Professional Documents
Culture Documents
(Upaya Merekonstruksi Pola dan Metodologi Dakwah Islam Menuju Dakwah yang
Rasional)
I. Pendahuluan
Pada dekade terakhir ini ditengah-tengah modernisme yang melaju begitu cepat,
pergeseran paradigma berpikir masyarakat pun terus bergerak progresif, masyarakat
berevolusi dari pola berpikir yang berdasarkan dogma, mitos dan takhayul beralih
menjadi semakin masyarakat yang rasional dan fungsional. Hal ini dapat dilihat dari
keteraturan spesikasi pekerjaan dalam struktur social dan orientasi hidup yang lebih
materialistis.
Melalui tulisan singkat ini, penulis ingin mengemukakan beberapa pokok pikiran penulis
dalam upaya merekonstruksi pola dan metodologi dakwah Islam yang dogamatis menuju
rasionalis. Harapan penulis, semoga sumbangsih yang kecil ini bermanfaat, khususnya
bagi penulis dan umat manusia yang memiliki fitrah ber-Tuhan pada umumnya.
II. Pembahasan
Sejak diturunkannya wahyu yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW dan diikuti
dengan risalah kenabian yang lainnya, kewajiban untuk menyebarkan kebenaran yang
berasal dari Allah SWT menjadi tugas yang harus disebarkan kepada seluruh umat
manusia. Risalah kenabian Muhammad tidak saja disebarkan untuk masyarakat Arab,
tetapi juga bagi masyarakat umat manusia pada umumnya. Karena seruan-seruan kepada
kebenaran yang diamanatkan Allah ditujukan untuk manusia secara universal. Inilah titik
tolak dakwah Islam.
Hal diatas memperjelas Islam sebagai sebuah agama missionary atau agama dakwah.
Kewajiban berdakwah bukanlah tugas Muhammad saja, namun juga merupakan tugas
yang secara turun-temurun diwarisi kepada setiap generasi muslim. Mulai dari sahabat,
tabi’in, tabi’ittabi’in dan ulama serta umat Islam hingga periode terakhir ini. Tak heran
jika kemudian dalam kurun terakhir ini hampir separuh penduduk bumi memeluk agama
Islam.
Ditengah kesemarakkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia ini, ada hal yang
membuat miris kita. Yaitu masih adanya metode pola praktik dakwah Islam yang
menghadirkan Islam secara dogmatis, disandarkan kepada mitos, takhayul dan
mengindentikkan Islam kepada hal yang beraroma mistik atau bahkan kuburan. Hal ini
terlihat di layar kaca hampir setiap hari. Tayangan mistik dibungkus dengan petuah
ustadz, sinetron islami dengan metafor siksaan, kuburan dan diselimuti dengan nasehat
dari sang kiyai.
Penulis secara tegas tidak sepakat dengan pola dakwah yang seperti tergambar diatas.
Menurut penulis dakwah seperti itu tidak menghadirkan Islam secara komprehensif dan
proporsional. Islam memiliki dimensi yang luas tidak sebatas pada mistik dan siksaan.
Banyak sisi-sisi Islam yang tertutupi oleh tayangan itu. Akibatnya masyarakat tidak
mengenal Islam secara kaffah. Dakwah yang terformat dalam tayangan mistik dan
"kuburan" tidak mengangkat citra Islam tetapi justru mendistorsi ajaran adiluhung Islam
yang terfragmen dalam al-Qur’an dan Hadits.
Untuk membagun masyarakat yang cerdas dalam beragama, maka perlu ada metode yang
cerdas pula dalam menghadirkan Islam ketengah mereka. Metode dakwah karena itu
harus dirubah dengan mengarus utamakan dimensi rasionalitas Islam. Upaya inilah yang
mempertegas fungsi logika dalam dakwah. Dan penulis kira masyarakat yang semakin
modern ini pun mendambakan pendekatan (approach) yang menjunjung tinggi peran dan
fungsi akal dalam pemahaman keagamaan. Terasa ironis sekali tentunya jika
kemoderanan yang terus menggurita ini tidak diiringi dengan kemoderenan dalam
beragama.
Logika sebagai aturan hukum berpikir yang rasional dan logis, penulis kira sudah saatnya
dimanfaatkan sebagai sarana dakwah. Melalui hukum-hukum berpikir kita dapat
menganalisa perintah-perintah Allah, membangun preposisi yang valid dan silogisme
yang kuat. Metode logika akan membuka cakrawala berpikir masyarakat menuju ber-
Islam yang rasional. Apa yang dapat kita lakukan dengan menggunakan logika dalam
dakwah? Tentu saja banyak, penulis mengidentifikasi beberapa hal, antara lain;
Pertama, Membangun sinergi antara Islam dengan penemuan teknologi modern. Islam
secara gamblang menyuruh umat manusia untuk mengelaborasi tanda-tanda kekuasaan
Allah yang tersebar di jagat raya ini. Dengan pendasaran ini maka penemuan teknologi
modern adalah penegasan akan kemahakuasaan Allah. Hal ini memacu umat khususnya
umat Islam untuk mengembangkan dan mengejar ketertinggalan kita dengan dunia barat
dalam meningkatkan derajat kemanusiaan dalam bidang teknologi. Konsekwensi logis
yang diemban para da’i adalah menyebarkan doktrin pemuliaan Islam terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dakwah mereka diorientasikan untuk membangun
masyarakat yang menguasai teknologi.
Keempat, Logika sebagai ilmu mempertegas bahwa dakwah Islam adalah sebuah proses
kritis dari rationalitas intellection berdasarkan sifatnya yang tidak dogmatis dan tidak
berdasarkan sakralitas tertentu. Dalam pengertian ini maka da’i berinteraksi dengan
beragam tafsir atas Islam, kemudian mendakwahkan kepada masyarakat. Proses yang
tidak dogmatis ini mensyaratkan da’i untuk mengajak masyarakat menyelami kedalaman
pemikirannya terhadap agama. Agama menjadi objek yang dikaji secara empiris dan
logis. Terlepas dari keyakinan akan kesempurnaan keagamaan kita terhadap Islam. Kita
mesti mengakui sisi-sisi lemah Islam secara historis sembari menyelaraskan diri dengan
ajaran yang terkonstruk dengan sempurna. Dengan cara ini sang da’i akan mudah
diterima masyarakat lintas keyakinan karena logis.
Beberapa pemikiran diatas menurut hemat penulis akan merubah paradigma dakwah
Islam. Rekonstruksi ini jika dijalankan dengan konsisten, pada saatnya nanti akan
mengubah paradigma masyarakat sehingga memandang agama secara proporsional dan
rasional. Beragama secara rasional berarti mengkritisi doktrin keagamaan dengan cermat,
mempelajari dengan komprehensif, dan mengamalkan dengan penuh pertimbangan yang
rasional.
Dengan demikian peranan logika dalam berdakwah adalah sangat penting. Dan pada
tulisan ini secara khusus penulis menkonstuksikan logika sebagai dasar pemahaman
dakwah keagamaan. Dasar ini mengandaikan fungsinya yang menyeluruh pada seluruh
aspek agama. Karena dakwah yang penulis maksud adalah dakwah yang rasional dan
menghadirkan Islam secara komprehensif tidak pada salah satu sisinya saja. Inilah
kiranya yang mengasah kebijaksanaan kita dalam memandang dakwah Islamiyah.
III. Penutup
Demikianlah pemikiran penulis mengenai relasi logika dengan dakwah Islam. Sebagai
manusia, penulis merasa malu jika menganggap tulisan ini sempurna, karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Namun usaha penulis setidaknya menbawa
manfaat, terkhusus bagi penulis pribadi dan umat manusia secara umum.
Jun 9, 2005
ARTIKEL
Masyarakat Madani: Dialog Islam dan Modernitas di Indonesia
Saefur Rochmat*)
Kata kunci: masyarakat madani, negara, Nabi, Indonesia, projecting back theory.
1. Pendahuluan
Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh
Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia)
dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal,
26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab
mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan
peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000:180-181). Kata “madani”
berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata
Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep madani bagi orang Arab
memang mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan.
Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan bahwa di satu sisi, Islam
mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman,
dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat ideal produk
Islam yang bisa dipersandingkan dengan konsep civil society. Rasanya tidaklah
berlebihan kalau kita menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, karena
kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur
Rasyidin sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir di Barat.
Dengan demikian, konsep masyarakat madani merupakan bentuk dialog Islam dengan
modernitas (Barat). Reinterpretasi Islam terhadap perkembangan zaman bukan sesuatu
yang tabu melainkan suatu keharusan dari hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis
dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik.
Dialog dialektik Islam dan Barat bersifat aktif, karena sebelumnya Barat telah melakukan
studi perbandingan dengan peradaban Islam ketika mau merumuskan civil society. Pada
waktu itu, Barat sedang dalam cengkeraman pemerintahan otoriter, dan menilai sistem
pemerintahan Nabi Muhammad SAW adalah sangat baik. Pengaruh Islam dalam civil
society sudah dijelaskan C.G. Weeramantry dan M. Hidayatullah dalam bukunya Islamic
Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (1988).
Menurutnya, pemikiran John Locke dan Rousseau tentang teori kedaulatan (sovereignty)
mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke ketika menjadi mahasiswa Oxford
sangat frustasi dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah
Edward Pococke, profesor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke
mengenai problem-problem tentang pemerintahan, kekuasaan, dan kebebasan individu.
Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia
secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to
his political system, and for as long as the form of his government endured under the
caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’.
Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang kemudian
diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas dari pengaruh
Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the
Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).
Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal
sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus akibat dari proses
pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Konsep masyarakat
madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari
akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang
dikenal sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113).
Kadang, masyarakat madani dipahami sebagai masyarakat sipil, terjemahan civil society
yang lahir di Barat pada abad ke-18. Hal tersebut diperkuat oleh latar belakang
dimunculkannya civil society di Indonesia, sebagai kaunter terhadap dominasi ABRI
(nama waktu itu untuk tentara dan polisi di Indonesia) yang menerapkan doktrin dwi
fungsi, dimana ABRI memerankan tugas-tugas sipil sebagai penyelenggara lembaga-
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hampir semua kepala pemerintahan dari
pusat sampai daerah dipegang oleh ABRI. Kebencian terhadap ABRI semakin dalam
ketika mereka terkooptasi oleh rezim Soeharto untuk membungkam rakyat yang kritis
terhadap gaya pemerintahan yang feodal dan otoriter. Orang juga tahu kalau ABRI
berada di belakang semua aksi teror dan penculikan terhadap para aktivis demokrasi
(Hamim, 2000: 113).
Para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil
society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi
hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang
pelaksanaan hukum (Azizi, 2000: 87). Sedangkan di Indonesia, yang terjadi adalah
sebalinya. Akibatnya, di Indonesia sering terjadi pergantian pemerintahan, karena
penegakkan hukum masih lemah dan MPR/DPR mempunyai kekuasaan yang besar.
Kita boleh menjadikan Amerika sebagai model dan bukan mengekor karena perbedaan
situasi dan kondisi dari kedua negara tersebut. Kita mungkin dapat belajar dari
pelaksanaan hukum di sana, dan mengkoreksi posisi negara yang lemah vis-à-vis
masyarakat. Islam mengembangkan prinsip keseimbangan dalam segala aspek
kehidupan. Dalam bidang hukum pun demikian, karena negara tidak boleh tunduk
kepada keinginan masyarakat yang menyimpang dari akal sehat seperti menuruti suara
mayoritas yang menghendaki diperbolehkannya minuman keras.
Tidak benar jika ingin mewujudkan masyarakat madani harus memperlemah posisi
eksekutif seperti yang terjadi di Amerika. Selain bertentangan dengan prinsip
keseimbangan juga mengingkari sejarah masyarakat madani ciptaan Nabi Muhammad
SAW yang berbentuk negara. Kesan salah tersebut terjadi karena lahirnya civil society
bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari
lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk
mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka
dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48):
…the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain
of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil
society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members
of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules
that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role,
and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its
claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must
originate in the way in which rulers are related to the ruled.
Dengan penjelasan di atas, Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern
mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the problem of the
relationship of state power to civil society. Sedangkan, konsep civil society lebih berkait
dengan tema kedua itu, yaitu:
…how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised
around commodity production, individual exchange, and money; what policies and puposes it
should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought
emerged. In the first, the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in
the second, it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and
countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major
dividing lines in modern liberalism.
Hegel dan Rousseau (Gamble, 1988: 56) memandang negara modern lebih dari sekedar
penjamin bagi berkembangnya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar
persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai
tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat
mengejar keperluannya; melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai
tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama
Adam Seligman (Azizi, 2000: 88-89) mengemukakan dua penggunaan istilah civil
society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi)
sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam
dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan
sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk
memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik, yaitu:
(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom of expression, (3) the right to
vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support
and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free
and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and
other expressions of preference.
Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita
tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.
Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada
nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern.
Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara,
walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti
yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule
themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah
tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa
transisi antara dunia mitos dan dunia modern.
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya
sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek
kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi
dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya.
Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin
maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan
kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga
partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-
menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi
keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan
kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti
Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah
dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam
pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas
dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini
bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil
Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep
masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus
tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres
No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan
tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep
masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang
menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi.
Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan
Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter.
Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil
society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa
pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau
melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam
berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap
demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik
dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk
menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama
pelembagaan politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan
proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah
dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka,
dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang
telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya
hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan sosial yang
sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang
buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di samping penegakkan
hukum yang masih belum memuaskan.
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan
“tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi,
1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang
tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran
kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai
masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda
NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang
arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai
Lembaga Kajian Islam.
Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara
yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak
menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi
yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun
Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati
tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena
tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik
manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan
kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).
Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupan Nabi sendiri yang terbuka
terhadap peradaban lain, di samping tentunya sifat universalisme Islam. Dalam Islam ada
lima jaminan dasar, seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-
fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan Wahid (1999: 1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik
warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan
keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3)
keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di
luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.
Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan
konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas
politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai bila tercapai keseimbangan antara
kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga
masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu
terganggu dengan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam. Ortodoksi
yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya
menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif
langsung dituduh sebagai bid’ah. Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap
ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh
keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam
kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan
(ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H.
Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti
(Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialong
antaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang
bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk
saling pengertian antaragama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak
memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan
ketulusannya untuk pengabdian pada sesama.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang
prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas
non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu
sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan
bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah
dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan
untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi
komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan
sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren
(Rumadi, 1999: 3). Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang
demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara
hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan
rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
4. Simpulan
Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal
21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi
karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam
berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat madani bisa menjadi hambatan bagi
demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai distribusi kekuasaan politik dengan
tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main.
Dilihat dari sejarahnya civil society yang lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya
John Locke atau Montesquieu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut.
Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang
lemah vis-à-vis masyarakat. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam
Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga
menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat
madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak
karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern.
Daftar Pustaka
Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian
Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Habibie, B.J. 1999. Keppres No. 198 Tahun 1998 Tanggal 27 Februari 1999. Jakarta.
Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang
Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM
dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas Agama.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.
Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999.
Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of Islam. London: Oxford
University Press.
Jun 8, 2005
ARTIKEL
"Berpikir terkutuk untuk terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah selesai"
Ahmad Wahib, Catatan Harian, Pergolakan Pemikiran Islam.
Ada apa dengan IAIN ( UIN ) ? Ada apa dengan Hartono Ahmad Jaiz yang menggunakan
gambar gedung rektorat kampus UIN Jakarta sebagai cover buku "sampah" ini ?.
Benarkah IAIN ( UIN ) adalah kampus murtad, telah terjadi pemurtadan secara sistematis
dan terencana. Kampus sesat yang menyesatkan anak muda Islam yang belajar dan at-
taffaquh fil-din, menggali agama dan kehidupan. Apakah benar Hartono Ahmad Jaiz
ingin menghancurkan dan meruntuhkan UIN ( Universitas Islam Negeri ) Jakarta sebagai
institusi yang absah ?. Apakah beliau paling berhak menjadi "juru selamat" manusia dan
menjadi hakim yang memutuskan, memberikan label murtad bagi individu dan lembaga
seperti IAIN. Sungguh "suci dan mulia" seseorang yang bernama Hartono Ahmad Jaiz
layaknya Nabi Muhammad SAW atau Isa Putra Maryam. Ataukah sebaliknya, seperti De
Fuhrer Adolf Hitler, menjadi raja bengis dari segala raja umat manusia. ( Lihat: Film
Adolf Hitler, The Rise of Evil )
Ada Pemurtadan di IAIN, sebuah buku provokatif, vulgar bagi umat Islam dan norak
gitu lho, meminjam ucapan Abdul Moqsith Ghazali, salah satu pembicara bedah buku
Nasional, Ada Pemurtadan di IAIN di Kampus UIN Jakarta. Label kafir, zindiq, murtad
adalah senjata pamungkas untuk menghukumi umat Islam khususnya kaum muda yang
berpikir kritis, "bertengkar dengan Islam", nyeleneh meminjam ucapan kelompok Islam
Fundamentalis, anti-kemapanan, mencari titik kebenaran The Ultimate Realtiy yang tak
terbatas oleh ruang dan waktu layaknya Alm. Ahmad Wahib lewat Catatan Hariannya,
Pergolakan Pemikiran Islam. "Pertengkaran dengan Islam" yang selalu mengandaikan
keseimbangan antara membaca, merenung dan mengamati. Dengan demikianlah manusia
akan mampu membentuk pendapat sendiri dan tidak sekedar mengikuti pendapat orang
atau memilih salah satu di antara pendapat yang berbeda (Wahib:1981,280). Sebuah
pertengkaran dengan Islam adalah kesediaan membuka diri terhadap masa kini dan masa
lalu yang merupakan akar memahami masa depan umat Islam di Indonesia.
Menyadari bahwa keberadaan umat Islam selalu berada dalam lingkungan sosial tertentu
dan juga melibatkan sifat kemanusiaan, maka pemahaman umat Islam terhadap Islam
hanyalah sebatas penafsiran. Artinya kita tidak berhak mengklaim bahwa pemahaman
kita sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Tuhan. Maka sangat tidak mungkin
menyeragamkan pemahaman masing-masing individu. Kenyataan seperti ini juga
disadari sepenuhnya oleh para pemikir Islam kontemporer seperti Arkoun, Nasr Hamid
Abu Zaid, Hasan Hanafi, Abdul Karim Soroush, dan lain-lain. Akibat langsung dari
pemahaman seperti ini adalah musykil beranggapan bahwa mesti ada satu pemahaman
yang paling "benar" dibanding pemahaman yang lain, kafir, zindiq dan murtad. Sehingga
beranggapan bahwa ada pemahaman yang paling benar adalah tindak sewenang-wenang
dan ketaksediaan membuka diri terhadap warisan Islam masa lalu––meskipun rapuh––
dan kenyataan Islam masa kini yang mengikat umat Islam. Salah satu proses
pertengkaran dengan Islam adalah tulisan koordinator JIL ( Jaringan Islam Liberal ) Ulil
Abshar Abdalla yang berjudul, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, November
2002 di Harian Kompas.
Sejarah mencatat, Sabtu,16 April 2005, di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di
gelar peristiwa yang panas dan "mencekam", bedah buku nasional, Ada Pemurtadan di
IAIN. Acara yang semula di selenggarakan menjadi ajang "pertanggungjawaban" penulis
yakni Hartono Ahmad Jaiz kepada publik UIN Jakarta secara keseluruhan. Massa
membludak luar biasa, gedung Theater Lt.IV Ushuluddin yang tadinya di gunakan untuk
bedah buku tidak mungkin di gunakan, akhirnya dipindah ke Masjid Al-Jami’ah Student
Center UIN Jakarta. Sungguh luar biasa dalam sejarah diskusi, bedah buku ataupun
seminar yang pernah terjadi di UIN Jakarta yaitu Debat Publik tentang FLA ( Fiqih
Lintas Agama ) Massa yang membludak, menjadikan Masjid Suci itu terasa "membara
dan membakar ". Informasi yang berkembang kepada publik sebelum acara bedah buku
Nasional, Ada Pemurtadan di IAIN ini berlangsung adalah acara Debat Terbuka antara
kelompok Islam Liberal melawan Islam Fundamental. Benarkah ada sabotase dan
informasi sepihak dalam acara ini yang mngundang publik secara massif !. Yang pasti,
buku Ada Pemurtadan di IAIN Hartono Ahmad Jaiz itu mengundang kepada publik
untuk " bertengkar dengan sesama". Slogan dan Jargon, atas nama ayat- ayat Al-Qur’an
dan Hadist adalah segalanya, inilah ciri-ciri kelompok Wahabi di manapun berada. Di
bawah bendera Al-Qur’an dan Hadist, manusia tak berkutik.
Masjid Al-Jami’ah menjadi saksi mata, teriakan Allahu Akbar dan tepuk tangan yang
menggema, memekakkan telinga dan jiwa seperti akan terjadi perang. Teriakan Allahu
Akbar, seakan menjadi pisau yang akan "menggorok" setiap leher yang berbeda,
membangkitkan emosi massa dan memanaskan suasana rumah Allah. Teriakan Allahu
Akbar di gunakan untuk tidak menghargai perbedaan pendapat dalam berdebat, ungkap
Koordinator JIL,( Jaringan Islam Liberal) Ulil Abshar Abdalla. Sedangkan tepuk tangan
adalah cara yang di gunakan iblis laknatulah, tepuk tangan tidak di perbolehkan di dalam
Masjid teriak Muhammad At-Tamimi, alumni Timur Tengah, salah satu pembicara bedah
buku, Ada Pemurtadan di IAIN. Berbagai "penyataan panas" dari sang ikon Jaringan
Islam Liberal Indonesia, Ulil Abshar Abdalla dan Abdul Moqsith Ghazali tentang tidak
ada hukum Tuhan, masalah kawin bedah agama serta lainnya di sambut sebagaian massa
yang pro-Hartono Ahmad Jaiz dan At-Tamimi dengan ucapan Astaqfirullah dan
subhanallah. Ajang diskusi yang takkan pernah selesai dan berakhir sepanjang sejarah
umat Islam dari dulu sampai sekarang. Bertarung dan berkelahi dengan sesama atas nama
Tuhan, murtad.
Dalam buku, Ada Pemurtadan di IAIN, Hartono Ahmad Jaiz mengatakan "bahwa
gejala sesat menyesatkan lewat jalur sistematis yaitu perguruan tinggi Agama Islam Se-
Indonesia sudah terdengar lama di masyarakat. Hanya saja selama ini belum ada tulisan
yag sistematis mengemukakan bukti-bukti kongkrit. Maka dalam hal itu menegakkan
kalimatullah hiyal ‘ulya, kami memberanikan diri untuk menyampaikan gejala-gejala
yang kami lihat secara lahiriyah maupun maupun kami baca. Kemudian kami kemukan
kepada masyarakat dalam buku yang berjudul, Ada Pemurtadan di IAIN". Bahkan
banyak pertimbangan dalam menulis buku itu, ungkap Hartono sebagaimana dalam kata
pengantar buku, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. Yakni rasa risih dan ewuh
pakewuh yang mendominasi untuk penyebutan nama, individu atau lembaga absah
seperti IAIN (UIN), STAIN dan lainnya dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar. Mohon
maaf bila hal ini terjadi, begitu penulis berkata. Pertanyaan kita, apakah semudah itu
individu dan lembaga yang sudah "di cemarkan dan dihancurkan " nama baiknya dengan
label dan sebutan kafir, zindiq dan murtad dalam buku yang "tidak ilmiah dan non-
akademis" itu, misalnya cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid, Prof.DR.Quraish
Shihab, DR. Zainun Kamal, Rektor UIN Jakarta Prof. DR. Azyumardi Azra, Prof. DR.
Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Zuhairi Misrawi dan masih banyak lagi. Apakah
beliau-beliau akan memaafkan "kecerobohan dan kebodohan" penulis yang mungkin
paling merasa " suci dan benar" itu ?. Layaknya kesucian 12 Imam ma’sum di kalangan
Syi’ah. Ataukah beliau semua akan menuntut penulis di meja hijau, waktu dan sejarah
yang akan menjawabnya.
Buku setebal 224 halaman tersebut terdiri dari 16 bab dan berbagai ampiran tentang, ada
pemurtadan di IAIN, tentang hermeneutika, infitrasi kristen, sejarah singkat IAIN, daftar
pustaka serta lampiran buku-buku karya Hartono Ahmad Jaiz. Dalam buku ini j
dipaparkan, usulan pembubaran Departemen Agama, pengertian murtad, pembaharuan
Nurcholish Madjid kearah paganisme, tentang pendidikan Islam yang di selewengkan dan
sosok-sosok nyeleneh yang ada di UIN dan IAIN. Buku ini adalah hasil "pungutan" dari
berita dan data, ungkap Ulil Abshar Abdalla, yang kebenarannya masih di perhitungkan.
Dan salah satu buku ratusan buku"vulgar dan beracun" di nrgeri ini yang kehadirannya
selain menambah koleksi dan dokementasi jargon-jargon kafir, murtad terhadap individu
mapun lembaga. Juga sebagaai buku yang bisa " membunuh kretifitas kaum muda’ untuk
berpikir demi sebuah cita-cita Sokrates yakni keterbukaan. Sungguh buku yang terlalu
sederhana tanpa perangkat ilmiah dan akademis, tanpa memperhitungkan dampak negatif
bagi masyarakat Indonesia yang berpikir, bukan selalu "berdzikir".
Menurut hemat saya, materi dan isi buku Ada Pemurtadan di IAIN adalah "lagu-lagu
lama", hanya sekedar kumpulan berita, data dan informasi yang cenderung salah seperti
tentang Ulil Abshar Abdalla. Buku yang tidak ada nilai akademisnya dan tidak ilmiah
bagi sebagain besar kaum intelektual negeri ini. Apakah layak buku itu kita gunakan
sebagai rujukan dan marja’ untuk memberikan dan memutuskan umat Islam dalam
kategori kafir, zindiq ataupun murtad ?. Yang pasti, dari namanya saja, Hartono Ahmad
Jaiz, Jaiz artinya boleh-boleh aja, mengikutinya boleh ya, boleh tidak, tidak mutlaq
ungkap Koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla.
Lagu-lagu lama itu adalah masalah kontroversi ajakan dzikir dengan lafal Anjing hu
Akbar dan pernyataan selamat bergabung di area bebas Tuhan oleh mahasiswa senior
ushuluddin dan filsafat IAIN Sunan Gunung Djati Bandung kepada para mahasiswa baru
dalam acara ta’aruf September 2004 dan kasus FUUI-Forum Ulama Umat Islam ( Buku,
Ada Pemurtadan di IAIN hlm..59 dan hlm. 63 ). Pernyataan Abdul Munir Mulkhan,
Wakil Rektor IAIN ( UIN ) Jogjakarta / Petinggi Muhammadiyah : Surga Tuhan itu nanti
dimungkinkan terdiri dari banyak "kamar" yang bisa dimasuki dengan beragam jalan
atau agama. ( Ajaran dan jalan Kematian Syekh Siti Jenar, hlm. 25 danBuku Ada
Pemurtadan di IAIN hlm 78-79 ). Masalah buku Alm. Harun Nasution berjudul, Islam
di pandang dari berbagai Aspeknya, diperuntukkan para mahasiswa IAIN ada
pernyataan: Agama monotheisme adalah Islam, Yahudi, Kristen ( Protestan dan Katolik )
hlm.115. Masalah pernikahan bedah agama, muslimah dan lelaki kristen di Hotel Kristal
Pondok Indah Jakarta, Ahad 28 November 2004 ( hl.83 ). Tentang pernyataan Kautsar
Azhari Noer, pengggema ajaran Ibnu Arabi dan pluralisme agama dalam pidato Debat
Fiqih Lintas Agama ( FLA) di UIN Jakarta, 15 Januari 2004 ( hlm.85-86). Tentang Prof.
DR. Nurcholish Madjid, pendiri Yayasan Parmadina Mulya, alumni Barat ( Chicago,
US0A ) yang menikahkan anaknya Nadia dan lelaki Yahudi di Amerika, 30 September
2001 (hlm.36). Kemudian masalah dosen-dosen IAIN/UIN yang tergabung dalam tim
penulis Paramadina Jakarta, menulis Buku Fiqih Lintas Agama, 2003 yang sangat
merusak aqidah Islam dari tauhid diarahkan kepada kemusyrikan dengan istilah
pluralisme agama, memutarbalikkan hukum Islam. Tim Penulis Paramadina itu adalah
Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi,
Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rahman, Ahmad Gaus AF, Mun’im
Sirry. Dan masih banyak tentang pernyataan individu seperti Intelektual Muda Islam, Ulil
Abshar Abdalla, Komaruddin Hidayat, DR.Musdah Mulia, masalah Alumni UIN Jakarta
Panji Gumilang pemimpin Pesantren Az-Zaytun dan lainnya.
Benarkah yang dikatakan penulis, bahwa produk IAIN tak sesuai dengan kebutuhan
Islam dan umat, alias murtad ?. Apakah benar karena faktor kebanyakan sajian materi
alumni IAIN tidak sesuai standar Ilmu Islam, Al-Qur’an, As-Sunnah dan manhaj Salafus
shalih?. Justru di IAIN di sajikan pemikiran-pemikiran dan sejarah budaya sebagai mata
kuliah dasar, pengajarannya liar, yaitu di bebaskan berkomentar semua pikiran masing-
masing. Apakah benar menurut penulis, bahwa ini bukan semata-mata kesalahan alumni
IAIN, namun adalah kesalahan sistem pengajaran, kurikulum dan para dosennya. Karena
sistem itu tampaknya di adopsi oleh alm. Harun Nasution dan Mukti Ali ( Petinggi IAIN
dan Departemen Agama masa lalu ) dari orientalis Barat, sedang para dosen pengajarnya
pun sebagaian banyak asuhan orientalis di Universitas Barat. Tambahan lagi, ketika
kesalahan sistem itu di domplengi kepentingan-kepentingan yang arahnya justru
menyamakan semua agama alias pluralisme agama, tidak membedakan Islam yang
beraqidah Tauhid dengan yang lain berkeyakinan kekufuran, di situlah letak
pemurtadannya, ungkap penulis dalam makalah bedah buku.
Menurut saya, buku itu adalah sebuah buku "penghakiman dan kumpulan jargon"
terhadap individu dan lembaga absah. Dan seharusnya penulis tidak menyederhanakan
masalah murtad, kafir, zindiq, label pamungkas yang sangat sensitif terhadap nyawa umat
Islam ?. Mungkin penulis harus lebih banyak belajar etika dan moral dalam dunia tulis-
menulis, dan lebih banyak belajar lagi membaca kitab-kitab fiqih salafus shalih serta
proses sistematika untuk " membunuh nyawa yang mulia Quraish Syihab" dan orang-
orang murtad lainnya dalam buku itu, yang mana Khalifah Umar sendiri tidak pernah
menyebutnya. Benarkah IAIN (UIN) = Murtad ?. Yang pasti penulis harus bertanggung
jawab di depan Mahkamah Tuhan kelak.
Jika penulis, merasa paling benar dan suci sendiri, karena selalu istiqomah, berpegang
dan berlindung di bawah bendera ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, kita berdo’a semoga
The Ultimate Reality, memasukan beliau ke dalam " taman surga Firdaus" tetapi
sendirian tanpa seorang teman apalagi ditemani sang bidadari , putri dan artis yang
cantik. Lebih baik masuk " lahar neraka jahanam" tanpa pertengkaran, clash of
civilization, konflik kelas proletar dan borjuis, tanpa penghujatan antar sesama. Masuk
bersama-sama di sana bersama keluarga, kekasih hati, sahabat, teman, saudara, sesama
dan tentunya sang bidadari, putri, dayang, ditemani artis cantik seperti Angelina Jolie di
bawah bendera Keadilan Ilahi dan keluarga Sang Nabi Yang Suci.
Maha Benar Karl Marx Atas Segala Sabda-Nya.
Imam Cahyono
Pengamat sastra dan editor buku
Fenomena mutakhir pergumulan sastra kita yang diwarnai dengan tema seks, tak
habis-habisnya menjadi bahan perbincangan. Harian Republika selama beberapa
bulan terakhir membedah fenomena itu. Hal yang sama juga terjadi di berbagai
forum diskusi dan dialog, seperti Diskusi Sastra Dewan Kesenian Jakarta, Seks dalam
Sastra Kita Kini, di Taman Ismail Marzuki (TIM), 21 Oktober 2003, yang diramaikan
oleh tiga pembicara, Sirikit Syah dari Surabaya, Apsanti Djokosujatno dari Jakarta dan
Faruk Ht dari Yogyakarta.
Gairah penulis sastra perempuan adalah fakta yang tak bisa ditolak. Disatu sisi, hal
ini dapat dimaknai sebagai upaya perjuangan sastra perempuan yang selama ini
terpinggirkan. Sebagai sastra pemberontakan, perempuan ingin unjuk gigi bahwa
mereka juga merupakan bagian sah, yang tak bisa diremehkan dalam khazanah
sastra dan kebudayaan. Masyarakat (baca: pasar) pun ternyata sangat antusias dan
responsif terhadap fenomena ini, terlebih ketika tema seksualitas mendominasi.
Yang pasti, fenomena ini telah menjadi tren sejak diprakarsai oleh Ayu Utami dengan
Saman. Ayu Utamilah the creative minority -- meminjam istilah Arnold Toynbee --
yang kemudian diikuti oleh sederet penulis-penulis perempuan lainnya yang juga
mengeksplorasi tema senada seperti Djenar Maesa Ayu, Dewi Dee Lestari,
Herlinatiens dan masih banyak lagi.
Pada sisi lain, gairah penulis perempuan juga tak lepas dari permasalahan. Apa yang
disampaikan oleh sebagian besar penulis perempuan hanya berkutat pada masalah
itu-itu saja, terutama pada seputar wilayah seksualitas keperempuanan. Persoalan
seks, kelamin, gay menjadi fokus perhatian utama.
Hasilnya, alih-alih ingin menjadikan sastra sebagai wahana pembebasan tapi yang
terjadi malah sebaliknya, menjadikan sastra perempuan sangatlah monoton, jumud,
elitis dan eksklusif. Alih-alih upaya pembebasan yang diharapkan, tapi malah
membenamkan mereka dalam kubangan wilayahnya sendiri yang itu-itu saja,
seputar wilayah keperempuanan. Seolah-olah, tak ada tema lain yang layak dan lebih
berharga untuk terus digali dan dikembangkan.
Setelah Saman, karya-karya lain yang bermunculan bak cendawan di musim hujan
tak lebih dari epigon --meminjam istilah Helvy Tiana Rosa-- yang tak jelas arah dan
mutunya. Selain itu, muncul pula semacam kekhawatiran akan upaya perjuangan
dan pembebasan yang dilakukan oleh penulis perempuan melalui tema seks ini.
Dengan tema seputar seksualitas, akankah upaya pembebasan itu akan tercapai?
Ataukah pembebasan ini akan kembali terjerumus dan terpuruk dalam penjara lagi,
seperti Escape from Freedom-nya Erich Fromm?
Tak bisa dibantah, awalnya Saman memang luar biasa, mendobrak khazanah sastra
kita. Tapi lama-kelamaan dengan menjamurnya tema yang senada ternyata
pembaca pun mengalami kebosanan, bahkan telah menimbulkan kejenuhan.
Barangkali hukum Gossen berlaku di sini, setiap kali mencapai tingkat kepuasan
yang tinggi, dengan mengkonsumsi barang yang sama terus-menerus maka tingkat
kepuasan itu akan berkurang. Ada titik jenuh.
Seksualitas fiksi perempuan jelas tidak memiliki peluang untuk hadir sebagai karya
sastra besar (magnum opus) yang tak lekang dimakan zaman. Tren ini hanyalah
sastra populer yang menggebrak jagat sastra kita, meski tak lama, alias hanya
sesaat.
Lebih rinci, gejolak sastra perempuan ini dapat disimak pada Jurnal Perempuan yang
diterbitkan Yayasan Jurnal Perempuan, Edisi Perempuan dan Seni Sastra edisi 30
2003. Sederet penulis dan pengamat perempuan yang kondang menulis di jurnal itu
seperti Cok Sawitri, Gadis Arivia, Kris Budiman, Melani Budianta, Medy Loekito, dan
Endriani DS.
Namun, isinya kurang lebih sama, mengupas seks dalam upaya pembebasan
perempuan dari belenggu sistem patriarkhal dan kemapanan. Ada kejenuhan yang
melanda setelah membaca jurnal itu, lantaran apa yang dikupas oleh para penulis
kurang lebih sama, masalah seks dan keperempuanan (baca: kelamin).
Membludaknya karya-karya yang berkisar di wilayah pusaran seks tak lepas dari
mekanisme dan antusias pasar. Maraknya seksualitas fiksi perempuan yang
mendominasi pasar memang cukup merisaukan seolah-olah karya sastra para
penulis perempuan hanya mahir di wilayah seks saja.
Namun, tidak berarti kita harus pesimis dengan kiprah para penulis perempuan,
karena tidak semua penulis perempuan menekuni jagat seks. Sebutlah Helvy Tiana
Rosa dan Nukila Amal.
Warna yang disajikan Helvy memang menampilkan nuansa yang agak berbeda. Tapi,
semangat kesetaraan gender tetap mewarnai karyanya. Pendiri Forum Lingkar Pena
(FLP) ini tak menabukan perempuan berlaga di medan perang, seperti lewat
karyanya Aisyah Sharakisya. Karya Helvy yang dikemas dalam nuansa Islam tak
meletakkan perempuan dalam posisi subordinat lelaki.
Helvy adalah "kanon" tersendiri dalam jajaran penulis generasinya. Ia tidak saja eksis
dengan pilihan tema yang berbeda, tetapi spirit perjuangannya di dunia sastra tak
berhenti di balik meja tulis dan layar komputer. Helvy bersama rekan-rekannya
terjun dalam sebuah gerakan yang mendorong semangat menulis bagi ribuan
remaja. Forum Lingkar Pena, wadah yang digunakan untuk menyalurkan
semangatnya itu, saat ini bertebaran di berbagai provinsi dengan 3.000 anggota.
Helvy dengan genre sastra Islami memiliki peluang menjadi genre sastra yang besar.
Forum lingkar pena yang didukung dengan penerbitan dan sejumlah penulis muda
yang terus membanjir, mengalir bagai air bah, seperti banjir yang setiap tahunnya
secara rutin menghajar ibukota, Jakarta. Dengan basis yang cukup kuat, segmen
yang jelas, eksistensi genre sastra Islami memiliki peluang untuk terus berkembang
dan mesti dipertimbangkan dalam jagad kesusastraan kita. Tentu dengan catatan,
kualitas sastranya juga harus terus ditingkatkan.
Berbeda dengan Helvy, Nukila Amal dengan novelnya Cala Ibi merupakan terobosan
baru yang mutlak harus dicatat dalam khazanah sastra kita. Novel Cala Ibi karya
Nukila Amal, menyeruak dan menggetarkan sastra Indonesia. Cala Ibi telah
menyumbangkan warna baru dalam jagad sastra kita dan memiliki peluang besar
untuk hadir sebagai karya sastra besar yang abadi dan universal. Sebuah koreografi
kata yang tangkas, indah, bernas dengan kalimat-kalimat yang menjelma menjadi
rangkaian aforisma.
Cala Ibi mengeksplorasi hakikat nama, peristiwa dan cerita, maya dan nyata, diri dan
ilusi, tapi juga memperkarakan kodrat kata dan bahasa itu sendiri. Efeknya adalah
ritme gerak yang mengalir, tangkas, dan memabukkan, ketaklaziman-ketaklaziman
transgresif yang segar, sedap, dan menghanyutkan. Novel ini adalah salah satu
puncak sastra Indonesia mutakhir.
Jadi, masih ada secercah harapan dari para penulis perempuan untuk tetap eksis dan
terus berkiprah demi melahirkan karya sastra besar yang tak akan lapuk ditelan
zaman.
"KEMENANGAN arisan, merupakan tanda kemenangan bagi perfilman Indonesia," demikian ujar
Sutradara Arisan Nia Dinata, saat menerima penghargaan Piala Citra 2004 untuk kategori Film
Bioskop Terbaik.
Tak salah, jika Nia Dinata mendedikasikan kemenangan filmnya, untuk perfilman Indonesia.
Munculnya film dari negeri sendiri selama kurang lebih empat tahun belakangan,
mengindikasikan atmosfer yang menggembirakan. Kehadiran Festival Film Indonesia (FFI) yang
sempat vakum dua belas tahun, dianggap sebagai tanda kebangkitan kembali era perfilman
nasional. FFI diharapkan menjadi ajang tahunan, yang dapat mendorong perkembangan dan
kemajuan dunia sineas kita.
Setelah film Petualangan Sherina hadir di layar lebar tahun 2000, beberapa film diproduksi oleh
sineas muda kita. Film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC?) yang booming, menjadi pionir film
Indonesia bertema remaja dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini. Bahkan sinetron pun banyak
yang mengikuti jejak AADC? Kemudian ada pula Jelangkung yang bertema horor.
Masyarakat yang sepertinya haus menonton film dari negeri sendiri, tampak antusias menyambut
film-film lokal yang baru. Buktinya mereka rela mengantri panjang bahkan berdesak-desakan
untuk membeli tiket nontonnya.
Melihat sambutan masyarakat yang sangat baik, membuat para sineas lokal, terutama yang muda-
muda, berani membuat film. Dalam selisih waktu yang tidak terlalu lama, kita bisa melihat
promosi film lokal yang akan ditayangkan di bioskop.
Menyaksikan industri film lokal kembali bergairah tentu satu hal yang positif. Sayangnya,
kebiasaan atau lebih tepatnya budaya latah, menghinggapi para produser film kita. Mungkin
mereka "kaget" setelah tertidur lama, sehingga ketika sebuah film bertema remaja booming di
pasaran, production house (PH) lain pun mengikuti tema serupa. Lalu saat film bertema horor atau
bercerita tentang mahasiswa, produser lain membuat film yang setipe.
Apakah ini pertanda kemajuan atau justru kemunduran perfilman Indonesia? Para kreator yang
selalu melihat kemauan pasar untuk membuat film, bukankah menjadi terbelenggu kreativitas dan
idealismenya? Tema yang seragam dari film baru tidak hanya membelenggu para seniman film,
tapi juga menyempitkan cara pandang penontonnya.
Film sebagai media hiburan tentunya mempunyai pengaruh kuat terhadap audience-nya. Bila
masyarakat disuguhi hal serupa, mereka secara tidak sadar dibuat menjadi tidak sadar akan
keanekaragaman di negerinya sendiri. Ini jelas membodohi masyarakat kita.
Kini, ketika dunia film Indonesia kembali menemukan spiritnya, hendaknya dimanfaatkan oleh
para insan film kita. Tunjukkanlah keanekaragaman sebagai salah satu kekayaan budaya kita.
Indonesia bukan hanya Jakarta, tampilkanlah setting di luar Jakarta. Remaja tidak hanya ada di
kota, ceritakanlah kehidupan remaja yang tinggal di desa atau di kampung.
Bukan cuma cinta yang yang menjadi persoalan hidup, banyak hal manusiawi lainnya yang pantas
diangkat menjadi tema sebuah film. Bukan cuma orang yang cantik dan tampan yang menarik
untuk diceritakan, orang jelek pun punya keistimewaan yang layak diungkapkan lewat film.
Indonesia kaya akan budaya, kaya dengan keanekaragaman. Kita bisa tunjukkan itu pada
masyarakat sendiri maupun dunia internasional lewat bahasa film. Karena itu, kebangkitan film
Indonesia sebaiknya menjadi tanda kebangkitan kreativitas anak bangsa. Bukan hanya kuantitas
yang dipertimbangkan, tapi juga soal kualitas.
Banyak realitas pada masyarakat Indonesia yang heterogen, yang bisa ditonjolkan melalui seni
layar lebar. Curahkanlah beragam kreativitas, inovasi, dan idealisme dalam media komunikasi
yang sangat ampuh ini. Jangan biarkan pasar mendikte kreativitas para sineas kita, agar mereka
mampu menyajikan tontonan bermutu dan menghibur. Untuk itu, perlu dukungan pemerintah dan
apresiasi dari masyarakat.***
Mimbar
Terampil Berkomunikasi
Oleh Rachmi Chairi Yustitia
KOMUNIKASI, sebuah istilah yang kerap kali kita dengar, bahkan secara sadar atau
tidak sadar, lazim digunakan baik verbal maupun nonverbal. Istilah yang begitu
familiar ini ternyata kurang mendapat perhatian bagi sebagian orang. Mereka
dengan lugasnya mengatakan komunikasi, namun bila ditanya apa arti dari
komunikasi itu sendiri, mereka sama sekali tidak paham.
Memang tidak menjadi keharusan bagi orang awam untuk mengetahui definisi,
tentang komunikasi secara terperinci. Tetapi bagi orang yang bergerak di bidang
komunikasi, definisi komunikasi sangatlah penting, bahkan menjadi keharusan untuk
mengetahui sekaligus mempelajarinya. Secara sederhana komunikasi diartikan
sebagai suatu proses pernyataan pesan oleh komunikator kepada komunikan.
Dari pengertian itu, terdapat istilah yang sering didengar oleh orang komunikasi,
yakni "we can not communicate". Kita tidak akan dapat hidup tanpa adanya
komunikasi, sehingga komunikasi dapat dikatakan "kondisio sine quanon". Di mana
keadaan tersebut mutlak, tidak dapat diubah oleh siapa pun.
Ilmu komunikasi sangat menarik bila ditelaah lebih jauh. Dengan ilmu komunikasi
yang kita kuasai, paling tidak kita dapat berkomunikasi jauh lebih baik dari
sebelumnya. Pada sisi lain, kita dapat dengan mudah membaca karakter seseorang,
hanya dengan melihat cara dan gaya bicara orang itu.
Tentunya proses tersebut mengggunakan alat indera yang kita miliki, sensasi. Cukup
menarik memang, apalagi bila melihat cakupan metode komunikasi. Terdiri atas
jurnalistik, public relations, manajemen Komunikasi, dan masih banyak lagi.
Bidang jurnalistik cukup luas cakupannya, mulai dari jurnalistik cetak, elektronika,
radio, sampai televisi. Bila dibandingkan dengan bidang yang lain, jurnalistik
merupakan bidang yang paling menantang, khususnya bagi orang yang berprofesi
sebagai jurnalis. Peristiwa bencana tsunami di Aceh yang memakan banyak korban
misalnya, tentunya memerlukan sosok seorang jurnalis untuk meliput kejadian yang
bersejarah itu.
Di samping itu, masih segar dalam ingatan kita tentang penyanderaan yang dialami
penyiar dan kamerawan Metro TV, Meutya Hafid dan Budiyanto, oleh sekelompok
orang yang mengaku sebagai pejuang Mujahidin, Irak. Selama tujuh hari mereka
disandera tanpa alasan yang jelas. Dari kejadian itu, tidak dapat dimungkiri, profesi
menjadi seorang jurnalis harus kuat mental, karena erat kaitannya dengan bahaya.
Tetapi di situlah sisi menarik dari seorang jurnalis.
Selain mendapatkan berita, mereka pun mendapatkan pengalaman hidup yang tidak
semua orang dapat mengalaminya. Tidak hanya itu, jurnalis yang sedang meliput
salah satu konser besar di Jakarta, katakanlah "Java Jazz", mereka dengan susah
payah mendapatkan berita. Namun di sisi lain, ada kepuasan setelah berita tersebut
sampai kepada khalayak.
Selain jurnalistik, seorang PRO atau dapat dikatakan public relations officer yang
menggeluti bidang public relations pun cukup menarik, karena perlu kegigihan untuk
membangun citra yang baik, agar timbul kesan dan saling pengertian antara kedua
belah pihak.
Kegiatan melobi dengan menunjukkan kebijaksanaan dan prosedur dari individu atau
organisasi, atas dasar kepentingan publik pun tidak mudah. Namun diperlukan
kesabaran tentunya. Begitu pula dengan bidang-bidang komunikasi lainnya.
Baik jurnalistik, public relations, maupun bidang yang lain pada dasarnya mengacu
pada ilmu komunikasi, karena masing-masing memerlukan komunikasi yang efektif.
Agar informasi yang disampaikan efektif, diperlukan keahlian (skill) dalam
berkomunikasi.
Karena itu, kita harus dapat mengolahnya menjadi sesuatu yang dapat dimengerti
oleh orang lain. Bila kita sudah memahami tentang makna ilmu komunikasi secara
rinci, komunikasi yang efektif pun tercipta. Dari komunikasi itu, seseorang akan
merasakan adanya rasa kepuasan akan keberhasilannya.
Bermula dengan guyonannya yang dapat menarik simpati orang banyak, tidak
tanggung-tanggung golongan terpelajar pun mampu beliau kuasai. Dilanjutkan pesan
yang berupa isi dari pidato yang hendak beliau sampaikan, yang akhirnya
kepuasanlah yang beliau rasakan tatkala informasi yang hendak beliau sampaikan
telah sampai kepada khalayak.
Oleh :
Amich Alhumami
Peneliti di Research Institute for Culture and Development, Jakarta.
Kleptokrasi berasal dari bahasa Latin (kleptein dan cracy), yang berarti mencuri (to steal) atau
mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah sebuah
negara yang dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan,
ketamakan, dan korupsi yang merajalela (a government characterized by rampant greed and
corruption).
Negara kleptokrasi bisa dijumpai di belahan dunia mana pun, yang lazim dipimpin oleh militer
diktator atau sipil otoriter. Sekadar menyebut beberapa contoh: Iran di zaman Shah Reza
Pahlevi, Zaire pada masa Mobutu Sese Seko, Rumania pada era Nicolae Ceausescu, Chile pada
zaman Augusto Pinoche, Filipina pada masa dua kepresidenan Ferdinand Marcos dan Joseph
Estrada, dan Indonesia pada era Soeharto yang berlanjut sampai sekarang.
Pendek kata, negara kleptokrasi adalah negara yang dikendalikan oleh aparatur-aparatur korup,
yang bersekongkol dengan pengusaha hitam untuk menguras kekayaan negara demi
kepentingan pribadi. Istilah kleptokrasi menjadi populer setelah digunakan oleh Stanislav
Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), yang merujuk
pada a ruler or top official whose primary goal is personal enrichment and who possesses the
power to gain private fortunes while holding public office. Berdasar rumusan ini kita paham,
kleptocratic government merujuk pada suatu pemerintahan yang sarat dengan praktik korupsi
dan penggunaan kekuasaan yang bertujuan mencari untung secara tidak halal (the use of
government for illegal rent seeking).
Ada empat aktor kunci dalam negara kleptokrasi: (a) pejabat negara; (b) aparatus birokrasi; (c)
anggota parlemen; dan (d) sektor swasta/pelaku bisnis. Relasi kuasa di antara keempat aktor
tersebut menggunakan pola patron-client relationships dengan komitmen tunggal: memberi
keuntungan mutualistik. Sang patron menyediakan akses economic resources dan memberi
proteksi politik, sementara sang client memberi konsesi ekonomi dalam aneka bentuk demi
keuntungan personal. Negara kleptokrasi membuka peluang bagi siapa saja yang memangku
jabatan publik untuk menyalah-gunakan kekuasaan demi mencapai keuntungan pribadi. Relasi
kuasa yang didasarkan pada patronase politik ini dapat merusak administrasi pemerintahan,
menyebabkan rendahnya mutu pelayanan publik, menjadi sumber inefisiensi, dan melahirkan
ekonomi biaya tinggi.
Tiga aktor utama pelakunya: pejabat negara, aparatus birokrasi, dan anggota parlemen (selaku
patron) yang memegang otoritas publik dan mengontrol kekuasaan politik seringkali bertindak
sebagai pemain dominan dalam memfasilitasi sektor swasta/pelaku bisnis (selaku client), agar
mereka bisa memenangi tender-tender proyek bernilai tinggi dengan imbalan akan membagi
keuntungan ekonomi di antara mereka sendiri. Negara kleptokrasi adalah negara persemayaman
para koruptor. Mereka melakukan praktik korupsi secara terorganisasi dan berjenjang, atau lazim
disebut organized corruption in hierarchies. Rumusan ringkasnya adalah: As high ranking
officials cover up lower-level corruption in exchange for bribes, corruption at high levels of a
government administration feeds on lower-level corruption, while at the same time shielding it,
and each level is encouraged by the other (Rose-Ackerman, Corruption and Government, 1999).
Praktik korupsi terorganisasi dan berjenjang ini menggunakan dua pola: buttom-up dan top-down.
Yang pertama, aparatur birokrasi pada level bawah mengumpulkan upeti/suap dan membaginya
dengan pejabat di atasnya dengan kompensasi mendapat promosi jabatan atau perlindungan
politik. Yang kedua, korupsi dilakukan oleh pejabat pada level atas dan membaginya dengan
anak buah yang loyal dengan maksud agar mereka menutupi praktik tercela itu. Kedua pola ini
membentuk struktur piramida berjenjang, yang masing-masing lapisannya berkepentingan untuk
saling menjaga, melindungi, dan menguatkan.
Meskipun praktik korupsi di KPU dilakukan secara kolektif, terorganisasi, dan membentuk struktur
piramida berjenjang yang bertujuan untuk saling menjaga dan melindungi, namun sejatinya
struktur piramida korupsi itu sangat rapuh bila aparat penegak hukum mampu menembus salah
satu saja dari lapisan piramida tersebut. Benar, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
berhasil menangkap Mulyana W Kusumah pada saat berusaha menyuap auditor BPK, runtuhnya
struktur piramida korupsi di KPU hanya menunggu waktu saja.
Hal yang membuat publik sangat prihatin adalah keterlibatan cendekiawan dan akademisi dalam
praktik tak terpuji ini. Bagi siapa saja yang masih memercayai kaum cendekiawan sebagai simbol
kekuatan dan penjaga moral bangsa, mungkin tidak ada peristiwa yang paling mengusik nurani
selain dugaan praktik korupsi di KPU yang melibatkan tokoh cerdik-pandai kesohor itu. Kasus ini
menjadi bukti empiris betapa sangat sulit membuat idealisasi sosok cendekiawan seperti
dilukiskan di dalam buku-buku klasik karangan Julien Benda (1927), Edward Shills (1955), Karl
Mannheim (1968), Antonio Gramci (1971), dan banyak lagi yang lain. Dalam idealisasi itu,
cendekiawan dipandang sebagai makhluk suci yang jauh dari perangai buruk dan perilaku
tercela.
Cendekiawan adalah resi yang selalu berkhotbah tentang pentingnya menjalani kehidupan
berdasarkan prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai luhur: kejujuran, kebajikan, kebersihan, dan
asketisme; mengutamakan pengabdian yang tulus dan kerja-kerja kemanusiaan; menyeru pada
kebaikan dan kemaslahatan; dan menolak laku hidup yang bertentangan dengan etika dan
keadaban. Pandangan ideal itu selalu menempatkan sosok cendekiawan sebagai pejuang
kebenaran, penegak keadilan, dan sumber inspirasi dalam mengelola kekuasaan dan
menjalankan pemerintahan demi kesejahteraan rakyat.
Lalu mengapa kaum cendekiawan dan akademisi sampai larut dalam praktik tercela ini? Semua
itu lantaran mereka telah terperangkap oleh gaya hidup konsumerisme, hedonisme, dan
materialisme. Kita mengamati gejala umum di masyarakat yang cenderung menonjolkan sisi
gemerlap dalam kehidupan sehari-hari. Kini banyak orang memuja kemewahan sehingga mereka
terdorong untuk berkompetisi dan mengungguli satu sama lain. Menyedihkan, mereka demikian
bernafsu mengumpulkan uang bukan sekadar untuk mencukupi kebutuhan hidup secara layak,
tetapi berupaya saling mengalahkan dan memamerkan kemewahan.
Untuk memenuhi hasrat hedonistik dan nafsu menumpuk materi itu, mereka sama sekali tak
peduli bila harus melakukannya dengan cara tidak terpuji. Asketisme, kesederhanaan, dan
ketulusan yang selama ini menjadi atribut kaum cendekiawan dan akademisi kini mulai tergerus
oleh kecenderungan sikap dan perilaku memuja materi dan kemewahan. Zaman telah berubah,
asketisme kaum cendekiawan hanya ada di masa peradaban Athena dan Sparta. Kini para
cendekiawan mungkin merasa lelah menjalani hidup sederhana, tidak kuat lagi berlarian
mengejar bis kota di tengah terik matahari, berdesak-desakan di dalam angkutan umum yang
panas, pengap, dan berpeluh. Mereka tergoda oleh imajinasi kehidupan metropolitan nan mewah
dan memandang gengsi sosial sebagai hal yang paling utama. Akhirnya, mereka tunduk pada
kekuatan materi yang mengundang pesona. Namun mereka lupa, materi, kemewahan, dan
gengsi sosial tak sama dengan martabat mulia, apalagi bila semua itu diperoleh melalui korupsi.
Mimbar
Budaya Membagi Ilmu Pengetahuan
Oleh ZAKI AKHMAD
BELUM lama ini dalam mailing-list ITB, terjadi diskusi hangat. Ramai dibicarakan
banyaknya jumlah web page dengan domain institusi pendidikan. Hasil pencarian
dengan Google menunjukkan, web page dengan domain *.ac.id berjumlah 572.000.
Masih sangat tertinggal jauh dibanding domain *.harvard.edu yang berjumlah
2.970.000.
Padahal, domain *.ac.id adalah domain resmi yang dimiliki suatu institusi pendidikan
Indonesia. Berarti termasuk di dalamnya ITB, UI, IPB, dan PTS. Sedang *.harvard.edu
hanya salah satu institusi pendidikan yang ada di Amerika.
Angka itu memang tidak bisa menjanjikan keakuratan dan ketepatan. Angka itu juga
didapat berdasarkan jumlah yang muncul, dengan mengetikkan kata kunci pada
mesin pencari Google pada waktu tertentu. Bahkan angka yang keluar bisa jadi
berbeda jika menggunakan mesin pencari lain.
Belum lagi memperhitungkan faktor waktu pencarian dilakukan. Tulisan ini tidak
akan membahas validitas angka itu sebagai data untuk dianalisis. Namun dari angka
itu, kiranya dapat diamati budaya membagi ilmu pengetahuan di Indonesia melalui
medium internet.
Sir Isaac Newton pernah berujar, "If I have seen further, it is by standing on the
shoulders of giants." Civitas academica institusi pendidikan adalah para raksasa.
Saat berdiri di pundak para akademis institusi pendidikan, akan didapatkan
pandangan yang lebih luas, lebih jauh sekaligus menyeluruh. Lalu benarkah ketika
masyarakat Indonesia berdiri di atas pundak para akademisinya lalu mendapatkan
pandangan yang lebih luas, lebih jauh juga menyeluruh?
Sisi teknis
Meski data dari APJII menunjukkan pengguna internet selalu naik, namun secara
persentase jumlah pengguna tidak mencapai 10% dari total penduduk. Bahkan yang
berlangganan hanya berkisar di 1.000.000. Ini menunjukkan, internet di Indonesia
masih merupakan barang mahal.
Mahalnya internet membuat akses internet hanya dimiliki segelintir orang. Ini
dijadikan alasan bagi orang yang merasa tidak tepat turut membagikan ilmu
pengetahuan melalui internet. Meski alasan ini tidak bisa dibenarkan sepenuhnya.
Internet hanyalah medium. Tentu setiap medium memiliki keunggulan dan
kekurangan.
Sementara alasan teknis tidak menguasai pemrograman web, sama sekali tidak bisa
dibenarkan. Teknologi sudah datang dengan berbagai kemudahan. Alasan ini hanya
patut diucapkan bagi orang yang menutup diri mau belajar.
Sisi budaya
Faktor budaya menempati porsi lebih besar, penyebab sulitnya membagi ilmu
pengetahuan di Indonesia. Masyarakat telah mengalami lompatan budaya. Sebelum
budaya baca-tulis mengakar kuat, rumah telah diserbu kehadiran televisi. Televisi
yang menggoda, membuat buku menjadi sosok yang asing dalam benak mayoritas
masyarakat kita.
Budaya verbal yang lebih dominan membuat masyarakat sulit untuk menulis. Hingga
jangan heran, masyarakat lebih suka mengingat-ingat daripada menulis dengan
sistematis. Biar bagaimanapun, membaca dan menulis fondasi dasar, yang harus
dikuasai baik. Proses penyebaran dan penyajian informasi lebih mudah dilakukan
dalam bentuk tulisan dibanding verbal.
Masyarakat selalu berharap banyak dari institusi pendidikan. Karena itu harus benar-
benar mampu menjadi raksasa, yang menyediakan pundaknya sebagai pijakan
rakyat kecil, untuk bisa melihat dengan perspektif lebih tinggi. Stand on the shoulder
of giants.***
Ibn Warraq
Oleh Luthfi Assyaukanie
21/06/2004
Kehadiran Ibn Warraq bukan hanya meresahkan kalangan Muslim "konservatif," tapi
juga para intelektual dan kalangan Muslim liberal yang selama ini memiliki
pandangan kritis terhadap (beberapa doktrin) Islam. Ibn Warraq dianggap telah
merusak proyek pembaruan keagamaan yang dilakukan oleh para intelektual Muslim.
Apa yang dilakukannya lebih sebagai agenda destruksi ketimbang reformasi.
Kehadiran Ibn Warraq bukan hanya meresahkan kalangan Muslim "konservatif," tapi
juga para intelektual dan kalangan Muslim liberal yang selama ini memiliki
pandangan kritis terhadap (beberapa doktrin) Islam. Ibn Warraq dianggap telah
merusak proyek pembaruan keagamaan yang dilakukan oleh para intelektual Muslim.
Apa yang dilakukannya lebih sebagai agenda destruksi ketimbang reformasi.
Abdullah Saeed, seorang sarjana Muslim asal Australia menganggap Ibn Warraq
memiliki pandangan yang keliru (distorted) tentang Islam. Hal inilah yang agaknya
membuatnya begitu antipati terhadap agama ini. Sikapnya yang begitu membenci
Islam bahkan tak mencerminkan dirinya sebagai murid Montgomery Watt, orientalis
yang selalu berusaha bersikap simpatik terhadap Islam.
Ibn Warraq sangat produktif menulis buku yang sebagian besar merupakan
kumpulan tulisan dari beberapa karya orientalis abad ke-19 dan ke-20. Kendati ada
beberapa tulisan orientalis yang simpatik terhadap Islam, Ibn Warraq lebih memilih
tulisan-tulisan mereka yang antagonis dan antipati terhadap agama ini.
Dalam karyanya tentang Nabi Muhammad (The Quest for the Historical Muhammad,
2000), Ibn Warraq misalnya mengumpulkan tulisan-tulisan para orientalis yang
dikenal sebagai "pencemar dan pembunuh karakter" Muhammad, seperti Henri
Lammens, C.H. Becker, Joseph Schacht, dan Lawrence I. Conrad. Pesan yang ingin
disampaikan Ibn Warraq sangat jelas, yakni bahwa Nabi Muhammad adalah seorang
nabi palsu, penipu, tukang kawin, dan seorang pemimpin yang haus darah.
Dalam karyanya yang lain tentang Al-Qur’an (The Origins of the Koran: Classic
Essays on Islam's Holy Book, 1998; dan What the Koran Really Says: Language, Text,
and Commentary, 2002), Ibn Warraq juga mengumpulkan tulisan-tulisan orientalis
ternama seperti Theodor Noldeke, Leone Caetani, Alphonse Mingana, Arthur Jeffery,
David Margoliouth, and Andrew Rippin. Sayangnya, dia menyeleksi tulisan-tulisan
mereka semaunya sehingga kerap menghilangkan konteks keseluruhan tulisan-
tulisan aslinya. Tujuan dia lagi-lagi untuk menunjukkan sikapnya yang antipati
terhadap Al-Qur’an. Mengutip Gibbon dan Carlyle, Ibn Warraq meyakini bahwa Al-
Qur’an adalah "incoherent rhapsody of fable," dan "insupportable stupidity."
Karya terbarunya, Leaving Islam (2003), juga merupakan kumpulan artikel dan
laporan wawancara dia dengan beberapa orang (yang sayangnya semuanya anonim)
dari Pakistan dan Bangladesh yang mengklaim telah keluar dari Islam alias murtad.
Tujuan Ibn Warraq sangatlah jelas, yakni ia ingin memperlihatkan kepada
pembacanya bahwa banyak orang Islam yang tidak tahan memeluk agama ini dan
menyatakan diri keluar (murtad). Pokoknya, baginya, menjadi bukan Islam itu lebih
baik daripada harus tetap memeluk Islam.
Bukan Reformis
Membaca dan mengikuti karya-karya Ibn Warraq, saya semakin yakin bahwa apa
yang sedang dia lakukan sangat berbeda dari apa yang telah dan sedang dilakukan
oleh para pembaru Muslim selama ini yang berusaha melakukan kritik-kritik terhadap
(beberapa doktrin) Islam tapi dengan tujuan memperbaiki agama ini. Para pembaru
Muslim seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, dan
Nurcholish Madjid, jelas tidak akan menganjurkan kaum Muslim untuk membenci
Islam, apalagi mengajak mereka keluar dari agamanya.
Kekeliruan Ibn Warraq adalah bahwa ia tidak melihat sedikitpun sisi baik dari Islam
dan bahkan berusaha mengabaikan bahwa agama ini pernah punya peran positif
bagi peradaban manusia. Dia juga tampaknya tidak mengerti bahwa nama "warraq"
merupakan salah satu simbol masa kejayaan peradaban Islam. Di masa silam,
"warraq" berarti pedagang atau distributor buku yang bertugas menyalin karya-karya
para ulama. Buku merupakan ikon peradaban Islam yang sangat penting. Salah
seorang warraq ternama adalah Ibn Nadiem, seorang Muslim yang taat dan
pengarang kitab terkenal, Al-Fihrist.
Ibn Warraq tampaknya juga tak menyadari bahwa semangat "kritisisme" dalam
Islam, seperti yang tampak pada para "pemikir bebas" Muslim seperti Ibn Rawindi,
Abu Bakar al-Razi, Al-Ma’arri, dan Ibn Sina bukanlah para penulis yang seenaknya
mencaci-maki Islam, apalagi menyatakan diri telah keluar dari Islam. Kritik-kritik
mereka adalah kritik membangun sebagai bagian dari tradisi intelektualisme Islam.
Karenanya, tak heran jika mereka sendiri kemudian menjadi bagian dari mosaik yang
memperindah peradaban Islam.
Beberapa peresensi bukunya, seperti Fred M. Donner, menilai Ibn Warraq "tak jujur."
Saya kira Ibn Warraq bukan cuma tak jujur, tapi kerap tampak naif. Misalnya dia
sangat berapi-api mengajak seluruh kaum Muslim keluar dari Islam, tapi sayangnya
tak memberikan alternatif apa-apa setelah itu. Buku terbarunya, Leaving Islam,
merupakan ikrarnya yang sangat gamblang yang tak lagi membuat para
pembacanya ragu-ragu bahwa dia memang membenci Islam dan berusaha
menghancurkan citra agama ini dengan segenap kemampuannya.
Bagi saya, jelas ada perbedaan besar antara orang yang ingin mereformasi sebuah
tradisi dengan orang yang ingin menghancurkan sama sekali tradisi itu (kendati
kedua-duanya kerap memiliki kemiripan dalam hal kekritisan). Reformasi agama
hanya mungkin dilakukan oleh orang yang benar-benar tumbuh dan hidup dalam
tradisi agama, bukan orang yang menjauh dan berusaha keluar dari tradisi itu,
apalagi dilakukan dengan cara-cara yang destruktif.
12/07/2004
Dalam bentangan sejarah agama, paling tidak terdapat tiga konsep tentang orientasi
agama. Ketiga konsep tersebut --yaitu religion as end (agama sebagai tujuan akhir),
religion as mean (agama sebagai alat), dan religion as quest (agama sebagai
pencarian)-- pernah diperkenalkan Allport dan Ross (1967) ketika menganalisis
kecenderungan pemeluk agama dalam menempatkan agama dalam kehidupannya.
Setiap orientasi agama tersebut diasumsikan memberi dampak yang nyata terhadap
pemeluk seorang agama dalam menjalankan praktik kehidupannya sehari-hari.
Mendefinisikan apa itu agama sampai saat ini masih terasa sulit. Definisi-definisi
tentang agama yang pernah diperkenalkan para teolog sejak dulu masih saja terasa
kurang pas. Alasannya, semua definisi tersebut belum bisa merengkuh dan
menyentuh semua aspek agama secara komprehensif. Makanya, muncul
ketidakpuasan terhadap defenisi agama yang tersedia.
Selain itu, para pemeluk agama juga kadangkala tidak mau repot-repot terjebak
dalam permainan definisi tentang apa itu agama. Mereka cenderung lebih memilih
menjalankan agama secara praktis dan aplikatif saja, tanpa mempersoalkan apa itu
agama secara lebih reflektif. Dalam menjalankan agama secara praktis dan aplikatif
inilah, setiap pemeluk agama, sadar atau tidak sadar, akan memosisikan agama
sebagai tujuan atau orientasi (religion orientation) tertentu di dalam kehidupannya.
Dalam bentangan sejarah agama, paling tidak terdapat tiga konsep tentang orientasi
agama. Ketiga konsep tersebut --yaitu religion as end (agama sebagai tujuan akhir),
religion as mean (agama sebagai alat), dan religion as quest (agama sebagai
pencarian)-- pernah diperkenalkan Allport dan Ross (1967) ketika menganalisis
kecenderungan pemeluk agama dalam menempatkan agama dalam kehidupannya.
Setiap orientasi agama tersebut diasumsikan memberi dampak yang nyata terhadap
pemeluk seorang agama dalam menjalankan praktik kehidupannya sehari-hari.
Pertama, agama sebagai tujuan akhir. Tatkala kemudi orientasi agama dibelokkan ke
arah the end, maka agama akan masuk perangkap finalitas yang paripurna, sehingga
ia kebal (imune) dari kritik. Apa yang dikatakan agama akan menjadi "sihir" dan
doktrin kebenaran yang mutlak. Pemeluk agama yang berpegang pada orientasi ini
akan cenderung kurang memiliki pemahaman kritis terhadap agama, terutama pada
aspek pembedaan bagian mana wilayah agama murni dan bagian mana wilayah
tafsir atas agama. Mereka kerap kali bersikap taken for granted terhadap agama.
Pada akhirnya, agama kian terjangkit virus stagnasi spiritual, dan cenderung
menguatkan eksklusivisme dan fanatisme para pemeluknya. Mereka cenderung
menutup mata dari setiap perubahan realitas dan menutup telinga dari kritik yang
ditujukan padanya.
Kedua, tatkala tingkat kritisisme terhadap agama lenyap sama sekali, dan fanatisme
semakin mengakar kuat dalam keyakinan si pemeluk agama, maka agama dengan
mudah akan dimanipulasi oleh kepentingan politik dan kekuasaan. Di sinilah religion
as mean (agama sebagai alat) mulai tercium aromanya. Dalam situasi begini, agama
dijadikan budak bagi kepentingan (interest) yang sama sekali tidak terkait dengan
nilai-nilai universal agama itu sendiri.
Kasus fatwa tentang haramnya memilih presiden perempuan dari sejumlah ulama di
Jawa Timur (Langitan) awal Juni lalu, masih hangat dalam ingatan kita. Kecurigaan
kalau para kiai yang mengeluarkan fatwa tersebut sedang memperlakukan agama
sebagai alat pencapai tujuan-tujuan tertentu bermunculan. Sebab, fatwa itu memang
bertentangan dengan nilai-nilai universal agama: Islam tidak melarang pemimpin
perempuan. Masih banyak kasus-kasus lainnya yang dapat dijadikan contoh "agama
sebagai alat".
Dari congoh-contoh di atas, menjadi jelas bahwa pada hakikatnya para pemeluk
agama yang berorientasi religion as end dan religion as mean hanya
mempermalukan agama dan memanfaatkan agama sebagai justifikasi perilaku
mereka saja yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai universal agama. Maka tanpa
tedeng aling-aling dapatlah dikatakan bahwa, perilaku seperti itu sama artinya
dengan tindak "mematisurikan agama". Untuk itu, diperlukan orientasi lain dari
agama, berbeda dari dua orientasi sebelumnya.
Efek positif yang timbul ketika individu-individu umat beragama memilih keagamaan
yang berorientasi pencarian, paling tidak adalah tumbuhnya kritisisme atau
sensitivitas terhadap agama. Sikap kritis terhadap agama bukanlah sikap tercela dan
perlu dipandang sebagai hal negatif dan mengingkari hakikat agama. Dengan
bersikap kritis, diharapkan pemeluk agama justru akan menemukan hakikat terdalam
dari pesan-pesan agama itu sendiri. Mereka dituntun untuk menemukan agama
sebagai sebuah proses memeluk agama dengan akar keberagamaan yang kuat
dalam menghujam di dalam jiwa dan kesadarannya. Pemeluk agama akan belajar
untuk berpikir, menafsir dan menimbang mana yang merupakan semangat agama
dan mana yang merupakan reduksi atas agama. Dengan jalan seperti itu, stagnasi
dan kejumudan spiritual akan terpelanting jauh-jauh agama. Orientasi kegamaan ini
yang disulut di sini adalah dinamika dan gejolak keberagamaan yang selalu hidup
dan progresif.
Tampaknya, ketiga orientasi agama tersebut dimiliki oleh semua penganut agama di
Indonesia. Makanya, diperlukan usaha-usaha kreatif untuk membuka mata dan
menyegarkan visi keagamaan kita agar dapat memosisikan agama di dalam
kehidupan politik, sosial, budaya dan ekonomi secara lebih cerdas dan cermat.
Dinamika kehidupan terus berubah. Agama akan dihadapkan pada berbagai isu yang
terus baharu, seperti modernisme, pluralisme, multikultiralisme, globalisasi,
fragmentasi, benturan peradaban dan sebagainya. Agama tidak bisa melakukan apa-
apa kecuali jika ia dioperasikan oleh pemeluknya dengan baik. Demi merespons
tantangan-tantangan zaman tersebut, pemeluk agama perlu kiranya memosisikan
dan memerankan agama bukan sebagai the end apalagi sebagai means, melainkan
sebagai quest, atau proses pencarian kratif.
DARI pengalaman menjadi wartawan, mulai reporter, redaktur, sampai dengan pemimpin redaksi, banyak hal
yang menyadarkan bahwa profesi bidang jurnalistik banyak seluk-beluknya. Sementara itu, pengetahuan
jurnalistik terus berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan teknologi. Tanpa
kesadaran banyaknya seluk-beluk itu dan tanpa mengikuti perkembangan, wartawan sulit memahami
besarnya hasil kerja jurnalistik yang berdampak pada perubahan nan baik bagi kehidupan masyarakat.
Profesi wartawan menuntut tanggung jawab yang memerlukan kesadaran tinggi dari pribadinya. Dalam dunia
jurnalistik disebut persepsi diri wartawan. Kesadaran tinggi ini hanya dapat dicapai bila wartawan cakap,
terampil, dan pengetahuan jurnalistiknya memadai dalam menjalani profesinya, baik yang diperoleh dari
pelatihan, pendidikan khusus, maupun hasil bacaannya. Untuk tujuan terakhir inilah buku berjudul Jurnalistik:
Teori dan Praktik disusun.
Dengan pertimbangan perlunya prasyarat profesionalisme wartawan, buku karya Hikmat Kusumaningrat dan
Purnama Kusumaningrat tersebut ditulis secara rinci. Dengan tebal 343 halaman, buku itu terdiri atas 13 bab.
Pada Bab 2 soal Pers dan Jurnalistik, dibahas falsafah maupun fungsi pers. Selain menguraikan teori sistem
pers, ada beberapa prasyarat agar berita layak muat dan menarik bagi khalayak. Hal ini diuraikan dalam Bab
3 mengenai Berita dan Masyarakat, terutama yang berkaitan dengan nilai berita, pengertian, serta hubungan
berita dengan ada dan tiadanya kebebasan pers. Seberapa jauh berita sensasional memperoleh tempat di
media massa juga bagian dari pembahasan bab ini.
Proses menghimpun berita merupakan tahap yang kerap dirasakan paling sulit, terutama bagi wartawan
pemula. Mengenai hal ini, Bab 4 tentang Proses Menghimpun Berita membahasnya melalui contoh praktik
sehari-hari yang terjadi di dapur redaksi.
Di sini, diuraikan bagaimana setiap mata rantai proses wartawan itu bekerja. Mulai dari penugasan dari
redaktur sampai dengan persiapan, termasuk bagaimana tiap tahap memberikan kontribusi pada proses
kerja agar dihasilkan berita bernilai tinggi.
Praktik penekanan pada kebebasan pers oleh kelompok bisnis menjadi bagian dari pembahasan Bab 5 yang
dilengkapi rambu etika jurnalistik. Bab 6 membahas hal yang berkaitan dengan profesionalisme dalam dunia
wartawan. Jadi, diuraikan sejauh mana pentingnya sikap profesionalisme wartawan.
Berbeda dengan Bab 7, yang menuntut keterampilan menulis dan kecakapan memilih kata. Hal itu penting
karena modal dasar bagi wartawan. Tidak hanya itu. Teknik dan jenis wawancara juga perlu dikuasai. Dalam
Bab 8, metode ini dijelaskan secara gamblang. Yang berbeda, ketika kita ingin membuat berita olahraga,
yang dihadirkan di Bab 9.
Dalam bab selanjutnya, dibahas soal reportase interpretatif maupun investigatif, jurnalisme pembangunan
ARTIKEL
LEBIH pendek dan berserakan. Itulah komentar akademikus Barat atas catatan
Max Weber (1864-1920) tentang Islam. Studi Weber tentang agama-agama
dunia, mulai dari Yahudi kuno, Kristen, Hindu, sampai Buddha jauh lebih
sempurna dan sistematis. Weber keburu meninggal dunia. Padahal, menurut
Talcott Parsons, (1964), ia merencanakan studi perbandingan antara Islam,
Kristen periode awal, dan Katolik abad pertengahan.
ITU sebabnya, riset akademis tema ini masih relatif langka. Bryan S Turner
adalah sarjana Barat pertama yang studi sistematis. Dalam karyanya, Weber and
Islam, (1974:2), Turner berargumen bahwa bagi Weber "ini adalah sifat alami
institusi politik Muslim yang patrimonial, yang menghalangi munculnya prakondisi
kapitalisme, yakni hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom,
'ekonomi uang', dan kelas borjuis." Semua prakondisi kapitalisme rasional-
modern di Barat ini, faktanya, tidaklah muncul di masyarakat Islam Timur Tengah.
Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (selanjutnya disingkat The
Protestant Ethic), Weber melihat doktrin predestinasi sebagai argumen utama
dalam menjelaskan keterkaitan antara suatu bentuk etika agama dan spirit
kapiralisme di Barat. Calvinisme dan Islam menjadi perumpamaan predestinasi
yang berlawanan.
Pencarian Keselamatan
Asketisisme Dunia-Sini
Rasionalisasi
Weber memakai konsep rasionalisasi dalam beragam makna dan cakupan. Di sini
rasionalisasi dipakai untuk merujuk dua tipe: rasionalisasi doktrin dan perilaku
hidup. Dua tipe ini dipakai Weber untuk menjelaskan Protestan asketis, terutama
Calvinis.
Pada bagian awal The Protestant Ethic, Weber memilih "Nasihat kepada
Saudagar Muda" yang disampaikan salah satu Bapak Amerika, Benjamin
Franklin, sebagai fondasi keagamaan untuk perilaku hidup rasional. "Ingat,"
demikian nasihat Franklin, "waktu adalah uang; kredit adalah uang; dan kejujuran
bermanfaat dalam bisnis." Inti pesan Franklin adalah menghasilkan uang-melalui
etos kerja keras dalam bisnis, menabung hasil, dan menginvestasikannya demi
keuntungan yang lebih besar-dimaknai sebagai panggilan hidup (Beruf; bukan
dalam pengertian Luther yang tradisionalistik). Franklin menyandarkan rujukan
teologis: "Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam bisnisnya? Dia
akan berdiri di hadapan raja-rajanya" (Prov xxii. 29). Inilah yang memberi inspirasi
kepada Weber (2005:19) untuk berkesimpulan bahwa "kebajikan dan kecakapan"
dalam mencari dan menabung uang sebagai panggilan hidup adalah benar-benar
bentuk Alpa dan Omega dari etika Franklin." Dan Franklin dijadikan Weber
sebagai personifikasi ideal etika Protestan itu sendiri.
Kedua, sebagai konsekuensi atas slogan "Kembali pada Kitab Suci", baik Calvinis
maupun Muslim Puritan berdiri di hadapan Tuhan. "Para Calvinis," kata Weber
(2005:68), "ingin selamat melalui pembenaran hanya dengan Iman". Inilah doktrin
sola fide. Tidak ada lagi perantara antara Tuhan dan Calvinis. Absennya
perantara keagamaan ini dapat disimak pada: minimalisasi unsur sakramen,
deligitimasi radikal atas sistem Imamat, dan penolakan terhadap gereja yang
hierarkis dan korup. Muslim puritan Muhammadiyah berbagi prinsip dasar dengan
Calvinis. Tidak ada sistem perantara keagamaan yang memediasi hubungan
Muslim dengan Allah. Muslim puritan berdiri dan bertanggung jawab langsung
kehadirat Allah. Seperti apa yang dilakukan Calvinis, beriman kepada Allah juga
disertai etos kerja keras di dunia ini. Karena Muslim puritan muncul di lingkungan
Jawa yang sinkretik, maka karakter reformasi-puritannya dapat dilihat pada usaha
purifikasi Islam dari unsur magis dan aspek sinkretik lainnya.
Ketiga, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengikuti apa yang diteoritisasikan
Weber sebagai "disenchantment of the world". Menurut Weber, proses ini dimulai
dalam tradisi Yahudi Kuno yang sejalan dengan pemikiran dan gerakan ilmiah
Yunani. Proses ini berpuncak pada teologi dan praktik Calvinis dengan menolak
semua piranti magis dalam pencarian keselamatan. Kebangkitan Muslim puritan
Muhammadiyah pada dasarnya sebagai respons langsung terhadap takhayul,
bid'ah, dan khurafat. Semua elemen magis ini adalah nonrasional, dan, mengikuti
tesis Weber, harus dibersihkan dari praktik Islam puritan dan konsepsi keduniaan.
Jadi, Muslim puritan berjuang pada dua hal: eksklusi unsur-unsur magis dari
Islam dan demistifikasi konsepsi keduniaan dengan mendasarkan diri pada
kalkulasi rasional dan perilaku hidup asketis di dunia modern.
Kelima, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengadopsi apa yang oleh Weber
disebut "innerworldy asceticism". Protestan asketis, terutama Calvinis, memakai
metode asketis untuk mengubah dunia. Spirit kapiralisme muncul dari proses
yang disebut "afinitas elektif" antara asketisisme dan disiplin diri di kalangan
Calvinis. Muslim puritan pun menganut asketisisme dunia-sini melalui tasawuf
modern tanpa melarikan diri dari kehidupan duniawi.
Dalam The Protestant Ethic, terbit pertama kalinya tahun 1904-1905, Weber
meletakkan Protestan asketis sebagai "suatu kontribusi terhadap pemahaman
atas masalah-masalah umum di mana ide menjadi kekuatan efektif dalam
sejarah". Nama Karl Marx tentu ada dalam pikiran Weber. Dan Weber tampak
sengaja ingin meletakkan "kekuatan ide" sebagai wacana tandingan atas doktrin
materialisme sejarah Marx, yang melihat ekonomi sebagai faktor determinan
dalam perubahan sejarah. Weber hadir dengan tesis baru: bagaimana ide dan
keyakinan di antara protestan asketis (Calvinis, Pietis, Methodis, dan sekte
Baptis) menjadi kekuatan-kekuatan efektif dalam menumbuhkan spirit kapitalisme
rasional modern di Barat.
Dengan alasan demikian, Weber (2005:3) lalu menunjuk fakta empiris: mereka
yang menjadi industriwan, pengusaha, ahli keuangan, dan tenaga kerja yang
cakap di bidang industri lainnya, ternyata jumlahnya jauh lebih besar Protestan
ketimbang Katolik. Yang terakhir ini malah sering diasosiasikan dengan pekerja
kasar dan bawahan. Tingginya pertumbuhan aktivitas kapitalisme juga lazim
terjadi di antara gereja protestan dan Calvinis Perancis, Belanda, dan puritan
Inggris. Fakta-fakta ini menginspirasi Weber menarik kesimpulan adanya "afinitas
elektif" antara Protestan asketis, terutama Calvinis, dan spirit kapitalisme.
Jika demikian, tesis Weber dapat dipakai sebagai model: adakah "afinitas elektif"
antara etika/keyakinan Islam dan perilaku ekonomi di kalangan Muslim puritan?
"Ya" jawab Clifford Geertz, antropolog Amerika terkemuka di Universitas
Princeton. Seperti halnya Robert N Bellah yang datang ke Jepang untuk studi
agama Tokugawa, Geertz pun terbayang-bayangi tesis Weber untuk studi agama
Jawa. Ia datang ke Mojokuto awal 1950-an dengan kesimpulan: "pertumbuhan
ekonomi dan pembaharuan Islam berjalan secara beriringan". Suatu kesimpulan
yang mirip antara pertumbuhan kapitalisme dengan Reformasi Protestan di
kalangan Calvinis.
Dalam Peddlers and Princes, (1963), Geertz studi perbandingan dua kota:
Mojokuto di Jawa Timur dan Tabanan di Bali. Ia lagi-lagi dibayangi tesis Weber.
"Dalam kerangka teori Max Weber tentang peran Protestanisme dalam
menstimulasi pertumbuhan komunitas bisnis di Barat," demikian laporan Geertz
(1963:49), "bahwasanya para pemimpin komunitas bisnis di Mojokuto adalah
sebagian besar Muslim reformis". Ia memang menemukan sebagian besar
pemimpin usaha bisnis tekstil, tembakau, serta sejumlah toko dan perusahaan
justru didominasi Muslim reformis-puritan. "Tujuh dari pertokoan modern yang
berdiri kokoh di Mojokuto," lanjut Geertz, "enam di antaranya dijalankan oleh
Muslim reformis-puritan." Ia lalu berkesimpulan "Reformisme Islam, dalam
bentuknya Muslim puritan, adalah doktrin majoritas para saudagar" (Geertz,
1963:150). Tulisan ini memang mengikuti tesis Geertz, namun beda dalam studi
kasus. Mojokuto bagi Geertz dan Yogyakarta bagi saya. Dengan telah
meletakkan kerangka pemikiran Muhammadiyah sebagai reformasi Islam model
Protestan, maka tulisan ini diakhiri dengan adanya beberapa elemen mendasar
Etika Protestan yang berakar kuat dalam Muslim puritan Muhammadiyah.
Nilai kebajikan kerja keras dan kejujuran dalam bisnis telah mengantarkan Dahlan
dalam kemiripan dengan etika Calvinis. Bahkan, pada tahun 1913, Rinkes,
pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia waktu itu, dengan mengejutkan
menilai Dahlan sebagai "prototipe warga Indonesia yang memiliki etika Calvinis:
tekun, militan, dan cerdas". Di usia senjanya, Siti Walidah, istrinya, menasihati
Dahlan beristirahat. Ia jawab: "saya harus bekerja keras sebagai upaya
meletakkan batu pertama dalam gerakan mulia ini. Jika saya terlambat atau
berhenti, akibat sakit, maka tak seorang pun yang akan membangun fondasi ini.
Saya sudah merasa bahwa waktuku sudah hampir lewat, karenanya, jika saya
bekerja secepat mungkin, apa yang tersisa dapat disempurnakan oleh yang lain"
(Peacock, 1978:38-9).
Robert W Hefner
SALAH satu karakteristik utama budaya Islam di Indonesia modern terletak pada
kemampuannya melahirkan sarjana dan aktivis Muslim yang punya kapabilitas
intelektual tinggi dalam menanggapi tantangan politik, ekonomi, dan budaya di
dunia modern. Entah itu Kiai Haji Achmad Dahlan (1910-an), Kiai Hasyim Asy’ari
(1920-an), entah Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan Abdurrahman Wahid
(1990-an), para pemimpin Muslim Indonesia telah menunjukkan kemampuan luar
biasa melihat tradisi Islam secara mendalam dan mengontekstualkan wawasan-
wawasan keislaman yang relevan dalam menjawab tantangan dunia modern.
Perbedaan seperti ini tidak hanya terbatas di Mesir dan Indonesia. Meskipun ide-
idenya masih termasuk kategori reformisme Sunni yang utama, pembaharu
Muslim asal Pakistan, Fazlur Rahman, dipaksa meninggalkan Pakistan dan
menghabiskan sisa hidupnya mengajar dan menulis di Universitas Chicago,
Amerika Serikat. Sekarang ini ide-ide pembaharuan keislaman Rahman
didiskusikan lebih luas dan bebas di Indonesia ketimbang di negerinya sendiri.
Persis dengan kasus Rahman, ide-ide pembaharuan keislaman reformis besar
asal Suriah, Muhammad Shahrour, juga lebih bebas didiskusikan di Indonesia.
Namun, di negerinya sendiri pembaharuan Shahrour menghadapi tentangan yang
begitu sengit dari segelintir kaum militan hingga pemikir yang berbahasa halus ini
dipaksa menjauhi kegiatan-kegiatan publik dan harus ditemani pengawal saban
bepergian ke luar.
Masyarakat Muslim di Indonesia modern tentu saja tak luput dari kontroversi,
bahkan kekerasan. Namun, ketika melihat lanskap penuh abad XX, orang
dikejutkan dengan fakta bahwa sekalipun disibukkan dengan kontroversi dan
kekerasan, masyarakat Muslim Indonesia secara konsisten kembali berada di
jalan lurus moderasi, pluralisme, dan debat berspirit kebebasan. Meskipun
organisasi-organisasi keislaman seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
digoda oleh rayuan politik kekuasaan, faktanya mereka secara konsisten kembali
pada garis moderat, pluralisme, dan nasionalisme keagamaan.
Pertama, mutu esai Sukidi sendiri yang bagus dan fakta bahwa esai tersebut
telah merangsang diskursus keislaman yang hangat dalam komunitas Muslim
dengan sendirinya mengilustrasikan keterbukaan yang terus-menerus
berlangsung di kalangan Muslim Indonesia.
Kedua, dan sedikit agak menyadarkan, sebagian alasan mengapa esai Sukidi
mengundang debat adalah bahwa ada kekhawatiran yang terus berkembang di
lingkaran intelektual Muslim bahwa sejak akhir rezim Orde Baru masyarakat
Muslim telah kehilangan beberapa elemen keadaban dan energi intelektualnya
sebagai akibat dari percekcokan publik dan tindakan intimidasi beberapa individu
yang berpikiran radikal. Berdasarkan percakapan dengan kawan-kawan di
Indonesia, saya percaya bahwa persepsi inilah yang menyebabkan para
intelektual muda berpikir mengenai apakah Indonesia juga membutuhkan hal-hal
yang didiskusikan oleh Sukidi dengan sangat baik dalam esainya: sebuah
reformasi Protestan Islam yang mampu merangsang kehidupan intelektual dan
organisasi sosial masyarakat Muslim secara keseluruhan.
Pada abad XVIII dan XIX Islam Shi’ah Iran mengalami transformasi doktrin dan
organisasi yang tak ada bandingannya dengan yang terjadi di dunia Sunni.
Secara lebih khusus, setelah konflik antara mazhab Akhbari dan Ushuli, sebuah
konsensus baru lahir di antara para intelektual agama yang berpusat pada
kewajiban semua mukmin untuk menaati doktrin tentang marja’. Menurut konsep
ini, setiap Muslim saleh diwajibkan tunduk kepada seorang mujtahid yang
berfungsi sebagai marja’ taklidnya, rujukan keagamaannya. Beberapa dekade
setelah doktrin marja’ disebarluaskan, otoritas keagamaan di Iran Shi’ah
mengalami evolusi lebih jauh. Perubahan itu berpusat pada ide bahwa tidak
hanya setiap orang awam yang harus memiliki sebuah marja’, tetapi juga harus
ada sebuah marja’ tunggal tempat para intelektual Muslim bersandar. Yang paling
terhormat adalah seseorang yang disebut sebagai Ayatullah, secara literal berarti
’tanda Tuhan’.
Dalam konteks ini Shi’ah abad XIX mengembangkan beberapa karakteristik yang
hierarkis dan sentralistik yang secara umum lebih dekat diasosiasikan dengan
Kristen di Barat ketimbang Islam. Namun, tak dapat disangkal pula bahwa struktur
hierarkis Shi’ah Iran tak sekental dan sehierarkis Gereja Katolik Roma. Seorang
intelektual menjadi seorang Ayatullah bukan karena dipilih atau diangkat oleh
ulama, melainkan melalui sebuah proses intelektual informal dan pendapat publik.
Namun, dalam 200 tahun terakhir, Islam Shi’ah telah mengembangkan tingkat
hierarki intelektual dan sentralisasi yang jauh lebih kompleks ketimbang tipikal
Islam Sunni. Fakta inilah, ketimbang faktor lain, yang membantu menjelaskan
mengapa di saat-saat krisis sosial-politik beberapa orang di Iran menjadi tidak
sabar dengan status quo Shi’ah dan seperti Afghani, Shariati, dan Aghajari,
mereka mulai mengimpikan Shi’ah yang mirip dengan Reformasi Protestan.
Tak ada satu negara pun di kalangan Islam Sunni yang mengambil jalan
sebagaimana ditempuh kaum Shi’ah Iran dengan mandat hierarki marja’ dan
kepatuhan buta. Kecenderungan utama dalam otoritas keagamaan abad XIX dan
XX di dunia Sunni ternyata bukanlah hierarki mandat keagamaan, tetapi lebih
perjuangan kelompok-kelompok Muslim tentang hubungan yang sebaiknya
dimiliki antara ulama dan umat dalam kaitannya dengan negara. Tentu saja ada
sejarah panjang atas perdebatan-perdebatan seperti itu di Islam Sunni. Selama
apa yang dikenal sebagai "inkuisisi" atau mihna di masa kekuasaan Khalifah
Abasiyah al-Ma’mun (813-833) dan diteruskan pada Khalifah al-Wathiq (842-847),
para pejabat kekhalifahan mencoba memaksa kehendaknya kepada para ulama.
Konflik terutama terpusat pada masalah keterciptaan Alquran. Namun, yang
menyedot pusat perhatian dalam konflik mihna adalah pertanyaan tentang siapa
yang memiliki otoritas terakhir untuk membicarakan masalah-masalah keislaman:
ulama atau khalifah (penguasa). Kegagalan khalifah memenangi misi
perjuangannya menandai suatu kemenangan definitif bagi ulama dan
menobatkan ulama sebagai pemegang otoritas prinsipiil dalam masalah teologi
Islam dan hukum.
Kegagalan mihna juga meniscayakan bahwa tradisi sentral di Islam Sunni tetap
menjadi sebuah pola "multipusat" otoritas keagamaan, tidak terpusat pada satu
otoritas keagamaan. Yang saya maksudkan dengan hal ini adalah komunitas
intelektual dan orang beriman secara lebih luas, ketimbang hanya seorang
pendeta, khalifah, atau seorang Ayatullah yang bertanggung jawab dalam
masalah-masalah keagamaan. Di awal Kekhalifahan Utsmani, beberapa negara
Muslim modern telah berusaha menolak pendahulu Sunni ini dan
menghubungkan komunitas ulama lebih dekat kepada gerbong kekuasaan.
Beberapa Islamis sekarang juga berpendapat adanya kemiripan etatisasi otoritas
keagamaan. Meskipun ada upaya-upaya demikian, titik sentral otoritas
keagamaan di Islam Sunni masih bersifat multipusat dan komunitarian, tidak
tersentralisasi, otoritarian, ataupun hierarkis.
ARTIKEL Sukidi mengangkat satu isu terpenting lain mengenai relevansi ide
Protestanisme untuk perkembangan Islam kontemporer. Sukidi dengan benar
menunjukkan bahwa Afghani, Shariati, dan Aghajari menekankan bahwa
Reformasi Protestan sangat penting bagi modernisasi Eropa. Afghani melihat
konservatisme ulama sebagai penyebab utama jatuhnya peradaban Islam setelah
masa keemasan Nabi Muhammad dan masa kekhalifahan empat
(khulafaurrasyidin). Dijiwai oleh keyakinan demikian, cukup mudah bagi Afghani
menyimpulkan bahwa Islam akan meraih manfaat positif jika Ia juga mengalami
reformasi sebagai alternatif pembaharuan atas konservatisme ulama. Aghajari
telah memberikan kritik selangkah lebih maju dengan menegaskan bahwa ulama
tidak harus diperlakukan sebagai komunitas yang sakral dan setiap Muslim
seharusnya menjadi imam bagi dirinya sendiri.
Karena itu, ada sejumlah dasar untuk lebih berhati-hati mengambil secara literal
seruan Protestanisme Islam Afghani, Shariati, dan Aghajari. Sudah pasti,
seseorang dapat memahami daya tarik gagasan Protestanisme Islam,
sebagaimana terjadi di Iran modern, tempat tradisi marja' dipakai untuk
membungkam para sarjana kritis dan pendukung pembaharuan keagamaan.
Dalam masyarakat Sunni, ajakan reformasi model Protestan barangkali kurang
terkait dengan hierarki otoritas keagamaan per se, tetapi lebih karena rasa
frustasi pada konservatisme ulama tertentu dalam Islam. Sebab itu, cukup dapat
dipahami bahwa beberapa intelektual Muslim dan ulama menyerukan Reformasi
Protestan dalam Islam karena mereka merasakan kolaborasi yang terlampau
dekat antara ulama dan penguasa justru mendiskreditkan agama Islam itu sendiri.
Adnin Armas
Kandidat Doktor di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur
Pada 30 Maret 2005 ada sebuah peristiwa penting dalam sejarah pemikiran Islam
di Indonesia karena kedatangan seorang ulama dan cendekiawan kaliber
internasional, Prof Dr Muhammad Mustafa Azami, guru besar Studi Islam di
Universitas Raja Saud, Riyadh. Ia datang untuk meluncurkan bukunya The
History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation: A Comparative Study
with the Old and New Testaments, pada 2 April, di Senayan Jakarta. Buku ini
telah diterjemahkan oleh tiga orang doktor dari Universitas Islam Internasional
yaitu Dr Sohirin Solihin, Dr Ugi Suharto, Dr Anis Malik Thoha, dan Lili Yuliadi, MA.
Di dalam bukunya yang terbaru ini, Prof Azami membandingkan sejarah Alquran
dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Di dalam kajiannya yang mendalam
tentang sejarah Alquran, Prof Azami menjawab dengan sangat meyakinkan
pendapat-pendapat para orientalis. Sedikit berbeda dengan para ulama dari
Timur Tengah yang lain, Prof Azami dalam karya tersebut menggunakan bukan
saja referensi dalam bahasa Arab dan Inggris, tetapi juga bahasa Prancis dan
Jerman.
Prof Azami mengkaji sejarah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan
menggunakan pendapat-pendapat dari kalangan sarjana Yahudi dan Kristen.
Hasil kajiannya menunjukkan sejarah Perjanjian Lama dan Baru mengandung
sejumlah masalah yang sangat mendasar dan mustahil untuk diselesaikan. Ketika
para orientalis mengkaji Alquran, mereka sudah mengasumsikan sebelumnya,
sejarah Alquran sama saja dengan sejarah ''kitab suci'' mereka. Disebabkan kitab
suci mereka bermasalah, maka Alquran juga diangggap bermasalah.
Benteng pertahanan
Karya Prof Azami yang bernilai ilmiah tinggi ini sangat bermanfaat untuk dijadikan
benteng pertahanan dalam menghadapi tantangan pemikiran para orientalis yang
bertubi-tubi mengkritik Alquran. Dengan menggunakan alat biblical criticism sejak
abad ke-19, para orientalis telah membuat berbagai teori baru mengenai sejarah
Alquran, seperti yang diformulasikan Theodor Noldeke (1836-1930), Friedrich
Schwally (1919), Edward Sell (1839-1932), Gotthelf Bergstraesser (1886-1933),
Leone Caentani (1869-1935), Otto Pretzl (1893-1941), Hartwig Hirschfeld (1854-
1934), Joseph Horovitz (1874-1931), Richard Bell (1876-1953), Alphonse
Mingana (1881-1937), Arthur Jeffery (1893-1959), Regis Blachere (1900-1973),
John Wansbrough (1928-2002), dan yang masih hidup seperti Andrew Rippin,
Harald Motzki dan masih banyak lagi lainnya.
Akibat menolak biblical criticism, maka dalam pandangan Arkoun, studi Alquran
sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bibel. Ia berpendapat metodologi
John Wansbrough memang sesuai dengan apa yang selama ini memang ingin ia
kembangkan. Dalam pandangan Arkoun, mushaf 'Uthman tidak lain hanyalah
hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan ''tak terpikirkan'' disebabkan
semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Untuk mengubah ''tak
terpikirkan'' (unthinkable) menjadi terpikirkan (thinkable), Arkoun mengusulkan
supaya membudayakan pemikiran liberal (free thinking).
Nasr Hamid menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufasir
yang selalu menafsirkan Alquran dengan muatan metafisis Islam. Dalam
pandangan Nasr Hamid, metodologi seperti itu tidak akan melahirkan sikap
ilmiah. Dengan menyamakan status Alquran dengan teks-teks yang lain, maka
Nasr Hamid menegaskan siapa saja bisa mengkaji Aquran.
()
Mun'im A Sirry dan Pradana Boy telah menanggapi tulisan saya di Republika (01-04-
2005) yang berjudul Selamat Datang, Profesor Azami!. Ketika mengkritik Prof Azami,
Mun'im menulis bahwa bagi mereka yang sempat membaca karya-karya Barat tentang
studi Alquran, walaupun tidak mendalam, tentu akan merasa aneh jika tidak menyebut
Richard Bell, Montgomery Watt, Toshihiko Izutsu, Alford Welch, Daniel Madigan, atau
Kenneth Cragg yang banyak menulis karya-karya simpatik tentang Alquran. Pernyataan
Mun'im tersebut telah membelokkan masalah yang sebenarnya.
Bukan pakar
Prof Azami dalam karyanya memfokuskan kajiannya kepada perbandingan historisitas
Alquran, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam studi historisitas Alquran, Azami
telah membahas pendapat orientalis terkemuka dunia dalam sejarah Alquran seperti
Noldeke, Mingana, dan Jeffery.
Sedangkan orientalis yang disebutkan oleh Mun'im bukanlah orientalis terkemuka dalam
studi sejarah Alquran. Judul buku Richard Bell dan Montgomery Watt (Introduction to the
Quran, 1970) saja sudah menunjukkan bahwa karya Bell dan Watt adalah karya
pengenalan kepada Alquran. Bell dan Watt hanya mengulangi pendapat para orientalis
sebelumnya. Pendapat Bell yang menganggap Mushaf Abu Bakr RA adalah mushaf
pribadi, misalnya, merupakan pengulangan dari pendapat para orientalis sebelumnya
seperti Noldeke, Caentani, Schwally, Mingana, Jeffery dan lain-lain.
Mun'im juga tidak tepat ketika memasukkan nama Toshihiko Izutsu, Alford Welch, Daniel
Madigan, dan Kenneth Cragg dalam kritikannya kepada Azami. Sebabnya, kesemua
orientalis tersebut bukanlah sarjana apalagi pakar dalam studi sejarah Alquran. Padahal,
karya Azami adalah membahas sejarah Alquran.
Selain itu, Mun'im dengan mengutip pendapat Arkoun, menyayangkan kaum Muslim
karena mentashbihkan Mushaf Utsmani. Dalam pandangannya, para sahabat terkemuka
mengeluh dengan terwujudnya standartisasi Mushaf Utsmani. Kesimpulan Mun'im
terhadap Mushaf Usmani menunjukkan ketidaktahuannya tentang berbagai fakta dan
pendapat para sahabat yang telah menerima Mushaf Utsmani dengan sepenuh hati.
Mus'ab ibn Sa'd menyatakan bahwa tidak seorangpun dari Muhajirin, Ansar, dan orang-
orang yang berilmu mengingkari perbuatan Utsman RA. Ali bin Abi Talib menyatakan,
''Seandainya aku yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai mushaf sebagaimana
yang Utsman buat.'' Thabit ibn imarah al-Hanafi menyatakan bahwa ia mendengar dari
Ghanim ibn Qis al-Mazni yang menyatakan, ''Seandainya Utsman belum menulis Mushaf,
maka manusia akan mulai membaca puisi.'' Selanjutnya, Abu Majlaz mengatakan,
''Seandainya Utsman tidak menulis Alquran, maka manusia kan terbiasa membaca puisi.''
(Lihat karya ibn Abi Daud Sulaiman al-Sijistani, Kitab al-Masahif dan juga karya Abu
'Ubayd, Fadail Alqur'an).
Bahkan Abu Ubayd (224 H), sejak kurang lebih 1.200 tahun yang lalu, telah menghimpun
pernyataan beberapa sahabat mengenai Mushaf Utsmani dan menyimpulkan bahwa
hukumnya kafir bagi siapa yang mengingkari Mushaf Utsmani. Jadi, para sahabat
menyepakati tindakan Utsman untuk menghimpun Alquran. Kesepakatan tersebut juga
tercermin di dalam salah satu syarat sahnya sebuah qiraah, yaitu harus sesuai dengan
ortografi Mushaf Utsmani. Syarat ini merupakan ijma ulama.
Keraguan pada Bibel Tanggapan kepada artikel Selamat Datang, Prof Azami! juga
dikemukakan oleh Pradana Boy. Dalam pandangannya, dialog antarkitab perlu dilakukan
secara akademis. Sebenarnya, pernyataan Pradana menunjukkan ketidaktahuannya akan
sejumlah permasalah mendasar dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian
Lama, misalnya, juga merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji
manusia, tetapi tetap masih merupakan misteri hingga kini.
Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis bahwa hingga
kini siapa yang sebenarnya menulis kitab ini masih merupakan misteri. (It is a strange fact
that we have never known with certainty who produced the book that has played a central
role in our civilization). Ia mencontohkan, The Book of Torah, atau The Five Book of
Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of Lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separuh
Mazmur ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana
penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan
teka-teki paling tua di dunia. Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan,
bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalamnya dalam teks-nya dijumpai banyak
kontradiksi.
Teks Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani Kuno yang pertama kali mendapat sambutan
di pasaran adalah edisi naskah yang diterbitkan pada tahun 1516 oleh Desiderius Erasmus
(1536). Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bible dalam bahasa Yunani Kuno. Teks ini
digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bible dalam
Bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible
bahasa Yunani Kuno yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai
1633 terbit sekitar 160 versi Bible dalam bahasa Yunani Kuno. Dalam edisi Yunani Kuno
ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham
Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. (Lihat, Bruce
M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament, hlm xxii-xxiv). Jadi,
meskipun sekarang talah ada kanonisasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin untuk
menghadirkan edisi lain dari The New Testament.
Selain itu, para sarjana Bibel terkemuka seperti Karl Lachmann (1851), Lobegott Friedrich
Constantin von Tischendorf (1874), Samuel Prideaux Tregelles (1875), Henry Alford
(1871), Brooke Foss Westcott (1901), Bernhard Weiss (1918), Hermann Freiherr von
Soden (1914) telah meninggalkan Textus Receptus edisi Erasmus. Menurut Johann
Salomo Semler (1791), bagian-bagian dari Perjanjian Baru bukanlah wahyu. Oleh sebab
itu, menurut Semler, isi Perjanjian Baru tidak dapat diterima sebagai otoritatif [Lihat
Werner Georg Kummel, The New Testament: The History of the Investigation of Its
Problem (1972)].
Jadi, kalangan sarjana Bibel sendiri sudah menyimpulkan bahwa Bibel memuat sejumlah
permasalahan mendasar yang tidak mungkin untuk diselesaikan. Bibel bukanlah sebuah
kitab suci yang dipahami masyarakat Kristen awam. Studi kritis Bibel (Biblical criticism)
telah berkembang dengan begitu mapan. Kajian historis terhadap Bibel yang telah
dilakukan oleh para sarjana Bibel telah menunjukkan bahwa teks resmi/teks standart Bibel
sama sekali tidak bisa diterima.
Jadi, dialog mengenai sejarah Bibel perlu diselesaikan terlebih dahulu oleh kalangan
sarjana Bibel, sebelum melakukan dialog antarkitab. Sebabnya, banyak sarjana Kristen
yang sudah pun menolak otentisitas Bibel. Jika sarjana Bible sendiri menunjukkan begitu
seriusnya problema yang dihadapi teks Bible, maka sekarang sarjana dari kalangan
Muslim yang mencoba-coba menyeret problema itu untuk diaplikasikan dalam studi
Alquran.
Pengaruh orientalis
Selain itu, baik Mun'im atau Pradana menyebutkan beberapa orientalis seperti Watt,
Madigan, Kenneth Cragg bersikap simpatik kepada Alquran. Padahal, Watt dan Cragg
tetap menyatakan bahwa Nabi Isa AS mati di tiang salib, suatu kepercayaan yang secara
diametral bertentangan dengan penjelasan Alquran. Sedangkan Madigan berpendapat para
sahabat melakukan bid'ah karena telah menghimpun Alquran ke dalam sebuah kitab.
Lebih jauh lagi, dalam pandangan Madigan, Alquran yang dihimpun dalam sebuah kitab
merupakan sumber dari faham fundamentalisme agama. Sebenarnya, adalah hal yang
normal dan bisa dipahami, bahwa para orientalis akan selalu mengkritik Alquran.
Sepanjang sejarah, sejak Leo III (741) sehingga abad ke-21 ini, kajian orientalis terhadap
Alquran selalu diwarnai dengan paradigma Yahudi-Kristen. Mereka menggunakan
metodologi Bibel untuk diterapkan kepada Alquran. Mereka tidak akan menerima
kebenaran Alquran. Jika mereka menerima kebenaran Alquran, konsekwensinya mereka
akan masuk Islam dan meninggalkan agama mereka yang dengan sangat jelas disalahkan
oleh Alquran.
Pendapat-pendapat yang menolak otentisitas Mushaf Utsmani telah dilakukan oleh para
ulama sepanjang masa. Abu 'Ubayd, misalnya, pada abad ke-2 H pernah menyatakan,
''Usaha Utsman mengkodifikasi Alquran akan tetap dan sentiasa dijunjung tinggi, karena
hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang dikalangan orang-orang
yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap,
dan kelemahan merekalah yang terbongkar.'' (Lihat al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkam al-
Quran, 1: 84).
Selain itu, Abu Bakr al-Anbari, pada abad ke-3 H telah menulis buku berjudul al-Radd 'ala
Man Khaalafa Mushaf Utsmaniy (Sanggahan Terhadap Orang yang Menyangkal Mushaf
Utsmani). (al-Qurthubi, 1:5). Begitu juga dengan al-Qurthubi, pada abak ke-7 H, seorang
ahli tafsir berwibawa dan masyhur, dalam mukadimah kitab tafsirnya menyediakan satu
bab khusus tentang hujah dalam menyanggah orang yang mencela Alquran dan
menyangkal Mushaf Utsmani dengan [dakwaan] adanya penambahan dan pengurangan.
(al-Qurthubi, 1:80-86). Begitu juga dengan Prof Azami, pada abad ke-21 ini.
Sarjana Muslim mestinya memiliki pendekatan tersendiri terhadap kajian Alquran. Jika
kita bersikap kritis maka kita harus terlebih dulu memiliki cara-pandang seorang Muslim,
bukan cara pandang yang netral atau cara pandang yang cenderung dipengaruhi orientalis
atau Islamolog Barat. Sebab ilmu itu sendiri tidak netral. Selama ini kajian para orientalis
lebih bersifat empiris yang positivistik yang diwarnai oleh pandangan hidup Barat sekuler-
liberal. Ini menunjukkan krisis epistemologis yang serius. Wallahu a'lam. (RioL)
Oleh :
Hubungan Islam-Kristen
Umat Islam, misalnya, secara umum menerima bahwa Injil adalah bagian dari
kitab suci umat beragama yang harus diyakini
Opini
Spiritualitas Perkotaan
Anto Dwiastoro
MENGAPA kecenderungan ini terjadi bisa ditelusuri secara historis dan psikologis
pada budaya Indonesia secara umum. Namun, pada dasarnya, fenomena yang
belakangan ini marak berakar pada gejolak masyarakat perkotaan di Indonesia
sebagai akibat krisis berkepanjangan yang menimpa negeri ini. Juga dekadensi
moralitas yang memengaruhi gaya hidup orang kota.
Tasawuf sendiri terbagi menjadi dua: Tasawuf Islam yang mementingkan sikap
hidup yang tekun beribadah serta mengacu kepada Al Quran dan Hadis dan
Tasawuf Murni atau Mistikisme yang menekankan pada pengetahuan hakikat
Tuhan.
Berakhirnya era tasawuf Islam pada tahun 728 M memperkuat dugaan bahwa
aliran tasawuf yang masuk pada awal perkembangan Islam di Indonesia bersifat
mistikisme. Mengacu pada pengertian "miskisme" sebagai suatu ajaran atau
kepercayaan bahwa pengetahuan akan hakikat dan tentang Tuhan dapat
diperoleh melalui meditasi atau penyadaran spiritual tanpa melibatkan panca
indera dan akal pikir, dapat dimengerti mengapa Islam di Indonesia mampu
berkompromi dengan budaya Hindu-Buddha, dan segera berkonsekuensi pada
pergerakan mistikisme Jawa atau Kejawen.
Baru pada tahun 1920-an hingga 1930-an aliran mistikisme mendapat tempat di
hati masyarakat pribumi yang tertekan sebagai akibat depresi besar yang tengah
melanda dunia pada saat itu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari suatu
masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan akibat krisis ekonomi.
Sementara itu, agama dirasakan tidak mampu membangkitkan kesadaran
spiritual masyarakat, yang terutama disebabkan oleh penentangan kaum Muslim
azali yang mengedepankan ketaatan lahiriah dan rasional dengan nilai-nilai
"pahala-dosa" dan "surga-neraka". Bersamaan dengan itu, bermunculan figur-
figur yang mengaku mendapat wahyu dari Tuhan untuk membersihkan dosa-dosa
umat menghadapi kiamat-isu yang meluas menyusul kondisi dunia yang kacau-
balau diterpa depresi besar.
Landasan kedua kurang dapat diterima mengingat sejumlah jalan spiritual yang
dimasuki masyarakat kota dewasa ini telah eksis di Indonesia sejak lama, meski
masih bersifat marginal. "Popularisasi" rasanya kurang tepat, melainkan lebih
merupakan "pengadopsian" dampak positif amalan sejumlah konsepsi spiritualitas
yang diterima sebagai solusi bagi derita psikis masyarakat kota.
Penyerahan diri secara langsung kepada Tuhan merupakan tema sentral amalan
batiniahnya. Apa yang disinggung oleh para penulis Sufi adalah suatu keadaan
yang direpresentasi oleh "kemabukan", "pembebasan", "penyerapan diri ke dalam
Sang Kuasa" (imanensi) dan sebagainya, yang timbul sebagai hasil dari
kepasrahan sepenuhnya, dan tidak didukung oleh upaya yang bersangkutan.
Gagasannya adalah bila kita menyerahkan semua hasrat, harapan, ketakutan dan
angan- angan tanpa terkecuali, maka yang tersisa adalah rasa diri yang hakiki.
Di Subud unsur yang konstan dan aktif adalah latihan berserah dirinya yang
dikenal sebagai latihan kejiwaan, suatu bentuk pelatihan pada isi dari diri. Latihan
kejiwaan merupakan suatu keadaan penyerahan diri secara ikhlas di mana di
dalamnya akan terasa suatu energi. Energi ini memotivasi seorang peserta sesuai
dengan kondisinya pada waktu itu. Penyerahan diri di Subud dilakukan langsung
kepada kekuasaan Tuhan tanpa upaya atau perantaraan apa pun. Mengadakan
upaya atau perantaraan justru bertentangan dalam konteks ini.
Spiritualitas masyarakat kota dewasa ini di mana nilai-nilai, tujuan hidup, dan
kesadaran bahwa diri mereka adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih
besar sebagai ciptaan Tuhan, telah menjadi dasar dari pengembangan
kepribadian yang sangat menentukan kebahagiaan hidup lahir dan batin mereka
di tengah dinamika perkotaan.
Anto Dwiastoro Alumnus Jurusan Sejarah FSUI, Aktivis Sebuah Jalan Spiritual,
Tinggal di Surabaya
Opini
Abd A’la
KHALED Abou El Fadl pernah menulis artikel berjudul Islam and the Theology of
Power dalam Middle East Report tahun 2001 lalu. Dalam tulisannya ia
menyatakan, kekuasaan dan simbol-simbol yang berkaitan dengan hal itu
merupakan perhatian utama dan nyaris satu-satunya dari gerakan puritanisme
fundamentalistik.
Tentu tidak ada yang salah dalam hal itu selama mereka adalah orang yang tepat
di tempat yang tepat dan selama hal itu tidak berdampak pada menciutnya
keberadaan Islam sebagai rahmatan lil alamien; sebagai pijakan moral dalam
mengembangkan kehidupan yang berwatak humanis dalam berbagai aspeknya.
Namun, dalam realitasnya mereka ingin masuk jaringan kekuasaan sekadar
bermodalkan karisma tanpa diimbangi visi dan misi yang jelas. Parahnya lagi,
mereka terhegemoni teologi kekuasaan sehingga beranggapan hanya melalui
kekuasaan semacam itu mereka dapat "berjuang" membumikan atau
menyebarkan Islam. Itu pun dalam pengertiannya yang berbeda-beda, mulai dari
yang substansial dalam bentuk pengembangan nilai-nilai Islam, seperti keadilan
dan kesejahteraan hingga dalam maknanya yang eksklusif berupa penegakan
Islam formal dan simbolnya dari atas.
Jika Abou El Fadl menyatakan, teologi kekuasaan kurang menghargai tradisi dan
warisan Islam, maka dalam konteks Indonesia, teologi kekuasaan yang dianut
beberapa tokoh agama dan elite Islam Politik menjadikan mereka kurang peka
dalam melihat dan menyikapi tradisi dan warisan bangsa. Mereka kurang memiliki
apresiasi yang memadai atas tradisi bangsa dengan segala pluralitas yang
melekat di dalamnya. Atau mereka memaknai tradisi berdasarkan ideologi dan
ukuran-ukuran yang mereka buat sendiri tanpa banyak melibatkan masyarakat
atau kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Akibatnya, kekonyolan sering
terjadi seiring dengan berkembangnya teologi kekuasaan. Misalnya, praktik-
praktik kejahatan tetap marak dan terkadang berlindung di balik simbol-simbol
agama justru daerah di mana teologi kekuasaan itu marak dan dicoba
diimplementasikan.
Selain itu, mereka para penganut teologi kekuasaan kurang menghargai tradisi
keulamaan yang selama ini melekat pada masyarakat Indonesia. Ulama dalam
tradisi Indonesia, bahkan di dunia Muslim secara umum, sejatinya bukan sebagai
penguasa, tapi lebih merupakan penyampai ajaran Islam yang secara
keseluruhannya nyaris bersifat moral.
Dengan demikian, ulama dituntut untuk selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan
dan mampu mengarahkan kekuasaan kepada nilai-nilai moralitas yang dapat
membawa kepada tercipta dan kukuhnya keadilan, kesejahteraan, dan
kedamaian bagi seluruh masyarakat. Untuk itu, mereka seharusnya tidak masuk
dan menjadi bagian dari kekuasaan sehingga kearifan dan obyektivitas
pandangan mereka tidak membias.
Fakta yang ada di sekeliling kita memperlihatkan dengan jelas kenyataan itu. Irak
yang terus bergolak, PKB yang sibuk mengupayakan islah, hanya secuil dari
sejumlah tragedi akibat menguatnya teologi kekuasaan yang menghegemoni
umat, tepatnya para elite mereka.
Abd A’la Staf Pengajar pada Fakultas Adan dan Pascasarjana UIN Sunan Ampel
Surabaya
Posted at 02:04 pm by HANIF-MACHFUDZ
Make a comment Permalink
ARTIKEL TERBARU
Judul Buku:
Oleh: RH Siregar, SH
MENULIS buku tentang peristiwa 52 tahun lalu dan perkembangannya dari waktu
ke waktu memang bukan perkara mudah. Semakin tidak mudah lagi karena
catatan autentik soal kejadian itu sangat langka. Kalaupun ada, telah menjadi
dokumen pribadi, yang pemeliharaan serta penyimpanannya kurang terjaga
dengan baik. Kejadian tersebut ialah pembentukan Dewan Kehormatan
Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) pada 24 September 1952.
Karena itu, penyusunan buku Setengah Abad Pergulatan Etika Pers ini
didasarkan pada bahan-bahan tertulis yang dihimpun. Seperti dari buku-buku
tentang sejarah pers nasional, terutama karangan H Soebagio IN, yang dapat
dikatakan sebagai referensi baku mengenai perkembangan pers Indonesia
secara umum dari waktu ke waktu.
Buku yang ditulis RH Siregar tersebut memang menarik sekali. Sebagai tokoh
pers yang lama berkutat dalam kegiatan DK PWI, ia memang sangat tepat
sebagai penulis yang kompilator bagi buku ini karena pengalaman soal
perkembangan hukum dan etika pers sudah dikuasainya.
Hal yang menarik dalam buku itu menyangkut pergulatan etika dan dalam Bab II,
diulas secara rinci maupun tajam. Salah satunya, berhubungan pelaksanaan hak
tolak. Khusus soal hak tolak ini, Pasal 13 KEJ PWI menegaskan, ''Wartawan
Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang
bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya, sepanjang menyangkut
fakta dan data, bukan opini. Apabila nama dan identitas sumber berita
disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.''
Dalam sejarah pers nasional, persoalan hak tolak pernah memperoleh perhatian
luas di masyarakat, selain muncul perbedaan pendapat antara pemerintah dan
organisasi wartawan, dalam hal ini PWI. Karena itu, masalah itu masih perlu
ditindaklanjuti lebih khusus. Bahkan, sangat relevan dan aktual dikaitkan dengan
perkembangan kebebasan pers saat ini.
Bab III lebih banyak menyoroti kesan maupun pesan para anggota DK PWI dari
waktu ke waktu. Memori tersebut dibuat dengan baik oleh kalangan anggota DK
PWI yang telah almarhum melalui tulisan serta artikel yang diambil dari berbagai
buku dan media cetak. Ada pula yang berdasarkan hasil wawancara dan tulisan
sendiri dari para anggota yang masih hidup, termasuk aktif dalam masa bakti
kepengurusan 2003-2008 hasil Kongres XXI PWI di Palangkaraya, Kalimantan
Tengah, Oktober 2003.
Lebih jauh lagi, Siregar menghadirkan perjalanan DK PWI dari waktu ke waktu.
Diceritakan perjalanan terbentuknya DK PWI pada 24 September 1952 sampai
sekarang. Termasuk, pengalaman beberapa nama yang pernah duduk di DK
PWI. Beberapa nama itu di antaranya H Agus Salim sebagai ketua, H Mohammad
Natsir (wakil ketua), serta Roeslan Abdulgani, Prof Dr Soepomo, dan Djawoto
selaku anggota.
Dalam Bab V lebih banyak dibahas kasus yang pernah dialami beberapa media
dengan berbagai pihak atau instansi. Misalnya, kasus majalah Gatra versus
Tommy Soeharto, Dewi Soekarno versus Indonesia What's On, Tempo versus
Tommy Winata, Jamsostek versus Media Indonesia, dan lain-lain.
*** 'Setengah Abad Pergulatan Etika Pers', RH Siregar, SH, Dewan Kehormatan
PWI 2005 .
Judul Buku:
Oleh: Chris Barker
Adalah Stuart Hall dengan Centre for Contemporary Cultural Studies di Inggris
pada 1960-an yang merintis model pemahaman kebudayaan demikian. Baginya
kebudayaan adalah medan nyata praktik-praktik, representasi-representasi,
bahasa dam kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat berpijak. Ia juga memahami
budaya sebagai suatu bentuk-bentuk kontradiktif akal sehat yang sudah
mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari (hal. 10). Dengan kata
lain, kebudayaan adalah persoalan bagaimana manusia secara langsung
berhubungan dengan kehidupannya dan bagaimana ia menafsirkannya sehingga
terbentuk apa yang disebut dengan "cara hidup". Namun berbeda dengan
pandangan sebelumnya yang menempatkan cara hidup sebagai sesuatu yang
terberi (granted) maka dalam pemahaman Hall kebudayaan adalah hasil dari
konstruksi yang selalu relatif sebab harus terkait dengan proses yang terjadi
dalam ruang dan waktu tertentu.
Ada dua hal yang menjadi dasar pikiran culture studies sehingga bukan hanya
mendapat legitimasi secara pemikiran tetapi juga mampu mengakomodasi
perkembangan zaman. Pertama, adanya pemahaman bahwa realitas bukanlah
suatu hal yang berada di luar manusia yang dengan kemampuan akal budinya
manusia dapat menemukannya. Realitas adalah suatu konstruksi manusia ketika
ia berusaha mendeskripsikan apa itu realitas. Konsep-konsep masa pencerahan
adalah usaha tanpa lelah dalam usaha mendeskripsikan perkara realitas ini dan
menafikan bahwa semakin konsep itu dinyatakan sempurna berkenaan dengan
apa itu realitas, pada saat yang bersamaan realitas itu semakin kabur. Sebab
konsep itu berbeda dengan realitas. Konsep adalah uraian abstrak yang tertuang
melalui bahasa dan bahasa memiliki logikanya sendiri. Dengan kata lain, apa
yang didengungkan oleh pemikiran dari era pencerahan adalah imajinasi yang
terasionalisasi dan tidak ada persinggungannya dengan realitas.
Celah antara konsep dan realitas ini menjadi asumsi dasar culture studies untuk
memasuki wilayah-wilayah yang selama ini diabaikan dalam memahami
persoalan kebudayaan. Culture studies menentang pembedaan tinggi/rendah,
estetis/tidak estetis, agung/sehari-hari, berkaitan dengan kebudayaan.
Kebudayaan adalah konstruksi dari pelbagai pergesekan sosial-ekonomi-politik.
Karena itu culture studies sangat berhutang pada pelbagai teori yang
menjelaskan relasi manusia dengan lingkungannya yang membentuk kedirian
semacam pascastruktural, semiotik, dan psikoanalisa. Berkat asumsi yang
mendasari dan berbagai teori inilah culture studies mendapat legitimasi dari segi
perspektif.
Hegemoni model Gramsci dikritik Laclau dan Mouffe karena Gramsci terlalu
menekankan kelas sebagai agen perubahan. Komunitas terpinggirkan yang
merupakan antagonis kebudayaan dalam pertarungan situasi sosial mutakhir
tidak terikat satu sama lain, terpisah, dan ekonomi bukan satu-satunya pengikat di
antara komunitas-komunitas terpinggirkan ini. Sebab medannya kini tidak lagi
pada kerja melainkan telah bergeser mendekati ruang konsumsi, kesejahteraan
sosial, dan habitat.
Satu hal yang terlupa dari culture studies di Indonesia adalah agenda perubahan.
Culture studies lebih banyak diterima karena relatifitasnya dalam memandang
berbagai persoalan yang, ironisnya, berkenaan dengan penindasan dan
kemiskinan. Persoalan kemiskinan dan penindasan dianggap adalah urusan
golongan kiri dan culture studies seolah lepas tangan sehingga semakin jauh dari
akarnya. Di Indonesia Culture studies menjadi demikian borjuis!***
Proses menghimpun berita merupakan tahap yang kerap dirasakan paling sulit,
terutama bagi wartawan pemula. Mengenai hal ini, Bab 4 tentang Proses
Menghimpun Berita membahasnya melalui contoh praktik sehari-hari yang terjadi
di dapur redaksi.
Di sini, diuraikan bagaimana setiap mata rantai proses wartawan itu bekerja.
Mulai dari penugasan dari redaktur sampai dengan persiapan, termasuk
bagaimana tiap tahap memberikan kontribusi pada proses kerja agar dihasilkan
berita bernilai tinggi.
Praktik penekanan pada kebebasan pers oleh kelompok bisnis menjadi bagian
dari pembahasan Bab 5 yang dilengkapi rambu etika jurnalistik. Bab 6 membahas
hal yang berkaitan dengan profesionalisme dalam dunia wartawan. Jadi, diuraikan
sejauh mana pentingnya sikap profesionalisme wartawan.
02/05/2005
Hari Sabtu, 16 April 2004, saya bersama Ulil Abshar-Abdalla menghadiri acara
bedah buku ¡§Ada Permutadan di IAIN¡¨ karya Hartono Ahmad Jaiz, seorang
alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diskusi buku sedianya hendak
dilangsungkan di gedung teater Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah.
Tapi karena para pengunjung berjejal, maka secara mendadak acara dipindahkan
ke mesjid dengan harapan dapat menampung para peserta yang menyentuh
angka satu ribuan itu.
Hari Sabtu, 16 April 2004, saya bersama Ulil Abshar-Abdalla menghadiri acara
bedah buku ¡§Ada Permutadan di IAIN¡¨ karya Hartono Ahmad Jaiz, seorang
alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diskusi buku sedianya hendak
dilangsungkan di gedung teater Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah.
Tapi karena para pengunjung berjejal, maka secara mendadak acara dipindahkan
ke mesjid dengan harapan dapat menampung para peserta yang menyentuh
angka satu ribuan itu. Hartono Ahmad Jaiz pun sebagai penulis buku turut
dihadirkan dengan didampingi seorang wahabi fanatik, Ahmad Tamimi.
Diskusi dimulai secara berurutan oleh presentasi Hartono, saya sendiri, Ulil
Abshar, dan terakhir Tamimi. Kecuali Tamimi yang banyak mengamini karya
Hartono itu, maka saya bersama Mas Ulil memberikan kritik terhadap buku
tersebut. Ada beberapa hal yang saya sampaikan. Pertama, gaya bertutur
Hartono dalam buku itu sungguh tidak memikat. Dia menggunakan vokabuler
yang vulgar, provokatif, bahkan cenderung kasar di dalam mengomentari
sejumlah tokoh yang tidak sehaluan dengan dirinya. Misalnya, penempelan kata
¡§jompo¡¨ untuk Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Padahal, tanpa
menggunakan kata itu sebenarnya pesan yang hendak dia sampaikan tak akan
defisit. Bahkan, Hartono tidak segan-segan menguliti sejumlah intelektual Muslim
hingga pada ruang-ruangnya yang pribadi dan fisikal; sesuatu yang mestinya
tidak dilakukan oleh orang yang beradab. What a pity.
Ketiga, buku itu banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam atau apa
yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari¡¦ah berupa pluralisme, keadilan,
kemaslahatan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Nilai-nilai Islam yang terpatri
demikian jelas dalam Islam itu seakan tidak menjadi perhatian Hartono ketika
menulis. Oleh karena itu, maka wajar saja sekiranya konten buku itu banyak
berseberangan secara sharahah dengan Alquran, kitab referensi paling pokok
dalam Islam. Misalnya, jika Alquran sebagaimana dalam al-Ma`idah ayat 5
memperbolehkan umat Islam menikahi kalangan ahl al-kitab, maka Hartono
datang dengan jumawa untuk mengharamkannya.
Apa yang ditulis Hartono tentang pemurtadan di IAIN itu, pada hemat saya, tak
lebih dari sebuah koleksi gosip atau rumor belaka ketimbang sebuah buku dalam
pengertiannya yang hakiki. ¡§Buku¡¨ itu ditulis sonder perhatian yang memadai
perihal pentingnya validitas dan akurasi data. Semoga di masa-masa yang akan
datang Mas Hartono bisa menghadirkan buku-buku buah tangannya dengan
disksi yang relatif terjaga dan terpilih, lebih bermutu, santun, dan beradab, serta--
jangan lupa¡Xlebih memikat dan mencerahkan. [Abd Moqsith Ghazali]
^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=809
KOLOM
Jika ditelisik lebih mendalam, gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks
politik Indonesia makro, terutama pasca pemilu 2004. Gagasan ini bisa dikatakan
sebagai antiklimaks, wujud kekecewaan warga Muhammadiyah atas hasil pemilu
lalu. Dalam formasi Kabinet Indonesia Bersatu, suara warga Muhammadiyah
kurang terakomodir. Keberadaan Hatta Rajasa sebagai Menteri Perhubungan dan
Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan Nasional, tidak dianggap
representasi warga Muhammadiyah.
Kenyataan pahit juga harus diterima warga Muhammadiyah dari hasil pemilu
legislatif. Eksistensi PAN dinilai tak mampu lagi menampung dan mengakomodasi
kepentingan politik warga Muhammadiyah. Bahkan muncul opini, PAN sudah
dikuasai kader-kader non-Muhammadiyah yang tidak memiliki akar di
Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah yang ada di PAN sudah sering
terpinggirkan. PAN dianggap tidak memiliki ikatan emosional lagi dengan
Muhammadiyah, terlebih tak lama lagi akan ditinggalkan Amien Rais.
***
**
***
^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=735
• tanggapan artikel
• Partai Alternatif; Ekspresi Haus Kekuasaan, Moh Hanifuddin Mahfuds,
13/12/2004 06:12
ARTIKEL
Kolom
Oleh Saidiman
28/03/2005
Otokrat liberal adalah istilah yang terlalu pesimis bagi dunia Islam, khususnya
Indonesia, untuk merebut posisi dalam arus gelombang demokratisasi dunia.
Soeharto telah tumbang, dan tidak ada alasan untuk kembali ke era kekuasaan
Soeharto hanya untuk mematangkan diri menuju sistem demokrasi yang
sesungguhnya. Istilah ¡§demokrat Islamis,¡¨ yang dimunculkan oleh Saiful Mujani,
sangat mewakili konsep demokrasi ala Islam, sejauh istilah itu bukan untuk
menyatakan pesimisme demokrasi di dunia Islam. Inilah demokrasi ala Islam,
lebih khusus Indonesia, di mana pemilu berjalan damai di tengah sikap intoleran
umat Islam itu sendiri.
Pertanyaan yang kemudian selalu menghantui adalah parameter apa yang paling
valid untuk menyebut sebuah negara berada pada gelombang demokratisasi atau
bereda pada ranah otoritarianisme atau non demokratis? Pertanyaan ini akan
menyeret berbagai persoalan, khususnya yang menyangkut sosio-kultur: tentang
apakah budaya, agama, ras, letak geografis, tingkat pendidikan, tingkat
kesejahteraan ekonomi, dan seterusnya menjadi prasyarat penentu bagi
tumbuhnya iklim demokrasi yang konsolidatif? Selama ini, kultur Islam telah
kadung dipersepsi oleh banyak orang sangat tidak sehat bagi tumbuhnya
demokrasi. Sehingga pilihan sistem politik di dunia muslim, bagi beberapa
pengamat seperti Fareed Zakaria, bukanlah demokrasi. Kesimpulan ini diambil
berdasarkan berbagai fakta tentang gagalnya konsolidasi demokrasi liberal di
berbagai negara muslim. Pada banyak kasus, demokrasi bukannya membawa
angin perubahan bagi masyarakat muslim, melainkan menjadi instrumen bagai
munculnya kekuasaaan kaum fundamentalis agama dan perpecahan sosial yang
berdarah-darah. Orang semacam Fareed Zakaria akhirnya menawarkan sistem
kekuasaan otokrat liberal sebagai sistem transisi sebelum masuk ke dalam sistem
demokrasi: artinya, dunia muslim saat ini jangan buru-buru menjadi negara
demokratis, tapi harus melalui persiapan panjang dalam sistem otokrat liberal
tersebut.
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Freedom Institute (FI), dan Jaringan Islam Liberal (JIL)
tentang orientasi politik Islam di Indonesia pada awal bulan November 2004
cukup mencengangkan. Betapapun pemilu 2004 berjalan sukses dan menjadi
sebuah alasan kuat untuk mengatakan bahwa Indonesia benar-benar layak
menyandang gelar sebagai negara paling demokratis di antara negara-negara
berpenduduk mayoritas muslim, temuan penelitian ini menunjukkan landasan
yang sangat rapuh bagi proses demokratisasi di Indonesia, yang boleh jadi
merupakan representasi dunia muslim pada umumnya. Angka dukungan
terhadap agenda-agenda Islamis cukup membuat gentar: 41,1 % yang
mendukung perempuan tidak boleh jadi presiden; 55 % setuju hukum rajam bagi
penzina; 58 % mendukung pembagian waris dua banding satu antara laki-laki dan
perempuan; 41 % menyatakan dukungan terhadap pelarangan bunga bank;
pendukung poligami sebanyak 39 %; dan sebanyak 40 % setuju hukum potong
tangan diterapkan di Indonesia. Dan yang lebih merisaukan bagi kelanjutan
demokrasi dan kebebasan sipil (civil liberties) adalah tingginya sikap intoleran
kaum muslim terhadap ummat Nasrani: 24,8 % keberatan kalau orang Kristen
mengajar di sekolah negeri, apalagi di sekolah agama (madrasah, pesantren,
IAIN, dan seterusnya); 40,8 % umat Islam Indonesia keberatan jika orang Kristen
mengadakan kebaktian di sekitar wilayah tempat tinggalnya; dan 49,9 % umat
Islam Indonesia keberatan jika orang Kristen membangun gereja di sekitar tempat
tinggal mereka.
Faktor lain, misalnya, dunia Islam tidak mengalami sejarah pertentangan panjang
seperti yang dialami oleh Barat. Sejarah Barat dipenuhi oleh berbagai
pertentangan: antara gereja dan negara, antara raja dan bangsawan, antara
Katolik dan Protestan, sampai kemudian muncul revolusi industri yang menandai
ketegangan antara para bangsawan dan borjuis, pertentangan antara borjuis
sendiri, belum lagi peperangan kekuasaan antar bangsa, dan sebagainya. Semua
itu menumbuhkan sikap pengakuan terhadap kepemilikan dan hak-hak pribadi
antar sesama manusia. Pembagian kekuasaan dan mekanisme perebutan
kekuasaan yang melibatkan sebanyak mungkin orang juga kemudian disadari
karena proses panjang perebutan berbagai kepentingan tersebut di atas. Satu hal
yang tidak boleh luput dari ingatan adalah bahwa demokrasi selalu unik pada
setiap negara, bahkan kerapkali demokrasi sangat sulit didefinisikan.
Pengambilan kebijakan publik melalui keterlibatan segelintir anggota masyarakat
laki-laki kelas atas secara langsung di Yunani 2500 tahun lalu disebut sebagai
demokrasi. Pemberian hak suara kepada masyarakat umum di Jerman pada
tahun-tahun 1930-an awal yang melahirkan pemimpin ultra diktator, Hittler, juga
adalah proses demokrasi. Dua negara paling demokratis, AS dan UK,
menggunakan sistem yang sama sekali berbeda, AS menggunakan sistem
presidensil dan UK menggunakan sistem parlementer, tapi keduanya tetap
demokratis. Orang Yunani tentu tidak membayangkan bahwa sistem perwakilan
dan keterlibatan berbagai kalangan masyarakat ¡§awam¡¨ dalam proses
pengambilan keputusan publik akan disebut demokratis di zaman sekarang.
Otokrat liberal adalah istilah yang terlalu pesimis bagi dunia Islam, khususnya
Indonesia, untuk merebut posisi dalam arus gelombang demokratisasi dunia.
Soeharto telah tumbang, dan tidak ada alasan untuk kembali ke era kekuasaan
Soeharto hanya untuk mematangkan diri menuju sistem demokrasi yang
sesungguhnya. Istilah ¡§demokrat Islamis,¡¨ yang dimunculkan oleh Saiful Mujani,
sangat mewakili konsep demokrasi ala Islam, sejauh istilah itu bukan untuk
menyatakan pesimisme demokrasi di dunia Islam. Inilah demokrasi ala Islam,
lebih khusus Indonesia, di mana pemilu berjalan damai di tengah sikap intoleran
umat Islam itu sendiri. Umat Islam tentu tidak bisa melepaskan fanatisme
keagamaannya. Tapi itu bukan masalah ketika kehidupan praksis demokratis
berjalan dengan baik. []
^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=781
Oleh :
Dari sini kebijakan politik berpihak moralitas dan kepentingan publik menjadi
barang langka. Dalam lingkaran setan korupsi dan konflik politik itulah Muktamar
ke-45 Muhammadiyah tanggal 3-8 Juli di Malang menarik dijadikan studi
rekrutmen kepemimpinan berbasis moral dan profesionalitas.
Dalam pemilihan pimpinan, gerakan ini tidak memilih ketua secara langsung, tapi
memilih 13 orang pimpinan yang menetapkan seorang ketua di antara mereka.
Model pemilihan tersebut didasari nilai kepemimpinan bebas ria, tapi berdasar
kemampuan profesional dalam bingkai kesadaran kolektif. Ironi model
kepemimpinan demikian ternyata gagal berfungsi dalam kehidupan ekonomi dan
politik penuh kompetisi sengit di dalam sebuah sistem yang cenderung korup.
Soalnya, bagaimana tradisi kedermawanan dari etika puritan itu bisa dijadikan
model kehidupan ekonomi dan politik produktif yang tetap berakar nilai-nilai
sufistik. Gerakan ini tampak gagal mengelola sistem birokrasi gerakan
(persyarikatan, majelis, dan lembaga atau badan) dalam kaitan kegiatan
pendidikan, rumah sakit, dan kegiatan sosial lain (disebut amal-usaha). Pengelola
amal-usaha, terutama pendidikan dan kesehatan memperoleh gaji sebagai
profesional dengan fasilitas kerja memadai sesuai kemampuan finansial lembaga,
tapi tidak bagi pengelola gerakan. Muncul gejala kesenjangan sosial-ekonomi
antara elite gerakan ini yang tergolong hidup miskin, jauh berbeda dari aktor
amal-usaha walaupun tetap dalam batas kewajaran etika puritan.
Etika puritan tampak gagal berfungsi dalam politik dan ekonomi. Aktor politik
kader gerakan ini cenderung gagal dalam pemilihan calon legislatif dan pimpinan
partai yang dikenal mempunyai hubungan historis dengan gerakan ini seperti
Partai Amat Nasional (PAN). Fenomena serupa melatarbelakangi kekalahan
partai berbasis Muslim modernis dalam pemilihan umum legislatif dan presiden.
Kegagalan serupa bisa diduga dalam Pilkada di berbagai daerah mulai Juni
mendatang. Tradisi kedermawanan lebih berperan bagi pengembangan amal-
usaha, tapi gagal menjalankan fungsi dalam politik, terutama ekonomi sepert
kasus yang tengah dihadapi Bank Persyarikatan Indonesia (BPI) yang konon
diakuisisi gerakan ini sejak 2001 lalu.
Gaya hidup zuhud dan fakir dalam muru'ah tecermin dari fakta sulitnya dicari
warga gerakan ini yang cukup kaya atau pengusaha besar walaupun tingkat
pendidikan di atas rata-rata penduduk. Pengikutnya bisa mencapai 30 juta, tapi
yang terdaftar secara resmi belum mencapai jumlah satu juta orang. Merekalah
yang selama ini memobilisasi kedermawanan puluhan juta orang sebagai
kontributor pembiayaan penyelenggaraan ribuan TK hingga SMU, 200-an
perguruan tinggi, 300-an rumah sakit dan ratusan panti asuhan, ribuan tempat
ibadah dan pengajian. Mayoritas kontributor amal-usaha gerakan itu bukan
tergolong santri, tapi kaum abangan, bahkan bukan pemeluk Islam.
Tradisi kedermawanan
Warga gerakan ini memiliki tradisi pengelolaan kedermawanan bagi kepentingan
publik kemanusiaan dalam sistem adimnistrasi dan manajemen modern. Secara
periodik pengelolaan amal-usaha dipertanggungjawabkan bagi publik sebagai
bentuk pengabdian atau ritual ibadah pada Tuhan. Aktor gerakan selain merasa
wajib bertanggungjawab bagi publik juga kepada Tuhan. Mereka memiliki
semacam tradisi dan kesepakatan tak tertulis untuk tidak menerima gaji seperti
yang bisa diterima ketika bekerja di lembaga profesional. Muncul tradisi wakaf,
sedekah, infak, dan zakat tenaga dan pikiran. Tiap hari aktor gerakan itu
menghabiskan waktu 2 hingga 5 jam untuk rapat atau berkantor tanpa uang
transport atau uang rapat.
Tradisi kedermawanan dari etika puritan yang terpelihara dalam kehidupan warga
Muhammadiyah penting dikembangkan sebagai kerangka moral ekonomi dan
politik nasional. Soalnya, bagaimana menafsir ulang tradisi zuhud dan fakir bukan
menghindari hidup kaya, tapi penempatan kekayaan yang diperoleh dari kerja
keras bagi kepentingan publik dengan jalan berlaku sebagai orang miskin tidak
menikmati kekayaan bagi diri sendiri. Tradisi muru'ah dan ti