periwayatan dari Al Hasan, "Janganlah
berwudhu dengan An-Nabidz." Lalu diriwayatkan pula oleh Abu Ubaid
melalui jalur yang lain dari Al Hasan bahwa hal tersebut tidaklah
mengapa. Maka atas dasar ini, sikapnya yang tidak menyukai itu hanya
bersifat makruh tanzih (meninggalkannya adalah lebih utama).

2—2\H\ j—Jij (Dan Abu Al Aliyah). Telah diriwayatkan oleh Abu


Dawud dan Abu Ubaid melalui jalur Abu Khaldah, ia berkata, "Aku
pernah bertanya kepada Abu Al Aliyah tentang seseorang yang junub
sementara tidak ada air, maka bolehkah ia mandi dengan menggunakan
An-Nabidz?" Beliau menjawab, "Tidak!" Sementara dalam riwayat Abu
Ubaid disebutkan, "Beliau tidak menyukainya."
•t% s s ss

s.\—lap J l — j j (Dan Atha' berkata), dia adalah Atha' bin Abi Rabah.
Telah diriwayatkan pula oleh Abu Dawud melalui jalur Ibnu Juraij dari
Atha' bahwa dia tidak menyukai berwudhu dengan menggunakan An-
Nabidz dan susu. Dia berkata, "Sesungguhnya tayamum lebih aku sukai
daripada hal-hal itu." sementara itu Al Auza'i berpendapat boleh
berwudhu dengan menggunakan segala jenis An-Nabidz. Ini juga
merupakan pendapat Ikrimah (mantan budak Ibnu Abbas). Pandangan
serupa diriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Abbas, namun riwayat
tersebut tidak shahih.
Adapun Abu Hanifah mengecualikan di antara yang boleh tersebut,
yaitu An-Nabidz yang terbuat dari kurma. Di samping beliau mensyarat-
kan tidak adanya air, serta orang yang akan berwudhu dengan An-Nabidz
tersebut berada di luar pemukiman. Akan tetapi kedua sahabat beliau
menyelisihinya dalam masalah itu, Muhammad (salah seorang di antara
dua sahabat Abu Hanifah) berkata, bahwa "Dikumpulkannya antara
wudhu dengan An-Nabidz dan tayamum, ada yang mengatakan bahwa
hal itu wajib dan apa pula yang mengatakan sekedar disukai. Ini adalah
pendapat Ishaq. Sedangkan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah yang lain)
berpen dapat sama seperti mayoritas ulama, yaitu tidak boleh berwudhu
dengan An-Nabidz dalam segala keadaan. Demikian pula pendapat yang
dipilih oleh Ath-Thahawi.

FATHUL BAARI — 371


Disebutkan oleh Al Qadhikhan, bahwa Abu Hanifah telah meralat
pendapatnya dan menyetujui pandangan jumhur. Akan tetapi dalam kitab
Al Mufid (salah satu kitab madzhab Hanafi) dikatakan, bahwa apabila
dimasukkan ke dalam air beberapa biji kurma lalu melebur namun tidak
mengakibatkan air tersebut berubah namanya, maka boleh dipakai
berwudhu tanpa diperselisihkan, (yakni menurut madzhab Hanafi).
Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Mas'ud, dimana Nabi SAW bertanya
kepadanya pada malam yang gelap, "Apakah yang ada dalam
bejanamu!" Ibnu Mas'ud menjawab, "An-Nabidz." Maka Nabi SAW
bersabda, "Buah yang halal dan air yang suci." (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi dengan tambahan, "Maka Nabi SAW berwudhu dengannya").

Akan tetapi hadits ini lemah menurut kesepakatan ulama salaf.


Andaikata hadits ini shahih, maka hukum yang dikandungnya juga telah
dihapus (mansukh). Sebab peristiwa tersebut terjadi di Makkah dan
turunnya firman Allah, "Dan kamu tidak menemukan air maka hendaklah
kamu bertayamum." (Qs. Al Maa'idah (5): 6) terjadi di Madinah tanpa
ada pendapat yang menyalahinya. Atau dipahami bahwa yang dimaksud
oleh Ibnu Mas'ud adalah air yang dimasukkan ke dalamnya kurma
kering, sehingga tidak menabah sifat air. Hal itu biasa mereka lakukan,
sebab umumnya air yang ada bukan air tawar.

'jSs—lt\ JS" (Semua minuman yang memabukkan). Yakni telah


menjadi karakter minuman tersebut membuat orang mabuk, baik ketika
meminumnya menyebabkan seseorang mabuk atau tidak. Al Khaththabi
berkata, "Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa minuman yang me-
mabukkan hukumnya haram, apapun jenisnya baik sedikit atau banyak,
sebab lafazh umum ini dimaksudkan jenis minuman yang dapat
memabukkan. Hal ini sama seperti jika ia mengatakan, 'Segala makanan
yang mengenyangkan maka hukumnya halal' perkataan ini memberi
petunjuk bahwa segala makanan yang untuk mengenyangkan maka
hukumnya halal, meskipun pada sebagian orang tidak dapat kenyang
hanya dengan makan makanan tersebut."

Sisi penetapan dalil oleh Imam Bukhari dari hadits ini sehubungan
dengan bab di atas adalah, bahwa sesuatu yang memabukkan tidak halal
diminum. Segala sesuatu yang tidak halal diminum, maka tidak boleh
pula dipakai berwudhu menurut kesepakatan para ulama, wallahu a lam.
Pembahasan tentang hukum minum An-Nabidz ini akan dibahas pada
kitab tentang minuman, insya Allah.

3 7 2 — FATHUL BAARI
72. Seorang Wanita Mencuci Darah di Wajah Bapaknya

Abu Al Aliyah berkata, "Usaplah kakiku karena sakit.

243. Diriwayatkan dari Abu Hazim bahwasanya ia mendengar


Sahal bin Sa 'ad As-Sa 'idi, dimana ia ditanya oleh orang-orang -
sementara tidak ada antara aku dan dia seorang pun, "Dengan
apakah diobati luka Nabi SAW? " Sahal berkata, "Tidak ada lagi
seorang pun yang lebih tahu dariku mengenai hal itu. Ali datang
membawa tamengnya berisi air, dan Fathimah membersihkan
darah dari wajah beliau SA W. Lalu dia mengambil tikar kemudian
dibakar, setelah itu ditaburkan ke luka beliau SA W."

Keterangan Hadits:

j—j (Dari wajah beliau SAW) Bab ini menjelaskan bahwa


menghilangkan najis atau yang sepertinya boleh meminta bantuan orang
lain, seperti diterangkan dalam masalah wudhu. Dari sini nampak
kesesuaian berita yang dinukil dari Abu Al Aliyah dengan hadits Sahal
bin Sa'ad.

O i h JJI j i j {Dan Abu Al Aliyah berkata) Beliau adalah Ar-Riyahi,


dan silsilah periwayatan perkataan beliau telah disebutkan secara
bersambung oleh Abdurrazzaq dari Ma'mar dari Ashim bin Sulaiman. Ia

FATHUL BAARI — 373


berkata, "Kami pernah masuk menemui Abu Al Aliyah pada saat beliau
sedang sakit, maka mereka pun membantunya berwudhu. Ketika tinggal
satu kakinya lagi, beliau berkata, 'Usaplah kakiku ini karena sakit.'
Kakinya tersebut nampak kemerah-merahan." Ditambahkan oleh Ibnu
Abi Syaibah, bahwa kakinya telah dibalut.

• * — ^ {Tidak ada seorang pun). Sahal mengucapkan perkataan


ini karena dia adalah sahabat yang paling akhir meninggal di Madinah,
sebagaimana ditegaskan oleh Imam Bukhari dalam pembahasan nikah
dalam riwayat beliau melalui Qutaibah dari Sufyan. Tersebut dalam
riwayat Al Humaidi dari Sufyan, "Telah terjadi perselisihan di antara
manusia mengenai apa yang dipakai mengobati luka Nabi SAW."
Pembahasan mengenai sebab luka yang diderita Nabi SAW akan
disebutkan di dalam kitab Al Maghazi pada bagian perang uhud,
demikian pula dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut terhadap
beliau SAW. Adapun jarak antara kejadian dengan penyampaian cerita
tersebut oleh Sahal bin Sa'ad sekitar 80 tahun lebih.

j>l— i (Maka diambil). Sementara dalam riwayat Imam Bukhari


dalam pembahsan tentang thibb (ilmu medis) disebutkan, "Ketika
Fathimah melihat darah terus bertambah di air, maka ia mengambil tikar
kemudian dibakarnya lalu ditaburkan di atas luka tersebut, dan darah pun
akhirnya berhenti."

Dalam hadits ini terdapat keterangan disyariatkannya seseorang


untuk berobat serta mengobati luka dan bolehnya memakai tameng dalam
peperangan, karena semua itu tidak mengurangi nilai tawakal, dan hal itu
telah dilakukan oleh Rasulullah.
Demikian juga dalam hadits tersebut terdapat keterangan bolehnya
seorang wanita menyentuh bapaknya dan mahramnya, mengobati
penyakit laki-laki di antara mahramnya dan faidah yang lain sebagaimana
akan disebutkan dalam kitab Al Maghazi (peperangan), insya Allah.

3 7 4 — FATHUL BAARI
73. Siwak

Ibnu Abbas berkata, "Aku pernah bermalam di rumah Nabi SAW, maka
beliau pun menggosok gigi."

244. Diriwayatkan dari Abu Burdah, dari bapaknya, ia berkata,


'Aku mendatangi Nabi SAW dan aku dapati beliau menggosok gigi
dengan siwak yang ada di tangannya. Beliau SAW mengeluarkan
suara, 'u'... u'..' sementara siwak berada di mulutnya, seakan-
akan beliau hendak muntah"

Keterangan Hadits:

J—"s- j—°>) Jl—ij {Ibnu Abbas berkata). Riwayat tanpa silsilah


periwayatan ini tidak disebutkan dalam naskah Imam Bukhari yang
dinukil oleh Al Mustamli. Ia merupakan penggalan hadits panjang
tentang kisah bermalamnya Ibnu Abbas di rumah bibinya -Maimunah-
dengan tujuan melihat shalat Nabi SAW di waktu malam. Silsilah
periwayatannya telah disebutkan secara bersambung oleh Imam Bukhari
sendiri melalui berbagai jalur periwayatan, di antaranya dengan lafazh
seperti di atas dalam kitab Tafsir Surah Aali Imraan. Secara implisit
perkataan Abdul Haq menyatakan, bahwa riwayat dengan lafazh seperti
tersebut di sini hanya dinukil oleh Imam Muslim, tapi pandangan ini
kurang tepat.

«aj—» J j p (Dari Abu Burdah), beliau adalah putra Abu Musa Al


Asy'ari.

FATHUL BAARI — 375


AJIS* (Seakan-akan beliau hendak muntah), yakni beliau SAW
mengeluarkan suara sebagaimana suara seseorang yang muntah. Dari sini
dapat diambil faidah disyariatkannya bersiwak (menggosok) lidah dengan
memanjang. Adapun gigi digosok dengan posisi melintang. Sehubungan
dengan itu disebutkan sebuah hadits mursal (tanpa menyebut perawi dari
Nabi SAW) dalam kitab Abu Dawud. Hadits ini memiliki penguat yang
diriwayatkan dengan silsilah peri-wayatan yang bersambung sampai
kepada Nabi SAW, seperti dikutip oleh Al Uqaili dalam kitab Adh-
Dhu 'afa.

Dalam hadits ini terdapat keterangan akan pentingnya siwak, dan


hal itu tidak khusus gigi saja. Adapun fungsi siwak adalah untuk
kebersihan bukan untuk menghilangkan kotoran, karena beliau SAW
tidak menutup diri saat melakukannya. Lalu sebagian ahli hadits me-
nyebutkannya pada suatu bab dengan judul "Seorang imam bersiwak di
hadapan rakyatnya".

ol—i — £ J J—IDI ^rrf f*^ b


i $ P *{J^ ^ : <
-^ 4^-^- 'j*

.iiljljb.

245. Diriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata, "Biasanya Nabi


SA W apabila bangun di waktu malam, beliau menggosok mulutnya
dengan siwak."

Keterangan Hadits:

j?j ''l (Menggosok). Ibnu Daqiq Al Id berkata, "Dalam hadits ini


terdapat keterangan disukainya bersiwak pada saat bangun tidur, sebab
umumnya tidur merupakan saat dimana bau mulut berubah disebabkan
uap yang keluar dari rongga perut. Yang dimaksud dengan siwak adalah
alat yang digunakan untuk membersihkan gigi, maka ia disukai sesuai
dengan fungsinya." Beliau berkata pula, "Adapun makna lahiriah dari
kata J—lil i 'j—» (di waktu malam) berlaku umum dalam setiap keadaan,
namun ada pula kemungkinan hal ini dikhususkan pada saat hendak

3 7 6 — FATHUL BAARI
melakukan shalat." Aku katakan, "Keterangan mengenai hal itu
disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari dalam pembahasan shalat
dengan ungkapan, "Apabila beliau bangun untuk tahajjud". Demikian
pula yang dinukil oleh Imam Muslim. Di samping itu hadits Ibnu Abbas
turut menguatkannya. Seakan-akan inilah yang menjadi rahasia sehingga
disebutkan dalam judul bab ini. Lalu Imam Bukhari banyak menyebutkan
hukum-hukum siwak pada pembahasan shalat dan puasa sebagaimana
akan dijelaskan pada tempatnya, insya Allah.

74. Menyerahkan Siwak kepada yang Lebih Tua

246. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi SAW


bersabda, "Diperlihatkan kepadaku bahwa aku sedang menggosok
gigi dengan siwak, lalu datang kepadaku dua orang laki-laki, salah
satu di antara keduanya lebih tua dari yang satunya lagi, maka aku
memberikan siwak kepada yang lebih muda di antara keduanya.
Maka dikatakan kepadaku, 'Serahkan kepada yang lebih tua.'
Akupun menyerahkan kepada yang lebih tua di antara keduanya. "
Abu Abdillah berkata, "Riwayat ini diringkas oleh Nu 'aim dari
Ibnu Al Mubarak dari Usamah dari Nafi' dari Ibnu Umar T

FATHUL BAARI — 377


Keterangan Hadits:

m »'j' (Diperlihatkan kepadaku) Dalam riwayat Al Mustamli

disebutkan dengan lafazh, Jj (Aku telah melihat diriku), namun lafazh


pertama lebih masyhur. Dalam riwayat Imam Muslim melalui jalur Ali
bin Nashr Al Juhdhami dari Shakhar disebutkan "Diperlihatkan kepadaku
dalam mimpi." Lalu dalam riwayat Al Isma'ili disebutkan, "Aku melihat
dalam mimpi." Atas dasar riwayat-riwayat ini, maka makna J J adalah
* o t

berasal dari kata (mimpi).

s—I J — ( M a k a dikatakan kepadaku). Yang berkata di sini adalah


i(

Jibril AS, sebagaimana akan disebutkan dari riwayat Ibnu Mubarak.

j_Ui -LP y\ Jli (Abu Abdullah berkata) Beliau adalah Imam Bukhari.
Adapun Nu'aim adalah N u ' a i m bin Hammad. Sedangkan Usamah yang
dimaksud adalah Usamah bin Zaid Al-Laitsi Al Madani. Riwayat Nu'aim
yang tersebut di sini, silsilah periwayatannya telah disebutkan secara
lengkap oleh Ath-Thabrani dalam kitab Al Ausath melalui jalur Bakr bin
Sahal dari Nu'aim dengan lafazh, "Jibril memerintahkan kepadaku untuk
menyerahkan kepada yang lebih tua."
Kami telah meriwayatkannya pula dalam kitab Al Ghailaniyat
melalui riwayat Abu Bakar Asy-Syafi'i dari Umar bin Musa dari N u ' a i m
dengan lafazh, "Untuk aku dahulukan yang lebih tua." Lalu telah
diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Ibnu Mubarak dari N u ' a i m tanpa
diringkas, seperti dikutip oleh Ahmad, Al Isma'ili dan Al Baihaqi dengan
lafazh, "Aku melihat Rasulullah SAW menggosok gigi lalu beliau
menyerahkan siwak tersebut kepada orang paling tua di antara yang
hadir, kemudian beliau bersabda, ''Sesungguhnya Jibril memerintahkan
kepadaku untuk menyerahkan kepada yang lebih tua:'''' Riwayat terakhir
ini memberi indikasi, bahwa kisah tersebut terjadi pada saat terjaga
(bukan mimpi).

Namun riwayat ini dapat dipadukan dengan riwayat Shakhar,


dimana ketika peristiwa itu terjadi maka beliau SAW memberitahukan
pula kepada para sahabatnya apa yang dilihat dalam mimpinya. Hal ini
sebagai suatu pemberitahuan bahwa perbuatannya itu adalah atas
petunjuk wahyu, maka sebagian perawi menghapal apa yang tidak
dihapal oleh perawi yang lain.

3 7 8 — FATHUL BAARI
Riwayat Ibnu Mubarak diperkuat oleh riwayat yang dinukil oleh
Abu Dawud melalui silsilah periwayatan yang hasan dari Aisyah, ia
berkata, "Rasulullah SAW pernah menggosok gigi, sedang di samping-
nya dua orang laki-laki. Maka diwahyukan kepadanya, 'Hendaklah
engkau menyerahkan siwak kepada yang lebih tua.'"
Ibnu Baththal berkata, "Dalam hadits ini terdapat keterangan untuk
lebih mendahulukan orang yang lebih tua dalam hal siwak, dan
disamakan pula dengannya makanan, minuman, berjalan dan berbicara."
Al Muhallab berkata, "Hal demikian berlaku apabila orang-orang belum
duduk secara teratur, adapun jika mereka telah duduk secara teratur maka
sunah untuk mendahulukan yang kanan." Ini merupakan pendapat yang
shahih. Hadits mengenai hal ini akan disebutkan dalam pembahasan
tentang minuman.
Dalam hadits ini terdapat keterangan bolehnya menggunakan siwak
orang lain tanpa ada unsur makruh (tidak disukai). Hanya saja disukai
bila orang itu mencuci sebelum memakainya. Sehubungan dengan ini
telah diriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah dalam Sunan Abu Dawud,
* * " 't. i' ' " t ' * * F
S ' '

dimana Aisyah berkata, ^—i -)£->ls AJ IJJU> iL-pV J!a*j *»i J j w j oli"

4_Ih jii il—PI (Biasanya Rasulullah memberikan siwak kepadaku untuk


aku cuci, lalu aku mulai bersiwak kemudian mencucinya dan menyerah-
kan kembali siwak itu kepadanya). Kejadian ini menunjukkan keagungan
akhlak Rasulullah serta kecerdasan Aisyah RA, sebab beliau tidak men-
cuci siwak tersebut di saat mulai bersiwak agar tidak luput darinya untuk
menjadikan air liur beliau SAW sebagai obat. Kemudian di bagian akhir
beliau mencucinya untuk menunjukkan adab beliau serta mengamalkan
sunah. Ada kemungkinan yang dimaksud dengan diperintahkannya
Aisyah mencuci siwak tersebut adalah untuk melembutkannya dengan air
sebelum dipakai oleh beliau SAW, wallahu a 'lam.

FATHUL BAARI — 379


75. Keutamaan Orang yang Tidur Malam dalam
Keadaan Berwudhu

s s y y y y y y o
s i y y 0 y y O/' , " * M ^* t » y 0 y y> y

d}-^±> C J L B L: ^ 1 J U : J L S ^ > ^ , G I ^

y y y "y

^4-Jui 5i ^i itu IU. ^ Lu. ^ a i i % cuii


J *C-< O L* (CJLUJI ^JJI ILLL J CJJIL ^JJL DJBU^J C-JUT

(c i>1 <£JL—ft dLi^ ci^T ^ i i ) LiL; illi s y j i

247. Diriwayatkan dari Al Barr a' bin Azib, ia berkata bahwa


"Nabi SAW bersabda, "Apabila engkau mendatangi tempat
tidurmu (hendak tidur) maka berwudhulah sebagaimana wudhu
untuk shalat, setelah itu berbaring ke kanan, kemudian bacalah,
'Ya Allah aku menyerahkan wajahku (diriku) kepada-Mu, aku
pasrahkan urusanku kepada-Mu, aku serahkan segala urusanku
kepada-Mu, aku berlindung kepada-Mu dengan pengharapan
(memperoleh kebaikan) dan takut (memperoleh siksa) kepada-
Mu. Tidak ada tempat perlindungan dan keselamatan kecuali
kepada-Mu. Ya Allah aku beriman dengan kitab-Mu yang telah
Engkau turunkan, dan nabi-Mu yang telah Engkau utus.'
Apabila engkau mati pada malam itu, maka engkau berada di atas
fithrah. Jadikanlah kalimat tersebut akhir yang engkau ucapkan. "
Beliau berkata, "Akupun mengulanginya di hadapan nabi SAW.
Ketika aku sampai pada perkataan, 'Ya Allah aku beriman
dengan kitab-Mu yang telah engkau turunkan', akupun berkata,

3 8 0 — FATHUL BAARI
'dan rasul-Mu.' Maka Nabi SA W bersabda, "Tidak, dan nabi-Mu
yang telah engkau utus:"

Keterangan Hadits:

i 'fifi (Berwudhulah). Secara lahiriah anjuran ini menjelaskan


disukainya memperbaharui wudhu bagi setiap orang yang hendak tidur,
meskipun ia dalam keadaan suci. Ada pula kemungkinan hal ini khusus
bagi mereka yang berhadats. Adapun sisi kesesuaian hadits ini dengan
judul bab adalah pada perkataannya, "Apabila engkau mati pada malam
tersebut maka engkau berada di atas fithrah." Yang dimaksud dengan
fithrah di sini adalah Sunnah.

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim serta
ahli hadits lainnya melalui berbagai jalur yang semuanya bersumber dari
Al B a r r a \ Semua jalur itu tidak menyebutkan wudhu, kecuali melalui
riwayat ini saja. Demikian juga yang dikatakan oleh Imam Tirmidzi.
Telah diriwayatkan juga tentang hal ini dari M u ' a d z bin Jabal seperti
dinukil oleh Abu Dawud, demikian juga hadits Ali yang diriwayatkan
oleh Al Bazzar. Akan tetapi, tidak satupun di antara dua riwayat itu yang
sesuai dengan persyaratan Imam Bukhari. Pembahasan faidah kandungan
hadits ini akan dijelaskan pada bab doa, insya Allah.

J j—"a \—i 'jf \ j ^ - v - i j (Dan jadikanlah kalimat tersebut akhir yang


engkau ucapkan)^ Dalam riwayat Al Kasymahani disebutkan dengan
lafazh, j—f-T j — » j ^ r ' j (Dan jadikanlah kalimat tersebut di antara yang
terakhir). Riwayat ini menjelaskan bahwa sesorang tidak dilarang untuk
megucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan setelah membaca doa ter-
sebut ketika hendak tidur.
• .*,*/' c
cJ—'~>j\ t^iJi £l«Jj ^ (Maka beliau bersabda, "Tidak, dan nabi-
Mu yang telah Engkau utus). Al Khaththabi berkata, "Di sini terdapat
hujjah bagi mereka yang tidak memperbolehkan untuk meriwayatkan
hadits dengan maknanya." Dia juga berkata, "Ada kemungkinan sabda
beliau, 'dan nabi-Mu' merupakan isyarat dari Rasulullah bahwa beliau

" Riwayat yang telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar menggunakan kalimatjU^o" L* 'jf\ j$li*-lj

FATHUL BAARI — 381


adalah seorang nabi sebelum diangkat menjadi rasul. Atau mungkin
karena pada lafazh, 'dan rasul-Mu yang telah Engkau utus' tidak
mempunyai kelebihan sifat sebagaimana yang terkandung dalam lafazh,
'dan nabi-Mu yang telah Engkau utus.'"
Ulama selain Al Khaththabi mengatakan, "Tidak ada dalam hadits
ini suatu hujjah (alasan) untuk tidak memperbolehkan meriwayatkan
hadits dengan maknanya, sebab kata 'rasul' tidak sama dengan makna
kata 'nabi'. Tidak ada perselisihan tentang tidak bolehnya meriwayatkan
secara makna bila terjadi perbedaan makna lafazh."
Seakan-akan beliau SAW hendak mengumpulkan dua sifat
sekaligus, meskipun pada dasarnya sifat kerasulan berkonsekuensi
adanya sifat kenabian. Atau mungkin pula disebabkan karena lafazh-
lafazh dzikir hukumnya tauqifi (berdasarkan teks dalil) dalam menen-
tukan lafazh dan pahalanya. Mungkin saja pada salah satu lafazh terdapat
rahasia tertentu yang tidak terkandung pada lafazh yang lain, meskipun
maknanya sama dari segi lahiriahnya. Kemungkinan pula telah diwahyu-
kan kepadanya lafazh ini, sehingga beliau SAW hanya ingin mengamal-
kan lafazh tersebut.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa Nabi SAW melarang merubah


lafazh tersebut adalah untuk menghindari pengaburan makna, dimana
lafazh rasul mencakup pula mereka yang telah diutus tanpa mengemban
misi kenabian, seperti Jibril dan selainnya di antara para malaikat yang
mana mereka adalah para rasul dan bukan para nabi. Maka, mungkin
beliau SAW ingin memberikan suatu perkataan ringkas yang dapat
menghindari pengaburan maksud.
Demikian juga dapat dikatakan, bahwa mungkin larangan perubah-
an lafazh (kata) yang dimaksud karena kata "nabi" jauh lebih mengan-
dung nilai pujian dibandingkan kata "rasul" sebab kata-kata rasul
mencakup semua yang diutus, berbeda dengan kata "nabi". Atas dasar ini
maka pendapat orang yang mengatakan, "Semua rasul adalah nabi dan
tidak sebaliknya" tidak boleh dimutlakkan seperti itu.
Adapun orang berpegang dengan hadits ini untuk menunjukkan
tidak bolehnya mengganti kalimat, "Nabi SAW bersabda" dengan
kalimat, "Rasulullah SAW bersabda". Demikian pula sebaliknya -
seandainya kita membolehkan riwayat secara makna- dan indikasi seperti
itu tidak ada dalam hadits ini. Demikian pula tidak ada hujjah dalam

3 8 2 — FATHUL BAARI
hadits itu bagi yang membolehkan bagian pertama (yakni menukar kata
"nabi" dengan kata "rasul") dan tidak memperbolehkan bagian kedua
(yakni sebaliknya -penerj), karena kata "nabi" lebih spesifik daripada
kata "rasul".
Di samping itu kita mengatakan, "Dzat yang menjadi obyek
pemberitaan dalam riwayat tersebut hanyalah dzat yang satu. Jika disifati
dengan sifat apa saja yang sesuai dengan dzat dan kedudukannya, maka
dapat diketahui dengan langsung maksud dari apa yang diberitakan
meskipun makna sifat-sifatnya berbeda. Sama halnya dengan nama yang
diganti dengan panggilan atau panggilan yang diganti dengan nama.
Tidak ada perbedaan apabila seorang perawi mengatakan, 'Dari Abu
Abdullah Al Bukhari' atau 'Dari Muhammad bin Isma'il Al Bukhari'.
Hal ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam hadits pada bab ini.
Karenanya mengandung kemungkinan seperti yang telah kami jelaskan,
yaitu masalah tauqifi dan yang lainnya." Wallahu a 'lam.

Catatan Penting
Imam Bukhari menutup bab wudhu dengan hadits ini, dikarenakan
wudhu ini adalah wudhu terakhir yang dianjurkan kepada seorang
mukallaf (yang dibebani kewajiban syariat) di saat terjaga berdasarkan
sabda beliau dalam hadits yang sama, "Dan jadikanlah kalimat tersebut
yang terakhir engkau ucapkan." Maka lafazh ini mengisyaratkan untuk
dijadikan pula sebagai penutup pembahasan ini, dan hanya Allah yang
memberi petunjuk kepada kebenaran.

Penutup
Kitab tentang wudhu dan segala yang berhubungan dengannya,
yaitu hukum-hukum air dan tata cara istinja' terdiri dari hadits-hadits
marfu' (sampai kepada Nabi SAW) yang berjumlah 150 hadits. Silsilah
periwayatan yang disebutkan secara bersambung berjumlah 116 hadits,
sedangkan yang disebutkan sebagai pendukung (mutaba 'ah) dan yang
disebutkan tanpa silsilah periwayatan (ta'liq) berjumlah 38 hadits.
Adapun yang terulang dalam bab ini dan bab-bab sebelumnya berjumlah
73 hadits. Yang tidak terulang berjumlah 81 hadits, tiga di antaranya
disebutkan tanpa silsilah periwayatan sedangkan sisanya disebutkan
melalui jalur periwayatan yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.

FATHUL BAARI — 383


Semua hadits yang telah beliau sebutkan di sini telah diriwayatkan
pula oleh Imam Muslim, kecuali 16 hadits; tiga di antaranya disebutkan
tanpa sanad, hadits Ibnu Abbas tentang sifat wudhu, hadits Ibnu Abbas
tentang berwudhu satu kali-satu kali, hadits Abu Hurairah yang
menyatakan, "Carikan untukku batu-batu", hadits Abdullah bin Mas'ud
tentang dua batu dan kotoran binatang, hadits Abdullah bin Zaid tentang
berwudhu dua kali-dua kali, hadits Anas tentang menyimpan rambut
Nabi SAW, hadits Abu Hurairah tentang seorang laki-laki yang memberi
minum anjing, hadits As-Sa'ib bin Yazid tentang cap kenabian, hadits
Sa'ad dan Umar tentang membasuh di atas dua sepatu, hadits Amru bin
Umayyah mengenai hal tadi, hadits Suwaid bin N u ' m a n tentang
berkumur-kumur karena sawiq, hadits Anas yang menyatakan apabila
seseorang ngantuk saat shalat maka hendaklah ia tidur, hadits Abu
Hurairah tentang kisah Arab badui yang kencing di masjid, hadits
Maimunah tentang tikus jatuh di minyak samin dan hadits Anas tentang
meludah di pakaian.

Dalam bab ini, disebutkan riwayat dari sahabat dan sesudahnya


yang berjumlah 48. Yang disebutkan secara bersambung di antaranya ada
tiga, sedangkan sisanya disebutkan secara mu 'allaq. Wallahu a 'lam.

A KfiMPtfNGUJitNAM

3 8 4 — FATHUL BAARI
5. MANDI

^b) ^ Sy3 J ^ 1
^ r r ^ J^'J ^ 1

X y y O y y y 0 y y 0 y y & '
O y'O -fisi y * ,y ,y t y O y Q to^ I 1* I

JA P_XLJ J J - I ^ j \ Js- jl ^ JLJ I j ^ l i

\* ' L •* * " ' L ' ' C '{• ' L ' LI •* ^ ' M ° f I «L'TL
# #

I wi? I J IJ -> " S\~* 1 jSs>XJ JT-JLS {.L^JJI J ^ l ^ A ^ j l JajLAjI

J ' - * % I, > -

j 4 ( J J ^ J ADI Jby L» 4^« JT->S^JI j J»-^-* yr y. I y*~~«li

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang. Kitab (mandi) dan Firman Allah SWT, "Dan jika kamu
junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu tetapi Dia hendak
membersihkan kamu, dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur." ^ Q s . Al Maa'idah (5): 6^

Firman Allah SWT,

I * IJ^JJJ pSJ\j «"^CaJl IJJy£ ^ IyS\ IJJ^Jl UJJI IJ

O y ^ y O y X ^ ^ & ' %% y y y % s

jl y> ^ZS" j]j IjL~I*J ^s- J^R^ <Sy.^ ^ J &J^J^


y y y- y yy y

yy y ^ ' 9
i 0
i ' 0
£ * '

p li f.\ Ul'{jL^'ijl Jajl*Jl (*-^f «-^- J^

3 8 6 — FATHUL BAARI
.Ijjip Ijjtp JIS" 4JJI

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang


kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau kembali
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun." ^ Q s . An-Nisaa* (4): 43 )

Keterangan

JliJi J ^ - J J I *»' p~~> (Dengan menyebut nama Allah Yang


Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kitab mandi). Demikian yang
terdapat dalam riwayat kami dengan mendahulukan Basmalah,
sedangkan riwayat lain sebaliknya. Kemudian dalam riwayat Al Ashili
Basmalah tersebut dihilangkan dan ditulis "Bab Al GhusF\
Hakikat mandi adalah mengalirkan air ke seluruh anggota tubuh,
sedangkan mengenai kewajiban menggosok badan para ulama masih
berbeda pendapat. Sebagian besar mereka tidak mewajibkannya, semen-
tara Imam Malik dan Muzanni berpendapat sebaliknya. Lalu Ibnu
Baththal memperkuat pendapat ini berdasarkan ijma' (kesepakatan) para
ulama yang mewajibkan menggosokkan tangan ke seluruh anggota
wudhu ketika membasuhnya, ia mengatakan, "Dengan demikian wajib
juga menggosok seluruh tubuh ketika mandi sebagaimana halnya wudhu,
sebab antara keduanya tidak ada perbedaan."

Akan tetapi perkataan Ibnu Baththal tersebut dibantah dengan


mengatakan, bahwa para ulama yang tidak mewajibkan menggosok
badan (ketika mandi) telah membolehkan bagi seseorang yang berwudhu
untuk memasukkan tangannya ke dalam air tanpa menggosoknya.

FATHUL BAARI — 387


Dengan demikian ijma' tersebut menjadi batal, dan hilanglah konse-
kuensi di antara keduanya.

l t _ J £ b|j :J\ia <UJl jjs) (Firman Allah SWT, "Dan jika


kamu junub maka mandilah). Al Karmani mengatakan, "Tujuan Imam
Bukhari dengan perkataannya ini adalah untuk menjelaskan kewajiban
mandi bagi orang yang junub berdasarkan firman Allah dalam Al
Qur'an." Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Sikap beliau yang lebih dulu
menyebutkan ayat dalam surah Al Maa'idah daripada ayat dalam surah
An-Nisaa' adalah karena lafazh dalam surah Al Maa'idah I j ^ k ^ masih

bersifat global (mujmal), sedangkan lafazh dalam surah An-Nisaa' J*-

\j\ 3s secara tegas menyebutkan mandi, dimana lafazh tersebut

merupakan penjelasan dari lafazh 'jj^ ** yang masih bersifat global. Ayat
9

lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah SWT
— b l i adalah mandi, yaitu firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah

ayat: 222 tentang wanita yang haidh, oj^ai l i l i oj^aj 'y*y'j£ Vj (Dan
janganlah kamu mendekati mereka (para istri) hingga mereka suci.
Apabila mereka suci). Artinya kalau mereka sudah mandi."
Ayat dalam surah An-Nisaa' tersebut juga menunjukkan bahwa
boleh atau tidaknya seseorang yang sedang junub untuk melaksanakan
shalat -demikian juga berdiam di masjid- adalah tergantung kepada
mandi. Adapun hakikat mandi adalah membasuh semua anggota tubuh
disertai dengan niat, dimana niat itulah yang membedakan antara mandi
untuk ibadah atau hanya sekedar kebiasaan.

3 8 8 — FATHUL BAARI
1. Wudhu Sebelum Mandi

fJUiJl y Jl*IPI bl j l T Hl ^ l i l jl |§| j^-Jl ^ j j A I O L P ^ P

.AU OJI>- ^ I P f.LUl (j^'tfj pj ^i-^l

248. Dar/ Aisyah -istri Nabi SAW- bahwa apabila beliau mandi
junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua tangannya.
Kemudian berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, kemudian
beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, setelah itu
menggosokkannya di sela-sela rambutnya. Kemudian ia menyiram
kepalanya sebanyak tiga kali cidukan, setelah itu meratakan
(menyiramkan) air ke seluruh tubuhnya.

Keterangan Hadits:
(Wudhu sebelum mandi), maksudnya disukai berwudhu sebelum
mandi wajib.
Imam Syafi'i mengatakan dalam kitabnya, Al Umm, "Allah S W T
mewajibkan mandi secara mutlak (tanpa batas) dengan tidak menyebut-
kan satu perbuatan pun yang harus dilakukan sebelumnya. Bagaimanapun
cara seseorang mandi, maka itu sudah cukup dengan syarat ia membasuh
(mengalirkan air) ke seluruh tubuhnya. Adapun cara yang paling baik
adalah sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah."
Hadits yang disebutkan dalam bab ini juga dikutip dari Imam
Malik dengan silsilah periwayatannya, sebagaimana dalam kitab Al
Muwaththa \ Ibnu Abdil Barr mengatakan, bahwa hadits tersebut adalah
hadits yang paling baik yang diriwayatkan dalam bab ini. Aku (Ibnu
Hajar) katakan, "Hadits ini juga diriwayatkan dari Hisyam Ibnu Urwah

FATHUL BAARI — 389


oleh beberapa orang ahli hadits selain Malik seperti yang akan
dijelaskan."

J-~i*l lij DlT (Apabila beliau mandi), yakni memulai mandi. Lafazh

'j « pada kalimat i—'l^Ji J—* berfungsi sebagai keterangan sebab


(sababiyah).

4 °lo J—J*j (J—' (Beliau memulainya dengan mencuci kedua


tangannya) Kemungkinan maksudnya adalah membersihkan tangannya
dari kotoran, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam hadits Maimunah.
Ada kemungkinan juga bahwa mencuci kedua tangan ini termasuk hal
yang disyariatkan sebagaimana ketika bangun tidur. Kemungkinan
terakhir ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Uyainah dari Hisyam, yang
menambahkan lafazh, « • ! — — i U ^ ^ i
LS Jli (Sebelum ia memasukkan
keduanya ke dalam bejana). Demikian diriwayatkan oleh Imam Syafi'i
dan Tirmidzi. Ia juga menambahkan, &r J J—*J (Kemudian ia mencuci
kemaluannya). Demikian juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu
Mu'awiyah seperti dikutip oleh Abu Dawud dari Hammad bin Zaid,
keduanya dari Hisyam.
Tambahan keterangan ini merupakan hal yang sangat berharga,
karena dengan mencuci kemaluan terlebih dahulu dapat lebih memberi
rasa aman bagi seseorang untuk tidak menyentuhnya saat mandi.

5^_tflA3 tz?'JJ UT (Sebagaimana wudhu untuk shalat). Pernyataan ini


sebagai langkah untuk menghindari timbulnya pemahaman, bahwa yang
dimaksud wudhu di sini adalah berdasarkan makna secara bahasa (yaitu
sekedar membersihkan anggota badan).
Tidak tertutup kemungkinan bahwa berwudhu sebelum mandi
merupakan sunah tersendiri, dimana anggota wudhu wajib pula dibasuh
bersama seluruh badan ketika mandi. Ada pula kemungkinan anggota
badan yang telah dibasuh saat wudhu tidak perlu dibasuh kembali saat
mandi, maka seseorang harus berniat mandi wajib ketika mencuci
anggota wudhu yang pertama.
Didahulukannya membasuh anggota wudhu adalah sebagai bentuk
penghormatan. Dengan demikian, dapat diperoleh dua bentuk thaharah
(bersuci) sekaligus; thaharah shugra (bersuci kecil) dan thaharah kubra

3 9 0 — FATHUL BAARI
(bersuci besar). Pandangan seperti ini menjadi kecenderungan Ad-
Dawudi -pensyarah Al Mukhtashar dari madzhab Syafi'i- dimana ia
mengatakan, "Lebih dahulu membasuh anggota wudhu sesuai dengan
urutannya, tetapi dengan niat mandi junub."
Kemudian Ibnu Baththal menukil adanya kesepakatan para ulama
yang mengatakan, "Apabila seseorang telah mandi wajib, maka ia tidak
wajib berwudhu." Tetapi klaim adanya ijma' mengenai perkara ini tidak
dapat diterima, karena sejumlah ulama di antaranya; Abu Tsaur, Daud,
dan lainnya berpendapat bahwa mandi tidak bisa menggantikan wudhu
bagi orang yang berhadats.
'',>'.
l^j J i k J {Setelah itu menggosokkannya), yakni menggosokkan jari-
jari tangannya yang sudah dimasukkan ke dalam air. Dalam riwayat
Muslim disebutkan, "Kemudian beliau mengambil air, setelah itu me-
masukkan jari-jari tangannya ke akar-akar rambut." Dalam riwayat
Tirmidzi dan Nasa'i dari Ibnu Uyainah dikatakan, "Kemudian beliau
memercikkan air ke rambutnya."
«j*—5> J j — ^ (Di sela-sela rambutnya), maksudnya rambut kepala
beliau SAW. Hal ini didukung oleh riwayat Hammad bin Salamah dari
Hisyam sebagaimana dinukil oleh Baihaqi dengan lafazh, "Beliau
menyela-nyela kepalanya yang sebelah kanan dengan jari tersebut sampai
ke akar rambut, kemudian ia melakukan hal yang sama pada bagian
kepala sebelah kiri."
Al Qadhi Iyadh mengatakan, "Sebagian ulama menjadikan lafazh
ini sebagai hujjah (alasan) untuk mengharuskan mencuci (menyela-nyela)
bulu badan ketika mandi, baik berpedoman dengan keumuman lafazh
"ushulu sya'r" (akar-akar rambut) ataupun dengan menganalogi kannya
dengan rambut kepala."
Adapun faidah menyela-nyela rambut tersebut adalah untuk
meratakan air ke rambut dan kulit. Menyentuh rambut dengan mengguna-
kan tangan secara langsung adalah untuk meratakan air ke seluruh
rambut.
Kemudian para ulama sepakat bahwa menyela-nyela rambut kepala
dengan tangan saat mandi junub hukumnya tidak wajib, kecuali apabila
pada rambut itu ada sesuatu yang menghalangi sampainya air ke akar-
akarnya, wallahu a 'lam.

FATHUL BAARI — 391


'-jj—f- — J {Tiga kali cidukan). Lafazh ^'jt- adalah bentuk plural

(jamak) dari kata i-i'jf-, dan ukuran satu (cidukan) itu sendiri adalah
sama dengan banyaknya air yang dapat ditampung oleh telapak tangan
manusia.
Lafazh ini menerangkan disukainya menyiram air ke badan ketika
mandi sebanyak tiga kali-tiga kali. Imam Nawawi mengatakan, "Kami
tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini kecuali
pendapat yang dikemukakan oleh Al Mawardi, dimana beliau berkata,
"Tidak dianjurkan mengulang-ulang (siraman) ketika mandi.'"
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Pendapat ini dikemukakan pula oleh
Syaikh Abu Ali As-Sanji dalam kitab Syarhul furu' serta Imam Al
Qurthubi. Adapun lafazh tiga kali dalam riwayat ini mereka memahami-
nya, bahwa setiap cidukan digosokkan pada salah satu bagian kepala. Di
akhir pembahasan tentang hadits Maimunah akan disebutkan tambahan
mengenai masalah ini.

'ja—(Setelah itu ia meratakan), maksudnya mengalirkan air ke


seluruh tubuh. Lafazh ini dijadikan dalil oleh orang yang tidak
mewajibkan menggosok badan saat mandi, dan konteks kesimpulan ini
dengan hadits tersebut cukup jelas. Namun Al Maziri mengatakan,
"Lafazh ini tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan tidak
wajibnya menggosok badan saat mandi, karena lafazh je\i\ artinya J—*
(mencuci). Sementara mencuci itu sendiri menjadi obyek perselisihan."
Aku katakan, "Kelemahan perkataan ini cukup jelas." Wallahu a 'lam.
Al Qadhi Iyadh berkata, "Tidak ditemukan dalam riwayat-riwayat
yang berkenaan dengan wudhu ketika hendak mandi junub lafazh yang
menyebutkan pengulangan dalam mencuci anggota wudhu." Aku (Ibnu
Hajar) katakan, "Ada riwayat yang shahih menyebutkan hal tersebut,
yakni hadits yang dinukil oleh Imam Nasa'i dan Baihaqi dari riwayat
Abu Salamah dari Aisyah bahwa ia menggambarkan cara Nabi SAW
mandi junub, dimana disebutkan dalam hadits tersebut, 'Kemudian ia
berkumur-kumur tiga kali, memasukkan air ke hidung tiga kali, mencuci
muka tiga kali, tangan tiga kali dan kemudian menyiram kepalanya tiga
kali.

3 9 2 — FATHUL BAARI
*—«oLr (Keseluruh tubuhnya) Penegasan ini memberi makna,
bahwa beliau SAW meratakan (air) ke seluruh bagian tubuhnya ketika
mandi setelah melakukan hal-hal di atas. Ini menguatkan kemungkinan
pertama bahwa wudhu merupakan sunah yang tersendiri sebelum mandi.
Oleh karena itu orang yang mandi (junub) harus berniat untuk wudhu jika
ia berhadats, sedangkan bila tidak berhadats maka ia berniat sunah
mandi.

Hadits ini juga dijadikan dalil disunahkannya menyempurnakan


wudhu sebelum mandi, dan mencuci kaki tidak diakhirkan sampai selesai
mandi. Kesimpulan seperti itu dapat ditarik dari makna lahiriah perkataan
Aisyah RA, "Sebagaimana beliau berwudhu untuk shalat." Lafazh inilah
yang diriwayatkan secara akurat dari Aisyah melalui jalur periwayatan
ini. Akan tetapi telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu
Muawiyah dari Hisyam, ia berkata di bagian akhir, "Kemudian ia
mengalirkan air ke seluruh tubuh, kemudian mencuci kedua kakinya."

Adapun lafazh yang menjadi tambahan tersebut hanya diriwaya-


tkan oleh Abu Muawiyah saja tanpa ada murid-murid Hisyam lain yang
turut menukilnya. Oleh sebab itu Imam Baihaqi mengatakan, "Tambahan
ini gharib (ganjil) namun shahih." Aku katakan, "Tetapi riwayat Abu
Muawiyah dari Hisyam menjadi bahan perbincangan." Namun diakui
bahwa hadits tersebut memiliki penguat yang dinukil melalui riwayat
Abu Salamah dari Aisyah sebagaimana dikutip oleh Abu Daud At-
Thayalisi, dimana ia menyebutkan hadits mandi yang terdapat dalam
riwayat Nasa'i. Lalu beliau menambahkan, "Tatkala beliau telah selesai
mandi, beliau mencuci kedua kakinya." Dengan demikian bisa jadi yang
dimaksudkan riwayat-riwayat Aisyah -dengan perkataannya- "Wudhu
sebagaimana wudhu untuk shalat" adalah membasuh sebagian besar
anggota wudhu, yakni selain kedua kaki. Atau hadits tersebut dapat pula
dipahami menurut makna lahiriahnya.

Hadits riwayat Abu Muawiyah ini juga dapat dijadikan dalil


bolehnya memisah-misahkan wudhu. Ada kemungkinan yang dimaksud
dalam riwayat Abu Muawiyah "Kemudian beliau mencuci kedua
kakinya", adalah beliau mengulangi mencuci keduanya untuk me-
nyempurnakan mandi setelah sebelumnya beliau mencuci kedua kaki
tersebut ketika berwudhu. Sehingga perkataan ini sesuai dengan lafazh

FATHUL BAARI — 393


hadits di bab ini yaitu, *—li" «J—br ^—l* ja—1* <—J (Kemudian beliau
menyiramkan air ke seluruh tubuhnya).

o s.j s ^ j Sgjfe 4 Ul J y j W 3 j J o J l i aHl ^-^^ 4jj^_*» ^jjp


y y s-' y A y s 0 ^ x" y ^ yy yy y y y ^

° - >'a * - -j'--' o'o S - S •* ' - °


.5jUs«Jl ^ y 4j_L^p aJL& !.•> g L.J»3 4lL?rj *J tlUl

249 - Dari Maimunah istri Nabi SAW, ia berkata, "Rasulullah


SA W berwudhu seperti wudhu untuk shalat tetapi tidak membasuh
kedua kakinya, dan beliau mencuci kemaluannya serta kotoran-
kotoran yang melekat padanya, setelah itu beliau menyiramkan air
ke badannya. Kemudian beliau memindahkan kedua kakinya (dari
tempat semula) lalu mencucinya. Demikianlah cara beliau mandi
junub"

Keterangan Hadits:
y - ty f
4 4 ^ V j 'J* 3">CaJJ t * Jz>j (Berwudhu seperti wudhu untuk shalat tetapi
tidak membasuh kedua kakinya) Di sini dijelaskan secara tegas tentang
mengakhirkan mencuci kedua kaki ketika wudhu untuk mandi wajib. Jadi
hadits ini bertentangan dengan makna lahiriah riwayat Aisyah. Tetapi
keduanya dapat dipadukan dengan cara memahami hadits Aisyah dalam
pengertian majaz (kiasan) seperti yang telah dijelaskan, atau dikatakan
bahwa hadits itu menceritakan peristiwa pada kesempatan lain.
Karena kedua riwayat tersebut berbeda, maka para ulama berbeda
pula dalam menentukan pendapat mengenai persoalan tersebut.
Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa mengakhirkan mencuci
kaki ketika mandi wajib adalah sunah. Adapun Imam Malik berpendapat
jika tempat mandi tidak bersih, maka disukai untuk mengakhirkan
mencuci kaki. Tetapi kalau tempatnya bersih maka sebaliknya. Semen-
tara dalam mazhab Syafi'i terdapat dua pandangan dalam menentukan
mana yang lebih utama. An-Nawawi mengatakan, "Yang paling masyhur

3 9 4 — FATHUL BAARI
diantara keduanya adalah menyempurnakan wudhunya (yakni sekaligus
membasuh kedua kaki -penerj.) karena kebanyakan riwayat Aisyah dan
maimunah menyatakan demikian." Demikian pernyataan beliau.
Tetapi pada dasarnya tidak ada satu riwayatpun dari keduanya yang
jelas-jelas menyatakan demikian, yang ada hanyalah kemungkinan
seperti riwayat "Beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat" atau
riwayat yang secara lahiriahnya menyatakan bahwa beliau mengakhirkan
membasuh kedua kaki sebagaimana riwayat Abu Mu'awiyah terdahulu,
yang dikuatkan oleh riwayat yang dinukil melalui Abu Salamah.
Sebagian besar riwayat dari Maimunah sesuai dengan riwayat-riwayat
ini, atau riwayat yang secara tegas mengatakan bahwa membasuh kaki
dilakukan setelah mandi seperti hadits dalam bab ini.

Kemudian para perawi hadits dalam bab ini lebih diutamakan


dari segi hafalan dan pemahaman dibanding para perawi yang menukil
riwayat seperti ini dari Al A ' m a s y . Adapula pendapat yang mengata-
kan, "Sesungguhnya Nabi sesekali melakukan yang demikian untuk
menjelaskan b a h w a hal itu boleh dilakukan." Pendapat ini tidak
seluruhnya benar, karena riwayat A h m a d dari A b u Salamah dari Al
A ' m a s y ada yang mengindikasikan bahwa nabi melakukan hal
tersebut secara berkesinambungan, dimana lafazhnya adalah,

<6r°j J - J t i AlU-i Js- ^Jk j** AJJU J—-««i 'J-rf 'JA J _ i p l lil !SS

(Biasanya Nabi apabila mandi junub beliau memulainya dengan


mencuci kedua tangannya, kemudian menyiramkan air dengan tangan
kanan ke tangan kiri dan mencuci kemaluannya) dan di akhir hadits
disebutkan, <£&rj J~~*^ J*^>. (Kemudian ia berpindah (tempat) dan
mencuci kedua kakinya). I m a m Al Cjurtubi mengatakan, " H i k m a h
diakhirkannya m e m b a s u h kedua kaki tersebut, supaya mandi tersebut
dimulai dan diakhiri dengan m e m b a s u h anggota w u d h u . "

i—r'j J-~*j (Dan beliau mencuci kemaluannya). Di sini ada taqdim


dan ta 'khir (perubahan susunan lafazh), karena membasuh kemaluan
dilakukan sebelum wudhu. Kesimpulan ini dapat dibenarkan, karena kata
sambung waw (dan) tidak memberi makna urutan perbuatan (tertib). Ibnu
Mubarak telah menjelaskan hal tersebut dari Tsauri sebagaimana
disebutkan oleh Imam Bukhari di bab "Menutup diri saat mandi", dimana
disebutkan bahwa pertama-tama beliau mencuci kedua tangan, kemaluan,

FATHUL BAARI — 395


kemudian mengusapkan tangannya ke dinding, setelah itu berwudhu
tanpa mencuci kedua kakinya." Lafazh hadits ini menggunakan kata
sambung *—(kemudian) yang mengandung makna urutan peristiwa atau
perbuatan.

«d ~P «j—a (Demikianlah cara beliau mandi). Imam Bukhari


menggunakan hadits Maimunah ini sebagai dalil bolehnya memisah-
misahkan anggota wudhu, dan disukainya menuangkan air ke tangan kiri
dengan menggunakan tangan kanan berdasarkan riwayat Abu Awanah
dan Hafsh serta selain keduanya dimana dikatakan, "Kemudian beliau
menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kiri." Juga sebagai dalil
disyariatkannya berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung saat
mandi wajib berdasarkan lafazh dalam hadits tersebut yang menyatakan,
"Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung."
Keterangan ini pula yang dijadikan pegangan oleh ulama mazhab Hanafi
untuk mewajibkan kedua hal tersebut. Tetapi pendapat ini dibantah,
karena suatu perbuatan tidak mengindikasikan kewajiban kecuali per-
buatan itu merupakan penjelasan bagi suatu yang bersifat global
(mujmal) dan berkaitan dengan hukum wajib. Sementara hal ini tidak
ditemukan dalam pembahasan yang dimaksud, sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Daqiq Al 'Id.

Hadits tersebut juga menjadi dalil disukainya menyapukan tangan


dengan debu di dinding atau tanah berdasarkan lafazh dalam riwayat-
riwayat yang telah disebutkan, yaitu "Kemudian ia menyapukan tangan-
nya dengan tanah atau debu di dinding." Ibnu Daqiq Al 'Id mengatakan,
"Dari hadits tersebut dapat disimpulkan, bahwa menghilangkan najis
cukup dengan mencucinya sekali saja. Demikian juga dengan mandi
junub, karena hukum dasarnya adalah tidak ada pengulangan." Namun
dalam masalah ini ada perbedaan pandangan. An-Nawawi dan ulama
lainnya cenderung membenarkan bahwa mencuci sekali sudah men-
cukupi, tetapi hadits ini tidak secara pasti mengatakan bahwa perbuatan
itu adalah untuk menghilangkan najis. Bahkan ada kemungkinan per-
buatan itu dilakukan hanya untuk membersihkan tangan saja, sehingga
tidak mengindikasikan bahwa hal itu sudah mencukupi. Adapun
menggosokkan tangan dengan tanah tujuannya adalah untuk mencapai
hasil yang bersih, sebagaimana dikatakan oleh Imam Bukhari.

Orang yang berhujjah dengan hadits ini untuk mendukung

3 9 6 — FATHUL BAARI
pendapat yang menyatakan bahwa mani dan sekitar kemaluan yang
lembab adalah najis, sungguh telah jauh menyimpang dari indikasi hadits
tersebut, karena mandi tidak terbatas hanya untuk menghilangkan najis.
Sedangkan kalimat dalam hadits pada bab ini yang berbunyi, "Serta
(mencuci) kotoran-kotoran yang melekat padanya" juga tidak secara
tegas mengindikasikan bahwa mani serta kelembaban di sekitar kemaluan
adalah najis.
Selanjutnya Imam Bukhari beralasan dengan hadits ini bahwa yang
wajib dalam mandi junub adalah menyiram satu kali saja. Orang yang
berwudhu dengan niat mandi (wajib), kemudian ia menyempurnakan
(menyiram) anggota badannya, maka tidak diharuskan mengulang
wudhunya jika ia tidak berhadats.
Hadits tersebut juga memberi keterangan bolehnya mengibaskan
atau membersihkan air wudhu dengan tangan. Dalam hal ini ada hadits
dha 'if yang dikemu-kakan oleh Rafi'i dan yang lainnya dengan lafazh, V

otial—IsJl ^ j ' y i'Jp'J J> j*i>>Jjl \°ya£i (Janganlah kalian mengibaskan


tangan kalian ketika berwudhu karena itu adalah kipasan syetan). Ibnu
Shalah me-ngatakan, "Saya menemukan (sumber) hadits ini, dan An-
Nawawi menyetujuinya." Ibnu Hibban meriwayatkannya dalam kitab
Adh-Dhu 'afa dan Ibnu Abi Hatim dalam kitab Al 'Hal dari hadits Abu
Hurairah. Meskipun hadits ini tidak bertentangan dengan hadits shahih,
namun tetap tidak bisa dijadikan hujjah.

Hadits (di atas) juga dijadikan dalil disukainya menutup diri ketika
mandi walaupun dalam rumah. Imam Bukhari telah membuat bab-bab
khusus untuk setiap permasalahan di atas dan ia menyebutkan hadits ini
pada setiap bab tersebut, namun melalui jalur periwayatan yang berbeda-
beda. Akan tetapi, semua jalur periwayatan tersebut kembali kepada Al
A'masy, dan sebagian perawi menukil dari Al A ' m a s y apa yang tidak
dinukil oleh perawi yang lain. Saya telah mengumpulkan faidah-faidah
yang diambil dalam bab ini. Dalam riwayat Hafsh bin Ghiyyats dari Al
A ' m a s y secara jelas dikatakan, bahwa Al A ' m a s y telah mendengar
langsung hadits tersebut dari Salim, dengan demikian riwayat tersebut
aman dari tadlis (penyamaran riwayat).

Faidah lain dari hadits tersebut adalah, bolehnya meminta tolong


dibawakan air untuk mandi dan berwudhu berdasarkan perkataannya
dalam riwayat Hafsh dan lainnya, "Aku meletakkan untuk Rasulullah air

FATHUL BAARI — 397


untuk mandi" dan dalam riwayat Abdul Wahid dikatakan, "Airyang
digunakan untuk mandi." Hal ini menunjukkan pula khidmat (pelayanan)
para istri untuk suaminya.
Faidah lain hadits di atas adalah keterangan tentang menuangkan
air dengan tangan kanan ke tangan kiri untuk mencuci kemaluan dan
mencuci kedua telapak tangan sebelum mencuci kemaluan bagi orang
yang hendak menciduk air dengan tangannya, supaya ia tidak memasuk-
kan kedua tangannya ke dalam air karena ada kemungkinan di tangan itu
ada kotoran. Kalau airnya dalam bejana (guci) misalnya, maka yang lebih
utama adalah mencuci kemaluan terlebih dahulu supaya dapat mem-
bersihkan anggota tubuh secara berurutan.

Dalam hadits ini -dengan semua jalur periwayatannya- tidak ada


yang menyatakan secara jelas bahwa beliau menyapu kepalanya ketika
berwudhu. Kenyataan ini dijadikan pegangan oleh ulama madzhab
Maliki, dimana mereka berpendapat, "Wudhu yang dilakukan ketika
hendak mandi junub tidak perlu menyapu kepala, tetapi cukup dengan
mandi saja."
Sebagian ulama beralasan dengan perkataan Maimunah dalam
riwayat Abu Hamzah dan lainnya yang berbunyi, "Aku memberikan ke-
padanya kain, tetapi beliau tidak mengambilnya" untuk menyatakan
makruhnya mengelap badan setelah mandi. Tetapi tidak ada penjelasan
dalam hadits ini yang mendukung pendapat tersebut, karena kejadian ini
masih memiliki kemungkinan-kemungkinan. Di antaranya mungkin
beliau tidak mengambil (kain tersebut) karena sebab lain yang tidak ada
hubungannya dengan persoalan mengelap (badan) tetapi karena khawatir
bila kain itu sobek, atau karena beliau sedang terburu-buru atau lain
sebagainya.
Al Muhallab berkata, "Ada kemungkinan beliau tidak mengambil
kain tersebut karena ingin membiarkan keberkahan air (tetap melekat di
badannya), karena tawadhu' (kerendahan hati), atau karena di kain itu
ada sutra atau ada kotorannya.
Lalu dalam riwayat Ahmad dan Ismaili dari Abu Awanah, sehubu-
ngan dengan hadits ini dari Al A'masy, ia berkata, "Aku menanyakan hal
tersebut kepada Ibrahim An-Nakha'i, maka ia berkata,'Tidak apa-apa
mengelap badan dengan handuk kecil, hanya saja beliau menggunakan-
nya karena takut hal ini menjadi sebuah kebiasaan.'"

3 9 8 — FATHUL BAARI
At-Taimi mengatakan dalam syarahnya, "Hadits ini justeru me-
rupakan dalil yang menunjukkan bahwa Nabi mengelap badannya.
Karena kalau tidak, tentu ia (Maimunah) tidak akan membawakan kain
tersebut." Sementara Ibnu Daqiq Al Id mengatakan, "Beliau mengelap air
dengan tangannya (dari badan) menunjukkan bahwa mengelap (badan)
tidak makruh, karena kedua-duanya (mengelap dengan kain ataupun
tangan -penerj) tujuannya sama, yaitu untuk menghilangkan atau
mengeringkan badan."

Imam An-Nawawi berkata, "Ulama-ulama madzhab kami berbeda


pendapat dalam masalah ini menjadi lima golongan, dan yang paling
masyhur adalah disukai {mustahab) untuk tidak mengelap badan dengan
kain. Ada yang mengatakan makruh di musim panas dan mubah di
musim dingin.
Hadits ini juga menjadi dalil bahwa tetesan air yang berjatuhan dari
anggota tubuh adalah suci, tidak seperti yang dikatakan oleh orang-orang
yang berlebihan (fanatik) dalam mazhab Hanafi dimana mereka me-
ngatakan tetesan air tersebut adalah najis.

2. Suami Istri Mandi Bersama

° i l 'i ° * "'l I i 'f 1 ''f ° C-*"* ° I I ** ' \ ' ° '

•* ' a
).' * ' } '

250. Dari Aisyah ia berkata, 'Aku mandi bersama Nabi SAW dari
satu bejana, dari sebuah bejana yang disebut faraq."

Keterangan Hadits:

3j—d\ AJ JUL' (Yang disebutfaraq) Dalam riwayat Imam Malik dari

Az-Zuhri terdapat tambahan lafazh i—'l^Jl J "dari junub", yakni sebab

FATHUL BAARI — 399


junub. Ibnu Atsir berkata, "Apabila dibaca Al Faraq, maka yang
dimaksud adalah suatu bejana dengan isi sebanyak enam belas rithl.
Apabila dibaca Al Farq, maka yang dimaksud adalah suatu bejana
dengan sebanyak dua puluh rithl. Namun perkataan Ibnu Atsir ini tidak
terkenal (gharib).
Adapun ukurannya menurut riwayat Muslim dari Ibnu Uyainah
dari Zuhri disebutkan, bahwa Sufyan (bin Uyainah) berkata, "Alfaraq
sama dengan 3 sha'." Imam Nawawi menambahkan, "Demikianlah yang
dikatakan oleh mayoritas (jumhur) ulama." Ada juga yang berpendapat,
bahwa 1 faraq sama dengan 2 sha'. Hanya saja telah dinukil dari Abu
Ubaid tentang kesepakatan (ulama) bahwa 1 faraq sama dengan 3 sha'
atau sama dengan 16 rithl. Tapi kemungkinan yang dimaksud oleh beliau
adalah kesepakatan di kalangan ahli bahasa, sebab sebagian ahli fikih
madzhab Hanafi dan yang lainnya mengatakan bahwa 1 sha' adalah 8
rithl.

Dalam hal ini mereka berpegang dengan hadits yang diriwayatkan


dari mujahid -hadits berikutnya- dari Aisyah bahwa ia memperkirakan
isi bejana tersebut sebanyak 8 rithl. Namun yang shahih adalah pendapat
pertama, karena perkiraan tersebut tidak bisa mengalahkan ukuran yang
ditetapkan dengan pasti. Di samping itu mujahid tidak secara jelas
menyatakan bahwa isi bejana tersebut diperkirakan berdasarkan ukuran
sha', sehingga perbedaan ini lebih dipengaruhi oleh perbedaan tipis dari
bejana itu sendiri.
Pendapat yang mengatakan bahwa 1 faraq adalah 3 sha' dikuatkan
oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Atha dari Aisyah
dengan lafazh, "dengan ukuran 6 qisth". 1 qisth adalah 1/2 sha'
berdasarkan kesepakatan pakar bahasa. Tidak ada perbedaan pendapat di
antara mereka, bahwa 1 Faraq sama dengan 16 rithl, jadi benar bahwa 1
sha' adalah 5/3 rithl.
Lalu sebagian ulama madzhab Syafi'i mengambil jalan tengah
dengan mengatakan, bahwa 1 sha' untuk air mandi adalah 8 rithl dan 1
sha' untuk zakat fitrah atau lain-lainnya adalah 5 1/3 rithl, tetapi pen-
dapat ini lemah. Pembahasan tentang matan hadits ini telah dijelaskan
pada bab seorang suami wudhu bersama istrinya.
Ad-Dawudi berargumentasi dengan hadits ini untuk memboleh kan
seorang suami melihat aurat istrinya, demikian juga sebaliknya. Ini

4 0 0 — FATHUL BAARI
diperkuat lagi dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban melalui
Sulaiman bin Musa ketika ditanya tentang seorang suami melihat
kemaluan istrinya, maka ia berkata, 'Aku menanyakan hal ini kepada
Atha' kemudian ia berkata, "Aku pernah menanyakan hal ini kepada
Aisyah, kemudian ia (Aisyah) menyebutkan hadits ini dengan makna-
nya.' Ini merupakan nash dalam masalah tersebut." Wallahu a 'lam.

3. Mandi dengan Satu Sha' dan Sepertinya

(,\ !B O - P - T * J~~P jf- Lay>-\ LgJL-3 <LIJLP ( -1P A-IIUP

^ ^ J ° ' ^ o ' ' ' ' J o J ^ - - - a

p ( _ 5 _ u J i j J ^ J J ^ j j ^ t>! -^Ji 5 ^ y } s-'^f"

251. Bakar bin Hafsh berkata, "Saya mendengar Abu


Salamah berkata, "Aku dan saudara Aisyah berkunjung ke rumah
Aisyah, kemudian saudaranya itu bertanya tentang cara mandi
Rasulullah. Maka ia (Aisyah) minta dibawakan bejana (berisi air)
sekitar satu sha' kemudian ia mandi dan menyiram kepalanya,
sementara di antara kami ada hijab (pembatas). Abu Abdullah
berkata, "Yazid bin Harun dan Bahz Al Juddi mengatakan dari
Syu 'bah, seukuran satu sha'."

Keterangan Hadits:
(Mandi dengan 1 sha' dan sepertinya), maksudnya mandi dengan
ukuran air sebanyak satu sha' atau kurang lebih demikian.
Satu sha' sebagaimana yang telah dijelaskan adalah 5 1 / 3 rithl
Baghdad, seperti dikatakan oleh Rafi'i. Sementara menurut yang lainnya

FATHUL BAARI — 401


adalah 130 dirham. Sedangkan An-Nawawi cenderung berpendapat
bahwa 1 sha" adalah 128, 4/7 dirham. Lalu Syaikh Al Muwaffiq men-
jelaskan sebab perbedaan dalam masalah ini dengan mengatakan, "Pada
awalnya adalah 128 ditambah 4/7 dirham, kemudian mereka menambah-
nya satu mitsqal untuk menghilangkan bilangan pecahannya sehingga
menjadi 130." Selanjutnya ia mengatakan bahwa yang mesti dijadikan
pedoman adalah pendapat pertama, karena kadar demikianlah yang ada
ketika para ulama menjadikan sha' sebagai standar ukuran pada waktu
itu.

3 — J — ^ ' j (Saudara Aisyah). Ad-Dawudi mengatakan bahwa ia


adalah Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ada juga yang me-
ngatakan bahwa ia adalah saudara Aisyah seibu, yaitu Thufail bin
Abdullah. Tetapi kedua pendapat ini tidak tepat, berdasarkan apa yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui riwayat Mu'adz, Nasa'i melalui
riwayat Khalid bin Harits, Abu Awanah melalui riwayat Yazid bin
Harun, dimana mereka semua meriwayatkan dari Syu'bah -sehubungan
dengan hadits ini- bahwa yang dimaksud adalah saudaranya sesusuan.
Kemudian An-Nawawi beserta sejumlah ulama lainnya mengata-
kan bahwa ia adalah Abdullah bin Yazid berdasarkan riwayat yang
terdapat dalam Shahih Muslim pada bab Janalz (jenazah) dari Abu
OJlabah dari Abdullah bin Yazid -saudara sepersusuan Aisyah- dari
Aisyah. Kemudian ia menyebutkan sebuah hadits selain hadits ini.
Namun saya tidak bisa memutuskan bahwa beliaulah yang dimaksud
dalam hadits ini, karena Aisyah memiliki saudara sesusuan yang lain,
yaitu Katsir bin Ubaid dimana ia juga meriwayatkan dari Aisyah. Hadits-
nya terdapat dalam kitab Al Adab Al Mufrad karangan Imam Bukhari,
dan dalam Sunan Abu Daud melalui jalur periwayatan anaknya Said bin
Katsir. Abdullah bin Yazid berasal dari Bashrah, dan Katsir bin Ubaid
berasal dari Kufah. Maka, ada kemungkinan bahwa yang dimaksud
saudara Aisyah dalam riwayat ini adalah salah satu di antara keduanya
dan ada pula kemungkinan selain keduanya, wallahu a lam.
i« y y

Uj£ij UXJJ (Di antara kami dan dia ada hijab) Al Qadhi Iyadh
mengatakan, bahwa secara lahiriah makna hadits tersebut mengindikasi-
kan mereka berdua melihat perbuatan Aisyah (ketika menyiram) kepala-
nya dengan air, karena bagian atas tubuhnya boleh (halal) dilihat oleh
mahramnya. Yakni karena Aisyah adalah bibi (saudari ibu) Abu Salamah

4 0 2 — FATHUL BAARI
dari persusuan, dimana Abu Salamah disusui oleh saudara perempuan
Aisyah, yakni Ummu Kultsum. Di samping itu, Aisyah telah menutup
bagian bawah badannya yang tidak boleh dilihat oleh mahramnya. Sebab
bila penutup tersebut menghalangi seluruh badan Aisyah, niscaya apa
yang dilakukan Aisyah untuk mengajari mereka ini tidak ada faidahnya.
Perbuatan Aisyah tersebut merupakan keterangan disukainya me-
ngajar melalui perbuatan (praktek langsung) agar lebih melekat dalam
jiwa. Oleh karena pertanyaan di atas mencakup cara mandi dan kadar air,
maka dengan cara (mandi tersebut) keduanya telah terjawab. Adapun
cara mandi diketahui dari perbuatan beliau yang cukup menyiramkan air
ke badan, dan kadar air diketahui dari perbuatan beliau yang mandi
dengan satu sha' saja.

' • - f ' - * | 11 ° ' 0


l ' ' 0
• I , ' •* ' f i ' i -
'

oJ -s>j oJJ\j jj& AJUI J L P JJ JJU- JLP JLS AJI y i > o r JJI u>-b>-
0 i> ^ y y yy*} 0 y y s o f° * *t ' ^ Q '

^ y ^ y y / D <- 0 y y y yy
y#* * u y .0 ^ ' 1 ° • f'* 9
' • <^' 1 ^ * ** I ' II - *

u»l p-> dJLf j ^ - j ij*J- dJ-~f ( ^ J ' j - * jr* J


'^ ^

• ^ y ci

252. Diriwayatkan dari Abu Ja 'far bahwasanya ia dan bapaknya


berada di dekat Jabir bin Abdullah, sementara di hadapan Jabir
terdapat sekelompok orang. Mereka bertanya tentang mandi, maka
Jabir menjawab, "Cukup dengan satu sha.'" Seorang laki-laki
berkata, "Untuk aku tidak cukup (sebanyak itu)." Jabir berkata,
"(Air yang banyak itu) cukup untuk (mandi) bagi orang yang lebih
lebat dan lebih baik rambutnya dari rambut kamu. " Kemudian ia
(Jabir) mengimami kami shalat dengan mengenakan satu baju
(kain).

FATHUL BAARI — 403


Keterangan Hadits:

J — j — * 9
J——J (Mereka bertanya tentang mandi). Ishaq bin
Rahawaih dalam Musnad-nya menyatakan, bahwa yang bertanya tersebut
adalah Abu Ja'far yang juga perawi hadits ini karena telah dinukil dari
Ja'far bin Muhammad dari bapaknya, "Aku bertanya kepada Jabir
tentang mandi junub." Lalu Imam An-Nasa'i menjelaskan dalam
riwayatnya sebab timbulnya pertanyaan ini. Beliau meriwayatkan melalui
jalur Abu Al Ahwash dari Abu Ishaq dari Abu Ja'far, "Kami berdebat
tentang mandi (wajib) di dekat Jabir, maka Abu Ja'far pun bertanya
kepadanya." Penisbatan bahwa mengajukan pertanyaan ini kepada semua
orang yang hadir adalah majaz (kiasan), karena semuanya bermaksud
menanyakan hal tersebut. Oleh karena itu jawaban Jabir hanya ditujukan
kepada satu orang, dimana beliau mengatakan, "Cukup bagimu." Pen-
jelasan selanjutnya tentang masalah ini akan disebutkan pada bab
berikutnya.

J—srj JUi (Maka seorang laki-laki berkata) Al Isma'ili menambah-

kan dengan lafazh jt-^? (di antara mereka), yakni salah seorang di antara
kelompok tersebut. Hal ini menguatkan keterangan yang ada dalam
riwayat kami, karena yang bertanya adalah Hasan bin Muhammad bin Ali
bin Abu Thalib yang bapaknya dikenal dengan Ibnu Al Hanafiyah. Hal
ini sebagaimana ditegaskan oleh pengarang kitab Al 'Umdah. Dia (laki-
laki tersebut) bukan termasuk golongan Jabir, karena ia berasal dari suku
Hasyim, sedangkan Jabir berasal dari golongan Anshar.

\—J»J (Kemudian ia mengimami kami). Orang yang mengimami di


sini adalah Jabir, sebagaimana akan dijelaskan dalam kitab shalat; dan
tidak perlu terpengaruh dengan pendapat yang menyatakan bahwa lafazh
ini termasuk ucapan Jabir, sehingga yang dimaksud mengimami di sini
adalah Rasulullah SAW.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan mengenai perilaku para salaf
yang berdalil dengan perbuatan-perbuatan Nabi SAW dan tunduk kepada
perbuatan-perbuatan tersebut. Hadits ini juga membolehkan menjawab
dengan keras kepada orang yang berdebat tanpa ilmu, dengan tujuan
jawaban tersebut adalah untuk menjelaskan kebenaran dan mengingatkan
pendengar supaya tidak melakukan hal-hal tersebut. Dalam hadits

4 0 4 — FATHUL BAARI
tersebut juga menerangkan bahwa menggunakan air secara berlebih-
lebihan adalah makruh hukumnya.

253. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW dan


Maimunah mandi dari satu bejana. Abu Abdillah mengatakan,
"Ibnu Uyainah di akhir masanya mengatakan, 'Dari Ibnu Abbas
dari Maimunah', namun yang benar adalah apa yang diriwayatkan
oleh Abu Nu 'aim"

Keterangan Hadits:

l il£ jji oli" (Ibnu Uyainah) Sebagian besar perawi menyebutkan


seperti lafazh ini, yaitu dari Ibnu Abbas dari Maimunah. Hanya saja
Imam Bukhari memilih riwayat Nu'aim, karena berdasarkan kaidah para
ahli hadits bahwa di antara penyebab yang menguatkan suatu riwayat
adalah masa penerimaan riwayat yang lebih dahulu, sebab kemungkinan
besar hafalan syaikhnya saat itu masih sangat kuat.
Sedangkan untuk riwayat kedua ada beberapa faktor yang me-
nguatkannya, di antaranya banyaknya jumlah perawi dan lamanya waktu
mereka belajar kepada Sufyan. Sementara Isma'ili mendukung riwayat
kedua ini dengan sebab lain, yaitu dari sisi maknanya, dimana Ibnu
Abbas tidak melihat Nabi mandi bersama Maimunah. Ini menunjukkan
bahwa ia menerima riwayat tersebut dari Maimunah.
Riwayat yang dimaksud dikutip oleh Imam Syafi'i, Humaidi, Ibnu
Abu Umar, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain dalam Musnad mereka dari
Sufyan. Demikian pula halnya dengan Imam Muslim, Nasa'i dan lainnya
meriwayatkan dari jalur yang sama.
Sebagian ulama yang menerangkan kandungan hadits ini mengata-

FATHUL BAARI — 405


kan, bahwa hadits tersebut tidak ada hubungannya dengan judul bab di
atas, karena dalam hadits itu tidak disebutkan kadar (isi) bejana. Namun
pernyataan ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa umumnya
bejana-bejana mereka berukuran kecil sebagaimana dinyatakan oleh
Imam Syafi'i di beberapa tempat dalam kitabnya. Dengan demikian
hadits ini masuk dalam cakupan judul bab, yaitu perkataannya "Dan yang
sepertinya", yakni mendekati satu sha'. Atau dikatakan bahwa lafazh
yang bersifat muthlaq (tanpa batasan) dalam hadits ini dibatasi oleh
lafazh muqayyad (memiliki batasan tertentu) yang terdapat pada hadits
Aisyah, yaitu perkataannya Al Faraq, karena keduanya adalah istri-istri
Nabi SAW, yang sama-sama pernah mandi bersama beliau SAW. Jadi
jatah masing-masing mereka dipastikan ada yang lebih dari satu sha\
dengan demikian hadits ini masuk dalam lingkup judul bab. Wallahu
a 'lam.

4. Orang yang Menyiram Kepalanya Tiga Kali

5* % ^ y y s y j j
y O ^ ^ y y y ^ ^ % y ^

A—Ul J j - ^ j J l i : J l i p-d ^* ji jy^- 2


J^* *j*? (y. j U l L -
i-
y 0y- j» Oy y y * • , • *- , y > , *" , y*- •** fc

254. Sulaiman bin Shurad berkata, "Zubair bin Muth 'im bercerita
kepadaku, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, Adapun aku,
maka aku menyiram kepalaku sebanyak tiga kali.' Beliau memberi
isyarat dengan kedua tangannya."

Keterangan Hadits:

'ja£\—s l—1 i—ii (Adapun aku maka aku menyiram). Abu N u ' a i m
menyebutkan sebabnya dalam kitab Al Mustakhraj, dimana di bagian
awal haditsnya disebutkan "Mereka menyebut-nyebut tentang mandi
junub di dekat Rasulullah" maka beliau SAW mengucapkan sabdanya
seperti di atas. Sementara dalam riwayat Imam Muslim melalui riwayat

4 0 6 — FATHUL BAARI
Abu Al Ahwash dari Abu Ishaq dikatakan, "Mereka berdebat tentang
mandi (junub) di dekat Nabi SAW. Sebagian mereka berkata, 'Adapun
aku, maka aku menyiram kepalaku dengan cara begini dan begini.'"
Kemudian ia menyebutkan hadits di atas, dan bagian inilah yang tidak
dicantumkan dalam hadits tadi.

Lafazh ini memberi keterangan bahwa yang


dimaksud dengan lafazh, "begini dan begini" adalah bahwa perbuatan
tersebut dilakukan lebih dari tiga kali. Lalu diriwayatkan oleh Imam
Muslim melalui jalur periwayatan lain, bahwa yang bertanya adalah
utusan dari Tsaqif.
Susunan hadits di atas mengisyaratkan bahwa Nabi SAW tidak
menyiram (badannya) kecuali tiga kali. Hal ini mengandung kemung-
kinan bahwa ketiga siraman itu adalah sebagai pengulangan, dan dimung-
kinkan juga bahwa setiap siraman tersebut untuk bagian badan tertentu.
Akan tetapi, hadits Jabir di akhir bab menguatkan kemungkinan pertama.

255. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdulah ia berkata, "Biasanya


Nabi SAW menyiram kepalanya tiga (kali)"

Keterangan Hadits:

"-ftU (Tiga kali), maksudnya tiga cidukan (gayung). Lalu Al Isma'ili


menambahkan, "Syu'bah berkata, 'Aku kira yang demikian ini pada saat
mandi j u n u b . ' " Dalam riwayat tersebut dikatakan pula, "Seorang laki-laki
dari bani Hasyim berkata, 'Rambutku lebat.' Maka Jabir menjawab,
'Rambut Rasulullah SAW lebih lebat dan lebih bagus dari rambut
kamu.'"

FATHUL BAARI — 407


256. Diriwayatkan dari Abu Ja'far, ia berkata, 'Jabir berkata
kepadaku, 'Anak pamanmu -maksudnya Hasan bin Ali Al
Hanafiyah- datang kepadaku dan bertanya tentang bagaimana
mandi junub? Maka aku menjawab, "Rasulullah mengambil (air)
tiga cidukan tangan dan menyiramkan ke kepalanya, setelah itu ia
menyiram keseluruh tubuhnya.' Hasan berkata kepadaku, 'Aku
memiliki rambut yang lebat.' Maka aku katakan, 'Nabi SA W
memiliki rambut yang lebih lebat daripada rambutmu:"

Keterangan Hadits:

dJ *p jJi (Anakpamanmu). Lafazh ini dalam bentuk kiasan (tidak


memiliki makna yang sesungguhnya), sebab yang dimaksud di sini
adalah anak paman (sepupu) bapaknya Abu Ja'far yaitu Ali bin Husen
bin Ali bin Abu Thalib. Yang dimaksud dengan Al Hanafiah adalah istri
Ali bin Abu Thalib yang dinikahinya setelah Fatimah RA. Kemudian ia
melahirkan seorang anak yang diberi nama Muhammad, lalu anak ter-
sebut dinisbatkan kepada ibunya.

^ L i i j (Datang kepadaku) Mengisyaratkan bahwa pertanyaan Hasan


bin Muhammad adalah tanpa kehadiran Abu Ja'far, jadi pertanyaan
tersebut bukan pertanyaan Abu Ja'far dalam bab terdahulu. Karena,
pertanyaan tersebut mengenai jumlah (air) sebagaimana dipahami dari
jawaban Jabir yang mengatakan, "Cukup bagimu satu sha' saja."
Pertanyaan di sini tentang cara mandi, seperti terungkap dalam per-
kataannya, "Bagaimana cara mandi?"

4 0 8 — FATHUL BAARI
Walaupun demikian, yang membantah Jabir dalam kedua peristiwa
itu adalah Hasan bin Muhammad. Maka sehubungan dengan persoalan
air ia berkata, "1 sha' tidak cukup bagiku," tanpa menyebutkan
alasannya. Sementara dalam persoalan mengenai cara mandi ia
mengatakan, "Aku memiliki rambut yang lebat, jadi aku butuh lebih dari
tiga cidukan (gayung)." Jabir menjawab dalam persoalan mengenai kadar
(jumlah) air, "Rasulullah memiliki rambut yang lebih lebat dan lebih
bagus dibanding kamu." Yakni beliau SAW mencukupkan mandi dengan
menggunakan tiga cidukan air, yang mana hal itu menunjukkan bahwa
beliau SAW sudah bersih meski hanya menggunakan air sebanyak itu.
Jawaban mengenai cara mandi adalah sebagaimana di atas.

Penyebutan kata "lebih baik" sangat cocok di sini, karena me-


nunjukkan kehati-hatian dalam meratakan air ke seluruh tubuh bagi orang
yang ingin menggunakan air lebih banyak lagi. Padahal orang yang lebih
wara', lebih takwa dan lebih mengenal Allah sudah merasa cukup dengan
1 sha'. Maka Jabir mengisyaratkan bahwa melebihkan dari yang
dipergunakan Nabi merupakan sifat berlebih-lebihan yang boleh jadi
disebabkan oleh rasa was-was, jadi hal tersebut tidak perlu diperhatikan.

JLS\ AftU (Tiga cidukan tangan). Maksudnya setiap kali mengambil


(air), beliau mengambilnya dengan dua tangannya. Ini berdasarkan
riwayat Ishaq bin Rahawaih melalui jalur Hasan bin Shalih dari Ja'far bin
Muhammad dari bapaknya. Ia berkata di akhir hadits, "Beliau SAW
membuka kedua telapak tangannya." Ini diperkuat lagi oleh hadits Jubair
bin Muth'im di awal bab.
Ada kemungkinan (pengambilan air) yang tiga kali ini dimaksud-
kan untuk mengulang menyiram badan, namun ada pula kemungkinan
bahwa setiap salah satu bagian kepala disiram sebanyak satu kali
sebagaimana dalam hadits Qasim bin Muhammad dari Aisyah yang akan
datang.

FATHUL BAARI — 409


5. Mandi Satu Kali

257'. Diriwayatkan dari Kuraib dari Ibnu Abbas, ia berkata,


"Maimunah berkata, 'Aku meletakkan air untuk mandi Rasulullah,
maka beliau mencuci tangannya dua kali atau tiga kali. Kemudian
beliau menuangkannya ke tangan kiri dan mencuci kemaluannya.
Kemudian beliau menggosok tangannya dengan tanah, lalu ber-
kumur-berkumur dan memasukkan air ke hidung seraya mencuci
muka serta kedua tangannya. Setelah itu beliau menyiram seluruh
tubuhnya, kemudian beliau berpindah tempat dan mencuci kedua
kakinya:"

Keterangan Hadits:
(Mandi satu kali). Ibnu Baththal mengatakan, "Pernyataan 'mandi
'i s *

satu kali' dipahami dari lafazh; «J—~ir — * j>lsi p (Kemudian beliau


L 5

menyiram seluruh tubuhnya). Lafazh tersebut tidak dibatasi oleh jumlah


tertentu, sehingga mesti dipahami sebagai kadar (jumlah) paling minimal,
karena hukum asalnya adalah tidak lebih dari satu kali.

l — j l j—°Sj> (Dua kali atau tiga kali) Lafazh yang berindikasi


keraguan ini bersumber dari Al A'masy, sebagaimana akan dijelaskan
dalam riwayat Abu Awanah. Di sini Al Karmani melakukan kekeliruan,
dimana ia mengatakan bahwa keraguan tersebut berasal dari Maimunah.

4 1 0 — FATHUL BAARI
6. Orang yang Memulai dengan Hilab atau Harum-
haruman Ketika Mandi

y o s * s ) s ' * y y s

s.^j Jiu l i o 2J'U>«JI J J - ~ ^ 'M Oli' c J l i AJUJIP

258. Diriwayatkan dari Aisyah ia berkata, "Nabi SAW kalau


mandi junub meminta sesuatu seperti hilab. Lalu beliau
mengambilnya dengan telapak tangan dan memulainya dengan
kepala sebelah kanan, kemudian sebelah kiri. Kemudian menyiram
air di atas kepalanya dengan kedua tangan."

Keterangan Hadits:
(Orang yang memulai dengan hilab atau harum-haruman ketika
mandi) kesesuaian hadits ini dengan judul bab di atas menimbulkan
masalah di kalangan sejumlah ulama dari dahulu sampai sekarang.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal ini merupakan
kekeliruan Imam Bukhari. Ada juga yang mengubah baris lafazh o * ^ '
dengan tujuan peyesuaian walaupun bacaan seperti itu tidak dikenal
dalam riwayat, dan ada lagi yang memaksakan diri untuk mencari jalan
keluarnya tanpa mengubah lafazh hilab tersebut.
Kelompok pertama dipimpin oleh Al Isma'ili, dimana beliau
mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Al Mustakhraj, "Semoga
Allah merahmati Abu Abdillah - yakni Imam Bukhari- dan siapa yang
terjamin selamat dari kesalahan. Beliau memahami bahwa hilab adalah
harum-haruman, padahal apa fungsinya menggunakan harum-haruman
sebelum mandi. Yang benar "hilab" adalah bejana, dan apa yang diperah
di dalamnya disebut hilab atau mihlab." Kemudian ia menambahkan,
"Dengan mencermati jalur-jalur periwayatan hadits di atas akan didapati
penjelasan mengenai hal ini, yang mana di antara jalur-jalur periwayatan

FATHUL BAARI — 411


itu disebutkan, 'Beliau mandi dari hilab (bejana).'" Ini juga merupakan
riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Imam Al Khaththabi dalam Syarak Abu Daud mengatakan, "Hilab
adalah bejana yang isinya dapat menampung air susu perahan dari satu
ekor unta." Kemudian ia mengatakan, "Imam Bukhari menyebutkan dan
memahami bahwa yang dimaksud dengan hilab adalah harum-haruman
yang biasa dipakai ketika bersuci. Aku kira itu adalah kekeliruan.
Mungkin yang dimaksudnya adalah L—£*i yaitu, sesuatu yang biasa

digunakan ketika mencuci tangan itu tidak ada hubungan dengan


harum-haruman, karena ia adalah bejana sebagaimana yang telah saya
jelaskan." Pendapat Al Khathabi ini diikuti pula oleh Ibnu Qurqul dalam
kitab Al MathalV dan Ibnu Al Jauzi serta sejumlah ulama lainnya.
Kelompok kedua dipimpin oleh Azhari, yang mana ia berkata
dalam kitab At-Tahdzib, "Sebagian ulama keliru dalam menukil lafazh
* s &

ini, karena yang benar adalah v*>bVdan bukan U^h-. Adapun <~>%r adalah
bahasa Persia yang disadur ke dalam bahasa Arab dan maknanya adalah
air bunga. Namun pendapat ini mendapat kritikan dari sejumlah ulama,
baik ditinjau dari segi riwayat dimana yang terkenal adalah lafazh hilab,
maupun dari segi maknanya. Sehubungan dengan itu Ibnu Atsir berkata,
"Harum-haruman lebih cocok dipakai setelah mandi dibanding sebelum-
nya. Sebab bila digunakan sebelum mandi, niscaya aromanya akan hilang
oleh air."
Al Humaidi berkomentar ketika berbicara tentang "Keanehan-
keanehan dalam kitab Shahihain", "Muslim menyatukan hadits ini
dengan hadits faraq (lihat makna faraq pada pembahasan terdahulu) dan
hadits satu sha' dalam satu judul, seolah-olah Imam Muslim memahami
bahwa makna hilab adalah bejana. Adapun Imam Bukhari mungkin saja
seseorang menduga bahwa beliau memahami makna hilab adalah sejenis
harum-haruman yang dipakai sebelum mandi, karena ia tidak menyebut-
kan di bawah judul bab tentang menggunakan harum-haruman ketika
mandi selain hadits ini." Demikianlah Al Humaidi menempatkan makna
tersebut sebagai salah satu kemungkinan, artinya ada kemungkinan lain
yang diinginkan oleh Imam Bukhari tetapi tidak diterangkannya secara
jelas.
Al Qadhi Iyadh berkata, "Hilab atau mihlab adalah bejana yang

4 1 2 — FATHUL BAARI
bisa menampung air susu yang diperah dari satu ekor unta, dan ada juga
yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hilab dalam hadits ini
adalah sejenis harum-haruman." Kemudian Al Qadhi Iyadh menambah-
kan, "Judul bab yang disebutkan oleh Imam Bukhari mengindikasikan
bahwa beliau mengambil kedua makna tersebut. Dia (Cjadhi Iyadh) juga
berkata, "Sebagian ulama meriwayatkan selain dalam kitab Shahihain
dengan lafazh —sr. " Maksudnya, ingin mengisyaratkan apa yang
dikatakan oleh Al Azhari.
Imam An-Nawawi berkata, "Abu Ubaid Al Harawi mengingkari
apa yang dikatakan oleh Al Azhari." Sedangkan Al Cjurthubi mengata-
kan, "Lafazh ini dibaca —T dan tidak ada bacaan lain yang benar
selainnya. Orang yang menganggap bahwa maknanya adalah harum-
haruman atau orang yang mengatakan bahwa lafazh tersebut dibaca ^ " ^ r ,
maka mereka telah keliru."
Kelompok ketiga adalah seperti yang dikatakan oleh Al Muhib At-
Thabari, "Imam Bukhari tidak memaksudkan adalah sesuatu yang

memiliki aroma harum, tetapi beliau memaksudkan bahwa adalah


sesuatu yang dapat menyegarkan badan akibat kotoran, debu dan najis
yang melekat. Di samping itu beliau memaksudkan kata o*>bJi adalah
bejana tempat ia mengambil air ketika mandi, jadi ia memulai mandi
dengan memasukkan air ke dalam bejana tersebut. Kemudian ia
melanjutkan, bahwa kata sambung j? (atau) dalam kalimat v foil j\

berarti j (dan)." Sebagaimana tercantum dalam beberapa riwayat yang


disebutkan Humaidi.

Kesimpulan pendapat ini adalah bahwa pengertian >-J >UJI


,
adalah
menyiapkan air untuk mandi, lalu memulai membersihkan anggota badan
sebelum mandi.
Dalam hadits disebutkan tentang memulai bagian kepala, hal itu
dikarenakan rambut lebih banyak menyerap kotoran daripada anggota
badan yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa mungkin Imam
Bukhari ingin memberi isyarat kepada hadits yang diriwayatkan dari Ibnu
Mas'ud, dimana dalam hadits itu disebutkan bahwa Nabi SAW

FATHUL BAARI — 413


membersihkan kepalanya dengan khatmiy (sejenis tumbuhan untuk
membersihkan kepala) ketika mandi. Lalu beliau melakukan hal itu
ketika mandi junub, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah dan
lainnya. Riwayat ini dinukil pula oleh Abu Daud dengan jalur
periwayatan yang bersambung sampai kepada nabi SAW dari Aisyah
dengan sanad dha'if (lemah) seolah-olah ia berkata, "Hadits ini
menunjukkan bahwa Nabi SAW biasa menggunakan air untuk mandi
junub, dan tidak dinukil bahwa beliau SAW menggunakan sesuatu
sebelumnya untuk membersihkan badan seperti daun bidara dan
sebagainya."

Pendapat ini dikuatkan dengan sebagian besar riwayat yang


mengatakan, j ' v ' " ^ ^ (dengan hilab atau harum-haruman). Lafazh

jl (atau) menunjukkan bahwa harum-haruman sejenis dengan hilab,


artinya harum-haruman tidak termasuk jenis hilab.
Orang-orang yang mempertanyakan judul bab yang disebutkan
Imam Bukhari memahami bahwa harum-haruman termasuk jenis hilab,
sehingga mereka salah dalam memahami makna yang dimaksudkan oleh
Imam bukhari. Adapun yang dimaksud dengan hilab dalam konteks judul
bab di atas adalah air yang ada dalam hilab itu sendiri. Dalam hal ini
berarti menyebutkan nama tempat, namun yang dimaksud adalah apa
yang ada dalam tempat itu.

Al Karmani berkata, "Mungkin yang dimaksud dengan hilab


adalah bejana yang di dalamnya ada harum-haruman. Maka makna hadits
tersebut, adakalanya beliau memulai (mandi) dengan meminta tempat
harum-haruman, atau meminta harum-haruman langsung. Hadits bab ini
cocok untuk makna pertama, dan tidak (cocok) untuk makna yang kedua.
Pendapat itu diambil dari perkataan Ibnu Baththal, dimana ia
mengatakan setelah menukil perkataan Al Khaththabi, "Dalam judul bab
di atas saya mengira bahwa Imam Bukhari memaksudkan makna hilab
sejenis harum-haruman. Jika benar demikian berarti ia telah keliru,
karena hilab adalah bejana yang di dalamnya terdapat harum-haruman
milik Rasulullah yang beliau pakai ketika mandi." Ia menambahkan,
"Hadits ini memotivasi kita untuk memakai harum-haruman ketika mandi
sebagai upaya untuk mencontoh atau meneladani Nabi SAW."

Seakan-akan ia memahami hadits * «Sy (Beliau mengambil

4 1 4 — FATHUL BAARI
dengan telapak tangannya) adalah harum-haruman yang ada di dalam
bejana. Sedangkan lafazh hadits
kepalanya bagian kanan), artinya menggosok tempat tersebut dengan
harum-haruman dan seterusnya.
Kesimpulannya, sifat perbuatan yang disebutkan dalam hadits
menggambarkan cara memakai harum-haruman, bukan menggambarkan
bagaimana cara mandi. Pemahaman seperti ini cukup baik berdasarkan
makna tekstual lafazh hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari. Tetapi
bagi orang yang mencermati jalur hadits -sebagai mana dikatakan oleh
Ismaili- niscaya akan mengetahui, bahwa sifat (pekerjaan) yang
disebutkan itu adalah cara mandi bukan cara memakai harum-haruman.
Al Isma'ili meriwayatkan dari jalur Makki bin Ibrahim dari Hanzhalah
dalam hadits tersebut (disebutkan), p^a» J-~s*j OlT (Beliau mandi dengan
menggunakan bejana (qadah). Lalu dalam riwayat itu ditambahkan,
"Beliau mencuci kedua tangannya, kemudian mencuci mukanya, ke-
mudian menyiram dengan tangannya tiga kali." (Al Hadits)
Dalam riwayat Al Jauzaqi dari hadits Hamdan As-Sulami dari Abu
Ashim dikatakan, "Beliau (Nabi SAW) mandi, maka dibawakan hilab,
lalu belia pun membasuh kepalanya bagian kanan." (Al Hadits) Adapun
kalimat hadits, "Beliau mandi" menunjukkan bahwa yang dimaksud
adalah bejana air dan bukan bejana harum-haruman.
Adapun riwayat Al Ismaili dari jalur Bandar dari Abu Ashim,
"Apabila beliau SAW ingin mandi junub, beliau meminta sesuatu selain
hilab. Kemudian diambilnya dengan telapak tangannya, dan mulai
(membasuh) bagian kanan lalu bagian kiri. Kemudian beliau mengambil
air dengan telapak tangannya dan menyiram kepalanya." Kalau tidak
ada kata-kata "air", maka bisa saja dipahami bahwa yang dimaksud
adalah harum-haruman sebelum mandi. Tetapi Abu Awanah meriwayat-
kan dalam Shahih-nya dari Yazid bin Sinan dari Abu Ashim, "Beliau
mandi dari hilab, maka beliau mengambil satu cidukan dengan kedua
tangannya kemudian menyiramkan ke (kepala) bagian kanan terus ke
bagian kiri." Kata "mandi" dan "cidukan" semakin menguatkan bahwa
yang dimaksud adalah bejana air.
'. i > - s '

Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Al Baihaqi dikatakan, Js-


, ,i S'
j—»/Slt * -»lj (Kemudian beliau menyiram kepalanya bagian kanan). Di

FATHUL BAARI — 415


samping memakai harum-haruman (LffvJt) tidaklah diungkapkan dengan
kata menyiram (t—toh). Semua ini menghapus anggapan bahwa yang
dimaksud adalah harum-haruman.
Saya melihat dari sebagian mereka - yang tidak saya ingat
sekarang - bahwa yang dimaksud dengan lafazh t_Jaji dalam judul bab di
atas adalah sebagai isyarat akan hadits Aisyah, dimana ia biasa
memakaikan harum-haruman kepada Nabi SAW ketika ihram. Lalu
mereka mengatakan, "Mandi termasuk sunah ihram," seolah-olah
pemakaian harum-haruman ini dilakukan saat mandi. Maka, Imam
Bukhari bermaksud mengisyaratkan bahwa yang demikian itu tidak
selalu menjadi kebiasaan Rasulullah.
Pendapat terakhir ini diperkuat oleh tujuh judul bab berikutnya
yang disebutkan oleh Imam Bukhari, dimana beliau mengatakan, "Bab
orang yang memakai harum-haruman (parfum) kemudian mandi lalu
meninggalkan sisa harum-haruman itu." Lalu beliau menyebutkan hadits
Aisyah yang berbunyi, "Aku memakaikan harum-haruman kepada
Rasulullah SAW, kemudian beliau mendatangi istri-istrinya, dan di pagi
harinya beliau sudah berihram." Dalam riwayat selanjutnya dikatakan,
"Sepertinya aku melihat bekas harum-haruman -yakni kilapannya- di
celah rambut sementara beliau dalam keadaan ihram." Dalam riwayat
lain sebelum bab ini juga dikatakan, "Kemudian di pagi hari beliau telah
berada dalam keadaan ihram sementara harum-haruman masih me-
ngeluarkan aromanya."

Maka pernyataan bahwa mandi dilakukan setelah memakai harum-


haruman dapat dipahami dari perkataan Aisyah, *l)—~~< ^g—£ —fc>
(Kemudian beliau mendatangi istri-istrinya). Sebab lafazh ini merupakan
bentuk kiasan jima' (senggama), dimana setelah itu seseorang diharuskan
mandi wajib. Dari sini diketahui pula bahwa beliau SAW mandi setelah
menggunakan harum-haruman dan bekas harum-haruman ini masih
tercium (dari badannya), karena beliau SAW senang memakai harum-
haruman dan sering menggunakannya. Oleh karena itu perkataan Imam
Bukhari, "Orang yang memulai dengan hilab" maksudnya memulai
dengan air yang dipakai untuk mandi, dimana ia minta dibawakan air
tersebut untuk dipakai mandi; atau, "Orang itu memulai dengan harum-
haruman" ketika ingin mandi. Dengan demikian, judul bab di atas berada

4 1 6 — FATHUL BAARI
di antara kedua pemahaman ini.
Adapun hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari di bab ini
memberi keterangan bahwa beliau senantiasa memulainya dengan mandi.
Adapun memakai harum-haruman setelah mandi merupakan kebiasannya
yang lumrah. Sedangkan mendahulukan memakai harum-haruman
sebelum mandi, keterangannya dapat dipahami dari isyarat hadits yang
telah disebutkan di atas.
Inilah jawaban yang paling baik dan paling layak menurut
pandangan saya serta sesuai dengan metode-metode yang dipakai Imam
Bukhari, Wallahu a 'lam. Dari sini jelaslah bahwa perkataan Al Isma'ili,
"Apa gunanya memakai harum-haruman ketika mandi" jelas tidak dapat
diterima, demikian juga perkataan Ibnu Atsir yang terdahulu. Adapun
perkataan-perkataan selain keduanya juga tidak luput dari kekeliruan,
namun kami tidak mengungkapnya di sini. Sesungguhnya Allah-lah yang
memberi petunjuk ke jalan yang benar.

Catatan
Abu Ashim yang disebutkan dalam jalur periwayatan ini, namanya
adalah An-Nabil. Ia adalah guru besar Imam Bukhari, dimana Imam
Bukhari banyak mengutip hadits darinya dalam kitab ini. Tetapi dalam
silsilah periwayatan hadits ini, Imam Bukhari menempatkan satu perawi
lagi yang memisahkan antara ia dengan gurunya tersebut.
Hanzhalah adalah Ibnu Abu Sufyan Al Jumahi, dan Qasim adalah
Ibnu Muhammad bin Abu Bakar.
"Ketika ia mandi" maksudnya ketika ingin mandi, sebagaimana hal
tersebut jelas dalam riwayat Isma'ili. Perkataannya "seperti hilab",
maksudnya bejana yang hampir sama dengan bejana yang disebut orang
dengan hilab. Abu Ashim menggambarkan ukurannya lebih kecil dari
satu jengkal, ini dikeluarkan oleh Abu Awanah dalam kitab Shahih-nya.
Dalam riwayat Ibnu Hibban dikatakan, "Abu Ashim mengisyaratkan
dengan kedua telapak tangannya", seolah-olah ia membuat lingkaran
dengan kedua jengkalnya untuk menggambarkan lingkaran bejana bagian
atas. Dalam riwayat Al Baihaqi disebutkan seperti gayung penimba yang
bisa memuat 8 rithl.

Muslim menambahkan dalam riwayatnya dari Muhammad bin Al

FATHUL BAARI — 417


Mutsanna dengan jalur periwayatan yang sama -setelah perkataannya
bagian kiri, "Kemudian ia mengambil dengan kedua telapak tangannya
dan menyiramkannya di atas kepalanya." Dia memberi isyarat dengan
perkataannya, "Ia mengambil dengan kedua telapak tangannya", pada
cidukan yang ketiga sebagaimana dijelaskan oleh riwayat Abu Awanah.
Dari hadits ini dapat diambil faidah, bahwa mendahulukan anggota
badan sebelah kanan ketika bersuci adalah sunah hukumnya, sebagai-
mana judul bab yang dibuat oleh Ibnu Khuzaimah dan Al Baihaqi. Di
samping itu mandi dengan 3 siraman sudah mencukupi, sebagaimana hal
itu dijadikan judul bab oleh Ibnu Hibban.

7. Berkumur-Kumur dan Memasukkan Air ke Dalam


Hidung ketika Junub

259. Dari Ibnu Abbas ia berkata, Maimunah menceritakan kepada


kami, ia berkata, 'Aku menuangkan air untuk Nabi SAW,
kemudian beliau menuangkan (air) dengan tangan kanannya ke
tangan kiri dan mencuci keduanya. Kemudian beliau mencuci
kemaluannya, lalu meletakkan tangannya di tanah dan mengusap-
kan tangan tersebut dengan debu kemudian mencucinya. Setelah
itu beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung
serta mengeluarkannya, kemudian membasuh wajahnya dan me-

4 1 8 — FATHUL BAARI
nyiram dari atas kepalanya. Setelah itu beliau berpindah tempat
dan mencuci kedua kakinya. Kemudian diberikan kepadanya sapu
tangan (handuk), namun beliau tidak mengelap dengannya"

Keterangan Hadits:
(Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung ketika
junub), maksudnya ketika mandi junub. Yang menjadi persoalan di sini
adalah apakah kedua hal ini wajib dilakukan atau tidak ketika mandi
junub?
Ibnu Baththal dan ulama lainnya mengisyaratkan bahwa Imam
Bukhari mengambil kesimpulan hukum (istimbath) dari hadits ini tentang
tidak wajibnya melakukan kedua hal tersebut, karena dalam riwayat bab
berikutnya disebutkan, "Kemudian ia berwudhu dengan wudhu untuk
shalat". Ini menunjukkan bahwa kedua pekerjaannya di atas adalah untuk
wudhu. Ulama telah sepakat bahwa berwudhu ketika mandi junub
hukumnya tidak wajib. Berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam
hidung dan mengeluarkannya masuk dalam bagian hukum wudhu. Kalau
wudhu itu sendiri tidak wajib dilakukan saat mandi junub, tentu
perbuatan yang masuk dalam bagian wudhu tidak wajib pula. Sementara
riwayat-riwayat tentang sifat mandi beliau SAW yang menyebutkan
adanya wudhu, dapat dipahami sebagai mandi yang sempurna dan utama.

JejU «J—H J'—»(•—> {Kemudian meletakkan tangannya di tanah)


Demikian lafazh yang terdapat dalam riwayat kami, sementara dalam
riwayat mayoritas disebutkan dengan lafazh, Jeji i ^ — £ «J—J Jl—1 J»J

(Kemudian meletakkan tangannya di atas tanah). Penggunakan lafazh Jli


(berkata) dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan perbuatan. Adapun
perbuatan yang diungkapkan dengan perkataan adalah seperti dalam
hadits <>—^3' —\ % J — * i
{J (Tidak ada dengki kecuali pada dua hal).

Kemudian ia berkata tentang yang membaca Al Qur'an, ^ J j i U Ji? cJiji °J>

j - * * U j!» cikal li* (Kalau aku diberi seperti yang diberikan kepadanya,
niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang telah dia lakukan).
Dalam bab "Mengelap dengan kedua tangan" akan disebutkan riwayat
Abu Hamzah dari A'masy sehubungan dengan persoalan ini, dimana

FATHUL BAARI — 419


dikatakan, jpyH i «J—'*>. ^'j^i (Beliau memukul tanah dengan tangannya).

Dengan demikian, lafazh J l — i dalam hadits ini ditafsirkan dengan

"memukul".

— j Jaili j^Ji (Beliau tidak mengelap dengannya) sementara dalam


riwayat Karimah dikatakan, "Abu Abdillah berkata, 'Maknanya, ia tidak
mengeringkan badan dengan menggunakan handuk tersebut.'"

8. Menggosok Tangan dengan Debu supaya Lebih


Bersih

•*»,! ' It f*\ ' ' - i ' l ' • - ! i' ti i ' ' W » ' ' 0

260. Dari Ibnu Abbas dari Maimunah bahwasanya Nabi SAW


mandi junub, maka beliau mencuci kemaluannya dengan tangan-
nya lalu menggosokkan (tangan tersebut) ke dinding dan mencuci-
nya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat,
dan setelah selesai mandi ia mencuci kedua kakinya."

Keterangan Hadits:
(Menggosok tangan dengan debu supaya lebih bersih), maksud-
nya supaya tangan lebih bersih.

A—>r°ji J—l~*i (Beliau mencuci kemaluannya). Huruf 'fa" di sini


berfungsi untuk memberi penjelasan dan tidak memiliki makna urutan,
sebab mencuci kemaluan tidak dilakukan setelah mandi.

4 2 0 — FATHUL BAARI
Adapun pembahasan tentang hadits ini sudah diterangkan. Di
antara faidah dalam penggunaan kata sambung (i—S (kemudian) adalah
untuk memberi keterangan tentang urutan perbuatan saat mandi wajib
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.

9. Apakah Orang yang Junub Boleh Memasukkan


Tangannya ke Dalam Bejana sebelum Mencucinya Jika
tidak ada Kotoran selain Junub di Tangannya

Ibnu Umar dan Barra' bin Azib memasukkan tangannya ke dalam


air untuk bersuci dan tidak mencuci keduanya, kemudian berwudhu. Ibnu
Umar dan Ibnu Abbas menganggap tidak masalah dengan bekas-bekas
(percikan) mandi junub.
Maksud judul bab (apakah seorang yang junub boleh memasukkan
tangannya ke bejana) adalah bejana yang berisi air untuk mandi, sebelum
ia mencucinya di luar bejana tersebut.

(Jika di tangan tersebut tidak ada kotoran) baik itu najis atau yang
lainnya. Selain junub, maksudnya selain hukum junub. Karena bekas-
bekas junub masih diperselisihkan, maka ia masuk dalam kategori
kotoran.

Adapun hukumnya, maka Al Muhallab berkata, "Bukhari meng-


isyaratkan bahwa jika tangan orang yang junub tersebut bersih, maka
boleh dimasukkan ke dalam bejana sebelum dicuci, karena tidak satupun
anggota (badannya) najis hanya disebabkan junub.
(Air untuk bersuci), maksudnya air yang sengaja disiapkan untuk
mandi. Riwayat dari Ibnu Umar dinukil melalui silsilah periwayatan

FATHUL BAARI — 421


bersambung oleh Said bin Manshur dengan makna yang mirip seperti di
atas. Abdurrazzaq meriwayatkan pula dari Ibnu Umar bahwasanya beliau
biasa mencuci tangannya sebelum bersuci (mandi).
Namun, kedua riwayat yang kontroversi ini mungkin dapat
dipadukan dengan cara menempatkan keduanya pada kondisi yang
berbeda. Apabila ia tidak mencucinya berarti ia yakin tidak ada kotoran
di tangannya, sedangkan apabila ia mencuci tangannya berarti ia ragu
ataupun yakin bahwa di tangannya ada kotoran. Atau jika ia mencucinya,
maka hal itu adalah sunah. Sedangkan jika ia meninggalkannya, maka hal
itu memberi penjelasan bahwa yang demikian itu diperbolehkan.

Riwayat dari Barra' dinukil melalui silsilah periwayatan yang


bersambung oleh Ibnu Abu Syaibah dengan lafazh, "Ia memasukkan
tangannya ke dalam air untuk bersuci sebelum mencucinya." Lalu beliau
meriwayatkan pula dari Sya'bi, "Sahabat-sahabat Rasulullah memasuk-
kan tangan mereka ke dalam air sebelum mereka mencucinya padahal
mereka dalam keadaan junub."

y\—!P J—°Aj j—'*i- j—°A 'j—J j,—Sj (Ibnu Umar dan Ibnu Abbas tidak
menganggap masalah).
Riwayat dari Ibnu Umar dinukil melalui silsilah periwayatan yang
bersambung oleh Abdurrazzaq dengan makna yang mirip seperti di atas.
Sedangkan riwayat dari Ibnu Abbas dinukil melalui silsilah periwayatan
yang bersambung oleh Abu Syaibah, dan dari jalur periwayatan lain oleh
Abdurrazzaq.
Adapun kesesuaian disebutkannya riwayat dari sahabat ini dengan
judul bab di atas adalah; apabila junub berpengaruh pada air, maka tentu
tidak boleh mandi dari bejana yang dijatuhi oleh tetesan-tetesan (air)
yang sudah mengenai badan orang yang junub ketika mandi. Namun
mungkin juga dikatakan, "Hanya saja sahabat menganggap hal tersebut
tidaklah mengapa, karena sangat sulit menghindarinya. Jadi ia termasuk
yang dimaafkan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dari
Hasan Al Bashri. Ia berkata, "Siapa yang bisa menjaga percikan air? Kita
mengaharapkan Rahmat Allah yang sangat luas."

4 2 2 — FATHUL BAARI
ijai^j j f.\j\ y JJS\J Ul J—^PI cJli aliJLp
.<us LJJUI

261. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, 'Aku mandi bersama


Nabi SAW dari satu bejana, dan tangan kami bergantian di
dalamnya"

Keterangan Hadits:
Pembahasan mengenai kandungan hadits ini sudah dibahas pada
bab, "seorang suami mandi bersama istrinya", dengan sedikit perubahan
di bagian akhirnya. Muslim menambahkan di akhirnya "dari junub",
maksudnya karena junub.
Dalam riwayat Abu Awanah dan Ibnu Hibban dari jalur Ibnu
Wahab dari Aflah, ia mendengar Qasim berkata, "Aku mendengar
Aisyah, kemudian ia menyebutkan hadits dan menambahkan kata-kata
'dan saling bertemu' setelah lafazh 'dan tangan kami bergantian di
dalamnya'."
Diriwayatkan oleh Al Isma'ili dari jalan Ishaq bin Sulaiman dari
Aflah, "Tangan kami bergantian di dalamnya" yakni sampai bertemu. Al
Baihaqi meriwayatkan pula melalui jalur yang sama, dimana dikatakan,
"Tangan kami bergantian di dalamnya", yakni saling bertemu (bersentuh-
an). Ini mengisyaratkan bahwa perkataannya "Bertemu (bersentuhan)"
adalah kata yang disisipkan oleh para perawi.
Kemudian akan disebutkan versi lain dalam bab "Menyela-nyela
rambut" dengan lafazh, "kami mandi dari satu bejana dan kami menimba
airnya bersama-sama." Kemungkinan perawi berkata, ".. .dan saling ber-
temu" yakni ia meriwayatkan lafazh tersebut dari segi maknanya.

Adapun makna, u>—liki (bergantian) adalah adakalanya Nabi


menimba sebelum Aisyah dan adakalanya Aisyah menimba sebelum
beliau. Diriwayatkan Muslim dari jalur Mu'adz dari Aisyah, "Maka ia
(Nabi) mendahuluiku sehingga aku katakan, sisakan untukku."
Hadits ini memberi keterangan bolehnya seorang yang junub
menimba air yang sedikit dengan tangannya, dan ini tidak menghalangi
untuk bersuci dengan air tersebut, demikian pula dengan air yang tersisa.

FATHUL BAARI — 423


Hadits ini juga memberi keterangan bahwa larangan bagi orang junub
untuk menceburkan diri ke dalam air yang tenang adalah untuk menjaga
kebersihan, supaya air tersebut tidak tercemar. Jadi larangan tersebut
bukan untuk menghindari agar air tidak berubah menjadi najis hanya
karena adanya orang junub menceburkan diri ke dalamnya, sebab tidak
ada bedanya badan orang yang junub dengan anggota tubuhnya yang lain.
Adapun penetapan dalil dari hadits ini demi kesesuaiannya dengan
judul bab tatkala seorang yang junub boleh memasukkan tangannya ke
dalam bejana untuk menimba air sebelum hadatsnya hilang agar
mandinya sempurna sebagaimana yang ditunjukkan hadits bab ini, maka
hal ini memberi keterangan bahwa perintah untuk mencuci tangan
sebelum memasukkannya ke dalam bejana, adalah tidak ada hubungan-
nya dengan junub, tetapi karena hal lain seperti najis yang menempel di
tangan; baik keberadaannya sudah diyakini atau masih diragukan.

J__l~p 2j'l>Jl 'j» Jlipl lil UI 4JJI J j l f T : c J l i aliJLp- 'J-

262. Dari Aisyah ia berkata, "Rasulullah SAW apabila mandi


junub maka beliau mencuci tangannya."

Keterangan Hadits:

s J—l J—L* (Beliau mencuci tangannya). Demikianlah di tempat ini


diriwayatkan secara ringkas. Sementara itu, Abu Daud telah mengutipnya
secara lengkap dari Musaddad dengan jalur periwayatan yang sama
seperti di tempat ini. hanya saja dalam riwayat Abu Dawud terdapat
tambahan lafazh, j—XA. (Dua tangannya) dan lafazh, Jy£\ Js- IL-lflj
(Beliau menuangkan ke tangan kanannya) -dari bejana- lalu beliau
mencuci kemaluannya dengan menuangkan (air) ke tangan kirinya,
kemudian ia berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Demikian juga
dinukil oleh Al Isma'ili melalui riwayat Hammad bin Zaid. Pada
pembahasan selanjutnya akan disebutkan hadits seperti ini dari jalur lain

4 2 4 — FATHUL BAARI
dari Hisyam pada bab "Menyela-nyela rambut".
Muhallab berkata, "Imam Bukhari menempatkan hadits-hadits -
mengenai masalah ini- yang tidak menyebutkan mencuci tangan sebelum
memasukkannya (ke bejana) untuk keadaan yang diyakini bahwa tangan
saat itu dalam keadaan bersih, sedangkan hadits Hisyam -yakni yang
disebutkan padanya mencuci tangan sebelum memasukkannya ke dalam
bejana- adalah pada saat seseorang khawatir kalau ada kotoran yang
menempel pada tangan tersebut. Nampaknya Imam Bukhari menemukan
titik temu dari kedua hadits yang nampak kontroversi ini, sekaligus
meniadakan pertentangan yang ada di antara keduanya. Mungkin juga
(dipahami) bahwa mencuci (tangan) tersebut adalah sunah, dan me-
ninggalkannya adalah boleh, atau dikatakan bahwa hadits yang tidak
menyebutkan lafazh, "mencuci tangan", bersifat muthlaq (tanpa batasan),
sedangkan hadits yang menyebutkan lafazh, "beliau mencucinya",
bersifat muqayyad (terbatas). Maka lafazh yang muthlaq harus dipahami
dalam konteks lafazh muqayyad. Karena dalam hadits yang menyebutkan
lafazh 'mencuci tangan' terdapat tambahan keterangan yang tidak di-
sebutkan dalam riwayat yang satunya.

263. Driwayatkan dari Aisyah ia berkata, 'Aku mandi bersama


Nabi dari satu bejana karena junub. " Dan diriwayatkan dari
Abdurrahman bin Qasim dari ayahnya dari Aisyah riwayat seperti
ini.

Keterangan Hadits:

FATHUL BAARI — 425


- y t
0*>L~-SJu 4JL*J JA t>\J JLS" J J ^ J DIJU» (J-OL "J-
- 'L " 11 ' -'"•'. 0
' ' J 1
» . » O ' ' , » . O * ' ' ' I ' | °

264. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, "Nabi SAW


mandi dengan salah seorang istrinya dari satu bejana bersama-
sama. " Muslim dan Wahab menambahkan melalui riwayat
Syu 'bah, "Karena junub."

10. Memisahkan Mandi dan Wudhu

0(.i_A?r L » Jb«J A ^ J j J - ~ P AJI J - O - P ^ 1 ^ j P ^ 5 Jb

Disebutkan dari Ibnu Umar, bahwa ia mencuci kedua kakinya


setelah air wudhunya kering.

— ^ §§L a—L)L JJ^,^J C J W ' J a j ^ _ J . CJLI : JLI (J-L^- ^ (JI-


y y. y y

y 0 ^ ^ -* yy s H y ^ ^ ^ y y ^ y y O y y y ^

— U * > U JL ^ y > jJy L_GAL~II AJJJ JS- ^ Y L I AJ J-~I*J


O s S
f
° i * s " i * ' y

J/S o .'a » p~l ( J/'JVLJ 0-^> jt->FIJ^L-L»(J**»** AJLW< ^ 1 P AJL>^_J


y y O y , % ^y y ^ Sy y y y y y y • ' y - ' **

LS ^t.f ^ J
J****-? LT^ J ^ ^ ' J
' ' ' - - >

.A^JJ jCSi JA J>^j j,J « J L I R

265. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata, "Maimunah


berkata, 'Aku meletakkan air untuk mandi Rasulullah SA W, maka
ia menuangkannya ke kedua tangannya kemudian mencucinya dua

4 2 6 — FATHUL BAARI
atau tiga kali. Kemudian beliau menuangkan (air) dengan tangan
kanan ke tangan kiri, lalu membasuh kemaluannya. Kemudian
beliau menggosokkan tangannya ke tanah, lalu berkumur-kumur
dan memasukkan air ke hidung serta mengeluarkannya. Kemudian
beliau membasuh wajah dan kedua tangannya, dan membasuh
kepalanya tiga kali. Kemudian ia menyiram seluruh tubuhnya,
setelah itu ia berpindah tempat dan mencuci kedua kakinya:''

Keterangan Hadits:
(Memisahkan mandi dan wudhu) maksudnya tentang kebolehan-
nya. Ini merupakan pendapat Imam Syafi'i yang baru. Ia berhujjah
bahwasanya Allah SWT mewajibkan membasuh semua anggota (badan),
maka siapa saja yang sudah membasuhnya berarti ia telah melaksanakan
kewajibannya (tanpa memperdulikan) apakah ia (membasuhnya) dengan
cara terpisah atau berurutan. Ini diperkuat lagi dengan perbuatan Ibnu
Umar. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Musayyab, Atha' dan sejumlah
ulama lain.

Malik dan Rabi'ah berpendapat, "Orang yang sengaja melakukan-


nya maka ia harus mengulanginya, dan orang yang lupa maka tidak apa-
apa." Diriwayatkan pula dari Malik bahwa kalau pemisahan itu dalam
waktu yang singkat (tidak terlalu lama) maka ia lanjutkan (pekerjaannya),
tetapi kalau sudah lama ia harus mengulanginya."
Qatadah dan Auza'i mengatakan, "Seseorang tidak mengulangi-
nya kecuali kalau sudah kering." An-Nakha'i membolehkan pemisahan
tersebut pada saat mandi dan tidak membolehkannya di saat berwudhu.
Semua riwayat di atas disebutkan oleh Ibnu Mundzir, seraya
berkata, "Orang yang membatasi kebolehan pemisahan tersebut hingga
air mengering, tidak memiliki argumentasi (hujjah)." Ath-Thahawi
mengatakan, "Keringnya bekas air di badan bukanlah hadats yang
menyebabkan batalnya mandi, sebagaimana keringnya anggota wudhu
tidak membatalkan thaharah (kesucian)."

'j—** J — j l J* 'j£±ii {Dan disebutkan dari Ibnu Umar). Riwayat ini


dinukil dalam kitab Al Umm dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar. Hanya
saja dalam riwayat yang dimaksud terdapat tambahan, J j f j i J> tV*i AJ?

FATHUL BAARI — 427


* „ f * f y s a y y _ t y y e f

^—L> p ALOT JS- JJ>V~JI J £JTJ , Alir j J j 3 (Ia berwudhu di pasar


tanpa mencuci kedua kakinya, kemudian ia kembali ke masjid dan
menyapu kedua sepatunya kemudian beliau shalat). Silsilah periwayatan
hadits ini adalah shahih.

Imam Syafi'i berkata, "Mungkin air bekas wudhunya itu sudah


kering, karena keringnya bekas air dari badan bisa terjadi pada jarak yang
lebih dekat dari jarak antara pasar dengan masjid."

11. Orang yang Menuangkan (Air) dengan Tangan


Kanan ke Tangan Kiri ketika Mandi

" ' . y S * '

y i 0 y ' Oy 0 y . <*>y 0 y *ty 0 i0 y Qy -y 0 y

jjUJI A J ^ W . jf- ^ L P ji\ j* ^ L P JJ! J y


JLP t ~Ui Aj'jiyjr *>C~p £§l AJJI J yyjl
r
cJw= j cJli

J *y ^»1 Ai]lt)t y T i l M
jlllL* J l i JSJA J\ ay> tyUii

0 y oy o
y y y y

A J - * * ^ J AJ Jo j A_^-?r j J J ^ J P j J ^ J J U * 1 j ^j,^? o *,h *" jt- 5


-IfiJV^«JL>
y y y y y oy y yy y , / y y y f

a-Lj J L a i < J y - A i j j u s A~*JJ J ~ ~ * * t ^ ^ 1


(*-* a - l ~ o r ^ i P i w w » j%->

266. Diriwayatkan dari Kuraib -mantan budak Ibnu Abbas- dari


Ibnu Abbas dari Maimunah binti Harits ia berkata, 'Aku meletak-
kan air mandi untuk Rasulullah SAW dan aku menutupinya, maka
beliau menuangkannya ke tangannya dan mencucinya sekali atau
dua kali -Sulaiman berkata, "Aku tidak tahu apakah beliau me-
nyebutkan yang ketiga atau tidak. "Kemudian beliau menuangkan-

4 2 8 — FATHUL BAARI
nya dengan tangan kanan ke tangan kiri dan mencuci kemaluan-
nya. Kemudian beliau menggosokkan tangannya dengan tanah
atau dinding, setelah itu berkumur-kumur dan memasukkan air ke
hidung serta mengeluarkannya. Kemudian beliau mencuci muka-
nya dan kedua tangannya dan mencuci kepalanya. Setelah itu
beliau menyiram tubuhnya, kemudian berpindah tempat dan
membasuh kedua kakinya. Aku pun memberikan kepadanya
sepotong kain tetapi beliau mengisyaratkan dengan tangannya,
yakni beliau menolaknya:''

Keterangan Hadits:
(Orang yang menuangkan (air) dengan tangan kanan ke tangan kiri
ketika mandi). Berkenaan dengan masalah ini, Imam Bukhari dikritik
dengan mengatakan bahwa pernyataannya lebih umum daripada dalil
yang dikemukakan. Namun kritikan ini dapat dijawab, bahwa yang
demikian itu disebutkan secara tegas dalam mencuci kemaluan.
Sedangkan perbuatan lainnya diketahui dari kebiasaan beliau yang suka
mendahulukan yang kanan, seperti yang telah dijelaskan, dan yang
seperti ini terjadi apabila orang itu menimba (menciduk) air dari bejana,
seperti dikatakan oleh Al Khaththabi.
Lalu Al Khaththabi berkata, "Kalau tempatnya sempit seperti botol
tempat minyak wangi, maka ia meletakkannya di tangan sebelah kiri
kemudian menuangkan air dengan tangan kiri ke tangan kanan.

L—iai (Maka beliau menuangkan), maksudnya ketika beliau hendak


mandi, maka beliau membuka tutup kepalanya dan mengambil air
kemudian menuangkan ke tangannya. Demikian yang dikatakan oleh
Karmani.
Akan Tetapi apa yang dikatakannya itu tidak pasti, karena ada
kemungkinan beliau membuka tutup kepalanya bersamaan dengan
menyiramkan air, sebagaimana indikasi makna lahiriah hadits tersebut.
Demikian juga dengan membuka tutup kepala, mungkin saja hal itu
dilakukan sebelum menyiramkan air ke badan. Maka makna hadits
tersebut adalah, "Aku meletakkan air untuknya, lalu beliau SAW
langsung mandi." Kemudian ia (Maimunah) menerangkan cara mandi
tersebut.

FATHUL BAARI — 429


12. Orang yang Menggauli (Istrinya) Kemudian
Mengulanginya dan Orang yang Mendatangi Istri-
istrinya dengan Sekali Mandi

ll «• - cl ' t - y - l l - I . ti 0
* ' ' • ' i ' °i 0
'

C-JLai 4^A*J 4j^5 ^ Jli o l ^ilJI ^ JUj>^ f-£\J\ jP


Js- jj^.j $§| AJJI jyj J^")\Xs- \J\ AJJI p-*-°J.

267. Diriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad bin Al Muntasyir


dari bapaknya, ia berkata, 'Aku menyebutkannya kepada Aisyah,
maka beliau berkata, 'Semoga Allah merahmati Abu Abdur-
rahman. Aku (pernah) memberikan harum-haruman kepada
Rasulullah SAW, kemudian ia mendatangi istri-istrinya. Ketika
pagi ia sudah berihram, sementara harum-haruman masih tercium
darinya'."

Keterangan Hadits:
(Orang yang manggauli istrinya kemudian mengulanginya) Para
ulama telah sepakat bahwa mandi ketika hendak mengulangi bergaul
dengan istri tidaklah wajib, namun keterangan tentang disukai-nya
perbuatan tersebut dinukil oleh Abu Daud dan Nasa'i dari Abu Rafi':
s U / / / > s > s s y s y si

Jj /-'j U icJlii Jli toJU* ilf J ~ ^ y J j eJUt lup J-~i3J ajCj ^Ip ^jj oli uilt 0
o ss a ss s o s s s s f > i s y

(Beliau SAW mendatangi istri-istrinya pada suatu hari, beliau


mandi di tempat istrinya yang ini., dan di tempat istrinya yang ini...
Kemudian ia berkata, "Aku berkata, 'Ya Rasulullah, kenapa anda tidak
mandi satu kali saja?' Beliau bersabda, 'Ini lebih suci, lebih baik dan
lebih bersih.'')
Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang wudhu seseorang
yang ingin mengulangi bergaul dengan istrinya. Abu Yusuf berkata, "Hal

4 3 0 — FATHUL BAARI
itu tidak dianjurkan." Sementara Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal
itu adalah sunah. Sedangkan Ibnu Habib Al Maliki dan Ahli Zhahir
mengatakan, bahwa hukumnya adalah wajib. Mereka beralasan dengan
hadits Abu Said, dimana ia berkata, "Rasulullah bersabda, j t i ^ - i iii

W j — P j U $ - £ Cpj^IS 01 ilji 'pS Al*i (Jika salah seorang di antara kalian


mendatangi istrinya kemudian hendak mengulanginya, maka hendaklah
ia berwudhu di antara kedua waktu itu). Diriwayatkan oleh Muslim
melalui jalur Abu Hafsh dari Ashim dari Abu Mutawakkil.
Ibnu Khuzaimah mengisyaratkan, bahwa sebagian ulama me-
mahami wudhu di sini dalam konteks pengertian secara bahasa, maka
mereka mengatakan, "Maksudnya adalah membersihkan kemaluan."
Kemudian Ibnu Khuzaimah membantah pendapat itu dengan berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari jalur Ibnu Uyainah dari Ashim, dimana
dikatakan, W — I a j J a» J lir»j b>jiii (maka hendaklah ia berwudhu seperti
wudhu untuk shalat).

Aku kira yang beliau maksudkan adalah Ishaq bin Rahawaih,


dimana Ibnu Mundzir menukil pendapat tersebut darinya. Ia berkata,
"Kalau seseorang ingin mengulangi menggauli istrinya, maka ia harus
membersihkan kemaluannya." Kemudian Ibnu Khuzaimah berdalil,
bahwa perintah untuk berwudhu adalah sunah (bukan wajib) dengan
hadits yang diriwayatkan dari jalur Syu'bah dari Ashim dalam hadits Abu
Said yang telah disebutkan seperti riwayat Ibnu Uyainah. Ia menambah-
kan, 3!*_*JJ Ja-tJi (Yang demikian itu akan lebih menambah gairah). Ini
menunjukkan bahwa perintah di sini bersifat petunjuk atau bimbingan
serta sunah, dan bukan suatu kewajiban. Riwayat lain yang juga memberi
keterangan bahwa perbuatan itu tidaklah wajib, adalah riwayat yang
dinukil oleh Thahawi melalui jalur Musa bin Uqbah dari Al Aswad dari
Aisyah. Ia berkata, I — * i j 3j—ii j*—'"> 'g&H aJIp «ii JLp ^ i olS"
(Biasanya Nabi SAW menggauli istrinya kemudian ia mengulanginya
tanpa berwudhu).

(aku menyebutkannya), maksudnya adalah perkataan Ibnu


Umar yang disebutkan setelah bab ini, yaitu ucapannya, "Aku tidak suka
ketika pagi berihram masih tersisa bekas-bekas harum-haruman." Imam
Muslim telah menjelaskan dalam riwayatnya dari Muhammad bin

FATHUL BAARI — 431


Muntasyir, ia berkata, "Aku bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang
seorang laki-laki yang memakai harum-haruman kemudian pagi-pagi ia
sudah berihram", lalu ia menyebutkan perkataan di atas, seraya
menambahkan, "Ibnu Umar berkata, 'Aku lebih suka ditempeli aspal
yang mendidih daripada melakukan hal tersebut'." Demikian juga yang
diriwayatkan oleh Al Isma'ili dengan lengkap dari Hasan bin Sufyan dari
Muhammad bin Basysyar.

Sepertinya Imam Bukhari meringkas hadits ini, karena apa yang


tidak dicantumkannya itu sudah cukup terkenal di kalangan ahli hadits.

j — x s - K») (Abu Abdurrahman), maksudnya Ibnu Umar. Aisyah


mengucapkan demikian karena ia merasa, bahwa Ibnu Umar lupa akan
apa yang ia katakan. Sebab kalau ia ingat apa yang dilakukan Rasulullah,
tentu ia tidak berpendapat seperti itu.

> i j k ? (Lalu mendatangi). Ini adalah kiasan dari bersenggama. Dari


sini menjadi jelas hubungan antara hadits dengan judul bab di atas.
Al Isma'ili berkata, "Ada kemungkinan maksudnya adalah jima'
(senggama) dan ada kemungkinan juga maksudnya adalah memper-
baharui perjanjian (akad) dengan mereka. Saya katakan, kemungkinan
pertama dikuatkan oleh hadits yang mengatakan bahwa beliau SAW
diberi kekuatan 30 orang laki-laki."

—LF- JJJU
C5 sljjfe ^JJI JLFF :JLI DISC» jS\ L2JI>- JLI js-
' ' ' s 0 i > ' s i ' O* s s ° s i

jJ> j j\-fS\J
O

I JLI i y^S- (JJ^\ JLLIL JA OJB-L JJL 4PLUL J 4JL*J


s s s s " s

' ' ' i * o £ yii f


i i* ' ' t * y ' ' ' i i y °*

. J\ AJI O.BO R
: JLI A I J A J JLS"jl ( j - o ^ CJI
^ s o y o ^ o y ^ i s si ^ '„'.'los'* s ' \\'-'

268. Diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata, "Telah menceritakan


kepada kami Anas bin Malik, 'Nabi SAW mengelilingi (men-
datangi) istri-istrinya pada waktu malam dan siang hari, jumlah
mereka sebelas orang.' Aku bertanya kepada Anas, 'Apakah Nabi
SA W mampu melakukan hal itu?' Anas menjawab, 'Kami memper-

4 3 2 — FATHUL BAARI
bincangkannya bahwa ia diberi kekuatan setara dengan 30
(orang).' Sa 'ad mengatakan dari Qatadah bahwasanya Anas
menceritakan kepada mereka, 'Jumlah istri Nabi saat itu 9 orang"

Keterangan Hadits:

a J — S P I — « J l (suatu waktu) maksudnya adalah rentang waktu


tertentu, bukan waktu yang dikenal dalam istilah biasa.

i j—ij'-i—H j * (Jumlah mereka sebelas orang). Ibnu khuzaimah


mengatakan, "(Lafaz) ini hanya diriwayatkan oleh M u ' a d z bin Hisyam
dari ayahnya, sedangkan Said bin Abu Arubah dan lainnya meriwayatkan
dengan lafazh "Mereka sembilan orang."
Imam Bukhari menyebutkan riwayat Said bin Abu Arubah di
tempat ini tanpa menyebutkan silsilah periwayatannya, dan 12 bab
setelah ini beliau riwayatkan kembali lengkap dengan silsilah peri-
wayatannya dengan lafazh, ilj toi»-IJJI i O l J> A * C J J* Ci'JaJ oli"

e j—1*J (Nabi SA W biasa mengelilingi istri-istrinya dalam satu malam,


ketika itu ia mempunyai 9 istri).
Ibnu Hibban menggabungkan kedua riwayat ini dalam Shahih-nya
dengan menjadikannya dalam dua keadaan, tetapi ia keliru dalam
perkataannya, "Yang pertama adalah ketika beliau baru datang di
Madinah, dimana ia mempunyai 9 istri; dan yang kedua adalah ketika
masa-masa akhir, dimana di sisi beliau ada 11 wanita." Letak kekeliruan-
nya adalah ketika datang di Madinah beliau tidak punya (istri) selain
Saudah, dan ketika sampai di Madinah barulah beliau hidup bersama
Aisyah. Kemudian beliau menikahi Ummu Salamah, Hafsah dan Zainab
binti Khuzaimah pada tahun ketiga dan keempat. Kemudian beliau
menikahi Zainab binti Jahsy, lalu pada tahun kelima dengan Juwairiyah
dan pada keenam dengan Shafiyah. Sementara Ummu Habibah dan
Maimunah pada tahun ke tujuh. Mereka itulah yang diketahui telah
digauli oleh Nabi setelah hijrah, sedangkan Raihanah (tawanan bani
Quraizhah) masih diperselisihkan oleh para ulama.

Ibnu Ishaq menyatakan bahwa Nabi SAW menawarkan kepadanya


untuk dinikahi dan dipakaikan hijab, tetapi ia tetap memilih menjadi
budak. Sebagian besar ulama mengatakan bahwa ia meninggal sebelum-

FATHUL BAARI — 433


nya pada tahun kesepuluh. Demikian juga Zainab binti Khuzaimah, ia
meninggal tidak lama setelah bergaul dengan Nabi SAW. Ibnu Abdil
Barr mengatakan, "Ia mendampingi Nabi SAW selama dua atau tiga
bulan. Berdasarkan fakta ini, maka istri-istri yang berkumpul bersamanya
tidak lebih dari sembilan orang, ditambah lagi bahwa Saudah meng-
hibahkan hari (giliran)nya kepada Aisyah sebagaimana akan dijelaskan.
Oleh karena itu, aku lebih menguatkan riwayat Said.

Tetapi riwayat Hisyam mengandung kemungkinan bahwa ia


memasukkan Mariah dan Raihanah ke dalam kelompok istri-istrinya, dan
ia memakai kata-kata "istri-istrinya" karena kebanyakan dari wanita
tersebut berstatus sebagai istri beliau SAW.
Ad-Dimyathi mengungkapkan dalam kitab Sirah (perjalanan
hidup) yang dikumpulkannya, "Orang yang meneliti perihal istri-istri
Nabi SAW, baik yang digaulinya, diakadkan saja, dithalak sebelum
digauli atau hanya sekedar dipinang tanpa akad, maka jumlahnya sampai
30 orang." Dalam Al Mukhtarah dari jalan lain dari Anas dikatakan,
"Nabi SAW menikahi 15 wanita, yang digauli 11 orang dan ketika beliau
meninggal jumlah istrinya sembilan orang." Abu Fatah Al Yamiri juga
menyebutkan nama-nama mereka. Kemudian Al Maghlathi juga
menyebutkannya dengan jumlah melebihi apa yang disebutkan Ad-
Dimyathi, namun Ibnu Qayyim mengingkarinya. Yang benar adalah
bahwa jumlah banyak yang disebutkan adalah karena perbedaan beberapa
nama, Wallahu 'alam.

d\ f j l (Apakah beliau), ini adalah perkataan Qatadah. Dalam


riwayat Al Ismaili dari jalur Abu Musa dari Mu'adz bin Hisyam tertulis
"empat puluh" sebagai ganti dari "tiga puluh", tetapi riwayat ini syadz
(cacat). Hal seperti ini juga ada di Marasil Thawus, dengan tambahan J>
^l_J>Jl (dalam bersenggama). Demikian juga yang disebutkan dalam kitab
Sifat Jannah (surga) oleh Abu Nu'aim dari jalur Mujahid dengan
tambahan * — J — a i Jl—srj J—* (Dari penduduk surga), dan dari hadits

Abdullah bin Amru dengan jalur yang sampai kepada Nabi SAW, c4k* i

^L_*JJ|J ^rSa-l* J Jpj «j* (Aku diberi kekuatan 40 orang untuk bertarung

dan jima').
Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa'i dan dishahihkan oleh Hakim

4 3 4 — FATHUL BAARI
dari hadits Zaid bin Arqam -dengan jalur periwayatan yang sampai
kepada Nabi SAW, o > J i J i j J—YH\ J «U 5y Jai£ Jit j * JJr^l oi

—2sJlj£j—**Jlj (Seorang lelaki penduduk surga diberi kekuatan 100


orang dalam makan, minum, jima' dan syahwat). Berdasarkan (hadits)
ini berarti kekuatan Nabi kita adalah 4000 (kekuatan lelaki biasa).

X*—y Jl—i j (Dan Sa 'id berkata) Ia adalah anak Abu Arubah,


demikianlah yang terdapat dalam riwayat. Tetapi Ashili mengatakan,
dalam salah satu naskah disebutkan Syu 'bah sebagai ganti daripada Sa 'id.
Ia berkata, "Saat kami mengajukan riwayat ini kepada Abu Zaid di
Makkah, maka yang disebutkan adalah Said." Lalu Abu Ali Al Jayyani
mengatakan, bahwa itulah yang benar. Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Telah
kami sebutkan sebelumnya bahwa Imam Bukhari telah menyebutkan
riwayat Sa'id terhadap hadits ini lengkap dengan silsilah periwayatannya,
sedangkan riwayat Syu'bah terhadap hadits ini dinukil oleh Imam
Ahmad."

Ibnu Munir berkata, "Dalam hadits tentang berkelilingnya Nabi


kepada istri-istrinya ini tidak ada keterangan yang sesuai dengan judul
bab di atas, karena ada kemungkinan beliau mengelilingi istri-istri
tersebut dan setiap beliau melakukan senggama maka beliau mandi."
Kemudian ia mengatakan, "Kemungkinan yang demikian itu terjadi pada
malam hari lebih dekat." Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Pengaitan (taqyid)
dengan malam tidak tegas dalam riwayat Aisyah, adapun dalam riwayat
Anas disebutkan dengan tegas lafazh "malam" dan mandi satu kali.
Demikian juga dalam riwayat Nasa'i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Mandi satu kali tanpa menyebutkan malam terdapat dalam riwayat
mereka yang lain dan dalam riwayat Muslim."

Karena dalam hadits Anas tidak ada pembatasan dengan "suatu


waktu", maka tidak dikaitkan lagi dengan satu kali mandi, karena hal itu
susah untuk dilakukan dan juga karena di sana terjadi pengulangan
senggama dan mandi sekaligus. Dari sini diketahui bahwa perkataannya
dalam judul "dengan mandi satu kali" mengisyaratkan kepada hadits
yang ada di beberapa jalur periwayatan hadits ini, walaupun tidak
disebutkan dalam teks riwayat-riwayat yang beliau cantumkan dalam
kitab Shahih, sebagaimana yang telah menjadi kebiasaannya.

Kata-kata muthlaq (tanpa batasan) yang ada dalam hadits Aisyah

FATHUL BAARI — 435


digabungkan dengan hadits Anas yang muqayyad (terbatas) supaya ada
keserasian, karena bergaulnya beliau dengan istrinya dalam suatu waktu
atau satu malam sama dengan seseorang yang ingin mengulangi bergaul
dengan istrinya sebagaimana yang disebutkan dalam judul bab, wallahu
a Jam.

Imam Bukhari menjadikan hadits ini sebagai alasan dalam pem-


bahasan nikah untuk mengatakan bahwa memperbanyak istri adalah
sunah hukumnya. Ia mengisyaratkan juga bahwa pembagian (waktu)
tidak wajib bagi Nabi, ini merupakan perkataan sebagian ulama. Al
Istukhari dari madzhab Syafi'i juga menyatakan demikian, padahal yang
masyhur dalam madzhab mereka dan madzhab sebagian besar ulama
adalah wajib hukumnya. Orang yang mengatakan ini (wajib) harus
menjawab hadits ini. Di antara jawaban yang mereka kemukakan adalah,
"Hal itu diperkenankan apabila yang punya giliran sudah merelakannya,
seperti ketika beliau minta izin untuk dirawat di rumah Aisyah, atau yang
demikian itu ketika jatah masing-masing mereka sudah terpenuhi dan ia
memulai pembagian jatah yang baru lagi."

Ada juga yang mengatakan bahwa itu terjadi ketika beliau baru
kembali dari safar (perjalanan jauh). Karena jika beliau ingin safar
(bepergian), maka beliau mengundi istri-istri yang akan berangkat
bersamanya. Siapa yang keluar undiannya, maka ia yang akan berangkat
bersama beliau. Kalau beliau SAW kembali, maka pembagian giliran
diulangi dari awal. Kemungkinan ini lebih khusus dari kemungkinan
kedua. Kemungkinan kedua lebih cocok dengan hadits Aisyah. Demikian
juga dengan kemungkinan kedua, mungkin juga itu terjadi sebelum ada
kewajiban untuk membagi (waktu) sama rata kemudian ia tinggalkan.
Lalu Ibnu Al Arabi mengatakan suatu hal yang agak janggal, yaitu
"Sesungguhnya Allah mengkhususkan Nabi-Nya dengan beberapa hal, di
antaranya beliau diberi waktu setiap hari yang tidak ada hak bagi istri-
istrinya (pada waktu tersebut). Beliau masuk (mengunjungi) mereka
semua, melakukan apa saja yang dikehendakinya, kemudian menetap di
tempat (istrinya) yang dapat giliran. Waktu tersebut adalah setelah ashar,
kalau ia sibuk maka sesudah maghrib." Namun apa yang dikatakannya ini
perlu dalil yang rinci.
Dalam hadits ini ada beberapa faidah lain selain yang telah
disebutkan, dimana Nabi diberi kekuatan untuk menggauli istri-istrinya.
Ini merupakan kesempurnaan fisik dan kesehatan beliau. Sementara itu,

4 3 6 — FATHUL BAARI
hikmah dari banyaknya istri beliau adalah bahwa banyak hukum yang
tidak tampak (oleh orang banyak) bisa diketahui oleh istri-istri beliau
tersebut yang kemudian mereka nukil. Banyak hukum yang datang dari
Aisyah, sehingga ada sebagian orang lebih mengutamakannya daripada
dibanding istri-istri beliau yang lain.
Ibnu At-Tin berhujjah dengan hadits ini untuk memperkuat
perkataan Malik, yaitu harus menzhihar para budak. Hal ini berdasarkan
pemahaman, bahwa yang dimaksud dengan dua orang lagi sebagai
tambahan dari yang sembilan adalah Mariah dan Raihanah. Hadits ini
memakai lafazh "perempuan-perempuannya" (istri-istrinya) untuk
keseluruhan mereka. Tetapi ini dibantah, karena lafazh yang muthlaq
tersebut dipakai untuk taghlib (dengan memperhatikan jumlah yang
banyak). Oleh karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk
pendapat tersebut.

Ibnu Munir berargumen dengan hadits ini, bahwa seorang laki-laki


boleh menggauli istrinya (yang bukan budak) setelah ia menggauli
budaknya tanpa harus mandi di antara keduanya.
Adapun yang dinukil dari Imam Malik adalah, bahwa hal seperti
ini tidak dianjurkan. Jadi mungkin itu terjadi untuk menjelaskan bahwa
hal tersebut boleh dilakukan, karena tidak ada dalil yang mengatakan hal
tersebut tidak dianjurkan.

#AMPtfNGWitNAM

FATHUL BAARI — 437


13. Membersihkan Madzi dan Berwudhu Karenanya

j L f C j | § l J t l J j i "Mij cJy\i y^rj CL^S" : J l i Js- j P

. l i j S ' i J - ~ P 1 j C= y : J l i i Jll~i <uLi

269. Diriwayatkan dari Ali RA ia berkata, 'Aku adalah seorang


yang sering keluar madzi, maka aku menyuruh seseorang untuk
bertanya kepada Nabi SA W, mengingat kedudukan puteri beliau,
maka orang itu menanyakannya, maka Rasulullah bersabda, 'Ber-
wudhulah dan cuci kemaluanmu. "'

Keterangan Hadits:
(Mencuci madzi dan berwudhu karenanya). Madzi diucapkan
dengan beberapa dialek, yang paling fasih adalah I£JJ> dan Adapun
yang dimaksud dengan madzi adalah air putih kental dan lengket yang
keluar (dari kemaluan) ketika bercumbu atau mengkhayalkan persetubuh-
an atau ketika ingin melakukannya, dan terkadang keluarnya tidak
disadari.

*>*—?-j £j°j>\i (Maka aku menyuruh seseorang). Namanya Al Miqdad


bin Al Aswad, sebagaimana telah disebut dalam bab "Wudhu karena
sesuatu yang keluar dari dua jalan". Dari penukilan yang lain dalam
riwayat tersebut ditambahkan, Ji—'-J 'cJ^LA (Maka aku malu untuk

bertanya).

A—»1 0 1 — £ J (Mengingat kedudukan putri beliau). Dalam riwayat

muslim dari Ibnu Al Hanafiyah dari Ali dikatakan, i i t l i j M j ? (Karena

Fatimah) radhiallahu 'anhuma.

\—i»jJ (Berwudhulah). Kata perintah untuk orang kedua tunggal ini


memberi kesan bahwa Al Miqdad bertanya untuk pribadinya, untuk
seseorang atau juga untuk Ali. Lalu Nabi SAW mengarahkan perintah

4 3 8 — FATHUL BAARI
kepada Al Miqdad sendiri. Secara implisit Ali hadir ketika itu, karena
para penulis kitab Masanid dan Athraf memuat hadits ini dalam deretan
riwayat Ali. Seandainya mereka berkesimpulan Ali tidak ada ketika itu,
tentu mereka memuatnya dalam Musnad Al Miqdad. Ini dikuatkan oleh
riwayat An-Nasa'i dari Abu Bakar bin 'Iyasy dari Abu Husein dalam
hadits ini, dimana Ali berkata, "Maka aku berkata kepada seseorang yang
duduk di sampingku, 'Tanyakanlah kepada beliau!' Maka ia pun
bertanya." Dalam riwayat Muslim Rasulullah berkata, "Hendaklah ia
mencuci kemaluannya dan berwudhu", dengan menggunakan lafazh
untuk orang ketiga. Maka, kemungkinan besar pertanyaan Miqdad adalah
untuk seseorang yang tidak disebut namanya.

Lalu dalam riwayat Muslim disebutkan, "Maka ia bertanya


kepadanya tentang madzi yang keluar dari seseorang", demikian juga
dalam kitab Al Muwaththa '.
Dalam sebuah riwayat Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah
disebutkan sebab pertanyaan tersebut dari Husein bin Qabisah dari Ali, ia
berkata, "Aku adalah orang yang sering keluar madzi maka aku mandi
karenanya pada musim dingin hingga punggungku terasa ngilu, maka
Nabi SAW berkata, 'Jangan lakukan!'" Dalam riwayat Abu daud dan
Ibnu Khuzaimah dari Sahal bin Hanif, riwayatnya juga seperti itu, dan
beliau (Ali) langsung bertanya tentang hal itu.
Disebutkan dalam riwayat An-Nasa'i, Ali berkata, "Aku me-
merintahkan Ammar untuk bertanya." Dalam riwayat Ibnu Hibban dan
Al Isma'ili bahwasanya Ali berkata, "Aku bertanya." Lalu Ibnu Hibban
memadukan antara hadits-hadits yang berbeda ini dengan mengatakan
bahwa Ali pertama kali menyuruh Ammar, kemudian menyuruh Miqdad
lalu bertanya sendiri.
Kesimpulan ini cukup bagus, hanya saja tidak sesuai dengan akhir
kalimat bahwa Ali malu untuk bertanya karena keberadaan Fatimah (putri
Rasulullah adalah istrinya). Maka hanya ada satu kemungkinan bahwa
sebagian perawi mengatakan Ali-lah yang bertanya (dalam arti kiasan),
karena beliaulah yang menyuruh untuk bertanya. Pernyataan ini ditegas-
kan oleh Al Ismaili kemudian An-Nawawi.
Adapun bahwa Ali menyuruh Al Miqdad dan Ammar untuk ber-
tanya dikuatkan oleh riwayat Abdurrazzaq dari 'Aisy bin Anas, ia
berkata, "Ali, Al Miqdad dan Ammar berbincang-bincang tentang madzi,

FATHUL BAARI — 439


maka Ali berkata, 'Aku sering keluar madzi, tanyakanlah hal ini kepada
Nabi!' Lalu salah satu di antara keduanya pun bertanya." Ibnu Basykawal
membenarkan bahwa yang mewakili adalah Al Miqdad, dengan demikian
pernyataan bahwa Ammar yang bertanya adalah dalam arti kiasan karena
dihubungkan dengan maksudnya.

Perkataan \ &y~ (berwudhulah) dijadikan dalil untuk mengatakan


tidak wajib mandi karena keluarnya madzi, dan ini dengan jelas
disebutkan dalam sebuah riwayat Abu Daud dan lainnya. Hal ini
merupakan ijma' dan juga dalil bahwa perintah berwudhu karena keluar
madzi seperti perintah berwudhu karena keluarnya air seni, sebagaimana
telah disebutkan Imam Bukhari dalam bab "Orang yang tidak diwajibkan
wudhu kecuali karena sesuatu yang keluar dari dua jalan".
At-Thahawi meriwayatkan dari sekelompok orang bahwa mereka
berkata, "Wajib berwudhu karena keluar madzi." Lalu ia membantahnya
dengan hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Laila dari
Ali, "Nabi SAW ditanya tentang madzi, lalu beliau bersabda, "jika keluar
madzi maka harus wudhu, dan jika keluar mani maka harus mandi."
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa hukum madzi sama dengan
hukum air seni dan lainnya yang membatalkan wudhu, bukan semata-
mata keluarnya madzi mewajibkan wudhu.

iJj—Ti J—J*\j (Dan cucilah kemaluanmu) Demikian disebutkan


dalam Shahih Bukhari, bahwa perintah berwudhu lebih awal daripada
mencuci kemaluan. Sedang dalam kitab Al 'Umdah sebaliknya, hanya
saja huruf sambung waw (dan) tidak berkonotasi urutan, jadi maknanya
adalah sama. Ini adalah riwayat Al Isma'ili: boleh mendahulukan
membersihkan kemaluan daripada wudhu, dan hal itu lebih baik. Boleh
juga mendahulu-kan wudhu daripada membersihkan kemaluan, tetapi
orang yang bermadzhab bahwa menyentuh kemaluan membatalkan
wudhu meng-haruskan menggunakan penghalang (antara tangan dan
kemaluan).

Ibnu Daqiq Al Id berdalil dengan hadits ini, bahwa yang digunakan


bersuci adalah air bukan batu, kayu atau yang lainnya, karena teks hadits
menjelaskan "mencuci". Pendapat ini dibenarkan oleh An-Nawawi dalam
Syarah Muslim, namun dalam kitab-kitabnya yang lain ia membolehkan
menggunakan selain air karena diqiyaskan (dianalogikan) dengan

4 4 0 — FATHUL BAARI
kencing. 1
Alasannya bahwa perintah mencuci pada hadits ini hukumnya
sunah, atau karena hal tersebut lebih umum dilakukan.
Sebagian pengikut madzhab Maliki dan Hambali berdalil dengan
hadits ini atas wajibnya membasuh seluruh kemaluan berdasarkan
hakikat membasuh. Akan tetapi jumhur ulama lebih memandang makna
atau eksistensinya, bahwa yang mewajibkannya adalah keluarnya
sesuatu, maka tidaklah wajib membasuh selain tempat keluarnya madzi.
Ini dikuatkan oleh sebuah riwayat Al Isma'ili, bahwa Rasulullah
bersabda, i l — M j Lj&y (Berwudhulah dan cucilah ia). Kata ganti "ia"

kembali kepada kemaluan, seperti hadits L>j£3li s'J* J?» 'J (Siapa yang
menyentuh kemaluannya hendaklah berwudhu), maka yang membatalkan
wudhu itu tidak harus menyentuh seluruh kemaluan.
Golongan yang mengatakan wajib membasuh seluruh kemaluan,
mereka berselisih dalam menentukan apakah hal ini termasuk sesuatu
yang logis atau karena ibadah semata? Dengan berpegang pada pendapat
kedua, maka niat menjadi wajib.
At-Thahawi berkata, "Perintah mencuci tersebut bukan semata
karena wajib mencucinya secara keseluruhan, tetapi untuk menghentikan
keluarnya madzi sebagaimana susu hewan jika kantung susunya dicuci
dengan air dingin susunya tertahan dan berhenti menetes.'"
Hadits ini juga menjadi dalil bahwa madzi adalah najis. Ibnu Aqil
Al Hambali meriwayatkan dari sebagian mereka bahwa madzi adalah
bagian dari mani, maka riwayat ini menyatakan bahwa madzi adalah suci.
Pendapat ini tidak benar. Sebab jika madzi adalah bagian dari mani, maka
keluarnya madzi telah mewajibkan mandi.
Hadits tersebut juga menjadi dalil bahwa orang yang madzi-nya
tidak terkontrol harus berwudhu setiap kali keluar, karena dalam hadits
ini dipergunakan shigah mubalaghah yang berkonotasi sering atau
banyak.
Ibnu Daqiq Al Id mengomentari, bahwa sebab banyaknya madzi
yang keluar di sini adalah karena dorongan syahwat yang kuat dan tubuh

1
Yang benar adalah pendapat Ibnu Daqiq Al 'Id berdasarkan teks hadits, dan dikuatkan oleh
sebuah riwayat dalam Musnad Ahmad dan Sunan Abi Daud dari Ali bahwa Nabi SAW
menyuruhnya untuk mencuci kemaluannya dan kedua buah zakarnya. Ini adalah hukum
yang khusus untuk madzi bukan air kencing, wallahu a 'lam.

FATHUL BAARI — 441


yang sehat, sedangkan madzi yang tidak terkontrol disebabkan oleh suatu
penyakit.
Di samping itu, mungkin dapat dikatakan bahwa perintah syariat
untuk melakukan wudhu karena keluarnya madzi tanpa menjelaskan
secara rinci adalah menunjukkan hukum yang bersifat umum, dan
merupakan dalil bolehnya menerima khabar ahad atau bolehnya
berpegang pada riwayat (berita) yang kebenarannya masih dalam
sangkaan meskipun ada kesanggupan untuk memperoleh yang lebih pasti.
Dua hal ini perlu ditinjau berdasarkan apa yang telah kami sampaikan,
bahwa pertanyaan ini dihadiri oleh Ali sendiri. Jika benar Ali tidak ada di
sana, tidak bisa juga dijadikan dalil karena mungkin saja ada tanda-tanda
yang mem benarkannya sehingga sangkaan tadi menjadi sebuah
keyakinan. Demikian dikatakan oleh Qadhi Iyadh.

Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Maksud berdalil dengan hadits atas


bolehnya menerima khabar ahad adalah bahwa ini merupakan sebuah
contoh kejadian dari berbagai bentuk yang secara keseluruhan merupakan
dalil."
Hadits ini juga menunjukkan bolehnya mewakilkan kepada orang
lain dalam meminta fatwa, dari hadits ini juga didapati hukum tentang
fungsinya wakil bersamaan dengan hadirnya orang yang diwakili. Juga
menunjukkan penghormatan sahabat terhadap Nabi SAW, adab
menghindari sesuatu yang tabu menurut adat, pergaulan yang baik
dengan menantu atau mertua, menghindari pembicaraan tentang
hubungan seks dengan istri dan yang berkaitan dengannya di depan
kerabat istri.
Imam Bukhari dalam pembahasan Ilmu berdalil dengan hadits ini
bagi orang yang malu kemudian menyuruh orang lain untuk bertanya,
karena dalam hal ini ada dua kemaslahatan; yaitu mempergunakan rasa
malu dan tidak berlebihan atau melampaui batas dalam mengetahui
hukum.

4 4 2 — FATHUL BAARI
14. Orang yang Memakai Harum-Haruman Lalu Mandi
dan Aroma Wanginya Masih Ada

y . y > ,* y i „ *• 0 y yOX . 0 £> y y 0 y yO 0 y

i * i > ?F , * ° •* - 8
F • F * I I' ' 'I T 0
— • " T ° ^ " •

J, J AJI J I_iuW J»J AJJI J J ^ - J Ul 4 - J J I P


r
cJUi
* 0 > - -O «

270. Diriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad bin Al Muntasyir


dari ayahnya, ia (ayahnya) berkata, 'Aku bertanya kepada Aisyah,
lalu aku menyebutkan perkataan Ibnu Umar, 'Aku tidak menyukai
melakukan ihram dengan aroma wewangian yang masih tersisa.'
Maka Aisyah pun berkata, 'Aku memakaikan harum-haruman
kepada Rasulullah, lalu beliau mendatangi istri-istrinya, kemudian
melakukan ihram'."

% jyL* J I^kJl ^ j Jl > l ?


c J l i illlp 'j*

271. Dari Aisyah, ia berkata, "Seakan-akan aku sedang melihat


kilauan wewangian (minyak rambut) di belahan rambut Rasulullah
sedang beliau tengah berihram"

FATHUL BAARI — 443


Keterangan Hadits:
(Orang yang memakai harum-haruman kemudian mandi), hadits ini
telah dijelaskan sebelum bab ini. Adapun letak pengambilan dalil dari
hadits tersebut adalah kalimat AJCJ J> (mendatangi para istri beliau)
yang merupakan kiasan hubungan suami isteri, dan masalah orang yang
wajib mandi.
Aisyah telah menyebutkan, bahwa ia telah memberi Rasulullah
wangi-wangian kemudian melakukan ihram.
Adapun faidah lain yang dapat dimbil dari hadits di atas adalah,
sebagian sahabat menolak perkataan sahabat yang lain dengan dalil
pengetahuan para istri Nabi tentang hal-hal yang tidak diketahui oleh
pemuka-pemuka sahabat, pelayanan para istri untuk suami-suami mereka,
dan memakai wewangian ketika berihram yang akan diterangkan dalam
pembahasan haji.

Ibnu Baththal berkata, "Hadits tersebut merupakan dalil sunahnya


memakai parfum bagi suami dan istri ketika berhubungan intim."
Hubungan kandungan teks hadits ini dengan judul bab, bisa jadi
karena ia merupakan satu rangkaian kejadian atau karena mandi adalah
sunah ihram dan Nabi SAW tidak pernah meninggalkannya.
Hadits ini juga menjadi dalil bahwa sisa parfum yang ada di tubuh
orang yang melakukan ihram tidak menjadi masalah, lain halnya jika
memakainya setelah ihram.

15. Menyela-nyela Rambut dan Menyiramnya ketika


Kulit Kepala terasa Basah

y y O s O y f J ^ ^ y y y y y y ^

J .-c. 2lu>Jl J J~-LP1 lil UI AISI J yy J j l i " c J l i A l i o l i J P


... ' . ! ' • ' * ! . l ' ' . . ' ! . ' II *. f *. ' i °" "

4 4 4 — FATHUL BAARI
272. Dari Aisyah ia berkata, "Rasulullah SAW jika mandi junub,
beliau mencuci kedua tangannya dan berwudhu sebagaimana
wudhu untuk shalat, Lalu mandi. Kemudian menyela-nyela
rambutnya dengan tangan hingga ketika terasa telah membasahi
kulit kepalanya, beliau menyiramnya tiga kali. Setelah itu, beliau
menyiram seluruh tubuhnya"

Keterangan Hadits:
(Menyela-nyela rambut), maksudnya ketika mandi wajib.

alLi- (Menyiramnya), maksudnya menyiram rambutnya.

«J—yy* J-~P (Setelah itu beliau menyiram seluruh tubuhnya),


maksudnya bagian tubuh lainnya. Telah disebutkan dari riwayat Malik
dari Hisyam di awal pembahasan mandi, di sini disebutkan fLS' «Jir J*

(seluruh kulitnya). Maka bisa dikatakan bahwa lafazh yy* berarti


sebagai langkah untuk memadukan kedua riwayat tersebut.

4 L« i_i yu JL>-\J y '£$k AJLS\ J yy j j bl J—ZPl O I S ' c J l i J

273. Aisyah berkata, "Aku dan Rasulullah mandi dari satu bejana,
kami sama-sama menciduk air dari bejana itu"

FATHUL BAARI — 445


Keterangan Hadits:

>-*j—«J (Menciduk air). Dalam kitab Al I'tisham dari Imam Bukhari


t

disebutkan, i — A — I * {Jj—*^ (Kami masuk ke dalamnya bersamaan).


Pembahasan hadits ini telah disebutkan pada bab "Apakah orang yang
junub memasukkan tangannya ke dalam air suci".

16. Orang yang Berwudhu dalam Keadaan Junub lalu


Membasuh Bagian Tubuh Lainnya dan tidak
Membasuh Anggota Wudhu lagi

S S 0 y S y ^ y S> } ^ y y y y y

0 y O % y $ * } Q ' ' ' £ * *' ' ° i ' '

Ji\ > oJu (_Jj^> JTJ J Jl^p Lj*>\j j l ^.ULi ^^LP


y y yy y . J- ?y y 0 y , 0 y
> y 9 , y , yy O/O y y O y >* u . u t O / i / . l ' t i f

4
J J ^ U . L J ^ B > \ J J ! J ^ J Y . JAJ'UJIjI

y ' a y ^ ^ ' ' £ * * ° g' ' ' 'i. ' * ' **

' ' , ^, ' 9


' l ' ' - i'* ^ ° T * « - a
* > 0 ' « ' o ^ ' o'Ta
. 0 - L J ^YG A U J^zS L*OJJ A3 y>r_> C~)U) 4j-?rj

274. Dari Maimunah ia berkata, "Rasulullah menaruh air untuk


mandi janabah, lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan
air ke tangan kirinya dua atau tiga kali, kemudian membersihkan
kemaluannya dan memukulkan tangannya ke lantai atau dinding
dua atau tiga kali. Lalu beliau berkumur-kumur dan menghisap air
dengan hidung dan membasuh wajah dan kedua tangannya.
Kemudian beliau menyiram kepalanya dengan air dan membersih-
kan badannya, lalu berpindah tempat dan mencuci kedua
kakinya. " Maimunah berkata, "Lalu aku memberinya sepotong
kain (handuk), tapi beliau tidak mengingin-kannya dan mengibas-
kan (membersihkan) air dengan tangannya."

4 4 6 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:

SJl^Ji frJi>j j»JU-j AIIP 4JJ1 JLe 4jJt J j~4j ^jej (Rasulullah menaruh air
untuk mandi janabah) Kebanyakan kalimat yang diriwayatkan adalah
seperti ini, yaitu dengan idhafah (jj—'t£*h * J—^>J). Sedangkan riwayat

Karimah (U>a»j) dengan tanwin dengan satu lam. Adapun riwayat

Al Kasymihani menggunakan lafazh (i—JUr-U) dengan dua lam. Dalam

riwayat Rafi'ah menggunakan bentuk majhul (pasif) «ii Jj—^'J,


dengan menambah huruf lam yang berarti untuknya (// ajlihi).

(menuangkan). Dalam riwayat selain Abu Dzar disebutkan

artinya membalikkan atau membolakbalikkan.

Kebanyakan riwayat menyebutkan «j'—-~e J^* sedang riwayat Al

Mustamli dan Karimah menyebutkan, *JU-i> J*.

Jpji\—! «J—t —(Memukulkan tangannya ke tanah). Demikian


lafazh yang dinukil oleh kebanyakan perawi, sedangkan dalam riwayat
Al Kasymihani dikatakan, jeyH\ «J—J W »J -P (Memukul tanah dengan
tangannya).

«J—--r J—"f>—J (Lalu mencuci badannya). Ibnu Baththal berkata,


"Hadits Aisyah pada bab sebelum ini lebih pantas sebagai penjelasan bab
' ' s *

ini, sebab di sana disebutkan »•) 'JS*> J-~* (Lalu ia mencuci atau
membersihkan seluruh bagian tubuhnya yang lain) sedangkan hadits
* ' ' s *

dalam baba ini «J pi (Lalu mencuci badannya) masih bersifat


umum yang mencakup anggota wudhu, maka tidak sesuai dengan
perkataan pada judul bab s - j ^ j i i (Dan tidak mengulang
membasuh anggota wudhu).
Ibnu Al Munir menjawab, bahwa kondisi dan pemahaman umum
tentang susunan kalimat tersebut telah mengecualikan anggota wudhu,
karena mendahulukan (kalimat) membasuh anggota wudhu dan
pemahaman u m u m tentang penggunaan kata tubuh secara gamblang

FATHUL BAARI — 447


setelah itu memberi makna pengecualian tersebut. Jawaban ini terkesan
dipaksakan.
Adapun Ibnu At-Tin menjawab, "Imam Bukhari bermaksud
menjelaskan, bahwa maksud perkataan beliau ax~>- J~s- '^i (Kemudian
mencuci badannya) pada riwayat ini adalah mencuci bagian tubuh
lainnya (selain anggota wudhu) dengan dalil riwayat yang lain." Pendapat
ini juga perlu ditinjau, karena kisah ini bukan kisah yang telah kita
sebutkan pada awal pembahasan ghusl (mandi), dan Al Karmani berkata,
"lafazh «luJr (tubuhnya) mencakup seluruh anggota badan. Pengertian ini

kita pakai pada hadits sebelumnya, atau yang dimaksud dengan yC>
(seluruh anggota tubuh lainnya) adalah anggota tubuh selain kepala,
bukan selain anggota wudhu."
(Ibnu Hajar) katakan, dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa
hadits ini tidak sesuai dengan judul bab. Namun yang nampak bagi saya,
bahwa Imam Bukhari memakai kalimat a J — J — — S (kemudian
membasuh tubuhnya) adalah sebagai bentuk majaz (kiasan) yang
maksudnya adalah bagian tubuh yang belum disebutkan. Dalil yang

mengatakan hal itu adalah perkataan beliau setelah itu *&rj J~~*i (lalu

mencuci kedua kakinya). Karena apabila kalimat sa.'_Jr J~~t (membasuh


tubuhnya) diartikan secara umum, maka tidak perlu lagi mencuci kaki.
Sebab kaki masuk dalam keumuman makna "tubuh". Ini lebih me-
nyerupai metode Imam Bukhari, sebab di antara kebiasaannya adalah
lebih banyak mengedepankan makna yang tersirat daripada yang tersurat.
Tindakan Nabi yang tidak mengulang mencuci anggota wudhu,
dijadikan Ibnu Baththal sebagai landasan bahwa hukum mandi sunah
Jum'at telah memadai sebagai mandi wajib. Begitu juga orang yang
memperbarui wudhunya karena hadats, tidak harus mengulang wudhu
ketika hendak shalat. Dasar beliau dalam istimbath ini adalah bahwa
wudhu yang terjadi saat mandi junub adalah sunah, namun sudah
dianggap memadai untuk tidak membasuh anggota wudhu setelah itu.
Dakwaan ini tidak bisa diterima, karena masalah ini berbeda dengan
adanya perbedaan niat. Seseorang berniat mandi janabah dan men-
dahulukan mencuci anggota wudhu karena keutamaannya, maka
mandinya dianggap sempurna. Jika tidak demikian, tidak benarlah

4 4 8 — FATHUL BAARI
kalimat yang disebutkan, wallahu a 'lam.

« J — J «-lil (Mengibaskan air dengan tangannya). Kata s-^ tidak


disebutkan dalam riwayat selain Abi Dzar. Dalam riwayat Al Ashili
disebutkan dengan lafazh, 'ja£>. J * * j (Maka ia mengibaskan dengan
tangannya). Pembahasan lain tentang matan (materi hadits) telah disebut-
kan di awal kitab ghusl (mandi).

17. Jika Seseorang Teringat dalam Masjid bahwa Ia


Sedang Junub Lalu Keluar dan Tidak Bertayamum

y y & y • S* * •y } > . y * i y Oy } * O y

1 D J L I I ,y> <JL J ^»LI LILI ^ AJLJI J yy j \sJ\

I \\,/Si 4~-ljJ lIJl J^J J L ~ L P L I (^•J JI-J JT-^JL^-*

.AJU»

275. Dari Abu Hurairah ia berkata, "Telah dikumandangkan


iqamah untuk shalat. Shaf telah disamakan dalam keadaan berdiri,
maka Rasulullah pun keluar menuju kami. Ketika beliau berdiri di
tempat shalatnya, beliau teringat sedang junub, lalu beliau berkata
kepada kami, 'Tetaplah di tempat kalian.'Lalu Nabi pulang dan
mandi, kemudian keluar menuju kami sedang kepalanya masih
basah, maka beliau takbir dan kami shalat mengikuti beliau. "
Abdul A'la meriwayatkan pula hadits seperti ini dari M a ' m a r dari
Az-Zuhri dan Al Auza'i meriwayatkan dari Az-Zuhri.

FATHUL BAARI — 449


Keterangan Hadits:
(Jika seseorang teringat) dalam masjid bahwa ia dalam keadaan
junub, maka ia langsung keluar dalam keadaan junub seperti semula.
(Dan tidak bertayamum) merupakan bantahan terhadap orang yang
mewajibkan tayamum dalam keadaan seperti ini, dimana pendapat
mereka telah dinukil dari Ats-Tsauri dan Ishaq. Begitu juga pendapat
sebagian pengikut madzhab Maliki yang mengatakan, bahwa orang yang
tidur di mesjid lalu "mimpi" maka hendaknya ia bertayamum terlebih
dahulu sebelum keluar.

c—(disamakan), maksudnya diluruskan. Hal ini menunjukkan


bahwa Nabi tidak mulai takbir sebelum shaf diluruskan.

i M—iai ^—i ^ts uii (Ketika berdiri di tempat shalatnya beliau


teringat) bukan berarti beliau mengatakan perkataan demikian. Hal itu
dapat diketahui oleh perawi dari faktor-faktor atau tanda-tanda yang
dapat dipahami setelah itu.
Imam Bukhari menjelaskan dalam pembahasan shalat dari riwayat
Shalih bin Kaisan dari Az-Zuhri bahwa hal itu terjadi sebelum Nabi
takbir untuk shalat.

— l — I ! Jlis (Beliau berkata kepada kami, "Tetaplah di tempat


kalian") dalam hal ini Rasulullah telah menggunakan perkataan untuk
menunjukkan suatu perbuatan. Karena dalam riwayat Al Isma'ili
dikatakan, "maka beliau memberi isyarat dengan tangan untuk tetap di
tempat", atau boleh jadi Rasulullah telah melakukan keduanya (berkata
dan memberi isyarat).

'JOJU i l i j j (Kepalanya meneteskan air) sisa mandi.

^—-Cs (Beliau takbir). Secara lahiriah, bahwa beliau melakukan


shalat dengan iqamah yang pertama tanpa mengulangi lagi dan hal itu
dianggap telah mencukupi, maka dapat diambil kesimpulan boleh adanya
tenggang waktu yang cukup lama antara iqamah dan shalat. Penjelasan
selanjutnya mengenai hal ini akan disebutkan pada bab tentang shalat
jamaah setelah bab adzan, insya Allah.

4 5 0 — FATHUL BAARI
18. Mengibaskan atau Membersihkan (Air) dengan
Tangan setelah Mandi Junub

AJ j: « J *>CLp jsfl ^^It! c j ^ j :~AJ y>^A c J l i : J l i <y) ^

S s s s ^ ' ' 0
< 5
' a '

/ y a'O y 'O ' • i ' \' • ui' ' ' ' * £fi ' ' ' • '' * 0

J JU^lwoij Ja o <>3 L^-L^P j,-) L§^»t_^»«J ^ / ' j ^ ' J^ ^


2
j'
S % S ' ''c'' %' ' ' ' ^ ' ' r' ' S f

o - b J ^ - Js- j JJ L w = ^ ^ j i j
4 j j j JsJi^J j jjJJajLJ «J>-b «Jj b j j <UJ j L i J"-"-* -5
iS*^

276. D a n /6«« Abbas, dari Maimunah, ia berkata, 'Aku menaruh


air mandi untuk Rasulullah SAW lalu aku menutupi beliau dengan
kain, dan beliau pun menuangkan air ke kedua tangannya dan
mencucinya. Kemudian menuangkan air dengan tangan kanannya
ke tangan kirinya, lalu mencuci kemaluannya. Kemudian memukul-
mukul kedua tangannya di atas tanah lalu mengusap dan
mencucinya. Kemudian berkumur-kumur dan menghirup air ke
hidung dan mengeluarkannya. Lalu membasuh mukanya, dan
lengannya, kemudian menuangkan air ke kapalanya lalu ke
tubuhnya. Kemudian berpindah tempat dan mencuci kedua
kakinya. Lalu aku mengulurkan pakaian, tetapi beliau tidak
mengambilnya. Lalu beliau pergi sambil mengibaskan air dengan
kedua tangannya".

Keterangan Hadits:

A—Jlu JO£J'JAJjUaili (Beliau pergi sambil mengibaskan air dengan


kedua tangannya). Lafazh ini dijadikan dalil bolehnya mengibaskan
(membersihkan) air wudhu dan mandi dengan tangan sebagaimana telah
dijelaskan di awal bab mandi.

FATHUL BAARI — 4 5 1
19. Memulai Mandi dengan Bagian Kanan Kepala

277. Dari Shafiyah binti Syaibah dari Aisyah RA, ia berkata, "Jika
salah seorang dari kami mengalami junub, ia mengambil (air)
dengan kedua tangannya tiga kali ke atas kepalanya, lalu
membasahi bagian kanannya dengan salah satu tangan dan bagian
kiri dengan tangan yang lain. "

Keterangan Hadits:

l—fijj-j (Salah seorang di antara kami), maksudnya salah seorang di


antara istri-istri Nabi SAW.
Hadits ini digolongkan sebagai hadits yang langsung dari Nabi
SAW (marfu'), karena secara lahiriah Nabi telah menyaksikannya. Ini
adalah metode Al Bukhari. Perkataan sahabat, "Kami melakukan ini"
mengandung hukum langsung dari Nabi SAW; baik disebutkan bahwa
kejadiannya di zaman Nabi atau tidak. Ini juga merupakan pendapat Al
Hakim.

—31u o J — ( D i a mengambil dengan kedua tangannya). Dalam

riwayat Karimah disebutkan, l »s-> (dengan sebelah tangannya),


maksudnya mengambil air sebagaimana yang ditegaskan oleh Al Isma'ili
dalam riwayatnya.
t' ' o '

—*>\j j j — t (Di atas kepalanya), maksudnya menyiram kepalanya

sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al Isma'ili.


tSj-j^l (Dan dengan tangannya yang lain). Dalam riwayat Al

4 5 2 — FATHUL BAARI
Isma'ili, -LaAl» o i ^ - l j^i (Kemudian ia mengambil dengan tangannya) yang

menunjukkan urutan tertib. Sementara kata cSy-^i (yang lain) menunjuk-

kan ada yang mendahuluinya.

Jika dikatakan, bahwa hadits ini menunjukkan mendahulukan


badan bagian kanan dan bukan bagian kanan kepala, maka bagaimana
hadits ini bisa sesuai dengan judul bab ini? Al Karamani menjawab,
"Maksud bagian kanan seseorang, adalah bagian kanan mulai dari kepala
hingga kaki. Maka, nampaklah kesesuaian antara hadits dengan judul bab
di atas."
Yang nampak dari maksud Imam Bukhari adalah, beliau me-
mahami bahwa tiga kali siraman tersebut masing-masing adalah untuk
bagian kepala, sebagaimana disebutkan dalam bab "Orang yang memulai
dengan hilab ". Di situ jelas disebutkan "ia memulai dari bagian kanan
kepalanya," wallahu a 'lam.

20. Mandi Telanjang Sendirian di Tempat Sepi, dan bagi


yang Menutup Diri adalah Lebih Baik

U\ A U I S ^ 1 ) 1 y.*y\>Jlij
5
i i
jl j aoi- J P AJ ^ P
«LU I Al*

Bahz berkata, dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi SAW, "Allah
lebih berhak untuk dimalui daripada manusia"

-i' * . i ' i i' 0


*' 0
'l \,- iJ^A *\\ ' ~' °' * f
olj, , P OjJ^lkj J-Jlj^t^ OJIS <jli (_5^ CS*- CJ^
> ' * >' . ' . ' • * ' . . .*

FATHUL BAARI — 453


* ' j.$i ^ ' 0
i j JI * / f s s

j i T Aji ^1 LJ^« ^ L - i L 01 J » j > b» <dllj I j i l a i


, s r
s
* "
/
,
/
O ^ J / y
O
. „ v
s ' '
^ , s s
'. „
s f s O *
' t s s s ,
' f . /0 /

* ' ' s f i ' ' s O fs ° ' i> f. o ' * * °

IjJbJi ^ j ^ Jl JJI^I j^j O ^ i a l J ^ - y * ^ - b' ^ j J Jji' oyl


s s "s s s s

jl* ' ' * * - ' * ' ' f ' ' i' S J' & s

j__jl J b i i b'j^js ^st«j>Jb j&h > 4jjj - i > - l j {


>
j^» j^>j C« «dJlj

. y * t - > J b bj-^? A J C ^ j l j A i > J b (_)JUJ A U I j s^J^Jfc

278. D a n Abu Hurairah, dari Nabi SAW beliau bersabda, "Telah


menjadi kebiasaan bani Israil mandi telanjang, satu sama lain
saling lihat melihat. Namun Musa mandi seorang diri. Mereka
mengatakan, 'Demi Allah tidak ada yang menghalanginya mandi
bersama kita, kecuali karena penyakit yang dideritanya'. Maka
pada suatu ketika Musa pergi mandi, ia menaruh pakaiannya di
atas batu. Lalu batu itu (dengan izin Allah) melarikan pakaiannya.
Musa keluar mengejarnya sambil berkata, "Pakaianku wahai
batu ", sehingga bani Isra 'U melihat kepadanya. Mereka berkata,
"Demi Allah, Musa tidak apa-apa (tidak berpenyakit) ". Maka
Musa mengambil pakaiannya dan memukuli batu tersebut. "Abu
Hurairah berkata, "Demi Allah, pukulannya meninggalkan bekas
di batu itu sejumlah enam atau tujuh pukulan."

Keterangan Hadits:
(Mandi telanjang sendirian di tempat sepi), yakni sepi dari
manusia.
Kalimat (lebih baik) menunjukkan bolehnya hal itu menurut
kebanyakan ulama. Ibnu Abi Laila tidak sependapat, sepertinya ia
O' t ' ' 9 '

berpegang pada hadits dari Ya'la bin Umayyah, j^fiM J—ipi iii
(Jika salah seorang dari kalian mandi, hendaklah ia menutup auratnya).
Nabi berkata demikian kepada seorang laki-laki yang dilihatnya mandi
sendirian dengan telanjang. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud. Al
Bazzar juga meriwayatkannya dengan hadits yang panjang dari Ibnu
Abbas.

4 5 4 — FATHUL BAARI
j>>\ 3\ J _ »'A—L»U>«—LJ d'\ (Untuk dimalui daripada manusia).
Demikianlah lafazh yang dinukil mayoritas perawi, sementara dalam
riwayat As-Sarakhsi disebutkan, iL» /sLJ jl (Lebih berhak untuk kita
menutup aurat dari-Nya). Namun, kedua lafazh ini mempunyai makna
yang sama.
Para penulis kitab Sunan dan lainnya telah meriwatkan pula hadits
ini dari berbagai jalur periwayatan yang semuanya bersumber dari Bahz,
dimana riwayat tersebut dianggap hasan (baik) oleh Imam Tirmidzi dan
digolongkan sebagai hadits hasan oleh Al Hakim.

Ibnu Abi Syaibah berkata, bahwa Yazid bin Harun telah men-
ceritakan kepada kami dari Bahz, dari ayahnya dari kakeknya. Ia berkata,
"Aku berkata, 'Wahai Nabi Allah, apa yang boleh dan apa yang harus
kami tinggalkan berkenaan dengan aurat kami?' Nabi SAW bersabda,
'Peliharalah auratmu kecuali terhadap istri-istri atau budakmu.'' Aku
berkata, 'Ya Rasulullah bagaimana kalau kami seorang diri saja?' Nabi
SAW bersabda, 'Allah lebih berhak untuk kita malui daripada
manusia.'" Jalur periwayatan hadits ini sampai kepada Bahz dan
derajatnya adalah shahih. Oleh karena itu, Imam Bukhari menyebut-
kannya dengan menggunakan lafazh yang berindikasi bahwa ia adalah
hadits shahih.

Akan tetapi sesungguhnya Bahz dan ayahnya tidak memenuhi


persyaratan hadits shahih yang dimuat oleh Imam Bukhari dalam kitab
Shahih ini. Oleh karena itu ketika beliau menyebutkan penggalan hadits
kakek Bahz dalam kitab An-Nikah, beliau (Imam Bukhari) tidak
menggunakan lafazh yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut adalah
hadits shahih. Bahkan beliau hanya berkata, "Telah disebutkan dari
Muawiyah bin Haidah".

Dari sini dapat diketahui, apabila Imam Bukhari menggunakan


lafazh yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut adalah shahih -
sehubungan dengan hadits-hadits yang beliau sebutkan tanpa menyerta-
kan jalur periwayatannya- maka hal itu tidak berarti riwayat yang
dimaksud memiliki derajat shahih, bahkan semuanya tergantung pada
status perawi hadits tersebut. Masalah ini telah saya bahas secara rinci
dalam catatan-catatan saya terhadap kitab Ibnu Shalah disertai contoh-
contoh dan penguat yang tidak dapat saya terangkan di sini.

FATHUL BAARI — 455


Dari redaksi hadits ini dapat diketahui bahwa konteksnya adalah
menerangkan mandi dengan aurat terbuka, tidak seperti perkataan Ibnu
Abdul Malik yang menyatakan bahwa tafsiran sabda Nabi, "Lebih pantas
untuk kita malu terhadapnya", yakni jangan berbuat maksiat kepada-Nya.
Adapun sabda Nabi SAW, "Kecuali terhadap istri-istri kamu"
merupakan dalil bolehnya bagi istri melihat aurat suaminya, lalu
dianalogikan bahwa suami juga boleh melihat aurat istrinya. Lafazh
hadits ini juga menjadi dalil tidak bolehnya melihat aurat orang lain
selain yang dikecualikan dalam ayat, termasuk antara laki-laki dengan
laki-laki dan wanita dengan wanita.
Secara lahiriah, hadits Bahz di atas menunjukkan bahwa telanjang
dalam keadaan sendiri meski di tempat yang jauh dari orang lain adalah
dilarang. Akan tetapi Imam Bukhari menyatakan bolehnya seseorang
mandi dalam keadaan telanjang berdasarkan kisah nabi Musa dan Ayyub
AS. Sisi penetapan dalil dari kisah tersebut adalah seperti apa yang
dikatakan oleh Ibnu Baththal, bahwa keduanya termasuk orang yang kita
diperintahkan untuk meneladaninya. Hal ini tentu berdasarkan pendapat
syariat umat terdahulu adalah syariat untuk kita juga.

Namun yang lebih kuat bahwa sisi penetapan dalil dari kisah di
atas adalah, Nabi SAW mengisahkannya tanpa memberi komentar apa-
apa. Ini menunjukkan bahwa hal tersebut sesuai dengan syariat Islam.
Sebab jika tidak demikian, tentu Nabi SAW telah menjelaskannya.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, kedua hadits di atas dapat
dipadukan. Yakni dengan mengatakan bahwa konteks hadits Bahz bin
Hakim adalah menjelaskan perbuatan yang lebih utama. Makna inilah
yang telah diisyaratkan oleh Imam Bukhari dalam judul bab. Akan tetapi,
sebagian ulama madzhab Syafi'i lebih menguatkan pendapat yang
mengharamkan bagi seseorang telanjang meski sendirian. Namun
pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf madzhab syafi'i adalah
bahwa itu hukumnya makruh (tidak disukai).

JJl^_l)J £ cJlS' (Telah menjadi kebiasaan bani Israil). Maksudnya


kebanyakan mereka, seperti firman Allah SWT, "Berkatalah orang-
orang Arab badui (dusun), 'kami telah beriman. "' ^ Q s . Al Hujuraat (49):
14^ (yakni sebagian besar mereka dan bukan keseluruhannya -penerj.)

«lj—£ OjJ—~au (Mandi bersama-sama dalam keadaan telanjang)

4 5 6 — FATHUL BAARI
Secara lahiriah, perbuatan tersebut diperbolehkan menurut syariat
mereka. Karena jika tidak demikian, tentu Musa AS tidak akan
membiarkan mereka dalam kondisi seperti itu. Adapun nabi Musa
memilih untuk mandi seorang diri, karena hal itu lebih utama.
Sehubungan dengan ini, Ibnu Baththal memberi keterangan yang agak
janggal dimana beliau berkata, "Hal ini menunjukkan bahwa mereka
durhaka terhadap nabi Musa A S . " Lalu pernyataan ini disetujui oleh Al
Qurthubi, dimana ia membahasnya secara panjang.

j v \—J ^—{y (Pakaianku wahai batu), maksudnya, berikan


pakaianku. Hanya saja Musa berbicara kepada batu itu karena ia
mensejajarkannya dengan manusia, disebabkan batu itu dapat membawa
lari pakaiannya. Dengan demikian, dalam pandangan Musa AS batu
tersebut telah berpindah kedudukannya dari yang semula hanya benda
mati menjadi makhluk hidup, maka beliaupun memanggilnya. Tatkala
batu itu tidak juga mengembalikannya, maka beliau memukulnya. Ada
juga yang mengatakan, "Bisa jadi Musa memukulnya untuk memperlihat-
kan mukjizat -bekas pukulannya ada di batu itu-dan mungkin juga ia
melakukannya berdasarkan wahyu.

Oj Sai J*- (Sehingga mereka melihat) Secara lahiriahnya, mereka


melihat seluruh tubuhnya. Dengan demikian kejadian ini dapat dijadikan
dalil bolehnya melihat (aurat) dalam keadaan darurat, misalnya untuk
pengobatan dan sepertinya. Ibnu Al Jauzi mengemukakan kemungkinan
lain, yaitu bahwasanya Musa AS saat itu masih mengenakan sarung,
namun karena kain tersebut basah maka tergambarlah apa yang ada di
baliknya. Ibnu Al Jauzi menganggap kemungkinan ini lebih baik seraya
mengatakan, bahwa pandangan seperti itu telah beliau nukil dari para
gurunya. Namun, pendapat ini perlu dianalisa kembali.

l — ) V > y r ^ J b jalai (Dan Musa memukul batu tersebut), demikianlah


lafazh yang dikutip oleh kebanyakan perawi hadits ini. Sementara dalam
riwayat Al Kasymihani dan Al Hamawi dikatakan, yv*Jt jiiai (Maka
batu pun dipukul). Pembahasan selanjutnya mengenai hadits ini akan
dijelaskan pada cerita-cerita para nabi, insya Allah.

FATHUL BAARI — 457


j — u
^ J~»»i V Ji 1
<~rf : J^ ^ j* s y. y» ^ J^J

l — J «Uj obL3 < U J J ^ V j i ' J * ^ V*" 5


J? ^ j * t-**'

^Js. Sf j f i j i i : > j ^ jii c^y ^ ^ J jS

M H J — » S y I j*
1
J \ 'j* <y. ^* 'j*
o > ' o ' ii

279. Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Ketika
nabi Ayyub sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba di
hadapannya jatuh seekor belalang dari emas. Maka beliau
memungut dan menaruhnya di pakaiannya. Saat itu Tuhannya
menyerunya, 'Wahai Ayyub, bukankah Aku telah menjadikanmu
berkecukupan dan tidak butuh terhadap apa yang engkau lihat
itu?' Ayyub berkata, 'Benar, demi keagungan-Mu, tetapi tidak ada
bagiku perasaan untuk tidak butuh kepada berkah-Mu'."
Diriwayatkan pula oleh Ibrahim dari Musa Bin Uqbah dari Sufyan
bin Sulaim dari Atha" bin Yasar dari Abu Hurairah dari Nabi
SAW, beliau bersabda, "Ketika Ayyub sedang mandi dalam
keadaan telanjang...."

Keterangan Hadits:
Ibnu Baththal berkata, "Sisi penetapan dalil dari hadits Ayyub
adalah bahwa Allah SWT menegurnya karena ia mengambil belalang
tersebut, dan tidak menegurnya saat beliau mandi dalam keadaan
telanjang. Kenyataan ini memberi keterangan bahwa mandi dalam
keadaan telanjang tidaklah dilarang." Pembahasan selanjutnya tentang
hadits ini akan diterangkan pada cerita para nabi.

4 5 8 — FATHUL BAARI
21. Menutup Diri Ketika Mandi Jika Ada Orang Lain

's- * > ' ' f i * J> - i a * t


S 4—Ul J\ o^i :JyL" ^ «^li lf

•y

280. Ummu Hanik binti Abi Thalib berkata, 'Aku pergi menemui
Rasulullah SAW pada saat penaklukan kota Makkah. Aku men-
dapatkan beliau sedang mandi sementara Fatimah menutupinya.
Maka beliau bertanya, 'Siapakah wanita ini?' Aku berkata, 'Aku,
Ummu Hani:"

Keterangan Hadits:
Setelah selesai menyebutkan dalil yang berkenaan dengan mandi
dalam keadaan telanjang seorang diri, Imam Bukhari menyebutkan dalam
bab selanjutnya, yaitu menutup diri waktu mandi jika ada orang lain.

?s j — A 'J» (Siapakah wanita ini), lafazh ini menunjukkan bahwa tirai


yang menjadi pembatas cukup tebal. Adapun Nabi SAW mengetahui
bahwa yang datang itu wanita, adalah karena tempat tersebut hanya boleh
dimasuki laki-laki. Pembahasan mengenai hal ini akan diterangkan pada
bagian akhir kitab jihad, dimana Imam Bukhari kembali mengutip hadits
ini secara lengkap.

s * i sO s s > ^ ^ 9 ss a f. "„'stosOs $s 9 s

j—* J ^ i y*} si? c J b 4 j j ^ > jf. ^-LP JJ!

9 ' ' , , '„ ^ S ,. S'* as s ' s s' °


\ «J A>rJi JlwJtJ <ULa_i Js- AJLJ^-O ^ . . . / > 4jjJ Jl»Jt4 SjlIiJl
• F . VLI F I EL " LL I' s s s ' Z .„ > s*

FATHUL BAARI — 459


2 8 1 . Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Maimunah, ia berkata,
"Aku menutupi Nabi SAW ketika sedang mandi junub; beliau
mencuci kedua tangannya, kemudian menuangkan air dengan
tangan kanan ke tangan kiri lalu mencuci kemaluannya dan apa-
apa yang tertimpa (kotoran). Kemudian beliau mengusapkan
tangannya ke dinding atau lantai, lalu berwudhu seperti wudhu
hendak shalat kecuali (tidak membasuh) kakinya. Setelah itu beliau
menyiram tubuhnya dengan air, kemudian berpindah tempat lalu
mencuci kedua kakinya. "

Abu Awanah dan Ibnu Fudhail juga meriwayatkan tentang


"menutup diri".

Keterangan Hadits:

5—''\'J j—Ji (Abu Awanah juga meriwayatkan), maksudnya Abu


Awanah juga menukil hadits ini dari Al A'masy melalui jalur
periwayatan yang sama. Riwayat Abu Awanah ini telah disebutkan pada
bab "Orang yang menuangkan air dengan tangan kanannya.

J—'j—')j (Dan Ibnu Fudhail). Demikian pula Ibnu Fudhail, dia


meriwayatkan hadits di atas dari Al A'masy yang juga melalui jalur
periwayatan seperti di atas. Riwayat yang dimaksud disebutkan secara
lengkap beserta jalur periwayatannya dalam kitab Shahih Abu Awanah Al
Asfarayini, seperti riwayat Abu Awanah Al Bashri. Hadits di atas yang
mencantumkan lafazh "menutup diri" telah diriwayatkan pula dari jalur
periwayatan Abu Hamzah yang dikutip oleh Imam Bukhari, serta dalam
riwayat Za'idah yang dikutip oleh Al Isma'ili. Adapun pembahasan
mengenai hadits ini telah diterangkan pada permulaan bab mandi,
wallahu a 'lam.

4 6 0 — FATHUL BAARI
22. Apabila Wanita Mimpi Bersenggama

o ' ' ' ii a f ° l ' ' *'i o ' ' « o o' O '

: O J L — i l g — I L y±*yj\ , » 1 AUL. ^ 1 ^p CJL- ^ 1 OJJ V - ^ J jr^


y s s- & ^ s y y oy i *i ^^
1 i cJl 43 j | | A1S| J J ^ , J J l A>di? ^ 1 o f ^ l C-S-li-
/ / ;S

.«.UJl o l j lil c^Ju : AUI J J Jl-43 ?oJ*i£?-l J * lil

282. Diriwayatkan Zainab binti Abi Salamah dari Ummu Salamah


Ummul Mukminin, ia berkata, "Telah datang Ummu Sulaim -istri
Abu Thalhah- kepada Nabi SAW, seraya berkata, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran,
Apakah wanita harus mandi jika bermimpi (senggama)? Maka
Rasulullah bersabda, "Ya jika ia melihat air (mani). "

Keterangan Hadits:
Dalam bab ini Imam Bukhari hanya mengkhususkan wanita,
padahal hukum ini juga berlaku bagi kaum laki-laki. Hal itu dia lakukan
untuk menyesuaikan dengan konteks pertanyaan yang ada dalam hadits.
sekaligus menunjukkan bantahan terhadap mereka yang beranggapan
bahwa hal seperti itu hanya dialami oleh laki-laki dan tidak dialami oleh
wanita, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Mundzir dan selain beliau dari
Ibrahim An-Nakha'i. Hanya saja, Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh
Al Muhadzdzab menolak kebenaran nukilan tersebut dari Ibrahim An-
Nakha'i. Akan tetapi Ibnu Abi Syaibah telah menukil perkataan tersebut
dari Ibrahim An-Nakha'i melalui jalur periwayatan yang akurat.

L CJJ LiJj J P (Dari Zainab binti Abu Salamah). Hadits ini


telah disebutkan dalam bab "Malu dalam (menuntut) ilmu" melalui jalur
periwayatan yang lain, dimana disebutkan Zainab binti Ummi Salamah.
Dengan demikian, dalam bab tersebut dia dinisbatkan kepada ibunya,
sedangkan di bab ini dinisbatkan kepada bapaknya (Abu Salamah).

FATHUL BAARI — 461


Sementara itu, Imam Bukhari dan Imam Muslim telah menukil
hadits ini melalui beberapa jalur periwayatan dari Hisyam bin Urwah dari
ayahnya dari Zainab binti Abu Salamah. Lalu Imam Muslim meriwayat-
kan pula dari jalur Az-Zuhri dari Urwah, tapi dikatakan. "Dari Aisyah*'.
Maka, yang menjadi sumber dalam kisah ini adalah antara Ummu Sulaim
dan Aisyah.
Kemudian Al Qadhi Iyadh mengutip dari para ahli hadits bahwa
yang menjadi objek kisah ini adalah Ummu Sulaim, bukan Aisyah.
Artinya mereka lebih mengedepankan riwayat Hisyam daripada riwayat
Az-Zuhri, dan inilah yang nampak dari sikap Imam Bukhari. Akan tetapi,
Ibnu Abdil Barr telah menukil dari Az-Dzahili bahwa Imam Bukhari
menganggap kedua jalur riwayat ini sama-sama shahih. Sementara Abu
Daud mengisyaratkan bahwa ia cenderung mengedepankan riwayat Az-
Zuhri, karena Nafi' bin Abdullah juga menukil hadits itu dari Urwah dari
Aisyah, dimana riwayat Nafi' juga dikutip oleh Imam Muslim. Di
samping itu, Imam Muslim juga meriwayatkan hadits Anas dengan
lafazh, "Ummu Sulaim datang menemui Rasulullah SAW seraya
bertanya, sementara Aisyah saat itu ada di dekat beliau S A W . . . " Lalu
disebutkan hadits yang serupa dengan hadits di atas.

Lalu Imam Ahmad meriwayatkan dari jalur Ishaq bin Abdullah bin
Abi Thalhah dari neneknya -Ummu Sulaim- dimana ia tinggal
bertetangga dengan Ummu Salamah. Ummu Sulaim berkata, "Wahai
Rasulullah..." Lalu disebutkan kelanjutan haditsnya di dalamnya bahwa
Ummu Salamah telah mengisahkan Ummu Sulaim. Hal ini telah me-
nguatkan riwayat Hisyam.
An-Nawawi berkata dalam kitab Syarah Muslim, 'Ada ke-
mungkinan Aisyah dan Ummu Salamah sama-sama tidak menyetujui
sikap Ummu Sulaim, dan ini merupakan langkah yang sangat baik dalam
memadukan kedua jalur riwayat tersebut, sebab bukan perkara yang
mustahil bila Aisyah dan Ummu Salamah sama-sama hadir di majelis
beliau SAW. Selanjutnya An-Nawawi berkata dalam Syarah Al
Muhadzdzab, "Riwayat-riwayat yang ada dipadukan dengan mengatakan
bahwa Anas, Aisyah dan Ummu Salamah semuanya hadir saat kejadian
itu berlangsung."
Akan tetapi yang lebih kuat adalah Anas tidak hadir saat peristiwa
berlangsung, ia hanya mendapat berita itu dari ibunya (Ummu Sulaim).
Indikasi ke arah ini dapat kita temukan dalam kitab Shahih Muslim dari

4 6 2 — FATHUL BAARI
hadits Anas.
Lalu Imam Ahmad meriwayatkan juga hadits seperti ini dari Ibnu
Umar, hanya saja Ibnu Umar memperoleh riwayat itu dari Ummu Sulaim
atau yang lain.
Masalah ini juga ditanyakan oleh Khaulah binti Hakim sebagai-
mana dinukil oleh Imam Ahmad, An-Nasa'i dan Ibnu Majah. Di akhirnya
terdapat lafazh, "Sebagaimana tidak ada kewajiban mandi bagi laki-laki
bila bermimpi senggama selama belum keluar air (mani)". Demikian
juga masalah itu pernah ditanyakan oleh Sahlah binti Suhail seperti
dalam riwayat Ath-Thabrani dan Bisrah binti Shafwan seperti dikutip
oleh Ibnu Abi Syaibah.

j — k h j * J?^~i ^ J! (Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap


kebenaran). Ummu Sulaim sengaja mendahulukan kalimat ini sebagai
alasan atas sikapnya yang akan menyebutkan sesuatu yang tabu
dibicarakan. Malu yang dimaksud ditinjau dari segi bahasa, karena malu
dalam pengertian agama adalah baik. Sementara disebutkan dalam
pembahasan iman bahwasanya malu dari segi bahasa adalah perubahan
dan perpecahan, dan hal tersebut mustahil bagi Allah Ta'ala. Maka
perkataan Ummu Sulaim dapat dipahami bahwa Allah tidak menyuruh
bersikap malu dalam kebenaran atau tidak melarang untuk menyatakan
kebenaran.

Ada pula yang mengatakan bahwa takwil hanya diperlukan dalam


masalah itsbat (menetapkan), ' bukan pada masalah penafian (peniadaan).
1

Tetapi karena dipahami dari kalimat tersebut bahwa Allah malu terhadap
yang bukan hak, maka ini kembali pada masalah itsbat (penetapan)
sehingga harus ditakwilkan. Demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiq Al 'Id.

°c—U»-1 (Dia bermimpi). Mimpi adalah sesuatu yang dilihat oleh


seseorang saat tidur, dan yang dimaksud mimpi di sini adalah mimpi
yang bersifat khusus, yaitu melakukan hubungan intim. Dalam riwayat
Ahmad dari Ummu Sulaim disebutkan bahwa ia berkata, "Wahai

Yang benar adalah tidak butuh penakwilan dalam masalah ini, sebab Allah SWT disifati
dengan sifat malu yang sesuai dengan Dzat-Nya tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya
seperti sifat-sifat-Nya yang lain. Keterangan yang menyatakan bahwa Allah SWT memiliki
sifat malu telah disebutkan dalam sejumlah nash, maka sifat tersebut wajib ditetapkan
sesuai dengan Dzat-Nya. Inilah pendapat Ahli Sunnah mengenai sifat yang disebutkan
dalam Al Qur'an dan Sunnah yang shahih. Wallahu A 'lam.

FATHUL BAARI — 463


Rasulullah, apabila seorang wanita bermimpi melihat suaminya berseng-
gama dengannya, apakah ia harus mandi?"

$.1—Ji o l j lil (Jika ia melihat air), maksudnya ia melihat air mani


setelah terbangun. Dalam riwayat Al Humaidi dari Sufyan dari Hisyam
disebutkan, "Jika salah seorang wanita di antara kamu melihat air, maka
hendaklah ia mandi". Ia menambahkan, "Ummu Salamah berkata,
'Apakah wanita (juga) bermimpi (senggama)?'" Demikian pula para
murid Hisyam, mereka telah meriwayatkan tambahan ini dari beliau
(Hisyam) kecuali Imam Malik. Dalam riwayat Abu Muawiyah dari
Hisyam pada bab "malu dalam menuntut ilmu" disebutkan, "Apakah
wanita (juga) bermimpi senggama?" Dalam riwayat tersebut disebutkan
pula, "Maka Ummu Salamah menutup wajahnya". Namun akan di-
sebutkan dalam pembahasan Al Adab dari riwayat Yahya Al Qaththan
dari Hisyam, "Maka Ummu Salamah tertawa". Kedua riwayat ini dapat
disatukan dengan mengatakan, bahwa Ummu Salamah tersenyum karena
heran dan menutup wajahnya karena malu.

Dalam riwayat Muslim dari Waqi' dari Hisyam dikatakan, "Umu


Salamah berkata, 'Wahai Ummu Sulaim, engkau telah membuka rahasia
wanita.'" Lafazh seperti ini disebutkan pula dalam riwayat Imam Ahmad
dari Ummu Sulaim.
Ini menunjukan bahwa menyembunyikan hal-hal seperti itu sudah
menjadi tabiat kaum wanita, dan hal itu menunjukkan besarnya syahwat
mereka terhadap laki-laki.
Ibnu Baththal berkata, "Ini merupakan dalil bahwa setiap wanita
mengalami mimpi (senggama)." Sementara selain beliau justeru me-
mahami sebaliknya, seraya mengatakan, "Ini merupakan dalil bahwa
sebagian wanita tidak mengalami mimpi (senggama)". Makna lahiriah
ucapan Ibnu Baththal adalah, bahwa hal seperti itu bisa saja terjadi dan
bukan harus terjadi. Artinya, pada diri wanita ada kecenderungan ke arah
itu.
Kita mendapatkan dalam hadits ini dalil wajibnya mandi bagi
wanita jika mengeluarkan mani. Ibnu Baththal menafikan adanya
perbedaan pendapat dalam masalah ini, sementara telah kami sebutkan
sebelumnya adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini dari An-
Nakha'i. Seolah-olah Ummu Sulaim belum mendengar hadits Nabi SAW

4 6 4 — FATHUL BAARI
yang berbunyi, t\—Jl j — * s-UJi "Air (mandi wajib) dikarenakan oleh air
(keluarnya mani)". Atau ia telah mendengar sabda itu, namun timbul
dalam pikirannya perkara yang menurutnya dapat menyebabkan wanita
tidak termasuk dalam hadits tersebut, karena keluarnya mani jarang
dialami wanita.
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Ummu Sulaim dalam kisah
ini, bahwa Ummu Salamah berkata, "Wahai Rasulullah, apakah wanita
juga punya air (mani)?" Rasulullah SAW bersabda, "Mereka adalah
saudara kandung laki-laki (mereka sama)"
Dalam riwayat Abdurrazzak tentang kisah ini dikatakan, "Jika
salah seorang wanita di antara kalian telah melihat air (mani) sebagai-
mana laki-laki melihatnya"
Demikian pula Imam Ahmad meriwayatkan dari Khaulah binti
Hakim, "Tidak wajib atasnya mandi hingga keluar air (mani) sebagai
mana laki-laki" Lafazh ini merupakan bantahan terhadap orang yang
mengatakan bahwa mani wanita tidak keluar, namun keluarnya mani
wanita itu dapat diketahui dari syahwatnya.

Lalu mereka memahami sabda Nabi SAW, "Jika ia melihat air",


yakni apabila ia mengetahuinya. Namun pandangan ini kurang tepat,
karena untuk mengetahui keluarnya mani dalam kondisi ini sangat sulit.
Sebab kalau ia mengetahui hal tersebut dalam mimpi saja, maka tidak
memiliki konsekuensi hukum. Karena jika laki-laki mimpi bersetubuh
dan ia melihat mengeluarkan mani dalam mimpi itu, lalu terbangun dan
tidak melihat tanda bahwa air maninya telah keluar, maka tidak wajib
baginya untuk mandi menurut kesepakatan ulama, demikian juga halnya
dengan wanita.
Apabila yang dimaksud "mengetahui " d i sini adalah setelah wanita
itu terbangun, maka tidak dapat dibenarkan sebab yang terjadi dalam
mimpi tidak berkelanjutan setelah bangun kecuali jika terlihat (tanda
keluarnya mani tersebut). Untuk itu, memahami kata bermimpi di sini
sebagaimana maknanya secara lahiriah merupakan pandangan yang
benar.
Dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa wanita boleh langsung
meminta fatwa, dan menjelaskan gambaran keadaan yang berhubungan
dengan kejadian syar'i karena adanya faidah yang bisa diambil dari hal
tersebut.

FATHUL BAARI — 465


Di samping itu, hadits ini merupakan dalil bolehnya tersenyum
dalam hal-hal yang menakjubkan. Adapun pembahasan mengenai sabda
beliau, "Lalu dengan sebab apa anaknya memiliki kemiripan dengannya"
akan diterangkan pada pembahasan mengenai awal mula penciptaan,
insya Allah,

23. Keringat Orang yang Junub dan Seorang Muslim


Tidak Najis

283. Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW berjumpa dengannya di


sebuah jalan Madinah dan dia (Abu Hurairah) dalam keadaan
junub, (Ia berkata), "Maka aku menghindar lalu pergi dan mandi,
kemudian datang (menemui Rasulullah). Maka beliau bertanya,
"Kemana kamu tadi wahai Abu Hurairah?" Abu Hurairah
menjawab, "Aku dalam keadaan junub, maka aku tidak mau duduk
bersama anda sedang aku tidak dalam keadaan suci." Maka
Rasulullah SAW bersabda, "Maha suci Allah, orang Islam itu tidak
najis."

Ketarangan Hadits:
(Keringat orang yang junub, dan seorang muslim tidak najis).
Imam bukhari seolah memberi isyarat mengenai perbedaan pendapat
tentang keringat orang kafir. Ada yang mengatakan bahwa keringatnya
najis karena tubuhnya adalah najis, sebagaimana yang akan diterangkan.

466 FATHUL BAARI


Pada judul bab di atas terdapat kata-kata yang tidak disebutkan
secara tekstual, yang mana kalimat yang seharusnya adalah "Penjelasan
mengenai hukum keringat orang yang junub. Jika orang Islam tidak najis,
maka keringatnya juga tidak najis." Kemudian dapat dipahami dari
ungkapan tersebut, bahwa orang kafir adalah najis dan keringatnya juga
najis.

c. (Maka aku menghindar) Demikianlah lafazh yang terdapat


dalam riwayat Al Kasymihani dan Hamawi serta Karimah. Sementara A!
Qazzaz berkata, "Dalam salah satu jalur periwayatan hadits tersebut
tercantum lafazh 'c—(maka aku memperdaya), tapi ini tidak tepat.

Bahkan yang benar adalah lafazh, seperti di atas."

Sebagian mengatakan bahwa makna c. °.;>Jli adalah pergi secara


sembunyi-sembunyi, dan ini dikuatkan oleh riwayat lain yang berbunyi
c i i - J l s (maka aku beranjak dengan perlahan).

Ibnu Baththal berkata, "Telah dinukil riwayat dengan lafazh


'c—L~i?uli yakni seperti lafazh terdahulu. Pada riwayat Ibnu Sakan dinukil

dengan lafazh, c lS<2\i. Mungkin lafazh ini diambil dari firman Allah

SWT, I'JIL* £}t c-Lr-jli (Maka bersemburanlah dari padanya dua


belas mata air), yakni mata air itu mengalir dan menyembur dengan
cepat. Lafazh seperti ini dinukil pula dalam riwayat Al Ashili, Abu
Waqi' dan Ibnu Asakir.

Sementara dalam riwayat Al Mustamli disebutkan, cJLJ-iSis (aku


yakin jika tubuhku najis). Akan tetapi Al Qazzaz mengingkari lafazh ini
seraya mengatakan bahwa asal lafazh tersebut adalah J—yang
memiliki makna kurang, yakni ia merasa rendah diri untuk duduk
bersama Nabi SAW disebabkan dirinya sedang junub.
Telah disebutkan dalam riwayat Imam Tirmidzi, sama seperti
riwayat Ibnu Sakan, "Arti dari kata c-l~s?J^ adalah aku menjauh darinya,
dan tidak ada riwayat yang kuat yang sampai kepadaku selain yang telah
disebutkan di atas. Sementara yang pertama lebih mendekati kebenaran,
kemudian pendapat yang terakhir ini."

FATHUL BAARI — 467


— j — j l (Sesungguhnya seorang mukmin tidak najis)
Sebagian pengikut madzhab Zhahiriyah berpegang dengan makna
implisit (mafhum) hadits ini, untuk menyatakan bahwa tubuh orang kafir
adalah najis. Mereka menguatkan pandangan tersebut dengan firman
Allah, fj^u <j£yi-Ji 01 (Sesungguhnya orang musyrik adalah najis).

Golongan mayoritas (jumhur) menjawab argumentasi ahli zhahir


dengan mengatakan bahwa maksud hadits adalah orang-orang muslim
anggota tubuhnya suci karena kebiasaan mereka memelihara diri dari
najis. Berbeda dengan orang-orang musyrik yang tidak menjaga dirinya
dari najis. Adapun maksud ayat tersebut adalah, orang musyrik najis
dalam hal keyakinan dan juga menjijikkan. Jumhur ulama berasalan
bahwa Allah telah menghalalkan untuk menikahi wanita Ahli Kitab, dan
orang yang melakukan hubungan intim dengannya tidak akan dapat
menghindari keringatnya (ahli kitab). Walaupun demikian, Allah SWT
tidak mewajibkan mandi bagi mereka yang selesai bersenggama dengan
wanita kitabiyah, kecuali seperti apa yang diwajibkan kepada wanita
muslimah. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh manusia yang hidup tidak
najis, karena tidak ada perbedaan antara wanita dan laki-laki.

Sementara Imam Al Qurthubi melakukan suatu kejanggalan,


dimana pada pembahasan tentang "jenazah" dalam Syarah Muslim dia
menisbatkan pendapat yang menggolongkan bahwa orang kafir adalah
najis kepada madzhab Imam Syafi'i. Masalah ini akan dibahas secara
tersendiri dalam pembahasan Al Jana 'iz (jenazah), insya Allah.
Pada hadits ini terdapat dalil disunahkannya bersuci ketika
melakukan hal-hal yang mulia, dan sunah memuliakan orang yang
mempunyai keutamaan dengan menghormati dan mendampinginya
sebaik mungkin. Sebab perginya Abu Hurairah adalah, bahwa Nabi SAW
jika bertemu dengan salah seorang sahabat beliau menyentuh dan
mendoakannya. Demikian yang diriwayatkan oleh An-Nasa'i dan Ibnu
Hibban dari hadits Hudzaifah. Maka ketika Abu Hurairah mengira bahwa
orang yang junub adalah najis karena hadats, ia khawatir bahwa
Rasulullah akan menyentuhnya seperti biasa, maka ia bergegas pergi
mandi. Hanya saja yang diingkari oleh Nabi adalah perkataannya, "Dan
aku sedang tidak suci". Adapun sabda beliau SAW, "Maha suci Allah"
adalah ungkapan takjub atas keyakinan Abu Hurairah yang menganggap
dirinya najis karena junub. Bagaimana mungkin perkara seperti ini tidak

4 6 8 — FATHUL BAARI
diketahui oleh Abu Hurairah?
Dalam hadits (juga) terdapat dalil, bahwa seseorang yang
mengikuti orang lain dianjurkan untuk meminta izin orang yang diikuti
jika hendak meninggalkannya. Berdasarkan sabda beliau SAW,
"Dimanakah engkau?" Hal ini mengisyaratkan, bahwa seharusnya Abu
Hurairah tidak meninggalkan beliau S A W sebelum memberitahu.
Demikian juga disukai bagi orang yang diikuti untuk menegur
pengikutnya kepada kebenaran meskipun ia (pengikut) tidak meminta-
nya.

Hadits itu juga menerangkan bolehnya mengakhirkan mandi wajib.


Ibnu Hiban menyebutkan hal itu dalam satu bab tersendiri dalam
kitabnya, sebagai bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa
orang yang junub dan berniat mandi wajib, lalu air bekas mandi wajibnya
itu jatuh ke dalam sumur maka airnya menjadi najis.

Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini bahwa keringat orang


yang junub hukumnya suci, sebab badannya tidak menjadi najis dengan
junub. Demikian juga dengan apa yang mengalir dari badannya seperti
keringat dan susu. Dalil bolehnya seorang yang junub melakukan
aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhannya sebelum mandi, maka
Imam Bukhari berkata:

24. Orang yang Junub Keluar dan Berjalan di Pasar


atau (tempat) Lainnya

°ii i' f a ' * ' ' ° i f * ' f ' t t Jl 0


f o ^ ' " "

Atha' berkata, "Orang yang junub boleh berbekam, memotong kuku, dan
mencukur rambut meski belum berwudhu."

Jal jlfT 0 A1)1 J j j ! ^ J b - diiC.'J>J J l jl a-slii Jff-


— i / 0 / ^ | „ z i ' d i 111
0
• t ' l '

FATHUL BAARI — 4 6 9
284. Dari Qatadah, sesungguhnya Anas bin Malik memberitahu
mereka bahwa Nabi Allah mendatangi (menggauli) istri-istrinya
dalam satu malam, dan ketika itu beliau mempunyai sembilan istri.

Keterangan Hadits:

*l—la* Jl—s j (dan Atha ' berkata) Penggalan riwayat dari Atha' ini
disebutkan secara lengkap beserta jalur periwayatanya oleh Abdur-
Razzaq dari Ibnu Juraij dari Atha", lalu ditambahkan, "Dan mengecat".
Barangkali pekerjaan inilah yang dimaksud dalam ucapannya, "dan
selainnya".

^—(3i 01 (Bahwasanya Nabi), dalam riwayat Al Ashili dan Karimah


s s s » * * s * i
disebutkan dengan lafazh, j»JLij fli* JL* *lh 01 (Bahwasanya Nabi
Allah SAW). Hadits ini telah dibahas pada bab "Apabila seseorang
selesai menggauli istrinya lalu ia mengulanginya. " A d a p u n disebutkan-
nya kembali hadits tersebut dalam bab ini adalah untuk mendukung
perkataan beliau dalam judul bab, "dan selainnya. " Sebab kamar istri-
istri Nabi jaraknya saling berdekatan, sehingga beliau S A W perlu
berjalan kaki untuk keluar dari kamar yang satu dan masuk ke kamar
yang lainnya. Dengan demikian, maksud disebutkannya riwayat dari
Atha' adalah menjelaskan bolehnya orang yang junub menyibukkan diri
tanpa harus mandi terlebih dahulu.
Pendapat Atha' berbeda dengan pendapat yang lainnya, seperti
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Al Hasan Al Bashri dan
lainnya. Mereka berpendapat bahwa orang yang junub dianjurkan untuk
berwudhu terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas. Hadits Anas
dalam bab ini menguatkan pendapat Atha', karena dalam hadits tersebut
tidak disebutkan bahwa Rasululaah SAW berwudhu sebelum melakukan
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Seakan-akan Imam Bukhari menyebutkan
hadits Anas sebagai penguat perkataan Atha' dan bukan untuk dijadikan
dalil tersendiri dalam masalah ini.

4 7 0 — FATHUL BAARI
285. Dari Abu Rafi' dari Abu Hurairah, ia berkata, 'Rasulullah
bertemu denganku, sedang aku dalam keadaan junub. Lalu beliau
mengambil tanganku, dan aku pun berjalan bersama beliau sampai
beliau duduk (di tempatnya), lalu aku pergi diam-diam ke tempatku
kemudian mandi, setelah itu kembali mendatangi beliau yang
sedang duduk. Beliau bertanya, 'Di mana engkau tadi wahai Abu
Hurairah?' Aku pun mengatakan kepadanya, lalu beliau berkata,
'Subhanallah (Maha Suci Allah), wahai Abu Hurairah, sesungguh-
nya orang mukmin itu tidak najis."''

25. Orang Junub yang Berdiam Di Rumah Jika


Berwudhu Sebelum Mandi (Wajib)

s' J% • , s' s' s' s' 0 s' s' s' s* s' s'
* ' * ~° ' * >l. -*-f s- s' J .'^ • S • s' f ° '

286. Dari Abu Salamah ia berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah,


adakah Rasulullah tidur dalam keadaan junub? Aisyah berkata,
'Ya, dan beliau berwudhu.'"

FATHUL BAARI — 471


Keterangan Hadits:
Dikatakan bahwa Imam Bukhari mengisyaratkan dengan judul bab
ini akan lemahnya apa yang diriwayatkan dari Ali dari Nabi SAW yang
i- s ' ' es f i s i - o*
berbunyi, L — I V V j »J'J^> 1j LiS' *J l-y' J ^ - ^ l d\ (Sesungguhnya
malaikat tidak memasuki rumah yang ada anjing, gambar dan orang
yang junub). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya. Namun
dalam jalur periwayatannya terdapat seorang yang bernama Nujja Al
Hadhrami, dimana tidak ada orang yang meriwayatkan darinya selain
anaknya, yaitu Abdullah, sementara ia adalah seorang perawi yang tidak
dikenal (majhul). Tetapi Al Ajali menganggapnya sebagai perawi yang
tsiqah (dipercaya), begitu juga Ibnu Hibban dan Al Hakim yang telah
mensahihkan haditsnya.
Kemungkinan orang yang dimaksud dengan orang yang junub
dalam hadits Ali, adalah orang yang meremehkan urusan mandi dan suka
meninggalkannya, bukan orang yang mengakhirkannya sebagaimana
dikatakan oleh Al Khaththabi. Dia berkata pula, "Pandangan ini
dikuatkan oleh makna hadits sebelumnya, dimana yang dimaksudkan
dengan anjing dalam hadits ini adalah anjing yang terlarang untuk
dipelihara, sedangkan yang dimaksud dengan gambar adalah gambar
sesuatu yang bernyawa dan apa yang diagungkan.
An-Nawawi berkata, "Pengertian anjing yang ia (Al Khaththabi)
kemukakan sehubungan dengan hadits ini perlu ditinjau kembali." Ada
pula kemungkinan yang dimaksud orang yang junub dalam hadits Ali
adalah orang yang hadatsnya belum terangkat sedikitpun (belum
berwudhu). Dengan demikian tidak ada pertentangan antara hadits Ali
dan hadits bab ini karena jika orang yang junub berwudhu, maka
sebagian hadatsnya terangkat sebagaimana yang akan dijelaskan.

( j»—« c i l — i (Aisyah berkata, "Ya, dan beliau wudhu),


maksudnya beliau tidur dan wudhu. Namun kata sambung waw tidak
berkonotasi bahwa pekerjaan tersebut dilakukan secara berurutan, maka
makna yang sebenarnya adalah beliau berwudhu kemudian tidur.

Dalam riwayat Muslim dari Az-Zuhri dari Abu Salamah disebutkan


dengan lafazh, 5">CaiJ w>jJ <L--r y>j f £ 01 i\J lij OlT (Biasanya Nabi
jika hendak tidur sedang beliau junub, beliau berwudhu seperti wudhu
ketika hendak shalat). Imam Bukhari juga menukil riwayat seperti itu

4 7 2 — FATHUL BAARI
pada bab setelah ini dari riwayat Urwah dari Aisyah dengan tambahan,
£_L-Ji J_~£ (mencuci kemaluan). Abu Nu'aim dalam kitab Al Mustakhraj"
dari Abu N u ' a i m - s a l a h satu guru Imam Bukhari-menambahkan lafazh,
Vj\—LaU is.ji?j Csjiij (dan beliau berwudhu seperti wudhu hendak shalat),
seperti disebutkan pada hadits di bagian akhir bab ini. lalu Al Ismaili dari
jalur yang lain dari Hisyam menukil seperti itu. Semua ini merupakan
bantahan terhadap mereka yang mengartikan wudhu di sini dengan arti
sekedar membersihkan badan.

26. Tidurnya Orang yang Junub

l_J-b-? Ss y\ iHl AUI J J Jli- c-jlkidl j> Js- jf Js- jA J&

* ' * ' o t° A' 0


y* ' F F S ^ ^ i ' i 0
' ' ' 11 - o* *' ' * '
1

J ^ J jAi -_S Jb~l W 3 y B | ^ju J L S yAj

287. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Umar bin Khaththab


bertanya kepada Rasulullah, 'Apakah salah seorang dari kami
(boleh) tidur dalam keadaan junub? " Beliau berkata, "Ya, jika ia
telah berwudhu, maka hendaklah ia tidur (meski) dalam keadaan
junub"

Ketarangan Hadits:

Jl—> olk^Jt J 'ys- ol (Bahwasanya Umar Bin Khaththab bertanya)


Secara lahiriah Ibnu Umar hadir pada saat umar bertanya kepada
Rasulullah, oleh sebab itu hadits ini masuk dalam deretan riwayat beliau.
Yang masyhur meriwayatkannya dari beliau adalah Nafi'. Diriwayatkan
dari Ayub dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Umar bahwa ia berkata, "Wahai
Rasulullah". (HR. An-Nasa'i) Berdasarkan hal ini, maka hadits di atas
masuk dalam deretan riwayat Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh
Muslim dari jalur Yahya Al Qaththan dari Ubaidillah bin Umar dari Nafi'
dari Ibnu Umar dari Umar. Namun perbedaan ini tidak berpengaruh pada

FATHUL BAARI — 4 7 3
keshahihan hadits yang dimaksud.
Adapun kesesuaian hadits dengan judul bab dapat dilihat dari sisi;
apabila seorang yang junub boleh tidur di rumah, maka boleh juga tinggal
di dalamnya meski tidak tidur, karena dua hal tersebut tidak berbeda.
Atau dapat juga dikatakan bahwa tidurnya orang yang junub berkonse-
kuensi terhadap bolehnya orang yang terjaga untuk menetap di rumah
meski dalam keadaan junub, sebab orang yang tidur dalam keadaan junub
pasti pernah terjaga, minimal saat ia berwudhu sebelum tidur. Tidak ada
perbedaan dalam masalah ini.

Bab tentang tidurnya orang yang junub hanya ada dalam naskah
Karimah dan tidak ditemukan pada naskah-naskah yang lain. Adapun
selain naskah Karimah, hadits Ibnu Umar ini disebutkan langsung setelah
bab sesudahnya, yaitu bab "Orang junub berwudhu kemudian tidur".

27. Orang yang Junub Berwudhu lalu Tidur

s j ss *- > ^ i'ilii j , O • s s O s 0 J' O s

j a>j ^>UJ j l :>!j! 131 JJJGI JJ\ LS jli : c J l i «LSUIP ejy- jf-

. 0 *j\ ./?11 Utf JJ J 4j>r j i < '•*">?

288. Diriwayatkan dari Urwah dari Aisyah ia berkata, "Biasanya Nabi


SAW jika mau tidur sedang ia dalam keadaan junub, maka beliau
mencuci kemaluannya dan berwudhu seperti wudhu hendak shalat"

Keterangan Hadits:

5^—LAU L_t& j ; j (Seperti wudhu hendak shalat), artinya berwudhu


sebagaimana wudhu yang dilakukan oleh seseorang yang akan
malaksanakan shalat, bukan berarti ia berwudhu karena hendak
mengerjakan shalat. Hanya saja yang dimaksud adalah wudhu dalam
pengertian syariat bukan ditinjau dari segi bahasa.

4 7 4 — FATHUL BAARI
289. Diriwayatkan dari Nafi dari Abdullah ia berkata, "Umar
meminta fatwa kepada Nabi SA W, 'Apakah salah seorang dari
kami (boleh) tidur dalam keadaan junub?' Maka beliau bersabda,
'Ya, jika ia telah berwudhu. "'

Keterangan Hadits:

ilp'y lil JlS (Maka beliau bersabda, 'Ya, jika telah berwudhu. ')

Dalam riwayat Muslim dari jalur Ibnu Juraij dari Nafi' disebutkan,

(Hendaklah ia berwudhu kemudian tidur).

4 Ul Jyy J t-yUa^Jl J y\s- yTi : J l i ifl jJ> y <dll JuP Jf-

I % y : JiH A Ul J yy j AJ J U* jlUl JA AjllssJl 4JI ^

^ > y s O O l

290. Dari Ibnu Umar bahwa ia berkata, "Umar Bin Khaththab


menyebutkan kepada Rasulullah bahwa ia mengalami junub pada
malam hari, maka Rasulullah bersabda kepadanya, 'Berwudhu-
lah, cucilah kemaluanmu dan tidurlah'."

Keterangan Hadits:

»-jl—i*^' J', 'j** (Umar bin Khaththab menyebutkan), Lafazh ini


berkonsekuensi bahwa hadits yang dimaksud masuk dalam kategori
riwayat Ibnu Umar sebagaimana yang ada pada kebanyakan perawi.
Namun Abu Nuh meriwayatkan dari Malik seraya menambahkan dalam

FATHUL BAARI — 475


riwayat tersebut lafazh, "dari Umar". An-Nasa'i telah menerangkan
sebabnya dalam riwayatnya dari jalur Ibnu Aun dari Nafi', ia berkata,
"Ibnu Umar sedang junub lalu ia datang kepada Umar dan
mengatakannya. Lalu Umar datang kepada Rasulullah dan bertanya.
Maka beliau bersabda, 'Hendaklah ia berwudhu dan tidur'." Berdasarkan
keterangan ini, maka maksud kata ganti pada lafazh "Bahwa ia
mengalami j u n u b " adalah Ibnu Umar dan bukan Umar. Sedangkan sabda
beliau, "Berwudhulah" ada kemungkinan Ibnu Umar ada di sana lalu
pembicaraan diajukan langsung kepadanya.

i*j—J—Pij U>jJ (Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu). Dalam

riwayat Abi Nuh disebutkan, j«—' * — J l—i>jJ *—5 i3j—$"i J—*i (Cucilah
kemaluanmu, kemudian berwudhu lalu tidurlah). Lafazh ini merupakan
bantahan bagi mereka yang memahami hadits bab ini secara lahiriah saja,
yaitu bolehnya mendahulukan wudhu daripada mencuci kemaluan karena
maksud wudhu bukan untuk mengangkat hadats tetapi semata bernilai
ibadah. Karena junub itu lebih berat dari sekedar menyentuh kemaluan,
dan dengan berdasarkan riwayat Abu Nuh jelaslah bahwa mencuci
kemaluan lebih didahulukan daripada wudhu. Namun boleh diakhirkan
dengan tidak menyentuh kemaluan menurut yang berpendapat bahwa
menyentuhnya membatalkan wudhu.

Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Teks hadits ini ada yang berupa
perintah dan ada yang berupa syarat. Hal ini menjadi pegangan bagi
orang yang mewajibkan perbuatan tersebut." Sementara Ibnu Abdil Barr
berkata, "Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah sunah.
Sementara pengikut madzhab zhahiriyah mengatakan wajib, namun
pandangan ini dianggap ganjil."
Ibnu Al Arabi berkata, "Imam Malik dan Imam Syafi'i berkata,
"Bagi orang yang junub tidak boleh tidur sebelum berwudhu." Namun
sebagian generasi belakangan mengingkari penukilan ini. Mereka berkata
bahwa Imam Syafi'i tidak mengatakannya wajib, dan tidak seorang pun
sahabatnya yang mengetahuinya. Tetapi perkataan Ibnu Al Arabi bisa
diartikan bahwa maksudnya adalah menafikan hukum mubah, bukan
untuk menetapkan hukum wajib. Atau wajib di sini adalah wajib sunah,
artinya sunah muakkad (yang sangat dianjurkan). Hal itu karena Ibnu
Arabi menempatkan pandangan ini sebagai lawan pendapat Ibnu Habib
yang mengatakan bahwa hukumnya adalah wajib, yakni wajib dalam

4 7 6 — FATHUL BAARI
artian fardhu. Istilah seperti ini banyak kita temukan dalam madzhab
Maliki.
Selanjutnya Ibnu Arabi mengisyaratkan dukungannya terhadap
pendapat Ibnu Habib, sedangkan Abu Awanah dalam Shahih-nya me-
nempatkan hal ini dalam satu bab khusus, yaitu bab wajib berwudhu bagi
yang berjunub jika ingin tidur. Kemudian ia dan Ibnu Khuzaimah berdalil
bahwa hukumnya tidak wajib berdasarkan hadits Ibnu Abbas dari Nabi
SAW, "Hanya saja aku disuruh berwudhu jika mau melakukan shalat".
Hadits ini telah disebutkan dalam bab "Jika bersetubuh kemudian
mengulanginya." Akan tetapi Ibnu Rusyd Al Maliki mengkritik tajam
cara penetapan hukum dari hadits ini, dan apa yang beliau katakan cukup
jelas.

Imam Ath-Thahawi menukil dari Abu Yusuf yang berpandangan


bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk sunah. Dalam hal itu beliau
berpegang kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq dari Al
Aswad dari Aisyah RA, "Rasulullah junub lalu tidur dan tidak menyentuh
air." Riwayat ini dikutip oleh Abu Daud dan ahli hadits lainnya. Akan
tetapi pandangan ini dikoreksi dengan mengatakan bahwa para penghafal
(hadits) berkata, "Sungguh Ibnu Ishaq telah mengalami kekeliruan dalam
hal ini." Jika dikatakan ia tidak keliru, maka riwayatnya dapat diartikan
bahwa beliau SAW sengaja meninggalkan wudhu untuk menjelaskan
bahwa hal tersebut boleh (ditinggalkan) supaya tidak diyakini sebagai
suatu yang wajib, atau perkataannya "Tidak menyentuh air" ditafsirkan
bahwa beliau tidak menyentuh air untuk mandi.
Ath-Thahawi cenderung mengartikan wudhu dalam hadits ini, yaitu
membersihkan (menurut bahasa). Dia beralasan bahwa Ibnu Umar
sebagai pelaku kisah ini berwudhu dalam keadaan junub dan tidak
mencuci kakinya sebagaimana diriwayatkan Imam Malik dalam kitab Al
Muwaththa dari Nafi'. Akan tetapi pendapat beliau dijawab dengan
mengatakan, bahwa pengertian wudhu telah dikaitkan dengan shalat
dalam riwayat dari Nafi' dan Aisyah seperti yang telah dikemukakan, dan
inilah yang dijadikan pegangan. Bisa jadi Umar tidak membasuh kakinya
karena ada udzur.
Jumhur ulama berpendapat, "Wudhu di sini adalah wudhu secara
syar'i. Adapun hikmahnya adalah meringankan hadats apalagi berdasar-
kan pendapat atau madzhab yang membolehkan mandi secara terpisah-
pisah. Sehingga, seseorang yang berniat mandi saat berwudhu akan

FATHUL BAARI — 477


mengangkat hadats dari anggota wudhu berdasarkan pendapat yang
shahih." Keterangan ini dikuatkan pula oleh riwayat Ibnu Abi Syaibah
yang dinukil oleh orang-orang tsiqah dari Syaddad bin Aus. Ia berkata,
"Jika seseorang di antara kalian junub pada waktu malam kemudian
ingin tidur hendaklah ia berwudhu, sesungguhnya berwudhu itu setengah
mandi junub." Ada pula yang berpendapat, bahwa hikmahnya adalah
karena wudhu merupakan salah satu bentuk dari dua thaharah yang dapat
digantikan dengan tayamum. Al Baihaqi telah meriwayatkan dengan
sanad hasan dari Aisyah bahwa Nabi SAW jika sedang junub dan ingin
tidur, maka beliau wudhu atau tayamum. Kemungkinan tayamum di sini
adalah ketika sulit mendapatkan air.

Ada yang mengatakan hikmahnya (wudhu) di sini adalah mem-


bangkitkan gairah untuk mengulang_/Yma' atau mendorong untuk mandi.
Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Imam Syafi'i menetapkan bahwa perbuatan
demikian tidak berlaku bagi wanita yang sedang haid. Sebab jika ia
mandi (sebelum haidnya berhenti) hadatsnya tidak terangkat, berbeda
dengan orang yang junub. Tetapi jika haidnya berhenti, maka hal itu
dianjurkan."

Dari hadits ini kita dapat mengambil pelajaran diantaranya;


1. Tidak harus menyegerakan mandi wajib, hanya saja hal itu akan
menyulitkan ketika ingin melaksanakan shalat.
2. Anjuran untuk membersihkan diri ketika hendak tidur.
3. Ibnu Al Jauzi berkata, "Hikmah dari itu semua adalah, karena
malaikat akan menjauh dari sesuatu yang kotor dan bau yang tidak
enak. Lain halnya dengan syetan yang akan mendekati sesuatu
yang kotor dan bau yang tidak enak, wallahu a lam."

28. Bertemunya Dua Khitan

{
^ [jli Ir^r bj Jli S y I 5 ^ J\°Jc>0\j J 'J.

4 7 8 — FATHUL BAARI
2 9 1 . Dari Abu Rafi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW beliau
berkata, "Jika seseorang duduk di antara kedua paha (istrinya) ke-
mudian mengarahkan semua kemampuan kepadanya (jima'), maka
wajib mandi:''

Keterangan Hadits:
(Bertemunya dua khitan). Maksud dua khitan di sini adalah
kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan. Khitan adalah memotong
kulit yang menutup ujung kemaluan laki-laki dan memotong daging tipis
di atas fagina wanita yang menyerupai jengger ayam.

[r-^r 'i! (Jika ia telah duduk) Kata ganti yang terdapat pada kalimat
J^-r (dia mengerahkan kemampuannya), adalah kata ganti untuk orang ke
tiga laki-laki. Kata ganti pada kata i f c * — d a n kata adalah untuk
wanita. Pemakaian kata tersebut secara jelas ada pada riwayat Ibnu Al
Mundzir dari sanad yang lain dari Abu Hurairah. Ia berkata, Jr'J \f~* 'i)

l^-i—i> J__J &\'y\\ {Jika seorang laki-laki menggauli istrinya dan telah
duduk di antara bagian tubuhnya). (Al Hadits)

Kata v * -> adalah bentuk plural dari kata artinya bagian dari
sesuatu. Maksudnya -menurut sebagaian pendapat- adalah kedua tangan-
nya dan kedua kakinya, kedua kakinya dan kedua pahanya, atau kedua
betis dan pahanya, atau kedua paha dan iskah-nya. Yang lain mengatakan
kedua paha dan kedua syafrahnya, atau bagian tubuh yang lain.
Al Azhari berkata, bahwa Iskah adalah bibir kemaluan dan syafrah
adalah tepi bibir kemaluan.
Al Qadhi Iyadh menguatkan pendapat yang terakhir, sedang Ibnu
Daqiq Al 'Id memilih yang pertama, karena lebih dekat dengan
pengertian duduk. Ungkapan di atas merupakan kiasan halus dari
bersenggama.

J^J (Kemudian mengerahkan kemampuannya terhadap wanita


itu). Jahada-ajhada berarti mencapai tingkat paling berat. Ada yang
mengatakan bahwa artinya adalah bekerja keras dengan menggerakan-
nya, atau memforsir usahanya dalam melakukan hubungan intim.

FATHUL BAARI — 479


Dalam riwayat Muslim dari jalur Syu'bah dari Qatadah dengan
lafazh, —Sri j»i (Kemudian ia bersungguh-sungguh hingga kepayahan).
Abu Daud meriwayatkan dari Syu'bah dan Hisyam sekaligus dengan
lafazh, ol =*j"b o L ^ J t Hj "Jika ia melekatkan khitan ke khitan
(perempuan)." Ini menunjukkan bahwa jahada merupakan kiasan me-
masukkan kemaluan ke dalam vagina. Al Baihaqi meriwayatkan dari
Ibnu Abi Urwah dari Qatadah dengan lafazh yang ringkas, ob'l%Ji ^ i lil
f a y yy

J—°~JA\ L srj (Jika telah bertemu dua khitan maka wajib mandi). Ini
sesuai dengan judul bab, seolah-olah penulis (Al Bukhari) memberi
isyarat pada riwayat ini sebagaimana kebiasaannya membuat bab sesuai
dengan salah satu lafazh riwayat hadits dalam bab tersebut.
Diriwayatkan juga dengan lafazh ini dari Aisyah seperti disebutkan
oleh Imam Syafi'i melalui Said bin Musayyab darinya (Aisyah). Di
dalam sanadnya ada Ali bin Zaid, seorang perawi yang lemah. Ibnu
Majah juga meriwayatkan hadits ini dari Al Qasim bin Muhammad dari
Aisyah, dimana semua sanadnya adalah orang-orang yang dapat
dipercaya. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa Al Asy'ari dari
Aisyah dengan lafazh, ol =?Ji ob>Jl j^J»j (Dan khitan telah menyentuh

khitan). Maksud menyentuh di sini adalah bertemu, seperti diindikasikan


oleh riwayat At-Tirmidzi dengan lafazh, jjl k lil (Apabila telah
melampaui batas (masuk ke dalam))'" Menyentuh dalam hal ini tidak
dapat dipahami secara hakikat "sentuhan", karena kita tidak dapat
mengatakan "sentuhan" jika kepala kemaluan laki-laki masuk ke dalam
kemaluan perempuan. Apabila terjadi sentuhan saja antara kemaluan laki-
laki dan perempuan tanpa memasukkan kemaluan laki-laki ke dalam
kemaluan perempuan, maka menurut konsensus ulama (ijma') tidak
wajib mandi.
Imam An-Nawawi mengatakan, "Pengertian hadits dia atas adalah,
bahwa wajibnya mandi tidak harus dengan keluarnya mani." Pendapat ini
dikritik, karena bisa jadi yang dimaksud dengan kata jahada adalah
mengeluarkan mani sebab itulah yang menjadi klimaks dalam ber-
senggama. Namun hal ini dapat dijawab, bahwa dalil yang mengatakan
wajib mandi meskipun tidak keluar mani telah disebutkan dengan jelas
pada sebagian riwayat, maka kemungkinan yang dikatakan di atas
menjadi hilang dan tidak dapat diterima. Dalam riwayat Muslim dari jalur

4 8 0 — FATHUL BAARI
Mathar Al Warraq dari Al Hasan pada akhir hadits ini disebutkan, jJ Ojj

J J 1 _ J (Meskipun tidak mengeluarkan mani). Demikian juga dalam riwayat


Qatadah yang diriwayatkan oleh Abu Khaitsumah dalam (kitab)
tarikhnya dari Affan, ia berkata, "Hamam dan Aban berkata kepada kami,
"Qatadah berkata kepada kami dengan hadits ini dan menambahkan, Jj5i

Jji—J j, S ji (mengeluarkan mani atau tidak) begitu juga Ad-Daruquthni


meriwayatkan dan mensahihkannya dari Ali bin Sahal dan Affan, dan
seperti itu juga Abu Daud Ath-Thayalisi menyebutkan dari Hammad bin
Salamah dari Qatadah.

29. Mencuci Apa yang Menyentuh Kemaluan Wanita

y & y % y s s $ s s s y yy y y

" 0
' 9
- f ""O f . " ' ' <> , y • f - ' t" 'f "° \ "° " 11 -

S» '
y yy y y y y y 5> y O yy ' -* s 0

li} c- JI j l : Jl ei jUp j L - i p J L- AJI o jpt-\ j4=*-h JuU>-

^ Oy y # JL t } ^ y y } y s % "

* y O ' y *' ' ' ^ Q


y Oy£ ' ' £ y 0 £> y y '

^ y y y * yy S> ^ y *y
y y '° ' \\~ ' \\ ' ' °"' ITI O • O **<
0
o < f *

J '^ - ^ ' j L S ^ - ^ ^A - >-'JS^


1
<s*"->
*• cf- y J
j' % i i li i 5> i } i t .- Si s i i i

' ' * 11° i *f i-f . f 11' f " * i. ' » - o •» . f _ ' | ' -'f

^ AUI J J ^ - J ^ iiJi

292. Faftya berkata, "Abu Salamah bercerita kepadaku bahwa


Atha' bin Yasar mengatakan Zaid bin Khalid Al Juhani mem-

FATHUL BAARI — 481


beritahukan kepadanya bahwa ia bertanya kepada Utsman bin
Affan, 'Apa pendapatmu jika seseorang menggauli istrinya dan
tidak (sampai) mengeluarkan mani?' Utsman berkata, 'Ia
berwudhu seperti wudhu untuk shalat dan mencuci kemaluannya. "
Utsman berkata, "Aku mendengarnya dari Rasulullah SA W. "
Maka aku menanya-kannya kepada Ali bin Abi Thalib, Az-Zubair
bin Al Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Ubai bin Ka'ab,
mereka memerintahkan melakukan hal itu. " Yahya berkata, "Abu
Salamah memberitahuku bahwa Urwah bin Az-Zubair
memberitahu kepadanya bahwa Abu Ayub memberitahukan bahwa
ia mendengar demikian dari Rasulullah SA W."

Keterangan Hadits:
(Mencuci apa yang menyentuh), maksudnya bagian badan laki-
laki. (Kemaluan wanita), baik berupa cairan ataupun lainnya.
s > ss

il—!I JJ «jy-ii {Mereka memerintahkannya melakukan hal itu). Dalam


kalimat ini terdapat pemalingan arah pembicaraan, sebab seharusnya ia
berkata, "Maka mereka memerintahkan aku". Atau ada kemungkinan
kalimat itu adalah perkataan Atha" bin Yasar, maka hukum riwayat ini
menjadi mursal.

Al Karmami berkata, bahwa kata ganti kalimat —'r bj adalah


untuk orang yang menggauli istrinya. Beliau (Al Karmani) juga
menegaskan bahwa yang dinukil dari Utsman dalam hal ini adalah
riwayat sekaligus fatwa, sedangkan dari sahabat-sahabat lain yang
disebutkan di atas hanya dinukil fatwa tanpa riwayat.
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Secara lahiriah, mereka menyuruh
melakukan apa yang dikatakan Utsman, maka tidak ada keterangan tegas
yang menyatakan bahwa perkataan mereka tidak bersumber dari
Rasulullah SAW." Dalam riwayat Al Ismaili disebutkan, "maka mereka
berkata seperti itu". Secara lahiriah menunjukkan bahwa perkataan
mereka juga bersumber dari Rasulullah SAW, sebab Utsman berfatwa
dan sekaligus menukil riwayat dari Nabi dalam masalah tersebut, maka
kata "seperti" menunjukkan persamaan dalam segala segi. Al Isma'ili
secara jelas menyebutkan, bahwa perkataan sahabat yang lain itu
s s o f s -

bersumber langsung dari Nabi SAW, lafazh tersebut adalah, i U i j£? ijlli»

4 8 2 — FATHUL BAARI
—L.j AIIP *«' j * (Maka mereka mengatakan seperti itu dari Nabi
SAW). Al Isma'ili berkata, "Tidak ada yang berkata demikian kecuali
Yahya Al Hamawi, dan ia tidak memenuhi kriteria kitab ini."
* * * * * * ' ^
4J1 {Bahwa ia mendengarnya
dari Rasulullah SAW).
Imam Ad-Daruquthni berkata, "Ini adalah dugaan saja, karena Abu
Ayub hanya mendengarnya dari Ubai bin Ka'ab sebagaimana yang
dikatakan oleh Hisyam bin Urwah dari ayahnya." Saya katakan, "Secara
lahiriah Abu Ayyub mendengar dari keduanya, karena redaksi riwayat
berbeda. Pada riwayat Hisyam dari Ubai bin K a ' a b ada kisah yang tidak
(disebutkan) dari Nabi SAW."

Hadits ini juga telah diriwayatkan dari sanad yang lain dari Ayub
dari Nabi seperti dinukil oleh Ad-Darimi dan Ibnu Majah. Al Atsram
menceritakan dari Ahmad bahwa hadits Zaid bin Khalid yang disebutkan
pada bab ini mempunyai cacat, karena telah tetap fatwa dari mereka
berlima yang berlawanan dengan hadits ini. Ya'qub bin Syaibah
meriwayatkan dari Ali bin Al Madini, bahwa hadits ini adalah syadz
(cacat).

Namun pernyataan ini dapat dijawab, bahwa hadits ini kuat dilihat
dari periwayatannya yang tidak terputus dan hafalan para perawinya.
Ibnu Uyainah juga meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari Atha' bin
Yasar seperti riwayat Abu Salamah dari Atha' yang dikeluarkan oleh
Ibnu Abi Syaibah dan yang lain, maka (hadits ini) sanadnya tidak
tunggal. Adapun keberadaan mereka yang berfatwa berlawanan dengan
hadits ini tidaklah mengurangi kesahihan hadits, karena adanya ke-
mungkinan bahwa telah sampai kepada mereka (hadits lain) yang
menghapus hukum hadits ini yang mereka jadikan pegangan. Memang
tidak sedikit hadits shahih yang dihapus hukumnya.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa hubungan badan yang tidak
mengeluarkan air mani yang cukup berwudhu saja telah dihapus dengan
hadits Abu Hurairah dan Aisyah yang telah disebutkan pada bab
sebelumnya. Dalil penghapusannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad dan lainnya dari Az-Zuhri dari Sahal bin Sa'ad. Ia berkata, "Ubai
bin Ka'ab berkata kepadaku bahwa fatwa yang mereka katakan, yaitu air
(mandi) karena sebab air (keluarnya mani) adalah keringanan yang

F A T H U L BAARI — 483
diberikan Rasulullah pada permulaan Islam, lalu beliau memerintahkan
untuk mandi setelah itu. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban. Al Isma'ili berkata, "Riwayat ini shahih memenuhi
persyaratan Imam Bukhari", demikian yang beliau katakan. Seakan-akan
Al Isma'ili belum menemukan kelemahannya, dimana para ahli hadits
telah berbeda pendapat bahwa Az-Zuhri telah mendengarnya dari Sahal.
Benar, Abu Daud dan Khuzaimah juga meriwayatkan dari Abu
Hazim dari Sahal, tapi jalur periwayatan ini juga memiliki kelemahan
yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim. Akan tetapi secara umum jalur
periwayatan tersebut bisa dijadikan dalil dan (riwayat tersebut) jelas-jelas
untuk menghapuskan hukum yang ada dalam hadits Utsman. Di samping
itu, hadits yang mewajibkan mandi meskipun tidak keluar mani adalah
lebih kuat daripada hadits "Air (mandi) karena sebab air (keluar mani)",
karena yang pertama adalah ucapan langsung sedang hadits yang tidak
mewajibkan mandi meskipun tidak keluar mani adalah hasil pemahaman
(interpretasi) terhadap hadits itu. Atau kemungkinan hadits kedua ini
mengandung makna tekstual, namun konteks hadits yang pertama lebih
tegas.

Ibnu Abi Syaibah dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas,


bahwa hadits s-tJl J «.UJl "Air (mandi) kerena air (keluar mani)" khusus
untuk orang yang mimpi bersetubuh. Ini adalah penafsiran yang me-
ngompromikan antara kedua hadits tersebut tanpa ada pertentangan.

Catatan Penting

Pada perkataan beliau, *Uli j ? s-UJi "air (mandi) karena air (keluar
mani)" terdapat gaya bahasa jinas tam (kesamaan yang sempurna) dalam
ilmu balaghah. Maksud air yang pertama adalah "air mandi", dan air
yang kedua adalah "air mani".
Imam Syafi'i menyebutkan, bahwa kata "junub" dalam bahasa
Arab berarti jima' (bersetubuh) meskipun tidak keluar mani. Jika
dikatakan si fulan junub karena Fulanah, berarti ia telah berhubungan
badan dengannya walaupun tidak sampai keluar mani. Imam syafi'i juga
berkata, "Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa zina yang mendapat
hukuman adalah hubungan badan walaupun tidak mengeluarkan mani."
Ibnu Arabi berkata, "Kewajiban mandi karena hubungan dan keluarnya

4 8 4 — FATHUL BAARI
mani adalah seperti kewajiban berwudhu karena menyentuh kemaluan
dan buang air kecil. Keduanya berada pada sisi yang saling berhadapan,
baik dari segi dalil maupun Ulat (dasar argumentasi)." Wallahu a 'lam.

293. Diriwayatkan dari Abu Ayyub, ia berkata, "Aku diberitahu


oleh Ubai bin Ka'ab bahwa ia berkata, 'WahaiRasulullah, (apa
hukumnya) jika seorang laki-laki menggauli istrinya dan tidak
(sampai) keluar mani?' Beliau berkata. 'Hendaknya mencuci apa
yang menyentuh wanita itu kemudian berwudhu dan shalat'."

Abu Abdillah berkata, "Mandi lebih hati-hati dan lebih selamat. "
Demikian (keputusan) terakhir, hanya saja kami jelaskan hal ini karena
perselisihan yang terjadi di antara mereka.

Keterangan Hadits:
Maksud judul bab adalah, hendaklah laki-laki itu mencuci anggota
tubuhnya yang menyentuh kemaluan wanita. Yang disebut di sini adalah
kemaluan, tetapi yang dimaksudkan adalah bagian yang basah. Ini sebuah
konsekuensi dimana yang disebutkan adalah perkara lain, namun yang
dimaksud adalah konsekuensi dari perkara tersebut.

j»j=j (Berwudhu) Lafazh ini jelas sekali memberi keterangan


mengakhirkan wudhu daripada mencuci kemaluan. Lalu Abdur-Razzaq

FATHUL BAARI — 485


meriwayatkan dari Ats-Tsauri dari Hisyam dengan tambahan lafazh,
"Seperti wudhu untuk shalat".

^-LPJJ (dan shalat) hal ini sebagai dalil yang lebih jelas untuk

meninggalkan mandi dibanding keterangan pada hadits sebelumnya.

*—U' J £ y) Jli (Abu Abdillah berkata) Maksudnya adalah Imam


Bukhari, dan yang menukil perkataan itu adalah perawi yang meriwayat-
kan darinya.

ie>'fj>-\ Jl~«Ji (Mandi lebih hati-hati serta lebih selamat). Maksudnya


jika dalil yang menafikan bolehnya berwudhu bagi mereka yang
berhubungan intim dan tidak mengelurkan mani dianggap tidak kuat dan
tidak bisa juga menentukan mana yang lebih kuat dari kedua riwayat
tersebut, maka sebagai sikap yang lebih hati-hati adalah mandi.

j—f-V' (Yang terakhir) Yakni keputusan akhir dari pembuat syariat,


atau keputusan akhir ijtihad para imam. Ibnu At-Tin mengatakan bahwa
lafazh tersebut adalah 'y>-^ (yang lain) dengan harakat fathah pada huruf
ha\

l ^ — j ^ ? l _ £ UJ'! (Hanya saja kami terangkan karena perselisihan

yang terjadi di antara mereka) Dalam riwayat Karimah disebutkan, Uli

l^_WssM l£j (Hanya saja kami terangkan perselisihan yang terjadi di antara

mereka). Dalam riwayat Al Ashili disebutkan, '^y^-H abt!i lil (Hanya saja

kami menerangkan hal ini karena perselisihan yang terjadi di antara

meraka). Sementara dalam naskah Ash-Shaghani, )—siJasJi Uy' UJI

^—aJl tUJlj tjL$3*Ap-)! (Hanya saja kami terangkan hadits yang lain karena
perselisihan yang terjadi di antara mereka dan air (mandi) adalah lebih
bersih).
Ibnu Arabi mengkritik perkataan Imam Bukhari, ia berkata,
"Kewajiban mandi telah ditetapkan dan dipraktekkan oleh para sahabat
dan generasi setelah mereka, dan tidak ada yang menyalahinya kecuali
Daud. Apa yang dilakukan Daud ini tidak dapat dijadikan landasan
(dalam menentukan hukum). Namun yang sulit lagi adalah pendapat

4 8 6 — FATHUL BAARI
Imam Bukhari dan fatwa hukumnya yang mengatakan bahwa hukum
mandi tersebut adalah sunah, padahal dia adalah salah satu imam dalam
agama dan ulama kaum muslimin."
Lalu ia (Ibnu Arabi) mulai melemahkan hadits dalam bab ini
dengan pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diterima. Ia berkata,
"Mungkin maksud Imam Bukhari dengan perkataan beliau, 'Mandi lebih
hati-hati serta lebih selamat' adalah dalam agama." Ia juga berkata, "Ini
mirip dengan masalah kepemimpinan seseorang dan ilmunya."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Ini adalah cara yang biasa dilakukan
Imam Bukhari, dia tidak memberi judul hadits ini tentang bolehnya
meninggalkan mandi wajib, tapi hanya memberi judul dengan sebagian
faidah yang ada dalam hadits seperti wajibnya wudhu sebagaimana yang
telah disebutkan. Adapun pengingkaran terhadap perselisihan yang
terjadi seperti yang dilakukan Ibnul Arabi adalah tindakan yang
berlawanan, karena perselisihan tersebut telah dikenal di kalangan
sahabat. Tetapi Ibnu Al Qishar mengklaim bahwa perselisihan tersebut
telah selesai pada masa tabi'in, dan ini juga merupakan pendapat yang
berlawanan dengan kenyataan."

Al Khaththabi berkata, "Sekelompok sahabat telah berkata


demikian (mandi tidak wajib jika tidak keluar mani)." Lalu ia (Al
Khaththabi) menyebut sebagian nama-nama mereka dan berkata, "Dari
generasi tabi'in adalah Al A'masy dan Iyadh mengikutinya." Ia
melanjutkan, "Tidak seorang pun setelah sahabat berkata (demikian)
selain dia."

Pernyataan terakhir Al Khaththabi juga menyalahi kenyataan,


karena telah diriwayatkan secara akurat bahwa Abu Salamah
berpandangan demikian. Sebagaimana terdapat dalam Sunan Abu Daud
melalui jalur periwayatan yang shahih. Dinukil pula dari Hisyam bin
Urwah seperti dalam riwayat Abdurrazzaq. Demikian pula Abdurrazzaq
meriwayatkan dari Juraij dari Atha' bahwa ia berkata, "Diriku tidak
tenang jika tidak keluar mani dalam bersetubuh hingga aku mandi.
Karena perbedaan pendapat yang ada, oleh sebab itu kami mengambil
pandangan yang lebih kuat."

Imam Syafi'i berkata dalam kitab Ikhtilaf Al Hadits, bahwa hadits


0 f 9

«•1—*Ji JA *UJi "air (mandi) karena air (keluar mani)" adalah hadits shahih,
tetapi hukumnya telah dihapus (mansukh). Hingga perkataan beliau,

FATHUL BAARI — 487


"Kita berbeda pendapat dengan sebagian penduduk negeri kita -maksud-
nya orang-orang Hijaz- dimana mereka berkata, 'Mandi tidak wajib
kecuali bila telah keluar mani.'"
Dari sini diketahui, bahwa perselisihan mengenai hal ini telah
masyhur di kalangan tabi'in dan generasi sesudahnya. Tetapi jumhur
berpendapat bahwa hukum mandi adalah wajib, dan inilah yang benar.
Wallahu a 'lam.

Penutup
Kitab mandi dan hukum-hukum yang berkenaan dengannya
mencakup 63 hadits yang langsung kepada Nabi SAW (marfu'), yang
terulang dalam bab ini serta pada bab-bab sebelumnya berjumlah 35
hadits. Hadits yang diriwayatkan secara bersambung diantaranya
berjumlah 21 hadits, sedangkan sisanya hanya berupa penggalan-
penggalan hadits yang disebutkan tanpa silsilah periwayatannya
(mu 'allaq) ataupun sebagai penguat (mutaba 'ah). Yang tidak terulang
dalam bab ini berjumlah 28 hadits, dan yang disebutkan tanpa jalur
periwayatan di antaranya hanya satu riwayat, yaitu riwayat Bahz dari
kakeknya.

Hadits yang disebutkan dalam bab ini juga diriwayatkan oleh Imam
Muslim kecuali riwayat Bahz tersebut dan hadits Jabir mengenai
mencukupkan ketika mandi dengan satu sha' air, serta hadits Anas yang
menceritakan bahwa Rasulullah mendatangi istri-istri beliau yang
jumlahnya 11 orang pada satu malam. Demikian pula dengan hadits
mandi dengan wanita atau istri dari satu bejana. Terakhir hadits Aisyah
tentang sifat mandi junub wanita.

Pada kitab mandi ini juga terdapat 10 riwayat yang hanya


bersumber dari sahabat dan tabi'in, di antaranya 7 riwayat tanpa silsilah
periwayatan dan 3 disebutkan lengkap dengan jalur periwayatannya,
yaitu riwayat Zaid bin Khalid dari Ali dan riwayat Thalhah serta riwayat
Az-Zubair yang disebutkan pada bab akhir. Seandainya riwayat-riwayat
tersebut ternyata haditsnya juga langsung bersumber dari Nabi SAW,
maka jumlah hadits yang tidak terulang dalam bab ini serta bersumber
langsung dari Nabi SAW bertambah 3; dan ketiga riwayat ini juga
merupakan riwayat yang hanya disebutkan oleh Imam Bukhari tanpa
diriwayatkan oleh Imam Muslim. Wallahu a 'lam.

4 8 8 — FATHUL BAARI
6. KITAB HAID

4kLii L ^ j j oyiyji A oi iLi jj">f 1 ;

Firman Allah, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid.


Katakanlah, 'Haid itu adalah kotoran.' Oleh karena itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri" <(Qs. Al Baqarah (2): 2 2 2 )

Keterangan:

Haid berarti sayalan (mengalir), sedangkan dalam pengertian


umum, haid adalah darah yang keluar dari wanita pada tempat khusus di
waktu-waktu tertentu.

i^il (kotoran). Ath-Thaibi berkata, "Haid dinamakan kotoran,


karena baunya yang busuk, kotor lagi najis." Al Khaththabi berkata,
"Yang dimaksud dengan <^if adalah sesuatu yang tidak disukai (makruh)
fi * 0 f

namun tidak berlebihan, sebagaimana firman Allah SWT, *i\ J'JOJ °J>

4 9 0 — FATHUL BAARI
(J i I "Sekali-kali tidak akan membahayakan kamu selain gangguan-
gangguan celaan saja (adzaa)" ^Qs. Aali Imraan (3): l i l ) Maknanya,
haid adalah kotoran yang harus dijauhi tempatnya pada diri wanita,
namun tidak mencakup bagian badannya yang lain.

Ja—jffcJt i t'—13 ljljspl—J (O/e/; karena itu hendaklah kamu


menjauhkan diri dari wanita di waktu haid). Diriwayatkan oleh Imam
Muslim dan Abu Dawud dari hadits Anas, bahwa kebiasaan kaum
Yahudi jika istri mereka sedang haid, maka mereka menyuruhnya keluar
dari rumah. Maka Nabi SAW ditanya mengenai hal itu dan turunlah ayat
di atas, lalu Nabi SAW bersabda, ^LS^\ *i\ s.°J$t JS* \'JKLP\ (Lakukanlah

segala sesuatu kecuali senggama). Kaum Yahudi mengingkari hal itu.


Akhirnya datanglah Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr kepada Nabi
SAW seraya berkata, "Wahai Rasulullah, apakah kita tidak melakukan
senggama dengan istri kita pada saat haid?" Maksudnya untuk me-
nyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, namun Nabi SAW tidak
mengizinkan hal itu. Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dari As-Sudi bahwa
yang pertama kali memohon demikian kepada Rasulullah adalah Tsabit
bin Ad-Dahdah.

1. Bagaimanakah Permulaan Haid

.(oT o l i ' J p A!II AIIS' t, J* IJL* : ^S\ J y j


L$

:J J p JA^\ Jf} L» Jjl jli" : ^ $„h*j J15j

Sabda Nabi SAW, "Ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah
SWT atas kaum perempuan dari keturunan Adam." Sebagian

FATHUL BAARI — 491


mereka berkata, "Sesungguhnya haid pertama kali dikirimkan
kepada bani Isra 'U," Hadits Nabi SAW lebih banyak.

Keterangan Hadits:

t L - i \ JJ> JJSJ (Dan sabda Nabi SA W, "Ini adalah sesuatu)" Di


sini Imam Bukhari ingin memberi isyarat kepada hadits Aisyah yang
akan disebutkan berikut, hanya saja lafazhnya y>5 (ini adalah perkara).

Lalu Imam Bukhari menyebutkan pula hadits dengan lafazh, iji> '-ii (Ini
adalah sesuatu) melalui jalur periwayatan secara bersambung sampai
kepada Nabi SAW setelah lima atau enam bab kemudian.

J4i'j—^ a
' j * (Atas bani Isra 'U), yakni atas wanita bani Isra'il.
Seakan-akan Imam Bukhari mengisyaratkan kepada riwayat yang dinukil
oleh Abdurrazzaq dari Ibnu Mas'ud melalui jalur periwayatan yang
shahih, dimana disebutkan ,l «s**- iiy-ju }*>)'J~>\ ^> J «-CJJlj JbVJl olT
{

' , , ' • * K "i' , - ' .- 'i ' >'

A^L-UJI j g j AJS. <&l ^ l i Jir^iJ >-!>'jj£ 5i\Jl c i l S j (Dahul


kaum laki-laki dan wanita bani Isra 7/ shalat bersama-sama, maka kaum
wanita merasa lebih mulia daripada kaum laki-laki. Oleh karena itu,
Allah SWT menurunkan kepada mereka haid serta melarang mereka
datang ke masjid). Hadits yang serupa juga dinukil oleh Abdurrazzaq dari
Aisyah RA.
j 4 llp &\ Jb> cJ-^-j (Dan hadits Nabi SA W lebih
banyak). Sebagian berpendapat bahwa maknanya adalah hadits
Rasulullah SAW lebih luas cakupannya, karena berlaku umum bagi
seluruh kaum wanita keturunan Adam baik wanita-wanita Isra' il maupun
wanita-wanita sebelum mereka. Atau maksudnya bahwa hadits-hadits
Rasulullah lebih banyak pendukungnya dan lebih kuat kedudukannya.

Ad-Dawudi berkata, "Tidak ada kontradiksi antara sabda Nabi


SAW yang berbunyi, fJi o u j Ji- Hi\ <u£" \SA (Ini adalah sesuatu yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada kaum wanita dari keturunan
Adam) dengan perkataan sebagian mereka, Ja^^ jVj' ^ J j ' ° ^

4 9 2 — FATHUL BAARI
JJJIJ-LI) (Sesungguhnya haid pertama kali dikirimkan kepada bani Isra Jl),

karena wanita-wanita bani Isra' il juga termasuk wanita-wanita keturunan


Adam. Dengan demikian sabda beliau SAW, ^ o £ Js> (Kepada kaum

wanita keturunan Adam) adalah kalimat yang bersifat umum dan


mempunyai makna khusus.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Bisa saja antara keduanya dipadukan


meski sabda Nabi SAW tersebut tetap dipahami bermakna umum,
dimana yang dikirimkan kepada wanita-wanita bani Isra'il adalah
masanya yang cukup lama sebagai hukuman bagi mereka, dan bukan
awal mula haid itu sendiri. Karena Imam Thabari dan selainnya
meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lainnya, bahwasanya firman Allah
dalam surah Huud ayat 71 tentang kisah Ibrahim, ci^OAI utii IIT^IJ
"Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum" atau mengalami
haid. Sementara tidak diragukan lagi bahwa kisah ini lebih dahulu terjadi
daripada bani Isra'il. Telah diriwayatkan oleh Al Hakim dan Ibnu Al
Mundzir melalui jalur periwayatan yang shahih dari Ibnu Abbas, S.ik?t CM

l ISJJL J c i i j > L 01 J * t \ ' y - Js- O L T J I A L ^ J I (Sesungguhnya permulaan


terjadi pada Hawa setelah dikeluarkan dari surga). Jika demikian, maka
yang dimaksud dengan wanita-wanita keturunan Adam adalah wanita-
wanita keturunan Hawa, wallahu a lam.

Masalah yang Berkenaan dengan Wanita Nifas (Haid)

y s* , yy , o f» % y % % y ^

i-jj l o \ 'S' \ lii j£t>JL ^ 1 (Jjj ^ U £ r ^ - : J y & AJUJLP

dJJ \u> : Jli j f j \ lil j 4JJ1 C y j [J^ J^ ^-


C~>A?-

0 y y y s ^ s ^ s s & s s ^ g %

\ » ^^il »^ CLJ\Z JS- <Ul AIS' y\ I J U » j} :Jli :c—li

FATHUL BAARI — 493


& } ^ s ^ s s / O f s Q s s & O O

4—Ul J y ^ s j :cJli »-^4^IJ V J' (T^-^ LS^ ^ 2

„'ti ,' o s >


.^AJU AJL-J J P

294. Te/a/; diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, "Kami berangkat


tanpa ada maksud selain melakukan haji. Ketika kami telah berada
di suatu tempat yang bernama Sarif aku mengalami haid, maka
Rasulullah masuk menemuiku sedangkan aku dalam keadaan
menangis. Beliau bertanya, 'Ada apa denganmu, apakah engkau
haid?' Aku menjawab, 'Benar!' Beliau bersabda, 'Sesungguhnya
ini adalah urusan yang telah dituliskan (ditetapkan) oleh Allah
SWT terhadap wanita-wanita keturunan Adam. Kerjakanlah apa
yang biasa dikerjakan oleh orang yang menunaikan haji, hanya
saja janganlah engkau thawaf di Baitullah (Ka'bah).' Aisyah
berkata, 'Rasulullah berkurban satu ekor sapi untuk istri-istri-
nya '."

Keterangan Hadits:

(Masalah yang berhubungan dengan wanita nifas), maksudnya


masalah yang berhubungan dengan wanita haid. Penggunaan kata nifas
pada judul ini dimaksudkan untuk memberi keterangan bahwa lafazh
nifas dalam bahasa Arab juga dipergunakan sebagai ungkapan bagi
wanita haid. Hal ini didasarkan pada perkataan Aisyah RA dalam hadits
c-—l£f (Akupun haid), sementara Rasulullah bersabda kepadanya c.'.>ifl

(Apakah engkau mengalami nifas). Lafazh c dapat pula dibaca,

c—1~4J! Lalu ada pendapat mengatakan apabila dibaca c.'..>flfl (dengan

harakat dhammah) berarti darah yang keluar setelah melahirkan,


sedangkan bila dibaca c..°...i.;i (dengan harakat fathah) berarti darah yang

keluar ketika haid. Sebab, keluarnya darah itu sendiri disebut "nafs"
(yang berarti mengalir -penerj.) Pembahasan selanjutnya mengenai hal ini
akan diterangkan setelah dua bab kemudian.

4 9 4 — FATHUL BAARI
ij'jJ 'i (Tanpa ada maksud), artinya kami tidak menduga ada tujuan
lain selain menunaikan ibadah haji. Adapun sarif adalah tempat yang
berada di sekitar 10 Mil dari Makkah.

C-IJi—i if—kj** 1 O I 'J. (• (Hanya saja janganlah engkau thawaf di

Baitullah). Pada riwayat berikut diberi tambahan, <jJ^-^ Js>- (Hingga


engkau suci). Pengecualian ini berlaku khusus dalam pelaksanaan haji,
bukan untuk keseluruhan keadaan wanita. Pembahasan mengenai hadits
ini secara lengkap akan disebutkan pada kitab haji, Insya Allah.

2. Wanita Haid Mencuci Kepala Suaminya Serta


Menyisir Rambutnya

.Ja^y>- UI j sg| AJJI J J ^y\j J^r j l c^S o J b ksJle- j&

295. Telah diriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata, 'Aku biasa


menyisir kepala Rasulullah SA W sedangkan aku dalam keadaan
haid."

a'j Jl jJJJ j l J£\>A\ ^ 0 > J I Ji^ AJ\ aj^P j *

Ir^J Ji'j j l * diJ> J T -.ij'jt- Jlii .l^r


H ' I > y > O 'T ^ L ' *F ' L' O ^ ^ O * I ' ' I 1 * ' ' F L'

^ — ^ LW ^ ^ ^ ? L£ ^ J*
^ s Si s s

jy ^ -Ul^ S ^Ul J j ^ - j J j^Aj S AUl J ^ J

FATHUL BAARI — 495


296. Telah diriwayatkan dari Urwah bahwa ia pernah ditanya,
"Bolehkah wanita haid berkhidmat (memberi pelayanan) kepada-
ku, atau bolehkah wanita berada di dekatku sementara ia dalam
keadaan junub? " Urwah menjawab, "Semua hal itu bagiku adalah
perkara yang biasa. Semua hal itu dilakukannya padaku dan tidak
apa-apa bagi seorang pun. Aisyah telah mengabarkan bahwasanya
beliau biasa menyisir -yakni rambut Rasulullah SA W- sementara
beliau dalam keadaan haid dan Rasulullah SAW saat itu menetap
di masjid. Beliau SAW mendekatkan kepalanya kepada Aisyah
yang berada di kamarnya, lalu Aisyah menyisir rambut beliau
SAW sementara Aisyah dalam keadaan haid."

Keterangan Hadits:
Hadits yang disebutkan dalam bab ini sangat sesuai dengan judul
bab yang berkenaan dengan menyisir rambut, lalu diikutkan setelah itu
masalah mencuci kepala berdasarkan qiyas (analogi). Atau sebagai
isyarat terhadap jalur hadits yang akan disebutkan berikut pada bab
"Bercumbu dengan wanita haid" dimana disebutkan secara tegas tentang
wanita haid mencuci rambut suaminya. Hal ini merupakan keterangan
bahwa badan wanita haid adalah suci, dan haid tidak mencegah suaminya
untuk bersentuhan dengannya.

jj\ hj> (Menetap), maksudnya i'tikaf. Penafsiran kata mujawirun


dengan i'tikaf disebutkan secara tekstual dalam naskah Ash-Shaghani
yang asli. Adapun kamar Aisyah menempel dengan dinding masjid.

Dalam riwayat ini, Urwah telah menyamakan junub dengan haid


atas dasar qiyas. Hubungan antara keduanya cukup jelas, sebab kotoran
haid jauh lebih kuat dibanding junub, sebagaimana beliau mengikutkan
hukum berkhidmat (pelayanan) dengan masalah menyisir rambut.

4 9 6 — FATHUL BAARI
Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan badan wanita haid
adalah suci, demikian pula dengan air liurnya. Di samping itu, orang
yang sedang i'tikaf tidak diperbolehkan melakukan hubungan suami istri
dan segala hal yang menuju ke arah itu. Hadits tersebut juga menunjuk-
kan bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh masuk masjid.

Ibnu Baththal berkata, "Hadits ini juga menjadi bantahan terhadap


Imam Syafi'i yang mengatakan, bahwa bersentuhan dengan wanita dapat
membatalkan wudhu." Akan tetapi dalam hadits ini tidak ada indikasi
yang menunjukkan hal itu, sebab dalam i'tikaf tidak disyaratkan wudhu.
Dalam hadits tersebut juga tidak ditemukan keterangan, bahwa beliau
SAW melakukan shalat setelah itu. Meskipun dikatakan bahwa beliau
SAW melakukan shalat setelah disisir oleh Aisyah (tetap tidak menjadi
dalil bahwa bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu -
penerj), karena menyentuh rambut tidaklah membatalkan wudhu.
Wallahu a 'lam.

3. Seorang Suami Membaca Al Qur"an Sambil


Berbaring di Pangkuan Istrinya yang sedang Haid

" }' o % °

Biasanya Abu Wa'il menyuruh pembantunya yang sedang haid


kepada Abu Razin, lalu pembantunya membawa mushhaf untuknya
seraya memegangnya pada pengikatnya.

^ Jj\ jl 1^7) Jl>- <LtuLP j i OJL>- jl Cji J J '.^ '• A

> s s s
. j l yd\ \ yh j»J Jsjy>- UI j

FATHUL BAARI — 497


297. Telah diriwayatkan dari Manshur bin Shafiyah bahwasanya
ibunya menceritakan kepadanya, Aisyah bercerita kepadanya,
"Sesungguhnya Nabi SA W biasa bersandar di pangkuanku semen-
tara aku dalam keadaan haid, kemudian setelah itu beliau SA W
membaca Al Qur^anr

Keterangan Hadits:

Abu Wa'il adalah seorang tabi'in yang terkenal, dia salah seorang
murid Ibnu Mas'ud. Riwayat beliau ini telah disebutkan secara lengkap
oleh Ibnu Abi Syaibah dengan silsilah periwayatan yang shahih. Begitu
juga Abu Razin, dia adalah seorang tabi'in yang terkenal.

'A—J—J J {Memerintahkan pembantunya). Maksudnya budak

wanitanya, karena kata khadim bisa berarti budak laki-laki atau budak
perempuan.

A—dbU (Pada pengikatnya), yakni benang yang biasa digunakan


untuk mengikat kantong mushhaf. Hal ini memberi indikasi bahwa
keduanya (Abu Wa'il dan Abu Razin) sama-sama memperboleh-kan bagi
wanita haid untuk membawa mushhaf namun tidak me-nyentuhnya.

Adapun korelasi riwayat ini dengan hadits Aisyah, adalah dari sisi
bahwa wanita yang membawa Al Qur'an dengan cara memegang
pengikatnya (tanpa menyentuhnya) adalah sama dengan wanita haid yang
hafal Al Qur'an, dimana ia juga membawa Al Qur'an dalam hatinya.
Kesimpulan ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah, namun jumhur
ulama tidak menyetujuinya, mereka membedakan antara kedua hal
tersebut. Karena membawa mushhaf dapat mengurangi nilai penghor-
matan (terhadap Al Qur"an), sedangkan "bersandar" menurut kebiasaan
tidaklah dinamakan "membawa".

j^j (Kemudian beliau SAW membaca Al Qur^ari). Riwayat

Imam Bukhari dalam kitab At-Tauhid disebutkan, j> i->iJJ OT^iJl OlT

Ja&- Ulj i£J*J* (Beliau membaca Al Qur"an sedangkan kepalanya berada

di pangkuanku, sementara aku sedang haid). Berdasarkan riwayat ini,

4 9 8 — FATHUL BAARI
maka yang dimaksud dengan bersandar pada hadits di atas adalah
meletakkan kepala di pangkuan istrinya (Aisyah).

Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Perbuatan ini merupakan isyarat bahwa


wanita yang sedang haid tidak boleh membaca Al Qur'an, sebab jika
dibolehkan tentu tidak akan timbul suatu anggapan adanya larangan bagi
seseorang membaca Al Qur'an sambil menyandarkan kepala di pang-
kuannya."

Hadits ini juga menerangkan diperbolehkannya menyentuh wanita


yang sedang haid, karena badan dan pakaiannya adalah suci selama tidak
terkena najis. Pembahasan ini berhubungan dengan pendapat yang
melarang membaca Al Qur'an di tempat-tempat yang kotor. Hadits ini
memberi keterangan bolehnya seseorang membaca Al Qur'an di dekat
tempat yang ada najis, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.
Hadits ini juga merupakan dalil bolehnya seorang yang sakit menyandar-
kan dirinya kepada wanita yang sedang haid apabila badan dan pakaian
wanita itu tidak najis, demikian yang dikatakan oleh Al Qurthubi.

4. Orang yang Menamakan Nifas dengan Haid

298. Dari Abu Salamah, bahwa Zainab binti Ummu Salamah


bercerita kepadanya. Ummu Salamah bercerita kepadanya
(Zainab), ia (Ummu Salamah) berkata, "Ketika aku bersama Nabi
SA W sedang tidur sambil mengenakan khamisah, tiba-tiba aku

FATHUL BAARI — 499


haid. Akupun beranjak perlahan lalu mengambil pakaian haidku. "
Beliau SAW bertanya, 'Apakah engkau nifas?' Aku menjawab,
'Benar!' Maka beliau SAW memanggilku dan aku berbaring
bersamanya memakai khamilah."

Keterangan Hadits:

Sebagian orang mengatakan bahwa judul bab ini terbalik,


seharusnya adalah orang yang menamakan haid dengan nifas. Namun ada
juga yang mengatakan, bahwa dalam susunan kalimat ini ada taqdim dan
ta *khir (mendahulukan kata yang seharusnya diakhirkan, dan sebaliknya -
penerj.), sehingga kalimat yang seharusnya adalah "Orang yang
menamakan haid dengan nifas". Ada pula kemungkinan yang dimaksud
dengan perkataan beliau "Orang yang menamakan", adalah orang yang
mengartikan kata nifas dengan kata haid. Dengan demikian, kita dapatkan
kesesuaian antara judul bab dengan hadits tanpa harus mengada-ada
dalam memadukan antara keduanya.

Al Muhallab dan lainnya berkata, "Karena Imam Bukhari tidak


menemukan nash yang memenuhi persyaratan beliau dalam masalah
nifas, lalu didapatinya haid yang diungkapkan dengan lafazh nifas dalam
hadits di atas, maka Imam Bukhari memahami bahwa hukum darah nifas
adalah sama dengan hukum darah haid." Namun pernyataan ini telah
dibantah, karena judul bab di atas berhubungan dengan masalah pe-
namaan dan tidak berkaitan dengan hukum. Kemudian Al Khaththabi
mengkritik pandangan yang menyamakan antara kedua lafazh tersebut
dari segi asal kata keduanya, sebagaimana yang akan dijelaskan.

Ibnu Rusyd dan selainnya berkata, "Maksud Imam Bukhari adalah


untuk menetapkan bahwasanya lafazh nifas merupakan kata asal bagi
darah yang keluar. Maka, mengungkapkan darah yang keluar tersebut
dengan menggunakan kata nifas adalah ungkapan dengan menggunakan
lafazh yang lebih umum. Sedangkan kata haid yang digunakan untuk
mengungkapkan darah yang keluar, adalah ungkapan dengan lafazh yang
khusus. Maka Nabi SAW menggunakan ungkapan pertama, sedangkan
Ummu Salamah menggunakan ungkapan kedua. Dengan demikian, judul

5 0 0 — FATHUL BAARI
bab ini sesuai dengan ungkapan yang digunakan oleh Ummu Salamah,
wallahu a 'lam.

i—'~ehy>- ^—\ {Mengenakan khamisah). Khamisah adalah kain hitam

yang bercorak tertentu dan terbuat dari wol atau selainnya. Namun saya
tidak mendapati dari sekian banyak jalur periwayatan hadits di atas yang
menggunakan kata khamishah kecuali riwayat ini. Sedangkan murid-
murid Yahya serta murid-murid Hisyam semuanya meriwayatkan dengan
lafazh 5—ls*^ sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits di

atas. Lalu dikatakan bahwa khamilah adalah bordiran, namun ada pula
yang mengatakan khamilah adalah sejenis permadani. Al Khalil berkata,
"Khamilah adalah pakaian yang dibordir." Atas dasar ini maka tidak ada
kontradiksi antara kedua lafazh tersebut, sebab bisa saja yang dimaksud
adalah kain hitam yang dibordir.

cJJ—Uli (Akupun beranjak perlahan), yakni aku pergi dengan

perlahan-lahan. Lalu ditambahkan oleh Imam Bukhari pada riwayat


Syaiban dari Yahya -seperti yang akan disebutkan- dengan lafazh, "Aku
pun keluar darinya." Yakni dari khamisah, seperti dikatakan oleh Imam
An-Nawawi.

Seakan-akan Ummu Salamah merasa khawatir jika kain tersebut


terkena darahnya, atau ia takut jika Nabi SAW mengajaknya ber-
mesraan. Oleh sebab itu, iapun pergi untuk menyiapkan diri. Atau ia
merasa kurang pantas berada di dekat Nabi SAW dalam keadaan seperti
itu, oleh karena itu Nabi SAW mengizinkannya untuk kembali tidur
bersama.

g, i'fl.y s - ^ (Pakaian haidku). Maksudnya aku mengambil pakaian


yang biasa aku pakai waktu haid, atau pakaian yang telah aku siapkan
untuk dipakai saat haid.

c (Apakah engkau nifas). Al Khaththabi berkata, "Asal kata

'nifas' adalah 'nafs' yang berarti darah, hanya saja mereka membedakan
pembentukan kata kerja haid dan nifas dari lafazh tersebut. Apabila yang
dimaksud adalah haid, maka mereka menyebutnya nafisa. Sedangkan jika
yang dimaksud adalah darah setelah melahirkan maka mereka menyebut-

FATHUL BAARI — 501


nya nufisa. " Ini merupakan pendapat sebagian besar ahli bahasa Arab.
Hanya saja telah dinukil oleh Abu Hatim dari Al Ashmu'i bahwa ia
berkata, "Lafazh nufisa adalah kata kerja yang bermakna darah yang
keluar dari wanita baik saat haid maupun setelah melahirkan." Sementara
pada riwayat-riwayat yang sampai kepada kami, ada yang menggunakan
lafazh nufisa dan ada pula yang menggunakan lafazh nafisa.

Hadits di atas merupakan dalil bolehnya seorang suami tidur


bersama wanita haid dengan pakaiannya, atau berbaring dalam satu
selimut bersama isterinya yang sedang haid. Di samping itu, hadits di atas
merupakan keterangan disukainya bagi wanita menyiapkan pakaian
khusus untuk dipakai saat haid selain pakaian yang ia pakai sehari-hari.
Mengenai persoalan ini telah disebutkan oleh Imam Bukhari dalam bab
khusus. Adapun mengenai pembicaraan tentang bercumbu dengan isteri
yang sedang haid akan dibicarakan pada bab berikut.

5. Bercumbu dengan Istri yang sedang Haid

\ r
*^f Jb^lj JA § | J j l j \1\ J—ip\ cis" oJli \J^Ss> y

299. Telah diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, 'Aku pernah


mandi bersama Nabi SAW dari satu bejana dan kami berdua
dalam keadaan junub:' 1

i' 'f' •* i'•*' * *f' ' \y"

5 0 2 — FATHUL BAARI
300. Pernah juga aku disuruhnya mengenakan sarung lalu beliau
bercumbu denganku sementara aku dalam keadaan haid.
- } S ss - Os s s s s
i» s s' f . 11 f ° * • I tf"
JSJ\J>- Ulj A - L ^ P \ i ^_JL>CJU> jjbj- Ji\ «U-LJ JLS j

301. Pernah juga beliau SAW mendekatkan kepalanya kepadaku


pada saat i 'tikaf, sedang aku saat itu dalam keadaan haid.

OJLJ CalU- oilS" lil tflji-l c J l i ' : c J l i allJlp

;cJl i j^^- ^ Ig• jy j jfi 01 l i j^l 1-* jf^i Ol IL^


9 J\ S ' ' ' ' ' j[ 0
^ fg,y

Xj\ DIILL 0 Y 1 OIS' L J T 4J'JI DIILL J^IJ

302. Telah diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, "Biasanya salah


seorang di antara kami (istri-istri Nabi) jika dalam keadaan haid
lalu Rasulullah SAW bermaksud bercumbu dengannya, maka
beliau SA W memerintahkan istrinya tersebut untuk memakai kain
sesaat setelah keluar haid, kemudian beliau SAW bercumbu
dengannya. " Aisyah berkata, "Siapakah di antara kalian yang
dapat mengendalikan nafsunya sebagaimana Rasulullah SAW
sanggup mengendalikannya"

Riwayat ini telah dinukil pula oleh Khalid dan Jarir dari Asy-
Syaibani.

Keterangan Hadits:

(Bercumbu dengan istri yang sedang haid). Yang dimaksud dengan


bercumbu di sini adalah sentuhan kulit kedua lawan jenis dan bukan
hubungan badan.

FATHUL BAARI — 503


JJJI—s (Agar mengenakan sarung), maksudnya beliau melilitkan
pakaian di sekitar pinggangnya. Para fuqaha (ahli fikih) membatasi
tempat yang dimaksud, yaitu antara pusar dan lutut berdasarkan kebiasa-
an yang umum. Adapun pembahasan lain mengenai hadits ini telah
disebutkan pada dua bab terdahulu.

l_j!&-J (Salah seorang di antara kami), maksudnya salah seorang di


antara istri-istri Nabi SAW.

— J J S J (Sesaat setelah keluar haid). Al Khaththabi berkata,


"Yang dimaksud adalah saat pertama keluar haid dimana darah keluar
cukup banyak." Al Qurthubi berkata, "Yang dimaksud adalah pada waktu
darah haid paling banyak keluar."

LJjJ (Dapat mengendalikan nafsunya). Dikatakan bahwa yang


dimaksud adalah anggota badan yang digunakan untuk berhubungan
intim. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah hajat
(kebutuhan), sebab hajat dinamakan pula irbah.

Adapun makna kalimat ini, bahwa dengan beliau SAW adalah


manusia yang paling menguasai diri sehingga tidak dikhawatirkan untuk
melakukan apa yang dikhawatirkan bagi orang lain. Meski demikian,
beliau SAW tetap memerintahkan isterinya mengenakan pakaian dengan
tujuan menetapkan syariat bagi selain beliau SAW, dimana mereka tidak
tergolong orang-orang yang ma 'shum (terjaga). Demikian yang dikatakan
oleh kebanyakan ulama, dan hal ini sesuai dengan kaidah madzhab
Maliki sehubungan dengan persoalan saddu az-zara'i (menutup jalan
menuju kerusakan atau dosa).

Sementara itu sejumlah ulama salaf (terdahulu) serta Ats-Tsauri,


Ahmad dan Ishaq mengatakan, bahwa yang terlarang untuk dinikmati
dari istri yang sedang haid hanyalah kemaluannya saja. Demikian pula
yang menjadi pendapat Muhammad bin Al Hasan Al Hanafiyah yang
didukung oleh Imam Ath-Thahawi, pendapat yang dipilih oleh Ashbagh
dari kalangan ulama madzhab Maliki, dan salah satu dari dua pandangan
yang terdapat dalam madzhab Syafi'i serta dipilih oleh Ibnu Mundzir.

5 0 4 — FATHUL BAARI
Salamah ini dapat dikompromikan dengan hadits-hadits yang memberi
keterangan untuk bersegera bercumbu dengan istri, yaitu dengan me-
ngatakan bahwa keduanya dipraktekkan dalam masa yang berbeda.

Jj — J I S " :J jiJ AJ : Jli ilJLi Jl AJJI J L P llJJb-


s*

y ' ° ' Y £• ' Y Y Y £ Y s ^ * O % ° S- ' ' T. ' V>- *

jLlIiJl ^ ^ P olj-a->"

303. Diriwayatkan dari Abdullah bin Syaddad, ia berkata, 'Aku


mendengar Maimunah berkata, 'Biasanya Rasulullah SAW jika
hendak bercumbu dengan salah seorang istrinya, maka beliau
memerintahkannya untuk memakai sarung sedang istrinya itu
dalam keadaan haid. "

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Sufyan dari Asy-Syaibani.

6. Wanita Haid tidak Berpuasa

J ^ j S ADI JJJJ ^ : Jli gJjOiJl X ^


° $t "** O y ' ' ' * ' H s ' ^ y } 1
* ' S

i w C a J f.UUJl ^ i o t ^ L : J l i i ?.lUJl J P ^^i j L ^ J l J } Jai

j^—£j Jl—i A1!I JJLJ L' ji-jj J l i jllil Jil JS"I J > o J J l i
4 * Q g s o yy O y T O y &

L U

5 0 6 — FATHUL BAARI
Imam An-Nawawi berkata, "Pendapat ini memiliki dalil yang lebih
kuat berdasarkan hadits Anas bin Malik yang tercantum dalam kitab
Shahih Muslim, £\—**Ji *i\ s-^—i JT (Lakukanlah segala sesuatu
kecuali hubungan badan). Lalu para ulama yang mendukung pandangan
ini memahami hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari pada bab ini
sebagai perbuatan mustahab (disukai) demi untuk memadukan antara
dalil-dalil yang ada. Selanjutnya Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Tidak ada
dalam hadits ini suatu indikasi yang menyatakan bahwa apa yang ada di
balik pakaian tersebut terlarang untuk dinikmati, sebab kejadian dalam
hadits hanya berupa perbuatan semata."
Keterangan lain yang menunjukkan bahwa apa yang ada di balik
kain tidak terlarang untuk dinikmati adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud dengan jalur periwayatan yang cukup akurat dari Ikrimah,
dari sebagian istri Nabi SAW, bahwasanya jika beliau SAW ingin
bercumbu dengan istrinya yang sedang haid, maka beliau SAW menutupi
kemaluan istrinya dengan kain. Adapun Imam Ath-Thahawi memperkuat
pendapatnya berdasarkan kenyataan bahwa menyentuh bagian badan istri
yang sedang haid selain kemaluannya tidak memiliki hukuman tertentu
(hadd) dan tidak pula mengharuskan seseorang untuk mandi wajib.
Dengan demikian, maka kedudukannya sama dengan menyentuhnya dari
atas kain.

seorang mampu mengendalikan diri, maka ia boleh menyentuh apa yang


ada di balik kain penutup kecuali kemaluan. Sedangkan jika tidak, maka
tidak diperkenankan kecuali menyentuh dari atas kain saja. Pandangan ini
dianggap baik oleh Imam An-Nawawi.

Tidak tertutup kemungkinan untuk mengemukakan perincian lain,


yaitu dengan membedakan antara permulaan haid dan masa-masa se-
lanjutnya berdasarkan makna yang tersirat pada sabda beliau SAW, jj»

Lj—sial»- (Sesaat setelah keluar haid). Pendapat ini didukung oleh riwayat
Ibnu Majah melalui jalur periwayatan yang hasan (baik) dari Ummu
Salamah, bahwa Nabi SAW menjauhi tempat keluar darah selama 3 hari,
dan setelah itu beliau menyentuhnya. Dari sini pula hadits Ummu

FATHUL BAARI — 505


keadaan suci. Adapun puasa tidak disyaratkan bersuci. Maka seorang
wanita yang meninggalkan puasa saat haid adalah perbuatan yang
bernilai ibadah semata, sehingga membutuhkan nash yang menjelaskan
secara khusus, berbeda halnya dengan shalat."

j—iai jl u—s*Ii>i J> (Pada idul Adha atau idul Fithri). Keraguan ini
bersumber dari perawi hadits.

s\L3\ ^jlp "JA (JUaJl J\ (Menuju tempat shalat, lalu beliau melewati

kaum wanita). Di sini Imam Bukhari menyebutkannya secara ringkas,


sementara di kitab Zakat beliau telah menyebutkannya secara lengkap,
dan lafazhnya, "Menuju tempat shalat maka beliau menasihati manusia
dan memerintahkan mereka agar bersedekah. Beliau bersabda, ' Wahai
sekalian manusia, hendaklah kalian bersedekah.' Lalu beliau melewati
kaum w a n i t a . . . "

Telah disebutkan dalam kitab ilmu melalui jalur lain dari Abu Sa'id
bahwasanya beliau SAW menjanjikan kepada kaum wanita untuk
memberikan nasehat secara khusus pada mereka, lalu beliau menunaikan
janjinya pada hari itu dan dalam hadits itu disebutkan bahwa beliau
menasehati mereka serta memberi kabar gembira.

'JSLJ (Kalian telah diperlihatkan kepadaku), maksudnya Allah

SWT telah memperlihatkan kaum wanita kepadanya pada waktu Isra' dan
Mi'raj. Sementara pada pembahasan terdahulu dalam kitab "ilmu" telah
disebutkan hadits dari Ibnu Abbas dengan lafazh, U^A( cJi^J jUli cJji

t\—i»Ill (Diperlihatkan neraka kepadaku, maka aku melihat kebanyakan

penghuninya adalah wanita). Dari riwayat Ibnu Abbas ini diketahui


bahwa hal itu terjadi pada saat shalat kusuf (shalat gerhana matahari),
sebagaimana akan disebutkan pada bab "Shalat kusuf secara berjamaah".

j6—.titii tfj—i&j (Dan ingkar terhadap suami). Yakni kalian tidak

menunaikan hak suami, atau lebih umum dari itu.

CJ\ iaJu"'j»(Orang yang kurang) Hal ini merupakan sebagian dari

masalah yang menyebabkan mereka menjadi mayoritas penghuni neraka.


Karena jika mereka yang memperdayakan akal seorang laki-laki hingga

5 0 8 — FATHUL BAARI
J J—"J ^ Qkt- j Lup oCaiJ \J> j : j i jTlJb>-l J « f jl^Jl J ^ " j ^

^ L : J\i J i - J \ o:>LjIi (_JwaJ J~? 31 JJl "O^JM U~S\ : Jli ?AUI


^ ^ y j Q ' 0 ' "' ° 0
j y y y y

^—tflj* jUj J^aj" c ~ ^ l i lil JlJl Lgl^ j C a i J ? : Jli

.L^Lp j C a i i J * <^U* ^ Jl* J J ' • j »

304. Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata,


"Rasulullah SAW keluar pada hari Idul Adha -atau Idul Fitri-
menuju tempat shalat. Lalu beliau melewati kaum wanita seraya
bersabda, 'Wahai kaum wanita, bersedekahlah, karena telah
diperlihatkan keadaku bahwa kaum wanitalah yang terbanyak di
antara penduduk neraka.' Kami pun bertanya, 'Sebab apa wahai
Rasulullah?' Beliau bersabda, 'Kalian sering mencerca orang dan
ingkar (kufur) terhadap suami. Aku tidak melihat orang yang
kurang akal dan agamanya, yang lebih merusakkan hati laki-laki
yang teguh selain daripada salah seorang di antara kalian.' Kami
berkata, 'Dimanakah letak kurangnya agama dan akal kami wahai
Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Bukankah persaksian seorang
wanita sama dengan setengah persaksian seorang laki-laki?' Kami
berkata, 'Benar.' Beliau bersabda, 'Itulah letak kurangnya akal
mereka.' Bukankah apabila wanita haid, dia tidak shalat dan tidak
puasa?' Kami berkata, 'Benar.' Beliau bersabda, 'Itulah letak
kurangnya agama mereka:"

Keterangan Hadits:

(Wanita haid tidak berpuasa). Ibnu Rasyid dan lainnya berkata, "Di
sini Imam Bukhari kembali menempuh cara sebagaimana yang biasa ia
lakukan, yaitu dia lebih menekankan untuk menerangkan perkara yang
rumit daripada perkara yang sudah jelas. Karena masalah wanita haid
yang tidak shalat sudah cukup jelas, sebab bersuci adalah salah satu
syarat sahnya shalat, sementara wanita yang sedang haid tidak dalam

FATHUL BAARI — 507


melakukan atau mengucapkan hal-hal yang tidak pantas, maka mereka
telah menyertainya dalam melakukan dosa, kemudian ditambah dengan
dosa lain yang mereka perbuat.

i.—»ii (Menghilangkan), yakni sangat hebat dalam mempengaruhi.


i 1
. t'

v—JJl lebih khusus daripada akal, dimana LJUi merupakan intisari daripada
akal itu sendiri.
f 0 •

ULua OCai Uj (Kami berkata dimana letak kurangnya agama kami).


Sepertinya hal itu tidak mereka ketahui hingga perlu ditanyakan, padahal
pertanyaan ini juga merupakan bukti kekurangan mereka. Sebab kaum
wanita tersebut menerima ketiga perkara yang dinisbatkan oleh Nabi
SAW kepada mereka; yaitu banyak melaknat, ingkar terhadap suami
serta menghilangkan atau merusak hati seorang laki-laki. Kemudian
mereka merasa sulit memahami kekurangan yang ada pada diri mereka.
Betapa lembutnya jawaban Nabi SAW atas kesangsian mereka, dimana
tidak ada unsur celaan maupun kekerasan. Bahkan, beliau SAW berbicara
dengan mereka sesuai dengan kapasitas akal mereka.
Sabda beliau SAW, "Sama seperti setengah persaksian seorang
laki-laki" sebagai isyarat terhadap firman Allah SWT, "Maka boleh
seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai." <Qs. Al Baqarah (2): 282>

Perlunya dua orang untuk saling mengingatkan mengindikasikan


kekurangan yang mereka miliki. Telah diriwayatkan oleh Ibnu At-Tin
dari sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan lafazh J - i * dalam
hadits ini adalah diyat (denda pembunuhan), namun penafsiran ini cukup
jauh dari yang seharusnya. Saya katakan, "Bahkan, konteks kalimat
menolak penafsiran tersebut."

J> W* JJj JUaJ JJ (Apabila ia haid tidak shalat dan tidak pula puasa)
Kalimat ini mengisyaratkan bahwa wanita haid tidak shalat dan tidak
pula berpuasa telah ditetapkan berdasarkan hukum syariat sebelum
adanya kejadian ini.

Dalam hadits ini terdapat sejumlah faidah, di antaranya


disyariatkan untuk keluar menuju tempat shalat pada hari raya dan

FATHUL BAARI — 509


perintah imam kepada manusia untuk bersedekah pada hari itu. Lalu
sebagian kaum shufi beristimbath (menetapkan hukum) dari hadits ini
bolehnya meminta bantuan orang kaya untuk diberikan kepada fakir
miskin dengan beberapa persyaratan. Dalam hadits ini terdapat pula
keterangan mengenai kehadiran wanita pada shalat Id (hari raya), hanya
saja mereka mengambil tempat tersendiri karena khawatir akan me-
nimbulkan fitnah.

Faidah lain adalah; Imam boleh memberi nasihat kepada kaum


wanita secara tersendiri (seperti dibahas pada bab ilmu), mengingkari
nikmat adalah haram hukumnya, demikian pula sering menggunakan
kata-kata buruk seperti laknat dan celaan. Lalu Imam An-Nawawi
berdalil dengan hadits ini bahwa kedua hal itu termasuk dosa besar,
dimana pelaku keduanya diancam dengan neraka.

Hadits ini juga menjelaskan bahwa melaknat, yaitu mendoakan


seseorang agar dijauhkan dari rahmat Allah SWT adalah termasuk
perbuatan yang tercela. Selanjutnya kata kufur (ingkar) dalam hadits
tersebut adalah dosa yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari
agama Islam sebagai peringatan keras bagi pelakunya, sebagaimana
diterangkan pada sebagian jalur periwayatan hadits tersebut, dimana
dikatakan "Disebabkan oleh kekufuran mereka" seperti disebutkan dalam
bab "Iman". Hal ini sama seperti menafikan (meniadakan) keimanan
secara mutlak.

Di samping itu, boleh bersikap keras dalam memberi nasihat


selama dapat menghilangkan sifat tercela. Hendaknya nasehat tidak
ditujukan kepada individu tertentu, sebab dengan memberi nasihat secara
umum lebih memudahkan bagi orang yang mendengarkan.

Faidah selanjutnya; sedekah dapat menolak adzab dan bisa


menghapus dosa yang terjadi di antara sesama makhluk. Sementara akal
dapat bertambah serta bekurang, demikian halnya iman seperti yang telah
dijelaskan.

Maksud disebutkannya kekurangan wanita bukan untuk mencela


mereka atas hal itu, sebab yang demikian itu sudah merupakan sifat dasar
penciptaan. Akan tetapi, maksud disebutkannya sifat tersebut adalah
untuk memberi peringatan agar seseorang tidak terfitnah oleh mereka.

5 1 0 — FATHUL BAARI
Oleh sebab itu, adzab yang dijanjikan dikaitkan berupa pengingkaran dan
lainnya, bukan dikaitkan dengan kekurangan itu sendiri. Kekurangan di
bidang agama tidak terbatas pada melakukan perbuatan yang menimbul-
kan dosa, bahkan cakupannya lebih luas sebagaimana dikatakan oleh
Imam An-Nawawi, sebab ia merupakan perkara yang relatif. Sesuatu
yang lebih sempurna misalnya, akan dikatakan memiliki kekurangan bila
dibandingkan dengan sesuatu yang lebih sempurna lagi.

Atas dasar ini maka wanita haid tidak berdosa akibat meninggalkan
shalat, namun ia dianggap memiliki kekurangan bila dibandingkan
dengan yang shalat. Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah apakah
sikap seorang wanita haid yang meninggalkan shalat dan ibadah-ibadah
lainnya diberi pahala, karena hal itu merupakan suatu kewajiban yang
dibebankan sebagaimana halnya seorang yang sakit diberi pahala atas
ibadah-ibadah sunah yang sebelumnya biasa ia lakukan meski pada saat
sakit ia tidak melakukannya?

Imam An-Nawawi berkata, "Secara lahiriah, wanita haid tidak


diberi pahala atas sikapnya yang meninggalkan ibadah seperti shalat dan
sebagainya. Adapun perbedaan antara wanita haid dengan orang yang
sakit adalah, orang yang sakit berniat melakukan ibadah-ibadah tersebut
secara berkesinambungan di samping ia memang layak melakukannya,
berbeda halnya dengan wanita haid. Namun bagiku masih ada ganjalan,
bahwa perbedaan tersebut menjadikan wanita haid tidak diberi ganjaran
(pahala)."

Hadits di atas menerangkan tentang bolehnya seorang murid


menanyakan keterangan gurunya, atau seorang pengikut mengkritisi
pendapat orang yang diikutinya dalam perkara-perkara yang belum
dipahaminya. Hadits ini sekaligus menggambarkan keagungan akhlak
beliau SAW serta sikap santun dan kelembutannya. Semoga Allah SWT
menambahkan untuknya kemuliaan, kebesaran dan keagungan.

FATHUL BAARI — 511


7. Wanita Haid Melakukan Seluruh Manasik Haji
kecuali Thawaf di Baitullah

° i,° - ' t

: A - 4 ^ ^ J* ^ ^ t ^ 1

^ ''i '"1
L_ & s " * 0
^ £ ' 0
j. £ '

tal—> Iy i i j^JJI s-'^v ^ OliL- JJI J'J^ a*-

(2 U T IjJUJ U - J L ^ J I J i l L') j ^ ^ 1 jrLL^JI ^ (LLu «a»

C~stf>UL : ^JUV ^ tUai Jli j AJ^I

J
— ^
.M r i
,Ufl j >J os', i ^ J l :ji^Jl Jlij :J L W ^ j o l i b uiljiil

Ibrahim berkata, "Tidak mengapa bagi wanita haid membaca ayat."


Sementara Ibnu Abbas berpendapat tidak mengapa bagi orang yang junub
membaca Al Qur'an. Biasanya Nabi SAW berdzikir kepada Allah dalam
setiap keadaannya. Ummu Athiyah berkata, "Dahulu kami biasa di-
perintahkan agar wanita-wanita haid keluar lalu mereka bertakbir
bersama kaum laki-laki serta berdoa." Ibnu Abbas berkata, "Abu Sufyan
telah mengabarkan kepadaku, bahwa Hiraklius minta dibawakan surat
dari Nabi SAW. Lalu ia membacanya, dan ternyata di dalamnya tertulis,
'bismillahirrahmaanirrahim. Wahai ahli kitab marilah kepada kalimat
yang satu'. " ^ Q s . Aali Imraan (3): 6 4 ) Atha' berkata dari Jabir, "Aisyah
mengalami haid, lalu beliau mengerjakan semua manasik haji kecuali
thawaf di Baitullah (Ka'bah) serta tidak mengerjakan shalat." Al Hakam
berkata, "Aku biasa menyembelih (binatang) sedang aku dalam keadaan
junub." Sementara Allah SWT berfirman, "Janganlah kamu makan apa-

5 1 2 — FATHUL BAARI
apa yang tidak disebut nama Allah saat menyembelihnya:' i.Qs. Al
An'aam (6): 121 >

L_-i?r lili ^1 f& N S Jill U>r^ cJli iiJLp- ^ P

?dJ ^ C :Jlii . jCf lifj 0 JiJl j p Ji-Ji oLi? LJJ-

305. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, "Kami keluar bersama


Nabi SAW, kami tidak menyebut-nyebut kecuali haji. Ketika kami
sampai di suatu tempat bernama Sarif, aku pun mengalami haid.
Lalu Nabi SAW masuk menemuiku sementara aku sedang
menangis. Beliau bertanya, 'Apakah yang membuatmu me-
nangis?' Aku menjawab, 'Aku sangat berharap andai tidak me-
lakukan haji tahun ini.' Nabi SA W bertanya, 'Barangkali engkau
haid?' Aku menjawab, 'Benar.' Beliau bersabda, 'Sesungguhnya
yang demikian itu adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah SWT
atas kaum wanita bani Adam. Lakukanlah apa yang biasa di-
lakukan oleh orang yang menunaikan ibadah haji kecuali thawaf,
maka jangan engkau melakukan thawaf di Baitullah sampai
engkau suci'."

Keterangan Hadits:

Telah dikatakan, bahwa maksud Imam Bukhari menyebutkan


hadits maupun atsar dalam bab ini adalah untuk menyatakan bahwa haid
dan segala yang semakna dengannya berupa junub, tidak menghalangi
seluruh ibadah. Bahkan ibadah-ibadah fisik seperti dzikir dan sebagainya
dianggap sah meski seseorang dalam keadaan haid ataupun junub.

FATHUL BAARI — 513


Manasik haji termasuk ibadah yang tidak terhalang sebab haid, kecuali
thawaf. Akan tetapi benar tidaknya bahwa demikian yang menjadi
maksud Imam Bukhari masih perlu dianalisa kembali. Sebab kedudukan
manasik haji sebagai salah satu ibadah yang tidak terhalang dilakukan
oleh orang yang sedang haid dan junub telah ditetapkan berdasarkan
nash, sehingga tidak perlu menetapkannya dengan cara seperti itu.

Pandangan terbaik dalam masalah ini adalah apa yang dikatakan


oleh Ibnu Rasyid seperti juga yang dikatakan oleh Ibnu Baththal serta
ulama-ulama lainnya, yaitu maksud Imam Bukhari adalah menjelaskan
landasan argumentasi bolehnya wanita haid dan orang yang junub
membaca Al Q u r a n berdasarkan hadits Aisyah RA. Sebab dalam hadits
ini beliau SAW tidak mengecualikan satupun perbuatan dari manasik haji
kecuali thawaf, dimana pengecualian ini disebabkan thawaf merupakan
shalat yang khusus. Sementara amalan orang yang menunaikan haji
mencakup dzikir, talbiyah dan doa. Padahal wanita haid tidak dicegah
melakukan sedikitpun di antara hal-hal tersebut. Demikian pula halnya
dengan orang yang junub, sebab hadats wanita haid lebih besar daripada
junub.

Adapun jika larangan membaca Al Qur'an disebabkan oleh


kedudukannya sebagai dzikir kepada Allah SWT, niscaya tidak ada
perbedaannya dengan apa yang disebutkan di atas. Sedangkan jika
larangan itu bernilai ibadah, perlu dijelaskan oleh dalil khusus. Sementara
tidak satu pun dalil yang disebutkan mengenai hal itu yang dianggap
shahih oleh beliau (Imam Bukhari). Meskipun bila ditinjau secara
keseluruhan riwayat-riwayat tentang larangan membaca Al Qur'an bagi
orang yang junub dapat dijadikan sebagai hujjah (landangan argumentasi)
dalam pandangan para ulama selain beliau, namun kebanyakan di antara-
nya masih dapat ditakwilkan (diberi makna lain), seperti akan kami
kemukakan pada pembahasan selanjutnya.
Imam Bukhari serta sejumlah ulama yang membolehkan orang
junub membaca Al Qur'an berpegang pada keumuman lafazh sabda
beliau SAW yang berbunyi, >£-i J* OIS (Biasanya beliau
berdzikir kepada Allah dalam segala keadaannya), sebab dzikir memiliki
makna yang lebih luas, yang mencakup Al Qur'an dan ucapan-ucapan

5 1 4 — FATHUL BAARI
yang lain. Adapun perbedaan antara dzikir dan membaca Al Q u r a n
hanyalah ditinjau dari segi kebiasaan saja. Hadits yang dimaksud telah
disebutkan oleh Imam Muslim beserta silsilah periwayatannya dari
Aisyah RA.

Lalu maksud Imam Bukhari menyebutkan perkataan Ibrahim An-


Nakha'i adalah untuk memberi keterangan bahwa larangan wanita haid
membaca Al Qur'an bukan persoalan yang disepakati di kalangan ulama,
dimana haditsnya disebutkan oleh Ad-Darimi dan lainnya dengan lafazh,

JOJ)—«J i j (Empat orang yang tidak (diperbolehkan) membaca Al Qur'an,


yaitu orang junub, wanita haid, orang yang berada di tempat buang air
dan orang yang berada di kamar mandi, kecuali satu ayat atau
semisalnya bagi orang yang junub dan wanita haid).

Sehubungan dengan masalah ini telah dinukil dari Imam Malik


beberapa pendapat. Pertama, sama seperti perkataan Ibrahim An-
Nakha'i. Kedua, diperkenankan tanpa syarat. Ketiga, diperkenankan bagi
wanita haid dan tidak diperkenankan bagi orang junub. Ada pula yang
mengatakan bahwa pandangan ketiga tersebut juga pendapat Imam
Syafi'i dalam madzhabnya yang terdahulu.

Selanjutnya Imam Bukhari menyitir perkataan Ibnu Abbas, dimana


riwayat dari Ibnu Abbas ini telah dikutip pula oleh Ibnu Mundzir dengan
lafazh, "Sesungguhnya Ibnu Abbas biasa membaca wirid pada waktu
junub." Adapun riwayat Ummu Athiyah telah disebutkan oleh Imam
Bukhari berikut silsilah periwayatannya dalam bab " 'Idaini (dua hari
raya)." Sedangkan konteks hadits tersebut dengan permasalahan dapat
ditinjau dari apa yang telah dijelaskan terdahulu, yaitu tidak adanya
perbedaan antara membaca Al Qur'an dengan ucapan-ucapan lain yang
mengandung dzikir.

Kemudian Imam Bukhari menyebutkan pula penggalan hadits Abu


Sufyan mengenai kisah raja Hiraklius seperti telah disebutkan oleh beliau
sendiri secara lengkap pada pembahasan "Permulaan Wahyu" dan bab-
bab lainnya dalam kitab ini. Hubungan hadits ini dengan masalah yang
ada adalah bahwa Nabi SAW mengirim surat ke negeri Romawi yang
mana mereka adalah orang-orang kafir, sementara orang kafir senantiasa

FATHUL BAARI — 515


berada dalam keadaan junub. Seakan-akan Imam Bukhari berkata,
"Apabila diperkenankan baginya menyentuh surat yang memuat dua ayat
Al Qur'an, maka tentu diperkenankan pula baginya untuk membacanya."
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Rasyid. Namun pada dasarnya
letak pengambilan dalil dari riwayat di atas adalah sesungguhnya surat
tersebut dikirimkan kepada mereka untuk dibaca, maka dasar bolehnya
membaca Al Qur'an bagi orang junub diperoleh secara tekstual dan
bukan hanya melalui analisa (istimbath).

Akan tetapi argumentasi di atas bisa saja dijawab oleh mereka yang
berpandangan bahwa orang junub tidak boleh membaca Al Qur'an - y a n g
dalam hal ini adalah mayoritas ulama- dengan mengatakan, bahwa
sesungguhnya surat yang dimaksud berisi pula hal-hal lain di samping
dua ayat Al Qur'an, sehingga keadaannya serupa dengan kitab-kitab fikih
ataupun kitab-kitab tafsir yang memuat beberapa ayat Al Qur'an, dimana
orang junub tidak dilarang untuk membacanya maupun menyentuhnya
menurut mayoritas ulama, sebab maksud seseorang membaca kitab-kitab
tersebut bukanlah untuk membaca Al Qur'an.
Lalu Imam Ahmad mengeluarkan pernyataan, bahwa membaca Al
Qur"an bagi orang junub diperbolehkan dalam rangka surat menyurat
demi untuk maslahat dakwah. Pernyataan seperti ini dikemukakan pula
oleh sejumlah ulama madzhab Syafi'i. Lalu diantara mereka ada yang
memperbolehkan apabila dalam jumlah yang sedikit seperti satu atau dua
ayat. Ats-Tsauri berkata, "Tidak mengapa bagi seseorang mengajarkan
satu huruf Al Qur'an kepada penganut agama Nasrani." Semoga Allah
memberi petunjuk padanya. Aku tidak suka bila ia mengajari orang itu
satu ayat, sebab kedudukannya sama dengan orang junub.

Telah dinukil dari Imam Ahmad, bahwa ia berkata, "Aku tidak


suka bila Al Qur"an diletakkan bukan pada tempatnya." Dalam riwayat
lain beliau berkata, "Jika ada harapan orang itu akan mendapatkan
hidayah maka boleh diajari Al Qur'an, namun apabila tidak maka tidak
diperbolehkan."

Sebagian ulama yang tidak membolehkan orang yang junub untuk


membaca Al Qur'an berkata, "Dalam kisah ini tidak terdapat indikasi
bolehnya orang yang junub membaca Al Qur'an, sebab larangan itu

5 1 6 — FATHUL BAARI
sendiri berlaku apabila orang junub tersebut bermaksud membaca Al
Qur'an serta menyadari bahwa yang dibacanya adalah Al Q u r a n .
Adapun jika ia membaca di suatu lembaran tanpa disadarinya bahwa itu
termasuk Al Qur'an maka tidak dilarang, demikian pula halnya dengan
orang kafir." Pembahasan selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan
pada kitab jihad, insya Allah.

y)—j* «-lis* J l i j (Atha * berkata dari Jabir). Ini adalah penggalan


hadits yang disebutkan secara lengkap oleh Imam Bukhari dalam kitab Al
Ahkam serta kitab-kitab lainnya, dimana di bagian akhir riwayat itu
disebutkan, "Selain bahwa beliau tidak thawaf di Baitullah dan tidak pula
shalat." Adapun riwayat dari Al Hakam -salah seorang ulama Kufah-
telah disebutkan beserta jalur periwayatannya oleh Al Baghawi dalam
kitab Al Ja'diyaat melalui riwayat Ali bin Ja'ad dari Syu'bah dari Al
Hakam. Konteks riwayat tersebut dengan permasalahan pada bab ini
adalah, bahwa menyembelih berkonsekuensi menyebut nama Allah, dan
ini sama hukumnya dengan membaca ayat. Ringkasnya semua dalil yang
dikemukakan oleh Imam Bukhari dalam bab ini menjadi bahan perbin-
cangan yang berkepanjangan, namun yang dapat dipahami dari maksud
Imam Bukhari adalah apa yang telah kami sebutkan.

Adapun pendapat mayoritas ulama yang tidak memperbolehkan


f , - ,

orang junub membaca Al Q u f an adalah berdasarkan hadits Ali, J olS"

4__A£Jl c f ~J i J i i v J V (JJj JIIP <&) JJ> «iJil (Tidak ada yang

menghalangi Rasulullah SAW untuk membaca Al Qur'an selain junub).


Hadits ini dinukil oleh para penulis kitab Sunan dan dishahihkan oleh
Imam Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Namun sebagian perawinya dinyatakan
lemah oleh sebagian ulama. Akan tetapi, yang benar hadits ini mendekati
derajat hasan dan boleh dijadikan sebagai hujjah.

Hanya saja dikatakan, "Berhujjah dengan hadits tersebut perlu


ditinjau lebih lanjut, sebab hal itu hanyalah berupa perbuatan sehingga
tidak berindikasi pengharaman bagi selain beliau." Dari sini maka Imam
Ath-Thabari menjawab argumentasi jumhur ulama dengan mengatakan,
bahwa sesungguhnya hadits ini harus dipahami sebagai perbuatan yang

FATHUL BAARI — 517


lebih sempurna, untuk memadukannya dengan dalil-dalil lain yang
membolehkan orang junub membaca Al Q u r a n .

Sedangkan hadits Ibnu Umar dari Nabi SAW, Sij je5LJ*}\ \'Js H

—311 J U l i Lis^Jl (Orang haid dan junub tidak boleh membaca sesuatu

dari Al Qur'ari) derajatnya lemah ditinjau dari seluruh jalur periwayatan-


nya. Pembahasan mengenai hadits Aisyah telah disebutkan di awal kitab
haid.

8. Istihadhah

_LSl J y*y[ ( j ^ r ^ (J'} cJli :cJli LgJl AJUJLP j


- # "- '

JL5I J j J Jlii 'f Itif ^ i l ^ j l ALI J j - j U' :S

. Jyfij ^jJl d i l p J ^ p l i LAjOi C - J O lili a^CaJl

306. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, "Fathimah binti Abi


Hubaisy berkata kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku senantiasa tidak suci, maka apakah aku harus
meninggalkan shalat? " Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya
yang demikian itu adalah penyakit dan bukan haid. Apabila
haidmu telah datang, maka tinggalkanlah shalat, apabila telah
berlalu waktunya, maka cucilah darah darimu lalu shalatlah"

Keterangan Hadits:

(Istihadhah). Pada pembahasan terdahulu telah diterangkan, bahwa


yang dimaksud dengan istihadhah adalah darah yang keluar dari
kemaluan wanita selain waktu haid.

'y\—t>l 'i! (^—»1 (Sesungguhnya aku senantiasa tidak suci). Pada bab

"Mencuci darah " -dari riwayat Abu Mu'awiyah dari Hisyam- berkenaan

5 1 8 — FATHUL BAARI
dengan hadits ini disebutkan sebab yang menjadikannya senantiasa dalam
kondisi demikian, yaitu perkataannya Je>\*z—Ll J\ (Sesungguhnya aku
mengalami istihadhah). Seakan-akan menurut anggapan Fatimah, suci-
nya seseorang dari haid tidaklah diketahui melainkan dengan berhentinya
darah. Maka dia menamakan kondisi dimana darah terus keluar sebagai
keadaan seseorang yang dianggap tidak suci. Sementara itu dia me-
ngetahui sebelumnya bahwa wanita haid tidak boleh shalat, maka timbul
dugaan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan keluarnya darah. Oleh
karena itu beliau ingin memperjelas dengan mengatakan, "Apakah aku
harus meninggalkan shalat."

^^—Ljsj fjJi dU* ^ J — ( C u c i l a h darah darimu lalu shalatlah) Yakni


shalatlah sesudah engkau mandi, sebagaimana akan dijelaskan pada bab
"Apabila haid sebanyak tiga kali dalam sebulan," yang mana haditsnya
dinukil melalui riwayat Abu Usamah dari Hisyam bin Urwah. Di bagian
akhir disebutkan, "kemudian hendaklah engkau mandi lalu shalat". Tapi
dalam riwayat ini tidak disebutkan tentang mencuci darah. Perbedaan ini
bersumber dari perawi-perawi yang menukil hadits tersebut dari Hisyam,
dimana di antara mereka ada yang menyebutkan tentang mencuci darah,
dan di antara mereka ada pula yang tidak menyebutkan nya. Padahal
mereka semua adalah perawi-perawi tsiqah (terpercaya) dan hadits-hadits
yang mereka riwayatkan tercantum dalam kitab Shahih Bukhari maupun
Shahih Muslim. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa masing-masing
dari kedua kelompok tersebut telah meringkas hadits dan cukup
menyebutkan salah satu dari dua hal yang dianggap perlu.

Dalam hal ini ada perbedaan lain seperti yang telah kami isyaratkan
pada bab "mencuci darah". Riwayat yang dimaksud berasal dari Abu
Mu'awiyah dalam hadits yang sama seperti di bab ini, namun pada
bagian akhir terdapat tambahan lafazh «^u* J i o Jr&y p> (Dan hendaknya
kamu berwudhu setiap kali hendak shalat). Dalam bab tersebut telah
kami sebutkan perkataan mereka yang menyatakan bahwa lafazh ini
adalah perkataan sebagian perawi yang tersisip dalam lafazh hadits
(mudarraj). Demikian pula telah kami sebutkan perkataan mereka yang
menyatakan bahwa lafazh itu hanya berakhir pada Urwah. Sementara
Abu Mu'awiyah tidaklah menyendiri dalam meriwayatkan lafazh ini.

FATHUL BAARI — 519


Telah dinukil pula oleh An-Nasa'i melalui riwayat Hammad bin Zaid dari
Hisyam, seraya beliau (An-Nasa'i) mengklaim bahwa Hammad telah
menyendiri dalam meriwayatkan tambahan riwayat ini. Begitu pula Imam
Muslim telah memberi isyarat ke arah itu. Namun sebenarnya tidaklah
demikian, karena lafazh tersebut telah diriwayatkan juga oleh Ad-Darimi
melalui jalur Hammad bin Salamah dan As-Sarraj dari Yahya bin Sulaim
dari Hisyam.

Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa wanita yang mampu


membedakan antara darah haid dengan darah istihadhah harus ber-
pedoman pada waktu kapan mulai dan kapan berakhirnya haid. Apabila
masa haid telah berakhir, maka wanita tersebut harus mandi dengan niat
bersuci dari haid. Kemudian hukum darah istihadhah tersebut disamakan
dengan hukum hadats, maka wanita tersebut diharuskan berwudhu setiap
kali hendak shalat. Akan tetapi satu kali wudhu hanya untuk satu kali
^ t-

shalat fardhu tidak boleh lebih, berdasarkan makna lahiriah lafazh "pi

~tr%p J>J Jr*>y (Kemudian hendaklah engkau berwudhu setiap shalat).


Demikian pandangan jumhur ulama. Sedangkan menurut pendapat
madzhab Hanafi, bahwa wudhu tersebut berkaitan dengan waktu shalat.
Atas dasar ini diperkenankan bagi wanita melakukan shalat fardhu pada
waktu tersebut atau melakukan shalat fardhu lainnya yang telah lewat
selama waktu shalat tersebut (dimana ia berwudhu) belum berakhir.
Berdasarkan pendapat mereka, maka yang dimaksud sabdanya J^'Jj

M (Dan hendaklah engkau berwudhu setiap kali shalat) yakni setiap


waktu shalat. Artinya dalam hal ini ada lafazh yang tidak disebutkan
secara tekstual dan untuk membuktikannya perlu pada dalil tersendiri.

Dalam pandangan madzhab Maliki disukai bagi wanita tersebut


untuk berwudhu setiap kali shalat tapi tidak menjadi suatu kewajiban
kecuali bila ada hadats yang lain. Sementara Imam Ahmad dan Ishaq
berkata, "Apabila ia mandi untuk setiap kali shalat fardhu, maka hal itu
lebih hati-hati."

Hadits ini juga menjelaskan bahwa seorang wanita boleh meminta


fatwa dan berbicara secara langsung dengan laki-laki dalam masalah
yang menyangkut kewanitaan. Di samping itu, laki-laki boleh men-

5 2 0 — FATHUL BAARI
dengarkan suara wanita karena suatu keperluan dan manfaat-manfaat
yang lain.

Dari hadits ini Ar-Razi Al Hanafi mengeluarkan suatu hukum,


bahwa sedikitnya waktu haid adalah tiga hari dan maksimal sepuluh hari.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW, U>-1? j—8*4?«* c-sT jb\ /aS
(Selama hari-hari dimana engkau biasa haid). Sebab dalam kalimat ini
beliau SAW menggunakan lafazh fl # 1 (hari-hari), dimana lafazh ini

hanya dipergunakan untuk bilangan tiga hingga sepuluh. Adapun jika di


bawah tiga hari, maka dikatakan OL-iji (dua hari) dan f y. (satu hari).

Sedangkan di atas jumlah sepuluh, maka diungkapkan dengan lafazh

Ct'jl 'jH. Namun argumentasi yang dikemukakan ini masih dipertanyakan.

9. Mencuci Darah Haid

fi s *

^J Si {+>y lil b llb-l c J l j l


r
AJJI J J — J b' : c J U i iH AJJI

'o '• " * i ' * ' > ' ' ' ' , s o s s o ' o- °

o j J ol **l lil igp AISI J J b i i ?£waJ iH^**-^ O?


*s t i ' - >o s o, Z ' >o >° J" o- * "** Z ' s o

307. Te/a/j diriwayatkan dari Asma" binti Abu Bakar bahwa ia


berkata, 'Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW,
'Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika salah seorang di
antara kami kainnya terkena darah haid, apa yang harus
dilakukan?' Rasulullah SAW bersabda, 'Apabila pakaian salah
seorang di antara kamu terkena darah haid, hendaknya ia
mengeriknya kemudian menyiramnya dengan air dan shalat
dengan menggunakan kain tersebut."

FATHUL BAARI — 521


Keterangan Hadits:

(Mencuci darah haid). Judul bab ini lebih spesifik daripada judul
bab pada kitab wudhu, yaitu bab mencuci darah. Hadits Asma' ini telah
dibahas pada bab tersebut, dimana Imam Bukhari menukil dari jalur
Yahya Al Qaththan dari Hisyam (sementara di sini Imam Bukhari
menukil dari jalur Malik dari Hisyam -penerj). Para perawi di sini sama
seperti perawi hadits terdahulu, dimana semuanya adalah ulama-ulama
Madinah kecuali guru Imam Bukhari (Abdullah bin Yusuf).

Hadits ini mengandung banyak faidah, seperti yang telah disebut-


kan. Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan bolehnya seorang
wanita menanyakan perkara yang tabu untuk disebutkan, atau menyebut
secara transparan hal-hal yang tidak layak bila kondisinya mengharuskan.
Demikian juga bahwa darah haid sama dengan darah lainnya dalam hal
kewajiban untuk mencucinya, serta keterangan disukainya mengerik najis
yang kering agar mudah dicuci.

i i , } 9 , % a l i s i
i' s c i'i"" t 'i y .*'. i' o i
^Jo\ yjiaj
9 ^ 0 i ' « ' " " i " 11 -
;y y U\JL>-} cUiS ;c-JVi aJujLp y-
0 0 0

JfiLcrrji

. 4 J J./?7 j^J ojCu* Js- 7T.h:'j aL-JI3 lijfyk> J-Lp

308. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, "Biasanya salah


seorang di antara kami haid lalu mengerik darah di pakaiannya
pada saat ia telah suci. Lalu ia mencucinya dan menyiramkan air
ke seluruh darah itu, kemudian ia shalat dengan menggunakan
kain tersebut:''

Keterangan Hadits:

\ Slj£-J cJliT {Biasanya salah seorang di antara kami), maksudnya

salah seorang di antara istri-istri Nabi SAW. Keterangan ini dapat


dipahami bahwa mereka melakukan hal itu pada saat Nabi SAW masih
hidup. Dengan demikian, hadits ini dapat disejajarkan dengan hadits yang

5 2 2 — FATHUL BAARI
berasal langsung dari Nabi SAW (marfu'). Pernyataan ini lebih diperkuat
lagi oleh hadits Asma' yang telah disebutkan di atas.

Ibnu Baththal berkata, "Hadits Aisyah menafsirkan hadits A s m a ' ,


dan yang dimaksud dengan menyiram pada hadits Asma' adalah men-
cuci. Adapun perkataan Aisyah, 'Dan menyiramkan air ke seluruh darah
itu' hal ini dilakukan untuk menghindari rasa was-wasa, sebab dari
konteks hadits itu sendiri telah dipahami bahwa beliau mencuci darah
secara keseluruhan dan bukan hanya sebagiannya. Adapun perkataan
beliau, 'Kemudian ia shalat dengan menggunakan pakaian tersebut',
merupakan isyarat akan larangan shalat dengan menggunakan pakaian
yang najis."

f* 1' j ^ / a j JJ (Lalu mengerik darah), yakni menghilangkan darah


tersebut dengan ujung jarinya.

1*Ji—^ (Pada saat ia telah suci). Demikian lafazh yang terdapat

dalam sebagian besar riwayat, sementara dalam naskah riwayat Al


Mustamli dan Al Hamawi disebutkan, aJi—1> '\ (Pada saat hendak

membersihkan kain). Dari sini diperoleh keterangan bolehnya membiar-


kan najis melekat di pakaian pada saat tidak ada keharusan untuk mem-
bersihkannya.

10.1'tikaf bagi Wanita Mustahadhah

-'•i' ' 0
* ' t\' ' * • ' *''
9
' ' ^' ' i a
Ii « f » ' , i' 9
'

* i ' " y » ' s , " ' *


' l ' * ( ' ' " " l l ' I ' '° ' ' 9 • | s" . ' . "'U ' '

4 j l jt-f-jj Cr* H ^ ^••'•W -'' i r - ^ j >-OJ_/ f j


1 a
>XJLP i£
* y s *S * o s' *o s ' * i' a ' ' ' ' o } 0
' ° i'

FATHUL BAARI — 523


309. Diriwayatkan Ikrimah dari Aisyah bahwa Nabi SA W beri 'tikaf
dan beri 'tikaf pula bersamanya sebagian wanita-wanitanya (istri-
istrinya) yang sedang istihadhah, dimana ia melihat darah.
Terkadang ia meletakkan bejana kecil di bagian bawahnya untuk
(menampung) darah. Ikrimah mengatakan, bahwa Aisyah pernah
melihat air yang kuning maka beliau berkata, 'Sepertinya ini
adalah sesuatu yang dialami oleh sifulanah"

s O s 'f s & s s s s s s

A >r\jji j A t>\y\ s g l <UJ| Jyj C~aXlp! c J l i 2LJJLP y


i ^—~

* f ' 'O % o * a ' '

310. Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa Aisyah RA berkata,


"Seorang wanita di antara istri-istri Rasulullah SAW pernah i 'tikaf
bersama beliau SAW, sedangkan wanita itu melihat darah dan
cairan kuning sementara bejana kecil berada di bawah kakinya
dan ia melakukan shalat"

311. Diriwayatkan dari Aisyah bahwasanya sebagian ummahat


mukminin melakukan i 'tikaf sedangkan ia dalam keadaan haid.

Keterangan Hadits:

AJ)—'~i ja «i (Sebagian wanita-wanitanya). Ibnu Al Jauzi berkata,


"Kami tidak mengetahui ada di antara istri-istri Nabi S A W yang
mengalami istihadhah." Lalu beliau menambahkan, "Makna yang dapat
dipahami dari hadits ini bahwa maksud perkataan Aisyah, 'Sebagian dari
wanita-wanitanya' adalah wanita-wanita yang memiliki keterikatan

5 2 4 — FATHUL BAARI
dengan Rasulullah SAW. Yang dimaksud adalah Ummu Habibah binti
Jahsy, saudara perempuan Zainab binti Jahsy (istri Nabi SAW -penerj.)."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Penafsiran Ibnu Al Jauzi di atas tidak
dapat diterima berdasarkan lafazh yang ada pada riwayat kedua, j ? «lyi

A—sr'jji (Salah seorang di antara istri-istri Rasulullah SAW). Sementara


lafazh ini telah disebutkan oleh Al Humaidi langsung setelah riwayat
yang pertama, oleh sebab itu saya tidak mengerti mengapa Ibnu Al Jauzi
tidak memperhatikannya. Demikian pula pada riwayat ketiga disebutkan,
'j^'yAs JOM (Sebagian daripada ummahatul mukminin). Di samping
itu, merupakan hal yang mustahil bahwa wanita yang melakukan i'tikaf
bersama Rasulullah SAW adalah bukan istrinya meski wanita itu masih
memiliki keterikatan dengan beliau SAW.

Telah dinukil oleh Ibnu Abdil Barr bahwa anak-anak perempuan


Jahsy ada tiga orang, semuanya mengalami istihadhah. Masing-masing
adalah Zainab (istri Rasulullah SAW), Hamnah (istri Thalhah) dan
Ummu Habibah (istri Abdurrahman bin Auf). Adapun yang disebut
terakhir ini adalah yang paling masyhur di antara saudara-saudaranya
dalam perihal istihadhah, sebagaimana yang akan disebutkan.

Disebutkan oleh Abu Dawud melalui jalur periwayatan Sulaiman


bin Katsir dari Az-Zuhri dari Aisyah, ia berkata, "Zainab binti Jahsy
mengalami istihadhah, maka Nabi SAW bersabda kepadanya, ^J—^

'-fi (Mandilah setiap kali hendak shalat). Demikian pula yang


disebutkan dalam naskah kitab Al Muwaththa" bahwa Zainab binti Jahsy
mengalami istihadhah. Lalu Ibnu Abdil Barr menegaskan bahwa yang
demikian itu merupakan kekeliruan, sebab dijelaskan bahwa Zainab
adalah istri Abdurrahman bin Auf. Padahal istri Abdurrahman bin Auf
adalah Ummu Habibah binti Jahsy.

Syaikh kami, Al Imam Al Balqini berkata, "Keterangan ini dapat


dipahami bahwa Zainab binti Jahsy pernah mengalami istihadhah pada
masa tertentu, berbeda dengan saudara perempuannya dimana istihadhah-
nya berlangsung secara terus menerus." Saya (Ibnu Hajar) katakan,
'"Demikian pula pemahaman yang harus diterapkan sehubungan dengan

FATHUL BAARI — 525


keterangan yang akan saya sebutkan, bahwa Saudah dan Ummu Salamah
juga mengalami istihadhah, wallahu a 'lam"

Aku telah membaca dalam tulisan Mughlathai sekitar pembahasan


tentang wanita-wanita yang mengalami istihadhah pada zaman Nabi
SAW, dimana disebutkan, "Saudah binti Zam'ah, seperti disebutkan oleh
Al Ala' bin Al Musayyab dari Al Hakam dari Abu Ja'far bin Muhammad
bin Ali bin Al Husain, barangkali Saudah yang dimaksud dalam hadits di
atas." Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Keterangan di atas adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud tanpa menyebut nama perawinya. Al
Baihaqi menyebutkan bahwa Ibnu Khuzaimah telah menukil hadits
tersebut beserta silsilah periwayatannya. Namun menurut saya hadits
tersebut berstatus mursal, karena Abu Ja'far adalah tabi'in lalu beliau
tidak menyebutkan dari siapa ia menerima riwayat tersebut."

Saya membaca pula dalam kitab Sunan oleh Sa'id bin Manshur,
"Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim, telah men-
ceritakan kepada kami Khalid (Al Hadzdza') dari Ikrimah bahwasanya
salah seorang wanita di antara istri-istri Nabi SAW beri'tikaf sedang ia
dalam keadaan haid." Beliau berkata pula, "Pada kali yang lain, Khalid
menceritakan kepada kami dari Ikrimah bahwa Ummu Salamah pernah
beri'tikaf dalam keadaan istihadhah dan terkadang beliau menaruh bejana
kecil di bawah kakinya." Aku katakan, "Keterangan dalam riwayat inilah
yang paling tepat untuk menafsirkan siapa yang dimaksud oleh hadits
pada bab di atas, karena sumbernya sama."

Riwayat di atas telah disebutkan secara mursal oleh Isma'il bin


Aliyah dari Ikrimah, lalu disebutkan secara bersambung sampai kepada
Aisyah oleh Khalid Ath-Thahhan dan Yazid bin Zurai' serta selain
keduanya, dengan menyebutkan Aisyah. Adapun Imam Bukhari lebih
mendukung riwayat yang silsilah periwayatannya ber sambung
(maushul), oleh sebab itu beliau menukilnya. Hadits ini telah
diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dari Isma'il bin Aliyah
sebagaimana dinukil oleh Sa'id bin Manshur tanpa menyebut Ummu
Salamah, wallahu a 'lam.

"A-J'te (Si fulanah). Secara lahiriah yang beliau maksudkan adalah


wanita yang disebutkannya pada riwayat sebelumnya. Lalu saya lihat

5 2 6 — FATHUL BAARI
pada catatan kaki naskah Shahih Bukhari yang dinukil dari Abu Dzar,
dimana disebutkan, "Yang dimaksud dengan fulanah di sini adalah
Ramlah, ibu Habibah binti Abu Sufyan." Apabila keterangan ini akurat,
maka ini merupakan pandangan ketiga dalam menafsirkan wanita yang
dimaksud dalam hadits Aisyah di atas.

Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Ibnu Al Jauzi bahwa tidak


ada di antara istri Nabi SAW yang mengalami istihadhah, maka telah
diriwayatkan bahwa Zainab binti Ummu Salamah mengalami istihadhah.
Riwayat ini dinukil oleh Al Baihaqi dan Al Isma'ili dalam kitab
kumpulan hadits Yahya bin Abu Katsir. Akan tetapi riwayat yang ada
dalam Sunan Abu Dawud merupakan kisah Zainab tentang seorang
wanita selain dirinya. Nampaknya keterangan ini lebih tepat, sebab
Zainab di zaman beliau SAW masih kecil dan Nabi SAW menikahi
ibunya pada tahun ketiga hijrah pada saat itu Zainab belum disapih. Di
antara wanita yang mengalami istihadhah di masa itu adalah Asma' binti
Umais seperti diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari riwayat Suhail bin
Abu Shalih dari Az-Zuhri dari Urwah dari Asma'.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Riwayat yang terakhir ini disebutkan


dalam Sunan Abu Dawud tanpa kepastian, apakah yang dimaksud adalah
Asma' atau Fathimah binti Abu Hubaisy dimana kedua wanita ini juga
memiliki keterikatan dengan Nabi SAW. Sebab Zainab adalah anak tiri
beliau SAW, sedangkan Asma' saudara perempuan seibu Maimunah
(istri Nabi SAW). Demikian pula halnya dengan Hamnah dan Ummu
Habibah, masing-masing memiliki keterikatan dengan Nabi SAW dan
hadits keduanya tercantum dalam Sunan Abu Dawud. Salah satu dari
ketujuh wanita yang telah disebutkan di atas itulah yang mungkin
dimaksud oleh perkataan Aisyah, "Salah seorang di antara kami".

Adapun sahabat-sahabat wanita yang juga mengalami istihadhah di


masa Nabi SAW selain yang disebutkan di antaranya adalah Sahlah binti
Suhail (riwayat Abu Dawud), Asma binti Mirtsad (riwayat Al Baihaqi
dan selainnya), Badiyah binti Ghailan (riwayat Ibnu Mandah) dan
Fathimah binti Abi Hubaisy sebagaimana kisahnya dituturkan oleh
Aisyah dalam kitab Shahihain. Lalu tercantum dalam kitab Sunan Abu
Dawud dari Fathimah binti Qais, maka sebagian ulama mengira yang
dimaksud adalah Fathimah yang berkebangsaan Quraisy dari suku Fihr.

FATHUL BAARI — 527


Namun yang benar beliau adalah Fathimah binti Hubaisy, dan nama dari
Abu Hubaisy adalah Qais. Keempat wanita ini telah melengkapi jumlah
terdahulu hingga mencapai sepuluh wanita dengan menghapus nama
Zainab binti Abu Salamah.

Hadits di atas mengandung keterangan bolehnya seorang wanita


mustahadhah berdiam dalam masjid, serta sahnya shalat dan i'tikaf yang
ia lakukan. Boleh pula wanita itu tinggal di masjid meski berhadats
selama darahnya tidak mengotori masjid. Termasuk dalam hal ini adalah
bolehnya seorang yang senantiasa berhadats untuk berdiam diri di masjid
serta orang yang menderita luka ringan.

11. Bolehkah Wanita Shalat dengan Menggunakan Kain


yang Dipakainya Saat Haid?

312. Telah diriwayatkan dari Mujahid, bahwa Aisyah berkata,


"Tidaklah salah seorang di antara kami kecuali memiliki satu kain
yang dipakai saat haid. Apabila kain tersebut terkena sedikit
darah, maka dibasahi dengan ludahnya lalu digosok dengan
kukunya."

Keterangan Hadits:

(Bolehkah wanita shalat dengan menggunakan kain yang dipakai-


nya saat haid?). Dikatakan bahwa kesesuaian hadits dengan judul bab
adalah bahwa seorang yang hanya memiliki satu kain yang digunakannya
saat haid, maka boleh dipakai pada saat melaksanakan shalat, tentu saja
setelah dibersihkan. Adapun hubungan hadits ini dengan hadits Ummu

5 2 8 — FATHUL BAARI
Salamah terdahulu yang menerangkan bahwa ia memiliki pakain khusus
untuk dipakai saat haid, adalah bahwa hadits Aisyah ini menggambarkan
kondisi permulaan dakwah Islam, sedangkan hadits Ummu Salamah
menggambarkan kondisi setelah keadaan menjadi stabil dan kehidupan
mulai makmur.

Namun ada kemungkinan perkataan Aisyah, "Kecuali memiliki


satu kain", maksudnya adalah pakaian yang digunakan saat haid. Hal itu
tidak menutup kemungkinan jika para wanita saat itu memiliki kain lain
yang dipakai setelah suci dari haid. Dengan demikian, ada kesesuain
dengan kandungan hadits Ummu Salamah. Di samping itu dalam hadits
ini tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa wanita tersebut shalat
dengan menggunakan kain yang dipakainya saat haid, sehingga hadits
tersebut tidak dapat dijadikan hujjah oleh mereka yang membolehkan
menghilangkan najis tidak menggunakan air. Hanya saja wanita itu
menghilangkan darah dengan ludahnya untuk menghilangkan bekasnya
dan tidak bermaksud membersihkan pakaian tersebut. Sementara itu pada
bab terdahulu disebutkan tentang mencuci setelah mengerik, dimana
Aisyah mengatakan, "Kemudian ia shalat dengan menggunakan kain
tersebut". Hal ini memberi indikasi, jika wanita itu hendak shalat dengan
menggunakan kain yang ia pakai waktu haid, maka ia pun mencucinya
terlebih dahulu.

Pelajaran yang dapat diambil

Sebagian ulama mengkritik keshahihan hadits ini dengan alasan


silsilah periwayatannya terputus (mungathi') serta ketidakpastian yang
terdapat di dalamnya (mudhtharib). Kritik yang pertama dikemukakan
oleh Abu Hatim, dimana ia berkata, "Mujahid tidak mendengar hadits ini
langsung dari Aisyah." Namun pernyataan beliau tidak dapat diterima,
karena ada penegasan bahwa Mujahid mendengar hadits tersebut
langsung dari Aisyah, seperti dinukil oleh Imam Bukhari pada jalur
periwayatan yang lain. Demikian pula yang ditegaskan oleh Ali bin Al
Madini. Keterangan bahwa Mujahid mendengar hadits tersebut langsung
dari Aisyah mesti lebih diunggulkan daripada keterangan sebaliknya.

FATHUL BAARI — 529


Adapun kritik yang kedua, berdasarkan riwayat Abu Dawud
melalui jalur Muhammad bin Katsir dari Ibrahim bin Nafi' dari Al Hasan
bin Muslim (sebagai ganti daripada Abu Najih). Namun perbedaan ini
tidak berkonsekuensi adanya ketidakpastian (idhthirab), sebab bisa saja
dipahami bahwa Ibrahim bin Nafi' telah menerima hadits tersebut dari
dua guru sekaligus. Apabila tidak dapat dipahami demikian, maka
riwayat Abu N u ' a i m (guru Imam Bukhari) kedudukannya lebih kuat
dibandingkan Muhammad bin Katsir (guru Imam Abu Dawud). Semen-
tara itu hadits Abu Nu'aim telah didukung oleh riwayat Khallad bin
Yahya dan Abu Hudzaifah serta Nu'man bin Abdussalam sehingga
riwayatnya menjadi lebih kuat (unggul), karena riwayat yang lemah tidak
memberi pengaruh pada riwayat yang lebih kuat. Wallahu a lam.

12. Harum-Haruman bagi Wanita Saat Bersuci dari


Haid

Oy C ~ w « Js- J>J JL ^ U5 : c J l i $ | ^ 1 J* <ujap FL J P


y y y s s y y 0 y y ^ s < FLC'°I 0y y & yy
L-JaS" JE*^J ^s^3 str*^ ~^-J r jj
y ' y

O ' yO y' y t ' O " O y ' O ' * * ta y *0 ' y y" y

lil a LaJl JJLP li) [ y 2 S > - J Jj J .t_. . / ? P I _ J y ^ I l-P J • .,R? -» b' JJ ^^IL)
^ ^ y- y

saf i J' I I. F 0
y' ° -"• 'i - L ' . \'[' ° [ '
0
\' ''I
'•' b ^ J ijLabl o «JLJ I g •/?;•>!•/» ^j-» blJ^>-j 0 ~ L ~ I P I

. J J L ^ J L ^bjl ^P
-* £ • 0 ^ ^ JL 0 > y ' * y y y

^ L P ^1 ^ J - P 4.,r-?G-V- ^ P J L * ^ - ^ ^LI\-A O L J J I ^ J J L »AIP J L

5 3 0 — FATHUL BAARI
313. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah dari Nabi SA W, ia berkata,
"Kami dilarang untuk menampakkan duka karena kematian lebih
dari 3 hari, kecuali karena kematian suami, yang selama 4 bulan
10 hari. Tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai harum-
haruman serta tidak boleh memakai pakaian yang diberi warna
kecuali kain ashab. Lalu kami diberi keringanan pada saat bersuci
dari haid untuk menggunakan sedikit harum-haruman. Kami juga
dilarang untuk mengikuti jenazah"

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Hisyam bin Hassan dari Hafshah
dari Ummu Athiyah dari Nabi SAW.

Keterangan Hadits:

Maksud judul bab ini adalah, seorang wanita boleh menggunakan


harum-haruman saat bersuci dari haid. Hal itu berdasarkan keringanan
yang diberikan kepada wanita yang sedang dilanda duka (berkabung)
karena kematian suaminya untuk memakai harum-haruman pada saat
mandi suci dari haid, untuk menghilangkan bau yang tidak enak, seperti
yang dikatakan oleh Imam Nawawi. Namun pada dasarnya dalam kondisi
berkabung diharamkan bagi wanita untuk memakai wangi-wangian.

J—L' UT (Kami dilarang). Yang melarang di sini adalah Rasulullah


SAW sebagaimana indikasi riwayat Hisyam yang akan disebutkan di
bagian akhir hadits ini, dan ini pula yang menjadi tujuan Imam Bukhari
menukil riwayat tersebut.

i f J (Menampakkan duka), maksudnya tidak menghias diri.

u__LaP k-»j* (kain ashab). Disebutkan dalam kitab Al Muhkam, "Kain


ashab adalah salah satu jenis pakaian yang berasal dari Yaman, dimana
bahannya telah diberi warna sebelum ditenun." Pembahasan mengenai
hukum menampakkan duka atas kematian akan dibahas pada kitab thalaq
(perceraian), insya Allah.

FATHUL BAARI — 531


13. Wanita Menggosok Badannya saat Bersuci dari
Haid. Bagaimana Ia Mandi dan Mengambil Kapas yang
Diberi Minyak Wangi Untuk Membersihkan Bekas
Darah

' I ** ' I ° • 0
* ^-rtt ^ i \f' -f' 0
i 'f-'. l' 0
'

Jz <j * Lgl^P y iSjgs _«JL)1 cJl~>> ol^»1 j l


< t ^jS-
i' / o y a ' • o J ' ' * - , , ,i'

jLkll.) : Jli ?Lil5" cJL» c £ :


L4$" :cJli
£ ^ "'c ^ ^ ° ^ ' £ ' j.0
o ' i ' *

314. Diriwayatkan dari Aisyah bahwasanya seorang wanita


bertanya kepada Nabi SAW tentang cara mandi haid, maka
Rasulullah SAW menerangkan kepadanya bagaimana ia mandi.
Lalu beliau SAW bersabda, "Ambillah kapas yang telah diberi
minyak wangi lalu pergunakanlah untuk bersuci. " Wanita itu
bertanya lagi, "Bagaimana aku bersuci dengan menggunakan
kapas itu?" Nabi bersabda, "Pergunakanlah untuk bersuci. "
Wanita itu kembali bertanya, "Bagaimana caranya?" Nabi
bersabda, "Maha Suci Allah, pergunakanlah kapas itu untuk
bersuci. " Maka aku pun menarik wanita itu kepadaku lalu aku
katakan, "Oleskanlah kapas itu pada bekas darah."

Keterangan Hadits:
Sebagian ulama mengatakan, bahwa dalam hadits ini tidak ada
keterangan yang berkaitan dengan judul bab, sebab dalam hadits tidak
disebutkan mengenai cara mandi dan menggosok badan. Pernyataan ini
dijawab oleh Al Karmani serta ulama-ulama lain, bahwa mengikuti
(mengoles) bekas darah dengan kapas berkonsekuensi adanya perbuatan

5 3 2 — FATHUL BAARI
menggosok badan. Adapun yang dimaksudkan dengan cara mandi dalam
judul bab ini adalah sifat mandi khsusus bagi wanita setelah haid (yakni
dengan menggunakan harum-haruman). Jawaban ini cukup baik meski-
pun mengandung unsur mencari-cari alasan.

Adapun jawaban yang lebih baik adalah bahwa Imam Bukhari


kembali menempuh kebiasaan yang dia lakukan, yaitu membuat judul
bab berdasarkan kandungan sebagian jalur periwayatan hadits yang
disebutkannya, meskipun maksudnya tidak disebutkan secara tekstual
dalam hadits itu.

Penjelasan mengenai hal ini, bahwa Imam Muslim telah


menyebutkan hadits ini dari jalur Ibnu Uyainah dari Manshur (yakni
perawi yang juga dinukil oleh Imam Bukhari), lalu dalam jalur
periwayatan ini setelah lafazh J — L « S (Bagaimana ia mandi)

disebutkan J^-Li j»J (Kemudian ia mengambil kapas...) Di sini disebutkan

lafazh'<%—>(kemudian) yang menunjukkan adanya selang waktu antara


pemberitahuan tentang memakai harum-haruman dengan pemberitahuan
tentang cara mandi.

Kemudian diriwayatkan dari jalur lain, dari Shafiyah, dari Aisyah


dimana disebutkan penjelasan mengenai cara mandi yang tidak
disebutkan dalam riwayat Manshur, 'y±—lxs UjijJ-^J cS^l

J— tg «JIJ jjj—'ti J*- \"x>_xii iSOi k£SJci J* L.taJ J»J t j ^ k i i j _ J * i

i-~t>°j\ *Ull WjlL* Lwtf jLi -'il°y\p\ (Maka beliau bersabda, "Hendaklah
salah seorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu
bersuci dengan sebaik-baiknya. Kemudian ia menyiram ke atas kepala-
nya lalu menggosoknya dengan kuat hingga mencapai akar-akar rambut-
nya. Kemudian ia menyiramkan air ke badannya, lalu mengambil
kapas...). Inilah lafazh yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari sehingga
beliau menyebutkan judul bab seperti di atas, sebab lafazh ini mencakup
cara mandi dan menggosok. Akan tetapi Imam Bukhari tidak langsung
menukil hadits ini karena hadits ini dinukil melalui jalur Ibrahim bin
Muhajir dan Shafiyyah, yang mana jalur tersebut tidak memenuhi
persyaratan beliau.

FATHUL BAARI — 533


31 j — ( B a h w a s a n y a seorang wanita) Dalam riwayat Wuhaib

diberi tambahan, jl—aJ^l J» (Dari kalangan Anshar). Lalu Imam Muslim


menyebutkan nama wanita itu dalam riwayat yang beliau nukil melalui
jalur Abu Al Ahwash dari Ibrahim bin Muhajir, yaitu Asma' binti Syakal.
Sedangkan dalam riwayat Ghundar dari Syu'bah, dari Ibrahim tidak
disebutkan nama bapak dari wanita tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh
Al Khathib dalam kitab Al Mubhamat melalui jalur Yahya bin Sa'id dari
Syu'bah, bahwa nama wanita itu adalah Asma' binti Yazid bin Sakan Al
Anshariyah yang dijuluki sebagai Orator wanita. Lalu keterangan Al
Khathib disetujui oleh Ibnu Al Jauzi dalam kitab At-Talqih^ demikian
pula halnya dengan Ad-Dimyathi.

Ibnu Al Jauzi menambahkan bahwa keterangan yang terdapat


dalam riwayat Imam Muslim merupakan kesalahan penyalinan naskah,
sebab tidak ada di kalangan Anshar seseorang yang bernama Syakal. Tapi
pernyataan ini merupakan penolakan tanpa dasar terhadap riwayat yang
telah terbukti keakuratannya. Padahal ada kemungkinan Syakal adalah
gelar dan bukan nama. Yang masyhur dalam kitab-kitab Musnad dan
kitab-kitab kumpulan hadits, nama wanita tersebut dalam hadits ini
adalah Asma' binti Syakal seperti terdapat dalam riwayat Imam Muslim,
atau sekedar menyebutkan nama (Asma') tanpa menyertakan nama
bapaknya seperti yang tercantum dalam kitab Sunan Abu Dawud.
Demikian pula yang terdapat dalam kitab Mustakhraj oleh Abu N u ' a i m
melalui jalur yang sama seperti dinukil oleh Al Khathib. Lalu Imam An-
Nawawi menukil kedua versi tersebut dalam kitab Syarah Muslim tanpa
menjelaskan mana diantara keduanya yang lebih tepat, wallahu a 'lam.

y$±—r J —* J — i - i - S *
1
(Maka Rasulullah SAW menerangkan
kepadanya bagaimana ia mandi. Lalu beliau SAW bersabda, "Ambil-
lah... ') Al Karmani berkata, "Perkataan beliau, A m b i l l a h . . . ' merupakan
penjelasan kalimat sebelumnya, yaitu 'Maka Rasulullah SAW menerang-
kan kepadanyaJika ditanyakan, "Bagaimana mungkin lafazh tersebut
merupakan penjelasan cara mandi sedangkan hakikat mandi adalah
menyiramkan air ke seluruh tubuh, bukan dengan mengambil kapas atau
yang sepertinya.' Maka jawabannya adalah; sesungguhnya substansi
pertanyaan yang diajukan bukan minta penjelasan mengenai mandi,

5 3 4 — FATHUL BAARI
sebab hal ini sudah diketahui oleh semua orang. Akan tetapi pertanyaan
tersebut dimaksudkan untuk mengetahui perkara yang lebih dari itu.
Jawaban seperti ini telah dikemukakan oleh Ar-Rafi'i (dalam kitab
Syarah Musnad) dan Abu Jamrah."

iil '..»'j» &fi°jt (Kapas yang telah diberi minyak wangi) An-Nawawi
berkata, "Tujuan menggunakan harum-haruman adalah untuk meng-
hilangkan bau tak sedap, menurut pendapat yang benar. Lalu ada pula
yang mengatakan untuk memberi kesuburan sehingga lebih cepat
menerima kehamilan, pendapat ini diriwayatkan oleh Al Mawardi."
Imam An-Nawawi menambahkan, "Berdasarkan pendapat pertama,
apabila tidak didapatkan minyak kesturi, maka diganti dengan harum-
haruman yang lain. Sedangkan berdasarkan pendapat kedua, apabila tidak
didapatkan minyak kesturi maka diganti dengan menggunakan zat-zat
lain yang dapat menyuburkan rahim." Kemudian Imam An-Nawawi
melemahkan pendapat kedua seraya mengatakan apabila pendapat ini
benar, niscaya khusus berlaku bagi wanita yang bersuami. Dengan tidak
disebutkannya pengkhususan pada hadits di atas merupakan bantahan
bagi pendapat kedua ini.

Yang benar dalam masalah ini adalah perbuatan tersebut hukumnya


mustahab (disukai) bagi setiap wanita yang bersuci dari haid atau nifas,
namun makruh ditinggalkan jika seseorang mampu melakukannya.
Apabila tidak didapatkan minyak kesturi maka cukup menggunakan
harum-haruman lain. Jika tidak, maka menggunakan zat-zat pembersih
seperti tanah. Namun apabila tidak didapatkan pula, maka air sudah
mencukupi.

A—Ul Olkl—li (Maha suci Allah). Dalam riwayat berikut ini terdapat

tambahan, jt>'j—*'\j J*L-L>\ (Beliau SAW malu dan berpaling). Dalam

riwayat Al Isma'ili disebutkan, Up>ip J^>^ *Qj (Ketika aku melihat

Rasulullah SA W merasa malu, maka aku pun memberitahukan kepada


wanita tersebut apa yang dimaksud oleh Nabi SA W). Lalu dalam riwayat
Ad-Darimi terdapat keterangan, j—f* *ij g>—LJ j—»_j (Beliau SA W

mendengarkan dan tidak mengingkarinya).

FATHUL BAARI — 535


fJ ii (Bekas darah). Imam An-Nawawi berkata, "Menurut para
ulama yang dimaksud adalah kemaluan." Sedangkan Al Muhamili
berkata, "Disukai bagi wanita untuk memberi minyak wangi pada setiap
tempat yang terkena darah di badannya." Lalu Imam An-Nawawi
menambahkan, "Aku tidak mengetahui ada ulama lain berpendapat
demikian, namun makna lahiriah hadits di atas merupakan hujjah
baginya." Aku (Ibnu Hajar) berkata, "Keterangan lebih tegas yang
mendukung pendapat Al Muhamili adalah apa yang disebutkan dalam
riwayat Al Isma'ili, yaitu (Ikutilah dengannya bagian-
bagian yang terkena darah)"

Hadits ini mengandung sejumlah faidah, di antaranya bertasbih


(menyucikan Allah) saat menyaksikan perkara yang menakjubkan.
Faidah lain adalah, disukainya mengucapkan kata-kata kinayah (kiasan)
mengenai perkara yang risih atau tidak selayaknya untuk diucapkan.
Demikian juga dibolehkan bagi wanita bertanya kepada ulama tentang
keadaan dirinya. Berkenaan dengan ini, Aisyah RA berkomentar tentang
wanita Anshar, j—uJi iS —$ — O l t \ — — ' K C O J 'i (Rasa malu tidak
menghalangi mereka untuk memperdalam memahami agama) seperti
dinukil oleh Imam Muslim pada pembahasan tentang ilmu.

Faidah selanjutnya, menggunakan isyarat untuk menunjukkan hal-


hal yang tidak layak diucapkan dan mengulang jawaban untuk memberi
pemahaman bagi yang bertanya. Beliau SAW mengulangi jawabannya
yang pertama meskipun wanita itu tidak memahaminya, karena jawaban
tersebut dapat diambil atau dipahami dari sikap beliau SAW yang
memalingkan mukanya saat bersabda "Bersihkanlah", yakni tempat yang
tidak layak untuk diucapkan secara terus terang di depan wanita. Maka,
beliau SAW cukup dengan mengekspresikannya tanpa menjelaskan
dengan kata-kata. Pada saat itulah Aisyah RA memahami maksud Nabi
SAW, maka Aisyah memberi pemahaman kepada wanita yang bertanya
itu.
Kemudian dalam kitab Al I'tisham, Imam Bukhari menyebutkan
hadits ini di bawah bab yang berjudul "Al Ahkam allati tu 'rafu bi ad-

5 3 6 — FATHUL BAARI
dalail (hukum-hukum yang diketahui dengan dalil-dalil atau petunjuk-
petunjuk)."

Dalam hadits ini terdapat pula keterangan, bahwa seseorang boleh


menafsirkan perkataan ahli ilmu di hadapannya langsung bagi orang yang
kurang memahaminya, jika orang yang menerangkan itu mengetahui
bahwa perbuatannya itu disenangi oleh orang alim tersebut. Di samping
itu, diperbolehkan mengambil ilmu dari orang yang utama meski di
hadapannya ada orang yang lebih utama.

Kandungan yang lain adalah keterangan sahnya suatu hadits yang


dikemukakan langsung di hadapan perawinya jika ia menyetujui
meskipun ia tidak mengiyakannya dengan kata-kata, dan tidak disyarat-
kan dalam penukilan hadits memahami semua yang didengarnya.

Hadits ini merupakan anjuran bersikap lembut bagi penuntut ilmu


dan merupakan udzur (alasan) bagi yang tidak paham. Di samping itu,
hadits ini menerangkan bahwa menjadi kemestian bagi seseorang untuk
menutup aib dirinya, meskipun hal itu adalah perkara yang lumrah, yaitu
memerintahkan wanita memakai harum-haruman untuk menghilangkan
bau yang tidak sedap. Hadits ini juga menerangkan mulianya akhlak Nabi
SAW, keagungan rasa santun dan rasa malu beliau. Semoga Allah SWT
menambahkan kemuliaan baginya.

14. Mandi (Suci) dari Haid

FATHUL BAARI — 537


315. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang wanita dari
kalangan Anshar bertanya kepada Nabi SAW, "Bagaimana aku
mandi dari haid?" Nabi SAW bersabda, "Ambillah kapas yang
telah diberi minyak wangi lalu bersihkanlah sebanyak 3 kali. "
Kemudian Nabi SAW merasa malu maka beliau memalingkan
wajahnya, atau beliau bersabda, "Bersihkanlah dengannya. "
Maka aku memegang wanita tersebut lalu menariknya kemudian
aku beritahu kepadanya apa yang diinginkan oleh Nabi SA W.

Keterangan Hadits:

\—J&'fi (Bersihkanlah sebanyak 3 kali) Lafazh U^J (sebanyak 3


kali) ada kemungkinan berhubungan dengan lafazh Jr^J? (bersihkanlah),
yakni ulangilah perbuatan itu hingga 3 kali. Ada pula kemungkinan
lafazh ini berhubungan dengan lafazh Jli (berkata), yakni beliau SAW
mengucapkan lafazh itu sebanyak 3 kali.

15. Wanita Menyisir Rambutnya Setelah Mandi (suci)


dari Haid

_S*L>- J jiH AISI J y J CJLLAI : c J l i 2JUJIP j l S J ^ P y


O s Y y 9 s s s, ' S y °. 9- y A y $s y 0 S % * Y* C I ^ ' h

-J y y & y ^ y y y y y y Y y y y y ^ ^ 0

2 U «JL* <(JUl J y* J \J :cJUi 2i^p 311! c J L v o ^y^- jg)?" jJ j


J ^ ' Y Y Y Y ^ 0 j f B Y,^ J O* Y Z ' ''YY

*. 4 Ul J j ,M j Ig S Jlii .aj-«ju cJcuJ C-US" tlilj ;2i^P


s yy j O s s ^ yy y Oy f

5 3 8 — FATHUL BAARI
^

> 9
* 9 % ' '

316. Dari Urwah, bahwa Aisyah RA berkata, "Aku pernah ihram


bersama Rasulullah SAW pada haji wada', dan aku termasuk salah
seorang yang melakukan haji tamattu' dan tidak membawa serta
hewan kurban. Lalu tiba-tiba aku haid dan belum juga suci sampai
malam Arafah. "Maka Aisyah berkata, "Wahai Rasulullah SAW ini
adalah malam Arafah dan hanya saja aku melakukan tamattu'
dengan mengerjakan umrah." Rasulullah SAW bersabda kepada-
nya, "Bukalah sanggul rambutmu dan sisirlah serta berhentilah
umrah. " Akupun melakukan hal itu. Ketika aku telah menyelesai-
kan haji, maka beliau SA W memerintahkan Abdurrahman pada
malam Al Hashbah untuk menemaniku melakukan umrah dari
Tan 'im untuk mengganti umrah yang tadinya gagal aku laksana-
kan:'

Keterangan Hadits:

Jn (Dan sisirlah). Dalam lafazh ini tidak ada dalil yang


mendukung judul bab, demikian dikatakan oleh Ad-Dawudi dan orang-
orang yang sepaham dengannya. Mereka mengatakan, "Sebab perintah
beliau SAW terhadap Aisyah agar menyisir rambut adalah untuk ihram,
sementara saat itu Aisyah dalam keadaan haid dan bukan pada waktu
mandi." Jawaban untuk pernyataan ini dikatakan, "Ihram haji membutuh-
kan mandi, karena mandi merupakan sunah ihram." Sementara itu
perintah untuk mandi telah disebutkan secara tegas dalam jalur
periwayatan lain terhadap hadits ini seperti dinukil oleh Imam Muslim
dari jalur Abu Zubair dari Jabir dengan lafazh, "Mandilah kemudian
ihramlah untuk haji." Maka di sini Imam Bukhari kembali melakukan
kebiasaannya yang membuat judul bab sesuai dengan lafazh yang
terdapat pada sebagian jalur periwayatan hadits, meski lafazh tersebut
tidak terdapat pada hadits yang disebutkannya.

FATHUL BAARI — 539


Ada kemungkinan maksud Ad-Dawudi dengan perkataan "Bukan
pada saat Aisyah RA mandi", yakni mandi (suci) dari haid, dan beliau
tidak bermaksud menafikan adanya mandi secara mutlak. Adapun yang
menyebabkan beliau berpendapat seperti itu adalah apa yang disebutkan
dalam kitab Shahihain bahwa Aisyah telah suci dari haidnya pada hari
kurban, maka beliau RA tidak mandi pada hari Arafah kecuali untuk
ihram. Adapun yang tersebut dalam Shahih Muslim dari jalur Mujahid
dari Aisyah, yang menyebutkan bahwa beliau mengalami haid di Sarif
lalu bersuci di Arafah, dapat dipahami sebagai mandi untuk ihram. Hal
ini sebagai upaya untuk memadukan antara dua riwayat yang ada.
Apabila terbukti bahwa mandi yang dilakukan oleh Aisyah saat itu adalah
untuk ihram, maka diperoleh pula dalil bagi judul bab secara implisit.
Sebab apabila boleh menyisir saat mandi ihram yang hukumnya hanya
sunah, tentu menyisir saat mandi karena haid yang hukumnya wajib lebih
diperbolehkan lagi.

j—*>-^Jl J — s y>\ (Memerintahkan Abdurrahman), yakni putra Abu


Bakar Ash-shiddiq (Saudara Aisyah -ed.). Adapun yang dimaksud
dengan malam hashbah adalah malam dimana mereka berkemah di
tempat bernama muhashshab, yakni tempat yang mereka singgahi setelah
keluar dari Mina di luar wilayah Makkah.

16. Wanita Mengurai Rambutnya Saat Mandi Haid

f ^ s s y s s 0
' f 0 y y y ^

Jj — y j J l i i tjjJL^Jl <j i J ^ - f j . J$ y : c J l i AISJIP J-


y .y / / y O O y & 0 y y &
f Oy 0 f ?f *° t * | i 9 -'l* M'- o ^ 1 y f 0 y ,»1*-:, , .

C - H ^ A l ^ 1 ^jJ J^li Oy*x> J # Ol ^ 1 J A ) 'M ^


% o 1*-^ ^ ' o>> o s * .s i' „y o o% %o y *" i f T .»^ o J' > ] io f |
O 'S j L ^ ^ . p i «^«J cr ' J (* (tj***. C*lW j
y f- y y yy y y > y y 0 yy $ y , y
. 0 y''y , ^ ^* , y y 0 y * « - ' O - * , >• * 9 S .

5 4 0 — FATHUL BAARI
jl \>^A Oj gJU C-il&li ^-Jlllil C ^ f ^ 3 jS\J ^ 1 <j-*-^^
0 ' S ' 0 " s s

317. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, "Kami berangkat


bertepatan awal bulan Dzulhijjah, lalu Rasulullah SA W bersabda,
"Barangsiapa yang ingin ihram untuk umrah hendaklah ia
melakukannya, sebab kalau bukan karena aku telah membawa
hewan kurban, niscaya aku akan ihram untuk umrah. " Sebagian
orang ihram untuk umrah dan sebagian lagi ihram untuk haji, dan
aku termasuk orang yang ihram untuk umrah. Maka datanglah
hari Arafah sementara aku dalam keadaan haid. Akupun
mengadukan hal itu kepada Nabi SAW dan beliau bersabda,
"Tinggalkan umrahmu lalu urailah rambutmu dan sisirlah,
kemudian ihramlah untuk haji. "Akupun melakukan hal itu. Hingga
ketika malam hashbah beliau SAW mengutus saudaraku, -
Abdurrahman bin Abu Bakar- untuk menemani aku. Maka aku
keluar ke Tan 'im kemudian ihram untuk umrah. Hisyam berkata,
"Dalam hal ini tidak ada kurban, puasa maupun sedekah.' '' 1

Keterangan Hadits:

Maksud bab ini, apakah menyisir rambut saat mandi dari haid itu
termasuk wajib atau tidak? Adapun makna lahir hadits di atas mewajib-
kannya. Demikianlah yang dikatakan oleh Al Hasan dan Thawus bagi
wanita yang mandi karena haid, dan tidak wajib bagi wanita yang mandi
karena junub. Begitu pula yang dikatakan oleh Ahmad. Namun sejumlah
ulama madzhab Ahmad cenderung mengatakan bahwa mengurai rambut
bagi wanita hukumnya mustahab (disukai), baik mandi karena haid atau
junub.

FATHUL BAARI — 541


Ibnu Qudamah berkata, "Aku tidak mengetahui seorang pun yang
mengatakan, bahwa mengurai rambut adalah wajib bagi wanita saat
mandi karena haid maupun junub, kecuali apa yang dinukil dari Abdullah
bin Amr." Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Riwayat yang dimaksud dinukil
oleh Muslim dari Abdullah bin Amr. Dalam riwayat itu disebutkan
perkataan Aisyah yang mengingkari pendapat Abdullah bin Amr, namun
pada dasarnya dalam riwayat itu tidak ditemukan ketegasan bahwa beliau
mewajibkannya. Imam An-Nawawi berkata, "Pendapat seperti itu dinukil
oleh para ulama madzhab kami dari Imam An-Nakha'i."

Adapun jumhur ulama melandasi pendapat mereka tentang tidak


wajibnya perbuatan tersebut dengan hadits Ummu Salamah, J j L j U :'cJiS

V : Jl—i «—j'lSjJi Jlil'iiJjVif ^J] jib» i i f *fy J\ ibl (Ia (Ummu Salamah)

berkata, "Wahai Rasulullah SA W, sesungguhnya aku adalah wanita yang


memiliki sanggul rambut cukup besar, maka apakah aku harus
mengurainya saat akan mandi junub?" Rasulullah SAW bersabda,
"Tidak." (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain yang juga dinukil oleh Imam Muslim


disebutkan, i—i—ial»JJ (Pada saat mandi haid dan Junub). Lalu

mereka memahami perintah yang terdapat dalam hadits bab ini sebagai
perintah yang berindikasi istihbab (disukai) untuk memadukan dua
riwayat yang ada. Atau dapat pula kedua riwayat itu dipadukan dengan
menjelaskan secara detail, bahwa apabila air tidak sampai ke akar rambut
kecuali dengan membuka sanggul rambut, maka dalam kondisi demikian
rambut harus diurai. Sedangkan jika air dapat sampai ke akar rambut
tanpa harus membuka sanggul, maka rambut tidak perlu untuk diurai.

Pembahasan selanjutnya mengenai hadits ini akan dijelaskan pada


kitab haji, insya Allah.

5 4 2 — FATHUL BAARI
17. Yang Sempurna Kejadiannya dan yang tidak
Sempurna

j^j j * j ^ ^ ^ ' - ^ * y »j ^ j j ' j


' s s " ' s s s

* s s s s s s •» * , + , s H ' -fiso H' > > * '

j l jljl lili
t i j j Si I ^ fI ^^g**' f' T^'^ - < J ^ *AJ>- ^^J^JL

jf >: ^ L i ^ ? ^

318. Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi SAW, beliau
bersabda, "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mewakilkan
terhadap rahim (wanita) seorang malaikat yang mengatakan,
'Wahai Tuhanku, ini nuthfah (air mani); wahai Tuhanku, ini
alagah (segumpal darah); wahai Tuhanku, ini mudhghah
(segumpal daging).' Ketika Allah hendak menyempurnakan pen-
ciptaannya, maka malaikat bertanya, 'Apakah laki-laki atau
perempuan? Celaka atau bahagia? Bagaimanakah rezeki dan
ajalnya?' Semua itu dituliskan saat di perut ibunya."

Keterangan Hadits:

Dalam riwayat kami disebutkan bab penafsiran firman Allah SWT,


"Yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna." (Qs. Al Hajj :
5)

* — I * :
Ji*i (Wahai Tuhanku, ini air mani), yakni telah ada air
mani dalam rahim. Seman malaikat tentang ketiga hal ini tidaklah terjadi
sekaligus, melainkan berlangsung dalam waktu yang berbeda. Hal ini
dapat diketahui dari hadits Ibnu Mas'ud yang akan dijelaskan dalam kitab
Al Qadar, bahwa selang waktu antara seruan yang satu dengan seman
berikutnya adalah 40 hari. Sebagian faidah hadits Anas ini akan dibahas

FATHUL BAARI — 543


dalam kitab Al Qadar, demikian pula dengan cara memadukan antara
hadits Anas dan hadits Ibnu Mas'ud yang nampak kontroversial.

Adapun kesesuaian hadits Anas dengan judul bab ditinjau dari segi,
bahwa hadits Anas merupakan penafsiran firman Allah SWT. Konteks
yang lebih jelas dari hadits ini, adalah riwayat yang dinukil oleh Imam
Ath-Thabari dari jalur Dawud bin Abu Hind, dari Sya'bi, dari Al Qamah,
dari Ibnu Mas'ud. Ia berkata, <->j b' .-Jlii l&U «uii dJy ^ Jl Ji 5ikUi cj«5j \i\

«-'j *i : A&KJ, J l i J i j t l i i V^BJ» iiteu»'Ji-J l i i)\S ?ifiipxi 'Ji- J\ i H A i

C—i^Ji 'j—ZJi V* iia3( «jj! 4 ^ {Apabila air mani telah masuk ke dalam

rahim, maka Allah SWT mengutus malaikat, lalu berkata, "Wahai Tuhan,
yang sempurna ciptaannya ataukah yang tidak sempurna? " Apabila
Allah SWT menentukan tidak sempurna, maka air mani (nuthfah) itu
akan dikeluarkan oleh rahim dalam bentuk darah. Jika Allah SWT
menyatakan sempurna, maka malaikat kembali berkata, "Wahai Tuhan,
apakah sifat nuthfah ini? "Lalu ia menyebutkan hadits tersebut). Adapun
silsilah periwayatan hadits ini adalah shahih. Dari segi lafazh hukumnya
adalah mauquf (hanya sampai pada Ibnu Mas'ud), namun dari segi makna
kedudukannya adalah marfu' (sampai kepada Nabi SAW).

Selanjutnya dalam masalah ini, Imam Ath-Thabari telah menukil


beberapa perkataan para ahli tafsir. Dia berkata, "Yang tepat adalah
pendapat mereka yang mengatakan bahwa "yang sempurna" adalah
ciptaan yang dilahirkan dalam kondisi sempurna, sedangkan yang
dimaksud dengan "tidak sempurna" adalah janin yang gugur sebelum
sempurna bentuknya. Ini adalah pendapat Mujahid, Sya'bi dan selain
keduanya."

Ibnu Baththal berkata, "Maksud Imam Bukhari memasukkan hadits


ini di antara bab-bab tentang haid, adalah untuk menguatkan pandangan
mereka yang mengatakan bahwa wanita yang hamil itu tidak mengalami
haid. Ini adalah pendapat ulama Kufah, Ahmad, Abu Tsaur, Ibnu
Mundzir serta sejumlah ulama yang lain. Demikian pula pendapat Imam
Syafi'i yang lama. Adapun pendapat beliau yang baru menyatakan,
bahwa wanita hamil bisa saja mengalami haid. Pendapat ini dikemukakan

5 4 4 — FATHUL BAARI
pula oleh Ishaq. Sementara itu dari Imam Malik dinukil kedua pendapat
di atas sekaligus."
Aku (Ibnu Hajar) berkata, "Berdalil dengan hadits tersebut di atas
untuk menyatakan wanita hamil tidak mengalami haid masih mem-
butuhkan penelitian lebih lanjut, sebab adanya darah yang keluar dari
wanita hamil saat terjadi keguguran tidaklah berkonsekuensi bahwa darah
yang keluar dari wanita hamil -bukan dengan sebab keguguran- tidak
dianggap sebagai haid. Sedangkan pernyataan mereka bahwa darah yang
keluar dari wanita hamil hanyalah cairan yang keluar dari janin atau sisa
makanannya maupun darah yang rusak, masih dibutuhkan dalil yang
mendukungnya. Adapun riwayat yang disandarkan kepada nabi maupun
para sahabat dan tabi'in mengenai hal itu semuanya tidak dapat
dibuktikan keotentikannya. Sebab darah yang keluar dari wanita hamil
memiliki sifat darah haid dan pada waktu yang memungkinkan darah
haid keluar, maka hukumnya sama dengan darah haid. Barangsiapa yang
berpendapat bahwa darah itu bukanlah darah haid, maka ia harus
mengemukakan alasan. Adapun dalil mereka yang terkuat adalah;
sesungguhnya dengan dijadikannya haid sebagai pedoman untuk
mengetahui apakah rahim wanita kosong dari janin atau tidak, sungguh
hal itu merupakan keterangan paling kuat untuk menyatakan, bahwa
wanita hamil tidak mengalami haid. Sebab jika wanita hamil juga
mengalami haid, tentu keluarnya darah haid tidak dapat dijadikan
pedoman untuk mengetahui kosongnya rahim dari janin.

Ibnu Mundzir berdalil untuk menyatakan bahwa darah yang keluar


dari wanita hamil bukan termasuk darah haid, karena malaikat diserahi
urusan rahim orang yang hamil, sementara malaikat tidak akan memasuki
tempat yang ada kotoran ataupun yang tidak sesuai dengannya. Akan
tetapi perkataan ini dapat dijawab dengan mengatakan, bahwa Allah
menyerahkan urusan rahim kepada malaikat tidak berarti malaikat
tersebut masuk ke dalam rahim wanita yang hamil. Dari sisi lain,
perkataan Ibnu Mundzir tertolak dengan hujjahnya sendiri, karena pada
dasarnya semua jenis darah adalah kotor, wallahu a 'lam.

FATHUL BAARI — 545


18. Bagaimana Wanita Haid Melaksanakan Ihram Haji
dan Umrah?

O ' i * i ' h ' * rfli^ ' ' ' i '° ' ' ° 11 - ' T' ° '
J * UUJ ^Jij]\ 4S>KS>- ^ S g f ^JJ] ^ L > - Y > - I c J l i 4-JJlP ^ P

* ^ j ' ' ' ' '* o ' ' * fi


£ Z ' o J * *

:l|j§ 4—Ul J J t a i CASC» LUjJii ^ ^ - j J>A1 (j-* 1 ^ ? j J-ftl


• y yy y y y a a y yy y y

y
0 ..y >V
,
y
,
V
Oy
}T*
.
9 y
3
I ' /f 0
'
s
9
' ©
&
I -* >""'
&
i J'
:cJI—i j ^ J i J * l 4 j A a ^ J * u

* 0 j* yy y y * yy , O yy yy y
- ' 0
V fi I I f 0 0
t •' ' 9
' • \ s'" t l' I f 0
1 • 0

Oj o-*J VI J I A I 43 J P J15 ^j^- USJU>- J jl Ai C - s i ^ S


x o S " & /.Y Y YY OY Y Y 0 Y I YY
,Y 0 *. ,t 0« t Y | | l " F f ' -'F • f rfilti * *(l "f"

o J i \ j ~ TU»U J A I j Ja-ji^lj j ^ l j (j^JiJl Jl L$ A\ yYs


' y ** ** y " y
JKA&
£ y 0 y O £ . y ay y ' y y' # y % Oy ^ ' \ C* *
ls—'- ]
C / -C f ^ J ]
^ ^ * J * ^ < J ^ ^

y " ~ y y y.

319. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, "Kami berangkat


bersama Nabi SAW pada saat haji wada'. Di antara kami ada yang
ihram untuk umrah dan ada pula yang ihram untuk haji. Lalu kami
tiba di Makkah, maka Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa
yang ihram untuk umrah dan ia tidak membawa hewan kurban,
hendaklah ia tahallul. Barangsiapa yang ihram untuk umrah dan
membawa serta hewan kurbannya, maka tidak boleh tahallul
hingga selesai memotong hewan kurbannya. Barangsiapa yang
ihram untuk haji, hendaklah menyempurnakan hajinya'." Aisyah
berkata, "Aku mengalami haid, dan aku tetap berada dalam
keadaan haid hingga hari Arafah. Sementara aku tidaklah ihram
kecuali ihram umrah. Maka Nabi SAW memerintahkan kepadaku
agar membuka sanggul rambutku dan menyisirnya untuk ihram
haji dan meninggalkan umrah. Akupun melakukan perintahnya
hingga selesai melakukan haji. Lalu beliau SAW mengutus
Abdurrahman bin Abu Bakar bersamaku, dan beliau SA W me-

5 4 6 — FATHUL BAARI
merintahkan kepadaku untuk melaksanakan umrah dari Tan 'im
sebagai ganti umrah yang gagal aku laksanakan:''

Keterangan Hadits:

Maksud Imam Bukhari dalam bab ini adalah untuk menjelaskan


bahwa ihram wanita yang sedang haid adalah sah hukumnya. Adapun
makna "bagaimana " dalam judul bab di atas adalah untuk memberitahu-
kan keadaan dalam bentuk pertanyaan, bukan menanyakan cara atau
sifatnya. Berdasarkan keterangan ini, maka terjawablah kritikan sebagian
orang yang mengatakan bahwa hadits ini tidak sesuai dengan judul bab,
sebab dalam judul bab tidak disebutkan bagaimana cara ihram.

Pembahasan mengenai hadits ini akan diterangkan dalam pem-


bahasan tentang haji, insya Allah.

19. Awal dan Akhir Masa Haid

0
I F J o ' * ' ' 0
o i. ' i

0j iLvaJl 4_j t_JLw- jJl L^J <b»rjjJlj J l jjia-j (C; jS"j


1 i o ^ i ' F T' o * ' $ ' 9
i O i i Z" °'i o i ' f
"* i'

j s -WJ> f-UalJl C a i J l ,jJJ 'i J y ^


0 i 0
' FO * * I ' O o' o ' 'i' i oi °

j A ./3n,lb j y ^ i l f . H i il)l Ji ^ij C - • > AJLIJ 4.,?3j>«Jl


I S * i i i i

i i o i o i * ! ! ' ' ' " i


' ' o* oi o* O l

1j Aj£<aj ^ l l i J l jlS" C I c J l i i j J a J l J l ti'j£>, j l U l ^'y-


s *> ' "

Dahulu kami para wanita mengirim kepada Aisyah pembalut dari


kapas yang ada warna kekuning-kuningan, maka beliau (Aisyah)
berkata, "Janganlah kamu terburu-buru hingga melihat qushshah
al baidha \ " Maksudnya adalah suci dari haid. Telah sampai
kepada putri Zaid bin Tsabit bahwasanya para wanita minta

FATHUL BAARI — 5 4 7
dibawakan lampu di tengah malam untuk melihat apakah mereka
telah suci, maka Aisyah berkata, "Dahulu kaum wanita tidak
pernah melakukan yang demikian itu, dan beliau mencela
perbuatan tersebut:''

320. Telah diriwayatkan dari Aisyah bahwasanya Fathimah binti


Abi Hubaisy mengalami istihadhah, maka ia bertanya kepada Nabi
SA W, dan nabi bersabda, "Yang demikian itu adalah penyakit dan
bukan haid. Apabila telah datang waktu haid maka tinggalkanlah
shalat; dan apabila telah berlalu, maka mandilah dan laksanakan
shalat"

Keterangan Hadits:

Para ulama sepakat bahwa permulaan haid ditandai dengan keluar-


nya darah pada waktu-waktu yang memungkinkan datang haid. Lalu
mereka berbeda pendapat mengenai waktu berakhirnya haid. Sebagian
mengatakan hal itu diketahui apabila telah mengering, yakni jika
pembalut dikeluarkan dalam keadaan kering. Ada pula yang mengatakan
masa akhir haid diketahui dengan memperhatikan qushshah al baidha \
Imam Bukhari nampaknya lebih cenderung kepada pendapat ini, seperti
yang akan kami jelaskan.

Adapun yang dimaksud dengan qushshah adalah cairan putih yang


dikeluarkan oleh rahim saat berakhirnya masa haid, yakni hingga kapas
pembalut dikeluarkan dalam keadaan putih bersih. Hal ini mengindikasi-
kan bahwa cairan kuning dan coklat pada hari-hari haid dianggap sebagai
darah haid. Adapun di luar masa haid, maka akan dibahas pada bab

5 4 8 — FATHUL BAARI
tersendiri, insya Allah. Dalam hadits ini terdapat pula keterangan bahwa
qushshah al baidha" merupakan tanda berakhirnya haid dan mulainya
masa suci. Kemudian pendapat yang mengatakan bahwa tanda ber-
akhirnya haid itu diketahui dengan keringnya pembalut yang digunakan,
telah dibantah berdasarkan kenyataan bahwa pembalut kadang dikeluar-
kan dalam keadaan kering meski pada saat haid sedang berlangsung.
Oleh sebab itu, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai tanda berakhirnya
haid. Berbeda halnya dengan qushshah, yang mana ia adalah cairan putih
yang dikeluarkan oleh rahim saat berakhirnya masa haid. Imam Malik
berkata, "Aku tanyakan kepada wanita mengenai hal itu, ternyata hal itu
telah dikenal oleh mereka ketika datang masa suci."

CaLS J>. JJj c-L jJJj (Dan telah sampai kepada putri Zaid bin Tsabit)
Demikian yang terdapat dalam riwayat ini tanpa menyebutkan namanya,
seperti ini pula yang terdapat dalam kitab Al Muwaththa ' melalui riwayat
Abdullah bin Abu Bakar (yakni Ibnu Muhammad^ bin Amru bin Hazm)
dari bibinya dari putri zaid. Para ulama telah menyebutkan bahwa Zaid
memiliki beberapa anak perempuan; yaitu Hasanah, Amrah, Ummu
Kultsum dan selain mereka. Tapi aku tidak melihat di antara mereka yang
meriwayatkan hadits selain Ummu Kultsum, ia adalah istri Salim bin
Abdullah bin Umar, maka kemungkinan beliau yang dimaksud dalam
riwayat ini.

Lalu sebagian ulama yang menerangkan hadits ini mengatakan,


bahwa yang dimaksud adalah Ummu Sa'ad, alasannya adalah karena
Ibnu Abdil barr telah menyebutkannya dalam golongan para sahabat.
Tapi pernyataan Ibnu Abdil Barr ini tidak menjadi alasan bahwa beliau
yang dimaksudkan dalam hadits ini, sebab Ibnu Abdil Barr tidak pula
menyatakan bahwa beliau adalah pelaku dalam kisah di atas. Bahkan,
nama Ummu Sa'ad ini tidaklah sampai kepada beliau (Ibnu Abdil Barr)
dan tidak pula ulama-ulama lainnya kecuali melalui jalur Anbasah bin
Abdurrahman, sementara mereka telah mendustakan riwayat Anbasah. Di
samping itu, riwayat Anbasah ini nampak membingungkan (mudhtharib),

Pada catatan kaki cetakan Bulaq disebutkan, dalam salah satu naskah dikatakan, 'Ibnu Abu
Muhammad'. Namun yang benar adalah apa yang terdapat pada naskah asli kitab, yaitu
Ibnu Muhammad.

FATHUL BAARI — 549


sebab terkadang beliau menyebutkan dari putri Zaid bin Tsabit dan pada
kali lain beliau menyebutkan dari istri Zaid. Sedangkan para pakar di
bidang nasab (keturunan) tidak pernah menyebutkan, bahwa di antara
putri Zaid bin Tsabit terdapat seseorang yang bernama U m m u Kultsum.

Adapun bibi Abdullah bin Abu Bakar, Al Hadzdza", mengatakan


"Dia adalah Amrah binti Hazm bibi kakek Abdullah bin Abu Bakar. Di
sini beliau dikatakan sebagai bibi Abdullah bin Abu Bakar, bukan dalam
arti sebenarnya." Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Akan tetapi Amrah adalah
salah seorang sahabat generasi awal, dimana Jabir bin Abdullah yang
dikenal sebagai sahabat terkemuka telah menukil hadits dari Amrah,
sehingga pernyataan bahwa Amrah telah menukil riwayat dari putri Zaid
kemungkinannnya cukup jauh. Andaikata penukilan ini terbukti, maka
penukilan Abdullah bin Amr dari Amrah menjadi terputus, sebab
Abdullah tidak pernah bertemu Amrah. Sementara ada kemungkinan
yang dimaksud dengan bibi Abdullah adalah dalam makna sebenarnya,
mungkin yang dimaksud adalah Ummu Amr atau Ummu Kultsum,
wallahu a 'lam:''

t-\—*-^\ O'i' i* (Dahulu kaum wanita tidak pernah), maksudnya para


istri sahabat. Hanya saja Aisyah mencela perbuatan mereka, karena
mengarah kepada sikap berlebihan, sementara sikap berlebihan merupa-
kan perbuatan yang tercela. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Baththal
dan selainnya. Ada pula yang mengatakan bahwa sebab celaan tersebut
adalah karena pada masa itu bukanlah waktu untuk shalat. Namun
pernyataan ini kurang tepat, sebab malam adalah waktu shalat isya. Ada
pula kemungkinan celaan ini disebabkan karena pada waktu malam tidak
dapat membedakan secara jelas antara warna putih dan lainnya, sehingga
bisa saja mereka mengira telah suci padahal tidak demikian, sehingga
mereka shalat sebelum suci dari haid.

5 5 0 — FATHUL BAARI
20. Wanita Haid Tidak Mengqadha^ Shalat

Jabir bin Abdullah dan Abu Sa 'id berkata dari Nabi SA W, "Ia
(wanita haid) meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat"

I I I I I F I S I I I 1 , 1 1
L L L " L 9 O L* I L F O I . L & L L 0 * 1 1 i

Lg J*AV UIJL>-J tSjzH^ :5-iJUJ cJli oly\ j ' Siut* ^JJL>- Jli
' ' it **" £ ^ Z? O* ^ * O 1 1 1 9 J L L

u?"' ^c~>l ^Jj> " • c^JLai


?
*>li 3|§ ^ jJl J" o l i )
^> o ^ ^ ^ I I O £ S* }%I

321. Qatadah mengatakan, telah menceritakan kepadaku


Mu'adzah, bahwa seorang wanita berkata kepada Aisyah RA,
"Apakah cukup bagi salah seorang di antara kita shalatnya
apabila telah suci (tanpa melakukan qadha')?" Beliau berkata,
"Apakah anda seorang Haruriyah? Kami dahulu haid bersama
Nabi SAW namun beliau tidak memerintahkan kami untuk
mengerjakan (mengadha') shalat yang tertinggal selama haid. "
Atau Aisyah mengatakan, "Kami tidak melakukannya"

Keterangan Hadits:

(Wanita haid tidak mengqadha' shalat). Ibnu Mundzir telah


menukil kesepakatan ahli ilmu mengenai hal itu. Diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq dari M a ' m a r bahwa ia bertanya kepada Az-Zuhri mengenai
perkara tersebut, yaitu wanita haid tidak mengqadha' atau mengganti
shalat, maka Az-Zuhri menjawab, "Manusia telah sepakat demikian."
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dari segolongan Khawarij bahwa-
sanya mereka mewajibkan wanita haid untuk mengganti shalat yang

FATHUL BAARI — 551


ditinggalkannya selama masa haid. Sementara dinukil dari Samurah bin
Jundub bahwa beliau memerintahkan hal demikian, namun perbuatannya
itu diingkari oleh Ummu Salamah. Tetapi ulama sepakat bahwa wanita
yang haid tidak mengganti shalat yang ditinggalkannya selama masa
haid, seperti yang dikatakan Az-Zuhri dan ulama-ulama lainnya.

» J-JJ *—h\ X* 'Jl 'ySk j (Jabir bin Abdullah dan Abu Sa'id
berkata). Penggalan hadits yang diriwayatkan oleh kedua sahabat ini
telah disebutkan oleh Imam Bukhari secara maknawi (segi maknanya).
Adapun hadits Jabir merupakan makna dari apa yang beliau sebutkan
pada kitab Al Ahkam (hukum-hukum) melalui jalur Habib dari Atha' dari
Jabir se hubungan dengan kisah haidnya Aisyah ketika melakukan haji,
dimana disebutkan di dalamnya ^ Utf 'i j <Jjai 'i LjJl 'Js. (Hanya saja

beliau tidak thawaf dan tidak pula shalat). Demikian juga yang dinukil
Imam Muslim melalui Jalur Abu Zubair dari Jabir.

Adapun hadits Abu Sa'id merupakan makna dari riwayat beliau


yang telah disebutkan pada bab "Wanita Haid meninggalkan Puasa",
dimana di dalamnya disebutkan j»Jj J»J c-^l?- lil J~2\ (Bukankah
jika ia haid tidak shalat dan tidak puasa?).

Apabila dikatakan, mana letak kesesuaian antara judul bab dengan


kedua hadits di atas karena judul bab menerangkan tidak adanya qadha \
sedangkan kedua hadits ini menerangkan tidak mengerjakan (shalat)? Al
Karmani menjawab, bahwa kalimat —Lali Ju (meninggalkan shalat)

adalah menunjukkan melaksanakan dan qadha' secara mutlak. Namun


jawaban ini kurang sesuai, sebab larangan untuk mengerjakan shalat
berlangsung pada masa haid, seperti nampak dari konteks kedua hadits di
atas.
Adapun menurut pandangan saya, bahwa Imam Bukhari sengaja
menyebutkan penggalan hadits Jabir dan Abu Sa'id, untuk menunjukkan
bahwa wanita haid tidak mengerjakan shalat. Selanjutnya keterangan
bahwa wanita yang haid tidak wajib mengganti atau menqadha' shalat
yang ditinggalkannya, adalah berdasarkan hadits Aisyah RA. Dengan
demikian, penggalan hadits tersebut disebutkan sebagai pendahuluan
hadits Aisyah yang substansinya sesuai dengan judul bab, wallahu a'lam.

5 5 2 — FATHUL BAARI
(Apakah cukup), yakni apakah cukup bagi seorang wanita
dengan shalat yang ia lakukan dalam keadaan suci dan tidak perlu
mengganti shalat yang ditinggalkannya selama haid?

*—OJj*"' (Apakah anda seorang Haruriyah) Haruriyah dinisbatkan


kepada Harura\ yaitu daerah yang terletak 2 mil dari Kufah. Atau
dikatakan bahwa Haruri adalah orang yang berkeyakinan seperti
madzhab Khawarij Haruri, karena kelompok pertama yang memberontak
Ali berasal dari daerah tersebut sehingga mereka masyhur dinisbatkan
kepada daerah itu. Sementara madzhab Khawarij ini terpecah dalam
berbagai kelompok. Akan tetapi di antara dasar yang mereka sepakati
adalah menerima ketetapan yang disebutkan oleh Al Qur'an dan menolak
semua ketetapan tambahan yang dimuat oleh hadits, sehingga Aisyah
bertanya kepada Mu'adzah dengan pertanyaan yang berkonotasi peng-
ingkaran, (apakah anda seorang Haruri?).

Imam Muslim menambakan dalam riwayat Ashim dari Mu'adzah,


ia berkata "Tidak, akan tetapi aku hanya bertanya", yakni sekedar ingin
mengetahui dan bukan untuk menjelekkan atau mencela. Aisyah
memahami bahwa wanita itu minta dalil yang membuktikan hal itu, maka
Aisyah menjawab tanpa mengemukakan alasannya.

Adapun alasan yang disebutkan oleh para ulama untuk


membedakan antara puasa dan shalat adalah, bahwa shalat adalah ibadah
yang berulang-ulang, maka tidak wajib diganti karena hal itu akan
menyusahkan, berbeda dengan puasa. Sedangkan mereka yang mengata-
kan bahwa perbedaan tersebut adalah karena wanita haid masuk dalam
perintah puasa, maka mereka harus membuktikan bahwa wanita tidak
masuk dalam perintah shalat.

Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Sikap Aisyah yang tidak memerintah-


kan qadha' shalat bagi wanita yang haid, karena memang tidak
diperintahkan, mengandung dua kemungkinan. Pertama, Aisyah meng-
ambil kesimpulan bahwa tidak adanya kewajiban mengganti shalat
adalah berdasarkan tidak adanya kewajiban untuk melakukannya di saat
haid. Maka kesimpulan ini harus senantiasa dipegang hingga ditemukan
keterangan lain yang berbeda dengannya, yaitu perintah yang
mengharuskan mengganti shalat yang ditinggalkan pada masa haid

FATHUL BAARI — 553


sebagaimana halnya puasa. Kedua, - d a n ini lebih tepat- bahwa keadaan
mengharuskan dijelaskannya hukum ini, karena kejadiannya akan terus
berulang-ulang menimpa istri-istri Nabi SAW. Oleh karena penjelasan
yang dimaksud tidak ada, maka hal itu menjadi bukti tidak adanya
kewajiban untuk m e n g q a d h a \ apalagi masalah ini berkaitan dengan
perintah mengqadha' puasa seperti disebutkan dalam riwayat Ashim bin
Mu'adzah oleh Imam Muslim.

*—Utf —i c J l i jl 4J \j'y>\j ^ (Nabi tidak memerintahkan kami untuk

mengerjakannya. Atau Aisyah berkata, "Kami tidak mengerjakannya")


Demikian lafazh yang terdapat dalam riwayat ini, yakni ada unsur
keraguan. Sementara dalam riwayat Al Isma'ili dari jalur lain disebutkan,
j—i °j—"'y —I j ^—JISJ j — ^ 'f—^ (Kami tidak mengqadha' dan tidak pula
diperintahkan untuk mengqadha "nya).

Ungkapan (Kami tidak mengqadha') jauh lebih kuat untuk dijadi-


kan dalil tidak wajibnya mengqadha' shalat yang ditinggalkan selama
haid, dibandingkan perkataannya (Kami tidak diperintah mengqadha'-
nya), sebab lafazh ini mengandung kemungkinan bahwa mereka tidak
diperintah lagi untuk mengganti. Karena untuk menunjukkan kewajiban
qadha' cukup dengan dalil yang bersifat umum, wallahu a 'lam.

21. Tidur Bersama Wanita yang sedang Haid dan Dia


Memakai Pakaiannya

s s st f o 0 I,- » ' |' f • f ' - ' l ' f ° ' " ' '
£A Ulj c . icJli < U J L » j»l j l <UJ_^. C^l; o j f j &

s f 0 s s o s O s s ' s 0
' s 6 ' ' s ° 1 2 S

i__j| J oii-l s 'w c ^ > r ^ > c i CULLJIJ 2_L»>J| 3p| ^ J l

»j : o li ?c~~ijl 5JJI Jyj J JUii U ^ i ^ J i ^JJO^S>-

!Jjjg ^ lil j l (_5^JJI>-j :<^JU> .ALJ^JI ^ 4JV« ^ ^ J i o l i ^S-PJi

5 5 4 — FATHUL BAARI
322. Telah diriwayatkan Zainab binti Abu Salamah dari Ummu
Salamah, ia berkata, 'Aku haid sementara aku bersama Nabi
dalam satu selimut. Maka aku turun bergerak secara perlahan dan
keluar darinya, lalu aku mengambil pakaian haidku dan
mengenakannya. Maka Nabi SAW bertanya kepadaku, 'Apakah
engkau sedang haid?' Aku menjawab, 'Ya.' Beliau SA W me-
manggilku dan memasukkanku dalam selimutnya. "Zainab berkata,
"Beliau menceritakan kepadaku bahwa Nabi SAW biasa mencium
Aisyah sementara beliau SAW sedang berpuasa. Aku pernah mandi
bersama Nabi SAW dari satu bejana karena junub."

Pembahasan mengenai hadits ini telah diterangkan dalam bab


Orang yang menamakan nifas dengan haid. "

22. Memakai Pakaian Haid Selain Pakaian Pada Waktu


Suci

'.c- la* ?C-~~Jul '. jLai ^jJfiL^>- C_->LJ O-i^-L) cJLLJls t c - i >
' o ^ A oi ' 0 ' ii' O ii
.SJL^O^TJI J AJU» OJOrtJa-stfli jlpJi I^JU

323. Telah diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, "Ketika


aku bersama Nabi SAW sedang tidur dalam satu selimut, tiba-tiba
aku mengalami haid. Aku pun keluar dengan perlahan lalu
mengambil pakaian haidku. Nabi bertanya, 'Apakah engkau haid?'

FATHUL BAARI — 5 5 5
Aku menjawab, 'Ya.' Maka beliau memanggilku dan akupun
berbaring bersamanya dalam satu selimut."
Pembahasan mengenai hadits ini juga telah diterangkan dalam bab
"orang yang menamakan nifas dengan haid. "

23. Wanita Haid Turut Hadir pada Shalat Dua Hari


Raya dan Dakwah Kaum Muslimin, tapi Mereka Tidak
Mendekati Mushalla

O s-^ s' s' s' O


O s- . , s 0 * O s t * s m l' ' > s9 s .\# O » s ,s 9 s-

( j J-UAJI *J ?rY^J j l UJJJlYF- £ l * J LS l O J l i 4-*2JL>- ^


S S S % s' ^ S s' s' s' s' & s' s' s'

. • ^ i ' o f 0
' ° i.* ' * i ' s s a „o i' '. *f' 0
, ' _.
> s s ? s s s * s ' £ * O s

cJl—l~i P>]*Jl L r cjijj t ^ * ^ ' Lis" :cJli ^

v jf L \ — L g j j ili uia^i J p i y i i ^ 1
^ ' s •
s ^ss o ^ as o ^ j o ° j ' ' ' j o

cJl * L S -
^ C J « ^ W I L^iSll- A J I P ^»1 c—*Si LJU . j ^ L ^ J l
' J o ^ •* •* J Jo s i o ' ' * *j * ° „ ' , , ' ' a s s i

^yS; -Jj^i o u ^ — ^jjlj :cJli VI aJS^JJ V c—ili'j —

£j ° ' J J * ' ' j ^ • ° C JJ * ' ' ' j ^ ^ ° 0- 0-

(j
->Jlj jjJL__>Jl o l j Jlj*Jl jl jjJ>Jl o l j i j (jJlj*Jl
' * ^s ^ J> 8
^ ^ o ° o^^ o ° ^o o °^

s s s s s s s s ^ ^ ' S ' ^ $J ° J 9
* ' * y ° s

. I J 5 ' j IJlS'j A*jP JL^IiJ ^pJl cJUi ^^fiil^Jl C-iii :Avajb-

324. Te/a/i diriwayatkan dari Hafshah, ia menyatakan, "Dahulu


kami melarang gadis-gadis untuk keluar mengikuti pelaksanaan

5 5 6 — FATHUL BAARI
shalat dua hari raya (shalat Ted). Lalu datang seorang wanita dan
menginap di istana bani Khalaf, kemudian wanita itu mencerita-
kan kabar dari saudara perempuannya -dan konon suami saudara
perempuannya sempat mengikuti peperangan bersama Nabi SA W
sebanyak 12 kali, dan saudara perempuannya sendiri sempat
mendampingi suaminya sebanyak 6 kali dari jumlah peperangan
tersebut- dia berkata, "Kami biasa mengobati orang yang terluka
dan menolong orang yang sakit. Lalu saudara perempuanku
bertanya kepada Nabi SAW. 'Apakah ada masalah bagi salah
seorang di antara kami apabila tidak memiliki jilbab untuk keluar
(rumah)?' Nabi SAW bersabda, 'Hendaklah sahabatnya memin-
jamkan jilbabnya kepada wanita tersebut dan hendaklah ia
menghadiri kebaikan serta dakwah kaum muslimin'." Ketika
Ummu Athiyah datang, akupun bertanya kepadanya, "Apakah
engkau pernah mendengar Nabi SAW bersabda (seperti itu)?"
Beliau menjawab, "Demi Bapakku, benar! -dan ia tidak menyebut
Nabi SAW kecuali ia mengatakan 'Demi Bapakku'- aku men-
dengar beliau SAW bersabda, 'Gadis-gadis dan wanita-wanita
pingitan- atau gadis-gadis pingitan- serta wanita-wanita haid
keluar untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum mukminin,
lalu wanita-wanita haid menjauhi mushalla'. " Hafshah berkata,
"Aku berkata, 'Dan wanita-wanita haid?'" Beliau menjawab,
"Bukankah ia boleh hadir di Arafah dan tempat ini dan ini?"

Keterangan Hadits:

(Gadis-gadis), yakni mereka yang telah mencapai usia baligh


ataupun telah mendekati masa baligh serta telah siap memasuki masa
nikah, atau yang dimaksud adalah gadis yang dimuliakan dalam
keluarganya dan tidak disuruh melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah
(dipingit). Seakan-akan mereka mencegah gadis-gadis untuk keluar
disebabkan kerusakan yang terjadi setelah generasi pertama. Sementara
para sahabat tidak berpandangan demikian, bahkan mereka beranggapan
hukum bolehnya wanita keluar tetap berlangsung sebagaimana yang
terjadi di zaman Nabi SAW.

FATHUL BAARI — 557


«ij—*' c~»Xa (Lalu datang seorang wanita). Aku tidak menemukan
nama wanita yang dimaksud. Adapun istana bani Khalaf terdapat di
Bashrah yang dinisbatkan kepada Thalhah bin Abdullah bin Khalaf Al
Khuza'i, yang dikenal dengan nama Thalhah Ath-Thalahaat dimana ia
pernah memegang pemerintahan di Sijistan.

W3—s*-f j — £ cSi^d (Kemudian wanita itu menceritakan khabar dari


saudara perempuannya). Dikatakan bahwa yang di maksud adalah
Ummu Athiyah, dan apa pula yang mengatakan bukan Ummu Athiyah
dimana Al Karmani cenderung kepada pendapat terakhir ini. Apabila
benar yang dimaksud adalah Ummu Athiyah, kami juga tidak mengenal
nama suaminya.

L$_iLbr J (Jilbabnya). Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud


adalah jenisnya, yakni hendaklah ia meminjamkan kepada saudaranya
pakaian yang tidak ia pergunakan. Adapula yang mengatakan maknanya
adalah hendaknya ia menyertakan saudaranya untuk bersama-sama
mengenakan pakaian yang sedang ia pakai. Perbedaan pendapat ini
timbul karena perbedaan penafsiran makna jilbab itu sendiri. Sebagian
mengatakan bahwa jilbab adalah, penutup muka, kerudung atau sesuatu
yang lebih lebar darinya. Pendapat lain mengatakan jilbab adalah pakaian
luas dipakai di bawah selendang. Adapula yang mengatakan sarung,
selimut, dan ghamis (baju).

^—LAUI ja^tj^ Jr*ij (Lalu wanita-wanita haid menjauhi mushalla).


Perintah untuk menjauhi mushalla dipahami oleh jumhur ulama sebagai
perintah mustahab (disukai untuk dilakukan), sebab mushalla bukan
termasuk masjid yang mengharuskan wanita haid dilarang memasukinya.
Sementara Al Karmani mengeluarkan pendapat yang ganjil, beliau
berkata, "Menjauhi mushalla bagi wanita haid merupakan kewajiban,
sedangkan untuk keluar dan menghadiri pelaksanaan shalat 'Ied bagi
mereka adalah mustahab (disukai)." Padahal beliau telah menukil dari
Imam An-Nawawi pendapat yang membenarkan pandangan yang me-
ngatakan tidak wajib.

Ibnu Al Munir berkata, "Hikmah wanita haid menjauhi mushalla


adalah, bahwa dengan kehadiran mereka bersama wanita lain yang shalat

5 5 8 — FATHUL BAARI
sedangkan mereka tidak shalat merupakan fenomena peremehan terhadap
shalat. Maka disukai bagi mereka menjauhi hal tersebut."

\±Sj lAS"j (Ini dan ini), yakni Muzdalifah, Mina dan sebagainya. Di
sini terdapat keterangan bahwa wanita haid tidak dicegah menghadiri
tempat-tempat kebaikan seperti majelis-majelis ilmu dan dzikir selain
masjid, sebagaimana hadits ini juga merupakan larangan bagi wanita
keluar rumah tanpa memakai jilbab, serta faidah-faidah lain yang akan
dirinci pada pembahasan Shalat Dua Hari Raya, insya Allah Ta 'ala.

24. Jika Wanita Mengalami Tiga Kali Haid dalam


Sebulan. Apa yang Dibenarkan bagi Wanita Selama
Haid atau Hamil dan Apa yang Mungkin dari Haid

Berdasarkan firman Allah SWT, "Dan tidak halal bagi mereka


untuk menyembunyikan apa yang diciptakan oleh Allah di dalam rahim-
rahim mereka" i.Qs. Al Baqarah (2): 2 2 8 ^

9 i' s i O (• „ ' i \ O ^ y^y O y . / O Oy f f # i y 9 y f . J-

L^JjM 4jli2J ^y* 4JL^J C-~£-b>r Ol jA\ j | \ £tj j - ^ J ^5 J j J

i \ ' '\ t - "* 0


~' * 0
', • i i'" i I ' i '
5
' *f * **° ' 0
*
—hs- Jl 5j . c - 3 w L ^ ^ 3 \J% c ^ ? l > - i^Ji 4 i p ^>ji
o y

y if ^ 9 y y yy ^ y y y y % 9y

^—Si :?.Lkp J L» j Q J l i AJ j . c J l S " C lijf/l


*0 y °, y y 9 9 y 9 f y O & 9 y t* y9 f \ „ -' . 9
' y 9 y

olj «J' ^ j j j y \ oJL>* I<-oi ^oJJc* < j l £ j .o


" \ r • 'f ® f i 2>. ^t i- i y 0 y t y 9 * y 9 y & t, yy

.kiJLJjb (.JLPI frCJl :Jl» ?fU j L - ^ Qiy J»JJI <_£y

Disebutkan dari Ali dan Syuraih, "Jika seorang wanita datang


dengan membawa bukti berupa keluarga terdekatnya yang diridhai
agamanya, bahwa wanita tersebut telah haid sebanyak tiga kali

FATHUL BAARI — 559


dalam sebulan, maka pernyataannya dibenarkan. " Atha* berkata,
"Masa iddahnya adalah sama seperti sebelumnya. "Demikian pula
pendapat Ibrahim. Atha* berkata, "Haid itu sehari hingga 15
hari. " Mu 'tamir berkata dari bapaknya, "Aku bertanya kepada
Ibnu Sirin tentang wanita yang melihat darah setelah 5 hari dari
masa sucinya, beliau menjawab, Wanita lebih mengetahui hal
itu'."

Keterangan

Imam Bukhari ingin mengisyaratkan kepada penafsiran ayat


tersebut. Telah diriwayatkan oleh Ath-Thabari dari jalur periwayatan
yang shahih dari Az-Zuhri, ia berkata, "Telah sampai kepada kami bahwa
yang dimaksud dengan apa yang diciptakan oleh Allah di dalam rahim
mereka adalah kandungan dan haid, maka tidak halal bagi mereka
menyembunyikan hal itu demi untuk mengakhiri masa iddah sehingga
tertutup kesempatan bagi suami untuk ruju'."

Telah diriwayatkan pula melalui jalur hasan dari Ibnu Umar, ia


berkata, "Tidak halal bagi wanita jika haid untuk menyembunyikan
haidnya, atau jika hamil menyembunyikan kandungannya." Sedangkan
dari Mujahid diriwayatkan, "Tidak boleh bagi wanita mengatakan
sesungguhnya aku haid padahal ia tidak haid, dan tidak boleh pula
mengatakan aku tidak haid padahal ia dalam keadaan haid. Demikian
pula halnya dengan kandungan."

Adapun kesesuaian judul bab dengan ayat ini adalah, bahwa ayat
tersebut menerangkan kewajiban bagi para wanita untuk menampakkan
apa adanya. Jika mereka tidak dipercaya dalam hal tersebut, maka tidak
akan ada faidahnya.

£• JZJSJ (Dan disebutkan dari Ali). Riwayat ini disebutkan


secara bersambung oleh Ad-Darimi sebagaimana yang akan disebutkan,
dan para perawinya termasuk perawi yang tsiqah (terpercaya). Hanya
saja Imam Bukhari tidak menukilnya dengan riwayat yang secara tegas
menunjukkan kebenaran riwayat tersebut, karena mendengarnya Sya'bi

5 6 0 — FATHUL BAARI
dari Ali masih diragukan. Ia tidak mengatakan bahwa ia mendengarnya
dari Syuraih, sehingga dapat dinyatakan jalur riwayatnya tidak terputus.

I^IAI jjJUaj JA i£j (Membawa bukti berupa keluarga terdekatnya).


Ismail Al Qadhi berkata, "Ungkapan tersebut tidak dimaksudkan bahwa
kaum wanita menyaksikan hal itu terjadi, namun -menurut pendapat
kami- cukup bagi mereka menyatakan bahwa yang seperti itu bisa saja
terjadi dan telah terjadi pada wanita kerabat mereka." Aku (Ibnu Hajar)
katakan, "Konteks kisah di atas menolak penakwilan seperti ini."

Ad-Darimi berkata, telah menceritakan kepada kami Ya'la bin


Ubaid dari Isma'il bin Abu Khalid, dari Amir (yakni Sya'bi). Ia berkata,
"Seorang wanita datang kepada Ali mengajukan tuntutan terhadap
suaminya yang telah menceraikannya. Wanita itu berkata, 'Aku telah
mengalami haid dalam sebulan sebanyak 3 kali.' Maka Ali berkata
kepada Syuraih, 'Beri keputusan di antara keduanya.'Syuraih berkata,
'Wahai Amirul mukminin, apakah aku memberi keputusan di antara
keduanya sedangkan anda ada di sini?' Kemudian beliau berkata, 'Jika ia
mendatangkan saksi dari keluarga terdekatnya yang diridhai agama dan
dapat dipercaya, dan saksi tersebut menyatakan bahwa wanita ini telah
me-ngalami haid 3 kali dalam sebulan dimana ia suci setiap kali haid dan
melaksanakan shalat, maka perkataan wanita ini diterima. Jika tidak,
maka tidak diterima.' Ali berkata, 'Anda telah memutuskan dengan
baik." Riwayat ini secara lahiriah menyatakan bahwa wanita tersebut
harus mengalami haid, hanya saja Isma'il sengaja menolak kisah ini
karena sikap fanatisme terhadap madzhab yang diikutinya.

Adapun perkataan Atha", bahwa yang dijadikan pedoman dalam


masalah ini adalah kebiasaan wanita tersebut sebelum ditalak oleh
suaminya. Artinya jika wanita tersebut mengaku dalam masa iddahnya
mengalami sesuatu yang berlainan dengan sebelumnya, maka pengakuan-
nya tidak dapat diterima. Riwayat ini dinukil oleh Abdurrazzaq dari Ibnu
Juraij dari Atha'.

FATHUL BAARI — 561


s ' , s s . < ' y i y y

'i 0
U - <*5i£> * *ti t f'' °^,>
f ' 0
' t t* f t' 0
'
" y ' y f " y y

325. 7e/a/z diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Fathimah binti Abi


Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW, "Aku senantiasa mengalami
istihadha dan tidak pernah suci, apakah aku (harus) meninggalkan
shalat?" Nabi SAW bersabda, "Tidak, sesungguhnya yang
demikian itu adalah penyakit. Akan tetapi tinggalkanlah shalat
sejumlah hari-hari yang engkau biasa mengalami haid, kemudian
mandilah dan shalatlah."

Keterangan Hadits:

Kesesuaian hadits ini dengan judul bab di atas adalah pada sabda
beliau SAW "Sejumlah hari-hari yang biasa engkau mengalami haid",
dimana beliau SAW menyerahkan hal itu kepada kejujuran dan
kebiasaannya, dan yang demikian itu tidak sama bagi setiap individu.
Lalu para ulama berbeda pendapat tentang batas minimal dan maksimal-
nya masa haid.

Telah dinukil dari Ad-Dawudi, para ulama telah sepakat bahwa


batas maksimal masa haid adalah 15 hari. Lalu Abu Hanifah berkata,
"Batas minimal masa suci dan masa haid tidak pernah sama." Untuk itu
batas minimal berakhirnya masa iddah menurut beliau, adalah 60 hari.
Sementara kedua sahabat beliau mengatakan, batas minimal masa iddah
adalah 39 hari. Ini berdasarkan batas minimal masa haid (3 hari) dan
batas minimal masa suci (15 hari). Ats-Tsauri berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan lafazh quruu' dalam ayat di atas adalah masa haid.

Sedangkan Imam Syafi'i berkata, "Yang dimaksud dengan quruu *


adalah masa suci, dan batas minimalnya adalah lima belas hari,
sedangkan batas minimal masa haid adalah sehari semalam." Dengan
demikian, batas minimal masa iddah menurut beliau adalah 32 hari lebih

5 6 2 — FATHUL BAARI
sedikit. Pendapat ini sesuai dengan kisah Ali dan Syuraih yang telah
disebutkan.

25. Cairan Kuning dan Coklat selain Masa Haid

.Uli oyCaJlj oJJLSSJI JL*J ^ lis' : o J l i SlJaP J»I j^P

326. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata, "Kami dahulu


biasa tidak menggubris sedikitpun cairan berwarna coklat dan
yang kekuning-kuningan"

Keterangan Hadits:

Imam Bukhari ingin memberi isyarat tentang cara mengompromi-


kan antara hadits Aisyah yang berbunyi » 1 — ; 0~<Le&\'JtjJ*- (Hingga
engkau melihat qushah baidha' {cairan putih}) dengan hadits U m m u
Athiyah yang tersebut dalam bab ini, dimana hadits Aisyah menerangkan
bahwa cairan yang berwarna coklat dan kekuning-kuningan dianggap
sebagai haid bila terlihat pada masa-masa haid. Sedangkan bila terlihat
pada selain masa haid, maka hukumnya seperti yang dikatakan oleh
Ummu Athiyah.

J *i V u» (Kami biasa tidak menggubris), yakni pada zaman Nabi


SAW sementara beliau SAW mengetahuinya. Dengan demikian, hadits
ini digolongkan sebagai hadits yang marfu' (sampai kepada Nabi SAW).
Inilah pandangan Imam Bukhari yang mengatakan bahwa ungkapan
seperti ini masuk dalam kategori marfu' meskipun sahabat tidak
menyandarkan langsung kepada zaman Nabi SAW. Pendapat ini telah
didukung oleh Al Hakim dan ulama-ulama lainnya, berbeda dengan
pendapat Al Khathib.

Uli. (Sedikitpun), maksudnya mereka tidak menganggapnya sebagai


haid. Dalam riwayat Abu Dawud melalui jalur Qatadah dari Hafshah,

FATHUL BAARI — 5 6 3
dari Ummu Athiyah disebutkan, Uli J^ai\ JJJ ~»JCai\j ij°jJ>S\ 'AiS'i & (Kami

tidak menggubris sedikitpun cairan berwarna coklat dan yang kekuning-


kuningan yang keluar setelah suci dari haid). Riwayat ini sesuai dengan
judul bab yang disebutkan oleh Imam Bukhari, wallahu a 'lam.

26. Penyakit Istihadhah

U ») : Jl ii J - ~ £ J j l UV^U dita ^ z|t ^ * Jy*j cJt-~9

. ijCa j!xJ J—i*? C - i l ^ i (Jjjf

327. Diriwayatkan dari Aisyah -istri Nabi SAW- bahwasanya


Ummu Habibah mengalami istihadhah selama 7 tahun, maka ia
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu. Nabi SAW
memerintahkannya untuk mandi, dan bersabda, "Ini adalah
penyakit. " Maka dia (Ummu Habibah) senantiasa mandi setiap
kali hendak melaksanakan shalat.

Keterangan Hadits:

j ^ , — ^ c.Vi^.-.'..)! (Mengalami istihadhah selama 7 tahun). Telah

dikatakan bahwa keterangan ini merupakan hujjah bagi Ibnu Qasim yang
berpendapat, bahwa wanita mustahadhah tidak perlu mengganti shalat
yang ditinggalkannya apabila ia mengira bahwa darah yang keluar
tersebut adalah darah haid, karena Nabi SAW tidak memerintahkan
Ummu Habibah untuk mengulangi shalat yang ditinggalkannya sekian
lama. Namun ada pula kemungkinan maksud perkataannya, "selama
tujuh tahun " adalah penjelasan mengenai lama istihadhah yang dialami
oleh U m m u Habibah, tanpa ada kaitannya apakah masa tersebut sebelum

5 6 4 — FATHUL BAARI
adanya pertanyaan ini atau sesudahnya. Dengan demikian tidak dapat
dijadikan hujjah (argumentasi) untuk pendapat di atas.

J — 3 t i Jl I »yls (Nabi SAW memerintahkannya untuk mandi). Al

Isma'ili menambahkan ^-^j (dan shalat), demikian juga yang disebut-


kan dalam riwayat Imam Muslim. Adapun perintah untuk mandi bersifat
mutlak dan tidak berindikasi untuk dilakukan berulang kali. Kemungkin-
an Ummu Habibah memahami dari lafazh tersebut adanya keharusan
untuk mandi berulang kali berdasarkan dalil atau faktor lain, oleh karena
itu ia mandi setiap kali akan melaksanakan shalat.

Sehubungan dengan ini, Imam Syafi'i berkata, "Sesungguhnya


Nabi SAW memerintahkan Ummu Habibah untuk mandi dan shalat,
tetapi Ummu Habibah mandi setiap kali hendak melaksanakan shalat
adalah sebagai perbuatan suka rela (sunah)." Hal yang serupa adalah
riwayat Sa'ad dalam kitab Shahih Muslim, "Ibnu Syihab tidak menyebut-
kan bahwa Nabi SAW memerintahkan Ummu Habibah untuk mandi
setiap kali akan shalat, akan tetapi perbuatan tersebut merupakan inisiatif
Ummu Habibah sendiri."

Pendapat ini merupakan pandangan mayoritas Ulama, dimana


mereka berkata, "Wanita mustahadhah tidak wajib mandi setiap kali akan
melaksanakan shalat, kecuali jika bingung dan ragu-ragu. Tetapi ia harus
wudhu setiap kali shalat." Pendapat ini diperkuat oleh riwayat yang
dinukil oleh Abu Dawud dari jalur Ikrimah, yang disebutkan, "Ummu
Habibah mengalami istihadhah, maka Nabi SAW memerintahkannya
untuk menunggu masa sucinya, kemudian mandi dan shalat. Jika setelah
itu ia melihat sesuatu dari itu (darah istihadhah), maka ia mandi dan
shalat"

Al Muhallabi berdalil dengan lafazh hadits, 'A* (Ini adalah


penyakit) untuk menunjukkan bahwa Nabi tidak mewajibkannya mandi
setiap kali hendak melaksanakan shalat, karena darah penyakit tidak
mewajibkan mandi.
Adapun riwayat Abu Dawud dari Sulaiman bin Katsir dan Ibnu
Ishaq dari Az-Zuhri berkenaan dengan hadits di atas menyebutkan,

FATHUL BAARI — 565


W — J x J J-l-iJtj (Maka Nabi SAW memerintahkannya untuk mandi setiap
kali akan shalat). Maka para ahli hadits telah menganggap tambahan
keterangan ini kurang akurat, sebab para murid Imam Az-Zuhri yang
terkemuka tidak menukil lafazh seperti itu dari Imam Az-Zuhri. Telah
ditegaskan oleh Imam Laits -seperti disebutkan terdahulu- bahwa Imam
Az-Zuhri tidak menyebutkan keterangan seperti itu. Tetapi diriwayatkan
juga oleh Abu Dawud melalui jalur Yahya bin Abu Katsir dari Abu
Salamah, dari Zainab binti Abu Salamah, sehubungan dengan hadits di
atas, —'-e J f J I P J-~X*J ot labili (Maka Nabi SAW memerintahkannya

untuk mandi setiap kali akan shalat). Untuk itu, perintah di sini dipahami
sebagai perintah yang bersifat mustahab (disukai), bukan wajib. Hal itu
untuk memadukan antara dua riwayat yang ada, yakni riwayat ini dengan
riwayat Ikrimah.

Sementara Al Khaththabi memahami hadits di atas, bahwa U m m u


Habibah ragu-ragu atau bingung tidak dapat memastikan kapan masa
sucinya. Tetapi pandangan ini perlu dikaji kembali, karena telah
diterangkan terdahulu dalam riwayat Ikrimah bahwa Nabi SAW
memerintahkan Ummu Habibah untuk menunggu masa sucinya.

Dalam riwayat Imam Muslim melalui jalur Arrak bin Malik dari
Urwah, sehubungan dengan kisah ini dikatakan, "Maka Nabi SAW
bersabda kepadanya, di 7>1» <ilLJ*j c i l f U jji °^&j>\ (Tunggulah selama

masa biasa engkau mengalami haid). Serupa dengan ini dinukil pula oleh
Abu Dawud dari jalur Al Auza'i, dan Ibnu Uyainah dari Az-Zuhri. Akan
tetapi, adanya keterangan ini dalam riwayat Imam Az-Zuhri dipungkiri
oleh Abu Dawud. Sebagian mereka berpendapat bahwa U m m u Habibah
tidak dapat membedakan antara masa haid dan masa istihadhah.

Untuk menjawab keterangan di atas, yaitu dengan mengatakan


bahwa sabda beliau SAW "Maka Nabi SAW memerintahkannya untuk
mandi setiap kali akan shalat", yakni mandi untuk menghilangkan darah
yang ada, karena yang demikian itu termasuk membersihkan diri dari
najis yang merupakan syarat sahnya shalat. Imam Ath-Thahawi berkata,
"Hukum dalam hadits Ummu Habibah telah dihapus oleh hadits Fatimah
binti Abu Hubaisy," karena dalam hadits Fatimah terdapat tambahan

5 6 6 — FATHUL BAARI
perintah untuk wudhu setiap kali akan shalat. Tetapi lebih tepat bila
kedua versi riwayat di atas dipadukan dengan mengatakan, bahwa
perintah yang ada dalam hadits Ummu Habibah hanya bersifat mustahab
(disukai), wallahu a 'lam"

27. Wanita Mengalami Haid setelah Ifadhah

J J — J IJ :$!| «Ul J y } c J l i l_gjl i§| j_^Jl ^ jj AJAYJP J-

Ul^J l^UJ : | | 4Jl JJLJ Jli Ji , _ ^ > - O J J 01

. ^ > l i :Jli ^ :ljflii ^

328. Diriwayatkan dari Aisyah -istri Nabi SA W- bahwa ia berkata


kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Shafiyah binti Huyay mengalami haid. " Maka Rasulullah SAW
bersabda, "Kemungkinan ia akan menghalangi kita, bukankah ia
telah thawaf bersama kalian? "Mereka menjawab, "Benari "Maka
beliau bersabda, "Keluarlah!"

lil 'j& j l JaS^li [ya*j J l i ^ - C P J>\ J-


S S 0 S S

329. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Telah diberi


rukhshah (keringanan) bagi wanita yang sedang haid untuk
kembali (meninggalkan Mina) apabila mengalami haid"

FATHUL BAARI — 567


330. Ibnu Umar pada mulanya berpendapat bahwa wanita haid
tidak boleh kembali (meninggalkan Mina), kemudian aku (Ibnu
Abbas) mendengar beliau (Ibnu Umar) berkata, "Boleh bagi
mereka kembali, sesungguhnya Rasulullah SAW telah memberi
rukhshah (keringanan) bagi mereka:'1

Keterangan Hadits:

(Wanita mengalami haid setelah ifadhah), yakni apakah ia dicegah


melakukan thawaf Wada' ataukah tidak?
Pembahasan mengenai hadits-hadits bab ini akan diterangkan
dalam bab "Haji", Insya Allah.

28. Apabila Wanita Mustahadhah Melihat Tanda Suci

Ibnu Abbas berkata, "Hendaklah ia mandi dan shalat walaupun


sesaat, dan suaminya mendatanginya (menggaulinya) apabila ia shalat,
sementara shalat itu lebih mulia."''

5 6 8 — FATHUL BAARI
lil j o^Cail CaliJl CJLJI li! ^ JJj-l Jli cJli AIsJIP j
* S ' s 0 , 0 O s

331. 7e/a/j diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, "Nabi SAW


bersabda, 'Apabila datang masa haid, maka tinggalkan shalat.
Apabila telah berlalu, maka cucilah darah darimu dan shalatlah'."

Keterangan Hadits:

Maksud judul bab di atas, yakni mampu membedakan antara darah


penyakit dengan darah haid, maka masa istihadhah dinamakan masa suci.
Namun ada pula kemungkinan yang dimaksud adalah berhentinya darah
yang keluar. Akan tetapi makna pertama lebih sesuai dengan konteks
pembicaraan.

U-\—J j—J j J-&J J — ( I b n u Abbas berkata, "Hendaklah ia mandi


dan shalat walaupun sesaat") Ad-Dawudi berkata, "Maksudnya, apabila
wanita tersebut melihat tanda suci meskipun sesaat kemudian diikuti
dengan darah seperti semula, maka hendaklah ia mandi dan shalat."

Penggalan riwayat dari Ibnu Abbas ini telah diriwayatkan oleh


Ibnu Abi Syaibah dan Ad-Darimi melalui jalur Anas bin Sirin dari Ibnu
Abbas, "Bahwasanya beliau bertanya kepada Ibnu Abbas, maka ia
berkata, 'Adapun jika ia melihat darah yang banyak, maka tidak boleh
shalat. Sedangkan jika telah melihat tanda suci meski sesaat, maka
hendaklah ia mandi dan shalat." Keterangan ini sesuai dengan kemung-
kinan pertama, sebab darah yang banyak adalah darah haid.

WJ-JTJJ UjJl>j (Dan suaminya mendatanginya) Ini adalah riwayat lain


dari Ibnu Abbas, dan jalur periwayatannya disebutkan secara lengkap
oleh Abdurrazzaq dan selainnya melalui Ikrimah dari Ibnu Abbas dengan
lafazh, Uyrjj l^JU o\ y\j 'j 4 > U x £ J j i (Wanita mustahadhah tidak mengapa
untuk didatangi oleh suaminya). Dalam riwayat Abu Dawud melalui jalur
lain dari Ikrimah, ia berkata, l i l i * Wj^-jj i>lTj JP'VHL-S"CJ>-^ I C J I T (Ummu

FATHUL BAARI — 569


Habibah mengalami Isthadhah sementara suaminya biasa menggauli-
nya). Hadits ini adalah hadits shahih jika benar Ikrimah mendengarnya
dari Ummu Habibah.

pJa£.\ i*jCej\ (Shalat lebih mulia), yakni dibanding dengan menggauli


istri. Secara lahiriah keterangan ini adalah pernyataan Imam Bukhari
untuk menjelaskan adanya suatu konsekuensi, yakni jika wanita
mustahadhah boleh melakukan shalat, maka kebolehan untuk digauli
tentu lebih utama, sebab shalat lebih mulia kedudukannya daripada
menggauli istri. Oleh karena itu, Imam Bukhari menyebutkan setelah itu
hadits pendek dari Aisyah sehubungan dengan kisah Fathimah binti Abi
Hubaisy yang menegaskan perintah shalat bagi wanita mustahadhah.
Pembahasan hadits ini secara rinci telah diterangkan pada bab
"Istihadhah".

29. Menshalati Wanita yang Meninggal Saat Nifas dan


Sunahnya

ll | " 0
1 " l ' • l ' • ° ' i ' - f ' ° I • ! ' - ' • » ' • '

L^JLP ^yaj C—>l* oljA UI I—J-L^T ay^>

332. Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub bahwa seorang


wanita meninggal sebab perut, maka Nabi SA W menshalatinya dan
beliau berdiri di bagian tengahnya. "

Keterangan Hadits:

(Menshalati wanita yang meninggal saat nifas dan sunahnya),


yakni sunah menshalatinya.

5 7 0 — FATHUL BAARI
j i (Bahwa seorang wanita), yaitu Ummu Ka'ab. Demikian
nama yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam riwayatnya melalui jalur
Abdul Warits dari Husen Al Mu'allim. Abu N u ' a i m menyebutkan dalam
kitab Shahabat bahwa ia berasal dari kalangan Anshar.

j—& — ? c-fo (Meninggal dengan sebab perut), yakni sebab bayi


yang dikandungnya. Ibnu At-Taimi berkata, "Dikatakan bahwa Imam
Bukhari mengalami kekeliruan dalam judul bab ini, dimana beliau
mengira makna lafazh JOJ J> c i U adalah meninggal sebab melahirkan."
Lalu beliau menambahkan, "Padahal makna kalimat tersebut adalah
meninggal karena sakit perut." Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Bahkan
mereka yang mengatakan bahwa Imam Bukhari telah keliru, justeru
merekalah yang keliru, karena hadits ini telah diriwayatkan pula oleh
Imam Bukhari dalam kitab Al Jana 'iz (jenazah) dengan lafazh J> ' c i U

l{—r>& (meninggalpada masa nifas). Demikian pula lafazh yang dinukil


oleh Imam Muslim."

L g L — f \ H (Dan beliau berdiri di bagian tengahnya) Pembahasan


hal ini akan diterangkan pada bab jana 'iz (jenazah), insya Allah.

Ibnu Baththal berkata, "Ada kemungkinan yang dimaksud oleh


Imam Bukhari dengan judul bab ini bahwa wanita yang sedang nifas
meskipun tidak melakukan shalat, namun hukumnya sama dengan wanita
lainnya, yakni dzatnya tetap suci karena Nabi SAW menshalati wanita
yang meninggal dalam keadaan nifas." Dia juga berkata, "Hal ini
merupakan bantahan bagi mereka yang berpendapat bahwa manusia yang
meninggal adalah najis, karena wanita yang meninggal dalam keadaan
nifas telah terkumpul dua hal itu dalam dirinya (kematian dan darah
nifasnya). Dengan tidak adanya pengaruh kedua hal tersebut terhadap
kesuciannya, maka orang yang meninggal tanpa ada najis yang mengalir
darinya tentu lebih pantas lagi dikatakan suci."

Akan tetapi perkataan Ibnu Baththal ditanggapi oleh Ibnu Munir


dengan mengatakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ibnu Baththal di
luar maksud Imam Bukhari. Dia berkata, "Hanya saja yang menjadi
maksud Imam Bukhari adalah untuk menjelaskan bahwa meski wanita

FATHUL BAARI — 571


yang meninggal saat nifas termasuk syuhada, namun ia tetap dishalati
sebagaimana orang yang tidak mati syahid."

Lalu perkataan Ibnu Munir ditanggapi lagi oleh Ibnu Rusyd dengan
mengatakan, bahwa hal itu juga di luar pembahasan masalah-masalah
haid. Ia berkata, "Hanya saja yang menjadi maksud Imam Bukhari adalah
ingin berdalil dengan salah satu konsekuensi shalat, yaitu orang yang
shalat hukumnya suci. Karena Nabi SAW menshalati wanita yang
meninggal saat nifas, maka menjadi konsekuensinya bahwa dzat wanita
tersebut hukumnya suci. Sementara hukum wanita nifas dan wanita haid
adalah sama."

Beliau menambahkan, "Kesimpulan ini diperkuat oleh sikap Imam


Bukhari yang telah memasukkan hadits Maimunah dalam bab ini, seperti
dalam naskah Al Ashili dan lainnya." Namun dalam riwayat Abu Dzar
sebelum hadits Maimunah yang dimaksud, disebutkan terlebih dahulu:

30. Bab

' ' ' *


.AJJJ y2J<J ^ J W S I 1.51 4jj-«->- Js- J-^2j j-Aj ^ ADI

333. Diriwayatkan dari Abdullah bin Syaddad, ia berkata, 'Aku


mendengar bibiku Maimunah -salah seorang istri Nabi SAW-
mengatakan, bahwa pada waktu haid dia (Maimunah) tidak shalat
sementara dia duduk bersimpuh dekat tempat sujud Rasulullah
SA W dan Beliau (Nabi) shalat di atas khumrahnya. Apabila beliau
sujud, maka sebagian pakaian beliau mengenai dirinya"

5 7 2 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:

At Thabari berkata, bahwa khumrah adalah tikar shalat berukuran


kecil yang dibuat dari pelepah kurma. Dinamakan demikian karena ia
dapat melindungi wajah dan dua telapak tangan dari panas dan dingin.
Apabila dalam ukuran besar maka dinamakan hashir.' Demikian pula
yang dikatakan oleh Al Azhari dalam kitabnya At-Tahdzib serta
sahabatnya Abu Ubaid Al Harawi serta sejumlah ulama sesudah mereka.
Dalam kitab An-Nihayah diberi tambahan keterangan, "Dan tidaklah
dinamakan khumrah melainkan dalam ukuran seperti itu." Dia mengata-
kan pula, "Sebab dinamakan khumrah adalah karena benangnya yang
tersembunyi di balik helai-helai tikarnya."

Al Khaththabi berkata, "Khumrah adalah sajadah yang digunakan


untuk sujud saat shalat." Kemudian beliau menyebutkan hadits Ibnu
Abbas tentang tikus yang menabrak lampu hingga mengenai khumrah,
dimana Nabi SAW sedang duduk di atasnya, lalu dia berkomentar,
"Dalam hadits ini terdapat keterangan tegas bahwa khumrah ukurannya
bisa saja lebih besar daripada besar wajah." Kemudian dia menambah-
kan, "Sebab dinamakan khumrah adalah karena ia dapat menutup muka."
Pembahasan mengenai hukum shalat di atas (khumrah) akan dijelaskan
dalam bab "Shalat", insya Allah.

Penutup

Kitab haid ini mencakup hadits-hadits yang sampai kepada Nabi


SAW (marfu') sebanyak 46 hadits. Hadits yang diulang di dalamnya dan
kitab-kitab sebelumnya sejumlah 22 hadits, yang disebutkan beserta jalur
periwayatannya (maushul) sebanyak 10 hadits, sedangkan sisanya berupa
hadits-hadits tanpa silsilah periwayatan (mu'allaa) ataupun penguat
(mutaba 'ah).

Sedangkan hadits yang tidak diulang berjumlah 25 hadits. Satu di


antaranya disebutkan tanpa jalur periwayatan (mu'allaa), yaitu hadits
"Rasulullah SAW berdzikir kepada Allah dalam segala keadaannya".
Sedangkan sisanya adalah hadits-hadits yang disertai jalur periwayatan
(maushul).

FATHUL BAARI — 573


Sementara Imam Muslim turut pula meriwayatkan hadits-hadits
tersebut kecuali hadits Aisyah yang berbunyi, "Biasa salah seorang di
antara kami mengalami haid kemudian ia mengerik darah", dan hadits
beliau tentang i'tikaf bagi wanita mustahadhah serta hadits beliau yang
berbunyi, "Tidaklah salah seorang di antara kami kecuali memiliki satu
kain" Demikian juga hadits Ummu Athiyah yang berbunyi, "Kami tidak
menggubris sedikit pun cairan yang berwarna kekuning-kuningan..." dan
hadits Ibnu Umar tentang rukhshah (keringanan) bagi wanita yang
sedang haid untuk meninggalkan Mina setelah pelaksanaan haji. Ada
juga sejumlah riwayat yang bersumber dari para sahabat dan tabi'in yang
keseluruhannya berjumlah 15 riwayat, namun semuanya disebutkan tanpa
jalur periwayatan (mu 'allaq), wallahu a 'lam.

KAMFUMGWMMAM

5 7 4 — FATHUL BAARI
7. KITAB TAYAMUM

O> ' °i' i "T \*


0
' I 0
i ' i ° •* ; »H H'I 'i 1 8
-

ij>t ~w»li I -J? U -A^ iJ.^./>,/JI «.L» Ij-b>o ^Uti ADI J y


J O O ^ O O F ' O ^ O J J

Firman Allah Ta'ala, "Lalu kamu tidak memperoleh air, maka


bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu" ^ Q s . Al Maa'idah (5): 6 ^

l.Bab

O y y * f ' y y ya O ' ' # S ° ' ' _ y O y

(_s* ^ j j-*" J £* '-^^ %\% 'j ~^>y* j*


y y yy 0 y y O y O y O .y y , yy

*\ ILI JJLP *JAIJL (JI^JI OLJJ JL S - I J - J I J UI LIL L 5 X?- OJ U L - I


y y y ^yy J ' 0
* > f y

^"1 i f.L» IJ~JJ^^JLP 4jt* (J-TUL *>LIL J A*-UIJI ^


g\ 'i SSJ* ^S. I J ^ J J AJU» JJ-LUI ^ISI j A** Lu) I $H AJJI J y j

*^y1i :ljJlii jwC^Jl Jj£


yy > y y ' i ' ' ' °y y i ' ' i
cJilil
zJAl\ AJI3\JP Izyjc
5JUJLP C ^ - J^a
^ IJ>
IJ> (jJ
i£$ :L *JLII J
,^LLVJL > J ^ 1^ 1^GL
JE ' ' OJ o " ' .» O" Z ' • y 9
> y

J'
jl s. LISI
y
«.L»
y y y y
^ r ^ Jy £ ^ ^ ' I j—^j 'L / L S
1
J *^ DJ— J- 1

y y ' '

: Jlii \ y y
JI J>tJ ^ I P <U-IJ >vsi?lj
y y y qy y & > y y 0

, „ V - ' ' w V f ^ ^* ...v 4*^J,


y J^j
, . ^ x^ ^ ^ yy y ^ y 9 y ^ y

CJL oi $.1 * (t-f*- 'J-^J


4
J ^ ^ ^J* J -

_jjl ' 0
y y % Q y ^& y y yy O ^
jjijfij J * I - J JJIJ 0 1 AJJI TLI> L« JLIJ JJ! J l i i '."Aj^ye-

5 7 6 — FATHUL BAARI
j 2 y ^yy ^y y o £ & >• ^ y y y y y y

^ y Z> y f 0
f f t' ' ^ y ' f y '

o o

y' y'O yy t yO y *~ O t y y O * t y y* y y y & t ^y* y C t —

. < u ^ j JLAJOI LU^LS AJLP c - i i c£JtM jj^tJl c J l i ^So y\ Jl

334. Diriwayatkan dari Aisyah, istri nabi SAW, ia berkata, "Kami


keluar bersama Nabi SAW dalam sebagian perjalanannya hingga
ketika kami berada di Al Baida*-atau diDzatul Jaisy-kalungku
putus, maka Rasulullah SA W mencarinya. Rombongan pun turut
serta bersamanya. Sedangkan mereka tidak berada di tempat yang
tidak ada air, maka mereka mendatangi Abu Bakar Ash-Shiddiq
dan berkata, 'Tidakkah anda memperhatikan apa yang dilakukan
oleh Aisyah? Dia telah menahan Rasulullah SAW serta rombongan
berhenti di tempat yang tidak ada air dan mereka juga tidak
membawa persediaan air.' Maka datanglah Abu Bakar, sementara
Rasulullah sedang meletakkan kepalanya di atas pahaku dan
tertidur. Beliau berkata, 'Engkau telah menahan Rasulullah SA W
dan rombongan, sedang mereka berada di tempat yang tidak ada
air dan mereka tidak membawa persediaan air.' Aisyah berkata,
'Abu Bakar mencelaku dan mengatakan apa yang dikehendaki oleh
Allah untuk dikatakannya. Lalu beliau menusuk pinggangku
dengan tangannya, dan untunglah aku tidak bergerak karena
Rasulullah tidur di atas pahaku.' Rasulullah pun bangun di waktu
subuh tanpa ada air. Maka Allah SWT menurunkan ayat tentang
tayamum, dan manusia pun bertayamum. Usaid bin Al Hudhair
berkata, 'Ini bukanlah berkah kamu yang pertama, wahai keluarga
Abu Bakar. "Aisyah berkata, 'Maka kami pun membangkitkan unta
yang aku tunggangi, dan kami mendapati kalung itu berada di
bawahnya'."

FATHUL BAARI — 5 7 7
Keterangan Hadits:

Tayamum menurut bahasa (etimologi) berarti Al Qashdu (Maksud


atau sengaja). Adapun menurut syariat (terminologi) berarti menyengaja
-memukulkan kedua telapak tangan ke tanah- untuk mengusap wajah dan
kedua tangan dengan niat agar sah melakukan shalat dan ibadah yang
serupa.

Ibnu Sikkit berkata, "firman Allah Ta 'ala, I J — ' j — « - < 3 yakni


tujulah oleh kamu tanah. Kemudian karena sering digunakan, akhirnya
tayamum identik dengan mengusap wajah dan kedua tangan dengan
tanah. Jika demikian, maka tayamum sesuai dengan makna ini ditinjau
dari segi bahasa adalah majaz (kiasan). Sedang makna yang pertama
adalah makan hakikat syariah, bukan majaz.

Selanjutnya para ulama berbeda pendapat dalam hal tayamum,


apakah merupakan azimah (kewajiban) atau rukhshah (keringanan)?
Sebagian ulama memberi perincian sebagai berikut; apabila dalam
keadaan tidak ada air, maka tayamum merupakan azimah. Sedang dalam
keadaan udzur (halangan), tayamum merupakan rukhshah.

h\—* i j W jUi (Lalu kamu tidak memperoleh air). Demikian lafazh

yang terdapat dalam kebanyakan riwayat, sementara dalam riwayat An-


Nasafi, Abdus, Al Mustamli dan Al Hamawi disebutkan dengan lafazh,
t\—'o ljj—?ti ^—! d\—i (Maka jika kamu tidak memperoleh air). Abu Dzar

berkata, "Demikian pula yang terdapat pada riwayat kami." Adapun


bacaan «•<—» I J J — * v j«—li adalah yang benar, menurut penulis kitab Al

Masyariq.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Tampak bagiku sesungguhnya Imam


Bukhari ingin menjelaskan, bahwa ayat yang masih samar dalam hadits
Aisyah —*~Ji AJI A«I Jjjti (Maka Allah menurunkan ayat tayamum) dalam

bab di atas adalah ayat dalam surah Al Maa'idah. Kesimpulan seperti ini
telah disebutkan secara tegas dalam riwayat Hammad bin Salamah dari
Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah dalam kisah yang disebutkan di atas,
dimana beliau (Aisyah) berkata, 'Maka Allah menurunkan ayat tayamum,
ij i i i ^ k\—'» IJJ— 9f2 Oli (Lalu jika kamu tidak memperoleh air, maka

5 7 8 — FATHUL BAARI
hendaklah bertayamum). Seakan-akan Imam Bukhari ingin mengisyarat-
kan kepada riwayat yang khusus ini. Tidak tertutup kemungkinan bahwa
bacaan tersebut adalah syadz (caat) karena Hammad bin Salamah atau
yang lainnya, atau karena keraguan darinya. Sesunguhnya yang dimaksud
oleh Aisyah adalah ayat dalam surah Al Maa'idah. Adapun ayat surah
An-Nisaa' telah dijadikan oleh Imam Bukhari sebagai salah satu bab
khusus dalam kitab tafsir, lalu beliau menyebutkan pula hadits Aisyah.
Imam Bukhari tidak bermaksud menyatakan bahwa turunnya ayat
tersebut khusus berkenaan dengan kisah Aisyah, bahkan lafazh riwayat
yang memenuhi syarat shahih menurut beliau adalah mencakup dua
kemungkinan di atas. Akan tetapi yang menjadi pedoman dalam hal ini
adalah riwayat Hammad bin Salamah, dimana di dalamnya terdapat
tambahan berbeda dengan yang lain, wallahu a 'lam"

(•—SC^'j (Dan kedua tangan kamu) Dalam riwayat Abu Dzar hanya
disebutkan sampai di sini, dan dalam riwayat Asy-Syabawi dan Karimah
ditambah lafazh * *« (darinya). Tambahan ini memastikan bahwa yang
dimaksud adalah ayat pada surah Al Maa'idah bukan ayat surah An-
Nisaa'. Inilah yang menjadi dasar pemahaman Imam Bukhari, lalu beliau
menyebutkan hadits bab ini dalam Tafsir surah Al Maa'idah.
Beliau memperkuat pandangannya dengan riwayat Amru bin Harits
dari Abdurrahman bin Qasim dalam hadits ini dan lafazhnya, "Maka
- ^ y t S. yi ,

turun ayat, «*>Ca_Jl ^—I) j^ii bl l ^ o J l l#1b' (Wahai orang-orang yang


beriman jika kalian hendak menunaikan shalat) sampai firman-Nya,
Jj^Swi (kamu bersyukur). Adapun secara lengkap ayat tersebut berbunyi,

*s i' K, f
f
* 0
' ' - - * ' * > £
Jl ^ioJjlj yrJ IjL»P\9 ~6%ai\ J l j ^ i lil Ij£»T jjjjl ijfo
y y y y y

I JJ>r j^ST (jlj J^*£il J l ISJ^-jIj y'ji I jxU>lj Jjdlyj\


° o \* yy O y y y o y ^ % o y % ' ~* '

I_pc l«JoVd I—lli? U g',/* I y ^ f j i «.U IjJ^u ^ii 'fjL^'i jl

FATHUL BAARI — 579


" / / a / orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerja-
kan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi
Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur" ^ Q s . Al Maa'idah (5): 6^

»jUs—lil ja—«J j» (Dalam sebagian perjalanannya). Ibnu Abdil Barr


berkata dalam kitab At Tamhid, "Dikatakan sesungguhnya peristiwa itu
terjadi saat perang bani Al Mushthaliq. Keterangan seperti ini ditegaskan
dalam kitab Al Istidzkar. Jauh sebelumnya, Ibnu Saad dan Ibnu Hibban
telah mengemukakan pendapat yang serupa. Perang bani Al Mushthaliq
adalah perang Al MarisV, dimana saat itu terjadi peristiwa Al Ifki
(tuduhan dusta) terhadap Sayyidah Aisyah. Peristiwa Al Ifki ini
disebabkan juga oleh jatuhnya kalung Aisyah. Dengan demikian jika apa
yang mereka katakan itu benar, maka kemungkinan kalung Aisyah jatuh
dua kali dalam perjalanan tersebut, karena adanya perbedaan dua
peristiwa tersebut sebagaimana nampak dari penuturannya."

Lalu sebagian syaikh kami menganggap pendapat di atas sangat


jauh dari kebenaran, beliau berkata, "Sesungguhnya Al Marisi' berada di
arah Makkah antara Qadid dan As-Sahil, sedangkan peristiwa ini terjadi
di arah Khaibar berdasarkan lafazh hadits, 'Ketika kami berada di Al
Baida' atau di Dzatul Jaisy". Keduanya terletak di antara Madinah dan
Khaibar, sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nawawi."

Aku (Ibnu Hajar) berkata, "Apa yang dikatakan oleh Imam An-
Nawawi berbeda dengan yang dikatakan oleh Ibnu At-Tin, dimana beliau

5 8 0 — FATHUL BAARI
berkata, 'Al Baida' adalah Dzul Hulaifah yang terletak dekat Madinah
dari arah Makkah."' Dia juga berkata, "Dzatul Jaisy berada sebelum Dzul
Hulaifah."

Abu Abid Al Bakri dalam kitabnya Al Mu'jam mengatakan, "Al


Baida" lebih dekat ke Makkah daripada Dzul Hulaifah." Kemudian dia
menyebutkan hadits Aisyah dan hadits Ibnu Umar, dimana disebutkan di
dalamnya, "Daerah Al Baida' kalian ini adalah tempat kalian berbuat
dusta padanya, Rasulullah SAW tidak pernah ihram kecuali dari samping
masjid." (Al Hadits)

Dia menambahkan, "Al Baida" adalah As-Syaraf yang berada


sebelum Dzul Hulaifah dari jalur Makkah." Dia berkata pula, "Dzatul
Jaisy dari Madinah sekitar satu barid (jarak satu barid diperselisihkan
oleh para ulama -penerj.) Jarak antara Dzatul Jaisy dengan Al Aqiq
sejauh 7 mil. Sementara Al Aqiq berada di jalur Makkah bukan jalur
Khaibar, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu At-Tin."

Pendapat Ibnu At-Tin diperkuat oleh apa yang diriwayatkan Al


Hamidi dalam Musnad-nya dari Sufyan, beliau berkata, "Telah men-
ceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dari ayahnya berkenaan
dengan hadits ini, dimana disebutkan 'Sesungguhnya kalung itu jatuh
pada suatu malam di Al A b w a ' . "

Al Abwa' terletak di antara Makkah dan Madinah. Kemudian pada


riwayat Ali bin Mashar dari Hisyam berkenaan dengan hadits ini, dia
berkata, "Tempat itu dinamakan Ash-Shalshal." Riwayat ini dinukil oleh
Ja'far Al Faryabi dalam pembahasan thaharah dan Ibnu Abdil Barr, juga
dari jalur beliau. Al Bakri berkata, "Ash-Shalshal adalah gunung di Dzul
Hulaifah."

Dari sekian riwayat yang saling menunjang dapat diketahui


kebenaran perkataan Ibnu At-Tin, dan sebagian ulama cenderung bahwa
kedua peristiwa di atas (peristiwa tayamum dan peristiwa cerita dusta
atau ifki) terjadi dalam perjalanan yang berbeda berdasarkan riwayat
Imam Thabrani yang sangat tegas mengenai hal itu, wallahu a 'lam.

J 2P Artinya semua yang diikat dan digantung di leher, dan

dinamakan juga J — s e b a g a i m a n a yang akan dijelaskan. Dalam tafsir

FATHUL BAARI — 581


dari riwayat Amru bin Harits disebutkan, "Kalung (qiladah)ku jatuh di
Baida' pada saat kami akan memasuki Madinah, maka Nabi berhenti dan
turun (dari kendaraannya)." Keterangan ini menunjukkan sesungguhnya
mereka berada dekat dari Madinah.

A-JUSJI JS- {Untuk mencarinya). Akan dijelaskan bahwa yang diutus


untuk mencarinya adalah Usaid bin Hudhair dan lainnya.

slj>°p4*j> J j frU Ji- l j l J j (Mereka berada di tempat yang tidak ada


c r

air dan mereka juga tidak punya persediaan air). Demikianlah lafazh
yang banyak dikutip oleh para perawi, sementara dalam riwayat Abu
Dzar kalimat kedua tidak disebutkan.

Lafazh ini dijadikan dalil atas bolehnya bermukim di tempat yang


tidak ada air, dan bolehnya menempuh jalan yang tidak melewati sumber
mata air. Namun pernyataan ini perlu dipertanyakan lagi, sebab jarak
mereka dengan kota Madinah telah dekat dan mereka telah bermaksud
memasukinya. Di samping itu, ada kemungkinan Nabi tidak mengetahui
tentang tidak adanya persediaan air pada rombongan walaupun beliau
SAW mengetahui bahwa di tempat tersebut tidak ada sumber mata air.
Ada pula kemungkinan perkataan "Mereka juga tidak punya persediaan
air", yakni air untuk berwudhu. Adapun air yang dibutuhkan untuk
minum, maka kemungkinan mereka punya. Pernyataan ini ada kemung-
kinan dibenarkan, sebab bisa saja Allah SWT mengirimkan hujan atau
memunculkan air dari celah jari-jari Nabi sebagaimana yang terjadi pada
situasi yang lain.

Hadits ini memberi keterangan mengenai perhatian seorang imam


(pemimpin) terhadap hak-hak kaum muslimin meski nilainya kecil. Ibnu
Baththal telah menukil bahwa harga kalung tersebut adalah 12 Dirham.
Kemudian hal itu disamakan dengan hukum mencari barang yang hilang,
berhenti untuk menunggu anggota rombongan yang tertinggal, mengubur
mayit dan semacamnya di antara kemaslahatan masyarakat. Dalam hadits
ini terkandung isyarat untuk tidak menyia-nyiakan harta.

J u./il) j Sy J J ^ u l l J'\s (Maka orang-orang mendatangi Abu


s # -

Bakar). Ini merupakan keterangan bolehnya bagi wanita untuk mengadu-


kan masalahnya kepada ayahnya, walaupun ia telah bersuami. Namun

5 8 2 — FATHUL BAARI
seakan-akan mereka mengadu kepada Abu Bakar karena saat itu Nabi
sedang tidur dan mereka tidak mau membangunkannya. Hadits ini juga
menerangkan bolehnya menisbatkan suatu perbuatan kepada penyebab-
nya, berdasarkan perkataan mereka, "Yang dilakukannya dan ia (Aisyah)
menahan (Rasulullah beserta rombongan)." Dari sini diperoleh penjelas-
an bolehnya seorang bapak menemui anak perempuannya meskipun ada
suaminya, bila sang bapak mengetahui bahwa sang suami meridhai
perbuatannya, di samping itu mereka bukan dalam kondisi sedang
bermesraan.

J^ij 01 iUi f.\2> U Jlij j£j JJI (Maka Abu Bakar mencelaku, dan
beliau mengatakan apa yang dikehendaki oleh Allah untuk dikatakan-
nya). Dalam riwayat Amru bin Harits disebutkan, "Manusia engkau tahan
hanya karena sebab kalung." Dalam riwayat Ath-Thabrani bahwa di
antara kalimat celaan yang diucapkan oleh Abu Bakar kepadanya adalah,
"Di setiap waktu engkau selalu menyusahkan."

Namun yang perlu digarisbawahi adalah perkataan Aisyah, "Maka


Abu Bakar mencelaku." Beliau tidak mengatakan ayahku, karena konteks
kebapakan berhubungan dengan kasih sayang. Sedangkan apa yang
terjadi berupa celaan dan pengajaran yang diberikan secara lahiriah
bertentangan dengan hal tersebut, maka Aisyah menempatkan ayahnya
sebagai orang lain dan tidak mengatakan "ayahku".

^ iiiiaj (Beliau menusukku). Hal ini memberi penjelasan bolehnya


seorang bapak mendidik anak perempuannya, walaupun telah lama
bersuami dan tinggal di luar rumahnya. Masuk pula dalam kategori ini
orang yang mendidik orang yang berada dalam kekuasaannya, meskipun
tanpa izin sang imam (pemimpin).

^t J*3\ j * (^i^j
3 (Tidak ada yang menghalangiku untuk bergerak)
Di sini terdapat anjuran untuk bersabar bagi orang yang mendapatkan
sesuatu yang mengharuskannya bergerak, atau menyebabkan terganggu-
nya seseorang yang sedang tidur. Begitu pula dengan orang yang shalat
atau yang membaca Al Qur'an, maupun orang yang sibuk dengan ilmu
dan dzikir.

FATHUL BAARI — 583


i—U\ J j ,.>j ^U» ^ j ^ - (Rasulullah SAW pun bangun di waktu

subuh), demikian yang disebutkan oleh Imam Bukhari di tempat ini.


Adapun yang beliau sebutkan pada pembahasan tentang keutamaan Abu
Bakar dari Qutaibah dari Malik dengan lafazh, J*- ^Ui (Beliau tidur

hingga datang waktu subuh). Ini adalah lafazh dalam riwayat Muslim dan
para perawi dalam kitab Al Muwaththa \ Adapun makna keduanya tidak
jauh berbeda, karena masing-masing dari keduanya menunjukan bahwa
Nabi bangun tidur pada waktu subuh.

Sebagian ulama mengatakan bahwa maksud dari perkataan beliau,


"Hingga datang waktu shubuh", adalah bukan menerangkan batas waktu
tidur sampai subuh, tetapi menjelaskan bahwa tidak adanya air itu sampai
waktu subuh. Karena lafazh tersebut dikaitkan dengan perkataannya,
"Dan mereka tidak mempunyai persediaan air", yakni kondisi beliau
hingga subuh tanpa air.

Adapun riwayat Amru bin Harits dengan lafazh, «ii J-e ^ 1 'o\

^ — ^ a J i cSJafj JailsLl '^>j AIIP (Kemudian Nabi SAW bangun dan waktu

subuh telah tiba). Apabila kata sambung (huruf waw) pada lafazh ini
diberi makna "untuk menjelaskan keadaan", maka hal itu bisa menjadi
dalil bahwa beliau SAW bangun pada waktu subuh, sebagaimana yang
dipahami dari konteks lafazh tersebut.

Fakta ini dijadikan sebagai dalil rukhshah (keringanan) untuk


meninggalkan shalat tahajjud dalam perjalanan, jika terbukti bahwa
shalat tahajjud merupakan hal yang wajib bagi beliau SAW. Di samping
itu, dijadikan pula sebagai dalil bahwa mencari air tidak wajib kecuali
setelah masuk waktu shalat berdasarkan lafazh hadits dalam riwayat
Amru bin Harits, dimana setelah kalimat o ^ i a i - j (Dan waktu subuh

telah masuk), disebutkan J—sr j^Ji >UJl (Maka beliau mencari air

tetapi tidak didapatkannya).

Keterangan lain yang dapat diperoleh dari hadits tersebut adalah,


bahwa wudhu merupakan kewajiban bagi mereka sebelum turun ayat
yang menerangkan tentang wudhu. Oleh karena itu mereka memandang

5 8 4 — FATHUL BAARI
sulit untuk bermukim pada suatu tempat yang tidak ada air, dan Abu
Bakar memperlakukan Aisyah sebagaimana yang telah terjadi.

Ibnu Abdil Barr berkata, "Telah diketahui oleh semua pengamat


peperangan yang dilakukan Nabi SAW, bahwa Nabi tidak pernah shalat
sejak diwajibkannya kecuali dalam keadaan berwudhu (suci), dan
pernyataan ini hanya akan ditolak oleh orang bodoh atau orang yang
mengingkari kebenaran." Beliau berkata pula, "Perkataannya "ayat
tayamum " dalam hadits ini mengandung isyarat bahwa yang mereka
pahami adalah ayat tersebut turun untuk menjelaskan hukum tayamum
bukan hukum wudhu." Lalu beliau menambahkan, "Hikmah turunnya
ayat wudhu -meski telah diamalkan sebelumnya- adalah agar kewajiban
wudhu termaktub dalam ayat suci."

Ulama lain berkata, "Ada kemungkinan bahwa permulaan ayat


tersebut (yakni yang berhubungan dengan wudhu) telah turun
sebelumnya, maka mereka pun mengetahui wudhu berdasarkan ayat
tersebut. Kemudian sisa ayat tersebut, yaitu yang menyebutkan tayamum,
turun sesudahnya sebagaimana yang disebutkan dalam kisah ini. Penama-
an ayat tersebut sebagai ayat tayamum adalah gaya bahasa yang me-
nyebutkan sebagian, tapi yang dimaksudkan adalah keseluruhannya.

Akan tetapi dalam riwayat Amru bin Harits yang telah kami
sebutkan dan dinukil oleh Imam Bukhari dalam kitab Tafsir menunjukan,
bahwa ayat tersebut turun secara keseluruhan dalam peristiwa ini, maka
yang lebih kuat adalah apa yang dikatakan Ibnu Abdil Barr.

|t irM SJT ijjl JjJli (Maka Allah menurunkan ayat tayamum). Ibnu Al
Arabi berkata, "Ini permasalahan yang belum saya dapatkan solusinya,
karena kami tidak mengetahui mana di antara kedua ayat tentang
tayamum yang dimaksudkan oleh Aisyah." Ibnu Baththal berkata, "Yang
dimaksud adalah ayat dalam surah An-Nisaa" atau ayat dalam surah Al
Maa'idah." Sementara Imam Al Qurtubi berkata, "Yang dimaksud adalah
ayat dalam surah A n - N i s a a \ " Alasannya adalah bahwa ayat yang ada
dalam surah Al MaaMdah juga dinamakan ayat wudhu, sedangkan ayat
dalam surah An-Nisaa' tidak disebutkan masalah wudhu, maka ayat ini
lebih spesifik untuk disebut sebagai ayat tayamum."

FATHUL BAARI — 585


Lalu Al Wahidi menyebutkan hadits ini dalam sebab-sebab
turunnya ayat Al Qur"an ketika menyebutkan ayat surah A n - N i s a a \
Semuanya tidak dapat menyingkap apa yang tampak bagi Imam Bukhari,
dimana beliau tanpa ragu-ragu menyatakan bahwa yang dimaksud oleh
Aisyah dengan ayat tayamum pada hadits ini adalah ayat yang terdapat
dalam surah Al Maa'idah berdasarkan riwayat Amru bin Harits, dimana
riwayatnya menegaskan bahwa yang dimaksud adalah ayat dalam surah
Al Maa'idah seperti yang terdapat dalam perkataannya, "Maka turunlah
firman Allah SWT, "Wahai orang-orang yang beriman jika kalian
hendak melakukan shalat" i.Qs. Al M a a i d a h (5): 6^

(Maka bertayamumlah). Kemungkinan lafazh ini merupakan


berita tentang apa yang dilakukan para sahabat, yakni mereka melakukan
tayamum setelah turunnya ayat. Mungkin juga merupakan nukilan dari
lafazh ayat yang berbunyi Qe> llii*** 1
(Maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik), dimana kedudukannya di sini adalah menjelaskan
perkataan sebelumnya, yaitu p*A\ h\ (ayat tayamum).

Lalu ayat ini dijadikan sebagai dalil wajibnya niat dalam tayamum,
karena makna firman-Nya i j * * 3 (maka bertayamumlah) adalah lakukan-
lah dengan sengaja, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Ini adalah
pendapat ulama kecuali Al Auza'i. Demikian pula wajib untuk
menyentuh debu dan tidak cukup apabila debu itu diterbangkan oleh
angin lalu mengenai anggota tayamum. Berbeda dengan wudhu, dimana
jika seseorang diguyur hujan lalu ia berniat wudhu hal itu mencukupi
baginya (boleh). Namun pandangan paling tepat adalah mereka yang
mengatakan bahwa tayamum dianggap mencukupi bagi seseorang yang
sengaja memanfaatkan debu yang sedang diterbangkan oleh angin,
berbeda halnya dengan orang tidak bermaksud bertayamum dengan debu
yang diterbangkan angin. Pandangan ini merupakan pendapat yang
dipilih oleh Syaikh Abu Hamid.

Di samping itu, ayat ini memberi penjelasan keharusan mengguna-


kan "sha 'id thayyib " untuk tayamum, hanya saja para ulama berbeda
pendapat tentang maksud "sha 'id thayyib " sebagaimana akan dibahas
dalam bab tersendiri nanti. Demikian pula ayat tersebut menjadi dalil

5 8 6 — FATHUL BAARI
wajibnya bertayamum setiap kali shalat fardhu. Adapun konteks ayat
dengan kesimpulan ini serta bantahannya akan kami sebutkan setelah
empat bab kemudian.

Catatan

Dalam hadits Aisyah ini tidak disebutkan sedikitpun mengenai tata


cara tayamum. Lalu Ammar bin Yasir telah meriwayatkan kisah Aisyah
ini sekaligus menerangkan cara tayamum, tetapi para perawi berbeda
dalam menukil tata cara yang diterangkan oleh Ammar sebagaimana
yang akan kami sebutkan. Kami juga menerangkan mana yang paling
benar dalam masalah tersebut dalam bab ' T a y a m u m untuk muka dan
kedua telapak tangan. "

J.—^akil 'j—° X.—IJ! JUi (Usaid bin Hudhair berkata). Dia termasuk
pemuka kaum Anshar, dan penjelasan mengenai beliau akan disebutkan
dalam bab tentang "Al Manaqib". Hanya saja dia mengatakan apa yang
telah dikatakannya, karena dia adalah pimpinan utusan yang diperintah-
kan untuk mencari kalung yang hilang.

(•—^'f. Ij* ^ (J ' bukanlah berkah kamu yang pertama),


m
yakni
bahkan telah ada sebelumnya berkah-berkah yang lain. Adapun yang
dimaksudkan dengan keluarga Abu Bakar adalah Abu Bakar sendiri,
keluarganya dan para pengikutnya. Dalam hal ini terdapat dalil tentang
keutamaan Aisyah dan ayahnya, serta adanya berkah yang senantiasa
turun kepada keduanya.

Dalam riwayat Amru bin Harits disebutkan, "Sungguh Allah telah


menurunkan berkah kepada manusia karena kalian." Sementara dalam
Tafsir Ishaq Al Bisti dari jalur Ibnu Abu Mulaikah dari Aisyah, bahwa
Nabi bersabda kepadanya, "Alangkah agungnya berkah kalungmu."
Sedangkan dalam riwayat Hisyam bin Urwah pada bab selanjutnya
disebutkan, \Jt—* b**r~»M J**" ^1 **s*j*^ f s
Cr? ^ J>' ^ j * (Demi
Allah, tidak turun kepadamu suatu masalah yang tidak engkau senangi
melainkan Allah SWT menjadikan padanya kebaikan bagi kaum
muslimin).

FATHUL BAARI — 587


Dalam pembahasan nikah dari jalur yang sama disebutkan, ^!

*—ZJ * — J JLJCAji J*^"J ^y*** (Kecuali Allah menjadikan bagimu


jalan keluar darinya dan menjadikan padanya kebaikan bagi kaum
muslimin). Lafazh ini memberi indikasi bahwa peristiwa tersebut terjadi
setelah kejadian ifki (tuduhan dusta terhadap Aisyah), sehingga mem-
perkuat pendapat mereka yang mengatakan bahwa kalung Aisyah hilang
tidak hanya sekali. Di antara ulama yang menegaskan hal tersebut adalah
Muhammad bin Habib Al Akhbari, dimana beliau berkata, "Kalung
Aisyah pernah hilang pada peristiwa perang Dzaturriqa' dan pada
peristiwa perang bani Al Mushthaliq."

Selanjutnya para pengamat peperangan (Al Maghazi) berbeda


pendapat tentang mana diantara kedua peperangan tersebut yang lebih
dahulu terjadi. Ad-Dawudi berkata, "Peristiwa tayamum terjadi dalam
perang Al Fathu (penaklukan kota Makkah)." Tetapi, kemudian beliau
ragu dengan hal itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dari Abu
Hurairah, dia berkata, "Ketika turun ayat tayamum, saya tidak tahu
bagaimana saya harus berbuat..:'' (Al Hadits) Maka hal ini menunjukkan
bahwa ayat tayamum turun setelah perang bani Al Mushthaliq, karena
Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ketujuh hijriyah, yakni setelah
perang bani Mushthaliq.

Dalam kitab Al Maghazi (peperangan) disebutkan, bahwa Imam


Bukhari berpendapat bahwa perang Dzaturriqa' terjadi setelah ke-
datangan Abu Musa, bertepatan dengan masa Islamnya Abu Hurairah.

Keterangan lain yang juga menunjukkan bahwa ayat tayamum


turun setelah peristiwa Al Ifki (tuduhan dusta terhadap Aisyah) adalah
riwayat Ath-Thabrani melalui Abbad bin Abdullah bin Zubair dari
Aisyah. Beliau berkata,

AJS- &\ JLp &\ J j - j j C J T ^ - t jlls U tili^i Jil Jli j tOlT U cS^-a* J'* J ^ ^

: y \ Jl Jlii tA^UJt Ji- y&S J~P- J&- t£Ss& COJ\ JaJLi i£y \ Ijjt- J ^>J

) ( , — 1 3 J Jrj 'j* *»! Jj& V ^ l Ji- s.%j t-te JjJSJ l'JL> JT J \J

5 8 8 — FATHUL BAARI
(Ketika terjadi perihal kalungku dan para penyebar berita dusta
mengatakan apa yang telah mereka katakan, aku pun keluar bersama
Rasulullah dalam rangka melakukan peperangan yang lain. Kalungku
kembali jatuh sehingga rombongan tertahan untuk mencarinya, maka
Abu Bakar berkata kepadaku, "Wahai anakku, dalam setiap perjalanan
kamu menyusahkan dan menjadi bencana bagi manusia? "Maka Allah
menurunkan keringanan untuk bertayamum. Lalu Abu Bakar berkata,
"Sesungguhnya engkau diberkahi... ") sebanyak tiga kali.

Dalam jalur periwayatan hadits ini terdapat Muhammad bin Hamid


Ar-Razi, dimana dia termasuk perawi yang masih diperbincangkan.

Kemudian dari konteks hadits ini terdapat beberapa faidah; di


antaranya keterangan mengenai celaan Abu Bakar yang tidak disebutkan
oleh Aisyah secara transparan dalam hadits di atas, serta adanya penegas-
an bahwa kalung Aisyah pernah hilang dua kali pada dua peperangan
yang berbeda, wallahu a lam.

A—^SJ J — l — w > l i (Maka kami menemukan kalung di bawahnya).

Lafazh ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang lebih dulu mencari


kalung tersebut tidak mendapatkannya. Sementara dalam riwayat Urwah
dalam bab yang berikutnya disebutkan, *>^-j AJS- <oit <uii J j - o

\ alur}s (Maka Rasulullah mengutus seseorang lalu ia menemukannya),

yakni menemukan kalung Aisyah. Dalam riwayat Imam Bukhari dan


Muslim melalui jalur seperti di atas yang menyangkut keutamaan Aisyah,
disebutkan, ^—JI> —\ j—»l*w>t j—# \—1>\J C—*J (Beliau SA W mengutus
1>S

sahabatnya untuk mencari kalung). Lalu dalam riwayat Abu Daud


disebutkan, *—C/tij J&>- J>. (Beliau SAW mengutus Usaid bin

Hudhair dan beberapa orang bersamanya).

Adapun metode untuk memadukan antara riwayat-riwayat yang


nampak kontroversi ini adalah, bahwa Usaid merupakan ketua
rombongan yang diutus untuk tugas tersebut. Oleh karena itu, namanya
disebut pada beberapa riwayat dan tidak disebutkan orang-orang yang
turut bersamanya.

FATHUL BAARI — 589


Adapun riwayat yang menyandarkan perbuatan itu kepada pelaku
yang tidak disebutkan namanya, maka yang dimaksudkan adalah Usaid
bin Hudhair sendiri. Seakan-akan pada kali pertama mereka tidak
menemukan kalung, namun ketika mereka pulang dan ayat tayamum
turun, dan mereka ingin segera berangkat lalu unta dibangkitkan, maka
Usaid bin Hudhair menemukan kalung yang dicari. Atas dasar ini maka
perkataan beliau dalam riwayat Urwah, "Maka beliau menemukannya",
yakni setelah melakukan segala usaha pencarian. Imam An-Nawawi
berkata, "Tidak tertutup kemungkinan bahwa yang menemukannya
adalah Nabi SAW."

Sementara itu, Ad-Dawudi berlebihan dalam menyalahkan riwayat


Urwah. Telah dikutip Ismail Al Qadhi, bahwa dia menyandarkan
kesalahan tersebut kepada Abdullah bin Numair. Akan tetapi, dari pen-
jelasan yang telah kami paparkan diketahui bahwa di antara kedua
riwayat itu tidak terdapat kontradiksi dan tidak pula ada kesalahan.

Selanjutnya, dalam dua hadits tersebut terdapat perbedaan lain,


yaitu perkataan Aisyah J xif- ^koSl (Kalung milikku terputus atau hilang).
j / / ss

Beliau berkata dalam riwayat Amru bin Harits, J ai'As cJa£-> (kalungku
jatuh). Sementara dalam riwayat Urwah yang akan disebutkan, bahwa
Aisyah meminjam kalung tersebut dari Asma (yakni saudarinya), lalu
kalung tersebut hilang. Untuk menyatukan kedua versi ini dikatakan;
dinisbatkannya kalung tersebut kepada Aisyah adalah karena kalung
tersebut berada dalam kekuasaannya, dan apabila dinisbatkan kepada
Asma' adalah karena dia pemiliknya yang asli berdasarkan pengakuan
Aisyah sendiri dalam riwayat Urwah, karena Aisyah me-minjamnya dari
Asma. Keterangan ini berdasarkan kesamaan cerita yang ada. Akan tetapi
Imam Bukhari dalam kitab tafsirnya cenderung menyatakan bahwa
jatuhnya kalung terjadi pada peristiwa yang berbeda, di mana beliau
menyebut hadits di bab ini saat menafsirkan ayat surah Al Maa'idah dan
menyebutkan hadits Urwah saat menafsirkan ayat dalam surah An-
N i s a a \ Dari sini dapat dikatakan, bahwa ayat dalam surah Al Maa* idah
turun berkenaan dengan kalung Aisyah, sedangkan ayat dalam surah An-
Nisaa' turun berkenaan dengan kalung Asma'. Namun cara memadukan
yang dilakukan sebelumnya adalah lebih tepat, wallahu a 'lam.

5 9 0 — FATHUL BAARI
Di antara faidah hadits ini selain yang telah disebutkan adalah,
bolehnya melakukan safar (bepergian) bersama wanita (istri), bagi wanita
boleh menggunakan wangi-wangian serta berhias untuk suaminya, dan
boleh melakukan safar dengan membawa barang pinjaman bila diridhai
oleh pemiliknya.

Z Z ' ' ' ' ' Z J o £' o' * * o " % °


j _ I ] l jl T J ApliUl C-liPl J Je^" ^ 3 gJ

*' s " ' > ° >' *Z o ' ' * i ot

335. Diriwayatkan dari Jabir bin A bdullah bahwasanya Nabi SA W


bersabda, 'Aku diberi 5 perkara yang tidak diberikan kepada salah
seorang sebelumku: aku ditolong (dimenangkan) dengan ditanam-
kannya rasa takut pada diri musuh sejauh perjalanan satu bulan,
dijadikan bumi bagiku sebagai masjid dan mensucikan (untuk
tayamum), maka di mana saja umatku berada dan waktu shalat
telah tiba hendaklah ia melaksanakan shalat (di sana), dihalalkan
bagiku harta rampasan perang dan tidak dihalalkan kepada salah
seorang sebelumku; aku diberi hak untuk memberi syafaat (kepada
umatku di hari kiamat nanti -ed.); dan nabi-nabi terdahulu diutus
kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada seluruh
manusia"

Keterangan Hadits:

\ — c J a P l (Aku diberikan 5 perkara). Dalam riwayat Amru bin


Syu'aib, sesungguhnya hal itu terjadi ketika perang Tabuk, perang
terakhir yang diikuti Rasulullah SAW.

FATHUL BAARI — 591


^ p J—9-\ "JI—!a*i Ji—i (Tidak diberikan kepada salah seorang
sebelumku). Dalam bab shalat, Imam Bukhari menukil kembali hadits ini
melalui jalur Muhammad bin Sinan dengan tambahan lafazh, J (di
' s * >' '

antara para nabi). Dalam hadits Ibnu Abbas dikatakan j ^ j ' ^ (Aku
3

tidak mengatakannya untuk membanggakan diri). Dari riwayat Ibnu


Abbas ini, secara implisit dapat dipahami bahwa beliau SAW tidak
memiliki keistimewaan selain lima perkara tersebut. Tetapi Imam
Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah dari Nabi SAW dengan
lafazh, C — J s-CJ^i JS- c-Uai (Aku dilebihkan atas para Nabi dengan enam

perkara). Lalu beliau SAW menyebutkan 4 macam dari 5 perkara yang


disebutkan pada hadits di atas, kemudian ditambah 2 lagi sebagaimana
yang akan dijelaskan.

Untuk memadukan riwayat-riwayat tersebut dapat dikatakan, "Ke-


mungkinan beliau SAW hanya diberitahu sebagian dari perkara yang
menjadi keistimewaannya, setelah itu beliau SAW diberitahu lagi ke-
istimewaannya yang lain. Adapun mereka yang berpandangan bahwa
penyebutan angka tidak menjadi dalil batasan sesuatu, dapat menjadi
jawaban persoalan tersebut.

Makna lahiriah hadits di atas memberi indikasi, bahwa kelima


perkara yang disebutkan belum diberikan kepada seorang pun sebelum
beliau SAW, dan itulah yang sebenarnya. Hal ini tidak bertentangan
dengan keterangan bahwa nabi Nuh AS telah diutus kepada seluruh
penduduk bumi setelah peristiwa angin taufan, karena tidak tersisa dari
penduduk bumi saat itu kecuali orang-orang yang beriman bersamanya.
Diutusnya nabi Nuh AS kepada seluruh penduduk bumi bukan sesuatu
yang ditetapkan sejak awal kerasulannya, namun hanya bertepatan
dengan peristiwa yang terjadi, yaitu terbatasnya jumlah manusia pada
pengikut nabi Nuh setelah peristiwa taufan yang membinasakan semua
manusia. Adapun Nabi kita Muhammad, keuniversalan risalahnya
ditetapkan sejak awal kerasulannya, sehingga hal itu menjadi ke-
istimewaan beliau.

Adapun perkataan manusia saat berada di padang mahsyar kepada


nabi Nuh sebagaimana yang dinukil dalam hadits syafaat, J j - l j J j CJ'I 1

5 9 2 — FATHUL BAARI
JeyH\ J—»i ^—!> (Engkau rasul yang pertama kepada penduduk bumi),
maksudnya bukan menunjukkan keuniversalan risalah Nuh AS, tetapi
menetapkan bahwa beliau adalah rasul pertama yang diutus ke bumi.
Meskipun dikatakan bahwa riwayat tersebut menunjukkan keuniversalan
risalah nabi Nuh AS, namun hal itu dibatasi oleh firman Allah SWT
dalam beberapa ayat Al Qur'an yang menyatakan bahwa nabi Nuh diutus
untuk kaumnya saja dan tidak disebutkan bahwa ia diutus kepada kaum
yang lain.

Sebagian ulama berdalil untuk menyatakan bahwa risalah nabi Nuh


AS berlaku bagi seluruh manusia di permukaan bumi berdasarkan doa
nabi Nuh untuk membinasakan semua penduduk bumi, maka semuanya
binasa kecuali yang ikut bersamanya berlayar di kapalnya. Andaikata
nabi Nuh tidak diutus kepada seluruh manusia di permukaan bumi, tentu
mereka tidak dibinasakan semua berdasarkan firman Allah Ta 'ala, uS" L»j

• j l ^ j CJCJ j l f i i i "Dan tidaklah kami menyiksa hingga kami mengutus

seorang rasul" ^ Q s . Al Israa' (17): 1 5 )

Kita telah mengetahui bahwa Nuh merupakan rasul yang pertama.


Namun pernyataan ini dapat dijawab dengan mengatakan, "Tidak tertutup
kemungkinan pada saat itu telah diutus nabi lain kepada selain kaum nabi
Nuh, lalu nabi Nuh mengetahui bahwa mereka tidak beriman. Oleh
karena itu Nuh AS memohon kepada Allah untuk membinasakan
kaumnya dan kaum-kaum yang lain, akhirnya permohonannya dikabul-
kan." Ini adalah jawaban yang baik, akan tetapi tidak dinukil keterangan
yang menjelaskan adanya nabi lain yang diutus pada zaman nabi Nuh.

Kemungkinan makna kekhususan Nabi Muhammad S A W dalam


hal itu adalah keabadian syariatnya hingga hari kiamat, sementara nabi
Nuh dan nabi-nabi yang lain tidaklah demikian. Ada pula kemungkinan
bahwa dakwah Nuh AS terhadap kaumnya untuk mengesakan Allah
(tauhidullah) telah sampai kepada semua manusia, tapi mereka tetap
dalam kemusyrikan sehingga mereka berhak mendapatkan siksaan.
Pandangan ini menjadi kecenderungan Ibnu Athiyah saat menafsirkan
surah Huud, dimana dia mengatakan, "Tidak mungkin kenabiannya
belum sampai ke daerah yang dekat dan yang jauh, mengingat masanya
yang demikian lama."

FATHUL BAARI — 593


Ibnu Daqiq Al 'Id berkomentar, "Sesungguhnya mengesakan Allah
bisa saja bersifat umum bagi sebagian nabi, walaupun keharusan
mengikuti syariatnya tidak bersifat umum, karena sebagian mereka ada
yang memerangi selain kaumnya karena kemusyrikan. Sekiranya tauhid
(mengesakan Allah) bukan merupakan kewajiban mereka, tentu mereka
tidak akan diperangi."

Kemungkinan lain dapat dikatakan, bahwa belum ada (kaum lain)


di bumi ketika nabi Nuh diutus kepada kaumnya, maka beliau diutus
hanya untuk kaumnya saja dan risalahnya bersifat universal ditinjau dari
sisi tidak adanya manusia selain mereka. Akan tetapi jika disepakati
bahwa di sana ada kaum selain mereka, maka harus diyakini bahwa nabi
Nuh tidak diutus kepada kaum lain tersebut.

Ad-Dawudi melakukan kesalahan saat menjelaskan hadits di atas,


dimana beliau berkata bahwa sabda Nabi, i*-i ^ (Tidak diberikan
kepada seorang pun), yakni perkara-perkara tersebut belum pernah ter-
kumpul pada seorang pun sebelum beliau SAW, sebab nabi Nuh diutus
kepada seluruh manusia. Adapun 4 perkara yang lain, tidak ada satu pun
di antaranya yang telah diberikan kepada seorang sebelum nabi SAW."
Seakan-akan Ad-Dawudi hanya memperhatikan permulaan hadits dan
mengabaikan bagian akhirnya, karena sesungguhnya Nabi telah
menyatakan hal ini secara tekstual, yakni sabdanya, f»js J\ ^SS Jji\ OlTj

*—(Dan para nabi diutus kepada kaumnya secara khusus). Dalam


a'. ' ' .) f , * ' ' ' '

riwayat Muslim dikatakan, ... .AJJ» J\ ^ JS" olTj (Dan setiap Nabi
diutus kepada kaumnya....).
—! (Aku ditolong dengan menanamkan rasa takut). Abu

Umamah menambahkan, ^)'&\ <-/y^ j, ^JJJ (Dicampakkan dalam hati


musuh-musuhku) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad.

J$—li i'j.—J (Sejauh perjalanan sebulan) Secara implisit hal ini


memberi pengertian, bahwa pertolongan dengan menanamkan rasa takut
pada musuh dalam tenggang waktu tersebut ataupun yang lebih lama
darinya tidak pernah diberikan kepada selain beliau SAW. Adapun dalam
jarak yang kurang dari masa tersebut tidak hanya diberikan kepada beliau

5 9 4 — FATHUL BAARI
SAW. Akan tetapi lafazh riwayat Amru bin Syu'aib yang berbunyi,
Jt—5> ( H R J i/4< ^ 'J J S-Kir ^ J - ^ ^
1 1
^'jrf^i (Dan aku ditolong atas
musuh dengan menanamkan rasa takut walaupun jarak antara aku
dengan mereka selama perjalanan sebulan), makna lahiriah dari lafazh
ini memberi keterangan bahwa yang demikian itu menjadi keistimewaan
Nabi SAW secara mutlak. Beliau sengaja menjadikan batasan sebulan
karena jarak antara negerinya dengan salah satu dari negeri musuh-
musuhnya tidak ada yang melebihi jarak tersebut. Kekhususan ini mutlak
hanya terjadi pada diri beliau meskipun tanpa pasukan, dan apakah hal ini
terdapat pada umatnya sesudahnya? Hal itu mungkin adanya.

I A * — L i jt>j *sf( j^j—l c \jyrj (Dan dijadikan bumi untukku sebagai


masjid), yakni tempat sujud. Sujud tidak hanya khusus pada tempat
tertentu di belahan bumi tanpa yang lainnya. Ada kemungkinan yang
dimaksud adalah sebagai kiasan bagi tempat yang khusus dibangun untuk
shalat, dan ini termasuk gaya bahasa majaz tasybih (kiasan penyerupa-
an). Karena tatkala dibolehkan shalat pada semua tempat maka kondisi-
nya sama seperti masjid.

Ibnu At-Tin berkata, "Ada pendapat yang mengatakan bahwa


maksud dijadikan bumi untukku (Nabi) sebagai masjid dan untuk bersuci,
adalah bumi telah dijadikan bagi selainku sebagai masjid dan tidak untuk
bersuci (tayamum), karena nabi Isa mengembara di muka bumi dan shalat
tatkala telah tiba waktunya." Demikianlah yang beliau katakan.
Sementara Ad-Dawudi lebih dahulu mengemukakan pendapat tersebut
daripada Ibnu At-Tin.

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa umat sebelum kita


hanya dibolehkan shalat pada tempat yang mereka yakini kesuciannya,
berbeda dengan umat ini dimana dibolehkan shalat pada seluruh tempat
kecuali tempat yang mereka yakini ada najisnya. Namun yang lebih tepat
adalah apa yang dikatakan Al Khaththabi, yaitu orang-orang sebelum kita
hanya dibolehkan shalat pada tempat-tempat tertentu seperti kuil dan
gereja.
Pandangan ini diperkuat oleh riwayat Amru bin Syu'aib dengan
lafazh, L$—Jjf ^—i o j Y,n\ \y\—T I — ° y » ol£"j (Dan orang-orang

FATHUL BAARI — 595


sebelumku mereka hanya shalat di gereja-gereja). Riwayat ini masih
diperselisihkan, sehingga nampaklah sisi keistimewaan tersebut. Hal itu
lebih diperkuat dengan riwayat Al Bazzar dari hadits Ibnu Abbas, dimana
disebutkan di dalamnya j ^ i J?- ^ «-^J^ 'j* j & '<^3 {Belum
1

pernah seorang nabi shalat kecuali setelah ia tiba di mihrab-nya).

— ! e j {Dati mensucikan) Keterangan ini dijadikan dalil bahwa

lafazh ijj^—I* bermakna "yang mensucikan ". Karena seandainya yang


dimaksudkan dengan lafazh itu adalah "suci", maka tidak menjadi
kekhususan bagi umat ini, sementara hadits tersebut menegaskan bahwa
hal itu termasuk kekhususan bagi kita. Diriwayatkan Ibnu Mundzir dan
Ibnu Jarud dengan silsilah periwayatan yang shahih dari Anas, dari Nabi
SAW, \Jy\—li*—U> l—'Je jpjl J c-UJr (Dijadikan untukku semua

(permukaan) bumi yang thayyib, sebagai masjid dan mensucikan). Makna


thayyib adalah suci. Sekiranya thahuran adalah suci pula, maka ini
merupakan pengulangan tanpa arti.

Kemudian hadits ini dijadikan sebagai dalil bahwa tayamum dapat


menghilangkan hadats sebagaiamana air, karena keduanya sama-sama
disifati dengan lafazh thahuran. Namun pernyataan ini perlu dianalisa
kembali. Hadits tersebut juga sebagai dalil, bahwa tayamum dibolehkan
dengan menggunakan segala sesuatu yang ada dipermukaan bumi. Hal ini
telah ditegaskan dalam riwayat Abu Umamah, dimana beliau SAW
bersabda, ti*l~« ty£ Jofi^ J °^**rj (Dan dijadikan bagiku
bumi seluruhnya sebagai masjid dan dapat menyucikan), pembahasan
tentang hal itu akan diterangkan kemudian.
t' , a'.

J—=r_; l—oji (Maka siapa saja). Ungkapan yang bersifat umum ini
mencakup siapa saja yang tidak mendapatkan air ataupun tanah (debu),
lalu ia mendapatkan sesuatu berupa benda-benda yang ada di permukaan
bumi, maka hendaklah ia bertayamum dengannya. Tidak dikatakan
bahwa tayamum khusus untuk shalat, karena itu kami berkata bahwa
lafazh hadits Jabir adalah ringkas. Dalam riwayat Abu Umamah yang
dinukil oleh Al Baihaqi disebutkan, * U 1L*J iy~ai\ J\ j * JJrj U J U

l i * — L i j \Jy\—hje^\J—?-j (Maka siapa saja dari umatku yang ingin

5 9 6 — FATHUL BAARI
melaksanakan shalat dan tidak mendapatkan air, maka ia mendapatkan
bumi mensucikan dan sebagai tempat sujud).

Dalam riwayat Ahmad disebutkan, so*U>j tjj^e «jI«3 (Maka hal itu

baginya dapat menyucikan dan sebagai tempat untuk shalat atau masjid).
f s s s O s ss

Kemudian dalam riwayat Amru bin Syu'aib dikatakan, J £ j i i U^Jli


c. H'/>j cJxl~«i (Dimana saja waktu shalat telah tiba kepadaku, maka aku
bertayamum lalu shalat).

Para ulama yang berpendapat bahwa tayamum khusus dilakukan


dengan menggunakan tanah (debu), berdalil dengan hadits Hudzaifah
yang dinukil oleh Imam Muslim, \#J°J c~1*tj IA*U> l$lf Je_fi\ 13 c-U*-j
, O s ' 0 s s

tJjJt 'x*u j»J lil i j j ^ $ (Da« dijadikan bumi seluruhnya bagi kami sebagai
masjid dan tanahnya dapat menyucikan jika kami tidak mendapatkan
air). Lafazh ini bersifat khusus, maka lafazh yang bersifat umum harus
dimasukkan dalam pengertian yang khusus ini, yaitu dengan tanah
(debu).

Sebagian mereka menolak menjadikan lafazh 2—"j (permukaan

bumi) sebagai dalil untuk menyatakan bahwa tayamum khusus dengan


menggunakan debu, dimana mereka berkata bahwa thurbah adalah setiap
tempat yang ada debu atau benda-benda lain yang ada di permukaan
bumi. Pernyataan ini dapat dijawab bahwa dalam hadits lain diungkapkan
dengan lafazh (debu), seperti dinukil oleh Ibnu Khuzaimah dan
4 s t f s s

lainnya. Dalam hadits Ali dikatakan ijj^i» ^'J}\ J J * * j (Dan dijadikan


debu suci bagiku), sebagaimana dinukil oleh Ahmad dan Baihaqi dengan
silsilah periwayatan hasan (baik). Alasan lain yang menguatkan bahwa
tayamum hanya khusus dilakukan dengan menggunakan debu adalah,
bahwa hadits di atas dikemukakan untuk menampakkan kemuliaan dan
pengkhususan. Seandainya dibolehkan menggunakan selain debu, maka
tentu tidak hanya disebutkan debu saja.

(U'—*Ji 'J c J f Ij (Dan dihalalkan bagiku harta rampasan perang)

Al Khaththabi berkata, "Umat-umat sebelum kita terbagi menjadi dua


bagian; di antara mereka ada yang tidak diizinkan untuk berjihad, maka

FATHUL BAARI — 597


mereka tidak mendapat harta rampasan, dan di antara mereka ada yang
diizinkan untuk berjihad. Tetapi jika mereka mendapatkan harta
rampasan tidak halal untuk dimakan, maka datang api untuk melalap-
nya."

Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa maksud dihalalkannya


bagi beliau harta rampasan perang adalah diperkenankan untuk meman-
faatkannya menurut kehendaknya. Tapi pendapat pertama lebih tepat,
yaitu umat terdahulu tidak halal bagi mereka harta rampasan perang
menurut hukum asalnya. Hal ini akan dijelaskan dalam bab "Jihad".

jpuJtJi 'c-jefi\j (Aku diberi hak untuk memberi syafaat). Ibnu Daqiq
Al Id berkata, "Yang dimaksud adalah syafaat yang agung, yaitu syafaat
untuk membebaskan manusia dari kepayahan yang mereka alami di
padang mahsyar. Dalam hal ini tidak ada perbedaan." begitu pula yang
diungkapkan oleh An-Nawawi dan lainnya.
Pendapat lain mengatakan, bahwa maksud syafaat yang diberikan
secara khsusus bagi Nabi SAW adalah permohonannya yang tidak akan
ditolak. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
syafa'at beliau untuk mengeluarkan orang yang mempunyai keimanan
dalam hatinya walaupun sebesar biji dzarrah, karena syafaat yang
dimiliki oleh selain beliau SAW adalah untuk mereka yang memiliki
keimanan dalam hatinya yang lebih besar dari itu, sebagaimana yang
dikatakan oleh Al Qadhi Iyadh.
Adapun menurut pendapatku, yang dimaksud adalah pengertian
terakhir ini dan pengertian yang pertama, karena keduanya telah
disebutkan secara bergandengan dalam hadits tentang syafaat seperti
yang akan dijelaskan dalam bab Ar-Riqaq (perbudakan), insya Allah.

Al Baihaqi berkata, "Ada kemungkinan bahwa syafaat yang


dikhususkan bagi Nabi SAW adalah syafaat yang diberikan kepada orang
yang melakukan dosa kecil dan dosa besar, sedangkan selain beliau SAW
hanya bagi orang yang melakukan dosa kecil saja." Lalu Al Qadhi Iyadh
menukil suatu pendapat, bahwa syafaat yang dikhususkan bagi Nabi
SAW adalah syafaat yang tidak akan ditolak.

5 9 8 — FATHUL BAARI
Disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, 'Jf% Lgi^-li i t U & J l cJas-^j

Ul li 4jib jliJ 'j 'Jl (D<3« a/:» mendapat hak untuk memberi syafaat,
maka akupun menunda penggunaannya untuk umatku, dan ia khusus
bagi mereka yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun).
'i 'y
Sementara dalam hadits Amru bin Syu'aib dikatakan, <L>i x£> JJj ^SJ Jp
h\ 'j) A—\\ 'j (Syafaat tersebut untuk kalian dan untuk orang yang bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah).

Secara lahiriah, yang dimaksud dengan syafaat yang khusus


dimiliki Nabi SAW dalam hadits ini adalah mengeluarkan dari neraka
orang yang tidak mempunyai amal shalih selain tauhid, sebagaimana
beliau SAW juga secara khsusus memiliki syafaat untuk membebaskan
manusia di padang mahsyar. Akan tetapi lafazh hadits hanya menyitir
syafaat untuk mengeluarkan manusia dari neraka, karena hal itu
merupakan tujuan akhir dan tercapainya kebahagiaan yang langgeng,
wallahu a 'lam.

Syafaat yang dimaksud telah disebutkan dalam riwayat Hasan dari


Anas sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pembahasan Tauhid
dengan lafazh,

.*\\ h\ a'j Si 'J Q» 'Jj&

(Kemudian aku kembali kepada Tuhanku pada keempat kalinya,


lalu aku berkata, "Wahai Tuhan, izinkan aku memberi syafaat kepada
orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illallah. " (Allah berfirman),
"Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, sungguh Aku akan mengeluarkan
dari neraka mereka yang mengucapkan laa ilaaha illallah).

Riwayat ini tidak bertentangan dengan riwayat Imam Muslim,


dimana sebelum lafazh Jj*j (demi kemulian-Ku) disebutkan cll cll} JJ

(hal itu bukan hakmu, demi kemulian-Ku...) karena maksudnya


beliau tidak langsung mengeluarkan (orang dari neraka), bahkan
syafaatnya menjadi penyebab hal itu, wallahu a 'lam.

FATHUL BAARI — 599


Adapun pembahasan mengenai sabdanya, A—J\ ^ \ otS'j

'A—(Dan setiap Nabi diutus hanya kepada kaumnya) telah diterangkan

di bagian awal bab ini, wallahu a 'lam.

Sedangkan sabdanya, *—i l* j-tOl J\ Cu*Jj (Dan aku diutus kepada

seluruh manusia), dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh

iyU\j (Aku diutus kepada setiap yang merah dan yang hitam).
Dikatakan maksud yang merah adalah non-Arab dan yang hitam adalah
orang Arab. Ada pula yang mengatakan, bahwa yang merah adalah
bangsa manusia dan yang hitam adalah bangsa jin. Berdasarkan
pengertian pertama, maka hadits tersebut menggunakan gaya bahasa
tanbih bil adna alal a 'la' (yakni menyebutkan bagian terendah untuk
memasukkan di dalamnya bagian yang teratas -penerj.) karena pada
dasarnya beliau SAW diutus kepada semua manusia. Riwayat yang
paling jelas dan terlengkap dari hadits-hadits di atas adalah riwayat Abu
Hurairah yang dinukil oleh Imam Muslim, dimana dikatakan J\ c - L - j i j

ailT jJ&Ji (Aku diutus kepada semua makhluk).

Catatan

Permulaan hadits Abu Hurairah tersebut adalah, "Aku diberi


keutamaan (keistimewaan) atas para nabi dengan enam perkara." Lantas
beliau menyebutkan 5 hal yang telah dipaparkan dalam hadits Jabir
kecuali syafaat, kemudian beliau menambah dua hal lagi yaitu, c-ljf^j
Jj—L3l ^ 'f*"} (*"^' (Dan aku diberi kemampuan berbicara singkat
tapi padat dan aku dijadikan penutup para nabi). Jika digabung antara
hadits Abu Hurairah dengan hadits Jabir, maka kita dapati jumlahnya
menjadi 7 keistimewaan. Kemudian diriwayatkan pula oleh Muslim
sebuah hadits dari Hudzaifah yang berbunyi, : JUa?- ^Ull Js- QJai
A—>J%J\ cij—(CaS" l—'Syue c lv- (Aku diberi keutamaan di atas seluruh
manusia dengan tiga perkara; dijadikan shaf kita seperti shaf para
malaikat), dan beliau menyebutkan perihal bumi (yakni bumi djadikan

600 ~ FATHUL BAARI


baginya sebagai masjid dan mensucikan -penerj.) sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya. Perawi hadits ini berkata, "Hudzaifah
menyebutkan perkara yang lain." Perkara yang tidak dijelaskan ini
disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah dan An-NasaM, yaitu CJ\J$\ a.L» c.japtj

jij—ill c - k i j l f j * aJL±\ "tjjLi jf\ J (Dan aku diberikan ayat-ayat terakhir

surah Al Baqarah dari perbendaharaan (khazanah) di bawah Arsy).


Beliau SAW mengisyarat-kan kepada rahmat Allah SWT yang telah
menghapuskan beban berat dari umat ini dan diangkatnya dosa perbuatan
yang tidak disengaja atau karena lupa.
0 s t

Dalam riwayat Imam Ahmad dari hadits Ali dikatakan, ti'ji c.'Lpi

'J?- ^sil cJlyrj . U ^ - l c ^ l i j J ^ J ^ ' £ 2 ? ^ C'jh^l :<oil *CJl J J^-l O^ *^ ^ 3

L4&W dikaruniai 4 perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang


nabi pun (selain aku); aku diberikan kunci-kunci (perbenda-haraan)
bumi, aku diberi nama Ahmad, dan dijadikan umatku sebagai umat
terbaik), lalu beliau SAW menyebutkan pula tentang dijadikannya tanah
sebagai alat untuk bersuci. Dengan demikian, keistimewaan itu berjumlah
12 macam.
Sementara itu, diriwayatkan oleh Al Bazzar melalui jalur yang
berbeda dari Abu Hurairah dari Nabi S A W , ^ 'j* : c — J tUJty 'J* c-Uai

o J' - s - a s a

i—«jj j—ii joT cJui SiCflJi ^JJ JU^JI frljl diutamakan di atas para nabi
dengan enam perkara; diampuni dosaku yang terdahulu dan yang akan
datang, dijadikan umatku sebagai umat terbaik, aku diberi Al Kautsar
(kebaikan yang banyak atau sebuah telaga di surga), sesungguhnya
sahabat kalian ini merupakan pengibar panji kemuliaan pada hari
kiamat yang akan diiringi Adam AS dan keturunannya). Selanjutnya
beliau menyebutkan dua sifat yang telah disebutkan. Kemudian Imam
Ahmad meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, 'J* c-Uai

(U-lU alip 4Jil ^J*^ ljil5T J & Q > olT : jliLa^o tC&l (Aku diutamakan di atas

para nabi dengan dua perkara; syetanku adalah syetan yang kafir, lalu
Allah menolongku terhadapnya maka ia pun masuk Islam). Kemudian
perawi hadits ini berkata, "dan aku lupa yang satunya".

FATHUL BAARI — 601


Aku (Ibnu Hajar) berkata, "Dengan ini maka lengkaplah jumlahnya
menjadi 17 keistimewaan. Mungkin saja perkara tersebut lebih banyak
dari itu jika ditelusuri lebih jauh. Pada pembahasan terdahulu telah
diterangkan bagaimana memadukan riwayat-riwayat ini."

Abu Said An-Nisaburi dalam kitab Syaraful Musthafa menyebut-


kan, bahwa jumlah keistimewaan yang dikhususkan untuk nabi SAW
adalah sebanyak 60 malam.

Selanjutnya dalam hadits di atas terdapat sejumlah faidah selain


yang telah disebutkan, di antaranya adanya anjuran menghitung nikmat-
nikmat yang Allah berikan kepada kita dan memberitahu orang lain
walaupun mereka belum bertanya. Sesungguhnya bumi itu asalnya adalah
suci, dan sahnya shalat tidak hanya di masjid yang dibangun khusus
untuk hal itu saja (namun boleh juga dilakukan di lapangan atau tanah
terbuka di luar masjid -penerj.).
Adapun hadits, "Tidak sah shalat orang yang tempat tinggalnya
bertetangga dengan masjid kecuali jika dilakukan di masjid." Hadits ini
adalah l e m a h yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari Jabir. Penulis
l)

kitab Al Mabsut yang bermadzhab Hanafi menjadikan dalil di atas


sebagai argumen untuk mengekspos kemuliaan manusia, dia berkata,
"Karena manusia diciptakan dari air dan tanah, dan telah sama-sama
diketahui bahwa keduanya (air dan tanah) adalah suci. Sudah barang
tentu dalam penjustifikasian sucinya tanah menandakan kemuliaan
manusia, wallahu 'alam.

Akan tetapi cukup sebagai dalil dalam masalah itu riwayat yang dinukil oleh Ibnu Majah
dan Ibnu Hibban serta Al Hakim dengan silsilah periwayatan hasan dari Ibnu Abbas dari
nabi SAW, "Barangsiapa yang mendengar seruan (adzan) lalu tidak datang maka tidak
ada shalat baginya, kecuali jika ada halangan.'" Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki buta
memohon kepada Nabi SAW untuk diperkenankan shalat di rumahnya, maka Nabi SAW
bertanya kepadanya, "Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat (adzan)?" laki-laki
tersebut menjawab, "Ya!" Maka Nabi bersabda, "Sambutlah seruan itu." Hal ini berlaku
bagi shalat fardhu sebagaimana telah diketahui secara umum, adapun shalat-shalat sunah
maka tidak khusus dilakukan di masjid bahkan di rumah lebih utama. Kecuali yang di-
khususkan oleh syariat, wallahu a 'lam.

6 0 2 — FATHUL BAARI
2. Jika Tidak Didapatkan Air dan Debu (Tanah)

& f ^ ' ' ' S S S & j- S ' S O ' j f ' '

4JJI JJ-^J C-^JL$3 iS^Ks s.Lw»l y Ojlil^l LgJl aJUJLP y-


' ' & ' • £ " f ' , ' ' O " ' '

j i > i''' f ' ' f^ ' c ' * f ' ' '

J VI aL^^J ^1 Jjj C AjJly AJUI ijf£. I Ajij L*J

^ 0^ ^ 0 - * ° ' ' '

.1 aJ j ^ » J l ^ « i J j d i ! jiJLii aJJI

336. Diriwayatkan dari Aisyah bahwasanya beliau meminjam


kalung dari Asma', lalu (kalung tersebut) hilang, maka Rasulullah
mengutus seseorang (untuk mencarinya) dan ia menemukannya.
Kebetulan waktu shalat telah tiba dan tidak ada air bersama
mereka, maka mereka pun shalat. Hal itu diadukan kepada
Rasulullah, maka Allah menurunkan ayat tayamum. Usaid bin
Hudhair berkata kepada Aisyah, "Semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan, demi Allah tidaklah terjadi padamu suatu hal
yang engkau benci kecuali Allah menjadikan hal tersebut kebaikan
bagimu dan kaum muslimin"

Keterangan Hadits:

Ibnu Rasyid berkomentar tentang bab di atas, "Seakan-akan Imam


Bukhari memposisikan bahwa gugurnya perintah tayamum adalah karena
tidak ada debu, tentunya setelah adanya syariat tayamum. Seakan-akan ia
berkata, "Hukum mereka tentang tidak adanya "air" yang dipakai bersuci
adalah seperti hukum kita dalam masalah tidak adanya air dan debu yang
dipakai untuk bersuci." Untuk itu nampaklah kesesuaian antara hadits
tersebut dengan judul bab, karena dalam hadits tersebut tidak ada
keterangan bahwa mereka tidak menemukan debu, tetapi hanya
dijelaskan bahwa mereka tidak menemukan air saja. Untuk itu hadits di

FATHUL BAARI — 603


atas menjadi dalil, bahwa shalat tetap wajib dilaksanakan meskipun tidak
ada air atau debu yang dipakai untuk bersuci.

Adapun dasar yang menjadi dalil adalah mereka melaksanakan


shalat tersebut disertai keyakinan bahwa hal itu adalah wajib. Seandainya
shalat waktu itu tidak boleh, maka Nabi SAW pergi akan melarangnya.
Demikian pendapat yang dikatakan oleh Imam Syafi'i, Ahmad, mayoritas
ahli Hadits dan sebagian besar ulama madzhab Maliki. Tetapi mereka
berbeda pendapat tentang wajibnya mengulangi shalat jika mendapatkan
air.

Adapun pernyataan secara tekstual dari Imam Syafi'i, mengatakan


wajib mengulanginya. Pernyataan ini dibenarkan oleh sebagian besar
sahabatnya, mereka beralasan bahwa kondisi demikian merupakan udzur
(halangan) yang jarang terjadi, maka kewajiban untuk mengulangi shalat
tidak gugur karenanya.

Adapun yang masyhur dari Imam Ahmad, Al Muzanni, Sahnun dan


Ibnu Mundzir, adalah tidak wajib mengulangi shalat. Mereka beralasan
dengan hadits dalam bab ini. Sebab jika hal itu wajib dilakukan (meng-
ulangi shalat), maka Nabi SAW pasti menjelaskannya kepada para
sahabatnya, karena mengakhirkan keterangan saat dibutuhkan adalah
tidak boleh.

Namun pendapat ini ditanggapi dengan mengatakan, bahwa


kewajiban untuk mengulangi (shalat) tidak mesti dilakukan dengan
segera, ])
tapi hendaknya keterangan itu tidak diakhirkan pada waktu
dibutuhkan. Untuk itu, mesti ada dalil lain yang menegaskan akan
kewajiban mengulangi shalat tersebut.

Imam Malik dan Abu Hanifah dalam riwayat yang masyhur dari
keduanya mengatakan, "Tidak boleh melakukan shalat." Akan tetapi Abu
Hanifah dan para sahabatnya berkata, "Ia wajib mengqadha (mengganti) ,

shalatnya." Pendapat ini dikemukakan pula oleh At-Tsauri dan Al Auza'i.


Sedangkan Imam Malik sebagaimana yang beliau nukil dari penduduk
Madinah, ia berkata, "Tidak wajib mengqadha' (mengganti) shalat."

V)
Ini bukan tanggapan yang tepat, dan yang benar adalah mengulangi shalat tersebut wajib
dilakukan dengan segera pada saat hal yang menjadi konsekuensinya telah ada. Oleh karena
Nabi SAW tidak memerintahkan mereka mengulangi shalat tersebut, maka hal tersebut
menunjukkan bahwa mengulangi tidaklah wajib.

6 0 4 — FATHUL BAARI
Inilah empat pendapat yang paling masyhur dalam permasalahan ini.
Sementara itu, An-Nawawi menceritakan dalam kitab Syarh Al
Muhadzdzab tentang pendapat lama Imam Syafi'i, yang mengatakan,
"Disunahkan shalat dan diwajibkan mengulangi." Dengan demikian,
menjadi lima pendapat, wallahu a 'lam.

Ij Uai «.U ^J-JJ (Tidak ada air bersama mereka, maka mereka

pun shalat) Al Hasan bin Sufyan menambahkan dalam Musnad-nya dari


Muhammad bin Abdullah bin Umair dari ayahnya, "Mereka shalat tanpa
wudhu." Diriwayatkan oleh Al Isma'ili dan Abu Nuaim, juga diriwayat-
kan oleh Al Jauzaqi melalui jalur lain dari Ibnu Numair, begitu juga yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari ketika membahas keutamaan Aisyah
melalui riwayat Abu Usamah. Demikian juga Imam Muslim menukil dari
jalur Abu Usamah. Ibnu Mundzir mengemukakan pendapat yang cukup
ganjil, dimana beliau mengklaim bahwa tambahan ini hanya diriwayatkan
oleh Abdah. Pembahasan mengenai hadits ini serta cara memadukannya
telah disebutkan dalam pembahasan hadits Urwah dan Al Qasim pada
bab sebelumnya.

3. Tayamum Saat Mukim (Tidak Bepergian) Jika Tidak


Menemukan Air dan Khawatir Waktu Shalat Habis

Ini adalah pandangan Atha'. Al Hasan berkata tentang orang sakit


dan di sisinya ada air tapi tidak ada orang yang menuangkannya, "Maka
ia melakukan tayamum."

, 0 s 0 0 l i 0 li
" " l i l "° ' ° ' ll ' '. ' • ' •* * || • | ' " ' * ' °l I ' - f

f»—~—'.y. oj-^><3 i — S y I^J* y (W*'J


0 t 0 " ^ 0 i i 0 i' ' ' l l * ' l ' Z ^ *'l '

FATHUL BAARI — 605


Ibnu Umar datang dari daerahnya di lereng bukit, kemudian waktu
ashar tiba ketika berada di tempat penambatan unta, lalu ia malaksanakan
shalat. Kemudian ia memasuki Madinah dan matahari masih di atas,
maka ia tidak mengulangi shalatnya.

>

337. Diriwayatkan dari Al A 'raj ia berkata, "Saya mendengar


Umair maula (mantan budak) Ibnu Abbas berkata, Aku dan
Abdullah bin Yasar (mantan budak Maimunah, istri Nabi SAW)
berangkat sampai kami menemui Abu Juhaim bin Harits bin Ash-
Shimmat Al Anshari.' Abu Juhaim berkata, "Nabi SAW datang dari
sumur Jamal lalu seseorang menemuinya dan mengucapkan salam
kepadanya, tapi Nabi tidak menjawabnya hingga beliau
menghadap ke suatu dinding lalu mengusap wajah dan kedua
tangannya. Kemudian beliau menjawab salam orang itu"

Keterangan Hadits:

j—** J? iP'j (Dan


1
Ibnu Umar datang). Imam syafi'i berkata, "Ibnu
Uyainah menceritakan kepada kami dari Ibnu Ajian, dari Nafi', dari
Ibnu Umar bahwa dia datang dari lereng bukit hingga ketika ia tiba di
tempat tambatan unta ia bertayamum, maka ia mengusap wajahnya dan
kedua tangannya dan shalat ashar" Lalu beliau menyebutkan riwayat

6 0 6 — FATHUL BAARI
selanjutnya sebagaimana yang dikutip oleh Imam Bukhari." Tidak jelas
bagiku sebab yang mendorong Imam Bukhari untuk tidak mencantumkan
lafazh tayamum dalam riwayat yang beliau nukil, padahal ini yang
menjadi maksud bab."
Riwayat tersebut telah dinukil pula oleh Imam Malik dalam kitab
Al Muwaththa dari Nafi' secara ringkas, tetapi ia menyebutkan bahwa
Ibnu Umar bertayamum lalu mengusap wajahnya dan kedua tangannya
sampai siku. Riwayat tersebut juga dinukil oleh Ad-Daruquthni dan
Hakim melalui jalur lain, namun silsilah periwayatannya dha '//"(lemah).

Riwayat ini menunjukkan bahwa Ibnu Umar berpendapat bolehnya


tayamum bagi orang yang tidak bepergian, sebab perjalanan Ibnu Umar
ini tidaklah dinamakan safar (bepergian), maka dari sisi ini nampak
kesesuaian riwayat Ibnu Umar dengan judul bab. Secara lahiriah, Ibnu
Umar tidak memperhatikan lewatnya waktu karena ia memasuki
Madinah sedang matahari belum terbenam. Tetapi ada kemungkinan
bahwa dia mengira akan tiba di Madinah setelah keluar waktu shalat
(ashar). Di samping itu juga mengandung kemungkinan, bahwa se-
sungguhnya Ibnu Umar bertayamum bukan karena hadats tetapi karena
kebiasaan beliau yang berwudhu setiap kali akan shalat (meski wudhunya
belum batal- penerj.).

Untuk itu tidak menutup kemungkinan beliau masih dalam keadaan


berwudhu, lalu ingin shalat dan tidak menemukan air untuk berwudhu
seperti kebiasaanya, maka ia mencukupkan dengan tayamum sebagai
pengganti wudhu. Bila kemungkinan ini diterima, maka riwayat Ibnu
Umar di atas tidak sesuai dengan judul bab, tapi sekedar menyatakan
bolehnya mengumpulkan antara wudhu dan tayamum saat tidak dalam
bepergian (safar).

Di samping itu, riwayat itu tidak dapat dijadikan alasan bagi orang
yang tidak mengharuskan mengulangi shalat dengan tayamum apabila
tidak dalam bepergian. Karena berdasarkan kemungkinan ini tidak wajib
mengulangi shalatnya menurut kesepakatan. Sementara ulama salaf telah
berbeda pendapat tentang asal masalah ini. Imam malik berpendapat
bahwa tidak wajib mengulangi shalat dengan tayamum dalam keadaan
mukim (tidak bepergian). Ibnu Baththal memberikan alasannya, bahwa
tayamum disyari'atkan bagi musafir dan orang sakit untuk mendapatkan

FATHUL BAARI — 607


waktu shalat, maka diikutkan dalam hukum keduanya orang yang tidak
bepergian namun tidak mampu menggunakan air berdasarkan analogi
(qiyas). Imam Syafi'i berkata, "Wajib mengulangi shalat, karena hal itu
jarang terjadi." Sementara dinukil keteragan dari Abu Yusuf dan Zufar,
"Tidak boleh shalat sampai ia mendapatkan air walaupun waktu shalat
telah habis."

jij—?Ji ^ — I P J—Jl ^—s?- (Hingga ia menghadap ke dinding) Dalam

riwayat Ad-Daruquthni melalui Abu Shalih dari Laits disebutkan, J»-


a s *

jlj_*Jl Ji aoJ (hingga beliau meletakkan tangannya di tembok). Lalu

ditambahkan oleh Imam Syafi'i, I — ( L a l u beliau menggosoknya


dengan tongkat). Riwayat ini dipahami bahwa tembok tersebut adalah
milik seseorang yang telah diketahui keridhaannya, bila hal itu dilakukan
terhadap temboknya.
A—JJJJ A—£>r'y (Maka beliau mengusap wajah dan kedua
tangannya). Dalam riwayat Ad-Daruquthni dari Abu Shalih dari Laits
disebutkan, A—Ipljij A—J*JJ (Maka beliau mengusap wajahnya dan

kedua sikunya). Demikian pula yang dinukil oleh Imam Syafi'i dari
Huwairits. Riwayat ini memiliki penguat, yaitu hadits Ibnu Umar yang
dikutip oleh Abu Dawud. Akan tetapi para ahli hadits menyatakan jalur
periwayatannya yang sampai kepada Nabi SAW tidak benar, yang benar
jalur periwayatannya hanya sampai pada Ibnu Umar. Telah disebutkan
bahwa Imam Malik telah mengutip hadits itu secara makna dan itulah
yang benar.

Adapun lafazh yang akurat dalam riwayat Abu Juhaim adalah


lafazh A—Jjj (kedua tangannya), bukan A—IPIji (kedua sikunya). Sebab

riwayat dengan lafazh (Kedua sikunya) adalah riwayat yang syadz


(cacat), di samping itu Abu Huwairits dan Abu Shalih adalah para perawi
yang lemah. Keterangan tentang perbedaan wajib tidaknya membasuh
kedua siku akan dibahas setelah satu bab lagi.

Imam An-Nawawi berkata, "Hadits ini mengandung kemungkinan,


bahwa Nabi SAW tidak memperoleh air ketika bertayamum." Saya (Ibnu
Hajar) katakan, "Pendapat itu merupakan indikasi pernyataan Imam

6 0 8 — FATHUL BAARI
Bukhari. Namun menjadikan hadits ini sebagai dalil dapat dikritik dengan
mengatakan bahwa, bertayamum di saat tidak bepergian hanya diper-
bolehkan dengan adanya sebab, yaitu ingin berdzikir kepada Allah karena
lafazh salam di antara nama-nama-Nya, dan bukan untuk menjadikan
seseorang sah melakukan shalat."

Kritikan ini dapat dijawab, "Tayamum yang dilakukan Nabi (pada


saat tidak bepergian) adalah untuk menjawab salam, padahal menjawab
salam tidak harus bersuci. Maka siapa yang merasa khawatir kehabisan
waktu shalat - d i saat tidak bepergian- tentu lebih diperbolehkan untuk
melakukan tayamum, karena shalat tidak boleh dilakukan tanpa bersuci."

Dikatakan juga bahwa ada kemungkinan Nabi melakukan tayamum


bukan untuk menghilangkan hadats, atau membolehkan perbuatan yang
dilarang kecuali dalam keadaan suci. Akan tetapi maksud beliau hanya
ingin menyerupai orang-orang yang bersuci, sebagaimana disyariatkan
imsak (menahan tidak makan) pada bulan Ramadhan bagi orang yang
dibolehkan untuk berbuka. Atau beliau ingin meringankan hadats dengan
tayamum, sebagaimana disyariatkan untuk meringankan junub dengan
wudhu seperti yang telah diterangkan.

Dari lafazh riwayat ini Ibnu Baththal berdalil, bahwa debu bukan
merupakan syarat dalam tayamum. Ia berkata, "Karena diketahui bahwa
debu yang ada di dinding tidak melekat di tangannya." Namun
pernyataannya ini dapat dikritik dengan mengatakan, bahwa hal itu bukan
suatu hal yang pasti, tapi masih mengandung kemungkinan. Dalam
riwayat Imam Syafi'i telah disebutkan keterangan yang mengindikasikan
tidak adanya debu di tembok tersebut, oleh karena itu beliau SAW
menggosoknya dengan tongkat.

KSH mMNJMGlUNMfUt

FATHUL BAARI — 609


4. Apakah Orang yang Bertayamum Meniup (Debu)
Pada Kedua Tangannya?

C5 'i J ^ J ^ '• ^ ^ o* ^ oH o r ^ ^ ^ 1
^ ^

^ j l l p Jliii cs.CL5lfc_~s^l(Ji c-J^-l Ji\ : jLai c^UaiJl ^


'f f i ' '* 's. y*
0
i? * o ^

1—*li tcJlj lil Ji** ^j, UI ^ffii li.1 i^UaiJl ^ ^1*3 _^li

Jl ai ^ ^jIlJ O^S"Ji toJi^i lil C»U Ji^j (Ji cJl

4__lko S ^_Jjl c^j—^i ( I J L ^ A OlT Uli) :S [gZtt

338. Diriwayatkan dari Said bin Abdurrahman bin Abza dari


ayahnya ia berkata, seseorang mendatangi Umar bin Khaththab
dan berkata, 'Aku junub dan tidak menemukan air. "Maka Ammar
bin Yasir berkata kepada Umar bin Khaththab, "Apakah anda
tidak ingat ketika kita dalam suatu perjalanan (saya dan engkau),
maka engkau tidak shalat, adapun aku berguling-guling di tanah
kemudian shalat. Kemudian aku menyebutkan hal itu kepada Nabi
SAW. Maka beliau SAW berkata, "Hanya saja cukup bagimu
begini.' Lalu Nabi SAW memukul tanah dengan kedua telapak
tangannya dan meniupnya, kemudian mengusap muka dan kedua
tangannya dengan keduanya"

Keterangan Hadits:

Maksud Imam Bukhari memberi judul bab ini dalam bentuk


pertanyaan, adalah untuk memberi isyarat bahwa dalam masalah ini
terdapat sejumlah kemungkinan. Ada kemungkinan bahwa Nabi meniup
sesuatu yang melekat di tangannya karena khawatir akan mengenai
wajahnya, atau ia ingin menipiskan debu yang ada di tangannya agar

6 1 0 — FATHUL BAARI
tidak membekas di wajahnya, dan kemungkinan juga beliau melakukan
hal itu untuk menjelaskan apa yang telah ditetapkan syariat.

Keterangan ini dijadikan pegangan oleh mereka yang memboleh-


kan tayamum dengan selain debu. Mereka beralasan bahwa dengan
meniup tangan menunjukkan bahwa yang menjadi syarat tayamum
adalah sekedar memukulkan tangan ke tanah tanpa ada syarat lain. Oleh
karena lafazh ini mengandung berbagai kemungkinan seperti telah kami
sebutkan, maka boleh disebutkan dalam bentuk pertanyaan agar para
peneliti mengetahui bahwa masalah ini perlu pendalaman lebih jauh.

jl—Jl ii ,tUJl t__^l j^Ji (Dan tidak menemukan air maka ammar
berkata) Riwayat ini merupakan jawaban umar, dan telah disebutkan
secara ringkas. Hal ini bukan tindakan Imam Bukhari, karena riwayat ini
juga dinukil oleh Al Baihaqi dari Adam tanpa menyebutkan jawaban
Umar.

Lalu Imam Bukhari telah menyebutkan pula hadits di atas dalam


bab berikutnya dari enam perawi dari Syu'bah dengan sanad yang telah
disebutkan, namun tidak satu pun di antara mereka yang beliau nukil
dengan sempurna. Adapun jawaban Umar disebutkan oleh Imam Muslim
melalui Yahya bin Said dan An-Nasa'i melalui Hajjaj bin Muhammad,
keduanya dari Syu'bah dengan lafazh J-ai V Jlii (Maka Umar berkata,

"Jangan engkau shalat. "). Lalu ditambahkan oleh As-Sarraj, *UJi Js-
(Hingga kamu mendapatkan air). Demikian pula yang dinukil oleh An-
Nasa'i. Inilah madzhab yang masyhur dari Umar serta disetujui oleh
Abdullah bin Mas'ud.

Dalam hal ini telah terjadi diskusi antara Ibnu Mas'ud dan Abu
Musa Al Asy'ari sebagaimana akan dibahas pada bab "Tayamum dengan
sekali tepukan". Ada yang mengatakan bahwa Ibnu Mas'ud telah
mencabut kembali pendapatnya. Kami akan menyebutkan dalam bab
tersebut alasan yang menjadi landasan pendapat umar berikut jawaban-
nya.

'c iviisi (Maka aku berguling-guling), seakan-akan Ammar


mempergunakan qiyas (analogi) dalam masalah ini. Dia melihat bahwa
tayamum yang disyariatkan sebagai pengganti wudhu dilakukan seperti

FATHUL BAARI — 611


tata cara wudhu, maka tayamum sebagai pengganti mandi mesti
dilakukan seperti tata cara mandi.

Pelajaran yang dapat diambil

1. Adanya ijtihad para sahabat pada masa Nabi SAW.

2. Seorang mujtahid tidak mendapatkan aib jika ia telah mencurahkan


semua kemampuan dan usahanya, meskipun tidak mencapai
kebenaran. Jika ia telah melakukan ijtihad, maka ia tidak wajib
mengulanginya.

3. Perbuatan Umar yang tidak melakukan shalat serta keputusan


hukum yang dikeluarkannya dijadikan alasan oleh orang yang
berpendapat, bahwa jika seseorang tidak menemukan sesuatu (baik
air maupun debu) maka ia tidak shalat dan tidak wajib mengganti,
seperti yang telah diterangkan. 0

i l — o l T tJi (Hanya saja kamu cukup). Di sini dijelaskan bahwa


yang wajib dalam tayamum adalah sifat atau cara yang dijelaskan dalam
hadits ini. Adapun adanya tambahan lain jika ditetapkan berdasarkan
perintah, maka menunjukkan nasakh (penghapusan) dan wajib diterima.
Namun bila ditetapkan berdasarkan perbuatan maka dipahami sebagai
suatu kesempurnaan. Demikianlah yang lebih kuat berdasarkan dalil yang
ada seperti yang akan dijelaskan.

(Dan beliau memukul tanah dengan kedua telapak

tangannya). Dalam riwayat selain Abu Dzar disebutkan ^'J^

pLLij <dJl (Maka Nabi SA W memukul...), dan begitu pula pada riwayat
Al Baihaqi melalui Adam.

Tetapi ini adalah pandangan yang lemah dan bertentangan dengan firman Allah SWT,
"Bertakwalah kamu kepada Allah sebatas yang kamu mampu." (Qs. Ath-Thaghaabun (64):
16) juga bertentangan dengan hadits Aisyah tentang kisah kalung yang hilang, wallahu
alam .

6 1 2 — FATHUL BAARI
U^—J jujjj (Dan beliau meniup keduanya). Dalam riwayat Al Hajjaj

disebutkan *—'J j * Uitai (Kemudian beliau mendekatkan keduanya ke


mulutnya), yakni sebagai kiasan meniup. Dalam kedua riwayat ini
terkandung isyarat bahwa tiupan tersebut adalah tiupan yang ringan.
Sementara dalam riwayat Sulaiman bin Harb disebutkan, Ji? (dan
beliau menghembuskan pada keduanya).

Dari gaya penuturan riwayat di atas dapat diketahui, bahwa Nabi


mengajarkan hal itu kepada para sahabatnya melalui perbuatan atau
praktek. Dalam riwayat Imam Muslim melalui Yahya bin Sa'id, riwayat
Al Ismaili melalui Yazid bin Harun dan lainnya - semuanya dari
S y u ' b a h - menyebutkan bahwa Nabi mengajarkan hal itu kepada para
sahabatnya melalui perkataan. Adapun lafazhnya adalah, LM iiliSo OVS" Uli

jffj *i\ —l'-A <—>j—(Hanya saja cukup bagimu memukul tanah dengan

kedua tanganmu). Yahya menambahkan, i & S j Cii^rj r^Us J»J


(kemudian engkau meniup lalu mengusap mukamu dan kedua tanganmu
dengan keduanya).

Meniup debu tersebut dijadikan landasan dalil disukainya


menipiskan debu seperti yang diterangkan, dan gugurnya anjuran
mengusap anggota tayamum secara berulang-ulang, karena mengusap
anggota tayamum secara berulang-ulang bertentangan dengan upaya
untuk menipiskan debu. Hadits ini juga dijadikan dalil, bahwa orang yang
membasuh kepala dalam wudhu sebagai ganti mengusap, maka hal itu
cukup baginya berdasarkan perbuatan Ammar yang berguling-guling di
tanah untuk bertayamum. Dari sini, tayamum boleh dilakukan dengan
menepukkan tangan ke tanah atau debu lebih dari dua kali tepukan. Di
samping itu hadits ini juga menerangkan gugurnya kewajiban tertib
(berurutan) dalam tayamum karena junub.

FATHUL BAARI — 613


5. Tayammum Untuk Muka Dan Kedua Telapak
Tangan

I_J J e j IJ^J J U _ P Jli <UJI y ^Sy) ^JJ J-^- jf-

o , y' A i o i / ^ / S t . o y f y z Z ^ c o' ' ^ yo J t

. *—*AS J A_gJ>rJ l o g ; ^-*yyj> jtJ <US Li_&Lol jt_l ( j i ' j i ' AJ-LU <L*->

> l Jli j

JI j j^S^Jl Jli (JY) J J ^ y ^ r ^ Jri 1 1

.jUi Jli : Jli <UJI J P Jr*^j^'

339. Diriwayatkan dari Said bin Abdurrahman bin Abza dari


bapaknya, "Ammar mengatakan ini, dan Syu'bah memukulkan
kedua tangannya ke tanah. Kemudian mendekatkan keduanya ke
mulutnya, lalu mengusap muka dan kedua telapak tangannya. " An-
Nadhr berkata, "Telah menceritakan kepada kami Syu 'bah dari Al
Hakam, ia berkata, 'Aku mendengar Dzar menceritakan dari Ibnu
Abdurrahman bin Abza'." Al Hakam berkata, "Aku telah men-
dengar dari Ibnu Abdurrahman dari ayahnya ia berkata, 'Ammar
berkata..."'

1 y
L_»j ^ P J ^ AJI o I ^Y\ JI\ Y ^ J \ - L P J,\ J* Y J*

' ' y ' " yOyO i' 4 ^ S y J '

. C ^ i J i J J l i j llll^-li 5j Y* JZ l l i j l l p AJ

340. Diriwayatkan dari Dzar dari Ibnu Abdurrahman bin Abza dari
Ayahnya, sesungguhnya ia menyaksikan Umar dan Ammar berkata
kepadanya, "Kami dalam suatu operasi militer mengalami
junub.... "Ia berkata, "Beliau meniup pada kedua tangannya"

6 1 4 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:

(Tayamum untuk wajah dan kedua telapak tangan), yakni itulah


yang harus dilakukan dan yang mencukupi. Di sini beliau menyebutkan
dengan lafazh yang tegas meski perselisihan mengenai hal itu sangat
masyhur, karena dalilnya sangat kuat. Sebenarnya hadits-hadits yang ada
tentang sifat-sifat tayamum tidak ada yang shahih kecuali hadits Abu
Juhaim dan Ammar. Adapun hadits selain keduanya ada yang lemah atau
masih diperselisihkan apakah sampai kepada Nabi SAW atau tidak, dan
yang benar silsilah periwayatannya tidak sampai kepada Nabi SAW.

Sedangkan hadits Abu Juhaim menyebutkan kedua tangan secara


global. Namun hadits Ammar menyebutkan kedua telapak tangan dalam
kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dan menyebutkan kedua siku
dalam kitab-kitab Sunan. Pada salah satu riwayat disebutkan sampai
pertengahan lengan, dan dalam riwayat yang lain sampai ketiak.

Adapun riwayat yang menyebutkan sampai ke siku serta per-


tengahan lengan, kebenarannya masih diperdebatkan. Sedangkan riwayat
yang menyebutkan sampai ketiak, maka Imam Syafi'i dan ulama lainnya
berkomentar, "Jika hal itu ditetapkan berdasarkan perintah Nabi SAW,
maka setiap tata cara tayamum yang terbukti berasal dari Nabi SAW
merupakan ketentuan yang menghapus tata cara sebelumnya. Sedangkan
bila ditetapkan berdasarkan perbuatannya, maka yang harus diamalkan
adalah tata cara yang ditetapkan berdasarkan perintah dari beliau SAW."

Dalam hal ini yang menguatkan riwayat Bukhari Muslim tentang


cukup mengusap muka dan kedua telapak tangan adalah perbuatan
Ammar yang berfatwa demikian setelah Nabi SAW wafat, karena perawi
hadits lebih mengetahui maksud riwayat yang dinukilnya daripada yang
lain, apalagi sahabat yang mujtahid. Adapun pembicaraan mengenai
masalah mencukupkan dengan satu tepukan akan dibahas dalam babnya,
Insya Allah.

^ J J I o J j t i c - ^ * i i ^ J « 3 j U i J l i J l i <£y\ J J^-'J Xs- 'J-


"s ' S

s* s a s ^ a 9 ' s ' ^

. O U £ i l j A^-jJl I I - I S S J ' Jlii M

FATHUL BAARI — 615


341. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abza ia berkata bahwa
Ammar berkata kepada Umar, 'Aku berguling-guling lalu aku
mendatangi Nabi SA W, maka beliau bersabda, 'Cukup bagi kamu
(mengusap) wajah dan kedua telapak tangan'."

Keterangan Hadits:

c)UiSCjlj iirjJi £JJ&i (Cukup bagi kamu (mengusap) wajah dan kedua
telapak tangan). Dari lafazh ini dapat dipahami, bahwa mengusap lebih
dari kedua telapak tangan hukumnya tidak wajib sebagaimana yang telah
diterangkan. Inilah yang menjadi pendapat Imam Ahmad, Ishaq, Ibnu
Jarir, Ibnu Mundzir dan Ibnu Khuzaimah. Lalu Ibnu Jahm dan lainnya
mengutip pendapat serupa dari Imam Malik, sedangkan Al Khaththabi
mengutipnya dari para ahli hadits.

Imam An-Nawawi berkata, "Pendapat seperti itu telah diriwayatkan


oleh Abu Tsaur dan lainnya dari Imam Syafi'i dalam pendapatnya yang
lama, namun nukilan tersebut tidak diakui oleh Al Mawardi dan yang
lain." Lalu Imam An-Nawawi menegaskan, "Akan tetapi pengingkaran
ini tidak dapat diterima, karena Abu Tsaur adalah seorang Imam yang
tsiqah (terpercaya)." Lalu beliau menambahkan, "Pendapat ini meskipun
tidak kuat dalam madzhab, tetapi termasuk pendapat yang kuat jika
dilihat dari dalilnya." Demikian perkataan Imam An-Nawawi yang
dikutip dari kitab Syarh Al Muhadzdzab.

Imam An-Nawawi juga berkata dalam kitab Syarah Muslim saat


menjawab hadits ini, "Sesungguhnya yang dimaksud oleh hadits ini
adalah menerangkan cara memukulkan (tangan ke debu atau tanah) untuk
memberikan pelajaran kepada para sahabatnya, dan bukan bermaksud
memberi penjelasan tentang masalah yang berhubungan dengan
tayamum." Namun perkataan Imam An-Nawawi ditanggapi dengan
mengatakan bahwa konteks penuturan hadits menunjukkan bahwa
maksudnya adalah penjelasan semua yang berhubungan dengan
tayamum, karena makna inilah yang nampak dari kalimat & - 4 f C UJI

(Cukup bagi kamu).

6 1 6 — FATHUL BAARI
Adapun alasan yang dikemukakan oleh mereka yang mensyaratkan
mengusap sampai kedua siku saat tayamum karena hal itu merupakan
syarat dalam wudhu, maka dijawab dengan mengatakan, "Sesungguhnya
qiyas (analogi) yang demikian itu bertentangan dengan nash (teks hadits),
maka dianggap keliru." Namun orang yang tidak mensyaratkan hal itu
juga berhadapan dengan qiyas yang lain, yaitu keumuman lafazh tangan
yang terdapat dalam ayat tentang hukum mencuri. Akan tetapi membahas
masalah ini secara panjang lebar tidak mendtangkan manfaat jika teks
hadits sudah dapat dipahami dengan jelas.

342. Diriwayatkan dari Dzar dari Ibnu Abdurrahman. Dari


Abdurrahman bin Abza, ia berkata, "Saya menyaksikan Umar,
maka Ammar berkata kepadanya, dan ia menyebutkan hadits
tersebut"

343. Diriwayatkan dari Dzar, dari Ibnu Abdurrahman bin Abza


dari ayahnya, ia berkata, "Ammar berkata, 'Maka Nabi SAW
memukul tanah dengan tangannya lalu mengusap mukanya dan
kedua tangannya'."

FATHUL BAARI — 617


6. Tanah (Debu) Yang Baik Cukup Untuk Wudhu
Orang Muslim Jika Tidak Ada Air

•* # „t , f ' i, t o * t' 0
_ i / • | / si. >* o ' ' ' || ' l i

^ o j" * (^/J' p J * - - ^ i J , >l


U* [*-*^' ^ ^ r ^ (j^* * ^ 0 1-
J J
# --

Hasan berkata, "Cukup baginya tayamum selama tidak


berhadats. " Ibnu Abbas telah menjadi Imam sementara ia hanya
bertayamum. Yahya bin Said berkata, "Tidak masalah melakukan
shalat di atas tanah yang lembab dan bertayamum dengannya."

Keterangan Hadits:

Judul bab ini merupakan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar


melalui Hisyam bin Hassan dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah
dari Nabi SAW, dimana jalur speriwayatannya dishahihkan oleh Ibnu
Qaththan. Tetapi Imam Daruquthni berkata, "Yang benar adalah bahwa
hadits tersebut Mursal" Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad serta para
penulis kitab Sunan melalui Abu Qilabah dari Amru bin Bujdan dari Abu
Dzar dengan lafazh, 'J~—-f 'Jis- tlil j^J oij pXAJ\ Jjft L~J»Ji i^CaJi i)\
(Sesungguhnya tanah (debu) yang baik dapat digunakan bersuci oleh
seorang muslim walaupun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun).
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan
Daruquthni.

j U J i Jl—s j (Hasan berkata). Silsilah periwayatan hadits ini

disebutkan oleh Abdurrazzaq dengan lafazh, ^ J L ^ u ^ U J^-ij AJ tsy^H


(Sekali tayamum memadai selama tidak berhadats). Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Abi Syaibah dengan lafazh, ujlbJi *i\ 'ja& 'i (Tidak ada
yang membatalkan tayamum kecuali hadats). Sa'id bin Manshur

6 1 8 — FATHUL BAARI
meriwayatkan dengan lafazh, s-ji?j J* cJ\i 0 6 j? lil Jye'J ~dj-*>.

£J±J*J {Tayamum memiliki kedudukan yang sama dengan wudhu, jika

kamu bertayamum maka kamu mempunyai wudhu sampai kamu


berhadats). Lafazh ini lebih tegas daripada maksud bab ini. Begitu pula
yang diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah dalam kitab Mushannaf-
nya melalui Yunus bin Ubaid dari Hasan, ia berkata, oijJUaJi J^OJ

CJX*U U s.ji?jJi j l » A?-lj (Kamu boleh melakukan shalat seluruhnya

dengan satu kali tayamum seperti halnya wudhu selama kamu tidak
berhadats).

j » — ^ i *J c r ^
1
?h (Dan Ibnu Abbas menjadi imam sementara ia
bertayamum). Silsilah periwayatan hadits ini dinukil oleh Ibnu Abi
Syaibah dan Al Baihaqi serta yang lainnya dengan derajat shahih. Dalam
bab "Jika orang junub merasa khawatir" akan disebutkan riwayat Amru
bin Ash dengan materi yang sama seperti ini.

Imam Bukhari ingin mengisyaratkan dengan hadits Ibnu Abbas,


bahwa kedudukan tayamum dapat menggantikan kedudukan wudhu.
Karena jika bersuci dengan tayamum dianggap lemah, tentu Ibnu Abbas
tidak akan menjadi imam dengan tayamum sedangkan orang yang
diimami bersuci dengan wudhu. Dalam masalah ini Imam Bukhari
sependapat dengan ulama Kufah dan mayoritas ulama.

Sebagian ulama yang terdiri dari tabi'in dan lainnya berpendapat


lain. Alasan mereka, bahwa tayamum adalah cara bersuci dalam keadaan
darurat dan membuka jalan bagi seseorang agar dapat melakukan shalat
sebelum waktunya habis. Oleh karena itu. Nabi memberikan bejana berisi
air kepada orang yang junub agar dipakai mandi setelah sebelumnya
beliau SAW telah bersabda kepadanya, cXJ^>. ifo AJuaJb i l l i * (Pakailah

tanah (debu) karenanya cukup bagimu). Hal itu beliau lakukan karena
orang tersebut telah mendapatkan air, sehingga tayamumnya menjadi
batal.

Tetapi berdalil dengan riwayat ini untuk menyatakan larangan


shalat fardhu lebih dari satu kali dengan satu kali tayamum, perlu ditinjau
kembali. Namun banyak ulama yang membolehkan untuk melakukan

FATHUL BAARI — 619


satu shalat fardhu dan sejumlah shalat sunah dengan satu kali tayamum.
Hanya saja Imam Malik rahimahullah mensyaratkan agar mendahulukan
yang fardhu. Syuraik Al Qadhi mengemukakan pendapat yang ganjil, dia
berkata, "Tidak boleh shalat lebih dari satu kali dengan sekali tayamum,
baik fardhu maupun sunah."
Ibnu Mundzir berkata, "Jika boleh (sah) shalat sunah lebih dari
sekali dengan satu kali tayamum, maka shalat fardhu lebih dari satu kali
juga sah jika dilakukan dengan satu kali tayamum, karena semua yang
menjadi syarat shalat fardhu juga menjadi syarat shalat sunah kecuali ada
dalil yang menyatakan lain."

Al Baihaqi telah mengakui, bahwa tidak ada hadits shahih yang


dijadikan pegangan oleh kedua belah pihak. Lalu dia berkata, "Tetapi
telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dengan shahih, yaitu wajibnya
melakukan tayamum setiap kali hendak melaksanakan shalat fardhu, dan
tidak ada sahabat yang menyalahinya." Perkataan Al Baihaqi ini dapat
dibantah berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Ibnu
Abbas, yang menyatakan bahwa hal itu tidak wajib.

Imam Bukhari telah memperkuat pendapat yang menyatakan "tidak


wajib" berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW iAl^i *A* (Maka hal itu
cukup bagimu), yakni selama kamu tidak berhadats atau belum
mendapatkan air. Jumhur ulama memahami maksud lafazh tersebut,
bahwa seseorang boleh melaksanakan sekali shalat fardhu dengan satu
kali tayamum dan shalat sunah sebanyak yang dia kehendaki. Tetapi
apabila datang waktu shalat fardhu yang lain, maka ia harus mencari air.
Jika tidak menemukannya, ia boleh melakukan tayamum lagi, wallahu
a 'lam.

6 2 0 — FATHUL BAARI
o ' Z<- * o o l ' * Z ° ' % o ' ' ' ^ Z Z

- ^1 Jl c-jC^f C » (_£ljj ^ I P Jailu-I l i l i . A ^ y ^ AJ C->Jj>o

j* S\J JIJ I »-J Cjj^_CxJb 4jj^<3 i i j j 3t^* *>^J


s ' , % s ' s J O s . S '

, „O' o ,,^ ^ ^. o ^ , /0 M o i" y ' * £° ' ' ' 0


'

rf Qy LJ^ .jagl (^Jl ^ J - v i 2 J Ji-iL^w! Jl-p^H 4J j^?


% O ^ s O £ ' ' ' ^ y i/ y '

.1 j b*jjl — jwaj *}f j l — ^ :(JL5 4^-4J'Cs>I (_£JJl Ol lj_xli


' t Z , ' A ' ° ' i ' ' i ' Z * 1 1 o ' ' ' ' ' y J' '

j ij I v' t j-v^ J J I J Lf-Ai (JjJ j»J jj j l l - J c J_>tJ*jli


Jji*» y «-* lil AJLLVSI ^ Ji-iil LJi J^UJLJ ^^-s-ii aLU-Jlj
l ' ^'0 * j O ' t i% ' i 10 * j

; Jli (?^jiil (^JUflJ Jl OVi IJ U) : Jli ^ j i l l ^ J ^


^ 3 ^ 1 ^ ' ^ i- 1- i- i' i- ^ s s 0 -f ^ o , , i

p ' i(dJL*i^j Jl3 .L JUfflJ b dJQp) : Jli .sSj> V j SjL^r ^J£Ca\


' ' ' f 'i- i- ' O A s ' **" ' .. } ' '

j L - f Lfyi Lc-Ji J^I» jJa-^l ^ a"^ 1


L T ^ ^ ^ ^Ol j C
• ' O ^ O ' y ' y. ' ' -f ^ ' j£ ul j

(*UJl IJASJIJ l~*^) : Jlii ; Q P I p i j i _ 3 < u U f.UVj jjl 5^«->-*J


^ o^^- &' ' '" ^'
Lg S ^ ^ I P ^L» y y j > r y ys\y» y aly\ Liki LaJlLaJLi
' ' ' y ' O S' f O ' S ' ' '

VSJUJ 4 P L J I oJLa _ Jil ( r frlUL ^c_Jli ?^lUl ^ 1 LgJ :Vlii

4 IJl J Jl :Vli ? y ( J l cili .bl ^iiL l ?


:>4J Vli l i j t -
' ' O ' ^ ' J ' ' * £ %' * ' % * ^ ^ ^

c^iUajI i J>i? c$JLSI :^li ?^CaJl <d J l i ^jJl cJli


J' ' ' S ' O f 'y ' ^ y ' ' '

j P lAjJjIsLili) : Jli .OJwbJl aUJL>-j |§l ^lil ^!l If;

jl j |£^>«-!l «'j »1 j ^ f-^ ^'yii s-lA; ^ ^3l Ip^j (^*J^4


^ ^ ^ " " ' s
* ' ' S o 'O ' ' o , ' ' o ' '

I ji ^\ (S* y j {J^j*^ ci^'j U^-AI jil 15^ j i j ^^p^k-^

^_«>j .dilJLp A P y l i L-ftil : Jli tC> y s.\S\ AJ'l>Ji 0'lU.l <_£jJi

FATHUL BAARI — 621


J__lkJ Ljlp ^Jil JLaJ <dJl j^JIj .LfJlL) Jiij li ^1 ^jil? AIJU

L3J Ijigir!) J t i i l^-i Lull ^ L^ J I A I L^Jt tuli

t' \ \ * ' ' « - ' . ' O ' O' O ' t t ' ' t

i IJ ^ o j > - —AJU y j «UljJij o ^ * t P ^ j - j ^j^ 1 -


(i^J •J * A ^ l 3
t '

O' " o* >' ' ' ' ''' ' ' " o" * ' ' '
(j—trf '-r' J - ^ 1 J J LS^ J-L>j>- j <w-> j j l i jiii«-S lilils
' f * ;S y'" *o 0 ° ' ' ' ' '

A _ J Q i * £ J j l£& dijU j ? U* j j U Jj&UStf) Jli :LgJ l^Jjb


' ' o > O' o "O " ' i i' ' 'o i .*
L _ i d l l J i - l i :ljJli ^ j L J I A I ^ - J ^ (tfUu»l c ^ j J '
, ' > ' , * ' ' ' ' ' > ' ' t ' ' ' > '>
4—! Jlij c^Jiil Ul» ^ 1 ^ L A Jli ^ylij c-iwtJI c J l » ?<uQi f

0 9 S J O ^5* * y y y yy y yy } ^

oi i j J ^ (j-LuI _^wlS «Jl <dJl j i I JiS" j l i S ' J i i i t^CaJl

^L wJl ^ 1 L»_£i*3^i 2JLWJ|j j j l l ^ i l s t f l j c J l i j — °^-*J


y y y y y
0 ^ Jl j O y y y $ S* ^ ^ y ^ ^ O y y O y y y ^

JJ<J j j^JL-^Jl jlSCi l i i - AJJI Jy ' } AJ\ C jl — j*yi j f.L)J»Jl ^*J" LS

y y O y m i' y y s y y y y 3>
O • ty y ^ * y y O t f i O y i i AO y •>

j ai\ $\ iy jl I » :Lj-«jii [y jj cJLfti .<U>> ^» (^JJl


A y j y yy y ^ J y O y ^ f ^

^ 'i I j—li-Ji l — A jpUsli ?j»tAl-^l ^ i J ^ i llui- ^ J j P J U

3l*Jl jl J l — i j o ^ I P ^ 1 j j i ' O AUI - L P JJI Jli


y y y f y
y p, y % $ y -fi y

. j j j j j ! jj«-^ij t_jL5\Jl Jil ^ Si^i ( J^jUaJl)

340. Diriwayatkan dari Imran ia berkata, "Kami dalam suatu


perjalanan bersama Nabi SAW. Sesungguhnya kami berjalan
hingga kami berada di penghujung malam. Kami pun istirahat
(tidur) sejenak, dan tidak ada istirahat yang lebih indah bagi
seorang musafir daripada istirahat seperti itu. Tak ada yang

6 2 2 — FATHUL BAARI
membangunkan kami kecuali panas matahari. Yang lebih awal
bangun adalah sifulan kemudian sifulan -Abu Raja' menyebutkan
nama mereka namun Auf lupa- kemudian Umar bin Khaththab
sebagai orang keempat yang bangun. Nabi SA Wjika tidur tidak
dibangunkan hingga bangun [sendiri], karena kami tidak tahu apa
yang terjadi dalam tidurnya. Ketika Umar bangun dan melihat
sesuatu yang menimpa manusia -dan ia seorang laki-laki yang
tegar- maka ia bertakbir dan membesarkan suaranya dengan
takbir. Beliau terus saja bertakbir seraya mengeraskan suaranya
hingga Nabi SA W terbangun karenanya, ketika nabi SA W bangun
mereka mengadukan kepadanya apa yang menimpa mereka. Beliau
SAW bersabda, "Tidak bahaya -atau tidak membahayakan-
berangkatlah kalian. " Nabi SA W kemudian berangkat. Ketika
belum jauh berjalan, beliau berhenti lalu meminta air wudhu untuk
kemudian berwudhu. Lalu dikumandangkan panggilan untuk
shalat, dan Nabi SA W menjadi imam shalat. Ketika selesai shalat,
beliau SA W melihat seorang laki-laki menyendiri dan tidak shalat
bersama kaum [jamaah]. Beliau bertanya, Apa yang
menghalangi kamu wahai fulan untuk shalat bersama kaum
[jamaah/?' Ia berkata, 'Saya junub dan tidak ada air.' Nabi SA W
bersabda, Dengan tanah, sesungguhnya itu cukup bagi kamu.'
Kemudian Nabi berjalan, lalu orang-orang mengadu kepadanya
karena rasa haus. Maka beliau turun dan memanggil si fulan —
disebutkan namanya oleh Abu Raja' namun Auf lupa- lalu
memanggil Ali. Kemudian beliau SAW bersabda, Pergilah kalian
berdua mencari air.' Keduanya berangkat lalu bertemu seorang
wanita di antara dua bejana yang berisi air di atas untanya.
Keduanya berkata, 'Dimana kami bisa mendapatkan air? Ia
berkata, 'Aku kemarin memiliki janji untuk membawakan air
sekarang, sedang kaumku menungguku.' Keduanya berkata, 'Kalau
begitu berangkatlah.' Wanita itu berkata, 'Kemana?' Keduanya
berkata, 'Kepada Rasulullah SA W.' Wanita tersebut berkata lagi,
'Orang yang digelari Ash-ShabV.' Keduanya menjawab, 'Dialah
yang kamu maksudkan, sekarang berangkatlah.' Keduanya
membawa wanita tersebut kepada Nabi SAW lalu keduanya
menceritakan kepada beliau SAW apa yang telah terjadi. Nabi

FATHUL BAARI — 623


bersabda, Turunkanlah ia dari untanya.' Kemudian Nabi SAW
minta dibawakan bejana lalu mengambil air dari dalamnya seraya
membuka pengikat bejana tersebut lalu berseru kepada
rombongan, "Minumlah kalian dan berilah minum binatang-
binatang kalian! "Maka minumlah mereka semua dan memberi air
kepada siapa yang hendak memberi minum binatangnya. Terakhir
beliau memberikan kepada orang junub sebuah bejana yang berisi
air dan beliau bersabda, "Pergilah, dan tuangkan air itu ke
badanmu!" Sementara wanita tersebut tetap berdiri memperhati-
kan apa yang diperbuat terhadap air miliknya. " Demi Allah, se-
telah semuanya selesai, diperlihatkan kepada kami bahwa bejana
tersebut berisi air lebih banyak daripada sebelumnya. Nabi SA W
bersabda, 'Kumpulkanlah (sesuatu) untuknya.' Para sahabat pun
mengumpulkan untuk wanita itu kurma, tepung dan minyak hingga
akhirnya terkumpullah makanan. Lalu mereka membungkus nya
dengan kain kemudian menaikkannya ke atas unta dan
meletakkannya di hadapan wanita itu. Nabi SAW bersabda,
'Engkau tahu sendiri, kami tidak mengurangi sedikitpun airmu,
akan tetapi Aliahlah yang telah memberi kami minum.' Wanita
tersebut mendatangi kaumnya dan terlambat mendatangi mereka,
maka mereka bertanya, 'Apakah yang telah menghalangimu wahai
fulanah?' Wanita itu berkata, 'Sungguh ajaib, aku bertemu dengan
dua laki-laki lalu keduanya membawaku kepada orang yang
digelari Ash-Shabi'. Lalu ia melakukan ini dan itu. Demi Allah,
sungguh ia adalah manusia paling pandai menyihir di antara ini
dan ini, ia mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya
lalu mengangkatnya, maksudnya di antara langit dan bumi, atau ia
benar-benar utusan Allah.' Setelah itu kaum muslimin menyerang
kaum musyrikin yang berada di sekitar kapung wanita tadi tapi
mereka tidak menyerang kampung tempat kaum wanita tadi. Maka
suatu hari wanita itu berkata kepada kaumnya, "Saya melihat
bahwa orang-orang itu (kaum muslimin) sengaja tidak menyerang
kalian. Maka masuklah Islam? " Akhirnya kaumnya menuruti dan
masuk Islam."

6 2 4 — FATHUL BAARI
Abu Abdullah berkata, "Ash-Shabi" adalah orang yang keluar dari
suatu agama ke agama lainnya." Abu Aliyah berkata, "Ash-Shabi' adalah
suatu golongan dari Ahlul Kitab yang berpegang pada kitab Zabur."

Keterangan Hadits:

j»J—'~>j *—'Ji- A—Ul ^ — L ? 'JJ\ g> JL. J UT (Ketika kami dalam suatu

perjalanan bersama Nabi SAW). Ada perbedaan dalam menentukan


perjalanan yang dimaksud. Menurut riwayat Muslim dari hadits Abu
Hurairah, peristiwa itu terjadi ketika mereka kembali dari Khaibar,
dimana telah disebutkan kisah yang mirip dengan kejadian ini. Menurut
riwayat Abu Dawud dari hadits Ibnu Mas'ud disebutkan, J~e ^ JJl

l—'f JUi j i JUi J ) i ^ jf j j k j *fe (Nabi SAW pulang


dari Hudaibiyah pada malam hari, lalu beliau SAW berhenti dan
berkata, "Siapayang menjaga kita?"Maka Bilal berkata, "Saya".). (Al
Hadits)

Sementara dalam kitab Al Muwaththa' disebutkan dari Zaid bin


Aslam, bahwa Rasulullah SAW berhenti sebentar pada suatu malam di
jalan Makkah dan menyuruh Bilal sebagai wakil [penjaga]. Dalam kitab
mushannaf Abdur-Razzaq dari Atha' bin Yasar secara mursal disebutkan,
bahwa hal itu terjadi di jalan Tabuk. Demikian pula yang dinukil oleh Al
Baihaqi dalam kitab Ad-Dala 'U dari hadits Uqbah bin Amir.

Diriwayatkan dalam hadits panjang oleh Muslim dari hadits Abu


Qatadah, yang dikutip secara ringkas oleh Imam Bukhari dalam bab
shalat. Dalam hal ini disebutkan kisah bahwa mereka tertidur sehingga
tidak melaksanakan shalat subuh, tetapi tidak disebutkan dengan pasti
perjalanan yang mana.

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, bahwa peristiwa itu terjadi


pada masa perang Jaisy Al Umara', tetapi Ibnu Abdil Barr mengkritiknya
dengan mengatakan bahwa perang Jaisy Al Umara' adalah perang
Mu'tah, dimana Nabi SAW tidak turut dalam perang itu.

Para ulama berbeda pendapat, apakah peristiwa itu terjadi sekali


atau lebih? Maksudnya kejadian dimana mereka tertidur sehingga tidak

FATHUL BAARI — 625


shalat subuh. Al Ashili menetapkan bahwa peristiwa itu hanya terjadi
satu kali. Namun Al Qadhi Iyadh menanggapinya dengan mengatakan,
"Sesungguhnya kisah Abu Qatadah berbeda dengan kisah Imran bin
Hushain." Sebagaimana yang dikatakan dalam kisah Abu Qatadah,
bahwa Abu Bakar dan Umar tidak berada bersama Nabi ketika beliau
tertidur. Sedangkan kisah Imran bin Hushain disebutkan, bahwa
keduanya bersama Nabi SAW, seperti yang akan kami jelaskan.

Dalam kisah Imran juga dikatakan, bahwa orang yang pertama


bangun adalah Abu Bakar, dan Nabi belum bangun hingga Umar
membangunkannya dengan takbir. Adapun dalam kisah Abu Qatadah
disebutkan, bahwa yang pertama bangun adalah Nabi SAW, dan masih
banyak lagi perbedaan yang terdapat pada kedua kisah tersebut.
Walaupun demikian, kedua kisah tersebut masih mungkin untuk
dipadukan, terutama berdasarkan riwayat yang ada dalam Shahih Muslim
dan lainnya.

Abdullah bin Rabah, -perawi hadits yang dimaksud- menceritakan


dari Abu Qatadah, lalu ia menyebutkan bahwa Imran bin Hushain
mendengarkannya menuturkan kisah tersebut secara panjang lebar, maka
Imran berkata, "Perhatikanlah apa yang engkau katakan, karena
sesungguhnya aku turut serta menyaksikan kisah tersebut." Abdullah
berkata, "Tidak ada sedikit pun yang diingkarinya dari kisah tersebut."

Keterangan ini mengindikasikan, bahwa peristiwa itu hanya terjadi


sekali saja. Namun mereka yang berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi
beberapa kali dapat mengatakan, "Kemungkinan Imran ikut dalam kedua
kisah tersebut, tetapi ia hanya menceritakan salah satunya dan ia
membenarkan kisah yang satunya lagi seperti disampaikan oleh Abdullah
bin Rabah dari Abu Qatadah, wallahu a lam.

Hal lain yang menunjukkan bahwa kisah di atas terjadi tidak hanya
sekali adalah, perbedaan tempat kejadian sebagaimana yang telah kami
kemukakan. Lalu Ibnu Abdil Barr berusaha menyatukan kedua versi itu
dengan mengatakan, bahwa waktu mereka kembali dari Khaibar ber-
dekatan dengan waktu kembali dari Hudaibiyah, dan kedua jalan tersebut
bisa saja dinamakan jalan dari arah Makkah. Tetapi alasan ini nampak
terlalu berlebihan. Di samping itu, riwayat Abdur-Razzaq yang

6 2 6 — FATHUL BAARI
menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi saat perang Tabuk, dapat
menolak pernyataan tersebut di atas.

Riwayat Thabrani dari hadits Amru bin Umayyah telah


menyebutkan hal yang sama seperti kisah Imran, dimana disebutkan
bahwa yang bertugas membangunkan mereka adalah Dzu Mikhbar.
Sedangkan dalam hadits Abu Hurairah dalam riwayat Imam Muslim
dikatakan, "Sesungguhnya yang ditugasi membangunkan adalah Bilal."
Lalu disebutkan bahwa yang pertama kali bangun adalah Nabi SAW,
sebagaimana kisah Abu Qatadah. Sementara dalam riwayat Ibnu Hibban
dalam kitab Shahih-nya dari hadits Ibnu Mas'ud disebutkan, bahwa Nabi
SAW menyerahkan kepada mereka semua untuk berjaga-jaga agar tidak
kesiangan. Semua ini menunjukkan perbedaan kisah tersebut.

JLiij Uiij (Kamipun istirahat sejenak). Dalam riwayat Abu Qatadah


yang juga dinukil oleh Imam Bukhari disebutkan alasan yang
menyebabkan mereka singgah pada waktu itu, yaitu adanya permintaan
dari sebagian anggota rombongan. Dalam riwayat tersebut disebutkan
bahwa Nabi SAW bersabda, —faSJi" Ul : J*AJ JUi o*>UJl J ijiii' b»

(Aku takut kalian tertidur dari shalat. Maka Bilal berkata, 'Aku
membangunkan kalian. ").

d%J JailsLil JA Jjl (Maka yang pertama-tama bangun adalah si

fulan) Diriwayatkan Imam Bukhari dalam bab "tanda-tanda kenabian"


melalui jalur yang sama, dengan lafazh j&i 'J) Ja£sL»i j » J j i JlSo (Maka

yang pertama-tama bangun adalah Abu Bakar). Seakan-akan -wallahu


a 'lam- orang yang kedua bangun adalah Imran, penukil kisah ini. Sebab
dari kisahnya dapat dipahami, bahwa dia telah menyaksikannya, dan
tidak mungkin dia melihat kejadian itu melainkan setelah terbangun. Ada
kemungkinan juga bahwa orang yang ketiga bangun adalah orang yang
ikut menukil peristiwa ini bersama Imran secara khusus. Sementara
dalam riwayat Thabrani dari Amru bin Umayyah, "Dzu Mikhbar berkata,
'Tidak ada yang membangunkanku kecuali panas matahari. Lalu aku
mendatangi orang yang terdekat denganku dan membangunkannya,
kemudian orang-orang saling membangunkan hingga Nabi SAW
terbangun'."

FATHUL BAARI — 627


'A S o l k ; U ^jlu V \jS (Karena kami tidak tahu apa yang terjadi
padanya) yakni turunnya wahyu. Para sahabat tidak mau membangunkan
Nabi SAW, karena khawatir memutuskan wahyu yang kemungkinan
sedang turun kepadanya. Ibnu Baththal berkata, "Dari peristiwa ini dapat
dijadikan pegangan tentang bolehnya berpegang teguh kepada perintah
yang lebih umum, sebagai sikap hati-hati."

j»4—iCoi — | i (Apa yang menimpa mereka), yakni keadaan mereka


yang tertidur sehingga tidak melaksanakan shalat subuh sampai terbit
matahari (habis waktunya).

'J—^V (Tidak berbahaya atau tidak mengapa). Di sini ada sikap


untuk menenangkan hati para sahabat yang sangat menyesal akibat
terlambat melakukan shalat tepat pada waktunya. Hal itu tidak mengapa
bagi mereka jika tidak disengaja.

lj—l*Jji (Berangkatlah). Lafazh ini dijadikan dalil tentang bolehnya


mengakhirkan shalat yang telah keluar waktunya pada waktu meng-
ingatnya jika hal itu dilakukan karena tidak dengan sengaja atau
meremehkan.

Dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hazim dari Abu Hurairah
dijelaskan tentang sebab Nabi memerintahkan mereka pindah dari tempat
yang mereka tempati untuk tidur, dengan lafazh, j - J ^JZ*- JjIi ii» oli

Olkl—iJi (Sesungguhnya ini adalah tempat yang ada syetannya). Dalam

riwayat Abu Dawud dari hadits Ibnu Mas'ud disebutkan, jj^ili^ 'J- \'J"Jd

5—U*Jl A—J jPoUoi <sJ}\ (Pindahlah kalian dari tempat yang menyebabkan
kamu ditimpa kelalaian).

Lafazh ini merupakan bantahan bagi mereka yang mengatakan,


bahwa sebab mereka berpindah adalah karena saat itu merupakan waktu
yang dimakruhkan untuk melaksanakan shalat. Bahkan dalam hadits pada
bab ini dikatakan, bahwa mereka tidak terbangun hingga terkena panas
matahari. Dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah disebutkan,
jt.°a Tt.li 'p£jje J~* (Hingga matahari menyinari mereka). Kondisi seperti

ini tidak terjadi melainkan setelah lewatnya waktu yang makruh.

6 2 8 — FATHUL BAARI
Ada pula yang mengatakan bahwa Nabi SAW mengakhirkan shalat
karena kesibukan mereka, namun dikatakan juga bahwa hal itu sebagai
upaya menghindari musuh. Adapun pendapat lain mengatakan, hal itu
dilakukan untuk menanti turunnya wahyu. Ada lagi yang berpendapat,
karena tempat itu telah melalaikan sebagaimana diterangkan dalam
riwayat Abu Dawud. Dikatakan juga bahwa hal itu sebagai upaya untuk
menunggu orang yang masih tidur dan membangkitkan semangat mereka
yang malas.

Diriwayatkan dari Ibnu Wahab dan lainnya, bahwa bolehnya


mengakhirkan pelaksanaan shalat yang telah lewat waktunya telah
dihapus oleh firman Allah, <sj—Sti 5*>CaJl ^ "Dirikanlah shalat untuk

mengingatku." < ( Q S . Thaahaa ( 2 0 ) : 1 4 ^ Namun pernyataan ini perlu


dianalisa kembali, karena ayat tersebut turun pada periode Makkah
(Makkiyyah), sedangkan hadits ini terjadi pada periode Madinah. Maka,
bagaimana mungkin yang dahulu menghapus yang kemudian?

Para ulama telah berbicara tentang cara memadukan hadits


es) s s *

tertidurnya Rasulullah dengan sabda beliau SAW, Ji *ij OUbi Js- 0)


(Sesungguhnya kedua mataku tidur dan hatiku tidak tidur). Imam
Nawawi berkata, "Ada dua jawaban yang diberikan; salah satunya
sesungguhnya hati hanyalah mengetahui apa-apa yang dirasakan
dengannya, seperti pedih dan sebagainya, namun hati tidak mengetahui
hal-hal yang biasa diindera dengan mata, sebab saat itu mata sedang tidur
dan hati terbangun. Kedua, sesungguhnya beliau SAW mempunyai dua
keadaan. Keadaan pertama, hatinya tidak tidur dan inilah yang sering
terjadi. Sedangkan keadaan kedua, adalah keadaan dimana hatinya tidur
meski hal ini sangat jarang terjadi. Secara kebetulan peristiwa tertidurnya
Nabi SAW bertepatan dengan keadaan kedua." Lalu Imam An-Nawawi
menegaskan, "Tapi yang benar dan dijadikan pegangan adalah jawaban
pertama, sedang jawaban kedua cukup lemah." Apa yang dikatakannya
adalah benar.

Tidak boleh dikatakan, bahwa walaupun hati tidak mengetahui apa


yang diindera oleh mata seperti melihat fajar misalnya, tetapi jika ia
bangun (sadar) pasti mengetahui berlalunya waktu yang demikian
panjang, sebab permulaan terbit fajar sampai panas matahari adalah masa

FATHUL BAARI — 629


yang lama dan pasti diketahui oleh siapa yang tidak tidur dengan pulas.
Bisa saja dikatakan, "Ada kemungkinan bahwa hati Nabi ketika itu
disibukkan oleh wahyu. Dalam kondisi demikian tidak dikatakan tertidur,
sebagaimana hati Nabi biasa disibukkan ketika menerima wahyu dalam
keadaan terjaga. Adapun hikmahnya adalah menjelaskan ketetapan
syariat melalui praktek langsung, sebagaimana lupa dalam shalat." Dalam
hal ini Jawaban Ibnu Munir lebih mendekati, "Terkadang hati dijadikan
lupa pada saat terjaga untuk kemaslahatan dalam menetapkan hukum
syariat, maka dalam tidur lebih mungkin lagi atau minimal sama."

Di sana ada juga sejumlah jawaban lain mengenai hal ini, namun
seluruhnya lemah. Di antaranya, bahwa arti sabda Nabi, "hatiku tidak
tidur", yakni tidak tersembunyi baginya apakah wudhu telah batal atau
belum. Pendapat lain, bahwa hati beliau SAW tidak pulas hingga sampai
pada batas tidak mengetahui batal tidaknya wudhu.

Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Seakan-akan orang yang berpendapat


demikian ingin mengkhususkan makna sabda Nabi SAW, 'Hatiku
terjaga' dalam arti mengetahui batal tidaknya wudhu. Tentu saja
pandangan demikian cukup jauh dari kebenaran, sebab sabda Nabi, i)\
a - f s s

^-Ji ^UJ V J O U £ ^S- (Sesungguhnya kedua mataku tidur dan hatiku tidak
tidur) sebagai jawaban atas perkataan Aisyah, 'J-J'J i>f JIS (Apakah
kamu tidur sebelum kamu melakukan witir?)

Tampak dari sini bahwa perkataan ini tidak berkaitan dengan


batalnya thaharah (bersuci) seperti yang mereka katakan, tetapi sebagai
jawaban yang berkaitan dengan witir. Maka terbangunnya hati dipahami
dengan mengetahui perkara yang berhubungan dengan witir, serta adanya
perbedaan bagi orang yang hendak tidur sementara hatinya terlelap
dengan orang yang hendak tidur sedangkan hatinya tetap terjaga."

Beliau menambahkan, "Atas dasar ini maka tak ada pertentangan


dan kemusykilan mengenai hadits tertidurnya Nabi SAW sampai terbit
matahari, karena pada saat itu hatinya merasa tenteram dan pulas sebab
kelelahan yang dialami selama perjalanan dan adanya orang yang
ditugaskan untuk membangunkan." Demikian perkataan Ibnu Abdul
Barr.

6 3 0 — FATHUL BAARI
Secara ringkas, perkataan beliau adalah mengkhususkan makna
terjaga yang dipahami dari sabdanya, °Ji f£ *ij (Dan hatiku tidak tidur),
dalam arti mengetahui waktu witir secara maknawi karena adanya
keterikatan hati dengannya. Adapun tentang tidurnya Nabi dalam
peristiwa di atas adalah tidur yang pulas, hal ini dikuatkan oleh
perkatakan Bilal, iL«iL j>l ^ i j l -~al< J>l (Jiwaku ditimpa oleh apa yang
<sS

menimpa jiwamu). Lafazh hadits ini sebagaimana tercantum dalam hadits


Abu Hurairah yang dinukil oleh Imam Muslim, dan Nabi SAW tidak
mengingkarinya. Sementara telah diketahui bahwa tidurnya Bilal adalah
tidur yang pulas.

Tapi pernyataan ini dibantah dengan mengatakan, "Jika demikian,


berarti memahami sesuatu berdasarkan pertimbangan yang menjadi sebab
secara khusus." Bantahan ini dapat dijawab, bahwa pertimbangan seperti
itu dapat dijadikan pegangan selama ada faktor-faktor yang mendukung-
nya.

Di antara jawaban lemah dalam hal ini adalah perkataan seseorang


yang mengatakan, "Hati beliau SAW dalam keadaan terjaga mengetahui
keluarnya waktu, tetapi sengaja tidak diberitahukannya demi untuk
kemaslahatan dalam menetapkan syariat." Demikian pula dengan
perkataan seseorang, "Maksud hatinya tidak tidur adalah hatinya tidak
disentuh oleh mimpi yang kacau sebagaimana yang menimpa orang lain,
bahkan setiap yang dilihat dalam tidurnya merupakan kebenaran dan
wahyu." Inilah sejumlah jawaban dalam masalah ini, dan yang paling
mendekati kebenaran adalah jawaban yang pertama menurut keterangan
yang telah kami jelaskan, wallahu a 'lam.

flVlJi—< iji Jj (Dan kami diseru untuk shalat). Lafazh ini menjadi
dalil disyariatkannya adzan untuk (shalat) yang telah lewat waktunya.
Namun pendapat ini ditanggapi dengan mengatakan, "Lafazh seruan
lebih umum daripada adzan, maka kemungkinan yang dimaksudkan di
sini adalah iqamat." Tanggapan ini dijawab, bahwa dalam riwayat
Muslim dari hadits Abu Qatadah jelas disebutkan lafazh adzan. Demikian
pula yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam akhir-akhir pembahasan
tentang waktu shalat, dimana beliau memberi satu judul khusus tentang
hal itu sebagaimana yang akan dijelaskan.

FATHUL BAARI — 631


—* j *—'.&r <^»l (Aku junub dan tidak ada air). Lafazh ini
dijadikan dalil syariat tayamum bagi orang yang junub. Adapun pem-
bahasan lebih lanjut dijelaskan dalam bab sesudahnya.

Di samping itu dibolehkan melakukan ijtihad di hadapan Nabi,


karena susunan kisah tersebut menunjukkan bahwa mereka telah
mengetahui tentang tayamum itu. Tetapi dalam ayat hanya dinyatakan
untuk hadats kecil saja. Hal itu karena maksud menyentuh dalam ayat
tersebut dipahami sebagaimana pengertian secara lahiriahnya. Sedangkan
keterangan bahwa tayamum dapat menghilangkan hadats besar tidak
dijelaskan secara tegas dalam ayat ini. Seakan-akan orang ini
berkeyakinan bahwa orang junub tidak boleh tayamum, lalu ia
melakukannya walaupun sebenarnya ia bisa bertanya pada Nabi tentang
hukumnya. Ada kemungkinan ia tidak mengetahui syariat tayamum,
maka hukumnya sama dengan seseorang yang tidak menemukan sesuatu
untuk bersuci.

Dari peristiwa ini dapat diambil kesimpulan, bahwa orang yang


berilmu jika melihat suatu perbuatan yang tidak jelas, hendaklah bertanya
kepada pelakunya agar dijelaskan mana yang benar. Selain itu terdapat
anjuran untuk shalat berjamaah, dan meninggalkannya tanpa udzur
merupakan perbuatan yang tercela. Di samping itu, hadits ini juga
menjelaskan sikap santun dan kelembutan Nabi SAW saat mengingkari
suatu perbuatan.

jLjuaJl—i i Q p (Pakailah tanah atau debu). Dalam riwayat Salam bin

Zurair dikatakan, XJK^\—. ^—^ ajL-i (Maka beliau diperintahkan


bertayamum dengan tanah). Sabda beliau, "Cukup bagimu" menunjuk-
kan bahwa orang yang bertayamum dalam keadaan seperti ini tidak wajib
baginya mengganti shalat yang dilakukannya dengan tayamum. Ada
kemungkinan maksud sabdanya "Cukup bagimu", yakni untuk melaku-
kan shalat, maka tidak menunjukkan bolehnya tidak mengganti shalat.

\—'Qi \—PJJ (Maka beliau memanggil si fulan), yaitu Imran bin


Hushain. Yang menunjukkan hal itu adalah perkataannya dalam riwayat
Salam bin Zurair, tUil Likj AJJJ JJ ±Sj J ^ j iil JU> ^J%*

6 3 2 — FATHUL BAARI
(Kemudian Nabi SAW memerintahkanku untuk bersegera mendahului
(rombongan) dalam rangka mencari air).

J±—*J i/j——y> (Dialah yang engkau maksudkan). Ini merupakan


sikap yang sangat arif. Seandainya keduanya berkata kepada wanita itu
"Tidak", maka luputlah maksud yang hendak dicapai. Sedangkan jika
mengatakan " Y a " akan berakibat buruk bagi keduanya, karena hal itu
seakan-akan merupakan pengakuan. Maka, keduanya menghindari hal itu
dengan cara yang baik. Di samping itu hadits ini menunjukkan bolehnya
berkhalwat dengan wanita asing dalam keadaan seperti ini jika merasa
aman dari fitnah.
1
*'u* l*ji>£->\* (turunkan ia dari untanya) Sebagian pensyarah
hadits ini berkata, "Mereka menahan wanita tersebut serta mengambil
airnya karena ia seorang wanita kafir harbiyah. Andaikata ia berasal dari
kaum kafir yang mengikat perjanjian dengan kaum muslimin, maka rasa
haus yang sangat itu membolehkan seorang muslim untuk mengambil air
milik orang lain dengan syarat ada penggantinya.

,j—lapi Ol iJii j—f-T 01 S"j (Terakhir beliau memberikan). Kisah ini

menjelaskan tentang mendahulukan kemaslahatan memberi minum


manusia dan hewan daripada kemaslahatan lainnya, seperti bersuci,
dimana bersuci (dalam kisah ini) diberikan pada akhir kesempatan setelah
semuanya minum. «LU xi>\ (Lebih penuh), maksudnya mereka mengira air
yang tersisa di dalam teempat air itu lebih banyak dari sebelumnya.

—i ij__ii*i (Kumpulkan untuknya). Hal ini menerangkan bolehnya

mengambil milik orang lain atas dasar keridhaan pemiliknya. Atau


bolehnya saling memberi, seperti hibah dan hal-hal yang dibolehkan
meskipun tidak dengan ucapan dari orang yang memberi atau yang
mengambil.

' y'jj ^ (Kami tidak mengurangi). Secara lahiriah, semua air yang
mereka gunakan adalah air yang ditambahkan oleh Allah SWT. Pada
hakikatnya air tersebut tidak bercampur sesuatu, meskipun secara lahiriah
air itu bercampur dengan sesuatu yang lain, dan ini merupakan mukjizat
paling menakjubkan dan hebat. Kesimpulan ini dapat diambil dari makna

FATHUL BAARI — 633


lahiriah sabda Rasul, "Akan tetapi Allah-lah yang memberi kami minum."
Tapi ada pula kemungkinan yang dimaksud adalah kadar air tersebut
tidak berkurang sedikitpun.

Lafazh ini dijadikan dalil bolehnya mempergunakan bejana orang


musyrik, meskipun belum diketahui dengan jelas apakah tempat tersebut
mengandung najis atau tidak. Hal ini juga mengandung isyarat, bahwa
apa yang berikan kepada wanita itu bukan sebagai ganti air, tetapi
sebagai penghormatan terhdapnya.

^ S u j P A i ^ji)! fr'jjA LM t$jt U tijJ cJlai (Maka suatu hari ia

berkata kepada kaumnya, "Saya melihat kaum itu sengaja tidak


menyerang kalian. "). Makna, sesungguhnya mereka meninggalkan kalian
secara sengaja bukan dikarenakan lalai dan lupa, tetapi mereka sangat
memperhatikan persahabatan meskipun hanya terjadi dalam waktu yang
singkat. Perkataan ini menyebabkan mereka ingin masuk Islam.

Kesimpulan peristiwa, bahwa orang-orang Islam senantiasa mem-


perhatikan kaum wanita dengan penuh kelembutan sehingga hal itu
menjadi sebab yang mendorong mereka masuk Islam.

Berdasarkan keterangan ini, maka terjawablah masalah yang


diajukan oleh sebagian orang sehubungan dengan kisah di atas, yaitu
penguasaan terhadap orang kafir berkonsekuensi pada perbudakan
terhadap para wanita dan anak kecil dari kalangan mereka. Jika demikian
halnya, maka wanita tersebut seharusnya termasuk budak karena telah
dikuasai. Lalu mengapa dibebaskan kembali bahkan diberi bekal
sebagaimana yang dijelaskan terdahulu?" Untuk itu dikatakan, bahwa ia
dibebaskan untuk kemaslahatan, yaitu menarik hati kaumnya untuk
memeluk Islam. Disamping itu, ada kemungkinan bahwa wanita itu
sebelumnya dilindungi atau mendapat jaminan keamanan.

Sebagian ulama mengatakan dengan kisah ini untuk menyatakan


bolehnya mengambil harta orang dalam keadaan darurat, dan diganti
dengan harta tertentu jika barang tersebut memiliki harga. Namun
pernyataan ini masih mendapat kritikan, sebab dasar pendapat tersebut
adalah bahwa air itu milik wanita yang jiwa dan hartanya mendapat
perlindungan, tapi semua itu perlu dibuktikan. Hanya saja kami mengutip
pandangan ini sebagai satu kemungkinan semata.

6 3 4 — FATHUL BAARI
7. Orang yang Junub Melakukan Tayammum karena
Khawatir dirinya akan Sakit, Mati dan Kehausan

i a o ' o o £ y j

j—i* 0 ^ — ^ r i i ( C r j aisr aLi j^LiSf i


o >
. t_AJL*J

Diceritakan bahwa Amru bin Ash mengalami junub pada suatu


malam yang dingin lalu ia bertayamum dan membaca firman Allah
SWT, "Dan janganlah kamu membunuh diri-diri kamu, sesungguh-
nya Allah Maha Penyayang terhadap kamu" (Qs. An-Nisaa' (4):
29) lalu ia memberitahukan hal itu kepada Nabi SAW dan Nabi
tidak mencelanya.

Keterangan

t^» -*!! j>. jys


1
Ol _fA.) (Dan disebutkan bahwasanya Amru bin Ash).
Penggalan hadits ini disebutkan oleh Abu Dawud dan Hakim melalui
Yahya bin Ayyub dari Yazid bin Abi Habib dan Imran bin Abi Anas dari
Abdurrahman bin Jubair, dari Amru bin Ash. Ia berkata, "Pada malam
yang dingin waktu perang Dzatus-Salasil, aku bermimpi. Lalu aku
khawatir jika aku mandi, aku akan sakit atau mati. Maka aku pun
bertayamum. Kemudian aku shalat subuh mengimami para sahabat,
kemudian mereka mengatakan hal itu kepada Nabi SAW, maka beliau
bersabda, 'Wahai Amru, engkau shalat dengan temanmu sedangkan
kamu dalam keadaan junub?' Maka aku memberitahukan kepada beliau
apa yang mencegahku untuk mandi.'" Aku (Amru bin Ash) berkata, 'Aku
mendengar Allah berfirman, I — ' f — & — S ' 4>i 0! ^SWJJJI IJJ&J V j 'dan

janganlah kamu membunuh diri-diri kamu, sesungguhnya Allah Maha

FATHUL BAARI — 635


Penyayang atas kamu.' Lalu Rasulullah SAW ketawa dan tidak
mengatakan sesuatu.

Secara lahiriah, konteks hadits ini menimbulkan pemahaman bahwa


Amru bin Ash membaca ayat tersebut di hadapan para sahabatnya pada
waktu dia junub. Padahal kenyataannya tidak demikian, karena dia
membaca ayat tersebut saat berada di hadapan Nabi SAW. Pada saat itu
Nabi SAW telah mengangkatnya sebagai panglima dalam perang Dzatus-
Salasil, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bab Al Maghazi
(peperangan).

Li—'M j,—\A (Maka Nabi tidak mencela). Maka hal itu merupakan

pengakuan yang menunjukkan bolehnya (perbuatan itu). Dalam riwayat


Al Kasymihani dikatakan, iilij JU* (Maka Nabi tidak mencelanya).

Pelajaran yang dapat diambil

1. Orang yang khawatir akan sakit atau meninggal apabila


menggunakan air (untuk wudhu atau mandi wajib), baik karena
dingin atau sebab yang lain, maka ia diperbolehkan untuk
melakukan tayamum.

2. Orang yang bertayamum boleh menjadi imam shalat bagi orang


yang bersuci dengan wudhu.

3. Bolehnya melakukan ijtihad pada zaman Nabi SAW.

J _ * J li bl -.lyLS J ^]\±^J^y y\ Jli I J l i JJIJ J\


bi o i _ r ^ J4i y -.AIji a > j i i . JlW SI * d i

:o li : J l i • J^>j
L ~p~°-i> J*i~ J15 ^^31 jt-A-^-i JJTj

6 3 6 — FATHUL BAARI
345. Diriwayatkan dari Abu Wa'il, ia berkata, "Abu Musa berkata
kepada Abdullah bin Mas 'ud, 'Jika seseorang tidak mendapatkan
air, maka ia tidak boleh shalat.' Abdullah berkata, 'Seandainya
saya meringankan bagi mereka hal ini, maka jika salah seorang
dari mereka merasa dingin ia berkata beginilah -yakni
bertayamum- dan shalat.' Ia berkata, 'Aku bertanya, 'Bagaimana
dengan perkataan Ammar kepada Umar?' Ia berkata, 'Aku tidak
melihat Umar mengambil perkataan Ammar'."

'' ' 0
' 'y' ti- .' \' ' ' ' - f 0
' ll- . ' v h
0
i'- '
J •£• ~ L p O J - > ; J L S <UJL- (yJy OJVa-w» J l i ^ i s ^ P ^ I U j J b -

bl j—«j>-^Jl - L P L'l L' o J l j l :J~>y y\ 'd J U i J»y ^ij AJJI

i' *'s J ' * > < i ' ' ' f * ' ' * ' * o o " o «

1>- ^ '-t^ J^** y^^i f-L* (»-^ *—

4 i Jli
0 ^ ^ ^ s 't. ' ' ' ' 5> y y 2 & } s

aJ^j—j — L y 2 j oljS^ jL^i- J ^ 5 ^ Llpji j » ^jl JLSi ?^iJJJj


s ' y. y y

y o J ' o Z ' o ' i y y y A f * >* o ' ' '

^ L \ U ^ j jJ IJI : J l i i . J _ ^ J l i ^JJl J L P l l i ?2J3/I


^ 0
* ' £ / / /
/
} y y y ^ i * y ^ } y i 's 's ' s 0 £

: j j ! — J J cJii . p - ~ - i > j A P J b j l tCJl j^-*Ji-l l S 1P bl i L i

: J l i ?LL$J 4JJI J L P e^T l l l l i

346. ^4/.4 'masy menceritakan kepada kami, dia berkata, bahwa dia
mendengarkan Syaqiq bin Salamah berkata, Aku berada di dekat
Abdullah dan Abu Musa. Lalu Abu Musa berkata kepadanya,
'Apakah kamu tahu wahai Abu Abdurrahman jika seseorang junub
lalu tidak menemukan air, apa yang ia lakukan?'" Lalu Abdullah
berkata, 'Ia tidak boleh shalat sampai mendapatkan air.' Abu
Musa berkata, 'Bagaimana pendapatmu dengan perkataan Ammar

FATHUL BAARI — 637


ketika Nabi SAW bersabda, 'Cukup bagimu (tayamum)?'''
Abdullah berkata, "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Umar
tidak menerima hal itu?" Abu Musa berkata, "Tinggalkanlah
perkataan Ammar, bagaimana pendapatmu dengan ayat ini?"
Maka Abdullah tidak mengetahui apa yang ia katakan. Kemudian
beliau berkata, "Jika kita memberi keringanan kepada mereka
dalam hal ini, maka khawatir jika salah seorang dari mereka
merasa dingin menggunakan air. Maka, ia meninggalkannya dan
langsung bertayamum. " Maka aku (Al A 'masy) bertanya kepada
Syaqiq (perawi hadits ini), "Apakah Abdullah membenci hanya
karena alasan tersebut? "Ia berkata, "Benar."

Keterangan Hadits:

j\—J j — i°J—AI—ii-Ji (Kita tinggalkan perkataan Ammar) Di sini


terdapat keterangan bolehnya pindah dari suatu dalil ke dalil yang lebih
jelas, atau dari sesuatu yang diperselishkan kepada sesuatu yang
disepakati. Bolehnya tayamum bagi orang yang junub, berbeda dengan
apa yang dinukil dari Umar dan Ibnu Mas'ud. Di samping itu
mengandung isyarat kuatnya dalil Abu Musa, sesuai dengan lafazh
hadits, jL>«i U *JJt ilp Ui (Abdullah tidak mengetahui apa yang harus
ia katakan). Pembahasan hal ini serta sebab yang menjadikan Umar tidak
puas dengan perkataan Ammar akan diterangkan kemudian.

8. Tayamum Dengan Satu Kali Pukulan (Tepukan)

6 3 8 — FATHUL BAARI
: ^ s , , J o ' ' ' * -*

.-^.-^ w •^—IIP >'J li| l ^ i j V l-ii J ^ J ^


s s s s s ^ s 0 } ____

0,'/t Jui : J l i ?IJLJ Uli jU*j> L^Jtj :cJL» .JL*taJl

>- j «_>-L>- aIJI J j-^j J^U. '• y**^ jLO-p J ji £^~*J jjl

' } i i i ) , , t s l , j O, l i O i n

A ixj v ' S ^ 01 £ J L i £ i JIS* Uvj) : J U i 0 ^ J J


3
* - * ' i *' - i i i l i i ' i i ' 'i '' i * -o -
jl AJL JUJ 4i_T ^^Ji» U^J 7x-w~« j»J L ^ a i J jvJ (j^j^l *J JP
I i. i
i i t i o "i i S ' * * ' o '
j^>-C- y ^_bl :4lil wLp J l i i . 4 ^ 3 r j LS_£J jt-J 4j^>J J^ 9

% 0^ 9 0 i ° ''O s s s ^ 0 ' 0 ° 0 '

£—* ^ > (3cf^ u^^ ^JJ - d y k pk (J


:
1
J * LT^- 9

i' ** J' ° "* J' i' i ' & s ^ s

£ U ' j (I J&J» iii-A>4 Uli) : J l i i a l f ^ l i aJJI J ^ ~ - j

347. Diriwayatkan dari Al A'masy, dariSyaqiq, ia berkata, "Aku


pernah duduk bersama Abdullah dan Abu Musa Al Asy'ari, lalu
Abu Musa berkata kepada Abdullah, 'Seandainya seseorang junub
lalu tidak menemukan air sebulan, apakah ia tidak bertayamum
dan shalat?' Maka bagaimana pendapat kalian dengan ayat dalam
surah Al MaaJdah (Lalu kamu tidak mendapatkan air, maka
tayamumlah dengan tanah (debu) yang suci.) Abdullah berkata,
'Jika hal ini diringankan kepada mereka, maka (dikhawatirkan)
apabila mereka sedikit merasa dingin karena menggunakan air,
niscaya mereka akan bertayamum dengan tanah.'" Aku katakan,
'Karena alasan inikah engkau tidak menyukai hal itu?' Dia

FATHUL BAARI — 639


menjawab, 'Ya.' Abu Musa berkata, "Apakah engkau belum
mendengar perkataan Ammar kepada Umar, 'Rasulullah SAW
mengutusku dalam suatu tugas lalu aku junub dan tidak
mendapatkan air, maka aku berguling-guling di tanah seperti
binatang. Kemudian hal itu aku katakan kepada Nabi SAW dan
beliau bersabda, "Cukuplah bagimu melakukan seperti ini. "Lalu
beliau menepuk tanah satu kali tepukan dengan kedua telapak
tangannya, kemudian mengibaskannya. Lalu mengusap punggung
tangannya dengan tangan kirinya, atau punggung tangan kirinya
dengan telapak tangan kanannya. Kemudian beliau mengusap
wajahnya dengan kedua tangannya.' Abdullah berkata. Apakah
engkau tidak melihat bahwa Umar tidak puas dengan perkataan
Ammar?'" Ya'la menambahkan dari Al A'masy dari Syaqiq, "Aku
pernah bersama Abdullah dan Abu Musa, lalu Abu Musa berkata,
'Apakah kamu tidak mendengar perkataan Ammar kepada Umar
bahwa sesungguhnya Rasulullah SA W mengutus aku dan kamu,
lalu aku junub kemudian aku berguling-guling di tanah. Kemudian
kita mendatangi Rasulullah dan kita memberitahukannya, maka
beliau SAW bersabda, "Cukup bagi kamu (melakukan) begini."
Lalu beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya satu
kalir

Keterangan Hadits:

—Lfljj ^—*^it Olf U (Apakah ia tidak tayamum dan shalat). Dalam

riwayat Karimah dikatakan ?^ l'mj'p—i^i OlT Ul dengan menggunakan

huruf "hamzah" sebagai kata tanya. Dalam riwayat Imam Muslim


disebutkan, i * l J J I j — ~ j»J Jij Sf :ibi i £ Juli ?a*>CJb 'Jg

(Bagaimana ia melaksanakan shalat? Abdullah berkata, "Ia tidak boleh


bertayamum walaupun tidak menemukan air sebulan.").

Senada dengan ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan lafazh, :

?S__J3M aig i Ci'j—*LeS u&i JJy 'y) JUi (ia (Syaqiq) berkata, "Abu Musa

berkata, "Apa yang kalian lakukan dengan ayat ini?).

6 4 0 — FATHUL BAARI
l j l * i jUi (Lalu kamu tidak mendapatkan). Ini merupakan penjelasan
ayat yang dimaksud pada lafazh sebelumnya. Dalam riwayat Al Ashili
disebutkan, i j i — * i j«—! d\i (Lalu jika kamu tidak menemukan...). Namun
lafazh ini menyalahi lafazh ayat Al Qur'an. Demikian pula lafazh yang
terdapat dalam riwayat Abu Dzar, hanya saja beliau meralatnya untuk
menyesuaikan dengan ayat Al Qur'an.

Adapun disebutkannya ayat pada surah Al Maa'idah secara spesifik


adalah karena substansinya tentang pensyariatan tayamum bagi orang
yang junub lebih jelas daripada ayat dalam surah An-Nisaa'. Dalam surah
Al Maa'idah hukum wudhu disebutkan terlebih dahulu.

Al Khaththabi dan ulama lainnya berkata, "Keterangan ini


mengindikasikan bahwa Abdullah berpandangan, sesungguhnya yang
dimaksud dengan 'mulamasah' (bersentuhan) dalam ayat adalah j ima'
(hubungan intim). Oleh karena itu dia tidak membantah dalil Abu Musa,
misalnya dengan mengatakan, 'Sesungguhnya yang dimaksud dengan
bersentuhan adalah bertemunya kulit laki-laki dan wanita dan segala
persentuhan yang bukan j ima'. Di samping itu, menjadikan tayamum
sebagai ganti wudhu tidak mesti menjadikannya sebagai pengganti
mandi'."

i l — d \ — S ' l—(Hanya saja cukup bagimu). Di sini terdapat

keterangan, bahwa cara yang disebutkan di sini sudah mencukupi.


Adapun cara lain yang tidak disebutkan, maka dianggap sebagai
pelengkap.

A a>j 4JU-i 'Jfe jl AJU-SJ AS&'J$>(Punggung telapak tangan dengan

tangan kirinya atau punggung tangan kirinya dengan telapak


tangannya). Demikianlah, dalam semua riwayat disebutkan lafazh yang
mengandung keraguan. Secara jelas hal ini dinukil oleh Abu Daud
melalui Abu Muawiyah dengan lafazh, j * J* ^ ' J * '<+>

A—^ ',. a p—J j—loSJl Js- 4JU«i (Kemudian beliau menyapukan tangan

kirinya di atas tangan kanannya dan tangan kanannya di atas tangan


kirinya dengan kedua telapak tangan, lalu mengusap mukanya).

FATHUL BAARI — 641


Di sini terdapat keterangan cukupnya menepukkan tangan ke tanah
satu kali dalam tayamum. Demikian pendapat yang dinukil oleh Ibnu
Mundzir dari jumhur (mayoritas) ulama, dan dia mendukungnya.

Lafazh di atas juga memberi keterangan bahwa tertib (urutan)


tidaklah disyaratkan dalam tayamum. Ibnu Daqiq Al Id berkata, "Ada
perbedaan dalam lafazh hadits ini, dimana Imam Bukhari menukil
dengan lafazh tsumma (kemudian) dan beliau meringkas kandungan
hadits. Sedangkan Imam Muslim menukil dengan lafazh waw (dan), p

J£ y?^3 J&2^ JUiJl (Kemudian beliau mengusap tangan


kirinya dengan tangan kanannya dan mengusap punggung telapak
tangannya dan wajahnya). Dalam riwayat Al Ismaili diterangkan lebih
jelas lagi.
Aku (Ibnu Hajar) berkata, "Adapun lafazh yang dinukil dari Harun
Hammal (Jamal) dari Abu Muawiyah, ^ J * 'd^> o Jet o\ dlliS^ JiT Ul]

tanganmu lalu mengibaskan keduanya, kemudian engkau mengusap


tangan kirimu dengan tangan kananmu dan tangan kanan dengan tangan
kiri, lalu mengusap wajahmu):'

Al Karmani berkata, "Dalam riwayat ini ada ketidakjelasan bila


ditinjau dari lima sisi; salah satunya masalah memukulkan tangan ke
tanah satu kali, sedangkan dalam riwayat lain disebutkan dua kali
pukulan atau tepukan. Sementara Imam An-Nawawi berkata, "Yang
benar tercantum secara tekstual adalah dua kali tepukan atau pukulan."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Maksud Imam Nawawi adalah apa yang
dinukil secara tekstual dalam madzhab Imam Syafi'i."

j — ' S ') jjf (Tidakkah kamu melihat Umar) Umar tidak puas dengan
perkataan Ammar, karena Ammar mengatakan kepadanya bahwa beliau
(Umar) turut serta bersamanya dalam kejadian tersebut, sebagaimana
yang akan dijelaskan dalam riwayat Ya'la bin Ubaid. Sementara Umar
tidak mengingat kejadian itu sama sekali. Oleh sebab itu beliau berkata
kepada Ammar seperti yang dikutip oleh Imam Muslim melalui

6 4 2 — FATHUL BAARI
Abdurrahman bin Abza, :'j '<*'* Jlii ,jj »iui»-l o\ : Jli , jliU IJ ^ JJ" 1

. c — l l j i U CLDJJ {Takutlah kepada Allah ya Ammar. Ammar berkata, "Jika

anda menghendaki, maka aku tidak menceritakannya. " Umar berkata,


"Aku menyerahkan kepadamu apa yang engkau kehendaki. ").

Imam Nawawi berkata, "Makna perkataan Umar, 'Takutlah kepada


Allah wahai Umar', yakni mengenai apa yang engkau riwayatkan dan
telitilah dengan baik, barangkali engkau lupa atau telah kabur dari
ingatanmu. Sesungguhnya aku bersamamu dan aku tidak ingat sedikitpun
hal ini. Sedangkan makna perkataan Ammar, "Jika anda menganggap,
bahwa tidak menceritakannya adalah lebih baik daripada menceritakan-
nya, maka aku akan melakukannya, sebab aku telah menyampaikan hal
itu dan tidak ada lagi bagiku beban untuk tidak menceritakannya". Maka
Umar berkata kepada Ammar, 'Aku menyerahkan kepadamu apa yang
engkau kehendaki'," yakni keadaanku yang tidak ingat hal itu tidak mesti
hal tersebut tidak benar, dan tidak ada alasan bagiku untuk mencegahmu
menceritakan hadits tersebut."

9. Bab

o'y y " } ' i » y s Oy > * O s 9, y

A !lp A Ul ^JL? 4jJl J y j jl f ^ J l j~<A>- (jJ O l ^ f


( IJjJb-

C JtAi L' : J l i i ^jiJl ^ JJUJ j j ^iy** *>U-J <JSJ jU^-j

.i\ A V j Aj'lli- ^j£>C<?\ «Di J y^j 'C : J l i i jiil ^CaJ j l


0 y y ^ y y y

. ( d L i £ > 4J13 UDP) : Jli

348. Diriwayatkan dari Imran bin Hushain Al Khuza'i bahwa


Rasulullah SAW melihat seseorang menyendiri tidak ikut shalat
berjamaah. Maka beliau SA W bertanya, "Wahai Fulan, apakah
yang mencegahmu tidak ikut shalat berjamaah? "Laki-laki tersebut

FATHUL BAARI — 643


berkata, "Wahai Rasulullah SA W, aku sedang junub dan tidak ada
air. " Nabi SAW bersabda, "Hendaklah engkau menggunakan
tanah (tayamum) karena ia cukup bagimu"

Keterangan Hadits:

Hadits ini telah dibahas pada bab "Tanah (debu) yang baik".
Dalam riwayat ini tidak dijelaskan secara tegas tentang "satu kali pukulan
atau tepukan" pada waktu tayamum. Ada kemungkinan bahwa Imam
Bukhari mengambil kesimpulan tersebut berdasarkan lafazh hadits yang
tidak menyebutkan jumlah tertentu. Maka satu kali (pukulan) merupakan
batas minimal dan yang wajib diyakini, wallahu a 'lam.

Penutup

Pembahasan mengenai tayamum ini memuat hadits-hadits yang


sampai kepada Nabi SAW {marfu') sebanyak 17 hadits, yang diulang
berjumah 10 hadits, diantaranya ada dua hadits yang disebutkan tanpa
silsilah periwayatannya (mu 'allaq). Adapun hadits yang tidak diulang
sebanyak 7 hadits, di antaranya satu hadits tanpa silsilah periwayatan.
Imam Muslim menukil semua hadits tersebut kecuali hadits Amru bin
Ash yang disebutkan tanpa silsilah periwayatan. Dalam bab ini terdapat
riwayat-riwayat yang berasal dari sahabat dan tabi'in sebanyak 10
riwayat. Di antaranya 3 riwayat dengan silsilah periwayatan yang
bersambung, yakni fatwa Umar, Abu Musa dan Ibnu Mas'ud.

Hal menarik yang dilakukan oleh Imam Bukhari, adalah beliau


mengakhiri bab tayamum ini dengan menukil hadits yang berbunyi, ifo

dJ—-alC (Karena sesungguhnya ia cukup bagimu). Hal ini sebagai isyarat


bahwa hadits dan riwayat yang telah disebutkannya cukup bagi mereka
yang merenungkan dan memahaminya. Hanya Allah SWT yang lebih
mengetahui.

COMPLETED
< >
6 4 4 — FATHUL BAARI

You might also like