You are on page 1of 4

KECERDASAN GANDA

Oleh Muhammad Yaumi


muhammadyaumi@gmail.com

Intelligence (kecerdasan) adalah istilah yang sulit untuk didefinisikan dan menimbulkan pemahaman yang
berbeda-beda di antara para ilmuan. Dalam pengertian yang populer, kecerdasan sering didefinisikan sebagai
kemampuan mental umum untuk belajar dan menerapkan pengetahuan dalam memanipulasi lingkungan, serta
kemampuan untuk berpikir abstrak (Bainbridge, 2010). Definisi lain tentang kecerdasan mencakup kemampuan
beradaptasi dengan lingkungan baru atau perubahan lingkungan saat ini, kemampuan untuk mengevaluasi dan
menilai, kemampuan untuk memahami ide-ide yang kompleks, kemampuan untuk berpikir produktif, kemampuan
untuk belajar dengan cepat dan belajar dari pengalaman dan bahkan kemampuan untuk memahami hubungan.
Kecerdasan juga dipahami sebagai tingkat kinerja suatu sistem untuk mencapai tujuan. Suatu sistem dengan
kecerdasan lebih besar, dalam situasi yang sama, lebih sering mencapai tujuannya. Cara lain untuk mendefinisikan
dan mengukur kecerdasan bisa dengan perbandingan kecepatan relatif untuk mencapai tujuan dalam situasi yang
sama (Fritz, 2010).
Sebagian lain mengatakan bahwa intelligence is a mental adaptation to new circumstances (Kecerdasan
adalah adaptasi mental pada keadaan baru). Terdapat juga pandangan yang lebih spesifik dengan mengatakan
bahwa kecerdasan itu lebih merupakan insting dan kebiasaan yang turun-temurun atau adaptasi yang diperoleh
untuk mengulangi keadaan; yang dimulai dengan trial and error secara empiris. Bagi yang tidak sependapat dengan
kedua pandangan tersebut menanggapi bahwa definisi ini masih terlalu luas termasuk yang disebut keadaan mental
dalam definisi pertama perlu dibagi ke dalam struktur mental, yakni insting, training, dan kecerdasan. Dengan
demikian, pandangan ini menyimpulkan bahwa kecerdasan hanya muncul dalam tindakan atas dasar pemahaman
yang mendalam, sedangkan trial and error adalah salah satu bentuk dari training (latihan). Memang, tidak dapat
dipungkiri bahwa kecerdasan itu muncul dari hasil bentukan kebiasaan yang paling sederhana ketika beradaptasi
dengan keadaan yang baru. Juga, harus diterima bahwa permasalahan, hipotesis, dan kontrol yang merupakan
embrio adanya keinginan untuk melakukan trial and error serta karakteristik pengujian empiris dari adaptasi sensori-
motorik yang dikembangkan merupakan penanda kuat adanya kecerdasan (Piaget, 2002).
Oleh karena itu, definisi kecerdasan harus dilihat dari kedua sisi walapun masih menyisahkan definisi yang
sedikit tumpang tindih. Kedua sisi yang dimaksud adalah definisi fungsional yang membentuk rangkaian struktur
kognisi dan struktur khusus sebagai kriteria. Sekalipun terjadi pro dan kontra seputar pengertian kecerdasan, paling
tidak terdapat persyaratan minimal untuk mengatakan sesuatu itu merupakan bentukan kecerdasan. Persyaratan
yang dimaksud adalah keterampilan untuk menyelesaikan masalah yang memungkinkan setiap individu mampu
memecahkan kesulitan yang dihadapi. Jika keterampilan itu sesuai untuk menciptakan produk yang efektif, harus
juga memiliki potensi untuk menemukan dan menciptakan masalah sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan
baru (Gardner, 1983).
Kecerdasan manusia seharusnya dilihat dari tiga komponen utama; Pertama, kemampuan untuk
mengarahkan pikiran dan tindakan (the ability to direct thought and action). Kedua, kemampuan untuk mengubah
arah pikiran atau tindakan (the ability to change the direction of thought and action). Ketiga, kemampuan untuk
mengeritisi pikiran dan tindakan sendiri (ability to critisize own thoughts and actions) (Binet dalam Indiana, 2009).
Sedangkan Thorndike dalam Musfiroh (2008) menjelaskan bahwa untuk mengkaji kemampuan manusia tidak bisa
dilakukan dengan pengelompokan berdasarkan kecenderungan, perubahan, dan mengoreksi pikiran dan tindakan,
tetapi harus dilihat dari kemampuan untuk beraktivitas dengan menggunakan gagasan-gagasan dan simbol-simbol
secara efektif (kemampuan abstrak), kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan indera gerak yang dimilikinya
(kemampuan motorik), dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru (kemampuan sosial). Jadi,
yang dimaksud dengan intelligence (kecerdasan) di sini adalah kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru
atau perubahan dalam lingkungan, kapasitas pengetahuan dan kemampuan untuk memperolehnya, kapasitas untuk
memberikan alasan dan berpikir abstrak, kemampuan untuk memahami hubungan, mengevaluasi dan menilai, serta
kapasitas untuk menghasilkan pikiran-pikiran produktif dan original.
Nampaknya, berbagai pandangan yang hanya melihat kecerdasan manusia dalam ruang lingkup yang
terbatas inilah yang memicu upaya keras dari Howard Gardner untuk melakukan penelitian dengan melibatkan para
ahli dari berbagai disiplin ilmu yang pada akhirnya melahirkan teori multiple intelligence yang kemudian
dipublikasikan dalam frames of mind (1983), dan Intelligence Reframed (1999). Multiple intelligence atau dalam
tulisan ini disebut dengan kecerdasan majemuk adalah berbagai keterampilan dan bakat yang dimiliki siswa untuk
menyelesaikan berbagai persoalan dalam pembelajaran (Fleetham, 2006). Gardner menemukan delapan macam
kecerdasan jamak, yakni (1) kecerdasan verbal/ linguistik, (2) logika matematik, (3) visual/spatial, (4) music/rhythmic,
(5) bodi/kinestetik, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, dan (8) naturalistik.
Gambar 1: Delapan Kecerdasan Majemuk

Sumber: Dimodifikasi dari Fleetham (2006)

Bahkan tidak sedikit mahasiswa menanyakan dan mengusulkan untuk dimasukkan cooking, humor, dan
sexual intelligences (Kecerdasan memasak, cerita jenaka, dan hubungan seksual). Kemudian, Howard Gardner,
lebih memilih untuk mempertimbangankan satu kemungkinan kecerdasan lain yang perlu diteliti lebih jauh, yakni;
spiritual intelligence (kecerdasan spiritual), atau existential intelligence (kecerdasan eksistensial). Namun, Gardner
(1999) sendiri menyangsikan adanya tumpang tindih antara kecerdasan eksistensial atau kecerdasan spiritual. Oleh
karena itu, penerapan kecerdasan jamak hanya terdiri atas delapan bagian dengan tidak memasukkan kecerdasan
spiritual atau eksistensial karena bukti-bukti empiris yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah belum bisa
diterima. Bahkan banyak ahli dan praktisi psikologi pendidikan memberikan kritik yang menolak adanya kecerdasan
majemuk. Beberapa kritik yang dimaksud dapat dikemukan sebagai berikut:
1. Teori MI hanya mengklain diri sebagai teori yang lebih luas dan menyoroti teori tentang G masih sangat
spesisik. Tetapi keluasan teori MI tidak didukung oleh riset empiris yang banyak dikembangkan orang saat
ini (Carson, 2010).
2. Teori multiple intelligence (MI) hanya berdampak kecil pada vocational psychology padahal Howard
Gardner sendiri seorang psikolog dari Harvard University yang banyak menulis tentang vocational psikology
(Carson, 2010).
3. Karya Howard Garner di satu sisi sangat menakjubkan, tetapi di sisi lain kadang-kadang mustahil dan
banyak pernyataan-pernyataan yang sifatnya provokatif (Schaler, 2010).
4. Masing-masing dari kedelapan Teori MI pada kentaannya merupakan gaya kognitif dan bukan berpijak
pada konstruktivisme (Gilman, 2010).
5. Teori MI yang dikemukan oleh Gardner bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah dikemukan oleh
Aristoteles yang dikenal dengan taksonomi Aristoteles (Julian, 2010).

Sekalipun demikian, tidak sedikit para ilmuan yang sudah menerima kecerdasan eksistensial sebagai salah
satu bagian dari kecerdasan majemuk. Salah seorang yang telah meneliti dan membuat instrumen tentang
kecerdasan eksistensial atau kecerdasan spiritual adalah Terry Bowles dari Australian Catholic University yang
meneliti tentang Self-rated Estimates of Multiple Intelligences Based on Approaches to Learning (Estimasi
Kemampuan Diri Berdasarkan Pendekatan Kecerdasan Majemuk dalam Belajar). Zohar dan Marshall membahas
khusus mengenai enam jalan menuju kecerdasan spiritual yang lebih tinggi” dan tujuh langkah praktis mendapatkan
SQ lebih baik. Keenam jalan tersebut yaitu jalan tugas, jalan pengasuhan, jalan pengetahuan, jalan perubahan
pribadi, jalan persaudaraan, jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian. Sedangkan tujuh langkah menuju
kecerdasan spiritual lebih tinggi adalah (1) menyadari di mana saya sekarang, (2) merasakan dengan kuat bahwa
saya ingin berubah, (3) merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi saya yang paling dalam, (4)
menemukan dan mengatasi rintangan, 5) menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju, (6) menetapkan
hati saya pada sebuah jalan, (7) tetap menyadari bahwa ada banyak jalan (Zohar dan Marshall, 2001).
Selanjutnya, Walter McKenzie (2005) dalam bukunya Multiple Intelligences and Instructional Technology,
suatu buku yang banyak penulis jadikan rujukan dalam tulisan ini, telah memasukan kecerdasan eksistensial sebagai
salah satu bagian dari kecerdasan majemuk. Bahkan McKenzie telah merumuskan berbagai strategi, media, dan
teknologi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kecerdasan eksistensial tersebut. Mike Fleetham (2006)
juga dalam bukunya Multiple Intelligences in Practice: enhancing self-esteem and learning in the classroom
merumuskan berbagai instrumen, aktivitas pembelajaran, dan profesi yang mungkin dapat dicapai bagi mereka yang
memiliki kecerdasan eksistensial yang tinggi. Oleh karena itu, tulisan ini memasukan kecerdasan eksistensial
sebagai salah satu bagian dari kecerdasan majemuk dengan maksud untuk menelah lebih jauh dengan mengkaji
data empiris yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan adanya kecerdasan eksistensial itu sendiri.

Gambar 2: Sembilan Kecerdasan Majemuk

Sumber: McKenzie (2005: 25)

McKenzie (2005) menggunakan roda domain kecerdasan majemuk untuk memvisualisasikan hubungan
tidak tetap antara berbagai kecerdasan. Pertama, kecerdasan dikelompokkan ke dalam tiga wilayah, atau domain,
yakni interaktif, analitik, dan introspektif. Ketiga domain ini dimaksudkan untuk menyelaraskan kecerdasan dengan
siswa yang ada kemudian diamati oleh guru secara rutin di dalam ruang kelas.
Domain Interaktif. Domain ini terdiri atas kecerdasan verbal, interpersonal, dan kinestetik. Siswa biasanya
menggunakan kecerdasan ini untuk mengekspresikan diri dan mengeksplorasi lingkungan mereka. Dimasukannya
ciri masing-masing dari ketiga kecerdasan ini sebagai interaktif karena meskipun kecerdasan tersebut dapat
dirangsang melalui kegiatan pasif, mereka biasanya mengundang dan mendorong interaksi untuk mencapai
pemahaman. Bahkan jika siswa menyelesaikan tugas secara individual, mereka harus mempertimbangkan orang
lain melalui cara mereka menulis, menciptakan sesuatu, membangun, dan menggunakan pendekatan untuk sampai
pada kesimpulan. Kecerdasan interaktif diperoleh melalui proses sosial yang terbangun secara alamiah.
Domain Analitik. Domain analitik terdiri atas kecerdasan musik, logis, dan kecerdasan naturalis, yang
digunakan oleh siswa dalam menganalisis data dan pengetahuan. Ketiga cirri kecerdasan ini disebut sebagai
kecerdasan analitik karena meskipun dapat memiliki komponen sosial atau introspektif, kecerdasan tersebut
kebanyakan dapat digunakan untuk menganalisis dan menggabungkan data ke dalam skema yang sudah ada.
Kecerdasan analitis pada dasarnya merupakan proses heuristik alamiah.
Domain introspektif. Domain ini terdiri atas kecerdasan eksistensial, intrapersonal, dan visual. Kecerdasan
ini sangat jelas memiliki komponen afektif. Ketiga kecerdasan ini diklasifikasikan sebagai introspektif karena
memerlukan keterlibatan murid untuk melihat sesuatu lebih dalam dari sekedar memandang melainkan harus
mampu membuat hubungan emosional antara yang mereka pelajari dengan pengalaman masa lalu. Di samping itu,
murid juga harus mempunyai keyakinan terhadap adanya perubahan yang terjadi dalam pembelajaran baru.
Kecerdasan introspektif dapat dicapai melalui proses afektif secara alamiah.

Referensi

Bainbridge, Carol, Intelligence, Diakses pada Tanggal 9 Mei 2010 dari


http://giftedkids.about.com/od/glossary/g/intelligence.htm.
Binet, Human Intelligences, Diakses pada Tanggal 20 Mei, 2009 dari http://www.indiana.edu/%7Eintell/binet.shtml.
Carson, Andrew D Why Has Gardner's Theory of Multiple Intelligences Had So Little Impact on Vocational
Psychology? Diakses Pada 25 Januari 2010 dari http://vocationalpsychology.com/essay_10_gardner.htm.
Fleetham, Mike, Multiple Intelligences in Practice: enhancing self-esteem and learning in the classroom, Great
Britain: Network Continuum Education 2006.
Fritz, Walter, What Is Intelligence?, Diakses pada Tanggal 9 Mei 2010 dari http://www.intelligent-
systems.com.ar/intsyst/whaisint.htm.
Gardner, Howard. Frames of Mind, New York: Basic Books Inc., 1983.
Garder, Howard, Intelligence Reframed, New York: Basic Books, 1999.
Gilman, Lynn, The Theory of Multiple Intelligences. Diakses pada Tanggal 25 Januari, 2010 dari
http://www.indiana.edu/~intell/mitheory.shtml#criticism.
Julian, Against Gardner,Diakses Pada Tanggal 25 Januari, 2010 dari http://www.literaryescorts.com/?act=non-
fiction&item=556.
McKenzie, Walter, Multiple Intelligences and Instructional Technology, Washington DC: International Society for
Technology Education (ISTE).
Piaget, Jean, The Psychology of Intelligence, Translated by Piercy M., and Berlyne D.E. New York: Routledge, 2002.
Schaler, Jeffrey A., Howard Gardner Under Fire, The Rebel Psychologist Faces His Critics. Diakses pada Tanggal 25
Januari, 2010 dari http://www.opencourtbooks.com/books_n/howard_gardner.htm.
Zohar and Marshall, SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk
Memaknai Kehidupan, Versi Indonesia, Bandung: Mizan, 2001.

You might also like