Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Haery Sihombing
Mochamad Safarudin
Abstrak:
Lebih dari 3 juta orang TKI di sektor formal maupun informal yang bekerja di Luar
Negeri menghasilkan “remittance” paling tidak Rp.24 Trilium per-tahun dengan kontribusi
terhadap GDP berkisar 11%
Potensi keuangan yang masuk dalam perekonomian negara dari devisa tersebut,
bukanlah tanpa masalah. Masalah perlindungan, kesehatan, perlakuan hukum, praktek-
praktek percaloan, TKI ilegal, dan masih banyak sederatan “kisah- kisah memilukan”,
seakan- akan tak lepas dari isu- isu “bisnis kotor” bila kita membicarakan mengenai TKI.
Seiring dengan kenaikan jumlah devisa yang semakin meningkat dari ‘remittance’
para TKI, memberikan sinyal kepada pelaku bisnis untuk menggarap pasar tersebut.
Namun demikian, upaya dan strategi bisnis yang dilakukan oleh sektor perbankan
bersama penyedia layanan telekomunikasi tersebut belumlah menggarap pasar yang
menjanjikan ini dengan baik. Sehingga pasar yang harus disentuh tersebut masih jauh
dari apa yang dikatakan sebagai pengelolaan pasar sebagai keuntungan persaingan yang
dewasa ini berpijak kepada pola kemitraan terhadap konsumen.
Oleh karenanya, kesempatan dalam penggarapan pasar sebagai sebuah bisnis,
maka penyedia layanan jasa perbankan dan jasa telekomunikasi haruslah dengan segera
di dalam inisiatif dan kreatifnya untuk melakukan strategi- strategi bisnisnya yang betul-
betul menyentuh kepada pasar di mana TKI menangkapnya sebagai sebuah keuntungan
terhadap kebutuhan mereka.
1.0 PENDAHULUAN
“TKI itu kan pahlawan devisa, jadi harus mendapat perlindungan,” Begitulah ucapan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparmo seusai membuka seminar
tentang Perlindingan TKI pada tanggal 20 Maret 2006 di Jakarta (1). Namun demikian, ketika
ditanya mengenai pengelolaan dari potensi devisa terhadap uang kiriman KI, jawabnya
adalah adalah,”Belum ada how to manage remisan. Masih saya wacanakan utuk mengurusi
hal ini dengan baik, akan saya bicarakan dengan perbankan.”
Tentunya kitapun semua orang Indonesia merasa tahu dengan yakin, melalui berbagai media
elektronik dan suratkabar, bahwa para TKI kita di luar negeri sangat banyak mengirimkan
uangnya ke Indonesia. Namun demikian, karena sanking seringnya julukan sebagai
‘pahlawan devisa’ tersebut diucapkan, maka keuntungan dari pengiriman uang tersebut
menjadi kehilangan makna. Seperti hanya memaknai bahwa kepesertaan mereka di dalam
pembangunan negara masihlah dalam wacana, opini, polemik, diskusi, dialog, dan penulisan-
penulisan kertas kerja atau jurnal- jurnal. Belum terealisasi dengan nyata. Mungkin karena
kita tidak merasakan langsung uang yang mereka kirimkan, sehingga penggelaran tersebut
jauh dari kesadaran masyarakat sebagai sebuah keuntungan. Terkecuali untuk daerah- daerah
1
Haery & Andi-Draft
di mana TKI tersebut berasal, di mana kiriman uang tersebut langsung terjun di dalam roda
ekonomi asal TKI.
Bukti ini tampak dari keterlibatan pemerintah di dalam menangani masalah TKI yang
seakan- akan ‘tidak serius’ di dalam menyelesaikan masalah- masalah yang berkenaan
dengan TKI di luar negeri maupun di dalam negeri, dari mulai perekrutan hingga persiapan
pengirimannya. Hal ini tampak jelas dari bagaimana peran serta pemerintah daerah, mulai
dari provinsi hingga kabupaten, seperti terlihat dari benar- benar tidak akuratnya jumlah
warga mereka yang bekerja di luar negeri sebagai TKI. Sehingga kemudian, untuk tingkatan
pemerintah pusat, data yang ada pun adalah data yang tercatat saja. Mungkin jumlahnya lebih
kepada hanya perkiraan semata, bukan angka pasti. (2)
Dengan realita yang demikian, maka faktor daya tarik yang muncul kepada pelaku bisnis
sebagai salah satu penentu keterlibatan mereka dalam kepesertaan untuk memberikan jasa
layanan di dalam menggarap dan menggali potensi pasar terhadap TKI, adalah hampir
dikatakan ‘terlambat’ untuk merespons. Buktinya, seperti komentar Menakertrans di atas,
“Masih saya wacanakan.” Ini artinya, bahwa pelaku bisnis di jasa perbankan, menunggu
‘disadarkan’ untuk merespons terhadap potensi keuangan yang dikirimkan TKI. Bukan
dalam posisi mengambil tindakan proaktif dengan inisiatif program dan tawaran layanan
dalam melihat potensi tersebut sebagai suatu keuntungan.
Sebagaimana kenyataan yang ada, uang kiriman yang merupakan bagian dari pendapatan
yang diperoleh pekerja asing untuk dikirimkan kepada keluarga di negara asal adalah
menjadi sesuatu yang kritikal untuk mendukung keuangan terhadap pembangunan. Sekalipun
sebagian besar aliran dana tersebut secara historis ‘tersembunyi dari pandangan’ dan
seringkali tak terhitung dan bahkan terabaikan pemanfaatannya dengan baik. Padahal dewasa
ini, dampak dari uang kiriman di semua regional yang sedang berkembang di dunia,
merupakan satu aliran dari mata uang asing terpenting terhadap banyak negara dan secara
langsung menjangkau jutaan rumahtangga dengan jumlah total kira- kira 10% dari populasi
dunia (3)
1.1 Definisi
Pengertian remitans secara umum berasal dari transfer, baik dalam bentuk cash atau
sejenisnya, dari seorang asing kepada sanak keluarga di negara asalnya. IMF
mendefinisikannya ke dalam 3 kategori, yaitu: (i) remitans pekerja atau transfer dalam
bentuk cash atau sejenisnya dari pekerja asing kepada kelurganya di kampung halaman (ii)
kompensasi terhadap pekerjaan atau pendapatan, gaji atau renumerasi dalam bentuk cash
atau sejenisnya yang dibayarkan kepada individu yang bekeja di satu negara lain di mana
keberadaan mereka adalah resmi, dan (iii) transfer uang seorang asing yang merujuk kepada
transfer kapital dari aset keuangan yang dibuat orang asing tersebut sebagai perpindahan dia
dari satu negara ke lainnya dan tinggal lebih dari satu tahun. (4)
Sedangkan menurut wikipedia, remitans (remittance) adalah transfer uang oleh pekerja asing
ke negara dan tempat mereka berasal. Menurut pengertian lain, diartikan sebagai satu
pembayaran untuk pembelian barang- barang atau jasa yang ditansferkan terhadap seseorang
pada jarak jauh.
Remitans merupakan sebagian dari pendapatan pekerja asing internasional yang dikirimkan
ke negara dan tempat pekerja berasal.(5) Oleh World Bank, ‘remittance’ dikatakan sebagai
‘transfer remittance, dan. boleh saja berlaku secara domestik maupun internasional.
2
Haery & Andi-Draft
Sedangkan untuk ‘domestik remittance’, sebagai contoh, adalah dikenakan pada saat di mana
migrasi dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan di dalam satu negara. Namun demikian,
remitans (remittance) yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah dalam hal antar negara.
Yaitu didefinisikan sebagai pembayaran lintas batas dari orang ke orang dengan besaran nilai
yang secara relatif kecil, yang dalam prakteknya, transfer uang kiiman tersebut dilakukan
oleh para pekerja asing secara berulang kali. Misal: pengiriman uang setiap bulan kepada
keluarga pekerja asing ke negara asal tempat pekerja asing tersebut berasal.
Sekalipun untuk mengukur remitan tetaplah menjadi sebuah tantangan terhadap sistem
pembayaran seimbang (balanced payment system), namun pada tahun 2006 tercatat sebanyak
59 buah negara- negara yang sedang berkembang menerima lebih dari US$1miliar dalam
bentuk remitans.
Laporan Asian Development Bank mengenai studi remitans pekerja asing dari Asia Tenggara
menyebutkan, bahwa remitans dari mereka para pekerja asing di luar negeri telah membantu
memperkuat keseimbangan pembayaran dan anggota keluarga pekerja yang kebanyakan
adalah berada dalam garis kemiskinan untuk diuntungkan dengan cara aliran dana seperti
demikian. (7)
Sumber: Laporan IFAD: Sending Money Home – Worldwide Remittance Flows to Developing Countries (3)
3
Haery & Andi-Draft
Sumber: Global Economic Prospects 2006: Economic Implications of Remittances and Migration, World Bank.
(http://siteresources.worldbank.org/EXTGEP2006/Resources/RemittancesDataGEP2006.xls)
Gambar 1. Besarnya Remitans Pekerja Asing Asal Negara- Negara Asia Tenggara
Dikarenakan kebanyakan data mengenai remitans bertumpu pada laporan dari institusi formal
saja, sementara pada kenyataannya di beberapa negara saluran- saluran informal menjadi
sesuatu yang umum, maka remitans yang tercatat paling hanya setengahnya saja.(8) Sebagai
contoh, di negera- negara Timur Tengah. Sebagian besar dari remitans ditransferkan melalui
jaringan broker informal. Dan oleh karenanya, maka remitans tersebut tidak tercatat oleh
sistem pelaporan resmi.(3) Sama halnya dengan di Indonesia. Kebanyakan dilakukan dengan
menitipkan pada teman sekampung yang pulang ke tanah air atau dibawa sendiri ketika
pekerja tersebut (TKI) pulang karena habis masa kontrak kerjanya.(9) Oleh karena itu,
remitans tadi adalah juga tidak tercatat di daerah pedesaan dikarenakan saluran- saluran
informalnya mendominasi pola sistem penyediaan remitans, yang secara relatif disebabkan
oleh karena ketidak-tersediaannya bank atau institusi keuangan formal lainnya, selain faktor
karena mahal dan awamnya jasa ini dipergunakan.
1.2.1 Data Resmi Mengenai Jumlah TKI dan Devisa yang Dihasilkan (Akurasi dan
Kekinian)
Bank Indonesia melaporkan, bahwa penerimaan terbesar dari remitansi TKI adalah sebesar
US$ 1,5 miliar, sehingga surplus transfer berjalan tahun 2007 mencapai US $ 4,9 miliar.(10)
Pada tahun 2005 saja, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengatakan, bahwa devisa
yang diperoleh dari TKI sebesar US$ 2,9 miliar.(11) Jumlah ini lebih besar dari perkiraan
Bank Dunia sebesar US$ 2,5 miliar(12) dan harapan pemerintah sebesar US$ 1.9 miliar.(13)
Sedangkan M Jumhur Hidayat sebagai Kepala Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengatakan, bahwa remitans menembus
angka Rp 100 triliun.(14) Angka ini lebih mendekati apa yang dituntut oleh Anggota Komisi
VIII DPR RI yang mempertanyakan mengenai Rp. 81 Triliun yang diperoleh dari devisa
TKI.(15)
Menurut data terakhir dari Depnakertrans (per 26 November 2007) mengenai jumlah TKI
yang diberangkat ke luar negeri dan devisa yang diperoleh oleh negara adalah sebagai
berikut:
4
Haery & Andi-Draft
Tabel 2 Jumlah TKI Sektor Formal dan Informal (Per Negara Tujuan/Penempatan) Tahun 2001 ~ 2006
Sumber: Data dari Departemen Tenaga Kerja, dikutip oleh Tirtosudarmo dan Romidiati (8)
5
Haery & Andi-Draft
tanah air (misalnya seperti ketika tahun ajaran baru dan masuk sekolah, hari raya, dsb), serta
dengan bervariasinya di antara data tersebut, adalah memberikan dampak psikologis bagi
pelaku bisnis yang secara langsung terhadap TKI Indonesia untuk melakukan tindakan
‘menunggu’ dalam berekspansi terhadap sektor yang potensial ini. Padahal di beberapa
daerah ‘kantong’ pengirim TKI ke luar negeri, jumlah remitans yang diperoleh sebagai
devisa bahkan melebihi jumlah APBD-nya.
Tabel di bawah ini menunjukkan jumlah APBD dari daerah- daerah ‘kantong’ asal TKI,
seperti: Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur.
Sementara ini secara nasional, pemasukan yang diperoleh dari remitans TKI di luar negeri
dari tahun ke tahun bertambah (Gambar 2). (Sebagai catatan: bandingkan dengan Tabel 1 di
mana untuk tahun 2003 menurut data dari Depnakertrans, penerimaan devisa adalah menurun
dibanding tahun 2002)
Oleh karena banyaknya remitans TKI yang tidak tercatat dan tertelusuri, sementara di sisi
lain, aliran dana tadi lebih banyak digunakan sebagai kosumsi (bukan untuk investasi
produksi),(15)(7) maka pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dari mana asal pekerja
asing tersebut masihlah terbatas, (8) sekalipun cukup positif terhadap peningkatan roda
ekonomi daerah.(16) Hal ini disebabkan penggunaannya adalah untuk membayar hutang,
pemenuhan kebutuhan sehari- hari, membeli sawah, membiayai sekolah anak atau saudara di
kampung, dan membangun rumah. Jarang dipergunakan untuk yang berkenaan dengan
kesehatan dan mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik, (9)(17)(18) bahkan uangnya
habis karena dipakai suami kawin lagi.(15) Sangat sedikit yang berhasil mengivestasikan
remitans tadi dalam satu bidang usaha dan mengelolanya dengan cara yang
berkesinambungan. Remitans yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut
6
Haery & Andi-Draft
biasanya habis dalam 2 hingga 7 bulan. Sehingga kemudian mereka menjual aset- asetnya
dan kembali ke kondisi semula atau kembali bekerja ke luar negeri (9)
Sumber: IMF Balance of Payments Statistics Yearbooks, Soeprobo 2006, p.8; Asian Migration News, 15-31 January 2006;
Migration News, July 2006.
Oleh karena itu, IFAD menyatakan bahwa pengumpulan data terhadap remitans perlu
diperbaiki untuk meningkatkan aliran remitans yang berakibat terhadap dampak
pembangunan yang lebih besar. Caranya adalah dengan mengurangi biaya transaksi,
menggeser saluran- saluran tidak resmi atau informal kepada saluran- saluran resmi/ formal
untuk mengurangi resiko pencucian uang, serta mengarahkannya langsung kepada investasi
produktif yang berkesinambungan dan penggunaan yang efektif,(3)(7) di mana tentunya
adalah diperlukan keterlibatan investor lokal dan pemerintah untuk membangun kebijakan-
kebijakan dan program- program yang efektif untuk memaksimalkan keuntungan dari
pengiriman uang TKI terhadap negara.(8)(12)(13)(19) Apalagi karena TKI yang bekerja di sektor
informal dan formal masing- masing mengirimkan sebesar 80% dan 60~70% gajinya ke
tanah air.(2) Ini belum termasuk dari sejumlah TKI ilegal yang juga turut menyumbang
terhadap besarnya remitans,(14)(17)(20)(21) selain kontribusi mereka dalam mengatasi angkatan
kerja yang membludak.(1)(2)(22) Sekalipun demikian, ini bukan berarti bahwa kita dan
pemerintah membenarkan praktek- praktek sebagai pekerja ilegal di luar negeri.
Untuk Jasa penyediaan dan pengiriman TKI hingga September 2007, tercatat sejumlah 474
buah perusahaan pengerah TKI Swasta (PPTKIS d/h PJTKI) telah memperoleh Surat Izin
Pelaksanaan Penempatan TKI (SIPPTKI) yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Depnakertrans) dan BNP2TKI. Selain itu, terdapat 4 asosiasi pengusaha
penempatan TKI ke luar negeri. Yaitu: Asosiasi PJTKI (Apjati), Himpunan Pengusaha Jasa
TKI (Himsataki), Asosiasi Jasa TKI untuk Asia Pasific (Ajaspac), dan Indonesia
7
Haery & Andi-Draft
Employment Agency (Idea). Sedangkan lapangan usaha dalam penyediaan jasa seperti
kesehatan atau medis yang terdaftar resmi dan diakui pemerintah sebagai pusat layanan
medis hingga 18 November 2005 tercatat 119 institusi.
Untuk bisnis asuransi, Konsorsium Asuransi Tenaga Kerja Indonesia Jasindo yang
ditunjuk melayani program asuransi perlindungan TKI mulai bulan Agustus 2006
hingga 20 Juni 2007 telah meraup premi sebesar Rp 129,1 miliar (23) . Sekalipun
demikian, dalam mengajukan klaim sangat sulit. Padahal aliran dana asuransi
sangat besar. (15) Sedangkan premi yang berhasil dikumpulkan hingga akhir tahun 2005
mencapai Rp 104 miliar. Sementara dana yang dikembalikan kepada TKI hanya sebesar Rp
29 miliar. Perlu dicatat, pencapaian selama dua tahun itu baru mencerminkan 20% dari total
TKI yang ada. Jadi jelas, dengan dilansirnya Kepmen No. 280/MEN/2006, tentu akan lebih
banyak lagi keuntungan yang bakal didulang. Tinggal dihitung saja, jumlah TKI yang
diberangkatkan dikalikan Rp 400 ribu.(24) Tujuh perusahaan asuransi yang termasuk dalam
konsorsium itu adalah PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero), PT Asuransi Jiwa Askrida, PT
Asuransi Tripakarta, PT Asuransi Bosowa Periskop, PT Asuransi Bumiputera Muda 1967,
PT Asuransi Bumi Asih Jaya dan PT Asuransi Parolamas. Sedangkan PT Grasia Media
Utama ditunjuk sebagai pialang konsorsium asuransi TKI.(25)
Dengan penempatan TKI ke luar negeri, bisnis pengecekan kesehatan atau medis,
perhubungan: darat, udara, laut, dan balai latihan kerja dan semacamnya semakin terbuka.(26)
Selain itu, juga jasa percaloan (broker) di dalam perekrutan untuk mencari calon- calon TKI
hingga ke pelosok- pelosok desa. Terbukti dengan kebijakan penghentian penempatan TKI
informal ke luar negeri yang dilakukan pada tahun 2004, telah menimbulkan kerugian
sebesar Rp. 158,8 miliar per bulan untuk PJTKI saja. Kerugian itu meliputi sektor
penerbangan, poliklinik penyedia layanan kesehatan atau medis, asosiasi perlindungan TKI,
pembuatan paspor, biaya operasional PJTKI, dan pendapatan pemerintah bukan pajak.(18)
Bila Kartu Kuning dianggap sebagai salah satu pendapatan pemerintah tanpa pajak, tercatat
misal di Kabupaten Kebumen (tahun 2007) dan Bandung (tahun 2005), rata- rata setiap hari
jumlah pemohon kartu kuning masing- masing mencapai 250 orang dan 280,(27)(49) padahal
kegunaan kartu kuning di dalam mencari pekerjaan bagi masyarakat perkotaan menjadi
sesuatu yang ‘mengherankan’: untuk apa? (Kartu kuning tersebut berfungsi untuk melakukan
pendataan dan monitoring tenaga kerja. Otomatis kalau kita mau melamar ke instansi
pemerintah, maka kita harus memiliki kartu kuning).(27) Mungkin, sebagai sekedar
melengkapi admnistrasi, apalagi untuk di luar negeri. Mengutip Ir. Sri Hadi Purwanti, MM
sebagai Kepala Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi Lamongan yang mengatakan, bahwa
kerja di luar negeri selain dapat memperoleh penghasilan yang relatif lebih besar, tetapi juga
ada resiko- resiko yang tidak terduga(28) Sekalipun diakui, bahwa persoalan perlindungan
keselamatan kerja bagi TKI, baik oleh pemerintah maupun instansi terkait sampai saat ini
masih minim.(29) Contohnya Pemerintah Ponorogo, padahal pemerintah Ponorogo adalah
peraih Devisa Award.
Dengan kenaikan komponen biaya mulai untuk medis dari Rp 125 ribu menjadi Rp 200 ribu,
uji kompetensi dari Rp 75 ribu menjadi Rp 100 ribu, pelatihan di balai latihan kerja (BLK)
dari Rp 170 ribu menjadi Rp 350 ribu, biaya penerbangan dari 320 dolar AS menjadi 450
dolar AS, (30) dan biaya rekuritmen calon TKI dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 4,5 juta, serta
ketidakjelasan hukum dan penerapan kebijakan di lapangan, telah membuat rantai birokrasi
pengiriman TKI menjadi panjang dan mahal.(67) Sehingga akhirnya membebani calon TKI,
yang pada akhirnya membuat jalur resmi TKI tidak diminati dan calon TKI lebih memilih
8
Haery & Andi-Draft
jalur illegal.(30) Sebagai contoh, untuk TKI ke Korea struktur biayanya Rp. 8 ~ 9 juta. Namun
TKI yang melalui calo membayar Rp. 25~30 juta.(13)
Sementara di bisnis keuangan, selain ‘rentenir’, juga institusi perbankan seperti Bank
BRI(31)(32), BCA(21)(32) dan Bank Niaga (21), Bank Mandiri (11)(32)(33), BNI (32)(34) ,Bank Jatim
(35)
, BPR Kanjuruhan di Jawa Timur (36) dan penyedia jasa pengiriman uang seperti Western
Union (37)(66) dan bahkan Kantor Pos (37)(38) turut merasakan keuntungan dari TKI kita di luar
negeri. Tercatat beberapa pebisnis perbankan nasional telah menjalin aliansi dengan institusi
perbankan asing.(21) Malah baru- baru ini perbankan asing di dalam negeri, seperti Citi Bank
pun ikut serta (36)(66)
Ragam tawaran layanan yang dilakukan oleh institusi tadi kepada TKI, dari mulai
menyediakan jasa untuk mengirimkan uang hingga memberikan pinjaman kredit atau modal
untuk pengurusan paspor dan administrasi keberangkatan TKI
Di bidang telekomunikasi, PT. Excelcomindo Pratama (XL) sejak Mei 2006 meluncurkan
JIMAT untuk TKI dalam bundle produk layanannya bersama Xpac dengan menawarkan
harga layanan telekomunikasi murah bagi TKI dan keluarganya di tanah air. Begitu pula
Indosat melalui produk Mentari Hongkong.(40)(41)
Sementara Telkomsel bekerjasama dengan Bank Mandiri melalui m–commerce untuk ATM
mobile, di mana konsumennya dapat melakukan pembelian dan pengambilan tunai, serta
remitan atau pengiriman uang untuk lokal maupun internasional.(42) Sedangkan di pihak lain,
perbankan seperti Citi Bank melakukan kerjasama dengan DiGi Telecommunications Sdn
Bhd untuk mengaktifkan layanan DiGiREMIT di Malaysia untuk memfasilitasi transfer uang
dari Malaysia ke Indonesia melalui SMS. Selain itu, City Bank bekerja dengan PT.Pos
Indonesia dan semua bank yang berada di bawah Bank Indonesia dalam pilihan pembayaran
dan sistem pengambilan uang.(39) Kedua strategi bisnis yang dilakukan badan usaha tadi
mirip usaha pengiriman uang seperti yang dilakukan melalui hasil kerjasama antara Maxis
Communications Berhad (“Maxis”) dan Globe Telecom (“Globe”) untuk program m-money
di Filipina(43) dan G-Cash dari Globe Telecom terhadap para pekerja Filipina di luar negeri.
(44)
2.1 Keuntungan dari Peran, Layanan, dan Praktek Bisnis dari Institusi
Bisnis dan Institusi Pemerintah Terhadap TKI
a. Asuransi
Depnaker sudah menunjuk dua konsorsium asuransi TKI, yakni Konsorsium Asuransi
Jasindo dengan broker Grasia dan Konsorsium Asuransi Bangun Askrida dengan broker
Jadvisindo(45). Jika kabar tentang komisi sebesar 40% itu benar adanya, maka yang diperoleh
Grasia jelas hampir tiga kali lipat lebih tinggi dibanding ‘broker’ sebelumnya (Dana Mitra)
yang hanya menerima ‘fee’ sebesar 15%.(24)
Menurut informasi dari kalangan PJTKI yang enggan disebut jati dirinya di Jakarta,
dikatakan bahwa satu broker konsorsium asuransi memberikan diskon 5% dari Rp. 400 ribu
nilai premi kepada organisasi PJTKI.(45) Padahal dalam SK Penunjukan Menakertrans
No.279/MEN/2006 telah ditetapkan, bahwa premi asuransi TKI adalah sebesar Rp. 400
ribu.(45) Dengan diskon tadi, maka diperoleh sekitar Rp. 12,9 milyar dari jumlah TKI
sebanyak 646.548 orang pada tahun 2006. Bandingkan dengan ‘Cost Structure’
Depnakertrans untuk TKI dengan tujuan Taiwan di mana asuransi perlindungannya adalah
sebesar NT$ 1538 atau dengan kurs NT$1 = Rp. 310, sehingga jumlahnya adalah Rp.
9
Haery & Andi-Draft
476.780.(46) Jumlah ini beberapa puluh ribu lebih besar dari premi asuransi TKI sebesar Rp.
400 ribu. Sehingga dengan demikian, bila kita kalikan antara jumlah TKI yang dikirimkan
terhadap kelebihan biaya tersebut maka angka perolehannya menjadi lebih dari Rp.12,9
milyar bagi anggota- anggota organisasi PJTKI.
Untuk itu, maka dalam menghilangkan calo- calo pada proses rekrutment dan untuk
memonitoring berbagai tindak kekerasan terhadap TKI dari mulai tempat penampungan
sementara hingga pemulangannya, maka Pemerintah merencanakan untuk membangun dan
menerapkan sistem SIM (sistem informasi manajemen) penempatan TKI secara
komprehensif. Cara ini dimaksudkan untuk memecahkan kespangsiuran data, baik
menyangkut jumlah dan kualifikasi TKI, asal daerah TKI, serta rata- rata biaya yang
dikeluarkan TKI dan lainnya.(19)
Sementara itu, Pemerintah melalui Undang - Undang No. 39 Tahun 2004 yang mengatur
“Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri”, pada pasal 13 ayat (1) huruf
c yang mengatakan bahwa dalam memperoleh SIPPTKI, maka PPTKIS (d/hPJTKI)
diwajibkan “menyetor uang kepada bank sebagai jaminan dalam bentuk deposito sebesar
Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) pada bank pemerintah”.(48) Namun karena dalam
ayat 2 dikatakan: “Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor dalam
bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat ditinjau kembali dan
diubah dengan Peraturan Menteri”, di mana menurut KEP-104A/MEN/2002 pasal 8 ayat
(d) adalah sebesar Rp. 250 juta dan dalam bentuk deposito atas nama Menteri. Maka, dengan
474 buah PPTIS yang terdaftar hingga September 2007, pemerintah memperoleh keuntungan
terhadap ‘uang mengganggur’ dari Rp 7,11 milyar kepada Rp 118,5 milyar dari regulasi
tersebut. Apalagi pada ayat (f) dikatakan : “Memberikan surat kuasa kepada Menteri untuk
mencairkan deposito dana jaminan.” Bila rujukannya adalah seperti apa yang tertera di
Badan Nasional Sertifikasi Profesi dengan jumlah Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta) atau
Depnaker Pemkab Tanjung Barat yang tertulis Rp.5.000.000.000,00 (lima ratus juta), maka
jumlah totalnya adalah Rp. 237 milyar.
Sedangkan untuk Kartu Kuning, seperti misalnya di Bandung dengan ‘infak’ kepada petugas
pada kisaran harga antara Rp. 5.000~10.000(49) atau di Kabupaten Gresik dengan tarif
permintaan Rp.3000 (sekalipun Kepala Disnaker mengatakan tidak ada pungutan
sepeserpun)(50), serta bila bila andaikan bahwa semu TKI legal adalah melalui Depnakertrans
dan biaya kartu kuning adalah Rp. 3000, maka dengan jumah YKI sebanayak 700 ribu orang
yang berangkat ke luar negeri pada tahun 2006(51) akan menghasilkan sebesar Rp.2,1 milyar.
10
Haery & Andi-Draft
(GAMCA) untuk mengkoordinir Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri (Sisko
TKLN), mewajibkan TKI untuk membayar Rp 10 ribu dan Rp. 50 ribu.(52) Bila diasumsikan
bahwa jumlah TKI yang akan dikirimkan pada tahun 2008 dengan proyeksi sama seperti
tahun 2006 dengan berjumlah 646.548 (table 2), maka jumlah total uang yang terkumpul
adalah lebih dari Rp. 38 milyar. Tidaklah heran, untuk itu Himpunan Pengusaha Jasa TKI
(Himataki) merasa perlu melaporkan BNP2TKI ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Karena Sisko TKLN dibentuk berdasarkan APBN dengan biaya Rp.6 milyar dan
operasionalnya ditangani pemerintah,(52) serta biaya pembuatan KTKLN sebesar Rp 60.000
tersebut belum memiliki dasar hukum, kata Halomoan Hutapea sebagai Ketua Bidang
Hukum dan Organisasi Asosiasi Perusahaan Jasa TKI Asia Pasifik (Ajaspac).
Sedangkan uang yang didapat untuk biaya pengecekan kesehatan atau medis, pelatihan, uji
kompetensi, pelatihan di balai latihan kerja tidak tercatat dengan resmi. Namun dapat
diperkirakan dengan mengalikan antara jumlah TKI yang dikirim ke luar negeri dengan biaya
per-layanan tersebut, di mana jumlah totalnya adalah sebesar Rp. 380 milyar untuk tahun
2006. Selain itu, bila dkatakan bahwa rekrutmen calon TKI berbiaya Rp.1,5 juta hingga
Rp.4,5 juta(30), maka total rupiah yang didapat dari rekrutment calon TKI adalah sekitar Rp.
900 milyar hingga Rp 3 triliun.
Terbukti dengan besarnya penerimaan devisa pada tahun 2005 yang mencapai US$2,9 miliar
dan melihat pencapaiannya pada tahun 2006 sebesar US$ 4,5 miliar (sekitar Rp. 40,6 triliun),
serta proyeksi tahun 2009 sebesar US$ 20,9 miliar (sekitar Rp. 186 triliun) di mana dengan
rata- rata keberangkatan TKI tiap tahun mencapai 450 ribu orang,(11) maka pembuatan nota
kesepahaman antara Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mewajibkan para
calon TKI untuk membuka rekening di Bank BNI (pada Mei 2004) dengan maksud untuk
memangkas praktek pemotongan ilegal gaji TKI yang selama ini berlangsung sekaligus
‘janji’ Bank BNI yang akan memberikan kredit kepada calon TKI agar tidak perlu menjual
tanah, sapi, dan aset lainnya untuk biaya pemberangkatan ke luar negeri,(34) menjadi sesuatu
yang dipertanyakan sebagai praktek sistem monopoli oleh Ketua Himpunan Pengusaha Jasa
TKI.(34) Dengan biaya setidaknya Rp.10.000 untuk pembukaan nomer rekening di BNI
tersebut, maka perolehan uang bagi BNI dipastikan setidaknya sebesar RP. 4,5 milyar dari
pembukaan nomer rekening saja.
Pihak Bank Mandiri sendiri dalam usaha meraup keuntungan tersebut adalah dengan
melakukan penawaran kredit TKI, di mana setiap TKI akan mendapat Rp 15 juta dengan
bunga komersil 19% pada tahun 2007. Oleh karena itu mereka siap mengelontorkan Rp 200
miliar untuk kredit TKI.(11) Sekalipun pada kenyataannya, upaya yang dilakukan ini belumlah
berjalan dengan baik. “Mungkin persyaratan yang berbelit- belit dari Bank Mandiri.”(33)
Sedangkan Bank Prekreditan Rakyat Kanjuruhan milik Pemerintahan Daerah Malang
menyiapkan Rp 2 miliar untuk diberikan kepada 500 calon TKI ke Malaysia yang masing-
masing mendapatkan Rp 4 juta dengan bunga sebesar 1%.(36) Minat Bank Rakyat Indonesia
untuk ambil bagian dalam bisnis ini, adalah dengan menyediakan skim kredit untuk
membiayai pengiriman TKI melalui hasil jaminan pembayaran dari perusahan pemberi kerja
11
Haery & Andi-Draft
di luar negeri. Plafon yang disediakan adalah Rp. 8 juta per orang dengan tingkat bunga 16%
pertahun.(11)(31) BRI sendiri siap mengucurkan dana dengan total Rp. 8 triliun kepada TKI.(11)
Untuk Jawa Timur, menurut Gubernur Imam Utomo, tercatat sekitar Rp. 3,5 triliun devisa
pada tahun 2004 yang dihasilkan oleh TKI asal Jawa Timur. Misalnya di Kabupaten
Tulungagung, perolehan devisa dari TKI asal daerah tersebut adalah hingga mencapai Rp
300 miliar, padahal jumlahnya tersebut melebihi besar PAD-nya senilai Rp 45 miliar.
Sehingga terhadap hal ini mendorong Bank Jatim untuk memberikan fasilitas pinjaman
dengan bunga lunak sama seperti bunga untuk UKM.(35) dengan potensi keuntungan dari
bunga pinjaman sebesar 1% per bulan terhadap kredit masing- masing sebesar Rp. 8 juta,
maka dengan besar anggaran sebesar 2 milyar dari BPR Kanjuruhan akan menghasilkan
setidaknya Rp 500 juta dalam 2 tahun masa kontrak TKI. Atau bila plafon skim kredit
sebesar Rp. 8 juta dengan tingkat bunga 16% per tahun sebagaimana tawaran BRI, maka
dalam waktu setidaknya 2 tahun masa kontrak kerja seorang TKI, paling tidak sekitar Rp.
450 ribu per bulan sebagai cicilan kredit harus ditanggung oleh seorang TKI. Dengan jumlah
dana sebesar Rp 8 triliun yang dipersiapkan, bila tersalurkan dengan lancar maka dalam 2
tahun BRI setidaknya memperoleh sebesar Rp.10,7 triliun lebih
Setidaknya hingga kini sudah ada 4 buah bank nasional yang menggarap pasar TKI, yakni
BNI, Bank Mandiri, BRI, dan BCA. Misal, BNI yang mempromosikan tabungan BNI TKI
dengan pembukaan rekening BNI di tanah air untuk memudahkan transfer dari luar negeri,
dan Bank Mandiri dengan program Tabungan TKI Mandiri yang menawarkan kemudahan
transfer gaji serta menawarkan kredit modal untuk pembiayaan pengurusan paspor dan
administrasi keberangkatan.(11) Namun demikian, menurut Ketua BNP2TKI Moh Jumhur
Hidayat, “Bunga tinggi dan banyaknya syarat yang diajukan perbankan memang menjadi
evaluasi.”(38) Selain itu, masalahnya adalah yang berkenaan dengan biaya transaksi yang
tinggi.(21) Seperti yang juga menjadi perhatian IFAD,(3) di mana jika studi dan penelitian
mereka terhadap pengurangan dari biaya remitans tersebut diaplikasikan di negara- negara
yang sedang bekembang, maka dengan pengurangan biaya remitan dari 12% kepada 6% akan
menghasilkan 11% peningkatan aliran remitans per-tahun ke negara- negara yang sedang
berkembang tadi.(54) Misal, dewasa ini biaya pengiriman uang / remitans dari Malaysia ke
Indonesia dengan CashLaju-CIMB di Malaysia dan Bank Niaga di Indonesia adalah sebesar
RM8 (11), DiGiREMIT-CityBank RM8 (39), Maybank-BNI sebesar RM12, dan BMMB yang
mengklaim diri sebagai yang termurah adalah sebesar RM10.(53)
Namun apakah biaya yang dianggap ‘murah’ tersebut dapat dipastikan akan melonjakkan
jumlah remitans melalui saluran dan penggunaan jasa perbankan?
Berdasarkan data pada tahun 2003, biaya pengiriman remitans ke Indonesia dari Malaysia
adalah sebesar Rp.25.00, Saudi Arabia sebesar Rp.12.500-20.000, Brunei sebesar
Rp.100.000, Taiwan sebesar Rp. 62.500-75.000, Hongkong sebesar Rp.20.000-35.000.
Sedangkan bila dilakukan dengan cara informal, dari Malaysia sebesar Rp.5.000-12.000, dan
Hongkong sebesar Rp.20.000-40.000.(9)
Dikarenakan nilai tukar yang terlalu ‘jauh’ bila dengan ditukarkan di tempat- tempat
penukaran uang swasta di Indonesia (money changer), selain itu karena keawaman para TKI
kita terhadap jasa dan fasilitas perbankan, serta jumlah mereka yang lebih banyak bekerja di
sektor informal (seperti PRT), maka mereka lebih memilih untuk ‘menyembunyikan’ sendiri
uangnya (di lemari, bantal dll)(55) untuk kemudian dibawa ke tanah air pada saat pulang di
akhir masa kontrak kerja mereka. Sedangkan cara lainnya adalah dengan jalan dititipkan
12
Haery & Andi-Draft
kepada teman yang pulang ke tanah air. Selain itu, contohnya untuk beberapa TKI yang
bekerja di Malaysia, mereka dapat melakukan semacam ‘sum’ (pengumpulan) uang diantara
mereka (teman- teman sekampung) yang besarnya jauh lebih kecil dari biaya transfer uang
secara resmi. Dari uang yang dikumpulkan tersebut, bahkan jumlahnya dapat melebihi biaya
ongkos pulang dengan pesawat yang sekarang ini tersedia dengan biaya murah (sekitar
RM250 ~ RM400), memungkinkan mereka untuk membawanya langsung melalui salah
seorang di antara mereka ketika hendak pulang ke tanah air karena berlibur, kepentingan
keluarga, atau habis masa kontrak kerja. Selain di antara mereka saling diuntungkan, karena
‘tepat’ sampai kepada yang dituju, juga sekaligus mengikat ‘tali kekentalan persahabatan
atau perkerabatan’ di antara keluarga mereka. Dengan cara ini, di antara sanak keluarga atau
orang dari kampung mereka menjemput TKI yang membawa ‘titipan’ tadi di Bandara. Cara
ini juga sekaligus mengantisipasi praktek- parktek pemerasan yang dilakukan oleh para
penyedia layanan transportasi yang membawanya ke kampung halaman.
Pada kasus lain, untuk beberapa komunitas TKI (biasanya berdasarkan suku atau daerah)
seperti di Malaysia, mereka melakukannya dengan cara mempergunakan jasa di antara
individu di dalam komunitas tersebut dengan menjual jasanya melalui cara mengirimkan
SMS terhadap sanak/sahabatnya di tanah air untuk mentransferkan uang ke rekening yang
dituju. Sementara individu tadi menerima uang dari orang yang bermaksud mengirimkan
uang tadi setelah transaksi terjadi. Dalam kasus ini, diperlukan paling sedikit 4 orang yang
terlibat dan sistem transfer uang dalam bank yang sama melalui fasilitas ATM. Sedangkan
biaya yang dibebankan biasanya “harga teman” dan besar nilai tukarnya dapat didiskusikan
(ditawar) dan disepakati bersama dengan nilai tukar yang ‘cukup’ menguntungkan, sebab di
antara mereka saling berusaha mengetahui informasi terkini mengenai nilai tukar uang yang
ada. Perbedaan nilai tukar uangnya adalah lebih besar daripada nilai tukar uang di bank atau
bahkan money changer yaitu kurang dari Rp.150 per Ringgit, serta biaya pengiriman rata-
rata yang dibebankan adalah sebesar RM5.
Selain cara ini memudahkan mereka untuk tidak harus ‘repot’ menjangkau lokasi fasilitas
layanan pengiriman uang dari tempat mereka berada, serta relatif mudah, karena tiap- tiap
bulan ‘teman’ tersebut berkumpul di dalam pergaulan dan di acara- acara yang dibuat di
antara komunitas mereka. Beberapa perusahaan ‘money changer’ melakukan pendekatan ini
setelah konsumennya (TKI) mempergunakan jasa ‘money changer’ di tempat/kota lain
berhubung perbedaan nilai tukar. Misal: melakukan pengiriman dari ‘money changer’ di
Kuala Lumpur yang memiliki usaha sejenis/mitra di Indonesia. Padahal TKI tadi bertempat
tinggal di Melaka. Sehingga bila banyak TKI dengan jumlah yang sangat besar tersebut
bermaksud mengirimkan uangnya pada saat bersamaan, maka agen dari Kuala Lumpur
tersebut mendatangi mereka. Pemandangan seperti ini banyak terjadi saat para pekerja
bermaksud mengirimkan uang untuk Hari Raya sanak keluarganya di daerah asal mereka..
d. Telekomunikasi
Excelcomindo menawarkan program telekomunikasi melalui produk Jimat dengan harga Rp.
1000 per-menit ke Malaysia, Singapura, Hongkong, Tawan, dan China. Padahal dengan VoIP
saja harganya adalah Rp. 2500. Untuk melakukan SLI ke Indonesia, tarifnya adalah RM
0,45/menit. Hal ini dilakukan melalui kerjasama dengan Celcom Malaysia dan M1
Singapura.(41) Agar semakin banyak dipakai, produk Jimat dari Excelcomindo ditawarkan
bersama Xpac untuk memungkinkan orang asing di Malaysia (TKI, pelajar) mempergunakan
Xpac, sementara sanak keluarga atau kerabat di tanah air menggunakan Jimat. Targetnya
adalah 400 ribu pelanggan. Dalam hal ini Excelcomindo lebih membidik pasar ‘keluarga di
kampung halaman’.
13
Haery & Andi-Draft
Tidak mau ketinggalan, Indosat juga turut serta dengan menggarap pasar TKI di Hongkong
melalui produk Mentari Hongkong sebagai hasil kerjasama dengan CSL . Produknya lebih
dibidik untuk pasar TKI, yaitu dengan cara memberikan harga diskon untuk sesama grup
Indosat sebesar HK$ 0.68 per-menit, sedangkan tarif bagi pengguna di luar Indosat adalah
HK$ 0.86 per-menit. Jumlah pelanggan Mentari Hongkong saat kini sudah mencapai 15 ribu
orang, sedangkan jumlah TKI di Hongkong sendiri adalah sebanyak 112 ribu orang.
Dengan semakin banyaknya TKI yang bekerja di Malaysia, tidak ketinggalan juga orang-
perorangan berbisnis untuk menjual ‘isi ulang pulsa’ bagi operator- operator selular di
Indonesia. Ini dilakukan karena ‘keluarga di kampung halaman’ mengalami kendala
keuangan atau lokasi dalam membeli pulsa untuk melakukan telekomunikasi ke luar negeri.
Oleh karenanya, TKI di luar negeri tadi dapat membelikan pulsa ‘isi ulang’ selular di
Indonesia bagi sanak keluarga/ kerabat dari tempatnya bekerja dan mengirimkan ‘code pin’
untuk isi ulang pulsa tersebut ke tanah air. Sekalipun bisnis orang per-orangan ini kecil,
namun dapat memberikan penghasilan tambahan bagi TKI itu sendiri terhadap teman-
temannya. Malah sekarang isi ulang pulsa tersebut sekarang sudah dijual di kedai- kedai yang
berdekatan dengan lokasi para TKI berkumpul atau dekat tempat kerja mereka. Dalam kasus
ini, pasar yang dibidik adalah TKI, namun penggunanya adalah sanak keluarga TKI di
Indonesia.
2.2 Inovasi Bisnis dan Layanan Terhadap TKI yang Masih Terbuka Luas
a. Kriteria dan Jenis TKI Maupun Pekerjaan dan Mobilitasnya (kasus di Malaysia)
Berdasarkan Tabel 2, pada tahun 2001-2006 untuk misalnya negara tujuan Malaysia, jumlah
TKI di sektor formal adalah lebih banyak daripada di sektor informal. Ini bukan berarti
bahwa masalah yang dijumpai TKI seperti yang kita dengar dan lihat dari televisi dan surat-
surat kabar, seperti misal: gaji tidak dibayar atau terlambat, adalah terbatas hanya kepada
perlakuan majikan terhadap TKI di sektor informal saja (misal: pembaantu rumah tangga).
Sebab dalam masalah tidak dibayarkan gaji, ini juga terjadi pada sektor perkebunan/ ladang,
maupun infrastruktur/konstruksi yang dimasukan ke dalam kategori sektor formal. Sedikit
dan bahkan tidak ada data yang menyebutkan bahwa gaji yang tidak dibayarkan adalah
14
Haery & Andi-Draft
terjadi di sektor formal, seperti kilang atau pabrik. Untuk beberapa kasus, paling- paling
hanya terjadi keterlambatan pembayaran gaji yang dilakukan oleh agen ‘outsourcing’. Itupun
jumlahnya sangat kecil. Untuk kasus terlambat atau tidak dibayarkan gaji di sektor formal,
seperti konstruksi atau infrastruktur, lebih dikarenakan karakteristik majikan dan jenis
usahanya. Misal, bila majikan adalah kontraktor utama, maka pembayaran gaji selalu tepat
waktu. Namun jika kontraktornya adalah agen pemborong untuk kerja ‘borongan’ terhadap
satu atau dua jenis pekerjaan dari satu konstruksi/infrastruktur, maka akan sangat
berpengaruh terhadap lancarnya pengucuran dana dari kontraktor yang memborongkan
pekerjaan tersebut. Demikian juga terhadap kesinambungan dari pekerjaan terhadap pekerja
yang tergantung dari majikan yang mencari dan mendapatkan proyek di tempat- tempat lain.
Untuk kasus borongan pekerjaan terhadap unit- unit kecil suatu pekerjaan dari sub-kontaktor
yang mendapat borongan pekerjaan dari kontraktor, biasanya dilakukan oleh TKI senior yang
sudah berpengalaman dan lama bekerja. Sekalipun upah yang ditawarkan adalah besar,
namun cukup berat dan dibutuhkan keahlian khusus. Selain itu, kesinambungan ada tidaknya
pekerjaan adalah relatif tidak terjamin dibanding pekerja di bawah sub-kontraktor atau
kontraktor utama. Misal: pekerjaan ‘plester’ dinding, tukang tembok/susun bata dapat
mencapai RM65~80 per-hari). Sehingga dengan demikian, mobilitas keberadaan pekerja
adalah sangat dinamis dan tergantung di mana proyek pekerjaan infrastruktur/kontruksi
berada. Begitu juga upah yang dibayarkan adalah berdasarkan kerja harian dan dibayarkan
(gajian) 2X dalam sebulan, demikian pula dengan ada atau tidaknya jenis/spesifikasi
pekerjaan yang dibutuhkan. Sehingga mereka bahkan sering ‘dipinjamkan’ ke majikan
lainnya yang membutuhkan pekerja terhadap suatu proyek konstruksi/infrastruktur. Dengan
demikian, upah yang diterima menjadi relatif lebih rentan terhadap situasi lingkungan dan
sistem pekerjaan, walaupun upah harian pekerja di bidang ini adaah lebih besar dibanding di
sektor yang sama, misal: perkebunan (sawit) yang berkisar antara RM18~29 per hari,
pekerja kilang sebesar RM 450 hngga 600 per bulan.
Untuk kasus TKI yang bekerja di Malaysia, adalah jarang atau hampir dikatakan tidak ada
seorang TKI wanita yang bekerja di sektor informal (seperti pembantu rumah tangga atau
PRT) dalam menggunakan jasa layanan telekomunikasi seluler. Berbeda sangat terbalik bila
di banding TKI wanita di sektor formal yang bekerja di kilang. Demikian pula jika
dibandingkan dengan TKI di sektor yang sama di Hongkong. Hal ini dikarenakan TKI wanita
di sektor informal di Malaysia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tidak memiliki
waktu libur/ istirahat bekerja seperti TKI wanita di sektor formal tadi, maupun TKI wanita di
Hongkong yang memiliki waktu libur di akhir pekan (hari sabtu/ minggu atau hari libur
nasional). Sehingga dengan demikian, TKI wanita di sektor formal di Malaysia maupun TKI
wanita di sektor informal di Hongkong memiliki kesempatan untuk berkumpul bersama-
sama rekannya, yang dampaknya dapat dilihat dari ‘update’-nya cara hidup mereka terhadap
15
Haery & Andi-Draft
layanan jasa keuangan (money changer, memiliki ATM atau nomer rekening bank), gaya
berpakaian dan potongan rambut, serta memiliki handphone sebagai sarana telekomunikasi
yang mereka butuhkan. Paling sedikit 99% TKI wanita disektor formal sebagai pekerja
kilang di Malaysia, dalam jangka waktu sekurang- kurang 6 bulan telah memiliki handphone.
Begitu juga TKI wanita di sektor informal di Hongkong. Pemilahan ini secara relatif dapat
didasarkan juga pada faktor pendidikan dan umur, selain jenis pekerjaannya. Namun, untuk
TKI wanita yang memiliki jenis pekerjaan dengan waktu libur, maka paling tidak 1x dalam
sebulan. Mereka akan ‘pergi’ ke tempat keramaian untuk ‘hiburan’ sekaligus berbelanja,
mengambil uang di ATM atau mengirimkan uang ke tanah air, dan bersosialisasi dengan
rekan- rekan maupun komunitas mereka. Sekalipun demikian, masih jarang di antara mereka
menggunakan jasa dari institusi perbankan dalam mengirimkan uang. Ini karena di pusat
keramaian atau tempat mereka berkumpul, tidak tersedia atau kurangnya kantor- kantor jasa
layanan perbankan. Jika ada, itupun tutup dan libur beroperasi. Yang buka untuk
memberikan layanan hanyalah ‘money changer’. Selain itu, mereka terkendalakan dengan
cara pengisian form sebagai tata cara untuk mengirimkan uang yang membuat mereka
merasa tidak praktis (‘repot’) dan terasing karena keawaman mereka. Maka tidaklah heran,
sekalipun jika mereka menggunakan jasa perbankan, mereka sering terlihat ‘kaku’ dan
meminta bantuan petugas untuk mengisikan ‘form’ pengiriman uang bagi mereka.
Bedasarkan laporan Asian Development Bank, kebanyakan para pekerja asing mengirimkan
uangnya ke kampung halaman adalah ditujukan untuk orangtuanya, namun untuk pengiriman
uang dari pekerja asing Indonesia dari Malaysia merupakan perkecualian. Delapan puluh satu
persen pekerja asing dari Indonesia di Malaysia mengirimkan uangnya adalah kepada
suami/istri daripada kepada orangtuanya (68) (lihat Tabel 5)
Tabel 5 Penerima Remitans yang Dikirim
Dengan rata- rata jumlah dan frekuensi kiriman rutin sebagai berikut:
Sumber: Survey dari Kiriman Pekerja Asing, Regional Technical Assistance No.6212: SoutEst Asia Workers
Remittance Study, Asian Development Bank (68)
16
Haery & Andi-Draft
Sumber: Survey dari Kiriman Pekerja Asing, Regional Technical Assistance No.6212: SoutEst Asia Workers
Remittance Study, Asian Development Bank (68)
Tabel 8 . Jumlah Rata- Rata Pekerja Asing Wanita Terhadap Pekerja Pria
Sumber: Survey dari Kiriman Pekerja Asing, Regional Technical Assistance No.6212: SoutEst Asia Workers
Remittance Study, Asian Development Bank (68)
TKI pria disektor formal (infrastruktur/ konstruksi) termasuk paling aktif untuk keluar dari
lokasi penampungan mereka atau ‘tangsi’ ke tempat keramaian untuk mencari hiburan.
Selain untuk bersosialisasi (bergaul, ‘ngeceng cw-TKI, ‘nongkrong-nongkrong’), juga untuk
berbelanja pakaian. TKI pria di sektor formal di bidang infrastruktur atau konstruksi ini rata-
rata berumur antara 18 hingga 35 tahun dengan jumlah antara 70% hingga 85% dari TKI pria
di sektor formal yang sama. Dalam beberapa kasus, kedatangan mereka ke tempat keramaian
untuk menghiburkan diri lebih kerap daripada TKI wanita di sektor formal. TKI di sektor
formal lainnya, seperti perkebunan, cukup mengalami kendala untuk pergi ke keramaian dan
17
Haery & Andi-Draft
mencari hiburan disebabkan lokasi penampungan mereka cukup jauh dari kota, jalan raya
dan minimnya akses transportasi. Maka, terkadang hanya 1x dalam sebulan mereka keluar ke
tempat keramaian saja belum tentu. Itupun biasanya dilakukan oleh TKI dengan rata- rata
golongan umur muda dan statusnya legal. TKI gelap atau ilegal cenderung menghindarkan
diri dari keramaian demi keamanan mereka.
Jasa keuangan dan layanan telekomunikasi yang tersedia adalah lebih menyentuh TKI
dengan karakteristik TKI di sektor formal di bidang infrastrukutur/ konstruksi dengan jenis
kelamin pria dan TKI wanita di sektor formal, seperti kilang. Sekalipun besaran untuk
kelompok TKI pria di sektor formal (infrastruktur/konstruksi) masih lebih kecil dibanding
TKI wanita di sektor formal dalam mempergunakan jasa layanan perbankan, namun TKI pria
di sektor formal antara bidang infrastruktur/ konstruksi dan perkebunan adalah hampir sama
jumlahnya dalam mempergunakan jasa layanan telekomunikasi. Yang menarik adalah,
penggunaan layanan telekomunikasi untuk TKI pria formal (infrastruktur/konstruksi) lebih
besar dikosumsi untuk telekomunikasi dengan bukan sanak keluarga/kerabat di tanah air
dibandingkan TKI wanita sektor formal, yang proporsi kosumsi layanan jasa
telekomunikasinya tersebut hampir sama antara ke tanah air dan ke rekan- rekan sesama
TKI.
Gambaran kasar akan mobilitas TKI dan kosumsi uang yang mereka pergunakan dapat
dilihat sekilas dari ‘hiburan’ yang mereka dapatkan dari ‘manggungnya’ artis- artis ‘band’
dari Indonesia. Sama halnya dengan TKI formal di Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang dan
juga TKI wanita di sektor informal di Hongkong. Kehadiran kelompok ‘band’ yang konser di
negara- negara tersebut bukan berarti bahwa jumlah masyarakat negara- negara tersebut
menjadi proporsi terbesar sebagai penonton hiburan tersebut. Yang ‘gempar’ adalah
sambutan dari TKI itu sendiri. Di sisi lain, (untuk kasus di Malaysia) dapat pula diamati dari
tersedianya layanan penjualan jenis makanan dan masakan, serta rokok merk Indonesia.
Sehingga bila di suatu tempat ada layanan penjualan makanan dan masakan Indonesia, maka
dapat diartikan bahwa konsumen terhadap usaha tersebut terbentuk atau dibentuk untuk
menampung atau berkumpulnya orang- orang Indonesia sebagai sebuah bisnis yang
menguntungkan. Secara kebetulan pula, pemilik atau penjualnya pun adalah orang Indonesia
yang sudah menjadi warga atau penduduk tetap negara tersebut. Bila kita kaitkan dengan jasa
layanan keuangan dan telekomunikasi, maka bisnis yang aktif terhadap pasar TKI adalah
bisnis jasa perbankan dan telekomunikasi di area tersebut.
Mengambil kasus untuk rokok dengan merk buatan Indonesia, terbukti di mana TKI tinggal
atau sering berkumpul, bila di daerah tersebut ada rokok ‘gelap’ (seludupan) dengan merk
dari Indonesia langsung dengan cukai harga rupiah yang tertera, maka usaha kelontong di
daerah atau tempat tersebut juga menjual produk- produk dari Indonesia lainnya atau
setidaknya perputaran barang kosumsi di ‘kedai’ atau toko tersebut begitu diuntungkan
dengan konsumennya yang kebanyakan adalah orang Indonesia (TKI).
Tidaklah heran, jika interaksi dari pendatang dengan budaya dan gaya yang dibawanya
terhadap orang lokal, maka budaya dan gaya tadi kemudian saling berbaur dan
18
Haery & Andi-Draft
19
Haery & Andi-Draft
Namun demikian, pengiriman untuk ‘Hari Raya’ bagi keluarga di tanah air hampir semua
dilakukan oleh TKI, baik legal maupun illegal, disektor formal maupun informal. Untuk TKI
di sektor informal (yang bekerja sebagai PRT), pengiriman uang untuk ‘Hari Raya’ bahkan
sebesar uang tabungan dari upah bulanan yang telah mereka kumpulkan.
Untuk TKI wanita di sektor formal, adalah lebih besar dalam hal mengirimkan uang, baik
dalam hal menggunakan jasa layanan keuangan (bank maupun bukan bank) dibanding TKI
pria di sektor formal. Hal ini dikarenakan TKI wanita formal lebih ‘mampu’ mendisiplinkan
dirinya dalam ‘menabung’ dan membantu sanak keluarga di tanah air. Keteraturan sistem
penggajian mereka melalui sistem perbankan, memungkinkan mereka melakukan
perencanaan keuangan dengan lebih pasti. Di sisi lain, pengiriman uang di antara sesama TKI
pria formal adalah lebih banyak dilakukan oleh TKI pria yang telah berkeluarga, di mana
kirimannya diperuntukkan untuk pembiayaan sekolah anak dan kebutuhan sehari- hari
keluarga (istri & anak) di tanah air (lihat Tabel 5).
Semakin seringnya TKI pria yang bekerja di sektor formal dalam mengirimkan uang, maka
berkorelasi terhadap semakin kecilnya proporsi penggunaan biaya telekomunikasi, baik
dilakukan terhadap keluarga ataupun teman. Kesadaran terhadap penggunaan uang di dalam
kosumsi layanan telekomunikasi mempengaruhi besarnya tabungan yang lebih dimanfaatkan
untuk dikirimkan. (bagi TKI formal yang berkeluarga, baik legal maupu illegal). Semakin
muda umur dari TKI formal, maka perencanaan terhadap keuangan untuk tabungan atau
pengiriman uang semakin tidak baik.
20
Haery & Andi-Draft
WANITA
TKI Formal Kilang 65~80% nKRDB>TKU, KBDB>KUDB nMH>TH KDT>KDH
TKI Informal PRT 75-90% KRDB<TKUn, TKSn MH<THp pKDT< KDH
(Legal)
Keterangan:
(KRDB) Kiriman rutin per-bulan/ per-2bulan
(TKU) Tidak mengirim uang dengan rutin
(KBDB) Kiriman bukan dengan Bank
(TKS) Tidak mengirim uang tetapi disimpan
(KHR) Kiriman untuk hari raya
(KUDB) Kiriman uang dengan Bank
(KDT) Telekomunikasi dengan teman
(KDK) Telekomunikasi dengan kerabat di tanah air
(MH) Memiliki Handphone
(TH) Tidak memiliki Handphone
(n) Preferensi meningkat/ membesar hingga 90%
(p) Preferensi menurunmenurun hingga di bawah 10%
Gambar 3. Jenis TKI terhadap Layanan Pengiriman Uang dan Kosumsi Telekomunikasi
Secara rata- rata, TKI wanita, baik di sektor formal maupun informal lebih baik dalam
rutinitas mengirimkan uang dan menabung daripada TKI pria. Namun demikian, di sisi lain,
kosumsi penggunan biaya layanan telekomunikasi TKI pria lebih besar daripada TKI wanita
di sektor formal dan informal. Terkecuali untuk TKI pria dan wanita di sektor formal yang
telah berkeluarga. TKI pria yang telah berkeluarga adalah lebih besar mengeluarkan biaya
untuk bertelekomunikasi SLI ke tanah air daripada TKI wanita yang telah berkeluarga,
sekalipun masih lebih kecil daripada TKI wanita yang belum berkeluarga. Lebih besarnya
TKI pria di sektor formal dalam menggunakan telekomunikasi, terutama TKI pria yang
belum menikah, adalah dikarenakan mereka sering mengadakan hubungan telekomunikasi di
antara sesama mereka yang jaraknya cukup berjauhan, dan bahkan digunakan untuk mencari
‘teman’ TKI wanita hingga antar negara (misal: ke Hongkong dan Taiwan). Selain itu,
karena lokasi tempat TKI formal tadi berada (selain TKI pria di kilang) adalah pada
kelompok- kelompok penampungan atau ‘tangsi’ yang berbeda, tergantung di mana proyek
berada.
21
Haery & Andi-Draft
menggunakan jasa layanan perbankan. Ini berarti, bahwa sekalipun pengiriman uang
merupakan kebutuhan, namun penggunaan jasa perbankan masih merupakan kendala atau
terbatas.
Sumber: Athukorala (1993) and Survey of Policymakers, POEA Functionaries (Philippines Overseas Employment
Administration) and Overseas Filipino Workers, April 1998.
Besaran uang yang dibawa ke rumah sebanyak 35.2% dan jumlah pengunaan saluran ‘bukan
bank’ sebanyak 56%, membuktikan bahwa jasa layanan perbankan tidak seluruhnya tepat
sasaran terhadap apa yang mereka butuhkan. Berdasarkan kasus ini, maka dapat diperkirakan
bahwa ketersediaan jasa layanan bank adalah bukan salah satu faktor utama terhadap
besarnya uang kiriman. Tetapi juga tergantung apa keuntungan bagi pekerja itu sendiri.
Padahal jumlah remitans itu sendiri dari tahun ke tahun meningkat (gambar 5),64) demikian
juga terhadap pekerja- pekerja asing dari negara- negara sedang berkembang (gambar 6), (65)
misalnya Indonesia.
Mengikuti jejak ‘penghibur’ tanah air melalui konser- konser ‘band’ di tempat TKI kita
bekerja di luar negeri, pihak perbankan dan penyedia layanan telekomunikasi ramai- ramai
menggali potensi pasar tersebut sebagai salah satu raihan keuntungan. Namun apa yang
dilakukan masih sebatas untuk mendatangi mereka. Padahal, pihak perbankan atau penyedia
layanan telekomunikasi bukan ‘penghibur’ seperti kelompok- kelompok ‘band’ tadi, dan
mungkin kehadiran merekapun tidak terlalu dirasakan manfaatnya bila hanya sebatas tampil
hadir di tengah- tengah mereka.
Gambar 5. Aliran Remitans dan Kapital Swasta ke Filipina, tahun 1978 – 2001
22
Haery & Andi-Draft
Menyimak dari strategi Mentari Hongkong atau Jimat-Xpac, sekalipun klaim pelanggan
mereka bertambah, namun tidak tercatat secara tangible maupun intangible seberapa besar
keuntungan yang dapat diperoleh sebagai dampak dari kehadiran dan tawaran layanan
mereka melalui sambutan yang baik sebagai ‘penolong’ dan mitra dari keberadaan para TKI,
apalagi dalam memperbaiki dan meningkatkan hidup mereka. Hal ini juga berlaku terhadap
jasa perbankan. Para TKI tahu, bahwa mereka tidak mendapatkan seberapa keuntungan dari
pengiriman uang ketika mereka bekerja di luar negeri, terkecuali harus membayar biaya
kirim dan nilai tukar yang seakan-akan ‘mengambil’ uang mereka. Belum lagi biaya
korespondensi yang dikenakan oleh pihak bank di dalam negeri terhadap uang yang mereka
kirimkan.
Mereka merasa untung, karena mereka dapat bekerja di luar negeri untuk memperoleh
kesempatan dalam mendapatkan uang dari upah kerja mereka. Calo, PJTKI, Depnakertrans,
Imigrasi, Asuransi, apalagi sekarang pihak perbankan ataupun lainnya, dalam ‘kacamata’
mereka adalah datang dan hadir semata- mata dengan ‘biaya’. Sekalipun demikian, bagi
mereka kehadiran Calo dan PJTKI adalah sebagai perkeculaian, karena memberikan mereka
‘peluang’ untuk ‘mengadu’ nasib di negeri orang dengan cara bekerja dan memperoleh upah.
Untuk itu, sekalipun usaha dan tawaran yang dilakukan oleh perbankan dalam negeri dalam
menawarkan ‘kredit’ bagi pemberangkatan TKI ke luar negeri adalah cukup baik, namun
karena prosedurnya ‘cukup sulit’ diketahui dan dilaksanakan karena keawaman mereka
terhadap layanan perbankan, maka sosialisasinya masih perlu ditingkatkan. Di sisi lain, cara
pengiriman yang mudah dengan tawaran melalui ‘SMS’ akan membantu dan memudahkan
mereka dalam mengirimkan uangnya.(66) Namun apakah kemudahan ini akan melonjakan
jumlah pengiriman uang hanya karena kemudahan ini saja adalah masih perlu dikji lebih
lanjut Sekalipun potensi kiriman uang dari TKI ilegal dapat ditangkap dengan cara ini,
namun secara menyeluruh kebutuhan untuk mengirimkan uang sebenarnya hanya terbatas
ketika keperluan atau kepentingan itu ada. Bukan ketika pada keadaan membutuhkan atau
menjadi kebutuhan.
23
Haery & Andi-Draft
Hingga kini, belum ada jasa perbankan lokal yang menangkap suatu perspektif bahwa TKI
yang bekerja di luar negeri memiliki keinginan yang berkenaan dengan keadaan mereka di
dalam negeri, baik saat mereka tengah bekerja di luar negeri maupun nanti ketika mereka
pulang dari luar negeri. Bekerja di luar negeri merupakan alternatif untuk mendapatkan uang
dengan cara bekerja di tengah- tengah semakin sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri,
yang kemudian upah dari hasil pekerjaan tersebut dikirimkan dan digunakan di dalam
negeri.(Tabel 8, untuk makanan 72%, rumah 55% dan pendidikan 53%). Pihak perbankan
dan penyedia layanan telekomunikasi masih berpikir bahwa TKI yang bekerja di luar negeri
adalah bertahan untuk bekerja di luar negeri dan kembali pulang sebagai suatu siklus, untuk
kemudian kembali ke luar negeri. Padahal pekerjan itu sendiri semakin hari menjadi lebih
temporer.(6) Sekalipun hal ini tampaknya adalah benar untuk beberapa TKI dengan
karakteristik daerah asal mereka (misal: warga di kabupaten- kabupaten di Jawa Timur),
namun sebagian besar TKI lebih memilih untuk pulang dan berusaha di daerah asal mereka
setelah tabungan yang mereka peroleh cukup, atau usaha yang dikembangkan dari tabungan
tersebut dirasakan cukup untuk masa depan mereka. Perilaku dan pola kebijakan pemerintah
daerah yang berbangga dengan devisa yang didapatkan dari hasil kiriman TKI yang bahkan
lebih besar dari PAD-nya, ternyata hanya sebatas: Bangga!
d.2 Potensi ekonomi daerah asal TKI sebagai lahan bisnis baru perbankan
(i). Ternak atau Hasil Alam
Pemerintah pusat dan daerah mengeyampingkan potensi kiriman TKI yang dapat menjadi
roda penggerak ekonomi daerah. Sebagai misal, kebutuhan nasional akan daging yang
selama ini diimpor dari luar negeri karena suplai dalam negeri tidak mencukupi, tidak
disambut sebagai usaha yang sinkron untuk pengembangan di sektor ini. Daerah NTB
misalnya, yang merupakan penghasil daging nasional dari ternak sapi, sekaligus juga
penghasil TKI keluar negeri, dapat disinkronkran dengan pola pinjaman kredit yang dapat
diberikan oleh jasa perbankan nasional bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam
menyediakan bibit- bibit ternak dan ‘juru- juru’ penyuluh peternakan. Pemberian kredit
kepada keluarga TKI dengan jaminan uang kiriman TKI dan sapi itu sendiri, merupakan
suatu lahan bisnis bagi jasa perbankan nasional. Sementara di sisi lain, TKI akan berdisiplin
dalam mengirimkan uangnya dengan harapan bahwa uangnya menjadi produktif karena sapi
tadi dipelihara keluarganya untuk dikembangbiakkan. Sehingga TKI merasakan keuntungan
sebagai sebuah kebutuhan daripada sekedar mengirimkan uang saja. Mengingat jumlah TKI
yang dikirimkan ke luar negeri adalah sebagian besar wanita, ‘unskilled’ , dan berasal dari
golongan tidak mampu, maka tawaran ini akan menarik bagi mereka maupun keluarganya
dalam usaha untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Demikian juga terhadap TKI dengan
rata- rata umur yang lebih muda. Sehingga mereka dapat memiliki ‘target’ untuk melakukan
perencanaan keuangan dengan baik. Dengan cara ini, ketertarikan mereka terhadap jasa
perbankan yang menawarkan layanan terhadap kredit di tanah air adalah semakin tinggi
karena mereka merasakan suatu keuntungan di masa depan.
24
Haery & Andi-Draft
relatif kecil. Untuk itu, peran perbankan dalam memberikan kredit terhadap kedua daerah
tadi adalah dapat dilakukan dalam konteks yan berbeda, namun tujuan yang sama. Misalnya,
pemberian kredit cicilan motor. Pemberian kredit cicilan ini dapat diartikan hanya sebatas
barang kosumsi saja ketika produk ini lebih diperuntukkan terhadap kebutuhan sehari- hari.
Berbeda halnya, jika produk ini dipergunakan untuk mobilitas ke pasar atau sebagai angkutan
barang, dan juga ojek. Karena di dalamnya unsur ekonomi dan produktif terlibat. Pelibatan
jasa perbankan dapat didiversifikasikan kepada alat- alat transportasi atau pendukung
ekonomi, misalnya dalam tehadap penyediaan alat- alat mesin pertanian seperti: traktor
tangan, mesin pompa air, alat/mesin peranggas dan pengering padi, alat penggiling padi, alat
pengolah singkong, alat angkutan seperti truk atau pick-up, dan lain sebagainya sehingga
property para keluarga TKI lebih bermanfaat sebagai barang produksi.
Dengan trend yang tercipta tanpa sengaja, para TKI dapat dijadikan ‘informan’ pasar untuk
segera ditanggapi dengan suplai penyediaan produk- produk yang dapat dilakukan melalui
usaha dari UKM di daerah asalnya sebagai komoditas ekspor. Untuk itu, peran pemerintah
daerah dalam mendukung dan mengasah naluri bisnis para TKI dapat dijadikan salah satu
program dalam peningkatan ekonomi daerah terhadap pertumbuhan UKM di daerah. Seperti
misalnya di Malaysia, di mana produk- produk ‘furniture’ dari kayu jati yang didatangkan
dari Indonesia adalah digemari kalangan atas dan berada.
3.0 PENUTUP
Bidang bisnis terhadap TKI masih tebuka luas untuk digarap. Selain jenis dan kategori dari
TKI menurut lapangan pekerjaan yang tersedia (60), juga jasa layanan, seperti: keuangan
pendidikan, kesehatan, telekomunikasi, dan penempatan terhadap TKI itu sendiri. Misalnya,
25
Haery & Andi-Draft
jasa layanan untuk kepemilikan barang atau cicilan barang, rumah, atau kendaraan bermotor
di tanah air dapat dilakukan dengan cara mendekatkan institusi perbankan dalam negeri
dengan keberadaan TKI dan sekaligus menyediakan saluran melalui jaringan perbankannya
di tanah air yang dekat dengan kampung halaman tempat TKI berasal, di mana sanak saudara
mereka dapat merasakan keuntungan dari layanan dan fasilitas dengan kehadiran jasa
perbankan tersebut. Dengan hal ini, akan mendisiplinkan TKI yang berkerja di luar negeri
untuk menginvestasikan uangnya ke dalam bentuk setoran tabungan atau cicilan kredit,
sehingga mereka dapat mentargetkan dirinya untuk kepemilikan sesuatu barang atau produk
dengan uang jerih payah mereka setelah sekian lama bekerja.
Dengan penyediaan layanan tersebut, maka usaha- usaha dari insitusi layanan perbankan
makin dapat dimaksimalkan dan lalu lintas uang antar negaral semakin besar, termasuk pula
untuk mengantisipasi lalu lintas pencucian uang. Di sisi lain, usaha- usaha di tanah air yang
terkait dengan jasa perbankan akan semakin cepat berkembang sehingga laju pertumbuhan
ekonomi di daerah semakin cepat bergerak, yang pada giirannya didorong untuk
menumbuhkan dan mendukung UKM dan sektor informal lainnya
Ini artinya adalah, bahwa jasa perbankan harus mampu memberikan tawaran yang menarik
terhadap potensi keuangan yang para TKI dapat peroleh untuk dikirimkan sebagai tabungan
di dalam negeri. Selain tawaran untuk kemudahan pengiriman uang maupun kemudahan
untuk memperoleh kredit ‘ongkos’ ke luar negeri untuk bekerja sebagai TKI, juga untuk
mendukung UKM di daerah asal TKI dalam mengekspor produk- produknya ke mana tempat
TKI berada. Jasa layanan perbankan dalam meraup raihan yang menguntungkan dari para
TKI dapat dilakukan dengan cara membuat TKI mengirimkan uang sebagai suatu
‘kebutuhan’ dan hal yang menguntungkan. Sebab mengirimkan uang bagi TKI selama ini
adalah sebagai suatu ‘kewajiban’ bagi keluarga dan sekedar tabungan/simpanan untuk
rencana dan bayangan hari esok terhadap hidupnya. Sehingga penyimpanan uang yang
dikumpulkan sebagai tabungan dan membawanya sendiri ke tanah air ketika pulang, masih
merupakan cara yang terbaik bagi mereka untuk memastikan bahwa tabungan dan uang
mereka tidak ‘diambil’ oleh orang lain.
Pengiriman TKI formal untuk bidang- bidang pekerjaan yang berpenghasilan lebih besar
(misal: perawat)(2) akan terpicu dengan keberadaan pihak perbankan yang turut serta dalam
memberikan kredit terhadap pendidikan atau latihan serta kemahiran terhadap bidang –
bidang yang peluangnya masih terbuka luas. Bukan lagi TKI informal ‘stupid yet loyal’ yang
bekerja sebagai pembantu(55) Dengan pengiriman TKI ke luar negeri, kesempatan ini harus
ditangkap sebagai keuntungan ‘domino’ yang dapat diraih terhadap bidang perekonomian
dan pendidikan di daerah. Dengan pengetahuan akan jenis pekerjaan di negara- negara
tujuan, maka balai- balai latihan kerja dan kursus- kursus (seperti: bahasa, bengkel, menjahit,
dsb.) dapat berkembang di masyarakat untuk menghasilkan standar ‘knowledge’ TKI yang
diinginkan oleh negara- negara yang membutuhkan. Tenaga kerja ke luar negeri masih
terbatas dari daerah tertentu dan baru dipasok dari 10% hingga 15% kabupaten di seluruh
Indonesia (51)
Kesemua itu tidak lepas dari peran dan perhatian pemerintah, terutama pemerintah daerah
dalam mengkonsolidasikan dirinya terhadap upaya pengiriman warganya menjadi TKI di luar
negeri. Bukan hanya sekedar berbangga dengan besar devisa yang diraih dikarenakan
melebihi PAD saja, namun juga semakin bergeraknya lapangan usaha di daerah tersebut
untuk menyerap jumlah tenaga kerja dan pengangguran yang dari tahun ke tahun semakin
meningkat(1)(61). Pemerintah harus dapat bergerak secara aktif untuk melayani warganya
26
Haery & Andi-Draft
dalam mensejahterakan rakyatnya seperti apa yang dimaksud terhadap otonomi daerah yang
digulirkan dalam kebijakan nasional.
Sekalipun potensi daerah terhadap PAD dari sumber daya alamnya kurang, namun kemajuan
suatu daerah dapat dinilai dari semakin kecilnya tingkat kemiskinan dan jumlah
pengangguran, disamping meningkatnya tingkat rata- rata pendidikan dan kesehatan
Sekalipun untuk itu dilakukan dengan cara mengirimkan banyak warganya menjadi TKI.
Dengan cara ini, devisa yang masuk tersebut dapat dianggap sebagai sumber pemasukan
daerah yang merupakan anggaran belanja daerah yang dilakukan oleh para TKI dan
keluarganya.
Sekalipun keberadaan TKI di luar negeri banyak bermasalah, yakni sekitar 10%,(19) di mana
kira- kira 80% kontribusi masalahnya ada di dalam negeri (60) yang melibatkan Pemerintah
Pusat dan Daerah, seperti: Bea Cukai, Imigrasi, Polisi, Pengelola Bandara, Depnakertrans,
Depdagri, Depkes, Deplu, maupun PPTKIS d/h PJTKI dan Calo, serta hal tersebut
bertentangan dengan penegasan Juru Bicara Presiden, Andi Alfa Mallarangeng yang
mengatakan bahwa, proses pengurusan TKI saat ini ke luar negeri justru lebih murah dan
lebih mudah (30), namun masalah tersebut harus dijadikan suatu peluang baru dan pendorong
bagi pembentukan strategi dalam mensejahterkan rakyat dengan cara melakukan strategi
dalam bidang pendidikan dan latihan untuk keahlian, jenis UKM untuk dibangun,
peningkatan kesehatan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pembenahan sistem dan keseriusan di dalam
negeri (2)(12)(22)(29)(61)(62) melalui kerja keras, (16) dan transparasi, akuntabilitas publik,
supremasi hukum, partisipasi masyarakat, efisiensi dan efektiftas, peduli stakeholder,
kesetaraan, berorientasi konsensus, dan bervisi strategis. (8)(13)(8) terutama bagi TKI yang
bekerja di sektor informal, (misal: pembantu), di mana mereka berpotensi dalam ‘double
exploitation’.(55)
Maka yang terpenting adalah bukan kebijakannya, tetapi pelaksanaan di lapangan.(2) Adalah
suatu kenaifan dan kebodohan bila pemerintah membiarkan praktek tercela ini terus berlanjut
(12)
Penulis:
Haery Sihombing dan Mochamad Syafarudin adalah TKI di Malaysia.
27
Haery & Andi-Draft
28
Haery & Andi-Draft
26. “Saatnya Ada Lembaga TKI di Bawah Presiden,” Majalah Nakertrans Edisi No.05, TH. XXIV-
Desember 2004
http://www.nakertrans.go.id/arsip_berita/naker/lembaga_tki.php
27. “Permintaan Calon Tenaga Kerja ke Jakarta Meningkat, Disnakertrans Dipadati Pencari Kerja
,” 25/10/2007
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11665&Itemid=47
“Kartu Kuning Dari Depnaker,”
http://www.dunia-ibu.org/sharing/index.php?id=449
28. “ Rp. 41.027.145.936,- Dari TKI Untuk Lamongan,” 03/10/2006,
http://www.lamongan.go.id
29. “Devisa TKI Asala Ponorogo Turun Hingga Rp. 750 Miliar ,” Media Indinesia (Ant/OL-1)
http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=144412
30. “Masalah TKI Makin Rumit.” Republika, 28/09/2007
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=305788&kat_id=3
31. “BRI Biayai Pengiriman TKI ke LN,” Suara Merdeka, 25/01/2006
http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/25/eko05.htm
32. “Bank- Bank Berebut Dana TKI, Target 2009, Devisa Dipatok Rp. 186 T,” Surya Online,
07/05/2007
http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=8902
33. “Akibat Perubahan UU, Jumlah TKI Asal Sumut Ke Luar Negeri Menurun ,” no.16 Sinar
Indonesia Baru, 16/11/2007
http://hariansib.com/2007/11/16/akibat-perubahan-uu-jumlah-tki-asal-sumut-ke-luar-negeri-menurun/
34. “Dipertanyakan, Kewajiban Calon TKI Buka Rekening di Bank BNI,” Kompas, 14/09/2004
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/14/ekonomi/1265534.htm
35. “Anggota Komisi V DPR RI Kunjungi Jatim,” 20/07/2004,
http://www.d-infokom-jatim.go.id/news.php?id=1395
36. “Kabupaten Malang Beri Kredit Calon TKI ,” Tempointeraktif, 06/04/2006
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2006/04/06/brk,20060406-75932,id.html
37. “Nominalnya hingga Rp. 10 juta ,” Kompas, 17/10/2006
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/17/Jabar/6864.htm
38. Tupani, D. ,“BNP2TKI Naikkan Upah TKI di 8 Negara,” Media-Indonesia, (CR-79/Ol-03)
http://www.bnsp.go.id/default.asp?go=news&id=51 atau http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=139895
39. “DiGi & Citi Ofer SMS Global Remit ,” 07/11/2007,
http://www.citigroup.com/citigroup/press/2007/071107b.htm
40. “TKI, Garapan Baru Operator Seluler ,” Majalah Swa, 11/12/2006
http://www.swa.co.id/swamajalah/tren/details.php?cid=1&id=5284
41. Mohammad, A ,“XL dan Celcom Sediakan Kartu Perdana untuk TKI,” Majalah Swa,
16/10/2007
http://www.swa.co.id/primer/pemasaran/strategi/details.php?cid=1&id=4989
42. Mohammad, A “Bank Mandiri dan Telkomsel Luncurkan m-ATM ,” Majalah Swa, 21/05/2005
http://www.swa.co.id/primer/manajemen/strategi/details.php?cid=1&id=2849
43. “The World’s First International Mobile to Mobile Remittance Service by Maxis and Globe,”
30/05/2007,
http://www.maxis.com.my/mmc/index.asp?fuseaction=press.view&recID=298
44. ”The Mobile Phone Revolution: Opportunities to Scale Up Microfinance,” Microfinance n South
Asia, Today & Tomorrow,” the Consutative Group to Assist the Poor (CGAP), New Delh,
06/12/2005,
http://siteresources.worldbank.org/INTINDIA/Resources/MAMERTO_PRESENTATION.pdf
45. “Konsorsium Asuransi TKI Banting Harga,” Pikiran Rakyat, 24/01/2007
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/24/0603.htm
46. Presentasi Skema Kerjasama PJTKI-Bank Mandiri untuk Kredit Penempatan TKI di Taiwan,
Asoasi Jasa Penempatan Asia Pacific
www.ajaspac.com/images/PRESENTASI%20Kredit%20TKI-MANDIRI%201.pdf
47. “Biaya TKI Dipangkas,” Repubilka, 29/12/2006
http://www.republika.co.id/kirim_berita.asp?id=277118&kat_id=6&edisi=Cetak
48. Undang- Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 2004 “Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.”
http://www.nakertrans.go.id/perundangan/undang-undang/uu_39_2004.php
49. “Pemohon Kartu Kuning Naik ,” Kompas-Jawa Barat, 30/07/2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/30/Jabar/1938421.htm
50. “Disnaker Gresik Pungut Biaya Kartu Kuning,” Kompas-Jawa Timur, 11/02/2003
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/11/jatim/125267.htm
51. “BNP2TKI Rintis Bursa Kerja Kecamatan ke Mancanegara,” Pikiran Rakyat, 21/04/2007
29
Haery & Andi-Draft
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/21/0405.htm
52. “PJTKI Laporkan BNP2TKI ke KPK,” Antara News, 21/08/2007
http://www.antara.co.id/arc/2007/8/21/pjtki-laporkan-bnp2tki-ke-kpk/
53. “Bank Muamalat Indonesia Offers Teasury Remittance in Malaysia,” AsiaPulse News,
29/10/2007
http://www.zibb.com/article/2108920/BANK+MUAMALAT+INDONESIA+OFFERS+TREASURY+REMITTANCE+IN+MA
LAYSIA
54. “Global Economic Prospet 2006: Economic Implication of Remittance and Migration 2006,”
World Bank, p.143
55. Loveband . ,”Positioning he Product: Indonesian Migrant Women Workers in Contemporary
Taiwan,” SEARC Working Paper Series, No. 43 April 2003,
http://www.cityu.edu.hk/searc/WP43_03_Loveband.pdf
56. Bandiyono, S. and Alhar, F. ,”A Review of Research Work on International Migration in
Indonesia.”
http://www.unesco.org/most/apmrlabo5.doc
57. “Dubes Wayarabi: Meningkat Jumlah TKI di Malaysia,” Kompas, 27/05/2007.
http://kompas.com/kompas-cetak/0305/27/ekonomi/332971.htm
58. ”Polisi Jangka Sederhana dan Panjang Untuk Pekerja Asing Akan Digubal,” Bajet Malaysia
2005-harian Bernama, 10/09/2004
http://web5.bernama.com/budget2005/news.php?id=91723&lang=my
59. Firdausy, C.M.,”Support Systems to Assist Women in The Pocess of Migraton: The Case of
Indonesia.” UNFPA-IO Expert Group Meeeting – Female Migrants: Bridging the Gaps
Throughout the Life Cycle, New York, 2-3 May 2006, p.39-44
60. “Beda TKI di Asia Tmur dan timur Tengah,” Akses, Hukum Edisi VI, 2007,
http://www.aksesdeplu.com/beda%20TKI%20di%20asia%20timur.htm
61. “TKI ‘Pahlawan’ Keluarga dan Devisa yang Dirundung Masalah,” Republika, 22/10/2007
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=310928&kat_id=&kat_id1=&kat_id2=
62. “Pemerintah Didesak Lebih Melindungi TKI,” Bisnis Indonesia, 25/08/2007
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/umum/1id20045.html
63. Puri, S. and Ritzema, T. ,”Migrant Worker Remittances, Microfinance and The Informal
Economy: Prospect and Issues,” ILO Working Paper No.21
64. Ratha,D. “Worker’s Remittances: An Important and Stable Source of External Development
Finance.” World Bank, Global Development Finance: Striving for Stability in Development
Finance, Volume 1; nalysisi and Statistical (157-175), Washington, D.C.: World Bank
65. Ratha, D., Mahopatra, S. , K.M Vijayalaksmi, Zhimer X ,”Remittance Trends 2007.” Migration
and Development Brief 3 , Development Prospects Group, Migration and Remittances Team,
Wold Bank Report, 29/11/2007
66. Orozco, M and Ferro, A. “More on Mobile Remittance Scheme.” Migrant Remittances.
November 2007, Vol.4, No.5, p.3
http://www.sendmoneyhome.org/resources/Press/Migrant%20Remittances--NOV%202007.pdf
67. “Studi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Ditinjau Dari Aspek Pembiayaan,”
http://202.78.200.96/hasil_penelitiannaker/perlindungan_tki.php
68. Workers’ Remittance Flows in Southeast Asia, Asian Development Bank Report 2006,
Pubilication No. 011806
30