You are on page 1of 23

Oleh:

FAKULTAS TEKNIK ARSITEKTUR


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2006
2
I. LINGKUNGAN HIDUP

I.1. Arti Lingkungan Hidup1


Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama
makhluk hidup lain, yaitu tumbuhan, hewan dan jasad renik dimana
kesemuanya itu menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk
hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup, seperti
misalnya udara yang terdiri atas bermacam-macam gas, air dalam
bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati
suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup di
dalamnya disebut lingkungan hidup makhluk tersebut.
Sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam
faktor. Pertama, oleh jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur
lingkungan hidup tersebut. Dengan mudah dapat kita lihat, suatu
lingkungan hidup dengan 10 orang manusia, seekor anjing, tiga
ekor burung perkutut, sebatang pohon kelapa dan sebuah bukit
batu akan berbeda sifatnya dari lingkungan hidup yang sama
besarnya tetapi hanya ada seorang manusia, 10 ekor anjing,
tertutup rimbun oleh pohon bambu dan rata tidak berbukit batu.
Dalam golongan jenis unsur lingkungan hidup termasuk pula zat
kimia.

1
Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta 2004. halaman 51

3
A B

Gambar 2.1. Dua kamar sebagai lingkungan hidup dengan jenis dan jumlah
masing-masing jenis unsur yang sama, tetapi dengan hubungan letak yang
berbeda. Ruang A mempunyai sifat yang berbeda dari ruang B.

Kedua, hubungan atau interaksi antara unsur dalam


lingkungan hidup itu. Misalnya, dalam suatu ruangan terdapat
delapan buah kursi, empat buah meja dan empat buah pot dengan
tanaman kuping gajah. Dalam ruangan itu, delapan kursi diletakkan
sepanjang satu dinding, dengan sebuah meja di muka setiap dua
kursi dan sebuah pot di atas masing-masing meja. Sifat ruangan
berbeda jika dua kursi dengan sebuah meja diletakkan di tengah
masing-masing dinding dan sebuah pot di masing-masing sudut. Hal
yang serupa berlaku juga untuk hubungan atau interaksi sosial
dalam hal unsur-unsur yang terdiri atas benda hidup.

Ketiga, kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup.


Misalnya, suatu kota yang penduduknya aktif dan bekerja keras
merupakan lingkungan hidup yang berbeda dari sebuah kota yang
serupa , tetapi penduduknya santai dan malas.

Keempat, faktor non-materiil suhu, cahaya dan kebisingan.


Suatu lingkungan yang panas, silau dan bising sangatlah berbeda

4
dengan lingkungan yang sejuk, cahaya yang cukup, tetapi tidak
silau dan tenang.

Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia


mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Manusia
seperti ia adanya, yaitu yang disebut fenotipe, adalah perwujudan
yang dihasilkan oleh interaksi sifat keturunannya dengan faktor
lingkungan. Sifat keturunan, yang terkandung di dalam gen yang
merupakan bagian kromosom di dalam masing-masing sel tubuh,
menentukan potensi perwujudan manusia, yaitu genotipe. Apakah
suatu sifat dalam genotipe itu akan terwujud atau tidak, tergantung
ada tidaknya faktor lingkungan yang sesuai untuk perkembangan
sifat itu. Dobzhansky, seorang ahli ilmu keturunan terkenal,
malahan menyatakan bahwa gen menentukan tanggapan apa yang
akan terjadi terhadap faktor lingkungan. Jadi, menurutnya gen
bukanlah penentu sifat, melainkan penentu reaksi atau tanggapan
terhadap lingkungan. Hal ini terlihat pada tumbuhan hijau yang
ditempatkan di dalam kamar gelap. Tumbuhan itu tidak mampu
membentuk zat hijau daun walaupun ia mempunyai gen untuk
pembentukan zat hijau daun. Setelah ia dikeluarkan dari kamar
gelap dan terkena cahaya, terbentuklah zat hijau daun. Jadi,
makhluk hidup itu juga terbentuk oleh lingkungannya.

Interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya


tidaklah sederhana melainkan kompleks karena pada umumnya
dalam lingkungan hidup itu terdapat banyak unsur. Pengaruh
terhadap suatu unsur akan merambat pada unsur yang lain
sehingga pengaruhnya terhadap manusia sering tidak dapat dengan
segera terlihat dan terasakan.

Manusia hidup dari unsur-unsur lingkungan hidupnya: udara


untuk pernafasannya, air untuk minum, keperluan rumah tangga
dan keperluan lainnya, tumbuhan dan hewan untuk makanan,
tenaga dan kesenangan, serta lahan untuk tempat tinggal dan

5
produksi pertanian. Oksigen yang kita hirup dari udara dalam
pernafasan kita, sebagian besar berasal dari tumbuhan dalam
proses fotosintesis dan sebaliknya gas karbondioksida yang kita
hasilkan dalam pernafasan digunakan oleh tumbuhan untuk proses
fotosintesis. Jelaslah manusia adalah bagian integral lingkungan
hidupnya. Manusia tanpa lingkungan hidupnya adalah suatu
abstraksi belaka.

I.2. Lingkungan Hidup sebagai Sumberdaya2

Dengan mengaitkan mutu lingkungan dengan derajat


pemenuhan kebutuhan dasar, berarti lingkungan itu merupakan
sumberdaya. Dari lingkungan itu kita mendapatkan unsur-unsur
yang kita perlukan untuk produksi dan konsumsi. Sebagian dari
sumberdaya itu dimiliki oleh perorangan dan badan tertentu,
misalnya lahan dan sepetak hutan. Sebagian lagi sumberdaya itu
merupakan milik umum.

Sumberdaya milik umum memiliki sifat-sifat yang berbeda


dari modal yang biasa kita kenal dalam perusahaan yang dimiliki
secara pribadi atau badan tertentu. Karena milik umum, orang
dapat menggunakannya tanpa pungutan bayaran atau hanya
dengan pungutan ringan. Misalnya, orang dapat menghirup udara
untuk pernafasan. Kita dapat juga dengan bebas membuat sumur
dan menggunakan airnya untuk keperluan rumah tangga serta
menikmati hawa segar dan pemandangan indah daerah
pegunungan.

Apabila ikan laut dieksploitasi, laut itu mempunyai daya


regenerasi. Demikian pula apabila limbah dibuang ke sungai atau
laut, sungai dan laut mempunyai daya untuk mengasimilasi limbah
itu dan membuatnya menjadi tidak mengganggu atau beracun.
Sumberdaya demikian itu disebut sumber daya terperbaharui.

2
Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta 2004. halaman 58

6
Akan tetapi sumberdaya mempunyai daya regenerasi dan
asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi atau permintaan
pelayanan berada di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi,
sumberdaya terperbaharui itu dapat digunakan secara lestari. Akan
tetapi apabila batas itu dilampaui, sumberdaya itu akan mengalami
kerusakan dan fungsi sumberdaya itu sebagai faktor produksi dan
konsumsi atau sarana pelayanan akan mengalami gangguan.

Sumberdaya lingkungan milik umum sering dapat digunakan


untuk bermacam peruntukan secara simultan, tanpa suatu
peruntukan mengurangi manfaat yang dapat diambil dari
peruntukan lain sumberdaya yang sama itu. Misalnya air sungai
dapat digunakan sekaligus untuk melakukan proses produksi dalam
pabrik, mengangkut limbah, pelayaran sungai, produksi ikan dan
keperluan rumah tangga. Jadi, peruntukan itu bersifat non-eksklusif.
Namun, karena pemanfaatan sumberdaya lingkungan milik umum
dapat dilakukan tanpa atau hanya dengan pungutan bayaran yang
ringan saja, unit produksi maupun unit konsumsi cenderung
memaksimumkan pemanfaatannya sehingga mudah terjadi
pemanfaatan yang tidak rasional. Misalnya, orang yang menangkap
ikan dengan racun hama atau dengan bahan peledak dengan
maksud mendapatkan hasil yang besar dengan mudah dalam waktu
yang singkat. Tetapi dengan cara ini, ikan yang kecil-kecil dan jenis
makhluk hidup lain yang sebenarnya tidak ingin ditangkap dan
dimanfaatkan ikut mati. Habitat ikan itu pun ikut rusak.

Kecuali dorongan untuk memaksimumkan keuntungan dari


pemanfaatan sumberdaya milik umum itu, masing-masing unit
produksi dan konsumsi tidak atau sedikit merasa bertanggung-
jawab atas pemeliharaan sumberdaya itu sehingga hal ini jugalah
yang mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya yang tidak rasional.
Untuk menghindari penggunaan yang tidak rasional tersebut
diperlukan campur tangan pemerintah dalam pengelolaan
sumberdaya itu. Dasar hukum ini terdapat dalam Undang-Undang

7
Dasar 1945, pasal 33, ayat 3 yang mewajibkan agar bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemanfaatan dan pemeliharaan sumberdaya agar dapat
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat harus
didorong. Untuk itu, perlu dikembangkan sistem pajak dan pungutan
lain, serta sistem insentif dan disinsentif. Misalnya suatu
perusahaan yang mengolah limbahnya menjadi industri sampingan
mendapat keringanan pajak. Dengan demikian industri itu akan
mendapat insentif untuk melakukan penelitian untuk mengolah
limbahnya menjadi produk lain yang dapat dijual dengan
keuntungan sehingga perusahaan tersebut mendapat keuntungan
ganda, yakni dari hasil sampingannya itu dan dari keringanan pajak.

8
II. SEMPADAN PANTAI

Ruang daratan (terestrial), ruang lautan (akuatik) dan ruang


udara dimana wadah yang membentuk kesatuan fungsi dalam satu
ruang di Indonesia ini selain merupakan sumber alam yang penting
artinya bagi kehidupan dan perencanaan serta pelaksanaan
pembangunan yang berkelanjutan juga mengandung fungsi
pelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber
daya buatan serta nilai sejarah dan budaya bangsa3. Namun pada
kenyataannya perlindungan pada wilayah pesisir tersebut sering
terabaikan. Kegiatan ekonomi lebih cenderung mendominasi
wilayah ini, meski tak semuanya berupa pabrik. Pada akhirnya,
publik ikut terkena dampak dari ''kesalahan'' mengelola aset
menjanjikan ini. Perlindungan terhadap kawasan pantai bertujuan
melindungi dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu
kelestarian alam wilayah tersebut. Untuk itu berdasarkan Keputusan
Presiden RI Nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan
lindung ditetapkan bahwa daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100
meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat adalah kawasan
sempadan pantai. Adapun untuk pantai buatan, misalnya Marina di
Kelurahan Tawang Mas, sempadannya hanya selebar 50 meter.
Kawasan ini mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi pantai. Tentunya ketentuan ini semata-mata
untuk melindungi sumber daya air yang dimiliki oleh setiap daerah
di Indonesia.

Sayangnya, dewasa ini kita bisa melihat telah banyak


pengrusakan terjadi di wilayah sempadan pantai yang seharusnya
menjadi kawasan lindung justru menjadi lahan budidaya, lahan
permukiman bahkan lahan komersil dan servis kota.
3
Kumurur, Veronica. Pola Pemanfaatan Ruang Kota Manado: Tekanan Terhadap Sumberdaya
Alamnya. Manado 2006. halaman 4

9
III. PERMASALAHAN SEMPADAN PANTAI

III.1. Semarang4
Di Semarang, kawasan-kawasan yang memiliki lebar
sempadan 100 meter meliputi Kelurahan Mangkang Kulon,
Mangunharjo, Mangkang Wetan, Randugarut, Karanganyar, Tugu
Rejo, Jrakah (ketujuhnya masuk Kecamatan Tugu), Tambakharjo dan
Tawangsari (masuk Kecamatan Semarang Barat), serta Terboyo
Kulon, Terboyo Wetan, dan Trimulyo (masuk Kecamatan Genuk).

Sebenarnya, masih ada wilayah lain yang memiliki pantai.


Namun masuk dalam wilayah PT Pelabuhan Indonesia III, yakni
Semarang Utara (Kelurahan Tanjung Mas, Bandarharjo, dan
Panggung Lor), Semarang Timur (Kemijen), serta Gayamsari
(Tambakrejo).

Menyaksikan keelokan alami wisata laut di Semarang ibarat


mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kalimat itu agak berlebihan
bila kita dengan gampang bisa menyusuri Pantai Marina, misalnya.
Pantai tanpa pasir yang ditumbuhi rumah-rumah megah itu. Tidak
ada kata gratis memasuki areal jalan beraspal itu. Sekali masuk
pengunjung dipungut Rp 3.000. Lalu pengunjung bisa menikmati
perahu nelayan yang hilir mudik di laut, nelayan yang melemparkan
jala, serta kapal-kapal milik perseorangan untuk menjelajahi luasnya
lautan. Itu saja.

Lalu, ke manakah mencari wisata laut alami di Semarang?


Adakah keriangan anak-anak bermain istana pasir yang akan
ambruk disapu kelembutan ombak? Di mana kita bisa berjalan-jalan
di bibir pantai bersama handai taulan menikmati keindahan
matahari terbenam? Atau bisakan kita bermain bola plastik di atas

4
Suara Merdeka, 17 Mei 2003

10
permadani pasir yang membentang luas sambil menikmati buih-
buih ombak?

Barangkali muncul seabrek pertanyaan lain ketika


membayangkan keindahan laut. Namun, jangan berharap terlalu
banyak dengan wisata laut di Semarang.

Itu saja bagi warga luar kota akan sedikit kesulitan. Lokasinya
terpinggirkan karena berada di balik semak yang tidak terurus.
Akses jalan menuju laut alami itu sangat berbeda dengan Pantai
Marina yang ''swasta'' itu. Jalan yang membentang itu berupa
urukan padas. Mendekati bibir pantai ada cekungan berlumpur. Jika
tidak hati-hati, pengunjung bisa terjebak. Setiba di ''sisa'' pantai itu,
jangan berharap bisa bermain lepas. Pantai alami terkesan kotor.
Panjangnya tidak lebih 500 meter.

Kondisi tersebut membuat prihatin warga Semarang


setidaknya dari pemerhati lingkungan. Menurut pemerhati
lingkungan Prof Dr Sudharto P Hadi MES, pantai sebagai ruang
publik seharusnya dibuka secara luas dan gratis. Ketika pantai
sudah dikuasai oleh swasta, publik yang ingin menikmati pantai
harus membayar.

Rob Meluas
Sebenarnya, lokasi wisata pantai telah tergarap dengan
dibangunnya Maerokoco yang dikenal dengan tiruan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) milik Jawa Tengah. Di lokasi itu dibangun
anjungan 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Hanya saja, pengunjungnya dari tahun ke tahun terus


menyusut. Pada awal didirikan dulu setiap kali hari libur bisa
mendapat pemasukan Rp 3 juta dengan tiket Rp 2.500/orang.
''Sekarang untuk mencapai Rp 1 juta saja susah,'' tutur seorang
penjaga loket di Maerokoco.

11
Seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta jurusan pariwisata
di Semarang, Supriyanto, pernah melakukan penelitian di lokasi itu.
Menurutnya, fasilitas di obyek wisata itu sangat minim. Informasi
yang menawarkan Maerokoco susah diperoleh, sehingga banyak
masyarakat yang tidak tahu apa yang bisa dinikmati di anjungan-
anjungan itu.

Selain itu, persoalan rob menjadi penyebab enggannya


masyarakat berkunjung ke Maerokoco. Rob seolah menjadi
pemandangan wisata alami, sebab setiap hari sejak bulan April
selalu terlihat. baik di pagi maupun siang hari.

Bisa jadi, rob itu semakin kentara lantaran di sekitar pantai


semakin bersemi rumah-rumah mewah. Pantai tersebut diuruk
hingga melebihi tinggi Maerokoco. Akibatnya, air laut akan terus
mencari lokasi yang lebih rendah. Daratan yang tidak diuruk itu pun
semakin ambles lantaran tidak kuat menyangga beban di atasnya.
Persoalan rob, memang, telah menjadi pemandangan biasa.

Maka, setiap hari libur masih saja masyarakat berduyun-duyun


menelusuri lokasi pantai yang tersisa. Mereka masih mencari pantai
alami. Menggelar tikar, makan bersama keluarga, atau memancing?
Tapi, sampai kapan romantisme itu masih bisa dinikmati?

Perda Tata Ruang


Dari pengamatan yang dilakukan oleh Purwono Bambang
Nugroho dari atas Kapal TNI-AL Pulau Bengkoang, dalam
penyusuranannya bersama anggota Komisi B yang lain, serta Dan
Lanal Semarang Kolonel (L) Ir Bambang Murdowo Widodo dan
sejumlah perwira Lanal, diketahui bahwa lebih dari 80% kawasan
pantai dikuasai swasta. Akibatnya publik menjadi kehilangan akses
untuk menikmati rekreasi gratis di pantai Semarang. Kalaupun ingin
mengadakan pengembangan wisata pantai hanya terbuka
kemungkinan di Kelurahan Mangungharjo Kecamatan Tugu.

12
Namun, pendapat tersebut dianggap sebagai pengamatan
semu dari atas kapal. Bahkan, menurut Kasubid Pengembangan
Kawasan Bappeda Ir M Farchan, penguasaan lahan di pesisir pantai
oleh pihak swasta sebenarnya tidak masalah, asalkan dikendalikan
dengan peraturan daerah (Perda) tentang Tata Ruang secara
konsisten. Dan, upaya pengendalian tersebut sebenarnya sudah
tertuang dalam Perda tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota
(RDTRK) pada masing-masing bagian wilayah kota (BWK).

Dari panjang pantai Semarang yang mencapai 16,8 km, kurang


lebih 30% merupakan wilayah pelabuhan, 10% dikuasai
pengembang, sedangkan 60% dikelola petani penggarap. ''Dengan
demikian masih terbuka lebar peluang untuk pengembangan.''

III.2. Bali5
Banyak vila di wilayah Kecamatan Banjar melanggar sempadan
pantai. Selain itu, ada indikasi sejumlah vila tidak memiliki izin
mendirikan bangunan (IMB). Eksekutif diminta segera menindak
para pelanggar tersebut.

Hasil pantauan Komisi B DPRD Buleleng terhadap sejumlah vila


di pesisir pantai di Kecamatan Banjar, sejumlah vila itu terletak
persis di pinggir pantai. Padahal sesuai ketentuan, tidak
diperbolehkan membangun melanggar sempadan yang berjarak 50
sampai 100 meter dari garis pantai. Selain itu di kawasan Tanjung
Alam, Desa Kaliasem, rombongan menemukan sejumlah restoran
mini milik pribadi yang dibuat di areal dermaga mini berbahan kayu
yang menjorok ke tengah laut.

Keberadaan vila yang melanggar sempadan dan tak berizin itu


jelas melanggar aturan dan merugikan masyarakat. Seperti terjadi
di Desa Banyusri dan Bangkangan, penduduk setempat kesulitan
menggunakan jalan untuk upacara melasti lantaran jalan di pinggir

5
Bali Post, 31 Agustus 2006

13
pantai itu dipaving dan seolah dimiliki pemilik vila. Selain itu, para
nelayan juga kesulitan menambatkan perahunya karena
dilanggarnya sempadan pantai.

Untuk itu, sangat diperlukan perhatian dari pemerintah untuk


mengawasi dan kembali memperhatikan soal pembangunan vila
dan IMBnya. Karena bila dibiarkan, hal itu bisa menjadi ancaman.
Selanjutnya, diharapkan eksekutif secepatnya menindak para
pelanggar aturan pembangunan vila tersebut.

III.3. Aceh6
Telah terjadi abrasi (erosi) yang sangat kuat, pada garis pantai
Ujong Blang Lhokseumawe. Hal ini ditandai dengan pemunduran
garis pantai ke arah darat rata-rata sekitar 145 meter. Pemunduran
garis pantai karena proses abrasi ini akan terus berlangsung hingga
waktu mendatang. Ini akan mengakibatkan air laut masuk atau naik
ke darat melalui rongga tanah (intrusi). Selain itu, juga bisa
mengakibatkan terjadinya pengurangan luas daratan Kecamatan
Banda Sakti.

Untuk menyelesaikan permasalahan ini perlu adanya penataan


kembali jenis dan bentuk penggunaan lahan sepanjang pantai. Di
samping itu, perlu dijaga kawasan sempadan pantai agar tetap
menjadi kawasan lindung. Kawasan sempadan untuk pantai yang
normal adalah area yang secara proporsional 100 meter dari pasang
tertinggi ke arah barat. Sedangkan pantai aktif seperti Ujong Blang
lebih dari 100 meter.

Selain itu, perlu dilibatkan para pakar dan pemerhati


lingkungan yang ada di Aceh Utara, Pemda, provit terutama PT
Arun, dan masyarakat sekitar yang sering menjadi korban serta
dengan segera perlu dibangun tanggul sepanjang pantai sebagai

6
Serambi, 30 Juni 2001

14
pengaman hantaman badai dan gelombang laut. Tanggul ini akan
mencegah terjadinya intrusi dan abrasi pantai.

Untuk melengkapi pembuatan tanggul, perlu ditanami pohon


bakau di atas tanggul atau di sepanjang pantai. Akar tanaman
bakau ini dapat mengikat dan menahan pasir atau lahan pantai dari
abrasi dan akresi. Sedangkan batang dan daun bakau dapat
menahan angin dan badai. Di samping itu, tumbuhan bakau bernilai
ekonomis dan menjadi sumber makanan bagi hewan laut.

III.4. Manado7
Manado memiliki kawasan sempadan pantai yang memanjang
dari pesisir pantai Malalayang sampai di ujung pantai Maasing dan
di pulau Bunaken, pulau Manado Tua dan pulau Siladen, dimana
saat ini sepanjang kawasan lindung ini telah total berubah menjadi
kawasan budidaya dengan beberapa kegiatan misalnya: kawasan
sempadan pantai kecamatan Malalayang sampai kecamatan
Wenang selain kawasan yang memang sudah ada juga ditambah
dengan lahan baru hasil reklamasi saat ini dimanfaatkan sebagai
lahan komersil yang terdiri dari pertokoan/mall, hotel dan
perumahan mewah. Kawasan sempadan pantai di kecamatan Molas
(Sindulang II, Bitung Karang Ria, Maasing, Tumumpa, Meras,
Tongkaina, Manado Tua dan Bunaken) telah dimanfaatkan sebagai
lahan permukiman penduduk, lahan perkebunan, perikanan, jasa
pariwisata dan sebagian sebagai hutan lindung. Dapat dibayangkan
banyaknya limbah-limbah cair maupun padat yang telah dibuang
oleh pengguna lahan-lahan ini di perairan Teluk Manado. Belum lagi
bakal penghasil limbah yang menempati lahan baru hasil reklamasi
pantai Teluk Manado akan memberikan kontribusi pengrusakan
sumber daya alam laut Manado jika tidak dilakukan proses
minimalisasi limbah.
7
Kumurur, Veronica. Pola Pemanfaatan Ruang Kota Manado: Tekanan Terhadap Sumberdaya
Alamnya. Manado 2006. halaman 4

15
Secara nyata, telah terjadi pengrusakan zona lindung bagi
ekosistem perairan laut Teluk Manado akibat dari usaha dan
kegiatan manusia yang terjadi di darat. Sobeknya filter antara dua
ekosistem ini akan memberikan jalan bagi pencemaran lingkungan
laut akibat kegiatan alam yang tidak bisa kita duga, misalnya:
meningkatnya laju aliran permukaan di daratan (run-off) yang
mengakibatkan meningkatnya jumlah sedimen secara cepat dan
tidak alami lagi. Sedimentasi ini tentunya akan sangat
mempengaruhi zona produktif yang menjadi habitat makhluk hidup
di perairan Teluk Manado.

Wujud pola pemanfaatan ruang kota Manado yang baru berupa


sebaran permukiman, industri, tempat kerja yang cenderung
berkembang tidak beraturan dan tidak terkendali serta disebarkan
di zona-zona lindung sudah sangat memprihatinkan. Dari hasil
pengamatan, tidak ada satupun sungai di kota Manado yang luput
dari pemanfaatan sempadan sungainya sebagai lahan budidaya.
Hutan-hutan lindung di alih-fungsikan menjadi lahan permukiman.
Pusat-pusat kegiatan yang berupa pertokoan kini sebagian besar di
letakkan di areal lahan reklamasi, diimana kondisi ini, jika tidak
diperbaiki dan diminimalkan kehadiran limbah cairnya maka akan
merusak sumber daya air yang kita miliki khususnya ekosistem
akuatik. Begitupula dengan kondisi yang terjadi di kawasan
sempadan sungai-sungai di kota Manado, jika tidak diperbaiki pola
pemanfaatan lahannya maka sungai-sungai sebagai inlet pantai
Manado akan mengalami kerusakan total dan tidak dapat
merecovery diri akibat gencarnya limbah yang dibebani padanya.
Kerusakan badan air sungai tentunya akan menambah kontribusi
kerusakan pada perairan Teluk Manado. Semua kegiatan yang
dilakukan di daratan kota Manado akan bermuara ke pantai. Itulah
konsekuensi dari tipologi lingkungan kota Manado.

Wujud pola pemanfaatan ruang kota Manado saat ini, jika tidak
segera diperbaiki akan menjadi kontributor utama rusaknya sumber

16
daya udara kota ini. Contohnya: pemanfaatan lahan sebagai daerah
komersil dan lahan service kota yang tersebar di sepanjang jalan
Sam Ratulangi dan di setiap jalan protokol di kota Manado saat ini
cenderung tidak terkendali. Kondisi ini telah menimbulkan
kemacetan lalulintas pada jam-jam sibuk pada ruas-ruas jalan
tertentu. Ada kecenderungan ruas-ruas macet ini akan bersambung
satu dengan yang lain jika pertokoan (mall) yang dibangun di
beberapa lokasi jalan Sam Ratulangi selesai dibangun nanti.
Kemacetan lalulintas tersebut selain menambah stress para
penghuni kota, juga akan memberikan kontribusi gas-gas dari
kendaraan bermotor sebagai perusak sumber daya udara kota
Manado.

Perencanaan kota Manado dari para ahli tata kota terdahulu


kelihatannya cenderung meletakkan zona-zona komersil secara
tidak beraturan, tidak memperhitungkan jarak zona yang satu
dengan zona lainnya, tidak memperhitungkan kondisi jaringan jalan.
Di perkuat lagi dengan tidak ketatnya ijin-ijin yang dikeluarkan bagi
pengusaha-pengusaha di sepanjang jalan protokol kota Manado oleh
Pemda dalam hal penyediaan arena parkir bagi setiap pengusaha
yang menempati jalan-jalan protokol. Kita dapat melihat pada jam-
jam sibuk sebagian jalan protokol digunakan sebagai arena parkir
kendaraan-kendaraan konsumennya. Suasana ini juga yang
memperparah kemacetan yang terjadi. Tidak ketatnya pengawasan
terhadap sistem pengolahan limbah cair bagi pengguna lahan di
sepanjang pantai Manado, sehingga disinyalir bahwa beberapa
pengusaha jasa komersil dan bangunan publik lainnya yang ada di
lokasi ini membuang limbah cair langsung ke perairan Teluk Manado
tanpa di treatment terlebih dahulu. Sangat mengkuatirkan
keberlanjutan kota ini jika terjadi demikian.

Melihat kondisi saat ini dimana pembangunan fisik di kota


Manado semakin meningkat dan cenderung para perencana
membuat pola pemanfaatan ruang yang semakin memperparah

17
kerusakan sumber daya alam kota ini, dan jika kita melihat dan
mencermati pola pemanfaatan ruang kota Manado yang terjadi
pada 10-15 tahun yang lalu dengan kondisi pertambahan penduduk
yang stabil tanpa pengelolaan dan penataan maka sebenarnya
sudah sangat memberikan peluang kerusakan sumber alam sungai
dan pantai di saat ini. Kondisi demikian sebenarnya jangan sampai
terjadi di saat 10-15 tahun ke depan, akibat penataan ruang
kembali dengan melakukan pengrusakan-pengrusakan barier yang
berupa zona-zona lindung di sepanjang pantai dan di sepanjang
sungai-sungai di Manado ditambah dengan tidak adanya usaha
untuk memanage lingkungan kota Manado. Pola pemanfaatan ruang
yang terjadi saat ini cenderung ditata demikian, dimana tidak lagi
membiarkan kegiatan alam terjadi, yang ada semata-mata hanya
kegiatan manusia, sehingga dapatlah kita bayangkan apa yang
akan terjadi dengan lingkungan alam kita yang cenderung
mempengaruhi lingkungan sosial kota ini jika kondisi ini tidak cepat
dan segera disadari. Kerusakan sudah terjadi akibat dari suatu
keputusan yang tidak seimbang antara kepentingan ekonomi dan
kepentingan keberadaan sumberdaya alam yang lestari. Konsep
kota yang berlanjutan barangkali tidak dapat kita nikmati jika masih
mempertahankan pola lama dan meningkatkan kerusakan dengan
mewujudkan pola pemanfaatan ruang yang baru yang cenderung
sama dengan pola lama.

Saat ini suasana sudah terlanjur dan sedang terjadi


pengrusakan itu, tinggal langkah apa yang akan diambil oleh
pembuat kebijakan dan pengatur kota ini agar model penataan kota
tidak semata-mata hanya mementingkan ekonomi saja melainkan
juga harus memperhitungkan keberlanjutan manusia dan sumber
daya alam (lingkungan hidup) kota Manado. Barangkali gelar kota
Manado tidak saja kota Pantai, kota Bisnis atau predikat apa lagi
yang mensejajarkan kota ini dengan kota-kota modern lain di luar
Indonesia, tapi harus ditambah lagi dengan satu predikat yang

18
penting yaitu : MANADO KOTA YANG MANUSIAWI DAN
BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE CITY)

19
IV. PEMECAHAN PERMASALAHAN

Secara umum, permasalahan yang terjadi di lingkungan


sempadan pantai terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat
akan sempadan pantai, dimana sempadan pantai yang seharusnya
menjadi kawasan lindung justru berubah menjadi kawasan budidaya
dengan beberapa kegiatan antara lain dimanfaatkan sebagai lahan
komersil (pertokoan/mall, hotel dan perumahan mewah), lahan
permukiman penduduk, lahan perkebunan, perikanan, jasa
pariwisata dan sebagian sebagai hutan lindung. Dapat dibayangkan
banyaknya limbah-limbah cair maupun padat yang telah dibuang
oleh pengguna lahan-lahan ini yang tentunya apabila tidak
dilakukan proses minimalisasi limbah akan memberikan kontribusi
pengrusakan sumber daya alam laut di wilayah tersebut.

Secara nyata, telah terjadi pengrusakan zona lindung bagi


ekosistem perairan laut akibat dari usaha dan kegiatan manusia
yang terjadi di darat. Sobeknya filter antara dua ekosistem ini akan
memberikan jalan bagi pencemaran lingkungan laut akibat kegiatan
alam yang tidak bisa kita duga, misalnya: meningkatnya laju aliran
permukaan di daratan (run-off) yang mengakibatkan meningkatnya
jumlah sedimen secara cepat dan tidak alami lagi. Sedimentasi ini
tentunya akan sangat mempengaruhi zona produktif yang menjadi
habitat makhluk hidup di wilayah perairan.

Belum lagi masalah bencana alam yang terjadi seperti kejadian


di Lhokseumawe dimana telah terjadi abrasi yang sangat kuat pada
garis pantai Ujong Blang Lhokseumawe yang ditandai dengan
pemunduran garis pantai. Hal seperti ini akan mengakibatkan air
laut masuk atau naik ke darat melalui rongga tanah (intrusi) serta
mengakibatkan pengurangan luas daratan.

20
Dari masalah-masalah tersebut tentunya diharapkan adanya
pemecahan agar masalah yang terjadi tidak semakin menjadi-jadi.
Sebenarnya, masalah sempadan pantai sudah jelas diatur dalam
Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
yakni kawasan perlindungan pantai meliputi daratan sepanjang
tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
pantai. Lebar garis sempadan ini adalah 100 meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat, untuk pantai alam. Adapun untuk pantai
buatan, misalnya Marina di Kelurahan Tawang Mas, sempadannya
hanya selebar 50 meter. Namun, sayangnya masyarakat masih
kurang mengetahui tentang sempadan ini. Untuk itu, sangat
diharapkan bantuan dari Pemerintah Kota untuk masing-masing
daerah agar dapat mensosialisasikannya baik di dalam Rancangan
Tata Kota maupun kepada masyarakat serta mengawasi dan
kembali memperhatikan soal pembangunan di wilayah sempadan
pantai.

Selain mensosialisasikan sempadan pantai sebagai kawasan


lindung, diperlukan tindak lanjut seperti penjagaan serta penataan
kembali jenis dan bentuk penggunaan lahan sepanjang pantai.
Selain itu, perlu dilibatkan para pakar dan pemerhati lingkungan
yang ada di tiap-tiap daerah serta masyarakat sekitar yang sering
menjadi korban serta dengan segera perlu dibangun tanggul
sepanjang pantai sebagai pengaman hantaman badai dan
gelombang laut. Tanggul ini akan mencegah terjadinya intrusi dan
abrasi pantai.

Untuk melengkapi pembuatan tanggul, perlu ditanami pohon


bakau di atas tanggul atau di sepanjang pantai. Akar tanaman
bakau ini dapat mengikat dan menahan pasir atau lahan pantai dari
abrasi dan akresi. Sedangkan batang dan daun bakau dapat
menahan angin dan badai. Di samping itu, tumbuhan bakau bernilai
ekonomis dan menjadi sumber makanan bagi hewan laut.

21
22
DAFTAR PUSTAKA

Bali Post, 31 Agustus 2006

Kumurur, Veronica. 2006. Pola Pemanfaatan Ruang Kota


Manado: Tekanan Terhadap Sumberdaya Alamnya.
Manado

Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan dan


Pembangunan. PT Penerbit Djambatan: Jakarta.

Serambi, 30 Juni 2001

Suara Merdeka, 17 Mei 2003

23

You might also like