You are on page 1of 9

KESEJAHTERAAN GURU

A. Pengertian Kesejahteraan

Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki empat arti.

• Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana
orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai.

• Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki


arti khusus resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi
kesejahteraan sosial.

• Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan sosial menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk


memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini adalah istilah yang digunakan dalam ide negara
sejahtera.

• Di Amerika Serikat, sejahtera menunjuk ke uang yang dibayarkan oleh pemerintah


kepada orang yang membutuhkan bantuan finansial, tetapi tidak dapat bekerja, atau yang
keadaannya pendapatan yang diterima untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak berkecukupan.
Jumlah yang dibayarkan biasanya jauh di bawah garis kemiskinan, dan juga memiliki kondisi
khusus, seperti bukti sedang mencari pekerjaan atau kondisi lain, seperti ketidakmampuan
atau kewajiban menjaga anak, yang mencegahnya untuk dapat bekerja. Di beberapa kasus
penerima dana bahkan diharuskan bekerja, dan dikenal sebagai workfare.

B. Tingkat Kesejahteraan Guru

Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan.
Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru
dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar-mengajar. Namun demikian,
posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan profesional mengajar dan tingkat kesejahteraannya.

Ukuran kesejahteraan memang relatif dan sulit diukur hanya dengan kecukupan materi
belaka. Oleh sebab itu, Isjoni (2000) mengemukakan bahwa tingkat kesejahteraan seorang guru
dapat dilihat melalui indikator-indikator sebagai berikut.
a) Penghasilan setiap bulan mampu mencukupi kebutuhan pokok keluarga sehari-hari secara
tetap dan berkualitas.
b) Kebutuhan pendidikan keluarga dapat terpenuhi secara baik dan optimal.
c) Memiliki kemampuan untuk mengembangkan pendidikan berkelanjutan serta
mengembangkan diri secara profesional.
d) Memiliki kemampuan untuk mengembangkan komunikasi ke berbagai arah sesuai
dengan kapasitasnya, baik dengan memanfaatkan teknologi maupun secara konvensional.

Penghasilan yang dimaksudkan bukan hanya penghasilan yang diperoleh dari gaji guru
(baik sebagai pegawai negeri ataupun sebagai guru honorer/yayasan), melainkan juga
penghasilan lain yang diperoleh dari sumber lain. Pada konteks ini tidak tertutup kemungkinan
seorang guru memiliki pekerjaan tambahan lain di luar tugasnya sebagai guru di sebuah sekolah.
Bahkan, pada sejumlah kasus penghasilan seorang guru sebagai tukang ojek lebih besar daripada
gaji golongan III/C. Penghasilan tambahan serupa ini sudah barang tentu akan menumbuhkan
tingkat kesejahteraan keluarga sehingga keluarga guru tersebut akan mampu meningkatkan taraf
hidupnya, memberikan pendidikan kepada anak-anaknya secara lebih baik, serta memiliki
kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri bagi kepentingan karirnya.

C. Pengaruh Tunjangan Kesejahteraan Guru terhadap Tingkat Profasionalisme Guru

Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,


membimbing dan mengevaluasi para siswanya. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, guru
dituntut selain memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional juga harus
memiliki bakat, minat, idealisme serta komitmen meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, banyak faktor yang memengaruhinya, salah
satunya adalah peningkatan kesejahteraan guru. Apalagi Undang-undang No 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen mengamanatkan guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan
minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Karena itu tidak heran jika pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah peduli dan merasa perlu memberi penghargaan dan meningkatkan
kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan khusus kepada guru yang bertugas di daerah
khusus maupun pemberian subsidi tunjangan fungsional bersumber dari dana APBN dan insentif
guru berasal dana dari APBD.

Misalnya: Berdasarkan data guru negeri dan swasta penerima dana insentif guru tahun
2010 yang bersumber dari APBD Sumut sebanyak Rp 149.038.560. 000 yang diperuntukkan
kepada 206.998 guru dari 33 kabupaten dan kota di Sumut. Plt Sekretaris Dinas Pendidikan
Sumut, Drs Edward Sinaga menyebutkan, pemberian dana insentif guru tersebut diberikan
masing-masing kepada guru negeri dan swasta sebesar Rp 60.000 per bulan atau total Rp 720
ribu per tahun.Selain pemberian dana insentif guru tersebut, pemerintah juga memberikan
pemberian subsidi tunjangan fungsional bagi guru bukan PNS yang bersumber dari APBN
sebanyak Rp 6.9326.400.000 yang diperuntukkan kepada 26.260 guru dari 33 kabupaten dan
kota dan 1 provinsi Sumut. Sedangkan jumlah bantuan yang dibayarkan kepada masing-masing
guru sebesar Rp 220 per bulan atau Rp 264.000 per tahun. Sedangkan tunjangan khusus bagi
guru di daerah terpencil, terbelakang, pedalaman dan bencana diberikan kepada 782 orang,
masing-masing guru sebesar Rp 1.350.000 per bulan atau Rp 16.200.000 per tahun hanya 6
kabupaten dan kota, yakni Nias, Nias Selatan, Samosir,Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat dan
Dairi. Dengan pemberian dana insentif dan subsidi tunjangan fungsional serta tunjangan khusus
bagi guru di daerah terpencil ini, kata Edward diharapkan guru lebih fokus melakukan proses
pembelajaran terhadap peserta didiknya, dengan demikian dapat meningkatkan mutu pendidikan
di tanah air, khususnya di Sumut ini.

D. Kesejahteraan Guru Sebagai Cerminan Kemajuan Pendidikan di Indonesia

Bukan lagi sebuah hal yang diragukan jika keberhasilan suatu bangsa dapat dilihat dari
kualitas pendidikan yang ada di Negara tersebut. Dan kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh
faktor pendidik yang secara langsung berperan dalam penentu utu pendidikan terutama di
Indonesia. Melihat realita yang ada ternyata Negara Indonesia mamiliki kualitas pendidikan yang
sangat rendah hal ini terbukti pada data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat
pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks
pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia
menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut
survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada
pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang
dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang
rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih
menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan
sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah
itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya
delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years
Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036
SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Diploma Program (DP).

Dari data di atas nampak sekali tingkat pendidikan di Indonesia yang masih sangat
rendah. Dan guru tentu saja juga merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab dari
rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia. Dan ternyata sebagian guru di Indonesia bahkan
dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun
2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07%
(negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA
65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri)
dan 58,26% (swasta). Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru
itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI
hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar
680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas.
Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas
(3,48% berpendidikan S3). Sealain itu rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam
membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji
bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar
Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per
jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang
ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya
(Republika, 13 Juli, 2005).

Meskipun telah diamanahkan dalam pasal 10 UU tentang kesehjateraan guru dan dosen
yang sudah menjamin tentang kelayakan hidup para pendidik. Di dalam pasal itu disebutkan guru
dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok,
tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta
penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi
daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Namun pada kenyataanya kesejahteraan guru masih
sangat rendah terutama dikalangan guru swasta. Sebagaimana diberitakan Pikiran Rakyat 9
Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk
menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UUGuru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9
Januari 2006).

Meskipun dengan dinamika yang sedemikian sulit guru tetapmemegang peranan yang
sangat penting dalam penentu arah dan kualitas pendidikan di Indonesia. Terutama dalam
penentu efektivitas dan efisiensi peserta didik. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa
dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan
sebagai :
1) Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan
2) sumber norma kedewasaan
3) Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik
4) Transformator(penterjemah)sistem-sistemnilai tersebutmelalui penjelmaan dalam
pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik
5) Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan
menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang
menciptakannya).

Sehingga peningkatan kualitas guru merupakan jalan yang sangat bijaksana untuk
meningkatkan tingkat pendidikan di Indonesia. Baik itu dalam hal peningkatan kualitas maupun
tingkat kesejahteraan guru demi mengoptimalkan peran guru sebagai pendidik dan meningkatkan
kulitas pendidikan. Pada pertemuan Better Education Through Reformed Management And
Universal Teacher Upgrading (BERMUTU), 29 Januari 2009 di Hotel Kaisar Jakarta, Prof. Dr.
SUDJARWO, M.S., menyampaikan pemikirannya tentang “Peran Pendidikan. Menuju Bangsa
yang Bermartabat”. Dikatakannya bahwa mendidik merupakan usaha sadar manusia
mengorganisir lingkungan menghubungkannya dengan peserta didik sehingga terjadi proses
pembelajaran. Mengorganisir lingkungan adalah upaya sadar dengan melihat potensi lingkungan
kemudian merespon peserta didik sehingga terjadi transformasi menuju pada terbentuknya proses
pembelajaran. Sebagaimana ditunjukkkan dalam bagan model peran pendidik diatas. Untuk
mewujudkan suatu bangsa yang bermartabat dan memiliki kualitas pendidikan yang tinggi
dibutuhkan pula tingkat kesejahteraan dan peran guru yang maksimal, efektif, dan efisien.

E. Tentang Tunjangan profesi Guru

1. Hak guru setelah sertifikat pendidik:


Dalam pasal 15 ayat (1) UUGD dinyatakan bahwa pemerintah memberikan tunjangan
profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara
pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Ayat (2) menyatakan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara
dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
Ayat (3): Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD).
Ayat (4): Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. dasar penentuan jumlah tunjangan profesi bagi guru non PNS


Tunjangan profesi guru disesuaikan dengan gaji pokok pada pangkat/golongan PNS.
Tunjangan bagi guru non PNS disesuaikan dengan pangkat/golongan PNS setelah melalui proses
in-passing sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3., persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapat tunjangan profesi Setelah guru memperoleh
sertifikat pendidik
Guru yang telah mendapatkan sertifikat profesi berhak untuk mendapatkan tunjangan
profesi sebesar satu bulan gaji pokok. Persyaratan guru yang mendapatkan tunjangan adalah
sebagai berikut.
a) Guru Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Pemerintah Daerah yang telah memiliki
sertifikat pendidik, nomor registrasi guru profesional dari Departemen Pendidikan
Nasional, dan melaksanakan beban kerja guru sekurangkurangnya 24 (dua puluh empat)
jam tatap muka dalam satu minggu berhak atas tunjangan profesi pendidik sebesar satu
kali gaji pokok yang dibayarkan melalui Dana Alokasi Umum terhitung mulai bulan
Januari pada tahun berikutnya setelah memperoleh sertifikat pendidik.
b) Guru Pegawai negeri Sipil yang diangkat oleh Pemerintah yang telah memeiliki sertifikat
pendidik, nomor registrasi guru profesional dari Departemen Pendidikan Nasional, dan
melaksanakan beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap
muka dalam satu minggu berhak atas tunjangan profesi pendidik sebesar satu kali gaji
pokok yang dibayarkan melalui APBN terhitung mulai bulan Januari pada tahun
berikutnya setelah memperoleh sertifikat
c) Guru Non Pegawai negeri Sipil yang diangkat oleh badan hukum penyelenggara
pendidikan yang telah memiliki sertifikat pendidik, nomor registrasi guru profesional dari
Departemen Pendidikan Nasional, dan melaksanakan beban kerja guru sekurang-
kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam satu minggu berhak atas
tunjangan profesi pendidik sebesar satu kali gaji pokok yang dibayarkan melalui Dana
Dekonsentrasi terhitung mulai bulan Januari pada tahun berikutnya setelah memperoleh
sertifikat pendidik.
d) Guru yang melaksanakan beban kerja di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada a, b,
dan c di atas memperoleh tunjangan profesi setelah mendapat persetujuan tertulis dari
Menteri Pendidikan Nasional atau pejabat yang ditunjuk.

5. Keharusan mengajar 24 jam berat bagi guru.


Beban mengajar sebanyak 24 jam pelajaran tatap muka per minggu ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Proses penetapan 24 jam per
minggu melalui pengkajian yang mendalam dan sudah dilakukan uji publik.
DAFTAR PUSTAKA

http://krisna1.blog.uns.ac.id/files/2010/05/peran-guru-sebagai-cerminan-perkembangan-
indonesia.pdf

http://id.wikipedia.org/wiki/Kesejahteraan

http://www.ff.unair.ac.id/other/PP-no-41-2009-ttgtunjangangurudandosen.pdf

You might also like