You are on page 1of 13

VARIASI BAHASA DAN KOMPONEN TUTUR

OLEH AL-ASHADI ALIMIN (Sumber naskah asli: doc


http://publikasi.umm.ac.id/download.php?id=216 ) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Variasi bahasa yang disebut juga dialek merupakan keanekaragaman bahasa yang digunakan di
masyarakat yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, misalnya usia, topik pembicaraan,
keturunan, kondisi geografi, kesejarahan dan lain-lain. Wujud nyata penggunaan bahasa yang
beragam di masyarakat itulah yang sebenarnya disebut dialek (Soeparno, 2002:70). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa variasi bahasa di masyarakat dapat dibedakan antara lain: a) variasi kronologis,
b) variasi geografis, c) variasi sosial, variasi fungsional, d) variasi gaya/style, e) variasi kultural
dan f) variasi individual. Kaitannya dengan permasalahan penelitian ini variasi bahasa yang lebih
tepat ialah variasi fungsional. Variasi fungsional disebabkan oleh perbedaan fungsi pemakaian
bahasa. Sampai sejauh ini fungsi-fungsi bahasa dapat dimanifestasikan dalam sebutan fungsilek.
Penggunaan bahasa pada pokok pembicaraan khusus dan modus yang jelas dapat kita temui di
masyarakat. Hal ini disebabkan karena kondisi masyarakatnya paling tidak menguasai dua
bahasa (bilingual). Pada masyarakat perkotaan seperti halnya di kota Malang, penutur bahasa
minimal menguasai dua bahasa atau lebih. Dengan demikian, mereka lebih leluasa untuk
menciptakan kode-kode tertentu atau sekaligus mampu menggunakan dalam peristiwa yang
berlainan. Sangatlah menarik ketika kita mengamati peristiwa penggunaan bahasa dengan latar
belakang penutur yang sangat hiterogen. Mereka akan menggunakan kode-kode bahasa secara
bergantian. Hal ini dapat dijumpai pada masyarakat Pecinan (lingkungan masyarakat Cina).
Kategori penutur bahasa semacam ini sangat beragam, sehingga kalau diamati istilah alih kode,
campur kode, dan interferensi sangat mungkin terjadi. Sejalan dengan perkembangan bahasa
sebagai alat komunikasi yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman, maka
perubahan segmen-segmen bahasa juga dapat terjadi di masyarakat. Perubahan bahasa tersebut
mengakibatkan adanya variasi kebahasaan. Penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat akan
selalu dipengaruhi unsur-unsur bahasa lainnya baik dari dalam maupun dari luar, misalnya
bahasa Inggris, Portugis, Belanda, Cina, Arab dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
bahasa daerah atau nusantara akan selalu berdampingan kehidupannya dengan bahasa Indonesia,
sehingga hal ini sangat memungkinkan terjadinya pembentukan dialek-dialek tertentu di dalam
tuturan bahasa Indonesia. Salah satu fenomena penggunaan bahasa Indonesia yang cukup
menarik diteliti adalah penggunaan bahasa Indonesia pada masyarakat Cina peranakan di kota
Malang. Indocinwa merupakan dialek yang dituturkan oleh masyarakat cina peranakan (MPC)
dengan materi campuran bahasa Indonesia, Cina, dan Jawa yang disebut minoritas karena hanya
dituturkan oleh sebagian masayarakat bahasa di kota Malang. Berdasarkan keterpengaruhan
bahasa Indonesia oleh bahasa asing atau bahasa nusantara terutama bahasa Cina maka penelitian
ini perlu dilakukan. Sepengalaman peneliti pendeskripsian bentuk-bentuk bahasa Indonesia
terutama yang digunakan oleh masyarakat Cina peranakan Jawa. 1.2 Permasalahan Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana penggunaan
segmen Fonologis dan Morfologis pada masyarakat Indonesia Cina Jawa (Masyarakat Cina
Peranakan)? b. Bagaimana fungsi pemakaian dialek oleh masyarakat Indonesia Cina Jawa
(Masyarakat Cina Peranakan)? c. Bagaimana konteks pemakaian dialek oleh masyarakat
Indonesia Cina Jawa (Masyarakat Cina Peranakan)? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan: a. penggunaan segmen Fonologis dan Morfologis pada
masyarakat Indonesia Cina Jawa (Masyarakat Cina Peranakan). b. fungsi pemakaian dialek oleh
masyarakat Indonesia Cina Jawa (Masyarakat Cina Peranakan). c. konteks pemakaian dialek
oleh masyarakat Indonesia Cina Jawa (Masyarakat Cina Peranakan). 1.4 Penegasan Istilah a.
Dialek adalah penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat tertentu yang ditandai oleh sifat-
sifat kedaerahan atau ciri-ciri kebangsaan. b. Segmen bahasa adalah satuan bahasa yang
diabstraksikan dari kontinum wicara atau teks (wacana dialog) misalnya kata, frase, klausa, dan
kalimat sebagai akibat satua gramatikal. c. Indocinwa adalah masyarakat cina peranakan Jawa
yang menggunakan bahasa Indonesia (kata, frase, kalimat, wacana) pada tuturan informal. 1.5
Kontribusi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh: 1) para ahli bahasa
sebagai bahan pertimbangan dalam mendeskripsikan atau mengkaji bahasa pada masyarakat, 2)
para ahli tata bahasa deskripsi sebagai bahan pertimbangan dalam deskripsi paramasastra dialek
Indocinwa, 3) para guru sebagai bahan pelajaran terutama pada m,asalah interferensi bahasa dan
menyarankan kepada siswanya agar pemakaianIndocinwa dibatasi pada situasi tidak formal,
jangan meluas pada situasi formal (di kelas), bicara dengan guru). BAB II KERANGKA TEORI
2.1 Penggunaan Bahasa dalam Masyarakat Para pakar Sosiolinguistik berharap dapat
memasukan dialektologi dalam bidang kajian sosiolinguistik. Alasan mereka adalah kajian dialek
sejak dulu telah memusatkan diri pada kebiasaan ujar (speech habits) kelompok-kelompok sosial
yang berbeda dengan komunitas ujar/ masyarakat ujar dalam menggunakan sistem bahasa
standar (baku). Sistem bahasa standar ini merupakan variasi yang lazim dibicarakan dalam pakar
Linguistik murni. Oleh sebab itu, kajian dialek selalu mengaitkan penggunaan variasi bahasa
dalam masyarakat. Setiap penggunaan dialek, penutur mengetahui norma-norma sosial yang
mengontrol tingkah laku dan pembicaraan mereka. Selain itu, pemahaman terhadap faktor-faktor
sosiokultural yang mampu menentukan hubungan interpersonal dan interaksi antara pengguna
bahasa menjadi penting. Agar pengguna dialek dapat menempatkan dirinya dengan situasi yang
dihadapinya, maka pemilihan kode-kode bahasa menjadi penting. Terdapat dua hal yang harus
diperhatikan ketika penutur bahasa mengadakan pemilihan kode bahasa yaitu tingkat formalitas
hubungan antar pembicara dan status sosial yang dimiliki antara pembicara yang satu dengan
lainnya. Tingkat formalitas hubungan antara pembicara dapat ditentukan oleh tiga hal: a. tingkat
keakraban hubungan antar pembicara, b. tingkat umur, c status sosial yang dimiliki antar
pembicara. Status sosial ditentukan oleh faktor: keturunan dan latar belakang pendidikan,
pekerjaan, jenis kelamin, status perkawinan, dan kesukuan. Selain itu, masih ada faktor-faktor
yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan hubungan antara pembicara
yang satu dengan lainnya. Jakobson dalam pateda (1987: 5) menjelaskan terdapat beberapa
faktor dalam suatu komunikasi yang menggunakan bahasa antara lain: a. pembicara, b.
pendengar, c. tersedianya alat, d. faktor lain yang muncul ketika pembicara berkomunikasi, e.
setting, f. bentuk-bentuk pesan (message), g. topik/konteks pembicaraan, dan h. peristiwa
komunikasi. Dalam peristiwa komunikasi, penutur hendaknya memperhatikan fungsi bahasa
sebagai sarana komunikasi. Melalui bahasa yang dapat dipahami oleh penutur dan pendengar,
maka komunikasi yang dikehendaki dapat berjalan secara baik. Selain difungsikan sebagai
sarana komunikasi, bahasa dapat difungsikan sebagai wahana kebudayaan, penanda perorangan
dan sebagai sarana pendidikan. Sebagai wahana kebudayaan, bahasa dapat digunakan untuk
meningkatkan perkembangan budaya masyarakat, jalur penerus kebudayaan, dan penanda
adanya ragam kebudayaan. Fungsi perorangan ini berkenaan dengan pembuatan klasifikasi
penggunaan bahasa dalam masyarakat yakni a. instrumentalia, b. menyuruh, c. interaksi, d.
kepribadian, e. pemecah masalah, dan f. untuk berkhayal. Fungsi pendidikan yang dimaksudkan
dalam paparan di atas yaitu untuk menyatakan sikap dan pendekatan guru di dalam dunia
pendidikan. Sikap dan pendekatan yang digunakan guru selalu dapat dinyatakan melalui
penggunaan bahasa. Kalau kita perhatikan penggunaan bahasa di masyarakat banyak dijumpai
ragam atau variasi bahasa. Bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat bahasa dalam
lingkup kecil banyak juga kita jumpai. Antar suku yang terdapat di Indonesia ini akan
menggunakan bahasa yang berbeda. Bahasa yang digunakan oleh kelompok kecil dalam suatu
masyarakat disebut logat/bahasa daerah. Logat ini digunakan untuk menandai adanya variasi
bahasa yang khas pada suatu masyarakat kelompok kecil. 2.2 Karakteristik Penutur Bahasa
Banyaknya suku bangsa yang terdapat di Indonesia sangat memungkinkan penggunaan variasi
bahasa. Melihat fakta yang demikian ini paling tidak terdapat satu bahasa yang dikuasai oleh
penutur sebagai alat komunikasi. Penutur bahasa yang hanya menguasai satu bahasa baik secara
aktif maupun pasif disebut monolingual. Penutur bahasa yang menguasai dua bahasa sebagai alat
komunikasi disebut bilingual, sedang penutur yang menguasai tiga bahasa atau lebih disebut
multilingual. Dalam suatu pembicaraan penguasaan suatu bahasa yang sama menjadi faktor
penentu keberhasilan dalam peristiwa komunkasi. Bahasa pertama atau yang biasanya disebut
sebagai bahasa ibu menjadi faktor utama di dalam peristiwa komunikasi. Akan tetapi, tidak
semua penutur akan selalu menggunakan bahasa pertamanya di dalam komunikasi, terkadang
pada topik tertentu bahasa kedua atau ketiga digunakan. Penggunaan bahasa semacam ini
dimaksudkan untuk memperlancar peristiwa komunikasi. Seorang penutur tidak ingin mengalami
kegagalan untuk menyampaikan pesan tertentu. Peristiwa penggunaan bahasa oleh seseorang
secara bergantian disebut juga bilingualisme. Nababan mengatakan kedwibahasaan dapat dipakai
untuk perorangan dan dapat juga untuk masyarakat atau kelompok. Kebiasaan penggunaan
bahasa semacam ini terdapat pada masyarakat bilingual atau multilingual. Haugen dalam
Rusyana (1989:2) mengatakan dua dialek dari satu bahasa dalam kedwibahasaan disebut juga
bilingualisme. Untuk itu, pemahaman terhadap penggunaan dialek pada masyarakat tertentu
dapat dianggap sebagai kedwibahasaan. Penggunaan bahasa atau dialek pada suatu masyarakat
bukanlah merupakan gejala bahasa melainkan dalam kajian parole (performance). Kalau kita
perhatikan peristiwa pembelajaran bahasa pada anak-anak, orang tua atau lingkungan tempat
tinggal pertama merupakan faktor utama untuk memperoleh bahasa ibu (pertama). Adapun
bahasa kedua diperoleh melalui proses pendidikan formal. Seorang anak akan terus menerus
mempelajari bahasa pertama yang dilanjutkan dengan mempelajari bahasa kedua. Secara
histories anak semacam ini akan menjadi dwibahasawan dan akan berkomunikasi dengan kontak
yang lebih luas. Kontak bahasa oleh dwibahasawan pada umumnya terjadi tanpa direncanakan
atau dipikirkan terlebih dahulu. Kontak ini terjadi secara spontan karena antar penutur saling
membutuhkan informasi, adanya tujuan tertentu, memiliki maksud yang sama, dan dalam situasi
yang kondusif. Kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa atau dialek secara bergantian
baik pada peristiwa alih bahasa atau campur bahasa sangat diharapkan pada penutur yang
berkarakteristik bilingual atau multilingual. Salah ciri utama kedwibahasaan adalah
dipergunakannya dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau kelompok orang, tetapi kedua bahasa
itu tidak mempunyai peranan sendiri-sendiri di dalam masyarakat pemakai bahasa. Kepada
siapapun mereka berbicara, di manapun pembicaraan berlangsung, tentang masalah apapun yang
dibicarakan dan dalam situasi bagaimanapun pembicaraan itu berlangsung kedua bahasa atau
lebih itu dapat dipergunakan. Pemilihan bahasa manakah yang akan dipergunakan semata-mata
bergantung kemampuan pembicara dan pendengarnya. Pemilihan bahasa ini dilakukan ketika
para pembicara menguasai benar tentang bahasanya. Jika hal ini dilaksanakan sebaik-baiknya
antara penutur dan pendengar maka pesan yang akan disampaikan dapat diterima secara baik.
Kebiasaan melakukan pemilihan bahasa tidak sekaligus dapat dilakukan sebaik-baiknya tetapi
perlu melalui proses belajar. Mungkin saja prosesnya terjadi secara serentak atau keduanya
bahasa dipelajari secara bersama-sama. Kontak bahasa yang terjadi pada suatu kelompok
bahasawan sering terjadi pengaruh-mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan lainnya.
Pengaruh ini akan membawa perubahan pada langue dan parole para penutur lainnya. Kontak
bahasa ini akan mampu mempengaruhi pola pikir para penuturnya dan sekaligus kebiasaan
berbahasanya. Selain itu, performance (penampilan) penggunaan bahasa seseorang akan berubah
sewaktu penutur bahasa selalu mengadakan kontak bahasa. Dalam masyarakat yang tergolong
dwibahasa (bilingual) dan multibahasa, kelancaran dan ketepatan penyampaian pesan, maksud,
atau tujuan merupakan hal yang harus terus menerus dipelajari. Hal ini berarti bahwa tiap
pengguna bahasa pada saat berkomunikasi secara verbal tidak hanya ingin menyampaikan pesan
melalui kata-kata saja tetapi harus mengetahui fungsi, konteks, topik serta situasi yang ada.
Fungsi perlu dipahami terlebih dahulu oleh para penutur sebab bahasa yang digunakan akan
mampu mengubah persepsi para pendengarnya. Tidak sedikit para penutur mengalami kegagalan
dalam berkomunikasi dengan orang lain karena tidak paham akan fungsi bahasanya. Di dalam
masyarakat bahasa terkadang terdapat dua atau lebih bahasa yang hidup berdampingan secara
subur. Selain itu, juga banyaknya variasi penggunaan bahasa secara bergantian di masyarakat.
Gambaran peristiwa pengunaan variasi bahasa di dalam suatu masyarakat yang memiliki peranan
tertentu disebut diglosia. Adapun konteks, topik, dan situasi juga merupakan hal yang cukup
penting dipahami terlebih dahulu oleh antar penutur. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan
harus dikuasai terlebih dahulu agar penutur mampu memilih konteks, topik dan situasi yang tepat
untuk melakukan komunikasi. Dalam menggunakan dua bahasa atau dialek dalam komunikasi
mungkin saja terjadi penyimpangan-penyimpangan dari kaidah yang mengatur bahasa atau
dialek itu. Penyimpangan dari kaidah yang dipergunakan oleh penutur sebagai akibat pengenalan
bahasa yang salah. Selain itu, penyimpangan terjadi karena penutur telah mengidentifikasi dua
buah kaidah dalam waktu yang bersamaan. Kaidah yang dimaksudkan dapat terjadi pada tataran
bunyi bahasa, bentuk, kalimat, wacana, dan makna, sehingga penyimpangan yang dilakukan
penutur bahasa dapat berkenaan dengan tataran tersebut. Faktor urgen yang paling menyebabkan
terjadinya penyimpangan yakni penutur tidak menguasai kaidah bahasa yang digunakan dalam
komunikasi. 2.3 Pengunaan Bahasa dalam Masyarakat Multilingual Dalam masyarakat
monolingual yang ditandai hanya menggunakan satu bahasa tidak ditemukan peristiwa alih
bahasa, campur bahasa, atau penyimpangan bahasa. Penggunaan bahasa pada karakteristik
masyarakat yang demikian tidak mengalami kesalahan ketika mengadakan pemilihan bahasa.
Sebaliknya dalam masyarakat bilingual atau multilingual masalah penggunaan bahasa menjadi
sesuatu yang menarik. Di dalam masyarakat yang penuturnya menguasai dua bahasa atau lebih
akan berakibat digunakan bahasa itu secara bergantian atau secara serempak untuk memenuhi
kepentingan hidupnya. Penutur bahasa pada waktu menggunakan bahasa kedua atau ketiga
dalam ingatannya terkadang tidak memperhatikan apakah kaidah bahasa yang digunakan sudah
benar atau belum. Akan tetapi, yang paling diutamakan adalah tingkat kekomunikatifan
penyampaian pesan atau maksud kepada pendengar. Penggunaan bahasa di masyarakat dapat
juga dikategorikan menjadi bahasa tulis dan lisan. Jika kita bandingkan penggunaan bahasa tulis
tidak sedinamis bahasa lisan. Bahasa lisan digunakan dalam situasi yang berhadapan langsung
dengan pendengarnya. Untuk itu, kesalahan-kesalahan pemahaman pesan dapat dijelaskan pada
situasi yang sama. Bahasa lisan hidup pada interaksi sosial yang banyak ditandai dengan
kekreatifan penciptaan kode-kode bahasa. Penggunaan bahasa lisan (verbal) oleh penutur tidak
hanya digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan seperti yang termuat dalam kata-kata,
kalimat atau wacana, tetapi seorang penutur hendaknya memahami faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya, misalnya lawan bicara, situasi, topik pembicaraan, waktu, dan tempat.
Bentuk bahasa yang telah digunakan akan berubah karena situasi, lawan bicara, topik
pembicaraan, waktu, dan tempat mengalami perubahan. Dalam transaksi jual beli misalnya,
seorang penutur akan mengubah bahasa yang digunakan ketika topik yang dibicarakan berubah,
atau situasi yang digunakan berubah dan seterusnya. Semua kaidah bahasa yang bersifat sosial
haruslah diperhatikan oleh setiap pengguna bahasa jika para penutur melakukan komunikasi
lisan (verbal). Berbicara sebenarnya terjadi transfering (pemindahan) kode dan kaidah dari
pembicara kepada pendengar. Antara pembicara dengan pendengar harus saling memahami kode
atau kaidah yang mengatur bahasa itu agar tujuan pembicaraan dicapai secara optimal. Faktor
situasi turut mempengaruhi pembicara terutama dalam pemilihan kata-kata yang mampu
mewadahi pesan tertentu dan bagaimana cara menggunakan kode-kode lainnya dalam berbicara.
Faktor sosial seperti umur, jenis kelamin, latar belakang ekonomi, keturunan, tempat tinggal juga
mempengaruhi penggunaan bahasa dalam komunikasi. Bahasa yang digunakan oleh keturunan
lain akan berpengaruh terhadap penggunaan bahasa, misalnya seorang keturunan Cina akan
menggunakan bahasa Cinanya ketika berbicara dengan penutur yang satu keturunan. Mereka
akan memidahkan kode-kode tertentu ketika membicarakan hal-hal bersifat pribadi agar orang
lain tidak mengetahuinya. Pembicaraan semacam ini akan memunculkan variasi bahasa dalam
masyarakat. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual persoalan pemilihan bahasa pada saat
komunikasi sering dilakukan penutur. Terdapat beberapa penyebab terjadinya pemilihan bahasa
ketika penutur berkomunikasi dengan orang lain yakni a. perubahan situasi pembicaraan, b. topik
pembicaraan, dan c. keterlibatan pembicara lainnya. 2.3.1 Perubahan Situasi Pembicaraan
Perubahan-perubahan suasana yang terjadi pada saat pembicaraan berlangsung akan berpengaruh
terhadap sikap penutur. Perubahan sikap penutur melalui pemilihan bahasa resmi atau tak resmi,
santai, dan akrab terjadi ketika situasi ini telah melingkupi pembicaraan. Situasi pembicaraan di
masyarakat dapat dibedakan menjadi dua yakni situasi resmi dan tak resmi (santai). Kedua
situasi ini akan berpengaruh terhadap pemilihan bahasa. Untuk itu, perubahan situasi menjadi
faktor penting di dalam proses pemilihan bahasa yang sekaligus akan memunculkan varian-
varian bahasa. Situasi resmi cenderung mempengaruhi penutur memakai variasi resmi,
sedangkan situasi santai cenderung mempengaruhi penutur memilih variasi bahasa santai.
Pemilihan bahasa yang disesuaikan dengan situasi ini penting dilakukan oleh seorang penutur
agar pembicaraan dapat berjalan secara baik. Banyak penutur yang melakukan pembicaraan
sementara pendengar tidak merasa nyaman dan hubungan antar keduanya kelihatan kaku. Pada
acara santai (tak resmi) tiba-tiba ada seorang penutur menggunakan bahasa resmi maka yang
terjadi adalah adanya situasi yang tidak interaktif. Gaya bicara antar penutur menjadi tidak
bebas. Pada saat yang demikian ini, pendengar dapat memilih bahasa yang sama dengan penutur
agar komunikasi kembali normal. Situasi santai ini sering kita jumpai pada transaksi jual beli di
pasar atau swalayan, pembicaraan penumpang dan sopir di terminal, situasi di luar perkuliahan
dan sebagainya. 2.3.2 Topik Pembicaraan Topik pembicaraan dapat juga menjadi penyebab
terjadinya pemilihan bahasa pada saat pembicaraan berlangsung. Pemilihan bahasa dilakukan
ketika pembicara mengerti akan fungsi masing-masing bahasa. Fungsi bahasa ini dapat berkaitan
dengan asal-usul penutur, bidang kajian, karakteristik pembicaraan, dampak pada pendengar dan
sebagainya. Jika dikaitkan dengan asal-usul penutur, pemilihan bahasa berfungsi menandai dari
mana penutur itu mengadakan kontak bahasa, misalnya orang Bugis akan mengadakan pemilihan
bahasa ketika ia harus berhadapan dengan sesama penutur dari Bugis. Jika ia berhadapan dengan
penutur lainnya, maka ia akan mengubah penggunaan bahasa tersebut sesuai dengan lawan
bicaranya. Selain itu, banyak kita jumpai para penutur bahasa menggunakan bahasa Arab pada
saat memanjatkan do’a. Walaupun mereka tidak paham benar arti bahasa Arab yang digunakan
untuk menyampaikan permohonan kepada Allah. Bagaimana dampak penggunaan bahasa oleh
penutur kepada pendengar? Tidak semua topik pembicaraan dapat dijelaskan atau diungkapkan
dengan menggunakan bahasa tertentu, tetapi topik tersebut dapat diterima secara wajar dan jelas
ketika pembicara telah memilih bahasa yang sesuai dengan kondisi bahasa pendengarnya. Topik-
topik pembicaraan tertentu dapat dimengerti tepat oleh pendengarnya karena topik tersebut
menggunakan bahasa terpilih daripada bahasa lainnya. Walaupun demikian, kejelasan,
kewajaran, keefektifan penyampaian topik pembicaraan kepada pendengar perlu dipertanyakan
apakah maksud tersebut benar-benar karena faktor pemilihan bahasa bukan karena faktor
lainnya. Kejelasan, kewajaran, keefektifan penyampaian topik pembicaraan dapat disebabkan
oleh: a. antara pembicara telah menguasai bahasa yang sama, b. banyak kata-kata tertentu yang
tidak dikuasai oleh penutur bahasa untuk mengungkapkan topik tertentu, c. kemampuan penutur
untuk menjelaskan topik pembicaraan, dan d. bahasa yang digunakan dianggap asing oleh
pendengar. 2.3.3 Keterlibatan Pembicara Setiap penutur bahasa selain menguasai fungsi dan
topik pembicaraan juga harus menguasai kaidah atau norma-norma yang mengatur bahasa yang
digunakan. Faktor sosial dan budaya masyarakat setempat hendaknya dipahami terlebih dahulu
agar tingkah laku dan segala bentuk pembicaraan dapat terkontrol. Kedua faktor inilah yang
dapat menentukan hubungan interpersonal dan interaksi yang optimal dengan pembicara lainnya.
Konsekuensinya antara pembicara dan pendengar hendakanya dapat menyesuaikan atau
menempatkan dirinya dalam upaya mengaplikasikan nilai-nilai sosial kultural masyarakatnya
ketika melakukan pembicaraan. Keterlibatan aspek sosial kultural ini akan menyebabkan
terjadinya varian-varian bahasa di masyarakat, misalnya kita kenal basilek, mesolek dan akrolek.
Varian bahasa yang digunakan oleh kalangan masyarakat yang memiliki tingkatan sosial kultural
lebih rendah disebut basilek. Varian bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa yang memiliki
tingkatan sosial kultural menengah disebut mesolek. Adapun varian bahasa yang digunakan oleh
penutur bahasa yang memiliki tingkatan sosial kultural tinggi disebut akrolek. Karakteristik
pembicara pada hakikatnya dipengaruhi oleh dua faktor internal dan eksternal. Faktor internal
pada diri penutur antara lain: kemampuan menguasai suatu bahasa, kemampuan menggunakan
bahasa baik secara verbal atau tulis, genetis (keturunan), dan kepribadian. Faktor eksternal
adalah faktor yang terdapat di luar lingkungan penutur yang mampu mempengaruhi kemampuan
berbahasa seseorang. Hal ini ditandai oleh ragam masyarakat yang sama dengan ragam
penuturnya. Tingkat formalitas dan status sosial penutur di dalam komunitas berbahasa menjadi
faktor penentu munculnya karakteristik penutur. Berkenaan dengan hal tersebut di atas,
Poedjasoedarma (1976.16) menjelaskan agar pemakai bahasa dapat menempatkan dirinya sesuai
dengan pemilihan bahasa yang digunakan ada dua hal yang penting yang harus diingat pada
waktu akan menentukan pilihan bahasa yaitu a. tingkat formalitas hubungan perseorangan antara
pembicara dengan lawan bicara, dan b. status sosial yang dimiliki para pembicara. Tingkat
formalitas hubungan perseorangan itu ditentukan oleh tiga hal yaitu a. tingkat keakraban
hubungan dengan lawan bicara, b. tingkat keangkeran lawan bicara dan umur lawan bicara.
Adapun status sosial ditentukan oleh sejumlah faktor antara lain: keturunan dan latar belakang
pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, status perkawinan, dan kesukuan. Selain faktor-faktor
tersebut di atas terdapat faktor lain yang berkaitan dengan para pembicara yang di dalam
menentukan sikap untuk memilih suatu bahasa yaitu hadirnya orang ketiga, watak para
pembicara, situasi pembicaraan dan tujuan yang akan dikehendaki. 2.4 Berbagai Peristiwa
Penggunaan Bahasa Peristiwa penggunaan bahasa pada masyarakat multilingual sangat beragam.
Paling sedikit ada tiga peristiwa penggunaan bahasa di masyarakat yaitu a. alih kode, b. campur
kode dan c. interferensi. Ketiga peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya kontak bahasa.
Perubahan-perubahan penggunaan kode oleh dwibahasawan dalam bentuk alih kode, campur
kode, dan interferensi juga ditentukan oleh topik pembicaraan, asal-usul penutur, situasi
pembicaraan, sarana yang digunakan, dan konteks pembicaraan. 2.4.1 Alih Kode (code
switching) Alih bahasa (code) adalah penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain untuk
menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain atau karena adanya partisipan lain
(Kridalaksana, 1993: 9). Paling tidak ada tiga kata kunci dalam peristiwa alih kode yakni
peralihan peran, perubahan situasi, dan adanya partisipan lain. Berkenaan dengan peristiwa ini
seorang penutur diharapkan tetap berpegang pada pilihan bahasa tertentu secara tetap, sering
terjadi peralihan ke bahasa lain ini muncul secara tiba-tiba. Penutur bahasa pada saat tertentu
menyelipkan kata-kata, kalimat atau wacana bahasa daerah atau pada waktu bertutur dengan
ragam bahasa formal tiba-tiba diselipkan ke dalam bahasa informal. Pengalihan penggunaan
bahasa yang satu ke dalam bahasa lainnya ditentukan oleh peralihan peran, situasi yang
berlainan, dan hadirnya penutur lainnya. Penggunaan satu atau lebih bahasa dalam peristiwa
komunikasi sebagai akibat pergantian peran, misalnya pada saat penutur I menggunakan bahasa
Indonesia tiba-tiba peran yang dihadapinya berubah menjadi informal, maka bahasa daerah atau
ragam santailah yang digunakan dalam peristiwa komunikasi. Alih kode ini dapat bersifat
permanen atau sementara. Alih kode yang sifatnya permanen ditandai oleh ketetapan seorang
penutur di dalam menggunakan satu bahasa terhadap lawan bicaranya. Peristiwa semacam ini
tidak mudah terjadi karena pergantian ini biasanya mencerminkan pergantian sifat hubungan
antara pembicara dengan lawan bicara. Biasanya pergantian kode semacam ini hanya terjadi bila
ada perubahan radikal dalam kedudukan status sosial dan hubungan pribadi antara pembicara
dengan penutur. Hal ini dapat dicontohkan pada perubahan peran seorang kepala rumah tangga.
Ketika belum menikah ada seorang penutur yang setiap harinya menggunakan bahasa daerah
Jawa, tetapi setelah menikah dengan gadis Bali maka ia mengalihkan atau menggantikan bahasa
kesehariannya ke dalam bahasa Indonesia. Kalau tidak menggunakan bahasa Indonesia peristiwa
komunikasi menjadi tidak lancar. Alih kode semacam ini bersifat radikal dan memang harus
dipelajari. Oleh karena pergantian bahasa secara tetap dalam peristiwa komunikasi sehari-hari,
maka alih kode untuk contoh yang demikian ini disebut alih kode permanen (permanent code
swiching). Berkenaan dengan peristiwa alih kode (code swiching), Suwito (1985:72-74)
mengatakan bahwa terdapat 6 faktor yang mampu mempengaruhi terciptanya alih kode yakni a.
faktor penutur, b. faktor lawan tutur, c. faktor hadirnya penutur ketiga, d. untuk membangkitkan
rasa humor, e. pokok pembicaraan, dan f. untuk sekedar gensi. Dalam masyarakat monolingual,
pergantian kode ini sering ditampakkan dengan pergantian nada suara, pilihan diksi, atau
rangkaian kata tertentu. Sebaliknya di dalam masyarakat multilingual terutama yang bersifat
diglosia pergantian itu diwujudkan dalam kode bahasa. Peristiwa alih kode ini tidak hanya pada
satu bahasa melainkan lebih dari dua bahasa secara bergantian. Yang paling penting adalah pada
saat mengadakan pergantian seorang penutur dengan sadar akan pengaruh yang ditimbulkannya.
Alih kode tidak terbatas pada leksikon saja tetapi sampai ke tataran kalimat atau pada unit-unit
sintaksis. Alih kode yang terjadi antara bahasa-bahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, atau
antara dialek dalam suatu bahasa atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu
dialek disebut dengan istilah alih kode internal. Kalau alih kode yang terjadi dalam masyarakat
multilingual disebabkan oleh pergantian dari bahasa asli ke bahasa asing disebut alih kode
eksternal. 2.4.2 Campur Kode (code mixing) Campur kode (code mixing) adalah penggunaan
satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa
termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan dan sebagainya
(Kridalaksana,1993:35). Campur kode ini sering dijumpai dalam peristiwa komunikasi yang ada
di masyarakat multilingual. Tentu saja antara campur kode dengan alih kode mengalami
perbedaan antara lain ditandai fungsi dan ketergantungan masing-masing penutur. Peranan yang
dimaksudkan dalam konteks ini adalah siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi
kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Jika seorang dalam
tuturannya terjadi campur kode maka harus dipertanyakan terlebih dahulu siapakah penutur yang
dimaksud. Dalam hal ini sifat-sifat khusus si penutur misalnya latar belakang sosial, tingkat
pendidikan, rasa keagamaan dan sebagainya sangat penting. Ciri lain dari gejala campur kode
ialah unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi
mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan
secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa
yang telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Unsur-
unsur itu dibagi dalam dua golongan, yaitu a. yang sumber dari bahasa asli dengan gejala variasi-
variasinya dan b. bersumber dari bahasa asing. Campur kode dengan unsur-unsur bahasa asli
disebut campur ke dalam, sedangkan campur kode yang unsur-unsurnya dari bahasa asing
disebut campu ke luar. Interferensi merupakan perwujudan dari penggunaan bahasa secara
bergantian dan dicampurkan dengan bahasa yang pertama kali diujarkan. Interferensi ini dapat
berupa kesalahan penggunaan kaidah leksikal dan gramatikal. Yang sering terjadi di masyarakat
adalah interferensi yang berupa sisipan kosa kata atau gramatikal. Dalam bahasa Indonesia yang
sangat dominan mempengaruhi perubahan kaidah adalah dari bahasa daerah Jawa dan bahasa
asing produktif.
BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Sebelum membahas metode penelitian ini terlebih dahulu akan diuraikan
konsep pendekatan dalam penelitian ini. Pendekatan diartikan sebagai prinsip dasar atau
landasan yang digunakan oleh seorang peneliti terhadap suatu objek (Poerwodarminto,
1988:192). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
komparatif. Hal ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan unsur-unsur dialek yang muncul
sebagai akibat kontak bahasa yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah Jawa dan bahasa Cina.
Dengan pendekatan ini semua gejala-gejala dialek dapat dideskripsikan dan sekaligus dapat
dibandingkan dengan tujuan mengetahui penggunaan unsur-unsur fonologis/morfologis, fungsi
digunakannya dialek oleh penutur, dan konteks penggunaan dialek. Objek penelitian ini adalah
dialek baik ditinjau dari segi segmental/suprasegmental bahasa, fungsi dialek, konteks
penggunaan dialek oleh masyarakat Cina peranakan Jawa. Sejalan dengan permasalahan
penelitian, kerangka berpikir secara etnometodologis dapat digunakan untuk mengidentifikasi
hal-hal yang bersifat kongkret, praktis, dan apa adanya mengenai kehidupan sehari-hari, menurut
apa yang dilihat dan diterangkan oleh seorang peneliti (Faisal, 1990:17). Agar diperoleh
informasi yang tepat tentang bentuk-bentuk atau variasi penggunaan dialek oleh masyarakat Cina
peranakan dalam bahasa Indonesia ini maka metode yang digunakan adalah observasi partisipan,
wawancara dan dokumentasi. Metode ini digunakan peneliti karena rencana kegiatan penelitian
dilakukan secara terencana, sistematis dan prosedural. Penelitian ini termasuk penelitian
komparatif kualitatif. Oleh sebab itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif
komparatif. Dengan menggunakan pendekatan dan metode ini diharapkan ketiga tujuan
penelitian dapat dicapai secara efektif. Metode komparatif kualitatif adalah suatu cara yang
berusaha membandingkan antara segmen bahasa yang satu dengan lainnya dengan tujuan
mencari persamaan atau perbedaan ke dua bahasa atau lebih. Penelitian ini tidak membicarakan
pengukuran kemampuan masyarakat Cina peranakan yang dapat dinyatakan dengan angka atau
jumlah dan tidak berhubungan dengan statistik. Walaupun menggunakan metode perbandingan
yang dibandingkan adalah segmen-segmen bahasa dalam wujud fonem, kata, selain uraian secara
deskriptif tentang fungsi dan konteks penggunaan dialek. Terdapat beberapa ciri metode
komparatif kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini yakni: a. bertujuan membandingkan
antara varian bahasa yang satu dengan lainnya dalam rangka mencari ciri penandanya, b. Data
penelitian dikumpulkan melalui teknik observasi partisipan, wawancara dan dokumentasi, c.
Analisis data dilakukan secara serempak ketika data-data penelitian dikumpulkan, dan d.
penentuan informan dilakukan dengan teknik bertujuan, serta e. Langkah-langkah penelitian
dilaksanakan secara sistematis dan terinci.
3.2 Teknik Penelitian
3.2.1 Teknik Penentuan Informan (informant) Informan (informant) adalah orang yang dapat
memberikan keterangan tentang data bahasa. Sebelum menentukan jumlah informan penelitian
terlebih dahulu dibahas karakteristik informan. Informan yang dijadikan subjek penelitian ini
cukup beragam. Lokasi penelitian dilakukan di daerah Pecinan (kampung Cina) di kota Malang.
Karaktaristik informan yang dimaksudkan didasarkan beberapa faktor antara lain: keturunan,
usia, kondisi kesehatan, kemampuan berbahasa, pendidikan dan tempat tinggal. Oleh sebab itu,
penentuan informan penelitian ini didasarkan karakteristik tersebut. Informan yang sekaligus
disebut sumber data penelitian ini adalah masyarakat Cina peranakan Jawa di kota Malang.
Informan (sumber data) penelitian ini berjumlah 16 orang yang telah memenuhi kriteria
penentuan informan. Keseluruhan informan yang dipilih didasarkan atas pertimbangan sebagai
berikut: a. Keturunan Informan yang dijadikan sumber data bahasa berasal dari keturunan Jawa
dan Cina terutama yang dikategorikan dari orang tua. Berdasarkan hasil observasi awal terdapat
sebagian informan yang keturunan Cinanya dari bapak atau Ibu. Terdapat 11 informan yang
bapaknya Cina dan ibunya Jawa, dan 5 informan dari ibu Cina bapak Jawa. Karakteristik dan
Jumlah Informan Penelitian No. Nama Usia Keturunan Cina Kelamin Bapak Ibu 1. Gunawan 31
th v l 2. Chai 27 th v l 3. Ming se 37 th v p 4. Santoso 40 th v l 5. Candra 25 th v p 6. Sania 44 th
v p 7. Wardoyo 41 th v l 8. Sugiaharsa 30 th v l 9. Patrik 33 th v p 10. A Hung 38 th v l 11.
Melinda 29 th v p 12. Sandra Mega 27 th v p 13. Hok sa 27 th v l 14. Koh sing 26 th v l 15.
Yuliawati 24 th v p 16. Maria 30 th v p Jumlah 11 5 16 Keenambelas informan tersebut
berprofesi sebagai pedagang misalnya kain, bahan bangunan, alat kosmetik, baju jadi, kebutuhan
rumah tangga, penjual jamu yang berdomisili di kota Malang. b. Usia Berdasarkan teori
pemilihan Informan penelitian dijelaskan ketika memilih informan bahasa yang dijadikan
sebagai sumber data selain faktor-faktor yang lain adalah kecukupan usia. Usia informan
penelitian paling rendah berusia 24 tahun dan paling tinggi berusia 44 tahun. Pemilihan informan
semacam ini dimaksudkan agar data-data bahasa tentang dialek Indocinwa dapat digali sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Usia sangat menentukan kelancaran dalam perolehan data-data
bahasa. Kematangan seseorang mempelajari bahasa ditentukan oleh pengalaman dan kebiasaan
mereka. c. Kesehatan Untuk memperoleh data-data bahasa yang akurat maka informan yang
dijadikan sumber data harus memiliki kesehatan yang bagus. Pemilihan ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi jika pada saat analisis data terjadi kekurangan-kekurangan data penelitian. d.
Kemampuan Berbahasa Informan yang dipilih oleh peneliti benar-benar informan yang
menguasai paling sedikit tiga bahasa yakni bahasa Indonesia, Jawa, dan Cina. Penggunaan
bahasa ini sering bergantian dalam peristiwa komunikasi. Syarat ini merupakan syarat paling
penting di dalam penelitian Linguistik. Kemampuan berbahasa menjadi tolok ukur keberhasilan
sebuah penelitian bahasa. Setiap orang yang bertugas dalam kedudukan ini harus dipilih karena
kesanggupannya dapat memberi sesuatu korpus yang melimpah, cermat, dan benar-benar
dianggap mewakili. Syarat informan yang dipilih harus penutur asli (native speaker) dari dialek
atau bahasa yang dipelajarinya. Dalam beberapa hal orang dapat menambahkan bahwa informan
itu hendaknya seorang yang berbahasa atau berdialek tunggal, sebab pada tempat-tempat
ditemukannya kontak antara para penutur dari beberapa bahasa atau dialek. Orang akan dapat
berbuat kesalahan memilih seseorang yang ucapannya memperlihatkan akibat dari banyaknya
gangguan pengaruh bahasa atau dialek lainnya. e. Tempat Tinggal Informan yang dipilih oleh
peneliti ialah informan yang berdomisili di kota Malang. Hal ini dimaksudkan agar sewaktu-
waktu mengambil data atau menghubungi yang bersangkutan tidak mengalami kesulitan. Daerah
penelitian di sekitar Pecinan (kampung Cina) di kota Malang. 3.2.2 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan instrumen: lembar penyimakan dan lembar wawancara. Pengawetan
data digunakan alat perekam mini (kaset recorder). Data diperoleh melalui observasi
partisipan/non partisipan, wawancara dan dokumentasi. Data penelitian ini adalah tuturan
Indocinwa yang berupa aspek-aspek fonologis, morfologis, fungsi dialek dan konteks
penggunaan dialek Indocinwa. Untuk keabsahan data digunakan teknik ketekunan pengamatan,
kajian berulang dan diskusi dengan teman sejawat. Analisis data diarahkan ke deskripsi segmen-
segmen kebahasaan yang meliputi kata, frase, kalimat, wacana yang ditandai oleh penggunaan
bahasa Indonesia, Cina dan Jawa. 3.2.3 Teknik Analisis Data Terdapat beberapa tahap di dalam
menganalisis data penelitian yakni 1) mencatat semua bentuk-bentuk bahasa baik berhubungan
dengan aspek fonologis/morfologis yang menandai adanya dialek pada masyarakat Cina
Peranakan Jawa (MPCJ), 2) mencatat semua bentuk-bentuk suprasegmental bahasa Indonesia
pada masyarakat Cina Peranakan Jawa (MPCJ), 3) mengklarifikasikan data-data penelitian
sesuai dengan permasalahan penelitian, dan 4) mengembangkan konsep teoritis sesuai dengan
permasalahan penelitian. Langkah yang pertama kali dilakukan peneliti ialah mentranskripsikan
data dari hasil perekaman secara fonetis, kemudia data-data tersebut diseleksi kesahihannya.
Data yang dianggap relevan adalah data yang berkenaan dengan penggunaan dialek Indocinwa.
Langkah berikutnya adalah pengidentifikasian konsep. Peneliti berusaha memilah-milahkan
data-data sesuai dengan permasalahan penelitian yang selanjutnya merumuskan dalam bentuk
kesimpulan sementara. Kemudian data-data yang sudah terklasifikasi sesuai dengan
permasalahan penelitian tersebut dipaparkan kembali dalam bentuk analisis yang lebih rinci.
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Penggunaan Segmen Kebahasaan Berdasarkan analisis data
penelitian ini terdapat persamaan dan perbedaan penggunaan fonem-fonem antara bahasa
Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Cina. Hal ini ditunjukkan ketika penutur menggunakan
bahasa Indonesia yang ditandai oleh penggunaan varian-varian bahasa baik bahasa Indonesia,
Jawa dan Cina. Dalam peristiwa sosial misalnya transaksi jual beli, penggunaan bahasa yang
dipentingkan penuturnya adalah kekomunikatifan penyampaian ide. Peristiwa campur kode dan
alih kode sangat mungkin terjadi dalam peristiwa ini. Hal ini ditandai oleh penggunaan fonem-
fonem yang berasal dari bahasa yang berlainan dalam satu peristiwa komunikasi. Vokal dan
konsonan bahasa Indonesia, Jawa dan Cina paling banyak berdistribusi di awal dan akhir kata.
Posisi penggunaan vokal dan konsonan ini mengakibatkan pemunculan varian bahasa atau dalam
penelitian ini disebut dialek Indocinwa. Distribusi Vokal Bahasa Indonesia Posisi depan tengah
belakang tinggi i u tengah e ∂ o bawah a Data-data penelitian yang menjelaskan distribusi
penggunaan vokal dan konsonan sebagai mana pada tabel di atas antara lain: Pembeli : Hari ini
pasarnya rame ya cik? Penjual : Oh ya suda dua mingguan ya tutup. Perlu apa sekarang, a…
Pembeli : Kertas surat, tiga. Berapa? Penjual 1 : koh han.. tuo se tuo hou ce? Penjual 2 : I chien
she. Penjual 1 : empat ribu Pembeli : Kalau yang ini berapa cik? Penjual 1 : Itu seribu lima aja
ya.. Pembeli : waduh mahal ini, gak boleh kurang. Penjual 1 : Tuku piro se? Wis tak potong
seribu kalau beli banyak. Pembeli : Ya sudah beli satu dosen saja. Keenam vokal bahasa
Indonesia ini rata-rata digunakan oleh penutur Cina peranakan dalam peristiwa jual beli.
Terdapat pengalihan kode ketika lawan bicaranya berasal dari penutur Cina. Bahasa Cinalah
yang digunakan sebagai alat komunikasi terutama yang berkaitan dengan harga barang. Dialek
yang ditemui di lapangan adalah berupa penggunaan kode-kode bahasa baik berupa campur kode
maupun alih kode. Campur kode sering terjadi ketika peristiwa jual beli dilakukan antara penutur
dari Jawa (yang tidak menguasai bahasa Cina) dengan masyarakat Cina peranakan. Peristiwa alih
kode terjadi ketika lawan bicaranya menguasai bahasa Cina. Adapun bahasa Jawa memiliki
delapan jenis vokal yang kesemuanya dapat menduduki pada posisi di awal, tengah dan akhir
suku kata., kecuali /∂/ / yang tidak pernah ada pada akhir suku kata terbuka.∈dan / Distribusi
Vokal Bahasa Jawa Posisi depan tengah belakang tinggi I u tengah e o Tengah bawah ∈ ∂ ⊃
bawah a Pembeli : Berapa koh harganya ini? Penjual : Udah sampean bayar aja murah kok iki,
tekok Taiwan. Pembeli : Iki asli opo ora? Penjual : Wis tak jamin nek kelarangen tak balekno.
Pembeli : Ya.. berapa? Penjual : 200 ae, wis tah gak-gak lek kemahalen. Data 1:Ckp.2 Data
penelitian di atas, menggambarkan bahwa pada peristiwa tindak tutur antara pembeli dan penjual
terjadi campur kode. Pada pernyataan tertentu penutur yang menguasai bahasa Jawa, bahasa
Indonesia dan bahasa Cina menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Selain itu,
pemilihan kata kemahalen menunjukkan pada peristiwa tindak tutur terjadi interferensi yaitu
kesalahan penggunaan segmen bahasa tertentu karena penutur tidak menguasai kebakuan suatu
bahasa. Kata kemahalen menggunakan struktur morfologis bahasa Jawa. Kebakuan kata tersebut
ialah sangat mahal atau mahal sekali. Adapun bahasa Cina memiliki tujuh jenis vokal yang
kesemuanya dapat menduduki pada posisi awal, tengah dan akhir suku kata (silabe). Kontruksi
deret vokal banyak terjadi pada suku kata bahasa Cina. Bahasa cina dalam distribusinya
berbentuk suku kata tidak berbentuk kata, sehingga bahasa ini lebih dikenal dengan klasifikasi
bahasa fleksi. Bahasa fleksi ialah bahasa yang perubahan artinya sangat ditentukan oleh
perubahan susunan suku kata. Bahasa Cina konstruksi morfologisnya tidak sama dengan bahasa
Indonesia atau bahasa Jawa. Bahasa Indonesia dan Jawa tergolong bahasa aglutinatif. Kedua
bahasa ini mengenal afiksasi yang berupa awalan, sisipan dan akhiran. Distribusi Vokal Bahasa
Cina Posisi depan tengah belakang tinggi i u tengah e o Tengah bawah ∂ ⊃ bawah a Data
1:Ckp.3 Keberadaan distribusi vokal bahasa Cina ditunjukkan oleh penggunaan bahasa Cina
pada peristiwa “jual beli” . Pemindahan kode (alih kode) terjadi ketika informan mengungkapkan
gagasan atau maksud kepada penutur yang menguasai bahasa Cina. Pada peristiwa semacam ini
muncullah variasi penggunaan bahasa Indonesia (dialek Indocinwa) yang ditandai pencampuran
penggunaan kode bahasa Indonesia, Jawa dan Cina. Variasi bahasa semacam ini pada umumnya
digunakan untuk memperlancar pengungkapan gagasan atau maksud tertentu. Dalam peristiwa
jual beli, antar penjual (masyarakat Cina peranakan) pada waktu menggunakan bahasa Cina
dengan tujuan menyembunyikan pesan tertentu agar tidak diketahui oleh penutur lainnya. Hal ini
dapat dilihat pada dialog sebagai berikut ini. Pembeli : Gimana kabarnya koh? Penjual : baik.
Kok lama gak ke sini pak? Pembeli : Ya masih sibuk. Penjual : Pak, kerja dimana sih? Jam segini
baru pulang ya.. nglembur tah? Pembeli : Gak..yang biasanya jam begini baru pulang. Penjual :
Perlu apa pak? Pembeli : cat tembok. Penjual : opo maneh? Cat tembok thok a…yo tak jupukno.
Penjual : Piro sing iki? Penjual 1 : san u chien. Penjual : tiga puluh lima ribu pak. Wis opo
maneh? Pembeli : Udah itu aja. Pembeli : dimana cik, yang jual kue kering? Penjual : Koh sing,
tahu ca huo tien? Penjual 1 : Ini dekat dengan pertigaan. Penjual : Cham si ya.. yo. Data 1: cakap
4 Data penelitian di atas, menggambarkan bahwa pada peristiwa tindak tutur antara pembeli dan
penjual terjadi campur kode. Pada pernyataan tertentu penutur yang menguasai bahasa Jawa,
bahasa Indonesia dan bahasa Cina menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Kata san
u chien dan Cham si ya merupakan konstruksi bahasa Cina yang terdiri atas dua suku kata atau
lebih. Campur kode juga tampak pada tuturan di atas yakni berupa penggunaan kode bahasa
Indonesia, Jawa dan Cina. Klasifikasi vokal bahasa Cina dan distribusi vokal yang dimaksud
dalam suku kata (silabe) sebagai berikut ini: /i/ tergolong vokal depan tinggi tak bulat, terdapat
dalam distribusi awal silabe dan akhir silabe misalnya kata si. 4.2 Fungsi-fungsi Dialek
Indocinwa Secara pragmatis dialek Indocinwa berfungsi sebagai: instrumetalia (alat penyampai
pesan), regulatori (pembeda antar penutur), representasional (penggambaran), interaksional
(penghubung), personal (sebagai ungkapan pribadi) dan jatidiri ( sebagai pengungkapan
kekhususan). Fungsi intrumentalia merupakan bagian dari tujuan seseorang mengadakan
komunikasi dengan orang lain. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak berhubungan
dengan orang lain. Pada saat berhubungan inilah seseorang menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi. Pemarkah-pemarkah bahasa baik berupa bunyi, morfem, kata, kalimat dan wacana
semua digunakan untuk menyampaikan pesan atau maksud tertentu kepada lawan bicaranya. 4.3
Konteks Penggunaan Dialek Indocinwa Konteks penggunaan dialek indocinwa pada: situasi tak
resmi, antara penutur Jawa dengan penutur Cina peranakan, dan antar penutur Cina peranakan.
Peristiwa jual beli merupakan peristiwa tutur yang tak resmi sehingga kemungkinan terjadinya
campur kode dan interferensi sangat besar. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan terjadinya
campur kode antara bahasa Jawa dan Indonesia sangat mendominasi tuturan, sedangkan bahasa
Cina terutama digunakan oleh penutur Cina peranakan dalam soal perhitungan uang. Hal ini
terjadi ketika penutur Jawa menanyakan harga barang yang dijual. Para penutur Cina peranakan
menggunakan bahasa Cina, agar pembeli tidak mengetahui harga barang tersebut. Tentu saja ini
berkenaan dengan naluri bisnisnya. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kota Malang merupakan
kota yang di dalamnya banyak penutur yang bersifat multilingual. Pemunculan dialek fungsional
sangat ditentukan oleh para penuturnya. Pecinan merupakan salah satu perkampungan yang
masyarakatnya terdiri atas masyarakat Jawa Peranakan Cina. Pekerjaan utama masyarakat ini
ialah berdagang mulai dari bahan bangunan, tekstil, barang kerajinan, kue dan lain-lain.
Penggunaan bahasa Indonesia di kalangan ini diwarnai oleh pemilihan kode-kode bahasa dari
dua bahasa yang cukup dominan yaitu bahasa daerah Jawa dan bahasa Cina. Peristiwa jual beli
menjadi objek kajian dalam penelitian ini, sehingga pengamatan dan wawancara yang dilakukan
peneliti ditujukan kepada penutur bahasa yang dikategorikan masyarakat Cina Peranakan. a.
Penggunaan segmen Fonologis dan Morfologis Dalam peristiwa sosial misalnya transaksi jual
beli, penggunaan bahasa yang dipentingkan penuturnya adalah kekomunikatifan penyampaian
ide. Peristiwa campur kode dan alih kode sangat mungkin terjadi dalam peristiwa ini. Hal ini
ditandai oleh penggunaan fonem-fonem yang berasal dari bahasa yang berlainan dalam satu
peristiwa komunikasi. Vokal dan konsonan bahasa Indonesia, Jawa dan Cina paling banyak
berdistribusi di awal dan akhir kata. Posisi penggunaan vokal dan konsonan ini mengakibatkan
pemunculan varian bahasa atau dalam penelitian ini disebut dialek Indocinwa. Untuk
menentukan jumlah fonem di dalam dialek tersebut tidaklah mudah. Hal ini disebabkan bahwa
bahasa Indonesia dan Jawa yang digunakan oleh masyarakat Cina peranakan bukanlah bahasa
Ibu, tetapi merupakan bahasa kedua atau ketiga. Oleh sebab itu, pada saat mengucapkan kalimat
bahasa Indonesia sangat dipengaruhi bahasa Ibunya yakni bahasa Cina. Dalam penelitian ini
ditemukan distribusi penggunaan vokal dan konsonan bahasa Indonesia baik pada posisi awal
kata, tengah, dan akhir kata. Posisi semacam ini biasanya menduduki dalam silabe yang berbeda.
Distribusi vokal ketiga bahasa pada dialek Indocinwa yang digunakan oleh masyarakat Cina
peranakan terdapat pada posisi awal, tengah, dan akhir suku kata (silabe). Bahasa Indonesia
memiliki enam vokal yaitu /a/, /u/, /, sedangkan bahasa Jawa memiliki delapan vokal
yaitu∂/e/, /o/, /i/, / /. Adapun bahasa Cina memiliki⊃/, dan /∈/, /∂/a/, /u/, /e/, /o/, /i/, / tujuh vokal
yang digunakan pada suku kata yang berbeda-beda, yaitu /a/, /,∂/u/, /e/, /o/, /i/, / /.⊃dan / Proses
morfologis merupakan proses pembentukan kata-kata dari bentuk lain dari bentuk dasarnya.
Bentuk dasar mungkin berupa bentuk bebas atau kata dan mungkin juga bentuk terikat atau kata
prakategorial (bentuk akar). Dalam bahasan dialek Indonesia Jawa Cina (Indocinwa) in
pemunculan proses morfologis dapat terjadi pada bentuk bebas atau bentuk akar. Data tersebut
merupakan perbandingan kode-kode ketiga bahasa yang secara konstruktif memiliki perbedaan.
Bahasa Indonesia dan Jawa, proses morfologis ditandai paling sedikit dua suku kata, sedangkan
dalam bahasa Cina hanya satu suku kata. Pembentukan kata melalui proses morfologis antara
bahasa Indonesia dan Jawa selain dapat dilakukan dengan afiksasi, juga dapat dilakukan melalui
modifikasi, reduplikasi, klitisasi dan komposisi. Di dalam bahasa Cina tidak mengenal hal yang
demikian. Penambahan suku kata ke dalam suku kata lainnya dilakukan dalam pembentukan
pengertian-pengertian baru. b. Fungsi-fungsi Dialek Indocinwa Secara pragmatis dialek
Indocinwa berfungsi sebagai: instrumetalia (alat penyampai pesan), regulatori (pembeda antar
penutur), representasional (penggambaran), interaksional (penghubung), personal (sebagai
ungkapan pribadi) dan jatidiri ( sebagai pengungkapan kekhususan). c. Konteks Penggunaan
Dialek Indocinwa Konteks penggunaan dialek indocinwa pada: situasi tak resmi, antara penutur
Jawa dengan penutur Cina peranakan, dan antar penutur Cina peranakan. Peristiwa jual beli
merupakan peristiwa tutur yang tak resmi sehingga kemungkinan terjadinya campur kode dan
interferensi sangat besar. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan terjadinya campur kode
antara bahasa Jawa dan Indonesia sangat mendominasi tuturan, sedangkan bahasa Cina terutama
digunakan oleh penutur Cina peranakan dalam soal perhitungan uang. Hal ini terjadi ketika
penutur Jawa menanyakan harga barang yang dijual. Para penutur Cina peranakan menggunakan
bahasa Cina, agar pembeli tidak mengetahui harga barang tersebut. Tentu saja ini berkenaan
dengan naluri bisnisnya. 5.2 Saran-saran Hasil penelitian ini berupa dialog antara pembeli dan
penjual (Masyarakat Cina Peranakan), selain dokumentasi tentang struktur fonologis dan
morfologis bahasa Indonesia, Jawa dan Cina. Untuk itu saran-saran penelitian ini ditujukan
kepada para pakar Sosiolinguistik, para pakar bahasa daerah Jawa, dan para guru di sekolah
menengah. Hasil penelitian baik berupa dialog maupun deskripsi dapat digunakan oleh para
pakar sosiolinguistik terutama sebagai bahan pertimbangan dalam mendeskripsikan kajian
bahasa dan masyarakat, para pakar bahasa daerah dapat menggunakan data penelitian ini sebagai
bahan pertimbangan dalam mendeskripsikan paramasastra dialek indocinwa, dan para guru
bahasa dapat menggunakan data-data penelitian ini untuk kepentingan perbandingan bahasa baku
dan tidak, resmi dan tak resmi, dan fungsi-fungsi dialek. Daftar Pustaka Blommfield, Leonard.
1961. Language. London. George Allen&Unwin Ltd. Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum.
Jakarta:Rineka Cipta. Halliday,MAK. and Ruquiana Hasan. 1976. Cohesion in English. London:
Longman. Ibrahim, Abd. Syukur. 1990. Kajian Variasi Bahasa : Problema, Prinsip dan Model
Deskripsi. Malang: Pusat Studi Linguistik dan Linguistik Terapan. Keraf, Gorys. 1984.
Komposisi. Ende: Flores Nusa Indah. Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Historis.
Jakarta: Gramedia. Kridalaksana. 2002. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana (ed).
2000. Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa. Ende Flores. Peneribit Nusa Indah.
Mardiwarsito, L. dkk. 1985. Kamus Praktis Jawa-Indonesia. Jakarta: P3B. Moeljono, Anton dan
Soejono Dardjowidjojo. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Moelyono, Anton M. 1989. Kembara Bahasa (Kumpulan Karangan Tersebar). Jakarta: Penerbit
Gramedia. Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Dirjen
Dikti. Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia. Parera, Jos
Daniel. 1984. Belajar Mengemukakan Pendapat. Jakarta: Penerbit Erlangga. Poedjasoedarma,
Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. Ramlan, M. 1987. Sintaksis. Yogyakarta: PT Karyono. Rusyana, Yus. 1989. Perihal
Kedwibahasaan (Bilingualisme). Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. . Saidi,
Shaleh. 1994. Linguistik Bandingan Nusantara. Ende Flores: Nusa Indah. Samarin, William j.
1988. Ilmu Bahasa Lapangan: Yogyakarta: Kanisius. Soeparno, 2002. Dasar-dasar Linguistik
Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis
Bahasa. Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press. Sudaryono dkk. 1990. Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Demak.
Jakarta: Depdikbud. Uhlenbeck,e,m. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta: Djambatan.
Weinreich, U. 1968. Language in Contact. The Hague:Mouton.

You might also like