Professional Documents
Culture Documents
•>
( IBNU HAJAR AL ASQALANI C
Penjelasan
Kitab Shahih Al Bukhari
Peneliti:
Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Terbitan (KDT)
297 .132
Edisi Indonesia:
FATHUL BAARI
Syarah S h a h i h Al Bukhari
Buku 2
Penerjemah Amiruddin, Lc.
Editor Abu Rania, Lc.
Titi Tartilah, S. Ag.
Desain Cover DEA Grafis
Cetakan Pertama, Juli 2002 M
Penerbit PUSTAKA AZZAM
Anggota IKAPI DKI
Alamat Jl. Kampung Melayu Kecil III/15 Jak-Sel 12840
Telp (021)8309105/8311510
Fax (021)8309105
E-Mail:pustaka_azzam@telkom.net
VI — FATHUL BAARI
DAFTAR ISI
KITABUL WUDHU
WUDHU 2
Tentang Wudhu 2
Tidak Diterima Shalat tanpa Bersuci 10
Keutamaan Wudhu, Cahaya di Wajah, Tangan dan Kaki karena
Bekas Wudhu 13
Tidak Berwudhu karena Syak (Ragu) hingga Benar-benar Yakin 17
Berlaku Ringan dalam Berwudhu 22
Menyempurnakan Wudhu 26
Membasuh Muka dan Tangan Lebih dari Satu Cidukan 29
Membaca Basmalah dalam Setiap Keadaan dan Saat Melakukan
Hubungan Suami Istri 32
Apa yang Diucapkan saat Buang Hajat 34
Bab Menyiapkan Air di Tempat Buang Hajat 41
Tidak Boleh Menghadap Kiblat Saat Membuang Air Besar atau Kecil,
Kecuali Bila Berada dalam Suatu Bangunan atau Terhalang Tembok
Maupun yang Sepertinya 42
Buang Hajat di Atas Dua Batu Bata 48
Keluarnya Wanita ke tempat Buang Hajat 53
Buang Hajat di Rumah 56
Istinja' Dengan Air 58
Orang yang Dibawakan Air Untuk Dipakai Bersuci 61
VIII — F A T H U L B A A R I
Tidak Berwudhu karena Makan Daging Kambing dan Sawiq 243
Berkumur-Kumur karena Makan Sawiq dan Tidak Berwudhu 248
Haruskah Berkumur-Kumur karena Minum Susu? 251
Berwudhu karena Bangun Tidur, dan Pendapat Tidak Ada Wudhu
karena Rasa Kantuk Ringan 253
Berwudhu Bukan karena Hadats 259
Termasuk Dosa Besar Tidak Menutup Diri Saat Buang Air Kecil 262
Membersihkan Kencing 275
Nabi SAW dan Orang-orang Membiarkan Seorang Arab Badui
Menyelesaikan Kencingnya di Masjid 278
Menyiram Kencing Di Masjid dengan Air 280
Kencing Bayi Laki-Laki 286
Kencing Sambil Berdiri dan Duduk 293
Kencing di samping Seorang Sahabat dan Berlindung di Balik
Tembok 297
Kencing di Tempat Pembuangan Sampah Suatu Kaum 299
Mencuci Darah 303
Mencuci dan Mengerik Mani serta Mencuci Apa yang Menyentuh
Wanita 308
Membersihkan Bekas Junub (mani) dan Lainnya Namun Bekasnya
tidak Hilang 313
Kencing Unta, Binatang Ternak, Kambing dan Tentang Kandangnya... 314
Najis yang Jatuh ke dalam Minyak Samin atau Air 335
Kencing di Air yang Tergenang 346
Apabila Di Letakkan Kotoran atau Bangkai di Punggung Orang yang
Shalat, Maka Shalatnya tidak Batal 354
Air Liur, Ingus dan Sepertinya di Pakaian 368
Tidak Boleh Berwudhu dengan An-Nabidz dan Sesuatu yang
Memabukkan 370
Seorang Wanita Mencuci Darah di Wajah Bapaknya 373
Siwak 375
Menyerahkan Siwak kepada yang Lebih Tua 377
Keutamaan Orang yang Tidur Malam dalam Keadaan Berwudhu 380
KITABUL GUSHLI
MANDI 386
Wudhu Sebelum Mandi 389
Suami Istri Mandi Bersama 399
Mandi dengan Satu Sha' dan Sepertinya 401
Orang yang Menyiram Kepalanya Tiga Kali 406
Mandi Satu Kali 410
FATHUL BAARI — IX
Orang yang Memulai dengan Hilab atau Harum-haruman Ketika
Mandi 411
Berkumur-Kumur dan Memasukkan Air Ke Dalam Hidung ketika
Junub 418
Menggosok Tangan dengan Debu supaya Lebih Bersih 420
Apakah Orang yang Junub Boleh Memasukkan Tangannya ke Dalam
Bejana sebelum Mencucinya Jika Tidak ada Kotoran selain Junub di
Tanganya 421
Memisahkan Mandi dengan Wudhu 426
Orang yang Menuangkan (Air) dengan Tangan Kanan ke Tangan Kiri
Ketika Mandi 428
Orang yang Menggauli (Istrinya) Kemudian Mengulanginya dan
Orang yang Mendatangi Istri-istrinya dengan Sekali Mandi 430
Membersihkan Madzi dan Berwudhu Karenanya 438
Orang yang Memakai Harum-Haruman Lalu Mandi dan Aroma
Wanginya Masih Ada 443
Menyela-nyela Rambut dan Menyiramnya ketika Kulit Kepala Terasa
Basah 444
Orang yang Berwudhu dalam Keadaan Junub Lalu Membasuh Bagian
Tubuh Lainnya dan Tidak membasuh Anggota Wudhu lagi 446
Jika Seseorang Teringat dalam Masjid bahwa Ia Sedang Junub Lalu
Keluar Tidak Bertayamum 449
Mengibaskan atau Membersihkan (Air) dengan Tangan setelah Mandi
Junub 451
Memulai Mandi dengan Bagian Kanan Kepala 452
Mandi Telanjang Sendirian di Tempat Sepi, dan bagi yang Menutup
Diri adalah Lebih Baik 453
Menutup Diri Ketika Mandi Jika Ada Orang Lain 459
Apabila Wanita Mimpi Bersenggama 461
Keringat Orang yang Junub dan Seorang Muslim Tidak Najis 466
Orang yang Junub Keluar dan Berjalan di Pasar atau (tempat) Lainnya 469
Orang Junub yang Berdiam Di Rumah Jika Berwudhu Sebelum Mandi
(Wajib) 471
Tidurnya Orang yang Junub 473
Orang yang Junub Berwudhu lalu Tidur 474
Bertemunya Dua Khitan 478
Mencuci Apa yang Menyentuh Kemaluan Wanita 481
KITABUL HAID
HAID 490
Bagaimana Permulaan Haid 491
X — FATHUL BAARI
Masalah yang Berkenaan dengan Wanita Nifas (Haid) 493
Wanita Haid Mencuci Kepala Suaminya serta Menyisir Rambutnya 495
Seorang Suami Membaca Al Qur'an Sambil Berbaring di Pangkuan
Istrinya yang sedang Haid 497
Orang yang Menamakan Nifas dengan Haid 499
Bercumbu dengan Istri yang sedang Haid 502
Wanita Haid tidak Berpuasa 506
Wanita Haid Melakukan Seluruh Manasik Haji kecuali Thawaf di
Baitullah 512
Istihadhah 518
Mencuci Darah Haid 521
I'tikaf bagi Wanita Mustahadhah 523
Bolehkah Wanita Shalat dengan Menggunakan Kain yang Dipakainya
Saat Haid? 528
Harum-Haruman Bagi Wanita Saat Bersuci dari Haid 530
Wanita Menggosok Badannya Saat Bersuci dari Haid. Bagaimana Ia
Mandi dan Mengambil Kapas yang Diberi Minyak Wangi
Untuk Membersihkan Bekas Darah 532
Mandi (Suci) dari Haid 537
Wanita Menyisir Rambutnya Setelah Mandi (suci) dari Haid 538
Wanita Mengurai Rambutnya Saat Mandi Haid 540
Yang Sempurna Kejadiannya dan Yang tidak Sempurna 543
Bagaimana Wanita Haid Melaksanakan Ikhram Haji dan Umrah 546
Awal dan Akhir Masa Haid 547
Wanita Haid Tidak Mengqadha' Shalat 551
Tidur Bersama Wanita yang sedang Haid dan Dia Memakai
Pakaiannya 554
Memakai Pakaian Haid Selain Pakaian Pada Waktu Suci 555
Wanita Haid Turut Hadir Pada Shalat Dua Hari Raya dan Da'wah
Kaum Muslimin, tapi Mereka Tidak Mendekati Mushalla 556
Jika Wanita Mengalami Tiga Kali Haid dalam Sebulan. Apa yang
Dibenarkan bagi Wanita Selama Haid atau Hamil dan Apa yang
Mungkin dari Haid 559
Cairan Kuning dan Coklat selain Masa Haid 563
Penyakit Istihadhah 564
Wanita Mengalami Haid setelah Ifadhah 567
Apabila Wanita Mustahadhah Melihat Tanda Suci 568
Menshalati Wanita yang Meninggal Saat Nifas dan Sunnahnya 570
Bab 572
FATHUL BAARI — XI
KITABUT TAYAMUM
TAYAMUM 576
Bab 576
Jika Tidak Didapatkan Air dan Debu (Tanah) 603
Tayamum Saat Mukim (Tidak Berpergian) Jika Tidak Menemukan Air
dan Khawatir Waktu Shalat Habis 605
Apakah Orang yang Bertayamum Meniup (Debu) Pada Kedua
Tangannya? 610
Tayamum Untuk Muka Dan Kedua Telapak Tangan 614
Tanah (Debu) Yang Baik Cukup Untuk Wudhu Orang Muslim Jika
Tidak Ada Air 618
Orang yang Junub Melakukan Tayamum karena Khawatir dirinya Akan
Sakit, Mati dan Kehausan 635
Tayamum Dengan Satu Kali Pukulan (Tepukan) 638
Bab 643
YA mMPUMG$UM9Uk
1. Tentang Wudhu
2 — FATHUL BAARI
lebih dari tiga kali. Di samping itu para ulama tidak menyukai
berlebihan dalam wudhu dan melebihi apa yang dilakukan Nabi S A W"
Keterangan:
(5«.L_js}li) yang berarti bersih dan cerah. Hal itu, karena seorang yang
shalat terlebih dahulu membersihkan dirinya dengan jalan melakukan
wudhu sehingga ia menjadi bersih dan cerah. Lalu beliau (Imam Bukhari)
mengisyaratkan dengan perkataannya, "tentang wudhu" akan adanya
perselisihan para ulama salaf mengenai makna ayat di atas. Mayoritas
mereka berpendapat, bahwa sebagian makna ayat tersebut tidak
disebutkan secara tekstual (dihilangkan), sehingga makna ayat tersebut
adalah, j—iJ^i 5*)L<a3i lil (Jika kamu hendak mengerjakan shalat
FATHUL BAARI — 3
memberatkan beliau, maka kewajiban itu dihapus kecuali dalam keadaan
berhadats."
iHLai\ jU*9 lij (Apabila kamu hendak mengerjakan shalat) sebab makna
lengkap ayat ini adalah, l ^ r S l ' j j ^ j ^ 5*>CaJi J\ tii (Jika kamu hendak
mengerjakan shalat, hendaklah kamu berwudhu karenanya). Hal ini sama
dengan arti perkataan orang Arab, "Jika engkau melihat pemimpin
hendaklah engkau berdiri." Maksudnya, berdirilah karenanya.
Yakni waktu untuk melakukan kewajiban seperti ini dapat pula dipergunakan untuk
melakukan kewajiban lain -Penerj.
4 — FATHUL BAARI
Ayat ini juga telah dijadikan landasan oleh mereka yang
mengatakan bahwa wudhu itu pertama kali diwajibkan di kota Madinah.
Adapun sebelumnya telah dinukil oleh Ibnu Abdil Barr mengenai ke-
sepakatan ahli sejarah, bahwa mandi junub telah diwajibkan kepada Nabi
SAW saat masih berada di Makkah sebagaimana diwajibkannya shalat.
Sesungguhnya beliau SAW tidak pernah shalat melainkan dalam keadaan
berwudhu. Lalu Ibnu Abdil Barr menambahkan, "Ini telah diketahui oleh
para ulama."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Hadits ini dapat menjadi dalil untuk
membantah mereka yang mengingkari adanya (syariat) wudhu sebelum
hijrah, dan tidak dapat menjadi dalil untuk membantah mereka yang
mengingkari kewajiban wudhu pada masa itu."
Sementara Ibnu Al J a h m 2)
Al Maliki telah menetapkan bahwa
hukum wudhu sebelum hijrah adalah sunah, dan Ibnu Hazm menegaskan
bahwa wudhu hanya disyariatkan di Madinah.
Pada catatan kaki cetakan Bulaq disebutkan, "Pada salah satu naskah Fathul Baari' tertulis
Ibnu Al Hakam."
FATHUL BAARI — 5
Lahi'ah juga, akan tetapi disebutkan, "Diriyawatkan dari Zuhri, dari
Urwah, dari Usamah bin Zaid dari bapaknya."
6 — FATHUL BAARI
J^TJ* COJJ Ce'Jj (Dan beliau juga berwudhu dua kali-dua kali)
Demikian juga lafazh hadits yang diriwayatkan Abu Dzarr, dan ada juga
yang meriwayatkan tanpa mengulang kata j—°/y>. Pada pembahasan
selanjutnya beliau akan menyebutkannya secara bersambung hingga
kepada Nabi SAW dalam satu bab khusus disertai pembahasan mengenai
hadits tersebut.
d)*5i_J ^Js- iy_ ^Jj (Dan beliau tidak melebihkan dari tiga kali), yakni
tidak disebutkan dalam satu haditspun yang membahas sifat wudhu
beliau SAW atau adanya keterangan bahwa beliau SAW pernah
membasuh anggota wudhu melebihi tiga kali. Bahkan, telah dinukil dari
beliau SAW celaan bagi mereka yang melakukan wudhu melebihi jumlah
tersebut. Keterangan ini dapat ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan selainnya dari jalur periwayatan Amru bin Syu'aib,
dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW berwudhu seraya
membasuh anggota wudhunya sebanyak tiga kali-tiga kali, kemudian
beliau bersabda, "Barangsiapa yang melebihkan dari yang seperti ini
ataupun menguranginya, maka sungguh ia telah melakukan perbuatan
buruk atau berlaku zhalim." Hadits ini memiliki sanad jayyid (baik).
FATHUL BAARI — 7
Hammad dari jalur riwayat Al Muthalib bin Hanthab dari Nabi SAW,
"Wudhu itu dapat dilakukan sebanyak satu kali, dua kali dan tiga kali.
Barangsiapa yang mengurangi dari satu kali atau melebihkan di atas
tiga kali sungguh ia telah melakukan kesalahan." Derajat hadits ini
mursal (langsung disandarkan oleh tabi'in kepada Nabi SAW), namun
para perawinya adalah orang-orang tsiqah (terpercaya). Akan tetapi
pendapat ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa para perawi hadits
yang mereka jadikan sebagai pijakan tersebut tidak seluruhnya
menyebutkan kurang dari satu kali, bahkan kebanyakan mereka hanya
menukil lafazh yang mengatakan, "Barangsiapa yang melebihkan",
seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya dan
lainnya.
Di antara sesuatu yang ganjil, adalah apa yang dinukil oleh Syaikh
Abu Hamid Al Isfirayini dari sebagian ulama, bahwa tidak boleh
membasuh anggota wudhu kurang dari tiga kali. Seakan-akan beliau
berpijak pada makna lahir hadits terdahulu. Pendapat beliau ini disangkal
oleh ijma' (yang membolehkan hal tersebut). Adapun perkataan Imam
Malik dalam kitab Al Mudawwanah, "Aku tidak menyukai membasuh
anggota wudhu satu kali kecuali jika hal itu dilakukan oleh ulama", sama
sekali tidak mengindikasikan adanya kewajiban untuk membasuh
anggota wudhu lebih dari satu kali.
berlebihan dalam wudhu) ini adalah suatu isyarat terhadap hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dari jalur periwayatan Hilal bin
Yasaf (salah seorang tabi'in). Beliau berkata, "Telah dikatakan bahwa,
termasuk perbuatan tidak disukai dalam wudhu adalah berlebihan
meskipun engkau berada di tepi sungai." Hadits yang serupa telah
diriwayatkan dari Abu Darda' dan Ibnu Mas'ud, sebagaimana telah
dinukil sebuah hadits yang semakna dengannya secara bersambung
kepada Nabi SAW, seperti dikutip oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah
dengan sanad layyin (lemah) dari riwayat Abdullah bin Amru bin Ash.
u — ^ J** hJJ^H &h (Dan melebihi apa yang dilakukan oleh Nabi)
juga merupakan isyarat terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari Ibnu Mas'ud. Ia berkata, "Tidak ada membasuh (anggota
8 — FATHUL BAARI
tubuh) melebihi tiga kali." Imam Ahmad dan Ishaq maupun selain
keduanya berkata, "Tidak diperbolehkan (membasuh) melebihi tiga kali."
Lalu Ibnu Mubarak mengatakan, "Aku tidak menjamin (jika melebihi
tiga kali) pelakunya akan berdosa." Sementara Imam Syafi'i me-
negaskan, "Aku tidak menyukai orang yang membasuh lebih dari tiga
kali. Namun jika ia melakukannya lebih dari itu, maka aku tidak
memakruhkannya." Beliau tidak mengharamkannya, sebab perkataannya
"tidak menyukai" berindikasi pada kemakruhan. Inilah pandangan yang
benar dalam madzhab Syafi'i, yakni membasuh anggota wudhu lebih dari
tiga kali adalah makruh hukumnya.
FATHUL BAARI — 9
ancaman seperti dalam hadits. Sedangkan jika ia tidak berkeyakinan
seperti itu, maka tidak disyaratkan batasan jumlah tertentu. Bahkan jika
ia melebihkan hingga empat kali juga tidak mengapa, terutaman jika
pelakunya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini
berdasarkan hadits
adalah cahaya."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Hadits ini dha 'if (lemah), dan ada
kemungkinan penulis (Imam Bukhari) telah mengisyaratkan pula akan
riwayat ini. Pembahasan secara luas mengenai hal ini akan diterangkan
pada awal pembahasan tentang tafsir surah Al Maa'idah, insya Allah."
10 — FATHUL BAARI
berwudhu.' Seseorang laki-laki dari Hadramaut bertanya, 'Apakah
hadats itu wahai Abu Hurairah?' Beliau menjawab, 'Angin (kentut)
yang mendesis maupun yang keluar dengan suara keras.'"
Keterangan Hadits:
FATHUL BAARI — 11
*^>J—(Berhadats) maksudnya adalah sesuatu yang keluar dari dua
jalan (qubul dan dubur). Hanya saja Abu Hurairah menafsirkan makna
hadats dengan makna yang lebih khusus, untuk memberi peringatan akan
hadats ringan (mukhaffafah) dari yang berat (mughallazhah). Di samping
itu, kedua perkara yang disebutkan oleh Abu Hurairah ini lebih banyak
terjadi pada orang yang sedang shalat daripada hadats-hadats lainnya.
12 — FATHUL BAARI
3. Keutamaan Wudhu, Cahaya di Wajah, Tangan dan
Kaki Karena Bekas Wudhu
. JJLaJi 4J
Keterangan Hadits:
(Keutamaan wudhu dan cahaya di wajah, tangan dan kaki). Hal ini
memiliki beberapa kemungkinan; pertama, beliau menukil lafazh yang
disebutkan pada sebagian jalur periwayatan hadits ini dimana dikatakan,
"Kamu adalah orang-orang yang memiliki cahaya di wajah, tangan dan
kaki." Lafazh seperti ini dinukil oleh Imam Muslim. Kedua, beliau
sengaja meninggalkan sebagian teks pernyataannya, adapun makna
lengkapnya adalah, "Orang-orang yang memiliki cahaya di wajah, tangan
dan kaki, maka bagi mereka keutamaan." Ketiga, dalam riwayat Al
Mustamili (salah seorang yang meriwayatkan kitab Shahih Bukhari -
penerj.) dikatakan bahwa maknanya, "Keutamaan orang-orang yang
FATHUL BAARI — 13
memiliki cahaya di wajah, tangan dan kaki", sebagaimana dikatakan oleh
Al Ashili dalam riwayatnya.
Lafazh seperti ini dinukil pula oleh Imam Muslim melalui dua jalur
periwayatan; Pertama, dari Amru bin Al Harits dari Sa'id bin Abu Hilal.
Kedua, dari Umarah bin Ghaziyah dari Nu'aim. Lalu pada jalur ini
terdapat tambahan yang lain, dimana disebutkan bahwa Abu Hurairah
berkata, "Demikianlah aku telah melihat Rasulullah SAW berwudhu."
Lafazh dalam riwayat terakhir ini memberi keterangan bahwa hadits ini
marfu' (disandarkan langsung kepada Nabi SAW). Hal ini membantah
pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan seperti ini adalah pendapat
Abu Hurairah semata, yang benar perbuatan ini adalah riwayat yang
beliau nukil dari Nabi dan sekaligus pendapatnya.
14 — FATHUL BAARI
seperti itu masih perlu ditinjau kembali. Karena telah disebutkan oleh
penulis (Imam Bukhari) pada kisah Sarah RA bersama sang raja, dimana
pada saat raja tersebut hendak mendekatinya maka ia berwudhu lalu
shalat. Demikian pula dalam kisah Juraij, dimana beliau berwudhu dan
shalat lalu setelah itu terjadi dialog antara beliau dengan bayi. Yang lebih
kuat, sesungguhnya yang menjadi kekhususan umat ini hanyalah cahaya
di wajah, tangan dan kaki saja, dan bukan wudhu itu sendiri.
FATHUL BAARI — 15
untuk dicermati, karena perkataan tersebut dapat memutarbalikkan
bahasa. Apa yang ia anggap tidak mungkin itu bisa saja terjadi, sebab
memanjangkan membasuh muka bisa saja dilakukan, seperti membasuh
sebagian leher. Telah dinukil oleh Ar-Rafi'i dari sebagian ulama, bahwa
lafazh Al Ghurrah (cahaya di wajah) dapat diartikan juga cahaya di
tangan dan kaki.
Secara lahiriah, perkataan "Barangsiapa yang ingin memanjang-
kan cahayanya..." masih merupakan sambungan hadits. Akan tetapi
diriwayatkan oleh Ahmad dari Fulaih dari Nu'aim, dimana di bagian
akhirnya disebutkan, "Nu'aim berkata, 'Aku tidak tahu perkataan
barangsiapa...dan seterusnya, apakah termasuk perkataan Nabi SAW
ataukah perkataan Abu Hurairah." Saya (Ibnu Hajar) tidak menemukan
lafazh, "Barangsiapa yang ingin memanjangkan...dst." dalam riwayat
siapa pun yang menukil hadits ini dari para sahabat yang berjumlah
sepuluh orang. Demikian pula saya tidak menemukan lafazh seperti itu
dalam riwayat mereka yang menerima hadits ini dari Abu Hurairah
kecuali dalam riwayat Abu N u ' a i m saja, wallahu a 'lam.
16 — FATHUL BAARI
Adapun klaim mereka bahwa ulama telah sepakat memilih
pendapat yang berbeda dengan pandangan Abu Hurairah dalam masalah
ini, tidak dapat diterima berdasarkan riwayat yang telah kami nukil dari
Ibnu Umar. Di samping itu sejumlah kaum salaf telah menegaskan bahwa
hal tersebut disenangi, demikian pula mayoritas ulama madzhab Syafi'i
dan Hanafi. Sedangkan penakwilan mereka bahwa yang dimaksud
dengan memperpanjang di sini adalah "senantiasa melakukan wudhu "
juga harus ditolak, karena seorang perawi lebih paham apa yang diri-
wayatkannya. Apalagi dalam hal ini beliau telah menisbatkan langsung
kepada Nabi SAW.
Dalam hadits ini terdapat makna yang sesuai dengan bab yang ada
berupa keutamaan wudhu, sebab keutamaan yang diperoleh berupa
cahaya di wajah, tangan dan kaki adalah pengaruh dari perbuatan yang
melebihi dari yang wajib. Lalu bagaimana dengan prasangka yang
mengatakan bahwa hal itu diperoleh dengan melakukan yang wajib saja?
Sehubungan dengan ini telah diriwayatkan sejumlah hadits shahih dan
tegas seperti dinukil oleh Imam Muslim dan lainnya. Dalam hadits ini
juga terdapat keterangan bolehnya wudhu di atas masjid, namun hal itu
bila tidak membawa efek buruk bagi masjid ataupun bagi orang-orang
yang berada di dalamnya, Wallahu a 'lam.
O s 9 y O / O s s y s s
FATHUL BAARI — 17
137. Diriwayatkan dari Sa'id bin Musayyab, dari Abbad bin
Tamim dari pamannya, bahwasanya ia mengadu kepada Rasulullah
SAW perihal seorang laki-laki yang merasakan sesuatu dalam
shalat?" Nabi SAW menjawab, "Janganlah ia berpaling
(menghentikan shalatnya) hingga ia mendengar bunyi atau
mencium bau."
Keterangan Hadits:
p-gj iC* J P J (Dan dari Abbad bin Tamim), maksudnya hadits ini
diriwayatkan oleh dua orang; yakni Sa'id bin Musayyab dan Abbad bin
Tamim. Dalam riwayat yang dinukil oleh Karimah terjadi kesalahan,
dimana tidak tercantum kata sambung 'dan'. Jelas ini merupakan
kekeliruan, karena Sa'id bin Musayyab tidak pernah meriwayatkan hadits
dari Abbad bin Tamim. Kemudian ada kemungkinan bahwa syaikh
(guru) Sa'id bin Musayyab adalah paman Abbad, sehingga seakan-akan
beliau (Imam Bukhari) berkata, "Keduanya meriwayatkan dari paman
Abbad." Ada pula kemungkinan syaikh Sa'id tidak disebutkan di tempat
ini, dan hadits ini termasuk riwayat mursal Sa'id bin Musayyab (yakni
beliau langsung menyandarkan kepada Nabi tanpa menyebutkan sahabat
-Penerj.)
18 — FATHUL BAARI
l£—i> *—"f (Bahwasanya ia mengadu), yang mengadu di sini adalah
perawi hadits (paman Abbad). Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Ibnu
Khuzaimah melalui riwayat Abdul Jabbar bin Alla' dari Sufyan (dan
lafazh ini adalah versi beliau) dari pamanya yakni Abdullah bin Zaid. Ia
berkata, "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang se-
seorang yang.. .dan seterusnya." Lalu dalam sebagian riwayat disebutkan
dengan lafazh, "Telah diadukan..." yakni dalam bentuk pasif. Demikian
pula yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim sebagaimana
diterangkan oleh An-Nawawi. Kemudian Imam An-Nawawi berkata,
"Dan tidak disebutkan siapa sebenarnya yang mengadukan hal ini."
Beliau menambahkan, "Disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari bahwa
yang mengadu adalah perawi hadits itu sendiri."
FATHUL BAARI — 19
tidaklah tepat. Di samping itu, sesuatu yang membatalkan wudhu di luar
shalat juga dapat membatalkan wudhu di dalamnya, sebagaimana hal-hal
lain yang membatalkan wudhu.
20 — FATHUL BAARI
dikatakan oleh Al Khaththabi, yang diriwayatkan Ibnu Al Qasim darinya.
Kemudian diriwayatkan pula oleh Ibnu Nafi' dari Imam Malik, beliau
berpendapat bahwa wudhu orang yang ragu tersebut tidak batal, sama
seperti pendapat jumhur ulama. Sedangkan Ibnu Wahab meriwayatkan
bahwa Imam Malik berkata, "Yang lebih aku sukai jika ia berwudhu."
Adapun riwayat yang membedakan antara di dalam dan di luar shalat
tidak terbukti berasal dari pendapat Imam Malik, tapi berasal dari para
pengikutnya.
FATHUL BAARI — 21
menjadikan bau itu sebagai sesuatu yang dapat dijadikan pedoman untuk
menetapkan hukum." Akan tetapi ada kemungkinan untuk dibedakan
antara dua perkara ini, sebab hadd (hukum pidana) dalam Islam harus
digugurkan bila ada syubhat (kesamaran) yang mengiringinya. Sementara
masalah bau khamer adalah hal yang syubhat, berbeda dengan persoalan
pertama (bau kentut) yang tidak mengandung syubhat.
% c ii j i i j i r d i jiii ^ S ^ r £
* y ' " y**' y' -y* y** y * * y * * yt o «S '
^Ui2j ^^-5 J AILIJj J^r*-^ 4-2-*^! L^"- U-J-^J
4 1
(jj^*-* (j-»^ ^y* W ' ^ *
o^
- 1 > '.F
22 — FATHUL BAARI
ia mengatakan, "Beliau berbaring hingga mendengkur kemudian
bangun lalu shalat" (Ali bin Abdullah berkata), "Setelah itu
Sufyan menceritakan kejadian ini kepada kami berkali-kali. Cerita
itu beliau riwayatkan dari Amru dari Kuraib dari Ibnu Abbas,
bahwasanya beliau berkata, 'Pada suatu malam aku pernah
menginap di rumah bibiku yang bernama Maimunah, Nabi SA W
berdiri (bangun) di malam itu, maka ketika pada sebagian malam
nabi SAW berdiri (bangun) lalu berwudhu dari suatu bejana yang
tergantung dengan wudhu yang ringan -Amru menggambarkan
betapa ringan dan sedikitnya wudhu tersebut- setelah itu beliau
berdiri untuk shalat. Akupun berwudhu sebagaimana wudhu
beliau, kemudian aku menghampirinya dan berdiri di sebelah
kirinya. Lalu Nabi memindahkanku dan menempatkanku di sebelah
kanannya. Nabi SA W shalat sebagaimana yang dikehendaki Allah,
setelah itu beliau SAW tidur hingga mendengkur. Akhirnya
datanglah kepadanya juru adzan untuk memberitahukan kepada-
nya (waktu) shalat (telah masuk). Maka Nabi SAW pergi bersama
orang itu lalu shalat tanpa berwudhu lagi.' Kami bertanya kepada
Amru, 'Sesungguhnya manusia mengatakan bahwa Rasulullah
SAW tidur matanya tapi tidak tidur hatinya.' Amru berkata, 'Aku
mendengar Ubaid bin Umair berkata, bahwa Mimpi para nabi
adalah wahyu.' Kemudian beliau membaca, 'Sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu."' ^ Q s . Ash-
Shaffaat (37): 102>
Keterangan Hadits:
FATHUL BAARI — 23
tersebut untuk menggantikan fungsi atau makna lafazh yang lainnya.
Bahkan, apabila beliau meriwayatkan hadits ini dengan panjang lebar
maka dikatakannya, "Beliau SAW berbaring lalu tidur" seperti yang akan
disebutkan. Sedangkan jika beliau menceritakan hadits ini secara ringkas
maka ia mengatakan, "Beliau SAW tidur" maksudnya dalam keadaan
berbaring, atau "Beliau SAW berbaring" maksudnya dalam keadaan
tidur.
lafazh yang dinukil sebagian besar perawi. Tetapi dalam riwayat Ibnu As-
Sakan dikatakan, ^—J (maka Nabi SAW tidur). Riwayat ini dibenarkan
oleh Al Qadhi Iyadh sesuai teks selanjutnya, —s JlUt jaZo J> olS' Uii
24 — FATHUL BAARI
Hanya saja telah disebutkan dalam hadits ini sebagaimana akan
diterangkan kemudian, bahwa Ibnu Abbas berkata, "Akupun berdiri dan
melakukan seperti apa yang beliau lakukan." Penggunaan kata mitsl
(seperti) tidaklah berkonsekuensi pada musawat (persamaan) dari segala
segi.
UPJ^J J^IJ ^Uai (shalat tanpa berwudhu lagi) merupakan dalil bahwa
tidur tidak termasuk hadats (perkara yang membatalkan wudhu). Ia
hanyalah suatu keadaan dimana sering menyebabkan hadats. Sebab mata
beliau SAW tertidur namun hatinya terjaga. Jika terjadi sesuatu yang
membatalkan wudhu pada diri beliau, maka beliau akan mengetahuinya.
Oleh karena itu, apabila beliau SAW bangun tidur kadang beliau
berwudhu dan kadang tidak mengulanginya lagi. Al Khaththabi berkata,
"Hati beliau tidak tidur untuk memahami wahyu yang datang kepadanya
pada saat beliau tidur."
FATHUL BAARI — 25
(Ad-Dawudi) maksudkan dengan perkataannya, bahwa perkataan Ubaid
ini tidak ada sangkut pautnya dengan hadits yang dinukil dalam bab ini,
maka hal itu tidak dapat diterima.
6. Menyempurnakan Wudhu
139. Telah diriwayatkan dari Kur aib (budak Ibnu Abbas) dari
Usamah bin Zaid bahwasanya beliau mendengar Usamah berkata,
"Rasulullah SA W bergerak meninggalkan Arafah. Ketika tiba di
suatu jalan pada suatu bukit, beliau turun dan buang air kecil
kemudian berwudhu, namun tidak menyempurnakan wudhunya.
Aku pun berkata, Apakah engkau akan shalat wahai Rasulullah?"
26 — FATHUL BAARI
Beliau menjawab, 'Nanti di tempat perhentian di depan.' Beliau
SAW kembali menaiki (kendaraannya). Ketika sampai di
Muzdalifah, beliau SA W turun lalu berwudhu dan menyempurna-
kan wudhunya. Setelah itu dikumandangkan iqamat untuk shalat,
maka Nabi SAW shalat maghrib. Selanjutnya setiap orang
menambatkan hewan kendaraannya di tempat masing-masing.
Kemudian dikumandangkan igamat untuk shalat isya dan nabipun
shalat. Beliau SA W tidak shalat (sunah) di antara kedua shalat itu
(maghrib dan isya')."
Keterangan Hadits:
FATHUL BAARI — 27
''Apakah engkau (Rasulullah) hendak melakukan shalat?"). Kata
itu bisa juga dibaca dhammah, yakni, S^CaJi yang berarti «*>CaJl c i j cJl?-
(telah tiba waktu shalat).
i j—is^il lt\i '£e'j£ Jjf {Beliau SAW turun lalu berwudhu seraya
Catatan:
Air yang dipakai berwudhu pada saat itu adalah air zamzam.
Keterangan tentang ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin
Hambal dalam tambahan-tambahan beliau terhadap musnad bapaknya,
dimana silsilah periwayatan yang beliau sebutkan mempunyai derajat
hasan, dan riwayat itu berasal dari hadits Ali bin Abu Thalib. Hal ini
merupakan sanggahan bagi mereka yang melarang menggunakan air
zamzam selain untuk minum. Pembahasan selanjutnya tentang hadits ini
akan dijelaskan pada bab Haji.
28 — FATHUL BAARI
7. Membasuh Muka dan Tangan Lebih dari Satu
Cidukan
^ S S f s s
i' l' ' ' t ' 0
*• • • * ^ f "* J.
0
' ' O'O . ' ' ' O ' . ^0
& S S S £ j, } ^ * S S £ 0 S S £ S S
0 > r
l 0
t''"'* ^ if *•
0
- * • • T * u \ ' \' •
0 f
'° \i
140. Diriwayatkan dari Atha' bin Yasar dari Ibnu Abbas, bahwa ia
berwudhu lalu membasuh mukanya. Beliau mengambil air dengan
tangannya kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke
hidung serta mengeluarkannya. Setelah itu beliau mengambil satu
ciduk air lagi dengan tangannya lalu menjadikannya seperti ini -
dituangkannya di atas tangannya yang lain- dan beliau membasuh
mukanya dengan kedua tangannya itu. Seterusnya beliau
mengambil air lagi lalu membasuh tangan kanannya, dan
mengambil satu ciduk lagi kemudian membasuh tangan kirinya.
Selanjutnya beliau mengusap kepalanya. Kemudian beliau
mengambil seciduk air dengan tangannya dan memercikkan ke
kaki kanannya hingga membasuhnya, dan beliau mengambil satu
ciduk lagi lalu membasuh kakinya -yakni yang kiri- setelah itu
beliau berkata, 'Demikianlah aku melihat Rasulullah SAW
berwudhu."
FATHUL BAARI — 29
Keterangan Hadits:
"Bab membasuh muka dan tangan dengan satu cidukan". Imam
Bukhari memaksudkan perkataan ini untuk memberi penegasan tentang
tidak disyaratkannya menciduk air dengan kedua tangan secara
bersamaan, sekaligus sebagai isyarat akan kelemahan hadits yang
mengatakan bahwasanya Nabi SAW biasa membasuh muka dengan
tangan kanannya. Lalu Al Hulaimi mencoba memadukan kedua riwayat
itu. Beliau mengatakan, "Mengambil air dengan satu tangan dapat
dipraktekkan pada saat seseorang berwudhu dari suatu bejana dimana
tangan kirinya dipakai untuk menuangkan air ke tangan kanannya,
sedangkan mengambil air dengan menggunakan kedua tangan dapat
dilakukan pada saat menciduk air dari bejana secara langsung." Akan
tetapi konteks lafazh hadits ini tidak sejalan dengan keterangan beliau,
karena di sini disebutkan bahwa setelah menciduk air dengan satu
tangannya, beliau menuangkan ke tangannya yang lain lalu membasuh
mukanya dengan kedua tangan tersebut.
# " ^
"ii'jf- JbM (Beliau mengambil satu ciduk air). Secara lahiriah, bahwa
berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung serta mengeluar-
kannya termasuk dalam lingkup membasuh muka. Akan tetapi yang
dimaksud dengan membasuh muka pada kali pertama seperti tersebut
dalam hadits ini lebih umum daripada makna yang wajib (membasuhnya)
maupun sunah, karena beliau kembali membasuh muka untuk kedua
kalinya setelah berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung serta
30 — FATHUL BAARI
mengeluarkannya; dan kali ini dilakukan dengan satu cidukan air
tersendiri. Pada hadits ini terdapat pula keterangan untuk menyatukan
antara berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung serta
mengeluarkannya dengan satu kali cidukan. Demikian pula dengan
membasuh muka dengan kedua tangan sekaligus apabila dilakukan
dengan satu kali cidukan, sebab satu tangan kadang tidak dapat meliputi
semua bagian muka.
8.
i (Selanjutnya beliau mengusap kepalanya) Tidak
FATHUL BAARI — 31
dari kaki, maka termasuk riwayat syadz (menyelisihi riwayat yang lebih
kuat). Perawinya adalah Hisyam bin Sa'ad, seorang yang tidak diterima
bila meriwayatkan hadits secara sendirian, lalu bagaimana lagi jika
riwayatnya itu menyelisihi riwayat yang lebih kuat?
32 — FATHUL BAARI
anugerahkan sebagai rezeki bagi kami', lalu ditetapkan bagi
mereka berdua seorang anak, maka syetan tidak akan
membahayakannya^
Keterangan Hadits:
dengan kata sebelumnya (hal). Hal ini tergolong aneksasi makna yang
khusus terhadap makna yang umum, untuk memberi penekanan agar
lebih diperhatikan. Sementara keumuman itu tidak kita dapatkan dari
makna lahiriah hadits tersebut, melainkan dapat kita pahami dari metode
Al Aula (lebih utama). Karena apabila basmalah disyariatkan saat
melakukan jima' (hubungan suami isteri), sementara pada kondisi
demikian lebih dianjurkan untuk diam, maka tentu pada kondisi selain itu
lebih utama lagi untuk mengucapkan basmalah.
Engkau jadikan bagian bagi syetan terhadap rezeki yang Engkau berikan
kepadaku).
FATHUL BAARI — 33
berbahasa Arab mengucapkan doa itu dalam bahasa Persia?' Beliau
menjawab, 'Ya, boleh.'
, • I, y f , 0
^ ^ « . T,- 0 ^ „ ' ' O ' > 0 % y y y
Keterangan Hadits:
"Bab apa yang diucapkan saat buang hajat", yakni saat hendak
masuk ke tempat buang hajat jika tempat tersebut memang khusus
dipersiapkan untuk buang hajat, sedangkan jika ia bukan tempat yang
34 — FATHUL BAARI
dikhususkan untuk buang hajat, maka perkataan Imam Bukhari di atas
dipahami sebagaimana makna tekstualnya.
Penyebutan bab ini dan beberapa bab sesudahnya (yakni sampai
pada bab wudhu satu kali) telah menimbulkan kemusykilan tersendiri,
sebab beliau (Imam Bukhari) memulai kitab wudhu ini dengan
menyebutkan bab-bab yang berhubungan dengan wudhu. Di antaranya
beliau menyebutkan wajib wudhu, syarat dan keutamaannya. Demikian
pula beliau menyebutkan bolehnya meringankan pelaksanaan wudhu,
keutamaan untuk menyempurnakannya, mencuci muka dan membaca
basmalah. Meski bab yang membahas tentang basmalah disebutkan lebih
akhir daripada membasuh muka, namun hal itu tidak memberi pengaruh
yang berarti. Sebab, penyebutan basmalah beriringan dengan awal mula
membasuh muka. Untuk itu, masalahnya tidak berbeda apakah basmalah
disebutkan sebelum masalah membasuh muka atau sebaliknya. Akan
tetapi yang menjadi permasalahan bahwa setelah menyebutkan persoalan
yang berhubungan dengan basmalah, beliau menerangkan mengenai apa
yang diucapkan oleh seseorang saat mau ke tempat buang hajat.
Selanjutnya beliau menyebutkan dengan bab-bab yang berhubungan
dengan istinja'. Setelah itu beliau kembali lagi ke masalah wudhu yang
dilakukan dengan membasuh -anggota wudhu- satu kali.
FATHUL BAARI — 35
beliau berkata, "Andaikata Bukhari tidak menyebutkan masalah ini
niscaya hal ini lebih utama, sebab semua itu tidak masuk dalam lingkup
pembahasan kitab beliau."
36 — FATHUL BAARI
itu dilakukan maka lebih utama. Di samping itu beliau menyebutkan pula
keterangan untuk membasuh sebagian anggota wudhu dengan sekali
cidukan tangan. Demikian pula membaca basmalah saat akan wudhu,
disyariatkan sebagaimana hal ini disyariatkan bagi mereka yang akan
buang hajat.
FATHUL BAARI — 37
dengan cermat, hingga akhirnya beliau mengakhiri kitab wudhu dengan
metode seperti ini. Namun pada bagian shalat, beliau (Imam Bukhari)
menempuh metode yang lebih mudah, dimana beliau menyebutkan
urutan bab dengan kesesuaian yang sangat jelas. Seakan-akan beliau
begitu mendalami persoalan tersebut, wallahu a 'lam.
adalah bentuk jamak dari KLSJT. Adapun maksudnya adalah syetan jenis
laki-laki dan perempuan, demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi
dan Ibnu Hibban serta lainnya.
Disebutkan dalam Naskah Ibnu Asakir, "Abu Abdullah (Imam
Bukhari) berkata, iafazh — k a d a n g pula dibaca yang berarti
sesuatu yang tidak disukai, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Al
Arabi. Jika dalam bentuk perkataan, maka berarti caci maki. Apabila
dalam bentuk ideologi, maka berarti kekufuran. Jika berupa makanan,
maka ia adalah makanan yang haram. Apabila berbentuk minuman, maka
ia adalah minuman yang berbahaya. Atas dasar ini, maka yang dimaksud
dengan Al Khaba 'its adalah maksiat ataupun perbuatan-perbuatan tercela
secara umum. Oleh karena itu, maka dalam riwayat Tirmidzi dan yang
lainnya disebutkan, "Aku berlindung kepada Allah dari Al Khubts dan Al
Khabiits" atau "Al Khubuts dan Al Khaba 'its" yakni dari segala sesuatu
yang tidak disukai dan yang tercela, ataupun syetan laki-laki dan
perempuan.
38 — FATHUL BAARI
\'j—£-°f- J—>) iij'li (Hadits ini diriwayatkan pula dari Ibnu Ar 'arah).
Nama beliau adalah Muhammad, dan hadits yang beliau riwayatkan
dinukil oleh Imam Bukhari dalam bab doa.
y &J 1
5j (Dan Ghundar berkata). Hadits tanpa silsilah
periwayatan ini disebutkan oleh Al Bazzar berikut para perawinya dalam
musnad beliau dari Muhammad bin Basysyar Bandar, dari Ghundar
dengan redaksi beliau. Hadits ini dinukil pula oleh Ahmad bin Hambal
dari Ghundar dengan lafazh, J — t i j (Apabila salah seorang di antara
kamu masuk).
j—ij 'J IJU* JV9J (Sementara Sa 'id bin Zaid berkata). Beliau adalah
saudara Hammad bin Zaid, dan riwayat beliau ini disebutkan oleh Imam
Bukhari berikut silsilah periwayatannya dalam kitab Al Adab Al Mufrad,
dimana beliau berkata, "Abu N u ' m a n telah menceritakan kepada kami
dari Sa'id bin Zaid, dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas. Ia berkata,
'Biasanya Nabi SAW jika ingin memasuki tempat buang hajat, beliau
mengucapkan..." seperti hadits dalam bab ini."
FATHUL BAARI — 39
yang kencing di samping rumah? Yang lebih benar adalah pandangan
kedua, selama seseorang belum memulai buang hajat.
Pembahasan kedua, kapankah dzikir itu diucapkan? Barangsiapa
yang memandang makruh untuk menyebut nama Allah dalam kondisi
seperti ini, maka ia memberi perincian sebagai berikut; apabila di tempat
yang disiapkan khusus untuk buang hajat maka diucapkan pada saat
sebelum masuk. Adapun pada tempat selain itu, maka diucapkan pada
awal mula melakukan pekerjaan buang hajat seperti saat hendak
menyingkap pakaian. Demikian pendapat jumhur ulama. Mereka
mengatakan pula bahwa bagi orang yang lupa, maka ia mengucapkannya
dalam hati, bukan dengan lisannya. Sedangkan mereka yang
membolehkan seperti dinukil dari Malik, tidak membutuhkan perincian
seperti di atas.
KAMHJMGSUMMAH
40 — FATHUL BAARI
10. Bab Menyiapkan Air di Tempat Buang Hajat
Keterangan Hadits:
i*j *<>j & c-*i>jj (aku menyiapkan air wudhu untuknya), yakni air
untuk beliau pakai berwudhu. Lalu ada pula yang mengatakan bahwa ada
kemungkinan air tersebut diberikan oleh Ibnu Abbas kepada Nabi untuk
dipakai beristinja' (cebok). Akan tetapi, pandangan ini perlu dicermati
lebih lanjut.
FATHUL BAARI — 41
menunjukkan kecerdasannya, maka Nabi mendoakannya untuk diberi
pemahaman tentang agama agar ia dapat memperoleh manfaat.
Sementara sebagian pembahasan hadits ini telah diterangkan terdahulu
dalam bab Ilmu.
Keterangan Hadits:
Pengertian "Kecuali bila berada di suatu bangunan, terhadang
tembok maupun yang sepertinya" adalah seperti batu besar, pagar, pohon
dan pembatas-pembatas lain. Al Isma'ili berkata, "Dalam hadits yang
disebutkan pada bab ini tidak ada keterangan yang mengindikasikan
pengecualian seperti itu." Perkataan ini aku jawab dengan tiga jawaban:
Pertama, bahwa pengecualian itu didasarkan pada hakikat lafazh Al
Gha'ith (tempat buang air besar) di mana menurut hakikat bahasa, Al
Gha'ith adalah suatu tempat datar di muka bumi yang terdapat di
lapangan terbuka. Meskipun setelah itu lafazh Al Gha Jth dipakai untuk
nama semua yang dikhususkan sebagai tempat buang air besar dalam arti
42 — FATHUL BAARI
majaz (kiasan). Maka, larangan dalam hadits di atas khusus untuk tempat
yang terbuka. Sebab suatu lafazh bila tidak dibatasi dengan sesuatu, maka
maknanya kembali kepada hakikat lafazh tersebut. Jawaban ini di-
kemukakan oleh Al Isma'ili yang merupakan jawaban yang terkuat.
Kedua, menghadap ke arah kiblat dapat terealisasi bila seseorang
berada di lapangan terbuka, sementara bila terhalang tembok atau
bangunan, maka secara adat kebiasaan dinamakan menghadap kepada
hal-hal tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Al Munir.
Pendapat ini menjadi kuat bila dikatakan bahwa tempat-tempat untuk
buang air besar tidak dapat digunakan untuk shalat, sehingga tidak ada
istilah kiblat pada tempat-tempat tersebut. Akan tetapi jawaban ini
dikritisi, karena hal itu mengakibatkan tidak sahnya shalat seseorang
yang antara ia dengan Ka'bah ada tempat yang tidak sah untuk
dipergunakan shalat, dan ini adalah batil. Ketiga, pengecualin di atas
adalah berdasarkan hadits Ibnu Umar yang disebutkan setelah bab ini,
sebab hadits-hadits Nabi SAW adalah merupakan satu kesatuan. Jawaban
ini diutarakan oleh Ibnu Baththal serta disetujui oleh Ibnu Tin dan
lainnya.
FATHUL BAARI — 43
pula bahwa larangan itu berlaku umum baik di tempat terbuka maupun
tertutup. Sementara mengamalkan kedua dalil yang ada lebih utama
daripada mengabaikan salah satunya. Disebutkan dalam hadits Jabir, -
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Khuzaimah dan lainnya- sebuah keterangan yang menguatkan pandangan
ini. Adapun lafazh hadits tersebut versi Imam Ahmad, adalah:
44 — FATHUL BAARI
tidak boleh untuk menghadapnya, pendapat ini dinukil dari Abu Hanifah
serta Ahmad. Di samping itu ada pula pendapat yang membedakan antara
tempat terbuka dan tempat tertutup (dalam bangunan tertentu), dimana
mereka memperbolehkannya di tempat tertutup dan melarangnya di
tempat terbuka, baik menghadap maupun membelakangi-nya. Jumhur
ulama berkata, "Pendapat terakhir ini adalah pendapat madzhab Imam
Malik, Imam Syafi'i dan Ishaq. Ini merupakan pendapat yang paling
netral, karena ia telah mengamalkan seluruh dalil yang ada. Pendapat ini
diperkuat pula dari sisi logika -seperti yang telah disebutkan terdahulu
dari Ibnu Munir- bahwa menghadap kiblat dalam ruangan (bangunan)
menurut kebiasaan dikatakan menghadap ke dinding (bukan ke kiblat),
dan di samping tempat-tempat khusus untuk buang hajat adalah tempat
syetan, sehingga tidak pantas dikatakan bahwa tempat itu memiliki kiblat,
berbeda dengan tempat yang terbuka atau tanah lapang."
FATHUL BAARI — 45
(Rasulullah SA W melarang kita untuk menghadap dua kiblat pada
saat kencing dan buang air besar). (HR. Abu Dawud dan lainnya. Hadits
ini dha 'if (lemah) karena dalam silsilah periwayatannya terdapat seorang
perawi yang majhul (tidak dikenal).
Seandainya hadits ini shahih, mesti dipahami bahwa yang
dimaksud adalah penduduk Madinah dan daerah yang searah, sebab bila
mereka menghadap ke Baitul Maqdis berarti telah membelakangi Ka'bah.
Sesungguhnya yang menjadi sebab larangan itu adalah membelakangi
Ka'bah, bukan menghadap Baitul Maqdis. Lalu Imam Al Khaththabi
mengklaim adanya ijma' (kesepakatan ulama) yang mengatakan tidak
haram menghadap Baitul Maqdis jika menghadapnya tidak mem-
belakangi Ka'bah. Akan tetapi apa yang beliau katakan ini masih
dipertanyakan berdasarkan keterangan yang telah kami sebutkan, yaitu
pendapat Ibrahim dan Ibnu Sirin dimana pendapat ini juga disetujui oleh
sebagian ulama madzhab Syafi'i, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Abi Ad-
Damm.
46 — FATHUL BAARI
keluar dari aurat, dimana tujuan larangan tersebut adalah memuliakan
kiblat agar tidak dicemari dengan mengarahkan najis kepadanya.
Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat Jabir yang mengatakan, 'i*
FATHUL BAARI — 47
12. Buang Hajat di Atas Dua Batu Bata
145. Diriwayatkan dari W asi' bin Habban dari Abdullah bin Umar
bahwasanya dia berkata, "Sesungguhnya manusia mengatakan,
'Apabila engkau duduk untuk buang hajat, maka janganlah
menghadap kiblat dan jangan pula menghadap Baitul Maqdis.
Maka Abdullah bin Umar berkata, "Sungguh aku telah naik ke
atap rumah milik kami, maka aku melihat Rasulullah SA W (duduk)
di atas dua batu bata seraya menghadap Baitul Maqdis untuk
buang hajat." Beliau berkata, "Barangkali engkau termasuk
orang-orang yang shalat di atas pangkal paha. " Akupun
menjawab, "Aku tidak tahu, demi Allah."
Malik berkata, "Yakni orang yang shalat namun tidak terangkat
badannya dari bumi, sujud dengan kondisi badan menempel ke tanah."
Keterangan hadits:
Yang dimaksud dalam kalimat, "bahwasanya dia berkata..." adalah
Ibnu Umar, sebagaimana telah dinyatakan secara tegas oleh Imam
Muslim dalam riwayatnya, dan lafazh hadits ini akan disebutkan
kemudian. Adapun mereka yang mengatakan bahwa yang berkata di sini
48 — FATHUL BAARI
adalah Wasi' bin Habban, maka mereka telah salah. Sedang perkataan,
"Maka Abdullah bin Umar berkata..." bukanlah sebagai jawaban atas
perkataan Wasi' bin Habban. Tetapi untuk menjelaskan sebab, dimana
pada perkataan sebelumnya beliau mengingkari pendapat Wasi'. Maka,
pada perkataan selanjutnya beliau menjelaskan sebab pengingkaran
tersebut berdasarkan apa yang dia riwayatkan dari Nabi SAW. Untuk itu
dia bisa saja mengatakan "Sungguh aku telah melihat Rasulullah SAW
..." akan tetapi orang yang meriwayatkan hadits ini dari beliau (yakni
Wasi') ingin memberi penekanan dengan mengulangi perkataannya,
"Ibnu Umar berkata... dan seterusnya."
\ — c - j Jfe ^s- (Ke atap rumah milik kami). Dalam riwayat Yazid
pada pembahasan berikut disebutkan, 1%j f& ^Ji- (Ke atap rumah kami).
Dalam riwayat Ubaidillah bin Umar yang juga akan disebutkan pada
pembahasan selanjutnya, diriwayatkan dengan lafazh,'Los»-c J j Jfe Js-
l
FATHUL BAARI — 49
akan menerangkan faidah hadits ini lebih lanjut. Pada saat Ibnu Umar
menisbatkan kepemilikan rumah itu kepada dirinya sendiri, hal itu
didasarkan pada keadaan yang akan datang dimana beliau adalah ahli
waris dari saudara perempuannya (Hafshah), sebab Hafshah tidak
meninggalkan ahli waris lain yang dapat menghalangi Ibnu Umar untuk
memiliki rumah itu sepenuhnya.
50 — FATHUL BAARI
para sahabat untuk mengetahui kondisi Nabi agar dapat diikuti, demikian
pula dengan Abdullah bin Umar.
FATHUL BAARI — 51
shalat akupun mendatanginya dari arah samping. Maka Abdullah bin
Umar mengatakan, sesungguhnya manusia mengatakan....'" dan seterus-
nya hingga akhir hadits seperti di atas.
Ada kemungkinan Ibnu Umar melihat adanya kekeliruan cara sujud
Wasi' sehingga beliau bertanya kepadanya sebagaimana tertera dalam
hadits pada bab ini. Lalu Ibnu Umar memulai dengan kisah pertama
tersebut, karena hal itu adalah sesuatu yang benar-benar beliau
riwayatkan dari Nabi SAW. Oleh sebab itu, cerita ini lebih didahulukan-
nya daripada persoalan yang masih dalam dugaan. Tidak tertutup pula
kemungkinan bahwa peristiwa ini terjadi di masa orang-orang yang
berpendapat seperti apa yang beliau nukil, sehingga beliau ingin
menjelaskan hukum ini kepada tabi'in agar mereka menukil darinya
hukum dalam masalah itu.
52 — FATHUL BAARI
sedikitpun perkara yang diduga oleh Ibnu Umar, maka Ibnu Umar tidak
bersikap keras saat mengemukakan larangan tersebut.
o y 0 r- s % y O y s y
Keterangan hadits:
FATHUL BAARI — 53
Namun, ada pula kemungkinan yang beliau maksudkan adalah
memerintahkan untuk menutup wajah mereka. Lalu setelah turun perintah
sebagaimana yang diharapkannya, maka beliau menginginkan pula agar
para isteri Nabi SAW menutup diri pula (dalam rumah). Akan tetapi, hal
ini tidak diwajibkan karena adanya sebab yang mengharus-kan mereka
keluar. Kemungkinan kedua ini jauh lebih kuat daripada kemungkinan
pertama. Umar bin Khaththab menganggap turunnya ayat hijab
merupakan salah satu peristiwa, dimana kehendaknya bertepatan dengan
perintah Allah, sebagaimana akan disebutkan pada tafsir Surah Al
Ahzaab. Atas dasar ini maka menutup diri bagi para isteri Nabi terjadi
dalam beberapa keadaan, diantaranya, menutup diri dengan kegelapan
malam, sebab mereka hanya keluar di waktu malam dan tidak mau
menampakkan diri di waktu siang. Hal ini digambarkan oleh Aisyah
dalam hadits ini, "Bahwasanya para isteri Nabi biasa keluar di waktu
malam." Lalu akan diterangkan pula keterangan serupa dalam hadits
Aisyah berkenaan dengan berita dusta yang dituduhkan kepada dirinya,
dimana dikatakan, "Ummu Misthah keluar bersamaku ke tanah lapang
tempat kami buang hajat. Saat itu kami tidak keluar melainkan di waktu
malam saja."
Al Mustamli tertulis, <~A*?Ji AJT (ayat hijab), lalu ditambahkan oleh Abu
Awanah dalam kitab Shahih-nya dari riwayat Az-Zubaidi dari Ibnu
Syihab, "Maka Allah menurunkan hijab, 'Wahai orang-orang yang
beriman janganlah kamu masuk ke rumah-rumah nabi. "' (Qs. Al Ahzaab
(33): 53) yang akan disebutkan dalam tafsir surah Al Ahzaab bahwa
sebab turunnya ayat itu berhubungan dengan kisah Zainab binti Jahsy
54 — FATHUL BAARI
ketika melangsungkan walimah, kemudian ada tiga orang di antara
undangan yang tidak segera pamitan, sementara Nabi SAW merasa malu
untuk memerintahkan agar mereka pulang. Maka, turunlah ayat tentang
hijab ini.
Demikian pula akan disebutkan hadits Umar yang berbunyi, "Aku
berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu masuk
menemui mereka; orang yang baik-baik maupun orang yang berbuat
dosa. Maka alangkah baiknya jika anda memerintahkan mereka untuk
berhijab.' Akhirnya, turunlah ayat hijab." Disebutkan oleh Ibnu Jarir
dalam kitab tafsirnya dari riwayat Mujahid, "Ketika Nabi SAW sedang
makan bersama sebagian sahabatnya, sementara Aisyah makan bersama
mereka, tiba-tiba tangan salah seorang di antara mereka menyentuh
tangan Aisyah. Nabi tidak menyenangi kejadian tersebut, akhirnya
turunlah ayat hijab."
Keterangan Hadits:
Ringkasan kandungan hadits ke-147 ini adalah bahwasanya Saudah
-beliau adalah seorang yang memiliki postur tubuh besar- keluar rumah
untuk keperluannya setelah turun kewajiban berhijab. Maka Umar bin
Khaththab melihatnya lalu berkata, "Wahai Saudah, ketahuilah demi
FATHUL BAARI — 55
Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami, perhatikanlah bagaimana
engkau sampai keluar (rumah)?" Saudah kembali dan mengadukan hal itu
kepada Nabi SAW pada saat beliau sedang makan malam, maka turunlah
wahyu kepadanya. Kemudian beliau bersabda, "Sungguh telah diizinkan
bagi kalian keluar untuk keperluan kalian."
Ibnu Baththal berkata, "Hukum fikih yang terdapat dalam hadits ini
adalah dibolehkan bagi wanita untuk melakukan hal-hal yang memiliki
kemaslahatan bagi mereka. Dalam hadits ini terdapat pula keterangan
bolehnya seorang yang lebih rendah kedudukannya menanggapi pendapat
seorang yang lebih tinggi kedudukannya, apabila ia berkeyakinan berada
di jalan yang benar dan tidak ada maksud untuk membangkang."
Faidah hadits yang lain; adalah keterangan mengenai kedudukan
Umar bin Khaththab, bolehnya berbicara antara laki-laki dan wanita di
jalan karena suatu keperluan yang mendesak, bolehnya berbicara dengan
keras bagi yang menghendaki kebaikan, dibolehkan bagi seseorang
menasihati ibunya dalam persoalan agama karena Saudah adalah ibu
kaum mukminin, dan terdapat pula keterangan bahwa Nabi senantiasa
menunggu turunnya wahyu dalam perkara-perkara syar'i. Karena beliau
S A W tidak memerintahkan isteri-isterinya berhijab padahal kondisi telah
menghendaki hal itu, hingga akhirnya turun ayat hijab. Demikian pula
dengan izin beliau kepada mereka untuk keluar (rumah).
s s " "
56 — FATHUL BAARI
148. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, "Aku naik
ke atap rumah Hafshah untuk suatu keperluan, tiba-tiba aku
melihat Rasulullah SAW sedang buang hajat dengan mem-
belakangi kiblat dan menghadap ke Syam."
FATHUL BAARI — 57
15. Istinja' Dengan Air
Keterangan Hadits:
Maksud Imam Bukhari memberi judul "Beristinja dengan air",
1
58 — FATHUL BAARI
f$—f-j IJI (Aku bersama seorang anak). Dalam riwayat berikut
ditambahkan,LJL» ^*Apj Ul t^A (Seorang anak dari kami), maksudnya dari
golongan Anshar. Hal ini dinyatakan secara tegas oleh Al Isma'ili dalam
riwayatnya. Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim di katakan, ftej
i-i J — i j frUi isJl (Apabila beliau buang hajat, maka aku membawakan air
untuknya lalu beliau pakai untuk membersihkannya). Sedangkan dalam
riwayat Imam Muslim dari jalur periwayatan Khalid Al Hidza' dari Atha'
dari Anas, sLll* Q* ^'j^ (Maka beliau keluar menemui kami
sedangkan beliau telah beristinja' dengan menggunakan air).
F A T H U L BAARI — 59
Berdasarkan riwayat-riwayat ini jelaslah bahwa lafazh istinja s
60 — FATHUL BAARI
16. Orang yang Dibawakan Air untuk Dipakai Bersuci
..c
Keterangan Hadits:
FATHUL BAARI — 61
Dengan disebutkannya hadits Anas oleh Imam Bukhari bersamaan
dengan penggalan hadits tersebut dari riwayat Abu Darda', telah
memberi kesan sangat kuat bahwa yang dimaksud dengan ghulam
(seorang anakj dalam hadits Anas adalah Abdullah bin Mas'ud, dimana
pada pembahasan terdahulu telah kami ketengahkan bahwa lafazh
ghulam (anak) dapat pula digunakan selain anak kecil dalam arti kiasan.
Sementara Nabi SAW pernah bersabda kepada Ibnu Mas'ud saat ia masih
berada di Makkah sebagai penggembala kambing, "Sesungguhnya
engkau adalah seorang anak (ghulam) yang terdidik." Jika demikian
maka makna perkataan Anas, "Seorang anak dari kami.." maksudnya dari
kalangan sahabat atau di antara para pembantu Nabi SAW.
62 — F A T H U L BAARI
Sementara dalam riwayat Imam Muslim dari hadits panjang yang
dinukil dari Jabir disebutkan bahwa Nabi SAW pergi untuk buang hajat,
maka Anas mengikutinya seraya membawa bejana (berisi air). Dengan
demikian ada pula kemungkinan orang yang tidak disebutkan namanya
dalam riwayat Anas adalah Jabir, terlebih lagi beliau adalah seorang yang
berasal dari kalangan Anshar.
Lalu dalam riwayat Al Isma'ili dari jalur periwayatan Ashim bin
Ali dari Syu'bah disebutkan, — i *3ls (Maka aku mengikutinya
sementara aku masih anak-anak). Akan tetapi riwayat ini dikomentari
oleh Al Isma'ili dengan perkataannya, "Sesungguhnya yang benar adalah
lafazh, & (Aku dan seorang anak).
2 % ^ y y y % % s ' J o i ' 0
FATHUL BAARI — 63
Keterangan Hadits:
64 — FATHUL BAARI
Hadits ini dijadikan dalil oleh Imam Bukhari untuk membersihkan
kencing, sebagaimana akan diterangkan kemudian. Dalam hadits ini
terdapat pula keterangan bolehnya mengambil para pembantu dari
kalangan orang-orang merdeka -khususnya bagi yang telah memper-
sembahkan diri mereka untuk hal itu- agar terbina untuk bersikap rendah
hati. Demikian juga hadits ini terdapat keterangan bahwa berkhidmat
kepada orang berilmu merupakan kemuliaan tersendiri, karena Abu
Darda" memuji Ibnu Mas'ud yang telah melakukan hal itu.
'j—!jal)i t—«ili (Hadits ini diriwayatkan pula dari Syu 'bah oleh An-
Nadhr), yakni An-Nadhr bin Syumail. Beliau meriwayatkan hadits
tersebut dari Syu'bah sebagaimana halnya Muhammad bin Ja'far.
Adapun hadits An-Nadhr ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa'i berikut
silsilah periwayatannya.
olil_iij (Syadzan) Dia adalah Al Aswad bin Amir, dan hadits beliau
disebutkan oleh Imam Bukhari dalam bagian shalat dengan lafazh, "Kami
membawa Ukazah (tongkat yang dipakai untuk bertumpu), Asha (tongkat
biasa) atau Anazah (tombak)." Nampaknya perkataan "atau " dalam
riwayat ini adalah keragu-raguan dari sebagian perawinya, sebab riwayat-
riwayat lain menyebutkan yang dibawa saat itu adalah Anazah (tombak).
Semua perawi hadits yang disebutkan pada ketiga bab terakhir ini berasal
dari Bashrah.
FATHUL BAARI — 65
18. Larangan Istinja' dengan Tangan Kanan
f s s s s s s s 0 s s s 0 3> ^ ^ ^ % S- '
Keterangan Hadits:
(Larangan istinja' dengan tangan kanan) Imam Bukhari memberi
judul bab ini dengan kata "larangan" sebagai isyarat bahwa hal itu belum
jelas bagi beliau, apakah larangan ini bersifat haram atau sekedar untuk
kesucian (tanzih). Di samping itu, ada pula kemungkinan bahwa faktor
(qarinah) yang memalingkan larangan tersebut dari makna haram kepada
makna yang lain belum jelas bagi beliau. Yang mana faktor (qarinah)
yang dimaksud dalam hal ini adalah karena perbuatan itu termasuk
bagian dari adab (etika).
Mayoritas ulama mengatakan bahwa larangan di atas hanyalah
sekedar untuk kesucian (tanzih). Sementara di sisi lain, golongan
zhahiriyah berpandangan bahwa indikasi larangan tersebut adalah haram.
Dalam perkataan sejumlah ulama madzhab Syafi'i dapat ditangkap
pengertian yang mengarah kepada perkataan golongan zhahiriyah, hanya
saja Imam An-Nawawi berkata, "Perkataan mereka (ulama madzhab
Syafi'i) yang tidak membolehkan istinja' dengan menggunakan tangan
kanan, maksudnya adalah perbuatan itu bukanlah hal yang mubah, dalam
66 — FATHUL BAARI
artian sama saja apakah dilakukan atau ditinggalkan. Bahkan makruh dan
sangat tepat bila ditinggalkan."
Apabila seseorang beristinja' dengan tangan kanan, maka menurut
mereka yang berpendapat bahwa perbuatan itu hukumnya haram berarti
pelakunya telah mengerjakan perbuatan tidak terpuji, namun istinja' yang
dilakukannya tetap dianggap telah mencukupi. Sementara golongan
zhahiriyah dan sebagian ulama madzhab Hambali berkata, "Istinja' yang
dilakukan oleh orang itu dianggap tidak mencukupi."
Sesungguhnya perselisihan itu timbul apabila tangan menyentuh
tempat yang akan dibersihkan disertai alat bersuci lain seperti air.
Adapun jika tangan langsung menyentuh tempat yang akan dibersihkan
tanpa disertai alat bersuci lain, maka terjadi kesepakatan di antara ulama
bahwa hukumnya adalah haram dan istinja' tidak dianggap mencukupi,
dan tangan kiri dalam hal ini hukumnya sama dengan tangan kanan.
FATHUL BAARI — 67
i — ^ V«j ^—9 (Jangan dengan tangan kanan), yakni jangan
beristinja' dengan tangan kanan. Al Khaththabi telah menulis
pembahasan panjang lebar mengenai persoalan ini. Telah diriwayatkan
dari Abu Ali bin Abu Hurairah, bahwasanya beliau pernah berdialog
dengan seorang ulama dari Khurasan. Lalu Abu Ali bertanya tentang
perkara ini, maka ulama tersebut tidak mampu untuk menjawabnya.
Kemudian Al Khaththabi memberikan jawaban terhadap pertanyaan
tersebut, namun jawaban yang ia berikan masih perlu dikritisi.
Inti persoalan tersebut adalah bahwa apabila seseorang yang
beristinja" dengan menggunakan batu atau sepertinya, lalu ia memegang
batu tersebut dengan tangan kirinya, maka tidak dapat dihindari ia harus
memegang kemaluannya dengan tangan kanannya. Sedangkan jika ia
memegang kemaluannya dengan tangan kirinya, berarti ia harus
memegang batu dengan tangan kanannya. Padahal kedua keadaan ini
masuk dalam cakupan larangan yang tersebut dalam hadits di atas.
Adapun kesimpulan dari jawaban yang diberikan adalah, bahwa
dalam keadaan demikian seseorang yang hendak beristinja' mendatangi
sesuatu yang kokoh yang tidak dapat bergeser dengan gerakan apapun,
seperti tembok atau yang serupa dengannya. Lalu orang itu
menggosokkan tempat keluarnya kencing pada benda tersebut.
Sedangkan jika ia tidak menemukan benda seperti itu, maka yang harus
dilakukannya adalah duduk di atas tanah lalu menjepit batu dengan kedua
mata kakinya ataupun menahannya dengan ibu jari kaki, setelah itu ia
memegang kemaluannya dengan tangan kirinya untuk digosokkan pada
batu tersebut. Dengan demikian, pada dua keadaan ini ia tidak
menggunakan tangan kanannya.
Gerakan seperti ini sangatlah sulit dan bahkan tidak mungkin untuk
dilakukan, sehingga Ath-Thaibi mengomentari persoalan ini dengan
perkataannya, "Sesungguhnya larangan untuk istinja' dengan mengguna-
kan tangan kanan hanyalah khusus dubur (bagian belakang), sedangkan
larangan untuk menyentuh hanyalah khusus qubul (kemaluan). Artinya,
jawaban seperti di atas sejak awalnya sudah tidak berdasarkan dalil yang
kuat."
Akan tetapi, klaim beliau bahwa larangan istinja' dengan meng-
gunakan tangan kanan hanya berlaku khusus dubur tidak dapat diterima.
Adapun larangan menyentuh meskipun khusus qubul (kemaluan) namun
68 — FATHUL BAARI
diikutkan juga dubur berdasarkan analogi (qiyas). Karena penyebutan
kata dzakar (kemaluan laki-laki) tidaklah berarti hukum hanya berlaku
padanya, sebab kemaluan wanita memiliki hukum yang sama. Adapun
kata dzakar disebutkan secara tekstual dalam hadits itu karena umumnya
teks-teks dalil ditujukan kepada laki-laki, sementara wanita adalah
saudara kaum laki-laki dalam perkara hukum, kecuali hal-hal tertentu
yang memang dikhususkan bagi kaum laki-laki.
Jawaban yang benar sehubungan dengan perkara yang dijawab oleh
Al Khaththabi adalah apa yang dikatakan oleh Imam Al Haramain dan
ulama sesudahnya, seperti Al Ghazali dalam kitab Al Wasith dan Al
Baghawi dalam kitab At-Tahdzib, yaitu; orang yang hendak beristinja'
dengan menggunakan batu atau yang sepertinya, hendaklah memegang
batu itu dengan tangan kanannya tanpa menggerak-gerakkannya. Lalu ia
memegang kemaluannya dengan tangan kirinya kemudian menggosok-
kan di batu tersebut. Dengan demikian, ia tidak dikatakan beristinja'
dengan tangan kanannya dan tidak pula menyentuh kemaluan dengan
tangan kanan. Barangsiapa yang mengatakan bahwa dalam keadaan
seperti ini seseorang tetap dikatakan telah beristinja' menggunakan batu
dengan tangan kanannya, maka sungguh ia telah keliru. Bahkan,
sesungguhnya orang itu sama seperti seseorang yang menuangkan air
dengan tangan kanannya lalu menggosok kemaluan dengan tangan
kirinya pada saat istinja'.
FATHUL BAARI — 69
154. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Abu Qatadah dari
bapaknya, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, 'Apabila salah
seorang di antara kamu buang air kecil (kencing) maka janganlah
menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya, jangan pula
istinja' dengan tangan kanannya, dan jangan pula menghembus-
kan nafas di wadah (tempat minum) waktu minum.''''
Keterangan Hadits:
Judul bab ini menunjukkan, bahwa larangan menyentuh kemaluan
dengan tangan kanan secara mutlak seperti bab terdahulu hanya berlaku
pada saat buang air kecil (kencing). Dengan demikian, maka selain
keadaan ini diperbolehkan. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat,
"Larangan untuk memegang kemaluan tetap saja berlaku pada saat
seseorang tidak sedang kencing, karena seseorang dilarang memegang
kemaluannya saat kencing, padahal dalam keadaan demikian ia perlu
melakukannya."
70 — FATHUL BAARI
nya membuat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi." Hanya saja
Ibnu Daqiq Al 'Id memberi catatan penting bahwa titik perbedaan
pendapat sehubungan dengan menarik dalil mutlaq kepada dalil
muqayyad (terbatas), adalah jika sumber kedua hadits itu berbeda hingga
dapat dikatakan bahwa keduanya adalah hadits yang berbeda. Adapun
jika sumber keduanya satu, lalu perbedaannya berasal dari sebagian
perawi hadits itu, maka menjadi keharusan untuk membawa dalil mutlaq
kepada dalil muqayyad (terbatas) tanpa ada perselisihan di antara ulama.
Sebab, pembatasan pada saat seperti ini masuk kategori penambahan
riwayat yang dilakukan oleh orang yang 'adil (tidak fasik), maka harus
diterima.
FATHUL BAARI — 71
\Jt Ir^i (Dan jangan pula menghembuskan nafas di wadah
tempat minum). Ada kemungkinan hikmah disebutkannya hal ini
mengiringi persoalan-persoalan terdahulu, karena telah menjadi akhlak
kaum mukminin untuk mengikuti perbuatan Nabi SAW. Sementara
beliau SAW apabila buang air kecil maka diiringinya dengan wudhu,
bahkan telah dinukil riwayat yang mengatakan bahwa beliau SAW
pernah meminum sisa air wudhunya. Oleh karena itu, seorang muslim
berada dalam kondisi siap untuk mengikuti perbuatan tersebut. Untuk itu
Nabi SAW mengajari mereka adab minum, yaitu larangan bernafas di
wadah tempat minum ketika minum, sebagaimana yang diindikasikan
oleh konteks riwayat sebelumnya. Telah diriwayatkan oleh Al Hakim
dari hadits Abu Hurairah, *——~> oL_f lij fti J, ^ J b - i '^J&ri
72 — FATHUL BAARI
membawakan untuknya batu-batu dengan ujung pakaianku lalu
aku letakkan di dekatnya, kemudian aku menjauh darinya. Ketika
selesai, beliau pun beristinja' dengan batu-batu tersebut."
Keterangan Hadits:
Imam Bukhari memaksudkan bab ini sebagai bantahan terhadap
orang yang mengatakan bahwa istinja' hanya menggunakan air. Adapun
dalil yang mengindikasikan hal itu dapat kita pahami dari perkataan
beliau, l# °jni£r°J (Agar aku pakai untuk beristinja').
FATHUL BAARI — 73
makanan manusia lebih pantas untuk tidak dipakai beristinja'
dibandingkan makanan jin. Demikian pula dengan hal-hal yang
dimuliakan seperti kertas yang bertuliskan ilmu.
Adapun mereka yang berpandangan bahwa yang menjadi sebab
larangan beristinja' dengan kotoran adalah karena kotoran tersebut
termasuk najis, maka mereka memperluas larangan tersebut pada seluruh
benda yang tergolong najis. Demikian pula dengan pandangan yang
mengatakan bahwa sebab larangan menggunakan tulang untuk
beristinja', adalah karena sifatnya yang licin sehingga tidak dapat
menghilangkan najis secara baik, maka hukum ini diberlakukan pula bagi
seluruh benda yang memiliki sifat serupa; misalnya kaca dan sebagainya.
Pendapat ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ad-
Daruquthni (seraya beliau menshahihkannya) dari hadits Abu Hurairah
bahwasanya Nabi SAW melarang seseorang untuk istinja' dengan
kotoran atau tulang, dan beliau SAW bersabda, 01^ S=JV U^—'l
(Sesungguhnya keduanya tidak dapat mensucikan).
Riwayat Ad-Daruquthni ini merupakan bantahan bagi pendapat
yang mengatakan bahwa beristinja' dengan menggunakan tulang dan
kotoran dianggap mencukupi, meskipun hal itu terlarang. Pada
pembahasan mendatang akan disebutkan kisah utusan jin serta kapan
peristiwa itu terjadi.
74 — FATHUL BAARI
21. Tidak Boleh Istinja" dengan Menggunakan Kotoran
Binatang
as ' y a s y, T^ 0
f -W I * ' 'T f ^ ^ f • I I ^ T , dq3* * "'T
Keterangan Hadits:
FATHUL BAARI — 75
Demikianlah yang menjadi pendapat Imam Syafi'i, Imam Ahmad
serta para pakar hadits, dimana mereka mensyaratkan jumlah batu yang
dipakai untuk beristinja' tidak kurang dari tiga, di samping harus tetap
diperhatikan kebersihannya. Apabila menggunakan tiga batu belum juga
bersih, maka ditambahkan lebih dari tiga batu hingga benar-benar bersih.
Hendaknya batu yang digunakan jumlahnya ganjil, berdasarkan sabda
beliau SAW, "Barangsiapa yang istinja' dengan menggunakan batu
hendaklah ia mengganjilkannya" Namun hal ini tidaklah wajib
berdasarkan riwayat yang dinukil oleh Abu Dawud dimana disebutkan
tambahan, "Barangsiapa yang tidak meng-ganjilkannya maka tidak
mengapa." Dengan demikian, riwayat-riwayat dalam persoalan ini dapat
dikompromikan satu sama lain.
76 — FATHUL BAARI
Para perawi hadits ini tergolong tsiqah (terpercaya) lagi (sabit
(teliti). Hadits yang diriwayatkan dari Ma'mar ini dinukil pula oleh Ad-
Daruquthni melalui jalur Abu Syu'bah Al Wasithi, namun ia dikenal
lemah dalam bidang periwayatan. Selanjutnya, yang meriwayatkan hadits
ini dari Abu Ishaq selain Ma'mar dan Abu Syu'bah, juga diriwayatkan
oleh Ammar bin Raziq yang dikenal sebagai salah seorang perawi yang
tsiqah (terpercaya) di antara para perawi yang menerima hadits dari Abu
Ishaq.
Lalu ada yang mengatakan bahwa Abu Ishaq tidak mendengar
hadits ini secara langsung dari Al Qamah, akan tetapi Al Karabisi justeru
telah menegaskan bahwa hadits ini telah didengar langsung oleh Abu
Ishaq dari Al Qamah. Kalaupun hadits ini mursal (yakni Abu Ishaq tidak
menyebutkan perawi antara ia dengan Al Qamah) tetap menjadi hujjah,
sebab ulama yang tidak mempersyaratkan jumlah batu tidak boleh kurang
daripada tiga (yakni golongan Hanafi- Penerj.) berpandangan bahwa
hadits mursal dapat dijadikan sebagai hujjah (landasan dalam
menetapkan hukum). Sebagaimana kami juga berhujjah dengan hadits
mursal apabila ada faktor-faktor tertentu yang menguatkannya.
FATHUL BAARI — 77
shahih, maka ia merupakan salah satu alasan cukup kuat bagi golongan
yang mensyaratkan jumlah batu tidak boleh kurang dari tiga buah. Sebab
dengan demikian, beliau SAW telah beristinja' untuk dua tempat
(kemaluan depan dan belakang) hanya menggunakan tiga batu. Artinya,
beliau SAW menggunakan batu yang kurang dari tiga buah pada kedua
tempat keluar najis tersebut (kemaluan depan dan dubur). Demikian
perkataan Abu Hasan Al Qishar.
i—j i j—'t- U—Ljl j—J ^—jbl^i J l i j (Ibrahim bin Yusuf berkata dari
bapaknya) yakni Yusuf bin Ishaq bin Abu Ishaq As-Subai'i dari Abu
Ishaq, yakni kakek Ibrahim bin Yusuf. Beliau berkata, "Telah
menceritakan kepadaku Abdurrahman, yakni Ibnu Al Aswad bin Yazid."
Sama seperti silsilah yang disebutkan pada permulaan hadits.
Maksud Imam Bukhari menyebutkan catatan tambahan ini adalah
untuk membantah mereka yang mengatakan bahwa Abu Ishaq melakukan
tadlis (penyamaran riwayat) terhadap hadits ini. Anggapan seperti ini
telah dinukil dari Sulaiman Asy-Syadzakuni, dimana dia berkata, "Tidak
didengar dalam perkara tadlis (penyamaran riwayat) yang lebih
78 — FATHUL BAARI
tersembunyi daripada periwayatan hadits ini." Lalu Al Isma'ili
mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan Abu Ishaq telah mendengar
hadits ini langsung dari Abdurrahman, dimana Yahya Al Qaththan telah
meriwayatkan hadits tersebut melalui Zuhair, yaitu "Al Cjaththan tidak
mau meriwayatkan hadits Zuhair yang ia terima dari Abu Ishaq kecuali
hadits-hadits yang didengarkan secara langsung oleh Abu Ishaq dari
guru-gurunya." Seakan-akan Al Isma'ili mengetahui hal itu dari hasil
penelitiannya yang mendalam terhadap sikap Al Cjaththan dalam
meriwayatkan hadits, atau bisa juga karena pernyataan langsung dari Al
Cjaththan sendiri. Maka dengan alasan ini beliau (Al Isma'ili) menafikan
adanya tadlis dalam periwayatan hadits yang dimaksud.
FATHUL BAARI — 79
>ekali. Kenyataan ini membuktikan bahwa Zuhair mengetahui kedua jalur
periwayatan yang ada, namun beliau lebih menguatkan riwayat Abu
Ishaq dari Abdurrahman, wallahu a 'lam.
j * s J*'y J l
\HJ CJ- ^ c/-
158. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, bahwasanya Nabi
SAW pernah berwudhu dua kali-dua kali.
Keterangan Hadits:
"Berwudhu dua kali-dua kali", maksudnya membasuh setiap
anggota wudhu dua kali. Hadits ini adalah ringkasan dari hadits masyhur
yang membahas tentang sifat wudhu Nabi SAW sebagaimana akan
disebutkan dari riwayat Malik dan lainnya. Akan tetapi, tidak disebutkan
dalam riwayat tersebut membasuh dua kali selain pada saat membasuh
kedua tangan sampai siku. Hanya saja tidak dapat diingkari bahwa An-
Nasa'i telah meriwayatkan Hadits Abdullah bin Zaid ini dari jalur Sufyan
bin Uyainah, dimana disebutkan tentang membasuh tangan dan kaki dua
80 — FATHUL BAARI
kali, menyapu kepala serta membasuh muka tiga kali. Akan tetapi hadits
yang kami sebutkan ini perlu dianalisa kembali, dan itu akan kami
paparkan pada pembahasan selanjutnya, insya Allah. Maka atas dasar ini,
tepatnya hadits Zaid di atas disebutkan di bawah bab yang memberi
keterangan tentang membasuh sebagian anggota wudhu satu kali,
sebagian lagi dua kali dan sebagian yang lain tiga kali.
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi serta
dishahihkan oleh Ibnu Hibban dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi
SAW berwudhu dua kali-dua kali. Ini menjadi pendukung terkuat bagi
riwayat Fulaih seperti disebutkan oleh Imam Bukhari dalam bab ini.
Dengan demikian ada kemungkinan hadits Zaid dalam bab ini merupakan
hadits tersendiri selain hadits Malik, dimana keduanya memiliki jalur
periwayatan yang berbeda, wallahu a 'lam.
FATHUL BAARI — 81
tangannya seraya membasuh kedua telapak tangannya tiga kali.
Kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana lalu
berkumur-kumur seraya memasukkan air ke hidung serta
mengeluarkannya, setelah itu ia membasuh mukanya tiga kali dan
kedua tangannya hingga siku tiga kali. Selanjutnya ia menyapu
kepalanya lalu membasuh kakinya tiga kali hingga ke mata kaki.
Kemudian ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa
yang berwudhu sebagaimana wudhuku ini lalu ia shalat dua rakaat
tanpa menyibukkan dirinya (dengan perkara-perkara lain) dalam
melakukan dua rakaat tersebut, maka akan diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu.
Keterangan Hadits:
"Berwudhu tiga kali-tiga kali", maksudnya membasuh setiap
anggota wudhu tiga kali.
82 — FATHUL BAARI
semua riwayat itu tidak berbeda dalam menyebutkan kata Ja—'<UOJ>
(berkumur-kumur).
' ' ' s *
FATHUL BAARI — 83
riwayat Muslim yang menyatakan Nabi SAW berwudhu tiga kali-tiga
kali adalah berlaku untuk sebagian besar anggota dan bukan untuk
keseluruhannya, atau berwudhu tiga kali-tiga kali tersebut hanya berlaku
pada anggota wudhu yang dibasuh dan bukan pada yang diusap."
Abu Ubaid berlebihan dalam hal ini, dia berkata, "Kami tidak
mengenal seorang pun di kalangan salaf yang berpendapat disukainya
menyapu kepala tiga kali kecuali Ibrahim At-Taimi." Namun apa yang
dikatakan oleh beliau masih perlu disangsikan karena pendapat
disukainya menyapu kepala tiga kali telah dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah
dan Ibnu Mundzir dari Anas dan Atha' serta lainnya. Hadits Utsman telah
diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui dua jalur periwayatan yang mana
salah satunya dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainnya, yang
menyebutkan menyapu kepala tiga kali. Sementara tambahan keterangan
yang dinukil oleh para perawi yang dapat dipercaya (tsiqah) dapat
diterima (dijadikan hujjah). (3)
berkata, "Di sini beliau tidak mengatakan, U—a ^— \yj> j Ji? (Seperti
Akan tetapi riwayat yang dimaksud oleh penulis (Ibnu Hajar) tergolong riwayat5)Wz,
maksudnya ia merupakan riwayat orang-orang yang tsiqah (terpercaya) namun
menyelisihi riwayat orang-orang yang lebih tsiqah daripada mereka. Riwayat yang syadz
tidak dapat dijadikan hujjah, sebagaimana perkataan Abu Dawud yang telah disebutkan
sebelumnya.
84 — FATHUL BAARI
wudhuku ini), karena hakikat persamaan yang sesungguhnya tidak dapat
dilakukan oleh selainnya."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Akan tetapi lafazh seperti itu telah
disebutkan dalam riwayat yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam
pembahasan Ar-Riqaq (kelembutan hati) melalui riwayat Mu'adz bin
Abdurrahman dari Humran dari Utsman. Adapun lafazhnya, j i ? &sj3 °J>
*^_je>jJi \ jj> (Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhu ini), lalu pada bab
"puasa" beliau menyebutkan hadits Ma'mar dengan lafazh, J>,j~ej '&>y 'J
UJ* (Barangsiapa berwudhu dengan wudhuku ini). Dalam riwayat Muslim
melalui jalur periwayatan Zaid bin Aslam dari Humran dengan lafazh,
f.°j—\j—a O»}; (Berwudhu seperti wudhuku ini). Dengan demikian
FATHUL BAARI — 85
Al Qadhi Iyadh menukil perkataan sebagian ulama, bahwa yang
dimaksud dengan mereka yang tidak menyibukkan diri dengan perkara
selain shalat adalah mereka yang tidak terbetik sedikit pun sesuatu dalam
hati dan pikirannya. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang dikutip
oleh Ibnu Mubarak dalam kitab Zuhud dimana dikatakan, "Tidak terbetik
sesuatu pada saat melakukan kedua rakaat tersebut." Namun pendapat ini
dibantah oleh An-Nawawi dengan perkataannya, "Yang benar,
sesungguhnya keutamaan seperti tersebut dalam hadits itu dapat dicapai
oleh mereka yang shalat disertai bisikan-bisikan jiwa yang tidak
membuatnya larut." Meskipun demikian, tetap diakui bahwa mereka
yang shalat tanpa terbetik sedikit pun gangguan dalam hati dan pikiran
memiliki derajat lebih utama.
86 — FATHUL BAARI
sedang belajar. Di samping itu, terdapat pula keterangan membasuh
anggota wudhu secara berurutan sebagaimana urutan yang disebutkan
dalam hadits, karena setiap anggota wudhu tersebut dipisahkan dengan
kata p yang berarti "kemudian" atau "setelah itu".
FATHUL BAARI — 87
dengan memperbaiki wudhunya lalu melakukan shalat melainkan
akan diampuni dosa yang ada antara wudhu dengan shalat sampai
ia melaksanakan shalat. "'
Urwah berkata, "Ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT,
'Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yangjelas).'" (Qs. Al Baqarah
(2): 159)
Keterangan Hadits:
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, ^-Ja^Ji olji-oJl SAA J^OJJ (Lalu
ia melakukan shalat lima waktu ini).
88 — FATHUL BAARI
Hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Imam Malik dalam kitab Al
Muwaththa' dari Hisyam bin Urwah, namun tidak disebutkan ayat yang
dimaksud. Lalu ia berkata atas dasar pandangannya sendiri, dan saya
melihat bahwa yang dia maksud adalah firman Allah,
"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-
perbuatan yang buruk" (Qs. Huud (11): 114) Akan tetapi apa yang
dikatakan dengan pasti (tanpa ragu-ragu) oleh Urwah dan ia adalah
perawi hadits tersebut, lebih pantas untuk diterima, wallahu a 'lam.
WHGWMMiUt
FATHUL BAARI — 89
25. Memasukkan Air Ke dalam Hidung Saat Wudhu
Hal ini disebutkan oleh Utsman, Abdullah bin Zaid dan Ibnu Abbas
radhiyallahu "anhum dari Nabi SAW.
Keterangan Hadits:
"Memasukkan air ke hidung", maksudnya menghirup air ke hidung
saat berwudhu, baik menggunakan tangan atau tidak. Namun telah
dinukil dari Imam Malik mengenai keterangan tidak disukainya me-
masukkan air ke hidung tanpa menggunakan tangan, sebab hal itu
menurut beliau menyerupai hewan. Akan tetapi pandangan yang masyhur
dari beliau adalah, bahwa perbuatan itu bukan suatu hal yang tidak
disukai. Apabila seseorang mengeluarkan air dari hidung dengan tangan,
maka sangat disukai apabila menggunakan tangan kiri. Keterangan ini
dijadikan judul tersendiri oleh Imam An-Nasa'i dengan menyebutkan
hadits Ali RA.
90 — FATHUL BAARI
dan Abu Dawud serta Hakim dari Nabi SAW, iftU ji js=*i^' jlf^ ^jr*-»'
(Masukkanlah air ke hidung hingga ke bagian dalamnya, dua atau tiga
kali). Dalam riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi disebutkan, LJi>y lij
FATHUL BAARI — 91
Sunan Abu Dawud dengan silsilah periwayatan yang shahih. Lalu
disebutkan oleh Ibnu Mundzir, bahwa Imam Syafi'i tidak mengeluarkan
suatu hujjah (alasan) untuk mendukung pendapatnya yang tidak
mewajibkan memasukkan air ke dalam hidung -meskipun perintah
tentang itu sangat akurat- karena beliau tidak mendapati adanya
perbedaan di antara ulama bahwa orang yang meninggalkannya tidak
perlu mengulangi wudhu. Ini merupakan alasan yang sangat kuat, karena
hal itu tidak dikenal dari kalangan sahabat maupun tabi'in kecuali Atha'.
Namun telah terbukti bahwa Atha' telah meralat pendapat tentang
wajibnya mengulang wudhu bagi yang tidak melakukan istinsyaq,
sebagaimana disebutkan secara keseluruhan oleh Ibnu Mundzir.
92 — FATHUL BAARI
Pengertian hadits dengan makna yang kedua ini diriwayatkan oleh Ibnu
Habib dari Ibnu Umar namun penukilan dari beliau tidak akurat. Lalu
keterangan yang sama dinukil pula oleh Ibnu Abdil Barr dari Malik,
namun telah diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya
keterangan yang menyalahi apa yang dinukil Ibnu Abdil Barr. Kemudian
Abdurrazzaq menukil riwayat dari Ma'mar yang sesuai dengan
pandangan jumhur (yakni memahami hadits tersebut dengan makna yang
pertama). Adapun pembahasan tentang makna perkataan beliau,
"Hendaklah ia menggantikannya" telah diterangkan dalam membahas
hadits Ibnu Mas'ud.
t^y cy r 5
^ bij yy^ 3
y ^ - 1
csi J^, r' ^ ^
s s } s 3* s y / 0 s s s } 9 O y
...
FATHUL BAARI — 93
hendaklah ia mengganjilkannya. Apabila salah seorang di antara
kamu bangun dari tidurnya hendaklah ia mencuci kedua tangannya
terlebih dahulu sebelum memasukkannya ke dalam tempat wudhu,
karena sesungguhnya salah seorang di antara kamu tidak tahu
dimana tangannya waktu dia tidur."
Keterangan Hadits:
94 — FATHUL BAARI
sebagai hadits tersendiri. Demikian pula yang terdapat dalam kitab
Muwaththa' Yahya bin Bukair serta selain beliau, sebagaimana Al
Isma'ili membedakan antara kedua hadits itu melalui riwayat Imam
Malik. Sementara Imam Muslim meriwayatkan bagian pertama hadits ini
melalui Ibnu Uyainah dari Abu Zinad, sedangkan bagian kedua beliau
riwayatkan melalui Al Mughirah bin Abdurrahman dari Abu Zinad. Atas
dasar ini maka seakan-akan Imam Bukhari berpandangan bolehnya
mengumpulkan dua hadits yang memiliki satu silsilah periwayatan,
sebagaimana beliau membolehkan untuk memisahkan satu hadits bila
memuat dua hukum yang berbeda.
FATHUL BAARI — 95
Kemudian indikasi perintah ini menurut jumhur (mayoritas) ulama
adalah sunah. Sementara Imam Ahmad memahami indikasi perintah
tersebut sebagai suatu kewajiban bagi mereka yang bangun tidur malam
tanpa ada sangkut pautnya dengan mereka yang bangun tidur siang.
Namun dalam salah satu riwayat dari beliau menyatakan, bahwa
perbuatan itu disukai pula bagi mereka yang bangun tidur siang.
96 — FATHUL BAARI
selain najis yang nyata menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah sesuatu
yang disukai.
Dalam riwayat Hammam dari Abu Hurairah seperti dikutip oleh
Imam Ahmad disebutkan, Uji—~«J ije'^ J »x>_ '^OJ *>l3 (Janganlah ia
memasukkan tangannya ke dalam tempat wudhu hingga ia mencucinya).
Indikasi larangan dalam hadits ini bernilai tanzih (kebersihan) seperti
telah kami sebutkan. Jika seseorang melakukannya maka hal itu disukai,
dan bila tidak maka hukumnya menjadi makruh (tidak disukai). Imam
Syafi'i mengatakan, bahwa makruhnya seseorang untuk memasukkan
tangan ke dalam bejana saat bangun tidur tidaklah hilang hingga ia
mencuci tangannya sebanyak tiga kali.
4—\Je >i ^—i (Ke dalam tempat wudhu) maksudnya bejana yang
disiapkan sebagai tempat wudhu. Dalam riwayat Al Kasymihani
FATHUL BAARI — 97
disebutkan, «-t—'V 1/—?
1
(Ke dalam bejana), lafazh ini juga merupakan
riwayat Imam Muslim melalui jalur periwayatan selain yang tercantum
pada riwayat Imam Bukhari. Sementara riwayat Ibnu Khuzaimah
menyebutkan, /—\y^5 j ' *—^-J (Ke dalam bejananya atau tempat
wudhunya), yakni ada keraguan dalam menentukannya. Makna zhahir
riwayat ini mengindikasikan bahwa yang demikian itu berlaku khusus
bagi bejana tempat wudhu, namun diikutkan pula padanya hukum bejana
tempat mandi, sebab bejana tempat mandi adalah bejana tempat wudhu
juga selain juga digunakan untuk keperluan lainnya. Lalu dianalogikan
pula dengannya bejana-bejana yang lainnya, akan tetapi untuk bejana-
bejana yang lain ini hukumnya hanya disukai bila dilakukan dan tidak
makruh bila ditinggalkan, sebab tidak ada keterangan yang melarang
untuk memasukkan tangan sebelum dicuci ke dalam bejana-bejana ini,
wallahu a 'lam.
98 — FATHUL BAARI
kesucian tangannya meskipun dalam keadaan terjaga (tidak bangun
tidur). Makna implisit lafazh ini menyatakan bahwa orang yang
mengetahui dimana tangannya berada pada waktu ia tidur malam, seperti
orang yang menggulung tangannya dengan kain lalu bangun sementara
tangannya masih tetap terbungkus, maka tidak makruh baginya
memasukkan tangan ke dalam air tanpa mencuci terlebih dahulu. Hanya
saja tetap disukai baginya untuk mencucinya sebelum dimasukkan ke
dalam bejana menurut pendapat yang lebih utama, sebagaimana halnya
orang yang dalam kondisi terjaga.
Bagi mereka yang mengatakan bahwa Ulat (sebab) larangan dalam
hadits ini adalah untuk tujuan ibadah -seperti Imam Malik- maka ia tidak
membedakan antara orang yang ragu akan kesucian tangannya dengan
orang yang yakin.
Hadits ini dijadikan pula sebagai dalil untuk membedakan antara
air yang kemasukan najis dan najis yang masuk ke dalam air, dimana
masalah ini cukup jelas dalam hadits. Di samping itu ia menjadi dalil
bahwa najis sangat mempengaruhi (kesucian) air, dan ini merupakan
pendapat yang benar. Akan tetapi keberadaan najis dapat merubah status
air menjadi najis meski tidak berubah salah satu sifatnya adalah pendapat
yang masih perlu ditinjau kembali. Sebab, pengaruh tersebut masih
bersifat umum tidak khusus karena najis. Tidak tertutup kemungkinan,
bahwa hukum makruh dengan sesuatu yang diyakini lebih keras daripada
sesuatu yang masih dalam dugaan, demikian yang dikatakan oleh Ibnu
Daqiq Al Id. Adapun maksud beliau adalah, tidak ada dalil qath 'l (pasti)
yang mendukung pendapat mereka bahwa air tidak berubah menjadi najis
kecuali salah satu sifatnya berubah.
FATHUL BAARI — 99
keringat tersebut pada tangan dan bukan pada tempat yang dipegang"
atau dikatakan, "Orang yang bangun tidur tidak menghendaki
mencelupkan tangannya ke dalam air kecuali jika diperintahkan untuk
melakukannya, berbeda dengan tangan dimana seseorang sangat butuh
untuk mencelupkannya ke dalam air."
Jawaban kedua adalah yang terkuat di antara dua jawaban yang
ada. Adapun dalil bahwa hal itu tidak khusus bagi tempat keluarnya najis
adalah riwayat yang dinukil oleh Ibnu Khuzaimah serta selain beliau
melalui jalur periwayatan Muhammad bin Al Walid dari Muhammad bin
Ja'far dari Syu'bah dari Khalid Al Hadza dari Abdullah bin Syaqiq dari
Abu Hurairah, yang mana disebutkan pada bagian akhirnya, "dimana
tangannya bermalam di bagian badannya". Sumber riwayat ini sendiri
terdapat dalam Shahih Muslim, tanpa lafazh "pada badannya".
1 0 0 — FATHUL BAARI
Sebagian ulama telah menyimpulkan beberapa faidah lain dari
hadits tersebut, di antaranya: Pertama, tempat keluarnya najis mendapat-
kan keringanan dalam kebolehan melakukan shalat meski bekas najis di
tempat keluarnya masih ada, ini dikatakan oleh Al Khaththabi. Kedua,
kewajiban berwudhu ketika bangun tidur, ini dikatakan oleh Ibnu Abdil
Barr. Ketiga, sebagai dalil yang menguatkan pandangan mereka yang
mewajibkan wudhu karena menyentuh kemaluan, ini dinukil oleh Abu
Awanah dalam Shahih-nya. dari Ibnu Uyainah. Keempat, air yang sedikit
tidak berubah menjadi air musta 'mal (bekas dipakai) apabila seorang
yang berwudhu memasukkan tangan ke dalamnya, demikian dikatakan
oleh Al Khaththabi sebagai salah seorang pemuka ulama Syafi'iyah.
Keterangan hadits:
\—DJrji Js- £~LVJ (Seraya menyapu kaki-kaki kami). Dari lafazh ini
Imam Bukhari berkesimpulan bahwa yang mendorong Nabi SAW
mengingkari para sahabat adalah karena perbuatan mereka yang
mengusap kaki, dan bukan karena mereka hanya membasuh sebagian
kaki saja. Oleh sebab itu beliau memberi judul bab ini, "Dan tidak
mengusap keduanya". Kesimpulan beliau ini merupakan makna zhahir
dari riwayat yang dinukil oleh beliau dan Imam Muslim. Sementara
dalam riwayat yang hanya dinukil oleh Imam Muslim disebutkan, "Maka
kami menyusul mereka sementara mata kaki mereka nampak kering
belum tersentuh air". Lafazh ini dijadikan landasan oleh mereka yang
membolehkan mengusap kaki tanpa dibasuh. Adapun adanya penging-
karan disebabkan mereka tidak mengusapnya secara merata. Akan tetapi
1 0 2 — FATHUL BAARI
riwayat Imam Bukhari dan Muslim lebih kuat, sehingga hadits yang
hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim maknanya perlu disesuaikan
dengan riwayat di atas. Sehingga kemungkinan yang dimaksud dengan
perkataannya, "Belum disentuh air" artinya tidak meratakan air saat
membasuh kaki. Pengertian ini ditempuh untuk menyatukan antara dua
riwayat yang ada.
Keterangan yang lebih tegas dari apa yang kami katakan, adalah
riwayat yang juga dinukil oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa
Nabi SAW melihat seorang laki-laki yang belum membasahi mata
kakinya, maka beliau mengatakan seperti sabda di atas. Di samping itu,
mereka yang mengatakan bahwa kaki cukup hanya diusap, tidak
memasukkan mata kaki sebagai bagian yang wajib untuk diusap.
Sementara hadits ini merupakan bantahan terhadap mereka.
Ath-Thahawi berkata, "Oleh karena beliau memerintahkan para
sahabatnya untuk meratakan air saat membasuh kaki hingga tidak tersisa
sedikitpun yang belum tersentuh air, maka hal itu menunjukkan wajibnya
membasuh kaki saat wudhu." Namun pandangan ini dikomentari oleh
Ibnu Munir dengan perkataannya, "Sesungguhnya perintah untuk
meratakan air tidaklah berarti harus dibasuh. Sebab kepala juga diusap
secara merata, padahal ia tidak wajib dibasuh."
5PSU (Bagi tumit-tumit). Yakni tumit yang Nabi lihat pada saat
itu, lalu disamakan pula hukumnya bagi tumit yang keadaannya seperti
itu. Al Baghawi berkata, "Wail bagi para pemilik tumit yang tidak
membasuhnya dengan sempurna." Ada pula yang mengatakan bahwa
siksaan itu hanya khusus pada tumit yang tidak dibasuh dengan
sempurna.
" y y - y ?
1 0 4 — FATHUL BAARI
Masalah ini telah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Abdullah bin
Zaid radhiyallahu 'anhum dari Nabi SAW.
& f / S g
J — P Jl ^
y y &y y y y 0 y y fiy y
P ^ cjX^
L ! b
# y y y y
' • ' i ' ' • • ' ' v r °" l ' " " - l ' ' ' " ' f * " . ' -
oJj 'j» <&l J I P J (dan Abdullah bin Zaid) Haditnya akan disebutkan.
1 0 6 — FATHUL BAARI
sendiri, karena dikhawatirkan akan berubah menjadi angkuh dan binasa
karenanya."
% ^ y a s s s s y y y , y y,
' 1
y y y 3 y s» yy O y y y 9 0 y }y
Keterangan Hadits:
Nukilan dari Ibnu Sirin ini disebutkan beserta silsilah periwayatan-
nya oleh Imam Bukhari dalam kitabnya At-Tarikh, melalui riwayat Musa
bin Isma'il dari Mahdi bin Maimun dari Ibnu Sirin. Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Abi Syaibah dari Husyaim dari Khalid dari Ibnu Sirin bahwa
Nabi ketika berwudhu, beliau menggerakkan cincinnya. Kedua silsilah
periwayatan ini adalah shahih. Ada kemungkinan cincin beliau cukup
longgar sehingga air sampai ke kulit bagian bawahnya hanya dengan
menggesernya. Kemudian dalam riwayat Ibnu Majah dari riwayat Rafi'
dari Nabi SAW disebutkan bahwa beliau melakukan perbuatan seperti
itu, namun silsilah periwayatannya lemah.
1 0 8 — FATHUL BAARI
sebab terkadang tempat tersebut tidak tersentuh oleh air apabila
cincinnya agak sempit. Wallahu a 'lam.
0 Si vi S Jji j ^ ^1 | J J i i o i r ^ i £f :AJJi
* " y 0
& s y yy ^ y J ^ J ^ yy
( _ 3
r Jllil AJJI 1} y y j O-jfj ^Jl* A ^ l J l J l i l i l
yy *' f O f y sy Oy o y t J yy > , y
Keterangan Hadits:
"Membasuh kedua kaki sambil memakai sandal". Tidak ada dalam
hadits keterangan tegas mengenai hal ini, akan tetapi keterangan seperti
itu hanya diambil dari kalimat 1$—J (Berwudhu dengan memakai
sandal itu) sebab hadits tersebut memakai kata l$J. Jika yang dimaksud
(Dan tidak mengusap bagian atas sandal), yakni tidak cukup hanya
dengan mengusap keduanya sebagaimana khuf (sepatu). Imam Bukhari
mengisyaratkan dengan perkataannya ini akan apa yang diriwayatkan
dari Ali serta selain beliau di antara sahabat, bahwa mereka mengusap
sandal saat berwudhu lalu melaksanakan shalat. Diri .vayatkan pula
sehubungan dengan itu sebuah hadits yang langsung disandarkan kepada
Nabi SAW, sebagaimana dikutip oleh Abu Dawud dan lainnya dari hadits
Al Mughirah bin Syu'bah, akan tetapi hadits ini digolongkan sebagai
hadits lemah oleh Abdurrahman bin Mahdi serta para imam yang lain.
Imam Ath-Thahawi mendasari argumentasi yang menyatakan
bahwa tidak cukup bagi seseorang sekedar mengusap kedua sandal
dengan adanya ijma" (kesepakatan) jika sepatu itu sobek dan kedua kaki
menjadi kelihatan, maka saat itu membasuh kaki tidak dianggap cukup
bila hanya diusap atasnya saja. Beliau mengatakan, "Demikian pula
1 1 0 — FATHUL BAARI
halnya dengan kedua sandal, karena keduanya tidak dapat menggantikan
kedudukan kedua kaki." Demikian nukilan dari Imam Ath-Thahawi. Ini
adalah cara penetapan dalil yang benar, hanya saja pernyataan beliau
mengenai adanya ijma dalam persoalan itu perlu dibahas lebih jauh.
Selanjutnya, di sini bukanlah tempat untuk membahas masalah
membasuh kaki atau mengusapnya, namun kami akan menyebutkannya
secara singkat. Mereka yang berpendapat bahwa kaki cukup diusap,
adalah berdasarkan firman Allah, ^SJJrj'j (dan kaki kamu sekalian) yang
menurut mereka kalimat ini diathafkan (dianeksasikan) dengan kalimat
sebelumnya, yakni firman-Nya, '^-r'jjy. ij*—J>lj (Dan usaplah kepala-
kepala kamu). Sementara satu kata yang digandengkan dengan kata
sebelumnya, maka hukum keduanya adalah sama. Maka jika kepala
diusap, kaki pun harus diusap.
Makna seperti ini telah dipegang oleh sejumlah sahabat dan tabi'in.
Pendapat yang menganggap mengusap kaki telah mencukupi dinukil dari
Ibnu Abbas, namun riwayatnya lemah. Sementara riwayat yang akurat
berasal dari beliau justeru sebaliknya. Pendapat ini diriwayatkan pula dari
Ikrimah, Sya'bi serta Qatadah yang merupakan pandangan madzhab
Syi'ah.
Sementara Hasan Al Bashri berkata, "Wajib bagi kaki untuk
dibasuh atau diusap." Sementara golongan ahli zhahir mengatakan wajib
untuk menyatukan antara keduanya (membasuh dan mengusap).
Adapun hujjah (landasan argumentasi) jumhur ulama adalah
hadits-hadits shahih yang diriwayatkan tentang sifat wudhu Nabi SAW,
karena sesungguhnya hal itu merupakan penjelasan maksud ayat. Lalu
mereka menjawab argumentasi lawan (orang yang mengatakan wajibnya
mengusap) sehubungan dengan ayat di atas dengan berbagai jawaban, di
antaranya bahwa kata tersebut tidak dibaca, J » ^ r j 5 akan tetapi ia dibaca
dimana kata ^—JaJ'j dibaca fathah. Ada pula yang mengatakan bahwa
meski ayat itu bermakna "mengusap", namun maksudnya adalah
mengusap sepatu bukan mengusap kaki.
Abu Bakar bin Al Arabi telah membahas persoalan ini dengan
baik, dan secara ringkasnya dapat dikatakan sebagai berikut, "Yang jelas,
antara kedua bacaan itu, yakni ^ _ i j J r d a n jU^rji terdapat perbedaan
yang nyata. Sementara telah menjadi ketentuan jika terdapat dua dalil
yang tampak kontradiksi, apabila memungkinkan untuk diamalkan
sekaligus maka cara ini wajib ditempuh. Sedangkan jika tidak mungkin
demikian, maka kedua dalil itu diusahakan untuk diamalkan semaksimal
mungkin. Adapun dalam persoalan yang sedang dibahas kedua dalil yang
nampak kontradiksi tidak mungkin untuk diamalkan secara bersamaan,
sebab mengusap dan membasuh tidak dapat dipraktekkan sekaligus pada
satu kesempatan terhadap anggota wudhu yang sama karena hal itu
berakibat terulangnya mengusap, dimana diketahui bahwa membasuh
satu anggota wudhu juga telah mencakup mengusap anggota wudhu
tersebut. Padahal, suatu perbuatan yang diperintahkan secara mutlak
(tanpa dibatasi oleh jumlah tertentu) tidak berkonsekuensi pada
terulangnya perbuatan yang dimaksud. Akhirnya, tidak ada jalan yang
dapat ditempuh kecuali mempraktekkan kedua perbuatan itu (yakni
membasuh dan mengusap) pada dua kondisi yang berbeda (maksudnya
sekali waktu dibasuh dan sekali waktu diusap- Penerj). Hal ini ditempuh
untuk memadukan dua bacaan yang berbeda terhadap ayat di atas,
sekaligus mengamalkan secara maksimal kedua dalil yang ada".
Adapula ulama yang mengatakan bahwa membasuh kaki sengaja
dikaitkan dengan anggota yang diusap (kepala), sebab membasuh kaki
merupakan tempat dimana seseorang menggunakan air yang banyak.
Sehingga untuk mencegah pemborosan air, maka membasuh kaki
dikaitkan dengan mengusap kepala, tapi bukan berarti kaki harus diusap.
Bukti yang mendukung pendapat ini adalah firman Allah dalam surah Al
Maa'idah, j — l ^ ^—!j (Hingga mata kaki). Karena menyapu anggota
1
wudhu merupakan satu bentuk keringanan (rukhsah), oleh sebab itu tidak
1 1 2 — FATHUL BAARI
boleh ditetapkan batasan tertentu. Di samping itu, sesungguhnya
menyapu juga dipergunakan untuk menamakan membasuh yang ringan,
seperti disebutkan oleh Abu Zaid -sang ahli bahasa- dan Ibnu Qutaibah
serta selain keduanya.
Ubaidillah bin Juraij adalah Ubaidillah bin Juraij Al Madani,
mantan budak bani Taim. Antara beliau dengan Ibnu Juraij Al Faqih Al
Makki (mantan budak bani Umayah) tidak mempunyai hubungan nasab,
sebab Ibnu Juraij Al Faqih namanya adalah Abdul Malik bin Abdul Aziz
bin Al Juraij. Terkadang seseorang menyangka bahwa Ibnu Juraij yang
meriwayatkan hadits di atas adalah paman Ibnu Juraij Al Faqih, akan
tetapi yang sebenarnya tidaklah demikian.
Ada pula yang mengatakan bahwa c.L-'.Ji adalah nama kulit sapi yang
telah disamak. Pendapat lain mengatakan bahwa A^ILJi berasal dari kata
1 1 4 — FATHUL BAARI
4 U-Jj 4jJcJ ^J) J<J~>\ ^-H* ^
0
«f^ v^Jli
O , ^ > s
^ a
jj4^j
Keterangan Hadits:
1 1 6 — FATHUL BAARI
menyisir karena perbuatan ini berhubungan dengan kepala dan beliau
menyebutkan bersuci karena perbuatan ini merupakan kunci ibadah.
Dengan demikian, seakan-akan beliau telah menyebutkan semua anggota
badan." Aku katakan, "Dalam riwayat Muslim lafazh "Dalam segala
urusannya secara keseluruhan' disebutkan lebih dahulu daripada kata
'saat memakai sandal... dst'. Inilah yang menjadi landasan penjelasan
Ath-Thaibi."
Semua pembahasan yang kami kemukakan di atas berdasarkan
makna lahir dari konteks kalimat hadits yang disebutkan di tempat ini.
Akan tetapi telah dijelaskan oleh Imam Bukhari pada kitab Ath 'imah
(tentang makanan) melalui riwayat Abdullah bin Mubarak dari Syu'bah,
bahwa Asy'ats menceritakan hadits ini kepada Syu'bah dimana beliau
terkadang hanya menyebutkan lafazh "Dalam segala urusannya secara
keseluruhan", dan terkadang pula hanya menyebutkan lafazh "Saat
memakai sandal....dan seterusnya."
Al Isma'ili menambahkan bahwa Aisyah RA terkadang mencerita-
kan hadits ini secara global, dan terkadang pula menceritakannya secara
terperinci. Atas dasar ini, timbul kesan bahwa yang menjadi dasar
riwayat ini adalah lafazh "Saat memakai sandal, menyisir rambut dan
bersuci". Hal ini diperkuat oleh riwayat Imam Muslim dari jalur Abu Al
Ahwash serta Ibnu Majah dari jalur periwayatan Amru bin Ubaid, yang
mana keduanya (Abu Al Ahwash dan Amru bin Ubaid) meriwayatkan
hadits ini dari Asy'ats. Dalam riwayat ini, lafazh *—IT 4j& ji (Dalam
segala urusannya secara keseluruhan) tidak dicantumkan. Sedangkan
riwayat yang hanya menyebutkan lafazh tersebut, adalah riwayat yang
dinukil dengan makna (riwayat bil ma 'na).
Hadits ini merupakan keterangan yang menjelaskan disukainya
memulai rambut kepala bagian kanan saat menyisir, mandi maupun
mencukur. Tidak boleh dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan ini masuk
kategori menghilangkan sesuatu, sehingga harus dimulai dengan bagian
kiri. Bahkan, semua perbuatan tersebut termasuk ibadah dan berhias.
Pada pembahasan selanjutnya akan dinukil riwayat yang memberi
keterangan untuk memulai bagian kanan saat mencukur rambut.
Hadits ini juga merupakan keterangan disukainya mendahulukan
kaki kanan saat memakai sandal, dan mendahulukan yang kiri saat
melepaskannya. Disukai pula untuk mendahulukan tangan kanan saat
1 1 8 — FATHUL BAARI
berurutan (tertib) merupakan pandangan para ahli fikih yang tujuh
(fuqaha sab'ah). Namun pada dasarnya pernyataan ini adalah suatu
kekeliruan dalam penyalinan naskah, sebab sesungguhnya yang
dimaksud adalah ahli fikih Syi'ah bukan sab'ah.
Pada perkataan Ar-Rafi'i terdapat keterangan yang mengindikasi-
kan bahwa Ahmad mewajibkan pula hal tersebut, akan tetapi pendapat
demikian tidak dikenal dari beliau. Bahkan Syaikh Al Muwaffiq (Ibnu
Qudamah) berkata dalam kitab Al Mughni, "Kami tidak mengetahui
adanya perbedaan mengenai tidak wajibnya perbuatan ini."
• *. ' i S
' i ' f o a ; <
. ^ ' , ° .1 ' i ' •» ° . i ' "
o — o o
•r*^' ^ J ^
169. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwasanya ia
berkata, 'Aku pernah melihat Rasulullah SAW, saat itu waktu
shalat ashar telah masuk, maka orang-orang mencari air wudhu
namun mereka tidak menemukannya. Lalu didatangkan kepada
Rasulullah SAW satu wadah, maka Rasulullah SAW meletakkan
tangannya di bejana tersebut seraya memerintahkan kepada
Keterangan Hadits:
1 2 0 — FATHUL BAARI
^_»yT xs. j» \j£e'J (Hingga orang yang paling akhir di antara
mereka pun berwudhu). Al Karmani berkata yang maksudnya adalah
sebagai berikut, "Orang-orang pun berwudhu hingga orang yang terakhir
di antara mereka. Artinya mereka semua berwudhu." Sementara Al Taimi
mengatakan, "Maksudnya bahwa orang-orang tersebut telah berwudhu
hingga sampailah giliran yang terakhir di antara mereka."
Dalam hadits di atas terdapat keterangan bahwa memberi bantuan
berupa air termasuk hal yang disyariatkan saat kondisi mendesak
(darurat), yakni bagi mereka yang memiliki kelebihan air wudhu. Hadits
ini juga merupakan dalil bahwa seseorang yang berwudhu bila menciduk
air dalam jumlah sedikit dengan tangannya tidak mengubah status air
tersebut menjadi musta'mal (bekas dipakai). Selanjutnya Imam Syafi'i
berpegang dengan hadits ini untuk menguatkan pendapatnya yang
mengatakan bahwa perintah mencuci tangan sebelum memasukkannya ke
dalam bejana hanyalah memiliki indikasi sunah bukan wajib.
Catatan penting:
Ibnu Baththal berkata, "Hadits ini -yakni tentang memancarnya air
dari jari-jari beliau- telah disaksikan oleh sekelompok besar sahabat
Nabi. Akan tetapi peristiwa tersebut tidaklah diriwayatkan kecuali
melalui Anas. Hal ini karena usia beliau yang panjang serta adanya usaha
manusia agar mendapatkan silsilah periwayatan yang lebih dekat kepada
sumber utamanya." Akan tetapi Qadhi Iyadh mengatakan, "Hadits ini
telah diriwayatkan oleh para perawi dalam jumlah yang banyak, dimana
mereka adalah para perawi tsiqah (terpercaya) yang telah menerima
hadits ini dari sejumlah sahabat. Bahkan, tidak dinukil satu berita bahwa
ada salah seorang di antara sahabat yang mengingkari peristiwa ini.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi jika hal ini termasuk salah satu di
antara mukjizat beliau SAW." Perhatikanlah, bagaimana perbedaan
antara kedua perkataan di atas, dan kami akan membahas secara
mendetail mengenai masalah ini pada bab Tanda-tanda Kenabian, insya
Allah.
9 ' '' , * ' l O' f' ' ' ' ' ' ' t ' " 1$ 1 11 * t »' * f '
Keterangan Hadits:
"Air..." Yakni bab tentang hukum air bekas mencuci rambut
manusia. Di sini Imam Bukhari memberi isyarat bahwa hukum air
tersebut adalah suci, karena rambut seseorang yang sedang mandi
terkadang jatuh ke dalam air yang ia pakai. Andaikata rambut itu najis,
niscaya air tersebut akan berubah menjadi najis setelah bersentuhan
dengan rambut. Sementara tidak dinukil bahwa Nabi SAW berusaha
untuk menghindari yang demikian itu saat beliau mandi (wajib). Bahkan,
menjadi kebiasaan beliau untuk menyela-nyela rambut kepala dengan
jari-jari tangannya sebagaimana yang akan diterangkan. Padahal
umumnya perbuatan ini dapat menyebabkan jatuhnya beberapa helai
rambut ke dalam tempat mandi, maka hal ini merupakan bukti
kesuciannya. Pendapat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
1 2 2 — FATHUL BAARI
Demikian pula pendapat Imam Syafi'i yang lama, dan beliau
sebutkan pula secara mendalam pendapatnya yang baru. Lalu pendapat
tersebut disetujui oleh sejumlah pengikutnya, yakni mereka yang
mengikuti cara yang ditempuh oleh ulama Khurasan. Di pihak lain
terdapat juga sejumlah ulama yang lebih memilih pendapat yang
mengatakan bahwa air yang kejatuhan rambut adalah najis hukumnya,
mereka ini mengikuti cara yang ditempuh oleh ulama Irak.
Imam Bukhari mendasari pendapatnya tentang sucinya air yang
kejatuhan rambut manusia dengan hadits yang dinukil langsung dari Nabi
SAW. Namun pendapat beliau itu dikritik dari sisi bahwa rambut Nabi
SAW adalah mulia, maka tidak boleh dianalogikan dengan rambut
manusia selain beliau. Akan tetapi kritikan ini dibantah oleh Ibnu
Mundzir dan Al Khaththabi serta lainnya, dimana mereka mengatakan
bahwa suatu hukum yang khusus bagi Nabi tidak dapat ditetapkan
melainkan bila ada dalil yang menunjukkan hal itu, sebab pada dasarnya
semua hukum berlaku bagi Nabi dan selainnya.
1 2 4 — FATHUL BAARI
S j—ajJ'J'—*j (Zuhri berkata, "Jika anjing menjilat air di suatu
bejana. "). Dalam bab ini Imam Bukhari telah mengumpulkan dua
persoalan sekaligus, yaitu hukum rambut manusia dan hukum air sisa
jilatan anjing. Beliau menyebutkan judul bab persoalan pertama disertai
berita dari generasi terdahulu mengenai hal itu, lalu diiringi dengan
persoalan berikutnya disertai pula kutipan berita dari generasi terdahulu
dalam masalah yang dimaksud. Setelah itu beliau kembali lagi kepada
persoalan pertama dengan menyebutkan hadits yang diriwayatkan
langsung dari Nabi SAW, dan seterusnya beliau menuturkan dalil-dalil
persoalan kedua.
Catatan Penting
Dalam riwayat Abu Al Hasan Al Qabisi dari Abu Zaid Al Marwazi
disebutkan bahwa Sufyan berkata, Allah berfirman, t & \y*J Oi» (Maka
apabila kamu tidak menemukan air) Demikian pula lafazh yang
diriwayatkan oleh Abu N u ' a i m dalam kitab Al Mustakhraj 'ala Shahih Al
Bukhari. Sementara pada jalur-jalur periwayatan yang lain dicantum-
kan, *l—i ijisJ jU» (Dan kamu tidak menemukan air) Inilah lafazh yang
sesuai dengan yang termaktub dalam Al Qur"an.
1 2 6 — FATHUL BAARI
Al Qabisi berkata, "Lafazh (Maka apabila kamu tidak menemukan
air) termaktub dalam kitab Al Ahkam oleh Al Isma'ili Al Qadhi dari
Sufyan Ats-Tsauri. Hanya saja Al Isma'ili berkata, 'Aku tidak mengenal
seorang pun yang membaca ayat tersebut demikian.'" Aku (Ibnu Hajar)
katakan, "Ada kemungkinan Ats-Tsauri meriwayatkan makna ayat
tersebut dan beliau memiliki pandangan bolehnya perbuatan seperti itu."
Seakan-akan hal ini yang menjadi landasan Imam Bukhari sehingga
beliau memberi judul dengan lafazh seperti itu pada salah satu bab dalam
kitab At-Tayammum, seperti yang akan disebutkan.
171. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin dari Anas bahwa Nabi SAW
ketika mencukur rambutnya, maka saat itu Abu Thalhah pertama
kali mengambil rambut beliau.
Keterangan Hadits:
Ibnu Sirin namanya adalah Muhammad, sedangkan Abidah adalah
Ibnu Umar As-Salmani salah seorang pemuka tabi'in yang memeluk
Islam di masa Nabi, namun tidak sempat bertemu beliau. Abidah masuk
Islam dua tahun sebelum wafatnya Nabi.
i j j j ? jf\ olT (Maka saat itu Abu Thalhah), maksudnya Abu Thalhah
Al Anshari, suami Ummu Sulaim (ibu Anas bin Malik). Hadits ini telah
diriwayatkan oleh Abu Awanah dalam kitab Shahih-nya melalui riwayat
Sa'id bin Sulaiman, dimana riwayat beliau lebih jelas daripada riwayat
yang diketengahkan oleh Muhammad bin Abdurrahim. Berikut ini
riwayat Sa'id bin Sulaiman, "Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan
tukang cukur untuk mencukur rambutnya, lalu beliau memberikan
rambut kepalanya bagian kanan kepada Abu Thalhah, sedangkan rambut
kepala bagian kiri beliau SAW perintahkan untuk dibagi-bagikan di
antara manusia."
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari Ibnu Uyainah
dari Hisyam bin Hisan dari Ibnu Sirin dengan lafazh, "Ketika (beliau
SAW) selesai melontar jumrah dan menyembelih hewan, maka tukang
cukur mencukur rambut kepalanya bagian kanan. Lalu beliau SAW
memanggil Abu Thalhah kemudian memberikan rambut tersebut
kepadanya. Setelah itu tukang cukur kembali mencukur rambut kepala
bagian kiri, lalu beliau memberikan rambut tersebut kepada Thalhah
untuk dibagi-bagikan di antara manusia."
1 3 0 — FATHUL BAARI
Dalam naskah Imam Bukhari yang dinukil dari Ibnu Asakir,
sebelum menyebutkan hadits berikut, tercantum satu bab dengan judul
"Apabila anjing minum dalam bejana".
^ Q S O y y y y
. u l i - AJLJLJJ ^ « . L * !
Keterangan Hadits:
1 3 2 — FATHUL BAARI
sama. Alasannya karena mulut adalah sesuatu yang paling mulia pada
dirinya, maka tentu bagian-bagian badannya selain mulut kedudukannya
di bawah derajat mulut.
Namun dalam madzhab Imam Syafi'i yang lama disebutkan,
bahwa hukum seperti itu hanya berlaku bagi mulut anjing dan tidak
mencakup bagian-bagian badannya yang lain. Maka sehubungan dengan
itu Imam An-Nawawi berkata dalam kitab Ar-Raudhah, "Ini adalah
pandangan yang ganjil (syadz)" Sementara dalam Syarh Al Muhadzab
dikatakan, "Pandangan tersebut sangat kuat dari segi dalil. Sementara
alasan yang dikemukakan bahwa mulut merupakan bagian paling mulia
pada anjing tidak dapat diterapkan sepenuhnya, sebab mulut ini kadang
dipergunakan untuk memakan najis."
j,—To^-l t\—i] ^—i (Di bejana salah seorang di antara kamu) Secara
lahiriah hal ini berlaku umum pada semua bejana, dan secara implisit ia
tidak mencakup air yang tergenang. Kesimpulan ini berlaku mutlak
(tanpa batasan) menurut Al Auza'i. Namun sekali lagi jika dikatakan
bahwa perintah untuk mencuci bejana disebabkan tercemar najis, maka
hukum tersebut berlaku pada air yang sedikit dan tidak mencakup air
yang banyak. Sedangkan penyandaran bejana itu kepada seseorang tidak
berpengaruh dalam menetapkan hukum, sebab hukum itu tetap berlaku
meski bejana itu tidak ada pemiliknya. Demikian pula sabda beliau,
"Hendaklah ia mencucinya", tidak berarti bahwa yang mesti mencuci
adalah pemilik bejana itu sendiri.
Hanya saja Imam An-Nasa'i berkata, "Aku tidak tahu ada perawi
lain yang menukil lafazh 'Hendaklah ia tumpahkan' kecuali Ali bin
Mushir." Lalu Hamzah Al Kannani berkata, "Sesungguhnya riwayat Ali
ini menyelisihi riwayat orang-orang yang lebih tsiqah (terpercaya)
1 3 4 — FATHUL BAARI
sebagaimana dikutip oleh Ad-Daruquthni. Sementara Abban menyebut-
kan dalam riwayatnya dari Qatadah dari Ibnu Sirin bahwa yang dicampur
dengan tanah adalah yang ketujuh, seperti dinukil oleh Abu Dawud.
Sedangkan Imam Syafi'i menyebutkan dalam riwayatnya dari Sufyan
dari Ayyub dari Ibnu Sirin dengan lafazh, "Pada kali yang pertama atau
pada salah satu di antara (ketujuh) pencucian tersebut." Namun dalam
riwayat As-Sudi dari Al Bazzar hanya mencantumkan lafazh, "pada salah
satu di antara (ketujuh) pencucian tersebut", sebagaimana lafazh ini juga
disebutkan oleh Hisyam bin Urwah dari Abu Zinad dari Ibnu Sirin.
Adapun cara yang ditempuh untuk mengkompromikan riwayat-
riwayat yang saling kontroversi tersebut adalah dengan mengatakan,
"Riwayat dengan lafazh, 'Salah satu di antara (ketujuh) pencucian
tersebut' belum memberi penjelasan rinci. Sementara riwayat dengan
lafazh 'Pada kali yang pertama" dan "Pada kali yang ketujuh" sama-sama
memberi keterangan secara rinci. Adapun riwayat dengan lafazh, "Pada
kali yang pertama atau pada salah satu di antara (ketujuh) pencucian
tersebut' jika kata 'atau' pada riwayat ini memberi makna pilihan, yakni
boleh memilih salah satu di antaranya, maka lafazh ini harus
dikembalikan kepada salah satu di antara dua riwayat yang ada (yakni
riwayat yang menyatakan pada kali yang pertama dan riwayat yang
menyatakan pada kali yang ketujuh) berdasarkan kaidah 'lafazh mutlaq
(tanpa menyebutkan batasan) harus dikembalikan kepada lafazh
muqayyad (yang menyebutkan batasan tertentu)."
1 3 6 — FATHUL BAARI
bejana tersebut tercemar najis. Sebab, menurut pandangan mereka anjing
adalah suci. Kemudian ulama-ulama generasi berikutnya dalam madzhab
Maliki menyebutkan hikmah yang terkandung dalam perintah untuk
mencuci bejana tersebut, bukan karena bejana itu tercemar najis, seperti
akan kami terangkan pada pembahasan selanjutnya. Ada satu riwayat dari
Imam Malik yang mengatakan bahwa bejana tersebut hukumnya
tercemar najis, namun kaidah dasar beliau mengatakan, "Air tidak
berubah menjadi najis kecuali bila berubah salah satu sifatnya." Oleh
sebab itu kewajiban mencuci bejana berisi air bekas jilatan anjing
sebanyak tujuh kali bukan karena bejana itu tercemar najis, melainkan
demi tujuan ibadah semata. Akan tetapi pendapat ini tidak sejalan dengan
sabda Nabi di bagian awal hadits dalam masalah ini, yakni riwayat yang
dinukil oleh Imam Muslim serta ahli hadits lainnya dari Muhammad bin
Sirin dan Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah, dimana dikatakan,
"Sucinya bejana salah seorang di antara kamu apabila dijilat anjing
adalah dengan dicuci sebanyak tujuh kali."
Inilah pendapat yang benar berdasarkan indikasi Al Qur'an serta hadits, dan tidak ada
suatu dalil yang dapat dijadikan pegangan oleh mereka yang mengatakan bahwa
tayammum tidak menghilangkan hadats.
1 3 8 — FATHUL BAARI
Alasan yang dikemukakan oleh ulama madzhab Maliki meskipun
memiliki kesesuaian dengan perintah yang ada, namun pengkhususan ini
tidak berdasarkan dalil. Adapun alasan perintah mencuci bejana tersebut
disebabkan tercemar najis jauh lebih kuat, karena makna tersebut tertera
dalam hadits secara tekstual. Sementara telah dinukil riwayat yang akurat
dari Ibnu Abbas, bahwa sebab perintah mencuci bejana tersebut adalah
karena tercemar najis. Riwayat ini dinukil oleh Muhammad bin Al
Marwazi melalui silsilah periwayatan yang shahih dan tidak ada satupun
riwayat dari para sahabat lain yang menyelisihinya.
Setelah jelas bahwa air sisa jilatan anjing hukumnya najis, maka
ada kemungkinan hal itu disebabkan air liur anjing itu sendiri adalah
najis. Ada pula kemungkinan bahwa air liur anjing pada dasarnya adalah
suci, namun ia menjadi najis karena faktor-faktor dari luar, seperti karena
kebiasaan anjing memakan bangkai. Akan tetapi kemungkinan pertama
lebih beralasan, sebab inilah yang menjadi dasar. Di samping itu jika
dikatakan najisnya air bekas jilatan itu karena kemungkinan kedua, maka
konsekuensinya hukum ini berlaku pula pada binatang yang lain,
misalnya kucing.
Setelah jelas bahwa yang menyebabkan najisnya air sisa jilatan
anjing adalah karena memang air liurnya adalah najis, maka hal itu tidak
langsung menjadi alasan untuk menetapkan najisnya bagian-bagian
anjing yang lain, kecuali bila ditetapkan melalui giyas (analogi). Seperti
Adapun dari sisi logika nampak jelas, sedangkan dari segi silsilah
periwayatan sesungguhnya riwayat tentang fatwa beliau yang sesuai
dengan apa yang ia riwayatkan telah dinukil dari Hammad bin Zaid dari
Ayyub dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah, yang mana ini adalah sanad
paling shahih. Sedangkan riwayat tentang fatwa beliau yang menyelisihi
apa yang ia riwayatkan telah dinukil dari jalur Abdul Malik bin Abu
1 4 0 — FATHUL BAARI
Sulaiman dari Atha' dari Abu Hurairah, dimana silsilah periwayatannya
jauh di bawah derajat silsilah periwayatan yang pertama.
Alasan lain yang mereka kemukakan adalah, sesungguhnya tingkat
kenajisan kotoran (tahi) jauh lebih berat daripada air sisa jilatan anjing,
namun untuk membersihkan kotoran tersebut tidak disyaratkan untuk
dicuci sebanyak tujuh kali. Dari sini maka tentu mencuci bejana bekas
jilatan anjing lebih pantas lagi untuk tidak dibatasi dengan jumlah
tertentu. Jawaban untuk argumentasi ini saya (Ibnu Hajar) katakan,
"Tidak ada kemestian bahwa sesuatu yang lebih tinggi tingkat kenajisan-
nya akan lebih berat pula dalam tinjauan hukumnya. Di samping itu
perkataan tersebut merupakan analogi yang menyalahi nash (teks hadits),
maka dianggap rusak."
(dengan tanah).
Jawaban pernyataan ini aku (Ibnu Hajar) katakan, "Sikap ulama
madzhab Syafi'i yang tidak mengamalkan makna lahiriah hadits
Abdullah bin Mughaffal tidaklah menjadi dalih bagi mereka (ulama
madzhab Hanafi) untuk meninggalkan hadits dalam persoalan ini. Sebab
jika tepat alasan yang dikemukakan oleh ulama madzhab Syafi'i untuk
tidak mengamalkan makna lahir yang terkandung dalam hadits Abdullah
bin Mughaffal, maka gugurlah dalih yang di-kemukakan oleh ulama
madzhab Hanafi. Sedangkan jika tidak, maka kedua madzhab ini sama-
sama tidak mengamalkan hadits, demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiq Al
•Id."
Andaikata kita lebih memilih cara menguatkan salah satu dari dua
riwayat yang ada, maka kita tidak akan berpendapat untuk mencampur
salah satu pencucian tersebut dengan tanah. Sebab, riwayat Imam Malik
yang tidak menyebutkan hal ini jauh lebih kuat daripada riwayat yang
menyebutkannya. Meskipun demikian, kita tetap berpendapat untuk
1 4 2 — FATHUL BAARI
mencampur salah satu pencucian dengan tanah untuk pengamalan
tambahan keterangan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah
(terpercaya).
Sebagian ulama berusaha mengompromikan antara hadits Abu
Hurairah (yang menyatakan mencuci tujuh kali) dengan hadits Abdullah
bin Mughaffal (yang menyatakan mencuci delapan kali) dari segi majaz
(kiasan). Mereka mengatakan, "Karena tanah merupakan jenis lain dari
air, maka percampuran keduanya (antara air dan tanah) pada satu kali
cucian dihitung dua kali."
Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh Ibnu Daqiq Al Id dengan
mengatakan bahwa sabda beliau, ^^ili ijf&j (dan campurlah yang
kedelapan dengan tanah) sangat jelas memberi keterangan adanya
pencucian tersendiri di samping tujuh kali cucian yang lain. Akan tetapi
apabila sebelum dicuci dengan air tujuh kali, bejana tersebut terlebih
dahulu digosok dengan tanah, maka bisa saja dikatakan menggosok
dengan menggunakan tanah ini dianggap pula mencuci, meski hanya
dalam pengertian majaz (kiasan). Cara terakhir ini juga merupakan faktor
yang lebih menguatkan bahwa mencampur tanah dilakukan pada awal
mencuci.
Keterangan hadits:
*—< *—J <-9j—*i Jj«r<i (Lalu digunakannya menimba air). Lafazh ini
dijadikan sebagai dalil oleh Imam Bukhari bahwa air bekas jilatan anjing
adalah suci, karena secara lahir orang tersebut memberi minum anjing di
sepatunya. Namun pendapat ini dikritik, karena argumentasi demikian
dibangun di atas dasar yang mengatakan bahwa syariat umat sebelum
Muhammad termasuk syariat bagi umatnya, padahal keabsahan asas ini
masih diperselisihkan. Andaikata asas ini diterima sebagai salah satu
sumber dalam menetapkan hukum, maka ruang lingkupnya berada pada
hal-hal yang belum dihapuskan oleh syariat Muhammad. Meskipun kita
menerima bahwa hukum tersebut belum dihapus, maka tetap saja belum
dapat dijadikan sebagai dalil yang kuat. Sebab masih ada kemungkinan
laki-laki itu memberi minum anjing dengan menumpahkan air di suatu
wadah, atau kemungkinan lain ia mencuci sepatunya setelah memberi
minum anjing itu dan ia tidak langsung memakainya.
J—1 J—Ui 'f.—lii (Maka Allah mensyukuri orang itu), yakni Allah
memujinya lalu memberi pahala atas perbuatannya itu dengan cara
menerima amalannya lalu memasukkannya ke dalam surga. Pembahasan
selanjutnya mengenai hadits ini akan diterangkan pada bab "Keutamaan
Memberi Minum" dalam kitab Asy-Syurbu (minuman), insya Allah.
1 4 4 — FATHUL BAARI
174. Diriwayatkan dari Hamzah bin Abdullah dari bapaknya, ia
berkata, "Biasanya anjing-anjing kencing dan ke sana ke mari
melewati masjid pada zaman Rasulullah, namun mereka tidak
memerciki tempat itu dengan air sedikitpun."
Keterangan Hadits:
1 4 6 — FATHUL BAARI
Andaikata mengeringnya najis tersebut tidak berarti tempat itu telah suci,
niscaya para sahabat tidak akan membiarkan tempat yang terkena najis
tanpa menyiramnya. Namun, cukup jelas bagi kita akan kelemahan yang
terdapat dalam riwayat ini.
Catatan Penting
Telah diriwayatkan oleh Ibnu At-Tin dari Ad-Dawudi (salah
seorang pensyarah Shahih Bukhari), bahwasanya beliau mengganti lafazh
'c i') ' , > 'O ,
Oj ijj (memerciki) dengan <1>J J&j>_ (mengawasi), lalu beliau
menafsirkannya dengan makna tidak takut. Namun tentu saja tafsiran ini
cukup jauh dari makna yang seharusnya, sebab kata mengawasi di sini
diungkapkan dengan lafazh i_~a^j, dimana lafazh ini sinonim dengan kata
wy w v£ y y y y y ^ ^ i.
Keterangan Hadits:
Indikasi hadits ini yang mendukung apa yang dikatakan oleh Imam
Bukhari adalah, bahwa Nabi SAW telah mengizinkan kepada Adi untuk
memakan buruan yang ditangkap oleh anjing tanpa ada keterangan untuk
mencuci bagian yang tersentuh oleh mulut anjing. Atas dasar inilah
sehingga Imam Malik berkata, "Bagaimana mungkin binatang buruan
yang ditangkap anjing boleh dimakan jikalau air liurnya adalah najis?"
Pertanyaan ini dijawab oleh Al Isma'ili dengan menyatakan, bahwa
hadits ini hanyalah memberi keterangan bahwa pembunuhan yang
dilakukan oleh anjing pemburu dianggap sebagai penyembelihan
terhadap buruan tersebut, namun tidak ada keterangan apakah anjing itu
najis atau tidak. Yang menguatkan pendapat ini, bahwa beliau SAW tidak
memerintahkan pula untuk mencuci darah yang keluar karena gigitan
anjing tersebut, namun beliau menyerahkan hal itu kepada ilmu yang
telah diketahui oleh Adi, yakni adanya kewajiban untuk mencuci darah.
Maka tidak tertutup kemungkinan pula beliau tidak memerintahkan
mencuci bagian yang tersentuh mulut anjing, karena hal itu telah
diketahui oleh Adi.
Ibnu Munir berkata, "Dalam madzhab Syafi'i disebutkan bahwa
jika pisau dicuci dengan air yang najis lalu digunakan menyembelih
hewan, maka sembelihan tersebut menjadi najis. Sementara gigi anjing
1 4 8 — FATHUL BAARI
menurut mereka adalah najis. Lalu mereka (ulama madzhab Syafi'i) telah
sepakat dengan kami bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh anjing
buruan merupakan sembelihan secara syar'i, dimana ia tidak menjadikan
binatang sembelihan sebagai najis."
Perkataan Ibnu Munir dijawab pula bahwa adanya kesepakatan
yang menyatakan sembelihan tidak menjadi najis bila digigit oleh anjing,
tidaklah berkonsekuensi adanya kesepakatan bahwa sembelihan tersebut
tidak tercemar oleh najis. Oleh sebab itu, kontradiksi yang menurut
mereka terdapat pada madzhab Syafi'i tidaklah sebagaimana yang
mereka katakan. Di samping dalam persoalan ini terdapat pula perbedaan
pendapat, tapi pendapat yang masyhur adalah wajibnya mencuci tempat
yang digigit oleh anjing tersebut. Namun, di sini bukanlah tempat untuk
memaparkan persoalan ini.
Serta Firman Allah, Jafl *Jt j * j*£L» t&r ji "Atau kembali dari
tempat buang hajat." (Qs. Al Maa'idah(5): 6)
' a
f 0 ' ^ ' 0
y 0
' '' ' J y 0
t o " ''z
' " ' , ' , ' s ' ' * ' f' ' o * f ' f'
1 ^ JLP VI
1 5 0 — FATHUL BAARI
mengatakan wajib berwudhu sebab keluarnya sesuatu dari tempat-tempat
di bagian badan, seperti muntah, bekam dan selain keduanya. Mungkin
pula dikatakan, "Sesungguhnya hal-hal yang membatalkan wudhu dapat
dikembalikan kepada dua tempat keluar tersebut. Misalnya, tidur adalah
waktu yang rawan untuk menyebabkan keluarnya angin (kentut),
sementara menyentuh wanita atau menyentuh kemaluan sangat memung-
kinkan untuk menyebabkan keluarnya madzi.
tilas- JtSj (Atha' berkata), maksudnya adalah Atha' bin Abu Rabah.
Riwayat tentang perkataan Atha' ini telah dinukil lengkap dengan silsilah
periwayatannya oleh Ibnu Abi Syaibah serta selain beliau, dan redaksinya
sama dengan yang disebutkan di sini. Sedangkan silsilah periwayatannya
adalah shahih. Adapun ulama yang berbeda dengan pandangan ini adalah
Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah dan Hammad bin Abu Sulaiman, dimana
mereka mengatakan, "Wudhu tidak batal bila yang keluar itu hanya
dalam jumlah kecil." Ini merupakan pandangan Imam Malik, dimana
beliau mengatakan, "Kecuali jika yang keluar itu bercampur dengan
najis."
1 5 2 — FATHUL BAARI
Imam Syafi'i. Dikatakan dalam kitab Al Muwaththa , "Aku senang orang
seperti itu memulai lagi wudhunya (memperbarui)." Sebagian ulama dari
madzhab Syafi'i serta selain mereka mengatakan, "Wajib mengulangi
wudhu dari awal, meskipun dikatakan berkesinam-bungan dalam
berwudhu bukanlah perkara yang diwajibkan." Sementara dari Laits
dinukil pendapat yang menentang pendapat ini.
'(j
|t J*- j l^'ji (Saat itu ada seseorang yang dipanah) Dari konteks
kalimatnya menjadi jelas latar belakang kisah ini. Secara ringkas kisah itu
adalah sebagai berikut; Nabi SAW singgah di suatu lembah, lalu beliau
bertanya, "Siapa yang bersedia menjaga kita pada malam ini?" Berdirilah
1 5 4 — FATHUL BAARI
berpendapat bahwa keluarnya darah saat seseorang melakukan shalat
tidaklah membatalkan shalat. Buktinya setelah kisah ini beliau
menyebutkan riwayat dari Al Hasan Al Bashri, dimana dikatakan, "Kaum
muslimin senantiasa shalat dalam keadaan luka-luka." Telah dinukil
melalui riwayat yang shahih bahwa Umar bin Khaththab shalat sementara
lukanya mengeluarkan darah.
il—LJ- j^J ^JJI ilp J__i' (Beliau tidak menganggap pada darah itu keharusan
untuk berwudhu, darah itu dicuci darinya dan itu telah mencukupinya)
^_Lc 'j—° JJUWJ (Muhammad bin Ali), yakni putera Husain bin Ali
Abu Ja'far Al Baqir. Riwayat mengenai perkataan beliau ini telah kami
sebutkan berikut para perawinya dalam kitab Fawa'id Al HajidzAbu
Bisyr yang terkenal dengan nama Basmawaih, melalui jalur periwayatan
Al A'masy, dimana ia berkata, "Aku bertanya kepada Abu Ja'far Al
Baqir tentang darah yang keluar dari hidung. Maka beliau berkata,
'Andaikata sungai darah mengalir (dari badan), aku tidak akan
mengulangi wudhu karenanya.'" Adapun A t h a ' a d a l a h Ibnu Abi Rabah,
sedangkan riwayat mengenai perkataannya ini telah disebutkan oleh
Abdurrazzaq dari Ibnu Juraij dari beliau (Atha).
_Lo Jy ^»i jJt cJj-jj (Sementara Ibnu Abi Aufa pernah mengeluarkan
ludah yang bercampur darah). Dia adalah Abdullah, seorang sahabat
Nabi dan anak sahabat nabi SAW. Riwayat mengenai perbuatan beliau
ini telah disebutkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dalam kitab beliau yang
berjudul Al Jami', melalui jalur riwayat Atha' bin As-Sa'ib bahwasanya
ia melihat Ibnu Abu Aufa melakukan hal tersebut. Sufyan mendengar
berita ini dari Atha' sebelum hafalannya bercampur baur, maka silsilah
periwayatan hadits ini shahih.
Catatan Penting
Disebutkan dalam riwayat Al Ashili serta selainnya, "Tidak ada
keharusan mencuci bekas-bekas tempat bekamnya." Ini pula yang
dikatakan oleh Al Isma'ili. Lalu Ibnu Baththal berkata, "Dalam riwayat
Al Mustamli yang tertulis adalah, 'Tidak ada baginya keharusan kecuali
mencuci bekas-bekas tempat bekam.'" Riwayat seperti ini juga
ditemukan dalam naskah yang ada pada kami dari riwayat Abu Dzar
melalui ketiga perawi tersebut. Penyebutan riwayat-riwayat tanpa sanad
seperti di atas menguatkan keakuratan berita tersebut. Telah diriwayatkan
dari Laits bahwasanya ia berkata, "Cukuplah bagi orang yang berbekam
untuk menyapu tempat bekam lalu shalat tanpa mencucinya."
1 5 6 — FATHUL BAARI
jlS" C iyC^ J> JUJI JljJ V : S ^ J l i : J l i Vjij» ^ O*
Keterangan Hadits:
Keterangan Hadits:
A—«i 'j* (Dari pamannya) adalah Abdullah bin Zaid Al Mazini, dan
hadits beliau telah dibahas pada bab "Tidak Berwudhu karena Ragu
hingga Yakin". Adapun maksud disebutkannya di sini adalah, karena
hadits tersebut menunjukkan bahwa batalnya wudhu hanya disebabkan
keluarnya sesuatu dari dua jalan. Di awal pembahasan wudhu telah kami
sebutkan hal-hal lain yang membatalkan wudhu.
. ji»^P^/l
( <U*— * l j j j f J W J ^ l 4 J3
1 5 8 — FATHUL BAARI
ngeluarkan madzi, dan aku pun malu menanyakan hal itu kepada
Rasulullah. Maka aku memerintahkan Miqdad bin Al Aswad.' Lalu
beliau menanyakannya. Nabi SA W bersabda, 'Baginya wudhu.'
Hadits seperti ini diriwayatkan pula oleh Syu 'bah dari A 'masy.
K e t e r a n g a n Hadits:
y 0 f > s ' s
} «"f y y<* f t. s y O y o t * s sO * y y y O , y _ f ^ s , y £ O y
^,-
li ^>
£a\ 7t ybl y y
O sJ I j Iy c-Ji
s £^
<up «UJI ( ^ i ' j
y %^
O I a tp 0^
j ly l i yP J -^^
1
1 6 0 — FATHUL BAARI
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Wahab, ia berkata, "Telah
menceritakan kepadaku Syu'bah." Abu Abdullah (Imam Bukhari)
berkata, "Yahya dan Ghundar tidak menukil kata "wudhu" dari Syu'bah."
Keterangan Hadits:
Kisah yang serupa telah terjadi pula pada diri Rafi' bin Khudaij
serta selain beliau, seperti dikutip oleh Imam Ahmad dan para ahli hadits
lainnya. Akan tetapi yang paling tepat bahwa yang dimaksud dengan
laki-laki dalam riwayat Imam Bukhari adalah Itban, wallahu a 'lam.
1 6 2 — FATHUL BAARI
Al Karmani berkata, lafazh "atau" pada hadits di atas bukan
menunjukkan keraguan dari para perawi, namun untuk menjelaskan
bahwa apakah air mani itu tidak keluar karena sebab dari luar dirinya
atau dari dirinya sendiri adalah sama hukumnya.
Katerangan Hadits:
Maksud judul bab tersebut adalah, apakah hukum perbuatan
tersebut?
1 6 4 — FATHUL BAARI
Imam An-Nawawi berkata, "Meminta bantuan dapat di
kelompokkan dalam tiga bagian; p e r t a m a , minta bantuan untuk
dibawakan air, dan ini tidaklah dimakruhkan sama sekali. Aku katakan,
"Akan tetapi yang lebih utama adalah tidak meminta bantuan." K e d u a ,
diwudhukan oleh orang lain, dan ini hukumnya makruh kecuali bila ada
kebutuhan yang mendesak. Ketiga, minta bantuan untuk menuangkan air,
dan ini memiliki dua sisi; yaitu dimakruhkan dan menyalahi yang lebih
utama.
Alif- {.LaJl ab
o ' , 0
J* c~*-> cr^J
182. Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu 'bah bahwa dia bersama
Nabi SA W dalam suatu perjalanan dan Nabi SA W pergi untuk
buang hajat. Mughirah bin Syu 'bah menuangkan air untuk beliau
ketika berwudhu. Beliau membasuh mukanya dan kedua tangannya
lalu mengusap sepatunya.
1 6 6 — FATHUL BAARI
Adapun yang diriwayatkan oleh Ja'far Ath-Thabari dari Ibnu Umar
bahwa ia berkata, "Aku tidak perduli siapa yang membantuku dalam
bersuci, ruku' maupun sujud." Dapat dipahami, bahwa yang dimaksud-
kan adalah meminta bantuan dalam menuangkan air berdasarkan apa
yang diriwayatkan oleh Ath-Thabari serta ulama lainnya dari Mujahid,
bahwa beliau biasa menuangkan air untuk Ibnu Umar pada saat beliau
mencuci kedua kakinya.
Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak dari hadits
Ar-Rubai' binti Mu'awwadz bahwa ia berkata, "Aku membawakan Nabi
SAW air wudhu, maka beliau bersabda, 'Tuangkanlah air itu untukku,'
aku pun menuangkan air untuknya." Riwayat ini sangat tegas menyata-
kan tidak adanya hukum makruh dibanding dua hadits terdahulu, sebab
peristiwa ini terjadi saat tidak dalam bepergian (safar), disamping itu
riwayat tersebut disampaikan dengan lafazh perintah. Akan tetapi hadits
ini tidak memenuhi persyaratan hadits shahih yang dimuat dalam kitab
Bukhari maupun Muslim.
Keterangan Hadits:
(Membaca Al Qur'an setelah hadats), yakni hadats kecil. Sedang
perkataan beliau (dan selainnya), maksudnya kondisi-kondisi yang
diduga adanya hadats. Al Karmani berkata, "Kata ganti pada 'selainnya'
kembali kepada Al Qur'an. Maksudnya, bab membaca Al Qur'an dan
selainnya berupa dzikir, salam atau yang seperti keduanya setelah ber-
hadats." Namun konsekuensi perkataan ini, berarti telah terjadi pemisah-
an antara dua kata yang saling berkaitan. Di samping itu, apabila mem-
baca Al Qur'an dalam keadaan hadats diperbolehkan, maka perbuatan
lain seperti dzikir lebih dibolehkan lagi. Oleh karena itu, tidak perlu
penafsiran seperti yang beliau (Al Karmani) katakan. Berbeda dengan
hal-hal yang membatalkan wudhu selain hadats. Pada pembahasan
terdahulu telah diterangkan apa yang dimaksud dengan hadats, dan ini
mendukung apa yang telah saya jelaskan.
1 6 8 — FATHUL BAARI
Q u f an saat berada di kamar mandi, maka beliau menjawab, 'Tidak ada
keterangan mengenai hal itu.'" Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Tidak ada
kontradiksi antara riwayat ini dengan yang diriwayatkan oleh Abu
Awanah, sebab riwayat yang dinukil oleh Abu Awanah sekedar memberi
keterangan tentang bolehnya perbuatan itu secara mutlak." Telah
diriwayatkan juga oleh Sa'id bin Manshur dari Muhammad bin Abban
dari Hammad bin Abu Sulaiman, ia berkata, "Aku bertanya kepada
Ibrahim tentang membaca di dalam kamar mandi, maka beliau men-
jawab, 'Hal itu tidak disukai (makruh).' Akan tetapi silsilah periwayatan
yang pertama lebih shahih."
1 7 0 — FATHUL BAARI
* . -'O J. s s s s s t 0 s I / 0 t } Os s
f J r 1
^ J ^ f e c / ^ 1
J^ ^ 3
s s s " s s
} st
s &s
s
s s , 0 < H ^ s s t j ,
f ' / * ass
3 s- }
W« j_ 0^^
0 y
W
. ^
y }
O .-X
O s
u
183. Telah diriwayatkan dari Kur aib -mantan budak Ibnu Abbas-
sesungguhnya Abdullah bin Abbas mengabarkan kepadanya,
bahwasanya suatu malam dia pernah menginap di rumah
Maimunah salah seorang istri Nabi -dan ia adalah bibi Ibnu
Abbas- maka aku pun berbaring melintang di atas bantal
sementara Rasulullah SAW dan istrinya tidur dengan posisi
membujur. Lalu Rasulullah tidur hingga pertengahan malam -atau
sedikit lebih kurang- Rasulullah bangun, beliau duduk seraya
mengusap matanya dengan tangan untuk menghilangkan rasa
kantuk. Kemudian beliau membaca sepuluh ayat yang terakhir
dalam surah Aali Imraan. Setelah itu beliau berdiri menuju bejana
yang tergantung lalu berwudhu dari bejana tersebut seraya
memperbaiki wudhunya. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan
shalat. Ibnu Abbas berkata, 'Akupun berdiri dan melakukan
Keterangan Hadits:
1 7 2 — FATHUL BAARI
saat tidur. Tetapi karena beliau berwudhu saat bangun tidur, maka
indikasi terkuat yang dapat kita pahami dari perbuatan ini adalah beliau
berhadats. Tidak adanya kemestian bahwa tidurnya Rasulullah tidak
membatalkan wudhu, maka tidak terjadi pula hal-hal yang membatalkan
wudhu pada saat beliau tidur. Hanya saja yang menjadi keistimewaan
beliau, bahwa bila terjadi pada dirinya sesuatu yang membatalkan wudhu
niscaya beliau menyadarinya, berbeda dengan manusia pada umumnya.
Adapun klaim yang mereka kemukakan bahwa perbuatan Nabi tersebut
hanyalah untuk memperbaharui wudhu ataupun karena sebab-sebab lain,
pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak ada." Pada pembahasan
terdahulu telah dikemukakan pandangan Al Isma'ili yang mirip dengan
apa yang dikatakan Ibnu Munir.
j—^» U Ji» c*:Vtf c~*i3 (Akupun berdiri dan melakukan seperti apa
yang beliau lakukan), dalam bab 'berlaku ringan dalam berwudhu' telah
disebutkan isyarat mengenai pembahasan ini. Untuk penjelasan lebih
lanjut tentang hadits di atas akan diterangkan pada kitab Witir, insya
Allah.
y o z ' . * s s V s S ^ y y y g£ O
y s Z £ s 0 ^ 0 ^ ^ 0 J >
; / iC £ l Z, ' " ' Z ' ' Zs °
s—i/ j 1
j ^ 1
J r^ 5 1
lstj 1
j ^ j
> ^ J x- ^-^ s & s 3 y y
0
y* * - ' f
1
>-0 > yO f O ti-'lf. f fvt L.^^fi ^O.O
-•- y s
/t' S , * * ( ' j w ^ ^ ' * ^ 0 C O ' * C
• "^1 •• ll; IjVli- 4jjl J j — j »L»i»T_4 'y\ J ^ i j
:: cJli dJJi l $ 1
0
O O ' ' O y ' ^ ' f' 9 Z' Z ~' a s i ' s y*'
d\ I TA"& J ai l^JCa jt-> ;<*J J lili u*Jl j ll«l j liorli (_<j JL^Jl j
1 7 4 — FATHUL BAARI
184. D a n Hisyam bin Urwah, dari istrinya (Fathimah), dari
neneknya (Asma' binti Abu Bakar) bahwasanya ia berkata, "Aku
mendatangi Aisyah -istri Nabi SAW- ketika terjadi gerhana
matahari, dan ternyata saat itu manusia sedang berdiri melakukan
shalat, demikian pula Aisyah sedang berdiri melakukan shalat. Aku
berkata, Apa gerangan yang terjadi dengan manusia?' Aisyah
mengisyaratkan dengan tangannya ke arah langit seraya berkata,
'Subhanallah (Maha Suci Allah).' Aku berkata lagi, 'Bukti ke-
kuasaan Allah? 'Aisyah mengiyakan dengan isyarat. Maka aku pun
berdiri hingga hilang kesadaran, lalu aku menyiramkan air ke atas
kepalaku. Ketika Rasulullah selesai, beliau memuji Allah dan
menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda, 'Tidak ada sesuatu-
pun yang belum aku lihat melainkan telah aku lihat di tempat ini,
hingga surga dan neraka. Telah diwahyukan kepadaku bahwa
kamu akan ditimpa fitnah (ujian) di kubur -sama atau hampir
sama- dengan fitnah Dajjal (Fathimah berkata, "Aku tidak tahu
mana di antara kedua perkataan itu yang diucapkan oleh Asma').
Salah seorang di antara kamu akan didatangi lalu dikatakan
kepadanya, 'apakah yang engkau ketahui tentang laki-laki ini? "
Adapun orang yang beriman atau orang yang yakin (Fathimah
berkata, "Aku tidak tahu mana di antara kedua perkataan itu yang
diucapkan oleh Asma ) akan menjawab, "Dia adalah Muhammad
Rasulullah. Dia telah datang kepada kami dengan membawa
penjelasan-penjelasan yang nyata serta petunjuk. Kami pun
menyambut ajakannya, beriman dan mengikutinya. " Maka di-
katakan kepadanya, tidurlah dengan tenang. Sungguh kami telah
mengetahui bahwa engkau adalah seorang yang beriman. Adapun
orang munafik atau orang yang ragu (Fathimah berkata, "Aku
tidak tahu mana di antara kedua perkataan itu yang diucapkan
oleh Asma) akan menjawab, "Aku tidak tahu, aku hanya men-
dengar manusia mengatakan sesuatu maka akupun mengata kan
seperti itu.'"
6 )
Terkadang pula kejadian seperti ini dialami manusia di saat melihat atau mendengar hal-
hal yang luar biasa (Takjub), seperti kejadian dalam hadits ini.
1 7 6 — FATHUL BAARI
38. Mengusap Kepala Secara Keseluruhan
* s- $s O J- f J- s J-
O l(i °'' ^ ^ ^ i . l'" t l ^ Q s s / O s _c
* H ^ I (l ^ I
Jj»l . ,
i AJOJJ -U-I J ^
O J- J- i ' '
4
' *
^
\.
^^Jl
0 , 0 .
^l
i.
j^'y
O j-iji J'
^"y>
O StM s 0 J- J'
AJUJ J ~ P
I J' ,
Keterangan Hadits:
(Mengusap kepala secara keseluruhan) Demikianlah yang disebut-
kan oleh mayoritas perawi, namun dalam riwayat Al Mustamli tidak
disertakan lafazh, "Secara keseluruhan."
V e — J ^ 1
J ^ J (Dan Ibnu Musayyab berkata), maksudnya adalah
Sa'id bin Musayyab. Riwayat ini disebutkan lengkap dengan jalur
fs a - f
periwayatannya oleh Ibnu Abi Syaibah dengan lafazh, ^j—\ «i^i'j J-^
1
1 7 8 — FATHUL BAARI
(Rasulullah SA W saat berwudhu mengusap bagian ubun-ubunnya
hingga tengkuknya, kemudian beliau mengembalikan tangannya ke ubun-
ubunnya hingga beliau mengusap kepalanya secara keseluruhan).
Riwayat dengan lafazh seperti ini lebih sesuai dengan judul bab di atas
daripada apa yang dinukil oleh penulis (Imam Bukhari) terdahulu.
Adapun sisi penekanan dalil ayat dan hadits adalah bahwa lafazh
ayat berbicara secara global (mujmal), karena makna menyapu kepala
seperti tersebut dalam ayat bisa saja berarti menyapu kepala secara
keseluruhan. Hal itu berdasarkan bahwa huruf " b a " ' pada firman-Nya,
fii'y. berkedudukan sebagai tambahan (za'idah) sehingga tidak
mempengaruhi maknanya. Namun bisa juga yang dimaksud dengan
mengusap kepala dalam ayat itu adalah mengusap atau menyapu
sebagiannya, berdasarkan bahwa huruf " b a " ' pada firman-Nya, ^iL>jj^j
yang menyatakan sebagian (tab'idh). Maka apa yang dilakukan
Rasulullah SAW telah menjelaskan, bahwa maksud ayat tersebut adalah
makna yang pertama (menyapu seluruh kepala). Tidak pernah dinukil
bahwa beliau SAW hanya menyapu sebagian kepala saja saat berwudhu,
kecuali dalam hadits yang diriwayatkan oleh Mughirah, yang dinyatakan
bahwa Nabi SAW mengusap ubun-ubunnya dan sorbannya. Keterangan
dalam hadits Mughirah ini memberi indikasi sesungguhnya menyapu
kepala seluruhnya bukanlah fardhu (wajib). ' Dengan demikian, per-
7
selisihan yang terjadi adalah berkisar pada kadar kepala yang disapu,
bukan pada perbuatan mengusap itu sendiri.
Tidak ada dalam hadits Mughirah keterangan yang menyatakan bahwa menyapu kepala
secara keseluruhan saat berwudhu bukanlah fardhu apabila seseorang tidak memakai
sorban. Akan tetapi sesungguhnya hadits itu hanya memberi keterangan bolehnya
menyapu bagian kepala yang nampak dan melanjutkan dengan menyapu sorban di saat
seseorang memakainya. Adapun di saat seseorang tidak memakai sorban, maka yang
wajib dilakukannya adalah mengusap kepala secara keseluruhan sebagai pengamalan
hadits Abdullah bin Zaid. Dari sini menjadi jelas bahwa di antara kedua hadits ini tidak
ada pertentangan. Adapun huruf ba' pada ayat di atas bermakna menempelkan (Al Ilshaq)
dan bukan bermakna sebagian (tab'idh) maupun tambahan (za'idah).
1 8 0 — FATHUL BAARI
bertanya kepada Abdullah bin Zaid.'" Demikian pula yang disebutkan
oleh Sahnun dalam kitab Al Mudawwanah.
Imam Syafi'i dalam kitab Al Umm berkata, 'Telah diriwayatkan
dari Malik dari Amru dari bapaknya bahwa ia berkata kepada Abdullah
bin Zaid." Sama seperti ini, riwayat Al Isma'ili dari Abu Khalifah dari Al
Qa'nabi dari Malik dari Amru dari bapaknya, ia berkata, "Aku berkata
kepada Abdullah bin Zaid...."
Cara yang ditempuh untuk memadukan antara riwayat-riwayat
yang saling berbeda ini, adalah dengan mengatakan, "Hadir di hadapan
Abdullah bin Zaid saat itu Abu Hasan Al Anshari dan anaknya yang
bernama Amru bin Yahya serta anak dari Amru, yakni Yahya bin
Ammarah bin Abu Hasan. Lalu mereka bertanya kepada Abdullah bin
Zaid mengenai sifat wudhu Nabi SAW, dimana yang menjadi juru bicara
mereka pada saat itu adalah Amru bin Abu Hasan. Untuk itu apabila
dalam riwayat dikatakan bahwa yang bertanya adalah Amru bin Hasan,
maka ini dalam artian yang sesungguhnya."
f.\—'v le-lu (Maka beliau minta dibawakan air). Dalam riwayat yang
dinukil melalui jalur Wahab pada bab berikut disebutkan, "Maka beliau
minta dibawakan sebuah bejana kecil yang berisi air...." Ad-Darawardi
berkata, "Yang dimaksud dengan taur (bejana kecil) adalah sejenis
tempayan." Sementara Al Jauhari mengatakan bahwa yang dimaksud
adalah bejana yang dipakai untuk minum. Ada pula yang mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah bejana yang agak lebar. Lalu sebagian
mengatakan bahwa taur (bejana kecil) adalah sejenis dengan At-Thisth
(bejana yang agak lebar). Dikatakan pula bahwa yang dimaksud dengan
taur (bejana kecil) adalah semacam periuk yang terbuat dari kuningan
atau batu. Dalam riwayat Abdul Aziz bin Abu Salamah yang disebutkan
oleh penulis (Imam Bukhari) pada bab "Mandi di Mikhdhab (bejana yang
digunakan untuk mencuci pakaian, Penerj.)" di bagian awalnya disebut-
kan, "Rasulullah mendatangi kami lalu kami mengeluarkan untuknya At-
Taur (bejana kecil) yang terbuat dari kuningan.''''
1 8 2 — FATHUL BAARI
j—«J—e J (Seraya mencuci tangannya sebanyak dua kali)
demikian lafazh yang dinukil dari imam Malik, yaitu menyebut tangan
dengan lafazh tunggal. Sementara dalam riwayat Wuhaib dan Sulaiman
bin Bilal seperti yang dikutip oleh Imam Bukhari sendiri, begitu juga
riwayat Ad-Darawardi seperti dikutip oleh Abu N u ' a i m menggunakan
lafazh ganda, yakni, "kedua tangannya." Untuk itu, lafazh tunggal yang
ada pada riwayat Imam Malik ini dipahami bahwa yang dimaksud adalah
jenisnya.
»->—r'j 'i—J—f o l
j * j ^ ' j (Maka beliau berkumur-kumur dan
mengeluarkan air dari hidung sebanyak tiga kali dengan satu kali
cidukan). Lalu riwayat ini pun dijadikan sebagai dalil untuk menyatukan
antara berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung dengan satu
kali cidukan. Akan tetapi, riwayat ini masih perlu diteliti berdasarkan apa
yang telah kami jelaskan yaitu kesatuan sumber riwayat, sehingga
riwayat yang menyatakan bahwa perbuatan itu dilakukan sebanyak tiga
kali harus lebih didahulukan.
J , o - , >
1 8 4 — FATHUL BAARI
secara berurutan yang dijelaskan secara global (mujmal) dalam ayat telah
diterangkan oleh Sunnah dalam bentuk perbuatan Rasulullah.
C T - ^ J ^ 1
ij\ (Hingga kedua siku), demikian lafazh yang dinukil oleh
sebagian besar penulis naskah Shahih Bukhari. Sedangkan dalam naskah
Al Mustamli dan Al Hamawi disebutkan dengan lafazh tunggal, yakni
JJ^> (siku) dan maksudnya adalah jenis.
meskipun kedua makna ini adalah makna lahir (zhahir) huruf J\.
secara mutlak. Adapun mengenai apakah batasan itu masuk dalam bagian
yang disebutkan ataukah tidak, merupakan perkara yang tergantung pada
keterangan yang lain. Maka firman Allah SWT, JM\ J\ ^CaJi \ya) ^> (dan
sempurnakanlah puasa-puasa kamu hingga malam) merupakan dalil tidak
masuknya puasa pada malam hari atau merupakan larangan melakukan
puasa wishal (yakni menyambung puasa hingga malam). Sedangkan
perkataan seseorang, «j—*T ^—![ *Jji j * oT^aJl 'cJai*- (aku menghafal Al
Q u f a n dari awal hingga akhir) memberi indikasi bahwa batasan masuk
dalam bagian yang dimaksud, sebab konteksnya adalah menyatakan
hafalan Al Q u f a n secara keseluruhan."
1 8 6 — FATHUL BAARI
wayatan yang baik (hasan) dari hadits Utsman sehubungan dengan sifat
wudhu disebutkan, j ].»Vi*lt k' ^r-* ^ jlai^Jt JUtf (Beliau
membasuh kedua lengannya sampai siku hingga beliau menyentuh
bagian ujung pangkal lengan). Dalam kaitan ini, diriwayatkan pula dari
Jabir RA, * 'J* «-UJl j b i tij h\ Sy~>j OlST (Biasanya Rasulullah
SAW apabila berwudhu, beliau membasahi kedua sikunya dengan air).
Akan tetapi silsilah periwayatan hadits ini lemah. ' Dalam riwayat Imam
8
Bazzar dan Imam Thabrani, diriwayatkan dari hadits Wa'il bin Hujr
sehubungan dengan sifat wudhu Nabi SAW, j i j ^ JJ^ J*~ t&i* 1
S~*J
(Beliau membasuh kedua lengannya hingga melewati siku). Sementara
dalam riwayat Imam Thahawi dan Thabrani dari hadits Tsa'labah bin
Ibad dari bapaknya dari Nabi SAW, J* s-Ui J l ~ j Js- ^Ipiji J—* jij
(Kemudian beliau membasuh kedua lengannya hingga air mengalir di
kedua sikunya). Riwayat-riwayat ini saling menguatkan satu sama lain.
Ishaq bin Rahawaih berkata, "Lafazh —!' dalam ayat wudhu ada
lS
Hadits yang lebih shahih dari hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam
Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Abu Hurairah RA sehubungan dengan sifat wudhu
Nabi SAW yang mana dikatakan dalam riwayat tersebut, "Kemudian beliau (Abu
Hurairah) membasuh tangannya hingga sampai ke pangkal lengan..." Sampai akhirnya
disebutkan, "Kemudian beliau (Abu Hurairah) membasuh kakinya hingga sampai ke
betis." Hadits ini merupakan hadits yang shahih lagi tegas menyatakan bahwa kedua siku
masuk dalam bagian yang harus dibasuh.
l«—l^ii (aku mengusap kepala anak yatim) dan dikatakan pula, j>\'y cJ*-~»
«
( IJi (aku mengusap kepala anak yatim). Namun ada pula yang
1 8 8 — FATHUL BAARI
tidak diperkenankan hanya menyapu sebagiannya, karena tayammum
hanya sebagai pengganti membasuh muka. Sementara menyapu kepala
adalah perbuatan asasi dan bukan sebagai pengganti. Dari sini dapat
dipahami perbedaan makna huruf ba" pada kedua firman Allah SWT
tersebut. Keterangan ini tidak dapat dikritik dengan mengatakan bahwa
kedua sepatu tidak mesti disapu secara keseluruhan padahal perbuatan ini
merupakan ganti daripada membasuh kedua kaki, karena dalam hal ini
telah ada ijma' yang menyatakan adanya keringanan dalam mengusap
sepatu.
_4_.ilj ^Jiuj tjj (Beliau memulai dari bagian depan kepalanya), secara
lahiriah, lafazh ini termasuk hadits dan bukan kalimat yang disisipkan
oleh Imam Malik. Oleh karena itu, lafazh ini menjadi bantahan terhadap
mereka yang mengatakan bahwa termasuk sunah memulai menyapu dari
bagian belakang kepala atas dasar makna lahir (zhahir) hadits, "Dia
(Abdullah bin Zaid -penerj.) menyapu kepalanya yang ke arah depan dan
yang ke arah belakang." Untuk alasan yang mereka kemukakan ini dapat
dijawab, "Kata sambung yang digunakan dalam teks hadits tersebut
adalah huruf waw (yang diartikan dengan "dan" atau "lalu" -penerj.),
sementara kata sambung dengan menggunakan huruf waw tidak memberi
makna berurutan (tertib)."
Akan disebutkan oleh penulis (Imam Bukhari) sebuah riwayat dari
Sulaiman bin Bilal, dimana dikatakan, "Beliau (Abdullah bin Zaid)
menyapukan kedua tangannya ke arah belakang lalu ke arah depan."
Dengan demikian makna lahir (zhahir) riwayat yang mereka sebutkan
tidak dapat dijadikan hujjah, karena menarik tangan ke depan dan ke
1 9 0 — FATHUL BAARI
belakang adalah perkara yang relatif. Sementara dalam hadits tidak
dijelaskan mana yang dimaksud dengan arah depan dan arah belakang.
Padahal sumber penukilan kedua riwayat tersebut adalah sama. Oleh
karena itu, keduanya memiliki makna yang sama pula.
Lalu dalam riwayat Imam Malik dijelaskan bahwa beliau SAW
mulai menyapu bagian depan kepala. Dengan demikian lafazh hadits
yang berbunyi, JJtf (menarik ke depan) harus dipahami sebagai salah satu
bentuk gaya bahasa yang menamakan suatu perbuatan dengan permulaan
perbuatan itu sendiri. Sehingga makna hadits tersebut menurut
pemahaman ini adalah, "Beliau mulai bagian depan kepalanya." Namun
ada pandangan yang mengartikan lain.
Hikmah mengarahkan tangan ke bagian depan dan bagian belakang
adalah untuk meratakan sapuan ke seluruh kepala Maka atas dasar ini,
perbuatan tersebut berlaku khusus bagi mereka yang memiliki rambut.
Akan tetapi, pandangan yang masyhur dari mereka yang mewajibkan
menyapu seluruh kepala bagi mereka yang memiliki rambut adalah wajib
hukumnya. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki rambut hukum-
nya sunah. Dari sini menjadi jelas kelemahan pendapat yang menjadikan
hadits ini sebagai dalil untuk mengharuskan menyapu seluruh kepala,
wallahu a 'lam.
1 9 2 — FATHUL BAARI
pada tingkat disukai dan bukan wajib. Sebagaimana beliau berdalil pula
dengan hadits ini untuk menyatakan tidak perlu mengulang mengusap
kepala dan mengumpulkan antara berkumur-kumur dan memasukkan air
ke dalam hidung, seperti yang akan dibahas dalam bab tersendiri.
Terakhir beliau menjadikan hadits ini sebagai dalil yang membolehkan
bersuci dari bejana yang terbuat dari tembaga dan lainnya.
Keterangan Hadits:
Akan tetapi dalam riwayat Ibnu Asakir dari Abu Al Waqt dari jalur
Sulaiman bin Bilal -seperti yang akan disebutkan nanti- dikatakan,
"Kemudian dia memasukkan kedua tangannya." Namun kalimat itu tidak
ada dalam riwayat Abu Dzar dan Al Ashili serta diriwayat-riwayat selain
Bukhari, demikian dikatakan oleh Imam Nawawi. Namun saya mengira
bahwa bejana yang dipakai saat itu cukup kecil, maka beliau menciduk
dengan satu tangan lalu menuangkan air ke tangan yang satunya,
sebagaimana perbuatan seperti ini disebutkan dalam riwayat Ibnu Abbas
yang terdahulu. Karena kalau bukan sebab ini, maka menciduk air
dengan kedua tangan lebih mudah dan lebih banyak memperoleh air,
seperti dikatakan Imam Syafi'i.
1 9 4 — FATHUL BAARI
.JJJ» aJoJ J — p jii (Kemudian beliau membasuh kedua tangannya dua
kali) yang dimaksud adalah membasuh masing-masing dari dua tangan
sebanyak dua kali seperti yang telah disebutkan dari jalur periwayatan
Malik, dimana dikatakan, "Kemudian beliau membasuh kedua tangannya
dua kali-dua kali." Lafazh hadits di atas tidak dimaksudkan mencuci dua
kali untuk kedua tangan, sehingga setiap tangan hanya dicuci satu kali.
J ^23 ^y» (jo'LJl Jjt^t-S ^3 f. y}> y fj>^ & j -^t- L^Jl_> ;£§l
i» o o ' a ° '
1 9 6 — FATHUL BAARI
musta'mal. Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya katakan,
"Sesungguhnya telah dinukil dalam riwayat yang dapat dipertanggung-
jawabkan keabsahannya, bahwa siwak dapat membersihkan atau men-
sucikan mulut. Maka apabila ia bercampur dengan air lalu air tersebut
dipakai berwudhu, dalam hal ini terjadi pemakaian air musta 'mal untuk
bersuci."
s t a.
f" - ' y
Keterangan Hadits:
Abu Musa yang dimaksud adalah Abu Musa Al Asy'ari. Hadits ini
adalah penggalan dari hadits panjang yang disebutkan oleh penulis dalam
kitab Al Maghazi. Adapun permulaannya, "Telah diriwayatkan dari Abu
Musa, ia berkata, "Aku pernah bersama Nabi SAW di Ji'ranah dan beliau
ditemani oleh Bilal, lalu beliau SAW didatangi oleh seorang Arab
badui...." Selanjutnya Abu Musa menceritakan kisah selengkapnya.
Maka dari keterangan ini diketahuilah dua orang yang dimaksud oleh
Nabi SAW dalam sabdanya, "Oleh kalian berdua...", yakni Abu Musa Al
Keterangan Hadits:
Urwah yang dimaksud adalah Urwah bin Az-Zubair, sedangkan
Miswar adalah Miswar bin Makhramah.
1 9 8 — FATHUL BAARI
wayatannya secara bersambung hingga kepada nabi SAW dalam bab Asy-
Syuruth.
Al Karmani berkata, "Riwayat ini meskipun dinukil dari seorang
yang tidak diketahui (majhul), namun kedudukannya di sini hanyalah
sebagai penguat, sehingga posisinya tidaklah sama dengan riwayat yang
menjadi dasar atau bukan menjadi penguat."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Perkataan Al Karmani benar adanya.
Akan tetapi di tempat ini tidak perlu dijadikan sebagai alasan, sebab
perawi yang tidak disebutkan namanya dalam hadits itu telah diketahui.
Hanya saja beliau tidak menyebutkan namanya di sini untuk meringkas,
sebagaimana beliau meringkas silsilah periwayatannya hingga meng-
hapus sebagian besar para perawinya."
Akan tetapi karakter para imam hadits menyalahi apa yang beliau
(Al Karmani) katakan. Al Karmani tetap dalam pendiriannya seperti ini
hingga beliau mengklaim bahwa perkataan dalam hadits, "Setiap salah
satu dari mereka membenarkan yang lainnya.." maksudnya adalah
Miswar dan Mahmud. Padahal kenyataan bukan seperti apa yang beliau
klaim, bahkan yang dimaksud di sini adalah Miswar dan Marwan.
Pandangan Al Karmani di atas berdasarkan pertimbangan akal semata,
sementara kembali kepada kaidah periwayatan dalam masalah itu sendiri
merupakan langkah yang lebih baik untuk ditempuh.
Keterangan Hadits:
(Bab) demikian yang diriwayatkan oleh Al Mustamli, seakan-akan
perkataan ini hanyalah sebagai pembatas antara pembahasan sebelum
dengan pembahasan sesudahnya. Adapun perawi Shahih Bukhari selain
Al Mustamli tidak menyebutkan lafazh bab di tempat ini.
J v ^ j * {Diriwayatkan
1
dari Ja 'd), demikian yang tertulis dalam
naskah ini. Namun dalam nukilan mayoritas perawi Shahih Bukhari
tertulis ^ - s * ^ (Al Ju'aid) dan inilah yang masyhur. Adapun As-Sa'ib bin
1
2 0 0 — FATHUL BAARI
Yazid tergolong sahabat yang berumur muda, dan haditsnya akan dijelas-
kan nanti pada pembahasan tentang "Tanda-tanda Kenabian," insya
Allah.
dengan kain, permadani serta gorden terbuat dari tali-tali yang dihiasi
dengan butiran-butiran (seperti kalung,-Penerj.) Adapula yang mengata-
kan bahwa yang dimaksud dengan SLvJi adalah sejenis burung, dimana
jenis betinanya dinamakan Hajalah. Atas dasar makna kedua ini, maka
yang dimaksud dengan Zirr adalah telurnya. Pengertian kedua ini
diperkuat oleh hadits lain yang berbunyi, "(Cap kenabian itu) seperti
telur burung merpati." Pembahasan secara lengkap akan dijelaskan pada
sifat Nabi SAW.
Maksud Imam Bukhari berdalil dengan hadits-hadits di atas adalah
untuk membantah pendapat yang mengatakan najisnya air musta 'mal,
yaitu pendapat Abu Yusuf. Telah diriwayatkan oleh Imam Syafi'i dalam
kitab Al Umm dari Muhammad bin Al Hasan, bahwa Abu Yusuf telah
meralat pendapatnya. Namun setelah dua bulan kemudian beliau kembali
kepada pendapatnya semula.
Adapun dari Abu Hanifah dinukil tiga riwayat; p e r t a m a , air
musta 'mal suci dan tidak dapat dipakai bersuci. Ini merupakan riwayat
Muhammad bin Al Hasan dari Abu Hanifah, sekaligus pendapat
Muhammad bin Al Hasan sendiri serta Imam Syafi'i dalam fatwanya
yang baru dan merupakan pendapat yang difatwakan dalam madzhab
Abu Hanifah. K e d u a , air musta'mal hukumnya najis yang ringan
(mukhaffafah), ini adalah riwayat Abu Yusuf dari Abu Hanifah. Ketiga,
air musta 'mal adalah najis berat (mughalladhah), pendapat ini diriwayat-
kan oleh Al Hasan Al Lu'lu'ai dari Abu Hanifah.
Hadits-hadits di atas membantah pendapat yang menyatakan bahwa
air musta'mal, adalah najis karena najis tidak dapat dipakai untuk men-
dapatkan berkah. Sementara hadits tentang Nabi SAW menyemprotkan
air dari mulutnya ke muka As-Sa'ib bin Yazid meski tidak ada keterang-
an tegas mengenai wudhu, akan tetapi dapat diterangkan dengan me-
ngatakan, "Jika orang yang berpendapat bahwa air musta 'mal hukumnya
najis dengan alasan bahwa air tersebut dinisbatkan atau ditambahkan
kepada sesuatu yang lain, maka dapat dijawab bahwa air tersebut
2 0 2 — FATHUL BAARI
191. Diriwayatkan dari Amru bin Yahya dari bapaknya, dari
Abdullah bin Zaid bahwa dia (Abdullah bin Zaid) menuangkan air
dari bejana kepada kedua tangannya lalu membasuh keduanya.
Kemudian membasuh atau berkumur-kumur dan mengeluarkan air
dari hidung dari satu telapak tangan, dia lakukan hal itu sebanyak
tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya hingga ke siku
sebanyak dua kali-dua kali, dan menyapu kepalanya yang ke arah
depan dan yang ke arah belakang. Kemudian membasuh kedua
kakinya hingga kedua mata kaki, lalu berkata, 'Demikianlah
wudhu Rasulullah SA W."
Keterangan Hadits:
(Orang yang berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung
dengan satu cidukan). Pembahasan ini telah dibahas pada bab mengusap
kepala, dan diterangkan pada hadits Ibnu Abbas di awal pembahasan
wudhu.
"^ f i
J s
'j* [Dari satu telapak tangan) Demikian yang disebutakan
dalam riwayat Abu Dzar, sedang dalam salah satu teks disebutkan, j ?
S ^—J* frj—Ij 5^ ^ J^ l^ 1
o*
" y y ? " y
y ^ y ^y y y y^y y y ^y y^^, y y
y
.
y fiy
,
y
, • s
y
Qy O
y
y OyO
y
y s O s
y
M y ,
9
,
}
y y
y
, y
Q
f
y
% y Q y s * O yy y O y^y J ^- O
^ i oJu JJ-^l jt-J U-g-,' ^-^Ij 4jJ_j J*»1J 4—1 7T-~~»i «.U^l ^ i
^ ;Jli J i J j i - ;Jli y Uj-lJj .4^1>rj J J J T S {.Ij^I
: ^ J f
2 0 4 — FATHUL BAARI
kecil berisi air lalu berwudhu untuk mereka. Dia menuangkan air
kepada dua tangannya seraya mencuci keduanya tiga kali,
kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu
berkumur-kumur dan memasukkan serta mengeluarkan air dari
hidung sebanyak tiga kali dengan tiga cidukan. Kemudian
memasukkan tangannya di bejana lalu membasuh wajahnya tiga
kali. Kemudian memasukkan tangannya di bejana lalu membasuh
kedua lengannya hingga kedua siku dua kali-dua kali. Kemudian
memasukkan tangannya ke dalam bejana dan menyapu kepalanya
seraya mengarahkan tangannya ke depan dan ke belakang.
Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu
membasuh kedua kakinya.'" Musa telah menceritakan kepada
kami, ia berkata, "Telah menceritakan kepada kami Wuhaib, ia
berkata, "Beliau menyapu kepalanya satu kali."
K e t e r a n g a n Hadits:
(Membasuh kepala satu kali) dalam riwayat Al Ashili, disebutkan
"Satu kali sapuan."
t-—_»'j» j'yj Uvjj (Maka beliau minta dibawakan bejana kecil berisi
air) Demikian lafazh yang dinukil oleh kebanyakan perawi Shahih
Bukhari, sedangkan dalam riwayat Al Kasymihani disebutkan, IpoS
Telah disebutkan terdahulu bahwa ini adalah tambahan yang menyalahi riwayat orang
yang lebih tsiqah (dan riwayat seperti ini dinamakan syadz) sehingga tidak dapat
dijadikan pegangan. Wallahu A 'lam.
Kitab yang beliau tulis dalam rangka membantah Abu Zaid Ad-Dabusi.
2 0 6 — FATHUL BAARI
Dalil terkuat yang menunjukkan tidak adanya pengulangan dalam
menyapu kepala adalah hadits masyhur yang dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dari selainnya dari jalur periwayatan Abdullah bin Amru bin
Al Ash mengenai sifat wudhu Nabi SAW, dimana beliau bersabda setelah
selesai berwudhu, "Barangsiapa yang menambahkan dari yang demikian
ini, sungguh ia telah berlaku buruk lagi zhalim."
Sementara dalam riwayat Sa'id bin Manshur terhadap hadits di atas
terdapat ketegasan, bahwa beliau SAW menyapu kepalanya satu kali. Hal
ini mengindikasikan bahwa menyapu kepala lebih dari satu kali tidaklah
disukai. Adapun riwayat-riwayat yang menerangkan adanya pengulangan
dalam menyapu kepala -apabila terbukti kebenarannya- maka harus
dipahami bahwa maksudnya adalah untuk meratakan sapuan, dimana
pemahaman seperti itu untuk mengompromikannya dengan riwayat-
riwayat yang menyatakan tidak adanya pengulangan dalam menyapu
kepala.
Catatan Penting
Dalam hadits sebelumnya tidak disebutkan "membasuh muka". Al
Karmani mengatakan bahwa sebenarnya membasuh muka inilah yang
dimaksud dengan perkataan perawi, "kemudian beliau membasuh atau
berkumur-kumur..." sehingga -menurut beliau- bunyi lengkap hadits itu
adalah, "Beliau membasuh mukanya atau berkumur-kumur dan
memasukkan air ke hidung." Aku (Ibnu Hajar) berkata, "Tidak
tersembunyi lagi betapa jauhnya pernyataan ini dari yang sebenarnya."
Sebab, hadits yang dimaksud telah diriwayatkan pula oleh Imam Muslim
dan Al Isma'ili. Dalam riwayat keduanya -setelah menyebutkan
mengenai berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung- dikatakan,
"Kemudian beliau membasuh mukanya tiga kali." Dari sini dapat
diketahui bahwa Musaddad telah meringkas hadits ini sebagaimana telah
dijelaskan bahwa lafazh yang mengindikasikan keraguan dalam hadits itu
bersumber darinya.
Al Karmani berkata, "Diperkenankan untuk tidak menyebutkan
"membasuh muka" dalam hadits tersebut karena tidak adanya per-
selisihan. Berbeda dengan selainnya, seperti berkumur-kumur dan me-
masukkan air ke dalam hidung. Yang diperselisihkan adalah, apakah
dilakukan dengan satu cidukan sekaligus atau masing-masing satu
' 0
) ' "* * ' * J- ' ' ' ' ^s' j *
Keterangan Hadits:
(Umar berwudhu dengan air panas), maksudnya air yang hangat.
Dalam riwayat ini disebutkan secara bersambung kepada Umar oleh
Sa'id bin Manshur dan Abdurrazzaq dan selain keduanya dengan silsilah
periwayatan yang shahih. Lafazhnya adalah, < * — O l T 01
2 0 8 — FATHUL BAARI
darinya). Ad-Daruquthni menambahkan bahwa silsilah peri-wayatan
hadits tersebut shahih.
Adapun kesesuaian riwayat Umar dengan judul bab adalah bahwa
umumnya istri seseorang mengikuti apa yang dilakukan oleh suaminya,
maka dari sini Imam Bukhari memberi isyarat sebagai bantahan terhadap
mereka yang berpendapat tidak boleh bagi seorang wanita berwudhu
menggunakan sisa air yang dipakai oleh laki-laki. Sebab, secara lahiriah
hadits itu mengindikasikan bahwa istri Umar berwudhu dengan sisa air
yang beliau pakai atau berwudhu bersamanya. Dari sini didapatkan
kesesuaian riwayat Umar dengan perkataan Imam Bukhari pada judul
bab, "Seorang laki-laki berwudhu bersama isterinya..." yakni dari satu
bejana. Adapun masalah bersuci dengan air yang hangat (yang
dipanaskan), para ulama sepakat membolehkannya kecuali satu riwayat
yang dinukil dari Mujahid.
j aIIp aJUI JLP aJJI Jj~.j JUj J> (Di zaman Rasulullah SA W). Dari
sini dapat kita ambil pelajaran bahwa Imam Bukhari berpendapat jika
sahabat menisbatkan suatu perbuatan ke zaman Nabi SAW, maka
perbuatan itu dihukumi sama seperti yang langsung berasal dari Nabi
SAW. Ini merupakan pendapat yang benar. Namun, telah dinukil dari
2 1 0 — FATHUL BAARI
sebagian orang pendapat yang menyelisihinya dengan alasan ada
kemungkinan Nabi SAW tidak mengetahui perbuatan tersebut. Tapi
pendapat ini lemah, karena adanya berbagai kemudahan bagi para
sahabat untuk bertanya langsung kepada Nabi SAW mengenai perkara-
perkara yang terjadi dan belum mereka ketahui hukumnya. Seandainya
mereka tidak bertanya, tentu mereka tidak akan dibiarkan melakukan
perbuatan yang menyalahi syariat di saat wahyu masih turun. Bahkan,
Abu Sa'id dan Jabir telah berdalil tentang bolehnya seseorang melakukan
azal (mengeluarkan air mani di luar rahim istrinya -Penerj) sementara Al
Qur'an masih diturunkan. Seandainya perbuatan itu di-larang, tentu Al
Qur'an melarangnya.
Ibnu Majah memberi tambahan dari jalur Hisyam bin Ammar dari
Malik pada riwayat ini, J f i j 'y» (Dari satu bejana). Abu Dawud juga
menambahkan dari jalur Ubaidillah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar,
\—Zx>\ 4—li ^ — l U (Kami memasukkan tangan-tangan kami ke dalamnya).
Dalam riwayat ini terdapat keterangan bahwa menciduk air sedikit tidak
menjadikan air tersebut menjadi air musta 'mal, sebab bentuk bejana
mereka umumnya kecil seperti yang ditegaskan oleh Imam Syafi'i dalam
kitab Al Umm. Hadits ini juga merupakan dalil sucinya wanita kafir yang
tunduk dalam kekuasaan islam (dzimmiyah) serta sucinya sisa air yang
dia pakai bersuci, karena menikah dengannya diperbolehkan serta tidak
ada pembedaan dalam hadits antara muslimah dan selainnya.
Pandangan paling baik dalam hal ini adalah, "Tidak ada halangan
berkumpulnya laki-laki dan wanita sebelum turun ayat tentang hijab.
Adapun setelah ayat itu turun, maka kebolehan tersebut hanya khusus
antara laki-laki dan istri-istrinya maupun wanita-wanita yang menjadi
mahram."
Dinukil oleh Ath-Thahawi kemudian Al Qurthubi serta An-
Nawawi akan adanya kesepakatan para ulama yang membolehkan
seorang laki-laki mandi bersama istrinya dari satu bejana. Akan tetapi
perkataan mereka ini masih perlu dianalisa kembali, karena riwayat Ibnu
Mundzir mengatakan bahwa Abu Hurairah melarang perbuatan seperti
itu. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Barr dari
beberapa ulama. Namun hadits di atas menjadi hujjah untuk menolak
pandangan seperti ini.
2 1 2 — FATHUL BAARI
laki-laki menggunakan sisa air yang dipakai oleh wanita secara bersama-
sama.
Telah dinukil oleh Al Maimuni dari Imam Ahmad, bahwasanya
hadits-hadits yang melarang seorang laki-laki bersuci dengan sisa air
yang digunakan oleh wanita serta yang membolehkannya adalah hadits-
hadits yang goncang (mudhtharib). Beliau berkata, "Akan tetapi, telah
dinukil melalui riwayat shahih dari sejumlah sahabat tentang keterangan
yang melarang laki-laki menggunakan sisa air yang dipakai wanita
apabila sang wanita sendirian dalam menggunakan air tersebut. Namun
keterangan ini bertentangan dengan pandangan yang membolehkan hal
itu sebagaimana dinukil dari sejumlah sahabat, di antaranya Ibnu Abbas."
Wallahu a 'lam.
2 1 4 — FATHUL BAARI
dari badan. Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan, berlaku bagi air
yang tersisa di tempat penampungan air. Demikian yang dilakukan oleh
Al Khaththabi. Mungkin dikatakan bahwa riwayat-riwayat tentang
larangan hanya berindikasi tanzih (lebih baik jika tidak dilakukan) demi
untuk menyatukan antara dalil-dalil yang ada, wallahu a 'lam.
\PUMGWNNAM
4 Ul J J—'J f-^ -
• Jj^d 1J^^" • J L* j-^JL«Jl ^jJ WUOTL^
Keterangan Hadits:
2 1 6 — FATHUL BAARI
beliau SAW mendapatiku dalam keadaan pingsan". Lafazh inilah yang
sesuai dengan judul bab di atas.
Keterangan Hadits:
(Mandi dan wudhu di mikhdhab), maksudnya adalah jenis bejana
yang biasa dipakai untuk mencuci pakaian atau selainnya baik yang
terbuat dari batu maupun kayu. Terkadang lafazh mikhdhab dipergunakan
sebagai nama bagi bejana baik yang besar maupun kecil. Adapun Qadah
umumnya terbuat dari kayu dengan model agak mengecil di bagian
atasnya (mirip tempayan). Adapun disambungkannya kata kayu dan batu
setelah kata mikhdhab dan qadah bukan sekedar untuk menyambung kata
yang umum setelah kata yang khusus, bahkan hal ini untuk menjelaskan
bahwa antara mikhdhab dan Qadah terdapat kesamaan dari satu segi dan
kekhususan dari segi yang lain.
2 1 8 — FATHUL BAARI
196. Diriwayatkan dari Abu Musa bahwasanya Nabi SAW minta
dibawakan satu qadah (bejana mirip tempayan) yang berisi air,
lalu beliau membasuh kedua tangannya dan mukanya di qadah
tersebut serta menyemprotkan air di mulutnya ke dalam tempat
tersebut.'"
y O y s ' i y . s I , y y y , y y y y V y
I. s* y
y y
0, > y Oy ,~J^n
i j
<*t,
y
' '
y
.
y
* t
$
. f
yy
0
y .
y
y }
0 y
* ,
j » Jli V o l i J ^ Cr J -^ o " ^ ^- ^ ^
4 1
1 1
y y f
. • y * ' y . . 0 y 0 y y . y
y y " y y~ "
•cf^ J \ ^ ^ ^ J l
- ^ ^ ^
2 2 0 — FATHUL BAARI
198. Sesungguhnya Aisyah berkata, "Ketika sakit Nabi bertambah
parah, beliau minta izin kepada semua istrinya untuk dirawat di
rumahku, dan mereka pun mengizinkannya. Lalu Rasulullah SA W
keluar dipapah oleh dua orang laki-laki dan kaki beliau membuat
garis di atas tanah. Beliau diapit oleh Abbas dan seorang laki-laki
yang lain. " Ubaidillah berkata, "Aku mengabarkan hal itu kepada
Abdullah bin Abbas, maka beliau berkata, 'Tahukah engkau siapa
laki-laki yang lain itu?' Aku menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas
berkata, 'Dia adalah Ali.'" Selanjutnya Aisyah menceritakan
bahwa Nabi SAW setelah masuk ke dalam rumahnya dan sakitnya
semakin parah, beliau bersabda, "Siramlah aku dengan air yang
masih belum bercampur dengan sesuatu (masih murni) sebanyak
tujuh timba. Mudah-mudahan aku dapat membuat perjanjian
(wasiat) dengan manusia. " Lalu beliau didudukkan di mikhdhab
(bejana) milik Hafshah (salah seorang istri beliau), kemudian kami
mulai menyiramnya dengan air dari tujuh timba tersebut hingga
beliau mengisyaratkan kepada kami "sudah cukup". Kemudian
beliau keluar (pergi ke masjid) menemui manusia (jamaah).
Keterangan Hadits:
2 2 2 — FATHUL BAARI
kepada kedua tangannya dari bejana tersebut lalu membasuh
keduanya sebanyak tiga kali, kemudian memasukkan tangannya ke
dalam taur lalu berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari
hidung sebanyak tiga kali dari satu cidukan. Kemudian
memasukkan tangannya dan menciduk air dengannya lalu
membasuh mukanya tiga kali. Kemudian membasuh kedua
lengannya hingga siku dua kali-dua kali, kemudian mengambil air
dengan tangannya lalu menyapu kepalanya sambil mengarahkan
ke depan dan ke belakang, kemudian membasuh kedua kakinya,
setelah itu berkata, 'Seperti inilah aku melihat Nabi SAW
berwudhu.''"
Keterangan Hadits:
(Berwudhu dari Taur) pembahasan mengenai hadits ini telah
disebutkan sebelumnya. Adapun yang dimaksud dengan taur adalah
bejana yang serupa dengan thist (bejana bundar yang terbuat dari
tembaga atau sejenisnya dan dipakai untuk mencuci). Adapula yang
mengatakan bahwa taur adalah thist. Namun disebutkan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Anas mengenai Mi'raj Nabi SAW, "Lalu
didatangkan sebuah thist yang terbuat dari emas, di dalamnya ada taur. "
Makna hadits ini secara lahiriah, bahwa kedua bejana ini memiliki
perbedaan. Namun adapula kemungkinan keduanya sama, hanya saja
thist lebih besar dari taur.
s £ y
' " £ "
J y O* . y Oy y * * y y 0 y y y . if yt . y t t)y O } %0 y
\ Oi*r- > J
I- 4
w^ 9
J-* ^ ( _ / ~ J l JI-* 4AJU=>I ^ jA-^J
Keterangan Hadits:
2 2 4 — FATHUL BAARI
yang diriwayatkannya dengan judul bab "Berwudhu dari bejana kaca",
sebagai lawan perkataan golongan tasawuf yang mengatakan perbuatan
seperti itu termasuk berlebih-lebihan karena bejana yang demikian cepat
pecah.
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Lafazh seperti yang dinukil oleh Ibnu
Khuzaimah hanya diriwayatkan dari jalur Ahmad bin Abdah, sementara
para perawi yang lain dari Hammad bin Zaid menyalahi beliau. Mereka
mengatakan, 'bejana yang bagian atasnya'. Sebagian dari mereka
mengatakan, 'Luas bagian mulutnya.''" Lafazh terakhir ini adalah riwayat
Al Isma'ili dari Abdullah bin Najiyah dari Muhammad bin Musa dan
Ishaq bin Abu Isra'il dan Ahmad bin Abdah yang mana semuanya
meriwayatkan dari Hammad bin Zaid. Seakan-akan Al Isma'ili
menyebutkan riwayat menurut versi Muhammad bin Musa.
K e t e r a n g a n Hadits:
2 2 6 — FATHUL BAARI
syaikh dari kalangan Anshar yang biasa dipanggil Ibnu Jabr. Dengan
demikian dalam riwayat hadits ini terdapat dua orang ulama Kufah, yaitu
Abu Nu'aim dan gurunya serta dua orang ulama Bashrah, yaitu Anas dan
yang meriwayatkan darinya.
^L_^aJb (Sebanyak satu sha *) Sha' adalah suatu wadah yang mampu
menampung 5 1/3 rithl ukuran Baghdad. Menurut sebagian ulama
madzhab Hanafi, ia dapat menampung 8 rithl.
^3 u—> J I
J* rr^ A j l
^ ^ u* u^3 ^ u'- ^ u*
S* i' ^ i' i' i' i' i' ^ i' j' ^ &
s } } 0 -• i* • 'O. f O' f ^ I
0
i * t^Ss *" ""t l ' 'f 9
'
202. Diriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqas dari Nabi SAW,
bahwasanya beliau menyapu bagian atas sepasang sepatunya dan
Abdullah bin Umar bertanya tentang hal itu kepada Umar, maka
Umar menjawab, "Benar. Apabila Sa 'ad menceritakan kepadamu
sesuatu yang berasal dari Nabi SA W, maka jangan tanya mengenai
hal itu kepada orang lain. " Musa bin Uqbah berkata, "Telah
menceritakan kepadaku Abu An-Nadhr bahwasanya Abu Salamah
mengabarkan kepadanya, sesungguhnya Sa'ad menceritakan
2 2 8 — FATHUL BAARI
kepadanya... maka Umar berkata kepada Abdullah perkataan
seperti di atas."
Keterangan Hadits:
(Mengusap bagian atas sepasang sepatu) Telah dinukil oleh Ibnu
Mundzir dari Ibnu Mubarak, ia berkata, "Tidak ada perselisihan di antara
sahabat Nabi SAW mengenai mengusap sepasang sepatu. Sebab setiap
individu di antara meraka yang diriwayatkan darinya keterangan yang
mengingkari hal itu, telah diriwayatkan pula dari mereka keterangan lain
yang menyatakan sebaliknya." Ibnu Abdul Barr berkata, "Aku tidak
mengetahui adanya riwayat dari seorang pun di kalangan salaf yang
mengingkari perbuatan ini kecuali apa yang dinukil dari Imam Malik,
sementara riwayat-riwayat yang shahih dari beliau menyatakan sebalik-
nya." Demikian pula Imam Syafi'i telah mengisyaratkan dalam kitabnya
Al Umm tentang pengingkaran terhadap perkataan penganut madzhab
Maliki.
2 3 0 — FATHUL BAARI
&JJ- ils- j L i Vi (Maka jangan tanya mengenai hal itu kepada orang
lain). Hal ini karena kepercayaan yang demikian tinggi terhadap apa yang
diriwayatkan Sa'ad. Dalam pernyataan ini terdapat dalil bahwa sifat-sifat
yang menjadi faktor pendukung kebenaran suatu riwayat apabila
berkumpul dan menyertai khabar ahad (hadits yang diriwayatkan oleh
satu orang), maka sifat-sifat tersebut dapat menggantikan fungsi
keberadaan periwayat-periwayat lain. Bahkan menurut sebagian ulama,
hal tersebut dapat menghasilkan ilmu (keyakinan), namun menurut yang
lainnya tidaklah demikian. Demikian pula perkataan Umar mengindi-
kasikan bahwa beliau menerima khabar ahad. Adapun keterangan yang
menyatakan bahwa beliau tawaqquf (tidak menentukan sikap apakah
menerima atau menolak) terhadap khabar ahad hanya apabila terjadi hal-
hal tertentu yang mengundang keraguan, dan ini hanya terjadi pada
sebagian keadaan.
Lalu riwayat ini dijadikan dalil pula oleh sebagian orang yang
berpendapat adanya perbedaan tingkatan 'adalah (komitmen agama
seseorang dalam tinjauan ilmu periwayatan -Penerj). Serta merupakan
dalil dibolehkannya menguatkan salah satu riwayat dari dua riwayat yang
saling kontradiksi. Perbedaan mengenai 'adalah dapat dilihat dalam
masalah periwayatan dan persaksian.
Hadits di atas menerangkan juga penghormatan yang besar dari
Umar bin Khaththab kepada Sa'ad. Di samping itu, hadits ini mengindi-
kasikan bahwa seorang sahabat yang lama bersama Nabi SAW bisa saja
tidak mengetahui perkara-perkara yang lumrah dalam syariat, sementara
sahabat lainnya mengetahui. Sebab, Ibnu Umar mengingkari perkara
mengusap bagian atas kedua kaki padahal beliau tergolong sahabat senior
dan banyak meriwayatkan hadits dari Nabi SAW.
Kisah Ibnu Umar ini disebutkan oleh Imam Malik dalam kitab Al
Muwaththa' dari nafi' dan Abdullah bin Dinar, bahwa keduanya
memberitahukan kepadanya, "Sesungguhnya Ibnu Umar datang ke Kufah
menemui Sa'ad yang saat itu sebagai pemimpin di Kufah. Ibnu Umar
melihat Sa'ad menyapu di atas kedua sepatu dan ia pun mengingkari
perbuatan Sa'ad. Maka Sa'ad berkata kepadanya, 'Tanyakan kepada
bapakmu.' Lalu disebutkan seperti di atas." Namun ada kemungkinan
bahwa yang diingkari oleh Ibnu Umar hanyalah perkara menyapu sepatu
pada saat mukim (berdomisili) dan bukan ketika dalam keadaan safar
(bepergian), berdasarkan makna lahiriah kisah ini.
•Cx^ ]
J* £~~*-5 9 ^ 'u? &
2 3 2 — FATHUL BAARI
K e t e r a n g a n Hadits:
"Jihad" ditambahkan, 4-*l_i AJS-J (Dan saat itu beliau memakai jubah
2 3 4 — FATHUL BAARI
2. Disukainya untuk senantiasa berada dalam keadaan suci ber-
dasarkan perintah beliau SAW kepada Al Mughirah agar
mengikutinya dengan membawa bejana berisi air, padahal air itu
tidak beliau pergunakan untuk istinja' namun hanya dipergunakan
untuk berwudhu saat kembali dari buang hajat.
3. Boleh minta bantuan kepada orang lain saat berwudhu, seperti
dijelaskan pada bab terdahulu.
4. Mencuci tangan yang bersentuhan dengan kotoran saat istinja'
(cebok) menggunakan batu.
5. Kotoran itu tidak dianggap hilang tanpa dicuci dengan air, dan
menggunakan debu atau tanah untuk menghilangkan bau yang
tidak enak.
Dari hadits ini dapat ditarik kesimpulan hukum, bahwa kotoran
yang telah menyebar melebihi kebiasaan maka harus dihilangkan dengan
air. Dalam hadits itu terdapat pula keterangan bolehnya menggunakan
kulit bangkai yang telah disamak, dan boleh memakai pakaian orang kafir
sampai diketahui secara pasti bahwa pakaian tersebut mengandung najis.
Hal ini karena Nabi SAW pernah memakai pakaian buatan orang
Romawi tanpa mengecek terlebih dahulu.
Hadits ini dijadikan pula sebagai dalil oleh Imam Qurthubi untuk
menyatakan bahwa bulu binatang tidak lantas menjadi najis setelah
binatang itu mati, sebab jubah yang dikenakan Nabi SAW saat itu adalah
buatan Syam. Sementara negeri Syam saat itu masih tergolong negeri
kafir, dimana makanan penduduknya umumnya adalah bangkai.
Kemudian hadits ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengata-
kan, bahwa hukum bolehnya menyapu di atas kedua sepatu telah dihapus
oleh ayat tentang wudhu yang tersebut dalam surah Al Maa'idah, karena
ayat ini turun pada saat perang Al Marisi'. Sementara kisah di atas terjadi
pada saat perang Tabuk, dan telah disepakati bahwa perang Tabuk terjadi
setelah perang Al Marisi'. Hadits Jarir Al Bajli yang semakna dengan ini
akan disebutkan pada pembahasan tentang "Shalat", insya Allah.
Faidah lain dari hadits ini adalah; bersungguh-sungguh dan cekatan
dalam melakukan safar (berpergian), boleh memakai pakaian yang tidak
terlalu longgar saat safar karena hal itu lebih memudahkan perjalanan,
senantiasa melakukan sunah-sunah wudhu meskipun dalam perjalanan,
diterimanya khabar ahad meskipun berasal dari seorang wanita, baik
2 3 6 — FATHUL BAARI
Ma 'mar dari Yahya dari Abu Salamah dari Amru. Ia berkata, 'Aku
melihat nabi...."
Keterangan Hadits:
4_J_>-j As»Uf Js> (Di atas sorbannya dan kedua sepatunya) demikian
yang diriwayatkan oleh Al Auza'i yang merupakan lafazh yang masyhur
darinya. Lalu sebagian perawi yang menerima hadits ini dari Al Auza'i
tidak menyebutkan Ja'far dalam jalur periwayatannya. Ini merupakan
suatu kesalahan seperti yang dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi.
2 3 8 — FATHUL BAARI
sepatu tidak dapat diterima, karena melepas sepatu telah menimbulkan
kesulitan berbeda dengan melepas surban."
Pandangan Al Khaththabi ini dibantah dengan mengatakan, bahwa
mereka yang membolehkan menyapu surban mensyaratkan jika meng-
alami kesulitan dalam melepaskannya sebagaimana melepaskan sepatu.
Mereka mengatakan pula sesungguhnya kewajiban membasuh anggota
wudhu ini (kepala) gugur waktu melakukan tayammum, maka boleh
mengusap sesuatu yang menutupinya sebagaimana sepatu. Mereka
menambahkan, bahwa ayat di atas tidak menafikan hal ini khususnya
bagi mereka yang mengartikan lafazh muhtamal (mengandung beberapa
kemungkinan) dengan makna hakikat dan majaz (kiasan). Sebab
seseorang yang mengatakan, "Aku mencium kepala si fulan" dapat
dibenarkan meski ia hanya mencium sesuatu yang menutupi kepala orang
itu. Inilah pendapat Al Auza'i, Ats-Tsauri (dalam salah satu riwayat dari
beliau), Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Thabari, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Mundzir dan selain mereka.
Ibnu Mundzir berkata, "Pendapat seperti itu telah dinukil pula dari
Abu Bakar dan Umar, sementara telah diriwayatkan dari Nabi SAW
bahwa beliau bersabda, 'Jika manusia mengikuti Abu Bakar dan Umar
niscaya mereka mendapat petunjuk,'' wallahu a 'lam."
J • * y y s O yy
y , ( "jZy* ' >"i, yy > 0 ^y . f- a y _ y ' ti 0
- 0
' 0 y
Keterangan Hadits:
2 4 0 — FATHUL BAARI
J L J j A i t i — i i j U ^ - a i 'i! (Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah salah
seorang di antara kami (boleh) menyapu di atas dua sepatunya?" Beliau
SAW menjawab, "Benar, apabila ia memasukkan kedua kakinya sedang
keduanya dalam keadaan suci")
Lalu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari hadits Shafwan bin
Asal, "Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk menyapu
bagian atas sepatu apabila kami memasukkan keduanya dalam keadaan
suci; selama tiga hari apabila kami melakukan safar, dan sehari semalam
apabila kami mukim (tidak safar)." Ibnu Khuzaimah berkata, "Aku
menyebutkan hadits ini kepada Al Muzanni, maka beliau berkata
kepadaku, "Ulama-ulama madzhab kami meriwayatkan pula yang seperti
ini, dan ini merupakan dalil kuat yang mendukung madzhab Syafi'i."
2 4 2 — FATHUL BAARI
bagi musafir dan satu hari bagi yang mukim), maka mereka yang
menetapkan batasan waktu mengatakan bahwa orang itu harus
mengulangi wudhunya. Demikian pandangan Imam Ahmad, Ishaq dan
selain keduanya. Namun ulama Kufah, Al Muzanni dan Abu Tsaur
berpendapat bahwa orang itu hanya diharuskan membasuh kembali kedua
kakinya. Demikian pula yang dikatakan oleh Imam Malik, kecuali jika
dipisahkan dengan selang waktu yang cukup lama. Al Hasan, Ibnu Abu
Laila dan sejumlah ulama lain berkata, "Orang tadi tidak perlu membasuh
kedua kakinya." Kelompok ini mendasari pendapat mereka dengan
menganalogikan kejadian ini dengan orang yang menyapu kepala lalu ia
mencukur rambut, dimana ia tidak wajib mengulang menyapu kepalanya.
Hanya saja analogi yang mereka kemukakan perlu dianalisa lebih lanjut.
Makna sawiq akan dijelaskan pada bab "Berkumur-kumur karena makan sawiq",penerj.
Keterangan Hadits:
(Tidak berwudhu karena makan daging kambing). Maksud disebut-
kannya daging kambing secara tekstual agar masuk di dalamnya semua
yang sepertinya, terutama yang di bawah derajatnya. Barangkali di sini
Imam Bukhari sengaja mengisyaratkan adanya pengecualian hukum
daging unta, sebab mereka yang mengkhususkan daging unta dan
membolehkan memakan daging secara umum tanpa mengulangi wudhu
beralasan dengan banyaknya lemak yang dikandung oleh daging unta
tersebut sehingga Imam Bukhari tidak membatasi apakah daging tersebut
telah dimasak atau belum. Dalam masalah ini terdapat dua hadits riwayat
Imam Muslim yang merupakan pendapat Imam Ahmad serta dipilih oleh
Ibnu Khuzaimah dan selainnya di antara para ahli hadits madzhab Syafi'i.
2 4 4 — FATHUL BAARI
telah kami nukil melalui jalur periwayatan yang sangat banyak dari Jabir
hingga nabi SAW. Sebagian jalurnya hanya sampai pada tiga orang, baik
sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan.
J' /f y- Z> s / , % s s s s
' " 0
f \ 'f • f f 0 0
" 0
« 0
' ' '° f \ \ - I ' O s
o j»—>-\ obi j l \j>\ jj JJAS- JJ JWST J jj>-\ Jli i-yt^i (jji J&
208. Dari Ibnu Syihab, ia berkata "Ja'far bin Amru bin Umayah
telah mengabarkan kepadaku, sesungguhnya bapaknya mengabar-
kan kepadanya, bahwa ia melihat Rasulullah SA W memotong bahu
atau paha kambing. Lalu seorang muadzin menyerunya shalat,
maka beliau meletakkan pisau dan shalat tanpa (mengulangi)
wudhu."
Keterangan Hadits:
l$—U (makan darinya), sedangkan dalam kitab Shalat dari jalur Shalih dari
2 4 6 — FATHUL BAARI
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Utsman Ad-Darimi bahwa ia
berkata, "Oleh karena hadits-hadits mengenai hal ini saling bertentangan,
dan tidak dapat dipastikan mana yang lebih kuat, maka kami melihat
dengan apa yang dipraktekkan oleh khulafaurrasyidin sepeninggal Nabi
SAW. Dengan dasar inilah kami menguatkan salah satu dari dua versi
yang saling bertentangan tersebut." hal ini disetujui oleh An-Nawawi
dalam kitabnya Al Muhadzdzab.
Untuk itu jelaslah hikmah mengapa Imam Bukhari memulai bab ini
dengan nukilan dari tiga orang khalifah tersebut.
Imam An-Nawawi berkata, "Perbedaan mengenai hal ini sangat
terkenal di kalangan sahabat maupun tabi'in, kemudian terjadi kesepakat-
an bahwa tidak perlu berwudhu karena makan daging yang disentuh oleh
api (dibakar) kecuali daging unta. Sementara Imam Al Khaththabi
menempuh cara lain dalam memadukannya, yaitu bahwa hadits-hadits
dalam konteks perintah berindikasi istihbab (disukai) bukan kewajiban."
Catatan:
Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits dari Amru bin Umayyah
dalam kitabnya selain riwayat ini dan hadits yang lalu dalam masalah
mengusap sepatu.
2 4 8 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:
(Berkumur-kumur karena sawiq) Ad-Dawudi berkata, "Sawiq
adalah tepung sya'ir (salah satu jenis gandum) atau sejenis makanan yang
digoreng." Selain beliau berkata, "Sawiq terbuat dari qamh (jenis gandum
yang lain)." Seorang Arab badui menerangkan sifat sawiq ini dengan
perkataannya, "Sawiq adalah bekal bagi musafir, makanan instan dan
bubur bagi orang sakit."
Abdul Wahhab disebutkan, £J2>J Uflj -^Ji (Kami pun mengaduknya lalu
makan dan minum).
2 5 0 — FATHUL BAARI
52. Haruskah Berkumur-Kumur karena Minum
Susu?
' ' ^ * *
* A I " D' t O f ' t A f f ' '
• L$JL"*-*^* ^JLs^J (_^Jji Ajui! L t _ w O
Keterangan Hadits:
(Haruskah berkumur-kumur karena minum susu) Hadits yang
disebutkan dalam bab ini adalah salah satu hadits yang diriwayatkan oleh
imam yang lima; yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa i dan x
2 5 2 — FATHUL BAARI
53. Berwudhu karena Bangun Tidur, dan Pendapat
Tidak Ada Wudhu karena Rasa Kantuk Ringan
t y °
t ' i J s' t O 'O s , O '
Keterangan Hadits:
(Berwudhu karena bangun tidur), maksudnya apakah hal itu wajib
atau mustahab (disukai). Secara lahiriah perkataan beliau, yakni ngantuk
(nu'as) dapat juga dinamakan tidur (naum). Sementara pendapat yang
masyhur adalah, bahwa keduanya itu berbeda; yakni barangsiapa yang
fungsi inderanya berkurang, dimana ia mendengar perkataan teman
duduknya namun tidak mengerti maknanya maka orang seperti ini
dinamakan ngantuk. Apabila lebih dari kondisi tersebut, maka dinamakan
tidur. Di antara tanda-tanda tidur adalah mimpi baik yang singkat ataupun
yang berlangsung lama. Sementara dalam kitab Al Ain wal Muhkam
disebutkan, nu 'as (ngantuk) sama dengan naum (tidur), atau kondisi yang
mendekati tidur.
(Pendapat tidak ada wudhu karena rasa kantuk ringan) ini adalah
pendapat kebanyakan ulama. Dari pendapat yang mengatakan lafazh
nu 'as (ngantuk) semakna dengan naum (tidur) akan lahir konsekuensi
bagi mereka yang mengatakan bahwa tidur merupakan sebab yang
2 5 4 — FATHUL BAARI
wudhu." Namun Al Muzanni menyelisihi dengan perkataannya, "Tidur
dapat membatalkan wudhu baik sebentar maupun banyak." Beliau dalam
hal ini telah menyalahi ijma' (kesepakatan ulama). Demikian yang
dikatakan Al Muhallab. Begitu pula yang dinukil dari Ibnu Baththal, Ibnu
At-Tin dan lainnya.
Namun tanggapan mereka terhadap Al Muzanni dalam hal ini
kurang obyektif, sebab Ibnu Mundzir dan selainnya telah menukil dari
sebagian sahabat dan tabi'in suatu pandangan yang menyatakan bahwa
tidur dapat membatalkan wudhu, baik lama maupun sebentar. Pandangan
ini juga merupakan pendapat Abu Ubaid dan Ishaq bin Rahawaih.
Selanjutnya Ibnu Mundzir menegaskan, "Ini pula yang menjadi
pendapatku berdasarkan keumuman hadits Shafwan bin Asal yang
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainnya yang disebutkan di
dalamnya, 'Kecuali karena buang air besar atau kencing atau tidur.' Di
sini hukum tidur disamakan dengan kencing serta buang air besar.
Maksud tidur yang sedikit atau banyak adalah panjang pendeknya waktu
tidur tersebut, bukan kualitasnya."
Pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa tidur merupakan saat yang umum
mengakibatkan hadats, maka rasa kantuk dan tidur ringan tidaklah membatalkan wudhu.
Akan tetapi tidur yang membatalkan wudhu adalah yang dapat menghilangkan rasa
(indera) secara sempurna. Dengan demikian, hadits-hadits yang disebutkan mengenai hal
ini dapat dipadukan. Wallahu A'Iam.
2 5 6 — FATHUL BAARI
membaringkan badan, diantara mereka ada yang tidur kemudian berdiri
melakukan shalat).
i * /.
t- ~ J (Mencaci), maksudnya memohon celaka atas dirinya.
Keterangan ini dipertegas oleh An-Nasa'i dalam riwayatnya melalui jalur
Ayyub dari Hisyam. Ada kemungkinan sebab larangan ini adalah
dikhawatirkan akan bertepatan dengan saat-saat dikabulkannya doa,
sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abu Jamrah.
Di sini terdapat anjuran untuk mengambil pilihan yang menge-
depankan sikap hati-hati, sebab Nabi SAW mengaitkan anjurannya
dengan sebab dalam bentuk kemungkinan. Sebagaimana hadits ini juga
merupakan dorongan untuk berlaku khusyu' serta menghadirkan hati
dalam beribadah, menjauhi hal-hal makruh dalam ketaatan serta bolehnya
berdoa dalam shalat tanpa ada batasan tertentu.
Catatan:
Hadits ini dikeluarkan berdasarkan suatu sebab, yaitu apa yang
diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr melalui jalur Ibnu Ishaq dari
Hisyam sehubungan dengan kisah Al Haula binti Tuwait seperti diterang-
kan terdahulu dalam bab "Agama (amalan) yang paling disukai oleh
Allah adalah yang berkesinambungan".
S 0
' ' S * J £ ' ' ' .. ji S £
Catatan:
Al Isma'ili mengisyaratkan bahwa dalam hadits ini terjadi ke-
simpangsiuran (idhthirab). Dia berkata, "Hadits ini diriwayatkan oleh
Hammad bin Zaid dari Ayyub secara mauquf (tidak bersambung kepada
Nabi SAW). Dalam riwayat itu disebutkan, 'Dari Ayyub telah dibacakan
kepadaku dari Abu Qilabah, maka akupun mengenalnya.' Kemudian
hadits ini diriwayatkan pula oleh Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dari Ayyub
tanpa mencantumkan Anas di dalam jalur periwayatannya." Demikian
perkataan Al Isma'ili.
2 5 8 — FATHUL BAARI
54. Berwudhu Bukan karena Hadats
Keterangan Hadits:
i^C* JS" j i f (setiap kali shalat), yakni shalat fardhu. Imam Tirmidzi
menambahkan dari jalur Humaid dari Anas, y}\—L> 'Js- ji \'yy&> (dalam
keadaan suci atau tidak). Secara lahiriah bahwa hal itu merupakan
kebiasaan Nabi, namun hadits yang diriwayatkan Suwaid dalam bab ini
telah menjelaskan bahwa hal itu merupakan perbuatan yang sering
dilakukan Nabi. Imam Thahawi mengatakan, "Kemungkinan hal itu
merupakan kewajiban yang khusus bagi Nabi, kemudian dihapus pada
hari penaklukan kota Makkah berdasarkan hadits Buraidah yang
diriwayatkan Imam Muslim, bahwa Nabi Shallallah alaihi wasallam
shalat pada hari penaklukan kota Makkah dengan sekali wudhu."
Kemudian umar bertanya kepada beliau, lalu Nabi menjawab, "Hal itu
sengaja aku lakukan." Ath-Thahawi mengatakan, "Mungkin hal itu
dilakukan Nabi sebagai hal yang disukai (istihbab). Kemudian Nabi
khawatir akan dianggap sebagai hal yang wajib, maka beliau meninggal-
kannya untuk menunjukkan jawaz (kebolehan)." Saya (Ibnu Hajar)
katakan, "Itulah pendapat yang mendekati, dengan mengatakan untuk
2 6 0 — FATHUL BAARI
pendapat pertama bahwa nasakh (penghapusan) itu terjadi sebelum
penaklukan kota Makkah berdasarkan hadits Suwaid bin N u ' m a n .
Tepatnya pada peristiwa Khaibar, yaitu sebelum penaklukkan kota
Makkah."
\'}\ JJ>-
{ ^lp is§l AJJI J y* j £A L>- y>- J l i jLaJcJl ^y_ J J yy
Keterangan Hadits:
Jajl 9%i («J—IJ ^ J** 'j* (Nabi SAW melewati suatu kebun)
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab "Al Adab", "Nabi SAW
keluar dari salah satu kebun Madinah." Dari hadits ini dipahami bahwa
Ad-Dawudi dan Ibnu Al Arabi berkata, "Dosa besar (J~£) yang di-
2 6 4 — FATHUL BAARI
sama dengan firman-Nya, "Kamu mengira hal itu adalah remeh padahal
dia di hadapan Allah sangatlah besar." ^ Q s . An-Nuur (24): 15^
Dikatakan pula kedua perbuatan itu tidaklah besar ditinjau dari segi
kesulitan menghindarinya, yakni tidaklah berat untuk menghindari
perbuatan tersebut. Pendapat ini didukung dengan tegas oleh Al Baghawi
dan selain beliau serta dinyatakan sebagai pendapat terkuat oleh Ibnu
Daqiq Al Id bersama sejumlah ulama lainnya.
namun jawaban untuk tanggapan beliau ini sama seperti yang telah
kami sebutkan.
2 6 6 — FATHUL BAARI
manusia yang satu kepada yang lainnya. Perbuatan ini dimaksudkan
untuk menimbulkan mudharat. Adapun jika perbuatan itu menimbulkan
maslahat (kebaikan) ataupun menghindarkan suatu kerusakan, maka
menukil perkataan orang kepada orang lain termasuk sesuatu yang
diharuskan." Demikian perkataan Ibnu Daqiq Id.
Perkataan Ibnu Daqiq Id di atas merupakan penafsiran makna
"namimah" secara umum, sementara perkataan ulama selain beliau
berbeda dengan pandangannya sebagaimana akan kami sebutkan secara
rinci pada pembahasan tentang Al Adab.
Imam An-Nawawi berkata, "Namimah adalah memindahkan
perkataan satu orang kepada orang lain dengan maksud membuat
kerusakan, dimana hal ini termasuk perbuatan paling buruk." Tapi
perkataan Imam An-Nawawi ditanggapi oleh Al Karmani dengan
perkataannya, "Pendapat ini tidak dapat dibenarkan ditinjau dari segi
kaidah yang berlaku di kalangan fuqaha (ahli fikih). Mereka menetapkan
bahwa dosa besar harus mendapat had (hukuman fisik). Sementara
namimah tidak mengharuskan pelakunya dijatuhi hukuman fisik. Kecuali
jika dikatakan sesungguhnya yang menyebabkan namimah masuk
kategori dosa besar apabila dilakukan terus-menerus, sebab dosa-dosa
kecil yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi dosa besar. Atau
yang dimaksud dengan dosa besar di sini adalah makna lain selain makna
yang dikenal dalam istilah syariat." demikian tanggapan Al Karmani.
2 6 8 — FATHUL BAARI
jalur Abdul Wahid bin Ziyad dari Al A'masy, "Kemudian beliau
menancapkan di bagian kepala setiap kuburan satu potong."
- l ' - 'i< U (Selama kedua pelepah ini belum kering), demikian lafazh
yang disebutkan dalam kebanyakan riwayat. Dalam riwayat Al Kasymi-
hani disebutkan, \—'-2 Jl Si! (Kecuali setelah kedua pelepah ini kering).
Marizi jika lafazh J*J (semoga) dikatakan berfungsi sebagai ta lil (sebab
dilakukannya perbuatan).
Imam Al Qurthubi juga berkata, "Ada pandangan yang mengatakan
bahwa beliau SAW memberi syafaat kepada kedua orang itu selama
waktu tersebut sebagaimana disebutkan secara tegas dalam riwayat Jabir,
karena secara lahiriah kisah-kisah ini hanyalah satu kejadian saja."
Demikian pula pendapat yang dianggap kuat oleh Imam An-Nawawi,
yakni kisah-kisah ini merupakan satu kejadian. Namun pendapat ini perlu
dianalisa kembali perbedaan-perbedaan yang ada di antara keduanya
berdasarkan apa yang telah kami jelaskan.
2 7 0 — FATHUL BAARI
dua dahan dari dua pohon yang dipakai oleh Nabi S A W untuk
melindungi dirinya dari pandangan orang saat buang hajat. Kemudian
Jabir diperintah untuk melemparkan salah satu dahan tersebut ke arah
kanan dan yang satunya ke arah kiri tempat Nabi SAW duduk saat buang
hajat. Kemudian jabir bertanya kepadanya mengenai hal itu, maka beliau
bersabda, "Aku melewati dua kuburan yang (kedua penghuninya) disiksa.
Maka aku ingin agar siksaan keduanya diangkat selama kedua dahan itu
masih basah." Dalam kisah Jabir juga tidak disebutkan sebab keduanya
disiksa, dan tidak pula disebutkan harapan Nabi SAW mengenai hal itu
seperti tercermin dari sabdanya, "Semoga..."
Untuk itu jelaslah bahwa kisah ini dan kisah yang dialami oleh
Jabir adalah dua kejadian yang berbeda, dan berulangnya peristiwa
seperti itu bukan hal yang mustahil.
Sementara, telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam kitab
Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah, 41* 'Jt&yS JJb. 'j» jJUj *11* <&I AJI
Yang benar dalam masalah ini adalah apa yang dikatakan oleh Al Khaththabi berupa
pengingkaran untuk meletakkan pelepah atau yang sepertinya di atas kuburan, karena
Rasulullah SAW tidak melakukan hal itu kecuali pada kuburan tertentu yang beliau
Hanya saja aku sengaja menyebutkan hal ini untuk membela nama
baik seorang yang telah dinamakan langsung oleh Nabi SAW sebagai
sayyid. Beliau SAW bersabda kepada para sahabatnya, "Berdirilah untuk
sayyid kalian" Beliau bersabda pula, "Sesungguhnya keputusannya sama
seperti keputusan Allah" Sabdanya lagi, "Sesungguhnya Arsy sang
Rahman bergoncang karena kematian Sa 'ad" Aku khawatir sebagian
orang yang dangkal ilmunya terpedaya oleh riwayat yang dinukil oleh
Imam Qurthubi, lalu ia pun meyakini kebenarannya padahal sesungguh-
nya adalah batil.
Selanjutnya para ulama berselisih pendapat mengenai orang-orang
yang dikubur tersebut. Satu pendapat mengatakan, mereka adalah orang-
orang kafir. Pendapat ini diyakini kebenarannya oleh Abu Musa Al
Madini berdasarkan hadits yang beliau riwayatkan dari Jabir dengan
silsilah periwayatan yang di dalamnya terdapat Abu Lahi'ah,
ketahui penghuninya sedang diazab. Andaikata hal ini sesuatu yang disyari'atkan tentu
beliau SAW akan melakukan hal serupa pada setiap kuburan. Disamping itu para pemuka
sahabat -seperti para khalifah- tidaklah melakukan hal itu, padahal mereka lebih mengerti
tentang sunnah dibandingkan Buraidah, semoga Allah meridhai mereka semuanya.
2 7 2 — FATHUL BAARI
"Bahwasanya Nabi SAW melewati dua kuburan bani Najjar yang
keduanya meninggal di masa jahiliyah. lalu beliau SAW mendengar
keduanya sedang disiksa lantaran kencing dan namimah (mengadu
domba)." Abu Musa menegaskan, "Hadits ini meskipun tidak akurat
namun maknanya dapat dibenarkan, sebab jika keduanya adalah muslim
tentu syafaat beliau selama kedua pelepah belum kering akan kehilangan
makna. Akan tetapi ketika beliau SAW melihat kedua orang kafir itu
sedang disiksa, rasa kasih sayang dan rahmatnya mendorongnya untuk
berlaku baik kepada keduanya. Maka, beliaupun memberi syafaat pada
keduanya selama waktu yang disebutkan."
KAMMJNGWHMUN
2 7 4 — FATHUL BAARI
56. Membersihkan Kencing
.(j-LuI J ^ L^JT'
. 4j J^JtJ
Keterangan Hadits:
*—'y. j — ?'yj-—~>'i Ci\—T (Ia tidak menutup diri dari kencing) ini
merupakan isyarat hadits sebelumnya.
Bab
2 7 6 — FATHUL BAARI
218. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Nabi SAW
melewati dua kuburan, maka beliau bersabda, 'Sesungguhnya
keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa karena
dosa besar. Adapun salah satunya karena terbiasa tidak menutup
diri dari kencing, sedangkan yang lainnya karena selalu menjadi
tukang adu domba.' Kemudian beliau SA W mengambil pelepah
yang masih basah lalu dibelah menjadi dua. Lalu beliau
menancapkan pada setiap kuburan satu pelepah. Para sahabat
bertanya, 'Mengapa engkau melakukan hal ini wahai Rasulullah?'
Beliau SAW bersabda, 'Semoga siksa keduanya diringankan
selama pelepah ini belum kering:"
Keterangan Hadits
(Bab), demikian yang tercantum dalam riwayat Abu Dzar. Kami
telah menjelaskan bahwa fungsi bab tanpa judul seperti ini adalah untuk
memisahkan antara pembahasan sebelumnya dengan pembahasan
selanjutnya, namun keduanya masih mempunyai hubungan yang sangat
erat. Penetapan dalil dari hadits ini nampak jelas untuk menunjukkan
wajibnya membersihkan kencing. Akan tetapi telah disebutkan pula
keringanan bagi seseorang yang istijmar (cebok dengan menggunakan
batu), sehingga hadits ini juga menjadi dalil wajibnya membersihkan air
kencing di sekitar tempat keluarnya.
o's lis ' s s ' ' s ' ' ' > ' ' ' '
2 7 8 — FATHUL BAARI
K e t e r a n g a n Hadits:
(Nabi SAW dan orang-orang membiarkan orang Arab Badui),
^s—>yjf-^ adalah bentuk jamak (plural) dari kata ^—(jt- sementara yang
y y y y y ^ y i' y y & $
' j * j! '
Keterangan Hadits:
2 8 0 — FATHUL BAARI
Abu Salamah dari Abu Hurairah RA. Demikian pula halnya dengan
riwayat Ibnu Majah dari hadits Watsilah bin Al Asqa'.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Musa Al Madini dalam kitab
Ash-Shahabah melalui jalur Muhammad bin Amru bin Atha' dari
Sulaiman bin Yasar. Ia berkata, "Datang dzul Khuwaisharah Al Yamani,
seorang yang tidak mengenal sopan santun." Lalu beliau menyebutkan
kisah yang dimaksud secara lengkap, namun hanya dari segi maknanya
disertai tambahan keterangan. Akan tetapi, derajat riwayat itu sendiri
adalah mursal (tidak disebutkan nama sahabat yang meriwayatkannya).
Di samping itu dalam silsilah periwayatannya terdapat seorang perawi
yang tidak disebutkan secara transparan, yaitu perawi yang berada di
antara Muhammad bin Ishaq dan Muhammad bin Amru bin Atha".
Dari riwayat ini dapat diketahui nama orang badui yang dimaksud,
sementara telah disebutkan perkataan At-Tarikhi bahwa namanya adalah
Al Aqra'. Kemudian dinukil dari Abu Al Husain bin Faris bahwa nama
orang tersebut adalah Uyainah bin Hishn, wallahu a 'lam.
; Jl » JL*~> JJ L5 r** . J
J^* ^ -4^ Jli Jl-UP UJJJ>-
9
' ' y ° J F * y -I T I y F O
(j^_ji j * ^) m y i J - ±sx* J. o i j -
y y F y y, y y y y y,
j ^ j * . i>H
LS 'J- jLoli— 12J^-J Jli J ^ -
4
,jj LuJo-
y y 0 l'
2 8 2 — FATHUL BAARI
mendengar Anas bin Malik berkata, 'Seorang Arab badui datang
dan kencing di salah satu bagian masjid, maka orang-orang
melarang dan mncelanya, lalu Nabi SAW melarang mereka
(melakukan hal itu). Ketika orang itu selesai kencing, Nabi SA W
memerintahkan untuk dibawakan satu timba air lalu disiramkan ke
tempat kencing tersebut:"
Keterangan Hadits:
2 8 4 — FATHUL BAARI
digunakan membersihkan najis adalah suci secara mutlak (tanpa batasan
tertentu), sebab Nabi SAW tidak mensyaratkan sesuatupun saat
menyiram kencing orang Arab badui tersebut."
Keenam, berlaku lembut terhadap orang yang tidak tahu dan
mengajarinya mengenai perkara yang mesti dilakukannya tanpa diiringi
kekerasan jika perbuatan tersebut tidak dilakukannya dalam rangka
pembangkangan. Perlakuan lembut seperti ini lebih dianjurkan untuk
dilakukan terhadap mereka yang perlu dilunakkan hatinya.
Ketujuh, penjelasan tentang kasih sayang dan kelembutan Nabi
SAW serta kebaikan akhlaknya. Disebutkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu
Hibban dalam hadits Abu Hurairah RA, "Setelah orang Arab badui
tersebut memahami ajaran Islam, dia berdiri menghampiri Nabi SAW
seraya berkata, 'Demi bapak dan ibuku, sungguh engkau tidak berlaku
kasar dan tidak mencela.'"
Kedelapan, mengagungkan masjid serta membersihkannya dari
kotoran. Sementara itu menurut konteks hadits Anas bin Malik yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim memberi indikasi tidak boleh melaku-
kan sesuatu di masjid selain apa-apa yang telah disebutkan, yaitu shalat,
membaca Al Qur~an dan dzikir. Tidak diragukan lagi bahwa melakukan
hal-hal selain yang disebutkan atau yang tidak semakna dengannya,
termasuk perbuatan mengesampingkan perkara yang lebih utama,
wallahu a 'lam.
Kesembilan, tanah menjadi suci apabila telah disiram air tanpa
harus digali. Berbeda dengan pandangan ulama Hanafi yang mengatakan,
"Tanah tersebut tetap tidak dianggap suci kecuali bila digali." Demikian
Imam Nawawi dan selainnya menyebutkan pendapat madzhab Hanafi
tanpa perincian lebih lanjut. Sementara pendapat yang disebutkan dalam
kitab-kitab madzhab Hanafi terdapat perincian; apabila tanah tersebut
gembur, dimana air dapat meresap ke dalamnya maka tidak perlu digali.
Sedangkan jika tanahnya keras dan air sulit meresap, maka harus digali
dan membuang tanah galian tersebut. Sebab dalam kondisi demikian, air
tidak mampu membasahi bagian atas dan bawah-nya. Mereka mendasari
pendapat ini dengan hadits yang dinukil melalui tiga jalur periwayatan;
salah satunya diriwayatkan melalui Ibnu Mas'ud dengan silsilah yang
bersambung sampai kepada Nabi SAW, sebagai-mana dinukil oleh At-
Thahawi. Akan tetapi jalur periwayatannya lemah, seperti dikatakan oleh
Imam Ahmad dan lainnya. Adapun dua jalur yang lain, masuk dalam
2 8 6 — FATHUL BAARI
222. Diriwayatkan dari Aisyah -ummul mukminin- bahwa ia
berkata, 'Dibawakan kepada Nabi SAW seorang bayi laki-laki,
lalu ia kencing di baju Nabi SAW, maka Nabi SAW minta
dibawakan air lalu beliau memercikinya dengan air tersebut."
Keterangan Hadits:
(Kencing bayi laki-laki) Yakni apakah hukumnya, dan apakah
termasuk juga kencing bayi perempuan atau tidak? Telah diri-wayatkan
sejumlah hadits yang membedakan hukum keduanya, namun hadits-
hadits tersebut tidak memenuhi syarat hadits shahih yang disebut-kan
dalam kitab Shahih Bukhari. Di antara hadits tersebut adalah hadits Ali
RA dari Nabi SAW tentang air kencing anak yang masih menyusui, "Air
kencing bayi laki-laki disiram dan air kencing bayi perempuan dicuci."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan para penulis kitab Sunan -
kecuali Nasa'i- melalui jalur periwayatan Hisyam dari Qatadah dari Abu
Harb bin Abu Al Aswad dari bapaknya dari Ali RA. Lalu Qatadah
menjelaskan, "Hal seperti ini berlaku selama keduanya belum makan
makanan." Silsilah periwayatan hadits ini tergolong shahih. Kemudian
hadits ini diriwayatkan pula oleh Sa'id dari Qatadah, namun silsilah
periwayatannya hanya sampai kepada Ali RA (mauquj). Akan tetapi, hal
ini tidak menyebabkan cacat yang mengurangi keakuratan hadits tersebut.
Riwayat lain adalah hadits Lubabah binti Al Harits dari Nabi SAW,
"Sesungguhnya air kencing bayi perempuan dicuci dan air kencing bayi
laki-laki disiram." Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan
Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainya. Senada
dengan itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Samah dengan
lafazh "Diperciki", sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-
Nasa'i serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.
Tahnik adalah mengoles langit-langit (dalam mulut) bayi yang baru lahir dengan kurma
yang telah dihaluskan, penerj.
2 8 8 — FATHUL BAARI
223. Telah diriwayatkan dari Ummu Qais binti Mihshan, bahwa
beliau datang sambil membawa anaknya yang masih kecil yang
belum makan makanan menemui Rasulullah SAW. Maka
Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya, lalu anak kecil
tersebut kencing di pakaian beliau. Akhirnya nabi SAW minta
dibawakan air, kemudian disiramkan tanpa mencucinya:''
K e t e r a n g a n Hadits:
j-—=* f' J * {Dari Ummu Qais). Ibnu Abdil Barr berkata, "Namanya
adalah Jadzamah." Namun menurut As-Suhaili namanya adalah Aminah,
saudara perempuan Ukasyah bin Mihshan Al Asadi, yang termasuk
golongan para wanita yang pertama melakukan hijrah, sebagai-mana
disebutkan dalam Shahih Muslim melalui jalur Yunus dari Ibnu Syihab
sehubungan dengan hadits ini. Hadits yang beliau riwayatkan dalam kitab
Shahih Bukhari Muslim hanyalah hadits ini dan satu lagi dalam kitab
Thibb (ilmu medis), akan tetapi pada kedua riwayat itu hanya berkenaan
dengan kisah anaknya. Sedangkan anaknya sendiri meninggal pada masa
Nabi SAW dalam usia yang masih kecil seperti disebutkan oleh An-
Nasa'i, dan aku tidak menemukan nama anak itu.
2 9 0 — FATHUL BAARI
il ~*J <—Ij (Tidak mencucinya). Menurut Al Ashili, lafazh ini
bersumber dari Ibnu Syihab (salah seorang perawi hadits ini), sementara
lafazh yang memiliki jalur sampai kepada Nabi SAW hanya sampai pada
perkataan, "Maka beliau menyiraminya.'" Lalu dia menambahkan,
"Lafazh terakhir ini diriwayatkan pula oleh M a ' m a r dari Ibnu Syihab,
sebagaimana riwayat serupa dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah, 'Maka beliau
memercikinya', tanpa ada tambahan apa-apa." Demikian perkataan Al
Ashili.
2 9 2 — FATHUL BAARI
tetapi menurutku, pandangan mereka cukup rumit diterapkan dalam
madzhab mereka sendiri, sebab pada dasarnya mereka mengatakan
sesungguhnya yang dimaksud dengan menyiram dalam hadits di atas
maknanya adalah mencuci.
Catatan penting
f*. "
r
r "* :
Keterangan Hadits:
(Kencing sambil berdiri dan duduk) Ibnu Baththal berkata,
"Keterangan kencing sambil duduk dari hadits ini ditetapkan berdasarkan
bahwa kencing sambil duduk lebih pantas dibanding kencing sambil
berdiri. Sebab apabila kencing sambil berdiri saja diperbolehkan, tentu
kencing sambil duduk lebih diperbolehkan lagi." Aku (Ibnu Hajar)
katakan, "Ada kemungkinan bahwa Imam Bukhari memaksudkan
perkataannya ini sebagai isyarat terhadap hadits Abdurrahman bin
Hasanah yang dinukil oleh An-Nasa'i dan Ibnu Majah serta selain
keduanya, dimana di dalamnya disebutkan, "Nabi SAW kencing sambil
duduk, maka kamipun berkata, "Perhatikanlah dia, kencing sebagai-
mana (cara) kencingnya wanita-
2 9 4 — FATHUL BAARI
suatu kaum memberi makna pengkhususan dan bukan kepemilikan, sebab
tempat seperti ini umumnya tidak luput dari najis.
Dari sini terjawab pertanyaan orang-orang yang mempertanyakan
masalah ini, karena kencing dapat mengotori tembok sehingga dapat
memberi mudharat bagi orang lain. Atau dapat pula dikatakan,'sesung-
guhnya beliau SAW hanya kencing di atas pembuangan sampah dan
tidak kencing sambil berdiri menghadap tembok. Ini ditegaskan oleh Abu
Awanah dalam kitab Shahih-nya. Ada pula yang mengatakan, kemung-
kinan beliau SAW telah mengetahui sebelumnya jika kaum tersebut
mengizinkannya kencing di tembok mereka; baik melalui perkataan yang
nyata maupun selainnya. Kemungkinan lain dikatakan, beliau SAW
sengaja kencing di tempat tersebut karena hal itu merupakan perkara
yang direlakan di antara manusia. Atau perbuatan beliau itu berdasarkan
adanya pembolehan bagi beliau SAW untuk memanfaatkan harta
umatnya, karena beliau SAW lebih berhak terhadap kaum mukminin baik
dalam jiwa maupun harta benda. Namun meski kemungkinan terakhir
ditinjau dari segi makna, akan tetapi hal seperti ini tidak pernah dikenal
dalam perjalanan hidup dan kemuliaan akhlak beliau SAW.
<3—ILip J—1P 'C—*i J^- cj'ysi (Aku pun menjauh darinya, maka beliau
bersabda, "Mendekatlah)" Akhirnya aku mendekat hingga berdiri di
belakangnya). Dalam riwayat Imam Ahmad dari Yahya bin Qaththan
disebutkan, \—«JI» JU» «Cip 'j» C J CS^P ^ifols il» CUPUSS f£ J'\
j ]&+ — £ £ l~»j U u j r f tUj t p i j (Beliau SAW mendatangi pembuangan
sampah suatu kaum, akupun menjauh darinya. Maka beliau SAWmen-
dekatkanku hingga berada di belakangnya, lalu beliau SAW kencing
sambil berdiri. Kemudian beliau minta dibawakan air lalu berwudhu
seraya menyapu di atas kedua sepatunya). Demikian pula tambahan
keterangan yang disebutkan oleh Imam Muslim dari selainnya, dimana
disebutkan perihal menyapu sepatu. Tambahan ini juga tercantum dalam
riwayat Al Isma'ili dan selainnya melalui jalur Syu'bah dari Al A'masy.
Selanjutnya ditambahkan oleh Isa bin Yunus dari Al A ' m a s y
bahwa peristiwa tersebut terjadi di Madinah. Riwayat ini dikutip oleh
Ibnu Abdil Barr dalam kitab At-Tamhid dengan silsilah periwayatan yang
2 9 6 — FATHUL BAARI
dari segi tarjih (mengunggulkan salah satu dari dua riwayat yang
kontroversi) sesungguhnya riwayat Al A'masy dan Manshur dalam batas
yang mereka sepakati lebih shahih dibanding riwayat Ashim dan
Hammad, karena hafalan kedua orang ini masih dipermasalahkan.
Keterangan Hadits:
(Kencing di samping seorang sahabat), yakni di samping sahabat
orang yang kencing.
di atas.
Pada riwayat Ath-Thabrani ini, menjadi nampak jelas hikmah
diperintahkannya Hudzaifah untuk mendekat kepadanya pada kondisi
seperti itu. Adapun Hudzaifah ketika mendekat maka ia membelakangi
Nabi SAW. Di samping itu -dalam riwayat ini pula- menjadi jelas bahwa
2 9 8 — FATHUL BAARI
memahami bahwa makna "menggunting" di sini adalah mencuci dengan
air.
3 0 2 — FATHUL BAARI
pernah kencing sambil berdiri. Perbuatan mereka ini menunjuk-kan
kebolehan hal itu tanpa ada unsur makruh (tidak disukai) selama dijamin
tidak terkena percikan air kencing, wallahu a 'lam. Tidak juga ditemukan
keterangan yang kuat bahwa Nabi SAW melarang kencing sambil berdiri,
seperti telah saya jelaskan di bagian awal Syarah At-Tirmidzi.
Keterangan Hadits:
kepada pakaian itu sendiri. Berbeda dengan kata ganti pada lafazh <to*J
(menggosoknya), dimana kata ganti di sini kembali kepada darah.
Kemudian memerciki bagian kain yang diragukan apakah terkena darah
atau tidak, sama sekali tak memberi faidah apa-apa. Sebab jika bagian
tersebut suci, maka tidak ada gunanya untuk diperciki. Sementara apabila
najis, maka ia tidak akan suci hanya sekedar diperciki. Maka pandangan
paling tepat adalah apa yang dikatakan oleh Al Khaththabi."
Al Khaththabi berkata, "Dalam hadits ini terdapat ' 'il yang
menunjukkan bahwa najis hanya dapat dihilangkan dengan menggunakan
air, bukan dengan zat cair lainnya. Sebab seluruh jenis najis sama ke-
dudukannya dengan darah, dimana tidak ada perbedaan di antaranya
3 0 4 — FATHUL BAARI
menurut kesepakatan ulama. Pendapat bahwa air sebagai satu-satunya
alat yang dapat menghilangkan najis merupakan perkataan mayoritas
ulama (jumhur)."
Sementara itu telah dinukil suatu pendapat dari Abu Hanifah dan
Abu Yusuf yang membolehkan membersihkan najis dengan mengguna-
kan semua zat cair yang suci. Dasar yang menjadi landasan pandangan
keduanya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dengan lafazh, U>
Keterangan Hadits:
J t
JL???- J CJU <wt>ii Nama Abu Hubaisy adalah Qais bin Mutlialib bin
Asad, dan Fathimah yang dimaksud di sini adalah selain Fathimah binti
Qais yang pernah dithalak tiga.
3 0 6 — FATHUL BAARI
jp\*tL-Li\ (Saya menderita istihadhah). Dikatakan seorang wanita
menderita istihadhah, yakni apabila darah terus keluar darinya setelah
masa haid atau nifas berlalu. Adapun yang dimaksud dengan istihadhah
adalah keluarnya darah dari kemaluan wanita pada masa-masa yang tidak
biasanya darah keluar.
fi—!i (Cucilah darah darimu). Adapun hukum persoalan ini akan kami
jelaskan pada kitab Haid.
s S' j 0
' 3
y y y y
° I1 ^ ^ " II ' - ' ' . l ' ' ' (f' t1- l ' ' 3
• I' ° I 3
Keterangan Hadits:
3 0 8 — FATHUL BAARI
mengerik mani juga dinukil melalui hadits Aisyah seperti yang akan kami
sebutkan. Tidak ada pertentangan antara hadits tentang mencuci mani
dengan mengeriknya, karena untuk memadukan kedua riwayat itu sangat
jelas bagi mereka yang berpandangan bahwa mani adalah suci. Yaitu
dengan memahami bahwa mencuci mani merupakan sesuatu yang disukai
dan bukan hal yang wajib. Demikianlah cara yang ditempuh oleh Imam
Syafi'i, Imam Ahmad dan para ahli hadits. Begitu pula memadukan
kedua riwayat yang dimaksud bisa saja dilakukan oleh mereka yang
berpendapat mani adalah najis, yakni dengan mengatakan sesungguhnya
perintah untuk mencuci dilakukan bila mani dalam keadaan basah.
Sedangkan keterangan tentang mengerik dikhususkan apabila mani telah
mengering, sebagaimana cara yang ditempuh oleh ulama madzhab
Hanafi.
Akan tetapi cara pertama jauh lebih tepat, sebab yang demikian itu
merupakan upaya untuk mengamalkan riwayat dan melakukan qiyas
(analogi) sekaligus. Karena apabila mani itu najis, maka secara logika
untuk menghilangkannya harus dicuci dan tidak boleh hanya dikerik
seperti darah dan najis-najis yang lain. Sementara mereka (golongan
Hanafi) dalam membersihkan darah dalam kadar yang banyak tidak men-
cukupkan dengan mengerik saja.
Cara kedua tertolak dengan apa yang dinukil oleh Ibnu Khuzaimah
melalui jalur lain dari Aisyah, bahwasanya ia pernah menghilangkan
mani dari pakaian Nabi SAW dengan akar idzkhir (salah satu jenis
tumbuhan) kemudian beliau shalat menggunakan pakaian itu. Ia pernah
pula mengerik mani yang telah kering di kain Nabi SAW kemudian
beliau shalat dengan menggunakan kain tersebut. Riwayat ini memberi
keterangan bahwa Aisyah RA tidak mencuci air mani baik dalam
keadaan basah maupun setelah mengering.
Keterangan lebih tegas lagi mengenai hal ini adalah riwayat Ibnu
Khuzaimah yang berbunyi, "Bahwasanya ia (Aisyah)pernah mengerik
mani di pakaian Nabi SAW pada saat beliau SAW sedang melakukan
shalat." Kemudian seandainya riwayat-riwayat di atas tidak pernah
dinukil, maka hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari tidak pula
mengindikasikan najisnya air mani. Sebab tindakan Aisyah mencuci mani
termasuk kategori perbuatan, sementara perbuatan itu sendiri tidak ber-
konsekuensi kepada kewajiban, wallahu a 'lam.
3 1 0 — FATHUL BAARI
membasahi kemaluan wanita. Beliau berkata, "Barangsiapa yang
mengatakan bahwa mani sangat rawan tercampur oleh madzi, maka
orang ini telah keliru. Karena apabila syahwat telah memuncak, niscaya
air mani akan keluar tanpa diiringi oleh madzi atau kencing sebagaimana
keadaan saat bermimpi."
(Dan mencuci apa-apa yang menyentuh), seperti pakaian dan hal-
hal lain dari wanita saat melakukan hubungan suami-istri.
Dalam masalah ini terdapat sebuah hadits yang memberi
keterangan cukup tegas, yaitu riwayat yang nanti akan disebutkan oleh
Imam Bukhari di bagian akhir kitab Mandi dari hadits Utsman. Akan
tetapi beliau (Imam Bukhari) tidak menukil hadits tersebut di tempat ini,
seakan-akan keterangan untuk mencuci apa-apa yang menyentuh dari
wanita, beliau tarik dari kesimpulan yang telah kami kemukakan, yaitu
bahwa mani yang terdapat di pakaian tidak terlepas dari percampuran
antara mani wanita dan cairan yang biasa membasahi kemaluannya.
3 1 2 — FATHUL BAARI
Abu Musa shalat di Darul Barid dan tempat pembuangan sampah,
sementara gurun terbentang di hadapannya, lalu dia berkata, "Di sini atau
di sana sama saja."
9
' 'O ' ' 'O' s 0
i 'y t o y' ' ' ' ^ o A o '
Uj iGl j 5
1 jjl ^ I y.j^i jl j ^ LS^' -Z*^* ^I^-*^
' ' ^ ^ £ * 'O ' .1^ ^ i ' ' ' / i Z " '"o'
>J y) J^>j (Dan Abu Musa shalat), yang dimaksud adalah Abu
Musa Al Asy'ari. Riwayat mengenai perbuatan Abu Musa ini disebutkan
lengkap dengan silsilah periwayatannya oleh Abu Nu'aim (guru Imam
Bukhari) dalam kitabnya yang berjudul Shalat, dimana beliau berkata,
"Telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Malik bin Harits -
yakni As-Sulami Al Kufi- dari bapaknya, ia berkata, "Abu Musa shalat
mengimami kami di DaruI Barid, sementara di tempat itu ada
pembuangan sampah dan gurun di hadapannya. Maka orang-orang
3 1 6 — FATHUL BAARI
berkata, 'Alangkah baiknya jika anda shalat mengimami kami di gurun
itu.'" Kemudian disebutkan seperti hadits di atas.
Adapun maksud DaruI Barid yang disebut-sebut dalam riwayat ini
adalah tempat yang terletak di Kufah (salah satu kota di Irak), dimana
para utusan biasa singgah di tempat itu apabila mereka hendak
menyampaikan perintah dari khalifah kepada para pembantunya
(gubernur). Sementara Abu Musa adalah gubernur di Kufah pada masa
pemerintahan khalifah Umar dan beberapa waktu pada masa
pemerintahan khalifah Utsman. DaruI Barid ini terletak di pinggiran, oleh
karena itu ia berhubungan langsung dengan gurun.
s-lj—i (Sama saja), maksudnya kedua tempat itu tak ada bedanya
ditinjau dari segi sah tidaknya shalat.
Kemudian ada yang mengatakan bahwa dalam riwayat ini tidak
terdapat indikasi bahwa Abu Musa berpendapat hukum kotoran binatang
adalah suci, sebab ada kemungkinan beliau shalat di tempat itu sambil
memakai alas kain.
Sebagai jawabannya dikatakan, bahwa hukum asal kain yang
dimaksud tidak ada. Telah diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dalam
kitab Jami' pada bagian Musnad AIA 'masy, dimana disebutkan, "Abu
Musa shalat mengimami kami di suatu tempat yang ada sampahnya."
Riwayat Ats-Tsauri ini sangat jelas menunjukkan beliau shalat tanpa alas.
Telah diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dari Sa'id bin Musayyab dan
selain beliau, bahwa shalat dengan menggunakan alas merupakan hal
baru. Silsilah periwayatan hadits ini memiliki derajat shahih.
Adapun tanggapan yang berbobot adalah dengan mengatakan,
sesungguhnya perbuatan seperti itu hanyalah bersumber dari Abu Musa,
sementara sahabat-sahabat lain seperti Ibnu Umar dan lainnya menyalahi
Abu Musa dalam masalah ini. Dengan demikian, pandangan Abu Musa
tidak dapat menjadi hujjah. Atau dikatakan kemungkinan Abu Musa
berpandangan bahwa kesucian tidak termasuk syarat sahnya shalat, tapi
kesucian merupakan kewajiban yang berdiri sendiri menurut pendapat
yang masyhur.
3 1 8 — FATHUL BAARI
kasikan keraguan. Begitu pula yang dikutip oleh Imam Muslim dari
Mu'awiyah bin Cjurrah dari Anas.
Dalam kitab Al Maghazi disebutkan melalui Sa'id bin Abi Arubah
dari Qatadah,
J _ j £ p JA AJMJJ ZZ'jf- °JA Sijjt (Mereka terdiri dari empat orang yang berasal
dari Urainah dan tiga orang dari Ukl). Lalu riwayat ini tidak pula
menyalahi riwayat yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam kitab "Jihad"
melalui jalur Wuhaib dari Ayyub, dan dalam kitab "Diyat" (denda)
melalui jalur Hajjaj Ash-Shawwaf dari Abu Raja", keduanya berasal dari
Abu Qilabah dari Anas, ia berkata, S—JUJ 'JA tfaij oi (Bahwasanya
sekolompok manusia dari Ukl yang terdiri dari delapan orang).
Dikatakan bahwa riwayat ini tidak bertentangan dengan hadits
sebelumnya, karena ada kemungkinan kedelapan orang yang dimaksud
tidak berasal dari salah satu di antara kedua kabilah tersebut sehingga ia
tidak pula dinisbatkan kepada salah satunya. Adapun mereka yang
menisbatkan kedepalan orang ini pada salah satu dari dua suku di atas,
sungguh ia telah bersikap ceroboh berdasarkan riwayat Abu Ya'la yang
juga dikutip oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
3 2 0 — FATHUL BAARI
penyakit. Lalu dalam riwayat lain dari Abu Raja' disebutkan dengan
lafazh, \'j^-'y—L>\. Ibnu Al Arabi mengatakan, bahwa kedua lafazh itu
memiliki makna yang sama. Sementara ulama yang lain mengatakan
bahwa lafazh ijtawa adalah sejenis penyakit yang biasa menyerang perut.
Dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Sa'id dari Qatadah,
sehubungan dengan kisah ini dikatakan, "Mereka berkata, 'Wahai Nabi
Allah, sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang biasa beternak
dan tidak terbiasa bertani.'" Kemudian dalam bab tentang pengobatan,
Imam Bukhari menyebutkan pula riwayat yang senada melalui Tsabit
dari Anas. Ia berkata, "Sesungguhnya dahulu ada sekelompok manusia
yang menderita suatu penyakit, maka mereka berkata, 'Wahai Rasulullah,
berilah kami tempat tinggal dan makanan.'" Setelah sembuh mereka
berkata, 'Sesungguhnya Madinah negeri yang membahayakan kesehat-
an.'"
3 2 2 — FATHUL BAARI
Dari kejadian ini terbuktilah kebenaran sabda beliau SAW, iiLuJi JJ
3 2 4 — FATHUL BAARI
(Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan bagi umatku pada
apa-apa yang diharamkan atas mereka). Diriwayatkan oleh Abu Dawud
dari hadits Ummu Salamah (Adapun jalur lain hadits ini akan disebutkan
dalam pembahasan tentang minuman). Sementara najis adalah haram
hukumnya, maka tidak boleh dijadikan sebagai obat karena tidak dapat
menyembuhkan.
Tidak ada kontradiksi antara dalil-dalil yang disebutkan pada bab ini-segala puji bagi
Allah- dan yang benar adalah air kencing hewan yang dimakan baik unta ataupun lainnya
hukumnya adalah suci, seperti telah diterangkan pada halaman sebelumnya. Telah
disebutkan pula jawaban atas pernyataan Ibnu Hajar di tempat ini. Andaikata air kencing
unta dan yang sepertinya adalah najis, maka tentu Nabi SAW memerintahkan mereka
mencuci mulut karena minum air air kencing tersebut, seraya menerangkan hukumnya.
ij_iw5 (Maka mereka pun minum air kencing dan susu unta tersebut,
setelah mereka sembuh). Lafazh seperti ini disebutkan langsung dalam
hadits di atas melalui jalur Abu Raja\ Sementara dalam riwayat Wuhaib
ditambahkan, \'y+—ij (dan mereka telah gemuk). Dalam riwayat Al
3 2 6 — FATHUL BAARI
yang datang membawa berita belum aku dapatkan keterangan tentang itu,
hanya saja nampaknya ia adalah penggembala unta sedekah (zakat).
Riwayat Imam Bukhari tidak berbeda dalam menyebutkan, bahwa
yang terbunuh hanyalah salah seorang penggembala. Demikian pula
dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Namun pada riwayat
yang beliau nukil melalui Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas disebutkan,
"Kemudian mereka menuju para penggembala dan membunuh mereka."
Senada dengan ini, diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban melalui jalur
Yahya bin Sa'id dari Anas. Dari sini ada kemungkinan bahwa unta
sedekah itu digembalakan oleh sejumlah orang, lalu sebagian mereka
terbunuh bersama-sama penggembala unta milik Nabi SAW. Kemudian
sebagian perawi mencukupkan dengan menyebut penggembala milik
Nabi SAW, sedangkan perawi yang lain menyebutkan pula pengem-bala
yang lainnya. Ada pula kemungkinan bahwa sebagian perawi menukil
hadits ini dari segi maknanya saja, sehingga menuturkan hadits ini
dengan lafazh jamak (plural). Kemungkinan terakhir ini jauh lebih kuat,
sebab para penulis kitab Al Maghazi tidak menyebutkan adanya yang
terbunuh dalam kejadian itu selain penggembala yang bernama Yasar,
wallahu a 'lam.
£—«jjl Cji (Ketika matahari telah meninggi) Dalam riwayat ini ada
bagian yang tidak disebutkan secara tekstual, dan lafazh selengkapnya
adalah sebagai berikut, '• 'J* j ^ ' ^ j ' ^ iJJi J>
(Maka mereka berhasil mendapatkan orang-orang tersebut di hari itu,
dan ketika matahari telah meninggi, mereka para tawanan itu
dihadapkan kepada Nabi SA W).
3 2 8 — FATHUL BAARI
Bukhari melalui riwayat Al Auza'i disebutkan, 'Beliau tidak menahan
darah.' Maksudnya beliau SAW membakar tangan yang telah dipotong
atau melakukan hal-hal tertentu untuk menahan keluarnya darah, bahkan
beliau membiarkan darah mereka mengalir."
pengucapan kata Ji—> dimana tempat keluar huruf bagi keduanya sangat
ke mata mereka."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Maksud lafazh ini telah disebutkan
dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Wuhaib dari Ayyub dan
riwayat Al Auza'i dari Yahya, keduanya menukil dari Abu Cjilabah
t' t'*
minum). Dalam riwayat Wuhaib diberi tambahan lafazh, ijft» J»- (hingga
3 3 0 — FATHUL BAARI
mata mereka saja. Untuk itu perlu dibuktikan untuk anggota badan
lainnya."
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Seakan-akan para ulama berpegang
pada berita yang dinukil oleh para penulis kitab Al Maghazi
(peperangan), dimana mereka mengatakan bahwa orang-orang Urainah
dijatuhi hukuman berupa pemotongan anggota badan disebabkan mereka
telah memotong-motong anggota badan para penggembala." Namun
sebagian ulama menyatakan bahwa hukuman dengan memotong anggota
badan pelaku kejahatan telah mansukh (dihapus). Ibnu Syahin berkata
setelah menyebutkan hadits Imran bin Hushain sehubungan dengan
larangan memotong anggota badan, "Hadits ini menghapuskan segala
jenis tindakan yang mengarah kepada pemotongan anggota badan."
3 3 2 — FATHUL BAARI
Cjilabah, sebagaimana yang diduga oleh sebagian ulama. Begitu pula
dengan lafazh, ij/jl (dan mereka memberontak) dimana telah
disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad melalui jalur Humaid dari Anas,
(dan merekapun lari dalam rangka melakukan
pemberontakan atau pembangkangan).
Pada pembahasan mendatang akan dijelaskan kisah Abu Qilabah
bersama Umar bin Abdul Aziz sehubungan dengan masalah Al Qasamah
(sumpah akibat tuduhan melakukan pembunuhan) dalam kitab Diyat
(hukuman denda), insya Allah.
o l ^ t ' ' ^ } / y y y y y
Keterangan Hadits:
Hadits tentang shalat di tempat-tempat berkumpulnya kambing
telah dijadikan dalil oleh mereka yang berpandangan bahwa air kencing
dan kotoran kambing adalah suci. Mereka berkata, "Sebab tempat-tempat
seperti itu tidak luput dari hal-hal tersebut, sehingga menjadi bukti bahwa
mereka bersentuhan langsung ketika shalat, dan itu menunjukkan bahwa
kencing dan kotoran tersebut tidak najis."
0 s £ f s O 'i' '
Keterangan
(Najis yang jatuh ke dalam minyak samin atau air) Maksudnya,
apakah najis tersebut dapat menjadikan kedua zat cair tersebut najis atau
tidak? Atau apakah air tidak berubah menjadi najis kecuali apabila
berubah, sementara zat cair lainnya tidak demikian? Inilah maksud yang
dapat dipahami dari apa yang disebutkan oleh Imam Bukhari, baik berupa
hadits maupun perkataan para sahabat dan generasi sesudahnya di bab
ini.
frl J* *il (Tidak apa-apa dengan air), yakni tidak ada masalah
dalam menggunakannya dalam segala keadaan. Air tetap dianggap suci
selama najis tidak merubah rasa, bau atau warnanya. Sementara dalam
lafazh yang dinukil oleh Yunus dari Az-Zuhri menjelaskan, bahwa segala
sesuatu yang mampu mengalahkan kotoran apa saja yang terjatuh ke
dalamnya sehingga tidak merubah rasa, bau atau warnanya, maka ia tetap
dianggap suci. Artinya, tidak ada perbedaan antara air yang sedikit
3 3 6 — FATHUL BAARI
maupun banyak kecuali kemampuannya untuk mempertahankan wujud
aslinya dari pengaruh kotoran (najis). Yang menjadi pedoman bagi beliau
adalah terjadinya perubahan atau tidak (dalam tiga sifat; yaitu rasa, bau
dan warna). Madzhab Imam Zuhri ini dijadikan dasar oleh sejumlah
ulama.
Lalu Abu Ubaid menanggapi pendapat itu dalam kitab Ath-Thahur
dengan menyatakan, bahwa konsekuensi pandangan tersebut adalah
apabila seseorang kencing di suatu bejana lalu air kencing tidak merubah
salah satu sifat air itu, maka orang itu boleh menggunakan air tersebut,
padahal perbuatan ini sangatlah menjijikkan. Oleh sebab inilah beliau
lebih mendukung pendapat yang membedakan hukum air yang telah
cukup dua qullah dengan air yang kurang dari dua qullah. Hanya saja
Imam Bukhari tidak menyebutkan hadits tersebut dalam kitabnya, karena
adanya pembahasan tersendiri dari segi silsilah periwayatannya. Akan
tetapi para perawi hadits tersebut adalah orang-orang yang terpercaya
(tsiqah) dan dishahihkan oleh sejumlah imam. Hanya saja tidak ada
kesepakatan di antara mereka mengenai ukuran dua qullah. Imam Syafi'i
menyatakan bahwa standar untuk mengetahui jumlah dua qullah adalah
sebanyak lima qirbah (salah satu wadah penyimpanan air yang terbuat
dari kulit -penerj) milik penduduk Hijaz, penetapan ini sendiri berdasar-
kan perkiraan yang mendekati dan lebih hati-hati. Riwayat tentang dua
qullah itu dijadikan oleh Imam Syafi'i sebagai dalil yang membatasi
keumuman hadits Ibnu Abbas yang berbunyi, t-'^ il~*cu *. tUJi (Air itu
tidak dapat dirubah menjadi najis oleh sesuatu). Hadits ini derajatnya
shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa i, Ibnu
N
'f 5?'j5!j 'c?) d^J (Dan Ibnu Sirin serta Ibrahim berkata). As-
Sarakhsi tidak menyebutkan Ibrahim dalam riwayatnya, demikian pula
kebanyakan perawi yang menukil keterangan ini dari Al Firabri. Silsilah
periwayatan perkataan Ibnu Sirin ini telah disebutkan secara lengkap oleh
Abdurrazzaq dengan lafazh, t—'J* £_'—«Jl J> « j ^ U ij.'y. Si OiST iff (Beliau
beranggapan bahwa perdagangan gading adalah tidak apa-apa). Pernyata-
an ini memberi indikasi, bahwa beliau beranggapan gading adalah suci
hukumnya, sebab beliau termasuk salah seorang yang berpandangan tidak
boleh menjual najis ataupun sesuatu yang bercampur dengan najis apabila
tidak mungkin untuk disucikan berdasarkan kisah beliau yang mashyur
dalam masalah minyak.
3 3 8 — FATHUL BAARI
adalah tulang punggung penyu laut. Akan tetapi pandangan ini perlu
diteliti kembali, sebab dalam kitab Ash-Shihah disebutkan, "Al Misk
adalah gelang yang terbuat dari Al 'Aj atau tulang punggung penyu". Di
sini nampak sang penulis kitab tersebut membedakan keduanya.
Hanya saja Al Qali berkata, "Bangsa Arab menamakan semua
tulang dengan Al 'Aj. " Apabila pernyataan ini benar, maka semua
riwayat tersebut di atas mengatakan bahwa tulang atau gading gajah
adalah suci. Akan tetapi sikap Imam Bukhari yang menyebutkan per-
kataan Ibnu Sirin setelah perkataan Az-Zuhri memberi indikasi untuk
berpegang dengan perkataan Al Khalil.
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai tulang gajah, dimana
perbedaan ini berdasarkan pada persoalan lain, yaitu apakah tulang
termasuk bagian yang dimasuki oleh kehidupan atau tidak? Imam Syafi'i
memilih pendapat yang pertama seraya berdalil dengan firman Allah
SWT, tj-» Jjf UL_2J{ ^jJi i ^ J j i . j ^ j j ) flk.lt ^ 'J* Jli "Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh.
Katakanlah, 'Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang telah menciptakannya
kali yang pertama:" ^ Q s . Yaasiin (36): 18-19} Makna lahiriah ayat ini
sangat jelas menunjukkan, bahwa tulang telah dimasuki oleh kehidupan.
Adapun pandangan kedua -yang merupakan pendapat Abu Hanifah-
dinyatakan, bahwa seluruh jenis tulang hukumnya suci. Sementara Imam
Malik berkata, "Tulang menjadi suci apabila hewan tersebut disembelih
secara syar'i." Pendapat ini berdasarkan pandangannya yang menyatakan,
bahwa hewan yang tidak dimakan dagingnya menjadi suci apabila
disembelih secara syar'i, dan ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah.
FATHUL BAARI — 3 3 9
minyak yang ada di sekitarnya, lalu pakailah sisa minyak yang
tinggal."
Keterangan Hadits:
iy—i 'J- jrr* (Ditanya mengenai tikus) Orang yang bertanya di sini
adalah Maimunah sendiri. Sementara disebutkan dalam riwayat Al
Qaththan dan Juwairiyah dari Malik sehubungan dengan hadits ini,
"Bahwa Maimunah meminta fatwa." (diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni
dan selainnya).
3 4 0 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:
ty-'JeL-i ty'y- Uj U » j j > (Buanglah tikus itu dan minyak yang ada di
sekitarnya) Maksudnya buanglah tikus tersebut dan semua minyak samin
yang berada di dekatnya, lalu makanlah (pakailah) minyak yang tersisa
sebagaimana diindikasikan oleh riwayat terdahulu.
4
J—'J** y—i
^ "Apabila minyak samin itu telah membeku, maka
buanglah tikus itu dan minyak yang ada di sekitarnya. Tapi apabila
minyak samin tersebut cair maka janganlah kamu mendekatinya
(buanglah semua)"
Imam Tirmidzi menceritakan dari Imam Bukhari bahwa beliau
berkata sehubungan dengan riwayat Ma'mar, "Riwayat ini keliru."
Sementara Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari bapaknya, "Riwayat ini
salah." Kemudian Imam Tirmidzi mengisyaratkan bahwa riwayat ter-
sebut termasuk syadz (ganjil/cacat). Lalu Adz-Dzuhli berkata dalam kitab
Az-Zuhriyat, "Kedua jalur periwayatan itu bagi kami sama-sama akurat,
akan tetapi jalur Ibnu Abbas dari Maimunah jauh lebih masyhur."
wallahu a 'lam.
3 4 2 — FATHUL BAARI
dinukil oleh Ibnu Abdil Barr adanya kesepakatan bahwa zat cair yang
membeku dan kejatuhan najis, maka yang dibuang adalah apa yang ada
di sekitarnya, jika telah diketahui secara pasti bahwa bagian-bagian najis
tersebut hanya tidak mengenai apa yang ada di sekitarnya. Adapun zat
yang masih cair maka para ulama berbeda pendapat, mayoritas mereka
mengatakan bahwa zat cair itu berubah menjadi najis secara keseluruhan
apabila najis itu jatuh ke dalamnya. Lalu segolongan yang lain, di
antaranya Az-Zuhri dan Al Auza'i, menyalahi pandangan mayoritas
tersebut. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini akan diterangkan pada
bab "Sembelihan", demikian juga dengan masalah memanfaatkan minyak
yang tercampur najis.
F A T H U L BAARI — 343
Keterangan Hadits:
•Jj «J!j (Dan aroma) Adapun hikmah datangnya darah pada hari
kiamat seperti keadaannya saat terluka, adalah untuk menjadi saksi akan
keutaman orang yang terluka serta menjadi bukti atas perbuatan orang
yang menzhaliminya. Adapun aromanya yang wangi adalah berfungsi
agar aroma tersebut menyebar di kalangan mereka yang berada di padang
mahsyar demi untuk menampakkan keutamaannya. Dari sini, maka tidak
disyariatkan memandikan orang yang mati syahid dalam peperangan.
Kemudian sebagian ulama mempertanyakan maksud Imam
Bukhari menyebutkan hadits di atas dalam bab ini. Al Isma'ili berkata,
"Hadits ini tidak ada sangkut pautnya dengan suci atau najisnya darah,
namun disebutkannya di sini untuk menjelaskan keutamaan orang-orang
yang terbunuh di jalan Allah."
Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dikatakan bahwa maksud
Imam Bukhari menyebutkan hadits ini adalah untuk menguatkan pan-
dangannya yang menyatakan air tidak berubah menjadi najis sekedar
bersentuhan dengan najis, selama tidak terjadi perubahan. Beliau berdalil
dengan hadits ini untuk menunjukkan bahwa perubahan sifat memberi
pengaruh pada hukum yang disifati, sebagaimana perubahan sifat darah
menjadi aroma wangi telah mengeluarkannya dari lingkup celaan kepada
pujian. Demikian pula perubahan sifat air bila berubah karena najis, maka
perubahan itu akan mengeluarkannya dari sifat kesuciannya kepada najis.
Pernyataan ini dibantah dengan mengatakan, bahwa yang menjadi tujuan
utama adalah membatasi najisnya zat cair karena adanya per-ubahan.
Sementara apa yang disebutkan hanyalah memberi keterangan bahwa
sesuatu dapat dihukumi najis bila terjadi perubahan (salah satu sifatnya) -
dan ini merupakan masalah yang disepakati- bukan untuk menyatakan
bahwa zat cair tidak dihukumi najis kecuali berubah salah satu sifatnya,
karena masalah ini masih diperselisihkan.
3 4 4 — FATHUL BAARI
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa Imam Bukhari
bermaksud menjelaskan kesucian minyak wangi, hal itu sebagai bantahan
bagi mereka yang berpendapat bahwa minyak wangi (misk) adalah najis
karena terdiri dari darah. Ketika darah tersebut berubah dari bau yang tak
sedap dan tidak disenangi menjadi aroma minyak wangi yang disenangi,
maka statusnya berubah menjadi halal atau berubah dari najis menjadi
suci, sebagaimana halnya khamer apabila berubah menjadi cuka.
Ibnu Rasyid berkata, "Maksudnya perubahan darah menjadi aroma
wangi, itulah yang telah mengubah status hal-hal tersebut dari sesuatu
yang tercela menjadi sesuatu yang disenangi atau terpuji." Dari sini dapat
dipahami bolehnya mengunggulkan satu sifat (bau) dari dua sifat lainnya,
yaitu rasa dan warna.
Berdasarkan hal ini dapat ditarik suatu kesimpulan, jika salah satu
sifat zat cair mengalami perubahan yang baik atau yang buruk (rusak),
maka akan diikuti oleh dua sifat yang lain. Seakan-akan hal ini sengaja
dikemukakan oleh Imam Bukhari sebagai bantahan atas pendapat yang
dinukil dari Rabi'ah dan lainnya yang menyatakan, bahwa perubahan
satu sifat dasar tidaklah memberi pengaruh hingga berkumpulnya dua
sifat.' Beliau menambahkan, "Ada kemungkinan hadits tersebut dijadikan
dalil bahwa air apabila berubah aromanya menjadi wangi (baik), maka
tidak dapat dikatakan bahwa ia bukan lagi dinamakan air. Sebagaimana
darah meskipun baunya telah berubah menjadi aroma minyak wangi,
namun kita tidak dapat menamakan bahwa ia bukan darah lagi, sebab
beliau SAW tetap menamakannya sebagai darah padahal aromanya telah
berubah. Selama nama berhubungan erat dengan sesuatu yang dinamai,
maka hukum akan terus mengikuti penamaan tersebut." demikian per-
kataan Ibnu Rasyid.
Keterangan Hadits:
(Kencing di air yang tergenang), yakni yang tidak mengalir.
Sementara dalam riwayat Al Ashili disebutkan, "Bab Jangan kencing di
air tergenang", dan kedua makna tersebut sama.
3 4 6 — FATHUL BAARI
CijiL)—UJi o/yf-y 'Ju (Kita adalah orang-orang terakhir yang akan
mendahului). Para ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud
Imam Bukhari mendahulukan kalimat ini sebelum hadits yang menjadi
pokok bahasan dalam bab ini. Ibnu Baththal berkata, "Ada kemungkinan
Abu Hurairah mendengar yang demikian itu dari Nabi S A W serta hadits
sesudahnya dalam satu konteks, maka dia menceritakan kedua kalimat
itu. Adapula kemungkinan bahwa hal ini dilakukan oleh perawi yang
bernama Hammam, karena ia mendengarnya dari Abu Hurairah dengan
konteks demikian. Pada dasarnya tidak ada kesesuaian antara lafazh yang
dimaksud dengan judul bab."
3 4 8 — FATHUL BAARI
menjauhi najis hingga bila mengenai pakaian salah seorang di antara
mereka, maka ia pun menggunting kain tersebut. Lalu bagaimana
mungkin dugaan seperti ini ditujukan kepada mereka? Hanya saja,
anggapan kemustahilan ini tidak menghapus adanya kemungkinan
mengenai hal itu. Namun apa yang telah kami kemukakan jauh lebih
tepat.
Atas dasar itu, maka batasan ini tidak disebutkan dalam riwayat
Abu Utsman dari Abu Hurairah yang telah diisyaratkan terdahulu,
kata ini dibaca J—i*j (huruf akhir diberi harakat dhammah). Namun Ibnu
Sama seperti ini sabda beliau SAW, j»i X*H\ ~£Je '&'y>\ '^'^ jjjlia Si
lj—«rCaj "Janganlah salah seorang di antara kamu memukul istrinya
sebagaimana ia memukul budak wanita, kemudian ia menggauli
istrinya:'' Maksud hadits ini adalah larangan bagi suami untuk memukul
istri secara berlebihan, karena ia akan butuh untuk bergaul dengan
istrinya. Jika hal itu terjadi, sang istri akan menolak disebabkan per-
buatan suaminya yang tidak baik terhadapnya."
3 5 0 — FATHUL BAARI
Akan tetapi perkataan ini dibantah dengan mengatakan, bahwa
suatu larangan yang diberi penekanan tertentu (menggunakan huruf
taukid) tidak dilarang untuk dikaitkan dengannya lafazh larangan lain
yang tidak disertai penekanan apa-apa (tanpa huruf taukid). Sebab, boleh
jadi pada salah satu dari kedua hal terlarang itu terdapat makna tertentu
yang tidak didapatkan pada yang lainnya.
Selanjutnya Imam Al Qurthubi berkata, "Tidak boleh pula dibaca
J—-&t 'f—i (huruf akhir diberi harakat fathah), sebab tidak ada kata ganti
setelah lafazh jU " N a m u n hal itu diperbolehkan oleh Ibnu Malik, karena
kata 'f—i (kemudian) di sini diartikan sebagaimana makna huruf sambung
waw (dan).
Kemudian Imam An-Nawawi menolak pendapat Ibnu Malik
dengan alasan bila lafazh ji-J (kemudian) diartikan sebagaimana makna
3 5 2 — FATHUL BAARI
dalam menentukan batasan air yang sedikit. Telah disebutkan pula
pandangan orang yang hanya berpedoman pada berubah tidaknya salah
satu sifat air, yang mana ini merupakan pendapat yang sangat kuat. Akan
tetapi untuk membedakan antara hukum air dua qullah dengan air yang
tak cukup dua qullah jauh lebih kuat, disebabkan adanya hadits shahih
yang dinukil mengenai hal itu. Keakuratan hadits ini telah diakui sendiri
oleh Thahavvi -salah seorang ulama madzhab Hanafi. Hanya saja beliau
tidak mengamalkan indikasinya, dengan alasan bahwa lafazh qullah
menurut pengertian umum adalah nama wadah (tempat) tertentu baik
besar maupun kecil. Sementara tidak ada keterangan dalam hadits yang
membatasi ukurannya, sehingga indikasinya menjadi global (mujmal)
dan tidak dapat diamalkan. Pendapat beliau ini didukung oleh Ibnu Daqiq
Al Id.
L T ^ J y*3 1 0
9. y L*? i cf- ^ i
b
3 5 4 — FATHUL BAARI
shalatnya. Ibnu Musayyab dan Sya 'bi berkata, "Apabila seseorang
shalat sementara di pakaiannya ada darah atau bekas junub
(mani), tidak menghadap ke arah kiblat, atau bertayamum lalu
shalat, kemudian ia mendapatkan air sebelum waktu shalat habis,
maka ia tidak mengulang shalatnya"
Keterangan
(Apabila diletakkan kotoran atau bangkai dipunggung orang yang
shalat), maksudnya sesuatu yang dihukumi najis. (Atau bangkai),
maksudnya adalah bangkai yang busuk.
(Tidak batal). Hukum seperti ini berlaku pada saat seseorang tidak
mengetahui adanya najis, atau ia mengetahui dan segera menghilangkan-
nya. Akan tetapi ada pula kemungkinan shalat orang tersebut tetap sah
meski ia telah mengetahui najis tersebut dan membiarkannya menempel
di badannya, berdasarkan pandangan mereka yang mengatakan bahwa
menjauhi najis saat shalat bukan perkara yang wajib. Juga berdasarkan
pandangan mereka yang mengatakan, bahwa najis tersebut hanya
membatalkan shalat bila telah diketahui ketika hendak memulai shalat.
Adapun bila diketahui atau ada pada saat shalat berlangsung, maka
shalatnya tidak batal. Nampaknya, Imam Bukhari cenderung memilih
pendapat terakhir ini. Berdasarkan pandangan ini, dapat dipahami
perbuatan seorang sahabat yang tetap melangsungkan shalatnya meski
darah mengucur dari badannya akibat tertusuk anak panah saat me-
lakukan shalat. Hadits mengenai hal itu - y a n g diriwayatkan dari Jabir-
telah disebutkan pada bab "Orang yang berpendapat tidak ada wudhu
kecuali karena sesuatu yang keluar dari dua jalan".
JU-JJ 'i *—s» j Jt «.UJi i5jil j*S JLe '^4 ji iDiJt JJi ji iiUsr y\ p a*'y Jij
(Sementara di pakaiannya ada darah atau bekas junub (mani), tidak
menghadap kiblat, atau bertayammum lalu shalat, kemudian ia
mendapatkan air sebelum waktu shalat habis, maka ia tidak mengulang
shalatnya). Maksud darah di sini, adalah apabila darah tersebut tidak
diketahui oleh orang yang shalat. Demikian pula dengan bekas junub
(mani) bagi mereka yang berpendapat air mani adalah najis. Sedangkan
yang dimaksud dengan masalah kiblat adalah apabila seseorang telah
melakukan usaha sungguh-sungguh untuk menentukan arah kiblat,
3 5 6 — FATHUL BAARI
namun ternyata ia mengalami kesalahan. Begitu juga dengan tayammum,
yaitu apabila seseorang tidak menemukan air. Semua maksud ini dapat
ditangkap dengan jelas dari konteks keempat atsar (riwayat) yang
disebutkan dari keempat tabi'in itu.
Silsilah periwayatan keempat atsar tersebut telah disebutkan secara
bersambung oleh Abdurrazzaq, Sa'id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah
dengan jalur-jalur yang shahih serta terpisah, dimana aku telah menjelas-
kannya dalam kitab Ta 'liq At-Ta 'liq.
Adapun masalah darah telah dijelaskan. Sedangkan tayamum,
maka tidak adanya kewajiban mengulangi shalat merupakan pendapat
keempat imam dan mayoritas ulama salaf (terdahulu). Sementara itu
sejumlah tabi'in, di antaranya Atha', Ibnu Sirin dan Makhul berpan-
dangan, bahwa orang yang melakukan tayamum lalu shalat kemudian
mendapat air, maka ia wajib mengulangi shalatnya.
Sedangkan mengenai shalat yang diketahui tidak menghadap
kiblat, maka tiga imam (Abu Hanifah, Malik dan Ahmad) serta Imam
Syafi'i dalam pendapatnya yang lama mengatakan, bahwa orang tersebut
tidak wajib mengulang shalatnya. Inilah pendapat mayoritas ulama. Akan
tetapi dalam pendapatnya yang baru Imam Syafi'i mengatakan, bahwa
orang itu wajib mengulang shalatnya.
Golongan pertama memperkuat pendapat mereka dengan sebuah
hadits yang dinukil oleh Imam Tirmidzi melalui jalur Abdullah bin Amir
bin Rabi'ah, dari bapaknya. Ia berkata bahwa hadits ini derajatnya hasan
(baik), akan tetapi ulama-ulama yang lain menganggapnya sebagai hadits
dha 'if (lemah). Al Uqaili berkata, "Hadits tersebut tidak dinukil melalui
jalur yang dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya."
Ibnu Al Arabi berkata, "Landasan pendapat Imam Syafi'i yang
baru (jadid) adalah, bahwa kesalahan seorang mujtahid menjadi batal bila
ditemukan nash (ayat atau hadits) yang menyalahinya." Kemudian dia
berkomentar, "Namun masalah seperti ini tidak dapat diterapkan kecuali
bila berada di Makkah. Adapun di tempat-tempat lain, maka suatu ijtihad
tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain." Pernyataan terakhir Ibnu Al
Arabi dapat dijawab dengan mengatakan, "Masalah ini dapat dibatasi,
yaitu apabila telah diyakini adanya kesalahan, sehingga hal itu
merupakan perpindahan dari kesalahan yang diyakini kepada dugaan
o o'' S ' ' i i " " " 0 ' •* o ' ' £ Ji * ' ' ' •* * 2'
j ^ I l p j l i i o f ^ o * A J (cr4^ :
p ^
3 5 8 — FATHUL BAARI
Maka, bangkitlah orang yang paling jahat di antara mereka
(Uqbah bin Abi Mu'aith) lalu pergi untuk kemudian kembali
membawa usus unta tersebut. Kemudian ia menunggu sebentar.
Ketika Nabi SA W sujud, ia meletakkan usus unta di atas tengkuk
beliau SAW, sementara aku melihat, namun aku tidak dapat
melakukan apa-apa. Andai aku memiliki kemampuan mencegah-
nya. Maka mereka pun tertawa seraya sebagian mereka menunjuk
sebagian yang lain, sedang Rasulullah SAW tetap sujud tidak
mengangkat kepalanya hingga datang kepadanya Fathimah lalu
membuang kotoran itu dari punggung beliau. Maka Nabi SA W
mengangkat kepalanya kemudian berdoa, "Ya Allah, hukumlah
kaum Quraisy, " sebanyak tiga kali. Mereka ketakutan ketika Nabi
mendoakan kebinasaan atas mereka, karena mereka tahu bahwa
permohonan beliau di negeri itu dikabulkan. Kemudian beliau
SAW menyebut nama mereka satu-satu, "Ya Allah binasakanlah
Abu Jahal, Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Al Walid bin
Utbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Abi Mu 'aith. " Beliau
menyebut yang ketujuh namun kami tidak mengingatnya."
Abdullah bin Mas'ud berkata, "Demi dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, sungguh aku telah melihat orang-orang yang disebut
oleh Rasulullah SA W mati terkubur dalam lubang bekas sumur,
(waktu perang) Badar.'"''
Keterangan Hadits:
Nawawi berkata, " A*i*Ji dengan fathah pada huruf nun, maknanya adalah
(plural) dari kata L J ) S'. " A l Qazzaz dan Al Harawi lebih mendukung
pendapat yang memberi harakat sukun huruf nun pada kata berbeda
dengan penulis kitab Al Ishlah yang cenderung menyatakan bahwa huruf
nun kata tersebut diberi harakat fathah (i-*Z>), dan inilah yang menjadi
sumber pendapat Imam An-Nawawi.
Dia berkata, "Ia mengatakan demikian, karena ia tidak memiliki
keluarga di kota Makkah. Sebab Ibnu Mas'ud berasal dari suku Hudzail,
sekutu suku Arab, sementara sekutu-sekutu sukunya saat itu masih dalam
keadaan kafir."
Sementara dalam perkataan ini ada bagian yang tidak disebutkan
dalam teks kalimat, dimana makna selengkapnya adalah, "Seandainya
aku memiliki kemampuan mencegahnya, niscaya aku akan menghilang-
kannya dari Rasulullah SAW." Pernyataan seperti ini disebutkan
langsung dalam teks hadits Imam Muslim melalui jalur periwayatan
3 6 0 — FATHUL BAARI
Zakariya. Sedangkan dalam riwayat Al Bazzar disebutkan, "Aku merasa
takut kepada mereka."
|»4—- * ' J — { S e b a g i a n
a J
mereka tertawa terbahak-bahak sambil
menunjuk), maksudnya mereka saling menisbatkan perbuatan tersebut
kepada yang lain untuk memperolok-olok Nabi. Ada pula kemungkinan
lafazh ini berasal dari kata J—°~y. - J£- yang berarti melompat ke atas
punggung hewan tunggangannya, yakni mereka saling berlompatan
karena kegirangan. Sementara dalam riwayat Imam Muslim disebutkan
dengan lafazh, J—1*JJ (dan mencondongkan badan) karena banyaknya
tertawa. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Isra'il.
Adapun yang dimaksud Fathimah di sini adalah Fathimah putri
Rasulullah SAW. Isra'il menambahkan, "Sementara waktu itu dia masih
belia, datang berjalan tergesa-gesa sementara Nabi SAW tetap saja ber-
sujud."
\ J d JL> lijj \j% (Dan biasanya apabila beliau berdoa diulang tiga
kali, dan apabila beliau memohon juga diulang tiga kali).
—11* jmii (Maka terasa berat bagi mereka). Dalam riwayat Imam
Muslim melalui jalur Zakariya disebutkan, ^4—•* s — * *0-* *j**l- Wi J
Si— r
(Abu jahal). Dalam riwayat Isra'il disebutkan, "Umar bin
Hisyam." Ini adalah nama Abu Jahal. Barangkali beliau SAW menyebut
nama dan julukannya sekaligus.
" ' i"
Jt—£• JJ v j (Dan Umayyah bin Khalaf). Dalam riwayat Syu'bah
(
3 6 2 — FATHUL BAARI
setelah riwayat Ats-Tsauri dalam bab tentang jihad, lalu beliau berkata,
"Yang benar adalah Umayyah." Akan tetapi dalam kitab itu beliau
mencantumkan nama Ubay bin Khalaf. Ini merupakan kekeliruan beliau
atau kekeliruan guru beliau yang bernama Abu Bakar bin Abdullah bin
Abi Syaibah saat menceritakan hadits ini kepada Imam Bukhari, karena
guru beliau (Abu Bakar) telah menukil dalam kitab Musnad-nya dengan
lafazh "Umayyah." Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim melalui jalur Abu Bakar, serta Al Isma'ili dan Abu N u ' a i m
melalui jalur Abu Bakar dengan lafazh "Umayyah" pula, dan inilah yang
benar. Di samping itu para penulis kitab Al Maghazi (peperangan) telah
sepakat, bahwa yang terbunuh dalam perang Badar adalah Umayyah,
sedangkan saudaranya yang bernama Ubay bin Khalaf terbunuh pada
perang Uhud. Terbunuhnya Umayyah ini akan diterangkan dalam
pembahasan perang Badar, insya Allah.
ihflks °p±i £iCJl JS-J (Dan beliau menyebut yang ketujuh namun kami
tidak mengingatnya). Al Karmani berkata, "Yang dimaksud dengan
"beliau" dalam lafazh, "Beliau menyebutkan..." adalah Rasulullah
SAW. Sedangkan yang dimaksud dengan "kami" dalam lafazh, "namun
kami tidak mengingatnya" adalah Abdullah bin M a s ' u d atau Amru bin
Maimun (perawi yang menerima dari Ibnu Mas'ud -penerj).
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Aku tidak tahu dari mana Al Karmani
mendapatkan keterangan seperti ini. Padahal dalam riwayat Ats-Tsauri
seperti dikutip oleh Imam Muslim terdapat indikasi, bahwa orang yang
lupa adalah Abu Ishaq. Lafazh riwayat tersebut, adalah Abu Ishaq
berkata, 'Dan aku lupa yang ketujuh.'" Maka atas dasar ini, yang
dimaksud dengan "beliau" dalam lafazh, "Beliau menyebutkan..."
adalah Amru bin Maimun. Bahkan terkadang Abu Ishaq pada kesempat-
an lain mengingat nama orang ke tujuh itu, seraya menyebutkan bahwa
namanya adalah Umarah bin Al Walid, sebagaimana yang dikutip oleh
Imam Bukhari dalam pembahasan shalat melalui riwayat Isra'il dari Abu
Ishaq. Sementara riwayat Isra'il dari Abu Ishaq sangat akurat, karena ia
senantiasa mendampingi Abu Ishaq yang juga termasuk kakeknya."
3 6 4 — FATHUL BAARI
sumur Badar). Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Timpakan laknat
kepada para penghuni sumur ini"
Ada kemungkinan lafazh terakhir ini merupakan bagian dari doa
beliau terdahulu, sehingga merupakan salah satu tanda kenabian. Ada
pula kemungkinan beliau SAW mengucapkannya setelah mereka di-
masukkan ke dalam sumur. Ditambahkan oleh Syu'bah dalam riwayat-
nya, "Kecuali Umayyah, karena sesungguhnya ia telah terpotong-
potong." Ditambahkan pula, "Karena ia sangat gemuk."
Faidah
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dalam kitab Al
Maghazi, dia berkata, "Telah menceritakan kepadaku Al Ajlah dari Abu
Ishaq, lalu dia menyebutkan hadits." Di bagian akhir hadits tersebut dia
menambah dengan kisah Abu Al Bakhtari bersama Nabi SAW
sehubungan dengan pertanyaannya kepada Nabi SAW mengenai kisah
ini. Abu Bakhtari memukul Abu Jahal hingga melukainya. Kisah ini
sangat masyhur dalam sejarah. Kemudian diriwayatkan pula oleh Al
Bazzar melalui jalur Abu Ishaq, bahwa Al Ajlah telah menyendiri dalam
menukil kisah itu dari Abu Ishaq.
3 6 6 — FATHUL BAARI
meninggalkan bekas, maka shalatnya dianggap sah menurut kesepakatan
ulama.
Di samping itu, hadits ini dijadikan pula sebagai dalil yang me-
nunjukkan sucinya kotoran binatang yang dimakan dagingnya dan
menghilangkan najis bukan suatu kewajiban, namun pendapat ini sangat
lemah. Bahkan, memahami hadits ini sebagaimana indikasinya yang telah
diterangkan terdahulu adalah lebih tepat. Hanya saja ada yang menang-
gapi, "Sesungguhnya yang diletakkan di punggung beliau SAW bukanlah
kotoran saja, bahkan kotoran tersebut bercampur darah sementara darah
telah disepakati sebagai sesuatu yang najis." Tanggapan ini saya jawab
dengan mengatakan, "Kotoran dan darah yang dimaksud berada dalam
perut besar, sedangkan kulit perut besar itu sendiri hukumnya suci,
sehingga di sini hampir sama dengan seseorang yang membawa botol
berisi kotoran."
3 6 8 — FATHUL BAARI
l f Oy f i O * '[-'j,* *M Z t s S 1 i f -** O yf O y
Keterangan Hadits:
(Di pakaian) atau badan dan lainnya. Masuknya bab ini dalam
pembahasan thaharah (bersuci), karena hal-hal ini tidak merusak air
(kesuciannya) jika bercampur dengannya.
f % Z A & yi>
8
y Z ' & ' ^ * yy ^ ^ » % s s * % y ' '
Hal itu tidak disukai oleh Al Hasan dan Abu Al Aliyah. Atha' berkata,
"Tayammum lebih aku sukai daripada berwudhu dengan menggunakan
An-Nabidz dan susu."
n
Yang dimaksud dengan An-Nabidz adalah kurma atau anggur yang direndam dengan air
sampai menjadi minuman keras, penerj.
3 7 0 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:
^_L»Jt i* JTJ (Dan hal itu tidak disukai oleh Al Hasan), maksudnya
adalah Hasan Al Bashri. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan
Abdurrazzaq melalui dua jalur periwayatan dari Al Hasan, "Janganlah
berwudhu dengan An-Nabidz." Lalu diriwayatkan pula oleh Abu Ubaid
melalui jalur yang lain dari Al Hasan bahwa hal tersebut tidaklah
mengapa. Maka atas dasar ini, sikapnya yang tidak menyukai itu hanya
bersifat makruh tanzih (meninggalkannya adalah lebih utama).
s.\—lap J l — j j (Dan Atha' berkata), dia adalah Atha' bin Abi Rabah.
Telah diriwayatkan pula oleh Abu Dawud melalui jalur Ibnu Juraij dari
Atha' bahwa dia tidak menyukai berwudhu dengan menggunakan An-
Nabidz dan susu. Dia berkata, "Sesungguhnya tayamum lebih aku sukai
daripada hal-hal itu." sementara itu Al Auza'i berpendapat boleh
berwudhu dengan menggunakan segala jenis An-Nabidz. Ini juga
merupakan pendapat Ikrimah (mantan budak Ibnu Abbas). Pandangan
serupa diriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Abbas, namun riwayat
tersebut tidak shahih.
Adapun Abu Hanifah mengecualikan di antara yang boleh tersebut,
yaitu An-Nabidz yang terbuat dari kurma. Di samping beliau mensyarat-
kan tidak adanya air, serta orang yang akan berwudhu dengan An-Nabidz
tersebut berada di luar pemukiman. Akan tetapi kedua sahabat beliau
menyelisihinya dalam masalah itu, Muhammad (salah seorang di antara
dua sahabat Abu Hanifah) berkata, bahwa "Dikumpulkannya antara
wudhu dengan An-Nabidz dan tayamum, ada yang mengatakan bahwa
hal itu wajib dan apa pula yang mengatakan sekedar disukai. Ini adalah
pendapat Ishaq. Sedangkan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah yang lain)
berpen dapat sama seperti mayoritas ulama, yaitu tidak boleh berwudhu
dengan An-Nabidz dalam segala keadaan. Demikian pula pendapat yang
dipilih oleh Ath-Thahawi.
Sisi penetapan dalil oleh Imam Bukhari dari hadits ini sehubungan
dengan bab di atas adalah, bahwa sesuatu yang memabukkan tidak halal
diminum. Segala sesuatu yang tidak halal diminum, maka tidak boleh
pula dipakai berwudhu menurut kesepakatan para ulama, wallahu a lam.
Pembahasan tentang hukum minum An-Nabidz ini akan dibahas pada
kitab tentang minuman, insya Allah.
3 7 2 — FATHUL BAARI
72. Seorang Wanita Mencuci Darah di Wajah Bapaknya
Keterangan Hadits:
3 7 4 — FATHUL BAARI
73. Siwak
Ibnu Abbas berkata, "Aku pernah bermalam di rumah Nabi SAW, maka
beliau pun menggosok gigi."
Keterangan Hadits:
.iiljljb.
Keterangan Hadits:
3 7 6 — FATHUL BAARI
melakukan shalat." Aku katakan, "Keterangan mengenai hal itu
disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari dalam pembahasan shalat
dengan ungkapan, "Apabila beliau bangun untuk tahajjud". Demikian
pula yang dinukil oleh Imam Muslim. Di samping itu hadits Ibnu Abbas
turut menguatkannya. Seakan-akan inilah yang menjadi rahasia sehingga
disebutkan dalam judul bab ini. Lalu Imam Bukhari banyak menyebutkan
hukum-hukum siwak pada pembahasan shalat dan puasa sebagaimana
akan dijelaskan pada tempatnya, insya Allah.
j_Ui -LP y\ Jli (Abu Abdullah berkata) Beliau adalah Imam Bukhari.
Adapun Nu'aim adalah N u ' a i m bin Hammad. Sedangkan Usamah yang
dimaksud adalah Usamah bin Zaid Al-Laitsi Al Madani. Riwayat Nu'aim
yang tersebut di sini, silsilah periwayatannya telah disebutkan secara
lengkap oleh Ath-Thabrani dalam kitab Al Ausath melalui jalur Bakr bin
Sahal dari Nu'aim dengan lafazh, "Jibril memerintahkan kepadaku untuk
menyerahkan kepada yang lebih tua."
Kami telah meriwayatkannya pula dalam kitab Al Ghailaniyat
melalui riwayat Abu Bakar Asy-Syafi'i dari Umar bin Musa dari N u ' a i m
dengan lafazh, "Untuk aku dahulukan yang lebih tua." Lalu telah
diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Ibnu Mubarak dari N u ' a i m tanpa
diringkas, seperti dikutip oleh Ahmad, Al Isma'ili dan Al Baihaqi dengan
lafazh, "Aku melihat Rasulullah SAW menggosok gigi lalu beliau
menyerahkan siwak tersebut kepada orang paling tua di antara yang
hadir, kemudian beliau bersabda, ''Sesungguhnya Jibril memerintahkan
kepadaku untuk menyerahkan kepada yang lebih tua:'''' Riwayat terakhir
ini memberi indikasi, bahwa kisah tersebut terjadi pada saat terjaga
(bukan mimpi).
3 7 8 — FATHUL BAARI
Riwayat Ibnu Mubarak diperkuat oleh riwayat yang dinukil oleh
Abu Dawud melalui silsilah periwayatan yang hasan dari Aisyah, ia
berkata, "Rasulullah SAW pernah menggosok gigi, sedang di samping-
nya dua orang laki-laki. Maka diwahyukan kepadanya, 'Hendaklah
engkau menyerahkan siwak kepada yang lebih tua.'"
Ibnu Baththal berkata, "Dalam hadits ini terdapat keterangan untuk
lebih mendahulukan orang yang lebih tua dalam hal siwak, dan
disamakan pula dengannya makanan, minuman, berjalan dan berbicara."
Al Muhallab berkata, "Hal demikian berlaku apabila orang-orang belum
duduk secara teratur, adapun jika mereka telah duduk secara teratur maka
sunah untuk mendahulukan yang kanan." Ini merupakan pendapat yang
shahih. Hadits mengenai hal ini akan disebutkan dalam pembahasan
tentang minuman.
Dalam hadits ini terdapat keterangan bolehnya menggunakan siwak
orang lain tanpa ada unsur makruh (tidak disukai). Hanya saja disukai
bila orang itu mencuci sebelum memakainya. Sehubungan dengan ini
telah diriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah dalam Sunan Abu Dawud,
* * " 't. i' ' " t ' * * F
S ' '
dimana Aisyah berkata, ^—i -)£->ls AJ IJJU> iL-pV J!a*j *»i J j w j oli"
s s y y y y y y o
s i y y 0 y y O/' , " * M ^* t » y 0 y y> y
d}-^±> C J L B L: ^ 1 J U : J L S ^ > ^ , G I ^
y y y "y
3 8 0 — FATHUL BAARI
'dan rasul-Mu.' Maka Nabi SA W bersabda, "Tidak, dan nabi-Mu
yang telah engkau utus:"
Keterangan Hadits:
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim serta
ahli hadits lainnya melalui berbagai jalur yang semuanya bersumber dari
Al B a r r a \ Semua jalur itu tidak menyebutkan wudhu, kecuali melalui
riwayat ini saja. Demikian juga yang dikatakan oleh Imam Tirmidzi.
Telah diriwayatkan juga tentang hal ini dari M u ' a d z bin Jabal seperti
dinukil oleh Abu Dawud, demikian juga hadits Ali yang diriwayatkan
oleh Al Bazzar. Akan tetapi, tidak satupun di antara dua riwayat itu yang
sesuai dengan persyaratan Imam Bukhari. Pembahasan faidah kandungan
hadits ini akan dijelaskan pada bab doa, insya Allah.
" Riwayat yang telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar menggunakan kalimatjU^o" L* 'jf\ j$li*-lj
3 8 2 — FATHUL BAARI
hadits itu bagi yang membolehkan bagian pertama (yakni menukar kata
"nabi" dengan kata "rasul") dan tidak memperbolehkan bagian kedua
(yakni sebaliknya -penerj), karena kata "nabi" lebih spesifik daripada
kata "rasul".
Di samping itu kita mengatakan, "Dzat yang menjadi obyek
pemberitaan dalam riwayat tersebut hanyalah dzat yang satu. Jika disifati
dengan sifat apa saja yang sesuai dengan dzat dan kedudukannya, maka
dapat diketahui dengan langsung maksud dari apa yang diberitakan
meskipun makna sifat-sifatnya berbeda. Sama halnya dengan nama yang
diganti dengan panggilan atau panggilan yang diganti dengan nama.
Tidak ada perbedaan apabila seorang perawi mengatakan, 'Dari Abu
Abdullah Al Bukhari' atau 'Dari Muhammad bin Isma'il Al Bukhari'.
Hal ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam hadits pada bab ini.
Karenanya mengandung kemungkinan seperti yang telah kami jelaskan,
yaitu masalah tauqifi dan yang lainnya." Wallahu a 'lam.
Catatan Penting
Imam Bukhari menutup bab wudhu dengan hadits ini, dikarenakan
wudhu ini adalah wudhu terakhir yang dianjurkan kepada seorang
mukallaf (yang dibebani kewajiban syariat) di saat terjaga berdasarkan
sabda beliau dalam hadits yang sama, "Dan jadikanlah kalimat tersebut
yang terakhir engkau ucapkan." Maka lafazh ini mengisyaratkan untuk
dijadikan pula sebagai penutup pembahasan ini, dan hanya Allah yang
memberi petunjuk kepada kebenaran.
Penutup
Kitab tentang wudhu dan segala yang berhubungan dengannya,
yaitu hukum-hukum air dan tata cara istinja' terdiri dari hadits-hadits
marfu' (sampai kepada Nabi SAW) yang berjumlah 150 hadits. Silsilah
periwayatan yang disebutkan secara bersambung berjumlah 116 hadits,
sedangkan yang disebutkan sebagai pendukung (mutaba 'ah) dan yang
disebutkan tanpa silsilah periwayatan (ta'liq) berjumlah 38 hadits.
Adapun yang terulang dalam bab ini dan bab-bab sebelumnya berjumlah
73 hadits. Yang tidak terulang berjumlah 81 hadits, tiga di antaranya
disebutkan tanpa silsilah periwayatan sedangkan sisanya disebutkan
melalui jalur periwayatan yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.
A KfiMPtfNGUJitNAM
3 8 4 — FATHUL BAARI
5. MANDI
^b) ^ Sy3 J ^ 1
^ r r ^ J^'J ^ 1
X y y O y y y 0 y y 0 y y & '
O y'O -fisi y * ,y ,y t y O y Q to^ I 1* I
\* ' L •* * " ' L ' ' C '{• ' L ' LI •* ^ ' M ° f I «L'TL
# #
J ' - * % I, > -
O y ^ y O y X ^ ^ & ' %% y y y % s
yy y ^ ' 9
i 0
i ' 0
£ * '
3 8 6 — FATHUL BAARI
.Ijjip Ijjtp JIS" 4JJI
Keterangan
merupakan penjelasan dari lafazh 'jj^ ** yang masih bersifat global. Ayat
9
lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah SWT
— b l i adalah mandi, yaitu firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah
ayat: 222 tentang wanita yang haidh, oj^ai l i l i oj^aj 'y*y'j£ Vj (Dan
janganlah kamu mendekati mereka (para istri) hingga mereka suci.
Apabila mereka suci). Artinya kalau mereka sudah mandi."
Ayat dalam surah An-Nisaa' tersebut juga menunjukkan bahwa
boleh atau tidaknya seseorang yang sedang junub untuk melaksanakan
shalat -demikian juga berdiam di masjid- adalah tergantung kepada
mandi. Adapun hakikat mandi adalah membasuh semua anggota tubuh
disertai dengan niat, dimana niat itulah yang membedakan antara mandi
untuk ibadah atau hanya sekedar kebiasaan.
3 8 8 — FATHUL BAARI
1. Wudhu Sebelum Mandi
248. Dar/ Aisyah -istri Nabi SAW- bahwa apabila beliau mandi
junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua tangannya.
Kemudian berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, kemudian
beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, setelah itu
menggosokkannya di sela-sela rambutnya. Kemudian ia menyiram
kepalanya sebanyak tiga kali cidukan, setelah itu meratakan
(menyiramkan) air ke seluruh tubuhnya.
Keterangan Hadits:
(Wudhu sebelum mandi), maksudnya disukai berwudhu sebelum
mandi wajib.
Imam Syafi'i mengatakan dalam kitabnya, Al Umm, "Allah S W T
mewajibkan mandi secara mutlak (tanpa batas) dengan tidak menyebut-
kan satu perbuatan pun yang harus dilakukan sebelumnya. Bagaimanapun
cara seseorang mandi, maka itu sudah cukup dengan syarat ia membasuh
(mengalirkan air) ke seluruh tubuhnya. Adapun cara yang paling baik
adalah sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah."
Hadits yang disebutkan dalam bab ini juga dikutip dari Imam
Malik dengan silsilah periwayatannya, sebagaimana dalam kitab Al
Muwaththa \ Ibnu Abdil Barr mengatakan, bahwa hadits tersebut adalah
hadits yang paling baik yang diriwayatkan dalam bab ini. Aku (Ibnu
Hajar) katakan, "Hadits ini juga diriwayatkan dari Hisyam Ibnu Urwah
J-~i*l lij DlT (Apabila beliau mandi), yakni memulai mandi. Lafazh
3 9 0 — FATHUL BAARI
(bersuci besar). Pandangan seperti ini menjadi kecenderungan Ad-
Dawudi -pensyarah Al Mukhtashar dari madzhab Syafi'i- dimana ia
mengatakan, "Lebih dahulu membasuh anggota wudhu sesuai dengan
urutannya, tetapi dengan niat mandi junub."
Kemudian Ibnu Baththal menukil adanya kesepakatan para ulama
yang mengatakan, "Apabila seseorang telah mandi wajib, maka ia tidak
wajib berwudhu." Tetapi klaim adanya ijma' mengenai perkara ini tidak
dapat diterima, karena sejumlah ulama di antaranya; Abu Tsaur, Daud,
dan lainnya berpendapat bahwa mandi tidak bisa menggantikan wudhu
bagi orang yang berhadats.
'',>'.
l^j J i k J {Setelah itu menggosokkannya), yakni menggosokkan jari-
jari tangannya yang sudah dimasukkan ke dalam air. Dalam riwayat
Muslim disebutkan, "Kemudian beliau mengambil air, setelah itu me-
masukkan jari-jari tangannya ke akar-akar rambut." Dalam riwayat
Tirmidzi dan Nasa'i dari Ibnu Uyainah dikatakan, "Kemudian beliau
memercikkan air ke rambutnya."
«j*—5> J j — ^ (Di sela-sela rambutnya), maksudnya rambut kepala
beliau SAW. Hal ini didukung oleh riwayat Hammad bin Salamah dari
Hisyam sebagaimana dinukil oleh Baihaqi dengan lafazh, "Beliau
menyela-nyela kepalanya yang sebelah kanan dengan jari tersebut sampai
ke akar rambut, kemudian ia melakukan hal yang sama pada bagian
kepala sebelah kiri."
Al Qadhi Iyadh mengatakan, "Sebagian ulama menjadikan lafazh
ini sebagai hujjah (alasan) untuk mengharuskan mencuci (menyela-nyela)
bulu badan ketika mandi, baik berpedoman dengan keumuman lafazh
"ushulu sya'r" (akar-akar rambut) ataupun dengan menganalogi kannya
dengan rambut kepala."
Adapun faidah menyela-nyela rambut tersebut adalah untuk
meratakan air ke rambut dan kulit. Menyentuh rambut dengan mengguna-
kan tangan secara langsung adalah untuk meratakan air ke seluruh
rambut.
Kemudian para ulama sepakat bahwa menyela-nyela rambut kepala
dengan tangan saat mandi junub hukumnya tidak wajib, kecuali apabila
pada rambut itu ada sesuatu yang menghalangi sampainya air ke akar-
akarnya, wallahu a 'lam.
(jamak) dari kata i-i'jf-, dan ukuran satu (cidukan) itu sendiri adalah
sama dengan banyaknya air yang dapat ditampung oleh telapak tangan
manusia.
Lafazh ini menerangkan disukainya menyiram air ke badan ketika
mandi sebanyak tiga kali-tiga kali. Imam Nawawi mengatakan, "Kami
tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini kecuali
pendapat yang dikemukakan oleh Al Mawardi, dimana beliau berkata,
"Tidak dianjurkan mengulang-ulang (siraman) ketika mandi.'"
Aku (Ibnu Hajar) katakan, "Pendapat ini dikemukakan pula oleh
Syaikh Abu Ali As-Sanji dalam kitab Syarhul furu' serta Imam Al
Qurthubi. Adapun lafazh tiga kali dalam riwayat ini mereka memahami-
nya, bahwa setiap cidukan digosokkan pada salah satu bagian kepala. Di
akhir pembahasan tentang hadits Maimunah akan disebutkan tambahan
mengenai masalah ini.
3 9 2 — FATHUL BAARI
*—«oLr (Keseluruh tubuhnya) Penegasan ini memberi makna,
bahwa beliau SAW meratakan (air) ke seluruh bagian tubuhnya ketika
mandi setelah melakukan hal-hal di atas. Ini menguatkan kemungkinan
pertama bahwa wudhu merupakan sunah yang tersendiri sebelum mandi.
Oleh karena itu orang yang mandi (junub) harus berniat untuk wudhu jika
ia berhadats, sedangkan bila tidak berhadats maka ia berniat sunah
mandi.
Keterangan Hadits:
y - ty f
4 4 ^ V j 'J* 3">CaJJ t * Jz>j (Berwudhu seperti wudhu untuk shalat tetapi
tidak membasuh kedua kakinya) Di sini dijelaskan secara tegas tentang
mengakhirkan mencuci kedua kaki ketika wudhu untuk mandi wajib. Jadi
hadits ini bertentangan dengan makna lahiriah riwayat Aisyah. Tetapi
keduanya dapat dipadukan dengan cara memahami hadits Aisyah dalam
pengertian majaz (kiasan) seperti yang telah dijelaskan, atau dikatakan
bahwa hadits itu menceritakan peristiwa pada kesempatan lain.
Karena kedua riwayat tersebut berbeda, maka para ulama berbeda
pula dalam menentukan pendapat mengenai persoalan tersebut.
Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa mengakhirkan mencuci
kaki ketika mandi wajib adalah sunah. Adapun Imam Malik berpendapat
jika tempat mandi tidak bersih, maka disukai untuk mengakhirkan
mencuci kaki. Tetapi kalau tempatnya bersih maka sebaliknya. Semen-
tara dalam mazhab Syafi'i terdapat dua pandangan dalam menentukan
mana yang lebih utama. An-Nawawi mengatakan, "Yang paling masyhur
3 9 4 — FATHUL BAARI
diantara keduanya adalah menyempurnakan wudhunya (yakni sekaligus
membasuh kedua kaki -penerj.) karena kebanyakan riwayat Aisyah dan
maimunah menyatakan demikian." Demikian pernyataan beliau.
Tetapi pada dasarnya tidak ada satu riwayatpun dari keduanya yang
jelas-jelas menyatakan demikian, yang ada hanyalah kemungkinan
seperti riwayat "Beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat" atau
riwayat yang secara lahiriahnya menyatakan bahwa beliau mengakhirkan
membasuh kedua kaki sebagaimana riwayat Abu Mu'awiyah terdahulu,
yang dikuatkan oleh riwayat yang dinukil melalui Abu Salamah.
Sebagian besar riwayat dari Maimunah sesuai dengan riwayat-riwayat
ini, atau riwayat yang secara tegas mengatakan bahwa membasuh kaki
dilakukan setelah mandi seperti hadits dalam bab ini.
<6r°j J - J t i AlU-i Js- ^Jk j** AJJU J—-««i 'J-rf 'JA J _ i p l lil !SS
3 9 6 — FATHUL BAARI
pendapat yang menyatakan bahwa mani dan sekitar kemaluan yang
lembab adalah najis, sungguh telah jauh menyimpang dari indikasi hadits
tersebut, karena mandi tidak terbatas hanya untuk menghilangkan najis.
Sedangkan kalimat dalam hadits pada bab ini yang berbunyi, "Serta
(mencuci) kotoran-kotoran yang melekat padanya" juga tidak secara
tegas mengindikasikan bahwa mani serta kelembaban di sekitar kemaluan
adalah najis.
Selanjutnya Imam Bukhari beralasan dengan hadits ini bahwa yang
wajib dalam mandi junub adalah menyiram satu kali saja. Orang yang
berwudhu dengan niat mandi (wajib), kemudian ia menyempurnakan
(menyiram) anggota badannya, maka tidak diharuskan mengulang
wudhunya jika ia tidak berhadats.
Hadits tersebut juga memberi keterangan bolehnya mengibaskan
atau membersihkan air wudhu dengan tangan. Dalam hal ini ada hadits
dha 'if yang dikemu-kakan oleh Rafi'i dan yang lainnya dengan lafazh, V
Hadits (di atas) juga dijadikan dalil disukainya menutup diri ketika
mandi walaupun dalam rumah. Imam Bukhari telah membuat bab-bab
khusus untuk setiap permasalahan di atas dan ia menyebutkan hadits ini
pada setiap bab tersebut, namun melalui jalur periwayatan yang berbeda-
beda. Akan tetapi, semua jalur periwayatan tersebut kembali kepada Al
A'masy, dan sebagian perawi menukil dari Al A ' m a s y apa yang tidak
dinukil oleh perawi yang lain. Saya telah mengumpulkan faidah-faidah
yang diambil dalam bab ini. Dalam riwayat Hafsh bin Ghiyyats dari Al
A ' m a s y secara jelas dikatakan, bahwa Al A ' m a s y telah mendengar
langsung hadits tersebut dari Salim, dengan demikian riwayat tersebut
aman dari tadlis (penyamaran riwayat).
3 9 8 — FATHUL BAARI
At-Taimi mengatakan dalam syarahnya, "Hadits ini justeru me-
rupakan dalil yang menunjukkan bahwa Nabi mengelap badannya.
Karena kalau tidak, tentu ia (Maimunah) tidak akan membawakan kain
tersebut." Sementara Ibnu Daqiq Al Id mengatakan, "Beliau mengelap air
dengan tangannya (dari badan) menunjukkan bahwa mengelap (badan)
tidak makruh, karena kedua-duanya (mengelap dengan kain ataupun
tangan -penerj) tujuannya sama, yaitu untuk menghilangkan atau
mengeringkan badan."
•* ' a
).' * ' } '
250. Dari Aisyah ia berkata, 'Aku mandi bersama Nabi SAW dari
satu bejana, dari sebuah bejana yang disebut faraq."
Keterangan Hadits:
4 0 0 — FATHUL BAARI
diperkuat lagi dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban melalui
Sulaiman bin Musa ketika ditanya tentang seorang suami melihat
kemaluan istrinya, maka ia berkata, 'Aku menanyakan hal ini kepada
Atha' kemudian ia berkata, "Aku pernah menanyakan hal ini kepada
Aisyah, kemudian ia (Aisyah) menyebutkan hadits ini dengan makna-
nya.' Ini merupakan nash dalam masalah tersebut." Wallahu a 'lam.
Keterangan Hadits:
(Mandi dengan 1 sha' dan sepertinya), maksudnya mandi dengan
ukuran air sebanyak satu sha' atau kurang lebih demikian.
Satu sha' sebagaimana yang telah dijelaskan adalah 5 1 / 3 rithl
Baghdad, seperti dikatakan oleh Rafi'i. Sementara menurut yang lainnya
Uj£ij UXJJ (Di antara kami dan dia ada hijab) Al Qadhi Iyadh
mengatakan, bahwa secara lahiriah makna hadits tersebut mengindikasi-
kan mereka berdua melihat perbuatan Aisyah (ketika menyiram) kepala-
nya dengan air, karena bagian atas tubuhnya boleh (halal) dilihat oleh
mahramnya. Yakni karena Aisyah adalah bibi (saudari ibu) Abu Salamah
4 0 2 — FATHUL BAARI
dari persusuan, dimana Abu Salamah disusui oleh saudara perempuan
Aisyah, yakni Ummu Kultsum. Di samping itu, Aisyah telah menutup
bagian bawah badannya yang tidak boleh dilihat oleh mahramnya. Sebab
bila penutup tersebut menghalangi seluruh badan Aisyah, niscaya apa
yang dilakukan Aisyah untuk mengajari mereka ini tidak ada faidahnya.
Perbuatan Aisyah tersebut merupakan keterangan disukainya me-
ngajar melalui perbuatan (praktek langsung) agar lebih melekat dalam
jiwa. Oleh karena pertanyaan di atas mencakup cara mandi dan kadar air,
maka dengan cara (mandi tersebut) keduanya telah terjawab. Adapun
cara mandi diketahui dari perbuatan beliau yang cukup menyiramkan air
ke badan, dan kadar air diketahui dari perbuatan beliau yang mandi
dengan satu sha' saja.
oJ -s>j oJJ\j jj& AJUI J L P JJ JJU- JLP JLS AJI y i > o r JJI u>-b>-
0 i> ^ y y yy*} 0 y y s o f° * *t ' ^ Q '
^ y ^ y y / D <- 0 y y y yy
y#* * u y .0 ^ ' 1 ° • f'* 9
' • <^' 1 ^ * ** I ' II - *
• ^ y ci
J — j — * 9
J——J (Mereka bertanya tentang mandi). Ishaq bin
Rahawaih dalam Musnad-nya menyatakan, bahwa yang bertanya tersebut
adalah Abu Ja'far yang juga perawi hadits ini karena telah dinukil dari
Ja'far bin Muhammad dari bapaknya, "Aku bertanya kepada Jabir
tentang mandi junub." Lalu Imam An-Nasa'i menjelaskan dalam
riwayatnya sebab timbulnya pertanyaan ini. Beliau meriwayatkan melalui
jalur Abu Al Ahwash dari Abu Ishaq dari Abu Ja'far, "Kami berdebat
tentang mandi (wajib) di dekat Jabir, maka Abu Ja'far pun bertanya
kepadanya." Penisbatan bahwa mengajukan pertanyaan ini kepada semua
orang yang hadir adalah majaz (kiasan), karena semuanya bermaksud
menanyakan hal tersebut. Oleh karena itu jawaban Jabir hanya ditujukan
kepada satu orang, dimana beliau mengatakan, "Cukup bagimu." Pen-
jelasan selanjutnya tentang masalah ini akan disebutkan pada bab
berikutnya.
kan dengan lafazh jt-^? (di antara mereka), yakni salah seorang di antara
kelompok tersebut. Hal ini menguatkan keterangan yang ada dalam
riwayat kami, karena yang bertanya adalah Hasan bin Muhammad bin Ali
bin Abu Thalib yang bapaknya dikenal dengan Ibnu Al Hanafiyah. Hal
ini sebagaimana ditegaskan oleh pengarang kitab Al 'Umdah. Dia (laki-
laki tersebut) bukan termasuk golongan Jabir, karena ia berasal dari suku
Hasyim, sedangkan Jabir berasal dari golongan Anshar.
4 0 4 — FATHUL BAARI
tersebut juga menerangkan bahwa menggunakan air secara berlebih-
lebihan adalah makruh hukumnya.
Keterangan Hadits:
5* % ^ y y s y j j
y O ^ ^ y y y ^ ^ % y ^
254. Sulaiman bin Shurad berkata, "Zubair bin Muth 'im bercerita
kepadaku, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, Adapun aku,
maka aku menyiram kepalaku sebanyak tiga kali.' Beliau memberi
isyarat dengan kedua tangannya."
Keterangan Hadits:
'ja£\—s l—1 i—ii (Adapun aku maka aku menyiram). Abu N u ' a i m
menyebutkan sebabnya dalam kitab Al Mustakhraj, dimana di bagian
awal haditsnya disebutkan "Mereka menyebut-nyebut tentang mandi
junub di dekat Rasulullah" maka beliau SAW mengucapkan sabdanya
seperti di atas. Sementara dalam riwayat Imam Muslim melalui riwayat
4 0 6 — FATHUL BAARI
Abu Al Ahwash dari Abu Ishaq dikatakan, "Mereka berdebat tentang
mandi (junub) di dekat Nabi SAW. Sebagian mereka berkata, 'Adapun
aku, maka aku menyiram kepalaku dengan cara begini dan begini.'"
Kemudian ia menyebutkan hadits di atas, dan bagian inilah yang tidak
dicantumkan dalam hadits tadi.
Keterangan Hadits:
Keterangan Hadits:
4 0 8 — FATHUL BAARI
Walaupun demikian, yang membantah Jabir dalam kedua peristiwa
itu adalah Hasan bin Muhammad. Maka sehubungan dengan persoalan
air ia berkata, "1 sha' tidak cukup bagiku," tanpa menyebutkan
alasannya. Sementara dalam persoalan mengenai cara mandi ia
mengatakan, "Aku memiliki rambut yang lebat, jadi aku butuh lebih dari
tiga cidukan (gayung)." Jabir menjawab dalam persoalan mengenai kadar
(jumlah) air, "Rasulullah memiliki rambut yang lebih lebat dan lebih
bagus dibanding kamu." Yakni beliau SAW mencukupkan mandi dengan
menggunakan tiga cidukan air, yang mana hal itu menunjukkan bahwa
beliau SAW sudah bersih meski hanya menggunakan air sebanyak itu.
Jawaban mengenai cara mandi adalah sebagaimana di atas.
Keterangan Hadits:
(Mandi satu kali). Ibnu Baththal mengatakan, "Pernyataan 'mandi
'i s *
4 1 0 — FATHUL BAARI
6. Orang yang Memulai dengan Hilab atau Harum-
haruman Ketika Mandi
y o s * s ) s ' * y y s
Keterangan Hadits:
(Orang yang memulai dengan hilab atau harum-haruman ketika
mandi) kesesuaian hadits ini dengan judul bab di atas menimbulkan
masalah di kalangan sejumlah ulama dari dahulu sampai sekarang.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal ini merupakan
kekeliruan Imam Bukhari. Ada juga yang mengubah baris lafazh o * ^ '
dengan tujuan peyesuaian walaupun bacaan seperti itu tidak dikenal
dalam riwayat, dan ada lagi yang memaksakan diri untuk mencari jalan
keluarnya tanpa mengubah lafazh hilab tersebut.
Kelompok pertama dipimpin oleh Al Isma'ili, dimana beliau
mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Al Mustakhraj, "Semoga
Allah merahmati Abu Abdillah - yakni Imam Bukhari- dan siapa yang
terjamin selamat dari kesalahan. Beliau memahami bahwa hilab adalah
harum-haruman, padahal apa fungsinya menggunakan harum-haruman
sebelum mandi. Yang benar "hilab" adalah bejana, dan apa yang diperah
di dalamnya disebut hilab atau mihlab." Kemudian ia menambahkan,
"Dengan mencermati jalur-jalur periwayatan hadits di atas akan didapati
penjelasan mengenai hal ini, yang mana di antara jalur-jalur periwayatan
ini, karena yang benar adalah v*>bVdan bukan U^h-. Adapun <~>%r adalah
bahasa Persia yang disadur ke dalam bahasa Arab dan maknanya adalah
air bunga. Namun pendapat ini mendapat kritikan dari sejumlah ulama,
baik ditinjau dari segi riwayat dimana yang terkenal adalah lafazh hilab,
maupun dari segi maknanya. Sehubungan dengan itu Ibnu Atsir berkata,
"Harum-haruman lebih cocok dipakai setelah mandi dibanding sebelum-
nya. Sebab bila digunakan sebelum mandi, niscaya aromanya akan hilang
oleh air."
Al Humaidi berkomentar ketika berbicara tentang "Keanehan-
keanehan dalam kitab Shahihain", "Muslim menyatukan hadits ini
dengan hadits faraq (lihat makna faraq pada pembahasan terdahulu) dan
hadits satu sha' dalam satu judul, seolah-olah Imam Muslim memahami
bahwa makna hilab adalah bejana. Adapun Imam Bukhari mungkin saja
seseorang menduga bahwa beliau memahami makna hilab adalah sejenis
harum-haruman yang dipakai sebelum mandi, karena ia tidak menyebut-
kan di bawah judul bab tentang menggunakan harum-haruman ketika
mandi selain hadits ini." Demikianlah Al Humaidi menempatkan makna
tersebut sebagai salah satu kemungkinan, artinya ada kemungkinan lain
yang diinginkan oleh Imam Bukhari tetapi tidak diterangkannya secara
jelas.
Al Qadhi Iyadh berkata, "Hilab atau mihlab adalah bejana yang
4 1 2 — FATHUL BAARI
bisa menampung air susu yang diperah dari satu ekor unta, dan ada juga
yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hilab dalam hadits ini
adalah sejenis harum-haruman." Kemudian Al Qadhi Iyadh menambah-
kan, "Judul bab yang disebutkan oleh Imam Bukhari mengindikasikan
bahwa beliau mengambil kedua makna tersebut. Dia (Cjadhi Iyadh) juga
berkata, "Sebagian ulama meriwayatkan selain dalam kitab Shahihain
dengan lafazh —sr. " Maksudnya, ingin mengisyaratkan apa yang
dikatakan oleh Al Azhari.
Imam An-Nawawi berkata, "Abu Ubaid Al Harawi mengingkari
apa yang dikatakan oleh Al Azhari." Sedangkan Al Cjurthubi mengata-
kan, "Lafazh ini dibaca —T dan tidak ada bacaan lain yang benar
selainnya. Orang yang menganggap bahwa maknanya adalah harum-
haruman atau orang yang mengatakan bahwa lafazh tersebut dibaca ^ " ^ r ,
maka mereka telah keliru."
Kelompok ketiga adalah seperti yang dikatakan oleh Al Muhib At-
Thabari, "Imam Bukhari tidak memaksudkan adalah sesuatu yang
4 1 4 — FATHUL BAARI
dengan telapak tangannya) adalah harum-haruman yang ada di dalam
bejana. Sedangkan lafazh hadits
kepalanya bagian kanan), artinya menggosok tempat tersebut dengan
harum-haruman dan seterusnya.
Kesimpulannya, sifat perbuatan yang disebutkan dalam hadits
menggambarkan cara memakai harum-haruman, bukan menggambarkan
bagaimana cara mandi. Pemahaman seperti ini cukup baik berdasarkan
makna tekstual lafazh hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari. Tetapi
bagi orang yang mencermati jalur hadits -sebagai mana dikatakan oleh
Ismaili- niscaya akan mengetahui, bahwa sifat (pekerjaan) yang
disebutkan itu adalah cara mandi bukan cara memakai harum-haruman.
Al Isma'ili meriwayatkan dari jalur Makki bin Ibrahim dari Hanzhalah
dalam hadits tersebut (disebutkan), p^a» J-~s*j OlT (Beliau mandi dengan
menggunakan bejana (qadah). Lalu dalam riwayat itu ditambahkan,
"Beliau mencuci kedua tangannya, kemudian mencuci mukanya, ke-
mudian menyiram dengan tangannya tiga kali." (Al Hadits)
Dalam riwayat Al Jauzaqi dari hadits Hamdan As-Sulami dari Abu
Ashim dikatakan, "Beliau (Nabi SAW) mandi, maka dibawakan hilab,
lalu belia pun membasuh kepalanya bagian kanan." (Al Hadits) Adapun
kalimat hadits, "Beliau mandi" menunjukkan bahwa yang dimaksud
adalah bejana air dan bukan bejana harum-haruman.
Adapun riwayat Al Ismaili dari jalur Bandar dari Abu Ashim,
"Apabila beliau SAW ingin mandi junub, beliau meminta sesuatu selain
hilab. Kemudian diambilnya dengan telapak tangannya, dan mulai
(membasuh) bagian kanan lalu bagian kiri. Kemudian beliau mengambil
air dengan telapak tangannya dan menyiram kepalanya." Kalau tidak
ada kata-kata "air", maka bisa saja dipahami bahwa yang dimaksud
adalah harum-haruman sebelum mandi. Tetapi Abu Awanah meriwayat-
kan dalam Shahih-nya dari Yazid bin Sinan dari Abu Ashim, "Beliau
mandi dari hilab, maka beliau mengambil satu cidukan dengan kedua
tangannya kemudian menyiramkan ke (kepala) bagian kanan terus ke
bagian kiri." Kata "mandi" dan "cidukan" semakin menguatkan bahwa
yang dimaksud adalah bejana air.
'. i > - s '
4 1 6 — FATHUL BAARI
di antara kedua pemahaman ini.
Adapun hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari di bab ini
memberi keterangan bahwa beliau senantiasa memulainya dengan mandi.
Adapun memakai harum-haruman setelah mandi merupakan kebiasannya
yang lumrah. Sedangkan mendahulukan memakai harum-haruman
sebelum mandi, keterangannya dapat dipahami dari isyarat hadits yang
telah disebutkan di atas.
Inilah jawaban yang paling baik dan paling layak menurut
pandangan saya serta sesuai dengan metode-metode yang dipakai Imam
Bukhari, Wallahu a 'lam. Dari sini jelaslah bahwa perkataan Al Isma'ili,
"Apa gunanya memakai harum-haruman ketika mandi" jelas tidak dapat
diterima, demikian juga perkataan Ibnu Atsir yang terdahulu. Adapun
perkataan-perkataan selain keduanya juga tidak luput dari kekeliruan,
namun kami tidak mengungkapnya di sini. Sesungguhnya Allah-lah yang
memberi petunjuk ke jalan yang benar.
Catatan
Abu Ashim yang disebutkan dalam jalur periwayatan ini, namanya
adalah An-Nabil. Ia adalah guru besar Imam Bukhari, dimana Imam
Bukhari banyak mengutip hadits darinya dalam kitab ini. Tetapi dalam
silsilah periwayatan hadits ini, Imam Bukhari menempatkan satu perawi
lagi yang memisahkan antara ia dengan gurunya tersebut.
Hanzhalah adalah Ibnu Abu Sufyan Al Jumahi, dan Qasim adalah
Ibnu Muhammad bin Abu Bakar.
"Ketika ia mandi" maksudnya ketika ingin mandi, sebagaimana hal
tersebut jelas dalam riwayat Isma'ili. Perkataannya "seperti hilab",
maksudnya bejana yang hampir sama dengan bejana yang disebut orang
dengan hilab. Abu Ashim menggambarkan ukurannya lebih kecil dari
satu jengkal, ini dikeluarkan oleh Abu Awanah dalam kitab Shahih-nya.
Dalam riwayat Ibnu Hibban dikatakan, "Abu Ashim mengisyaratkan
dengan kedua telapak tangannya", seolah-olah ia membuat lingkaran
dengan kedua jengkalnya untuk menggambarkan lingkaran bejana bagian
atas. Dalam riwayat Al Baihaqi disebutkan seperti gayung penimba yang
bisa memuat 8 rithl.
4 1 8 — FATHUL BAARI
nyiram dari atas kepalanya. Setelah itu beliau berpindah tempat
dan mencuci kedua kakinya. Kemudian diberikan kepadanya sapu
tangan (handuk), namun beliau tidak mengelap dengannya"
Keterangan Hadits:
(Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung ketika
junub), maksudnya ketika mandi junub. Yang menjadi persoalan di sini
adalah apakah kedua hal ini wajib dilakukan atau tidak ketika mandi
junub?
Ibnu Baththal dan ulama lainnya mengisyaratkan bahwa Imam
Bukhari mengambil kesimpulan hukum (istimbath) dari hadits ini tentang
tidak wajibnya melakukan kedua hal tersebut, karena dalam riwayat bab
berikutnya disebutkan, "Kemudian ia berwudhu dengan wudhu untuk
shalat". Ini menunjukkan bahwa kedua pekerjaannya di atas adalah untuk
wudhu. Ulama telah sepakat bahwa berwudhu ketika mandi junub
hukumnya tidak wajib. Berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam
hidung dan mengeluarkannya masuk dalam bagian hukum wudhu. Kalau
wudhu itu sendiri tidak wajib dilakukan saat mandi junub, tentu
perbuatan yang masuk dalam bagian wudhu tidak wajib pula. Sementara
riwayat-riwayat tentang sifat mandi beliau SAW yang menyebutkan
adanya wudhu, dapat dipahami sebagai mandi yang sempurna dan utama.
j - * * U j!» cikal li* (Kalau aku diberi seperti yang diberikan kepadanya,
niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang telah dia lakukan).
Dalam bab "Mengelap dengan kedua tangan" akan disebutkan riwayat
Abu Hamzah dari A'masy sehubungan dengan persoalan ini, dimana
"memukul".
•*»,! ' It f*\ ' ' - i ' l ' • - ! i' ti i ' ' W » ' ' 0
•
Keterangan Hadits:
(Menggosok tangan dengan debu supaya lebih bersih), maksud-
nya supaya tangan lebih bersih.
4 2 0 — FATHUL BAARI
Adapun pembahasan tentang hadits ini sudah diterangkan. Di
antara faidah dalam penggunaan kata sambung (i—S (kemudian) adalah
untuk memberi keterangan tentang urutan perbuatan saat mandi wajib
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.
(Jika di tangan tersebut tidak ada kotoran) baik itu najis atau yang
lainnya. Selain junub, maksudnya selain hukum junub. Karena bekas-
bekas junub masih diperselisihkan, maka ia masuk dalam kategori
kotoran.
y\—!P J—°Aj j—'*i- j—°A 'j—J j,—Sj (Ibnu Umar dan Ibnu Abbas tidak
menganggap masalah).
Riwayat dari Ibnu Umar dinukil melalui silsilah periwayatan yang
bersambung oleh Abdurrazzaq dengan makna yang mirip seperti di atas.
Sedangkan riwayat dari Ibnu Abbas dinukil melalui silsilah periwayatan
yang bersambung oleh Abu Syaibah, dan dari jalur periwayatan lain oleh
Abdurrazzaq.
Adapun kesesuaian disebutkannya riwayat dari sahabat ini dengan
judul bab di atas adalah; apabila junub berpengaruh pada air, maka tentu
tidak boleh mandi dari bejana yang dijatuhi oleh tetesan-tetesan (air)
yang sudah mengenai badan orang yang junub ketika mandi. Namun
mungkin juga dikatakan, "Hanya saja sahabat menganggap hal tersebut
tidaklah mengapa, karena sangat sulit menghindarinya. Jadi ia termasuk
yang dimaafkan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dari
Hasan Al Bashri. Ia berkata, "Siapa yang bisa menjaga percikan air? Kita
mengaharapkan Rahmat Allah yang sangat luas."
4 2 2 — FATHUL BAARI
ijai^j j f.\j\ y JJS\J Ul J—^PI cJli aliJLp
.<us LJJUI
Keterangan Hadits:
Pembahasan mengenai kandungan hadits ini sudah dibahas pada
bab, "seorang suami mandi bersama istrinya", dengan sedikit perubahan
di bagian akhirnya. Muslim menambahkan di akhirnya "dari junub",
maksudnya karena junub.
Dalam riwayat Abu Awanah dan Ibnu Hibban dari jalur Ibnu
Wahab dari Aflah, ia mendengar Qasim berkata, "Aku mendengar
Aisyah, kemudian ia menyebutkan hadits dan menambahkan kata-kata
'dan saling bertemu' setelah lafazh 'dan tangan kami bergantian di
dalamnya'."
Diriwayatkan oleh Al Isma'ili dari jalan Ishaq bin Sulaiman dari
Aflah, "Tangan kami bergantian di dalamnya" yakni sampai bertemu. Al
Baihaqi meriwayatkan pula melalui jalur yang sama, dimana dikatakan,
"Tangan kami bergantian di dalamnya", yakni saling bertemu (bersentuh-
an). Ini mengisyaratkan bahwa perkataannya "Bertemu (bersentuhan)"
adalah kata yang disisipkan oleh para perawi.
Kemudian akan disebutkan versi lain dalam bab "Menyela-nyela
rambut" dengan lafazh, "kami mandi dari satu bejana dan kami menimba
airnya bersama-sama." Kemungkinan perawi berkata, ".. .dan saling ber-
temu" yakni ia meriwayatkan lafazh tersebut dari segi maknanya.
Keterangan Hadits:
4 2 4 — FATHUL BAARI
dari Hisyam pada bab "Menyela-nyela rambut".
Muhallab berkata, "Imam Bukhari menempatkan hadits-hadits -
mengenai masalah ini- yang tidak menyebutkan mencuci tangan sebelum
memasukkannya (ke bejana) untuk keadaan yang diyakini bahwa tangan
saat itu dalam keadaan bersih, sedangkan hadits Hisyam -yakni yang
disebutkan padanya mencuci tangan sebelum memasukkannya ke dalam
bejana- adalah pada saat seseorang khawatir kalau ada kotoran yang
menempel pada tangan tersebut. Nampaknya Imam Bukhari menemukan
titik temu dari kedua hadits yang nampak kontroversi ini, sekaligus
meniadakan pertentangan yang ada di antara keduanya. Mungkin juga
(dipahami) bahwa mencuci (tangan) tersebut adalah sunah, dan me-
ninggalkannya adalah boleh, atau dikatakan bahwa hadits yang tidak
menyebutkan lafazh, "mencuci tangan", bersifat muthlaq (tanpa batasan),
sedangkan hadits yang menyebutkan lafazh, "beliau mencucinya",
bersifat muqayyad (terbatas). Maka lafazh yang muthlaq harus dipahami
dalam konteks lafazh muqayyad. Karena dalam hadits yang menyebutkan
lafazh 'mencuci tangan' terdapat tambahan keterangan yang tidak di-
sebutkan dalam riwayat yang satunya.
Keterangan Hadits:
y 0 ^ ^ -* yy s H y ^ ^ ^ y y ^ y y O y y y ^
LS ^t.f ^ J
J****-? LT^ J ^ ^ ' J
' ' ' - - >
4 2 6 — FATHUL BAARI
atau tiga kali. Kemudian beliau menuangkan (air) dengan tangan
kanan ke tangan kiri, lalu membasuh kemaluannya. Kemudian
beliau menggosokkan tangannya ke tanah, lalu berkumur-kumur
dan memasukkan air ke hidung serta mengeluarkannya. Kemudian
beliau membasuh wajah dan kedua tangannya, dan membasuh
kepalanya tiga kali. Kemudian ia menyiram seluruh tubuhnya,
setelah itu ia berpindah tempat dan mencuci kedua kakinya:''
Keterangan Hadits:
(Memisahkan mandi dan wudhu) maksudnya tentang kebolehan-
nya. Ini merupakan pendapat Imam Syafi'i yang baru. Ia berhujjah
bahwasanya Allah SWT mewajibkan membasuh semua anggota (badan),
maka siapa saja yang sudah membasuhnya berarti ia telah melaksanakan
kewajibannya (tanpa memperdulikan) apakah ia (membasuhnya) dengan
cara terpisah atau berurutan. Ini diperkuat lagi dengan perbuatan Ibnu
Umar. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Musayyab, Atha' dan sejumlah
ulama lain.
J *y ^»1 Ai]lt)t y T i l M
jlllL* J l i JSJA J\ ay> tyUii
0 y oy o
y y y y
4 2 8 — FATHUL BAARI
nya dengan tangan kanan ke tangan kiri dan mencuci kemaluan-
nya. Kemudian beliau menggosokkan tangannya dengan tanah
atau dinding, setelah itu berkumur-kumur dan memasukkan air ke
hidung serta mengeluarkannya. Kemudian beliau mencuci muka-
nya dan kedua tangannya dan mencuci kepalanya. Setelah itu
beliau menyiram tubuhnya, kemudian berpindah tempat dan
membasuh kedua kakinya. Aku pun memberikan kepadanya
sepotong kain tetapi beliau mengisyaratkan dengan tangannya,
yakni beliau menolaknya:''
Keterangan Hadits:
(Orang yang menuangkan (air) dengan tangan kanan ke tangan kiri
ketika mandi). Berkenaan dengan masalah ini, Imam Bukhari dikritik
dengan mengatakan bahwa pernyataannya lebih umum daripada dalil
yang dikemukakan. Namun kritikan ini dapat dijawab, bahwa yang
demikian itu disebutkan secara tegas dalam mencuci kemaluan.
Sedangkan perbuatan lainnya diketahui dari kebiasaan beliau yang suka
mendahulukan yang kanan, seperti yang telah dijelaskan, dan yang
seperti ini terjadi apabila orang itu menimba (menciduk) air dari bejana,
seperti dikatakan oleh Al Khaththabi.
Lalu Al Khaththabi berkata, "Kalau tempatnya sempit seperti botol
tempat minyak wangi, maka ia meletakkannya di tangan sebelah kiri
kemudian menuangkan air dengan tangan kiri ke tangan kanan.
ll «• - cl ' t - y - l l - I . ti 0
* ' ' • ' i ' °i 0
'
Keterangan Hadits:
(Orang yang manggauli istrinya kemudian mengulanginya) Para
ulama telah sepakat bahwa mandi ketika hendak mengulangi bergaul
dengan istri tidaklah wajib, namun keterangan tentang disukai-nya
perbuatan tersebut dinukil oleh Abu Daud dan Nasa'i dari Abu Rafi':
s U / / / > s > s s y s y si
Jj /-'j U icJlii Jli toJU* ilf J ~ ^ y J j eJUt lup J-~i3J ajCj ^Ip ^jj oli uilt 0
o ss a ss s o s s s s f > i s y
4 3 0 — FATHUL BAARI
itu tidak dianjurkan." Sementara Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal
itu adalah sunah. Sedangkan Ibnu Habib Al Maliki dan Ahli Zhahir
mengatakan, bahwa hukumnya adalah wajib. Mereka beralasan dengan
hadits Abu Said, dimana ia berkata, "Rasulullah bersabda, j t i ^ - i iii
—LF- JJJU
C5 sljjfe ^JJI JLFF :JLI DISC» jS\ L2JI>- JLI js-
' ' ' s 0 i > ' s i ' O* s s ° s i
jJ> j j\-fS\J
O
. J\ AJI O.BO R
: JLI A I J A J JLS"jl ( j - o ^ CJI
^ s o y o ^ o y ^ i s si ^ '„'.'los'* s ' \\'-'
4 3 2 — FATHUL BAARI
bincangkannya bahwa ia diberi kekuatan setara dengan 30
(orang).' Sa 'ad mengatakan dari Qatadah bahwasanya Anas
menceritakan kepada mereka, 'Jumlah istri Nabi saat itu 9 orang"
Keterangan Hadits:
Abdullah bin Amru dengan jalur yang sampai kepada Nabi SAW, c4k* i
^L_*JJ|J ^rSa-l* J Jpj «j* (Aku diberi kekuatan 40 orang untuk bertarung
dan jima').
Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa'i dan dishahihkan oleh Hakim
4 3 4 — FATHUL BAARI
dari hadits Zaid bin Arqam -dengan jalur periwayatan yang sampai
kepada Nabi SAW, o > J i J i j J—YH\ J «U 5y Jai£ Jit j * JJr^l oi
Ada juga yang mengatakan bahwa itu terjadi ketika beliau baru
kembali dari safar (perjalanan jauh). Karena jika beliau ingin safar
(bepergian), maka beliau mengundi istri-istri yang akan berangkat
bersamanya. Siapa yang keluar undiannya, maka ia yang akan berangkat
bersama beliau. Kalau beliau SAW kembali, maka pembagian giliran
diulangi dari awal. Kemungkinan ini lebih khusus dari kemungkinan
kedua. Kemungkinan kedua lebih cocok dengan hadits Aisyah. Demikian
juga dengan kemungkinan kedua, mungkin juga itu terjadi sebelum ada
kewajiban untuk membagi (waktu) sama rata kemudian ia tinggalkan.
Lalu Ibnu Al Arabi mengatakan suatu hal yang agak janggal, yaitu
"Sesungguhnya Allah mengkhususkan Nabi-Nya dengan beberapa hal, di
antaranya beliau diberi waktu setiap hari yang tidak ada hak bagi istri-
istrinya (pada waktu tersebut). Beliau masuk (mengunjungi) mereka
semua, melakukan apa saja yang dikehendakinya, kemudian menetap di
tempat (istrinya) yang dapat giliran. Waktu tersebut adalah setelah ashar,
kalau ia sibuk maka sesudah maghrib." Namun apa yang dikatakannya ini
perlu dalil yang rinci.
Dalam hadits ini ada beberapa faidah lain selain yang telah
disebutkan, dimana Nabi diberi kekuatan untuk menggauli istri-istrinya.
Ini merupakan kesempurnaan fisik dan kesehatan beliau. Sementara itu,
4 3 6 — FATHUL BAARI
hikmah dari banyaknya istri beliau adalah bahwa banyak hukum yang
tidak tampak (oleh orang banyak) bisa diketahui oleh istri-istri beliau
tersebut yang kemudian mereka nukil. Banyak hukum yang datang dari
Aisyah, sehingga ada sebagian orang lebih mengutamakannya daripada
dibanding istri-istri beliau yang lain.
Ibnu At-Tin berhujjah dengan hadits ini untuk memperkuat
perkataan Malik, yaitu harus menzhihar para budak. Hal ini berdasarkan
pemahaman, bahwa yang dimaksud dengan dua orang lagi sebagai
tambahan dari yang sembilan adalah Mariah dan Raihanah. Hadits ini
memakai lafazh "perempuan-perempuannya" (istri-istrinya) untuk
keseluruhan mereka. Tetapi ini dibantah, karena lafazh yang muthlaq
tersebut dipakai untuk taghlib (dengan memperhatikan jumlah yang
banyak). Oleh karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk
pendapat tersebut.
#AMPtfNGWitNAM
Keterangan Hadits:
(Mencuci madzi dan berwudhu karenanya). Madzi diucapkan
dengan beberapa dialek, yang paling fasih adalah I£JJ> dan Adapun
yang dimaksud dengan madzi adalah air putih kental dan lengket yang
keluar (dari kemaluan) ketika bercumbu atau mengkhayalkan persetubuh-
an atau ketika ingin melakukannya, dan terkadang keluarnya tidak
disadari.
bertanya).
4 3 8 — FATHUL BAARI
kepada Al Miqdad sendiri. Secara implisit Ali hadir ketika itu, karena
para penulis kitab Masanid dan Athraf memuat hadits ini dalam deretan
riwayat Ali. Seandainya mereka berkesimpulan Ali tidak ada ketika itu,
tentu mereka memuatnya dalam Musnad Al Miqdad. Ini dikuatkan oleh
riwayat An-Nasa'i dari Abu Bakar bin 'Iyasy dari Abu Husein dalam
hadits ini, dimana Ali berkata, "Maka aku berkata kepada seseorang yang
duduk di sampingku, 'Tanyakanlah kepada beliau!' Maka ia pun
bertanya." Dalam riwayat Muslim Rasulullah berkata, "Hendaklah ia
mencuci kemaluannya dan berwudhu", dengan menggunakan lafazh
untuk orang ketiga. Maka, kemungkinan besar pertanyaan Miqdad adalah
untuk seseorang yang tidak disebut namanya.
4 4 0 — FATHUL BAARI
kencing. 1
Alasannya bahwa perintah mencuci pada hadits ini hukumnya
sunah, atau karena hal tersebut lebih umum dilakukan.
Sebagian pengikut madzhab Maliki dan Hambali berdalil dengan
hadits ini atas wajibnya membasuh seluruh kemaluan berdasarkan
hakikat membasuh. Akan tetapi jumhur ulama lebih memandang makna
atau eksistensinya, bahwa yang mewajibkannya adalah keluarnya
sesuatu, maka tidaklah wajib membasuh selain tempat keluarnya madzi.
Ini dikuatkan oleh sebuah riwayat Al Isma'ili, bahwa Rasulullah
bersabda, i l — M j Lj&y (Berwudhulah dan cucilah ia). Kata ganti "ia"
kembali kepada kemaluan, seperti hadits L>j£3li s'J* J?» 'J (Siapa yang
menyentuh kemaluannya hendaklah berwudhu), maka yang membatalkan
wudhu itu tidak harus menyentuh seluruh kemaluan.
Golongan yang mengatakan wajib membasuh seluruh kemaluan,
mereka berselisih dalam menentukan apakah hal ini termasuk sesuatu
yang logis atau karena ibadah semata? Dengan berpegang pada pendapat
kedua, maka niat menjadi wajib.
At-Thahawi berkata, "Perintah mencuci tersebut bukan semata
karena wajib mencucinya secara keseluruhan, tetapi untuk menghentikan
keluarnya madzi sebagaimana susu hewan jika kantung susunya dicuci
dengan air dingin susunya tertahan dan berhenti menetes.'"
Hadits ini juga menjadi dalil bahwa madzi adalah najis. Ibnu Aqil
Al Hambali meriwayatkan dari sebagian mereka bahwa madzi adalah
bagian dari mani, maka riwayat ini menyatakan bahwa madzi adalah suci.
Pendapat ini tidak benar. Sebab jika madzi adalah bagian dari mani, maka
keluarnya madzi telah mewajibkan mandi.
Hadits tersebut juga menjadi dalil bahwa orang yang madzi-nya
tidak terkontrol harus berwudhu setiap kali keluar, karena dalam hadits
ini dipergunakan shigah mubalaghah yang berkonotasi sering atau
banyak.
Ibnu Daqiq Al Id mengomentari, bahwa sebab banyaknya madzi
yang keluar di sini adalah karena dorongan syahwat yang kuat dan tubuh
1
Yang benar adalah pendapat Ibnu Daqiq Al 'Id berdasarkan teks hadits, dan dikuatkan oleh
sebuah riwayat dalam Musnad Ahmad dan Sunan Abi Daud dari Ali bahwa Nabi SAW
menyuruhnya untuk mencuci kemaluannya dan kedua buah zakarnya. Ini adalah hukum
yang khusus untuk madzi bukan air kencing, wallahu a 'lam.
4 4 2 — FATHUL BAARI
14. Orang yang Memakai Harum-Haruman Lalu Mandi
dan Aroma Wanginya Masih Ada
i * i > ?F , * ° •* - 8
F • F * I I' ' 'I T 0
— • " T ° ^ " •
y y O s O y f J ^ ^ y y y y y y ^
4 4 4 — FATHUL BAARI
272. Dari Aisyah ia berkata, "Rasulullah SAW jika mandi junub,
beliau mencuci kedua tangannya dan berwudhu sebagaimana
wudhu untuk shalat, Lalu mandi. Kemudian menyela-nyela
rambutnya dengan tangan hingga ketika terasa telah membasahi
kulit kepalanya, beliau menyiramnya tiga kali. Setelah itu, beliau
menyiram seluruh tubuhnya"
Keterangan Hadits:
(Menyela-nyela rambut), maksudnya ketika mandi wajib.
273. Aisyah berkata, "Aku dan Rasulullah mandi dari satu bejana,
kami sama-sama menciduk air dari bejana itu"
S S 0 y S y ^ y S> } ^ y y y y y
4
J J ^ U . L J ^ B > \ J J ! J ^ J Y . JAJ'UJIjI
4 4 6 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:
SJl^Ji frJi>j j»JU-j AIIP 4JJ1 JLe 4jJt J j~4j ^jej (Rasulullah menaruh air
untuk mandi janabah) Kebanyakan kalimat yang diriwayatkan adalah
seperti ini, yaitu dengan idhafah (jj—'t£*h * J—^>J). Sedangkan riwayat
ini, sebab di sana disebutkan »•) 'JS*> J-~* (Lalu ia mencuci atau
membersihkan seluruh bagian tubuhnya yang lain) sedangkan hadits
* ' ' s *
kita pakai pada hadits sebelumnya, atau yang dimaksud dengan yC>
(seluruh anggota tubuh lainnya) adalah anggota tubuh selain kepala,
bukan selain anggota wudhu."
(Ibnu Hajar) katakan, dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa
hadits ini tidak sesuai dengan judul bab. Namun yang nampak bagi saya,
bahwa Imam Bukhari memakai kalimat a J — J — — S (kemudian
membasuh tubuhnya) adalah sebagai bentuk majaz (kiasan) yang
maksudnya adalah bagian tubuh yang belum disebutkan. Dalil yang
mengatakan hal itu adalah perkataan beliau setelah itu *&rj J~~*i (lalu
4 4 8 — FATHUL BAARI
kalimat yang disebutkan, wallahu a 'lam.
y y & y • S* * •y } > . y * i y Oy } * O y
.AJU»
4 5 0 — FATHUL BAARI
18. Mengibaskan atau Membersihkan (Air) dengan
Tangan setelah Mandi Junub
S s s s ^ ' ' 0
< 5
' a '
/ y a'O y 'O ' • i ' \' • ui' ' ' ' * £fi ' ' ' • '' * 0
o - b J ^ - Js- j JJ L w = ^ ^ j i j
4 j j j JsJi^J j jjJJajLJ «J>-b «Jj b j j <UJ j L i J"-"-* -5
iS*^
Keterangan Hadits:
FATHUL BAARI — 4 5 1
19. Memulai Mandi dengan Bagian Kanan Kepala
277. Dari Shafiyah binti Syaibah dari Aisyah RA, ia berkata, "Jika
salah seorang dari kami mengalami junub, ia mengambil (air)
dengan kedua tangannya tiga kali ke atas kepalanya, lalu
membasahi bagian kanannya dengan salah satu tangan dan bagian
kiri dengan tangan yang lain. "
Keterangan Hadits:
4 5 2 — FATHUL BAARI
Isma'ili, -LaAl» o i ^ - l j^i (Kemudian ia mengambil dengan tangannya) yang
U\ A U I S ^ 1 ) 1 y.*y\>Jlij
5
i i
jl j aoi- J P AJ ^ P
«LU I Al*
Bahz berkata, dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi SAW, "Allah
lebih berhak untuk dimalui daripada manusia"
jl* ' ' * * - ' * ' ' f ' ' i' S J' & s
Keterangan Hadits:
(Mandi telanjang sendirian di tempat sepi), yakni sepi dari
manusia.
Kalimat (lebih baik) menunjukkan bolehnya hal itu menurut
kebanyakan ulama. Ibnu Abi Laila tidak sependapat, sepertinya ia
O' t ' ' 9 '
berpegang pada hadits dari Ya'la bin Umayyah, j^fiM J—ipi iii
(Jika salah seorang dari kalian mandi, hendaklah ia menutup auratnya).
Nabi berkata demikian kepada seorang laki-laki yang dilihatnya mandi
sendirian dengan telanjang. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud. Al
Bazzar juga meriwayatkannya dengan hadits yang panjang dari Ibnu
Abbas.
4 5 4 — FATHUL BAARI
j>>\ 3\ J _ »'A—L»U>«—LJ d'\ (Untuk dimalui daripada manusia).
Demikianlah lafazh yang dinukil mayoritas perawi, sementara dalam
riwayat As-Sarakhsi disebutkan, iL» /sLJ jl (Lebih berhak untuk kita
menutup aurat dari-Nya). Namun, kedua lafazh ini mempunyai makna
yang sama.
Para penulis kitab Sunan dan lainnya telah meriwatkan pula hadits
ini dari berbagai jalur periwayatan yang semuanya bersumber dari Bahz,
dimana riwayat tersebut dianggap hasan (baik) oleh Imam Tirmidzi dan
digolongkan sebagai hadits hasan oleh Al Hakim.
Ibnu Abi Syaibah berkata, bahwa Yazid bin Harun telah men-
ceritakan kepada kami dari Bahz, dari ayahnya dari kakeknya. Ia berkata,
"Aku berkata, 'Wahai Nabi Allah, apa yang boleh dan apa yang harus
kami tinggalkan berkenaan dengan aurat kami?' Nabi SAW bersabda,
'Peliharalah auratmu kecuali terhadap istri-istri atau budakmu.'' Aku
berkata, 'Ya Rasulullah bagaimana kalau kami seorang diri saja?' Nabi
SAW bersabda, 'Allah lebih berhak untuk kita malui daripada
manusia.'" Jalur periwayatan hadits ini sampai kepada Bahz dan
derajatnya adalah shahih. Oleh karena itu, Imam Bukhari menyebut-
kannya dengan menggunakan lafazh yang berindikasi bahwa ia adalah
hadits shahih.
Namun yang lebih kuat bahwa sisi penetapan dalil dari kisah di
atas adalah, Nabi SAW mengisahkannya tanpa memberi komentar apa-
apa. Ini menunjukkan bahwa hal tersebut sesuai dengan syariat Islam.
Sebab jika tidak demikian, tentu Nabi SAW telah menjelaskannya.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, kedua hadits di atas dapat
dipadukan. Yakni dengan mengatakan bahwa konteks hadits Bahz bin
Hakim adalah menjelaskan perbuatan yang lebih utama. Makna inilah
yang telah diisyaratkan oleh Imam Bukhari dalam judul bab. Akan tetapi,
sebagian ulama madzhab Syafi'i lebih menguatkan pendapat yang
mengharamkan bagi seseorang telanjang meski sendirian. Namun
pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf madzhab syafi'i adalah
bahwa itu hukumnya makruh (tidak disukai).
4 5 6 — FATHUL BAARI
Secara lahiriah, perbuatan tersebut diperbolehkan menurut syariat
mereka. Karena jika tidak demikian, tentu Musa AS tidak akan
membiarkan mereka dalam kondisi seperti itu. Adapun nabi Musa
memilih untuk mandi seorang diri, karena hal itu lebih utama.
Sehubungan dengan ini, Ibnu Baththal memberi keterangan yang agak
janggal dimana beliau berkata, "Hal ini menunjukkan bahwa mereka
durhaka terhadap nabi Musa A S . " Lalu pernyataan ini disetujui oleh Al
Qurthubi, dimana ia membahasnya secara panjang.
M H J — » S y I j*
1
J \ 'j* <y. ^* 'j*
o > ' o ' ii
279. Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Ketika
nabi Ayyub sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba di
hadapannya jatuh seekor belalang dari emas. Maka beliau
memungut dan menaruhnya di pakaiannya. Saat itu Tuhannya
menyerunya, 'Wahai Ayyub, bukankah Aku telah menjadikanmu
berkecukupan dan tidak butuh terhadap apa yang engkau lihat
itu?' Ayyub berkata, 'Benar, demi keagungan-Mu, tetapi tidak ada
bagiku perasaan untuk tidak butuh kepada berkah-Mu'."
Diriwayatkan pula oleh Ibrahim dari Musa Bin Uqbah dari Sufyan
bin Sulaim dari Atha" bin Yasar dari Abu Hurairah dari Nabi
SAW, beliau bersabda, "Ketika Ayyub sedang mandi dalam
keadaan telanjang...."
Keterangan Hadits:
Ibnu Baththal berkata, "Sisi penetapan dalil dari hadits Ayyub
adalah bahwa Allah SWT menegurnya karena ia mengambil belalang
tersebut, dan tidak menegurnya saat beliau mandi dalam keadaan
telanjang. Kenyataan ini memberi keterangan bahwa mandi dalam
keadaan telanjang tidaklah dilarang." Pembahasan selanjutnya tentang
hadits ini akan diterangkan pada cerita para nabi.
4 5 8 — FATHUL BAARI
21. Menutup Diri Ketika Mandi Jika Ada Orang Lain
•y
280. Ummu Hanik binti Abi Thalib berkata, 'Aku pergi menemui
Rasulullah SAW pada saat penaklukan kota Makkah. Aku men-
dapatkan beliau sedang mandi sementara Fatimah menutupinya.
Maka beliau bertanya, 'Siapakah wanita ini?' Aku berkata, 'Aku,
Ummu Hani:"
Keterangan Hadits:
Setelah selesai menyebutkan dalil yang berkenaan dengan mandi
dalam keadaan telanjang seorang diri, Imam Bukhari menyebutkan dalam
bab selanjutnya, yaitu menutup diri waktu mandi jika ada orang lain.
s * i sO s s > ^ ^ 9 ss a f. "„'stosOs $s 9 s
Keterangan Hadits:
4 6 0 — FATHUL BAARI
22. Apabila Wanita Mimpi Bersenggama
o ' ' ' ii a f ° l ' ' *'i o ' ' « o o' O '
Keterangan Hadits:
Dalam bab ini Imam Bukhari hanya mengkhususkan wanita,
padahal hukum ini juga berlaku bagi kaum laki-laki. Hal itu dia lakukan
untuk menyesuaikan dengan konteks pertanyaan yang ada dalam hadits.
sekaligus menunjukkan bantahan terhadap mereka yang beranggapan
bahwa hal seperti itu hanya dialami oleh laki-laki dan tidak dialami oleh
wanita, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Mundzir dan selain beliau dari
Ibrahim An-Nakha'i. Hanya saja, Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh
Al Muhadzdzab menolak kebenaran nukilan tersebut dari Ibrahim An-
Nakha'i. Akan tetapi Ibnu Abi Syaibah telah menukil perkataan tersebut
dari Ibrahim An-Nakha'i melalui jalur periwayatan yang akurat.
Lalu Imam Ahmad meriwayatkan dari jalur Ishaq bin Abdullah bin
Abi Thalhah dari neneknya -Ummu Sulaim- dimana ia tinggal
bertetangga dengan Ummu Salamah. Ummu Sulaim berkata, "Wahai
Rasulullah..." Lalu disebutkan kelanjutan haditsnya di dalamnya bahwa
Ummu Salamah telah mengisahkan Ummu Sulaim. Hal ini telah me-
nguatkan riwayat Hisyam.
An-Nawawi berkata dalam kitab Syarah Muslim, 'Ada ke-
mungkinan Aisyah dan Ummu Salamah sama-sama tidak menyetujui
sikap Ummu Sulaim, dan ini merupakan langkah yang sangat baik dalam
memadukan kedua jalur riwayat tersebut, sebab bukan perkara yang
mustahil bila Aisyah dan Ummu Salamah sama-sama hadir di majelis
beliau SAW. Selanjutnya An-Nawawi berkata dalam Syarah Al
Muhadzdzab, "Riwayat-riwayat yang ada dipadukan dengan mengatakan
bahwa Anas, Aisyah dan Ummu Salamah semuanya hadir saat kejadian
itu berlangsung."
Akan tetapi yang lebih kuat adalah Anas tidak hadir saat peristiwa
berlangsung, ia hanya mendapat berita itu dari ibunya (Ummu Sulaim).
Indikasi ke arah ini dapat kita temukan dalam kitab Shahih Muslim dari
4 6 2 — FATHUL BAARI
hadits Anas.
Lalu Imam Ahmad meriwayatkan juga hadits seperti ini dari Ibnu
Umar, hanya saja Ibnu Umar memperoleh riwayat itu dari Ummu Sulaim
atau yang lain.
Masalah ini juga ditanyakan oleh Khaulah binti Hakim sebagai-
mana dinukil oleh Imam Ahmad, An-Nasa'i dan Ibnu Majah. Di akhirnya
terdapat lafazh, "Sebagaimana tidak ada kewajiban mandi bagi laki-laki
bila bermimpi senggama selama belum keluar air (mani)". Demikian
juga masalah itu pernah ditanyakan oleh Sahlah binti Suhail seperti
dalam riwayat Ath-Thabrani dan Bisrah binti Shafwan seperti dikutip
oleh Ibnu Abi Syaibah.
Tetapi karena dipahami dari kalimat tersebut bahwa Allah malu terhadap
yang bukan hak, maka ini kembali pada masalah itsbat (penetapan)
sehingga harus ditakwilkan. Demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiq Al 'Id.
Yang benar adalah tidak butuh penakwilan dalam masalah ini, sebab Allah SWT disifati
dengan sifat malu yang sesuai dengan Dzat-Nya tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya
seperti sifat-sifat-Nya yang lain. Keterangan yang menyatakan bahwa Allah SWT memiliki
sifat malu telah disebutkan dalam sejumlah nash, maka sifat tersebut wajib ditetapkan
sesuai dengan Dzat-Nya. Inilah pendapat Ahli Sunnah mengenai sifat yang disebutkan
dalam Al Qur'an dan Sunnah yang shahih. Wallahu A 'lam.
4 6 4 — FATHUL BAARI
yang berbunyi, t\—Jl j — * s-UJi "Air (mandi wajib) dikarenakan oleh air
(keluarnya mani)". Atau ia telah mendengar sabda itu, namun timbul
dalam pikirannya perkara yang menurutnya dapat menyebabkan wanita
tidak termasuk dalam hadits tersebut, karena keluarnya mani jarang
dialami wanita.
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Ummu Sulaim dalam kisah
ini, bahwa Ummu Salamah berkata, "Wahai Rasulullah, apakah wanita
juga punya air (mani)?" Rasulullah SAW bersabda, "Mereka adalah
saudara kandung laki-laki (mereka sama)"
Dalam riwayat Abdurrazzak tentang kisah ini dikatakan, "Jika
salah seorang wanita di antara kalian telah melihat air (mani) sebagai-
mana laki-laki melihatnya"
Demikian pula Imam Ahmad meriwayatkan dari Khaulah binti
Hakim, "Tidak wajib atasnya mandi hingga keluar air (mani) sebagai
mana laki-laki" Lafazh ini merupakan bantahan terhadap orang yang
mengatakan bahwa mani wanita tidak keluar, namun keluarnya mani
wanita itu dapat diketahui dari syahwatnya.
Ketarangan Hadits:
(Keringat orang yang junub, dan seorang muslim tidak najis).
Imam bukhari seolah memberi isyarat mengenai perbedaan pendapat
tentang keringat orang kafir. Ada yang mengatakan bahwa keringatnya
najis karena tubuhnya adalah najis, sebagaimana yang akan diterangkan.
dengan lafazh, c lS<2\i. Mungkin lafazh ini diambil dari firman Allah
4 6 8 — FATHUL BAARI
diketahui oleh Abu Hurairah?
Dalam hadits (juga) terdapat dalil, bahwa seseorang yang
mengikuti orang lain dianjurkan untuk meminta izin orang yang diikuti
jika hendak meninggalkannya. Berdasarkan sabda beliau SAW,
"Dimanakah engkau?" Hal ini mengisyaratkan, bahwa seharusnya Abu
Hurairah tidak meninggalkan beliau S A W sebelum memberitahu.
Demikian juga disukai bagi orang yang diikuti untuk menegur
pengikutnya kepada kebenaran meskipun ia (pengikut) tidak meminta-
nya.
Atha' berkata, "Orang yang junub boleh berbekam, memotong kuku, dan
mencukur rambut meski belum berwudhu."
FATHUL BAARI — 4 6 9
284. Dari Qatadah, sesungguhnya Anas bin Malik memberitahu
mereka bahwa Nabi Allah mendatangi (menggauli) istri-istrinya
dalam satu malam, dan ketika itu beliau mempunyai sembilan istri.
Keterangan Hadits:
*l—la* Jl—s j (dan Atha ' berkata) Penggalan riwayat dari Atha' ini
disebutkan secara lengkap beserta jalur periwayatanya oleh Abdur-
Razzaq dari Ibnu Juraij dari Atha", lalu ditambahkan, "Dan mengecat".
Barangkali pekerjaan inilah yang dimaksud dalam ucapannya, "dan
selainnya".
4 7 0 — FATHUL BAARI
285. Dari Abu Rafi' dari Abu Hurairah, ia berkata, 'Rasulullah
bertemu denganku, sedang aku dalam keadaan junub. Lalu beliau
mengambil tanganku, dan aku pun berjalan bersama beliau sampai
beliau duduk (di tempatnya), lalu aku pergi diam-diam ke tempatku
kemudian mandi, setelah itu kembali mendatangi beliau yang
sedang duduk. Beliau bertanya, 'Di mana engkau tadi wahai Abu
Hurairah?' Aku pun mengatakan kepadanya, lalu beliau berkata,
'Subhanallah (Maha Suci Allah), wahai Abu Hurairah, sesungguh-
nya orang mukmin itu tidak najis."''
s' J% • , s' s' s' s' 0 s' s' s' s* s' s'
* ' * ~° ' * >l. -*-f s- s' J .'^ • S • s' f ° '
4 7 2 — FATHUL BAARI
pada bab setelah ini dari riwayat Urwah dari Aisyah dengan tambahan,
£_L-Ji J_~£ (mencuci kemaluan). Abu Nu'aim dalam kitab Al Mustakhraj"
dari Abu N u ' a i m - s a l a h satu guru Imam Bukhari-menambahkan lafazh,
Vj\—LaU is.ji?j Csjiij (dan beliau berwudhu seperti wudhu hendak shalat),
seperti disebutkan pada hadits di bagian akhir bab ini. lalu Al Ismaili dari
jalur yang lain dari Hisyam menukil seperti itu. Semua ini merupakan
bantahan terhadap mereka yang mengartikan wudhu di sini dengan arti
sekedar membersihkan badan.
Ketarangan Hadits:
FATHUL BAARI — 4 7 3
keshahihan hadits yang dimaksud.
Adapun kesesuaian hadits dengan judul bab dapat dilihat dari sisi;
apabila seorang yang junub boleh tidur di rumah, maka boleh juga tinggal
di dalamnya meski tidak tidur, karena dua hal tersebut tidak berbeda.
Atau dapat juga dikatakan bahwa tidurnya orang yang junub berkonse-
kuensi terhadap bolehnya orang yang terjaga untuk menetap di rumah
meski dalam keadaan junub, sebab orang yang tidur dalam keadaan junub
pasti pernah terjaga, minimal saat ia berwudhu sebelum tidur. Tidak ada
perbedaan dalam masalah ini.
Bab tentang tidurnya orang yang junub hanya ada dalam naskah
Karimah dan tidak ditemukan pada naskah-naskah yang lain. Adapun
selain naskah Karimah, hadits Ibnu Umar ini disebutkan langsung setelah
bab sesudahnya, yaitu bab "Orang junub berwudhu kemudian tidur".
j a>j ^>UJ j l :>!j! 131 JJJGI JJ\ LS jli : c J l i «LSUIP ejy- jf-
Keterangan Hadits:
4 7 4 — FATHUL BAARI
289. Diriwayatkan dari Nafi dari Abdullah ia berkata, "Umar
meminta fatwa kepada Nabi SA W, 'Apakah salah seorang dari
kami (boleh) tidur dalam keadaan junub?' Maka beliau bersabda,
'Ya, jika ia telah berwudhu. "'
Keterangan Hadits:
ilp'y lil JlS (Maka beliau bersabda, 'Ya, jika telah berwudhu. ')
Dalam riwayat Muslim dari jalur Ibnu Juraij dari Nafi' disebutkan,
^ > y s O O l
Keterangan Hadits:
riwayat Abi Nuh disebutkan, j«—' * — J l—i>jJ *—5 i3j—$"i J—*i (Cucilah
kemaluanmu, kemudian berwudhu lalu tidurlah). Lafazh ini merupakan
bantahan bagi mereka yang memahami hadits bab ini secara lahiriah saja,
yaitu bolehnya mendahulukan wudhu daripada mencuci kemaluan karena
maksud wudhu bukan untuk mengangkat hadats tetapi semata bernilai
ibadah. Karena junub itu lebih berat dari sekedar menyentuh kemaluan,
dan dengan berdasarkan riwayat Abu Nuh jelaslah bahwa mencuci
kemaluan lebih didahulukan daripada wudhu. Namun boleh diakhirkan
dengan tidak menyentuh kemaluan menurut yang berpendapat bahwa
menyentuhnya membatalkan wudhu.
Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Teks hadits ini ada yang berupa
perintah dan ada yang berupa syarat. Hal ini menjadi pegangan bagi
orang yang mewajibkan perbuatan tersebut." Sementara Ibnu Abdil Barr
berkata, "Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah sunah.
Sementara pengikut madzhab zhahiriyah mengatakan wajib, namun
pandangan ini dianggap ganjil."
Ibnu Al Arabi berkata, "Imam Malik dan Imam Syafi'i berkata,
"Bagi orang yang junub tidak boleh tidur sebelum berwudhu." Namun
sebagian generasi belakangan mengingkari penukilan ini. Mereka berkata
bahwa Imam Syafi'i tidak mengatakannya wajib, dan tidak seorang pun
sahabatnya yang mengetahuinya. Tetapi perkataan Ibnu Al Arabi bisa
diartikan bahwa maksudnya adalah menafikan hukum mubah, bukan
untuk menetapkan hukum wajib. Atau wajib di sini adalah wajib sunah,
artinya sunah muakkad (yang sangat dianjurkan). Hal itu karena Ibnu
Arabi menempatkan pandangan ini sebagai lawan pendapat Ibnu Habib
yang mengatakan bahwa hukumnya adalah wajib, yakni wajib dalam
4 7 6 — FATHUL BAARI
artian fardhu. Istilah seperti ini banyak kita temukan dalam madzhab
Maliki.
Selanjutnya Ibnu Arabi mengisyaratkan dukungannya terhadap
pendapat Ibnu Habib, sedangkan Abu Awanah dalam Shahih-nya me-
nempatkan hal ini dalam satu bab khusus, yaitu bab wajib berwudhu bagi
yang berjunub jika ingin tidur. Kemudian ia dan Ibnu Khuzaimah berdalil
bahwa hukumnya tidak wajib berdasarkan hadits Ibnu Abbas dari Nabi
SAW, "Hanya saja aku disuruh berwudhu jika mau melakukan shalat".
Hadits ini telah disebutkan dalam bab "Jika bersetubuh kemudian
mengulanginya." Akan tetapi Ibnu Rusyd Al Maliki mengkritik tajam
cara penetapan hukum dari hadits ini, dan apa yang beliau katakan cukup
jelas.
{
^ [jli Ir^r bj Jli S y I 5 ^ J\°Jc>0\j J 'J.
4 7 8 — FATHUL BAARI
2 9 1 . Dari Abu Rafi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW beliau
berkata, "Jika seseorang duduk di antara kedua paha (istrinya) ke-
mudian mengarahkan semua kemampuan kepadanya (jima'), maka
wajib mandi:''
Keterangan Hadits:
(Bertemunya dua khitan). Maksud dua khitan di sini adalah
kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan. Khitan adalah memotong
kulit yang menutup ujung kemaluan laki-laki dan memotong daging tipis
di atas fagina wanita yang menyerupai jengger ayam.
[r-^r 'i! (Jika ia telah duduk) Kata ganti yang terdapat pada kalimat
J^-r (dia mengerahkan kemampuannya), adalah kata ganti untuk orang ke
tiga laki-laki. Kata ganti pada kata i f c * — d a n kata adalah untuk
wanita. Pemakaian kata tersebut secara jelas ada pada riwayat Ibnu Al
Mundzir dari sanad yang lain dari Abu Hurairah. Ia berkata, Jr'J \f~* 'i)
l^-i—i> J__J &\'y\\ {Jika seorang laki-laki menggauli istrinya dan telah
duduk di antara bagian tubuhnya). (Al Hadits)
Kata v * -> adalah bentuk plural dari kata artinya bagian dari
sesuatu. Maksudnya -menurut sebagaian pendapat- adalah kedua tangan-
nya dan kedua kakinya, kedua kakinya dan kedua pahanya, atau kedua
betis dan pahanya, atau kedua paha dan iskah-nya. Yang lain mengatakan
kedua paha dan kedua syafrahnya, atau bagian tubuh yang lain.
Al Azhari berkata, bahwa Iskah adalah bibir kemaluan dan syafrah
adalah tepi bibir kemaluan.
Al Qadhi Iyadh menguatkan pendapat yang terakhir, sedang Ibnu
Daqiq Al 'Id memilih yang pertama, karena lebih dekat dengan
pengertian duduk. Ungkapan di atas merupakan kiasan halus dari
bersenggama.
J—°~JA\ L srj (Jika telah bertemu dua khitan maka wajib mandi). Ini
sesuai dengan judul bab, seolah-olah penulis (Al Bukhari) memberi
isyarat pada riwayat ini sebagaimana kebiasaannya membuat bab sesuai
dengan salah satu lafazh riwayat hadits dalam bab tersebut.
Diriwayatkan juga dengan lafazh ini dari Aisyah seperti disebutkan
oleh Imam Syafi'i melalui Said bin Musayyab darinya (Aisyah). Di
dalam sanadnya ada Ali bin Zaid, seorang perawi yang lemah. Ibnu
Majah juga meriwayatkan hadits ini dari Al Qasim bin Muhammad dari
Aisyah, dimana semua sanadnya adalah orang-orang yang dapat
dipercaya. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa Al Asy'ari dari
Aisyah dengan lafazh, ol =?Ji ob>Jl j^J»j (Dan khitan telah menyentuh
4 8 0 — FATHUL BAARI
Mathar Al Warraq dari Al Hasan pada akhir hadits ini disebutkan, jJ Ojj
y & y % y s s $ s s s y yy y y
" 0
' 9
- f ""O f . " ' ' <> , y • f - ' t" 'f "° \ "° " 11 -
S» '
y yy y y y y y 5> y O yy ' -* s 0
^ Oy y # JL t } ^ y y } y s % "
^ y y y * yy S> ^ y *y
y y '° ' \\~ ' \\ ' ' °"' ITI O • O **<
0
o < f *
' ' * 11° i *f i-f . f 11' f " * i. ' » - o •» . f _ ' | ' -'f
^ AUI J J ^ - J ^ iiJi
Keterangan Hadits:
(Mencuci apa yang menyentuh), maksudnya bagian badan laki-
laki. (Kemaluan wanita), baik berupa cairan ataupun lainnya.
s > ss
bersumber langsung dari Nabi SAW, lafazh tersebut adalah, i U i j£? ijlli»
4 8 2 — FATHUL BAARI
—L.j AIIP *«' j * (Maka mereka mengatakan seperti itu dari Nabi
SAW). Al Isma'ili berkata, "Tidak ada yang berkata demikian kecuali
Yahya Al Hamawi, dan ia tidak memenuhi kriteria kitab ini."
* * * * * * ' ^
4J1 {Bahwa ia mendengarnya
dari Rasulullah SAW).
Imam Ad-Daruquthni berkata, "Ini adalah dugaan saja, karena Abu
Ayub hanya mendengarnya dari Ubai bin Ka'ab sebagaimana yang
dikatakan oleh Hisyam bin Urwah dari ayahnya." Saya katakan, "Secara
lahiriah Abu Ayyub mendengar dari keduanya, karena redaksi riwayat
berbeda. Pada riwayat Hisyam dari Ubai bin K a ' a b ada kisah yang tidak
(disebutkan) dari Nabi SAW."
Hadits ini juga telah diriwayatkan dari sanad yang lain dari Ayub
dari Nabi seperti dinukil oleh Ad-Darimi dan Ibnu Majah. Al Atsram
menceritakan dari Ahmad bahwa hadits Zaid bin Khalid yang disebutkan
pada bab ini mempunyai cacat, karena telah tetap fatwa dari mereka
berlima yang berlawanan dengan hadits ini. Ya'qub bin Syaibah
meriwayatkan dari Ali bin Al Madini, bahwa hadits ini adalah syadz
(cacat).
Namun pernyataan ini dapat dijawab, bahwa hadits ini kuat dilihat
dari periwayatannya yang tidak terputus dan hafalan para perawinya.
Ibnu Uyainah juga meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari Atha' bin
Yasar seperti riwayat Abu Salamah dari Atha' yang dikeluarkan oleh
Ibnu Abi Syaibah dan yang lain, maka (hadits ini) sanadnya tidak
tunggal. Adapun keberadaan mereka yang berfatwa berlawanan dengan
hadits ini tidaklah mengurangi kesahihan hadits, karena adanya ke-
mungkinan bahwa telah sampai kepada mereka (hadits lain) yang
menghapus hukum hadits ini yang mereka jadikan pegangan. Memang
tidak sedikit hadits shahih yang dihapus hukumnya.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa hubungan badan yang tidak
mengeluarkan air mani yang cukup berwudhu saja telah dihapus dengan
hadits Abu Hurairah dan Aisyah yang telah disebutkan pada bab
sebelumnya. Dalil penghapusannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad dan lainnya dari Az-Zuhri dari Sahal bin Sa'ad. Ia berkata, "Ubai
bin Ka'ab berkata kepadaku bahwa fatwa yang mereka katakan, yaitu air
(mandi) karena sebab air (keluarnya mani) adalah keringanan yang
F A T H U L BAARI — 483
diberikan Rasulullah pada permulaan Islam, lalu beliau memerintahkan
untuk mandi setelah itu. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban. Al Isma'ili berkata, "Riwayat ini shahih memenuhi
persyaratan Imam Bukhari", demikian yang beliau katakan. Seakan-akan
Al Isma'ili belum menemukan kelemahannya, dimana para ahli hadits
telah berbeda pendapat bahwa Az-Zuhri telah mendengarnya dari Sahal.
Benar, Abu Daud dan Khuzaimah juga meriwayatkan dari Abu
Hazim dari Sahal, tapi jalur periwayatan ini juga memiliki kelemahan
yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim. Akan tetapi secara umum jalur
periwayatan tersebut bisa dijadikan dalil dan (riwayat tersebut) jelas-jelas
untuk menghapuskan hukum yang ada dalam hadits Utsman. Di samping
itu, hadits yang mewajibkan mandi meskipun tidak keluar mani adalah
lebih kuat daripada hadits "Air (mandi) karena sebab air (keluar mani)",
karena yang pertama adalah ucapan langsung sedang hadits yang tidak
mewajibkan mandi meskipun tidak keluar mani adalah hasil pemahaman
(interpretasi) terhadap hadits itu. Atau kemungkinan hadits kedua ini
mengandung makna tekstual, namun konteks hadits yang pertama lebih
tegas.
Catatan Penting
Pada perkataan beliau, *Uli j ? s-UJi "air (mandi) karena air (keluar
mani)" terdapat gaya bahasa jinas tam (kesamaan yang sempurna) dalam
ilmu balaghah. Maksud air yang pertama adalah "air mandi", dan air
yang kedua adalah "air mani".
Imam Syafi'i menyebutkan, bahwa kata "junub" dalam bahasa
Arab berarti jima' (bersetubuh) meskipun tidak keluar mani. Jika
dikatakan si fulan junub karena Fulanah, berarti ia telah berhubungan
badan dengannya walaupun tidak sampai keluar mani. Imam syafi'i juga
berkata, "Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa zina yang mendapat
hukuman adalah hubungan badan walaupun tidak mengeluarkan mani."
Ibnu Arabi berkata, "Kewajiban mandi karena hubungan dan keluarnya
4 8 4 — FATHUL BAARI
mani adalah seperti kewajiban berwudhu karena menyentuh kemaluan
dan buang air kecil. Keduanya berada pada sisi yang saling berhadapan,
baik dari segi dalil maupun Ulat (dasar argumentasi)." Wallahu a 'lam.
Abu Abdillah berkata, "Mandi lebih hati-hati dan lebih selamat. "
Demikian (keputusan) terakhir, hanya saja kami jelaskan hal ini karena
perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Keterangan Hadits:
Maksud judul bab adalah, hendaklah laki-laki itu mencuci anggota
tubuhnya yang menyentuh kemaluan wanita. Yang disebut di sini adalah
kemaluan, tetapi yang dimaksudkan adalah bagian yang basah. Ini sebuah
konsekuensi dimana yang disebutkan adalah perkara lain, namun yang
dimaksud adalah konsekuensi dari perkara tersebut.
^-LPJJ (dan shalat) hal ini sebagai dalil yang lebih jelas untuk
l^_WssM l£j (Hanya saja kami terangkan perselisihan yang terjadi di antara
mereka). Dalam riwayat Al Ashili disebutkan, '^y^-H abt!i lil (Hanya saja
^—aJl tUJlj tjL$3*Ap-)! (Hanya saja kami terangkan hadits yang lain karena
perselisihan yang terjadi di antara mereka dan air (mandi) adalah lebih
bersih).
Ibnu Arabi mengkritik perkataan Imam Bukhari, ia berkata,
"Kewajiban mandi telah ditetapkan dan dipraktekkan oleh para sahabat
dan generasi setelah mereka, dan tidak ada yang menyalahinya kecuali
Daud. Apa yang dilakukan Daud ini tidak dapat dijadikan landasan
(dalam menentukan hukum). Namun yang sulit lagi adalah pendapat
4 8 6 — FATHUL BAARI
Imam Bukhari dan fatwa hukumnya yang mengatakan bahwa hukum
mandi tersebut adalah sunah, padahal dia adalah salah satu imam dalam
agama dan ulama kaum muslimin."
Lalu ia (Ibnu Arabi) mulai melemahkan hadits dalam bab ini
dengan pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diterima. Ia berkata,
"Mungkin maksud Imam Bukhari dengan perkataan beliau, 'Mandi lebih
hati-hati serta lebih selamat' adalah dalam agama." Ia juga berkata, "Ini
mirip dengan masalah kepemimpinan seseorang dan ilmunya."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Ini adalah cara yang biasa dilakukan
Imam Bukhari, dia tidak memberi judul hadits ini tentang bolehnya
meninggalkan mandi wajib, tapi hanya memberi judul dengan sebagian
faidah yang ada dalam hadits seperti wajibnya wudhu sebagaimana yang
telah disebutkan. Adapun pengingkaran terhadap perselisihan yang
terjadi seperti yang dilakukan Ibnul Arabi adalah tindakan yang
berlawanan, karena perselisihan tersebut telah dikenal di kalangan
sahabat. Tetapi Ibnu Al Qishar mengklaim bahwa perselisihan tersebut
telah selesai pada masa tabi'in, dan ini juga merupakan pendapat yang
berlawanan dengan kenyataan."
«•1—*Ji JA *UJi "air (mandi) karena air (keluar mani)" adalah hadits shahih,
tetapi hukumnya telah dihapus (mansukh). Hingga perkataan beliau,
Penutup
Kitab mandi dan hukum-hukum yang berkenaan dengannya
mencakup 63 hadits yang langsung kepada Nabi SAW (marfu'), yang
terulang dalam bab ini serta pada bab-bab sebelumnya berjumlah 35
hadits. Hadits yang diriwayatkan secara bersambung diantaranya
berjumlah 21 hadits, sedangkan sisanya hanya berupa penggalan-
penggalan hadits yang disebutkan tanpa silsilah periwayatannya
(mu 'allaq) ataupun sebagai penguat (mutaba 'ah). Yang tidak terulang
dalam bab ini berjumlah 28 hadits, dan yang disebutkan tanpa jalur
periwayatan di antaranya hanya satu riwayat, yaitu riwayat Bahz dari
kakeknya.
Hadits yang disebutkan dalam bab ini juga diriwayatkan oleh Imam
Muslim kecuali riwayat Bahz tersebut dan hadits Jabir mengenai
mencukupkan ketika mandi dengan satu sha' air, serta hadits Anas yang
menceritakan bahwa Rasulullah mendatangi istri-istri beliau yang
jumlahnya 11 orang pada satu malam. Demikian pula dengan hadits
mandi dengan wanita atau istri dari satu bejana. Terakhir hadits Aisyah
tentang sifat mandi junub wanita.
4 8 8 — FATHUL BAARI
6. KITAB HAID
Keterangan:
namun tidak berlebihan, sebagaimana firman Allah SWT, *i\ J'JOJ °J>
4 9 0 — FATHUL BAARI
(J i I "Sekali-kali tidak akan membahayakan kamu selain gangguan-
gangguan celaan saja (adzaa)" ^Qs. Aali Imraan (3): l i l ) Maknanya,
haid adalah kotoran yang harus dijauhi tempatnya pada diri wanita,
namun tidak mencakup bagian badannya yang lain.
Sabda Nabi SAW, "Ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah
SWT atas kaum perempuan dari keturunan Adam." Sebagian
Keterangan Hadits:
Lalu Imam Bukhari menyebutkan pula hadits dengan lafazh, iji> '-ii (Ini
adalah sesuatu) melalui jalur periwayatan secara bersambung sampai
kepada Nabi SAW setelah lima atau enam bab kemudian.
J4i'j—^ a
' j * (Atas bani Isra 'U), yakni atas wanita bani Isra'il.
Seakan-akan Imam Bukhari mengisyaratkan kepada riwayat yang dinukil
oleh Abdurrazzaq dari Ibnu Mas'ud melalui jalur periwayatan yang
shahih, dimana disebutkan ,l «s**- iiy-ju }*>)'J~>\ ^> J «-CJJlj JbVJl olT
{
4 9 2 — FATHUL BAARI
JJJIJ-LI) (Sesungguhnya haid pertama kali dikirimkan kepada bani Isra Jl),
y s* , yy , o f» % y % % y ^
0 y y y s ^ s ^ s s & s s ^ g %
Keterangan Hadits:
keluar ketika haid. Sebab, keluarnya darah itu sendiri disebut "nafs"
(yang berarti mengalir -penerj.) Pembahasan selanjutnya mengenai hal ini
akan diterangkan setelah dua bab kemudian.
4 9 4 — FATHUL BAARI
ij'jJ 'i (Tanpa ada maksud), artinya kami tidak menduga ada tujuan
lain selain menunaikan ibadah haji. Adapun sarif adalah tempat yang
berada di sekitar 10 Mil dari Makkah.
^ — ^ LW ^ ^ ^ ? L£ ^ J*
^ s Si s s
Keterangan Hadits:
Hadits yang disebutkan dalam bab ini sangat sesuai dengan judul
bab yang berkenaan dengan menyisir rambut, lalu diikutkan setelah itu
masalah mencuci kepala berdasarkan qiyas (analogi). Atau sebagai
isyarat terhadap jalur hadits yang akan disebutkan berikut pada bab
"Bercumbu dengan wanita haid" dimana disebutkan secara tegas tentang
wanita haid mencuci rambut suaminya. Hal ini merupakan keterangan
bahwa badan wanita haid adalah suci, dan haid tidak mencegah suaminya
untuk bersentuhan dengannya.
4 9 6 — FATHUL BAARI
Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan badan wanita haid
adalah suci, demikian pula dengan air liurnya. Di samping itu, orang
yang sedang i'tikaf tidak diperbolehkan melakukan hubungan suami istri
dan segala hal yang menuju ke arah itu. Hadits tersebut juga menunjuk-
kan bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh masuk masjid.
" }' o % °
> s s s
. j l yd\ \ yh j»J Jsjy>- UI j
Keterangan Hadits:
Abu Wa'il adalah seorang tabi'in yang terkenal, dia salah seorang
murid Ibnu Mas'ud. Riwayat beliau ini telah disebutkan secara lengkap
oleh Ibnu Abi Syaibah dengan silsilah periwayatan yang shahih. Begitu
juga Abu Razin, dia adalah seorang tabi'in yang terkenal.
wanitanya, karena kata khadim bisa berarti budak laki-laki atau budak
perempuan.
Adapun korelasi riwayat ini dengan hadits Aisyah, adalah dari sisi
bahwa wanita yang membawa Al Qur'an dengan cara memegang
pengikatnya (tanpa menyentuhnya) adalah sama dengan wanita haid yang
hafal Al Qur'an, dimana ia juga membawa Al Qur'an dalam hatinya.
Kesimpulan ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah, namun jumhur
ulama tidak menyetujuinya, mereka membedakan antara kedua hal
tersebut. Karena membawa mushhaf dapat mengurangi nilai penghor-
matan (terhadap Al Qur"an), sedangkan "bersandar" menurut kebiasaan
tidaklah dinamakan "membawa".
Imam Bukhari dalam kitab At-Tauhid disebutkan, j> i->iJJ OT^iJl OlT
4 9 8 — FATHUL BAARI
maka yang dimaksud dengan bersandar pada hadits di atas adalah
meletakkan kepala di pangkuan istrinya (Aisyah).
Keterangan Hadits:
5 0 0 — FATHUL BAARI
bab ini sesuai dengan ungkapan yang digunakan oleh Ummu Salamah,
wallahu a 'lam.
yang bercorak tertentu dan terbuat dari wol atau selainnya. Namun saya
tidak mendapati dari sekian banyak jalur periwayatan hadits di atas yang
menggunakan kata khamishah kecuali riwayat ini. Sedangkan murid-
murid Yahya serta murid-murid Hisyam semuanya meriwayatkan dengan
lafazh 5—ls*^ sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits di
atas. Lalu dikatakan bahwa khamilah adalah bordiran, namun ada pula
yang mengatakan khamilah adalah sejenis permadani. Al Khalil berkata,
"Khamilah adalah pakaian yang dibordir." Atas dasar ini maka tidak ada
kontradiksi antara kedua lafazh tersebut, sebab bisa saja yang dimaksud
adalah kain hitam yang dibordir.
'nifas' adalah 'nafs' yang berarti darah, hanya saja mereka membedakan
pembentukan kata kerja haid dan nifas dari lafazh tersebut. Apabila yang
dimaksud adalah haid, maka mereka menyebutnya nafisa. Sedangkan jika
yang dimaksud adalah darah setelah melahirkan maka mereka menyebut-
\ r
*^f Jb^lj JA § | J j l j \1\ J—ip\ cis" oJli \J^Ss> y
5 0 2 — FATHUL BAARI
300. Pernah juga aku disuruhnya mengenakan sarung lalu beliau
bercumbu denganku sementara aku dalam keadaan haid.
- } S ss - Os s s s s
i» s s' f . 11 f ° * • I tf"
JSJ\J>- Ulj A - L ^ P \ i ^_JL>CJU> jjbj- Ji\ «U-LJ JLS j
Riwayat ini telah dinukil pula oleh Khalid dan Jarir dari Asy-
Syaibani.
Keterangan Hadits:
5 0 4 — FATHUL BAARI
Salamah ini dapat dikompromikan dengan hadits-hadits yang memberi
keterangan untuk bersegera bercumbu dengan istri, yaitu dengan me-
ngatakan bahwa keduanya dipraktekkan dalam masa yang berbeda.
jLlIiJl ^ ^ P olj-a->"
j^—£j Jl—i A1!I JJLJ L' ji-jj J l i jllil Jil JS"I J > o J J l i
4 * Q g s o yy O y T O y &
L U
5 0 6 — FATHUL BAARI
Imam An-Nawawi berkata, "Pendapat ini memiliki dalil yang lebih
kuat berdasarkan hadits Anas bin Malik yang tercantum dalam kitab
Shahih Muslim, £\—**Ji *i\ s-^—i JT (Lakukanlah segala sesuatu
kecuali hubungan badan). Lalu para ulama yang mendukung pandangan
ini memahami hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari pada bab ini
sebagai perbuatan mustahab (disukai) demi untuk memadukan antara
dalil-dalil yang ada. Selanjutnya Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Tidak ada
dalam hadits ini suatu indikasi yang menyatakan bahwa apa yang ada di
balik pakaian tersebut terlarang untuk dinikmati, sebab kejadian dalam
hadits hanya berupa perbuatan semata."
Keterangan lain yang menunjukkan bahwa apa yang ada di balik
kain tidak terlarang untuk dinikmati adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud dengan jalur periwayatan yang cukup akurat dari Ikrimah,
dari sebagian istri Nabi SAW, bahwasanya jika beliau SAW ingin
bercumbu dengan istrinya yang sedang haid, maka beliau SAW menutupi
kemaluan istrinya dengan kain. Adapun Imam Ath-Thahawi memperkuat
pendapatnya berdasarkan kenyataan bahwa menyentuh bagian badan istri
yang sedang haid selain kemaluannya tidak memiliki hukuman tertentu
(hadd) dan tidak pula mengharuskan seseorang untuk mandi wajib.
Dengan demikian, maka kedudukannya sama dengan menyentuhnya dari
atas kain.
Lj—sial»- (Sesaat setelah keluar haid). Pendapat ini didukung oleh riwayat
Ibnu Majah melalui jalur periwayatan yang hasan (baik) dari Ummu
Salamah, bahwa Nabi SAW menjauhi tempat keluar darah selama 3 hari,
dan setelah itu beliau menyentuhnya. Dari sini pula hadits Ummu
j—iai jl u—s*Ii>i J> (Pada idul Adha atau idul Fithri). Keraguan ini
bersumber dari perawi hadits.
s\L3\ ^jlp "JA (JUaJl J\ (Menuju tempat shalat, lalu beliau melewati
Telah disebutkan dalam kitab ilmu melalui jalur lain dari Abu Sa'id
bahwasanya beliau SAW menjanjikan kepada kaum wanita untuk
memberikan nasehat secara khusus pada mereka, lalu beliau menunaikan
janjinya pada hari itu dan dalam hadits itu disebutkan bahwa beliau
menasehati mereka serta memberi kabar gembira.
SWT telah memperlihatkan kaum wanita kepadanya pada waktu Isra' dan
Mi'raj. Sementara pada pembahasan terdahulu dalam kitab "ilmu" telah
disebutkan hadits dari Ibnu Abbas dengan lafazh, U^A( cJi^J jUli cJji
5 0 8 — FATHUL BAARI
J J—"J ^ Qkt- j Lup oCaiJ \J> j : j i jTlJb>-l J « f jl^Jl J ^ " j ^
Keterangan Hadits:
(Wanita haid tidak berpuasa). Ibnu Rasyid dan lainnya berkata, "Di
sini Imam Bukhari kembali menempuh cara sebagaimana yang biasa ia
lakukan, yaitu dia lebih menekankan untuk menerangkan perkara yang
rumit daripada perkara yang sudah jelas. Karena masalah wanita haid
yang tidak shalat sudah cukup jelas, sebab bersuci adalah salah satu
syarat sahnya shalat, sementara wanita yang sedang haid tidak dalam
v—JJl lebih khusus daripada akal, dimana LJUi merupakan intisari daripada
akal itu sendiri.
f 0 •
J> W* JJj JUaJ JJ (Apabila ia haid tidak shalat dan tidak pula puasa)
Kalimat ini mengisyaratkan bahwa wanita haid tidak shalat dan tidak
pula berpuasa telah ditetapkan berdasarkan hukum syariat sebelum
adanya kejadian ini.
5 1 0 — FATHUL BAARI
Oleh sebab itu, adzab yang dijanjikan dikaitkan berupa pengingkaran dan
lainnya, bukan dikaitkan dengan kekurangan itu sendiri. Kekurangan di
bidang agama tidak terbatas pada melakukan perbuatan yang menimbul-
kan dosa, bahkan cakupannya lebih luas sebagaimana dikatakan oleh
Imam An-Nawawi, sebab ia merupakan perkara yang relatif. Sesuatu
yang lebih sempurna misalnya, akan dikatakan memiliki kekurangan bila
dibandingkan dengan sesuatu yang lebih sempurna lagi.
Atas dasar ini maka wanita haid tidak berdosa akibat meninggalkan
shalat, namun ia dianggap memiliki kekurangan bila dibandingkan
dengan yang shalat. Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah apakah
sikap seorang wanita haid yang meninggalkan shalat dan ibadah-ibadah
lainnya diberi pahala, karena hal itu merupakan suatu kewajiban yang
dibebankan sebagaimana halnya seorang yang sakit diberi pahala atas
ibadah-ibadah sunah yang sebelumnya biasa ia lakukan meski pada saat
sakit ia tidak melakukannya?
° i,° - ' t
: A - 4 ^ ^ J* ^ ^ t ^ 1
^ ''i '"1
L_ & s " * 0
^ £ ' 0
j. £ '
J
— ^
.M r i
,Ufl j >J os', i ^ J l :ji^Jl Jlij :J L W ^ j o l i b uiljiil
5 1 2 — FATHUL BAARI
apa yang tidak disebut nama Allah saat menyembelihnya:' i.Qs. Al
An'aam (6): 121 >
Keterangan Hadits:
5 1 4 — FATHUL BAARI
yang lain. Adapun perbedaan antara dzikir dan membaca Al Q u r a n
hanyalah ditinjau dari segi kebiasaan saja. Hadits yang dimaksud telah
disebutkan oleh Imam Muslim beserta silsilah periwayatannya dari
Aisyah RA.
Akan tetapi argumentasi di atas bisa saja dijawab oleh mereka yang
berpandangan bahwa orang junub tidak boleh membaca Al Qur'an - y a n g
dalam hal ini adalah mayoritas ulama- dengan mengatakan, bahwa
sesungguhnya surat yang dimaksud berisi pula hal-hal lain di samping
dua ayat Al Qur'an, sehingga keadaannya serupa dengan kitab-kitab fikih
ataupun kitab-kitab tafsir yang memuat beberapa ayat Al Qur'an, dimana
orang junub tidak dilarang untuk membacanya maupun menyentuhnya
menurut mayoritas ulama, sebab maksud seseorang membaca kitab-kitab
tersebut bukanlah untuk membaca Al Qur'an.
Lalu Imam Ahmad mengeluarkan pernyataan, bahwa membaca Al
Qur"an bagi orang junub diperbolehkan dalam rangka surat menyurat
demi untuk maslahat dakwah. Pernyataan seperti ini dikemukakan pula
oleh sejumlah ulama madzhab Syafi'i. Lalu diantara mereka ada yang
memperbolehkan apabila dalam jumlah yang sedikit seperti satu atau dua
ayat. Ats-Tsauri berkata, "Tidak mengapa bagi seseorang mengajarkan
satu huruf Al Qur'an kepada penganut agama Nasrani." Semoga Allah
memberi petunjuk padanya. Aku tidak suka bila ia mengajari orang itu
satu ayat, sebab kedudukannya sama dengan orang junub.
5 1 6 — FATHUL BAARI
sendiri berlaku apabila orang junub tersebut bermaksud membaca Al
Qur'an serta menyadari bahwa yang dibacanya adalah Al Q u r a n .
Adapun jika ia membaca di suatu lembaran tanpa disadarinya bahwa itu
termasuk Al Qur'an maka tidak dilarang, demikian pula halnya dengan
orang kafir." Pembahasan selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan
pada kitab jihad, insya Allah.
Sedangkan hadits Ibnu Umar dari Nabi SAW, Sij je5LJ*}\ \'Js H
—311 J U l i Lis^Jl (Orang haid dan junub tidak boleh membaca sesuatu
8. Istihadhah
Keterangan Hadits:
'y\—t>l 'i! (^—»1 (Sesungguhnya aku senantiasa tidak suci). Pada bab
"Mencuci darah " -dari riwayat Abu Mu'awiyah dari Hisyam- berkenaan
5 1 8 — FATHUL BAARI
dengan hadits ini disebutkan sebab yang menjadikannya senantiasa dalam
kondisi demikian, yaitu perkataannya Je>\*z—Ll J\ (Sesungguhnya aku
mengalami istihadhah). Seakan-akan menurut anggapan Fatimah, suci-
nya seseorang dari haid tidaklah diketahui melainkan dengan berhentinya
darah. Maka dia menamakan kondisi dimana darah terus keluar sebagai
keadaan seseorang yang dianggap tidak suci. Sementara itu dia me-
ngetahui sebelumnya bahwa wanita haid tidak boleh shalat, maka timbul
dugaan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan keluarnya darah. Oleh
karena itu beliau ingin memperjelas dengan mengatakan, "Apakah aku
harus meninggalkan shalat."
Dalam hal ini ada perbedaan lain seperti yang telah kami isyaratkan
pada bab "mencuci darah". Riwayat yang dimaksud berasal dari Abu
Mu'awiyah dalam hadits yang sama seperti di bab ini, namun pada
bagian akhir terdapat tambahan lafazh «^u* J i o Jr&y p> (Dan hendaknya
kamu berwudhu setiap kali hendak shalat). Dalam bab tersebut telah
kami sebutkan perkataan mereka yang menyatakan bahwa lafazh ini
adalah perkataan sebagian perawi yang tersisip dalam lafazh hadits
(mudarraj). Demikian pula telah kami sebutkan perkataan mereka yang
menyatakan bahwa lafazh itu hanya berakhir pada Urwah. Sementara
Abu Mu'awiyah tidaklah menyendiri dalam meriwayatkan lafazh ini.
shalat fardhu tidak boleh lebih, berdasarkan makna lahiriah lafazh "pi
5 2 0 — FATHUL BAARI
dengarkan suara wanita karena suatu keperluan dan manfaat-manfaat
yang lain.
fi s *
'o '• " * i ' * ' > ' ' ' ' , s o s s o ' o- °
(Mencuci darah haid). Judul bab ini lebih spesifik daripada judul
bab pada kitab wudhu, yaitu bab mencuci darah. Hadits Asma' ini telah
dibahas pada bab tersebut, dimana Imam Bukhari menukil dari jalur
Yahya Al Qaththan dari Hisyam (sementara di sini Imam Bukhari
menukil dari jalur Malik dari Hisyam -penerj). Para perawi di sini sama
seperti perawi hadits terdahulu, dimana semuanya adalah ulama-ulama
Madinah kecuali guru Imam Bukhari (Abdullah bin Yusuf).
i i , } 9 , % a l i s i
i' s c i'i"" t 'i y .*'. i' o i
^Jo\ yjiaj
9 ^ 0 i ' « ' " " i " 11 -
;y y U\JL>-} cUiS ;c-JVi aJujLp y-
0 0 0
JfiLcrrji
Keterangan Hadits:
5 2 2 — FATHUL BAARI
berasal langsung dari Nabi SAW (marfu'). Pernyataan ini lebih diperkuat
lagi oleh hadits Asma' yang telah disebutkan di atas.
-'•i' ' 0
* ' t\' ' * • ' *''
9
' ' ^' ' i a
Ii « f » ' , i' 9
'
s O s 'f s & s s s s s s
Keterangan Hadits:
5 2 4 — FATHUL BAARI
dengan Rasulullah SAW. Yang dimaksud adalah Ummu Habibah binti
Jahsy, saudara perempuan Zainab binti Jahsy (istri Nabi SAW -penerj.)."
Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Penafsiran Ibnu Al Jauzi di atas tidak
dapat diterima berdasarkan lafazh yang ada pada riwayat kedua, j ? «lyi
Saya membaca pula dalam kitab Sunan oleh Sa'id bin Manshur,
"Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim, telah men-
ceritakan kepada kami Khalid (Al Hadzdza') dari Ikrimah bahwasanya
salah seorang wanita di antara istri-istri Nabi SAW beri'tikaf sedang ia
dalam keadaan haid." Beliau berkata pula, "Pada kali yang lain, Khalid
menceritakan kepada kami dari Ikrimah bahwa Ummu Salamah pernah
beri'tikaf dalam keadaan istihadhah dan terkadang beliau menaruh bejana
kecil di bawah kakinya." Aku katakan, "Keterangan dalam riwayat inilah
yang paling tepat untuk menafsirkan siapa yang dimaksud oleh hadits
pada bab di atas, karena sumbernya sama."
5 2 6 — FATHUL BAARI
pada catatan kaki naskah Shahih Bukhari yang dinukil dari Abu Dzar,
dimana disebutkan, "Yang dimaksud dengan fulanah di sini adalah
Ramlah, ibu Habibah binti Abu Sufyan." Apabila keterangan ini akurat,
maka ini merupakan pandangan ketiga dalam menafsirkan wanita yang
dimaksud dalam hadits Aisyah di atas.
Keterangan Hadits:
5 2 8 — FATHUL BAARI
Salamah terdahulu yang menerangkan bahwa ia memiliki pakain khusus
untuk dipakai saat haid, adalah bahwa hadits Aisyah ini menggambarkan
kondisi permulaan dakwah Islam, sedangkan hadits Ummu Salamah
menggambarkan kondisi setelah keadaan menjadi stabil dan kehidupan
mulai makmur.
lil a LaJl JJLP li) [ y 2 S > - J Jj J .t_. . / ? P I _ J y ^ I l-P J • .,R? -» b' JJ ^^IL)
^ ^ y- y
saf i J' I I. F 0
y' ° -"• 'i - L ' . \'[' ° [ '
0
\' ''I
'•' b ^ J ijLabl o «JLJ I g •/?;•>!•/» ^j-» blJ^>-j 0 ~ L ~ I P I
. J J L ^ J L ^bjl ^P
-* £ • 0 ^ ^ JL 0 > y ' * y y y
5 3 0 — FATHUL BAARI
313. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah dari Nabi SA W, ia berkata,
"Kami dilarang untuk menampakkan duka karena kematian lebih
dari 3 hari, kecuali karena kematian suami, yang selama 4 bulan
10 hari. Tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai harum-
haruman serta tidak boleh memakai pakaian yang diberi warna
kecuali kain ashab. Lalu kami diberi keringanan pada saat bersuci
dari haid untuk menggunakan sedikit harum-haruman. Kami juga
dilarang untuk mengikuti jenazah"
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Hisyam bin Hassan dari Hafshah
dari Ummu Athiyah dari Nabi SAW.
Keterangan Hadits:
' I ** ' I ° • 0
* ^-rtt ^ i \f' -f' 0
i 'f-'. l' 0
'
Keterangan Hadits:
Sebagian ulama mengatakan, bahwa dalam hadits ini tidak ada
keterangan yang berkaitan dengan judul bab, sebab dalam hadits tidak
disebutkan mengenai cara mandi dan menggosok badan. Pernyataan ini
dijawab oleh Al Karmani serta ulama-ulama lain, bahwa mengikuti
(mengoles) bekas darah dengan kapas berkonsekuensi adanya perbuatan
5 3 2 — FATHUL BAARI
menggosok badan. Adapun yang dimaksudkan dengan cara mandi dalam
judul bab ini adalah sifat mandi khsusus bagi wanita setelah haid (yakni
dengan menggunakan harum-haruman). Jawaban ini cukup baik meski-
pun mengandung unsur mencari-cari alasan.
i-~t>°j\ *Ull WjlL* Lwtf jLi -'il°y\p\ (Maka beliau bersabda, "Hendaklah
salah seorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu
bersuci dengan sebaik-baiknya. Kemudian ia menyiram ke atas kepala-
nya lalu menggosoknya dengan kuat hingga mencapai akar-akar rambut-
nya. Kemudian ia menyiramkan air ke badannya, lalu mengambil
kapas...). Inilah lafazh yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari sehingga
beliau menyebutkan judul bab seperti di atas, sebab lafazh ini mencakup
cara mandi dan menggosok. Akan tetapi Imam Bukhari tidak langsung
menukil hadits ini karena hadits ini dinukil melalui jalur Ibrahim bin
Muhajir dan Shafiyyah, yang mana jalur tersebut tidak memenuhi
persyaratan beliau.
y$±—r J —* J — i - i - S *
1
(Maka Rasulullah SAW menerangkan
kepadanya bagaimana ia mandi. Lalu beliau SAW bersabda, "Ambil-
lah... ') Al Karmani berkata, "Perkataan beliau, A m b i l l a h . . . ' merupakan
penjelasan kalimat sebelumnya, yaitu 'Maka Rasulullah SAW menerang-
kan kepadanyaJika ditanyakan, "Bagaimana mungkin lafazh tersebut
merupakan penjelasan cara mandi sedangkan hakikat mandi adalah
menyiramkan air ke seluruh tubuh, bukan dengan mengambil kapas atau
yang sepertinya.' Maka jawabannya adalah; sesungguhnya substansi
pertanyaan yang diajukan bukan minta penjelasan mengenai mandi,
5 3 4 — FATHUL BAARI
sebab hal ini sudah diketahui oleh semua orang. Akan tetapi pertanyaan
tersebut dimaksudkan untuk mengetahui perkara yang lebih dari itu.
Jawaban seperti ini telah dikemukakan oleh Ar-Rafi'i (dalam kitab
Syarah Musnad) dan Abu Jamrah."
iil '..»'j» &fi°jt (Kapas yang telah diberi minyak wangi) An-Nawawi
berkata, "Tujuan menggunakan harum-haruman adalah untuk meng-
hilangkan bau tak sedap, menurut pendapat yang benar. Lalu ada pula
yang mengatakan untuk memberi kesuburan sehingga lebih cepat
menerima kehamilan, pendapat ini diriwayatkan oleh Al Mawardi."
Imam An-Nawawi menambahkan, "Berdasarkan pendapat pertama,
apabila tidak didapatkan minyak kesturi, maka diganti dengan harum-
haruman yang lain. Sedangkan berdasarkan pendapat kedua, apabila tidak
didapatkan minyak kesturi maka diganti dengan menggunakan zat-zat
lain yang dapat menyuburkan rahim." Kemudian Imam An-Nawawi
melemahkan pendapat kedua seraya mengatakan apabila pendapat ini
benar, niscaya khusus berlaku bagi wanita yang bersuami. Dengan tidak
disebutkannya pengkhususan pada hadits di atas merupakan bantahan
bagi pendapat kedua ini.
A—Ul Olkl—li (Maha suci Allah). Dalam riwayat berikut ini terdapat
5 3 6 — FATHUL BAARI
dalail (hukum-hukum yang diketahui dengan dalil-dalil atau petunjuk-
petunjuk)."
Keterangan Hadits:
-J y y & y ^ y y y y y y Y y y y y ^ ^ 0
5 3 8 — FATHUL BAARI
^
> 9
* 9 % ' '
Keterangan Hadits:
f ^ s s y s s 0
' f 0 y y y ^
5 4 0 — FATHUL BAARI
jl \>^A Oj gJU C-il&li ^-Jlllil C ^ f ^ 3 jS\J ^ 1 <j-*-^^
0 ' S ' 0 " s s
Keterangan Hadits:
Maksud bab ini, apakah menyisir rambut saat mandi dari haid itu
termasuk wajib atau tidak? Adapun makna lahir hadits di atas mewajib-
kannya. Demikianlah yang dikatakan oleh Al Hasan dan Thawus bagi
wanita yang mandi karena haid, dan tidak wajib bagi wanita yang mandi
karena junub. Begitu pula yang dikatakan oleh Ahmad. Namun sejumlah
ulama madzhab Ahmad cenderung mengatakan bahwa mengurai rambut
bagi wanita hukumnya mustahab (disukai), baik mandi karena haid atau
junub.
V : Jl—i «—j'lSjJi Jlil'iiJjVif ^J] jib» i i f *fy J\ ibl (Ia (Ummu Salamah)
mereka memahami perintah yang terdapat dalam hadits bab ini sebagai
perintah yang berindikasi istihbab (disukai) untuk memadukan dua
riwayat yang ada. Atau dapat pula kedua riwayat itu dipadukan dengan
menjelaskan secara detail, bahwa apabila air tidak sampai ke akar rambut
kecuali dengan membuka sanggul rambut, maka dalam kondisi demikian
rambut harus diurai. Sedangkan jika air dapat sampai ke akar rambut
tanpa harus membuka sanggul, maka rambut tidak perlu untuk diurai.
5 4 2 — FATHUL BAARI
17. Yang Sempurna Kejadiannya dan yang tidak
Sempurna
j l jljl lili
t i j j Si I ^ fI ^^g**' f' T^'^ - < J ^ *AJ>- ^^J^JL
jf >: ^ L i ^ ? ^
318. Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi SAW, beliau
bersabda, "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mewakilkan
terhadap rahim (wanita) seorang malaikat yang mengatakan,
'Wahai Tuhanku, ini nuthfah (air mani); wahai Tuhanku, ini
alagah (segumpal darah); wahai Tuhanku, ini mudhghah
(segumpal daging).' Ketika Allah hendak menyempurnakan pen-
ciptaannya, maka malaikat bertanya, 'Apakah laki-laki atau
perempuan? Celaka atau bahagia? Bagaimanakah rezeki dan
ajalnya?' Semua itu dituliskan saat di perut ibunya."
Keterangan Hadits:
* — I * :
Ji*i (Wahai Tuhanku, ini air mani), yakni telah ada air
mani dalam rahim. Seman malaikat tentang ketiga hal ini tidaklah terjadi
sekaligus, melainkan berlangsung dalam waktu yang berbeda. Hal ini
dapat diketahui dari hadits Ibnu Mas'ud yang akan dijelaskan dalam kitab
Al Qadar, bahwa selang waktu antara seruan yang satu dengan seman
berikutnya adalah 40 hari. Sebagian faidah hadits Anas ini akan dibahas
Adapun kesesuaian hadits Anas dengan judul bab ditinjau dari segi,
bahwa hadits Anas merupakan penafsiran firman Allah SWT. Konteks
yang lebih jelas dari hadits ini, adalah riwayat yang dinukil oleh Imam
Ath-Thabari dari jalur Dawud bin Abu Hind, dari Sya'bi, dari Al Qamah,
dari Ibnu Mas'ud. Ia berkata, <->j b' .-Jlii l&U «uii dJy ^ Jl Ji 5ikUi cj«5j \i\
C—i^Ji 'j—ZJi V* iia3( «jj! 4 ^ {Apabila air mani telah masuk ke dalam
rahim, maka Allah SWT mengutus malaikat, lalu berkata, "Wahai Tuhan,
yang sempurna ciptaannya ataukah yang tidak sempurna? " Apabila
Allah SWT menentukan tidak sempurna, maka air mani (nuthfah) itu
akan dikeluarkan oleh rahim dalam bentuk darah. Jika Allah SWT
menyatakan sempurna, maka malaikat kembali berkata, "Wahai Tuhan,
apakah sifat nuthfah ini? "Lalu ia menyebutkan hadits tersebut). Adapun
silsilah periwayatan hadits ini adalah shahih. Dari segi lafazh hukumnya
adalah mauquf (hanya sampai pada Ibnu Mas'ud), namun dari segi makna
kedudukannya adalah marfu' (sampai kepada Nabi SAW).
5 4 4 — FATHUL BAARI
pula oleh Ishaq. Sementara itu dari Imam Malik dinukil kedua pendapat
di atas sekaligus."
Aku (Ibnu Hajar) berkata, "Berdalil dengan hadits tersebut di atas
untuk menyatakan wanita hamil tidak mengalami haid masih mem-
butuhkan penelitian lebih lanjut, sebab adanya darah yang keluar dari
wanita hamil saat terjadi keguguran tidaklah berkonsekuensi bahwa darah
yang keluar dari wanita hamil -bukan dengan sebab keguguran- tidak
dianggap sebagai haid. Sedangkan pernyataan mereka bahwa darah yang
keluar dari wanita hamil hanyalah cairan yang keluar dari janin atau sisa
makanannya maupun darah yang rusak, masih dibutuhkan dalil yang
mendukungnya. Adapun riwayat yang disandarkan kepada nabi maupun
para sahabat dan tabi'in mengenai hal itu semuanya tidak dapat
dibuktikan keotentikannya. Sebab darah yang keluar dari wanita hamil
memiliki sifat darah haid dan pada waktu yang memungkinkan darah
haid keluar, maka hukumnya sama dengan darah haid. Barangsiapa yang
berpendapat bahwa darah itu bukanlah darah haid, maka ia harus
mengemukakan alasan. Adapun dalil mereka yang terkuat adalah;
sesungguhnya dengan dijadikannya haid sebagai pedoman untuk
mengetahui apakah rahim wanita kosong dari janin atau tidak, sungguh
hal itu merupakan keterangan paling kuat untuk menyatakan, bahwa
wanita hamil tidak mengalami haid. Sebab jika wanita hamil juga
mengalami haid, tentu keluarnya darah haid tidak dapat dijadikan
pedoman untuk mengetahui kosongnya rahim dari janin.
O ' i * i ' h ' * rfli^ ' ' ' i '° ' ' ° 11 - ' T' ° '
J * UUJ ^Jij]\ 4S>KS>- ^ S g f ^JJ] ^ L > - Y > - I c J l i 4-JJlP ^ P
y
0 ..y >V
,
y
,
V
Oy
}T*
.
9 y
3
I ' /f 0
'
s
9
' ©
&
I -* >""'
&
i J'
:cJI—i j ^ J i J * l 4 j A a ^ J * u
* 0 j* yy y y * yy , O yy yy y
- ' 0
V fi I I f 0 0
t •' ' 9
' • \ s'" t l' I f 0
1 • 0
y " ~ y y y.
5 4 6 — FATHUL BAARI
merintahkan kepadaku untuk melaksanakan umrah dari Tan 'im
sebagai ganti umrah yang gagal aku laksanakan:''
Keterangan Hadits:
0
I F J o ' * ' ' 0
o i. ' i
FATHUL BAARI — 5 4 7
dibawakan lampu di tengah malam untuk melihat apakah mereka
telah suci, maka Aisyah berkata, "Dahulu kaum wanita tidak
pernah melakukan yang demikian itu, dan beliau mencela
perbuatan tersebut:''
Keterangan Hadits:
5 4 8 — FATHUL BAARI
tersendiri, insya Allah. Dalam hadits ini terdapat pula keterangan bahwa
qushshah al baidha" merupakan tanda berakhirnya haid dan mulainya
masa suci. Kemudian pendapat yang mengatakan bahwa tanda ber-
akhirnya haid itu diketahui dengan keringnya pembalut yang digunakan,
telah dibantah berdasarkan kenyataan bahwa pembalut kadang dikeluar-
kan dalam keadaan kering meski pada saat haid sedang berlangsung.
Oleh sebab itu, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai tanda berakhirnya
haid. Berbeda halnya dengan qushshah, yang mana ia adalah cairan putih
yang dikeluarkan oleh rahim saat berakhirnya masa haid. Imam Malik
berkata, "Aku tanyakan kepada wanita mengenai hal itu, ternyata hal itu
telah dikenal oleh mereka ketika datang masa suci."
CaLS J>. JJj c-L jJJj (Dan telah sampai kepada putri Zaid bin Tsabit)
Demikian yang terdapat dalam riwayat ini tanpa menyebutkan namanya,
seperti ini pula yang terdapat dalam kitab Al Muwaththa ' melalui riwayat
Abdullah bin Abu Bakar (yakni Ibnu Muhammad^ bin Amru bin Hazm)
dari bibinya dari putri zaid. Para ulama telah menyebutkan bahwa Zaid
memiliki beberapa anak perempuan; yaitu Hasanah, Amrah, Ummu
Kultsum dan selain mereka. Tapi aku tidak melihat di antara mereka yang
meriwayatkan hadits selain Ummu Kultsum, ia adalah istri Salim bin
Abdullah bin Umar, maka kemungkinan beliau yang dimaksud dalam
riwayat ini.
Pada catatan kaki cetakan Bulaq disebutkan, dalam salah satu naskah dikatakan, 'Ibnu Abu
Muhammad'. Namun yang benar adalah apa yang terdapat pada naskah asli kitab, yaitu
Ibnu Muhammad.
5 5 0 — FATHUL BAARI
20. Wanita Haid Tidak Mengqadha^ Shalat
Jabir bin Abdullah dan Abu Sa 'id berkata dari Nabi SA W, "Ia
(wanita haid) meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat"
I I I I I F I S I I I 1 , 1 1
L L L " L 9 O L* I L F O I . L & L L 0 * 1 1 i
Lg J*AV UIJL>-J tSjzH^ :5-iJUJ cJli oly\ j ' Siut* ^JJL>- Jli
' ' it **" £ ^ Z? O* ^ * O 1 1 1 9 J L L
Keterangan Hadits:
» J-JJ *—h\ X* 'Jl 'ySk j (Jabir bin Abdullah dan Abu Sa'id
berkata). Penggalan hadits yang diriwayatkan oleh kedua sahabat ini
telah disebutkan oleh Imam Bukhari secara maknawi (segi maknanya).
Adapun hadits Jabir merupakan makna dari apa yang beliau sebutkan
pada kitab Al Ahkam (hukum-hukum) melalui jalur Habib dari Atha' dari
Jabir se hubungan dengan kisah haidnya Aisyah ketika melakukan haji,
dimana disebutkan di dalamnya ^ Utf 'i j <Jjai 'i LjJl 'Js. (Hanya saja
beliau tidak thawaf dan tidak pula shalat). Demikian juga yang dinukil
Imam Muslim melalui Jalur Abu Zubair dari Jabir.
5 5 2 — FATHUL BAARI
(Apakah cukup), yakni apakah cukup bagi seorang wanita
dengan shalat yang ia lakukan dalam keadaan suci dan tidak perlu
mengganti shalat yang ditinggalkannya selama haid?
s s st f o 0 I,- » ' |' f • f ' - ' l ' f ° ' " ' '
£A Ulj c . icJli < U J L » j»l j l <UJ_^. C^l; o j f j &
s f 0 s s o s O s s ' s 0
' s 6 ' ' s ° 1 2 S
5 5 4 — FATHUL BAARI
322. Telah diriwayatkan Zainab binti Abu Salamah dari Ummu
Salamah, ia berkata, 'Aku haid sementara aku bersama Nabi
dalam satu selimut. Maka aku turun bergerak secara perlahan dan
keluar darinya, lalu aku mengambil pakaian haidku dan
mengenakannya. Maka Nabi SAW bertanya kepadaku, 'Apakah
engkau sedang haid?' Aku menjawab, 'Ya.' Beliau SA W me-
manggilku dan memasukkanku dalam selimutnya. "Zainab berkata,
"Beliau menceritakan kepadaku bahwa Nabi SAW biasa mencium
Aisyah sementara beliau SAW sedang berpuasa. Aku pernah mandi
bersama Nabi SAW dari satu bejana karena junub."
'.c- la* ?C-~~Jul '. jLai ^jJfiL^>- C_->LJ O-i^-L) cJLLJls t c - i >
' o ^ A oi ' 0 ' ii' O ii
.SJL^O^TJI J AJU» OJOrtJa-stfli jlpJi I^JU
FATHUL BAARI — 5 5 5
Aku menjawab, 'Ya.' Maka beliau memanggilku dan akupun
berbaring bersamanya dalam satu selimut."
Pembahasan mengenai hadits ini juga telah diterangkan dalam bab
"orang yang menamakan nifas dengan haid. "
. • ^ i ' o f 0
' ° i.* ' * i ' s s a „o i' '. *f' 0
, ' _.
> s s ? s s s * s ' £ * O s
v jf L \ — L g j j ili uia^i J p i y i i ^ 1
^ ' s •
s ^ss o ^ as o ^ j o ° j ' ' ' j o
cJl * L S -
^ C J « ^ W I L^iSll- A J I P ^»1 c—*Si LJU . j ^ L ^ J l
' J o ^ •* •* J Jo s i o ' ' * *j * ° „ ' , , ' ' a s s i
(j
->Jlj jjJL__>Jl o l j Jlj*Jl jl jjJ>Jl o l j i j (jJlj*Jl
' * ^s ^ J> 8
^ ^ o ° o^^ o ° ^o o °^
s s s s s s s s ^ ^ ' S ' ^ $J ° J 9
* ' * y ° s
5 5 6 — FATHUL BAARI
shalat dua hari raya (shalat Ted). Lalu datang seorang wanita dan
menginap di istana bani Khalaf, kemudian wanita itu mencerita-
kan kabar dari saudara perempuannya -dan konon suami saudara
perempuannya sempat mengikuti peperangan bersama Nabi SA W
sebanyak 12 kali, dan saudara perempuannya sendiri sempat
mendampingi suaminya sebanyak 6 kali dari jumlah peperangan
tersebut- dia berkata, "Kami biasa mengobati orang yang terluka
dan menolong orang yang sakit. Lalu saudara perempuanku
bertanya kepada Nabi SAW. 'Apakah ada masalah bagi salah
seorang di antara kami apabila tidak memiliki jilbab untuk keluar
(rumah)?' Nabi SAW bersabda, 'Hendaklah sahabatnya memin-
jamkan jilbabnya kepada wanita tersebut dan hendaklah ia
menghadiri kebaikan serta dakwah kaum muslimin'." Ketika
Ummu Athiyah datang, akupun bertanya kepadanya, "Apakah
engkau pernah mendengar Nabi SAW bersabda (seperti itu)?"
Beliau menjawab, "Demi Bapakku, benar! -dan ia tidak menyebut
Nabi SAW kecuali ia mengatakan 'Demi Bapakku'- aku men-
dengar beliau SAW bersabda, 'Gadis-gadis dan wanita-wanita
pingitan- atau gadis-gadis pingitan- serta wanita-wanita haid
keluar untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum mukminin,
lalu wanita-wanita haid menjauhi mushalla'. " Hafshah berkata,
"Aku berkata, 'Dan wanita-wanita haid?'" Beliau menjawab,
"Bukankah ia boleh hadir di Arafah dan tempat ini dan ini?"
Keterangan Hadits:
5 5 8 — FATHUL BAARI
sedangkan mereka tidak shalat merupakan fenomena peremehan terhadap
shalat. Maka disukai bagi mereka menjauhi hal tersebut."
\±Sj lAS"j (Ini dan ini), yakni Muzdalifah, Mina dan sebagainya. Di
sini terdapat keterangan bahwa wanita haid tidak dicegah menghadiri
tempat-tempat kebaikan seperti majelis-majelis ilmu dan dzikir selain
masjid, sebagaimana hadits ini juga merupakan larangan bagi wanita
keluar rumah tanpa memakai jilbab, serta faidah-faidah lain yang akan
dirinci pada pembahasan Shalat Dua Hari Raya, insya Allah Ta 'ala.
y if ^ 9 y y yy ^ y y y y % 9y
Keterangan
Adapun kesesuaian judul bab dengan ayat ini adalah, bahwa ayat
tersebut menerangkan kewajiban bagi para wanita untuk menampakkan
apa adanya. Jika mereka tidak dipercaya dalam hal tersebut, maka tidak
akan ada faidahnya.
5 6 0 — FATHUL BAARI
dari Ali masih diragukan. Ia tidak mengatakan bahwa ia mendengarnya
dari Syuraih, sehingga dapat dinyatakan jalur riwayatnya tidak terputus.
'i 0
U - <*5i£> * *ti t f'' °^,>
f ' 0
' t t* f t' 0
'
" y ' y f " y y
Keterangan Hadits:
Kesesuaian hadits ini dengan judul bab di atas adalah pada sabda
beliau SAW "Sejumlah hari-hari yang biasa engkau mengalami haid",
dimana beliau SAW menyerahkan hal itu kepada kejujuran dan
kebiasaannya, dan yang demikian itu tidak sama bagi setiap individu.
Lalu para ulama berbeda pendapat tentang batas minimal dan maksimal-
nya masa haid.
5 6 2 — FATHUL BAARI
sedikit. Pendapat ini sesuai dengan kisah Ali dan Syuraih yang telah
disebutkan.
Keterangan Hadits:
FATHUL BAARI — 5 6 3
dari Ummu Athiyah disebutkan, Uli J^ai\ JJJ ~»JCai\j ij°jJ>S\ 'AiS'i & (Kami
Keterangan Hadits:
dikatakan bahwa keterangan ini merupakan hujjah bagi Ibnu Qasim yang
berpendapat, bahwa wanita mustahadhah tidak perlu mengganti shalat
yang ditinggalkannya apabila ia mengira bahwa darah yang keluar
tersebut adalah darah haid, karena Nabi SAW tidak memerintahkan
Ummu Habibah untuk mengulangi shalat yang ditinggalkannya sekian
lama. Namun ada pula kemungkinan maksud perkataannya, "selama
tujuh tahun " adalah penjelasan mengenai lama istihadhah yang dialami
oleh U m m u Habibah, tanpa ada kaitannya apakah masa tersebut sebelum
5 6 4 — FATHUL BAARI
adanya pertanyaan ini atau sesudahnya. Dengan demikian tidak dapat
dijadikan hujjah (argumentasi) untuk pendapat di atas.
untuk mandi setiap kali akan shalat). Untuk itu, perintah di sini dipahami
sebagai perintah yang bersifat mustahab (disukai), bukan wajib. Hal itu
untuk memadukan antara dua riwayat yang ada, yakni riwayat ini dengan
riwayat Ikrimah.
Dalam riwayat Imam Muslim melalui jalur Arrak bin Malik dari
Urwah, sehubungan dengan kisah ini dikatakan, "Maka Nabi SAW
bersabda kepadanya, di 7>1» <ilLJ*j c i l f U jji °^&j>\ (Tunggulah selama
masa biasa engkau mengalami haid). Serupa dengan ini dinukil pula oleh
Abu Dawud dari jalur Al Auza'i, dan Ibnu Uyainah dari Az-Zuhri. Akan
tetapi, adanya keterangan ini dalam riwayat Imam Az-Zuhri dipungkiri
oleh Abu Dawud. Sebagian mereka berpendapat bahwa U m m u Habibah
tidak dapat membedakan antara masa haid dan masa istihadhah.
5 6 6 — FATHUL BAARI
perintah untuk wudhu setiap kali akan shalat. Tetapi lebih tepat bila
kedua versi riwayat di atas dipadukan dengan mengatakan, bahwa
perintah yang ada dalam hadits Ummu Habibah hanya bersifat mustahab
(disukai), wallahu a 'lam"
Keterangan Hadits:
5 6 8 — FATHUL BAARI
lil j o^Cail CaliJl CJLJI li! ^ JJj-l Jli cJli AIsJIP j
* S ' s 0 , 0 O s
Keterangan Hadits:
ll | " 0
1 " l ' • l ' • ° ' i ' - f ' ° I • ! ' - ' • » ' • '
Keterangan Hadits:
5 7 0 — FATHUL BAARI
j i (Bahwa seorang wanita), yaitu Ummu Ka'ab. Demikian
nama yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam riwayatnya melalui jalur
Abdul Warits dari Husen Al Mu'allim. Abu N u ' a i m menyebutkan dalam
kitab Shahabat bahwa ia berasal dari kalangan Anshar.
Lalu perkataan Ibnu Munir ditanggapi lagi oleh Ibnu Rusyd dengan
mengatakan, bahwa hal itu juga di luar pembahasan masalah-masalah
haid. Ia berkata, "Hanya saja yang menjadi maksud Imam Bukhari adalah
ingin berdalil dengan salah satu konsekuensi shalat, yaitu orang yang
shalat hukumnya suci. Karena Nabi SAW menshalati wanita yang
meninggal saat nifas, maka menjadi konsekuensinya bahwa dzat wanita
tersebut hukumnya suci. Sementara hukum wanita nifas dan wanita haid
adalah sama."
30. Bab
5 7 2 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:
Penutup
KAMFUMGWMMAM
5 7 4 — FATHUL BAARI
7. KITAB TAYAMUM
l.Bab
J'
jl s. LISI
y
«.L»
y y y y
^ r ^ Jy £ ^ ^ ' I j—^j 'L / L S
1
J *^ DJ— J- 1
y y ' '
: Jlii \ y y
JI J>tJ ^ I P <U-IJ >vsi?lj
y y y qy y & > y y 0
_jjl ' 0
y y % Q y ^& y y yy O ^
jjijfij J * I - J JJIJ 0 1 AJJI TLI> L« JLIJ JJ! J l i i '."Aj^ye-
5 7 6 — FATHUL BAARI
j 2 y ^yy ^y y o £ & >• ^ y y y y y y
^ y Z> y f 0
f f t' ' ^ y ' f y '
o o
FATHUL BAARI — 5 7 7
Keterangan Hadits:
Masyariq.
bab di atas adalah ayat dalam surah Al Maa'idah. Kesimpulan seperti ini
telah disebutkan secara tegas dalam riwayat Hammad bin Salamah dari
Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah dalam kisah yang disebutkan di atas,
dimana beliau (Aisyah) berkata, 'Maka Allah menurunkan ayat tayamum,
ij i i i ^ k\—'» IJJ— 9f2 Oli (Lalu jika kamu tidak memperoleh air, maka
5 7 8 — FATHUL BAARI
hendaklah bertayamum). Seakan-akan Imam Bukhari ingin mengisyarat-
kan kepada riwayat yang khusus ini. Tidak tertutup kemungkinan bahwa
bacaan tersebut adalah syadz (caat) karena Hammad bin Salamah atau
yang lainnya, atau karena keraguan darinya. Sesunguhnya yang dimaksud
oleh Aisyah adalah ayat dalam surah Al Maa'idah. Adapun ayat surah
An-Nisaa' telah dijadikan oleh Imam Bukhari sebagai salah satu bab
khusus dalam kitab tafsir, lalu beliau menyebutkan pula hadits Aisyah.
Imam Bukhari tidak bermaksud menyatakan bahwa turunnya ayat
tersebut khusus berkenaan dengan kisah Aisyah, bahkan lafazh riwayat
yang memenuhi syarat shahih menurut beliau adalah mencakup dua
kemungkinan di atas. Akan tetapi yang menjadi pedoman dalam hal ini
adalah riwayat Hammad bin Salamah, dimana di dalamnya terdapat
tambahan berbeda dengan yang lain, wallahu a 'lam"
(•—SC^'j (Dan kedua tangan kamu) Dalam riwayat Abu Dzar hanya
disebutkan sampai di sini, dan dalam riwayat Asy-Syabawi dan Karimah
ditambah lafazh * *« (darinya). Tambahan ini memastikan bahwa yang
dimaksud adalah ayat pada surah Al Maa'idah bukan ayat surah An-
Nisaa'. Inilah yang menjadi dasar pemahaman Imam Bukhari, lalu beliau
menyebutkan hadits bab ini dalam Tafsir surah Al Maa'idah.
Beliau memperkuat pandangannya dengan riwayat Amru bin Harits
dari Abdurrahman bin Qasim dalam hadits ini dan lafazhnya, "Maka
- ^ y t S. yi ,
*s i' K, f
f
* 0
' ' - - * ' * > £
Jl ^ioJjlj yrJ IjL»P\9 ~6%ai\ J l j ^ i lil Ij£»T jjjjl ijfo
y y y y y
Aku (Ibnu Hajar) berkata, "Apa yang dikatakan oleh Imam An-
Nawawi berbeda dengan yang dikatakan oleh Ibnu At-Tin, dimana beliau
5 8 0 — FATHUL BAARI
berkata, 'Al Baida' adalah Dzul Hulaifah yang terletak dekat Madinah
dari arah Makkah."' Dia juga berkata, "Dzatul Jaisy berada sebelum Dzul
Hulaifah."
air dan mereka juga tidak punya persediaan air). Demikianlah lafazh
yang banyak dikutip oleh para perawi, sementara dalam riwayat Abu
Dzar kalimat kedua tidak disebutkan.
5 8 2 — FATHUL BAARI
seakan-akan mereka mengadu kepada Abu Bakar karena saat itu Nabi
sedang tidur dan mereka tidak mau membangunkannya. Hadits ini juga
menerangkan bolehnya menisbatkan suatu perbuatan kepada penyebab-
nya, berdasarkan perkataan mereka, "Yang dilakukannya dan ia (Aisyah)
menahan (Rasulullah beserta rombongan)." Dari sini diperoleh penjelas-
an bolehnya seorang bapak menemui anak perempuannya meskipun ada
suaminya, bila sang bapak mengetahui bahwa sang suami meridhai
perbuatannya, di samping itu mereka bukan dalam kondisi sedang
bermesraan.
J^ij 01 iUi f.\2> U Jlij j£j JJI (Maka Abu Bakar mencelaku, dan
beliau mengatakan apa yang dikehendaki oleh Allah untuk dikatakan-
nya). Dalam riwayat Amru bin Harits disebutkan, "Manusia engkau tahan
hanya karena sebab kalung." Dalam riwayat Ath-Thabrani bahwa di
antara kalimat celaan yang diucapkan oleh Abu Bakar kepadanya adalah,
"Di setiap waktu engkau selalu menyusahkan."
^t J*3\ j * (^i^j
3 (Tidak ada yang menghalangiku untuk bergerak)
Di sini terdapat anjuran untuk bersabar bagi orang yang mendapatkan
sesuatu yang mengharuskannya bergerak, atau menyebabkan terganggu-
nya seseorang yang sedang tidur. Begitu pula dengan orang yang shalat
atau yang membaca Al Qur'an, maupun orang yang sibuk dengan ilmu
dan dzikir.
hingga datang waktu subuh). Ini adalah lafazh dalam riwayat Muslim dan
para perawi dalam kitab Al Muwaththa \ Adapun makna keduanya tidak
jauh berbeda, karena masing-masing dari keduanya menunjukan bahwa
Nabi bangun tidur pada waktu subuh.
Adapun riwayat Amru bin Harits dengan lafazh, «ii J-e ^ 1 'o\
^ — ^ a J i cSJafj JailsLl '^>j AIIP (Kemudian Nabi SAW bangun dan waktu
subuh telah tiba). Apabila kata sambung (huruf waw) pada lafazh ini
diberi makna "untuk menjelaskan keadaan", maka hal itu bisa menjadi
dalil bahwa beliau SAW bangun pada waktu subuh, sebagaimana yang
dipahami dari konteks lafazh tersebut.
telah masuk), disebutkan J—sr j^Ji >UJl (Maka beliau mencari air
5 8 4 — FATHUL BAARI
sulit untuk bermukim pada suatu tempat yang tidak ada air, dan Abu
Bakar memperlakukan Aisyah sebagaimana yang telah terjadi.
Akan tetapi dalam riwayat Amru bin Harits yang telah kami
sebutkan dan dinukil oleh Imam Bukhari dalam kitab Tafsir menunjukan,
bahwa ayat tersebut turun secara keseluruhan dalam peristiwa ini, maka
yang lebih kuat adalah apa yang dikatakan Ibnu Abdil Barr.
|t irM SJT ijjl JjJli (Maka Allah menurunkan ayat tayamum). Ibnu Al
Arabi berkata, "Ini permasalahan yang belum saya dapatkan solusinya,
karena kami tidak mengetahui mana di antara kedua ayat tentang
tayamum yang dimaksudkan oleh Aisyah." Ibnu Baththal berkata, "Yang
dimaksud adalah ayat dalam surah An-Nisaa" atau ayat dalam surah Al
Maa'idah." Sementara Imam Al Qurtubi berkata, "Yang dimaksud adalah
ayat dalam surah A n - N i s a a \ " Alasannya adalah bahwa ayat yang ada
dalam surah Al MaaMdah juga dinamakan ayat wudhu, sedangkan ayat
dalam surah An-Nisaa' tidak disebutkan masalah wudhu, maka ayat ini
lebih spesifik untuk disebut sebagai ayat tayamum."
Lalu ayat ini dijadikan sebagai dalil wajibnya niat dalam tayamum,
karena makna firman-Nya i j * * 3 (maka bertayamumlah) adalah lakukan-
lah dengan sengaja, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Ini adalah
pendapat ulama kecuali Al Auza'i. Demikian pula wajib untuk
menyentuh debu dan tidak cukup apabila debu itu diterbangkan oleh
angin lalu mengenai anggota tayamum. Berbeda dengan wudhu, dimana
jika seseorang diguyur hujan lalu ia berniat wudhu hal itu mencukupi
baginya (boleh). Namun pandangan paling tepat adalah mereka yang
mengatakan bahwa tayamum dianggap mencukupi bagi seseorang yang
sengaja memanfaatkan debu yang sedang diterbangkan oleh angin,
berbeda halnya dengan orang tidak bermaksud bertayamum dengan debu
yang diterbangkan angin. Pandangan ini merupakan pendapat yang
dipilih oleh Syaikh Abu Hamid.
5 8 6 — FATHUL BAARI
wajibnya bertayamum setiap kali shalat fardhu. Adapun konteks ayat
dengan kesimpulan ini serta bantahannya akan kami sebutkan setelah
empat bab kemudian.
Catatan
J.—^akil 'j—° X.—IJ! JUi (Usaid bin Hudhair berkata). Dia termasuk
pemuka kaum Anshar, dan penjelasan mengenai beliau akan disebutkan
dalam bab tentang "Al Manaqib". Hanya saja dia mengatakan apa yang
telah dikatakannya, karena dia adalah pimpinan utusan yang diperintah-
kan untuk mencari kalung yang hilang.
AJS- &\ JLp &\ J j - j j C J T ^ - t jlls U tili^i Jil Jli j tOlT U cS^-a* J'* J ^ ^
: y \ Jl Jlii tA^UJt Ji- y&S J~P- J&- t£Ss& COJ\ JaJLi i£y \ Ijjt- J ^>J
5 8 8 — FATHUL BAARI
(Ketika terjadi perihal kalungku dan para penyebar berita dusta
mengatakan apa yang telah mereka katakan, aku pun keluar bersama
Rasulullah dalam rangka melakukan peperangan yang lain. Kalungku
kembali jatuh sehingga rombongan tertahan untuk mencarinya, maka
Abu Bakar berkata kepadaku, "Wahai anakku, dalam setiap perjalanan
kamu menyusahkan dan menjadi bencana bagi manusia? "Maka Allah
menurunkan keringanan untuk bertayamum. Lalu Abu Bakar berkata,
"Sesungguhnya engkau diberkahi... ") sebanyak tiga kali.
Beliau berkata dalam riwayat Amru bin Harits, J ai'As cJa£-> (kalungku
jatuh). Sementara dalam riwayat Urwah yang akan disebutkan, bahwa
Aisyah meminjam kalung tersebut dari Asma (yakni saudarinya), lalu
kalung tersebut hilang. Untuk menyatukan kedua versi ini dikatakan;
dinisbatkannya kalung tersebut kepada Aisyah adalah karena kalung
tersebut berada dalam kekuasaannya, dan apabila dinisbatkan kepada
Asma' adalah karena dia pemiliknya yang asli berdasarkan pengakuan
Aisyah sendiri dalam riwayat Urwah, karena Aisyah me-minjamnya dari
Asma. Keterangan ini berdasarkan kesamaan cerita yang ada. Akan tetapi
Imam Bukhari dalam kitab tafsirnya cenderung menyatakan bahwa
jatuhnya kalung terjadi pada peristiwa yang berbeda, di mana beliau
menyebut hadits di bab ini saat menafsirkan ayat surah Al Maa'idah dan
menyebutkan hadits Urwah saat menafsirkan ayat dalam surah An-
N i s a a \ Dari sini dapat dikatakan, bahwa ayat dalam surah Al Maa* idah
turun berkenaan dengan kalung Aisyah, sedangkan ayat dalam surah An-
Nisaa' turun berkenaan dengan kalung Asma'. Namun cara memadukan
yang dilakukan sebelumnya adalah lebih tepat, wallahu a 'lam.
5 9 0 — FATHUL BAARI
Di antara faidah hadits ini selain yang telah disebutkan adalah,
bolehnya melakukan safar (bepergian) bersama wanita (istri), bagi wanita
boleh menggunakan wangi-wangian serta berhias untuk suaminya, dan
boleh melakukan safar dengan membawa barang pinjaman bila diridhai
oleh pemiliknya.
Keterangan Hadits:
antara para nabi). Dalam hadits Ibnu Abbas dikatakan j ^ j ' ^ (Aku
3
5 9 2 — FATHUL BAARI
JeyH\ J—»i ^—!> (Engkau rasul yang pertama kepada penduduk bumi),
maksudnya bukan menunjukkan keuniversalan risalah Nuh AS, tetapi
menetapkan bahwa beliau adalah rasul pertama yang diutus ke bumi.
Meskipun dikatakan bahwa riwayat tersebut menunjukkan keuniversalan
risalah nabi Nuh AS, namun hal itu dibatasi oleh firman Allah SWT
dalam beberapa ayat Al Qur'an yang menyatakan bahwa nabi Nuh diutus
untuk kaumnya saja dan tidak disebutkan bahwa ia diutus kepada kaum
yang lain.
riwayat Muslim dikatakan, ... .AJJ» J\ ^ JS" olTj (Dan setiap Nabi
diutus kepada kaumnya....).
—! (Aku ditolong dengan menanamkan rasa takut). Abu
5 9 4 — FATHUL BAARI
SAW. Akan tetapi lafazh riwayat Amru bin Syu'aib yang berbunyi,
Jt—5> ( H R J i/4< ^ 'J J S-Kir ^ J - ^ ^
1 1
^'jrf^i (Dan aku ditolong atas
musuh dengan menanamkan rasa takut walaupun jarak antara aku
dengan mereka selama perjalanan sebulan), makna lahiriah dari lafazh
ini memberi keterangan bahwa yang demikian itu menjadi keistimewaan
Nabi SAW secara mutlak. Beliau sengaja menjadikan batasan sebulan
karena jarak antara negerinya dengan salah satu dari negeri musuh-
musuhnya tidak ada yang melebihi jarak tersebut. Kekhususan ini mutlak
hanya terjadi pada diri beliau meskipun tanpa pasukan, dan apakah hal ini
terdapat pada umatnya sesudahnya? Hal itu mungkin adanya.
J—=r_; l—oji (Maka siapa saja). Ungkapan yang bersifat umum ini
mencakup siapa saja yang tidak mendapatkan air ataupun tanah (debu),
lalu ia mendapatkan sesuatu berupa benda-benda yang ada di permukaan
bumi, maka hendaklah ia bertayamum dengannya. Tidak dikatakan
bahwa tayamum khusus untuk shalat, karena itu kami berkata bahwa
lafazh hadits Jabir adalah ringkas. Dalam riwayat Abu Umamah yang
dinukil oleh Al Baihaqi disebutkan, * U 1L*J iy~ai\ J\ j * JJrj U J U
5 9 6 — FATHUL BAARI
melaksanakan shalat dan tidak mendapatkan air, maka ia mendapatkan
bumi mensucikan dan sebagai tempat sujud).
Dalam riwayat Ahmad disebutkan, so*U>j tjj^e «jI«3 (Maka hal itu
baginya dapat menyucikan dan sebagai tempat untuk shalat atau masjid).
f s s s O s ss
tJjJt 'x*u j»J lil i j j ^ $ (Da« dijadikan bumi seluruhnya bagi kami sebagai
masjid dan tanahnya dapat menyucikan jika kami tidak mendapatkan
air). Lafazh ini bersifat khusus, maka lafazh yang bersifat umum harus
dimasukkan dalam pengertian yang khusus ini, yaitu dengan tanah
(debu).
jpuJtJi 'c-jefi\j (Aku diberi hak untuk memberi syafaat). Ibnu Daqiq
Al Id berkata, "Yang dimaksud adalah syafaat yang agung, yaitu syafaat
untuk membebaskan manusia dari kepayahan yang mereka alami di
padang mahsyar. Dalam hal ini tidak ada perbedaan." begitu pula yang
diungkapkan oleh An-Nawawi dan lainnya.
Pendapat lain mengatakan, bahwa maksud syafaat yang diberikan
secara khsusus bagi Nabi SAW adalah permohonannya yang tidak akan
ditolak. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
syafa'at beliau untuk mengeluarkan orang yang mempunyai keimanan
dalam hatinya walaupun sebesar biji dzarrah, karena syafaat yang
dimiliki oleh selain beliau SAW adalah untuk mereka yang memiliki
keimanan dalam hatinya yang lebih besar dari itu, sebagaimana yang
dikatakan oleh Al Qadhi Iyadh.
Adapun menurut pendapatku, yang dimaksud adalah pengertian
terakhir ini dan pengertian yang pertama, karena keduanya telah
disebutkan secara bergandengan dalam hadits tentang syafaat seperti
yang akan dijelaskan dalam bab Ar-Riqaq (perbudakan), insya Allah.
5 9 8 — FATHUL BAARI
Disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, 'Jf% Lgi^-li i t U & J l cJas-^j
Ul li 4jib jliJ 'j 'Jl (D<3« a/:» mendapat hak untuk memberi syafaat,
maka akupun menunda penggunaannya untuk umatku, dan ia khusus
bagi mereka yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun).
'i 'y
Sementara dalam hadits Amru bin Syu'aib dikatakan, <L>i x£> JJj ^SJ Jp
h\ 'j) A—\\ 'j (Syafaat tersebut untuk kalian dan untuk orang yang bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah).
iyU\j (Aku diutus kepada setiap yang merah dan yang hitam).
Dikatakan maksud yang merah adalah non-Arab dan yang hitam adalah
orang Arab. Ada pula yang mengatakan, bahwa yang merah adalah
bangsa manusia dan yang hitam adalah bangsa jin. Berdasarkan
pengertian pertama, maka hadits tersebut menggunakan gaya bahasa
tanbih bil adna alal a 'la' (yakni menyebutkan bagian terendah untuk
memasukkan di dalamnya bagian yang teratas -penerj.) karena pada
dasarnya beliau SAW diutus kepada semua manusia. Riwayat yang
paling jelas dan terlengkap dari hadits-hadits di atas adalah riwayat Abu
Hurairah yang dinukil oleh Imam Muslim, dimana dikatakan J\ c - L - j i j
Catatan
Dalam riwayat Imam Ahmad dari hadits Ali dikatakan, ti'ji c.'Lpi
o J' - s - a s a
i—«jj j—ii joT cJui SiCflJi ^JJ JU^JI frljl diutamakan di atas para nabi
dengan enam perkara; diampuni dosaku yang terdahulu dan yang akan
datang, dijadikan umatku sebagai umat terbaik, aku diberi Al Kautsar
(kebaikan yang banyak atau sebuah telaga di surga), sesungguhnya
sahabat kalian ini merupakan pengibar panji kemuliaan pada hari
kiamat yang akan diiringi Adam AS dan keturunannya). Selanjutnya
beliau menyebutkan dua sifat yang telah disebutkan. Kemudian Imam
Ahmad meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, 'J* c-Uai
(U-lU alip 4Jil ^J*^ ljil5T J & Q > olT : jliLa^o tC&l (Aku diutamakan di atas
para nabi dengan dua perkara; syetanku adalah syetan yang kafir, lalu
Allah menolongku terhadapnya maka ia pun masuk Islam). Kemudian
perawi hadits ini berkata, "dan aku lupa yang satunya".
Akan tetapi cukup sebagai dalil dalam masalah itu riwayat yang dinukil oleh Ibnu Majah
dan Ibnu Hibban serta Al Hakim dengan silsilah periwayatan hasan dari Ibnu Abbas dari
nabi SAW, "Barangsiapa yang mendengar seruan (adzan) lalu tidak datang maka tidak
ada shalat baginya, kecuali jika ada halangan.'" Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki buta
memohon kepada Nabi SAW untuk diperkenankan shalat di rumahnya, maka Nabi SAW
bertanya kepadanya, "Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat (adzan)?" laki-laki
tersebut menjawab, "Ya!" Maka Nabi bersabda, "Sambutlah seruan itu." Hal ini berlaku
bagi shalat fardhu sebagaimana telah diketahui secara umum, adapun shalat-shalat sunah
maka tidak khusus dilakukan di masjid bahkan di rumah lebih utama. Kecuali yang di-
khususkan oleh syariat, wallahu a 'lam.
6 0 2 — FATHUL BAARI
2. Jika Tidak Didapatkan Air dan Debu (Tanah)
.1 aJ j ^ » J l ^ « i J j d i ! jiJLii aJJI
Keterangan Hadits:
Imam Malik dan Abu Hanifah dalam riwayat yang masyhur dari
keduanya mengatakan, "Tidak boleh melakukan shalat." Akan tetapi Abu
Hanifah dan para sahabatnya berkata, "Ia wajib mengqadha (mengganti) ,
V)
Ini bukan tanggapan yang tepat, dan yang benar adalah mengulangi shalat tersebut wajib
dilakukan dengan segera pada saat hal yang menjadi konsekuensinya telah ada. Oleh karena
Nabi SAW tidak memerintahkan mereka mengulangi shalat tersebut, maka hal tersebut
menunjukkan bahwa mengulangi tidaklah wajib.
6 0 4 — FATHUL BAARI
Inilah empat pendapat yang paling masyhur dalam permasalahan ini.
Sementara itu, An-Nawawi menceritakan dalam kitab Syarh Al
Muhadzdzab tentang pendapat lama Imam Syafi'i, yang mengatakan,
"Disunahkan shalat dan diwajibkan mengulangi." Dengan demikian,
menjadi lima pendapat, wallahu a 'lam.
Ij Uai «.U ^J-JJ (Tidak ada air bersama mereka, maka mereka
, 0 s 0 0 l i 0 li
" " l i l "° ' ° ' ll ' '. ' • ' •* * || • | ' " ' * ' °l I ' - f
>
Keterangan Hadits:
6 0 6 — FATHUL BAARI
selanjutnya sebagaimana yang dikutip oleh Imam Bukhari." Tidak jelas
bagiku sebab yang mendorong Imam Bukhari untuk tidak mencantumkan
lafazh tayamum dalam riwayat yang beliau nukil, padahal ini yang
menjadi maksud bab."
Riwayat tersebut telah dinukil pula oleh Imam Malik dalam kitab
Al Muwaththa dari Nafi' secara ringkas, tetapi ia menyebutkan bahwa
Ibnu Umar bertayamum lalu mengusap wajahnya dan kedua tangannya
sampai siku. Riwayat tersebut juga dinukil oleh Ad-Daruquthni dan
Hakim melalui jalur lain, namun silsilah periwayatannya dha '//"(lemah).
Di samping itu, riwayat itu tidak dapat dijadikan alasan bagi orang
yang tidak mengharuskan mengulangi shalat dengan tayamum apabila
tidak dalam bepergian. Karena berdasarkan kemungkinan ini tidak wajib
mengulangi shalatnya menurut kesepakatan. Sementara ulama salaf telah
berbeda pendapat tentang asal masalah ini. Imam malik berpendapat
bahwa tidak wajib mengulangi shalat dengan tayamum dalam keadaan
mukim (tidak bepergian). Ibnu Baththal memberikan alasannya, bahwa
tayamum disyari'atkan bagi musafir dan orang sakit untuk mendapatkan
kedua sikunya). Demikian pula yang dinukil oleh Imam Syafi'i dari
Huwairits. Riwayat ini memiliki penguat, yaitu hadits Ibnu Umar yang
dikutip oleh Abu Dawud. Akan tetapi para ahli hadits menyatakan jalur
periwayatannya yang sampai kepada Nabi SAW tidak benar, yang benar
jalur periwayatannya hanya sampai pada Ibnu Umar. Telah disebutkan
bahwa Imam Malik telah mengutip hadits itu secara makna dan itulah
yang benar.
6 0 8 — FATHUL BAARI
Bukhari. Namun menjadikan hadits ini sebagai dalil dapat dikritik dengan
mengatakan bahwa, bertayamum di saat tidak bepergian hanya diper-
bolehkan dengan adanya sebab, yaitu ingin berdzikir kepada Allah karena
lafazh salam di antara nama-nama-Nya, dan bukan untuk menjadikan
seseorang sah melakukan shalat."
Dari lafazh riwayat ini Ibnu Baththal berdalil, bahwa debu bukan
merupakan syarat dalam tayamum. Ia berkata, "Karena diketahui bahwa
debu yang ada di dinding tidak melekat di tangannya." Namun
pernyataannya ini dapat dikritik dengan mengatakan, bahwa hal itu bukan
suatu hal yang pasti, tapi masih mengandung kemungkinan. Dalam
riwayat Imam Syafi'i telah disebutkan keterangan yang mengindikasikan
tidak adanya debu di tembok tersebut, oleh karena itu beliau SAW
menggosoknya dengan tongkat.
KSH mMNJMGlUNMfUt
C5 'i J ^ J ^ '• ^ ^ o* ^ oH o r ^ ^ ^ 1
^ ^
1—*li tcJlj lil Ji** ^j, UI ^ffii li.1 i^UaiJl ^ ^1*3 _^li
Keterangan Hadits:
6 1 0 — FATHUL BAARI
tidak membekas di wajahnya, dan kemungkinan juga beliau melakukan
hal itu untuk menjelaskan apa yang telah ditetapkan syariat.
jl—Jl ii ,tUJl t__^l j^Ji (Dan tidak menemukan air maka ammar
berkata) Riwayat ini merupakan jawaban umar, dan telah disebutkan
secara ringkas. Hal ini bukan tindakan Imam Bukhari, karena riwayat ini
juga dinukil oleh Al Baihaqi dari Adam tanpa menyebutkan jawaban
Umar.
"Jangan engkau shalat. "). Lalu ditambahkan oleh As-Sarraj, *UJi Js-
(Hingga kamu mendapatkan air). Demikian pula yang dinukil oleh An-
Nasa'i. Inilah madzhab yang masyhur dari Umar serta disetujui oleh
Abdullah bin Mas'ud.
Dalam hal ini telah terjadi diskusi antara Ibnu Mas'ud dan Abu
Musa Al Asy'ari sebagaimana akan dibahas pada bab "Tayamum dengan
sekali tepukan". Ada yang mengatakan bahwa Ibnu Mas'ud telah
mencabut kembali pendapatnya. Kami akan menyebutkan dalam bab
tersebut alasan yang menjadi landasan pendapat umar berikut jawaban-
nya.
pLLij <dJl (Maka Nabi SA W memukul...), dan begitu pula pada riwayat
Al Baihaqi melalui Adam.
Tetapi ini adalah pandangan yang lemah dan bertentangan dengan firman Allah SWT,
"Bertakwalah kamu kepada Allah sebatas yang kamu mampu." (Qs. Ath-Thaghaabun (64):
16) juga bertentangan dengan hadits Aisyah tentang kisah kalung yang hilang, wallahu
alam .
6 1 2 — FATHUL BAARI
U^—J jujjj (Dan beliau meniup keduanya). Dalam riwayat Al Hajjaj
jffj *i\ —l'-A <—>j—(Hanya saja cukup bagimu memukul tanah dengan
. *—*AS J A_gJ>rJ l o g ; ^-*yyj> jtJ <US Li_&Lol jt_l ( j i ' j i ' AJ-LU <L*->
> l Jli j
1 y
L_»j ^ P J ^ AJI o I ^Y\ JI\ Y ^ J \ - L P J,\ J* Y J*
. C ^ i J i J J l i j llll^-li 5j Y* JZ l l i j l l p AJ
340. Diriwayatkan dari Dzar dari Ibnu Abdurrahman bin Abza dari
Ayahnya, sesungguhnya ia menyaksikan Umar dan Ammar berkata
kepadanya, "Kami dalam suatu operasi militer mengalami
junub.... "Ia berkata, "Beliau meniup pada kedua tangannya"
6 1 4 — FATHUL BAARI
Keterangan Hadits:
s* s a s ^ a 9 ' s ' ^
Keterangan Hadits:
c)UiSCjlj iirjJi £JJ&i (Cukup bagi kamu (mengusap) wajah dan kedua
telapak tangan). Dari lafazh ini dapat dipahami, bahwa mengusap lebih
dari kedua telapak tangan hukumnya tidak wajib sebagaimana yang telah
diterangkan. Inilah yang menjadi pendapat Imam Ahmad, Ishaq, Ibnu
Jarir, Ibnu Mundzir dan Ibnu Khuzaimah. Lalu Ibnu Jahm dan lainnya
mengutip pendapat serupa dari Imam Malik, sedangkan Al Khaththabi
mengutipnya dari para ahli hadits.
6 1 6 — FATHUL BAARI
Adapun alasan yang dikemukakan oleh mereka yang mensyaratkan
mengusap sampai kedua siku saat tayamum karena hal itu merupakan
syarat dalam wudhu, maka dijawab dengan mengatakan, "Sesungguhnya
qiyas (analogi) yang demikian itu bertentangan dengan nash (teks hadits),
maka dianggap keliru." Namun orang yang tidak mensyaratkan hal itu
juga berhadapan dengan qiyas yang lain, yaitu keumuman lafazh tangan
yang terdapat dalam ayat tentang hukum mencuri. Akan tetapi membahas
masalah ini secara panjang lebar tidak mendtangkan manfaat jika teks
hadits sudah dapat dipahami dengan jelas.
•* # „t , f ' i, t o * t' 0
_ i / • | / si. >* o ' ' ' || ' l i
Keterangan Hadits:
6 1 8 — FATHUL BAARI
meriwayatkan dengan lafazh, s-ji?j J* cJ\i 0 6 j? lil Jye'J ~dj-*>.
dengan satu kali tayamum seperti halnya wudhu selama kamu tidak
berhadats).
j » — ^ i *J c r ^
1
?h (Dan Ibnu Abbas menjadi imam sementara ia
bertayamum). Silsilah periwayatan hadits ini dinukil oleh Ibnu Abi
Syaibah dan Al Baihaqi serta yang lainnya dengan derajat shahih. Dalam
bab "Jika orang junub merasa khawatir" akan disebutkan riwayat Amru
bin Ash dengan materi yang sama seperti ini.
tanah (debu) karenanya cukup bagimu). Hal itu beliau lakukan karena
orang tersebut telah mendapatkan air, sehingga tayamumnya menjadi
batal.
6 2 0 — FATHUL BAARI
o ' Z<- * o o l ' * Z ° ' % o ' ' ' ^ Z Z
t' \ \ * ' ' « - ' . ' O ' O' O ' t t ' ' t
O' " o* >' ' ' ' ''' ' ' " o" * ' ' '
(j—trf '-r' J - ^ 1 J J LS^ J-L>j>- j <w-> j j l i jiii«-S lilils
' f * ;S y'" *o 0 ° ' ' ' ' '
0 9 S J O ^5* * y y y yy y yy } ^
y y O y m i' y y s y y y y 3>
O • ty y ^ * y y O t f i O y i i AO y •>
6 2 2 — FATHUL BAARI
membangunkan kami kecuali panas matahari. Yang lebih awal
bangun adalah sifulan kemudian sifulan -Abu Raja' menyebutkan
nama mereka namun Auf lupa- kemudian Umar bin Khaththab
sebagai orang keempat yang bangun. Nabi SA Wjika tidur tidak
dibangunkan hingga bangun [sendiri], karena kami tidak tahu apa
yang terjadi dalam tidurnya. Ketika Umar bangun dan melihat
sesuatu yang menimpa manusia -dan ia seorang laki-laki yang
tegar- maka ia bertakbir dan membesarkan suaranya dengan
takbir. Beliau terus saja bertakbir seraya mengeraskan suaranya
hingga Nabi SA W terbangun karenanya, ketika nabi SA W bangun
mereka mengadukan kepadanya apa yang menimpa mereka. Beliau
SAW bersabda, "Tidak bahaya -atau tidak membahayakan-
berangkatlah kalian. " Nabi SA W kemudian berangkat. Ketika
belum jauh berjalan, beliau berhenti lalu meminta air wudhu untuk
kemudian berwudhu. Lalu dikumandangkan panggilan untuk
shalat, dan Nabi SA W menjadi imam shalat. Ketika selesai shalat,
beliau SA W melihat seorang laki-laki menyendiri dan tidak shalat
bersama kaum [jamaah]. Beliau bertanya, Apa yang
menghalangi kamu wahai fulan untuk shalat bersama kaum
[jamaah/?' Ia berkata, 'Saya junub dan tidak ada air.' Nabi SA W
bersabda, Dengan tanah, sesungguhnya itu cukup bagi kamu.'
Kemudian Nabi berjalan, lalu orang-orang mengadu kepadanya
karena rasa haus. Maka beliau turun dan memanggil si fulan —
disebutkan namanya oleh Abu Raja' namun Auf lupa- lalu
memanggil Ali. Kemudian beliau SAW bersabda, Pergilah kalian
berdua mencari air.' Keduanya berangkat lalu bertemu seorang
wanita di antara dua bejana yang berisi air di atas untanya.
Keduanya berkata, 'Dimana kami bisa mendapatkan air? Ia
berkata, 'Aku kemarin memiliki janji untuk membawakan air
sekarang, sedang kaumku menungguku.' Keduanya berkata, 'Kalau
begitu berangkatlah.' Wanita itu berkata, 'Kemana?' Keduanya
berkata, 'Kepada Rasulullah SA W.' Wanita tersebut berkata lagi,
'Orang yang digelari Ash-ShabV.' Keduanya menjawab, 'Dialah
yang kamu maksudkan, sekarang berangkatlah.' Keduanya
membawa wanita tersebut kepada Nabi SAW lalu keduanya
menceritakan kepada beliau SAW apa yang telah terjadi. Nabi
6 2 4 — FATHUL BAARI
Abu Abdullah berkata, "Ash-Shabi" adalah orang yang keluar dari
suatu agama ke agama lainnya." Abu Aliyah berkata, "Ash-Shabi' adalah
suatu golongan dari Ahlul Kitab yang berpegang pada kitab Zabur."
Keterangan Hadits:
j»J—'~>j *—'Ji- A—Ul ^ — L ? 'JJ\ g> JL. J UT (Ketika kami dalam suatu
Hal lain yang menunjukkan bahwa kisah di atas terjadi tidak hanya
sekali adalah, perbedaan tempat kejadian sebagaimana yang telah kami
kemukakan. Lalu Ibnu Abdil Barr berusaha menyatukan kedua versi itu
dengan mengatakan, bahwa waktu mereka kembali dari Khaibar ber-
dekatan dengan waktu kembali dari Hudaibiyah, dan kedua jalan tersebut
bisa saja dinamakan jalan dari arah Makkah. Tetapi alasan ini nampak
terlalu berlebihan. Di samping itu, riwayat Abdur-Razzaq yang
6 2 6 — FATHUL BAARI
menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi saat perang Tabuk, dapat
menolak pernyataan tersebut di atas.
(Aku takut kalian tertidur dari shalat. Maka Bilal berkata, 'Aku
membangunkan kalian. ").
Dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hazim dari Abu Hurairah
dijelaskan tentang sebab Nabi memerintahkan mereka pindah dari tempat
yang mereka tempati untuk tidur, dengan lafazh, j - J ^JZ*- JjIi ii» oli
riwayat Abu Dawud dari hadits Ibnu Mas'ud disebutkan, jj^ili^ 'J- \'J"Jd
5—U*Jl A—J jPoUoi <sJ}\ (Pindahlah kalian dari tempat yang menyebabkan
kamu ditimpa kelalaian).
6 2 8 — FATHUL BAARI
Ada pula yang mengatakan bahwa Nabi SAW mengakhirkan shalat
karena kesibukan mereka, namun dikatakan juga bahwa hal itu sebagai
upaya menghindari musuh. Adapun pendapat lain mengatakan, hal itu
dilakukan untuk menanti turunnya wahyu. Ada lagi yang berpendapat,
karena tempat itu telah melalaikan sebagaimana diterangkan dalam
riwayat Abu Dawud. Dikatakan juga bahwa hal itu sebagai upaya untuk
menunggu orang yang masih tidur dan membangkitkan semangat mereka
yang malas.
Di sana ada juga sejumlah jawaban lain mengenai hal ini, namun
seluruhnya lemah. Di antaranya, bahwa arti sabda Nabi, "hatiku tidak
tidur", yakni tidak tersembunyi baginya apakah wudhu telah batal atau
belum. Pendapat lain, bahwa hati beliau SAW tidak pulas hingga sampai
pada batas tidak mengetahui batal tidaknya wudhu.
^-Ji ^UJ V J O U £ ^S- (Sesungguhnya kedua mataku tidur dan hatiku tidak
tidur) sebagai jawaban atas perkataan Aisyah, 'J-J'J i>f JIS (Apakah
kamu tidur sebelum kamu melakukan witir?)
6 3 0 — FATHUL BAARI
Secara ringkas, perkataan beliau adalah mengkhususkan makna
terjaga yang dipahami dari sabdanya, °Ji f£ *ij (Dan hatiku tidak tidur),
dalam arti mengetahui waktu witir secara maknawi karena adanya
keterikatan hati dengannya. Adapun tentang tidurnya Nabi dalam
peristiwa di atas adalah tidur yang pulas, hal ini dikuatkan oleh
perkatakan Bilal, iL«iL j>l ^ i j l -~al< J>l (Jiwaku ditimpa oleh apa yang
<sS
flVlJi—< iji Jj (Dan kami diseru untuk shalat). Lafazh ini menjadi
dalil disyariatkannya adzan untuk (shalat) yang telah lewat waktunya.
Namun pendapat ini ditanggapi dengan mengatakan, "Lafazh seruan
lebih umum daripada adzan, maka kemungkinan yang dimaksudkan di
sini adalah iqamat." Tanggapan ini dijawab, bahwa dalam riwayat
Muslim dari hadits Abu Qatadah jelas disebutkan lafazh adzan. Demikian
pula yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam akhir-akhir pembahasan
tentang waktu shalat, dimana beliau memberi satu judul khusus tentang
hal itu sebagaimana yang akan dijelaskan.
6 3 2 — FATHUL BAARI
(Kemudian Nabi SAW memerintahkanku untuk bersegera mendahului
(rombongan) dalam rangka mencari air).
' y'jj ^ (Kami tidak mengurangi). Secara lahiriah, semua air yang
mereka gunakan adalah air yang ditambahkan oleh Allah SWT. Pada
hakikatnya air tersebut tidak bercampur sesuatu, meskipun secara lahiriah
air itu bercampur dengan sesuatu yang lain, dan ini merupakan mukjizat
paling menakjubkan dan hebat. Kesimpulan ini dapat diambil dari makna
6 3 4 — FATHUL BAARI
7. Orang yang Junub Melakukan Tayammum karena
Khawatir dirinya akan Sakit, Mati dan Kehausan
i a o ' o o £ y j
Keterangan
Li—'M j,—\A (Maka Nabi tidak mencela). Maka hal itu merupakan
:o li : J l i • J^>j
L ~p~°-i> J*i~ J15 ^^31 jt-A-^-i JJTj
6 3 6 — FATHUL BAARI
345. Diriwayatkan dari Abu Wa'il, ia berkata, "Abu Musa berkata
kepada Abdullah bin Mas 'ud, 'Jika seseorang tidak mendapatkan
air, maka ia tidak boleh shalat.' Abdullah berkata, 'Seandainya
saya meringankan bagi mereka hal ini, maka jika salah seorang
dari mereka merasa dingin ia berkata beginilah -yakni
bertayamum- dan shalat.' Ia berkata, 'Aku bertanya, 'Bagaimana
dengan perkataan Ammar kepada Umar?' Ia berkata, 'Aku tidak
melihat Umar mengambil perkataan Ammar'."
'' ' 0
' 'y' ti- .' \' ' ' ' - f 0
' ll- . ' v h
0
i'- '
J •£• ~ L p O J - > ; J L S <UJL- (yJy OJVa-w» J l i ^ i s ^ P ^ I U j J b -
i' *'s J ' * > < i ' ' ' f * ' ' * ' * o o " o «
4 i Jli
0 ^ ^ ^ s 't. ' ' ' ' 5> y y 2 & } s
346. ^4/.4 'masy menceritakan kepada kami, dia berkata, bahwa dia
mendengarkan Syaqiq bin Salamah berkata, Aku berada di dekat
Abdullah dan Abu Musa. Lalu Abu Musa berkata kepadanya,
'Apakah kamu tahu wahai Abu Abdurrahman jika seseorang junub
lalu tidak menemukan air, apa yang ia lakukan?'" Lalu Abdullah
berkata, 'Ia tidak boleh shalat sampai mendapatkan air.' Abu
Musa berkata, 'Bagaimana pendapatmu dengan perkataan Ammar
Keterangan Hadits:
6 3 8 — FATHUL BAARI
: ^ s , , J o ' ' ' * -*
>- j «_>-L>- aIJI J j-^j J^U. '• y**^ jLO-p J ji £^~*J jjl
' } i i i ) , , t s l , j O, l i O i n
Keterangan Hadits:
?S__J3M aig i Ci'j—*LeS u&i JJy 'y) JUi (ia (Syaqiq) berkata, "Abu Musa
6 4 0 — FATHUL BAARI
l j l * i jUi (Lalu kamu tidak mendapatkan). Ini merupakan penjelasan
ayat yang dimaksud pada lafazh sebelumnya. Dalam riwayat Al Ashili
disebutkan, i j i — * i j«—! d\i (Lalu jika kamu tidak menemukan...). Namun
lafazh ini menyalahi lafazh ayat Al Qur'an. Demikian pula lafazh yang
terdapat dalam riwayat Abu Dzar, hanya saja beliau meralatnya untuk
menyesuaikan dengan ayat Al Qur'an.
A—^ ',. a p—J j—loSJl Js- 4JU«i (Kemudian beliau menyapukan tangan
j — ' S ') jjf (Tidakkah kamu melihat Umar) Umar tidak puas dengan
perkataan Ammar, karena Ammar mengatakan kepadanya bahwa beliau
(Umar) turut serta bersamanya dalam kejadian tersebut, sebagaimana
yang akan dijelaskan dalam riwayat Ya'la bin Ubaid. Sementara Umar
tidak mengingat kejadian itu sama sekali. Oleh sebab itu beliau berkata
kepada Ammar seperti yang dikutip oleh Imam Muslim melalui
6 4 2 — FATHUL BAARI
Abdurrahman bin Abza, :'j '<*'* Jlii ,jj »iui»-l o\ : Jli , jliU IJ ^ JJ" 1
9. Bab
Keterangan Hadits:
Hadits ini telah dibahas pada bab "Tanah (debu) yang baik".
Dalam riwayat ini tidak dijelaskan secara tegas tentang "satu kali pukulan
atau tepukan" pada waktu tayamum. Ada kemungkinan bahwa Imam
Bukhari mengambil kesimpulan tersebut berdasarkan lafazh hadits yang
tidak menyebutkan jumlah tertentu. Maka satu kali (pukulan) merupakan
batas minimal dan yang wajib diyakini, wallahu a 'lam.
Penutup
COMPLETED
< >
6 4 4 — FATHUL BAARI