You are on page 1of 89

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sehat merupakan kehendak dan idaman semua lapisan masyarakat,
guna mewujudkan hal tersebut maka banyak hal yang perlu dilakukan dan
salah satu hal yang cukup penting ialah berupaya menyelenggarakan suatu
pelayanan kesehatan yang baik, berkualitas, menyeluruh dan terpadu
(comprehensive and integrated health services) yakni suatu pelayanan yang
memadukan berbagai upaya kesehatan baik pelayanan peningkatan dan
pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit serta
pemulihan kesehatan, selain itu berupaya untuk menciptakan suatu pelayanan
kesehatan yang menerapkan pendekatan secara menyeluruh (holistic
approach), jadi tidak hanya memperhatikan keluhan penderita saja tetapi juga
memperhatikan berbagai aspek dari latar belakang sosial ekonomi, sosial
budaya, sosial psikologi dan lain sebagainya (Fahrizal Z, 2008).
Sektor industri merupakan sektor andalan utama bagi Indonesia karena
sektor ini mampu memberikan peluang kerja bagi penduduk Indonesia. Selain
itu, sektor industri menggunakan berbagai input baik dari sektor pertanian
maupun sektor-sektor lainnya termasuk sektor industri itu sendiri. Keterkaitan
antar sektor yang cukup besar ini menjadi hal yang cukup baik karena
kemajuan sektor industri akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya yang
pada gilirannya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi (Aliasuddin, 2005).
Struktur perekonomian Indonesia mengalami perubahan yang
signifikan melalui pola normal pembangunan ekonomi seperti pola yang
dijelaskan oleh ilmu ekonomi. Perubahan struktur ini ditandai oleh pergeseran
kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian. Kontribusi sektor
pertanian mengalami penurunan sedangkan kontribusi sektor industri terus
mengalami peningkatan, sehingga menjadikan sektor industri menjadi
kontributor utama dalam perekonomian Indonesia.
Kemajuan sektor industri berarti kemajuan ekonomi Indonesia dan
sebaliknya. Peranan sektor industri ini tidak hanya terbatas pada besarnya
kontribusi sektor ini terhadap perekonomian, tetapi lebih luas lagi, termasuk di
dalamnya kemampuan sektor ini dalam menciptakan peluang kerja bagi

1
sebagian masyarakat Indonesia. Menurut laporan Statistik Indonesia atau BPS
tahun 2001, dapat dijelaskan bahwa sektor industri menyerap tenaga kerja
sebanyak 4.234.983 orang di seluruh Indonesia. Jumlah ini hanya untuk
industri besar dan sedang saja. Sementara itu, industri kecil mampu membuka
peluang pekerjaan sebanyak 2.004.590 orang dan industri rumah tangga
sebanyak 4.502.183 orang dalam perekonomian Indonesia, sedangkan nilai
output yang dihasilkan oleh industri besar dan sedang sebanyak Rp 582.863
miliar, industri kecil sebanyak Rp 15.392 miliar, industri rumah tangga sebesar
Rp 24.741 miliar. Semua angka-angka ini memperlihatkan bahwa betapa
besarnya peranan sektor industri dalam perekonomian Indonesia. Angka-
angka ini juga dengan jelas memperlihatkan bahwa sektor industri merupakan
sektor andalan dalam perekonomian Indonesia. Kemajuan sektor industri
berarti kemajuan ekonomi Indonesia dan sebaliknya (Aliasuddin, 2002).
Era globalisasi harus dijadikan agenda baru bagi kesehatan masyarakat,
ketika Indonesia memasuki abad 21 globalisasi akan memberikan dampak
yang sangat luas kepada Indonesia. Dampak globalisasi diperkirakan dapat
memberikan pengaruh baik terhadap penggunaan teknologi kesehatan, sistim
pelayanan, macam penyakit baru, hingga kondisi sosial kemasyarakatan
lainnya. Dengan kata lain mau tidak mau, dampak globalisai harus menjadi
salah satu prioritas dalam bidang kesehatan di Indonesia (FKM undip, 2010).
Aspek penting dalam perlindungan kesehatan masyarakat dan pekerja
di industri ialah pencegahan dan pengurangan paparan bahan-bahan (kimia)
yang dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap peningkatan timbulnya penyakit, ketidaknyamanan atau
kecacatan bahkan laju kematian (Pusat K3, 2008).
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan aspek yang penting
dalam aktivitas dunia industri. Relativitas kadar penting tidaknya akan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) ini tergantung pada seberapa besar
pengaruhnya terhadap subjek dan objek itu sendiri. Resiko adalah kesempatan
untuk terjadinya kecelakaan atau kerugian, juga kemungkinan dari akibat dan
kemungkinan bahaya tertentu (Pararaja Arifin, 2008).
Pesatnya perkembangan industri beserta produknya memiliki dampak
positif terhadap kehidupan manusia berupa makin luasnya lapangan kerja,
kemudahan dalam komunikasi dan transportasi yang akhirnya berdampak pada

2
peningkatan sosial ekonomi masyarakat. Disisi lain dampak negatif yang
terjadi adalah timbulnya penyakit akibat pajanan bahan-bahan selama proses
industri atau dari hasil produksi itu sendiri. Timbulnya penyakit akibat kerja
telah mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia, berdasarkan Surat
Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993 telah ditetapkan 31 macam
penyakit yang timbul karena kerja. Berbagai macam penyakit yang timbul
akibat kerja, organ paru dan saluran nafas merupakan organ dan sistem tubuh
yang paling banyak terkena oleh pajanan bahan-bahan yang berbahaya di
tempat kerja. Penyakit paru akibat kerja merupakan penyakit atau kelainan
paru yang terjadi akibat terhirupnya partikel, kabut, uap atau gas yang
berbahaya saat seseorang sedang bekerja. Tempat tertimbunnya bahan-bahan
tersebut pada saluran pernafasan atau paru dan jenis penyakit paru yang terjadi
tergantung pada ukuran dan jenis yang terhirup. Beberapa jenis partikel yang
di antaranya bisa menyebabkan penyakit paru yaitu partikel organik dan
anorganik. Selain itu gas dan bahan aerosol lain seperti gas dari hidrokarbon,
bahan kimiawi insektisida, serta gas dari pabrik plastik dan hasil pembakaran
plastik (Krishna Oka, 2010).
penyakit paru akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
partikel, uap gas atau kabut berbahaya yang menyebabkan kerusakan paru
jika terinhalasi selama bekerja. Saluran nafas dari lubang hidung sampai
alveoli menampung 14.000 liter udara ditempat kerja selama 40 jam kerja
dalam satu minggu. American lung Association menmbagi penyakit paru
menjadi dua kelompok besar, yaitu ; Pneumoconiasis yang disebabkan debu
yang masuk kedalam paru-paru, dan hipersensitivitas seperti asma yang
disebabkan karena reaksi yang berlebihan karena polutan udara. Sebagai
tambahan beberapa kasus yang sering sebagai penyakit paru akibat kerja.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
a. Bagaimana strategi penanganan masalah kesehatan dalam bidang industri
makanan dan minuman?
b. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menangani toksikologi bidang
industri ?

3
1.3 Manfaat
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penulis mengharapkan penelitian
ini dapat memberikan manfaat untuk :
Bagi perusahaan :
o Sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam membuat keputusan
untuk mengatasi permasalahan mengenai faktor resiko timbulnya
masalah kesehatan di berbagai bidang industri
Bagi akademis :
o Sebagai kesempatan bagi penulis untuk menambah wawasan mengenai
faktor-faktor yang menjadi penyebab penyakit akibat kerja pada
karyawan berbagai bidang industri.
o Sebagai salah satu sumber informasi dan pembanding bagi peneliti lain
khususnya mengenai faktor-faktor yang menjadi penyebab penyakit
akibat kerja pada karyawan berbagai bidang industri.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dokter Keluarga


2.1.1 Definisi Dokter Keluarga dan Konsep Pelayanan Dokter Keluarga
Dokter keluarga adalah dokter yang menyelenggarakan upaya
pemeliharaan kesehatan dasar paripurna untuk memecahkan masalah
kesehatan yang dihadapi oleh individu dalam keluarga dan oleh setiap
keluarga didalam kelompok masyarakat yang memilihnya sebagai mitra untuk
pemeliharaan kesehatan (JPKM, 2004)
Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran menyeluruh,
memusatkan pelayanan kepada keluarga sebagai suatu unit, tanggung jawab
dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi golongan umur atau jenis
kelamin pasien, tidak juga oleh organ tubuh atau jenis penyakit tertentu (The
America Academy of Family Physician, 1996).
Pelayanan dokter keluarga melibatkan dokter umum sebagai penyaring
di tingkat primer, dokter spesialis ditingkat pelayanan sekunder, rumah sakit
rujukan dan pihak pendana yang kesemuanya bekerjasama dibawah naungan
peraturan dan perundang-undangan. Pelayanan diselenggarakan secara
komprehensif, kontinu,integrative, holistik, koordinatif, denagn
mengutamakan pencegahan, menimbang peran kelurga dan lingkungan serta
kerjaannya. Pelayanan diberikan pada semua pasien tanpa memandang jenis
kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya (IDI, 2004).

2.1.2 Tugas dan wewenang Dokter Keluarga


Tugas dokter keluarga dalammemberikan layanan kesehatan meliputi
berbagai aspek holistical, diantaranya :
1. menyelenggerakan pelayanan primer secara paripurna menyeluruh dan
bermutu guna penapisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan.
2. mendiagnosa secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat.
3. memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat
sehat dan sakit.
4. memberikan pelayanan kedokteran kepada individu dan keluarganya.

5
5. membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan
taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobtan dan rehabilitasi.
6. menangani penyakit akut dan kronik.
7. melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke rumah
sakit.
8. tetap bertangung jawab atas pasien yang dirujukkan ke dokter spesialis
atau dirawat di rumah sakit.
9. memantau pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan.
10. bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya.
11. mengkoordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien.
12. menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar.
13. melakukan penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran secara
umum dan ilmu kedokteran keluarga secara khusus.

Adapun wewenang dokter keluarga, meliputi :


1. menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar.
2. melaksanakan pendidikan kesehatan bagi masyarakat.
3. melaksanakan tindak pencegahan penyakit.
4. mengobati penyakit akut dan kronik di tingkat primer.
5. mengatasi keadaan gawat darurat pada tingkat awal.
6. melakukan tindak pra bedah, bedah minor, rawat pasca bedah di unit
pelayanan primer.
7. melakukan perawatan sementara.
8. menerbitkan surat keterangan medis.
9. memberikan masukan untuk keperluan pasien rawat inap.
10. memberikan perawatan di rumah untuk keadaan khusus (JPKM, 2004).

2.1.3 Kompetensi Dokter Keluarga


Dokter keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih dari
pada seorang lulusan fakultas kedokteran pada umumnya. Kompetensi khusus
inilah yang perlu dilatihkan melalui program pelatihan dokter keluarga. Yang
dicantumkan disini hanyalah kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap
dokter keluarga secara garis besar. Rincian mengenai kompetensi ini yang
dijabarkan dalam bentuk tujuan pelatihan akan tercantum dibawah judul setiap

6
modul pelatihan yang terpisah dalam berkas tersendiri karena akan lebih
sering disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran :
1. menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran
keluarga.
2. menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan keterampilan klinik
dalam pelayanan kedokteran keluarga.
3. menguasai keterampilan berkomunikasi, menyelenggarakan hubungan
profesional dokter-pasien untuk :
a. secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota
keluarga dengan perhatian khusus terhadap perab dan risiko kesehatan
keluarga
b. secara efektif memanfaatkan kemampuan keluarga untuk bekerjasama
menyelesaikan masalah kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan
dan penyembuhan penyakit, serta pengawasan dan pemantauan risiko
kesehatan keluarga
c. dapat bekerjasama secara profesional secara harmonis dalam satu tim
pada penyelenggaraan pelayanan kedokteran/ kesehatan
4. memiliki keterampilan manajemen pelayanan klinik :
a. dapat memanfaatkan sumber pelayanan primer dengan
memperhitungkan potensi yang dimiliki pengguna jasa pelayanan
untuk menyelesaikan masalahnya
b. menyelenggarakan pelayanan kedokteran keluarga yang bermutu
sesuai dengan standar yang ditetapkan
5. memberikan pelayanan kedokteran berdasarkan etika moral dan spiritual
6. memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang pengelolaan pelayanan
kesehjatan termasuk system pembiayaan (asuransi kesehatan)
(Dinkes Walikota Jakarta Utara, 2005).

2.1.4 Klinik Dokter keluarga


Klinik dokter keluarga adalah pelayanan medis yang diselenggarakan
oleh dokter keluarga, bercirikan pelayanan yang komprehensif, kontinu,
mengutamakan pencegahan, koordinatif, kolaboratif dan berorientasi pada
individu, keluarga dan komunitasnya.

7
 Komprehensif :
Dokter harus mengarahkan seluruh kepiawaiannya dan memanfaatkan
fasilitas yang ada dan diperlukan untuk sebesar-besarnya kepentingan
pasien, kontinu, bersinambung, pasien selalu dalam pantauannya.
 Koordinatif dan kolaboratif :
Bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengatur seefisien mungkin
segenap keperluan pasien.
 Mengutamakan pencegahan :
Dengan menyelenggarakan ceramah kesehatan, vaksinasi, KIA, dan KB
 Mempertimbangkan bahwa pasien merupakan bagian integral dari keluarga
dan masyarakatnya.
Untuk melaksanakan semua itu tentu saja memerlukan upaya khusus
dimana dokter keluarga harus berpraktik secara paripurna memberikan
pelayanan selama 24 jam sehari dan 7 hari sepekan, tidak ada hari libur untuk
melayani pasien. Untuk itu dokter keluarga haruslah praktik berkelompok,
paling tidak 3 orang dalam sebuah klinik (JPKM, 2004).

2.1.5 Sistem Pelayanan Dokter Keluarga


Untuk menunjang tugas dan wewenang dokter keluarga diperlukan
system pelayan dokter keluarga yang terdiri atas komponen :
1. dokter keluarga yang menyelenggarakan pelayanan primer di klinik dokter
keluarga
2. dokter spesialis yang menyelenggarakan pelayanan sekunder di klinik
dokter spesialis rumah sakit rujukan
3. asuransi kesehatan/ system pembiayaan
4. seperangkat peraturan penunjang
Dalam sistem ini kontak pertama pasien dengan dokter akan terjadi di
klinik dokter keluarga yang selanjutnya akan menentukan dan
mengkoordinasikan keperluan pelayanan sekunder jika dipandang perlu sesuai
dengan standar operating procedure (SOP) yang disepakati. Pasca pelayanan
sekunder, pasien segera dirujuk balik ke klinik dokter keluarga untuk
pemantauan lebih lanjut. Tatalaksana pelayanan sepertiini akan diperkuat oleh
ketentuan yang diberlakukan dalam skema asuransi (Wijono, 2000).

8
2.2 Tuberculosis Paru
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah sutu penyakit menular yang disebabkan oleh
basil Mikobakterium tuberkulosis. Tuberkulosis paru merupakan salah satu
penyakit saluran pernapasan bagian bawah (Alsagaff, 2006).

2.2.2 Epidemiologi
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat
TB masih tetap mejadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan
Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB
dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang
1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada
3.617.047 kasus TB yng tercatat diseluruh dunia.
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia
China dan India. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia
adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1985
dan survei kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking nomor 3 sebagai
penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB
Paru diperkirakan 0,24%.
Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB secara global
antara lain disebabkan :
1. kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang
berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu dinegara maju
2. adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan dari struktur usia manusia yang hidup
3. perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di
kelompok yang rentan terutama dinegeri-negeri miskin
4. tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter
5. terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik dan
pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang
tidak adekuat
6. adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia (Sudoyo, 2007).

9
2.2.3 Cara Penularan
Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang
mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru
dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam
(BTA).
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um.
Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin
(dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman
berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit
kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi. Sifat lain
kuman ini adalah aerob (Sudoyo, 2007).

2.2.4 Patogenesis
2.2.4.1 Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel ini
dapat menetap dlm udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya
sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Bila partikel infeksi ini
terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan
paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer.
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Dari
sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional
= kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
sembuh sama sekali tanpa meinggalkan cacat.
sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus
berkomplikasi dan menyebar secara :
a) per kontinuitatum, menyebar ke sekitarnya

10
b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di
sebelahnya
c) secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya
d) secara hematogen, ke organ tubuh lainnya (Sudoyo, 2007).

2.2.4.2 Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Bentuk keradangan tuberkulosis paru post primer dapat terjadi melalui
proses:
 keradangan endogen : berasal dari fokus lama (dormant) di dalam paru
yang mengalami kekambuhan
 keradangan eksogen : karena infeksi ulang pada tubuh yang pernah
menderita tuberkulosis
Tuberkulosis paru post primer sebagian besar berasal dari infeksi
ulang, hal ini ditunjukkan dengan permulaan keradngan di daerah sub
klavikula dan bukan pada puncak paru (apex pulmonum) (Alsagaff, 2006).

2.2.5 Klasifikasi Tuberkulosis


WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni :
Kategori I, ditujukan terhadap :
o kasus baru dengan sputum positif
o kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori II, ditujukan terhadap :
o kasus kambuh
o kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori III, ditujukan terhadap :
o kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas
o kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik

2.2.6 Gejala-gejala klinis


 Batuk / Batuk darah
 Sesak napas
 Nyeri dada

11
 Wheezing
 Demam
 Menggigil
 Keringat malam
 Anoreksia
 Badan lemah
 Gangguan menstruasi
(Alsagaff, 2006).

2.2.7 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimptomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit
menemukan kelainan pada pemerikaan fisik, karena hantaran getaran/suara
ymg lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan
auskultasi.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian
apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas,maka
didapatkan perkusi yang redup dn auskultasi suara napas bronkial. Akan
didapatkan jug suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring.
Tetapi bila infiltrat ini di liputi oleh penebalan pleura,suara napasnya menjadi
vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yng cukup besar,perkusi memberikan
suara hipersonor atau timpani dnauskultasi memberikan suara amforik
(Sudoyo, 2007).

2.2.8 Pemeriksaan Radiologi


Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama
gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator.
Oleh sebab itu untuk diagnostik radiology sering dilakukan juga foto
lateral,top lordotik, oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras.

12
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadng juga diperlukan adalah
bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang
disebabkan oleh tuberkulosis.
Gambaran radiologist yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah :
 Gambaran pneumonia, berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan
batas-batas yang tidak tegas
 Gambaran proses menahun
 Gambaran milier
 Atelektasis
 Efusi pleura / empiema, massa cairan di bagian bawah paru
 Pembesaran kel hilus

2.2.9 Laboratorium
1. Darah:
Pada saat tuberculosis baru mulai(aktif) akan didapatkan jumlah
leukosit sedikit meningkat dengan hitung jenis pergeseran ke kiri dan
LED meningkat.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1). Anemia ringan
dengan gambarn normokrom dan normositer 2). Gama globulin
meningkat 3). Kadar natrium darah menurun.
2. Dahak / sputum
Pemeriksaan ini mudah dan murah
Sputum dapat diambil dari dahak secara langsung, kerokan laring,
kumbah lambung, kumbah saluran pernapasan dengan bantuan alat
bronskoskopi dan dari cairan pleura.
Untuk pewarnaan dianjurkan memakai Tan Thiam Hok merupakan
modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet
Cara pemeriksaan sputum yang dilakukan adalah:
 pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
 pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens
(pewarnaan khusus).
 pemeriksaan dengan biakan (kultur)
 pemeriksaan terhadap resistensi obat

13
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan.
3. Uji tuberkulin
Dipakai tes Mantoux dgn menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D
intrakutan berkekuatan 5 T.U
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa
indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit
Hasil tes mantoux dibagi dalam : 1). Indurasi 0-5 mm (diameternya) :
mantoux negatif 2). Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = low grde
sensitivity 3). Indurasi 10-15 mm : mantoux positif 4). Indurasi > 15
mm : mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity (Sudoyo, 2007).

2.2.10 Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan.
Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, Poncet’s
arthropathy
Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas → SOFT (Sindrom Obstruksi
Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat → SOPT/ fibrosis paru,
kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa
(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

2.2.11 Penatalaksanaan TB Paru


Non Farmakologis :
 Memperbaiki keadaan umum seperti : diet, keseimbangan cairan,
istirahat, stop merokok, hindari polusi, tatalaksana komorbiditas,
nutrisi dan vitamin
 Pengadaan sarana pemukiman yang memadai misal: ventilasi yang
cukup untuk memungkinkan sinar matahari yang masuk

14
Farmakologis :

Tabel 1 . Resimen Pengobatan Saat ini


Resimen Pengobatan
Kategori Pasien TB
Fase awal Fase lanjut
o TBP sputum BTA 2 HRZS (E) 6 HE
positif baru Bentuk TBP 2 HRZS (E) 4 HR
1 berat 2 HRZS (E) 4 H3R3
o TB ekstra paru (berat)
o TBP BTA negatif
Relaps 2 HZES/ 1HRZE 5 H3R3E3
Kegagalan Pengobatan 2 HZES/ 1HRZE 5 HRE
2
Kembaki ke default

TBP sputum BTA negatif 2 HRZ atau 2 H3R3Z3 6 HE


TB ekstra paru 2 HRZ atau 2 H3R3Z3 2 HR/ 4 H
3
(menengah berat) 2 HRZ atau 2 H3R3Z3 2 H3R3/ 4 H

Kasus kronis (masih BTA Tidak dapat diaplikasikan


positif setelah (mempertimbangkan menggunakan obat-
4 pengobatan ulang yang obatan barisan kedua)
disupervisi)

2.2.12 Dosis Obat

15
Tabel 2. Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Dosis Harian Dosis Berkala 3 x
Nama Obat
BB < 50 Kg BB > 50 Kg seminggu
Isoniazid 300 mg 400 mg 600 mg
Rifampisin 450 mg 600 mg 600 mg
Pirazinamid 1000 mg 2000 mg 2-3 g
Streptomisin 750 mg 1000 mg 1000 mg
Etambutol 750 mg 1000 mg 1-1,5 g
Etionamid 500 mg 750 mg
PAS (Para-Amino 99
salicylic acid)

2.2.13 Efek Samping Obat

Tabel 3. Efek Samping Obat


INH neuropati perifer dapat dicegah dengan pemberian
vitamin B6, hepatotoksik
Rifampisin sindrom flu, hepatotoksik
Streptomisin nefrotoksik, gangguan nervus VIII kranial
Etambutol neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/ dermatitis
Etionamid hepatotoksik, gangguan pencernaan
PAS (Para-Amino salicylic acid) hepatotoksik, gangguan pencernaan
Cycloserin : seizure/ kejang, depresi, psikosis

2.2.1.4 Pencegahan
Pencegahan infeksi tuberkulosis paru meliputi :
a. Terhadap infeksi tuberculosis :
1. Pencegahan terhadap sputum yang infeksius
1.1 Case finding :
- X-foto toraks yang dikerjakan secara masal
- Uji tuberkulin secara Mantoux
1.2 Isolasi penderita dan mengobati penderita
1.3 Ventilasi harus baik

16
2. pasteurisasi susu sapi dan membunuh hewan yang terinfeksi oleh
Mikobakterium bovis akan mencegah tuberkulosis bovin pada
manusia
b. Meningkatan daya tahan tubuh:
1. Memperbaiki standar hidup
- Makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna
- Lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup
- Usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur
- Lakukanlah olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara
segar
1. Usahakan peningkatn kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG
c. Pencegahan dengan mengobati penderita yang sakit dengan obat anti
tuberkulosis (Alsagaff, 2006).

2.3 Tentang Kebijakan Pemerintah Dalam Penanggulangan TB paru di


tempat kerja

Penyakit Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit yang mudah


menular dimana dalam tahun-tahun terakhir memperlihatkan peningkatan
dalam jumlah kasus baru maupun jumlah angka kematian yang disebabkan
oleh TBC.

Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit


TBC, karena di sebagian besar negara di dunia, penyakit TBC tidak terkendali.
Hal ini disebabkan banyaknya penderita TBC yang tidak berhasil
disembuhkan.

WHO melaporkan adanya 3 juta orang mati akibat TBC tiap tahun dan
diperkirakan 5000 orang tiap harinya. Tiap tahun ada 9 juta penderita TBC
baru dan 75% kasus kematian dan kesakitan di masyarakat diderita oleh orang-
orang pada umur produktif dari 15 sampai 54 tahun. Dinegara-negara miskin
kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat
dicegah. Daerah Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban
TBC global yakni sekitar 38% dari kasus TBC dunia. Dengan munculnya
HIV/AIDS di dunia, diperkirakan penderita TBC akan meningkat.

17
Di Indonesia hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada
tahun 1995 menunjukan bahwa penyakit TBC merupakan penyebab kematian
nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran
pernafasan pada semua kelompok umur, dan nomor satu (1) dari golongan
penyakit infeksi. WHO 1999 memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000
kasus baru dengan kematian sekitar 140.000.

Penyakit TBC tidak hanya merupakan persoalan individu tapi sudah


merupakan persoalan masyarakat. Kesakitan dan kematian akibat TBC
mempunyai konsekuensi yang signifikan terhadap permasalahan ekonomi baik
individu, keluarga, masyarakat, perusahaan dan negara.

Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan melalui Program


TBC Nasional, telah bekerjasama dengan Rumah Sakit (RS), Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), Dokter praktek pribadi, organisasi keagamaan
dan ingin meningkatkan kerjasama dengan kelompok masyarakat pekerja dan
pengusaha. Peningkatan perhatian dari pengusaha terhadap penyakit TBC di
sektor dunia usaha sangat diperlukan. Guna mensukseskan aktivitas
pengawasan TBC, pengobatan yang teratur sampai terjadi eliminasi TBC di
tempat keja.

Setiap tempat kerja mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit TBC


pada pekerjanya terutama pada blue collars (karena pendidikan rendah,
higiene sanitasi perumahan pekerja, lingkungan sosial pekerja, higiene
perusahaan). Pengusaha diharapkan ber partisipasi aktif terhadap
penanggulangan TBC di tempat bekerja pada saat seleksi pekerja, higiene
sanitasi di perusahaan, gotong royong perbaikan perumahan pekerja
bekerjasama dengan puskesmas setempat.

Pengawasan TBC ditempat bekerja memberikan keuntungan yang


nyata kepada perusahaan dan masyarakat. Pekerja yang menderita TBC selain
akan menularkan ke teman sekerjanya juga akan mengakibatkan menurunnya
produktifitas kerja, sehingga akan mengakibatkan hasil kerja menurun dan
pada akhirnya mengakibatkan kerugian bagi perusahaan tempat penderita

18
bekerja. Penemuan penderita baru dan pengobatan dini akan memberikan
keuntungan bagi penderita, perusahaan dan program pemberantasan TBC
Nasional.

Untuk menanggulangi masalah TBC di Indonesia, strategi DOTS


(Directly Observed Treatment, Shourtcourse chemotherapy) yang
direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat saat
ini dan harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Pelaksanaan DOTS di
klinik perusahaan merupakan peran aktif dan kemitraan yang baik dari
pengusaha dan masyarakat pekerja untuk meningkatkan penanggulangan TBC
di tempat kerja.

2.3.1 Dasar kebijakan program penanggulangan TBC di tempat kerja

1. Undang-undang no.23 tahun 1992, pasal 23 tentang Kesehatan Kerja


2. Kebijakan teknis program kesehatan kerja
3. Evaluasi program TBC yang dilaksanakan bersama oleh Indonesia dan
WHO pada April 1994 (Indonesia –WHO joint evaluation on National TB
Program)
4. Lokakarya Nasional Program P2TB pada September 1994
5. Dokumen Perencanaan (Plan of action) pada bulan September 1994
6. Rekomendasi “Komite Nasional Penanggulangan Tuberkulosis” 24 Maret
1999

2.3.2 Visi
Tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan di tempat kerja

2.3.3 Misi

1. Menetapkan kebijakan, memberikan panduan serta membuat evaluasi secara


tepat, benar dan lengkap
2. Menciptakan iklim kemitraan dan transparansi pada upaya penanggulangan
penyakit TBC di tempat kerja.
3. Mempermudah akses pelayanan penderita TBC untuk mendapatkan
pelayanan yang sesuai dengan standar mutu

19
2.3.4 Tujuan

Secara umum kegiatan penanggulangan TBC ini diharapkan dapat


menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit TBC pada pekerja untuk
mencapai peningkatan kemampuan hidup sehat agar tercapai produktivitas
yang optimal. Dan hasil yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan tersebut
secara khusus adalah :

1. Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru


BTA positip yang ditemukan ditempat kerja.

2. Tercapainya cakupan penemuan penderita baru secara bertahap sehingga


pada tahun 2005 dapat mencapai 70% dari perkiraan semua penderita baru
BTA positip.
3. Tercapainya pelayanan kesehatan yang paripurna, terjangkau, adil & merata
mencakup 80%

2.3.5 Kerangka Pengendalian Tbc Di Tempat Kerja


Komponen kunci suatu kerangka pengendalian TBC di tempat kerja
yang menyertakan mitra adalah sebagai berikut:
 Adanya kebijakan yang berdasarkan suatu komitmen yang
disepakati

Dalam mengembangkan kebijakan secara tertulis melalui interaksi dan


koordinasi dengan pengambil keputusan dalam forum tripartite. Dalam
menghadapai penanggulangan TBC di tempat kerja dibentuk suatu forum
untuk mengembangkan mekanisme, menterjemahkan kebijakan dalam
perencanaan nasional, propinsi, kabupaten. Kebijakan tersebut mencakup
adanya komitmen dari para pengambil keputusan terhadap program
penanggulangan TBC sebagai bagian dari aktivitas kesehatan di tempat
kerja. Komitmen tersebut mendorong adanya mobilisasi dan alokasi dana
untuk pelaksanaan intervensi yang direncanakan.

 Adanya suatu strategi komunikasi

Strategi komunikasi ada beberapa kegiatan :

20
o Advokasi kepada pengusaha, organisasi pekerja
o Mengefektifkan pelaksanaan penanggulangan TBC termasuk
penanggulangan TBC di tempat kerja
o Menggerakan peran sektor-sektor terkait & kemitraan

 Adanya suatu strategi untuk implementasi

Sebagai dasar dari strategi implementasi meliputi :


 Pelatihan tenaga kesehatan.
 Penemuan kasus, termasuk identifikasi suspek TBC dan rujukan
pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
 Penanganan kasus, membutuhkan dorongan bagi pasien TBC agar taat
pada pengobatan yang diberikan. (pengawasan langsung pemberian
obat di tempat kerja/PMO).

2.3.6 Kebijakan
Kebijakan dalam penanggulangan TBC di tempat kerja mengacu pada
kebijakan nasional

A. Kebijakan operasional penanggulangan TBC nasional :


1. Penanggulangan TBC di Indonesia dilaksanakan dengan desentralisasi
sesuai dengan kebijaksanaan Departemen Kesehatan
2. Penanggulangan TBC dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan
Kesehatan, meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, BP4
serta Praktek Dokter Swasta, poliklinik umum, poliklinik perusahaan
dengan melibatkan peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu.
3. Peningkatan mutu pelayanan, penggunaan obat yang rasional dan
kombinasi obat yang sesuai dengan strategi DOTS.
4. Target program adalah konversi pada akhir pengobatan tahap intensif
minimal 80%, angka kesembuhan minimal 85% dari kasus baru BTA
posistip, dengan pemeriksaan sediaan dahak yang benar (angka kesalahan
maksimal 5%).

21
5. Pemeriksaan uji silang (cross check) secara rutin oleh balai Laboratorium
Kesehatan (BLK) dan laboratorium rujukan yang ditunjuk Untuk
mendapatkan pemeriksaan dahak yang bermutu.
6. Penangulangan TBC Nasional diberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
kepada penderita secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya.
7. Pengembangan sistem pemantauan, supervisi dan evaluasi program untuk
mempertahankan kualitas pelaksanaan program
8. Menggalang kerjasama dan kemitraan dengan program terkait, sektor
pemerintah dan swasta.

B. Kebijakan penanggulangan TBC di tempat kerja :


1. Meningkatkan advokasi sosialisasi Program Pemberantasan TBC di tempat
kerja pada seluruh pimpinan perusahaan.
2. Meningkatkan pengendalian sistem kerja & perilaku hidup sehat pekerja di
tempat kerja.
3. Meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yg profesional di setiap unit
pelayanan kesehatan di tempat kerja.
4. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penangulangan TBC diberikan kepada
penderita secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya khususnya untuk
pekerja di sektor informal/ industri kecil, sedangkan untuk sektor formal/
industri besar OAT disediakan oleh pengusaha.

2.3.7 Strategi Penanggulangan TBC di tempat kerja sesuai dengan Strategi


Nasional

Paradigma Sehat

1. Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan penderita TB sedini mungkin,


serta meningkatkan cakupan Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan
perilaku hidup sehat
2. Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi, pada kondisi tertentu

Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan (tripartite), termasuk


dukungan dana.

22
2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik
3. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) Kesinambungan persediaan
OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
4. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TBC

Peningkatan mutu pelayanan

1. Pelatihan seluruh tenaga pelaksana


2. Mengembangkan materi pendidikan kesehatan tentang pengendalian TBC
mengunakan media yang cocok untuk tempat kerja
3. Ketepatan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik
4. Kualitas laboratorium diawasi melalui pemeriksaan uji silang (cross check)
5. Untuk menjaga kualitas pemeriksaan laboratorium, dibentuk KPP
(Kelompok Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Puskesmas
Rujukan Mikroskopik) dan beberapa PS (Puskesmas Satelit). Untuk daerah
dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM (Puskesmas Pelaksana mandiri).
6. Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan
7. Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus.
8. Keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO).
9. Pencatatan pelaporan dilaksanakan dengan teratur lengkap dan benar.
10. Pengembangan program dilakukan secara bertahap
11. Advokasi sosialisasi kepada para pimpinan perusahaan , organisasi pekerja
mengenai dasar pemikiran dan kebutuhan untuk TBC kontrol yang efektif,
mencakup kontribusinya dalam pengendalian TBC di tempat kerja.
12. Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program meliputi :
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta mengupayakan
sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
13. Membuat peta TBC sehingga ada daerah-daerah yang perlu di monitor
penanggulangan bagi para pekerja.
14. Memperhatikan komitmen internasional.

23
2.3.8 KEGIATAN
Kegiatan penanggulangan TBC di tempat kesja meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.

UpayaPromotif
Peningkatan pengetahuan pekerja tentang penanggulangan TBC di tempat
kerja melalui pendidikan & pelatihan petugas pemberi pelayanan kesehatan di
tempat kerja, penyuluhan, penyebarluasan informasi, peningkatan kebugaran
jasmani, peningkatan kepuasan kerja, peningkatan gizi kerja

Upaya preventif
Adalah upaya untuk mencegah timbulnya penyakit atau kondisi yang
memperberat penyakit TBC.

Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya yang dilaksanakan untuk mencegah
timbulnya penyakit pada populasi yang sehat.

1. Pengendalian melalui perundang-undangan (legislative control)

Undang-Undang No. 14 tahun 1969 Tentang ketentuan-


ketentuan pokok tenaga kerja.
Undang-Undang No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan kerja

Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan tentang hygiene dan saniasi


lingkungan

2. Pengendalian melalui administrasi/organisasi (administrative control)

Pesyaratan penerimaan tenaga kerja


Pencatatan pelaporan

Monitoring dan evaluasi

3.Pengendalian secara teknis (engineering control), antara lain :

24
Sistem ventilasi yang baik
Pengendalian lingkungan keja

4. Pengendalian melalui jalur kesehatan (medical control), antara lain :

Pendidikan kesehatan : kebersihan perorangan, gizi kerja,


kebersihan lingkungan, cara minum obat dll.
Pemeriksaan kesehatan awal, berkala & khusus (anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin, tuberculin
test)

Peningkatan gizi pekerja

Penelitian kesehatan

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalan upaya untuk menemukan penyakit TBC sedini
mungkin mencegah meluasnya penyakit, mengurangi bertambah beratnya
penyakit, diantaranya :

Pengawasan dan penyuluhan untuk mendorong pasien TBC bertahan


pada pengobatan yang diberikan (tingkat kepatuhan) dilaksanakan oleh
seorang “Pengawas Obat” atau juru TBC
Pengamatan langsung mengenai perawatan pasien TBC di tempat kerja

Case-finding secara aktif, mencakup identifikasi TBC pada orang yang


dicurigai dan rujukan pemeriksaan dahak dengan mikroskopis secara
berkala.

Membuat “Peta TBC”, sehingga ada gambaran lokasi tempat kerja


yang perlu prioritas penanggulangan TBC bagi pekerja

Pengelolaan logistik

Upaya Kuratif dan Rehabilitatif

25
Adalah upaya pengobatan penyakit TBC yang bertujuan untuk
menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan
menurunkan tingkat penularan.Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi
dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat selama 6-8
bulan dengan menggunakan OAT standar yang direkomendasikan oleh WHO
dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease).
Pelaksanaan minum obat & kemajuan hasil pengobatan harus dipantau.

Agar terlaksananya program penanggulangan TBC ditempat kerja perlu


adanya komitmen dari pimpinan perusahaan / tempat kerja dan kerjasama
dengan semua pihak terkait untuk melaksanakan Program Penanggulangan TBC
didukung dengan ketersediaan dana, sarana dan tenaga yang professional.

Keberhasilan pengobatan TBC tergantung dari kepatuhan penderita


untuk minum OAT yang teratur. Dalam hal ini, PMO di tempat kerja akan
sangat membantu kesuksesan Penanggulangan TBC di tempat kerja.

2.4 Sistem jaminan sosial nasional (SJSN)

Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial ( Social Security ),


sebagaimana pertama kali dirintis oleh Otto von Bismarck ( 1883 ), sebagai
upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat, dewasa ini telah berkembang
diseluruh dunia dengan berbagai modifikasi, sesuai dengan keadaan ,
kebutuhan dan bahkan sistem politik dan ekonomi di setiap Negara.

Prinsip – prinsip yang menjadi ciri program jaminan sosial.:

1. Pertama, bahwa program jaminan sosial itu tumbuh dan berkembang sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi sebuah Negara.
2. Kedua, ada peran peserta untuk ikut membiayai program jaminan sosial,
melalui mekanisme asuransi, baik sosial / komersial atau tabungan.

3. Ketiga, dimulai dari kelompok formal, non – formal dan baru kelompok
masyarakat mandiri.

26
4. Keempat, kepesertaan yang bersifat wajib, sehingga hukum “ the law of
large numbers cepat terpenuhi.

5. Kelima, peran Negara yang besar.

6. Keenam bersifat “ not for profit” dan

7. Ketujuh , ternyata merupakan instrumen mobilisasi dana masyarakat yang


besar, sehingga mampu membentuk tabungan nasional yang juga besar,
sehingga memberi dampak ekonomi/ pembangunan pada umumnya. Sistem
Jaminan Sosial Sosial merupakan “ engine of development”., mesinnya
pembangunan sebuah bangsa.

Peran Negara, tidak hanya dalam bentuk regulasi, tetapi juga sebagai
penyelenggara, pemberi kerja yang harus ikut membayar iuran, dan bahkan
juga sebagai penanggung – jawab kelangsungan hidup program jaminan
sosial, termasuk memberi subsidi, apabila diperlukan. Bagi masyarakat yang
tidak mampu membayar iuran program jaminan sosial, negara dapat
menyelenggarakan program bantuan sosial ( social assistance ) atau pelayanan
sosial ( social services ), yang penyelengaraannya dapat “ dititipkan” pada
penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

Pembukaaan undang-undang dasar 1945 dengan tegas menyebutkan


bahwa terbentuknya suatu negara kesatuan kesatuan republik indonesia adalah
untuk mensejahterakan masyarakat yang telah menjadi tanggung jawab negara
dalam mengelola jaminan sosial masyarakat agar rakyat merasa nyaman dalam
menjalani hidup, maka menjelang akhir tahun 2004 pemerintah menerbitkan
undang-undang No 4 tahun 2004, tentang sistem jaminan sosial nasional yang
secara garis besar UU tersebut dirancang untuk:

1. memenuhi amanat UUD 1945, khususnya pasal 34 ayat 2 ”negara


mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan.

27
2. meningkatkan jumlah peserta program jaminan sosial di indonesia. Hal ini
oleh karena sejauh ini peserta program jaminan sosial di indonesia masih
sangat kurang.
3. meningkatkan cakupan, manfaat/ benefit yang dapat dinikmati oleh peserta
program jaminan sosial. Oleh karena manfaat program jaminan sosial
belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh sebagian besar rakyat indonesia.
Bagi pegawai negeri sipil belum meliputi program jaminan kecelakaan
kerja, sementara bagi kelompok pekerja formal swasta belum memiliki
program jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.
4. meningkatkan kualitas manfaat yang dapat dinikmati oleh peserta program
jaminan sosial agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
5. terselenggaranya keadilan sosial dalam pelaksanaan program jaminan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan pengembangan SJSN
diharapkan dapat terselenggara program jaminan sosial secara terpadu
melalui pendekatan sistem yang berlaku bagi semua penduduk indonesia.
6. terselenggaranya prinsip-prinsip penyelenggaraan program jaminan sosial
dengan prinsip-prinsip universal yang dikenal, misalnya prinsip gotong
royong, prinsip nirlaba, prinsip keterbukaan atau transparansi, kehati-
hatian, akuntabilitas, portabilitas, prinsip kepesertaan bersifat wajib,
prinsip dana amanat, dan prinsip hasil pengelolaan dana.
7. dilaksanakan secara bertahap, baik aspek jenis program maupun
kepesertaan dengan memperhatikan kelayakan program. Dengan
mengantisipasi implementasi SJSN sesuai dengan UU N0 40/2004,
diperkirakan sedikitnya diperlukan waktu 20-25 tahun untuk dapat
mencakup seluruh rakyat indonesia.

Adapun badan penyelenggara untuk program jaminan sosial menurut


UU N0 40/2004, sementara adalah badan penyelenggara jaminan sosial yang
sudah ada (PT Jamsostek, PT ASKES, PT TASPEN, PT ASABRI) dengan
tidak menutup kemungkinan pembentukan badan penyelenggara lain yang
dibentuk dengan UU. Badan jaminan sosial tersebut diwajibkan menyesuaikan
diri dengan UU No 40/2004 antara lain menjadi lembaga yang not for profil,
khususnya yang terkait dengan besarnya iuran dan manfaat, sistem pendanaan

28
dan mekanisme pemberian pelayanan, khususnya dalam penyelenggaraan
program jaminan kesehatan.
Dalam UU No 40/2004 , jenis jaminan sosial yang hendak
diselenggarakan meliputi:
1. jaminan kesehatan
2. jaminan kecelakaan kerja
3. jaminan hari tua
4. jaminan pensiun
5. jaminan kematian (Sembiring,2006).

2.4.1 Asuransi Kesehatan Tenaga Kerja


2.4.1.1 Pengertian Asuransi
Pengertian asuransi dari pandangan pengetahuan ekonomi banyak
dikemukakan. Menurut The New Websters Dicyionary, ”The Practice by with
an individual secures financial compensation for aspecified loss or damaged”.
Pada umumnya yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu cara atu
alatpemindahan resiko apabila pada waktu akan dating diderita kerugian-
kerugian akibat resiko yang dihadapi maka kerugian tersebut akan dialihkan
kepada pihak lain. Asuransi dapat diartikan sebagai upaya mengalihkan
tanggung jawab resiko yang mungkin dihadapi kepada pihak lain dengan
membayar premi. Walaupun tidak diharapkan dalam kehidupannya, manusia
sering dihadapkan pada suatu resiko. Untuk itumereka selalu berusaha
mengurangi atau bahkan menghindari sama sekali dari resiko yang mungkin
menimpanya (Wijono,2000).

2.4.1.2 Manfaat Asuransi


Apabila asuransi kesehatan dapat dilakukan akan diperoleh beberapa
manfaat yang secara sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Membebaskan peserta dari kesulitan menyediakan dana tunaikarena pada
asuransi kesehatan telah ada yang menjamin biaya kesehatan, maka para
peserta tidak perlu harus menyediakan dana tunai setiap kali berobat.
2. Biaya kesehatandapat diawasi, pengawasan yang dimaksud berupa
diberlakukannya berbagai peraturan yang membatasi jenis pelayanan
kesehatan yang dapat diberikan oleh penyedia pelayanan dan yang dapat

29
dimanfaatkan oleh peserta. Dengan adanya pembatasan ini penggunaan
yang berlebihan akan dapat dicegahyang apabila berhasil dilakukan pada
gilirannya akan mampu mengawasi biaya kesehatan.
3. Mutu pelayanan dapat diawasi, pengawasan yang dimaksud adalah melalui
penilaian berkala terhadap terpenuhi atau tidaknya standar minimal
pelayanan. Dengan dilakukannya penilaian ini akan dapat dihindari
pelayanan kesehatan yang bermutu rendah.
4. Tersedianya data kesehatan yang lengkap, data ini diperlukan untuk
merencanakan dan menilai kegiatan berbagai macam program kesehatan
lainnya yang dilaksanakan di Indonesia (Azwar,1996).

2.4.1.3 Unsur-Unsur dan prinsip Asuransi


Dari pengertian asuransi diatas dapat dikemukakan beberapa unsur
asuransi sebagai berikut:
1. Adanya Premi
2. Adanya penggantian kerugian
3. Adanya pihak tertanggung dan penanggung
4. Adanya peristiwa yang tidak dapat ditentukan sebelumnya
5. Adanya resiko yang mungkin menimpa kepentingan tersebut

Prinsip-prinsip asuransi.
1. Prinsip interest terhadap yang diasuransikan (Priciple of insurable
interest). Seseorang hanya boleh dan berhak mengasuransikan sesuatu
apabila ia mempunyai kepentingan terhadap sesuatu yang diasuransikan
tersebut.
2. Prinsip kepercayaan yang baik sepenuhnya (Prinnciple of utmost good
faith.) dalam hubungan perasuransian, selalu berdasarkan kepercayaan
sepenuhnya terhadap keterangan-keterangan atau dokumen-dokumen yang
diberikan, oleh karenanya bila kemudian ternyata keterangan atau
dokumen tidak benar, maka pihak penanggung dapat menolak klaim atau
tidak bertanggung jawab.
3. Prinsip Ganti rugi (Principle of Indemnity) maksud seseorang
mengasuransikan adalah untuk untuk memperoleh ganti rugi apabila
terjadi kerugian, kerusakan, atau kehilangan. Ganti rugi ini pada dasarnya

30
setinggi-tingginya sama besarnya dengan harga kerugian yang
sesungguhnya didierita oleh tertanggung.
4. Prinsip Subrogasi (Principle Of Subrogation) yaitu hak untuk menuntut
dari pihak ketiga berpindah dari tuntutan kepada tertanggung pindah
kepada penanggung dengan diselesaikannya kliam kepada tertanggung
oleh penanggung. Prinsip ini berkaitan dengan prinsip ganti rugi. Sebagai
contoh pengiriman barang dengan kapal laut yang diasuransilkan. Banyak
pihak dapat terlibat tentang kerusakan barang baik itu bagian pergudangan,
bagian kapal dan pihak asuransi. Bila pihak asuransi telah membayar ganti
rugi kepada tertanggung atas kerusakan barang, maka secara otomatis hak
gugat kepada pihak ketiga lainnya sesuai prinsip subrogasi beralih kepada
pihak asuransi(penanggung), dengan demikian kecil kemungkinan pihak
tertanggung akan dapat kliam lagi kepada pihak lain atau mendapat ganti
rugi lagi sehingga dapat lebih besar dari kerugian yang dideritanya
(Wijono,2000).

2.4.1.4 Cara pembayaraan dalam sistem asuransi pemeliharaan kesehatan


Dalam upaya pemeliharaan kesehatan, berbagai macam cara
pembayaraan dipergunakan pada waktu sehat maupun sakit. Pada umunya
orang baru membiayai pemeliharaan kesehatannya pada saat sakit saja. Hal ini
tentu menambah kerugian karena pada saat sakit penghasilan kemungkinan
menurun demikian pula produktivitasnya. Untuk masyarakat berpenghasilan
rendah hal ini akan manjadi beban yang sangat berat dan suatu lingkaran tanpa
henti. Sistem pemeliharaan yang kompetitif terutama melalui pembayaran
dimuka (Prepaid), adalah jika pelanggan sebelum sakit atau sebelum
memperoleh pelayan medis dari dokter atau rumah sakit telah membayarnya
melalui asuransi kesehatan. Hal ini tentu berbeda dengan free for service
dimana pelanggan atau asuranssi kesehatan langsung membayar setelah
memperoleh pelayanan medis. Dengan system pprepaid pelanggan dapat
memilih fasilitas medis (dokter, rumah sakit, asuransi kesehatan) yang
dikehendakinya, berdasarkan informasi terbukayang diperolehnya tentang
mutu, harga pelayanan, dan lain-lain yang ditawarkan. Dengan sisitem tersebut
dapat didorong upaya-upaya preventif dari penyakit dan memberi kesempatan

31
pelayanan kesehataan dasar kepada bidan dan paramedic yang tidak mahal
(Azwar,1996).
Dengan program asuransi kesehatan atau jaminan pemeliharaan
kesehatan (managed care) diharapkan akan membantu mengatasi hal tersebut.
Dimana seseorang telah membiayai kesehatannyapada saat masih sehat atau
sebelum sakit. Beberapa bentuk cara pembayaran pemeliharaan kesehatan
antara lain:
1. Dengan cara pembayaran konvensional, pasien membayar langsung dari
sakunya out of pocket) kepada dokter. Terjadi hubungan transaksi
langsung dokter pasien atas jasa yang telah diberikan oleh dokter yang
biasanya berupa tindakan kuratif. Biaya ini cenderung selalu meningkat
dan membebani pasien apalagi pada saat pasien sedang sakit, yang bahkan
mungkin tidak memiliki biaya.
2. Pemeliharaan kesehatan dengan system asuransi kesehatan ganti rugi,
dalam sistem ini pasien membayar iuran /premi kepada asuransi
kesehataan secara pra upaya. Pada saat sakit setelah mendapat pengobatan
dan dokter, pasien langsung membayar tunai pada dokter, selanjutnya
pasien mengajukan klaim kepada kepada asuransi kesehatan dan
mendapatkan penggantian. Pada system ini perusahaan asuransi tidak
berhubungan langsung dengan provider.

premi Bayar tunai

Perusahaan pasien Provider/


asuransi Klaim pelayanan PPK
Ganti rugi

Skema1. Sistem asuransi ganti rugi

3. Pemeliharaan kesehatan dengan system tagihan provider, dalam system


ini terjadi hubungan antara provider-pasien melalui pihak ketiga.
Pasien membayar iuran (premi) dengan cara bayar dulu dimuka
kepada asuransi, kemudian asuransi membayar klaim provider setelah
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien sesuai dengan tarif
provider. Disini pasien tidak klaim kepada perusahaan asuransi.
Dalam system ini pelayanan kesehatan cenderung kuratif dengan

32
pelayanan kesehatan yang cenderung meningkat karena provider akan
memberikan jasa secara berlebihan, bahkan kurang diperlukan pasien
dengan maksud agar dapat klaim yang sebesar-besarnay dari
perusahaan asuransi. Demikian pula dengan pasien akan meminta
pelayanan berlebihan bahkan yang sesungguhnya tidak perlu.

Asuransi
kesehatan Bayar klaim
premi
Klaim

Pasien/peserta Provider/PPK
askes pelayanan

Skema 2. Sistem asuransi dengan sistem tagihan provider

4. System jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM)


Didalam sistem JPKM (managed care) terdapat hubungan
setara yang saling menguntungkan bagi 3 elemen, yaitu peserta,
provider, dan perusahaan asuransi (badan penyelenggara JPKM).
Pasien membayar premi kepada BAPEL JPKM secara bayar dimuka
(prepaid) atau membayar dulu sebelum sakit atau belum membutuhkan
pelayanan kesehatan. Kemudian BAPEL JPKM membayar kapitasi
sesuai jumlah peserta JPKM yang dipercayakan dan memberikan
pembayaran dimuka kepada provider sebelum pemberian pelayanan
jasa oleh provider yang bersangkutan setiap bulan atau sesuai
perjanjian. Selanjutnya provider diwajibkan untuk memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien atau peserta tanpa memungut biaya
(Wijono,2000)

33
BAPEL JPKM
Bayar kapitasi
premi

Pasien/peserta Provider/PPK
askes pelayanan

Skema 3. Sistem JPKM

2.4.2 Sejarah singkat tentang penerapan sistem JPKM di indonesia:


Pada tahun 1980 pemikiran tentang suatu anggaran dana kesehatan
semakin dimantapkan pengelolaannya, hal ini dibuktikan dengan perubahan
status badan penyelenggara dana pemeliharaan kesehatan menjadi perum
husada bakti PHB berdasarkan PP nomor 23/1984, kemudian seiring dengan
waktu PHB menjadi makin berkembang dan mandiri menjadi perusahaan
swasta berbentuk perseroan terbatas yang dikenal sebagai PT Askes indonesia.
Pemeliharaan kesehatan tenaga kerja (PKTK) yang dikelola oleh PT
Astek-depnaker bekerjasama dengan depkes yang diatur dalam SKB menaker
dan menkesyang selanjutnya berkembang mandiri menjadi PT jamsostek yang
lebih dimantapkan dengan keluarnya UU No.3/1992.
Pada masa 1990, JPKM ditujukan untuk pemerataan peningkatan mutu
dan kendaloi biaya kesehatan. Keterpaduan pembiayaan kesehatan dengan
pelayanannya harus terjalin dalam hubungan antara badan penyelenggara
dengan pemberi pelayanan kesehatan dan pesertanya yang perlu diikuti dengan
pengelolaan upaya lainnya(managed care)agar terjamin pemeliharaan
kesehatan yang diharapkan.

2.4.2.1 Definisi JPKM

34
Dalam UU no 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 1 no 15
disebutkan bahwa ” jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu
cara pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan azas usaha bersama
dan kekeluargaan yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin
serta pembiayaan yang dilaksanakan secara pra upaya.
Selanjutnya dalam pasal 66 ayat 1 UU No 23 tahun 1992, dinyatakan
bahwa: pemerintah mengembangkan, membina dan mendorong jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagai cara yang dijadikan landasan
setiap penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan, yang pembiayaannya
dilaksanakan secara pra upaya berazaskan usaha bersama dan kekeluargaan
(Azwar,1996).
Beberapa hal yang perlu dipahami tentang pengertian JPKM yaitu:
1. Jaminan, dimana setiap penyelenggaraan kesehatan berdasarkan JPKM
harus mampu menjamin:
a.Terselenggaranya pemeliharaan kesehatan yang paripurna (preventiv,
promotif, kuratif, dan rehabilitatif), berkesinambungan dan terpadu.
b. Terjaganya mutu pemeliharaan kesehatan sesuai dengan standar
mutu yang disepakati.
c.Efisiensi dan kelancaran memperoleh pelayanan kesehatan bagi
pesertanya.
d. Efektivitas dari upaya pemeliharaan kesehatan bagi peningkatan
derajatkesehatan masyarakat lainnya.
2. Cara penyelenggaraan
JPKM merupakan suatu cara penyelenggaraan upaya pemeliharaan
kesehatan yang terpadu dengan pembiayaannya (managed care). Cara ini
mempunyai beberapa mekanismepelaksanaan tertentu yang menjadi cirri
khas atau prinsip penyelenggaraan JPKM yang disebut sebagai jurus-jurus
JPKM.
3. Azas usaha bersama dan kekeluargaan
JPKM merupakan usaha bersama dengan peran aktif badan penyelenggara,
peserta dan pemberi pelayanan kesehatan untuk bersama-sama secara
kekeluargaan mengendalikan mutu dan biaya pemeliharaan kesehatan. Hal
ini dimaksudkan agar dapat dijaga keseimbangan dan keserasian dalam
membela kepentingan masing-masing.

35
4. Pemeliharaan kesehatan yang paripurna
Hal ini berarti bahwa upaya pemeliharaan kesehatan dilaksanakan secara
menyeluruh meliputi kegiatan promotif, preventive, kuratif, dan
rehabilitatif, dan secara holistic meliputi kesehatan jasmani, jiwa, social,
dan lingkungan kesehatannya terpadu dan berkesinambungan
5. Pembiayaan secara pra upaya
Pemberian pelayanan kesehatan (PPK) dibayar di muka atau pra upaya
(Pre Paid) oleh badan penyelenggara untuk memelihara kesehatan
sejumlah peserta JPKM berdasarkan paket pemeliharaan kesehatan yang
telah disepakati bersama. “Pra-upaya” juga berarti bahwa peserta JPKM
membayar dimuka sejumlah iuran secara teratur kepada badan
penyelenggara agar kebutuhan pemeliharaan kesehatannya terjamin.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahwa JPKM tidak hanya suatu
merupakan suatu cara pembiayaan kesehatan. JPKM juga merupakan suatu
cara pemeliharaan kesehatan yang terarah dan terencana dengan
pengelolaan yang efektif, efisien dan didukung oleh pembiayaan pra upaya
yang memungkinkan peningkatan derajat kesehatan dari segenap
pesertanya.
Fokus utama JPKM adalah peningkatan derajat kesehatan, utamanya
melalui upaya promotif dan preventif agar seseorang tidak jatuh sakit dan
bukan semata-mata menghimpun atau mengumpulkan dana (Wijono,2000).
Dalam pelaksanaannya tidak boleh terdapat hal-hal yang dapat
menghambat ataupun mengurangi pencapaian peningkatan derajat kesehatan
tersebut, seperti:
1. Adanya pembatasan kepesertaan karena umur, pekerjaan dengan resiko
tinggi tingkat social, ekonomi dan sebagainya.
2. Adanya pemeriksaan kesehatan sebagai syarat untuk menjadi peserta.
Pembatasan tersebut sering dipergunakan oleh upaya perlindungan
kesehatan berdasarkan sistem asuransi ganti rugi (Indemnity Plan) karena
pemberian pelayanan kesehatan disesuaikan dengan keadaan ”kesehatan”
keuangannya. Pada JPKM pemberian pelayanan kesehatan disesuaikan dengan
kebutuhan medis peserta (Azwar, 1996).

2.4.2.2 Manfaat dan tujuan JPKM

36
Manfaat yang diperoleh dengan diterapkannya JPKM adalah:
1. Masyarakat terlindungi dan merasa aman dalam memperoleh pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan utamanya. Pelayanan kesehatan dapat
diselenggarakan dengan lebih merata dan dapat menjangkau keluarga
miskin.
2. Pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan secara komprehensif melalui
model pelayanan dokter keluarga.
3. Pembiayaan pelayanan kesehatan lebih efisien dan efektif karena adanya
pembayaran pra-upaya, dan
4. Lebih meningkatnya peranan dunia usaha dan masyarakat dalam upaya
kesehatan (JPKM,DEKES RI,2002).
Tujuan JPKM adalah mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
optimal melalui pemeliharaan kesehatan yang paripurna yang bermutu dan
merata dengan pengendalian biaya yang berasal dari pesertanya. Karena
fungsi pemeliharaan kesehatan dan fungsi pembiayaan kesehatan saling
mempengaruhi maka efisiensi dan efektivitas yang optimal hanya dapat
diperoleh dengan suatu keterpaduan dalam melaksanakan kedua fungsi
tersebut (Wijono, 2000).
Keharusan untuk melaksanakan keterpaduan ini tercermin dalam pasal
66 ayat(2) dan UU No.23 tahun 1992, yang menyebutkan bahwa
”penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan den pembiayaannya dikelola
secara terpadu untuk tujuan meningkatkan derajat kesehatan , wajib
dilaksanakan oleh setiap penyelenggara”. Pembayaran kapitasi itu akan
mewujudkan efisiensi biaya kesehatan dan mendorong PPK untuk lebih
berorientasi kepada upaya promotif maupun preventif. Dalam JPKM diatur
keterpaduan pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan untuk
mewujudkan kendali mutu dan kendali biaya yang di banyak negara dikenal
dengan nama ”Managed Care” (Roebojoso,2006).

2.4.2.3 Pelaku utama penyelenggara JPKM

37
Didalam melaksanakan suatu penyelenggaraan JPKM terdapat
komponen–komponen pelaku yang semuanya saling terkait dan merupakan
suatu kesatuan yang saling mempengaruhi diantaranya:
1. Peserta, sebagai masyarakat tertentu (defined) yang berminat
meningkatkan derajat kesehatannya dan mengorganisasikan diri dengan
membayar sejumlah iuran tertentu secara teratur sebagai dana praupaya
untuk membiayai pemeliharaan kesehatannya.
2. Pemberi pelayanan kesehatan (PPK) sebagai suatu jaringan pelayanan
kesehatan yang terorganisir dan dapat memberikan pemeliharaan
kesehatan secara efektif dan efisien berupa paket pemeliharaan
kkesehatan paripurna.
3. Lembaga/badan yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya
kesehatan berdasarkan JPKM (badan penyelenggara JPKM) dimana
penyelenggaraannya mencakup mengatur, melaksanakan, mematau dan
menilai.
4. Lembaga/ badan pembinan yang dibentuk pemerintahwilayah untuk
meminta badan penyelenggara JPKM di wilayahnya agar menerapkan
jurus-jurus JPKM . Badan pembina memiliki fungsi koordinasi dan
pembinaan terhadap semua penyelenggaraan JPKM di wilayahnya.

2.4.2.4 Kendali biaya dalam JPKM


Pengendalian biaya melalui jurus kendali biaya dalam JPKM dilakukan
dengan cara:
1. Pembayaran premi dimuka (iuran pra bayar)
Premi atau iuran adalah sejumlah uang yang harus dibayar di muka
oleh seorang peserta sebelum mendapatkan jasa pelayanan kesehatan.
Metode ini akan menghindarkan resiko financial masyarakat ketika jatuh
sakit serta akan mendorong Bapel mengelola usaha pemeliharaan
kesehatan secara nyata dan efisien. Beberapa syarat harus diperhatikan
dalam penetapan premi iuran yakni:
a. premi harus wajar artinya besar premi memadai dengan kebutuhan
untuk memberikan paket pelayanan yang sesuai
b. premi harus terjangkau artinya besar premi harus terjangkau oleh
masyarakat dan sesuai dengan kemampuan masyarakat.

38
c. premi harus dihitung secara cermat artinya premi perlu dihitung
dengan memperhatikan factor resiko antara lain resiko kemungkinan
tingginya penggunaan fasilitas pelayanan karena banyaknya pasien
yang sakit dsb-nya.

2.4.3. Berbagai bentuk upaya pemeliharaan kesehatan di indonesia


2.4.3.1 Pemeliharaan pegawai negri, penerima pensiunan dan keluarganya
Dibentuk tahun 1968 berdasarkan keppres no 230 tahun 1968. pada
waktu itu dinamakan Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan,
atau disingkat BPDPK dan berada dalam lingkungan departemen kesehatan.
Selanjutnya BPDPK diubah menjadi perum husada bakti kemudian menjadi
PT Asuransi Kesehatan Indonesia sampai sekarang. Kepesertaan program
bersifat wajib bagi pegawai negeri, penerima pensiunan (baik sipil maupaun
ABRI) dengan iuranm dipotong gaji 2 % PT ASKES dewasa ini juga
menerima masyarakat umum sebagai peserta secara sukarela.
Pelayanan kesehatan peserta disediakan disemua puskesmas dan rumah
sakit pemerintah. Untuk peserta komersial disediakan pelayanan oleh dokter
keluarga atau fasilitas kesehatan swasta. Cara penyelenggaraan pemeliharaan
kesehatan dan cara pembayaran kepada PPK sudah mengikuti prinsip-prinsip
JPKM (untuk puskesmas dilakukan berdasarkan kapitasi dan untuk rumah
sakit berdasarkan sistem paket) (Wijono,2000).

2.4.3.2 Pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerja dan keluarganya


Sejak terbitnya UU no 3 th 1992 tentang jamsostek, jaminan
pemeliharaan kesehatan untuk tenaga kerja dan keluarganya wajib
dilaksanakan oleh setiap perusahaan yang memperkerjakan minimal 50 orang
karyawan atau mengeluarkan Rp 1.000.000,- minimal sebulan untuk gaji para
tenaga kerjanya. Iuran ditetapkan sebesar 3% dari gaji sebulan untuk pekerja
bujangan dan 6% sebulan bagi yang sudah berkeluarga. Seluruh iuran
ditanggung oleh perusahaan. Pemeliharaan kesehatan serta cara pembayaran
kepada PPK mengikuti pedoman penyelenggaraan JPKM.

2.4.3.3 Pemeliharaan kesehatan swasta

39
Beberapa perusahaan swasta teah didirikan untuk menyelenggarakan
upaya pemeliharaan kesehatan berdasarkan JPKM untuk golongan tertentu
dari masyarakat yang berpenghasilan menengah keatas. Pemeliharaan
kesehatan menggunakan fasilitas swasta dan pengelolaannya mengikuti
pedoman JPKM.
Pemeliharaan kesehatan dari, oleh, dan untuk masyarakat atau dana
sehat. Dana sehat adalah suatu upaya pemeliharaan kesehatan dari, oleh, dan
untuk masyarakat umum. Pengelolaan dana sehat pada umumnya dilakukan
secara sukarela oleh pengurus yang ditunjuk oleh masyarakat setempat.
Peserta umumnya keluarga tidak mampu di pedesaan dan perkotaan dengan
iuran yng relatif kecil dan paket pelayanan kesehatan yang masih terbatas.
Dewasa ini sedang digiatkan pengembangan dana sehat ke arah JPKM
(Roebijoso,2006).
2.5 Pelayanan Kesehatan
2.5.1 Definisi Pelayanan Kesehatan
Pengertian pelayanan kesehatan menurut pendapat Levey dam Loomba
(1973) ialah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama
dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perseorangan, keluarga, kelompok, dan ataupun masyarakat. Tujuan pelayanan
kesehatan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan
memberikan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang berkualitas (Azwar,
1996).

2.5.2 Bentuk dan Jenis Pelayanan


Bentuk dan jenis pelayanan kesehatan tersebut jika dijabarkan dari
pendapat Hodgetts dan Cascio (1983) adalah :
1. pelayanan kedokteran
pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan
kedokteran (medical service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang
dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu
organisasi, tujuan utamanya untuk menyembuhkan penhyakit dan
memulihkan kesehatan, serta sasarannya terytama untuk perorangan dan
keluarga.

40
2. pelayanan kesehatan masyarakat
pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan
masyarakat, namun untuk dapat disebut sebagai suatu pelayanan kesehatan
yang baik harus memiliki persyaratan pokok, syarat yang dimaksud
adalah:
a. tersedia dan berkesinambungan
syarat pokok utama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan
kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat serta bersifat
berkesinambungan. Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang
dibutuhka oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya
dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.
b. dapat diterima dan wajar
syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah yang dapat
diterima oleh masyarakat serta bersifat wajar. Artinya pelayanan
kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan
kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan
dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan
masyarakat serta bersifat tidak wahar bukanlah suatu pelayanan
kesehatan yang baik.
c. mudah dicapai
syarat pokok ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah
dicapai oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksud disini
terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian untuk dapat mewujudkan
pelayanan kesehatan yang baik, maka penagaturan distribusi sarana
kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu
terkonsentrasi didaerah perkotaan saja dan sementara itu tidak
ditemukan didaerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang
baik.
d. mudah dijangkau
syarat pokok ke empat pelayanan kesehatan yang baik adalah yang
mudah dijangkau masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang
dimaksudkan ialah keadaan yang harus dapat diupayakan biaya
pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi
masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal hanya mungkin

41
dinikmati oleh sebagian kecil masyarakt saja dan bukanlah merupakan
suatu bentuk pelayanan kesehatan yang baik.
e. Bermutu
Syarat pokok ke lima pelayanan kesehatan yang baik adalah yang
bermutu. Pengertian mutu yang dimaksud dsisini adalah yang
menunjukkan kepada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan, disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa
pelayanan dan pihak lain tata cara penyelenggaraanya sesuai denagn
kode etik serta standar yang telah ditetapkan (Wijono D, 2000).

2.5.3 Stratifikasi Pelayanan Kesehatan


Strata pelayanan kesehatan yang dianut oleh tiap Negara tidaklah
sama, di Indonesia secara umum berbagai strata ini dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam, yaitu :
1. pelayanan kesehatan tingkat pertama
yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary
service) adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok, yang sangat
dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai nilai strategis
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya
pelayanan kesehatan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan
(ambulatory services)
2. pelayanan kesehatan tingkat kedua
yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan masyarakat tingkat kedua
(secondary helath services) adalah pelayanan kesehatan yang lebih lanjut,
telah bersifat rawat inap dan untuk menyelenggarakannya telah telah
dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga spesialis.
3. pelayanan kesehatan tingkat ketiga
yang dimaksud pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health
services) adalah suatu pelayanan kesehatan yang bersifat lebih komplek
dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga subspesialis (Azwar,
1996).

2.5.4 Mutu Pelayanan Kesehatan


2.5.4.1 Definisi mutu pelayanan kesehatan

42
Mutu pelayanan kesehatan menurut ahli mutu pelayanan kesehatan The
University of Michigan , Dr. Avedis Donababedian mengemukakan bahawa
mutu pelayanan kesehatan dapat diketahui apabila sebelumnya telah dilakukan
penilaian terhadap tingkat kesempurnaan, sifat, wujud serta ciri-ciri pelayanan
kesehatan ataupun kepatuhan terhadap standar pelayanan. Di dlam melakukan
penilaian suatu mutu pelayanan kesehatan tidaklah mudah Karena mutu
pelayanan kesehatan tersebut bersifat multi-demensional (Roebijoso, 2006).
Tiap orang tergantung dari latar belakang dan kepentingan masing-
masing dapat saja melakukan penilaian dari demensi yang berbeda.
Disebutkan yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah yang
menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam
menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien., makin sempurna kepuasan
tersebut maka makin baik pula mutu pelayanan kesehatn. Sekalipun pengertian
mutu yang terkait dengan kepuasan ini telah diterima secara luas, namun
masalah pokok yang ditemukan ialah karena kepuasan tersebut ternyata
bersifat subyektif (Azwar, 1996).

2.5.4.2 Arti Mutu Pelayanan Kesehatan dari Beberapa Sudut Pandang


Arti mutu dapat ditinjau dari beberapa sedut pandang pasien, petugas
kesehatan dan manajer. Mutu merupakan focus sentral dari tiap upaya untuk
memberikan pelayanan kesehatan.
1. untuk pasien dan masyarakat
mutu pelayanan berarti suatu empati, respek dan tanggap akan
kebutuhannya, pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka,
diberikan dengan cara yang ramah pada waktu mereka berkunjung. Pada
umunya mereka ingin pelayanan yang mengurangi gejala secara efektif
dan mencegah penyakit, sehingga mereka beserta keluarganya sehat dan
dapat melaksanakan tugas mereka sehari-hari tanpa gangguan fisik.
Kepuasan pasien adalah suatu kenyataan, tetapi sering
diabaikan sebagai indicator mutu. Banyak survey rumah sakit untuk
menentukan kepuasan pada umumnya dan untuk mendeteksi masalah
tersebut menyangkut makanan yang dingin, bising, kamar kecil yang
kotor, ruang yang panas, keterlambatan pelayanan dan ketidaknyamanan
lain. Survey pasien-pasien mengenai masalah yang bersangkutan dengan

43
dirinya berkaitan dengan kontrol penyakitnya, budaya, sosial dan pebedaan
status ekonomi, asumsi pasien termasuk didalamnya yaitu pengunjungnya.
Kepuasan pasien seringkali dipandang sebagai :
a. suatu komponen yang penting dalam pelayanan kesehatan
b. berkaitan dengan kesembuhan darisakit atau luka
c. hal ini berkaitan dengan konsekuensi dari pada sifat pelayanan
kesehatan itu sendiri
d. berkaitan pula dengan sasaran dan outcome dari pelayanan
e. dalam penilaian mutu dihubungkan dengan ketetapan pasien terhadap
mutu atau kebagusan pelayanan
f. pengukuran penting yang mendasar bagi mutu pelayanan, karena ia
memberikan informasi terhadap suksesnya provider bertemu dengan
nilai dan harapan klien dimana klien adalah mempunyai wewenang
sendiri
2. untuk petugas kesehatan
mutu pelayanan berarti bebas melakukan segala sesuatu secara
profesional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat
sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang maju, peralatan
yang baik dan memenuhi standar yang baik. Komitmen dan motivasi
petugas tergantung dari kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas
mereka dengan cara optimal.
3. untuk manajer atau administrator
mutu pelayanan tidak begitu berhubungan dengan tugas mereka
sehari-hari, namun tetap saja sama pentingnya. Kebutuhan untuk
supervise, manajemen keuangan, logistic dan alokasi sumber daya yang
terbatas sering memberikan tantangan yang tidak terduga. Hal ini
seringkali menyebabkan manajer kurang memperhatikan prioritas. Untuk
manajer, fokus pada mutu akan mendorongnya untuk mengatur staf, psien,
dan masyarakat dengan baik. Bagi yayasan atau pemilik rumah sakit, mutu
dapat berarti dapat memiliki tenaga profesional yang bermutu dan cukup.
Pada umumnya para manajer dan pemilik institusi mengharapkan efisiensi
dan kewajaran penyelenggaraan pelayanan, minimal tidak merugikan
dipandang dari berbagai aspek seperti tiadanya pemborosan tenaga,
peralatan, biaya, waktu dan sebagainya (Azwar, 1996).

44
Pengertian untuk mutu pemeliharaan kesehatan, sering
diartikan pula sebagai mutu pelayanan kesehatan, mutu asuhan kesehatan,
yang menjadi acuan dalam pelaksanaan operasional sehari-hari adalah
“Derajat dipenuhinya standar profesi atau standar operating procedure
dalam pelayanan pasien dan terwujudnya hasil-hasilatau outcomes seperti
yang diharapkan oleh profesi maupun pasien yang menyangkut pelayanan
diagnosa, terapi, prosedur atau tindakan pemecahan masalah klinis”.
Definisi ini dititik beratkan kepada orientasi proses dan hasil. Adapun
dimensi mutu pelayanan kesehatan meliputi :
a. kompetensi teknis
b. akses terhadap pelayanan
c. efektifitas
d. efisiensi
e. kontinuitas
f. keamanan
g. hubungan antar manusia
h. kenyamanan (Wijono, 2000)

2.5.4.3 Mengukur Pelayanan Kesehatan


Mengukur mutu pelayanan kesehatan perlu mengetahui tentang
indikator, kriteria dan standarnya.
Indikator adaah petunjuk atau tolok ukur. Jadi indikator aalah
fenomena yang dapat diukur. Indicator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan
kesehatan dapat mengacu pada indikator yang relevan berkaitan dengan
struktur, proses, dan outcome. Sebagai contoh :
a. indikator struktur
- tenaga kesehatan profesional (dokter, paramedic, dan sebagainya)
- anggaran biaya yang tersedia untuk operasional dan lain-lain
- perlengkapan dan peralatan kedokteran termasuk obat-obatan
- metode adanya standar operating procedure masing-masing unit, dan
sebagainya.

b. indikator proses

45
memberikan petunjuk tentang pelaksanaan kegiatan pelayanan
kesehatan, prosedur asuhn yang ditempuh oleh tenaga kesehatan dalam
menjalankan tugasnya. Apakah telah sebagaimana mestinya sesuai dengan
prosedur, diagnosa, pengobatan dan penanganan seperti yang seharusnya
sesuai denagn standar.
c. Indikator outcome
Merupakan indikator hasil dari pada keadaan sebelumnya yaitu
input dan proses, dan indikator klinis seperti : angka kesembuhan penyakit,
angka kematian 48 jam, angka infeksi nosokomial, komplikasi perawatan
dan sebagainya.
Sedangkan kriteria adalah indikator yang dispesifikasikan, contoh :
Indikator status gizi sebagai indikator status kesehatan anak, dapat lebih
dispesifikasikan lagi menjadi criteria : tinggi badan anak, dan ataupun
berat badan anak. Untuk pelayanan kesehatan, kriteria ini adalah fenomena
yang dapat dihitung.
Selanjutnya setelah criteria ditentukan maka dibuatlah standar-
standar yang eksak dan dapat dihitung kuantitatif yang biasanya mencakup
hal-hal yang standar baik. Misalnya : panjang badan bayi baru lahir yang
sehat rata-rata (standarnya) adalah 50 cm, berat badan bayi baru lahir yang
sehat standar adalah 3 kg.
Rasio yang baik untuk dokter puskesmas standarnya adalah 1:
30.000 penduduk. Standar untuk rasio yang baik untuk dokter spesialis
kandungan adalah 1 : 300.000 penduduk. Standar kebutuhan tenaga
perawat di rumah sakit adalah 1 : 10 tempat tidur. kriteria dan standar-
satandar bagi organisasi pelayanan kesehatan dapat ditetapkan oleh
instansi yang berwenang atau disusun sendiri dan disepakati bersama
dengan staf medik dan tenaga kesehatan dari unit pemberi jasa pelayanan
yang bersangkutan. Penyusunan standar yang dapat dilakukan dengan
pendekatan normative menurut kepustakaan berdasar pengalaman atau
berdasar pendapat para ahli yang bersangkutan. Standar bersifat dinamis
dapat menyesuaikan sesuai kondisi, situasi, serta waktu, perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi kesehatan dan juga berkembang sesuai
dengan keadaan yang bersifat non-kesehatan seperti etika, hokum dan
norma atau nilai masyarakat.

46
Mutu asuhan kesehatan suatu organisasipelayanan kesehatan dapat
diukur dengan memperhatikan atau memantau dan menilai indikator,
kriteria dan standar yang diasumsikan relevan dan berlaku sesuai dengan
aspek-aspek struktur, proses dan outcome dari organisasi pelayanan
kesehatan tersebut.
Tentang pengukuran mutu produk, dimana out put dapat diukur
pada umumnya ada tujuh cara, yaitu :
1. cacat (defects), pekerjaan tidak seperti spesifikasi yang ditentukan
2. kerja ulang (rework), pekerjaan memerlukan perbaikan
3. terbuang (scrip), pekerjaan disingkirkan/ tak terpakai
4. item hilang (lost item), pekerjaan diulang lagi
5. pekerjaan terlambat skedulnya (back logs)
6. terlambat menghantar (late delivers), pekerjaan sesudah waktu
disepakati
7. item lebih (surplus item), pekerjaan tak dikehendaki
Ada lima kunci masing-masing mengukur out put :
1. target : anggaran atau tingkatan target penampilan yang ingin dicapai
2. perkiraan atau ramalan (forcast) : tingkat penampilan yang
diperkirakan yang mungkin lebih baik atau lebih buruk daripada target
tergantung pada situasi bisnis yang sedang berlangsung
3. kenyataan (actual) : tingkat yang nyata sesungguhnya penampilan yang
dicapai terhadap yang dijanjikan
4. problem : perbedaan antara keadaan yang sesungguhnya denagn
tingkatan target penampilan, diaman keadaan sesungguhnya adalah
lebih jelek daripada target
5. peluang (opportunity) : peluang untuk meningkatkan lebih baik
daripada target tanpa biaya tambahan (Wijono, 2000).

2.6 Industri Gula


2.6.1 Gula

47
2.6.1.1 Pembuatan Gula
Gula atau sukrosa dapat dibuat dari tebu, bit atau aren dengan proses
pemurnian. Pada tahun fiskal 2001 / 2002, 134,1 Juta ton gula diproduksi di
seluruh dunia.
Negara-negara penghasil gula terbesar adalah negara-negara dengan
iklim hangat seperti Australia, Brazil, dan Thailand. Pada tahun 2001/2002
gula yang diproduksi di negara berkembang dua kali lipat lebih banyak
dibandingkan gula yang diproduksi negara maju. Penghasil gula terbesar
adalah Amerika Latin, negara-negara Karibia, negara-negara Asia Timur
(Erlin, 2008).

2.6.1.2 Macam-macam Gula


Gula Tebu
Pertama-tama bahan mentah dihancurkan dan diperas, sarinya
dikumpulkan dan disaring, cairan yang terbentuk kemudian ditambahkan
bahan tambahan (biasanya di gunakan kalsium oksida) untuk menghilangkan
ketidak kemurnian, campuran tersebut kemudian dimurnikan dengan belerang
dioksida. Campuran yang terbentuk kemudian dididihkan, endapan dan
sampah yang mengambang kemudian dapat dipisahkan. Setelah cukup murni,
cairan didinginkan dan dikristalkan (biasanya sambil diaduk) untuk
memproduksi gula yang dapat dituang ke cetakan. Sebuah mesin sentrifugal
juga dapat digunakan pada proses kristalisasi
Gula Bit
Setelah dicuci, bit kemudian di potong potong dan gulanya kemudian
di ekstraksi dengan air panas pada sebuah diffuse. Pemurnian kemudian
ditangani dengan menambahkan larutan kalsium oksida dan karbon dioksida.
Setelah penyaringan campuran yang terbentuk lalu dididihkan hingga
kandungan air yang tersisa hanya tinggal 30% saja. Gula kemudian diekstraksi
dengan kristalisasi terkontrol. Kristal gula pertama tama dipisahkan dengan
mesin sentrifugal dan cairan yang tersisa digunakan untuk tambahan pada
proses kristalisasi selanjutnya. Ampas yang tersisa (dimana sudah tidak bisa
lagi diambil gula darinya) digunakan untuk makanan ternak dan dengan itu
terbentuklah gula putih yang kemudian disaring ke dalam tingkat kualitas
tertentu untuk kemudian dijual.

48
Gula Merah (Gula jawa)
gula merah biasanya diasosiasikan dengan segala jenis gula yang
dibuat dari nira, yaitu cairan yang dikeluarkan dari bunga pohon dari keluarga
palma, seperti kelapa, aren, dan siwalan. Secara umum cara pengambilan
cairan ini sebagai berikut:
 Bunga (mayang) yang belum mekar diikat kuat (kadang-kadang dipres
dengan dua batang kayu) pada bagian pangkalnya sehingga proses
pemekaran bunga menjadi terhambat. Sari makanan yang seharusnya
dipakai untuk pemekaran bunga menumpuk menjadi cairan gula. Mayang
membengkak.
 Setelah proses pembengkakan berhenti, batang mayang diiris-iris untuk
mengeluarkan cairan gula secara bertahap. Cairan biasanya ditampung
dengan timba yang terbuat dari daun pohon palma tersebut.
 Cairan yang ditampung diambil secara bertahap, biasanya 2-3 kali. Cairan
ini kemudian dipanaskan dengan api sampai kental. Setelah benar-benar
kental, cairan dituangkan ke mangkok-mangkok yang terbuat dari daun
palma dan siap dipasarkan. Gula merah sebagian besar dipakai sebagai
bahan baku kecap manis.

2.6.1.3 Peralatan Industri Gula


Peralatan yang digunakan dalam industri gula terdiri dari mesin
industri berat, sedang maupun ringan, yaitu :
1. Fosflotasi
Teknologi dalam proses produksi gula untuk meningkatkan kualitas
gula dan efisiensi pengolahan atau Boiling House Recovery (BHR).
Spesifikasi :
Proses separasi kotoran dengan menggunakan sistem flotasi
(pengapungan). Reaksi antara fosfat dan susu kapur pada suhu 79-82°C
dan pemberian flokulan kation dan anion.
Manfaat :
Dapat meningkatkan kualitas gula dan efisiensi pengolahan (BHR).
Target Pengguna :

49
Pabrik gula yang menghasilkan gula berkualitas rendah dan BHR
yang rendah.

Gambar 1. Tanki aerator

Gambar 2. Instalasi fosfatasi floatasi

2. Pabrik Gula Semut dan Gula Kristal berbasis Tebu dan Palma
Unit pengolah gula kristal dan gula semut berbasis tebu dan palma.
Spesifikasi :
Unit produksi gula skala pedesaan yang dapat dioperasikan
sepanjang tahun dengan sistem vakum yang kompak karena digabungkan
dengan sistem open pan untuk menghasilkan beberapa bentuk gula atau
pemanis berbasis tebu (kapasitas 200-300 ton tebu per hari) maupun nira

50
palma (kelapa, aren, siwalan) dengan kapasitas hingga 10.000 liter nira
palma mentah per hari.
Manfaat :
Menghasilkan gula mentah dengan mutu tinggi dalam bentuk, gula
tanjung, nira kental, gula mangkok, gula batok, gula remah (semut) dan
lain-lain. Produk gulanya dapat dijual langsung di supermarket atau untuk
bahan baku industri makanan dan minuman.
Target Pengguna :
Petani tebu, pengrajin gula kelapa dan pengrajin gula palma
lainnya.

Gambar 3. Mini boiler

Gambar 4. Proses kristalisasi bervakum

51
3. Pengering Ampas Dengan Memanfaatkan Energi Panas Gas
Cerobong Ketel
Teknologi pengeringan ampas tebu dengan energi gas cerobong.
Spesifikasi :
Pengering tipe rotary. Menurunkan kadar air ampas hingga 15 poin
dan suhu gas cerobong hingga 100°C.
Manfaat :
Meningkatkan nilai bakar ampas, menekan bahan bakar suplesi,
meningkatkan efisiensi ketel, meningkatkan sisa ampas, menekan biaya
produksi gula, meningkatkan penjualan ampas dan mengatasi masalah
polusi lingkungan.
Target Pengguna :
Pabrik gula yang memerlukan penekanan penggunaan bahan bakar.

Gambar 5. Prototipe Rotary Bagasse Dryer Skala Pilot Plant

4. Interface Pendeteksi Masakan Gula Dengan Menggunakan PC


Alat (hardware & software) untuk mengakses data input ke PC,
dalam sistem pengendalian proses kristalisasi gula secara otomatis.
Spesifikasi :
A/D - D/A interface card, resolusi 12 bit. Input detector :
conductivity, level, temperature. Data acquisition software dengan
tampilan jalannya proses masak gula bentuk grafik pada layar monitor.
Suhu operasi ruang maks 25° C, kelembaban udara relatif < 80%.

52
Manfaat :
Mendeteksi cepat perubahan proses kristalisasi gula dan
menghemat waktu masak sekitar 20% dibanding secara manual. Mutu gula
pasir terjaga dengan besar butir kristal lebih seragam. Memberikan
kemudahan dan ketelitian dalam pengoperasian, penyimpanan data selama
proses berjalan.
Target Pengguna :
Pabrik gula yang akan meningkatkan mutu gula kristal secara
efisien.

Gambar 6. Tampilan proses masak di layar monitor PC

Gambar 7. Besar butir kristal seragam

5. Dust collector
Alat penangkap debu hasil pembakaran di dalam ketel untuk
mengurangi polusi yang ditimbulkannya, dengan jalan melewatkan flue
gas yang mengandung debu ke dalam dust collector. Pemisahan debu dan
flue gas dilakukan dengan cara/prinsip centrifugaling, di dalam cyclone.

53
Spesifikasi :
Spesifikasi alat :
- Lokasi pemasangan direkomendasi di daerah vakum (antara ketel dan
ID fan)
- Efisiensi penangkapan debu berkisar antara 70-80% tergantung
banyaknya debu di dalam flue gas.
- Kapasitas disesuaikan dengan banyaknya flue gas dan debu yang
dikelola.
Manfaat :
Dapat menangkap debu hasil pembakaran di dalam ketel yang ikut
bersama-sama dengan flue gas yang akan keluar melalui cerobong.
Target Pengguna :
Pabrik gula atau pabrik lain yang mengalami masalah polusi udara
akibat debu yang keluar dari cerobong ketel terlalu banyak.

Gambar 8. Dust Collector


6. Teknologi Biotray
Merupakan teknologi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air
kondensor di PG.
Spesifikasi :
Biotray terpasang pada sarana pendingin dengan kerangka
aluminium/logam lain dan cartridge mikroba BT55.
Manfaat :
Bermanfaat bagi kelancaran proses, penghematan konsumsi air dan
mencegah pencemaran. Kebutuhan air kondensor dapat diturunkan hingga
5% dari total kebutuhan air kondensor dan sekitar 0,60 - 0,80, m3/ton tebu.

54
Target Pengguna :
Pabrik gula yang kesulitan air kondensor dan tingkat
pencemarannya tinggi.

Gambar 9. Teknologi Biotray

7. CO2 Scrubber
Teknologi pemanfaatan CO2 yang terkandung dalam gas cerobong
ketel untuk proses karbonatasi nira atau leburan gula.
Spesifikasi :
Tipe Wet scrubber kombinasi dengan cyclone separator dan moist
separator. Konsumsi air sekitar 30 lt/m3 gas. Suhu gas CO2 sekitar 33°C.
Kandungan polutan mendekati 0 %.
Manfaat :
Menekan biaya produksi gula dengan memanfaatkan CO2 dari gas
cerobong ketel untuk proses karbonatasi nira atau leburan gula.
Target Pengguna :
Pabrik gula karbonatasi (dan rafinasi) yang masih menggunakan
tobong kapur atau pabrik gula sulfitasi yang akan memproduksi gula
rafinasi.

55
Gambar 10. Prototipe CO2 Scrubber Skala Pilot Plant

8. Direct Contact Heat Exchanger (DCHE)


Teknologi pemanasan nira tebu dengan cara kontak langsung
antara nira yang dipanaskan dengan uap pemanasnya, pada tekanan kerja >
1 atm.
Spesifikasi :
Uap pemanas : uap bekas, uap bleeding dari badan I / II bertekanan
> 1 atm. Nira yang dipanaskan : nira mentah, nira jernih. Kapasitas
disesuaikan dengan banyaknya nira mentah atau nira jernih yang akan
dipanaskan.
Manfaat :
Untuk memanaskan nira mentah dari suhu kamar ke suhu 75°C,
atau memanaskan nira jernih dari suhu 75°C ke suhu 100°C yang hemat
energi.
Target Pengguna :
Pabrik gula (untuk menekan biaya investasi dan operasional proses
pemanasan nira tebu).

56
Gambar 11. Direct Contact Heat Exchanger (DCHE) tampak luar

9. Teknologi SAL (Sistem Aerasi Lanjut)


Pengolahan limbah cair secara intensif dan hemat lahan.
Spesifikasi :
Diperlukan hanya sekitar 5% dari kebutuhan lahan pada sistem
konvensional atau sekitar 1000-2000 m2 saja.
Manfaat :
Untuk memperoleh limbah cair yang memenuhi baku mutu pada
PG yang lahan untuk pengolahan limbahnya sempit dan jelek. Sistem
biologis aerob COD : 90-98%. Reduksi BOD: 90-98 %. Air terolah dari
UPLC SAL memiliki kadar COD < 100 mg/l, BOD < 60 mg/l dan SS <
100 mg/l.
Target Pengguna :
Pabrik gula yang mempunyai lahan sempit untuk pengendalian
limbah.

57
Gambar 12. Unit pengolahan limbah dengan Sistem Aerasi Lanjut (SAL)

Gambar 13. Kondisi fisik air pada setiap tahap pengolahan

IN = Air masuk UPL


A-1 = Aerasi 1
A-2 = Aerasi 2
A-3 = Aerasi 3
OUT = Air keluar UPL

2.6.2 Kesehatan dan Keselamatan Kerja


2.6.2.1 Definisi
K3 atau Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu sistem
program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya
pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat
hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang
berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja,
dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian. Tujuan dari dibuatnya sistem

58
ini adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja
dan penyakit akibat hubungan kerja.

2.6.2.2 Tujuan K3
Tujuan Pemerintah membuat aturan K3 dapat dilihat pada Pasal 3 Ayat
1 UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, yaitu:
 mencegah dan mengurangi kecelakaan;
 mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
 mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
 memberi kesempatan atau jalan menyelematkan diri pada waktu kebakaran
atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
 memberikan pertolongan pada kecelakaan;
 memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
 mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar-luaskan suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar
atau radiasi, suara dan getaran;
 mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik
maupun psikhis, peracunan, infeksi dan penularan;
 memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
 menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
 menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
 memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
 memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara
dan proses kerjanya;
 mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman
atau batang;
 mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;
 mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan
penyimpanan barang;
 mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
 menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang
berbahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

59
Dari tujuan pemerintah tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa
dibuatnya aturan penyelenggaraan K3 pada hakekatnya adalah pembuatan
syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan,
pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan peralatan dalam bekerja serta pengaturan dalam penyimpanan
bahan, barang, produk tehnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat
menimbulkan bahaya kecelakaan. Sehingga potensi bahaya kecelakaan kerja
tersebut dapat dieliminir.
Dalam penyelenggaraan K3 ada 3 (tiga) hal penting yang harus
diperhatikan:
Pertama, seberapa serius K3 hendak diimplementasikan dalam perusahaan.
Kedua, pembentukan konsep budaya malu dari masing-masing pekerja bila
tidak melaksanakan K3, serta keterlibatan (dukungan) serikat pekerja dalam
program K3 di tempat kerja. Ketiga, kualitas program pelatihan K3 sebagai
sarana sosialisasi.
Adapun hal lain yang tak kalah pentingnya agar program K3 dapat
terlaksana, adalah adanya suatu komite K3 yang bertindak sebagai penilai
efektivitas dan efisiensi program bahkan melaksanakan investigasi bila terjadi
kecelakaan kerja untuk dan atas nama pekerja yang terkena musibah
kecelakaan kerja. Bila terjadi hal demikian, maka hal-hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut:
 Lingkungan Kerja terjadinya kecelakaan.
 Pelatihan, Instruksi, Informasi dan Pengawasan kecelakaan kerja.
 Kemungkinan resiko yang timbul dari kecelakaan kerja.
 Perawatan bagi korban kecelakaan kerja dan perawatan peralatan
sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja yang telah dilakukan.
 Perlindungan bagi pekerja lain sebagai tindakan preventif.
 Aturan bila terjadi pelanggaran (sanksi).
 Pemeriksaan atas kecelakaan yang timbul di area kerja.
 Pengaturan pekerja setelah terjadi kecelakaan kerja.
 Memeriksa proses investigasi dan membuat laporan kecelakaan kepada
pihak yang berwenang.
 Membuat satuan kerja yang terdiri atas orang yang berkompeten dalam
penanganan kecelakaan di area terjadi kecelakaan kerja.

60
2.6.2.3 Landasan Hukum K3

Berbicara penerapan K3 dalam perusahaan tidak terlepas dengan


landasan hukum penerapan K3 itu sendiri. Landasan hukum yang dimaksud
memberikan pijakan yang jelas mengenai aturan apa dan bagaimana K3 itu
harus diterapkan. Adapun sumber hukum penerapan K3 adalah sebagai
berikut:

1. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


2. UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja à Program
jamsostek lahir dan diadakan dan selanjutnya dilegitimasi dalam UU No. 3
Tahun 1992 tentang Jamsostek sebagai pengakuan atas setiap tenaga kerja
berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Sedangkan ruang lingkup program
jaminan sosial tenaga kerja dalam Undang-undang ini meliputi:

 Jaminan Kecelakaan Kerja;


 Jaminan Kematian;
 Jaminan Hari Tua;
 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

3. PP No. 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial


Tenaga Kerja à Program Jamsostek sebagai pengejawantahan dari program
K3 diwajibkan berdasarkan Pasal 2 Ayat 3 PP No. 14 Tahun 1993 bagi
setiap perusahaan, yang memiliki kriteria sebagai berikut:

 Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja 10 orang atau lebih;


 Perusahaan yang membayar upah paling sedikit Rp 1.000.000,-
(satu juta rupiah) per bulan (walaupun kenyataannya tenaga
kerjanya kurang dari 10 orang).

4. Keppres No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena


Hubungan Kerja à Adapula sanksi administratif berupa pencabutan ijin
usaha seperti yang diatur dalam Pasal 47 sub a PP No. 14 tahun 1993.
Peringatan ini dapat dikenakan apabila pengusaha melakukan tindakan-
tindakan sebagai berikut:

61
 Tidak mendaftarkan perusahaan dan tenaga kerjanya sebagai
peserta program Jamsostek kepada Badan Penyelenggara walaupun
perusahaannya memenuhi kriteria untuk berlakunya program
Jamsostek;
 Tidak menyampaikan kartu peserta program jaminan sosial tenaga
kerja kepada masing-masing tenaga kerja dalam waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak diterima dari Badan Penyelenggara;
 Tidak melaporkan perubahan:
o alamat perusahaan
o kepemilikan perusahaan
o jenis atau bidang usaha
o jumlah tenaga kerja dan keluarganya - besarnya upah setiap
tenaga kerja palling lambat 7 (tujuh) hari sejak terjadinya
perubahan;
 Tidak memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan bagi
tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan;
 Tidak melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja
dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 jam setelah ada hasil diagnosis
dari Dokter Pemeriksa;
 Tidak membayar upah tenaga kerja yang bersangkutan selama
tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja masih belum mampu
bekerja, sampai adanya penetapan dari menteri.

5. Permenaker No. Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran


Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Semua produk perundang-undangan pada dasarnya mengatur tentang


kewajiban dan hak Tenaga Kerja terhadap Keselamatan Kerja untuk:
 Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas
dan atau ahli keselamatan kerja;

 memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;

62
 memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan
kerja yang diwajibkan;
 meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan
kesehatan kerja yang diwajibkan;
 menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan
dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan
diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh
pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggungjawabkan.

2.6.2.4 Fasilitas K3
Fasilitas atau alat dan prasarana yang digunakan untuk tercapaianya
keselamatan dan kesehatan kerja dalam suatu industri sangatlah penting,
berikut adalah alat-alat yang digunakan dalam suatu industri gula antara lain :
a. Helm pengaman
b. Sarung tangan kulit atau katun
c. Otolas kulit
d. Topong las
e. Kacamata blander
f. Kacamata gerinda
g. Masker
h. Sepatu tukang las
i. Pengaman telinga
j. Sepatu laras atau karet
k. Topong pengaman transparan
l. Jas hujan
m. Lampu senter
n. P3K
o. Perawatan kesehatan kepada karyawan oleh dokter pabrik
p. Fasilitas MCK

2.6.3 Penyakit Akibat Kerja Pada Karyawan Industri Gula

63
Penyakit akibat kerja pada suatu karyawan industri gula tak lepas dari
pajanan faktor risiko saat pengolahan mulai dari bahan baku sampai bahan
siap pakai. Adapun beberapa penyakit yang dapat ditimbulkan dari suatu
industri gula yang terbanyak antara lain :

2.6.3.1 Asma Bronkhiale

2.6.3.1.1 Definisi

Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami


penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang
menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat sementara.

Asma akibat kerja adalah suatu penyakit saluran pernafasan yang


ditandai dengan serangan sesak nafas, bengek dan batuk, yang terjadi akibat
terhirupnya partikel, kabut, uap atau gas yang berbahaya pada saat seseorang
sedang bekerja (www.medicastore.com, 2008).

Asma pada pekerja bisa di kategorikan sebagai berikut :


Asma akibat kerja (occupational disease)
Asma yang di kategorikan sebagai asma akibat kerja berarti
penyebab utama di temukan di tempat kerja, contoh asma yang di akibtkan
oleh asbestos, debu, dan kayu.
Asma akibat adanya hubungan dengan pekerjaan (work related asma)
Asma yang di kategorikan sebagai asma akibat adanya hubungan
dengan pekerjaan berarti bahwa sebab utam bisa di temukan di tempat
kerja atau di tempat lain. Contoh asma akibat cat, asma akibat plitur, asap,
latex, dll yang bisa di temukan baik di tempat kerja, di rumah atau di mana
saja.
Asma akibat kerja itu sendiri bisa di kelompokkan menjadi dua
kategori :
 Respon langsung tehadap bahan iritan
Gejala asma langsung terjadi ketika terpapar bahan seperti
amoniak, sulfur dioksida, chlor fosgen, hydrogen florida, seng clorida,

64
debu inert (debu non serat dan non toksin). Tipe ini terjadi pada orang-
orang yang sebelumnya sudah menderita asma
 Penularan jangka panjang
Pekerja terkena alergi dari bahan tertentu yang terpapar secara
continue. Gejala asma akan timbul ketika system imun merespon bahan
tersebut. Misalnya pada pekerja bidang farmasi.

2.6.3.1.2 Pekerjaan Dengan Resiko Paparan


Para pekerja yang memiliki resiko tinggi untuk menderita asma karena
pekerjaan adalah;
 Pekerja plastik
 Pekerja logam
 Pekerja pembakaran
 Pekerja penggilingan
 Pekerja pengangkut gandum
 Pekerja laboratorium
 Pekerja kayu
 Pekerja di pabrik obat
 Pekerja di pabrik deterjen.

(www.medicastore.com, 2008).

2.6.3.1.3 Penyebab
Pemicu gejala ini dapat berupa kelelahan pikiran (gangguan emosi),
kelelahan jasmani, perubahan lingkungan hidup yang tidak di harapkan (cuaca,
kelembapan, temperature, asap rokok, dan bau-bauan yang merangsang),
infeksi saluran nafas terutama penyakit influenza tertentu, dan reaksi alergi
dari bahan yang terhirup atau di makan.
Banyak bahan (alergen, penyebab terjadinya gejala) di tempat kerja
yang bisa menyebabkan asma karena pekerjaan. Yang paling sering adalah
molekul protein (debu kayu, debu gandum, bulu binatang, partikel jamur) atau
bahan kimia lainnya (terutama diisosianat).Angka yang pasti dari kejadian
asma karena pekerjaan tidak diketahui,tetapi diduga sekitar 2-20% asma di
negara industri merupakan asma karena pekerjaan (Suyono, 2001).

65
2.6.3.1.4 Mekanisme Kerja
Gangguan pernafasan yang di sebabkan oleh agen-agen sensitasi dan
iritan di tandai dengan :
a. Obstruksi saluran nafas akut yang reversibel akibat bronkokonstriksi, edem
dan peradangan saluran nafas dan
b. Ekskresi mukus yang diinduksi oleh paparan terhadap agen-agen yang
terkait dengan pekerjaan tersebut.
Secara klinis, gangguan-gangguan ini tidak berbeda dari tipe asma
lainnya. Pada beberapa keadaan, agen-agen yang sama dapat menyebabkna
alveolitis alergika.
Umumnya agen sensitisasi merangsang produksi suatu
imunoglobulin (Ig E) spesefik pada individu rentan (hipersensitivitas tipe
1) pada individu non atopik, hipersensitivitas mungkin di perantarai anti
bodi imunoglobulin yang tersensitisasi jangka pendek. Alergen yang
membangkitkan respon ini adalah debu. Alergen ini biasanya mencetuskan
reaksi asmatik segera, di mulai dalam beberapa menit hingga 30 menit
setelah paparan. Reaksi lambat mungkin terjadi sekitar 4-8 jam setelah
paparan, kadang kala dalam kombinasi dengan reaksi segera (Suyono,
2001).

2.6.3.1.5 Gejala
Gejala biasanya timbul sesaat setelah terpapar oleh alergen dan
seringkali berkurang atau menghilang jika penderita meninggalkan
tempatkerjanya. Gejala seringkali semakin memburuk selama hari kerja dan
membaik pada akhir minggu atau hari libur. Gejalanya berupa:
 sesak nafas
 bengek
 batuk
 merasakan sesak di dada

(www.medicastore.com, 2008).

66
2.6.3.1.6 Diagnosa
Dalam riwayat perjalanan penyakit, biasanya penderita merasakan
gejala yang semakin memburuk jika terpapar oleh alergen tertentu di
lingkungan tempatnya bekerja. Pada pemeriksaan dengan stetoskop akan
terdengar bunyi wheezing (bengek, mengi).
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
 Tes fungsi paru
 Pengukuran puncak laju aliran ekspirasi sebelum dan sesudah bekerja
 Rontgen dada
 Hitung jenis darah
 Tes provokasi bronkial (untuk mengukur reaksi terhadap alergen yang
dicurigai)
 Tes darah untuk menemukan antibodi khusus.

(www.medicastore.com, 2008).

2.6.3.1.7 Pencegahan

Industri yang menggunakan zat-zat yang dapat menyebabkan asma,


harus mengkontrol debu dan udara, karena untuk menghilangkannya adalah
suatu hal yang mustahil. Pekerja dengan asma yang berat, jika memungkinkan,
harus mengganti pekerjaannya karena pemaparan yang terus menerus akan
menjadikan asma bertambah berat dan bersifat menetap. Jika
alergen/penyebabnya telah diketahui, untuk mencegah terjadinya gejala,
sebaiknya penderita menghindari alergen tersebut (www.medicastore.com,
2008).

2.6.3.2 Bising
2.6.3.2.1 Definisi
Bising dalam kesehatan kerja,bising diartikan sebagai suara yang dapat
menurunkan pendengaran baik secara kwantitatif (peningkatan ambang
pendengaran) maupun secara kwalitatif (penyempitan spektrum pendengaran),
berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi,durasi dan pola waktu.
Kebisingan didefinisikan sebagai bunyi atau suara yang tidak
dikehendaki. Bising yang terdapat pada pabrik gula terutama dihasilkan dari

67
mesin-mesin produksi. Suara bising ini dapat menimbulkan bebagai dampak
negatif pada pekerja yang berada di dekatnya antara lain bisa terjadi ketulian
(KCM, 2008).

2.6.3.2.2 Pengaruh Bising Terhadap Tenaga Kerja


Bising menyebabkan berbagai gangguan terhadap tenaga kerja, seperti
gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian,
atau ada yang menggolongkan gangguannya berupa gangguan auditory,
misalnya gangguan terhadap pendengaran dan gangguan non auditory seperti
komunikasi terganggu, ancaman bahaya keselamatan, menurunnya
performance kerja, kelelahan dan stress.
Lebih rinci lagi, maka dapatlah digambarkan dampak bising terhadap
kesehatan pekerja sebagai berikut:
1. Gangguan Fisiologis
Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan
nadi, basal metabolisme, konstriksi pembuluh darah kecil terutama pada
bagian kaki, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2. Gangguan Psikologis
Gangguan psiklogis dpat berupa rasa tidak nyaman,kurang
konsentrasi, susah tidur, emosi dan lain-lain. Pemeparan jangka waktu
lama dapat menimbulkan penyakit, psikosomatik seperti gastritis, penyakit
jantung koroner dan lain-lain.
3. Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya
pekerjaan,bahkan mungkin terjadi kesalahan, terutama bagi pekerja baru
yang belum berpengalaman. Gangguan komuniksi ini secara tidak
langsung akan mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan
tenaga kerja, karena tidak mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya
dan tentunya akan dapat menurunkan mutu pekerjaan dan produktifitas
kerja.
4. Gangguan Keseimbangan
Gangguan keseimbangan ini mengakibatkan gangguan fisiologis
seperti kepala pusing, mual dan lain-lain.

68
5. Gangguan terhadap pendengaran (Ketulian)
Di antara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh bising,
gangguan terhadap pendengaran adalah gangguan yang paling serius
karena dapat menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian
ini dapat bersifat progresif atau awalnya bersifat sementara tapi bila
bekerja terus menerus di tempat bising tersebut maka daya dengar akan
menghilang secara menetap ata tuli (KCM, 2008).

2.6.3.2.3 Jenis-jenis Tuli


a. Tuli sementara (Temporry Treshold Shift = TTS)
Diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas
tinggi,tenaga kerja akan mengalami penurunan daya dengar yang
sifatnya sementara.biasanya waktu pemaparannya terlalu singkat.
Apabila kepadatenaga kerja diberikan waktu istirahat secara
cukup,daya dengarnya akan pulih kembali kepada ambang dengar
semula dengan sempurna.
b. Tuli menetap (Permanent Treshold Shift = PTS)
Biasanya akibat waktu paparan yang lama (kronis). Besarnya
PTS di pengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
Tingginya level suara
Lama pemaparan
Spektrum suara
Temporal pattern, bila kebisingan yang kontinyu
makakemungkinan terjadinya TTS akan lebih besr
Kepekaan individu
Pengaruh obat-obatan
Beberapa obat dapat memperberat (pengaruh sinergistik) ketulian
apabila diberikan bersamaan dengan kontak suara. Misalnya
quinine, aspirin, streptomycin, kanamycin dan beberapa obat
lainnya
Keadaan kesehatan
(KCM, 2008).

69
2.6.3.2.4 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Ketulian
Sebenarnya ketulian dapat disebabkan oleh pekerjan (occupational
hearing loss), misalkan akibat kebisingan, trauma akustik, dapat pula
disebabkan oleh bukan karena kerja (non-occupational hearing loss).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketulian akibat kerja
(occupational hearing loss), adalah sebagai berikut:
 Intensitas suara yang terlalu tinggi
 Usia karyawan
 Ketulian yang sudah ada sebelum bekerja (Pre-employment hearing
impairment)
 Tekanan dan frekuensi bising tersebut
 Lamanya bekerja
 Jarak dari sumber suara
 Gaya hidup pekerja di luar tempat kerja

Pengendalian kebisingan pada manusia dapat dibagi dalam tiga aspek


yaitu:
A. Promotif
1. Penyuluhan kesehatan
Yaitu dilakukannya penyuluhan tentang bahaya kesehatan akibat
gangguan kebisingan dari suara-suara mesin yang dapat menyebabkan
ketulian, baik itu ketulian sementara maupun permanen. Juga
melakukan penyuluhan tentang pemilihan alat penutup telinga seperti
Ear plug (penutup dari massa yang dimasukkan ke liang telinga), Ear
muff (penutup telinga dihubungkan pegas), Helmet (penutup kepala
yang juga perlindungan dari alat-alat tersebut).
2. Peningkatan fisik kesehatan individu
B. Preventif
1. Pemakaian tutup telinga
Alat pelindung diri yang ipakai harus mampu mengurangi kebisingan
hingga mencapai level TWA atau kurang dari itu, yaitu 85 dB. Ada 3
jenis alat pelindung pendengaran yaitu:
 Sumbat telinga (ear plug), dapat mengurangi kebisingan 8-30 dB.
Biasanya digunakan untuk proteksi sampai dengan 100dB.

70
Beberapa tipe dari sumbat telinga antara lain : Formable type,
Costum-molded type, Premolded type.
 Tutup telinga (ear muff), dapat menurunkan kebisingan 25-40 dB.
Digunakan untuk proteksi sampai dengan 110 dB.
 Helm (helmet), mengurangi kebisingan 40-50 dB.
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan alat pelindung
telinga adalah:
 Alat pelindung telinga harus dapat melindungi pendengaran dari bising
yang berlebihan
 Harus ringan, nyaman dipakai, sesuai dan efisien (ergonomik)
 Harus menarik dan harga yang tidak terlalu mahal
 Tidak memberikan efek samping atau aman dipakai
 Tidak mudah rusak
2. Pemeriksaan audiometri
Terhadap karyawan yang bekerja di area tersebut, dilakukan
pemeriksaan pendengarannya secara berkala setahun sekali. Sebelum
diperiksa karyawan harus dibebaskan dari kebisingan di tempat
kerjanya selama 16 jam. Hal ini dilakukan dalam usaha memberikan
perlindungan secara maksimum terhadap pekerja maka perlu
pemeriksaan audiometri sabagai berikut:
Sebelum bekerja atau sebelum penugasan awal di daerah kerja
yang bising
Secara berkala (periodik/ tahunan)
Pekerja yang terpapar kebisingan > 85 dBA selama 8 jam
sehari, pemeriksaan dilakukan setiap 1 tahun atau 6 bulan
tergantung tingkat intensitas bising.
Secara khusus pada waktu tertentu
Pada akhir masa kerja

71
2.6.3.3 Stress
2.6.3.3.1 Definisi
Stress menurut Hans Selye adalah tanggapantubh yang tidak spesifik
terhadap setiap tuntutan kepadanya, dapat berupa fisikatau mental dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Stress yang bersifat positif disebut “eustress”. Eustress mendorong
manusia untuk lebih berprestasi, lebih tertantang untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapinya, meningkatkan produktivitas kerja dan
lain-lain. Sedang stress yang berlebihan bersifat merugikan disebut “distress”.
Distress menimbulkan berbagai macam gejala yang umumnya merugikan
prestasi kerja seseorang. Gejala distress melibatkan baik kesehatan fisik
maupun psikis. Eustress dan distress ditimbulakn oleh faktor-faktor pencetus
stress yang disebut “stressor” atau faktor penekan (Munandar, 1988).

2.6.3.3.2Sumber-Sumber Stress
Stress dapat diperoleh dari berbagai sumber. Sumber penyebab stress
merupakan faktor penekan yang mempunyai potensi menciptakan stress.
Faktor penekan menghasilkan kondisi-kondisi yang menuntut untuk
memberikan energi atau perhatian khusus.
Faktor-faktor penekan dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu yang
berasal dari :
1. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja sebagai sumber stress dibedakan menjadi dua,
yaitu :
a) Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik sangat mempengaruhi perasaan dan interaksi
sosial. Salah satu faktor penting adalah tingkat stress yang ditimbulkan
oleh lingkungan fisik. Beberapa penyebab stress lingkungan misalnya
gempa bumi, banjir yang bersif mendadak dan kuat serta mampu
mengubah lingkungan manusia secara dramatis. Namun yang juga
penting adalah kejadian sehari-hari yang disebabkan oleh lingkungan
kerja yang menimbulkan kebisingan, sistem penerangan yang kurang
baik, sistem ventilasi yang tidak nyaman dan peralatan kerja yang tidak
sesuai dengan ukuran badan atau kemampuan fisik karyawan.

72
b) Lingkungan Psikis
Hampir semua kondisi dapat menyebabkan stress. Pengaruh
lingkungan psikis di tempat kerja dapat positif maupun negatif,
tergantung bagaimana individu menanggapinya. Kondisi psikis yang
paling sering menyebabkan stress di lingkungan kerja antara lain
pekerjaan yang berlebihan dan waktu yang terbatas atau mendesak
dalam pelaksanaan tugas, sistem pengawasan yang tidak efisien atau
buruk, suasana politik di lingkungan kerja yang tidak mendukung,
frustasi, ketidak jelasan peran, perselisihan antar pribadi atau
kelompok.
2. Kondisi di luar lingkungan kerja
Kondisi-kondisi di luar lingkungan kerja juga dapat berperan
sebagai sumber stress yang disebut juga “life stressor” atau penekanan-
penekanan kehidupan. Penekanan-penekanan kehidupan pribadi pada
umumnya disebabkan oleh perubahan-perubahan dasar di dalam kehidupan
seseorang, seperti perceraian, perkawinan, kematian seseorang anggota
keluarga dan lain sebagainya.
3. Diri pribadi
Faktor stress yang bersumber dari diri pribadi manusia adalah
berhubungan dengan kepribadian individu. Ada dua jenis kepribadian
manusia, yaitu jenis kepribadian A dan jenis kepribadian B.
Jenis kepribadian A adalah manusia yang tak henti-hentinya ingin
mencapai sesuatu yang lebih banyak lagi dengan waktu yang semakin
singkat dengan ciri-ciri mempunyai rasa bersaing yang tinggi dalam usaha
mencapai sesuatu, keinginan yang besar untuk memanfaatkan waktu luang
mereka dan ketidak sabaran untuk meyelesaikan tugasnya. Mereka bahkan
membuat tuntutan yang berlebihan pada kegiatan olahraga dan rekreasi
dalam waktu luang mereka. Individu dengan jenis kepribadian A
cenderung menimpakan kesalahan pada lingkungan. Mereka tidak
menyadari bahwa stress atau tekanan yang mereka rasakan adalah karena
mereka sendiri.
Jenis kepribadian B berlawanan dengan jenis kepribadian A.
Mereka lebih menerima situasi dan kondisi kerja yang diberikan daripada
melibatkan diri dalam persaingan-persaingan. Mereka lebih cenderung

73
pada penyusunan tujuan dan cenderung untuk menguji lebih banyak
pilihan-pilihan. Manusia tipe B ini merasa waktu yang tersedia adalah
cukup untuk meyelesaikan pekerjaan, tetapi bukan berarti mereka tidak
mempunyai keinginan atau ambisi untuk berhasil dan maju dalam
tugasnya. Orang yang mempunyai kecenderungan memiliki jenis
kepribadian A adalah orang-orang yang mempunyai kecenderungan lebih
mudah mengalami stress dibandingkan dengan orang-orang yang
kecenderungan memiliki jenis kepribadian B (Munandar, 1988 ; Suwandi,
1993).

2.6.3.3.3 Pengaruh Stress Di Lingkungan Kerja Terhadap Kesehatan


Tidak semua orang berhasil menyesuaikan dirinya terhadap stressor di
lingkungannya. Kegagalan usaha penyesuaian diri ini akan menimbulkan
berbagai macam gangguan fisiologis, psikologis dan perilaku yang
menyimpang. Reaksi seseorang terhadap suatu stressor bukanlah sekedar suatu
reaksi badaniah yang sederhana melainkan merupakan suatu proses bagaimana
stressor itu dilihat oleh individu tersebut secara psikologik, dirasakan secara
fisik, keadaan yang menyertainya serta reaksi yang khas dari individu tersebut
dalam usaha mengatasinya (Hanafiah, 1994).
Jadi sebenarnya stress adalah hal yang normal dalam kehidupan dan
hidup menjadi hambar tanpa adanya stess. Tetapi jika terjadi terus-menerus
dalam waktu ysng lama maka tubuh akan menjadi lemah dan berbagai
penyakit akan timbul (Stellman dan Daum, 1973).
Jika otak menandakan adanya serangan dari stressor, yang kemudian
melalui sistem neurohormonal menyebabkan gejala-gejala fisiologis yang
dipengaruhi oleh hormon adrenalin dan saraf otonom. Adrenalin yang
meningkat menimbulkan kadar asam lemak bebas yang tinggi dan ini
merupakan persediaan sumber energi ekstra. Bilamana peningkatan ini tidak
disertai kegiatan fisik, energi ekstra ini tidak akan di bakar habis dan akan di
ubah oleh hati menjadi kolesterol dan trigliserida yang kemudian tertimbun di
dalam pembuluh darah termasuk pembuluh jantung. Penyempitan arteri pada
jantung oleh kolesterol ini menyebabkan penurunan penyediaan darah dan
oksigen pada otot-otot jantung. Selanjutnya juga terjadi kenaikan tekanan
darah, denyut jantung meningkat. Keadaan diatas mengakibatkan gangguan

74
pada kerja jantung bahkan mulai menimbulkan kematian mendadak (Stellman
dan Daum, 1973).

2.6.3.4 Low Back Pain


Low Back Pain erat kaitannya dengan ketidak ergonomisan posisi pada
saat bekerja. Ergonomi merupakan suatu ilmu yang mempelajari aspek
anatomis, fisiologi dan psikologi manusia dalam lingkungan kerjanya dengan
tujuan mengoptimalkan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan efisiensi.
Selain itu ergonomi juga mempelajari tentang keserasian antara
manusia/pekerja, alat kerja, cara kerja dan lingkungan kerja yang berhubungan
dengan masalah kesehatan jasmani dan rohani.
1. Manusia/ Pekerja
Kondisi pribadi dari pekerja sangat mempengaruhi kenyamanan dalam
melakukan pekerjaan. Adapun faktor-faktor penyebab ketidaksesuaian
kondisi kerja dengan prinsip ergonomi antara lain : Stress, Kurang
istirahat, Merokok dll.
Bila pekerja masuk dalam kondisi salah satu diata maka dapa
menimbulkan ketidaknyamanan dalam melakukan pekerjaan walaupun
kondisi alat, cara dan lingkungan kerja telah disesuaikan dengan prinsip
ergonomi.
2. Cara Kerja
Pemberian dan pengarahan bagi para pekerja dalam penggunaan alat-alat
sangat penting untuk menciptakan ergonomi dan mengurangi beban kerja.
Suatu cara kerja yang salah dapat mengakibatkan pekerja merasa
kelelahan, tekanan fisik dan lain-lain. Dimana kasus yang banyak terjadi
adalah timbulnya Low Back Pain. Cara kerja yang tidak sesuai dengan
ergonomi tersebut akan dirasakan oeh pekerja sebagai beban kerja yang
berlebihan. Cara kerja yang tidak sesuai dengan ergonomi misalnya posisi
tubuh yang salah saat mengangkat atau memindahkan barang, bekerja
tergesa-gesa atau ceroboh sehingga dapat menyebabkan kecelakaan kerja.
Selain itu istirahat juga penting untuk mempertahankan stamina fisik
pekerja.

75
3. Alat Kerja
Agar suatu kenyamanan dalam melakukan pekerjaan di suatu industri
dapat tercapai, maka hendaknya penggunaan alat-alat industri dilakukan
secara hati-hati dan dengan cara yang benar ( sesuai petunjuk). Sikap
tubuh yang tepat dapat mengurangi beban kerja pekerja. Sikap tubuh
dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan
penempatan mesin-mesin.

76
BAB III
ANALISA KASUS DAN STRATEGI PENANGGULANGAN SERTA
RENCANA EVALUASI

3.1 Analisa Kasus


NO. PERMASALAHAN KOMENTAR
1. Tuberkulosis Paru LINGKUNGAN
Fisik:
 Pertukaran udara dan pencahayaan kurang,
lembab.
 Perumahan sederhana dan fasilitas kurang
memadai
 Lokasi rumah terletak 500 meter dari pabrik gula

Kimia:
 Kebersihan lingkungan dan sanitasi (sistem
pembuangan limbah rumah tangga) yang kurang
memadai

Biologi:
 Pencemaran zat-zat kimia yang berasal dari
pabrik gula.
 Jarak sumur dengan WC yang berjarak 4 meter

Sosio-budaya-psikologi:
 Anggota keluarga kurang sadar terhadap
kesehatan individu
 Merokok 1 pack perhari
 Makanan yang jarang bervariatif dan tidak
memenuhi menu 4 sehat 5 sempurna dikarenakan
pendapatan yang tidak tentu tergantung masa
giling.
 Stress karena pemasukan yang tidak sesuai
dengan pengeluaran karena besarnya biaya
kebutuhan sehari-hari ditambah dengan biaya
pendidikan.
 Memakai masker untuk menghindari penularan
TB Paru

77
3.2 Strategi Penanggulangan
No Bagian/Sektor Komentar Strategi Penanggulangan
1. Proses Produksi a. Bahan Baku
Bahan baku berupa batang Pada proses produksi untuk
tebu, susu kapur, belerang, menghindari paparan bahan
dan bahan kimia (asam kimia bagi pekerja yang berada
fosfat, caustic soda, Pb dibagian ini diharuskan untuk
asetat) memakai masker dan sarung
b. Bahan Sampingan tangan untuk meminimalkan
Bahan sampingan yang paparan terhadap bahan-bahan
dihasilkan seperti tetes tebu, kimia maupun bahan
ampas, blotong sampingan yang dihasilkan.

Alat Alat Produksi


a. Bagian
- kebiasan pekerja dalam  adanya peraturan yang
penggilingan
bekerja dibeberapa ketat terhadap
bagian yaitu pemakaian alat
membungkuk, berdiri keselamatan pribadi
lama, memanjat dan oleh pihak pabrik
mengangkat serta  penambahan alat-alat
duduk yang lama keselamatan pribadi
terutama dibagian saat melakukan
penggilingan, pekerjaan didalam
penguapan, kristalisasi, pabrik
puteran serta  pengawasan oleh
pengemasan) kepala shift saat pekerja
- Bising > 85 Db selama masuk shift dalam
jam kerja (8 jam) memakai alat-alat
- Vibrasi/getaran yang keselamatan pribadi
dihasilkan oleh mesin-
mesin dibagian gilingan

b. bagian
- Bau menyengat dari nira

78
pemurnian

c. bagian
penguapan

d. bagian yang telah disaring pada


kristalisasi mesin boor clarifer

- panas yang dihasilkan


e. . bagian puteran oleh mesi evaporator
dan (70-100o c)
pengemasan - Bising yang dihasilkan
oleh pipa kondensat

2. Lingkungan kerja - panas dan getaran yang


a. Fisi - Bising > 85 Db  Penambahan alat-alat
k selama kerja (8 jam) keselamatan pribadi
pada stasiun (masker, air plug, boot)
penggilingan dan bagian disetiap sektor produksi
puteran dan pengemasan sehingga setiap
- Panas yang karyawan mendapatkan
dihasilkan oleh mesin alat keselamatan
evaporator pribadinya sendiri-
sendiri
 Pemakaian masker
untuk mencegah
penularan TB Paru pada
karyawan industri
 Pengawasan oleh
b. Bio - Getaran karena kepala shift dan bagian

79
logi mesin-mesin produksi P2K3 dalam
tersebut pemakaian alat-alat
- Bakteri-bakteri yang keselamatan kerja oleh
didapatkan dilingkungan karyawan
pabrik dari nira kotor  Pembersihan tempat-
yang dihasilkan setelah tempat yang rentan oleh
penggilingan, yang bakteri-bakteri setiap
didapatkan disaluran- minggu terutama disaat
saluran pembuangan masa giling, sehingga
didalam pabrik dapat meminimalkan
paparan

c. Ki - Asap,debu dan bau


mia yang menyengat
dibeberapa bagian
operasional didalam
pabrik dan terpapar oleh
karyawan

d. Sos - Kebiasaan dari pekerja


ekbud dilingkungan pabrik
tidak mau menggunakan
peralatan kesehatan dan
keselamatan kerja
- Adanya pendapat bahwa
pengguanaan alat
keselamatan pribadi
(PPE) tidak praktis dan
mengganggu pekerjaan
pekerja

- Dalam melakukan
e. Psi pekerjaan dipabrik

80
hubungan antara pekerja
dengan pekerja lainnya
kososial baik, walaupun ada
masalah-masalah sedikit
tapi tidak mengganggu
kelancaran proses
produksi
3. Karyawan  Kebanyakan karyawan  Pemberian pembinaan
merupakan karyawan dalam mencegah
laki-laki kecelakaan kerja berupa
penyuluhan,dan skill
tentang pertolongan
pertama yang relevan
dengan pekerjaan mereka
 Pemeriksaan secara
berkala terhadap pekerja
pabrik terutama karyawan
yang memiliki resiko tingi

4. Manajemen - Pembagian jadwal kerja  Kebijakan dari


yang dibagi menjadi 3 manajemen tentang
shift (06.00-15.00 ; pembagian shift kerja
15.00-22.00; 22.00- (ditelaah lagi tentang
06.00) paparan kebisingan dan
- Adanya peraturan tentang panas dilingkungan kerja)
keselamatan dan  Adanya sistem
kesehatan kerja yang reward dan punishment
ditempelkan didalam terhadap karyawan dalam
pabrik penggunaan alat
keselamatan kerja dalam
lingkungan pabrik
 Adanya
pemeriksaan berkala
terhadap mesin mesin

81
produksi baik dari
kebisingan yang
dihasilkan,panas dan
getaran
 Memberikan
penjelasan kepada pihak
manajemen pabrik bahwa
penyakit TB Paru bukan
merupakan penyakit
akibat kerja, melainkan di
sebabkan oleh buruknya
higiene sanitasi di
lingkungan perumahan
individu/ karyawan yang
mempermudah
penyebaran dari kuman
TB. Sehingga apabila
dilakukan perbaikan
sarana alangkah baiknya
diprioritaskan pada
pemukiman karyawan,
bukan lingkungan pabrik.
 Mengusulkan
pada pihak manajemen
untuk menggalakkan
penggunaan masker pada
karyawan untuk
menghindari penyebaran
TB
 Mengusulkan
pada pihak manajemen
untuk dilakukannya
skrining pada karyawan
yang diduga/ suspect TB

82
Paru oleh petugas
kesehatan/ dokter
perusahaan
5. Undang – Undang  Undang-undang no
1 tahun 1970 tentang
keselamatan dan
kesehatan kerja
 UUD 1945 pasal 27
ayat 2 tentang hak
penghidupan dan
pekerjaan yang
layak
 UU RI no 13 tahun
2004 tentang hak
pekerja/buruh

3.3 Rencana Evaluasi


Untuk mengevaluasi dari strategi penanggulangan tersebut dapat
dilakukan sistem evaluasi yang dimulai dari pihak individu, keluarga,
komunitas masyarakat dan industri.
Untuk evaluasi yang perlu dilakukan terhadap individu penderita TB
Paru, yaitu :
 Evaluasi keteraturan minum OAT
 Evaluasi keberhasilan terapi
 Evaluasi pola gaya hidup, berhenti merokok, berolahraga secara teratur
sesuai kemampuan, dan mengkonsumsi makanan yang bergizi
 Evaluasi keteraturan kunjungan dalam berobat, melaksanakan pemeriksaan
radiologi dan BTA secara berkala
 Evaluasi ketaatan menggunakan masker saat bekerja
Untuk evaluasi terhadap keluarga penderita TB Paru, antara lain :
 Evaluasi pola hidup tiap anggota keluarga
 Evaluasi kepedulian anggota keluarga dalam mengawasi keteraturan
individu penderita TB Paru dalam minum obat
 Kepedulian keluarga untuk menyediakan makanan yang bergizi

83
 Kepedulian keluarga untuk menambah ventilasi rumah yang lebih
memungkinkan untuk masuknya sinar matahari
Untuk komunitas masyarakat dan industri :
 Evaluasi pemukiman penduduk disekitar pabrik, terutama rumah milik
karyawan
 Evaluasi kepatuhan pekerja dalam menggunakan alat-alat keselamatan
kerja, terutama masker untuk menghindari penyebaran kuman TB
 Evaluasi kesehatan pekerja melalui poliklinik perusahaan dengan
melakukan skrining pada karyawan yang berkunjung di poli yang
memberikan gejala adanya batuk kronis

3.4 Skema Masalah Keluarga dan Permasalahannya

84
BAB IV

85
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah kesehatan
komunitas meliputi faktor fisik, biologi, kimia, dan sosial, ekonomi dan
budaya.
2. Sumberdaya yang dimiliki perusahaan dalam penanggulangan masalah
kesehatan komunitas di tempat, yaitu team K3 dan team Poli Klinik
3. Strategi penanggulangan masalah kesehatan komunitas industri yaitu :
a.penambahan alat-alat peredam, dan pelindung panas yang tercantum
dalam aturan internal pabrik yang mendapat persetujuan dari general
manager, sehingga para karyawan yang melanggar aturan tersebut
dapat diberikan suatu hukuman yang telah disepakati di pihak
pengambil kebijakan.
b. menggunakan masker yang telah ditentukan dalam aturan internal
perusahaan, sedangkan untuk pabrik pembuatan saluran cerobong
asap yang merupakan hasil dari pembuangan proses produksi.
c.penyeterilitasan berkala pada daerah – daerah yang rentan terhadap
perkembang biakan bakteri.
d. pendekatan-pendekatan persuatif kepada seluruh karyawan pabrik.

4.2 Saran
 Bagi Individu
- Pentingnya keteraturan minum OAT
- Pemeriksaan secara berkala dan teratur untuk melihat
keberhasilan terapi, pemeriksaan radiologi dan BTA
- Memperbaiki pola gaya hidup dengan berhenti merokok,
berolahraga secara teratur sesuai kemampuan, dan
mengkonsumsi makanan yang bergizi
- Perlunya menggunakan masker saat bekerja untuk menghindari
penularan penyakit TB Paru

 Bagi Keluarga

86
- Memperbaiki pola hidup tiap anggota keluarga
- Kepedulian anggota keluarga dalam mengawasi keteraturan
individu penderita TB Paru dalam minum obat
- Penyediaan makanan yang bergizi bagi individu yng menderita
TB Paru serta keluarga yang lain
- Perbaikan sanitasi rumah dengan menambah ventilasi rumah
yang lebih memungkinkan untuk masuknya sinar matahari
 Bagi Komunitas
- Perbaikan pemukiman penduduk, terutama perumahan yang
tidak mempunyai ventilasi yang layak
- Menggunakan alat-alat keselamatan kerja, terutama masker
untuk menghindari penyebaran kuman TB
- Hendaknya memeriksakan individu yang mempunyai riwayat
batuk lama, berat badan menurun dan berkeringat malam hari.

DAFTAR PUSTAKA

87
Alsagaff H, Mukty A.2006. Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga
University Press. Surabaya.
Anonimous, 2008. Asma (online). (www.medicastore.com/cybermed/detail. diakses
tanggal 19 Mei 2008).
Anonimous, 2008. Asma Karena Pekerjaan (online).
(www.medicastore.com/cybermed/detail. diakses tanggal 19 Mei 2008).
Antaranews, 2007. Revitalisasi pabrik gula Indonesia. (online).
(http://www.antara.co.id/arc/2007/5/24/butuh-rp5-4-triliun-untuk-
revitalisasi-pabrik-gula-indonesia/).
Azwar,Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan (Edisi ketiga). Binarupa Aksara:
Jakarta,1996
Departemen Kesehtan, RI. Kesehatn dan Keselamatan Kerja (online).
(http://www.depkes.go.id/index/articles.html). Oleh Pusat Kesehatan Kerja.
Jakarta.
Erlin, nursiloningrum, S.Ked dkk. 2008. Makalah Kedokteran Industri : Masalah
Kesehatan Pada Pabrik Gula Krebet Baru Malang Dan Strategi
Penanggulangannya. Malang.
Hanafiah, Zulfadin. 1994. Stress dan Produktivitas Dalam Upaya Kesehatan
Kerja. RS Jiwa Daerah Surabaya.
Kabul dkk, 2006. Sistem Pergulaan Jawa Timur.
http://www.balitbangjatim.com/upload/artikel/SISTEM_PERGULAAN_JA
WA_TIMUR_EDIT_1%20kabul%2011-1-06.doc

Kebijakan Teknis Program Kesehatan Kerja, Jakarta 2003, Forum


Nusaku.HTM.Acces on Mei 18th 2008

KCM (Kompas Cyber Media). Kebisingan dan Getaran Bisa Akibatkan


Kecelakaan Kerja (online).
(http://www.kompas.com/kesehatan/index.html). Kesehatan. Jakarta.
KCM (Kompas Cyber Media). Mengukur Kebisingan dan Getar di Tempat Kerja.
(online). (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/05/iptek/index.html).
Iptek. Jakarta.

88
Munandar, A.S. 1988. Stress Pada Pekerja. Psikologi Industri, Penerbit Karunika.
Jakarta.
Nursiloningrum, Erlin, S.Ked dkk. 2008. Makalah Kedokteran Industri : Masalah
Kesehatan Pada Pabrik Gula Krebet Baru Malang Dan Strategi
Penanggulangannya. Malang.
Pusat kesehatan Kerja DEPKES RI. Program Penanggulangan TBC Access on
www. ASTAQAULIYAH_COM.htm, Mei 18th,2008
Roebijoso,Jack. 2006. Modul Kuliah Administrasi Kesehatan Masyarakat,
Laboratorium Kedokteran Komunitas FK UMM: Malang.
Sembiring,Santosa. 2006. Himpunan UU RI tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Nuansa Aulia: Bandung.
Stellman, Jeanne M; Daum, S.M. 1973. Stress. Work is Dangerous To Your Health,
Pathe on Book a Division of Random House. New York.
Sudoyo, AW, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI.Jakarta.
Suwandi, Tjipto. 1993. Penanganan Stress, Anxietas dan Produktivitas Kerja
Dalam Praktek. Makalah Temu Ilmiah Ikatan Ahli Hiperkes dan
Keselamatan Kerja. Surabaya.
Suyono, joko. 2001. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Jakarta : EGC.
Wijono, Joko. 2000. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan (Vol I). Airlangga
University Press: Surabaya.
WHO, TB Control in the Workplace, Report of an Intercountry Consultan, New Delhi
2004, Forum Nusaku.HTM.Acces on Mei 18th 2008

89

You might also like