Professional Documents
Culture Documents
Oleh
Ridwan Khairandy
A. Pendahuluan
Persoalan korupsi bagi Indonesia telah masalah bangsa yang sangat
mengkhawatirkan. Ia telah merambah ke dalam berbagai sektor kehidupan negara.
Walaupun telah banyak upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut,
namun hasilnya dirasakan belum terlalu menggembirakan. Hal tersebut diakui sendiri
oleh Presiden .
Di tengah upaya penyidikan dan penuntutan oleh aparat penegak terhadap
kasus korupsi di berbagai BUMN, khususnya Perusahaan Perseroan (Persero) yang
begitu gencar, ternyata menimbulkan banyak kritik. Aparat penegak hukum seringkali
dikatakan tidak memahami konsep badan hukum, seperti Perseroan terbatas (PT) atau
Perusahaan Perseroan (Persero). Juga tidak dipahami benar apa konsekuensi yuridis
penyertaan modal oleh negara dalam bentuk kekayaan negara yang dipisahkan dan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akibatnya, tindakan aparat untuk memberantas
korupsi di BUMN ternyata bertentangan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (dulu UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas) dan UU No. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menjadi dasar eksistensi dan
kegiatan perusahaan dimaksud.
memahami makna dan konsekuensi badan hukum, akan didapat pemahaman yang utuh
tentang Persero.
Pada dasarnya badan hukum adalah suatu badan yang dapat memiliki hak-hak
dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan seperti manusia, memiliki
kekayaan sendiri, dan digugat dan menggugat di depan pengadilan.
Badan hukum ini adalah rekayasa manusia untuk membentuk suatu badan
yang memiliki status, kedudukan, kewenangan yang sama seperti manusia. Oleh karena
badan ini adalah hasil rekayasa manusia, maka badan ini disebut sebagai artificial
person.
Di dalam hukum, istilah person (orang) mencakup makhluk pribadi, yakni
manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (persona moralis, legal person, legal
entity, rechtspersoon). Keduanya adalah subjek hukum, sehingga keduanya adalah
penyandang hak dan kewajiban hukum. Dengan perkataan lain, sebagaimana yang
dikatakan oleh J. Satrio, mereka ia memiliki hak/dan atau kewajiban yang diakui
hukum.1
Oleh karena badan hukum adalah subjek, maka ia merupakan badan yang
independen atau mandiri dari pendiri, anggota, atau penanam modal badan tersebut.
Badan ini dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama dirinya sendirinya seperti
manusia. Bisnis yang dijalankan, kekayaan yang dikuasai, kontrak yang dibuat semua
atas nama itu sendiri. Badan ini seperti halnya manusia memiliki kewajiban-kewajiban
hukum, seperti membayar pajak dan mengajukan izin kegiatan bisnis atas nama dirinya
sendiri.2
Nindyo Pramono3 menyatakan bahwa filosofi pendirian badan hukum adalah
bahwa dengan kematian pendirinya, harta kekayaan badan hukum tersebut diharapkan
masih dapat bermanfaat oleh orang lain. Oleh karena itu, hukum menciptakan suatu
kreasi “sesuatu” yang oleh hukum kemudian dianggap atau diakui sebagai subjek
1
J. Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,
hlm 13.
2
Robert W. Hamilton, The Law of Corporation, West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1996,
hlm 1.
3
Nindyo Pramono, “Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Menurut UU No. 19 Tahun 2003
tentang BUMN”, dalam Sri Rejeki Hartono, et.al, ed, Permasalahan Seputar Hukum Bisnis:
Persembahan kepada Sang Maha Guru, Tanpa Penerbit, Jogjakarta, 2006, hlm 142.
3
mandiri seperti halnya orang (natuurlijk persoon atau natural person). Kemudian
“sesuatu” itu oleh ilmu hukum disebut sebagai badan hukum (rechtspersoon atau legal
person). Agar badan hukum itu dapat bertindak seperti halnya orang alamiah, maka
diperlukan organ sebagai alat bagi badan hukum itu untuk menjalin hubungan hukum
dengan pihak ketiga.
Secara teoritik, baik di negara common law maupun civil law dikenal beberapa
ajaran atau doktrin yang menjadi landasan teoritik keberadaan badan hukum. Ada
beberapa konsep terkemuka tentang personalitas badan hukum (legal personality),
yakni:4
1. Legal Personality as Legal Person5
Menurut konsep ini badan hukum adalah ciptaan atau rekayasa manusia, badan
merupakan hasil suatu fiksi manusia. Kapasitas hukum badan ini didasarkan pada
hukum positif. Oleh karena personalitas badan hukum ini didasarkan hukum
positif, maka negara mengakui dan menjamin personalitas hukum badan tersebut.
Badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban tersebut diperlakukan sama dengan
manusia sebagai “real” person.
2. Corporate Realism6
Menurut konsep ini personalitas hukum suatu badan hukum berasal dari suatu
kenyataan dan tidak diciptakan oleh proses inkorporasi, yakni pendirian badan
hukum yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Suatu badan hukum
tidak memiliki personalitas sendiri yang diakui negara. Personalitas hukum ini tidak
didasarkan pada fiksi, tetapi didasarkan pada kenyataan alamiah layaknya manusia.
3. Theory of the Zweckvermogen7
Menurut konsep ini suatu badan hukum terdiri atas sejumlah kekayaan yang
digunakan untuk tujuan tertentu. Teori ini dapat ditelusuri ke dalam sistem hukum
yang menentukan – seperti hukum Jerman – bahwa institusi dalam hukum publik
(Anstalten) dan endowment dalam hukum perdata (Stiftungen) adalah badan hukum
4
Daniel Zimmer, “Legal Personality”, dalam Ella Gepken Jager, et.al, eds, VOC 1602 –
2002: 400 Years of Company Law, Kluwer Legal Publisher, Deventer, 2005, hlm 267 – 269.
5
Konsep legal personality as legal person ini dikenal pula dengan istilah Teori Fiksi.
6
Pendekatan ini corporate realism ini dikenal pula dengan istilah Teori Kenyataan Yuridis.
7
Teori ini dikenal pula dengan istilah Teori Kekayaan Bertujuan.
4
yang ditentukan oleh suatu objek dan tujuan, dan tidak ditentukan oleh individual
anggotanya.
4. Aggregation Theory
Teori aggregasi ini disebut juga sebagai teori “symbolist” atau teori “bracker”, dan
dalam versi modern dikenal sebagai “corporate nominalism” secara teoritik
berhubungan dengan teori fiksi. Pandangan individualistik ini menyatakan bahwa
makhluk (human being) dapat menjadi subjek atau penyandang hak dan kewajiban
timbul atau lahir dari hubungan hukum dan oleh karenanya benar-benar menjadi
badan hukum. Menurut konsep personalitas korporasi, badan hukum ini adalah
semata-mata suatu nama bersama (collective name), suatu simbol bagi para anggota
korporasi.
5. Modern Views on Legal Personality
Hukum nasional modern dewasa ini menggabungkan antara realist and fictionist
theory dalam mengatur hubungan bisnis domestik dan internasional, di satu sisi
mengakui realitas sosial yang ada di belakang di belakang personalitas hukum, dan
sisi lain, memperlakukan badan hukum dalam sejumlah aspek sebagai suatu fiksi.
Konsep perusahaan sebagai badan yang hukum yang kekayaannya terpisah
dari para pemegang sahamnya merupakan sifat yang dianggap penting bagi status
korporasi sebagai suatu badan hukum yang membedakan dengan bentuk-bentuk
perusahaan yang lain. Sifat terbatasnya tanggung jawab secara singkat merupakan
pernyataan dari prinsip bahwa pemegang saham tidak bertanggungjawab secara pribadi
atas kewajiban perusahaan sebagai badan hukum yang kekayaannya terpisah dari
pemegang sahamnya. Prinsip “continuity of existence”8 menegaskan tentang pemisahan
kekayaan korporasi dengan pemiliknya. Badan hukum itu sendiri tidak dipengaruhi
oleh kematian ataupun pailitnya pemegang saham. Badan hukum juga tidak
8
Prinsip continuity of existence merupakan prinsip di mana perusahaan akan tetap eksis
walaupun terjadi pergantian pemilik saham. Jadi, jika pemilik saham perusahaan meninggal atau berhenti
dari perusahaan dengan cara mengalihkan saham-sahamnya, perusahaan akan tetap eksis dan tidak bubar.
Prinsip ini merupakan salah prinsip yang membedakan bentuk korporasi dengan bentuk badan usaha
lainnya. Di dalam persekutuan perdata, termasuk firma, semestinya dengan meninggalnya salah seorang,
persekutuan harus bubar.
5
tersebut sebagai floating lien14 untuk kreditor bisnis daripada untuk kreditor
individual seperti investor dan manajer.
Tanggung jawab terbatas ini memberikan fleksibilitas dalam mengalokasikan
risiko dan keuntungan antara equity holders dan debt holders, mengurangi biaya
pengumpulan transaksi-transaksi dalam perkara insolvensi, dan mempermudah dan
secara substansial menstabilkan harga saham. Tanggung jawab terbatas juga
berperan penting dengan memberikan kemudahan dalam pendelegasian manajemen.
Selain itu, dengan mengalihkan risiko bisnis dari pemegang saham ke kreditor,
maka tanggung jawab terbatas memasukkan kreditor sebagai pengawas manajer
perusahaan. Tugas pengawasan ini lebih baik dijalankan oleh kreditor daripada oleh
pemegang saham dalam perusahaan yang kepemilikan sahamnya tersebar secara
luas.
3. Adanya Saham yang dapat Dialihkan (transferable shares)
Pengalihan saham secara penuh dalam kepemilikan merupakan salah satu
karakteristik korporasi yang membedakan korporasi dari persekutuan perdata dan
badan hukum lain yang sejenis. Sifat dapat dialihkan (transferability) ini membuat
perusahaan mampu melakukan kegiatan bisnisnya tanpa adanya gangguan ketika
pemilik perusahaan itu berganti. Hal ini pada gilirannya dapat meningkatkan
likuiditas kepentingan pemegang saham dan memberikan kemudahan bagi
pemegang saham untuk membangun dan mempertahankan diversifikasi investasi
portofolio mereka.
Pengalihan saham secara penuh (fully transferable shares) tidak sama dengan
saham yang diperdagangkan secara bebas (freely tradable shares). Sekalipun saham
tersebut dapat dialihkan, saham tersebut tidak dapat diperdagangkan tanpa adanya
pembatasan dalam pasar publik. Saham tersebut hanya dapat dialihkan di antara
kelompok individu yang terbatas atau dengan persetujuan pemegang saham
korporasi yang ada. Sifat dapat diperdagangkan dengan bebas memaksimalkan
14
Floating lien adalah hak memegang barang jaminan yang diperluas cakupannya meliputi
benda-benda tambahan lainnya yang didapatkan oleh debitor ketika utangnya belum dilunasi. Floating
lien juga bermakna sebagai hak memegang barang jaminan yang tetap masih ada walaupun jaminan
tersebut sifatnya, klasifikasinya, atau tempatnya berubah. Lihat Bryan A. Garner, et.al, ed, Black’s Law
Dictionary, 8th Edition, Thomson-West, St. Paul Min, 2004, hlm 942.
9
15
General partner adalah sekutu dalam bidang usaha yang tanggung jawabnya dalam utang
piutang tak terbatas. Lihat I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, hlm 307.
10
Investasi Modal
sebuah PT yang didirikan oleh BUMN, ia tidak dapat dikatakan sebagai BUMN, karena
penyertaan modalnya bukan berasal dari negara, tetapi dari BUMN. Misalnya PT
Pupuk Kalimantan Timur (PT PKT) tidak dapat disebut sebagai BUMN, karena dari
Anggaran Dasar PT tersebut, terlihat bahwa modal perseroan berasal dari penyertaan
PT Pupuk Sriwijaya (Persero) dan koperasi karyawan.
Dalam putusan perkara korupsi Direktur Utama PT PKT, Omay K
Wiriatmadja, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat, bahwa PT PKT bukan
BUMN. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa saham PT PKT tidak dimiliki oleh
pemerintah. 99,99 % saham PT PKT dimiliki oleh PT Pupuk Sriwijaya (Persero).
Penyertaan modal PT Pupuk Sriwijaya tidak dapat dikategorikan sebagai penyertaan
langsung negara pada PT PKT. Penyertaan tersebut tidak berasal dari APBN.22
UU No. 19 Tahun 2003 secara tegas menyebut bahwa modal BUMN adalah
penyertaan langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan pemisahan ini,
maka begitu negara melakukan penyertaan di perusahaan tersebut, penyertaan tersebut
demi hukum menjadi kekayaan badan usaha. Pemisahan kekayaan ini merupakan
konsekuensi hukum bagi sebuah badan hukum. Dengan demikian, secara yuridis modal
tadi sudah menjadi kekayaan perusahaan, bukan kekayaan negara lagi.
Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada
BUMN menurut Pasal 4 jo Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Huruf b UU No. 19 Tahun 2003,
bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Termasuk dalam APBN yaitu meliputi proyek-proyek APBN yang dikelola oleh
BUMN dan/atau piutang negara pada BUMN yang dijadikan sebagai penyertaan
modal.
b. Kapitalisasi cadangan;
Kapitalisasi cadangan ini adalah penambahan modal disetor yang berasal dari
cadangan.
c. Sumber lainnya
Termasuk dalam kategori sumber lainnya ini antara lain keuntungan revaluasi aset.
22
Lihat Kompas, Sabtu 24 Februari 2007.
15
Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 menentukan bahwa maksud dan
tujuan didirikannya BUMN adalah:
1. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada
umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
Di sini BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat
sekaligus memberikan konstribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional dan membantu penerimaan keuangan negara.
2. mengejar keuntungan;
Menurut Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf a, meskipun maksud dan tujuan Persero
adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan
pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan
prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan
pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan
perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya
menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya
harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik.
3. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap usaha BUMN, baik barang maupun
jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
4. menjadi perintis kegiatan-kegiatan yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor
swasta dan koperasi; dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Menurut Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf d, kegiatan perintisan merupakan suatu
kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan oleh
masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan
koperasi karena secara komersial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas
tersebut dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN.
Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat
pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan
16
D. Perusahaan Perseroan
Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No. 19 Tahun 2003, Perusahaan Perseroan
(Persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi
dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen)
sahamnya dimiliki negara Republik Indonesia yang tujuannya mengejar keuntungan.
Berdasarkan definisi atas, dapat ditarik unsur-unsur yang melekat di dalam
Persero, yakni:
1) Persero adalah badan usaha
2) Persero adalah Perseroan Terbatas
Mengingat Persero adalah PT, pendiriannya dan pengelolaan Persero juga harus
tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1995, dengan beberapa pengecualian. Pasal 3 dan
Penjelasan Pasal 3 UU No 19 Tahun 2003 menyebutkan bahwa BUMN, dalam hal
ini Persero tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1995 (sekarang UU No. 40 tahun 2007)
termasuk perubahannya (jika ada) dan peraturan pelaksanaan. Salah satu
pengecualian ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 terhadap Persero adalah
penyimpangan terhadap ketentuan jumlah pemegang saham. UU No. 40 Tahun
2007 mensyaratkan minimal ada dua orang pemegang saham. Ketentuan ini
dikecualikan terhadap Persero, karena di dalam Persero adakalanya negara
memegang atau menguasai 100 % (seratus persen) saham Persero.
3) Modalnya terbagi dalam saham;
Negara menguasai 100 % atau paling sedikit 51 % saham perusahaan yang
bersangkutan.
Dalam kasus privatisasi “PT Indosat (Persero) Tbk”, negara melepaskan mayoritas
kepemilikan saham Persero tersebut kepada pihak swasta asing. Konsekuensinya,
Persero tersebut telah menjadi perusahaan swasta atau PT Biasa, sehingga
perusahaan tersebut menjadi PT Indosat Tbk.
4) Tujuan didirikannya Persero adalah untuk mengejar keuntungan.
17
segala keuntungan yang diperoleh dipandang sebagai hak dan harta kekayaan badan itu
sendiri. Demikian pula sebaliknya, jika terjadi suatu utang atau kerugian dianggap
menjadi beban PT sendiri yang dibayarkan dari harta kekayaan PT.23
Penyetoran modal pada saat pendirian maupun pada saat penambahan modal
PT dalam bentuk saham merupakan suatu penyertaan. Suatu penyertaan adalah
keikutsertaan seseorang mengambil bagian dalam suatu badan hukum. Penyertaan itu
diwujudkan melalui lembaga saham.24
Wujud penyertaan itu adalah penyetoran sejumlah nilai nominal saham yang
telah ditentukan dalam anggaran dasar. Penyetoran atas saham itu sendiri menurut Pasal
34 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 dapat berwujud uang atau bentuk lainnya.
Secara yuridis, modal yang disertakan ke dalam perseroan bukan lagi menjadi
kekayaan orang menyertakan modal, tetapi menjadi kekayaan perseroan itu sendiri. Di
sini terjadi pemisahan kekayaan antara kekayaan pemegang saham dan perseroan.
Dengan karakteristik yang demikian, tanggung jawab pemegang saham atas kerugian
atau utang perseroan juga terbatas. Utang atau kerugian tersebut semata-mata dibayar
secukupnya dari harta kekayaan yang tersedia dalam perseroan.
Dengan konsep yang demikian itu, maka ketika negara menyertakan
modalnya dalam bentuk saham ke dalam Persero dari kekayaan negara yang
dipisahkan, demi hukum kekayaan itu menjadi kekayaan Persero. Tidak lagi menjadi
kekayaan negara. Konsekuensinya, segala kekayaan yang didapat baik melalui
penyertaan negara maupun yang diperoleh dari kegiatan bisnis Persero, demi hukum
menjadi kekayaan Persero itu sendiri.
Persoalan kemudian muncul jika konsep tersebut dikaitkan dengan pengertian
keuangan negara dan dikaitkan pula dengan praktik tuduhan dan sanksi pidana korupsi
yang dikenakan terhadap tindakan direksi Persero dalam menjalankan transaksi bisnis
yang didalilkan dapat merugikan keuangan negara.
23
Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, Alumni, Bandung, 1995, hlm 9.
24
Ibid, hlm 14.
19
Kekayaan negara yang dipisahkan dalam Persero secara fisik berbentuk saham
yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan milik Persero itu.
Menurut Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun
1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan
tindak pidana korupsi bila seseorang dengan sengaja menggelapkan surat berharga
dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena
jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain
atau membantu melakukan perbuatan tersebut.
Erman Rajagukguk26 menambahkan, dalam kenyataannya sekarang ini
tuduhan korupsi juga dikenakan terhadap tindakan Direksi BUMN dalam transaksi-
transaksi yang didalilkan dapat merugikan kerugian negara. Dapat dikatakan telah
terjadi salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara.
Begitu juga tidak ada yang salah dengan pengertian keuangan negara dalam
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 1 Angka 1 UU No. 17 Tahun
2003 menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
25
Erman Rajagukguk, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum
Demokratis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Depok, 2006,
hlm 386.
26
Ibid
20
segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari
sisi subyek dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek
sebagaimana tersebut di atas dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/daerah, dan badan
lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan
Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan pengelolaan
obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan,
Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum
atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
pemerintahan negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat
dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan
moneter, dan sub bidang. Pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan”.
(Persero) adalah badan hukum. Harta kekayaan adalah sesuatu atau objek yang dapat
dimiliki atau dikuasai oleh subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban itu.30
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UU 31 Tahun 1999 mengartikan
keuangan negara dari sudut objeknya, sedangkan UU No. 17 tahun 2003 mengartikan
keuangan negara dari subjeknya. Dari sisi ini siapapun yang terlibat dalam pelaksanaan
hukum tidak menggunakan pendekatan atau kriteria yang sama, dapat dipastikan dalam
pelaksanaannya akan menimbulkan permasalahan.31
Erman Rajagukguk32 menyatakan, kesalahan terjadi lagi dalam PP No. 14
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Pasal 19
menyatakan bahwa penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak
piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 20 menyatakan bahwa tata cara
dan penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak atas piutang
Perusahaan Negara/Daerah yang pengurusan piutang diserahkan kepada PUPN diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, peraturan ini tidak
memisahkan kekayaan BUMN Persero dan kekayaan negara sebagai pemegang saham.
Pemerintah menyadari kesalahan pemikiran tersebut ketika menghadapi kredit
bermasalah (non performing loan) PT Bank Rakyat (Persero), PT Bank Negara
Indonesia, dan PT Bank Mandiri (Persero).
Ketika pemerintah melalui mengambil inisiatif untuk menghapus Pasal 19
dan 20 PP No. 14 Tahun 2005 Menteri Keuangan menyatakan:
“Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah dilakukan
berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU badan Usaha Milik Negara. Jadi,
disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN adalah UU
Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara.”33
baik di dalam maupun di luar pengadilan. Mengingat Persero adalah PT, maka
pembahasan kewajiban dan tanggung jawab direksi Persero harus didasarkan Undang-
Undang Perseroan Terbatas.
PT sebagai badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum mesti melalui
pengurusnya, dalam hal ini direksi. Tanpa adanya pengurus, badan hukum itu tidak
akan dapat berfungsi. Ketergantungan antara badan hukum dan pengurus menjadi sebab
mengapa antara badan hukum dan direksi lahir hubungan fidusia (fiduciary duties) di
mana pengurus selalu pihak yang dipercaya bertindak dan menggunakan wewenangnya
hanya untuk kepentingan perseroan semata.34 Fiduciary duties di dalam PT pada
hakikatnya berkaitan dengan kedudukan, wewenang, dan tanggung jawab direksi.35
Fidusia (fiduciary) yang dalam bahasa Latin dikenal sebagai fiduciarius
bermakna kepercayaan. Secara teknis istilah dimaknai sebagai “memegang sesuatu
dalam kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk
kepentingan orang”. Seseorang memiliki tugas fiduciary (fiduciary duty) manakala ia
memiliki kapasitas fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang dikatakan memiliki
capacity fiduciary jika bisnis yang ditransaksikannya, harta benda atau kekayaan yang
dikuasainya bukan untuk bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk
kepentingan lain. Orang yang memberinya kewenangan tersebut, memiliki kepercayaan
yang besar kepadanya. Pemegang amanah pun wajib memiliki iktikad baik dalam
menjalankan tugasnya.36
Prinsip umum dalam hukum perseroan menyatakan bahwa fiduciary duty ini
bagi direksi berlaku dalam kedudukannya baik untuk menjalankan fungsi manajemen
maupun fungsi representasi.37
Selanjutnya, manakala dipakai tingkat tanggung jawab sebagai kriteria, maka
tugas direksi perseroan dapat dibeda-bedakan sebagai berikut:38
34
Bambang Kesowo, “Fiduciary Duties Direksi Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang
No. 1 Tahun 1995”, artikel di Newsletter, edisi No. 23/VI/Desember 1995, hlm. 1
35
Ibid.
36
Lihat Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law. Eksistensinya dalam
Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 33.
37
Ibid, hlm 49.
38
Ibid. Perhatikan juga Denis Keenan, Smith and Keenan’s, Company Law, Pearson
Longman, Harlow, 2002, hlm 334 – 340.
25
1. Fiduciary Duty
Dalam hal ini yang dimaksud adalah tugas yang terbit dari hubungan fidusia antara
direksi dan perseroan yang dipimpinnya, yang menyebabkan direksi berkedudukan
sebagai trustee dalam pengertian hukum trust. Seorang direktur harus memiliki
kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), iktikad baik. loyalitas, dan
kejujuran terhadap perseroan dengan derajat tinggi (high degree).
2. Tugas Mempedulikan (duty of care)
Tugas mempedulikan yang diharapkan dari direksi adalah duty of care sebagaimana
dimaksud dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. dalam arti, direksi
berbuat atau bertindak secara hati-hati agar terhindar dari kelalaian (negligence).
Menurut Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, direksi menjalankan
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud tujuan
perseroan. Selanjutnya Pasal 98 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 menentukan, bahwa
direksi bertugas mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan. Dengan demikian,
dapat dikatakan, bahwa direksi memiliki tugas dan wewenang ganda, yakni
melaksanakan pengurusan dan perwakilan perseroan.39
Kewenangan pengurusan meliputi semua perbuatan hukum yang tercakup
dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan yang telah ditentukan
anggaran dasar perseroan tersebut. Dengan demikian direksi adalah organ yang di
dalam perseroan yang mengambil bagian dalam lalu lintas sesuai dengan maksud dan
tujuannya. Ini pula yang menjadi sumber kewenangan direksi untuk melakukan
perbuatan hukum dengan pihak ketiga. Dengan perkataan lain, direksi mewakili
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.40
Pengurusan perseroan oleh direksi tidak hanya terbatas pada memimpin dan
menjalankan kegiatan rutin, tetapi juga mencakup pengelolaan kekayaan perseroan.
Berdasarkan prinsip fiduciary duties tersebut, Pasal 97 ayat (2) UU No. 40
Tahun 2007 menentukan, bahwa setiap anggota direksi wajib dengan iktikad baik dan
penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.
39
Bambang Kesowo, op.cit, hlm. 2
40
I bid
26
41
Angela Scheeman, The law of Corporations, Partnerships, and Sole Proprietorship, Delmar
Publisher, Albany, 1997, hlm 245.
27
baik dalam bidang bisnis daripada direksi. Para hakim umumnya tidak memiliki
keterampilan bisnis dan mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.42
Dengan demikian, tindakan yang dilakukan beberapa direksi Persero yang
menjalankan perusahaan, termasuk melakukan investasi yang dianggap merugikan
negara dan kemudian dituduh melakukan tindak pidana korupsi patut dipertanyakan
kebenaran atau ketepatannya. Apalagi, jika hal yang dituduhkan kepada direksi itu
adalah kerugian yang terjadi suatu transaksi bisnis akibat kesalahan direksi dapat
dimintakan tanggung jawab kepada dirinya.
Apabila tindakan direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi iktikad
baik, maka ia dapat dikategorikan sebagai pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan
tanggung jawab pribadi. Misalnya, jika direksi menginvestasikan dana yang dimiliki
perseroan yang dilandasi iktikad baik dan semata-mata untuk kepentingan dan
keuntungan perseroan, tindakan investasi itupun atas dasar pertimbangan ahli analisis
investasi yang bekerja sesuai dengan standar profesinya, tetapi ternyata menimbulkan
kerugian bagi perseroan tidak dengan sendirinya timbul tanggung jawab pribadi direksi.
Kerugian dalam suatu transaksi bisnis tertentu tidak dengan sendirinya
menimbulkan kerugian bagi perseroan. Harus ada terlebih dahulu perhitungan laba rugi
dalam neraca keuangan tahunan perseroan. Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1995 menentukan
bahwa dalam waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan setelah tahun buku perseroan
ditutup, direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS yang antara
lain memuat perhitungan laporan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru
lampau dan perhitungan laba rugi dari tahun yang bersangkutan serta penjelasan atas
dokumen tersebut. Dari laporan perhitungan itu tercermin keadaan finansial yang
sebenarnya dari aktiva, kewajiban, modal, dan hasil usaha perseroan selama satu tahun
berjalan.43
Dengan demikian, kerugian yang diderita dalam suatu transaksi tertentu tidak
lantas berarti kerugian bagi perseroan, karena mungkin ada transaksi-transaksi yang
menguntungkan.
42
Erman Rajagukguk, op,cit, hlm 245.
43
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1999, hlm 87.
28
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak benar kerugian terjadi dari
suatu transaksi bisnis tertentu dengan sendirinya menjadi kerugian perseroan, apalagi
kerugian negara. Menurut Erman Rajagukguk ada hal yang salah dalam praktik
peradilan di Indonesia di mana direksi Persero dikenakan tuntutan tindak pidana
korupsi atas kerugian dalam suatu transaksi tertentu.44
H. Kesimpulan
Secara yuridis penyertaan negara dalam suatu badan usaha yang berbentuk
Persero merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Begitu negara menyertakan
kekayaan tersebut, kekayaan itu demi hukum menjadi kekayaan Persero. Persero
sebagai badan hukum memiliki kedudukan mandiri. Secara fisik kekayaan negara
dalam Persero itu berwujud saham, bukan kekayaan Persero yang bersangkutan.
44
Erman Rajagukguk, loc.cit.
29
Upaya hukum yang dapat dilakukan negara terhadap direksi yang karena
tindakannya menimbulkan kerugian bagi Persero mestinya tidak dilakukan atas dasar
tindak pidana korupsi. Negara sebagai pemegang saham dapat melakukan gugatan
perdata terhadap direksi tersebut karena melanggar kewajiban fiduciary duty. Direksi
yang bersangkutan dapat pula dituntut secara pidana misalnya atas tuduhan melakukan
penggelapan, pemalsuan data atau laporan keuangan, dan tindak pidana perbankan.
Daftar Pustaka
Ali, Chidir, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987.
Cheeseman, Henry R., Business Law: Ethical, International and E-Commerce
Environment, Fourth Edition, Prentice Hall, New Jersey, 2001.
Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam
Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Garner, Bryan A, et.al, ed, Black’s Law Dictionary, 8th Edition, Thomson-West, St.
Paul Min, 2004.
Hamilton, Robert W, The Law of Corporation, West Publishing Co, St. Paul, Minn,
1996.
Hartono, Sri Rejeki, et.al, ed, Permasalahan Sekitar Hukum Bisnis: Persembahan
kepada Sang Maha Guru, Tanpa Penerbit, Jogjakarta, 2006.
Jager, Ella Gepken, et.al, eds, VOC 1602 – 2002: 400 Years of Company Law, Kluwer
Legal Publisher, Deventer, 2005
Kelly, David et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002.
Keenan, Denis, Smith and Keenan’s Company Law, Pearson Longman, Harlow, 2002.
30
.
.