Professional Documents
Culture Documents
REPUBLIK INDONESIA
No.39, 2003 TENAGA KERJA.
Ketenagakerjaan. Perjanjian Kerja. Hubnungan Kerja. Pengawasan. PHK. Lembaga Pekerja.
Upah. Pemerintah Pusat. Pemrintah Daerah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 4279).
Menimbang:
a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c,
d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan.
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana
ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data
yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang
mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian
tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan
standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang
diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan
dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan
instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan
tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh
pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan
pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutu-
hannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,
dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab
guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari
unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan
dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat
buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau
keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di
luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan
sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;
dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.
BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan
dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara
lain meliputi:
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.
Pasal 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan
dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu
pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.
Pasal 12
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan
kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan
Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan
kerja sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau
lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan
kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga
akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen
terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 17
(1) nstansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat
menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila di
dalam pelaksanaannya ternyata:
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama
6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya
dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi
dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan
sanksi penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program
pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara
pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan
izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui sertifikasi kompetensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat pula diikuti
oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional
sertifikasi profesi yang independen.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan
jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang
bersangkutan.
Pasal 20
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang
merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
Pasal 22
(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan
pengusaha yang dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah
menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.
Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan
ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan
di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta
melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga
koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan
kerja dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan
relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan
ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 30
(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor
maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam
atau di luar negeri.
Pasal 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan
yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari :
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 35
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga
kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan,
dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan
tenaga kerja.
Pasal 37
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak
langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga
kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari
pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan
kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan
untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu
membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat
menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.
Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri,
penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan
tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan
kesempatan kerja.
Pasal 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan
kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk
badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan
koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam
pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang masa kerjanya habis
dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi istansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan
standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping
tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian
dari tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja
asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46
(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia
dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri
Pasal 47
(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di
lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/
buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh
dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para
pihak.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing,
apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang
berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak
atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja
bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya
sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian
kerja.
Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang- kurangnya
memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan
hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi
pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud
pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf
b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Anak
Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan
bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta
bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal 74
Pasal 75
Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d.
pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk
5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam
1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak
termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada
tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh
yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada
perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya berlaku
bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan
dokter kandungan atau bidan.
Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah
penuh.
Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur
resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan
secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada
hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja
lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengupahan
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat
terdiri atas :
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota;
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian
kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur
dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal
demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,
jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 93
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari
upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah
sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia,
dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1
(satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya
upah pokok sedikit dikitnya 75 % ( tujuh puluh lima perseratus ) dari jumlah upah
pokok dan tunjangan tetap.
Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau
kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase
tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak timbulnya hak.
Pasal 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup
layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan
yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem
pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan
tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota
diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/Bupati/ Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara
pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan
Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial
tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilak-
sanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan
usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di
perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga
kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat
kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten / Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
a. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
b. Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.
Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib
diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat
buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja
bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan
tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan
diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111
ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah
mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk
harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan
peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya
dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur
dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara musyawarah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat secara
tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan
bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut
dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila
memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan
maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai maka
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha
setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya
pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
Pasal 120
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan
pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari
seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang
keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan
Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dan pengusaha.
Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling
cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang
berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku
untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka ketentuan yang
bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama,
maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja
bersama yang sedang berlaku.
Pasal 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian
kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama
kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian
kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
Pasal 130
(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan
perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu
berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan
atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat
pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat
pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan
membentuk tim perunding secara proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh
yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan
Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 131
(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan
kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing
perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama
yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan
pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi
perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
Pasal 132
(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian
kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 134
Pasal 135
Pasal 136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk
mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-
undang.
Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan
dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu
kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan
sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok
kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat
mengambil tindakan sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan
proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan
mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda
terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan
timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para
pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh
para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat
diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan
damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140, pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari
luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah
melakukan mogok kerja.
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.
Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)
Pasal 146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai
akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai
tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan
jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta
kereta api.
Pasal 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan
(lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149
(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat
pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari,
tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk
sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan
apabila :
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan
normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi
pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi
dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-
menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau
sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu
untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang
sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar
upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar
uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21
(duapuluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24
(duapuluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
(limabelas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang
tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang
diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus
dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih
antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian,
maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan
ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada
upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua
belas) bulan terakhir.
Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan
alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan
kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha
dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti
sebagai berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud
dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 159
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib
membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh
yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua)orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima perseratus) dari
upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh perseratus)
dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6
(enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak
yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-
turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah
yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha
tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-
turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan
pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha,
maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh
pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun
yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya
dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang
bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut
tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus
hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh
yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3)
dan Pasal 168, kecuali Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta
membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pasal 172
BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
Pasal 174
Pasal 175
(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah
berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk
piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang
mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 179
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan
laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang
pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik
pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat
(5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal
139, Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76,
Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144,
dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12
(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111
ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 189
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal
15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal
87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan
Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja
Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang
Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-
kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari
Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
(3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara
Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 598a);
(4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
(5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran
Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
(6) Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
(7) Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);
(8) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
(9) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998
Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
(10) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4042).
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 193
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta
Pada Tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
KEPUTUSAN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
a. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
b. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA
adalah pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
c. Kompensasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja TKA dengan
membayar sejumlah dana untuk pengembangan keahlian dan keterampilan yang
berupa penerimaan negara bukan pajak.
d. Izin mempekerjakan tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut IMTA adalah izin
tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi
kerja TKA.
Pasal 2
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib membayar
kompensasi.
(2) Pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah
satu persyaratan untuk mendapatkan IMTA.
Pasal 3
a. instansi pemerintah;
c. badan-badan internasional;
d. lembaga sosial;
Pasal 4
a. TKA sebagai kepala sekolah dan guru di lembaga pendidikan yang dikelola kedutaan
negara asing;
b. TKA sebagai dosen dan atau peneliti di perguruan tinggi yang dipekerjakan sebagai
bentuk kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri.
Pasal 5
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER-02/MEN/1998 tentang Penyempurnaan Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER-01/MEN/1997 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 6
Ditetapkan di Jakarta
Menimbang:
a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) Undang -undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan perlu ditetapkan tata cara memperoleh ijin mempekerjakan tenaga
kerja asing;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan.
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang berlakunya Undang-undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3201);
3. Undang-und ang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Ta hun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 4279);
5. Peraturan pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 181, Tambahan Lemba ran Negara Republik
Indonesia Nomor 4009);
6. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tah un 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong
Royong;
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No mor KEP-
228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga n egara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
2. Tenaga Kerja Indonesia Pendamping yang selanjutnya disebut TKI Pendamping adalah
tenaga kerja Indonesia yang ditunjuk dan dipersiapkan sebagai pendamping dan atau calon
pengganti TKA.
3. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut Pemberi Kerja TKA adalah
Pengusaha, badan hukum atau badan -badan lainnya yang mempekerjakan TKA, dengan
membay ar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah renca na
penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibu at oleh pemberi kerja TKA untuk jangka
waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
5. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut IMTA adalah izin tertulis
yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TKA.
6. Kompensasi adalah dana yang harus dibayar oleh pemberi kerja TKA kepada negara atas
penggunaan Tenaga Kerja Asing.
7. Alih status adalah p erubahan dari pemberi kerja lama ke pemberi kerja baru, perubahan
jabatan TKA dan perubahan lokasi kerja.
8. Direktur adalah Dir ektur Penyedia an d an Penggunaan Tenaga Kerja Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
9. Direktur Jenderal yang selanjutny a disebut Dirjen adalah Dirjen Pembinaan dan
Penempatan Ten aga Kerja Dalam Negeri Depa rtemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
10. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
BAB II
PERSYARATAN TKA
Pasal 2
(1) TKA yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyarata n sebagai berikut:
a. memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kur angnya 5 (lima) tahun
yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki;
b. bersedia membuat pernyataan mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja Warga
Negara Indonesia Khususnya TKI pendampin g;
c. dapat berkomunikasi dalam bahas a Indonesia.
(2) Dalam hal jabatan yang akan diduduki TKA telah mempunyai standar kompetensi kerja
maka TKA yang akan dipekerjaka n harus memenuhi standar tersebut.
(3) TKI pendamping sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus memiliki latar
belakang bidang pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki TKA.
BAB III
PERIJINAN
Pasal 3
(1) IMTA diberika n oleh Direktur.
(2) IMTA perpanjangan diberikan oleh Direktur atau Gubernur.
Pasal 4
(1) Pemberi kerja TKA yang akan mengurus IMTA, terlebih dahulu harus mengajukan
permohonan kepada Direktur untuk mendapatkan rekomendasi guna memperoleh visa
untuk bekerja dengan melampirkan:
a. copy surat keputusan pengesahan RPTKA;
b. copy paspor TKA yang akan dipekerjakan;
c. daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
d. copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan dipekerjakan;
e. pas photo berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tig a) lembar.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal
Imigrasi guna memperoleh visa untuk bekerja dan KITAS.
Pasal 5
Untuk memperoleh IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Pemberi Kerja TKA harus
menyampaikan permohon an dengan melampirkan:
a. copy Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) untuk bekerja atas nama TKA yang bersangkutan;
b. copy perjanjian kerja;
c. bukti pembayaran dana kompensasi,penggunaan TKA.
Pasal 6
(1) Dana kompensas i penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1) huruf f
ditetapkan sebesar US $ 100 (seratus dollar Amerika) per bulan untuk setiap TKA dan
dibaya rkan di muka.
(2) Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu ) bula n wajib membayar dana
kompensasi sebesar 1 (satu) bulan penuh.
(3) Pembayara n dana kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan
oleh pemberi kerja, dan disetorkan pada rekening Dana Pengembangan Keahlian dan
Keterampilan (DPKK) pada Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 7
(1) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA pada lebih dari 1 (satu) jabatan.
(2) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA yang telah dipekerjakan oleh pemberi kerja
yang lain.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikecualikan bagi TKA yang diangkat
untuk menduduki jabatan Direktur atau Komisaris di Perusahaan lain berdasarkan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).
Pasal 8
Direktur harus menerbitkan IMTA selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja selak dilengkapinya
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.
Pasal 9
(1) Jangka waktu berlakunya IMTA diberikan sama dengan masa berlaku ijin tinggal.
(2) Selama mengurus IMTA Direktur dapat menerbitkan IMTA sementara untuk jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
BAB IV
PERPANJANGAN IMTA
Pasal 10
(1) IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA.
(2) Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh:
a. Direk tur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah Provinsi.
b. Gubernur untuk TKA yang lokasi kerjanya wilayah Kabupaten/Kot a dalam 1 (satu)
Provinsi.
(3) Dalam penerbitan p erpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, Gubernur
dan dapat menunjuk pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.
Pasal 11
(1) Pemberi kerja mengajukan permohonan perpanjangan IMTA kepada Direktur atau Gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir dengan melampirkan:
a. formulir perpanjangan IMTA yang telah diisi;
b. IMTA yang masih berlaku;
c. bukti pembayaran dana kompensasi;
d. laporan realisasi pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan kepada TKI
pendamping;
e. copy surat keputusan RPTKA yang masih berlaku;
f. pas photo berwarna sebanyak 3 (tiga) lembar ukuran 4 x 6 cm.
(2) IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu RPTKA dengan ketentuan setiap kali
perpanjangan paling lama 1 (satu) tahun.
(3) IMTA perpanjangan tidak dapat diterbitkan apabila masa berlaku IMTA berakhir.
Pasal 12
(1) Apabila permohonan perpanjangan IMTA telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) menerbitkan
IMTA perpanjangan.
(2) IMTA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan sebagai rekomendasi
untuk mendapatkan KITAS dan atau visa untuk bekerja.
BAB V
IMTA UNTUK PEKERJAAN MENDESAK
Pasal 13
(1) Pemberi Kerja yang akan mempekerjakan TKA untuk pekerjaan yang bersifat darurat atau
mendesak wajib mengajukan permohonan IMTA kepada Direktur.
(2) Pekerjaan yang bersifat darurat atau mendesak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pekerjaan -pekerjaan yang apabila tidak ditangani secara langsung dapat
mengakibatkan kerugian fatal bagi masyarakat umum dan jangka waktunya tidak lebih 60
(enam puluh) hari.
(3) Pekerjaan yang bersifat darurat atau m endesak ditetapkan oleh instansi pemerintah yang
membidangi sektor us aha yang bersangkutan.
Pasal 14
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disampaikan kepada Direktur dengan
melampirkan:
a. rekomendasi dari instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (3);
b. copy paspor TKA yang bersangk utan;
c. pas photo TKA ukuran 4 x 6 6m sebanyak 3 (tiga) lembar;
d. bukti pembayaran dana kompensasi;
e. bukti ijin keimigrasian untuk kunjungan usaha.
Pasa l 15
Direktur harus menerbitkan IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dalam waktu selambat-
lambatnya 2 (dua) kali 24 (dua p uluh empat) jam.
BAB VI
IMTA UNTUK PEMEGANG KARTU IJIN TINGGAL TETAP (KITAP)
Pasal 16
(1) Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin tinggal tetap wajib
mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan:
a. copy RPTKA yang masih berlaku;
b. copy ijin tinggal tetap yang masih berlaku;
c. daftar riwayat hidup TKA yang akan di pekerjakan;
d. copy ijasah atau pengalaman kerja;
e. bukti pembayaran dana kompensasi pen ggunaan TKA;
f. pas photo berwarn a ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar,
(2) Apabila permohonan IMTA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disetujui, Direktur
menerbitkan IMTA.
Pasa l 17
Jangka waktu IMTA untuk pemegang Kartu Ijin Tinggal Tetap (KITAP) paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak diterbitkan IMTA dan dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA.
BAB VII
ALIH STATUS
Pasal 18
(1) Pemberi kerja TKA instansi Pemerintah/Lembaga Pemerintah, atau Badan Internasional
yang akan memindahkan TKA yang dipekerjakannya ke instansi Pemerintah/Lembaga
Pemerintah atau badan Internasional lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi
alih status kepada Direktur.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal
Imigrasi untuk perubahan KITAS/KITAP.
(3) KITAS/KITAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan sebagai dasar perubahan
IMTA atau penerbitan IMTA baru.
BAB VIII
PERUBAHAN NAMA PEMBERI KERJA
Pasa l 19
(1) Dalam hal pemberi kerja TKA berganti nama, Direktur menerbitkan rekomendasi kepada
Direktur Jenderal Imigrasi untuk mengubah KITAS/KITAP.
(2) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyampaikan permohonan dengan
melampirkan:
a. copy RPTKA, yang masih berlaku;
b. copy KITAS/KITAP yang masih berlaku;
c. copy IMTA yang masih berlaku;
d. copy bukti perubahan nama perusa haan yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang.
(3) Sebelum rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitka n pemberi kerja
terlebih dahulu mengajukan permohonan perubahan RPTKA kepada Direktur.
(4) KITAS/KITAP yang baru digunakan sebagai dasar perubahan IMTA.
BAB IX
PERUBAHAN LOKASI KERJA
Pasal 20
Dalam hal pemberi kerja melakukan perubahan lokasi kerja TKA, pemberi kerja wajib mengajukan
permohonan perubahan lokasi kerja TKA kepada Direktur dengan melampirkan copy RPTKA dan
IMTA yang masih berlaku.
BAB X
PELAPORAN
Pasal 21
(1) Pemberi kerja wajib melaporka n penggunaan TKA dan pendamping TKA di perusahaan
secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur da n Gubernur dengan tembusan
kepada Dirjen.
(2) Direktur dan Gubernur wajib melaporkan semua IMTA yang diterbitkan secara periodik
setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri deng an tembusan kepada Di rjen.
BAB XI
PENCABUTAN IJIN
Pasal 22
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA, Direktur atau Gubernur
berwenang mencabut IMTA.
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 23
Bentuk formulir permohonan IMTA dan formulir permohonan perpa njangan IMTA sebagaimana
tercantum dalam lampiran Keputusan ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Dengan ditetapkannya Keputusan ini maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
03/MEN/1990 tentan g Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang, Keputus an Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-416/MEN/1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-03/MEN/1990 tentang Pemberian Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dan Ketentuan-ketentuan lain yang
bertentangan dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak be rlaku lagi.
Pasa l 25
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPULIK INDONESIA
NOMOR KEP -20/MEN/III/2004
TANGGAL 1 MARET 2004
Demikianlah permohonan ini kami isi dengan sesungguhnya dan kami bertanggung jawab akan
kebenarannya.
.......................................
Tanda tangan dan nama terang penanggung jawab
Di atas materai Rp.6.000,-
Ditetapkan di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA
Perpanjangan
.......................................
Tanda tangan dan nama terang penanggung jawab
Di atas materai Rp.6.000,-
Ditetapkan di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA
NOMOR : PER-07/MEN/IV/2006
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
PROSEDUR MEMPEROLEH
Pasal 2
Pasal 3
BAB III
PERPANJANGAN
Pasal 4
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 20/MEN/2004 tentang
Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing masih
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 6
Peraturan Menteri ini berlaku 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ERMAN SUPARNO
KEPUTUSAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 224 /MEN/2003
TENTANG
KEWAJIBAN PENGUSAHA
YANG MEMPEKERJAKAN PEKERJA/BURUH PEREMPUAN
ANTARA PUKUL 23.00 SAMPAI DENGAN 07.00
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Pengusaha adalah :
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik persekutuan atau
badan hukum baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 2
Pasal 3
(1) Makanan dan minuman yang bergizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf a harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori dan diberikan pada
waktu istirahat antara jam kerja.
Pasal 4
(1) Penyediaan makanan dan minuman, peralatan, dan ruangan makan harus layak
serta memenuhi syarat higiene dan sanitasi.
(2) Penyajian menu makanan dan minuman yang diberikan kepada pekerja/buruh
harus secara bervariasi.
Pasal 5
Pasal 6
(1) Pengusaha wajib menyediakan antar jemput dimulai dari tempat penjemputan ke
tempat kerja dan sebaliknya;
(2) Penjemputan dilakukan dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Pasal 7
(1) Pengusaha harus menetapkan tempat penjemputan dan pengantaran pada lokasi
yang mudah dijangkau dan aman bagi pekerja/buruh perempuan.
(2) Kendaraan antar jemput harus dalam kondisi yang layak dan harus terdaftar di
perusahaan.
Pasal 8
Pasal 9
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
1. Pengusaha adalah :
a. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
.
2. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
4. Bakat adalah kemampuan khusus yang dimiliki seorang anak yang dibawa sejak
lahir.
Pasal 2
Pasal 3
1. Pelibatan anak dalam pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat harus
memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak.
Pasal 4
2. Pengawasan langsung oleh orang tua/wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan :
a. mendampingi setiap kali anaknya melakukan pekerjaan;
b. mencegah perlakuan eksploitatif terhadap anaknya;
c. menjaga keselamatan, kesehatan dan moral anaknya selama melakukan
pekerjaan;
Pasal 5
1. Pengusaha yang mempekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 (lima belas)
tahun untuk mengembangkan bakat dan minat, wajib.
a. membuat perjanjian kerja secara tertulis denan orang tua/wali yang
mewakili anak dan memuat kondisi dan syarat kerja sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
b. mempekerjakan di laur waktu sekolah;
c. memenuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari dan 12 (dua
belas ) jam seminggu;
d. melibatkan orang tua/wali di lokasi tempat kerja untuk melakukan
pengawasan langsung;
e. menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan
penggunaan narkotika, perjudian,minuman keras, prostitusi dan hal- hal
sejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik,
mental dan sosial anak;
f. menyediakan fasilitas tempat istirahat selama waktu tunggu; dan
g. melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja.
2 Waktu tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f paling lama 1
(satu) jam.
3. Dalam hal waktu tunggu melebihi 1 (satu) jam, maka kelebihan waktu tersebut
termasuk di dalam waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c.
Pasal 6
1 Pengusaha yang mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan minat
harus melaporkan dengan menggunakan formulir sebagaimana terlampir.
Pasal 7
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2004.
MENTERI
REPUBLIK INDONESIA,
JACOB NUWA WEA
LAMPIRAN :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA
KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP-115/MEN/VII/2004
TANGGAL: 7 Juli 2004
LAPORAN PENGUSAHA
YANG MEMPEKERJAKAN ANAK DALAM RANGKA MENGEMBANGKAN
BAKAT DAN MINAT
TTD/CAP
NOMOR: PER-17/MEN/VIII/2005
TENTANG
Pasal
Pasal 2
(1) KHL sebagai dasar dalam penetapan upah minimum merupakan peningkatan
dari kebutuhan hidup minimum.
(2) KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari komponen
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
Pasal 3
(1) Berdasarkan hasil survei harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5)
Dewan Pengupahan atau Bupati/Walikota setempat menetapkan nilai KHL.
(2) Nilai KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai salah satu
bahan pertimbangan dalam penetapan upah minimum.
(3) Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku bagi
pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
(4) Upah bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih
dirundingkan secara bipartit antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan
(5) Dalam hal Gubernur menetapkan upah minimum Provinsi, maka penetapan
upah minimum didasarkan pada nilai KHL Kabupaten/Kota terendah di
Provinsi yang bersangkutan dengan mempertimbangkan produktivitas,
pertumbuhan ekonomi dan usaha yang paling tidak mampu (marginal).
(6) Produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan hasil
perbandingan antara jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
dengan jumlah tenaga kerja pada periode yang sama
(7) Pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan
pertumbuhan nilai PDRB.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
ttd
FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya:
Myra M. Hanartani
NIP. 160025858
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP.261/MEN/XI/2004
TENTANG
Pasal 1
1. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak , milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan.
5. Progam pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana pelatihan,
persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan penetapan kelulusan
peserta pelatihan.
6. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai denga standar yang
ditetapkan.
7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Biaya pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditanggung sepenuhnya oleh
perusahaan.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
SYARAT-SYARAT
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
KEPADA PERUSAHAAN LAIN
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Pasal 2
1. Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah
daripada ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.
2. Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan
atau pekerjaan tertentu.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a. bahwa pekerjaan sebagai pemandu nyanyi/ karaoke dalam dunia hiburan dewasa ini
semakin berkembang ;
c. bahwa selama ini di masyarakat secara nyata terdapat pemandu nyanyi/ karaoke
asing tanpa pengaturan
yang jelas ;
d. bahwa sesuai pertimbangan huruf a, b dan c diatas, penggunaan tenaga kerja asing
sebagai pemandu
nyanyi/ karaoke perlu ditetapkan dengan keputusan Menteri ;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4009) ;
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja diwilayah Indonesia.
2. Pemberian Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA adalah pengusaha,
badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah rencana penggunaan
TKA pada jabatan tertentu yang
dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
4. Direktur adalah Direktur yang bertanggung jawab di bidang Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
BAB II
PERIJINAN
Pasal 2
Pemberi kerja TKA yang akan mempekerjakan TKA sebagai pemandu nyanyi/ karaoke wajib memiliki ijin
tertulis dari Direktur, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara
mempekerjakan TKA.
Pasal 3
(1). Untuk mendapatkan ijin sebagaiman dimaksud dalam pasal 2, pemberi kerja TKA harus mengajukan
permohonan IMTA dengan
melampirkan :
(2) Direktur dapat membentuk tim untuk meneliti kelengkapan dan keabsahan dokumen sebagaimana
dimaksud ayat (1).
Pasal 4
(1) Dana kompensasi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c ditetapkan sebesar
US $ 100 (seratus dollar Amerika)
per bulan untuk setiap TKA dan dibayarkan dimuka.
(2) Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu) bulan wajib membayar dana kompensasi
sebagaiman dimaksud dalam ayat
(1) sebesar 1 (satu) bulan penuh.
(3) Pembayaran dana kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan oleh pemberi
kerja yang disetorkan pada rekening
Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan (DPKK) pada Bank Pemerintah yang ditunjuka
oleh Menteri.
Pasal 5
Jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke diberikan paling lama 6
(enam) bulan dan tidak dapat diperpanjang.
Pasal 6
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke disatu tempat
kerja, harus mempekerjakan pemandu nyanyi/ karaoke Tenaga Kerja Warga Negara Indonesia yang
jumlahnya 5 (lima) kali jumlah pemndu nyanyi/ karaoke tenaga kerja asing.
Pasal 7
Pemberi kerja yang mendatangkan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke wajib
memulangkan TKA ke negara asal setelah jangka waktu ijin mempekerjakan TKA berakhir.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PERLINDUNGAN UPAH
Menimbang : a. Bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu disusun
suatu peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1969.
b. Bahwa sebagai pelaksanaan tersebut huruf a dipandang perlu mengatur
perlindungan upah dalam suatu Peraturan Pemerintah.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan
Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai
pengupahan bagi buruh laki- laki dan wanita untuk pekerjaan yang
sama nilainya (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 171).
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok mengenai Tenaga Kerja ( Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor
55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912).
M EM U T U S K A N :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
a. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari Pengusaha kepada buruh
untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau
dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut sutau persetujuan, atau
peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri
maupun keluarganya.
b. Pengusaha ialah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan
milik sendiri.
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan termaksud pada angka 1 dan 2 diatas, yang berkedudukan di luar
Indonesia.
c. Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah.
d. Menteri adalah Menteri yang betanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada
saat hubungan kerja putus.
Pasal 3
Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh
laki- laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Pasal 4
Pasal 5
1. Untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100 % (seratus persen) dari upah;
2. Untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75 % (tujuh puluh lima persen) dari upah.
3. Untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50 % (lima puluh persen) dari upah;
4. Untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25 % (dua puluh lima persen) dari
upah.
b. Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal- hal sebagaimana dimaksud dibawah
ini, dengan ketentuan sebagai berikut :
Pasal 6
1. Pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak
dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban Negara,
jika dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut buruh tidak mendapatkan
upah atau tunjangan lainnya dari Pemerintah tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.
2. Pengusaha wajib membayar kekurangan atas upah yang biasa dibayarkannya
kepada buruh yang dalam menjalankan kewajiban Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), bilamana jumlah upah yang diperolehnya kurang dari upah yang
biasa diterima dari perusahaan yang bersangkutan, tetapi tidak melebihi 1 (satu)
tahun.
3. Pengusaha tidak diwajibkan untuk membayar upah, bilamana buruh yang dalam
menjalankan kewajiban Negara tersebut telah memperoleh upah serta tunjangan
lainnya yang besarnya sama atau lebih dari upah yang biasa ia terima dari
perusahaan yang bersangkutan.
4. Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut
agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan.
Pasal 7
Upah buruh selama sakit dapat diperhitungkan dengan suatu pembayaran yang diterima
oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu peraturan perundang- undangan atau peraturan
perusahaan atau sesuatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial ataupun suatu
pertanggungan.
Pasal 8
Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan
pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya baik
karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami oleh pengusaha yang seharusnya
dapat ia hindari.
Pasal 9
Bila upah tidak ditetapkan berdasarkan suatu jangka waktu, maka untuk menghitung upah
sebulan ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir yang diterima oleh
buruh.
Pasal 10
1. Upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan perjanjian.
2. Pembayaran upah secara langsung kepada buruh yang belum dewasa dianggap
sah, apabila orang tua atau wali buruh tidak mengajukan keberatan yang
dinyatakan secara tertulis.
3. Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat kuasa
dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat menerimanya
secara langsung.
4. Surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk satu kali
pembayaran.
5. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.
Pasal 11
BAB II
BENTUK UPAH
Pasal 12
Pasal 13
1. Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang sah dari Negara
Republik Indonesai.
2. Bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan
berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.
Pasal 14
Setiap ketentuan yang menetapkan sebagian atau seluruh upah harus dipergunakan secara
tertentu, ataupun harus dibelikan barang, tidak diperbolehkan dan karenanya adalah batal
menurut hukum, kecuali jika penggunaan itu timbul dari suatu peraturan perundang-
undangan.
Pasal 15
1. Bila diadakan perjanjian antara buruh dan pengusaha mengenai suatu ketentuan
yang merugikan buruh dan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini dan atau peraturan perundang-undangan lainnya dan
karenanya menjadi batal menurut hukum, maka buruh berhak menerima
pembayaran kembali dari bagian upah yang ditahan sebagai perhitungan terhadap
upahnya, dan dia tidak diwajibkan mengembalikan apa yang telah diberikan
kepadanya untuk memenuhi perjanjian.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari
pengusaha atau buruh, badan yang diserahi urusan perselisihan perburuhan dapat
membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kerugian
yang diderita oleh buruh.
BAB III
Pasal 16
Bila tempat pembayaran upah tidak ditentukan dalam perjanjian atau peraturan
perusahaan, maka pembayaran upah dilakukan di tempat buruh biasa bekerja, atau di
kantor perusahaan.
Pasal 17
Jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu sekali atau
selambat- lambatnya sebulan sekali, kecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari
satu minggu.
Pasal 18
Bilamana upah tidak ditetapkan menurut jangka waktu tertentu, maka pembayaran upah
disesuaikan dengan ketentuan pasal 17 dengan pengertian bahwa upah harus dibayar
sesuai dengan hasil pekerjaannya dan atau sesuai dengan jumlah hari atau waktu dia
bekerja.
Pasal 19
1. Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari
kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar, upah tersebut
ditambah dengan 5 % (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan. Sesudah hari
kedelapan tambahan itu menjadi 1 % (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan,
dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi
50 % (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.
2. Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping
berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
diwajibkan pula membayar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit
perusahaan yang bersangkutan.
3. Penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam pasal ini adalah batal menurut
hukum.
BAB IV
Pasal 20
1. Denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal itu diatur
secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan.
2. Besarnya denda untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang Republik Indonesia.
3. Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, pengusaha dilarang untuk
menuntut ganti rugi terhadap buruh yang bersangkutan.
4. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.
Pasal 21
1. Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung maupun
tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang
yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda tersebut.
2. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.
Pasal 22
1. Pemotongan upah oleh pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan
bilamana ada surat kuasa dari buruh.
2. Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah semua kewajiban pembayaran oleh
buruh terhadap Negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang
menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.
3. Setiap surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditarik kembali
pada setiap saat.
4. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.
Pasal 23
1. Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi kerusakan
barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun milik pihak ketiga
oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian.
2. Ganti rugi demikian harus diatur terlebih dahulu dalam suatu perjanjian tertulis
atau peraturan perusahaan dan setiap bulannya tidak boleh melebihi 50 % (lima
puluh persen) dari upah.
BAB V
Pasal 24
Pasal 25
Bila uang yang disediakan oleh pengusaha untuk membayar upah disita oleh Juru Sita,
maka penyitaan tersebut tidak boleh melebihi 20 % (dua puluh persen) dari jumlah upah
yang harus dibayarkan.
Pasal 26
1. Bila upah digadaikan atau dijadikan jaminan hutang, maka angsuran tiap bulan
daripada hutang itu tidak boleh melebihi 20 % (dua puluh persen) dari sebulan.
2. Ketentuan ayat (1) berlaku juga apabila penggadaian atau jaminan itu diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga.
Pasal 27
Dalam hal pengusaha dinyatakan pailit, maka upah buruh merupakan hutang yang
didahulukan pembayarannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang
kepailitan yang berlaku.
Pasal 28
Bila buruh jatuh pailit, maka upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan
ketentuan tidak melebihi dari 25 % (dua puluh lima persen).
Pasal 29
1. Bila upah baik untuk sebagian ataupun untuk seluruhnya, didasarkan pada
keterangan-keterangan yang hanya dapat diperoleh dari buku-buku pengusaha,
maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak untuk menerima keterangan dan
bukti-bukti yang diperlukan dari pengusaha.
2. Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berhasil maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak meminta bantuan
kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya.
3. Segala sesuatu yang diketahui atas keterangan-keterangan serta bukti-bukti oleh
buruh atau kuasa yang ditunjuknya atau Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan, kecuali
bila keterangan tersebut dimintakan oleh badan yang diserahi urusan penyelesaian
perselisihan perburuhan.
Pasal 30
Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), ayat (2),
ayat (4), dan Pasal 8 dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).
Pasal 32
Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, disamping
perbuatan tersebut batal menurut hukum juga dipidana dengan pidana kurungan selama-
lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
Pasal 33
Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri yang dengan
sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 100.000,- (seratu ribu rupiah).
Pasal 34
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 adalah
pelanggaran.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pasal 36
Ditetapk
an di Jakarta
pada
tanggal 2 Maret 1981
SOEHARTO.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Maret 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, SH
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG
PERLINDUNGAN UPAH
UMUM
Pengaturan pengupahan yang berlaku di Indonesia pada saat ini masih tetap dipakai Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang jiwanya sudah tidak
sesuai lagi. Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja,
maka pengaturan tentang perlindungan upah secara nasional dirasakan makin mendesak.
Sesuai dengan perkembangan ekonomi yang diupayakan ke arah stabilitas yang makin
mantap maka pengaturan tentang perlindungan upah dalam Peraturan Pemerintah ini
diarahkan pula kepada sistim pembayaran upah secara keseluruhan Pengertian upah
secara keseluruhan dimaksudkan di sini tidak termasuk upah lembur. Pada pokoknya
sistim ini didasarkan atas prestasi seseorang buruh atau dengan perkataan lain bahwa
upah itu tidak lagi dipengaruhi oleh tunjangan-tunjangan yang tidak ada hubungannya
dengan prestasi kerja.
Pembayaran upah pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang, namun demikian
dalam Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi kemungkinan pemberian sebagian
upah dalam bentuk barang yang jumlahnya dibatasi.
Peraturan Pemerintah ini pada pokoknya mengatur perlindungan upah secara umum yang
berpangkal tolak kepada fungsi upah yang harus mampu menjamin kelangsungan hidup
bagi buruh dan keluarganya.
Untuk menuju kearah pengupahan yang layak bagi buruh perlu ada pengaturan upah
minimum tetapi mengingat sifat kekhususannya belum diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 1.
Huruf a.
Yang dimaksud imbalan adalah termasuk juga sebutan honorarium yang diberikan oleh
pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus menerus.
Huruf b.
Yang dimaksud orang adalah seorang manusia pribadi yang mengurus atau mengawasi
perusahaan secara langsung. Yang dimaksud dengan persekutuan adalah suatu bentuk
usaha bersama yang bukan badan hukum yang bertujuan untuk mencari keuntungan
misalnya CV, Firma, Maatschap dan lain- lain maupun yang tidak mencari keuntungan
misalnya Yayasan. Yang dimaksud dengan badan hukum adalah perseroan yang didaftar
menurut undang- undang tentang perseroan atau jenis badan hukum lainnya yang
didirikan dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya
perkumpulan, koperasi, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang dijalankan dengan
tujuan mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara yang
mempekerjakan buruh, sedangkan usaha sosial dan usaha lain yang tidak berbentuk
perusahaan dipersamakan dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan buruh,
misalnya Yayasan dan lain- lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d.
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa upah dan
tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh pria sama besarnya dengan upah dan
tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Bahwa azas tidak bekerja tidak dibayar tidak sewajarnya untuk diterapkan secara mutlak.
Oleh karena itu bagi buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaan karena alasan tersebut
a dan b upah tersebut masih harus diberikan. Akan tetapi pembayaran upah yang
demikian tidak dapat dilakukan secara penuh dan terus menerus karena itu perlu
ditetapkan jumlah serta jangka waktunya.
Pengertian sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) a, tidak termasuk sakit karena
kecelakaan kerja sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951
tentang kecelakaan kerja.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Buruh sebagai warga negara tidak terlepas dari kemungkinan untuk memikul tugas dan
kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah, misalnya wajib militer, tugas-tugas dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum, serta tugas dan kewajiban lainnya yang ditetapkan
dengan peraturan perundang- undangan.
Ayat (2)
Pembayaran kekurangan gaji atau upah dimaksudkan agar tidak menjadi beban yang
berat bagi buruh dan keluarganya di satu pihak dan pengusaha di lain pihak.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Dengan mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh yang menjalankan
ibadah tersebut lebih dari 1 (satu) kali, pengusaha tidak diwajibkan membayar upahnya.
Pasal 7
Pasal 8
Halangan yang secara kebetulan dialami oleh pengusaha, tidak termasuk kehancuran atau
musnahnya perusahaan beserta peralatan yang dikarenakan oleh bencana alam, kebakaran
atau peperangan sehingga tidak memungkinkan lagi perusahaan tersebut berfungsi atau
menjalankan kegiatannya" Force mayeure".
Pasal 9
Maksud pasal ini adalah untuk mempermudah atau memberikan patokan dalam
menghitung upah sebulan dalam hal terjadi antara lain pemutusan hubungan kerja,
lembur dan sebagainya.
Pasal 10
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan agar pembayaran upah tidak jatuh kepada orang
yang tidak berhak. Oleh karena itu pembayaran upah melalui pihak ketiga harus
menggunakan surat kuasa. Pengertian buruh yang belum dewasa diartikan baik buruh
laki- laki maupun perempuan yang telah berusia 14 (empat belas) tahun akan tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Untuk menuju ke arah sistim pembayaran upah bersih, maka upah harus dibayar dalam
bentuk uang, prinsip tersebut diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya
secara bebas sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya.
Penerapan prinsip tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan
sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi atau barang yang
mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Larangan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah belanja paksa ("enforced
shopping"). Buruh harus bebas dalam hal mempergunakan upah seperti yang
dikehendakinya. Sedang pengusaha tidak diperbolehkan mengikat buruh dalam
mempergunakan upahnya.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Jika upah ditetapkan menurut hasil pekerjaan maka pembayarannya sesuai dengan
ketentuan Pasal 17, dengan ketentuan besarnya upah disesuaikan dengan hasil
pekerjaannya.
Pasal 19
Cukup Jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud dengan pelanggaran sesuatu hal dalam ayat (1) adalah pelanggaran
terhadap kewajiban-kewajiban buruh yang telah ditetapkan dengan perjanjian tertulis
antara pengusaha dan buruh.
Pasal 21
Penggunaan uang denda sama sekali tidak boleh untuk kepentingan pribadi pengusaha
baik langsung ataupun tidak, melainkan untuk kepentingan buruh, misalnya untuk dana
buruh. Cara penggunaan uang denda ini harus juga ditetapkan dalam surat perjanjian atau
peraturan perusahaan.
Pasal 22
Cukup Jelas.
Pasal 23
Pasal 24
Pembatasan perhitungan tidak boleh lebih dari 50 % (lima puluh persen) dimaksudkan,
agar buruh tidak kehilangan semua upah yang diterimanya.
Kemungkinan perhitungan dengan upah buruh dapat terdiri dari denda, potongan, ganti
rugi dan lain- lain.
Untuk menjamin kehidupan yang layak bagi buruh, maka pengusaha harus
mengusahakan sedemikian rupa sehingga jumlah perhitungan tersebut tidak melebihi 50
% (lima puluh persen).
Pasal 25
Cukup Jelas.
Pasal 26
Cukup Jelas.
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Kemungkinan seorang buruh akan dapat jatuh pailit yang disebabkan tidak terbayarnya
hutang kepada pihak lain, baik kepada pengusaha ataupun kepada orang lain. Untuk
menjamin kehidupan buruh yang keseluruhan harta bendanya disita, maka perlu ada
jaminan untuk hidup bagi dirinya beserta keluarganya.
Oleh karena itu dalam pasal ini upah dan pembayaran lainnya yang menjadi hak buruh,
tidak termasuk dalam kepailitan. Penyimpangan terhadap ketentuan pasal ini hanya dapat
dilakukan oleh hakim dengan batas sampai dengan 25 % (dua puluh lima persen).
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Ketentuan pidana yang dikenakan dalam Pasal-Pasal tersebut adalah sesuai dengan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Undang- undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang merupakan Undang-undang
Induk daripada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 34
Penetapan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 33
sebagai pelanggaran adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang- undang
Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang
merupakan Undang-undang Induk dari pada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 35
Pasal 36
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3190
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
SURAT EDARAN
NO: SE-01/MEN/1982
TENTANG
Untuk keseragaman dalam menangani permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat
pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981- tentang Perlindungan Upah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8 Tambahan Lembaran
Negara No. 3190) perlu adanya satu kesatuan pengertian yang harus diperhatikan sebagai
pedoman bagi para petugas di lapangan khususnya dalam jajaran Direktorat Jenderal
Binalindung Tenaga Kerja. Terhadap beberapa ketentuan yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut masih diperlukan adanya penjelasan lebih lanjut yang
perlu diperhatikan yaitu antara lain sebagai berikut :
Penjelasan :
Dalam ketentuan ini pengertian "buruh" tidak termasuk tenaga kerja yang
berstatus non organik dan/atau yang bekerja secara insidentil pada suatu
perusahaan. Yang dimaksud dengan tenaga kerja berstatus non organik adalah
tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan secara tidak teratur dan secara
organisatoris tidak mempunyai fungsi pokok dalam perusahaan tersebut, misalnya
: Dokter perusahaan, Konsultan perusahaan.
Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang bekerja insidentil adalah tenaga kerja
yang bekerja pada perusahaan dengan tidak berkesinambungan baik yang
disebabkan karena waktu maupun sifat pekerjaan, misalnya tenaga kerja bongkar
muat.
2. Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :
" Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir
pada saat hubungan kerja putus".
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan "pada saat adanya hubungan kerja" adalah sejak adanya
perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis antara pengusaha dan buruh.
3. Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :
"Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara
buruh laki- laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya"
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang sama nilainya dalam ketentuan ini adalah
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan uraian jabatan (Job discription) yang
sama pada suatu perusahaan.
4. Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
" Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan "
Penjelasan :
Ketentuan ini merupakan suatu azas yang pada dasarnya berlaku terhadap semua
golongan buruh, kecuali bila buruh yang bersangkutan tidak dapat bekerja bukan
disebabkan oleh kesalahan buruh.
5. Pasal 5 ayat (1) huruf a berbunyi sebagai berikut :
Penjelasan :
Ketentuan pembayaran upah dengan bertahap berlaku bagi buruh yang sakit terus
menerus.
Termasuk sakit terus menerus adalah penyakit menahun atau berkepanjangan,
demikian pula apabila buruh yang setelah sakit lama mampu bekerja kembali
tetapi dalam waktu 4 Minggu sakit kembali.
Misalnya : pada 3 (tiga) bulan pertama buruh jatuh sakit dia berhak atas upah 100
%, kemudian masuk bekerja tetapi kurang dari 4 (empat) minggu buruh jatuh
sakit lagi dengan penyakit yang sama atau dengan komplikasi yang
ditimbulkannya maka dalam hal ini buruh berhak atas upah 75 % selama 3 (tiga)
bulan. Akan tetapi jika buruh setelah jatuh sakit, masuk bekerja kembali selama 4
(empat) minggu atau lebih, kemudian jatuh sakit lagi dengan penyakit yang sama
atau komplikasinya maka selama sakit buruh berhak atas upah 100 % selama 3
(tiga) bulan. Bulan yang dipakai untuk menghitung lamanya sakit adalah bulan
atau waktu dimana buruh jatuh sakit, jadi bukan bulan kalender. Untuk
pelaksanaan pasal ini diperlukan surat keterangan dokter yang ditunjuk oleh
perusahaan.
Apabila dalam suatu perusahaan terdapat perjanjian perburuhan atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja yang memuat ketentuan upah selama sakit tidak
mengikuti pertahapan sesuai pasal ini dapat dibenarkan apabila setiap kurun
waktu 3 (tiga) bulan sekurang-kurangnya sama dengan besarnya prosentase pasal
5 tersebut.
Bila dalam waktu sakit berkepanjangan tersebut timbul hak atas cuti ber upah(cuti
tahunan, cuti hamil) maka hari-hari cuti tersebut upahnya 100 %.
6. Pasal 6 ayat (4) berbunyi sebagai berikut :
"Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut
agamanya selama waktu yang diperlukan tetapi tidak melebihi 3 ( tiga ) bulan. "
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan " Selama waktu yang diperlukan" dalam pasal ini adalah
lamanya waktu untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan ketentuan
yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI dari waktu ke waktu.
Misalnya : pada tahun 1981 waktu yang diperlukan untuk melaksanakan ibadah
haji adalah 40 (empat puluh) hari, dengan demikian pengusaha wajib membayar
upah buruh selama 40 hari.
7. Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :
" Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan
pekerjaannya yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami
oleh pengusaha yang seharusnya dapat ia hindari".
Penjelasan :
Dengan adanya ketentuan pasal ini maka pemberian uang tunggu, yang bukan
dalam kaitan dengan pemberhentian sementara (schorsing) yang selama ini
dilakukan oleh pengusaha tidak diperkenankan lagi oleh karenanya pengusaha
harus membayar upah penuh kepada buruh.
Misalnya : Buruh yang diperintahkan untuk menunggu kedatangan suatu kapal
dimana kalau kapal tersebut tiba, buruh akan membongkar muat barang, tetapi
karena sesuatu hal kapal tersebut tidak datang, maka pengusaha harus membayar
upah buruh sesuai dengan perjanjian.
8. Pasal 10 ayat (3) berbunyi sebagai berikut :
"Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat kuasa
dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat menerimanya
secara langsung"
Penjelasan :
Apabila surat kuasa tersebut bersifat kolektif maka surat kuasa tersebut perlu
diketahui lebih dahulu oleh Kantor Direktorat Jenderal Binalindung Tenaga Kerja
setempat.
9. Pasal 12 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras,
obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh
melebihi 25 % (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.
Penjelasan :
Apabila selama ini suatu perusahaan memberikan upah dalam bentuk natura lebih
dari 25 % maka selanjutnya kelebihan prosentase tersebut harus diwujudkan
dalam bentuk uang.
Misalnya : Jika sebagian upah diberikan dalam bentuk natura 30 % maka yang
kelebihan 5 % tersebut harus diwujudkan dalam bentuk uang.
10. Pasal 13 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan
berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.
Penjelasan :
Yang dipakai untuk menghitung kurs resmi adalah kurs yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia pada saat pembayaran upah.
11. Pasal 15 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari
pengusaha atau buruh, badan yang diserahi tugas urusan perselisihan perburuhan
dapat membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan jumlah
kerugian yang diderita oleh buruh".
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan Badan yang diserahi urusan Perselisihan Perburuhan ialah
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tersebut dalam Undang-undang
No.22 Tahun 1957 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 No.42
Tambahan Lembaran Negara No. 1227).
12. Pasal 19 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping
berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh Bank untuk
kredit perusahaan yang bersangkutan".
Penjelasan :
Penjelasan :
Denda yang dikenakan kepada buruh juga tidak dapat digunakan untuk
kepentingan perusahaan atau untuk kepentingan biaya operasional perusahaan.
14. Pasal 24 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
a. Denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal
21, Pasal 22, dan Pasal 23;
b. Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian
tertulis;
c. Uang muka atas upah, kelebihann upah yang telah dibayarkan dan cicilan
hutang buruh kepada pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti
tertulis".
Penjelasan :
Penjelasan :
Kata "Ahli" dalam pasal ini seharusnya dibaca kuasa yang ditunjuk oleh buruh
seperti dimaksud pada Pasal 29.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 4 Februari 1982
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
HARUN ZAIN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: PER-15/MEN/VII/2005
TENTANG
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1 Waktu kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan
pekerjaan pada suatu periode tertentu
2 Daerah operasi tertentu adalah lokasi tempat dilakukan eksplorasi,
eksplotasi dan atau pengapalan hasil tambang.
3 Periode kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan jadual kerja yang ditetapkan
dengan mengabaikan hari- hari kalender.
4 Pekerj/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan lain dalam bentuk lain.
5 Perusahaan adalah :
a setiap bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mepekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
6 Pengusaha adalah :
a orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7 Menteri adalah Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
(1) Perusahaan di bidang pertambangan umum termasuk perusahaan jasa
penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat
enerapkan :
a waktu kerja dan istirahat sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
234/MEN/2003;
b periode kerja maksimal 10 (sepuluh) minggu berturut-turut bekerja,
dengan 2 (dua) minggu berturut-turut istirahat dan setiap 2 (dua)
minggu dalam periode kerja diberikan 1 (satu) hari istirahat.
(2) Dalam hal perusahaan menerapkan periode kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b maka waktu kerja paling lama 12 (dua
belas) jam sehari tidak termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam.
(3) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib membayar upah kerja setelah 7 (tujuh) jam kerja
dengan perhitungan sebagai berikut:
a untuk waktu kerja 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3,5 (tiga
setengah) x upah sejam;
b untuk waktu kerja 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5,5 (lima tengah)
x upah sejam;
c untuk waktu kerja 11 (sebelas) jam 1(satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 7,5 (tujuh
setengah) x upah sejam;
d untuk waktu kerja 12 (dua belas) jam 1(satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 9,5 (sembilan
setengah) x upah sejam.
Pasal 3
Pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sesuai dengan kebutuhan
perusahaan.
Pasal 4
(1) Perusahaan dapat melakukan kegiatan dan atau waktu kerja dengan
memilih dan menetapkan kembali waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2
(2) Pergantian dan atau perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diberitahukan terlebih dahulu oleh Pengusaha
kepada pekerja/buruh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum tanggal perubahan dilaksanakan.
(3) Dalam hal perusahaan akan melakukan perubahan waktu kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pengusaha
memberitahukan secara tertulis atas perubahan tersebut kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.
Pasal 5
Waktu yang dipergunakan pekerja/buruh dalam perjalanan dari tempat
tinggal yang diakui oleh perusahaan ke tempat kerja adalah termasuk
waktu kerja apablia perjalanan memerlukan waktu 24 (dua puluh empat)
jam atau lebih.
Pasal 6
Dalam hal perusahaan telah memilih dan menetapkan salah satu dan atau
beberapa waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan ternyata
pekerja/buruh dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, maka
perusahaan wajib membayar upah sesuai dengan waktu kerja yang dipilih
dan ditetapkan.
Pasal 7
Dalam hal libur resmi jatuh pada suatu periode yang telah dipilih dan
ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, maka libur resmi tersebut dianggap hari kerja
biasa.
Pasal 8
Perhitungan upah dan upah kerja lembur tunduk kepada Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/VI/2004
tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Pasal 9
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja lembur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, harus melaporkan pelaksanaannya 3 (tiga)
bulan sekali kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada
Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan serta waktu istirahat;
b jumlah pekerja/buruh yang dipekerjakan;
c daftar upah kerja lembur;
d perubahan pelaksanaan waktu kerja.
Pasal 10
Perusahaan harus menyesuaikan waktu kerja dan periode kerja sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini selambat- lambatnya 3
(tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.
Pasal 11
Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya:
Myra M. Hanartani
NIP. 160025858
KEPMEN NO. 235 TH 2003
KEPUTUSAN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Anak adalah setiap orang yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 2
(1) Anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun dilarang bekerja dan/atau
dipekerjakan pada pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau
moral anak.
(2) Pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak
sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini.
(3) Jenis-jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat ditinjau
kembali sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 3
Anak usia 15 (lima belas) tahun atau lebih dapat mengerjakan pekerjaan kecuali
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 4
Pasal 5
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003
ttd
1. Mesin- mesin
a. mesin perkakas seperti: mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin
bubut, mesin skrap;
b. mesin produksi seperti: mesin rajut, mesin jahit, mesin tenun, mesin pak,
mesin pengisi botol.
2. Pesawat
e. pesawat tenaga seperti: mesin diesel, turbin, motor bakar gas, pesawat
pembangkit listrik.
1. Alat berat seperti: traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin
pancang.
a. pekerjaan yang terpajan dengan kuman, bakteri, virus, fungi, parasit dan
sejenisnya, misalnya pekerjaan dalam lingkungan laboratorium klinik,
penyamakan kulit, pencucian getah/karet;
7. Pekerjaan di kapal.
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Lembaga kerjasama bipartit yang selanjutnya disebut LKS Bipartit adalah forum
komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan
industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
2. Pengusaha adalah:
BAB II
Pasal 3
BAB III
Pasal 4
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh
atau lebih wajib membentuk LKS Bipartit.
(2) LKS Bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh unsur pengusaha
dan unsur pekerja/buruh.
Pasal 5
Anggota LKS Bipartit dari unsur pekerja/buruh ditentukan sebagai berikut:
1. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan
semua pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh tersebut,
maka secara otomatis pengurus serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya
dalam LKS Bipartit.
2. Dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka
yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah pekerja/buruh yang
dipilih secara demokratis.
3. Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan seluruh pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,
maka yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah wakil masing-
masing serikat pekerja/serikat buruh yang perwakilannya ditentukan secara
proporsional.
4. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan ada
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat pekerja/serikat buruh tersebut menunjuk wakilnya dalam LKS Bipartit dan
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh
menunjuk wakilnya yang dipilih secara demokratis.
5. Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan ada pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh, menunjuk wakilnya
dalam LKS Bipartit secara proporsional dan pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya yang dipilih secara
demokratis.
Pasal 6
Pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 melaksanakan pertemuan untuk :
a. membentuk LKS Bipartit;
b. menetapkan anggota LKS Bipartit.
Pasal 7
Tata cara pembentukan LKS Bipartit dilaksanakan sebagai berikut:
a. pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil
pekerja/buruh mengadakan musyawarah untuk membentuk, menunjuk, dan
menetapkan anggota LKS Bipartit di perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6;
b. anggota lembaga sebagaimana dimaksud dalam huruf a menyepakati dan
menetapkan susunan pengurus LKS Bipartit;
c. pembentukan dan susunan pengurus LKS Bipartit dituangkan dalam berita acara
yang ditandatangani oleh pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau
wakil pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 8
(1) LKS Bipartit yang sudah terbentuk harus dicatatkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah pembentukan.
(2) Untuk dapat dicatat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengurus LKS Bipartit
menyampaikan pemberitahuan tertulis baik langsung maupun tidak langsung
dengan dilampiri berita acara pembentukan, susunan pengurus, dan alamat
perusahaan.
(3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pemberitahuan,
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan memberikan nomor
bukti pencatatan.
BAB V
KEANGGOTAAN
Pasal 9
Keanggotaan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh
dengan komposisi perbandingan 1 : 1 yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan
dengan ketentuan paling sedikit 6 (enam) orang dan paling banyak 20 (dua puluh)
orang.
Pasal 10
(1) Susunan pengurus LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua,
seorang sekretaris dan anggota.
(2) Jabatan ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara wakil
pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
Pasal 11
Pasal 12
Masa jabatan keanggotaan LKS Bipartit berakhir apabila:
a. meninggal dunia;
BAB VI
MEKANISME KERJA
Pasal 13
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 14
BAB VIII
Pasal 15
Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS
Pasal 16
Kegiatan LKS Bipartit secara berkala setiap 6 (enam) bulan dilaporkan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
BAB IX
PENUTU P
Pasal 17
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini, maka Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-328/MEN/1986 tentang Lembaga Kerjasama Bipartit dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Pasal 18
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
ttd
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
PENGERTIAN
Pasal 1
1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
2. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta yang selanjutnya disebut LPTKS adalah
lembaga yang berbadan hukum yang memiliki ijin untuk melaksanakan pelayanan
penempatan tenaga kerja.
Pasal 2
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.
Pasal 3
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan tenaga kerja dapat merekrut sendiri
tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja baik
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan maupun
LPTKS.
Pasal 4
(1) LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari pemberi kerja.
(2) LPTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari tenaga kerja untuk golongan dan jabatan tertentu.
Pasal 5
(1) Golongan dan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
adalah :
(2) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima upah
sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali upah minimum yang berlaku diwilayah setempat.
BAB II
BIAYA PENEMPATAN
Pasal 6
(1) Besarnya biaya penempatan tenaga kerja yang dipungut dari pemberi kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ditetapkan sesuai dengan
kesepakatan antara pemberi dan LPTKS.
Pasal 7
(1) Besarnya biaya penempatan tenaga kerja yang dipungut dari tenaga kerja
golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan LPTKS dan besarnya tidak
melebihi 1 (satu) bulan upah yang diterima.
(2) Biaya penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangsur sekurang-
kurangnya 5 (lima) kali.
Pasal 8
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja sebelum selesainya angsuran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), pekerja/buruh dibebaskan dari kewajiban membayar
kekurangan angsuran.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
ttd
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 79 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan,
perlu diatur mengenai perusahaan tertentu yang wajib melaksanakan istirahat
panjang ;
Pasal 1
1. Istirahat panjang adalah istirahat yang diberikan kepada pekerja/buruh setelah masa kerja 6 (enam)
tahun secara terus menerus
pada perusahaan yang sama.
2. Perusahaan yang sama adalah perusahaan yang berada dalam satu badan hukum.
Pasal 2
Perusahaan yang wajib melaksanakan istirahat panjang adalah perusahaan yang selama ini telah
melaksanakan istirahat
panjang sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri ini.
Pasal 3
(1) Pekerja/buruh yang melaksanakan hak istirahat panjang pada tahun ketujuh dan kedelapan, tidak
berhak atas istirahat tahunan
pada tahun tersebut;
?????
(2) Selama menjalankan hak istirahat panjang pekerja/buruh berhak atas upah penuh dan pada
pelaksanaan istirahat tahun
kedelapan pekerja/buruh diberikan kompensasi hak istirahat tahunan sebesar setengah bulan gaji.
(3) Gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap.
Pasal 4
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh tentang saat timbulnya hak
istirahat
panjang selambat-lambatnya 30 ( tiga puluh) hari sebelum hak istirahat panjang timbul.
(2) Hak istirahat panjang gugur apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak hak atas istirahat panjang
tersebut
timbul pekerja/buruh tidak mempergunakan haknya.
(3) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak gugur apabila pekerja/buruh tidak
dapat
mempergunakan haknya.
Pasal 5
(1) Perusahaan dapat menunda pelaksanaan istirahat panjang untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung
sejak
timbulnya hak atas istirahat panjang dengan memperhatikan kepentingan pekerja/buruh dan atau
perusahaan.
(2) Penundaan pelaksanaan istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diatur dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 6
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, tetapi pekerja/buruh belum mempergunakan hak istirahat
panjangnya dan hak tersebut belum
gugur atau pengusaha menunda pelaksanaan istirahat panjang tersebut, maka pekerja/buruh berhak atas
suatu pembayaran upah dan
kompensansi hak istirahat panjang yang seharusnya diterima.
Pasal 7
(1) Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang lebih baik dari ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan dalam Keputusan Menteri ini, maka perusahaan
tidak boleh mengurangi hal
tersebut.
(2) Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang kepada pekerja/buruh tetapi lebih
rendah dari ketentuan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri ini, maka perusahaan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut.
Pasal 8
Pelaksanaan istirahat panjang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Pasal 9
Menteri dapat menetapkan perubahan perusahaan yang wajib memberikan istirahat panjang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sesuai dengan perkembangan ketenagakerjaan.
Pasal 10
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 14, ayat (4) dan
Menteri;
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Program pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana
pelatihan, persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan
penetapan kelulusan peserta pelatihan.
3. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Pasal 2
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah atau lembaga
pelatihan kerja swasta atau perusahaan.
BAB II
Pasal 3
Pasal 4
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diterbitkan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
Pasal 5
(1) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah, wajib
mendaftarkan kegiatan program pelatihannya pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
(2) Lembaga pelatihan kerja perusahaan yang melakukan pelatihan kerja bagi
pekerjanya/buruhnya dan/atau melatih masyarakat umum tanpa memungut biaya,
wajib mendaftarkan kegiatan program pelatihannya pada Instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
Pasal 6
Izin dan tanda daftar lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) dan Pasal 5 ayat (1) hanya berlaku di wilayah kerja instansi penerbit izin dan tanda
daftar.
BAB III
Pasal 7
(1) Badan hukum atau perorangan yang akan mendapatkan izin sebagai lembaga
pelatihan kerja, mengajukan permohonan dilampiri dengan:
a. copy surat pengesahan sebagai badan hukum atau kartu tanda penduduk
bagi pemohon perorangan;
e. copy surat tanda bukti kepemilikan atau penguasaan prasarana dan fasilitas
pelatihan kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan
program pelatihan yang akan diselenggarakan;
h. copy deposito atas nama penanggung jawab lembaga pelatihan kerja yang
besarnya sesuai dengan biaya program pelatihan kerja yang diajukan;
i. surat penunjukan sebagai cabang dari lembaga pelatihan kerja di luar negeri
bagi lembaga pelatihan kerja yang merupakan cabang dari lembaga
pelatihan kerja di luar negeri.
Pasal 8
Dalam hal persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) telah
dilengkapi, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota melakukan verifikasi untuk membuktikan kebenaran persyaratan.
Pasal 9
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Tim yang ditunjuk
oleh pejabat yang berwenang, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya terdiri dari unsur
organisasi lembaga pelatihan, unit kerja yang menangani pelatihan kerja dan unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pejabat yang berwenang
menerbitkan izin lembaga pelatihan kerja dalam waktu paling lama 6 (enam) hari
kerja terhitung sejak tanggal selesainya verifikasi.
(4) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pejabat yang berwenang
menerbitkan izin, membuat surat penolakan pemberian izin kepada pemohon
disertai dengan alasannya dalam waktu paling lama 6 (enam) hari kerja terhitung
sejak tanggal selesainya verifikasi.
Pasal 10
(1) Izin lembaga pelatihan kerja dapat diberikan sekurang-kurangnya untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk waktu yang sama.
(2) Instansi penerbit izin dapat memperpanjang izin lembaga pelatihan kerja apabila
lembaga pelatihan kerja tersebut mempunyai kinerja yang baik.
(3) Kriteria penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Pasal 11
(1) Bagi lembaga pelatihan kerja yang akan menambah jenis program pelatihan kerja
harus mendapat izin penambahan program pelatihan kerja dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4.
b. daftar nama dan riwayat hidup instruktur pelatihan kerja bagi program yang
diusulkan;
e. copy saldo akhir rekening giro lembaga pelatihan kerja yang besarannya
ditetapkan oleh Direktur Jenderar Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja
Dalam Negeri.
BAB IV
Pasal 12
Pasal 13
(2) Apabila setelah 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanda
daftar tidak atau belum diterbitkan, maka lembaga pelatihan kerja dapat
melaksanakan kegiatan pelatihan kerja.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja wajib melaporkan kegiatannya kepada instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada Kabupaten/Kota setempat
secara periodik 6 (enam) bulan sekali yang tembusannya disampaikan kepada
instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada Provinsi dan
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Pasal 15
c. sarana dan prasarana pelatihan kerja tidak sesuai dengan program; atau
Pasal 16
(1) Dalam hal penyelenggara pelatihan kerja setelah 6 (enam) bulan masa
penghentian sementara masih belum memenuhi kewajiban yang diperintahkan,
maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
menghentikan program pelatihan kerja tersebut.
(2) Penyelenggara pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
mengembalikan sisa biaya pelatihan kerja kepada peserta.
(3) Penyelenggara pelatihan kerja dapat mengajukan kembali program yang telah
dihentikan dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Pasal 17
(1) Apabila lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 tetap
melaksanakan program pelatihan kerja yang telah diperintahkan untuk dihentikan,
maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota mencabut izin lembaga pelatihan kerja yang bersangkutan.
(2) Penyelenggara program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib mengembalikan sisa biaya pelatihan kerja kepada seluruh peserta pelatihan.
Pasal 18
Dalam hal lembaga pelatihan kerja tidak melaksanakan program pelatihan kerja selama
kurun waktu 1 (satu) tahun terus menerus, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dapat mencabut izin lembaga pelatihan kerja yang
bersangkutan.
Pasal 19
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 20
(2) Bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
terhadap program pelatihan kerja, ketersediaan sarana dan fasilitas, ketersediaan
dan kualitas tenaga kepelatihan, penerapan metode dan system pelaksanaan
pelatihan kerja.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonesia Nomor KEP-149/MEN/2000 tentang Tata Cara Perizinan Lembaga
Pelatihan Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 22
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
ttd
KEPUTUSAN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Pasal 1
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Pengusaha adalah:
4. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
Pasal 2
Pasal 3
d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c,
dan d Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 4
Pasal 5
Mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan
yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh
pekerja/buruh yang sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mogok kerja yang tidak
sah.
Pasal 6
(1) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dikualifikasikan sebagai mangkir.
(2) Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis.
(3) Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) maka dianggap mengundurkan diri.
Pasal 7
(1) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dikualifikasikan sebagai mangkir.
(2) Dalam hal mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan
dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.
Pasal 8
Keputusan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 233 /MEN/2003
TENTANG
JENIS DAN SIFAT PEKERJAAN
YANG DIJALANKAN SECARA TERUS MENERUS
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 85 ayat (4) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu
ditetapkan mengenai jenis dan sifat pekerjaan yang dijalankan
secara terus menerus;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong.
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 31 Agustus 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 25 September 2003;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA TENTANG JENIS DAN SIFAT PEKERJAAN
YANG DIJALANKAN SECARA TERUS MENERUS.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Pekerjaan yang dijalankan secara terus menerus adalah pekerjaan yang menurut
jenis dan sifatnya harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau
dalam keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha.
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
4. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 90 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai tata cara penangguhan
pelaksanaan upah minimum;
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Pasal 1
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Pengusaha adalah :
4. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Pasal 2
(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.
(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha
dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
Pasal 3
(2) Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat.
(3) Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) Serikat Pekerja /Serikat Buruh yang
memiliki anggota lebih 50 % dari seluruh pekerja di perusahaan , maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan untuk
menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan untuk
menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang memiliki anggota lebih dari 50 % (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja /serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja / buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili perundingan dalam menyepakati
penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) atau ayat (5) tidak
terpenuhi, maka para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan anggota masing masing serikat
pekerja/serikat buruh.
(7) Dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka
perundingan untuk menyepakati penangguhan pelaksanaan upah minimum dibuat
antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang mendapat mandat untuk mewakili
lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) penerima upah minimum di perusahaan.
(8) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui
perundingan secara mendalam, jujur, dan terbuka.
Pasal 4
Pasal 5
b. membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama tetapi lebih
rendah dari upah minimum baru, atau;
Pasal 6
(1) Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh
pengusaha, diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung
sejak diterimanya permohonan penangguhan secara lengkap oleh Gubernur.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir dan
belum ada keputusan dari Gubernur, permohonan penangguhan yang telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka
permohonan penangguhan dianggap telah disetujui.
Pasal 7
(2) Dalam hal permohonan penangguhan ditolak Gubernur, maka upah yang diberikan
oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, sekurang-kurangnya sama dengan upah
minimum yang berlaku terhitung mulai tanggal berlakunya ketentuan upah
minimum yang baru.
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NOMOR : PER-01/MEN/I/2006
TENTANG
PELAKSANAAN PASAL 3
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR KEP-231/MEN/2003
TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN
UPAH UMUM
Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan (5) Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
226/MEN/MEN/2000, KetetapanUpah Minimum Provinsi
ditetapkan selambat-lambatnya 40 hari dan upah minimum;
MEMUTUSKAN :
Pasal1
Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006 berlaku
sejak tanggal 1 Januari 2006.
Pasal 2
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Januari 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ERMAN SUPARNO
KEPMEN NO. 101 TH 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
NOMOR : KEP.101/MEN/VI/2004
TENTANG
Pasal 1
1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
2. Pengusaha adalah
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan muliknya;
c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudkan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurusan dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau nimbalan dalam
bentuk lain.
4. Perusahaan penyedia jasa adalah perusahaan berbadan hukum yang dalam
kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di
perusahaan pemberi pekerjaan.
5. Menteri adalah Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa;
b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud
huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa
dengan pekerja/buruh yang dipekerrjakan perusahaan penyedia jasa sehingga
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan
yang timbul manjadi tanggung jawab perusahaan -enyedia jasa pekerja/buruh;
c. penegasan bahwa perusahaan penydia jasaja/burh bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk
jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam
hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2004
MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP.100/MEN/VI/2004
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
(1) Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah
daripada ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.
(2) Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan
atau pekerjaan tertentu.
BAB II
Pasal 3
(1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah
PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga)
tahun.
(3) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan
maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
(4) Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus
dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
(5) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun
karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat
dilakukan pembaharuan PKWT.
(6) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
(7) Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat
(6) tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
(8) Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang
dituangkan dalam perjanjian.
BAB III
Pasal 4
(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.
Pasal 5
(1) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target
tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman.
(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
Pasal 6
Pasal 7
PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dilakukan
pembaharuan.
BAB IV
(1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali
paling lama 1 (satu) tahun.
(3) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan
pembaharuan.
Pasal 9
BAB V
PERJANJIAN KERJA HARIAN ATAU LEPAS
Pasal 10
(1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan
volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan
perjanjian kerja harian atau lepas.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari
dalam 1 (satu)bulan.
(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah
menjadi PKWTT.
Pasal 11
Pasal 12
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara
tertulis dengan para pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat :
BAB VI
PENCATATAN PKWT
Pasal 13
PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja sejak penandatanganan.
Pasal 14
Untuk perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 maka
yang dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2).
BAB VII
PERUBAHAN PKWT MENJADI PKWTT
Pasal 15
(1) PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah
menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
(2) Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
(3) Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru menyimpang dari ketentua n Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.
(4) Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka PKWT berubah menjadi PKWTT
sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 21 Juni 2004
MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 115 dan Pasal 133 Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu dia
tentang tata cara pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama ;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan
Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 No
4) ;
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomo
60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839) ;
3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) ;
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;
5. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) ;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otono
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3959) ;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004 ;
2. Hasil Sidang Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004 ;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CA
PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN
PERJANJIAN
KERJA BERSAMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
2. Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/se
buruh
yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
3. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta mau
milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di
luar wilayah Indonesia.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
6. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
BAB II
Pasal 2
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib memuat peraturan perusahaan.
(2) Isi dari peraturan perusahaan adalah syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dala
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebu
harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan perundang- undangan.
Pasal 3
(1) Peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan saran dan
pertimbangan terhadap wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat tidak memberikan saran dan pertimbangan
terhadap peraturan perusahaan yang diajukan oleh pengusaha.
(3) Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih oleh pekerja/buruh secara demokratis mewakili dari setiap unit kerja yang ada
perusahaan.
(4) Apabila di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(5) Dalam hal di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh namun keanggotaannya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di perusah
tersebut, maka pengusaha selain memperhatikan saran dan pertimbangan dari pengurus serikat pekerja/buruh harus juga mememperhatikan saran
dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 4
(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) peraturan perusahaan yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat peraturan perusahaan induk yang berlaku di semua cabang perusahaan serta d
dibuat peraturan perusahaan turunan yang berlaku di masing- masing cabang perusahaan.
(3) Peraturan perusahaan induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan dan peraturan perusahaan turunan
memuat pelaksanaan peraturan perusahaan induk, yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing- masing.
(4) Dalam hal peraturan perusahaan induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya peraturan perusahaan turunan di cabang perusahaa
maka selama peraturan perusahaan turunan belum disahkan, tetap berlaku peraturan perusahaan induk.
(5) Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing- masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka peratu
perusahaan dibuat oleh masing- masing perusahaan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 3.
Pasal 5
Pembuatan peraturan perusahaan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pengusaha, sedangkan masukan yang disampaikan oleh serikat
pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh bersifat saran dan pertimbangan, sehingga pembuatan peraturan perusahaan tidak dapat
diperselisihkan.
Pasal 6
(1) Pengusaha harus menyampaikan naskah rancangan peraturan perusahaan kepada wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh untuk mendapa
saran dan pertimbangan.
(2) Saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh terhadap naskah rancangan peraturan perusahaan sebagaima
dimaksud dalam ayat (1) harus sudah diterima oleh pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal deterimanya naskah rancan
peraturan perusahaan oleh wakil pekerja/buruh.
(3) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh telah menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ay
(2), maka pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan serikat pekerja/serikat buruh dan atau wakil pekerja/buruh tersebut.
(4) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh tidak
memberikan saran dan pertimbangan, maka pengusaha dapat mengajukan pengesahan peraturan perusahaan disertai bukti bahwa pengusaha tela
meminta saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
BAB III
Pasal7
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilay
Kabupaten/Kota.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari
1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Provinsi.
Pasal 8
(1) Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan peraturan perusahaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melengkapi :
b. naskah peraturan perusahaan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) yang telah ditandatangani oleh pengusaha;
c. bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan harus meneliti kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
meneliti materi peraturan perusahaan yang diajukan tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan yang berlaku.
(4) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib mengesahkan peraturan perusahaan dengan menerbitkan surat keputusan dalam waktu palin
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan pengesahan.
(5) Dalam hal pengajuan pengesahan peraturan perusahaan tidak memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan/atau terdapat
materi peraturan perusahaan yang bertentangan dengan peraturan perundangan, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 mengembal
secara tertulis permohonan pengesahan peraturan kepada pengusaha dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan
permohonan pengesahan, untuk dilengkapi atau diperbaiki.
(6) Perusahaan wajib menyampaikan peraturan perusahaan yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya pengembalian peraturan perusahaan.
(7) Apabila pengusaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 (lima) maka perusahaan dapat dinyatakan tidak mengajukan
permohonan pengesahan peraturan perusahaan, sehingga dapat dianggap belum memiliki peraturan perusahaan.
(8) Peraturan perusahaan mulai berlaku setelah disahkan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 9
(1) Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya tetap berlaku sampai ditandatanganinya perjanjian kerj
bersama atau disahkannya peraturan perusahaan yang baru.
(2) Dalam hal di perusahaan telah dilakukan perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tetapi belum mencapai kesepakatan, maka pengusah
wajib mengajukan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan.
Pasal 10
(1) Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan isi peraturan perusahaan dalam tenggang waktu masa berlakunya peraturan perusahaan, m
perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Peraturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat pengesahan kembali dari pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(3) Apabila perusahaan tidak mengajukan permohonan pengesahan perubahan peraturan perusahaan, maka perubahan itu dianggap tidak ada.
Pasal 11
(1) Pengusaha wajib mengajukan pembaharuan peraturan perusahaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir masa
berlakunya peraturan perusahaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk mendapat pengesahan.
(2) Pengajuan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
dalam Pasal 8 ayat (2).
(3) Apabila dalam pembaharuan peraturan perusahaan terdapat perubahan materi dari peraturan perusahaan sebelumnya, maka perubahan materi
tersebut harus didasarkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.
BAB IV
Pasal 12
(1) Perjanjian kera bersama dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Perundingan perjanjian kerja bersama harus didasari itikad baik dan kemaua n bebas kedua belah pihak.
(3) Perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(4) Lamanya perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan
dituangkan dalam tata tertib perundingan.
Pasal 13
(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal perusahaan yang perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat perjanjian kerja bersama induk yang berlaku di semua
perusahaan serta
dapat dibuat perjanjian kerja bersama turunan yang berlaku di masing- masing cabang perusahaan.
(3) Perjanjian kerja bersama induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum diseluruh cabang perusahaan dan perjanjian kerja bersama tur
memuat pelaksanaan perjanjian kerja bersama induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing- masing.
(4) Dalam hal perjanjian kerja bersama induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya perjanjian kerja bersama turunan di cabang
perusahaan, maka selama perjanjian kerja bersama turunan belum disepakati tetap berlaku perjanjian kerja bersama induk.
Pasal 14
Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing- masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka perjanjian
bersama dibuat dan dirundingkan oleh masing- masing pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh masing-masing perusahaan.
Pasal 15
Pengusaha harus melayani permintaan secara tertulis untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dari serikat pekerja/serikat buruh apabila :
a. serikat pekerja/serikat buruh telah tercatat berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan peratur
pelaksanaannya ;
b. memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 120 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 16
(1) Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persera
dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuata
Perjanjian Kerja Bersama dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih dari 50% (
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari pengurus serikat pekerja/serikat buruh da
wakil-wakil dari pekerja/buruh yang bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Panitia yang terbentuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengumumkan tanggal pemungutan suara selambat- lambatnya 24 (dua puluh emp
hari sebelum tanggal pemungutan suara.
(4) Panitia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memberitahukan tanggal pelaksanaan pemungutan suara kepada pejabat yang bertanggung jawab
bidang ketenagakerjaan dan pengusaha, untuk menyaksikan pelaksanaan pemungutan suara .
(5) Serikat pekerja/serikat buruh diberi kesempatan menjelaskan program pembuatan perjanjian kerja bersama dalam waktu 14 (empat belas) hari, d
dilaksanakan 3 (tiga) hari setelah tanggal diumumkannya pemungutan suara.
(6) Pelaksanaan penjelasan program sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan diluar jam kerja pada tempat-tempat yang disepakati oleh ser
pekerja/serikat
buruh dan pengusaha.
(7) Apabila dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum dilaksanakan pemungutan suara ternyata serikat pekerja/serikat buruh dapat
membuktikan keanggotaannya kepada pengusaha bahwa serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah memenuhi lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka pemungutan suara tidak perlu dilaksanakan.
(8) Panitia pemungutan suara harus menyesuaikan waktu pelaksanaan pemungutan suara dengan jadwal kerja para pekerja/buruh sehingga tidak
mengganggu proses produksi.
(9) Tempat pemungutan suara ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penitia dengan pengusaha.
(10) Hasil pemungutan suara sah, setelah ditandatangani oleh panitia dan saksi-saksi.
Pasal 17
(1) Tempat perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat
buruh atau ditempat lain sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
(2) Biaya perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama menjadi beban pengusaha, kecuali disepakati lain oleh kedua belah pihak.
Pasal 18
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan
perundingan dengan pengusaha adalah serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh
jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal penentuan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui verifikasi keanggotaan serikat
pekerja/serkat buruh maka verifikasi dilakukan oleh panitia yang terdiri dari wakil pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang ada di perusahaa
dengan disaksikan oleh wakil instansi yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.
(3) Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan berdasarkan bukti kartu tanda anggota ses
Pasal 121 UU Nomor 13 Tahun 2003 dan apabila terdapat kartu tanda anggota lebih dari 1 (satu), maka kartu tanda anggota yang sah adalah ka
tanda anggota yang terakhir.
(4) Hasil pelaksanaan verifikasi dituangkan dalam bentuk berita acara yang ditandatangani oleh panitia dan saksi-saksi sebagaimana dimaksud dala
ayat (2) yang hasilnya mengikat bagi serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan.
(5) Pelaksanaan verifikasi dilakukan di tempat-tempat kerja yang diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu proses produksi dalam waktu
(satu) hari kerja yang disepakati serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Pengusaha maupun serikat pekerja/serikat buruh dilarang melakukan tindakan yang mempengaruhi pelaksanaan verifikasi.
Pasal 19
Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dimulai dengan menyepakati tata tertib perundingan yang sekurang-kurangnya memuat :
Pasal 20
(1) Dalam menentukan tim perunding pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b pihak pengusaha dan pih
serikat pekerja/serikat buruh menunjuk tim perunding sesuatu kebutuhan dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang
dengan kuasa penuh.
(2) Dalam hal terdapat serikat pekerja/serikat buruh yang tidak terwakili dalam tim perunding, maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkuta
dapat menyampaikan aspirasinya secara tertulis kepada tim perunding sebelum dimulai perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Pasal 21
Pasal 22
Apabila pembuatan perjanjian kerja bersama ditandatangani oleh wakil, harus ada surat kuasa khusus yang dilampirkan pada perjanjian kerja bersama
tersebut.
Pasal 23
(1) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, maka ke 2 (dua) belah pihak dapat menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
perundingan gagal.
(2) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama masih belum selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib dan penjadwala
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada
waktunya yang memuat :
(3) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak mencapai kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka salah sat
pihak atau kedua belah pihak melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama hanya
mencakup satu Kabupaten/Kota;
b. Instansi yang betanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi, apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama lebih dari satu
Kabupaten/Kota di satu Provinsi;
c. Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersam
meliputi lebih dari satu Provinsi.
(5) Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
Industrial yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 .
Pasal 24
(1) Apabila penyelesaian pada instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) dilakukan melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pih
tidak menerima anjuran mediator maka atas kesepakatan para pihak, mediator melaporkan kepada Menteri untuk menetapkan lengkah- langkah
penyelesaian.
(3) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan penyelesaian pembuatan Perjanjian Kerja Bersama .
(4) Dalam hal penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan
Pengadilan Hubungan Industrial di daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja.
(5) Dalam hal daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) melebihi 1 (satu) daerah hukum Pengadilan
Hubungan Industrial, maka gugatan diajukan pada Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan.
Pasal 25
(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha hendak melakukan perubahan Perjanjian Kerja Bersama yang sedang berlaku, maka
perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan.
(2) Perubahan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Kerja
Bersama yang sedang berlaku.
BAB V
Pasal 26
(1) Pengusaha mendaftarkan perjanjian kerja bersama kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Pendaftaran perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimaksudkan :
a. sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan di perusahaan;
b. sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan pelaksanaan perjanjian kerja bersama.
(3) Pengajuan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan naskah Perjanjian Kerja Bersama yan
dibuat dalam rangkap 3 (tiga) bermaterai cukup yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 27
(1) Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dilakukan oleh :
a. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu)
wilayah Kabupaten/Kota;
b. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1(satu)
Kabupaten/Kota dalam 1(satu) Provinsi;
c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1(satu) Provinsi.
(2) Pengajuan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan keterangan yang memuat :
(3) Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diteliti oleh Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam w
paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
(5) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah terpenuhi dan tidak ada meteri yang bertentangan dengan peratu
perundangan, maka dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak selesainya penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerbitkan surat keputusan pendaftaran perjanjian kerja bersama.
(6) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak terpenuhi dan atau terdapat materi perjanjian kerja bersama yang bertentang
dengan peraturan perundang- undangan, maka pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) memberi catatan pada surat keputusan pendaftaran.
(7) Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) memuat mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan
ketenagakerjaan.
Pasal 28
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan perkerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
(1) Peraturan Perusahaan yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor PER.02/MEN/1978 tentang
Peraturan Perusahaan
dan Perundingan pembuatan Perjanjian Perburuhan masih berlaku sampai dengan berakhirnya peraturan perusahaan yang bersangkutan.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara
Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) masih berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja bersama yang bersangkutan.
BAB VII
SANKSI
Pasal 30
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai denga
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Dengan ditetapkannnya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga kerja, transmigrasi dan Koperasi Nomor PER-02/MEN/1978 tentang
Peraturan Perusahaan dan perundingan Pembuatan Perjanjian Perburuhan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang
Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-97/MEN/1993 tentang
Pelimpahan Wewenang Pendaftaran Kesepakatan Kerja Bersama dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 32
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMINGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
3. Pemberi kerja tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA
adalah pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
5. Pengusaha adalah :
7. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah
rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja
TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
9. Direktur Jenderal yang selanjutnya disebut Dirjen adalah Dirjen Pembinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Pasal 2
a. kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing atau kantor
perwakilan berita asing yang melakukan kegiatan di Indonesia;
c. badan usaha pelaksana proyek pemerintah termasuk proyek bantuan luar negeri;
Pasal 3
(2) RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk
mendapatkan ijin mempekerjakan TKA.
BAB II
Pasal 4
(1) Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) pemberi kerja harus mengajukan permohonan dilengkapi dengan alasan
penggunaan TKA secara tertulis serta melampirkan :
(2) Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat :
b. jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur bagan organisasi perusahaan yang
bersangkutan;
d. jumlah TKA;
f. lokasi kerja;
h. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping TKA yang
dipekerjakan;
(3) Bentuk formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana
tercantum dalam lampiran I Keputusan ini.
Pasal 5
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan ayat (2)
huruf b, e, h dan huruf i tidak berlaku bagi usaha jasa impresariat.
(2) Bentuk formulir RPTKA untuk usaha jasa impresariat sebagaimana tercantum
dalam lampiran II Keputusan ini.
Pasal 6
Permohonan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5
disampaikan kepada Dirjen mela lui Direktur.
Pasal 7
(1) Dirjen atau Direktur harus melakukan penelitian kelengkapan dokumen permohonan
pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), apabila dokumen
permohonan belum lengkap Dirjen atau Direktur harus memberitahukan secara tertulis
kepada pemohon dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima.
(2) Dalam hal dokumen permohonan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Dirjen atau Direktur melakukan penilaian kelayakan permohonan penggunaan TKA
dengan berpedoman pada daftar jabatan yang ditetapkan oleh Menteri dan memperhatikan
kebutuhan pasar kerja nasional.
(3) Dalam melakukan penilaian kelayakan penggunaan TKA Dirjen atau Direktur dapat
memanggil pemberi kerja serta berkoordinasi dengan instansi terkait.
BAB III
PENGESAHAN RENCANA
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 8
Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah sesuai dengan daftar
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Dirjen atau Direktur untuk
menerbitkan Surat Keputusan Pengesahan RPTKA.
Pasal 9
a. Dirjen untuk permohonan penggunaan TKA 50 (lima puluh) orang atau lebih;
b. Direktur untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang dari 50 (lima puluh)
orang.
Pasal 10
(1) Surat keputusan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memuat
:
c. besarnya upah;
d. jumlah TKA;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku untuk usaha
jasa impresariat.
Pasal 11
RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat diberikan untuk jangka waktu paling
lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan
memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri.
Pasal 12
(1) Perpanjangan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diajukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6.
(2) Bentuk laporan pelaksanaan pendidikan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan Menteri ini.
Pasal 13
(1) Pemberi kerja dapat mengajukan permohonan perubahan sebelum berakhirnya jangka waktu
RPTKA.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Dengan ditetapkan Keputusan Menteri ini, maka semua ketentuan yang bertentangan
dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 15
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
2. Struktur upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai yang tertinggi
atau dari yang tertinggi sampai yang terendah.
3. Skala upah adalah kisaran nilai nominal upah untuk setiap kelompok jabatan.
4. Jabatan adalah sekumpulan pekerjaan dalam organisasi perusahaan.
5. Analisa jabatan adalah proses metoda secara sistimatis untuk memperoleh data jabatan,
mengolahnya menjadi informasi jabatan yang dipergunakan untuk berbagai
kepentingan program kelembagaan, ketatalaksanaan dan Manajemen Sumber Daya
Manusia.
6. Uraian jabatan adalah ringkasan aktivitas-aktivitas yang terpenting dari suatu jabatan,
termasuk tugas dan tanggung jawab dan tingkat pelaksanaan jabatan tersebut;
7. Evaluasi jabatan adalah proses menganalisis dan menilai suatu jabatan secara
sistimatik untuk mengetahui nilai relatif bobot jabatan-jabatan dalam suatu organisasi.
8. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya ;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
9.
dalam bentuk lain.
Pasal 2
Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dalam penetapan upah pekerja/buruh
diperusahaan.
Pasal 3
Dalam penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
dilaksanakan melalui :
a. analisa jabatan;
b. uraian jabatan;
c. evaluasi jabatan;
Pasal 4
Dalam melakukan analisa, uraian dan evaluasi jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 diperlukan data/informasi
a. bidang usaha dari perusahaan yang bersangkutan;
b. tingkat teknologi yang digunakan;
c. struktur organisasi;
d. manajemen perusahaan.
Pasal 5
(1) Analisa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, merumuskan jabatan-
jabatan baik tenaga pelaksana, non manajerial, maupun manajerial dalam suatu
perusahaan.
(2) Analisa jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan menghasilakan uraian
jabatan dalam organisasi perusahaaan meliputi :
a. identifikasi jabatan;
b. ringkasan tugas;
c. rincian tugas;
d. spesifikasi jabatan termasuk didalamnya :
d.1. pendidikan;
d.2. pelatihan/kursus;
d.3. pengalaman kerja;
d.4. psikologi (bakat kerja, tempramen kerja dan minat kerja);
d.5. masa kerja;
e. hasil kerja;
f. tanggung jawab.
Pasal 6
(1) Evaluasi jabatan berfungsi untuk mengukur dan menilai jabatan yang tertulis dalam
uraian jabatan dengan metoda tertentu.
(2) Faktor-faktor yang diukur dan dinilai dalam evaluasi jabatan antara lain :
a. tanggung jawab;
b. andil jabatan terhadap perusahaan;
c. resiko jabatan;
d. tingkat kesulitan jabatan;
(3) Hasil evaluasi jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan antara lain :
a. penetapan upah;
b. penilaian pekerjaan;
c. penetapan kebijakan pengembangan sumber daya manusia perusahaan.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
(1) Skala ganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, dapat berbentuk
skala ganda berurutan dan skala tumpang tindih.
(2) Dalam hal skala ganda berurutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), upah
tertinggi pada golongan jabatan dibawahnya lebih kecil dari upah terendah pada
golongan jabatan diatasnya.
Pasal 10
(1) Petunjuk teknis penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana terlampir
merupakan pedoman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.
(2) Penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi
dan mempertimbangkan kondisi perusahaan.
Pasal 11
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April
2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK
INDONESIA
Lampiran : Petunjuk Teknis Penyusunan Struktur dan Skala Upah (format PDF)
KEPMEN NO. 102 TH 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1.
1. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam
1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 5 (lima) harikerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu
kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang
ditetapkan Pemerintah.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
4. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
6. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerja dan/ atau
jasa yang telah atau akan dilakukan.
7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
(1) Pengaturan waktu kerja lembur berlaku untuk semua perusahaan, kecuali bagi
perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu.
(2) Perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur tersendiri dengan Keputusan Menteri.
Pasal 3
(1) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari
libur resmi.
Pasal 4
Perhitungan upah kerja lembur berlaku bagi semua perusahaan, kecuali bagi
perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 6
(1) Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan
persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Perintah tertulis dan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang
ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.
(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar
pelaksanaan kerja lemb ur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur
dan lamanya waktu kerja lembur.
Pasal 7
(2) Pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
tidak boleh diganti dengan uang.
Pasal 8
Pasal 9
(1) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan
besarnya upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi
pekerja/buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau
dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu.
(2) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah
sebulan adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
(3)Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata
selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah
minimum setempat.
Pasal 10
(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar
perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak
tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh
puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75
% (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.
Pasal 11
Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang
nilainya lebih baik dari Keputusan Menteri ini, maka perhitungan upah lembur
tersebut tetap berlaku.
Pasal 13
(1) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur, maka
yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pengawas
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
(2) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka dapat meminta
penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Provinsi.
(3) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada
perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1(satu)
Provinsi yang sama, maka yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur
adalah pengawas ketenagakerjaan Provinsi.
(4) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat meminta
penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.
Pasal 14
Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada
perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Provinsi, maka yang berwenang
menetapkan besarnya upah lembur adalah Pengawas Ketenagakerjaan Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 15
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2004
MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Waktu Kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan pada satu
periode tertentu.
2. Waktu Kerja Lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja atau 8
(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja.
3. Upah Kerja Lembur adalah upah yang harus dibayar kepada pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan lebih dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja.
4. Periode Kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk melakukan
pekerjaan.
5. Daerah tertentu adalah daerah operasi kegiatan perusahaan sektor Energi dan
Sumber Daya Mineral di daerah terpencil dan atau lepas pantai.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
7. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
8. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
(1) Perusahaan di bidang Energi dan Sumber Daya Mineral termasuk perusahaan jasa
penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat memilih dan
menetapkan salah satu dan atau beberapa waktu kerja sesuai dengan kebutuhan
operasional perusahaan sebagai berikut:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk
waktu kerja 6 (enam) hari dalam 1 (satu) minggu;
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk waktu kerja 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu;
c. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 45 (empat puluh lima) jam
dalam 5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
d. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 50 (lima puluh) jam dalam 5
(lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
e. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 55 (lima puluh lima) jam dalam
5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
f. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 63 (enam puluh tiga) jam
dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
g. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 70 (tujuh puluh) jam dalam 7
(tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
h. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 77 (tujuh puluh tujuh) jam
dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
i. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 90 (sembilan puluh) jam dalam
10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
j. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 100 (seratus) jam dalam 10
(sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
k. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 110 (seratus sepuluh) jam
dalam 10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
l. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 126 (seratus dua puluh enam)
jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
m. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 140 (seratus empat puluh) jam
dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
n. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 154 (seratus lima puluh empat)
jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf n,
tidak termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya selama 1 (satu) jam.
(3) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n,
sudah termasuk waktu kerja lembur tetap sebagai kelebihan 7 (tujuh) jam 1 (satu)
hari.
Pasal 3
Pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Pasal 4
(1) Perusahaan dapat melakukan pergantian dan atau perubahan waktu kerja dengan
memilih dan menetapkan kembali waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1).
(2) Pergantian dan atau perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) Dalam hal perusahaan akan melakukan perubahan waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka Pengusaha memberitahukan secara tertulis atas
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
Pasal 5
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b, wajib memberikan waktu istirahat sebagai berikut:
a. setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama 6 (enam) hari
dalam 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan 1 (satu) hari
istirahat.
b. setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama 5 (lima) hari
dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1(satu) minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan 2
(dua) hari istirahat.
(2) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, harus menggunakan perbandingan waktu
kerja dengan waktu istirahat 2 (dua) banding 1 (satu) untuk 1 (satu) periode kerja
dengan ketentuan maksimum 14 (empat belas) hari terus menerus dan istirahat
minimum 5 (lima) hari dengan upah tetap dibayar.
(3) Waktu yang dipergunakan pekerja/buruh dalam perjalanan dari tempat tinggal
yang diakui oleh Perusahaan ke tempat kerja adalah termasuk waktu kerja apabila
perjalanan memerlukan waktu 24 (dua puluh empat) jam atau lebih.
Pasal 6
Dalam hal perusahaan telah memilih dan menetapkan salah satu dan atau beberapa
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ternyata pekerja/buruh
dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, maka perusahaan wajib membayar upah
sesuai dengan waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan.
Pasal 7
Dalam hal perusahaan memilih dan menetapkan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b, dan mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi, maka perusahaan
wajib membayar upah kerja lembur.
Pasal 8
Dalam hal hari libur resmi jatuh pada satu periode kerja yang telah dipilih dan
ditetapkan oleh Perusahaan berdasarkan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, maka hari libur resmi tersebut dianggap
hari kerja biasa.
Pasal 9
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b wajib membayar upah kerja lembur sebagai berikut :
a. apabila kerja lembur dilakukan pada hari biasa, maka :
a.1. Untuk jam kerja lembur pertama selebihnya 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja wajib dibayar upah kerja lembur
sebesar 1,5 (satu setengah) x upah sejam.
a.2. Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya, wajib dibayar upah kerja
lembur sebesar 2 (dua) X upah sejam.
b. apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan hari libur
resmi, maka:
b.1. untuk setiap jam dalam batas 7 (tujuh) jam, wajib dibayar upah kerja
lembur sekurang-kurangnya 2 (dua) x upah sejam;
b.2. untuk jam kerja pertama selebihnya 7 (tujuh) jam, wajib dibayar upah
kerja lembur sebesar 3 (tiga) x upah sejam;
b.3. untuk jam kerja kedua selebihnya 7 (tujuh) jam dan seterusnya, wajib
dibayar upah kerja lembur sebesar 4 (empat) x upah sejam.
Pasal 10
(1) Perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada upah bulanan.
(2) Upah sejam dihitung 1/173 (satu perseratus tujuh puluh tiga) dari upah sebulan.
Pasal 11
(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka dasar
perhitungan upah kerja lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak
tetap, maka perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada hasil perhitungan
yang lebih besar antara 100% (seratus perseratus) upah pokok ditambah tunjangan
tetap, atau 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah keseluruhan.
Pasal 12
Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, wajib membayar upah kerja lembur setelah
a. untuk waktu kerja 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3 ½ (tiga setengah) x upah sejam;
b. untuk waktu kerja 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5 ½ (lima setengah) x upah sejam;
c. untuk waktu kerja 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 7 ½ (tujuh setengah) x upah sejam.
Pasal 13
(1) Perusahaan yang mengunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
harus melaporkan pelaksanaannya 3 (tiga) bulan sekali kepada Instansi yang
Pasal 14
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor : KEP-64/MEN/1997 tentang Waktu Kerja Waktu Istirahat dan Perhitungan Upah
Lembur Pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi di
Daerah Lepas Pantai atau Daerah Operasi Tertentu dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 15
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JACOB NUWA WEA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2003
TENTANG
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, dan
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
dan
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Juli 2003
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Menghadapi pergeseran nilai dan tata kehidupan para pelaku industri dan
perdagangan, pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil
langkah-langkah antisipatif serta mampu menampung segala perkembangan yang
terjadi. Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan
ketenagakerjaaan harus terus dilakukan agar peraturan perundang-undangan
dapat dilaksanakan secara efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan.
Dengan demikian pengawasan ketenagakerjaan sebagai suatu sistem
mengemban misi dan fungsi agar peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan dapat ditegakkan.
12. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib memberikan
laporan terhadap pelaksanaan Konvensi tersebut.
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara terjemahan Konvensi dalam
bahasa Indonesia dengan salinan naskah aslinya, maka yang berlaku adalah
salinan naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris.
Pasal 2
Cukup jelas.
TENTANG
Menimbang :
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2),
dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan?ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3316);
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3327)
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
DAN
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah
Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan
terhadap perselisihan hubungan industrial.
21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih
dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai
mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
dimulainya perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya- upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas.
(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan
kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase.
(4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang
bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial.
Pasal 6
(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat
risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Pasal 7
(2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan
menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan
oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan
Perjanjian Bersama.
(4) Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
(5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar
untuk mendapat penetapan eksekusi.
(6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka
pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
Pasal 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di
setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
(1) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 12
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus
ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 13
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum
pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka:
Pasal 14
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau
salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 15
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata
kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Pasal 17
Pasal 21
(1) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industria l berdasarkan undang-undang ini, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus
ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 23
Pasal 24
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak
atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Pasal 25
Pasal 26
Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri
atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 28
Bagian Keempat
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakan hukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti
ujian arbitrase; dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-
kurangnya 5 (lima) tahun.
(2) Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran
arbiter diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 32
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas
dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2) Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat
perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing
pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum
yang sama.
(3) Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan
kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak
yang berselisih.
Pasal 33
(1) Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih
arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa
arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tungga l, maka para
pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
(4) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis)
dalam jumlah gasal, masing- masing pihak berhak memilih seorang arbiter
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga
ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat- lambatnya
7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
(5) Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan secara tertulis.
(6) Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal
maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua
Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh
Menteri.
(7) Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan
kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi
kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(8) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak mengenai
penerimaan penunjukannya secara tertulis.
Pasal 34
(1) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang
berselisih.
Pasal 36
(1) Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka
para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
(2) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau
meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada
pihak yang memilih arbiter.
(3) Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri
atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti
berdasarkan kesepakatan para arbiter.
(4) Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk arbiter pengganti
dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja.
(5) Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau
salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan
Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan
harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu selambat- lambatnya 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan penggantian arbiter.
Pasal 37
Pasal 38
(1) Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase
dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup
alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter
akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam
mengambil putusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti
adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau
kuasanya.
(3) Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan
perlawanan.
Pasal 39
(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan
kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter
yang bersangkutan.
(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan
kepada majelis arbiter yang bersangkutan.
Pasal 40
(1) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter.
(2) Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian
penunjukan arbiter.
(3) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang
jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali
perpanjangan selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
Pasal 41
Pasal 42
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya
dengan surat kuasa khusus.
Pasal 43
(1) Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa
suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut,
maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan
arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
(2) Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu
pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk
itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa
perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau
kuasanya.
(3) Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian
penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau
majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut tidak
dapat diminta kembali oleh para pihak.
Pasal 44
(2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka
arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang
ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis
arbiter.
(3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter
mengadakan perdamaian.
(4) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dilakukan sebagai berikut :
b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta
Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
(5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal,
arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
Pasal 45
Pasal 46
(1) Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau
seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.
(2) Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib
mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing- masing.
(4) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada
pihak yang meminta.
(5) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta oleh
arbiter dibebankan kepada para pihak.
Pasal 47
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter
guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang- undang ini wajib memberikannya, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan
alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya
putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) harus dicantumkan dalam putusan.
(4) Dalam putusan, ditetapkan selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja
harus sudah dilaksanakan.
Pasal 51
(1) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak
yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
(2) Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter
menetapkan putusan.
(3) Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan
untuk dijalankan.
(4) Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan
didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
Pasal 52
(1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat- lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan
diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan,
Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase.
(3) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.
Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui
arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 54
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun
atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat
dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.
BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umu m
Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan peradilan umum.
Pasal 56
Pengadilan Hub ungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus:
Pasal 63
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan
Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh
Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul
serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
(3) Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc
Hubungan Industrial kepada Presiden.
Pasal 64
Pasal 65
(1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:
?Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang- undang serta peraturan
lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan
akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku?.
(2) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat
yang ditunjuk.
Pasal 66
(1) Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:
(2) Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 68
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaanya tanpa alasan
yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 69
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat
(2).
Pasal 70
(1) Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan
dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia.
(2) Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur
serikat pekerja/serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi
pengusaha.
Pasal 71
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada
Hakim dan Hakim Ad-Hoc.
(2) Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sekurang-
kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis
perselisihan.
Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang,
penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
Pasal 77
(1) Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan
pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang- undangan yang
berlaku.
Pasal 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita
Acara.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh
Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal 80
(1) Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya
yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2) Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub
Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf 1
Pengajuan Gugatan
Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja.
Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu)
tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.
Pasal 83
(1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi
atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengembalikan gugatan kepada pengugat.
(2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan,
hakim meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya.
Pasal 84
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif
dengan memberikan kuasa khusus.
Pasal 85
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan
gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan
Industrial hanya apabila disetujui tergugat.
Pasal 86
Pasal 87
Pasal 88
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim
yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua)
orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan
memutus perselisihan.
(2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang
Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat
buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
(3) Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 89
(1) Dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang
pertama.
(2) Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat
tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di
tempat kediaman terakhir.
(3) Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat
tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala
Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
(4) Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui
orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal,
maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung
Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal 90
(1) Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di
persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di
bawah sumpah.
Pasal 91
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 92
Pasal 93
(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim
menetapkan hari sidang berikutnya.
(2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penundaan.
(3) Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan
sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal 94
(1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap
Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat
berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
(2) Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara
patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap
Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus
perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal 95
(1) Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim
menetapkan lain.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib
persidangan.
(3) Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah
Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Pasal 96
(1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha
terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 155 ayat (3) Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan
Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-
hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada
hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan
Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh
pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah
Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan
dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 97
Paragraf 3
Pasal 98
(1) Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang
cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan
permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak
dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat.
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri
mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya
permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
digunakan upaya hukum.
Pasal 99
(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1)
dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa
melalui prosedur pemeriksaan.
(2) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-
masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
Paragraf 4
Pengambilan Putusan
Pasal 100
Pasal 101
(1) Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera
Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang
tidak hadir tersebut.
(3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai
putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Pasal 102
(1) Putusan Pengadilan harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: ?DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA?;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat
kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemo hon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang
jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang
terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus,
nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para
pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat- lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung
sejak sidang pertama.
Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus
sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam
sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani,
Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan
putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan
putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan
perlawanan atau kasasi.
Pasal 109
Pasal 110
Bagian Kedua
Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim
Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan
industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada
Mahkamah Agung selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan kasasi.
BAB V
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 116
Pasal 117
Pasal 118
Pasal 119
Pasal 120
(1) Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap
sebagai arbiter dalam hal:
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase
perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah
mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan
arbiter tersebut;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak
3 (tiga) kali.
(2) Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan
perselisihan yang sedang ditanganinya.
Pasal 121
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118,
Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 122
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan
atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 123
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha- usaha sosial dan
usaha- usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya
diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
(1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan
fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
(2) Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-
undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja
yang telah diajukan kepada:
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-
lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka
diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau
lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan
putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-
lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka
diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau
lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang ditolak
dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan
tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari,
maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 125
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaia n
Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b. Undang- undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-
undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-
undang ini.
Pasal 126
Undang?undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
Perundang- undangan,
ttd/cap
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN
TENTANG
I. UMUM
Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang
diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh,
maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan tidak dapat
dibatasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan
ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh
yang pada umumnya berkaitan dengan masalah keanggotaan dan
keterwakilan di dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan
penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak
dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi,
karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk
menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur
penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif,
sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh
secara perseorangan belum terakomodasi.
Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan P4P
sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh
pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan
menjadi semakin panjang.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang
berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.
Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak
tanpa dicampuri oleh pihak manapun.
Pasal 1
Angka 1 s.d 21
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif,
yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah
perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan
pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat
pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain
dalam satu perusahaan yang berselisih.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam pasal ini memberikan kebebasan bagi pihak yang
berselisih untuk secara bebas memilih cara penyelesaian
perselisihan yang mereka kehendaki.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Oleh karena mediator adalah seorang pegawai negeri sipil, maka selain syarat-
syarat yang ada dalam pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang
mengatur tentang pegawai negeri sipil pada umumnya.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Saksi ahli yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang
mempunyai keahlian khusus di bidangnya termasuk Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup Jelas.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pasal 37
Yang dimaksud dengan menerima hasil- hasil yang telah dicapai bahwa
arbiter pengganti terikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin
dalam risalah kegiatan penyelesaian perselisihan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini adalah kuasa yang
diberikan oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi kuasa kepada
seseorang atau lebih selaku kuasanya untuk mewakili pemberi kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum dan tindakan lainnya yang berkaitan dengan
perkaranya yang dicantumkan secara khusus dalam surat kuasa.
Pasal 43
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kata ?segera? dalam ayat ini adalah bahwa
dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah undang-undang ini berlaku.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Huruf d.
Cukup jelas.
Huruf e.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 92
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Dengan ketentuan ini berarti jangka waktu membuat putusan asli dan
salinan putusan dibatasi selama 14 (empat belas) hari kerja agar tidak
merugikan hak para pihak.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Yang dimaksud dengan Pengadilan Negeri setempat dalam pasal ini adalah
Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
TENTANG
SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
Menimbang :
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (2), pasal 27, dan pasal 28 Undang-
undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi
Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 mengenai Berlakunya
Dasar-Dasar daripadanya Hak Untuk Berorganisasi dan untuk Berunding
Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1050) ;
3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3886);
Dengan Persetujuan
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja dan
buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
2. Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh
yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di
satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
3. Serikat pekerja/serikat buruh diluar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat
buruh yang didirikan oleh pekerja/buruh yang bekerja diluar perusahaan.
4. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat
buruh.
5. Konferensi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk yang lain.
7. Pengusaha adalah :
a. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
perusahaan milik sendiri;
b. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
8. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun
milik negara, yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau
imbalan dalam bentuk yang lain.
9. Perselisihan antar serikat pekerja/antar serikat buruh, federasi dan konferensi
serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konferensi serikat pekerja/serikat buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konferensi serikat pekerja/serikat buruh lain,
karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan serta
pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerja.
10. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
BAB III
PEMBENTUKAN
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan
kehendak pekerja/buruh.
Pasal 11
BAB IV
KEANGGOTAAN
Pasal 12
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus
terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa,
dan jenis kelamin.
Pasal 13
Pasal 14
1. Seorang pekerja /buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat
pekerja/serikat buruh disatu perusahaan.
2. Dalam hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada
lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, yang bersangkutan harus
menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/serikat buruh yang dipilihnya.
Pasal 15
Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu
menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak
boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh diperusahaan yang bersangkutan.
Pasal 16
1. Setiap serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari satu
federasi serikat pekerja/serikat buruh.
2. Setiap federasi serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari
satu konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 17
BAB V
Pasal 18
Pasal 19
Nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang akan diberitahukan tidak boleh sama dengan nama dan
lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah tercatat terlebih dahulu.
Pasal 20
Pasal 21
Dalam hal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga, pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
memberitahukan kepada instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga tersebut.
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Ketentuan mengenai tata cara pencatatan diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri.
BAB VI
Pasal 25
1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan
usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
berafiliasi dan/atau bekerja sama dengan serikat pekerja/serikat buruh internasional
dan/atau organisasi internasional lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban :
BAB VII
Pasal 28
BAB VIII
Pasal 30
a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran
rumah tangga;
b. hasil usaha yang sah; dan
c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.
Pasal 31
1. Dalam hal bantuan pihak lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c,
berasal dari luar negeri, pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan secara tertulis
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk meningkatkan
kualitas dan kesejahteraan anggota.
Pasal 32
Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi
pengurus dan anggotanya.
Pasal 33
Permintaan atau pengalihan keuangan dan harta kekayaan kepada pihak lain serta
investasi dana dan usaha lain yang sah hanya dapat dilakukan menurut anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Pasal 34
BAB IX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 35
Setiap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh diselesaikan secara musyawarah oleh serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Pasal 36
BAB X
PEMBUBARAN
Pasal 37
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bubar
dalam hal :
Pasal 38
Pasal 39
BAB XI
PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN
Pasal 40
Untuk menjamin hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja/serikat buruh
melaksanakan kegiatannnya, pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan
pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 41
Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagekerjaan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak
pidana.
BAB XII
SANKSI
Pasal 42
1. Pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal
21 atau Pasal 31 dapat dikenakan sanksi administratif pencabutan nomor bukti
pencatatan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang dicabut nomor bukti pencatatan kehilangan haknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, dan c sampai dengan waktu serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal
7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal 31.
Pasal 43
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 44
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Pasal 46
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penetapannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
MEMUTUSKAN :
Dengan mencabut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan
Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor
471);
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG WAJIB LAPOR KETENAGA KERJAAN DIPERUSAHAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjkan buruh dengan tujuan mencari
keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara.
b. Pengusaha adalah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri.
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan
bukan miliknya.
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar Indonesia.
c. Pengurus adalah orang yang ditunjuk untuk memimpin suatu perusahaan;
d. Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dengan menerima upah;
e. Mendirikan perusahaan adalah sejak perusahaan itu melakukan kegiatan fisik perusahaan dan
atau memperoleh izin;
f. Menghentikan perusahaan adalah menghentikan kegiatan usaha perusahaan tidak lebih dari
satu ta hun akan tetapi bukan bermaksud untuk membubarkan baik karena kemauan sendiri
maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g. Menjalankan kembali perusahaan adalah mulai menjalankan kembali kegiatan perusahaan
setelah dihentikan sebelumnya;
h. Memindahkan perusahaan adalah memindahkan tempat kedudukan dan atau lokasi
perusahaan, atau mengalihkan pemiliknya;
i. Membubarkan perusahaan adalah menghentikan kegiatan perusahaan untuk selama-lamanya;
j. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang ketenaga kerjaan.
Pasal 2
Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan diperlakukan sama dengan
perusahaan apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya
perusahaan mempekerjakan buruh.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 3
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) merupakan bahan
informasi resmi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan di bidang ketenaga kerjaan.
BAB III
KEWAJIBAN MELAPORKAN DAN SYARAT-SYARATNYA
Pasal 4
(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan,
menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Jika suatu perusahaan mempunyai kantor cabang atau bagian yang berdiri sendiri, kewajiban
yang ditetapkan dalam ayat (1) berlaku terhadap masing-masing kantor cabang atau bagian
yang berdiri sendiri itu.
Pasal 5
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4, Menteri mengatur lebih lanjut tentang pentahapan
perusahaan-perusahaan yang dikenakan wajib lapor.
Pasal 6
(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang
ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan,
menjalankan kembali atau memindahkan perusahaan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan :
a. identitas perusahaan;
b. hubungan ketenaga kerjaan;
c. perlindungan tenaga kerja;
d. kesempatan kerja.
(3) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengatur lebih lanjut perincian keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 7
(1) Setelah menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pengusaha atau
pengurus wajib melaporkan setiap tahun secara tertulis mengenai ketenaga kerjaan kepada
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Ketentuan Pasal 6 ayat (2) berlaku pula untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Pasal 8
(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang
ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum memindahkan,
menghentikan atau membubarkan perusahaan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan:
a. nama dan alamat perusahaan atau bagian perusahaan;
b. nama dan alamat pengusaha;
c. nama dan alamat pengurus perusahaan;
d. tanggal memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan;
e. alasan-alasan pemindahan, penghentian atau pembubaran perusahaan;
f. Kewajiban-kewajiban yang telah dan akan dilaksanakan terhadap buruhnya, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian kerja, perjanjian perburuhan dan
kebiasaan-kebiasaan setempat;
g. jumlah buruh yang akan diberhentikan.
BAB IV
TATACARA PELAPORAN
Pasal 9
Menteri mengatur tatacara laporan dan menetapkan bentuk laporan yang memuat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 8 ayat (2).
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 10
(1) Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 13 diancam dengan pidana
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- .(satu
juta rupiah).
(2) Dalam pengulangan pelanggaran untuk kedua kali atau lebih setelah putusan yang terakhir
tidak dapat diubah lagi, maka pelanggaran tersebut hanya dijatuhkan pidana kurungan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelanggaran.
Pasal 11
(1) Jika perbuatan sebagaitnana dimaksud dalarn Pasal 10 dilakukan oleh suatu persekutuan
atau suatu badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap
pengurus dari persekutuan atau pengurus badan hukum itu.
(2) Ketentuan ayat (1) berlaku pula terhadap persekutuan atau badan hukum lain yang bertindak
sebagai pengurus dari suatu persekutuan atau badan hukum lain itu.
(3) Jika pengusaha atau pengurus perusahaan sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan ayat (2)
berkedudukan di luar wilayah Indonesia, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana dijatuhkan
terhadap wakilnya di Indonesia.
Pasal 12
Selain dari pegawai penyidik umum, maka kepada pegawai pengawas perburuhan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tenta ng Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948, diberikan juga wewenang untuk
melakukan penyidikan atas pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan
peraturan pelaksanaannya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
(1) Perusahaan yang telah dilaporkan dan perusahaan yang belum dikenakan wajib lapor
berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib
melaporkan keadaan ketenaga kerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 3
(tiga) bulan sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
(2) Perusahaan yang telah didirikan tetapi belum dilaporkan berdasarkan Undang-undang Nomor
23 Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan keadaan ketenaga kerjaan di
perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Dengan dindangkannya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 15
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari ke 60 (enam puluh) sesudah hari pengundangannya.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
Lampiran :
Bentuk Laporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat 2
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NO: PER-14/MEN/IV/2006
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
a. Pengusaha adalah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan
sesuatu perusahaan milik sendiri;
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
Pasal 3
Pasal 4
Dalam hal pada Kabupaten/Kota belum terdapat fasilitas yang dapat
mengakses data elektronik dari Basis Data Wajib Lapor
Ketenagakerjaan Di Perusahaan, maka laporan sebagaimana
dimaksud pasal 2 ayat (1) disampaikan kepada instansi yang
membidangi ketenagakerjaan di kabupaten/kota tempat unit
perusahaan berada baik kantor pusat, cabang maupun bagian
perusahaan yang berdiri sendiri, dengan tembusan kepada pimpinan
instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Propinsi dan kepada
Menteri secara tertulis.
Pasal 5
Pasal 6
Perusahaan yang telah melaporkan keadaan ketenagakerjaan
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I.
Nomor Per. 06/MEN/1995. tentang Tata Cara Pelaporan
Ketenagakerjaan, sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan
dinyatakan berlaku sampai dengan kewajiban melapor pada tahun
berikutnya.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 April 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ERMAN SUPARNO
Nomor Klasifikasi
I.L.O: ................
II. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 April 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ERMAN SUPARNO
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG TUNJANGAN
JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS
KETENAGAKERJAAN, PERANTARA HUBUNGAN
INDUSTRIAL, DAN PENGANTAR KERJA.
Pasal 1
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan,
yang selanjutnya disebut dengan Tunjangan Pengawas
Ketenagakerjaan adalah tunjangan jabatan fungsional yang
diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan
ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Tunjangan Jabatan Fungsional Perantara Hubungan Industrial,
yang selanjutnya disebut dengan Tunjangan Perantara
Hubungan Industrial adalah tunjangan jabatan fungsional yang
diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan
ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Perantara
Hubungan Industrial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Tunjangan Jabatan Fungsional Pengantar Kerja, yang
selanjutnya disebut dengan Tunjangan Pengantar Kerja adalah
tunjangan jabatan fungsional yang diberikan kepada Pegawai
Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam
Jabatan Fungsional Pengantar Kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
(1) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Pengawas
Ketenagakerjaan, diberikan Tunjangan Pengawas
Ketenagakejaan setiap bulan.
(2) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Perantara Hubungan
Industrial, diberikan Tunjangan Perantara Hubungan Industrial
setiap bulan.
(3) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Pengantar Kerja,
diberikan Tunjangan Pengantar Kerja setiap bulan.
Pasal 3
(1) Besarnya Tunjangan Pengawas Ketenagakerjaan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden ini.
(2) Besarnya Tunjangan Perantara Hubungan Industrial,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden
ini.
(3) Besarnya Tunjangan Pengantar Kerja, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Keputusan Presiden ini.
Pasal 4
Pemberian Tunjangan Pengawas Ketenagakerjaan, Tunjangan
Perantara Hubungan Industrial, dan Tunjangan Pengantar Kerja
dihentikan apabila Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, diangkat dalam jabatan struktural atau dalam
jabatan fungsional lain atau karena hal lain yang mengakibatkan
pemberian tunjangan dihentikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan
Keputusan Presiden ini diatur oleh Menteri Keuangan dan/atau
Kepala Badan Kepegawaian Negara, baik secara bersama-sama
maupun sendiri-sendiri menurut bidang tugasnya masing- masing.
Pasal 6
Denga n berlakunya Keputusan Presiden ini, maka ketentuan yang
mengatur mengenai tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Nomr 31 Tahun 1993 tentang Tunjangan Penilai Pajak
Bumi dan Bangunan, Pemeriksa Bea dan Cukai, Pengawas
Ketenagakerjaan, Pengamat Meteorologi dan Geofisika, Penyuluh
Kehutanan, Juru Penerang, Pekerja Sosial, dan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan
aslinya
SEKRETARIAT
KABINET RI
Edy Sudibyo
LAMPIRAN I
JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Pengawas Ketenagakerjaan Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 400.000,00
Ahli Madya
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 300.000,00
Muda
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 200.000,00
Pertama
2 Pengawas Ketenagakerjaan Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 225.000,00
Terampil Penyelia
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 175.000,00
Pelaksana Lanjutan
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 125.000,00
Pelaksana
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Edy Sudibyo
LAMPIRAN II
JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Perantara Hubungan Perantara Hubungan Rp. 400.000,00
Industrial Ahli Industrial Madya
Perantara Hubungan Rp. 200.000,00
Industrial Pertama
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Edy Sudibyo
LAMPIRAN III
JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Pengantar Kerja Ahli Pengantar Kerja Madya Rp. 400.000,00
Pengantar Kerja Muda Rp. 300.000,00
Pengantar Kerja Pertama Rp. 200.000,00
2 Pengantar Kerja Terampil Pengantar Kerja Penyelia Rp. 225.000,00
Pengantar Kerja Pelaksana Rp. 175.000,00
Lanjutan
Pengantar Kerja Pelaksana Rp. 125.000,00
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Edy Sudibyo
LAMPIRAN II
_________________________________________________________________
Tentang:PERLINDUNGAN UPAH
Menimbang :
a.bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu disusun suatu
peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang- undang Nomor
14 Tahun 1969;
b.bahwa sebagai pelaksanaan tersebut huruf a dipandang perlu mengatur
perlindungan upah dalam suatu Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan
berakhir pada saat hubungan kerja putus.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
(4)Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak
dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah
menurut agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3
(tiga) bulan.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Bila upah tidak ditetapkan berdasarkan suatu jangka waktu, maka untuk
menghitung upah sebulan ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 3 (tiga)
bulan terakhir diterima oleh buruh.
Pasal 10
(1)Upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang *19950
telah ditentukan sesuai dengan perjanjian.
(4)Surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk
satu kali pembayaran.
Pasal 11
BAB II
BENTUK UPAH
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
BAB III
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
(1)Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai
hari kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar,
upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) untuk tiap
keterlambatan. Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1% (satu
persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan
itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (limapuluh persen)
dari upah yang seharusnya dibayarkan.
BAB IV
Pasal 20
(1)Denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal
itu diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan
perusahaan.
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
(1)Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi
kerusakan barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun
milik pihak ketiga oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian.
BAB V
Pasal 24
a.denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23;
b.sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan
perjanjian tertulis; *19953 c.uang muka atas upah, kelebiban upah yang
telah dibayarkan dan cicilan hutang buruh kepada pengusaha, dengan
ketentuan harus ada tanda bukti tertulis.
Pasal 25
Pasal 27
Pasal 28
Bila buruh jatuh pailit, maka upah dan segala pembayaran yang timbul
dari hubungan kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan
lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi 25% (duapuluh lima
persen).
Pasal 29
Pasal 30
Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.
Pasal 32
Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22,
disamping perbuatan tersebut batal menurut hukum juga dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
Pasal 33
Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri yang dengan sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya
sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan
selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp.
100.000,- (seratus ribu rupiah).
Pasal 34
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pisal 32, dan Pasal
33 adalah pelanggaran.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pasal 36
SOEHARTO
SUDHARMONO, SH
Pasal 1
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1) Bahwa azas tidak bekerja tidak dibayar tidak sewajarnya untuk
diterapkan secara mutlak. Oleh karena itu bagi buruh yang tidak dapat
melakukan pekerjaan karena alasan tersebut a dan b upah tersebut masih
harus diberikan. Akan tetapi pembayaran upah yang demikian tidak dapat
dilakukan secara penuh dan terus menerus, karena itu perlu ditetapkan
jumlah serta jangka waktunya. Pengertian sakit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) a, tidak termasuk sakit karena kecelakaan kerja
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang
Kecelakaan Kerja.
*19957 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1) Buruh sebagai warga negara tidak terlepas dari kemungkinan
untuk memikul tugas dan kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah,
misalnya wajib militer, tugas-tugas dalam penyelenggaraan Pemilihan
Umum, serta tugas dan kewajiban lainnya yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2). Pembayaran kekurangan gaji atau upah dimaksudkan agar tidak
menjadi beban yang berat bagi buruh dan keluarganya disatu pihak dan
pengusaha dilain pihak.
Ayat (4) Dengan mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh
yang menjalankan ibadah menur ut agamanya lebih diri 3 (tiga) bulan dan
dalam menjalankan ibadah tersebut lebih dari 1 (satu) kali, pengusaha
tidak diwajibkan membayar upahnya.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Ayat (1) sampai dengan ayat (5) Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan
agar pembayaran upah tidak jatuh kepada orang yang tidak berhak. Oleh
*19958 karena itu pembayaran upah melalui pihak ketiga harus
menggunakan surat kuasa. Pengertian buruh yang belum dewasa diartikan
baik buruh laki- laki maupun perempuan yang telah berusia 14 (empat
belas) tahun akan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1) dan ayat (2) Untuk menuju kearah sistim pembayaran upah
bersih, maka upah harus dibayar dalam bentuk uang. Prinsip tersebut
diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya secara bebas
sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya. Penerapan prinsip
tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan
sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi
atau barang yang mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Jika upah ditetapkan menurut hasil pekerjaan maka pembayarannya sesuai
dengan ketentuan Pasal 17, dengan ketentuan besarnya upah disesuaikan
dengan hasil pekerjaannya.
Pasal 19
Pasal 20
Ayat (1) sampai dengan ayat (4) Yang dimaksud dengan pelanggaran
sesuatu hal dalam ayat (1) adalah pelanggaran terhadap
kewajiban-kewajiban *19959 buruh yang telah ditetapkan dalam
perjanjian tertulis antara pengusaha dan buruh.
Pasal 21
Ayat (1) dan ayat (2) Penggunaan uang denda sama sekali tidak boleh
untuk kepentingan pribadi pengusaha baik langsung ataupun tidak,
melainkan untuk kepentingan buruh, misalnya untuk dana buruh. Cara
penggunaan uang denda ini harus juga ditetapkan dalam surat perjanjian
atau peraturan perusahaan.
Pasal 22
Pasal 23
Ayat (1) dan ayat (2) Kerugian lainnya dapat terdiri dari kerugian
material atau ekonomis.
Pasal 24
Ayat (1) sampai dengan ayat (4) Pembatasan perhitungan tidak boleh
lebih dari 50% (limapuluh persen) dimaksudkan, agar buruh tidak
kehilangan semua upah yang diterimanya. Kemungkinan perhitungan dengan
upah buruh dapat terdiri dari denda, potongan, ganti rugi dan
lain- lain. Untuk menjamin kehidupan yang layak bagi buruh, maka
pengusaha harus mengusahakan sedemikian rupa sehingga jumlah
perhitungan tersebut tidak melebihi 50% (puluh persen).
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Pasal 29
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) *19960 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup
jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Cukup jelas.
--------------------------------
CATATAN
DICETAK ULANG
_________________________________________________________________
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP.261/MEN/XI/2004
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak , milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan.
5. Progam pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana pelatihan,
persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan penetapan kelulusan
peserta pelatihan.
6. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai denga standar yang
ditetapkan.
7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Biaya pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditanggung sepenuhnya oleh
perusahaan.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
FAHMI IDRIS
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005
TENTANG
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
ATAS HAK UJI MATERIL UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN
TERHADAP UNDANG - UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
3. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus
pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
perlu memperhatikan hal - hal sebagai berikut :
b. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat
melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal
160 Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003.
4. Dalam hal terdapat " alasan mendesak " yang mengakibatkan tidak
memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh
upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Demikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk dapat diketahui dan dipergunakan
sebagaimana mestinya.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
FAHMI IDRIS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN ISTIRAHAT BURUH
Menimbang:
bahwa antara istirahat tahunan tersebut dalam undang-undang kerja tahun 1948 Nomor 12 dari
Republik Indonesia, yang dengan undang-undang Nomor 1 tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun
1951 Nomor 2) telah dinyatakan untuk beberapa perusahaan tertentu.
Mengingat:
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang "Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja
Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia" (Lembaran Negara Tahun
1951 Nomor 2) serta pasal 98 Undang-Undang dasar Sementara Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERATURAN ISTIRAHAT TAHUNAN BAGI BURUH
Pasal 1
Antara istirahat tahunan tersebut dalam pasal 14 ayat 1 undang-undang kerja tahun 1948 seperti
dimuat dalam Lembaran negara Tahun 1951 Nomor 2, berlaku bagi buruh yang bekerja pada
perusahaan-perusahaan:
a. yang biasanya
1). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan paling sedikit 3 PK akan tetapi kurang
dari 4 PK dan mempunyai buruh 20 orang atau lebih;
2). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan paling sedikit 4 PK akan tetapi kurang
dari 5 PK dan mempunyai buruh 10 orang atau lebih;
3). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan 5 PK lebih;
4). mempunyai buruh 50 orang atau lebih.
b. lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Perburuhan dengan menyimpang dari ketentuan sub.a.
1). Buruh berhak atas istirahat tahunan tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12
bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi
majikan;
2). Lamanya waktu istirahat tahunan dihitung untuk tiap-tiap 23 hari bekerja dalam masa
kerja termaksud pada ayat 1, satu hari istirahat sampai paling banyak 12 hari kerja;
3). Hak atas istirahat tahunan termaksud ayat 1 dan ayat 2 gugur, bilamana dalam waktu
6 bulan setelah lahirnya hak itu, buruh ternyata tidak mempergunakan haknya bukan
karena alasan-alasan yang diberikan oleh majikan atau bukan karena alasan-alasan
istimewa, hal mana ditentukan oleh Kepala Jawatan Pengawasan Perburuhan.,
Pasal 3
(1). Untuk menghitung, lamanya waktu istirahat tahunan, dianggap pula sebagai hari bekerja,
hari-hari buruh tidak menjalankan pekerjaan karena:
a). istirahat berdasarkan peraturan ini atau berdasarkan pasal 13 ayat 1, 2 dan 3 dari
undang-undang kerja ;
b). mendapat kecelakaan berhubungan dengan hubungan kerja pada perusahaan itu;
c). sakit yang diberitahukan secara sah;
d). hal-hal yang selayaknya menjadi tanggungan majikan;
e). pemogokan yang sah;
f). alasan-alasan lain yang sah.
(2). Tidak dianggap sebagai hari kerja, hari-hari istirahat mingguan termaksud pada pasal-pasal
10 ayat 3 undang -undang kerja serta hari-hari termaksud pada pasal 11 undang -undang
kerja.
Pasal 4
(1). Selama istirahat tahunan buruh berhak atas upah penuh;
(2). Bila upahnya tidak tentu, sebagai upah harian diambil upah rata-rata dalam 6 bulan yang
mendahului, terhitung dari saat dimulainya istirahat tahunan;
(3). Bagi buruh harian upah itu dibayarkan sebelum istirahat tahunan dimulai;
Pasa l 5
(1). Saat dimulainya istirahat tahunan ditetapkan oleh majikan dengan memperhatikan
kepentingan buruh;
(2). Atas pertimbangan majikan, berhubung dengan kepentingan perusahaan yang nyata,
istirahat tahunan dapat diundurkan untuk selama-lamanya 6 bulan terhitung mulai saat
buruh berhak atas istirahat tahunan.
Pasa l 6
(1). Istirahat tahunan harus terus-menerus;
(2). Dengan persetujuan antara buruh dan majikan istirahat tahunan dapat dibagi dalam
beberapa bagian;
(3). Dalam hal demikian harus ada satu bagian dari sedikitnya 6 hari terus-menerus.
Pasal 7
(1). Bila hubungan kerja diputuskan:
a). oleh majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh;
b). oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh majikan;
Buruh berhak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan bila pada saat
diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikit-dikitnya 6 bulan
terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang terakhir;
(2). Dalam hal demikian jumlah hari istirahat dihitung menurut ukuran dari pasal 2 ayat 2 untuk
masa kerja termaksud pada ayat 1 pasal ini sedangkan jumlah pembayaran penggantian
sama dengan upah penuh untuk hari -hari itu.
Pasal 8
Majikan berwajib mengadakan dan memelihara daftar -daftar yang berhubungan dengan istirahat
tahunan menurut contoh/petunjuk yang akan ditetapkan oleh Kepala Jawatan Pengawasan
Perburuhan dari Kementrian Perburuhan.
Pasal 9
Bila perusahaan pindah tangan, maka dalam menjalankan peraturan ini, masa kerja pada majikan
lama dianggap sebagai masa kerja majikan baru.
Pasal 10
Peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang bekerja pada Pemerintah atau daerah otonomi.
Pasal 11
Peraturan ini tidak mengurangi perjanjian antara buruh dan majikan tentang istirahat tahunan yang
lebih menguntungkan buruh dari pada yang ditetapkan di sini.
Pasal 12
(1). Bila pada mulai berlakunya peraturan ini, buruh yang bersangkutan sudah mempunyai masa
kerja tertentu pada majikan yang sebelum peraturan ini berlaku, tidak memberikan istirahat
tahunan pada buruhnya, maka masa kerja itu dinilaikan menjadi 1/4 dan dibulatkan ke atas
menjadi bulan penuh sampai paling banyak 12 bulan dalam menghitung hak atas istirahat
tahunan;
(2). Dalam tiap-tiap bulan penuh dari masa kerja itu buruh dianggap telah bekerja 23 hari.
Pasal Penutup
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1954.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, m emerintahkan pengundangan Peraturan
pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 9 Maret 1954
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEKARNO
Diundangkan,
Pada Tanggal 16 Maret 1954
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
DJODI GONDOKUSUMO
MENTERI PERBURUHAN,
Ttd.
S.M. ABIDIN
UMUM
Istirahat tahunan (dengan upah penuh) memegang peranan penting dalam memulihkan kesehatan
dan tenaga buruh setelah terus menerus bekerja untuk waktu yang lama.
Pada perusahaan -perusahaan besar istirahat tahunan ini sudah lama merupakan suatu kelaziman,
tetapi untuk sebagian dari perusahaan kecil yang kebanyakan masih "arbeidsintensief"
pembayaran upah penuh tetap merupakan beban yang terasa berat untuk dipikul.
Berdasarkan kenyataan ini Pemerintah berpendapat bahwa aturan istirahat tahunan baru dapat
dinyatakan berlaku (secara terbatas) setelah Pemerintah mempunyai pandangan yang jelas
tentang jenis-jenis perusahaan yang dapat atau tidak dapat memikul beban sebagai akibat
pemberian istirahat ini.
Untuk memperoleh pandangan ini diperlukan suatu tempat yang lama pula sehingga peraturan ini
baru sekarang dapat ditetapkan.
Dengan mengambil pandangan yang diperoleh itu sebagai pedoman, dalam peraturan ini
ditetapkan suatu ukuran menentukan perusahaan manakah yang harus dikecualikan.
Tentu ukuran demikian agaknya sedikit kasar dan berhubung dengan ini kepada Menteri
Perburuhan diberikan hak untuk menunjuk perusahaan-perusahaan lain untuk siapa per aturan ini
berlaku pula.
Pasal 1
Alam pikiran yang menjadi dasar pasal ini sudah diterangkan pada penjelasan umum.
Pasal 2
Pada pasal ini ditetapkan suatu "qualifying periode" dari 12 bulan. Syarat demikian dianggap perlu
sebagai faktor pendorong ke arah "stability of employment". Selain dari pada itu tidak ada alasan
untuk memberikan istirahat ini kepada buruh yang baru saja masuk kerja. Dalam peraturan ini yang
dimaksud dengan bulan ialah bulan kalender dan bukan "jangka waktu dari 30 hari". Dengan
organisasi majikan dimaksudkan majikan-majikan yang dipandang dari sudut bedrijfsorganisatoris
mempunyai perhubungan (samenhareg) satu sama lain; bentuk organisasi dalam hal ini tidak
menjadi soal.
Hal demi hal harus ditetapkan apakah kita berhadapan dengan organisasi majikan.
Oleh karena peraturan ini dimaksudkan agar buruh tiap-tiap tahun tetap mempergunakan
kesempatan istirahat tahunan yang disediakan baginya maka penumpukan (accumulative) istirahat
tahunan tidak pada tempatnya.
Pasal 3
Ayat (1)
sub c
Keadaan sakit itu supaya diberitahukan hingga dapat diterima kebenarannya.
Pada umumnya bagi keadaan sakit yang pendek pemberitahuan tadi tidak perlu
disertai surat keterangan dokter.
Bagi keadaan sakit yang agak lama, sedapat mungkin disertai dengan surat
keterangan dokter yang berhak, baik dokter perusahaan maupun dokter partikelir.
Sub d
Sebagai contoh dari hal-hal yang selayaknya menjadi tanggungan majikan dapat
disebut:
Majikan lalai dalam mendatangkan bahan-bahan mentah yang diperlukan, l ock-out
yang tidak sah, sangat kurangnya pesanan -pesanan dan sebagainya.
Dalam hal-hal yang menimbulkan kesangsian sebaiknya pihak yang
berkepentingan berhubungan dengan Jawatan Pengawasan Perburuhan yang
mengawasi ditaatinya peraturan ini.
Sub f
Sebagai contoh dari alasan-alasan lain yang sah dapat disebut:
Kejadian-kejadian dalam lingkungan keluarga seperti meninggal dunia atau
perkawinan dalam keluarga buruh, melakukan hak dipilih atau hak memilih, dan
sebagainya.
Apa yang dijelaskan sub d mengenai hal-h al yang dapat menimbulkan kesangsian,
berlaku sama terhadap sub f.
Pasal 4
Ayat (1)
Dengan upah penuh dimaksudkan jumlah upah biasa yang akan diterima oleh buruh untuk
jangka waktu yang sama bila ia dari pada beristirahat tetap melakukan pekerjaannya.
Petunjuk mengenai apa yang dimaksudkan dengan upah biasa diberikan oleh Jawaran
Pengawasan Perburuhan.
Ayat (2)
Jangka waktu untuk menentukan upah rata -rata, diambil angka panjang, untuk sedapat
mungkin meniadakan akibat-akibat dari kegoncangan dalam penghasilan.
Pasa l 5
Ayat (1)
Dalam penetapan saat dimulainya istirahat, sudah selayaknya majikan memperhatikan
kepentingan keinginan buruh yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dengan kepentingan perusahaan yang nyata dimaksudkan misalnya waktu musim di
perkebunan, pabrik gala dan sebagainya, waktu pekerjaan bertimbun-timbun yang harus
diselesaikan dan sebagainya.
Selanjutnya bila sebagian besar dari buruh hendak beristirahat pada waktu yang
bersamaan sehingga tidak terjamin lagi jalannya perusahaan dengan lancar, hal ini dapat
pula dianggap sebagai berlawanan dengan kepentingan perusahaan yang nyata.
Pasal 6
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 7
Dalam hal pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan sebagai termaksud pada pasal ini,
dianggap layak untuk merubah hak atas istirahat menjadi hak atas suatu penggantian kerugian
berupa uang.
Bila misalnya dalam masa kerja yang dihitung menurut ukuran pasal ini terdapat 8 kali 23 hari
bekerja dalam arti kata peraturan ini, jumlah kerugian sama dengan upah untuk 8 hari.
Pasal 8
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 9
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 10
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 11
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 12
Untuk jelasnya maksud dari pasal ini sebagai berikut:
Bila pada waktu mulai berlakunya peraturan ini buruh mempunyai, masa kerja 5 tahun, ini
dinilaikan menjadi 5/4 tahun = 15 bulan sehingga buruh sudah berhak atas istirahat dari 12 hari
kerja.
Bila masa kerjanya 2,5 tahun, ini dinilaikan menjadi 1/4 x 5/2 = 5/8 tahun = 60/8 bulan, dibulatkan
menjadi 8 bulan m asa kerja, sehingga buruh hanya memerlukan 4 bulan masa kerja dengan 4 x 23
hari bekerja lagi untuk memperoleh hak istirahat 12 hari kerja.
Dengan sendirinya peraturan pasal 12 ini hanya berlaku, bila majikan sebelum berlaku peraturan
ini, tidak memberikan istirahat tahunan pada buruhnya.
Diketahui,
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
DJODY GONDOKUSUMO
NOMOR : PER-01/MEN/I/2006
TENTANG
PELAKSANAAN PASAL 3
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR KEP-231/MEN/2003
TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN
UPAH UMUM
Menimbang :
a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan (5) Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-226/MEN/MEN/2000, KetetapanUpah
Minimum Provinsi ditetapkan selambat-lambatnya 40 hari dan upah
minimum;
Mengingat :
1 . Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
MEMUTUSKAN :
Pasal1
Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006 berlaku sejak
tanggal 1 Januari 2006.
Pasal 2
(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.
(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha
dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
(3) Permohonan penagguhan pelaksanaan Upah Minimum Provinsi Tahun 2006 yang
penetapannya dilakukan sesudah bulan Oktober Tahun 2005, dan permohonan
penangguhan Upah Minimum dapat/Kota Tahun 2006 yang penetapannya
dilakukan sesudah tanggal 20 Nopember 2005 tetap dapat dilakukan paling lambat
50 hari sejak tanggal penetapan Upah Minimum Provinsi atau 30 hari sejak tanggal
penetapan UPah Minimum Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(4) Syarat-syarat permohonan penagguhan pelaksanaan Upah Minimum Tahun 2006
dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.
KEP-231 /MEN/2003 kecuali yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Januari 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ERMAN SUPARNO
PERATURAN MENTERI NO. 09 TH 2005
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER.09/MEN/V/2005
TENTANG
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 179 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan perlu diatur mengenai Tata Cara Penyampaian Laporan
Pelaksanaan Pengawasan Ketenaga kerjaan dengan Peraturan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-
Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4 ) ;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2819 ) ;
3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention
Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce ( Konvensi ILO
Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan
Perdagangan) ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 91,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4309));
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
MEMUTUSKAN
Pasal 1
Pasal 2
(1). Instansi di Kabupaten/Kota mengumpulkan, mengolah, mencatat dan menyimpan serta menyajikan
data pengawasan ketenagakerjaan.
(2). Data pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
Pasal 3
(1). Pegawai pengawas ketenagakerjaan secara induvidual wajib membuat laporan setiap kegiatan
pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
(2). Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal.
(3). Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada atasan langsung pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang bersangkutan setiap selesai melaksanakan tugas atau setiap tahap penyelesaian
untuk kegiatan yang bersifat berkelanjutan.
Pasal 4
(1). Berdasarkan laporan individu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) instansi di Kabupaten/Kota
menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada instansi di Provinsi.
(2). Instansi di Provinsi menyusun rekapitulasi laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dari
instansi di masing- masing Kabupaten/Kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(3). Instansi di Provinsi menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Direktur
jenderal.
(4). Direktur Jenderal menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan secara nasional
kepada Menteri.
(5). Dalam hal unit kerja pengawasan ketenagakerjaan tidak berada dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
instansi di Kabupaten/Kota atau di Provinsi maka unit kerja pengawasan tersebut menyampaikan
laporan pelaksanaan pengawasan kepada instansi di Provinsi atau Direktur Jenderal.
Pasal 5
(1). Laporan unit pengawasan ketenagakerjaan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1)
menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2). Laporan unit pengawasan ketenagakerjaan Provinsi sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2)
menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
(1). Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka
pengambilan keputusan, peyusunan kebijakan pengawasan ketenagakerjaan dan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan.
(2). Dalam keputusan skorsing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal menetapkan
kewajiban yang harus dipenuhi PPTKIS selama menjalani skorsing.
(3). Dalam hal masa telah berakhir dan PPTKIS belum juga melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri mencabut SIPPTKI.
Pasal 7
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Mei 2005
ttd
FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,
Myra M. Hanartani
NIP. 160.025.858
LAMPIRAN-LAMPIRAN :
PERATURAN MENTERI NO. 17 TH 2007
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-17/MEN/VI/2007
TENTANG
TATA CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
LEMBAGA PELATIHAN KERJA
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. Bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-229/MEN2003
tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja sudah tidak
sesaui dengan perkembangan dan kebutuhan penyelenggaraan pelatihan kerja yang
dilaksanakan oleh lembaga pelatihan kerja, sehingga perlu disempurnakan ;
b. Bahwa Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (4) dan
Pasal 17 ayat (6) Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG TATA
CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN LEMBAGA PELATIHAN KERJA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran LPK dalam Peraturan Menteri ini sebagai pedoman bagi
instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota dalam
memberikan perizinan maupun pendaftaran kepada penyelenggara pelatihan kerja.
Pasal 3
BAB I I
PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 4
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga)
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
Pasal 6
(1). Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) LPK
swasta harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, dengan
melampirkan :.
a. copy akte pendirian dan/atau perubahan sebagai badan hukumdan tanda bukti
pengesahan dari insatansi yang berwenang;
b. daftar nama yang dilengkapi dengan riwayat hidup penanggungjawab LPK;
c. copy tanda bukti kepemilikan atau penguasaan sarana, prasarana dan fasilitas
pelatihan kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan program
pelatihan yang akan diselenggarakan;
d. program pelatihan kerja berbasis kompetensi;
e. profil LPK yang meliputi antara lain: struktur organisasi, alamat, telepon dan faximile;
f. daftar instruktur dan tenaga kepelatihan.
(2). Bagi LPK di luar negeri yang akan membuka cabang LPK di Indonesia, wajib
melampirkan surat penunjukan sebagai cabang dari LPK di luar negeri.
Pasal 7
Permohonan yag telah diterima oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenaga kerjaan kabupaten / kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan verifikasi.
Pasal 8
(1). Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (7), dilakukan oleh Tim yang
dibentuk oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang - kurangnya
beranggotakan dari unsur organisasi lembaga pelatihan, unit kerja yang
menamgani pelatihan kerja dan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan di
kabupaten / kota dan mempunyai tugas melakukan verifikasi kelengkapan dan
keabsahan dokumen.
(3). Verifikasi dokumen yang dilakiukan oleh Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
sudah selesai dalam waktu paling lama 5 ( lima ) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan dan hasil verifikasi dilaporkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota.
(4). Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim tidak lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota menolak permohonan pemohon dalam waktu paling lama 2
( dua ) hari kerja terhitung sejak hasil verifikasi.
(5). Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim dinyatakan lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota mengeluarkan surat keputusan penetapan perizinan yang
dilampiri dengan sertikat perizinan LPK dalam waktu paling lama 5 ( lima ) hari
kerja setelah selesainya verifikasi.
Pasal 9
Bagian Kedua
Pendaftaran
Pasal 10
(1). LPK pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal (3) huruf a dan
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (3) huruf c, yang
menyelenggarakan pelatihan kerja wajib mendaftar pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh kepala
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
Pasal 11
Untuk mendaftarkan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
LPK pemerintah dan / atau perusahaan harus mengajukan permohonan secara
tertulis kepada kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten /kota, dengan melampirkan :
a. Surat keterangan keberadaan lembaga / unit pelatihan kerja dari instansi yang
membawahi / unit pelatihan kerja.
b. Struktur organisasi induk dan/atau unit yang menangani pelatihan;
c. Nama penanggung jawab;
d. Program pelatihan berbasis kompetensi;
e. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan;
f. Daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja.
Pasal 12
Pasal 13
Dalam hal LPK pemerintah dan/atau perusahaan yang telah mendapatkan tanda
bukti pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), terdapat
perubahan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, harus
mendaftarkan kembali kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
BAB III
PENAMBAHAN PROGRAM
Pasal 15
Penambahan program pelatihan kerja hanya diberikan kepada LPK yang tidak sedang
dihentikan sementara pelaksanaan program pelatihan kerja.
Pasal 16
(1). LPK yang telah mendpatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5), apabila
akan menambah program pelatihan kerja harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(2). Permohonan penambahan program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilengkapi dengan :
a. Copy izin dan/atau tanda daftar yang masih berlaku sebagai lembaga pelatihan kerja;
b. Realisasi pelaksanaan program pelatihan;
c. Program tambahan pelatihan kerja yang berbasis kopetensi;
d. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan sesuai dengan program tambahan;
e. Daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja sesuai dengan program
tambahan;
f. Daftar nama penanggung jawab program sesuai dengan program tambahan.
Pasal 17
Permohonan yang telah diterima oleh kepala instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
dilakukan verifikasi.
Pasal 18
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus sudah selesai dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan dan hasil verifikasi.
(2) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim tidak lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menolak permohonan pemohon dalam waktu paling lama 2
(dua) hari kerja terhitung sejak hasil verifikasi.
(3) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim dinyatakan lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menerbitkan surat keputusan penambahan program dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah selesainya verifikasi.
Pasal 19
Jangka waktu berlakunya izin penambah program pelatihan tidak boleh melebihi jangka waktu
berlakunya izin LPK.
BAB IV
PERPANJANGAN IZIN
Pasal 20
(1). Perpanjangnan izin LPK diberikan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota.
(2). Untuk mendapatkan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) LPK harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dalam waktu selambat - lambatnya 30 (tiga
puluh ) hari kerja sebelum izin berakhir dengan melampirkan :
a. Copy izin LPK yang masih berlaku ;
b. Copy surat tanda bukti kepemilikan atau penguasa prasarana dan fasilitas pelatihan
kerja untuk sekurang - kurangnya 3 ( tiga ) tahun sesuai dengan program pelatihan
yang akan diselenggarakan ;
c. Realisasi program pelatihan kerja yang telah dilaksanakan ;
d. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan.
(3). Perpanjangan izin tidak dapat diterbitkan apabila permohonan yang diajukan melampaui
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 21
(1). Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(2) dinyatakan lengkap, kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten / kota menerbitkan izin perpanjangan LPK.
(2). Izin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
diterbitkan dalam waktu selambat - lambatnya 12 ( dua belas ) hari kerja
sejak permohonan diterima.
Pasal 22
Perpanjangan izin LPK diberikan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten / kota, apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) dengan mempertimbangkan kinerja LPK yang bersangkutan.
BAB V
PENGHENTIAN SEMENTARA PELAKSANAAN PROGRAM,
PENGHENTIAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN PENCABUTAN
IZIN LEBAGA PELATIHAN
Pasal 23
(1). Kepala instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota dapat
menghentikan sementara pelaksanaan program pelatihan kerja, apabila LPK :
a. Menggunakan instruktur dan tenaga kepelatihan tidak sesuai dengan program, atau
b. Melaksanakan pelatihan tidak sesuai dengan program, atau
c. Menggunakan sarana dan prasarana pelatihan kerja tidak sesuai dengan program.
(2). Penghentian sementara pelaksanaan program pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh kepala instansi yang bertangung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota dalam bentuk surat keputusan
yang berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3). Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menetapkan
kewajiban yang harus dipenuhi LPK selama masa penghentian sementara.
(4). Selama dalam masa penghentian sementara LPK dilarang menerima peserta pelatihan
kerja baru untuk program pelatihan kerja yang dihentikan sementara.
Pasal 24
(1). Dalam hal LPK belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(3), maka kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
menghentikan pelaksanaan program pelatihan kerja.
(2). Apabila LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap melaksanakan
program pelatihan kerja yang telah diperintahkan untuk dihentikan, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota mencabut izin LPK yang bersangkutan.
(3). LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengembalikan biaya pelatihan kerja
kepada peserta.
Pasal 25
(1). Dalam hal LPK sudah selesai menjalani masa penghentian sementara dan telah
menyelesaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (3), LPK yang
bersangkutan wajib melaporkan kepada kepala instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) dinilai benar, kepala
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaanwajib menerbitkan surat
pencabutan penghentian sementara, dan LPK dapat melanjutkan kembali program
pelatihan.
Pasal 26
Dalam hal lembaga pelatihan kerja tidak melaksanakan program pelatihan kerja selama kurun
waktu 1 ( satu ) tahun terus menerus, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten /kota dapat mencabut izin LPK yang bersangkutan.
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 27
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 28
(1). Pembinaan terhadap LPK dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap program pelatihan
kerja, ketersediaan sarana dan fasilitas, instruktur dan tenaga kepelatihan, penerapan
metode dan sistem pelatihan kerja serta manajemen LPK.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, tata cara penilaian kinerja LPK, formal tanda bukti
pendaftaran, surat keputusan penetapan perizinan, penambahan program, perpanjangan izin,
penghentian sementara pelaksanaan program, penghentian pelaksanaan program, pencabutan
izin dan sertifikat perizinan LPK, diatur oleh Direktur Jenderal.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 229/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran
Lembaga Pelatihan Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2007
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
ERMAN SUPARNO
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
4. Laporan khusus adalah jenis naskah dinas yang dipersiapkan untuk Sidang Kabinet
(lengkap dan terbatas), Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian, Rapat Koordinasi
Bidang Kesejahteraan Rakyat, Rapat Koordinasi Bidang Politik Hukum dan
Keamanan, Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR-RI,
Rapat Kerja dengan DPD-RI, dan bahan rapat rapat lainnya yang sejenis.
5. Penanggung jawab laporan adalah pejabat tertinggi pada unit kerja, instansi provinsi
dan instansi kabupaten/kota yang berkewajiban untuk melaporkan hasil
pelaksananaan tugas di lingkungan unit kerjanya.
6. Koordinator penyusun laporan adalah pejabat yang karena tugas dan fungsinya
berkewajiban dan bertanggungjawab melakukan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi dengan sub unit kerja di lingkungan unit kerjanya atau unit kerja terkait.
7. Instansi Provinsi adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di
bidang ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian di provinsi yang bersangkutan.
Pasal 2
Unit kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi terdiri dari :
a. Sekretariat Jenderal;
b. Inspektorat Jenderal;
c. Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas;
d. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri;
e. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri;
f. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan;
g. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan;
h. Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan
Transmigrasi;
i. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan
Transmigrasi; dan
j. Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi.
BAB II
SISTEM PELAPORAN
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 3
(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
dari:
a. Laporan Departemen/Menteri;
3
b. Laporan Unit Kerja Eselon I;
c. Laporan Unit Kerja Eselon II;
d. Laporan Instansi Provinsi; dan
e. Laporan Instansi Kabupaten/Kota.
(3) Laporan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri dari:
a. Laporan Menteri pada Sidang Kabinet;
b. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian;
c. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat;
d. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Politik Hukum dan Keamanan;
dan
e. Laporan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Bagian Kedua
Materi
Pasal 4
(1) Materi laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf a, merupakan data dan informasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di
bidang ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian serta program kegiatan
pembangunan dan pelaksanaan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA),
dengan sumber dana dari APBN dan APBD, permasalahan dan upaya tindak
lanjut serta data lainnya yang diperlukan.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaporkan
merupakan data dan informasi yang sifatnya pokok sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini.
(3) Data dan informasi yang sifatnya lebih rinci diatur tersendiri oleh unit kerja eselon I
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai dengan
kebutuhan unit kerja yang bersangkutan.
Pasal 5
Materi laporan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b,
disesuaikan dengan agenda rapat koordinasi, sidang kabinet, rapat kerja, rapat dengar
pendapat, dan agenda lainnya sesuai kebutuhan.
Bagian Ketiga
Sistematika
Pasal 6
4
BAB I : PENDAHULUAN
a. Latar Belakang.
b. Maksud dan Tujuan.
c. Sasaran.
d. Landasan Operasional.
BAB II : TUGAS POKOK DAN FUNGSI
BAB III : RENCANA PROGRAM/KEGIATAN DAN ANGGARAN
a. Rencana Program/Kegiatan.
b. Pagu Anggaran.
BAB IV : PELAKSANAAN PROGRAM/KEGIATAN DAN HASIL-HASILNYA
a. Pelaksanaan Program/Kegiatan dan Hasilnya;
b. Realisasi Penyerapan Anggaran.
BAB V : PERMASALAHAN DAN UPAYA TINDAKLANJUT
BAB VI : HAL-HAL KHUSUS
BAB VII : PENUTUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
(2) Sistematika Laporan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
disesuaikan dengan agenda yang akan dibahas pada rapat koordinasi, sidang
kabinet, rapat kerja atau rapat dengar pendapat dengan DPR-RI dan/atau DPD-RI.
Bagian Keempat
Tata Cara dan Waktu Penyampaian Laporan
Pasal 7
a. Laporan Departemen/Menteri
Menteri menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Presiden R.I
dengan tembusan kepada Wakil Presiden R.I, Menteri Koordinator dan Menteri
terkait dengan bidang tugas Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
5
d. Laporan Instansi Provinsi
Instansi Provinsi menyampaikan laporan pelaksanaan tugas setiap bulan/tahun
kepada gubernur yang bersangkutan dan Menteri, dengan tembusan kepada
Inspektur Jenderal, Ka.Balitfo dan Pejabat Eselon I terkait di lingkungan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
f. Laporan Khusus
Unit kerja Sekretariat Jenderal melakukan koordinasi dengan unit kerja eselon I
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam penyiapan
bahan laporan khusus sesuai dengan agenda rapat koordinasi atau rapat kerja
dengan lembaga legislatif.
6
(3) Dalam keadaan tertentu rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf f dilakukan secara mendadak, dan waktu penyampaian laporan tergantung
permintaan dari Kantor Sekretaris Kabinet, Kantor Menko dan Sekretariat DPR-RI
atau DPD-RI.
Bagian Kelima
Koordinator dan Penyusun Laporan
Pasal 8
(1) Koordinator dan penyusun laporan pelaksanaan tugas diatur sebagai berikut :
a. Koordinator laporan Departemen/Menteri, yaitu Sekretaris Jenderal yang
penyusunannya dilaksanakan oleh Biro Perencanaan;
b. Koordinator laporan unit kerja Sekretariat Jenderal yaitu Kepala Biro
Perencanaan yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian
Evaluasi dan Pelaporan;
c. Koordinator laporan unit kerja Inspektorat Jenderal, yaitu Sekretaris Inspektorat
Jenderal, yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian Program
Evaluasi dan Pelaporan;
d. Koordinator laporan unit kerja Direktorat Jenderal, yaitu Sekretaris Direktorat
Jenderal yang bersangkutan, yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit
kerja Bagian Program Evaluasi dan Pelaporan;
e. Koordinator laporan unit kerja Badan, yaitu Sekretaris Badan, yang
penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian Program Evaluasi dan
Pelaporan;
f. Koordinator laporan instansi provinsi, yaitu Kepala Bagian Tata Usaha instansi
provinsi yang bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk yang
penyusunannya dilaksanakan oleh pejabat eselon IV yang melaksanakan
tugas dan fungsi di bidang pelaporan;
g. Koordinator laporan instansi kabupaten/kota adalah Kepala Bagian Tata Usaha
instansi kabupaten/kota yang bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk
yang penyusunannya dilaksanakan oleh pejabat eselon IV yang melaksanakan
tugas dan fungsi di bidang pelaporan.
(2) Koordinator dan penyusun Laporan Khusus yaitu Sekretaris Jenderal dan/atau
pejabat lain yang setingkat di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi yang ditunjuk.
(3) Penyusun laporan di unit kerja Sekretariat Jenderal, yaitu unit kerja Biro
Perencanaan atau unit kerja eselon II di lingkungan Sekretariat Jenderal lainnya
yang ditunjuk.
(4) Penyusun laporan di unit kerja Inspektorat, Direktorat dan Badan, yaitu Sekretariat
Inspektorat Jenderal, Sekretariat Direktorat Jenderal, Sekretariat Badan atau
Pejabat Eselon II lainnya yang ditunjuk.
7
Bagian Keenam
Penanggungjawab
Pasal 9
BAB III
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 10
(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
a, dijadikan bahan evaluasi untuk melakukan penilaian terhadap instansi provinsi,
kabupaten/kota maupun unit kerja yang bersangkutan.
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Sekretaris Jenderal
dan hasilnya disampaikan kepada Menteri untuk tingkat departemen, gubernur
untuk laporan instansi provinsi, dan bupati/walikota untuk laporan instansi
kabupaten/kota yang bersangkutan.
(5) Penilaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan salah satu
pertimbangan dalam penentuan program dan besarnya anggaran tahun
berikutnya.
8
BAB IV
PENUTUP
Pasal 11
(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
a, harus dilengkapi dengan data dan informasi perkembangan pelaksanaan
program/kegiatan dan data penting lainnya dalam periode waktu tertentu.
(3) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berpedoman
pada Lampiran Form Tabel-tabel beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 12
Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP.17/MEN/2002 tentang Sistem Pedoman Pelaporan
Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
ERMAN SUPARNO
9
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
- Laporan unit kerja - Para Pejabat - Para Ses, Karocan - Kabag Evaluasi dan - Menteri - Sekjen - Paling lambat tanggal 20
eselon I eselon I (Dirjen, Pelaporan, Kabag - Itjen bulan berikutnya
Sekjen, Irjen, Program Evaluasi dan - Balitfo
Ka.Badan) Pelaporan - Unit Kerja Eselon I
terkait
- Laporan unit kerja - Pejabat eselon II - Para Kabag/Kabid - Kasubbag Tata - Pejabat Eselon I - Karocan, Sesditjen/ - Paling lambat tanggal 15
eselon II yang membawahi Usaha/Kasubbag Sesbadan/Sesitjen bulan berikutnya
Subbag Tata Usaha/ Evaluasi dan
Subbag Evaluasi dan Pelaporan
Pelaporan
- Instansi Provinsi - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Menteri - Itjen - Paling lambat tanggal 10
Provinsi yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Gubernur - Balitfo bulan berikutnya
fungsi di bidang - Unit Kerja Eselon I
evaluasi dan terkait
pelaporan
- Instansi Kabupaten/Kota - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Bupati/Walikota - Menteri - Paling lambat tanggal
Kabupaten/Kota yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Kepala Instansi - Itjen 5 bulan berikutnya
fungsi di bidang Provinsi - Balitfo
evaluasi dan - Unit Kerja Eselon I
pelaporan terkait
B. Tahunan
- Laporan Departemen/ - Menteri - Sekretaris Jenderal - Kepala Biro - Presiden - Menteri terkait - Paling lambat Minggu
Menteri Perencanaan - Unit Kerja Eselon I ke-2 bulan Maret pada
terkait tahun berikutnya
JANGKA PENANGGUNG DITUJUKAN WAKTU
No. JENIS LAPORAN KOORDINATOR PENYUSUN TEMBUSAN
WAKTU JAWAB KEPADA PENYAMPAIAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
- Laporan unit kerja - Para Pejabat - Para Ses, Karocan - Kabag Evaluasi dan - Menteri - Sekjen - Paling lambat Minggu
eselon I eselon I (Dirjen, Pelaporan, Kabag - Itjen ke-4 bulan Februari
Sekjen, Irjen, Program Evaluasi dan - Balitfo pada tahun berikutnya
Ka.Badan) Pelaporan
- Unit Kerja Eselon I
terkait
- Laporan unit kerja - Pejabat eselon II - Para Kabag/Kabid - Kasubbag Tata - Pejabat Es I - Karocan, Sesditjen/ - Paling lambat Minggu
eselon II yang membawahi Usaha/Kasubbag Sesbadan/Sesitjen ke-2 bulan Februari
Subbag Tata Usaha/ Evaluasi dan pada tahun berikutnya
Subbag Evaluasi dan Pelaporan
Pelaporan
- Instansi Provinsi - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Menteri - Itjen - Paling lambat Minggu
Provinsi yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Gubernur - Balitfo ke-4 bulan Januari pada
fungsi di bidang - Unit Kerja Eselon I tahun berikutnya
evaluasi dan terkait
pelaporan
- Instansi Kabupaten/Kota - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Bupati/Walikota - Menteri - Paling lambat Minggu
Kabupaten/Kota yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Kepala Instansi - Itjen ke-2 bulan Januari pada
fungsi di bidang Provinsi - Balitfo tahun berikutnya
evaluasi dan
- Unit Kerja Eselon I
pelaporan
terkait
II. Laporan Khusus - Sesuai agenda rapat - Menteri - Sekretaris Jenderal - Karocan/Para Ses - Presiden - Menko yang terkait Sesuai agenda rapat
- Menko
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
ERMAN SUPARNO
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
MEKANISME LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS
P SEKJEN, PRESIDEN
U SES.DITJEN/DIREKTUR/
KASUBDIT/ DIRJEN, MENTERI
S KABAG KEPALA BIRO/KAPUS/
KEPALA BADAN, LAPORAN BULANAN/TAHUNAN
A SES.BADAN/SES.ITJEN
T IRJEN
SIDANG KABINET
RAKOR PEREKONOMIAN
D KEPALA INSTANSI RAKOR KESRA
GUBERNUR
A PROVINSI RAKOR POLHUKAM
E
Dana Dekonsentrasi + Tugas Pembantuan
R BAHAN RAKER DPR-RI
A
KEPALA INSTANSI BUPATI/WALIKOTA
H
KAB/KOTA
Dana Tugas Pembantuan
Ditetapkan di Jakarta
Keterangan: Pada tanggal 1 Desember 2006
Langsung MENTERI
Tembusan
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TTD
ERMAN SUPARNO
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
PETUNJUK PENGISIAN
FORM TABEL BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
1
3. Form Tabel A.3
2. Form Tabel B. 2
5
3. Form Tabel B.3
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
ERMAN SUPARNO
8
FORM : A.1
IZIN MEMPERKERJAKAN TENAGA ASING
MENURUT JABATAN, SUB SEKTOR, KEWARGANEGARAAN DAN LOKASI KERJA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6
A. MENURUT JABATAN
1. Pimpinan
2. Profesional
3. Supervisor
4. Teknisi/Operator
5. Lain-lainnya
B. SUB SEKTOR
1. Perindustrian dan Perdagangan
- Industri Kimia
- Aneka Industri
- Industri Logam Mesin Elektro dan Aneka Perdagangan
2. Pertanian
- Pertanian
- Peternakan
3. Kehutanan
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6
4. Kelautan dan Perikanan
- PBL Perikanan Tangkap
- PBL Perikanan Budidaya
5. Pertambangan dan Sumber Daya Mineral
- Pertambangan Umum
- Migas
- Listrik
6. Kesehatan
7. Perhubungan dan Telekomunikasi
- Perhubungan Darat
- Perhubungan Laut
- Perhubungan Udara
- Telekomunikasi
8. Pemukiman dan Prasarana Wilayah
9. Kebudayaan dan Pariwisata
- Hotel dan Rumah Makan
- Jasa Hiburan dan Kebudayaan
10. Agama
11. Keuangan
- Moneter
- Perbankan
- Asuransi
12. Sosial Kemasyarakatan
13. Pendidikan
14. Penerangan
15. Lembaga/Instansi Pemerintah
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6
C. KEWARGANEGARAAN
D. LOKASI KERJA
J U M L A H
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.2
KEBUTUHAN TENAGA KERJA AKAD
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TENAGA KERJA YANG DIBUTUHKAN
NAMA PERUSAHAAN SEKTOR/ JABATAN YANG
No. DAERAH UMUM PENYANDANG CACAT JUMLAH
BADAN HUKUM SUB SEKTOR DIBUTUHKAN
ASAL TUJUAN L P L P
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
JUMLAH
Keterangan : SPP : Surat Penerbitan Penempatan; L : Laki-laki; P : Perempuan; Data kumulatif dari bulan Januari
Jumlah pada kolom 3 s.d. 6 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.3
REALISASI PENEMPATAN TENAGA KERJA AKAD
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TENAGA KERJA YANG DITEMPATKAN
KABUPATEN/KOTA/ LOKASI DAERAH NAMA
No. SEKTOR UMUM PENYANDANG CACAT
KECAMATAN KERJA ASAL PERUSAHAAN JUMLAH
LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 s.d. 6 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.4
TARGET DAN REALISASI PROGRAM PERLUASAN DAN
PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KEGIATAN PERLUASAN DAN PENGEMBANGAN KEGIATAN PENEMPATAN
KABUPATEN/KOTA/ KESEMPATAN KERJA TENAGA KERJA
No.
KECAMATAN TKPMP TKMT TKS WUB TTG PK JML AKAD AKL AKSUS JML
T R T R T R T R T R T R T R T R T R T R T R
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; TKPMP : Tenaga Kerja Mandiiri Profesional; TKMT : Tenaga Kerja Mandiri Terampil;
TKS : Tenaga Kerja Sukarela; WUB : Wira Usaha Baru; TTG : Teknologi Tepat Guna; PK : Padat Karya; .............., .................
AKAD : Antar Kerja Antar Daerah; AKL : Antar Kerja Lokal; AKSUS : Angkatan Kerja Khusus Kepala Dinas/Kantor/Instansi
(Penyandang Cacat atau Lanjut Usia); Data kumulatif dari bulan Januari Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.5
TARGET DAN REALISASI PELAKSANAAN KEGIATAN
PROGRAM PERLUASAN DAN PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA
MELALUI DANA DEKONSENTRASI
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
F I S I K
No. K E G I A T A N TARGET REALISASI
(ORANG) (ORANG)
1 2 3 4
JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.6
DATA PELAKSANAAN REKRUT CALON TENAGA KERJA INDONESIA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
NEGARA DAERAH FORMAL NON FORMAL
No. TOTAL NAMA PPTKIS
PENEMPATAN ASAL TKI LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
JUMLAH
Keterangan : PPTKIS : Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 4 dan 5 tidak diisi (tanda blok); data rekrut calon TKI berarti pekerja belum ditempatkan namun sudah resmi terdaftar .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM A.7
LAPORAN KEBERANGKATAN DAN KEPULANGAN TKI
BULAN/TAHUN : …………
DINAS PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
FORMAL NON FORMAL
No. NEGARA PPTKIS JUMLAH JUMLAH TOTAL ALASAN KEPULANGAN
LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
A. Keberangkatan
Jumlah Keberangkatan
B. Kepulangan
Jumlah Kepulangan
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan khusus pada kolom 3 dan 11, pada keberangkatan tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.8
LAPORAN TENAGA KERJA INDONESIA PURNA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KABUPATEN/KOTA NEGARA JENIS KELAMIN JENIS USAHA TKI PURNA
No. JUMLAH
DAERAH ASALTKI PENEMPATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN USAHA JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 dan 7 tidak diisi (tanda di blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.9
WAJIB LAPOR PERUSAHAAN DAN SYARAT-SYARAT KERJA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH PEKERJA SYARAT-SYARAT KERJA
SKALA JUMLAH
No. KAB/KOTA/KECAMATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH PP PKB
PERUSAHAAN PERUSAHAAN
SWASTA BUMN JUMLAH SWASTA BUMN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
JUMLAH
Keterangan : PP : Peraturan Perusahaan; BUMN : Badan Usaha Milik Negara; PKB : Perjanjian Kerja Bersama
Skala Usaha : Perusahaan Kecil : jumlah tenaga kerja kurang dari 25 orang .............., .................
Perusahaan Menengah : jumlah tenaga kerja kurang dari 25 s.d. 49 orang Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Perusahaan Sedang : jumlah tenaga kerja kurang dari 50 s.d. 99 orang Provinsi/Kabupaten/Kota
Perusahaan Besar : jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang
Data kumulatif dari bulan Januari
Jumlah pada kolom 3 tidak diisi (tanda blok) ...................................
FORM : A.10
PEMOGOKAN/UNJUK RASA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PEKERJA/BURUH
TUNTUTAN
KABUPATEN/KOTA/ YANG TERLIBAT JAM KERJA
No. SEKTOR KASUS
KECAMATAN YANG HILANG NON
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH NORMATIF
NORMATIF
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 dan 4 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.11
KASUS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KASUS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
KABUPATEN/KOTA/
No. JUMLAH PROSES PENYELESAIAN MEDIATOR YANG MENANGANI
KECAMATAN KASUS
KASUS DALAM PROSES SELESAI
1 2 3 4 5 6 7
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah kolom 3 dan 7 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.12
PERKARA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK
KABUPATEN/KOTA/
No. JUMLAH PEKERJA YANG TER PHK
KECAMATAN ALASAN PHK
PERKARA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7
JUMLAH
Keterangan : PHK : Pemutusan Hubungan Kerja; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 4 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.13
FEDERASI SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH SP/SB, FEDERASI SP/SB, KONFEDERASI SP/SB
No. KABUPATEN/KOTA/KECAMATAN
SP/SB FEDERASI SP/SB KONFEDERASI SP/SB
1 2 3 4 5
JUMLAH
Keterangan : SP : Serikat Pekerja; SB : Serikat Buruh; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.14
REALISASI KEGIATAN PELATIHAN DAN
PRODUKTIVITAS DI UPTP DAN UPTD
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH REALISASI REALISASI WIRAUSAHA (USAHA
No. UNIT KERJA JENIS PELATIHAN JENIS KEJURUAN PESERTA KELULUSAN PENEMPATAN MANDIRI)
TARGET REALISASI L P L P L P
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A. BLK/LLK - Institusional
- Non Institusional
B. BPPD - Institusional
- Non Institusional
C. BALATRANS
JUMLAH
Keterangan : L : Laki-laki; P : Perempuan; Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 3 dan 4 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : B.1
PENGERAHAN DAN PENEMPATAN TRANSMIGRASI
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH
JUMLAH JUMLAH JUMLAH DAERAH TUJUAN PENEMPATAN
PENEMPATAN
No. KABUPATEN/KOTA ANIMO PENDAFTAR TERSELEKSI
KABUPATEN/KOTA
(KK) (KK) (KK) (KK) (JIWA) PROVINSI
NAMA *) KK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
JUMLAH
Keterangan : KK : Kepala Keluarga; *) Nama Kabupaten/Kota; Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 8 dan 9 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : B.2
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI BARU (PTB)
PERKEMBANGAN PENYIAPAN PERMUKIMAN DAN SIAP TERIMA PENEMPATAN (STP)
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI :
PEMBUKAAN LAHAN SARANA AIR FASILITAS SIAP TERIMA
RTJK
PROGRAM LP LU.I BERSIH UMUM PENEMPATAN
No. KABUPATEN/LOKASI POLA
(L/M/C) T R T R T R T R T R T R
(KK) (KK) (Ha) (Ha) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (KK) (KK)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
JUMLAH
Keterangan : L : Luncuran; M : Murni; C : Cicilan; T : Target; R : Realisasi; LP : Lahan Pekarangan
LU.I : Lahan Usaha I; LU.II : Lahan Usaha II; RTJK : Rumah Trans dan Jamban Keluarga .............., .................
KK : Kepala Keluarga; Data kumulatif dari bulan Januari Kepala Dinas/Kantor/Instansi
jumlah pada kolom 4 tidak diisi (tanda blok) Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : B.3
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI BARU (PTB)
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PRASARANA PERMUKIMAN
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI :
PEMBANGUNAN JALAN/GORONG-GORONG PEMBANGUNAN JEMBATAN
JALAN JALAN GORONG2 GORONG2 SEMI DRAINASE DERMAGA
KABUPATEN/ KAYU NON STANDAR
No. PHB/PRS DESA @ 80 Cm @ 60 Cm PERMANEN
LOKASI/UPT
T R T R T R T R T R T R T R T R T R
(Km) (%) (Km) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (Unit) (%) (Unit) (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; PHB/PRS: Penghubung/Poros; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : B.4
PERKEMBANGAN PENEMPATAN TRANSMIGRAN (PTB)
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TARGET REALISASI PENEMPATAN (KK) JUMLAH
No. KABUPATEN/LOKASI/UPT PENEMPATAN TPA PENEMPATAN
TPS
(KK) DKI JABAR BANTEN JATENG DIY JATIM BALI NTB NTT LAIN-LAIN JUMLAH (KK)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
JUMLAH
Keterangan : TPS : Transmigrasi Penduduk Setempat; TPA : Transmigrasi Penduduk Daerah Asal
Data kumulatif dari bulan Januari .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : B.5
DATA PERKEMBANGAN MASYARAKAT BINAAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PTB PTA (KK)
POLA REALISASI T+2 T+3 T+4 T+5 T>5 JUMLAH
No. KABUPATEN/LOKASI TARGET
USAHA JIWA
(KK) KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK UPT
L P JML
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
JUMLAH
Keterangan : PTB : Pemukiman Transmigrasi Baru; PTA : Pemberdayaan Transmigran yang telah Ada
KK : Kepala Keluarga; UPT : Unit Pemukiman Transmigrasi; L : Laki-laki; P : Perempuan .............., .................
jumlah pada kolom 3 tidak diisi (tanda blok) Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : C.1
LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN KEGIATAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
TAHUN ANGGARAN : ……………………
A. DEPARTEMEN/LEMBAGA :
B. UNIT ORGANISASI :
C. KANTOR/SATKER :
D. BULAN LAPORAN :
PAGU DIPA (Rp.) REALISASI S/D BULAN INI
PERMASALAHAN/
No. PROGRAM/KEGIATAN SETELAH VOLUME KEUANGAN FISIK
AWAL % % HAMBATAN
REVISI (Rp.) (SATUAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A. APBN
1. Dekonsentrasi
- Program xx
- Program xy
2. Tugas Pembantuan
- Program xx
- Program xy
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 5 tidak diisi (tanda blok)
Program xx dan xy adalah program yang terdapat pada DIPA .............., .................
Kuasa Pengguna Anggaran
...................................
FORM : C.2
LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN KEGIATAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
TAHUN ANGGARAN : ……………………
A. KANTOR/SATKER :
B. BULAN LAPORAN :
PAGU DIPA (Rp.) REALISASI S/D BULAN INI
PERMASALAHAN/
No. PROGRAM/KEGIATAN SETELAH VOLUME KEUANGAN FISIK
AWAL % % HAMBATAN
REVISI (Rp.) (SATUAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 5 tidak diisi (tanda blok)
Program xx dan xy adalah program yang terdapat pada DIPA .............., .................
Kuasa Pengguna Anggaran
...................................
FORM : C.3
KEMAJUAN PENGADAAN BARANG DAN JASA
MELALUI PENUNJUKAN LANGSUNG, PEMILIHAN LANGSUNG DAN PELELANGAN
TAHUN ANGGARAN : ……………………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TARGET KEGIATAN REALISASI PENGADAAN
SESUAI DIPA JENIS
MEDIA
No. PAKET PEKERJAAN PENGADAAN BIAYA NAMA KUALIFIKASI
BIAYA PENGUMUMAN VOLUME
VOLUME P/PL (Rp.000) PIHAK III GOLONGAN
(Rp.000)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
JUMLAH
Keterangan : P : Pelelangan; PL : Penunjukan/Pemilihan Langsung; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 3, 5, 6, 7, 9, 10 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : C.4
PERMASALAHAN DAN UPAYA PENYELESAIAN
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
USULAN DAERAH
No. PROGRAM URAIAN MASALAH UPAYA TINDAK LANJUT
PENYELESAIAN DI PUSAT
1 2 3 4 5
7. Program Lainnya
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBIK INDONESIA
NOMOR : PER. 07/MEN/IV/2008
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Penempatan tenaga kerja adalah proses pelayanan kepada pencari kerja untuk
memperoleh pekerjaan dan pemberi kerja dalam pengisian lowongan kerja sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuan.
2. Antar Kerja adalah suatu sistem yang meliputi pelayanan informasi pasar kerja,
penyuluhan dan bimbingan jabatan, dan perantaraan kerja.
3. Antar Kerja Lokal yang selanjutnya disebut AKL adalah penempatan tenaga kerja
antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
4. Antar Kerja Antar Daerah yang selanjutnya disebut AKAD adalah penempatan
tenaga kerja antar p rovinsi dalam wilayah Republik Indonesia.
5. Antar Kerja Antar Negara yang selanjutnya disebut AKAN adalah penempatan
tenaga kerja di luar negeri.
6. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah.
2
7. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disingkat SIP adalah izin yang diberikan
Pemerintah kepada pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta untuk
merekrut calon TKI dari daerah tertentu, untuk jabatan tertentu dan untuk
dipekerjakan pada calon pengguna/pemberi kerja tertentu dalam jangka waktu
tertentu.
9. Pencari kerja adalah angkatan kerja yang sedang menganggur dan mencari
pekerjaan maupun yang sudah bekerja tetapi ingin pindah atau alih pekerjaan
dengan mendaftarkan diri kepada pelaksana penempatan tenaga kerja atau secara
langsung melamar pekerjaan kepada pemberi kerja.
10. Informasi Pasar Kerja yang selanjutnya disebut IPK adalah keterangan mengenai
karakteristik kebutuhan dan persediaan tenaga kerja.
11. Penyuluhan Jabatan adalah kegiatan pemberian informasi tentang jabatan dan
dunia kerja kepada pencari kerja dan/atau masyarakat.
12. Bimbingan Jabatan adalah proses membantu seseorang untuk mengetahui dan
memahami gambaran tentang potensi diri dan dunia kerja, untuk memilih bidang
pekerjaan dan karir yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
13. Bursa kerja adalah tempat pelayanan kegiatan penempatan tenaga kerja .
14. Pengantar kerja adalah pegawai negeri sipil yang memiliki keterampilan melakukan
kegiatan antar kerja dan diangkat dalam jabatan fungsional oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk .
15. Petugas antar kerja adalah petugas yang memiliki pengetahuan tentang antar kerja
dan ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pelayanan antar
kerja.
16. Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta yang selanjutnya disingkat LPTKS
adalah lembaga swasta berbadan hukum yang telah memperoleh ijin tertulis untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja.
17. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya disingkat
PPTKIS adalah badan hukum yang telah memperoleh ijin tertulis dari Menteri untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
19. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi penempatan tenaga
kerja.
Pasal 2
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dalam satu kesatuan pasar kerja nasional.
3
BAB II
PELAKSANA PENEMPATAN TENAGA KERJA
Bagian Kesatu
Pelaksana
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
(1) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a , terdiri dari:
a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di pusat;
b. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi;
c. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(2) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mempunyai
fungsi dan tugas meliputi:
a. merumuskan kebijakan di bidang penempatan tenaga kerja AKL, AKAD dan
AKAN;
b. merumuskan kebijakan dan pemberian SIP ;
c. pemberian SPP lintas provinsi;
d. merumuskan kebijakan dan pemberian ijin pendirian LPTKS lintas provinsi;
e. merumuskan kebijakan dan pemberian ijin pendirian PPTKIS ;
f. pencarian dan penyebarluasan lowongan pekerjaan di luar negeri;
g. menyusun sistem dan penyebarluasan IPK skala nasional;
h. menyusun proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja secara nasional
dan internasional;
i. pelayanan informasi pasar kerja skala nasional;
j. pembinaan dan pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala nasional;
k. melakukan pembinaan jabatan fungsional pengantar kerja dan petugas antar
kerja skala nasional;
l. merumuskan kebijakan dan melaksanakan pengendalian penggunaan tenaga
kerja asing.
(3) Pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mempunyai
fungsi dan tugas meliputi:
a. pemberian ijin dan pembinaan lembaga penempatan tenaga kerja swasta skala
provinsi;
b. pemberian SPP lintas kabupaten/kota skala provinsi;
c. pembinaan pengantar kerja dan petugas antar kerja skala provinsi;
d. supervisi dan pengendalian pelaksanaan antar kerja skala provinsi;
e. penyebarluasan lowongan kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota di wilayah kerjanya;
4
f. bertindak sebagai pusat kliring permintaan dan penawaran tenaga kerja
dari/kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota di wilayah kerjanya;
g. mengolah dan menganalisis hasil kegiatan antar kerja skala provinsi;
h. pelayanan informasi pasar kerja skala provinsi;
i. pembinaan dan pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala provinsi;
j. menyusun proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja skala provinsi;
k. menyusun sistem dan penyebarluasan IPK skala provinsi;
l. melakukan pembinaan jabatan fungsional pengantar kerja dan petugas antar
kerja skala provinsi;
m. pengendalian penggunaan tenaga kerja asing.
Pasal 6
(1) Lembaga swasta berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b,
adalah lembaga penempatan tenaga kerja swasta wajib memiliki ijin tertulis.
(2) Untuk memperoleh ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga swasta
berbadan hukum harus mengajukan permohonan tertulis dengan melampirkan:
a. copy akte pendirian dan/atau akte perubahan badan hukum yang telah
mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. copy surat keterangan domisili perusahaan;
c. copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun
1981 yang masih berlaku;
e. copy anggaran dasar yang memuat kegiatan yang bergerak di bidang jasa
penempatan tenaga kerja;
f. copy sertifikat hak kepemilikan tanah berikut bangunan kantor atau perjanjian
kontrak minimal 5 (lima) tahun yang dikuatkan dengan akte no taris;
g. bagan struktur organisasi dan personil;
h. rencana kerja lembaga penempatan tenaga kerja minimal 1 (satu) tahun;
i. pas foto pimpinan perusahaan berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga)
lembar;
j. rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota sesuai dengan domisili perusahaan.
Pasal 7
Pasal 8
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dilakukan verifikasi
oleh tim yang dibentuk oleh:
a. Direktur Jenderal untuk ijin yang berskala nasional;
b. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
untuk ijin yang berskala provinsi;
c. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota untuk ijin yang berskala kabupaten/kota .
(3) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
harus sudah selesai dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan.
(4) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur Jenderal
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menolak permohonan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja
terhitung sejak hasil verifikasi.
(5) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim dinyatakan lengkap, Direktur
Jenderal ata u kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota, harus mengeluarkan surat ijin usaha LPTKS dalam waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah selesainya verifikasi.
Pasal 9
Surat Ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5), diberikan untuk jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun.
Pasal 10
(1) Permohona n perpanjangan surat ijin usaha LPTKS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir
masa berlakunya.
(2) Dalam hal LPTKS tidak memperpanjang surat ijin usahanya, maka LPTKS yang
bersangkutan wajib mengembalikan surat ijin tersebut kepada Direktur Jenderal
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
Pasal 11
(1) Permohonan perpanjangan surat ijin usaha LPTKS diajukan secara tertulis dan
bermaterai cukup dengan melampirkan:
a. copy surat ijin LPTKS yang masih berlaku; 6
b. bukti penyampaian laporan kepada Direktur Jenderal atau kepala instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi atau kepala instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dalam
bentuk rekapitulasi penempatan;
c. rencana penempatan tenaga kerja yang akan datang sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun;
d. copy bukti kepemilikan sarana dan prasarana kantor serta peralatan kantor,
atau bukti surat perjanjian sewa kantor/kerjasama dalam waktu 5 (lima) tahun;
e. pas foto penanggung jawab berwarna dengan ukuran 4 x 6 sebanyak 3 (tiga)
lembar.
(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Direktur Jenderal atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3) LPTKS yang mengajukan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak dalam kondisi dijatuhi hukuman dan/atau kena sanksi.
Pasal 12
(1) Dalam hal permoho nan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
dinyatakan lengkap maka ijin perpanjangan LPTKS diterbitkan oleh Direktur
Jenderal untuk skala nasional, atau kepala insta nsi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan provinsi untuk ijin yang berskala provinsi, atau kepala
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota untuk
ijin yang berskala kabupaten/kota.
(2) Ijin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterbitkan
dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima.
Pasal 13
Dalam hal terjadi perubahan nama perusahaan, alamat, dan direksi atau komisaris,
LPTKS harus menyampaikan perubahan surat ijin kepada Direktur Jenderal atau kepala
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan provinsi untuk ijin yang
berskala provinsi, atau kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota untuk ijin yang berskala kabupaten/kota.
Pasal 14
(1) LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, dapat memungut biaya
penempatan dari pengguna dan dari tenaga kerja untuk golongan dan jabatan
tertentu.
(2) Golongan dan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
(1) Selain pelayanan penempatan tenaga kerja yang dilakukan oleh pemerintah dan
lembaga swasta berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
7
pelayanan penempatan tenaga kerja dapat dilakukan di lembaga satuan
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, dan pelatihan.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pela yanan penempatan
khusus bagi para lulusan, para siswa yang putus sekolah dan siswa yang masih
aktif.
(3) Lembaga yang melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
disebut bursa kerja khusus harus menyampaikan laporan kegiatan penempatan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
Pasal 16
Selain kegiatan pelayanan penempatan bagi pencari kerja dengan pemberi kerja yang
dilakukan oleh LPTKIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan bursa kerja khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, pameran kesempatan kerja antara pencari
kerja dan pemberi kerja dapat juga dilakukan oleh badan hukum lainnya.
Pasal 17
Pasal 18
Bagian Kedua
Fungsi dan Tugas Pelaksana Penempatan
Pasal 19
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta dapat melaksanakan sebagian fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 20
(1) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a , mempunyai tugas:
8
a. mengumpulkan, mengolah dan menyusun data IPK;
b. menganalisis pasar kerja;
c. menyajikan dan menyebarluaskan IPK.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b , mempunyai tugas:
d. melakukan penyuluhan jabatan;
e. memberikan bimbingan jabatan;
f. melaksanakan konseling kepada pencari kerja ;
g. melaksanakan analisis jabatan.
(3) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan perantaraan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf c, mempunyai tugas :
a. melaksanakan pelayanan kepada pencari kerja;
b. melaksanakan pelayanan kepada pemberi kerja;
c. melaksanakan pencarian lowongan pekerjaan;
d. melakukan pencocokan antara pencari kerja dengan lowongan pekerjaan;
e. melaksanakan penempatan tenaga kerja ;
f. melaksanakan tindak lanjut penempatan tenaga kerja ;
g. membuat dan melaporkan penempatan tenaga kerja secara berkala.
Bagian Ketiga
Petugas Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
BAB III
MEKANISME PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
Bagian Kesatu
Pelayanan Kepada Pencari Kerja
Pasal 24
9
(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja dapat dilakukan secara manual dan/atau
sistem daring (on-line system).
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja melalui sistem daring (on-line system)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terintegrasi dalam satu sistem
pelayanan penempatan tenaga kerja nasional.
Pasal 25
(1) Pencari kerja yang akan bekerja di dalam atau di luar negeri wajib dilayanani oleh
pengantar kerja di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(2) Pencari kerja yang dilayani sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
menyerahkan fas foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
memperlihatkan:
a. kartu tanda penduduk yang masih berlaku;
b. copy ijazah pendidikan terakhir bagi yang memiliki;
c. copy sertifikat keterampilan bagi yang memiliki; dan
d. copy surat keterangan pengalaman kerja bagi yang memiliki.
(3) Pencari kerja yang telah memperoleh pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberikan kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I).
(4) Pengantar kerja wajib melakukan pengisian data pencari kerja (AK/II) melalui
wawancara langsung untuk mengetahui bakat, minat, dan kemampuannya.
(5) Kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), berlaku selama 2 (dua) tahun dengan keharusan melapor selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan sekali terhitung sejak tanggal pendaftaran bagi pencari
kerja yang belum mendapat pekerjaan.
(6) Pencari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5), yang telah mendapatkan
pekerjaan wajib melaporkan bahwa yang bersangkutan telah diterima bekerja
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
Pasal 26
(1) Dalam hal pencari kerja yang telah mendaftar melalui sistem daring (on-line
system) maka pencari kerja yang bersangkutan dapat memperoleh Kartu Tanda
Bukti Pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dimana pencari kerja berada dengan
melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan penempatan tenaga kerja melalui
sistem daring (on-line system ) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal.
Pasal 27
Kartu Tanda Bukti Pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (1) berlaku nasional.
10
Bagian Kedua
Pelayanan Kepada Pemberi Kerja
Pasal 28
(1) Pemberi kerja yang membutuhkan tenaga kerja wajib menyampaikan informasi
adanya lowongan pekerjaan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(2) Informasi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat :
a. jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan;
b. jenis pekerjaan, jabatan dan syarat-syarat jabatan yang digolongkan dalam
jenis kelamin, usia, pendidikan, keterampilan/keahlian, pengalaman kerja, dan
syarat-syarat lain yang diperlukan.
(3) Pengantar kerja atau petugas antar kerja pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setelah mencari dan/atau menerima
informasi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus
mencatat dalam daftar isian permintaan tenaga kerja (AK/III) dan menerbitkan bukti
lapor lowongan pekerjaan.
Pasal 29
(1) Untuk mengisi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(2), instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
wajib memenuhi lowongan pekerjaan sesuai data pencari kerja yang terdaftar
(AK/II).
(2) Dalam hal pencari kerja memenuhi persyaratan jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota wajib melakukan pemanggilan kepada pencari
kerja dengan menggunakan kartu antar kerja (AK/IV).
Pasal 30
Bentuk dan format kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I), kartu data pencari
kerja (AK/II), kartu permintaan tenaga kerja (AK/III), kartu pemanggilan calon tenaga
kerja (AK/IV) dan surat pengantar dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kepada pemberi kerja (AK/V) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Menteri ini.
BAB IV
PELAKSANAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
11
Pasal 31
(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja menurut lokasi kerja di bagi berdasarkan :
a. Penempatan tenaga kerja lokal;
b. Penempatan tenaga kerja antar daerah;
c. Penempatan tenaga kerja antar negara.
(2) Tata cara pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.
(3) Tata cara pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 32
(1) LPTKS dan/atau pemberi kerja yang akan menempatkan tenaga kerja melalui
AKAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b, harus memiliki SPP
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(3) Untuk memperoleh persetujuan penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
LPTKS harus mengajukan :
a. surat permintaan dan rencana kebutuhan tenaga kerja dari pemberi kerja;
b. rancangan perjanjian kerja antara calon tenaga kerja dengan pemberi kerja ;
c. perjanjian penempatan tenaga kerja antara calon tenaga kerja dengan LPTKS;
d. rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
di kabupaten/kota daerah penerima bagi penempatan tenaga kerja.
(4) Dalam hal penempatan tenaga kerja dilakukan oleh pemberi kerja, maka harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b dan
huruf d.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 33
(1) LPTKS dan/atau pemberi kerja, serta lembaga di satuan pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi, dan pelatihan wajib menyampaikan laporan mengenai data
penempatan tenaga kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 35
Pasal 36
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 37
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 38
(1) Menteri atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan
dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 33 ayat (1).
Pasal 39
Pasal 40
(1) LPTKS yang telah memiliki ijin penempatan sebelum berlakunya Peraturan Menteri
ini wajib menyesuaikan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, paling
lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.
(2) Apabila LPTKS dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tidak menyesuaikan persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Peraturan
Menteri ini, ijin LPTKS yang bersangkutan dicabut oleh Menteri.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pasal 42
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
14
KEPUTUSAN dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama ;
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
NOMOR; KEP.92/MEN /VI/2004
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TENTANG TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PENGANGKATAN DAN
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN MEDIATOR PEMBERHENTIAN MEDIATOR SERTA TATA
SERTA TATA KERJA MEDIAS KERJA MEDIASI.
BAB II
SYARAT - SYARAT MEDIATOR 2). Pengajuan usul sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) dilengkapi dengan :
a. Copy ijazah pendidikan Strata Satu ( S1 ) ;
Pasal 3 b. Copy SK pangkat terakhir ;
1). Untuk menjadi mediator, seseorang harus memenuhi persyaratan yaitu :
c. Copy SK penempatan atau SK penugasan pada unit kerja yang
a. Pegawai Negeri Sipil pada instansi/dinas yang bertanggung jawab di membidangi hubungan industrial ;
bidang ketenagakerjaan ;
d. Copy sertifikat pendidikan tehnis hubungan industrial dan syarat kerja ;
b. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ;
e. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter ;
c. Warga negara Indonesia ;
f. Foto berwarna terbaru ukuran 3x4 cm 2 ( dua ) lembar ;
d. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter ;
g. Daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai 2 ( dua ) tahun terakhir.
e. Menguasai peraturan perundang - undangan dibidang ketenagakerjaan :
f. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela ; Pasal 5
g. Berpendidikan sekurang - kurangnya Strata Satu (S1) ; dan Di dalam kartu legitimasi dicantumkan wilayah kerja sesuai dengan wilayah
h. Memiliki legitimasi dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. kerja instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang
mengusulkan.
Pasal 10
BAB V
TUGAS KEWAJIBAN DAN WEWENANG MEDIATOR Mediator berkedudukan di :
a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi ;
Pasal 7 b. Kantor / Dinas / Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Mediator bertugas melakukan mediasi kepada para pihak yang berselisih untuk Provinsi ;
menyelesaikan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
c. Kantor / Dinas / Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
Kabupaten / Kota.
perusahaan.
Pasal 8 Pasal 11
(1). Mediator mempunyai kewajiban (1). Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan
a. Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan Transmigrasi, melakukan mediasi perselisihan hubungan industrial yang
yang diperlukan ; terjadi lebih dari satu wilayah Provinsi.
b. Mengatur dan memimpin mediasi ; (2). Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertangung jawab di bidang
ketenga kerjaan Provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan
c. Membantu membuat perjanjian bersama, apabila tercapai
industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Kabupaten / Kota.
d. Membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan ;
(3). Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertangung jawab di bidang
e. Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial ; ketenga kerjaan Provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan
f. Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial ; industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Kabupaten / Kota tempat
pekerja / buruh bekerja.
(2). Bentuk risalah, laporan dan tata cara pelaporan sebagaimanan dimaksud (4). Dalam hal satu wilayah kerja Kabupaten / Kota tidak mempunyai mediator
dalam ayat (1) huruf e dan huruf f diatur dengan Keputusan Direktur atau mediator yang ada tidak mencukupi jumlahnya, maka untuk
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial. menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, kepala instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten / Kota yang
bersangkutan dapat meminta bantuan tenaga mediator kepada kepala instansi telah ditandatangani para pihak ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang terdekat dalam 1 Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian bersama ditandatangani
(satu) Provinsi. untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran ;
h. Membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan
Pasal 12 industrial.
Dalam hal perselisihan menimbulkan dampak yang mempengaruhi kepentingan (2). Dalam hal salah satu pihak atau para pihak mengunakan jasa kuasa hukum
nasional, maka Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat mengambil langkah dalam sidang mediasi, maka pihak yang menggunakan jasa hukum tersebut
penyelesaian, berkordinasi dengan Kepala Daerah setempat. harus tetap hadir.
(3). Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu
penyelesaian ternyata pihak pemohon tidak hadir, maka permohonan
Pasal 13
tersebut dihapus dari buku perselisihan.
Dalam hal perselisihan hubungan industrial menyangkut mengenai perundingan
(4). Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu
Perjanjian Kerja Bersama yang tidak dapat mencapai kesepakatan pada tingkat
penyelesaian ternyata pihak termohon tidak hadir, maka mediator
mediasi di Kabupaten / Kota atau Provinsi, maka berdasarkan kesepakatan para
mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan data - data yang ada.
pihak, perselisihan dapat disampaikan kepada Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi untuk mendapatkan langkah - langkah penyelesaian. (5). Dalam hal para pihak tidak menjawab anjuran secara tertulis maka para
pihak dianggap menolak anjuran, mediator mencatat dalam buku
perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi dan
BAB VII melaporkan kepada pejabat yang memberi penugasan.
KEDUDUKAN MEDIATOR (6). Dalam hal para pihak menyetujui anjuran dan menyatakannya secara tertulis,
maka mediator membantu pembuatan perjanjian bersama secara tertulis
Pasal 14 selambat - lambatnya 3 (3) hari kerja sejak anjuran disetujui para pihak yang
kemudian ditandatangani oleh para pihak dan mediator sebagai saksi.
(1). Segera setelah menerima pelimpahan berkas perselisihan maka mediator
harus : (7). Anjuran tertulis mediator memuat :
a. Melakukan penelitian berkas perselisihan; a. Keterangan pekerja / buruh atau keterangan serikat pekerja / serikat
buruh;
b. Melakukan sidang mediasi paling lambat 7 ( tujuh hari kerja setelah
menerima pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan ; b. Keterangan pengusaha ;
c. Mencapai para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang c. Keterangan saksi / saksi ahli apabila ada ;
denganmempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang mediasi d. Pertimbangan hukum dan kesimpulan mediator ;
dapat dilaksanakan selambat - lambatnya 7 (hari) kerja sejak menerima e. Isi anjuran.
pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan ;
(8). Dalam hal mediator mengeluarkan anjuran dengan mempertimbangkan
d. Melaksakan sidang mediasi dengan mengupayakan penyelesaian secara keterangan yang harus dirahasiakan menurut permintaan pemberi
musyawarah untuk mufakat ; keterangan, maka dalam anjuran mediator cukup menyatakan kesimpulan
e. Mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila berdasarkan keterangan yang harus dirahasiakan dalam pertimbangannya.
penyelesaian tidak mencapai kesepakatan dalam waktu selambat - (9). Dalam hal diperlukan, mediator dapat melakukan dengan pegawai pengawas
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang pertama ; ketenaga kerjaan.
f. Membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila tercapai
kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para pihak dan
disaksikan oleh mediator ;
g. Memberitahu para pihak untuk mendaftarkan perjanjian bersana yang
Pasal 15 diakibatkan dari kelalaian mediator maka atasan langsung mediator
Penyelesaian melalui mediasi sebagaina dimaksud dalam Pasal 14 harus sudah menjatuhkan lisan.
selesai dalam waktu selambat - lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya pelimpahan penyelesaian perselisihan. Pasal 19
(1). Teguran lisan dilakukan setiap kali mediator tidak dapat menyelesaikan
Pasal 16 tugas dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari kerja.
(1). Dalam hal instansi yang bertangung jawabdi bidang ketenagakerjaan (2). Teguran tertulis diberikan setelah melalui teguran lisan sebanyak 3 ( tiga )
menerima pemberitahuan pemogokan atau penutupan perusahaan, maka atas kali.
penunjukan kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang (3). Pemberhentian sementara dilakukan setelah melalui teguran tertulis
ketenagakerjaan mediator segera mengupayakan penyelesaian dengan sebanyak 3 ( tiga ) kali.
mempertemukan para pihak untuk melakukan musyawarah agar tidak terjadi
pemogokan atau penutupan perusahaan.
Pasal 20
(2). Dalam hal musyawarah untuk menghentikan pemogokan atau penutupan
perusahaan tidak tercapai, maka penyelesaian perselisihan mengacu kepada (1). Pemberhentian sementara sebagai mediator berlaku untuk jangka waktu
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 14. selama 2 (dua) bulan.
(2). Pemberhentian sementara dilakukan dengan kartu legitimasi oleh kepala
instansi tempat kedudukan mediator yang bersangkutan.
BAB VIII
(3). Selama pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2
PENCABUTAN LEGITIMASI MEDIATOR
mediator yang bersangkutan tidak boleh menangani perselisihan.
Pasal 17
Pasal 21
(1). Pemberhentian mediator dilakukan dengan pencabutan legitimasi oleh
(1). Dalam hal mediator telah pernah dikenakan pemberhentian sementara
Menteri.
pertama, maka apabila mediator yang bersangkutan melakukan kelalaian
(2). Pencabutan legitimasi sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilakukan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan pemberhentian
karena : sementara yang kedua.
a. Meninggal dunia ; (2). Dalam hal mediator telah pernah dikenakan pemberhentian sementara kedua,
b. Permintaan sendiri ; maka apabila mediator yang bersangkutan melakukan kelalaian kembali
c. Memasuki usia pensiun ; sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikenakan pemberhentian sementara
yang ketiga.
d. Diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil ;
e. Tidak bertugas lagi pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan. Pasal 22
f. Telah dikenakan pemberhetian sementara sebanyak 3 ( tiga ) kali. (1). Sebelum mediator dikenakan pemberhentian tetap, maka yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk membela diri dalam waktu 14 ( empat belas ) hari
kerja sejak tanggal penerimaan pemberhentian sementara yang ketiga.
Pasal 18
(2). Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai berikut :
(1). Dalam hal mediator dapat menyelesaikan tugas dalam waktu 30 (tiga puluh )
a. Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan
hari kerja maka atasan langsung mediator harus meneliti sebab - sebab tidak
Transmigrasi pembelaan diri dilakukan dihadapan Direktur Jenderal
selesainya perselisihan.
Pembinaan Hubungan Industrial
(2). Dalam hal sebab - sebab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata
b. Mediator yang berkedudukan di Provinsi pembelaan diri dilakukan ini berlaku efektif sejak mulai berlakunya Undang - undang Nomor 2 Tahun
dihadapan Gubernur. 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
c. Mediator yang berkedudukan di Kabupaten / Kota pembelaan diri
dilakukan dihadapan Bupati /Walikota. BAB X
(3). Dalam hal mediator menggunakan kesempatan membela diri sebagaimana KETENTUAN PENUTUP
dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) membuat risalah tentang pembelaan diri mediator.
Pasal 24
(4). Risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan dilampiri dokumen
pendukung disampaikan kepada Menteri dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri
kerja sejak selesainya dilakukan pembelaan diri oleh mediator. Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER-02/MEN/1985 tentang Syarat
Penunjukan, Tugas, Kedudukan dan Wewenang Pegawai Perantara
(5). Risalah sekurang - sekurangnya memuat :
dinyatakan tidak berlaku lagi.
a. Keterangan mediator;
b. Keterangan saksi apabila ada ;
Pasal 25
c. Pendapat atasan langsung mediator ;
d. Pendapat pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 ).
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(6). Apabila mediator tidak menggunakan kesempatan membela diri dalam
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat
Ditetapkan di Jakarta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengusulkan kepada Menteri untuk
pada tanggal 4 Oktober 2004
mencabut legitimasi mediator yang bersangkutan.
(7). Dalam hal pembelaan mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dapat MENTERI
diterima, maka Menteri memberitahukan kepada pejabat sebagaimana TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
dimaksud dalam ayat (2) mengembalikan kartu legitimasi mediator. REPUBLIK INDONESIA
(8). Dalam hal pembelaan diri tidak dapat diterima, maka Menteri menerbitkan ttd
keputusan pencabutan legitimasi mediator yang bersangkutan.
JACOB NUWA WEA
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
(1). Pegawai perantara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
diangkat sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri ini dapat diberi
legitimasi sebagai mediator.
(2). Untuk mendapatkan legitimasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bupati / Walikota atau Gubernur atau Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial mengusulkan kepada Menteri.
(3). Pelaksanaan tugas mediator sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA 5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2005 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
NOMOR : PER -10/MEN/V/2005
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 19 ayat (1) huruf i, Pasal 28 dan MEMUTUSKAN
Pasal 121 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perlu menetapkan
syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian konsiliator serta tata Menetapkan PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
kerja konsiliasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial : REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGANGKATAN DAN
dengan Peraturan Menteri; PEMBERHENTIAN KONSILIATOR SERTA TATA KERJA KONSILIASI
5. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang a. penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai b. kuasa hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
c. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi
pengusaha;
6. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan d. konsultan hukum bidang hubungan industrial;
antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya e. pengelola sumber daya manusia di perusahaan;
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
f. dosen, tenaga pengajar, dan peneliti di bidang hubungan
kewajiban keserikatanpekerja. industrial;
g. anggota P4D/P4P atau Panitera P4D/P4P;
7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi h. narasumber atau pembicara dalam seminar, lokakarya, simposium
dan lain-lain di bidang hubungan industrial.
BAB II
SYARAT-SYARAT KONSILIATOR (3) Dalam hal calon konsiliator tidak memenuhi pengalaman 5 (lima)
tahun untuk salah satu kegiatan, maka pengalaman 5 (lima) tahun
dapat diperhitungkan dari penggabungan beberapa kegiatan
(1) Untuk menjadi konsiliator, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
yaitu :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa; (4) Pengalaman 5 (lima) tahun atas perhitungan penggabungan
b. warga negara Indonesia; beberapa kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan
dengan surat keterangan Kepala Instansi yang bertanggung jawab di
c. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat.
Tim Seleksi yang dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 3
(6) Materi seleksi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
(1) Untuk dapat diangkat menjadi konsiliator, calon konsiliator a. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
mengajukan pendaftaran dengan menyampaikan permohonan b. hubungan industrial dan sarananya;
tertuilis kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui
Bupati /Walikota c.q. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di c. penyelesaian perselisihan hubungan industrial, di dalam maupun
bidang ketenagakerjaan setempat. di luar pengadilan hubungan industrial;
d. persyaratan kerja, kondisi kerja, pengupahan dan jaminan sosial
tenaga kerja;
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
melampirkan: e tehnik negosiasi.
a. surat pernyataan tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil,
anggota TNI/POLRI;
Pasal 4
b. daftar riwayat hidup calon konsiliator;
c. copy ijazah pendidikan minimal Strata Satu (S1) yang telah
(1) Calon konsiliator yang telah lulus seleksi sebagaimana dimaksud
dilegalisir rangkap 2 (dua);
dalam Pasal 3, diusulkan oleh Bupati/Walikota daengan melampirkan
d. surat keterangan berbadan sehat dari dokter; tanda lulus seleksi kepada Menteri untuk mendapatkan legitimasi
sebagai konsiliator.
e. surat berkelakuan baik dari kepolisian;
(2) Calon konsiliator yang diusulkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana
f. copy KTP yang masih berlaku; dimaksud pada ayat (1) diberi legitimasi sebagai konsiliator dengan
g. pas foto berwarna terbaru ukuran 3x4 cm, sebanyak 4 (empat) Keputusan Menteri.
lembar; (3) Konsiliator yang telah mendapat legitimasi sebagaimana dimaksud
h. surat keterangan telah memiliki pengalaman di bidang hubungan pada ayat (1), melapor kepada Bupati/Walikota untuk dicatat
industral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) sebagai konsiliator dan didaftar pada kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota
setempat.
(3) Bupati/Walikota c.q. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di BAB III
bidang ketenagakerjaan setempat setelah menerima permohonan
TUGAS DAN WEWENANG KONSILIATOR
tertulis calon konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terlebih dahulu melakukan seleksi atas kelengkapan berkas Pasal 5
permohonan.
Konsiliator bertugas melakukan konsiliator kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
(4) Terhadap calon konsiliator yang telah memenuhi kelengkapan berkas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan seleksi tertulis. Pasal 6
Konsiliator mempunyai kewenangan :
(5) Seleksi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh a. meminta keterangan kepada para pihak;
b. menolak wakil para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat kesepakatan;
kuasa; d. membuat anjuran tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan
c. menolak melakukan konsiliasi bagi pra pihak yang belum melakukan penyelesaian;
perundingan secara bipartit; e. membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
d. meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan; f. membuat dan memelihara buku khusus dan berkas perselisihan yang
e. memanggil saksi atau saksi ahli; ditangani;
f. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para g. membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan
pihak instansi/lembaga terkait. industrial kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.
BAB IV
KEWAJIBAN KONSILIATOR BAB V
PENDAFTARAN DAN KEDUDUKAN KONSILIATOR
Pasal 5
Pasal 8
KOnsiliator bertugas melakukan konsiliasi kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan Konsiliator terdaftar di instansi yang bertanggung jawab di bidang
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Pasal 9
Pasal 6 (1) Konsiliator melakukan konsiliasi penyelesaian perselisihan hubungan
a. meminta keterangan kepada para pihak; industrial yang terjadi di Kabupaten/Kota tempat pekerja/buruh
bekerja.
b. menolak wakil para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat
kuasa; (2) Berdasarkan permintaan para pihak yang berselisih, konsiliator dapat
melakukan konsiliasi diluar wilayah konsiliator terdaftar dengan seijin
c. menolak melakukan konsiliasi bagi para pihak yang belum Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
melakukan perundingan secara bipartit; di tempat konsiliator terdaftar.
d. meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan; (3) Berdasarkan pertimbangan anggaran, Kepala Instansi yang
e. memanggil saksi atau saksi ahli; bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliator
terdaftar berwenang menolak permintaan para pihak sebagaimana
f. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para dimaksud pada ayat (2)
pihak dan instansi/lembaga terkait.
BAB VI
BAB IV TATA KERJA KONSILIATOR
KEWAJIBAN KONSILIATOR
Pasal 10
Pasal 7
(1) Setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara
Konsiliator mempunyai kewajiban : tertulis dari para pihak, kosiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh
a. memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar para pihak segera :
keterangan yang diperlukan; a mencatat dalam buku yang dibuat khusus untuk itu;
b. mengatur dan memimpin konsiliasi; b melakukan penelitian berkas perselisihan termasuk risalah
c. membantu membuat perjanian bersama apabila tercapai perundingan bipartit;
c melakukan sidang konsiliasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja (6) Dalam hal para pihak menyetujui anjuran dan menyatakannya
setelah menerima permintaan penyelesaian secara tertulis; secara tertulis, maka konsiliator membantu pembuatan perjanjian
bersama selambat-lambatnya 3 (t iga) hari kerja sejak anjuran
d memanggil para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang disetujui para pihak yang kemudian ditandatangani oleh para pihak
dengan mempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang
dan konsiliator sebagai saksi.
konsiliasi dapat dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak menerima penyerahan penyelesaian perselisihan; (7) Anjuran tertulis konsiliator memuat :
e melaksanakan sidang konsiliasi dengan mengupayakan a keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat pekerja/serikat
penyelesaian perselisihan secara musyawarah untuk mufakat; buruh;
f mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila b keterangan pengusaha;
penyelesaian perselisihan tidak mencapai kesepakatan dalam
c keterangan saksi/saksi ahli apabila ada;
waktu selambat-lambatnya 10 (sepulh) hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama; d pertimbangan hukum dan kesimpulan konsiliator;
g membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila e isi anjuran.
tercapai kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh konsiliator; (8) Dalam hal konsiliator mengeluarkan anjuran dengan
mempertimbangkan keterangan yang harus dirahasiakan menurut
h memberitahukan para pihak untuk mendaftarkan perjanjian permintaan pemberi keterangan, maka dalam anjuran konsiliator
bersama yang telah ditandatangani ke Pengadilan Hubungan cukup menyatakan kesimpulan berdasarkan keterangan yang harus
Industrial pada Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian dirahasiakan dalam pertimbangannya.
bersama ditandatangani untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran; Pasal 11
i membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan Penyelesaian di tingkat konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus sudah
idustrial. selesai dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya permintaan penyelesaian perselisihan.
(2) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak menggunakan jasa kuasa
hukum dalam sidang konsiliasi, maka pihak yang menggunakan jasa BAB VII
kuasa hukum tersebut harus tetap hadir. PEMBERHENTIAN KONSILIATOR
(3) Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan Pasal 12
waktu penyelesaian ternyata pihak pemohon tidak hadir, maka
(1) Pemberhentian konsiliator dilakukan dengan pencabutan legitimasi
konsiliator melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab oleh Menteri.
dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat untuk
dihapuskan dari buku perselisihan. (2) Pencabutan legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan karena :
(4) Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan
waktu penyelesaian ternyata pihak termohon tidak hadir, maka a meninggal dunia;
konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan data-data
b permintaan sendiri;
yang ada.
c terbukti telah melakukan tindak pidana kejahatan;
(5) Dalam hal para pihak tidak menjawab anjuran secara tertulis dalam
waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak anjuran tertulis dikeluarkan, d menyalahgunakan jabatan;
maka para pihak dianggap menolak anjuran, selanjutnya konsiliator
e membocorkan keterangan yang seharusnya dirahasiakan;
mencatat dalam buku perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat
diselesaiakan melalui konsiliasi. f telah dikenakan pencabutan sementara sebanyak 3 (tiga) kali.
(3) Sebelum dilakukan pencabutan legitimasi sementara sebagaimana bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliastor terdaftar.
dimaksud pada ayat (2) huruf f, terhadap konsiliator yang Pasal 15
bersangkutan diberikan teguran tertulis.
(1) Dalam hal konsiliator telah pernah dikenakan pencabutan sementara
Pasal 13 pertama, maka apbila konsiliator yang bersangkutan melakukan
(1) Teguran tertulis diberikan konsiliator apablia : kelalaian kembali sebagaiman dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)
dikenakan pencabutan seme ntara yang kedua.
a tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja dalam hal para pihak tidak (2) Dalam hal konsiliator telah pernah dikenakan pencabutan sementara
tercapai kesepakatan; kedua maka apabila konsiliator yang bersangkutan mealakukan
kelalaian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
b tidak membantu para pihak membuat perjanjian bersama dalam pencabutan sementara yang ketiga.
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja;
Pasal 16
c tidak menyelesaikan perselisihan dalam waktu 30 (tiga pulh) hari
kerja; aatau (1) Sebelum konsiliator dikanakan pencabutan tetap, maka yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam waktu 14
d tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam (empat belas) hari kerja sejak tanggal penerimaan pemberitahuan
Pasal 7 huruf g. pencabutan sementara yang ketiga.
(2) Dalam hal sebab-sebab sebagaiman dimaksud pada ayat (1) (2) Pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
ternyata diakibatkan dari kelalaian konsiliator maka Bupati/Walikota dihadapan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, menjatuhkan
menjatuhkan teguran tertulis kepada konsiliator yang teguran tertulis kepada konsiliator yang berkedudukan di
berkekdudukan di Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota.
(3) Pencabut an sementara dilakukan setelah melalui teguran tertulis (3) dalam hal konsiliator menggunakan kesempatan membela diri
sebanyak 3 (tiga) kali dalam waktu 2 (dua) bulan. sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pejabat sebagaimana
Pasal 14 dimaksud pada ayat (2) membuat risalah tentang pembelaan diri
konsiliator.
(1) Pencabutan sementara sebagai konsiliator berlaku untuk waktu
selama 3 (tiga) bulan. (4) Risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan dilampiri
dokumen pendukung, disamping kepada menteri dalam waktu 30
(2) Pencabutan sementara dilakukan dengan me narik legitimasi oleh (tiga puluh) hari kerja sejak selesainya dilakukan pembelaan diri oleh
Menteri. konsiliator.
(3) Menteri dapat mendelegasikan pencabutan sementara sebagaimana (5) Risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekuarng-kurangnya
dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pembinaan memuat :
Hubungan Industrial, Gubernur atau Bupati/Walikota.
a keterangan konsiliator;
(4) Selama pancabutan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
konsiliator yang bersangkutan tidak boleh menangani perselisihan b keterangan saksi apabila ada;
yang baru tetapi wajib menyelesaikan perselisihan yang sedang c pendapat pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
ditangani.
(6) Apabila konsiliator tidak menggunakan kesempatan membela diri
(5) Dalam hal Menteri atau Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan dalam tenggang waktu sebagaiman dimaksud ayat (1), maka
Industrial atau Gubernur atau Bupati/Walikota mencabut legitimasi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengusulkan kepada
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pencabutan sementara Menteri untuk mencabut legitimasi konsiliator yang bersangkutan.
tersebut harus diumumkan, sekurang-kurangnya ditempatkan pada
papan pengumuman di kantor instansi yang bertanggung jawab di (7) Dalam hal pembelaan konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diterima, maka Menteri memberitahukan kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk mengembalikan kartu
legitimasi konsiliator.
(8) Dalam hal pembelaan diri tidak dapat diterima, maka Menteri
menerbitkan keputusan pencabutan legitimasi konsiliator yang
bersangkutan.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 17
Konsiliator wajib membuat laporan konsiliasi setiap 3 (tiga) bulan,
disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dengan tembusan kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota setempat.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2005
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala biro hukum,
Myra M. Hanartani
NIP. 160025858
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
REPUBLIK INDONESIA 1. Dewan Pengupahan Nasional yang selanjutnya disebut Depenas adalah suatu lembaga non
struktural yang bersifat triparti.
NOMOR : PER-03/MEN/I/2005
2. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik diperusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
TENTANG
mandiri, dan tanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
TATA CARA PENGUSULAN KEANGGOTAAN
DEWAN PENGUPAHAN NASIONAL 3. Organisasi pengusaha adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia(APINDO).
4. Perguruan Tinggi adalah Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA 5. Pakar adalah seseorang yang mempunyai keahlian dan pengalaman di bidang pengupahan.
6. Menten adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 13 ayat (6) Keputusan Presiden Nomor
107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan, perlu diatur mengenai Cara BAB II
Pengusulan Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dengan Peraturan KEANGGOTAAN
Menteri; Bagian Pertama
Mengingat : Jumlah Anggota
1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 2
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39;
Anggota Dewan Pengupahan Nasional berjumlah 23 (dua puluh tiga) orang, yang terdiri dari :
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
a. unsur pemerintah sebanyak 10 (sepuluh) orang;
4279);
b. unsur serikat pekerja/serikat buruh sebanyak 5 (lima) orang;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2004 c. unsur organisasi pengusaha sebanyak 5 (lima) orang;dan
tentang Dewan Pengupahan; d. unsur perguruan tinggi dan pakar sebanyak 3 (tiga) orang.
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; Bagian kedua
Keterwakilan Masing-masing Unsur
Memperhatikan- : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional Pasal 3
tanggal 2 Desember 2004;
(1) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dan unsur pemerintah terdiri dari :
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebanyak 3(tiga) orang;
tanggal 13 Desember 2004;
b. Kantor Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian 1(satu) orang;
c. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 1(satu) orang;
MEMUTUSKAN : d. Badan Pusat Statistik 1(satu) orang;
e. Departemen Perindustrian 1 (orang);
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK f. Departemen Perdagangan 1 (satu) orang;
INDONESIA TENTANG TATA CARA PENGUSULAN KEANGGOTAAN DEWAN g. Departemen Pertanian 1(satu) orang;
PENGUPAHAN NASIONAL. h. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 1(satu) orang.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur organisasi pengusaha diwakili oleh
BAB I APINDO.
KETENTUAN UMUM (3) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur serikat pekerja/serikat buruh ditetapkan
Pasal 1 sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.
16/MEN/2001 tentang Tata Cara Pencat atan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 201/MEN/2001 tentang Keterwakilan Pasal 8
Dalam Kelembagaan Hubungan Industrial.
(4) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur perguruan tinggi dan pakar terdiri dari : Susunan keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional yang diusulkan oleh Menteri kepada Presiden:
a. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
a. Akademis; sebagai Ketua merangkap anggota;
b. Pakar Ekonomi. b. satu orang wakil dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sebagai wakil ketua merangkap
anggota;
BAB III c. satu orang wakil dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagai wakil ketua merangkap anggota;
PROSEDUR PENGUSULAN KEANGGOTAAN
Bagian Kesatu d. Direktur Pengupahan, Jaminan Sosial dan Kesejahteraan Departemen Tenaga Kerja dan
Unsur Pemerintah Transmigrasi sebagai sekretaris merangkap anggota ;
Pasal 4 e. anggota.
Calon anggota Dewan Pengupahan Nasional dari unsur Departemen Tenaga Kerja dan Trasnmigrasi,
Perguruan Tinggi dan Pakar ditunjuk oleh Menteri. Pasal 9
Pasal 5 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Permintaan nama calon anggota dari instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), huruf
b sampai dengan huruf h disampaikan oleh Menteri kepada Pimpinan Departemen atau Kementrian Ditetapkan di Jakarta
atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan. pada tanggal 31-1-2005
Bagian Ketiga
Unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 7
(1) Permintaan nama calon anggota dari unsur serikat pekerja/serikat buruh disampaikan oleh
Menteri kepada serikat pekerja/serikat buruh yang berhak duduk di Dewan Pengupahan
Nasional.
(2) Penentuan serikat pekerja/serikat buruh yang berhak duduk di Dewan Pengupahan Nasional
sebagaimana dimakdwsud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.16/MEN/2001 tentang Tata Cara
Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 201/MEN/2001 tentang Keterwakilan Dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial.
BAB IV
SUSUNAN KEANGGOTAAN
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA 3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
NOMOR : PER. 02/MEN/XII/2004 Tahun' 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 4279);
TENTANG 4. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
BAGI TENAGA KERJA ASING 3520);
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
Menimbang : a. bahwa program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bertujuan
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja beserta
PER-05/MEN/1993 tent ang Petunjuk Teknis Pendaftaran
keluarganya;
Kepesertaan, Pembayaran luran, Pembayaran Santunan dan
b. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, mengamanatkan pelaksanaan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja diberlakukan kepada 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
setiap tenaga kerja yang bekerja di Indonesia; PER-01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Tenaga Kerja Dengan Manfaat Lebih Baik
c. bahwa sebagian tenaga kerja asing yang bekerja di Indouesia dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan
telah mendapatkan perlindungan melalui berbagai program Sosial Tenaga Kerja;
asuransi jaminan sosial tenaga kerja di negara asalnya;
MEMUTUSKAN :
d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, b dan c maka perlu diatur Jaminan Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
Sosial Bagi Tenaga Kerja Asing dengan Peraturan Menteri; TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan TENAGA
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun KERJA BAGI TENAGA KERJA ASING.
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Pasal 1
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4); Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial 1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang
1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
Indonesia Nomor 3468): dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua
dan meninggal dunia.
2. Pengusaha adalah
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Pasal 2
Pengusaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang telah memiliki perlindungan
melalui program jaminan sosial tenaga kerja di negara asalnya yang sejenis dengan
program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, tidak wajib mengikutsertakan
tenaga kerja asing yang bersangkutan dalam program jaminan sosial tenaga kerja di
Indonesia .
Pasal 3
Keikutsertaan Tenaga Kerja Asing pada program jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus dibuktikan denaan polis asuransi asli.
Pasal 4
Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Asing, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31-12-2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN MEMUTUSKAN :
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
REPUBLIK INDONESIA TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA
NOMOR : KEP. 225 /MEN/2003 AKREDITASI LEMBAGA PELATIHAN KERJA.
TENTANG
BAB I
ORGANISASI DAN TATA KERJA
KETENTUAN UMUM
LEMBAGA AKREDITASI LEMBAGA PELATIHAN KERJA
Pasal 1
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu 1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
diatur tentang Organisasi dan tata kerja lembaga meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
akreditasi lembaga pelatihan kerja; sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang 2. Akreditasi pelatihan kerja adalah pengakuan status program pelatihan kerja
berbasis kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja melalui
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan penilaian yang dilakukan oleh lembaga akreditasi pelatihan kerja berdasarkan
kriteria standar yang ditetapkan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang 3. Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja.
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 4. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Republik BAB II
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TUGAS
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
Pasal 2
4. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
(1) Lembaga akreditasi lembaga pelatihan kerja yang selanjutnya disebut lembaga
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama akreditasi merupakan lembaga yang bersifat independen dan ditetapkan oleh
Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003; Menteri.
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003; (2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdomisili di Jakarta.
Pasal 3
(3) Keanggotaan lembaga akreditasi sebanyak-banyaknya berjumlah 11 (sebelas)
Lembaga akreditasi berfungsi mengembangkan sistem dan melaksanakan akreditasi orang.
lembaga pelatihan kerja.
(4) Menteri menetapkan keanggotaan lembaga akreditasi berdasarkan usulan dari
Pasal 4 instansi pemerintah terkait dan masyarakat.
(1) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 lembaga Pasal 7
akreditasi mempunyai tugas :
a. menyusun kebijakan akreditasi lembaga pelatihan kerja; Untuk melaksanakan akreditasi, lembaga akreditasi dapat membentuk komite akreditasi
b. mengembangkan sistem akreditasi lembaga pelatihan kerja; sesuai kebutuhan.
c. melaksanakan dan mengendalikan pelaksanaan sistem akreditasi lembaga
pelatihan kerja; Pasal 8
d. mengembangkan kerjasama internasional antar lembaga akreditasi pelatihan
kerja. Komite akreditasi mempunyai tugas :
a. menetapkan tim pelaksana akreditasi lembaga pelatihan kerja;
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lembaga b. melaksanakan bimbingan teknis akreditasi;
akreditasi harus berpedoman kepada standar nasional pelatihan kerja yang c. melaksanakan akreditasi lembaga pelatihan kerja;
ditetapkan oleh Menteri. d. membuat laporan pelaksanaan kegiatan akreditasi.
(1) Keanggotaan lembaga akreditasi lembaga pelatihan kerja terdiri dari unsur (2) Keanggotaan komite akreditasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
masyarakat yang dipilih berdasarkan keahlian dan profesionalisme serta unsur (1) terdiri dari tenaga profesional dan praktisi yang berasal dari unsur pemerintah,
pemerintah. asosiasi lembaga pelatihan kerja, asosiasi perusahaan, asosiasi profesi dan pakar
di bidang pelatihan kerja.
(2) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari asosiasi
lembaga pelatihan kerja, asosiasi perusahaan, asosiasi profesi atau pakar di bidang (3) Komite akreditasi dibantu sekretariat yang berasal dari instansi pemerintah yang
pelatihan kerja. bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi.
(3) Pengurus lembaga akreditasi terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, Pasal 10
seorang wakil ketua merangkap anggota, seorang sekretaris merangkap anggota
dan beberapa orang anggota. (1) Anggota Komite Akreditasi sebanyak-banyaknya berjumlah 7 (tujuh) orang.
Pasal 6 (2) Anggota Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh masing-
masing unsur kepada lembaga akreditasi melalui instansi yang bertanggung jawab
(1) Ketua dan wakil ketua lembaga akreditasi adalah seseorang yang memiliki di bidang ketenagakerjaan di provinsi.
kompetensi dan pengalaman di bidang pelatihan kerja, dan dipilih dari unsur
masyarakat . Pasal 11
(2) Sekretaris lembaga akreditasi berasal dari instansi pemerintah yang bertanggung (1) Dalam melaksanakan tugasnya Komite Akreditasi dibantu oleh Tim yang dibentuk
jawab di bidang pelatihan kerja. sesuai dengan kebutuhan bidang akreditasi.
(2) Komite Akreditasi harus menyampaikan laporan kepada ketua Lembaga Akreditasi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Komite
Akreditasi. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat pelaksanaan kegiatan
akreditasi.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN KEANGGOTAAN (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat nama
dan alamat lembaga pelatihan kerja, dan program pelatihan kerja.
Pasal 12
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disampaikan secara
(1) Keanggotaan lembaga akreditasi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) kali setahun.
(2) Keanggotaan Komite Akreditasi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Lembaga (6) Bentuk laporan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan
Akreditasi. Tenaga Kerja Dalam Negeri.
(3) Masa tugas keanggotaan lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) BAB VII
kali masa jabatan. KETENTUAN PENUTUP
BAB V Pasal 16
PENDANAAN
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini maka segala ketentuan yang bertentangan
Pasal 13 dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku.
Ditetapkan di Jakarta
BAB VI pada tanggal 31 Oktober 2003
PEMBINAAN DAN PELAPORAN
Pasal 14 MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
(1) Pembinaan lembaga akreditasi dilakukan oleh Menteri. REPUBLIK INDONESIA,
(3) Pembinaan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) meliputi JACOB NUWA WEA
aspek administrasi dan teknis.
Pasal 15
BAB I
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONES IA, KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 25 ayat
(3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan tata cara perizinan
penyelenggaraan program pemagangan di luar 1. Pemagangan di luar wilayah Indonesia adalah bagian dari sistem pelatihan kerja
wilayah Indonesia; yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan bekerja secara langsung dibawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau
Menteri; pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau
jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai ketrampilan atau keahlian tertentu
Mengingat : 1. Undang–undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang yang diselenggarakan di luar wilayah Indonesia.
Pernyataan Berlakunya Undang - undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik 2. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
Indonesia ( Lembaran Negara Republik Indonesia pengetahuan, keterampilan, sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
Tahun 1951 Nomor 4); ditetapkan.
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik 3. Lembaga Penyelenggara Program Pemagangan adalah Lembaga Pelatihan Kerja
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan yang telah mendapat izin atau telah terdaftar pada instansi yang bertanggung
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); jawab di bidang ketenagakerjaan untuk melaksanakan program pelatihan kerja.
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001
4. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Pasal 2
Tripartit Nasional tanggal 10 Juli 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama (1) Pemagangan diselenggarakan berdasarkan kurikulum dan silabus.
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003;
(2) Kurikulum dan silabus pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
berdasarkan kompetensi kerja.
Pasal 3
Pasal 9
Penyelenggaraan program pemagangan di luar wilayah Indonesia mengikuti ketentuan
yang berlaku di negara penerima peserta program pemagangan. Lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia wajib
menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh peserta pemagangan selama berada di
Pasal 4 negara tempat pemagangan.
Pasal 5 Bagian 1
Peserta program pemagangan di luar wilayah Indonesia berhak untuk : Lembaga Pelatihan Kerja Yang Menyelenggarakan
a. mendapatkan sertifikat dari lembaga pelatihan kerja apabila yang bersangkutan Program Pemagangan Bagi Masyarakat Umum
telah menyelesaikan program pemagangan;
b. mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi kompetensi; Pasal 10
c. mendapatkan perlindungan asuransi kecelakaan, kesehatan, kematian yang
preminya ditanggung oleh lembaga penerima peserta program pemagangan yang Lembaga pelatihan kerja yang akan menyelenggarakan program pemagangan di luar
besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara tempat dilaksanakannya wilayah Indonesia bagi masyarakat umum wajib mengajukan permohonan izin yang
program pemagangan; dilengkapi dengan :
d. mendapatkan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti praktek a. copy izin lembaga pelatihan kerja yang masih berlaku;
kerja di perusahaan; b. copy dokumen perjanjian antara lembaga penyelenggara program pemagangan
e. mendapatkan uang saku dan transport sesuai perjanjian antara peserta magang dengan Lembaga Penerima Pemagang di wilayah Indonesia yang memuat tentang
dengan lembaga pelatihan kerja penyelenggara program pemagangan. tugas dan tanggung jawab para pihak termasuk pembebanan biaya;
c. contoh perjanjian pemagangan antara peserta magang dengan lembaga pelatihan
BAB II kerja yang memuat hak dan kewajiban para pihak;
PERIZINAN d. contoh perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan penerima
peserta pemagangan di wilayah Indonesia yang memuat hak dan kewajiban para
Pasal 6 pihak;
e. kurikulum dan silabus yang sesuai dengan program pemagangan;
Lembaga pelatihan kerja yang menyelenggarakan program pemagangan wajib memiliki f. daftar tenaga instruktur program pemagangan.
izin penyelenggaraan program pemagangan.
Pasal 11
Pasal 7
(1) Dalam hal dokumen tidak lengkap maka Direktur Jenderal Pembinaan dan
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri menolak permohonan disertai dengan
dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri. alasan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan.
Pasal 8
(2) Dalam hal dokumen telah lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, maka
Izin lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia dapat Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
diberikan sekurang-kurangnya untuk waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk melakukan verifikasi tentang keabsahan dokumen dalam waktu paling lama 14
waktu yang sama. (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memenuhi
syarat, Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
menerbitkan surat izin penyelenggara program pemagangan paling lama 30 (tiga Pasal 15
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
(1) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui
Bagian 2 tahapan:
a. teguran lisan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga pelatihan
Lembaga Pelatihan Kerja kerja yang bersangkutan;
Yang Menyelenggarakan Program Pemagangan b. peringatan tertulis dilakukan apabila dalam waktu 24 (dua puluh empat)
Bagi Pekerjanya/Buruhnya hari kerja terhitung sejak dilakukan teguran lisan, lembaga yang
bersangkutan tetap melakukan pelanggaran yang sama;
Pasal 12 c. pemberhentian sementara pengiriman peserta pemagangan selama 6
(enam) bulan apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak
Lembaga pelatihan kerja milik perusahaan dan/atau perusahaan yang melaksanakan dilakukan teguran tertulis, lembaga penyelenggara program pemagangan
program pemagangan di luar wilayah Indonesia bagi pekerjanya/buruhnya masih melakukan pelanggaran yang sama;
menyampaikan permohonan izin dengan melampirkan : d. izin lembaga penyelenggaraan program pemagangan dicabut apabila dalam
a. perjanjian antara perusahaan penyelenggara program pemagangan dengan masa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada huruf c
lembaga penerima pemagang di wilayah Indonesia tentang penyelenggaraan lembaga penyelenggara program pemagangan tetap melaksanakan
program pemagangan; pelanggaran yang sama dan/atau mengirim peserta program pemagangan.
b. contoh perjanjian pemagangan antara peserta program pemagangan dengan
perusahaan penyelenggara program yang mengirim peserta yang memuat hak dan
kewajiban para pihak; (2) Lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia yang
c. tingkat pencapaian kualifikasi keterampilan atau keahlian yang akan diperoleh terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pekerjanya/buruhnya setelah mengikuti pemagangan; program pemagangan di luar wilayah Indonesia dapat dicabut izin penyelenggara
d. rencana penempatan pekerja/buruh setelah menyelesaikan program pemagangan. program pemagangan.
BAB IV Pasal 16
PENCABUTAN IZIN
(1) Lembaga pelatihan kerja yang menyelenggarakan program pemagangan di luar
Pasal 14 wilayah Indonesia wajib melaporkan penyelenggaraan program kepada Direktur
Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri dapat
mencabut izin penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia dalam hal (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap 6 (enam) bulan
penyelenggaraan program pemagangan tidak sesuai ketentuan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5 sekali dan sekurang-kurangnya berisi tentang data peserta, program yang
huruf a, huruf c, huruf d dan huruf e. dilaksanakan dan lembaga penerima program pemagangan.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 17
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi program, sumber
daya manusia, fasilitas, metoda dan sistem penyelenggaraan program
pemagangan.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
TATA CARA PENETAPAN 1. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
STANDARD KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standard yang
ditetapkan.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, 2. Standardisasi kompetensi kerja adalah proses merumuskan, menetapkan dan
menerapkan standard kompetensi kerja.
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 10 ayat 4 3. Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disebut SKKNI
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang adalah uraian kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap
Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan tata cara kerja minimal yang harus dimiliki seseorang untuk menduduki jabatan tertentu
penetapan standard kompetensi kerja nasional yang berlaku secara nasional.
Indonesia; 4. Penetapan Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia adalah kegiatan
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan menetapkan rancangan standard kompetensi kerja nasional Indonesia menjadi
Menteri. standard kompetensi kerja nasional Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang 5. Instansi Teknis adalah Departemen, Kantor Menteri Negara atau Lembaga
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Pemerintah lainnya, yang merupakan pembina teknis sektor yang bersangkutan.
Indonesai Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan 6. Konvensi SKKNI adalah forum untuk mencapai konsensus masyarakat sektor
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); profesi tentang rancangan standard kompetensi kerja nasional Indonesia menjadi
2. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 standard kompetensi kerja nasional Indonesia.
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong; 7. Masyarakat profesi adalah lembaga sertifikasi profesi, asosiasi perusahaan,
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama asosiasi profesi, lembaga pendidikan dan pelatihan dan lembaga lain yang terkait.
Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003; 8. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003; Pasal 2
MEMUTUSKAN : Tata cara penetapan SKKNI bertujuan untuk memberikan acuan dalam penyusunan,
pembakuan dan penetapan SKKNI.
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
BAB II
TATA CARA PENETAPAN STANDARD KOMPETENSI
PENYUSUNAN RANCANGAN SKKNI
KERJA NASIONAL INDONESIA.
Pasal 3
(1) Rancangan SKKNI yang telah dibakukan dan dikodifikasi oleh Badan Nasional
Sertifikasi Profesi ditetapkan oleh Menteri menjadi SKKNI. MENTERI
(2) SKKNI yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
secara nasional dan menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan dan REPUBLIK INDONESIA
pelatihan profesi serta uji kompetensi dan sertifikasi profesi.
ttd.
(3) SKKNI ditinjau ulang setiap 5 (lima) tahun atau sesuai dengan kebutuhan masing-
masing bidang profesi.
JACOB NUWA WEA
(4) SKKNI dikembangkan setara dengan standard kompetensi yang berlaku secara
internasional atau berlaku di negara lain.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 6
MEMUTUSKAN :
Pasal 2
Keuangan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
bersumber dari :
a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga;
b. hasil usaha yang sah; dan
c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.
Pasal 3
(1) Pembayaran iuran anggota dapat dilakukan melalui pemotongan upah setiap bulan.
(2) Pemotongan upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha.
(3) Pelaksanaan pungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan
dilakukan oleh pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh memutuskan untuk memungut iuran anggota melalui
pemungutan upah pekerja/buruh maka pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan
melakukan sosialisasi rencana pemungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
melalui pemotongan upah dan pemanfaatan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
kepada anggotanya.
(2) Pengurus serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan rencana pemungutan iuran
anggota kepada pimpinan perusahaan secara tertulis dengan melampirkan:
Pasal 5
(1) Pengusaha hanya dapat melakukan pemungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
berdasarkan surat kuasa dari pekerja/buruh yang bersangkutan kepada pengusaha untuk
memotong upah pekerja/buruh.
(2) Pemungutan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dicatat secara khusus oleh
Pengusaha
(3) Dalam hal anggota serikat pekerja/serikat buruh berhenti dari keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh maka pekerja/buruh yang bersangkutan membuat pencabutan kuasa
pekerja/buruh yang bersangkutan kepada pengusaha untuk memotong upah.
Pasal 6
(1) Penyaluran iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan kepada perangkat
organisasi serikat pekerja/serikat buruh, dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh
berdasarkan peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
(2) Pengurus serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan wajib menyalurkan iuran anggota
serikat pekerja/serikat buruh kepada perangkat organisasi sesuai peraturan organisasi yang
bersangkutan.
(3) Penyaluran iuran anggota dilakukan melalui transfer bank dan dilarang dalam bentuk uang
tunai.
(4) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
mengatur jumlah minimum pengiriman iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(5) Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan dapat meminta bukti transfer iuran anggota
kepada pengusaha.
Pasal 7
Besarnya iuran, pemanfaatan dan atau pendistribusian iuran untuk kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh, federasi serikat pekerja/serikat buruh dan atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh,
diatur dalam anggaran dasar dan atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Pasal 8
(1) Dalam hal pemungutan dan penyaluran iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh tidak
diatur dalam anggaran dasar atau anggaran rumah rumah tangga, maka diatur dalam
peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Pembuatan peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam hal serikat pekerja/serikat buruh tidak bergabung dalam federasi serikat
pekerja/serikat buruh atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh maka peraturan
organisasi dibuat oleh pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
b. dalam hal serikat pekerja/serikat buruh bergabung dalam federasi serikat pekerja/serikat
buruh maka peraturan organisasi dibuat oleh pengurus federasi serikat pekerja/serikat
buruh.
c. dalam hal faderasi serikat pekerja/serikat buruh bergabung dalam konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh maka peraturan organisasi dibuat oleh pengurus konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
tentang . . .
- 2 -
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
sebagaimana . . .
-3-
6. Kebijakan . . .
- 4 -
BAB II
URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 2
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum . . .
- 5-
c. pekerjaan umum;
d. perumahan;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r. kepemudaan dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. statistik;
w. kearsipan;
x. perpustakaan;
y. komunikasi dan informatika;
z. pertanian dan ketahanan pangan;
aa. kehutanan;
bb. energi dan sumber daya mineral;
cc. kelautan dan perikanan;
dd. perdagangan . . .
-6 -
Pasal 3
BAB III
Pasal 4
(2) Ketentuan . . .
- 7 -
Pasal 5
Bagian Kedua
Pasal 6
kabupaten . . .
- 8 -
Pasal 7
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. lingkungan hidup;
d. pekerjaan umum;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perumahan;
h. kepemudaan dan olahraga;
i. penanaman modal;
j. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
k. kependudukan dan catatan sipil;
l. ketenagakerjaan;
m. ketahanan pangan . . .
- 9 -
m. ketahanan pangan;
n. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p. perhubungan;
q. komunikasi dan informatika;
r. pertanahan;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. sosial;
w. kebudayaan;
x. statistik;
y. kearsipan; dan
z. perpustakaan.
f. industri . . .
- 10 -
f. industri;
g. perdagangan; dan
h. ketransmigrasian.
Pasal 8
Pasal 9 . . .
- 11 -
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11 . . .
- 12 -
Pasal 11
Pasal 12
BAB IV
PENGELOLAAN URUSAN PEMERINTAHAN
LINTAS DAERAH
Pasal 13
(2) Tata . . .
- 13 -
BAB V
Pasal 14
Pasal 15
(2) Ketentuan . . .
- 14 -
BAB VI
Pasal 16
a. menyelenggarakan sendiri;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
kepala instansi vertikal atau kepada gubernur selaku
wakil pemerintah di daerah dalam rangka
dekonsentrasi; atau
c. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
a. menyelenggarakan sendiri;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi; atau
c. menugaskan . . .
- 15 -
Pasal 17
bertahap . . .
- 16 -
(5) Ketentuan . . .
- 17 -
BAB VII
PEMBINAAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 18
BAB VIII . . .
- 18 -
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pasal 21 . . .
- 19 -
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Agar . . .
- 20 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah.
Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat
dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan
atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.
Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang
bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi
kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Untuk . . .
-2-
bersangkutan . . .
-3-
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan
dan/atau susunan pemerintahan, yang disebut juga dengan
“urusan pemerintahan yang bersifat konkuren” adalah
urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah, yang
diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, pemerintahan
daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Ayat (4) . . .
-4-
Ayat (4)
Ketigapuluh satu bidang urusan pemerintahan sebagaimana
diatur dalam pasal ini berkaitan langsung dengan otonomi
daerah.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 3
Cukup Jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan
pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul
sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat
lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas
kabupaten/kota dan/atau regional maka urusan
pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintahan
provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi
dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan
Pemerintah.
Akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan
Pemerintahan dengan memperhatikan pertanggungjawaban
Pemerintah, pemerintahan daerah Provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan urusan Pemerintahan tertentu kepada
masyarakat. Apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan secara langsung hanya dialami secara lokal
(satu kabupaten/kota), maka pemerintahan daerah
kabupaten/kota bertanggungjawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila dampak
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara
langsung dialami oleh lebih dari satu kabupaten/kota dalam
satu provinsi, maka pemerintahan daerah provinsi yang
bersangkutan . . .
-5-
Ayat (2)
Rincian setiap bidang urusan pemerintahan dalam Peraturan
Pemerintah ini mencakup bidang, sub bidang sampai dengan
sub sub bidang. Rincian lebih lanjut dari sub bidang
dan/atau sub sub bidang diatur lebih lanjut dengan
peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah non
departemen setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam
Negeri guna dilakukan pembahasan bersama unsur-unsur
pemangku kepentingan terkait.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah” adalah urusan pemerintahan di luar
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah dan berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan menjadi kewenangan Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6 . . .
-6-
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penentuan potensi unggulan mengacu pada produk domestik
regional bruto (PDRB), mata pencaharian penduduk, dan
pemanfaatan lahan yang ada di daerah.
Ayat (4)
Penentuan urusan pilihan sesuai dengan skala prioritas yang
ditetapkan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tetap
harus memberikan pelayanan publik yang dibutuhkan
masyarakat meskipun pelayanan tersebut bukan berasal dari
urusan pilihan yang diprioritaskan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Mengingat kemampuan anggaran yang masih terbatas, maka
penetapan dan pelaksanaan standar pelayanan minimal pada
bidang yang menjadi urusan wajib pemerintahan daerah
dilaksanakan secara bertahap dengan mendahulukan sub
sub bidang urusan wajib yang bersifat prioritas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
-7-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai
tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Prosedur adalah metode atau tata cara untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keserasian hubungan adalah
pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh
tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling
berhubungan (interkoneksi), saling tergantung
(interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu
kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan
kemanfaatan.
Ayat (3)
Pemangku kepentingan terdiri dari unsur
departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait,
pemerintahan daerah, asosiasi profesi, dan perwakilan
masyarakat.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
-8-
Pasal 13
Ayat (1)
Pengelolaan bersama dapat dilembagakan dalam bentuk
kerjasama antar daerah yang difasilitasi oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Urusan pemerintahan sisa yang berskala nasional atau lintas
provinsi menjadi kewenangan Pemerintah, yang berskala
provinsi atau lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan
pemerintahan daerah provinsi, dan yang berskala
kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah
kabupaten/kota.
Ayat (2)
Penetapan dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
saling gugat antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pembinaan yang dilakukan Pemerintah dapat berbentuk
pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, monitoring dan
evaluasi, pendidikan dan latihan dan kegiatan pemberdayaan
lainnya yang diarahkan agar pemerintahan daerah mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya.
Ayat (2) . . .
-9-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
3. Pembinaan 1.a. Standarisasi kompetensi 1.a. Pembinaan dan 1.a. Pembinaan dan penyelenggaraan
Pelatihan dan dan penyelenggaraan penyelenggaraan pelatihan kerja skala
Produktivitas pelatihan kerja skala pelatihan kerja skala kabupaten/kota.
Tenaga Kerja nasional. provinsi.
2.a. Standarisasi, pelatihan 2.a. Pelaksanaan pelatihan 2.a. Pelaksanaan pelatihan dan
dan pelaksanaan dan pengukuran pengukuran produktivitas skala
pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota.
- 394 -
4. Pembinaan dan 1.a. Penyusunan sistem dan 1.a. Penyusunan sistem dan 1.a. Penyebarluasan informasi pasar
Penempatan penyebarluasan penyebarluasan kerja dan pendaftaran pencari
Tenaga Kerja informasi pasar kerja informasi pasar kerja di kerja (pencaker) dan lowongan
Dalam Negeri secara nasional. wilayah provinsi. kerja.
e. Penilaian angka kredit e. Penilaian angka kredit e. Penilaian angka kredit jabatan
jabatan fungsional jabatan fungsional fungsional pengantar kerja di
pengantar kerja pengantar kerja tingkat wilayah kerja kabupaten/kota.
berskala nasional. provinsi.
2.a. Penerbitan dan 2.a. Penerbitan dan 2.a. Penerbitan dan pengendalian
pengendalian izin pengendalian izin izin pendirian Lembaga Bursa
pendirian Lembaga pendirian Lembaga Kerja/LPTKS dan Lembaga
Bursa Kerja/Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Penyuluhan dan Bimbingan
Penempatan Tenaga Lembaga Penyuluhan Jabatan skala kabupaten/kota.
Kerja Swasta (LPTKS) dan Bimbingan Jabatan
dan Lembaga skala provinsi.
Penyuluhan dan
Bimbingan Jabatan
lintas provinsi/berskala
nasional.
- 397 -
6.a. Penerbitan izin 6.a. Penerbitan rekomendasi 6.a. Penerbitan rekomendasi izin
operasional Tenaga izin operasional TKS operasional TKS Luar Negeri,
Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS TKS Indonesia, lembaga
Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan
Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang beroperasi pada 1 (satu)
sukarela luar negeri dan akan beroperasi lebih kabupaten/kota.
lembaga sukarela dari 1 (satu)
Indonesia. kabupaten/kota dalam
satu provinsi.
5. Pembinaan dan 1.a. Pembinaan, 1.a. Monitoring dan evaluasi 1.a. Pelaksanaan penyuluhan,
Penempatan pengendalian, dan penempatan TKI ke luar pendaftaran dan seleksi calon
Tenaga Kerja pengawasan negeri yang berasal dari TKI di wilayah kabupaten/kota.
Luar Negeri penempatan TKI ke luar wilayah provinsi.
negeri.
6.a. Penentuan standar 6.a. Sosialisasi substansi 6.a. Sosialisasi terhadap substansi
perjanjian kerja, perjanjian kerja perjanjian kerja penempatan TKI
penelitian terhadap penempatan TKI ke luar ke luar negeri skala
substansi perjanjian negeri skala provinsi. kabupaten/kota.
kerja serta pengesahan
perjanjian kerja.
6. Pembinaan 1.a. Fasilitasi penyusunan 1.a. Fasilitasi penyusunan 1.a. Fasilitasi penyusunan serta
Hubungan serta pengesahan serta pengesahan pengesahan peraturan
Industrial dan peraturan perusahaan peraturan perusahaan perusahaan yang skala
Jaminan Sosial yang skala berlakunya yang skala berlakunya berlakunya dalam satu wilayah
Tenaga Kerja lebih dari satu provinsi. lebih dari satu kabupaten/kota.
kabupaten/kota dalam
satu provinsi.
- 407 -
4. Pembinaan SDM dan 4. Pembinaan SDM dan 4. Pembinaan SDM dan lembaga
lembaga penyelesaian lembaga penyelesaian penyelesaian perselisihan di luar
perselisihan di luar perselisihan di luar pengadilan skala
pengadilan skala pengadilan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.
7.a. Bimbingan aplikasi 7.a. Bimbingan aplikasi 7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan
pengupahan skala pengupahan lintas di perusahaan skala
nasional. kabupaten/kota dalam kabupaten/kota.
satu provinsi.
8.a. Koordinasi pembinaan 8.a. Koordinasi pembinaan 8.a. Pembinaan kepesertaan jaminan
penyelenggaraan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah
jaminan sosial, sosial tenaga kerja skala kabupaten/kota.
fasilitas, dan provinsi.
kesejahtaraan tenaga
kerja/buruh skala
nasional.
12. Penetapan organisasi 12. Penetapan organisasi 12. Penetapan organisasi pengusaha
pengusaha dan pengusaha dan dan organisasi pekerja/buruh
organisasi organisasi untuk duduk dalam lembaga-
pekerja/buruh untuk pekerja/buruh skala lembaga ketenagakerjaan
duduk dalam lembaga- provinsi untuk duduk kabupaten/kota berdasarkan
lembaga dalam lembaga-lembaga hasil verifikasi.
ketenagakerjaan ketenagakerjaan
nasional berdasarkan provinsi berdasarkan
- 413 -
7. Pelayanan dan pelatihan 7. Pelayanan dan pelatihan 7. Pelayanan dan pelatihan serta
serta pengembangan serta pengembangan pengembangan bidang norma
bidang norma bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan
ketenagakerjaan, ketenagakerjaan, dan kesehatan kerja yang
hygiene perusahaan, keselamatan dan bersifat strategis skala
ergonomi, keselamatan kesehatan kerja yang kabupaten/kota.
dan kesehatan kerja bersifat strategis skala
yang bersifat strategis provinsi.
dan berskala nasional.
b. — b. Bekerjasama dengan b. —
pusat
menyelenggarakan
diklat teknis
- 417 -
13. Penerbitan kartu 13. Pengusulan penerbitan 13. Pengusulan penerbitan kartu
legitimasi bagi pengawas kartu legitimasi bagi legitimasi bagi pengawas
ketenagakerjaan. pengawas ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada
provinsi kepada pemerintah.
pemerintah.
14. Penerbitan kartu 14. Pengusulan kartu PPNS 14. Pengusulan kartu PPNS bidang
Penyidik Pegawai Negeri bidang ketenaga- ketenagakerjaan skala
Sipil (PPNS) bidang kerjaan skala provinsi kabupaten/kota kepada
ketenagakerjaan. kepada pemerintah. pemerintah.
- 418 -
2.a. Penyediaan tanah untuk 2.a. Koordinasi penyediaan 2.a. Penyelesaian legalitas tanah
pembangunan WPT atau tanah untuk untuk rencana pembangunan
LPT untuk kepentingan pembangunan WPT atau WPT atau LPT skala
nasional dan daerah. LPT skala provinsi. kabupaten/kota.
6.a. Pengembangan 6.a. Mediasi kerjasama antar 6.a. Penjajagan kerjasama dengan
kerjasama antar daerah daerah dalam daerah kabupaten/kota lain.
dalam perpindahan dan perpindahan dan
penempatan penempatan
transmigrasi skala transmigrasi skala
nasional. provinsi.
8.a. Penyiapan calon 8.a. Koordinasi pelaksanaan 8.a. Pendaftaran dan seleksi calon
transmigran skala penyiapan calon transmigran skala
nasional. transmigran skala kabupaten/kota.
provinsi.
- 427 -
10. Fasilitasi perpindahan 10. Koordinasi pelaksanaan 10. Pelayanan penampungan calon
dan penempatan pelayanan perpindahan transmigran skala
transmigran skala dan penempatan kabupaten/kota.
nasional. transmigran skala
provinsi.
6.a. Evaluasi dan 6.a. Koordinasi dan 6.a. Penyediaan data dan informasi
pengukuran tingkat sinkronisasi penyajian tentang perkembangan WPT dan
keberhasilan data dan informasi LPT skala kabupaten/kota.
pembangunan tentang perkembangan
transmigrasi dan WPT atau LPT skala
pengalihan provinsi.
- 430 -
5. Pengarahan 1.a. Fasilitasi, bimbingan 1.a. Fasilitasi, bimbingan 1.a. Pelaksanaan Komunikasi,
Dan Fasilitasi teknis, dan pelaksanaan teknis, dan pelaksanaan Informasi, dan Edukasi (KIE)
Perpindahan Komunikasi, Informasi, Komunikasi, Informasi, ketransmigrasian skala
Transmigrasi dan Edukasi (KIE) dan Edukasi (KIE) kabupaten/kota.
ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala
nasional. provinsi.
c. — c. — c. Peningkatan motivasi
perpindahan transmigrasi skala
kabupaten/kota.
- 432 -
2.a. Fasilitasi, bimbingan 2.a. Fasilitasi, bimbingan 2.a. Identifikasi dan analisis
teknis, dan penyerasian teknis, penyusunan dan keserasian penduduk dengan
rencana pengarahan penyerasian rencana daya dukung alam dan daya
dan fasilitasi pengarahan dan tampung lingkungan skala
perpindahan fasilitasi perpindahan kabupaten/kota.
transmigrasi lintas transmigrasi skala
provinsi. provinsi.
4.a. Fasilitasi, bimbingan 4.a. Fasilitasi, bimbingan 4.a. Pelayanan pendaftaran dan
teknis, dan pelayanan teknis, dan pelayanan seleksi perpindahan
perpindahan perpindahan transmigrasi dan penataan
transmigrasi skala transmigrasi skala persebaran transmigrasi.
nasional. provinsi.
- 434 -
c. — c. — c. Pelayanan penampungan,
permakanan, kesehatan,
perbekalan, dan informasi
perpindahan transmigrasi.
NOMOR : KEP.12/DPHI/IV/2005
TENTANG
Mengingat :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu.
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-16/MEN/2001
tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh ;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.06/MEN/IV/2005
tanggal 8 April 2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL, DEPARTEMEN TENAGA KERJA
DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
MEKANINSME DAN WAKTU PELAKSANAAN PENDATAAN
DAN VERIFIKASI KEANGGOTAAN SERIKAT
PEKERJA/SERIKAT BURUH.
Pasal 1.
Ruang lingkup, mekanisme dan waktu pendataan dan verifikasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh dalam keputusan ini adalah untuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan
yang telah tercatat pada Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal 2
(3)
Pasal 3
Pelaksanaan pendataan dan verifikasi menggunakan tabel dan atau formulir isian
sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat (3) dan (6) dan pasal 9 ayat (3) Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.06/MEN/IV/2005 tanggal 8 April
2005.
Pasal 4
Pasal 5
1. Pelaksanaan seluruh kegiatan dilakukan sesuai tahapan sebagai berikut :
Pendataan dan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di tingkat
perusahaan, rekapitulasi hasil pendataan dan verifikasi keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di tingkat Kabupaten/Kota, rekapitulasi hasil pendataan
dan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di tingkat Provinsi,
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga hasil rekapitulasi tingkat Provinsi sudah
diterima di Pusat Cq. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial selambat-
lambatnya tanggal 17 Juni 2005;
2. Penyampaian rekapitulasi hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud butir (1) dapat
menggunakan fax nomor (021)5203607/5269353 atau melalui Pos Kilat khusus.
Pasal 6
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 April 2005
DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
MUZNI TAMBUSAI
---------------------------------------------
LAMPIRAN I
SURAT PERNYATAAN
KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
(PERORANGAN)
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari pihak
manapun.
..................................................200
( ...................................)
LAMPIRAN II
SURAT PERNYATAAN
DATA KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
DI PERUSAHAAN ...............................
(KOLEKTIF)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----
4. dst
Dengan ini kami masing-masing untuk dan atas nama Pengurus Serikat Pekerja/Serikat
Buruh di perusahaan menyatakan bahwa jumlah dan nama-nama pekerja yang tercantum
dalam lampiran Surat Pernyataan ini sebagai anggota Serikat Pekerja/serikat Buruh kami.
Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dan tidak ada
sangkalan dari pihak manapun.
Mengetahui
................................, ...................................200
Pimpinan Perusahaan
Yang membuat pernyataan,
1. ................................... .......................
(Nama jelas) (ttd)
2. ................................... .......................
(Nama jelas) (ttd)
(..................................)
3. ................................... ........................
(Nama jelas) (ttd)
4. dst
LAMPIRAN III
Unit/Bagian/
No. Nama Umur L/P Tandatangan Keterangan
divisi
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI TENTANG TATA CARA PERIZINAN
DAN PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN DI LUAR
NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
(2) LPK swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
menyelenggarakan pemagangan untuk masyarakat umum.
(3) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
menyelenggarakan pemagangan untuk pekerjanya.
(4) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu instansi yang
menyelenggarakan untuk masyarakat umum.
(5) Lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan untuk siswa/mahasiswa.
Pasal 3
(1) Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) setelah
mendapat izin sebagai LPK dari instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota, wajib memiliki izin penyelenggaraan pemagangan
dari Direktur Jenderal.
(2) Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4)
dan ayat (5) yang menyelenggarakan pemagangan melebihi jangka waktu 3 (tiga)
bulan wajib memiliki tanda daftar sebagai penyelenggara pemagangan dari Direktur
Jenderal.
BAB II
PERSYARATAN LEMBAGA
Bagian Kesatu
LPK swasta
Pasal 4
Bagian Kedua
Perusahaan
Pasal 5
Bagian Ketiga
Instansi Pemerintah
Pasal 6
Bagian Keempat
Lembaga Pendidikan
Pasal 7
BAB III
PERSYARATAN PESERTA
Pasal 8
(1) Peserta pemagangan bagi LPK swasta dan instansi pemerintah yang
menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA atau sederajat;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kebutuhan program.
(2) Peserta pemagangan bagi perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan di luar
negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai pekerja di perusahaan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kebutuhan program.
(3) Peserta pemagangan bagi lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan
di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai siswa/mahasiswa di lembaga pendidikan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kurikulum yang dilaksanakan.
(4) Peserta pemagangan pada lembaga pendidikan khusus milik instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai siswa/mahasiswa di lembaga pendidikan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kurikulum yang dilaksanakan.
Pasal 9
Peserta pemagangan yang berasal dari masyarakat umum dapat menanggung biaya sesuai
dengan perjanjian antara LPK dengan lembaga penerima pemagangan di luar negeri
yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal.
BAB IV
PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 10
Pasal 11
(1) LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang akan
menyelenggarakan pemagangan harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Direktur Jenderal.
(3) Permohonan sebagaaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh LPK
swasta kepada Direktur Jenderal setelah mendapat rekomendasi dari instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
Pasal 12
(1) LPK swasta yang telah mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, dilakukan verifikasi oleh tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas antara lain
melakukan verifikasi tentang kelengkapan dan keabsahan dokumen.
(3) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus sudah selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan dan hasilnya dilaporkan kepada
Direktur Jenderal.
(4) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur
Jenderal menolak permohonan pemohon dan harus sudah disampaikan kepada
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan verifikasi.
(5) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim dinyatakan lengkap, tim
melakukan peninjauan ke lapangan dalam jangka waktu paling la 5 (lima) hari
kerja terhitung sejak dokumen dinyatakan lengkap.
(6) Dalam hal hasil peninjauan lapangan tidak sesuai dengan dokumen yang
diajukan berdasarkan laporan tim, Direktur Jenderal menolak permohonan
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan peninjauan lapangan.
(7) Dalam hal hasil peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dinyatakan sesuai dengan dokumen yang diajukan, Direktur Jenderal
menerbitkan surat izin penyelenggara di luar negeri dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak peninjauan lapangan selesai dilakukan.
Bagian Kedua
Pendaftaran
Paragraf 1
Perusahaan
Pasal 13
Paragraf 2
Instansi Pemerintah
Pasal 14
a. Program pemagangan;
b. Copy perjanjian antara instansi pemerintah dengan lembaga penerima pemagang di
luar negeri;
c. Copy perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pemagangan yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
Paragraf 3
Lembaga Pendidikan
Pasal 15
(1) Lembaga pendidikan yang akan menyelenggarakan pemagangan bagi siswanya harus
mendaftarkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
a. Copy izin sebagai lembaga pendidikan yang masih berlaku;
b. Program pemagangan;
c. Copy surat perjanjian antara lembaga pendidikan dengan lembaga penerima
pemagang di luar negeri;
d. Copy perjanjian pemagangan antara siswa peserta pemagangan dengan lembaga
pendidikan tempat siswa belajar yang memuat hak dan kewajiban para pihak;
e. Tingkat pencapaian kualifikasi keterampilan atau keahlian yang akan diperoleh
siswa setelah mengikuti pemagangan.
(2) Siswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelajar/mahasiswa yang belajar di
lembaga pendidikan yang akan menyelenggarakan pemagangan.
(3) Pendaftaran secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum
disampaikan kepada Direktur Jenderal terlebih dahulu harus diketahui oleh instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
Paragraf 4
Jangka Waktu Penerbitan Tanda Daftar
Pasal 16
(1) Perusahaan, instansi pemerintah dan lembaga pendidikan yang telah mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15
dilakukan verifikasi oleh tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal.
(2) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus sudah selesai dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan dan hasilnya dilaporkan kepada
Direktur Jenderal.
(3) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur
Jenderal menolak permohonan pemohon dan harus sudah disampaikan kepada
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan verifikasi.
(4) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan
lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan tanda daftar penyelenggara pemagangan
di luar negeri dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
hasil verifikasi dinyatakan lengkap.
BAB V
PROGRAM PEMAGANGAN
Pasal 17
Pasal 18
(1) Program pemagangan LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan ayat (3) merupakan satu kesatuan yang utuh dan berkelanjutan.
(2) Program pemagangan LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
ayat (3) dan ayat (7) harus mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
BAB VII
PELAKSANAAN
Pasal 22
Pasal 23
Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a hanya
dapat merekrut peserta pemagangan dalam satu wilayah propinsi setelah memberitahukan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.
Pasal 24
(1) Rekrut dan seleksi calon peserta dilakukan oleh penyelenggara pemagangan sesuai
dengan kebutuhan tempat magang di perusahaan.
(2) Dalam hal rekrut dan seleksi yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum memenuhi kebutuhan tempat magang, penyelenggara pemagangan dapat
melakukan rekrut dan seleksi kembali untuk memenuhi kebutuhan tempat magang.
(3) Hasil rekrut dan seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberitahukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.
Pasal 25
Pasal 27
BAB VIII
PERPANJANGAN IZIN
Pasal 28
(5) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bagi LPK
swasta yang tidak memiliki workshop, instruktur dan tenaga kepelatihan harus
melampirkan copy perjanjian kerjasama dengan LPK lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7).
(6) Perpanjangan izin tidak dapat diterbitkan apabila permohonan yang diajukan
telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 29
(1) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (4) dan ayat (5) dinyatakan lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan
perpanjangan pemagangan.
(2) Izin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterbitkan
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak
peninjauan lapangan selesai dilakukan.
(3) Prosedur dan tata cara pemberian perpanjangan izin mengikuti ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 12.
Pasal 30
Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (4) dan ayat (5) juga mempertimbangkan kinerja LPK yang bersangkutan.
BAB IX
PENCABUTAN IZIN
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Izin penyelenggaraan pemagangan di luar negeri tidak berlaku apabila izin LPK dicabut
oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf h.
Pasal 35
BAB X
PELAPORAN
Pasal 36
(1) Penyelenggara pemagangan di luar negeri dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam)
bulan, wajib melaporkan pelaksanaan pemagangan setiap 6 (enam) bulan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada kepala instansi yang bertanggungjawab
di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Penyelenggara pemagangan di luar negeri dengan jangka waktu kurang dari 6 (enam)
bulan, wajib melaporkan pelaksanaan pemagangan saat program pemagangan selesai
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada kepala instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaetn/kota.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat
disampaikan secara manual atau media elektronik.
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 37
Pasal 38
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri ini diatur oleh Direktur
Jenderal.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pasal 42
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Mei 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TTD
Sunarno, SH,MH.
NIP. 730001630
KEPPRES NO.75 TH 1995
TENTANG
Menimbang : a. bahwa kemajuan yang dicapai dalam pembangunan, baik di bidang ekonomi maupun
bidang lainnya, telah meningkatkan kegiatan usaha dan semakin memperluas
lapangan kerja serta kesempatan kerja;
b. bahwa agar kesempatan kerja yang tersedia sebanyak mungkin dapat menyerap
Tenaga Kerja Indonesia, dipandang perlu mengadakan pengaturan kembali mengenai
penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dengan Keputusan
Presiden;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 1, diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);
4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang penanaman Modal Dalam Negeri
(Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran
Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
5. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912);
6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam
Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3552);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin
Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3563);
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
(1). Setiap pengguna TKWNAP wajib mengutamakan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia di
semua bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia.
(2). Apabila bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya dapat diisi
oleh Tenaga Kerja Indonesia, pengguna TKWNAP dapat menggunakan TKWNAP sampai
batas waktu tertentu.
Pasal 3
(1). Jabatan Direksi dan Komisaris pada perusahaan penanam modal yang didirikan dengan
seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Warga Negara Asing dan/atau badan hukum
asing, atau pada perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya
dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia, terbuka bagi TKWNAP.
(2). abatan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan
penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara
Indonesia.
(3). Pemilik modal perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya
dimiliki oleh Warga Negara Asing dan/atau badan hukum asing, dapat menunjuk sendiri
TKWNAP sebagai Direksi dan Komisaris perusahaannya.
(4). Pemilik modal perusahaan penanaman modal yang didirikan dalam bentuk patungan
antara modal asing dengan modal Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia, atau pada perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh
modalnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia/dan atau badan hukum Indonesia,
penunjukan Direksi dan Komisaris sesuai kesepakatan para pihak.
Pasal 4
(1). Jabatan Direksi pada perusahaan yang didirikan bukan dalam rangka Undang-undang
Penanaman Modal, terbuka bagi TKWNAP.
(2). Jabatan Komisaris pada perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya
terbuka bagi Tenaga Kerja Indonesia.
Pasal 5
Khusus untuk jabatan Direktur yang membidangi Personalia, perusahaan sebagaimana dalam
Pasal 3 dan Pasal 4, wajib menggunakan Tenaga Kerja Indonesia.
Pasal 6
(1). Daftar bidang dan jenis pekerjaan di bawah jabatan Direksi yang tertutup dan yang
terbuka bagi TKWNAP untuk batas waktu tertentu, diatur lebih lanjut oleh Menteri Tenaga
Kerja dengan memperhatikan pendapat Menteri terkait.
(2). Daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau kembali selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun.
Pasal 7
(1). Pengguna TKWNAP wajib memiliki Rencana Penggunaan TKWNAP termasuk Direksi
Komisaris yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(2). Izin mempekerjakan TKWNAP diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang
ditunjuk.
(3). TKWNAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Direksi/Komisaris
sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dan Pasal 4 memiliki Izin Kerja TKWNAP dari Menteri
Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(4). Tatacara untuk memperoleh pengesahan Rencana Pembangunan TKWNAP, Izin
Mempekerjakan TKWNAP dan Izin Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri Tenaga Kerja dengan memperhatikan
pendapat Menteri terkait.
Pasal 8
(1). Setiap pengguna TKWNAP wajib melaksanakan program penggantian TKWNAP ke Tenaga
Kerja Indonesia.
(2). Dalam rangka pelaksanaan program sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna
TKWNAP wajib :
a. menunjuk Tenaga Kerja Indonesia sebagai Tenaga Pendamping pada jenis pekerjaan
yang dipegang oleh TKWNAP.
b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Tenaga Kerja Indonesia
yang dipekerjakan, baik sendiri maupun menggunakan jasa pihak ketiga.
(3). Tenaga Pendamping sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a harus tercantum
dengan jelas dalam Rencana Penggunaan TKWNAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dan dalam struktur jabatan perusahaan.
(4). Biaya untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b dibebankan pada pengguna TKWNAP dan tidak dibebankan ulang pada
Tenaga Kerja Indonesia.
Pasal 9
Pasal 10
(1). Pengguna TKWNAP dikenakan pungutan pada setiap TKWNAP yang dipekerjakannya.
(2). Pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk membantu
penyelenggaraan pelatihan Tenaga Kerja Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja.
(3). Besarnya pungutan ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dengan memperhatikan
pendapat Menteri Keuangan.
Pasal 11
Dengan dikenakan pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, maka terhadap Pengguna
TKWNAP tidak lagi dikenakan pungutan lainnya yang berkaitan dengan penggunaan TKWNAP.
Pasal 12
(1). Pengguna TKWNAP yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan
Presiden ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi pencabutan Keputusan
Pengesahan Rencana Penggunaan TKWNAP dan/atau Izin Mempekerjakan TKWNAP.
(2). TKWNAP yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden
ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi pencabutan Izin Kerja TKWNAP.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini, diatur oleh
Menteri Tenaga Kerja dengan mendengar pendapat Menteri terkait.
Pasal 14
(1). Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun
1974 tentang Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang,
dinyatakan tidak berlaku.
(2). Semua peraturan pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1974 masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan atau belum diatur berdasarkan
Keputusan Presiden ini.
Pasal 15
ttd.
SOEHARTO
KEPMEN NO. 01 TAHUN 2008
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a Bahwa dengan memperhatikan situasi Nasional dan Daerah sebagai dampak
perkembangan ekonomi global serta kondisi alam memerlukan kesiapan dan
perhatian dari semua pihak, terutama jajaran aparatur negara.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a huruf b di
atas, perlu mengubah Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 55 Tahun
2007, Nomor : KEP.222/MEN/V/2007, Nomor : SKB/03/M.PAN/5/2007 tentang Hari-
hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2008;
Memperhatikan : Masukan yang sangat positif dari berbagai pihak, baik perorangan, kelompok,
maupun media massa tentang kebijakan dan pelaksanaan cuti bersama;
MEMUTUSKAN :
Kesatu : Mengubah Lampiran Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 55 Tahun
2007, Nomor : KEP.222/MEN/V/2007, Nomor : SKB/03/M.PAN/5/2007 tentang Hari-
hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2008 sehingga seluruhnya menjadi
sebagaimana Lampiran Keputusan Bersama ini.
Kedua : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2008
MENTERI NEGARA
MENTERI TENAGA KERJA DAN
MENTERI AGAMA PENDAYAGUNAAN
TRANSMIGRASI
APARATUR NEGARA
---------------------------------------------------------------------------------------
TENTANG
11. 1-2 Oktober Rabu, Kamis Idul Fitri 1 Syawal 1429 Hijriyah
5. 29, 30 September Senin, Selasa dan Cuti bersama sebelum dan sesudah Hari Raya Idul
dan 3 Oktober Jumat Fitri 1 Syawal 1429 Hijriyah, Rabu dan Kamis tanggal
1-2 Oktober 2008
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2008
MENTERI NEGARA
MENTERI TENAGA KERJA DAN
MENTERI AGAMA PENDAYAGUNAAN
TRANSMIGRASI
APARATUR NEGARA
TENTANG
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2009
Kesatu : Menetapkan Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2009
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Had Raya Idul Fitri dan Hari Raya
Kedua : 'dui Adha bagi umat Islam, maka tanggal 1 Ramadhan 1430 H, 1 Syawal
1430 H, dan 10 Dzulhijjah 1430 H ditetapkan kemudian dengan
Keputusan Kenteri Agama.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juni 2008
LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2009
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juni 2008
I NEGARA
GUNAAN
NEGARA
KOMPILASI KETENTUAN PIDANA KETENAGAKERJAAN
(UU NO. 13/2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN,
UU NO. 3/1992 T ENTANG JAMSOSTEK, UU 21/2000 TENTANG SP/SB, UU 2/2004 TENTANG PPHI,
UU NO. 1/1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA & UU 7/1981 TENTANG WAJIB LAPOR
KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.00 0.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1),
Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus ju ta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayata (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2),
Pasal 76 ayat (2), Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu)
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 1
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp, 10.000 .000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1),
Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak -hak dan/atau ganti kerugian kepada te naga kerja atau
pekerja/buruh.
2. Pasal 35 ayat (2) dan (3) (2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dim aksud pada Pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
penempatan tenaga kerja sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rupiah).
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang
mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental
maupun fisik tenaga kerja.
3. Pasal 37 ayat (2) (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
ditunjuk rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
4. Pasal 38 ayat (2) (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga (lima puluh juta rupiah).
kerja golongan dan jabatan tertentu.
5. Pasal 42 ayat (1) & (2) (1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 2
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
kerja asing. ratus juta rupiah).
6. Pasal 44 ayat (1) (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
7. Pasal 45 ayat (1) (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja (seratus juta rupiah).
Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
8. Pasal 63 ayat (1) (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
pekerja/buruh yang bersangkutan. (lima puluh juta rupiah).
9. Pasal 67 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
kecacatannya. paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
10. Pasal 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
11. Pasal 69 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
a. izin tertulis dari orang tua atau wali; sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; ratus juta rupiah).
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 3
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
12. Pasal 71 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pada ayat (1) wajib memenuhi syarat: paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, (seratus juta rupiah).
mental, sosial, dan waktu sekolah.
13. Pasal 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
meliputi: juta rupiah).
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan,
atau moral anak.
14. Pasal 76 (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan (seratus juta rupiah).
dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 4
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi
pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja
antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan Keputusan Menteri.
15. Pasal 78 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
syarat: (lima puluh juta rupiah).
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam
dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
16. Pasal 78 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
lembur paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
17. Pasal 79 ayat (1) & (2) (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pekerja/buruh. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
meliputi: (seratus juta rupiah).
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam
setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu
istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang -kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan
dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1
(satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam)
tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 5
ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku
untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
18. Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
agamanya. sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
19. Pasal 82 (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
(satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 paling lama 4 (empat) tahun dan/ata u denda paling
(satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dokter kandungan atau bidan. dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan ratus juta rupiah).
berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai
dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
20. Pasal 85 ayat (3) (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
wajib membayar upah kerja lembur. paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
21. Pasal 90 ayat (1) (1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
22. Pasal 93 ayat (2) (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
pengusaha wajib membayar upah apabila: paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
a pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
b pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; rupiah).
c pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak
atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga
dalam satu rumah meninggal dunia;
d pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang
menjalan kan kewajiban terhadap negara;
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 6
e pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan
tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kes alahan
sendiri maupun halangan yg seharusnya dpt dihindari pengusaha;
g pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh
atas persetujuan pengusaha; dan
i pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
23. Pasal 108 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang- Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00
yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang (lima puluh juta rupiah).
ditunjuk.
24. Pasal 111 ayat (3) (3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
25. Pasal 114 Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta Pidana denda paling sedikit Rp 5 .000.000,00 (lima
memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
pekerja/buruh. (lima puluh juta rupiah).
26. Pasal 143 (1) Siapapun tidak dapat menghalang -halangi pekerja/buruh dan serikat Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
dilakukan secara sah, tertib, dan damai. sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan ratus juta rupiah).
terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
27. Pasal 144 Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang: paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
lain dari luar perusahaan; atau rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun (seratus juta rupiah).
kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
28. Pasal 148 (1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 7
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat (lima puluh juta rupiah).
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan
perusahaan (lock out) dilaksanakan.
29. Pasal 160 ayat (4) & (7) (4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
(enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
mempekerjakan pekerja/buruh kembali. dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal
156 ayat (4).
30. Pasal 167 ayat (5) (5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling
program pensiun maka pengusaha wajib membe rikan kepada sedikit Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah)
pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 dan paling banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal juta rupiah).
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 8
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMSOSTEK
PASAL 29
Pasal 29
(1). Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2). Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir tela h memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan.
(3). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 9
(3). Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertmpa
kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara sampai
memperoleh hak-haknya.
3. Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (1). Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya,
(4), dan (5) daftar upah beserta perubahan-perubahan dan daftar kecelakaan
kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri.
4. Pasal 19 ayat (2) (2) Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan
sosial tenaga kerja disebabkan adanya pentahapan kepesertaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pengusaha wajib idem
memberikan JaminanKecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya
sesuai dengan Undang -undang ini.
5. Pasal 22 ayat (1) (1) Pengusaha wajib membayar iuran dan melakukan pemungutan
iuran yang menjadi kewajiban tenaga kerja melalui pemotongan
upah tenaga kerja serta membayarkan kepada Badan idem
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 10
Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
1. Pasal 28 Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
pekerja/serikat buruh dengan cara : rupiah).
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 11
buruh.
UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI)
PASAL 122
Pasal 122
(1). Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90
ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling
sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2). Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
2. Pasal 22 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan
undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan. idem
(2) --
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yan g diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3. Pasal 47 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis
arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan
hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib
memberikannya, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan. idem
(2) --
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 12
4. Pasal 90 ayat (2) (2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan idem
kesaksiannya di bawah sumpah.
5. Pasal 91 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa
syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat yang diperlukan. idem
(2) --
(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penjelasan
Peraturan-peraturan turunan dari UU 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (dalam bentuk Peraturan maupun Keputusana Menteri Tenaga Kerja), ancaman
pidananya mengacu pada Pasal 15 ayat (2) dan (3) di atas.
Pasal 10
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 13
(1) Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal
13 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- .(satu juta rupiah).
(2) Dalam pengulangan pelanggaran untuk kedua kali atau lebih setelah putusan yang terakhir tidak dapat diubah lagi, maka pelanggaran tersebut hanya dijatuhkan
pidana kurungan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelanggaran.
Pasal 11
(1) Jika perbuatan sebagaitnana dimaksud dalarn Pasal 10 dilakukan oleh suatu persekutuan atau suatu badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana
dijatuhkan terhadap pengurus dari persekutuan atau pengurus badan hukum itu.
(2) Ketentuan ayat (1) berlaku pula terhadap persekutuan atau badan hukum lain yang bertindak sebagai pengurus dari suatu persekutuan atau badan hukum lain itu.
(3) Jika pengusaha atau pengurus perusahaan sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan ayat (2) berkedudukan di luar wilayah Indonesia, maka tuntutan pidana
dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap wakilnya di Indonesia.
2. Pasal 7 ayat (1) (1) Setelah menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan setiap tahun
secara tertulis mengenai ketenaga kerjaan kepada Menteri atau Idem
pejabat yang ditunjuk.
3. Pasal 8 ayat (1) (1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada
Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum memind ahkan, Idem
menghentikan atau membubarkan perusahaan.
4. Pasal 13 (1). Perusahaan yang telah dilaporkan dan perusahaan yang belum
dikenakan wajib lapor berdasarkan Undang -undang Nomor 23
Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan
keadaan ketenaga kerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya
dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai berlakunya Undang-
Idem
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 14
undang ini.
(2). Perusahaan yang telah didirikan tetapi belum dilaporkan
berdasarkan Undang -undang Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha
atau pengurus wajib melaporkan keadaan ketenaga kerjaan di
perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 15
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm
Menimbang: a. bahw a kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh
Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;
b. bahw a kemerdekaan setiap w arga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perw ujudan
demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
c. bahw a untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi
manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib dan damai;
d. bahw a hak menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jaw ab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. bahw a berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d, perlu dibentuk Undang-undang
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap w arga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan
sebagainya secara bebas dan bertanggung jaw ab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap
orang.
3. Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan,
dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
4. Paw ai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum.
5. Rapat umum adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu.
6. Mimbar bebas adalah kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.
7. Warga negara adalah w arga negara Republik Indonesia.
8. Polri adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 2
(1) Setiap w arga negara, secara perorangan atau kelompok menyampaikan pendapat sebagai perw ujudan hak dan tanggung jaw ab
berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
1 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm
Pasal 4
Tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah:
a. mew ujudkan kebebasan yang bertanggung jaw ab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
b. mew ujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
c. mew ujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap w arga negara sebagai perw ujudan hak dan
tanggung jaw ab dalam kehidupan berdemokrasi;
d. menempatkan tanggung jaw ab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan
perorangan atau kelompok.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 5
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:
a. mengeluarkan pikiran secara bebas;
b. memperoleh perlindungan hukum.
Pasal 6
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkew ajiban dan bertanggung jaw ab untuk:
a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 7
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh w arga negara, aparatur pemerintah berkew ajiban dan bertanggung
jaw ab untuk:
a. melindungi hak asasi manusia;
b. menghargai asas legalitas;
c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan
d. menyelenggarakan pengamanan.
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jaw ab untuk berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum dapat
berlangsung secara aman, tertib, dan damai.
BAB IV
BENTUK-BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
Pasal 9
(1) bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:
a. unjuk rasa atau demonstrasi;
b. paw ai;
c. rapat umum; dan atau
d. mimbar bebas.
(2) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum,
kecuali:
a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api,
terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional;
b. pada hari besar nasional.
(3) Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang membaw a benda-benda
yang dapat membahayakan keselamatan umum.
Pasal 10
(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 w ajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.
(2) pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau
2 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm
Pasal 11
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat:
a. maksud dan tujuan;
b. tempat, lokasi, dan rute;
c. w aktu dan lama;
d. bentuk;
e. penanggung jaw ab;
f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau
h. jumlah peserta.
Pasal 12
(1) Penanggung jaw ab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 11 w ajib bertanggung jaw ab agar kegiatan
tersebut terlaksana secara aman, tertib dan damai.
(2) Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan paw ai harus ada seorang sampai dengan 5
(lima) orang penanggung jaw ab.
Pasal 13
(1) Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Polri w ajib:
a. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan;
b. berkoordinasi dengan penanggung jaw ab penyampaian pendapat di muka umum;
c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat;
d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
(2) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jaw ab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau
peserta penyampaian pendapat di muka umum.
(3) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jaw ab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin
keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Pasal 14
Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jaw ab
kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum w aktu pelaksanaan.
BAB V
SANKSI
Pasal 15
Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 dan Pasal 11.
Pasal 16
Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan
sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
Penanggung jaw ab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 Undang-undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu
per tiga) dari pidana pokok.
Pasal 18
(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak w arga negara untuk menyampaikan pendapat di
muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur khusus atau
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini.
3 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
AKBAR TANJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 181
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1998
TENTANG
KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
UMUM
Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi " "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan Undang-undang".
Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi:
"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai
pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara
apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas".
Perw ujudan kehendak w arga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainaya harus
tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan
atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan
penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan
masyarakat.
Dengan demikian, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jaw ab,
sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana tercantum dalam
Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang antara lain menetapkan sebagai berikut:
1. Setiap orang memiliki kew ajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh;
2. dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh
undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis;
3. hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dikaitkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya
hukum dan hak asasi manusia, pemerintah Republik Indonesia berkew ajiban mew ujudkannya dalam bentuk sikap politik yang aspiratif
terhadap keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan
hubungan antar bangsa, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan:
1. asas keseimbangan antara hak dan kew ajiban;
2. asas musyaw arah dan mufakat;
3. asas kepastian hukum dan keadilan;
4. asas proporsionalitas;
5. asas manfaat.
Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggung jaw ab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan
pendapat di muka umum.
4 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm
Berlandaskan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut maka pelaksanaannya diharapkan
dapat mencapai tujuan untuk:
1. mew ujudkan kebebasan yang bertanggung jaw ab sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
2. mew ujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
3. mew ujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap w arga negara sebagai perw ujudan hak dan
tanggung jaw ab dalam kehidupan berdemokrasi;
4. menempatkan tanggung jaw ab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan
perorangan atau kelompok.
Sejalan dengan tujuan tersebut di atas rambu-rambu hukum harus memiliki karakteristik otonom, responsif dan mengurangi atau
meninggalkan karakteristik yang represif.
Dengan berpegang teguh pada karakteristik tersebut, maka Undang-undang tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat Di Muka
Umum, merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat regulatif, sehingga di satu sisi dapat melindungi hak w arga
negara sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dan di sisi lain dapat mencegah tekanan-tekanan, baik fisik maupun psikis,
yang dapat mengurangi jiw a dan makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Undang-undang ini mengatur bentuk dan atau cara penyampaian pendapat di muka umum, dan tidak mengatur penyampaian
pendapat melalui media massa, baik cetak maupun elektronika dan hak mogok pekerja di lingkungan kerjanya.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyampaian pendapat di muka umum" adalah penyampaian pendapat secara lisan, tulisan, dan
sebagainya.
"Penyampaian pendapat secara lisan" antara lain: pidato, dialog, dan diskusi.
"Penyampaian pendapat secara tulisan" antara lain: petisi, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, dan spanduk.
Adapun yang dimaksud dengan "dan sebagainya" antara lain " sikap membisu dan mogok makan.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas proporsionalitas" adalah asas yang meletakkan segala kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan
kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh w arga negara, institusi, maupun aparatur pemerintah, yang dilandasi oleh etika
individual, etika sosial, dan etika institusional.
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mengeluarkan pikiran secara bebas" adalah mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak, atau
perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau pembatasan yang bertentangan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 Undang-undang ini.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "memperoleh perlindungan hukum" termasuk di dalamnya jaminan keamanan.
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan "menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain" adalah ikut memelihara dan menjaga hak dan
kebebasan orang lain untuk hidup aman, tertib, dan damai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum" adalah mengindahkan norma agama, kesusilaan,
dan kesopanan dalam kehidupan masyarakat.
5 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum" adalah perbuatan yang dapat mencegah
timbulnya bahaya bagi ketenteraman dan keselamatan umum, baik yang menyangkut orang, barang maupun kesehatan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa" adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnya
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan dalam masyarakat.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan "aparatur pemerintah" adalah aparatur pemerintah yang menyelenggarakan pengamanan.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "menyelenggarakan pengamanan" adalah segala daya upaya untuk menciptakan kondisi aman, tertib, dan
damai, termasuk mencegah timbulnya gangguan atau tekanan, baik fisik maupun psikis yang berasal dari mana pun juga.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan "berperan serta secata bertanggung jaw ab" adalah hak masyarakat untuk memberi dan memperoleh
informasi atau konfirmasi kepada atau dari aparatur pemerintah agar terjamin keamanan dan ketertiban lingkungannya, tanpa
menghalangi terlaksananya penyampaian pendapat di muka umum.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengecualian "di lingkungan istana kepresidenan" adalah istana presiden dan istana w akil presiden
dengan radius 100 meter dari pagar luar.
Pengecualian untuk "instalasi militer" meliputi radius 150 meter dari pagar luar.
Pengecualian untuk "obyek-obyek vital nasional" meliputi radius 500 meter dari pagar luar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan hari-hari besar nasional adalah:
1. Tahun Baru;
2. Hari Raya Nyepi;
3. Hari Wafat Isa Almasih;
4. Isra Mi'raj;
5. Kenaikan Isa Almasih;
6. Hari Raya Waisak;
7. Hari Raya Idul Fitri;
8. Hari Raya Idul Adha;
9. Hari Maulid Nabi;
10. 1 Muharam;
11. Hari Natal;
12. 17 Agustus.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Polri setempat" adalah satuan Polri terdepan dimana kegiatan penyampaian pendapat akan dilakukan
apabila kegiatan dilaksanakan pada:
a. 1 (satu) kecamatan, pemberitahuan ditujukan kepada Polsek setempat;
b. 2 (dua) kecamatan atau lebih dalam lingkungan kabupaten/kotamadya, pemberitahuan ditujukan kepada Polres setempat;
c. 2 (dua) kabupaten/kotamadya atau lebih dalam 1 (satu) propinsi, pemberitahuan ditujukan kepada Polda setempat;
d. 2 (dua) propinsi atau lebih pemberitahuan ditujukan kepada Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ayat (4)
6 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm
Cukup jelas
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tempat" dalam Pasal ini adalah tempat peserta berkumpul dan berangkat ke lokasi.
Yang dimaksud dengan "lokasi" dalam Pasal ini adalah tempat penyampaian pendapat di muka umum.
Yang dimaksud dengan "rute" dalam Pasal ini jalan yang dilalui oleh peserta penyampaian pendapat di muka umum dari tempat
berkumpul dan berangkat sampai di lokasi yang dituju dan atau sebaliknya.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "bentuk" adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
Huruf e
Penanggung jaw ab adalah orang yang memimpin dan atau menyelenggarakan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum
yang bertanggung jaw ab agar pelaksanaannya berlangsung dengan aman, tertib, dan damai.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Koordinasi antara Polri dengan penanggung jaw ab dimaksud untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengganggu
terlaksananya penyampaian pendapat di muka umum secara aman, tertib, dan damai, terutama penyelenggaraan pada malam
hari.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
kew ajiban dan tanggung jaw ab yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, b, d, dan e adalah kew ajiban dan tanggung jaw ab
sebagaimana telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan "sanksi hukum" adalah sanksi hukum pidana, sanksi hukum perdata, atau sanksi administrasi.
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah ketentuan peraturan perundang-undangan hukum
pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan "melakukan tindak pidana" dalam Pasal ini adalah termasuk perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Pasal 55
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
7 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm
Pasal 20
Cukup jelas
Go Back | Tentang Kami | Forum Diskusi | Web Mail | Kontak Kami © Legalitas.Org
8 of 8 7/16/2008 2:55 PM
KEPPRES NO. 83 TH 1998
Tentang
Setelah memutuskan untuk menerima dalam bentuk Konvensi beberapa usul tertentu
tentang kebebasan untuk berserikat dan perlindungan atas hak untuk berorganisasi
yang menjadi agenda sidang butir ketujuh,
Menerima pada tanggal 9 Juli 1948 Konvensi berikut yang disebut sebagai Konvensi
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi tahun 1948:
Bab I
Kebebasan Berserikat
Pasal 1
Setiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional untuk mana Konvensi ini berlaku harus
melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan berikut.
Pasal 2
Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, menurut
aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka
sendiri tanpa pengaruh pihak lain.
Pasal 3
1. Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk membuat anggaran dasar dan peraturan -
peraturan, secara bebas memilih wakil-wakilnya, mengelola administrasi dan aktifitas, dan
merumuskan program.
2. Penguasa yang berwenang harus mencegah adanya campur tangan yang dapat membatasi
hak-hak ini atau menghambat praktek-praktek hukum yang berlaku.
Pasal 4
Organisasi pekerja dan pengusaha tidak boleh dibubarkan atau dilarang kegiatannya oleh "penguasa
administratif".
Pasal 5
Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk mendirikan dan bergabung dengan federasi-federasi
dan konfederasi-konfederasi dan organisasi sejenis, dan setiap federasi atau konfederasi tersebut
berhak untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha internasional.
Pasal 6
Pasal 7
"Akuisisi keabsahan" oleh organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha, federasi dan konfederasi
tidak boleh dilakukan untuk maksud tertentu sehingga membatasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan
Pasal 2, 3 dan 4.
Pasal 8
1. Dalam melaksanakan hak-haknya berdasarkan Konvensi ini para pekerja dan pengusaha
serta organisasi mereka, sebagaimana halnya perseorangan atau organisasi perkumpulan
lainnya, harus tunduk pada hukum nasional yang berlaku.
2. Hukum nasional yang berlaku tidak boleh memperlemah atau diterapkan untuk memperlemah
ketentuan-ketentuan yang dijamin dalam Konvensi.
Pasal 9
1. Ketentuan yang dijamin sebagaimana dinyatakan Konvensi yang diberlakukan untuk angkatan
bersenjata dan polisi harus diatur dengan hukum dan perundingan nasional.
Pasal 10
Dalam Konvensi ini yang dimaksud dengan "organisasi" adalah organisasi pekerja dan pengusaha
yang didirikan untuk melanjutkan dan membela kepentingan pekerja dan pengusaha.
Bab II
Perlindungan Hak Berorganisasi
Pasal 11
Setiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional untuk mana Konvensi ini berlaku harus
mengambil langkah-langkah yang perlu dan tepat untuk menjamin bahwa para pekerja dan
pengusaha dapat melaksanakan secara bebas hak-hak berorganisasi.
Bab III
Ketentuan Lain-lain
Pasal 12
(c). wilayah yang bersangkutan tidak dapat menerapkan ketentuan Konvensi, dengan
menyertakan alasannya.
2. Langkah-langkah sebagaimana dimaksud sub - ayat (a) dan (b), ayat 1 Pasal ini
harus dianggap bagian integral daripada ratifikasi dan mempunyai kekuatan hukum ratifikasi.
3. Setiap Anggota dapat sewaktu-waktu dengan pernyataan berikutnya menunda seluruh atau
sebagian pertimbangan yang dibuat melalui naskah asli pernyataan dengan memperhatikan
ketentuan sub-ayat (b), (c) atau (d) ayat 1 Pasal ini.
4. Setiap Anggota dapat, sewaktu-waktu mencabut ratifikasi Konvensi ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 16, dan menyampaikannya kepada Direktur Jenderal mengenai maksud
perubahan atas syarat-syarat perubahan terdahulu dan menyatakan pendirian
sekarang sehubungan dengan wilayah-wilayah tersebut.
Pasal 13
1. Bilamana hal-hal pokok Konvensi dilaksanakan dalam suatu wilayah non - metropolitan yang
mempunyai kekuasaan mandiri, maka Anggota yang bertanggung jawab atas hubungan
internasional wilayah yang bersangkutan dapat, dengan persetujuan pemerintah wilayah
yang bersangkutan, menyampaikan kepada Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan
Internasional pernyataan menerima kewajiban-kewajiban Konvensi ini atas nama wilayah
yang bersangkutan.
(a). dua atau lebih Anggota organisasi sehubungan dengan wilayah yang berada dalam
kekuasaan gabungan ; atau
Bab IV
Ketentuan-Ketentuan Akhir
Pasal 14
Ratifikasi resmi Konvensi ini harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan
Internasional untuk didaftarkan.
Pasal 15
1. Konvensi ini mengikat hanya kepada Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang
ratifikasinya telah didaftarkan oleh Direktur Jenderal.
2. Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan sejak tanggal dimana ratifikasi oleh dua Anggota
Organisasi Perburuhan Internasional didaftarkan pada Direktur Jenderal.
3. Selanjutnya Konvensi ini akan mulai berlaku terhadap setiap Anggota setelah 12 bulan sejak
tanggal ratifikasi didaftarkan.
Pasal 16
1. Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini, setelah lewat waktu 10 tahun terhitung dari
tanggal Konvensi ini mulai berlaku, dapat membatalkannya dengan menyampaikan
suatu keterangan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional untuk
didaftarkan. Pembatalan demikian baru akan mulai berlaku satu tahun sesudah tanggal
pendaftarannya.
2. Tiap-tiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan tidak menggunakan hak
pembatalan menurut ketentuan pada ayat satu tersebut di atas dalam tahun berikutnya
setelah lewat sepuluh tahun seperti termaksud pada ayat di atas, akan terikat untuk
10 tahun lagi dan sesudah itu dapat membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya
tiap - tiap masa 10 tahun menurut ketentuan yang tercantum pada Pasal ini.
Pasal 17
2. Pada waktu memberitahukan kepada Anggota Organisasi tentang pendaftaran dan ratifikasi
kedua yang disampaikan kepadanya, Direktur Jenderal harus memperingatkan Anggota
Organisasi tanggal mulai berlakunya Konvensi ini.
Pasal 18
Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan, sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa hal ikwal mengenai semua ratifikasi, keterangan dan pembatalan yang
didaftarkannya menurut ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas.
Pasal 19
Pada waktu berakhirnya tiap-tiap masa sepuluh tahun setelah mulai berlakunya Konvensi ini Badan
Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus menyerahkan laporan mengenai pelaksanaan
Konvensi ini kepada Konperensi Umum dan harus mempertimbangkan apakah soal perubahan
Konvensi ini seluruhnya atau sebagian perlu ditempatkan dalam Agenda Konperensi.
Pasal 20
1. Jika Konperensi menerima Konvensi baru yang mengubah sebagian atau seluruh Konvensi ini,
kecuali Konvensi baru menentukan lain, maka :
(a). dengan menyimpang dari ketentuan pasal 11, ratifikasi Konvensi baru oleh Anggota
berarti pembatalan Konvensi ini pada saat itu juga karena hukum, jika dan pada waktu
Konvensi baru itu mulai berlaku;
(b). mulai pada tanggal Konvensi berlaku, Konvensi ini tidak dapat diratifikasi lagi oleh
Anggota.
2. Bagaimana juga Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi yang asli bagi Anggota
yang telah meratifikasinya, tetapi belum meratifikasi Konvensi baru.
Pasal 21
Bunyi naskah Konvensi ini dalam bahasa Inggris dan Perancis kedua-duanya adalah resmi.
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENGA KERJA R.I
NO.PER-04/MEN/1994
TENTANG
TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN
BAGI PEKERJA DIPERUSAHAAN
M E M U T U S K A N :
Pasal 1
Dalam Peraturun Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menpekerjakan pekerja
dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak baik milik swasta
maupun milik Pemerintah
b. Pengusaha adalah :
1. Orang, Persekutuan atau Badan Hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri
e. Hari Raya Keagamaan adalah Hari Raya Iedul Fitri bagi pekerja yang
beragama Islam, Hari Raya Natal bagi pekerja yang beragama Kristen
Katholik dan Protestan, Hari Raya Nyepi bagi pekerja yang beragama
Hindu dan Hari Raya Waisak bagi pekerja yang beragama Budha.
Pasal 2
Pasal 3
2. Upah satu bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah upah
pokok di tambah tunjangan-tunjangan tetap.
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
: J a k a r t a : 16 September 1994
PERMOHONAN IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING
(IMTA)
Baru Perpanjangan Pindah Jabatan
1. Nama Perusahaan/Instansi :
a. nomor SK Pengesahan :
b. Tahun berlaku :
1. N a m a :
3. Alamat di Indonesia :
4. Kewarganegaraan :
5. Nomor Paspor :
Tanggal Berlaku :
6. Tempat Lahir :
Tanggal Lahir : Jenis Kelamin: L / P
8. Pendidikan Tertinggi *) :
9. Pengalaman Kerja *) : a.
b.
c.
d.
- Nomor :
- Tanggal :
a. Visa - Jenis :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
d. Surat Kartu Kependudukan :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
1. Nama Jabatan :
a. Pendidikan :
b. Pengalaman Kerja :
4. Lokasi Penempatan di
a. Propinsi Pertama :
b. Propinsi Kedua :
c. Seluruh INDONESIA :
IV. KONDISI KERJA
Demikianlah permohonan ini kami isi dengan sesungguhnya dan kami bertanggungjawab akan
kebenarannya,
.............................................................
Pemohon,
R.P.T.K.A
1 2 3 4 5 6
NO NAMA JABATAN JUMLAH JUMLAH TKI SEBAGAI PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN TKI KETERANGAN
TKA PENDAMPING TKA PENDIDIKAN PENGALAMAN KERJA
1 2 3 4 5 6 7
Lampiran IV
URAIAN SINGKAT PEKERJAAN DAN PERSYARATAN MINIMUM
JABATAN TENAGA KERJA NEGARA ASING PENDATANG
PERSYARATAN MINIMUM
NO NAMA JABATAN URAIAN SINGKAT PEKERJAAN/JABATAN PENDIDIKAN PENGALAMAN KERJA
1 2 3 4 5
Lampiran : V
PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA KERJA INDONESIA
YANG DIPERSIAPKAN UNTUK PENGGANTIAN TENAGA KERJA ASING
NAMA JABATAN YANG PENDIDIKAN DAN TKI YANG AKAN DILATIH PELAKSANAAN RENCANA
NO YANG DIDUDUKI PELATIHAN YANG (SEBAGAI PENGGANTI) DIKLAT PENEMPATAN KETERANGAN
TKA YANG AKAN DILAKSANAKAN NAMA JABATAN DALAM LUAR (MULAI
DIGANTIKAN JENIS LAMANYA SEKARANG PERUSAHAAN PERUSAHAAN PENGGANTIAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
*) Kalau dilkat
dilaksanakan
di luar perusa-
haan harap
disebutkan
Lembaga Diklat
dan alamatnya.
Jakarta,
Pimpinan
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1990
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional karena
itu pembinaan dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi
secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara;
b. bahwa pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan untuk
mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang
tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerjsama internasional;
c. bahwa di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990, Pemerintah
Republik Indonesia telah menandatangani Convention on The Rights of The Child
(Konvensi tentang Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989);
d. bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut pada huruf c, sudah tercakup di
dalam peraturan perundang-undangan nasional mengenai anak;
e. bahwa sehubungan dengan itu, dan sesuai dengan amanat Presiden Republik Indonesia
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus
1960 tentang Pembuatan Perjanjian dengan Negara Lain, dipandang perlu mengesahkan
konvensi tersebut danga n Keputusan Presiden;
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Pasal 1
Mengesahkan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) yang
telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia di New York, Amerika Serikat,
pada tanggal 26 Januari 1990, sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989 dengan pernyataan (declaration), yang
salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris sebagaimana terlampir pada Keputusan Presiden
ini.
Pasal 2
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Agustus 1960
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Agustus 1990
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
Kepada yth :
Kepala Dinas yang Bertanggung jawab Jakarta, 26 Pebruari 2002.
Di bidang ketenagakerjaan
Di Propinsi dan Kabupaten/Kota
Di -
Seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
Nomor : 01.KP.01.15.2002
TENTANG
Berdasarkan pasal 14 Undang – undang No. 04 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah
No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, dinyatakan bahwa
Perusahaan Wajib memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama untuk mempekerjakan penyandang cacat di
perusahaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya. Jumlah tenaga kerja
penyandang cacat disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan, sekurang-kurangnya 1
(satu) orang tenaga kerja penyandang cacat untuk setiap 100 (seratus ) orang yang dipekerjakan.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut perusahaan dapat dikenakan sanksi pidana kurungan selama – lamanya 6
(enam) bulan dan atau pidana denda setinggi – tingginya Rp. 200.000.000, - (dua ratus juta rupiah ).
Sehubungan dengan hal tersebut kami agar Saudara dapat melaksanakan hal – hal sebagai berikut :
1. Melakukan sosialisasi Undang – undang No 04 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun
1998 sebagai upaya penempatan tenaga kerja penyandang cacat di perusahaan – perusahaan.
2. Melakukan pendataan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat secara berkala
setiap 3 (tiga) bulan sekali.
3. Melaporkan hasil pendataan perusahaan yang telah mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang cacat
kepada Menteri tenaga erja dan Transmigrasi cq. Direktorat Jenderal Binalatpendagri termasuk
realisasi pelaksanaan Undang – undang No. 04 Tahun 1997.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia
ttd
Tembusan
TENTANG
PENYANDANG CACAT
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, manfaat , kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian
dan keselarasan dalam perikehidupan, hukum, kemandirian, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 4
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 5
Setiap peyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan.
Pasal 6
Pasal 7
(1) Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuikan dengan
jenis dan derajat kecacatan,pendidikan, dan kemampuannya.
Pasal 8
BAB IV
KESAMAAN KESEMPATAN
Pasal 9
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan.
Pasal 10
(1) Kesamaan kesempatan bagi peyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.
(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan
yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.
(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Pasal 11
Pasal 12
Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
peyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan,jalur,jenis, dan jenjang pendidikan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.
Pasal 13
Pasal 14
Perusahaan Negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
peyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai denga
jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya , yang jumlahnya disesuikan
dengan jumlah karyawan dan / atau kualifikasi perusahaan.
Pasal 15
Ketentuan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
UPAYA
Pasal 16
Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya :
1 Rehabilitas ;
2 Bantuan social ;
3 Pemeliharaan taraf kesejahteraan social.
Pasal 17
Pasal 18
(1) Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas yang diselengarakan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat.
(2) Rehabilitasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi, medic,
pendidikan , pelatihan , dan social.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Bantuan social diarahkan untuk membantu peyandang cacat agar dapat berusaha
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
BAB IV
PEMBINAAN DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
(1) Masyarakat melakukan pembinaan melalui berbagai kegiatan dalam upaya peningkatan
kesejahteraan social penyandang cacat.
(2) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat.
Pasal 26
Ketentuan mengenai pembinaan dan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 dan Pasal 25 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
.
Pasal 27
Pasal 21
Sarana dan prasarana umum yang telah ada dan belum dilengkapi dengan aksesibilitas, wajib
dilengkapi dengan aksesibilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Pengawasan dan pengendalian penyediaan aksesibilitas dilaksanakan oleh dan menjadi
tanggung jawab dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
(2) Pengawasan dan pengendalian penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Ketiga
Kesamaan Kesempatan Dalam Pendidikan
Pasal 23
Setiap penyandang cacat memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama untuk memperoleh
pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Pasal 24
(1) Setiap penyelenggara satuan pendidikan bertanggung jawab atas pemberian
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada peyandang cacat untuk memperoleh
pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama
dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan.
Pasal 25
(1) Penyandang cacat yang karena jenis dan derajat kecacatannya tidak dapat mengikuti
pendidikan yang diselenggarakan untuk peserta didik pada umumnya, diberikan
pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang meyandang cacat.
(2) Pelaksanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Kesamaan Kesempatan Dalam Ketenagakerjaan
Paragraf Kesatu
Tenaga Kerja Peyandang Cacat
Pasal 26
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama kepada tenaga kerja penyandang
cacact yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk memperoleh
pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Pasal 27
Pengusaha wajib memberikan perlakuan yang sama kepada pekerja penyandang cacat.
Pasal 28
Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1(satu) orang penyandang cacat yang
memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaannya
Pasal 29
Pasal 30
(1) Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan bagi penyandang cacat ditetapkan dengan
memperhatikan factor :
a Jenis dan derajat kecepatan;
b pendidikan
c Keterampilan dan/atau keahlian;
d Kesehatan;
e Formasi yang tersedia;
f Jenis atau bidang usaha;
g Factor lain.
(2) Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan bagi peyandang cacat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.
Pasal 31
Setiap pekerja penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf Kedua
Iklim Usaha
Pasal 32
(1) Pemerintah menumbuhkan iklim usaha bagi penyandang cacat yang mempunyai
keterampilan dan /atau keahlian untuk melakukan usaha sendiri atau melalui kelompok
usaha bersama.
(2) Penumbuhan iklim usaha bagi penyandang cacat oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 33
Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam menumbuhkan iklim usaha
bagi penyandang cacat.
Pasal 34
(1) Dalam rangka mewujudkan iklim usaha bagi penyandang cacat, kepada penyandang
cacat yang mempunyai keterampilan dan/atau keahlian yang melakukan usaha sendiri
atau melalui kelompok usaha bersama dapat diberikan bantuan oleh Menteri.
(2) Bantuan bagi penyandang cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk :
a Permodalan;
b Fasilitas usaha;
c Jasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan pemberian bantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri .
BAB III
REHABILITASI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 37
Pasal 38
(1) Penyelenggaraan rehabilitasi yang dilaksanakan secara terpadu dalam satu atap oleh
masyarakat hanya dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan,tata cara perizinan,dan pelaksanaan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri setelah mendapat
persetujuan dari Menteri lain terkait sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya masing-
masing.
Pasal 39
(1) Terhadap penyandang cacat yang tidak mampu dapat memperoleh keringanan
pembiyaan rehabilitasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Persyaratan ketidakmampuan seorang penyandang cacat ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 40
(1) Pelaksanaan rehabilitasi yang diperuntukan bagi anggota atau yang dipersamakan
dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan mengenai rehabilitasi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.
(2) Ketentuan teknis pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri yang bertanggung di bidang Pertahanan dan Keamanan.
Bagian Kedua
Rehabilitasi Medik
Pasal 41
Rehabilitasi madik melakukan dengan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui
tindakan medic yang berupa pelayanan:
a Dokter ;
b Psikologi ;
c Fisioterapi ;
d Okopasi terapi ;
e Terapi wicara ;
f Pemberian alat bantu atau alat pengganti ;
g Sosial medis ;
h Pelayanan medis lainnya ;
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi medic bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Rehabilitasi Pendidikan
Pasal 44
Rehabilitasi pendidikan dimaksud agar penyandang cacat dapat mengikuti pendidikan secara
optimal sesuai dengan bakat,minat,dan kemampuannya.
Pasal 45
Rehabilitasi pendidikan dilakukan dengan pemberian pelayanan pendidikan secara utuh dan
terpadu melalui proses belajar mengajar.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi pendidikan bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Bagian Keempat
Rehabilitasi Pelatihan
Pasal 47
Rehabilitasi pelatihan dimaksud agar penyandang cacat dapat memiliki keterampilan kerja
sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Pasal 48
Rehabilitasi pelatihan dilakukan dengan pemberian pelayanan secara utuh dan terpadu
melalui kegiatan yang berupa :
a Asesmen pelatihan;
b Bimbingan dan penyuluhan jabatan;
c Latihan keterampilan dan pemagangan;
d Penempatan;
e Pembinaan lanjut.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi pelatihan bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Rehabilitasi Sosial
Pasal 50
Pasal 51
Rehabilitasi sosial dilakukan dengan pemberian pelayanan sosial secara utuh dan terpadu
melalui kegiatan pendekatan fisik,mental dan sosial yang berupa :
a Motivasi dan diagnosapsikososial ;
b Bimbingan mental;
c Bimbingan fisik;
d Bimbingan social;
e Bimbingan keterampilan;
f Terapi penunjang;
g Bimbingan resosialisasi;
h Bimbingan dan pembinaan usaha;
i Bimbingan lanjut.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi social bagi penyandang cacat diatur
oleh Menteri.
BAB IV
BANTUAN SOSIAL
Pasal 53
Bantuan social diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berusaha
meningkatkan taraf kesejahteraan sosianya.
Pasal 54
Bantuan social bagi penyandang cacat bertujuan untuk :
a Memenuhi kebutuhan hidup dasar penyandang cacat;
b Mengembangkan usaha dalam rangka kemandirian penyandang cacat;
c Mendapatkan kemudahan dalam memperoleh kesempatan berusaha.
Pasal 55
Pasal 56
Pasal 57
(1) Pemberian bantuan social dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 oleh
Menteri. Sifatnya tidak tetap dan dilaksanakan sesuai dengan arah dan tujuan bantuan
social.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian bantuan social sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
BAB V
PEMELIHARAAN TARAF KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 58
Pasal 59
Pemeliharaan taraf kesejahteraan social diberikan kepada penyandang cacat yang derajat
kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya secara mutlak tergantung pada
bantuan orang lain.
Pasal 60
(1) Perlindungan dan pelayanan dalam rangka pemeliharaan taraf kesejahteraan social
diberikan dalam bentuk materiil,finansialdan pelayanan.
(2) Perlindungan dan pelayanan dalam rangka pemeliharaan taraf kesejahteraan social
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui keluarga pengganti dan
panti social yang merawat penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal 61
(1) Pemberian perlindungan dan pelayanan dalam bentuk materiil,financial dan pelayanan
dilaksanakan oleh Menteri.
(2) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada panti social
yang diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perlindungan dan pelayanan
dalam bentuk materiil dan financial diatur oleh Menteri.
Pasal 62
BAB VI
PERAN MASYARAKAT
Pasal 63
Pasal 64
Peran masyarakat dapat dilakukan oleh perorangan kelompok,badan hukum atau usaha, dan
lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang social.
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
(1) Menteri menyebarluaskan informasi mengenai peran masyarakat dalam rangka upaya
peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyebarluasan informasi sebagaimna
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 69
BAB VII
KOORDINASI
Pasal 70
Pasal 71
Pasal 73
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 74
Pasal 75
Pasal 76
Pasal 77
Pasal 78
Pasal 79
Pasal 80
Pasal 81
Pasal 82
(1) Dalam rangka pembinaan,Menteri dapat melakukan kerja sama dengan badan atau
lembaga internasionaldan/atau instansi Pemerintah asing berkenan dengan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 83
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 84
Pasal 85
Pasal 86
Segala ketentuan yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan social bagi penyandang cacat
yang berupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1980 tentang
Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat, sepanjang tidak bertentangan dan belum
di ganti/ diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 87
Pasal 88
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
mengetahuinya,memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 1998
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Maret 1998
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
ttd
SAADILLAH MURSJID
ttd
Lambock V. Nahatands
TENTANG
PENJELASAN
ATAS
UPAYA PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT
UMUM.
Dalam pembangunan nasional penyandang cacat mempunyai kedudukan hak, kewajiban, dan peran yang
sama dengan warga Negara Indonesia lainnya. Oleh karena itu peran penyandang cacat dalam pembangunan
nasional perlu untuk lebih ditingkatkan serta didayagunakan seoptimal mungkin.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat yang diundangkan pada tanggal 28 Februari
1997 merupakan suatu bentuk upaya dari Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat untuk meningkatkan
peran penyandang cacat dalam pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat tersebut menitik beratkan kepada upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang
cacat di segala aspek kehidupan dan penghidupan guna mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban,
dan peran penyandang cacat.
Untuk melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Undang-undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mengamanatkan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai
peraturan pelaksanaan dari undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Sehubungan dengan hal tersebut. Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan kejelasan serta
menjabarkan secara utuh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tersebut berkenaan dengan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat agar pelaksanaannya dapat memberikan hasil yang
optimal sehingga dapat terwujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat.
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
meliputi kesamaan kesempatan, rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial yang dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab bersama dari Pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan penyandang cacat sendiri.
Kesamaan kesempatan diwujudkan melalui penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat baik yang
berbentuk fisik maupun yang berbentuk non fisik pada sarana dan prasarana umum.
Pengaturan mengenai pembinaan dimaksudkan agar pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
kebijaksanaan Pemerintah.
Selain hal tersebut di atas, Peraturan Pemeritah ini juga mengatur mengenai pengawasan, lembaga
koordinasi, dan pengendalian peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3.
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Pasal 2.
Jenis kecacatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
adalah terdiri dari cacat fisik, cacat mental, dan cacat fisik dan mental.
Penentuan jenis dan tingkat derajat kecacatan yang dimaksud dalam Pasal ini dilakukan apabila terjadi
keragu-raguan tentang kecacatan yang disandang seseorang.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil
maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamaatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohaniah,
dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi dan hak dan
kewajiban warga negara sesuai dengan Pancasila.
Penjelasan pengertian kesejahteraan sosial berlaku seterusnya untuk pengertian yang sama, kecuali
ditentukan lain dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5.
Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan meliputi antara lain aspek agama, kesehatan,
pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan
keamanan, olah raga, rekreasi, dan informasi.
Penjelasan pengertian aspek kehidupan dan penghidupan ini berlaku seterusnya untuk pengertian yang sama
kecuali ditentukan lain dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 6.
Cukup jelas.
Pasal 7.
Cukup jelas.
Pasal 8.
Kewajiban penyediaan aksesibilitas yang dimaksud dalam Pasal ini tidak dikenakan sanksi pidana, namun
dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9.
Dengan adanya aksesibilitas, maka penyandang cacat dapat memperoleh dan memanfaatkan kesamaan
kesempatan seperti anggota masyarakat lainnya dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan sehingga
dapat menunjang mobilitas dan kemandirian penyandang cacat.
Pasal 10.
Cukup jelas.
Pasal 11.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a.
Pelayanan informasi dapat diberikan melalui antara lain suara, bunyi, atau tulisan yang diperuntukkan bagi
penyandang cacat.
Huruf b.
Pelayanan khusus misalnya tempat tiket penjualan tiket angkutan umum yang diperuntukkan khusus bagi
penyandang cacat.
Pasal 12.
Cukup jelas.
Pasal 13.
Cukup jelas.
Pasal 14.
Cukup jelas.
Pasal 15.
Cukup jelas.
Pasal 16.
Cukup jelas.
Pasal 17.
Cukup jelas.
Pasal 18.
Yang dimaksud dengan Menteri lain adalah para Menteri selain Menteri yang bertanggungjawab di bidang
kesejahteraan sosial yang bidang tugas dan fungsinya terkait secara langsung dalam pelaksanaan upaya
peningkatan kesejahteraan penyandang cacat.
Penjelasan pengertian Menteri ini berlaku seharusnya untuk pengertian yang sama, kecuali ditentukan lain
dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 19.
Cukup jelas.
Pasal 20.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan penyediaan aksesibilitas yang dilakukan secara bertahap adalah dengan
mempertimbangkan kemampuan Pemerintah dan masyarakat serta didasarkan kepada kebutuhan dan prioritas
penyandang cacat.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 21.
Penyediaan aksesibilitas pada sarana dan prasarana umum yang telah ada tersebut pelaksanaannya secara
bertahap serta memperhatikan prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan penyandang cacat. Sekalipun secara
bertahap, penyediaan aksesibilitas tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
penyelenggara/pengelola sarana dan prasarana umum.
Pasal 22.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 23
Perlakuan yang sama dimaksudkan agar penyandang cacat sebagai peserta didik mendapatkan kesamaan
perlakuan sebagaimana peserta didik lainnya, termasuk didalamnya kesamaan perlakuan untuk mendapatkan
sarana dan prasarana pendidikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 24.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelenggara satuan pendidikan adalah Pemerintah atau masyarakat yang
menyelenggarakan kegiatan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di bidang pendidikan.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang cacat adalah pendidikan luar
biasa.
Yang dimaksud dengan pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta
didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.
Ayat (2).
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam ayat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun
1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Pasal 26.
Ketentuan dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan agama sesuai dengan minat dan
kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan. Hal ini termasuk tenaga kerja penyandang cacat.
Pasal 27.
Ketentuan dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam hal ini pengusaha wajib memberikan tanggungjawab dan hak-hak pekerja tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, dan agama. Hal ini termasuk pekerja penyandang cacat.
Pasal 28.
Keharusan mempekerjakan penyandang cacat pada perusahaan oleh pengusaha adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Pasal 29.
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 28.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d.
Setiap penyandang cacat yang boleh melakukan pekerjaan adalah penyandang cacat yang sehat jasmani dan
rohani.
Huruf e.
Cukup jelas.
Huruf f.
Cukup jelas.
Huruf g.
Cukup jelas
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 31.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-undang Nomor 25
tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 32.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2).
Penumbuhan iklim usaha telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
Pemerintah antara lain Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Pelaksanaan penumbuhan iklim usaha bagi penyandang cacat didasarkan kepada peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan Pemerintah yang ada dan juga kondisi serta ketrampilan dan/atau keahlian
penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34.
Ayat (1).
Bantuan yang diberikan oleh Menteri merupakan stimulan untuk mendorong dan menggiatkan penyandang
cacat dalam menciptakan dan mengembangkan lapangan pekerjaan bagi penyandang cacat.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Cukup jelas
Pasal 35.
Yang dimaksud dengan fungsi sosial adalah kemampuan dan peran seseorang untuk berintegrasi melalui
komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar.
Pasal 36.
Cukup jelas.
Pasal 37.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan fasilitas rehabilitasi adalah sarana dan prasarana pelayanan rehabilitasi, antara lain
pusat rehabilitasi, panti sosial, rumah sakit, lembaga pelatihan, dan unit rehabilitasi sosial keliling.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 38.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan rehabilitasi yang dilaksanakan secara terpadu adalah penanganan rehabilitasinya baik
medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial dilakukan sebagai satu kesatuan di dalam satu lembaga rehabilitasi.
Ayat (2).
Menteri ini terkait dalam Pasal ini adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan, pendidikan
dan ketenagakerjaan.
Pasal 39.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan tidak mampu adalah tidak mampu dari segi kondisi serta kejadian financial untuk
membiayai pelaksanaan rehabilitasi.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 40.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 41.
Yang dimaksud dengan kemampuan fungsional secara maksimal adalah dapat melaksanakan fungsi organ
tubuhnya dalam rangka melaksanakan kegiatan dengan selayaknya sesuai dengan kecacatan yang disandang.
Pasal 42.
Cukup jelas.
Pasal 43.
Ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 44.
Cukup jelas.
Pasal 45.
Cukup jelas.
Pasal 46.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 47.
Cukup jelas.
Pasal 48.
Huruf a.
Asesmen pelatihan dimaksudkan sebagai kegiatan pendaftaran bagi penyandang cacat dalam rangka
menemukenali bakat, minat untuk menentukan jenis keterampilan yang akan diberikan.
Huruf b.
Bimbingan dan penyuluhan jabatan dimaksudkan sebagai proses pemberian penerangan tentang potensi diri
yang meliputi intelegensia, bakat, minat, dan kepribadian.
Huruf c.
Latihan keterampilan ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan mutu/kualitas tenaga kerja penyandang
cacat agar pemakai jasa tenaga kerja penyandang cacat merasa saling membutuhkan dan ditangani secara
profesional.
Huruf d.
Penempatan disini dimaksudkan sebagai penggunaan tenaga kerja penyandang cacat secara optimal dan
produktif berdasarkan prinsip penempatan tenaga kerja yang tepat pada pekerjaannya.
Huruf e.
Pembinaan lanjut ini dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dan pengembangan kemampuan penyandang
cacat.
Pasal 49.
Cukup jelas.
Pasal 50.
Cukup jelas.
Pasal 51.
Huruf a.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan/mendorong penyandang cacat dalam mengikuti
program rehabilitasi sosial.
Huruf b.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong kemauan dan kemampuan penerimaan pelayanan serta
pembinaan ketaqwaan.
Huruf c.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memelihara kesehatan jasmani dan perkembangannya.
Huruf d.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kemampuan peserta latih secara perseorangan agar
dapat mengatasi segala permasalahan sosial yang dihadapi.
Huruf e.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial
penyandang cacat agar mau dan mampu bekerja sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalamannya.
Huruf f.
Kegiatan ini ditujukan kepada penyandang cacat yang mempunyai kelainan tambahan agar dapat menunjang
dalam kegiatan lainnya.
Huruf g.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyandang cacat dan masyarakat lingkungannya agar
terjadi integrasi sosial dalam hidup bermasyarakat.
Huruf h.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan keterampilan agar
usaha/kerja yang dilakukan dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Huruf i.
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dalam kehidupan dan penghidupan penyandang cacat
dalam hidup bermasyarakat.
Pasal 52.
Cukup jelas.
Pasal 53.
Cukup jelas.
Pasal 54.
Cukup jelas.
Pasal 55.
Cukup jelas.
Pasal 56.
Cukup jelas.
Pasal 57.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 58.
Cukup jelas.
Pasal 59.
Cukup jelas.
Pasal 60.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 61.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 62.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Huruf a.
Penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan oleh Menteri dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b.
Bimbingan dan penyuluhan dilakukan agar bagi yang merawat penyandang cacat yang bersangkutan dapat
memberikan perlindungan dan pelayanan sosial secara tepat dan benar sehingga dapat terwujud taraf hidup
yang wajar bagi penyandang cacat.
Ayat (3).
Cukup jelas.
Pasal 63.
Cukup jelas.
Pasal 64.
Cukup jelas.
Pasal 65.
Cukup jelas.
Pasal 66.
Cukup jelas.
Pasal 67.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Peran masyarakat yang besifat wajib misalnya keharusan bagi pengusaha untuk mempekerjakan penyandang
cacat sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat.
Pasal 68
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 69.
Cukup jelas.
Pasal 70.
Cukup jelas.
Pasal 71.
Cukup jelas.
Pasal 72.
Cukup jelas.
Pasal 73.
Cukup jelas.
Pasal 74.
Cukup jelas.
Pasal 75,
Cukup jelas.
Pasal 76.
Cukup jelas.
Pasal 77.
Cukup jelas.
Pasal 78.
Cukup jelas.
Pasal 79.
Cukup jelas.
Pasal 80.
Cukup jelas.
Pasal 81.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 82.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 83.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan termasuk penyandang cacat, kelompok, badan hukum
atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang sosial.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Cukup jelas.
Pasal 84.
Cukup jelas.
Pasal 85.
Cukup jelas.
Pasal 86.
Cukup jelas.
Pasal 87.
Cukup jelas.
Pasal 88.
Cukup jelas.
TENTANG
Menimbang : Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi.
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Sertifikasi kerja adalah proses pemberian sertifikasi kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif
melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia/dan atau
internasional.
2. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
PEMBENTUKAN DAN TUGAS
Pasal 2
1. Membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut
dengan BNSP.
2. BNSP merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal 3
Pasal 4
1 . Guna terlaksananya tugas sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, BNSP dapat
memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk
melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian lisensi lembaga sertifikasi profesi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh BNSP.
BAB III
ORGANISASI
Bagian Pertama
Keanggotaan
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Untuk menjadi Anggota BNSP, Calon Anggota BNSP harus memenuhi persyaratan :
Pasal 8
1. Untuk menunjang pelaksanaan tugas, BNSP dapat membentuk Komisi sesuai dengan kebutuhan yang
keanggotaanya berasal dari anggota BNSP.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan keanggotaan, tugas, dan tata kerja Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh BNSP.
Bagian Ketiga
Sekretariat
Pasal 9
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh Kepala Sekretariat BNSP yang
melaksanakan tugasnya secara fungsional bertanggung jawab kepada BNSP.
3. Kepala Sekretariat BNSP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dijabat oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil
yang diangkat dalam jabatan struktural Eselon IIa.
Pasal 10
1. Sekretariat BNSP dibentuk dan berada di lingkungan instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
2. Sekretariat BNSP terdiri sebanyak-banyaknya 4 (empat) Bagian dan masing-masing terdiri dari 2 (dua) Sub
Bagian.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat BNSP sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Pasal 11
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.
Pasal 12
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 13
1. Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diberhentikan dari
jabatan organiknya.
2. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat
lebih tinggi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14
Selain karena berakhirnya masa jabatan, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diberhentikan apabila yang
bersangkutan :
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. melakukan tindak pidana kejahatan yang telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
d. sakit yang berkepanjangan lebih dari 6 (enam) bulan dan/atau tidak mampu lagi melaksanakan tugas; atau
e. tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana mestinya.
BAB V
TATA KERJA
Pasal 15
Dalam melaksanakan tugas, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP wajib menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi, sinkronisasi, dan transparansi, baik secara internal maupun eksternal.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja BNSP diatur oleh BNSP.
BAB VI
PEMBIAYAAN
Pasal 17
Setelah pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas BNSP dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
Pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja yang telah dilakukkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau telah diakui oleh lembaga internasional tetap dilaksanakan
oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang bersangkutan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2004
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2004
ttd
BAMBANG KESOWO
ttd
Lanbock Nahattands
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan pembentukan Badan Nasional
Sertifikasi Profesi yang independen untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja, baik yang berasal
dari lulusan pelatihan kerja dan/tenaga kerja yang telah berpengalaman. Badan Nasional Sertifikasi Profesi tersebut
sangat diperlukan sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dan menjadi rujukan dalam penyelenggaraan
sertifikasi kompetensi kerja secara nasional. Dengan demikian, maka akan dapat dibangun suatu sistem sertifikasi
kompetensi kerja nasional yang diakui oleh semua pihak.
Keberadaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud di atas juga sangat penting dalam kaitannya
dengan penyiapan tenaga kerja Indonesia yang kompetitif menghadapi persaingan di pasar kerja global. Disamping
itu, dengan adanya Badan Nasional Sertifikasi Profesi akan memudahkan kerja sama dengan institusi-institusi
sejenis di negara-negara lain dalam rangka membangun saling pengakuan (mutual recognition) terhadap
kompetensi tenaga kerja masing-masing negara.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Peraturan Pemerintah ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
tugas, organisasi, keanggotaan, tata kerja, dan pembiayaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Walaupun sertifikasi kompetensi kerja dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Badan Nasional Sertifikasi
Profesi, namun karena ruang lingkup kompetensi kerja sangat luas dan tersebar di berbagai sektor, maka diperlukan
adanya lembaga sertifikasi profesi yang berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari Badan Nasional Sertifikasi
Profesi dalam melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Walaupun secara fungsional Sekretariat BNSP bertanggung jawab kepada BNSP, namun secara struktural dan
administratif merupakan unit organisasi di bawah unit Eselon I di lingkungan instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Lembaga Sertifikasi Profesi yang melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan/atau telah diakui oleh Lembaga Internasional misalnya Asosiasi-asosiasi Profesi atau Lembaga
Sertifikasi Profesi milik Pemerintah dan swasta yang telah diakui keberadaannya oleh Lembaga Internasional.
Lembaga Sertifikasi Profesi tersebut tetap melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan bidangnya
tanpa harus mendapatkan lisensi untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dari BNSP.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya Lembaga Sertifikasi Profesi disini berkoordinasi dengan BNSP.
Pasal 19
Cukup jelas
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas
mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab
untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin
keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang
satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung
jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik
Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dalam rangka
melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang Hak
Asasi Manusia;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31
Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia;
Dengan Persetujuan
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan
terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan
atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap
bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan
persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat politik.
5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
BAB II
ASAS - ASAS DASAR
Pasal 2
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai
hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan
ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Pasal 3
1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal
dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan.
2. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat
kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
3. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh
siapapun.
Pasal 5
1. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan
yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
2. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak
berpihak.
3. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 6
1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan
zaman.
Pasal 7
1. Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua
pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.
2. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia
menjadi hukum nasional.
Pasal 8
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
BAB III
HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA
Bagian Kesatu
Hak Untuk Hidup
Pasal 9
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Bagian Kedua
Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Pasal 10
1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Hak Mengembangkan Diri
Pasal 11
Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Pasal 12
Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan
dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab,
berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Pasal 13
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia.
Pasal 14
1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya.
2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Pasal 15
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 16
Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Hak Memperoleh Keadilan
Pasal 17
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak
memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar.
Pasal 18
1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak
dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
3. Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan
bagi tersangka.
4. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
5. Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah
memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 19
1. Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta
kekayaan milik yang bersalah.
2. Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan
ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Bagian Kelima
Hak Atas Kebebasan Pribadi
Pasal 20
Pasal 21
Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek
penelitian tanpa persetujuan darinya.
Pasal 22
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 23
Pasal 24
1. Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
2. Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau
organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan
tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
1. Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya.
2. Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang
bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
1. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
2. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Hak Atas Rasa Aman
Pasal 28
1. Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.
2. Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau
perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 29
1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya
2. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
Pasal 30
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu.
Pasal 31
Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik
tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 33
1. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Pasal 34
Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 35
Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang
menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana
diatur dalam Undang-undang ini.
Hak Ketujuh
Hak Atas Kesejahteraan
Pasal 36
1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan
dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
3. Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Pasal 37
1. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian
yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak
diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti
kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
Pasal 38
1. Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat
ketenagakerjaan.
3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak
atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
4. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya
berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Pasal 39
Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi
melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Pasal 41
1. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh.
2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan
dan perlakuan khusus.
Pasal 42
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,
pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Bagian Kedelapan
Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Pasal 43
1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang
dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan
kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun
dengan tulisan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesembilan
Hak Wanita
Pasal 45
Pasal 46
Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif,
yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal 47
Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status
kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status
kewarganegaraannya.
Pasal 48
Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan.
Pasal 49
1. Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan
peraturan perundang-undangan.
2. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-
hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
3. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50
Wanita telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain
oleh hukum agamanya.
Pasal 51
1. Seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya
atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak
pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
2. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan
suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak.
3. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal
yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kesepuluh
Hak Anak
Pasal 52
1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum
bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 53
1. Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
2. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya.
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus
atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri,
dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas
dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
Pasal 56
1. Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
2. Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan
Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
1. Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh
orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua
orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
orang tua.
3. Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua
yang sesungguhnya.
Pasal 58
1. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak
lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
2. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak
yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59
1. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri,
kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak.
2. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan
pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.
Pasal 60
1. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.
2. Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya
demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 61
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.
Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan
fisik dan mental spiritualnya.
Pasal 63
Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan
peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.
Pasal 64
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang
membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental
spiritualnya.
Pasal 65
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya.
Pasal 66
1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
4. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan
hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan
memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa,
kecuali demi kepentingannya.
6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan
Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
BAB IV
KEWAJIBAN DASAR MANUSIA
Pasal 67
Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum
tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 68
Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 69
1. Setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak
asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukannya.
Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-
undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia
yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi
manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 72
Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang
efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.
BAB VI
PEMBATASAN DAN LARANGAN
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang
lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.
Pasal 74
Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur
dalam Undang-undang ini.
BAB VII
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Pasal 75
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-
undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia
seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Pasal 76
1. Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
dan mediasi tentang hak asasi manusia.
2. Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesinal, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati
cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan
kewajiban dasar manusia.
3. Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
4. Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Pasal 77
Pasal 78
Pasal 79
Pasal 81
1. Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM.
2. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja dalam bentuk biro-biro.
3. Sekretariat Jenderal dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.
4. Sekretariat Jenderal diusulkan oleh sidang paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
5. Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 82
Ketentuan mengenai Sidang Paripurna dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas
HAM.
Pasal 83
1. Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
2. Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua.
3. Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari Anggota.
4. Masa jabatan keanggotaan Komnas Hak Asasi Manusia selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 84
Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM adalah warga negara Indonesia yang :
a. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi
manusianya;
b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya;
c. berpengalaman di bidang legislatif, eksekutif, dan lembaga tinggi negara;
d. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.
Pasal 85
1. Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
2. Anggota Komnas HAM berhenti antar waktu sebagai anggota karena :
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat menjalankan tugas selama 1(satu) tahun
secara terus menerus;
d. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau
e. melakukan perbuatan tercela dan atau hal-hal lain yang diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan
martabat dan reputasi, dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.
Pasal 86
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM
ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 87
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan hak anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan
dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 89
1. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan
saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;
b. pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai
pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia;
c. penerbitan hasil pengkajian dari penelitian;
d. studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;
e. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia; dan
f. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga, atau pihak lainnya, baik tingkat nasional,
regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
2. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;
b. upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan
non formal serta berbagai kalangan lainnya; dan
c. kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun
internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar
keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan
bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen
yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau
dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam
proes peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah
publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan :
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk
ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Pasal 90
1. Setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan
laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.
2. Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan
keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
3. Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak
yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan
pertimbangan Komnas HAM.
4. Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui
perwakilan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.
Pasal 91
1. Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau dihentikan apabila :
a. tidak memiliki bukti awal yang memadai;
b. materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia;
c. pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;
d. terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau
e. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 92
1. Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau
terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan
identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau
pemantauan.
2. Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti
lain yang diperoleh Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
3. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan
atau bukti lainnya tersebut dapat :
a. membahayakan keamanan dan keselamatan negara;
b. membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;
c. membahayakan keselamatan perorangan;
d. mencemarkan nama baik perorangan;
e. membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan
Pemerintah;
f. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu
perkara pidana;
g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, atau
h. membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang;
Pasal 93
Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.
Pasal 94
(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3)
huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM.
(2) (2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan,
maka bagi mereka berlaku ketentuan Pasal 95.
Pasal 95
Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM
dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 96
1. Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM
yang ditunjuk sebagai moderator.
2. Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan
ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh moderator.
3. Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara
hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.
4. Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam
keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan
tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa".
5. Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
Pasal 97
Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta
kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan
Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 98
Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 99
Ketentuan dan tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Tata Tertib Komans HAM.
BAB VII
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 100
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 101
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas
HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 102
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan
hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.
Pasal 103
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi,
lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun kerja sama dengan Komnas
HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
BAB IX
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Pasal 104
1. Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan
Peradilan Umum.
2. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama
4 (empat) tahun.
3. Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.
BAB X
KETENTUAN
Pasal 105
1. Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang-undang ini.
2. Pada saat berlakunya Undang-undang ini :
a. Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang-undang ini.
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya,
berdasarkan Undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan
c. Semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan
Undang-undang ini.
3. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas
dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undang-undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 106
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
ttd
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
ttd
MULADI
Edy
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999
TENTANG
UMUM
Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam
menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan
sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki
kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti
mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban
untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi
manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas
(bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap
orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap
organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan pemerintah
bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara
dan penduduknya tanpa diskriminasi.
Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara
dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya
itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang
disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan,
jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi
manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun
horisontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang
berat (gross violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan,
atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan,
penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama
beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang
seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi,
menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa.
Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Negara Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyerbarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Disamping kedua sumber hukum di atas, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi internasional
mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu
dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya;
b. Pada dasarnya, manusia dianugerai jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh
Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;
c. Untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat
mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya(homa homini lupus).
d. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia lain,
sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;
e. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun;
f. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di
dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar;
g. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur
negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya
penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.
Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak -hak Anak, dan berbagai instrumen
internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan
kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau
tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh
keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan,
hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai
kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia.
Di samping itu, Undang-undang ini mengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai
lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan dan/atau gugatan atas
pelanggaran hak asasi manusia, pengajuan usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan
tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia
dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Hak asasi manusia dan kebebasan tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, negara
Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan
moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan apapun" termasuk perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
Yang dimaksud dengan "siapun" adalah Negara, Pemerintah, dan atau anggota masyarakat.
Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap
hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kelompok masyarakat yang rentan" antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Pasal 6
Ayat (1)
Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus
dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang
bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih
secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan "upaya hukum" adalah jalan yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk
membela dan memulihkan hak-haknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti misalnya, oleh Komnas HAM atau
oleh pengadilan, termasuk upaya untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali
ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan negeri tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam Pasal ini
dimaksudkan bahwa mereka yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk
menempuh semua upaya hukum tersebut pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedics) sebelum
menggunakan forum baik di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila tidak mendapatkan tanggapan dari
forum hukum nasional.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan "perlindungan" adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.
Pasal 9
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas
kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan
yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan
dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut masih dapat
diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perkawinan yang sah" adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kehendak bebas" adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau
tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "seluruh harta kekayaan milik yang bersalah" adalah harta yang bukan berasal dari pelanggaran
atau kejahatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan "menjadi obyek penelitian" adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai pihak yang
dimintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data-data pribadi serta direkam
gambar-gambar dan suaranya.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya" adalah hak setiap orang untuk
beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari
suaka.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tidak boleh diganggu" adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam
tempat kediamannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penghilangan paksa" dalam ayat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang
menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan "penghilangan
nyawa" adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hak milik mempunyai fungsi sosial" adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus
memperhatikan kepentingan umum. Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar maka hak
milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan "tidak boleh dihambat" adalah bahwa setiap orang atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk
menjadi anggota atau untuk tidak menjadi anggota dari suatu serikat pekerja.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "berhak atas jaminan sosial" adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan " kemudahan dan perlakuan khusus" adalah pemberian pelayanan, jasa, atau penyediaan fasilitas
dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Yang dimaksud dengan "keterwakilan wanita" adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita
untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju
keadilan dan kesetaraan jender.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi" adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan
dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan hukum sendiri" adalah cakap menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tanggung jawab yang sama" adalah pelayanan suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua
orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak.
Yang dimaksud dengan "kepentingan terbaik bagi anak" adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "suatu nama" adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan
atau nama marga.
Pasal 54
Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan atau mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua anak, atau dalam hal kematian salah satu seorang dari orang tuanya, atau
dalam hal kuasa asuh orang tua dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan orang tuanya.
Pasal 60
Ayat (1)
Pendidikan dalam ayat ini mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produksi,
peredaran, dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-
derogable lights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9. Yang dimaksud dengan "kepentingan bangsa"
adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.
Pasal 74
Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau
mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan dalam Undang-undang ini, sehingga mengakibatkan
berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang ini.
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "diresmikan oleh Presiden" adalah dalam bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden
dikaitkan dengan kemandirian Komnas HAM. Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus menampung seluruh aspirasi
dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh
puluh) orang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Keputusan tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan dan
diberikan hak untuk membela diri dalam Sidang Paripurna yang diadakan khusus untuk itu.
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "penyelidikan dan pemeriksaan" dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data,
informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik" antara lain mengenai pertanahan,
ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "mediasi" adalah penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan, atas dasar kesepakatan para
pihak.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pengaduan melalui perwakilan" adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau
kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau dasar kesamaan
kepentingan hukumnya.
Pasal 91
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "itikad buruk" adalah perbuatan yang mengandung maksud dan tujuan yang tidak baik, misalnya
pengaduan yang disertai data palsu atau keterangan tidak benar, dan atau ditujukan semata-mata untuk mengakibatkan
pencemaran nama baik perorangan, keresahan kelompok, dan atau masyarakat. Yang dimaksud dengan "tidak ada
kesungguhan" adalah bahwa pengadu benar-benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah
3 (tiga) kali dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" dalam Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat 91)
dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar
Jawa dan Madura
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi diserahkan dan didaftarkan oleh mediatur kepada Panitera
Pengadilan Negeri.
Ayat (4)
Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekutif) kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui
Komnas HAM. Apabila pihak yang bersangkutan tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan dapat
dilaksanakan oleh pengadilan, maka pengadilan wajib melaksanakan keputusan tersebut.
Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan
mengajukan gugatan melalui pengadilan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia yang berat" adalah pembunuhan massal (genocide),
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judical killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
discrimanation).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pengadilan yang berwenang" meliputi empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
TENTANG
MENGENAI
Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah bertemu dalam
sidangnya yang keempat puluh pada tanggal 5 Juni 1957, dan
Setelah mempertimbangkan masalah kerja paksa, yang tercantum dalam butir keempat dari agenda sidang, dan
Setelah memperhatikan bahwa Konvensi Perbudakan, 1926, mengatur bahwa semua tindakan yang diperlukan harus
diambil untuk mencegah kerja paksa atau kerja wajib berkembang menjadi keadaan yang sama dengan perbudakan
dan bahwa Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan dan Lembaga Perbudakan serta
praktek yang sama dengan Perbudakan, 1956, mengatur tentang penghapusan sepenuhnya atas perbudakan (karena
lilitan hutang dan pengolahan tanah), dan
Setelah memperhatikan bahwa Konvensi Perlindungan Upah, 1949, menentukan bahwa upah harus dibayar teratur
dan melarang cara pembayaran yang menghalangi pekerja dari kemungkinan yang murni untuk mengakhiri hubungan
kerjanya, dan
Setelah memutuskan tentang penerimaan usulan selanjutnya yang menyangkut penghapusan bentuk-bentuk tertentu
dari kerja paksa atau kerja wajib yang merupakan pelanggaran hak manusia sebagaimana tertera dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan disebutkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia, dan
Menerima pada tanggal 5 Juni tahun 1957 Konvensi berikut, yang dapat disebut sebagai Konvensi Penghapusan Kerja
Paksa, 1957:
Pasal 1
Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib menekan dan tidak akan
menggunakan kerja paksa dalam bentuk apapun -
(a) Sebagai cara penekanan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman atas pemahaman atau pernyataan
pandangan politik atau secara ideologis pandangan yang bertentangan dengan sistim politik, sosial dan ekonomi
yang sah;
(b) Sebagai cara untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga kerja untuk maksud pembangunan ekonomi;
Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib mengambil tindakan efektif
untuk menjamin penghapusan segera dan sepenuhnya atas kerja paksa atau kerja wajib sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 1 Konvensi ini.
Pasal 3
Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.
Pasal 4
1. Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang ratifikasinya sudah
didaftarkan pada Direktur Jenderal.
2. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.
3. Setelah itu, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah tanggal ratifikasinya
terdaftar.
Pasal 5
1. Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya masa sepuluh tahun dari
tanggal Konvensi ini pertama kali berlaku, dengan sebuah keterangan yang diberitahukan kepada Direktur
Jenderal Kantor Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pencabutan demikian tidak berlaku sebelum satu
tahun setelah tanggal pendaftarannya.
2. Tiap Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dan yang dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun tersebut dalam ayat di atas tidak memberlakukan hak untuk mencabut sebagaimana ditentukan
dalam Pasal ini, akan terkait untuk masa sepuluh tahun lagi, dan setelah itu, dapat mencabut Konvensi ini pada
waktu berakhirnya tiap masa sepuluh tahun sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini.
Pasal 6
1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional tentang pendaftaran dari semua ratifikasi dan pencabutan yang diberitahukan
kepadanya oleh para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional.
2. Pada saat memberitahukan para Anggota Organisasi tentang pendaftaran ratifikasi kedua yang diberitahukan
kepadanya, maka Direktur Jenderal meminta perhatian para Anggota Organisasi tentang tanggal Konvensi ini
akan mulai berlaku.
Pasal 7
Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan rincian lengkap
tentang semua ratifikasi dan peraturan pencabutan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan Pasal-Pasal
sebelumnya.
Pasal 8
Pada waktu-waktu yang dianggap perlu olehnya, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus
menyampaikan kepada Konperensi Umum suatu laporan tentang perkembangan Konvensi ini dan akan memeriksa
apakah perlu untuk mencantumkan dalam agenda Konperensi pembahasan tentang perubahannya secara keseluruhan
atau sebagian.
Pasal 9
1. Bila Konperensi menetapkan suatu Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian, maka,
kecuali Konvensi baru itu menentukan lain –
(a) Ratifikasi oleh Anggota atas Konvensi baru yang mengubah itu akan secara hukum merupakan pencabutan
segera atas Konvensi ini, tanpa mengurangi ketentuan dari Pasal 5 di atas, jika dan bilamana Konvensi baru
yang mengubah itu sudah berlaku;
(b) Sejak tanggal Konvensi baru yang mengubah itu berlaku, maka Konvensi ini tidak dapat lagi diratifikasi
oleh para Anggota.
2. Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isinya yang sebenarnya untuk para Anggota yang sudah
meratifikasinya tetapi belum meratifikasi Konvensi yang mengubah itu.
Pasal 10
Versi bahasa Inggris dan bahasa Perancis dari Konvensi ini berlaku sama kuatnya.
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 1999
TENTANG
MENGENAI
Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah bertemu dalam
sidangnya yang kelima puluh delapan pada tanggal 6 Juni 1973, dan
Setelah memutuskan untuk menerima beberapa usul mengenai usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja, yang
tercantum dalam butir keempat dari agenda sidang, dan
Memperhatikan syarat-syarat dari Konvensi Usia Minimum (industri) tahun 1919, Konvensi Usia Minimum (laut)
tahun 1920, Konvensi Usia Minimum (pertanian) tahun 1921, Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api) tahun
1921, Konvensi Usia Minimum (pekerjaan non industri) tahun 1932, Konvensi (revisi) Usia Minimum (laut) tahun
1936, Konvensi (revisi) Usia Minimum (pekerjaan non industri) tahun 1937, Konvensi Usia Minimum (nelayan) tahun
1959 dan Konvensi Usia Minimum (kerja di bawah tanah) tahun 1965, dan
Menimbang bahwa telah tiba waktunya untuk menetapkan suatu naskah umum mengenai hal itu, yang secara
berangsur-angsur akan menggantikan naskah-naskah yang ada yang berlaku pada sektor ekonomi yang terbatas,
dengan tujuan untuk seluruhnya menghapus pekerja anak, dan
Setelah menetapkan bahwa naskah ini harus berbentuk Konvensi internasional ;
Menerima pada tanggal 26 Juni 1973 Konvensi di bawah ini yang dapat disebut Konvensi Usia Minimum tahun 1973:
Pasal 1
Setiap Anggota terhadap siapa Konvensi ini berlaku menanggung untuk menempuh suatu kebijaksanaan nasional yang
dibentuk untuk menjamin dihapuskannya kerja anak secara efektif dan untuk secara progresif menaikkan usia
minimum untuk diperbolehkan masuk kerja atau bekerja sampai pada suatu tingkat yang sesuai dengan kebutuhan
perkembangan fisik dan mental sepenuhnya dari orang muda.
Pasal 2
1. Setiap Anggota yang meratifikasi Konvensi ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada ratifikasinya,
harus menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja atau bekerja dalam wilayahnya dan pada alat
pengangkutan yang terdaftar dalam wilayahnya, tergantung pada Pasal 4 sampai 8 Konvensi ini, tidak seorang
pun di bawah umur yang ditetapkan di situ diperbolehkan masuk kerja atau bekerja dalam suatu jabatan;
2. Setiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini selanjutnya dapat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Kantor Perburuhan Internasional dengan pernyataan lebih lanjut, bahwa ia telah menetapkan usia minimum, yang
lebih tinggi dari yang telah ditetapkan sebelumnya;
3. Usia minimum yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan ayat 1 Pasal ini, tidak boleh kurang dari usia tamat
sekolah wajib dan paling tidak tidak boleh kurang dari 15 tahun;
4. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 3 Pasal ini, suatu Anggota yang ekonomi dan fasilitas pemerintahannya
tidak cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan jika
yang demikian itu ada, sebagai permulaan dapat menetapkan usia minimum 14 tahun;
5. Setiap Anggota yang telah menetapkan usia minimum 14 tahun sesuai dengan ketentuan ayat terdahulu, di dalam
laporannya mengenai pelaksanaan Konvensi ini yang disampaikan berdasarkan pasal 22 Konstitusi Organisasi
Perburuhan Internasional, harus menyatakan :
a. bahwa alasan yang menyebabkan dia berbuat demikian masih terus ada;
b. bahwa ia melepaskan haknya untuk menggunakan ketentuan tersebut mulai suatu tanggal yang dinyatakan.
Pasal 3
Usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja, yang karena sifatnya atau karena
keadaan lingkungan dimana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau
moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun.
1. Jenis pekerjaan atau kerja terhadap mana ayat 1 Pasal ini berlaku, harus ditetapkan dengan undang-undang atau
peraturan nasional atau oleh penguasa yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan
buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada.
2. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 1 Pasal ini, undang-undang atau peraturan nasional atau penguasa yang
berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jika yang demikian
itu ada, dapat memperbolehkan orang muda berusia 16 tahun ke atas bekerja, dengan syarat bahwa kesehatan,
keselamatan dan moral orang muda yang bersangkutan cukup dilindungi dan bahwa orang muda itu telah menerima
pelajaran atau latihan kejuruan khusus mengenai cabang kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 4
1. Sejauh mana diperlukan, maka penguasa yang berwenang setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan
buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada, dapat mengecualikan dari berlakunya Konvensi ini jenis
pekerjaan atau kerja yang terbatas, dalam hubungan mana berlakunya Konvensi ini menimbulkan masalah yang
khas dan berat.
2. Setiap Anggota yang meratifikasi Konvensi ini dalam laporannya yang pertama mengenai pelaksanaan Konvensi
yang disampaikan berdasarkan pasal 22 dari Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional, harus memberikan
daftar dari setiap jenis yang telah dikecualikan menurut Ketentuan ayat 1 Pasal ini, harus memberikan alasan
mengapa dikecualikan, dan dalam laporan berikutnya harus menyatakan kedudukan hukum dan praktek di
negerinya terhadap jenis yang dikecualikan itu, dan sampai berapa jauh Konvensi ini telah diberlakukan atau telah
diusulkan untuk diberlakukan terhadap jenis tersebut.
3. Pekerjaan atau kerja yang dicakup dalam Pasal 3 Konvensi ini tidak boleh dikecualikan dari pelaksanaan Konvensi
menurut Pasal ini.
Pasal 5
Anggota yang ekonomi dan fasilitas pemerintahannya tidak cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan
organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jka yang demikian itu ada, dapat pada permulaan membatasi
ruang lingkup berlakunya Konvensi ini.
1. Setiap Anggota yang mempergunakan ketentuan ayat 1 Pasal ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada
ratifikasinya, harus memperinci cabang kegiatan ekonomi atau jenis perusahaan terhadap mana ketentuan Konvensi
ini akan diberlakukan olehnya.
2. Ketentuan Konvensi ini harus berlaku sebagai minimum bagi yang berikut : pertambangan dan penggalian; pabrik,
bangunan, listrik, gas dan air, jasa kebersihan, pengangkutan, pergudangan dan perhubungan, serta perkebunan dan
perusahaan pertanian lainnya yang terutama menghasilkan Unitika maksud perdagangan, akan tetapi megecualikan
perusahaan keluarga dan kecil yang menghasilkan untuk konsumsi lokal dan tidak secara teratur mempergunakan
tenaga bayaran.
3. Setiap Anggota yang membatasi ruang lingkup berlakunya Konvensi ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal ini :
a. harus menunjukkan dalam laporannya sesuai dengan pasal 22 Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional,
kedudukan umum tentang pekerjaan dan kerja orang muda dan anak-anak dalam cabang kegiatan yang dikecualikan
dari ruang lingkup berlakunya Konvensi ini dan setiap kemajuan yang mungkin telah dicapai ke arah pelaksanaan
yang lebih luas dari ketentuan Konvensi ini.
b. dapat setiap waktu secara formal memperluas ruang lingkup berlakunya itu dengan suatu pernyataan yang
dialamatkan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional.
Pasal 6
Konvensi ini tidak berlaku bagi pekerjaan yang dilakukan oleh anak dan orang muda di sekolah untuk pendidikan
umum, kejuruan atau teknik atau di lembaga pelatihan lain, atau bagi pekerjaan yang dilakukan oleh orang muda yang
sekurang-kurangnya berusia 14 tahun dalam perusahaan, dimana pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan syarat-syarat
yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang
bersangkutan, jika yang demikian itu ada, dan merupakan bagian integral dari :
a. suatu kursus pendidikan atau pelatihan yang penanggung jawab utamanya adalah suatu sekolah atau lembaga
pelatihan;
b. suatu program pelatihan yang untuk sebagian besar atau seluruhnya dilakukan dalam suatu perusahaan, yang
telah disetujui oleh penguasa yang berwenang; atau
c. suatu program bimbingan atau orientasi yang bertujuan untuk mempermudah pemilihan suatu jabatan atau suatu
jurusan pelatihan.
Pasal 7
Undang-Undang atau peraturan nasional dapat mengizinkan dipekerjakannya atau bekerjanya orang-orang berusia 13
sampai 15 tahun dalam pekerjan-pekerjaan yang ;
1. Undang-Undang atau peraturan nasional dapat juga mengizinkan dipekerjakannya atau diterimanya orang
yang berusia sekurang-kurangnya 15 tahun, untuk bekerja akan tetapi belum menyelesaikan pendidikan
sekolah wajib dalam pekerjaan yang telah memenuhi pesyaratan yang ditetapkan dalam sub ayat (a) dan (b)
ayat 1 Pasal ini.
2. Penguasa yang berwenang harus menetapkan kegiatan dimana pekerja atau kerja dapat diizinkan berdasarkan
ayat 1 dan 2 Pasal ini dan harus menetapkan jumlah jam kerja selama mana dan dalam kondisi bagaimana
pekerjaan atau kerja semacam itu dapat dilakukan.
3. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 1 dan 2 Pasal ini, Anggota yang telah menyatakan mempergunakan
ketentuan ayat 4 Pasal 2, selama masih menghendaki terus melakukan demikian dapat menggantikan usia 12
dan 14 tahun untuk usia 13 dan 15 tahun dalam ayat 1 dan usia 14 tahun usia 15 tahun dalam ayat 2 Pasal ini.
Pasal 8
Setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada,
penguasa yang berwenang dengan izin yang diberikan untuk tiap keadaan tersendiri, memperbolehkan pengecualian
larangan pekerjaan atas kerja sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Konvensi ini, untuk maksud seperti turut serta
dalam kegiatan kesenian.
1. Izin yang diberikan seperti itu harus membatasi lamanya jam kerja dan harus menetapkan kondisi dimana
pekerjaan atau kerja itu diperbolehkan.
Pasal 9
1. Segala tindakan yang perlu, termasuk penentuan hukuman yang setimpal, harus diambil oleh penguasa yang
berwenang untuk menjamin pelaksanaan yang efektif dari ketentuan Konvensi ini.
2. Undang-Undang atau peraturan nasional harus menetapkan orang-orang yang bertanggung jawab atas ditaatinya
ketentuan yang memberlakukan Konvensi ini.
3. Undang-Undang atau peraturan nasional atau penguasa yang berwenang harus menetapkan, daftar dan dokumen
lain yang harus dipelihara dan disediakan oleh pengusaha, daftar dan dokumen seperti itu harus memuat nama-
nama dan usia atau tanggal lahir, sedapat mungkin dibuat dengan keterangan yang sah, dari orang yang
dipekerjakan olehnya atau yang bekerja untuknya dan yang berusia kurang dari 18 tahun.
Pasal 10
Konvensi ini merevisi, menurut ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal ini, Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun
1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, Konvensi Usia Minimum (Pertanian), tahun 1921, Konvensi Usia
Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, Konvensi Usia Minimum, (Pekerjaan Non-Industri), tahun 1932,
Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Laut), tahun 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri), tahun 1937,
Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Pekerjaan Non-Industri), tahun 1937, Konvensi Usia Minimum (Nelayan) tahun
1959, dan Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Di bawah Tanah) tahun 1965.
1. Mulai berlakunya Konvensi ini tidak menutup kemungkinan untuk diratifikasinya Konvensi (Revisi) Usia
Minimum (Laut), tahun 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri) tahun 1937, Konvensi (Revisi) Usia
Minimum (Nelayan), tahun 1959, Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Dibawah Tanah) tahun 1965.
2. Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun 1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, Konvensi Usia
Minimum (Pertanian), tahun 1921, dan Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, akan
ditutup untuk ratifikasi selanjutnya, jika semua pihak yang telah meratifikasinya telah setuju untuk menutupnya
dengan jalan meratifikasi Konvensi ini atau dengan suatu pernyataan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal
Kantor Perburuhan Internasional.
3. Jika kewajiban Konvensi ini telah diterima :
a. oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri) tahun 1937, dan
telah menetapkan Usia Minimum tidak kurang dari 15 tahun menurut ketentuan Pasal 2 Konvensi ini, maka
itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
b. dalam hal pekerjaan non-industri sebagai yang ditetapkan dalam Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Non-
Indusri), tahun 1932, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi itu, maka itu berarti pembatalan
Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
c. dalam hal pekerjaan non-industri sebagai yang ditetapkan dalam Konvensi (Revisi) Usia Minimum
(Pekerjaan Non-Industri), tahun 1937, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi itu, dan telah
menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 2 Konvensi ini, maka itu berarti
pembatalan segera Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
d. dalam hal pekerjaan maritim, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi (Revisi) Usia Minimum
(Laut), tahun 1936, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 12
Konvensi ini atau Anggota itu menetapkan bahwa Pasal 3 Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan maritim, maka
itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
e. dalam hal pekerjaan maritim, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi Usia Minimum
(Nelayan), tahun 1959, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 2
Konvensi ini atau Anggota itu telah menetapkan bahwa Pasal 3 Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan maritim,
maka itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
f. oleh Anggota yang telah meratifikasi Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan di bawah Tanah), tahun 1965, dan
telah menetapkan usia minimum menurut Pasal 2 Konvensi yang tidak kurang dari usia minimum yang
ditetapkan berdasarkan Konvensi itu atau Anggota itu menetapkan bahwa usia itu berlaku bagi pekerjaan di
bawah tanah dalam pertambangan berdasarkan Pasal 3 Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum, jika
dan pada waktu Konvensi ini mulai berlaku.
a. berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun 1919, sesuai dengan Pasal 12 Konvensi itu;
b. dalam hal pertanian berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Pertanian) tahun 1921, sesuai dengan Pasal
9 Konvensi itu;
c. dalam hal pekerjaan maritim berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, sesuai dengan
Pasal 10 Konvensi itu, dan Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, sesuai dengan Pasal
12 Konvensi itu; Jika dan pada waktu Konvensi ini mulai berlaku.
Pasal 11
Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.
Pasal 12
Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional, yang ratifikasinya telah didaftarkan
pada Direktur Jenderal.
1. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.
2. Selanjutnya, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah ratifikasinya terdaftar.
Pasal 13
1. Anggota yang telah merafitikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya sepuluh tahun sejak
tanggal mulai berlakunya Konvensi, dengan suatu ketentuan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor
Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pembatalan itu tidak akan berlaku sebelum lewat satu tahun sesudah
tanggal pendaftarannya.
2. Setiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan, dalam tahun berikutnya setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun sebagai tersebut dalam ayat terdahulu, tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal ini, akan tetap terikat untuk masa sepuluh tahun lagi dan, sesudah itu, dapat
membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya setiap masa sepuluh tahun menurut ketentuan yang tercantum
dalam pasal ini.
Pasal 14
1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional mengenai pendaftaran semua ratifikasi dan pembatalan yang disampaikan kepadanya
oleh Anggota Organisasi.
2. Pada waktu memberitahukan kepada Anggota Organisasi mengenai pendaftaran ratifikasi kedua yang
disampaikan kepadanya, Direktur Jenderal harus memperingatkan Anggota Organisasi akan tanggal mulai
berlakunya Konvensi.
Pasal 15
Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan sesuai dengan Pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, keterangan
lengkap mengenai semua ratifikasi keterangan dan pembatalan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal yang terdahulu.
Pasal 16
Pada waktu-waktu yang dianggap perlu, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan
sebuah laporan mengenai pelaksanaan Konvensi ini kepada Konvensi Umum, dan harus meneliti apakah peninjauan
kembali seluruh atau sebagian Konvensi ini perlu dimasukkan dalam agenda Konperensi.
Pasal 17
1. Apabila Konperensi menerima sebuah Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian,
maka, kecuali Konvensi yang baru itu menetapkan lain ;
a. ratifikasi Konvensi revisi baru itu oleh Anggota berarti pembatalan Konperensi ini pada saat itu juga, karena
hukum tanpa mengindahkan ketentuan Pasal 13 di atas, jika dan pada waktu Konvensi revisi yang baru itu
mulai berlaku;
b. sejak tanggal mulai berlakunya Konvensi baru yang telah diubah itu Konvensi ini tidak akan terbuka lagi
untuk ratifikasi oleh Anggota.
1. Bagaimanapun juga Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi seperti yang asli bagi Anggota yang
telah meratifikasinya dan tidak meratifikasi Konvensi yang baru.
Pasal 18
Bunyi naskah Konvensi ini dalam bahasa Inggris dan Perancis kedua-duanya adalah resmi.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1999
TENTANG
MENGENAI
Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional dan yang mengadakan
sidangnya yang keempat puluh dua pada tanggal 4 Juni 1958, dan
Setelah memutuskan untuk menyetujui usul-usul tertentu tentang diskriminasi di bidang pekerjaan dan jabatan, yang
merupakan soal keempat dalam acara sidang, dan
Setelah menetapkan bahwa usul-usul itu harus dalam bentuk Konvensi internasional, dan
Dengan mempertimbangkan bahwa Deklarasi Philadelphia menyatakan bahwa manusia semuanya, tanpa memandang
ras, kepercayaan, jenis kelamin, berhak untuk mengejar baik kesejahteraan materil maupun kemajuan spirituil dalam
suasana bebas dan
terhormat, dan dalam suasana kemantapan ekonomis dan kesamaan kesempatan, dan
Dengan mempertimbangkan juga bahwa diskriminasi merupakan pelanggaran hak-hak yang dinyatakan dalam
Pernyataan Universal tentang Hak-Hak Manusia,
Pada tanggal 25 Juni tahun 1958 menyetujui Konvensi berikut ini, yang dapat disebut sebagai Konvensi tentang
Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) tahun 1958 :
Pasal 1
a. setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan
politik, kebangsaan atau asal dalam masyarakat, yang akibatnya menghilangkan atau mengurangi persamaan
kesempatan atau persamaan perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan;
b. setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan lainnya yang akibatnya menghilangkan atau mengurangi
persamaan kesempatan atau persamaan perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan sebagaimana ditentukan oleh
Anggota yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan organisasi yang mewakili pengusaha dan pekerja,
jika organisasi itu ada, dan dengan badan lain yang sesuai.
1. Perbedaan, pengecualian atau pilihan bentuk apapun juga mengenai suatu tugas tertentu yang didasarkan
pada persyaratan khas tugas itu, tidak dianggap sebagai suatu diskriminasi.
2. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "pekerjaan" dan "jabatan" meliputi juga kesempatan pelatihan
ketrampilan, kesempatan memperoleh pekerjaan dan kesempatan memperoleh jabatan tertentu, serta
ketentuan dan syarat kerja.
Pasal 2
Setiap Anggota yang memberlakukan Konvensi ini berupaya untuk tercapainya suatu kebijaksanaan nasional yang
bertujuan untuk mendorong, dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan kebiasaan nasional, persamaan kesempatan
dan perlakuan di bidang pekerjaan dan jabatan, dengan tujuan untuk menghilangkan setiap diskriminasi di bidang itu.
Pasal 3
Setiap Anggota yang memberlakukan Konvensi ini berupaya untuk dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan
kebiasaan nasional :
a. memperoleh kerjasama dari organisasi pengusaha dan pekerja serta badan terkait lainnya untuk mendorong
diterimanya dan ditaatinya kebijaksanaan ini;
b. mengadakan perundang-undangan serta menganjurkan program pendidikan yang dapat diperkirakan akan
menjamin diterimanya dan ditaatinya kebijaksanaan ini;
c. menolak semua ketentuan peraturan dan mengubah petunjuk dan kebiasaan administratif yang tidak sesuai dengan
kebijaksanaan ini;
d. mendorong diberlakunya kebijaksanaan ini bagi pekerjaan yang langsung diawasi oleh penguasa nasional;
e. menjamin ditaatinya kebijaksanaan ini dalam kegiatan bimbingan ketrampilan, latihan ketrampilan serta jawatan
penempatan yang dipimpin oleh penguasa nasional;
f. mencantumkan dalam laporan tahunan tentang penerapan Konvensi ini tindakan apa yang telah diambil untuk
melaksanakan kebijaksanaan ini serta hasil yang dicapai dengan tindakan tadi.
Pasal 4
Setiap tindakan terhadap seseorang yang diperkirakan atau benar-benar melakukan kegiatan yang mengancam
keselamatan Negara, tidak dianggap sebagai diskriminasi, asal yang bersangkutan diberi hak untuk membela diri
dalam suatu badan yang berwenang yang diadakan sesuai dengan kebiasaan nasional.
Pasal 5
1. Langkah-langkah khusus Unitika perlindungan atau bantuan yang telah diatur dalam Konvensi atau Rekomendasi
yang lain yang telah disetujui oleh Sidang Perburuhan Internasional, tidak dianggap sebagai diskriminasi.
2. Setiap Anggota dapat, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja, jika ada, menetapkan
bahwa harus diambil langkah-langkah khusus yang lain untuk memenuhi kebutuhan khas dari orang-orang, yang
karena jenis kelamin, usia, cacad, tanggung-jawab keluarga atau status sosial atau budaya, yang secara umum
diakui memerlukan lindungan atau bantuan khusus, dan langkah-langkah itu tidak dianggap sebagai diskriminasi.
Pasal 6
Setiap Anggota yang menandatangani Konvensi ini akan berupaya menerapkannya di wilayah-wilayah non-
metropolitan, sesuai dengan ketentuan dalam Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional.
Pasal 7
Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.
Pasal 8
Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang ratifikasinya sudah didaftarkan
pada Direktur Jenderal.
1. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.
2. Setelah itu, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah tanggal ratifikasinya
terdaftar.
Pasal 9
Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya seputuh tahun dari tanggal
Konvensi ini pertama kali berlaku, dengan sebuah keterangan yang diberitahukan kepada Direktur Jenderal Organisasi
Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pencabutan demikian tidak berlaku sebelum satu tahun setelah tanggal
pendaftarannya.
1. Tiap Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dan yang dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun tersebut dalam ayat di atas tidak memberlakukan hak untuk mencabut sebagaimana ditentukan
dalam Pasal ini, akan terkait untuk masa sepuluh tahun lagi, dan setelah itu, dapat mencabut Konvensi ini pada
waktu berakhirnya tiap masa sepuluh tahun sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini.
Pasal 10
Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional tentang pendaftaran semua ratifikasi dan pencabutan yang diberitahukan kepadanya oleh
para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional.
1. Bila memberitahu kepada para Anggota Organisasi tentang pendaftaran dari ratifikasi kedua yang diberitahukan
kepadanya, maka Direktur Jenderal meminta perhatian para Anggota Organisasi tentang tanggal Konvensi ini
akan mulai berlaku.
Pasal 11
Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa sesuai dengan Pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pendaftaran rincian lengkap
semua ratifikasi dan peraturan pencabutan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan dari Pasal-Pasal sebelumnya.
Pasal 12
Pada waktu-waktu yang dianggap perlu olehnya, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus
menyampaikan kepada Konperensi Umum suatu laporan tentang perkembangan Konvensi ini dan akan memeriksa
apakah perlu untuk mencantumkan dalam agenda Konperensi pembahasan tentang perubahannya secara keseluruhan
atau sebagian.
Pasal 13
Bila Konperensi menetapkan suatu Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian, maka,
kecuali Konvensi baru itu menentukan lain :
a. Ratifikasi oleh Anggota atas Konvensi baru yang mengubah itu akan secara hukum merupakan pencabutan segera
atas Konvensi ini, tanpa mengurangi ketentuan dari Pasal 5 di atas, jika dan bilamana Konvensi baru yang
mengubah itu sudah berlaku;
b. Sejak tanggal Konvensi baru yang mengubah itu berlaku, maka Konvensi ini tidak dapat lagi diratifikasi oleh para
Anggota.
1. Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isinya yang sebenarnya untuk para Anggota yang sudah
meratifikasinya tetapi belum meratifikasi Konvensi yang mengubah itu.
Pasal 14
Versi bahasa Inggris dan bahasa Perancis dari Konvensi ini berlaku sama kuatnya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 2
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2008.
ttd
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2008.
ttd
ANDI MATTALATTA
ttd
Wisnu Setiawan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Dalam rangka meningkatkan efektivitas, peran dan fungsi LKS Tripartit maka
dibutuhkan jumlah keanggotaan yang cukup, sehingga jumlah keanggotaan
LKS Tripartit perlu ditambah dengan tetap memperhatikan karakteristik
perekonomian serta kemampuan penganggaran. Dalam kenyataannnya tidak
semua unsur dapat memenuhi persyaratan administrasi keanggotaan khususnya
persyaratan pendidikan, sehingga diubah menjadi serendah-rendahnya Sekolah
Menengah Atas(SMA/sederajat.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas.
Yth.
Pimpinan Perusahaan
di -
Seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
Nomor : SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004
TENTANG
Pekerja / buruh di dalam proses produksi barang dan jasa, tidak saja merupakan
sumber daya tapi juga sekaligus merupakan asset yang dapat dipisahkan dari upaya untuk
menjamin kelangsungan usaha. Oleh karena itu hubungan kerja yang telah terjadi perlu
dipelihara secara berkelanjutan dalam suasana hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, berkeadilan dan bermartabat.
Namun apabila dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat
membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah
merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai berikut :
a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan
direktur ;
b. Mengurangi shift ;
c. Membatasi/menghapuskan kerja lembur ;
d. Mengurangi jam kerja ;
e. Mengurangi hari kerja ;
f. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara
waktu ;
g. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa
kontraknya ;
h. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Pemilihan alternatife dari hal - hal sebagaimana tersebut di atas perlu dibahas
terlebih dahulu dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan wakil pekerja / buruh
dalam hal di perusahaan tersebut tidak ada serikat pekerja / serikat buruh untuk
mendapatkan kesepakatan secara biparte sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya
pemutusan hubungan kerja.
MENTERI
Ttd.
FAHMI IDRIS
1. Nama Perusahaan :
...........................................................................................
2. Alamat Perusahaan :
...........................................................................................
3. Nama Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
4. Alamat Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
5. Tanggal dan Tempat Perundingan :
...........................................................................................
7. Pendapat Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
8. Pendapat Pengusaha :
............................................................................................
...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
Batam, .........................................20.............
Pihak Pengusaha Pihak Pekerja/Buruh/SP/SB
________________________ ________________________
DAFTAR H AD IR
P E R U N D I N G A N
HARI :
TANGGAL :
TEMPAT :
ACARA : SIDANG I, II, III
MASALAH :
PIHAK
PENGUSAHA/ TANDA
NO NAMA ALAMAT KETERANGAN
PEKERJA/BURUH/ TANGAN
SP/SB
PERMINTAAN PERUNDINGAN SECARA BIPARTIT
Nomor : Batam,...........................20................
Lampiran : 1 (Satu) berkas Kepada
Hal. : Permintaan Perundingan Yth. Sdr ...........................................
Dengan hormat,
Sehubungan dengan adanya permasalahan yang perlu dirundingkan secara Bipartit maka
kami mengajukan untuk melakukan musyawarah pada,
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
1. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
....................
2. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
....................
3. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
........................
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.
Pihak
*) Pengusaha/Pekerja/Buruh/SP/SB
............................................
1. Nama :
Jabatan :
Perusahaan :
Alamat :
2. Nama :
Jabatan :
Alamat :
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 2 tahun 2004 Pasal 7 ayat (1) antara
Pihak Ke I dan Pihak Ke II telah mengadakan perundingan secara Bipartit dan telah tercapai
kesepakatan sebagai berikut :
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
....................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
............
Demikian Perjanjian Bersama ini dibuat da lam keadaan sadar tanpa paksaan dari
pihak manapun, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab yang didasari itikad
baik.
---------------------------- ---------------------------------------
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR :PER.24/MEN/XII/2008.
TENTANG
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perencanaan Tenaga Kerja, yang selanjutnya disingkat PTK, adalah proses
penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematisyang dijadikan dasar dan
acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
2. Persediaan tenaga kerja, adalah angkatan kerja yang tersedia, dengan berbagai
karakteristiknya.
3. Kebutuhan tenaga kerja, adalah angkatan kerja yang diperlukan untuk mengisi
kesempatan kerja yang tersedia, dengan berbagai karakteristiknya.
4. Neraca tenaga kerja, adalah kesempatan atau kesenjangan antara persediaan tenaga
kerja dengan kebutuhan tenaga kerja, dengan berbagai karakteristiknya.
5. Metode penghitungan persediaan tenaga kerja, adalah cara memperkirakan jumlah
angkatan kerja secara statistika.
6. Metode penghitungan kebutuhan tenaga kerja, adalah cara memperkirakan jumlah
kesempatan kerja secara statistika.
7. Penduduk Usia Kerja, yang selanjutnya disingkat PUK, adalah penduduk yang
berumur 15 (lima belas) tahun dan lebih atau disebut tenaga kerja.
8. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, yang selanjutnya disingkat TPAK, adalah rasio
antara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja.
9. Angkatan Kerja, yang selanjutnya disingkat AK, adalah penduduk usia kerja yang
bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran
yang aktif mencari pekerjaan.
10. Bekerja, adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, sekurang-
kurangnya 1 (satu) jam tidak terputus dalam seminggu.
11. Penganggur Terbuka, adalah mereka yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan
usaha, yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan serta yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
12. Tingkat Penganggur Terbuka, yang selanjutnya disingkat TPT, adalah rasio antara
banyaknya penganggur terbuka dengan jumlah angkatan kerja.
13. Kesempatan kerja, adalah lowongan pekerjaan yang diisi oleh pencari kerja, dan
pekerja yang sudah ada.
14. Produk Domestik Regional Bruto, yang selanjutnya disingkat PDRB, adalah jumlah
nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di
wialayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.
15. Produktivitas Tenaga Kerja, adalah rasio antara produk berupa barang dan jasa,
dengan tenaga kerja yang digunakan baik individu maupun kelompok dalam satuan
waktu tertentu, yang merupakan besaran kontribusi tenaga kerja dalam pembentukan
nilai tambah suatu produk, pada proses kegiatan ekonomi.
16. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini dipergunakan sebagai acuan bagi Kementrian, Lembaga Pemerintah
Non Departemen, dan pemerintah daerah dalam melakukan penghitungan persediaan dan
kebutuhan tenaga kerja.
Pasal 3
Metode penghitungan persediaan, dan metode penghitungan kebutuhan tenaga kerja,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan contoh penghitungan persediaan dan
kebutuhan Tenaga Kerja tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini, dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Meneteri ini.
Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 18 Desember 2008.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
1
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
TUJUAN, FUNGSI, DAN TUGAS
Pasal 2
2
Pasal 3
LKS Bipartit berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha
dengan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh dalam rangka
pengembangan hubungan industrial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan
perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja/buruh.
Pasal 4
BAB III
TATA CARA PEMBENTUKAN
Pasal 5
(1) LKS Bipartit dibentuk oleh unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 6
3
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
(1) LKS Bipartit yang sudah terbentuk harus diberitahukan untuk dicatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah pembentukan.
(2) Pengurus LKS Bipartit menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) secara tertulis, baik langsung maupun tidak langsung dengan
melampirkan berita acara pembentukan, susunan pengurus, dan alamat
perusahaan.
(3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pemberitahuan instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan memberikan bukti penerimaan
pemberitahuan.
(4) Pemberitahuan pembentukan LKS Bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat 3
tidak dikenakan biaya.
BAB IV
KEPENGURUSAN
Pasal 10
Kepengurusan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh dengan komposisi 1:1 yang jumlahnya sesuai kebutuhan
dengan ketentuan sekurang-kurangnya 6 (enam) orang.
Pasal 11
(1) Susunan pengurus LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, wakil ketua,
sekretaris, dan anggota.
(2) Jabatan ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara unsur
pengusaha dan unsur pekerja/buruh.
4
Pasal 12
(2) Pergantian kepengurusan LKS Bipartit sebelum berakhirnya masa jabatan dapat
dilakukan atas usul dari unsur yang diwakilinya.
Pasal 13
BAB V
TATA KERJA
Pasal 14
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 15
(1) Pembinaan LKS Bipartit dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat
mengikutsertakan organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.
5
BAB VII
PEMBIAYAAN DAN PELAPORAN
Pasal 16
Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS
Bipartit dibebankan pada Perusahaan.
Pasal 17
(1) Pengurus LKS Bipartit melaporkan setiap kegiatan yang dilakukan kepada
pimpinan perusahaan.
(2) Pimpinan perusahaan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
(4) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi secara
berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP-255/MEN/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan
Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 19
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.
Sunarno, SH, MH
NIP 730001630
6
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
(2) Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2
(dua) kali berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi
melakukan perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-
bukti permintaan perundingan.
Pasal 4
2
2) apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan
yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat
memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan;
5) dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat
pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang
pekerja/buruh, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati
paling banyak 5 (lima) orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan;
b. tahap perundingan :
1) kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan;
2) kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis
dan jadwal perundingan yang disepakati;
3) dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama perundingan
dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana
mestinya;
4) para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang
disepakati;
5) dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka
para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari
kerja;
6) setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat
dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak;
7) setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh
para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani,
maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;
8) hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang-
kurangnya memuat :
1. nama lengkap dan alamat para pihak;
2. tanggal dan tempat perundingan;
3. pokok masalah atau objek yang diperselisihkan;
4. pendapat para pihak;
5. kesimpulan atau hasil perundingan;
6. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
9) rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak
bersedia menandatanganinya;
3
c. tahap setelah selesai perundingan :
1) dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada
Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak
mengadakan Perjanjian Bersama;
2) apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh
bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui
perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Contoh bentuk permintaan perundingan secara bipartit, daftar hadir perundingan,
risalah perundingan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara bipartit,
perjanjian bersama, dan contoh permohonan pencatatan perselisihan hubungan
industrial sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sampai dengan Lampiran V
Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
Untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial, para pihak melakukan
hal-hal sebagai berikut :
a. pihak pengusaha agar :
1) memenuhi hak-hak pekerja/buruh tepat pada waktunya; dan
2) membangun komunikasi yang baik dengan pihak pekerja/buruh.
b. pihak pekerja/buruh agar :
1) melakukan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab; dan
2) membangun komunikasi yang baik dengan pihak pengusaha maupun dengan
serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 6
Perundingan bipartit yang berkaitan dengan penyusunan Perjanjian Kerja Bersama,
mengikuti prosedur yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER. 08/MEN/III/2006.
Pasal 7
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA.M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,
Sunarno, SH, MH
NIP 730001630 4
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
Dengan hormat,
Pihak
*)Pengusaha/Pekerja/Buruh/
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
ttd
(Nama)
*) Coret yang tidak perlu.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Sunarno, SH, MH
NIP 730001630 5
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
HARI :
TANGGAL :
TEMPAT :
ACARA : SIDANG ( I, II, III )
MASALAH :
PIHAK
NO. NAMA ALAMAT PENGUSAHA/ TANDA KETERANGAN
PEKERJA/ TANGAN
BURUH/
SERIKAT
PEKERJA/SERI
KAT BURUH
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Sunarno, SH, MH
NIP 730001630
6
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
...................., ....................200.....
(Nama) (Nama)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.
Sunarno, SH, MH 7
NIP 730001630
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
PERJANJIAN BERSAMA
Pada hari ini................ tanggal ....... bulan ......... tahun....... kami yang bertanda tangan
di bawah ini :
1. Nama :
Jabatan :
Perusahaan :
Alamat :
Yang selanjutnya disebut Pihak ke-1 (Pengusaha)
2. Nama :
Jabatan :
Alamat :
Yang selanjutnya disebut Pihak ke-2 (Pekerja/Buruh/Serikat Pekerja/Serikat
Buruh)
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1) antara
Pihak ke-1 dan Pihak ke-2 telah mengadakan perundingan secara bipartit dan telah
tercapai kesepakatan sebagai berikut :
............................................................................................................................................
Kesepakatan ini merupakan perjanjian bersama yang berlaku sejak ditandatangani di
atas materai cukup.
Demikian Perjanjian Bersama ini dibuat dalam keadaan sadar tanpa paksaan dari pihak
manapun, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab yang didasari itikad
baik.
(Nama) (Nama)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,
Sunarno, SH, MH 8
NIP 730001630
LAMPIRAN V
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
PERMOHONAN PENCATATAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Nomor : (Tempat), (tanggal).................................
Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal : Permohonan pencatatan perselisihan
Hubungan Industrial
Kepada Yth.
Sdr.....................................
(instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan)
di –
Dengan hormat,
Setelah dilakukan upaya secara maksimal untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial antara :
1. Nama Perusahaan :
2. Jenis Usaha :
3. Alamat :
dengan
1. Nama Pekerja/Buruh/Serikat Pekerja/Serikat Buruh :
2. Alamat Pekerja/Buruh/ Serikat Pekerja/Serikat Buruh :
dengan duduk permasalahan sebagai berikut :
- .................................................................................................................................................
- .........................................................................................................................................dst.
Permasalahan di atas telah dirundingkan secara bipartit, namun tidak menghasiklan
kesepakatan, maka sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Pasal 4 ayat (1)
dengan ini kami mohon bantuan Saudara untuk mencatat dan membantu menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial dimaksud (risalah perundingan terlampir).
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Pihak Pengusaha/Pekerja/Buruh/
Serikat Pekerja/Serikat Buruh*)
ttd
(Nama)
*) Coret yang tidak perlu.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,
Sunarno, SH, MH 9
NIP 730001630
PERATURAN BERSAMA
NOMOR : PER.21/MEN/XI/2008
NOMOR : 53/2008
NOMOR : 97/M-IND/11/2008
NOMOR : 48/M-DAG/PER/11/2008
TENTANG
Menimbang : a. Bahwa dalam upaya penyamaan persepsi mengenai makna dan penetapan upah
minimum sebagai diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian,
Dan Menteri Perdagangan. Nomor : PER.16/MEN/X/2008, Nomor : 49/2008,
Nomor : 922.1/M-IND/10/2008, Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2008 perlu
melakukan perubahan atas Peraturan Bersama tersebut ;
Mengingat : 1. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3214) ;
5. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4866).
Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, Dan Menteri
Perdagangan. Nomor : PER.16/MEN/X/2008, Nomor : 49/2008, Nomor : 922.1/M-
IND/10/2008, Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2008, tentang Pemeliharaan Momentum
Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian
Global :
Pasal 2
- Upaya agar Gubernur dalam menetapkan Upah minimum dan segala kebijakan
ketenagakerjaan di wilayahnya senantiasa mendukung kelangsungan berusaha
dan ketenangan bekerja dengan memperhatikan kemampuan dunia usaha
khususnya usaha padat karya ;
- Upaya untuk memperkuat pasar dalam negeri dan promosi penggunaan produk
dalam negeri ;
Pasal 3
Pasal II
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Nopember 2008
ttd ttd
ttd ttd
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR: SE. 358/MEN/SJ-OKP/IX/2008
TENTANG
I. Pendahuluan
• Urusan Pemerintahan;
• Besaran Organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah;
• Rumusan Nomenklatur.
IV. Penutup
Penyusunan tugas-tugas bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian pada
pedoman ini menggunakan prinsip pola minimal namun untuk pelaksanaannya
diberikan kesempatan yang luas bagi masing-masing daerah untuk menyusun
organisasi perangkat daerahnya sesuai dengan kondisi, karakteristik serta
kemampuan masing-masing daerah dalam rangka menyelenggarakan urusan
pemerintahan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan
organisasi perangkat daerah, antara lain faktor kemampuan keuangan dan sumber
daya manusia, sarana dan prasarana penunjang yang tersedia, serta sasaran tugas
yang harus diwujudkan.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
ttd
II KETENAGAKERJAAN
SKPD Model 1 PROVINSI /KABUPATEN/KOTA
a. 3 (tiga) Bidang Ketenagakerjaan a. Bidang Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja - Seluruh Indonesia
(Jika Dinas paling banyak 18 Dinas) - Seksi Perencanaan dan Informasi Pasar kerja
- Seksi Pelatihan dan Produktivitas
- Seksi Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja
III KETRANSMIGRASIAN
2) KABUPATEN/KOTA
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
TTD
III - 57
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
III - 58
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
Contents
CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS III-65
CHAPTER II
PROCEDURES ON SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES III-68
Section One : Settlement Through the Bipartite Mechanism
Section Two : Settlement Through Mediation
Section One : Settlement Through Conciliation
Section One : Settlement Through Arbritation
CHAPTER III
INDUSTRIAL RELATIONS COURT III-89
Section One : General
Section Two : Judge, Ad-Hoc Judge and Supreme Court Judge
Section One : Sub-Registrar Office and Substitute Registrar
Section One : Settlement Through Arbritstion
CHAPTER IV
SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH
THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT III-97
Section One : Settlement of Dispute by the Justice
Subsection 1 : Submission of Petition
Subsection 2 : Hearing with Ordinary Procedure
Subsection 3 : Hearing with Fast Procedure
Subsection 4 : Passing of Verdict
Section Two : Settlement of Dispute by Supreme Court Judge
III - 59
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
CHAPTER V
ADMINISTRATIVE SANCTION AND
CRIMINAL PROVISIONS III-106
Section One : Administrative Sanction
Section Two : Criminal Provisions
CHAPTER VI
OTHER PROVISIONS III-109
CHAPTER VII
TRANSITIONAL PROVISIONS III-109
III - 60
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
EXPLANATORY NOTES OF
ACT OF THE
REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 2 OF THE YEAR 2004
CONCERNING
III - 61
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
III - 62
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
III - 63
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
mediation process.
7. In cases where Mediation or Conciliation do not achieve a settlement manifested
through a common agreement, then one of the parties can submit a legal action
case to the Industrial Relations Court.
8. Resolution of Industrial Relations Disputes through arbitration is conducted
through an agreement between the parties and cannot be submitted as a legal
action case to the Industrial Relations Court, as an arbitration decision is considered
final and permanent, except in special cases where a cancellation has been submitted
to the Supreme Court.
9. The Industrial Relations Court exists within the realm of the general judicial
system and is established at the District Court in a phased manner and at the
Supreme Court.
10.In order to guarantee a prompt, appropriate, just, and inexpensive settlement, the
resolution of industrial disputes through the Industrial Relations Court within the
general judicial system, is limited in its processes and stages by not providing an
opportunity for appeal to the High Court. The decision of the Industrial Relations
Court arriving at the District Court level, involving disputes over rights and
disputes over termination of work can be directly filed as a supreme court to the
Supreme Court. Whereas a decision of the Industrial Relations Court arriving at
the District Court, involving conflicts over interests and disputes between trade
unions within a corporation is a first-level and final decision that cannot be filed
as a supreme court to the Supreme Court.
11.The Industrial Relations Court that reviews and adjudicates industrial relations
disputes is composed of a Panel of Judges comprising 3 (three) members, namely
a District Court judge and 2 (two) Ad-Hoc Judges, whose appointments are
proposed by the employers organization and workers/labour organization.
12.The decision of the Industrial Relations Court arriving at the District Court level
concerning disputes of differing interests and disputes between trade unions within
one corporation cannot be filed as an appeal to the Supreme Court.
13.In order to uphold the law, sanctions are imposed in order to function as stronger
methods of coercion so that the stipulations within this Act may be obeyed.
III - 64
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
GENERAL PROVISIONS
ARTICLE 1
ARTICLE 1
Numbers 1 through 21
Under this Act, the following definitions shall apply: Sufficiently clear.
1. An Industrial Relations Dispute is a difference of opinion
resulting in a dispute between employers or an association
of employers with workers/labourers or trade unions due
to a disagreement on rights, conflicting interests, a dispute
over termination of employment, or a dispute among trade
unions within one company.
2. Dispute over rights is a dispute arising over the non-
fulfillment of rights, as a result of differences in
implementation or interpretation concerning the laws and
regulations, work agreements, company regulations, or
the collective labour agreement.
3. Dispute over interest is a dispute arises in the work
relationship due to non-convergence of opinions in the
drawing up of, and/or changes in the work requirements
as stipulated in the working agreement, or company
regulations, or collective labour agreement.
4. A dispute over termination of employment is a dispute
arising from the lack of convergence of opinions regarding
the termination of employment as conducted by one of
the parties.
5. A dispute among trade unions is dispute between one
trade union and another trade union within one company,
due to the fact there is non-convergence regarding
membership, implementation of rights, and obligations
to the union.
6. An entrepreneur is:
a. An individual, a partnership or a legal entity that
operates a self-owned enterprise;
b. An individual, a partnership or a legal entity that
independently operates a non-self-owned enterprise;
c. An individual, a partnership or a legal entity located
in Indonesia and representing an enterprise as
mentioned under point a and point b that is domiciled
outside the territory of Indonesia.
III - 65
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
7. An enterprise is:
a. Every form of business, which is either a legal entity
or not, which is owned by an individual, a partnership
or a legal entity that is either privately owned or state
owned, which employs workers/ labourers by paying
them wages or other forms of remuneration;
b. Social undertakings and other undertakings with
officials in charge and which employ people by paying
the wages or other forms of remuneration.
8. A trade union/labour union is an organization that is
formed from, by and for workers/ labourers either within
an enterprise or outside of an enterprise, which is free,
open, independent, democratic, and responsible in order
to strive for, defend and protect the rights and interests of
the worker/ labourer and increase the welfare of the worker/
labourer and their families.
9. A worker/labourer is any person who works and receives
wages or other forms of remuneration.
10. Bipartite bargaining is meeting between the workers/
labourers or trade unions and the employers to resolve
disputes in industrial relations.
11. Industrial Relations Mediation that hereinafter referred
as to mediation is the settlement of disputes over rights,
conflict over interests, disputes over termination of the
work relationship, and disputes between worker/labour
unions within one company only through deliberations
that are interceded by one or more mediators who are
neutral.
12. An Industrial Relations Mediator that hereinafter referred
as to a mediator is a government agency employee
responsible for the manpower field who meet the
requirements as a mediator, and is appointed by the
Minister for the duty of carrying out mediation and has
an obligation to provide a written recommendation to
the parties in dispute in order to resolve disagreements
over rights, conflict over interests, disputes over
termination of working relationships, and disputes
between trade unions within one company.
13. Industrial Relations Conciliation that hereinafter referred
as to conciliation is the settlement of disputes over interests,
III - 66
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
III - 67
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
disputes.
21. Minister is the minister responsible for manpower affairs.
ARTICLE 2 Article 2
Letter a
The types of Industrial Relations Disputes cover: A dispute over rights is a disagreement
a. disputes of rights; concerning normative rights that has been
determined by a work agreement, company
b. disputes of interests; regulations, collective labour agreement, or
c. disputes over termination of employment; and laws and regulations.
Letter b
d. disputes among trade unions within one company. Sufficiently clear.
Letter c
Sufficiently clear.
CHAPTER II Letter d
PROCEDURES ON SETTLEMENT OF Sufficiently clear.
ARTICLE 3 ARTICLE 3
Subsection (1)
(1) Industrial relations disputes are required to be resolved The definition of bipartite bargaining
first through bipartite bargaining in deliberation to reach in this article is negotiations between the
consensus. employers or assemblage of employers with
the workers or trade unions, or among one
(2) Settlement of disputes through bipartite mechanism as trade union with another trade union within
stipulated in subsection (1) must be settled at the latest one corporation, who are in disagreement.
within 30 (thirty) working days from the commencement
of negotiations. Subsection (2)
Sufficiently clear.
(3) In the event that within a time frame of 30 (thirty) days
as stipulated in subsection (2), one party refuses to Subsection (3)
continue negotiations or there had been bargaining which Sufficiently clear.
did not result in agreement, then the bipartite meetings
will be considered to have failed.
ARTICLE 4 ARTICLE 4
Subsection (1)
(1) In the event the bipartite bargaining failed as stipulated Sufficiently clear.
in Article 3 subsection (3), then one or both of the parties
can file their dispute to the local authorized manpower Subsection (2)
Sufficiently clear.
offices, and attaching proof that efforts to resolve the
dispute through bipartite bargaining have been Subsection (3)
conducted. The stipulations within this article
(2) In the event the proofs as stipulated in subsection (1) provide the freedom for the parties in dispute
to freely select the method of dispute settlement
were not attached, then the authorized manpower offices that they wish.
will return the dossier to be made complete at the latest
III - 68
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
within 7 (seven) working days from the date the dossier Subsection (4)
was returned. Sufficiently clear.
(3) After receiving a written report from one or both parties, Subsection (5)
the local authorized manpower offices is required to offer Sufficiently clear.
to both parties a Collective Agreement to select a
Subsection (6)
settlement through conciliation or arbitration. Sufficiently clear.
(4) In the event the parties do not select settlement through
conciliation or arbitration within 7 (seven) working days,
then the authorized manpower offices will transfer
settlement of the dispute to a mediator.
(5) Settlement through conciliation is conducted for resolution
of disputes over interests, disputes on termination of work
relationships, or disputes among trade unions.
(6) Settlement through arbitration is conducted for resolution
of disputes over interest or disputes among trade unions.
ARTICLE 5 ARTICLE 5
In cases where an attempt at settlement through Sufficiently clear.
conciliation or mediation does not result in agreement, then
one of the parties can file a legal petition to the Industrial
Relations Court.
SECTION ONE
SETTLEMENT THROUGH THE BIPARTITE MECHANISM
ARTICLE 6 ARTICLE 6
Sufficiently clear.
(1) Every bargaining as meant in Article 3 must be evidenced
by a minutes signed by the parties.
(2) The minutes of the bargaining as mentioned in subsection
(1) must at the least contain:
a. full names and addresses of the parties;
b. date and venue of the bargaining;
c. agenda or reasons underlying the dispute;
d. the positions of each party;
e. a summary or results of the bargaining; and
f. date and signatures of the parties involved in the
bargaining.
III - 69
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 7 ARTICLE 7
Sufficiently clear.
(1) In the event that the bargaining as stipulated in Article 3
reach an agreement for settlement, then a Collective
Agreement is drawn up and signed by the parties.
(2) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1)
is binding and become the law and must be performed
by the parties.
(3) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1)
is required to be registered by the parties to the Industrial
Relations Court at the local District Court where the
parties conducted the Collective Agreement.
(4) The Collective Agreement that has been registered as
mentioned in subsection (3) will be provided with a
Collective Agreement registration deed that will be an
inseparable part of the Collective Agreement.
(5) In the event that the Collective Agreement as mentioned
under subsection (3) and subsection (4) is not
implemented by one of the parties, then the party suffering
injury can file a petition for execution to the Industrial
Relations Court at the local District Court where the
Collective Agreement was registered, in order to obtain
an order for execution.
(6) In the case the petitioner for execution is domiciled outside
the jurisdiction of the District Court where the Collective
Agreement was registered as mentioned in subsection (3),
then the petitioner can submit a request for court order
through the Industrial Relations Court in the District
Court at the domicile of the petitioner to be forwarded to
an Industrial Relations Court in the District Court having
the competency to conduct the execution.
SECTION TWO
SETTLEMENT THROUGH MEDIATION
ARTICLE 8 ARTICLE 8
Settlement of a dispute through mediation is carried out Sufficiently clear.
by a mediator which present at each manpower office at the
District/City level.
III - 70
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 9 ARTICLE 9
As the mediator is a government civil
A mediator as meant by Article 8 must meet the following
servant, thus besides the requirements
requirements: mentioned in this article, there must also be
a. believe and subservient to God Almighty; some consideration of other stipulations that
cover civil servants in general.
b. Indonesia citizen;
c. physically healthy according to a doctor’s certificate;
d. mastering manpower laws and regulations;
e. has dignity, honesty, fair and good reputation;
f. has a level of education of at least university or bachelor
degree (S1); and
g. other requirements as determined by the Minister.
ARTICLE 10 ARTICLE 10
ARTICLE 11 ARTICLE 11
Subsection (1)
(1) The mediator may summon witnesses or expert witnesses The expert witness mentioned in this
to attend the mediation hearing to request and hear the Article is one with special expertise in his/her
information. field, including Labour Inspectors.
(2) The witness or expert witness that fulfills the summons Subsection (2)
has a right to receive compensation for transport and Sufficiently clear.
accommodation costs with the amount to be determined
by a Ministerial Decision.
ARTICLE 12 ARTICLE 12
Subsection (1)
(1) Any person who is asked for information by the mediator What is meant by opening up the
for the purpose of settlement of an industrial dispute based company books and showing documents in
on this Act, has the obligation to provide information this Article is among others the register of
including opening the books and showing necessary wages or orders for overtime work and other
documents. documents, carried out by persons named by
the mediator.
(2) In cases where the information needed by the mediator
has some connection with someone who due to his position Subsection (2)
must preserve confidentiality, then procedures must be As in certain positions, based on laws
and regulations, secrecy must be preserved,
undertaken as arranged under the prevailing laws and thus requests for information submitted to
regulations. persons in those positions serving as expert
witnesses must follow a predetermined
procedure
III - 71
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
(3) The mediator must preserve the confidentiality of all Example: In cases that concern someone
information requested as meant under subsection (1). making a request for information about
another party’s bank account details that
request will only be met by bank officials if
there is permission from the Bank Indonesia
or from the owner of the account himself/
herself (Act No. 10 of 1998 on Banking).
Likewise there is also the stipulation
under Act No. 7 of 1971 concerning the
Primary Regulations on Archival Materials
etc.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 13 ARTICLE 13
Subsection (1)
(1) In the event an agreement to settle industrial relations Sufficiently clear.
dispute through mediation is reached, then a Collective
Agreement shall be drawn up and signed by the parties Subsection (2)
and witnessed by the mediator, as well as being registered Letter a
What is meant by a written
at the Industrial Relations Court in the District Court recommendation is an opinion or suggestion
within the jurisdiction where the parties conducting the in writing that is proposed by the mediator to
Collective Agreement, in order to obtain a registration the parties involved as an effort to obtain a
deed. settlement of their dispute.
Letter b
(2) In the event no agreement is reached on settlement of the Sufficiently clear.
industrial dispute through mediation, then: Letter c
a. the mediator will issue a written recommendation; Sufficiently clear.
Letter d
b. the written recommendation as mentioned under letter Sufficiently clear.
a, at the latest within 10 (ten) working days after the Letter e
first mediation session was held, must be conveyed to Sufficiently clear.
both parties;
c. the parties should have provided a written answer to
the mediator with the contents indicating whether they
accept or reject the written recommendation at the
latest within 10 (ten) working days after receiving the
written recommendation;
d. any party not providing an opinion as meant in letter
c, will be considered to have rejected the written
recommendation;
e. in the case of the parties accepting the written
recommendation as meant within letter a, then at the
latest within 3 (three) working days of the written
III - 72
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 14 ARTICLE 14
Subsection (1)
(1) In the case of the written recommendation as meant in Sufficiently clear.
Article 13, subsection (2), letter a, being rejected by one
or both of the parties, then the parties or one of the parties Subsection (2)
may continue to file settlement of the dispute to the The stipulation on taking legal action
as arranged under this subsection is in
Industrial Relations Court in the local District Court. accordance with the procedures for resolving
(2)The settlement of the dispute as mentioned in subsection civil cases at the general judiciary.
(1) is conducted through a petition by one of the parties
to the Industrial Relations Court in the local District
Court.
III - 73
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 15 ARTICLE 15
Sufficiently clear.
The mediator must complete his duties at the latest
within 30 (thirty) working days from the time the transfer of
responsibility for settlement of the dispute is received, as
mentioned in Article 4 subsection (4).
ARTICLE 16 ARTICLE 16
SECTION THREE
SETTLEMENT THROUGH CONCILIATION
ARTICLE 17 ARTICLE 17
Settlement of a dispute through conciliation is conducted Sufficiently clear.
by a conciliator registered at the manpower offices at the
District/City level.
ARTICLE 18 ARTICLE 18
Sufficiently clear.
(1) Settlement of disputes over interests, disputes over
termination of employment or disputes between trade
unions within one company, through conciliation is
carried out by a conciliator whose work area covers the
place of work of the workers/labourers.
(2) Settlement by a conciliator as mentioned in subsection
(1) is conducted after the parties submit a request for
settlement in a written to a conciliator appointed and
agreed by the parties.
(3) The parties may know the name of the chosen and agreed
conciliator from a list of conciliators’ names posted and
announced at the local Government office responsible for
manpower affairs.
ARTICLE 19 ARTICLE 19
Subsection (1)
(1) The conciliator, as mentioned in Article 17, must meet Letter a
these requirements: Sufficiently clear.
Letter b
a. believe and subservient to God Almighty.
Sufficiently clear.
b. Indonesia citizen;
III - 74
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
Subsection (2)
Sufficiently clear.
ARTICLE 20 ARTICLE 20
Sufficiently clear.
Within maximum of 7 (seven) working days after
receiving the request for dispute settlement in written, the
conciliator must have conducted an investigation regarding
the case and at the latest by the eighth working day, the first
conciliation session must have been held.
ARTICLE 21 ARTICLE 21
Sufficiently clear.
(1) The conciliator may summon witnesses or expert witnesses
to attend the mediation hearing to request and hear the
information.
(2) The witness or expert witness that fulfills the summons
has a right to receive compensation for transport and
accommodation costs with the amount to be determined
by a Ministerial Decision.
ARTICLE 22 ARTICLE 22
Subsection (1)
(1) Any person who is asked for information by the conciliator What is meant by opening up the
for the purpose of settlement of an industrial dispute based company books and showing documents in
on this Act, has the obligation to provide information this Article is among others records of wages
including opening the books and showing necessary or orders for overtime work and other matters
III - 75
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 23 ARTICLE 23
Sufficiently clear.
(1) In the event an agreement to settle industrial relations
dispute through conciliation is reached, then a Collective
Agreement shall be drawn up and signed by the parties
and witnessed by the conciliator, as well as being registered
at the Industrial Relations Court in the District Court
within the jurisdiction where the parties conducting the
Collective Agreement, in order to obtain a registration
deed.
(2) In the event no agreement is reached on settlement of the
industrial dispute through conciliation, then:
a. the conciliator will issue a written recommendation;
b. the written recommendation as mentioned under letter
a, at the latest within 10 (ten) working days after the
first conciliation session was held, must be conveyed
to both parties;
c. the parties should have provided a written answer to
the conciliator with the contents indicating whether
they accept or reject the written recommendation at
the latest within 10 (ten) working days after receiving
III - 76
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
III - 77
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 24 ARTICLE 24
Sufficiently clear.
(1) in the case of the written recommendation as meant in
Article 23 subsection (2) letter a being rejected by one or
both of the parties, then one or both parties may continue
to settle the dispute to the Industrial Relations Court in
the local District Court.
(2) Settlement of the dispute as mentioned in subsection (1)
is implemented through a petition by one of the parties.
ARTICLE 25 ARTICLE 25
The conciliator must complete his duties at the latest Sufficiently clear.
within 30 (thirty) working days from the time the transfer of
responsibility for settlement of the dispute is received.
ARTICLE 26 ARTICLE 26
Sufficiently clear.
(1) The conciliator is entitled to receive honorarium for services
rendered based on dispute settlement to be borne by the
state.
(2) The amount of honorarium as mentioned in subsection
(1) will be determined by the Minister.
ARTICLE 27 ARTICLE 27
Sufficiently clear.
The conciliator’s performance within a certain period will
be monitored and assessed by the Minister or government
official on manpower affairs.
ARTICLE 28 ARTICLE 28
The procedures for candidate registration, appointment Sufficiently clear.
and revocation of conciliator license, and work procedures of
conciliation will be regulated with a Ministerial Decision.
SECTION FOUR
SETTLEMENT THROUGH ARBITRATION
ARTICLE 29 ARTICLE 29
Settlement of industrial relations dispute through Sufficiently clear.
arbitration will include disputes over interests and disputes
among workers /labour unions within one company.
III - 78
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 30 ARTICLE 30
Subsection (1)
(1) The arbiter with authority to settle industrial relations The stipulation contained within this
disputes must be an arbiter who has been determined by Article is meant to protect the interests of society,
the Minister. and for that reason not every person can act as
an arbiter.
(2) Work area of the arbiter covers the entire territory of the
Republic of Indonesia. Subsection (2)
Sufficiently clear.
ARTICLE 31 ARTICLE 31
Subsection (1)
(1) In order to be appointed as arbiter as mentioned in Article Letter a
30 subsection (1) the person must meet the following Sufficiently clear.
requirements : Letter b
Sufficiently clear.
a. Believe and subservient to God Almighty; Letter c
b. Competent to do legal action; Sufficiently clear.
Letter d
c. Indonesia citizen; Sufficiently clear.
d. has a level of education of at least university or bachelor Letter e
degree (S1); Sufficiently clear.
Letter f
e. at least forty-five (45) years of age; Bearing in mind that the arbiter’s
f. physically healthy according to a doctor’s certificate; decision is binding to all parties and is final
and permanent in nature, the arbiters must
g. mastering manpower laws and regulations as proven be those competent in their field, so that the
by a certificate or proof of passing an arbitration trust given by the parties involved is not
examination; and meaningless.
Letter g
h. has at least five (5) years experience in the field of Sufficiently clear.
industrial relations.
(2) Provisions concerning examination and procedures for Subsection (2)
Sufficiently clear.
arbiter registration will be regulated with a Ministerial
Decision.
ARTICLE 32 ARTICLE 32
Sufficiently clear.
(1) The settlement of an industrial relations dispute through
an arbiter will be performed on the basis of agreement by
the disputing parties.
(2) Agreement of the parties as meant in subsection (1) will
be declared in writing through a letter of arbitration
agreement, made in three (3) copies wherein each party
is to receive one (1) copy with the same legal power.
(3) The arbitration agreement as meant in subsection (2) at
III - 79
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 33 ARTICLE 33
Sufficiently clear.
(1) In the event of the parties having signed the arbitration
agreement as mentioned in Article 32 subsection (3), the
parties are entitled to choose an arbiter from a list of arbiters
determined by the Minister.
(2) The disputing parties may designate a single arbiter or
several arbiters (council) of an odd number of at least three
(3) persons.
(3) In the event that the parties agree to designate a single
arbiter, the parties must reach an agreement at the latest
within seven (7) working days on the name of the arbiter.
(4) In the event that the parties agree to appoint several
arbiters (council) in odd number, each party is entitled
to choose an arbiter at the latest within three (3) days,
while the third arbiter will be decided by the designated
arbiters at the latest within seven (7) days to be appointed
chairman of the Arbitration Council.
(5) Appointment of the arbiters as mentioned in subsections
(3) and (4) will be performed in writing.
(6) In the event that the parties are not in agreement over the
appointment of an arbiter whether a single arbiter or
several arbiters (council) of odd number as meant in
subsection (2), then upon the request of one of the parties
the Head of the Court may appoint an arbiter from the
list of arbiters determined by the Minister.
(7) An arbiter, who is requested by the parties, is required to
notify the parties of any matter that might affect his
independence or may result in imbalance in any
III - 80
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
adjudication to be made.
(8) Any person who accepts appointment as arbiter as
mentioned in subsection (6) must notify the parties in
writing of his acceptance.
ARTICLE 34 ARTICLE 34
Sufficiently clear.
(1) An arbiter who is willing to be appointed as mentioned
in Article 33 subsection (8) will draw up an agreement of
arbiter appointment with the disputing parties.
(2) The agreement of arbiter appointment as mentioned in
subsection (1) shall at least contain the following:
a. full names and addresses or domiciles of the disputing
parties and arbiter;
b. main issues underlying the dispute and handed over
to the arbiter to settle and make the decision;
c. arbitration costs and arbiter honorarium;
d. a statement made by the disputing parties to abide by
and implement the arbitration decision;
e. place, date of drawing up the agreement letter and
signatures of the disputing parties and arbiter;
f. a statement by arbiter or arbiters that they will not go
beyond their authority in settlement of the case that
they are handling; and
g. no blood or marriage relationship up to the second
degree, with one of the disputing parties.
(3) The arbiter agreement as meant in subsection (2) will be
made in at least three (3) copies, in which each party and
the arbiter will receive one (1) copy having similar legal
power.
(4) In the event of arbitration being performed by several
arbiters, the original copy of the agreement will be
submitted to the Chairman of the Arbiter Council.
ARTICLE 35 ARTICLE 35
Sufficiently clear.
(1) In the event of the arbiter accepts his appointment and
sign an agreement as mentioned in Article 34 subsection
(1), then the concerned arbiter may not withdraw, unless
upon approval of the parties.
III - 81
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 36 ARTICLE 36
Subsection (1)
(1) In the event of a single arbiter withdraw or pass away, Sufficiently clear.
then the parties must appoint a replacement based on
the approval of both parties. Subsection (2)
Sufficiently clear.
(2) In the event of the arbiter designated by the parties
withdraw or pass away, appointment of a replacement will Subsection (3)
be left to the party designating the arbiter. Sufficiently clear.
(3) In the event of a third arbiter chosen by the arbiters Subsection (4)
withdraw or pass away, the arbiters must appoint a Sufficiently clear.
substitute arbiter based on agreement of arbiters.
Subsection (5)
(4) The parties or the arbiters as mentioned in subsection An arbiter appointed by the Court shall
(1), subsection (2) and subsection (3) must reach an not be an arbiter who in the past was rejected
agreement to designate a substitute arbiter at the latest by the parties or the arbiters, but instead must
within seven (7) working days. be a different arbiter.
ARTICLE 37 ARTICLE 37
What is meant by accepting the result
The substitute arbiter as mentioned in Article 36 shall
attained is that a replacement arbiter is bound
make a statement of willingness to accept the results that have by the result reached by the previous arbiter
been achieved and to continue settlement of the case. as reflected in the report of activities leading
to dispute settlement.
III - 82
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 38 ARTICLE 38
Sufficiently clear.
(1) The arbiter appointed by the parties based on the
arbitration agreement may file objections to the District
Court if sufficient reasons and authentic proof exist that
raise doubt that the arbiter will not carry out his duties
independently and show imbalance making a decision.
(2) Claim of breach against the arbiter may also be filed when
sufficient proof exists that there is a family or work
relationship with one of the parties or their proxy.
(3) No appeal may be filed against adjudication of the District
Court on claim of breach.
ARTICLE 39 ARTICLE 39
Sufficiently clear.
(1) Claim of breach against the arbiter that is appointed by
the Head of the Court shall be directed to the Head of
the Court.
(2) Claim of breach against a single arbiter agreed shall be
filed to the concerned arbiter.
(3) Claim of breach against a member of the approved arbiter
council shall be filed to the concerned arbiter council.
ARTICLE 40 ARTICLE 40
Subsection (1)
(1) The arbiter is required to settle industrial relations disputes In the event there is a change in arbiters,
at the latest within thirty (30) working days commencing then the time frame for the change to take
from the date of signing a letter of agreement for arbiter effect is 30 (thirty) working days from the
time the replacement arbiter signed the
appointment. arbitration agreement.
(2) Examination of disputes must commence within three
(3) working days at the latest after the date of signing a Subsection (2)
Sufficiently clear.
letter of agreement of arbiter appointment.
(3) Based on the agreement of the parties, the arbiter will Subsection (3)
have authority to extend the time period to settle the Sufficiently clear.
industrial relations dispute at the latest for one (1) period
of fourteen (14) working days.
ARTICLE 41 ARTICLE 41
Examination of industrial relations dispute by the arbiter Sufficiently clear.
or arbiter council will be made behind closed doors unless
otherwise preferred by the disputing parties.
III - 83
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 42 ARTICLE 42
What is meant by a special letter of
In the arbitration session, the disputing parties may be
authorization in this Article is the authority
represented by their authorized representatives with a special given by the parties in dispute as the powers
letter of authority. providing authority to someone, or more to
be their proxy in order to conduct legal actions
or other actions related to the case mentioned
specifically in the said letter of authorization.
ARTICLE 43 ARTICLE 43
Subsection (1)
(1) In the event that on the session is held, the disputing What is meant by “summoned in a
parties or their authorized representatives are not present reasonable manner” in this Subsection is that
without valid reason, despite proper summon has been the parties involved have been summoned 3
made, the arbiter or arbiter council may cancel the (three) times in succession, with each one
respectively lasting for a time span of 3 (three)
agreement of arbiter appointment, and the duties of the days.
arbiter or arbiter council are considered completed.
(2) In the event that on the first day of session and further Subsection (2)
Sufficiently clear.
session, one of the parties or their authorized
representatives is absent without valid reason, despite Subsection (3)
proper summon has been made, the arbiter or arbiter Sufficiently clear.
council may examine the case and issue an adjudication
without the presence of one party or their authorized
representative.
(3) In the event of costs being incurred with regard to the
agreement of arbiter appointment before cancellation of
the agreement by the arbiter or arbiter council as
mentioned in subsection (1), the parties can not request
the returning of the fee.
ARTICLE 44 ARTICLE 44
Sufficiently clear.
(1) The settlement of an industrial relations dispute by an
arbiter must commence with efforts to make peace
between the parties.
(2) In the event of the peaceful settlement as meant in
subsection (1) is achieved, the arbiter or arbiter council is
required to draw up a Settlement Deed signed by the
parties and arbiter or arbiter council.
(3) The Settlement Deed as mentioned in subsection (2) shall
be registered at the Industrial Relations Court in the local
District Court where the arbiter made the settlement
efforts.
III - 84
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 45 ARTICLE 45
Sufficiently clear.
(1) During the arbitration session the parties will be given
opportunities to explain in writing or verbally, their
respective opinions, and to submit evidence considered
necessary to reinforce their opinions within a period of
time determined by the arbiter or arbiter council.
(2) The arbiter or arbiter council is entitled to request the
parties to submit additional written explanation,
documents or other evidences deemed necessary within a
period of time determined by the arbiter or arbiter council.
ARTICLE 46 ARTICLE 46
Sufficiently clear.
(1) The arbiter or arbiter council may summon one or more
witnesses or expert witnesses to provide information.
(2) Before giving information, the witness or expert witness
will be sworn in according to the respective religion and
faith.
III - 85
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 47 ARTICLE 47
Subsection (1)
(1) Any person who is requested to provide information by What is meant by opening the company
the arbiter or arbiter council in examination for settlement books and showing documents in this Article
of an industrial relations dispute based on this Act is is for example, showing the register on wages
or the order for overtime work, and must be
required to give such information, including showing the
conducted by someone with expertise in
books and necessary letters. bookkeeping, appointed by the arbiter.
(2) In case the information required by the arbiter is related
to someone who because of his position must maintain Subsection (2)
Due to the fact that certain positions,
confidentiality, a procedure must be followed as regulated based on legal regulations, must preserve
in the prevailing legislation and regulations. secrecy, so any request for information from
(3) The arbiter is required to keep in confidence all information persons in those positions serving as expert
witnesses must follow a predetermined
requested as mentioned in subsection (1). procedure.
Example: In the case of someone
requesting information about any other party’s
bank account details that request will only be
met by bank officials if there is permission
from the Bank Indonesia or from the owner
of the account himself/herself (Act No. 10 of
1998 on Banking). The same applies to the
stipulations under Act No. 7 of 1971
concerning the Primary Regulations on
Archival Materials etc.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 48 ARTICLE 48
Sufficiently clear.
The activities undertaken during the examination and
arbitration session will be drawn up into an official report of
examination by the arbiter or arbiter council.
III - 86
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 49 ARTICLE 49
Sufficiently clear.
The adjudication of the arbitration session is made on
the basis of prevailing laws and regulations, agreements, mores,
justice and public interest.
ARTICLE 50 ARTICLE 50
Sufficiently clear.
(1) The arbitration adjudication shall contain the following:
a. head of adjudication stating “FOR JUSTICE BASED
ON THE ONE ALMIGHTY GOD”;
b. full name and address of the arbiter or arbiter council;
c. full names and addresses of the parties;
d. matters contained in the agreement made by the
disputing parties;
e. Summary of charges, replies, and further explanations
by the disputing parties.
f. considerations underlying the adjudication;
g. primary topic of adjudication;
h. place and date of adjudication;
i. effective date of adjudication; and
j. arbiter or arbiter council’s signature(s).
(2) The arbiter decision which is not signed by one of the
arbiters for reasons of illness or his decease will not affect
the power of the adjudication.
(3) The reason for no signature as mentioned in subsection
(2) must be included in the decision.
(4) The adjudication stipulates that at the latest fourteen (14)
working days, the adjudication must be implemented.
ARTICLE 51 ARTICLE 51
Sufficiently clear.
(1) The arbitration adjudication possesses binding legal force
to the disputing parties and constitutes final and
permanent in nature
(2) The arbitration adjudication as stipulated in subsection
(1) will be registered at the Industrial Relations Court in
the local District Court where the arbiter made the
decision.
(3) In the event of the arbitration adjudication as mentioned
in subsection (1) is not implemented by one of the parties,
III - 87
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 52 ARTICLE 52
Subsection (1)
(1) Any of the parties may file a petition of cancellation of A legal effort to request cancellation is
arbitration adjudication to the Supreme Court at the meant to provide a fair opportunity to the
latest within thirty (30) working days since the arbiter injured party in the dispute.
decision was made, if the decision is believed to include
Subsection (2)
the following : Sufficiently clear.
a. A letter or document that was submitted during
examination, after adjudication is made is admitted or Subsection (3)
Sufficiently clear.
stated to be false;
b. after adjudication, a document which is decisive in
nature is found that was concealed by the other party;
c. adjudication is made through deception by one of the
parties during the examination of dispute;
d. the adjudication is beyond the authority of the
industrial relations arbiter; or
e. the adjudication is contrary to laws and regulations.
(2) In the event of such petition as mentioned in subsection
(1) is granted, the Supreme Court will stipulate the
consequences of cancellation whether in whole or in part
of the arbitration decision.
(3) The Supreme Court will decide on the cancellation of
petition as stipulated in subsection (1) at the latest thirty
(30) working days commencing from the date of receipt
of cancellation petition.
III - 88
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 53 ARTICLE 53
The stipulations in this Article are for
Industrial relations disputes that are in progress or have
the purpose of providing legal certainty.
been settled through arbitration may not be filed to the
Industrial Relations Court.
ARTICLE 54 ARTICLE 54
Sufficiently clear.
The arbiter or panel of arbiters may not be held legally
responsible whatsoever on all actions taken during the session
in process, in order to perform their function as the arbiter or
panel of arbiters, except when it can be proven that the action
is not conducted in good faith.
CHAPTER III
INDUSTRIAL RELATIONS COURT
SECTION ONE
GENERAL
ARTICLE 55 ARTICLE 55
The Industrial Relations Court is a special court within Sufficiently clear.
the general court.
ARTICLE 56 ARTICLE 56
Sufficiently clear.
The Industrial Court is assigned and authorized to
investigate and adjudicate:
a. at the first level regarding disputes on rights;
b. at the first and final levels regarding disputes on interests;
c. at the first level regarding disputes on termination of
employment;
d. at the first and final levels regarding disputes between
workers unions / labor unions in one company.
ARTICLE 57 ARTICLE 57
Sufficiently clear.
The prevailing legal proceeding in the Industrial Relations
Court is the Civil Law Proceeding prevails at the general court,
unless otherwise regulated under this act.
ARTICLE 58 ARTICLE 58
Sufficiently clear.
The parties in the legal proceeding are not charged any
costs for the trial process at the Industrial Relations Court,
III - 89
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 59 ARTICLE 59
Subsection (1)
(1) For the first time, the Industrial Relations Court under - Bearing in mind that the Special
this act is established at each District Court in the Regency/ Capital City Territory of Jakarta is a provincial
City level, located in each Provincial Capital, which capital and simultaneously the capital city of
the Republic of Indonesia, and has more than
jurisdiction covers the concerned province. one District Court, the Industrial Relations
(2) The Industrial Relations Court should, with the Court established for the first time with this
Presidential Decree, immediately be established at the Act is the Industrial Relations Court at the
Central Jakarta District Courthouse.
local District Court.
- In the event that in any provincial
capital, there exist a Municipal District Court
and a District Court, then the Industrial
Relations Court will be a part of the District
Court.
Subsection (2)
What is meant by the term
“immediately” in this Subsection is the time
frame within 6 (six) months after this Act
takes effect.
ARTICLE 60 ARTICLE 60
Sufficiently clear.
(1) The composition of the Industrial Relations Court in the
District Court is as follows;
a. Judge;
b. Ad-Hoc Judge;
c. Junior Registrar; and
d. Substitute Registrar.
(2) The composition of the Industrial Relations Court in the
Supreme Court is as follows:
a. Supreme Judge;
b. Ad-Hoc Judge in the Supreme Court; and
c. Registrar.
III - 90
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 61
The Judge at the Industrial Relations Court is appointed
and discharged based on the Decree of the Head of the Supreme
Court.
ARTICLE 62 ARTICLE 62
Sufficiently clear.
The appointment of the Judge as meant in Article 61 is
carried out in accordance with the prevailing laws and
regulations.
ARTICLE 63 ARTICLE 63
Sufficiently clear.
(1) The Ad-hoc Judge in the Industrial Relations Court is
appointed with a Presidential Decree upon proposal of
the Head of the Supreme Court.
(2) The nomination of Ad-Hoc Judge as meant in subsection
(1) is proposed by the Head of the Supreme Court from
the names approved by the Minister upon proposal of
the workers union / labor union or employer’s
organization.
(3) The Head of the Supreme Court proposes the discharge
of the Ad-Hoc Judge of the Industrial Relations Court to
the President.
ARTICLE 64 ARTICLE 64
Sufficiently clear.
The following requirements should be fulfilled in order
to be appointed as an Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations
Court and as an Ad-Hoc Judge in the Supreme Court:
a. Indonesian citizen;
b. devout to the Only God;
c. loyal to the Pancasila and the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia;
d. minimum age of 30 (thirty) years;
e. physically healthy based on a doctor’s certificate;
f. has an authoritative bearing, honest, just and has a non-
disgraceful behavior;
g. has a level of education of at least university degree (S1),
III - 91
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 65 ARTICLE 65
Subsection (1)
(1) Prior to the appointment, the Ad-Hoc Judge in the At the time the sacred oath/pledge is
Industrial Court should take an oath or promise according taken, certain words are spoken in accordance
to his/her religion/belief, which oath or promise is as with the person’s religion, for example for
adherents of Islam, “For God’s Sake” is said
follows:
before repeating the oath, and for Protestants/
“I swear/promise truthfully that to obtain this position, I Catholics the words “May God Help Me”
shall, directly or indirectly, by using whatever name or will be said after repeating the oath.
way, not give or promise anything to whomsoever. I swear/
Subsection (2)
promise that, for carrying out or for not carrying out Sufficiently clear.
something in this position, I shall not at all receive a
promise or gift, directly or indirectly from whomsoever.
I swear/promise that I shall be loyal to maintain and carry
out with devotion the Pancasila as the nation’s philosophy
of life, state principle and national ideology, and the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia, and all laws
and regulations that apply for the Republic of Indonesia.
I swear/promise that I shall always carry out my function
honestly, thoroughly and without discriminating people,
and shall undertake my obligations, as good as possible
and as just as possible based on the prevailing laws and
regulations”.
(2) The taking of oath or promise of the Ad-Hoc Judge in the
Industrial Regulations Court is made by the Head of the
District Court or appointed official.
ARTICLE 66 ARTICLE 66
Sufficiently clear.
(1) The Ad-Hoc Judge may not serve concurrently as:
a. member of the State High Institution;
III - 92
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 67 ARTICLE 67
Subsection (1)
(1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court and Letter a
the Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court at Sufficiently clear.
the Supreme Court may be honorably discharged from Letter b
their positions due to the following reasons: Sufficiently clear.
Letter c
a. passed away; What is meant by continuous physical
b. upon own request; or mental illness is a disability that causes the
sufferer to be no longer capable of carrying
c. continuously ill, physically or mentally, during (12) out his tasks well.
months; Letter d
Sufficiently clear.
d. has reached the age of 62 (sixty two) years for the Ad-
Letter e
Hoc Judge in Industrial Relations Court, and has What is meant by not competent in
reached the age of 67 (sixty seven) years for the Ad- carrying out duties is for example, often
Hoc Judge in the Supreme Court: making mistakes in conducting tasks for
reasons of lack of ability.
e. not competent in carrying out his/her duties; Letter f
f. upon request of the employers organization or upon Sufficiently clear.
proposal of the Workers union / labor union; or Letter g
Sufficiently clear.
g. Has completed his / her office term.
(2) The office term of the Ad-Hoc Judge is 5 (five) years and Subsection (2)
Sufficiently clear.
he/she may be reappointed for another 1 (one) office term.
III - 93
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 68 ARTICLE 68
Sufficiently clear.
(1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court is
dishonorably discharged from his/her position due to the
following reasons:
a. condemned for being guilty of conducting criminal
acts;
b. neglects the obligation to carry out his/her work
assignments without valid reasons for 3 (three)
successive times during the period of 1 (one) month;
or
c. violates his/her oath or promise.
(2) The dishonorably discharge with the reasons as meant in
subsection (1) is carried out after the concerned is given
the opportunity to file his/her plea to the Supreme Court.
ARTICLE 69 ARTICLE 69
Sufficiently clear.
(1) Prior to his/her dishonorably discharge as meant in Article
68 subsection (1), the Ad-Hoc Judge in the Industrial
Relations Court may be temporary discharged from his/
her position.
(2) The stipulation as meant in Article 68 subsection (2) also
applies to the temporary discharged Ad-Hoc Judge as
meant in Article 68 subsection (1).
ARTICLE 70 ARTICLE 70
Sufficiently clear.
(1) The appointment of the Ad-Hoc Judge in the Industrial
Relations Court is conducted by considering the need
and available resources.
(2) For the first time, the appointment of the Ad-Hoc Judge
in the Industrial Relations Court at the District Court is
at least 5 (five) persons from the workers union / labor
union and 5 (five) persons from the employers
organization.
ARTICLE 71 ARTICLE 71
Sufficiently clear.
(1) The Head of the District Court controls the
implementation of duties by the Judge, Ad-Hoc Judge,
Junior Registrar, and Substitute Registrar, and Substitute
Registrar of the Industrial Relations Court at the District
Court in accordance with his/her authority.
III - 94
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 72 ARTICLE 72
Sufficiently clear.
The method of appointing, honorably discharging,
dishonorably discharging, and temporary discharge of the Ad-
Hoc Judge as meant in Article 67, Article 68, and Article 69 is
regulated with a Government Regulation.
ARTICLE 73 ARTICLE 73
What is meant by benefits and other
Allowances and other rights for the Ad-Hoc Judge in the rights are official benefits and employee rights
Industrial Relations Court are regulated with a Presidential related to their welfare.
Decree.
SECTION THREE
SUB-REGISTRAR OFFICE AND SUBSTITUTE REGISTRAR
ARTICLE 74 ARTICLE 74
Sufficiently clear.
(1) A Sub-Registrar Office of the Industrial Relations Court
is formed at each District Court that has an Industrial
Relations Court, managed by a Junior Registrar.
(2) In carrying out his/her duties, the Junior Registrar as
meant in subsection (1) is assisted by several Substitute
Registrars.
III - 95
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 75 ARTICLE 75
Sufficiently clear.
(1) The Sub-Registrar Office as meant in Article 74 subsection
(1) is assigned to:
a. maintain the administration of the Industrial Relations
Court; and
b. make the list of all received disputes in the book of
cases.
(2) The book of cases as meant in subsection (1) letter b
contains at least the sequence number, names and addresses
of the parties, and types of disputes.
ARTICLE 76 ARTICLE 76
Sufficiently clear.
The Sub-Registrar Office is responsible for the delivery
of summons letters for trial, delivery of verdict notifications
and delivery of verdict copies.
ARTICLE 77 ARTICLE 77
Sufficiently clear.
(1) For the first, the Junior Registrars and Substitute Registrars
at the Industrial Relations Court are appointed from Civil
Servants of Government Agencies that are responsible in
the manpower sector.
(2) Provisions concerning the requirements, appointment and
discharge procedures of the Junior Registrars and
Substitute Registrars at the Industrial relations Court are
further regulated in accordance with the prevailing laws
and regulations.
ARTICLE 78 ARTICLE 78
Sufficiently clear.
The organization structure, tasks and work procedure of
the Sub-Registrar Office at the Industrial relations Court are
regulated with the Decree of the Head of the Supreme Court.
ARTICLE 79 ARTICLE 79
Sufficiently clear.
(1) The Substitute Registrar is assigned to record the trial
process in the Minutes.
(2) The Minutes as meant in subsection (1) is signed by the
Judge, the Ad-Hoc Judge and the Substitute Registrar.
III - 96
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 80 ARTICLE 80
Sufficiently clear.
(1) The Junior Registrar is responsible for the book of cases
and other documents that are kept in the Sub-Registrar
Office.
(2) All books of cases and other documents as meant in
subsection (1), either the originals or photocopies, may
not be taken out of the work room of the Sub-Registrar
Office, unless upon permission of the Junior Registrar.
CHAPTER 1V
SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH
THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT
SECTION ONE
SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE JUDGE
SUBSECTION 1
SUBMISSION OF PETITION
ARTICLE 81 ARTICLE 81
Sufficiently clear.
The Petition of the industrial relations dispute is
submitted to the Industrial Relations Court in the District
Court which jurisdiction covers the workplace of the worker/
laborer.
ARTICLE 82 ARTICLE 82
The petition which is filed by the worker/laborer as meant Sufficiently clear.
in Article 159 and Article 171 of Law Number 13 of 2003
concerning Manpower, may only be submitted within the grace
period of 1 (one) year after the decision of the employer is
received or informed.
ARTICLE 83
ARTICLE 83 Subsection (1)
Sufficiently clear.
(1) The petition submitted without attachment of the
minutes of settlement through mediation or conciliation, Subsection (2)
should be returned by the judge of the Industrial Relations During the process for completion of a
Court to the plaintiff. legal action, the Registrar or Alternate Registrar
may assist in drawing up/completing the legal
(2) The judge is required to examine the contents of the action. For that purpose the Registrar or
petition, and if there are shortages, then the judge should Alternate Registrar records in a special register
request the plaintiff to complete his/her petition. data that includes:
III - 97
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 84 ARTICLE 84
Sufficiently clear.
Petitions that involve more than one plaintiff may be
submitted collectively by providing a special power of attorney.
ARTICLE 85 ARTICLE 85
Sufficiently clear.
(1) The plaintiff may at any time withdraw his/her petition
before the defendant gives his/her reply.
(2) If the defendant has given his/her reply on the petition,
then the withdrawal of the petition by the plaintiff shall
be agreed by the Industrial Relations Court upon approval
of the defendant.
ARTICLE 86 ARTICLE 86
In case the dispute on rights and/or dispute on interest Sufficiently clear.
are followed by a dispute on termination of employment, then
the Industrial Relations Court should first sentence the cases
of dispute on rights and/or dispute on interest.
ARTICLE 87 ARTICLE 87
What is meant by trade unions as
The workers union/labor union and employer’s mentioned under this Article cover the
organization may act as legal proxies in the court session at the management at the company level, the district/
Industrial Relations Court in order to represent their members. city level, the provincial level, and central
level, whether for trade unions, federation
members, or confederation members.
ARTICLE 88 ARTICLE 88
Sufficiently clear.
(1) Within the period of not later than 7 (seven) working
days after receiving the petition, the Chairman of the
District Court should have established the Council of
Judges, which consists of 1 (one) Judge as the Chairman
of Council and 2 (two) Ad-Hoc Judges as Council
III - 98
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
SUBSECTION 2
HEARING WITH ORDINARY PROCEDURE
ARTICLE 89 ARTICLE 89
Sufficiently clear.
(1) The Chairman of the Council of Judges should have held
the first court session within the period of not later than
7 (seven) working days after the establishment of the
Council of Judges.
(2) The summons to appear before court is conducted legally
if it is submitted through a letter of summons to the parties
at their addresses of domicile or if their addresses of
domicile are not known, then it is submitted to their latest
addresses of domicile.
(3) If the summoned party is not at his/her address of domicile
or latest address of domicile, then the letter of summons
is submitted through the Head of Sub-district or Village
Chief whose jurisdiction covers the address of domicile or
latest address of domicile of the summoned party.
(4) The letter of summons which is received by the summoned
party himself/herself or through another party should be
given a receipt.
(5) If the address of domicile or latest address of domicile is
not known, then the letter of summons is placed on the
announcement board at the building in the Industrial
Relations Court that investigates the case.
ARTICLE 90 ARTICLE 90
Sufficiently clear.
(1) The Council of Judges may summon the witness or expert
witness to be present at the court session in order to request
or listen to his/her information.
(2) Anyone who is summoned to become a witness or expert
III - 99
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 91 ARTICLE 91
Subsection (1)
(1) Anyone who is requested by the Council of Judges to Sufficiently clear.
provide his/her information in order to conduct
investigation for settlement of the industrial relations Subsection (2)
As in certain positions, according to legal
dispute based on this act, should provide it provisions, secrecy must be maintained, any
unconditionally, including the opening of books and request for information from the person in
showing of necessary letters / documents. that position and serving as an expert witness,
must comply with a certain predetermined
(2) In case the information requested by the Council of Judges
procedure.
is related to someone who due to his/her position should
maintain the confidentiality, then the procedure to be Subsection (3)
followed should be as regulated in the prevailing laws and Sufficiently clear.
regulations.
(3) The judge should keep in confidence all requested
information as meant in subsection (1).
ARTICLE 92 ARTICLE 92
The court session is valid if it is held by the Council of The stipulation requiring the validity
of the court proceedings under this Article is
Judges, as is meant in Article 88 subsection (1). for the purpose of guaranteeing that every
session must be attended by the Judge and all
the Ad-Hoc Judges who have been appointed
to resolve the dispute.
ARTICLE 93 ARTICLE 93
Sufficiently clear.
(1) In case one of the parties or the parties are unable to be
present in the court session without any accountable
reasons, then the Chairman of the Council of Judges
determines the next session day.
(2) The next session day as meant in subsection (1) is
determined within the period of not later than 7 (seven)
working days as of the date of deferment.
(3) The deferment due to the absence of one of the parties or
the parties is maximum 2 (two) times.
ARTICLE 94 ARTICLE 94
Sufficiently clear.
(1) In case after being properly summoned as meant in Article
89, the plaintiff or his/her legal proxy is not appearing
before court at the last deferred session as meant in Article
III - 100
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 95 ARTICLE 95
Sufficiently clear.
(1) The session held by the Council of Judges is open for
public, unless otherwise determined by the Council of
Judges.
(2) Everyone present in the court session should respect the
court session order.
(3) Everyone who is not following the court session order as
meant in subsection (2) may be taken out of the room,
after obtaining an admonition from or upon order of the
Chairman of the Council of Judges.
ARTICLE 96 ARTICLE 96
Subsection (1)
(1) If in the first court session it is decidedly proven that the A request for a temporary verdict is
employer is not undertaking his/her obligations as meant submitted together with the legal action
in Article 155 subsection (3) of Law Number 13 of 2003 dossier.
concerning Manpower, then the Chairman of Judge of
Subsection (2)
the court session should immediately pass the Interval
Sufficiently clear.
Verdict in form of an order to pay the wage and other
rights that are normally received by the concerned worker/ Subsection (3)
laborer. Sufficiently clear.
(2) The Interval Verdict as meant in subsection (1) may be Subsection (4)
passed on the court session day or on the second court Sufficiently clear.
session day.
(3) In case during the dispute hearing, which is ongoing, the
Interval Verdict as meant in subsection (1) is not carried
out by the employer, then the Chairman of Judge of the
court session may order a Collateral Confiscation through
a Decree of the Industrial Relations Court.
(4) A resistance cannot be filed and/or legal efforts cannot be
used against the Interval Verdict as meant in subsection
III - 101
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 97 ARTICLE 97
Sufficiently clear.
The obligations that should be carried out and/or the rights
that should be received by the parties or by one of the
parties on each settlement of the industrial relations
dispute are determined in the verdict of the Industrial
Relations Court.
SUBSECTION 3
HEARING WITH FAST PROCEDURE
ARTICLE 98 ARTICLE 98
Sufficiently clear.
(1) In case there are rather urgent interests of the parties and/
or of one of the parties, which should be able to be
concluded from the reasons of petition of the concerned,
then the concerned parties or one of the parties may request
the Industrial relations Court to speed up the hearing of
the dispute.
(2) Within the period of 7 (seven) working days after the
request as meant in subsection (1) is received, the
Chairman of the District Court issues the decision on
whether such request is granted or not.
(3) No legal efforts can be used against the decision as meant
in subsection (2).
ARTICLE 99 ARTICLE 99
Sufficiently clear.
(1) In case the request as meant in Article 98 subsection (1)
is granted, then the Chairman of the District Court
determines the council of judges, day, place and time of
the court session without going through the examination
process, within the period of 7 (seven) working days after
the decision as meant in Article 98 subsection (2) is issued.
(2) The grace periods for reply and authentication by both
parties are respectively determined as not exceeding 14
(fourteen) working days.
III - 102
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
SUBSECTION 4
PASSING OF VERDICT
III - 103
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 107
ARTICLE 107
Sufficiently clear.
The Registrar of the District Court should have
dispatched the verdict copy to the parties within the period of
not later than 7 (seven) working days after such verdict copy is
produced.
III - 104
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
SECTION TWO
SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE SUPREME COURT JUDGE
III - 105
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
CHAPTER V
ADMINISTRATIVE SANCTIONS AND
CRIMINAL PROVISIONS
SECTION ONE
ADMINISTRATIVE SANCTIONS
III - 106
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
as conciliator.
(3) The sanction as meant subsection (2) may only be passed
after the concerned has settled the dispute that is being
handled by him/her.
(4) The administrative sanction of temporary revocation as
conciliator is imposed for a period of maximum 3 (three)
months.
III - 107
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
SECTION TWO
CRIMINAL PROVISIONS
III - 108
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
(2) The act as meant in subsection (1) is a violation criminal ARTICLE 123
act. Sufficiently clear.
CHAPTER VI
OTHER PROVISIONS
ARTICLE 123
In case industrial relations disputes occur at social
operations and other operations that are not in form of
company operations, but have a management and employ other
people by paying wages, then such disputes are settled in
accordance with the stipulations of this act.
CHAPTER VII
TRANSITIONAL PROVISIONS
III - 109
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
Supreme Court;
c. Central Labor Dispute Settlement Committee or other
institutions of similar level that are settling those
industrial relations disputes or terminations of
employment which have not been adjudicated yet, are
settled by the Supreme Court;
d. Decisions of the Central Labor Dispute Settlement
Committee or other institutions as meant in letter c,
that are rejected and appealed by one of the parties or
the parties, and such decisions are received within the
grace period of 90 (ninety) days, are settled by the
Supreme Court.
CHAPTER VIII
CLOSING PROVISIONS
III - 110
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Promulgated in Jakarta
On 14 January 2004
BAMBANG KESOWO
III - 111
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 93
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 94
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Contents
CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS II-103
CHAPTER II
STATUTORY BASIS, PRINCIPLES
AND OBJECTIVES II-106
CHAPTER III
EQUAL OPPORTUNITIES II-108
CHAPTER IV
MANPOWER PLANNING AND
MANPOWER INFORMATION II-108
CHAPTER V
JOB TRAINING II-109
CHAPTER VI
JOB PLACEMENT II-117
CHAPTER VII
EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES II-119
CHAPTER VIII
EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER II-121
CHAPTER IX
EMPLOYMENT RELATIONS II-123
II - 95
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER X
PROTECTION, WAGES AND WELFARE II-131
Section One : Protection
Subsection 1 : Disabled Person
Subsection 2 : Children
Subsection 3 : Women
Subsection 4 : Working Hours
Subsection 5 : Occupational Safety and Health
Section Two : Wages
Section Three : Welfare
CHAPTER XI
INDUSTRIAL RELATIONS II-146
Section One : General
Section Two : Trade/Labour Union
Section Three : Entrepreneurs’ Organization
Section Four : Bipartite Cooperation Institution
Section Five : Tripartite Cooperation Institution
Section Six : Company Ragulations
Section Seven : Collective Labour Agreement
Section Eight : Institutions/Agencies for the Settlement of
Industrial Relation Disputes
Subsection 1 : Industrial Relations Disputes
Subsection 2 : Strike
Subsection 3 : Lock-Out
CHAPTER XII
TERMINATION OF EMPLOYMENT II-163
CHAPTER XIII
MANPOWER DEVELOPMENT II-178
CHAPTER XIV
LABOUR INSPECTION II-179
CHAPTER XV
INVESTIGATION II-180
II - 96
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XVI
CRIMINAL PROVISIONS AND
ADMINISTRATIVE SANCTIONS II-181
Section One : Criminal Provisions
Section Two : Administrative Sanctions
CHAPTER XVII
TRANSITIONAL PROVISIONS II-184
CHAPTER XVIII
CLOSING PROVISIONS II-184
II - 97
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 98
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
EXPLANATORY NOTES
ON THE ACT OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 13 OF THE YEAR 2003
CONCERNING
MANPOWER AFFAIRS
ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 13 YEAR 2003
CONCERNING
I. GENERAL
MANPOWER Manpower development as an integral
part of the national development based on
the Pancasila and the 1945 Constitution shall
be carried out within the framework of
building up Indonesian as fully integrated
human beings and the overall, integrated
development of Indonesia’s society in order to
WITH THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY, enhance the dignity, values and status of
manpower and to create a prosperous, just
and well-off society in which material and
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF spiritual benefits are evenly distributed.
INDONESIA, Manpower development must be
regulated in such a way so as to fulfill the
Considering: rights of and to provide basic protection to
manpower and workers/ labourers and at the
a. That Indonesia’s national development shall be same time to be able to create conducive
implemented within the framework of building conditions for the development of the world
Indonesians as fully-integrated human beings and of of business.
building the whole Indonesian society in order to realize Manpower development has many
dimensions and interconnectivity. The
a society in which there shall be welfare, justice and
interconnectivity is not only related to the
prosperity based on equity both materially and spiritually interests of the workforce during, prior to and
with the Pancasila and the 1945 Constitution at its after the term of employment but also related
foundation. to the interests of the entrepreneur, the
government and the public. Therefore,
b. That in the implementation of national development, comprehensive and all-inclusive arrangements
workers have a very important role and position as actors are needed. And this shall include, among
of development as well as the goal of development itself; others, the development of human resources,
improvement of productivity and
c. That in accordance with the role and position of workers, competitiveness of Indonesian manpower,
manpower development is required to enhance the quality efforts to extend job opportunities, job
of workers as well as their role and participation in national placement service, and industrial relations
development and in improving protection for workers and development.
their families in respect to human dignity and values; Industrial relations development as part
of manpower development must be directed
d. That protection of workers is intended to safeguard the to keep on realizing industrial relations that
II - 99
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
fundamental rights of workers and to secure the are harmonious, dynamic and based on
implementation of equal opportunity and equal treatment justice. For this purpose, recognition and
appreciation of human rights as stated under
without discrimination on whatever basis in order to the Decree of the People’s Consultative
realize the welfare of workers/ labourers and their family Assembly Number XVII of 1998 (TAP MPR
by continuing to observe the development of progress NO. XVII/MPR/1998) must be realized. As
made by the world of business; far as manpower business is concerned, this
MPR decree serves as a chief milestone in
e. That several acts on manpower are considered no longer promoting and upholding democracy in the
relevant to the need and demand of manpower workplace. It is expected that the
development and hence, need to be abolished and/or implementation of democracy in the workplace
revoked; will encourage optimal participation from all
manpower and workers/ labourers of
f. That based on the considerations as mentioned under Indonesia to build the aspired State of
points a, b, c, d and e, it is necessary to establish an Act Indonesia.
concerning Manpower. Some prevailing laws and regulations
concerning manpower that has been ongoing
thus far, including parts that are of colonial
In view of: products, put workers in a less advantageous
Article 5 Subsection (1), Article 20 Subsection (2), Article 27 position especially when it comes to job
placement service and industrial relations
Subsection (2), Article 28 and Article 33 Subsection (1) of
system that put too much emphasis on
the 1945 Constitution. differences of positions and interests so that
they are no longer suitable for today’s needs as
well as for future demands. The said statutory
By the joint approval between
legislations are:
Ordinance concerning the Mobilization
THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF of Indonesian People To Perform Work
Outside of Indonesia (Staatsblad Year
THE REPUBLIC OF INDONESIA 1887 Number 8);
AND Ordinance dated December 17, 1925,
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA which is a regulation concerning the
Imposition of Restriction on Child Labour
and Night Work for Women (Staatsblad
DECIDE: Year 1925 Number 647);
Ordinance Year 1926, which is a
To stipulate: regulation concerning Child and Youth
ACT CONCERNING MANPOWER AFFAIRS Labour on Board of A Ship (Staatsblad
Year 1926 Number 87);
Ordinance dated May 4, 1936
concerning Ordinance To Regulate
Activities To Recruit Candidates
(Staatsbald Year 1936 Number 208);
Ordinance concerning the Repatriation
of Labourers Who Come From or Are
Mobilized From Outside of Indonesia
(Staatsblad Year 1939 Number 545);
Ordinance Number 9 Year 1949
concerning Restriction of Child Labour
II - 100
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 101
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 102
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
GENERAL PROVISIONS
ARTICLE 1 ARTICLE 1
Under this act, the following definitions shall apply: Sufficiently clear
II - 103
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 104
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 105
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER II
STATUTORY BASIS, BASIC PRINCIPLES AND
OBJECTIVES
ARTICLE 2
ARTICLE 2
The National Development shall be
Manpower development shall have the Pancasila and the carried out in the framework of the whole,
1945 Constitution as its statutory basis. undivided development of Indonesian as a
human being. Therefore, manpower
development shall be carried out with the
aim to develop Indonesian and the
Indonesian society as a whole into a
prosperous, just, and well-off society in which
material and spiritual benefits are evenly
shared.
II - 106
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 3 ARTICLE 3
Manpower development shall be carried out based on The fundamental principle of
manpower development basically accords with
the basic principle of integration through functional, cross- the fundamental principle of national
sector, central, and provincial/municipal coordination. development, in particular with the
fundamental principle of democracy of the
Pancasila and the fundamental principles of
social justice and equity. Manpower
development has many dimensions and
interconnectivity with many stakeholders such
as the government, the entrepreneur and the
worker/ labourer. Therefore, manpower
development shall be carried out in an
integrated manner and in the form of a
mutually supportive cooperation.
ARTICLE 4 ARTICLE 4
Manpower development aims at: Point a
The empowerment and the effective
a. Empowering and making efficient use of manpower employment of manpower and the
optimally and humanely; development of their potentials shall go hand
in hand as an integrated activity aimed at
b. Creating equal opportunity and providing manpower providing as many job opportunities as possible
(supply of manpower) that suits the need of national and to Indonesian manpower. Through the
provincial/ municipal developments; empowerment and their employment/
potential development, Indonesian manpower
c. Providing protection to manpower for the realization of
shall be able to participate optimally in the
welfare; and national development but with keeping on
d. Improving the welfare of manpower and their family. upholding their values as human beings.
Point b
All efforts must be made to ensure equal
distribution of job opportunities throughout
all the territory of the Unitary State of the
Republic of Indonesia as a unified job markets
by providing equal opportunities to all
Indonesian manpower to find job that is in
line with their talents, interest and capabilities.
All efforts must also be made to ensure equal
distribution of job placement in order to fulfill
the needs in all sectors and regions.
Point c
Sufficiently clear
Point d
Sufficiently clear
II - 107
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER III
EQUAL OPPORTUNITIES
ARTICLE 5 ARTICLE 5
Every person who is available for a job
Any manpower shall have the same opportunity to get a
shall have the same right and opportunity to
job without discrimination. find a decent job and to earn a decent living
without being discriminated against on
grounds of sex, ethnicity, race, religion, political
orientation, in accordance with the person’s
interest and capability, including the provision
of equal treatment to the disabled.
ARTICLE 6 ARTICLE 6
Every worker/ labourer has the right to receive equal Entrepreneurs are under an obligation
treatment without discrimination from their employer. to give the worker/ labourer equal rights and
responsibilities without discrimination based
on sex, ethnicity, race, religion, skin color,
CHAPTER IV and political orientation.
ARTICLE 7 ARTICLE 7
Subsection (1)
(1) For the sake of manpower development, the government Manpower planning that is formulated
shall establish manpower policy and develop manpower and established by the government shall be
planning. implemented through sector-based, regional
and national manpower planning
(2) Manpower planning shall include: approaches.
a. Macro manpower planning; and
Subsection (2)
b. Micro manpower planning. Point a
(3) In formulating policies, strategies, and implementation Macro manpower planning is a process
of sustainable manpower development program, the of systematically formulating manpower
planning, which makes effective, productive
government must use the manpower planning as and optimal use of workforce in order to
mentioned under subsection (1) as guidelines. support economic or social developments at
national, regional or sector-based level. In
this way as many as possible job opportunities
can be made available while job productivity
and workers/ labourers’ welfare can also be
increased.
Point b
Micro manpower planning is a process
of systematically formulating manpower
planning within an agency – either a
government agency or a private agency – in
order to enhance the effective, productive and
II - 108
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 8 ARTICLE 8
Subsection (1)
(1) Manpower planning shall be developed on the basis of Manpower information is collected and
manpower information, which, among others, includes processed according to the objectives of the
information concerning: formulation of national manpower planning
and provincial or district or city manpower
a. Population and manpower; planning.
b. Employment opportunity;
Subsection (2)
c. Job training including job competence; For the sake of manpower development,
d. Workers’ productivity; the participation of the private sector is expected
to provide information concerning manpower.
e. Industrial relations; The term “private sector” shall include
f. Working environment condition; enterprises/ companies, universities, and non-
government organizations at central level,
g. Wages system and workers’ welfare; and provincial or district/ city levels.
h. Social security for the employed. Subsection (3)
Sufficiently clear
(2) The manpower information as mentioned under
subsection (1) shall be obtained from all related parties,
including from government and private agencies.
(3) Provisions concerning procedures for acquiring manpower
information as well as procedures for the formulation and
implementation of manpower planning as mentioned
under subsection (1) shall be regulated with a Government
Regulation.
CHAPTER V
JOB TRAINING
ARTICLE 9 ARTICLE 9
Job training is provided and directed to instill, enhance, Welfare improvement as mentioned
under this Article shall mean the welfare
and develop job competence in order to improve ability, gained by manpower through the fulfillment
productivity and welfare. of work competence acquired by means of job
training.
ARTICLE 10 ARTICLE 10
Subsection (1)
(1) Job training shall be carried out by taking into account Sufficiently clear
II - 109
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
the need of the job market and the need of the business Subsection (2)
community, either within or outside the scope of Work competence standards shall be
established by Minister by including the
employment relations. sectors concerned.
Job training shall be provided on the basis of training Subsection (3)
programs that refer to job competence standards. Job training commonly comes in three
levels: elementary level, intermediate level and
(2) Job training may be administered step by step. advanced level.
(3) Provisions concerning procedures for establishing job Subsection (4)
Sufficiently clear
competence standards as mentioned under subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 11 ARTICLE 11
Manpower has the right to acquire and/or improve and/ Sufficiently clear
or develop job competence that is suitable to their talents,
interest and capability through job training.
ARTICLE 12 ARTICLE 12
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are responsible for improving and or Users of skilled manpower are
developing their workers’ competence through job entrepreneurs. Therefore, entrepreneurs are
training. responsible for organizing job training in
order to improve their workers’ competence.
Entrepreneurs who have meet the requirements stipulated
with a Ministerial Decision are under an obligation to Subsection (2)
improve and or develop the competence of their workers Entrepreneurs are obliged to enhance
and/or develop the competence of their
as mentioned under subsection (1)
workers/ labourers because it is the enterprise
(2) Every worker/ labourer shall have equal opportunity to that will benefit from the enhancement of
take part in a job training that is relevant to their field of their workers/ labourers’ job competence.
duty.
Subsection (3)
The administration of job training shall
be adjusted to the need of and the available
opportunity at the enterprise so that enterprise
activities are not disrupted.
ARTICLE 13 ARTICLE 13
(1) Job training shall be provided by government job-training Subsection (1)
institutes and/or private job-training institutes. Private job training shall also include
enterprise job training.
(2) Job training may be provided in a training place or in the
workplace. Subsection (2)
Sufficiently clear
(3) In providing job training, government job-training
institutes as mentioned under subsection (1) may work Subsection (3)
together with the private sector. Sufficiently clear
II - 110
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 14 ARTICLE 14
Subsection (1)
(1) A private job-training institute can take the form of an Sufficiently clear
Indonesian legal entity or individual proprietorship.
Subsection (2)
(2) Private job-training institutes as mentioned under
Sufficiently clear
subsection (1) are under an obligation to have a permit or
register with the agency responsible for manpower affairs Subsection (3)
in the local district/ city. The registration of training activities
administered by a government job-training
(3) A job-training institute run by a government agency shall institute at the government agency responsible
register its activities at the government agency responsible for manpower affairs in the district/ city is
for manpower affairs in the local district/ city. intended to get information for optimal
enhancement and development of the
(4) Provisions concerning procedures for acquiring a permit effectiveness of the training, training results,
from the authorities and registration procedures for job training structures and infrastructures.
training institutes as mentioned under subsection (2) and
subsection (3) shall be regulated with a Ministerial Subsection (4)
Sufficiently clear
Decision.
ARTICLE 15 ARTICLE 15
Job training providers are under an obligation to make Sufficiently clear
sure that the following requirements are met:
a. The availability of trainers;
b. The availability of a curriculum that is suitable to the
level of job training to be given;
c. The availability of structures and infrastructure for job
training; and
d. The availability of fund for the perpetuation of the activity
of providing job training.
ARTICLE 16 ARTICLE 16
Sufficiently clear
(1) Licensed private job training institutes and registered
government-sponsored job training institutes may obtain
accreditation from accrediting agencies.
(2) The accrediting agencies as mentioned under subsection
(1) shall be independent, consisting of community and
government constituents, and shall be established with a
Ministerial Decision.
(3) The organization and procedures of work of the accrediting
agencies as mentioned under subsection (2) shall be
regulated with a Ministerial Decision.
II - 111
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 17 ARTICLE 17
Sufficiently clear
(1) The government agency responsible for labour/ manpower
affairs in a district/ city may temporarily terminate
activities associated with the organization and
administration of a job training in the district/ city if it
turns out that the implementation of the job training:
a. Is not in accordance with the job training directions
as mentioned under Article 9; and/or
b. Does not fulfill the requirements as mentioned under
Article 15.
(2) The temporary termination of activities associated with
the organization and administration of job training as
mentioned under subsection (1) shall be accompanied
with the reasons for the temporary termination and
suggestions for corrective actions and shall apply for no
longer than 6 (six) months.
(3) The temporary termination of the implementation of the
administration of job training only applies to training
programs that do not fulfill the requirements as specified
under Article 9 and Article 15.
(4) Job training providers who, within a period of 6 months,
do not fulfill and complete the suggested corrective actions
as mentioned under subsection (2) shall be subjected to a
sanction that rules the termination of their training
programs.
(5) Job training providers who do not obey and continue to
carry out the training programs that have been ordered
for termination as mentioned under subsection (4) shall
be subjected to a sanction that revokes their licenses and
cancels their registrations as job training providers.
(6) Provisions concerning procedures for temporary
termination, termination, revocation of license, and
cancellation of registration shall be regulated with a
Ministerial Decision.
ARTICLE 18 ARTICLE 18
Subsection (1)
(1) Manpower shall be entitled to receive job competence Sufficiently clear
recognition after participating in job training provided
by government job training institutes, private job training Subsection (2)
institutes, or after participating in job training in the Certification of competence is a process
II - 112
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 19 ARTICLE 19
The provision of job training to people with disability Sufficiently clear
who are available for a job shall take into account the type and
severity of the disability and their ability.
ARTICLE 20 ARTICLE 20
Subsection (1)
(1) To support the improvement of job training for the sake The national job training system as
of manpower development, a national job-training system mentioned under this subsection is
that serves as a reference for the administration of job interconnectivity and integration of various
training in all fields of work and/or all sectors shall be job training elements/ aspects which include,
among others, participants, costs, structures
developed. and infrastructures, instructors, training
(2) Provisions concerning the form, mechanism and programs and methods and graduates. With
institutional arrangements of the national job-training the existence of the national job training
system, all elements and all resources of
system as mentioned under subsection (1) shall be national job training found in government
regulated with a Government Regulation. agencies, private agencies and companies can
be optimally used.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 21 ARTICLE 21
Job training may be administered by means of Sufficiently clear
apprenticeship systems.
ARTICLE 22 ARTICLE 22
Subsection (1)
(1) Apprenticeship shall be carried out based on an Sufficiently clear
apprenticeship agreement made in writing between the
II - 113
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Subsection (3)
An apprentice who has the status of a
worker/ labourer in the enterprise that employs
him or her as apprentice shall have the right
over everything that is regulated in the
company regulations or the collective labour
agreement.
ARTICLE 23 ARTICLE 23
Certification may be performed by a
Manpower that has completed an apprenticeship program
certification agency established by and or
is entitled to get their job competence and qualifications accredited by the government if the program
recognized by enterprises or by certification agency. is general, or by the enterprise if the program
is specific.
ARTICLE 24
ARTICLE 24
Sufficiently clear
Apprenticeship can take place within the enterprise or at
the place where job training is organized, or at another
II - 114
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 25 ARTICLE 25
Sufficiently clear
(1) The apprenticeship which is conducted outside of
Indonesia’s territory must obtain a license from Minister
or the appointed official.
(2) In order to obtain the license as mentioned under
subsection (1), the organizer of the apprenticeship must
be in the form of an Indonesian legal entity in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(3) Provisions concerning the procedures for obtaining license
for apprenticeship organized outside of Indonesia’s territory
as mentioned under subsection (1) and subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 26 ARTICLE 26
Sufficiently clear
(1) Any apprenticeship organized outside of the Indonesia’s
territory must take into account:
a. The dignity and standing of Indonesians as a nation;
b. Mastery of a higher level of competence; and
c. Protection and welfare of apprenticeship participants,
including their rights to perform religious obligations.
(2) The Minister or appointed official may order the
termination of any apprenticeship taking place outside of
the Indonesia’s territory if it turns out that its organization
is not pursuant to subsection (1).
ARTICLE 27 ARTICLE 27
Subsection (1)
(1) Minister may require qualified enterprises to organize Sufficiently clear
apprenticeship programs.
(2) In determining the requirements for organizing Subsection (2)
The phrase the interests of the enterprise
apprenticeship programs as mentioned under subsection under this subsection means to ensure the
(1), Minister must take into account the interests of the availability of skilled and expert manpower
enterprise, the society and the State. at certain competence levels such specialist
welders for performing welding underwater.
The phrase the interests of the society
shall refer to, for instance, the opening up of
opportunities for people to find a job in a
specific industry such as plant cultivation
technology with tissue culture.
The phrase the interests of the State shall
II - 115
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 28 ARTICLE 28
Sufficiently clear
(1) In order to provide recommendation and consideration
in the establishment of policies and coordination of job
training and apprenticeship activities, a national job
training coordinator institute shall be established.
(2) The formation, membership and procedures of work of
the national job training coordinator institute as
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a
Presidential Decision.
ARTICLE 29 ARTICLE 29
Sufficiently clear
(1) The Central Government and/or Regional Governments
shall develop job training and apprenticeship.
(2) The development of job training and apprenticeship shall
be directed to improve the relevance, quality, and
efficiency of job training administration and productivity.
(3) Efforts to improve productivity as mentioned under
subsection (2) shall be made through the development of
productive culture, work ethics, technology and efficiency
of economic activities directed towards the realization of
national productivity.
ARTICLE 30 ARTICLE 30
Sufficiently clear
(1) In order to enhance productivity as mentioned under
subsection (2) of Article 29, a national productivity
institute shall be established.
(2) The national productivity institute as mentioned under
subsection (1) shall be in the form of an institutional
productivity enhancement service network, which
supports cross-sector and cross-regional activities/
programs.
(3) The formation, membership and procedures of work of
the national productivity institute as mentioned under
subsection (1) shall be regulated with a Presidential
Decision.
II - 116
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER VI
JOB PLACEMENT
ARTICLE 31 ARTICLE 31
Any manpower shall have equal rights and opportunities Sufficiently clear
to choose a job, get a job, or move to another job and earn
decent income irrespective of whether they are employed at
home or abroad.
ARTICLE 32 ARTICLE 32
Subsection (1)
(1) Job placement shall be carried out based on transparency,
The term transparency here refers to the
free, objectivity, fairness and equal opportunity without giving of clear information to jobseekers
discrimination. concerning the type of work, the amount
(2) Job placement shall be directed to place manpower in of wages, and working hours. This is
necessary to protect workers/ labourers and
the right job or position which best suits their skills, trade, to avoid disputes after the placement takes
capability, talents, interest and ability by observing their place.
dignity and rights as human beings as well as legal Free means that jobseekers are free to choose
protection. whatever job they like and employers are
also free to choose manpower/ jobseekers
(3) Job placement shall be carried out by taking into account
they like. Thus jobseekers must not be
the equal distribution of equal opportunity and the forced to accept a job and employers must
available supply of manpower in accordance with the needs not be forced to accept any manpower
of the national and regional development programs. offered to him.
The term objectivity here is intended to
encourage employers to offer to jobseekers
jobs that suit their abilities and
qualifications. In so doing, however,
employers have to consider the interests of
the public and must not take sides.
The phrase fairness and equal here shall
refer to placement purely based on the
ability of the manpower and not based
on the manpower’s race, sex, skin color,
religion, and political orientation.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Efforts must be made to ensure equal
distribution of job opportunities in the whole
territory of the State of the Republic of
Indonesia as a unified national job market
by providing the whole manpower with the
same opportunity to get job according to their
II - 117
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 33 ARTICLE 33
Sufficiently clear
The placement of manpower consists of:
a. The placement of manpower at domestic level;
b. The placement of manpower in foreign countries.
ARTICLE 34 ARTICLE 34
Prior to the enactment of the act on the
Provisions concerning the placement of manpower in placement of manpower in foreign countries,
foreign countries as mentioned under Article 33 point b shall all laws and regulations that regulate
be regulated with an act. placement of manpower in foreign countries
shall remain valid.
ARTICLE 35 ARTICLE 35
Subsection (1)
(1) Employers who need workforce may recruit by themselves Employers under this subsection refer to
the workforce they need or have them recruited through domestic employers.
job placement agencies.
Subsection (2)
(2) Job placement agencies as mentioned under subsection Sufficiently clear
(1) are under an obligation to provide protection to
manpower that they try to find a placement for since their Subsection (3)
recruitment takes place until their placement is realized. Sufficiently clear
ARTICLE 36 ARTICLE 36
Sufficiently clear
(1) The placement of manpower by a job placement agency
as mentioned under subsection (1) of Article 35 shall be
carried out through the provision of job placement service.
(2) Job placement service as mentioned under subsection (2)
shall be provided/rendered in an integrated manner within
a job placement system to which the following elements
are part:
a. Job seekers;
b. Vacancies;
c. Job market information;
II - 118
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 37 ARTICLE 37
Subsection (1)
(1) Job placement agencies as mentioned under subsection Point a
(1) of Article 35 consist of: The establishment of government
a. Government agencies responsible for manpower affairs; agencies responsible for manpower affairs at
central and regional level shall be regulated
and according to prevailing laws and regulations.
b. Private agencies with legal status. Point b
Sufficiently clear
(2) In order to provide job placement service, the private
agency as mentioned under subsection (1) point b is under Subsection (2)
an obligation to possess a written permission from Minister Sufficiently clear
or another appointed official.
ARTICLE 38 ARTICLE 38
Sufficiently clear
(1) Job placement agencies as mentioned under point a
subsection (1) of Article 37 are prohibited from collecting
placement fees, either directly or indirectly, in part or in
whole, from people available for work whom they find a
placement for and their users.
(2) Private job placement agencies as mentioned under point
b subsection (1) of Article 37 may only collect placement
fees from users of their service and from workers of certain
ranks and occupation whom they have placed.
(3) The ranks and occupation as mentioned under subsection
(2) shall be regulated with a Ministerial Decision.
CHAPTER VII
EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES
ARTICLE 39 ARTICLE 39
Sufficiently clear
(1) The government is responsible for making efforts to extend
job opportunities either within or outside of employment
relationships.
II - 119
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
(2) The government and the society shall jointly make efforts
to extend job opportunities either within or outside of
employment relationships.
(3) All the government’s policies, at the central or regional
level and in each sector, shall be directed to realize the
extension of job opportunities either within or outside of
employment relationships.
(4) Financial institutions, either banks or non-banks, and the
business society need to help and facilitate each activity
of the society which can create or develop extension of job
opportunities.
ARTICLE 40 ARTICLE 40
Sufficiently clear
(1) Extension of employment opportunities outside of
employment relationships shall be undertaken through
the creation of productive and sustainable activities by
efficient use of natural resource potentials, human
resources, and effective practical technologies.
(2) Extension of employment opportunities as mentioned
under subsection (1) shall be undertaken through patterns
of formation and development for the self-employed, the
application of labour-intensive system, the application and
development of effective practical technology, and efficient
use of volunteers or other patterns that may encourage
the creation of job opportunity extension.
ARTICLE 41 ARTICLE 41
Because efforts to extend job
(1) The government shall determine manpower and job opportunities are of cross-sector coverage, a
opportunity extension policies. national policy must be made in all sectors to
absorb manpower optimally. In order to
(2) The government and the society shall jointly exercise properly implement the national policy, the
control over the implementation of the policies as government and society shall jointly and in a
mentioned under subsection (1). coordinated way monitor and control the
implementation of the policy.
(3) In implementing the duty as mentioned under subsection
(2), a coordinating body with government and society
constituents as its members may be established.
(4) Provisions concerning the extension of job opportunities
as mentioned under Article 39 and Article 40 and the
formation of a coordinating body as mentioned under
subsection (3) of this Article shall be regulated with a
Government Regulation.
II - 120
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER VIII
EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER
ARTICLE 42 ARTICLE 42
Subsection (1)
(1) Every employer that employs foreign worker is under an The requirement to obtain permission
obligation to obtain written permission from Minister. for the use of foreign worker is intended to
ensure selective employment of foreign worker
(2) An employer who is an individual person is prohibited so that Indonesian manpower can be used
from employing foreign worker. and developed optimally.
(3) The obligation to obtain permission from Minister as
Subsection (2)
mentioned under subsection (1) does not apply to
Sufficiently clear
representative offices of foreign countries in Indonesia that
employ foreign citizens as their diplomatic and consular Subsection (3)
employees. Sufficiently clear
(4) Foreign worker can be employed in Indonesia in Subsection (4)
employment relations for certain positions and for a Sufficiently clear
certain period of time only.
Subsection (5)
(5) Provisions concerning certain positions and certain periods Sufficiently clear
of time as mentioned under subsection (4) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (6)
Sufficiently clear
(6) Foreign workers as mentioned under subsection (4) whose
working period has expired and cannot be extended may
be replaced by other foreign workers.
ARTICLE 43 ARTICLE 43
Subsection (1)
(1) Employers of foreign worker must have plan concerning The plan for the utilization of foreign
the utilization of foreign worker that are legalized by the worker is a requirement to get working permit
Minister or appointed official. (IKTA).
(2) The plans for the utilization of foreign worker as Subsection (2)
mentioned under subsection (1) shall at least contain the Sufficiently clear
following information:
Subsection (3)
a. The reasons why the service of foreign worker is needed The “international agencies” under this
or required. subsection refer to non-profit international
b. The position and or occupation of the foreign worker organizations under the United Nations such
as the ILO, WHO or UNICEF.
within the organizational structure of the enterprise.
c. The timeframe set for the use of the foreign worker; Subsection (4)
and Sufficiently clear
II - 121
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 44 ARTICLE 44
Subsection (1)
(1) Employers of foreign worker are under an obligation to The competence standards here refer to
obey the prevailing regulations concerning occupations qualifications that must be owned by
and competence standards. manpower of foreign citizenship such as
knowledge, skills and expertise in certain fields
(2) The provisions concerning occupations and competence and understanding of Indonesian culture.
standards as mentioned under subsection (1) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (2)
ufficiently clear
ARTICLE 45 ARTICLE 45
Subsection (1)
(1) Employers who employ foreign worker are under Point a
obligations: Indonesian worker who accompany
foreign worker do not automatically replace
a. To appoint Indonesian worker as associate for foreign
or occupy the position of the foreign worker
worker whereby the foreign worker shall transfer that they accompany. The accompaniment is
technologies and his/her expertise to his/her emphasized on transfer of technology and
Indonesian associate; and transfer of expertise/ skills so that the
accompanying Indonesian workers may get
b. To educate and train Indonesian worker, as mentioned ability to replace the foreign worker that they
under point a, until he/she has the qualifications accompany in due time.
required to occupy the position currently occupied by Point b
foreign worker. Vocational education and training by
employers may be carried out either in the
(2) The provision as mentioned under subsection (1) does country home or by sending Indonesian
not apply to foreign worker who occupy the position of manpower to foreign countries for training.
director and/or commissioner.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 46 ARTICLE 46
Sufficiently clear
(1) Foreign worker is not allowed to occupy position that deal
with personnel and/or occupy certain positions.
(2) The certain positions as mentioned under subsection (1)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
II - 122
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 47 ARTICLE 47
Subsection (1)
(1) Employers are obliged to pay compensation for each of The obligation to pay compensation is
foreign worker that they employ. intended to support efforts to increase the
quality of Indonesian human resources.
(2) The obligation to pay compensation as mentioned under
subsection (1) does not apply to government agencies, Subsection (2)
international agencies, social and religious undertakings Sufficiently clear
and certain positions in educational institutions.
Subsection (3)
(3) The provisions concerning certain positions in educational Sufficiently clear
institutions as mentioned under subsection (2) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning the amount of compensation
and its utilization shall be regulated with a Government
Regulation.
ARTICLE 48 ARTICLE 48
Employers who employ foreign worker are under an Sufficiently clear
obligation to repatriate the foreign worker to their countries
of origin after their employment comes to an end.
ARTICLE 49
Provisions concerning the procedures for the utilization
of foreign workers and the implementation of education and
training for their Indonesian associate shall be regulated with ARTICLE 49
a Government Regulation. Sufficiently clear
CHAPTER IX
EMPLOYMENT RELATIONS
ARTICLE 50 ARTICLE 50
Employment relation exists because of the existence of a Sufficiently clear
work agreement between the entrepreneur and the worker/
labourer.
ARTICLE 51 ARTICLE 51
Subsection (1)
(1) Work agreements can be made either orally or in writing. Principally, work agreements shall be
(2) Work agreements that specify requirements in writing shall made in writing. However, given the various
be carried out in accordance with valid legislation. conditions in the society, oral work agreements
are possible.
II - 123
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Subsection (2)
Work agreements that specify work
requirements in writing must be in
accordance with the prevailing laws and
regulations, including work agreements for a
specified time, inter-work inter-region and
inter-work inter-country and maritime work
agreements.
ARTICLE 52 ARTICLE 52
Subsection (1)
(1) A work agreement shall be made based on: Point a
a. The agreement of the parties; Sufficiently clear
Point b
b. The capability or competence to take legal actions; The phrase capability or competence to
c. The availability/existence of the job which the parties take legal actions refers to parties who are
have agreed about; capable or competent by law to make
agreements. Work agreements for child labour
d. The notion that the job which the parties have agreed shall be signed by their parents or guardians.
about is not against public order, morality and what is Point c
prescribed in the prevailing laws and regulations. Sufficiently clear
Point d
(2) If a work agreement, which has been made by the parties, Sufficiently clear
turns out to be against what is prescribed under point a
and point b of subsection (1), the agreement may be Subsection (2)
abolished/cancelled. Sufficiently clear
(3) If a work agreement, which has been made by the parties, Subsection (3)
turns out to be against what is prescribed under point c Sufficiently clear
and point d of subsection (1), the agreement shall be
declared null and void by law.
ARTICLE 53 ARTICLE 53
Sufficiently clear
Everything associated with, and/or the costs needed for,
the making of a work agreement shall be borne by, and shall
be the responsibility of, the entrepreneur.
ARTICLE 54 ARTICLE 54
Subsection (1)
(1) A written work agreement shall at least include: Sufficiently clear
a. The name, address and line of business;
Subsection (2)
b. The name, sex, age and address of the worker/ labourer; What is meant by the phrase must not
c. The occupation or the type of job; against stated under this subsection is that if
the enterprise already has its rules and
d. The place, where the job is to be carried out; regulations or its collective labour agreement,
e. The amount of wages and how the wages shall be paid; then the content of the work agreement, both
in terms of quality and quantity, can not be
f. Job requirements stating the rights and obligations of
II - 124
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
both the entrepreneur and the worker/ labourer; lower than the provisions under the company
regulations or the collective labour agreement.
g. The date the work agreement starts to take effect and
the period during which it is effective; Subsection (3)
h. The place and the date where the work agreement is Sufficiently clear
made; and
i. The signatures of the parties involved in the work
agreement.
(2) The provisions in a work agreement as mentioned under
point e and point f of subsection (1) are concerned must
not against the company regulations, the collective labour
agreement and prevailing laws and regulations.
(3) A work agreement as mentioned under subsection (1) shall
be made in 2 (two) counterparts which have the same
legal force, 1 (one) copy of which shall be kept by the
entrepreneur and the other by the worker/ labourer.
ARTICLE 55 ARTICLE 55
A work agreement cannot be withdrawn and/or changed Sufficiently clear
unless the parties agreed otherwise.
ARTICLE 56 ARTICLE 56
Sufficiently clear
(1) A work agreement may be made for a specified time or for
an unspecified time.
(2) A work agreement for a specified time shall be made based
on:
a. A term; or
b. The completion of a certain job.
ARTICLE 57 ARTICLE 57
Sufficiently clear
(1) A work agreement for a specified time shall be made in
writing and must be written in the Indonesian language
with Latin alphabets.
(2) A work agreement for a specified time, if not made in
writing is against what is prescribed under subsection (1),
shall be regarded as a work agreement for an unspecified
time.
(3) If a work agreement is written in both the Indonesian
language and a foreign language and then differences in
interpretation arise, then the Indonesian version of the
agreement shall prevail.
II - 125
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 58 ARTICLE 58
Sufficiently clear
(1) A work agreement for a specified time cannot stipulate
probation.
(2) If a work agreement as mentioned under subsection (1)
stipulates the probation, it shall then be declared null
and void by law.
ARTICLE 59 ARTICLE 59
Subsection (1)
(1) A work agreement for a specified time can only be made The work agreement as mentioned
for a certain job, which, because of the type and nature of under this subsection shall be registered with
the job, will finish in a specified time, that is: the government agency responsible for
manpower affairs.
a. Work to be performed and completed at once or work
which is temporary by nature; Subsection (2)
b. Work whose completion is estimated time which is Jobs that are permanent by nature refer
to continuous, uninterrupted jobs that are
not too long and no longer than 3 (three) years; not confined by a timeframe and are part of
c. Seasonal work; or production process in an enterprise or jobs
that are not seasonal.
d. Work that is related to a new product, a new activity Jobs that are not seasonal are jobs that
or an additional product that is still in the experimental do not depend on the weather or certain
stage or try-out phase. conditions. If a job is a continuous,
uninterrupted job that is not confined by a
(2) A work agreement for a specified time cannot be made for
timeframe and part of a production process
jobs that are permanent by nature. but depends on the weather or the job is
(3) A work agreement for a specified time can be extended or needed because of the existence of a certain
renewed. condition, then the job is a seasonal job. The
job does not belong to permanent employment
(4) A work agreement for a specified time may be made for a and hence, can be subjected to a work
period of no longer than 2 (two) years and can only be agreement for a specified time.
extended one time that is not longer than 1 (one) year.
Subsection (3)
(5) Entrepreneurs who intend to extend work agreement for Sufficiently clear
a specified time shall notify the said workers/ labourers of
the intention in writing within a period of no later than 7 Subsection (4)
Sufficiently clear
(seven) days prior to the expiration of the work agreements.
(6) The renewal of a work agreement for a specified time can Subsection (5)
only be made after a grace period of 30 (thirty) days is Sufficiently clear
over since the work agreement for a specified period comes
Subsection (6)
to an end; the renewal of a work agreement for a specified Sufficiently clear
time can only be made once that is no longer than 2 (two)
years. Subsection (7)
Sufficiently clear
(7) Any work agreement for a specified time that does not
fulfill the requirements mentioned under subsection (1), Subsection (8)
subsection (2), subsection (4), subsection (5) and Sufficiently clear
II - 126
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 60 ARTICLE 60
Subsection (1)
(1) A work agreement for an unspecified time may require a A requirement for a probationary period
probation period for no longer than 3 (three) months. must be stated in a work agreement. If the
(2) During the probation period as mentioned under work agreement is made orally, the
requirement for a probationary period must
subsection (1), the entrepreneur is prohibited from paying be made known to the worker and stated in
wages less than the applicable minimum wage. the worker’s letter of appointment. If the work
agreement or the letter of appointment is silent
about probationary period, probationary
period shall be considered non-existent.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 61 ARTICLE 61
Subsection (1)
(1) A work agreement comes to an end if: Point a
a. The worker dies; or Sufficiently clear
Point b
b. The work agreement expires; or Sufficiently clear
c. A court decision and/or a resolution or order of the Point c
industrial relations disputes settlement institution, Sufficiently clear
Point d
which has permanent legal force; or A certain situation or incident which
d. There is a certain situation or incident prescribed in may result in the termination of employment
the work agreement, the company regulations, or the refers to certain conditions such as natural
disasters, social upheavals/ unrest and security
collective labour agreement which may effectively
disturbances.
result in the termination of employment.
A work agreement does not end because the Subsection (2)
entrepreneur dies or because the ownership of the Sufficiently clear
company has been transferred because the company Subsection (3)
has been sold, bequeathed to an heir, or awarded as a Sufficiently clear
grant.
Subsection (4)
(2) In the event of a transfer of ownership of an enterprise, Sufficiently clear
the new entrepreneur shall bear the responsibility of
fulfilling the entitlements of the worker/ labourer unless Subsection (5)
otherwise stated in the transfer agreement, which must What is meant by the worker’s
entitlements that pursuant to the prevailing
not reduce the entitlements of the worker/ labourer.
laws and regulations or the entitlements that
has been prescribed in the work agreement,
II - 127
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
(3) If the entrepreneur, individual, dies, his or her heir may the company regulations, or collective labour
terminate the work agreement after negotiating with the agreement are entitlements that must be given
that are better and more beneficial for the
worker/ labourer. worker/ labourer.
(4) If a worker/ labourer die, his or her heir has a rightful
claim to acquire the worker’s entitlements according to
the prevailing laws and regulations or to the entitlements
that has been prescribed in the work agreement, the
company regulations, or the collective labour agreement.
ARTICLE 62 ARTICLE 62
Sufficiently clear
If either party in a work agreement for a specified time
shall terminates the employment relations prior to the
expiration of the agreement, or if their work agreement has to
be ended for reasons other than what is given under subsection
(1) of Article 61, the party that terminates the relation is obliged
to pay compensation to the other party in the amount of the
worker’s/ labourer’s wages until the expiration of the agreement.
ARTICLE 63 ARTICLE 63
Sufficiently clear
(1) If a work agreement for an unspecified time is made orally,
the entrepreneur is under an obligation to issue a letter of
appointment for the relevant worker/ labourer.
The letter of appointment as mentioned under subsection
(1) shall at least contain information concerning:
a. The name and address of the worker/ labourer;
b. The date the worker starts to work;
c. The type of job or work; and
d. The amount of wages.
ARTICLE 64 ARTICLE 64
Sufficiently clear
An enterprise may subcontract part of its work to another
enterprise under a written agreement of contract of work or a
written agreement for the provision of worker/labour.
ARTICLE 65 ARTICLE 65
Sufficiently clear
(1) The subcontract of part of work to another enterprise shall
be performed under a written agreement of contract of
work.
(2) Work that may be subcontracted as mentioned under
subsection (1) must meet the following requirements:
II - 128
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 129
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 66 ARTICLE 66
Subsection (1)
(1) Workers/ labourers from labour suppliers must not be If the job is related to the entrepreneur’s
utilized by employers to carry out their enterprises’ main core business activities or activities directly
activities or activities that are directly related to production connected with production process, the
process except for auxiliary service activities or activities entrepreneur is only allowed to employ
workers/ labourers under an employment/
that are indirectly related to production process. work agreement for a specified time and/or
(2) Labour suppliers which provide labour for auxiliary service under a work agreement for an unspecified
activities or activities indirectly related to production time.
What is meant by auxiliary service
process must fulfill the following requirements: activities or activities indirectly related to
a. There is employment relationship between the worker/ production process are activities outside of the
labourer and the labour provider; core business of the enterprise.
Such activities include, among others,
b. The applicable employment agreement in the activities associated with the provision of
employment relationship as mentioned under point a cleaning service, the provision of catering
above shall be employment agreement for a specified service the provision of a supply of security
guards, auxiliary business activities in the
time which fulfills the requirements under Article 59
mining and oil sectors, and the provision of
and/or work agreement for an unspecified time made transport for workers/ labourers.
in writing and signed by the parties;
c. The labour provider shall be responsible for wages and Subsection (2)
Point a
welfare protection, working conditions and disputes Sufficiently clear
that may arise; and Point b
d. The agreements between enterprises serving as labour Sufficiently clear
Point c
providers and enterprises using the labour they provide Issues concerning wage and welfare
shall be made in writing and shall include provisions protection, working requirements/ conditions
as mentioned under this act. and settlements of disputes between labour
providers/ suppliers and workers/ labourers
(3) Labour providers/ suppliers shall take the form of a legal
must be in accordance with the prevailing
entity business with license from a government agency laws and regulations.
responsible for manpower affairs. As far as wage and welfare protection,
(4) If what is stipulated under subsection (1), point a, point working conditions, and protection in the
event of a dispute are concerned, workers/
b, and point d of subsection (2), and subsection (3) is labourers who work at labour provider
not fulfilled, the enterprise that utilizes the service of the enterprises shall receive the same entitlements
labour provider shall be held legally responsible by law to as the ones provided in the enterprises that use
be the employer of workers/ labourers provided to it by their service in accordance with the work
agreements, company regulations or collective
the labour provider.
labour agreements.
Point d
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
II - 130
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER X
PROTECTION, WAGES AND WELFARE
SECTION ONE
PROTECTION
SUBSECTION 1
DISABLED PERSONS
ARTICLE 67 ARTICLE 67
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs who employ disabled workers are under The protection to disabled workers
an obligation to provide protection to the workers in according to the type and severity of the
accordance with the type and severity of their disability. disability as mentioned under this subsection
refers to, for instance, the provision of
(2) The protection for disabled workers as mentioned under accessibility, working tools, and personal
subsection (1) shall be administered in accordance with protective equipment that are adjusted to the
prevailing laws and regulations. type and severity of the worker’s disability.
Subsection (2)
SUBSECTION 2 Sufficiently clear
CHILDREN
ARTICLE 68 ARTICLE 68
Entrepreneurs are not allowed to employ children. Sufficiently clear
ARTICLE 69 ARTICLE 69
Sufficiently clear
(1) Exemption from what is stipulated under Article 68 may
be made for the employment of children aged between
13 (thirteen) years old and 15 (fifteen) years old for light
work to the extent that the job does not stunt or disrupt
their physical, mental and social developments.
(2) Entrepreneurs who employ children for light work as
mentioned under subsection (1) must meet the following
requirements:
a. The entrepreneurs must have written permission from
the parents or guardians of the children;
b. There must be a work agreement between the
entrepreneur and the parents or guardians;
c. Maximum working time 3 (three) hours a day;
d. Conducting during the day without disturbing school
time;
II - 131
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 70 ARTICLE 70
Sufficiently clear
(1) Children may work at a workplace as part of their school’s
education curriculum or training legalized by the
authorities.
(2) The children as mentioned under subsection (1) at least
14 (fourteen) years of age.
(3) The job as mentioned under subsection (1) can be
performed on the conditions:
a. given clear instructions on how to do the job as well as
guidance and supervision on how to carry out the work;
and
b. given the occupational safety and health.
ARTICLE 71 ARTICLE 71
Subsection (1)
(1) Children may work in order to develop their talents and What is stipulated under this subsection
interest. is intended to protect children in such a way
that the development of their talents and
(2) Entrepreneurs who employ children as mentioned under
interest – that commonly takes place at their
subsection (1) are under an obligation to meet the age – is not disrupted.
following requirements:
a. put under direct supervision of their parents or Subsection (2)
Sufficiently clear
guardians;
b. maximum working time 3 (three) hours a day; and Subsection (3)
Sufficiently clear
c. the working conditions and environment do not disrupt
their physical, mental and social developments as well
as school time;
(3) Provisions concerning children who work to develop their
talents and interest as mentioned under subsection (1)
and subsection (2) shall be regulated with a Ministerial
Decision.
II - 132
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 72 ARTICLE 72
Sufficiently clear
In case children are employed together with adult
workers/labourers, the children’s workplace must be separated
from the workplace for adult workers/labourers.
ARTICLE 73 ARTICLE 73
Children shall be assumed to be at work if they are found Sufficiently clear
in a workplace unless there is evidence to prove otherwise.
ARTICLE 74 ARTICLE 74
Sufficiently clear
(1) Anyone shall be prohibited from employing and involving
children in the worst forms of child labour.
(2) The worst forms of child labour as mentioned under
subsection (1) include:
a. All kinds of job in the form of slavery or practices similar
to slavery;
b. All kinds of job that make use of, procure, or offer
children for prostitution, the production of
pornography, pornographic performances or gambling;
c. All kinds of job that make use of, procure, or involve
children for the production and trade of alcoholic
beverages, narcotics, psychotropic substances and other
addictive substances; and/or
d. All kinds of job harmful to the health, safety and moral.
(3) The types of jobs that damage the health, safety or moral
of the child as mentioned under point d of subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 75 ARTICLE 75
Subsection (1)
(1) The government is under an obligation to make efforts to Efforts to overcome problems associated
overcome problems concerning with children who work with children who work outside of employment
outside of employment relationship. relations are intended to ensure that no child
works outside of employment relations or to
(2) The efforts as mentioned under subsection (1) shall be reduce the number of children who work
regulated with a Government Regulation. outside of employment relations. These efforts
must be carried out in a well-planned, well-
integrated and well-coordinated manner with
related agencies.
Children who work outside of
employment relations are for instance shoeshine
boys or newspaper boys.
II - 133
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SUBSECTION 4
WORKING HOURS
ARTICLE 77 ARTICLE 77
Subsection (1)
(1) Every entrepreneur is under an obligation to observe the Sufficiently clear
provision concerning working hours.
(2) The working hours as mentioned under subsection (1) Subsection (2)
Sufficiently clear
cover:
a. 7 (seven) hours a day and 40 (forty) hours a week for 6 Subsection (3)
(six) workdays in a week; or Under this subsection, certain business
sectors or certain types of work refer to, for
b. 8 (eight) hours a day, 40 (forty) hours a week for 5 instance, work on offshore oil drilling rigs/
(five) workdays in a week; platforms, work involving long distance
driving of vehicles, work involving long
(3) The provisions concerning the working hours as mentioned
distance flight, work at sea (on a ship) or
under subsection (2) do not apply to certain business work involving the felling of trees.
II - 134
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 78 ARTICLE 78
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Employing workers beyond normal
longer than the working hours determined under working hours must be avoided because
subsection (2) of Article 77 must meet the following workers/ labourers must have enough time to
requirements: take a rest and recover their fitness. However,
in certain cases there are urgent needs in which
a. Approval of the relevant worker/labourer; work must be immediately and inevitably
b. Maximum overtime work of 3 (three) hours in a day done so that workers/ labourers have to work
beyond normal working hours.
and 14 (fourteen) hours in a week.
(2) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Subsection (2)
overtime as mentioned under subsection (1) are under an Sufficiently clear
obligation to pay overtime pay.
Subsection (3)
(3) The provisions concerning overtime as mentioned under Sufficiently clear
subsection (1) point b do not apply to certain business
sector or certain jobs. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning overtime and overtime wages
as mentioned under subsection (2) and subsection (3)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 79 ARTICLE 79
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are under an obligation to allow their Sufficiently clear
workers/ labourers to take a rest and leave. Subsection (2)
Point a
(2) The period of rest and leave as mentioned under subsection Sufficiently clear
(1) shall include: Point b
a. The period of rest between working hours at least half Sufficiently clear
Point c
an hour after working for 4 (four) hours consecutively
Sufficiently clear
and this period of rest shall not be inclusive of working Point d
hours; While taking a long period of rest,
The weekly period of rest is 1 (one) day after 6 (six) workers/ labourers are given compensation
pay for their entitlement to the eighth year’s
workdays in a week or 2 (two) days after 5 (five) annual leave amounting to half their monthly
workdays in a week; salary. Enterprises that have already applied a
b. The yearly period of rest is 12 (twelve) workdays after long period of rest that is better than the one
stipulated under this act are not allowed to
the worker/labourer works for 12 (twelve) months reduce it.
consecutively; and
II - 135
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 80 ARTICLE 80
Entrepreneurs are under an obligation to provide workers What is meant by the provision of
adequate opportunity shall refer to the
with adequate opportunity to perform their religious provision of a place for praying to and
obligations. worshipping God that enables workers/
labourers to properly perform their religious
obligations/ rituals, in which the enterprise’s
conditions and financial ability for the
provision of such a place shall be taken into
account.
ARTICLE 81 ARTICLE 81
(1) Female workers/labourers who feel pain during their Sufficiently clear
menstruation period and notify the entrepreneur about
this are not obliged to come to work on the first and second
day of menstruation.
(2) The implementation of what is stipulated under subsection
(1) shall be regulated in work agreements, the company
regulations or collective labour agreements.
ARTICLE 82 ARTICLE 82
Subsection (1)
(1) Female workers/ labourers are entitled to a 1.5 (one-and- The length of the period of rest may be
a-half ) month period of rest before the time at which extended if required as attested by a written
they are estimated by an obstetrician or a midwife to give statement from the obstetrician or midwife
II - 136
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
birth to a baby and another 1.5 (one-and-a-half ) month either prior to or after the delivery.
period of rest thereafter.
Subsection (2)
(2) A female worker/ labourer who has a miscarriage is entitled Sufficiently clear
to a period of rest of 1.5 (one-and-a-half ) months or a
period of rest as stated in the medical statement issued by
the obstetrician or midwife.
ARTICLE 83 ARTICLE 83
Entrepreneurs are under an obligation to provide proper What is meant by providing proper
opportunities to female workers/ labourers to
opportunities to female workers/ labourers whose babies still breast-feed their babies during working hours
need breastfeeding to breast-feed their babies if that must be are periods of time provided by the enterprise
performed during working hours. to the female workers/ labourers to breast-
feed their babies, by taking into account the
availability of a place/ room that can be used
for such a purpose according to the enterprise’s
conditions and financial ability, which shall
be regulated in the company regulations or
collective labour agreements.
ARTICLE 84 ARTICLE 84
Sufficiently clear
Every worker/ labourer who uses her right to take the
period of rest as specified under points b, c and d of subsection
(2) of Article 79, Article 80 and Article 82 shall receive her
wages in full.
ARTICLE 85 ARTICLE 85
Subsection (1)
(1) Workers/ labourers are not obliged to work on formal Sufficiently clear
public holidays. Subsection (2)
(2) Entrepreneurs may require their workers/ labourers to work What is stipulated under this subsection
is intended to serve the public interest and
during formal public holidays if the types and nature of public welfare. Moreover, there are works
their jobs must be conducted continuously or under other whose type and nature are such that it is
circumstances based on the agreement between the worker/ impossible to stop it.
labourer and the entrepreneur.
Subsection (3)
(3) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Sufficiently clear
on formal public holidays as mentioned under subsection
(2) are under an obligation to pay overtime pay. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning the types and nature of the
jobs mentioned under subsection (2) shall be regulated
with a Ministerial Decision.
II - 137
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SUBSECTION 5
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH
ARTICLE 86 ARTICLE 86
Subsection (1)
(1) Every worker/ labourer has the right to receive protection Sufficiently clear
on:
a. Occupational safety and health; Subsection (2)
Occupational safety and health efforts
b. morality and decency; and are intended to provide guarantee of safety
c. Treatment that shows respect to human dignity and and increase the level of health of workers/
labourers by preventing occupational
religious values. accidents and diseases, controlling hazards in
(2) In order to protect the safety of workers/ labourers and to the workplace, promoting health, medical care
realize optimal productivity, an occupational health and and rehabilitation.
safety scheme shall be administered.
Subsection (3)
(3) The protection as mentioned under subsection (1) and Sufficiently clear
subsection (2) shall be given in accordance with prevailing
laws and regulations.
ARTICLE 87 ARTICLE 87
Subsection (1)
(1) Every enterprise is under an obligation to apply an The occupational safety and health
occupational safety and health management system that management system is part of the overall
shall be integrated into the enterprise’s management management system of the enterprise, which
system. includes organizational structure, planning,
implementation, responsibility, procedures,
(2) The provisions concerning the application of the processes, and resources that are needed for
occupational safety and health management system as the development, application, achievement,
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a study and maintenance of the enterprise’s
occupational safety and health policy in order
Government Regulation.
to control the risks associated with working
activities for the creation of secure, efficient
and productive workplace.
SECTION TWO Subsection (2)
WAGES Sufficiently clear
ARTICLE 88 ARTICLE 88
Subsection (1)
(1) Every worker/ labourer has the right to earn a living that
Income that enables workers/ labourers
is decent from the viewpoint of humanity to properly meet their livelihood needs refers
(2) In order to enable the worker to earn a living that is decent to the amount of income or earning that
from the viewpoint of humanity as mentioned under workers/ labourers earns from their work so
that they can reasonably meet what they and
subsection (1), the Government shall establish a wages their families need for living, including the
policy that protects the worker/labourer. ability to meet the need for food and drinks,
II - 138
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
(3) The wages policy that protects workers/labourers as clothes, housing, education, healthcare,
mentioned under subsection (2) shall include: recreation and old age benefit.
ARTICLE 89 ARTICLE 89
Subsection (1)
(1) The minimum wages as mentioned under point a of Point a
subsection (3) of Article 88 may consist of: Sufficiently clear
a. Provincial or district/city-based minimum wages;
Point b
b. Provincial or district/city-based sectoral minimum Sector-based minimum wages can be
wages. established for business groups by sector and
their breaking down according to business
(2) The establishment of minimum wages as mentioned under classification by sector nationwide (Indonesia),
subsection (1) shall be directed towards meeting the need by district/ city or province. Such sector-based
for decent living. minimum wages in any given area must not
be lower than the regional minimum wages
(3) The minimum wages as mentioned under subsection (1)
applicable to the area in question.
shall be determined by Governors after considering
recommendations from Provincial Wages Councils and/ Subsection (2)
or District Heads/Mayors. The phrase shall follow the guidance
for meeting the need for decent living as
(4) The components of and the implementation of the phases mentioned under this subsection shall mean
of achieving the needs for decent living as mentioned under that the setting of minimum wages must be
subsection (2) shall be regulated with a Ministerial adjusted to the level at which the minimum
Decision. wages are on par with the need for decent
living. The amount of such minimum wages
shall be determined by Minister.
II - 139
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
The meeting of the need for decent
living needs to be made gradually because
the need for decent living is an upgrade of the
need for minimum living that heavily
depends on the level of financial ability of the
world of business.
ARTICLE 90 ARTICLE 90
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are prohibited from paying wages lower Sufficiently clear
than the minimum wages as mentioned under Article 89.
Subsection (2)
(2) Entrepreneurs who are unable to pay minimum wages as
The postponement of the payment of
mentioned under Article 89 may be allowed to make minimum wages by an enterprise that is
postponement. financially not able to pay minimum wages is
(3) Procedures for postponing paying minimum wages as intended to release the enterprise from having
to pay minimum wages for a certain period of
mentioned under subsection (2) shall be regulated with a time. If the postponement comes to an end,
Ministerial Decision. the enterprise is under an obligation to pay
minimum wages that are applicable at the
time but is not obliged to make up the
difference between the wages it actually paid
and the applicable minimum wages during
the period of time of the postponement.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 91 ARTICLE 91
Sufficiently clear
(1) The amount of wages set based on an agreement between
the entrepreneurs and the worker/ labourer or trade/
labour union must not be lower than the amount of wages
set under the prevailing laws and regulations.
(2) In case the agreement as mentioned under subsection (1)
sets a wages that is lower than the one that has to be set
under the prevailing laws and regulations or against
prevailing laws and regulations, the agreement shall be
declared null and void by law and the entrepreneur shall
be obliged to pay the worker/ labourer a wages according
to the prevailing laws and regulations.
II - 140
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 92 ARTICLE 92
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs shall formulate the structure and scales of The formulation of wages structures and
wages by taking into account the level, position, years of scales is intended as a guideline for setting
work, education and competence of the worker/ labourer. wages so that the wages of each worker can be
determined with certainty. Such formulation
(2) Entrepreneurs shall review their workers/labourers’ wages is also intended to reduce the gap between the
periodically by taking into account their enterprise’s lowest wages and the highest wages in the
financial ability and productivity. enterprise.
(3) The provisions concerning the structure and scales of wages Subsection (2)
as mentioned under subsection (1) shall be regulated with The reviewing of wages shall be done to
a Ministerial Decision. adjust the wages to the consumer price index,
the worker’s performance, and the enterprise’s
development and financial ability.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 93 ARTICLE 93
Subsection (1)
(1) No wages will be paid if workers/labourers do not perform What is stipulated under this subsection
work. is a fundamental principle that is basically
(2) However, the provision as mentioned under subsection applicable to every worker/ labourer, that is,
unless the worker/ labourer cannot perform
(1) shall not apply and the entrepreneur shall be obliged his/ her job because of mistakes that are not
to pay the worker/labourer’s wages if the worker/labourer his/ her.
does not perform work because of the following reasons:
Subsection (2)
a. The workers/labourers are ill so that they cannot Point a
perform their work; A worker/labourer are ill if there is a
b. The female workers/labourers are ill on the first and statement from the physician.
Point b
second day of their menstruation period so that they Sufficiently clear
cannot perform their work; Point c
c. The workers/labourers have to be absent from work Sufficiently clear
Point d
because they get married, marry of their children, have
Fulfilling one’s obligation to the State
their sons circumcised, have their children baptized, means fulfilling State obligation, which is
or because the worker/ labourer’s wife gives birth or stipulated under laws and regulations.
suffers from a miscarriage, or because the wife or The payment of wages to workers/
husband or children or children-in-law(s) or parent(s) labourers who have to be absent from work
because they are required to perform their
or parent-in-law(s) of the worker/labourer or a member obligations to the State shall be made if:
II - 141
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
of the worker/labourer’s household dies. a. The State does not pay the worker/
labourer; or
d. The workers/labourers cannot perform their work
b. The State pays worker/labourer less than
because they are carrying out or fulfilling their the amount of wages he/she usually
obligations to the State; receives. In this case the entrepreneur is
e. The workers/labourers cannot perform their work under an obligation to make up the
difference.
because they are performing religious obligations Point e
ordered by their religion; Practicing or observing religious duties
f. The workers/labourers are willing to do the job that ordered/ required by his/her religion means
practicing religious obligations according to
they have been promised to but the entrepreneur does
his/her religion requirement, which has been
not employ them, because of the entrepreneur’s own regulated with laws and regulations.
fault or because of impediments that the entrepreneur Point f
should have been able to avoid; Sufficiently clear
Point g
g. The workers/labourers are exercising their right to take Sufficiently clear
a rest; Point h
h. The workers/labourers are performing their trade union Sufficiently clear
Point i
duties with the permission from the entrepreneur; and Sufficiently clear
i. The workers/labourers are undergoing an education
program required by their enterprise. Subsection (3)
Sufficiently clear
(3) The amount of wages payable to workers who are taken
ill as mentioned under point a of subsection (2) shall be Subsection (4)
determined as follows: Sufficiently clear
a. For the first four months, they shall be entitled to Subsection (5)
receive 100 % (one hundred percent) of their wages; Sufficiently clear
b. For the second four months, they shall be entitled to
receive 75 % (seventy five percent) of their wages;
c. For the third four months, they shall be entitled to
receive 50 % (fifty percent) of their wages; and
d. For subsequent months, they shall be entitled to receive
25 % (twenty five percent) of their wages prior to the
termination of employment by the entrepreneur.
(4) The amount of wages payable to workers/ labourers during
the period in which they have to be absent from work for
reasons specified under point c of subsection (2) shall be
determined as follows,
a. If the workers/labourers are get married, shall be
entitled to receive a payment for 3 (three) days;
b. If the workers/labourers marry of their children, shall
be entitled to receive a payment for 2 (two) days;
c. If the workers/labourers’ child are circumcised, shall
II - 142
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 94 ARTICLE 94
What is meant by fixed allowance under
If a wages is composed of basic wage and fixed allowances, this subsection is payment to workers/ labourers
the amount of the basic wage must not be less than 75% that is made regularly and not commensurate
(seventy five percent) of the total amount of the basic wages with the attendance or certain achievement /
and fixed allowances. performance of the worker/ labourer.
ARTICLE 95 ARTICLE 95
Subsection (1)
(1) Violations by the worker/ labourer, either by willful Sufficiently clear
misconduct or negligence, may result in the imposition
of a fine. Subsection (2)
Sufficiently clear
(2) Entrepreneurs who pay their workers/ labourers’ wages
late either by willful misconduct or negligence shall be Subsection (3)
ordered to pay a fine whose amount shall correspond to a Sufficiently clear
certain percentage from the worker/labourer’s wages.
Subsection (4)
(3) The government shall regulate the imposition of fine on The payment of worker/ labourer’s
the entrepreneur and or the worker/ labourer in the wages shall take priority over the payment of
payment of wages. other debts. This means that workers/
labourers’ wages must be the first to be paid
(4) In case the enterprise is declared bankrupt or liquidated before other debts are paid.
based on the prevailing laws and regulations, the payment
of the enterprise’s workers/ labourers’ wages shall take
priority over the payment of other debts.
II - 143
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 96 ARTICLE 96
Sufficiently clear
Any claim for the payment of the worker/ labourer’s wages
and all other claims for payments that arise from an employment
relation shall expire after the lapse of 2 (two) years since such
the right is arose.
ARTICLE 97 ARTICLE 97
ARTICLE 98 ARTICLE 98
Sufficiently clear
(1) In order to provide recommendations and considerations
for the formulation of wages policies to be established by
the Government, and to develop a national wages system,
the National Wage Council, Provincial Wage Councils,
and District/ City Wage Councils shall be established.
(2) The councils as mentioned under subsection (1) shall have
representatives from the government, entrepreneurs’
organizations, trade/ labour unions, universities and experts
as their members.
(3) The members of the National-level Wage Council shall
be appointed and dismissed by the President while the
members of Provincial Wage Councils and District/ City
Wage Councils shall be appointed and dismissed by the
Governors/ District Heads/ Mayors of the respective
provinces, districts and cities.
(4) The provisions concerning the procedures for the formation
of, membership composition of, procedures for appointing
and dismissing members of and duties and working
procedures of wages system councils as mentioned under
subsection (1) and subsection (2) shall be regulated with
a Presidential Decision.
II - 144
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTIONTHREE
WELFARE
ARTICLE 99 ARTICLE 99
Sufficiently clear
(1) Workers/ labourers and their families shall each be entitled
to social security.
(2) The social security as mentioned under subsection (1)
shall be administered in accordance with the prevailing
laws and regulations.
II - 145
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XI
INDUSTRIAL RELATIONS
SECTION ONE
GENERAL
ARTICLE 102 ARTICLE 102
Sufficiently clear
(1) In conducting industrial relations, the government shall
perform the function of establishing policies, providing
services, taking control and taking actions against any
violations of statutory manpower laws and regulations.
(2) In conducting industrial relations, workers/ labourers and
their organizations unions shall perform the function of
performing their jobs/ work as obliged, working order to
ensure production, channeling their aspirations
democratically, enhancing their skills and expertise and
helping promote the business of the enterprise and fight
for the welfare of their members and families.
(3) In conducting industrial relations, entrepreneurs and their
associations shall perform the function of creating
partnership, developing business, diversifying employment
and providing welfare to workers/ labourers in a transparent
and democratic way and in a way that upholds justice.
II - 146
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTION TWO
TRADE/LABOUR UNION
SECTION THREE
ENTREPRENEURS’ ORGANIZATION
SECTION FOUR
BIPARTITE COOPERATION INSTITUTION
II - 147
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTION FIVE
TRIPARTITE COOPERATION INSTITUTION
SECTION SIX
COMPANY REGULATIONS
II - 148
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 149
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
to reach an agreement, then the existing company laws and regulations. If proved otherwise,
regulations shall remain valid until its expiration. however, the stipulations of prevailing laws
and regulations shall apply.
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
II - 150
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTION SEVEN
COLLECTIVE LABOUR AGREEMENT
II - 151
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 152
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 153
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 154
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 155
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 156
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTION EIGHT
INSTITUTIONS/ AGENCIES FOR THE SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
SUBSECTION 1
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTE
SUBSECTION 2
STRIKE
II - 157
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
deadlock.
The term peacefully and orderly means
that the strike must not disrupt security and
public order and/or threaten the life safety
and property of the entreprise, entrepreneur,
other people or other members of the general
public.
II - 158
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
a. The time (day, date and the hour) at which they will Point b
start and end the strike; Places for staging a strike refer to places
chosen by those responsible for the strike for
b. The venue of the strike; staging the strike in a way that will not prevent
c. Their reasons for the strike; and other workers/ labourers from performing
work.
d. The signatures of the chairperson and secretary of the Point c
striking union and/or the signature of each of the Sufficiently clear
chairpersons and secretaries of the unions participating Point d
Sufficiently clear
in the strike, who shall be held responsible for the
strike. Subsection (3)
(3) If the strike is staged by workers/ labourers who are not Sufficiently clear
members of any trade/labour union, the notification as
Subsection (4)
mentioned under subsection (2) shall be signed by Sufficiently clear
workers/ labourers’ representatives who have been
appointed to coordinate and/or responsible for the strike.
(4) If a strike is performed not pursuant to the requirements
as mentioned under subsection (1), then in order to save
production equipment and enterprise assets, the
entrepreneur may take temporary action by:
a. Prohibiting striking workers/labourers from being
present at locations where production processes
normally take place; or
b. Prohibiting striking workers/labourers from being
present at the enterprise’s premise if necessary.
II - 159
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Subsection (2)
Sufficiently clear
II - 160
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 161
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
place.
(2) The lockout notification as mentioned under subsection
(1) shall at least contain:
a. The time (day, date and hour) will start and end the
lockout; and
b. The reason and cause for the lockout.
(3) The notification as mentioned under subsection (1) shall
be signed by the entrepreneur and/or the management of
the relevant enterprise.
II - 162
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XII
TERMINATION OF EMPLOYMENT
II - 163
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
request.
(2) The request for such a decision as mentioned under
subsection (1) may be accepted by the institution for
settlement of industrial relations disputes if it has been
negotiated as mentioned under subsection (2) of Article
151.
(3) The decision on the request for termination of
employment can only be made by the institution for the
settlement of industrial relations disputes if it turns out
that the intention to carry out the termination of
employment has been negotiated but that the negotiation
results in no agreement.
II - 164
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 165
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 166
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 167
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 168
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
working environment;
d. Committed immorality/indecency or gambled in the
working environment;
e. Sttacked, battered, threatened, or intimidated his or
her co-workers or the entrepreneur in the working
environment.
f. Persuaded his or her co-workers or the entrepreneur to
do something that against laws and regulations.
g. Carelessly or intentionally destroyed or let the property
of the entrepreneur exposed to danger, which caused
the enterprise to incur losses;
h. Intentionally or carelessly let his or her co-workers or
the entrepreneur exposed to danger in the workplace;
i. Unveiled or leaked the enterprise’s secrets, which is
supposed to keep secret unless otherwise required by
the State; or
j. Committed other wrongdoings within the working
environment, which call for imprisonment for 5 (five)
years or more.
(2) The grave wrongdoings as mentioned under subsection
(1) must be supported with the following evidence:
a. The worker/labourer is caught red-handed;
b. The worker/labourer admits committed a wrongdoing;
or
c. Other evidence in the form of reports of events made
by the authorities at the enterprises and confirmed by
no less than 2 (two) witnesses.
(3) Workers/ labourers whose employment is terminated
because of reasons as mentioned under subsection (1) may
receive compensation pay for entitlements as mentioned
under subsection (4) of Article 156.
(4) Workers/ labourers as mentioned under subsection (1)
whose duties and functions do not directly represent the
interest of the entrepreneur shall be given detachment
money whose amount and the procedures or methods
associated with its payment shall be determined and
stipulated in the work agreements, company regulations,
or collective labour agreements.
II - 169
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 160
ARTICLE 160
(1) In case the worker/labourer is detained by the authorities Subsection (1)
because he or she is alleged to have committed a crime The members of the worker/ labourer’s
and this happens not because of the complaint filed by family that are his or her dependents are his
the entrepreneur, the entrepreneur is not obliged to pay wife or her husband, children or persons who
legally become the worker/ labourer’s
the worker/labourer’s wages but is obliged to provide dependents according to company regulations,
assistance to the family who are his or her dependents work agreements or collective labour
according to the following provisions: agreements.
a. For 1 (one) dependent, the entrepreneur is obliged to
Subsection (2)
pay 25% (twenty-five percent) of the worker/labourer’s Sufficiently clear
wages.
b. For 2 (two) dependents, the entrepreneur is obliged Subsection (3)
Sufficiently clear
to pay 35% (thirty-five percent) of the worker/
labourer’s wages. Subsection (4)
c. For 3 (three) dependents, the entrepreneur is obliged Sufficiently clear
to pay 45% (fourty-five percent) of the worker/ Subsection (5)
labourer’s wages. Sufficiently clear
d. For 4 (four) dependents or more, the entrepreneur is
Subsection (6)
obliged to pay 50% (fifty percent) of the worker/
Sufficiently clear
labourer’s wages.
(2) The assistance as mentioned under subsection (1) shall Subsection (7)
be provided for no longer than 6 (six) months of calendar Sufficiently clear
year starting from the first day the worker/labourer is
detained by the authorities.
(3) The entrepreneur may terminate the employment of the
worker/labourer who after the passing of 6 (six) months
are unable to perform his or her work as worker/labourer
because of the legal process associated with the legal
proceedings as mentioned under subsection (1).
(4) In case the court decides the case prior to the passing of 6
(six) months as mentioned under subsection (3) and the
worker/ labourer is declared not guilty, the entrepreneur
is obliged to reemploy the worker/labourer.
II - 170
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
(5) In case the court decides the case prior to the passing of 6
(six) months and the worker/labourer is declared guilty,
the entrepreneur may terminate the employment of the
worker/ labourer.
(6) The termination of employment as mentioned under
subsection (3) and subsection (5) is carried out without
the decision of the institution for the settlement of
industrial relations disputes.
(7) The entrepreneur is obliged to pay to the worker/labourer
whose employment is terminated as mentioned under
subsection (3) and subsection (5) reward pay for service
rendered during his/her period of employment 1 (one)
time of what is stipulated under subsection (3) of Article
156 and compensation pay that the worker/ labourer
ought to have as mentioned under subsection (4) of Article
156.
II - 171
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Subsection (3)
Sufficiently clear
II - 172
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 173
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 174
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 175
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
obliged to pay them severance pay twice the amount of Rp2,400,000 (which is the benefit paid
severance pay as stipulated under subsection (2) of Article by the pension program administrator
which represents 40% of the total
156, reward pay for period of employment amounting to premiums which had been paid by the
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) worker/ labourer)
of Article 156 and compensation pay for entitlements
——————————————
according to subsection (4) of Article 156.
Total: Rp12,400,000 (twelve
(6) The worker/labourer’s entitlement to retirement benefit million four hundred thousand rupiah)
as mentioned under subsection (1), subsection (2) and
subsection (3) shall not eliminate their entitlement to Subsection (4)
the old age benefit that is compulsory according to Sufficiently clear
prevailing laws and regulations. Subsection (5)
Sufficiently clear
II - 176
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 177
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XIII
MANPOWER DEVELOPMENT
II - 178
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XIV
LABOUR INSPECTION
ARTICLE 178
ARTICLE 178
(1) Labour inspection shall be carried out by a separate Sufficiently clear
working unit of a government agency whose scope of duty
and responsibility are in the field of labour at the Central
Government, Provincial Governments and District/ City
Governments.
II - 179
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XV
INVESTIGATION
ARTICLE 182 ARTICLE 182
Sufficiently clear
(1) Special authority to act as civil servant investigators may
also be given, in addition to the one assigned to the
investigating officials of the Police of the State of the
Republic of Indonesia, to labour inspectors in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(2) The civil servant investigators as mentioned under
subsection (1) shall have the authority:
a. To examine whether or not reports and explanation
about labour crimes are true;
II - 180
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XVI
CRIMINAL PROVISIONS AND ADMINISTRATIVE
SANCTIONS
SECTION ONE
CRIMINAL PROVISIONS
II - 181
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 182
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTION TWO
ADMINISTRATIVE SANCTIONS
II - 183
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XVII
TRANSITIONAL PROVISIONS
II - 184
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
647);
3. Ordinance Year 1926, which is a regulation which
regulates the Employment of Child and Youth on Board
of A Ship (Staatsblad Year 1926 Number 87);
4. Ordinance dated May 4, 1936 concerning Ordinance To
Regulate Activities To Recruit Candidates/ Prospective
Workers (Staatsbald Year 1936 Number 208);
5. Ordinance concerning the Repatriation of Labourers Who
Come From or Are Mobilized From Outside of Indonesia
(Staatsblad Year 1939 Number 545);
6. Ordinance Number 9 Year 1949 concerning Restriction
of Child Labour (Staatsblad Year 1949 Number 8);
7. Act Number 1 Year 1951 concerning the Declaration of
the Enactment of Employment Act Year 1948 Number
12 From the Republic of Indonesia For All Indonesia (State
Gazette Year 1951 Number 2);
8. Act Number 21 Year 1954 concerning Labour Agreement
Between Labour Union and Employer (State Gazette Year
1954 Number 69, Supplement to State Gazette Number
598a);
9. Act Number 3 Year 1958 concerning the Placement of
Foreign Workers (State Gazette Year 1958 Number 8);
10. Act Number 8 Year 1961 concerning Compulsory Work
for University Graduates Holding Master’s Degree (State
Gazette Year 1961 Number 207, Supplement to State
Gazette Number 2270);
11. Act Number 7 Year 1963 Serving as the Presidential
Resolution on the Prevention of Strike and/or Lockout at
Vital Enterprises, Government Agencies In Charge of
Public Service and Agencies (State Gazette Year 1963
Number 67);
12. Act Number 14 Year 1969 concerning Fundamental
Provisions concerning Manpower (State Gazette Year 1969
Number 55, Supplement to State Gazette Number 2912);
13. Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State
Gazette Year 1997 Number 73, Supplement to State
Gazette Number 3702);
14. Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the
Applicability of Act Number 25 Year 1997 concerning
II - 185
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Legalized in Jakarta
On 25 March, 2003
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Promulgated in Jakarta:
On 25 March, 2003
STATE SECRETARY OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
II - 186
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND
CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
e. bahwa . . .
- 2 -
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D,
Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan . . .
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Pasal 2
Agar . . .
- 4 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005
ttd
HAMID AWALUDIN
I. UMUM
kepada . . .
- 2 -
kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak
asasi manusia: (1) Kove nan mengenai hak sipil dan politik; dan (2)
Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga
menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus
memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat
pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri.
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945
menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari
kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah
memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat
penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas
kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan
(Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di
dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara
Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2); hak setiap warga negara
Indonesia . . .
- 3 -
Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2);
hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28);
kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29
ayat (2); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31
ayat (1) ).
Dalam . . .
- 4 -
Konsideran . . .
- 5 -
serta . . .
- 6 -
memperhatikan . . .
- 7 -
Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan
ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok,
atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan
tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun
yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang
ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya
pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang
berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau
kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut
atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.
hak-hak yang diakui dalam Kovenan (Pasal 23), penegasan bahwa tidak
ada satu ketentuan pun dalam Kovenan yang dapat ditafsirkan sebagai
mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan-badan khusus
yang berkenaan dengan masalah-masalah yang diatur dalam Kovenan ini
(Pasal 24), dan penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam
Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat
pada semua rakyat untuk menikmati secara penuh dan secara bebas
kekayaan dan sumber daya alam mereka (Pasal 25).
Pasal 1
Ayat (1)
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya) dan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
merupakan dua instrumen yang saling tergantung dan saling
terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh MU PBB pada tahun
1977 (resolusi 32/130 Tanggal 16 Desember 1977), semua hak
asasi dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dibagi-bagi
dan saling tergantung (interdependent). Pemajuan,
perlindungan, dan pemenuhan kedua kelompok hak asasi ini
harus mendapatkan perhatian yang sama. Pelaksanaaan,
pemajuan, dan perlindungan semua hak-hak ekonomi, sosial,
dan pudaya tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman
hak-hak sipil dan politik.
Ayat (2) . . .
- 9 -
(Ayat 2)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya
dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah
asli dalam bahasa Inggris Kovenan Internasional tentang Hak-
hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Declaration (Pernyataan)
terhadap Pasal 1 Kovenan ini.
Pasal 2
Cukup jelas.
MEMUTUSKAN :
Dengan membatalkan segala peraturan yang berlawanan dengan undang-undang ini
menetapkan :
PASAL 1
Menyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia undang-undang Pengawasan Perburuhan
tanggal 23 Juli 1948 Nr. 23 dari Republik Indonesia yang bunyinya sebagai berikut :
BAGIAN I
Tentang Pengawasan Perburuhan
Pasal 1
BAGIAN II
Hak Pegawai-pegawai Pengawasan Perburuhan untuk memperoleh Keterangan.
Pasal 2
1) Menteri yang diserahi urusan perburuhan atau pegawai yang ditunjuk olehnya,
menunjuk pegawai-pegawai yang diberi kewajiban menjalankan pengawasan
perburuhan;
Pasal 3
1) Majikan atau wakilnya, demikian pula semua buruh yang bekerja pada majikan
itu, atas permintaan dan dalam waktu sepantasnya yang ditentukan oleh
pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 ayat (1), wajib memberikan semua
keterangan-keterangan yang sejelas-jelasnya, baik dengan lisan maupun tertulis
yang dipandang perlu olehnya guna memperoleh pendapat yang pasti tentang
hubungan kerja dan keadaan perburuhan pada umumnya di dalam perusahaan
itu pada waktu itu atau/dan pada waktu yang telah lampau;
Pasal 4
Atas permintaan pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 ayat (1) majikan atau
wakilnya wajib menunjuk seorang pengantar untuk memberi keterangan-keterangan
pada waktu diadakan pemeriksaan.
BAGIAN III
Menyimpan Rahasia.
Pasal 5
BAGIAN IV
Aturan Hukuman
Pasal 6
6) Hal-hal yang dikenakan hukuman tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) dianggap
sebagai kejahatan, sedangkan yang tersebut dalam ayat(4) dan (5) dianggap
sebagai pelanggaran.
Pasal 7
1) Jikalau yang dikenakan hukuman tersebut dalam pasal 6 itu suatu badan
hukum, maka tuntutan dan hukuman dilakukan terhadap pengurus badan
hukum itu;
2) Jikalau urusan badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain maka
tuntutan dan hukuman dilakukan terhadap pengurus badan hukum lain yang
mengurus itu.
BAGIAN V
Tentang Mengusut Pelanggaran dan Kejahatan.
Pasal 8
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Januari 1951.
SOEKARNO.
WONGSONEGORO. SOEROSO
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 1948.
Tentang
PENGAWASAN PERBURUHAN TAHUN 1948
PEMANDANGAN UMUM
Pengawasan perburuhan adalah suatu institut yang sangat penting dalam penyelenggaraan
undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan.
Meskipun Kantor Pengawas Perburuhan itu di dalam zaman Belanda sudah ada, ialah
”Arbeidsinspectie”, akan tetapi kantor itu tidak begitu dikenal oleh dunia buruh (terutama
perusahaan-perusahaan yang besar-besar, kebu-kebun dan lain-lain), oleh karena pegawai
yang harus mengadakan pemeriksaan, seorang Arbeidsinspecteur tidak pernah
mengadakan perhubungan yang erat-eratnya dengan pihak buruh Indonesia. Oleh karena
itu sampai kinipun Kantor Pengawas Perburuhan yang sebetulnya telah ada dan bekerja
itu (lihat Penetapan Pemerintah Nr. 3 Tahun 1947 jo Keputusan Menteri Perhubungan
tanggal 30 Juli 1947 Nr. 364/P.V) masih saja belum dikenal sebaik-baiknya oleh
beberapa majikan dan buruh, sehingga telah beberapa kali terjadi seorang Ajun Inspektur
Pengawasan Perburuhan yang memasuki suatu tempat perusahaan untuk menjalankan
kewajibannya, mendapat rintangan dari atau ditolak oleh majikan yang berkepentingan.
Berhubungan dengan itu dan mengingat akan pentingnya pengawasan perburuhan, pula
untuk menyesuaikan sifatnya dengan aliran sekarang, maka Pemerintah menganggap
perlu untuk mengadakan undang-undang yang dengan tegas menetapkan tentang adanya
pengawasan perburuhan beserta aturan-aturannya.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1) :
Dalam ayat ini disebut 3 macam kewajiban dari pengawasan perburuhan.
Ayat (2) :
Berhubungan dengan pentingnya pekerjaan pengawasan perburuhan ini, maka
tiap-tiap tahun Menteri yang diwajibkan mengurus perburuhan, berwajib memberi
laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 2
Ayat (1) :
Menteri yang diserahi urusan perburuhan dan pegawai yang ditunjuk olehnya,
akan menetapkan pegawai-pegawai mana yang diberi kewajiban untuk
menjalankan pengawasan perburuhan.
Ayat (2) :
Ayat (3) :
Pasal 3 dan 4
Dalam pasal-pasal ini disebut kewajiban majikan atau wakilnya dan buruh untuk
memberi segala bantuan agar pegawai-pegawai pengawasan perburuhan dapat
memperoleh pendapat yang pasti tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan
perburuhan pada umumnya dalam perusahaan itu.
Pasal 5
Aturan-aturan dalam pasal ini menjaga jangan sampai rahasia-rahasia dalam suatu
perusahaan yang dalam sifatnya perlu disimpan betul-betul oleh perusahaan tadi,dapat
terbuka oleh pegawai-pegawai yang mengadakan pemeriksaan dalam perusahaan tadi
yang berhubungan dengan pekerjaan , tentu mengetahui tentang rahasia-rahasia dalam
perusahaan tadi.
Pasal 6
Dalam Pasal ini disebut aturan-aturan hukuman. Ancaman hukuman agak berat
berhubung dengan pentingnya tujuan undang-undang ini.
Pasal 7,8,9
Cukup Jelas
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
DEWAN PENGUPAHAN
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG DEWAN PENGUPAHAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat tripartit;
2. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
3. Organisasi pengusaha adalah organisasi pengusaha yang ditunjuk oleh Kamar
Dagang dan Industri untuk menangani masalah ketenagakerjaan.
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Pasal 3
BAB II
Bagian Pertama
Tugas
Pasal 4
Depenas bertugas memberikan saran, dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka
perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional.
Pasal 5
Dalam melaksanakan tugasnya, Depenas dapat bekerja sama baik dengan instansi
Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.
Bagian Kedua
Organisasi
Paragraf 1
Keanggotaan
Pasal 6
Pasal 7
Paragraf 2
Kesekretariatan
Pasal 8
Paragraf 3
Komisi
Pasal 9
1. Apabila dipandang perlu, Depenas dapat membentuk Komisi untuk melaksanakan
tugas tertentu.
2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Anggota
Depenas.
3. Ketentuan mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Ketua Depenas.
Bagian Ketiga
Pasal 10
Anggota Depenas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri
Pasal 11
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depenas, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :
Pasal 12
Anggota Depenas diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 13
Selain karena berakhirnya masa jabatan, anggota Depenas diberhentikan apabila yang
bersangkutan:
Pasal 15
Pasal 16
Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 17
Pasal 19
Ketentuan mengenai tata kerja Depenas diatur lebih lanjut oleh Ketua Depenas.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 20
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Depenas dibebankan kepada
Anggaran Belanja Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
BAB III
Bagian Pertama
Tugas
Pasal 21
Depeprov bertugas :
Pasal 22
Dalam melaksanakan tugasnya, Depeprov dapat bekerja sama baik dengan instansi
Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.
Bagian Kedua
Organisasi
Paragraf 1
Keanggotaan
Pasal 23
Pasal 24
Paragraf 2
Kesekretariatan
Pasal 25
Paragraf 3
Komisi
Pasal 26
Bagian Ketiga
Pasal 27
Anggota Depeprov diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Pimpinan Satuan
Organisasi Perangkat Daerah Provinsi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depeprov, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :
Pasal 29
Anggota Depeprov diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 30
Pasal 31
Selain karena berakhirnya masa jabatan, anggota Depeprov diberhentikan apabila yang
bersangkutan :
Pasal 32
Pasal 33
Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Ketentuan mengenai tata kerja Depeprov diatur lebih lanjut oleh Ketua Depeprov.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 37
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Depeprov dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
BAB IV
Bagian Pertama
Tugas
Pasal 38
Depekab/Depeko bertugas :
Pasal 39
Bagian Kedua
Organisasi
Paragraf 1
Keanggotaan
Pasal 40
Pasal 41
Paragraf 2
Kesekretariatan
Pasal 42
Paragraf 3
Komisi
Pasal 43
1. Apabila dipandang perlu, Depekab/Depeko dapat membentuk Komisi untuk
melaksanakan tugas tertentu.
2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Anggota
Depekab/Depeko.
3. Ketentuan mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Ketua
Depekab/Depeko.
Bagian Ketiga
Pasal 44
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depekab/Depeko, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :
Pasal 46
Anggota Depekab/Depeko diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 47
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
Ketentuan mengenai tata kerja Depekab/Depeko diatur lebih lanjut oleh Ketua
Depekab/Depeko.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 54
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Pasal 56
.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Faried Utomo.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: PER.01/MEN/I/2009.
TENTANG
PEDOMAN PENGGUNAAN
METODA STATISTIKA KETENAGAKERJAAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
BAB II
PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
BAB III
PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Pasal 10
Pasal 12
BAB IV
PENGANALISISAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Bagian Kesatu
Data dan Informasi Ketenagakerjaan Umum
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Bagian Kedua
Data dan Informasi Pelatihan dan Produktivitas.
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Bagian Ketiga
Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja
Pasal 25
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
Bagian Keempat
Data dan Informasi Pengembangan dan Perluasan
Kesempatan Kerja
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Bagian Kelima
Data Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Bagian Keenam
Data dan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan.
Pasal 41
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
Bagian Ketujuh
Data dan Informasi dengan Teknik Lainnya.
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 51
Pasal 53
Pasal 54
Pasal 55
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ttd
31 Maret 2009
Yth.
1. Para Gubernur
2. Para Bupati / Walikota
di seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE.114/MEN/SJ-HK/III/2009
TENTANG
1. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2009 ditetapkan bahwa hari
Kamis, tanggal 9 April 2009 sebagai hari libur nasional untuk pemungutan suara
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atau hari dan tanggal lain yang ditetapkan oleh
Komisi Pemilihan Umum untuk pemilihan umum lanjutan dan/atau susulan.
3. Dalam hal pekerja/buruh harus bekerja pada hari pemungutan suara, maka pengusaha
harus mengatur waktu kerja sedemikian rupa agar pekerja/buruh dapat menggunakan
hak pilihnya.
4. Pekerja/buruh yang bekerja pada hari pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada
angka 1, dan angka 2, berhak atas upah kerja lembur dan hak–hak lainnya yang biasa
diterima pekerja/buruh yang dipekerjakan pada hari libur resmi.
5. Sehubungan dengan angka 4 di atas, maka upah kerja lembur pada hari libur resmi
dihitung hanya pada saat pekerja/buruh melakukan pekerjaan.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
ttd
Tembusan :
NOMOR : PER-04/MEN/II/2009.
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Bagi Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang saat
diterbitkannya Peraturan Menteri ini masih melaksanakan hubungan kerja dengan
perjanjian kerja waktu tertentu, maka ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
KEP-27/MEN/2000 tetap berlaku hingga berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, dan perusahaan tetap memberikan santunan pekerja/buruh sesuai ketentuan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-27/MEN/2000.
Pasal 3
Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang akan memberikan
santunan kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan hubungan kerja
perjanjian kerja waktu tertentu dapat mengaturnya di dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 4
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 20 Pebruari 2009.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ttd
Sunarno, SH,MH.
NIP. 195807261985031002
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Pasal 2
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 6 Pebruari 2009.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ttd
TENTANG
KESATU : Hari-hari libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010 adalah
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
KEDUA : Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya
Idul Adha bagi umat Islam, maka tanggal 1 Syawal 1431 H dan 10
Dzulhijjah 1431 H, ditetapkan kemudian dengan Keputusan Menteri
Agama.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Agustus 2009
TENTANG
HARI – HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2010
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Agustus 2009
NOMOR : PER-01/MEN/1999
Tentang
UPAH MINIMUM
Menimbang a. bahwa dalam rangka upaya mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja,perlu
ditetapkan upah minimum dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan
pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktivitas dan kemajuan perusahaan
serta perkembangan perekonomian pada umumnya;
b. bahwa untuk mewujudkan penetapan upah minimum yang lebih realistis sesuai
dengan kemampuan perusahaan secara sektoral,maka disamping penetapan Upah
Minimum Regioanal juga dilakukan penetapan Upah Minimum Sektoral Regional;
c. bahwa sehunngan dengan huruf a dan b,Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-
03/MEN/1997 tentang Upah Minimum Regional, dipandang sudah tidak sesuai
lagi,sehingga perlu diadakan penyempurnaan.
d. Bahwa untuk itu,perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Mengingat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Titel 7A pasal 1601.
2 Undang-undang No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang
Kerja Tahun 1946 No.12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran
Negara No.2 Tahun 1951).
3 Undang-undang Nomor 3 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari republik Indonesia
untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Tahun 1951 Nomor 4 ).
4 Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Pengupahan yang sama bagi buruh
laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (Lembaran Negara Nomor
171 Tahun 1957 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2153).
5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1961 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No.106
tentang Istirahat Mingguan.
6 Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912).
7 Undang-undang Nomor 5 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,Tambahan Lembaran Negara Nomor
3037).
8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1981 tentang Wajib lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan (Lembaran Negara tahun 1981 Nomor 39,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3201).
9 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (Lembaran
Negara Tahun 1981 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3190).
10 Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1969 tentang Pembentukan Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional.
11 Keputusan Presiden RI No. 122/M/Tahun 1995 tentang Kabinet Reformasi
Pembangunan.
12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-06/MEN/1985 tentang Perlindungan
Pekerja Harian Lepas.
13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No Per-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja
Waktu Tertentu.
14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-06/MEN/1993 tentang Waktu Kerja 5(lima)
Hari Seminggu 8(delapan)Jam Sehari.
15 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per.05/MEN/1998 tentang Pendaftaran
Organisasi Pekerja.
Memperhatikan Surat Dewan Penelitian Pengupahan Nasional No.42/DPPN/1999 tanggal 11 Januari
1999 perihal Saran dan Pertimbangan Penetapan Upah Minimum.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERATURAN MENTERI T E N A G A K E R J A TENTANG UPAH MINIMUM
BAB I
PENGERTIAN
PASAL 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1 Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok
termasuk tunjangan tetap.
2 Upah Minimum Regional Tingkat 1 untuk selanjutnya disebut UMR Tk.1 adalah
upah minimum yang berlaku di satu propinsi.
3 Upah Minimum Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMR Tk.II adalah
upah minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/Kotamadya atau menurut
wilayah pembangunan ekonomi daerah atau karena kekhususan wilayah
tertentu.
4 Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMSR
Tk.I adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu propinsi.
5 Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMSR
Tk.II adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di daerah
Kabupaten/Kotamadya atau menurut wilayah pembangunan ekonomi daerah
atau karena kekhususan wilayah tertentu.
6 Sektoral adalah kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut
klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI).
7 Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja para
pengusaha dengan menerima upah.
8 Pengusaha adalah :
a Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagai dimaksud dalam huruf (a)dan(b) yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9 Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang
mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak milik
orang perseorangan,persekutuan atau badan hukum,baik milik swasta maupun
milik negara.
10 Serikat pekerja adalah organisasi pekerja atas dasar lapangan pekerjaan yang
bersifat mandiri,demokratis,bebas,dan tanggung jawab yang di bentuk
dari,oleh dan untuk pekerja,untuk memperjuangkan hak dan kepentingan
kaum pekerja dan keluarganya.
11 Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
12 Kesepakatan Kerja Bersama adalah kesepakatan hasil perundingan yang di
selenggarakan oleh serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja dengan
pengusaha atau gabungan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja,untuk
mengatur dan melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
13 Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha
secara lisan dan/atau tertulis,baik,untuk waktu tertentu maupun untuk waktu
yang tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja,hak dan kewajiban para
pihak.
14 Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang berbentuk perusahaan diperlakukan
sama dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan pekerja.
Pasal 3
Upah Minimum terdiri dari UMR Tk.1,UMR Tk.II, UMSR,Tk.1 dan UMSR Tk.II.
BAB II
DASAR DAN WEWENANG PENETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 4
(1). Menteri menetapkan besarnya upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3.
(2). Dalam satu propinsi ditetapkan UMR Tk.1
(3). Selain UMR Tk. 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan UMR
Tk.II danatau UMSR Tk.II.
(4). Dalam hal di seluruh daerah Kabupaten/Kotamadya dalam satu propinsi sudah
ada penetapan UMR Tk.II ,ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),tidak berlaku.
(5). Besarnya upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan
peninjauan selambat-lambatnya 2(dua) tahun sekali.
(6). Ketetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan selambat-
lambatnya 40(empat puluh) hari sebelum tanggal berlakunya Upah Minimum.
Pasal 5
Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ditetepkan:
a. UMSR Tk.1 harus lebih besar sekurang-kurangnya 5%(lima persen) dari UMR
Tk.1
b. UMSR TK.II harus lebih besar sekurang-kurangnya 5%(lima persen) dari UMR
Tk.II.
Pasal 6
(1). UMR Tk.1 dan UMR Tk.II ditetapkan dengan mempertimbangkan :
a. kebutuhan
b. indeks harga konsumen(IHK);
c. kemampuan,perkembangan dan kelangsungan perusahaan;
d. upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah ;
e. kondisi pasar kerja;
f. tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.
(2) UMSR Tk.1 dan UMSR Tk.II ditetapkan berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan mempertimbangkan kemampuan perusahaan
secara sektoral.
Pasal 7
(1). Upah Minimum wajib dibayar dengan upah bulanan kepada pekerja
(2) Berdasarkan kesepakatan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha
upah dapat dibayarkan mingguan atau 2 mingguan dengan ketentuan
perhitungan upah didasarkan pada upah bulanan .
BAB III
TATA CARA PENETAPAN UPAH MINIMUM
Bagian Kesatu
Upah Minimum Regional
Pasal 8
(1). Usulan penetapan UMR Tk.1 dan UMR Tk.II dirumusakan oleh Komisi Penelitian
Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.
(2). Dalam merumuskan usulan.Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial
Dewan Ketenagakerjaan Daerah dapat berkonsultasi dengan organisasi
pengusaha,serikat pekerja dan instansi terkait ditingkat daerah.
(3). Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri
melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setelah memperoleh
rekomendasi persetujuan Gubernur Kepala Daerah tingkat 1.
(4). Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 menolak memberikan
rekomendasi persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) usulan tersebut
dikembalikan kepada Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan
Ketenagakerjaan Daerah disertai alasan penolakan untuk dikaji dan diusulkan
kembali.
(5). Berdasarkan usulan sebagaimana pada ayat (3),Menteri menetapkan upah
minimum setelah mendengar saran dan pertimbangan Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional.
(6). Dalam memberikan saran dan pertimbangan,Dewan Penelitian Pengupahan
Nasional dapat berkonsultasi dengan organisasi pengusaha,serikat pekerja dan
instansi terkait ditingkat nasional.
Pasal 9
Menteri dapat menetapkan UMR Tk.I atau UMR Tk.II berbeda dari usulan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 setelah mendengarkan saran dan
pertimbangan Dewan Penelitian Pengupahan Nasional.
Bagian Kedua
Upah Minimum Sektoral Regional
Pasal 10
(1). Untuk menetapkan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II,Komisi Penelitian
Pengupahan dan jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah,mengadakan
penelitian serta menghimpun data dan informasi mengenai:
(a). homogeneitas perusahaan;
(b). jumlah perusahaan;
(c). jumlah tenaga kerja;
(d). devisa yang dihasilkan;
(e). nilai tambah yang dihasilkan;
(f). kemampuan perusahaan;
(g). asosiasi perusahaan;
(h). seikat pekerja terkait;
(2). Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan
Daerah menentukan sector dan sub sector unggulan yang selanjutnya
disampaikan kepada masing-masing asosiasi perusahaan dan serikat pekerja.
Pasal 11
Usulan penetapan UMSR Tk.I dan UMSR Tk.II dirundingkan dan disepakati oleh
(1).
asosiasi perusahaan dan serikat pekerja.
Dalam hal sektor atau sub sektor belum mempunyai asosiasi perusahaan di
(2). sektor atau sub sektor yang bersangkutan bersama APINDO dengan serikat
pekerja terkait.
Dalam hal sektor atau sub sektor belum mempunyai asosiasi perusahaan dan
serikat pekerja,perundingan dan kesepakatan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II
(3).
dilakukan oleh APINDO dengan gabungan serikat pekerja yang terkait dengan
sektor atau sub sektor.
Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),(2) dan (3)dimintakan
(4). rekomendasi kepada Gubernur melalui Komisi Penelitian pengupahan dan
Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.
Kesepakatan yang telah memperoleh rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
(5). ayat (4) , disampaikan kepada Menteri melalui Kantor Wilayah Departemen
Tenaga Kerja setempat untuk penetapan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II .
Pasal 12
Asosiasi perusahaan dan serikat pekerja di luar sektor atau sub sektor yang
telah ditentukan oleh Komisi dapat mengajukan usulan penetapan UMSR Tk.I
atau UMSR Tk.II.
BAB IV
PELAKSANAAN KETETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 13
Perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari UMR Tk.I atau UMR Tk.II
(1).
atau UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II.
Dalam hal di daerah sudah ada penetapan UMR Tk.II perusahaan dilarang
(2).
membayar upah lebih rendah dari UMR Tk.II.
Dalam hal di suatu sektor uasaha telah ada penetapan UMSR Tk. II dan atau
(3). UMSR Tk.II perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari UMSR Tk.I
atau UMSR Tk.II tersebut.
Pasal 14
Bagi pekerja yang berstatus tetap, tidak tetap dan dalam masa
(1). percobaan,upah diberikan oleh pengusaha serendah-rendahnya sebesar upah
minimum.
Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang
(2).
dari 1(satun) tatun.
Peninjauan besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1(satu)
(3). tahun,dilakukan atas kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja
dengan pengusaha.
Pasal 15
Bagi pekerja dengan sistim kerja borongan atau berdasarkan satuan hasil yang
(1). dilaksanakan 1 (satu) bulan atau lebih,upah rata-rata sebulan serendah-
rendahnya sebesar Upah Minimum di perusahaan yang bersangkutan.
Upah pekerja harian lepas,ditetapkan secara upah bulanan yang dibayarkan
(2).
berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah sehari:
bagi perusahaan dengan sistim waktu kerja 6(enam) hari dalam seminggu,upah
a.
bulanan dibagi 25(dua puluh lima).
bagi perusahaan dengan sistim waktu kerja 5(lima) hari dalam seminggu,upah
b.
bulanan dibagi 21 (dua puluh satu ).
Pasal 16
Bagi perusahaan yang mencakup lebih dari satu sektor atau sub sektor,maka
(1).
upah yang di berlakukan sesuai dengan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II.
Dalam hal satu perusahan mencakup beberapa saktor atau sub sektor yang satu
lebih belum ada penetapan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II untuk sektor
(2).
tersebut diberlakukan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II tertinggi diperusahaan yang
bersangkutan.
Dalam hal perusahaan untuk menjalankan usahanya memerlukan pekerjaan
(3). jasa penunjang yang belum terdapat penetapan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II
tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 17
Bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum
yang berlaku,pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah.
Pasal 18
Peninjauan besarnya upah bagi pekerja yang telah menerima upah lebih tinggi
dari upah minimum yang berlaku,dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Perjanjian Kerja .Peraturan Perusahaan,atau Kesepakatan Kerja
Bersama.
Pasal 19
Dengan kenaikan upah minimum,para pekerja harus memelihara prestasi kerja
(1). sehingga tidak lebih rendah dari prestasi kerja sehingga tidak lebih rendah dari
prestasi kerja sebelum kenaikan upah.
Ukuran prestasi kerja untuk masing-masing perusahaan dirumuskan bersama
(2). oleh pengusaha dan pekerja atau Lembaga Kerjasama Bipartit perusahaan yang
bersangkutan.
Dalam hal tingkat prestasi kerja tidak sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),pengusaha dapat mengambil tindakan kepada pekerja yang bersangkutan
(3).
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,Perjanjian
Kerja,Peraturan Perusahaan,atau Kesepakatan Kerja Bersama.
BAB V
TATA CARA PENANGGUHAN
Pasal 20
Pengusaha yang tidak mampu melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
(1).
dalam pasal 4,dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimanadimaksud
(2).
pada ayat (1) diajukan kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
Pasal 21
Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1)
didasarkan atas kesepakatan tertulis antara serikat pekerja yang terdaftar
pada Departemen Tenaga Kerja dan didukung oleh mayoritas pekerja di
(1). perusahaan yang bersangkutan dengan pengusaha,atau kesepakatan antara
pengusaha dengan pekerja yang mewakili lebih dari 50% pekerja penerima
upah minimum bagi perusahaan yang belum ada serikat pekerja,disertai
dengan:
a. salinan kesepakatan bersama;
b. salinan akte pendirian perusahaan;
laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca,perhitungan rugi/laba
c.
beserta penjelasan-penjelasan untuk 2(dua) tahun terakhir;
d. perkembangan produksi dan pemasaran selama 2(dua) tahun terakhir;
e. data upah menurut jabatan pekerja;
jumlah pekerja seluruhnya dan jumlah pekerja yang dimohonkan penangguhan
f.
pelaksanaan upah minimum;
surat pernyataan kesediaan perusahaan untuk melaksanakan upah minimum
g.
yang baru setelah berakhirnya waktu penangguhan.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 91 Menteri atau
Pejabat yang ditunjuk,dapat meminta Akuntan Publik untuk memeriksa
(2).
keadaan keuangan guna pembuktian ketidak mampuan perusahaan tersebut
atas biaya perusahan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b,huruf c dan ayat 2 tidak
(3). diwajibkan bagi perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sampai dengan
100(seratus) orang.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Menteri atau
(4). Pejabat yang ditunjuk menetapkan penolakkan atau persetujuan penangguhan
pelaksanaan upah minimum.
(5). Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 2 adalah:
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
a. Ketenagakerjaan untuk perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja 500
(lima ratus) orang atau lebih.
Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat untuk perusahaan
b. yang memperkerjakan tenaga kerja 101 (sertaus satu) sampai dengan 500(lima
ratus) orang;
Kantor Departemen Tenaga Kerja/Kantor Dinas Tenaga Kerja setempat untuk
c. perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sampai dengan 100(seratus)
orang.
Persetujuan penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang
(6). ditetapkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (5),berlaku untuk waktu paling lama 1(satu) tahun.
Pasal 22
Persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimana dimaksud
(1).
dalam pasal 21 ayat (4) diberikan kepada pengusaha dalam bentuk:
membayar upah terendah,tetap sesuai ketetapan upah minimum yang lama
a.
atau
b. membayar lebih rendah dari upah minimum yang baru atau
c. menangguhkan pembayaran upah minimum yang baru secara bertahap
Besarnya UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II,selama penangguhan tidak boleh lebih
(2).
rendah dari UMR Tk.I atau Tk.II yang berlaku.
Bagi perusahaan yang diberikan penangguhan sebagaimana dimaksud pada
(3). ayat(1) dan (2),pengusaha tidak diwajibkan membayar kekurangan upah
selama jangka waktu pelaksanaan penangguhan upah minimum.
Pasal 23
Permohonan penangguhan upah minimum diajukan oleh pengusaha paling lama
(1).
10 (sepuluh) hari sebelum berlakunya ketetapkan upah minimum.
Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh
(2). pengusaha,diberikan dalam jangka waktu paling lama 1(satu) bulan terhitung
sejak diterima secara lengkap permohonan penangguhan upah minimum.
Apabila waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) telah
terlampaui dan belum ada keputusan dari pejabat sebagaimana dimaksud
(3). dalam pasal 21 ayat (4) dan(5),permohonan penangguhan yang telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1)
dianggap telah disetujui.
Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian
(4). perusahaan yang bersangkutan dapat membayar upah yang biasa diterima
pekerja.
Dalam hal permohonan penanggulangan ditolak,upah yang diberikan pengusaha
(5). kepada pekerja serendah-rendahnya sama dengan upah minimum yang berlaku
terhitunh tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru.
BAB VI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 24
Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ini,rekomendasi Gubernur yang
belum sesuai dengan ketentuan pasal 5 tetap berlaku untuk penetapan UMSR
Tk.I dan atau UMSR Tk.II tahun 1999.
BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 25
Berdasarkan pasal 17 undang-undang No.14 tahun 1969 pengusaha yang
melanggar ketentuan pasal 7 dan pasal 13 atau tidak memenuhi pasal 14 ayat
(1).
(1) dan (2) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3(tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000;(seratus ribu rupiah).
Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),hakim dapat
(2).
menjatuhkan putusan membayar upah pekerja.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 26
Selain dari pegawai penyidik pada umumnya,pegawai pengawas perburuhan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.3 tahun 1951 tentang
Pernyataan berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948
No.23 berwenang melakukan pengawasan dan penyidaikan atas pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 27
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini,maka Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No.Per.03/Men/1997 tentang Upah Minimum Regional,dan Keputusan
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan No.Kep.16/BW/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Upah
minimum Regional bagi Perusahaan Padat Karya tertentu dan Perusahaan Kecil
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 28
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal :12 Januari 1999
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
FAHMI IDRIS
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR :PER.21/MEN/X/2007.
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
BAB II
PERENCANAAN PENYUSUNAN RSKKNI
Pasal 4
BAB III
PENYUSUNAN RSKKNI
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
BAB IV
PEMBAKUAN RSKKNI
Pasal 12
BAB V
PENETAPAN SKKNI
Pasal 14
BAB VI
PEMBERLAKUAN SKKNI
Pasal 15
BAB VII
PENGEMBANGAN SKKNI DAN HARMONISASI SKKNI
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
BAB IX
PENDANAAN
Pasal 22
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Oktober 2007
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
TENTANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
…………………….
B. Tujuan .
…………………….
C. Pengertian SKKNI.
…………………….
D. Penggunaan SKKNI.
………………………..
X X X X X 0 0 0 0 0 0 0
(1) (2) (3) (4) (5)
4. Elemen Kompetensi.
Elemen Kompetensi adalah merupakan bagian kecil dari unit kompetensi yang
mengindentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan untuk mencapai unit
kompetensi tersebut. Elemen kompetensi ditulis menggunakan kalimat aktif dan
jumlah elemen kompetensi untuk setiap unit kompetensi terdiri dari 2 sampai 5
elemen kompetensi. Kandungan dari keseluruhan elemen kompetensi pada setiap
unit kompetensi harus mencerminkan unsur : ”merencanakan, menyiapkan,
melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan”.
6. Batasan Variabel.
Batasan variabel untuk unit kompetensi minimal dapat menjelaskan :
a. Kontek variabel yang dapat mendukung atau menambah kejelasan tentang isi
dari sejumlah elemen unit kompetensi pada satu unit kompetensi tertentu, dan
kondisi lainnya yang diperlukan dalam melaksanakan tugas.
b. Perlengkapan yang diperlukan seperti peralatan, bahan atau fasilitas dan
materi yang digunakan sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi untuk
melaksanakan unit kompetensi.
c. Tugas yang harus dilakukan untuk memenuhi persyaratan unit kompetensi.
d. Peraturan-peraturan yang diperlukan sebagai dasar atau acuan dalam
melaksanakan tugas untuk memenuhi persyaratan kompetensi.
7. Panduan Penilaian.
Panduan penilaianini digunakan untuk membantu penilaian dalam melakukan
penilaian/pengujian pada unit kompetensi antara lain meliputi :
a. Penjelasan tentang hal-hal yang diperlukan dalam penilaian antara lain :
prosedur, alat, bahan dan tempat penilaian serta penguasaan unit kompetensi
tertentu, dan unit kompetensi yang harus dikuasai sebelumnya sebagai
persyaratan awal yang diperlukan dalam melanjutkan penguasaan unit
kompetensi yang sedang dinilai serta keterkaitannya dengan unit kompetensi
lain.
b. Kondisi pengujian merupakan suatu kondisi yang berpengaruh atas
tercapainya kompetensi kerja, dimana, apa dan bagaimana serta lingkup
penilaian mana yang seharusnya dilakukan, sebagai contoh pengujian
dilakukan dengan metode test tertulis, wawancara, demonstrasi, praktek di
tempat kerja dan menggunakan alat simulator.
c. Pengetahuan yang dibutuhkan, merupakan informasi pengetahuan yang
diperlukan untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk kerja pada unit
kompetensi tertentu.
d. Keterampilan yang dibutuhkan, merupakan informasi keterampilan yang
diperlukan untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk kerja pada unit
kompetensi tertentu.
e. Aspek kritis merupakan aspek atau kondisi yang harus dimiliki seseorang
untuk menemukenali sikap kerja untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk
kerja pada unit kompetensi tertentu.
8. Kompetensi Kunci.
Kompetensi kunci merupakan persyaratan kemampuan yang harus dimiliki
seseorang untuk mencapai unjuk kerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan
tugas pada unit kompetensi tertentu yang terdistribusi dalam 7 (tujuh) kriteria
kompetensi kunci antara lain :
a. Mengumpulkan, menganalisa dan mengorganisasikan informasi.
b. Mengkomunikasikan informasi dan ide-ide.
c. Merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan.
d. Bekerjasama dengan orang lain dan kelompok.
e. Menggunakan gagasan secara matematis dan teknis.
f. Memecahkan masalah.
g. Menggunakan teknologi.
Dari Tabel Gradasi kompetensi kunci, setelah dilakukan analisa terhadap masing-
masing nilai kompetensi kunci, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan
penjumlahan nilai setiap kompetensi kunci yang digunakan sebagai pedoman
penetapan tingkat/derajat kemudahan atau kesulitan dari unit kompetensi tertentu.
KUALIFIKASI PARAMETER
KEGIATAN PENGETAHUAN TANGGUNG JAWAB
Melaksanakan kegiatan : * Mengungkap kembali. * Terhadap kegiatan sesuai
1. Lingkup terbatas. * Menggunakan pengetahuan arahan.
*. Berulang dan sudah yang terbatas. * Dibawah pengawasan
I biasa. * Tidak memerlukan gagasan langsung.
* Dalam konteks yang baru. * Tidak ada tanggungjawab
terbatas. terhadap pekerjaan orang
lain.
Melaksanakan kegiatan : * Menggunakan pengetahuan * Terhadap kegiatan sesuai
* Lingkup agak luas. dasar operasional. arahan.
* Mapan dan sudah * Memanfaatkan informasi * Dibawah pengawasan tidak
biasa. yang tersedia. langsung dan pengendalian
* Dengan pilihan-pilihan * Menerapkan pemecahan mutu.
II
yang terbatas terhadap masalah yang sudah baku. * Punya tanggungjawab
sejumlah tanggapan * Memerlukan sedikit terbatas terhadap kuantitas
rutin. gagasan baru. dan mutu.
* Dapat diberii tanggungjawab
membimbing orang lain.
Melaksanakan kegiatan : * Menggunakan * Terhadap kegiatan sesuai
* Dalam lingkup yang Pengetahuan –pengetahuan arahan dengan otonomi
luas dan memerlukan teoritis yang relevan. terbatas.
keterampilan yang * Menginteprestasikan * Dibawah pengawasan tidak
sudah baku. informasi yang tersedia. langsung dan pemeriksaan
* Dengan pilihan-pilihan * Menggunakan perhitungan mutu.
III.
terhadap sejumlah dan pertimbangan. * Bertanggungjawab secara
prosedur. * Menerapkan sejumlah memadai terhadap kuantitas
* Dalam sejumlah pemecahan masalah yang dan mutu hasil kerja.
konteks yang sudah sudah baku. * Dapat diberii tanggungjawab
biasa. terhadap hasil kerja orang
lain.
Melakukan kegiatan : * Menggunakan basis * Terhadap kegiatan yang
* Dalam lingkup yang pengetahuan yang luas direncanakan sendiri.
luas dan memerlukan dengan mengaitkan * Dibawah bimbingan dan
keterampilan penalaran sejumlah konsep teoritis. evaluasi yang luas.
teknis. * Membuat interpretasi * Bertanggung jawab penuh
* Dengan pilihan-pilihan analistis data yang tersedia. terhadap kuantitas dan mutu
yang banyak terhadap * Pengambilan keputusan hasil kerja.
IV sejumlah prosedur. berdasarkan kaidah-kaidah * Dapat diberi tanggung jawab
* Dalam berbagai yang berlaku. terhadap kuantitas dan mutu
konteks yang sudah * Menerapkan sejumlah hasil kerja orang lain.
biasa maupun yang pemecahan masalah yang
tidak biasa. bersifat inovatif terhadap
masalah-masalah yang
kongkrit dan kadang-
kadang tidak biasa.
Melakukan kegiatan : * Menerapkan basis Melakukan :
* Dalam lingkup yang pengetahuan yang luas * Kegiatan yang diarahkan
luas dan memerlukan dengan pendalaman yang sendiri dan kadang-kadang
keterampilan penalaran cukup dibeberapa area. memberikan arahan kepada
teknis khusus * Membuat interpretasi orang lain.
(spesialis). analitik terhadap sejumlah * Dengan pedoman atau fungsi
* Dengan pilihan-pilihan data yang tersedia yang umum yang luas.
yang sangat luas memiliki cakupan yang * Kegiatan yang memerlukan
terhadap sejumlah luas. tanggungjawab penuh baik
V
prosedur yang baku * Menentukan metoda – sifat, jumlah maupun mutu
dan tidak baku. metoda dan prosedur yang dari hasil kerja.
* Yang memerlukan tepat guna, dalam * Dapat diberi tanggungjawab
banyak pilihan pemecahan sejumlah terhadap pencapaian hasil.
prosedur standar masalah yang kongkrit yang
maupun non standar. mengandung unsur-unsur
* Dalam konteks yang teoritis.
rutin maupun tidak
rutin.
Melakukan kegiatan : * Menggunakan pengetahuan Melaksanakan :
* Dalam lingkup yang khusus yang mendalam * Pengelolaan kegiatan/proses
luas dan memerlukan pada beberapa bidang. kegiatan.
keterampilan penalaran * Melakukan analisis, mem- * Dengan parameter yang luas
teknis khusus. format ulang dan untuk kegiatan-kegiatan yang
* Dengan pilihan-pilihan mengevaluasi informasi- sudah tertentu.
yang sangat luas informasi yang cakupannya * Kegiatan dengan penuh
terhadap sejumlah luas. akuntabilitas untuk
VI
prosedur yang baku * Merumuskan langkah- menentukan tercapainya hasil
dan tidak baku serta langkah pemecahan yang kerja pribadi dan atau
kombinasi prosedur tepat, baik untuk masalah kelompok.
yang tidak baku. yang konkrit maupun * Dapat diberi tanggungjawab
* Dalam konteks rutin abstrak. terhadap pencapaian hasil
dan tidak rutin yang kerja organisasi.
berubah-ubah sangat
tajam.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
VII * Menjelaskan kajian, penelitian dan kegiatan intelektual secara mandiri disuatu
bidang, menunjukkan kemandirian intelektual serta analisis yang tajam dan
komunikasi yang baik.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
VIII * Menunjukkan penguasaan suatu bidang dan,
* Merencanakan dan melaksanakan proyek penelitian dan kegiatan intelektual secara
original berdasarkan standar-standar yang diakui secara internasional.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
IX
* Menyumbangkan pengetahuan original melalui penelitian dan kegiatan intelektual
yang dinilai oleh ahli independen berdasarkan standar internasional.
H Kelompok Kerja.
Untuk menetapkan kelompok kerja penyusun RSKKNI yang dibentuk oleh
Departemen Teknis Pembina Sektor menggunakan format sebagai contoh dibawah
ini.
1. Format Komite SKKNI.
Informasi yang dimasukka dalam pembentukan komite SKKNI terdiri dari Nomor,
Nama, Jabatan di instansi, Jabatan dalam tim dan keterangan.
Contoh format :
Keterangan :
Contoh format :
Keterangan :
Contoh format :
Keterangan :
Contoh Format :
Keterangan :
A. Kodifikasi Pekerjaan/Profesi.
Pemberian kode pada suatu kualifikasi pekerjaan/berdasarkan hasil kesepakatan
dalam pemaketan sejumlah unit kompetensi, diisi dan ditetapkan dengan mengacu
dengan “Format Kodifikasi Pekerjaan/Jabatan “ sebagai berikut :
X 00 00 00 00 00 0 Y 00
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
- Nomor (1) s/d (4) pada berpedoman pada UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik
dan mengacu Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang
dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS).
- Nomor (5) s/d (9) pengisiannya berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari nomor 5 dan
ditetapkan/dibakukan melalui Forum Konvensi antar asosiasi profesi, pakar praktisi
dan stakeholder pada, sub sektor dan bidang yang bersangkutan.
Sektor : ...................
Sub Sektor : ............
Bidang :..................
Sub Bidang : .............
Keterangan :
*) kolom 2, 3 atau 4 diisi nama Pekerjaan/Profesi sesuai jenjang kualifikasi dan/atau jenjang
jabatan, sesuai dengan penggolongan jenjang/jabatan yang disepakati.
**) Kotak 1*, 2*, 3 * dan seterusnya diisi penggolongan level/jabatan pada jenjang kualifikasi
tertentu.
**) Diisi nama pekerjaan/Profesi tertentu sesuai dengan jumlah unit kompetensi yang
diperlukan untuk memenuhi persyaratan pekerjaan/profesi tertentu, yang tidak memiliki
atau tidak memerlukan jenjang pada KKNI, tetapi dibutuhkan oleh dunia kerja/masyarakat
pada kelompok kerja/kluster tertentu..
Sektor : .........................................
Sub Sektor : ...........................................
Nama Pekerjaan/Profesi : ...........................................
Area Pekerjaan : ...........................................
Jenjang KKNI : Sertifikat.................( ...)..........
Kode Pekerjaan :
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Sektor : ..............................................
Sub Sektor : .............................................
Nama Pekerjaan/Profesi : .............................................
Area Pekerjaan : .............................................
Kode Pekerjaan :
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
KELOMPOK KOMPETENSI UMUM
Keterangan :
Untuk jenis pekerjaan/jabatan berdasarkan kluster tidak memerlukan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam jenjang kualifikasi pekerjaan/jabatan berdasarkan KKNI,
tetapi masih dalam koridor SKKNI.
Keterangan :
Masing-masing kelompok kompetensi dimulai dari nomor urut unit kompetensi yang
terendah/terkecil s/d yang tertinggi/terbesar berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan
pekerjaan, sifat pekerjaan dan tanggung jawab pekerjaan.
E. Unit-unit Kompetensi.
BAB III
PENUTUP
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal, 25 Oktober 2007.
MENTERI
ttd
28 Agustus 2009
Di Tempat
SURAT EDARAN
Nomor : SE.314/MEN/PHIJSK-PKKAD/VIII/2009
TENTANG
PEMBAYARAN TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN
a). Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus atau lebih, sebesar 1 (satu) bulan upah.
b). Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan
secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan,
diberikan secara proporsional dengan menghitung masa kerja yang
sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.
4. THR Keagamaan bagi pekerja/buruh tersebut diatas, diberikan satu kali
dalam setahun oleh pengusaha dan pembayarannya disesuaikan dengan
Hari Raya Keagamaan masing-masing, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sebelum Hari Raya Keagamaan.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia
ttd
Tenbusan :
1. Presiden Republik Indonesia;
2. Wakil Presiden RI;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu;
4. Ketua Umum DPN APINDO;
5. Ketua Umum DPP SP/SB;
6. Instansi yang bertanggungjawab di bidang
Ketenagakerjaan Provinsi se-Indonesia
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.22/MEN/IX/2009
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
4. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
2
6. Unit Pelatihan adalah satuan unit yang menyelenggarakan pelatihan di perusahaan
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun kebutuhan masyarakat.
11. Perjanjian kerja sama penyelenggara pemagangan adalah perjanjian antara LPK
dengan perusahaan yang dibuat secara tertulis yang memuat teknis pelaksanaan
penyelenggaraan program pemagangan.
12. Tenaga pelatihan adalah seseorang yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi
kompetensi untuk mendukung terlaksananya program pemagangan sesuai dengan
bidang tugasnya.
14. Jejaring Pemagangan adalah forum komunikasi atau wadah yang beranggotakan
dari unsur-unsur perusahaan, LPK, pemerintah, asosiasi profesi, asosiasi LPK,
serta stakeholder, untuk memfasilitasi penyelenggaraan program pemagangan.
16. Dinas provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi.
17. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pelatihan kerja dan
produktivitas di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
3
(2) Dalam hal perusahaan tidak memiliki unit pelatihan, perusahaan dapat melakukan
kerjasama dengan LPK dan/atau unit pelatihan lainnya.
Pasal 3
Pasal 4
Perusahaan hanya dapat menerima peserta pemagangan paling banyak 30% dari
jumlah karyawan.
BAB II
PERSYARATAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Peserta
Pasal 5
(2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikuti pemagangan
apabila telah memenuhi persyaratan:
a. usia minimal 18 (delapan belas) tahun;
b. memiliki bakat, minat, dan memenuhi persyaratan yang sesuai dengan program
pemagangan; dan
c. menandatangani perjanjian pemagangan.
Bagian Kedua
Persyaratan Penyelenggara Pemagangan
Pasal 6
BAB III
PROGRAM PEMAGANGAN
Pasal 7
4
(2) Program Pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama program;
b. tujuan program;
c. jenjang kualifikasi tertentu dan/atau kompetensi yang akan dicapai dalam
jabatan tertentu;
d. uraian pekerjaan atau unit kompetensi yang akan dipelajari;
e. jangka waktu pemagangan;
f. kurikulum dan silabus; dan
g. sertifikasi.
(3) Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada:
a. SKKNI;
b. Standar Internasional; dan/atau
c. Standar Khusus.
(4) Jangka waktu pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, dibatasi
paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Dalam hal untuk mencapai kualifikasi kompetensi tertentu akan memerlukan waktu
lebih dari 1 (satu) tahun, maka harus dituangkan dalam perjanjian pemagangan
baru dan dilaporkan kepada dinas kabupaten/kota setempat.
(6) Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diketahui dan
disahkan oleh dinas kabupaten/kota setempat.
Pasal 8
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b harus dapat
memenuhi kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan:
a. teori;
b. simulasi/praktik;
c. bekerja secara langsung di bawah bimbingan pekerja yang berpengalaman sesuai
dengan program pemagangan; dan
d. keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Pasal 9
Pasal 10
BAB IV
PERJANJIAN PEMAGANGAN
Pasal 11
5
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. hak dan kewajiban peserta;
b. hak dan kewajiban penyelenggara program; dan
c. jenis program dan kejuruan.
Pasal 12
(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.
Pasal 13
Perjanjian Kerja sama Pemagangan antara LPK dengan perusahaan dilaksanakan atas
dasar perjanjian secara tertulis, sekurang-kurangnya memuat:
a. hak dan kewajiban;
b. pembiayaan;
c. jangka waktu;
d. jenis program dan bidang kejuruan; dan
e. jumlah peserta pemagangan.
Pasal 14
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 15
6
Pasal 16
BAB VI
PELAKSANAAN
Pasal 17
Pasal 18
(3) Seleksi peserta program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh penyelenggara pemagangan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditetapkan.
Pasal 19
(2) Teori, simulasi, dan praktik di unit pelatihan/LPK dilaksanakan paling banyak 25%
dari komposisi program pemagangan, sedangkan praktik kerja secara langsung di
perusahaan dilaksanakan paling sedikit 75% dari komposisi program pemagangan.
7
(3) Waktu magang di perusahaan disesuaikan dengan jam kerja yang diberlakukan di
perusahaan.
Pasal 20
Pasal 21
(2) Peserta pemagangan yang telah dievaluasi dan dinyatakan memenuhi standar
kompetensi yang telah ditentukan oleh perusahaan diberikan sertifikat
pemagangan.
Pasal 22
BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 23
(1) Dinas kabupaten/kota melakukan monitoring dan evaluasi secara periodik terhadap
penyelenggaraan pemagangan di wilayah kerjanya.
(2) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh
kepala dinas kabupaten/kota kepada kepala dinas provinsi dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 24
8
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap:
a. program;
b. tenaga pelatihan dan pembimbing pemagangan;
c. fasilitas; dan
d. sistem dan metode penyelenggaraan pemagangan.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas yang
membidangi pelatihan berkoordinasi dengan pegawai pengawas ketenagakerjaan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dinas provinsi, dan dinas
kabupaten/kota setempat.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 25
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri ini diatur oleh Direktur
Jenderal.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER. 21/MEN/X/2005 tentang Penyelenggaraan Pemagangan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
9
Pasal 29
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
Ttd
ANDI MATTALATTA
Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002
10
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.21/MEN/IX/2009
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Produktivitas adalah sikap mental yang selalu berusaha untuk melakukan perbaikan
mutu kehidupan secara berkelanjutan melalui peningkatan efisiensi, efektivitas, dan
kualitas.
5. Efektivitas adalah suatu ukuran tingkat pencapaian sasaran dari suatu proses
produksi barang atau jasa, baik dalam arti kuantitas maupun kualitas.
Pasal 2
BAB II
PROMOSI PRODUKTIVITAS
Pasal 3
Pasal 4
(2) Promosi produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
melalui kegiatan seperti:
a. penyelenggaraan forum seminar, workshop, symposium, dialog, dan konvensi;
b. penyebarluasan informasi melalui media cetak/elektronik;
c. penyelenggaraan Bulan Mutu dan Produktivitas; dan/atau
d. pemberian anugerah produktivitas dan kualitas.
Pasal 5
Pasal 6
BAB III
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
BAB IV
PENGUKURAN DAN PEMELIHARAAN PRODUKTIVITAS
Pasal 11
(2) Pengukuran produktivitas individu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan pada orang per orang yang bekerja di perusahaan, instansi pemerintah,
atau kelompok masyarakat.
(3) Pengukuran produktivitas mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilakukan pada skala perusahaan, instansi pemerintah, atau kelompok
masyarakat.
(4) Pengukuran produktivitas makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dilakukan pada skala nasional, sektoral, provinsi, atau kabupaten/kota.
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
(1) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala nasional dilaksanakan oleh
Menteri.
(2) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala provinsi dilaksanakan oleh
Gubernur.
(3) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala Kabupaten/Kota
dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 16
Biaya pelaksanaan pelayanan produktivitas bersumber dari APBN, APBD atau sumber
lain yang sah dan tidak mengikat.
BAB VI
KETENTUAN LAIN –LAIN
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
Ttd
ANDI MATTALATTA
Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
30 Desember 2009
Kepada Yth,
1. Para Gubernur
2. Para Bupati/Walikota
di -
Seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Nomor : SE.441/MEN/SJ-HK/XII/2009
TENTANG
PELAKSANAAN CUTI BERSAMA DI SEKTOR SWASTA TAHUN 2010
Sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia
Nomor : 1 Tahun 2009, Nomor : SKB/13/M.PAN/8/2009 dan Nomor : KEP.227/MEN/VIII/2009 tentang
Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010 (untuk selanjutnya disebut SKB), dipandang
perlu diberikan penjelasan sebagai berikut :
1. Cuti bersama merupakan bagian dari pelaksanaan cuti tahunan yang dilakukan secara bersama-
sama.
2. Pelaksanaan cuti bersama bersifat fakultatif/pilihan yang dikaitkan dengan cuti tahunan
pekerja/buruh sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang Penetapan
Peraturan Istirahat Buruh.
3. Pekerja/buruh yang bekerja pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti tahunannya tidak
berkurang dan kepadanya dibayarkan upah seperti hari kerja biasa.
4. Pekerja/buruh yang melaksanakan cuti pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti yang
diambilnya diperhitungkan dengan dan mengurangi hak cuti tahunan pekerja/buruh yang
bersangkutan.
5. Oleh karena cuti bersama tersebut bersifat fakultatif/pilihan, pelaksanaannya diatur berdasarkan
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan operasional perusahaan.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
ttd