You are on page 1of 54

PROGRAM PENGUATAN PRAKARSA FILANTROPI

Riset dan Sosialisasi Kedermawanan Sosial di Lingkungan Gereja Katolik

Laporan Penelitian

Pola Interaksi Kedermawanan Sosial


Kelompok Parokial dan Kategorial
Keuskupan Agung Jakarta & Keuskupan Agung Semarang
2006

Tim Peneliti
Kordinator
Y. Wasi Gede Puraka

Peneliti
Soni P. Wibisono
Yoseph Hilarius

Kerjasama

Yayasan KEHATI
dengan
Institut Riset Sosial dan Ekonomi
(INRISE) Jakarta
Daftar Isi

Hal
Bab I
Pendahuluan 1
I.1 Fokus dan Metode Penelitian 3
I.1.1 Fokus Penelitian 3
I.1.2 Metode Penelitian 4

Bab II
Perkembangan Aktivitas Filantropi Gereja Katolik 6
II.1 Sekilas Sejarah Filantropi di Tubuh Gereja Katolik 6
II.2 Kritik dan Pandangan Terhadap Kegiatan Filantropi Gereja Katolik
tentang Keadilan dan Kasih 8
II.3 Kedermawanan Sosial Gereja Katolik di Indonesia 11

Bab III
Organisasi dan Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Katolik di KAJ dan KAS 17
III.1 Jenis-jenis Organisasi Aksi Kedermawanan Sosial Katolik :
Kelompok Parokial dan Kategorial 19
III.2 Potensi, Bentuk, dan Metode Aksi Kedermawanan Sosial 29
III.2.1 Potensi Aksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial 29
III.2.2 Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial 32
III.2.3 Metode Penyebarluasan informasi dan Mobilisasi Sumber Daya Aksi
Kedermawanan Sosial 37
III.2.4 Proses Pemetaan Kebutuhan Pelayanan Kelompok Masyarakat 39
III.3 Kesimpulan Umum dan Diskusi 41

Bab IV
Penutup dan Rekomendasi Aksi Kedermawanan Sosial Katolik 44
IV.1 Hasil Tinjauan Awal Aksi Kedermawanan Sosial Katolik 45
IV. 2 Refleksi Kedermawanan Sosial Katolik 49
IV.3 Rekomendasi Aksi 50

Daftar Pustaka 52
Bab I
Pendahuluan

Solidaritas merupakan salah satu nilai pokok yang menjadi landasan peran sosial
Gereja Katolik universal. Kontras sosial-ekonomi antara golongan atas/menengah cukup
tajam. Sebagian masyarakat menikmati hasil kemajuan ekonomi, sedangkan bagian yang
lebih besar lagi menjadi marginal. Untuk itu nilai solidaritas diperlukan sebagai dasar bagi
gerak hirarki gereja baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Nilai itu pula yang
menjadi semangat kerja kelompok-kelompok umat yang tergabung dalam hubungannya
dengan umat beragama lainnya. Terpanggil untuk turut mewujudkan dunia yang seadil-
adilnya dan diinspirasikan oleh teladan hidup Yesus, maka melalui para Paus, Gereja Katolik
universal merumuskan orientasi sosialnya yang dituangkan dalam Ajaran Sosial Gereja
(ASG). ASG semula pernah tidak begitu menjadi bahan istimewa dalam refleksi iman Gereja
dan seringkali menimbulkan ketegangan serta perbedaan faham dalam Gereja namun akhir-
akhir ini hampir tidak ada lagi Ajaran Gereja yang tidak berkaitan dengan masalah sosial.
Oleh sebab itu ASG menjadi salah satu bidang Ajaran Gereja yang sangat penting. Ajaran itu
juga menjadi tantangan Gereja untuk memenuhi panggilan Yesus Kristus: "Untuk menjadi
saksinya" (Matius 25)
Untuk memenuhi panggilan itu maka gembala (imam) berserta umat Katolik diajak
untuk aktif dalam mengembangkan berbagai macam aktivitas sosial di masyarakat. Salah
satunya wujud aktivitas iman di masyarakat yaitu aksi kedermawanan sosial. Misalnya saja
pada Masa Puasa, umat melakukan pengumpulan dana dan mengadakan berbagai kegiatan
yang diperuntukkan bagi sesamanya yang miskin dan tersingkir. Kegiatan itu dikenal dengan
Aksi Puasa Pembangunan. Sebagai sebuah program pertobatan nasional maka kegiatan itu
ditangani oleh Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi / Aksi Puasa Pembangunan KWI
sebagai kordinator pengelola dana APP. Selain melalui struktur dan program dalam hirarki
vertikal, Gereja Katolik juga mendorong aksi kedermawanan sosial yang dilakukan oleh umat
secara horisontal, atau yang disebut dengan kelompok kategorial.
Penyadaran tentang peran penting kedermawanan umat meneruskan upaya
penyempurnaan aksi sosial Katolik yang sejak Sinode KWI tahun 1991 berusaha dicari
kontekstualisasinya. Dasar-dasar keprihatinan yang telah dibangun kembali dikerucutkan pada
tahun 2000 dengan menekankan pembangunan kelompok basis sebagai kendaraan untuk
menarik relevansi kehidupan komunitas Gereja Perdana. Salah satu rumusan penting aksi
sosial Katolik adalah Nota Pastoral KWI 2004 dengan tema Keadaban Publik : Menuju

1
Habitus Baru Bangsa Keadilan Sosial bagi Semua—Pendekatan Sosio-Budaya. Melalui Nota
Pastoral ini, Gereja Katolik Indonesia meminta dan mendorong umatnya untuk mewujudkan
habitus baru dan membuang habitus lama dalam kaitannya dengan tantangan baru peralihan
milenium di Indonesia. Yang dimaksud dengan habitus adalah gugus insting, baik individual
maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami,
cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok. Kadang-kadang
kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi watak.
Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 di Wisma Kinasih,
Caringin-Bogor tanggal 16-20 November 2005 menyebutkan bahwa habitus lama tersebut
misalnya tidak terbiasa dan tidak membiasakan diri untuk membaca realitas sosial secara
kritis dan memecahkan persoalan karena cari aman, mental instan, cari enak dan selamat;
merasa tidak berdaya karena merasa minoritas; pemisahan antara sakral-profan, sekuler-
rohani; lebih banyak mengkritik daripada berbuat; sombong; lebih banyak memperjuangkan
agama dan lebih banyak omong daripada hidup beriman. Oleh karena itu habitus lama
tersebut harus ditinggalkan. Gereja perlu mencari dan mengembangkan habitus baru. Habitus
baru misalnya: melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan positif masyarakat (organisasi dll);
perubahan pola pikir (dikotomis, dll); setia pada proses, tekun, militan, selalu membuka diri
terhadap semua kelompok; memberi keteladanan, pewartaan nilai, roh memperjuangkan
kesalehan sosial.
Oleh karena itu dalam mengembangkan partisipasi hidup rohani dalam kehidupan
sosial maka berbagai kelompok umat Katolik diminta aktif dalam mengembangkan interaksi
dengan umat beragama lainnya dalam berbagai bentuk kegiatan, termasuk kegiatan berderma.
Pengembangan interaksi dan dialog antar umat bergama dapat melalui sarana organisasi
kategorial yang meliputi berbagai profesi pekerjaan hingga hobi, maupun parokial yang
berada di bawah payung gereja setempat. Aktivitas kelompok-kelompok basis dalam
kaitannya dengan aksi kedermawanan sosial tidak terpaku hanya pada batasan kategorial
maupun teritorial saja namun keduanya bisa saling tumpang tindih. Artinya, inisiatif para
pelakunya merupakan faktor penting yang mendukung keberhasilan/ketidakberhasilan aksi
kedermawanan sosial.
Proses interaksi dinamis aktivitas kedermawanan sosial antara kelompok kategorial
dengan parokial serta kelompok masyarakat lainnya itulah yang menjadi tema dasar
penelitian. Dengan melihat pada proses interaksi antara dua jenis kategori kelompok basis
tersebut maka dapat diperoleh gambaran tentang pola kerja dan potensi apa yang terkandung
serta nilai-nilai kedermawanan sosial apa saja yang dapat dikembangkan. Dengan demikian

2
tujuan dari penelitian tentang pola interaksi dan jenis aksi kedermawanan sosial ini yaitu
hendak mendeskripsikan hasil (a) identifikasi pola kerja kelompok kedermawanan sosial
Gereja Katolik dalam memperluas diri ketika melakukan aksi filantropinya, dan (b)
identifikasi bentuk-bentuk interaksi antara pelaku kedermawanan sosial dengan penerima aksi
untuk menjejaki keberlanjutan kerja antar keduanya. Pentingnya pencapaian tujuan penelitian
ini terletak pada signifikansinya dalam mendorong promosi dan pembelajaran kritis kegiatan
kedermawanan sosial di tubuh Gereja Katolik Indonesia maupun masyarakat umum.

I.1 Fokus dan Metode Penelitian


I.1.1 Fokus Penelitian

Tema penelitian di atas diturunkan menjadi beberapa dimensi konsentrasi penelitian


kedermawanan sosial Katolik yaitu (a) perkembangan aktivitas kedermawanan sosial Gereja
Katolik, (b) organisasi aksi, metode, dan bentuk kedermawanan sosial, (c) pola hubungan
antara kelompok kedermawanan kategorial dan teritorial dengan hirarki, dan (d) pandangan
para pelaku (individual maupun kelompok) kedermawanan sosial terhadap isu-isu yang
menjadi wilayah perhatian kerja mereka.
Melalui kilasan perkembangan historis aksi kedermawanan sosial Gereja Katolik, para
pelaku dapat diperoleh gambaran bahwa aksi kedermawanan sosial Gereja Katolik tidak
terlepas dari dan merupakan bentuk tanggapan atas situasi jaman tertentu. Sementara dari
uraian tentang organisasi, metode, dan bentuk-bentuk diharapkan dapat menunjukkan letak
titik singgung dan titik pisah antara aksi kedermawanan sosial kelompok parokial dan
kategorial. Dimensi ketiga disajikan untuk mendapatkan gambaran tentang peran hirarki
dalam menjembatani aktivitas kedermawanan sosial paroki dan kategorial. Peran yang
dimaksud bukan hanya menyangkut hal-hal yang sifatnya organisasional dan terkait dengan
hirarki Gereja Katolik setempat melainkan didalamnya juga terkandung teologi, prinsip-
prinsip, dan nilai-nilai yang menjadi dasar aktivitas. Dan, dimensi keempat menyoroti
bagaimana potensi dan interaksi disemangati oleh nilai-nilai dan norma-norma yang
terkandung di dalam ajaran-ajaran Gereja Katolik dalam situasi kekinian, terutama yang
berkaitan dengan wilayah perhatian kerja dari masing-masing pelaku. Peran pelaku individual
juga tidak bisa dikatakan kecil dalam aktivitas kedermawanan sosial karena celah-celah yang
tidak tercakup oleh pelayanan lembaga parokial maupun kategorial kemudian diisi oleh para
pelaku ini.

3
Melalui dimensi-dimensi di atas maka penelitian ini pada saat yang sama juga
menyiratkan kandungan praktisnya, yaitu penyediaan informasi dan analisis yang dapat
dijadikan bahan pembelajaran bagi para pelaku kegiatan kedermawanan sosial baik pelaku
dalam maupun di luar institusi Gereja Katolik.

I.1.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua daerah keuskupan yaitu Keuskupan Agung Jakarta
(KAJ) dan Keuskupan Agung Semarang (KAS). Kedua wilayah ini dipilih dengan
pertimbangan bahwa ciri sosiologis umat Katolik pada dua wilayah ini dinilai dapat
memberikan gambaran perbedaan, disamping kesamaan, karakteristik aksi kedermawanan
sosial yang akan diteliti. Dari KAJ dipilih 4 paroki yang dapat dianggap mewakili beberapa
wilayah di Jakarta yaitu paroki Trinitas Cengkareng, paroki Philipus Rasul Teluk Gong,
paroki Bunda Hati Kudus Kemakmuran, dan paroki St Anna Duren Sawit. Paroki dipilih
karena umumnya aktivitas kedermawanan sosial Katolik antara kelompok parokial dan
kategorial akan bersinggungan atau bertemu di unit gereja terkecil. Dari situ diharapkan
informasi tentang pola hubungan antara kelompok parokial dan kategorial dapat dicari. Untuk
wilayah KAS, paroki Maria Assumpta dan paroki Wedi di Kabupaten Klaten merupakan unit
gereja terkecil yang dipilih atas dasar di dua paroki inilah konsentrasi aksi kedermawanan
sosial Katolik khususnya pasca gempa Mei 2006 dilakukan.
Studi ini bersifat etnografis dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui
indepth interview dan focus group discussion (FGD). Berasal dari antropologi, etnografi
adalah metode riset yang menggunakan observasi langsung terhadap kegiatan manusia dalam
konteks sosial dan budaya sehari-hari. Etnografi berusaha mengetahui kekuatan-kekuatan apa
saja yang membuat manusia melakukan sesuatu. Informasi utama digali dengan teknik
indepth interview dan untuk melengkapi informasi yang terkumpul maka dilakukan focus
group discussion. Informan yang akan dijaring melalui indepth interview terdiri dari :
1. Ketua-ketua Komisi KWI / Keuskupan yang berwenang membawahi
bidang-bidang kerja yang terkait dengan aksi-aksi filantropi.
2. Ketua lembaga kedermawanan sosial katolik kategorial dan teritorial.
3. Pelaku-pelaku aksi kedermawanan sosial katolik.
4. Pemimpin kelompok-kelompok masyarakat (Katolik dan Non-katolik)
yang dibantu aksi kedermawanan sosial katolik.

4
Metode penjaringan informan dilakukan melalui snow ball sampling. Pemilihan
metode ini dilakukan karena tidak semua lembaga kedermawanan sosial Katolik yang telah
diidentifikasi dapat dijajaki geliat aktivitasnya. Ada lembaga, khususnya kategorial, yang
telah berpindah sekretariat, ada yang para pengurusnya sudah lama tidak hadir di sekretariat
sehingga hanya bisa menemui penjaga sekretariat yang tidak menguasai informasi yang
diperlukan, dan ada pula lembaga yang sudah tidak dapat dilacak keberadaannya.
Pertimbangan-pertimbangan itu yang turut mempengaruhi keputusan penggunaan snow ball
sampling. Melalui teknik snow ball jaringan informasi yang membentuk keseluruhan
kerangka gejala dapat diketahui. Selain itu, informasi yang menyangkut persepsi subyektif
pelaku juga dapat diperoleh karena seorang informan besar kemungkinan dapat menaruh
kepercayaan besar terhadap peneliti berdasarkan referensi informan sebelumnya.
Diakui bahwa penelitian ini baru menyentuh tataran permukaan (tap the surface).
Keterbatasan itu muncul dari situasi penelitian dimana bahan-bahan tentang aktivitas
kedermawanan sosial Katolik belum banyak terdokumentasi dengan sistematis sehingga
menyulitkan dalam menentukan lembaga dan jenis aktivitas seperti apa yang mau dituju.
Implikasinya yaitu penelitian ini belum dapat dikatakan komprehensif karena, misalnya, hal-
hal seperti kekuatan potensi jaringan finansial aksi kedermawanan Katolik belum dapat
dicakup. Meski terbatas, penelitian ini sekurang-kurangnya mencoba mencapai apa yang mau
dibidik dalam tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi pola kerja dan bentuk interaksi
kedermawanan sosial Katolik. Jadi, fakta bahwa penelitian ini belum komprehensif tidak serta
merta mengabaikan kontribusi perannya dalam mengisi khazanah pengetahuan tentang
filantropi Gereja Katolik di Indonesia yang masih terserak.
Keterbatasan lainnya terkait dengan posisi peneliti dalam rangkaian proses penelitian
yang dilakukan. Sebagai peneliti total maka ada jarak antara pelaku penelitian dengan gejala
yang diteliti. Kesenjangan ini pada gilirannya akan berpengaruh pada validitas data yang
diperoleh. Untuk dapat memperkecil kesenjangan informasi maka instrumen focus group
discussion adalah sarana yang digunakan untuk memeriksa ecological validity dan member
validation.1 Ecological validity adalah tingkat kesesuaian antara penggambaran dunia sosial
oleh peneliti dengan masyarakat yang ditelitinya; penelitian valid jika suatu fenomena muncul
tanpa kehadiran peneliti. Sementara member validation dipahami sebagai proses validasi
penelitian oleh masyarakat yang diteliti dan mengerti isi deskripsi penelitian serta
mengenalinya sebagai gambaran dunia sosial mereka.

1
Indriati Yulistiani, Ragam Penelitian Kualitatif : Penelitian Lapangan, dalam Modul Metode Penelitian Sosial
FISIP UI, 2001, hal. 139

5
Bab II
Perkembangan Aktivitas Filantropi Gereja Katolik

II.1 Sekilas Sejarah Filantropi di Tubuh Gereja Katolik

Kegiatan filantropis bukanlah merupakan hal yang baru dalam tubuh gereja Katolik.
Meski secara teoritis, konsep tersebut kembali memperoleh tempatnya di dalam berbagai
kegiatan pemberian bantuan belakangan ini namun secara praktis kegiatan filantropi telah
dimulai sejak abad-abad awal berdirinya gereja Katolik. Konsepsi filantropis Gereja Katolik
merupakan proyeksi vertikalitas iman kepada dimensi horisontal hubungan antar manusia
yang terkait dengan kondisi nyatanya di dunia seperti kesejahteraan dan keadilan. Gereja
Katolik memandang bahwa filantropi bukan hanya terkait dengan dimensi horisontal
hubungan antar manusia melainkan juga hubungan yang dilandasi oleh iman—hubungan
antara manusia dengan Sang Pencipta. Bagian ini akan melihat kembali wujud dari kegiatan
filantropis Katolik di abad-abad awal pembentukannya. Kegiatan yang secara historis
dibangun dan melekat erat dengan ajaran-ajaran iman Katolik tidak hanya telah meletakkan
nilai-nilai dasar, bentuk-bentuk organisasi, metode-metode, dan tujuan yang mau dicapai,
melainkan juga aspek kritis kegiatan itu sendiri. Untuk itu bagian ini akan memuat sebagian
besar isi kandungan ensiklik2 yang pertama dari Paus Benediktus XVI tentang Deus Caritas
Est, khususnya Bagian Ke-2. Bagian ini bisa dikatakan memberikan orientasi dasar bagi
pemahaman dan etos aktivitas pelayanan karitatif gereja Katolik universal.3 Melalui dokumen
ini karya karitatif Gereja Katolik yang telah dilakukan berabad-abad memperoleh pendasaran
teoritisnya.
Kiranya akan sangat membantu untuk mencermati sekilas lintasan historis pelayanan
kasih di dalam tubuh Gereja Katolik. Sampai pada pertengahan abad ke-4 terlihat
perkembangan bibit-bibit kegiatan karitatif di Mesir yang diwakili konsepsi tentang
"diaconia" yaitu institusi dalam setiap biara yang bertanggungjawab akan karya-karya
bantuan bagi pelayanan kasih. Sampai pada abad ke-6 institusi ini berkembang dalam suatu

2
Ensiklik (dari bahasa Yunani: egkuklios, “lingkaran”) artinya sebenarnya ialah sebuah surat edaran Uskup.
Tetapi dewasa ini ensiklik artinya adalah surat Paus sebagai Uskup Roma dan pemimpin Gereja Katholik dunia.
Ensiklik berisi ajaran Sri Paus mengenai iman dan kesusilaan. Biasanya ensiklik ditulis dalam Bahasa Latin,
bahasa resmi Vatikan namun sekarang banyak pula keluar terjemahan dalam lain-lain bahasa. Surat edaran ini
dikirim oleh Paus kepada para Uskup. Oleh para Uskup dikirim kepada bawahannya. Ensiklik bukanlah
dokumen tertinggi dalam Gereja Katolik. Dokumen yang tertinggi dan mengandung ajaran iman terdapat dalam
Konstitusi Dogmatis. Rumusan Konstitusi Dogmatis ditaati oleh umat beriman, sedangkan rumusan ensiklik
dihormati. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ensiklik. Diakses tgl 13 September 2006. 12.44 bbwi
3
Ensiklik Paus Benediktus XVI 25 Desember 2005, Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih), Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, April 2006, hal.25-28, 30

6
badan, yang secara yuridis berdiri sendiri, di mana otoritas sipil kemudian yang dipercaya
untuk menjalankan pembagiannya untuk umum. Di Mesir tidak hanya tiap biara, akan tetapi
setiap keuskupan pada kenyataannya memiliki diaconia-nya masing-masing. Institusi ini
kemudian berkembang baik di gereja Timur maupun di Barat. Paus Gregoris Agung (604 M)
memberitakan tentang adanya diaconia di Napoli, sementara di Roma diaconiae dicatat
tumbuh pula di abad-7 dan 8.
Akan tetapi pelayanan karitatif pada mereka yang miskin dan menderita pada dasarnya
telah menjadi bagian utama Gereja Roma sejak awal mulanya, berdasar pada prinsip hidup
Kristiani yang dicontohkan oleh murid-murid Yesus Kristus dalam injil Kisah Para Rasul.
Dapat ditemukan ungkapan yang jelas akan hal ini dalam kasus Laurensius (258 M).
Penuturan dramatis akan kemartiran Laurensius telah dikenal lewat Santo Ambrosius (397 M)
yang memberikan gambaran otentik tentang Laurensius. Sebagai orang yang
bertanggungjawab untuk memperhatikan orang-orang miskin di Roma, Laurensius, setelah
Paus dan diakon lainnya ditahan, disuruh untuk dalam waktu tertentu mengumpulkan seluruh
harta milik gereja dan menyerahkannya pada otoritas pemerintahan sipil kekaisaran. Akan
tetapi dia membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin apapun yang ada dan membawa
orang-orang miskin itu kepada penguasa sebagai kekayaan Gereja. Meskipun data historis
semacam itu masih membuka ruang debat yang luas namun simbolisme terhadap Laurensius
telah menjadi bagian dari jejak historis gereja Katolik sebagai salah satu tokoh pelayanan
kasih Gereja.
Catatan kaisar Yulianus Apostatus (363 M) juga dapat pula dipakai untuk
menunjukkan bagaimana secara mendasar gereja-awal telah membangun fondasi-fondasi
penataan praktek karitatif. Meski demikian upaya membangun karya karitatif itu lebih
berdasar pada motivasi politis Yulianus sebagai kaisar. Sebagai seorang anak berusia 6 tahun,
dia telah menyaksikan pembunuhan ayah, saudara dan anggota keluarga lainnya oleh penjaga
istana; entah benar atau tidak, dia melemparkan tuduhan akan tindakan brutal ini pada Raja
Konstantinus, orang besar yang telah menjadi Kristen. Iman Kristiani dianggap oleh Yulianus
Apostatus sebagai terkutuk. Ketika menjadi kaisar, Yulianus memutuskan untuk memulihkan
paganisme, agama Romawi kuno. Memperbaharuinya dengan harapan menjadi sumber
kekuatan penyokong pemerintahannya. Dalam maksud ini dia sepenuhnya terinspirasikan
oleh Kristianisme. Dia membentuk hirarki metropolitan dari imam-imam yang didorong
untuk menumbuhkan kasih akan Allah dan sesama. Dalam salah satu suratnya, dia
menuliskan bahwa satu-satunya unsur dari agama Kristiani yang mengesan baginya adalah
karya karitatif gereja. Maka dia kemudian memikirkan bahwa hal itu adalah penting pula bagi

7
agama baru yang dibangunnya kembali, sehingga di samping sistem karitatif gerejani, karya
yang serupa olehnya dibentuk pula. Dalam pandangannya, usaha-usaha semacam inilah yang
menjadikan alasan mengapa agama Kristen menjadi dikenal luas. Mereka perlu ditiru untuk
dikalahkan. Dengan demikian, jelas kaisar mengakui bahwa karitas atau pelayanan kasih
adalah ciri yang sangat menentukan dalam kehidupan komunitas Kristiani.
Sejauh ini bisa ditarik adanya dua fakta penting muncul dari refleksi historis
pandangan gereja Katolik atas , yaitu :
a) Hakekat terdalam gereja Katolik terwujud alam tiga bidang tugas: pewartaan sabda Allah
(kerygma-martyria), perayaan sakramen-sakramen (leitourgia), dan pewujudan pelayanan
kasih (diakonia). Masing-masing tugas ini mengandaikan satu sama lain dan tidak saling
terpisahkan. Maka bagi gereja Katolik, aktivitas filantropis atau karitas sebagai bagian
dari tugas diakonia bukanlah bentuk pelayanan sosial yang dapat dengan begitu saja
dilalaikan demi yang lain, namun merupakan bagian dari hakekat dirinya.
b) Gereja adalah keluarga Allah di dunia. Dalam keluarga ini tak seorang pun dapat
dibiarkan tanpa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Kini pada saat yang sama caritas-
agape berkembang melampaui batas gereja. Perumpamaan mengenai orang Samaria yang
murah hati tetap merupakan patokan yang mendorong diwujudkannya kasih universal
pada mereka yang membutuhkan, mereka yang ditemukan secara kebetulan4, siapapun
dia. Namun tanpa bermaksud mengabaikan perintah cinta universal ini, gereja Katolik
juga mengingatkan tugasnya secara khusus: jangan sampai di dalam keluarga Gereja ada
orang yang mengalami penderitaan apapun juga. Ajaran dari surat Galatia secara jelas
menegaskannya, "Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita
berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman"5

II.2 Kritik dan Pandangan Terhadap Kegiatan Filantropi Gereja Katolik tentang
Keadilan dan Kasih

Sejak abad 19, gugatan ditujukan pada kegiatan karitatif gereja Katolik, sebagai
konsekuensi dari berkembangnya klaim khas dari Marxisme: orang miskin tidak
membutuhkan kasih, melainkan keadilan. Karya karitatif - derma - tampak menjadi cara bagi
orang-orang kaya untuk pada menghindar dari kewajiban mereka untuk berkarya bagi
keadilan, dan menjadi sarana untuk menenangkan suara hati orang miskin, sambil tetap

4
Bdk Lukas 10:31
5
Bdk Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia 6:10

8
mempertahankan status mereka dan mengambil hak-hak orang-orang miskin. Lebih daripada
terlibat melalui karya-karya kasih individual yang mempertahankan status quo manusia perlu
lebih membangun tata sosial yang adil, di mana semua menerima bagian dari harta dunia dan
tidak lagi bergantung pada belas kasih. Memang dapat ditemukan beberapa hal yang benar
dari argumen ini, akan tetapi juga tidak luput dari kekeliruan.
Benar bahwa upaya untuk menegakkan keadilan harus menjadi norma dasar negara
dan bahwa tujuan dari tata sosial yang adil adalah untuk menjamin setiap pribadi, sesuai
prinsip subsidiaritas, agar mendapatkan bagian dari kekayaan masyarakat. Hal ini senantiasa
ditekankan oleh ajaran gereja mengenai pemerintahan dan Ajaran Sosial Gereja (ASG).
Secara historis, persoalan tata keadilan masyarakat mendapatkan dimensi baru di tengah
industrialisasi masyarakat di abad 19. Tumbuhnya industri modern menyebabkan struktur
sosial lama runtuh, sementara tumbuhnya kelas pekerja yang bergaji mendorong suatu
perubahan radikal dalam struktur masyarakat. Kaitan antara kapital dan pekerja kini menjadi
issu penting - persoalan yang semula tidak dikenal. Kapital dan sarana-sarana produksi kini
menjadi sumber baru kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan sedikit orang hingga akhirnya
mengarah pada penindasan hak kelas pekerja. Inilah sesuatu yang hendak dilawan oleh para
aktivis Marxist.
Harus diakui bahwa pimpinan Gereja Katolik universal lambat menyadari bahwa
persoalan keadilan dinilai membutuhkan suatu pendekatan baru. Akan tetapi ada beberapa
pionir yang muncul, seperti misal Uskup Ketteler dari Mainz, Jerman (1877 M), yang turut
mendorong muncul dan tumbuhnya berbagai kelompok, asosiasi, liga, dan federasi umat
Katolik. Secara khusus, juga bermunculan tarekat-tarekat religius baru yang didirikan di abad
19 untuk melawan kemiskinan, penyakit dan kebutuhan akan pendidikan yang lebih baik.
Hirarki Gereja Katolik Universal sendiri baru pada tahun 1891 menjawab situasi dan
kondisi jaman antara lain melalui dokumen-dokumen Kepausan. Melalui magisterium
kepausan ensiklik Rerum Novarum (Hal-hal Baru) disebarluaskan oleh Paus Leo XIII yang
garis besar isinya memuat tentang keadaan kaum buruh.6 Pada tahun 1931 keprihatinan itu
diteruskan dengan ensiklik Pius XI, Quadragesimo Anno (Ulang Tahun Ke-40 Rerum
Novarum). Di tahun 1961, Beato Yohanes XXIII mengeluarkan ensiklik Mater et Magistra
(Ibu dan Guru), sementara Paulus VI pada tahun 1967 mengeluarkan ensiklik Populorum
Progressio(Perkembangan Bangsa-bangsa) dan dalam surat apostolis Octogesima Adveniens
(Ulang Tahun Ke-80 Rerum Novarum tahun 1971) menanggapi problem sosial yang pada saat

6
F.X Yono Hascaryo Putro. Silih Pantang dan Puasa : Salah satu bentuk religious giving dalam Gereja Katolik,
dalam Galang : Jurnal Filantropi dan masyarakat Madani, Vol.1, No.3, PIRAC, Depok, April 2006, hal. 51

9
itu telah menjadi persoalan akut di Dunia Ketiga, terutama di Amerika Latin.7 Paus Yohanes
Paulus II juga meninggalkan trilogi ensiklik yang menekankan nuansa sosialitas Katolik lewat
Laborem Exercens (Dengan Bekerja) tahun 1981. Dokumen tentang kerja manusia ini melihat
keadaan jaman, diantaranya kecederungan manusia sebagai alat produksi dan ancaman perang
nuklir. Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan Sosial) tahun 1987 tentang meningkatnya
jumlah penderita kemiskinan dan akhirnya Centesimus Annus (Ulang tahun Ke-100 Rerum
Novarum) tahun 1991. Dokumen yang lahir pada ulang tahun ke-100 Rerum Novarum ini
menanggapi keruntuhan komunis internasional dan masyarakat barat yang konsumtif.
Menghadapi situasi dan persoalan-persoalan baru, Ajaran Sosial Gereja secara terus-
menerus berkembang, dan kini menemukan suatu sajian komprehensifnya dalam
Kompendium Ajaran Sosial Gereja yang diterbitkan di tahun 2004 oleh Dewan Kepausan
Iustitia et Pax. Dalam situasi kompleks dewasa ini, paling tidak karena berkembangnya
globalisasi ekonomi, Ajaran Sosial Gereja menjadi suatu kumpulan penuntun langkah yang
secara mendasar memberikan pendekatan yang valid yang melampaui batas Gereja: dalam
menghadapi perkembangan yang terus berjalan maka orientasi yang disajikannya perlu
digumuli dalam konteks dialog dengan semua orang yang sungguh peduli akan umat manusia
dan dunia tempat manusia hidup.8
Untuk dapat merumuskan secara lebih tepat kaitan antara kebutuhan komitmen akan
keadilan dan pelayanan kasih, dua situasi mendasar yang dijadikan pertimbangan Gereja
Katolik dalam mewujudkan karya karitatif 9 :
a) Tata keadilan dalam masyarakat dan negara merupakan tugas tanggungjawab utama
politik. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Augustinus, sebuah negara yang tidak
dipimpin sesuai dengan keadilan hanya akan menjadi kumpulan para pencuri, "Remota
itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia?" . Yang menjadi sesuatu yang
fundamental bagi umat Kristiani adalah pembedaan antara apa yang milik kaisar dan

7
Ada banyak dokumen Kepausan yang memberikan perhatian pada dimensi sosialitas kehidupan iman katolik.
Namun hanya ada beberapa yang secara tegas menyebutkan tentang peran iman Katolik terhadap dimensi sosio-
ekonomi kehidupan manusia. KAJ sekurang-kurangnya menyebut Gaudium Et Spes (1965) tentang gereja di
dunia modern ini. Dokumen ini lahir karena keadaan jaman yang ditandai dengan adanya kelaparan, kemiskinan,
dan buta huruf yang masih banyak dialami sebagian besar warga dunia, tentang perang nuklir, ketidakadilan
ekonomi, ketergantungan antar-warga dunia, dan tumbuhnya ateisme. Lalu Populorum Progressio (1967),
Sollicitudo Rei Socialis, dan Centesimus Annus sebagai dokumen-dokumen dasar keterlibatan umat dalam
kehidupan sosio-ekonomi Gereja di masyarakat. Untuk dokumen-dokumen lain dapat dilihat pada :
http://www.papalencyclicals.net/ . Tony D. Widiastono (ed), Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman :
Refleksi Keuskupan Agung Jakarta, Tim Penyusun Buku Yubileum Mgr. Leo Soekoto S.J, KAJ, 1995, hal.251
8
Tekanan dari penulis
9
Deus Caritas Est, hal. 28-31

10
apa yang milik Tuhan.10 Dengan kata lain, ada pembedaan antara Gereja dan negara
atau sebagaimana dinyatakan dalam Konsili Vatikan II, adanya otonomi ruang dunia.
Negara tidak dapat mengatur agama, namun harus menjamin adanya kebebasan
beragama dan harmoni antar para pemeluk agama-agama yang berbeda. Dari sisinya,
Gereja Katolik, sebagai wujud sosial iman Kristiani, memiliki indepedensi
sepenuhnya dan hal itu distrukturkan berdasarkan dasar imannya sebagai komunitas
yang harus diakui oleh negara. Keduanya berada dalam dua wilayah yang berbeda,
namun tetap saling berkaitan satu sama lain.
b) Kasih—Caritas—selalu perlu, bahkan dalam masyarakat yang paling adil. Tidak ada
tatanan negara yang adil, yang dapat membuat pelayanan kasih berlebihan.
Barangsiapa mau menghapus kasih mulai menghapus manusia sebagai manusia.
Selalu akan ada penderitaan yang membutuhkan penghiburan dan bantuan. Selalu juga
akan ada keadaan kekurangan jasmaniah yang membutuhkan bantuan dalam arti kasih
akan sesama yang dihayati. Negara pengurus segalanya, yang mau mengatur
segalanya, akhirnya menjadi instansi birokratis yang tak dapat memberikan apa yang
hakiki yang diperlukan manusia yang menderita—setiap manusia : perhatian pribadi
penuh kasih sayang. Gereja Katolik tak membutuhkan negara yang mengatur dan
menguasai segalanya, melainkan negara yang menurut prinsip subsidiaritas dengan
murah hati mendukung dan mengakui prakarsa yang muncul dari berbagai kekuatan
masyarakat sambil menghubungkan spontanitas dengan kedekatan pada manusia yang
membutuhkan bantuan.

II. 3 Kedermawanan Sosial Gereja Katolik di Indonesia

Gambaran tentang bagaimana dinamika karya karitatif awal gereja Katolik di


Indonesia tidak begitu jelas. Namun jika karya karitatif merupakan bagian dari hakikat Gereja
Katolik maka bisa disimpulkan bahwa dinamika karya karitatif awal gereja Katolik di
Indonesia dimulai sejak misionaris-misionaris Katolik dari Eropa menjejakkan kakinya di
Nusantara. Aksi-aksi filantropi gereja Katolik di Indonesia misalnya ditandai dengan
berdirinya sekolah bagi perempuan yang idenya diinisiasi oleh Mgr Vrancken selaku Vikaris
Apostolik II Batavia dan dikelola oleh suster-suster Ursulin di Batavia sekitar tahun 1856.
Contoh lain adalah keikutsertaan para suster Fransiskanes dari Heythyusen dalam mendirikan

10
Bdk Injil Matius 22:21

11
rumah yatim piatu, rumah sakit, dan sekolah di tahun 1870-1879.11 Suster-suster Santo
carolus Boromeus (CB) dari Maastricht membuka rumah sakit yang terletak di antara Batavia
dan Meester Cornelis dan kini dikenal sebagai RS St. Carolus. Tokoh karya karitatif yang
dikenal luas dalam bidang pendidikan dan mengandung unsur penghargaan terhadap
pluralisme adalah pastor van Lith, S.J. Sekolah yang didirikannya tidak hanya menerima
murid-murid yang sudah beragama Katolik. Pastor van Lith menyadari bahwa pendidikan dan
pengajaran bukan hanya dibutuhkan oleh anak yang beragama Katolik, melainkan juga yang
non-Katolik.12 Ia juga mendirikan sekolah guru baik untuk yang beragama Katolik maupun
non-Katolik. Sebelum terbentuk struktur hirarki Gereja Katolik yang mandiri di Indonesia,
aksi-aksi filantropi waktu itu banyak dilakukan oleh para misionaris dari luar Nusantara. Dari
kilasan sejarah kedermawanan sosial Katolik di Indonesia terlihat bahwa fokus utama aksi-
aksi filantropi di masa itu adalah pada bidang pendidikan dan kesehatan.
Aksi-aksi filantropi belum berkembang luas di tubuh Gereja Katolik di Hindia-
Belanda pada masa penjajahan Belanda. Meski Paus Leo XIII telah mengeluarkan Rerum
Novarum 1891 yang berisikan anjuran pentingnya batas-batas kekayaan pribadi agar si kayak
membantu si miskin dan pemerintah mengusahakan kesejahteraan umum agar didirikan
perserikatan buruh dan gaji yang adil, mengakui sahnya hak milik pribadi dimana hak milik
pribadi itu bermakna sosial, dan menganjurkan hubungan yang setara antara modal dan kerja.
Lalu dilanjutkan oleh Paus Pius XI yang mendorong perwujudan dan tumbuhnya Aksi
Katolik dalam bentuk organisasi-organisasi umat sebagai upaya implementasi ensiklik
Quadragesimo Anno (1931).13 Salah satu hambatan yang waktu itu dirasakan oleh para
misionaris dan pelaku-pelaku aksi karitatif adalah persoalan yang menyangkut masalah
rivalitas politik penyebaran Protestanisme dan Katolisisme yang beririsan dengan kepentingan
ekonomi-politik ketika VOC berkuasa maupun setelahnya. Keadaan penyebaran agama
Katolik dan aksi-aksi karitatif itu amat dipengaruhi oleh perang yang berkecamuk antara
Belanda dan Portugis serta keterlibatan dua negara tersebut dalam perang-perang lokal,
khususnya di wilayah Nusantara bagian Timur. Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen
menulis,”orang-orang Portugis (baca : misionaris Katolik) kuat sekali di kepulauan Solor
(dan Flores). Dengan senjata-senjata rohani, mereka mampu menarik penduduk daripada
kita dengan para prajurit..”14 Masalah itu pula yang menjadi salah satu faktor keterlambatan

11
Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal.27
12
Anhar Gonggong, Mgr Albertus Soegijapranata S.J : Antara Gereja dan Negara, PT Grasindo, Jakarta, 1993,
hal.10-11
13
Berkhof, H & Enklaar, I.H, Sedjarah Geredja, BPK Jakarta, 1962, hal. 288
14
Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal. 15

12
pengakuan karena adanya larangan atau hambatan-hambatan yang dikenakan terhadap
keberadaan agama Katolik di seluruh wilayah jajahan VOC, termasuk sebagian Indocina dari
pemerintah Belanda.15
Masuknya balatentara kerajaan Jepang ke Nusantara juga turut menjadi faktor
penghambat pertumbuhan karya dan kehidupan Gereja Katolik di Nusantara.16 Sejumlah
tokoh Katolik dan imam ditahan dengan tuduhan penyebaran propaganda anti-Jepang.
Misalnya pada 15 Agustus 1943 pastor Djajaseputra, van Kalken, Noyons, Paulus
Djojosoemarto dikenakan tuntutan hukuman mati oleh pengadilan militer Jepang di
Yogyakarta. Adanya hubungan antara Jepang dengan Vatikan turut menyelamatkan sebagian
tokoh-tokoh itu dari hukuman mati. Gereja Katolik Jepang pun turun tangan membantu
Gereja Katolik Indonesia dengan mengirim Mgr Yamaguchi dan Mgr A. Ogihara SJ. Bahkan
keduanya menentang kebijakan politik Jepang sendiri.
Masa-masa Perang Kemerdekaan juga merupakan masa sulit untuk mengembangkan
karya karitatif karena kekurangan sumber daya diserap untuk kepentingan perang. Situasi dan
kondisi itu juga memunculkan korban-korban dari pihak umat Katolik Indonesia dan para
misionaris. Misalnya 8 orang imam Serikat Yesus ditembak mati di Magelang oleh tentara-
tentara muda Republik Indonesia, dan Pastor Sandjaja dibunuh oleh gerombolan Hisbullah di
Muntilan. Situasi semacam itu dijawab oleh tindakan tegas Mgr Wilkens, gereja-gereja dan
RS Carolus tidak disita dan tetap dilayani secara bergiliran oleh imam-iman yang tidak masuk
kamp interniran. Peran Mgr. Wilkens amat besar tidak saja bagi perkembangan Gereja
Katolik Indonesia melainkan juga bagi munculnya inisiatif-inisiatif karya karitatif. Misalnya
pada tahun 1943 ia turut memprakarsai pembentukan tarekat relijius bersuasana lokal-Jawa
untuk suster-suster bernama Abdi Dalem Sang Kristus (ADSK) yang berkarya di sekolah-
sekolah dan perawatan orang sakit di desa-desa. Situasi dan kondisi jaman yang demikian
merupakan suatu ujian terhadap denyut gerak kedermawanan sosial Gereja Katolik. Meksi
tertatih-tatih namun denyut itu terus ada dirasakan pada periode perjalanan Gereja Katolik
Indonesia berikutnya.
Pada tanggal 26-30 April 1954 para Waligereja se Jawa mengadakan pertemuan di
Lawang.17 Di sana diungkapkan keinginan untuk mengadakan konferensi bagi semua
Waligereja. Sidang itu dapat dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober sampai 2 November 1955

15
http://en.wikipedia.org/wiki/Catholicism_in_Indonesia. diakses tgl. 13 November 2006. 18.18 Bbwi
16
Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal. 38-39
17
Bagian perjalanan hirarki Gereja Katolik Indonesia serta bagian yang menangani aksi karya karitatif ini
diambil, kecuali bila disebut lain, dari http://www.kawali.org/profilkwi.html. Diakses tgl 1 November 2006.
10.32AM

13
di Bruderan, Surabaya dan dihadiri oleh 22 orang Waligereja (dari 25 orang Waligereja yang
ada). Inilah sidang konferensi para uskup dari seluruh Indonesia yang pertama sesudah
perang. Salah satu keputusan yang penting ialah bahwa untuk selanjutnya konferensi para
Waligereja Indonesia ini dinamakan Majelis Agung Waligereja Indonesia, disingkat MAWI,
suatu terjemahan dari Raad van Kerkvoogden. Tanggal inilah dipandang sebagai tanggal
berdirinya MAWI dengan ketua pelaksana tugas hariannya adalah Mgr. A. Soegijapranata,
S.J. (Uskup Semarang). Untuk memperbaiki pelaksanaan tugasnya, dibentuklah berbagai
"Panitia" / PWI (Panitia Waligereja Indonesia) yang berada di bawah payung dan menjadi
anggota DEWAP (Dewan Waligereja Indonesia Pusat). DEWAP mengadakan sidang sekali
dalam setahun untuk menetapkan langkah-langkah pelayanan iman dan kasih bagi umat serta
masyarakat umum.
Bidang-bidang pelayanan dibawah PWI itu adalah PWI Sosial, PWI Aksi Katolik dan
Kerasulan Awam, PWI Seminari dan Universitas, PWI Pendidikan dan Pengajaran Agama ,
PWI Katekese Umat dan Penyebaran Iman, PWI Pers dan Propaganda. Dalam sidang di
Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah (09-16 Mei 1960) para Uskup Indonesia menulis surat
kepada Bapa Suci Yohanes XXIII, memohon secara resmi agar beliau meresmikan berdirinya
hirarki Gereja di Indonesia. Maka dengan Dekrit "Quod Christus Adorandus" tertanggal 03
Januari 1961 Paus Yohanes XXIII meresmikan berdirinya Hirarki Gereja di Indonesia.
MAWI mengadakan sidang-sidang paripurna pada tahun 1960, 1965, 1968 dan 1970.
Pada Sidang tahun 1968 terjadi perubahan-perubahan dalam pembentukan PWI: PWI
Universitas dihapuskan dan tugas diambil alih oleh Bagian Pendidikan-KWI. Pada Sidang
MAWI tahun 1968 dibentuk Struktur Sekretariat Jenderal yang tercakup antara lain: Bagian
Umum, Bagian Pendidikan, dan Bagian Pastoral KWI. Dalam tahun ini pula dibentuk suatu
lembaga baru yaitu: Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS). Maka bentuk
lembaga baru yang ada didalam MAWI saat itu adalah LPPS-KWI dan LBI-KWI. Pada tahun
1970 tepatnya pada tanggal 3 Desember, dalam sidangnya MAWI membuat suatu keputusan
Pedoman Kerja Umat katolik Indonesia. Hal ini dilakukan karena para Uskup Indonesia
melihat bahwa dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun, sering timbul
persoalan-persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Melalui pedoman tersebut para Uskup
ingin memberi petunjuk-petunjuk kepada umat sehingga diharapkan dapat membantu
pemecahan masalah yang ada.
Salah satu bentuk kontribusi pemecahan masalah pembangunan adalah program Aksi
Puasa Pembangunan (APP). Program ini secara melembaga telah dimulai sejak tahun 1970.
Meski demikian, dasar-dasar kelembagaan telah dibangun sebelumnya ketika tahun 1955 Mgr

14
Soegijapranata SJ (Uskup Agung Semarang) ditunjuk oleh MAWI menjadi ketua Panitia
Sosial Waligereja Indonesia. Program ini muncul sebagai bagian dari upaya pertobatan
Gereja. Melalui pembacaan atas “tanda-tanda jaman”, Gereja setiap tahunnya merumuskan
arah tobat yang menghasilkan tema-tema gerakan pertobatan. Sehingga, Gereja Katolik di
Indonesia betatapun kecil jumlahnya mampu menyumbang gerakan untuk membangun
“habitus baru” bagi terwujudnya tujuan bangsa yakni kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh
warga Indonesia.18 Program APP terdiri dari berbagai kegiatan, salah satunya adalah
pengumpulan dana yang dipergunakan untuk menunjang rencana-rencana kegiatan sesuai
tema gerakan pertobatan yang dipilih tiap tahunnya. Pengumpulan dana itu dipergunakan
antara lain untuk melakukan karya-karya karitatif oleh masing-masing keuskupan.
Selanjutnya sebagaimana diketahui bahwa sebutan Konferensi Waligereja Indonesia
adalah sesuai dengan nama dalam bahasa latin maupun bahasa-bahasa lain di seluruh dunia.
Perubahan nama juga bertepatan dengan saat proses penyusunan sebuah statuta KWI yang
baru dan diselaraskan dengan Kitab Hukum Kanonik yang baru serta Undang-undang RI No.
8 tahun 1985 mengenai Organisasi Kemasyarakatan. Statuta baru ini disahkan oleh Vatikan
pada tanggal 24 April 1992. Sejak tahun 1987, MAWI berganti nama menjadi KWI
(Konferensi Waligereja Indonesia / Bishop’s Conference of Indonesia). Dengan konsepsi
‘konferensi’ dari para waligereja maka jelas nampak bahwa KWI bukan merupakan organisasi
hirarki komando yang sentralistis seperti dibayangkan melainkan lebih berbentuk federasi
yang desentralis.
Ada beberapa contoh yang dilakukan Gereja Katolik untuk memasyarakatkan
keprihatinan dan keterlibatan sosial.19 Misalnya, tahun 1966 MAWI menghimbau agar para
katekis atau guru agama dibekali secukupnya untuk mengintegrasikan ajaran sosial-ekonomi
Gereja dalam pengajarannya. Sidang MAWI 1979 mencanangkan perlunya “teologi kerasulan
sosial” untuk mengembangkan motivasi peran-serta sosial yangtepat pada umat. MAWI
menugaskan Komisi Pengembangan Sosial-Ekonomi (PSE) untuk menyediakan contoh-
contoh kotbah dan ulasan-ulasan serta mengusulkan penyelenggaraan seminar-lokakarya
tentang ajaran sosial Gereja itu.
Pembentukan lembaga-lembaga filantropi di luar hirarki Gereja Katolik untuk
menyebarluaskan misi solidaritas sosial kristiani turut dirintis. Misalnya saja keberadaan
lembaga Institut Sosial Jakarta (ISJ) yang dipimpin oleh Pastor I. Sandyawan Sumardi SJ
dibentuk tahun 1974. Lembaga ini pada awalnya bergerak di bidang penelitian sosial.

18
F.X Yono Hascaryo Putro, loc.cit, hal. 52-53
19
Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal. 252

15
Kesadaran akan adanya masalah-masalah baru di masyarakat akhirnya mendorong lembaga
ini bertransformasi tidak lagi menjadi lembaga karitatif yang melakukan konsultasi
ketenagakerjaan murni tetapi juga terlibat dalam pengorganisasian komunitas basis. Kendati
kini telah menjadi sebuah LSM yang tidak berbendera Katolik, ISJ tetap berikhtiar untuk
mewujudkan gerakan solidaritas kristiani dalam kegiatan-kegiatannya. Model transformasi
bentuk kegiatan dan lembaga semacam itu juga nampak pada beberapa organisasi seperti
Lembaga Daya Dharma (LDD) milik Keuskupan Agung Jakarta dan Yayasan Sosial
Soegijapranata (YSS) milik Keuskupan Agung Semarang.
Kisah jatuh-bangunnya lembaga sosial milik Gereja juga mewarnai dinamika
kedermawanan sosial Katolik di tanah air. Untuk tingkat nasional, salah satu lembaga di
tubuh KWI yang menangani penggalangan dan penggunaan dana karitatif adalah Yayasan
LPPS-KWI (Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial-KWI). Lembaga ini dinilai telah
berjasa menjadi penghubung antara lembaga penyandang dana, seperti Caritas International,
dengan mereka yang memerlukannya. Namun lembaga yang berkiprah dalam aksi filantropi
sejak tahun 1968 akhirnya dibubarkan melalui Sidang KWI 23-26 April 2002. Dalam sidang
yang bertema “Mengembangkan Kredibilitas Gereja/KWI melalui Pelayanan Administrasi
Kelembagaan dan Keuangan yang Transparan dan Akuntabel” dilakukan evaluasi atas
kinerja LPPS oleh para pengurus lembaga dan pejabat gereja. Setelah mempertimbangkan
dalam-dalam dampak negatif kemelut yang sudah bertahun-tahun sekitar transparansi dan
akuntabilitas LPPS-KWI bagi kredibilitas Gereja Katolik Indonesia umumnya dan KWI
khususnya di hadapan para penyandang dana baik dalam maupun luar negeri, khususnya bagi
masyarakat yang dilayani, maka KWI dalam sidang tersebut menerima usulan Badan
Pengurus Yayasan Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS) agar lembaga
tersebut dibubarkan.20

=================================

20
Pengumuman Komisi Komunikasi Sosial KWI, 28 Juni 2002 pk 16:21 bbwi. Sumber http:www.mirifica.net
diakses tgl 22 November 2006 pk.11.15. Lihat pula Suara Pembaharuan, 4 juli 2002 dan Kompas, 6 Juli 2002.

16
Bab III
Memberi dari Kekurangan, Memberi dari Kelebihan :
Organisasi dan Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Katolik di KAJ dan KAS

Gereja Katolik Indonesia mendorong umat untuk terlibat aktif dalam hidup sosial
bersama dengan umat agama lain. Dorongan ini merupakan wujud dari tiga bidang hakikat
Gereja Katolik universal yaitu pewartaan sabda Allah (kerygma-martyria), perayaan
sakramen-sakramen (leitourgia), dan perwujudan pelayanan kasih (diakonia). Ketiga bidang
hakikat itulah yang mewarnai berbagai dokumen Gereja Katolik Indonesia setidaknya selama
5 tahun. Sebagai bentuk perwujudan dari semangat semacam kedermawanan sosial selama
berabad-abad, Gereja Katolik Indonesia mengintegrasikan aksi kedermawanan sosialnya ke
dalam tubuh struktur organisasinya. Struktur organisasi itu dibentuk hingga ke tingkat
komunitas umat yang paling bawah. Bidang dalam hirarki yang melakukan tugas pelayanan
kasih atau kedermawanan sosial itu disebut dengan Seksi Pengembangan Sosial-Ekonomi
(seksi PSE). Gereja Katolik Indonesia juga mengakui dan mendorong munculnya kelompok-
kelompok kedermawanan sosial Katolik atas inisiatif umat sendiri yang otonom dari hirarki.
Bab ini mendeskripsikan karakteristik pelaku kedermawanan sosial dan potensi apa
saja yang dimiliki serta bagaimana potensi-potensi itu didayagunakan oleh kelompok basis
(kelompok parokial dan kategorial). Disamping itu penghayatan para pelaku kedermawanan
sosial terhadap makna subyektif tindakan yang dilakukan juga tidak dapat diabaikan. Makna
subyektif di sini mengacu pada bagaimana peran teologi Kristiani, dimana Injil jadi acuannya,
diterjemahkan menjadi praxis religiositas oleh para pelaku kedermawanan sosial. Religiositas
mempunyai dua aspek16 yaitu dalam arti luas, religiositas terkait dengan peran dimensi
sosiologis dalam mempengaruhi tindakan hidup keagamaan, pembaktian-diri (dedikasi) bagi
agama, dan kepercayaan terhadap doktrin-doktrin agama suatu kelompok. Dalam arti sempit,
religiositas lebih menekankan pada seberapa relijiuskah seseorang yang beragama alih-alih
bagaimana seseorang itu beragama. Beragama disini artinya tindakan yang diarahkan
terutama pada pemenuhan kewajiban partikular agama seperti ritual, penggunaan simbol-
simbol, dan ortodoksi ajaran agama. Jadi religiositas adalah perasaan dan kesadaran akan
hadirnya ikatan hubungan dengan Allah.17 Kehadiran Allah dalam pandangan Kristen nampak
pada wajah orang-orang yang miskin, papa, dan tersingkir.
Beberapa kelompok kategorial yang diteliti yaitu organisasi Wanita Katolik, Asosiasi
Pengusaha Katolik, dan Persatuan Guru Katolik, serta Tim Kesehatan di lima paroki yaitu

16
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Religiosity, diakses tgl : 20 September 2006
17
Agus M.Hardjana. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal.47

17
Paroki Trinitas Cengkareng (wilayah Jakarta Barat), Paroki Philipus Rasul Telukgong
(wilayah Jakarta Utara), Paroki Bunda Hati Kudus Kemakmuran-Cideng (wilayah Jakarta
Pusat), Paroki St. Anna Duren Sawit (wilayah Jakarta Timur), dan Paroki Keluarga Kudus
Pasar Minggu (wilayah Jakarta Selatan). Selain itu sebagai bahan perbandingan, bagian dari
hirarki gereja yang turut menangani kegiatan aksi kedermawanan sosial, yaitu seksi
Pengembangan Sosial-Ekonomi (Seksi PSE) di tiap paroki juga akan diuraikan. Untuk
wilayah Keuskupan Agung Semarang, kelompok yang dipilih adalah Yayasan Sosial
Soegijapranata Semarang, POSKA (Pos Kasih) Paroki Maria Assumpta Klaten, Karina
(Karitas Indonesia) Kidul Loji Yogyakarta yang merupakan sentral aktivitas kordinasi
bantuan gempa bagi wilayah Yogya dan Klaten, Karina Pos Klaten serta Pos Wedi.
Disamping itu untuk menambah kekayaan informasi, beberapa rohaniwan Katolik yang
menjadi pejabat gereja juga diwawancara untuk memperoleh dimensi teologis dari aktivitas-
aktivitas kedermawanan sosial yang dilakukan oleh umat melalui lembaga-kelompok itu.
Tingkat kelompok–kelompok kategorial yang dipilih dari lingkungan KAJ dan KAS
adalah tingkat ranting. Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa aktivitas
kedermawanan sosial yang paling menyentuh komunitas baik Katolik maupun non-Katolik
berada di tingkat ini. Titik singgung aktivitas kedermawanan sosial bersama dengan
organisasi-organisasi diluar tubuh Gereja Katolik juga bisa dikatakan banyak terjadi pada
tingkat ini. Adanya dorongan dan ajakan dari Gereja Katolik Indonesia kepada umat selama 5
tahun terakhir untuk turut memberdayakan komunitas basis juga menjadi dasar bagi
dipilihnya kelompok kategorial tingkat ranting.
Baik kelompok parokial maupun kategorial oleh Gereja Katolik disebut sebagai
komunitas basis.18 Komunitas basis dapat dipahami sebagai "satuan umat yang relatif kecil
dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi
masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok, maupun masalah sosial, dan mencari
pemecahannya dalam terang Kitab Suci".19 Komunitas basis ini diinspirasikan oleh teladan
hidup umat Kristen perdana seperti dilukiskan dalam Kitab Suci seperti misalnya Kisah
Rasul. Dengan demikian, komunitas basis bukan sekadar istilah atau nama, melainkan Gereja
yang hidup bergerak dinamis dalam pergumulan iman. Komunitas basis akan memberi wajah
baru hidup menggereja umat yang mampu berbelarasa dengan saudara yang miskin dan

18
Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2005.
19
Bdk Injil Kisah Para Rasul 2:1-47

18
tertindas. Dengan komunitas basis yang berada di tataran akar rumput, Gereja Katolik tidak
akan mengalami 'irelevansi eksternal' atau 'insignifikansi sosial'.20

III.1 Jenis-jenis Organisasi Aksi Kedermawanan Sosial Katolik : Kelompok Parokial


dan Kategorial

Organisasi aksi kedermawanan sosial yang inheren dalam tubuh hirarki tertinggi
Gereja Katolik Indonesia adalah Komisi Pengembangan Sosial-Ekonomi. Berdasarkan hasil
Sidang Sinodal KWI yang berakhir 16 November 2006, komisi PSE saat ini diketuai oleh
Mgr Petrus Turang dari Keuskupan Agung Kupang. Tugas komisi ini antara lain menampung
dan mengalokasikan dana hasil program Aksi Puasa Pembangunan yang tiap tahunnya
dilakukan oleh Gereja Katolik Indonesia. Oleh karenanya dalam program APP alokasi dana
21
yang terkumpul tidak seluruhnya disentralisasi ke KWI pusat. Ada komposisi alokasi yaitu
70% dikelola sebagai dana penyertaan kegiatan sosial tingkat keuskupan setempat. Lalu 20%
diserahkan ke Solidaritas APP Nasional, dan 10% digunakan untuk dana solidaritas antar-
keuskupan. Pengelolaan di tingkat pusat dilakukan oleh Komisi Pengembangan Sosial-
Ekonomi/APP KWI (Komisi PSE/APP KWI). Alokasi dana APP yang terkumpul di masing-
masing keuskupan dimanfaatkan melalui program Aksi Nyata Paskah (ANP).
Melalui program ini aktivitas sosial dan kemasyarakatan diwujudkan dalam kerjasama
antara umat Katolik dengan pihak-pihak lain yang berkehendak baik. Kegiatan itu dapat
dilakukan oleh paroki-paroki dengan melakukan kegiatan karitatif melalui seksi-seksinya
ataupun oleh keuskupan melalui komisi-komisinya. Beberapa bidang yang bisa
memanfaatkan dana penyertaan APP yaitu :
1. Aktifitas pemenuhan kebutuhan hidup seperti pengembangan
kerjasama kelompok produktif seperti koperasi dan Credit Union.
2. Usaha pengembangan sumber daya manusia seperti kursus-kursus
penyadaran dan keterampilan bagi masyarakat, perempuan, dan kaum
muda.
3. Usaha pengembangan pelayanan dan sadar hidup sosial seperti
pengkajian Ajaran Sosial Gereja, penyadaran membangun solidaritas
dan penegakan keadilan sosial, advokasi bagi masyarakat diperlakukan

20
Hasil-hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000 No.10. Pengalokasian ini merupakan
cerminan dari struktur organisasi KWI. Lihat Bab II hal.15 di atas
21
F.X Yono Hascaryo Putro, loc.cit., hal.54-55

19
tidak adil, survei penelitian sosial, pendidikan, dan penyebaran
informasi melalui media, serta pengembangan komunitas basis.
Panduan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan detail bidang-bidang pelayanan
kedermawanan sosial. Gereja meminta agar umat di paroki bisa menterjemahkan bidang-
bidang tersebut sesuai dengan konteks kebutuhan pelayanan masyarakat setempat. Misalnya
melakukan pemeriksaan dan pengobatan kesehatan gratis, operasi-operasi ringan, pembagian
sembako, dan sebagainya. Pelaksanaan kegiatan di paroki semacam itu juga bisa dikatakan
sering bekerja sama dengan organisasi-organisasi profesi (kategorial) Katolik.
Di tingkat gereja lokal (parokial), hirarki mempunyai organ terendahnya yaitu dewan
paroki yang diketuai oleh seorang awam dengan pastor paroki. Di dalam tubuh dewan paroki
ini terdapat bagian yang menangani hakikat gereja yang ketiga tentang pelayanan kasih
(diakonia) yaitu seksi Pengembangan Sosial-Ekonomi. Sebelum dilakukan restrukturisasi
organisasi gereja, bagian ini bernama Seksi Sosial Paroki (SSP). Seiring dengan
perkembangan-perkembangan baru dinamika umat dan jaman serta untuk menghilangkan
kesan “pemberi” maka hirarki mengambil kebijakan untuk mengubah nama bidang kerja
tersebut. Gereja Katolik Indonesia tidak lagi hanya menjadi “pemberi” melainkan juga ingin
aktif dalam mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi umat maupun lingkungan
sekitarnya.22 Sehingga kecenderungan ke depan, seksi ini diharapkan menjadi semacam
community organizer bagi segala aktivitas kedermawanan sosial Katolik di tengah masyarakat
Indonesia.
Seksi PSE merupakan implementator kebijakan aksi kedermawanan sosial keuskupan
di tingkat paling bawah. Dalam berbagai program kedermawanan sosial yang dicanangkan
oleh hirarki gereja setempat, organ ini bertanggung jawab secara langsung kepada dewan
paroki dan secara tidak langsung kepada uskup. Untuk dapat menjangkau para anggota
masyarakat baik Katolik maupun non-Katolik, paroki dibantu oleh para ketua wilayah dan
lingkungan. Kepengurusan seksi PSE ini dipilih dan diangkat dari para aktivis yang bergerak
di tingkat wilayah atau lingkungan. Jadi struktur organisasi hirarki Gereja Katolik di bawah
paroki adalah wilayah atau dalam birokrasi pemerintahan semacam Rukun Warga (RW) yang
terdiri dari beberapa lingkungan komunitas setingkat RT. Wilayah atau lingkungan inilah
yang menjadi ujung tombak hirarki dalam melakukan kegiatan kedermawanan sosial.
Seberapa besar peran seksi PSE dalam mengedepankan aksi kedermawanan sosial antara lain

22
Sub-bab “Prinsip-prinsip Perekonomian yang Adil” dan “Prioritas dan Beberapa Langkah Strategis” dalam
Nota Pastoral KWI 2006, HABITUS BARU DEMI KESEJAHTERAAN BERSAMA, 18 Nopember 2006 -
01:47. Sumber : http://mirifica.net/wmview.php

20
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sosial masyarakat sekitar gereja. Melalui observasi
ditemui bahwa beberapa seksi PSE paroki yang aktif seperti Philipus Rasul Teluk Gong,
Trinitas Cengkareng, dan paroki-paroki di seperti Maria Assumpta dan Santa Maria Bunda
Kristus, Wedi Klaten dilingkungi oleh kelompok-kelompok masyarakat yang kurang
mampu.23
Kelompok kategorial merupakan perkumpulan umat Katolik yang bergerak dibidang
kedermawanan sosial untuk masyarakat yang lebih luas berdasarkan kekhususan yang
dimiliki oleh anggota-anggotanya. Kekhususan tersebut dapat didasarkan pada profesi, bidang
keahlian, gender, atau bidang pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan kepada
orang jompo, cacat, atau orang-orang terlantar. Jadi disamping membentuk kegiatan
kelompok parokial, hirarki Gereja Katolik Indonesia juga mendorong tumbuhnya organisasi-
organisasi atau kelompok-kelompok kategorial sehingga diharapkan cakupan pelayanan yang
dibidik dapat diakses oleh masyarakat yang lebih luas dari lingkup Gereja Katolik. Secara
organisasional, kelompok kategorial yang paling bawah (ranting) biasanya sampai setingkat
dengan dan melekat pada paroki serta tidak mencapai tingkat wilayah atau lingkungan umat
paling bawah. Untuk menunjukkan variasi bidang dan spektrum pelayanan kedermawanan
sosial yang terdapat di lingkungan Gereja Katolik maka tabel kelompok kategorial yang
dihimpun KAJ di bawah kiranya dapat memberikan ilustrasi.

23
Ada berbagai macam istilah yang digunakan gereja partikular (keuskupan) untuk menunjuk keberpihakannya
pada kelompok yang dapat tidak diuntungkan oleh sistem di masyarakat. Misalnya KAS yang menggunakan
“KLMT” (kaum Kecil, Lemah-Miskin, dan Terlantar). Penggunaan istilah itu dapat dikatakan sebagai hasil
refleksi dari gereja partikular dalam memandang cakupan dimensi persoalan yang terlibat dalam menghasilkan
situasi dan kondisi kehidupan yang dinilai tidak manusiawi.

21
Daftar Kelompok Kategorial Keuskupan Agung Jakarta
Berdasarkan Gugus Kelompok ∗
I. GUGUS KESEHATAN
No Nama Alamat
1 Badan Koordinasi Karya Kesehatan (BK4AJ) Jl. Salemba 41, Jakarta 10440
2 Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) KAJ Jl. Salemba 41, Jakarta 10440
3 Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) PUSAT Jl. Kramat VII/7, Jakarta 10430
4 Yayasan Pendidikan Keperawatan Carolus (YPKC) Jl. Salemba 41, Jakarta 10440

II. GUGUS HUKUM


No Nama Alamat
1 Yayasan Buruh Membangun up. Bp. Tarmono Jl. Surabaya No. 60, Jakarta Pusat

III. GUGUS PENDIDIKAN DAN PEMUDA


No Nama Alamat
1 Abdi Siswa, Yayasan Jl. Patra Jaya 1, Duri Kepa, Jakarta Barat
2 Arena Refleksi Eksekutif (AREK) up. Ibu Pesta Jl. Ragunan 9/P, Ps. Minggu, Jakarta 12520
3 ASCORO Jl. Swadaya I/14, Kav BNI 46, Pangkalan Jati,
Jakarta Selatan
4 Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) Jl. Jend. Sudirman 51, Jakarta 12930
5 Atma Jaya, Yayasan Jl. Jend. Sudirman 51, Jakarta 12930
6 Bhumiksara, Yayasan up. Bp. Nicolas Jl. Jend. Sudirman 51, Jakarta 12930
Simanjuntak
7 Biro Remedial Teaching (BRT) Jl. Batu Tulis VII/7, Jakarta 10120
8 CHOICE d/a pasutri Andi/An Jl. Tanjung No. 31 Tomang, Jakarta 11430
9 Kelompok Dosen Jl. Katedral 7, Jakarta 10710
10 Keluarga Karyawan Muda Katolik (KKMK) up. Jl. Duri Pulo I/41, Jakarta 10140
Suryanto
11 Margasiswa, Yayasan Jl. Sam Ratulangi No. 1, Jakarta 10350
12 Melania, Yayasan Jl. Percetakan Negara 31, Jakarta Pusat
13 Pax Romana Jl. Dr. Semeru I/23, Grogol, Jakarta Barat
14 Persatuan Siswa Siswi Negeri Katolik Jl. Tebet Barat Dalam No. 35, Jakarta 12610
(PERSINK)
15 PSKI Budhaya Perumnas Raya Buaran, Duren Sawit Jakarta 13470
16 Pusat Penelitian Atma Jaya (PPA) KAJ Jl. Jend. Sudirman 51, Jakarta 12930
17 RICCI Jl. Kemenangan III/47, Jakarta 11120
18 Perkumpulan Strada Jl. Gunung Sahari 88, Jakarta 10610
19 NATAN (PUSAT PELAYANAN PSIKOLOGI) Jl. Batu Tulis VII/7, Jakarta 10120
20 Tri Asih, Yayasan Jl. Karmel Raya No. 2, Kebun Jeruk Jakarta Barat
21 Kontak KMKI up. Bp. Osa Hatoyo Jl. Puri Bintaro Blok PB VI/4, Bintaro Jaya 9, Jakarta
Selatan


Klasifikasi kelompok-kelompok tersebut ke dalam gugus diletakkan dalam kepentingan konsultasi kelompok
kategorial dan bukan dalam hal aktivitas kedermawanan sosial. Sumber : http://www.kaj.or.id/ diakses 7 Agustus
2006 pk 23.56 bbwi

22
IV. GUGUS SOSIAL
No Nama Alamat
1 Bina Swadaya Jl. Gunung Sahari III/7, Jakarta Pusat
2 Institut Sosial Jakarta Jl. Arus Dalam No. 1, RT/W 001/02, Cawang,
Jakarta 13630
3 Lembaga Daya Dharma KAJ Jl. Katedral 5, Jakarta 10710
4 Panti Asuhan Desa Putra Srengseng Sawah, Lenteng Agung, Jakarta 12072
5 Panti Asuhan St. Yoseph Sindang Laya, Cianjur, Jawa Barat
6 Panti Wreda Bina Bhakti PO. BOX 333 Cip. Ciputat Tangerang 15401

7 Panti Wreda Melania Jl. Rempoa Raya 8, RT/W 002/03, Ciputat 16412
8 Pengabdian Usahawan Katolik (PUKAT) Jl. Pintu Air No. 46, Jakarta Pusat
9 Perhimpunan Penggerak Swadaya Masyarakat Jl. Katedral 7, Jakarta 10710
(PPSM)
10 Pondok Damai Jatiwarna RT/W 013/03, Kp. Sawah, Bekasi 17415

11 Pondok Si Boncel Lent. Agung, Ps Minggu PO BOX 7712 JKS LA


Jakarta 12610
12 Proyek Maria Fatima Jl. Kemenangan III/47, Jakarta Barat
13 Proyek Sosial Kardinal (PSK) Jl. Katedral 5, Jakarta 10710
14 P3S Yayasan Abdisa Jl. Pintu Air No. 46, Jakarta Pusat 10710
15 Seksi Sosial Vicentius (SSV) d/a Paroki Tj. Priok Jl. Melati No. 1, Jakarta 14230
16 Vincentius Putra Jl. Kramat Raya 134, Jakarta 10430
17 Vincentius Putri Jl. Otista 76, Jakarta 13330
18 Yayasan AMALIA Jl. Kebon Bawang Raya 1, Tanjung Priok Jakarta
14320
19 Yayasan Buruh Membangun Jl. Surabaya No. 60, Jakarta Pusat
20 Yayasan Satya Murakabri Jl. Sumur Batu 6, RT/W 016/070, Jakarta 10640
21 PW Usila St. Anna Teluk Gong Raya, Gg. Mazda, Jl. M No. 40 RT/W
007/09

22 Graha Werda AUSSI Kusuma Lestari Jl. Bandung No. 25, Bukit Cinere Indah, Cinere
16514
23 Yayasan Patarsih Jl. Jatinegara Barat 122, Jakarta 13320

V. GUGUS WARTAWAN / MASS MEDIA


No Nama Alamat
1 Cipta Loka Caraka (CLC) Jl. Prof Moh. Yamin 37, Jakarta 10310
2 Hidup, Majalah Jl. Katedral 5, Jakarta 10710
3 Kompas/Gramedia Jl. Palmerah Selatan 26 - 28, Jakarta 10270
4 Lumen 2000 Duta Merlin B 43, Jl. Gajah Mada No. 3-5, Jakarta
10130
5 Lumen Gentium Jl. Ciputat Raya 75, Jakarta Selatan
6 Majalah Kontak Jl. Katedral 7, Jakarta 10710
7 OBOR, Penerbit Jl. Gunung Sahari 91, Jakarta 10610
8 Sanggar Prativi Jl. Ps. Baru Selatan 23, Jakarta 10710
9 Seniman Jl. Katedral 7, Jakarta 10710
10 Warta Kategorial (WARKAT) Jl. Katedral 7, Jakarta 10710
11 UCAN up. Bp. Karl Beru Perum Buaran Regency Blok G No. 10

23
VI. GUGUS POLITIK
No Nama Alamat
1 Arena Studi Bersama Generasi Muda Jl. Kayu Putih Selatan IIIC/33, Jakarta 13260
(ARMADA) up. Bp. Marsanusi
2 Bimas Katolik Dep. Agama RI Jl. Lap. Banteng Barat 3-4, Jakarta 10710
3 Bimas Katolik Kanwil Dep. Agama Jl. DI. Panjaitan No.10 Jakarta 13340
4 Centre for Strategic and International Studies Duren Sawit Blok L III/7, Jakarta Timur
(CSIS) d/a Bp. Pranarko
5 PMKRI DPD Jakarta Jl. Sam Ratulangi 1, Jakarta 10350
6 WKRI DPD Jakarta Jl. Cempaka Putih Tengah 14/19A, Jakarta 10510
7 Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Komda Jakarta Jl. Masjid Al Hidayah No. 8, RT/W 005/07, Pejaten,
Up. Toni Sarjono Jakarta 12540
8 Pemuda Katolik Up. Yuni Hartanto Jl. Pratama IX Blok J/11, Komp. Kemang Pratama
Bekasi

VII. GUGUS KELOMPOK GEREJAWI


No Nama Alamat
1 Presidium BPK-PKK KAJ Komp. Duta Merlin Blok B12-14, Jl. Gajah Mada 3,
Jakarta 10130
2 EMAUS Jl. Manggarai Selatan I/31, Jakarta 12860
3 Gerakan Imam Maria Jl. Prof. Dr. Supomo No. 11A Jakarta 12610
4 Institut Sekulir ALMA (ALAMA) Sinar Pamulang Permai Blok A 12 No. 3, Ciputat
15416
5 KARPENA Jl. Prisma III BIV/26, Taman Kedoya Permai, Jakarta
11530
6 Kel. Maria Jl. Bangka Raya 43, Jakarta Selatan
7 Kelompok Maria Fatima Jl. Kemenangan III/47, Jakarta Barat
8 Kelompok St. Bernadette Jl. Ir H. Juanda 164, Bekasi
9 Komunitas Putri Sion (SFG) Jl. Bangau IV/15, Jakarta 10610
10 Lansia Jl. Katedral No. 7, Jakarta
11 Mariage Encounter Distrik Jakarta (ME) d/a Jl. Raya Jatinegara Timur 13, Jakarta 13310
Pasutri Irwan - Betty
12 Paroki Mahasiswa unit Barat (P. Harijanto, SJ) Jl. Gelong Baru Utara II/36, Jakarta Barat
13 Paroki Mahasiswa unit Selatan d/a (P. Wegig Jl. Margonda Raya, Tromol Pos 901 Depok 16409
Wahono)
14 Paroki Mahasiswa unit Timur (P. Pranataseputra, Jl. Cipinang Baru Timur No. 4 Jakarta 13240
Pr)
15 Paroki Mahasiswa unit Tengah (P. Adrianus Jl. KH. Hasyim Ashari 23, Jakarta 10130
Budhi, Msc)
16 PWK St. Monica Jl. Lapangan Ros Raya 16, Jakarta Selatan
17 Seminari Menengah (Sem Men) Jl. Pejaten Barat 10A, Ps. Minggu, Jakarta 12550
18 Senatus Legio Maria Jl. Duta Raya No. 5, Tomang Barat Baru, Jakarta
Barat
19 PD. ANTIOKIA up. Pasutri Yeyen - Basuki Jl. Duta Raya No. 5 Tomang Barat Baru Jakarta Barat
20 Persekutuan Doa Usahawan Katolik Indonesia Komp. Duta Merlin Blok B12-14, Jl. Gajah Mada 3-5
(PERDUKI) up. Bp. Willy Jakarta 10130

24
VIII. GUGUS PELAYANAN SOSIAL KARITATIF
No Nama Alamat
1 Kerabat Kerja Ibu Teresa up. Pasutri Tress - Jl. Alam Elok VIII BA 20, Pondok Indah, Jakarta
Soewadji 12310
2 Panti Nugeraha Jl. Senayan 26, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
3 Persekutuan Doa YA Jl. Johar Baru Gg. TT No. 13, Rt/w 007/04, Jakarta
10560
4 RS. Atma Jaya Jl. Pluit Raya No.2 6606128 - 30
5 RS. Carolus Jl. Salemba Raya 41, Jakarta 10440
6 RS. Melania Jl. Pademangan II Gg. 9 No. 32-34, Jakarta 14410
7 Serviam in Caritate d/a RS. Carolus Jl. Salemba Raya 41, Jakarta 10440
8 Sinar Pelangi Jl. Kemangsari I RT 001/07 Jati Kramat Bekasi
17421
9 Yayasan Sosial Lumba-lumba d/a Paroki Jl. Raya Tugu No. 12, Jakarta Utara
Cilincing
10 Yayasan Sosial Atma Brata Jl. Dr. Sintanala 85. Tangerang 15121
PO BOX 166 Tangerang 15001
11 Crisis Center for Unwed Mother d/a Susteran Jl. Jatinegara Barat 122, Jakarta 13320
Gembala Baik
12 Yayasan Bhakti Luhur Jl. Prapanca Raya No. 30-31, Kebayoran Baru,
Jakarta 12160
13 St. Lukas/ Pelayanan Kesehatan St. Lukas/ Pelayanan Kesehatan

Prinsip dasar yang digunakan oleh Gereja bagi tumbuhnya kelompok kategorial adalah
prinsip subsidiaritas. Prinsip ini secara umum menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan
oleh unit yang lebih kecil tidak boleh diambil-alih oleh unit yang lebih besar. Dengan
memperhatikan prinsip ini pula Gereja Katolik sebagai institusi sosial tidak boleh mencaplok
atau menghambat usaha-usaha umatnya melakukan pelayanan bagi kaum miskin dan lemah
menuju kesejahteraan bersama melalui kelompok yang dibentuknya. Prinsip ini juga
mendorong unit yang kecil untuk mengorganisir diri menjadi suatu kekuatan yang mandiri,
24
khususnya secara ekonomi. Jadi, makna terdalam prinsip subsidiaritas adalah bahwa setiap
orang dan setiap kelompok dihargai oleh atasannya maupun kelompok yang lebih besar.
Prinsip ini dalam pandangan Gereja Katolik universal berkaitan dengan prinsip
keadilan dimana tujuan dari tata sosial yang adil adalah untuk menjamin setiap pribadi agar
mendapatkan bagian dari kekayaan masyarakat. Dalam kaitannya dengan prinsip keadilan
maka Gereja Katolik universal juga mendukung sistem politik (negara) dan sistem ekonomi
(bisnis) yang mengakui prinsip subsidiaritas dimana mereka tidak boleh dan tidak dapat
mengatur/menguasai segalanya, tetapi mengakui prakarsa yang muncul dari berbagai
kekuatan masyarakat. Secara filosofis, prinsip itu merupakan bentuk pengakuan Gereja
Katolik terhadap adanya otonomi ruang dunia dimana perbedaan yang terdapat di dunia

24
Nota Pastoral KWI 2006, HABITUS BARU DEMI KESEJAHTERAAN BERSAMA, 18 Nopember 2006 -
01:47. Sumber : http://mirifica.net/wmview.php

25
dilihat dalam kerangka kesalingterkaitan, bukan pemisahan. Secara politico-historis, prinsip
itu merupakan hasil perjalanan sejarah menyangkut pembedaan antara urusan Gereja dan
Negara. Lalu secara teologis, prinsip itu berakar pada Injil tentang pembedaan antara apa yang
menjadi milik Allah dan milik kaisar.
Sebagai bentuk pelayanan keimanan maka Gereja Katolik Indonesia tingkat
keuskupan mempunyai badan pendamping untuk kelompok-kelompok ini yang dijabat oleh
Vicarius Episcopalis/Pembantu Uskup untuk Pelayanan Kategorial (PEMUKAT). Pada waktu
tertentu keuskupan yang menjadi daerah penelitian mengadakan semacam kegiatan sidang
untuk mempertemukan berbagai kelompok kategorial yang ada, misalnya Pertemuan Mitra
Kategorial—KAJ (PEMIKAT KAJ). Tujuannya antara lain menjadi forum konsultasi antar
kelompok kategorial serta membangun jaringan kerjasama. Dengan demikian kegiatan
semacam itu secara tidak langsung menunjukkan ciri integratif organisasi Gereja Katolik yang
memandang dirinya sebagai satu tubuh (corpus) meski antar bagian memiliki perbedaan
fungsi dan ciri khasnya.
Pendampingan kelompok kategorial dipandang penting antara lain karena Gereja
Katolik Indonesia merasa perlu menyertakan dasar-dasar pertimbangan etis dan menjaga
nilai-nilai universal iman Katolik bagi umatnya ketika menekuni profesinya maupun ketika
mengedepankan aksi kedermawanan sosial.25 Pada tingkat hirarki organisasi gereja terendah
peran itu dilakukan oleh pastor pendamping. Oleh karena itu dalam beberapa kasus di
beberapa paroki KAS di Klaten, pihak hirarki Gereja setempat dengan tegas menolak kegiatan
kedermawanan sosial oleh sebuah kelompok kategorial yang tidak sesuai dengan dan
membawa nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang telah ditegaskan oleh Gereja Katolik. Misalnya
penolakan terhadap bantuan dari beberapa kelompok kategorial dari keuskupan lain dalam
soal pemberian bantuan bencana alam di Klaten. Kelompok kategorial yang bersangkutan
dipandang oleh paroki hendak mengedepankan atributnya sendiri.26 Penolakan serupa juga
terjadi pada permohonan dari salah satu kelompok kategorial-pemuda dari Surabaya yang
ingin membuka posko tersendiri dalam membantu korban gempa dan merasa tidak perlu
bergabung dengan paroki setempat.27
Pada program-program kedermawanan sosial tingkat keuskupan atau nasional seperti
Aksi Puasa Pembangunan dan Aksi Peduli Sosial/Hari Pangan Sedunia, kelompok-kelompok
kategorial tersebut diminta aktif mengimplementasikan tema program yang telah digariskan.

25
Wawancara pastor paroki Trinitas Cengkareng, G Basir Karimanto OMI, St Anna Duren Sawit, Suryantmo SJ
(19 dan 28 Sept 2006), dan Maria Assumpta Klaten, R. Hardiyanto, Pr (8 Oktober 2006)
26
Wawancara pastor paroki Maria Assumpta Klaten dan kelompok POSKA Maria Assumpta (8 Oktober 2005)
27
Wawancara aktivis POSKA Maria Assumpta Klaten (9 Oktober 2005)

26
Lembaga-lembaga itu mempunyai ruang kebebasan yang besar dalam menentukan jenis
kegiatan kedermawanan sosial. Pada konteks itu, peran kelompok kategorial adalah sebagai
kelompok pendukung (supporting group) program. Peran kordinatifnya dipegang oleh paroki
melalui dewan paroki. Sementara diluar momen-momen khusus seperti di atas, kelompok-
kelompok kategorial bergerak secara mandiri di luar struktur gereja.
Garis pertanggungjawaban baik kelompok parokial maupun kategorial dibedakan dari
jenis kegiatan yang mereka lakukan. Jika kegiatan kedermawanan sosial dilakukan atas dasar
keputusan hirarki seperti APP dan APS maka pertanggungjawaban wajib dilakukan kepada
tim kordinasi yang dibentuk pihak keuskupan. Di sini biasanya terjadi kerjasama antara
kelompok parokial dan kategorial yang didampingi oleh pastor paroki. Jika kegiatan
kedermawanan sosial dilakukan atas dasar inisiatif dari kelompok itu sendiri maka
pertanggungjawaban dilakukan terhadap anggota kelompok kategorial tingkat ranting,
organisasi kelompok kategorial daerah setingkat propinsi, dan kelompok masyarakat yang
dibantu.
Para pelaku kedermawanan sosial dari kelompok kategorial seperti Wanita Katolik,
Persatuan Guru Katolik, dan Tim Kesehatan di masing-masing paroki mengakui bahwa tidak
semua kegiatan kedermawanan sosial yang dilakukan bersama dengan kelompok parokial
seperti Seksi PSE berjalan mulus. Mereka merasakan adanya keterbatasan wewenang
kelompok kategorial dibanding kelompok parokial. Dalam beberapa kasus paroki di
lingkungan KAJ yang diteliti, kelompok parokial merasa lebih berwenang dalam
mengedepankan aksi kedermawanan sosial karena kelompok parokial menganggap sebagai
organ yang paling resmi dari hirarki Gereja Katolik untuk menjalankan kegiatan
kedermawanan sosial.28
Beberapa kelompok kategorial merasakan sulitnya melakukan kompromi dan
kordinasi dengan kelompok parokial mulai dari perencanaan kegiatan hingga pendanaan,
khususnya ketika harus bekerja sama dalam program kedermawanan sosial tingkat keuskupan.
Selain menyangkut masalah wewenang, ketegangan relasi antara kelompok parokial dan
kategorial biasanya juga menyangkut masalah pendekatan yang dipilih dalam melakukan
pelayanan. Apakah masalah diselesaikan dengan jalan pemberdayaan atau hanya pemberian
bantuan cuma-cuma. Jalan keluar yang biasanya ditempuh antara lain menyertakan pastor
paroki sebagai moderator/penengah dalam rapat-rapat kordinasi kedua kelompok, lobby

28
Wawancara WK Trinitas (12 Agustus 2006), WK Philipus Rasul (14 Agustus 2006), Persatuan Guru Katolik
Philipus Rasul (11 Agustus 2006), dan PSE Philipus Rasul (19 Agustus 2006).

27
informal, dan peran informal leader tokoh-tokoh awam Gereja Katolik di paroki.29 Pastor
paroki atau tokoh umat yang disegani bertugas memberi pertimbangan bahwa ketegangan
yang terjadi bukanlah suatu kendala melainkan situasi yang harus dilampaui oleh kedua
kelompok. Melalui ketegangan itulah kemungkinan-kemungkinan pembaruan baik dalam hal
metode maupun bentuk kedermawanan sosial bisa didapatkan. Di sisi lain, ketegangan yang
mewarnai kerjasama itu juga merefleksikan belum maksimalnya kemampuan kelompok basis
dalam mengelola sumber daya bersama.30 Salah satu alternatif mengatasi kendala
organisasional dalam mengelola sumber daya bersama sambil mengurangi resiko tumpang
tindih berbagai kegiatan kedermawanan sosial kelompok basis adalah melalui pembentukan
semacam badan yang punya wewenang dan kemampuan kordinasi kegiatan kedermawanan
sosial di tingkat paroki.
Situasi hubungan lembaga yang demikian tidak nampak pada kelompok kategorial dan
parokial di lingkungan KAS karena peran pastor paroki yang menekankan pentingnya
harmoni kerjasama, terutama dalam konteks membangun komunitas basis pasca-bencana.
Disamping itu banyaknya para aktivis LSM, baik beragama Katolik maupun non-katolik,
yang mempunyai pengalaman panjang di komunitas turut membantu dan memberi warna bagi
dinamika situasi tanggap darurat serta rekonstruksi pasca-bencana di lingkungan KAS.
Sehingga meskipun umat atau masyarakat umum belum mempunyai keahlian atau
kemampuan manajerial bantuan modern namun mempunyai kemampuan organisasional
dalam menjalankan kegiatan pemberian bantuan dan keterampilan dasar mengatasi
perbedaan.31
Perbedaan karakteristik potensi kelompok parokial dan kategorial di atas membawa
kekuatan dan kelemahan tersendiri. Terbantu oleh susunan organisasi hirarki Gereja Katolik,
keberadaan kelompok parokial seperti Seksi PSE dalam mengadakan data primer umat
Katolik yang membutuhkan bantuan karitatif sangat membantu ketepatan penentuan sasaran
kegiatan. Data-data umat yang layak menerima pelayanan karitatif pun dapat diakses oleh
kelompok kategorial. Meski Seksi PSE juga mengadakan kegiatan kedermawanan sosial bagi
kelompok masyarakat non-Katolik tetapi keberadaan organ ini, dan lembaga parokial lainnya
yang terintegrasi dengan struktur organisasi gereja, mengutamakan pemberian pelayanan
untuk kalangan umat Katolik. Boleh dikatakan bahwa mayoritas penerima pelayanan adalah
29
Fungsi ini sejalan dengan perubahan posisi imam dari sebelumnya sebagai gembala umat menjadi ‘teman
pendamping perjalanan umat’ dalam membantu karya pastoral Gereja Katolik. Orientasi itu nampak dalam
struktur organisasi di tingkat paroki, umat awam-lah yang menjadi ketua dewan paroki dan bukan imam.
Catatan FGD Jakarta, 10 September 2006
30
Wawancara Vikjen DIY, J. Pujosumarto Pr. 7 Oktober 2006
31
Wawancara informal Titus Odong (11 Oktober 2006)

28
umat Katolik sebagai anggota gereja setempat. Kelemahan pada organisasi kelompok parokial
yaitu adanya kesan pasif dan kurang inisiatif untuk memperluas aktivitas kedermawanannya
kepada organisasi massa lain diluar gereja.32 Ada kesan yang kuat bahwa para pengurus lebih
cenderung untuk menunggu (pasif) permohonan umat atau masyarakat yang membutuhkan
bantuan. Para pengurus Seksi PSE Paroki umumnya mengharapkan keaktifan itu justru pada
ketua-ketua atau seksi sosial lingkungan.33

III.2 Potensi, Bentuk, dan Metode Aksi Kedermawanan Sosial


III.2.1 Potensi Aksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial

Potensi sumber daya aksi kedermawanan sosial Katolik yang dilakukan baik oleh
kelompok parokial maupun kategorial di lingkungan KAJ dan KAS mempunyai perbedaan
karakteristik sumber daya. Misalnya dari aspek keuangan, seksi PSE di KAJ dan KAS
mendapatkan dan mempunyai alokasi sumber daya yang lebih ajeg dibanding kelompok
kategorial. Kedudukannya sebagai bagian dari hirarki Gereja Katolik memungkinkan
kelompok parokial ini secara rutin mendapatkan alokasi keuangan institusinya sendiri.
Pertanggungjawaban perolehan dana dan pemanfaatan sumber daya kegiatan dilakukan seksi
ini kepada dewan paroki dan utamanya diumumkan dalam laporan tahunan. Selain itu media
pertanggungjawaban lain yang digunakan adalah warta informasi milik paroki baik dalam
bentuk edaran mingguan maupun pemampangan pada papan pengumuman gereja untuk
kegiatan yang sedang berjalan. Dari aspek organisasi, paroki mempunyai sumber daya lain
yaitu adanya seksi sosial wilayah atau lingkungan--organ terendah seksi PSE--yang dapat
dimobilisasi dalam proses pengumpulan dana maupun penyebarluasan pelayanan aksi
kedermawanan. Di sisi lain, kelompok kategorial relatif lebih mandiri dalam mendapatkan
dana bagi kegiatan kedermawanan sosialnya.
Sumber daya finansial pada kelompok kategorial di tingkat ranting umumnya tidak
sebesar yang dimiliki oleh kelompok parokial. Namun kekuatan dari kelompok ini adalah
daya jangkau kegiatan aksi kedermawanan sosial yang lebih sering menjangkau masyarakat
non-Katolik dan bersifat lintas-daerah. Kapasitas yang dimiliki oleh individu anggota
kelompok kategorial dalam menjangkau sumber-sumber daya non-finansial namun bernilai
secara ekonomis ke organisasi-organisasi masyarakat (jaringan sosial) juga mempunyai peran
penting dalam menunjang kegiatan kedermawanan sosial mereka. Sehingga peran pelayanan

32
Wawancara WK Trinitas (12 Agustus 2006), Persatuan Guru Katolik Philipus Rasul (11 Agustus 2006), dan
Pastor Paroki Trinitas (5 Agustus 2006).
33
Wawancara WK Trinitas (12 Agustus 2006) dan PSE St Anna (28 September 2006)

29
kepada kelompok masyarakat non-Katolik yang belum dapat terjangkau oleh kelompok
parokial diisi oleh kelompok kategorial.34 Oleh karenanya potensi sumber daya yang
dikembangkan oleh kelompok-kelompok seperti Wanita Katolik, Persatuan Guru Katolik, dan
Tim Kesehatan adalah perluasan kuantitas dan peningkatan kapasitas tenaga pelayanan.
Kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan yang diperuntukkan bagi para anggota merupakan
refleksi dari upaya pengembangan tersebut.
Untuk sumber daya finansial kelompok-kelompok ini memperolehnya dari para
donatur individual, iuran anggota, dan berjualan kudapan usai misa mingguan, berjualan
pelengkapan ibadah, dan sejenisnya. Bentuk fund raising yang lain misalnya membuka kedai
di sekitar gereja, pasar barang-barang murah untuk kebutuhan menjelang momen-momen
khusus seperti HUT kelompok kategorial, Natal, Paskah, dan momen-momen lain yang
sejenis. Potensi lain yang digarap kelompok kategorial adalah mengembangkan kerjasama
dengan kelompok kategorial sejenis di paroki lain atau kelompok kategorial setingkat
dekenat35, atau kelompok organisasi masyarakat sipil diluar Gereja Katolik.
Dalam kata lain, pendanaan kelompok kategorial yang tidak kuat mampu ditutupi
dengan mendayagunakan social capital seperti tenaga terampil (skill), jaringan kerja
individu-individu, dan kerja sama dengan berbagai pihak non-hirarki gereja akan
memaksimalkan keterbatasannya. Sebagai ilustrasi digunakan contoh Persatuan Guru Katolik
Philipus Rasul Teluk Gong (PGKPR) dimana mereka memaksimalkan pelayanan
kedermawana sosial melalui anggotanya sebagai tenaga pendidik untuk pelatihan maupun
pendidikan gratis. Pelatihan dan pendidikan gratis adalah wilayah perhatian utama program
mereka. Selain sudah memiliki cukup pengalaman sebagai guru, kapasitas tenaga-tenaga
PGKPR sudah menguasai materi dan metode fasilitasi pengajaran serta terus berlatih
memahami anak-anak, baik beragama Katolik maupun non-Katolik. Kredibilitas dan
kapasitas beberapa tenaga-tenaga pendidik itu pun juga sudah dikenal luas oleh masyarakat
sekitar. Untuk mencapai tujuan pendidikan, PGKPR juga menyelinginya dengan
memberdayakan psikolog anak yang ada di paroki dan Mudika (muda-mudi Katolik) untuk
berbagi cerita dan pengalaman dengan peserta didik.
Perlengkapan untuk pengajaran biasanya dipinjam dari sekolah-sekolah Katolik
terdekat dengan lokasi kegiatan seperti papan tulis, spidol, dan sebagainya. Perlengkapan

34
Catatan FGD Jakarta, 10 September 2006
35
Dekenat adalah satuan khusus organisasi hirarki Gereja Katolik yang merupakan gabungan paroki-paroki
yang berdekatan. Fungsinya adalah untuk memupuk reksa pastoral dalam melakukan kegiatan bersama diantara
paroki-paroki yang berdekatan. KAJ menggunakan istilah ini sementara KAS menggunakan istilah Kevikepan.
Lihat Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik No.374, No. 553-555.

30
pengajaran itu disediakan dan dipinjamkan oleh sekolah Stella Maris Telukgong. Saat ini
PGKPR sudah memiliki beberapa perlengkapan untuk pengajaran yang merupakan inventaris
kelompok kategorial ini. Perlengkapan-perlengkapan itu merupakan sumbangan paroki dan
orang-orang yang peduli dengan karya yang dilakukan oleh persatuan guru tersebut.
Dukungan tidak hanya datang dari umat Katolik Paroki Philipus Rasul saja namun juga dari
aparat pemerintahan setempat, tokoh masyarakat setempat, hingga ketua lingkungan terdekat.
Pembiayaan operasional kegiatan kelompok kategorial ini diperoleh dari beberapa donatur
tetap yang menaruh perhatian serta mendukung sepenuhnya kegiatan ini. Pembiayaan
ditujukan bukan untuk honor melainkan untuk mendukung perlengkapan dan kegiatan
pengajaran.
Pengecualian terhadap pengelolaan potensi sumber daya yang masih tradisional selalu
ada, salah satunya adalah Yayasan Sosial Soegiyapranata Semarang. Lembaga kategorial
milik Keuskupan Agung Semarang ini menerapkan mekanisme pencarian dan pengelolaan
sumber daya yang modern. Lembaga ini didirikan dari hasil sisa dana pembuatan tutup
makam Uskup Soegiyapranata yang meninggal tahun 1963 di Taman Pahlawan. Kelebihan
sisa dana pembuatan cungkup (atap) makam itulah yang kemudian digunakan untuk
mendirikan YSS untuk mengenang jasa Soegiyapranata. Kini lembaga tersebut telah
mempunyai donor sebagai mitra kerjanya misalnya Catholic Relief Service (CRS) dan WFP.
Untuk menunjang kebutuhan operasional yayasan maka didirikanlah unit ekonomi
berorientasi profit berupa balai pengobatan. Saat ini YSS mempunyai 3 balai pengobatan
yaitu BP SOEGIJAPRANATA di Ngesrep, di Palgunadi, Randusari, dan BP
SOEGIJAPRANATA di Randusari. Untuk menjaga kesinambungan pendanaan dan tetap
menjaga misi sosialnya, saat ini 1 balai pengobatan masih mensubsidi 2 balai lainnya.
Pada awalnya pengelolaan potensi sumber daya itu dilakukan oleh rohaniwan
Keuskupan Agung Semarang, namun karena dari kurangnya tenaga rohaniwan untuk
melakukan pelayanan pastoral paroki maka uskup KAS menyerahkan pengelolaannya kepada
awam. Pertanggungjawaban kegiatan dan transparansi keuangan di lakukan dalam setiap
laporan kepada uskup dan donor. Untuk itu dalam setiap program kerja sudah diterapkan
sistem manajemen modern. Dari situ para donor dan dewan karya pastoral keuskupan serta
umat percaya bahwa dana dikelola dengan sistem administrasi yang tertata rapi.

31
III.2.2 Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial

Bentuk aksi kedermawanan sosial kelompok parokial dan kategorial terdiri dari
berbagai jenis kegiatan mulai dari kegiatan yang bersifat karitatif hingga pemberdayaan.
Berbagai jenis kegiatan yang dilakukan baik oleh kelompok parokial maupun kategorial pada
akhirnya mengarah pada satu titik orientasi : gereja sebagai suatu kesatuan umat beriman. Jadi
tidaklah mengherankan jika sebagian besar kegiatan yang dilakukan oleh kelompok parokial
maupun kategorial dilakukan di sekitar gedung gereja sebagai wujud simbolik kesatuan itu.
Termasuk posko bantuan korban bencana alam seperti yang terdapat di kapel stasi Bayat,
paroki Santa Maria Bunda Kristus Wedi, kabupaten Klaten.
Bentuk-bentuk kegiatan rutin aksi kedermawanan sosial di beberapa paroki KAJ dan
KAS berfokus pada bidang kesehatan36 seperti operasi katarak gratis, pemeriksaan kesehatan
kandungan (pap smear) ibu-ibu secara berkala, dan akupuntur/akupresure. Bisa dikatakan
hampir setiap gereja Katolik di lingkungan KAJ dan sebagian di lingkungan KAS (terutama
kota-kota besar) memiliki semacam pusat kegiatan umat. Kalaupun tidak berada di dalam area
gedung gereja, pusat kegiatan itu biasanya berada tidak jauh dari gereja. Pelayanan kesehatan
umumnya hanya dilakukan selama beberapa hari dalam seminggu yang diumumkan dalam
lembaran berita paroki. Jadwal ini dibuat berdasarkan kompromi para pelaku kedermawanan
sosial di bidang kesehatan dalam meluangkan waktunya.
Ignatius Surya Taruna, Sekretaris Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KAJ,
menyatakan 44 dari 57 paroki mempunyai klinik yang menekankan pelayanan kepada kaum
miskin tanpa mempedulikan agama. Paroki-paroki itu mengelola klinik dengan bantuan umat
yang merupakan dokter atau perawat, dan sejumlah apotek dan toko obat yang di antaranya
milik umat Katolik. Markus Leonard Supama, Sekretaris Panitia Peringatan 200 Tahun Gereja
Katolik di Jakarta, menegaskan bahwa pemberian pelayanan kesehatan kepada kaum miskin
di daerah ibukota merupakan prioritas dari berbagai kegiatan untuk memperingati 200 tahun
KAJ. Bagi paroki-paroki yang tidak mempunyai klinik, panitia berjanji akan menyediakan
klinik mobil tidak hanya umat paroki tapi juga seluruh masyarakat. Semua kegiatan diadakan
tidak hanya di lingkup keuskupan agung tapi juga di lingkup paroki, kelompok kategorial,
lembaga-lembaga karya (kesehatan, pendidikan, dsb), dan tarekat/kongregasi. Panitia
menekankan bahwa gema peringatan dan kegiatan itu harus benar-benar dirasakan oleh umat
di lapisan paling basis (keluarga dan lingkungan), tidak hanya antara pemuka umat, dan

36
Kesehatan dan pendidikan merupakan dua bidang pelayanan ‘tradisional’ aksi kedermawanan sosial Katolik.
Lihat bab II di atas.

32
khususnya kaum miskin dan tertindas. Peringatan itu juga bertujuan untuk mendorong umat
Katolik agar semakin terlibat dalam semua kegiatan Gereja sehingga kehadiran Gereja di
wilayah-wilayah yang termasuk dalam lingkup KAJ menjadi semakin berarti.37
Pelayanan kesehatan bantuan tambahan gizi anak balita pada jangka waktu tertentu
tiap bulannya juga rutin dilakukan di posyandu-posyandu sekitar lokasi gereja setempat.
Pelaksana penyelenggaraan kegiatan semacam itu biasanya dilakukan oleh kelompok
kategorial seperti Wanita Katolik dan Tim Kesehatan bekerja sama dengan pihak kelurahan
atau Dinas Kesehatan pemerintah daerah setempat. Disamping pelayanan kesehatan, kegiatan
pemberdayaan berupa peningkatan keterampilan umat Katolik seperti kursus-kursus, misalnya
pijat refleksi, otomotif, dan menjahit, serta Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga
dilakukan di pusat kegiatan itu.
Setiap tahunnya Gereja Katolik KAJ dan KAS mempunyai apa yang disebut kalender
liturgis yang menandai momen-momen khusus keagamaan, dan kalender karya pastoral
sebagai penanda program kerja keuskupan yang mesti dicapai. Pada kegiatan-kegiatan ritual
keagamaan (liturgis), kelompok kategorial dilibatkan menjadi bagian kepanitiaan gerejawi.
Dalam kerangka kepentingan gereja, mereka umumnya menjalankan perannya sebagai tenaga
pendukung (supporting group). Sebagai wujud hakikat bidang tugas gereja dalam sakramen
(leitourgia ) dan pelayanan kasih (diakonia), selalu ada pos-pos kesehatan paroki yang
didirikan pada hari-hari besar Gereja Katolik misalnya seperti Paskah, Natal, dan Perayaan
200thn KAJ. Dalam kerangka kepentingan masyarakat luas sebagai hakikat tugas pewartaan
sabda Allah (kerygma-martyria) dan diakonia, mereka diminta menyelenggarakan kegiatan-
kegiatan amal dan sosial yang diperuntukkan bagi warga masyarakat yang kurang mampu.38
Jika kelompok kategorial pada suatu paroki tidak mempunyai sumber daya yang cukup maka
penyelenggaraan kegiatan dapat digabung bersama kelompok kategorial sejenis di tingkat
dekenat atau kevikepan. Tanggung jawab kepemimpinan kegiatan kolektif itu ditunjuk secara
bergiliran dari kelompok kategorial sejenis tingkat ranting (di paroki).
Pelayanan kepada masyarakat luas yang kurang mampu tidak hanya dilakukan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan barang dan jasa, tetapi juga kebutuhan rohani. Tercakupnya
dimensi kerohanian dalam kegiatan aksi kedermawanan sosial Katolik sebenarnya mau
menyatakan bahwa “manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar

37
200 Thn KAJ Prioritaskan Pelayanan Kesehatan, Kamis, 30 Juni 2005. Posted: 1:58:44PM PST. Sumber :
http://www.christianpost.co.id/dbase.php?cat=church&id=376. Diakses tgl 10 Agustus 2006. 14.20 bbwi
38
Wawancara WK BHK Kemakmuran (7 Agustus 2006).

33
dari mulut Allah…”39 Oleh karena itu kegiatan seperti kunjungan ke panti jompo, menghibur
orang sakit atau keluarga yang mendapat musibah, dan mengunjungi anak-anak cacat, bahkan
mengadakan perkawinan massal bagi orang-orang yang belum jelas status perkawinan
(kumpul kebo) juga dipandang sebagai salah satu bentuk kedermawanan sosial Katolik.40
Seringkali kegiatan ini cenderung dilakukan oleh organisasi Wanita Katolik di wilayah
paroki-paroki yang diteliti.
Bentuk kegiatan kedermawanan sosial Katolik yang telah berkembang pesat di
keuskupan akan mengerucut pada pembentukan yayasan seperti YSS. YSS saat ini telah
memiliki tiga panti Werda yang terdiri dari; Panti Werda Rindang Asih I di Ungaran, Panti
Werda Rindang Asih II di Kebon Sawit dan Panti Werda Rindang Asih III di Boja. Selain itu
didirikan pula Panti Asuhan Cacat Ganda, yaitu panti asuhan bagi penderita cacat fisik dan
mental atau kejiwaan.dan tidak mungkin lagi mempunyai harapan untuk hidup sehat. Untuk
pemberdayaan anak, YSS juga mempunyai Rumah Perlindungan Sosial Anak. Saat ini dibina
sekitar 150 orang anak jalanan yang akan dientaskan melalui kerjasama dengan Dinas Sosial
Pemerintah Kota Semarang. Di rumah itu para anak jalanan disekolahkan41 dan dibina melalui
pelatihan ketrampilan-ketrampilan karena pada akhirnya mereka harus dapat hidup mandiri.
Beberapa orang mantan anak jalanan yang telah berhasil dibina kini turut menjadi pengelola
yayasan tersebut.
Pemberdayaan yang dilakukan YSS hanya sebatas pada pengentasan yang artinya jika
kelompok-kelompok masyarakat, baik Katolik maupun non-Katolik, sudah bisa mandiri
dengan bekal ketrampilan dan pendidikan yang diberikan dan kondisi kehidupan lama mereka
telah berubah menjadi baik maka itu sudah dianggap sebagai suatu keberhasilan. Misalnya
pendampingan dan kredit mikro kepada unit-unit usaha di desa Sekecar Sukorejo dilakukan
oleh YSS dengan melakukan forum konsultatif melalui kunjungan. Diskusi-diskusi untuk
mencari kendala dan jalan keluar dilakukan melalui metode ini. Jika kendala telah diketahui
maka pengembalian dana pinjaman YSS tidak akan dipaksakan harus dibayar tepat pada
tanggal jatuh tempo kredit. Dengan kemudahan-kemudahan kredit mikro yang demikian, unit-
unit usaha kecil yang dikelola beberapa kelompok masyarakat di desa tersebut kini telah
berkembang.

39
Bdk Injil Matius 4 : 4, dan Lukas 4 : 4.
40
Wawancara WK BHK Kemakmuran (7 Agustus 2006), WK Trinitas Cengkareng (12 Agustus 2006), dan
Philipus Rasul Teluk Gong (14 Agustus 2006).
41
Bahkan ada beberapa mantan anak jalanan yang telah berhasil meraih gelar S1 dan S2 dengan bantuan studi
dari YSS dan jaringan kerjanya.

34
Bentuk kegiatan kedermawanan sosial oleh Seksi PSE paroki dalam beberapa kegiatan
tidak jauh berbeda seperti dilakukan oleh kelompok kategorial. Salah stau perbedaan yang
nampak jelas yaitu bahwa seksi paroki ini mempunyai sub-seksi khusus yang menangani
program rutin seperti kredit mikro bernama Credit Union atau Perkumpulan Keluarga Katolik
Santo Yusuf. Kredit mikro diberikan kepada umat Katolik baik yang hendak
mengembangkan kegiatan ekonomi rumah tangganya dalam bentuk usaha kecil-menengah
atau untuk bidang pendidikan. Kredit ini mengenakan bunga kepada nasabah sekitar 2% per
bulannya. Disamping itu kredit ini juga memperbolehkan nasabah meminjam dengan besaran
pinjaman 2 kali jumlah nominal tabungan.42 Untuk dapat mengakses kredit ini umat harus
menjadi anggota dengan menanamkan simpanan pokok dan sukarela. Seiring dengan
diterbitkannya Nota Pastoral KWI November 2006 lalu, hirarki Gereja memberi prioritas
perhatian kepada pengembangan gerakan bidang sosio-ekonomi masyarakat dengan
memajukan sarana yang sudah ada seperti Credit Union dan bentuk-bentuk koperasi inisiatif
umat.
Program tersebut diharapkan dapat membawa umat kepada ikatan solidaritas sosial
untuk bersama-sama mengembangkan kesejahteraan bagi masyarakat kecil yang tidak dapat
mengakses kredit perbankan. Namun perwujudan tujuan itu tidak mengandaikan bahwa
keberadaan sarana berupa koperasi semacam itu selalu bersifat positif. Dalam Lokakarya
Koperasi Kredit dan Pemberdayaan Komunitas Basis di Wisma Samadi Klender Desember
2006 lalu keberadaan Credit Union dikritisi oleh para pelaku yang terdiri dari utusan berbagai
koperasi kredit, Seksi PSE paroki, dan Dewan Paroki se-KAJ. Ketua Komisi PSE KAJ, pastor
Ignatius Swasono SJ mengkonstatasikan bahwa saat ini Koperasi Kredit (Credit Union)
sedang memasuki masa ketegangan antara dua pemikiran, yaitu member based association
dan capital based association atau sosialisme atau kapitalisme.43 Koperasi kredit yang
menjadi milik dan tanggung jawab bersama para anggota untuk memupuk semangat
solidaritas dan sikap saling tolong menolong dapat terjebak kepada kapitalisme ketimbang
sosialisme. Budaya masyarakat yang konsumtif dan instan menjadi faktor berpengaruh.
Sehingga alih-alih mengembangkan kerja sama untuk mencapai kesejahteraan, Credit Union
lebih mengutamakan pengembangan keuntungan dan kapital melalui kompetisi.

42
Dari wawancara informal dengan salah seorang ibu rumah tangga Katolik yang menjadi anggota CU, besar
bunga kredit yang demikian dinilai masih memberatkan. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya strategis untuk
mengatasi masalah antara terbukanya aksesibilitas kredit mikro dan rendahnya tingkat bunga kredit kepada
nasabah dengan kepentingan pengembangan lembaga kredit mikro ini. Wawancara Aquillina Temuwardhani,
paroki St Anna (12 Agustus 2006)
43
Majalah Hidup, No.53, Tahun ke-61, Desember, Gramedia, Jakarta, 2006, hal. 39

35
Program lain Seksi PSE paroki adalah Perkumpulan Keluarga Katolik Santo Yusuf
merupakan program kedermawanan yang bertujuan untuk melayani dan meringankan – secara
jasmani dan rohani - beban keluarga Katolik yang anggota keluarganya meninggal dunia.
Program ini muncul dari adanya pengalaman bahwa keluarga biasanya tidak siap dan bingung
baik di dalam pelayanan rohani—dalam bentuk misa jenazah, maupun jasmani—dalam
bentuk pelayanan penguburan (peti, ambulan, dan tanah). Melalui program ini keluarga yang
anggotanya meninggal dunia mendapat tanah pekuburan kelas III dan mendapat santunan
sekitar Rp 300.000. Jika anggota atau keluarga meninggal dunia tidak bersedia dengan
penguburan Kelas III, maka pembiayaan penguburan yang melebihi Rp 600.000 ditanggung
oleh ahli waris keluarga yang meninggal.
Bentuk kegiatan karitatif Seksi PSE yang setahun sekali diprakarsai oleh keuskupan
adalah Aksi Peduli Sesama (APS). Program APS (Aksi Peduli Sesama) ini adalah sebuah
program nasional rutin tiap tahunnya yang ditujukan bagi masyarakat miskin di sekitar
wilayah suatu paroki. Program APS ini diperuntukkan khususnya bagi kelompok masyarakat
non-Katolik dan biasanya dilaksanakan menjelang hari raya Idul Fitri. Bentuknya seringkali
berupa bazar penjualan sembako murah dan pemberian paket sembako gratis. Dana sisa
penjualan sembako murah digunakan menutupi pembelian bahan-bahan natura (beras, susu,
gula, mie instant, dan sebagainya) untuk pembagian sembako gratis.
APS bukan merupakan program yang dikerjakan hanya oleh Seksi PSE paroki saja. Di
lingkungan KAS, program yang bekerja sama dengan WFP ini juga dikerjakan oleh YSS
dengan pengelolaan kegiatan yang berbeda. YSS tidak menjualnya dengan harga murah
ataupun memberikannya secara gratis melainkan bahan-bahan natura itu disubstitusi oleh
penerima dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi komunitasnya misalnya dengan
bekerja memperbaiki atau membersihkan infrastruktur komunitas tempat tinggal penerima
bantuan. Beberapa program yang dikelola oleh seksi PSE di paroki Santa Anna juga pernah
menggunakan metode yang sama seperti dilakukan YSS.
Model substitusi bantuan semacam itu ditujukan agar kelompok-kelompok masyarakat
yang dibantu tidak memandang bantuan sebagai bentuk belas kasihan lembaga. Disamping itu
dengan model yang demikian kelompok masyarakat yang dibantu merasa bahwa harkat dan
martabat sosialnya sebagai anggota komunitas diakui. Gagasan ini terkait erat dengan ide
bahwa salah satu hakikat manusia dan pengakuan sosial terhadap kemanusiaannya diperoleh
lewat bekerja. Sumber inspirasi bentuk kegiatan itu dapat dicari asalnya pada Ajaran Sosial
Gereja yaitu ensiklik Paus Yohanes Paulus II tahun 1981 berjudul Laborem Exercens. Beliau
memandang bahwa kerja manusia bukan saja berkaitan dengan ekonomi, melainkan juga, dan

36
terutama, dengan seluruh tata-nilai manusiawi. Gereja Katolik Indonesia berpendapat bahwa
mengindahkan nilai-nilai itu ternyata akan menguntungkan, juga bagi sistem ekonomi dan
proses produksi itu sendiri.44

III.2.3 Metode Penyebarluasan informasi dan Mobilisasi Sumber Daya Aksi


Kedermawanan Sosial.

Sebelum dilakukan berbagai kegiatan baik program kedermawanan sosial yang


muncul dari keuskupan maupun atas inisiatif sendiri, kelompok-kelompok parokial dan
kategorial mempersiapkannya dengan menyebarluaskan informasi kegiatan tersebut kepada
umat Katolik maupun non-Katolik. Untuk kegiatan yang diperuntukkan bagi umat Katolik,
sosialisasi dilakukan melalui pengumuman paroki usai dilakukan misa, papan pengumuman
paroki, lembaran warta paroki45, atau pembukaan gerai-gerai informasi di sekitar gedung
gereja. Untuk kegiatan bagi non-Katolik, kelompok-kelompok ini menggunakan jalur
birokrasi pemerintah terendah seperti kelurahan/kepala desa, RW/Kepala Dusun, atau RT/RK.
Penyebarluasan informasi kepada kelompok-kelompok masyarakat yang akan dibantu
dinilai penting agar sejak awal tidak menimbulkan pengharapan atau kecurigaan yang
berlebihan terhadap kegiatan tersebut. Semua lembaga-lembaga parokial dan kategorial yang
ditemui menyatakan bahwa kejelasan tentang maksud dan tujuan program penting untuk
disampaikan kepada kelompok masyarakat yang akan dibantu. Selain itu kejelasan identitas
keagamaan lembaga dan orang-orang yang terlibat di dalamnya juga dinilai penting untuk
menghindari adanya harapan atau kecurigaan/ketakutan yang berlebihan akan Kristenisasi
dari kelompok masyarakat yang akan dibantu.
Penyebarluasan informasi akan adanya kegiatan bukan hanya ditujukan bagi kelompok
yang akan dibantu melainkan juga ditujukan untuk memobilisasi sumber daya dari umat.
Sumber daya yang dimobilisasi antara lain meliputi pengumpulan dana ataupun barang-
barang lewat kotak-kotak sumbangan yang disediakan untuk kegiatan bersangkutan di
sekretariat paroki, penjualan barang-barang untuk kebutuhan liturgi dan sehari-hari umat,
serta acara penggalangan dana. Sumber daya yang dimobilisasi tidak selalu dalam bentuk

44
Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal.251
45
Media umat Katolik paroki ini berbentuk pamflet dan memuat berbagai jenis informasi bagi umat. Informasi-
informasi yang diberikan biasanya berisi (1) pesan-pesan pemimpin gereja (pastor atau uskup), (2) jadwal
kegiatan keagamaan, (3) pembagian kerja tiap lingkungan dalam pelayanan ibadat, (4) kegiatan-kegiatan
karitatif kelompok-kelompok kategorial tingkat paroki, (5) lowongan-lowongan pekerjaan, (6) jadwal kursus-
kursus, (7) jadwal balai pengobatan paroki, dan (8) laporan hasil dana kolekte minggu sebelumnya.

37
uang namun sekurang-kurangnya sumber daya itu dapat ditransformasi sehingga mengandung
nilai ekonomis.
Mobilisasi sumber daya dari umat juga meliputi tenaga terampil yang sesuai dengan
jenis kegiatan dan sifat kegiatan. Mobilisasi tenaga terampil ini diperlukan khususnya untuk
jenis-jenis kegiatan yang berbentuk paket dan bersifat joint program seperti misalnya paket
program kesehatan ibu dan anak. Program bersama ini dapat melibatkan keikutsertaan ibu-ibu
dari Wanita Katolik untuk membagikan barang kebutuhan ibu dan anak, pengurus seksi PSE
paroki yang bertugas mengurus birokrasi perijinan kegiatan, dokter, dan perawat, serta
asosiasi pengusaha untuk penyediaan barang kebutuhan ibu dan anak.46 Pemilihan kordinator
kegiatan diputuskan dari pertemuan antara kelompok-kelompok tersebut bersama dengan
pastor paroki. Pertemuan semacam itu juga menetapkan kelompok masyarakat mana yang
akan dibantu dan jenis bantuan yang sesuai.
Salah satu bentuk penggalangan sumber daya lainnya adalah dengan memanfaatkan
jaringan sosial yang dimiliki oleh umat yang berprofesi cukup terpandang di masyarakat.
Sebagai bagian dari masyarakat luas, umat Katolik yang beruntung menduduki posisi sosial
tertentu seperti dunia bisnis, akademik, dan bidang profesi lainnya juga dapat dimaksimalkan
untuk membantu membuka akses atau mencarikan sumber dana kegiatan kepada jaringan
yang dimilikinya. Baik jaringan kepada sesama umat Katolik di kelas sosial yang sama
maupun jaringannya dengan organisasi-organisasi bisnis. Dengan demikian modal sosial
berupa jaringan keanggotaan pada suatu organisasi tertentu seorang umat dapat
ditransformasikan bagi kepentingan orang banyak. Bagi pelaku, dengan membantu kegiatan
kedermawanan sosial melalui jaringan ia dapat makin mengembangkan kapasitasnya untuk
mencapai pemenuhan kepentingan profesional atau usaha dari hubungan sosial yang
dibangunnya bersama dengan umat se-profesi. Bagi lembaga parokial atau kategorial yang
dibantu keberlanjutan kegiatan kedermawanan sosialnya dapat terus berlangsung sambil terus
berupaya memperluas cakupan pelayanannya.
Motif yang mendasari keterlibatan pelaku individual untuk membantu penggalangan
dana bermacam-macam. Motif-motif itu dapat berupa motif iman seperti misalnya kasih, silih
atas dosa47, motif egoisme psikologis seperti motivasi kebanggaan jika pelaku dapat
membantu dan menghantarkan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Atau motif

46
Wawancara Tim Kesehatan Trinitas (12 Agustus 2006), Philipus Rasul (14 Agustus 2006), WK Maria
Assumpta Klaten (8 Oktober 2006)
47
Wawancara Lucya Hari Patworo (9 Oktober 2006)

38
sosial-kemanusiaan tentang kewajiban sesama umat manusia untuk saling membantu jika
dibutuhkan.48
Bentuk penggalangan sumber daya berjaringan seperti di atas bukan metode yang
dapat diklaim khas kedermawanan sosial Katolik. Namun kekhasannya terletak pada apa yang
mendasari tindakan altruistik para pelaku ketika membantu kegiatan kedermawanan sosial
Katolik. Artinya, ciri khusus yang menandai kerelaan pelaku individual untuk membantu
kegiatan kelompok parokial atau kategorial terletak pada bagaimana para pelaku berusaha
secara sadar mengintegrasikan tindakan dengan nilai-nilai agamanya. Di sini aspek religiositas
pelaku turut memainkan peran penting karena religiositas merupakan inti dari agama.
Sehingga penghayatan iman dalam kehidupan sosial seseorang yang beragama lebih nampak
dibanding kesalehan melakuan ritus atau kewajiban pelaksanaan ajaran agama. Oleh karena
itu agar religiositas dapat mewujud maka kontekstualisasi nilai-nilai Kristiani tentang derma
perlu diterjemahkan ke dalam sistem sosial-budaya masyarakat setempat. Para pelaku
kedermawanan-individual yang ditemui memandang bahwa faktor sosial-budaya masyarakat,
motif kemanusiaan, dan motif belas kasih lebih mendasari tindakan pelayanan dibanding
motif-motif pemenuhan kewajiban keagamaan. Meskipun begitu mereka menyadari bahwa
apa yang dilakukan merupakan suatu bentuk pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
sosial sebagai umat Katolik. Jadi, iman Katolik berfungsi sebagai landasan nilai tindakan
sementara budaya berfungsi sebagai wujud kontekstualisasi iman. Ibarat teks dan konteks
dimana keduanya bersifat komplementer; bukan merupakan hal yang bertentangan. 49

III.2.4 Proses Pemetaan Kebutuhan Pelayanan Kelompok Masyarakat

Ketika melakukan aksi kedermawanan sosial, salah satu aspek penting yang
menunjang keberhasilan adalah tepatnya sasaran kelompok masyarakat yang akan dibantu.
Ketepatan sasaran aksi tergantung dari tingkat akurasi data penerima bantuan. Untuk
menjamin keterjangkauan pelayanan maka data merupakan instrumen yang penting dalam
aksi kedermawanan sosial kelompok parokial dan kategorial. Pentingnya data eksplisit,
misalnya, ditekankan dalam Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang 2006-2010.50 Dalam
nota pastoral itu, data merupakan instrumen yang penting dalam menerapkan perubahan cara
berpastoral yang baru dari tradisi kepada opsi. Sehingga, dampak kegiatan kedermawanan

48
Wawancara Titus Odong (11 Oktober 2006)
49
Wawancara Vikjen DIY, J. Pujosumarto Pr. (7 Oktober 2006)
50
Nota Pastoral tentang Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2006-2010, Dewan karya Pastoral
KAS, Muntilan, 2006, hal. 43-44.

39
sosial dapat diukur apakah sesuai dengan visi dan misi membangun komunitas basis dan
dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel.
Salah satu fungsi kerja Seksi PSE paroki adalah mengadakan pendataan baik terhadap
kelompok masyarakat yang akan dibantu melalui program-program kedermawanan. Data-data
tersebut meliputi data umat Katolik yang tergolong, meminjam istilah dari Keuskupan Agung
Semarang, sebagai kelompok kecil-lemah-miskin-tersingkir (KLMT). Data yang ada
diperoleh dari perpanjangan tangan Seksi PSE paroki yaitu seksi sosial wilayah dan seksi
sosial lingkungan. Paroki kemudian menampung data-data tersebut dan
mengklasifikasikannya berdasarkan kebutuhan pelayanan yang diminta. Setelah data yang
diperoleh dan dikumpulkan kemudian dilakukan uji-silang dengan memeriksanya ke ketua-
ketua lingkungan yang bersangkutan untuk melihat keadaan yang sesungguhnya (assesment).
Selain uji-silang kepada ketua lingkungan, seksi PSE biasanya juga melakukan uji-silang
dengan ketua RT/RW setempat.
Agar kegiatan berjalan lancar maka kelompok masyarakat yang dibantu harus memilih
kordinatornya. Kordinator ini orang setempat (bisa non-Katolik) yang bisa diandalkan untuk
menggerakkan sumber daya manusia sekitar dan dilibatkan dalam program kerja kegiatan.
Diperlukan seseorang yang mampu berperan sebagai “motor” penggerak bagi yang lain. Figur
ini juga harus merupakan orang yang bisa mendapat respek dan simpati di mata para umat
gereja. 51 Keberadaan figur penggerak juga dapat turut membantu komunikasi lintas-agamar
apabila dalam proses pelaksanaan program muncul prasangka Kristenisasi dari komunitas
non-Katolik yang belum mengetahui keberadaan program itu.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kelompok kategorial seringkali juga
memanfaatkan data yang dikumpulkan oleh seksi PSE paroki. Untuk kegiatan yang sifatnya
pemberdayaan biasanya data diperoleh dari hasil pemetaan oleh kelompok itu sendiri.
Misalnya, kelompok Asosiasi Pengusaha Katolik melakukan pemetaan dan pendataan dari
database pengusaha ataupun calon pengusaha yang sudah pernah dihimpun dari berbagai
kegiatan pelatihan yang sudah dilakukan. Sehingga ketika kegiatan selanjutnya akan
diselenggarakan bagi peserta baru maka asosiasi tinggal melakukan kontak yang ada didalam
daftar tersebut untuk memberikan usulan peserta yang belum pernah memperoleh pelatihan.
Disamping mendata dan membina pengusaha kecil disekitar paroki, kelompok ini juga
mendata jumlah pengangguran yang ada di wilayah sekitar paroki. Koordinasi dilakukan
dengan pihak pemerintah daerah kecamatan. Walaupun data yang diperoleh tidak selalu

51
Wawancara Seksi PSE BHK (7 Agustus 2006)

40
merupakan data terbaru tapi setidaknya kelompok ini bisa mendapat gambaran jumlah
pengangguran yang ada di wilayah-wilayah kerja pelayanannya. Sehingga dari data-data ini
mereka dapat memetakan jumlah pengangguran berdasarkan daerah serta sebaran perusahaan
yang ada di sana. Dari situ kemudian program-program pelatihan bagi pengangguran
dijalankan. Pertukaran data juga dilakukan dengan Ikatan Sarjana Katolik sehingga dapat
diketahui besaran jumlah umat Katolik lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Kesemua
data ini nantinya digunakan untuk membantu menginformasikan dan menyerap tenaga kerja
ke dalam perusahaan tempat anggota asosiasi bekerja.
Dari kilasan deskripsi di atas bisa disimpulkan bahwa ketepatan sasaran merupakan
faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan aksi kedermawanan sosial kelompok
parokial maupun kategorial. Dari sisi sumber data, kelompok-kelompok tersebut menjalin
kerjasama dengan berbagai institusi termasuk pemerintahan. Cara seperti itu juga dinilai
menunjukan niat baik untuk bekerjasama dengan pemerintahan di tingkat lokal, menghormat
mereka, sehingga kedepannya hubungan yang baik itu bisa menjadi kerjasama antara gereja
dan negara untuk memajukan masyarakat.52 Keterlibatan instansi pemerintah dan lembaga
non-Katolik juga membuat kelompok-kelompok Katolik tidak berjalan sendiri melainkan
didukung oleh mereka yang bisa menambah kualitas dan kuantitas bantuan yang diberikan.
Lewat kerjasama dengan kelompok non-Katolik dalam memetakan kelompok bantuan maka
isu Kristenisasi dari setiap karya karitatif yang dilakukan oleh umat Katolik dapat dikikis.

III.3 Kesimpulan Umum dan Diskusi

Bentuk aktivitas kedermawanan sosial yang dilakukan oleh kelompok parokial dan
kategorial pada umumnya didominasi oleh bantuan langsung ke komunitas yang
membutuhkan tanpa melalui lembaga-lembaga penyalur bantuan yang sudah cukup banyak
dimiliki organisasi pemerintah. Bentuk-bentuk aktivitas yang dominan masih bersifat pure
charity (bantuan cuma-cuma) yang diberikan kepada kalangan umat Katolik maupun non-
Katolik. Belakangan ini bentuk kegiatan tidak hanya dilakukan dalam bentuk pemberian
barang-barang nautra tetapi juga meliputi usaha pengembangan sarana dan prasarana
komunitas seperti pembangunan atau perbaikan jalan setapak, balai kesehatan di pemukiman
kumuh, dan perbaikan/pengembangan sarana kerja kelompok yang bergerak di bidang
pelayanan sosial.

52
Wawancara pastor paroki Trinitas Cengkareng, G. Basir Karimanto OMI (19 September 2006)

41
Kegiatan kelompok parokial dan beberapa kategorial seperti Wanita Katolik dan
Asosiasi Pengusaha yang bersifat memberdayakan masih dominan ditujukan bagi anggota
atau umat Katolik. Namun kelompok kategorial lainnya seperti Persatuan Guru Katolik dan
Yayasan Sosial Soegijapranata sudah merintis upaya pemberdayaan yang mencakup
kelompok masyarakat non-Katolik. Perluasan pelayanan kepada kelompok masyarakat non-
Katolik sebagai wujud solidaritas sudah sejak lama ditekankan oleh KWI melalui Surat
Gembala tentang Keterlibatan Sosial tahun 1991. Ajakan itu menjawab ajakan Paus Yohanes
Paulus II yang pada waktu itu mencanangkan tahun 1991 sebagai tahun Ajaran Sosial Gereja.
Sehingga Gereja bukan suatu makhluk asing, suatu corpus alienum, bukan sebuah ghetto,
tetapi satu kesatuan simbiose-mutualitis dengan bangsa Indonesia.53
Sumber daya kegiatan kedermawanan sosial diperoleh dari berbagai sumber dan cara
penggalangan. Sebagai organ gereja yang bertanggungjawab melakukan misi pelayanan kasih
(diakonia), kelompok parokial mendapatkan dukungan dana utamanya berasal dari anggaran
gereja yang diperoleh dari keuskupan maupun dana kolekte umat. Sementara itu kelompok
parokial memperolehnya dari berbagai kegiatan fund raising dan edaran proposal yang
ditujukan bagi umat Katolik yang menduduki posisi penting pada sektor-sektor bisnis. Untuk
mengumpulkan dana semacam ini mereka dibantu oleh jaringan sosial yang dimiliki oleh para
anggotanya. Pada titik ini peran pelaku filantropi individual sangat strategis untuk menunjang
keberlanjutan kegiatan kelompok kategorial. Sumber daya lain yang juga tidak kalah penting
adalah kekhususan keahlian yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok kategorial. Jika
satu kegiatan kedermawanan sosial kelompok kategorial ternyata bersinggungan dengan
kelompok kategorial lainnya maka sumber daya keahlian itu dapat saling dipertukarkan
(interchangable).
Untuk kelompok parokial, aksi kedermawanan sosial yang dilakukan lebih
berorientasi pada komunitas di sekitar gereja. Sementara untuk kelompok kategorial, bentuk
kedermawanan sosial bisa dapat lebih luas lagi cakupannya karena tidak terikat ketat secara
organisasi dengan hirarki gereja setempat. Pemilihan komunitas atau kelompok masyarakat
yang menjadi sasaran bantuan biasanya didiskusikan dengan kelompok yang akan dibantu
dengan didukung rekomendasi dari beberapa tokoh paroki atau tokoh kategorial.
Cakupan geografis kegiatan kedermawanan sosial yang dikerjakan, misalnya oleh
paroki Trinitas, telah mencakup komunitas di luar paroki mereka. Bantuan dilakukan dengan
terjun langsung ke paroki-paroki Kalimantan dan Sumatera untuk membantu umat di

53
Dr Huub JWM Boelaars, OFM Cap. Indonesianisasi : dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja
Katolik Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 2005, hal.449

42
pedalaman yang membutuhkan. Pemilihan sasaran paroki didasarkan atas kebutuhan dari
paroki terkait dan rekomendasi dari pastor paroki. Untuk kegiatan semacam itu biasanya
paroki penerima bantuan adalah paroki-paroki binaan kongregasi imam yang sama dengan
paroki pemberi bantuan. Sifat kedermawanan sosial lintas-daerah ini merefleksikan suatu
gambaran Gereja Katolik yang terhubung satu sama lain untuk berkarya seturut realitas
konkret (networked Church) diantara gereja-gereja lokal.54 Kenyataan ini menjadi bermanfaat
bagi Gereja dan umat Katolik sendiri jika tumbuh kebutuhan untuk saling belajar belajar serta
berbagi satu sama lain tentang keunikan pengalaman masing-masing dalam berelasi dengan
realitas sosial yang ada. Gejala itu menunjukkan bahwa logika komplementer mendasari
perjalanan menggereja, pada umumnya, di Asia yang lebih merangkul macam-macam realitas
daripada logika eksklusi Barat yang cenderung memisah-misahkan macam-macam realitas.
Tidak banyak kelompok parokial dan kategorial yang mengembangkan indikator-
indikator khusus sebagai bahan evaluasi dan monitoring untuk menjejaki keberhasilan dan
perluasan efek kegiatan. Instrumen evaluasi dan monitoring selama ini masih bersifat intuitif
dalam arti melihat reaksi psikologis penerima bantuan. Bantuan diberikan berdasarkan
pemetaan kebutuhan yang melibatkan banyak pihak dan proses penilaian kebutuhan melalui
obeservasi oleh para ketua lingkungan. Akan tetapi pemetaan kebutuhan yang akurat dan
sumber data yang bervariasi tidak mengandaikan kegiatan kedermawanan sosial yang
dilakukan oleh kelompok parokial dan kategorial tidak tumpang tindih. Di beberapa paroki
sudah ada koordinasi yang baik, tapi masih banyak yang belum terkoordinasi sehingga
mereka bergerak sendiri-sendiri, tumpang tindih dan bisa menimbulkan kesan hanya mencari
eksistensi kelompok masing-masing.
Resiko tumpang tindih kegiatan sedikit banyak masih terjadi misalnya antar kelompok
parokial. Ini dikarenakan belum ada mekanisme koordinasi program ke dewan paroki
(kalaupun ada sangat minim dan bukan merupakan suatu imperatif) sehingga diperlukan
semacam badan yang bersifat kordinatif (kegiatan gereja) di tingkat paroki. Melalui badan ini,
transparansi daftar program berbagai kelompok yang ada di bawah naungan Gereja Katolik
setempat dapat diketahui oleh umat maupun kelompok-kelompok tersebut. Sehingga adanya
transparansi daftar program dapat mendorong munculnya komunikasi intensif diantara sesama
pelaku kedermawanan sosial. Bahkan dapat memungkinkan terciptanya keberlanjutan
kerjasama yang bersifat strategis dan tertata.
=================================

54
In Nugroho Budisantoso, Pengalaman Otentik Menggereja, dalam Majalah Hidup, No.53, Tahun ke-61,
Desember, Gramedia, Jakarta, 2006, hal. 24

43
Bab IV
Penutup dan Rekomendasi Aksi
Kedermawanan Sosial Katolik

Gereja Katolik Indonesia merupakan sejumlah warga masyarakat Indonesia yang


terguyubkan oleh iman akan Allah Bapa, yang diwahyukan melalui Yesus Kristus, Sang
Putra, dalam kekuatan Roh KudusNya di bawah pimpinan Uskup Agung Roma. Konstitusi
Dogmatik Konsili Vatikan Kedua mengenai Gereja mencatat bahwa orang-orang yang
terguyubkan dalam iman kepada Yesus Kristus dipersatukan oleh Daya Ilahi. Akan tetapi
terwujudkan dalam tata manusiawi dengan segala pranata dan tatanan serta mengikuti hukum-
hukum perhimpunan manusiawi juga. Oleh sebab itu perenungan tentang Gereja Indonesia
dimulai dengan mengamatamati keadaan manusiawinya. Baru kemudian secara metodis dapat
mendalami makna teologisnya.
Pendalaman makna teologis itu dapat melalui berbagai jalan dan nilai-nilai yang
dipandang baik oleh Gereja Katolik Indonesia. Salah satu jalan itu adalah kedermawanan
sosial untuk mengangkat harkat dan martabat keutuhan manusia. Pada usia KAJ yang ke-200
dan 66 tahun KAS, aksi kedermawanan sosial Katolik didorong untuk makin memperluas
pelayanannya kepada masyakarat luas. Perluasan itu dipengaruhi oleh faktor teologis seperti
diantaranya diajarkan oleh kehidupan bersama gereja perdana dalam Kitab Para Rasul. Kedua,
faktor historis Gereja Katolik universal dimana perhatian pada realitas sosial mendapatkan
semangatnya kembali sejak dikeluarkan ensiklik Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII tahun
1891, diteruskan oleh paus-paus sesudahnya dan termuat dalam Ajaran Sosial Gereja. Ajaran
Sosial Gereja menjadi suatu kumpulan penuntun langkah yang secara mendasar memberikan
pendekatan yang valid yang melampaui batas Gereja : dalam menghadapi perkembangan yang
terus berjalan maka orientasi yang disajikannya perlu digumuli dalam konteks dialog dengan
semua orang yang sungguh peduli akan umat manusia dan dunia tempat manusia hidup.
Ketiga, faktor historis Indonesia dimana pelarangan terhadap segala aktivitas misi sejak 1621
oleh VOC dicabut oleh Raja Lodewijk Napoleon pada tanggal 7 Agustus 1806 yang
mengumumkan undang-undang kebebasan beragama. Sehingga dinamika pertumbuhan
kedermawanan sosial Gereja Katolik di Indonesia dapat berkembang lagi. Dari situ
kedermawanan sosial Katolik berkembang dan memperoleh identitas lokalnya melalui salah
satu contoh yang dilakukan pastor Van Lith SJ dengan mengadakan pendidikan formal
berbahasa Jawa, baik bagi umat Katolik maupun non-Katolik di Muntilan. Keempat, faktor
budaya dimana proses inkulturasi antara teologi iman Kristiani dengan budaya setempat turut

44
membantu bagaimana penghargaan terhadap pluralitas tidak bertentangan dengan perwujudan
hakikat bidang tugas Gereja. Maka bagi gereja Katolik, aktivitas filantropis atau karitas
sebagai bagian dari tugas diakonia (pelayanan kasih) bukanlah bentuk pelayanan sosial yang
dapat dengan begitu saja dilalaikan demi yang lain, namun merupakan bagian dari hakekat
dirinya. Faktor politis yang turut mempengaruhi kedermawanan sosial Katolik universal
maupun Indonesia sepanjang sejarahnya juga menjadi perhatian Gereja sehingga para pelaku
dapat melakukan pelayanan sesuai dengan religiositas keimanannya.
Dasar bagi Gereja Katolik Indonesia dalam memandang dan mengembangkan
kedermawanan sosial terkait dengan kondisi sosial-ekonomi kemasyarakatan adalah prinsip
subsidiaritas. Prinsip ini secara umum menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan oleh unit
yang lebih kecil tidak boleh diambil-alih oleh unit yang lebih besar sehingga unit yang kecil
dapat mengorganisir diri menjadi suatu kekuatan yang mandiri, khususnya secara ekonomi.
Jadi, makna terdalam prinsip subsidiaritas adalah bahwa setiap orang dan setiap kelompok
dihargai oleh atasannya maupun kelompok yang lebih besar. Prinsip ini dalam pandangan
Gereja Katolik universal berkaitan dengan prinsip keadilan dimana tujuan dari tata sosial yang
adil adalah untuk menjamin setiap pribadi agar mendapatkan bagian dari kekayaan
masyarakat.

IV.1 Hasil Tinjauan Awal Aksi Kedermawanan Sosial Katolik

Berbagai dokumen yang diterbitkan Gereja Katolik Indonesia menyebutkan


pentingnya peran umat dalam mengembangkan pelayanan kedermawanan sosial. Penekanan
ini dilatarbelakangi oleh beban reksa pastoral jika hanya mengandalkan para rohaniwan/wati
dalam melakukan pelayanan karena perbandingan antara jumlah rohaniwan/wati dengan
jumlah umat selalu terdapat diskrepansi. Oleh karena itu Gereja Katolik Indonesia mendorong
tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok pelayanan kedermawanan sosial dari umat.
Kelompok-kelompok pelayanan Gereja Katolik Indonesia terdiri dari kelompok parokial dan
kelompok kategorial yang tercakup dalam istilah kelompok basis. Komunitas basis dapat
dipahami sebagai "satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala
untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi,
kelompok, maupun masalah sosial, dan mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci"
Kelompok parokial terintegrasi ke dalam struktur organisasi gereja setempat yang
disebut dengan Komisi atau Seksi Pengembangan Sosial-Ekonomi. Sebelum dilakukan
restrukturisasi organisasi Gereja Katolik Indonesia, bagian ini bernama Seksi Sosial Paroki

45
(SSP). Perubahan itu berkenaan dengan ingin dihilangkan kesan “pemberi”. Gereja Katolik
Indonesia tidak lagi hanya menjadi “pemberi” melainkan juga ingin aktif dalam
mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi umat maupun lingkungan sekitarnya. Seksi PSE
merupakan implementator kebijakan aksi kedermawanan sosial keuskupan di tingkat paling
bawah. Untuk dapat menjangkau para anggota masyarakat baik Katolik maupun non-Katolik,
paroki dibantu oleh para ketua wilayah dan lingkungan. Kepengurusan seksi PSE ini dipilih
dan diangkat dari para pengurus di tingkat wilayah atau lingkungan suatu paroki.
Kelompok kategorial merupakan perkumpulan umat Katolik yang bergerak dibidang
kedermawanan sosial untuk masyarakat yang lebih luas berdasarkan kekhususan para
anggotanya. Kekhususan tersebut dapat didasarkan pada profesi, bidang keahlian, gender,
atau bidang pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan kepada orang jompo, cacat,
atau orang-orang terlantar. Organisasi ini mempunyai otonomi relatif dari hirarki Gereja
Katolik setempat namun demikian tetap memperoleh pendampingan (bukan pengawasan) dari
keuskupan. Pendampingan ditujukan agar umat selalu memperhatikan pertimbangan etis dan
nilai-nilai universal iman Katolik dalam berkarya di masyarakat, termasuk ketika melakukan
kegiatan kedermawanan sosial.
Pada kegiatan kedermawanan sosial tingkat keuskupan atau nasional, kelompok
parokial dan kategorial diajak untuk aktif mengimplementasikan tema program yang telah
digariskan. Keduanya membagi peran baik sebagai kelompok pendukung (supporting group)
ataupun sebagai kordinator kegiatan dengan pengawasan oleh dewan paroki. Sementara diluar
momen-momen khusus seperti disebutkan, kelompok-kelompok kategorial bergerak secara
mandiri di luar struktur gereja.
Relasi antar kedua kelompok tidak selalu harmonis namun juga terkadang disertai
dengan ketegangan hubungan. Ketegangan itu mungkin terjadi jika aksi kedermawanan sosial
menyangkut tentang pilihan metode pelayanan antara pemberian bantuan cuma-cuma atau
pemberdayaan, bentuk kegiatan yang tepat bagi masyarakat, dan batas-batas kewenangan
masing-masing kelompok. Melalui ketegangan itulah kemungkinan-kemungkinan pembaruan
baik dalam hal metode maupun bentuk kedermawanan sosial bisa didapatkan. Di sisi lain,
ketegangan yang mewarnai kerjasama itu juga merefleksikan belum maksimalnya
kemampuan kelompok basis dalam mengelola sumber daya bersama.
Aksi kedermawanan sosial Katolik kelompok parokial maupun kategorial di
lingkungan KAJ dan KAS mempunyai perbedaan. Dari segi potensi sumber dayanya, pertama
seksi PSE di KAJ dan KAS mendapatkan dan mempunyai alokasi finansial yang lebih ajeg
dibanding kelompok kategorial. Namun kekuatan dari kelompok kategorial adalah kapasitas

46
social capital dan keahlian yang dimiliki oleh individu anggota kelompok kategorial dalam
menjangkau sumber-sumber daya non-finansial namun bernilai secara ekonomis di berbagai
organisasi masyarakat melalui jaringan sosial. Kedua, aspek organisasi, PSE paroki
mempunyai seksi sosial wilayah atau lingkungan--organ terendah seksi PSE--yang dapat
dimobilisasi dalam proses pengumpulan dana maupun penyebarluasan pelayanan aksi
kedermawanan. Sementara kelompok kategorial sampai pada tingkatan paroki, tidak sampai
tingkat wilayah atau lingkungan.
Dari segi bentuk kegiatan tidak nampak perbedaan yang tegas antara kelompok
parokial dan kategorial. Keduanya melakukan berbagai jenis kegiatan mulai dari kegiatan
yang bersifat karitatif hingga pemberdayaan. Kegiatan karitatif yang dominan dan rutin
biasanya berupa pelayanan kesehatan gratis serta pembagian barang-barang natura untuk
kebutuhan hidup. Sementara kegiatan atau program pemberdayaan umumnya lebih sering dan
dominan dilakukan oleh kelompok kategorial, khususnya dari kelompok profesi. Namun satu
hal yang berbeda yaitu Seksi PSE Paroki mempunyai program kredit mikro dan santunan
kematian bagi umat sementara kelompok kategorial tidak mempunyai program semacam itu.
Pada hasil sidang Sinodal KWI November 2006 lalu diputuskan bahwa kondisi masalah
sosio-ekonomi bangsa mendorong Gereja Katolik Indonesia untuk memberi tanggapan
pastoralnya dengan mencanangkan betapa penting Gerakan Sosio-Ekonomi dilakukan oleh
segenap umat Katolik. Hasil sidang itu memandang bahwa Credit Union merupakan salah
satu sarana yang dinilai dapat memajukan perekonomian rakyat secara luas.
Bentuk kegiatan karitatif Seksi PSE yang setahun sekali diprakarsai oleh keuskupan
adalah Aksi Peduli Sesama (APS). Pelaksanaan program karitatif ini dilakukan seiring dengan
Hari Pangan Sedunia. APS bukan merupakan program yang dikerjakan hanya oleh Seksi PSE
paroki saja tetapi juga oleh yayasan-yayasan yang didirikan oleh keuskupan seperti Lembaga
Daya Dharma milik KAJ dan Yayasan Sosial Soegijapranata milik KAS.
Sebelum melakukan pelayanan kepada masyarakat umum, sosialisasi atas program
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan kedermawanan sosial Katolik. Sosialiasi
internal dilakukan untuk memobilisasi sumber daya umat yang mau terlibat dalam program.
Sosialisasi eksternal dimaksudkan untuk menghimpun kelompok-kelompok atau komunitas-
komunitas yang dituju untuk bersama-sama melaksanakan program. Program dikatakan
berhasil jika aksi kedermawanan sosial itu tidak menemui resistensi yang berarti dari
komunitas yang dituju, adanya partisipasi kerja bersama dari kedua belah pihak, dan
dihargainya posisi iman dan kemanusiaan masing-masing pihak.

47
Umat Katolik di KAJ yang terlibat di dalam aksi kedermawanan sosial bisa dikatakan
merupakan bagian dari kelompok masyarakat kelas menengah perkotaan. Ciri sosiologis ini
sedikit banyak turut mempengaruhi bentuk dan metode aksi kedermawanan sosial. Kesibukan
sehari-hari umat membuat mereka tidak banyak turut terlibat dalam tiap aksi sehingga hanya
orang-orang yang itu-itu saja yang aktif. Posisi sosial pengurus lembaga di gereja yang
ditemui kebanyakan terdiri dari orang-orang yang secara ekonomi berkecukupan. Ada
semacam perasaan bahwa kegiatan karitatif saja sudah cukup karena sudah merasa memberi
dari kelebihan yang dimilikinya alih-alih melakukan program pemberdayaan strategis yang
berkelanjutan.
Situasi di atas cukup berbeda dengan yang nampak di lingkungan KAS, terutama
pasca-gempa Jogja-Klaten. Proses tanggap bencana dan rehabilitasi mendorong umat untuk
terlibat aktif di lingkungan sekitarnya. Banyak laporan yang menyebutkan tindakan-tindakan
altruistik umat yang mengabaikan kepentingannya sendiri demi membantu korban bencana.
Umat Katolik yang menjadi korban bencana alam merasakan dan berefleksi bahwa tempat
dimana orang hidup berdekatan dengan penderitaan kematian bisa melantunkan banyak
teladan tentang solidaritas, cinta, dan harapan. Bencana dinilai telah mendidik mereka untuk
lebih menaruh perhatian kepada lingkungan sekitar sambil bahu membahu menata kembali
kehidupan sosial dan imannya. Di sini para korban bukan tidak dapat menjadi pelaku
kedermawanan sosial melainkan juga dapat memberi dari kekurangan yang dimiliki.
Faktor lain penentu keberhasilan kedermawanan sosial Katolik adalah kapasitas
pendataan komunitas penerima pelayanan yang tertata. Di kelompok parokial, fungsi
pendataan itu dijalankan oleh Seksi PSE dibantu oleh para ketua wilayah dan lingkungan.
Data-data kemudian ditampung di paroki dan diklasifikasi berdasarkan kebutuhan pelayanan
yang diminta. Data yang diperoleh kemudian diuji-silang dengan memeriksa ke ketua-ketua
lingkungan yang bersangkutan untuk melihat keadaan yang sesungguhnya (assesment). Selain
uji-silang kepada ketua lingkungan, seksi PSE biasanya juga melakukan uji-silang dengan
ketua RT/RW setempat. Kelompok kategorial seringkali juga memanfaatkan data yang
dikumpulkan oleh seksi PSE paroki. Namun untuk kegiatan kedermawanan yang khas
kelompok seperti pemberdayaan biasanya data diperoleh dari hasil pemetaan oleh kelompok
itu sendiri. Disamping itu, kerja sama juga dijalin oleh kedua kelompok ini dengan organisasi-
organisasi lain seperti pemerintahan setempat. Cara seperti itu dinilai menunjukan niat baik
bekerjasama dan menghormati keberadaan pemerintahan di tingkat lokal, sehingga
kedepannya hubungan yang baik itu bisa menjadi kerjasama antara gereja dan negara untuk
memajukan masyarakat.

48
IV. 2 Refleksi Kedermawanan Sosial Katolik

Uskup KAJ terdahulu, Mgr Leo Soekoto SJ dalam Buku Panduan Pelayanan Sosial
Umat Paroki KAJ tertanggal 11 April 1993, menyatakan bahwa hasil pembangunan harus bisa
dinikmati secara merata oleh segenap masyarakat, khususnya bagi orang miskin-tersingkir.
Yang menjadi pedoman bagi kedermawanan sosial Katolik yaitu penggunaan hak milik bukan
hanya kepentingan pribadi pemiliknya melainkan juga kepentingan sosial masyarakat. Beliau
memandang bahwa hal itu merupakan hak asasi dan bukan hanya berdasarkan belas kasihan
penguasa atau orang-orang kaya. Sehingga kemakmuran harus diimbangi dengan keadilan
sosial-ekonomi, politik, hukum, dan budaya untuk mencegah timbulnya konflik sosial.
Bahwa apa yang sudah dilakukan oleh para pelaku kedermawanan sosial Katolik
untuk melayani sesama kiranya bisa dikatakan sudah memadai. Namun hal itu belumlah bisa
dikatakan mencukupi karena tantangan hidup menggereja di tengah arus globalisasi ekonomi
saat ini makin nampak jelas dengan ditandai oleh melebarnya jurang kesenjangan ekonomi,
kekerasan global, dan intoleransi antar umat beragama. Pengembangan kegiatan
kedermawanan sosial Katolik harus bisa dimunculkan dari fakta bahwa para pelaku
bergandengan tangan dengan semua unsur masyarakat yang mau meningkatkan martabat
sesama manusia.
Imperatif yang sama juga diingatkan dalam ensiklik Paus Benediktus XVI Deus
Caritas Est55 dimana kasih akan sesama yang dipratekkan (dalam kedermawanan sosial.pen)
tak boleh menjadi alat untuk apa yang dewasa ini disebut dengan proselitisme.56 Beliau
menyatakan bahwa kasih itu cuma-cuma; ia tak dilakukan untuk mencapai tujuan lain.
Barangsiapa bekerja secara karitatif atas nama Gereja, tak akan pernah mencoba memaksakan
iman Gereja kepada orang lain. Dengan demikian dapat ditegaskan : Kristus itu relevan bagi
masyarakat Indonesia bukan karena banyaknya orang yang belum dibaptis, melainkan karena
kondisi kemiskinan, kekerasan, dan intoleransi di atas dialami oleh sebagian besar warga
masyarakat. Gereja Katolik akan hancur jika tantangan jaman tidak dijawab secara
memuaskan, juga jika tantang itu dijawab setengah-setengah dengan mendahulukan umat
Katolik dalam pelayanan sosial.

55
Deus Caritas Est, loc.cit, hal.36
56
Dalam Merriam-Webster’s Unabridge Dictionary 2000 version 2.5, proselitisme berasal dari ‘proselyte’ yang
artinya : to convert from one religion, belief, opinion, or party to another, dan proselitism : the act of becoming
or condition of being a proselyte.

49
IV.3 Rekomendasi Aksi

Setelah melihat paparan dalam tinjauan awal dibagian sebelumnya dan melihat
gambaran kekuatan dan kelemahan aksi kedermawanan sosial Gereja Katolik di dua
keuskupan maka penelitian ini hendak mengajukan beberapa usulan. Usulan yang
dikemukakan di sini yaitu :

1. Perlunya diadakan kegiatan peningkatan kapasitas bagi lembaga


kedermawanan sosial tingkat parokial dan kategorial dalam bentuk,
misalnya, pengorganisasian, pelatihan fund raising dan
pengkombinasian sumber daya, monitoring dan evaluasi kegiatan.
Kegiatan tersebut dapat bekerja sama dengan pihak keuskupan dan
lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang spesialisasinya sesuai
dengan kebutuhan jenis pelatihan tersebut. Keterlibatan pihak
keuskupan dirasakan penting sehingga nilai-nilai universal iman
Kristiani yang mendasari tetap dapat terefleksikan dalam kegiatan.
2. Sebagai bentuk tindak lanjut maka kelompok-kelompok
kedermawanan sosial yang telah dilatih perlu didorong untuk
membuat kegiatan bersama baik sesama kelompok
parokial/kategorial maupun antara kelompok parokial di satu
wilayah dengan kategorial. Sehingga melalui praktek dapat segera
diketahui letak kekuatan dan kelemahan pelatihan yang sudah
diselenggarakan.
3. Pada tingkat keuskupan, kelompok-kelompok kedermawanan sosial
setidaknya perlu didorong untuk membuat semacam jaringan kerja
kedermawanan lintas-agama. Kegiatan ini diusulkan untuk
mengikis parokialisme yang mengutamakan eksistensi kelompok
dibanding kuantitas dan kualitas pelayanan. Disamping itu
pembelajaran tentang berbagai metode kedermawanan sosial yang
dikerjakan oleh masing-masing kelompok dapat saling
dipertukarkan dalam forum dialog konsultatif.
4. Untuk tingkatan paroki, usulan tentang pembentukan semacam
badan kordinasi program kedermawanan sosial juga layak
dipertimbangkan. Tumpang tindih berbagai kegiatan kedermawanan

50
sosial yang dilakukan baik oleh kelompok parokial maupun
kategorial dapat dialihkan ke dalam bentuk kegiatan kedermawanan
lainnya.

Berbagai rekomendasi aksi tersebut diajukan dengan harapan bahwa pembelajaran dan
penyebarluasan aksi kedermawanan sosial dapat makin kontekstual dengan tantangan serta
kebutuhan yang dihadapi. Dari deskripsi temuan-temuan sementara di atas bisa dikatakan
bahwa penataan terus menerus aksi kedermawanan sosial akan menumbuhkembangkan
potensi solidaritas sosial umat dalam menjawab tantangan hidup menggereja di abad ke-21.

=================================

51
Daftar Bacaan

1. Agus M.Hardjana. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas, Kanisius, Yogyakarta, 2005


2. Anhar Gonggong, Mgr Albertus Soegijapranata S.J : Antara Gereja dan Negara, PT
Grasindo, Jakarta, 1993
3. Berkhof, H & Enklaar, I.H, Sedjarah Geredja, BPK, Jakarta, 1962
4. Dr Huub JWM Boelaars, OFM Cap. Indonesianisasi : dari Gereja Katolik di Indonesia
Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2005
5. Ensiklik Paus Benediktus XVI 25 Desember 2005, Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih),
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, April 2006
6. Galang : Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani, Vol.1, No.3, PIRAC, Depok, April
2006
7. Hasil-hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000, Dokumentasi dan
Penerangan KWI, Jakarta
8. Kompas, 6 Juli 2002.
9. Majalah Hidup, No.53, Tahun ke-61, Desember, Gramedia, Jakarta, 2006
10. Nota Pastoral KWI 18 November, Habitus Baru Demi Kesejahteraan Bersama,
Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, 2006
11. Nota Pastoral tentang Arah dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2006-2010,
Baruilah Seluruh Muka Bumi, Dewan Karya Pastoral KAS, Muntilan, 2006.
12. Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2005.
13. Suara Pembaharuan, 4 Juli 2002
14. Tim LPMPS, Metode Penelitian Sosial, Departemen Sosiologi FISIP UI, Depok, 2001
15. Tony D. Widiastono (ed), Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman : Refleksi
Keuskupan Agung Jakarta, Tim Penyusun Buku Yubileum Mgr. Leo Soekoto S.J, KAJ,
1995

52

You might also like