You are on page 1of 1169

LEMBARAN NEGARA

REPUBLIK INDONESIA
No.39, 2003 TENAGA KERJA.
Ketenagakerjaan. Perjanjian Kerja. Hubnungan Kerja. Pengawasan. PHK. Lembaga Pekerja.
Upah. Pemerintah Pusat. Pemrintah Daerah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 4279).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c,
d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan.

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan persetujuan bersama antara


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana
ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data
yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang
mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian
tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan
standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang
diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan
dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan
instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan
tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh
pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan
pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutu-
hannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,
dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab
guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari
unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan
dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat
buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau
keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di
luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan
sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;
dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA

Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.

BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN

Pasal 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan
dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara
lain meliputi:
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PELATIHAN KERJA

Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.

Pasal 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan
dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu
pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.

Pasal 12
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan
kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan
Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan
kerja sesuai dengan bidang tugasnya.

Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau
lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.

Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan
kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga
akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen
terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 17
(1) nstansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat
menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila di
dalam pelaksanaannya ternyata:
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama
6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya
dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi
dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan
sanksi penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program
pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara
pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan
izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui sertifikasi kompetensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat pula diikuti
oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional
sertifikasi profesi yang independen.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan
jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang
bersangkutan.

Pasal 20
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang
merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.

Pasal 22
(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan
pengusaha yang dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah
menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.

Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan
ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan
di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.

Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta
melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga
koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan
kerja dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan
relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan
ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.

Pasal 30
(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor
maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA

Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam
atau di luar negeri.

Pasal 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan
yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.

Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari :
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 35
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga
kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan,
dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

Pasal 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan
tenaga kerja.

Pasal 37
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak
langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga
kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari
pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.

BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Pasal 39
(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan
kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan
untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu
membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat
menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.

Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri,
penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan
tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan
kesempatan kerja.

Pasal 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan
kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk
badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan
koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam
pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang masa kerjanya habis
dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi istansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan
standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 45
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping
tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian
dari tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja
asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46

(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia
dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri

Pasal 47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di
lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

Pasal 49

Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA

Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.

Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/
buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh
dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para
pihak.

Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing,
apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang
berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.

Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak
atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja
bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya
sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian
kerja.

Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang- kurangnya
memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.

Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.

Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan
hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi
pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).

Pasal 66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud
pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf
b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat

Pasal 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Anak

Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan
bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta
bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 71

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 73

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.

Pasal 74

(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan


yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak
untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak
untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 75

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di


luar hubungan kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Perempuan

Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d.
pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf 4
Waktu Kerja

Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk
5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam
1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak
termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada
tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh
yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada
perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya berlaku
bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan
dokter kandungan atau bidan.

Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah
penuh.

Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur
resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan
secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada
hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja
lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengupahan

Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.

Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat
terdiri atas :
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota;
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian
kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur
dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 91

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal
demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 92

(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,
jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 93

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.


(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib
membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membabtiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua
atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan karena sedang menjalankan
kewajiban terhadap negarapekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan
karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah
yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan
pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari
upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah
sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia,
dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1
(satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 94

Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya
upah pokok sedikit dikitnya 75 % ( tujuh puluh lima perseratus ) dari jumlah upah
pokok dan tunjangan tetap.

Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau
kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase
tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak timbulnya hak.

Pasal 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup
layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan
yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem
pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan
tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota
diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/Bupati/ Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara
pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan
Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga
Kesejahteraan

Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial
tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilak-
sanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan
usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 102

(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi


menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan
melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan
aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta
ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya
mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas
lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,
demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 103

Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :


a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. lembaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Pasal 104

(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat


pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha

Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit

Pasal 106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di
perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga
kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit

Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat
kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten / Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan

Pasal 108
a. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
b. Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.

Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib
diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat
buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja
bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan
tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.

Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan
diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111
ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah
mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk
harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan
peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya
dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.

Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur
dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara musyawarah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat secara
tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan
bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut
dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.

Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila
memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan
maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai maka
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha
setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya
pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).

Pasal 120

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan
pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari
seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang
keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan
Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.

Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dan pengusaha.

Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling
cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang
berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku
untuk paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka ketentuan yang
bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.

Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama,
maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja
bersama yang sedang berlaku.

Pasal 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian
kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama
kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.

Pasal 127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian
kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
perjanjian kerja bersama.

Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129

(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan


perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian
kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada
dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam
perjanjian kerja bersama.

Pasal 130

(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan
perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu
berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan
atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat
pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat
pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan
membentuk tim perunding secara proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh
yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan
Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 131

(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan
kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing
perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama
yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan
pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi
perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.

Pasal 132

(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian
kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 133

Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 134

Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,


pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.

Pasal 135

Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan


hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk
mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-
undang.

Paragraf 2
Mogok Kerja

Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan
dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.

Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu
kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan
sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok
kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat
mengambil tindakan sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan
proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan
mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda
terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan
timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para
pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh
para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat
diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan
damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140, pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari
luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah
melakukan mogok kerja.

Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.

Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)

Pasal 146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai
akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai
tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan
jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta
kereta api.

Pasal 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan
(lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 149

(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat
pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari,
tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk
sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan
apabila :
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan
normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi
pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.

Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi
dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.

Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-
menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau
sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu
untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.

Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang
sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar
upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar
uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21
(duapuluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24
(duapuluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
(limabelas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang
tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang
diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus
dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih
antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian,
maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan
ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada
upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua
belas) bulan terakhir.

Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan
alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan
kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha
dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti
sebagai berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud
dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 159
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib
membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh
yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua)orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima perseratus) dari
upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh perseratus)
dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6
(enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak
yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-
turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).

Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah
yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha
tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-
turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan
pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha,
maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh
pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun
yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya
dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang
bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168

(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut
tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus
hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh
yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 169

(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada


lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan,
dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan
pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3),
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2),
dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).

Pasal 170

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3)
dan Pasal 168, kecuali Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta
membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.

Pasal 171

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga


penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud
pada Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.

Pasal 172

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan


kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas)
bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 159 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 159 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 159 ayat (4).

BAB XIII
PEMBINAAN

Pasal 173

(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang


berhubungan dengan ketenagakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengikutsertakan
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara
terpadu dan terkoordinasi.

Pasal 174

Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat


pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama
internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 175

(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah
berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk
piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.

BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang
mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 179
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan
laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang
pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

BAB XV

PENYIDIKAN

Pasal 182

(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik
pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana

Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.

Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat
(5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.

Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal
139, Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.

Pasal 186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

Pasal 187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76,
Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144,
dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12
(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

Pasal 188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111
ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

Pasal 189

Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban


pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau
pekerja/buruh.

Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal
15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal
87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan
Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja
Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang
Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-
kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari
Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
(3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara
Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 598a);
(4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
(5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran
Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
(6) Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
(7) Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);
(8) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
(9) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998
Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
(10) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4042).
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 193
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta
Pada Tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO
KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR KEP. 223 /MEN/2003

TENTANG

JABATAN-JABATAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN

YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN MEMBAYAR KOMPENSASI

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 47 ayat (3) Undang-undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu
ditetapkan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan
yang dikecualikan dari kewajiban membayar kompensasi;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun
1951 Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan


Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3687);

3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif


Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 181, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4009);

5. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 31 Agustus 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 25 September 2003.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN-JABATAN DI
LEMBAGA PENDIDIKAN YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN
MEMBAYAR KOMPENSASI.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

a. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.

b. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA
adalah pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

c. Kompensasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja TKA dengan
membayar sejumlah dana untuk pengembangan keahlian dan keterampilan yang
berupa penerimaan negara bukan pajak.

d. Izin mempekerjakan tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut IMTA adalah izin
tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi
kerja TKA.

e. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib membayar
kompensasi.

(2) Pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah
satu persyaratan untuk mendapatkan IMTA.

Pasal 3

Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)


dikecualikan bagi :

a. instansi pemerintah;

b. perwakilan negara asing;

c. badan-badan internasional;
d. lembaga sosial;

e. lembaga keagamaan; atau

f. jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.

Pasal 4

Jabatan-jabatan tertentu pada lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


3 huruf f adalah :

a. TKA sebagai kepala sekolah dan guru di lembaga pendidikan yang dikelola kedutaan
negara asing;

b. TKA sebagai dosen dan atau peneliti di perguruan tinggi yang dipekerjakan sebagai
bentuk kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri.

Pasal 5

Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER-02/MEN/1998 tentang Penyempurnaan Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER-01/MEN/1997 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 6

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP-20/MEN/III/2004 TAHUN 2004
TENTANG
TATA CARA MEMPEROLEH IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) Undang -undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan perlu ditetapkan tata cara memperoleh ijin mempekerjakan tenaga
kerja asing;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan.

Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang berlakunya Undang-undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3201);
3. Undang-und ang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Ta hun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 4279);
5. Peraturan pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 181, Tambahan Lemba ran Negara Republik
Indonesia Nomor 4009);
6. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tah un 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong
Royong;
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No mor KEP-
228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga n egara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
2. Tenaga Kerja Indonesia Pendamping yang selanjutnya disebut TKI Pendamping adalah
tenaga kerja Indonesia yang ditunjuk dan dipersiapkan sebagai pendamping dan atau calon
pengganti TKA.
3. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut Pemberi Kerja TKA adalah
Pengusaha, badan hukum atau badan -badan lainnya yang mempekerjakan TKA, dengan
membay ar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah renca na
penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibu at oleh pemberi kerja TKA untuk jangka
waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
5. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut IMTA adalah izin tertulis
yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TKA.
6. Kompensasi adalah dana yang harus dibayar oleh pemberi kerja TKA kepada negara atas
penggunaan Tenaga Kerja Asing.
7. Alih status adalah p erubahan dari pemberi kerja lama ke pemberi kerja baru, perubahan
jabatan TKA dan perubahan lokasi kerja.
8. Direktur adalah Dir ektur Penyedia an d an Penggunaan Tenaga Kerja Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
9. Direktur Jenderal yang selanjutny a disebut Dirjen adalah Dirjen Pembinaan dan
Penempatan Ten aga Kerja Dalam Negeri Depa rtemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
10. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
PERSYARATAN TKA

Pasal 2
(1) TKA yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyarata n sebagai berikut:
a. memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kur angnya 5 (lima) tahun
yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki;
b. bersedia membuat pernyataan mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja Warga
Negara Indonesia Khususnya TKI pendampin g;
c. dapat berkomunikasi dalam bahas a Indonesia.
(2) Dalam hal jabatan yang akan diduduki TKA telah mempunyai standar kompetensi kerja
maka TKA yang akan dipekerjaka n harus memenuhi standar tersebut.
(3) TKI pendamping sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus memiliki latar
belakang bidang pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki TKA.

BAB III
PERIJINAN

Pasal 3
(1) IMTA diberika n oleh Direktur.
(2) IMTA perpanjangan diberikan oleh Direktur atau Gubernur.

Pasal 4
(1) Pemberi kerja TKA yang akan mengurus IMTA, terlebih dahulu harus mengajukan
permohonan kepada Direktur untuk mendapatkan rekomendasi guna memperoleh visa
untuk bekerja dengan melampirkan:
a. copy surat keputusan pengesahan RPTKA;
b. copy paspor TKA yang akan dipekerjakan;
c. daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
d. copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan dipekerjakan;
e. pas photo berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tig a) lembar.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal
Imigrasi guna memperoleh visa untuk bekerja dan KITAS.

Pasal 5
Untuk memperoleh IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Pemberi Kerja TKA harus
menyampaikan permohon an dengan melampirkan:
a. copy Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) untuk bekerja atas nama TKA yang bersangkutan;
b. copy perjanjian kerja;
c. bukti pembayaran dana kompensasi,penggunaan TKA.

Pasal 6
(1) Dana kompensas i penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1) huruf f
ditetapkan sebesar US $ 100 (seratus dollar Amerika) per bulan untuk setiap TKA dan
dibaya rkan di muka.
(2) Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu ) bula n wajib membayar dana
kompensasi sebesar 1 (satu) bulan penuh.
(3) Pembayara n dana kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan
oleh pemberi kerja, dan disetorkan pada rekening Dana Pengembangan Keahlian dan
Keterampilan (DPKK) pada Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 7
(1) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA pada lebih dari 1 (satu) jabatan.
(2) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA yang telah dipekerjakan oleh pemberi kerja
yang lain.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikecualikan bagi TKA yang diangkat
untuk menduduki jabatan Direktur atau Komisaris di Perusahaan lain berdasarkan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).

Pasal 8
Direktur harus menerbitkan IMTA selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja selak dilengkapinya
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.

Pasal 9
(1) Jangka waktu berlakunya IMTA diberikan sama dengan masa berlaku ijin tinggal.
(2) Selama mengurus IMTA Direktur dapat menerbitkan IMTA sementara untuk jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

BAB IV
PERPANJANGAN IMTA

Pasal 10
(1) IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA.
(2) Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh:
a. Direk tur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah Provinsi.
b. Gubernur untuk TKA yang lokasi kerjanya wilayah Kabupaten/Kot a dalam 1 (satu)
Provinsi.
(3) Dalam penerbitan p erpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, Gubernur
dan dapat menunjuk pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.

Pasal 11
(1) Pemberi kerja mengajukan permohonan perpanjangan IMTA kepada Direktur atau Gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir dengan melampirkan:
a. formulir perpanjangan IMTA yang telah diisi;
b. IMTA yang masih berlaku;
c. bukti pembayaran dana kompensasi;
d. laporan realisasi pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan kepada TKI
pendamping;
e. copy surat keputusan RPTKA yang masih berlaku;
f. pas photo berwarna sebanyak 3 (tiga) lembar ukuran 4 x 6 cm.
(2) IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu RPTKA dengan ketentuan setiap kali
perpanjangan paling lama 1 (satu) tahun.
(3) IMTA perpanjangan tidak dapat diterbitkan apabila masa berlaku IMTA berakhir.

Pasal 12
(1) Apabila permohonan perpanjangan IMTA telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) menerbitkan
IMTA perpanjangan.
(2) IMTA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan sebagai rekomendasi
untuk mendapatkan KITAS dan atau visa untuk bekerja.

BAB V
IMTA UNTUK PEKERJAAN MENDESAK

Pasal 13
(1) Pemberi Kerja yang akan mempekerjakan TKA untuk pekerjaan yang bersifat darurat atau
mendesak wajib mengajukan permohonan IMTA kepada Direktur.
(2) Pekerjaan yang bersifat darurat atau mendesak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pekerjaan -pekerjaan yang apabila tidak ditangani secara langsung dapat
mengakibatkan kerugian fatal bagi masyarakat umum dan jangka waktunya tidak lebih 60
(enam puluh) hari.
(3) Pekerjaan yang bersifat darurat atau m endesak ditetapkan oleh instansi pemerintah yang
membidangi sektor us aha yang bersangkutan.

Pasal 14
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disampaikan kepada Direktur dengan
melampirkan:
a. rekomendasi dari instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (3);
b. copy paspor TKA yang bersangk utan;
c. pas photo TKA ukuran 4 x 6 6m sebanyak 3 (tiga) lembar;
d. bukti pembayaran dana kompensasi;
e. bukti ijin keimigrasian untuk kunjungan usaha.

Pasa l 15
Direktur harus menerbitkan IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dalam waktu selambat-
lambatnya 2 (dua) kali 24 (dua p uluh empat) jam.

BAB VI
IMTA UNTUK PEMEGANG KARTU IJIN TINGGAL TETAP (KITAP)

Pasal 16
(1) Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin tinggal tetap wajib
mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan:
a. copy RPTKA yang masih berlaku;
b. copy ijin tinggal tetap yang masih berlaku;
c. daftar riwayat hidup TKA yang akan di pekerjakan;
d. copy ijasah atau pengalaman kerja;
e. bukti pembayaran dana kompensasi pen ggunaan TKA;
f. pas photo berwarn a ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar,
(2) Apabila permohonan IMTA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disetujui, Direktur
menerbitkan IMTA.

Pasa l 17
Jangka waktu IMTA untuk pemegang Kartu Ijin Tinggal Tetap (KITAP) paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak diterbitkan IMTA dan dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA.

BAB VII
ALIH STATUS

Pasal 18
(1) Pemberi kerja TKA instansi Pemerintah/Lembaga Pemerintah, atau Badan Internasional
yang akan memindahkan TKA yang dipekerjakannya ke instansi Pemerintah/Lembaga
Pemerintah atau badan Internasional lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi
alih status kepada Direktur.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal
Imigrasi untuk perubahan KITAS/KITAP.
(3) KITAS/KITAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan sebagai dasar perubahan
IMTA atau penerbitan IMTA baru.

BAB VIII
PERUBAHAN NAMA PEMBERI KERJA

Pasa l 19
(1) Dalam hal pemberi kerja TKA berganti nama, Direktur menerbitkan rekomendasi kepada
Direktur Jenderal Imigrasi untuk mengubah KITAS/KITAP.
(2) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyampaikan permohonan dengan
melampirkan:
a. copy RPTKA, yang masih berlaku;
b. copy KITAS/KITAP yang masih berlaku;
c. copy IMTA yang masih berlaku;
d. copy bukti perubahan nama perusa haan yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang.
(3) Sebelum rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitka n pemberi kerja
terlebih dahulu mengajukan permohonan perubahan RPTKA kepada Direktur.
(4) KITAS/KITAP yang baru digunakan sebagai dasar perubahan IMTA.

BAB IX
PERUBAHAN LOKASI KERJA

Pasal 20
Dalam hal pemberi kerja melakukan perubahan lokasi kerja TKA, pemberi kerja wajib mengajukan
permohonan perubahan lokasi kerja TKA kepada Direktur dengan melampirkan copy RPTKA dan
IMTA yang masih berlaku.

BAB X
PELAPORAN

Pasal 21
(1) Pemberi kerja wajib melaporka n penggunaan TKA dan pendamping TKA di perusahaan
secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur da n Gubernur dengan tembusan
kepada Dirjen.
(2) Direktur dan Gubernur wajib melaporkan semua IMTA yang diterbitkan secara periodik
setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri deng an tembusan kepada Di rjen.

BAB XI
PENCABUTAN IJIN

Pasal 22
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA, Direktur atau Gubernur
berwenang mencabut IMTA.

BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 23
Bentuk formulir permohonan IMTA dan formulir permohonan perpa njangan IMTA sebagaimana
tercantum dalam lampiran Keputusan ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24
Dengan ditetapkannya Keputusan ini maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
03/MEN/1990 tentan g Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang, Keputus an Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-416/MEN/1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-03/MEN/1990 tentang Pemberian Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dan Ketentuan-ketentuan lain yang
bertentangan dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak be rlaku lagi.

Pasa l 25
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPULIK INDONESIA
NOMOR KEP -20/MEN/III/2004
TANGGAL 1 MARET 2004

PERMOHONAN IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (TKA)

I DATA PERMOHONAN IJIN UNTUK MEMPEKERJAKAN TKA


1. Nama Perusahaan/Instansi :
2. Nama Pimpinan/Penanggung Jawab :
3. Alamat Perusahaan/Instansi :
Nomor Telepon dan Fax :
e-Mail (harus diisi) :
4. Tempat Kedudukan Cabang :
5. Ijin Usaha :
a. Dari :
b. Nomor :
c. Tanggal :
6. Jenis Lapangan Usaha : Sektor Kode Teknis :
7. Jumlah Tenaga Kerja :
a. Indonesia : .... orang
b. Tenaga Asing : .... orang
8. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja : Sudah disahkan
a. Nomor SK Pengesahan :
b. Tahun berlaku s/d :
II. DATA TENAGA KERJA ASING YANG AKAN DIPEKERJAKAN
1. Nama :
2. Alamat di Luar Negeri :
3. Alamat di Indonesia :
4. Kewarganegaraan :
5. Nomor Paspor :
Tanggal Berlaku :

6. Tempat Lahir : Jenis Kelamin : L / P


Tanggal Lahir
7. Status Perkawinan : Kawin Belum Kawin
8. Pendidikan Tinggi *) :
9. Pengalaman Kerja *) : a.
b.
c.
d.
10. Surat Ijin Masuk/Tinggal yang dimiliki :
a. Visa :
- Jenis :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
b. Kartu Ijin Tinggal Terbatas :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
c. Surat Keterangan Lapor Diri (SKLD)
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
d. Surat Kartu Kependudukan :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
III. JABATAN YANG AKAN DIISI OLEH TENAGA KERJA ASING
1. Nama Jabatan :
Level Jabatan : Pimpinan Profesional Super Teknisi
Manajer visor Operator

2. Uraian Jabatan (tugas, :


tanggung jawab, dan
wewenang)
3. Persyaratan tertentu untuk :
mengisi jabatan tersebut
a. Pendidikan :
b. Pengalaman Kerja :
4. Lokasi Penempatan di :
a. Propinsi Pertama :
- Kabupaten/Kota :
Pertama
- Kabupaten/Kota :
Kedua
b. Propinsi Pertam a :
- Kabupaten/Kota :
Pertama
- Kabupaten/Kota :
Kedua
c. Seluruh INDONESIA :
IV. KONDISI KERJA
1. Perjanjian kerja berlaku terhitung tanggal :
2. Fasilitas dan gaji yang diberikan :
a. Perumahan : Dapat Tidak Dapat

b. Kendaraan : Dapat Tidak Dapat


c. Gaji per bulan : US$
V. KETERANGAN LAIN YANG DIPANDANG PERLU

Demikianlah permohonan ini kami isi dengan sesungguhnya dan kami bertanggung jawab akan
kebenarannya.

.......................................
Tanda tangan dan nama terang penanggung jawab
Di atas materai Rp.6.000,-

Ditetapkan di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA

*) Lampiran copy ijazah terakhir/tanda bukti lain yang sah.


LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPULIK INDONESIA
NOMOR KEP -20/MEN/III/2004
TANGGAL 1 MARET 2004

PERMOHONAN IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (TKA)

Perpanjangan

I DATA PERMOHONAN IJIN UNTUK MEMPEKERJAKAN TKA


1. Nama Perusahaan/Instansi :
2. Nama Pimpinan/Penanggung Jawab :
3. Alamat Perusahaan/Instansi :
Nomor Telepon dan Fax :
e-Mail (harus diisi) :
4. Tempat Kedudukan Cabang :
5. Ijin Usaha :
a. Dari :
b. Nomor :
c. Tanggal :

6. Jenis Lapangan Usaha : Sektor Kode Teknis :


7. Jumlah Tenaga Kerja :
a. Indonesia : .... orang
b. Tenaga Asing : .... orang
8. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja : Sudah disahkan
a. Nomor SK Pengesahan :
b. Tahun berlaku s/d :
II. DATA TENAGA KERJA ASING YANG AKAN DIPEKERJAKAN
1. Nama :
2. Alamat di Luar Negeri :
3. Alamat di Indonesia :
4. Kewarganegaraan :
5. Nomor Paspor :
Tanggal Berlaku :
6. Tempat Lahir : Jenis Kelamin : L / P
Tanggal Lahir
7. Status Perkawinan : Kawin Belum Kawin
8. Pendidikan Tinggi *) :
9. Pengalaman Kerja *) : a.
b.
c.
d.
10. Surat Ijin Masuk/Tinggal yang dimiliki :
a. Visa :
- Jenis :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
b. Kartu Ijin Tinggal Terbatas :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
c. Surat Keterangan Lapor Diri (SKLD)
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
d. Surat Kartu Kependudukan :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
III. JABATAN YANG AKAN DIISI OLEH TENAGA KERJA ASING
1. Nama Jabatan :
Level Jabatan : Pimpinan Profesional Super Teknisi
Manajer visor Operator
2. Uraian Jabatan (tugas, :
tanggung jawab, dan
wewenang)
3. TKI sebagai pendamping TKA :
a. Pendidikan :
b. Pengalaman Kerja :
c. Persyaratan untuk :
menduduki Jabatan
d. Diklat yang akan :
dilaksanakan kepada
TKI
e. Rencana waktu :
penggantian TKA
kepada TKI
IV. KONDISI KERJA
1. Perjanjian kerja berlaku terhitung tanggal :
2. Fasilitas dan gaji yang diberikan :

a. Perumahan : Dapat Tidak Dapat

b. Kendaraan : Dapat Tidak Dapat

c. Gaji per bulan TKA : US$

d. Gaji per bulan TKI :


V. KETERANGAN LAIN YANG DIPANDANG PERLU
Demikianlah permohonan ini kami isi dengan sesungguhnya dan kami bertanggung jawab akan
kebenarannya.

.......................................
Tanda tangan dan nama terang penanggung jawab
Di atas materai Rp.6.000,-

Ditetapkan di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA

*) Lampiran copy ijazah terakhir/tanda bukti lain yang sah.


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : PER-07/MEN/IV/2006

TENTANG

PENYEDERHANAAN PROSEDUR MEMPEROLEH


IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (IMTA)

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk mendukung penciptaan iklim investasi yang


kondusif , perlu penyederhanaan prosedur memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dengan Peraturan
Menteri:

Mengingat : 1. Undang -undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang


berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan
Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk
seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib


Lapor Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republk Indonesia Nomor 3201);

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1977 tentang


Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 43, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);

4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang


Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 181, Tambahan Lemabran Negara
Republik Indonesia Nomor 4009);

6. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi;

7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Republik Indonesia Nomor KEP-228/MEN/2003 tentang
Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga
Kerja Asing;

8. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Republik Indonesia Nomor KEP-20/MEN/2004 tentang
Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing:

MEMUTUSKAN:

Menetapkan PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


: TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PENYEDERHANAAN PROSEDUR MEMPEROLEH IJIN
MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (IMTA).

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah
warga negara asing pemegang visa dengan maksud belanja di
wilayah Indonesia.

2. Tenaga Keja Indonesia Pendamping yang selanjutnya disebut


TKI Pendamping adalah Tenaga Kerja Indonesia yang ditunjuk
dan dipersiapkan sebagai pendamping dan aau calom pengganti
TKA.
3. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut
disebut Pemberi Kerja TKA adalah Pengusaha, badan hukum,
atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

4. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya


disebut RPTKA adalah rencana pengguna TKA pada jabatan
tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka
waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.

5. Izin Mempekerjakan Tenaga KErja Asing yang selanjutnya


disebut IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri
atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TKA.

6. Kompensasi adalah dana yang harus dibayar oleh pemberi


kerja TKA kepada negara atas pengguna Tenaga Kerja Asing.

7. Direktur adalah Direktur Pengguna Tenaga Kerja Asing,


Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan

Tenaga Kerja Dalam Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan


Transmigrasi.

8. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II

PROSEDUR MEMPEROLEH

IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (IMTA)

Pasal 2

1. Pemberi kerja TKA yang mengurus IMTA, terlebih dahulu


harus mengajukan permohonan kepada Direktur untuk
mendapatkan rekomendasi visa (TA.01) dengan melampirkan:
a. copy surat keputusan pengesahan RPTKA;
b. copy pasport TKA yang akan dipekerjakan;
c. daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
d. copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA
yang akan dipekerjakan;
e. copy surat penunjukan tenaga kerja pendamping.

2 Apabila permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana


dimaksud ayat (1), maka Direktur Lalulintas Keimigrasian
(Lantaskim), Direktorat Jenderal Imigrasi dalam waktu
selambat- lambatnya pada hari berikutnya.

3. Rekomendasi visa (TA-01) sebagaimana dimaksud ayat (2)


berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal
diterbitkan.

Pasal 3

1. Dalam hal Ditjen Imigrasi telah mengabulkan permohonan visa


untuk dapat bekerja atas nama TKA yang bersangkutan dan
menerbitkan surat pemberitahuan tentang persetujuan
pemberian visa, maka pemberi kerja mengajukan permohonan
IMTA dengan melampirkan ;
a. copy draft perjanjian kerja;
b. bukti pembayaran dana kompensasi pengguna TKA melalui
Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
c. photo berwarna ukuran 4x6 sebanyak 4 lembar
d. meterai Rp. 6000,-

2. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


telah dipenuhi, maka Direktur menerbitkan IMTA selambat-
lambatnya 4 (empat) hari kerja.

BAB III

PERPANJANGAN

IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 4

1 Dalam hal pemberi kerja akan memeperpanjang IMTA,


pemberi kerja mengajukan permohonan perpanjangan kepada
Direktur dan/atau Gubernur.

2. Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) diajukan


selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum jangka
waktu berlakunya IMTA berakhir.

3. Permohonan perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) dilakukan dengan mengisi formulir
perpanjangan IMTA yang dilampiri dengan:
a. IMTA;
b. bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA pada
Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
c. laporan realisasi pelaksanaan program pendidikan dan
pelatihan kepada TKI pendamping;
d. copy surat keputusan RPTKA yang masih berlaku;
e. photo berwarna ukuran 4x6 sebanyak 4 lembar;

4. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (3) telah


lengkap, maka direktur dan /atau Gubernur menerbitkan IMTA
selambat- lambatnya 4 (empat) hari kerja.

5. IMTA perpanjangan sebagaimana dimaksud ayat (4) digunakan


sebagai dasar untuk memperpanjang KITTAS.

BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 5
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 20/MEN/2004 tentang
Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing masih
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 6
Peraturan Menteri ini berlaku 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ERMAN SUPARNO
KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 224 /MEN/2003

TENTANG

KEWAJIBAN PENGUSAHA
YANG MEMPEKERJAKAN PEKERJA/BURUH PEREMPUAN
ANTARA PUKUL 23.00 SAMPAI DENGAN 07.00

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan pasal 76 ayat (3) dan (4)


Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan perlu diatur kewajiban pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul
23.00 sampai dengan 07.00;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan


Menteri;

Mengingat : 1. Undang–undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang - undang Pengawasan Perburuhan
Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia untuk
Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama


Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 9 September 2003.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA
YANG MEMPEKERJAKAN PEKERJA/BURUH PEREMPUAN
ANTARA PUKUL 23.00 SAMPAI DENGAN 07.00.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Pengusaha adalah :

a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri


sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di


Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia;

2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

3. Perusahaan adalah :

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik persekutuan atau
badan hukum baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

4. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00


sampai dengan 07.00 berkewajiban untuk :

a. memberikan makanan dan minuman bergizi;

b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

(2) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh


perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
05.00.

Pasal 3
(1) Makanan dan minuman yang bergizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf a harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori dan diberikan pada
waktu istirahat antara jam kerja.

(2) Makanan dan minuman tidak dapat diganti dengan uang.

Pasal 4

(1) Penyediaan makanan dan minuman, peralatan, dan ruangan makan harus layak
serta memenuhi syarat higiene dan sanitasi.

(2) Penyajian menu makanan dan minuman yang diberikan kepada pekerja/buruh
harus secara bervariasi.

Pasal 5

Pengusaha wajib menjaga keamanan dan kesusilaan pekerja/buruh perempuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dengan :

a. menyediakan petugas keamanan di tempat kerja;

b. menyediakan kamar mandi/wc yang layak dengan penerangan yang memadai


serta terpisah antara pekerja/buruh perempuan dan laki-laki.

Pasal 6

(1) Pengusaha wajib menyediakan antar jemput dimulai dari tempat penjemputan ke
tempat kerja dan sebaliknya;

(2) Penjemputan dilakukan dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

Pasal 7

(1) Pengusaha harus menetapkan tempat penjemputan dan pengantaran pada lokasi
yang mudah dijangkau dan aman bagi pekerja/buruh perempuan.

(2) Kendaraan antar jemput harus dalam kondisi yang layak dan harus terdaftar di
perusahaan.

Pasal 8

Pelaksanaan pemberian makanan dan minuman bergizi, penjagaan kesusilaan, dan


keamanan selama di tempat kerja serta penyediaan angkutan antar jemput
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diatur lebih lanjut dalam Perjanjian
Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 115/MEN/VII/2004

TENTANG

PERLINDUNGAN BAGI ANAK YANG MELAKUKAN PEKERJAAN


UNTUK MENGEMBANGKAN BAKAT DAN MINAT

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang


Nomor 13 tahun tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur
perlindungan bagi anak yang melakukan pekerjaan untuk
mengembangkan bakat dan minat;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan


Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1970 Nomor
1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2918);

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO


Convention Nomor 138 Convention Minimum Age for
Admission to Employment ( Konvensi ILO mengenai Usia
Minimun untuk Diperbolehkan Bekerja) ( Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3835);

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tent ang Pengesahan ILO


Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate
Action for The Elimination of The Worst Form of Child Labour
( Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak); (Lembaran Negara republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3941);

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor
109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4235);

6. Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

7. Keputusan Presiden Nomor 228 / M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 19 Mei 2004;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Sekretariat Lembaga Kerjasama


Tripartit Nasional tanggal 19 Mei 2004;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERLINDUNGAN BAGI ANAK YANG MELAKUKAN
PEKERJAAN UNTUK MENGEMBANGKAN BAKAT
DAN MINAT.

Pasal 1

1. Pengusaha adalah :
a. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
.
2. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.

3. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.

4. Bakat adalah kemampuan khusus yang dimiliki seorang anak yang dibawa sejak
lahir.

5. Minat adalah ketertarikan seseorang anak pada sesuatu bidang.

Pasal 2

1. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

2. Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi kriteria :


a. pekerjaan tersebut biasa dikerjakan anak sejak usia dini;
b. pekerjaan tersebut diminati anak;
c. pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak;
d. pekerjaan tersebut menumbuhkan kreatitivitas dan sesuai dengan dunia
anak.

Pasal 3

1. Pelibatan anak dalam pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat harus
memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak.

2. Kepentingan terbaik untuk anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dilakukan dengan cara antara lain:
a. anak didengar dan dihormati pendapatnya;
b. anak diperlakukan tanpa menghambat tumbuh kembang fisik, mental,
intelektual dan sosial secara optimal;
c. anak tetap memperoleh pendidikan;
d. anak diperlakukan sama dan tanpa paksaan.

Pasal 4

1. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan


minat tanpa pengawasan langsung orang tua/wali.

2. Pengawasan langsung oleh orang tua/wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan :
a. mendampingi setiap kali anaknya melakukan pekerjaan;
b. mencegah perlakuan eksploitatif terhadap anaknya;
c. menjaga keselamatan, kesehatan dan moral anaknya selama melakukan
pekerjaan;

Pasal 5
1. Pengusaha yang mempekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 (lima belas)
tahun untuk mengembangkan bakat dan minat, wajib.
a. membuat perjanjian kerja secara tertulis denan orang tua/wali yang
mewakili anak dan memuat kondisi dan syarat kerja sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
b. mempekerjakan di laur waktu sekolah;
c. memenuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari dan 12 (dua
belas ) jam seminggu;
d. melibatkan orang tua/wali di lokasi tempat kerja untuk melakukan
pengawasan langsung;
e. menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan
penggunaan narkotika, perjudian,minuman keras, prostitusi dan hal- hal
sejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik,
mental dan sosial anak;
f. menyediakan fasilitas tempat istirahat selama waktu tunggu; dan
g. melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja.

2 Waktu tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f paling lama 1
(satu) jam.

3. Dalam hal waktu tunggu melebihi 1 (satu) jam, maka kelebihan waktu tersebut
termasuk di dalam waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c.

Pasal 6
1 Pengusaha yang mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan minat
harus melaporkan dengan menggunakan formulir sebagaimana terlampir.

2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada instansi


yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota pada
lokasi anak dipekerjakan, dengan tembusan kepada Menteri yang bertanggung
jawab di bidang kertenagakerjaan di Provinsi yang bersangkutan.

3. Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan paling lambat 14


(empat belas) hari sebelum pengusaha mempekerjakan anak.

Pasal 7

Keputusan Menteri ini mulai sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2004.
MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,
JACOB NUWA WEA

LAMPIRAN :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA
KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP-115/MEN/VII/2004
TANGGAL: 7 Juli 2004

LAPORAN PENGUSAHA
YANG MEMPEKERJAKAN ANAK DALAM RANGKA MENGEMBANGKAN
BAKAT DAN MINAT

NAMA DAN ALAMAT :


PERUSAHAAN
Telp : ....................Fax : ...................Email : .........
NAMA DAN ALAMAT PIMPINAN ::
PERUSAHAAN Telp : ....................Fax : ...................Email : .........
JENIS PERUSAHAAN ::
ALAMAT/LOKASI KERJA ANAK ::
ANAK YANG DIPEKERJAKAN ::

TEMP ORANG JML


ANAK TANGGAL JENIS
N L/ AT TUA/WALI JAM
DIPEKERJAK PEKERJA
O NAM ALAM P TGL. NAM ALAMAT/TE KERJ
AN AN
A AT LAHIR A LP A
1
2
3
4
5
dst
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2004

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI ................,


.............., ..............
REPUBLIK INDONESIA (Lokasi Perusahaan, tanggal -
bulan - tahun)

TTD/CAP

JACOB NUWA WEA ( NAMA PIMPINAN


PERUSAHAAN)
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: PER-17/MEN/VIII/2005

TENTANG

KOMPONEN DAN PELAKSANAAN


TAHAPAN PENCAPAIAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur
mengenai komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian
kebutuhan hidup layak dengan peraturan menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3952);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun
2004 tentang Dewan Pengupahan;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01 Tahun 1999 jo.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP. 226/MEN/2000 tentang Upah Minimum;

Memperhatikan : Hasil Pertemuan Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal


24 Agustus 2005
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN
PENCAPAIAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK.

Pasal

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Kebutuhan Hidup Layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar
kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat
hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu)
bulan.
2. Dewan Pengupahan Provinsi/Kabupaten/Kota adalah suatu lembaga non
struktural yang bersifat tripartit, dibentuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan
bertugas memberikan saran serta pertimbangan kepada
Gubernur/Bupati/Walikota dalam penetapan upah minimum.

Pasal 2

(1) KHL sebagai dasar dalam penetapan upah minimum merupakan peningkatan
dari kebutuhan hidup minimum.
(2) KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari komponen
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

Pasal 3

(1) Nilai KHL diperoleh melalui survei harga


(2) Survei harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim yang
terdiri dari unsur tripartit yang dibentuk oleh Ketua Dewan Pengupahan
Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
(3) Dalam hal di Kabupaten/Kota belum terbentuk Dewan Pengupahan, maka
survei harga dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Bupati/Walikota
setempat.
(4) Unsur Tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang mewakili
Pemerintah harus mengikutsertakan Badan Pusat Statistik setempat.
(5) Survei harga KHL dilakukan dengan menggunakan pedoman sebagaimana
pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.
Pasal 4

(1) Berdasarkan hasil survei harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5)
Dewan Pengupahan atau Bupati/Walikota setempat menetapkan nilai KHL.
(2) Nilai KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai salah satu
bahan pertimbangan dalam penetapan upah minimum.
(3) Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku bagi
pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
(4) Upah bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih
dirundingkan secara bipartit antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan
(5) Dalam hal Gubernur menetapkan upah minimum Provinsi, maka penetapan
upah minimum didasarkan pada nilai KHL Kabupaten/Kota terendah di
Provinsi yang bersangkutan dengan mempertimbangkan produktivitas,
pertumbuhan ekonomi dan usaha yang paling tidak mampu (marginal).
(6) Produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan hasil
perbandingan antara jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
dengan jumlah tenaga kerja pada periode yang sama
(7) Pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan
pertumbuhan nilai PDRB.

Pasal 5

(1) Pencapaian KHL dalam penetapan upah minimum dilaksanakan secara


bertahap.
(2) Tahapan pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Gubernur.
(3) Dalam menetapkan tahapan pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) Gubernur memperhatikan kondisi pasar kerja, usaha yang paling
tidak mampu (marginal) di Provinsi/Kabupaten/Kota/serta saran dan
pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi/Kabupaten/Kota.

Pasal 6

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga


Kerja Nomor KEP. 81/MEN/1995 tentang Penetapan Komponen Kebutuhan
Hidup Minimum dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 7

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Agustus 2005
MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya:

Kepala Biro Hukum,

Myra M. Hanartani
NIP. 160025858

Lampiran : Komponen Kebutuhan Hidup Layak untuk Pekerja Lajang dalam


sebulan dengan 3.000 K Kalori per hari
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP.261/MEN/XI/2004

TENTANG

PERUSAHAAN YANG WAJIB MELAKSANAKAN PELATIHAN KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan perusahaan
yang wajib melaksanakan pelatihan kerja bagi pekerja/buruhnya.
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu;

Memperhatikan 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


: Nasional tanggal 1 Juli 2004;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
tanggal 13 Agustus 2004;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERUSAHAAN YANG WAJIB MELAKSANAKAN
PELATIHAN KERJA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak , milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan.
5. Progam pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana pelatihan,
persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan penetapan kelulusan
peserta pelatihan.
6. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai denga standar yang
ditetapkan.
7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

1. Perusahaan yang wajib meningkatkan kompetensi pekerja/buruhnya melalui


pelatihan kerja adalah perusahaan yang mempekerjakan 100 (seratus) orang
pekerja/buruh atau lebih.
2. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mencakup sekurang-
kurangnya 5 % (lima perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/.buruh di perusahaan
tersebut setiap tahun.

Pasal 3

Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 perusahaan harus


membuat perencanaan program pelatihan kerja tahunan bagi pekerja/buruh yang
sekurang-kurangnya meliputi jenis pelatihan kerja, jangka waktu pelatihan kerja dan
tempat pelatihan kerja.

Pasal 4
Biaya pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditanggung sepenuhnya oleh
perusahaan.

Pasal 5

Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan untuk meningkatkan


keterampilan manajerial dan teknikal pekerja/buruh.

Pasal 6

1. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program yang dirancang sesuai


dengan kebutuhan dan teknologi yang digunakan perusahaan dalam rangka
meningkatkan kompetensi pekerja/bur uh.
2. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan di
perusahaan dan atau di lembaga pelatihan.
3. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diselenggarakan dengan
sistim pemagangan.

Pasal 7

1. Perusahaan dan atau lembaga yang menyelenggarakan pelatihan kerja wajib


memberikan surat tamat pelatihan kerja bagi peserta yang dinyatakan lulus.
2. Perusahaan yang melaksanakan pelatihan kerja dengan baik dapat diberikan
penghargaan oleh Menteri.

Pasal 8

Perusahaan melaporkan pelaksanaan kegiatan pelatihan kerja secara periodik sesuai


dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan.

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Nopember 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 220/MEN/X/2004

TENTANG

SYARAT-SYARAT
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
KEPADA PERUSAHAAN LAIN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 65 ayat (5) Undang-undang


Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai
perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang- undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4 ).

2. Undang-undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279);

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M tahun


2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 23 April 2004;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 19 Mei 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN
PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA
PERUSAHAAN LAIN.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Perusahaan yang selanjutnya disebut perusahaan pemberi pekerjaan adalah


:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
2. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan lain yang
menerima penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan
pemberi pekerjaan.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima
pemborongan pekerjaan dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.

Pasal 2

1. Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah
daripada ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.
2. Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan
atau pekerjaan tertentu.

Pasal 3

1. Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan akan menyerahkan sebagian


pelaksanakan pekerjaan kepada perusahaan pemborong pekerjaan harus
diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum.
2. Ketentuan mengenai berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dikecuali bagi :
a. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang
pengadaan barang;
b. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa
pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultansi yang dalam
melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh
kurang dari 10 (sepuluh) orang.
3. Apabila perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari
perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan
kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum
4. Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak melaksanakan kewajibannya
memenuhi hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja maka perusahaan
yang berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung
jawab dalam memenuhi kewajiban tersebut.

Pasal 4

1. Dalam hal di satu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong pekerjaan


yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborong pekerjaan
berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk dapat
melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan,
maka penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan pada
perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum.
2. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan berbadan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab memenuhi hak-
hak pekerja/buruh yang terjadi dalam hubunga n kerja antara perusahaan
yang bukan berbadan hukum tersebut dengan pekerjaan/buruhnya
3. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dituangkan
dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pemberi
pekerjaan dengan perusahaan pemborong pekerjaan.

Pasal 5

Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin


terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 6

1. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen
maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan ;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang
cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan,
artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan
memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan
kerja perusahaan pemberi pekerjaan.
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung artinya kegiatan
tersebut adalah merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak
dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan
pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya.
2. Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian
pelaksanan pekerjaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib
membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan.
3. Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-
jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan ketentuan ayat (1)
serta melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.

Pasal 7

1. Perusahaan pemberi pekerjaan yang telah menyerahkan pelaksanaan


sebagian pekerjaan kepada perusahaan pemborong pekerjaan sebelum
ditetapkan Keputusan Menteri ini tetap melaksanakan perjanjian
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan
sebagaimana telah diperjanjikan sampai berakhirnya perjanjian
pemborongan pekerjaan tersebut.
2. Dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berakhir, maka selanjutnya wajib menyesuaikan dengan
Keputusan Menteri ini.

Pasal 8

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR KEP - 21/MEN/III/2004

TENTANG

PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING


SEBAGAI PEMANDU NYANYI / KARAOKE

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa pekerjaan sebagai pemandu nyanyi/ karaoke dalam dunia hiburan dewasa ini
semakin berkembang ;

b. bahwa kebutuhan terhadap pemandu nyanyi/ karaoke berkembang tidak hanya


pemandu nyanyi/karaoke
yang mempunyai keterampilan memandu nyanyi untuk lagu-lagu Indonesia dan
Daerah saja, tetapi juga
berkembang kearah kebutuhan akan keterampilan untuk memandu nyanyi lagu-lagu
asing dari berbagai
negara ;

c. bahwa selama ini di masyarakat secara nyata terdapat pemandu nyanyi/ karaoke
asing tanpa pengaturan
yang jelas ;

d. bahwa sesuai pertimbangan huruf a, b dan c diatas, penggunaan tenaga kerja asing
sebagai pemandu
nyanyi/ karaoke perlu ditetapkan dengan keputusan Menteri ;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang berlakunya Undang-undang


Pengawasan Perburuan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 1951 Nomor 4) ;

2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara


Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279) ;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4009) ;

4. Keputusan Presiden Nomor 228/ M Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabinet


Gotong Royong;

5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor


KEP-228/MEN/2003
tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGGUNAAN TENAGA KERJA
ASING SEBAGAI PEMANDU NYANYI/ KARAOKE.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja diwilayah Indonesia.

2. Pemberian Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA adalah pengusaha,
badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

3. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah rencana penggunaan
TKA pada jabatan tertentu yang
dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.

4. Direktur adalah Direktur yang bertanggung jawab di bidang Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.

5. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
PERIJINAN

Pasal 2

Pemberi kerja TKA yang akan mempekerjakan TKA sebagai pemandu nyanyi/ karaoke wajib memiliki ijin
tertulis dari Direktur, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara
mempekerjakan TKA.

Pasal 3

(1). Untuk mendapatkan ijin sebagaiman dimaksud dalam pasal 2, pemberi kerja TKA harus mengajukan
permohonan IMTA dengan
melampirkan :

a. copy ijin tempat usaha yang memiliki fasilitas karaoke ;


b. RPTKA yang telah disahkan oleh Direktur ;
bukti tanda pembayaran dan kompensasi penggunaan TKA sesuai peraturan perundang-undangan
c.
yang berlaku ;
d. perjanjian kerja antara TKA dengan pemberi kerja ;

(2) Direktur dapat membentuk tim untuk meneliti kelengkapan dan keabsahan dokumen sebagaimana
dimaksud ayat (1).

Pasal 4

(1) Dana kompensasi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c ditetapkan sebesar
US $ 100 (seratus dollar Amerika)
per bulan untuk setiap TKA dan dibayarkan dimuka.

(2) Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu) bulan wajib membayar dana kompensasi
sebagaiman dimaksud dalam ayat
(1) sebesar 1 (satu) bulan penuh.

(3) Pembayaran dana kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan oleh pemberi
kerja yang disetorkan pada rekening
Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan (DPKK) pada Bank Pemerintah yang ditunjuka
oleh Menteri.

Pasal 5

Jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke diberikan paling lama 6
(enam) bulan dan tidak dapat diperpanjang.

Pasal 6

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke disatu tempat
kerja, harus mempekerjakan pemandu nyanyi/ karaoke Tenaga Kerja Warga Negara Indonesia yang
jumlahnya 5 (lima) kali jumlah pemndu nyanyi/ karaoke tenaga kerja asing.

Pasal 7

Pemberi kerja yang mendatangkan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke wajib
memulangkan TKA ke negara asal setelah jangka waktu ijin mempekerjakan TKA berakhir.

BAB III
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 8 TAHUN 1981

TENTANG

PERLINDUNGAN UPAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu disusun
suatu peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1969.
b. Bahwa sebagai pelaksanaan tersebut huruf a dipandang perlu mengatur
perlindungan upah dalam suatu Peraturan Pemerintah.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan
Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai
pengupahan bagi buruh laki- laki dan wanita untuk pekerjaan yang
sama nilainya (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 171).
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok mengenai Tenaga Kerja ( Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor
55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912).

M EM U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLINDUNGAN


UPAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

a. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari Pengusaha kepada buruh
untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau
dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut sutau persetujuan, atau
peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri
maupun keluarganya.
b. Pengusaha ialah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan
milik sendiri.
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan termaksud pada angka 1 dan 2 diatas, yang berkedudukan di luar
Indonesia.
c. Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah.
d. Menteri adalah Menteri yang betanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada
saat hubungan kerja putus.

Pasal 3

Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh
laki- laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.

Pasal 4

Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan.

Pasal 5

1. Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pengusaha


wajib membayar upah buruh :
a. Jika buruh sendiri sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan
ketentuan sebagai berikut :

1. Untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100 % (seratus persen) dari upah;
2. Untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75 % (tujuh puluh lima persen) dari upah.
3. Untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50 % (lima puluh persen) dari upah;
4. Untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25 % (dua puluh lima persen) dari
upah.

b. Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal- hal sebagaimana dimaksud dibawah
ini, dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Buruh sendiri kawin, dibayar untuk selama 2 (dua) hari.


2. Menyunatkan anaknya, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
3. Membaptiskan anak, dibayarkan untuk selama 1 (satu) hari.
4. Mengawinkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari.
5. Anggota keluarga meninggal dunia yaitu suami/istri, orang tua/mertua atau
anak, dibayar untuk selama 2 (dua) hari.
6. Istri melahirkan anak, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
2. Dalam hal pengusaha tidak mampu memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a, pengusaha dapat mengajukan izin penyimpangan kepada
Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
3. Jika dalam suatu peraturan perusahaan atau perjanj ian perburuhan terdapat
ketentuan-ketentuan yang lebih baik daripada ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ketentuan dalam peraturan perusahaan atau perjanjian
perburuhan tersebut tidak boleh dikurangi.

Pasal 6

1. Pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak
dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban Negara,
jika dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut buruh tidak mendapatkan
upah atau tunjangan lainnya dari Pemerintah tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.
2. Pengusaha wajib membayar kekurangan atas upah yang biasa dibayarkannya
kepada buruh yang dalam menjalankan kewajiban Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), bilamana jumlah upah yang diperolehnya kurang dari upah yang
biasa diterima dari perusahaan yang bersangkutan, tetapi tidak melebihi 1 (satu)
tahun.
3. Pengusaha tidak diwajibkan untuk membayar upah, bilamana buruh yang dalam
menjalankan kewajiban Negara tersebut telah memperoleh upah serta tunjangan
lainnya yang besarnya sama atau lebih dari upah yang biasa ia terima dari
perusahaan yang bersangkutan.
4. Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut
agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan.

Pasal 7

Upah buruh selama sakit dapat diperhitungkan dengan suatu pembayaran yang diterima
oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu peraturan perundang- undangan atau peraturan
perusahaan atau sesuatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial ataupun suatu
pertanggungan.

Pasal 8

Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan
pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya baik
karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami oleh pengusaha yang seharusnya
dapat ia hindari.
Pasal 9

Bila upah tidak ditetapkan berdasarkan suatu jangka waktu, maka untuk menghitung upah
sebulan ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir yang diterima oleh
buruh.

Pasal 10

1. Upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan perjanjian.
2. Pembayaran upah secara langsung kepada buruh yang belum dewasa dianggap
sah, apabila orang tua atau wali buruh tidak mengajukan keberatan yang
dinyatakan secara tertulis.
3. Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat kuasa
dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat menerimanya
secara langsung.
4. Surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk satu kali
pembayaran.
5. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.

Pasal 11

Pada tiap pembayaran seluruh jumlah upah harus dibayarkan.

BAB II

BENTUK UPAH

Pasal 12

1. Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang.


2. Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras,
obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh
melebihi 25 % (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.

Pasal 13

1. Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang sah dari Negara
Republik Indonesai.
2. Bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan
berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.

Pasal 14

Setiap ketentuan yang menetapkan sebagian atau seluruh upah harus dipergunakan secara
tertentu, ataupun harus dibelikan barang, tidak diperbolehkan dan karenanya adalah batal
menurut hukum, kecuali jika penggunaan itu timbul dari suatu peraturan perundang-
undangan.

Pasal 15

1. Bila diadakan perjanjian antara buruh dan pengusaha mengenai suatu ketentuan
yang merugikan buruh dan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini dan atau peraturan perundang-undangan lainnya dan
karenanya menjadi batal menurut hukum, maka buruh berhak menerima
pembayaran kembali dari bagian upah yang ditahan sebagai perhitungan terhadap
upahnya, dan dia tidak diwajibkan mengembalikan apa yang telah diberikan
kepadanya untuk memenuhi perjanjian.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari
pengusaha atau buruh, badan yang diserahi urusan perselisihan perburuhan dapat
membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kerugian
yang diderita oleh buruh.

BAB III

CARA PEMBAYARAN UPAH

Pasal 16

Bila tempat pembayaran upah tidak ditentukan dalam perjanjian atau peraturan
perusahaan, maka pembayaran upah dilakukan di tempat buruh biasa bekerja, atau di
kantor perusahaan.

Pasal 17

Jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu sekali atau
selambat- lambatnya sebulan sekali, kecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari
satu minggu.

Pasal 18

Bilamana upah tidak ditetapkan menurut jangka waktu tertentu, maka pembayaran upah
disesuaikan dengan ketentuan pasal 17 dengan pengertian bahwa upah harus dibayar
sesuai dengan hasil pekerjaannya dan atau sesuai dengan jumlah hari atau waktu dia
bekerja.

Pasal 19

1. Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari
kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar, upah tersebut
ditambah dengan 5 % (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan. Sesudah hari
kedelapan tambahan itu menjadi 1 % (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan,
dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi
50 % (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.
2. Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping
berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
diwajibkan pula membayar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit
perusahaan yang bersangkutan.
3. Penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam pasal ini adalah batal menurut
hukum.

BAB IV

DENDA DAN POTONGAN UPAH

Pasal 20

1. Denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal itu diatur
secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan.
2. Besarnya denda untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang Republik Indonesia.
3. Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, pengusaha dilarang untuk
menuntut ganti rugi terhadap buruh yang bersangkutan.
4. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.

Pasal 21

1. Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung maupun
tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang
yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda tersebut.
2. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.

Pasal 22

1. Pemotongan upah oleh pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan
bilamana ada surat kuasa dari buruh.
2. Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah semua kewajiban pembayaran oleh
buruh terhadap Negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang
menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.
3. Setiap surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditarik kembali
pada setiap saat.
4. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.

Pasal 23
1. Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi kerusakan
barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun milik pihak ketiga
oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian.
2. Ganti rugi demikian harus diatur terlebih dahulu dalam suatu perjanjian tertulis
atau peraturan perusahaan dan setiap bulannya tidak boleh melebihi 50 % (lima
puluh persen) dari upah.

BAB V

PERHITUNGAN DENGAN UPAH

Pasal 24

1. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah adalah :


a. Denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal
21, Pasal 22, dan Pasal 23.
b. Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian
tertulis.
c. Uang muka atas upah, kelebihan upah yang telah dibayarkan dan cicilan hutang
buruh kepada pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti tertulis.
2. Perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 50 %
(lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang seharusnya diterima.
3. Setiap saat yang memberikan wewenang kepada pengusaha untuk mengadakan
perhitungan lebih besar daripada yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) adalah batal menurut hukum.
4. Pada waktu pemutusan hubungan kerja seluruh hutang piutang buruh dapat
diperhitungkan dengan upahnya.

Pasal 25

Bila uang yang disediakan oleh pengusaha untuk membayar upah disita oleh Juru Sita,
maka penyitaan tersebut tidak boleh melebihi 20 % (dua puluh persen) dari jumlah upah
yang harus dibayarkan.

Pasal 26

1. Bila upah digadaikan atau dijadikan jaminan hutang, maka angsuran tiap bulan
daripada hutang itu tidak boleh melebihi 20 % (dua puluh persen) dari sebulan.
2. Ketentuan ayat (1) berlaku juga apabila penggadaian atau jaminan itu diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga.

Pasal 27

Dalam hal pengusaha dinyatakan pailit, maka upah buruh merupakan hutang yang
didahulukan pembayarannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang
kepailitan yang berlaku.
Pasal 28

Bila buruh jatuh pailit, maka upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan
ketentuan tidak melebihi dari 25 % (dua puluh lima persen).

Pasal 29

1. Bila upah baik untuk sebagian ataupun untuk seluruhnya, didasarkan pada
keterangan-keterangan yang hanya dapat diperoleh dari buku-buku pengusaha,
maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak untuk menerima keterangan dan
bukti-bukti yang diperlukan dari pengusaha.
2. Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berhasil maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak meminta bantuan
kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya.
3. Segala sesuatu yang diketahui atas keterangan-keterangan serta bukti-bukti oleh
buruh atau kuasa yang ditunjuknya atau Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan, kecuali
bila keterangan tersebut dimintakan oleh badan yang diserahi urusan penyelesaian
perselisihan perburuhan.

Pasal 30

Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.

BAB VI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 31

Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), ayat (2),
ayat (4), dan Pasal 8 dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).

Pasal 32

Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, disamping
perbuatan tersebut batal menurut hukum juga dipidana dengan pidana kurungan selama-
lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

Pasal 33
Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri yang dengan
sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 100.000,- (seratu ribu rupiah).

Pasal 34

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 adalah
pelanggaran.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 14


Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, maka
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan upah,
sejauh telah diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 36

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan perundangan Peraturan


Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapk
an di Jakarta
pada
tanggal 2 Maret 1981

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Maret 1981

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, SH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 8

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1981

TENTANG

PERLINDUNGAN UPAH

UMUM

Pengaturan pengupahan yang berlaku di Indonesia pada saat ini masih tetap dipakai Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang jiwanya sudah tidak
sesuai lagi. Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja,
maka pengaturan tentang perlindungan upah secara nasional dirasakan makin mendesak.

Sesuai dengan perkembangan ekonomi yang diupayakan ke arah stabilitas yang makin
mantap maka pengaturan tentang perlindungan upah dalam Peraturan Pemerintah ini
diarahkan pula kepada sistim pembayaran upah secara keseluruhan Pengertian upah
secara keseluruhan dimaksudkan di sini tidak termasuk upah lembur. Pada pokoknya
sistim ini didasarkan atas prestasi seseorang buruh atau dengan perkataan lain bahwa
upah itu tidak lagi dipengaruhi oleh tunjangan-tunjangan yang tidak ada hubungannya
dengan prestasi kerja.

Pembayaran upah pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang, namun demikian
dalam Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi kemungkinan pemberian sebagian
upah dalam bentuk barang yang jumlahnya dibatasi.

Peraturan Pemerintah ini pada pokoknya mengatur perlindungan upah secara umum yang
berpangkal tolak kepada fungsi upah yang harus mampu menjamin kelangsungan hidup
bagi buruh dan keluarganya.

Untuk menuju kearah pengupahan yang layak bagi buruh perlu ada pengaturan upah
minimum tetapi mengingat sifat kekhususannya belum diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1.
Huruf a.

Yang dimaksud imbalan adalah termasuk juga sebutan honorarium yang diberikan oleh
pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus menerus.

Huruf b.

Yang dimaksud orang adalah seorang manusia pribadi yang mengurus atau mengawasi
perusahaan secara langsung. Yang dimaksud dengan persekutuan adalah suatu bentuk
usaha bersama yang bukan badan hukum yang bertujuan untuk mencari keuntungan
misalnya CV, Firma, Maatschap dan lain- lain maupun yang tidak mencari keuntungan
misalnya Yayasan. Yang dimaksud dengan badan hukum adalah perseroan yang didaftar
menurut undang- undang tentang perseroan atau jenis badan hukum lainnya yang
didirikan dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya
perkumpulan, koperasi, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang dijalankan dengan
tujuan mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara yang
mempekerjakan buruh, sedangkan usaha sosial dan usaha lain yang tidak berbentuk
perusahaan dipersamakan dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan buruh,
misalnya Yayasan dan lain- lain.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d.

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa upah dan
tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh pria sama besarnya dengan upah dan
tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.

Pasal 4

Cukup Jelas

Pasal 5
Ayat (1)

Bahwa azas tidak bekerja tidak dibayar tidak sewajarnya untuk diterapkan secara mutlak.
Oleh karena itu bagi buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaan karena alasan tersebut
a dan b upah tersebut masih harus diberikan. Akan tetapi pembayaran upah yang
demikian tidak dapat dilakukan secara penuh dan terus menerus karena itu perlu
ditetapkan jumlah serta jangka waktunya.
Pengertian sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) a, tidak termasuk sakit karena
kecelakaan kerja sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951
tentang kecelakaan kerja.

Ayat (2)
Cukup Jelas.

Ayat (3)
Cukup Jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Buruh sebagai warga negara tidak terlepas dari kemungkinan untuk memikul tugas dan
kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah, misalnya wajib militer, tugas-tugas dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum, serta tugas dan kewajiban lainnya yang ditetapkan
dengan peraturan perundang- undangan.

Ayat (2)

Pembayaran kekurangan gaji atau upah dimaksudkan agar tidak menjadi beban yang
berat bagi buruh dan keluarganya di satu pihak dan pengusaha di lain pihak.

Ayat (3)
Cukup Jelas.

Ayat (4)

Dengan mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh yang menjalankan
ibadah tersebut lebih dari 1 (satu) kali, pengusaha tidak diwajibkan membayar upahnya.

Pasal 7

Pembayaran dari pertanggungan dapat diperhitungkan menurut pasal ini adalah


khususnya mengenai pertanggungan upah buruh selama sakit iurannya dibayar oleh
pengusaha. Dalam hal pembayaran dari pertanggungan itu kurang dari upah yang
seharusnya diterima buruh selama sakit maka kekurangan tersebut harus dibayar oleh
pengusaha. Akan tetapi bila buruh telah menerima pembayaran sesuai atau lebih dari
upah yang seharusnya dia terima selama sakit, maka pengusaha tidak berkewajiban untuk
membayarkan lagi.

Pasal 8

Halangan yang secara kebetulan dialami oleh pengusaha, tidak termasuk kehancuran atau
musnahnya perusahaan beserta peralatan yang dikarenakan oleh bencana alam, kebakaran
atau peperangan sehingga tidak memungkinkan lagi perusahaan tersebut berfungsi atau
menjalankan kegiatannya" Force mayeure".

Pasal 9

Maksud pasal ini adalah untuk mempermudah atau memberikan patokan dalam
menghitung upah sebulan dalam hal terjadi antara lain pemutusan hubungan kerja,
lembur dan sebagainya.

Pasal 10

Ayat (1) sampai dengan ayat (5)

Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan agar pembayaran upah tidak jatuh kepada orang
yang tidak berhak. Oleh karena itu pembayaran upah melalui pihak ketiga harus
menggunakan surat kuasa. Pengertian buruh yang belum dewasa diartikan baik buruh
laki- laki maupun perempuan yang telah berusia 14 (empat belas) tahun akan tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 11

Cukup Jelas

Pasal 12

Ayat (1) dan ayat (2)

Untuk menuju ke arah sistim pembayaran upah bersih, maka upah harus dibayar dalam
bentuk uang, prinsip tersebut diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya
secara bebas sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya.
Penerapan prinsip tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan
sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi atau barang yang
mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.

Pasal 13

Ayat (1) dan ayat (2)

Cukup Jelas
Pasal 14

Larangan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah belanja paksa ("enforced
shopping"). Buruh harus bebas dalam hal mempergunakan upah seperti yang
dikehendakinya. Sedang pengusaha tidak diperbolehkan mengikat buruh dalam
mempergunakan upahnya.

Pasal 15

Ayat (1) dan ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup Jelas

Pasal 17

Cukup Jelas

Pasal 18

Jika upah ditetapkan menurut hasil pekerjaan maka pembayarannya sesuai dengan
ketentuan Pasal 17, dengan ketentuan besarnya upah disesuaikan dengan hasil
pekerjaannya.

Pasal 19

Ayat (1) sampai dengan ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 20

Ayat (1) sampai dengan ayat (4)

Yang dimaksud dengan pelanggaran sesuatu hal dalam ayat (1) adalah pelanggaran
terhadap kewajiban-kewajiban buruh yang telah ditetapkan dengan perjanjian tertulis
antara pengusaha dan buruh.

Pasal 21

Ayat (1) dan ayat (2)

Penggunaan uang denda sama sekali tidak boleh untuk kepentingan pribadi pengusaha
baik langsung ataupun tidak, melainkan untuk kepentingan buruh, misalnya untuk dana
buruh. Cara penggunaan uang denda ini harus juga ditetapkan dalam surat perjanjian atau
peraturan perusahaan.

Pasal 22

Ayat (1) sampai dengan ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 23

Ayat (1) dan ayat (2)


Kerugian lainnya dapat terdiri dari kerugian materiil atau ekonomis.

Pasal 24

Ayat (1) sampai dengan ayat (4)

Pembatasan perhitungan tidak boleh lebih dari 50 % (lima puluh persen) dimaksudkan,
agar buruh tidak kehilangan semua upah yang diterimanya.
Kemungkinan perhitungan dengan upah buruh dapat terdiri dari denda, potongan, ganti
rugi dan lain- lain.
Untuk menjamin kehidupan yang layak bagi buruh, maka pengusaha harus
mengusahakan sedemikian rupa sehingga jumlah perhitungan tersebut tidak melebihi 50
% (lima puluh persen).

Pasal 25

Cukup Jelas.

Pasal 26

Ayat (1) dan ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 27

Cukup Jelas

Pasal 28

Kemungkinan seorang buruh akan dapat jatuh pailit yang disebabkan tidak terbayarnya
hutang kepada pihak lain, baik kepada pengusaha ataupun kepada orang lain. Untuk
menjamin kehidupan buruh yang keseluruhan harta bendanya disita, maka perlu ada
jaminan untuk hidup bagi dirinya beserta keluarganya.
Oleh karena itu dalam pasal ini upah dan pembayaran lainnya yang menjadi hak buruh,
tidak termasuk dalam kepailitan. Penyimpangan terhadap ketentuan pasal ini hanya dapat
dilakukan oleh hakim dengan batas sampai dengan 25 % (dua puluh lima persen).

Pasal 29

Ayat (1)
Cukup Jelas

Ayat (2)
Cukup Jelas

Ayat (3)
Cukup Jelas

Pasal 30

Cukup Jelas

Pasal 31 sampai dengan Pasal 33

Ketentuan pidana yang dikenakan dalam Pasal-Pasal tersebut adalah sesuai dengan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Undang- undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang merupakan Undang-undang
Induk daripada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 34

Penetapan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 33
sebagai pelanggaran adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang- undang
Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang
merupakan Undang-undang Induk dari pada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 35

Ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur perlindungan upah


antara lain adalah ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata yaitu : 1601p; 1601q; 1601r; 1601s; 1601t; 1601u; 1601v; 1602; 1602a;
1602b; 1602c; 1602d; 1602e; 1602f; 1602g; 1602h; 1602i; 1602j; 1602k; 1602l; 1602m;
1602n; 1602o; 1602p; 1602q; 1602r; 1602s; 1602t; 1602u; 1602v alinea 5, 1968 alinea 3
dan 1971 sepanjang yang menyangkut upah.

Pasal 36

Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3190

PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH


NO. 8 TAHUN 1981

TENTANG PERLINDUNGAN UPAH

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

SURAT EDARAN
NO: SE-01/MEN/1982

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 8 TAHUN 1981

TENTANG PERLINDUNGAN UPAH

Untuk keseragaman dalam menangani permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat
pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981- tentang Perlindungan Upah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8 Tambahan Lembaran
Negara No. 3190) perlu adanya satu kesatuan pengertian yang harus diperhatikan sebagai
pedoman bagi para petugas di lapangan khususnya dalam jajaran Direktorat Jenderal
Binalindung Tenaga Kerja. Terhadap beberapa ketentuan yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut masih diperlukan adanya penjelasan lebih lanjut yang
perlu diperhatikan yaitu antara lain sebagai berikut :

1. Pasal 1 huruf c berbunyi sebagai berikut :


" Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima
upah".

Penjelasan :

Dalam ketentuan ini pengertian "buruh" tidak termasuk tenaga kerja yang
berstatus non organik dan/atau yang bekerja secara insidentil pada suatu
perusahaan. Yang dimaksud dengan tenaga kerja berstatus non organik adalah
tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan secara tidak teratur dan secara
organisatoris tidak mempunyai fungsi pokok dalam perusahaan tersebut, misalnya
: Dokter perusahaan, Konsultan perusahaan.
Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang bekerja insidentil adalah tenaga kerja
yang bekerja pada perusahaan dengan tidak berkesinambungan baik yang
disebabkan karena waktu maupun sifat pekerjaan, misalnya tenaga kerja bongkar
muat.
2. Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :
" Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir
pada saat hubungan kerja putus".

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan "pada saat adanya hubungan kerja" adalah sejak adanya
perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis antara pengusaha dan buruh.
3. Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :
"Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara
buruh laki- laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya"

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan pekerjaan yang sama nilainya dalam ketentuan ini adalah
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan uraian jabatan (Job discription) yang
sama pada suatu perusahaan.
4. Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
" Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan "

Penjelasan :

Ketentuan ini merupakan suatu azas yang pada dasarnya berlaku terhadap semua
golongan buruh, kecuali bila buruh yang bersangkutan tidak dapat bekerja bukan
disebabkan oleh kesalahan buruh.
5. Pasal 5 ayat (1) huruf a berbunyi sebagai berikut :

" Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pengusaha


wajib membayar upah buruh".
a. Jika buruh sendiri sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100 % (seratus persen) dari upah.
2. untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75 % (tujuh puluh lima persen) dari
upah.
3. untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50 % (lima puluh persen) dari upah.
4. untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25 % (dua puluh lima persen) dari
upah.

Penjelasan :

Ketentuan pembayaran upah dengan bertahap berlaku bagi buruh yang sakit terus
menerus.
Termasuk sakit terus menerus adalah penyakit menahun atau berkepanjangan,
demikian pula apabila buruh yang setelah sakit lama mampu bekerja kembali
tetapi dalam waktu 4 Minggu sakit kembali.
Misalnya : pada 3 (tiga) bulan pertama buruh jatuh sakit dia berhak atas upah 100
%, kemudian masuk bekerja tetapi kurang dari 4 (empat) minggu buruh jatuh
sakit lagi dengan penyakit yang sama atau dengan komplikasi yang
ditimbulkannya maka dalam hal ini buruh berhak atas upah 75 % selama 3 (tiga)
bulan. Akan tetapi jika buruh setelah jatuh sakit, masuk bekerja kembali selama 4
(empat) minggu atau lebih, kemudian jatuh sakit lagi dengan penyakit yang sama
atau komplikasinya maka selama sakit buruh berhak atas upah 100 % selama 3
(tiga) bulan. Bulan yang dipakai untuk menghitung lamanya sakit adalah bulan
atau waktu dimana buruh jatuh sakit, jadi bukan bulan kalender. Untuk
pelaksanaan pasal ini diperlukan surat keterangan dokter yang ditunjuk oleh
perusahaan.
Apabila dalam suatu perusahaan terdapat perjanjian perburuhan atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja yang memuat ketentuan upah selama sakit tidak
mengikuti pertahapan sesuai pasal ini dapat dibenarkan apabila setiap kurun
waktu 3 (tiga) bulan sekurang-kurangnya sama dengan besarnya prosentase pasal
5 tersebut.

Contoh yang dapat dibenarkan :


3 (tiga) bulan pertama 100 %
3 (tiga) bulan kedua 75 %
6 (enam) bulan berikutnya 50 %

Contoh yang tidak dibenarkan :


3 (tiga) bulan pertama 100 %
3 (tiga) bulan kedua 60 %
6 (enam) bulan berikutnya 50 %

Bila dalam waktu sakit berkepanjangan tersebut timbul hak atas cuti ber upah(cuti
tahunan, cuti hamil) maka hari-hari cuti tersebut upahnya 100 %.
6. Pasal 6 ayat (4) berbunyi sebagai berikut :
"Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut
agamanya selama waktu yang diperlukan tetapi tidak melebihi 3 ( tiga ) bulan. "

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan " Selama waktu yang diperlukan" dalam pasal ini adalah
lamanya waktu untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan ketentuan
yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI dari waktu ke waktu.
Misalnya : pada tahun 1981 waktu yang diperlukan untuk melaksanakan ibadah
haji adalah 40 (empat puluh) hari, dengan demikian pengusaha wajib membayar
upah buruh selama 40 hari.
7. Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :
" Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan
pekerjaannya yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami
oleh pengusaha yang seharusnya dapat ia hindari".

Penjelasan :

Dengan adanya ketentuan pasal ini maka pemberian uang tunggu, yang bukan
dalam kaitan dengan pemberhentian sementara (schorsing) yang selama ini
dilakukan oleh pengusaha tidak diperkenankan lagi oleh karenanya pengusaha
harus membayar upah penuh kepada buruh.
Misalnya : Buruh yang diperintahkan untuk menunggu kedatangan suatu kapal
dimana kalau kapal tersebut tiba, buruh akan membongkar muat barang, tetapi
karena sesuatu hal kapal tersebut tidak datang, maka pengusaha harus membayar
upah buruh sesuai dengan perjanjian.
8. Pasal 10 ayat (3) berbunyi sebagai berikut :
"Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat kuasa
dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat menerimanya
secara langsung"

Penjelasan :

Apabila surat kuasa tersebut bersifat kolektif maka surat kuasa tersebut perlu
diketahui lebih dahulu oleh Kantor Direktorat Jenderal Binalindung Tenaga Kerja
setempat.
9. Pasal 12 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras,
obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh
melebihi 25 % (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.

Penjelasan :

Apabila selama ini suatu perusahaan memberikan upah dalam bentuk natura lebih
dari 25 % maka selanjutnya kelebihan prosentase tersebut harus diwujudkan
dalam bentuk uang.
Misalnya : Jika sebagian upah diberikan dalam bentuk natura 30 % maka yang
kelebihan 5 % tersebut harus diwujudkan dalam bentuk uang.
10. Pasal 13 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan
berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.

Penjelasan :

Yang dipakai untuk menghitung kurs resmi adalah kurs yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia pada saat pembayaran upah.
11. Pasal 15 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari
pengusaha atau buruh, badan yang diserahi tugas urusan perselisihan perburuhan
dapat membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan jumlah
kerugian yang diderita oleh buruh".

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan Badan yang diserahi urusan Perselisihan Perburuhan ialah
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tersebut dalam Undang-undang
No.22 Tahun 1957 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 No.42
Tambahan Lembaran Negara No. 1227).
12. Pasal 19 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping
berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh Bank untuk
kredit perusahaan yang bersangkutan".

Penjelasan :

Untuk menentukan besarnya prosentase bunga karena keterlambatan membayar


upah buruh adalah : Apabila di perusahaan tersebut terdapat beberapa jenis kredit,
maka yang dipakai untuk menentukan besarnya diambil bunga kredit yang paling
menguntungkan buruh.
13. Pasal 21 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
" Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung maupun
tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang
yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda tersebut".

Penjelasan :

Denda yang dikenakan kepada buruh juga tidak dapat digunakan untuk
kepentingan perusahaan atau untuk kepentingan biaya operasional perusahaan.
14. Pasal 24 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
a. Denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal
21, Pasal 22, dan Pasal 23;
b. Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian
tertulis;
c. Uang muka atas upah, kelebihann upah yang telah dibayarkan dan cicilan
hutang buruh kepada pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti
tertulis".

Penjelasan :

Untuk memperhitungkan hutang piutang buruh jika terjadi Pemutusan Hubungan


Kerja selain dapat diperhitungkan dari upah juga dari uang pesangon.
15. Pasal 33 berbunyi sebagai berikut :
" Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
dengan sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya sesuai ketentuan
Pasal 29 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-(seratus ribu rupiah)"

Penjelasan :

Kata "Ahli" dalam pasal ini seharusnya dibaca kuasa yang ditunjuk oleh buruh
seperti dimaksud pada Pasal 29.

Demikian beberapa petunjuk tersebut disampaikan kepada Saudara untuk


diperhatikan dan dipergunakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 4 Februari 1982

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

HARUN ZAIN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: PER-15/MEN/VII/2005

TENTANG

WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT


PADA SEKTOR USAHA PERTAMBANGAN UMUM
PADA DAERAH OPERASI TERTENTU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a bahwa usaha pertambangan umum memiliki karakteristik tersendiri


yang antara lain disebabkan karena lokasi usahanya pada umumnya
berada pada tempat terpencil sehingga tidak dapat diberlakukan
waktu kerja dan waktu istirahat yang biasa;
b bahwa Pasal 77 dan Pasal 78 Undang- undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan pengaturan waktu
kerja khusus untuk sektor tertentu;
c bahwa sehubungan dengan pertimbangan huruf a dan b dipandang
perlu untuk mengatur waktu kerja dan istirahat di sektor usaha
pertambangan umum dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948
nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
234/MEN/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor
Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu;
5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor KEP.
102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur;

Memperhatikan : Hasil Pertemuan Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional.


MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA
PERTAMBANGAN UMUM PADA DAERAH OPERASI
TERTENTU.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1 Waktu kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan
pekerjaan pada suatu periode tertentu
2 Daerah operasi tertentu adalah lokasi tempat dilakukan eksplorasi,
eksplotasi dan atau pengapalan hasil tambang.
3 Periode kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan jadual kerja yang ditetapkan
dengan mengabaikan hari- hari kalender.
4 Pekerj/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan lain dalam bentuk lain.
5 Perusahaan adalah :
a setiap bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mepekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
6 Pengusaha adalah :
a orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7 Menteri adalah Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2
(1) Perusahaan di bidang pertambangan umum termasuk perusahaan jasa
penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat
enerapkan :
a waktu kerja dan istirahat sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
234/MEN/2003;
b periode kerja maksimal 10 (sepuluh) minggu berturut-turut bekerja,
dengan 2 (dua) minggu berturut-turut istirahat dan setiap 2 (dua)
minggu dalam periode kerja diberikan 1 (satu) hari istirahat.
(2) Dalam hal perusahaan menerapkan periode kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b maka waktu kerja paling lama 12 (dua
belas) jam sehari tidak termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam.
(3) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib membayar upah kerja setelah 7 (tujuh) jam kerja
dengan perhitungan sebagai berikut:
a untuk waktu kerja 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3,5 (tiga
setengah) x upah sejam;
b untuk waktu kerja 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5,5 (lima tengah)
x upah sejam;
c untuk waktu kerja 11 (sebelas) jam 1(satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 7,5 (tujuh
setengah) x upah sejam;
d untuk waktu kerja 12 (dua belas) jam 1(satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 9,5 (sembilan
setengah) x upah sejam.
Pasal 3
Pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sesuai dengan kebutuhan
perusahaan.
Pasal 4
(1) Perusahaan dapat melakukan kegiatan dan atau waktu kerja dengan
memilih dan menetapkan kembali waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2
(2) Pergantian dan atau perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diberitahukan terlebih dahulu oleh Pengusaha
kepada pekerja/buruh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum tanggal perubahan dilaksanakan.
(3) Dalam hal perusahaan akan melakukan perubahan waktu kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pengusaha
memberitahukan secara tertulis atas perubahan tersebut kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.
Pasal 5
Waktu yang dipergunakan pekerja/buruh dalam perjalanan dari tempat
tinggal yang diakui oleh perusahaan ke tempat kerja adalah termasuk
waktu kerja apablia perjalanan memerlukan waktu 24 (dua puluh empat)
jam atau lebih.
Pasal 6
Dalam hal perusahaan telah memilih dan menetapkan salah satu dan atau
beberapa waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan ternyata
pekerja/buruh dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, maka
perusahaan wajib membayar upah sesuai dengan waktu kerja yang dipilih
dan ditetapkan.
Pasal 7
Dalam hal libur resmi jatuh pada suatu periode yang telah dipilih dan
ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, maka libur resmi tersebut dianggap hari kerja
biasa.
Pasal 8
Perhitungan upah dan upah kerja lembur tunduk kepada Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/VI/2004
tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Pasal 9
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja lembur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, harus melaporkan pelaksanaannya 3 (tiga)
bulan sekali kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada
Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan serta waktu istirahat;
b jumlah pekerja/buruh yang dipekerjakan;
c daftar upah kerja lembur;
d perubahan pelaksanaan waktu kerja.
Pasal 10
Perusahaan harus menyesuaikan waktu kerja dan periode kerja sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini selambat- lambatnya 3
(tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.
Pasal 11
Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 26 Juli 2005


MENTERI

TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,
ttd

FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya:

Kepala Biro Hukum,

Myra M. Hanartani

NIP. 160025858
KEPMEN NO. 235 TH 2003

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 235 /MEN/2003

TENTANG

JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN


KESEHATAN, KESELAMATAN ATAU MORAL ANAK

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 74 ayat (3) Undang-


undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
perlu ditetapkan jenis-jenis pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1951 Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan


Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1918);

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang


Pengesahan ILO Convention No. 138 Convention Minimum
Age For Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai
Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3835);

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan


ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and
Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms
of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak), Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 30,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3941);

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4235);

6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

7. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

8. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang


Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 25 September 2003;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG JENIS-JENIS PEKERJAAN
YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN, KESELAMATAN ATAU
MORAL ANAK.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Anak adalah setiap orang yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun.

2. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun dilarang bekerja dan/atau
dipekerjakan pada pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau
moral anak.
(2) Pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak
sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini.

(3) Jenis-jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat ditinjau
kembali sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 3

Anak usia 15 (lima belas) tahun atau lebih dapat mengerjakan pekerjaan kecuali
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

Pasal 4

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak untuk bekerja lembur.

Pasal 5

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA

Lampiran : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA


KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA.

NOMOR : KEP- 235 /MEN/2003

TANGGAL : 31 Oktober 2003

JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN


DAN KESELAMATAN ANAK

A. Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi, dan


peralatan lainnya meliputi :

Pekerjaan pembuatan, perakitan/pemasangan, pengoperasian, perawatan dan


perbaikan :

1. Mesin- mesin

a. mesin perkakas seperti: mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin
bubut, mesin skrap;

b. mesin produksi seperti: mesin rajut, mesin jahit, mesin tenun, mesin pak,
mesin pengisi botol.

2. Pesawat

a. pesawat uap seperti: ketel uap, bejana uap;

b. pesawat cairan panas seperti: pemanas air, pemanas oli;

c. pesawat pendingin, pesawat pembangkit gas karbit;

d. pesawat angkat dan angkut seperti: keran angkat, pita transport,


ekskalator, gondola, forklift, loader;

e. pesawat tenaga seperti: mesin diesel, turbin, motor bakar gas, pesawat
pembangkit listrik.

1. Alat berat seperti: traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin
pancang.

2. Instalasi seperti: instalasi pipa bertekanan, instalasi listrik, instalasi pemadam


kebakaran, saluran listrik.

3. Peralatan lainnya seperti: tanur, dapur peleburan, lift, perancah.

4. Bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut, dan


sejenisnya.

B. Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya


yang meliputi :

1. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Fisik


a. pekerjaan di bawah tanah, di bawah air atau dalam ruangan tertutup yang
sempit dengan ventilasi yang terbatas (confined space) misalnya sumur,
tangki;

b. pekerjaan yang dilakukan pada tempat ketinggian lebih dari 2 meter;

c. pekerjaan denga n menggunakan atau dalam lingkungan yang terdapat


listrik bertegangan di atas 50 volt;

d. pekerjaan yang menggunakan peralatan las listrik dan/atau gas;

e. pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan suhu dan kelembaban ekstrim


atau kecepatan angin yang tinggi;

f. pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan atau getaran


yang melebihi nilai ambang batas (NAB);

g. pekerjaan menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan


radioaktif;

h. pekerjaan yang menghasilkan atau dalam lingkungan kerja yang terdapat


bahaya radiasi mengion;

i. pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang berdebu;

j. pekerjaan yang dilakukan dan dapat menimbulkan bahaya listrik,


kebakaran dan/atau peledakan.

2. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Kimia

a. pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang terdapat pajanan


(exposure) bahan kimia berbahaya;

b. pekerjaan dalam menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan


bahan-bahan kimia yang bersifat toksik, eksplosif, mudah terbakar,
mudah menyala, oksidator, korosif, iritatif, karsinogenik, mutagenik
dan/atau teratogenik;

c. pekerjaan yang menggunakan asbes;

d. pekerjaan yang menangani, menyimpan, menggunakan dan/atau


mengangkut pestisida.

3. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Biologis

a. pekerjaan yang terpajan dengan kuman, bakteri, virus, fungi, parasit dan
sejenisnya, misalnya pekerjaan dalam lingkungan laboratorium klinik,
penyamakan kulit, pencucian getah/karet;

b. pekerjaan di tempat pemotongan, pemrosesan dan pengepakan daging


hewan;

c. pekerjaan yang dilakukan di perusahaan peternakan seperti memerah


susu, memberi makan ternak dan membersihkan kandang;

d. pekerjaan di dalam silo atau gudang penyimpanan hasil- hasil pertanian;

e. pekerjaan penangkaran binatang buas.

C. Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu :

1. Pekerjaan konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan.

2. Pekerjaan yang dilakukan dalam perusahaan pengolahan kayu seperti


penebangan, pengangkutan dan bongkar muat.

3. Pekerjaan mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg


untuk anak laki- laki dan diatas 10 kg untuk anak perempuan.

4. Pekerjaan dalam bangunan tempat kerja yang terkunci.

5. Pekerjaan penangkapan ikan yang dilakukan di lepas pantai atau di perairan


laut dalam.

6. Pekerjaan yang dilakukan di daerah terisolir dan terpencil.

7. Pekerjaan di kapal.

8. Pekerjaan yang dilakukan dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau


daur ulang barang-barang bekas.

9. Pekerjaan yang dilakukan antara pukul 18.00 ? 06.00

JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN MORAL ANAK


1. Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti
pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi.
2. Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang
seksualitas dan/atau rokok.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 255 TH 2003

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 255/MEN/2003

TENTANG

TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN

LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 106 ayat (4) Undang-undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka perlu
ditetapkan tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan
lembaga kerjasama bipartit;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat


Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 121; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3989);

2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 25 September 2003;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN
SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Lembaga kerjasama bipartit yang selanjutnya disebut LKS Bipartit adalah forum
komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan
industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
2. Pengusaha adalah:

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri


sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di


Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
4. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
5. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
6. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II

FUNGSI DAN TUGAS


Pasal 2
Fungsi LKS Bipartit adalah :
a. sebagai forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah antara pengusaha dan
wakil serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh pada tingkat perusahaan;
b. sebagai forum untuk membahas masalah hubungan industrial di perusahaan guna
meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan pekerja/buruh yang
menjamin kelangsungan usaha dan menciptakan ketenangan kerja.

Pasal 3

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 LKS Bipartit


mempunyai tugas :

a. melakukan pertemuan secara periodik dan/atau sewaktu-waktu apabila


diperlukan;
b. mengkomunikasikan kebijakan pengusaha dan aspirasi pekerja/buruh berkaitan
dengan kesejahteraan pekerja/buruh dan kelangsungan usaha;
c. melakukan deteksi dini dan menampung permasalahan hubungan industrial di
perusahaan;
d. menyampaikan saran dan pertimbangan kepada pengusaha dalam penetapan
kebijakan perusahaan;
e. menyampaikan saran dan pendapat kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh.

BAB III

TATA CARA PEMBENTUKAN

Pasal 4
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh
atau lebih wajib membentuk LKS Bipartit.
(2) LKS Bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh unsur pengusaha
dan unsur pekerja/buruh.
Pasal 5
Anggota LKS Bipartit dari unsur pekerja/buruh ditentukan sebagai berikut:
1. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan
semua pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh tersebut,
maka secara otomatis pengurus serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya
dalam LKS Bipartit.
2. Dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka
yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah pekerja/buruh yang
dipilih secara demokratis.
3. Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan seluruh pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,
maka yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah wakil masing-
masing serikat pekerja/serikat buruh yang perwakilannya ditentukan secara
proporsional.
4. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan ada
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat pekerja/serikat buruh tersebut menunjuk wakilnya dalam LKS Bipartit dan
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh
menunjuk wakilnya yang dipilih secara demokratis.
5. Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan ada pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh, menunjuk wakilnya
dalam LKS Bipartit secara proporsional dan pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya yang dipilih secara
demokratis.
Pasal 6
Pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 melaksanakan pertemuan untuk :
a. membentuk LKS Bipartit;
b. menetapkan anggota LKS Bipartit.
Pasal 7
Tata cara pembentukan LKS Bipartit dilaksanakan sebagai berikut:
a. pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil
pekerja/buruh mengadakan musyawarah untuk membentuk, menunjuk, dan
menetapkan anggota LKS Bipartit di perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6;
b. anggota lembaga sebagaimana dimaksud dalam huruf a menyepakati dan
menetapkan susunan pengurus LKS Bipartit;
c. pembentukan dan susunan pengurus LKS Bipartit dituangkan dalam berita acara
yang ditandatangani oleh pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau
wakil pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 8
(1) LKS Bipartit yang sudah terbentuk harus dicatatkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah pembentukan.
(2) Untuk dapat dicatat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengurus LKS Bipartit
menyampaikan pemberitahuan tertulis baik langsung maupun tidak langsung
dengan dilampiri berita acara pembentukan, susunan pengurus, dan alamat
perusahaan.
(3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pemberitahuan,
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan memberikan nomor
bukti pencatatan.

BAB V

KEANGGOTAAN

Pasal 9
Keanggotaan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh
dengan komposisi perbandingan 1 : 1 yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan
dengan ketentuan paling sedikit 6 (enam) orang dan paling banyak 20 (dua puluh)
orang.
Pasal 10
(1) Susunan pengurus LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua,
seorang sekretaris dan anggota.
(2) Jabatan ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara wakil
pengusaha dan wakil pekerja/buruh.

Pasal 11

(1) Masa kerja keanggotaan LKS Bipartit 2 (dua) tahun.


(2) Pergantian keanggotaan LKS Bipartit sebelum berakhirnya masa jabatan dapat
dilakukan atas usul dari unsur yang diwakilinya.
(3) Pergantian keanggotaan LKS Bipartit diberitahukan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.

Pasal 12
Masa jabatan keanggotaan LKS Bipartit berakhir apabila:
a. meninggal dunia;

b. mutasi atau keluar dari perusahaan;

d. mengundurkan diri sebagai anggota lembaga;

e. diganti atas usul dari unsur yang diwakilinya;

d. sebab-sebab lain yang menghalangi tugas-tugas dalam keanggotaan lembaga.

BAB VI

MEKANISME KERJA

Pasal 13

(1) LKS Bipartit mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam


sebulan atau setiap kali dipandang perlu.
(2) Materi pertemuan dapat berasal dari unsur pengusaha, unsur pekerja/buruh atau
dari pengurus LKS Bipartit.
(3) LKS Bipartit menetapkan dan membahas agenda pertemuan sesuai kebutuhan.
(4) Hubungan kerja LKS Bipartit dengan lembaga lainnya di perusahaan bersifat
koordinatif, konsultatif, dan komunikatif.

BAB VII

PEMBINAAN
Pasal 14

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota


bersama dengan organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
mengadakan pembinaan terhadap LKS Bipartit.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. sosialisasi kepada pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
pekerja/buruh dalam rangka pembentukan LKS Bipartit;
b. memberikan bimbingan dalam rangka pembentukan dan pengembangan
LKS Bipartit.

BAB VIII

PEMBIAYAAN DAN PELAPORAN

Pasal 15

Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS

Bipartit dibebankan kepada pengusaha.

Pasal 16

Kegiatan LKS Bipartit secara berkala setiap 6 (enam) bulan dilaporkan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.

BAB IX

PENUTU P

Pasal 17

Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini, maka Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-328/MEN/1986 tentang Lembaga Kerjasama Bipartit dinyatakan
tidak berlaku lagi.

Pasal 18

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA


KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 230 /MEN/2003

TENTANG

GOLONGAN DAN JABATAN TERTENTU

YANG DAPAT DIPUNGUT BIAYA PENEMPATAN TENAGA KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 38 ayat (3) Undang- undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur
tentang golongan dan jabatan tertentu yang dapat dipungut
biaya penempatan tenaga kerja;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981, tentang Wajib Lapor


Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3201);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3839);

4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279 );

5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonomi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3952);

6. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2002 tentang Pengesahan


ILO Convention Nomor 88 mengenai Lembaga Pelayanan
Penempatan Tenaga Kerja;

7. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 25 September 2003;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG GOLONGAN DAN JABATAN
TERTENTU YANG DAPAT DIPUNGUT BIAYA PENEMPATAN TENAGA
KERJA.

BAB I

PENGERTIAN

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

2. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

3. Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta yang selanjutnya disebut LPTKS adalah
lembaga yang berbadan hukum yang memiliki ijin untuk melaksanakan pelayanan
penempatan tenaga kerja.

Pasal 2

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.

Pasal 3

Pemberi kerja yang akan mempekerjakan tenaga kerja dapat merekrut sendiri
tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja baik
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan maupun
LPTKS.

Pasal 4

(1) LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari pemberi kerja.

(2) LPTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari tenaga kerja untuk golongan dan jabatan tertentu.

Pasal 5

(1) Golongan dan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
adalah :

a. golongan pimpinan dengan jabatan manajer atau yang sederajat;

b. golongan supervisi dengan jabatan supervisor atau yang sederajat;

c. golongan pelaksana dengan jabatan operator atau yang sederajat;

d. golongan professional dengan syarat pendidikan strata satu (S1) ditambah


pendidikan profesi.

(2) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima upah
sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali upah minimum yang berlaku diwilayah setempat.

BAB II

BIAYA PENEMPATAN

Pasal 6

(1) Besarnya biaya penempatan tenaga kerja yang dipungut dari pemberi kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ditetapkan sesuai dengan
kesepakatan antara pemberi dan LPTKS.

(2) Pemberi kerja dilarang membebankan biaya penempatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) kepada tenaga kerja yang bersangkutan.

Pasal 7

(1) Besarnya biaya penempatan tenaga kerja yang dipungut dari tenaga kerja
golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan LPTKS dan besarnya tidak
melebihi 1 (satu) bulan upah yang diterima.

(2) Biaya penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangsur sekurang-
kurangnya 5 (lima) kali.

Pasal 8

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja sebelum selesainya angsuran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), pekerja/buruh dibebaskan dari kewajiban membayar
kekurangan angsuran.

BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

ttd

JACOB NUWA WEA


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 51/MEN/IV/2004

TENTANG

ISTIRAHAT PANJANG PADA PERUSAHAAN TERTENTU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 79 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan,
perlu diatur mengenai perusahaan tertentu yang wajib melaksanakan istirahat
panjang ;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri ;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-


undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia
untuk Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4) ;

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di


Perusahaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3201) ;

3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran


Negara Republik IndonesiaTahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) ;

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal


Memperhatikan : 1.
23 Maret 2004 ;

Kesepakatan Rapat Pleno Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional


2.
tanggal 23 Maret 2004 ;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG ISTIRAHAT PANJANG PADA
PERUSAHAAN TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Istirahat panjang adalah istirahat yang diberikan kepada pekerja/buruh setelah masa kerja 6 (enam)
tahun secara terus menerus
pada perusahaan yang sama.

2. Perusahaan yang sama adalah perusahaan yang berada dalam satu badan hukum.

3. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Perusahaan yang wajib melaksanakan istirahat panjang adalah perusahaan yang selama ini telah
melaksanakan istirahat
panjang sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri ini.

Pasal 3

(1) Pekerja/buruh yang melaksanakan hak istirahat panjang pada tahun ketujuh dan kedelapan, tidak
berhak atas istirahat tahunan
pada tahun tersebut;
?????

(2) Selama menjalankan hak istirahat panjang pekerja/buruh berhak atas upah penuh dan pada
pelaksanaan istirahat tahun
kedelapan pekerja/buruh diberikan kompensasi hak istirahat tahunan sebesar setengah bulan gaji.

(3) Gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap.

Pasal 4

(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh tentang saat timbulnya hak
istirahat
panjang selambat-lambatnya 30 ( tiga puluh) hari sebelum hak istirahat panjang timbul.

(2) Hak istirahat panjang gugur apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak hak atas istirahat panjang
tersebut
timbul pekerja/buruh tidak mempergunakan haknya.

(3) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak gugur apabila pekerja/buruh tidak
dapat
mempergunakan haknya.

Pasal 5

(1) Perusahaan dapat menunda pelaksanaan istirahat panjang untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung
sejak
timbulnya hak atas istirahat panjang dengan memperhatikan kepentingan pekerja/buruh dan atau
perusahaan.

(2) Penundaan pelaksanaan istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diatur dalam
perjanjian kerja bersama.

Pasal 6

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, tetapi pekerja/buruh belum mempergunakan hak istirahat
panjangnya dan hak tersebut belum
gugur atau pengusaha menunda pelaksanaan istirahat panjang tersebut, maka pekerja/buruh berhak atas
suatu pembayaran upah dan
kompensansi hak istirahat panjang yang seharusnya diterima.

Pasal 7

(1) Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang lebih baik dari ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan dalam Keputusan Menteri ini, maka perusahaan
tidak boleh mengurangi hal
tersebut.

(2) Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang kepada pekerja/buruh tetapi lebih
rendah dari ketentuan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri ini, maka perusahaan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut.

Pasal 8

Pelaksanaan istirahat panjang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.

Pasal 9

Menteri dapat menetapkan perubahan perusahaan yang wajib memberikan istirahat panjang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sesuai dengan perkembangan ketenagakerjaan.

Pasal 10
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

JACOB NUWA WEA


KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 229 /MEN/2003

TENTANG

TATA CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN


LEMBAGA PELATIHAN KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA ,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 14, ayat (4) dan

Pasal 17 ayat (6) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan Tata Cara

Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan

Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang tentang
Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4235);
3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3952);
5. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 10 Juli 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional


tanggal 25 September 2003;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN

PENDAFTARAN LEMBAGA PELATIHAN KERJA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,


meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.

2. Program pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana
pelatihan, persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan
penetapan kelulusan peserta pelatihan.

3. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan.

4. Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau


perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja.

5. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah atau lembaga
pelatihan kerja swasta atau perusahaan.

BAB II

PERIZINAN DAN PENDAFTARAN

Pasal 3

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta wajib memiliki izin.

(2) Lembaga pelatihan kerja perusahaan yang menyelenggarakan pelatihan tanpa


memungut biaya tidak wajib memiliki izin.

Pasal 4

(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diterbitkan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dalam menerbitkan izin wajib mempertimbangkan tingkat
resiko bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan peserta pelatihan serta
lingkungan tempat dilaksanakannya pelatihan kerja.

Pasal 5

(1) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah, wajib
mendaftarkan kegiatan program pelatihannya pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

(2) Lembaga pelatihan kerja perusahaan yang melakukan pelatihan kerja bagi
pekerjanya/buruhnya dan/atau melatih masyarakat umum tanpa memungut biaya,
wajib mendaftarkan kegiatan program pelatihannya pada Instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

Pasal 6

Izin dan tanda daftar lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) dan Pasal 5 ayat (1) hanya berlaku di wilayah kerja instansi penerbit izin dan tanda
daftar.

BAB III

SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN

Pasal 7

(1) Badan hukum atau perorangan yang akan mendapatkan izin sebagai lembaga
pelatihan kerja, mengajukan permohonan dilampiri dengan:

a. copy surat pengesahan sebagai badan hukum atau kartu tanda penduduk
bagi pemohon perorangan;

b. copy surat izin gangguan dari instansi yang berwenang;

c. daftar nama yang dilengkapi dengan riwayat hidup penanggung jawab


lembaga dan program, tenaga kepelatihan;

d. keterangan domisili lembaga dari kelurahan atau desa setempat;

e. copy surat tanda bukti kepemilikan atau penguasaan prasarana dan fasilitas
pelatihan kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan
program pelatihan yang akan diselenggarakan;

f. program pelatihan kerja (kurikulum dan silabus);

g. struktur organisasi yang sekurang-kurangnya terdiri dari :

g.1. penanggung jawab lembaga pelatihan kerja;

g.2. penanggung jawab program pelatihan kerja;

g.3. tenaga kepelatihan;

h. copy deposito atas nama penanggung jawab lembaga pelatihan kerja yang
besarnya sesuai dengan biaya program pelatihan kerja yang diajukan;

i. surat penunjukan sebagai cabang dari lembaga pelatihan kerja di luar negeri
bagi lembaga pelatihan kerja yang merupakan cabang dari lembaga
pelatihan kerja di luar negeri.

(2) Untuk menentukan jumlah deposito yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf h, pemohon harus menyusun biaya program pelatihan kerja
berdasarkan struktur anggaran yang akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.

Pasal 8

Dalam hal persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) telah
dilengkapi, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota melakukan verifikasi untuk membuktikan kebenaran persyaratan.

Pasal 9

(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Tim yang ditunjuk
oleh pejabat yang berwenang, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.

(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya terdiri dari unsur
organisasi lembaga pelatihan, unit kerja yang menangani pelatihan kerja dan unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pejabat yang berwenang
menerbitkan izin lembaga pelatihan kerja dalam waktu paling lama 6 (enam) hari
kerja terhitung sejak tanggal selesainya verifikasi.

(4) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pejabat yang berwenang
menerbitkan izin, membuat surat penolakan pemberian izin kepada pemohon
disertai dengan alasannya dalam waktu paling lama 6 (enam) hari kerja terhitung
sejak tanggal selesainya verifikasi.

Pasal 10

(1) Izin lembaga pelatihan kerja dapat diberikan sekurang-kurangnya untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk waktu yang sama.

(2) Instansi penerbit izin dapat memperpanjang izin lembaga pelatihan kerja apabila
lembaga pelatihan kerja tersebut mempunyai kinerja yang baik.

(3) Kriteria penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.

Pasal 11

(1) Bagi lembaga pelatihan kerja yang akan menambah jenis program pelatihan kerja
harus mendapat izin penambahan program pelatihan kerja dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4.

(2) Permohonan izin penambahan program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilampiri dengan :

a. kurikulum dan silabus program pelatihan kerja yang baru;

b. daftar nama dan riwayat hidup instruktur pelatihan kerja bagi program yang
diusulkan;

c. tanda bukti kepemilikan atau penguasaan prasarana pelatihan kerja (tempat


dan gedung) untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;

d. tanda bukti memiliki fasilitas pelatihan (peralatan, mesin dan fasilitas


pendukung lainnya) sesuai dengan program pelatihan yang diusulkan;

e. copy saldo akhir rekening giro lembaga pelatihan kerja yang besarannya
ditetapkan oleh Direktur Jenderar Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja
Dalam Negeri.
BAB IV

SYARAT DAN TATA CARA PENDAFTARAN

Pasal 12

Pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disampaikan


kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota
dengan melampirkan :

a. surat keterangan keberadaan lembaga/unit pelatihan kerja dari instansi yang


membawahi lembaga/unit pelatihan kerja;

b. struktur organisasi induk dan/atau unit yang menangani pelatihan;

c. nama penanggung jawab;

d. program pelatihan yang diselenggarakan;

e. daftar instruktur dan tenaga kepelatihan lainnya;

f. daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja.

Pasal 13

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota


harus menerbitkan tanda daftar paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah seluruh syarat administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dipenuhi.

(2) Apabila setelah 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanda
daftar tidak atau belum diterbitkan, maka lembaga pelatihan kerja dapat
melaksanakan kegiatan pelatihan kerja.

BAB V

PELAPORAN

Pasal 14

(1) Lembaga pelatihan kerja wajib melaporkan kegiatannya kepada instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada Kabupaten/Kota setempat
secara periodik 6 (enam) bulan sekali yang tembusannya disampaikan kepada
instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada Provinsi dan
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat


tentang jenis kejuruan, tingkat program pelatihan kerja yang dilaksanakan,
jumlah peserta dan jumlah lulusan.
BAB VI

PENGHENTIAN SEMENTARA PROGRAM, PENGHENTIAN

PROGRAM DAN PENCABUTAN IZIN LEMBAGA PELATIHAN KERJA

Pasal 15

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota


dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja,
apabila di dalam pelaksanaannya ternyata :

a. tenaga kepelatihan tidak sesuai dengan program; atau

b. tidak sesuai dengan kurikulum; atau

c. sarana dan prasarana pelatihan kerja tidak sesuai dengan program; atau

d. berkurangnya jumlah deposito atau giro yang dipersyaratkan.

(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

(3) Selama dalam masa penghentian sementara penyelenggara pelatihan kerja


dilarang menerima peserta pelatihan kerja baru untuk program pelatihan kerja
yang dihentikan sementara.

Pasal 16

(1) Dalam hal penyelenggara pelatihan kerja setelah 6 (enam) bulan masa
penghentian sementara masih belum memenuhi kewajiban yang diperintahkan,
maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
menghentikan program pelatihan kerja tersebut.

(2) Penyelenggara pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
mengembalikan sisa biaya pelatihan kerja kepada peserta.

(3) Penyelenggara pelatihan kerja dapat mengajukan kembali program yang telah
dihentikan dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.

Pasal 17

(1) Apabila lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 tetap
melaksanakan program pelatihan kerja yang telah diperintahkan untuk dihentikan,
maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota mencabut izin lembaga pelatihan kerja yang bersangkutan.

(2) Penyelenggara program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib mengembalikan sisa biaya pelatihan kerja kepada seluruh peserta pelatihan.
Pasal 18

Dalam hal lembaga pelatihan kerja tidak melaksanakan program pelatihan kerja selama
kurun waktu 1 (satu) tahun terus menerus, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dapat mencabut izin lembaga pelatihan kerja yang
bersangkutan.

Pasal 19

Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dapat


membatalkan tanda daftar lembaga pelatihan kerja milik perusahaan yang melaksanakan
program pelatihan kerja bagi masyarakat umum dengan memungut biaya dan lembaga
pelatihan kerja tersebut dianggap menyelenggarakan pelatihan kerja tanpa izin.

BAB VII

PEMBINAAN

Pasal 20

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota


melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap lembaga pelatihan kerja.

(2) Bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
terhadap program pelatihan kerja, ketersediaan sarana dan fasilitas, ketersediaan
dan kualitas tenaga kepelatihan, penerapan metode dan system pelaksanaan
pelatihan kerja.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonesia Nomor KEP-149/MEN/2000 tentang Tata Cara Perizinan Lembaga
Pelatihan Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 22

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 232 TH 2003

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 232/MEN/2003

TENTANG

AKIBAT HUKUM MOGOK KERJA YANG TIDAK SAH

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 142 ayat (2) Undang-undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu diatur
akibat hukum mogok kerja yang tidak sah;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan: 1.Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit

Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 25 September 2003;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG AKIBAT HUKUM MOGOK KERJA
YANG TIDAK SAH.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan


secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk
menghentikan atau memperlambat pekerjaan.

2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

3. Pengusaha adalah:

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri


sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di


Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.

4. Perusahaan adalah :

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

Pasal 2

Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat


buruh yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 3

Mogok kerja tidak sah apabila dilakukan :


a. bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau

b. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di


bidang ketenagakerjaan; dan/atau

c. dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok


kerja; dan/atau

d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c,
dan d Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 4

Gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah tidak


tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat
disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat
pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada
pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau
perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh
para pihak dalam risalah perundingan.

Pasal 5

Mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan
yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh
pekerja/buruh yang sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mogok kerja yang tidak
sah.

Pasal 6

(1) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dikualifikasikan sebagai mangkir.

(2) Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis.

(3) Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) maka dianggap mengundurkan diri.

Pasal 7

(1) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dikualifikasikan sebagai mangkir.

(2) Dalam hal mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan
dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.

Pasal 8
Keputusan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 233 TH 2003

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 233 /MEN/2003
TENTANG
JENIS DAN SIFAT PEKERJAAN
YANG DIJALANKAN SECARA TERUS MENERUS
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 85 ayat (4) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu
ditetapkan mengenai jenis dan sifat pekerjaan yang dijalankan
secara terus menerus;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong.
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 31 Agustus 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 25 September 2003;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA TENTANG JENIS DAN SIFAT PEKERJAAN
YANG DIJALANKAN SECARA TERUS MENERUS.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Pekerjaan yang dijalankan secara terus menerus adalah pekerjaan yang menurut
jenis dan sifatnya harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau
dalam keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha.
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
4. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

5. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.


Pasal 2
Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk
pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara
terus menerus.
Pasal 3
(1) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yakni :
a. pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;
b. pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;
c. pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;
d. pekerjaan di bidang usaha pariwisata;
e. pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;
f. pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih
(PAM), dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;
g. pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan sejenisnya;
h. pekerjaan di bidang media masa;
i. pekerjaan di bidang pengamanan;
j. pekerjaan di lembaga konservasi;
k. pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses
produksi, merusak bahan, dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat
produksi.
(2) Menteri dapat mengubah jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sesuai dengan perkembangan.
Pasal 4
Dalam keadaan tertentu pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari
libur resmi berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Pasal 5
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3 dan Pasal 4 wajib membayar upah kerja lembur kepada pekerja/buruh.
Pasal 6
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JACOB NUWA WEA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 231 /MEN/2003

TENTANG

TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 90 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai tata cara penangguhan
pelaksanaan upah minimum;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, perlu


ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang


Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi


Perburuhan Internasional No. 100 mengenai Pengupahan yang Sama Bagi Buruh Laki-
laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Lembaran Negara Tahun 1957
Nomor 171 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2153);

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di


Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3201);

4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3839);

5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh


(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3989);

6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan


Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54);

8. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet


Gotong Royong.

Memperhatikan :

1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 31


Juli 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 9 Oktober


2003;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH
MINIMUM.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Upah minimum adalah upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur.

2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

3. Pengusaha adalah :

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri


sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di


Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

4. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Pasal 2

(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.

(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha
dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.

Pasal 3

(1) Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimana dimaksud


dalam pasal 2 ayat (2) diajukan oleh pengusaha kepada Gubernur melalui Instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling lambat 10
(sepuluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum.

(2) Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat.

(3) Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) Serikat Pekerja /Serikat Buruh yang
memiliki anggota lebih 50 % dari seluruh pekerja di perusahaan , maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan untuk
menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(4) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan untuk
menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang memiliki anggota lebih dari 50 % (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

(5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja /serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja / buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili perundingan dalam menyepakati
penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(6) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) atau ayat (5) tidak
terpenuhi, maka para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan anggota masing masing serikat
pekerja/serikat buruh.

(7) Dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka
perundingan untuk menyepakati penangguhan pelaksanaan upah minimum dibuat
antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang mendapat mandat untuk mewakili
lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) penerima upah minimum di perusahaan.

(8) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui
perundingan secara mendalam, jujur, dan terbuka.

Pasal 4

(1) Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum harus disertai dengan :

a. naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat


pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan;

b. laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan


rugi/laba beserta penjelasan-penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;

c. salinan akte pendirian perusahaan;

d. data upah menurut jabatan pekerja/buruh;

e. jumlah pekerja/buruh seluruhnya dan jumlah pekerja/buruh yang


dimohonkan penangguhan pelaksanaan upah minimum;

f. perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir, serta


rencana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua) tahun yang akan datang;

(2) Dalam hal perusahaan berbadan hukum laporan keuangan perusahaan


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus sudah diaudit oleh akuntan
publik.

(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila


diperlukan Gubernur dapat meminta Akuntan Publik untuk memeriksa keadaan
keuangan guna pembuktian ketidakmampuan perusahaan.

(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur


menetapkan penolakan atau persetujuan penangguhan pelaksanaan upah
minimum setelah menerima saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan
Provinsi.

Pasal 5

(1) Persetujuan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)


ditetapkan oleh Gubernur untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dengan :

a. membayar upah minimum sesuai upah minimum yang lama, atau;

b. membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama tetapi lebih
rendah dari upah minimum baru, atau;

c. menaikkan upah minimum secara bertahap.

(3) Setelah berakhirnya izin penangguhan, maka pengusaha wajib melaksanakan

ketentuan upah minimum yang baru.

Pasal 6

(1) Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh
pengusaha, diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung
sejak diterimanya permohonan penangguhan secara lengkap oleh Gubernur.

(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir dan
belum ada keputusan dari Gubernur, permohonan penangguhan yang telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka
permohonan penangguhan dianggap telah disetujui.

Pasal 7

(1) Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian, pengusaha


yang bersangkutan tetap membayar upah sebesar upah yang biasa diterima
pekerja/buruh.

(2) Dalam hal permohonan penangguhan ditolak Gubernur, maka upah yang diberikan
oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, sekurang-kurangnya sama dengan upah
minimum yang berlaku terhitung mulai tanggal berlakunya ketentuan upah
minimum yang baru.

Pasal 8

Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka segala peraturan perundang-


undangan yang bertentangan dengan keputusan ini dinyatakan tidak
berlaku lagi.

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003


MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA


PERATURAN MENTERI NO. 01 TH 2006

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

NOMOR : PER-01/MEN/I/2006

TENTANG

PELAKSANAAN PASAL 3
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR KEP-231/MEN/2003
TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN
UPAH UMUM

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,

Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan (5) Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
226/MEN/MEN/2000, KetetapanUpah Minimum Provinsi
ditetapkan selambat-lambatnya 40 hari dan upah minimum;

b. bahwa sebagian besar Upah Minimum Provinsi tahun 2006


terlambat ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a
sehingga mempengaruhi persiapan pelaksanaannya;

c. bahwa keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf b,


disebabkan adanya transisi dari Komisi Penelitian Pengupahan
dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan kepada Dewan
Pengupahan sesuai Keputusan Presiden Indonesia Nomor 107
Tahun 2004 dan sebagai tindak lanjut Pelaksanaan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-
17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada


huruf a, b, c, perlu pengaturan lebih lanjut batas waktu
pengajuan penangguhan pelaksanaan Upah Minimum Tahun
2006 yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.
Mengingat : 1 . Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun


2204 tentang Dewan Pengupahan;

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun


2004 sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhior
dengan Keputusan PResiden Nomor 20/P Tahun 2005;

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik


Indonesia Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum;

5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republlik


Indonesia Nomor KEP-226/MEN/2000 tentang Perubahan Pasal
1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11 , Pasal 20 dan
Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
01/MEN/1999 tentang Upah Minimum;

6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


KEP-231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan
Pelaksanaan Upah Minimum;

Memperhatikan Hasil monitoring dan evaluasi penetapan Upah Minimum Provinsi


: dan/atau Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASSI TENTANG PELAKSANAAN PASAL 3
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI NOMOR KEP-231/MEN/2003 TENTANG
TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH
MINIMUM.

Pasal1

Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006 berlaku
sejak tanggal 1 Januari 2006.

Pasal 2

(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari


upah minimum.

(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum,


maka pengusaha dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan
upah minimum.

(3) Permohonan penagguhan pelaksanaan Upah Minimum Provinsi


Tahun 2006 yang penetapannya dilakukan sesudah bulan
Oktober Tahun 2005, dan permohonan penangguhan Upah
Minimum dapat/Kota Tahun 2006 yang penetapannya
dilakukan sesudah tanggal 20 Nopember 2005 tetap dapat
dilakukan paling lambat 50 hari sejak tanggal penetapan Upah
Minimum Provinsi atau 30 hari sejak tanggal penetapan UPah
Minimum Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

(4) Syarat-syarat permohonan penagguhan pelaksanaan Upah


Minimum Tahun 2006 dilakukan sesuai dengan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. KEP-231
/MEN/2003 kecuali yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1)

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Januari 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ERMAN SUPARNO
KEPMEN NO. 101 TH 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP.101/MEN/VI/2004

TENTANG

TATA CARA PERIJINAN


PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA/BURUH

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksana Pasal 66 ayat (3) Undang-undang


Nomor13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu
diatur mengenai tata cara perijinan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang- undang Pengawasan Perburuhan
Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk
Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor
4279);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M
Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : 1 Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional tanggal 20 April 2004;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 23 April 2004;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
TATA CARA PERIJINAN PERUSAHAAN PENYEDIA
JASA/BURUH.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
2. Pengusaha adalah
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan muliknya;
c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudkan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurusan dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau nimbalan dalam
bentuk lain.
4. Perusahaan penyedia jasa adalah perusahaan berbadan hukum yang dalam
kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di
perusahaan pemberi pekerjaan.
5. Menteri adalah Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi

Pasal 2

(1) Untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan


wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa
pekerja/ buruh.
(2) Untuk mendapatkan ijinoperasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
perusahaan menyampaikan permohonan dengan melampirkan:
a. copy pengesahan sebagai badab hukum berbentuk Perseorangan Terbatas
atau Koperasi;
b. copy anggaran dasar yang di dalamnya memuat kegiatan usaha penyedia
jasa pekerja/buruh;
c. copy SIUP;
d. copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus sudah menerbitkan ijin operasional terhadap
permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dalam waktu paling lama 30m (tiga puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima.

Pasal 3

Ijin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku di seluruh Indonesia


untuk jangka waktu yang sama.

Pasal 4

Dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan


pemberian pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang
sekurang-kurangnya memuat :

a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa;
b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud
huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa
dengan pekerja/buruh yang dipekerrjakan perusahaan penyedia jasa sehingga
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan
yang timbul manjadi tanggung jawab perusahaan -enyedia jasa pekerja/buruh;
c. penegasan bahwa perusahaan penydia jasaja/burh bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk
jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam
hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Pasal 5

(1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus didaftarkan pada


instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan
(2) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerjaan/buruh melaksanakan
pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih
dari satu kabupaten/kota dalam satu proinsi, maka pendaftaran dilakukan
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
(3) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan
pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu
provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial.
(4) Pendaftaran perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) harus melampirkan draft perjanjian kerja.

Pasal 6

(1) Dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pejabat


instansi yang bertanggung jawaab di bidang ketenagakerjaan melakukan
perjanjian tersebut;
(2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka pejabat yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menerbitkan bukti pendaftaran.
(3) Dalam hal terdaftar ketentuan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 4,
maka pejabat yang bertnaggung jawab di bidang ketenagakerjaan membuat
catatan pada bukti pendaftaran bahwa perjanjian dimaksud tidak sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 4.

Pasal 7

(1) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak mendaftarkan


perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh, maka instansi yang bertanggung
jawab di bdang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa keperja/buruh yang
bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Dalam hal ijin operasional dicabut, hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan.

Pasal 8

Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2004

MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 100 TH 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP.100/MEN/VI/2004

TENTANG

KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU


TERTENTU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 59 ayat (8) Undang-undang
Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai
perjanjian kerja waktu tertentu;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang- undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4 ).

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3839);

3. Undang-undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3952);

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M tahun


2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 6 April 2004;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 19 Mei 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN
PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU
TERTENTU.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah


perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT
adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap
3. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;.
b.Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.

Pasal 2

(1) Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah
daripada ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.

(2) Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan
atau pekerjaan tertentu.

BAB II

PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG SEKALI SELESAI


ATAU SEMENTARA SIFATNYA YANG PENYELESAIANNYA
PALING LAMA 3 (TIGA) TAHUN

Pasal 3

(1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah
PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga)
tahun.
(3) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan
maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
(4) Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus
dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
(5) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun
karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat
dilakukan pembaharuan PKWT.
(6) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
(7) Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat
(6) tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
(8) Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang
dituangkan dalam perjanjian.

BAB III

PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERSIFAT MUSIMAN

Pasal 4

(1) Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya


tergantung pada musim atau cuaca.

(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.

Pasal 5

(1) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target
tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman.

(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.

Pasal 6

Pengusaha yang mempekerjaan pekerja/buruh berdasarkan PKWT sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan tambahan.

Pasal 7

PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dilakukan
pembaharuan.

BAB IV

PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERHUBUNGAN


DENGAN PRODUK BARU
Pasal 8

(1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.

(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali
paling lama 1 (satu) tahun.

(3) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan
pembaharuan.

Pasal 9

PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya boleh diberlakukan bagi


pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan
yang biasa dilakukan perusahaan.

BAB V
PERJANJIAN KERJA HARIAN ATAU LEPAS

Pasal 10

(1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan
volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan
perjanjian kerja harian atau lepas.

(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari
dalam 1 (satu)bulan.

(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah
menjadi PKWTT.

Pasal 11

Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan dari ketentuan jangka waktu
PKWT pada umumnya.

Pasal 12
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara
tertulis dengan para pekerja/buruh.

(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat :

a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.


b. nama/alamat pekerja/buruh.
c. jenis pekerjaan yang dilakukan.
d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.

(3) Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan


kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat
selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh.

BAB VI

PENCATATAN PKWT

Pasal 13

PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja sejak penandatanganan.

Pasal 14

Untuk perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 maka
yang dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2).

BAB VII
PERUBAHAN PKWT MENJADI PKWTT

Pasal 15

(1) PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah
menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.

(2) Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja.

(3) Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru menyimpang dari ketentua n Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.

(4) Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka PKWT berubah menjadi PKWTT
sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.

(5) Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/buruh


dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4), maka hak-hak pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

Kesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri


Tenaga Kerja Nomor PER-06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian
Lepas, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1993 tentang
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER-05/MEN/1995 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, masih tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga


Kerja Nomor PER-06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas,
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan
Kerja Waktu Tertentu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
05/MEN/1995 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 18

Keputusan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 21 Juni 2004

MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004

TENTANG

TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN


PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN
PERJANJIAN KERJA BERSAMA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 115 dan Pasal 133 Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu dia
tentang tata cara pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama ;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan
Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 No
4) ;

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomo
60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839) ;
3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) ;

4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;

5. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) ;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otono
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3959) ;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004 ;

2. Hasil Sidang Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004 ;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CA
PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN
PERJANJIAN
KERJA BERSAMA.
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

2. Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/se
buruh
yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

3. Perusahaan adalah :

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta mau
milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ;

b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan upah atau imbalan dalam bentuk lain.

4. Pengusaha adalah :

a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di
luar wilayah Indonesia.

5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

6. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II

TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN PERUSAHAAN

Pasal 2

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib memuat peraturan perusahaan.

(2) Isi dari peraturan perusahaan adalah syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dala
peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebu
harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan perundang- undangan.

Pasal 3

(1) Peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan saran dan
pertimbangan terhadap wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat tidak memberikan saran dan pertimbangan
terhadap peraturan perusahaan yang diajukan oleh pengusaha.

(3) Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih oleh pekerja/buruh secara demokratis mewakili dari setiap unit kerja yang ada
perusahaan.

(4) Apabila di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.

(5) Dalam hal di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh namun keanggotaannya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di perusah
tersebut, maka pengusaha selain memperhatikan saran dan pertimbangan dari pengurus serikat pekerja/buruh harus juga mememperhatikan saran
dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 4

(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) peraturan perusahaan yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.

(2) Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat peraturan perusahaan induk yang berlaku di semua cabang perusahaan serta d
dibuat peraturan perusahaan turunan yang berlaku di masing- masing cabang perusahaan.

(3) Peraturan perusahaan induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan dan peraturan perusahaan turunan
memuat pelaksanaan peraturan perusahaan induk, yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing- masing.

(4) Dalam hal peraturan perusahaan induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya peraturan perusahaan turunan di cabang perusahaa
maka selama peraturan perusahaan turunan belum disahkan, tetap berlaku peraturan perusahaan induk.

(5) Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing- masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka peratu
perusahaan dibuat oleh masing- masing perusahaan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 3.

Pasal 5
Pembuatan peraturan perusahaan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pengusaha, sedangkan masukan yang disampaikan oleh serikat
pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh bersifat saran dan pertimbangan, sehingga pembuatan peraturan perusahaan tidak dapat
diperselisihkan.

Pasal 6

(1) Pengusaha harus menyampaikan naskah rancangan peraturan perusahaan kepada wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh untuk mendapa
saran dan pertimbangan.

(2) Saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh terhadap naskah rancangan peraturan perusahaan sebagaima
dimaksud dalam ayat (1) harus sudah diterima oleh pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal deterimanya naskah rancan
peraturan perusahaan oleh wakil pekerja/buruh.

(3) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh telah menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ay
(2), maka pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan serikat pekerja/serikat buruh dan atau wakil pekerja/buruh tersebut.

(4) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh tidak
memberikan saran dan pertimbangan, maka pengusaha dapat mengajukan pengesahan peraturan perusahaan disertai bukti bahwa pengusaha tela
meminta saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

BAB III

PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN

Pasal7

Pengesahan peraturan perusahaan dilakukan oleh :

(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilay
Kabupaten/Kota.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari
1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Provinsi.

Pasal 8

(1) Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan peraturan perusahaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(2) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melengkapi :

a. permohonan tertulis memuat :


a.1. nama dan alamat perusahaan;
a.2. nama pimpinan perusahaan;
a.3. wilayah operasi perusahaan;
a.4. status perusahaan;
a.5. jenis/bidang usaha;
a.6. jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin;
a.7. status hubungan kerja;
a.8. upah tertinggi dan terendah;
a.9. nama dan alamat serikat pekerja/serikat buruh (apabila ada);
a.10. nomor pencatatan serikat pekerja/serikat buruh (apabila ada);
a.11. masa berlakunya peraturan perusahaan; dan
a.12. pengesahan peraturan perusahaan untuk yang keberapa.

b. naskah peraturan perusahaan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) yang telah ditandatangani oleh pengusaha;

c. bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada
serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan harus meneliti kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
meneliti materi peraturan perusahaan yang diajukan tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan yang berlaku.

(4) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib mengesahkan peraturan perusahaan dengan menerbitkan surat keputusan dalam waktu palin
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan pengesahan.

(5) Dalam hal pengajuan pengesahan peraturan perusahaan tidak memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan/atau terdapat
materi peraturan perusahaan yang bertentangan dengan peraturan perundangan, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 mengembal
secara tertulis permohonan pengesahan peraturan kepada pengusaha dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan
permohonan pengesahan, untuk dilengkapi atau diperbaiki.

(6) Perusahaan wajib menyampaikan peraturan perusahaan yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya pengembalian peraturan perusahaan.

(7) Apabila pengusaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 (lima) maka perusahaan dapat dinyatakan tidak mengajukan
permohonan pengesahan peraturan perusahaan, sehingga dapat dianggap belum memiliki peraturan perusahaan.

(8) Peraturan perusahaan mulai berlaku setelah disahkan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Pasal 9

(1) Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya tetap berlaku sampai ditandatanganinya perjanjian kerj
bersama atau disahkannya peraturan perusahaan yang baru.

(2) Dalam hal di perusahaan telah dilakukan perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tetapi belum mencapai kesepakatan, maka pengusah
wajib mengajukan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan.

Pasal 10

(1) Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan isi peraturan perusahaan dalam tenggang waktu masa berlakunya peraturan perusahaan, m
perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Peraturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat pengesahan kembali dari pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(3) Apabila perusahaan tidak mengajukan permohonan pengesahan perubahan peraturan perusahaan, maka perubahan itu dianggap tidak ada.

Pasal 11

(1) Pengusaha wajib mengajukan pembaharuan peraturan perusahaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir masa
berlakunya peraturan perusahaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk mendapat pengesahan.

(2) Pengajuan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
dalam Pasal 8 ayat (2).

(3) Apabila dalam pembaharuan peraturan perusahaan terdapat perubahan materi dari peraturan perusahaan sebelumnya, maka perubahan materi
tersebut harus didasarkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.

BAB IV

PERSYARATAN PEMBUATAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Pasal 12

(1) Perjanjian kera bersama dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

(2) Perundingan perjanjian kerja bersama harus didasari itikad baik dan kemaua n bebas kedua belah pihak.

(3) Perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(4) Lamanya perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan
dituangkan dalam tata tertib perundingan.

Pasal 13

(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.

(2) Dalam hal perusahaan yang perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat perjanjian kerja bersama induk yang berlaku di semua
perusahaan serta
dapat dibuat perjanjian kerja bersama turunan yang berlaku di masing- masing cabang perusahaan.

(3) Perjanjian kerja bersama induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum diseluruh cabang perusahaan dan perjanjian kerja bersama tur
memuat pelaksanaan perjanjian kerja bersama induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing- masing.

(4) Dalam hal perjanjian kerja bersama induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya perjanjian kerja bersama turunan di cabang
perusahaan, maka selama perjanjian kerja bersama turunan belum disepakati tetap berlaku perjanjian kerja bersama induk.

Pasal 14

Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing- masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka perjanjian
bersama dibuat dan dirundingkan oleh masing- masing pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh masing-masing perusahaan.

Pasal 15

Pengusaha harus melayani permintaan secara tertulis untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dari serikat pekerja/serikat buruh apabila :

a. serikat pekerja/serikat buruh telah tercatat berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan peratur
pelaksanaannya ;

b. memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 120 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 16

(1) Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persera
dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuata
Perjanjian Kerja Bersama dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih dari 50% (
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.

(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari pengurus serikat pekerja/serikat buruh da
wakil-wakil dari pekerja/buruh yang bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Panitia yang terbentuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengumumkan tanggal pemungutan suara selambat- lambatnya 24 (dua puluh emp
hari sebelum tanggal pemungutan suara.

(4) Panitia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memberitahukan tanggal pelaksanaan pemungutan suara kepada pejabat yang bertanggung jawab
bidang ketenagakerjaan dan pengusaha, untuk menyaksikan pelaksanaan pemungutan suara .

(5) Serikat pekerja/serikat buruh diberi kesempatan menjelaskan program pembuatan perjanjian kerja bersama dalam waktu 14 (empat belas) hari, d
dilaksanakan 3 (tiga) hari setelah tanggal diumumkannya pemungutan suara.

(6) Pelaksanaan penjelasan program sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan diluar jam kerja pada tempat-tempat yang disepakati oleh ser
pekerja/serikat
buruh dan pengusaha.

(7) Apabila dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum dilaksanakan pemungutan suara ternyata serikat pekerja/serikat buruh dapat
membuktikan keanggotaannya kepada pengusaha bahwa serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah memenuhi lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka pemungutan suara tidak perlu dilaksanakan.

(8) Panitia pemungutan suara harus menyesuaikan waktu pelaksanaan pemungutan suara dengan jadwal kerja para pekerja/buruh sehingga tidak
mengganggu proses produksi.
(9) Tempat pemungutan suara ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penitia dengan pengusaha.

(10) Hasil pemungutan suara sah, setelah ditandatangani oleh panitia dan saksi-saksi.

Pasal 17

(1) Tempat perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat
buruh atau ditempat lain sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

(2) Biaya perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama menjadi beban pengusaha, kecuali disepakati lain oleh kedua belah pihak.

Pasal 18

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan
perundingan dengan pengusaha adalah serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh
jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

(2) Dalam hal penentuan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui verifikasi keanggotaan serikat
pekerja/serkat buruh maka verifikasi dilakukan oleh panitia yang terdiri dari wakil pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang ada di perusahaa
dengan disaksikan oleh wakil instansi yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.

(3) Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan berdasarkan bukti kartu tanda anggota ses
Pasal 121 UU Nomor 13 Tahun 2003 dan apabila terdapat kartu tanda anggota lebih dari 1 (satu), maka kartu tanda anggota yang sah adalah ka
tanda anggota yang terakhir.

(4) Hasil pelaksanaan verifikasi dituangkan dalam bentuk berita acara yang ditandatangani oleh panitia dan saksi-saksi sebagaimana dimaksud dala
ayat (2) yang hasilnya mengikat bagi serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan.

(5) Pelaksanaan verifikasi dilakukan di tempat-tempat kerja yang diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu proses produksi dalam waktu
(satu) hari kerja yang disepakati serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Pengusaha maupun serikat pekerja/serikat buruh dilarang melakukan tindakan yang mempengaruhi pelaksanaan verifikasi.

Pasal 19

Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dimulai dengan menyepakati tata tertib perundingan yang sekurang-kurangnya memuat :

a. tujuan pembuatan tata tertib;


b. susunan tim perunding;
c. materi perundingan;
d. tempat perundingan;
e. tata cara perundingan;
f. cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan;
g. sahnya perundingan;
h. biaya perundingan.

Pasal 20

(1) Dalam menentukan tim perunding pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b pihak pengusaha dan pih
serikat pekerja/serikat buruh menunjuk tim perunding sesuatu kebutuhan dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang
dengan kuasa penuh.

(2) Dalam hal terdapat serikat pekerja/serikat buruh yang tidak terwakili dalam tim perunding, maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkuta
dapat menyampaikan aspirasinya secara tertulis kepada tim perunding sebelum dimulai perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.

Pasal 21

Perjanjian kerja bersama sekurang-kurangnya harus memuat :


a. nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;
b. nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;
c. nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
d. hak dan kewajiban pengusaha;
e. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
f. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
g. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.

Pasal 22

Apabila pembuatan perjanjian kerja bersama ditandatangani oleh wakil, harus ada surat kuasa khusus yang dilampirkan pada perjanjian kerja bersama
tersebut.

Pasal 23

(1) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, maka ke 2 (dua) belah pihak dapat menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
perundingan gagal.

(2) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama masih belum selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib dan penjadwala
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada
waktunya yang memuat :

a. materi perjanjian kerja bersama yang belum dicapai kesepakatan;


b. pendirian para pihak;
c. risalah perundingan;
d. tempat, tanggal dan tanda tangan para pihak.

(3) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak mencapai kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka salah sat
pihak atau kedua belah pihak melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(4) Instansi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) adalah :

a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama hanya
mencakup satu Kabupaten/Kota;
b. Instansi yang betanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi, apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama lebih dari satu
Kabupaten/Kota di satu Provinsi;

c. Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersam
meliputi lebih dari satu Provinsi.

(5) Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
Industrial yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 .

Pasal 24

(1) Apabila penyelesaian pada instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) dilakukan melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pih
tidak menerima anjuran mediator maka atas kesepakatan para pihak, mediator melaporkan kepada Menteri untuk menetapkan lengkah- langkah
penyelesaian.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat :

a. materi Perjanjian Kerja Bersama yang belum dicapai kesepakatan;


b. pendirian para pihak;
c. kesimpulan perundingan;
d. pertimbangan dan saran penyelesaian;

(3) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan penyelesaian pembuatan Perjanjian Kerja Bersama .

(4) Dalam hal penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan
Pengadilan Hubungan Industrial di daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja.

(5) Dalam hal daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) melebihi 1 (satu) daerah hukum Pengadilan
Hubungan Industrial, maka gugatan diajukan pada Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan.
Pasal 25

(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha hendak melakukan perubahan Perjanjian Kerja Bersama yang sedang berlaku, maka
perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan.

(2) Perubahan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Kerja
Bersama yang sedang berlaku.

BAB V

PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Pasal 26

(1) Pengusaha mendaftarkan perjanjian kerja bersama kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(2) Pendaftaran perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimaksudkan :

a. sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan di perusahaan;
b. sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan pelaksanaan perjanjian kerja bersama.

(3) Pengajuan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan naskah Perjanjian Kerja Bersama yan
dibuat dalam rangkap 3 (tiga) bermaterai cukup yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 27

(1) Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dilakukan oleh :

a. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu)
wilayah Kabupaten/Kota;
b. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1(satu)
Kabupaten/Kota dalam 1(satu) Provinsi;

c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1(satu) Provinsi.

(2) Pengajuan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan keterangan yang memuat :

a. nama dan alamat perusahaan;


b. nama pimpinan perusahaan;
c. wilayah operasi perusahaan;
d. status permodalan perusahaan;
e. jenis atau bidang usaha;
f. jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin;
g. status hubungan kerja;
h. upah tertinggi dan terendah;
i. nama dan alamat serikat pekerja/serikat buruh;
j. nomor pencatatan serikat pekerja.serikat buruh;
k. jumlah anggota serikat pekerja.serikat buruh;
l. masa berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
m. pendaftaran perjanjian kerja bersama untuk yang keberapa (dalam hal perpanjangan atau pembaharuan).

(3) Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diteliti oleh Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam w
paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.

(4) Penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi :

a. kelengkapan formal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);


b. materi naskah perjanjian kerja bersama yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;

(5) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah terpenuhi dan tidak ada meteri yang bertentangan dengan peratu
perundangan, maka dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak selesainya penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerbitkan surat keputusan pendaftaran perjanjian kerja bersama.

(6) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak terpenuhi dan atau terdapat materi perjanjian kerja bersama yang bertentang
dengan peraturan perundang- undangan, maka pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) memberi catatan pada surat keputusan pendaftaran.

(7) Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) memuat mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan
ketenagakerjaan.

Pasal 28

(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan perkerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

(2) Pengusaha dan serikat pekerja/buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

(1) Peraturan Perusahaan yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor PER.02/MEN/1978 tentang
Peraturan Perusahaan
dan Perundingan pembuatan Perjanjian Perburuhan masih berlaku sampai dengan berakhirnya peraturan perusahaan yang bersangkutan.

(2) Perjanjian kerja bersama yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara
Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) masih berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja bersama yang bersangkutan.

BAB VII
SANKSI

Pasal 30

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai denga
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31

Dengan ditetapkannnya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga kerja, transmigrasi dan Koperasi Nomor PER-02/MEN/1978 tentang
Peraturan Perusahaan dan perundingan Pembuatan Perjanjian Perburuhan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang
Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-97/MEN/1993 tentang
Pelimpahan Wewenang Pendaftaran Kesepakatan Kerja Bersama dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 32

Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMINGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 228 TH 2003

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 228 /MEN/2003

TENTANG

TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGGUNAAN


TENAGA KERJA ASING

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 43 ayat (4) Undang-undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur
tentang tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga
kerja asing;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

2. <![endif]> Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001


tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1.Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 25 September 2003.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENGESAHAN
RENCANA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.

2. Tenaga kerja Indonesia pendamping yang selanjutnya disebut TKI pendamping


adalah tenaga kerja warga negara Indonesia yang ditunjuk dan dipersiapkan
sebagai pendamping dan/atau calon pengganti TKA.

3. Pemberi kerja tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA
adalah pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

4. Perusahaan adalah:

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

5. Pengusaha adalah :

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

6. Usaha jasa impresariat adalah usaha mendatangkan dan mengembalikan artis,


musisi, olahragawan serta pelaku seni hiburan lainnya yang berkewarga negaraan
asing.

7. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah
rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja
TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.

8. Direktur adalah Direktur Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja.

9. Direktur Jenderal yang selanjutnya disebut Dirjen adalah Dirjen Pembinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.

Pasal 2

Pemberi Kerja TKA dalam Keputusan Menteri ini meliputi :

a. kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing atau kantor
perwakilan berita asing yang melakukan kegiatan di Indonesia;

b. perusahaan swasta asing yang berusaha di Indonesia;

c. badan usaha pelaksana proyek pemerintah termasuk proyek bantuan luar negeri;

d. badan usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia;

e. lembaga-lembaga sosial, pendidikan, kebudayaan atau keagamaan;

f. usaha jasa impresariat.

Pasal 3

(1) Pemberi kerja yang menggunakan TKA harus memiliki RPTKA.

(2) RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk
mendapatkan ijin mempekerjakan TKA.

BAB II

TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN

RENCANA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 4

(1) Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) pemberi kerja harus mengajukan permohonan dilengkapi dengan alasan
penggunaan TKA secara tertulis serta melampirkan :

a. formulir RPTKA yang sudah dilengkapi;

b. surat ijin usaha dari instansi yang berwenang;

c. akte pengesahan sebagai badan hukum bagi perusahaan yang berbadan


hukum;

d. keterangan domisili perusahaan dari pemerintah daerah setempat;

e. bagan struktur organisasi perusahaan;


f. copy surat penunjukan TKI sebagai pendamping;

g. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan berdasarkan Undang-undang Nomor


7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di perusahaan yang
masih berlaku.

(2) Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat :

a. identitas pemberi kerja TKA;

b. jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur bagan organisasi perusahaan yang

bersangkutan;

c. besarnya upah TKA yang akan dibayarkan;

d. jumlah TKA;

e. uraian jabatan dan persyaratan jabatan TKA;

f. lokasi kerja;

g. jangka waktu penggunaan TKA;

h. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping TKA yang

dipekerjakan;

i. rencana progam pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia.

(3) Bentuk formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana
tercantum dalam lampiran I Keputusan ini.

Pasal 5

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan ayat (2)
huruf b, e, h dan huruf i tidak berlaku bagi usaha jasa impresariat.

(2) Bentuk formulir RPTKA untuk usaha jasa impresariat sebagaimana tercantum
dalam lampiran II Keputusan ini.

Pasal 6

Permohonan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5
disampaikan kepada Dirjen mela lui Direktur.
Pasal 7

(1) Dirjen atau Direktur harus melakukan penelitian kelengkapan dokumen permohonan
pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), apabila dokumen
permohonan belum lengkap Dirjen atau Direktur harus memberitahukan secara tertulis
kepada pemohon dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima.

(2) Dalam hal dokumen permohonan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Dirjen atau Direktur melakukan penilaian kelayakan permohonan penggunaan TKA
dengan berpedoman pada daftar jabatan yang ditetapkan oleh Menteri dan memperhatikan
kebutuhan pasar kerja nasional.

(3) Dalam melakukan penilaian kelayakan penggunaan TKA Dirjen atau Direktur dapat
memanggil pemberi kerja serta berkoordinasi dengan instansi terkait.

BAB III

PENGESAHAN RENCANA
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 8

Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah sesuai dengan daftar
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Dirjen atau Direktur untuk
menerbitkan Surat Keputusan Pengesahan RPTKA.

Pasal 9

Penerbitan surat keputusan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


dilakukan oleh :

a. Dirjen untuk permohonan penggunaan TKA 50 (lima puluh) orang atau lebih;

b. Direktur untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang dari 50 (lima puluh)
orang.

Pasal 10

(1) Surat keputusan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memuat
:

a. alasan penggunaan TKA;

b. jabatan dan/atau kedudukan TKA;

c. besarnya upah;

d. jumlah TKA;

e. lokasi kerja TKA;


f. jangka waktu penggunaan TKA;

g. jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang ditunjuk sebagai pendamping.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku untuk usaha
jasa impresariat.

Pasal 11

RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat diberikan untuk jangka waktu paling
lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan
memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri.

Pasal 12

(1) Perpanjangan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diajukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6.

(2) Permohonan perpanjangan RPTKA harus dilengkapi :

a. laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan;

b. surat keputusan RPTKA yang akan diperpanjang.

(2) Bentuk laporan pelaksanaan pendidikan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan Menteri ini.

Pasal 13

(1) Pemberi kerja dapat mengajukan permohonan perubahan sebelum berakhirnya jangka waktu
RPTKA.

(2) Perubahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. penambahan, pengurangan jabatan beserta jumlah TKA; dan/atau

b. perubahan jabatan; dan/atau

c. perubahan lokasi kerja .

BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14

Dengan ditetapkan Keputusan Menteri ini, maka semua ketentuan yang bertentangan
dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 15
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JACOB NUWA WEA


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 49/MEN/2004

TENTANG

KETENTUAN STRUKTUR DAN SKALA UPAH

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 92 ayat (3) Undang-undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur ketentuan
struktur dan skala upah;
b.bahwa untuk ikut perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1.Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi


Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai
Pengupahan yang Sama Bagi Buruh Laki- laki dan Wanita untuk
Pekerjaan yang Sama Nilainya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 171 Tahun 1957, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2153);
2.Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lenbaga Kerjasama Tripartit


Memperhatikan: 1.
Nasional tanggal 23 Maret 2004;
Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
2.
tanggal 23 Maret 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK
INDONESIA TENTANG KETENTUAN STRUKTUR DAN
SKALA UPAH.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini dimaksud dengan :

1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
2. Struktur upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai yang tertinggi
atau dari yang tertinggi sampai yang terendah.
3. Skala upah adalah kisaran nilai nominal upah untuk setiap kelompok jabatan.
4. Jabatan adalah sekumpulan pekerjaan dalam organisasi perusahaan.
5. Analisa jabatan adalah proses metoda secara sistimatis untuk memperoleh data jabatan,
mengolahnya menjadi informasi jabatan yang dipergunakan untuk berbagai
kepentingan program kelembagaan, ketatalaksanaan dan Manajemen Sumber Daya
Manusia.
6. Uraian jabatan adalah ringkasan aktivitas-aktivitas yang terpenting dari suatu jabatan,
termasuk tugas dan tanggung jawab dan tingkat pelaksanaan jabatan tersebut;
7. Evaluasi jabatan adalah proses menganalisis dan menilai suatu jabatan secara
sistimatik untuk mengetahui nilai relatif bobot jabatan-jabatan dalam suatu organisasi.
8. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya ;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
9.
dalam bentuk lain.

Pasal 2

Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dalam penetapan upah pekerja/buruh
diperusahaan.

Pasal 3
Dalam penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
dilaksanakan melalui :
a. analisa jabatan;
b. uraian jabatan;
c. evaluasi jabatan;

Pasal 4

Dalam melakukan analisa, uraian dan evaluasi jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 diperlukan data/informasi
a. bidang usaha dari perusahaan yang bersangkutan;
b. tingkat teknologi yang digunakan;
c. struktur organisasi;
d. manajemen perusahaan.

Pasal 5

(1) Analisa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, merumuskan jabatan-
jabatan baik tenaga pelaksana, non manajerial, maupun manajerial dalam suatu
perusahaan.
(2) Analisa jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan menghasilakan uraian
jabatan dalam organisasi perusahaaan meliputi :
a. identifikasi jabatan;
b. ringkasan tugas;
c. rincian tugas;
d. spesifikasi jabatan termasuk didalamnya :
d.1. pendidikan;
d.2. pelatihan/kursus;
d.3. pengalaman kerja;
d.4. psikologi (bakat kerja, tempramen kerja dan minat kerja);
d.5. masa kerja;
e. hasil kerja;
f. tanggung jawab.

Pasal 6

(1) Evaluasi jabatan berfungsi untuk mengukur dan menilai jabatan yang tertulis dalam
uraian jabatan dengan metoda tertentu.
(2) Faktor-faktor yang diukur dan dinilai dalam evaluasi jabatan antara lain :
a. tanggung jawab;
b. andil jabatan terhadap perusahaan;
c. resiko jabatan;
d. tingkat kesulitan jabatan;
(3) Hasil evaluasi jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan antara lain :
a. penetapan upah;
b. penilaian pekerjaan;
c. penetapan kebijakan pengembangan sumber daya manusia perusahaan.

Pasal 7

Dasar pertimbangan penyusunan struktur upah dapat dilakukan melalui :


a. Struktur organisasi;
b. rasio perbedaan bobot pekerjaan antar jabatan;
c. kemampuan perusahaan;
d. upah minimum;
e. kondisi pasar.

Pasal 8

(1) Penyusunan skala upah dapat dilakukan melalui :


a. skala tunggal;
b. skala ganda.
(2) Dalam skala tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, setiap jabatan
pada golongan jabatan yang sama mempunyai upah yang sama.
(3) Dalam skala ganda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, setiap golongan
jabatan mempunyai nilai upah nominal terendah dan tertinggi.

Pasal 9

(1) Skala ganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, dapat berbentuk
skala ganda berurutan dan skala tumpang tindih.
(2) Dalam hal skala ganda berurutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), upah
tertinggi pada golongan jabatan dibawahnya lebih kecil dari upah terendah pada
golongan jabatan diatasnya.

Pasal 10

(1) Petunjuk teknis penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana terlampir
merupakan pedoman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.
(2) Penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi
dan mempertimbangkan kondisi perusahaan.
Pasal 11

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April
2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK
INDONESIA

JACOB NUWA WEA

Lampiran : Petunjuk Teknis Penyusunan Struktur dan Skala Upah (format PDF)
KEPMEN NO. 102 TH 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR KEP. 102/MEN/VI/2004

TENTANG

WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 78 ayat (4) Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
perlu diatur mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja
lembur;
b.bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri;

Mengingat : 1.Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Repupblik Indonesia Tahun
1951 Nomor 4);
2.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3839);
3.Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3952);
5.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M
Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan 1.Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama


: Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004.
2.Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 23 Maret 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH
KERJA LEMBUR.

Pasal 1.

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam
1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 5 (lima) harikerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu
kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang
ditetapkan Pemerintah.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
4. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
6. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerja dan/ atau
jasa yang telah atau akan dilakukan.
7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Pengaturan waktu kerja lembur berlaku untuk semua perusahaan, kecuali bagi
perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu.
(2) Perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur tersendiri dengan Keputusan Menteri.

Pasal 3

(1) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari
libur resmi.

Pasal 4

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib


membayar upah lembur.
(2) Bagi pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak
berhak atas upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan
ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi.
(3) Yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana,
pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat
dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai denga peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5

Perhitungan upah kerja lembur berlaku bagi semua perusahaan, kecuali bagi
perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 6

(1) Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan
persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Perintah tertulis dan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang
ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.
(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar
pelaksanaan kerja lemb ur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur
dan lamanya waktu kerja lembur.

Pasal 7

(1) Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur


berkewajiban :

a. membayar upah kerja lembur;


b. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya ;
c. memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori
apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.

(2) Pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
tidak boleh diganti dengan uang.

Pasal 8

(1) Perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan.


(2) Cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.

Pasal 9

(1) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan
besarnya upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi
pekerja/buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau
dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu.
(2) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah
sebulan adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
(3)Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata
selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah
minimum setempat.

Pasal 10

(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar
perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak
tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh
puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75
% (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.

Pasal 11

Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut :

a. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :


a.1. untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu
setengah) kali upah sejam;
a.2. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar
2(dua) kali upah sejam.
b. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari
libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam
seminggu maka :
b.1. perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2
(dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam
dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah
sejam.
b.2. apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan
upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam
keenam 3(tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4
(empat) kali upah sejam.
c. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari
libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam
seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam
pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3(tiga)
kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah
sejam.
Pasal 12

Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang
nilainya lebih baik dari Keputusan Menteri ini, maka perhitungan upah lembur
tersebut tetap berlaku.

Pasal 13

(1) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur, maka
yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pengawas
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
(2) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka dapat meminta
penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Provinsi.
(3) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada
perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1(satu)
Provinsi yang sama, maka yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur
adalah pengawas ketenagakerjaan Provinsi.
(4) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat meminta
penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.

Pasal 14

Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada
perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Provinsi, maka yang berwenang
menetapkan besarnya upah lembur adalah Pengawas Ketenagakerjaan Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 15

Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja


Nomor:KEP-72/MEN/1984 tentang Dasar Perhitungan Upah Lembur, Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-608/MEN/1989 tentang Pemberian Izin
Penyimpangan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Bagi Perusahaan-perusahaan
Yang Mempekerjakan Pekerja 9 (sembilan) Jam Sehari dan 54 (lima puluh empat)
Jam Seminggu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor:
PER-06/MEN/1993 tentang waktu kerja 5 (lima) Hari Seminggu dan 8 (delapan)
Jam Sehari, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 16

Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2004

MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 234 TH 2003

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP.234 /MEN/2003

TENTANG

WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA


ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PADA DAERAH TERTENTU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 77 ayat (4) dan Pasal 78


ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dipandang perlu diatur mengenai waktu
kerja dan istirahat pada sektor usaha energi dan sumber
daya mineral pada daerah tertentu;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun
2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 9 Oktober 2003.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG WAKTU
KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA ENERGI
DAN SUMBER DAYA MINERAL PADA DAERAH TERTENTU.

Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Waktu Kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan pada satu
periode tertentu.
2. Waktu Kerja Lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja atau 8
(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja.
3. Upah Kerja Lembur adalah upah yang harus dibayar kepada pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan lebih dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja.
4. Periode Kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk melakukan
pekerjaan.
5. Daerah tertentu adalah daerah operasi kegiatan perusahaan sektor Energi dan
Sumber Daya Mineral di daerah terpencil dan atau lepas pantai.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
7. Perusahaan adalah :

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

8. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2
(1) Perusahaan di bidang Energi dan Sumber Daya Mineral termasuk perusahaan jasa
penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat memilih dan
menetapkan salah satu dan atau beberapa waktu kerja sesuai dengan kebutuhan
operasional perusahaan sebagai berikut:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk
waktu kerja 6 (enam) hari dalam 1 (satu) minggu;
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk waktu kerja 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu;
c. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 45 (empat puluh lima) jam
dalam 5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
d. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 50 (lima puluh) jam dalam 5
(lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
e. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 55 (lima puluh lima) jam dalam
5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
f. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 63 (enam puluh tiga) jam
dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
g. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 70 (tujuh puluh) jam dalam 7
(tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
h. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 77 (tujuh puluh tujuh) jam
dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
i. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 90 (sembilan puluh) jam dalam
10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
j. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 100 (seratus) jam dalam 10
(sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
k. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 110 (seratus sepuluh) jam
dalam 10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
l. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 126 (seratus dua puluh enam)
jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
m. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 140 (seratus empat puluh) jam
dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
n. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 154 (seratus lima puluh empat)
jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf n,
tidak termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya selama 1 (satu) jam.
(3) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n,
sudah termasuk waktu kerja lembur tetap sebagai kelebihan 7 (tujuh) jam 1 (satu)
hari.
Pasal 3

Pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Pasal 4
(1) Perusahaan dapat melakukan pergantian dan atau perubahan waktu kerja dengan

memilih dan menetapkan kembali waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2 ayat (1).

(2) Pergantian dan atau perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) wajib diberitahukan terlebih dahulu oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh


sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal perubahan dilaksanakan.

(3) Dalam hal perusahaan akan melakukan perubahan waktu kerja sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), maka Pengusaha memberitahukan secara tertulis atas

perubahan tersebut kepada Instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

Pasal 5
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b, wajib memberikan waktu istirahat sebagai berikut:
a. setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama 6 (enam) hari
dalam 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan 1 (satu) hari
istirahat.
b. setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama 5 (lima) hari
dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1(satu) minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan 2
(dua) hari istirahat.
(2) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, harus menggunakan perbandingan waktu
kerja dengan waktu istirahat 2 (dua) banding 1 (satu) untuk 1 (satu) periode kerja
dengan ketentuan maksimum 14 (empat belas) hari terus menerus dan istirahat
minimum 5 (lima) hari dengan upah tetap dibayar.
(3) Waktu yang dipergunakan pekerja/buruh dalam perjalanan dari tempat tinggal
yang diakui oleh Perusahaan ke tempat kerja adalah termasuk waktu kerja apabila
perjalanan memerlukan waktu 24 (dua puluh empat) jam atau lebih.

Pasal 6
Dalam hal perusahaan telah memilih dan menetapkan salah satu dan atau beberapa
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ternyata pekerja/buruh
dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, maka perusahaan wajib membayar upah
sesuai dengan waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan.

Pasal 7

Dalam hal perusahaan memilih dan menetapkan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b, dan mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi, maka perusahaan
wajib membayar upah kerja lembur.

Pasal 8
Dalam hal hari libur resmi jatuh pada satu periode kerja yang telah dipilih dan
ditetapkan oleh Perusahaan berdasarkan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, maka hari libur resmi tersebut dianggap
hari kerja biasa.

Pasal 9
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b wajib membayar upah kerja lembur sebagai berikut :
a. apabila kerja lembur dilakukan pada hari biasa, maka :
a.1. Untuk jam kerja lembur pertama selebihnya 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja wajib dibayar upah kerja lembur
sebesar 1,5 (satu setengah) x upah sejam.
a.2. Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya, wajib dibayar upah kerja
lembur sebesar 2 (dua) X upah sejam.
b. apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan hari libur
resmi, maka:
b.1. untuk setiap jam dalam batas 7 (tujuh) jam, wajib dibayar upah kerja
lembur sekurang-kurangnya 2 (dua) x upah sejam;
b.2. untuk jam kerja pertama selebihnya 7 (tujuh) jam, wajib dibayar upah
kerja lembur sebesar 3 (tiga) x upah sejam;
b.3. untuk jam kerja kedua selebihnya 7 (tujuh) jam dan seterusnya, wajib
dibayar upah kerja lembur sebesar 4 (empat) x upah sejam.

Pasal 10
(1) Perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada upah bulanan.
(2) Upah sejam dihitung 1/173 (satu perseratus tujuh puluh tiga) dari upah sebulan.

Pasal 11
(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka dasar
perhitungan upah kerja lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak
tetap, maka perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada hasil perhitungan
yang lebih besar antara 100% (seratus perseratus) upah pokok ditambah tunjangan
tetap, atau 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah keseluruhan.
Pasal 12
Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, wajib membayar upah kerja lembur setelah

7 (tujuh) jam kerja dengan perhitungan sebagai berikut :

a. untuk waktu kerja 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3 ½ (tiga setengah) x upah sejam;
b. untuk waktu kerja 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5 ½ (lima setengah) x upah sejam;
c. untuk waktu kerja 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 7 ½ (tujuh setengah) x upah sejam.

Pasal 13
(1) Perusahaan yang mengunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
harus melaporkan pelaksanaannya 3 (tiga) bulan sekali kepada Instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan

tembusan kepada Menteri.

2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat :

a. waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan serta waktu istirahat;

b. jumlah pekerja/buruh yang dipekerjakan;

c. daftar upah kerja lembur tetap;

d. perubahan pelaksanaan waktu kerja.

Pasal 14
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor : KEP-64/MEN/1997 tentang Waktu Kerja Waktu Istirahat dan Perhitungan Upah
Lembur Pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi di
Daerah Lepas Pantai atau Daerah Operasi Tertentu dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 15
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JACOB NUWA WEA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2003
TENTANG

PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION


IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI
DAN PERDAGANGAN)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa salah satu upaya untuk menciptakan hubungan industrial


yang harmonis dan berkeadilan serta untuk menjamin penegakan
hukum dan perlindungan tenaga kerja, dilakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan;

b. bahwa ketentuan Konvensi ILO No. 81 dapat lebih menjamin


pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia sesuai
dengan standar internasional;

c. bahwa Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ketiga puluh


tanggal 11 Juli 1947 di Jenewa, Swiss, telah menyetujui ILO
Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry and
Commerce (Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan);

d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, dan


c dipandang perlu mengesahkan ILO Convention No. 81
Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce
(Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan
Dalam Industri dan Perdagangan) dengan Undang-undang;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, dan
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4012);

Dengan persetujuan bersama antara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO.


81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND
COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN).

Pasal 1

Mengesahkan ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in


Industry and Commerce (Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan) yang salinan naskah
aslinya dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis, dan terjemahannya
dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.
Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Juli 2003

Presiden Republik Indonesia,


ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 91


PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 21 TAHUN 2003

TENTANG

PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION


IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI
DAN PERDAGANGAN)

I. UMUM

Masalah ketenagakerjaan di masa datang akan terus berkembang semakin


kompleks sehingga memerlukan penanganan yang lebih serius. Pada masa
perkembangan tersebut pergeseran nilai dan tata kehidupan akan banyak terjadi.
Pergeseran dimaksud tidak jarang melanggar peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Menghadapi pergeseran nilai dan tata kehidupan para pelaku industri dan
perdagangan, pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil
langkah-langkah antisipatif serta mampu menampung segala perkembangan yang
terjadi. Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan
ketenagakerjaaan harus terus dilakukan agar peraturan perundang-undangan
dapat dilaksanakan secara efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan.
Dengan demikian pengawasan ketenagakerjaan sebagai suatu sistem
mengemban misi dan fungsi agar peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan dapat ditegakkan.

Penerapan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga dimaksudkan


untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi pengusaha dan
pekerja/buruh sehingga kelangsungan usaha dan ketenangan kerja dalam rangka
meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan tenaga kerja dapat terjamin.

Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu meratifikasi ILO Convention No. 81


Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi ILO No. 81
mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan)
sehingga pengawasan ketenagakerjaan dapat dilaksanakan secara lebih efektif
sesuai standar ILO.

II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI

1. Konvensi ILO No. 81 Tahun 1947 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan


dalam Industri dan Perdagangan meminta semua negara anggota ILO untuk
melaksanakan sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja.

2. Agar sistem pengawasan ketenagakerjaan dalam Industri dan perdagangan


mempunyai pengaturan yang sesuai dengan standar internasional sehingga
dirasa perlu untuk mengesahkan Konvensi ILO No. 81.

III. ALASAN INDONESIA MENGESAHKAN KONVENSI

1. Pengawasan ketenagakerjaan merupakan suatu sistem yang sangat


penting dalam penegakan atau penerapan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan. Penegakan atau penerapan peraturan perundang-
undangan merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban bagi pengusaha dan pekerja/buruh. Keseimbangan tersebut
diperlukan untuk menjaga kelangsungan usaha dan ketenangan kerja yang
pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan
tenaga kerja.

2. Agar peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dapat


dilaksanakan dengan baik, maka diperlukan pengawasan ketenagakerjaan
yang independen dan kebijakan yang sentralistik.

3. Selama ini pengawasan ketenagakerjaan diatur dalam Undang-undang


Nomor 3 Tahun 1951 . < Keselamatan tentang 1970 Tahun 1 Nomor
Undang-undang dan Indonesia seluruh untuk Republik dari 23 1948
Perburuhan Pengawasan Berlakunya Pernyataan>SPAN>Kedua Undang-
undang tersebut secara eksplisit belum mengatur mengenai kemandirian
profesi Pengawas Ketenagakerjaan serta supervisi tingkat pusat
sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 6 Konvensi
ILO Nomor 81. Dengan meratifikasi Konvensi ILO No. 81 memperkuat
pengaturan pengawasan ketenagakerjaan yang diamanatkan oleh Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia


dan sebagai anggota ILO mempunyai kewajiban moral untuk melaksanakan
ketentuan yang bersifat internasional termasuk standar ketenagakerjaan
internasional.

IV. POKOK-POKOK KONVENSI

1. Negara anggota ILO yang memberlakukan Konvensi ini harus


melaksanakan sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja.

2. Sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja harus diterapkan di


seluruh tempat kerja berdasarkan perundang-undangan, yang
pengawasannya dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan.

3. Fungsi sistem pengawasan ketenagakerjaan harus :

a. menjamin penegakan hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan


tenaga kerja dan peraturan yang menyangkut waktu kerja, pengupahan,
keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan, tenaga kerja anak serta
orang muda dan masalah-masalah lain yang terkait.

b. memberikan informasi tentang masalah-masalah teknis kepada


pengusaha dan pekerja/buruh mengenai cara yang paling efektif untuk
mentaati peraturan perundang-undangan.

c. memberitahukan kepada pemerintah mengenai terjadinya penyimpangan


atau penyalahgunaan yang secara khusus tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

4. Pengawasan ketenagakerjaan harus berada di bawah supervisi dan kontrol


pemerintah pusat.

5. Pemerintah Pusat harus menetapkan peraturan-peraturan untuk


meningkatkan :

a. kerjasama yang efektif antara unit pengawasan dengan instansi


pemerintah lainnya dan swasta yang menangani kegiatan serupa.
b. kerjasama antara Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dengan
pengusaha dan pekerja/buruh atau organisasi pengusaha dan
organisasi pekerja/buruh.

6. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terdiri atas Pegawai Negeri Sipil yang


status hubungan kerja dan syarat tugasnya diatur sedemikian rupa sehingga
menjamin pelaksanaan tugas pengawasan ketenagakerjaan yang
independen.

7. Sesuai dengan syarat-syarat untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil yang


ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan nasional, maka pengawas
ketenagakerjaan harus :

a. direkrut dengan memperhatikan syarat -syarat jabatan.

b. memperoleh pelatihan agar dapat menjalankan tugas sebagaimana


mestinya.

8. Persyaratan rekruitmen dan pelatihan harus ditetapkan oleh pemerintah.

9. Jumlah dan spesialisasi Pengawas Ketenagakerjaan harus mencukupi


untuk menjamin pelaksanaan tugas-tugas pengawasan yang efektif.

10. Pejabat yang berwenang mempunyai kewajiban :

a. menetapkan pengaturan-pengaturan yang diperlukan agar Pengawas


Ketenagakerjaan dapat diberikan kantor lokal, perlengkapan dan
fasilitas transportasi yang memadai sesuai dengan persyaratan tugas
pekerjaan.

b. membuat pengaturan-pengaturan yang diperlukan untuk mengganti biaya


perjalanan Pengawas Ketenagakerjaan dalam pelaksanaan tugas-tugas
mereka.

11. Pengawas Ketenagakerjaan atau kantor pengawasan lokal harus


memberikan laporan secara periodik kepada kantor pengawasan pusat
mengenai hasil kegiatan pengawasan.

12. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib memberikan
laporan terhadap pelaksanaan Konvensi tersebut.

V. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara terjemahan Konvensi dalam
bahasa Indonesia dengan salinan naskah aslinya, maka yang berlaku adalah
salinan naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris.

Pasal 2

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4309


UNDANG-UNDANG NO. 2 TH 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2004

TENTANG

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu


diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai- nilai Pancasila;
b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial
menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi
dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat,
tepat, adil, dan murah;
c. bahwa Undang- undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b,
dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2),
dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan?ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3316);
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3327)
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

Dengan persetujuan bersama antara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN


HUBUNGAN INDUSTRIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang- undang ini yang dimaksud dengan :

1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang


mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.
2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul


karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara


serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya
dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
6. Pengusaha adalah:

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7. Perusahaan adalah:

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

8. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,


dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
9. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
10. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
11. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
12. Mediator Hubungan Industrial ya ng selanjutnya disebut mediator adalah
pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang
ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai
kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih
untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
13. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral.
14. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah
seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator
ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
15. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah
penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan
Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
16. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang
atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter
yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai
perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui
arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
17. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
18. Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada
Pengadilan Hubungan Industrial.
19. Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial
dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul
serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.

20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah
Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan
terhadap perselisihan hubungan industrial.
21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih
dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai
mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
dimulainya perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya- upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas.
(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan
kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase.
(4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang
bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial.
Pasal 6
(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat
risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Pasal 7

(1) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat


mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak.

(2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan
menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.

(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan
oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan
Perjanjian Bersama.

(4) Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.

(5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar
untuk mendapat penetapan eksekusi.

(6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka
pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi

Pasal 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di
setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal 9

Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai


berikut :

a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;


b. warga negara Indonesia;
c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. menguasai peraturan perundang- undangan ketenagakerjaan;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 10

Dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima


pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.

Pasal 11
(1) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 12
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus
ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 13
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum
pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka:

a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;

b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu


selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama
harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam
waktu selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima
anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada
huruf c dianggap meno lak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, maka dalam waktu selambat- lambatnya 3 (tiga) hari kerja
sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu
para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan
akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf
e dilakukan sebagai berikut:

a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran


dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;

b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan


ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum


Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Pasal 14

(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau
salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Pasal 15

Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga


puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).

Pasal 16

Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata
kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi

Pasal 17

Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang


terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal 18
(1) Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang wilayah
kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
(2) Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara
tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
(3) Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan
disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada
kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
Pasal 19
(1) Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi syarat:
a.b. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S.1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya
5 (lima) tahun;
h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan;
dan
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberi
legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 20

Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima


permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat- lambatnya pada
hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.

Pasal 21

(1) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industria l berdasarkan undang-undang ini, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus
ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 23

(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan


industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar
di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan
akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui konsiliasi, maka:
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi
pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memb erikan jawaban secara tertulis kepada
konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam
waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima
anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada
huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a, maka, dalam waktu selambat- lambatnya 3 (tiga) hari kerja
sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator ha rus sudah selesai membantu
para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta
bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf
e dilakukan sebagai berikut:

a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran


dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;

b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf


e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di
daftar untuk mendapat penetapan eksekusi;

c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum


Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Pasal 24
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak
atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.

Pasal 25

Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga


puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.

Pasal 26

(1) Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan


penyelesaian perselisihan yang dibebankan kepada negara.
(2) Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 27

Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri
atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 28

Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi konsiliator


serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Keempat

Penyelesaian Melalui Arbitrase

Pasal 29

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi


perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.

Pasal 30

(1) Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial


harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(2) Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 31
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakan hukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti
ujian arbitrase; dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-
kurangnya 5 (lima) tahun.
(2) Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran
arbiter diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 32
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas
dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2) Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat
perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing
pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum
yang sama.
(3) Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan
kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak
yang berselisih.

Pasal 33
(1) Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih
arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa
arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tungga l, maka para
pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
(4) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis)
dalam jumlah gasal, masing- masing pihak berhak memilih seorang arbiter
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga
ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat- lambatnya
7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
(5) Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan secara tertulis.
(6) Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal
maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua
Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh
Menteri.
(7) Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan
kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi
kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(8) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak mengenai
penerimaan penunjukannya secara tertulis.
Pasal 34
(1) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang
berselisih.

(2) Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


sekurang-kurangnya memuat hal- hal sebagai berikut :
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih dan arbiter;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan
kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase;
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak
yang berselisih dan arbiter;
f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui
kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
(3) Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
kurangnya dibuat rangkap 3 (tiga), masing- masing pihak dan arbiter
mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(4) Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari
perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter.
Pasal 35
(1) Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat
perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang
bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
(2) Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.
(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat
dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus tersebut .
(4) Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para
pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan
Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan
alasan yang dapat diterima.

Pasal 36
(1) Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka
para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
(2) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau
meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada
pihak yang memilih arbiter.
(3) Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri
atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti
berdasarkan kesepakatan para arbiter.
(4) Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk arbiter pengganti
dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja.
(5) Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau
salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan
Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan
harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu selambat- lambatnya 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan penggantian arbiter.

Pasal 37

Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat


pernyataan kesediaan menerima hasil- hasil yang telah dicapai dan melanjutkan
penyelesaian perkara.

Pasal 38

(1) Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase
dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup
alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter
akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam
mengambil putusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti
adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau
kuasanya.
(3) Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan
perlawanan.

Pasal 39

(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan
kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter
yang bersangkutan.

(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan
kepada majelis arbiter yang bersangkutan.

Pasal 40
(1) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter.
(2) Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian
penunjukan arbiter.
(3) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang
jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali
perpanjangan selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
Pasal 41

Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau


majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang
berselisih menghendaki lain.

Pasal 42

Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya
dengan surat kuasa khusus.

Pasal 43

(1) Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa
suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut,
maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan
arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
(2) Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu
pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk
itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa
perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau
kuasanya.
(3) Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian
penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau
majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut tidak
dapat diminta kembali oleh para pihak.

Pasal 44

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali


dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.

(2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka
arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang
ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis
arbiter.
(3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter
mengadakan perdamaian.
(4) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dilakukan sebagai berikut :

a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran


dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;

b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta
Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;

c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum


Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

(5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal,
arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.

Pasal 45

(1) Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan


untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian
masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu
untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.
(2) Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak
untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis,
dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka
waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbiter.

Pasal 46

(1) Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau
seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.

(2) Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib
mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing- masing.

(3) Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan


pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli dibebankan
kepada pihak yang meminta.

(4) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada
pihak yang meminta.
(5) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta oleh
arbiter dibebankan kepada para pihak.

Pasal 47
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter
guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang- undang ini wajib memberikannya, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 48

Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat


berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter.

Pasal 49

Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan


yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.

Pasal 50

(1) Putusan arbitrase memuat:


a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. nama lengkap dan alamat para pihak;
d. hal- hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para
pihak yang berselisih;
e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak
yang berselisih;
f. pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g. pokok putusan;
h. tempat dan tanggal putusan;
i. mulai berlakunya putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.

(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan
alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya
putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) harus dicantumkan dalam putusan.
(4) Dalam putusan, ditetapkan selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja
harus sudah dilaksanakan.

Pasal 51
(1) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak
yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
(2) Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter
menetapkan putusan.
(3) Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan
untuk dijalankan.
(4) Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan
didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

Pasal 52
(1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat- lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan
diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan,
Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase.
(3) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.

Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui
arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Pasal 54

Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun
atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat
dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.

BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umu m
Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan peradilan umum.

Pasal 56
Pengadilan Hub ungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus:

a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;


b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
kecuali yang diatur secara khusus dalam undang- undang ini.
Pasal 58
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang
berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya
di bawah Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 59
(1) Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan
Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang
berada di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi
yang bersangkutan.
(2) Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan
Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 60
(1) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri
dari:
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan
d. Panitera Pengganti.
(2) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri
dari:
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Bagian Kedua
Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi
Pasal 61
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan
diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pasal 63
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan
Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh
Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul
serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
(3) Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc
Hubungan Industrial kepada Presiden.
Pasal 64

Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan


Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat
sebagai berikut :

a. warga negara Indonesia ;

b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;

d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;

e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;

f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;


g. berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali bagi Hakim Ad-
Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; dan

h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.

Pasal 65
(1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:
?Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang- undang serta peraturan
lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan
akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku?.
(2) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat
yang ditunjuk.
Pasal 66
(1) Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:

a. anggota Lembaga Tinggi Negara;


b. kepala daerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil;
e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara;
h. mediator;
i. konsiliator;
j. arbiter; atau
k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi
pengusaha.
(2) Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat
dibatalkan.
Pasal 67
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc
Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena :
a. meninggal dunia ;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;
d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada
Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh
tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/organisasi
buruh yang mengusulkan; atau
g. telah selesai masa tugasnya.

(2) Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 68
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaanya tanpa alasan
yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 69
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat
(2).
Pasal 70
(1) Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan
dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia.
(2) Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur
serikat pekerja/serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi
pengusaha.
Pasal 71
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada
Hakim dan Hakim Ad-Hoc.

(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),


Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada
Hakim Kasasi.
(5) Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim
Kasasi Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan memutus
perselisihan.
Pasal 72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan
tidak hormat, dan pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 73
Tunjangan dan hak- hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Pasal 74
(1) Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan
Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang
dipimpin oleh seorang Panitera Muda.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Muda sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 75
(1) Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1)
mempunyai tugas:
a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan
b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara.

(2) Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sekurang-
kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis
perselisihan.
Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang,
penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
Pasal 77
(1) Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan
pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang- undangan yang
berlaku.
Pasal 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita
Acara.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh
Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal 80
(1) Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya
yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2) Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub
Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf 1
Pengajuan Gugatan
Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja.
Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu)
tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.

Pasal 83

(1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi
atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengembalikan gugatan kepada pengugat.

(2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan,
hakim meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya.

Pasal 84

Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif
dengan memberikan kuasa khusus.

Pasal 85
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan
gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan
Industrial hanya apabila disetujui tergugat.

Pasal 86

Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan


perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial
wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan
kepentingan.

Pasal 87

Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai


kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili
anggotanya.

Pasal 88
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim
yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua)
orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan
memutus perselisihan.
(2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang
Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat
buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
(3) Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 89
(1) Dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang
pertama.
(2) Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat
tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di
tempat kediaman terakhir.
(3) Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat
tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala
Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
(4) Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui
orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal,
maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung
Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal 90
(1) Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di
persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di
bawah sumpah.

Pasal 91

(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.

(2) Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 92

Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 88 ayat (1).

Pasal 93

(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim
menetapkan hari sidang berikutnya.
(2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penundaan.
(3) Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan
sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal 94
(1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap
Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat
berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
(2) Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara
patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap
Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus
perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal 95
(1) Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim
menetapkan lain.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib
persidangan.
(3) Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah
Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Pasal 96
(1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha
terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 155 ayat (3) Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan
Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-
hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.

(2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada
hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan
Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh
pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah
Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan
dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 97

Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus


dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak
atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Paragraf 3

Pemeriksaan Dengan Acara Cepat

Pasal 98

(1) Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang
cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan
permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak
dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat.

(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri
mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya
permohonan tersebut.

(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
digunakan upaya hukum.

Pasal 99

(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1)
dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa
melalui prosedur pemeriksaan.

(2) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-
masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.

Paragraf 4
Pengambilan Putusan
Pasal 100

Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian


yang ada, kebiasaan, dan keadilan.

Pasal 101

(1) Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera
Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang
tidak hadir tersebut.
(3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai
putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Pasal 102
(1) Putusan Pengadilan harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: ?DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA?;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat
kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemo hon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang
jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang
terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus,
nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para
pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat- lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung
sejak sidang pertama.

Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.

Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus
sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam
sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani,
Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan
putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan
putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan
perlawanan atau kasasi.
Pasal 109

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai


perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.

Pasal 110

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri


mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam
sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan
putusan.
Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi
harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam
waktu selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada
Ketua Mahkamah Agung.

Bagian Kedua

Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi

Pasal 113

Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim
Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan
industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada
Mahkamah Agung selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan kasasi.

BAB V

SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA

Bagian Kesatu

Sanksi Administratif

Pasal 116

(1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial


dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan
yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi
administratif berupa hukuman disip lin sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
(2) Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu
selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera yang
tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 117

(1) Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu


selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat
Perjanjian Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif
berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah
yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 118

Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai


konsiliator dalam hal:
a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak
3 (tiga) kali;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan; dan atau
d. membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (3).

Pasal 119

(1) Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial


dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam
jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan sementara sebagai arbiter.
(3) Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan
setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang
ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 120
(1) Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap
sebagai arbiter dalam hal:
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase
perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah
mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan
arbiter tersebut;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak
3 (tiga) kali.
(2) Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan
perselisihan yang sedang ditanganinya.

Pasal 121
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118,
Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kedua

Ketentuan Pidana

Pasal 122
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan
atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 123

Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha- usaha sosial dan
usaha- usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya
diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 124
(1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan
fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
(2) Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-
undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja
yang telah diajukan kepada:
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-
lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka
diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau
lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan
putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-
lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka
diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau
lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang ditolak
dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan
tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari,
maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 125
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaia n
Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b. Undang- undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);
dinyatakan tidak berlaku lagi.

(2) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-
undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-
undang ini.
Pasal 126
Undang?undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal

SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004


NOMOR 6

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi Sekretaris Kabinet

Bidang Hukum dan

Perundang- undangan,

ttd/cap

Lambock V. Nahattands

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR ?? TAHUN ??

TENTANG

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

I. UMUM

Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara


pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan
pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak.
Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat
terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan
ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan
perundang-undangan.

Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan


hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang
selama ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi
untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan
kerja. Hal ini disebabkan karena hubungan antara pekerja/buruh dan
pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak
untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu
pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut,
maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang
harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua
belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan
Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang- undang ini akan dapat
menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima
oleh salah satu pihak.

Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang
diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh,
maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan tidak dapat
dibatasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan
ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh
yang pada umumnya berkaitan dengan masalah keanggotaan dan
keterwakilan di dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan
penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak
dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi,
karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk
menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur
penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif,
sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh
secara perseorangan belum terakomodasi.
Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan P4P
sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh
pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan
menjadi semakin panjang.

Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang
berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.
Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak
tanpa dicampuri oleh pihak manapun.

Namun demikian pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan


masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha,
berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut.
Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas
untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.

Dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasi


keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial melalui konsiliasi atau arbitrase.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di
dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa
perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur
dalam undang- undang ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian
sengketa di bidang hubungan industrial.
Dengan pertimbangan-pertimbangan dimaksud di atas, undang-undang ini
mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan
oleh :
a. perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan
ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan;
b. kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam
melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan;
c. pengakhiran hubungan kerja;
d. perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat
pekerjaan.
Dengan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana
dimaksud di atas, maka undang-undang ini memuat pokok-pokok sebagai
berikut :
1. Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi
baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan
Usaha Milik Negara.
2. Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan
maupun organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau
organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain
dalam satu perusahaan.
3. Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan
secara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih
(bipartit).
4. Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal,
maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
5. Perselisihan kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja atau
Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak,
sedangkan penyelesaian perselisihan melalui abitrase atas kesepakan
kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah
pihak untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsiliasi atau
arbitrase, maka sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial
terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
menumpuknya perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan.
6. Perselisihan Hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui
konsiliasi atau arbitrase namun sebelum diajukan ke Pengadilan
Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi.
7. Dalam hal Mediasi atau Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang
dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase
dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase
bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal- hal tertentu dapat diajukan
pembatalan ke Mahkamah Agung.
9. Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan
umum dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada
Mahkamah Agung.
10. Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah,
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan
Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum
dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan
untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan
tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan kasasi ke
Mahkamah Agung.

11. Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili


perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang
beranggotakan 3 (tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri
dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi buruh.
12. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
13. Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan
alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1 s.d 21

Cukup jelas.

Pasal 2

Huruf a
Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif,
yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)
Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah
perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan
pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat
pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain
dalam satu perusahaan yang berselisih.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam pasal ini memberikan kebebasan bagi pihak yang
berselisih untuk secara bebas memilih cara penyelesaian
perselisihan yang mereka kehendaki.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Oleh karena mediator adalah seorang pegawai negeri sipil, maka selain syarat-
syarat yang ada dalam pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang
mengatur tentang pegawai negeri sipil pada umumnya.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11

Ayat (1)

Saksi ahli yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang
mempunyai keahlian khusus di bidangnya termasuk Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan


surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau
surat perintah lembur dan lain- lain yang dilakukan oleh orang yang
ditunjuk mediator.

Ayat (2)

Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan


perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka
permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli
harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang
rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat
bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari
pemilik rekening yang bersangkutan (Undang- undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian
pula ketentuan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1971
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-
lain.

Ayat (3)

Cukup jelas.
Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksudkan dengan anjuran tertulis adalah pendapat


atau saran tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para
pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 14
Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)

Ketentuan mengenai pengajuan gugatan yang diatur dalam ayat ini


sesuai dengan tatacara penyelesaian perkara perdata pada peradilan
umum.

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup Jelas.

Pasal 18

Cukup Jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Yang dimaksud dengan syarat lain dalam huruf i ini adalah


antara lain : pengaturan tentang standar kompetensi
konsiliator, pelatihan calon atau konsiliator, seleksi bagi
calon konsiliator, dan masalah teknis lainnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Ayat (1)

Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan


surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau
surat perintah lembur dan lain- lain yang dilakukan oleh orang yang
ditunjuk konsiliator.

Ayat (2)

Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan


perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka
permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli
harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang
rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat
bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari
pemilik rekening yang bersangkutan (Undang- undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian
pula ketentuan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1971
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-
lain.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.
Pasal 30

Ayat (1)

Penetapan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi


kepentingan masyarakat, oleh karena itu tidak setiap orang dapat
bertindak sebagai arbiter.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Mengingat keputusan arbiter ini mengikat para pihak dan


bersifat akhir dan tetap, arbiter haruslah mereka yang
kompeten di bidangnya, sehingga kepercayaan para pihak
tidak sia-sia.

Huruf h

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)

Arbiter yang ditetapkan Pengadilan tidak boleh arbiter yang telah


pernah ditolak oleh para pihak atau para arbiter tetapi harus arbiter
lain.

Pasal 37

Yang dimaksud dengan menerima hasil- hasil yang telah dicapai bahwa
arbiter pengganti terikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin
dalam risalah kegiatan penyelesaian perselisihan.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Ayat (1)

Dalam hal terjadi penggantian arbiter maka jangka waktu 30 (tiga


puluh) hari kerja dihitung sejak arbiter pengganti menandatangani
perjanjian arbitrase.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.
Pasal 42

Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini adalah kuasa yang
diberikan oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi kuasa kepada
seseorang atau lebih selaku kuasanya untuk mewakili pemberi kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum dan tindakan lainnya yang berkaitan dengan
perkaranya yang dicantumkan secara khusus dalam surat kuasa.

Pasal 43

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ?dipanggil secara patut? dalam ayat ini


yaitu para pihak telah dipanggil berturut-turut sebanyak 3 (tiga)
kali, setiap panggilan masing- masing dalam waktu 3 (tiga) hari.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan membukakan buku dan memperlihatkan


surat-surat dalam pasal ini adalah, misalnya buku tentang upah atau
surat perintah lembur dan dilakukan oleh orang yang ahli soal
pembukuan yang ditunjuk oleh arbiter.
Ayat (2)

Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan


perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka
permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli
harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang
rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat
bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari
pemilik rekening yang bersangkutan (Undang- undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian
pula ketentuan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1971
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-
lain.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Ayat (1)

Upaya hukum melalui permohonan pembatalan dimaksudkan untuk


memberi kesempatan kepada pihak berselisih yang dirugikan.

Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 53

Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian


hukum.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Ayat (1)

- Berhubung Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan Ibu Kota


Provinsi sekaligus Ibu Kota Negara Republik Indonesia
memiliki lebih dari satu Pengadilan Negeri, maka Pengadilan
Hubungan Industrial yang dibentuk untuk pertama kali dengan
undang-undang ini adalah Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

- Dalam hal di ibukota provinsi terdapat Pengadilan Negeri Kota


dan Pengadilan Negeri Kabupaten, maka Pengadilan Hubungan
Industrial menjadi bagian Pengadilan Negeri Kota.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kata ?segera? dalam ayat ini adalah bahwa
dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah undang-undang ini berlaku.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Ayat (1)

Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu


sesuai dengan agama masing- masing, misalnya untuk penganut
agama Islam ?Demi Allah? sebelum lafal sumpah dan untuk
penganut agama Kristen/Katholik kata-kata ?Kiranya Tuhan akan
menolong saya? sesudah lafal sumpah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67
Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan sakit jasmani atau rohani terus


menerus adalah sakit yang menyebabkan penderita tidak
mampu lagi melakukan tugasnya dengan baik.

Huruf d.

Cukup jelas.

Huruf e.

Yang dimaksud dengan tidak cakap menjalankan tugas


misalnya sering melakukan kesalahan dalam menjalankan
tugas karena kurang mampu.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Yang dimaksud tunjangan dan hak-hak lainnya adalah tunjangan jabatan


dan hak- hak yang menyangkut kesejahteraan.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam penyempurnaan gugatan, Panitera atau Panitera Penganti


dapat membantu penyusunan/menyempurnakan gugatan. Untuk itu
Panitera atau Panitera Pengganti mencatat dalam daftar khusus yang
memuat:

- nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak;

- pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau objek


gugatan;

- dokumen-dokumen, surat-surat dan hal- hal lain yang dianggap


perlu oleh penggugat.

Pasal 84

Cukup jelas.
Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana yang


dimaksud dalam pasal ini meliputi pengurus pada tingkat perusahaan,
tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan pusat baik serikat
pekerja/serikat buruh, anggota federasi, maupun konfederasi.

Pasal 88

Cukup jelas

Pasal 89

Cukup jelas

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan


perundang-undangan harus menjaga kerahasiannya, maka
permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli
harus mengikuti prosedur yang ditentukan.

Ayat (3)

Cukup jelas.
Pasal 92

Ketentuan sahnya persidangan dalam pasal ini dimaksudkan setiap sidang


harus dihadiri oleh Hakim dan seluruh Hakim Ad-Hoc yang telah ditunjuk
untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Ayat (1)

Permintaan putusan sela disampaikan bersama-sama dengan materi


gugatan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104
Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Dengan ketentuan ini berarti jangka waktu membuat putusan asli dan
salinan putusan dibatasi selama 14 (empat belas) hari kerja agar tidak
merugikan hak para pihak.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108
Cukup jelas.

Pasal 109
Cukup jelas.

Pasal 110

Cukup jelas.
Pasal 111

Yang dimaksud dengan Pengadilan Negeri setempat dalam pasal ini adalah
Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.

Pasal 112

Cukup jelas.

Pasal 113
Cukup jelas

Pasal 114
Cukup jelas.

Pasal 115

Cukup jelas.

Pasal 116

Cukup jelas.

Pasal 117

Cukup jelas.

Pasal 118
Cukup jelas.

Pasal 119
Cukup jelas.

Pasal 120

Cukup jelas.

Pasal 121
Cukup jelas.

Pasal 122
Cukup jelas.

Pasal 123
Cukup jelas.

Pasal 124

Cukup jelas.

Pasal 125

Cukup jelas.

Pasal 126

Tenggang waktu dalam pasal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan


penyediaan dan pengangkatan Hakim dan Hakim Ad Hoc, persiapan sarana
dan prasarana seperti penyediaan kantor dan ruang sidang Pengadilan
Hubungan Industrial.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR


4356
UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000

TENTANG
SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik


secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan
yang sama dalam hukum merupakan hak setiap warga negara;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat pekerja,/buruh
berhak membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh
yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab;
c. bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan syarat untuk
memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan
kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan
hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b,
c perlu ditetapkan undang-undang tetang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (2), pasal 27, dan pasal 28 Undang-
undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi
Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 mengenai Berlakunya
Dasar-Dasar daripadanya Hak Untuk Berorganisasi dan untuk Berunding
Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1050) ;
3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3886);

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja dan
buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
2. Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh
yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di
satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
3. Serikat pekerja/serikat buruh diluar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat
buruh yang didirikan oleh pekerja/buruh yang bekerja diluar perusahaan.
4. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat
buruh.
5. Konferensi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk yang lain.
7. Pengusaha adalah :
a. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
perusahaan milik sendiri;
b. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
8. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun
milik negara, yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau
imbalan dalam bentuk yang lain.
9. Perselisihan antar serikat pekerja/antar serikat buruh, federasi dan konferensi
serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konferensi serikat pekerja/serikat buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konferensi serikat pekerja/serikat buruh lain,
karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan serta
pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerja.
10. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II

ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN

Pasal 2

1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh menerima Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-undang Dasarf
1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh mempunyai asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.

Pasal 3

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh


mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

Pasal 4

1. Serikat Pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan,
serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan
keluarganya.
2. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
mempunyai fungsi :
a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaian perselisihan industrial;
b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaha kerja sama dibidang
ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraaturan perundang-undangan
yang berlaku;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan
pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham
dalam perusahaan.

BAB III
PEMBENTUKAN

Pasal 5

1. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat


pekerja/serikat buruh.
2. Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang pekerja/buruh.

Pasal 6

1. Serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota federasi


serikat pekerja/serikat buruh.
2. Federasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 5 (lima)
serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 7

1. Federasi serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota


konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.
2. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3
(tiga) federasi serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 8

Penjenjangan organisasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat


pekerja/serikat buruh diatur dalam anggaran dasar dan /atau anggaran rumah tangganya.

Pasal 9

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh


dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan
pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun.

Pasal 10

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan
kehendak pekerja/buruh.

Pasal 11

1. Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat


pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
2. Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
harus memuat :
a. nama dan lambang;
b. dasar negara, asas, dan tujuan;
c. tanggal pendirian;
d. tempat kedudukan;
e. keanggotaan dan kepengurusan;
f. sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
g. ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.

BAB IV

KEANGGOTAAN

Pasal 12

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus
terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa,
dan jenis kelamin.

Pasal 13

Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.

Pasal 14

1. Seorang pekerja /buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat
pekerja/serikat buruh disatu perusahaan.
2. Dalam hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada
lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, yang bersangkutan harus
menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/serikat buruh yang dipilihnya.

Pasal 15

Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu
menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak
boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh diperusahaan yang bersangkutan.

Pasal 16

1. Setiap serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari satu
federasi serikat pekerja/serikat buruh.
2. Setiap federasi serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari
satu konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 17

1. Pekerja/buruh dapat berhenti menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh


dengan pernyataan tertulis.
2. Pekerja/buruh dapat diberhentikan dari serikat pekerja/serikat buruh sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
3. Pekerja/buruh, baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota serikat
pekerja/serikat buruh yang berhenti atau diberhentikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) tetap bertanggung jawab atas kewajiban yang belum
dipenuhinya terhadap serikat pekerja/serikat buruh.

BAB V

PEMBERITAHUAN DAN PENCATATAN

Pasal 18

1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk
dicatat.
2. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri :
a. daftar nama anggota pembentuk;
b. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
c. susunan dan nama pengurus.

Pasal 19

Nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang akan diberitahukan tidak boleh sama dengan nama dan
lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah tercatat terlebih dahulu.

Pasal 20

1. Instansi pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1), wajib


mencatat dan memberikan nomor bukti pencatatan terhadap serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat
(2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, ayat (2), Pasal 11, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19,
selambat -lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima
pemberitahuan.
2. Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat
menangguhkan pencatatan dan pemberian nomor bukti pencatatan dalam hal
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 18 ayat (2), dan
Pasal 19.
3. Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan alasan-alasannya
diberitahukan secara tertulis kepada serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima pemberitahuan.

Pasal 21

Dalam hal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga, pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
memberitahukan kepada instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga tersebut.

Pasal 22

1. Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), harus


mencatat serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11,
Pasal 18 ayat (2), dan Pasal 19 dalam buku pencatatan dan memeliharanya
dengan baik.
2. Buku pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dapat dilihat
setiap saat dan terbuka untuk umum.

Pasal 23

Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara
tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 24

Ketentuan mengenai tata cara pencatatan diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri.

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 25
1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan
usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 26

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
berafiliasi dan/atau bekerja sama dengan serikat pekerja/serikat buruh internasional
dan/atau organisasi internasional lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 27

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban :

a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan


memperjuangkan kepentingannya;
b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;
c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai
dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

BAB VII

PERLINDUNGAN HAK BERORGANISASI

Pasal 28

Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk


atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota
atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh dengan cara :

a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan


jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun ;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 29

1. Pengusaha harus memberikan kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota


serikat pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh dalam jam kerja yang disepakati oleh kedua belah pihak dan/atau yang
diatur dalam perjanjian kerja bersama.
2. Dalam kesepakatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian kerja bersama dalam
ayat (1) harus diatur mengenai:
a. jenis kegiatan yang diberikan kesempatan;
b. tata cara pemberian kesempatan;
c. pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat
upah

BAB VIII

KEUANGAN DAN HARTA KEKAYAAN

Pasal 30

Keuangan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh bersumber dari :

a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran
rumah tangga;
b. hasil usaha yang sah; dan
c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.

Pasal 31

1. Dalam hal bantuan pihak lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c,
berasal dari luar negeri, pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan secara tertulis
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk meningkatkan
kualitas dan kesejahteraan anggota.

Pasal 32

Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi
pengurus dan anggotanya.

Pasal 33

Permintaan atau pengalihan keuangan dan harta kekayaan kepada pihak lain serta
investasi dana dan usaha lain yang sah hanya dapat dilakukan menurut anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Pasal 34

1. Pengurus bertanggung jawab dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan dan


harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Pengurus wajib membuat pembukuan keuangan dan harta kekayaan serta
melaporkan secara berkala kepada anggotanya menurut anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

BAB IX

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 35

Setiap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh diselesaikan secara musyawarah oleh serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Pasal 36

Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak mencapai


kesepakatan, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

BAB X

PEMBUBARAN
Pasal 37

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bubar
dalam hal :

a. dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran dasar dan anggaran rumah


tangga;
b. perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk selama-lamanya yang
mengakibatkan putusnya hubungan kerja bagi seluruh pekerja/buruh di
perusahaan setelah seluruh kewajiban pengusaha terhadap pekerja/buruh
diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. dinyatakan dengan putusan Pengadilan.

Pasal 38

1. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf c dapat membubarkan


serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh dalam hal:
a. serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945;
b. pengurus dan/atau anggota atas nama serikat pekerja/serikat buruh
terbukti melakukan kejahatan terhadap keamanan negara dan dijatuhi
pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
2. Dalam hal putusan yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, lama hukumnya tidak sama, maka
sebagai dasar gugatan pembubaran serikat pekerja/sserikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh digunakan putusan yang memenuhi
syarat.
3. Gugatan pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diajukan oleh instansi pemerintah kepada pengadilan tempat serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan berkedudukan.

Pasal 39

1. Bubarnya serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat


pekerja/serikat buruh tidak melepaskan para pengurus dari tanggung jawab dan
kewajibannya, baik terhadap anggota maupun pihak lain.
2. Pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang terbukti bersalah menurut
keputusan pengadilan yang menyebabkan serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibubarkan, tidak boleh membentuk
dan menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh lain selama 3 (tiga) tahun sejak putusan pengadilan
mengenai pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB XI
PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN

Pasal 40

Untuk menjamin hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja/serikat buruh
melaksanakan kegiatannnya, pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan
pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 41

Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagekerjaan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak
pidana.

BAB XII

SANKSI

Pasal 42

1. Pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal
21 atau Pasal 31 dapat dikenakan sanksi administratif pencabutan nomor bukti
pencatatan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang dicabut nomor bukti pencatatan kehilangan haknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, dan c sampai dengan waktu serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal
7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal 31.

Pasal 43

1. Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
3.

BAB XIII

KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 44

1. Pegawai negeri sipil mempunyai hak dan kebebasan untuk berserikat.


2. Hak dan kebebasan berserikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pelaksanaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.

BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 45

1. Pada saat diundangkannya undang-undang ini serikat pekerja/serikat buruh,


federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai
nomor bukti pencatatan yang baru sesuai dengan ketentuan undang-undang ini
selambat -lambatnya 1 (satu) tahun terhitung sejak mulai berlakunya undang-
undang ini.
2. Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak undang-undang ini mulai
berlaku, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang tidak menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-
undang ini dianggap tidak mempunyai nomor bukti pencatatan.

Pasal 46

Pemberitahuan pembentukan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi


serikat pekerja/serikat buruh yang telah diajukan, tetapi pemberitahuan tersebut belum
selesai diproses saat undang-undang ini mulai berlaku, harus diproses menurut ketentuan
undang-undang ini.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 47

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penetapannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 131


UNDANG-UNDANG NO. 7 TH 1981
UNDANG-UNDANG
Nomor: 7 TAHUN 1981
Tentang: WAJIB LAPOR KETENAGA KERJAAN DI PERUSAHAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa dalam melaksanakan kebijaksanaan di bidang perluasan kesempatan kerja dan
perlindungan tenaga kerja, sebagai kebijaksanaan pokok yang bersifat menyeluruh, diperlukan
data yang dapat memberikan gambaran mengenai ketenaga kerjaan di perusahaan;
b. bahwa untuk mendapatkan data tersebut, setiap pengusaha atau pengurus perlu melaporkan
mengenai ketenaga kerjaan di perusahaannya masing-masing;
c. bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan
sudah tidak sesuai lagi dengan lajunya usaha-usaha pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi serta digunakannya teknologi modern dewasa ini;
d. bahwa oleh karena itu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 perlu diganti;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang
Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :
Dengan mencabut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan
Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor
471);
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG WAJIB LAPOR KETENAGA KERJAAN DIPERUSAHAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjkan buruh dengan tujuan mencari
keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara.
b. Pengusaha adalah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri.
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan
bukan miliknya.
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar Indonesia.
c. Pengurus adalah orang yang ditunjuk untuk memimpin suatu perusahaan;
d. Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dengan menerima upah;
e. Mendirikan perusahaan adalah sejak perusahaan itu melakukan kegiatan fisik perusahaan dan
atau memperoleh izin;
f. Menghentikan perusahaan adalah menghentikan kegiatan usaha perusahaan tidak lebih dari
satu ta hun akan tetapi bukan bermaksud untuk membubarkan baik karena kemauan sendiri
maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g. Menjalankan kembali perusahaan adalah mulai menjalankan kembali kegiatan perusahaan
setelah dihentikan sebelumnya;
h. Memindahkan perusahaan adalah memindahkan tempat kedudukan dan atau lokasi
perusahaan, atau mengalihkan pemiliknya;
i. Membubarkan perusahaan adalah menghentikan kegiatan perusahaan untuk selama-lamanya;
j. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang ketenaga kerjaan.
Pasal 2
Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan diperlakukan sama dengan
perusahaan apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya
perusahaan mempekerjakan buruh.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 3
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) merupakan bahan
informasi resmi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan di bidang ketenaga kerjaan.
BAB III
KEWAJIBAN MELAPORKAN DAN SYARAT-SYARATNYA
Pasal 4
(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan,
menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Jika suatu perusahaan mempunyai kantor cabang atau bagian yang berdiri sendiri, kewajiban
yang ditetapkan dalam ayat (1) berlaku terhadap masing-masing kantor cabang atau bagian
yang berdiri sendiri itu.
Pasal 5
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4, Menteri mengatur lebih lanjut tentang pentahapan
perusahaan-perusahaan yang dikenakan wajib lapor.
Pasal 6
(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang
ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan,
menjalankan kembali atau memindahkan perusahaan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan :
a. identitas perusahaan;
b. hubungan ketenaga kerjaan;
c. perlindungan tenaga kerja;
d. kesempatan kerja.
(3) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengatur lebih lanjut perincian keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 7
(1) Setelah menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pengusaha atau
pengurus wajib melaporkan setiap tahun secara tertulis mengenai ketenaga kerjaan kepada
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Ketentuan Pasal 6 ayat (2) berlaku pula untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Pasal 8
(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang
ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum memindahkan,
menghentikan atau membubarkan perusahaan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan:
a. nama dan alamat perusahaan atau bagian perusahaan;
b. nama dan alamat pengusaha;
c. nama dan alamat pengurus perusahaan;
d. tanggal memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan;
e. alasan-alasan pemindahan, penghentian atau pembubaran perusahaan;
f. Kewajiban-kewajiban yang telah dan akan dilaksanakan terhadap buruhnya, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian kerja, perjanjian perburuhan dan
kebiasaan-kebiasaan setempat;
g. jumlah buruh yang akan diberhentikan.
BAB IV
TATACARA PELAPORAN
Pasal 9
Menteri mengatur tatacara laporan dan menetapkan bentuk laporan yang memuat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 8 ayat (2).
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 10
(1) Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 13 diancam dengan pidana
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- .(satu
juta rupiah).
(2) Dalam pengulangan pelanggaran untuk kedua kali atau lebih setelah putusan yang terakhir
tidak dapat diubah lagi, maka pelanggaran tersebut hanya dijatuhkan pidana kurungan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelanggaran.
Pasal 11
(1) Jika perbuatan sebagaitnana dimaksud dalarn Pasal 10 dilakukan oleh suatu persekutuan
atau suatu badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap
pengurus dari persekutuan atau pengurus badan hukum itu.
(2) Ketentuan ayat (1) berlaku pula terhadap persekutuan atau badan hukum lain yang bertindak
sebagai pengurus dari suatu persekutuan atau badan hukum lain itu.
(3) Jika pengusaha atau pengurus perusahaan sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan ayat (2)
berkedudukan di luar wilayah Indonesia, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana dijatuhkan
terhadap wakilnya di Indonesia.
Pasal 12
Selain dari pegawai penyidik umum, maka kepada pegawai pengawas perburuhan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tenta ng Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948, diberikan juga wewenang untuk
melakukan penyidikan atas pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan
peraturan pelaksanaannya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
(1) Perusahaan yang telah dilaporkan dan perusahaan yang belum dikenakan wajib lapor
berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib
melaporkan keadaan ketenaga kerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 3
(tiga) bulan sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
(2) Perusahaan yang telah didirikan tetapi belum dilaporkan berdasarkan Undang-undang Nomor
23 Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan keadaan ketenaga kerjaan di
perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Dengan dindangkannya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 15
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari ke 60 (enam puluh) sesudah hari pengundangannya.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
Lampiran :
Bentuk Laporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat 2
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

NO: PER-14/MEN/IV/2006

TENTANG

TATA CARA PELAPORAN KETENAGAKERJAAN


DI PERUSAHAAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa tata cara pelaporan ketenagakerjaan sebagaimana diatur


dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. No.PER-
06/MEN/1995 tentang Tata Cara Pelaporan Ketenagakerjaan di
Perusahaan, yang penyampaiannya dilaksanakan secara
langsung atau melalui pos oleh perusahaan kepada instansi yang
membidangi ketenagakerjaan pada Kabupaten/Kota dan
selanjutnya oleh instansi yang bersangkutan diteruskan ke
instansi yang membidangi ketenagakerjaan pada Propinsi dan
Pusat yang saat ini ternyata tidak berjalan sebagaimana
mestinya sehingga Pemerintah mengalami kendala dalam
menetapkan kebijakan mengenai hubungan ketenagakerjaan,
perlindungan tenaga kerja dan kesempatan kerja secara
nasional.
b. bahwa penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a
adalah sangat penting terutama menghadapi era globalisasi yang
menuntut tersedianya data yang akurat, cepat dan terukur serta
sedapat mungkin berbasis teknologi informasi, sehingga
penetapan kebijakan dapat mengakomodir kebutuhan hubungan
ketenagakerjaan, perlindungan tenaga kerja dan kesempatan
kerja dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan perlakuan yang tidak memihak (fair treatment) dan
dilaksanakan seragam (equal implementation) untuk seluruh
Indonesia.
c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b,
dipandang perlu untuk mengubah tata cara pelaporan
ketenagakerjaan di perusahaan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Nomor 4 Tahun 1951).
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1970 Nomor 1 dan
Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 2918);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara R.I. Tahun
1981 Nomor 39 dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor
3201);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kreja (Lemabaran Negara R.I. Tahun 1992 Nomor 14
dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 348);
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara R.I. Tahun 2003 Nomor 39
dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 4279);
6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan
ILO Convension No. 81 Concerning Labour Inspection in
Industry and Commerce (Konvensi ILO Nomor 81 mengenai
Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri Dan Perdagangan
(Lembaran Negara R.I. Tahun 2003 Nomor 91 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4309);
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1980
tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan.
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun
2005.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA
CARA PELAPORAN KETENAGAKERJAAN DI
PERUSAHAAN.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
a. Pengusaha adalah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan
sesuatu perusahaan milik sendiri;
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.

b. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan


tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik
milik swasta maupun mulik negara;
c. Laporan ketenagakerjaan adalah laporan yang memuat data
tentang keadaan ketenagakerjaan di Perusahaan;
d. Pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri
Sipil pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi yang ditunjuk
oleh Menteri dan diserahi tugas mengawasi serta menegakkan
hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
e. Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan adalah
suatu aplikasi sistem informasi yang mengumpulkan, mengelola
dan memverifikasi data dan informasi Wajib Lapor
Ketenagakerjaan Di Perusahaan.
f. Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan Tingkat
Nasional adalah data olahan yang menyajikan data dan
informasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan secara
nasional sebagai bahan perumusan kebijakan secara nasional.
g. Data-DataWajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan Tingkat
Provinsi adalah data olahan yang menyajikan data dan informasi
Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan yang ada di
wilayah propinsi sebagai bahan perumusan kebijakan tingkat
provinsi.
h. Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan Tingkat
Kabupaten/Kota adalah data olahan yang menyajikan data dan
informasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan yang
ada di wilayah kabupaten/kota sebagai bahan perumusan
kebijakan tingkat kabupaten/kota.
Pasal 2

(1) Pengusaha wajib membuat laporan ketenagakerjaan sesuai


dengan keadaan yang sebenarnya baik pada kantor pusat,
cabang maupun pada bagian perusahaan yang berdiri sendiri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Menteri dalam bentuk data elektronik yang
dihimpun dalam Basis Data Wajib lapor Ketenagakerjaan Di
Perusahaan melalui Sistem Informasi Wajib Lapor
Ketenagakerjaan Di Perusahaan (SINLAPNAKER).

Pasal 3

(1) Laporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2


ayat (2) dibuat dengan menggunakan bentuk laporan
ketenagakerjaan sebagaimana tercantum pada lampiran
Peraturan Mnetri ini.
(2) Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan setelah
menerima laporan ketenagakerjaan wajib memberikan tanda
penerimaan serta nomor pendaftaran.
(3) Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan
sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2) menghimpun dan
menyajikan data wajib lapor ketenagakerjaan untuk skala
nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
(4) Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan dapat
diakses oleh perusahaan atau unit pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota melaui jaringan sistem informasi
yang telah ditetapkan secara proporsional
(5) Tata cara memperoleh Data Wajib lapor Ketenagakerjaan
melalui Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di
Perusahaan sebagaimana dimaksud ayat (4) diatur lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan.

Pasal 4
Dalam hal pada Kabupaten/Kota belum terdapat fasilitas yang dapat
mengakses data elektronik dari Basis Data Wajib Lapor
Ketenagakerjaan Di Perusahaan, maka laporan sebagaimana
dimaksud pasal 2 ayat (1) disampaikan kepada instansi yang
membidangi ketenagakerjaan di kabupaten/kota tempat unit
perusahaan berada baik kantor pusat, cabang maupun bagian
perusahaan yang berdiri sendiri, dengan tembusan kepada pimpinan
instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Propinsi dan kepada
Menteri secara tertulis.

Pasal 5

(1) Penyampaian laporan ketenagakerjaan secara tertulis


sebagaimana dimaksud pasal 4 dilakukan secara langsung atau
melalui pos tercatat.
(2) Dalam hal penyampaian laporan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pos, maka
tanggal dan stempel kantor pos pada bukti pencatatan dimaksud
merupakan tanggal penyampaian.
(3) Laporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dibuat rangkap 4 (empat) dengan menggunakan bentuk laporan
ketenagakerjaan sebagaimana tercantum pada lampiran
Peraturan Menteri ini.
(4) Bentuk laporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) disediakan tanpa dipungut biaya oleh instansi yang
membidangi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
(5) Instansi yang mebidangi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota
setelah menerima laporan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat dan memberikan tanda
penerimaan serta nomor pendaftaran.
(6) Instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota
setelah menerima laporan ketenagakerjaan dari perusahaan
wajib menyampaikan data laporan ketenagakerjaan dimaksud
kepada Menteri.
(7) Petunjuk teknis pengisian bentuk laporan ketenagakerjaan diatur
lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan.

Pasal 6
Perusahaan yang telah melaporkan keadaan ketenagakerjaan
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I.
Nomor Per. 06/MEN/1995. tentang Tata Cara Pelaporan
Ketenagakerjaan, sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan
dinyatakan berlaku sampai dengan kewajiban melapor pada tahun
berikutnya.

Pasal 7

Pengawasan terhadap data Wajib Lapor Ketenagakerjaan di


Perusahaan dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.

Pasal 8

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan


Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor : Per. 06/MEN/1995 tentang Tata
Cara Pelaporan Ketenagakerjaan di Perusahaan dan Surat
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor
Kep-170/MEN/1981 tentang Penunjukkan Pejabat yang Diberikan
Tugas Menerima Laporan Ketenagakerjaan di Perusahaan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 April 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

ERMAN SUPARNO

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum

Andi Syahrul Pangerang, SH


NIP. 160 043 638.

Nomor Klasifikasi
I.L.O: ................

II. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan.

1. Nama dan alamat


perusahaan atau Bagian
.
perusahaan
yang berdiri sendiri
2. Nama dan alamat
.
pengusaha
3. Nama dan alamat
.
pengurus perusahaan
4. Tanggal Memindahkan Menghentikan Membubarkan

5. Alasan Pailit Dijual/Dihibahkan Lain- lain


6. x) Upah : Telah dibayarkan tanggal
........................................untuk..............................................buruh
-----------Akan dibayarkan tanggal ...................................... untuk
............................................buruh
7. x) Upah lembur : Telah dibayarkan tanggal ........................... untuk
............................................ buruh
----------------- Akan dibayarkan tangal ............................. untuk
............................................. buruh
8. x) Cuti : a. Telah diberikan kepada .. ......................................buruh.
---------b. Belum diberikan kepada .......................................buruh

9. x) Tunjangan kecelakaan kerja : a. Telah diberikan kepada


.........................................buruh.
---------------------------------b. Belum diberikan kepada
.......................................buruh
10. Hal-hal lain :
Telah
Kewajiban-kewajiban Akan diselesaikan
diselesaikan
yang tercantum dalam
. a. Perjanjian Perburuhan . .
. b. Peraturan Perusahaan . .
. c. Perjanjian Kerja . .
. d. Lain- lain (sebutkan) . .
11. Kewajiban-kewajiban
lain . .
yang perlu dilaporkan :

Demikian dibuat menurut keadaan sebenarnya


......................................................................

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 April 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd
ERMAN SUPARNO

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum

Andi Syahrul Pangerang, SH


NIP. 160 043 638
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 25 TAHUN 2004

TENTANG

TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL


PENGAWAS KETENAGAKERJAAN, PERANTARA HUBUNGAN
INDUSTRIAL DAN PENGANTAR KERJA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan mutu, prestasi,


pengabdian, dan semangat kerja bagi Pegawai Negeri Sipil
yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam jabatan
fungsional Pengawas Ketenagakerjaan, Perantara Hubungan
Industrial, dan Pengantar Kerja, dipandang perlu memberikan
Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan,
Perantara Hubungan Industrial, dan Pengantar Kerja dengan
Keputusan Presiden ;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041)
sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor
43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Le mbaran Negara Nomor 390);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang
Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara
Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3098) sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir denga n Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 17);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang
Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3547);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang
Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2003
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4263);
6. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang
Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG TUNJANGAN
JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS
KETENAGAKERJAAN, PERANTARA HUBUNGAN
INDUSTRIAL, DAN PENGANTAR KERJA.
Pasal 1
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan,
yang selanjutnya disebut dengan Tunjangan Pengawas
Ketenagakerjaan adalah tunjangan jabatan fungsional yang
diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan
ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Tunjangan Jabatan Fungsional Perantara Hubungan Industrial,
yang selanjutnya disebut dengan Tunjangan Perantara
Hubungan Industrial adalah tunjangan jabatan fungsional yang
diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan
ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Perantara
Hubungan Industrial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Tunjangan Jabatan Fungsional Pengantar Kerja, yang
selanjutnya disebut dengan Tunjangan Pengantar Kerja adalah
tunjangan jabatan fungsional yang diberikan kepada Pegawai
Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam
Jabatan Fungsional Pengantar Kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
(1) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Pengawas
Ketenagakerjaan, diberikan Tunjangan Pengawas
Ketenagakejaan setiap bulan.
(2) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Perantara Hubungan
Industrial, diberikan Tunjangan Perantara Hubungan Industrial
setiap bulan.
(3) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Pengantar Kerja,
diberikan Tunjangan Pengantar Kerja setiap bulan.
Pasal 3
(1) Besarnya Tunjangan Pengawas Ketenagakerjaan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden ini.
(2) Besarnya Tunjangan Perantara Hubungan Industrial,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden
ini.
(3) Besarnya Tunjangan Pengantar Kerja, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Keputusan Presiden ini.
Pasal 4
Pemberian Tunjangan Pengawas Ketenagakerjaan, Tunjangan
Perantara Hubungan Industrial, dan Tunjangan Pengantar Kerja
dihentikan apabila Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, diangkat dalam jabatan struktural atau dalam
jabatan fungsional lain atau karena hal lain yang mengakibatkan
pemberian tunjangan dihentikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan
Keputusan Presiden ini diatur oleh Menteri Keuangan dan/atau
Kepala Badan Kepegawaian Negara, baik secara bersama-sama
maupun sendiri-sendiri menurut bidang tugasnya masing- masing.
Pasal 6
Denga n berlakunya Keputusan Presiden ini, maka ketentuan yang
mengatur mengenai tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Nomr 31 Tahun 1993 tentang Tunjangan Penilai Pajak
Bumi dan Bangunan, Pemeriksa Bea dan Cukai, Pengawas
Ketenagakerjaan, Pengamat Meteorologi dan Geofisika, Penyuluh
Kehutanan, Juru Penerang, Pekerja Sosial, dan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004

PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

ttd.

MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan
aslinya
SEKRETARIAT
KABINET RI

Kepala Biro Peraturan


Perundang- undangan II

Edy Sudibyo

LAMPIRAN I

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA
NOMOR : 25 Tahun 2004
TANGGAL : 24 Maret 2004

TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS


KETENAGAKERJAAN

JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Pengawas Ketenagakerjaan Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 400.000,00
Ahli Madya
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 300.000,00
Muda
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 200.000,00
Pertama
2 Pengawas Ketenagakerjaan Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 225.000,00
Terampil Penyelia
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 175.000,00
Pelaksana Lanjutan
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 125.000,00
Pelaksana

Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004

PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Peraturan


Perundang-undangan II

Edy Sudibyo

LAMPIRAN II

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA
NOMOR : 25 Tahun 2004
TANGGAL : 24 Maret 2004

TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL PERANTARA HUBUNGAN


INDUSTRIAL

JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Perantara Hubungan Perantara Hubungan Rp. 400.000,00
Industrial Ahli Industrial Madya
Perantara Hubungan Rp. 200.000,00
Industrial Pertama

Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004

PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Peraturan


Perundang-undangan II

Edy Sudibyo

LAMPIRAN III

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA
NOMOR : 25 Tahun 2004
TANGGAL : 24 Maret 2004

TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL PENGANTAR KERJA

JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Pengantar Kerja Ahli Pengantar Kerja Madya Rp. 400.000,00
Pengantar Kerja Muda Rp. 300.000,00
Pengantar Kerja Pertama Rp. 200.000,00
2 Pengantar Kerja Terampil Pengantar Kerja Penyelia Rp. 225.000,00
Pengantar Kerja Pelaksana Rp. 175.000,00
Lanjutan
Pengantar Kerja Pelaksana Rp. 125.000,00
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004

PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Peraturan


Perundang-undangan II

Edy Sudibyo

LAMPIRAN II

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA
NOMOR : 25 Tahun 2004
TANGGAL : 24 Maret 2004
PP 8/1981, PERLINDUNGAN UPAH

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:8 TAHUN 1981 (8/1981)

Tanggal:2 MARET 1981 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:PERLINDUNGAN UPAH

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu disusun suatu
peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang- undang Nomor
14 Tahun 1969;
b.bahwa sebagai pelaksanaan tersebut huruf a dipandang perlu mengatur
perlindungan upah dalam suatu Peraturan Pemerintah;

Mengingat :

1.Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2.Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Organisasi


Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai pengupahan bagi buruh
laki- laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (Lembaran
Negara Tahun 1957 Nomor 171);

3.Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLINDUNGAN UPAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

a.Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada


buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan, dan
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan
buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya;
b.Pengusaha ialah : *19948 1.Orang, persekutuan atau badan hukum yang
menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri..

2.Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri


menjalankan perusahaan bukan miliknya.

3.Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia


mewakili perusahaan termaksud pada angka 1 dan 2 di atas, yang
berkedudukan di luar Indonesia.
c.Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan
menerima upah;
d.Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang ketenaga
kerjaan.

Pasal 2

Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan
berakhir pada saat hubungan kerja putus.

Pasal 3

Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi


antara buruh laki- laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama
nilainya.

Pasal 4

Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan.

Pasal 5

(1)Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,


pengusaha wajib membayar upah buruh :

a.Jika buruh sendiri sakit, sehingga tidak dapat metakukan


pekerjaannya dengan ketentuan sebagai berikut:
1.untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dari
upah;

2.untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75% (tujuhpuluh lima persen)


dari upah;

3.untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50% (limapuluh persen) dari


upah;

4.untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25% (duaputuh lima persen)


dari upah.
b.Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal- hal sebagaimana dimaksud
di bawah ini, dengan ketentuan sebagai berikut :

1.buruh sendiri kawin, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

2.menyunatkan anaknya, dibaya r untuk selama 1 (satu) hari;


3.membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 1 (satu) hari;

4.mengawinkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

5.anggota keluarga meninggal dunia yaitu suami/isteri, orang tua


/mertua atau anak, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; .

6.isteri melahirkan anak, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.

(2)Dalam hal pengusaha tidak mampu memenuhi ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) huruf a, pengusaha dapat mengajukan *19949
izin penyimpangan kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. 43

(3)Jika dalam suatu peraturan perusahaan atau perjanjian perburuhan


terdapat ketentuan-ketentuan yang lebih baik dari pada
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ketentuan
dalam peraturan perusahaan atau perjanjian perburuhan tersebut tidak
boleh dikurangi.

Pasal 6

(1)Pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh


yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan
kewajiban Negara, jika dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut
buruh tidak mendapatkan upah atau tunjangan lainnya dari Pemerintah
tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.

(2)Pengusaha wajib membayar kekurangan atas upah yang biasa


dibayarkannya kepada buruh yang dalam menjalankan kewajiban Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bilamana jumlah upah yang
diperolehnya kurang dari upah yang biasa diterima dari perusahaan yang
bersangkutan, tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.

(3)Pengusaha tidak diwajibkan untuk membayar upah, bilamana buruh yang


dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut telah memperoleh upah
serta tunjangan lainnya yang besarnya sama atau lebih dari upah yang
biasa ia terima dari perusahaan yang bersangkutan.

(4)Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak
dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah
menurut agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3
(tiga) bulan.

Pasal 7

Upah buruh selama sakit dapat diperhitungkan dengan suatu pembayaran


yang diterima oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu peraturan
perundang-undangan atau peraturan perusahaan atau sesuatu dana yang
menyelenggarakan jaminan sosial ataupun suatu pertanggungan.

Pasal 8

Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia


melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang
dialami oleh pengusaha yang seharusnya dapat ia hindari.

Pasal 9

Bila upah tidak ditetapkan berdasarkan suatu jangka waktu, maka untuk
menghitung upah sebulan ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 3 (tiga)
bulan terakhir diterima oleh buruh.

Pasal 10

(1)Upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang *19950
telah ditentukan sesuai dengan perjanjian.

(2)Pembayaran upah secara langsung kepada buruh yang belum dewasa


dianggap sah, apabila orang tua atau wali buruh tidak mengajukan
keberatan yang dinyatakan secara tertulis.

(3)Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada


surat kuasa dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak
dapat menerimanya secara langsung.

(4)Surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk
satu kali pembayaran.

(5)Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal


menurut hukum.

Pasal 11

Pada tiap pembayaran, seluruh jumlah upah harus dibayarkan.

BAB II

BENTUK UPAH

Pasal 12

(1)Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang. (2)Sebagian dari


upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras,
obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak
boleh melebihi 25% (duapuluh lima persen) dari nilai upah yang
seharusnya diterima.

Pasal 13

(1)Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang syah


dari Negara Republik Indonesia. (2)Bila upah ditetapkan dalam.mata
uang asing, maka pembayaran akan dilakukan berdasarkan kurs resmi pada
hari dan tempat pembayaran.

Pasal 14

Setiap ketentuan yang menetapkan sebagian atau seluruh upah harus


dipergunakan secara tertentu, ataupun harus dibelikan barang, tidak
diperbolehkan dan karenanya adalah batal menurut hukum, kecuali jika
penggunaan itu timbul dari suatu peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

(1)Bila diadakan perjanjian antara buruh dan pengusaha mengenai suatu


ketentuan yang merugikan buruh dan yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan data Peraturan Pemerintah ini.dan atau peraturan
perundang-undangan lainnya dan karenanya menjadi batal menurut hukum,
maka buruh berhak menerima pembayaran kembali dari bagian upah yang
ditahan sebagai perhitungan terhadap upahnya, dan dia tidak diwajibkan
mengembalikan apa yang telah diberikan kepadanya untuk memenuhi
perjanjian.

*19951 (2)Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada


permintaan dari pengusaha atau buruh, badan yang diserahi urusan
perselisihan perburuhan dapat membatasi pengembalian itu
sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kerugian yang diderita oleh
buruh.

BAB III

CARA PEMBAYARAN UPAH

Pasal 16

Bila tempat pembayaran upah tidak ditentukan data perjanjian atau


peraturan perusahaan, maka pembayaran upah dilakukan di tempat buruh
biasanya bekerja, atau di kantor perusahaan

Pasal 17

Jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu


sekali atau selambat- lambatnya sebulan sekali, kecuali bila perjanjian
kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.

Pasal 18

Bilamana upah tidak ditetapkan menurut jangka waktu tertentu, maka


pembayaran upah disesuaikan dengan ketentuan Pasal 17 dengan
pengertian bahwa upah harus dibayar sesuai dengan hasil pekerjaannya
dan atau sesuai dengan jumlah hari atau waktu dia bekerja.

Pasal 19

(1)Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai
hari kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar,
upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) untuk tiap
keterlambatan. Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1% (satu
persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan
itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (limapuluh persen)
dari upah yang seharusnya dibayarkan.

(2)Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping


berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengusaha diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan
oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.
(3)Penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam pasal ini adalah batal
menurut hukum.

BAB IV

DENDA DAN POTONGAN UPAH

Pasal 20

(1)Denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal
itu diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan
perusahaan.

*19952 (2)Besarnya denda untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang
Republik Indonesia.

(3)Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, pengusaha


dilarang untuk menuntut ganti rugi terhadap buruh yang bersangkutan.

(4)Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal


menurut hukum.

Pasal 21

(1)Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung


maupun tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan 47
pengusaha atau orang yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda
tersebut.

(2)Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal


menurut hukum.

Pasal 22

(1)Pemotongan upah oleh pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat


dilakukan bilamana ada surat kuasa dari buruh.

(2)Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah semua kewajiban


pembayaran oleh buruh terhadap Negara atau iuran sebagai peserta pada
suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.

(3)Setiap surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat


ditarik kembali pada setiap saat.
(4)Setiap ketentuan.yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal
menurut hukum.

Pasal 23

(1)Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi
kerusakan barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun
milik pihak ketiga oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian.

(2)Ganti rugi demikian harus diatur terlebih dahulu dalam suatu


perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan dan setiap bulannya
tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah.

BAB V

PERHITUNGAN DENGAN UPAH

Pasal 24

(1)Hal- hal yang dapat diperhitungkan dengan upah adalah :

a.denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23;
b.sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan
perjanjian tertulis; *19953 c.uang muka atas upah, kelebiban upah yang
telah dibayarkan dan cicilan hutang buruh kepada pengusaha, dengan
ketentuan harus ada tanda bukti tertulis.

(2)Perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh


melebihi 50 % (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang
seharusnya diterima.

(3)Setiap syarat yang memberikan wewenang kepada pengusaha untuk


mengadakan perhitungan lebih besar daripada yang diperbolehkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah batal menurut hukum.

(4)Pada waktu pemutusan hubungan kerja seluruh hutang piutang buruh


dapat diperhitungkan dengan upahnya.

Pasal 25

Bila uang yang disediakan oleh pengusaha-untuk membayar upah disita


oleh Juru Sita, maka penyitaan tersebut tidak boleh memebihi 20%
(duapuluh persen) dari jumlah upah yang harus dibayarkan.
Pasal 26

(1)Bila upah digadaikan atau dijadikan jaminan hutang, maka angsuran


tiap bulan daripada hutang itu tidak boleh melebihi 20% (duapuluh
persen) dari sebulan.

(2)Ketentuan ayat (1) berlaku juga apabila penggadaian atau jaminan


itu diadakan untuk kepentingan pihak ketiga.

Pasal 27

Dalam hal pengusaha dinyatakan pailit, maka upah buruh merupakan


hutang yang didahulukan pembayarannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan tentang kepailitan yang berlaku.

Pasal 28

Bila buruh jatuh pailit, maka upah dan segala pembayaran yang timbul
dari hubungan kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan
lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi 25% (duapuluh lima
persen).

Pasal 29

(1)Bila upah baik untuk sebagian ataupun untuk seluruhnya, didasarkan


pada keterangan-keteranga n yang hanya dapat diperoleh dari buku-buku
pengusaha, maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak untuk 49
meminta keterangan dan bukti-bukti yang diperlukan dari pengusaha.

(2)Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


tidak berhasil maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak meminta
bantuan kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya.

(3)Segala sesuatu yang diketahui atas keterangan-keterangan serta


bukti-bukti oleh buruh atau kuasa yang ditunjuknya atau *19954 Pejabat
yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) wajib dirahasiakan, kecuali bila keterangan tersebut
dimintakan oleh badan yang diserahi urusan penyelesaian perselisihan
perburuhan.

Pasal 30

Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.

BAB VI KETENTUAN PIDANA


Pasal 31

Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6


ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan Pasal 8 dipidana dengan pidana
kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

Pasal 32

Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22,
disamping perbuatan tersebut batal menurut hukum juga dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

Pasal 33

Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri yang dengan sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya
sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan
selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp.
100.000,- (seratus ribu rupiah).

Pasal 34

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pisal 32, dan Pasal
33 adalah pelanggaran.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini berdasarkan Undang-undang


Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja, maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur perlindungan upah, sejauh telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 36

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam *19955 Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Maret 1981 PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Maret 1981 MENTERI/SEKRETARIS


NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 8 TAHUN
1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH UMUM

Pengaturan pengupahan yang berlaku di Indonesia pada saat ini masih


tetap dipakai Kitab Undang- undang Hukum Perdata yang jiwanya sudah
tidak sesuai lagi. Sejalan dengan berlakunya Undang- undang Nomor 14
Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja,
maka pengaturan tentang perlindungan upah secara nasional dirasakan
makin mendesak. Sesuai dengan perkembangan ekonomi yang diupayakan
kearah stabilitas yang makin mantap maka pengaturan tentang
perlindungan upah dalam Peraturan Pemerintah ini diarahkan pula kepada
sistim pembayaran upah secara keseluruhan. Pengertian upah secara
keseluruhan dimaksudkan disini tidak termasuk upah lembur. Pada
pokoknya sistim ini didasarkan atas prestasi seseorang buruh atau
dengan perkataan lain bahwa upah itu tidak lagi dipengaruhi oleh
tunjangan-tunjangan yang tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja.
Pembayaran, upah pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang,
namun demikian dalam Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi
kemungkinan pemberian sebagian upah dalam bentuk barang yang jumlahnya
dibatasi. Peraturan Pemerintah ini pada pokoknya mengatur perlindungan
upah secara umum yang berpangkal tolak kepada fungsi upah yang harus
mampu menjamin kelangsungan hidup bagi buruh dan keluarganya. Untuk
menuju kearah pengupahan yang layak bagi buruh perlu ada pengaturan
upah minimum tetapi mengingat sifat kekhususannya belum diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Huruf a Yang dimaksud dengan imbalan adalah termasuk juga sebutan


honorarium yang diberikan oleh pengusaha kepada buruh secara teratur
dan terus menerus. *19956 Huruf b Yang dimaksud dengan orang adalah
seorang manusia pribadi yang mengurus atau mengawasi perusahaan secara
langsung. Yang dimaksud dengan persekutuan adalah suatu bentuk usaha
bersama yang bukan badan hukum yang bertujuan untuk mencari keuntungan
misalnya CV., Firma, Maatschap dan lain- lain maupun yang tidak mencari
keuntungan misalnya Yayasan. Yang dimaksud dengan badan hukum adalah,
perseroan yang didaftar menurut undang-undang tentang perseroan atau
jenis badan hukum lainnya yang didirikan dengan atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya perkumpulan,
koperasi, dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan perusahaan adalah
setiap bentuk usaha yang dijalankan dengan tujuan mencari keuntungan
atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara yang mempekerjakan
buruh, sedangkan usaha sosial dan usaha lain yang tidak berbentuk
perusahaan dipersamakan dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan
mempekerjakan buruh, misalnya Yayasan dan lain lain.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa


upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh pria sama dengan
upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh wanita untuk
pekerjaan yang sama nilainya.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1) Bahwa azas tidak bekerja tidak dibayar tidak sewajarnya untuk
diterapkan secara mutlak. Oleh karena itu bagi buruh yang tidak dapat
melakukan pekerjaan karena alasan tersebut a dan b upah tersebut masih
harus diberikan. Akan tetapi pembayaran upah yang demikian tidak dapat
dilakukan secara penuh dan terus menerus, karena itu perlu ditetapkan
jumlah serta jangka waktunya. Pengertian sakit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) a, tidak termasuk sakit karena kecelakaan kerja
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang
Kecelakaan Kerja.
*19957 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1) Buruh sebagai warga negara tidak terlepas dari kemungkinan
untuk memikul tugas dan kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah,
misalnya wajib militer, tugas-tugas dalam penyelenggaraan Pemilihan
Umum, serta tugas dan kewajiban lainnya yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.

Ayat (2). Pembayaran kekurangan gaji atau upah dimaksudkan agar tidak
menjadi beban yang berat bagi buruh dan keluarganya disatu pihak dan
pengusaha dilain pihak.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Dengan mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh
yang menjalankan ibadah menur ut agamanya lebih diri 3 (tiga) bulan dan
dalam menjalankan ibadah tersebut lebih dari 1 (satu) kali, pengusaha
tidak diwajibkan membayar upahnya.

Pasal 7

Pembayaran dari pertanggungan dapat diperhitungkan menurut pasal ini


adalah khususnya mengenai pertanggungan upah buruh selama sakit
iurannya dibayar oleh pengusaha. akan tetapi bila buruh telah menerima
pembayaran sesuai atau lebih dari upah seharusnya dia terima selama
sakit, maka pengusaha tidak berkewajiban untuk membayarkan lagi.

Pasal 8

Halangan yang secara kebetulan dialami oleh pengusaha, tidak termasuk


kehancuran atau musnahnya perusahaan beserta peralatan yang
dikarenakan oleh bencana alam, kebakaran atau peperangan sehingga
tidak memungkinkan lagi perusahaan tersebut berfungsi atau menjalankan
kegiatannya kerja, "Force majeure".

Pasal 9

Maksud pasal ini adalah untuk mempermudah atau memberikan patokan


dalam menghitung upah sebulan dalam hal terjadi antara lain pemutusan
hubungan kerja, lembur dan sebagainya,

Pasal 10
Ayat (1) sampai dengan ayat (5) Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan
agar pembayaran upah tidak jatuh kepada orang yang tidak berhak. Oleh
*19958 karena itu pembayaran upah melalui pihak ketiga harus
menggunakan surat kuasa. Pengertian buruh yang belum dewasa diartikan
baik buruh laki- laki maupun perempuan yang telah berusia 14 (empat
belas) tahun akan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1) dan ayat (2) Untuk menuju kearah sistim pembayaran upah
bersih, maka upah harus dibayar dalam bentuk uang. Prinsip tersebut
diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya secara bebas
sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya. Penerapan prinsip
tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan
sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi
atau barang yang mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.

Pasal 13

Ayat (1) dan ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 14

Larangan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah belanja paksa


("enforced shopping"). Buruh harus bebas dalam hal mempergunakan upah
seperti yang dikehendakinya, sedang pengusaha tidak diperbolehkan
mengikat buruh dalam mempergunakan upahnya.

Pasal 15

Ayat (1) dan ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18
Jika upah ditetapkan menurut hasil pekerjaan maka pembayarannya sesuai
dengan ketentuan Pasal 17, dengan ketentuan besarnya upah disesuaikan
dengan hasil pekerjaannya.

Pasal 19

Ayat (1) sampai dengan ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 20

Ayat (1) sampai dengan ayat (4) Yang dimaksud dengan pelanggaran
sesuatu hal dalam ayat (1) adalah pelanggaran terhadap
kewajiban-kewajiban *19959 buruh yang telah ditetapkan dalam
perjanjian tertulis antara pengusaha dan buruh.

Pasal 21

Ayat (1) dan ayat (2) Penggunaan uang denda sama sekali tidak boleh
untuk kepentingan pribadi pengusaha baik langsung ataupun tidak,
melainkan untuk kepentingan buruh, misalnya untuk dana buruh. Cara
penggunaan uang denda ini harus juga ditetapkan dalam surat perjanjian
atau peraturan perusahaan.

Pasal 22

Ayat (1) sampai dengan ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1) dan ayat (2) Kerugian lainnya dapat terdiri dari kerugian
material atau ekonomis.

Pasal 24

Ayat (1) sampai dengan ayat (4) Pembatasan perhitungan tidak boleh
lebih dari 50% (limapuluh persen) dimaksudkan, agar buruh tidak
kehilangan semua upah yang diterimanya. Kemungkinan perhitungan dengan
upah buruh dapat terdiri dari denda, potongan, ganti rugi dan
lain- lain. Untuk menjamin kehidupan yang layak bagi buruh, maka
pengusaha harus mengusahakan sedemikian rupa sehingga jumlah
perhitungan tersebut tidak melebihi 50% (puluh persen).

Pasal 25

Cukup jelas.
Pasal 26

ayat (1 ) dan ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Kemungkinan seorang buruh akan dapat jatah pailit yang disebabkan


tidak terbayarnya hutang kepada pihak lain, baik kepada pengusaha
ataupun kepada orang lain. Untuk menjamin kehidupan buruh yang
keseluruhan harta bendanya disita, maka perlu ada jaminan untuk hidup
bagi dirinya beserta keluarganya. Oleh karena itu dalam pasal ini upah
dan pembayaran lainnya yang menjadi hak buruh, tidak termasuk dalam
kepailitan. Penyimpangan terhadap ketentuan pasal ini hanya dapat
dilakukan oleh hakim dengan batas sampai dengan 25% (duapuluh lima
persen).

Pasal 29

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) *19960 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup
jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31 sampai dengan Pasal 33 Ketentuan pidana yang dikenakan dalam


Pasal-pasal tersebut adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang merupakan
Undang-undang induk daripada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 34

Penetapan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai


dengan Pasal 33 sebagai pelanggaran adalah sesuai dengan ketentuan
Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang merupakan
Undang-undang induk daripada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 35

Ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur


perlindungan upah antara lain adalah ketentuan-ketentuan yang tersebut
dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata yaitu : 1601 p; 1601 q; 1601
r; 1601 s; 1601 t; 1601 u; 1601 v; 1602; 1602 a: 1602 b; 1602 c; 1602
d; 1602 e; 1602 f; 1602 g; 1602 h; 1602 i; 1602 j; 1602 k; 1602 l;
1602 m; 1602 n; 1602 o; 1602 p; 1602 q; 1602 r; 1602 s; 1602 t; 1602
u; 1602 v alinea 5, 1968 alinea 3 dan 1971 sepanjang yang menyangkut
upah.

Pasal 36

Cukup jelas.

--------------------------------

CATATAN

DICETAK ULANG
_________________________________________________________________
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP.261/MEN/XI/2004

TENTANG

PERUSAHAAN YANG WAJIB MELAKSANAKAN PELATIHAN KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan perusahaan
yang wajib melaksanakan pelatihan kerja bagi pekerja/buruhnya.
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu;

Memperhatikan 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


: Nasional tanggal 1 Juli 2004;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
tanggal 13 Agustus 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERUSAHAAN YANG WAJIB MELAKSANAKAN
PELATIHAN KERJA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak , milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan.
5. Progam pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana pelatihan,
persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan penetapan kelulusan
peserta pelatihan.
6. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai denga standar yang
ditetapkan.
7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

1. Perusahaan yang wajib meningkatkan kompetensi pekerja/buruhnya melalui


pelatihan kerja adalah perusahaan yang mempekerjakan 100 (seratus) orang
pekerja/buruh atau lebih.
2. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mencakup sekurang-
kurangnya 5 % (lima perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/.buruh di perusahaan
tersebut setiap tahun.

Pasal 3

Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 perusahaan harus


membuat perencanaan program pelatihan kerja tahunan bagi pekerja/buruh yang
sekurang-kurangnya meliputi jenis pelatihan kerja, jangka waktu pelatihan kerja dan
tempat pelatihan kerja.

Pasal 4
Biaya pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditanggung sepenuhnya oleh
perusahaan.

Pasal 5

Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan untuk meningkatkan


keterampilan manajerial dan teknikal pekerja/buruh.

Pasal 6

1. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program yang dirancang sesuai


dengan kebutuhan dan teknologi yang digunakan perusahaan dalam rangka
meningkatkan kompetensi pekerja/buruh.
2. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan di
perusahaan dan atau di lembaga pelatihan.
3. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diselenggarakan dengan
sistim pemagangan.

Pasal 7

1. Perusahaan dan atau lembaga yang menyelenggarakan pelatihan kerja wajib


memberikan surat tamat pelatihan kerja bagi peserta yang dinyatakan lulus.
2. Perusahaan yang melaksanakan pelatihan kerja dengan baik dapat diberikan
penghargaan oleh Menteri.

Pasal 8

Perusahaan melaporkan pelaksanaan kegiatan pelatihan kerja secara periodik sesuai


dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan.

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Nopember 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

FAHMI IDRIS
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005

TENTANG
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
ATAS HAK UJI MATERIL UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN
TERHADAP UNDANG - UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 28


Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materiil Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan telah dimuat dalam Berita Negara Nomor 92 Tahun 2004 tanggal 17 Nopember
2004, maka untuk memberikan kejelasan bagi masyarakan, dipandang perlu menerbitkan
Surat Edaran sebagai berikut :

1. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undan Nomor 13 Tahun


2003 tentang Ketenagakerjaan, khusus Pasal 158 ;Pasal 159 ; Pasal 160 ayat (1)
sepanjang mengenal anak kalimat "....bukan atas pengaduan pengusaha ";Pasal 170
sepanjang mengenai anak kalimat "...Pasal 158 ayat (1) ..."; Pasal 171 sepanjang
menyangkut anak kalimat ....Pasal 158 ayat (1) ... " Pasal 186 sepanjang mengenai
anak kalimat "...Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) .... " tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.,

2. Sehubungan dengan hal resebut butir 1 maka Pasal-pasal Undang-undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan
lagi sebagai dasar / acuan dalam penyelesaian hubungan industrial.

3. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus
pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
perlu memperhatikan hal - hal sebagai berikut :

a. Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh


melakukan kesalahan berat ( eks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan
setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

b. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat
melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal
160 Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003.
4. Dalam hal terdapat " alasan mendesak " yang mengakibatkan tidak
memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh
upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.

Demikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk dapat diketahui dan dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Jakarta, 07 Januari 2005

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

FAHMI IDRIS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN ISTIRAHAT BURUH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
bahwa antara istirahat tahunan tersebut dalam undang-undang kerja tahun 1948 Nomor 12 dari
Republik Indonesia, yang dengan undang-undang Nomor 1 tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun
1951 Nomor 2) telah dinyatakan untuk beberapa perusahaan tertentu.

Mengingat:
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang "Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja
Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia" (Lembaran Negara Tahun
1951 Nomor 2) serta pasal 98 Undang-Undang dasar Sementara Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:
PERATURAN ISTIRAHAT TAHUNAN BAGI BURUH

Pasal 1
Antara istirahat tahunan tersebut dalam pasal 14 ayat 1 undang-undang kerja tahun 1948 seperti
dimuat dalam Lembaran negara Tahun 1951 Nomor 2, berlaku bagi buruh yang bekerja pada
perusahaan-perusahaan:
a. yang biasanya
1). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan paling sedikit 3 PK akan tetapi kurang
dari 4 PK dan mempunyai buruh 20 orang atau lebih;
2). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan paling sedikit 4 PK akan tetapi kurang
dari 5 PK dan mempunyai buruh 10 orang atau lebih;
3). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan 5 PK lebih;
4). mempunyai buruh 50 orang atau lebih.
b. lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Perburuhan dengan menyimpang dari ketentuan sub.a.
1). Buruh berhak atas istirahat tahunan tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12
bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi
majikan;
2). Lamanya waktu istirahat tahunan dihitung untuk tiap-tiap 23 hari bekerja dalam masa
kerja termaksud pada ayat 1, satu hari istirahat sampai paling banyak 12 hari kerja;
3). Hak atas istirahat tahunan termaksud ayat 1 dan ayat 2 gugur, bilamana dalam waktu
6 bulan setelah lahirnya hak itu, buruh ternyata tidak mempergunakan haknya bukan
karena alasan-alasan yang diberikan oleh majikan atau bukan karena alasan-alasan
istimewa, hal mana ditentukan oleh Kepala Jawatan Pengawasan Perburuhan.,

Pasal 3
(1). Untuk menghitung, lamanya waktu istirahat tahunan, dianggap pula sebagai hari bekerja,
hari-hari buruh tidak menjalankan pekerjaan karena:
a). istirahat berdasarkan peraturan ini atau berdasarkan pasal 13 ayat 1, 2 dan 3 dari
undang-undang kerja ;
b). mendapat kecelakaan berhubungan dengan hubungan kerja pada perusahaan itu;
c). sakit yang diberitahukan secara sah;
d). hal-hal yang selayaknya menjadi tanggungan majikan;
e). pemogokan yang sah;
f). alasan-alasan lain yang sah.
(2). Tidak dianggap sebagai hari kerja, hari-hari istirahat mingguan termaksud pada pasal-pasal
10 ayat 3 undang -undang kerja serta hari-hari termaksud pada pasal 11 undang -undang
kerja.

Pasal 4
(1). Selama istirahat tahunan buruh berhak atas upah penuh;
(2). Bila upahnya tidak tentu, sebagai upah harian diambil upah rata-rata dalam 6 bulan yang
mendahului, terhitung dari saat dimulainya istirahat tahunan;
(3). Bagi buruh harian upah itu dibayarkan sebelum istirahat tahunan dimulai;

Pasa l 5
(1). Saat dimulainya istirahat tahunan ditetapkan oleh majikan dengan memperhatikan
kepentingan buruh;
(2). Atas pertimbangan majikan, berhubung dengan kepentingan perusahaan yang nyata,
istirahat tahunan dapat diundurkan untuk selama-lamanya 6 bulan terhitung mulai saat
buruh berhak atas istirahat tahunan.

Pasa l 6
(1). Istirahat tahunan harus terus-menerus;
(2). Dengan persetujuan antara buruh dan majikan istirahat tahunan dapat dibagi dalam
beberapa bagian;
(3). Dalam hal demikian harus ada satu bagian dari sedikitnya 6 hari terus-menerus.

Pasal 7
(1). Bila hubungan kerja diputuskan:
a). oleh majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh;
b). oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh majikan;
Buruh berhak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan bila pada saat
diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikit-dikitnya 6 bulan
terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang terakhir;
(2). Dalam hal demikian jumlah hari istirahat dihitung menurut ukuran dari pasal 2 ayat 2 untuk
masa kerja termaksud pada ayat 1 pasal ini sedangkan jumlah pembayaran penggantian
sama dengan upah penuh untuk hari -hari itu.

Pasal 8
Majikan berwajib mengadakan dan memelihara daftar -daftar yang berhubungan dengan istirahat
tahunan menurut contoh/petunjuk yang akan ditetapkan oleh Kepala Jawatan Pengawasan
Perburuhan dari Kementrian Perburuhan.

Pasal 9
Bila perusahaan pindah tangan, maka dalam menjalankan peraturan ini, masa kerja pada majikan
lama dianggap sebagai masa kerja majikan baru.

Pasal 10
Peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang bekerja pada Pemerintah atau daerah otonomi.

Pasal 11
Peraturan ini tidak mengurangi perjanjian antara buruh dan majikan tentang istirahat tahunan yang
lebih menguntungkan buruh dari pada yang ditetapkan di sini.

Pasal 12
(1). Bila pada mulai berlakunya peraturan ini, buruh yang bersangkutan sudah mempunyai masa
kerja tertentu pada majikan yang sebelum peraturan ini berlaku, tidak memberikan istirahat
tahunan pada buruhnya, maka masa kerja itu dinilaikan menjadi 1/4 dan dibulatkan ke atas
menjadi bulan penuh sampai paling banyak 12 bulan dalam menghitung hak atas istirahat
tahunan;
(2). Dalam tiap-tiap bulan penuh dari masa kerja itu buruh dianggap telah bekerja 23 hari.

Pasal Penutup
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1954.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, m emerintahkan pengundangan Peraturan
pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 9 Maret 1954
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEKARNO

Diundangkan,
Pada Tanggal 16 Maret 1954
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
DJODI GONDOKUSUMO

MENTERI PERBURUHAN,
Ttd.
S.M. ABIDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1954 NOMOR 37


PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN ISTIRAHAT BURUH

UMUM
Istirahat tahunan (dengan upah penuh) memegang peranan penting dalam memulihkan kesehatan
dan tenaga buruh setelah terus menerus bekerja untuk waktu yang lama.
Pada perusahaan -perusahaan besar istirahat tahunan ini sudah lama merupakan suatu kelaziman,
tetapi untuk sebagian dari perusahaan kecil yang kebanyakan masih "arbeidsintensief"
pembayaran upah penuh tetap merupakan beban yang terasa berat untuk dipikul.
Berdasarkan kenyataan ini Pemerintah berpendapat bahwa aturan istirahat tahunan baru dapat
dinyatakan berlaku (secara terbatas) setelah Pemerintah mempunyai pandangan yang jelas
tentang jenis-jenis perusahaan yang dapat atau tidak dapat memikul beban sebagai akibat
pemberian istirahat ini.
Untuk memperoleh pandangan ini diperlukan suatu tempat yang lama pula sehingga peraturan ini
baru sekarang dapat ditetapkan.
Dengan mengambil pandangan yang diperoleh itu sebagai pedoman, dalam peraturan ini
ditetapkan suatu ukuran menentukan perusahaan manakah yang harus dikecualikan.
Tentu ukuran demikian agaknya sedikit kasar dan berhubung dengan ini kepada Menteri
Perburuhan diberikan hak untuk menunjuk perusahaan-perusahaan lain untuk siapa per aturan ini
berlaku pula.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Alam pikiran yang menjadi dasar pasal ini sudah diterangkan pada penjelasan umum.

Pasal 2
Pada pasal ini ditetapkan suatu "qualifying periode" dari 12 bulan. Syarat demikian dianggap perlu
sebagai faktor pendorong ke arah "stability of employment". Selain dari pada itu tidak ada alasan
untuk memberikan istirahat ini kepada buruh yang baru saja masuk kerja. Dalam peraturan ini yang
dimaksud dengan bulan ialah bulan kalender dan bukan "jangka waktu dari 30 hari". Dengan
organisasi majikan dimaksudkan majikan-majikan yang dipandang dari sudut bedrijfsorganisatoris
mempunyai perhubungan (samenhareg) satu sama lain; bentuk organisasi dalam hal ini tidak
menjadi soal.
Hal demi hal harus ditetapkan apakah kita berhadapan dengan organisasi majikan.
Oleh karena peraturan ini dimaksudkan agar buruh tiap-tiap tahun tetap mempergunakan
kesempatan istirahat tahunan yang disediakan baginya maka penumpukan (accumulative) istirahat
tahunan tidak pada tempatnya.

Pasal 3
Ayat (1)
sub c
Keadaan sakit itu supaya diberitahukan hingga dapat diterima kebenarannya.
Pada umumnya bagi keadaan sakit yang pendek pemberitahuan tadi tidak perlu
disertai surat keterangan dokter.
Bagi keadaan sakit yang agak lama, sedapat mungkin disertai dengan surat
keterangan dokter yang berhak, baik dokter perusahaan maupun dokter partikelir.
Sub d
Sebagai contoh dari hal-hal yang selayaknya menjadi tanggungan majikan dapat
disebut:
Majikan lalai dalam mendatangkan bahan-bahan mentah yang diperlukan, l ock-out
yang tidak sah, sangat kurangnya pesanan -pesanan dan sebagainya.
Dalam hal-hal yang menimbulkan kesangsian sebaiknya pihak yang
berkepentingan berhubungan dengan Jawatan Pengawasan Perburuhan yang
mengawasi ditaatinya peraturan ini.
Sub f
Sebagai contoh dari alasan-alasan lain yang sah dapat disebut:
Kejadian-kejadian dalam lingkungan keluarga seperti meninggal dunia atau
perkawinan dalam keluarga buruh, melakukan hak dipilih atau hak memilih, dan
sebagainya.
Apa yang dijelaskan sub d mengenai hal-h al yang dapat menimbulkan kesangsian,
berlaku sama terhadap sub f.

Pasal 4
Ayat (1)
Dengan upah penuh dimaksudkan jumlah upah biasa yang akan diterima oleh buruh untuk
jangka waktu yang sama bila ia dari pada beristirahat tetap melakukan pekerjaannya.
Petunjuk mengenai apa yang dimaksudkan dengan upah biasa diberikan oleh Jawaran
Pengawasan Perburuhan.
Ayat (2)
Jangka waktu untuk menentukan upah rata -rata, diambil angka panjang, untuk sedapat
mungkin meniadakan akibat-akibat dari kegoncangan dalam penghasilan.

Pasa l 5
Ayat (1)
Dalam penetapan saat dimulainya istirahat, sudah selayaknya majikan memperhatikan
kepentingan keinginan buruh yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dengan kepentingan perusahaan yang nyata dimaksudkan misalnya waktu musim di
perkebunan, pabrik gala dan sebagainya, waktu pekerjaan bertimbun-timbun yang harus
diselesaikan dan sebagainya.
Selanjutnya bila sebagian besar dari buruh hendak beristirahat pada waktu yang
bersamaan sehingga tidak terjamin lagi jalannya perusahaan dengan lancar, hal ini dapat
pula dianggap sebagai berlawanan dengan kepentingan perusahaan yang nyata.

Pasal 6
Tidak memerlukan penjelasan

Pasal 7
Dalam hal pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan sebagai termaksud pada pasal ini,
dianggap layak untuk merubah hak atas istirahat menjadi hak atas suatu penggantian kerugian
berupa uang.
Bila misalnya dalam masa kerja yang dihitung menurut ukuran pasal ini terdapat 8 kali 23 hari
bekerja dalam arti kata peraturan ini, jumlah kerugian sama dengan upah untuk 8 hari.

Pasal 8
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 9
Tidak memerlukan penjelasan

Pasal 10
Tidak memerlukan penjelasan

Pasal 11
Tidak memerlukan penjelasan

Pasal 12
Untuk jelasnya maksud dari pasal ini sebagai berikut:
Bila pada waktu mulai berlakunya peraturan ini buruh mempunyai, masa kerja 5 tahun, ini
dinilaikan menjadi 5/4 tahun = 15 bulan sehingga buruh sudah berhak atas istirahat dari 12 hari
kerja.
Bila masa kerjanya 2,5 tahun, ini dinilaikan menjadi 1/4 x 5/2 = 5/8 tahun = 60/8 bulan, dibulatkan
menjadi 8 bulan m asa kerja, sehingga buruh hanya memerlukan 4 bulan masa kerja dengan 4 x 23
hari bekerja lagi untuk memperoleh hak istirahat 12 hari kerja.
Dengan sendirinya peraturan pasal 12 ini hanya berlaku, bila majikan sebelum berlaku peraturan
ini, tidak memberikan istirahat tahunan pada buruhnya.

Diketahui,
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
DJODY GONDOKUSUMO

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 542


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

NOMOR : PER-01/MEN/I/2006

TENTANG

PELAKSANAAN PASAL 3
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR KEP-231/MEN/2003
TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN
UPAH UMUM

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,

Menimbang :
a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan (5) Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-226/MEN/MEN/2000, KetetapanUpah
Minimum Provinsi ditetapkan selambat-lambatnya 40 hari dan upah
minimum;

b. bahwa sebagian besar Upah Minimum Provinsi tahun 2006 terlambat


ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga mempengaruhi
persiapan pelaksanaannya;

c. bahwa keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf b, disebabkan


adanya transisi dari Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial
Dewan Ketenagakerjaan kepada Dewan Pengupahan sesuai Keputusan
Presiden Indonesia Nomor 107 Tahun 2004 dan sebagai tindak lanjut
Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan
Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c,


perlu pengaturan lebih lanjut batas waktu pengajuan penangguhan
pelaksanaan Upah Minimum Tahun 2006 yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Mengingat :
1 . Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2204 tentang


Dewan Pengupahan;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhior dengan Keputusan
PResiden Nomor 20/P Tahun 2005;

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia


Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum;

5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republlik Indonesia


Nomor KEP-226/MEN/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11 , Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum;

6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-


231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah
Minimum;

Memperhatikan : Hasil monitoring dan evaluasi penetapan Upah Minimum Provinsi


dan/atau Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASSI


TENTANG PELAKSANAAN PASAL 3 KEPUTUSAN MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR KEP-
231/MEN/2003 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN
PELAKSANAAN UPAH MINIMUM.

Pasal1

Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006 berlaku sejak
tanggal 1 Januari 2006.

Pasal 2

(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.

(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha
dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.

(3) Permohonan penagguhan pelaksanaan Upah Minimum Provinsi Tahun 2006 yang
penetapannya dilakukan sesudah bulan Oktober Tahun 2005, dan permohonan
penangguhan Upah Minimum dapat/Kota Tahun 2006 yang penetapannya
dilakukan sesudah tanggal 20 Nopember 2005 tetap dapat dilakukan paling lambat
50 hari sejak tanggal penetapan Upah Minimum Provinsi atau 30 hari sejak tanggal
penetapan UPah Minimum Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(4) Syarat-syarat permohonan penagguhan pelaksanaan Upah Minimum Tahun 2006
dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.
KEP-231 /MEN/2003 kecuali yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1)

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Januari 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ERMAN SUPARNO
PERATURAN MENTERI NO. 09 TH 2005
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER.09/MEN/V/2005

TENTANG

TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN PELAKSANAAN


PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 179 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan perlu diatur mengenai Tata Cara Penyampaian Laporan
Pelaksanaan Pengawasan Ketenaga kerjaan dengan Peraturan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-
Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4 ) ;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2819 ) ;
3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention
Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce ( Konvensi ILO
Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan
Perdagangan) ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 91,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4309));
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN PELAKSANAAN
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan.
2. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus yang ditunjuk oleh Menteri dan diserahi
tugas mengawasi serta menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
3. Laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan adalah laporan yang memuat hasil kegiatan dan evaluasi
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan baik laporan individu pegawai pengawas ketenagakerjaan maupun laporan
unit kerja pengawasan ketenagakerjaan.
4. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pusat adalah unit kerja pelaksana yang menjalankan tugas dan fungsi
pengawasan ketenagakerjaan pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
5. Instansi di Kabupaten/Kota adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota.
6. Instansi di Provinsi adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.
7. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan Kabupaten/Kota atau Provinsi adalah unit kerja pelaksana yang
menjalankan tugas dan fungsi di bidang pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota atau Provinsi.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan..
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1). Instansi di Kabupaten/Kota mengumpulkan, mengolah, mencatat dan menyimpan serta menyajikan
data pengawasan ketenagakerjaan.

(2). Data pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

a. Pegawai pengawas ketenagakerjaan ;


b. Objek pengawasan ketenagakerjaan ;
c. Objek pengawasan norma jamsostek ;
d. Kegiatan pemeriksaan dan pengujian ;
e. Perijinan objek pengawasan ketenagakerjaan ;
f. Jenis kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja ;
g. Jenis pelanggaran dan tindak lanjut ;
h. Penyidikan.

Pasal 3

(1). Pegawai pengawas ketenagakerjaan secara induvidual wajib membuat laporan setiap kegiatan
pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
(2). Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal.
(3). Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada atasan langsung pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang bersangkutan setiap selesai melaksanakan tugas atau setiap tahap penyelesaian
untuk kegiatan yang bersifat berkelanjutan.

Pasal 4

(1). Berdasarkan laporan individu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) instansi di Kabupaten/Kota
menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada instansi di Provinsi.
(2). Instansi di Provinsi menyusun rekapitulasi laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dari
instansi di masing- masing Kabupaten/Kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(3). Instansi di Provinsi menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Direktur
jenderal.
(4). Direktur Jenderal menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan secara nasional
kepada Menteri.
(5). Dalam hal unit kerja pengawasan ketenagakerjaan tidak berada dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
instansi di Kabupaten/Kota atau di Provinsi maka unit kerja pengawasan tersebut menyampaikan
laporan pelaksanaan pengawasan kepada instansi di Provinsi atau Direktur Jenderal.

Pasal 5

(1). Laporan unit pengawasan ketenagakerjaan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1)
menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2). Laporan unit pengawasan ketenagakerjaan Provinsi sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2)
menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.

Pasal 6

(1). Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka
pengambilan keputusan, peyusunan kebijakan pengawasan ketenagakerjaan dan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan.
(2). Dalam keputusan skorsing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal menetapkan
kewajiban yang harus dipenuhi PPTKIS selama menjalani skorsing.
(3). Dalam hal masa telah berakhir dan PPTKIS belum juga melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri mencabut SIPPTKI.
Pasal 7

(1). Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Mei 2005

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

ttd

FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Myra M. Hanartani
NIP. 160.025.858

LAMPIRAN-LAMPIRAN :
PERATURAN MENTERI NO. 17 TH 2007
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-17/MEN/VI/2007

TENTANG
TATA CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
LEMBAGA PELATIHAN KERJA

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-229/MEN2003
tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja sudah tidak
sesaui dengan perkembangan dan kebutuhan penyelenggaraan pelatihan kerja yang
dilaksanakan oleh lembaga pelatihan kerja, sehingga perlu disempurnakan ;
b. Bahwa Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (4) dan
Pasal 17 ayat (6) Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang -


Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Negara Republik
Indonesia untuk Seluruh Indonesia ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1951 Nomor 04 ) ;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2003, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279 ) ;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 126 Tahun 2004, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4422 ) ;
4. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan
Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737 ) ;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2006, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4637 ) ;
6 Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana telah beberapa kali
diubah yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007 ;

MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG TATA
CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN LEMBAGA PELATIHAN KERJA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan :


1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu
sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
2. Program Pelatihan Kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistimatis dan memuat tentang kopetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana
pelatihan, persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan
penetapan kelulusan peserta pelatihan.
3. Instruktur adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab,
wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk
melaksanakan kegiatan pelatihan dan pembelajaran kepada peserta pelatihan
dibidang atau kejuruan tertentu.
4. Tenaga Kepelatihan adalah seseorang yang telah memenuhi persyaratan
kualifikasi kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya.
5. Kompetensi Kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
7. Lembaga Pelatihan Kerja yang selanjutnya disingkat LPK adalah instansi pemerintah,
badan hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan
pelatihan kerja.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung dibidang pelatihan kerja
dilingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran LPK dalam Peraturan Menteri ini sebagai pedoman bagi
instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota dalam
memberikan perizinan maupun pendaftaran kepada penyelenggara pelatihan kerja.

Pasal 3

Pelatihan kerja dapat diselenggarakan oleh:


a. Lembaga pelatihan kerja pemerintah; atau
b. Lembaga pelatihan kerja swasta; atau
c. Perusahaan.

BAB I I
PERIZINAN DAN PENDAFTARAN

Bagian Kesatu
Perizinan

Pasal 4

(1). LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b yang


menyelenggarakan pelatihan kerja bagi masyarakat umum wajib memiliki izin.
(2). Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh kepala instansi
yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota
Pasal 5

Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga)
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

Pasal 6

(1). Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) LPK
swasta harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, dengan
melampirkan :.
a. copy akte pendirian dan/atau perubahan sebagai badan hukumdan tanda bukti
pengesahan dari insatansi yang berwenang;
b. daftar nama yang dilengkapi dengan riwayat hidup penanggungjawab LPK;
c. copy tanda bukti kepemilikan atau penguasaan sarana, prasarana dan fasilitas
pelatihan kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan program
pelatihan yang akan diselenggarakan;
d. program pelatihan kerja berbasis kompetensi;
e. profil LPK yang meliputi antara lain: struktur organisasi, alamat, telepon dan faximile;
f. daftar instruktur dan tenaga kepelatihan.
(2). Bagi LPK di luar negeri yang akan membuka cabang LPK di Indonesia, wajib
melampirkan surat penunjukan sebagai cabang dari LPK di luar negeri.

Pasal 7

Permohonan yag telah diterima oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenaga kerjaan kabupaten / kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan verifikasi.

Pasal 8

(1). Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (7), dilakukan oleh Tim yang
dibentuk oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang - kurangnya
beranggotakan dari unsur organisasi lembaga pelatihan, unit kerja yang
menamgani pelatihan kerja dan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan di
kabupaten / kota dan mempunyai tugas melakukan verifikasi kelengkapan dan
keabsahan dokumen.
(3). Verifikasi dokumen yang dilakiukan oleh Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
sudah selesai dalam waktu paling lama 5 ( lima ) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan dan hasil verifikasi dilaporkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota.
(4). Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim tidak lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota menolak permohonan pemohon dalam waktu paling lama 2
( dua ) hari kerja terhitung sejak hasil verifikasi.
(5). Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim dinyatakan lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota mengeluarkan surat keputusan penetapan perizinan yang
dilampiri dengan sertikat perizinan LPK dalam waktu paling lama 5 ( lima ) hari
kerja setelah selesainya verifikasi.
Pasal 9

Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota dalam


menerbitkan izin wajib mempertimbangkan tingkat resiko bahaya terhadap keselamatan dan
kesehatan peserta pelatihan serta lingkungan tempat dilaksanakannya pelatihan kerja.

Bagian Kedua
Pendaftaran

Pasal 10

(1). LPK pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal (3) huruf a dan
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (3) huruf c, yang
menyelenggarakan pelatihan kerja wajib mendaftar pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh kepala
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.

Pasal 11

Untuk mendaftarkan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
LPK pemerintah dan / atau perusahaan harus mengajukan permohonan secara
tertulis kepada kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten /kota, dengan melampirkan :
a. Surat keterangan keberadaan lembaga / unit pelatihan kerja dari instansi yang
membawahi / unit pelatihan kerja.
b. Struktur organisasi induk dan/atau unit yang menangani pelatihan;
c. Nama penanggung jawab;
d. Program pelatihan berbasis kompetensi;
e. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan;
f. Daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja.

Pasal 12

Permohonan yang telah diterima oleh kepala instansi yang bertanggungjawab di


bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
11 dilakukan verifikasi.

Pasal 13

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota


harus menerbitkan tanda daftar paling lambat dalam waktu 5 (lima) hari kerja
setelah seluruh syarat administratif sebagaiman dimaksud dalam pasal 11
dipenuhi.
(2) Apabila setelah 5 (lima) hari kerja instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
menerbitkan tanda daftar, maka LPK dapat melaksanakan kegiatan.
Pasal 14

Dalam hal LPK pemerintah dan/atau perusahaan yang telah mendapatkan tanda
bukti pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), terdapat
perubahan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, harus
mendaftarkan kembali kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.

BAB III
PENAMBAHAN PROGRAM

Pasal 15

Penambahan program pelatihan kerja hanya diberikan kepada LPK yang tidak sedang
dihentikan sementara pelaksanaan program pelatihan kerja.

Pasal 16

(1). LPK yang telah mendpatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5), apabila
akan menambah program pelatihan kerja harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(2). Permohonan penambahan program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilengkapi dengan :
a. Copy izin dan/atau tanda daftar yang masih berlaku sebagai lembaga pelatihan kerja;
b. Realisasi pelaksanaan program pelatihan;
c. Program tambahan pelatihan kerja yang berbasis kopetensi;
d. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan sesuai dengan program tambahan;
e. Daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja sesuai dengan program
tambahan;
f. Daftar nama penanggung jawab program sesuai dengan program tambahan.

Pasal 17

Permohonan yang telah diterima oleh kepala instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
dilakukan verifikasi.

Pasal 18

(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus sudah selesai dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan dan hasil verifikasi.
(2) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim tidak lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menolak permohonan pemohon dalam waktu paling lama 2
(dua) hari kerja terhitung sejak hasil verifikasi.
(3) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim dinyatakan lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menerbitkan surat keputusan penambahan program dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah selesainya verifikasi.

Pasal 19

Jangka waktu berlakunya izin penambah program pelatihan tidak boleh melebihi jangka waktu
berlakunya izin LPK.

BAB IV
PERPANJANGAN IZIN

Pasal 20

(1). Perpanjangnan izin LPK diberikan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota.
(2). Untuk mendapatkan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) LPK harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dalam waktu selambat - lambatnya 30 (tiga
puluh ) hari kerja sebelum izin berakhir dengan melampirkan :
a. Copy izin LPK yang masih berlaku ;
b. Copy surat tanda bukti kepemilikan atau penguasa prasarana dan fasilitas pelatihan
kerja untuk sekurang - kurangnya 3 ( tiga ) tahun sesuai dengan program pelatihan
yang akan diselenggarakan ;
c. Realisasi program pelatihan kerja yang telah dilaksanakan ;
d. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan.
(3). Perpanjangan izin tidak dapat diterbitkan apabila permohonan yang diajukan melampaui
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 21

(1). Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(2) dinyatakan lengkap, kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten / kota menerbitkan izin perpanjangan LPK.
(2). Izin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
diterbitkan dalam waktu selambat - lambatnya 12 ( dua belas ) hari kerja
sejak permohonan diterima.

Pasal 22
Perpanjangan izin LPK diberikan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten / kota, apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) dengan mempertimbangkan kinerja LPK yang bersangkutan.

BAB V
PENGHENTIAN SEMENTARA PELAKSANAAN PROGRAM,
PENGHENTIAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN PENCABUTAN
IZIN LEBAGA PELATIHAN

Pasal 23

(1). Kepala instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota dapat
menghentikan sementara pelaksanaan program pelatihan kerja, apabila LPK :
a. Menggunakan instruktur dan tenaga kepelatihan tidak sesuai dengan program, atau
b. Melaksanakan pelatihan tidak sesuai dengan program, atau
c. Menggunakan sarana dan prasarana pelatihan kerja tidak sesuai dengan program.
(2). Penghentian sementara pelaksanaan program pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh kepala instansi yang bertangung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota dalam bentuk surat keputusan
yang berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3). Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menetapkan
kewajiban yang harus dipenuhi LPK selama masa penghentian sementara.
(4). Selama dalam masa penghentian sementara LPK dilarang menerima peserta pelatihan
kerja baru untuk program pelatihan kerja yang dihentikan sementara.

Pasal 24

(1). Dalam hal LPK belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(3), maka kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
menghentikan pelaksanaan program pelatihan kerja.
(2). Apabila LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap melaksanakan
program pelatihan kerja yang telah diperintahkan untuk dihentikan, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota mencabut izin LPK yang bersangkutan.
(3). LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengembalikan biaya pelatihan kerja
kepada peserta.

Pasal 25

(1). Dalam hal LPK sudah selesai menjalani masa penghentian sementara dan telah
menyelesaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (3), LPK yang
bersangkutan wajib melaporkan kepada kepala instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) dinilai benar, kepala
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaanwajib menerbitkan surat
pencabutan penghentian sementara, dan LPK dapat melanjutkan kembali program
pelatihan.
Pasal 26

Dalam hal lembaga pelatihan kerja tidak melaksanakan program pelatihan kerja selama kurun
waktu 1 ( satu ) tahun terus menerus, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten /kota dapat mencabut izin LPK yang bersangkutan.

BAB VI
PELAPORAN

Pasal 27

(1). LPK wajib melapoprkan kegiatannya instansi yang bertanggung jawab di


bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota setempat secara priodik 6 (enam)
bulan sekali yang tembusannya disampaikan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi dan Direktur Jenderal.
(2). Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang - kurangnya memuat
tentang jenis kejujuran, tingkat program pelatihan kerja yang dilaksanakan,
jumlah peserta dan jumlah lulusan.

BAB VII
PEMBINAAN

Pasal 28

(1). Pembinaan terhadap LPK dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap program pelatihan
kerja, ketersediaan sarana dan fasilitas, instruktur dan tenaga kepelatihan, penerapan
metode dan sistem pelatihan kerja serta manajemen LPK.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, tata cara penilaian kinerja LPK, formal tanda bukti
pendaftaran, surat keputusan penetapan perizinan, penambahan program, perpanjangan izin,
penghentian sementara pelaksanaan program, penghentian pelaksanaan program, pencabutan
izin dan sertifikat perizinan LPK, diatur oleh Direktur Jenderal.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 229/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran
Lembaga Pelatihan Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 31

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2007

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

ERMAN SUPARNO
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006

TENTANG

SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dengan adanya perubahan struktur organisasi di


lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta
perubahan sistem penganggaran, maka sistem pelaporan yang
diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.17/MEN/2002 tentang Sistem Pedoman Pelaporan
Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian perlu
disempurnakan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2004, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun
2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437);
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 126 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dalam
Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 203 Tahun 2000, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4023);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Dekonsentrasi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 62 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4095);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2001, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4106);
7. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2002,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4214)
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor
72 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 92
Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4418);
8. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.14/MEN/VII/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.06/MEN/VII/2005 tentang Unit Pelaksana Teknis Pusat;
11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.12/MEN/IV/2006 tentang Tata Cara Pengajuan Usulan
Program Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG SISTEM PELAPORAN BIDANG KETENAGAKERJAAN
DAN KETRANSMIGRASIAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Sistem pelaporan adalah ketentuan yang meliputi jenis, materi, sistematika,
penyusunan dan penyampaian, koordinator serta penanggungjawab laporan yang
menjadi kewajiban unit kerja di tingkat pusat maupun daerah.
2. Pelaporan adalah jenis naskah dinas yang disampaikan sebagai
pertanggungjawaban atas pelaksanaan program dan kegiatan pada periode waktu
tertentu atau sewaktu-waktu.
3. Laporan pelaksanaan tugas adalah jenis naskah dinas yang dibuat oleh pimpinan
unit kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan instansi
provinsi dan instansi kabupaten/kota yang melaksanakan fungsi ketenagakerjaan
dan ketransmigrasian yang berisi uraian informasi sebagai pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas umum pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian.

2
4. Laporan khusus adalah jenis naskah dinas yang dipersiapkan untuk Sidang Kabinet
(lengkap dan terbatas), Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian, Rapat Koordinasi
Bidang Kesejahteraan Rakyat, Rapat Koordinasi Bidang Politik Hukum dan
Keamanan, Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR-RI,
Rapat Kerja dengan DPD-RI, dan bahan rapat rapat lainnya yang sejenis.
5. Penanggung jawab laporan adalah pejabat tertinggi pada unit kerja, instansi provinsi
dan instansi kabupaten/kota yang berkewajiban untuk melaporkan hasil
pelaksananaan tugas di lingkungan unit kerjanya.
6. Koordinator penyusun laporan adalah pejabat yang karena tugas dan fungsinya
berkewajiban dan bertanggungjawab melakukan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi dengan sub unit kerja di lingkungan unit kerjanya atau unit kerja terkait.
7. Instansi Provinsi adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di
bidang ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian di provinsi yang bersangkutan.

8. Instansi Kabupaten/Kota adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya


di bidang ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian di kabupaten/kota yang
bersangkutan.
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Unit kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi terdiri dari :
a. Sekretariat Jenderal;
b. Inspektorat Jenderal;
c. Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas;
d. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri;
e. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri;
f. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan;
g. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan;
h. Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan
Transmigrasi;
i. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan
Transmigrasi; dan
j. Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi.

BAB II
SISTEM PELAPORAN

Bagian Kesatu
Jenis

Pasal 3

(1) Jenis pelaporan, meliputi :


a. Laporan Pelaksanaan Tugas; dan
b. Laporan Khusus.

(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
dari:
a. Laporan Departemen/Menteri;

3
b. Laporan Unit Kerja Eselon I;
c. Laporan Unit Kerja Eselon II;
d. Laporan Instansi Provinsi; dan
e. Laporan Instansi Kabupaten/Kota.

(3) Laporan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri dari:
a. Laporan Menteri pada Sidang Kabinet;
b. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian;
c. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat;
d. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Politik Hukum dan Keamanan;
dan
e. Laporan lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Bagian Kedua
Materi

Pasal 4

(1) Materi laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf a, merupakan data dan informasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di
bidang ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian serta program kegiatan
pembangunan dan pelaksanaan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA),
dengan sumber dana dari APBN dan APBD, permasalahan dan upaya tindak
lanjut serta data lainnya yang diperlukan.

(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaporkan
merupakan data dan informasi yang sifatnya pokok sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini.

(3) Data dan informasi yang sifatnya lebih rinci diatur tersendiri oleh unit kerja eselon I
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai dengan
kebutuhan unit kerja yang bersangkutan.

Pasal 5

Materi laporan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b,
disesuaikan dengan agenda rapat koordinasi, sidang kabinet, rapat kerja, rapat dengar
pendapat, dan agenda lainnya sesuai kebutuhan.

Bagian Ketiga
Sistematika

Pasal 6

(1) Sistematika laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


ayat (1) huruf a, sekurang-kurangnya memuat :
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Lampiran
Daftar Tabel
Daftar Gambar, Grafik
Rangkuman

4
BAB I : PENDAHULUAN
a. Latar Belakang.
b. Maksud dan Tujuan.
c. Sasaran.
d. Landasan Operasional.
BAB II : TUGAS POKOK DAN FUNGSI
BAB III : RENCANA PROGRAM/KEGIATAN DAN ANGGARAN
a. Rencana Program/Kegiatan.
b. Pagu Anggaran.
BAB IV : PELAKSANAAN PROGRAM/KEGIATAN DAN HASIL-HASILNYA
a. Pelaksanaan Program/Kegiatan dan Hasilnya;
b. Realisasi Penyerapan Anggaran.
BAB V : PERMASALAHAN DAN UPAYA TINDAKLANJUT
BAB VI : HAL-HAL KHUSUS
BAB VII : PENUTUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN

(2) Sistematika Laporan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
disesuaikan dengan agenda yang akan dibahas pada rapat koordinasi, sidang
kabinet, rapat kerja atau rapat dengar pendapat dengan DPR-RI dan/atau DPD-RI.

Bagian Keempat
Tata Cara dan Waktu Penyampaian Laporan

Pasal 7

(1) Tata cara penyampaian laporan diatur sebagai berikut:

a. Laporan Departemen/Menteri
Menteri menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Presiden R.I
dengan tembusan kepada Wakil Presiden R.I, Menteri Koordinator dan Menteri
terkait dengan bidang tugas Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

b. Laporan Unit Kerja Eselon I


Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, menyampaikan laporan pelaksanaan
tugas setiap bulan/tahun kepada Menteri. Direktur Jenderal dan Kepala Badan
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyampaikan
laporan pelaksanaan tugas setiap bulan/tahun kepada Menteri dengan
tembusan kepada Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal dan Ka.Balitfo serta
unit kerja eselon I lainnya yang terkait.

c. Laporan Unit Kerja Eselon II


Masing-masing unit kerja eselon II di lingkungan Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi menyampaikan laporan pelaksanaan tugas setiap
bulan/tahun kepada pejabat eselon I atasan langsungnya dengan
tembusannya kepada Biro Perencanaan untuk unit Eselon II di lingkungan
Sekretariat Jenderal, Sekretaris Inspektorat Jenderal untuk unit Eselon II di
lingkungan Inspektorat Jenderal, Sekretaris Direktorat Jenderal untuk unit
Eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal, serta Sekretaris Badan untuk unit
Eselon II di lingkungan Badan.

5
d. Laporan Instansi Provinsi
Instansi Provinsi menyampaikan laporan pelaksanaan tugas setiap bulan/tahun
kepada gubernur yang bersangkutan dan Menteri, dengan tembusan kepada
Inspektur Jenderal, Ka.Balitfo dan Pejabat Eselon I terkait di lingkungan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

e. Laporan Instansi Kabupaten/Kota


Instansi Kabupaten/Kota menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada
Bupati/Walikota dan Kepala Instansi Provinsi yang bersangkutan setiap
bulan/tahun, dan tembusan disampaikan kepada Menteri, Inspektorat Jenderal,
Ka.Balitfo dan Pejabat Eselon I terkait di lingkungan Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.

f. Laporan Khusus
Unit kerja Sekretariat Jenderal melakukan koordinasi dengan unit kerja eselon I
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam penyiapan
bahan laporan khusus sesuai dengan agenda rapat koordinasi atau rapat kerja
dengan lembaga legislatif.

(2) Waktu penyampaian laporan diatur sebagai berikut :


a. Laporan Menteri/Departemen
Laporan pelaksanaan tugas Menteri kepada Presiden R.I disampaikan
selambat-lambatnya setiap tanggal 25 pada bulan berikutnya, dan laporan
tahunan selambat-lambatnya pada minggu ke-2 bulan Maret tahun berikutnya.
b. Laporan Unit Kerja Eselon I
Laporan pelaksanaan tugas bulanan disampaikan selambat-lambatnya setiap
tanggal 20 pada bulan berikutnya, dan laporan pelaksanaan tugas tahunan
disampaikan pada minggu ke-4 bulan Februari pada tahun berikutnya.
c. Laporan Unit Kerja Eselon II
Laporan pelaksanaan tugas bulanan disampaikan selambat-lambatnya setiap
tanggal 15 pada bulan berikutnya, dan laporan pelaksanaan tugas tahunan
disampaikan pada minggu ke-2 bulan Februari pada tahun berikutnya.
d. Laporan Instansi Provinsi
Laporan bulanan pelaksanaan tugas Instansi Provinsi disampaikan selambat-
lambatnya setiap tanggal 10 pada bulan berikutnya, dan laporan pelaksanaan
tugas tahunan disampaikan pada minggu keempat bulan Januari pada tahun
berikutnya.
e. Laporan Instansi Kabupaten/Kota
Laporan bulanan pelaksanaan tugas Instansi Kabupaten/Kota disampaikan
selambat-lambatnya setiap tanggal 5 pada bulan berikutnya, dan laporan
pelaksanaan tugas tahunan disampaikan pada minggu ke-2 bulan Januari
pada tahun berikutnya.
f. Laporan Khusus
Waktu penyampaian laporan khusus disesuaikan dengan agenda pelaksanaan
rapat koordinasi, sidang kabinet, rapat kerja, rapat dengar pendapat dengan
jadwal tentatif sebagai berikut :
a) Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian 4 kali dalam sebulan;
b) Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat 4 kali dalam sebulan;
c) Rapat Koordinasi Bidang Polhukam dua kali dalam sebulan;
d) Sidang Kabinet 2 kali dalam sebulan pada Minggu I dan III;
e) Rapat Kerja dengan DPR-RI 4 kali dalam setahun;
f) Rapat Kerja dengan DPD-RI 2 kali dalam setahun.
g) Laporan lainnya.

6
(3) Dalam keadaan tertentu rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf f dilakukan secara mendadak, dan waktu penyampaian laporan tergantung
permintaan dari Kantor Sekretaris Kabinet, Kantor Menko dan Sekretariat DPR-RI
atau DPD-RI.

Bagian Kelima
Koordinator dan Penyusun Laporan

Pasal 8

(1) Koordinator dan penyusun laporan pelaksanaan tugas diatur sebagai berikut :
a. Koordinator laporan Departemen/Menteri, yaitu Sekretaris Jenderal yang
penyusunannya dilaksanakan oleh Biro Perencanaan;
b. Koordinator laporan unit kerja Sekretariat Jenderal yaitu Kepala Biro
Perencanaan yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian
Evaluasi dan Pelaporan;
c. Koordinator laporan unit kerja Inspektorat Jenderal, yaitu Sekretaris Inspektorat
Jenderal, yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian Program
Evaluasi dan Pelaporan;
d. Koordinator laporan unit kerja Direktorat Jenderal, yaitu Sekretaris Direktorat
Jenderal yang bersangkutan, yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit
kerja Bagian Program Evaluasi dan Pelaporan;
e. Koordinator laporan unit kerja Badan, yaitu Sekretaris Badan, yang
penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian Program Evaluasi dan
Pelaporan;
f. Koordinator laporan instansi provinsi, yaitu Kepala Bagian Tata Usaha instansi
provinsi yang bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk yang
penyusunannya dilaksanakan oleh pejabat eselon IV yang melaksanakan
tugas dan fungsi di bidang pelaporan;
g. Koordinator laporan instansi kabupaten/kota adalah Kepala Bagian Tata Usaha
instansi kabupaten/kota yang bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk
yang penyusunannya dilaksanakan oleh pejabat eselon IV yang melaksanakan
tugas dan fungsi di bidang pelaporan.

(2) Koordinator dan penyusun Laporan Khusus yaitu Sekretaris Jenderal dan/atau
pejabat lain yang setingkat di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi yang ditunjuk.

(3) Penyusun laporan di unit kerja Sekretariat Jenderal, yaitu unit kerja Biro
Perencanaan atau unit kerja eselon II di lingkungan Sekretariat Jenderal lainnya
yang ditunjuk.

(4) Penyusun laporan di unit kerja Inspektorat, Direktorat dan Badan, yaitu Sekretariat
Inspektorat Jenderal, Sekretariat Direktorat Jenderal, Sekretariat Badan atau
Pejabat Eselon II lainnya yang ditunjuk.

7
Bagian Keenam
Penanggungjawab

Pasal 9

(1) Penanggung jawab dan penandatangan laporan pelaksanaan tugas sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut :
a. Penanggung jawab dan penandatangan laporan Menteri yaitu Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
b. Penanggung jawab dan penandatangan laporan Unit Kerja Eselon I yaitu
pejabat Eselon I di unit kerja yang bersangkutan;
c. Penanggung jawab dan penandatangan Laporan Unit Kerja Eselon II yaitu
Pejabat Eselon II di unit kerja yang bersangkutan;
d. Penanggung jawab dan penandatangan Laporan Instansi Provinsi yaitu Kepala
Instansi Provinsi yang melaksanakan tugas dan fungsi ketenagakerjaan
dan/atau ketransmigrasian;
e. Penanggung jawab dan penandatangan Laporan Instansi Kabupaten/Kota
yaitu Kepala Instansi Kabupaten/Kota yang melaksanakan tugas dan fungsi
ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian;

(2) Penanggungjawab dan penandatanganan laporan khusus sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b adalah Menteri.

BAB III
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 10

(1) Laporan pelaksanaan tugas beserta lampiran-lampirannya merupakan bagian tak


terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
a, dijadikan bahan evaluasi untuk melakukan penilaian terhadap instansi provinsi,
kabupaten/kota maupun unit kerja yang bersangkutan.

(3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Sekretaris Jenderal
dan hasilnya disampaikan kepada Menteri untuk tingkat departemen, gubernur
untuk laporan instansi provinsi, dan bupati/walikota untuk laporan instansi
kabupaten/kota yang bersangkutan.

(4) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi :


a. Subtansi laporan;
b. Tingkat ketaatan/kedisiplinan dalam penyampaian laporan.

(5) Penilaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan salah satu
pertimbangan dalam penentuan program dan besarnya anggaran tahun
berikutnya.

8
BAB IV
PENUTUP

Pasal 11

(1) Ketentuan sistem pelaporan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian ini


dipergunakan sebagai pedoman dalam penyusunan laporan oleh seluruh unit kerja
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, instansi provinsi dan
instansi kabupaten/kota.

(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
a, harus dilengkapi dengan data dan informasi perkembangan pelaksanaan
program/kegiatan dan data penting lainnya dalam periode waktu tertentu.

(3) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berpedoman
pada Lampiran Form Tabel-tabel beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini.

Pasal 12

Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP.17/MEN/2002 tentang Sistem Pedoman Pelaporan
Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 13

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD

ERMAN SUPARNO

9
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

MATRIK MEKANISME PELAPORAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

JENIS JANGKA PENANGGUNG DITUJUKAN WAKTU


No. KOORDINATOR PENYUSUN TEMBUSAN
LAPORAN WAKTU JAWAB KEPADA PENYAMPAIAN

1 2 3 4 5 6 7 8 9

I. Laporan Pelaksanaan Tugas A. Bulanan


- Laporan Departemen/ - Menteri - Sekretaris Jenderal - Kepala Biro - Presiden - Menteri terkait - Paling lambat tanggal 25
Menteri Perencanaan - Unit Kerja Eselon I bulan berikutnya
terkait

- Laporan unit kerja - Para Pejabat - Para Ses, Karocan - Kabag Evaluasi dan - Menteri - Sekjen - Paling lambat tanggal 20
eselon I eselon I (Dirjen, Pelaporan, Kabag - Itjen bulan berikutnya
Sekjen, Irjen, Program Evaluasi dan - Balitfo
Ka.Badan) Pelaporan - Unit Kerja Eselon I
terkait
- Laporan unit kerja - Pejabat eselon II - Para Kabag/Kabid - Kasubbag Tata - Pejabat Eselon I - Karocan, Sesditjen/ - Paling lambat tanggal 15
eselon II yang membawahi Usaha/Kasubbag Sesbadan/Sesitjen bulan berikutnya
Subbag Tata Usaha/ Evaluasi dan
Subbag Evaluasi dan Pelaporan
Pelaporan

- Instansi Provinsi - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Menteri - Itjen - Paling lambat tanggal 10
Provinsi yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Gubernur - Balitfo bulan berikutnya
fungsi di bidang - Unit Kerja Eselon I
evaluasi dan terkait
pelaporan

- Instansi Kabupaten/Kota - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Bupati/Walikota - Menteri - Paling lambat tanggal
Kabupaten/Kota yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Kepala Instansi - Itjen 5 bulan berikutnya
fungsi di bidang Provinsi - Balitfo
evaluasi dan - Unit Kerja Eselon I
pelaporan terkait
B. Tahunan
- Laporan Departemen/ - Menteri - Sekretaris Jenderal - Kepala Biro - Presiden - Menteri terkait - Paling lambat Minggu
Menteri Perencanaan - Unit Kerja Eselon I ke-2 bulan Maret pada
terkait tahun berikutnya
JANGKA PENANGGUNG DITUJUKAN WAKTU
No. JENIS LAPORAN KOORDINATOR PENYUSUN TEMBUSAN
WAKTU JAWAB KEPADA PENYAMPAIAN

1 2 3 4 5 6 7 8 9

- Laporan unit kerja - Para Pejabat - Para Ses, Karocan - Kabag Evaluasi dan - Menteri - Sekjen - Paling lambat Minggu
eselon I eselon I (Dirjen, Pelaporan, Kabag - Itjen ke-4 bulan Februari
Sekjen, Irjen, Program Evaluasi dan - Balitfo pada tahun berikutnya
Ka.Badan) Pelaporan
- Unit Kerja Eselon I
terkait

- Laporan unit kerja - Pejabat eselon II - Para Kabag/Kabid - Kasubbag Tata - Pejabat Es I - Karocan, Sesditjen/ - Paling lambat Minggu
eselon II yang membawahi Usaha/Kasubbag Sesbadan/Sesitjen ke-2 bulan Februari
Subbag Tata Usaha/ Evaluasi dan pada tahun berikutnya
Subbag Evaluasi dan Pelaporan
Pelaporan

- Instansi Provinsi - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Menteri - Itjen - Paling lambat Minggu
Provinsi yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Gubernur - Balitfo ke-4 bulan Januari pada
fungsi di bidang - Unit Kerja Eselon I tahun berikutnya
evaluasi dan terkait
pelaporan

- Instansi Kabupaten/Kota - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Bupati/Walikota - Menteri - Paling lambat Minggu
Kabupaten/Kota yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Kepala Instansi - Itjen ke-2 bulan Januari pada
fungsi di bidang Provinsi - Balitfo tahun berikutnya
evaluasi dan
- Unit Kerja Eselon I
pelaporan
terkait

II. Laporan Khusus - Sesuai agenda rapat - Menteri - Sekretaris Jenderal - Karocan/Para Ses - Presiden - Menko yang terkait Sesuai agenda rapat
- Menko

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

TTD

ERMAN SUPARNO
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
MEKANISME LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS

P SEKJEN, PRESIDEN
U SES.DITJEN/DIREKTUR/
KASUBDIT/ DIRJEN, MENTERI
S KABAG KEPALA BIRO/KAPUS/
KEPALA BADAN, LAPORAN BULANAN/TAHUNAN
A SES.BADAN/SES.ITJEN
T IRJEN
SIDANG KABINET

RAKOR PEREKONOMIAN
D KEPALA INSTANSI RAKOR KESRA
GUBERNUR
A PROVINSI RAKOR POLHUKAM
E
Dana Dekonsentrasi + Tugas Pembantuan
R BAHAN RAKER DPR-RI
A
KEPALA INSTANSI BUPATI/WALIKOTA
H
KAB/KOTA
Dana Tugas Pembantuan
Ditetapkan di Jakarta
Keterangan: Pada tanggal 1 Desember 2006
Langsung MENTERI
Tembusan
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

TTD

ERMAN SUPARNO
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

PETUNJUK PENGISIAN
FORM TABEL BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

A. Form Tabel Bidang Ketenagakerjaan

1. Form Tabel A.1

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan jumlah Ijin Memperkerjakan Tenaga Asing
(IMTA) yang diterbitkan bulan sebelumnya dan sampai
dengan bulan ini ditinjau menurut jabatan tenaga asing,
di sub sektor TKA bekerja, dan di kabupaten/kota TKA
tersebut bekerja.
Kolom 5 s.d. 6 : Diisi dengan jumlah Ijin Memperkerjakan Tenaga Asing
(IMTA) yang masih berlaku bulan sebelumnya dan sampai
dengan bulan ini ditinjau menurut jabatan tenaga asing,
di sub sektor apa TKA bekerja, dan di kabupaten/kota TKA
tersebut bekerja.

2. Form Tabel A.2

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama perusahaan atau institusi berbadan hukum yang
membutuhkan tenaga kerja.
Kolom 3 : Diisi dengan lapangan usaha kebutuhan tenaga kerja
misalnya : (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan
perikanan; (2) pertambangan dan penggalian; (3) industri
pengolahan; (4) listrik, gas dan air bersih; (5) bangunan; (6)
perdagangan, hotel dan restoran; (7) pengangkutan dan
komunikasi; (8) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan;
dan (9) jasa-jasa.
Kolom 4 : Diisi dengan kebutuhan perusahaan akan tenaga
kerja berdasarkan jabatan misalnya : (1) pimpinan; (2)
profesional; (3) supervisor; (4) teknisi/operator; (5) lainnya.
Kolom 5 dan 6 : Diisi dengan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan daerah
asal dan tujuan, sekurang-kurangnya kabupaten/kota.
Kolom 7 s.d. 10 : Diisi dengan kebutuhan tenaga kerja dari masyarakat umum
dan penyandang cacat dirinci menurut jenis kelamin.
Kolom 11 : Diisi jumlah tenaga kerja umum dan penca menurut
jenis kelamin (kolom 7 s.d. 10).

1
3. Form Tabel A.3

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi kabupaten/kota/kecamatan tenaga kerja yang
bersangkutan ditempatkan.
Kolom 3 : Diisi lokasi minimal kabupaten/kota tenaga kerja
ditempatkan.
Kolom 4 : Diisi daerah asal tenaga kerja minmal kabupaten/kota.
Kolom 5 : Diisi menurut lapangan usaha misalnya : (1) pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan; (2) pertambangan
dan penggalian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas dan
air bersih; (5) bangunan; (6) perdagangan, hotel dan
restoran; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan; dan (9) jasa-jasa.
Kolom 6 : Diisi nama perusahaan dimana tenaga kerja ditempatkan.
Kolom 7 s.d. 10 : Disi tenaga kerja yang ditempatkan dari masyarakat umum
dan penyandang cacat.
Kolom 11 : Cukup jelas.

4. Form Tabel A.4

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 s.d. 14 : Diisi dengan target dan realisasi program perluasan dan
pengembangan kesempatan kerja dirinci perkegiatan sesuai
bulan/tahun yang bersangkutan dalam satuan orang.
Kolom 15 dan 16 : Diisi jumlah target dan realisasi dari masing-masing
kegiatan (kolom 3 s.d. 14) dalam satuan orang.
Kolom 17 s.d. 22 : Diisi dengan target dan realisasi kegiatan penempatan
tenaga kerja.
Kolom 23 dan 24 : Diisi jumlah target dan realisasi dari masing-masing kegiatan
(kolom 17 s.d. 22) dalam satuan orang.

5. Form Tabel A.5

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 dan 4 : Diisi target dan realisasi berdasarkan masing-masing
kegiatan dalam satuan orang.

6. Form Tabel A.6

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi dengan nama negara dimana calon TKI akan
ditempatkan.
Kolom 3 : Diisi jumlah calon TKI ditempatkan berdasarkan negara
penempatan.
Kolom 4 : Diisi dengan nama Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKIS) yang akan menempatkan TKI.
Kolom 5 : Diisi dengan daerah asal calon TKI, sekurang-kurangnya
tingkat kabupaten/kota.
Kolom 6 dan 7 : Diisi dengan jumlah calon TKI menurut jenis kelamin yang
bekerja pada sektor formal.
Kolom 8 : Jumlah kolom 6 dan 7.
2
Kolom 9 dan 10 : Diisi dengan jumlah calon TKI menurut jenis kelamin yang
bekerja pada sektor informal.
Kolom 11 : Jumlah kolom 9 dan 10.

7. Form Tabel A.7

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi negara tujuan pemberangkatan TKI dan negara asal
kepulangan tenaga kerja.
Kolom 3 : Diisi dengan nama Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia (PPTKIS) yang menempatkan TKI.
Kolom 4 dan 5 : Diisi dengan jumlah calon TKI menurut jenis kelamin yang
bekerja pada sektor formal.
Kolom 6 : Jumlah kolom 4 dan 5.
Kolom 7 dan 8 : Diisi dengan jumlah calon TKI menurut jenis kelamin yang
bekerja pada sektor informal.
Kolom 9 : Jumlah kolom 7 dan 8.
Kolom 10 : Jumlah kolom 6 dan 9.
Kolom 11 : Diisi hanya untuk alasan kepulangan tenaga kerja Indonesia
yang pulang, sedangkan keberangkatan tidak perlu diisi.

8. Form Tabel A.8

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi dengan daerah asal TKI, sekurang-kurangnya tingkat
kabupaten/kota.
Kolom 3 : Diisi dengan negara asal dimana TKI ditempatkan.
Kolom 4 dan 5 : Diisi dengan jumlah TKI purna berdasarkan jenis kelamin.
Kolom 6 : Diisi dengan jumlah kolom 4 dan 5.
Kolom 7 : Diisi dengan jenis usaha setelah tidak bekerja di luar negeri.
Kolom 8 : Diisi jumlah TKI purna berdasarkan bidang usahanya.

9. Form Tabel A.9

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Nama kecamatan/kabupaten/kota/provinsi tempat
beroperasinya perusahaan sesuai ijin yang diperoleh.
Kolom 3 : Diisi dengan skala perusahaan berdasarkan jumlah tenaga
kerjanya (kecil, menengah, sedang/besar).
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah perusahaan berdasarkan skala
perusahaan (kolom 3).
Kolom 5 dan 6 : Diisi dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan dirinci berdasarkan
jenis kelamin.
Kolom 7 : Diisi jumlah kolom 5 dan 6.
Kolom 8 dan 9 : Diisi dengan jumlah perusahaan swasta maupun
BUMN/BUMD yang memiliki/mengeluarkan peraturan
perusahaan (PP).
Kolom 10 : Jumlah kolom 8 dan 9.
Kolom 11 dan 12 : Diisi dengan jumlah perusahaan swasta maupun BUMN
termasuk (BUMD) yang memiliki/mengeluarkan perjanjian
kerja bersama (PKB).
Kolom 13 : Jumlah kolom 11 dan 12.
3
10. Form Tabel A.10

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi kecamatan/kabupaten/kota terjadinya pemogokan/
unjuk rasa menurut sektor.
Kolom 3 : Diisi pada sektor apa unjuk rasa/pemogokan terjadi.
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah kasus pemogokan/unjuk rasa.
Kolom 5 dan 6 : Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam kasus
pemogokan/unjuk rasa dirinci menurut jenis kelamin.
Kolom 7 : Jumlah kolom 5 dan 6.
Kolom 8 : Diisi dengan jumlah jam kerja yang hilang sebagai akibat
dari pemogokan/unjuk rasa.
Kolom 9 dan 10 : Diisi dengan tuntutan dari unjuk rasa/pemogokan
pekerja/buruh baik normatif atau non normatif.

11. Form Tabel A.11

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi kabupaten/kota/kecamatan terjadinya kasus
perselisihan hubungan industrial.
Kolom 3 : Diisi dengan jumlah kasus perselisihan hubungan industrial
menurut jenisnya.
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah masing-masing kasus perselisihan
hubungan industrial.
Kolom 5 dan 6 : Diisi jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang
masih dalam proses penyelesaian dan jumlah kasus PHI
yang telah diselesaikan.
Kolom 7 : Diisi mediator yang menangani kasus PHI baik yang telah
selesai maupun yang masih dalam proses penyelesaian.

12. Form Tabel A.12

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi kabupaten/kota/kecamatan terjadinya perkara
pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan jumlah perkara dan alasan pekerja
terkena PHK.
Kolom 5 dan 6 : Diisi dengan jumlah pekerja/buruh yang terkena PHK
menurut jenis kelamin.
Kolom 7 : Diisi jumlah kolom 5 dan 6.

13. Form Tabel A. 13

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi Kabupaten/Kota/kecamatan yang terdapat Serikat
Pekerja/Serikat Buruh SP/SB; Federasi/Konfederasi SP/SB.
Kolom 3 dan 5 : Diisi jumlah Konfederasi/Federasi/SP/SB di masing-masing
kabupaten/Kota/kecamatan.

14. Form Tabel A.14

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi dengan lembaga yang mengadakan kegiatan pelatihan,
dapat berupa lembaga Balai Latihan Kerja/Loka Latihan
Kerja (BLK/LLK), BPPD dan atau Balatrans atau sejenis
yang ada di daerah.
4
Kolom 3 : Diisi dengan jenis pelatihan yang diadakan lembaga
pelatihan yang ada di daerah.
Kolom 4 : Diisi dengan jenis kejuruan yang diadakan lembaga
pelatihan yang ada di daerah.
Kolom 5 dan 6 : Diisi dengan target dan realisasi jumlah peserta
pelatihan dan kejuruan yang diadakan lembaga pelatihan
yang ada di daerah.
Kolom 7 dan 8 : Diisi dengan realisasi kelulusan berdasarkan jenis pelatihan
dan kejuruan dirinci menurut jenis kelamin yang diadakan
lembaga pelatihan yang ada di daerah.
Kolom 9 dan 10 : Diisi dengan realisasi penempatan setelah mengikuti
pelatihan berdasarkan jenis pelatihan dan kejuruan dirinci
menurut jenis kelamin yang diadakan lembaga pelatihan
yang ada di daerah.
Kolom 11 dan 12 : Diisi dengan wirausaha yang dapat diusahakan sebagai
hasil mengikuti pelatihan. Pengisian berdasarkan jenis
pelatihan dan kejuruan yang telah diikuti dirinci menurut
jenis kelamin yang diadakan lembaga pelatihan di daerah.

B. Form Tabel Bidang Ketransmigrasian

1. Form Tabel B.1

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi jumlah animo/minat masyarakat untuk bertransmigrasi
dalam satuan KK.
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah KK yang mendaftarkan sebagai calon
transmigran.
Kolom 5 : Diisi dengan jumlah KK yang memenuhi syarat sebagai
calon transmigran dari hasil seleksi.
Kolom 6 dan 7 : Diisi dengan jumlah KK/jiwa yang telah diberangkatkan.
Kolom 8 s.d. 10 : Diisi dengan daerah penempatan dirinci berdasarkan tingkat
provinsi, kabupaten/kota.

2. Form Tabel B. 2

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama unit pemukiman transmigrasi/lokasi, kabupaten
perkembangan penyiapan permukiman dan siap terima
penempatan transmigrasi baru (PTB).
Kolom 3 : Diisi dengan L bila program kolom 2 program luncuran,
M program murni, dan C program cicilan penempatan.
Kolom 4 : Diisi pola usaha yang diprogramkan misalnya lahan kering;
lahan basah; perkebunan dsbnya.
Kolom 5 s.d. 18 : Diisi target dan realisasi pembukaan lahan pekarangan
dalam satuan KK; lahan usaha I dalam satuan Ha, lahan
usaha II, pembangunan rumah transmigran dan jamban
keluarga (RTJK), sarana air bersih (SAB), dan
pembangunan fasilitas umum (FU) serta siap terima
penempatan (STP).

5
3. Form Tabel B.3

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama lokasi yang diprogramkan pembangunan
prasarana pemukiman pada lokasi baru.
Kolom 3 : Diisi pola usaha lokasi yang diprogramkan.
Kolom 4 dan 5 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan jalan
penghubung/poros dengan satuan km dan realisasinya
dalam persentase bobot tertimbang.
Kolom 6 dan 7 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan
jalan desa dengan satuan km dan realisasinya dalam
persentase bobot tertimbang.
. Kolom 8 dan 9 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan
gorong-gorong diameter 80 Cm dengan satuan meter dan
realisasinya dalam persentase bobot tertimbang.
Kolom 10 dan 11 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan
gorong-gorong diameter 60 Cm dengan satuan meter dan
realisasinya dalam persentase bobot tertimbang.
Kolom 12 dan 13 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan
jembatan kayu dengan satuan meter dan realisasinya dalam
persentase bobot tertimbang.
Kolom 14 dan 15 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan
jembatan semi permanen dengan satuan km dan
realisasinya dalam persentase bobot tertimbang.
Kolom 16 s.d. 19 : Diisi target dan realisasi pembangunan jembatan beton dan
jembatan non standar dengan satuan meter dan realisasinya
dalam persentase bobot tertimbang.
Kolom 20 s.d. 23 : Diisi target dan realisasi pembangunan drainase dan
dermaga dengan satuan unit pada bulan/tahun yang
bersangkutan dan realisasinya dalam persentase bobot
tertimbang.

4. Form Tabel B.4

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama UPT/lokasi, kabupaten penempatan transmigran.
Kolom 3 : Diisi dengan target penempatan transmigran dalam
satuan KK.
Kolom 4 : Diisi dengan realisasi penempatan transmigran yang berasal
dari penduduk setempat dalam satuan KK.
Kolom 5 s.d. 14 : Diisi dengan jumlah realisasi penempatan transmigran
dari daerah asal.
Kolom 15 : Diisi dengan jumlah kolom 5 sampai dengan kolom 14.
Kolom 16 : Diisi dengan jumlah penempatan transmigran penduduk
setempat (TPS) dan transmigran penduduk asal (TPA), yaitu
kolom 4 s.d. 14.

5. Form Tabel B.5

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama lokasi unit pemukiman transmigrasi yang
masih dibina (PTA) termasuk lokasi penempatan
transmigran yang baru.
6
Kolom 3 : Diisi dengan pola usaha yang diprogramkan.
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah target penempatan transmigran baru
(PTB) dalam satuan KK.
Kolom 5 dan 6 : Diisi dengan realisasi penempatan transmigrasi baru
pada bulan/tahun yang bersangkutan dengan satuan KK dan
jiwa.
Kolom 7 s.d. 16 : Diisi dengan jumlah penempatan transmigran yang
sudah ada (PTA) berdasarkan tahun pembinaan T + 2
(tahun pembinaan 2 tahun) dan seterusnya dalam satuan
KK dan jiwa.
Kolom 17 : Diisi dengan jumlah transmigran yang dibina (PTA dan PTB)
pada tahun yang bersangkutan dengan satuan KK.
Kolom 18 s.d. 20 : Diisi dengan jumlah transmigran yang dibina (PTA dan PTB)
pada tahun yang bersangkutan dalam satuan jiwa (laki-laki
dan perempuan).
Kolom 21 : Diisi dengan jumlah UPT yang masih dalam pembinaan
(PTA dan PTB).

6. Form Tabel B.6

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama lokasi unit pemukiman transmigrasi yang
masih dibina (PTA) yang mendapat program peningkatan/
rehabilitasi sarana dan prasarana permukiman.
Kolom 3 : Diisi dengan pola usaha yang diprogram.
Kolom 4 s.d. 25 : Diisi target dan realisasi peningkatan/rehabilitasi jalan
penghubung/poros, jalan desa, gorong-gorong diameter
80 Cm dan 60 Cm, jembatan kayu, jembatan semi
permanen, jembatan beton, jembatan non standar, drainase
dermaga, sarana air bersih dan fasilitas umum. Realisasi
fisik dihitung berdasarkan presentase bobot tertimbang.

C. Form Tabel Realisasi Pelaksanaan Program/Kegiatan dan Anggaran dan


Pengadaan Barang dan Jasa serta Permasalahan

1. Form Tabel C.1

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi dengan nama program/kegiatan/jenis kegiatan yang
bersumber dari anggaran APBN (dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan).
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan pagu DIPA semula dan setelah direvisi (revisi
terakhir) apabila ada.
Kolom 5 : Diisi volume kegiatan dan satuannya sesuai dengan DIPA.
Kolom 6 dan 7 : Diisi dengan realisasi keuangan dan fisik berdasarkan SPM
secara kumulatif dengan satuan rupiah dan persentase.
Kolom 8 dan 9 : Diisi dengan realisasi fisik kegiatan baik dalam satuan
volume maupun persentase secara kumulatif.
Kolom 10 dan 11 : Diisi dengan permasalahan/hambatan dan upaya
penyelesaian yang berkaitan dengan pelaksanaan program
dan realisasi penyerapan anggaran.

2. Form Tabel C.2

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi dengan nama program/kegiatan/jenis kegiatan yang
bersumber dari anggaran APBD.
7
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan pagu DIPA semula dan setelah direvisi (revisi
terakhir) apabila ada.
Kolom 5 : Diisi volume kegiatan dan satuannya sesuai dengan DIPA.
Kolom 6 dan 7 : Diisi dengan realisasi keuangan dan fisik berdasarkan SPM
secara kumulatif dengan satuan rupiah dan persentase.
Kolom 8 dan 9 : Diisi dengan realisasi fisik kegiatan baik dalam satuan
volume maupun persentase secara kumulatif.
Kolom 10 dan 11 : Diisi dengan permasalahan/hambatan dan upaya
penyelesaian yang berkaitan dengan pelaksanaan program
dan realisasi penyerapan anggaran.

3. Form Tabel C.3

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama paket pekerjaan dan kegiatan/sub kegiatan.
Kolom 3 : Diisi dengan target sesuai DIPA dirinci menurut volume dan
biaya.
Kolom 5 : Cukup jelas.
Kolom 6 : Diisi dengan nama media yang digunakan dalam
mengumumkan pelelangan ataupun pemilihan/penunjukan
langsung.
Kolom 7 s.d. 10 : Diisi dengan realisasi pelaksanaan pelelangan ataupun
pemilihan/penunjukan langsung dirinci berdasarkan volume,
biaya, nama pihak III; dan kualifikasi golongan.

4. Form Tabel C.4

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi sesuai dengan program yang ada di masing-masing
kantor/dinas.
Kolom 3 : Diisi dengan uraian masalah yang dihadapi dalam
melaksanakan program sesuai tugas dan fungsinya.
Kolom 4 : Diisi dengan upaya tindak lanjut yang telah dilakukan untuk
mengatasi permasalahan.
Kolom 5 : Diisi dengan usulan permasalahan di tingkat daerah yang
memerlukan penyelesaian di tingkat pusat.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

TTD

ERMAN SUPARNO

8
FORM : A.1
IZIN MEMPERKERJAKAN TENAGA ASING
MENURUT JABATAN, SUB SEKTOR, KEWARGANEGARAAN DAN LOKASI KERJA
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6
A. MENURUT JABATAN
1. Pimpinan
2. Profesional
3. Supervisor
4. Teknisi/Operator
5. Lain-lainnya
B. SUB SEKTOR
1. Perindustrian dan Perdagangan
- Industri Kimia
- Aneka Industri
- Industri Logam Mesin Elektro dan Aneka Perdagangan
2. Pertanian
- Pertanian
- Peternakan
3. Kehutanan
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6
4. Kelautan dan Perikanan
- PBL Perikanan Tangkap
- PBL Perikanan Budidaya
5. Pertambangan dan Sumber Daya Mineral
- Pertambangan Umum
- Migas
- Listrik
6. Kesehatan
7. Perhubungan dan Telekomunikasi
- Perhubungan Darat
- Perhubungan Laut
- Perhubungan Udara
- Telekomunikasi
8. Pemukiman dan Prasarana Wilayah
9. Kebudayaan dan Pariwisata
- Hotel dan Rumah Makan
- Jasa Hiburan dan Kebudayaan
10. Agama
11. Keuangan
- Moneter
- Perbankan
- Asuransi
12. Sosial Kemasyarakatan
13. Pendidikan
14. Penerangan
15. Lembaga/Instansi Pemerintah
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6

C. KEWARGANEGARAAN

D. LOKASI KERJA

J U M L A H
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.2
KEBUTUHAN TENAGA KERJA AKAD
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TENAGA KERJA YANG DIBUTUHKAN
NAMA PERUSAHAAN SEKTOR/ JABATAN YANG
No. DAERAH UMUM PENYANDANG CACAT JUMLAH
BADAN HUKUM SUB SEKTOR DIBUTUHKAN
ASAL TUJUAN L P L P
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

JUMLAH
Keterangan : SPP : Surat Penerbitan Penempatan; L : Laki-laki; P : Perempuan; Data kumulatif dari bulan Januari
Jumlah pada kolom 3 s.d. 6 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.3
REALISASI PENEMPATAN TENAGA KERJA AKAD
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TENAGA KERJA YANG DITEMPATKAN
KABUPATEN/KOTA/ LOKASI DAERAH NAMA
No. SEKTOR UMUM PENYANDANG CACAT
KECAMATAN KERJA ASAL PERUSAHAAN JUMLAH
LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 s.d. 6 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.4
TARGET DAN REALISASI PROGRAM PERLUASAN DAN
PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KEGIATAN PERLUASAN DAN PENGEMBANGAN KEGIATAN PENEMPATAN
KABUPATEN/KOTA/ KESEMPATAN KERJA TENAGA KERJA
No.
KECAMATAN TKPMP TKMT TKS WUB TTG PK JML AKAD AKL AKSUS JML
T R T R T R T R T R T R T R T R T R T R T R

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; TKPMP : Tenaga Kerja Mandiiri Profesional; TKMT : Tenaga Kerja Mandiri Terampil;
TKS : Tenaga Kerja Sukarela; WUB : Wira Usaha Baru; TTG : Teknologi Tepat Guna; PK : Padat Karya; .............., .................
AKAD : Antar Kerja Antar Daerah; AKL : Antar Kerja Lokal; AKSUS : Angkatan Kerja Khusus Kepala Dinas/Kantor/Instansi
(Penyandang Cacat atau Lanjut Usia); Data kumulatif dari bulan Januari Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.5
TARGET DAN REALISASI PELAKSANAAN KEGIATAN
PROGRAM PERLUASAN DAN PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA
MELALUI DANA DEKONSENTRASI
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
F I S I K
No. K E G I A T A N TARGET REALISASI
(ORANG) (ORANG)
1 2 3 4

1. Bimbingan teknis pengantar kerja


2. Bimbingan teknis petugas pemandu wirausaha
3. Bimbingan teknis Tenaga Kerja Mandiri sektor informal
4. Bimbingan teknis pemandu Teknologi Tepat Guna
5. Bimbingan teknis tenaga kerja aksus
6. Bimbingan teknis petugas pemandu pendamping Tenaga Kerja Sukarela
7. Pembinaan dan pendayagunaan Tenaga Kerja Sukarela
8. Pembinaan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional
9. Pendayagunaan masyarakat untuk usaha produktif pola Gramen Bank
10. Promosi Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja
sektor pertanian dan jasa
11. Promosi PPKK sektor industri dan potensi daerah
12. Job Fair :
- Partisipasi perusahaan
- Partisipasi pengunjung
- Lowongan yang tersedia

JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.6
DATA PELAKSANAAN REKRUT CALON TENAGA KERJA INDONESIA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
NEGARA DAERAH FORMAL NON FORMAL
No. TOTAL NAMA PPTKIS
PENEMPATAN ASAL TKI LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

JUMLAH
Keterangan : PPTKIS : Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 4 dan 5 tidak diisi (tanda blok); data rekrut calon TKI berarti pekerja belum ditempatkan namun sudah resmi terdaftar .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM A.7
LAPORAN KEBERANGKATAN DAN KEPULANGAN TKI
BULAN/TAHUN : …………

DINAS PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
FORMAL NON FORMAL
No. NEGARA PPTKIS JUMLAH JUMLAH TOTAL ALASAN KEPULANGAN
LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

A. Keberangkatan

Jumlah Keberangkatan
B. Kepulangan

Jumlah Kepulangan
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan khusus pada kolom 3 dan 11, pada keberangkatan tidak diisi (tanda blok)

.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.8
LAPORAN TENAGA KERJA INDONESIA PURNA
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KABUPATEN/KOTA NEGARA JENIS KELAMIN JENIS USAHA TKI PURNA
No. JUMLAH
DAERAH ASALTKI PENEMPATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN USAHA JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 dan 7 tidak diisi (tanda di blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.9
WAJIB LAPOR PERUSAHAAN DAN SYARAT-SYARAT KERJA
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH PEKERJA SYARAT-SYARAT KERJA
SKALA JUMLAH
No. KAB/KOTA/KECAMATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH PP PKB
PERUSAHAAN PERUSAHAAN
SWASTA BUMN JUMLAH SWASTA BUMN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

JUMLAH
Keterangan : PP : Peraturan Perusahaan; BUMN : Badan Usaha Milik Negara; PKB : Perjanjian Kerja Bersama
Skala Usaha : Perusahaan Kecil : jumlah tenaga kerja kurang dari 25 orang .............., .................
Perusahaan Menengah : jumlah tenaga kerja kurang dari 25 s.d. 49 orang Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Perusahaan Sedang : jumlah tenaga kerja kurang dari 50 s.d. 99 orang Provinsi/Kabupaten/Kota
Perusahaan Besar : jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang
Data kumulatif dari bulan Januari
Jumlah pada kolom 3 tidak diisi (tanda blok) ...................................
FORM : A.10
PEMOGOKAN/UNJUK RASA
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PEKERJA/BURUH
TUNTUTAN
KABUPATEN/KOTA/ YANG TERLIBAT JAM KERJA
No. SEKTOR KASUS
KECAMATAN YANG HILANG NON
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH NORMATIF
NORMATIF
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 dan 4 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.11
KASUS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KASUS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
KABUPATEN/KOTA/
No. JUMLAH PROSES PENYELESAIAN MEDIATOR YANG MENANGANI
KECAMATAN KASUS
KASUS DALAM PROSES SELESAI
1 2 3 4 5 6 7

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah kolom 3 dan 7 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.12
PERKARA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK
KABUPATEN/KOTA/
No. JUMLAH PEKERJA YANG TER PHK
KECAMATAN ALASAN PHK
PERKARA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7

JUMLAH
Keterangan : PHK : Pemutusan Hubungan Kerja; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 4 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.13
FEDERASI SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH SP/SB, FEDERASI SP/SB, KONFEDERASI SP/SB
No. KABUPATEN/KOTA/KECAMATAN
SP/SB FEDERASI SP/SB KONFEDERASI SP/SB
1 2 3 4 5

JUMLAH
Keterangan : SP : Serikat Pekerja; SB : Serikat Buruh; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.14
REALISASI KEGIATAN PELATIHAN DAN
PRODUKTIVITAS DI UPTP DAN UPTD
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH REALISASI REALISASI WIRAUSAHA (USAHA
No. UNIT KERJA JENIS PELATIHAN JENIS KEJURUAN PESERTA KELULUSAN PENEMPATAN MANDIRI)
TARGET REALISASI L P L P L P
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

A. BLK/LLK - Institusional
- Non Institusional

B. BPPD - Institusional
- Non Institusional

C. BALATRANS

JUMLAH
Keterangan : L : Laki-laki; P : Perempuan; Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 3 dan 4 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : B.1
PENGERAHAN DAN PENEMPATAN TRANSMIGRASI
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH
JUMLAH JUMLAH JUMLAH DAERAH TUJUAN PENEMPATAN
PENEMPATAN
No. KABUPATEN/KOTA ANIMO PENDAFTAR TERSELEKSI
KABUPATEN/KOTA
(KK) (KK) (KK) (KK) (JIWA) PROVINSI
NAMA *) KK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

JUMLAH
Keterangan : KK : Kepala Keluarga; *) Nama Kabupaten/Kota; Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 8 dan 9 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : B.2
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI BARU (PTB)
PERKEMBANGAN PENYIAPAN PERMUKIMAN DAN SIAP TERIMA PENEMPATAN (STP)
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI :
PEMBUKAAN LAHAN SARANA AIR FASILITAS SIAP TERIMA
RTJK
PROGRAM LP LU.I BERSIH UMUM PENEMPATAN
No. KABUPATEN/LOKASI POLA
(L/M/C) T R T R T R T R T R T R
(KK) (KK) (Ha) (Ha) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (KK) (KK)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

JUMLAH
Keterangan : L : Luncuran; M : Murni; C : Cicilan; T : Target; R : Realisasi; LP : Lahan Pekarangan
LU.I : Lahan Usaha I; LU.II : Lahan Usaha II; RTJK : Rumah Trans dan Jamban Keluarga .............., .................
KK : Kepala Keluarga; Data kumulatif dari bulan Januari Kepala Dinas/Kantor/Instansi
jumlah pada kolom 4 tidak diisi (tanda blok) Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : B.3
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI BARU (PTB)
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PRASARANA PERMUKIMAN
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI :
PEMBANGUNAN JALAN/GORONG-GORONG PEMBANGUNAN JEMBATAN
JALAN JALAN GORONG2 GORONG2 SEMI DRAINASE DERMAGA
KABUPATEN/ KAYU NON STANDAR
No. PHB/PRS DESA @ 80 Cm @ 60 Cm PERMANEN
LOKASI/UPT
T R T R T R T R T R T R T R T R T R
(Km) (%) (Km) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (Unit) (%) (Unit) (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; PHB/PRS: Penghubung/Poros; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : B.4
PERKEMBANGAN PENEMPATAN TRANSMIGRAN (PTB)
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TARGET REALISASI PENEMPATAN (KK) JUMLAH
No. KABUPATEN/LOKASI/UPT PENEMPATAN TPA PENEMPATAN
TPS
(KK) DKI JABAR BANTEN JATENG DIY JATIM BALI NTB NTT LAIN-LAIN JUMLAH (KK)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

JUMLAH
Keterangan : TPS : Transmigrasi Penduduk Setempat; TPA : Transmigrasi Penduduk Daerah Asal
Data kumulatif dari bulan Januari .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : B.5
DATA PERKEMBANGAN MASYARAKAT BINAAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PTB PTA (KK)
POLA REALISASI T+2 T+3 T+4 T+5 T>5 JUMLAH
No. KABUPATEN/LOKASI TARGET
USAHA JIWA
(KK) KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK UPT
L P JML
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

JUMLAH
Keterangan : PTB : Pemukiman Transmigrasi Baru; PTA : Pemberdayaan Transmigran yang telah Ada
KK : Kepala Keluarga; UPT : Unit Pemukiman Transmigrasi; L : Laki-laki; P : Perempuan .............., .................
jumlah pada kolom 3 tidak diisi (tanda blok) Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : C.1
LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN KEGIATAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
TAHUN ANGGARAN : ……………………
A. DEPARTEMEN/LEMBAGA :
B. UNIT ORGANISASI :
C. KANTOR/SATKER :
D. BULAN LAPORAN :
PAGU DIPA (Rp.) REALISASI S/D BULAN INI
PERMASALAHAN/
No. PROGRAM/KEGIATAN SETELAH VOLUME KEUANGAN FISIK
AWAL % % HAMBATAN
REVISI (Rp.) (SATUAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

A. APBN
1. Dekonsentrasi
- Program xx
- Program xy
2. Tugas Pembantuan
- Program xx
- Program xy

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 5 tidak diisi (tanda blok)
Program xx dan xy adalah program yang terdapat pada DIPA .............., .................
Kuasa Pengguna Anggaran

...................................
FORM : C.2
LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN KEGIATAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
TAHUN ANGGARAN : ……………………
A. KANTOR/SATKER :
B. BULAN LAPORAN :
PAGU DIPA (Rp.) REALISASI S/D BULAN INI
PERMASALAHAN/
No. PROGRAM/KEGIATAN SETELAH VOLUME KEUANGAN FISIK
AWAL % % HAMBATAN
REVISI (Rp.) (SATUAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 5 tidak diisi (tanda blok)
Program xx dan xy adalah program yang terdapat pada DIPA .............., .................
Kuasa Pengguna Anggaran

...................................
FORM : C.3
KEMAJUAN PENGADAAN BARANG DAN JASA
MELALUI PENUNJUKAN LANGSUNG, PEMILIHAN LANGSUNG DAN PELELANGAN
TAHUN ANGGARAN : ……………………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TARGET KEGIATAN REALISASI PENGADAAN
SESUAI DIPA JENIS
MEDIA
No. PAKET PEKERJAAN PENGADAAN BIAYA NAMA KUALIFIKASI
BIAYA PENGUMUMAN VOLUME
VOLUME P/PL (Rp.000) PIHAK III GOLONGAN
(Rp.000)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

JUMLAH
Keterangan : P : Pelelangan; PL : Penunjukan/Pemilihan Langsung; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 3, 5, 6, 7, 9, 10 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : C.4
PERMASALAHAN DAN UPAYA PENYELESAIAN
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
USULAN DAERAH
No. PROGRAM URAIAN MASALAH UPAYA TINDAK LANJUT
PENYELESAIAN DI PUSAT
1 2 3 4 5

1. Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja

2. Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja

3. Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja

4. Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh

5. Pengembangan Wilayah Tertinggal

6. Pengembangan Wilayah Perbatasan

7. Program Lainnya

.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBIK INDONESIA
NOMOR : PER. 07/MEN/IV/2008

TENTANG

PENEMPATAN TENAGA KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.


207/MEN/1990 tentang Sistem Antar Kerja dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 203/MEN/1999 tentang
Penempatan Tenaga Kerja di Dalam Negeri sudah tidak sesuai
dengan kondisi ketenagakerjaan saat ini;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a dan ketentuan Pasal 36 ayat (2) dan Pasal 37
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;

c. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 9 ayat (1) Peraturan


Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota perlu
diatur penempatan tenaga kerja;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur penempatan
tenaga kerja yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor


Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3201);

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437);

5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan


dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambaha n Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);

7. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor


Lowongan Pekerjaan di Perusahaan;

8. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2002 tentang


Pengesahan Konvensi ILO Nomor 88 mengenai Lembaga
Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja;

9. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana


telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;

10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.


05/MEN/IV/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan Trans migrasi;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG PENEMPATAN TENAGA KERJA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Penempatan tenaga kerja adalah proses pelayanan kepada pencari kerja untuk
memperoleh pekerjaan dan pemberi kerja dalam pengisian lowongan kerja sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuan.

2. Antar Kerja adalah suatu sistem yang meliputi pelayanan informasi pasar kerja,
penyuluhan dan bimbingan jabatan, dan perantaraan kerja.

3. Antar Kerja Lokal yang selanjutnya disebut AKL adalah penempatan tenaga kerja
antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.

4. Antar Kerja Antar Daerah yang selanjutnya disebut AKAD adalah penempatan
tenaga kerja antar p rovinsi dalam wilayah Republik Indonesia.
5. Antar Kerja Antar Negara yang selanjutnya disebut AKAN adalah penempatan
tenaga kerja di luar negeri.

6. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah.
2
7. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disingkat SIP adalah izin yang diberikan
Pemerintah kepada pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta untuk
merekrut calon TKI dari daerah tertentu, untuk jabatan tertentu dan untuk
dipekerjakan pada calon pengguna/pemberi kerja tertentu dalam jangka waktu
tertentu.

8. Surat Persetujuan Penempatan yang selanjutnya disingkat SPP adalah surat


persetujuan dalam rangka penempatan tenaga kerja AKAD.

9. Pencari kerja adalah angkatan kerja yang sedang menganggur dan mencari
pekerjaan maupun yang sudah bekerja tetapi ingin pindah atau alih pekerjaan
dengan mendaftarkan diri kepada pelaksana penempatan tenaga kerja atau secara
langsung melamar pekerjaan kepada pemberi kerja.

10. Informasi Pasar Kerja yang selanjutnya disebut IPK adalah keterangan mengenai
karakteristik kebutuhan dan persediaan tenaga kerja.

11. Penyuluhan Jabatan adalah kegiatan pemberian informasi tentang jabatan dan
dunia kerja kepada pencari kerja dan/atau masyarakat.

12. Bimbingan Jabatan adalah proses membantu seseorang untuk mengetahui dan
memahami gambaran tentang potensi diri dan dunia kerja, untuk memilih bidang
pekerjaan dan karir yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.

13. Bursa kerja adalah tempat pelayanan kegiatan penempatan tenaga kerja .

14. Pengantar kerja adalah pegawai negeri sipil yang memiliki keterampilan melakukan
kegiatan antar kerja dan diangkat dalam jabatan fungsional oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk .

15. Petugas antar kerja adalah petugas yang memiliki pengetahuan tentang antar kerja
dan ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pelayanan antar
kerja.

16. Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta yang selanjutnya disingkat LPTKS
adalah lembaga swasta berbadan hukum yang telah memperoleh ijin tertulis untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja.

17. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya disingkat
PPTKIS adalah badan hukum yang telah memperoleh ijin tertulis dari Menteri untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

18. Pameran kesempatan kerja adalah aktivitas untuk mempertemukan antara


sejumlah pencari kerja dengan sejumlah pemberi kerja pada waktu dan tempat
tertentu dengan tujuan penempatan.

19. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi penempatan tenaga
kerja.

20. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dalam satu kesatuan pasar kerja nasional.

3
BAB II
PELAKSANA PENEMPATAN TENAGA KERJA

Bagian Kesatu
Pelaksana

Pasal 3

Pelaksana penempatan tenaga kerja terdiri dari:


a. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
b. Lembaga swasta berbadan hukum.

Pasal 4

Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilarang memungut


biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan
kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.

Pasal 5

(1) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a , terdiri dari:
a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di pusat;
b. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi;
c. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

(2) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mempunyai
fungsi dan tugas meliputi:
a. merumuskan kebijakan di bidang penempatan tenaga kerja AKL, AKAD dan
AKAN;
b. merumuskan kebijakan dan pemberian SIP ;
c. pemberian SPP lintas provinsi;
d. merumuskan kebijakan dan pemberian ijin pendirian LPTKS lintas provinsi;
e. merumuskan kebijakan dan pemberian ijin pendirian PPTKIS ;
f. pencarian dan penyebarluasan lowongan pekerjaan di luar negeri;
g. menyusun sistem dan penyebarluasan IPK skala nasional;
h. menyusun proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja secara nasional
dan internasional;
i. pelayanan informasi pasar kerja skala nasional;
j. pembinaan dan pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala nasional;
k. melakukan pembinaan jabatan fungsional pengantar kerja dan petugas antar
kerja skala nasional;
l. merumuskan kebijakan dan melaksanakan pengendalian penggunaan tenaga
kerja asing.

(3) Pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mempunyai
fungsi dan tugas meliputi:
a. pemberian ijin dan pembinaan lembaga penempatan tenaga kerja swasta skala
provinsi;
b. pemberian SPP lintas kabupaten/kota skala provinsi;
c. pembinaan pengantar kerja dan petugas antar kerja skala provinsi;
d. supervisi dan pengendalian pelaksanaan antar kerja skala provinsi;
e. penyebarluasan lowongan kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota di wilayah kerjanya;
4
f. bertindak sebagai pusat kliring permintaan dan penawaran tenaga kerja
dari/kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota di wilayah kerjanya;
g. mengolah dan menganalisis hasil kegiatan antar kerja skala provinsi;
h. pelayanan informasi pasar kerja skala provinsi;
i. pembinaan dan pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala provinsi;
j. menyusun proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja skala provinsi;
k. menyusun sistem dan penyebarluasan IPK skala provinsi;
l. melakukan pembinaan jabatan fungsional pengantar kerja dan petugas antar
kerja skala provinsi;
m. pengendalian penggunaan tenaga kerja asing.

(4) Pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,


mempunyai fungsi dan tugas meliputi:
a. pelayanan IPK skala kabupaten/kota;
b. pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala kabupaten/kota;
c. pelayanan penempatan tenaga kerja AKL, AKAD dan AKAN;
d. pelayanan perijinan dan pembinaan lembaga penempatan tenaga kerja swasta
skala kabupaten/kota;
e. pembinaan pelaksanaan bursa kerja di lembaga satuan pendidikan menengah,
pendidikan tinggi, dan pelatihan;
f. menyusun proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja skala
kabupaten/kota;
g. melaksanakan pengembangan dan perluasan kesempatan kerja;
h. melakukan pembinaan jabatan fungsional pengantar kerja dan petugas antar
kerja skala kabupaten/kota;
i. pengendalian penggunaan tenaga kerja asing.

Pasal 6

(1) Lembaga swasta berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b,
adalah lembaga penempatan tenaga kerja swasta wajib memiliki ijin tertulis.
(2) Untuk memperoleh ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga swasta
berbadan hukum harus mengajukan permohonan tertulis dengan melampirkan:
a. copy akte pendirian dan/atau akte perubahan badan hukum yang telah
mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. copy surat keterangan domisili perusahaan;
c. copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun
1981 yang masih berlaku;
e. copy anggaran dasar yang memuat kegiatan yang bergerak di bidang jasa
penempatan tenaga kerja;
f. copy sertifikat hak kepemilikan tanah berikut bangunan kantor atau perjanjian
kontrak minimal 5 (lima) tahun yang dikuatkan dengan akte no taris;
g. bagan struktur organisasi dan personil;
h. rencana kerja lembaga penempatan tenaga kerja minimal 1 (satu) tahun;
i. pas foto pimpinan perusahaan berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga)
lembar;
j. rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota sesuai dengan domisili perusahaan.

Pasal 7

Permohonan ijin tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, diajukan kepada:


a. Direktur Jenderal untuk yang berskala nasional;
5
b. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi untuk yang
berskala provinsi; atau
c. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota
untuk berskala kabupaten/kota.

Pasal 8

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dilakukan verifikasi
oleh tim yang dibentuk oleh:
a. Direktur Jenderal untuk ijin yang berskala nasional;
b. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
untuk ijin yang berskala provinsi;
c. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota untuk ijin yang berskala kabupaten/kota .

(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebanyak-banyaknya beranggotakan 5


(lima) orang.

(3) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
harus sudah selesai dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan.

(4) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur Jenderal
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menolak permohonan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja
terhitung sejak hasil verifikasi.

(5) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim dinyatakan lengkap, Direktur
Jenderal ata u kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota, harus mengeluarkan surat ijin usaha LPTKS dalam waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah selesainya verifikasi.

Pasal 9

Surat Ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5), diberikan untuk jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun.

Pasal 10

(1) Permohona n perpanjangan surat ijin usaha LPTKS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir
masa berlakunya.

(2) Dalam hal LPTKS tidak memperpanjang surat ijin usahanya, maka LPTKS yang
bersangkutan wajib mengembalikan surat ijin tersebut kepada Direktur Jenderal
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.

Pasal 11

(1) Permohonan perpanjangan surat ijin usaha LPTKS diajukan secara tertulis dan
bermaterai cukup dengan melampirkan:
a. copy surat ijin LPTKS yang masih berlaku; 6
b. bukti penyampaian laporan kepada Direktur Jenderal atau kepala instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi atau kepala instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dalam
bentuk rekapitulasi penempatan;
c. rencana penempatan tenaga kerja yang akan datang sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun;
d. copy bukti kepemilikan sarana dan prasarana kantor serta peralatan kantor,
atau bukti surat perjanjian sewa kantor/kerjasama dalam waktu 5 (lima) tahun;
e. pas foto penanggung jawab berwarna dengan ukuran 4 x 6 sebanyak 3 (tiga)
lembar.

(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Direktur Jenderal atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(3) LPTKS yang mengajukan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak dalam kondisi dijatuhi hukuman dan/atau kena sanksi.

Pasal 12

(1) Dalam hal permoho nan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
dinyatakan lengkap maka ijin perpanjangan LPTKS diterbitkan oleh Direktur
Jenderal untuk skala nasional, atau kepala insta nsi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan provinsi untuk ijin yang berskala provinsi, atau kepala
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota untuk
ijin yang berskala kabupaten/kota.

(2) Ijin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterbitkan
dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima.

Pasal 13

Dalam hal terjadi perubahan nama perusahaan, alamat, dan direksi atau komisaris,
LPTKS harus menyampaikan perubahan surat ijin kepada Direktur Jenderal atau kepala
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan provinsi untuk ijin yang
berskala provinsi, atau kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota untuk ijin yang berskala kabupaten/kota.

Pasal 14

(1) LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, dapat memungut biaya
penempatan dari pengguna dan dari tenaga kerja untuk golongan dan jabatan
tertentu.

(2) Golongan dan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

(1) Selain pelayanan penempatan tenaga kerja yang dilakukan oleh pemerintah dan
lembaga swasta berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
7
pelayanan penempatan tenaga kerja dapat dilakukan di lembaga satuan
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, dan pelatihan.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pela yanan penempatan
khusus bagi para lulusan, para siswa yang putus sekolah dan siswa yang masih
aktif.

(3) Lembaga yang melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
disebut bursa kerja khusus harus menyampaikan laporan kegiatan penempatan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.

Pasal 16

Selain kegiatan pelayanan penempatan bagi pencari kerja dengan pemberi kerja yang
dilakukan oleh LPTKIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan bursa kerja khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, pameran kesempatan kerja antara pencari
kerja dan pemberi kerja dapat juga dilakukan oleh badan hukum lainnya.

Pasal 17

Untuk dapat melaksanakan kegiatan pameran kesempatan kerja sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 16, penyelenggara wajib mendapatkan rekomendasi dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dengan
persyaratan sebagai berikut :
a. penyelenggara kegiatan berbadan hukum ;
b. peserta kegiatan adalah perusahaan pemberi kerja ;
c. melampirkan data jumlah dan syarat lowongan pekerjaan serta rencana
penempatan dari pemberi kerja; dan
d. tidak memungut biaya kepada pencari kerja dengan cara apapun.

Pasal 18

Pelaksana kegiatan pameran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, wajib:


a. melaporkan hasil penempatan langsung setelah selesai penyelenggaraan dan hasil
penempatan setelah paling lama 3 (tiga) bulan;
b. menjaga ketertiban umum .

Bagian Kedua
Fungsi dan Tugas Pelaksana Penempatan

Pasal 19

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,


mempunyai fungsi pelayanan:
a. IPK;
b. Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan;
c. Perantaraan Kerja.

(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta dapat melaksanakan sebagian fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 20

(1) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a , mempunyai tugas:
8
a. mengumpulkan, mengolah dan menyusun data IPK;
b. menganalisis pasar kerja;
c. menyajikan dan menyebarluaskan IPK.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b , mempunyai tugas:
d. melakukan penyuluhan jabatan;
e. memberikan bimbingan jabatan;
f. melaksanakan konseling kepada pencari kerja ;
g. melaksanakan analisis jabatan.
(3) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan perantaraan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf c, mempunyai tugas :
a. melaksanakan pelayanan kepada pencari kerja;
b. melaksanakan pelayanan kepada pemberi kerja;
c. melaksanakan pencarian lowongan pekerjaan;
d. melakukan pencocokan antara pencari kerja dengan lowongan pekerjaan;
e. melaksanakan penempatan tenaga kerja ;
f. melaksanakan tindak lanjut penempatan tenaga kerja ;
g. membuat dan melaporkan penempatan tenaga kerja secara berkala.

Bagian Ketiga
Petugas Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja

Pasal 21

(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja pada instansi yang bertanggungjawab di


bidang ketenagakerjaan dilakukan oleh pengantar kerja .

(2) Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, wajib memiliki pejabat


fungsional pengantar kerja.

Pasal 22

Dalam hal instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota


belum memiliki pengantar kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pelayanan
dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang di bidang
penempatan tenaga kerja.

Pasal 23

Petugas pelayanan penempatan pada LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


dan lembaga di satuan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta di lembaga
pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, harus memiliki kemampuan teknis di
bidang penempatan tenaga kerja .

BAB III
MEKANISME PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA

Bagian Kesatu
Pelayanan Kepada Pencari Kerja

Pasal 24
9
(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja dapat dilakukan secara manual dan/atau
sistem daring (on-line system).
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja melalui sistem daring (on-line system)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terintegrasi dalam satu sistem
pelayanan penempatan tenaga kerja nasional.

Pasal 25

(1) Pencari kerja yang akan bekerja di dalam atau di luar negeri wajib dilayanani oleh
pengantar kerja di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.

(2) Pencari kerja yang dilayani sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
menyerahkan fas foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
memperlihatkan:
a. kartu tanda penduduk yang masih berlaku;
b. copy ijazah pendidikan terakhir bagi yang memiliki;
c. copy sertifikat keterampilan bagi yang memiliki; dan
d. copy surat keterangan pengalaman kerja bagi yang memiliki.

(3) Pencari kerja yang telah memperoleh pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberikan kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I).

(4) Pengantar kerja wajib melakukan pengisian data pencari kerja (AK/II) melalui
wawancara langsung untuk mengetahui bakat, minat, dan kemampuannya.

(5) Kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), berlaku selama 2 (dua) tahun dengan keharusan melapor selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan sekali terhitung sejak tanggal pendaftaran bagi pencari
kerja yang belum mendapat pekerjaan.

(6) Pencari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5), yang telah mendapatkan
pekerjaan wajib melaporkan bahwa yang bersangkutan telah diterima bekerja
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.

Pasal 26

(1) Dalam hal pencari kerja yang telah mendaftar melalui sistem daring (on-line
system) maka pencari kerja yang bersangkutan dapat memperoleh Kartu Tanda
Bukti Pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dimana pencari kerja berada dengan
melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan penempatan tenaga kerja melalui
sistem daring (on-line system ) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 27

Kartu Tanda Bukti Pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (1) berlaku nasional.

10
Bagian Kedua
Pelayanan Kepada Pemberi Kerja

Pasal 28

(1) Pemberi kerja yang membutuhkan tenaga kerja wajib menyampaikan informasi
adanya lowongan pekerjaan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(2) Informasi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat :
a. jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan;
b. jenis pekerjaan, jabatan dan syarat-syarat jabatan yang digolongkan dalam
jenis kelamin, usia, pendidikan, keterampilan/keahlian, pengalaman kerja, dan
syarat-syarat lain yang diperlukan.

(3) Pengantar kerja atau petugas antar kerja pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setelah mencari dan/atau menerima
informasi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus
mencatat dalam daftar isian permintaan tenaga kerja (AK/III) dan menerbitkan bukti
lapor lowongan pekerjaan.

Pasal 29

(1) Untuk mengisi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(2), instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
wajib memenuhi lowongan pekerjaan sesuai data pencari kerja yang terdaftar
(AK/II).

(2) Dalam hal pencari kerja memenuhi persyaratan jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota wajib melakukan pemanggilan kepada pencari
kerja dengan menggunakan kartu antar kerja (AK/IV).

(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota wajib


mengirimkan pencari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada pemberi
kerja dengan membawa kartu antar kerja (AK/V).

(4) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota


bersama-sama dengan pemberi kerja melakukan seleksi calon tenaga kerja sesuai
dengan persyaratan jabatan yang dibutuhkan.

Pasal 30

Bentuk dan format kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I), kartu data pencari
kerja (AK/II), kartu permintaan tenaga kerja (AK/III), kartu pemanggilan calon tenaga
kerja (AK/IV) dan surat pengantar dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kepada pemberi kerja (AK/V) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Menteri ini.

BAB IV
PELAKSANAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
11
Pasal 31

(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja menurut lokasi kerja di bagi berdasarkan :
a. Penempatan tenaga kerja lokal;
b. Penempatan tenaga kerja antar daerah;
c. Penempatan tenaga kerja antar negara.

(2) Tata cara pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.

(3) Tata cara pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 32

(1) LPTKS dan/atau pemberi kerja yang akan menempatkan tenaga kerja melalui
AKAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b, harus memiliki SPP
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(2) SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh:


a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
untuk penempatan tenaga kerja dalam kabupaten/kota;
b. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi untuk
penempatan tenaga kerja lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau
c. Direktorat Jenderal untuk penempatan tenaga kerja lintas provinsi.

(3) Untuk memperoleh persetujuan penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
LPTKS harus mengajukan :
a. surat permintaan dan rencana kebutuhan tenaga kerja dari pemberi kerja;
b. rancangan perjanjian kerja antara calon tenaga kerja dengan pemberi kerja ;
c. perjanjian penempatan tenaga kerja antara calon tenaga kerja dengan LPTKS;
d. rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
di kabupaten/kota daerah penerima bagi penempatan tenaga kerja.

(4) Dalam hal penempatan tenaga kerja dilakukan oleh pemberi kerja, maka harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b dan
huruf d.

BAB V
PELAPORAN

Pasal 33

(1) LPTKS dan/atau pemberi kerja, serta lembaga di satuan pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi, dan pelatihan wajib menyampaikan laporan mengenai data
penempatan tenaga kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:


a. pencari kerja yang terdaftar;
b. lowongan kerja yang terdaftar;
c. pencari kerja yang telah ditempatkan; dan
d. penghapusan pendaftaran pencari kerja dan lowongan kerja.
(3) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Direktur Jenderal.
12
Pasal 34

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota wajib


melaporkan data penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33, setiap bulan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi.

(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi wajib


melaporkan data penempatan tenaga kerja setiap bulan kepada Menteri melalui
Direktur Jenderal.

BAB VI
PEMBINAAN

Pasal 35

Pembinaan penempatan tenaga kerja dilakukan oleh :


a. Menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk skala nasional;
b. Gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk skala provinsi;
c. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk untuk skala kabupaten/kota.

Pasal 36

Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota melakukan


monitoring dan evaluasi terhadap tenaga kerja yang ditempatkan.

BAB VII
PENGAWASAN

Pasal 37

Pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan terhadap ditaatinya


Peraturan Menteri ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 38

(1) Menteri atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan
dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 33 ayat (1).

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:


a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha penempata n;
c. pencabutan ijin atau rekomendasi.
(3) Tata cara penjatuhan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
13
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur penempatan tenaga kerja tetap


berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.

Pasal 40

(1) LPTKS yang telah memiliki ijin penempatan sebelum berlakunya Peraturan Menteri
ini wajib menyesuaikan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, paling
lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

(2) Apabila LPTKS dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tidak menyesuaikan persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Peraturan
Menteri ini, ijin LPTKS yang bersangkutan dicabut oleh Menteri.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 41

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka :


a. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 207/MEN/1990 tentang Sistem Antar
Kerja; dan
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 203/MEN/1999 tentang Penempatan
Tenaga Kerja di Dalam Negeri,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 42

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.

14
KEPUTUSAN dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama ;
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
NOMOR; KEP.92/MEN /VI/2004
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TENTANG TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PENGANGKATAN DAN
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN MEDIATOR PEMBERHENTIAN MEDIATOR SERTA TATA
SERTA TATA KERJA MEDIAS KERJA MEDIASI.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA BAB I


KETENTUAN UMUM
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 9 huruf g, Pasal 16
Undang - undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pasal 1
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perlu
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
menetapkan syarat - syarat pengangkatan dan
pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi dalam 1. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
Keputusan Menteri ; pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan yang ditengahi oleh seorang atau
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun lebih mediator yang netral.
1999 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara 2. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut adalah pegawai
Republik Indonesia Tahun 199 Nomor 60, Tambahan instansi pemerintahan yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839 ) ; yang memenuhi syarat - syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 buruh hanya dalam satu perusahaan.
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ( 3. Perantara Hubungan Industrial adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang
6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan
Nomor 4356 ) ; hubungan industrial serta penyelesaian perselisihan industrial.
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M 4. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
Royong; dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
5. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
Negara Nomor 40/KEP/M/PAN/12/2000 tentang Jabatan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
Fungsional Perantara Hubungan Industrial dan Angka dalam satu perusahaan.
Kreditnya ;
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 5. Perselisihan hak adalah yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
Nomor 48/MEN/IV/2000 tentang Tata Cara Pembuatan adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama. a. Telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan teknis hubungan
6. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan industrial dan syarat kerja yang dibuktikan dengan sertifikat dari
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, b. Telah melaksanakan tugas di bidang pembinaan hubungan industrial
atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. sekurang - kurangnya 1 ( satu ) tahun setelah lulus pendidikan dan
7. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang timbul pelatihan teknis hubungan
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan industrial dan syarat kerja.
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
8. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya BAB III
hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham LEGITIMASI MEDIATOR
mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan
pekerjaan Pasal 4
1). Tata cara untuk memperoleh legitimasi mediator sebagai berikut :
Pasal 2 a. Calon mediator pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Pegawai Negeri Sipil di instansi yang bertanggung jawab di bidang diusulkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial ;
ketenagakerjaan dapat melakukan mediasi sebagaimana diatur dalam Undang - b. Calon mediator pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan ketenagakerjaan Provinsi diusulkan oleh Gubernur ;
Industrial setelah memperoleh pengangkatan dengan pemberian legitimasi sebagi c. Calon mediator pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
mediator dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. ketenagakerjaan Kabupaten / Kota diusulkan oleh Bupati / Walikota.

BAB II
SYARAT - SYARAT MEDIATOR 2). Pengajuan usul sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) dilengkapi dengan :
a. Copy ijazah pendidikan Strata Satu ( S1 ) ;
Pasal 3 b. Copy SK pangkat terakhir ;
1). Untuk menjadi mediator, seseorang harus memenuhi persyaratan yaitu :
c. Copy SK penempatan atau SK penugasan pada unit kerja yang
a. Pegawai Negeri Sipil pada instansi/dinas yang bertanggung jawab di membidangi hubungan industrial ;
bidang ketenagakerjaan ;
d. Copy sertifikat pendidikan tehnis hubungan industrial dan syarat kerja ;
b. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ;
e. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter ;
c. Warga negara Indonesia ;
f. Foto berwarna terbaru ukuran 3x4 cm 2 ( dua ) lembar ;
d. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter ;
g. Daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai 2 ( dua ) tahun terakhir.
e. Menguasai peraturan perundang - undangan dibidang ketenagakerjaan :
f. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela ; Pasal 5
g. Berpendidikan sekurang - kurangnya Strata Satu (S1) ; dan Di dalam kartu legitimasi dicantumkan wilayah kerja sesuai dengan wilayah
h. Memiliki legitimasi dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. kerja instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang
mengusulkan.

2) Untuk memperoleh legitimasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf h,


harus memenuhi syarat :
BAB IV Pasal 9
MEDIATOR KHUSUS Mediator mempunyai kewenangan :
a. Menganjurkan kepada para pihak yang berselisih untuk berunding terlebih
Pasal 6
dahulu dengan itikad baik sebelum dilaksanakan mediasi ;
1. Berdasarkan pertimbangan tertentu Menteri dapat memberikan legitimasi
b. Meminta keterangan, dokumen, dan surat - surat yang berkaitan dengan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
perselisihan
Kabupaten/ Kota untuk menjadi mediator .
c. Mendatangkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan ;
2. Pemberian legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) tidak mengikuti
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. d. Membuka buku dan meminta surat - surat yang diperlukan dari para pihak
dan instansi atau lembaga terkait ;
3. Pemberian legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dilakukan
melalui pengusulan dari Kepala Daerah setempat. e. Menerima atau menolak wakil para pihak yang berselisih apabila ternyata
tidak memiliki surat kuasa.
4. Legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) berlaku selama yang
bersangkutan menjabat sebagai kepala instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. BAB VI
KEDUDUKAN MEDIATOR

Pasal 10
BAB V
TUGAS KEWAJIBAN DAN WEWENANG MEDIATOR Mediator berkedudukan di :
a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi ;
Pasal 7 b. Kantor / Dinas / Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Mediator bertugas melakukan mediasi kepada para pihak yang berselisih untuk Provinsi ;
menyelesaikan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
c. Kantor / Dinas / Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
Kabupaten / Kota.
perusahaan.

Pasal 8 Pasal 11
(1). Mediator mempunyai kewajiban (1). Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan
a. Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan Transmigrasi, melakukan mediasi perselisihan hubungan industrial yang
yang diperlukan ; terjadi lebih dari satu wilayah Provinsi.
b. Mengatur dan memimpin mediasi ; (2). Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertangung jawab di bidang
ketenga kerjaan Provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan
c. Membantu membuat perjanjian bersama, apabila tercapai
industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Kabupaten / Kota.
d. Membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan ;
(3). Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertangung jawab di bidang
e. Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial ; ketenga kerjaan Provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan
f. Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial ; industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Kabupaten / Kota tempat
pekerja / buruh bekerja.
(2). Bentuk risalah, laporan dan tata cara pelaporan sebagaimanan dimaksud (4). Dalam hal satu wilayah kerja Kabupaten / Kota tidak mempunyai mediator
dalam ayat (1) huruf e dan huruf f diatur dengan Keputusan Direktur atau mediator yang ada tidak mencukupi jumlahnya, maka untuk
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial. menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, kepala instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten / Kota yang
bersangkutan dapat meminta bantuan tenaga mediator kepada kepala instansi telah ditandatangani para pihak ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang terdekat dalam 1 Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian bersama ditandatangani
(satu) Provinsi. untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran ;
h. Membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan
Pasal 12 industrial.
Dalam hal perselisihan menimbulkan dampak yang mempengaruhi kepentingan (2). Dalam hal salah satu pihak atau para pihak mengunakan jasa kuasa hukum
nasional, maka Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat mengambil langkah dalam sidang mediasi, maka pihak yang menggunakan jasa hukum tersebut
penyelesaian, berkordinasi dengan Kepala Daerah setempat. harus tetap hadir.
(3). Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu
penyelesaian ternyata pihak pemohon tidak hadir, maka permohonan
Pasal 13
tersebut dihapus dari buku perselisihan.
Dalam hal perselisihan hubungan industrial menyangkut mengenai perundingan
(4). Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu
Perjanjian Kerja Bersama yang tidak dapat mencapai kesepakatan pada tingkat
penyelesaian ternyata pihak termohon tidak hadir, maka mediator
mediasi di Kabupaten / Kota atau Provinsi, maka berdasarkan kesepakatan para
mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan data - data yang ada.
pihak, perselisihan dapat disampaikan kepada Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi untuk mendapatkan langkah - langkah penyelesaian. (5). Dalam hal para pihak tidak menjawab anjuran secara tertulis maka para
pihak dianggap menolak anjuran, mediator mencatat dalam buku
perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi dan
BAB VII melaporkan kepada pejabat yang memberi penugasan.
KEDUDUKAN MEDIATOR (6). Dalam hal para pihak menyetujui anjuran dan menyatakannya secara tertulis,
maka mediator membantu pembuatan perjanjian bersama secara tertulis
Pasal 14 selambat - lambatnya 3 (3) hari kerja sejak anjuran disetujui para pihak yang
kemudian ditandatangani oleh para pihak dan mediator sebagai saksi.
(1). Segera setelah menerima pelimpahan berkas perselisihan maka mediator
harus : (7). Anjuran tertulis mediator memuat :
a. Melakukan penelitian berkas perselisihan; a. Keterangan pekerja / buruh atau keterangan serikat pekerja / serikat
buruh;
b. Melakukan sidang mediasi paling lambat 7 ( tujuh hari kerja setelah
menerima pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan ; b. Keterangan pengusaha ;
c. Mencapai para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang c. Keterangan saksi / saksi ahli apabila ada ;
denganmempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang mediasi d. Pertimbangan hukum dan kesimpulan mediator ;
dapat dilaksanakan selambat - lambatnya 7 (hari) kerja sejak menerima e. Isi anjuran.
pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan ;
(8). Dalam hal mediator mengeluarkan anjuran dengan mempertimbangkan
d. Melaksakan sidang mediasi dengan mengupayakan penyelesaian secara keterangan yang harus dirahasiakan menurut permintaan pemberi
musyawarah untuk mufakat ; keterangan, maka dalam anjuran mediator cukup menyatakan kesimpulan
e. Mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila berdasarkan keterangan yang harus dirahasiakan dalam pertimbangannya.
penyelesaian tidak mencapai kesepakatan dalam waktu selambat - (9). Dalam hal diperlukan, mediator dapat melakukan dengan pegawai pengawas
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang pertama ; ketenaga kerjaan.
f. Membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila tercapai
kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para pihak dan
disaksikan oleh mediator ;
g. Memberitahu para pihak untuk mendaftarkan perjanjian bersana yang
Pasal 15 diakibatkan dari kelalaian mediator maka atasan langsung mediator
Penyelesaian melalui mediasi sebagaina dimaksud dalam Pasal 14 harus sudah menjatuhkan lisan.
selesai dalam waktu selambat - lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya pelimpahan penyelesaian perselisihan. Pasal 19
(1). Teguran lisan dilakukan setiap kali mediator tidak dapat menyelesaikan
Pasal 16 tugas dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari kerja.
(1). Dalam hal instansi yang bertangung jawabdi bidang ketenagakerjaan (2). Teguran tertulis diberikan setelah melalui teguran lisan sebanyak 3 ( tiga )
menerima pemberitahuan pemogokan atau penutupan perusahaan, maka atas kali.
penunjukan kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang (3). Pemberhentian sementara dilakukan setelah melalui teguran tertulis
ketenagakerjaan mediator segera mengupayakan penyelesaian dengan sebanyak 3 ( tiga ) kali.
mempertemukan para pihak untuk melakukan musyawarah agar tidak terjadi
pemogokan atau penutupan perusahaan.
Pasal 20
(2). Dalam hal musyawarah untuk menghentikan pemogokan atau penutupan
perusahaan tidak tercapai, maka penyelesaian perselisihan mengacu kepada (1). Pemberhentian sementara sebagai mediator berlaku untuk jangka waktu
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 14. selama 2 (dua) bulan.
(2). Pemberhentian sementara dilakukan dengan kartu legitimasi oleh kepala
instansi tempat kedudukan mediator yang bersangkutan.
BAB VIII
(3). Selama pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2
PENCABUTAN LEGITIMASI MEDIATOR
mediator yang bersangkutan tidak boleh menangani perselisihan.

Pasal 17
Pasal 21
(1). Pemberhentian mediator dilakukan dengan pencabutan legitimasi oleh
(1). Dalam hal mediator telah pernah dikenakan pemberhentian sementara
Menteri.
pertama, maka apabila mediator yang bersangkutan melakukan kelalaian
(2). Pencabutan legitimasi sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilakukan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan pemberhentian
karena : sementara yang kedua.
a. Meninggal dunia ; (2). Dalam hal mediator telah pernah dikenakan pemberhentian sementara kedua,
b. Permintaan sendiri ; maka apabila mediator yang bersangkutan melakukan kelalaian kembali
c. Memasuki usia pensiun ; sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikenakan pemberhentian sementara
yang ketiga.
d. Diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil ;
e. Tidak bertugas lagi pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan. Pasal 22
f. Telah dikenakan pemberhetian sementara sebanyak 3 ( tiga ) kali. (1). Sebelum mediator dikenakan pemberhentian tetap, maka yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk membela diri dalam waktu 14 ( empat belas ) hari
kerja sejak tanggal penerimaan pemberhentian sementara yang ketiga.
Pasal 18
(2). Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai berikut :
(1). Dalam hal mediator dapat menyelesaikan tugas dalam waktu 30 (tiga puluh )
a. Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan
hari kerja maka atasan langsung mediator harus meneliti sebab - sebab tidak
Transmigrasi pembelaan diri dilakukan dihadapan Direktur Jenderal
selesainya perselisihan.
Pembinaan Hubungan Industrial
(2). Dalam hal sebab - sebab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata
b. Mediator yang berkedudukan di Provinsi pembelaan diri dilakukan ini berlaku efektif sejak mulai berlakunya Undang - undang Nomor 2 Tahun
dihadapan Gubernur. 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
c. Mediator yang berkedudukan di Kabupaten / Kota pembelaan diri
dilakukan dihadapan Bupati /Walikota. BAB X
(3). Dalam hal mediator menggunakan kesempatan membela diri sebagaimana KETENTUAN PENUTUP
dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) membuat risalah tentang pembelaan diri mediator.
Pasal 24
(4). Risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan dilampiri dokumen
pendukung disampaikan kepada Menteri dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri
kerja sejak selesainya dilakukan pembelaan diri oleh mediator. Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER-02/MEN/1985 tentang Syarat
Penunjukan, Tugas, Kedudukan dan Wewenang Pegawai Perantara
(5). Risalah sekurang - sekurangnya memuat :
dinyatakan tidak berlaku lagi.
a. Keterangan mediator;
b. Keterangan saksi apabila ada ;
Pasal 25
c. Pendapat atasan langsung mediator ;
d. Pendapat pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 ).
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(6). Apabila mediator tidak menggunakan kesempatan membela diri dalam
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat
Ditetapkan di Jakarta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengusulkan kepada Menteri untuk
pada tanggal 4 Oktober 2004
mencabut legitimasi mediator yang bersangkutan.
(7). Dalam hal pembelaan mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dapat MENTERI
diterima, maka Menteri memberitahukan kepada pejabat sebagaimana TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
dimaksud dalam ayat (2) mengembalikan kartu legitimasi mediator. REPUBLIK INDONESIA
(8). Dalam hal pembelaan diri tidak dapat diterima, maka Menteri menerbitkan ttd
keputusan pencabutan legitimasi mediator yang bersangkutan.
JACOB NUWA WEA

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 23
(1). Pegawai perantara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
diangkat sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri ini dapat diberi
legitimasi sebagai mediator.
(2). Untuk mendapatkan legitimasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bupati / Walikota atau Gubernur atau Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial mengusulkan kepada Menteri.
(3). Pelaksanaan tugas mediator sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA 5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2005 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
NOMOR : PER -10/MEN/V/2005

TENTANG Memperhatikan 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat lembaga Kerjasama Tripartit


:
Nasional tanggal 13 Januari 2004;
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN KONSILIATOR
SERTA TATA KERJA KONSILIASI
Kesepakatan rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
2.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, tanggal 31 Maret 2005;

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 19 ayat (1) huruf i, Pasal 28 dan MEMUTUSKAN
Pasal 121 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perlu menetapkan
syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian konsiliator serta tata Menetapkan PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
kerja konsiliasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial : REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGANGKATAN DAN
dengan Peraturan Menteri; PEMBERHENTIAN KONSILIATOR SERTA TATA KERJA KONSILIASI

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan BAB I


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
UMUM
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
1. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator
Republik Indonesia Nomor 4356);
adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai
konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan
konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4437);
serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Peme rintah dan Kewenangan 2. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi
adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
Provinsi sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Republik
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
Republik Indonesia Nomor 3952);
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral. d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
3. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang f. berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, kurangnya 5 (lima) tahun;
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. ketenagakerjaan;
i. tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil atau anggota TNI/POLRI;
4. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam j. lulus mengikuti program latihan yang diselenggarakan oleh
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pemerintah.
perbuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama. (2) Pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g,
meliputi kegiatan yang pernah dilakukan sebagai :

5. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang a. penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai b. kuasa hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
c. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi
pengusaha;
6. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan d. konsultan hukum bidang hubungan industrial;
antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya e. pengelola sumber daya manusia di perusahaan;
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
f. dosen, tenaga pengajar, dan peneliti di bidang hubungan
kewajiban keserikatanpekerja. industrial;
g. anggota P4D/P4P atau Panitera P4D/P4P;
7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi h. narasumber atau pembicara dalam seminar, lokakarya, simposium
dan lain-lain di bidang hubungan industrial.

BAB II
SYARAT-SYARAT KONSILIATOR (3) Dalam hal calon konsiliator tidak memenuhi pengalaman 5 (lima)
tahun untuk salah satu kegiatan, maka pengalaman 5 (lima) tahun
dapat diperhitungkan dari penggabungan beberapa kegiatan
(1) Untuk menjadi konsiliator, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
yaitu :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa; (4) Pengalaman 5 (lima) tahun atas perhitungan penggabungan
b. warga negara Indonesia; beberapa kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan
dengan surat keterangan Kepala Instansi yang bertanggung jawab di
c. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat.
Tim Seleksi yang dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 3
(6) Materi seleksi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

(1) Untuk dapat diangkat menjadi konsiliator, calon konsiliator a. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
mengajukan pendaftaran dengan menyampaikan permohonan b. hubungan industrial dan sarananya;
tertuilis kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui
Bupati /Walikota c.q. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di c. penyelesaian perselisihan hubungan industrial, di dalam maupun
bidang ketenagakerjaan setempat. di luar pengadilan hubungan industrial;
d. persyaratan kerja, kondisi kerja, pengupahan dan jaminan sosial
tenaga kerja;
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
melampirkan: e tehnik negosiasi.
a. surat pernyataan tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil,
anggota TNI/POLRI;
Pasal 4
b. daftar riwayat hidup calon konsiliator;
c. copy ijazah pendidikan minimal Strata Satu (S1) yang telah
(1) Calon konsiliator yang telah lulus seleksi sebagaimana dimaksud
dilegalisir rangkap 2 (dua);
dalam Pasal 3, diusulkan oleh Bupati/Walikota daengan melampirkan
d. surat keterangan berbadan sehat dari dokter; tanda lulus seleksi kepada Menteri untuk mendapatkan legitimasi
sebagai konsiliator.
e. surat berkelakuan baik dari kepolisian;
(2) Calon konsiliator yang diusulkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana
f. copy KTP yang masih berlaku; dimaksud pada ayat (1) diberi legitimasi sebagai konsiliator dengan
g. pas foto berwarna terbaru ukuran 3x4 cm, sebanyak 4 (empat) Keputusan Menteri.
lembar; (3) Konsiliator yang telah mendapat legitimasi sebagaimana dimaksud
h. surat keterangan telah memiliki pengalaman di bidang hubungan pada ayat (1), melapor kepada Bupati/Walikota untuk dicatat
industral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) sebagai konsiliator dan didaftar pada kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota
setempat.
(3) Bupati/Walikota c.q. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di BAB III
bidang ketenagakerjaan setempat setelah menerima permohonan
TUGAS DAN WEWENANG KONSILIATOR
tertulis calon konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terlebih dahulu melakukan seleksi atas kelengkapan berkas Pasal 5
permohonan.
Konsiliator bertugas melakukan konsiliator kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
(4) Terhadap calon konsiliator yang telah memenuhi kelengkapan berkas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan seleksi tertulis. Pasal 6
Konsiliator mempunyai kewenangan :
(5) Seleksi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh a. meminta keterangan kepada para pihak;
b. menolak wakil para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat kesepakatan;
kuasa; d. membuat anjuran tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan
c. menolak melakukan konsiliasi bagi pra pihak yang belum melakukan penyelesaian;
perundingan secara bipartit; e. membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
d. meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan; f. membuat dan memelihara buku khusus dan berkas perselisihan yang
e. memanggil saksi atau saksi ahli; ditangani;

f. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para g. membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan
pihak instansi/lembaga terkait. industrial kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.
BAB IV
KEWAJIBAN KONSILIATOR BAB V
PENDAFTARAN DAN KEDUDUKAN KONSILIATOR
Pasal 5
Pasal 8
KOnsiliator bertugas melakukan konsiliasi kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan Konsiliator terdaftar di instansi yang bertanggung jawab di bidang
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Pasal 9
Pasal 6 (1) Konsiliator melakukan konsiliasi penyelesaian perselisihan hubungan
a. meminta keterangan kepada para pihak; industrial yang terjadi di Kabupaten/Kota tempat pekerja/buruh
bekerja.
b. menolak wakil para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat
kuasa; (2) Berdasarkan permintaan para pihak yang berselisih, konsiliator dapat
melakukan konsiliasi diluar wilayah konsiliator terdaftar dengan seijin
c. menolak melakukan konsiliasi bagi para pihak yang belum Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
melakukan perundingan secara bipartit; di tempat konsiliator terdaftar.
d. meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan; (3) Berdasarkan pertimbangan anggaran, Kepala Instansi yang
e. memanggil saksi atau saksi ahli; bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliator
terdaftar berwenang menolak permintaan para pihak sebagaimana
f. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para dimaksud pada ayat (2)
pihak dan instansi/lembaga terkait.
BAB VI
BAB IV TATA KERJA KONSILIATOR
KEWAJIBAN KONSILIATOR
Pasal 10
Pasal 7
(1) Setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara
Konsiliator mempunyai kewajiban : tertulis dari para pihak, kosiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh
a. memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar para pihak segera :
keterangan yang diperlukan; a mencatat dalam buku yang dibuat khusus untuk itu;
b. mengatur dan memimpin konsiliasi; b melakukan penelitian berkas perselisihan termasuk risalah
c. membantu membuat perjanian bersama apabila tercapai perundingan bipartit;
c melakukan sidang konsiliasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja (6) Dalam hal para pihak menyetujui anjuran dan menyatakannya
setelah menerima permintaan penyelesaian secara tertulis; secara tertulis, maka konsiliator membantu pembuatan perjanjian
bersama selambat-lambatnya 3 (t iga) hari kerja sejak anjuran
d memanggil para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang disetujui para pihak yang kemudian ditandatangani oleh para pihak
dengan mempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang
dan konsiliator sebagai saksi.
konsiliasi dapat dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak menerima penyerahan penyelesaian perselisihan; (7) Anjuran tertulis konsiliator memuat :
e melaksanakan sidang konsiliasi dengan mengupayakan a keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat pekerja/serikat
penyelesaian perselisihan secara musyawarah untuk mufakat; buruh;
f mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila b keterangan pengusaha;
penyelesaian perselisihan tidak mencapai kesepakatan dalam
c keterangan saksi/saksi ahli apabila ada;
waktu selambat-lambatnya 10 (sepulh) hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama; d pertimbangan hukum dan kesimpulan konsiliator;
g membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila e isi anjuran.
tercapai kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh konsiliator; (8) Dalam hal konsiliator mengeluarkan anjuran dengan
mempertimbangkan keterangan yang harus dirahasiakan menurut
h memberitahukan para pihak untuk mendaftarkan perjanjian permintaan pemberi keterangan, maka dalam anjuran konsiliator
bersama yang telah ditandatangani ke Pengadilan Hubungan cukup menyatakan kesimpulan berdasarkan keterangan yang harus
Industrial pada Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian dirahasiakan dalam pertimbangannya.
bersama ditandatangani untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran; Pasal 11

i membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan Penyelesaian di tingkat konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus sudah
idustrial. selesai dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya permintaan penyelesaian perselisihan.
(2) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak menggunakan jasa kuasa
hukum dalam sidang konsiliasi, maka pihak yang menggunakan jasa BAB VII
kuasa hukum tersebut harus tetap hadir. PEMBERHENTIAN KONSILIATOR

(3) Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan Pasal 12
waktu penyelesaian ternyata pihak pemohon tidak hadir, maka
(1) Pemberhentian konsiliator dilakukan dengan pencabutan legitimasi
konsiliator melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab oleh Menteri.
dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat untuk
dihapuskan dari buku perselisihan. (2) Pencabutan legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan karena :
(4) Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan
waktu penyelesaian ternyata pihak termohon tidak hadir, maka a meninggal dunia;
konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan data-data
b permintaan sendiri;
yang ada.
c terbukti telah melakukan tindak pidana kejahatan;
(5) Dalam hal para pihak tidak menjawab anjuran secara tertulis dalam
waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak anjuran tertulis dikeluarkan, d menyalahgunakan jabatan;
maka para pihak dianggap menolak anjuran, selanjutnya konsiliator
e membocorkan keterangan yang seharusnya dirahasiakan;
mencatat dalam buku perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat
diselesaiakan melalui konsiliasi. f telah dikenakan pencabutan sementara sebanyak 3 (tiga) kali.
(3) Sebelum dilakukan pencabutan legitimasi sementara sebagaimana bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliastor terdaftar.
dimaksud pada ayat (2) huruf f, terhadap konsiliator yang Pasal 15
bersangkutan diberikan teguran tertulis.
(1) Dalam hal konsiliator telah pernah dikenakan pencabutan sementara
Pasal 13 pertama, maka apbila konsiliator yang bersangkutan melakukan
(1) Teguran tertulis diberikan konsiliator apablia : kelalaian kembali sebagaiman dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)
dikenakan pencabutan seme ntara yang kedua.
a tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja dalam hal para pihak tidak (2) Dalam hal konsiliator telah pernah dikenakan pencabutan sementara
tercapai kesepakatan; kedua maka apabila konsiliator yang bersangkutan mealakukan
kelalaian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
b tidak membantu para pihak membuat perjanjian bersama dalam pencabutan sementara yang ketiga.
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja;
Pasal 16
c tidak menyelesaikan perselisihan dalam waktu 30 (tiga pulh) hari
kerja; aatau (1) Sebelum konsiliator dikanakan pencabutan tetap, maka yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam waktu 14
d tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam (empat belas) hari kerja sejak tanggal penerimaan pemberitahuan
Pasal 7 huruf g. pencabutan sementara yang ketiga.
(2) Dalam hal sebab-sebab sebagaiman dimaksud pada ayat (1) (2) Pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
ternyata diakibatkan dari kelalaian konsiliator maka Bupati/Walikota dihadapan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, menjatuhkan
menjatuhkan teguran tertulis kepada konsiliator yang teguran tertulis kepada konsiliator yang berkedudukan di
berkekdudukan di Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota.
(3) Pencabut an sementara dilakukan setelah melalui teguran tertulis (3) dalam hal konsiliator menggunakan kesempatan membela diri
sebanyak 3 (tiga) kali dalam waktu 2 (dua) bulan. sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pejabat sebagaimana
Pasal 14 dimaksud pada ayat (2) membuat risalah tentang pembelaan diri
konsiliator.
(1) Pencabutan sementara sebagai konsiliator berlaku untuk waktu
selama 3 (tiga) bulan. (4) Risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan dilampiri
dokumen pendukung, disamping kepada menteri dalam waktu 30
(2) Pencabutan sementara dilakukan dengan me narik legitimasi oleh (tiga puluh) hari kerja sejak selesainya dilakukan pembelaan diri oleh
Menteri. konsiliator.
(3) Menteri dapat mendelegasikan pencabutan sementara sebagaimana (5) Risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekuarng-kurangnya
dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pembinaan memuat :
Hubungan Industrial, Gubernur atau Bupati/Walikota.
a keterangan konsiliator;
(4) Selama pancabutan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
konsiliator yang bersangkutan tidak boleh menangani perselisihan b keterangan saksi apabila ada;
yang baru tetapi wajib menyelesaikan perselisihan yang sedang c pendapat pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
ditangani.
(6) Apabila konsiliator tidak menggunakan kesempatan membela diri
(5) Dalam hal Menteri atau Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan dalam tenggang waktu sebagaiman dimaksud ayat (1), maka
Industrial atau Gubernur atau Bupati/Walikota mencabut legitimasi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengusulkan kepada
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pencabutan sementara Menteri untuk mencabut legitimasi konsiliator yang bersangkutan.
tersebut harus diumumkan, sekurang-kurangnya ditempatkan pada
papan pengumuman di kantor instansi yang bertanggung jawab di (7) Dalam hal pembelaan konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diterima, maka Menteri memberitahukan kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk mengembalikan kartu
legitimasi konsiliator.
(8) Dalam hal pembelaan diri tidak dapat diterima, maka Menteri
menerbitkan keputusan pencabutan legitimasi konsiliator yang
bersangkutan.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 17
Konsiliator wajib membuat laporan konsiliasi setiap 3 (tiga) bulan,
disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dengan tembusan kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota setempat.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2005

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala biro hukum,

Myra M. Hanartani
NIP. 160025858
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
REPUBLIK INDONESIA 1. Dewan Pengupahan Nasional yang selanjutnya disebut Depenas adalah suatu lembaga non
struktural yang bersifat triparti.
NOMOR : PER-03/MEN/I/2005
2. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik diperusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
TENTANG
mandiri, dan tanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
TATA CARA PENGUSULAN KEANGGOTAAN
DEWAN PENGUPAHAN NASIONAL 3. Organisasi pengusaha adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia(APINDO).
4. Perguruan Tinggi adalah Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA 5. Pakar adalah seseorang yang mempunyai keahlian dan pengalaman di bidang pengupahan.
6. Menten adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 13 ayat (6) Keputusan Presiden Nomor
107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan, perlu diatur mengenai Cara BAB II
Pengusulan Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dengan Peraturan KEANGGOTAAN
Menteri; Bagian Pertama
Mengingat : Jumlah Anggota
1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 2
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39;
Anggota Dewan Pengupahan Nasional berjumlah 23 (dua puluh tiga) orang, yang terdiri dari :
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
a. unsur pemerintah sebanyak 10 (sepuluh) orang;
4279);
b. unsur serikat pekerja/serikat buruh sebanyak 5 (lima) orang;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2004 c. unsur organisasi pengusaha sebanyak 5 (lima) orang;dan
tentang Dewan Pengupahan; d. unsur perguruan tinggi dan pakar sebanyak 3 (tiga) orang.
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; Bagian kedua
Keterwakilan Masing-masing Unsur
Memperhatikan- : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional Pasal 3
tanggal 2 Desember 2004;
(1) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dan unsur pemerintah terdiri dari :
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebanyak 3(tiga) orang;
tanggal 13 Desember 2004;
b. Kantor Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian 1(satu) orang;
c. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 1(satu) orang;
MEMUTUSKAN : d. Badan Pusat Statistik 1(satu) orang;
e. Departemen Perindustrian 1 (orang);
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK f. Departemen Perdagangan 1 (satu) orang;
INDONESIA TENTANG TATA CARA PENGUSULAN KEANGGOTAAN DEWAN g. Departemen Pertanian 1(satu) orang;
PENGUPAHAN NASIONAL. h. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 1(satu) orang.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur organisasi pengusaha diwakili oleh
BAB I APINDO.
KETENTUAN UMUM (3) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur serikat pekerja/serikat buruh ditetapkan
Pasal 1 sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.
16/MEN/2001 tentang Tata Cara Pencat atan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 201/MEN/2001 tentang Keterwakilan Pasal 8
Dalam Kelembagaan Hubungan Industrial.
(4) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur perguruan tinggi dan pakar terdiri dari : Susunan keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional yang diusulkan oleh Menteri kepada Presiden:
a. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
a. Akademis; sebagai Ketua merangkap anggota;
b. Pakar Ekonomi. b. satu orang wakil dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sebagai wakil ketua merangkap
anggota;
BAB III c. satu orang wakil dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagai wakil ketua merangkap anggota;
PROSEDUR PENGUSULAN KEANGGOTAAN
Bagian Kesatu d. Direktur Pengupahan, Jaminan Sosial dan Kesejahteraan Departemen Tenaga Kerja dan
Unsur Pemerintah Transmigrasi sebagai sekretaris merangkap anggota ;
Pasal 4 e. anggota.
Calon anggota Dewan Pengupahan Nasional dari unsur Departemen Tenaga Kerja dan Trasnmigrasi,
Perguruan Tinggi dan Pakar ditunjuk oleh Menteri. Pasal 9
Pasal 5 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Permintaan nama calon anggota dari instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), huruf
b sampai dengan huruf h disampaikan oleh Menteri kepada Pimpinan Departemen atau Kementrian Ditetapkan di Jakarta
atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan. pada tanggal 31-1-2005

Bagian Kedua MENTERI


Unsur Organisasi Pengusaha TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
Pasal 6 REPUBLIK INDONESIA,
Permintaan nama calon anggota dari organisasi pengusaha sebagimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2), disampaikan oleh Menteri kepada Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia
(DPN APINDO). FAHMI IDRIS

Bagian Ketiga
Unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 7

(1) Permintaan nama calon anggota dari unsur serikat pekerja/serikat buruh disampaikan oleh
Menteri kepada serikat pekerja/serikat buruh yang berhak duduk di Dewan Pengupahan
Nasional.
(2) Penentuan serikat pekerja/serikat buruh yang berhak duduk di Dewan Pengupahan Nasional
sebagaimana dimakdwsud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.16/MEN/2001 tentang Tata Cara
Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 201/MEN/2001 tentang Keterwakilan Dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial.

BAB IV
SUSUNAN KEANGGOTAAN
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA 3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
NOMOR : PER. 02/MEN/XII/2004 Tahun' 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 4279);
TENTANG 4. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
BAGI TENAGA KERJA ASING 3520);

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
Menimbang : a. bahwa program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bertujuan
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja beserta
PER-05/MEN/1993 tent ang Petunjuk Teknis Pendaftaran
keluarganya;
Kepesertaan, Pembayaran luran, Pembayaran Santunan dan
b. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, mengamanatkan pelaksanaan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja diberlakukan kepada 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
setiap tenaga kerja yang bekerja di Indonesia; PER-01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Tenaga Kerja Dengan Manfaat Lebih Baik
c. bahwa sebagian tenaga kerja asing yang bekerja di Indouesia dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan
telah mendapatkan perlindungan melalui berbagai program Sosial Tenaga Kerja;
asuransi jaminan sosial tenaga kerja di negara asalnya;
MEMUTUSKAN :
d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, b dan c maka perlu diatur Jaminan Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
Sosial Bagi Tenaga Kerja Asing dengan Peraturan Menteri; TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan TENAGA
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun KERJA BAGI TENAGA KERJA ASING.
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Pasal 1
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4); Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial 1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang
1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
Indonesia Nomor 3468): dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua
dan meninggal dunia.
2. Pengusaha adalah
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Pasal 2

Pengusaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang telah memiliki perlindungan
melalui program jaminan sosial tenaga kerja di negara asalnya yang sejenis dengan
program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, tidak wajib mengikutsertakan
tenaga kerja asing yang bersangkutan dalam program jaminan sosial tenaga kerja di
Indonesia .

Pasal 3

Keikutsertaan Tenaga Kerja Asing pada program jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus dibuktikan denaan polis asuransi asli.

Pasal 4

Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5

Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Asing, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6.

Peraturan Menteri ini mulai berlaku seiak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31-12-2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN MEMUTUSKAN :
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
REPUBLIK INDONESIA TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA
NOMOR : KEP. 225 /MEN/2003 AKREDITASI LEMBAGA PELATIHAN KERJA.

TENTANG
BAB I
ORGANISASI DAN TATA KERJA
KETENTUAN UMUM
LEMBAGA AKREDITASI LEMBAGA PELATIHAN KERJA
Pasal 1
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu 1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
diatur tentang Organisasi dan tata kerja lembaga meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
akreditasi lembaga pelatihan kerja; sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang 2. Akreditasi pelatihan kerja adalah pengakuan status program pelatihan kerja
berbasis kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja melalui
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan penilaian yang dilakukan oleh lembaga akreditasi pelatihan kerja berdasarkan
kriteria standar yang ditetapkan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang 3. Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja.
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 4. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Republik BAB II
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TUGAS
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
Pasal 2
4. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
(1) Lembaga akreditasi lembaga pelatihan kerja yang selanjutnya disebut lembaga
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama akreditasi merupakan lembaga yang bersifat independen dan ditetapkan oleh
Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003; Menteri.
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003; (2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdomisili di Jakarta.
Pasal 3
(3) Keanggotaan lembaga akreditasi sebanyak-banyaknya berjumlah 11 (sebelas)
Lembaga akreditasi berfungsi mengembangkan sistem dan melaksanakan akreditasi orang.
lembaga pelatihan kerja.
(4) Menteri menetapkan keanggotaan lembaga akreditasi berdasarkan usulan dari
Pasal 4 instansi pemerintah terkait dan masyarakat.

(1) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 lembaga Pasal 7
akreditasi mempunyai tugas :
a. menyusun kebijakan akreditasi lembaga pelatihan kerja; Untuk melaksanakan akreditasi, lembaga akreditasi dapat membentuk komite akreditasi
b. mengembangkan sistem akreditasi lembaga pelatihan kerja; sesuai kebutuhan.
c. melaksanakan dan mengendalikan pelaksanaan sistem akreditasi lembaga
pelatihan kerja; Pasal 8
d. mengembangkan kerjasama internasional antar lembaga akreditasi pelatihan
kerja. Komite akreditasi mempunyai tugas :
a. menetapkan tim pelaksana akreditasi lembaga pelatihan kerja;
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lembaga b. melaksanakan bimbingan teknis akreditasi;
akreditasi harus berpedoman kepada standar nasional pelatihan kerja yang c. melaksanakan akreditasi lembaga pelatihan kerja;
ditetapkan oleh Menteri. d. membuat laporan pelaksanaan kegiatan akreditasi.

BAB III Pasal 9


ORGANISASI DAN TATA KERJA
(1) Susunan keanggotaan komite akreditasi pelatihan kerja terdiri dari ketua,
Pasal 5 sekretaris dan anggota.

(1) Keanggotaan lembaga akreditasi lembaga pelatihan kerja terdiri dari unsur (2) Keanggotaan komite akreditasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
masyarakat yang dipilih berdasarkan keahlian dan profesionalisme serta unsur (1) terdiri dari tenaga profesional dan praktisi yang berasal dari unsur pemerintah,
pemerintah. asosiasi lembaga pelatihan kerja, asosiasi perusahaan, asosiasi profesi dan pakar
di bidang pelatihan kerja.
(2) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari asosiasi
lembaga pelatihan kerja, asosiasi perusahaan, asosiasi profesi atau pakar di bidang (3) Komite akreditasi dibantu sekretariat yang berasal dari instansi pemerintah yang
pelatihan kerja. bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi.

(3) Pengurus lembaga akreditasi terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, Pasal 10
seorang wakil ketua merangkap anggota, seorang sekretaris merangkap anggota
dan beberapa orang anggota. (1) Anggota Komite Akreditasi sebanyak-banyaknya berjumlah 7 (tujuh) orang.

Pasal 6 (2) Anggota Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh masing-
masing unsur kepada lembaga akreditasi melalui instansi yang bertanggung jawab
(1) Ketua dan wakil ketua lembaga akreditasi adalah seseorang yang memiliki di bidang ketenagakerjaan di provinsi.
kompetensi dan pengalaman di bidang pelatihan kerja, dan dipilih dari unsur
masyarakat . Pasal 11

(2) Sekretaris lembaga akreditasi berasal dari instansi pemerintah yang bertanggung (1) Dalam melaksanakan tugasnya Komite Akreditasi dibantu oleh Tim yang dibentuk
jawab di bidang pelatihan kerja. sesuai dengan kebutuhan bidang akreditasi.
(2) Komite Akreditasi harus menyampaikan laporan kepada ketua Lembaga Akreditasi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Komite
Akreditasi. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat pelaksanaan kegiatan
akreditasi.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN KEANGGOTAAN (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat nama
dan alamat lembaga pelatihan kerja, dan program pelatihan kerja.
Pasal 12
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disampaikan secara
(1) Keanggotaan lembaga akreditasi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) kali setahun.

(2) Keanggotaan Komite Akreditasi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Lembaga (6) Bentuk laporan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan
Akreditasi. Tenaga Kerja Dalam Negeri.

(3) Masa tugas keanggotaan lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) BAB VII
kali masa jabatan. KETENTUAN PENUTUP

BAB V Pasal 16
PENDANAAN
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini maka segala ketentuan yang bertentangan
Pasal 13 dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku.

Sumber pendanaan lembaga akreditasi dapat berasal dari : Pasal 17


a. anggaran pemerintah;
b. dana dari lembaga pelatihan kerja; Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
c. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Ditetapkan di Jakarta
BAB VI pada tanggal 31 Oktober 2003
PEMBINAAN DAN PELAPORAN

Pasal 14 MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
(1) Pembinaan lembaga akreditasi dilakukan oleh Menteri. REPUBLIK INDONESIA,

(2) Pembinaan Komite Akreditasi dilakukan oleh Lembaga Akreditasi. ttd

(3) Pembinaan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) meliputi JACOB NUWA WEA
aspek administrasi dan teknis.

Pasal 15

(1) Lembaga akreditasi harus menyampaikan laporan kepada Menteri.


KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 226 /MEN/2003 MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TENTANG TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
TATA CARA PERIZINAN PENYELENGGARAAN
TATA CARA PERIZINAN PENYELENGGARAAN PROGRAM PEMAGANGAN DI LUAR WILAYAH INDONESIA.
PEMAGANGAN DI LUAR WILAYAH INDONESIA

BAB I
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONES IA, KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 25 ayat
(3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan tata cara perizinan
penyelenggaraan program pemagangan di luar 1. Pemagangan di luar wilayah Indonesia adalah bagian dari sistem pelatihan kerja
wilayah Indonesia; yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan bekerja secara langsung dibawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau
Menteri; pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau
jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai ketrampilan atau keahlian tertentu
Mengingat : 1. Undang–undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang yang diselenggarakan di luar wilayah Indonesia.
Pernyataan Berlakunya Undang - undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik 2. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
Indonesia ( Lembaran Negara Republik Indonesia pengetahuan, keterampilan, sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
Tahun 1951 Nomor 4); ditetapkan.
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik 3. Lembaga Penyelenggara Program Pemagangan adalah Lembaga Pelatihan Kerja
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan yang telah mendapat izin atau telah terdaftar pada instansi yang bertanggung
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); jawab di bidang ketenagakerjaan untuk melaksanakan program pelatihan kerja.
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001
4. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Pasal 2
Tripartit Nasional tanggal 10 Juli 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama (1) Pemagangan diselenggarakan berdasarkan kurikulum dan silabus.
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003;
(2) Kurikulum dan silabus pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
berdasarkan kompetensi kerja.

Pasal 3
Pasal 9
Penyelenggaraan program pemagangan di luar wilayah Indonesia mengikuti ketentuan
yang berlaku di negara penerima peserta program pemagangan. Lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia wajib
menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh peserta pemagangan selama berada di
Pasal 4 negara tempat pemagangan.

Lembaga penyelenggara program pemagangan wajib menjamin penyelenggaraan BAB III


program pemagangan tidak melanggar norma kesusilaan. SYARAT PERIZINAN

Pasal 5 Bagian 1

Peserta program pemagangan di luar wilayah Indonesia berhak untuk : Lembaga Pelatihan Kerja Yang Menyelenggarakan
a. mendapatkan sertifikat dari lembaga pelatihan kerja apabila yang bersangkutan Program Pemagangan Bagi Masyarakat Umum
telah menyelesaikan program pemagangan;
b. mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi kompetensi; Pasal 10
c. mendapatkan perlindungan asuransi kecelakaan, kesehatan, kematian yang
preminya ditanggung oleh lembaga penerima peserta program pemagangan yang Lembaga pelatihan kerja yang akan menyelenggarakan program pemagangan di luar
besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara tempat dilaksanakannya wilayah Indonesia bagi masyarakat umum wajib mengajukan permohonan izin yang
program pemagangan; dilengkapi dengan :
d. mendapatkan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti praktek a. copy izin lembaga pelatihan kerja yang masih berlaku;
kerja di perusahaan; b. copy dokumen perjanjian antara lembaga penyelenggara program pemagangan
e. mendapatkan uang saku dan transport sesuai perjanjian antara peserta magang dengan Lembaga Penerima Pemagang di wilayah Indonesia yang memuat tentang
dengan lembaga pelatihan kerja penyelenggara program pemagangan. tugas dan tanggung jawab para pihak termasuk pembebanan biaya;
c. contoh perjanjian pemagangan antara peserta magang dengan lembaga pelatihan
BAB II kerja yang memuat hak dan kewajiban para pihak;
PERIZINAN d. contoh perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan penerima
peserta pemagangan di wilayah Indonesia yang memuat hak dan kewajiban para
Pasal 6 pihak;
e. kurikulum dan silabus yang sesuai dengan program pemagangan;
Lembaga pelatihan kerja yang menyelenggarakan program pemagangan wajib memiliki f. daftar tenaga instruktur program pemagangan.
izin penyelenggaraan program pemagangan.
Pasal 11
Pasal 7
(1) Dalam hal dokumen tidak lengkap maka Direktur Jenderal Pembinaan dan
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri menolak permohonan disertai dengan
dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri. alasan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan.
Pasal 8
(2) Dalam hal dokumen telah lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, maka
Izin lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia dapat Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
diberikan sekurang-kurangnya untuk waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk melakukan verifikasi tentang keabsahan dokumen dalam waktu paling lama 14
waktu yang sama. (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.

(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memenuhi
syarat, Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
menerbitkan surat izin penyelenggara program pemagangan paling lama 30 (tiga Pasal 15
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
(1) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui
Bagian 2 tahapan:
a. teguran lisan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga pelatihan
Lembaga Pelatihan Kerja kerja yang bersangkutan;
Yang Menyelenggarakan Program Pemagangan b. peringatan tertulis dilakukan apabila dalam waktu 24 (dua puluh empat)
Bagi Pekerjanya/Buruhnya hari kerja terhitung sejak dilakukan teguran lisan, lembaga yang
bersangkutan tetap melakukan pelanggaran yang sama;
Pasal 12 c. pemberhentian sementara pengiriman peserta pemagangan selama 6
(enam) bulan apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak
Lembaga pelatihan kerja milik perusahaan dan/atau perusahaan yang melaksanakan dilakukan teguran tertulis, lembaga penyelenggara program pemagangan
program pemagangan di luar wilayah Indonesia bagi pekerjanya/buruhnya masih melakukan pelanggaran yang sama;
menyampaikan permohonan izin dengan melampirkan : d. izin lembaga penyelenggaraan program pemagangan dicabut apabila dalam
a. perjanjian antara perusahaan penyelenggara program pemagangan dengan masa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada huruf c
lembaga penerima pemagang di wilayah Indonesia tentang penyelenggaraan lembaga penyelenggara program pemagangan tetap melaksanakan
program pemagangan; pelanggaran yang sama dan/atau mengirim peserta program pemagangan.
b. contoh perjanjian pemagangan antara peserta program pemagangan dengan
perusahaan penyelenggara program yang mengirim peserta yang memuat hak dan
kewajiban para pihak; (2) Lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia yang
c. tingkat pencapaian kualifikasi keterampilan atau keahlian yang akan diperoleh terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pekerjanya/buruhnya setelah mengikuti pemagangan; program pemagangan di luar wilayah Indonesia dapat dicabut izin penyelenggara
d. rencana penempatan pekerja/buruh setelah menyelesaikan program pemagangan. program pemagangan.

(3) Lembaga penyelenggara program pemagangan yang izin penyelenggaraan


Pasal 13 program pemagangannya dicabut, tetap bertanggungjawab terhadap peserta
sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Lembaga pelatihan kerja milik perusahaan dan/atau perusahaan yang
menyelenggarakan program pemagangan bagi pekerjanya/buruhnya tidak melebihi BAB V
jangka waktu 3 (tiga) bulan tidak memerlukan izin penyelenggara program pemagangan. PELAPORAN

BAB IV Pasal 16
PENCABUTAN IZIN
(1) Lembaga pelatihan kerja yang menyelenggarakan program pemagangan di luar
Pasal 14 wilayah Indonesia wajib melaporkan penyelenggaraan program kepada Direktur
Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri dapat
mencabut izin penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia dalam hal (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap 6 (enam) bulan
penyelenggaraan program pemagangan tidak sesuai ketentuan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5 sekali dan sekurang-kurangnya berisi tentang data peserta, program yang
huruf a, huruf c, huruf d dan huruf e. dilaksanakan dan lembaga penerima program pemagangan.
BAB VI
PEMBINAAN

Pasal 17

(1) Pembinaan terhadap lembaga penyelenggara program pemagangan selama di


Indonesia dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga
Kerja Dalam Negeri.

(2) Pembinaan terhadap lembaga penyelenggara program pemagangan selama di luar


wilayah Indonesia dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan
Tenaga Kerja Dalam Negeri bekerjasama dengan Perwakilan Indonesia di luar
negeri serta lembaga yang bertanggung jawab di negara setempat.

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi program, sumber
daya manusia, fasilitas, metoda dan sistem penyelenggaraan program
pemagangan.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan program pemagangan di luar wilayah


Indonesia diatur oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja
Dalam Negeri.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JACOB NUWA WEA


KEPUTUSAN BAB I
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KETENTUAN UMUM
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 227/MEN/2003 Pasal 1

TENTANG Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

TATA CARA PENETAPAN 1. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
STANDARD KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standard yang
ditetapkan.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, 2. Standardisasi kompetensi kerja adalah proses merumuskan, menetapkan dan
menerapkan standard kompetensi kerja.
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 10 ayat 4 3. Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disebut SKKNI
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang adalah uraian kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap
Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan tata cara kerja minimal yang harus dimiliki seseorang untuk menduduki jabatan tertentu
penetapan standard kompetensi kerja nasional yang berlaku secara nasional.
Indonesia; 4. Penetapan Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia adalah kegiatan
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan menetapkan rancangan standard kompetensi kerja nasional Indonesia menjadi
Menteri. standard kompetensi kerja nasional Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang 5. Instansi Teknis adalah Departemen, Kantor Menteri Negara atau Lembaga
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Pemerintah lainnya, yang merupakan pembina teknis sektor yang bersangkutan.
Indonesai Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan 6. Konvensi SKKNI adalah forum untuk mencapai konsensus masyarakat sektor
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); profesi tentang rancangan standard kompetensi kerja nasional Indonesia menjadi
2. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 standard kompetensi kerja nasional Indonesia.
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong; 7. Masyarakat profesi adalah lembaga sertifikasi profesi, asosiasi perusahaan,
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama asosiasi profesi, lembaga pendidikan dan pelatihan dan lembaga lain yang terkait.
Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003; 8. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003; Pasal 2

MEMUTUSKAN : Tata cara penetapan SKKNI bertujuan untuk memberikan acuan dalam penyusunan,
pembakuan dan penetapan SKKNI.
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
BAB II
TATA CARA PENETAPAN STANDARD KOMPETENSI
PENYUSUNAN RANCANGAN SKKNI
KERJA NASIONAL INDONESIA.
Pasal 3

(1) Instansi teknis bersama-sama dengan masyarakat profesi menyusun rancangan


dan/atau melakukan revisi standard kompetensi kerja.
(2) Untuk penyusunan standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
: instansi teknis membentuk tim teknis yang keanggotaannya terdiri dari unsur
instansi teknis terkait, masyarakat profesi dan pakar dibidangnya.
BAB VI
(3) Penyusunan rancangan st andar kompetensi kerja mengacu pada pola penyusunan KETENTUAN PERALIHAN
SKKNI sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan Menteri ini.
(4) Rancangan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 7
selanjutnya diusulkan oleh instansi teknis bersangkutan kepada Badan Nasional
Sertifikasi Profesi untuk dibakukan. Dalam hal belum terbentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi setelah ditetapkannya
Keputusan Menteri ini, tugas dan fungsi badan nasional sertifikasi profesi dilaksanakan
oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
BAB III
PEMBAKUAN SKKNI
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 4
Pasal 8
(1) Badan Nasional Sertifikasi Profesi menyelenggarakan konvensi yang melibatkan
masyarakat profesi dan pakar di bidangnya untuk mencapai konsensus atas Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
rancangan SKKNI yang diajukan oleh instansi teknis.
Republik Indonesia Nomor KEP-146/MEN/1990 tentang Pola Standard Kualifikasi
(2) Hasil konvensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibakukan dan diberi Keterampilan dan Pola Standard Pelatihan Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.
kodifikasi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi untuk disampaikan kepada
Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk ditetapkan.
(3) Tata cara pelaksanaan konvensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan Pasal 9
oleh Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
BAB IV
PENETAPAN SKKNI
Ditetapkan di Jakarta
Pasal 5 pada tanggal 31 Oktober 2003

(1) Rancangan SKKNI yang telah dibakukan dan dikodifikasi oleh Badan Nasional
Sertifikasi Profesi ditetapkan oleh Menteri menjadi SKKNI. MENTERI
(2) SKKNI yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
secara nasional dan menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan dan REPUBLIK INDONESIA
pelatihan profesi serta uji kompetensi dan sertifikasi profesi.
ttd.
(3) SKKNI ditinjau ulang setiap 5 (lima) tahun atau sesuai dengan kebutuhan masing-
masing bidang profesi.
JACOB NUWA WEA
(4) SKKNI dikembangkan setara dengan standard kompetensi yang berlaku secara
internasional atau berlaku di negara lain.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 6

Biaya penyusunan, pembakuan dan penetapan SKKNI dibebankan kepada anggaran


instansi pemerintah terkait atau sumber lain yang tidak mengikat.
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 187/MEN/X/2004


TENTANG
IURAN ANGGOTA SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a bahwa untuk mendorong peningkatan fungsi dan peran serikat


pekerja/serikat buruh, perlu dukungan dana yang antara lain
berasal dari iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh;
: b bahwa agar dana yang berasal dari iuran anggota serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
dapat dihimpun dan dimanfaatkan secara efektif dan efisien, perlu
pedoman tata cara pemungutan, pemanfaatan dan
pendistribusian iuran anggota serikat pekerjalserikat buruh
dengan Keputusan Menteri;
Mengingat : 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4279);
3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : Hasil Pembahasan Sidang Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 16 September 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG IURAN ANGGOTA SERIKAT
PEKERJA/SERIKAT BURUH.
Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :


1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
2. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
3. Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh.
4. Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja/serikat
buruh.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di lndonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah
lndonesia.
6. Iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh adalah dana yang dihimpun dari upah anggota
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh yang dipungut setiap bulan dan besarnya
ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga atau peraturan organisasi.

Pasal 2

Keuangan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
bersumber dari :

a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga;
b. hasil usaha yang sah; dan
c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.
Pasal 3

(1) Pembayaran iuran anggota dapat dilakukan melalui pemotongan upah setiap bulan.
(2) Pemotongan upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha.
(3) Pelaksanaan pungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan
dilakukan oleh pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh memutuskan untuk memungut iuran anggota melalui
pemungutan upah pekerja/buruh maka pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan
melakukan sosialisasi rencana pemungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
melalui pemotongan upah dan pemanfaatan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
kepada anggotanya.

(2) Pengurus serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan rencana pemungutan iuran
anggota kepada pimpinan perusahaan secara tertulis dengan melampirkan:

a. nama-nama anggota serikat pekerja/serikat buruh;


b. nama-nama pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan yang bersangkutan
dan pengesahan susunan pengurus serikat pekerja/serikat buruh;
c. copy surat bukti nomor pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang
berwenang;
d. surat kuasa dari pekerja/buruh yang bersangkutan;
e. copy peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang mengatur pemungutan dan
penyaluran iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 5

(1) Pengusaha hanya dapat melakukan pemungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
berdasarkan surat kuasa dari pekerja/buruh yang bersangkutan kepada pengusaha untuk
memotong upah pekerja/buruh.

(2) Pemungutan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dicatat secara khusus oleh
Pengusaha

(3) Dalam hal anggota serikat pekerja/serikat buruh berhenti dari keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh maka pekerja/buruh yang bersangkutan membuat pencabutan kuasa
pekerja/buruh yang bersangkutan kepada pengusaha untuk memotong upah.
Pasal 6

(1) Penyaluran iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan kepada perangkat
organisasi serikat pekerja/serikat buruh, dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh
berdasarkan peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
(2) Pengurus serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan wajib menyalurkan iuran anggota
serikat pekerja/serikat buruh kepada perangkat organisasi sesuai peraturan organisasi yang
bersangkutan.
(3) Penyaluran iuran anggota dilakukan melalui transfer bank dan dilarang dalam bentuk uang
tunai.
(4) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
mengatur jumlah minimum pengiriman iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(5) Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan dapat meminta bukti transfer iuran anggota
kepada pengusaha.

Pasal 7

Besarnya iuran, pemanfaatan dan atau pendistribusian iuran untuk kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh, federasi serikat pekerja/serikat buruh dan atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh,
diatur dalam anggaran dasar dan atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Pasal 8

(1) Dalam hal pemungutan dan penyaluran iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh tidak
diatur dalam anggaran dasar atau anggaran rumah rumah tangga, maka diatur dalam
peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh.

(2) Pembuatan peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :

a. dalam hal serikat pekerja/serikat buruh tidak bergabung dalam federasi serikat
pekerja/serikat buruh atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh maka peraturan
organisasi dibuat oleh pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

b. dalam hal serikat pekerja/serikat buruh bergabung dalam federasi serikat pekerja/serikat
buruh maka peraturan organisasi dibuat oleh pengurus federasi serikat pekerja/serikat
buruh.
c. dalam hal faderasi serikat pekerja/serikat buruh bergabung dalam konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh maka peraturan organisasi dibuat oleh pengurus konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 9

Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 38 TAHUN 2007

TENTANG

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (3)


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 30 ayat (9) Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005

tentang . . .
- 2 -

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4724).

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBAGIAN


URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH,
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN
PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,


adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

sebagaimana . . .
-3-

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan


pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

3. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah


kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

4. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban


daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan


yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan
dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan
mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi
kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani,
memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

6. Kebijakan . . .
- 4 -

6. Kebijakan nasional adalah serangkaian aturan yang dapat


berupa norma, standar, prosedur dan/atau kriteria yang
ditetapkan Pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan
urusan pemerintahan.

BAB II

URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 2

(1) Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan


yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan
urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.

(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan


Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, serta agama.

(3) Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar


tingkatan dan/atau susunan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah semua urusan
pemerintahan di luar urusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).

(4) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat


(3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan
pemerintahan meliputi:

a. pendidikan;
b. kesehatan;

c. pekerjaan umum . . .
- 5-

c. pekerjaan umum;
d. perumahan;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r. kepemudaan dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. statistik;
w. kearsipan;
x. perpustakaan;
y. komunikasi dan informatika;
z. pertanian dan ketahanan pangan;
aa. kehutanan;
bb. energi dan sumber daya mineral;
cc. kelautan dan perikanan;

dd. perdagangan . . .
-6 -

dd. perdagangan; dan


ee. perindustrian.

(5) Setiap bidang urusan pemerintahan sebagaimana


dimaksud pada ayat (4) terdiri dari sub bidang, dan setiap
sub bidang terdiri dari sub sub bidang.

(6) Rincian ketigapuluh satu bidang urusan pemerintahan


sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam
lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.

Pasal 3

Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah


disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan
prasarana, serta kepegawaian.

BAB III

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN


Bagian Kesatu

Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah

Pasal 4

(1) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2 ayat (4) berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan.

(2) Ketentuan . . .
- 7 -

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan teknis untuk


masing-masing sub bidang atau sub sub bidang urusan
pemerintahan diatur dengan peraturan menteri/kepala
lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi
urusan pemerintahan yang bersangkutan setelah
berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 5

(1) Pemerintah mengatur dan mengurus urusan


pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

(2) Selain mengatur dan mengurus urusan pemerintahan


yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya sebagaimana tercantum dalam lampiran
Peraturan Pemerintah ini.
(3) Khusus untuk urusan pemerintahan bidang penanaman
modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kedua

Urusan Pemerintahan yang Menjadi


Kewenangan Pemerintahan Daerah

Pasal 6

(1) Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah

kabupaten . . .
- 8 -

kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan


pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) menjadi kewenangannya.

(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Pasal 7

(1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan
pelayanan dasar.

(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


meliputi:

a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. lingkungan hidup;
d. pekerjaan umum;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perumahan;
h. kepemudaan dan olahraga;
i. penanaman modal;
j. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
k. kependudukan dan catatan sipil;
l. ketenagakerjaan;

m. ketahanan pangan . . .
- 9 -

m. ketahanan pangan;
n. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p. perhubungan;
q. komunikasi dan informatika;
r. pertanahan;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. sosial;
w. kebudayaan;
x. statistik;
y. kearsipan; dan

z. perpustakaan.

(3) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang secara nyata
ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.

(4) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)


meliputi:

a. kelautan dan perikanan;


b. pertanian;
c. kehutanan;
d. energi dan sumber daya mineral;
e. pariwisata;

f. industri . . .
- 10 -

f. industri;
g. perdagangan; dan
h. ketransmigrasian.

(5) Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintahan


daerah.

Pasal 8

(1) Penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 ayat (2) berpedoman pada standar
pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan
dilaksanakan secara bertahap.

(2) Pemerintahan daerah yang melalaikan penyelenggaraan


urusan pemerintahan yang bersifat wajib,
penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah
dengan pembiayaan bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah yang bersangkutan.

(3) Sebelum penyelenggaraan urusan pemerintahan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
melakukan langkah-langkah pembinaan terlebih dahulu
berupa teguran, instruksi, pemeriksaan, sampai dengan
penugasan pejabat Pemerintah ke daerah yang
bersangkutan untuk memimpin penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang bersifat wajib tersebut.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan


ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan peraturan presiden.

Pasal 9 . . .
- 11 -

Pasal 9

(1) Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen


menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk
pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.

(2) Di dalam menetapkan norma, standar, prosedur, dan


kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan keserasian hubungan Pemerintah dengan
pemerintahan daerah dan antar pemerintahan daerah
sebagai satu kesatuan sistem dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan
pemangku kepentingan terkait dan berkoordinasi dengan
Menteri Dalam Negeri.

Pasal 10

(1) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan
selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun.

(2) Apabila menteri/kepala lembaga pemerintah non


departemen dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) belum menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria maka pemerintahan daerah dapat
menyelenggarakan langsung urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan sampai dengan
ditetapkannya norma, standar, prosedur, dan kriteria.

Pasal 11 . . .
- 12 -

Pasal 11

Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah


kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan
wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar,
prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1).

Pasal 12

(1) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan yang menjadi


kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana
dinyatakan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan dalam peraturan daerah selambat-lambatnya
1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Peraturan
Pemerintah ini.

(2) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar penyusunan
susunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah.

BAB IV
PENGELOLAAN URUSAN PEMERINTAHAN

LINTAS DAERAH

Pasal 13

(1) Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan


dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah
terkait.

(2) Tata . . .
- 13 -

(2) Tata cara pengelolaan bersama urusan pemerintahan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.

BAB V

URUSAN PEMERINTAHAN SISA

Pasal 14

(1) Urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam


lampiran Peraturan Pemerintah ini menjadi kewenangan
masing-masing tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan yang penentuannya menggunakan kriteria
pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1).

(2) Dalam hal pemerintahan daerah provinsi atau


pemerintahan daerah kabupaten/kota akan
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak
tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini
terlebih dahulu mengusulkan kepada Pemerintah melalui
Menteri Dalam Negeri untuk mendapat penetapannya.

Pasal 15

(1) Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen


menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk
pelaksanaan urusan sisa.

(2) Ketentuan . . .
- 14 -

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)


dan ayat (3) berlaku juga bagi norma, standar, prosedur,
dan kriteria untuk urusan sisa.

BAB VI

PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 16

(1) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang


menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2), Pemerintah dapat:

a. menyelenggarakan sendiri;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
kepala instansi vertikal atau kepada gubernur selaku
wakil pemerintah di daerah dalam rangka
dekonsentrasi; atau
c. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4),
Pemerintah dapat:

a. menyelenggarakan sendiri;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi; atau

c. menugaskan . . .
- 15 -

c. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut


kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

(3) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah


yang berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
pemerintahan daerah provinsi dapat:

a. menyelenggarakan sendiri; atau

b. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut


kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota
dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah


yang berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat:
a. menyelenggarakan sendiri; atau
b. menugaskan dan/atau menyerahkan sebagian urusan
pemerintahan tersebut kepada pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.

Pasal 17

(1) Urusan pemerintahan selain yang dimaksud dalam Pasal


2 ayat (2) yang penyelenggaraannya oleh Pemerintah
ditugaskan penyelenggaraannya kepada pemerintahan
daerah berdasarkan asas tugas pembantuan, secara

bertahap . . .
- 16 -

bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan


pemerintahan daerah yang bersangkutan apabila
pemerintahan daerah telah menunjukkan kemampuan
untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang dipersyaratkan.

(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi


yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada
pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan asas
tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan
untuk menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota
yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah
kabupaten/kota telah menunjukkan kemampuan untuk
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
dipersyaratkan.

(3) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana diatur


pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan perangkat
daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang
diperlukan.

(4) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan bagi urusan
pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau lebih
berhasilguna serta berdayaguna apabila
penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintahan
daerah yang bersangkutan.

(5) Ketentuan . . .
- 17 -

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan


urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan presiden.

BAB VII
PEMBINAAN URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 18

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan kepada


pemerintahan daerah untuk mendukung kemampuan
pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

(2) Apabila pemerintahan daerah ternyata belum juga


mampu menyelenggarakan urusan pemerintahan setelah
dilakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) maka untuk sementara penyelenggaraannya
dilaksanakan oleh Pemerintah.

(3) Pemerintah menyerahkan kembali penyelenggaraan


urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) apabila pemerintahan daerah telah mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


penyelenggaraan urusan pemerintahan yang belum
mampu dilaksanakan oleh pemerintahan daerah diatur
dengan peraturan presiden.

BAB VIII . . .
- 18 -

BAB VIII

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 19

(1) Khusus untuk Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta


rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota sebagaimana tertuang dalam lampiran
Peraturan Pemerintah ini secara otomatis menjadi
kewenangan provinsi.

(2) Urusan pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus
daerah yang bersangkutan.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20

Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berkaitan secara langsung dengan pembagian urusan
pemerintahan, wajib mendasarkan dan menyesuaikan
dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 21 . . .
- 19 -

Pasal 21

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua


peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3952) dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 22

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka


Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3952) dan semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pembagian
urusan pemerintahan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 23

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar . . .
- 20 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 82

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,

Wisnu Setiawan
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 38 TAHUN 2007

TENTANG

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

I. UMUM
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah.
Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat
dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan
atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.
Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang
bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi
kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Untuk . . .
-2-

Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat


konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah,
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif
sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan
keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan.
Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat
pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan
ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah
terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak
tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat
pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah
yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan tersebut.
Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong
akuntabilitas Pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan
pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan
sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan
agar seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian
efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi
persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut,
semangat demokrasi yang diterapkan melalui kriteria eksternalitas
dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan
melalui kriteria efisiensi dapat disinergikan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi sebagai
esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib
dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat,
seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup,
perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan
yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang
diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang
terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core
competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di
luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang

bersangkutan . . .
-3-

bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah


yang bersangkutan.
Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang
dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan
pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan
yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan
masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan
daerah yang bersangkutan.
Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan
sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini,
setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan
pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar
prinsip penyelenggaraan urusan sisa.
Untuk itu pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan
daerah menjadi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas
daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan
kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangannya.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan
dan/atau susunan pemerintahan, yang disebut juga dengan
“urusan pemerintahan yang bersifat konkuren” adalah
urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah, yang
diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, pemerintahan
daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Ayat (4) . . .
-4-

Ayat (4)
Ketigapuluh satu bidang urusan pemerintahan sebagaimana
diatur dalam pasal ini berkaitan langsung dengan otonomi
daerah.

Ayat (5)
Cukup Jelas.

Ayat (6)
Cukup Jelas.

Pasal 3
Cukup Jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan
pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul
sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat
lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas
kabupaten/kota dan/atau regional maka urusan
pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintahan
provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi
dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan
Pemerintah.
Akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan
Pemerintahan dengan memperhatikan pertanggungjawaban
Pemerintah, pemerintahan daerah Provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan urusan Pemerintahan tertentu kepada
masyarakat. Apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan secara langsung hanya dialami secara lokal
(satu kabupaten/kota), maka pemerintahan daerah
kabupaten/kota bertanggungjawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila dampak
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara
langsung dialami oleh lebih dari satu kabupaten/kota dalam
satu provinsi, maka pemerintahan daerah provinsi yang

bersangkutan . . .
-5-

bersangkutan bertanggung jawab mengatur dan mengurus


urusan pemerintahan tersebut; dan apabila dampak
penyelenggaraan urusan pemerintahan dialami lebih dari satu
provinsi dan/atau bersifat nasional maka Pemerintah
bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dimaksud.
Efisiensi adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan
dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat
diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani
pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka diserahkan
kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota, sedangkan
apabila akan lebih berdayaguna bila ditangani pemerintahan
daerah provinsi, maka diserahkan kepada pemerintahan
daerah provinsi. Sebaliknya apabila suatu urusan
pemerintahan akan berdayaguna bila ditangani Pemerintah
maka akan tetap menjadi kewenangan Pemerintah.

Ayat (2)
Rincian setiap bidang urusan pemerintahan dalam Peraturan
Pemerintah ini mencakup bidang, sub bidang sampai dengan
sub sub bidang. Rincian lebih lanjut dari sub bidang
dan/atau sub sub bidang diatur lebih lanjut dengan
peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah non
departemen setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam
Negeri guna dilakukan pembahasan bersama unsur-unsur
pemangku kepentingan terkait.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah” adalah urusan pemerintahan di luar
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah dan berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan menjadi kewenangan Pemerintah.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 6 . . .
-6-

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Penentuan potensi unggulan mengacu pada produk domestik
regional bruto (PDRB), mata pencaharian penduduk, dan
pemanfaatan lahan yang ada di daerah.

Ayat (4)
Penentuan urusan pilihan sesuai dengan skala prioritas yang
ditetapkan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tetap
harus memberikan pelayanan publik yang dibutuhkan
masyarakat meskipun pelayanan tersebut bukan berasal dari
urusan pilihan yang diprioritaskan.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Mengingat kemampuan anggaran yang masih terbatas, maka
penetapan dan pelaksanaan standar pelayanan minimal pada
bidang yang menjadi urusan wajib pemerintahan daerah
dilaksanakan secara bertahap dengan mendahulukan sub
sub bidang urusan wajib yang bersifat prioritas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4) . . .
-7-

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 9
Ayat (1)
Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai
tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Prosedur adalah metode atau tata cara untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keserasian hubungan adalah
pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh
tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling
berhubungan (interkoneksi), saling tergantung
(interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu
kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan
kemanfaatan.

Ayat (3)
Pemangku kepentingan terdiri dari unsur
departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait,
pemerintahan daerah, asosiasi profesi, dan perwakilan
masyarakat.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13 . . .
-8-

Pasal 13
Ayat (1)
Pengelolaan bersama dapat dilembagakan dalam bentuk
kerjasama antar daerah yang difasilitasi oleh Pemerintah.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 14
Ayat (1)
Urusan pemerintahan sisa yang berskala nasional atau lintas
provinsi menjadi kewenangan Pemerintah, yang berskala
provinsi atau lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan
pemerintahan daerah provinsi, dan yang berskala
kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah
kabupaten/kota.

Ayat (2)
Penetapan dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
saling gugat antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Pembinaan yang dilakukan Pemerintah dapat berbentuk
pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, monitoring dan
evaluasi, pendidikan dan latihan dan kegiatan pemberdayaan
lainnya yang diarahkan agar pemerintahan daerah mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya.

Ayat (2) . . .
-9-

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4737


- 389 -

N. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
1. Ketenagakerjaan 1. Kebijakan, 1. Penetapan dan 1. Pelaksanaan kebijakan 1. Pelaksanaan kebijakan pusat
Perencanaan, pelaksanaan kebijakan, pusat dan penetapan dan provinsi, penetapan
Pembinaan, pedoman, norma, kebijakan daerah serta kebijakan daerah dan
dan standar, prosedur, dan pelaksanaan strategi pelaksanaan strategi
Pengawasan kriteria penyelenggaraan penyelenggaraan urusan penyelenggaraan urusan
urusan pemerintahan pemerintahan bidang pemerintahan bidang
bidang ketenagakerjaan ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
skala nasional. provinsi. kabupaten/kota.

2. Pembinaan 2. Pembinaan 2. Pembinaan (pengawasan,


(pengawasan, (pengawasan, pengendalian, monitoring,
pengendalian, pengendalian, evaluasi, dan pelaporan)
monitoring, evaluasi, monitoring, evaluasi, penyelenggaraan urusan
dan pelaporan) dan pelaporan) pemerintahan bidang
penyelenggaraan urusan penyelenggaraan urusan ketenagakerjaan skala
pemerintahan bidang pemerintahan bidang kabupaten/kota.
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
nasional. provinsi.
- 390 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
3. Koordinasi dan 3. Penanggungjawab 3. Penanggungjawab
pengintegrasian penyelenggaraan urusan penyelenggaraan urusan
penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pemerintahan bidang
pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala provinsi. kabupaten/kota.
nasional.

4. Penetapan kebijakan, 4. Pembentukan 4. Pembentukan kelembagaan


pedoman, norma, kelembagaan SKPD SKPD bidang ketenagakerjaan
standar, prosedur, dan bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
kriteria pembentukan di provinsi.
kelembagaan/Satuan
Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) bidang
ketenagakerjaan skala
nasional.

5. Perencanaan tenaga 5. Perencanaan tenaga 5. Perencanaan tenaga kerja


kerja nasional, kerja daerah provinsi, daerah kabupaten/kota,
pembinaan perencanaan pembinaan perencanaan pembinaan perencanaan tenaga
tenaga kerja daerah tenaga kerja mikro, kerja mikro pada
provinsi dan pembinaan dan instansi/tingkat perusahaan,
kabupaten/kota, penyelenggaraan sistem pembinaan dan penyelenggaraan
- 391 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
sektoral, dan mikro informasi sistem informasi
serta pembinaan dan ketenagakerjaan, serta ketenagakerjaan skala
pengembangan sistem pembinaan perencanaan kabupaten/kota.
informasi tenaga kerja dan sistem
ketenagakerjaan informasi
nasional. ketenagakerjaan
kabupaten/kota skala
provinsi.

2. Pembinaan 1. Penetapan kebijakan, 1. Pelaksanaan kebijakan, 1. Pelaksanaan kebijakan,


Sumber Daya pedoman, norma, pedoman, norma, pedoman, norma, standar,
Manusia standar, prosedur, dan standar, prosedur, dan prosedur, dan kriteria
(SDM) kriteria monitoring kriteria monitoring monitoring evaluasi pembinaan
Aparatur evaluasi pembinaan evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan
SDM aparatur SDM aparatur pemerintahan bidang
pelaksana urusan pelaksana urusan ketenagakerjaan skala
pemerintahan bidang pemerintahan bidang kabupaten/kota.
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
nasional. provinsi.

2. Perencanaan formasi, 2. Perencanaan formasi, 2. Perencanaan formasi, karir, dan


karir, dan pendidikan karir, dan diklat SDM diklat SDM aparatur pelaksana
dan pelatihan (diklat) aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang
- 392 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
SDM aparatur urusan pemerintahan ketenagakerjaan di
pelaksana urusan bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
pemerintahan bidang di provinsi.
ketenagakerjaan skala
nasional.

3. Pembinaan, 3. Pembinaan, 3. Pembinaan, penyelenggaraan,


penyelenggaraan, penyelenggaraan, pengawasan, pengendalian,
pengawasan, dan pengawasan, dan serta evaluasi pengembangan
pengendalian, serta pengendalian, serta SDM aparatur pelaksana urusan
evaluasi pengembangan evaluasi pengembangan pemerintahan bidang
SDM aparatur SDM aparatur ketenagakerjaan skala
pelaksana urusan pelaksana urusan kabupaten/kota.
pemerintahan bidang pemerintahan bidang
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
nasional. provinsi.

4. Penetapan kriteria dan 4. Pengangkatan dan 4. Pengangkatan dan


standar pemangku pemberhentian pejabat pemberhentian pejabat
jabatan perangkat perangkat daerah yang perangkat daerah yang
daerah yang menangani bidang menangani bidang
melaksanakan urusan ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
- 393 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
pemerintahan bidang provinsi. kabupaten/kota.
ketenagakerjaan.

5. Pembinaan, 5. Pembinaan, 5. Pembinaan, pengangkatan, dan


pengangkatan, dan pengangkatan, dan pemberhentian pejabat
pemberhentian pejabat pemberhentian pejabat fungsional bidang
fungsional bidang fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi
ketenagakerjaan di ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
instansi pusat. instansi provinsi.

3. Pembinaan 1.a. Standarisasi kompetensi 1.a. Pembinaan dan 1.a. Pembinaan dan penyelenggaraan
Pelatihan dan dan penyelenggaraan penyelenggaraan pelatihan kerja skala
Produktivitas pelatihan kerja skala pelatihan kerja skala kabupaten/kota.
Tenaga Kerja nasional. provinsi.

b.— b.Pelatihan diseminasi b.—


program untuk
kabupaten/kota di
wilayah provinsi.

2.a. Standarisasi, pelatihan 2.a. Pelaksanaan pelatihan 2.a. Pelaksanaan pelatihan dan
dan pelaksanaan dan pengukuran pengukuran produktivitas skala
pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota.
- 394 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
produktivitas skala provinsi.
nasional.

b.Pembinaan dan b.Pelaksanaan program b.Pelaksanaan program


penyelenggaraan kerja peningkatan peningkatan produktivitas di
sama internasional produktivitas di wilayah wilayah kabupaten/kota.
dalam rangka provinsi.
peningkatan
produktivitas.

3. Pengawasan 3. Pengawasan 3. Penyelenggaraan perizinan/


pelaksanaan perizinan/ pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan
pendaftaran lembaga pendaftaran lembaga serta pengesahan
pelatihan kerja serta pelatihan kerja serta kontrak/perjanjian magang
penerbitan perizinan penerbitan rekomendasi dalam negeri.
magang ke luar negeri. perizinan magang ke
luar negeri.

4. Pengawasan 4. Pengawasan 4. Koordinasi pelaksanaan


pelaksanaan sertifikasi pelaksanaan sertifikasi sertifikasi kompetensi dan
kompetensi dan kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan
akreditasi lembaga akreditasi lembaga kerja skala kabupaten/kota.
- 395 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
sertifikasi profesi dan pelatihan kerja skala
lembaga pelatihan kerja provinsi.
skala nasional.

4. Pembinaan dan 1.a. Penyusunan sistem dan 1.a. Penyusunan sistem dan 1.a. Penyebarluasan informasi pasar
Penempatan penyebarluasan penyebarluasan kerja dan pendaftaran pencari
Tenaga Kerja informasi pasar kerja informasi pasar kerja di kerja (pencaker) dan lowongan
Dalam Negeri secara nasional. wilayah provinsi. kerja.

b.Pemberian pelayanan b.Pemberian pelayanan b.Penyusunan, pengolahan dan


informasi pasar kerja informasi pasar kerja penganalisisan data pencaker
dan bimbingan jabatan dan bimbingan jabatan dan data lowongan kerja skala
kepada pencaker dan kepada pencaker dan kabupaten/kota.
pengguna tenaga kerja pengguna tenaga kerja
skala nasional. skala provinsi.

c. Pembinaan dan c. Pembinaan, monitoring, c. Pemberian pelayanan informasi


penyusunan sistem evaluasi, dan pendataan pasar kerja, bimbingan jabatan
pemberdayaan jabatan fungsional kepada pencaker dan pengguna
pengantar kerja pengantar kerja tingkat tenaga kerja skala
berskala nasional. provinsi. kabupaten/kota.
- 396 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
d.Monitoring, evaluasi, d.— d.Pembinaan pejabat fungsional
dan sosialisasi jabatan pengantar kerja.
fungsional pengantar
kerja.

e. Penilaian angka kredit e. Penilaian angka kredit e. Penilaian angka kredit jabatan
jabatan fungsional jabatan fungsional fungsional pengantar kerja di
pengantar kerja pengantar kerja tingkat wilayah kerja kabupaten/kota.
berskala nasional. provinsi.

2.a. Penerbitan dan 2.a. Penerbitan dan 2.a. Penerbitan dan pengendalian
pengendalian izin pengendalian izin izin pendirian Lembaga Bursa
pendirian Lembaga pendirian Lembaga Kerja/LPTKS dan Lembaga
Bursa Kerja/Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Penyuluhan dan Bimbingan
Penempatan Tenaga Lembaga Penyuluhan Jabatan skala kabupaten/kota.
Kerja Swasta (LPTKS) dan Bimbingan Jabatan
dan Lembaga skala provinsi.
Penyuluhan dan
Bimbingan Jabatan
lintas provinsi/berskala
nasional.
- 397 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

b.— b.Penerbitan rekomendasi b.Penerbitan rekomendasi untuk


untuk perizinan perizinan pendirian LPTKS dan
pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan
lembaga penyuluhan bimbingan jabatan yang akan
dan bimbingan jabatan melakukan kegiatan skala
yang akan melakukan kabupaten/kota.
kegiatan skala provinsi.

3. Pemberian rekomendasi 3. Pemberian rekomendasi 3. Pemberikan rekomendasi kepada


kepada swasta dalam kepada swasta dalam swasta dalam penyelenggaraan
penyelenggaraan penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair
pameran bursa pameran bursa skala kabupaten/kota.
kerja/job fair skala kerja/job fair skala
nasional. provinsi.

4. Sosialisasi dan evaluasi 4. Fasilitasi dan pembinaan 4. Fasilitasi penempatan bagi


penempatan tenaga penempatan bagi pencari pencari kerja penyandang cacat,
kerja penyandang cacat, kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala
lanjut usia (lansia) dan lansia dan perempuan kabupaten/kota.
perempuan skala skala provinsi.
nasional.
- 398 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
5.a. Penerbitan Surat 5.a. Penerbitan SPP AKAD 5.a. Penyuluhan, Rekrutmen, seleksi
Persetujuan skala provinsi. dan pengesahan pengantar
Penempatan (SPP) Antar kerja, serta penempatan tenaga
Kerja Antar Daerah kerja AKAD/Antar Kerja Lokal
(AKAD) skala nasional. (AKL).

b.— b.— b.Penerbitan SPP AKL skala


kabupaten/kota.

6.a. Penerbitan izin 6.a. Penerbitan rekomendasi 6.a. Penerbitan rekomendasi izin
operasional Tenaga izin operasional TKS operasional TKS Luar Negeri,
Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS TKS Indonesia, lembaga
Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan
Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang beroperasi pada 1 (satu)
sukarela luar negeri dan akan beroperasi lebih kabupaten/kota.
lembaga sukarela dari 1 (satu)
Indonesia. kabupaten/kota dalam
satu provinsi.

b.Pembinaan, b.Pelaksanaan b.Pelaksanaan pembinaan,


pengawasan, dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan
pengendalian pengendalian, dan pendayagunaan TKS dan
pendayagunaan TKS, pengawasan lembaga sukarela skala
- 399 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
Tenaga Kerja Mandiri pendayagunaan TKS kabupaten/kota.
(TKM), dan lembaga dan lembaga sukarela
sukarela skala nasional. skala provinsi.

c. — c.Koordinasi, integrasi c.Pendaftaran dan fasilitasi


dan sinkronisasi pembentukan TKM.
program
pendayagunaan TKM
skala provinsi.

7.a. Pengesahan Rencana 7.a. — 7.a. —


Penggunaan Tenaga
Kerja Asing (RPTKA)
baru.

b.Pengesahan RPTKA b.Pengesahan RPTKA b.—


perpanjangan lintas perpanjangan yang
provinsi. tidak mengandung
perubahan jabatan,
jumlah orang, dan
lokasi kerjanya dalam 1
(satu) wilayah provinsi.
- 400 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
c. Pengesahan RPTKA c. — c. —
perubahan seperti
perubahan jabatan,
perubahan lokasi,
perubahan jumlah
Tenaga Kerja Asing
(TKA) dan perubahan
kewarganegaraan.

8.a. Pemberian rekomendasi 8.a. — 8.a. —


visa kerja dan
penerbitan Izin
Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing (IMTA) baru.

b.Penerbitan IMTA b.Penerbitan IMTA b.Penerbitan IMTA perpanjangan


perpanjangan untuk perpanjangan untuk untuk TKA yang lokasi kerjanya
TKA yang lokasi TKA yang lokasi dalam wilayah kabupaten/kota.
kerjanya lebih dari 1 kerjanya lintas
(satu) wilayah provinsi. kabupaten/kota dalam
1 (satu) provinsi.
- 401 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
c.Penyusunan jabatan c. — c. —
terbuka atau tertutup
bagi TKA.

9. Pembinaan dan 9. Monitoring dan evaluasi 9. Monitoring dan evaluasi


pengendalian penggunaan TKA yang penggunaan TKA yang lokasi
penggunaan TKA skala lokasi kerjanya lebih kerjanya dalam wilayah
nasional. dari 1 (satu) kabupaten/kota yang
kabupaten/kota dalam bersangkutan.
wilayah provinsi.

10. Pembinaan penerapan 10. Pembinaan dan 10. Pelaksanaan


teknologi tepat guna penerapan teknologi pelatihan/bimbingan teknis,
skala nasional. tepat guna skala penyebarluasan dan penerapan
provinsi. teknologi tepat guna skala
kabupaten/kota.

11. Pembinaan model-model 11. Koordinasi, integrasi, 11. Penyelenggaraan program


perluasan dan dan sinkronisasi perluasan kerja melalui
pengembangan pelaksanaan program bimbingan usaha mandiri dan
kesempatan secara usaha mandiri dan sektor informal serta program
nasional antara lain sektor informal serta padat karya skala
melalui usaha mandiri program padat karya kabupaten/kota.
- 402 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
dan sektor informal, skala provinsi.
serta program padat
karya.

5. Pembinaan dan 1.a. Pembinaan, 1.a. Monitoring dan evaluasi 1.a. Pelaksanaan penyuluhan,
Penempatan pengendalian, dan penempatan TKI ke luar pendaftaran dan seleksi calon
Tenaga Kerja pengawasan negeri yang berasal dari TKI di wilayah kabupaten/kota.
Luar Negeri penempatan TKI ke luar wilayah provinsi.
negeri.

b.Pelaksanaan b.— b.Pengawasan pelaksanaan


penempatan TKI oleh rekrutmen calon TKI di wilayah
pemerintah. kabupaten/kota.

2. Pembuatan 2. Fasilitasi pelaksanaan 2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian


perjanjian/pelaksanaan perjanjian kerjasama kerjasama bilateral dan
kerjasama bilateral dan bilateral dan multilateral penempatan TKI
multilateral dengan multilateral penempatan yang pelaksanaannya di wilayah
negara-negara TKI yang kabupaten/kota.
penempatan TKI. pelaksanaannya di
wilayah provinsi.
- 403 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
3. Penerbitan Surat Izin 3. Penerbitan perizinan 3. Penerbitan rekomendasi izin
Pelaksana Penempatan pendirian kantor cabang pendirian kantor cabang PPTKIS
Tenaga Kerja Indonesia di wilayah provinsi dan di wilayah kabupaten/kota.
Swasta (SIPPTKIS)/ rekomendasi
Surat Izin Usaha perpanjangan
Penempatan (SIUP)- SIPPTKIS/PPTKIS.
Perusahaan
Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS) dan
rekomendasi rekrutmen
calon TKI serta
Penerbitan Surat Izin
Pengerahan (SIP).

4. Verifikasi dokumen TKI, 4. Verifikasi dokumen TKI 4. Penerbitan rekomendasi paspor


penerbitan Kartu di wilayah provinsi. TKI di wilayah kabupaten/kota
Tenaga Kerja Luar berdasarkan asal/alamat calon
Negeri (KTKLN), TKI.
penerbitan rekomendasi
paspor TKI yang bersifat
khusus dan crash
program.
- 404 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

5. Penyelenggaraan Sistem 5. Penyebarluasan sistem 5. Penyebarluasan sistem informasi


Komputerisasi Terpadu informasi penempatan penempatan TKI dan
Penempatan TKI di Luar TKI dan pengawasan pengawasan penyetoran dana
Negeri (SISKO TKLN) penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah
dan pengawasan perlindungan TKI di kabupaten/kota.
penyetoran dana wilayah provinsi.
perlindungan TKI.

6.a. Penentuan standar 6.a. Sosialisasi substansi 6.a. Sosialisasi terhadap substansi
perjanjian kerja, perjanjian kerja perjanjian kerja penempatan TKI
penelitian terhadap penempatan TKI ke luar ke luar negeri skala
substansi perjanjian negeri skala provinsi. kabupaten/kota.
kerja serta pengesahan
perjanjian kerja.

b.— b.— b.Penelitian dan pengesahan


perjanjian penempatan TKI ke
luar negeri.
- 405 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
7. Penyelenggaraan 7. Fasilitasi 7. —
Pembekalan Akhir penyelenggaraan PAP.
Pemberangkatan (PAP)
(pelaksanaannya dapat
didekonsentrasikan
kepada Gubernur).

8.a. Penyelenggaraan 8.a. Pembinaan, pengawasan 8.a. Pembinaan, pengawasan, dan


program perlindungan, penempatan dan monitoring penempatan maupun
pembelaan, dan perlindungan TKI di perlindungan TKI di
advokasi TKI. wilayah provinsi. kabupaten/kota.

b.Penentuan standar b.Penerbitan perizinan b.Penerbitan rekomendasi


tempat penampungan tempat penampungan di perizinan tempat penampungan
calon TKI dan Balai wilayah provinsi. di wilayah kabupaten/kota.
Latihan Kerja Luar
Negeri (BLK-LN).

c. Penetapan standar dan c. — c. —


penunjukan lembaga-
lembaga yang terkait
- 406 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
dengan program
penempatan TKI
(lembaga asuransi,
perbankan, dan sarana
kesehatan).

9. Fasilitasi kepulangan 9. Fasilitasi kepulangan 9. Pelayanan kepulangan TKI yang


dan pemulanganTKI TKI di pelabuhan berasal dari kabupaten/kota.
secara nasional. debarkasi di wilayah
provinsi.

6. Pembinaan 1.a. Fasilitasi penyusunan 1.a. Fasilitasi penyusunan 1.a. Fasilitasi penyusunan serta
Hubungan serta pengesahan serta pengesahan pengesahan peraturan
Industrial dan peraturan perusahaan peraturan perusahaan perusahaan yang skala
Jaminan Sosial yang skala berlakunya yang skala berlakunya berlakunya dalam satu wilayah
Tenaga Kerja lebih dari satu provinsi. lebih dari satu kabupaten/kota.
kabupaten/kota dalam
satu provinsi.
- 407 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

b.Pendaftaran Perjanjian b.Pendaftaran PKB, b.Pendaftaran PKB, perjanjian


Kerja Bersama (PKB), perjanjian pekerjaan pekerjaan antara perusahaan
yang skala berlakunya antara perusahaan pemberi kerja dengan
lebih dari 1 (satu) pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa
wilayah provinsi. perusahaan penyedia pekerja/buruh yang skala
jasa pekerja/buruh berlakunya pada 1 (satu)
yang skala berlakunya wilayah kabupaten/kota.
lebih dari satu wilayah
kabupaten/kota dalam
1 (satu) provinsi.

c. Pencatatan Perjanjian c. Pencatatan PKWT pada c. Pencatatan PKWT pada


Kerja Waktu Tertentu perusahaan yang skala perusahaan yang skala
(PKWT) pada perusaha- berlakunya lebih dari berlakunya dalam 1 (satu)
an yang skala satu kabupaten/kota wilayah kabupaten/kota.
berlakunya lebih dari 1 dalam 1 (satu) provinsi.
(satu) provinsi.

2.a.Pendaftaran Perjanjian 2.a.Pendaftaran Perjanjian 2.a. Penerbitan izin operasional


Pekerjaan antara Pekerjaan antara perusahaan penyedia jasa
Perusahaan Pemberi Perusahaan Pemberi pekerja/buruh yang berdomisili
Kerja dengan Kerja dengan di kabupaten/kota dan
- 408 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
Perusahaan Penyedia Perusahaan Penyedia pendaftaran perjanjian
Jasa Pekerja/Buruh Jasa Pekerja/Buruh pekerjaan antara perusahaan
yang skala berlakunya yang skala berlakunya pemberi kerja dengan
lebih dari 1 (satu) lebih dari 1 (satu) perusahaan penyedia jasa
provinsi. kabupaten/kota dalam pekerja/buruh yang skala
1 (satu) provinsi. berlakunya dalam 1 (satu)
wilayah kabupaten/kota.

b. Penerbitan rekomendasi b. Penerbitan rekomendasi b. Pencabutan izin operasional


pencabutan izin pencabutan izin perusahaan penyedia jasa
operasional perusahaan operasional pekerja/buruh yang berdomisili
penyedia jasa perusahaan penyedia di kabupaten/kota atas
pekerja/buruh yang jasa pekerja/buruh rekomendasi pusat dan atau
skala berlakunya lebih yang skala berlakunya provinsi.
dari 1 (satu) provinsi. lebih dari satu
kabupaten/kota dalam
1 (satu) provinsi.

3. Pencegahan dan 3. Pencegahan dan 3. Pencegahan dan penyelesaian


penyelesaian perselisih- penyelesaian perselisih- perselisihan hubungan
an hubungan industrial, an hubungan indus- industrial, mogok kerja, dan
mogok kerja, dan trial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan di
- 409 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
penutupan perusahaan penutupan perusahaan wilayah kabupaten/kota.
skala nasional. skala provinsi.

4. Pembinaan SDM dan 4. Pembinaan SDM dan 4. Pembinaan SDM dan lembaga
lembaga penyelesaian lembaga penyelesaian penyelesaian perselisihan di luar
perselisihan di luar perselisihan di luar pengadilan skala
pengadilan skala pengadilan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.

5. Koordinasi penyusunan 5. Penyusunan formasi, 5. Penyusunan dan pengusulan


formasi, pendaftaran pendaftaran dan seleksi formasi serta melakukan
dan seleksi calon arbiter calon mediator, arbiter, pembinaan mediator,
dan konsiliator, dan konsiliator di konsiliator, arbiter di wilayah
pengangkatan dan wilayah provinsi. kabupaten/kota.
pemberhentian serta
penerbitan legitimasi
mediator, konsiliator,
dan arbiter.
- 410 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
6. Pendaftaran dan seleksi 6. Pendaftaran dan seleksi 6. Pendaftaran dan seleksi calon
calon hakim ad-hoc calon hakim ad-hoc hakim ad-hoc pengadilan
hubungan industrial pengadilan hubungan hubungan industrial yang
pada Mahkamah Agung. industrial yang wilayahnya meliputi kabupaten/
wilayahnya meliputi kota.
provinsi.

7.a. Bimbingan aplikasi 7.a. Bimbingan aplikasi 7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan
pengupahan skala pengupahan lintas di perusahaan skala
nasional. kabupaten/kota dalam kabupaten/kota.
satu provinsi.

b.Penetapan kebijakan b.Penyusunan dan b.Penyusunan dan pengusulan


pengupahan nasional penetapan upah penetapan upah minimum
dan penelaahan minimum provinsi, kabupaten/kota kepada
terhadap upah kabupaten/kota, dan gubernur.
minimum yang melaporkan kepada
ditetapkan pemerintah menteri yang
provinsi. bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
- 411 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

8.a. Koordinasi pembinaan 8.a. Koordinasi pembinaan 8.a. Pembinaan kepesertaan jaminan
penyelenggaraan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah
jaminan sosial, sosial tenaga kerja skala kabupaten/kota.
fasilitas, dan provinsi.
kesejahtaraan tenaga
kerja/buruh skala
nasional.

b.— b.Koordinasi pembinaan b.Pembinaan penyelenggaraan


penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di
fasilitas dan perusahaan skala
kesejahteraan tenaga kabupaten/kota.
kerja skala provinsi.

9. Pembinaan pelaksanaan 9. Pembinaan pelaksanaan 9. Pembinaan pelaksanaan sistem


sistem dan kelembagaan sistem dan kelembagaan dan kelembagaan serta pelaku
serta pelaku hubungan serta pelaku hubungan hubungan industrial skala
industrial skala industrial skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.
- 412 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
10. Koordinasi pelaksanaan 10. Koordinasi pelaksanaan 10. Verifikasi keanggotaan SP/SB
verifikasi keanggotaan verifikasi keanggotaan skala kabupaten/kota.
Serikat Pekerja/Serikat SP/SB skala provinsi.
Buruh (SP/SB) skala
nasional.

11. Koordinasi hasil 11. Koordinasi hasil 11. Pencatatan organisasi


pencatatan organisasi pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi
pengusaha dan pengusaha dan pekerja/buruh skala
organisasi organisasi kabupaten/kota dan
pekerja/buruh dari pekerja/buruh skala melaporkannya kepada provinsi.
provinsi. provinsi dan
melaporkannya kepada
pemerintah.

12. Penetapan organisasi 12. Penetapan organisasi 12. Penetapan organisasi pengusaha
pengusaha dan pengusaha dan dan organisasi pekerja/buruh
organisasi organisasi untuk duduk dalam lembaga-
pekerja/buruh untuk pekerja/buruh skala lembaga ketenagakerjaan
duduk dalam lembaga- provinsi untuk duduk kabupaten/kota berdasarkan
lembaga dalam lembaga-lembaga hasil verifikasi.
ketenagakerjaan ketenagakerjaan
nasional berdasarkan provinsi berdasarkan
- 413 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
hasil verifikasi. hasil verifikasi.

7. Pembinaan 1. Pembinaan dan 1. Pembinaan dan 1. Pembinaan dan pengawasan


Ketenagaker- pengawasan pengawasan pelaksanaan norma
jaan pelaksanaan norma pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.

2. Pemeriksaan/pengujian 2. Pemeriksaan/pengujian 2. Pemeriksaan/pengujian


terhadap perusahaan terhadap perusahaan terhadap perusahaan dan obyek
dan obyek pengawasan dan obyek pengawasan pengawasan ketenagakerjaan
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.
3. Penerbitan/rekomendasi 3. Penerbitan/rekomendasi 3. Penerbitan/rekomendasi (izin)
(izin) terhadap obyek (izin) terhadap obyek terhadap obyek pengawasan
pengawasan pengawasan ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.

4. Penanganan 4. Penanganan 4. Penanganan kasus/melakukan


kasus/melakukan kasus/melakukan penyidikan terhadap
penyidikan terhadap penyidikan terhadap
- 414 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
pengusaha yang pengusaha yang perusahaan dan pengusaha
melanggar norma melanggar norma yang melanggar norma
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
nasional. provinsi. kabupaten/kota.

5.a.Penetapan rencana 5.a. Pelaksanaan penerapan 5.a. Pelaksanaan penerapan SMK3


tahunan audit dan SMK3 skala provinsi. skala kabupaten/kota.
sertifikasi Sistem
Manajemen
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3).

b.— b.Pelaksanaan koordinasi b.Pelaksanaan koordinasi dan


dan audit SMK3 skala audit SMK3 skala
provinsi. kabupaten/kota.

6. Pengkajian dan 6. Pengkajian dan 6. Pengkajian dan perekayasaan


perekayasaan bidang perekayasaan bidang bidang norma ketenagakerjaan,
norma ketenagakerjaan, norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi,
hygiene perusahaan, hygiene perusahaan, keselamatan kerja yang bersifat
ergonomi, keselamatan ergonomi, kesehatan strategis skala kabupaten/kota.
dan kesehatan kerja dan keselamatan kerja
- 415 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
yang bersifat strategis yang bersifat strategis
dan berskala nasional. skala provinsi.

7. Pelayanan dan pelatihan 7. Pelayanan dan pelatihan 7. Pelayanan dan pelatihan serta
serta pengembangan serta pengembangan pengembangan bidang norma
bidang norma bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan
ketenagakerjaan, ketenagakerjaan, dan kesehatan kerja yang
hygiene perusahaan, keselamatan dan bersifat strategis skala
ergonomi, keselamatan kesehatan kerja yang kabupaten/kota.
dan kesehatan kerja bersifat strategis skala
yang bersifat strategis provinsi.
dan berskala nasional.

8. Pemberdayaan fungsi 8. Pemberdayaan fungsi 8. Pemberdayaan fungsi dan


dan kegiatan personil dan kegiatan personil kegiatan personil dan
dan kelembagaan dan kelembagaan kelembagaan pengawasan
pengawasan pengawasan ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.
- 416 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
9. Fasilitasi pembinaan 9. Fasilitasi 9. Fasilitasi pembinaan
pengawasan penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan
ketenagakerjaan skala pembinaan pengawasan skala kabupaten/kota.
nasional. ketenagakerjaan skala
provinsi.

10. Penyelenggaraan 10. Penyelenggaraan 10. Penyelenggaraan


ketatalaksanaan ketatalaksanaan ketatalaksanaan pengawasan
pengawasan pengawasan ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.

11.a. Penyelenggaraan 11. a. Pengusulan calon 11.a. Pengusulan calon peserta


diklat peserta diklat diklat pengawasan
teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan kepada
pengawasan ketenagakerjaan pemerintah dan/atau
ketenagakerjaan. kepada pemerintah. pemerintah provinsi.

b. — b. Bekerjasama dengan b. —
pusat
menyelenggarakan
diklat teknis
- 417 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
pengawasan
ketenagakerjaan.

12. Penunjukan, 12. Pengusulan calon 12. Pengusulan calon pegawai


pengangkatan, dan pegawai pengawas pengawas ketenagakerjaan skala
pemberhentian pegawai ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada
pengawas provinsi kepada pemerintah.
ketenagakerjaan. pemerintah.

13. Penerbitan kartu 13. Pengusulan penerbitan 13. Pengusulan penerbitan kartu
legitimasi bagi pengawas kartu legitimasi bagi legitimasi bagi pengawas
ketenagakerjaan. pengawas ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada
provinsi kepada pemerintah.
pemerintah.

14. Penerbitan kartu 14. Pengusulan kartu PPNS 14. Pengusulan kartu PPNS bidang
Penyidik Pegawai Negeri bidang ketenaga- ketenagakerjaan skala
Sipil (PPNS) bidang kerjaan skala provinsi kabupaten/kota kepada
ketenagakerjaan. kepada pemerintah. pemerintah.
- 418 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

15. Penetapan sertifikasi, 15. — 15. —


penunjukan, penerbitan
lisensi bagi lembaga
personil, dan kader
ketenagakerjaan.

2. Ketransmigra- 1. Kebijakan, 1. Perumusan dan 1. Pelaksanaan kebijakan 1. Pelaksanaan kebijakan pusat


sian Perencanaan, pelaksanaan kebijakan, pusat dan perumusan dan provinsi, perumusan
Pembinaan, pedoman, norma, kebijakan daerah serta kebijakan daerah dan
dan standar, prosedur, dan pelaksanaan strategi pelaksanaan strategi
Pengawasan kriteria penyelenggaraan penyelenggaraan urusan penyelenggaraan urusan
urusan pemerintahan pemerintahan bidang pemerintahan bidang
bidang ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala
ketransmigrasian. provinsi. kabupaten/kota.

2. Pembinaan 2. Pengendalian, evaluasi, 2. Pelaporan dan


(pengawasan, dan pelaporan pertanggungjawaban
pengendalian, penyelenggaraan urusan pelaksanaan urusan
monitoring, evaluasi, pemerintahan di bidang pemerintahan di bidang
dan pelaporan) ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala
penyelenggaraan urusan provinsi. kabupaten/kota.
pemerintahan bidang
- 419 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
ketransmigrasian skala
nasional.

3. Koordinasi dan integrasi 3. Sinkronisasi dan 3. Integrasi pelaksanaan urusan


penyelenggaraan urusan pengendalian pemerintahan bidang
pemerintahan bidang pelaksanaan urusan ketransmigrasian skala
ketransmigrasian skala pemerintahan bidang kabupaten/kota.
nasional. ketransmigrasian skala
provinsi.

4. Perumusan kebijakan 4. Pembentukan 4. Pembentukan kelembagaan


pedoman, norma, kelembagaan SKPD SKPD bidang ketransmigrasian
standar, prosedur, dan bidang skala kabupaten/kota
kriteria pembentukan ketransmigrasian skala berdasarkan kebijakan,
kelembagaan SKPD provinsi berdasarkan pedoman, norma, standar,
bidang kebijakan, pedoman, prosedur, dan kriteria yang
ketransmigrasian skala norma, standar, ditetapkan pemerintah.
nasional. prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan
pemerintah.
- 420 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

5. Perancangan 5. Perancangan 5. Perancangan pembangunan


pembangunan pembangunan transmigrasi daerah
transmigrasi nasional, transmigrasi daerah kabupaten/kota, serta
serta pembinaan dan provinsi, serta pembinaan dan penyelenggaraan
pengembangan sistem pembinaan dan sistem informasi
informasi penyelenggaraan sistem ketransmigrasian skala
ketransmigrasian skala informasi kabupaten/kota.
nasional. ketransmigrasian skala
provinsi.

6. Pemberdayaan 6. Pemberdayaan 6. Peningkatan kapasitas


pemerintah daerah pemerintah daerah pemerintah daerah dalam
provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang
penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala
pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
ketransmigrasian. provinsi.

2. Pembinaan 1. Perumusan dan 1. Pelaksanaan kebijakan, 1. Pelaksanaan kebijakan,


SDM Aparatur pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, pedoman, norma, standar,
pedoman, norma, standar, prosedur, prosedur, kriteria, dan
standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, monitoring, evaluasi pembinaan
- 421 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan
evaluasi pembinaan SDM aparatur pemerintahan bidang
SDM aparatur pelaksana urusan ketransmigrasian di pemerintah
pelaksana urusan pemerintahan bidang daerah kabupaten/kota.
pemerintahan bidang ketransmigrasian di
ketransmigrasian skala pemerintahan daerah
nasional. provinsi.

2. Perencanaan formasi, 2. Perencanaan formasi, 2. Perencanaan formasi, karir, dan


karir, dan diklat SDM karir, dan diklat SDM diklat SDM aparatur pelaksana
aparatur pelaksana aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang
urusan pemerintahan urusan pemerintahan ketransmigrasian di pemerintah
bidang bidang daerah kabupaten/kota.
ketransmigrasian skala ketransmigrasian di
nasional. pemerintah daerah
provinsi.

3. Pembinaan, 3. Pembinaan, 3. Pembinaan, penyelenggaraan,


penyelenggaraan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian,
pengawasan, dan pengawasan, dan serta evaluasi pengembangan
pengendalian, serta pengendalian, serta SDM aparatur pelaksana urusan
evaluasi pengembangan evaluasi pengembangan pemerintahan bidang
SDM aparatur SDM aparatur ketransmigrasian di pemerintah
- 422 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
pelaksana urusan pelaksana urusan daerah kabupaten/kota.
pemerintahan bidang pemerintahan bidang
ketransmigrasian skala ketransmigrasian di
nasional. pemerintah daerah
provinsi.

4. Perumusan kriteria dan 4. Pengangkatan dan 4. Pengangkatan dan


standar pemangku pemberhentian pejabat pemberhentian pejabat
jabatan perangkat perangkat daerah yang perangkat daerah yang
daerah yang menangani bidang menangani bidang
melaksanakan urusan ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala
pemerintahan bidang pemerintah daerah pemerintah daerah
ketransmigrasian. provinsi. kabupaten/kota.

5. Pembinaan, 5. Pembinaan, 5. Pembinaan, pengangkatan, dan


pengangkatan, dan pengangkatan, dan pemberhentian pejabat
pemberhentian pejabat pemberhentian pejabat fungsional di bidang
fungsional di bidang fungsional di bidang ketransmigrasian instansi
ketransmigrasian di ketransmigrasian kabupaten/kota.
instansi pusat. instansi provinsi.
- 423 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
3. Penyiapan 1.a. Perencanaan penyiapan 1.a. Pengusulan rencana 1.a. Pengalokasian tanah untuk
Permukiman permukiman dan lokasi pembangunan pembangunan WPT atau LPT di
dan penempatan Wilayah Pengembangan wilayah kabupaten/kota.
Penempatan transmigrasi untuk Transmigrasi (WPT) atau
kepentingan nasional Lokasi Permukiman
dan daerah. Transmigrasi (LPT) skala
provinsi berdasarkan
hasil pembahasan
dengan pemerintah
daerah kabupaten/kota.

b.— b.Pengusulan rencana b.Pengusulan rencana lokasi


pengarahan, pembangunan WPT atau LPT
perpindahan, dan skala kabupaten/kota.
penempatan
transmigrasi skala
provinsi berdasarkan
hasil pembahasan
dengan pemerintah
daerah kabupaten/kota.
- 424 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
c. — c. — c. Pengusulan rencana kebutuhan
SDM untuk mendukung
pembangunan WPT atau LPT
skala kabupaten/kota.

d.— d.— d.Pengusulan rencana pengarahan


dan perpindahan transmigrasi
skala kabupaten/kota.

2.a. Penyediaan tanah untuk 2.a. Koordinasi penyediaan 2.a. Penyelesaian legalitas tanah
pembangunan WPT atau tanah untuk untuk rencana pembangunan
LPT untuk kepentingan pembangunan WPT atau WPT atau LPT skala
nasional dan daerah. LPT skala provinsi. kabupaten/kota.

b.— b.— b.Penetapan alokasi penyediaan


tanah untuk rencana
pembangunan WPT dan LPT
skala kabupaten/kota.
- 425 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
3. Penyusunan dan 3. Pengusulan rancangan 3. Penyediaan data untuk
penetapan rencana rencana teknis penyusunan rencana teknis
teknis pembangunan pembangunan WPT atau pembangunan WPT atau LPT
WPT atau LPT dalam LPT skala provinsi. skala kabupaten/kota.
rangka kepentingan
nasional dan daerah.

4. Komunikasi, Informasi, 4. KIE ketransmigrasian 4. KIE ketransmigrasian skala


dan Edukasi (KIE) skala provinsi. kabupaten/kota.
ketransmigrasian dalam
rangka kepentingan
nasional dan daerah.

5.a. Pengembangan dan 5.a. Penyediaan informasi 5.a. Penyediaan informasi


pelayanan investasi dan pengembangan investasi pengembangan investasi dalam
kemitraan dalam rangka dalam rangka rangka pembangunan WPT atau
pembangunan WPT atau pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
LPT skala nasional dan LPT skala provinsi.
daerah.

b.— b.Mediasi dan koordinasi b.Pelayanan investasi dalam


pelayanan investasi rangka pembangunan WPT atau
dalam rangka LPT skala kabupaten/kota.
- 426 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
pembangunan WPT atau
LPT skala provinsi.

6.a. Pengembangan 6.a. Mediasi kerjasama antar 6.a. Penjajagan kerjasama dengan
kerjasama antar daerah daerah dalam daerah kabupaten/kota lain.
dalam perpindahan dan perpindahan dan
penempatan penempatan
transmigrasi skala transmigrasi skala
nasional. provinsi.

b.— b.— b.Pembuatan naskah kerjasama


antar daerah dalam perpindahan
dan penempatan transmigrasi.

7. Pembangunan WPT atau 7. Koordinasi pelaksanaan 7. Sinkronisasi pembangunan WPT


LPT dalam rangka pembangunan WPT atau atau LPT dengan wilayah sekitar
kepentingan nasional LPT skala provinsi. skala kabupaten/kota.
dan daerah.

8.a. Penyiapan calon 8.a. Koordinasi pelaksanaan 8.a. Pendaftaran dan seleksi calon
transmigran skala penyiapan calon transmigran skala
nasional. transmigran skala kabupaten/kota.
provinsi.
- 427 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
b.— b.— b.Penetapan status calon
transmigran skala
kabupaten/kota berdasarkan
kriteria pemerintah.

9. Peningkatan 9. Koordinasi pelaksanaan 9. Peningkatan ketrampilan dan


ketrampilan dan peningkatan keahlian calon transmigran
keahlian calon ketrampilan dan skala kabupaten/kota.
transmigran skala keahlian calon
nasional. transmigran skala
provinsi.

10. Fasilitasi perpindahan 10. Koordinasi pelaksanaan 10. Pelayanan penampungan calon
dan penempatan pelayanan perpindahan transmigran skala
transmigran skala dan penempatan kabupaten/kota.
nasional. transmigran skala
provinsi.

11. Pembinaan dan 11. Pengendalian dan 11. Pelaporan dan


pengawasan supervisi penyiapan pertanggungjawaban
pelaksanaan penyiapan permukiman dan pelaksanaan penyiapan
permukiman dan penempatan permukiman dan penempatan
penempatan transmigran skala transmigran di wilayah
- 428 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
transmigran skala provinsi. kabupaten/kota.
nasional.

4. Pengembangan 1. Perencanaan 1. Sinkronisasi dan 1. Pengusulan rencana


Masyarakat pengembangan pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan
dan Kawasan masyarakat dan pengembangan kawasan transmigrasi skala
Transmigrasi kawasan transmigrasi masyarakat dan kabupaten/kota.
skala nasional. kawasan transmigrasi
skala provinsi.

2. Peningkatan kapasitas 2. Koordinasi pelaksanaan 2. Sinkronisasi peningkatan


SDM dan masyarakat di peningkatan kapasitas kapasitas SDM dan masyarakat
WPT atau LPT skala SDM dan masyarakat di di WPT atau LPT dengan wilayah
nasional. WPT atau LPT skala sekitar dalam skala
provinsi. kabupaten/kota.

3. Pengembangan usaha 3. Koordinasi pelaksanaan 3. Sinkronisasi pengembangan


masyarakat di WPT atau pengembangan usaha usaha masyarakat di WPT atau
LPT skala nasional. masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar
LPT skala provinsi. dalam skala kabupaten/kota.
- 429 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
4. Pemeliharaan dan 4. Koordinasi pelaksanaan 4. Sinkronisasi pemeliharaan dan
pengembangan pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur
infrastruktur WPT atau pengembangan WPT atau LPT dengan wilayah
LPT skala nasional. infrastruktur WPT atau sekitar dalam skala
LPT skala provinsi. kabupaten/kota.

5. Penyerasian 5. Koordinasi pelaksanaan 5. Sinkronisasi penyerasian


pengembangan penyerasian pengembangan masyarakat dan
masyarakat dan pengembangan kawasan WPT atau LPT dengan
kawasan WPT atau LPT masyarakat dan wilayah sekitar skala
dengan wilayah sekitar. kawasan WPT atau LPT kabupaten/kota.
dengan wilayah sekitar
skala provinsi.

6.a. Evaluasi dan 6.a. Koordinasi dan 6.a. Penyediaan data dan informasi
pengukuran tingkat sinkronisasi penyajian tentang perkembangan WPT dan
keberhasilan data dan informasi LPT skala kabupaten/kota.
pembangunan tentang perkembangan
transmigrasi dan WPT atau LPT skala
pengalihan provinsi.
- 430 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
tanggungjawab
pembinaan khusus WPT
atau LPT skala nasional.

b.— b.Pengusulan calon WPT b.Pengusulan calon WPT atau LPT


atau LPT yang dapat yang dapat dialihkan
dialihkan tanggungjawab pembinaan
tanggungjawab khususnya dalam skala
pembinaan khususnya kabupaten/kota.
dalam skala provinsi.

7. Pembinaan dan 7. Pengendalian dan 7. Pelaporan dan


pengawasan supervisi pelaksanaan pertanggungjawaban
pelaksanaan pengembangan pelaksanaan pengembangan
pengembangan masyarakat dan masyarakat dan kawasan
masyarakat dan kawasan transmigrasi transmigrasi di wilayah
kawasan transmigrasi skala provinsi. kabupaten/kota.
skala nasional.
- 431 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

5. Pengarahan 1.a. Fasilitasi, bimbingan 1.a. Fasilitasi, bimbingan 1.a. Pelaksanaan Komunikasi,
Dan Fasilitasi teknis, dan pelaksanaan teknis, dan pelaksanaan Informasi, dan Edukasi (KIE)
Perpindahan Komunikasi, Informasi, Komunikasi, Informasi, ketransmigrasian skala
Transmigrasi dan Edukasi (KIE) dan Edukasi (KIE) kabupaten/kota.
ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala
nasional. provinsi.

b.Penyediaan dan b.Penyediaan dan b.Penyediaan dan pelayanan


pelayanan informasi pelayanan informasi informasi ketransmigrasian
ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.

c. — c. — c. Peningkatan motivasi
perpindahan transmigrasi skala
kabupaten/kota.
- 432 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
d.— d.— d.Penyamaan persepsi,
kesepahaman, kesepakatan
mengenai pembangunan
ketransmigrasian skala
kabupaten/kota.

2.a. Fasilitasi, bimbingan 2.a. Fasilitasi, bimbingan 2.a. Identifikasi dan analisis
teknis, dan penyerasian teknis, penyusunan dan keserasian penduduk dengan
rencana pengarahan penyerasian rencana daya dukung alam dan daya
dan fasilitasi pengarahan dan tampung lingkungan skala
perpindahan fasilitasi perpindahan kabupaten/kota.
transmigrasi lintas transmigrasi skala
provinsi. provinsi.

b.— b.— b.Pemilihan dan penetapan daerah


dan kelompok sasaran
perpindahan transmigrasi skala
kabupaten/kota.
- 433 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
c. — c. — c. Penyusunan rencana
pengarahan dan fasilitasi
perpindahan transmigrasi skala
kabupaten/kota.

3. Fasilitasi kerjasama 3. Mediasi kerjasama 3. Pelaksanaan kerjasama


perpindahan perpindahan perpindahan transmigrasi dan
transmigrasi dan transmigrasi dan penataan persebaran
penataan persebaran penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan
transmigrasi yang serasi transmigrasi yang seimbang skala kabupaten/kota.
dan seimbang dengan serasi dan seimbang
daya dukung alam dan dengan daya dukung
daya tampung skala alam dan daya
nasional. tampung skala
provinsi.

4.a. Fasilitasi, bimbingan 4.a. Fasilitasi, bimbingan 4.a. Pelayanan pendaftaran dan
teknis, dan pelayanan teknis, dan pelayanan seleksi perpindahan
perpindahan perpindahan transmigrasi dan penataan
transmigrasi skala transmigrasi skala persebaran transmigrasi.
nasional. provinsi.
- 434 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

b. — b. — b.Pelayanan pelatihan dalam


rangka penyesuaian kompetensi
perpindahan transmigrasi.

c. — c. — c. Pelayanan penampungan,
permakanan, kesehatan,
perbekalan, dan informasi
perpindahan transmigrasi.

d. — d. — d.Pelayanan pengangkutan dalam


proses perpindahan
transmigrasi.

e. — e. — e.Pelayanan dan pengaturan


penempatan, adaptasi
lingkungan dan konsoliasi
penempatan transmigrasi.
- 435 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
5. Pembinaan dan 5. Pengendalian dan 5. Pelaporan dan
pengawasan supervisi pelaksanaan pertanggungjawaban
pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi pelaksanaan pengarahan dan
pengarahan dan perpindahan fasilitasi perpindahan
fasilitasi perpindahan transmigrasi skala transmigrasi di wilayah
transmigrasi skala provinsi. kabupaten/kota.
nasional.
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

NOMOR : KEP.12/DPHI/IV/2005

TENTANG

MEKANISME DAN WAKTU PELAKSANAAN PENDATAAN DAN VERIFIKASI


KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Menimbang : a. bahwa untuk memperoleh data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat


Buruh secara lengkap dan akurat, maka perlu dilakukan verifikasi
keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
b. bahwa sebagaimana diamanatkan pada pasal 8 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER.06/MEN/IV/2005 tanggal 8
April 2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh perlu ditetapkan mekanisme dan waktu
pelaksanaan pendataan dan verifikasi keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dengan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial.

Mengingat :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu.
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-16/MEN/2001
tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh ;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.06/MEN/IV/2005
tanggal 8 April 2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL, DEPARTEMEN TENAGA KERJA
DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
MEKANINSME DAN WAKTU PELAKSANAAN PENDATAAN
DAN VERIFIKASI KEANGGOTAAN SERIKAT
PEKERJA/SERIKAT BURUH.

Pasal 1.

Ruang lingkup, mekanisme dan waktu pendataan dan verifikasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh dalam keputusan ini adalah untuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan
yang telah tercatat pada Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.

Pasal 2

(1). Mekanisme pendataan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :

a. Instansi yang bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota


menyampaikan surat permintaan data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
kepada pimpinan perusahaan dan pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang
tercatat pada Instansi yang Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan untuk
meminta data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang mutakhir;
b. Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada huruf a, pimpinan
perusahaan bersama pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyampaikan hasil
pendataan keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh kepada Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
c. Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada huruf b, oleh Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan disusun dan dibuat rekapitulasi
data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berada di Kabupaten/Kota
menurut afiliasi Federasi/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lampiran II
pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
PER.06/MEN/IV/2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, selanjutnya disebut Permenakertrans Nomor :
PER.06/MEN/IV/2005);
d. Hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada huruf c, oleh Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota disampaikan
kepada Instansi yang Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Provinsi
menurut afiliasi Federasi/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lampiran
III pada Permenakertrans Nomor : PER.06/MEN/IV/2005);
e. Setelah menerima hasil rekapitulasi dari seluruh Kabupaten/Kota, Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Provinsi, menyusun rekapitulasi
data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan selanjutnya disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI.
(2). Dalam hal mekanisme pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan
jumlah anggota yang tidak disepakati oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang ada di
perusahaan harus dilakukan verifikasi dengan tahapan sebagai berikut :

a. Instansi yang Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota


menunjuk petugas untuk menyaksikan pelaksanaan verifikasi keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh pada perusahaan yang bersangkutan;
b. Petugas sebagaimana dimaksud pada huruf a, berkoordinasi dengan pimpinan
perusahaan dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh untuk bersama-sama melakukan
kegiatan verifikasi sesuai dengan Pasal 6 Permenakertrans Nomor
:PER.06/MEN/IV/2005 tanggal 8 April 2005;
c. Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf b, oleh Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan dibuat rekapitulasi data
keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berada di Kabupaten/Kota;
d. Hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada huruf c, oleh Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota disampaikan
kepada Instansi yang Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Provinsi;
e. Instansi yang Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Provinsi, setelah
menerima hasil rekapitulasi dari seluruh Kabupaten/Kota menyusun rekapitulasi
data Serikat Pekerja/Serikat Buruh Provinsi dan hasilnya disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi R.I.

(3)

a. Verifikasi di perusahaan dilakukan dan dibuktikan dengan menunjukkan kartu


anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang bersangkutan;
b. Apabila anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh belum memiliki kartu anggota
sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka pekerja/buruh baik perorangan
maupun kolektif wajib membuat surat pernyataan sebagaimana terlampir dalam
surat keputusan.

Pasal 3

Pelaksanaan pendataan dan verifikasi menggunakan tabel dan atau formulir isian
sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat (3) dan (6) dan pasal 9 ayat (3) Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.06/MEN/IV/2005 tanggal 8 April
2005.

Pasal 4

Pendataan dan verifikasi Keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dilaksanakan


selama 45 hari kerja.

Pasal 5
1. Pelaksanaan seluruh kegiatan dilakukan sesuai tahapan sebagai berikut :
Pendataan dan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di tingkat
perusahaan, rekapitulasi hasil pendataan dan verifikasi keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di tingkat Kabupaten/Kota, rekapitulasi hasil pendataan
dan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di tingkat Provinsi,
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga hasil rekapitulasi tingkat Provinsi sudah
diterima di Pusat Cq. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial selambat-
lambatnya tanggal 17 Juni 2005;
2. Penyampaian rekapitulasi hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud butir (1) dapat
menggunakan fax nomor (021)5203607/5269353 atau melalui Pos Kilat khusus.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 April 2005

DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

MUZNI TAMBUSAI

---------------------------------------------

LAMPIRAN I

SURAT PERNYATAAN
KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
(PERORANGAN)

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Perusahaan :
Divisi/Unit :
Menyatakan bahwa saya adalah anggota/bukan anggota *) Serikat Pekerja/Serikat
Buruh...................................
di perusahaan ...........................................

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari pihak
manapun.

..................................................200

Yang membuat pernyataan

( ...................................)

*) coret yang tidak perlu.

LAMPIRAN II

SURAT PERNYATAAN
DATA KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
DI PERUSAHAAN ...............................
(KOLEKTIF)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----

Kami yang bertanda tangan dibawah ini :

1. Nama : Ketua SP/SB ..........................

2. Nama : Ketua SP/SB .........................

3. Nama : Ketua SP/SB .........................

4. dst
Dengan ini kami masing-masing untuk dan atas nama Pengurus Serikat Pekerja/Serikat
Buruh di perusahaan menyatakan bahwa jumlah dan nama-nama pekerja yang tercantum
dalam lampiran Surat Pernyataan ini sebagai anggota Serikat Pekerja/serikat Buruh kami.

Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dan tidak ada
sangkalan dari pihak manapun.

Mengetahui
................................, ...................................200
Pimpinan Perusahaan
Yang membuat pernyataan,
1. ................................... .......................
(Nama jelas) (ttd)

2. ................................... .......................
(Nama jelas) (ttd)
(..................................)
3. ................................... ........................
(Nama jelas) (ttd)

4. dst

LAMPIRAN III

Lampiran Surat Pernyataan Keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh


Perusahaan : ....................................
Serikat Pekerja/Serikat Buruh : ....................................

Unit/Bagian/
No. Nama Umur L/P Tandatangan Keterangan
divisi
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 08/MEN/V/2008

TENTANG

TATA CARA PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN


DI LUAR NEGERI

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA.

Menimbang : a. Bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


KEP.226/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan
Penyelenggaraan Program Pemagangan di Luar Wilayah
Indonesia sebagaimana diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.112/MEN/VII/2004 dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.22/MEN/V/2006 sudah tidak sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan penyelenggaraan pemagangan di luar negeri
sehingga perlu disempurnakan;
b. Bahwa tata cara penyelenggaraan pemagangan di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, merupakan pelaksanaan
ketentuan Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan;
c. Bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota perlu diatur tata cara
perizinan dan penyelenggaraan pemagangan di luar negeri.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, perlu ditetapkan dengan Peraturan
Menteri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia
2. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 31/P Tahun 2007;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.17/MEN/VII/2007 tentang Tata Cara Perizinan dan
Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI TENTANG TATA CARA PERIZINAN
DAN PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN DI LUAR
NEGERI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Pemagangan di luar negeri adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang
diselenggarakan secara utuh dan terpadu di Indonesia dan di luar negeri oleh
lembaga pelatihan kerja atau perusahaan atau instansi pemerintah atau lembaga
pendidikan dibawah bimbingan dan pengawasan instruktur dan/atau pekerja yang
lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa dalam rangka
menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
2. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
3. Lembaga Pelatihan Kerja yang selanjutnya disingkat LPK adalah instansi
pemerintah, badan hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk
menyelenggarakan pelatihan kerja.
4. Lembaga pendidikan adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah dan/atau yang mendapatkan izin dari Pemerintah.
5. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
6. Penyelenggara pemagangan di luar negeri adalah LPK yang telah mendapatkan izin
atau perusahaan atau instansi pemerintah atau lembaga pendidikan yang telah
terdaftar pada Direktorat Jenderal yang bertanggungjawab di bidang pelatihan kerja
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk melaksanakan
pemagangan di luar negeri.
7. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal yang bertanggungjawab di bidang
pelatihan kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggungjawab di bidang
pelatihan kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Penyelenggara pemagangan di luar negeri terdiri dari :


a LPK swasta;
b Perusahaan;
c Instansi pemerintah;
d Lembaga pendidikan.

(2) LPK swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
menyelenggarakan pemagangan untuk masyarakat umum.
(3) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
menyelenggarakan pemagangan untuk pekerjanya.
(4) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu instansi yang
menyelenggarakan untuk masyarakat umum.
(5) Lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan untuk siswa/mahasiswa.

Pasal 3

(1) Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) setelah
mendapat izin sebagai LPK dari instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota, wajib memiliki izin penyelenggaraan pemagangan
dari Direktur Jenderal.
(2) Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4)
dan ayat (5) yang menyelenggarakan pemagangan melebihi jangka waktu 3 (tiga)
bulan wajib memiliki tanda daftar sebagai penyelenggara pemagangan dari Direktur
Jenderal.
BAB II
PERSYARATAN LEMBAGA

Bagian Kesatu
LPK swasta

Pasal 4

LPK swasta yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi


persyaratan :

a. Memiliki izin LPK yang masih berlaku;


b. Memilik program pemagangan;
c. Mendapat izin penyelenggaraan pemagangan dari Direktur Jenderal.

Bagian Kedua
Perusahaan

Pasal 5

(1) Perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi


persyaratan :
a. Memiliki izin usaha yang masih berlaku;
b. Memiliki program pemagangan;
c. Terdaftar sebagai penyelenggara pemagangan pada Direktorat Jenderal.

(2) Perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri untuk jangka


waktu paling lama 3 (tiga) bulan harus terdaftar pada instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3) Perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri untuk jangka
waktu lebih dari 3 (tiga) bulan harus terdaftar pada Direktorat Jenderal.

Bagian Ketiga
Instansi Pemerintah

Pasal 6

Instansi pemerintah yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi


persyaratan :

a. Terdaftar sebagai penyelenggara pemagangan pada Direktorat Jenderal;


b. Memiliki program pemagangan.

Bagian Keempat
Lembaga Pendidikan

Pasal 7

(1) Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus


memenuhi persyaratan :
a. Memiliki izin lembaga pendidikan yang masih berlaku;
b. Memiliki program pemagangan;
c. Terdaftar sebagai penyelenggara pemagangan pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.

(2) Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri untuk


jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan harus terdaftar pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3) Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri untuk
jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan harus terdaftar pada Direktorat Jenderal.

BAB III
PERSYARATAN PESERTA

Pasal 8

(1) Peserta pemagangan bagi LPK swasta dan instansi pemerintah yang
menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA atau sederajat;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kebutuhan program.
(2) Peserta pemagangan bagi perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan di luar
negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai pekerja di perusahaan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kebutuhan program.
(3) Peserta pemagangan bagi lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan
di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai siswa/mahasiswa di lembaga pendidikan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kurikulum yang dilaksanakan.
(4) Peserta pemagangan pada lembaga pendidikan khusus milik instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai siswa/mahasiswa di lembaga pendidikan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kurikulum yang dilaksanakan.
Pasal 9

Peserta pemagangan yang berasal dari masyarakat umum dapat menanggung biaya sesuai
dengan perjanjian antara LPK dengan lembaga penerima pemagangan di luar negeri
yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal.

BAB IV
PERIZINAN DAN PENDAFTARAN

Bagian Kesatu
Perizinan

Pasal 10

(1) Izin penyelenggaraan pemagangan di luar negeri diterbitkan oleh Direktur


Jenderal.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 3 (tiga) tahun
dan dapat diperpanjang untuk setiap perpanjangan paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 11

(1) LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang akan
menyelenggarakan pemagangan harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Direktur Jenderal.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan :


a. Copy izin LPK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh instansi yang
memberikan izin;
b. Copy perjanjian antara LPK dengan lembaga penerima pemagangan di luar
negeri yang diketahui oleh perwakilan negara Republik Indonesia di negara
penerima;
c. Program pemagangan yang akan dilaksanakan;
d. Profil LPK yang meliputi antara lain : struktur organisasi, alamat, telepon dan
faximile.

(3) Permohonan sebagaaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh LPK
swasta kepada Direktur Jenderal setelah mendapat rekomendasi dari instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.

Pasal 12

(1) LPK swasta yang telah mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, dilakukan verifikasi oleh tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas antara lain
melakukan verifikasi tentang kelengkapan dan keabsahan dokumen.
(3) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus sudah selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan dan hasilnya dilaporkan kepada
Direktur Jenderal.
(4) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur
Jenderal menolak permohonan pemohon dan harus sudah disampaikan kepada
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan verifikasi.
(5) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim dinyatakan lengkap, tim
melakukan peninjauan ke lapangan dalam jangka waktu paling la 5 (lima) hari
kerja terhitung sejak dokumen dinyatakan lengkap.
(6) Dalam hal hasil peninjauan lapangan tidak sesuai dengan dokumen yang
diajukan berdasarkan laporan tim, Direktur Jenderal menolak permohonan
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan peninjauan lapangan.
(7) Dalam hal hasil peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dinyatakan sesuai dengan dokumen yang diajukan, Direktur Jenderal
menerbitkan surat izin penyelenggara di luar negeri dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak peninjauan lapangan selesai dilakukan.

Bagian Kedua
Pendaftaran

Paragraf 1
Perusahaan

Pasal 13

(1) Perusahaan yang akan menyelenggarakan pemagangan bagi pekerjanya harus


mendaftarkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
a. Copy izin usaha yang masih berlaku;
b. Program pemagangan;
c. Copy surat keputusan pengangkatan sebagai pekerja;
d. Copy surat perjanjian antara perusahaan dengan lembaga penerima pamagang di
luar negeri;
e. Copy perjanjian pemagang antara pekerja peserta pemagangan dengan
perusahaan tempat bekerja yang memuat hak dan kewajiban para pihak;
f. Tingkat pencapaian kualifikasi keterampilan atau keahlian yang akan diperoleh
pekerja setelah mengikuti pemagangan;
g. Rencana penempatan pekerja setelah selesai magang.
(2) Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu pekerja yang ada
hubungan kerja dengan perusahaan yang akan menyelenggarakan pemagangan.
(3) Pendaftaran secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum
disampaikan kepada Direktur Jenderal terlebih dahulu harus diketahui oleh instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

Paragraf 2
Instansi Pemerintah

Pasal 14

Instansi pemerintah yang menyelenggarakan pemagangan wajib mendaftarkan secara


tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :

a. Program pemagangan;
b. Copy perjanjian antara instansi pemerintah dengan lembaga penerima pemagang di
luar negeri;
c. Copy perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pemagangan yang memuat hak dan kewajiban para pihak.

Paragraf 3
Lembaga Pendidikan

Pasal 15

(1) Lembaga pendidikan yang akan menyelenggarakan pemagangan bagi siswanya harus
mendaftarkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
a. Copy izin sebagai lembaga pendidikan yang masih berlaku;
b. Program pemagangan;
c. Copy surat perjanjian antara lembaga pendidikan dengan lembaga penerima
pemagang di luar negeri;
d. Copy perjanjian pemagangan antara siswa peserta pemagangan dengan lembaga
pendidikan tempat siswa belajar yang memuat hak dan kewajiban para pihak;
e. Tingkat pencapaian kualifikasi keterampilan atau keahlian yang akan diperoleh
siswa setelah mengikuti pemagangan.
(2) Siswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelajar/mahasiswa yang belajar di
lembaga pendidikan yang akan menyelenggarakan pemagangan.
(3) Pendaftaran secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum
disampaikan kepada Direktur Jenderal terlebih dahulu harus diketahui oleh instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
Paragraf 4
Jangka Waktu Penerbitan Tanda Daftar

Pasal 16

(1) Perusahaan, instansi pemerintah dan lembaga pendidikan yang telah mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15
dilakukan verifikasi oleh tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal.
(2) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus sudah selesai dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan dan hasilnya dilaporkan kepada
Direktur Jenderal.
(3) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur
Jenderal menolak permohonan pemohon dan harus sudah disampaikan kepada
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan verifikasi.
(4) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan
lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan tanda daftar penyelenggara pemagangan
di luar negeri dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
hasil verifikasi dinyatakan lengkap.

BAB V
PROGRAM PEMAGANGAN

Pasal 17

(1) Penyelenggara pemagangan wajib memiliki program pemagangan.


(2) Program pemagangan bagi LPK swasta sekurang-kurangnya harus memuat :
a. Nama pelatihan pemagangan;
b. Tujuan dan sasaran program pemagangan;
c. Program kejuruan;
d. Pelaksanaan program pemagangan;
e. Tindak lanjut pasca pemagangan.
(3) Program kejuruan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, sekurang-kurangnya
memuat :
a. Persyaratan peserta;
b. Tingkat dan kualifikasi kompetensi ayang akan dicapai;
c. Kurikulum dan silabi;
d. Jadual pelaksanaan program;
e. Perangkat lunak yang dipergunakan;
f. Perangkat keras yang dipergunakan;
g. Instruktur dan tenaga kepelatihan;
h. Sistem dan metode pelatihan;
i. Persyaratan kelulusan;
j. Sertifikasi kompetensi;
k. Perjanjian pemagangan;
l. Sarana dan prasarana, instruktur, dan tenaga kepelatihan serta workshop sesuai
dengan kejuruan.
(4) Pelaksanaan program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d,
sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama, alamat LPK dan penanggung jawab program;
b. Nama, alamat perusahaan tempat pemagangan, dan penanggung jawab program;
c. Monitoring dan evaluasi;
d. Pelaporan;
(5) Tindak lanjut pasca pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, antara
lain meliputi :
a. Penempatan dalam negeri;
b. Penempatan luar negeri;
c. Usaha mandiri.
(6) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf k, sekurang-
kurangnya memuat hak dan kewajiban para pihak antara lain :
a. Uang saku dan transport bagi peserta pemagangan;
b. Perlindungan bagi peserta pemagangan antara lain : asuransi kecelakaan,
kesehatan, kematian, dan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Pembiayaan program magang;
d. Penyelesaian perselisihan.
(7) Dalam hal LPK swasta tidak memiliki persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf l, maka LPK swasta tersebut harus bekerjasama dengan LPK lain yang
sesuai dengan kejuruan pemagangan yang akan dilaksanakan dalam bentuk
perjanjian kerjasama.
(8) Program pemagangan bagi perusahaan dan/atau instansi pemerintah dan/atau
lembaga pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dan/atau instansi
pemerintah dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Pasal 18

(1) Program pemagangan LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan ayat (3) merupakan satu kesatuan yang utuh dan berkelanjutan.
(2) Program pemagangan LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
ayat (3) dan ayat (7) harus mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.

Pasal 19

Penyelenggara pemagangan tidak diperbolehkan mengikutsertakan kembali peserta


pemagangan untuk program pemagangan yang sama.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 20

(1) Peserta pemagangan di luar negeri berhak untuk :


a. Mendapatkan uang saku dan transport sesuai dengan perjanjian antara peserta
pemagangan dengan penyelenggara pemagangan;
b. Mendapatkan perlindungan asuransi kecelakaan, kesehatan, dan kematian yang
preminya ditanggung oleh penyelenggara pemagangan;
c. Mendapatkan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti
magang;
d. Mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi
kompetensi;
e. Mendapatkan sertifikat apabila telah menyelesaikan program pemagangan.
(2) Penyelenggara pemagangan di luar negeri berhak untuk :
a. Hasil kerja/jasa peserta pemagangan;
b. Mengevaluasi peserta pemagangan;
c. Memberhentikan peserta pemagangan yang melanggar perjanjian pemagangan.

Pasal 21

(1) Penyelenggara pemagangan di luar negeri berkewajiban untuk :


a. Menyediakan uang saku dan transport sesuai dengan perjanjian antara peserta
pemagangan dengan penyelenggara pemagangan;
b. Menyediakan fasilitas pelatihan;
c. Menyediakan instruktur dan tenaga kepelatihan;
d. Menyediakan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti
magang;
e. Menyediakan perlindungan asuransi kecelakaan, kesehatan, kematian yang
preminya ditanggung oleh lembaga penyelenggara yang besarnya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di negara tempat dilaksanakannya pemagangan;
f. Mengikuti peserta pemagangan dalam uji kompetensi untuk mendapatkan
pengakuan kualifikasi kompetensi;
g. Memberikan sertifikat kepada peserta pemagangan yang telah menyelesaikan
program pemagangan;
h. Menjamin penyelenggaraan pemagangan tidak melanggar norma kesusilaan.
i. Menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh peserta pemagangan selama
berada di negara tempat magang;
j. Memulangkan peserta pemagangan baik yang telah selesai mengikuti program
magang maupun yang melanggar perjanjian pemagangan.
(2) Peserta pemagangan di luar negeri berkewajiban untuk :
a. Mentaati perjanjian pemagangan;
b. Mentaati peraturan yang berlaku di LPK swasta dan/atau perusahaan;
c. Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat magang.

BAB VII
PELAKSANAAN

Pasal 22

Penyelenggara pemagangan dapat melaksanakan pemagangan di luar negeri setelah


mendapatkan izin atau terdaftar.

Pasal 23

Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a hanya
dapat merekrut peserta pemagangan dalam satu wilayah propinsi setelah memberitahukan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.

Pasal 24

(1) Rekrut dan seleksi calon peserta dilakukan oleh penyelenggara pemagangan sesuai
dengan kebutuhan tempat magang di perusahaan.
(2) Dalam hal rekrut dan seleksi yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum memenuhi kebutuhan tempat magang, penyelenggara pemagangan dapat
melakukan rekrut dan seleksi kembali untuk memenuhi kebutuhan tempat magang.
(3) Hasil rekrut dan seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberitahukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.

Pasal 25

(1) Calon peserta pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 yang


dinyatakan lulus seleksi harus mengikuti pelatihan teknis, bahasa dan budaya
yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemagangan.
(2) Peserta pemagangan yang telah mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diberangkatkan ke negara tempat magang.
Pasal 26

(1) Peserta pemagangan yang akan diberangkatkan ke negara tempat magang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) diberikan rekomendasi
pemberangkatan.
(2) Rekomendasi pemberangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk atas permohonan secara tertulis dari
penyelenggara pemagangan dengan melampirkan :
a. Bukti tertulis perusahaan tempat magang dan bidang kerjanya;
b. Copy perjanjian pemagangan;
c. Paspor peserta;
d. Data peserta/riwayat hidup;
e. Kartu pelajar/mahasiswa bagi peserta pemagangan dari lembaga pendidikan;
f. Ketentuan lain sesuai dengan peraturan di negara tempat magang.

Pasal 27

(1) Penyelenggara pemagangan yang telah mendapatkan rekomendasi pemberangkatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat mengajukan permohonan
rekomendasi bebas fiscal kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
a. Rekomendasi pemberangkatan;
b. Copy paspor dan visa peserta pemagangan;
c. Daftar peserta pemagangan sesuai dengan visa;
d. Copy perjanjian pemagangan.
(2) Copy paspor dan visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
menunjukkan aslinya.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah
lengkap, Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan rekomendasi
bebas fiscal.

BAB VIII
PERPANJANGAN IZIN

Pasal 28

(1) Perpanjangan izin penyelenggaraan pemagangan diberikan oleh Direktur


Jenderal.
(2) Untuk mendapatkan izin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
LPK swasta harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja sebelum jangka waktu izin untuk
menyelenggarakan pemagangan berakhir.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dengan melampirkan
:

a. Copy izin LPK yang masih berlaku;


b. Copy izin penyelenggaraan pemagangan yang masih berlaku;
c. Realisasi pelaksanaan izin penyelenggaraan pemagangan;
d. Copy perjanjian antara LPK dengan lembaga penerima pemagang di luar negeri
yang diketahui oleh perwakilan Negara Republik Indonesia di negara penerima.

(5) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bagi LPK
swasta yang tidak memiliki workshop, instruktur dan tenaga kepelatihan harus
melampirkan copy perjanjian kerjasama dengan LPK lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7).
(6) Perpanjangan izin tidak dapat diterbitkan apabila permohonan yang diajukan
telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 29

(1) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (4) dan ayat (5) dinyatakan lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan
perpanjangan pemagangan.
(2) Izin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterbitkan
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak
peninjauan lapangan selesai dilakukan.
(3) Prosedur dan tata cara pemberian perpanjangan izin mengikuti ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 12.

Pasal 30

Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (4) dan ayat (5) juga mempertimbangkan kinerja LPK yang bersangkutan.

BAB IX
PENCABUTAN IZIN

Pasal 31

Direktur Jenderal mencabut izin penyelenggaraan pemagangan di luar negeri apabila


penyelenggaraan pemagangan :
a. Memungut biaya kepada peserta pemagangan di luar ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 9;
b. Mengikutsertakan kembali peserta pemagangan pada program pemagangan yang
sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
c. Tidak melaksanakan pemagangan dalam kurun waktu
1 (satu) tahun setelah memperoleh izin;
d. Merekrut peserta pemagangan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23;
e. Melakukan rekrut dan seleksi calon peserta pemagangan sebelum tersedianya tempat
magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
f. Tidak memberangkatkan peserta pemagangan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat
(2);
g. Terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemagangan di luar negeri.
h. Izin LPK dicabut oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota;
i. Memagangkan peserta pemagangan tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
j. Melanggar norma kesusilaan;
k. Menyelenggarakan pemagangan yang tidak sesuai dengan program sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17;

Pasal 32

Penyelenggara pemagangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 31 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dicabut izin penyelenggaraan
pemagangannya dengan tahapan sebagai berikut :
a. Teguran lisan;
b. Peringatan tertulis dilakukan apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak teguran lisan diberikan penyelenggara pemagangan tetap melakukan
pelanggaran;
c. Pemberhentian sementara pengiriman peserta pemagangan selama 4 (empat) bulan
apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak teguran tertulis
diberikan penyelenggara pemagangan masih melakukan pelanggaran;
d. Izin penyelenggaraan pemagangan dicabut apabila dalam masa pemberhentian
sementara sebagaimana dimaksud pada huruf c penyelenggara pemagang tetap
melaksanakan pelanggaran yang sama dan/atau mengirim peserta pemagangan.

Pasal 33

Penyelenggara pemagangan yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 31 huruf g dicabut izin penyelenggaraan pemagangannya setelah
ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 34

Izin penyelenggaraan pemagangan di luar negeri tidak berlaku apabila izin LPK dicabut
oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf h.

Pasal 35

LPK swasta yang izin penyelenggaraan pemagangannya dicabut sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 tetap bertanggungjawab terhadap
peserta pemagangan sesuai perjanjian yang telah disepakati.

BAB X
PELAPORAN

Pasal 36

(1) Penyelenggara pemagangan di luar negeri dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam)
bulan, wajib melaporkan pelaksanaan pemagangan setiap 6 (enam) bulan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada kepala instansi yang bertanggungjawab
di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Penyelenggara pemagangan di luar negeri dengan jangka waktu kurang dari 6 (enam)
bulan, wajib melaporkan pelaksanaan pemagangan saat program pemagangan selesai
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada kepala instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaetn/kota.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :


a. Data peserta yang sedang mengikuti pelatihan teknis, bahasa dan budaya;
b. Data peserta yang sedang mengikuti magang di perusahaan penerima;
c. Data peserta yang gagal mengikuti magang :
d. Data peserta pasca magang.
e. Data perusahaan tempat magang.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat
disampaikan secara manual atau media elektronik.

BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 37

(1) Pembinaan di dalam negeri terhadap penyelenggara pemagangan dilakukan secara


bersama oleh Direktorat Jenderal dan instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Pembinaan di luar negeri terhadap penyelenggara pemagangan dilakukan oleh
Direktorat Jenderal bekerjasama dengan perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi program,
sumber daya manusia, fasilitas, metode, dan sistem penyelenggaraan pemagangan.

Pasal 38

Dalam rangka pengendalian penyelenggaraan pemagangan, Direktur Jenderal secara


berkala menerbitkan dan mengumumkan kepada masyarakat melalui media cetak
dan/atau elektronik daftar penyelenggara pemagangan ke luar negeri yang memiliki
izin/tanda daftar yang masih berlaku.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39

(1) Penyelenggara pemagangan yang telah memiliki izin penyelenggaraan pemagangan


di luar negeri sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini wajib menyesuaikan
persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini paling lama 12 (dua
belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.
(2) Apabila penyelenggara pemagangan dalam jangka waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyesuaikan persyaratan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri ini, maka izin penyelenggaraan pemagangan di luar
negeri yang bersangkutan dicabut oleh Direktur Jenderal.

BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri ini diatur oleh Direktur
Jenderal.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 41

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini maka :

a. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor :KEP.226/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan Penyelenggaraan Program
Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia.
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor : KEP.112/MEN/VII/2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi
Nomor : KEP. 226/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan Penyelenggaraan Program
Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia.
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor :PER. 22/MEN/V/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :KEP. 226/MEN/2003 tentang Tata Cara
Perizinan Penyelenggaraan Program Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia;

Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 42

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Mei 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

TTD

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum

Sunarno, SH,MH.
NIP. 730001630
KEPPRES NO.75 TH 1995

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 75 TAHUN 1995

TENTANG

PENGGUNAAN TENAGA KERJA WARGA NEGARA ASING PENDATANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kemajuan yang dicapai dalam pembangunan, baik di bidang ekonomi maupun
bidang lainnya, telah meningkatkan kegiatan usaha dan semakin memperluas
lapangan kerja serta kesempatan kerja;
b. bahwa agar kesempatan kerja yang tersedia sebanyak mungkin dapat menyerap
Tenaga Kerja Indonesia, dipandang perlu mengadakan pengaturan kembali mengenai
penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dengan Keputusan
Presiden;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 1, diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);
4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang penanaman Modal Dalam Negeri
(Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran
Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
5. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912);
6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam
Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3552);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin
Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3563);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGGUNAAN TENAGA KERJA WARGA NEGARA


ASING PENDATANG.

Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan:


(1). Tenaga Kerja Asing Pendatang selanjutnya disingkat dengan TKWNAP adalah Warga
Negara Asing yang memiliki Visa Tinggal Terbatas atau Izin Tinggal Terbatas atau Izin
Tinggal Tetap untuk maksud bekerja di dalam wilayah Republik Indonesia.
(2). Pengguna TKWNAP adalah usaha perorangan atau badan usaha atau badan hukum yang
didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang menjalankan
kegiatan usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa dengan tujuan mencari
keuntungan atau tidak yang telah memiliki izin mempekerjakan TKWNAP.
(3). Tenaga Kerja Indonesia adalah tenaga kerja Warga Negara Indonesia.
Pasal 2

(1). Setiap pengguna TKWNAP wajib mengutamakan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia di
semua bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia.
(2). Apabila bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya dapat diisi
oleh Tenaga Kerja Indonesia, pengguna TKWNAP dapat menggunakan TKWNAP sampai
batas waktu tertentu.

Pasal 3

(1). Jabatan Direksi dan Komisaris pada perusahaan penanam modal yang didirikan dengan
seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Warga Negara Asing dan/atau badan hukum
asing, atau pada perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya
dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia, terbuka bagi TKWNAP.
(2). abatan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan
penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara
Indonesia.
(3). Pemilik modal perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya
dimiliki oleh Warga Negara Asing dan/atau badan hukum asing, dapat menunjuk sendiri
TKWNAP sebagai Direksi dan Komisaris perusahaannya.
(4). Pemilik modal perusahaan penanaman modal yang didirikan dalam bentuk patungan
antara modal asing dengan modal Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia, atau pada perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh
modalnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia/dan atau badan hukum Indonesia,
penunjukan Direksi dan Komisaris sesuai kesepakatan para pihak.

Pasal 4

(1). Jabatan Direksi pada perusahaan yang didirikan bukan dalam rangka Undang-undang
Penanaman Modal, terbuka bagi TKWNAP.
(2). Jabatan Komisaris pada perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya
terbuka bagi Tenaga Kerja Indonesia.

Pasal 5

Khusus untuk jabatan Direktur yang membidangi Personalia, perusahaan sebagaimana dalam
Pasal 3 dan Pasal 4, wajib menggunakan Tenaga Kerja Indonesia.

Pasal 6

(1). Daftar bidang dan jenis pekerjaan di bawah jabatan Direksi yang tertutup dan yang
terbuka bagi TKWNAP untuk batas waktu tertentu, diatur lebih lanjut oleh Menteri Tenaga
Kerja dengan memperhatikan pendapat Menteri terkait.
(2). Daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau kembali selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun.

Pasal 7

(1). Pengguna TKWNAP wajib memiliki Rencana Penggunaan TKWNAP termasuk Direksi
Komisaris yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(2). Izin mempekerjakan TKWNAP diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang
ditunjuk.
(3). TKWNAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Direksi/Komisaris
sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dan Pasal 4 memiliki Izin Kerja TKWNAP dari Menteri
Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(4). Tatacara untuk memperoleh pengesahan Rencana Pembangunan TKWNAP, Izin
Mempekerjakan TKWNAP dan Izin Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri Tenaga Kerja dengan memperhatikan
pendapat Menteri terkait.

Pasal 8

(1). Setiap pengguna TKWNAP wajib melaksanakan program penggantian TKWNAP ke Tenaga
Kerja Indonesia.
(2). Dalam rangka pelaksanaan program sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna
TKWNAP wajib :
a. menunjuk Tenaga Kerja Indonesia sebagai Tenaga Pendamping pada jenis pekerjaan
yang dipegang oleh TKWNAP.
b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Tenaga Kerja Indonesia
yang dipekerjakan, baik sendiri maupun menggunakan jasa pihak ketiga.
(3). Tenaga Pendamping sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a harus tercantum
dengan jelas dalam Rencana Penggunaan TKWNAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dan dalam struktur jabatan perusahaan.
(4). Biaya untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b dibebankan pada pengguna TKWNAP dan tidak dibebankan ulang pada
Tenaga Kerja Indonesia.

Pasal 9

Pengguna TKWNAP wajib melaporkan pelaksanaan program sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 8 ayat (2) kepada Menteri Tenaga Kerja.

Pasal 10

(1). Pengguna TKWNAP dikenakan pungutan pada setiap TKWNAP yang dipekerjakannya.
(2). Pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk membantu
penyelenggaraan pelatihan Tenaga Kerja Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja.
(3). Besarnya pungutan ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dengan memperhatikan
pendapat Menteri Keuangan.

Pasal 11

Dengan dikenakan pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, maka terhadap Pengguna
TKWNAP tidak lagi dikenakan pungutan lainnya yang berkaitan dengan penggunaan TKWNAP.

Pasal 12

(1). Pengguna TKWNAP yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan
Presiden ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi pencabutan Keputusan
Pengesahan Rencana Penggunaan TKWNAP dan/atau Izin Mempekerjakan TKWNAP.
(2). TKWNAP yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden
ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi pencabutan Izin Kerja TKWNAP.

Pasal 13

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini, diatur oleh
Menteri Tenaga Kerja dengan mendengar pendapat Menteri terkait.
Pasal 14

(1). Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun
1974 tentang Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang,
dinyatakan tidak berlaku.
(2). Semua peraturan pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1974 masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan atau belum diatur berdasarkan
Keputusan Presiden ini.

Pasal 15

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1995

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SOEHARTO
KEPMEN NO. 01 TAHUN 2008

KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 01 TAHUN 2008


NOMOR: KEP.24/MEN/II/2008
NOMOR: SKB/01/M.PAN/2/2008

TENTANG

PERUBAHAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : 55 TAHUN 2007, NOMOR:KEP.222/MEN/V/2007, NOMOR:
SKB/03/M.PAN/5/2007 TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN
2008

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Menimbang : a Bahwa dengan memperhatikan situasi Nasional dan Daerah sebagai dampak
perkembangan ekonomi global serta kondisi alam memerlukan kesiapan dan
perhatian dari semua pihak, terutama jajaran aparatur negara.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a huruf b di
atas, perlu mengubah Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 55 Tahun
2007, Nomor : KEP.222/MEN/V/2007, Nomor : SKB/03/M.PAN/5/2007 tentang Hari-
hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2008;

Mengingat : 1. Keputusan Presiden RI Nomor 10 tahun 1971 tentang Perubahan \Libur


sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden RI
Nomor 3 Tahun 1983 ;
2. Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek ;
3. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara RI sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden RI Nomor 94 Tahun 2006;
4. Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 55 Tahun 2007, Nomor :
KEP.222/MEN/V/2007, Nomor : SKB/03/M.PAN/5/2007 tentang Hari-hari Libur
Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2008;
5. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 331 Tahun 2002 Tentang Penetapan Hari Tahun
baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional;

Memperhatikan : Masukan yang sangat positif dari berbagai pihak, baik perorangan, kelompok,
maupun media massa tentang kebijakan dan pelaksanaan cuti bersama;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERUBAHAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA


KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 55 TAHUN 2007,
NOMOR: KEP.222/MEN/V/2007, NOMOR: SKB/03/ M.PAN/ 5/2007
TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2008

Kesatu : Mengubah Lampiran Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 55 Tahun
2007, Nomor : KEP.222/MEN/V/2007, Nomor : SKB/03/M.PAN/5/2007 tentang Hari-
hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2008 sehingga seluruhnya menjadi
sebagaimana Lampiran Keputusan Bersama ini.
Kedua : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2008

MENTERI NEGARA
MENTERI TENAGA KERJA DAN
MENTERI AGAMA PENDAYAGUNAAN
TRANSMIGRASI
APARATUR NEGARA

MUHAMMAD M. BASYUNI ERMAN SUPARNO TAUFIQ EFFENDI

---------------------------------------------------------------------------------------

LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA


MENTERI AGAMA, MENTERI KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 1 TAHUN 2008


NOMOR: KEP.24/MEN/II/2008
NOMOR: SKB/01/M.PAN/2/2008

TENTANG

PERUBAHAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : 55 TAHUN 2007, NOMOR :KEP.222/MEN/V/2007, NOMOR :
SKB/03/M.PAN/5/2007 TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN
2008

A. HARI LIBUR TAHUN 2008

NO Tanggal Hari Keterangan

1. 1 Januari Selasa Tahun Baru Masehi

2. 10 Januari Kamis Tahun Baru 1429 Hijriyah

3. 7 Pebruari Kamis Tahun Baru Imlek 2559

4. 7 Maret Jumat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1930

5. 20 Maret Kamis Maulid Nabi Muhammad SAW

6. 21 Maret Jumat Wafat Yesus Kristus

7. 1 Mei Kamis Kenaikan Yesus Kristus

8. 20 Mei Selasa Hari Raya Waisak Tahun 2552

9. 30 Juli Rabu Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW

10. 18 Agustus Senin Hari Kemerdekaan RI yang diperingati pada hari


Minggu tanggal 17 Agustus 2008

11. 1-2 Oktober Rabu, Kamis Idul Fitri 1 Syawal 1429 Hijriyah

12. 8 Desember Senin Idul Adha 1429 Hijriyah

13. 25 Desember Kamis Hari Raya Natal

14. 29 Desember Senin Tahun Baru 1430 Hijriyah


B. CUTI BERSAMA TAHUN 2008

No Tanggal Hari Keterangan


1. 11 Januari Jum'at Cuti bersama menyambung hari libur Tahun Baru
1429 Hijriyah, Kamis tanggal 10 Januari 2008

5. 29, 30 September Senin, Selasa dan Cuti bersama sebelum dan sesudah Hari Raya Idul
dan 3 Oktober Jumat Fitri 1 Syawal 1429 Hijriyah, Rabu dan Kamis tanggal
1-2 Oktober 2008

6. 26 Desember Jumat Cuti bersama menyambung hari libur Hari Raya


Natal, Kamis tanggal 25 Desember 2008

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2008

MENTERI NEGARA
MENTERI TENAGA KERJA DAN
MENTERI AGAMA PENDAYAGUNAAN
TRANSMIGRASI
APARATUR NEGARA

MUHAMMAD M. BASYUNI ERMAN SUPARNO TAUFIQ EFFENDI


KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 4 TAHUN 2008


NOMOR : KEP. 115/ MEN/VI/2008
NOMOR : SKB/06/M. PAN/6/2008

TENTANG
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2009

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA

Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas pemanfaatan hari-


hari kerja, hari-hari libur, dan cuti bersama dipandang perlu menata
pelaksanaan hari-hari libur nasional dan mengatur cuti bersama
tahun 2009;

b. bahwa penataan hari-hari libur dan pengaturan cuti bersama tahun


2009 sebagaimana tersebut pada huruf a diharapkan menjadi
pedoman bagi instansi pemerintah dan swasta sehingga dapat
meningkatkan efektivitas dan produktivitas kerja;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada


huruf a dan huruf b di atas, perlu ditetapkan Keputusan Bersama
Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Hari-
hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2009.

Mengingat : 1. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 tentang Perubahan Atas


Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-hari Libur
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan
Presiden RI Nomor 10 Tahun 1971;
2. Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Ta-
hun Baru Imlek;
3. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kernenterian
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94
Tahun 2006;
4. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 331 Tahun 2002 tentang
Penetapan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA


DAN TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI
BERSAMA TAHUN 2009.

Kesatu : Menetapkan Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2009
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.

Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Had Raya Idul Fitri dan Hari Raya
Kedua : 'dui Adha bagi umat Islam, maka tanggal 1 Ramadhan 1430 H, 1 Syawal
1430 H, dan 10 Dzulhijjah 1430 H ditetapkan kemudian dengan
Keputusan Kenteri Agama.

Ketiga : Unit kerja/satuan organisasi yang berfungsi memberikan pelayanan


Iangsung kepada masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah yang
mencakup kepentingan masyarakat luas, seperti: rumah sakit/puskesmas,
unit kerja yang memberikan pelayanan telekomunikasi, listrik, air minum,
pemadam kebakaran, keamanan dan ketertiban, perbankan,
perhubungan, pajak, bea cukai, dan unit kerja pelayanan lainnya yang
sejenis agar mengatur penugasan pegawai dan pekerja/buruh pada hari -
hari libur nasional dan cuti bersama yang ditetapkan, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu


Keempat : mengurangi hak cuti tahunan pegawai sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku pada
masing-masing instansi/Iembaga/perusahaan.

Kelima : Pelaksanaan cuti bersama di kalangan dunia usaha sebagaimana


dimaksud pada Diktum Kesatu diatur oleh lembaga atau perusahaan yang
bersangkutan.

Keenam : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juni 2008
LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 4 TAHUN 2008


NOMOR : KEP.115/MENNI/2008
NOMOR : SKB/06/M.PAN/6/2008

TENTANG
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2009

A. HARI LIBUR TAHUN 2009


Tanggal
No Hari Keterangan
1 1. Januari Kamis Tahun Baru Masehi
2 26
. Januari Senin Tahun Baru Imlek 2560
3. 9 Maret _ Senin Maulid Nabi Muhammad SAW
4. 26 Maret Kamis Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1931
5. 10 April Jum'at Wafat Yesus Kristus
6. 9 Mei Sabtu Hari Raya Waisak Tahun 2553
7 21
. Mei Kamis Kenaikan Yesus Kristus
8 20
. Juli Senin Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW
9. 17 Agustus Senin Hari Kemerdekaan RI
10. 21-22 September Senin-Selasa Idul Fitri 1 Syawal 1430 Hijriyah
11. 27 November Jum'at Idul Adha 1430 Hijriyah
12. 18 Desember Jum'at Tahun Baru 1431 Hijriyah
13. 25 Desember Jum'at Hari Raya Natal
B. CUTI BERSAMA TAHUN 2009

Tanggal Hari Keterangan


2 Januari Jum'at Cuti Bersama Tahun Baru Masehi
18 September Jum'at Cuti Bersama Idul Fitri
23 September Rabu Cuti Bersama Idul Fitri
24 Desember Kamis Cuti Bersama Natal

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juni 2008

I NEGARA
GUNAAN
NEGARA
KOMPILASI KETENTUAN PIDANA KETENAGAKERJAAN
(UU NO. 13/2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN,
UU NO. 3/1992 T ENTANG JAMSOSTEK, UU 21/2000 TENTANG SP/SB, UU 2/2004 TENTANG PPHI,
UU NO. 1/1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA & UU 7/1981 TENTANG WAJIB LAPOR
KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN


PASAL 183 – 189

Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.00 0.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1),
Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus ju ta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayata (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2),
Pasal 76 ayat (2), Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu)

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 1
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp, 10.000 .000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1),
Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak -hak dan/atau ganti kerugian kepada te naga kerja atau
pekerja/buruh.

NO. PASAL YANG DIKENAI ISI PASAL SANKSI PIDANA


KETENTUAN PIDANA
1. Pasal 14 ayat (2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima
wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. (lima puluh juta rupiah).

2. Pasal 35 ayat (2) dan (3) (2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dim aksud pada Pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
penempatan tenaga kerja sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rupiah).
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang
mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental
maupun fisik tenaga kerja.

3. Pasal 37 ayat (2) (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
ditunjuk rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

4. Pasal 38 ayat (2) (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga (lima puluh juta rupiah).
kerja golongan dan jabatan tertentu.

5. Pasal 42 ayat (1) & (2) (1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 2
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
kerja asing. ratus juta rupiah).
6. Pasal 44 ayat (1) (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

7. Pasal 45 ayat (1) (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja (seratus juta rupiah).
Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.

8. Pasal 63 ayat (1) (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
pekerja/buruh yang bersangkutan. (lima puluh juta rupiah).

9. Pasal 67 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
kecacatannya. paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

10. Pasal 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).

11. Pasal 69 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
a. izin tertulis dari orang tua atau wali; sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; ratus juta rupiah).
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 3
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

12. Pasal 71 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pada ayat (1) wajib memenuhi syarat: paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, (seratus juta rupiah).
mental, sosial, dan waktu sekolah.

13. Pasal 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
meliputi: juta rupiah).
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan,
atau moral anak.

(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan,


keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

14. Pasal 76 (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan (seratus juta rupiah).
dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan


antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00 wajib:
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 4
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi
pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja
antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan Keputusan Menteri.

15. Pasal 78 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
syarat: (lima puluh juta rupiah).
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam
dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

16. Pasal 78 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
lembur paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

17. Pasal 79 ayat (1) & (2) (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pekerja/buruh. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
meliputi: (seratus juta rupiah).
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam
setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu
istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang -kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan
dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1
(satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam)
tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 5
ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku
untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
18. Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
agamanya. sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).

19. Pasal 82 (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
(satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 paling lama 4 (empat) tahun dan/ata u denda paling
(satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dokter kandungan atau bidan. dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan ratus juta rupiah).
berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai
dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

20. Pasal 85 ayat (3) (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
wajib membayar upah kerja lembur. paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

21. Pasal 90 ayat (1) (1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).

22. Pasal 93 ayat (2) (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
pengusaha wajib membayar upah apabila: paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
a pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
b pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; rupiah).
c pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak
atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga
dalam satu rumah meninggal dunia;
d pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang
menjalan kan kewajiban terhadap negara;

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 6
e pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan
tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kes alahan
sendiri maupun halangan yg seharusnya dpt dihindari pengusaha;
g pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh
atas persetujuan pengusaha; dan
i pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

23. Pasal 108 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang- Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00
yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang (lima puluh juta rupiah).
ditunjuk.

24. Pasal 111 ayat (3) (3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).

25. Pasal 114 Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta Pidana denda paling sedikit Rp 5 .000.000,00 (lima
memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
pekerja/buruh. (lima puluh juta rupiah).

26. Pasal 143 (1) Siapapun tidak dapat menghalang -halangi pekerja/buruh dan serikat Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
dilakukan secara sah, tertib, dan damai. sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan ratus juta rupiah).
terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

27. Pasal 144 Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang: paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
lain dari luar perusahaan; atau rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun (seratus juta rupiah).
kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

28. Pasal 148 (1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 7
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat (lima puluh juta rupiah).
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan
perusahaan (lock out) dilaksanakan.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-


kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan
perusahaan (lock out); dan
b. alasan dan sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).

(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang
bersangkutan.

29. Pasal 160 ayat (4) & (7) (4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
(enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
mempekerjakan pekerja/buruh kembali. dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal
156 ayat (4).

30. Pasal 167 ayat (5) (5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling
program pensiun maka pengusaha wajib membe rikan kepada sedikit Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah)
pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 dan paling banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal juta rupiah).
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 8
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMSOSTEK
PASAL 29
Pasal 29
(1). Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2). Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir tela h memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan.
(3). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.

PASAL YANG DIKENAI ISI PASAL SANKSI PIDANA


NO. KETENTUAN PIDANA
1. Pasal 4 ayat (1) (1) Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud 1. Hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam)
dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga bulan atau denda setinggi -tingginya Rp.
kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
dengan ketentuan undang-undang ini.
2. Dalam hal pengulangan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir
telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan
selama-lamanya 8 (delapan) bulan.

3. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) adalah pelanggaran.
2. Pasal 10 ayat (1), (2), dan (1). Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa
(3) tenaga kerja kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan
Penyelenggaran dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam.

(2). Pengusaha wajib melaporkan kepada Kantor Departemen Tenaga


Kerja dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali idem
24 jam setelah tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan oleh dokter
yang merawatnya dinyatakan sembuh, cacad atau meninggal
dunia.

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 9
(3). Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertmpa
kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara sampai
memperoleh hak-haknya.

3. Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (1). Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya,
(4), dan (5) daftar upah beserta perubahan-perubahan dan daftar kecelakaan
kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri.

(2). Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), idem


pengusaha wajib menyampaikan data ketenagakerjaan dan data
perusahaan yangberhubungan dengan penyelenggaraan program
jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara.

(3). Apabila pengusaha dalam menyampaikan data seb agaimana


dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga
mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai
peserta program jaminan sosial tenaga kerja, maka pengusaha
wajib memberikan hak -hak tenaga kerja sesuai dengan ketentuan
Undang-und ang ini.

(4). Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana


dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga
mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan kepada tenaga
kerja, maka pengusaha wajib memenuhi kekurangan jaminan
tersebut.

(5). Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana


dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga
mengakibatkan kelebihan pembayaran jaminan, maka pengusaha
wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Badan
Penyelenggara.

4. Pasal 19 ayat (2) (2) Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan
sosial tenaga kerja disebabkan adanya pentahapan kepesertaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pengusaha wajib idem
memberikan JaminanKecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya
sesuai dengan Undang -undang ini.

5. Pasal 22 ayat (1) (1) Pengusaha wajib membayar iuran dan melakukan pemungutan
iuran yang menjadi kewajiban tenaga kerja melalui pemotongan
upah tenaga kerja serta membayarkan kepada Badan idem

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 10
Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

6. Pasal 26 Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2),


wajib membayar jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu tidak lebih idem
dari 1 (satu) bulan.

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/ SERIKAT BURUH


PASAL 43
Pasal 43
(1). Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(2). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

NO. PASAL YANG DIKENAI ISI P ASAL ANCAMAN SANKSI PIDANA


KETENTUAN PIDANA

1. Pasal 28 Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
pekerja/serikat buruh dengan cara : rupiah).

a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan


sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun ;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 11
buruh.

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI)
PASAL 122
Pasal 122
(1). Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90
ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling
sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2). Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

NO. PASAL YANG DIKENAI ISI PASAL ANCAMAN SANKSI PIDANA


KETENTUAN PIDANA
1. Pasal 12 ayat (1) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling
undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
diperlukan. rupiah).

2. Pasal 22 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan
undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan. idem
(2) --
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yan g diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

3. Pasal 47 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis
arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan
hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib
memberikannya, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan. idem
(2) --
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 12
4. Pasal 90 ayat (2) (2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan idem
kesaksiannya di bawah sumpah.

5. Pasal 91 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa
syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat yang diperlukan. idem
(2) --
(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA


PASAL 15
Pasal 15
(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal -pasal di atas diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan
(2) Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah)
(3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.

Penjelasan
Peraturan-peraturan turunan dari UU 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (dalam bentuk Peraturan maupun Keputusana Menteri Tenaga Kerja), ancaman
pidananya mengacu pada Pasal 15 ayat (2) dan (3) di atas.

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1981 TENTANG WAJIB LAPOR KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN


PASAL 10 - 11

Pasal 10

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 13
(1) Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal
13 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- .(satu juta rupiah).
(2) Dalam pengulangan pelanggaran untuk kedua kali atau lebih setelah putusan yang terakhir tidak dapat diubah lagi, maka pelanggaran tersebut hanya dijatuhkan
pidana kurungan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelanggaran.

Pasal 11

(1) Jika perbuatan sebagaitnana dimaksud dalarn Pasal 10 dilakukan oleh suatu persekutuan atau suatu badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana
dijatuhkan terhadap pengurus dari persekutuan atau pengurus badan hukum itu.
(2) Ketentuan ayat (1) berlaku pula terhadap persekutuan atau badan hukum lain yang bertindak sebagai pengurus dari suatu persekutuan atau badan hukum lain itu.
(3) Jika pengusaha atau pengurus perusahaan sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan ayat (2) berkedudukan di luar wilayah Indonesia, maka tuntutan pidana
dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap wakilnya di Indonesia.

NO. PASAL YANG DIKENAI ISI PASAL ANCAMAN SANKSI PIDANA


KETENTUAN PIDANA
1. Pasal 6 ayat (1) (1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam atau denda setinggi -tingginya Rp. 1.000.000,- (satu
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan juta rupiah).
kembali atau memindahkan perusahaan.

2. Pasal 7 ayat (1) (1) Setelah menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan setiap tahun
secara tertulis mengenai ketenaga kerjaan kepada Menteri atau Idem
pejabat yang ditunjuk.

3. Pasal 8 ayat (1) (1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada
Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum memind ahkan, Idem
menghentikan atau membubarkan perusahaan.

4. Pasal 13 (1). Perusahaan yang telah dilaporkan dan perusahaan yang belum
dikenakan wajib lapor berdasarkan Undang -undang Nomor 23
Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan
keadaan ketenaga kerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya
dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai berlakunya Undang-
Idem

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 14
undang ini.
(2). Perusahaan yang telah didirikan tetapi belum dilaporkan
berdasarkan Undang -undang Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha
atau pengurus wajib melaporkan keadaan ketenaga kerjaan di
perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 15
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm

Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan Go Back |


Tentang Kami |
Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan
Forum Diskusi |
Email: admin@legalitas.org FAQ | Web Mail

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 9 TAHUN 1998
TENTANG
KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahw a kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh
Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;
b. bahw a kemerdekaan setiap w arga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perw ujudan
demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
c. bahw a untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi
manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib dan damai;
d. bahw a hak menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jaw ab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. bahw a berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d, perlu dibentuk Undang-undang
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap w arga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan
sebagainya secara bebas dan bertanggung jaw ab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap
orang.
3. Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan,
dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
4. Paw ai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum.
5. Rapat umum adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu.
6. Mimbar bebas adalah kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.
7. Warga negara adalah w arga negara Republik Indonesia.
8. Polri adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 2
(1) Setiap w arga negara, secara perorangan atau kelompok menyampaikan pendapat sebagai perw ujudan hak dan tanggung jaw ab
berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3

1 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berlandaskan pada:


a. asas keseimbangan antara hak dan kew ajiban;
b. asas musyaw arah dan mufakat;
c. asas kepastian hukum dan keadilan;
d. asas proporsionalitas; dan
e. asas manfaat.

Pasal 4
Tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah:
a. mew ujudkan kebebasan yang bertanggung jaw ab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
b. mew ujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
c. mew ujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap w arga negara sebagai perw ujudan hak dan
tanggung jaw ab dalam kehidupan berdemokrasi;
d. menempatkan tanggung jaw ab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan
perorangan atau kelompok.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 5
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:
a. mengeluarkan pikiran secara bebas;
b. memperoleh perlindungan hukum.

Pasal 6
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkew ajiban dan bertanggung jaw ab untuk:
a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Pasal 7
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh w arga negara, aparatur pemerintah berkew ajiban dan bertanggung
jaw ab untuk:
a. melindungi hak asasi manusia;
b. menghargai asas legalitas;
c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan
d. menyelenggarakan pengamanan.

Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jaw ab untuk berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum dapat
berlangsung secara aman, tertib, dan damai.

BAB IV
BENTUK-BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

Pasal 9
(1) bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:
a. unjuk rasa atau demonstrasi;
b. paw ai;
c. rapat umum; dan atau
d. mimbar bebas.
(2) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum,
kecuali:
a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api,
terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional;
b. pada hari besar nasional.
(3) Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang membaw a benda-benda
yang dapat membahayakan keselamatan umum.

Pasal 10
(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 w ajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.
(2) pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau

2 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm

penanggung jaw ab kelompok.


(3) pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan
dimulai telah diterima oleh Polri setempat.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan
keagamaan.

Pasal 11
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat:
a. maksud dan tujuan;
b. tempat, lokasi, dan rute;
c. w aktu dan lama;
d. bentuk;
e. penanggung jaw ab;
f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau
h. jumlah peserta.

Pasal 12
(1) Penanggung jaw ab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 11 w ajib bertanggung jaw ab agar kegiatan
tersebut terlaksana secara aman, tertib dan damai.
(2) Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan paw ai harus ada seorang sampai dengan 5
(lima) orang penanggung jaw ab.

Pasal 13
(1) Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Polri w ajib:
a. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan;
b. berkoordinasi dengan penanggung jaw ab penyampaian pendapat di muka umum;
c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat;
d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
(2) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jaw ab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau
peserta penyampaian pendapat di muka umum.
(3) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jaw ab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin
keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Pasal 14
Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jaw ab
kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum w aktu pelaksanaan.

BAB V
SANKSI

Pasal 15
Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 dan Pasal 11.

Pasal 16
Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan
sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 17
Penanggung jaw ab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 Undang-undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu
per tiga) dari pidana pokok.

Pasal 18
(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak w arga negara untuk menyampaikan pendapat di
muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur khusus atau
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini.

3 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

AKBAR TANJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 181

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1998
TENTANG
KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

UMUM

Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi " "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan Undang-undang".
Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi:
"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai
pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara
apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas".
Perw ujudan kehendak w arga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainaya harus
tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan
atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan
penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan
masyarakat.
Dengan demikian, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jaw ab,
sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana tercantum dalam
Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang antara lain menetapkan sebagai berikut:
1. Setiap orang memiliki kew ajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh;
2. dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh
undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis;
3. hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dikaitkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya
hukum dan hak asasi manusia, pemerintah Republik Indonesia berkew ajiban mew ujudkannya dalam bentuk sikap politik yang aspiratif
terhadap keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan
hubungan antar bangsa, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan:
1. asas keseimbangan antara hak dan kew ajiban;
2. asas musyaw arah dan mufakat;
3. asas kepastian hukum dan keadilan;
4. asas proporsionalitas;
5. asas manfaat.
Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggung jaw ab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan
pendapat di muka umum.

4 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm

Berlandaskan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut maka pelaksanaannya diharapkan
dapat mencapai tujuan untuk:
1. mew ujudkan kebebasan yang bertanggung jaw ab sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
2. mew ujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
3. mew ujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap w arga negara sebagai perw ujudan hak dan
tanggung jaw ab dalam kehidupan berdemokrasi;
4. menempatkan tanggung jaw ab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan
perorangan atau kelompok.
Sejalan dengan tujuan tersebut di atas rambu-rambu hukum harus memiliki karakteristik otonom, responsif dan mengurangi atau
meninggalkan karakteristik yang represif.
Dengan berpegang teguh pada karakteristik tersebut, maka Undang-undang tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat Di Muka
Umum, merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat regulatif, sehingga di satu sisi dapat melindungi hak w arga
negara sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dan di sisi lain dapat mencegah tekanan-tekanan, baik fisik maupun psikis,
yang dapat mengurangi jiw a dan makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Undang-undang ini mengatur bentuk dan atau cara penyampaian pendapat di muka umum, dan tidak mengatur penyampaian
pendapat melalui media massa, baik cetak maupun elektronika dan hak mogok pekerja di lingkungan kerjanya.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyampaian pendapat di muka umum" adalah penyampaian pendapat secara lisan, tulisan, dan
sebagainya.
"Penyampaian pendapat secara lisan" antara lain: pidato, dialog, dan diskusi.
"Penyampaian pendapat secara tulisan" antara lain: petisi, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, dan spanduk.
Adapun yang dimaksud dengan "dan sebagainya" antara lain " sikap membisu dan mogok makan.

Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas proporsionalitas" adalah asas yang meletakkan segala kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan
kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh w arga negara, institusi, maupun aparatur pemerintah, yang dilandasi oleh etika
individual, etika sosial, dan etika institusional.
Huruf e
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mengeluarkan pikiran secara bebas" adalah mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak, atau
perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau pembatasan yang bertentangan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 Undang-undang ini.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "memperoleh perlindungan hukum" termasuk di dalamnya jaminan keamanan.

Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan "menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain" adalah ikut memelihara dan menjaga hak dan
kebebasan orang lain untuk hidup aman, tertib, dan damai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum" adalah mengindahkan norma agama, kesusilaan,
dan kesopanan dalam kehidupan masyarakat.

5 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm

Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum" adalah perbuatan yang dapat mencegah
timbulnya bahaya bagi ketenteraman dan keselamatan umum, baik yang menyangkut orang, barang maupun kesehatan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa" adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnya
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan dalam masyarakat.

Pasal 7
Yang dimaksud dengan "aparatur pemerintah" adalah aparatur pemerintah yang menyelenggarakan pengamanan.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "menyelenggarakan pengamanan" adalah segala daya upaya untuk menciptakan kondisi aman, tertib, dan
damai, termasuk mencegah timbulnya gangguan atau tekanan, baik fisik maupun psikis yang berasal dari mana pun juga.

Pasal 8
Yang dimaksud dengan "berperan serta secata bertanggung jaw ab" adalah hak masyarakat untuk memberi dan memperoleh
informasi atau konfirmasi kepada atau dari aparatur pemerintah agar terjamin keamanan dan ketertiban lingkungannya, tanpa
menghalangi terlaksananya penyampaian pendapat di muka umum.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengecualian "di lingkungan istana kepresidenan" adalah istana presiden dan istana w akil presiden
dengan radius 100 meter dari pagar luar.
Pengecualian untuk "instalasi militer" meliputi radius 150 meter dari pagar luar.
Pengecualian untuk "obyek-obyek vital nasional" meliputi radius 500 meter dari pagar luar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan hari-hari besar nasional adalah:
1. Tahun Baru;
2. Hari Raya Nyepi;
3. Hari Wafat Isa Almasih;
4. Isra Mi'raj;
5. Kenaikan Isa Almasih;
6. Hari Raya Waisak;
7. Hari Raya Idul Fitri;
8. Hari Raya Idul Adha;
9. Hari Maulid Nabi;
10. 1 Muharam;
11. Hari Natal;
12. 17 Agustus.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Polri setempat" adalah satuan Polri terdepan dimana kegiatan penyampaian pendapat akan dilakukan
apabila kegiatan dilaksanakan pada:
a. 1 (satu) kecamatan, pemberitahuan ditujukan kepada Polsek setempat;
b. 2 (dua) kecamatan atau lebih dalam lingkungan kabupaten/kotamadya, pemberitahuan ditujukan kepada Polres setempat;
c. 2 (dua) kabupaten/kotamadya atau lebih dalam 1 (satu) propinsi, pemberitahuan ditujukan kepada Polda setempat;
d. 2 (dua) propinsi atau lebih pemberitahuan ditujukan kepada Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ayat (4)

6 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm

Cukup jelas

Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tempat" dalam Pasal ini adalah tempat peserta berkumpul dan berangkat ke lokasi.
Yang dimaksud dengan "lokasi" dalam Pasal ini adalah tempat penyampaian pendapat di muka umum.
Yang dimaksud dengan "rute" dalam Pasal ini jalan yang dilalui oleh peserta penyampaian pendapat di muka umum dari tempat
berkumpul dan berangkat sampai di lokasi yang dituju dan atau sebaliknya.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "bentuk" adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
Huruf e
Penanggung jaw ab adalah orang yang memimpin dan atau menyelenggarakan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum
yang bertanggung jaw ab agar pelaksanaannya berlangsung dengan aman, tertib, dan damai.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Koordinasi antara Polri dengan penanggung jaw ab dimaksud untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengganggu
terlaksananya penyampaian pendapat di muka umum secara aman, tertib, dan damai, terutama penyelenggaraan pada malam
hari.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
kew ajiban dan tanggung jaw ab yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, b, d, dan e adalah kew ajiban dan tanggung jaw ab
sebagaimana telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16
Yang dimaksud dengan "sanksi hukum" adalah sanksi hukum pidana, sanksi hukum perdata, atau sanksi administrasi.
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah ketentuan peraturan perundang-undangan hukum
pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi.

Pasal 17
Yang dimaksud dengan "melakukan tindak pidana" dalam Pasal ini adalah termasuk perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Pasal 55
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

7 of 8 7/16/2008 2:55 PM
UU 9-1998 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+98&f=uu9-1998.htm

Pasal 20
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3789

Go Back | Tentang Kami | Forum Diskusi | Web Mail | Kontak Kami © Legalitas.Org

8 of 8 7/16/2008 2:55 PM
KEPPRES NO. 83 TH 1998

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NO. 83 TAHUN 1998

Tentang

PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 87


MENGENAI

KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK


UNTUK BERORGANISASI
(Lembaran Negara No. 98 tahun 1998)

Konperensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional,

Setelah disidangkan di San Fransisco oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan


Internasional, dan setelah mengadakan sidangnya yang ketiga puluh satu pada tanggal
17 Juni 1948,

Setelah memutuskan untuk menerima dalam bentuk Konvensi beberapa usul tertentu
tentang kebebasan untuk berserikat dan perlindungan atas hak untuk berorganisasi
yang menjadi agenda sidang butir ketujuh,

Menimbang bahwa Mukadimah Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional


menyatakan "pengakuan atas prinsip kebebasan berserikat" merupakan alat untuk
meningkatkan kondisi pekerja dan menciptakan ketenangan,

Menimbang bahwa Deklarasi Philadelphia mengukuhkan bahwa "kebebasan untuk


mengemukakan pendapat dan berserikat merupakan hal yang sangat penting untuk
mencapai kemajuan",

Menimbang bahwa Konperensi Perburuhan Internasional pada sidangnya yang ketiga


puluh sembilan, secara aklamasi menerima prinsip-prinsip yang merupakan dasar bagi
terbentuknya peraturan internasional,

Menimbang bahwa sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada sidangnya yang


kedua, mengajukan prinsip-prinsip tersebut dan meminta Organisasi Perburuhan
Internasional untuk terus mengupayakan agar prinsip-prinsip dimaksud memungkinkan
untuk dibuat menjadi satu atau beberapa Konvensi internasional,

Menerima pada tanggal 9 Juli 1948 Konvensi berikut yang disebut sebagai Konvensi
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi tahun 1948:

Bab I
Kebebasan Berserikat

Pasal 1

Setiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional untuk mana Konvensi ini berlaku harus
melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan berikut.

Pasal 2

Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, menurut
aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka
sendiri tanpa pengaruh pihak lain.

Pasal 3

1. Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk membuat anggaran dasar dan peraturan -
peraturan, secara bebas memilih wakil-wakilnya, mengelola administrasi dan aktifitas, dan
merumuskan program.
2. Penguasa yang berwenang harus mencegah adanya campur tangan yang dapat membatasi
hak-hak ini atau menghambat praktek-praktek hukum yang berlaku.

Pasal 4

Organisasi pekerja dan pengusaha tidak boleh dibubarkan atau dilarang kegiatannya oleh "penguasa
administratif".

Pasal 5

Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk mendirikan dan bergabung dengan federasi-federasi
dan konfederasi-konfederasi dan organisasi sejenis, dan setiap federasi atau konfederasi tersebut
berhak untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha internasional.

Pasal 6

Ketentuan-ketentuan Pasal 2, 3 dan 4 berlaku untuk federasi dan konfederasi organisasi-organisasi


pekerja dan pengusaha.

Pasal 7

"Akuisisi keabsahan" oleh organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha, federasi dan konfederasi
tidak boleh dilakukan untuk maksud tertentu sehingga membatasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan
Pasal 2, 3 dan 4.

Pasal 8

1. Dalam melaksanakan hak-haknya berdasarkan Konvensi ini para pekerja dan pengusaha
serta organisasi mereka, sebagaimana halnya perseorangan atau organisasi perkumpulan
lainnya, harus tunduk pada hukum nasional yang berlaku.

2. Hukum nasional yang berlaku tidak boleh memperlemah atau diterapkan untuk memperlemah
ketentuan-ketentuan yang dijamin dalam Konvensi.

Pasal 9

1. Ketentuan yang dijamin sebagaimana dinyatakan Konvensi yang diberlakukan untuk angkatan
bersenjata dan polisi harus diatur dengan hukum dan perundingan nasional.

2. Sesuai dengan prinsip yang tercantum dalam ayat 8 pasal 19 Konstitusi


Organisasi Perburuhan Internasional, ratifikasi Konvensi oleh Anggota tidak boleh
dianggap mempengaruhi hukum, penghargaan, kebiasaan atau kesepakatan yang ada
dengan mempertimbangkan bahwa anggota angkatan bersenjata atau polisi
dapat menggunakan haknya sebagaimana dijamin Konvensi.

Pasal 10

Dalam Konvensi ini yang dimaksud dengan "organisasi" adalah organisasi pekerja dan pengusaha
yang didirikan untuk melanjutkan dan membela kepentingan pekerja dan pengusaha.

Bab II
Perlindungan Hak Berorganisasi

Pasal 11

Setiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional untuk mana Konvensi ini berlaku harus
mengambil langkah-langkah yang perlu dan tepat untuk menjamin bahwa para pekerja dan
pengusaha dapat melaksanakan secara bebas hak-hak berorganisasi.
Bab III
Ketentuan Lain-lain

Pasal 12

1. Sehubungan dengan wilayah sebagaimana dimaksud pasal 35 Konstitusi Organisasi


Perburuhan Internasional sebagaimana diubah dengan Perangkat Amandemen Konstitusi
Organisasi Perburuhan Internasional, 1946, selain dari wilayah sebagaimana dimaksud ayat
4 dan 5 dari pasal perubahan tersebut, setiap Anggota organisasi yang
meratifikasi Konvensi ini harus menyampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor Organisasi
Perburuhan Internasional dengan atau segera setelah pernyataan ratifikasi
sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa :

(a). wilayah yang bersangkutan tunduk kepada ketentuan-ketentuan Konvensi


yang diberlakukan tanpa tambahan apapun;

(b). wilayah yang bersangkutan tunduk kepada ketentuan-ketentuan Konvensi dengan


perubahan-perubahan, dengan menyertakan perubahan tersebut secara rinci.

(c). wilayah yang bersangkutan tidak dapat menerapkan ketentuan Konvensi, dengan
menyertakan alasannya.

(d). wilayah yang bersangkutan memutuskan mempertimbangkan kembali.

2. Langkah-langkah sebagaimana dimaksud sub - ayat (a) dan (b), ayat 1 Pasal ini
harus dianggap bagian integral daripada ratifikasi dan mempunyai kekuatan hukum ratifikasi.

3. Setiap Anggota dapat sewaktu-waktu dengan pernyataan berikutnya menunda seluruh atau
sebagian pertimbangan yang dibuat melalui naskah asli pernyataan dengan memperhatikan
ketentuan sub-ayat (b), (c) atau (d) ayat 1 Pasal ini.

4. Setiap Anggota dapat, sewaktu-waktu mencabut ratifikasi Konvensi ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 16, dan menyampaikannya kepada Direktur Jenderal mengenai maksud
perubahan atas syarat-syarat perubahan terdahulu dan menyatakan pendirian
sekarang sehubungan dengan wilayah-wilayah tersebut.

Pasal 13

1. Bilamana hal-hal pokok Konvensi dilaksanakan dalam suatu wilayah non - metropolitan yang
mempunyai kekuasaan mandiri, maka Anggota yang bertanggung jawab atas hubungan
internasional wilayah yang bersangkutan dapat, dengan persetujuan pemerintah wilayah
yang bersangkutan, menyampaikan kepada Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan
Internasional pernyataan menerima kewajiban-kewajiban Konvensi ini atas nama wilayah
yang bersangkutan.

2. Pernyataan menerima kewajiban - kewajiban Konvensi ini dapat disampaikan kepada


Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional oleh -

(a). dua atau lebih Anggota organisasi sehubungan dengan wilayah yang berada dalam
kekuasaan gabungan ; atau

(b). penguasa internasional yang bertanggung jawab atas administrasi suatu


wilayah, dengan mengingat Piagam Perserikatan Bangsa - Bangsa atau sejenisnya,
sehubungan dengan wilayah tersebut.

3. Pernyataan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor Organisasi


Perburuhan Internasional sesuai dengan ayat-ayat terdahulu Pasal ini harus menyebutkan
apakah ketentuan-ketentuan Konvensi akan diterapkan di wilayah yang bersangkutan
tanpa perubahan atau dengan perubahan; bilamana pernyataan menyebutkan bahwa
ketentuan - ketentuan Konvensi akan diterapkan dengan perubahan, harus disebutkan
secara rinci perubahan-perubahan dimaksud.
4. Anggota, beberapa Anggota, atau penguasa internasional yang bersangkutan
dapat sewaktu-waktu dengan pernyataan berikutnya membatalkan seluruh atau sebagian
hak untuk memperbaiki suatu perubahan yang disebutkan pada pernyataan terdahulu.

5. Anggota, beberapa Anggota, atau penguasa internasional yang bersangkutan


dapat sewaktu-waktu, dimana ratifikasi Konvensi ini dapat dicabut sesuai dengan
ketentuan Pasal 16, menyampaikan kepada Direktur Jenderal mengenai maksud perubahan
atas syarat-syarat perubahan terdahulu dan menyatakan pendirian sekarang
sehubungan dengan wilayah-wilayah tersebut.

Bab IV
Ketentuan-Ketentuan Akhir

Pasal 14

Ratifikasi resmi Konvensi ini harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan
Internasional untuk didaftarkan.

Pasal 15

1. Konvensi ini mengikat hanya kepada Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang
ratifikasinya telah didaftarkan oleh Direktur Jenderal.

2. Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan sejak tanggal dimana ratifikasi oleh dua Anggota
Organisasi Perburuhan Internasional didaftarkan pada Direktur Jenderal.

3. Selanjutnya Konvensi ini akan mulai berlaku terhadap setiap Anggota setelah 12 bulan sejak
tanggal ratifikasi didaftarkan.

Pasal 16

1. Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini, setelah lewat waktu 10 tahun terhitung dari
tanggal Konvensi ini mulai berlaku, dapat membatalkannya dengan menyampaikan
suatu keterangan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional untuk
didaftarkan. Pembatalan demikian baru akan mulai berlaku satu tahun sesudah tanggal
pendaftarannya.

2. Tiap-tiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan tidak menggunakan hak
pembatalan menurut ketentuan pada ayat satu tersebut di atas dalam tahun berikutnya
setelah lewat sepuluh tahun seperti termaksud pada ayat di atas, akan terikat untuk
10 tahun lagi dan sesudah itu dapat membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya
tiap - tiap masa 10 tahun menurut ketentuan yang tercantum pada Pasal ini.

Pasal 17

1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus memberitahukan kepada segenap


Anggota Organisasi Perburuhan Internasional tentang pendaftaran semua ratifikasi,
keterangan dan pembatalan yang disampaikan kepadanya oleh Anggota Organisasi.

2. Pada waktu memberitahukan kepada Anggota Organisasi tentang pendaftaran dan ratifikasi
kedua yang disampaikan kepadanya, Direktur Jenderal harus memperingatkan Anggota
Organisasi tanggal mulai berlakunya Konvensi ini.

Pasal 18

Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan, sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa hal ikwal mengenai semua ratifikasi, keterangan dan pembatalan yang
didaftarkannya menurut ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas.
Pasal 19

Pada waktu berakhirnya tiap-tiap masa sepuluh tahun setelah mulai berlakunya Konvensi ini Badan
Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus menyerahkan laporan mengenai pelaksanaan
Konvensi ini kepada Konperensi Umum dan harus mempertimbangkan apakah soal perubahan
Konvensi ini seluruhnya atau sebagian perlu ditempatkan dalam Agenda Konperensi.

Pasal 20

1. Jika Konperensi menerima Konvensi baru yang mengubah sebagian atau seluruh Konvensi ini,
kecuali Konvensi baru menentukan lain, maka :

(a). dengan menyimpang dari ketentuan pasal 11, ratifikasi Konvensi baru oleh Anggota
berarti pembatalan Konvensi ini pada saat itu juga karena hukum, jika dan pada waktu
Konvensi baru itu mulai berlaku;

(b). mulai pada tanggal Konvensi berlaku, Konvensi ini tidak dapat diratifikasi lagi oleh
Anggota.

2. Bagaimana juga Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi yang asli bagi Anggota
yang telah meratifikasinya, tetapi belum meratifikasi Konvensi baru.

Pasal 21

Bunyi naskah Konvensi ini dalam bahasa Inggris dan Perancis kedua-duanya adalah resmi.
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENGA KERJA R.I
NO.PER-04/MEN/1994
TENTANG
TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN
BAGI PEKERJA DIPERUSAHAAN

MENTERI TENAGA KERJA R.I.

Menimbang: a.bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat


pemeluk agama yang setiap tahunnya merayakan, hari
raya keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing;

b.bahwa bagi pekerja untuk merayakan hari tersebut


memerlukan biaya tambahan ;

c.bahwa untuk merayakan hari Raya tersebut sudah


sewajarnya pengusaha memberikan Tunjangan Hari Raya
Keagamaan ;

d.bahwa untuk menciptakan ketenangan usaha, meningkatkan


kesejahteraan pekerja dan keseragaman mengenai
pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan perlu
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat: 1. Undang-Undang No.3 tahun 1951 tentang Pernyataan


berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia (Lembaran Negara tahun-1951 Nomor 4).
,

2. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja(Lembaran Negara
tahun 1969 No.55,Tambahan Lembaran Negara No.2912).

3. Keputusan Presiden RI No 96/M tahun 1993 tentang


Pembentukan Kabinet pembangunan VI.

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG TUNJANGAN


HARI RAYA KEAGAMAAN BAGI PEKERJA DI PERUSAHAAN.

Pasal 1
Dalam Peraturun Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menpekerjakan pekerja
dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak baik milik swasta
maupun milik Pemerintah

b. Pengusaha adalah :
1. Orang, Persekutuan atau Badan Hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri

2.Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri


sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia


mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka
2, yang berkedudukan di luar Indonesia.

c. Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja pada Pengusaha_dengan


menerima upah.

d. Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang selanjutnya disebut THR, adalah


pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada
pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa
uang atau bentuk lain.

e. Hari Raya Keagamaan adalah Hari Raya Iedul Fitri bagi pekerja yang
beragama Islam, Hari Raya Natal bagi pekerja yang beragama Kristen
Katholik dan Protestan, Hari Raya Nyepi bagi pekerja yang beragama
Hindu dan Hari Raya Waisak bagi pekerja yang beragama Budha.

Pasal 2

1. Pengusaha wajib memberikan T H R kepada pekerja yang telah


mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih.

2. T H R sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberikan satu kali


dalam satu tahun.

Pasal 3

1. Besarnya THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 ditetapkan


sebagai berikut:
a. pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus
menerus atau lebih sebesar 1(satu) bulan upah.
b. Pekerja yang mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus
tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan
masa kerja yakni dengan perhitungan masa kerja/12 x 1(satu) bulan
upah .

2. Upah satu bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah upah
pokok di tambah tunjangan-tunjangan tetap.

3. Dalam hal penetapan besarnya nilai THR menurut Kesepakatan Kerja


(KK), atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama
(KKB) atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai
THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka THR yang dibayarkan
kepada pekerja sesuai dengan Kesepakatan Kerja, Peraturan
Perusahaan, Kesepakatan Kerja Bersama atau kebiasaan yang telah
dilakukan.

Pasal 4

1. Pemberian THR sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2)


disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan, masing-masing pekerja
kecuali kesepakatan pengusaha dan pekerja menentukan lain.

2. Pembayaran THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib


dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sebelum Hari Raya Keagamaan.

Pasal 5

1. Dengan persetujuan pekerja, THR sebagaimana dimaksud dalam


pasal 3 sebagian dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali
minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan
ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima
persen) dari nilai THR yang seharusnya diterima.

2. Bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan


bersamaan dengan pembayaran THR.

Pasal 6

1. Pekerja yang putus hubungan kerjanya terhitung sejak waktu 30


(tiga puluh) hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan
berhak atas THR.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku


bagi pekerja dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu yang
hubungan kerjanya berakhir sebelum jatuh tempo Hari Raya
Keagamaan.

3. Dalam hal pekerja dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa


kerja berlanjut, maka pekerja berhak atas THR pada perusahaan
yang baru, apabila dari perusahaan yang lama, pekerja yang
bersangkutan belum mendapatkan THR.
Pasal 7

1. Pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu


membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai
besarnya jumlah THR kepada Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

2. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus


diajukan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya Keagamaan
yang terdekat.

3. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan


Ketenagakerjaan menetapkan besarnya jumlah THR, setelah
mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan.

Pasal 8

1. Bagi pengusaha yang melanggar ketentuan pasal 2 ayat (1) - dan


pasal 4 ayat (2), diancam dengan hukuman sesuai dengan
ketentuan pasal 17 Undang-Undang No.14 tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah


pe1anggaran.

Pasal 9

1. Pengawasan untuk ditaatinya peraturan ini dilakukan oleh


Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan,

2. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga


kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana (Lembaran
Negara tahun 1981 Nomor 76, Tambahan lembaran Negara Nomor
3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana pelanggaran
dalam peraturan ini.

Pasal 10

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri


Tenaga Kerja No.16 tahun 1968 tentang Tunjangan Hari Raya bagi
Buruh Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 11

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan

: J a k a r t a : 16 September 1994
PERMOHONAN IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING
(IMTA)
Baru Perpanjangan Pindah Jabatan

I. DATA PEMOHON IJIN UNTUK MEMPEKERJAKAN TKA :

1. Nama Perusahaan/Instansi :

2. Nama Pimpinan/Penanggung Jawab :

3. Alamat Perusahaan/ Instansi :

Nomor Telepon dan Fax :


e-Mail (harus diisi) :

4. Tempat kedudukan cabang :

5. Ijin Usaha : a. Dari :


b. Nomor :
c. Tanggal :

6. Jenis Lapangan Usaha : Kode Sektor Teknis

7. Jumlah Tenaga Kerja : a. Indonesia : orang


b. Tenaga Asing : orang

8. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja : Sudah disahkan Belum disahkan

a. nomor SK Pengesahan :

b. Tahun berlaku :

II. DATA TENAGA KERJA ASING YANG AKAN DIPEKERJAKAN :

1. N a m a :

2. Alamat di Luar Negeri :

3. Alamat di Indonesia :

4. Kewarganegaraan :

5. Nomor Paspor :
Tanggal Berlaku :
6. Tempat Lahir :
Tanggal Lahir : Jenis Kelamin: L / P

7. Status Perkawinan : Kawin Belum Kawin

8. Pendidikan Tertinggi *) :

9. Pengalaman Kerja *) : a.

b.

c.

d.

10. Surat Keterangan Bukti Telex :

- Nomor :

- Tanggal :

11. Surat Ijin Masuk/Tinggal yang dimiliki :

a. Visa - Jenis :

- Nomor :

- Tanggal Dikeluarkan :

- Masa Berlaku :

b. Kartu Ijin Masuk (KIM) :

- Nomor :

- Tanggal Dikeluarkan :

- Masa Berlaku :

c. Surat Tanda Melapor Diri (STMD) :

- Nomor :

- Tanggal Dikeluarkan :

- Masa Berlaku :
d. Surat Kartu Kependudukan :

- Nomor :

- Tanggal Dikeluarkan :

- Masa Berlaku :

III. JABATAN YANG AKAN DIISI OLEH TENAGA KERJA ASING :

1. Nama Jabatan :

Level Jabatan : Pimpinan/Manajer , Profesional , Supervisor , Teknisi Operator

2. Uraian Jabatan (tugas, tanggung :


jawab, dan wewenang )

3. Persyaratan tertentu untuk mengisi jabatan tersebut :

a. Pendidikan :

b. Pengalaman Kerja :

4. Lokasi Penempatan di

a. Propinsi Pertama :

- Kabupaten / Kota Pertama :

- Kabupaten / Kota Kedua :

b. Propinsi Kedua :

- Kabupaten / Kota Pertama :

- Kabupaten / Kota Kedua :

c. Seluruh INDONESIA :
IV. KONDISI KERJA

1. Perjanjian kerja berlaku tanggal :

2. Fasilitas dan gaji yang diberikan

a. Perumahan : Dapat , Tidak Dapat

b. Kendaraan : Dapat , Tidak Dapat

c. Gaji per bulan : US$

V. KETERANGAN LAIN YANG DIPANDANG PERLU :

Permohonan TA – 02 harus melampirkan IKTA lama

Demikianlah permohonan ini kami isi dengan sesungguhnya dan kami bertanggungjawab akan
kebenarannya,

.............................................................

Pemohon,

Tanda tangan dan nama terang


penanggung jawab diatas materai Rp
6.000,-

*) Lampirkan copy ijazah terakhir/tanda bukti lain yang sah


Lampiran : I
DAFTAR ISIAN
RENCANA PENGGUNAAN TENAGA KERJA DALAM RANGKA PENGGUNAAN
TENAGA KERJA WARGA NEGARA ASING PENDATANG

R.P.T.K.A

1 Nama Perusahaan/Proyek : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

2 Alamat di Indonesia : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………


a. Kantor Pusat : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………
b. Kantor Cabang : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………
c. Nomor Telepon : ………………………………………………………… Fax : ..………………………….…………………………………
d. E-Mail (harus diisi ) : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

3 Nama Pimpinan : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

4 Lokasi Kegiatan/Produksi *) : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

5 Jenis Usaha/Hasil Usaha : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

6 Nomor SIUP : ……………………………………………………...… Tanggal : ..………………………...……………………….….

7 Status Badan Usaha : PMA/PMDN/PROYEK/LEMBAGA/YAYASAN/PERUSAHAAN SWASTA NASIONAL/ASING **)

8 Instansi Pemberi Ijin Usaha : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

*) Lokasi sampai Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota)


**) Coret yang tidak perlu
Lampiran : II
RENCANA PENGGUNAAN TENAGA KERJA
WARGA NEGARA ASING PENDATANG

NO JABATAN/JENIS PEKERJAAN JUMLAH JANGKA WAKTU PENGGUNAAN MULAI KETERANGAN


TKWNAP DIPEKERJAKAN

1 2 3 4 5 6

CATATAN : Lampiran Struktur Organisasi


Lampiran : III
RENCANA PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA
SEBAGAI PENDAMPING TKWNAP

NO NAMA JABATAN JUMLAH JUMLAH TKI SEBAGAI PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN TKI KETERANGAN
TKA PENDAMPING TKA PENDIDIKAN PENGALAMAN KERJA

1 2 3 4 5 6 7
Lampiran IV
URAIAN SINGKAT PEKERJAAN DAN PERSYARATAN MINIMUM
JABATAN TENAGA KERJA NEGARA ASING PENDATANG

PERSYARATAN MINIMUM
NO NAMA JABATAN URAIAN SINGKAT PEKERJAAN/JABATAN PENDIDIKAN PENGALAMAN KERJA
1 2 3 4 5
Lampiran : V
PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA KERJA INDONESIA
YANG DIPERSIAPKAN UNTUK PENGGANTIAN TENAGA KERJA ASING

NAMA JABATAN YANG PENDIDIKAN DAN TKI YANG AKAN DILATIH PELAKSANAAN RENCANA
NO YANG DIDUDUKI PELATIHAN YANG (SEBAGAI PENGGANTI) DIKLAT PENEMPATAN KETERANGAN
TKA YANG AKAN DILAKSANAKAN NAMA JABATAN DALAM LUAR (MULAI
DIGANTIKAN JENIS LAMANYA SEKARANG PERUSAHAAN PERUSAHAAN PENGGANTIAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

*) Kalau dilkat
dilaksanakan
di luar perusa-
haan harap
disebutkan
Lembaga Diklat
dan alamatnya.

Jakarta,
Pimpinan
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1990

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS


OF THE CHILD
(KONVENSI TENTANG HAK-HAK ANAK)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional karena
itu pembinaan dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi
secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara;
b. bahwa pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan untuk
mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang
tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerjsama internasional;
c. bahwa di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990, Pemerintah
Republik Indonesia telah menandatangani Convention on The Rights of The Child
(Konvensi tentang Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989);
d. bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut pada huruf c, sudah tercakup di
dalam peraturan perundang-undangan nasional mengenai anak;
e. bahwa sehubungan dengan itu, dan sesuai dengan amanat Presiden Republik Indonesia
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus
1960 tentang Pembuatan Perjanjian dengan Negara Lain, dipandang perlu mengesahkan
konvensi tersebut danga n Keputusan Presiden;

Mengingat :

Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGESAHAN


CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD (KONVENSI TENTANG HAK-HAK
ANAK).

Pasal 1

Mengesahkan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) yang
telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia di New York, Amerika Serikat,
pada tanggal 26 Januari 1990, sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989 dengan pernyataan (declaration), yang
salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris sebagaimana terlampir pada Keputusan Presiden
ini.
Pasal 2

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Agustus 1960
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Agustus 1990

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 1990 NOMOR 57
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

Kepada yth :
Kepala Dinas yang Bertanggung jawab Jakarta, 26 Pebruari 2002.
Di bidang ketenagakerjaan
Di Propinsi dan Kabupaten/Kota
Di -
Seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
Nomor : 01.KP.01.15.2002

TENTANG

PENEMPATAN TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT


DI PERUSAHAAN

Berdasarkan pasal 14 Undang – undang No. 04 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah
No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, dinyatakan bahwa
Perusahaan Wajib memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama untuk mempekerjakan penyandang cacat di
perusahaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya. Jumlah tenaga kerja
penyandang cacat disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan, sekurang-kurangnya 1
(satu) orang tenaga kerja penyandang cacat untuk setiap 100 (seratus ) orang yang dipekerjakan.

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut perusahaan dapat dikenakan sanksi pidana kurungan selama – lamanya 6
(enam) bulan dan atau pidana denda setinggi – tingginya Rp. 200.000.000, - (dua ratus juta rupiah ).

Sehubungan dengan hal tersebut kami agar Saudara dapat melaksanakan hal – hal sebagai berikut :

1. Melakukan sosialisasi Undang – undang No 04 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun
1998 sebagai upaya penempatan tenaga kerja penyandang cacat di perusahaan – perusahaan.
2. Melakukan pendataan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat secara berkala
setiap 3 (tiga) bulan sekali.
3. Melaporkan hasil pendataan perusahaan yang telah mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang cacat
kepada Menteri tenaga erja dan Transmigrasi cq. Direktorat Jenderal Binalatpendagri termasuk
realisasi pelaksanaan Undang – undang No. 04 Tahun 1997.

Demikian, atas perhatian Saudara disampaikan terima kasih.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia

ttd

Jacob Nuwa Wea.

Tembusan

1. Gubernur Seluruh Indonesia


2. Bupati/Walikota Seluruh Indonesia
3. DPP APINDO di Jakarta
4. Orsos Panca
5. Arsip.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 04 TAHUN 1997

TENTANG

PENYANDANG CACAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan


masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar
1945, penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga
memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama;
b. Bahwa penyandang cacat secara kualitas cenderung meningkat dan, oleh karena
itu, perlu semakin diupayakan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang
cacat;
c. Bahwa dalam rangka terwujudnya kesamaan kedudukan, hak, kewajiban, dan
peran sebagaimana tersebut diatas, dipandang perlu memberikan landasan hukum
bagi upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat di segala aspek
kehidupan dan penghidupan dalam suatu Undang-Undang.

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENYANDANG CACAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :


1. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental,
yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri dari :
a. Penyandang cacat fisik;
b. Penyandang cacat mental;
c. Penyandang cacat fisik dan mental;
2. Derajat kecacatan adalah tingkat berat ringannya keadaan cacat yang disandang
seseorang.
3. Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang
cacat untuk mendapat kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.
4. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
5. Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan
penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.
6. Bantuan sosial adalah upaya pemberian bantuan kepada penyandang cacat yang tidak
mampu bersifat tidak tetap, agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan
sosialnya.
7. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial adalah upaya perlindungan dan pelayanan yang
bersifat terus menerus, agar penyandang cacat dapat mewujudkan taraf hidup yang
wajar.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2

Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan Pancasila dan


Undang – Undang Dasar 1945.

Pasal 3

Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, manfaat , kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian
dan keselarasan dalam perikehidupan, hukum, kemandirian, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Pasal 4

Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diselenggarakan melalui pemberdayaan


penyandang cacat bertujuan terwjudnya kemandirian dan kesejahteraan.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 5

Setiap peyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan.

Pasal 6

Setiap penyandang cacat berhak memperoleh :


1. Pendidikan pada semua satuan,jalur,jenis,dan jenjang pendidikan ;
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan,pendidikan ,dan kemampuannya;
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-
hasilnya ;
4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya ;
5. Rehabilitas, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial ; dan
6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat,kemampuan,dan kehidupan
sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat.

Pasal 7

(1) Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuikan dengan
jenis dan derajat kecacatan,pendidikan, dan kemampuannya.

Pasal 8

Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak


penyandang cacat.

BAB IV
KESAMAAN KESEMPATAN

Pasal 9

Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan.
Pasal 10

(1) Kesamaan kesempatan bagi peyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.
(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan
yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.
(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Pasal 11

Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan


pada satuan, jalur , jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.

Pasal 12

Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
peyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan,jalur,jenis, dan jenjang pendidikan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.

Pasal 13

Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan


sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 14

Perusahaan Negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
peyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai denga
jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya , yang jumlahnya disesuikan
dengan jumlah karyawan dan / atau kualifikasi perusahaan.

Pasal 15

Ketentuan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
UPAYA

Pasal 16
Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya :
1 Rehabilitas ;
2 Bantuan social ;
3 Pemeliharaan taraf kesejahteraan social.

Pasal 17

Rehabilitas diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan


fisik,mental,dan social penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar sesuai dengan bakat,kemampuan,pendidikan,dan pengalaman.

Pasal 18

(1) Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas yang diselengarakan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat.

(2) Rehabilitasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi, medic,
pendidikan , pelatihan , dan social.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Bantuan social diarahkan untuk membantu peyandang cacat agar dapat berusaha
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.

Pasal 20

(1) Bantuan social sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 diberikan kepada :


a Penyandang cacat yang tidak mampu, sudah direhabilitasi,dan belum bekerja;
b Penyandang cacat yang tidak mampu,belum direhabilitasi,memiliki ketrampilan,
dan belum bekerja.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, jumlah,tata cara, dan pelaksanaan pemberian bantuan
social sebagaimana di maksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 21

Pemeliharaan taraf kesejahteraan social diarahkan pada pemberian perlindungan dan


pelayanan agar penyandang cacat dapat memelihara taraf hidup yang wajar.

Pasal 22

(1) Pemeliharaan taraf kesejahteraan social sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21


diberikan kepada penyandang cacat yang derajat kecacatnnya tidak dapat direhabilitasi
dan kehidupnnya bergantung pada bantuan orang lain.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, tata cara, dan syarat-syarat pemeliharaan taraf
kesejahteraan social sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PEMBINAAN DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 23

(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan


kesejahteraan social penyandang cacat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)mencakup segala aspek kehidupan dan
penghidupan.

Pasal 24

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sosial


penyandang cacat melalui penetapan kebijakan, koordinasi, penyuluhan, bimbingan, bantuan,
perijinan, dan pengawasan.

Pasal 25

(1) Masyarakat melakukan pembinaan melalui berbagai kegiatan dalam upaya peningkatan
kesejahteraan social penyandang cacat.
(2) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat.

Pasal 26

Ketentuan mengenai pembinaan dan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 dan Pasal 25 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
.
Pasal 27

(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada perusahaan yang mempekerjakan


penyandang cacat.
(2) Penghargaan diberikan juga kepada lembaga,masyarakat,dan/atau perseorangan yang
berjasa dalam upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat.
(3) Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21

Sarana dan prasarana umum yang telah ada dan belum dilengkapi dengan aksesibilitas, wajib
dilengkapi dengan aksesibilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

(1) Pengawasan dan pengendalian penyediaan aksesibilitas dilaksanakan oleh dan menjadi
tanggung jawab dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
(2) Pengawasan dan pengendalian penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

Bagian Ketiga
Kesamaan Kesempatan Dalam Pendidikan

Pasal 23

Setiap penyandang cacat memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama untuk memperoleh
pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 24
(1) Setiap penyelenggara satuan pendidikan bertanggung jawab atas pemberian
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada peyandang cacat untuk memperoleh
pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama
dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan.

Pasal 25

(1) Penyandang cacat yang karena jenis dan derajat kecacatannya tidak dapat mengikuti
pendidikan yang diselenggarakan untuk peserta didik pada umumnya, diberikan
pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang meyandang cacat.
(2) Pelaksanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Kesamaan Kesempatan Dalam Ketenagakerjaan
Paragraf Kesatu
Tenaga Kerja Peyandang Cacat

Pasal 26

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama kepada tenaga kerja penyandang
cacact yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk memperoleh
pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 27

Pengusaha wajib memberikan perlakuan yang sama kepada pekerja penyandang cacat.
Pasal 28
Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1(satu) orang penyandang cacat yang
memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaannya

Pasal 29

(1) Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1(satu) orang penyandang cacat


yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada
perusahaannya.bagi yang memiliki pekerja kurang dari 100 (seratus) orang tetapi usaha
yang dilakukannya menggunakan teknologi tinggi.
(2) Penggunaan teknologi tinggi dalam usaha dan jumlah rasio pekerja sebagian dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di
bidang perindustrian.

Pasal 30

(1) Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan bagi penyandang cacat ditetapkan dengan
memperhatikan factor :
a Jenis dan derajat kecepatan;
b pendidikan
c Keterampilan dan/atau keahlian;
d Kesehatan;
e Formasi yang tersedia;
f Jenis atau bidang usaha;
g Factor lain.
(2) Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan bagi peyandang cacat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.

Pasal 31

Setiap pekerja penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf Kedua
Iklim Usaha

Pasal 32

(1) Pemerintah menumbuhkan iklim usaha bagi penyandang cacat yang mempunyai
keterampilan dan /atau keahlian untuk melakukan usaha sendiri atau melalui kelompok
usaha bersama.
(2) Penumbuhan iklim usaha bagi penyandang cacat oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 33
Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam menumbuhkan iklim usaha
bagi penyandang cacat.

Pasal 34

(1) Dalam rangka mewujudkan iklim usaha bagi penyandang cacat, kepada penyandang
cacat yang mempunyai keterampilan dan/atau keahlian yang melakukan usaha sendiri
atau melalui kelompok usaha bersama dapat diberikan bantuan oleh Menteri.
(2) Bantuan bagi penyandang cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk :
a Permodalan;
b Fasilitas usaha;
c Jasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan pemberian bantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri .

BAB III
REHABILITASI
Bagian Pertama
Umum

Pasal 35

Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik


mental dan social penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
sesuai denganbakat, kemampuan, pendidikan, dan pengalaman.

Pasal 36

Rehabilitasi bagi penyandang cacat meliputi rehabilitasi medic,pendidikan, pelatihan,dan


sosial.

Pasal 37

(1) Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan oleh


Pemerintah dan / atau masyarakat.
(2) Pendirian fasilitasi rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 38

(1) Penyelenggaraan rehabilitasi yang dilaksanakan secara terpadu dalam satu atap oleh
masyarakat hanya dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan,tata cara perizinan,dan pelaksanaan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri setelah mendapat
persetujuan dari Menteri lain terkait sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya masing-
masing.

Pasal 39

(1) Terhadap penyandang cacat yang tidak mampu dapat memperoleh keringanan
pembiyaan rehabilitasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Persyaratan ketidakmampuan seorang penyandang cacat ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 40

(1) Pelaksanaan rehabilitasi yang diperuntukan bagi anggota atau yang dipersamakan
dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan mengenai rehabilitasi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.
(2) Ketentuan teknis pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri yang bertanggung di bidang Pertahanan dan Keamanan.

Bagian Kedua
Rehabilitasi Medik

Pasal 41

Rehabilitasi medic dimaksudkan agar penyandang cacat dapat mencapai kemampuan


fungsional secara maksimal.
Pasal 42

Rehabilitasi madik melakukan dengan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui
tindakan medic yang berupa pelayanan:
a Dokter ;
b Psikologi ;
c Fisioterapi ;
d Okopasi terapi ;
e Terapi wicara ;
f Pemberian alat bantu atau alat pengganti ;
g Sosial medis ;
h Pelayanan medis lainnya ;

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi medic bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Rehabilitasi Pendidikan

Pasal 44

Rehabilitasi pendidikan dimaksud agar penyandang cacat dapat mengikuti pendidikan secara
optimal sesuai dengan bakat,minat,dan kemampuannya.

Pasal 45

Rehabilitasi pendidikan dilakukan dengan pemberian pelayanan pendidikan secara utuh dan
terpadu melalui proses belajar mengajar.

Pasal 46

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi pendidikan bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Bagian Keempat
Rehabilitasi Pelatihan

Pasal 47

Rehabilitasi pelatihan dimaksud agar penyandang cacat dapat memiliki keterampilan kerja
sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Pasal 48

Rehabilitasi pelatihan dilakukan dengan pemberian pelayanan secara utuh dan terpadu
melalui kegiatan yang berupa :
a Asesmen pelatihan;
b Bimbingan dan penyuluhan jabatan;
c Latihan keterampilan dan pemagangan;
d Penempatan;
e Pembinaan lanjut.
Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi pelatihan bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Rehabilitasi Sosial

Pasal 50

Rehabilitasi social dimaksud untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan dan


kemampuan penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal
dalam hidup bermasyarakat.

Pasal 51
Rehabilitasi sosial dilakukan dengan pemberian pelayanan sosial secara utuh dan terpadu
melalui kegiatan pendekatan fisik,mental dan sosial yang berupa :
a Motivasi dan diagnosapsikososial ;
b Bimbingan mental;
c Bimbingan fisik;
d Bimbingan social;
e Bimbingan keterampilan;
f Terapi penunjang;
g Bimbingan resosialisasi;
h Bimbingan dan pembinaan usaha;
i Bimbingan lanjut.

Pasal 52

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi social bagi penyandang cacat diatur
oleh Menteri.

BAB IV
BANTUAN SOSIAL

Pasal 53

Bantuan social diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berusaha
meningkatkan taraf kesejahteraan sosianya.

Pasal 54
Bantuan social bagi penyandang cacat bertujuan untuk :
a Memenuhi kebutuhan hidup dasar penyandang cacat;
b Mengembangkan usaha dalam rangka kemandirian penyandang cacat;
c Mendapatkan kemudahan dalam memperoleh kesempatan berusaha.

Pasal 55

Bantuan social diberikan kepada:


a Penyandang cacat yang tidak mampu, sudah direhabilitasi,dan belum bekerja;
b Penyandang cacat yang tidak mampu,belum direhabilitasi,memiliki keterampilandan
belum bekerja.

Pasal 56

Bantuan social diberikan dalam bentuk :


a Materiil;
b Financial;
c Fasilitas pelayanan;
d Informasi.

Pasal 57

(1) Pemberian bantuan social dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 oleh
Menteri. Sifatnya tidak tetap dan dilaksanakan sesuai dengan arah dan tujuan bantuan
social.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian bantuan social sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

BAB V
PEMELIHARAAN TARAF KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pasal 58

Pemeliharaan taraf kesejahteraan social diarahkan pada pemberian perlindungan dan


pelayanan agar menyandang cacat dapat memperoleh taraf hidup yang wajar.

Pasal 59

Pemeliharaan taraf kesejahteraan social diberikan kepada penyandang cacat yang derajat
kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya secara mutlak tergantung pada
bantuan orang lain.

Pasal 60

(1) Perlindungan dan pelayanan dalam rangka pemeliharaan taraf kesejahteraan social
diberikan dalam bentuk materiil,finansialdan pelayanan.
(2) Perlindungan dan pelayanan dalam rangka pemeliharaan taraf kesejahteraan social
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui keluarga pengganti dan
panti social yang merawat penyandang cacat yang bersangkutan.

Pasal 61

(1) Pemberian perlindungan dan pelayanan dalam bentuk materiil,financial dan pelayanan
dilaksanakan oleh Menteri.
(2) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada panti social
yang diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perlindungan dan pelayanan
dalam bentuk materiil dan financial diatur oleh Menteri.

Pasal 62

(1) Menteri melakukan pembinaan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial penyandang


cacat.
(2) Bimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a Penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan di bidang
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat;
b Bimbingan dan penyuluhan kepada keluarga atau keluarga pengganti dan panti
social yang merawat penyandang cacat tentang pemeliharaan taraf kesejahteraan
social.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial penyandang
cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

BAB VI
PERAN MASYARAKAT

Pasal 63

Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya


peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat.

Pasal 64

Peran masayarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat


bertujuan untuk mendayagunakan kemampuan yang ada pada masyarakat guna mewujudkan
kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.
Pasal 65

Peran masyarakat dapat dilakukan oleh perorangan kelompok,badan hukum atau usaha, dan
lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang social.

Pasal 66

Peran masyarakat dilakukan melalui :


a Pemberian saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka penyusunan
peraturan perundang-undangan dan kebijkan di bidang kesejahteraan social
penyandang cacat;
b Pengadaan aksesibilitas bagi peyandang cacat;
c Pendirian fasilitas dan penyelenggaraan rehabilitas penyandang cacat ;
d Pengadaan dan pemberian bantuan Negara ahli atau sosial untuk melaksanakan atau
membantu melaksanakan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat;
e Pemberian bantuan yang berupa materiil, financial,dan pelayanan bagi penyandang
cacat;
f Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang cacat di segala
aspek kehidupan dan penghidupan;
g Pengadaan lapangan pekerjaan bagi penyandang cacat;
h Pengadaan sarana dan prasarana bagi penyandang cacat;
i Kegiatan lain dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.

Pasal 67

(1) Peran masyarakat dapat bersifat wajib atau sukarela.


(2) Peran masyarakat yang bersifat wajib dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 68

(1) Menteri menyebarluaskan informasi mengenai peran masyarakat dalam rangka upaya
peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyebarluasan informasi sebagaimna
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 69

Peran masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat


dilaksanakan dengan berpedoman kepada kebijaksanaan Pemerintah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII
KOORDINASI

Pasal 70

Dalam rangka pelaksanaan dan pengendalian upaya peningkatan kesehjateraan sosial


penyandang cacat dibentuk lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan kesejahteraan
social penyandang cacat.

Pasal 71

Lembaga koordinasi dan pengendalian upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang


cacat sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 merupakan lembaga yang bersifat non
struktural yang dipimpin oleh Menteri yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur
Pemerintah, pengusaha, tenaga ahli, tokoh masyarakat, dan organisasi yang bergerak di
bidang sosial.
Pasal 72

Lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat


bertugas menyusun kebijaksanaan dan program pelaksanaan, pemantauan,evaluasi,serta
pengendalian umum terhadap pelaksanaan upaya peningkatan kesehjateraan sosial.

Pasal 73

Rincian tugas,fungsi,susunan organisasi,keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi dan


pengendalian peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat sebagaimana di maksud
dalam Pasal 70, pasal 71, dan Pasal 72 ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan

Pasal 74

Pemerintah dan masyarakat melakukan pembinaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial


penyandang cacat.

Pasal 75

Pembinaan upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat oleh Pemerintah


dilaksanakan melalui :
a Penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan;
b Penyuluhan;
c Bimbingan;
d Pemberian bantuan;
e Perizinan.

Pasal 76

Pembinaan melalui penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf a dilaksanakan dengan menyusun dan
memetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Pasal 77

Pembinaan melalui penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf b dilakukan


untuk :
a Menumbuhkan rasa kepedulian masyarakat terhadap penyandang cacat;
b Memberikan penerangan berkenan dengan pelaksanaan upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat;
c Meningkatkan peran para penyandang cacat dalam pembangunan nasional.

Pasal 78

Pembinaan melalui bimbingan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 huruf c dilakukan


untuk :
a Meningkatkan kualitas penyelenggaraan upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat;
b Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan penyandang cacat secara optimal.

Pasal 79

Pembinaan melalui pemberian bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf d


dilakukan untuk;
a Membantu penyandang cacat agar dapat berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan
sosialnya;
b Membantu penyandang cacat agar dapat memelihara taraf hidup yang wajar.

Pasal 80

Pembinaan melalui perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf c dilakukan


dengan :
a Penetapan peraturan perundang-undangan yang mempersyaratan pengadaan
aksesibilitas bagi penyandang cacat dalam pemberian ijin untuk mendirikan bangunan
atau ijin lainnya;
b Memberikan kemudahan dalam memperoleh perizinan dalam menyelenggarakan
rehabilitas bagi penyandang cacat.

Pasal 81

(1) Pembinaan upaya peningkatan kesejahteraan social oleh masyarakat dilaksanakan


melalui kegiatan-kegiatan dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang
cacat.
(2) Pembinaan sebagiamana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pimpinan atau
penyelanggara kegiatan dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang
cacat terhadap unit kerja pelaksana kegiatan yang kegiatan dalam upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat terhadap unit kerja pelaksana kegiatan yang
bersangkutan agar berdaya guna dan berhasil guna.

Pasal 82

(1) Dalam rangka pembinaan,Menteri dapat melakukan kerja sama dengan badan atau
lembaga internasionaldan/atau instansi Pemerintah asing berkenan dengan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.

Pasal 83

(1) Dalam rangka pembinaan,Menteri dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat


yang telah berjasa dalam mewujudkan upaya peningkatan kesejahteraan social
penyandang cacat.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat berupa :
a Piagam atau sertifikat;
b Lencana atau medali kepedulian;
c Tropy atau miniatur kemanusian;
d Insentif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara pemberian penghargaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri :

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 84

Pemerintah melakukan pengawasan pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan social


penyandang cacat.

Pasal 85

Pengawasan upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat dilaksanakan sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 86

Segala ketentuan yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan social bagi penyandang cacat
yang berupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1980 tentang
Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat, sepanjang tidak bertentangan dan belum
di ganti/ diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 87

Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 36


Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan social Bagi Penderita Cacat (Lembaga Negara
Tahun 1980 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3179) dinyatakan tidak berlaku
lagi.

Pasal 88

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
mengetahuinya,memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 1998

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Maret 1998

MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA

ttd

SAADILLAH MURSJID

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 70

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET R.I
Kepala Biro Hukum
Dan Perundang - undangan

ttd

Lambock V. Nahatands

Salinan sesuai dengan salinan aslinya


DEPARTEMEN SOSIAL RI
Kepala Biro Hukum,

Sri Kusniati, SH,


NIP. 170005272
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 1998

TENTANG

PENJELASAN
ATAS

UPAYA PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UMUM.

Dalam pembangunan nasional penyandang cacat mempunyai kedudukan hak, kewajiban, dan peran yang
sama dengan warga Negara Indonesia lainnya. Oleh karena itu peran penyandang cacat dalam pembangunan
nasional perlu untuk lebih ditingkatkan serta didayagunakan seoptimal mungkin.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat yang diundangkan pada tanggal 28 Februari
1997 merupakan suatu bentuk upaya dari Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat untuk meningkatkan
peran penyandang cacat dalam pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat tersebut menitik beratkan kepada upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang
cacat di segala aspek kehidupan dan penghidupan guna mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban,
dan peran penyandang cacat.

Untuk melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Undang-undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mengamanatkan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai
peraturan pelaksanaan dari undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Sehubungan dengan hal tersebut. Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan kejelasan serta
menjabarkan secara utuh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tersebut berkenaan dengan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat agar pelaksanaannya dapat memberikan hasil yang
optimal sehingga dapat terwujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat.

Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
meliputi kesamaan kesempatan, rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial yang dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab bersama dari Pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan penyandang cacat sendiri.

Kesamaan kesempatan diwujudkan melalui penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat baik yang
berbentuk fisik maupun yang berbentuk non fisik pada sarana dan prasarana umum.

Pengaturan mengenai pembinaan dimaksudkan agar pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
kebijaksanaan Pemerintah.

Selain hal tersebut di atas, Peraturan Pemeritah ini juga mengatur mengenai pengawasan, lembaga
koordinasi, dan pengendalian peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.

Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3.
Cukup jelas.

Angka 4
Cukup jelas.

Angka 5
Cukup jelas.

Angka 6
Cukup jelas.

Angka 7
Cukup jelas.

Angka 8
Cukup jelas.

Angka 9
Cukup jelas.

Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.

Angka 12
Cukup jelas.

Pasal 2.
Jenis kecacatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
adalah terdiri dari cacat fisik, cacat mental, dan cacat fisik dan mental.

Penentuan jenis dan tingkat derajat kecacatan yang dimaksud dalam Pasal ini dilakukan apabila terjadi
keragu-raguan tentang kecacatan yang disandang seseorang.

Pasal 3
Yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil
maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamaatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohaniah,
dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi dan hak dan
kewajiban warga negara sesuai dengan Pancasila.

Penjelasan pengertian kesejahteraan sosial berlaku seterusnya untuk pengertian yang sama, kecuali
ditentukan lain dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5.
Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan meliputi antara lain aspek agama, kesehatan,
pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan
keamanan, olah raga, rekreasi, dan informasi.

Penjelasan pengertian aspek kehidupan dan penghidupan ini berlaku seterusnya untuk pengertian yang sama
kecuali ditentukan lain dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 6.
Cukup jelas.

Pasal 7.
Cukup jelas.

Pasal 8.
Kewajiban penyediaan aksesibilitas yang dimaksud dalam Pasal ini tidak dikenakan sanksi pidana, namun
dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 9.
Dengan adanya aksesibilitas, maka penyandang cacat dapat memperoleh dan memanfaatkan kesamaan
kesempatan seperti anggota masyarakat lainnya dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan sehingga
dapat menunjang mobilitas dan kemandirian penyandang cacat.

Pasal 10.
Cukup jelas.

Pasal 11.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a.
Pelayanan informasi dapat diberikan melalui antara lain suara, bunyi, atau tulisan yang diperuntukkan bagi
penyandang cacat.

Huruf b.
Pelayanan khusus misalnya tempat tiket penjualan tiket angkutan umum yang diperuntukkan khusus bagi
penyandang cacat.

Pasal 12.
Cukup jelas.

Pasal 13.
Cukup jelas.

Pasal 14.
Cukup jelas.

Pasal 15.
Cukup jelas.

Pasal 16.
Cukup jelas.

Pasal 17.
Cukup jelas.

Pasal 18.
Yang dimaksud dengan Menteri lain adalah para Menteri selain Menteri yang bertanggungjawab di bidang
kesejahteraan sosial yang bidang tugas dan fungsinya terkait secara langsung dalam pelaksanaan upaya
peningkatan kesejahteraan penyandang cacat.

Penjelasan pengertian Menteri ini berlaku seharusnya untuk pengertian yang sama, kecuali ditentukan lain
dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 19.
Cukup jelas.
Pasal 20.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan penyediaan aksesibilitas yang dilakukan secara bertahap adalah dengan
mempertimbangkan kemampuan Pemerintah dan masyarakat serta didasarkan kepada kebutuhan dan prioritas
penyandang cacat.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 21.
Penyediaan aksesibilitas pada sarana dan prasarana umum yang telah ada tersebut pelaksanaannya secara
bertahap serta memperhatikan prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan penyandang cacat. Sekalipun secara
bertahap, penyediaan aksesibilitas tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
penyelenggara/pengelola sarana dan prasarana umum.

Pasal 22.
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 23
Perlakuan yang sama dimaksudkan agar penyandang cacat sebagai peserta didik mendapatkan kesamaan
perlakuan sebagaimana peserta didik lainnya, termasuk didalamnya kesamaan perlakuan untuk mendapatkan
sarana dan prasarana pendidikan.

Sedangkan yang dimaksud dengan satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasal 24.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelenggara satuan pendidikan adalah Pemerintah atau masyarakat yang
menyelenggarakan kegiatan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di bidang pendidikan.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 25
Ayat (1)
Pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang cacat adalah pendidikan luar
biasa.

Yang dimaksud dengan pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta
didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.

Ayat (2).
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam ayat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun
1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.

Pasal 26.
Ketentuan dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan agama sesuai dengan minat dan
kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan. Hal ini termasuk tenaga kerja penyandang cacat.
Pasal 27.
Ketentuan dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam hal ini pengusaha wajib memberikan tanggungjawab dan hak-hak pekerja tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, dan agama. Hal ini termasuk pekerja penyandang cacat.

Pasal 28.
Keharusan mempekerjakan penyandang cacat pada perusahaan oleh pengusaha adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Pasal 29.
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 28.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d.
Setiap penyandang cacat yang boleh melakukan pekerjaan adalah penyandang cacat yang sehat jasmani dan
rohani.

Huruf e.
Cukup jelas.

Huruf f.
Cukup jelas.

Huruf g.
Cukup jelas

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 31.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-undang Nomor 25
tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 32.
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2).
Penumbuhan iklim usaha telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
Pemerintah antara lain Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Pelaksanaan penumbuhan iklim usaha bagi penyandang cacat didasarkan kepada peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan Pemerintah yang ada dan juga kondisi serta ketrampilan dan/atau keahlian
penyandang cacat yang bersangkutan.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34.
Ayat (1).
Bantuan yang diberikan oleh Menteri merupakan stimulan untuk mendorong dan menggiatkan penyandang
cacat dalam menciptakan dan mengembangkan lapangan pekerjaan bagi penyandang cacat.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Ayat (3).
Cukup jelas

Pasal 35.
Yang dimaksud dengan fungsi sosial adalah kemampuan dan peran seseorang untuk berintegrasi melalui
komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar.

Pasal 36.
Cukup jelas.

Pasal 37.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan fasilitas rehabilitasi adalah sarana dan prasarana pelayanan rehabilitasi, antara lain
pusat rehabilitasi, panti sosial, rumah sakit, lembaga pelatihan, dan unit rehabilitasi sosial keliling.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 38.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan rehabilitasi yang dilaksanakan secara terpadu adalah penanganan rehabilitasinya baik
medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial dilakukan sebagai satu kesatuan di dalam satu lembaga rehabilitasi.

Ayat (2).
Menteri ini terkait dalam Pasal ini adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan, pendidikan
dan ketenagakerjaan.

Pasal 39.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan tidak mampu adalah tidak mampu dari segi kondisi serta kejadian financial untuk
membiayai pelaksanaan rehabilitasi.

Keringanan pembiayaan dapat seluruh atau sebagaian biaya pelaksanaan rehabilitasi.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 40.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 41.
Yang dimaksud dengan kemampuan fungsional secara maksimal adalah dapat melaksanakan fungsi organ
tubuhnya dalam rangka melaksanakan kegiatan dengan selayaknya sesuai dengan kecacatan yang disandang.

Pasal 42.
Cukup jelas.

Pasal 43.
Ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 44.
Cukup jelas.

Pasal 45.
Cukup jelas.

Pasal 46.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 47.
Cukup jelas.

Pasal 48.
Huruf a.
Asesmen pelatihan dimaksudkan sebagai kegiatan pendaftaran bagi penyandang cacat dalam rangka
menemukenali bakat, minat untuk menentukan jenis keterampilan yang akan diberikan.

Huruf b.
Bimbingan dan penyuluhan jabatan dimaksudkan sebagai proses pemberian penerangan tentang potensi diri
yang meliputi intelegensia, bakat, minat, dan kepribadian.

Huruf c.
Latihan keterampilan ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan mutu/kualitas tenaga kerja penyandang
cacat agar pemakai jasa tenaga kerja penyandang cacat merasa saling membutuhkan dan ditangani secara
profesional.

Huruf d.
Penempatan disini dimaksudkan sebagai penggunaan tenaga kerja penyandang cacat secara optimal dan
produktif berdasarkan prinsip penempatan tenaga kerja yang tepat pada pekerjaannya.

Huruf e.
Pembinaan lanjut ini dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dan pengembangan kemampuan penyandang
cacat.

Pasal 49.
Cukup jelas.

Pasal 50.
Cukup jelas.

Pasal 51.
Huruf a.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan/mendorong penyandang cacat dalam mengikuti
program rehabilitasi sosial.

Huruf b.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong kemauan dan kemampuan penerimaan pelayanan serta
pembinaan ketaqwaan.
Huruf c.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memelihara kesehatan jasmani dan perkembangannya.

Huruf d.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kemampuan peserta latih secara perseorangan agar
dapat mengatasi segala permasalahan sosial yang dihadapi.

Huruf e.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial
penyandang cacat agar mau dan mampu bekerja sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalamannya.

Huruf f.
Kegiatan ini ditujukan kepada penyandang cacat yang mempunyai kelainan tambahan agar dapat menunjang
dalam kegiatan lainnya.

Huruf g.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyandang cacat dan masyarakat lingkungannya agar
terjadi integrasi sosial dalam hidup bermasyarakat.

Huruf h.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan keterampilan agar
usaha/kerja yang dilakukan dapat berdaya guna dan berhasil guna.

Huruf i.
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dalam kehidupan dan penghidupan penyandang cacat
dalam hidup bermasyarakat.

Pasal 52.
Cukup jelas.

Pasal 53.
Cukup jelas.

Pasal 54.
Cukup jelas.

Pasal 55.
Cukup jelas.

Pasal 56.
Cukup jelas.

Pasal 57.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 58.
Cukup jelas.

Pasal 59.
Cukup jelas.

Pasal 60.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 61.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 62.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Huruf a.
Penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan oleh Menteri dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Huruf b.
Bimbingan dan penyuluhan dilakukan agar bagi yang merawat penyandang cacat yang bersangkutan dapat
memberikan perlindungan dan pelayanan sosial secara tepat dan benar sehingga dapat terwujud taraf hidup
yang wajar bagi penyandang cacat.

Ayat (3).
Cukup jelas.

Pasal 63.
Cukup jelas.

Pasal 64.
Cukup jelas.

Pasal 65.
Cukup jelas.

Pasal 66.
Cukup jelas.

Pasal 67.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Peran masyarakat yang besifat wajib misalnya keharusan bagi pengusaha untuk mempekerjakan penyandang
cacat sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat.

Pasal 68
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 69.
Cukup jelas.

Pasal 70.
Cukup jelas.
Pasal 71.
Cukup jelas.

Pasal 72.
Cukup jelas.

Pasal 73.
Cukup jelas.

Pasal 74.
Cukup jelas.

Pasal 75,
Cukup jelas.

Pasal 76.
Cukup jelas.

Pasal 77.
Cukup jelas.

Pasal 78.
Cukup jelas.

Pasal 79.
Cukup jelas.

Pasal 80.
Cukup jelas.

Pasal 81.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 82.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 83.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan termasuk penyandang cacat, kelompok, badan hukum
atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang sosial.

Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Cukup jelas.

Pasal 84.
Cukup jelas.

Pasal 85.
Cukup jelas.
Pasal 86.
Cukup jelas.

Pasal 87.
Cukup jelas.

Pasal 88.
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3754.


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004

TENTANG

BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
(Lembaran Negara Tahun 1987 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3346);
4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3833);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Tahun
2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4226);
7. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran NegaraTahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);
8. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaga Negara
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Sertifikasi kerja adalah proses pemberian sertifikasi kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif
melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia/dan atau
internasional.

2. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

3. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II
PEMBENTUKAN DAN TUGAS
Pasal 2

1. Membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut
dengan BNSP.
2. BNSP merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab kepada
Presiden.

Pasal 3

BNSP mempunyai tugas melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.

Pasal 4

1 . Guna terlaksananya tugas sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, BNSP dapat
memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk
melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.

2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian lisensi lembaga sertifikasi profesi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh BNSP.

BAB III
ORGANISASI

Bagian Pertama
Keanggotaan

Pasal 5

Susunan Keanggotaan BNSP terdiri dari :

a. Seorang Ketua merangkap anggota;

b. Seorang Wakil Ketua merangkap anggota;

c. Sebanyak-banyaknya 23 (dua puluh tiga) orang anggota.

Pasal 6

1. Keanggotaan BNSP terdiri dari unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.

2. Keanggotaan dari unsur Pemerintah sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) orang.

Pasal 7

Untuk menjadi Anggota BNSP, Calon Anggota BNSP harus memenuhi persyaratan :

a. Warga Negara Indonesia;

b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. sanggup bekerja penuh waktu;

e. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana minimal 5 (lima) tahun;

f. memiliki tingkat pendidikan sekurang-kurangnya S 1 atau yang setara;

g. memiliki pengalaman kerja di bidang profesi tertentu minimal 5 (lima) tahun;

h. menguasai bahasa asing secara aktif minimal bahasa Inggris.


Bagian Kedua
Komisi

Pasal 8

1. Untuk menunjang pelaksanaan tugas, BNSP dapat membentuk Komisi sesuai dengan kebutuhan yang
keanggotaanya berasal dari anggota BNSP.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan keanggotaan, tugas, dan tata kerja Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh BNSP.

Bagian Ketiga
Sekretariat

Pasal 9

1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas BNSP dibentuk Sekreariat BNSP,

2. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh Kepala Sekretariat BNSP yang
melaksanakan tugasnya secara fungsional bertanggung jawab kepada BNSP.

3. Kepala Sekretariat BNSP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dijabat oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil
yang diangkat dalam jabatan struktural Eselon IIa.

Pasal 10

1. Sekretariat BNSP dibentuk dan berada di lingkungan instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

2. Sekretariat BNSP terdiri sebanyak-banyaknya 4 (empat) Bagian dan masing-masing terdiri dari 2 (dua) Sub
Bagian.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat BNSP sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.

BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

Pasal 11

Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.

Pasal 12

Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 13

1. Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diberhentikan dari
jabatan organiknya.

2. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat
lebih tinggi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14

Selain karena berakhirnya masa jabatan, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diberhentikan apabila yang
bersangkutan :

a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. melakukan tindak pidana kejahatan yang telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
d. sakit yang berkepanjangan lebih dari 6 (enam) bulan dan/atau tidak mampu lagi melaksanakan tugas; atau
e. tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana mestinya.

BAB V
TATA KERJA

Pasal 15

Dalam melaksanakan tugas, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP wajib menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi, sinkronisasi, dan transparansi, baik secara internal maupun eksternal.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja BNSP diatur oleh BNSP.

BAB VI
PEMBIAYAAN

Pasal 17

Setelah pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas BNSP dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 18

Pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja yang telah dilakukkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau telah diakui oleh lembaga internasional tetap dilaksanakan
oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang bersangkutan.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 78.

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan,

ttd

Lanbock Nahattands

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 23 TAHUN 2004

TENTANG

BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI

I. UMUM

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan pembentukan Badan Nasional
Sertifikasi Profesi yang independen untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja, baik yang berasal
dari lulusan pelatihan kerja dan/tenaga kerja yang telah berpengalaman. Badan Nasional Sertifikasi Profesi tersebut
sangat diperlukan sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dan menjadi rujukan dalam penyelenggaraan
sertifikasi kompetensi kerja secara nasional. Dengan demikian, maka akan dapat dibangun suatu sistem sertifikasi
kompetensi kerja nasional yang diakui oleh semua pihak.

Keberadaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud di atas juga sangat penting dalam kaitannya
dengan penyiapan tenaga kerja Indonesia yang kompetitif menghadapi persaingan di pasar kerja global. Disamping
itu, dengan adanya Badan Nasional Sertifikasi Profesi akan memudahkan kerja sama dengan institusi-institusi
sejenis di negara-negara lain dalam rangka membangun saling pengakuan (mutual recognition) terhadap
kompetensi tenaga kerja masing-masing negara.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Peraturan Pemerintah ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
tugas, organisasi, keanggotaan, tata kerja, dan pembiayaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

II PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas
Pasal 2

Cukup jelas
Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Walaupun sertifikasi kompetensi kerja dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Badan Nasional Sertifikasi
Profesi, namun karena ruang lingkup kompetensi kerja sangat luas dan tersebar di berbagai sektor, maka diperlukan
adanya lembaga sertifikasi profesi yang berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari Badan Nasional Sertifikasi
Profesi dalam melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.
Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Walaupun secara fungsional Sekretariat BNSP bertanggung jawab kepada BNSP, namun secara struktural dan
administratif merupakan unit organisasi di bawah unit Eselon I di lingkungan instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas
Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Lembaga Sertifikasi Profesi yang melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan/atau telah diakui oleh Lembaga Internasional misalnya Asosiasi-asosiasi Profesi atau Lembaga
Sertifikasi Profesi milik Pemerintah dan swasta yang telah diakui keberadaannya oleh Lembaga Internasional.

Lembaga Sertifikasi Profesi tersebut tetap melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan bidangnya
tanpa harus mendapatkan lisensi untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dari BNSP.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya Lembaga Sertifikasi Profesi disini berkoordinasi dengan BNSP.

Pasal 19

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4408


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999

TENTANG

HAK ASASI MANUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas
mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab
untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin
keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang
satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung
jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik
Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dalam rangka
melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang Hak
Asasi Manusia;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31
Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia;

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HAK ASASI MANUSIA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan
terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan
atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap
bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan
persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat politik.
5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

BAB II
ASAS - ASAS DASAR

Pasal 2

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai
hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan
ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Pasal 3

1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal
dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan.
2. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat
kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
3. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.

Pasal 4

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh
siapapun.

Pasal 5

1. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan
yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
2. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak
berpihak.
3. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Pasal 6

1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan
zaman.
Pasal 7

1. Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua
pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.
2. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia
menjadi hukum nasional.

Pasal 8

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

BAB III
HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA

Bagian Kesatu
Hak Untuk Hidup

Pasal 9

1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Bagian Kedua
Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan

Pasal 10

1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Hak Mengembangkan Diri

Pasal 11

Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.

Pasal 12

Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan
dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab,
berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.

Pasal 13

Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia.

Pasal 14

1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya.
2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Pasal 15

Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Pasal 16

Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Hak Memperoleh Keadilan

Pasal 17

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak
memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar.

Pasal 18

1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak
dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
3. Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan
bagi tersangka.
4. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
5. Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah
memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pasal 19

1. Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta
kekayaan milik yang bersalah.
2. Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan
ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Bagian Kelima
Hak Atas Kebebasan Pribadi

Pasal 20

1. Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.


2. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapUn yang
tujuannya serupa, dilarang.

Pasal 21

Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek
penelitian tanpa persetujuan darinya.

Pasal 22

1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal 23

1. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.


2. Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara
lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

Pasal 24

1. Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
2. Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau
organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan
tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 25

Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

1. Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya.
2. Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang
bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 27

1. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
2. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam
Hak Atas Rasa Aman

Pasal 28

1. Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.
2. Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau
perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 29

1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya
2. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.

Pasal 30

Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu.

Pasal 31

1. Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu.


2. Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan
kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Pasal 32

Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik
tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 33

1. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

Pasal 34

Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.

Pasal 35

Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang
menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana
diatur dalam Undang-undang ini.

Hak Ketujuh
Hak Atas Kesejahteraan

Pasal 36

1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan
dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
3. Hak milik mempunyai fungsi sosial.

Pasal 37

1. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian
yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak
diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti
kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.

Pasal 38

1. Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat
ketenagakerjaan.
3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak
atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
4. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya
berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.

Pasal 39

Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi
melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40

Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Pasal 41

1. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh.
2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan
dan perlakuan khusus.

Pasal 42

Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,
pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Bagian Kedelapan
Hak Turut Serta dalam Pemerintahan

Pasal 43

1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang
dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Pasal 44

Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan
kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun
dengan tulisan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kesembilan
Hak Wanita

Pasal 45

Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia.

Pasal 46

Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif,
yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.

Pasal 47

Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status
kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status
kewarganegaraannya.

Pasal 48

Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan.

Pasal 49

1. Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan
peraturan perundang-undangan.
2. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-
hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
3. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50

Wanita telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain
oleh hukum agamanya.

Pasal 51

1. Seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya
atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak
pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
2. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan
suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak.
3. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal
yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Kesepuluh
Hak Anak

Pasal 52

1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum
bahkan sejak dalam kandungan.

Pasal 53

1. Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
2. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya.

Pasal 54

Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus
atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri,
dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pasal 55

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas
dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.

Pasal 56

1. Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
2. Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan
Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

1. Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh
orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua
orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
orang tua.
3. Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua
yang sesungguhnya.
Pasal 58

1. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak
lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
2. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak
yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 59

1. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri,
kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak.
2. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan
pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.

Pasal 60

1. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.
2. Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya
demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 61

Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

Pasal 62

Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan
fisik dan mental spiritualnya.

Pasal 63

Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan
peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.

Pasal 64

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang
membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental
spiritualnya.

Pasal 65

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya.

Pasal 66

1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
4. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan
hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan
memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa,
kecuali demi kepentingannya.
6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan
Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

BAB IV
KEWAJIBAN DASAR MANUSIA

Pasal 67

Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum
tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Pasal 68

Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 69

1. Setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak
asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukannya.

Pasal 70

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-
undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.

BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

Pasal 71

Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia
yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi
manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Pasal 72

Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang
efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

BAB VI
PEMBATASAN DAN LARANGAN

Pasal 73

Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang
lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.

Pasal 74

Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur
dalam Undang-undang ini.
BAB VII
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Pasal 75

Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan :

a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-
undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia
seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Pasal 76

1. Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
dan mediasi tentang hak asasi manusia.
2. Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesinal, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati
cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan
kewajiban dasar manusia.
3. Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
4. Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.

Pasal 77

Komnas HAM berasaskan Pancasila

Pasal 78

1. Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari :


a. sidang paripurna; dan
b. sub komisi.

2. Komnas HAM mempunyai sebuah Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan.

Pasal 79

1. Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh Subkomisi.


2. Ketentuan mengenai Subkomisi diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

Pasal 81

1. Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM.
2. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja dalam bentuk biro-biro.
3. Sekretariat Jenderal dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.
4. Sekretariat Jenderal diusulkan oleh sidang paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
5. Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.

Pasal 82

Ketentuan mengenai Sidang Paripurna dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas
HAM.

Pasal 83

1. Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
2. Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua.
3. Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari Anggota.
4. Masa jabatan keanggotaan Komnas Hak Asasi Manusia selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 84

Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM adalah warga negara Indonesia yang :

a. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi
manusianya;
b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya;
c. berpengalaman di bidang legislatif, eksekutif, dan lembaga tinggi negara;
d. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.

Pasal 85

1. Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
2. Anggota Komnas HAM berhenti antar waktu sebagai anggota karena :
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat menjalankan tugas selama 1(satu) tahun
secara terus menerus;
d. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau
e. melakukan perbuatan tercela dan atau hal-hal lain yang diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan
martabat dan reputasi, dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.

Pasal 86

Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM
ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

Pasal 87

1. Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban :


a. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan keputusan Komnas HAM.
b. berpartisipasi secara aktif dan sungguh-sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas HAM; dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komnas HAM yang diperoleh
berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
2. Setiap anggota Komnas HAM berhak :
a. menyampaikan usulan dan pendapat kepada Sidang Paripurna dan Subkomisi;
b. memberikan suara dalam pengambilan keputusan Sidang Paripurna dan Subkomisi;
c. mengajukan dan memilih calon Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dalam Sidang Paripurna; dan
d. mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna untuk pergantian periodik dan
antarwaktu.

Pasal 88

Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan hak anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan
dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

Pasal 89

1. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan
saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;
b. pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai
pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia;
c. penerbitan hasil pengkajian dari penelitian;
d. studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;
e. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia; dan
f. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga, atau pihak lainnya, baik tingkat nasional,
regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
2. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;
b. upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan
non formal serta berbagai kalangan lainnya; dan
c. kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun
internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar
keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan
bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen
yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau
dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam
proes peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah
publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan :
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk
ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.

Pasal 90

1. Setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan
laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.
2. Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan
keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
3. Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak
yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan
pertimbangan Komnas HAM.
4. Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui
perwakilan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.

Pasal 91

1. Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau dihentikan apabila :
a. tidak memiliki bukti awal yang memadai;
b. materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia;
c. pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;
d. terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau
e. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

Pasal 92

1. Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau
terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan
identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau
pemantauan.
2. Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti
lain yang diperoleh Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
3. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan
atau bukti lainnya tersebut dapat :
a. membahayakan keamanan dan keselamatan negara;
b. membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;
c. membahayakan keselamatan perorangan;
d. mencemarkan nama baik perorangan;
e. membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan
Pemerintah;
f. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu
perkara pidana;
g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, atau
h. membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang;

Pasal 93

Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.

Pasal 94

(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3)
huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM.
(2) (2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan,
maka bagi mereka berlaku ketentuan Pasal 95.

Pasal 95

Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM
dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 96

1. Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM
yang ditunjuk sebagai moderator.
2. Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan
ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh moderator.
3. Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara
hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.
4. Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam
keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan
tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa".
5. Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).

Pasal 97

Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta
kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan
Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.

Pasal 98

Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 99

Ketentuan dan tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Tata Tertib Komans HAM.
BAB VII
PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 100

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.

Pasal 101

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas
HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.

Pasal 102

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan
hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.

Pasal 103

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi,
lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun kerja sama dengan Komnas
HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.

BAB IX
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Pasal 104

1. Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan
Peradilan Umum.
2. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama
4 (empat) tahun.
3. Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.

BAB X
KETENTUAN

Pasal 105

1. Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang-undang ini.
2. Pada saat berlakunya Undang-undang ini :
a. Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang-undang ini.
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya,
berdasarkan Undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan
c. Semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan
Undang-undang ini.
3. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas
dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undang-undang ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 106

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165

Salinan sesuai dengan aslinya.


SEKRETARIAT KABINET
REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro PeraturanPerundang-undangan

Edy

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999

TENTANG

HAK ASASI MANUSIA

UMUM

Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam
menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan
sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki
kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti
mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban
untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi
manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas
(bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap
orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap
organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan pemerintah
bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara
dan penduduknya tanpa diskriminasi.

Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara
dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya
itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang
disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan,
jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi
manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun
horisontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang
berat (gross violation of human rights).

Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan,
atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan.

Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan,
penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama
beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang
seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi,
menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa.

Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Negara Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyerbarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Disamping kedua sumber hukum di atas, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi internasional
mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu
dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.

Dasar pemikiran pembentukan Undang-undang ini adalah sebagai berikut :

a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya;
b. Pada dasarnya, manusia dianugerai jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh
Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;
c. Untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat
mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya(homa homini lupus).
d. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia lain,
sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;
e. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun;
f. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di
dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar;
g. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur
negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya
penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.

Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak -hak Anak, dan berbagai instrumen
internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan
kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.

Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau
tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh
keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan,
hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai
kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia.

Di samping itu, Undang-undang ini mengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai
lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.

Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan dan/atau gugatan atas
pelanggaran hak asasi manusia, pengajuan usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.

Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan
tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia
dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2

Hak asasi manusia dan kebebasan tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, negara
Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan
moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4

Yang dimaksud dengan "dalam keadaan apapun" termasuk perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
Yang dimaksud dengan "siapun" adalah Negara, Pemerintah, dan atau anggota masyarakat.
Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap
hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "kelompok masyarakat yang rentan" antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.

Pasal 6

Ayat (1)

Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus
dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang
bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)

Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih
secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Pasal 7

Yang dimaksud dengan "upaya hukum" adalah jalan yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk
membela dan memulihkan hak-haknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti misalnya, oleh Komnas HAM atau
oleh pengadilan, termasuk upaya untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali
ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan negeri tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam Pasal ini
dimaksudkan bahwa mereka yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk
menempuh semua upaya hukum tersebut pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedics) sebelum
menggunakan forum baik di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila tidak mendapatkan tanggapan dari
forum hukum nasional.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan "perlindungan" adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.

Pasal 9

Ayat (1)

Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas
kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan
yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan
dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut masih dapat
diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "perkawinan yang sah" adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "kehendak bebas" adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau
tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.

Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "seluruh harta kekayaan milik yang bersalah" adalah harta yang bukan berasal dari pelanggaran
atau kejahatan.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21

Yang dimaksud dengan "menjadi obyek penelitian" adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai pihak yang
dimintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data-data pribadi serta direkam
gambar-gambar dan suaranya.

Pasal 22

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya" adalah hak setiap orang untuk
beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)

Yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari
suaka.

Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "tidak boleh diganggu" adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam
tempat kediamannya.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "penghilangan paksa" dalam ayat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang
menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan "penghilangan
nyawa" adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.

Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "hak milik mempunyai fungsi sosial" adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus
memperhatikan kepentingan umum. Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar maka hak
milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39

Yang dimaksud dengan "tidak boleh dihambat" adalah bahwa setiap orang atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk
menjadi anggota atau untuk tidak menjadi anggota dari suatu serikat pekerja.

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "berhak atas jaminan sosial" adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan negara.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan " kemudahan dan perlakuan khusus" adalah pemberian pelayanan, jasa, atau penyediaan fasilitas
dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan.

Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46

Yang dimaksud dengan "keterwakilan wanita" adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita
untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju
keadilan dan kesetaraan jender.

Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi" adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan
dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50

Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan hukum sendiri" adalah cakap menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.

Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "tanggung jawab yang sama" adalah pelayanan suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua
orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak.
Yang dimaksud dengan "kepentingan terbaik bagi anak" adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak).

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "suatu nama" adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan
atau nama marga.

Pasal 54

Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan atau mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.

Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59

Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua anak, atau dalam hal kematian salah satu seorang dari orang tuanya, atau
dalam hal kuasa asuh orang tua dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan orang tuanya.

Pasal 60
Ayat (1)
Pendidikan dalam ayat ini mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65

Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produksi,
peredaran, dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73

Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-
derogable lights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9. Yang dimaksud dengan "kepentingan bangsa"
adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.

Pasal 74

Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau
mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan dalam Undang-undang ini, sehingga mengakibatkan
berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang ini.

Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "diresmikan oleh Presiden" adalah dalam bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden
dikaitkan dengan kemandirian Komnas HAM. Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus menampung seluruh aspirasi
dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh
puluh) orang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e

Keputusan tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan dan
diberikan hak untuk membela diri dalam Sidang Paripurna yang diadakan khusus untuk itu.
Pasal 86
Cukup jelas

Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "penyelidikan dan pemeriksaan" dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data,
informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia.

Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik" antara lain mengenai pertanahan,
ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "mediasi" adalah penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan, atas dasar kesepakatan para
pihak.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pengaduan melalui perwakilan" adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau
kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau dasar kesamaan
kepentingan hukumnya.

Pasal 91
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Yang dimaksud dengan "itikad buruk" adalah perbuatan yang mengandung maksud dan tujuan yang tidak baik, misalnya
pengaduan yang disertai data palsu atau keterangan tidak benar, dan atau ditujukan semata-mata untuk mengakibatkan
pencemaran nama baik perorangan, keresahan kelompok, dan atau masyarakat. Yang dimaksud dengan "tidak ada
kesungguhan" adalah bahwa pengadu benar-benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah
3 (tiga) kali dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah.

Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas

Pasal 95

Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" dalam Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat 91)
dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar
Jawa dan Madura

Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi diserahkan dan didaftarkan oleh mediatur kepada Panitera
Pengadilan Negeri.
Ayat (4)

Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekutif) kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui
Komnas HAM. Apabila pihak yang bersangkutan tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan dapat
dilaksanakan oleh pengadilan, maka pengadilan wajib melaksanakan keputusan tersebut.
Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan
mengajukan gugatan melalui pengadilan.

Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia yang berat" adalah pembunuhan massal (genocide),
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judical killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
discrimanation).
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "pengadilan yang berwenang" meliputi empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.

Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI NOMOR 3886


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1997

TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 105

MENGENAI

PENGHAPUSAN KERJA PAKSA


(Lembaran Negara No. 55, tahun 1999)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Konperensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional,

Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah bertemu dalam
sidangnya yang keempat puluh pada tanggal 5 Juni 1957, dan

Setelah mempertimbangkan masalah kerja paksa, yang tercantum dalam butir keempat dari agenda sidang, dan

Setelah memperhatikan ketentuan Konvensi Kerja Paksa, 1930, dan

Setelah memperhatikan bahwa Konvensi Perbudakan, 1926, mengatur bahwa semua tindakan yang diperlukan harus
diambil untuk mencegah kerja paksa atau kerja wajib berkembang menjadi keadaan yang sama dengan perbudakan
dan bahwa Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan dan Lembaga Perbudakan serta
praktek yang sama dengan Perbudakan, 1956, mengatur tentang penghapusan sepenuhnya atas perbudakan (karena
lilitan hutang dan pengolahan tanah), dan

Setelah memperhatikan bahwa Konvensi Perlindungan Upah, 1949, menentukan bahwa upah harus dibayar teratur
dan melarang cara pembayaran yang menghalangi pekerja dari kemungkinan yang murni untuk mengakhiri hubungan
kerjanya, dan

Setelah memutuskan tentang penerimaan usulan selanjutnya yang menyangkut penghapusan bentuk-bentuk tertentu
dari kerja paksa atau kerja wajib yang merupakan pelanggaran hak manusia sebagaimana tertera dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan disebutkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia, dan

Setelah memutuskan bahwa usulan-usulan ini harus berbentuk Konvensi internasional,

Menerima pada tanggal 5 Juni tahun 1957 Konvensi berikut, yang dapat disebut sebagai Konvensi Penghapusan Kerja
Paksa, 1957:

Pasal 1

Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib menekan dan tidak akan
menggunakan kerja paksa dalam bentuk apapun -

(a) Sebagai cara penekanan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman atas pemahaman atau pernyataan
pandangan politik atau secara ideologis pandangan yang bertentangan dengan sistim politik, sosial dan ekonomi
yang sah;

(b) Sebagai cara untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga kerja untuk maksud pembangunan ekonomi;

(c) Sebagai cara untuk membina disiplin tenaga kerja;

(d) Sebagai hukuman karena keikutsertaan dalam pemogokan;

(e) Sebagai pelaksanaan diskriminasi rasial, sosial, bangsa dan agama.


Pasal 2

Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib mengambil tindakan efektif
untuk menjamin penghapusan segera dan sepenuhnya atas kerja paksa atau kerja wajib sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 1 Konvensi ini.

Pasal 3

Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.

Pasal 4

1. Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang ratifikasinya sudah
didaftarkan pada Direktur Jenderal.

2. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.

3. Setelah itu, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah tanggal ratifikasinya
terdaftar.

Pasal 5

1. Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya masa sepuluh tahun dari
tanggal Konvensi ini pertama kali berlaku, dengan sebuah keterangan yang diberitahukan kepada Direktur
Jenderal Kantor Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pencabutan demikian tidak berlaku sebelum satu
tahun setelah tanggal pendaftarannya.

2. Tiap Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dan yang dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun tersebut dalam ayat di atas tidak memberlakukan hak untuk mencabut sebagaimana ditentukan
dalam Pasal ini, akan terkait untuk masa sepuluh tahun lagi, dan setelah itu, dapat mencabut Konvensi ini pada
waktu berakhirnya tiap masa sepuluh tahun sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini.

Pasal 6

1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional tentang pendaftaran dari semua ratifikasi dan pencabutan yang diberitahukan
kepadanya oleh para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional.

2. Pada saat memberitahukan para Anggota Organisasi tentang pendaftaran ratifikasi kedua yang diberitahukan
kepadanya, maka Direktur Jenderal meminta perhatian para Anggota Organisasi tentang tanggal Konvensi ini
akan mulai berlaku.

Pasal 7

Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan rincian lengkap
tentang semua ratifikasi dan peraturan pencabutan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan Pasal-Pasal
sebelumnya.

Pasal 8

Pada waktu-waktu yang dianggap perlu olehnya, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus
menyampaikan kepada Konperensi Umum suatu laporan tentang perkembangan Konvensi ini dan akan memeriksa
apakah perlu untuk mencantumkan dalam agenda Konperensi pembahasan tentang perubahannya secara keseluruhan
atau sebagian.
Pasal 9

1. Bila Konperensi menetapkan suatu Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian, maka,
kecuali Konvensi baru itu menentukan lain –

(a) Ratifikasi oleh Anggota atas Konvensi baru yang mengubah itu akan secara hukum merupakan pencabutan
segera atas Konvensi ini, tanpa mengurangi ketentuan dari Pasal 5 di atas, jika dan bilamana Konvensi baru
yang mengubah itu sudah berlaku;

(b) Sejak tanggal Konvensi baru yang mengubah itu berlaku, maka Konvensi ini tidak dapat lagi diratifikasi
oleh para Anggota.

2. Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isinya yang sebenarnya untuk para Anggota yang sudah
meratifikasinya tetapi belum meratifikasi Konvensi yang mengubah itu.

Pasal 10

Versi bahasa Inggris dan bahasa Perancis dari Konvensi ini berlaku sama kuatnya.
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 1999

TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 138

MENGENAI

USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA


(Lembaran Negara No. 56 Tahun 1999)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Konperensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional,

Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah bertemu dalam
sidangnya yang kelima puluh delapan pada tanggal 6 Juni 1973, dan

Setelah memutuskan untuk menerima beberapa usul mengenai usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja, yang
tercantum dalam butir keempat dari agenda sidang, dan

Memperhatikan syarat-syarat dari Konvensi Usia Minimum (industri) tahun 1919, Konvensi Usia Minimum (laut)
tahun 1920, Konvensi Usia Minimum (pertanian) tahun 1921, Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api) tahun
1921, Konvensi Usia Minimum (pekerjaan non industri) tahun 1932, Konvensi (revisi) Usia Minimum (laut) tahun
1936, Konvensi (revisi) Usia Minimum (pekerjaan non industri) tahun 1937, Konvensi Usia Minimum (nelayan) tahun
1959 dan Konvensi Usia Minimum (kerja di bawah tanah) tahun 1965, dan

Menimbang bahwa telah tiba waktunya untuk menetapkan suatu naskah umum mengenai hal itu, yang secara
berangsur-angsur akan menggantikan naskah-naskah yang ada yang berlaku pada sektor ekonomi yang terbatas,
dengan tujuan untuk seluruhnya menghapus pekerja anak, dan
Setelah menetapkan bahwa naskah ini harus berbentuk Konvensi internasional ;

Menerima pada tanggal 26 Juni 1973 Konvensi di bawah ini yang dapat disebut Konvensi Usia Minimum tahun 1973:

Pasal 1

Setiap Anggota terhadap siapa Konvensi ini berlaku menanggung untuk menempuh suatu kebijaksanaan nasional yang
dibentuk untuk menjamin dihapuskannya kerja anak secara efektif dan untuk secara progresif menaikkan usia
minimum untuk diperbolehkan masuk kerja atau bekerja sampai pada suatu tingkat yang sesuai dengan kebutuhan
perkembangan fisik dan mental sepenuhnya dari orang muda.

Pasal 2

1. Setiap Anggota yang meratifikasi Konvensi ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada ratifikasinya,
harus menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja atau bekerja dalam wilayahnya dan pada alat
pengangkutan yang terdaftar dalam wilayahnya, tergantung pada Pasal 4 sampai 8 Konvensi ini, tidak seorang
pun di bawah umur yang ditetapkan di situ diperbolehkan masuk kerja atau bekerja dalam suatu jabatan;
2. Setiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini selanjutnya dapat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Kantor Perburuhan Internasional dengan pernyataan lebih lanjut, bahwa ia telah menetapkan usia minimum, yang
lebih tinggi dari yang telah ditetapkan sebelumnya;
3. Usia minimum yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan ayat 1 Pasal ini, tidak boleh kurang dari usia tamat
sekolah wajib dan paling tidak tidak boleh kurang dari 15 tahun;
4. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 3 Pasal ini, suatu Anggota yang ekonomi dan fasilitas pemerintahannya
tidak cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan jika
yang demikian itu ada, sebagai permulaan dapat menetapkan usia minimum 14 tahun;
5. Setiap Anggota yang telah menetapkan usia minimum 14 tahun sesuai dengan ketentuan ayat terdahulu, di dalam
laporannya mengenai pelaksanaan Konvensi ini yang disampaikan berdasarkan pasal 22 Konstitusi Organisasi
Perburuhan Internasional, harus menyatakan :

a. bahwa alasan yang menyebabkan dia berbuat demikian masih terus ada;
b. bahwa ia melepaskan haknya untuk menggunakan ketentuan tersebut mulai suatu tanggal yang dinyatakan.

Pasal 3

Usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja, yang karena sifatnya atau karena
keadaan lingkungan dimana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau
moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun.

1. Jenis pekerjaan atau kerja terhadap mana ayat 1 Pasal ini berlaku, harus ditetapkan dengan undang-undang atau
peraturan nasional atau oleh penguasa yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan
buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada.
2. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 1 Pasal ini, undang-undang atau peraturan nasional atau penguasa yang
berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jika yang demikian
itu ada, dapat memperbolehkan orang muda berusia 16 tahun ke atas bekerja, dengan syarat bahwa kesehatan,
keselamatan dan moral orang muda yang bersangkutan cukup dilindungi dan bahwa orang muda itu telah menerima
pelajaran atau latihan kejuruan khusus mengenai cabang kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 4

1. Sejauh mana diperlukan, maka penguasa yang berwenang setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan
buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada, dapat mengecualikan dari berlakunya Konvensi ini jenis
pekerjaan atau kerja yang terbatas, dalam hubungan mana berlakunya Konvensi ini menimbulkan masalah yang
khas dan berat.
2. Setiap Anggota yang meratifikasi Konvensi ini dalam laporannya yang pertama mengenai pelaksanaan Konvensi
yang disampaikan berdasarkan pasal 22 dari Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional, harus memberikan
daftar dari setiap jenis yang telah dikecualikan menurut Ketentuan ayat 1 Pasal ini, harus memberikan alasan
mengapa dikecualikan, dan dalam laporan berikutnya harus menyatakan kedudukan hukum dan praktek di
negerinya terhadap jenis yang dikecualikan itu, dan sampai berapa jauh Konvensi ini telah diberlakukan atau telah
diusulkan untuk diberlakukan terhadap jenis tersebut.
3. Pekerjaan atau kerja yang dicakup dalam Pasal 3 Konvensi ini tidak boleh dikecualikan dari pelaksanaan Konvensi
menurut Pasal ini.

Pasal 5

Anggota yang ekonomi dan fasilitas pemerintahannya tidak cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan
organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jka yang demikian itu ada, dapat pada permulaan membatasi
ruang lingkup berlakunya Konvensi ini.

1. Setiap Anggota yang mempergunakan ketentuan ayat 1 Pasal ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada
ratifikasinya, harus memperinci cabang kegiatan ekonomi atau jenis perusahaan terhadap mana ketentuan Konvensi
ini akan diberlakukan olehnya.
2. Ketentuan Konvensi ini harus berlaku sebagai minimum bagi yang berikut : pertambangan dan penggalian; pabrik,
bangunan, listrik, gas dan air, jasa kebersihan, pengangkutan, pergudangan dan perhubungan, serta perkebunan dan
perusahaan pertanian lainnya yang terutama menghasilkan Unitika maksud perdagangan, akan tetapi megecualikan
perusahaan keluarga dan kecil yang menghasilkan untuk konsumsi lokal dan tidak secara teratur mempergunakan
tenaga bayaran.
3. Setiap Anggota yang membatasi ruang lingkup berlakunya Konvensi ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal ini :

a. harus menunjukkan dalam laporannya sesuai dengan pasal 22 Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional,
kedudukan umum tentang pekerjaan dan kerja orang muda dan anak-anak dalam cabang kegiatan yang dikecualikan
dari ruang lingkup berlakunya Konvensi ini dan setiap kemajuan yang mungkin telah dicapai ke arah pelaksanaan
yang lebih luas dari ketentuan Konvensi ini.
b. dapat setiap waktu secara formal memperluas ruang lingkup berlakunya itu dengan suatu pernyataan yang
dialamatkan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional.
Pasal 6

Konvensi ini tidak berlaku bagi pekerjaan yang dilakukan oleh anak dan orang muda di sekolah untuk pendidikan
umum, kejuruan atau teknik atau di lembaga pelatihan lain, atau bagi pekerjaan yang dilakukan oleh orang muda yang
sekurang-kurangnya berusia 14 tahun dalam perusahaan, dimana pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan syarat-syarat
yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang
bersangkutan, jika yang demikian itu ada, dan merupakan bagian integral dari :

a. suatu kursus pendidikan atau pelatihan yang penanggung jawab utamanya adalah suatu sekolah atau lembaga
pelatihan;
b. suatu program pelatihan yang untuk sebagian besar atau seluruhnya dilakukan dalam suatu perusahaan, yang
telah disetujui oleh penguasa yang berwenang; atau
c. suatu program bimbingan atau orientasi yang bertujuan untuk mempermudah pemilihan suatu jabatan atau suatu
jurusan pelatihan.

Pasal 7

Undang-Undang atau peraturan nasional dapat mengizinkan dipekerjakannya atau bekerjanya orang-orang berusia 13
sampai 15 tahun dalam pekerjan-pekerjaan yang ;

a. kiranya tidak berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka;


b. tidak menjadi halangan bagi mereka untuk dapat terus mengikuti pelajaran sekolah, mengikuti orientasi kejuruan
atau program pelatihan yang dibenarkan oleh karena mereka dapat menarik keuntungan dari pelajaran yang
diterima.

1. Undang-Undang atau peraturan nasional dapat juga mengizinkan dipekerjakannya atau diterimanya orang
yang berusia sekurang-kurangnya 15 tahun, untuk bekerja akan tetapi belum menyelesaikan pendidikan
sekolah wajib dalam pekerjaan yang telah memenuhi pesyaratan yang ditetapkan dalam sub ayat (a) dan (b)
ayat 1 Pasal ini.
2. Penguasa yang berwenang harus menetapkan kegiatan dimana pekerja atau kerja dapat diizinkan berdasarkan
ayat 1 dan 2 Pasal ini dan harus menetapkan jumlah jam kerja selama mana dan dalam kondisi bagaimana
pekerjaan atau kerja semacam itu dapat dilakukan.
3. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 1 dan 2 Pasal ini, Anggota yang telah menyatakan mempergunakan
ketentuan ayat 4 Pasal 2, selama masih menghendaki terus melakukan demikian dapat menggantikan usia 12
dan 14 tahun untuk usia 13 dan 15 tahun dalam ayat 1 dan usia 14 tahun usia 15 tahun dalam ayat 2 Pasal ini.

Pasal 8

Setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada,
penguasa yang berwenang dengan izin yang diberikan untuk tiap keadaan tersendiri, memperbolehkan pengecualian
larangan pekerjaan atas kerja sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Konvensi ini, untuk maksud seperti turut serta
dalam kegiatan kesenian.

1. Izin yang diberikan seperti itu harus membatasi lamanya jam kerja dan harus menetapkan kondisi dimana
pekerjaan atau kerja itu diperbolehkan.

Pasal 9

1. Segala tindakan yang perlu, termasuk penentuan hukuman yang setimpal, harus diambil oleh penguasa yang
berwenang untuk menjamin pelaksanaan yang efektif dari ketentuan Konvensi ini.
2. Undang-Undang atau peraturan nasional harus menetapkan orang-orang yang bertanggung jawab atas ditaatinya
ketentuan yang memberlakukan Konvensi ini.
3. Undang-Undang atau peraturan nasional atau penguasa yang berwenang harus menetapkan, daftar dan dokumen
lain yang harus dipelihara dan disediakan oleh pengusaha, daftar dan dokumen seperti itu harus memuat nama-
nama dan usia atau tanggal lahir, sedapat mungkin dibuat dengan keterangan yang sah, dari orang yang
dipekerjakan olehnya atau yang bekerja untuknya dan yang berusia kurang dari 18 tahun.

Pasal 10

Konvensi ini merevisi, menurut ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal ini, Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun
1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, Konvensi Usia Minimum (Pertanian), tahun 1921, Konvensi Usia
Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, Konvensi Usia Minimum, (Pekerjaan Non-Industri), tahun 1932,
Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Laut), tahun 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri), tahun 1937,
Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Pekerjaan Non-Industri), tahun 1937, Konvensi Usia Minimum (Nelayan) tahun
1959, dan Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Di bawah Tanah) tahun 1965.

1. Mulai berlakunya Konvensi ini tidak menutup kemungkinan untuk diratifikasinya Konvensi (Revisi) Usia
Minimum (Laut), tahun 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri) tahun 1937, Konvensi (Revisi) Usia
Minimum (Nelayan), tahun 1959, Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Dibawah Tanah) tahun 1965.
2. Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun 1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, Konvensi Usia
Minimum (Pertanian), tahun 1921, dan Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, akan
ditutup untuk ratifikasi selanjutnya, jika semua pihak yang telah meratifikasinya telah setuju untuk menutupnya
dengan jalan meratifikasi Konvensi ini atau dengan suatu pernyataan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal
Kantor Perburuhan Internasional.
3. Jika kewajiban Konvensi ini telah diterima :

a. oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri) tahun 1937, dan
telah menetapkan Usia Minimum tidak kurang dari 15 tahun menurut ketentuan Pasal 2 Konvensi ini, maka
itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
b. dalam hal pekerjaan non-industri sebagai yang ditetapkan dalam Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Non-
Indusri), tahun 1932, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi itu, maka itu berarti pembatalan
Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
c. dalam hal pekerjaan non-industri sebagai yang ditetapkan dalam Konvensi (Revisi) Usia Minimum
(Pekerjaan Non-Industri), tahun 1937, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi itu, dan telah
menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 2 Konvensi ini, maka itu berarti
pembatalan segera Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
d. dalam hal pekerjaan maritim, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi (Revisi) Usia Minimum
(Laut), tahun 1936, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 12
Konvensi ini atau Anggota itu menetapkan bahwa Pasal 3 Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan maritim, maka
itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
e. dalam hal pekerjaan maritim, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi Usia Minimum
(Nelayan), tahun 1959, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 2
Konvensi ini atau Anggota itu telah menetapkan bahwa Pasal 3 Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan maritim,
maka itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
f. oleh Anggota yang telah meratifikasi Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan di bawah Tanah), tahun 1965, dan
telah menetapkan usia minimum menurut Pasal 2 Konvensi yang tidak kurang dari usia minimum yang
ditetapkan berdasarkan Konvensi itu atau Anggota itu menetapkan bahwa usia itu berlaku bagi pekerjaan di
bawah tanah dalam pertambangan berdasarkan Pasal 3 Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum, jika
dan pada waktu Konvensi ini mulai berlaku.

4. Penerimaan kewajiban Konvensi ini ;

a. berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun 1919, sesuai dengan Pasal 12 Konvensi itu;
b. dalam hal pertanian berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Pertanian) tahun 1921, sesuai dengan Pasal
9 Konvensi itu;
c. dalam hal pekerjaan maritim berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, sesuai dengan
Pasal 10 Konvensi itu, dan Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, sesuai dengan Pasal
12 Konvensi itu; Jika dan pada waktu Konvensi ini mulai berlaku.

Pasal 11

Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.

Pasal 12

Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional, yang ratifikasinya telah didaftarkan
pada Direktur Jenderal.

1. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.
2. Selanjutnya, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah ratifikasinya terdaftar.

Pasal 13

1. Anggota yang telah merafitikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya sepuluh tahun sejak
tanggal mulai berlakunya Konvensi, dengan suatu ketentuan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor
Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pembatalan itu tidak akan berlaku sebelum lewat satu tahun sesudah
tanggal pendaftarannya.
2. Setiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan, dalam tahun berikutnya setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun sebagai tersebut dalam ayat terdahulu, tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal ini, akan tetap terikat untuk masa sepuluh tahun lagi dan, sesudah itu, dapat
membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya setiap masa sepuluh tahun menurut ketentuan yang tercantum
dalam pasal ini.

Pasal 14

1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional mengenai pendaftaran semua ratifikasi dan pembatalan yang disampaikan kepadanya
oleh Anggota Organisasi.
2. Pada waktu memberitahukan kepada Anggota Organisasi mengenai pendaftaran ratifikasi kedua yang
disampaikan kepadanya, Direktur Jenderal harus memperingatkan Anggota Organisasi akan tanggal mulai
berlakunya Konvensi.

Pasal 15

Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan sesuai dengan Pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, keterangan
lengkap mengenai semua ratifikasi keterangan dan pembatalan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal yang terdahulu.

Pasal 16

Pada waktu-waktu yang dianggap perlu, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan
sebuah laporan mengenai pelaksanaan Konvensi ini kepada Konvensi Umum, dan harus meneliti apakah peninjauan
kembali seluruh atau sebagian Konvensi ini perlu dimasukkan dalam agenda Konperensi.

Pasal 17

1. Apabila Konperensi menerima sebuah Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian,
maka, kecuali Konvensi yang baru itu menetapkan lain ;

a. ratifikasi Konvensi revisi baru itu oleh Anggota berarti pembatalan Konperensi ini pada saat itu juga, karena
hukum tanpa mengindahkan ketentuan Pasal 13 di atas, jika dan pada waktu Konvensi revisi yang baru itu
mulai berlaku;
b. sejak tanggal mulai berlakunya Konvensi baru yang telah diubah itu Konvensi ini tidak akan terbuka lagi
untuk ratifikasi oleh Anggota.

1. Bagaimanapun juga Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi seperti yang asli bagi Anggota yang
telah meratifikasinya dan tidak meratifikasi Konvensi yang baru.

Pasal 18

Bunyi naskah Konvensi ini dalam bahasa Inggris dan Perancis kedua-duanya adalah resmi.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1999

TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 111

MENGENAI

DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN


(Lembaran Negara No. 57 Tahun 1999)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Konperensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional,

Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional dan yang mengadakan
sidangnya yang keempat puluh dua pada tanggal 4 Juni 1958, dan

Setelah memutuskan untuk menyetujui usul-usul tertentu tentang diskriminasi di bidang pekerjaan dan jabatan, yang
merupakan soal keempat dalam acara sidang, dan

Setelah menetapkan bahwa usul-usul itu harus dalam bentuk Konvensi internasional, dan

Dengan mempertimbangkan bahwa Deklarasi Philadelphia menyatakan bahwa manusia semuanya, tanpa memandang
ras, kepercayaan, jenis kelamin, berhak untuk mengejar baik kesejahteraan materil maupun kemajuan spirituil dalam
suasana bebas dan
terhormat, dan dalam suasana kemantapan ekonomis dan kesamaan kesempatan, dan

Dengan mempertimbangkan juga bahwa diskriminasi merupakan pelanggaran hak-hak yang dinyatakan dalam
Pernyataan Universal tentang Hak-Hak Manusia,

Pada tanggal 25 Juni tahun 1958 menyetujui Konvensi berikut ini, yang dapat disebut sebagai Konvensi tentang
Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) tahun 1958 :

Pasal 1

1. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "diskriminasi" meliputi :

a. setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan
politik, kebangsaan atau asal dalam masyarakat, yang akibatnya menghilangkan atau mengurangi persamaan
kesempatan atau persamaan perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan;
b. setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan lainnya yang akibatnya menghilangkan atau mengurangi
persamaan kesempatan atau persamaan perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan sebagaimana ditentukan oleh
Anggota yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan organisasi yang mewakili pengusaha dan pekerja,
jika organisasi itu ada, dan dengan badan lain yang sesuai.

1. Perbedaan, pengecualian atau pilihan bentuk apapun juga mengenai suatu tugas tertentu yang didasarkan
pada persyaratan khas tugas itu, tidak dianggap sebagai suatu diskriminasi.
2. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "pekerjaan" dan "jabatan" meliputi juga kesempatan pelatihan
ketrampilan, kesempatan memperoleh pekerjaan dan kesempatan memperoleh jabatan tertentu, serta
ketentuan dan syarat kerja.

Pasal 2

Setiap Anggota yang memberlakukan Konvensi ini berupaya untuk tercapainya suatu kebijaksanaan nasional yang
bertujuan untuk mendorong, dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan kebiasaan nasional, persamaan kesempatan
dan perlakuan di bidang pekerjaan dan jabatan, dengan tujuan untuk menghilangkan setiap diskriminasi di bidang itu.
Pasal 3

Setiap Anggota yang memberlakukan Konvensi ini berupaya untuk dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan
kebiasaan nasional :

a. memperoleh kerjasama dari organisasi pengusaha dan pekerja serta badan terkait lainnya untuk mendorong
diterimanya dan ditaatinya kebijaksanaan ini;
b. mengadakan perundang-undangan serta menganjurkan program pendidikan yang dapat diperkirakan akan
menjamin diterimanya dan ditaatinya kebijaksanaan ini;
c. menolak semua ketentuan peraturan dan mengubah petunjuk dan kebiasaan administratif yang tidak sesuai dengan
kebijaksanaan ini;
d. mendorong diberlakunya kebijaksanaan ini bagi pekerjaan yang langsung diawasi oleh penguasa nasional;
e. menjamin ditaatinya kebijaksanaan ini dalam kegiatan bimbingan ketrampilan, latihan ketrampilan serta jawatan
penempatan yang dipimpin oleh penguasa nasional;
f. mencantumkan dalam laporan tahunan tentang penerapan Konvensi ini tindakan apa yang telah diambil untuk
melaksanakan kebijaksanaan ini serta hasil yang dicapai dengan tindakan tadi.

Pasal 4

Setiap tindakan terhadap seseorang yang diperkirakan atau benar-benar melakukan kegiatan yang mengancam
keselamatan Negara, tidak dianggap sebagai diskriminasi, asal yang bersangkutan diberi hak untuk membela diri
dalam suatu badan yang berwenang yang diadakan sesuai dengan kebiasaan nasional.

Pasal 5

1. Langkah-langkah khusus Unitika perlindungan atau bantuan yang telah diatur dalam Konvensi atau Rekomendasi
yang lain yang telah disetujui oleh Sidang Perburuhan Internasional, tidak dianggap sebagai diskriminasi.
2. Setiap Anggota dapat, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja, jika ada, menetapkan
bahwa harus diambil langkah-langkah khusus yang lain untuk memenuhi kebutuhan khas dari orang-orang, yang
karena jenis kelamin, usia, cacad, tanggung-jawab keluarga atau status sosial atau budaya, yang secara umum
diakui memerlukan lindungan atau bantuan khusus, dan langkah-langkah itu tidak dianggap sebagai diskriminasi.

Pasal 6

Setiap Anggota yang menandatangani Konvensi ini akan berupaya menerapkannya di wilayah-wilayah non-
metropolitan, sesuai dengan ketentuan dalam Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional.

Pasal 7

Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.

Pasal 8

Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang ratifikasinya sudah didaftarkan
pada Direktur Jenderal.

1. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.
2. Setelah itu, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah tanggal ratifikasinya
terdaftar.

Pasal 9

Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya seputuh tahun dari tanggal
Konvensi ini pertama kali berlaku, dengan sebuah keterangan yang diberitahukan kepada Direktur Jenderal Organisasi
Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pencabutan demikian tidak berlaku sebelum satu tahun setelah tanggal
pendaftarannya.

1. Tiap Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dan yang dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun tersebut dalam ayat di atas tidak memberlakukan hak untuk mencabut sebagaimana ditentukan
dalam Pasal ini, akan terkait untuk masa sepuluh tahun lagi, dan setelah itu, dapat mencabut Konvensi ini pada
waktu berakhirnya tiap masa sepuluh tahun sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini.

Pasal 10

Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional tentang pendaftaran semua ratifikasi dan pencabutan yang diberitahukan kepadanya oleh
para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional.

1. Bila memberitahu kepada para Anggota Organisasi tentang pendaftaran dari ratifikasi kedua yang diberitahukan
kepadanya, maka Direktur Jenderal meminta perhatian para Anggota Organisasi tentang tanggal Konvensi ini
akan mulai berlaku.

Pasal 11

Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa sesuai dengan Pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pendaftaran rincian lengkap
semua ratifikasi dan peraturan pencabutan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan dari Pasal-Pasal sebelumnya.

Pasal 12

Pada waktu-waktu yang dianggap perlu olehnya, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus
menyampaikan kepada Konperensi Umum suatu laporan tentang perkembangan Konvensi ini dan akan memeriksa
apakah perlu untuk mencantumkan dalam agenda Konperensi pembahasan tentang perubahannya secara keseluruhan
atau sebagian.

Pasal 13

Bila Konperensi menetapkan suatu Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian, maka,
kecuali Konvensi baru itu menentukan lain :

a. Ratifikasi oleh Anggota atas Konvensi baru yang mengubah itu akan secara hukum merupakan pencabutan segera
atas Konvensi ini, tanpa mengurangi ketentuan dari Pasal 5 di atas, jika dan bilamana Konvensi baru yang
mengubah itu sudah berlaku;
b. Sejak tanggal Konvensi baru yang mengubah itu berlaku, maka Konvensi ini tidak dapat lagi diratifikasi oleh para
Anggota.

1. Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isinya yang sebenarnya untuk para Anggota yang sudah
meratifikasinya tetapi belum meratifikasi Konvensi yang mengubah itu.

Pasal 14

Versi bahasa Inggris dan bahasa Perancis dari Konvensi ini berlaku sama kuatnya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN
ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan fungsi dan


efektifitas Lembaga Kerja Sama Tripartit diperlukan
adanya keseimbangan komposisi antar unsur dan
kecukupan jumlah keanggotaan serta kesempatan
yang lebih luas untuk menjadi angggota;
b. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005
tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga
Kerja Sama Tripartit perlu dilakukan penyempurnaan;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan
Susunan Organisasi Lembaga Kerjasama Tripartit;

Mengingat : 1 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


. Indonesia Tahun 1945;
2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
. Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
3 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata
. Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama
Tripartit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4482);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN


ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN
2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN
ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT.
Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun


2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja
Sama Tripartit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4482) diubah sebagai berikut :

(1) Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 diubah, sehingga


Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :


1 Lembaga Kerja Sama Tripartit yang selanjutnya disebut
LKS Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang
anggotanya terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi
pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
2 Lembaga Kerja Sama Tripartit Sektoral, yang selanjutnya
disebut LKS Tripartit Sektoral, adalah forum
komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah
ketenagakerjaan sektor usaha tertentu yang anggotanya
terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha
sektor usaha tertentu, dan serikat pekerja/serikat buruh
sektor usaha tertentu.
3. Organisasi pengusaha adalah organisasi pengusaha yang
ditunjuk oleh Kamar Dagang dan Industri untuk
menangani masalah ketenagakerjaan.
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan.
(2). Ketentuan Pasal 6 diubah dan ditambah 2 (dua) ayat baru
sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut : Pasal 6.
1. Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan
LKS Tripartit Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, paling banyak 45 (emapt puluh lima) orang yang
penetapannya dilakukan dengan memperhatikan
komposisi keterwakilan unsur Pemerintah, organisasi
pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh masing-
masing paling banyak 15 (lima belas) orang.
2. Komposisi Keterwakilan LKS Tripartit Nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
perbandingan 1 (satu) unsur Pemerintah, 1 (satu) unsur
organisasi pengusaha, dan 1 (satu) unsur serikat
pekerja/serikat buruh.
3. Dalam hal salah satu unsur atau lebih tidak dapat
memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka
ketentuan komposisi keterwakilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
(3). Ketentuan Pasal 7 dihapus.
(4). Ketentuan Pasal 12 huruf c dan huruf d diubah dan ditambah 1
(satu) ayat baru sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 12
1. Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan LKS Tripartit
Nasional, calon anggota harus memenuhi persyaratan :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah
Menengah Atas (SMA/sederajat;
d. Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi
Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan dan/atau instansi Pemerintah yang
terkait lain bagi calon anggota yang berasal dari
unsur Pemerintah;
e. Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi
calon anggota yang berasal unsur organisasi
pengusaha; dan
f. Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh
bagi calon anggota yang berasal dari unsur serikat
pekerja/serikat buruh.

2. Ketua LKS Tripartit Nasional dapat dikecualikan dari


ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.
(5). Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut
: Pasal 24
1. Keanggotaan LKS Tripartit Propinsi terdiri dari unsur
perangkat pemerintah propinsi, organisasi pengusaha, dan
serikat pekerja/serikat buruh.
(6). Ketentuan Pasal 25 huruf b diubah sehingga Pasal 25
berbunyi sebagai berikut : Pasal 25
Susunan keanggotaan LKS Tripartit Propinsi terdiri dari :
a. Ketua merangkap anggota, dijabat oleh gubernur.
b. 3 (tiga) orang Wakil Ketua merangkap angota, masing-
masing dijabat oleh anggota yang mewakili unsur
perangkat pemerintah propinsi yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh.
c. Sekretaris merangkap anggota, dijabat oleh anggota yang
mewakili unsur Pemerintah yang berasal dari satuan
organisasi perangkat daerah propinsi yang
bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan; dan
d. Beberapa orang anggota sesuai dengan kebutuhan.

(7). Ketentuan Pasal 26 diubah dan ditambah 2 (dua) ayat baru


sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 26
1. Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan
LKS Tripartit Propinsi sebagaimana dimkasud dalam
Pasal 25, paling banyak 27 (dua puluh tujuh) orang yang
penetapannya dilakukan dengan memperhatikan
komposisi unsur perangkat pemerintah propinsi,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh
masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang.
2. Komposisi perwakilan LKS Tripartit Propinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
perbandingan 1 (satu) unsur perangkat pemerintah
propinsi, 1 (satu) unsur organisasi pengusaha, dan 1
(satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh.
3. Dalam hal salah satu unsur atau lebih tidak dapat
memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka
ketentuan komposisi keterwakilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.

(8). Ketentuan Pasal 27 dihapus.

(9). Ketentuan Pasal 32 huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f


diubah dan ditambah 1 (satu) ayat baru sehingga Pasal 32
berbunyi sebagai berikut : Pasal 32
1. Untuk dapat diangkat dalam Keanggotaan LKS Tripartit
Propinsi, calon anggota harus memenuhi persyaratan :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah
Menengah Atas (SMA/sederajat);
d. Pegawai Negeri Sipil di lingkungan satuan
organisasi perangkat daerah propinsi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dan/atau instansi pemerintah propinsi terkait lain
bagi calon anggota yang berasal dari unsur
pemerintah propinsi;
e. Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi
calon anggota yang berasal dari unsur organisasi
pengusaha; dan
f. Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh
bagi calon anggota yang berasal dari unsur serikat
pekerja/serikat buruh.

2. Ketua LKS Tripartit Propinsi dapat dikecualikan dari


ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.

(10). Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut : Pasal 42
1. Keanggotaan LKS Tripartit Kabupaten/Kota terdiri dari
unsur perangkat pemerintah kabupaten/kota, organisasi
pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.

(11). Ketentuan Pasal 43 huruf b diubah sehingga Pasal 43


berbunyi sebagai berikut : Pasal 43
Susunan keanggotaan LKS Tripartit Kabupaten/Kota terdiri
dari :
a. Ketua merangkap anggota, dijabat oleh Bupati /Walikota ;
b. 3 (tiga) wakil ketua merangkap anggota, masing-masing
dijabat oleh anggota yang mewakili unsur perangkat
pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh;
c. Sekretaris merangkap anggota, dijabat oleh anggota yang
mewakili unsur pemerintah kabupaten/kota yang berasal
dari satuan organisasi perangkat daerah kabupaten/kota
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan ; dan
d. Beberapa orang anggota sesuai dengan kebutuhan.
(12). Ketentuan Pasal 44 diubah dan ditambah 2 (dua) ayat baru
sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut : Pasal 44
1. Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan LKS
Tripartit Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43, paling banyak 21 (dua puluh satu) orang yang
penetapannya dilakukan dengan memperhatikan
komposisi keterwakilan unsur pemerintah
kabupaten/kota, oragnisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh masing-masing paling banyak 7
(tujuh) orang.
2. Komposisi keterwakilan LKS Tripartit Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
perbandingan 1 (satu) unsur perangkat pemerintah
kabupaten/kota, 1 (satu) unsur organisasi pengusaha, dan
1 (satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam hal salah satu unsur atau lebih tidak dapat
3. memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka
ketentuan komposisi keterwakilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak berlaku.

(13). Ketentuan Pasal 45 dihapus.

(14). Ketentuan Pasal 50 huruf c, huruf d, dan huruf f diubah dan


ditambah 1 (satu) ayat baru sehingga Pasal 50 berbunyi
sebagai berikut : Pasal 50
1. Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan LKS Tripartit
Kabupaten/Kota, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah
Menengah Atas (SMA/sederajat);
d. Pegawai Negeri Sipil di lingkungan satuan
organisasi perangkat daerah kabupaten/kota yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
dan/atau instansi pemerintah kabupaten/kota terkait
lain bagi calon anggota yang berasal dari unsur
pemerintah kabupaten/kota;
e. Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi
calon anggota yang berasal dari unsur organisasi
pengusaha; dan
f. Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh
bagi calon anggota yang berasal dari unsur serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Ketua LKS Tripartit Kabupaten/Kota dapat dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d.

(15). Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut : Pasal 53
1. LKS Tripartit Kabupaten/Kota mengadakan sidang
secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga)
bulan atau sewaktu-waktuuai dengan kebutuhan.

(16). Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga Pasal 61 berbunyi


sebagai berikut : Pasal 61
1. Susunan keanggotaan Tripartit Sektoral Nasional, LKS
Tripartit Sektoral Propinsi dan LKS Tripartit Sektoral
Kabupaten/Kota terdiri dari dari Ketua, Sekretaris, dan
Anggota yang mewakili unsur Pemerintah/perangkat
pemerintah daerah propinsi/perangkat pemerintah daerah
kabupaten/kota, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh.
Jumlah anggota LKS Tripartit Sektoral Nasional, LKS
2. Tripartit Sektoral Propinsi dan LKS Tripartit Sektoral
Kabupaten/Kota dalam susunan keanggotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak :
a. 15 (lima belas) orang anggota untuk LKS Tripartit
Sektoral Nasional;
b. 12 (dua belas) orang anggota untuk LKS Tripartit
Sektoral Propinsi;
c. 12 (dua belas) orang anggota untuk LKS Tripartit
Sektoral Kabupaten/Kota.

(17). Diantara BAB V dan BAB VI disisipkan 1 (satu) BAB yakni


BAB VA yang berbunyi sebagai berikut :
BAB VA
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64 A
1. Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, LKS
Tripartit yang telah dibentuk sebelum ditetapkannya
Peraturan Pemerintah ini, wajib menyesuaikan dengan
ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
2. Bagi LKS Tripartit yang telah terbentuk sebelum
ditetapkan Peraturan Pemerintah ini dapat menjalankan
tugasnya sampai terbentuknya LKS Tripartit sesuai
dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2008.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2008.

MENTERI HUKUM DAN


HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 89.

Salinan Sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat.

ttd

Wisnu Setiawan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2008.

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN
ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT.

I. UMUM

Upaya yang ditempuh untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik


adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat luas dalam penyusunan
kebijakan pemerintah. Dengan upaya tersebut, maka kebijakan yang ditetapkan
pemerintah dapat lebih akomodatif terhadap aspirasi dan kepentingan
masyarakat.

Dalam dunia ketenagakerjaan pelibatan masyarakat dalam mengambil


keputusan diwujudkan dalam prinsip tripartisme, suatu prinsip yang bertumpu
pada semangat bahwa kepentingan masing-masing unsur pelaku proses
produksi yaitu pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah menjadi kepentingan
bersama.
Sejalan dengan prinsip kebersamaan maka keseimbangan peran masing-
masing unsur dalam LKS Tripartit perlu diwujudkan dalam bentuk
keterwakilan masing-masing unsur dalam komposisi keanggotaan. Oleh
karena itu maka ketentuan komposisi perbandingan yang semula 2 :1:1 diubah
menjadi 1:1:1.

Dalam rangka meningkatkan efektivitas, peran dan fungsi LKS Tripartit maka
dibutuhkan jumlah keanggotaan yang cukup, sehingga jumlah keanggotaan
LKS Tripartit perlu ditambah dengan tetap memperhatikan karakteristik
perekonomian serta kemampuan penganggaran. Dalam kenyataannnya tidak
semua unsur dapat memenuhi persyaratan administrasi keanggotaan khususnya
persyaratan pendidikan, sehingga diubah menjadi serendah-rendahnya Sekolah
Menengah Atas(SMA/sederajat.

Dengan perubahan Peraturan Pemerintah ini, maka diharapkan LKS Tripartit


dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif dan optimal.

Peraturan Pemerintah ini antara lain memuat :


a. Perubahan komposisi dan jumlah keterwakilan keanggotaan LKS Tripartit ;
b. Perubahan persyaratan keanggotaan LKS Tripartit ;
c. Penambahan Bab Ketentuan Peralihan.
I I. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4862.


Jakarta, 28 Oktober 2004

Yth.
Pimpinan Perusahaan
di -
Seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
Nomor : SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004

TENTANG

PENCEGAHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MASSAL

Pekerja / buruh di dalam proses produksi barang dan jasa, tidak saja merupakan
sumber daya tapi juga sekaligus merupakan asset yang dapat dipisahkan dari upaya untuk
menjamin kelangsungan usaha. Oleh karena itu hubungan kerja yang telah terjadi perlu
dipelihara secara berkelanjutan dalam suasana hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, berkeadilan dan bermartabat.

Namun apabila dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat
membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah
merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai berikut :

a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan
direktur ;
b. Mengurangi shift ;
c. Membatasi/menghapuskan kerja lembur ;
d. Mengurangi jam kerja ;
e. Mengurangi hari kerja ;
f. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara
waktu ;
g. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa
kontraknya ;
h. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.

Pemilihan alternatife dari hal - hal sebagaimana tersebut di atas perlu dibahas
terlebih dahulu dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan wakil pekerja / buruh
dalam hal di perusahaan tersebut tidak ada serikat pekerja / serikat buruh untuk
mendapatkan kesepakatan secara biparte sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya
pemutusan hubungan kerja.

Dermikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya dan atas kerjasama Saudara


disampaikan terima kasih.

MENTERI

TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI
REPUBLIK
INDONESIA

Ttd.

FAHMI IDRIS

Tembusan disampaikan kepada Yth :


1. Presiden Republik Indonesia ;
2. Wakil Presiden Republik Indonesia ;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu ;
4. Para Pejabat Eselon I di lingkungan Depnakertrans R.I ;
5. Para Gubernur di seluruh Indonesia ;
6. Ketua DPN APINDO ;
7. Pertinggal.
RISALAH PERUNDINGAN PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
SECARA BIPARTIT

1. Nama Perusahaan :
...........................................................................................
2. Alamat Perusahaan :
...........................................................................................
3. Nama Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
4. Alamat Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
5. Tanggal dan Tempat Perundingan :
...........................................................................................

6. Pokok Masalah/Alasan Perselisihan :


........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...

7. Pendapat Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...

8. Pendapat Pengusaha :
............................................................................................
...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...

9. Kesimpulan atau Hasil Perundingan :


...........................................................................................

...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...

Batam, .........................................20.............
Pihak Pengusaha Pihak Pekerja/Buruh/SP/SB

________________________ ________________________
DAFTAR H AD IR
P E R U N D I N G A N

HARI :
TANGGAL :
TEMPAT :
ACARA : SIDANG I, II, III
MASALAH :

PIHAK
PENGUSAHA/ TANDA
NO NAMA ALAMAT KETERANGAN
PEKERJA/BURUH/ TANGAN
SP/SB
PERMINTAAN PERUNDINGAN SECARA BIPARTIT

Nomor : Batam,...........................20................
Lampiran : 1 (Satu) berkas Kepada
Hal. : Permintaan Perundingan Yth. Sdr ...........................................

Dengan hormat,

Sehubungan dengan adanya permasalahan yang perlu dirundingkan secara Bipartit maka
kami mengajukan untuk melakukan musyawarah pada,

Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :

Untuk menyelesaikan masalah sebagai berikut :

1. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
....................
2. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
....................
3. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
........................
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.

Pihak
*) Pengusaha/Pekerja/Buruh/SP/SB

............................................

*) Coret yang tidak perlu.


PERJANJIAN BERSAMA

Pada hari ini ........................................tanggal...................bulan..............tahun...............................


kami yang bertanda tangan di bawah ini

1. Nama :
Jabatan :
Perusahaan :
Alamat :

Yang selanjutnya disebut Pihak Ke I (Pengusaha)

2. Nama :
Jabatan :
Alamat :

Yang selanjutnya disebut Pihak Ke II (Pekerja/Buruh/SP/SB)

Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 2 tahun 2004 Pasal 7 ayat (1) antara
Pihak Ke I dan Pihak Ke II telah mengadakan perundingan secara Bipartit dan telah tercapai
kesepakatan sebagai berikut :

......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
....................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
............

Kesepakatan ini merupakan perjanjian bersama yang berlaku sejak ditandatangani


diatas materai cukup.

Demikian Perjanjian Bersama ini dibuat da lam keadaan sadar tanpa paksaan dari
pihak manapun, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab yang didasari itikad
baik.

Pihak Pengusaha Pihak Pekerja/Buruh/SP/SB

---------------------------- ---------------------------------------
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR :PER.24/MEN/XII/2008.

TENTANG

METODE PENGHITUNGAN PERSEDIAAN DAN


KEBUTUHAN TENAGA KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (4), Peraturan


Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh
Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan Serta Pelaksanaan
Perencanaan Tenaga Kerja, perlu menetapkan Peraturan Menteri
tentang Metode Penghitungan Persediaan dan Kebutuhan Tenaga
Kerja;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan Serta
Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 34, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4701);
3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 31/P Tahun 2007;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER.05/MEN/IV/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagaimana telah
diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor :PER.14/MEN/VIII/2008;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG METODE
PENGHITUNGAN PERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN
TENAGA KERJA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perencanaan Tenaga Kerja, yang selanjutnya disingkat PTK, adalah proses
penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematisyang dijadikan dasar dan
acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
2. Persediaan tenaga kerja, adalah angkatan kerja yang tersedia, dengan berbagai
karakteristiknya.
3. Kebutuhan tenaga kerja, adalah angkatan kerja yang diperlukan untuk mengisi
kesempatan kerja yang tersedia, dengan berbagai karakteristiknya.
4. Neraca tenaga kerja, adalah kesempatan atau kesenjangan antara persediaan tenaga
kerja dengan kebutuhan tenaga kerja, dengan berbagai karakteristiknya.
5. Metode penghitungan persediaan tenaga kerja, adalah cara memperkirakan jumlah
angkatan kerja secara statistika.
6. Metode penghitungan kebutuhan tenaga kerja, adalah cara memperkirakan jumlah
kesempatan kerja secara statistika.
7. Penduduk Usia Kerja, yang selanjutnya disingkat PUK, adalah penduduk yang
berumur 15 (lima belas) tahun dan lebih atau disebut tenaga kerja.
8. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, yang selanjutnya disingkat TPAK, adalah rasio
antara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja.
9. Angkatan Kerja, yang selanjutnya disingkat AK, adalah penduduk usia kerja yang
bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran
yang aktif mencari pekerjaan.
10. Bekerja, adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, sekurang-
kurangnya 1 (satu) jam tidak terputus dalam seminggu.
11. Penganggur Terbuka, adalah mereka yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan
usaha, yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan serta yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
12. Tingkat Penganggur Terbuka, yang selanjutnya disingkat TPT, adalah rasio antara
banyaknya penganggur terbuka dengan jumlah angkatan kerja.
13. Kesempatan kerja, adalah lowongan pekerjaan yang diisi oleh pencari kerja, dan
pekerja yang sudah ada.
14. Produk Domestik Regional Bruto, yang selanjutnya disingkat PDRB, adalah jumlah
nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di
wialayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.
15. Produktivitas Tenaga Kerja, adalah rasio antara produk berupa barang dan jasa,
dengan tenaga kerja yang digunakan baik individu maupun kelompok dalam satuan
waktu tertentu, yang merupakan besaran kontribusi tenaga kerja dalam pembentukan
nilai tambah suatu produk, pada proses kegiatan ekonomi.
16. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2
Peraturan Menteri ini dipergunakan sebagai acuan bagi Kementrian, Lembaga Pemerintah
Non Departemen, dan pemerintah daerah dalam melakukan penghitungan persediaan dan
kebutuhan tenaga kerja.

Pasal 3
Metode penghitungan persediaan, dan metode penghitungan kebutuhan tenaga kerja,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan contoh penghitungan persediaan dan
kebutuhan Tenaga Kerja tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini, dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Meneteri ini.

Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 18 Desember 2008.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO.MBA,M.Si.


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 32/MEN/XII/2008
TENTANG
TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN
KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 106 ayat (4) Undang-


Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
maka perlu ditetapkan Tata Cara Pembentukan dan Susunan
Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit;
b. bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP-255/MEN/2003 tentang Tata Cara Pembentukan
dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi
ketenagakerjaan saat ini, sehingga perlu disempurnakan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan dengan Peraturan
Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat


Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2000 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3989);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 20/P Tahun 2005;

Memperhatikan : 1. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus


Program Ekonomi Tahun 2008-2009;
2. Pokok-pokok Pikiran Badan Pekerja Lembaga Kerja Sama
Tripartit Nasional Ketenagakerjaan Sementara tanggal 27
Oktober 2008, 10 November 2008, dan 14 November 2008;
3. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerja Sama Tripartit
Nasional Ketenagakerjaan Sementara tanggal 19 November
2008;

1
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN
KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Lembaga Kerja Sama Bipartit, yang selanjutnya disebut LKS Bipartit, adalah forum
komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan
industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
2. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
5. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh, serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
6. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
TUJUAN, FUNGSI, DAN TUGAS

Pasal 2

Pembentukan LKS Bipartit bertujuan untuk menciptakan hubungan industrial yang


harmonis, dinamis, dan berkeadilan di perusahaan.

2
Pasal 3

LKS Bipartit berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha
dengan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh dalam rangka
pengembangan hubungan industrial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan
perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja/buruh.

Pasal 4

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, LKS Bipartit


mempunyai tugas :
a. melakukan pertemuan secara periodik dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
b. mengkomunikasikan kebijakan pengusaha dan aspirasi pekerja/buruh dalam rangka
mencegah terjadinya permasalahan hubungan industrial di perusahaan.
c. menyampaikan saran, pertimbangan, dan pendapat kepada pengusaha,
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka penetapan dan
pelaksanaan kebijakan perusahaan.

BAB III
TATA CARA PEMBENTUKAN

Pasal 5

(1) LKS Bipartit dibentuk oleh unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.

(2) LKS Bipartit dapat dibentuk di setiap cabang perusahaan.

Pasal 6

Anggota LKS Bipartit dari unsur pekerja/buruh ditentukan sebagai berikut :


a. dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan semua
pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh tersebut, maka secara
otomatis pengurus serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya dalam LKS
Bipartit;
b. dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka yang
mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah pekerja/buruh yang dipilih secara
demokratis;
c. dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
dan seluruh pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka
yang mewakili dalam LKS Bipartit adalah wakil masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh yang perwakilannya ditentukan secara proposional;
d. dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan ada
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat pekerja/serikat buruh tersebut menunjuk wakilnya dalam LKS Bipartit dan
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh menunjuk
wakilnya yang dipilih secara demokratis;
e. dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
dan ada pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,
maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya dalam LKS
Bipartit secara proposional dan pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya yang dipilih secara demokratis.

3
Pasal 7

Pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 melaksanakan pertemuan untuk :
a. membentuk LKS Bipartit;
b. menetapkan anggota LKS Bipartit.

Pasal 8

Tata cara pembentukan LKS Bipartit dilaksanakan sebagai berikut :


a. pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh
mengadakan musyawarah untuk membentuk, menunjuk, dan menetapkan anggota
LKS Bipartit di perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
b. anggota LKS Bipartit sebagaimana dimaksud dalam huruf a menyepakati dan
menetapkan susunan pengurus LKS Bipartit;
c. pembentukan dan susunan pengurus LKS Bipartit dituangkan dalam berita acara
yang ditandatangani oleh pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau
wakil pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 9

(1) LKS Bipartit yang sudah terbentuk harus diberitahukan untuk dicatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah pembentukan.
(2) Pengurus LKS Bipartit menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) secara tertulis, baik langsung maupun tidak langsung dengan
melampirkan berita acara pembentukan, susunan pengurus, dan alamat
perusahaan.
(3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pemberitahuan instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan memberikan bukti penerimaan
pemberitahuan.
(4) Pemberitahuan pembentukan LKS Bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat 3
tidak dikenakan biaya.

BAB IV
KEPENGURUSAN

Pasal 10

Kepengurusan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh dengan komposisi 1:1 yang jumlahnya sesuai kebutuhan
dengan ketentuan sekurang-kurangnya 6 (enam) orang.

Pasal 11

(1) Susunan pengurus LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, wakil ketua,
sekretaris, dan anggota.
(2) Jabatan ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara unsur
pengusaha dan unsur pekerja/buruh.

4
Pasal 12

(1) Masa kerja kepengurusan LKS Bipartit 3 (tiga) tahun.

(2) Pergantian kepengurusan LKS Bipartit sebelum berakhirnya masa jabatan dapat
dilakukan atas usul dari unsur yang diwakilinya.

Pasal 13

Masa jabatan kepengurusan LKS Bipartit berakhir apabila :


a. meninggal dunia;
b. mutasi;
c. mengundurkan diri sebagai anggota lembaga;
d. diganti atas usul dari unsur yang diwakilinya;
e. sebab-sebab lain yang menghalangi tugas-tugas dalam kepengurusan lembaga.

BAB V
TATA KERJA

Pasal 14

(1) LKS Bipartit mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam


sebulan atau setiap kali dipandang perlu.
(2) Materi pertemuan dapat berasal dari unsur pengusaha, unsur pekerja/buruh, atau
dari pengurus LKS Bipartit.
(3) LKS Bipartit menetapkan agenda pertemuan secara periodik.
(4) Hubungan LKS Bipartit dengan lembaga lainnya di perusahaan bersifat koordinatif,
konsultatif, dan komunikatif.

BAB VI
PEMBINAAN

Pasal 15

(1) Pembinaan LKS Bipartit dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat
mengikutsertakan organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :


a. sosialisasi kepada pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
pekerja/buruh dalam rangka pembentukan LKS Bipartit;
b. memberikan bimbingan dalam rangka pembentukan dan pengembangan LKS
Bipartit.

5
BAB VII
PEMBIAYAAN DAN PELAPORAN
Pasal 16
Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS
Bipartit dibebankan pada Perusahaan.
Pasal 17
(1) Pengurus LKS Bipartit melaporkan setiap kegiatan yang dilakukan kepada
pimpinan perusahaan.
(2) Pimpinan perusahaan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
(4) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi secara
berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP-255/MEN/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan
Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 19

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP 730001630
6
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelesaikan perselisihan hubungan


industrial antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan perlu dilakukan
upaya penyelesaian perselisihan melalui perundingan secara
bipartit;

b. bahwa perundingan secara bipartit dilakukan dengan prinsip


musyawarah untuk mencapai mufakat secara kekeluargaan
dan keterbukaan;

c. bahwa untuk mengefektifkan pelaksanaan perundingan


bipartit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 perlu menyusun pedoman
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
perundingan bipartit;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu ditetapkan dengan
Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat


Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3989);

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356);

4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang


Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 20/P Tahun 2005;
Memperhatikan : Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program
Ekonomi Tahun 2008 – 2009;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI
PERUNDINGAN BIPARTIT.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/


serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial dalam satu perusahaan.

2. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan


pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Pasal 2

Setiap terjadi perselisihan hubungan industrial wajib dilakukan perundingan


penyelesaian perselisihan secara bipartit sebelum diselesaikan melalui mediasi atau
konsiliasi maupun arbitrase.

Pasal 3

(1) Dalam melakukan perundingan bipartit, para pihak wajib :


a. memiliki itikad baik;
b. bersikap santun dan tidak anarkis; dan
c. menaati tata tertib perundingan yang disepakati.

(2) Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2
(dua) kali berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi
melakukan perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-
bukti permintaan perundingan.

Pasal 4

(1) Perundingan bipartit dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :


a. tahap sebelum perundingan dilakukan persiapan :

1) pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya


secara tertulis kepada pihak lainnya;

2
2) apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan
yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat
memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan;

3) pihak pengusaha atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat


harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung;

4) dalam perundingan bipartit, serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha


dapat meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-
masing;

5) dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat
pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang
pekerja/buruh, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati
paling banyak 5 (lima) orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan;

6) dalam hal perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu


perusahaan, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk
wakilnya paling banyak 10 (sepuluh) orang.

b. tahap perundingan :
1) kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan;
2) kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis
dan jadwal perundingan yang disepakati;
3) dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama perundingan
dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana
mestinya;
4) para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang
disepakati;
5) dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka
para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari
kerja;
6) setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat
dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak;
7) setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh
para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani,
maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;
8) hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang-
kurangnya memuat :
1. nama lengkap dan alamat para pihak;
2. tanggal dan tempat perundingan;
3. pokok masalah atau objek yang diperselisihkan;
4. pendapat para pihak;
5. kesimpulan atau hasil perundingan;
6. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
9) rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak
bersedia menandatanganinya;

3
c. tahap setelah selesai perundingan :
1) dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada
Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak
mengadakan Perjanjian Bersama;
2) apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh
bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui
perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Contoh bentuk permintaan perundingan secara bipartit, daftar hadir perundingan,
risalah perundingan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara bipartit,
perjanjian bersama, dan contoh permohonan pencatatan perselisihan hubungan
industrial sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sampai dengan Lampiran V
Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
Untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial, para pihak melakukan
hal-hal sebagai berikut :
a. pihak pengusaha agar :
1) memenuhi hak-hak pekerja/buruh tepat pada waktunya; dan
2) membangun komunikasi yang baik dengan pihak pekerja/buruh.
b. pihak pekerja/buruh agar :
1) melakukan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab; dan
2) membangun komunikasi yang baik dengan pihak pengusaha maupun dengan
serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 6
Perundingan bipartit yang berkaitan dengan penyusunan Perjanjian Kerja Bersama,
mengikuti prosedur yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER. 08/MEN/III/2006.
Pasal 7
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA.M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP 730001630 4
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

PERMINTAAN PERUNDINGAN SECARA BIPARTIT

Nomor : (Tempat), (tanggal) ............................


Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal. : Permintaan Perundingan Kepada yth.
Sdr. ........................................

Dengan hormat,

Sehubungan dengan adanya permasalahan yang perlu dirundingkan secara


Bipartit maka kami mengajukan untuk melakukan musyawarah pada :
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Untuk menyelesaikan masalah sebagai berikut :
1. ........................................................................................................
2. ........................................................................................................
3. ................................................................................. dst
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.

Pihak
*)Pengusaha/Pekerja/Buruh/
Serikat Pekerja/Serikat Buruh

ttd

(Nama)
*) Coret yang tidak perlu.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.


Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP 730001630 5
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

DAFTAR HADIR PERUNDINGAN

HARI :
TANGGAL :
TEMPAT :
ACARA : SIDANG ( I, II, III )
MASALAH :

PIHAK
NO. NAMA ALAMAT PENGUSAHA/ TANDA KETERANGAN
PEKERJA/ TANGAN
BURUH/
SERIKAT
PEKERJA/SERI
KAT BURUH

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.


Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP 730001630
6
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

RISALAH PERUNDINGAN PENYELESAIAN


PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SECARA BIPARTIT

1. Nama Perusahaan : ...................................................................


2. Alamat Perusahaan : ...................................................................
3. Nama Pekerja/Buruh/ : ...................................................................
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
4. Alamat Pekerja/Buruh/ : ...................................................................
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
5. Tanggal dan Tempat Perundingan : ...................................................................

6. Pokok Masalah/Alasan Perselisihan : ...................................................................

7. Pendapat Pekerja/Buruh/ : ...................................................................


Serikat Pekerja/Serikat Buruh

8. Pendapat Pengusaha : ...................................................................

9. Kesimpulan atau Hasil Perundingan : ...................................................................

...................., ....................200.....

Pihak Pengusaha Pihak Pekerja/Buruh/


Serikat Pekerja/Serikat Buruh
ttd ttd

(Nama) (Nama)

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH 7
NIP 730001630
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

PERJANJIAN BERSAMA
Pada hari ini................ tanggal ....... bulan ......... tahun....... kami yang bertanda tangan
di bawah ini :
1. Nama :
Jabatan :
Perusahaan :
Alamat :
Yang selanjutnya disebut Pihak ke-1 (Pengusaha)
2. Nama :
Jabatan :
Alamat :
Yang selanjutnya disebut Pihak ke-2 (Pekerja/Buruh/Serikat Pekerja/Serikat
Buruh)
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1) antara
Pihak ke-1 dan Pihak ke-2 telah mengadakan perundingan secara bipartit dan telah
tercapai kesepakatan sebagai berikut :
............................................................................................................................................
Kesepakatan ini merupakan perjanjian bersama yang berlaku sejak ditandatangani di
atas materai cukup.
Demikian Perjanjian Bersama ini dibuat dalam keadaan sadar tanpa paksaan dari pihak
manapun, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab yang didasari itikad
baik.

Pihak Pengusaha Pihak Pekerja/Buruh/


Serikat Pekerja/Serikat Buruh
ttd ttd

(Nama) (Nama)

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH 8
NIP 730001630
LAMPIRAN V
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

PERMOHONAN PENCATATAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Nomor : (Tempat), (tanggal).................................
Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal : Permohonan pencatatan perselisihan
Hubungan Industrial
Kepada Yth.
Sdr.....................................
(instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan)
di –
Dengan hormat,
Setelah dilakukan upaya secara maksimal untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial antara :
1. Nama Perusahaan :
2. Jenis Usaha :
3. Alamat :
dengan
1. Nama Pekerja/Buruh/Serikat Pekerja/Serikat Buruh :
2. Alamat Pekerja/Buruh/ Serikat Pekerja/Serikat Buruh :
dengan duduk permasalahan sebagai berikut :
- .................................................................................................................................................
- .........................................................................................................................................dst.
Permasalahan di atas telah dirundingkan secara bipartit, namun tidak menghasiklan
kesepakatan, maka sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Pasal 4 ayat (1)
dengan ini kami mohon bantuan Saudara untuk mencatat dan membantu menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial dimaksud (risalah perundingan terlampir).
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Pihak Pengusaha/Pekerja/Buruh/
Serikat Pekerja/Serikat Buruh*)
ttd
(Nama)
*) Coret yang tidak perlu.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH 9
NIP 730001630
PERATURAN BERSAMA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, MENTERI DALAM NEGERI


MENTERI PERINDUSTRIAN, DAN MENTERI PERDAGANGAN.

NOMOR : PER.21/MEN/XI/2008
NOMOR : 53/2008
NOMOR : 97/M-IND/11/2008
NOMOR : 48/M-DAG/PER/11/2008

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN BERSAMA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI PERINDUSTRIAN,
DAN MENTERI PERDAGANGAN. NOMOR : PER.16/MEN/X/2008, NOMOR : 49/2008, NOMOR : 922.1/M-
IND/10/2008, NOMOR : 39/M-DAG/PER/10/2008

TENTANG PEMELIHARAAN MOMENTUM PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL DALAM MENGANTISIPASI


PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN GLOBAL.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, MENTERI DALAM NEGERI


MENTERI PERINDUSTRIAN, DAN MENTERI PERDAGANGAN.

Menimbang : a. Bahwa dalam upaya penyamaan persepsi mengenai makna dan penetapan upah
minimum sebagai diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian,
Dan Menteri Perdagangan. Nomor : PER.16/MEN/X/2008, Nomor : 49/2008,
Nomor : 922.1/M-IND/10/2008, Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2008 perlu
melakukan perubahan atas Peraturan Bersama tersebut ;

b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu


melakukan perubahan yang ditetapkan dengan Peraturan Bersama Menteri
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Perindustrian, Dan Menteri Perdagangan ;

Mengingat : 1. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3214) ;

2. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia nomor 3274) ;

3. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia nomor 4279) ;

4. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) ;

5. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4866).

6. Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi,


Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, Dan Menteri Perdagangan.
Nomor : PER.16/MEN/X/2008, Nomor : 49/2008, Nomor : 922.1/M-
IND/10/2008, Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2008, tentang Pemeliharaan
Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi
Perkembangan Perekonomian Global ;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN BERSAMA MENTERI MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI, MENTERI DALAM NEGERI , MENTERI
PERINDUSTRIAN DAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR :
PER.16/MEN/X/2008, NOMOR : 49/2008, NOMOR : 922.1/M-IND/10/2008,
NOMOR : 39/M-DAG/PER/10/2008 TENTANG PEMELIHARAAN
MOMENTUM PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL DALAM
MENGANTISIPASI PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN GLOBAL.

Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, Dan Menteri
Perdagangan. Nomor : PER.16/MEN/X/2008, Nomor : 49/2008, Nomor : 922.1/M-
IND/10/2008, Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2008, tentang Pemeliharaan Momentum
Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian
Global :

1. Mengubah ketentuan Pasal 2 sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2

Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut :

(a). Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan .

- Konsolidasi unsur pekerja/buruh dan pengusaha melalui forum Lebaga Kerja


Sama ( LKS ) Tripartit Nasional dan Daerah serta Dewan Pengupahan Nasional
dan Daerah agar dalam merumuskan rekomendasi kebijakan ketenagakerjaan
senantiasa mendukung kelangsungan berusaha dan ketenangan bekerja, dengan
memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya.

- Upaya mendorong komunikasi Bipartit yang efektif antar unsur pekerja/buruh


dan pengusaha di perusahaan ;

- Upaya meningkatkan efektivitas mediasi penyelesaian perselisihan hubungan


industrial secara cepat dan berkeadilan serta pencegahan terjadinya pemutusan
hubungan kerja ;

(b). Menteri Dalam Negeri melakukan :

- Upaya agar Gubernur dan Bupati/Walikota dalam menetapkan segala kebijakan


ketenagakerjaan di wilayah mendukung kelangsungan berusaha dan ketenangan
bekerja, tanpa meninggalkan usaha untuk kenaikan pendapatan pekerja / buruh
menuju pemenuhan kebutuhan hidup layak dengan mempertimbangkan tingkat
inflasi, dengan cara meningkatkan komunikasi yang efektif dalam Lembaga
Kerjasama Tripartit Daerah, dan Dewan Pengupahan Daerah ;

- Upaya agar Gubernur dalam menetapkan Upah minimum dan segala kebijakan
ketenagakerjaan di wilayahnya senantiasa mendukung kelangsungan berusaha
dan ketenangan bekerja dengan memperhatikan kemampuan dunia usaha
khususnya usaha padat karya ;

- Upaya agar Gubernur dan Bupati/Walikota senantiasa mengoptimalkan peran,


fungsi dan pelaksanaan tugas pejabat fungsional ketenagakerjaan dan lembaga –
lembaga ketenagakerjaan lainnya.

(c). Menteri Perindustrian melakukan :

- Upaya peningkatan efisiensi proses produksi, optimalisasi kapasitas produksi


dan daya saing produk industri ;

- Penyusunan kebijakan penggunaan produksi dalam negeri dan melaksanakan


monitoring pelaksanaannya.
(d). Menteri Perdagangan melakukan :

- Upaya peningkatan pencegahan dan penangkalan penyeludupan barang –


barang dari luar negeri ;

- Upaya untuk memperkuat pasar dalam negeri dan promosi penggunaan produk
dalam negeri ;

- Upaya untuk mendorong ekspor hasil industri padat karya.

2. Mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 3

Gubernur dalam menetapkan upah minimum mempertimbangkan rekomendasi Dewan


Pengupahan Daerah dan atau Bupati / Walikota dengan memperhatikan kebutuhan hidup
layak para pekerja / buruh, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi daerah / wilayah.

Pasal II

Peraturan Bersama ini mulai berlaku sejak ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Nopember 2008

MENTERI TENAGA KERJA DAN MENTERI DALAM NEGERI, ,


TRANSMIGRASI,

ttd ttd

ERMAN SUPARNO H. MARDIYANTO

MENTERI PERINDUSTRIAN, MENTERI PERDAGANGAN

ttd ttd

FAHMI IDRIS MARI ELKA PANGESTU


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
4 September 2008

Yth. 1. Para Gubernur


2. Para Bupati/Walikota
di Seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR: SE. 358/MEN/SJ-OKP/IX/2008

TENTANG

PEDOMAN PENATAAN KELEMBAGAAN PERANGKAT DAERAH BIDANG

KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

I. Pendahuluan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi


Perangkat Daerah, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu mengeluarkan
surat edaran tentang pedoman penataan kelembagaan perangkat daerah untuk
urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian. Pedoman
penataan dimaksud disusun mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang mengamanatkan
kewenangan pemerintah pusat c.q. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
dalam penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria
pembentukan kelembagaan/ Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian skala nasional. Sedangkan kewenangan
pemerintahan daerah dalam hal ini adalah melaksanakan pembentukan
kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian skala provinsi
atau skala kabupaten/kota.

Dalam membentuk kelembagaan SKPD, pemerintah daerah harus memperhatikan


kriteria pembagian urusan pemerintahan, sebagaimana yang ditetapkan dalam
Pasal 7 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, bahwa
urusan ketenagakerjaan adalah urusan wajib, sedangkan urusan ketransmigrasian
adalah urusan pilihan bagi pemerintahan daerah. Urusan pemerintahan wajib dan
pilihan menjadi dasar penyusunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah.
Dalam menetapkan SKPD, pemerintah daerah harus memperhatikan faktor-faktor
yang dominan menjadi kebutuhan daerah dan dapat mempengaruhi bentuk
organisasi daerah bersangkutan. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007
menetapkan bahwa susunan organisasi Dinas Daerah propinsi dan kabupaten / kota
terdiri atas 1 (satu) Sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, Sekretariat
terdiri dari 3 (tiga) Subbagian, dan masing-masing bidang terdiri dari 3 (tiga) Seksi.
II. Organisasi perangkat daerah bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.
Urusan ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta
peraturan perundangan lainnya meliputi :

• Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan


• Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja;
• Penempatan Tenaga Kerja;
• Perluasan Kesempatan Kerja;
• Perlindungan Tenaga Kerja;
• Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
• Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
• Pengawasan Ketenagakerjaan.

Urusan ketransmigrasian dalam Undang–Undang Nomor 15 Tahun 1997 serta


peraturan perundangan lainnya meliputi :

• Pengarahan dan penempatan;


• Penyiapan permukiman;
• Pembinaan masyarakat dan kawasan transmigrasi.

III. Matriks Pedoman Kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)


(Terlampir)
Matriks Pedoman Penataan Kelembagaan SKPD Bidang Ketenagakerjaan dan
Ketransmigrasian menjelaskan pokok-pokok:

• Urusan Pemerintahan;
• Besaran Organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah;
• Rumusan Nomenklatur.

IV. Penutup
Penyusunan tugas-tugas bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian pada
pedoman ini menggunakan prinsip pola minimal namun untuk pelaksanaannya
diberikan kesempatan yang luas bagi masing-masing daerah untuk menyusun
organisasi perangkat daerahnya sesuai dengan kondisi, karakteristik serta
kemampuan masing-masing daerah dalam rangka menyelenggarakan urusan
pemerintahan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan
organisasi perangkat daerah, antara lain faktor kemampuan keuangan dan sumber
daya manusia, sarana dan prasarana penunjang yang tersedia, serta sasaran tugas
yang harus diwujudkan.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

ttd

Dr. Ir. Erman Suparno, M.B.A., M.Si.


Tembusan :

1. Presiden Republik Indonesia;


2. Menteri Dalam Negeri RI;
3. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara.
LAMPIRAN
SURAT EDARAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE.358/MEN/SJ-OKP/IX/2008
TENTANG
PEDOMAN PENATAAN KELEMBAGAAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH (SKPD)
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAAN

URUSAN BESARAN ORGANISASI


NO RUMUSAN NOMENKLATUR KETERANGAN
PEMERINTAHAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH

I KETENAGAKERJAAN PROVINSI /KABUPATEN/KOTA - DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


DAN KETRANSMIGRASIAN

II KETENAGAKERJAAN
SKPD Model 1 PROVINSI /KABUPATEN/KOTA
a. 3 (tiga) Bidang Ketenagakerjaan a. Bidang Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja - Seluruh Indonesia
(Jika Dinas paling banyak 18 Dinas) - Seksi Perencanaan dan Informasi Pasar kerja
- Seksi Pelatihan dan Produktivitas
- Seksi Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja

b. Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja


- Seksi Kelembagaan Hubungan Industrial dan Perselisihan
- Seksi Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
- Seksi Persyaratan Kerja

c. Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan


- Seksi Pengawasan Norma Kerja.
- Seksi Pengawasan Norma Kerja Perempuan, Anak dan Cacat
- Seksi Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja

d. UPTD Bidang Pelatihan Tenaga Kerja


UPTD Bidang Produktivitas Tenaga Kerja
UPTD Bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

b. 3 (tiga) Bidang Ketenagakerjaan a. Bidang Pelatihan dan Produktivitas


(jika Dinas paling banyak 15 Dinas) - Seksi Pelatihan dan Pengembangan Produktivitas
- Seksi Pembinaan Instruktur dan Kompetensi
- Seksi Lembaga Latihan Tenaga Kerja

b. Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja


- Seksi Informasi Pasar Tenaga Kerja
- Seksi Penempatan Tenaga Kerja
- Seksi Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja

c. Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan


- Seksi Kelembagaan Hubungan Industrial dan Perselisihan
- Seksi Syarat Kerja, Pengupahan dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
- Seksi Pengawasan Norma Ketenagakerjaan

d. UPTD Bidang Pelatihan Tenaga Kerja


UPTD Bidang Produktivitas Tenaga Kerja
UPTD Bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
URUSAN BESARAN ORGANISASI
NO RUMUSAN NOMENKLATUR KETERANGAN
PEMERINTAHAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH

c. 2 (dua) Bidang Ketenagakerjaan a. Bidang Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja


(jika Dinas paling banyak 12 Dinas) - Seksi Perencanaan dan Informasi Pasar Kerja
- Seksi Pelatihan dan Produktivitas
- Seksi Penempatan, Pengembangan dan Perluasan
Kesempatan Kerja

b. Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan


- Seksi Kelembagaan Hubungan Industrial dan Perselisihan
- Seksi Syarat Kerja, Pengupahan dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
- Seksi Pengawasan Ketenagakerjaan

c UPTD Bidang Pelatihan Tenaga Kerja


UPTD Bidang Produktivitas Tenaga Kerja
UPTD Bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

III KETRANSMIGRASIAN

1 SKPD Model 2.a 1) PROVINSI


- Merupakan daerah pengirim
a. 1 (satu) Bidang Ketransmigrasian a Bidang Transmigrasi (Banten, DKI Jakarta, Jawa
(Jika Dinas paling banyak 18 Dinas) - Seksi Pelayanan informasi Barat, Jawa Timur, Jawa
- Seksi Pengarahan Tengah, DI Yogyakarta, dan
- Seksi Perpindahan Bali)

b 1 (satu) Bidang Gabungan b. Bidang Transmigrasi dan bidang lain


(Jika Dinas paling banyak 15 Dinas) - Seksi Pelayanan Informasi dan Pengarah
- Seksi Perpindahan

c 1 (satu) Bidang Gabungan c Bidang Transmigrasi dan bidang lain


(Jika Dinas paling banyak 12 Dinas) - Seksi Transmigrasi

d. UPTD Pelatihan Transmigrasi


2) KABUPATEN/KOTA

1 (satu) Bidang Gabungan - Bidang Transmigrasi dan bidang lain


- Seksi Transmigrasi
URUSAN BESARAN ORGANISASI
NO RUMUSAN NOMENKLATUR KETERANGAN
PEMERINTAHAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH

2 SKPD Model 2.b 1) PROVINSI - Merupakan daerah penerima


(Papua, Kalimantan,
a. 1 (satu) Bidang Ketransmigrasian b. Bidang Transmigrasi Sulawesi, NTT, NTB, Maluku
(Jika Dinas paling banyak 18 Dinas) - Seksi Penyiapan dan Sumatera)
- Seksi Penempatan
- Seksi Pembinaan

b 1 (satu) Bidang Gabungan b. Bidang Transmigrasi dan bidang lain


(Jika Dinas paling banyak 15 Dinas) - Seksi Penyiapan dan Penempatan
- Seksi Pembinaan Kawasan Transmigrasi

c 1 (satu) Bidang Gabungan c Bidang Transmigrasi dan bidang lain


(Jika Dinas paling banyak 12 Dinas) - Seksi Transmigrasi

d. UPTD Pelatihan Transmigrasi

2) KABUPATEN/KOTA

a. 1 (satu) Bidang Ketransmigrasian a. Bidang Transmigrasi


(Jika Dinas paling banyak 18 Dinas) - Seksi Penyiapan Permukiman
- Seksi Penempatan
- Seksi Pembinaan Masyarakat dan Kawasan

b 1 (satu) Bidang Gabungan b. Bidang Transmigrasi dan bidang lain


(Jika Dinas paling banyak 12 dan 15 Dinas) - Seksi Penyiapan Permukiman dan Penempatan
- Seksi Pembinaan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi

Jakarta, 4 September 2008

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

TTD

Dr. Ir. Erman Suparno, M.B.A., M.Si


Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

PRESIDENT OF REPUBLIC OF INDONESIA


ACT NUMBER 2 YEAR 2004
CONCERNING
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES SETTLEMENT

III - 57
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

III - 58
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

Contents

CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS III-65

CHAPTER II
PROCEDURES ON SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES III-68
Section One : Settlement Through the Bipartite Mechanism
Section Two : Settlement Through Mediation
Section One : Settlement Through Conciliation
Section One : Settlement Through Arbritation

CHAPTER III
INDUSTRIAL RELATIONS COURT III-89
Section One : General
Section Two : Judge, Ad-Hoc Judge and Supreme Court Judge
Section One : Sub-Registrar Office and Substitute Registrar
Section One : Settlement Through Arbritstion

CHAPTER IV
SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH
THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT III-97
Section One : Settlement of Dispute by the Justice
Subsection 1 : Submission of Petition
Subsection 2 : Hearing with Ordinary Procedure
Subsection 3 : Hearing with Fast Procedure
Subsection 4 : Passing of Verdict
Section Two : Settlement of Dispute by Supreme Court Judge

III - 59
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

CHAPTER V
ADMINISTRATIVE SANCTION AND
CRIMINAL PROVISIONS III-106
Section One : Administrative Sanction
Section Two : Criminal Provisions

CHAPTER VI
OTHER PROVISIONS III-109

CHAPTER VII
TRANSITIONAL PROVISIONS III-109

III - 60
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

EXPLANATORY NOTES OF
ACT OF THE
REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 2 OF THE YEAR 2004

CONCERNING

THE INDUSTRIAL RELATIONS


ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA DISPUTES SETTLEMENT
NUMBER 2 OF THE YEAR 2004
I. GENERAL
CONCERNING
Industrial Relations, meaning the inter-
linkage of interests between workers/labourers
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
and employers, have the potential of giving
SETTLEMENT rise to differences of opinion and even disputes
between the two sides.
Disputes in the field of industrial
relations up to now have been identified as
occurring with regard to predetermined rights,
or with regard to any manpower conditions
that have not been codified whether they are
BY THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY work agreements, company regulations,
collective labour agreements, or legislative
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF articles.
INDONESIA, Industrial disputes can also be caused
by termination of the work relationship. The
Considering: stipulation on layoffs that up to know has
been arranged under Act No.12 of 1984
a. That harmonious, dynamic, and fair industrial relations concerning the Termination of employment
need to be put into practice in an optimal manner in in Private Corporations, turns out to be no
accordance with Pancasila values; longer effective in preventing and resolving
cases involving layoffs. This is caused by the
b. That in the era of industrialization, the problem of fact that the relationship between the workers/
industrial disputes have become more frequent and labourers and employers is a relationship
complex, so that it is necessary to establish institutions based on agreement between the parties
involved to bind themselves within such a
and mechanisms for settlement of industrial disputes that
working relationship. In the event one party
are prompt, appropriate, just, and inexpensive; no longer wishes to be bound by such a work
c. That the Act No. 22 of 1957 concerning Settlement of relationship, it becomes difficult for the parties
Labour Disputes and Act No. 12 of 1964 concerning concerned to maintain harmonious relations.
For that reason it becomes necessary to find
Termination of Employment in Private Corporations is the best solution for both parties to agree on
no longer suitable with the needs of the society; the form of settlement, so that the Industrial
d. That based on considerations as were mentioned under Relations Court as arranged under this Act
will be able to resolve cases of termination
letters a, b, and c, there needs to be stipulated an Act that that are considered unacceptable by one of
calls for an arrangement of matters concerning Industrial the parties.
Dispute Settlement. In line with the era of openness and

III - 61
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

In view of: democratization in the world of industry as


manifested by the existence of freedom of
1. Article 5 subsection (1), Article 20, Article 24, Article association for the workers/labourers, the
25, Article 27 Subsections (1), as well as Article 28 D number of labour unions within a company
subsection (1) and subsection (2) of the 1945 Constitution may not be limited. Competition between
of the Republic of Indonesia; the labour unions in one company may result
in strife among those labour unions, and in
2. Act No 14 of 1970 on Principal Provisions of Judiciary general are linked to membership and
Power (State Gazette No. 74 of 1970, Republic of representation matters related to the
Indonesia, Addendum to the State Gazette No. 2951) as negotiations for drawing up a collective labour
agreement.
has been revised by Act No. 35 of 1999 on the Revision
of Act No. 14 of 1970 concerning the Principal Provisions Legislation that oversees the resolution
of industrial disputes up to now has not been
of Judiciary Power (State Gazette No. 147 of 1999, able to put into effect a quick, appropriate,
Republic of Indonesia, Addendum to the State Gazette just, and inexpensive way of settling disputes.
No. 3879); Act No. 22 of 1957 that all along has
3. Act No. 14 of 1985 on the Supreme Court (State Gazette been used as the legal basis for industrial
relations dispute settlement is felt no longer to
No. 73 0f 1985, Republic of Indonesia, Addendum to be able to accommodate the developments
the State Gazette No. 3316); that have occurred, as the rights of the
4. Act No. 2 of 1986 on the General Judiciary (State Gazette individual workers/labourers have not been
considered sufficiently important to allow
No 20 of 1986, Republic of Indonesia, Addendum to
them to be a party in industrial dispute
the State Gazette No. 3327); settlements.
5. Act No 21 of 2000 on Wokers/Labour Unions (State Act No. 22 of 1957 that all along has
Gazette No. 131 of 2000, Republic of Indonesia, been used as the legal basis for industrial
Addendum to the State Gazette No. 3989); relations dispute settlement only covers the
disputes involving rights and the collective
6. Act No. 13 of 2003 on Manpower (State Gazette No. 39 interest, whereas the settlement of industrial
of 2003, Republic of Indonesia, Addendum to the State disputes concerning workers/labourers
Gazette No. 4279); individually has not been accommodated.
Another quite fundamental matter is
the passage of the P4P decisions as being
By the joint approval between within the realm of the State Administrative
THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF Agency, as stipulated by Act No. 5 of 1986
regarding the State Administrative Agency
THE REPUBLIC OF INDONESIA Judicial System. With the enactment of this
AND stipulation, the road to be traversed both by
the workers/labourers and the employers in
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA order to obtain justice have become
increasingly lengthy.
DECIDE: The best dispute resolution is settlement
by the parties involved in the disagreements
To stipulate: so that a result advantageous to both sides can
ACT CONCERNING INDUSTRIAL RELATIONS be attained. This bipartite settlement is
conducted through deliberations and
DISPUTES SETTLEMENT consensus between the two parties without
intervention by any other party whatsoever.
Nevertheless the government in its

III - 62
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

endeavors to provide public service, specifically to the community of workers/labourers


as well as employers has the obligation to facilitate the settlement of those industrial
disputes. Efforts at facilitation are carried out through providing the services of a
mediator assigned to reconcile the interests of the two disputing parties.
With the onset of the democratization era in all fields, the involvement of society
in industrial relations dispute settlement should be accommodated, through conciliation
or arbitration.
Dispute settlement through arbitration in general has been codified through the
Act No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Settlements that
is in effect for commercial disputes. For that reason arbitration in industrial relations
as arranged under this Act is a special solution for dispute settlement in the field of
industrial relations.
With the considerations as outlined above, this Act should oversee settlement of
industrial disputes caused by:
a. differences of opinion or interests on labour conditions that have not been covered
through work agreements, corporate regulations, collective labour agreements, or
legislation.
b. negligence or disregard by one or both parties in carrying out the normative
stipulations as spelled out within the work agreement, company regulations,
collective labour agreement, or enacted legislation.
c. termination of the work relationship.
d. differences of opinion among the trade unions within one company regarding the
implementation of union rights and obligations.
With the range of material concerning industrial disputes as mentioned above,
this Act will include the main topics as follows.
1. The arrangements in resolving industrial disputes that occur both in private
corporations or companies under the aegis of state-owned enterprises (BUMN).
2. The parties involved in these matters are workers/labourers as individuals or as
members of trade union organizations against the employers or employers’
organizations. The parties involved in these cases may also be trade unions facing
other trade unions within a single corporation.
3. Each industrial dispute initially should be settled through deliberations leading to
consensus by the parties in disagreement (in a bipartite manner).
4. In the event deliberations by the parties in dispute (bipartite) fail, then one party
or both parties can register the dispute at the agency responsible for handling local
manpower matters.
5. Disputes concerning differing interests. Disputes arising out of the Termination of
Work Relations or disputes among trade unions that have been registered with the
responsible agency in manpower matters may be settled through conciliation or an
agreement between the two parties, while resolution of disputes through arbitration
can only be for disputes of differing interests and disputes between trade unions. In
the event there is no agreement attained by the two sides to settle their differences
through conciliation or arbitration, then before the case is submitted to the Industrial
Relations Court, firstly mediation should be attempted. This is meant to avoid an
excess of industrial relations dispute cases in the judicial system.
6. Disputes over Rights that have been registered at the agency responsible for the
manpower sector cannot be resolved through conciliation or arbitration, but
before they are submitted to the Industrial Relations Court, must go through a

III - 63
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

mediation process.
7. In cases where Mediation or Conciliation do not achieve a settlement manifested
through a common agreement, then one of the parties can submit a legal action
case to the Industrial Relations Court.
8. Resolution of Industrial Relations Disputes through arbitration is conducted
through an agreement between the parties and cannot be submitted as a legal
action case to the Industrial Relations Court, as an arbitration decision is considered
final and permanent, except in special cases where a cancellation has been submitted
to the Supreme Court.
9. The Industrial Relations Court exists within the realm of the general judicial
system and is established at the District Court in a phased manner and at the
Supreme Court.
10.In order to guarantee a prompt, appropriate, just, and inexpensive settlement, the
resolution of industrial disputes through the Industrial Relations Court within the
general judicial system, is limited in its processes and stages by not providing an
opportunity for appeal to the High Court. The decision of the Industrial Relations
Court arriving at the District Court level, involving disputes over rights and
disputes over termination of work can be directly filed as a supreme court to the
Supreme Court. Whereas a decision of the Industrial Relations Court arriving at
the District Court, involving conflicts over interests and disputes between trade
unions within a corporation is a first-level and final decision that cannot be filed
as a supreme court to the Supreme Court.
11.The Industrial Relations Court that reviews and adjudicates industrial relations
disputes is composed of a Panel of Judges comprising 3 (three) members, namely
a District Court judge and 2 (two) Ad-Hoc Judges, whose appointments are
proposed by the employers organization and workers/labour organization.
12.The decision of the Industrial Relations Court arriving at the District Court level
concerning disputes of differing interests and disputes between trade unions within
one corporation cannot be filed as an appeal to the Supreme Court.
13.In order to uphold the law, sanctions are imposed in order to function as stronger
methods of coercion so that the stipulations within this Act may be obeyed.

III - 64
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

CHAPTER I II. ARTICLE BY ARTICLE

GENERAL PROVISIONS
ARTICLE 1
ARTICLE 1
Numbers 1 through 21
Under this Act, the following definitions shall apply: Sufficiently clear.
1. An Industrial Relations Dispute is a difference of opinion
resulting in a dispute between employers or an association
of employers with workers/labourers or trade unions due
to a disagreement on rights, conflicting interests, a dispute
over termination of employment, or a dispute among trade
unions within one company.
2. Dispute over rights is a dispute arising over the non-
fulfillment of rights, as a result of differences in
implementation or interpretation concerning the laws and
regulations, work agreements, company regulations, or
the collective labour agreement.
3. Dispute over interest is a dispute arises in the work
relationship due to non-convergence of opinions in the
drawing up of, and/or changes in the work requirements
as stipulated in the working agreement, or company
regulations, or collective labour agreement.
4. A dispute over termination of employment is a dispute
arising from the lack of convergence of opinions regarding
the termination of employment as conducted by one of
the parties.
5. A dispute among trade unions is dispute between one
trade union and another trade union within one company,
due to the fact there is non-convergence regarding
membership, implementation of rights, and obligations
to the union.
6. An entrepreneur is:
a. An individual, a partnership or a legal entity that
operates a self-owned enterprise;
b. An individual, a partnership or a legal entity that
independently operates a non-self-owned enterprise;
c. An individual, a partnership or a legal entity located
in Indonesia and representing an enterprise as
mentioned under point a and point b that is domiciled
outside the territory of Indonesia.

III - 65
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

7. An enterprise is:
a. Every form of business, which is either a legal entity
or not, which is owned by an individual, a partnership
or a legal entity that is either privately owned or state
owned, which employs workers/ labourers by paying
them wages or other forms of remuneration;
b. Social undertakings and other undertakings with
officials in charge and which employ people by paying
the wages or other forms of remuneration.
8. A trade union/labour union is an organization that is
formed from, by and for workers/ labourers either within
an enterprise or outside of an enterprise, which is free,
open, independent, democratic, and responsible in order
to strive for, defend and protect the rights and interests of
the worker/ labourer and increase the welfare of the worker/
labourer and their families.
9. A worker/labourer is any person who works and receives
wages or other forms of remuneration.
10. Bipartite bargaining is meeting between the workers/
labourers or trade unions and the employers to resolve
disputes in industrial relations.
11. Industrial Relations Mediation that hereinafter referred
as to mediation is the settlement of disputes over rights,
conflict over interests, disputes over termination of the
work relationship, and disputes between worker/labour
unions within one company only through deliberations
that are interceded by one or more mediators who are
neutral.
12. An Industrial Relations Mediator that hereinafter referred
as to a mediator is a government agency employee
responsible for the manpower field who meet the
requirements as a mediator, and is appointed by the
Minister for the duty of carrying out mediation and has
an obligation to provide a written recommendation to
the parties in dispute in order to resolve disagreements
over rights, conflict over interests, disputes over
termination of working relationships, and disputes
between trade unions within one company.
13. Industrial Relations Conciliation that hereinafter referred
as to conciliation is the settlement of disputes over interests,

III - 66
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

disagreements over termination of work relationships, or


disputes between trade unions within one company only,
through deliberations interceded by one or more neutral
conciliators.
14. An Industrial Relations Conciliator who hereinafter
referred as to a conciliator is one or more persons who
meet the requirements as a conciliator and is appointed
by the Minister, who is assigned to carry out conciliation
and is obliged to give a written recommendation to the
parties in dispute to resolve the disagreements over
interests, dispute over termination of the work relationship,
or a dispute between the trade unions within a single
company.
15. Industrial Relations Arbitration that hereinafter referred
as to arbitration is the resolution of a dispute over interests,
and disputes between trade unions within one company
only, outside the Industrial Relations Court through a
written agreement from the parties in dispute who agree
to submit the settlement of the dispute to an arbiter whose
decision is binding on the parties involved and is final.
16. An Industrial Relations Arbiter who hereinafter referred
as to an arbiter is one or more persons selected by the
parties in dispute from a list of arbiters named by the
Minister to provide a decision on disputes over interests,
and disputes between trade unions within one company
only, with the settlement handed over to arbitration where
the decision is binding on the parties and is final.
17. An Industrial Relations Court is a special court established
within the aegis of the District Court that has the authority
to review, bring to court and provide a verdict concerning
an industrial relations dispute.
18. A Judge is a District Court Career Judge who is assigned
to the Industrial Relations Court.
19. Ad Hoc Judges are ad-hoc judges at the Industrial
Relations Court and ad-hoc judges at the Supreme Court
whose appointments are upon the proposal of the trade
unions and the employer’s organization.
20. Supreme Court Judges are Judges and Ad-Hoc Judges at
the Supreme Court who have the authority to review, bring
to court, and produce a verdict on industrial relations

III - 67
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

disputes.
21. Minister is the minister responsible for manpower affairs.

ARTICLE 2 Article 2
Letter a
The types of Industrial Relations Disputes cover: A dispute over rights is a disagreement
a. disputes of rights; concerning normative rights that has been
determined by a work agreement, company
b. disputes of interests; regulations, collective labour agreement, or
c. disputes over termination of employment; and laws and regulations.
Letter b
d. disputes among trade unions within one company. Sufficiently clear.
Letter c
Sufficiently clear.
CHAPTER II Letter d
PROCEDURES ON SETTLEMENT OF Sufficiently clear.

INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES

ARTICLE 3 ARTICLE 3
Subsection (1)
(1) Industrial relations disputes are required to be resolved The definition of bipartite bargaining
first through bipartite bargaining in deliberation to reach in this article is negotiations between the
consensus. employers or assemblage of employers with
the workers or trade unions, or among one
(2) Settlement of disputes through bipartite mechanism as trade union with another trade union within
stipulated in subsection (1) must be settled at the latest one corporation, who are in disagreement.
within 30 (thirty) working days from the commencement
of negotiations. Subsection (2)
Sufficiently clear.
(3) In the event that within a time frame of 30 (thirty) days
as stipulated in subsection (2), one party refuses to Subsection (3)
continue negotiations or there had been bargaining which Sufficiently clear.
did not result in agreement, then the bipartite meetings
will be considered to have failed.

ARTICLE 4 ARTICLE 4
Subsection (1)
(1) In the event the bipartite bargaining failed as stipulated Sufficiently clear.
in Article 3 subsection (3), then one or both of the parties
can file their dispute to the local authorized manpower Subsection (2)
Sufficiently clear.
offices, and attaching proof that efforts to resolve the
dispute through bipartite bargaining have been Subsection (3)
conducted. The stipulations within this article
(2) In the event the proofs as stipulated in subsection (1) provide the freedom for the parties in dispute
to freely select the method of dispute settlement
were not attached, then the authorized manpower offices that they wish.
will return the dossier to be made complete at the latest

III - 68
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

within 7 (seven) working days from the date the dossier Subsection (4)
was returned. Sufficiently clear.

(3) After receiving a written report from one or both parties, Subsection (5)
the local authorized manpower offices is required to offer Sufficiently clear.
to both parties a Collective Agreement to select a
Subsection (6)
settlement through conciliation or arbitration. Sufficiently clear.
(4) In the event the parties do not select settlement through
conciliation or arbitration within 7 (seven) working days,
then the authorized manpower offices will transfer
settlement of the dispute to a mediator.
(5) Settlement through conciliation is conducted for resolution
of disputes over interests, disputes on termination of work
relationships, or disputes among trade unions.
(6) Settlement through arbitration is conducted for resolution
of disputes over interest or disputes among trade unions.

ARTICLE 5 ARTICLE 5
In cases where an attempt at settlement through Sufficiently clear.
conciliation or mediation does not result in agreement, then
one of the parties can file a legal petition to the Industrial
Relations Court.

SECTION ONE
SETTLEMENT THROUGH THE BIPARTITE MECHANISM

ARTICLE 6 ARTICLE 6
Sufficiently clear.
(1) Every bargaining as meant in Article 3 must be evidenced
by a minutes signed by the parties.
(2) The minutes of the bargaining as mentioned in subsection
(1) must at the least contain:
a. full names and addresses of the parties;
b. date and venue of the bargaining;
c. agenda or reasons underlying the dispute;
d. the positions of each party;
e. a summary or results of the bargaining; and
f. date and signatures of the parties involved in the
bargaining.

III - 69
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 7 ARTICLE 7
Sufficiently clear.
(1) In the event that the bargaining as stipulated in Article 3
reach an agreement for settlement, then a Collective
Agreement is drawn up and signed by the parties.
(2) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1)
is binding and become the law and must be performed
by the parties.
(3) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1)
is required to be registered by the parties to the Industrial
Relations Court at the local District Court where the
parties conducted the Collective Agreement.
(4) The Collective Agreement that has been registered as
mentioned in subsection (3) will be provided with a
Collective Agreement registration deed that will be an
inseparable part of the Collective Agreement.
(5) In the event that the Collective Agreement as mentioned
under subsection (3) and subsection (4) is not
implemented by one of the parties, then the party suffering
injury can file a petition for execution to the Industrial
Relations Court at the local District Court where the
Collective Agreement was registered, in order to obtain
an order for execution.
(6) In the case the petitioner for execution is domiciled outside
the jurisdiction of the District Court where the Collective
Agreement was registered as mentioned in subsection (3),
then the petitioner can submit a request for court order
through the Industrial Relations Court in the District
Court at the domicile of the petitioner to be forwarded to
an Industrial Relations Court in the District Court having
the competency to conduct the execution.

SECTION TWO
SETTLEMENT THROUGH MEDIATION

ARTICLE 8 ARTICLE 8
Settlement of a dispute through mediation is carried out Sufficiently clear.
by a mediator which present at each manpower office at the
District/City level.

III - 70
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 9 ARTICLE 9
As the mediator is a government civil
A mediator as meant by Article 8 must meet the following
servant, thus besides the requirements
requirements: mentioned in this article, there must also be
a. believe and subservient to God Almighty; some consideration of other stipulations that
cover civil servants in general.
b. Indonesia citizen;
c. physically healthy according to a doctor’s certificate;
d. mastering manpower laws and regulations;
e. has dignity, honesty, fair and good reputation;
f. has a level of education of at least university or bachelor
degree (S1); and
g. other requirements as determined by the Minister.

ARTICLE 10 ARTICLE 10

At the latest within 7 (seven) working days of receiving Sufficiently clear.


the transfer of responsibility for settlement of the dispute, the
mediator must have conducted an investigation of the case
and immediately prepare a mediation hearing.

ARTICLE 11 ARTICLE 11
Subsection (1)
(1) The mediator may summon witnesses or expert witnesses The expert witness mentioned in this
to attend the mediation hearing to request and hear the Article is one with special expertise in his/her
information. field, including Labour Inspectors.
(2) The witness or expert witness that fulfills the summons Subsection (2)
has a right to receive compensation for transport and Sufficiently clear.
accommodation costs with the amount to be determined
by a Ministerial Decision.

ARTICLE 12 ARTICLE 12
Subsection (1)
(1) Any person who is asked for information by the mediator What is meant by opening up the
for the purpose of settlement of an industrial dispute based company books and showing documents in
on this Act, has the obligation to provide information this Article is among others the register of
including opening the books and showing necessary wages or orders for overtime work and other
documents. documents, carried out by persons named by
the mediator.
(2) In cases where the information needed by the mediator
has some connection with someone who due to his position Subsection (2)
must preserve confidentiality, then procedures must be As in certain positions, based on laws
and regulations, secrecy must be preserved,
undertaken as arranged under the prevailing laws and thus requests for information submitted to
regulations. persons in those positions serving as expert
witnesses must follow a predetermined
procedure

III - 71
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(3) The mediator must preserve the confidentiality of all Example: In cases that concern someone
information requested as meant under subsection (1). making a request for information about
another party’s bank account details that
request will only be met by bank officials if
there is permission from the Bank Indonesia
or from the owner of the account himself/
herself (Act No. 10 of 1998 on Banking).
Likewise there is also the stipulation
under Act No. 7 of 1971 concerning the
Primary Regulations on Archival Materials
etc.

Subsection (3)
Sufficiently clear.

ARTICLE 13 ARTICLE 13
Subsection (1)
(1) In the event an agreement to settle industrial relations Sufficiently clear.
dispute through mediation is reached, then a Collective
Agreement shall be drawn up and signed by the parties Subsection (2)
and witnessed by the mediator, as well as being registered Letter a
What is meant by a written
at the Industrial Relations Court in the District Court recommendation is an opinion or suggestion
within the jurisdiction where the parties conducting the in writing that is proposed by the mediator to
Collective Agreement, in order to obtain a registration the parties involved as an effort to obtain a
deed. settlement of their dispute.
Letter b
(2) In the event no agreement is reached on settlement of the Sufficiently clear.
industrial dispute through mediation, then: Letter c
a. the mediator will issue a written recommendation; Sufficiently clear.
Letter d
b. the written recommendation as mentioned under letter Sufficiently clear.
a, at the latest within 10 (ten) working days after the Letter e
first mediation session was held, must be conveyed to Sufficiently clear.
both parties;
c. the parties should have provided a written answer to
the mediator with the contents indicating whether they
accept or reject the written recommendation at the
latest within 10 (ten) working days after receiving the
written recommendation;
d. any party not providing an opinion as meant in letter
c, will be considered to have rejected the written
recommendation;
e. in the case of the parties accepting the written
recommendation as meant within letter a, then at the
latest within 3 (three) working days of the written

III - 72
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

recommendation being agreed upon, the mediator Subsection (3)


must have completed work in assisting the parties to Sufficiently clear.
draw up a Collective Agreement and register at the
Industrial Relations Court in the District Court within
the jurisdiction where the parties conducted their
Collective Agreement in order to obtain a registration
deed.
(3) The registration of the Collective Agreement at the
Industrial Relations Court in the District Court as
mentioned in subsection (1) and subsection (2), letter e,
will be carried out as follows:
a. The Collective Agreement that has been registered will
be given a proof of registration deed and constitutes
an inseparable part of the Collective Agreement;
b. in the case of the Collective Agreement as mentioned
in subsection (1) and subsection (2), letter e, not being
performed by one of the parties, then the party
suffering injury may submit a petition for execution
to the Industrial Relations Court in the local District
Court where the Collective Agreement was registered
in order to obtain an order for execution;
c. in the event of the petitioner for court action is
domiciled outside the jurisdiction of the Industrial
Relations Court at the District Court where the
Collective Agreement was registered, then the
petitioner may submit the petition through the
Industrial Relations Court in the District Court at the
domicile of the petitioner, to be forwarded to the
Industrial Relations Court in the District Court having
competence in conducting the execution.

ARTICLE 14 ARTICLE 14
Subsection (1)
(1) In the case of the written recommendation as meant in Sufficiently clear.
Article 13, subsection (2), letter a, being rejected by one
or both of the parties, then the parties or one of the parties Subsection (2)
may continue to file settlement of the dispute to the The stipulation on taking legal action
as arranged under this subsection is in
Industrial Relations Court in the local District Court. accordance with the procedures for resolving
(2)The settlement of the dispute as mentioned in subsection civil cases at the general judiciary.
(1) is conducted through a petition by one of the parties
to the Industrial Relations Court in the local District
Court.

III - 73
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 15 ARTICLE 15
Sufficiently clear.
The mediator must complete his duties at the latest
within 30 (thirty) working days from the time the transfer of
responsibility for settlement of the dispute is received, as
mentioned in Article 4 subsection (4).

ARTICLE 16 ARTICLE 16

The provisions concerning the procedures for Sufficiently clear.


appointment and termination of the mediator and the work
procedures of mediation shall be regulated with a Ministerial
Decision.

SECTION THREE
SETTLEMENT THROUGH CONCILIATION

ARTICLE 17 ARTICLE 17
Settlement of a dispute through conciliation is conducted Sufficiently clear.
by a conciliator registered at the manpower offices at the
District/City level.

ARTICLE 18 ARTICLE 18
Sufficiently clear.
(1) Settlement of disputes over interests, disputes over
termination of employment or disputes between trade
unions within one company, through conciliation is
carried out by a conciliator whose work area covers the
place of work of the workers/labourers.
(2) Settlement by a conciliator as mentioned in subsection
(1) is conducted after the parties submit a request for
settlement in a written to a conciliator appointed and
agreed by the parties.
(3) The parties may know the name of the chosen and agreed
conciliator from a list of conciliators’ names posted and
announced at the local Government office responsible for
manpower affairs.

ARTICLE 19 ARTICLE 19
Subsection (1)
(1) The conciliator, as mentioned in Article 17, must meet Letter a
these requirements: Sufficiently clear.
Letter b
a. believe and subservient to God Almighty.
Sufficiently clear.
b. Indonesia citizen;

III - 74
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

c. minimal 45 years of age; Letter c


Sufficiently clear.
d. has a level of education of at least university or bachelor Letter d
degree (S1); Sufficiently clear.
e. physically healthy according to a doctor’s certificate; Letter e
Sufficiently clear.
f. has dignity, honesty, fair, and good reputation; Letter f
g. has experience in the industrial relations field for at Sufficiently clear.
Letter g
least 5 (five) years; Sufficiently clear.
h. Mastering manpower laws and regulations; and Letter h
Sufficiently clear.
i. other requirements as determined by the Minister. Letter i
(2) The registered conciliators as mentioned in subsection What is meant by other requirements
(1) will be given a legitimization by the Minister or the under this letter i is among others:
arrangements on the standard of competence
authorized official on manpower affairs.
of the conciliator, training of the apprentices
or conciliators, selection of apprentice
conciliators, and other technical matters.

Subsection (2)
Sufficiently clear.

ARTICLE 20 ARTICLE 20
Sufficiently clear.
Within maximum of 7 (seven) working days after
receiving the request for dispute settlement in written, the
conciliator must have conducted an investigation regarding
the case and at the latest by the eighth working day, the first
conciliation session must have been held.

ARTICLE 21 ARTICLE 21
Sufficiently clear.
(1) The conciliator may summon witnesses or expert witnesses
to attend the mediation hearing to request and hear the
information.
(2) The witness or expert witness that fulfills the summons
has a right to receive compensation for transport and
accommodation costs with the amount to be determined
by a Ministerial Decision.

ARTICLE 22 ARTICLE 22
Subsection (1)
(1) Any person who is asked for information by the conciliator What is meant by opening up the
for the purpose of settlement of an industrial dispute based company books and showing documents in
on this Act, has the obligation to provide information this Article is among others records of wages
including opening the books and showing necessary or orders for overtime work and other matters

III - 75
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

documents. conducted by persons named by the


conciliator.
(2) In cases where the information needed by the conciliator
has some connection with someone who due to his position Subsection (2)
must preserve confidentiality, then procedures must be As in certain positions, based on the laws
undertaken as arranged under the prevailing laws and and regulations, secrecy must be preserved,
thus requests for information submitted to
regulations. persons in those positions acting as expert
(3) The conciliator must preserve the confidentiality of all witnesses must follow a predetermined
information requested as meant under subsection (1). procedure.
Example: In the case of someone
requesting information about another party’s
bank account details that request will only be
met by bank officials if there is permission
from the Bank Indonesia or from the owner
of the account himself/herself (Act No. 10 of
1998 on Banking).
Similarly there is also the
stipulation under Act No. 7 of 1971
concerning the Primary Regulations on
Archival Materials etc.

Subsection (3)
Sufficiently clear.

ARTICLE 23 ARTICLE 23
Sufficiently clear.
(1) In the event an agreement to settle industrial relations
dispute through conciliation is reached, then a Collective
Agreement shall be drawn up and signed by the parties
and witnessed by the conciliator, as well as being registered
at the Industrial Relations Court in the District Court
within the jurisdiction where the parties conducting the
Collective Agreement, in order to obtain a registration
deed.
(2) In the event no agreement is reached on settlement of the
industrial dispute through conciliation, then:
a. the conciliator will issue a written recommendation;
b. the written recommendation as mentioned under letter
a, at the latest within 10 (ten) working days after the
first conciliation session was held, must be conveyed
to both parties;
c. the parties should have provided a written answer to
the conciliator with the contents indicating whether
they accept or reject the written recommendation at
the latest within 10 (ten) working days after receiving

III - 76
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

the written recommendation;


d. any party not providing an opinion as meant in letter
c, will be considered to have rejected the written
recommendation;
e. in the case of the parties accepting the written
recommendation as meant within letter a, then at the
latest within 3 (three) working days of the written
recommendation being agreed upon, the conciliator
must have completed work in assisting the parties to
draw up a Collective Agreement and register at the
Industrial Relations Court in the District Court within
the jurisdiction where the parties conducted their
Collective Agreement in order to obtain a registration
deed.
(3) The registration of the Collective Agreement at the
Industrial Relations Court in the District Court as
mentioned in subsection (1) and subsection (2), letter e,
will be carried out as follows:
a. The Collective Agreement that has been registered will
be given a proof of registration deed and constitutes
an inseparable part of the Collective Agreement;
b. in the case of the Collective Agreement as mentioned
in subsection (1) and subsection (2), letter e, not being
performed by one of the parties, then the party
suffering injury may submit a petition for execution
to the Industrial Relations Court in the local District
Court where the Collective Agreement was registered
in order to obtain an order for execution;
c. in the event of the petitioner for court action is
domiciled outside the jurisdiction of the Industrial
Relations Court at the District Court where the
Collective Agreement was registered, then the
petitioner may submit the petition through the
Industrial Relations Court in the District Court at the
domicile of the petitioner, to be forwarded to the
Industrial Relations Court in the District Court having
competence in conducting the execution.

III - 77
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 24 ARTICLE 24
Sufficiently clear.
(1) in the case of the written recommendation as meant in
Article 23 subsection (2) letter a being rejected by one or
both of the parties, then one or both parties may continue
to settle the dispute to the Industrial Relations Court in
the local District Court.
(2) Settlement of the dispute as mentioned in subsection (1)
is implemented through a petition by one of the parties.

ARTICLE 25 ARTICLE 25
The conciliator must complete his duties at the latest Sufficiently clear.
within 30 (thirty) working days from the time the transfer of
responsibility for settlement of the dispute is received.

ARTICLE 26 ARTICLE 26
Sufficiently clear.
(1) The conciliator is entitled to receive honorarium for services
rendered based on dispute settlement to be borne by the
state.
(2) The amount of honorarium as mentioned in subsection
(1) will be determined by the Minister.

ARTICLE 27 ARTICLE 27
Sufficiently clear.
The conciliator’s performance within a certain period will
be monitored and assessed by the Minister or government
official on manpower affairs.

ARTICLE 28 ARTICLE 28
The procedures for candidate registration, appointment Sufficiently clear.
and revocation of conciliator license, and work procedures of
conciliation will be regulated with a Ministerial Decision.

SECTION FOUR
SETTLEMENT THROUGH ARBITRATION

ARTICLE 29 ARTICLE 29
Settlement of industrial relations dispute through Sufficiently clear.
arbitration will include disputes over interests and disputes
among workers /labour unions within one company.

III - 78
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 30 ARTICLE 30
Subsection (1)
(1) The arbiter with authority to settle industrial relations The stipulation contained within this
disputes must be an arbiter who has been determined by Article is meant to protect the interests of society,
the Minister. and for that reason not every person can act as
an arbiter.
(2) Work area of the arbiter covers the entire territory of the
Republic of Indonesia. Subsection (2)
Sufficiently clear.

ARTICLE 31 ARTICLE 31
Subsection (1)
(1) In order to be appointed as arbiter as mentioned in Article Letter a
30 subsection (1) the person must meet the following Sufficiently clear.
requirements : Letter b
Sufficiently clear.
a. Believe and subservient to God Almighty; Letter c
b. Competent to do legal action; Sufficiently clear.
Letter d
c. Indonesia citizen; Sufficiently clear.
d. has a level of education of at least university or bachelor Letter e
degree (S1); Sufficiently clear.
Letter f
e. at least forty-five (45) years of age; Bearing in mind that the arbiter’s
f. physically healthy according to a doctor’s certificate; decision is binding to all parties and is final
and permanent in nature, the arbiters must
g. mastering manpower laws and regulations as proven be those competent in their field, so that the
by a certificate or proof of passing an arbitration trust given by the parties involved is not
examination; and meaningless.
Letter g
h. has at least five (5) years experience in the field of Sufficiently clear.
industrial relations.
(2) Provisions concerning examination and procedures for Subsection (2)
Sufficiently clear.
arbiter registration will be regulated with a Ministerial
Decision.

ARTICLE 32 ARTICLE 32
Sufficiently clear.
(1) The settlement of an industrial relations dispute through
an arbiter will be performed on the basis of agreement by
the disputing parties.
(2) Agreement of the parties as meant in subsection (1) will
be declared in writing through a letter of arbitration
agreement, made in three (3) copies wherein each party
is to receive one (1) copy with the same legal power.
(3) The arbitration agreement as meant in subsection (2) at

III - 79
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

the least contain:


a. full names and addresses or domicile of the disputing
parties;
b. main issues underlying the dispute to be handed over
to arbitration for settlement;
c. number of arbiters agreed upon;
d. a statement of the disputing parties to comply with
and implement the arbitration decision; and
e. the place and date of drawing up the agreement and
signatures of the disputing parties.

ARTICLE 33 ARTICLE 33
Sufficiently clear.
(1) In the event of the parties having signed the arbitration
agreement as mentioned in Article 32 subsection (3), the
parties are entitled to choose an arbiter from a list of arbiters
determined by the Minister.
(2) The disputing parties may designate a single arbiter or
several arbiters (council) of an odd number of at least three
(3) persons.
(3) In the event that the parties agree to designate a single
arbiter, the parties must reach an agreement at the latest
within seven (7) working days on the name of the arbiter.
(4) In the event that the parties agree to appoint several
arbiters (council) in odd number, each party is entitled
to choose an arbiter at the latest within three (3) days,
while the third arbiter will be decided by the designated
arbiters at the latest within seven (7) days to be appointed
chairman of the Arbitration Council.
(5) Appointment of the arbiters as mentioned in subsections
(3) and (4) will be performed in writing.
(6) In the event that the parties are not in agreement over the
appointment of an arbiter whether a single arbiter or
several arbiters (council) of odd number as meant in
subsection (2), then upon the request of one of the parties
the Head of the Court may appoint an arbiter from the
list of arbiters determined by the Minister.
(7) An arbiter, who is requested by the parties, is required to
notify the parties of any matter that might affect his
independence or may result in imbalance in any

III - 80
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

adjudication to be made.
(8) Any person who accepts appointment as arbiter as
mentioned in subsection (6) must notify the parties in
writing of his acceptance.

ARTICLE 34 ARTICLE 34
Sufficiently clear.
(1) An arbiter who is willing to be appointed as mentioned
in Article 33 subsection (8) will draw up an agreement of
arbiter appointment with the disputing parties.
(2) The agreement of arbiter appointment as mentioned in
subsection (1) shall at least contain the following:
a. full names and addresses or domiciles of the disputing
parties and arbiter;
b. main issues underlying the dispute and handed over
to the arbiter to settle and make the decision;
c. arbitration costs and arbiter honorarium;
d. a statement made by the disputing parties to abide by
and implement the arbitration decision;
e. place, date of drawing up the agreement letter and
signatures of the disputing parties and arbiter;
f. a statement by arbiter or arbiters that they will not go
beyond their authority in settlement of the case that
they are handling; and
g. no blood or marriage relationship up to the second
degree, with one of the disputing parties.
(3) The arbiter agreement as meant in subsection (2) will be
made in at least three (3) copies, in which each party and
the arbiter will receive one (1) copy having similar legal
power.
(4) In the event of arbitration being performed by several
arbiters, the original copy of the agreement will be
submitted to the Chairman of the Arbiter Council.

ARTICLE 35 ARTICLE 35
Sufficiently clear.
(1) In the event of the arbiter accepts his appointment and
sign an agreement as mentioned in Article 34 subsection
(1), then the concerned arbiter may not withdraw, unless
upon approval of the parties.

III - 81
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(2) The arbiter who intends to withdraw as meant in


subsection (1) must make a written request to the parties.
(3) In the event of the parties approve the request to withdraw
as mentioned in subsection (2), the arbiter may be released
from duties as arbiter in settlement of the case.
(4) In the case of the request to withdraw is not approved by
the parties, the arbiter must make a request to the
Industrial Relations Court to be released from duties as
arbiter by stating an acceptable reason.

ARTICLE 36 ARTICLE 36
Subsection (1)
(1) In the event of a single arbiter withdraw or pass away, Sufficiently clear.
then the parties must appoint a replacement based on
the approval of both parties. Subsection (2)
Sufficiently clear.
(2) In the event of the arbiter designated by the parties
withdraw or pass away, appointment of a replacement will Subsection (3)
be left to the party designating the arbiter. Sufficiently clear.

(3) In the event of a third arbiter chosen by the arbiters Subsection (4)
withdraw or pass away, the arbiters must appoint a Sufficiently clear.
substitute arbiter based on agreement of arbiters.
Subsection (5)
(4) The parties or the arbiters as mentioned in subsection An arbiter appointed by the Court shall
(1), subsection (2) and subsection (3) must reach an not be an arbiter who in the past was rejected
agreement to designate a substitute arbiter at the latest by the parties or the arbiters, but instead must
within seven (7) working days. be a different arbiter.

(5) In the event the parties or the arbiters fail to reach an


agreement as mentioned in subsection (4), then the parties
or one of the parties or one of the arbiters or the arbiters
may request to the Industrial Relations Court to determine
a substitute arbiter and the Court must determine a
substitute arbiter at the latest within seven (7) working
days from the date of receipt of request for substitute
arbiter.

ARTICLE 37 ARTICLE 37
What is meant by accepting the result
The substitute arbiter as mentioned in Article 36 shall
attained is that a replacement arbiter is bound
make a statement of willingness to accept the results that have by the result reached by the previous arbiter
been achieved and to continue settlement of the case. as reflected in the report of activities leading
to dispute settlement.

III - 82
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 38 ARTICLE 38
Sufficiently clear.
(1) The arbiter appointed by the parties based on the
arbitration agreement may file objections to the District
Court if sufficient reasons and authentic proof exist that
raise doubt that the arbiter will not carry out his duties
independently and show imbalance making a decision.
(2) Claim of breach against the arbiter may also be filed when
sufficient proof exists that there is a family or work
relationship with one of the parties or their proxy.
(3) No appeal may be filed against adjudication of the District
Court on claim of breach.

ARTICLE 39 ARTICLE 39
Sufficiently clear.
(1) Claim of breach against the arbiter that is appointed by
the Head of the Court shall be directed to the Head of
the Court.
(2) Claim of breach against a single arbiter agreed shall be
filed to the concerned arbiter.
(3) Claim of breach against a member of the approved arbiter
council shall be filed to the concerned arbiter council.

ARTICLE 40 ARTICLE 40
Subsection (1)
(1) The arbiter is required to settle industrial relations disputes In the event there is a change in arbiters,
at the latest within thirty (30) working days commencing then the time frame for the change to take
from the date of signing a letter of agreement for arbiter effect is 30 (thirty) working days from the
time the replacement arbiter signed the
appointment. arbitration agreement.
(2) Examination of disputes must commence within three
(3) working days at the latest after the date of signing a Subsection (2)
Sufficiently clear.
letter of agreement of arbiter appointment.
(3) Based on the agreement of the parties, the arbiter will Subsection (3)
have authority to extend the time period to settle the Sufficiently clear.
industrial relations dispute at the latest for one (1) period
of fourteen (14) working days.

ARTICLE 41 ARTICLE 41
Examination of industrial relations dispute by the arbiter Sufficiently clear.
or arbiter council will be made behind closed doors unless
otherwise preferred by the disputing parties.

III - 83
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 42 ARTICLE 42
What is meant by a special letter of
In the arbitration session, the disputing parties may be
authorization in this Article is the authority
represented by their authorized representatives with a special given by the parties in dispute as the powers
letter of authority. providing authority to someone, or more to
be their proxy in order to conduct legal actions
or other actions related to the case mentioned
specifically in the said letter of authorization.

ARTICLE 43 ARTICLE 43
Subsection (1)
(1) In the event that on the session is held, the disputing What is meant by “summoned in a
parties or their authorized representatives are not present reasonable manner” in this Subsection is that
without valid reason, despite proper summon has been the parties involved have been summoned 3
made, the arbiter or arbiter council may cancel the (three) times in succession, with each one
respectively lasting for a time span of 3 (three)
agreement of arbiter appointment, and the duties of the days.
arbiter or arbiter council are considered completed.
(2) In the event that on the first day of session and further Subsection (2)
Sufficiently clear.
session, one of the parties or their authorized
representatives is absent without valid reason, despite Subsection (3)
proper summon has been made, the arbiter or arbiter Sufficiently clear.
council may examine the case and issue an adjudication
without the presence of one party or their authorized
representative.
(3) In the event of costs being incurred with regard to the
agreement of arbiter appointment before cancellation of
the agreement by the arbiter or arbiter council as
mentioned in subsection (1), the parties can not request
the returning of the fee.

ARTICLE 44 ARTICLE 44
Sufficiently clear.
(1) The settlement of an industrial relations dispute by an
arbiter must commence with efforts to make peace
between the parties.
(2) In the event of the peaceful settlement as meant in
subsection (1) is achieved, the arbiter or arbiter council is
required to draw up a Settlement Deed signed by the
parties and arbiter or arbiter council.
(3) The Settlement Deed as mentioned in subsection (2) shall
be registered at the Industrial Relations Court in the local
District Court where the arbiter made the settlement
efforts.

III - 84
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(4) Registration of the Settlement Deed as mentioned in


subsection (3) will be carried out as follows;
a. The Settlement Deed that has been registered will be
provided with a proof of registration deed and
constitutes an inseparable part of the Settlement Deed;
b. In the event of the Settlement Deed is not
implemented by one of the parties, the party suffering
injury may file a petition to the Industrial Relations
Court in the local District Court where the Settlement
Deed was registered in order to obtain an order for
execution;
c. In the case of the petitioner is domiciled outside the
jurisdiction of the Industrial Relations Court in the
District Court where the Settlement Deed was
registered, then the petitioner may file the petition
through the Industrial Relations Court in the District
Court in the petitioner domicile to be forwarded to
the Industrial Relations Court in the District Court
having competency to conduct execution.
(5) In the event of peaceful settlement efforts mentioned in
subsection (1) fail, the arbiter or arbiter council shall
continue the arbitration session.

ARTICLE 45 ARTICLE 45
Sufficiently clear.
(1) During the arbitration session the parties will be given
opportunities to explain in writing or verbally, their
respective opinions, and to submit evidence considered
necessary to reinforce their opinions within a period of
time determined by the arbiter or arbiter council.
(2) The arbiter or arbiter council is entitled to request the
parties to submit additional written explanation,
documents or other evidences deemed necessary within a
period of time determined by the arbiter or arbiter council.

ARTICLE 46 ARTICLE 46
Sufficiently clear.
(1) The arbiter or arbiter council may summon one or more
witnesses or expert witnesses to provide information.
(2) Before giving information, the witness or expert witness
will be sworn in according to the respective religion and
faith.

III - 85
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(3) The cost of summoning and trip for a clergy member to


perform the swearing of witnesses or expert witness will
be borne by the requesting party.
(4) The cost of summoning and trip for witness or expert
witness will be borne by the requesting party.
(5) The cost of summoning and trip for witness or expert
witness requested by the arbiter will be borne by the
parties.

ARTICLE 47 ARTICLE 47
Subsection (1)
(1) Any person who is requested to provide information by What is meant by opening the company
the arbiter or arbiter council in examination for settlement books and showing documents in this Article
of an industrial relations dispute based on this Act is is for example, showing the register on wages
or the order for overtime work, and must be
required to give such information, including showing the
conducted by someone with expertise in
books and necessary letters. bookkeeping, appointed by the arbiter.
(2) In case the information required by the arbiter is related
to someone who because of his position must maintain Subsection (2)
Due to the fact that certain positions,
confidentiality, a procedure must be followed as regulated based on legal regulations, must preserve
in the prevailing legislation and regulations. secrecy, so any request for information from
(3) The arbiter is required to keep in confidence all information persons in those positions serving as expert
witnesses must follow a predetermined
requested as mentioned in subsection (1). procedure.
Example: In the case of someone
requesting information about any other party’s
bank account details that request will only be
met by bank officials if there is permission
from the Bank Indonesia or from the owner
of the account himself/herself (Act No. 10 of
1998 on Banking). The same applies to the
stipulations under Act No. 7 of 1971
concerning the Primary Regulations on
Archival Materials etc.

Subsection (3)
Sufficiently clear.

ARTICLE 48 ARTICLE 48
Sufficiently clear.
The activities undertaken during the examination and
arbitration session will be drawn up into an official report of
examination by the arbiter or arbiter council.

III - 86
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 49 ARTICLE 49
Sufficiently clear.
The adjudication of the arbitration session is made on
the basis of prevailing laws and regulations, agreements, mores,
justice and public interest.

ARTICLE 50 ARTICLE 50
Sufficiently clear.
(1) The arbitration adjudication shall contain the following:
a. head of adjudication stating “FOR JUSTICE BASED
ON THE ONE ALMIGHTY GOD”;
b. full name and address of the arbiter or arbiter council;
c. full names and addresses of the parties;
d. matters contained in the agreement made by the
disputing parties;
e. Summary of charges, replies, and further explanations
by the disputing parties.
f. considerations underlying the adjudication;
g. primary topic of adjudication;
h. place and date of adjudication;
i. effective date of adjudication; and
j. arbiter or arbiter council’s signature(s).
(2) The arbiter decision which is not signed by one of the
arbiters for reasons of illness or his decease will not affect
the power of the adjudication.
(3) The reason for no signature as mentioned in subsection
(2) must be included in the decision.
(4) The adjudication stipulates that at the latest fourteen (14)
working days, the adjudication must be implemented.

ARTICLE 51 ARTICLE 51
Sufficiently clear.
(1) The arbitration adjudication possesses binding legal force
to the disputing parties and constitutes final and
permanent in nature
(2) The arbitration adjudication as stipulated in subsection
(1) will be registered at the Industrial Relations Court in
the local District Court where the arbiter made the
decision.
(3) In the event of the arbitration adjudication as mentioned
in subsection (1) is not implemented by one of the parties,

III - 87
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

the party suffering injury may file a request for court


execution to the Industrial Relations Court in the District
Court which legal jurisdiction includes the domicile of
the party to whom the decision must be performed, in
order that implementation of adjudication will be
instructed.
(4) The instruction as mentioned in subsection (3) must be
issued at the latest within thirty (30) working days after
the request is registered at the local District Court Clerk
without examining the reason or consideration for
arbitration adjudication.

ARTICLE 52 ARTICLE 52
Subsection (1)
(1) Any of the parties may file a petition of cancellation of A legal effort to request cancellation is
arbitration adjudication to the Supreme Court at the meant to provide a fair opportunity to the
latest within thirty (30) working days since the arbiter injured party in the dispute.
decision was made, if the decision is believed to include
Subsection (2)
the following : Sufficiently clear.
a. A letter or document that was submitted during
examination, after adjudication is made is admitted or Subsection (3)
Sufficiently clear.
stated to be false;
b. after adjudication, a document which is decisive in
nature is found that was concealed by the other party;
c. adjudication is made through deception by one of the
parties during the examination of dispute;
d. the adjudication is beyond the authority of the
industrial relations arbiter; or
e. the adjudication is contrary to laws and regulations.
(2) In the event of such petition as mentioned in subsection
(1) is granted, the Supreme Court will stipulate the
consequences of cancellation whether in whole or in part
of the arbitration decision.
(3) The Supreme Court will decide on the cancellation of
petition as stipulated in subsection (1) at the latest thirty
(30) working days commencing from the date of receipt
of cancellation petition.

III - 88
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 53 ARTICLE 53
The stipulations in this Article are for
Industrial relations disputes that are in progress or have
the purpose of providing legal certainty.
been settled through arbitration may not be filed to the
Industrial Relations Court.

ARTICLE 54 ARTICLE 54
Sufficiently clear.
The arbiter or panel of arbiters may not be held legally
responsible whatsoever on all actions taken during the session
in process, in order to perform their function as the arbiter or
panel of arbiters, except when it can be proven that the action
is not conducted in good faith.

CHAPTER III
INDUSTRIAL RELATIONS COURT
SECTION ONE
GENERAL

ARTICLE 55 ARTICLE 55
The Industrial Relations Court is a special court within Sufficiently clear.
the general court.

ARTICLE 56 ARTICLE 56
Sufficiently clear.
The Industrial Court is assigned and authorized to
investigate and adjudicate:
a. at the first level regarding disputes on rights;
b. at the first and final levels regarding disputes on interests;
c. at the first level regarding disputes on termination of
employment;
d. at the first and final levels regarding disputes between
workers unions / labor unions in one company.

ARTICLE 57 ARTICLE 57
Sufficiently clear.
The prevailing legal proceeding in the Industrial Relations
Court is the Civil Law Proceeding prevails at the general court,
unless otherwise regulated under this act.

ARTICLE 58 ARTICLE 58
Sufficiently clear.
The parties in the legal proceeding are not charged any
costs for the trial process at the Industrial Relations Court,

III - 89
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

including the execution costs which value of suit is below Rp.


150,000,000.00 (one hundred fifty million rupiah).

ARTICLE 59 ARTICLE 59
Subsection (1)
(1) For the first time, the Industrial Relations Court under - Bearing in mind that the Special
this act is established at each District Court in the Regency/ Capital City Territory of Jakarta is a provincial
City level, located in each Provincial Capital, which capital and simultaneously the capital city of
the Republic of Indonesia, and has more than
jurisdiction covers the concerned province. one District Court, the Industrial Relations
(2) The Industrial Relations Court should, with the Court established for the first time with this
Presidential Decree, immediately be established at the Act is the Industrial Relations Court at the
Central Jakarta District Courthouse.
local District Court.
- In the event that in any provincial
capital, there exist a Municipal District Court
and a District Court, then the Industrial
Relations Court will be a part of the District
Court.

Subsection (2)
What is meant by the term
“immediately” in this Subsection is the time
frame within 6 (six) months after this Act
takes effect.

ARTICLE 60 ARTICLE 60
Sufficiently clear.
(1) The composition of the Industrial Relations Court in the
District Court is as follows;
a. Judge;
b. Ad-Hoc Judge;
c. Junior Registrar; and
d. Substitute Registrar.
(2) The composition of the Industrial Relations Court in the
Supreme Court is as follows:
a. Supreme Judge;
b. Ad-Hoc Judge in the Supreme Court; and
c. Registrar.

III - 90
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

SECTION TWO ARTICLE 61


Sufficiently clear.
JUDGE, AD-HOC JUDGE AND SUPREME COURT JUDGE

ARTICLE 61
The Judge at the Industrial Relations Court is appointed
and discharged based on the Decree of the Head of the Supreme
Court.

ARTICLE 62 ARTICLE 62
Sufficiently clear.
The appointment of the Judge as meant in Article 61 is
carried out in accordance with the prevailing laws and
regulations.

ARTICLE 63 ARTICLE 63
Sufficiently clear.
(1) The Ad-hoc Judge in the Industrial Relations Court is
appointed with a Presidential Decree upon proposal of
the Head of the Supreme Court.
(2) The nomination of Ad-Hoc Judge as meant in subsection
(1) is proposed by the Head of the Supreme Court from
the names approved by the Minister upon proposal of
the workers union / labor union or employer’s
organization.
(3) The Head of the Supreme Court proposes the discharge
of the Ad-Hoc Judge of the Industrial Relations Court to
the President.

ARTICLE 64 ARTICLE 64
Sufficiently clear.
The following requirements should be fulfilled in order
to be appointed as an Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations
Court and as an Ad-Hoc Judge in the Supreme Court:
a. Indonesian citizen;
b. devout to the Only God;
c. loyal to the Pancasila and the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia;
d. minimum age of 30 (thirty) years;
e. physically healthy based on a doctor’s certificate;
f. has an authoritative bearing, honest, just and has a non-
disgraceful behavior;
g. has a level of education of at least university degree (S1),

III - 91
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

except for the Ad-Hoc Judge in the Supreme Court should


have at least university degree on laws; and
h. Minimum of 5 years experience in the industrial relations
field.

ARTICLE 65 ARTICLE 65
Subsection (1)
(1) Prior to the appointment, the Ad-Hoc Judge in the At the time the sacred oath/pledge is
Industrial Court should take an oath or promise according taken, certain words are spoken in accordance
to his/her religion/belief, which oath or promise is as with the person’s religion, for example for
adherents of Islam, “For God’s Sake” is said
follows:
before repeating the oath, and for Protestants/
“I swear/promise truthfully that to obtain this position, I Catholics the words “May God Help Me”
shall, directly or indirectly, by using whatever name or will be said after repeating the oath.
way, not give or promise anything to whomsoever. I swear/
Subsection (2)
promise that, for carrying out or for not carrying out Sufficiently clear.
something in this position, I shall not at all receive a
promise or gift, directly or indirectly from whomsoever.
I swear/promise that I shall be loyal to maintain and carry
out with devotion the Pancasila as the nation’s philosophy
of life, state principle and national ideology, and the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia, and all laws
and regulations that apply for the Republic of Indonesia.
I swear/promise that I shall always carry out my function
honestly, thoroughly and without discriminating people,
and shall undertake my obligations, as good as possible
and as just as possible based on the prevailing laws and
regulations”.
(2) The taking of oath or promise of the Ad-Hoc Judge in the
Industrial Regulations Court is made by the Head of the
District Court or appointed official.

ARTICLE 66 ARTICLE 66
Sufficiently clear.
(1) The Ad-Hoc Judge may not serve concurrently as:
a. member of the State High Institution;

III - 92
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

b.head of region / head of territory;


c.legislative institution at the regional level;
d.civil servant;
e.member of the Indonesian Army / Police;
f.official of political party;
g.lawyer;
h.mediator;
i.conciliator;
j.arbitrator; or
k.official member of workers union / labor union or
official member of employers organization;
(2) In case an Ad-Hoc Judge serves concurrently with the
position as meant in subsection (1), then his/her position
as Ad-Hoc Judge may be revoked.

ARTICLE 67 ARTICLE 67
Subsection (1)
(1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court and Letter a
the Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court at Sufficiently clear.
the Supreme Court may be honorably discharged from Letter b
their positions due to the following reasons: Sufficiently clear.
Letter c
a. passed away; What is meant by continuous physical
b. upon own request; or mental illness is a disability that causes the
sufferer to be no longer capable of carrying
c. continuously ill, physically or mentally, during (12) out his tasks well.
months; Letter d
Sufficiently clear.
d. has reached the age of 62 (sixty two) years for the Ad-
Letter e
Hoc Judge in Industrial Relations Court, and has What is meant by not competent in
reached the age of 67 (sixty seven) years for the Ad- carrying out duties is for example, often
Hoc Judge in the Supreme Court: making mistakes in conducting tasks for
reasons of lack of ability.
e. not competent in carrying out his/her duties; Letter f
f. upon request of the employers organization or upon Sufficiently clear.
proposal of the Workers union / labor union; or Letter g
Sufficiently clear.
g. Has completed his / her office term.
(2) The office term of the Ad-Hoc Judge is 5 (five) years and Subsection (2)
Sufficiently clear.
he/she may be reappointed for another 1 (one) office term.

III - 93
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 68 ARTICLE 68
Sufficiently clear.
(1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court is
dishonorably discharged from his/her position due to the
following reasons:
a. condemned for being guilty of conducting criminal
acts;
b. neglects the obligation to carry out his/her work
assignments without valid reasons for 3 (three)
successive times during the period of 1 (one) month;
or
c. violates his/her oath or promise.
(2) The dishonorably discharge with the reasons as meant in
subsection (1) is carried out after the concerned is given
the opportunity to file his/her plea to the Supreme Court.

ARTICLE 69 ARTICLE 69
Sufficiently clear.
(1) Prior to his/her dishonorably discharge as meant in Article
68 subsection (1), the Ad-Hoc Judge in the Industrial
Relations Court may be temporary discharged from his/
her position.
(2) The stipulation as meant in Article 68 subsection (2) also
applies to the temporary discharged Ad-Hoc Judge as
meant in Article 68 subsection (1).

ARTICLE 70 ARTICLE 70
Sufficiently clear.
(1) The appointment of the Ad-Hoc Judge in the Industrial
Relations Court is conducted by considering the need
and available resources.
(2) For the first time, the appointment of the Ad-Hoc Judge
in the Industrial Relations Court at the District Court is
at least 5 (five) persons from the workers union / labor
union and 5 (five) persons from the employers
organization.

ARTICLE 71 ARTICLE 71
Sufficiently clear.
(1) The Head of the District Court controls the
implementation of duties by the Judge, Ad-Hoc Judge,
Junior Registrar, and Substitute Registrar, and Substitute
Registrar of the Industrial Relations Court at the District
Court in accordance with his/her authority.

III - 94
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(2) The Head of the Supreme Court controls the


implementation of duties by Supreme Court Judge, Junior
Registrar and Substitute Registrar of the Industrial
Relations Court at the Supreme Court in accordance with
his/her authority.
(3) In carrying out the control as meant in subsection (1),
the Head of the District Court may give instructions and
reprimands to the Judge Ad-Hoc Judge.
(4) In carrying out the control as meant in subsection (2),
the Head of the Supreme Court may give instructions
and reprimands to the Supreme Court Judge.
(5) The instructions and reprimands as meant in subsection
(3) and subsection (4) may not diminish the freedom of
the Judge, Ad-Hoc Judge and Supreme court Judge in the
Industrial Relations Court in the hearing and adjudication
process of disputes.

ARTICLE 72 ARTICLE 72
Sufficiently clear.
The method of appointing, honorably discharging,
dishonorably discharging, and temporary discharge of the Ad-
Hoc Judge as meant in Article 67, Article 68, and Article 69 is
regulated with a Government Regulation.

ARTICLE 73 ARTICLE 73
What is meant by benefits and other
Allowances and other rights for the Ad-Hoc Judge in the rights are official benefits and employee rights
Industrial Relations Court are regulated with a Presidential related to their welfare.
Decree.

SECTION THREE
SUB-REGISTRAR OFFICE AND SUBSTITUTE REGISTRAR

ARTICLE 74 ARTICLE 74
Sufficiently clear.
(1) A Sub-Registrar Office of the Industrial Relations Court
is formed at each District Court that has an Industrial
Relations Court, managed by a Junior Registrar.
(2) In carrying out his/her duties, the Junior Registrar as
meant in subsection (1) is assisted by several Substitute
Registrars.

III - 95
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 75 ARTICLE 75
Sufficiently clear.
(1) The Sub-Registrar Office as meant in Article 74 subsection
(1) is assigned to:
a. maintain the administration of the Industrial Relations
Court; and
b. make the list of all received disputes in the book of
cases.
(2) The book of cases as meant in subsection (1) letter b
contains at least the sequence number, names and addresses
of the parties, and types of disputes.

ARTICLE 76 ARTICLE 76
Sufficiently clear.
The Sub-Registrar Office is responsible for the delivery
of summons letters for trial, delivery of verdict notifications
and delivery of verdict copies.

ARTICLE 77 ARTICLE 77
Sufficiently clear.
(1) For the first, the Junior Registrars and Substitute Registrars
at the Industrial Relations Court are appointed from Civil
Servants of Government Agencies that are responsible in
the manpower sector.
(2) Provisions concerning the requirements, appointment and
discharge procedures of the Junior Registrars and
Substitute Registrars at the Industrial relations Court are
further regulated in accordance with the prevailing laws
and regulations.

ARTICLE 78 ARTICLE 78
Sufficiently clear.
The organization structure, tasks and work procedure of
the Sub-Registrar Office at the Industrial relations Court are
regulated with the Decree of the Head of the Supreme Court.

ARTICLE 79 ARTICLE 79
Sufficiently clear.
(1) The Substitute Registrar is assigned to record the trial
process in the Minutes.
(2) The Minutes as meant in subsection (1) is signed by the
Judge, the Ad-Hoc Judge and the Substitute Registrar.

III - 96
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 80 ARTICLE 80
Sufficiently clear.
(1) The Junior Registrar is responsible for the book of cases
and other documents that are kept in the Sub-Registrar
Office.
(2) All books of cases and other documents as meant in
subsection (1), either the originals or photocopies, may
not be taken out of the work room of the Sub-Registrar
Office, unless upon permission of the Junior Registrar.

CHAPTER 1V
SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH
THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT
SECTION ONE
SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE JUDGE
SUBSECTION 1
SUBMISSION OF PETITION

ARTICLE 81 ARTICLE 81
Sufficiently clear.
The Petition of the industrial relations dispute is
submitted to the Industrial Relations Court in the District
Court which jurisdiction covers the workplace of the worker/
laborer.

ARTICLE 82 ARTICLE 82
The petition which is filed by the worker/laborer as meant Sufficiently clear.
in Article 159 and Article 171 of Law Number 13 of 2003
concerning Manpower, may only be submitted within the grace
period of 1 (one) year after the decision of the employer is
received or informed.
ARTICLE 83
ARTICLE 83 Subsection (1)
Sufficiently clear.
(1) The petition submitted without attachment of the
minutes of settlement through mediation or conciliation, Subsection (2)
should be returned by the judge of the Industrial Relations During the process for completion of a
Court to the plaintiff. legal action, the Registrar or Alternate Registrar
may assist in drawing up/completing the legal
(2) The judge is required to examine the contents of the action. For that purpose the Registrar or
petition, and if there are shortages, then the judge should Alternate Registrar records in a special register
request the plaintiff to complete his/her petition. data that includes:

III - 97
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

- full names and addresses or the location


of the parties;
- the main topics that become a matter of
dispute or the reason for the legal action;
- documents, correspondence, and other
matters that are considered necessary by
the plaintiff.

ARTICLE 84 ARTICLE 84
Sufficiently clear.
Petitions that involve more than one plaintiff may be
submitted collectively by providing a special power of attorney.

ARTICLE 85 ARTICLE 85
Sufficiently clear.
(1) The plaintiff may at any time withdraw his/her petition
before the defendant gives his/her reply.
(2) If the defendant has given his/her reply on the petition,
then the withdrawal of the petition by the plaintiff shall
be agreed by the Industrial Relations Court upon approval
of the defendant.

ARTICLE 86 ARTICLE 86
In case the dispute on rights and/or dispute on interest Sufficiently clear.
are followed by a dispute on termination of employment, then
the Industrial Relations Court should first sentence the cases
of dispute on rights and/or dispute on interest.

ARTICLE 87 ARTICLE 87
What is meant by trade unions as
The workers union/labor union and employer’s mentioned under this Article cover the
organization may act as legal proxies in the court session at the management at the company level, the district/
Industrial Relations Court in order to represent their members. city level, the provincial level, and central
level, whether for trade unions, federation
members, or confederation members.

ARTICLE 88 ARTICLE 88
Sufficiently clear.
(1) Within the period of not later than 7 (seven) working
days after receiving the petition, the Chairman of the
District Court should have established the Council of
Judges, which consists of 1 (one) Judge as the Chairman
of Council and 2 (two) Ad-Hoc Judges as Council

III - 98
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

Members who will investigate and adjudicate the dispute.


(2) The Ad-Hoc Judges as meant in subsection (1) consist of
one Ad-Hoc Judge whose appointment is proposed by
the workers union/labor union and one Ad-Hoc Judge
whose appointment is proposed by the employer’s
organization as meant in Article 63 subsection (2).
(3) A Substitute Registrar is appointed to assist the duties of
the Council of Judges as meant in subsection (1).

SUBSECTION 2
HEARING WITH ORDINARY PROCEDURE

ARTICLE 89 ARTICLE 89
Sufficiently clear.
(1) The Chairman of the Council of Judges should have held
the first court session within the period of not later than
7 (seven) working days after the establishment of the
Council of Judges.
(2) The summons to appear before court is conducted legally
if it is submitted through a letter of summons to the parties
at their addresses of domicile or if their addresses of
domicile are not known, then it is submitted to their latest
addresses of domicile.
(3) If the summoned party is not at his/her address of domicile
or latest address of domicile, then the letter of summons
is submitted through the Head of Sub-district or Village
Chief whose jurisdiction covers the address of domicile or
latest address of domicile of the summoned party.
(4) The letter of summons which is received by the summoned
party himself/herself or through another party should be
given a receipt.
(5) If the address of domicile or latest address of domicile is
not known, then the letter of summons is placed on the
announcement board at the building in the Industrial
Relations Court that investigates the case.

ARTICLE 90 ARTICLE 90
Sufficiently clear.
(1) The Council of Judges may summon the witness or expert
witness to be present at the court session in order to request
or listen to his/her information.
(2) Anyone who is summoned to become a witness or expert

III - 99
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

witness is required to comply with the summons and to


give his/her testimony under oath.

ARTICLE 91 ARTICLE 91
Subsection (1)
(1) Anyone who is requested by the Council of Judges to Sufficiently clear.
provide his/her information in order to conduct
investigation for settlement of the industrial relations Subsection (2)
As in certain positions, according to legal
dispute based on this act, should provide it provisions, secrecy must be maintained, any
unconditionally, including the opening of books and request for information from the person in
showing of necessary letters / documents. that position and serving as an expert witness,
must comply with a certain predetermined
(2) In case the information requested by the Council of Judges
procedure.
is related to someone who due to his/her position should
maintain the confidentiality, then the procedure to be Subsection (3)
followed should be as regulated in the prevailing laws and Sufficiently clear.
regulations.
(3) The judge should keep in confidence all requested
information as meant in subsection (1).

ARTICLE 92 ARTICLE 92
The court session is valid if it is held by the Council of The stipulation requiring the validity
of the court proceedings under this Article is
Judges, as is meant in Article 88 subsection (1). for the purpose of guaranteeing that every
session must be attended by the Judge and all
the Ad-Hoc Judges who have been appointed
to resolve the dispute.

ARTICLE 93 ARTICLE 93
Sufficiently clear.
(1) In case one of the parties or the parties are unable to be
present in the court session without any accountable
reasons, then the Chairman of the Council of Judges
determines the next session day.
(2) The next session day as meant in subsection (1) is
determined within the period of not later than 7 (seven)
working days as of the date of deferment.
(3) The deferment due to the absence of one of the parties or
the parties is maximum 2 (two) times.

ARTICLE 94 ARTICLE 94
Sufficiently clear.
(1) In case after being properly summoned as meant in Article
89, the plaintiff or his/her legal proxy is not appearing
before court at the last deferred session as meant in Article

III - 100
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

93 subsection (3), then his/her petition is considered as


abrogated, however, the plaintiff has the right to file his/
her petition one more time.
(2) In case after being properly summoned as meant in Article
89, the defendant or his/her legal proxy is not appearing
before court at the last deferred session as meant in Article
93 subsection (3), then the Council of Judges may conduct
the hearing and adjudicate the dispute without presence
of the defendant.

ARTICLE 95 ARTICLE 95
Sufficiently clear.
(1) The session held by the Council of Judges is open for
public, unless otherwise determined by the Council of
Judges.
(2) Everyone present in the court session should respect the
court session order.
(3) Everyone who is not following the court session order as
meant in subsection (2) may be taken out of the room,
after obtaining an admonition from or upon order of the
Chairman of the Council of Judges.

ARTICLE 96 ARTICLE 96
Subsection (1)
(1) If in the first court session it is decidedly proven that the A request for a temporary verdict is
employer is not undertaking his/her obligations as meant submitted together with the legal action
in Article 155 subsection (3) of Law Number 13 of 2003 dossier.
concerning Manpower, then the Chairman of Judge of
Subsection (2)
the court session should immediately pass the Interval
Sufficiently clear.
Verdict in form of an order to pay the wage and other
rights that are normally received by the concerned worker/ Subsection (3)
laborer. Sufficiently clear.
(2) The Interval Verdict as meant in subsection (1) may be Subsection (4)
passed on the court session day or on the second court Sufficiently clear.
session day.
(3) In case during the dispute hearing, which is ongoing, the
Interval Verdict as meant in subsection (1) is not carried
out by the employer, then the Chairman of Judge of the
court session may order a Collateral Confiscation through
a Decree of the Industrial Relations Court.
(4) A resistance cannot be filed and/or legal efforts cannot be
used against the Interval Verdict as meant in subsection

III - 101
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(1) and the Decree as meant in subsection (3).

ARTICLE 97 ARTICLE 97
Sufficiently clear.
The obligations that should be carried out and/or the rights
that should be received by the parties or by one of the
parties on each settlement of the industrial relations
dispute are determined in the verdict of the Industrial
Relations Court.

SUBSECTION 3
HEARING WITH FAST PROCEDURE

ARTICLE 98 ARTICLE 98
Sufficiently clear.
(1) In case there are rather urgent interests of the parties and/
or of one of the parties, which should be able to be
concluded from the reasons of petition of the concerned,
then the concerned parties or one of the parties may request
the Industrial relations Court to speed up the hearing of
the dispute.
(2) Within the period of 7 (seven) working days after the
request as meant in subsection (1) is received, the
Chairman of the District Court issues the decision on
whether such request is granted or not.
(3) No legal efforts can be used against the decision as meant
in subsection (2).

ARTICLE 99 ARTICLE 99
Sufficiently clear.
(1) In case the request as meant in Article 98 subsection (1)
is granted, then the Chairman of the District Court
determines the council of judges, day, place and time of
the court session without going through the examination
process, within the period of 7 (seven) working days after
the decision as meant in Article 98 subsection (2) is issued.
(2) The grace periods for reply and authentication by both
parties are respectively determined as not exceeding 14
(fourteen) working days.

III - 102
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

SUBSECTION 4
PASSING OF VERDICT

ARTICLE 100 ARTICLE 100


Sufficiently clear.
The Council of Judges takes into consideration the laws,
existing agreements, customs and justice in passing the verdict.

ARTICLE 101 ARTICLE 101


Sufficiently clear.
(1) The verdict of the Council of Judges is read out in the
court session, which is open for public.
(2) In case one of the parties is not present in the session as
meant in subsection (1), then the Chairman of the Council
of Judges orders the Substitute Registrar to submit the
notification on the verdict to the party that is not present.
(3) The verdict of the Council of Judges as meant in subsection
(1) is the verdict of the Industrial Relations Court.
(4) Non-compliance of the stipulation as meant in subsection
(2) causes that the Court verdict is not legal and has no
legal power.

ARTICLE 102 ARTICLE 102


Sufficiently clear.
(1) The court verdict should contain:
a. head of the verdict which reads : “FOR JUSTICE
BASED ON THE ONE ALMIGHTY GOD”;
b. names, positions, citizenships, residences or domiciles
of the disputed parties;
c. summary of the plaintiff ’s petition and the defendant’s
reply;
d. considerations on each submitted evidence, data and
matters that take place in the court session during the
dispute hearing;
e. legal reasons as basis of the dispute;
f. injunction on the dispute;
g. day, date of verdict, name of Judge, name of Ad-Hoc
Judge who adjudicate, name of Registrar, and
information on the presence or absence of the parties.
(2) Non-compliance with one of the stipulations as meant in
subsection (1) may cause the abrogation of the Industrial
Relations Court verdict.

III - 103
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 103 ARTICLE 103


Sufficiently clear.
The Council of Judges should pass the verdict on the
industrial relations dispute settlement within the period of
not later than 50 (fifty) working days as of the date of the first
court session.

ARTICLE 104 ARTICLE 104

The Industrial Relations Court verdict, as meant in Article Sufficiently clear.


103, is signed by the Judge, Ad-Hoc Judges and Substitute
Registrar.

ARTICLE 105 ARTICLE 105


Sufficiently clear.
The Industrial Relations Substitute Registrar should have
submitted the notification on the verdict to the party that is
not present in the court session as meant in Article 101
subsection (2) within the period of not later than 7 (seven)
working days after the verdict of the Council of Judges is read
out.

ARTICLE 106 ARTICLE 106


This stipulation means that the time
The Junior Registrar should have produced the verdict frame for arriving at the verdict in its original
copy within not later than 14 (fourteen) working days after form and a copy of that verdict is limited to
such verdict is signed. 14 (fourteen) working days so that the matter
is not detrimental to the party’s legal rights.

ARTICLE 107
ARTICLE 107
Sufficiently clear.
The Registrar of the District Court should have
dispatched the verdict copy to the parties within the period of
not later than 7 (seven) working days after such verdict copy is
produced.

ARTICLE 108 ARTICLE 108


Sufficiently clear.
The Chairman of the Council of Judges of the Industrial
relations Court may pass a verdict that can be implemented in
advance, although a resistance or supreme court is filed towards
the verdict.

ARTICLE 109 ARTICLE 109


Sufficiently clear.
The verdict of the Industrial Relations Court at the
District Court on the dispute of interest and dispute between
workers unions/labor unions in one company is a final and
permanent verdict.

III - 104
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 110 ARTICLE 110


Sufficiently clear.
The verdict of the Industrial Relations Court at the
District Court on the dispute of rights and dispute of
termination of employment has permanent legal power if no
appeal is filed to the Supreme Court within the period of not
later than 7 (seven) working days:
a. for the party being present, as of the date the verdict is
read out in the session of the council of judges;
b. for the party being absent, as of the date the verdict
notification is received.

ARTICLE 111 ARTICLE 111


What is meant by the local District
One of the parties or the parties intended to file the appeal
Court under this Article is the District Court
to the Supreme Court should submit it in writing through that decides on the aforementioned case.
the Sub-Registrar’s Office of the Industrial Relations Court at
the local District Court.

ARTICLE 112 ARTICLE 112


Sufficiently clear.
The Sub-Registrar’s Office of the Industrial relations
Court at the District Court should have submitted the case
dossiers to the Head of the Supreme Court within the period
of not later than 14 (fourteen) working days as of the date the
appeal is received.

SECTION TWO
SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE SUPREME COURT JUDGE

ARTICLE 113 ARTICLE 113


Sufficiently clear.
The Council of Supreme court Judges consists of one
Supreme Court Judge and two Ad-Hoc Judges, who are
assigned to investigate and preside over industrial relations
dispute cases at the Supreme Court, and are appointed by the
Head of the Supreme Court.

ARTICLE 114 ARTICLE 114


Sufficiently clear.
Procedure of appeal to the Supreme Court and settlement
of the dispute on rights and dispute on termination of
employment by the Supreme Court Judge, are carried out in
accordance with the prevailing laws and regulations.

III - 105
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 115 ARTICLE 115


Sufficiently clear.
Settlement of the dispute on rights or dispute on
termination of employment at the Supreme Court is not later
than 30 (thirty) working days as of the date the appeal is
received.

CHAPTER V
ADMINISTRATIVE SANCTIONS AND
CRIMINAL PROVISIONS

SECTION ONE
ADMINISTRATIVE SANCTIONS

ARTICLE 116 ARTICLE 116


Sufficiently clear.
(1) The Mediator who is unable to settle the industrial
relations dispute within the period of 30 (thirty) working
days without any valid reasons as meant in Article 15,
may be imposed an administrative sanction in form of a
disciplinary punishment in accordance with the laws and
regulations that apply for Civil Servants.
(2) The Junior Registrar who has not produced the verdict
copy within the period of 14 (fourteen) working days after
the verdict is signed as meant in article 106, and the
Registrar who has not dispatched such copy to the parties
within the period of 7 (seven) working days as meant in
Article 107, may be imposed an administrative sanction
in accordance with the prevailing laws and regulations.

ARTICLE 117 ARTICLE 117


Sufficiently clear.
(1) The Conciliator who has not submitted the written advice
within the period of 14 (fourteen) working days as meant
in Article 23 subsection (2) letter b, or has not assisted
the parties to enter into a Collective Agreement within
the period of not later than 3 (three) working days as
meant in Article 23 subsection (2) letter e, may be imposed
an administrative sanction in form of a written reprimand.
(2) The Conciliator who has received 3 (three) written
reprimands as meant in subsection (1), may be imposed
an administrative sanction in form of temporary revocation

III - 106
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

as conciliator.
(3) The sanction as meant subsection (2) may only be passed
after the concerned has settled the dispute that is being
handled by him/her.
(4) The administrative sanction of temporary revocation as
conciliator is imposed for a period of maximum 3 (three)
months.

ARTICLE 118 ARTICLE 118


Sufficiently clear.
The Conciliator may be imposed an administrative
sanction in form of permanent revocation as conciliator if the
concerned:
a. has been passed 3 (three) times the administrative sanction
in form of temporary revocation as conciliator as meant in
Article 117 subsection (2);
b. is proven of conducting a criminal act;
c. has misused his/her position; and/or
d. has divulged the requested information as meant Article
22 subsection (3).

ARTICLE 119 ARTICLE 119


Sufficiently clear.
(1) The Arbitrator who is unable to settle the industrial
relations dispute within the period of 30 (thirty) working
days and within the extension period as meant in Article
40 subsection (1) and subsection (3) or has not prepared
the minutes of hearing as meant in Article 48, may be
imposed an administrative sanction in form of a written
reprimand.
(2) The Arbitrator who has received 3 (three) written
reprimands as meant in subsection (1) may be imposed
an administrative sanction in form of temporary revocation
as arbitrator.
(3) The sanction as meant in subsection (2) may only be passed
after the concerned has settled the dispute that is being
handled by him / her.
(4) The administrative sanction of temporary revocation as
arbitrator is imposed for a period of maximum 3 (three)
months.

III - 107
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 120 ARTICLE 120


Sufficiently clear.
(1) The Arbitrator may be imposed the administrative sanction
in form of permanent revocation as arbitrator if the
concerned:
a. has made at least 3 (three) arbitration decisions on
industrial relations disputes that are exceeding his/her
authority and are contradicting the laws and
regulations as meant in Article 52 subsection (1) letters
d and e, and the Supreme Court has granted the appeal
judicial review on the decisions of such arbitrator.
b. is proven of conducting a criminal act;
c. has misused his/her position;
d. has been passed 3 (three) times the administrative
sanction in form of temporary revocation as arbitrator,
as meant in Article 119 subsection (2).
(2) The administrative sanction in form of permanent
revocation as arbitrator, as meant in subsection (1),
commences effective as of the date the arbitrator has settled
the dispute that is being handled by him/her.

ARTICLE 121 ARTICLE 121


Sufficiently clear.
(1) The administrative sanctions as meant in article 117,
Article 118, Article 119 and Article 120 are passed by
the Minister or appointed official.
(2) The method of imposing and revoking sanctions shall be
further regulated with a Ministerial Decision.

SECTION TWO
CRIMINAL PROVISIONS

ARTICLE 122 ARTICLE 122


Sufficiently clear.
(1) Anyone who violates the stipulations as meant in Article
12 subsection (1), Article 22 subsection (1) and subsection
(3), Article 47 subsection (1) and subsection (3), Article
90 subsection (2), Article 91 subsection (1) and subsection
(3), is imposed the criminal sanction of minimum 1 (one)
month and maximum 6 (six) months confinement and or
a fine of minimum Rp. 10,000,000.00 (ten million
rupiah) and maximum Rp. 50,000,000.00 (fifty million
rupiah).

III - 108
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(2) The act as meant in subsection (1) is a violation criminal ARTICLE 123
act. Sufficiently clear.

CHAPTER VI
OTHER PROVISIONS

ARTICLE 123
In case industrial relations disputes occur at social
operations and other operations that are not in form of
company operations, but have a management and employ other
people by paying wages, then such disputes are settled in
accordance with the stipulations of this act.

CHAPTER VII
TRANSITIONAL PROVISIONS

ARTICLE 124 ARTICLE 124


Sufficiently clear.
(1) Before the Industrial relations Court is established as
meant in Article 59, the Regional Labor Dispute
Settlement Committee and the Central Labor Dispute
Settlement Committee shall still carry out their functions
and duties in accordance with the prevailing laws and
regulations.
(2) With the establishment of the Industrial Relations Court
based on this act, then the industrial relations disputes
and terminations of employment that have been proposed
to:
a. Regional Labor Dispute Settlement Committee or
other institutions of similar level that are settling those
industrial relations disputes or terminations of
employment which have not been adjudicated yet, are
settled by the Industrial Relations Court at the local
District Court;
b. Decisions of the Regional Labor Dispute Settlement
Committee or other institutions as meant in letter a,
that are rejected and appealed by one of the parties or
the parties, and such decisions are received within the
grace period of 14 (fourteen) days, are settled by the

III - 109
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

Supreme Court;
c. Central Labor Dispute Settlement Committee or other
institutions of similar level that are settling those
industrial relations disputes or terminations of
employment which have not been adjudicated yet, are
settled by the Supreme Court;
d. Decisions of the Central Labor Dispute Settlement
Committee or other institutions as meant in letter c,
that are rejected and appealed by one of the parties or
the parties, and such decisions are received within the
grace period of 90 (ninety) days, are settled by the
Supreme Court.

CHAPTER VIII
CLOSING PROVISIONS

ARTICLE 125 ARTICLE 125


Sufficiently clear.
(1) With the enactment of this law, then:
a. Law Number 22 of 1957 concerning labor Dispute
Settlement (State Gazette of 1957 Number 42,
Supplement of State Gazette Number 1227); and
b. Law Number 12 of 1964 concerning Termination of
Employment at Private Companies (State Gazette of
1964 Number 93, Supplement of State Gazette
Number 2686);
Are declared as no more applicable.
(2) At the time this act take into effect, all Laws and
Regulations that are the Implementation Regulations of
Law Number 22 of 1957 concerning Labor Dispute
Settlement (State Gazette of 1957 Number 42,
Supplement of State Gazette Number 1227) and Law
Number 12 of 1964 concerning termination of
Employment at Private Companies (State Gazette of 1964
Number 93, Supplement of State Gazette Number 2686)
are declared as still applicable, as long as they are not
contradicting the provisions in this act.

III - 110
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 126 ARTICLE 126


The grace period in this Article is meant
This act shall be effective 1 (one) year after its
to prepare for the provision and appointment
promulgation. of the Judge and Ad Hoc Judges, preparation
For the cognizant of the public, orders the promulgation of infrastructure and facilities such as providing
of this act by having it place on the State Gazette of the office space and the courtroom/hall for the
Republic of Indonesia. Industrial Relations Court.

Legalized in Jakarta SUPPLEMENT TO THE STATE


On 14 January 2004 GAZETTE OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA NUMBER 4356

PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Promulgated in Jakarta
On 14 January 2004

STATE SECRETARY OF THE REPUBLIC OF


INDONESIA

BAMBANG KESOWO

STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC


OF INDONESIA NUMBER 6 OF 2004

III - 111
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

PRESIDENT OF REPUBLIC OF INDONESIA


ACT NUMBER 13 YEAR 2003
CONCERNING
MANPOWER

II - 93
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

II - 94
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

Contents

CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS II-103

CHAPTER II
STATUTORY BASIS, PRINCIPLES
AND OBJECTIVES II-106

CHAPTER III
EQUAL OPPORTUNITIES II-108

CHAPTER IV
MANPOWER PLANNING AND
MANPOWER INFORMATION II-108

CHAPTER V
JOB TRAINING II-109

CHAPTER VI
JOB PLACEMENT II-117

CHAPTER VII
EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES II-119

CHAPTER VIII
EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER II-121

CHAPTER IX
EMPLOYMENT RELATIONS II-123

II - 95
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER X
PROTECTION, WAGES AND WELFARE II-131
Section One : Protection
Subsection 1 : Disabled Person
Subsection 2 : Children
Subsection 3 : Women
Subsection 4 : Working Hours
Subsection 5 : Occupational Safety and Health
Section Two : Wages
Section Three : Welfare

CHAPTER XI
INDUSTRIAL RELATIONS II-146
Section One : General
Section Two : Trade/Labour Union
Section Three : Entrepreneurs’ Organization
Section Four : Bipartite Cooperation Institution
Section Five : Tripartite Cooperation Institution
Section Six : Company Ragulations
Section Seven : Collective Labour Agreement
Section Eight : Institutions/Agencies for the Settlement of
Industrial Relation Disputes
Subsection 1 : Industrial Relations Disputes
Subsection 2 : Strike
Subsection 3 : Lock-Out

CHAPTER XII
TERMINATION OF EMPLOYMENT II-163

CHAPTER XIII
MANPOWER DEVELOPMENT II-178

CHAPTER XIV
LABOUR INSPECTION II-179

CHAPTER XV
INVESTIGATION II-180

II - 96
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER XVI
CRIMINAL PROVISIONS AND
ADMINISTRATIVE SANCTIONS II-181
Section One : Criminal Provisions
Section Two : Administrative Sanctions

CHAPTER XVII
TRANSITIONAL PROVISIONS II-184

CHAPTER XVIII
CLOSING PROVISIONS II-184

II - 97
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

II - 98
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

EXPLANATORY NOTES
ON THE ACT OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 13 OF THE YEAR 2003

CONCERNING

MANPOWER AFFAIRS
ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 13 YEAR 2003

CONCERNING
I. GENERAL
MANPOWER Manpower development as an integral
part of the national development based on
the Pancasila and the 1945 Constitution shall
be carried out within the framework of
building up Indonesian as fully integrated
human beings and the overall, integrated
development of Indonesia’s society in order to
WITH THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY, enhance the dignity, values and status of
manpower and to create a prosperous, just
and well-off society in which material and
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF spiritual benefits are evenly distributed.
INDONESIA, Manpower development must be
regulated in such a way so as to fulfill the
Considering: rights of and to provide basic protection to
manpower and workers/ labourers and at the
a. That Indonesia’s national development shall be same time to be able to create conducive
implemented within the framework of building conditions for the development of the world
Indonesians as fully-integrated human beings and of of business.
building the whole Indonesian society in order to realize Manpower development has many
dimensions and interconnectivity. The
a society in which there shall be welfare, justice and
interconnectivity is not only related to the
prosperity based on equity both materially and spiritually interests of the workforce during, prior to and
with the Pancasila and the 1945 Constitution at its after the term of employment but also related
foundation. to the interests of the entrepreneur, the
government and the public. Therefore,
b. That in the implementation of national development, comprehensive and all-inclusive arrangements
workers have a very important role and position as actors are needed. And this shall include, among
of development as well as the goal of development itself; others, the development of human resources,
improvement of productivity and
c. That in accordance with the role and position of workers, competitiveness of Indonesian manpower,
manpower development is required to enhance the quality efforts to extend job opportunities, job
of workers as well as their role and participation in national placement service, and industrial relations
development and in improving protection for workers and development.
their families in respect to human dignity and values; Industrial relations development as part
of manpower development must be directed
d. That protection of workers is intended to safeguard the to keep on realizing industrial relations that

II - 99
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

fundamental rights of workers and to secure the are harmonious, dynamic and based on
implementation of equal opportunity and equal treatment justice. For this purpose, recognition and
appreciation of human rights as stated under
without discrimination on whatever basis in order to the Decree of the People’s Consultative
realize the welfare of workers/ labourers and their family Assembly Number XVII of 1998 (TAP MPR
by continuing to observe the development of progress NO. XVII/MPR/1998) must be realized. As
made by the world of business; far as manpower business is concerned, this
MPR decree serves as a chief milestone in
e. That several acts on manpower are considered no longer promoting and upholding democracy in the
relevant to the need and demand of manpower workplace. It is expected that the
development and hence, need to be abolished and/or implementation of democracy in the workplace
revoked; will encourage optimal participation from all
manpower and workers/ labourers of
f. That based on the considerations as mentioned under Indonesia to build the aspired State of
points a, b, c, d and e, it is necessary to establish an Act Indonesia.
concerning Manpower. Some prevailing laws and regulations
concerning manpower that has been ongoing
thus far, including parts that are of colonial
In view of: products, put workers in a less advantageous
Article 5 Subsection (1), Article 20 Subsection (2), Article 27 position especially when it comes to job
placement service and industrial relations
Subsection (2), Article 28 and Article 33 Subsection (1) of
system that put too much emphasis on
the 1945 Constitution. differences of positions and interests so that
they are no longer suitable for today’s needs as
well as for future demands. The said statutory
By the joint approval between
legislations are:
Ordinance concerning the Mobilization
THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF of Indonesian People To Perform Work
Outside of Indonesia (Staatsblad Year
THE REPUBLIC OF INDONESIA 1887 Number 8);
AND Ordinance dated December 17, 1925,
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA which is a regulation concerning the
Imposition of Restriction on Child Labour
and Night Work for Women (Staatsblad
DECIDE: Year 1925 Number 647);
Ordinance Year 1926, which is a
To stipulate: regulation concerning Child and Youth
ACT CONCERNING MANPOWER AFFAIRS Labour on Board of A Ship (Staatsblad
Year 1926 Number 87);
Ordinance dated May 4, 1936
concerning Ordinance To Regulate
Activities To Recruit Candidates
(Staatsbald Year 1936 Number 208);
Ordinance concerning the Repatriation
of Labourers Who Come From or Are
Mobilized From Outside of Indonesia
(Staatsblad Year 1939 Number 545);
Ordinance Number 9 Year 1949
concerning Restriction of Child Labour

II - 100
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(Staatsblad Year 1949 Number 8);


Act Number 1 Year 1951 concerning the Declaration of the Enactment of
Employment Act Year 1948 Number 12 From the Republic of Indonesia For All
Indonesia (State Gazette Year 1951 Number 2);
Act Number 21 Year 1954 concerning Labour Agreement Between Labour
Union and Employer (State Gazette Year 1954 Number 69, Supplement to State
Gazette Number 598a);
Act Number 3 Year 1958 concerning the Placement of Foreign Manpower (State
Gazette Year 1958 Number 8);
Act Number 8 Year 1961 concerning Compulsory Work for University Graduates
Holding Master’s Degree (State Gazette Year 1961 Number 207, Supplement to
State Gazette Number 2270);
Act Number 7 of the Year 1963 serving as the Presidential Resolution on Prevention
of Strike and or Lockout at Vital Enterprises, Government Agencies In Charge of
Public Service and Agencies (State Gazette Year 1963 Number 67);
Act Number 14 Year 1969 concerning Fundamental Provisions concerning
Manpower (State Gazette Year 1969 Number 55, Supplement to State Gazette
Number 2912);
Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State Gazette of the Republic
of Indonesia Year 1997 Number 73, Supplement to State Gazette of the Republic
of Indonesia Number 3702);
Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the Applicability of Act
Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State Gazette Year 1998 Number
184, Supplement to State Gazette Number 3791);
Act Number 28 Year 2000 concerning the Establishment of Government
Regulation in lieu of Law Number 3 Year 2000 concerning Changes to Act
Number 11 Year 1998 concerning the Change in the Applicability of Act Number
25 Year 1997 concerning Manpower into Act (State Gazette Year 2000 Number
204, Supplement to State Gazette Number 4042).
The above-mentioned statutory legislations are considered necessary to be revoked
and replaced by a new act. Relevant provisions of the old statutory rules and regulations
are accommodated under this manpower act. Implementing regulations from the
abolished acts shall remain effective until new implementing regulations are established
to replace them.
This act does not only abolish rules, regulations and provisions that are no longer
suitable/ relevant in the manpower context of today but also accommodate very
fundamental changes in all aspects of the life of Indonesian as a nation that started
with the 1998 reformation era.
At international labour forums, fundamental human rights in the workplace
are recognized through the 8 (eight) core conventions of the International Labour
Organization (ILO). These core conventions are basically made up of four groups:
Freedom of Association (ILO Conventions No. 87 and 98);
Prohibition against Discrimination (ILO Conventions No. 100 and 111);
Abolition of Forced Labour (ILO Conventions No. 29 and 105);
Minimum Age for Admission to Employment (ILO Convention No. 138 and
No. 182).

II - 101
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

Indonesian, as a nation, is committed to the recognition and appreciation of


fundamental human rights in the workplace. This has been realized, among others,
through the ratification of the 8 (eight) core conventions of the ILO. In line with the
ratification in recognition of the fundamental rights, this manpower act must also
reflect observance and appreciation of the seven core principles.
This act contains, among others:
Statutory basis, fundamental principles and the objectives of manpower
development;
Manpower planning and manpower information;
Provision of equal opportunities and equal treatment for manpower and workers/
labourers;
Job training that is directed to improve and develop skills and expertise of manpower
in order to increase labour productivity as well as enterprise productivity;
Job placement service in order to optimally use manpower and the placement of
people available for work in jobs that uphold human values and human dignity
as a form of responsibility of the government and the society in efforts to extend job
opportunities;
The proper use of manpower of foreign citizenship in accordance with the
competences that are needed.
Industrial relations development that accords with the values of the Pancasila,
directed towards the development of harmonious, dynamic and justice-based
relations among actors of production process;
Institutional development and structures of industrial relations, including collective
labour agreements, bipartite cooperative institutes, tripartite cooperative institutes,
the provision of information on industrial relations to the society, and the settlement
of industrial relations disputes.
Protection for workers/ labourers, including protection of the worker/ labourer’s
fundamental rights to negotiate with the entrepreneur, protection of the worker/
labourer’s occupational safety and health, special protection for female workers/
labourers, children, youths and disabled or handicapped workers, and protection
concerning wages, welfare and social security for employees;
Labour inspection, in order to make sure that statutory rules and regulations
concerning manpower are indeed carried out, as they should.

II - 102
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER I II. ARTICLE BY ARTICLE

GENERAL PROVISIONS

ARTICLE 1 ARTICLE 1
Under this act, the following definitions shall apply: Sufficiently clear

1. Manpower affairs are referring to every matter that is related


to people who are needed or available for a job before,
during and after their employment.
2. Manpower is every individual or person who is able to
work in order to produce goods and/ or services either to
fulfill his or her own needs or to fulfill the needs of the
society.
3. A worker/labourer are any person who works and receives
wages or other forms of remuneration.
4. An employer is individual, entrepreneur, legal entities, or
other entity that employ manpower by paying them wages
or other forms of remuneration.
5. An entrepreneur is:
a. An individual, a partnership or a legal entity that
operates a self-owned enterprise;
b. An individual, a partnership or a legal entity that
independently operates a non-self-owned enterprise;
c. An individual, a partnership or a legal entity located
in Indonesia and representing an enterprise as
mentioned under point a and point b that is domiciled
outside the territory of Indonesia.
6. An enterprise is:
a. Every form of business, which is either a legal entity
or not, which is owned by an individual, a partnership
or a legal entity that is either privately owned or state
owned, which employs workers/ labourers by paying
them wages or other forms of remuneration;
b. Social undertakings and other undertakings with
officials in charge and which employ people by paying
the wages or other forms of remuneration.
7. Manpower planning is the process of making a manpower
plan systematically that is used as a basis and reference
for formulating the policy, strategy and implementation
of a sustainable manpower development program.

II - 103
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

8. Manpower information is a group, a set or series and an


analysis of data in the form of processed numbers, texts
and documents that have specific meanings, values and
messages concerning labour.
9. Job training is the whole activities of providing workers
or potential workers with, and paving the way for them
to acquire, enhance and develop job competence,
productivity, discipline, work attitude and ethics until a
desired level of skills and expertise that match the grade
and qualifications required for a position or a job is reached.
10. Job competence or competency is the capability of each
individual that covers aspects of knowledge, skills and work
attitude which accords with prescribed standards.
11. Apprenticeship is a part of a job training system that
integrates training at a training institute with working
directly under the tutelage and supervision of an instructor
or a more experienced worker/ labourer in the process of
producing goods and/ or services in an enterprise in order
to master a certain skill or trade.
12. Job placement service is an activity aimed at matching
up manpower with employers so that manpower get jobs
that are suitable to their talents, interest and capability
and employers get the manpower they need.
13. Foreign worker is a visa holder of foreign citizenship with
the intention to work in Indonesia’s territory.
14. Work agreement is an agreement made between a worker/
labourer and an entrepreneur or an employer that specifies
work requirements, rights and obligations of the parties.
15. An employment relation is a relationship between an
entrepreneur and a worker/ labourer based on a work
agreement, which contains the elements of job, wages and
work order.
16. Industrial relations is a system of relations that is formed
among actors in the process of producing goods and/or
services, which consist of employers, workers/ labourers
and the government, which is based on the values of the
Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of
Indonesia.
17. A trade union/labour union is an organization that is
formed from, by and for workers/labourers either within

II - 104
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

an enterprise or outside of an enterprise, which is free,


open, independent, democratic, and responsible in order
to strive for, defend and protect the rights and interests of
the worker/ labourer and increase the welfare of the worker/
labourer and their families.
18. A bipartite cooperation institution is a communication
and consultation forum on matters pertaining to industrial
relations in an enterprise whose members consist of
entrepreneurs and trade/labour unions that have been
registered at a government agency responsible for
manpower affairs or workers/labourers’ representatives.
19. A tripartite cooperation institute is a communication,
consultation and deliberation forum on manpower issues
(problems) whose members consist of representatives from
entrepreneurs’ organizations, workers/labourers’
organizations and the government.
20. Company regulations is a set of rules and regulations made
in writing by an entrepreneur that specifies work
requirements and the enterprise’s discipline and rule of
conduct.
21. A collective labour agreement is an agreement resulted
from negotiations between a trade/labour union or several
trade/ labour unions registered at a government agency
responsible for manpower affairs and an entrepreneur or
several entrepreneurs or an association of entrepreneurs
that specifies work requirements, rights and obligations
of the parties.
22. An industrial relations dispute is a difference of opinion
that results in a conflict between an entrepreneur or an
association of entrepreneurs and a worker/labourer or a
trade/labour union because of dispute over rights, interests
and termination of employment and dispute between a
trade/labour union and another trade/labour union in the
same enterprise.
23. A strike is a collective action of workers/labourers, which
is planned and carried out by a trade/labour union to
stop or slower work.
24. A lockout is the entrepreneur’s action of refusing the
worker/labourer in whole or in part to perform work.
25. The termination of an employment relationship is

II - 105
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

termination of employment relationship because of a


certain thing that results in the coming of an end of the
rights and obligations of the worker/ labourer and the
entrepreneur.
26. A child is every person who is under 18 (eighteen) years
old.
27. Day is a period of time between 6am to 6pm.
28. One (1) day is a period of time of 24 (twenty four) hours.
29. A week is a period of 7 (seven) days.
30. A wage is the right of the worker/ labourer that is received
and expressed in the form of money as remuneration from
the entrepreneur or the employer to workers/ labourer,
whose amount is determined and paid according to a work
agreement, consensus, or laws and regulations, including
allowances for the worker/ labourer and their family for a
job and or service that has been performed or will be
performed.
31. Workers/ labourers’ welfare is a fulfillment of physical and
spiritual needs and/or necessities [of the worker] either
within or outside of employment relationships that may
directly or indirectly enhance work productivity in a
working environment that is safe and healthy.
32. Labour inspection is the activity of controlling and
enforcing the implementation of laws and regulations in
the field of manpower.
33. Minister is the minister responsible for manpower affairs.

CHAPTER II
STATUTORY BASIS, BASIC PRINCIPLES AND
OBJECTIVES
ARTICLE 2
ARTICLE 2
The National Development shall be
Manpower development shall have the Pancasila and the carried out in the framework of the whole,
1945 Constitution as its statutory basis. undivided development of Indonesian as a
human being. Therefore, manpower
development shall be carried out with the
aim to develop Indonesian and the
Indonesian society as a whole into a
prosperous, just, and well-off society in which
material and spiritual benefits are evenly
shared.

II - 106
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 3 ARTICLE 3
Manpower development shall be carried out based on The fundamental principle of
manpower development basically accords with
the basic principle of integration through functional, cross- the fundamental principle of national
sector, central, and provincial/municipal coordination. development, in particular with the
fundamental principle of democracy of the
Pancasila and the fundamental principles of
social justice and equity. Manpower
development has many dimensions and
interconnectivity with many stakeholders such
as the government, the entrepreneur and the
worker/ labourer. Therefore, manpower
development shall be carried out in an
integrated manner and in the form of a
mutually supportive cooperation.

ARTICLE 4 ARTICLE 4
Manpower development aims at: Point a
The empowerment and the effective
a. Empowering and making efficient use of manpower employment of manpower and the
optimally and humanely; development of their potentials shall go hand
in hand as an integrated activity aimed at
b. Creating equal opportunity and providing manpower providing as many job opportunities as possible
(supply of manpower) that suits the need of national and to Indonesian manpower. Through the
provincial/ municipal developments; empowerment and their employment/
potential development, Indonesian manpower
c. Providing protection to manpower for the realization of
shall be able to participate optimally in the
welfare; and national development but with keeping on
d. Improving the welfare of manpower and their family. upholding their values as human beings.
Point b
All efforts must be made to ensure equal
distribution of job opportunities throughout
all the territory of the Unitary State of the
Republic of Indonesia as a unified job markets
by providing equal opportunities to all
Indonesian manpower to find job that is in
line with their talents, interest and capabilities.
All efforts must also be made to ensure equal
distribution of job placement in order to fulfill
the needs in all sectors and regions.
Point c
Sufficiently clear
Point d
Sufficiently clear

II - 107
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER III
EQUAL OPPORTUNITIES

ARTICLE 5 ARTICLE 5
Every person who is available for a job
Any manpower shall have the same opportunity to get a
shall have the same right and opportunity to
job without discrimination. find a decent job and to earn a decent living
without being discriminated against on
grounds of sex, ethnicity, race, religion, political
orientation, in accordance with the person’s
interest and capability, including the provision
of equal treatment to the disabled.
ARTICLE 6 ARTICLE 6
Every worker/ labourer has the right to receive equal Entrepreneurs are under an obligation
treatment without discrimination from their employer. to give the worker/ labourer equal rights and
responsibilities without discrimination based
on sex, ethnicity, race, religion, skin color,
CHAPTER IV and political orientation.

MANPOWER PLANNING AND MANPOWER


INFORMATION

ARTICLE 7 ARTICLE 7
Subsection (1)
(1) For the sake of manpower development, the government Manpower planning that is formulated
shall establish manpower policy and develop manpower and established by the government shall be
planning. implemented through sector-based, regional
and national manpower planning
(2) Manpower planning shall include: approaches.
a. Macro manpower planning; and
Subsection (2)
b. Micro manpower planning. Point a
(3) In formulating policies, strategies, and implementation Macro manpower planning is a process
of sustainable manpower development program, the of systematically formulating manpower
planning, which makes effective, productive
government must use the manpower planning as and optimal use of workforce in order to
mentioned under subsection (1) as guidelines. support economic or social developments at
national, regional or sector-based level. In
this way as many as possible job opportunities
can be made available while job productivity
and workers/ labourers’ welfare can also be
increased.
Point b
Micro manpower planning is a process
of systematically formulating manpower
planning within an agency – either a
government agency or a private agency – in
order to enhance the effective, productive and

II - 108
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

optimal use of workforce to support the


achievement of high performance at the agency
or enterprise concerned.
Subsection (3)
Sufficiently clear

ARTICLE 8 ARTICLE 8
Subsection (1)
(1) Manpower planning shall be developed on the basis of Manpower information is collected and
manpower information, which, among others, includes processed according to the objectives of the
information concerning: formulation of national manpower planning
and provincial or district or city manpower
a. Population and manpower; planning.
b. Employment opportunity;
Subsection (2)
c. Job training including job competence; For the sake of manpower development,
d. Workers’ productivity; the participation of the private sector is expected
to provide information concerning manpower.
e. Industrial relations; The term “private sector” shall include
f. Working environment condition; enterprises/ companies, universities, and non-
government organizations at central level,
g. Wages system and workers’ welfare; and provincial or district/ city levels.
h. Social security for the employed. Subsection (3)
Sufficiently clear
(2) The manpower information as mentioned under
subsection (1) shall be obtained from all related parties,
including from government and private agencies.
(3) Provisions concerning procedures for acquiring manpower
information as well as procedures for the formulation and
implementation of manpower planning as mentioned
under subsection (1) shall be regulated with a Government
Regulation.

CHAPTER V
JOB TRAINING

ARTICLE 9 ARTICLE 9

Job training is provided and directed to instill, enhance, Welfare improvement as mentioned
under this Article shall mean the welfare
and develop job competence in order to improve ability, gained by manpower through the fulfillment
productivity and welfare. of work competence acquired by means of job
training.

ARTICLE 10 ARTICLE 10
Subsection (1)
(1) Job training shall be carried out by taking into account Sufficiently clear

II - 109
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

the need of the job market and the need of the business Subsection (2)
community, either within or outside the scope of Work competence standards shall be
established by Minister by including the
employment relations. sectors concerned.
Job training shall be provided on the basis of training Subsection (3)
programs that refer to job competence standards. Job training commonly comes in three
levels: elementary level, intermediate level and
(2) Job training may be administered step by step. advanced level.
(3) Provisions concerning procedures for establishing job Subsection (4)
Sufficiently clear
competence standards as mentioned under subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 11 ARTICLE 11
Manpower has the right to acquire and/or improve and/ Sufficiently clear
or develop job competence that is suitable to their talents,
interest and capability through job training.

ARTICLE 12 ARTICLE 12
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are responsible for improving and or Users of skilled manpower are
developing their workers’ competence through job entrepreneurs. Therefore, entrepreneurs are
training. responsible for organizing job training in
order to improve their workers’ competence.
Entrepreneurs who have meet the requirements stipulated
with a Ministerial Decision are under an obligation to Subsection (2)
improve and or develop the competence of their workers Entrepreneurs are obliged to enhance
and/or develop the competence of their
as mentioned under subsection (1)
workers/ labourers because it is the enterprise
(2) Every worker/ labourer shall have equal opportunity to that will benefit from the enhancement of
take part in a job training that is relevant to their field of their workers/ labourers’ job competence.
duty.
Subsection (3)
The administration of job training shall
be adjusted to the need of and the available
opportunity at the enterprise so that enterprise
activities are not disrupted.

ARTICLE 13 ARTICLE 13
(1) Job training shall be provided by government job-training Subsection (1)
institutes and/or private job-training institutes. Private job training shall also include
enterprise job training.
(2) Job training may be provided in a training place or in the
workplace. Subsection (2)
Sufficiently clear
(3) In providing job training, government job-training
institutes as mentioned under subsection (1) may work Subsection (3)
together with the private sector. Sufficiently clear

II - 110
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 14 ARTICLE 14
Subsection (1)
(1) A private job-training institute can take the form of an Sufficiently clear
Indonesian legal entity or individual proprietorship.
Subsection (2)
(2) Private job-training institutes as mentioned under
Sufficiently clear
subsection (1) are under an obligation to have a permit or
register with the agency responsible for manpower affairs Subsection (3)
in the local district/ city. The registration of training activities
administered by a government job-training
(3) A job-training institute run by a government agency shall institute at the government agency responsible
register its activities at the government agency responsible for manpower affairs in the district/ city is
for manpower affairs in the local district/ city. intended to get information for optimal
enhancement and development of the
(4) Provisions concerning procedures for acquiring a permit effectiveness of the training, training results,
from the authorities and registration procedures for job training structures and infrastructures.
training institutes as mentioned under subsection (2) and
subsection (3) shall be regulated with a Ministerial Subsection (4)
Sufficiently clear
Decision.

ARTICLE 15 ARTICLE 15
Job training providers are under an obligation to make Sufficiently clear
sure that the following requirements are met:
a. The availability of trainers;
b. The availability of a curriculum that is suitable to the
level of job training to be given;
c. The availability of structures and infrastructure for job
training; and
d. The availability of fund for the perpetuation of the activity
of providing job training.

ARTICLE 16 ARTICLE 16
Sufficiently clear
(1) Licensed private job training institutes and registered
government-sponsored job training institutes may obtain
accreditation from accrediting agencies.
(2) The accrediting agencies as mentioned under subsection
(1) shall be independent, consisting of community and
government constituents, and shall be established with a
Ministerial Decision.
(3) The organization and procedures of work of the accrediting
agencies as mentioned under subsection (2) shall be
regulated with a Ministerial Decision.

II - 111
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 17 ARTICLE 17
Sufficiently clear
(1) The government agency responsible for labour/ manpower
affairs in a district/ city may temporarily terminate
activities associated with the organization and
administration of a job training in the district/ city if it
turns out that the implementation of the job training:
a. Is not in accordance with the job training directions
as mentioned under Article 9; and/or
b. Does not fulfill the requirements as mentioned under
Article 15.
(2) The temporary termination of activities associated with
the organization and administration of job training as
mentioned under subsection (1) shall be accompanied
with the reasons for the temporary termination and
suggestions for corrective actions and shall apply for no
longer than 6 (six) months.
(3) The temporary termination of the implementation of the
administration of job training only applies to training
programs that do not fulfill the requirements as specified
under Article 9 and Article 15.
(4) Job training providers who, within a period of 6 months,
do not fulfill and complete the suggested corrective actions
as mentioned under subsection (2) shall be subjected to a
sanction that rules the termination of their training
programs.
(5) Job training providers who do not obey and continue to
carry out the training programs that have been ordered
for termination as mentioned under subsection (4) shall
be subjected to a sanction that revokes their licenses and
cancels their registrations as job training providers.
(6) Provisions concerning procedures for temporary
termination, termination, revocation of license, and
cancellation of registration shall be regulated with a
Ministerial Decision.

ARTICLE 18 ARTICLE 18
Subsection (1)
(1) Manpower shall be entitled to receive job competence Sufficiently clear
recognition after participating in job training provided
by government job training institutes, private job training Subsection (2)
institutes, or after participating in job training in the Certification of competence is a process

II - 112
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

workplace. of issuing competence-attesting certificates in


a systematic and objective way through
(2) The job competence recognition as mentioned under competence tests that use national as well as
subsection (1) shall be made through job competence international competence standards as
certification. reference.
(3) Manpower with experience in the job may, despite their Subsection (3)
experience, take part in the job training as mentioned Sufficiently clear
under subsection (1) in order to obtain job competence
certification as mentioned under subsection (2). Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) To provide job competence certification, independent
profession-based certification agencies shall be established. Subsection (5)
Sufficiently clear
(5) Provisions concerning the procedures for the establishment
of certification agencies as mentioned under subsection
(4) shall be regulated with a Presidential Decision.

ARTICLE 19 ARTICLE 19
The provision of job training to people with disability Sufficiently clear
who are available for a job shall take into account the type and
severity of the disability and their ability.

ARTICLE 20 ARTICLE 20
Subsection (1)
(1) To support the improvement of job training for the sake The national job training system as
of manpower development, a national job-training system mentioned under this subsection is
that serves as a reference for the administration of job interconnectivity and integration of various
training in all fields of work and/or all sectors shall be job training elements/ aspects which include,
among others, participants, costs, structures
developed. and infrastructures, instructors, training
(2) Provisions concerning the form, mechanism and programs and methods and graduates. With
institutional arrangements of the national job-training the existence of the national job training
system, all elements and all resources of
system as mentioned under subsection (1) shall be national job training found in government
regulated with a Government Regulation. agencies, private agencies and companies can
be optimally used.

Subsection (2)
Sufficiently clear

ARTICLE 21 ARTICLE 21
Job training may be administered by means of Sufficiently clear
apprenticeship systems.

ARTICLE 22 ARTICLE 22
Subsection (1)
(1) Apprenticeship shall be carried out based on an Sufficiently clear
apprenticeship agreement made in writing between the

II - 113
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

apprenticeship participant and the entrepreneur. Subsection (2)


The rights of the apprentice include the
(2) The apprenticeship agreement as mentioned under right to receive pocket money and or transport
subsection (1) shall at least have stipulations explaining money, the right to receive social security for
the rights and obligations of both the participant and the employees, certificate upon completion of
entrepreneur as well as the period of apprenticeship. apprenticeship if they successfully complete the
apprenticeship program.
(3) Any apprenticeship administered without an The rights of the entrepreneur, on the
apprenticeship agreement as mentioned under subsection other hand, include the right to possess any
(2) shall be declared illegal and as a consequence, the status products/ services resulted from the
apprenticeship activities, the right to recruit
of the apprenticeship’s participants shall change to be the
and install successful apprentices as workers/
workers/ labourers of the enterprise. labourers if they meet the entrepreneur’s
criteria.
The obligations of the apprentice include
the obligation to comply with the
apprenticeship agreement, to follow
apprenticeship programs and procedures, and
to comply with the enterprise’s discipline and
rule of conduct.
The obligations of the entrepreneur, on
the other hand, include the obligation to
provide pocket money and/or transport money
to the apprentice, training facilities and
infrastructures as well as occupational safety
and health equipment.
The period of apprenticeship varies,
subject to the length of time needed to achieve
the competence standards that have been set/
established in the apprenticeship training
programs.

Subsection (3)
An apprentice who has the status of a
worker/ labourer in the enterprise that employs
him or her as apprentice shall have the right
over everything that is regulated in the
company regulations or the collective labour
agreement.

ARTICLE 23 ARTICLE 23
Certification may be performed by a
Manpower that has completed an apprenticeship program
certification agency established by and or
is entitled to get their job competence and qualifications accredited by the government if the program
recognized by enterprises or by certification agency. is general, or by the enterprise if the program
is specific.

ARTICLE 24
ARTICLE 24
Sufficiently clear
Apprenticeship can take place within the enterprise or at
the place where job training is organized, or at another

II - 114
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

enterprise, within or outside of the Indonesia’s territory.

ARTICLE 25 ARTICLE 25
Sufficiently clear
(1) The apprenticeship which is conducted outside of
Indonesia’s territory must obtain a license from Minister
or the appointed official.
(2) In order to obtain the license as mentioned under
subsection (1), the organizer of the apprenticeship must
be in the form of an Indonesian legal entity in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(3) Provisions concerning the procedures for obtaining license
for apprenticeship organized outside of Indonesia’s territory
as mentioned under subsection (1) and subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 26 ARTICLE 26
Sufficiently clear
(1) Any apprenticeship organized outside of the Indonesia’s
territory must take into account:
a. The dignity and standing of Indonesians as a nation;
b. Mastery of a higher level of competence; and
c. Protection and welfare of apprenticeship participants,
including their rights to perform religious obligations.
(2) The Minister or appointed official may order the
termination of any apprenticeship taking place outside of
the Indonesia’s territory if it turns out that its organization
is not pursuant to subsection (1).

ARTICLE 27 ARTICLE 27
Subsection (1)
(1) Minister may require qualified enterprises to organize Sufficiently clear
apprenticeship programs.
(2) In determining the requirements for organizing Subsection (2)
The phrase the interests of the enterprise
apprenticeship programs as mentioned under subsection under this subsection means to ensure the
(1), Minister must take into account the interests of the availability of skilled and expert manpower
enterprise, the society and the State. at certain competence levels such specialist
welders for performing welding underwater.
The phrase the interests of the society
shall refer to, for instance, the opening up of
opportunities for people to find a job in a
specific industry such as plant cultivation
technology with tissue culture.
The phrase the interests of the State shall

II - 115
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

refer to, for instance, efforts to save the country’s


foreign exchange reserves through
apprenticeship programs aimed at enabling
the apprentice to manufacture modern
agricultural machines and tools.

ARTICLE 28 ARTICLE 28
Sufficiently clear
(1) In order to provide recommendation and consideration
in the establishment of policies and coordination of job
training and apprenticeship activities, a national job
training coordinator institute shall be established.
(2) The formation, membership and procedures of work of
the national job training coordinator institute as
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a
Presidential Decision.

ARTICLE 29 ARTICLE 29
Sufficiently clear
(1) The Central Government and/or Regional Governments
shall develop job training and apprenticeship.
(2) The development of job training and apprenticeship shall
be directed to improve the relevance, quality, and
efficiency of job training administration and productivity.
(3) Efforts to improve productivity as mentioned under
subsection (2) shall be made through the development of
productive culture, work ethics, technology and efficiency
of economic activities directed towards the realization of
national productivity.

ARTICLE 30 ARTICLE 30
Sufficiently clear
(1) In order to enhance productivity as mentioned under
subsection (2) of Article 29, a national productivity
institute shall be established.
(2) The national productivity institute as mentioned under
subsection (1) shall be in the form of an institutional
productivity enhancement service network, which
supports cross-sector and cross-regional activities/
programs.
(3) The formation, membership and procedures of work of
the national productivity institute as mentioned under
subsection (1) shall be regulated with a Presidential
Decision.

II - 116
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER VI
JOB PLACEMENT

ARTICLE 31 ARTICLE 31
Any manpower shall have equal rights and opportunities Sufficiently clear
to choose a job, get a job, or move to another job and earn
decent income irrespective of whether they are employed at
home or abroad.

ARTICLE 32 ARTICLE 32
Subsection (1)
(1) Job placement shall be carried out based on transparency,
The term transparency here refers to the
free, objectivity, fairness and equal opportunity without giving of clear information to jobseekers
discrimination. concerning the type of work, the amount
(2) Job placement shall be directed to place manpower in of wages, and working hours. This is
necessary to protect workers/ labourers and
the right job or position which best suits their skills, trade, to avoid disputes after the placement takes
capability, talents, interest and ability by observing their place.
dignity and rights as human beings as well as legal Free means that jobseekers are free to choose
protection. whatever job they like and employers are
also free to choose manpower/ jobseekers
(3) Job placement shall be carried out by taking into account
they like. Thus jobseekers must not be
the equal distribution of equal opportunity and the forced to accept a job and employers must
available supply of manpower in accordance with the needs not be forced to accept any manpower
of the national and regional development programs. offered to him.
The term objectivity here is intended to
encourage employers to offer to jobseekers
jobs that suit their abilities and
qualifications. In so doing, however,
employers have to consider the interests of
the public and must not take sides.
The phrase fairness and equal here shall
refer to placement purely based on the
ability of the manpower and not based
on the manpower’s race, sex, skin color,
religion, and political orientation.

Subsection (2)
Sufficiently clear

Subsection (3)
Efforts must be made to ensure equal
distribution of job opportunities in the whole
territory of the State of the Republic of
Indonesia as a unified national job market
by providing the whole manpower with the
same opportunity to get job according to their

II - 117
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

talents, interests and ability. Efforts to ensure


equal distribution of job opportunities also
need to be made so that the need for manpower
in all sectors and regions can be fulfilled.

ARTICLE 33 ARTICLE 33
Sufficiently clear
The placement of manpower consists of:
a. The placement of manpower at domestic level;
b. The placement of manpower in foreign countries.

ARTICLE 34 ARTICLE 34
Prior to the enactment of the act on the
Provisions concerning the placement of manpower in placement of manpower in foreign countries,
foreign countries as mentioned under Article 33 point b shall all laws and regulations that regulate
be regulated with an act. placement of manpower in foreign countries
shall remain valid.

ARTICLE 35 ARTICLE 35
Subsection (1)
(1) Employers who need workforce may recruit by themselves Employers under this subsection refer to
the workforce they need or have them recruited through domestic employers.
job placement agencies.
Subsection (2)
(2) Job placement agencies as mentioned under subsection Sufficiently clear
(1) are under an obligation to provide protection to
manpower that they try to find a placement for since their Subsection (3)
recruitment takes place until their placement is realized. Sufficiently clear

(3) In employing people who are available for a job, the


employers as mentioned under subsection (1) are under
an obligation to provide protection which shall include
protection for their welfare, safety and health, both mental
and physical.

ARTICLE 36 ARTICLE 36
Sufficiently clear
(1) The placement of manpower by a job placement agency
as mentioned under subsection (1) of Article 35 shall be
carried out through the provision of job placement service.
(2) Job placement service as mentioned under subsection (2)
shall be provided/rendered in an integrated manner within
a job placement system to which the following elements
are part:
a. Job seekers;
b. Vacancies;
c. Job market information;

II - 118
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

d. Inter-job mechanisms; and


e. Institutional arrangements for job placement.
(3) Activities connected with the elements of the job
placement system as mentioned under subsection (2) can
take place separately and are aimed at the realization of
the placement of manpower.

ARTICLE 37 ARTICLE 37
Subsection (1)
(1) Job placement agencies as mentioned under subsection Point a
(1) of Article 35 consist of: The establishment of government
a. Government agencies responsible for manpower affairs; agencies responsible for manpower affairs at
central and regional level shall be regulated
and according to prevailing laws and regulations.
b. Private agencies with legal status. Point b
Sufficiently clear
(2) In order to provide job placement service, the private
agency as mentioned under subsection (1) point b is under Subsection (2)
an obligation to possess a written permission from Minister Sufficiently clear
or another appointed official.

ARTICLE 38 ARTICLE 38
Sufficiently clear
(1) Job placement agencies as mentioned under point a
subsection (1) of Article 37 are prohibited from collecting
placement fees, either directly or indirectly, in part or in
whole, from people available for work whom they find a
placement for and their users.
(2) Private job placement agencies as mentioned under point
b subsection (1) of Article 37 may only collect placement
fees from users of their service and from workers of certain
ranks and occupation whom they have placed.
(3) The ranks and occupation as mentioned under subsection
(2) shall be regulated with a Ministerial Decision.

CHAPTER VII
EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES

ARTICLE 39 ARTICLE 39
Sufficiently clear
(1) The government is responsible for making efforts to extend
job opportunities either within or outside of employment
relationships.

II - 119
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(2) The government and the society shall jointly make efforts
to extend job opportunities either within or outside of
employment relationships.
(3) All the government’s policies, at the central or regional
level and in each sector, shall be directed to realize the
extension of job opportunities either within or outside of
employment relationships.
(4) Financial institutions, either banks or non-banks, and the
business society need to help and facilitate each activity
of the society which can create or develop extension of job
opportunities.

ARTICLE 40 ARTICLE 40
Sufficiently clear
(1) Extension of employment opportunities outside of
employment relationships shall be undertaken through
the creation of productive and sustainable activities by
efficient use of natural resource potentials, human
resources, and effective practical technologies.
(2) Extension of employment opportunities as mentioned
under subsection (1) shall be undertaken through patterns
of formation and development for the self-employed, the
application of labour-intensive system, the application and
development of effective practical technology, and efficient
use of volunteers or other patterns that may encourage
the creation of job opportunity extension.

ARTICLE 41 ARTICLE 41
Because efforts to extend job
(1) The government shall determine manpower and job opportunities are of cross-sector coverage, a
opportunity extension policies. national policy must be made in all sectors to
absorb manpower optimally. In order to
(2) The government and the society shall jointly exercise properly implement the national policy, the
control over the implementation of the policies as government and society shall jointly and in a
mentioned under subsection (1). coordinated way monitor and control the
implementation of the policy.
(3) In implementing the duty as mentioned under subsection
(2), a coordinating body with government and society
constituents as its members may be established.
(4) Provisions concerning the extension of job opportunities
as mentioned under Article 39 and Article 40 and the
formation of a coordinating body as mentioned under
subsection (3) of this Article shall be regulated with a
Government Regulation.

II - 120
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER VIII
EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER

ARTICLE 42 ARTICLE 42
Subsection (1)
(1) Every employer that employs foreign worker is under an The requirement to obtain permission
obligation to obtain written permission from Minister. for the use of foreign worker is intended to
ensure selective employment of foreign worker
(2) An employer who is an individual person is prohibited so that Indonesian manpower can be used
from employing foreign worker. and developed optimally.
(3) The obligation to obtain permission from Minister as
Subsection (2)
mentioned under subsection (1) does not apply to
Sufficiently clear
representative offices of foreign countries in Indonesia that
employ foreign citizens as their diplomatic and consular Subsection (3)
employees. Sufficiently clear
(4) Foreign worker can be employed in Indonesia in Subsection (4)
employment relations for certain positions and for a Sufficiently clear
certain period of time only.
Subsection (5)
(5) Provisions concerning certain positions and certain periods Sufficiently clear
of time as mentioned under subsection (4) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (6)
Sufficiently clear
(6) Foreign workers as mentioned under subsection (4) whose
working period has expired and cannot be extended may
be replaced by other foreign workers.

ARTICLE 43 ARTICLE 43
Subsection (1)
(1) Employers of foreign worker must have plan concerning The plan for the utilization of foreign
the utilization of foreign worker that are legalized by the worker is a requirement to get working permit
Minister or appointed official. (IKTA).
(2) The plans for the utilization of foreign worker as Subsection (2)
mentioned under subsection (1) shall at least contain the Sufficiently clear
following information:
Subsection (3)
a. The reasons why the service of foreign worker is needed The “international agencies” under this
or required. subsection refer to non-profit international
b. The position and or occupation of the foreign worker organizations under the United Nations such
as the ILO, WHO or UNICEF.
within the organizational structure of the enterprise.
c. The timeframe set for the use of the foreign worker; Subsection (4)
and Sufficiently clear

d. The appointment of Indonesian worker as associate


for the foreign worker.

II - 121
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(3) The provision as mentioned under subsection (1) does


not apply to government agencies, international agencies
and representative diplomatic offices of foreign countries.
(4) The provisions concerning the procedures for the
legalization of plans concerning the utilization of foreign
worker shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 44 ARTICLE 44
Subsection (1)
(1) Employers of foreign worker are under an obligation to The competence standards here refer to
obey the prevailing regulations concerning occupations qualifications that must be owned by
and competence standards. manpower of foreign citizenship such as
knowledge, skills and expertise in certain fields
(2) The provisions concerning occupations and competence and understanding of Indonesian culture.
standards as mentioned under subsection (1) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (2)
ufficiently clear

ARTICLE 45 ARTICLE 45
Subsection (1)
(1) Employers who employ foreign worker are under Point a
obligations: Indonesian worker who accompany
foreign worker do not automatically replace
a. To appoint Indonesian worker as associate for foreign
or occupy the position of the foreign worker
worker whereby the foreign worker shall transfer that they accompany. The accompaniment is
technologies and his/her expertise to his/her emphasized on transfer of technology and
Indonesian associate; and transfer of expertise/ skills so that the
accompanying Indonesian workers may get
b. To educate and train Indonesian worker, as mentioned ability to replace the foreign worker that they
under point a, until he/she has the qualifications accompany in due time.
required to occupy the position currently occupied by Point b
foreign worker. Vocational education and training by
employers may be carried out either in the
(2) The provision as mentioned under subsection (1) does country home or by sending Indonesian
not apply to foreign worker who occupy the position of manpower to foreign countries for training.
director and/or commissioner.
Subsection (2)
Sufficiently clear

ARTICLE 46 ARTICLE 46
Sufficiently clear
(1) Foreign worker is not allowed to occupy position that deal
with personnel and/or occupy certain positions.
(2) The certain positions as mentioned under subsection (1)
shall be regulated with a Ministerial Decision.

II - 122
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 47 ARTICLE 47
Subsection (1)
(1) Employers are obliged to pay compensation for each of The obligation to pay compensation is
foreign worker that they employ. intended to support efforts to increase the
quality of Indonesian human resources.
(2) The obligation to pay compensation as mentioned under
subsection (1) does not apply to government agencies, Subsection (2)
international agencies, social and religious undertakings Sufficiently clear
and certain positions in educational institutions.
Subsection (3)
(3) The provisions concerning certain positions in educational Sufficiently clear
institutions as mentioned under subsection (2) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning the amount of compensation
and its utilization shall be regulated with a Government
Regulation.

ARTICLE 48 ARTICLE 48
Employers who employ foreign worker are under an Sufficiently clear
obligation to repatriate the foreign worker to their countries
of origin after their employment comes to an end.

ARTICLE 49
Provisions concerning the procedures for the utilization
of foreign workers and the implementation of education and
training for their Indonesian associate shall be regulated with ARTICLE 49
a Government Regulation. Sufficiently clear

CHAPTER IX
EMPLOYMENT RELATIONS

ARTICLE 50 ARTICLE 50
Employment relation exists because of the existence of a Sufficiently clear
work agreement between the entrepreneur and the worker/
labourer.

ARTICLE 51 ARTICLE 51
Subsection (1)
(1) Work agreements can be made either orally or in writing. Principally, work agreements shall be
(2) Work agreements that specify requirements in writing shall made in writing. However, given the various
be carried out in accordance with valid legislation. conditions in the society, oral work agreements
are possible.

II - 123
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

Subsection (2)
Work agreements that specify work
requirements in writing must be in
accordance with the prevailing laws and
regulations, including work agreements for a
specified time, inter-work inter-region and
inter-work inter-country and maritime work
agreements.

ARTICLE 52 ARTICLE 52
Subsection (1)
(1) A work agreement shall be made based on: Point a
a. The agreement of the parties; Sufficiently clear
Point b
b. The capability or competence to take legal actions; The phrase capability or competence to
c. The availability/existence of the job which the parties take legal actions refers to parties who are
have agreed about; capable or competent by law to make
agreements. Work agreements for child labour
d. The notion that the job which the parties have agreed shall be signed by their parents or guardians.
about is not against public order, morality and what is Point c
prescribed in the prevailing laws and regulations. Sufficiently clear
Point d
(2) If a work agreement, which has been made by the parties, Sufficiently clear
turns out to be against what is prescribed under point a
and point b of subsection (1), the agreement may be Subsection (2)
abolished/cancelled. Sufficiently clear

(3) If a work agreement, which has been made by the parties, Subsection (3)
turns out to be against what is prescribed under point c Sufficiently clear
and point d of subsection (1), the agreement shall be
declared null and void by law.

ARTICLE 53 ARTICLE 53
Sufficiently clear
Everything associated with, and/or the costs needed for,
the making of a work agreement shall be borne by, and shall
be the responsibility of, the entrepreneur.

ARTICLE 54 ARTICLE 54
Subsection (1)
(1) A written work agreement shall at least include: Sufficiently clear
a. The name, address and line of business;
Subsection (2)
b. The name, sex, age and address of the worker/ labourer; What is meant by the phrase must not
c. The occupation or the type of job; against stated under this subsection is that if
the enterprise already has its rules and
d. The place, where the job is to be carried out; regulations or its collective labour agreement,
e. The amount of wages and how the wages shall be paid; then the content of the work agreement, both
in terms of quality and quantity, can not be
f. Job requirements stating the rights and obligations of

II - 124
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

both the entrepreneur and the worker/ labourer; lower than the provisions under the company
regulations or the collective labour agreement.
g. The date the work agreement starts to take effect and
the period during which it is effective; Subsection (3)
h. The place and the date where the work agreement is Sufficiently clear
made; and
i. The signatures of the parties involved in the work
agreement.
(2) The provisions in a work agreement as mentioned under
point e and point f of subsection (1) are concerned must
not against the company regulations, the collective labour
agreement and prevailing laws and regulations.
(3) A work agreement as mentioned under subsection (1) shall
be made in 2 (two) counterparts which have the same
legal force, 1 (one) copy of which shall be kept by the
entrepreneur and the other by the worker/ labourer.

ARTICLE 55 ARTICLE 55
A work agreement cannot be withdrawn and/or changed Sufficiently clear
unless the parties agreed otherwise.

ARTICLE 56 ARTICLE 56
Sufficiently clear
(1) A work agreement may be made for a specified time or for
an unspecified time.
(2) A work agreement for a specified time shall be made based
on:
a. A term; or
b. The completion of a certain job.

ARTICLE 57 ARTICLE 57
Sufficiently clear
(1) A work agreement for a specified time shall be made in
writing and must be written in the Indonesian language
with Latin alphabets.
(2) A work agreement for a specified time, if not made in
writing is against what is prescribed under subsection (1),
shall be regarded as a work agreement for an unspecified
time.
(3) If a work agreement is written in both the Indonesian
language and a foreign language and then differences in
interpretation arise, then the Indonesian version of the
agreement shall prevail.

II - 125
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 58 ARTICLE 58
Sufficiently clear
(1) A work agreement for a specified time cannot stipulate
probation.
(2) If a work agreement as mentioned under subsection (1)
stipulates the probation, it shall then be declared null
and void by law.

ARTICLE 59 ARTICLE 59
Subsection (1)
(1) A work agreement for a specified time can only be made The work agreement as mentioned
for a certain job, which, because of the type and nature of under this subsection shall be registered with
the job, will finish in a specified time, that is: the government agency responsible for
manpower affairs.
a. Work to be performed and completed at once or work
which is temporary by nature; Subsection (2)
b. Work whose completion is estimated time which is Jobs that are permanent by nature refer
to continuous, uninterrupted jobs that are
not too long and no longer than 3 (three) years; not confined by a timeframe and are part of
c. Seasonal work; or production process in an enterprise or jobs
that are not seasonal.
d. Work that is related to a new product, a new activity Jobs that are not seasonal are jobs that
or an additional product that is still in the experimental do not depend on the weather or certain
stage or try-out phase. conditions. If a job is a continuous,
uninterrupted job that is not confined by a
(2) A work agreement for a specified time cannot be made for
timeframe and part of a production process
jobs that are permanent by nature. but depends on the weather or the job is
(3) A work agreement for a specified time can be extended or needed because of the existence of a certain
renewed. condition, then the job is a seasonal job. The
job does not belong to permanent employment
(4) A work agreement for a specified time may be made for a and hence, can be subjected to a work
period of no longer than 2 (two) years and can only be agreement for a specified time.
extended one time that is not longer than 1 (one) year.
Subsection (3)
(5) Entrepreneurs who intend to extend work agreement for Sufficiently clear
a specified time shall notify the said workers/ labourers of
the intention in writing within a period of no later than 7 Subsection (4)
Sufficiently clear
(seven) days prior to the expiration of the work agreements.
(6) The renewal of a work agreement for a specified time can Subsection (5)
only be made after a grace period of 30 (thirty) days is Sufficiently clear
over since the work agreement for a specified period comes
Subsection (6)
to an end; the renewal of a work agreement for a specified Sufficiently clear
time can only be made once that is no longer than 2 (two)
years. Subsection (7)
Sufficiently clear
(7) Any work agreement for a specified time that does not
fulfill the requirements mentioned under subsection (1), Subsection (8)
subsection (2), subsection (4), subsection (5) and Sufficiently clear

II - 126
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

subsection (6) shall, by law, become a work agreement


for an unspecified time.
(8) Other matters that have not been regulated under this
article shall be further regulated with a Ministerial
Decision.

ARTICLE 60 ARTICLE 60
Subsection (1)
(1) A work agreement for an unspecified time may require a A requirement for a probationary period
probation period for no longer than 3 (three) months. must be stated in a work agreement. If the
(2) During the probation period as mentioned under work agreement is made orally, the
requirement for a probationary period must
subsection (1), the entrepreneur is prohibited from paying be made known to the worker and stated in
wages less than the applicable minimum wage. the worker’s letter of appointment. If the work
agreement or the letter of appointment is silent
about probationary period, probationary
period shall be considered non-existent.

Subsection (2)
Sufficiently clear

ARTICLE 61 ARTICLE 61
Subsection (1)
(1) A work agreement comes to an end if: Point a
a. The worker dies; or Sufficiently clear
Point b
b. The work agreement expires; or Sufficiently clear
c. A court decision and/or a resolution or order of the Point c
industrial relations disputes settlement institution, Sufficiently clear
Point d
which has permanent legal force; or A certain situation or incident which
d. There is a certain situation or incident prescribed in may result in the termination of employment
the work agreement, the company regulations, or the refers to certain conditions such as natural
disasters, social upheavals/ unrest and security
collective labour agreement which may effectively
disturbances.
result in the termination of employment.
A work agreement does not end because the Subsection (2)
entrepreneur dies or because the ownership of the Sufficiently clear
company has been transferred because the company Subsection (3)
has been sold, bequeathed to an heir, or awarded as a Sufficiently clear
grant.
Subsection (4)
(2) In the event of a transfer of ownership of an enterprise, Sufficiently clear
the new entrepreneur shall bear the responsibility of
fulfilling the entitlements of the worker/ labourer unless Subsection (5)
otherwise stated in the transfer agreement, which must What is meant by the worker’s
entitlements that pursuant to the prevailing
not reduce the entitlements of the worker/ labourer.
laws and regulations or the entitlements that
has been prescribed in the work agreement,

II - 127
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(3) If the entrepreneur, individual, dies, his or her heir may the company regulations, or collective labour
terminate the work agreement after negotiating with the agreement are entitlements that must be given
that are better and more beneficial for the
worker/ labourer. worker/ labourer.
(4) If a worker/ labourer die, his or her heir has a rightful
claim to acquire the worker’s entitlements according to
the prevailing laws and regulations or to the entitlements
that has been prescribed in the work agreement, the
company regulations, or the collective labour agreement.

ARTICLE 62 ARTICLE 62
Sufficiently clear
If either party in a work agreement for a specified time
shall terminates the employment relations prior to the
expiration of the agreement, or if their work agreement has to
be ended for reasons other than what is given under subsection
(1) of Article 61, the party that terminates the relation is obliged
to pay compensation to the other party in the amount of the
worker’s/ labourer’s wages until the expiration of the agreement.

ARTICLE 63 ARTICLE 63
Sufficiently clear
(1) If a work agreement for an unspecified time is made orally,
the entrepreneur is under an obligation to issue a letter of
appointment for the relevant worker/ labourer.
The letter of appointment as mentioned under subsection
(1) shall at least contain information concerning:
a. The name and address of the worker/ labourer;
b. The date the worker starts to work;
c. The type of job or work; and
d. The amount of wages.

ARTICLE 64 ARTICLE 64
Sufficiently clear
An enterprise may subcontract part of its work to another
enterprise under a written agreement of contract of work or a
written agreement for the provision of worker/labour.

ARTICLE 65 ARTICLE 65
Sufficiently clear
(1) The subcontract of part of work to another enterprise shall
be performed under a written agreement of contract of
work.
(2) Work that may be subcontracted as mentioned under
subsection (1) must meet the following requirements:

II - 128
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

a. The work can be done separately from the main activity;


b. The work is to be undertaken under either a direct or
an indirect order from the party commissioning the
work;
c. The work is an entirely auxiliary activity of the
enterprise; and
d. The work does not directly inhibit the production
process.
(3) The other enterprise as mentioned under subsection (1)
must be in the form of a legal entity.
(4) The protection and working conditions provided to
workers/ labourers at the other enterprise as mentioned
under subsection (2) shall at least the same as the
protection and working conditions provided at the
enterprise that commissions the contract or in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(5) Any change and/or addition to what is required under
subsection (2) shall be regulated further with a Ministerial
Decision.
(6) The employment relationship in undertaking the work
as mentioned under subsection (1) shall be regulated with
a written employment agreement between the other
enterprise and the worker/labourer it employs.
(7) The employment relationship as mentioned under
subsection (6) may be based on an employment agreement
for an unspecified time or on an employment agreement
for a specified time if it meets the requirements under
Article 59.
(8) If what is stipulated under subsection (2), and subsection
(3), is not met, the enterprise that contracts the work to
the contractor shall be held legally responsible by law to
be the employer of the worker/ labourer employed by the
contractor.
(9) In the event of change of employer from the contractor to
the contracting enterprise as mentioned under subsection
(8), the employment relationship between the worker/
labourer and the contracting enterprise shall be subjected
to the employment relationship as mentioned under
subsection (7).

II - 129
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 66 ARTICLE 66
Subsection (1)
(1) Workers/ labourers from labour suppliers must not be If the job is related to the entrepreneur’s
utilized by employers to carry out their enterprises’ main core business activities or activities directly
activities or activities that are directly related to production connected with production process, the
process except for auxiliary service activities or activities entrepreneur is only allowed to employ
workers/ labourers under an employment/
that are indirectly related to production process. work agreement for a specified time and/or
(2) Labour suppliers which provide labour for auxiliary service under a work agreement for an unspecified
activities or activities indirectly related to production time.
What is meant by auxiliary service
process must fulfill the following requirements: activities or activities indirectly related to
a. There is employment relationship between the worker/ production process are activities outside of the
labourer and the labour provider; core business of the enterprise.
Such activities include, among others,
b. The applicable employment agreement in the activities associated with the provision of
employment relationship as mentioned under point a cleaning service, the provision of catering
above shall be employment agreement for a specified service the provision of a supply of security
guards, auxiliary business activities in the
time which fulfills the requirements under Article 59
mining and oil sectors, and the provision of
and/or work agreement for an unspecified time made transport for workers/ labourers.
in writing and signed by the parties;
c. The labour provider shall be responsible for wages and Subsection (2)
Point a
welfare protection, working conditions and disputes Sufficiently clear
that may arise; and Point b
d. The agreements between enterprises serving as labour Sufficiently clear
Point c
providers and enterprises using the labour they provide Issues concerning wage and welfare
shall be made in writing and shall include provisions protection, working requirements/ conditions
as mentioned under this act. and settlements of disputes between labour
providers/ suppliers and workers/ labourers
(3) Labour providers/ suppliers shall take the form of a legal
must be in accordance with the prevailing
entity business with license from a government agency laws and regulations.
responsible for manpower affairs. As far as wage and welfare protection,
(4) If what is stipulated under subsection (1), point a, point working conditions, and protection in the
event of a dispute are concerned, workers/
b, and point d of subsection (2), and subsection (3) is labourers who work at labour provider
not fulfilled, the enterprise that utilizes the service of the enterprises shall receive the same entitlements
labour provider shall be held legally responsible by law to as the ones provided in the enterprises that use
be the employer of workers/ labourers provided to it by their service in accordance with the work
agreements, company regulations or collective
the labour provider.
labour agreements.
Point d
Sufficiently clear

Subsection (3)
Sufficiently clear

Subsection (4)
Sufficiently clear

II - 130
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER X
PROTECTION, WAGES AND WELFARE
SECTION ONE
PROTECTION
SUBSECTION 1
DISABLED PERSONS

ARTICLE 67 ARTICLE 67
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs who employ disabled workers are under The protection to disabled workers
an obligation to provide protection to the workers in according to the type and severity of the
accordance with the type and severity of their disability. disability as mentioned under this subsection
refers to, for instance, the provision of
(2) The protection for disabled workers as mentioned under accessibility, working tools, and personal
subsection (1) shall be administered in accordance with protective equipment that are adjusted to the
prevailing laws and regulations. type and severity of the worker’s disability.

Subsection (2)
SUBSECTION 2 Sufficiently clear
CHILDREN
ARTICLE 68 ARTICLE 68
Entrepreneurs are not allowed to employ children. Sufficiently clear

ARTICLE 69 ARTICLE 69
Sufficiently clear
(1) Exemption from what is stipulated under Article 68 may
be made for the employment of children aged between
13 (thirteen) years old and 15 (fifteen) years old for light
work to the extent that the job does not stunt or disrupt
their physical, mental and social developments.
(2) Entrepreneurs who employ children for light work as
mentioned under subsection (1) must meet the following
requirements:
a. The entrepreneurs must have written permission from
the parents or guardians of the children;
b. There must be a work agreement between the
entrepreneur and the parents or guardians;
c. Maximum working time 3 (three) hours a day;
d. Conducting during the day without disturbing school
time;

II - 131
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

e. occupational safety and health;


f. A clear employment relations; and
g. receive wages in accordance with the prevailing
provisions.
(3) The provisions as mentioned under point a, b, f and point
g of subsection (2) shall not apply to children who work
in a family business.

ARTICLE 70 ARTICLE 70
Sufficiently clear
(1) Children may work at a workplace as part of their school’s
education curriculum or training legalized by the
authorities.
(2) The children as mentioned under subsection (1) at least
14 (fourteen) years of age.
(3) The job as mentioned under subsection (1) can be
performed on the conditions:
a. given clear instructions on how to do the job as well as
guidance and supervision on how to carry out the work;
and
b. given the occupational safety and health.

ARTICLE 71 ARTICLE 71
Subsection (1)
(1) Children may work in order to develop their talents and What is stipulated under this subsection
interest. is intended to protect children in such a way
that the development of their talents and
(2) Entrepreneurs who employ children as mentioned under
interest – that commonly takes place at their
subsection (1) are under an obligation to meet the age – is not disrupted.
following requirements:
a. put under direct supervision of their parents or Subsection (2)
Sufficiently clear
guardians;
b. maximum working time 3 (three) hours a day; and Subsection (3)
Sufficiently clear
c. the working conditions and environment do not disrupt
their physical, mental and social developments as well
as school time;
(3) Provisions concerning children who work to develop their
talents and interest as mentioned under subsection (1)
and subsection (2) shall be regulated with a Ministerial
Decision.

II - 132
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 72 ARTICLE 72
Sufficiently clear
In case children are employed together with adult
workers/labourers, the children’s workplace must be separated
from the workplace for adult workers/labourers.

ARTICLE 73 ARTICLE 73
Children shall be assumed to be at work if they are found Sufficiently clear
in a workplace unless there is evidence to prove otherwise.

ARTICLE 74 ARTICLE 74
Sufficiently clear
(1) Anyone shall be prohibited from employing and involving
children in the worst forms of child labour.
(2) The worst forms of child labour as mentioned under
subsection (1) include:
a. All kinds of job in the form of slavery or practices similar
to slavery;
b. All kinds of job that make use of, procure, or offer
children for prostitution, the production of
pornography, pornographic performances or gambling;
c. All kinds of job that make use of, procure, or involve
children for the production and trade of alcoholic
beverages, narcotics, psychotropic substances and other
addictive substances; and/or
d. All kinds of job harmful to the health, safety and moral.
(3) The types of jobs that damage the health, safety or moral
of the child as mentioned under point d of subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 75 ARTICLE 75
Subsection (1)
(1) The government is under an obligation to make efforts to Efforts to overcome problems associated
overcome problems concerning with children who work with children who work outside of employment
outside of employment relationship. relations are intended to ensure that no child
works outside of employment relations or to
(2) The efforts as mentioned under subsection (1) shall be reduce the number of children who work
regulated with a Government Regulation. outside of employment relations. These efforts
must be carried out in a well-planned, well-
integrated and well-coordinated manner with
related agencies.
Children who work outside of
employment relations are for instance shoeshine
boys or newspaper boys.

II - 133
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

SUBSECTION 3 Subsection (2)


Sufficiently clear
WOMEN
ARTICLE 76 ARTICLE 76
Subsection (1)
(1) It is prohibited to employ female workers/ labourers aged Entrepreneurs shall be the ones
less than 18 (eighteen) years of age between 11 p.m. until responsible for the violation of this article.
7 a.m. Should female workers/ labourers as
mentioned under this subsection be employed
(2) Entrepreneurs are prohibited from employing pregnant between 11 p.m. until 7 a.m., the
female workers/ labourers who, according to a doctor’s entrepreneur shall be held responsible for this
certificate, are at risk of damaging their health or harming violation.
their own safety and the safety of the baby that are in Subsection (2)
their wombs if they work between 11 p.m. until 7 a.m. Sufficiently clear
(3) Entrepreneurs who employ female workers/ labourers to
Subsection (3)
work between 11 p.m. until 7 a.m. are under an obligation:
Sufficiently clear
a. To provide them with nutritious food and drinks; and
Subsection (4)
b. To maintain decency/ morality and security in the
Sufficiently clear
workplace.
(4) Entrepreneurs are under an obligation to provide returned/ Subsection (5)
roundtrip transport for female workers/ labourers who work Sufficiently clear
between 11 p.m. until 5 a.m.
(5) Provisions as mentioned under subsection (3) and
subsection (4) shall be regulated with a Ministerial
Decision.

SUBSECTION 4
WORKING HOURS

ARTICLE 77 ARTICLE 77
Subsection (1)
(1) Every entrepreneur is under an obligation to observe the Sufficiently clear
provision concerning working hours.
(2) The working hours as mentioned under subsection (1) Subsection (2)
Sufficiently clear
cover:
a. 7 (seven) hours a day and 40 (forty) hours a week for 6 Subsection (3)
(six) workdays in a week; or Under this subsection, certain business
sectors or certain types of work refer to, for
b. 8 (eight) hours a day, 40 (forty) hours a week for 5 instance, work on offshore oil drilling rigs/
(five) workdays in a week; platforms, work involving long distance
driving of vehicles, work involving long
(3) The provisions concerning the working hours as mentioned
distance flight, work at sea (on a ship) or
under subsection (2) do not apply to certain business work involving the felling of trees.

II - 134
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

sectors or certain types of work. Subsection (4)


Sufficiently clear
(4) The provisions concerning working hours for certain
business sectors or certain types of work as mentioned
under subsection (3) shall be regulated with a Ministerial
Decision.

ARTICLE 78 ARTICLE 78
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Employing workers beyond normal
longer than the working hours determined under working hours must be avoided because
subsection (2) of Article 77 must meet the following workers/ labourers must have enough time to
requirements: take a rest and recover their fitness. However,
in certain cases there are urgent needs in which
a. Approval of the relevant worker/labourer; work must be immediately and inevitably
b. Maximum overtime work of 3 (three) hours in a day done so that workers/ labourers have to work
beyond normal working hours.
and 14 (fourteen) hours in a week.
(2) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Subsection (2)
overtime as mentioned under subsection (1) are under an Sufficiently clear
obligation to pay overtime pay.
Subsection (3)
(3) The provisions concerning overtime as mentioned under Sufficiently clear
subsection (1) point b do not apply to certain business
sector or certain jobs. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning overtime and overtime wages
as mentioned under subsection (2) and subsection (3)
shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 79 ARTICLE 79
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are under an obligation to allow their Sufficiently clear
workers/ labourers to take a rest and leave. Subsection (2)
Point a
(2) The period of rest and leave as mentioned under subsection Sufficiently clear
(1) shall include: Point b
a. The period of rest between working hours at least half Sufficiently clear
Point c
an hour after working for 4 (four) hours consecutively
Sufficiently clear
and this period of rest shall not be inclusive of working Point d
hours; While taking a long period of rest,
The weekly period of rest is 1 (one) day after 6 (six) workers/ labourers are given compensation
pay for their entitlement to the eighth year’s
workdays in a week or 2 (two) days after 5 (five) annual leave amounting to half their monthly
workdays in a week; salary. Enterprises that have already applied a
b. The yearly period of rest is 12 (twelve) workdays after long period of rest that is better than the one
stipulated under this act are not allowed to
the worker/labourer works for 12 (twelve) months reduce it.
consecutively; and

II - 135
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

c. A long period of rest of no less than 2 (two) months, Subsection (3)


which shall be awarded in the seventh and eighth year Sufficiently clear
of work each for a period of 1 (one) month to workers/ Subsection (4)
labourers who have been working for 6 (six) years Sufficiently clear
consecutively at the same enterprise on the condition
that the said workers/ labourers will no longer be Subsection (5)
Sufficiently clear
entitled to their annual period of rest in 2 (two) current
years. This provision shall henceforth be applicable
every 6 (six) years of work.
(3) The application of the provision concerning the period of
rest as mentioned under point c of subsection (2) shall be
regulated in a work agreement, the company regulations
or the collective labour agreement.
(4) The provisions concerning the long period of rest as
mentioned under point d of subsection (2) only apply to
workers/labourers who work in certain enterprises.
(5) The certain enterprises as mentioned under subsection
(4) shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 80 ARTICLE 80
Entrepreneurs are under an obligation to provide workers What is meant by the provision of
adequate opportunity shall refer to the
with adequate opportunity to perform their religious provision of a place for praying to and
obligations. worshipping God that enables workers/
labourers to properly perform their religious
obligations/ rituals, in which the enterprise’s
conditions and financial ability for the
provision of such a place shall be taken into
account.
ARTICLE 81 ARTICLE 81
(1) Female workers/labourers who feel pain during their Sufficiently clear
menstruation period and notify the entrepreneur about
this are not obliged to come to work on the first and second
day of menstruation.
(2) The implementation of what is stipulated under subsection
(1) shall be regulated in work agreements, the company
regulations or collective labour agreements.

ARTICLE 82 ARTICLE 82
Subsection (1)
(1) Female workers/ labourers are entitled to a 1.5 (one-and- The length of the period of rest may be
a-half ) month period of rest before the time at which extended if required as attested by a written
they are estimated by an obstetrician or a midwife to give statement from the obstetrician or midwife

II - 136
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

birth to a baby and another 1.5 (one-and-a-half ) month either prior to or after the delivery.
period of rest thereafter.
Subsection (2)
(2) A female worker/ labourer who has a miscarriage is entitled Sufficiently clear
to a period of rest of 1.5 (one-and-a-half ) months or a
period of rest as stated in the medical statement issued by
the obstetrician or midwife.

ARTICLE 83 ARTICLE 83
Entrepreneurs are under an obligation to provide proper What is meant by providing proper
opportunities to female workers/ labourers to
opportunities to female workers/ labourers whose babies still breast-feed their babies during working hours
need breastfeeding to breast-feed their babies if that must be are periods of time provided by the enterprise
performed during working hours. to the female workers/ labourers to breast-
feed their babies, by taking into account the
availability of a place/ room that can be used
for such a purpose according to the enterprise’s
conditions and financial ability, which shall
be regulated in the company regulations or
collective labour agreements.

ARTICLE 84 ARTICLE 84
Sufficiently clear
Every worker/ labourer who uses her right to take the
period of rest as specified under points b, c and d of subsection
(2) of Article 79, Article 80 and Article 82 shall receive her
wages in full.

ARTICLE 85 ARTICLE 85
Subsection (1)
(1) Workers/ labourers are not obliged to work on formal Sufficiently clear
public holidays. Subsection (2)
(2) Entrepreneurs may require their workers/ labourers to work What is stipulated under this subsection
is intended to serve the public interest and
during formal public holidays if the types and nature of public welfare. Moreover, there are works
their jobs must be conducted continuously or under other whose type and nature are such that it is
circumstances based on the agreement between the worker/ impossible to stop it.
labourer and the entrepreneur.
Subsection (3)
(3) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Sufficiently clear
on formal public holidays as mentioned under subsection
(2) are under an obligation to pay overtime pay. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning the types and nature of the
jobs mentioned under subsection (2) shall be regulated
with a Ministerial Decision.

II - 137
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

SUBSECTION 5
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH

ARTICLE 86 ARTICLE 86
Subsection (1)
(1) Every worker/ labourer has the right to receive protection Sufficiently clear
on:
a. Occupational safety and health; Subsection (2)
Occupational safety and health efforts
b. morality and decency; and are intended to provide guarantee of safety
c. Treatment that shows respect to human dignity and and increase the level of health of workers/
labourers by preventing occupational
religious values. accidents and diseases, controlling hazards in
(2) In order to protect the safety of workers/ labourers and to the workplace, promoting health, medical care
realize optimal productivity, an occupational health and and rehabilitation.
safety scheme shall be administered.
Subsection (3)
(3) The protection as mentioned under subsection (1) and Sufficiently clear
subsection (2) shall be given in accordance with prevailing
laws and regulations.

ARTICLE 87 ARTICLE 87
Subsection (1)
(1) Every enterprise is under an obligation to apply an The occupational safety and health
occupational safety and health management system that management system is part of the overall
shall be integrated into the enterprise’s management management system of the enterprise, which
system. includes organizational structure, planning,
implementation, responsibility, procedures,
(2) The provisions concerning the application of the processes, and resources that are needed for
occupational safety and health management system as the development, application, achievement,
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a study and maintenance of the enterprise’s
occupational safety and health policy in order
Government Regulation.
to control the risks associated with working
activities for the creation of secure, efficient
and productive workplace.
SECTION TWO Subsection (2)
WAGES Sufficiently clear

ARTICLE 88 ARTICLE 88
Subsection (1)
(1) Every worker/ labourer has the right to earn a living that
Income that enables workers/ labourers
is decent from the viewpoint of humanity to properly meet their livelihood needs refers
(2) In order to enable the worker to earn a living that is decent to the amount of income or earning that
from the viewpoint of humanity as mentioned under workers/ labourers earns from their work so
that they can reasonably meet what they and
subsection (1), the Government shall establish a wages their families need for living, including the
policy that protects the worker/labourer. ability to meet the need for food and drinks,

II - 138
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(3) The wages policy that protects workers/labourers as clothes, housing, education, healthcare,
mentioned under subsection (2) shall include: recreation and old age benefit.

a. Minimum wages; Subsection (2)


b. Overtime pay; Sufficiently clear

c. Paid-wages during the absence; Subsection (3)


d. Paid-wages because of activities outside of his job that Sufficiently clear
he has to carry out; Subsection (4)
e. Wages payable because he uses his right to take a rest; Sufficiently clear
f. The form and method of the payment of wages;
g. Fines and deductions from wages;
h. Other matters that can be calculated with wages;
i. Proportional wages structure and scale;
j. Wages for the payment of severance pay; and
k. Wages for calculating income tax.
(4) The Government shall establish/set minimum wages as
mentioned under subsection (3) point (a) based on the
need for decent living by taking into account productivity
and economic growth.

ARTICLE 89 ARTICLE 89
Subsection (1)
(1) The minimum wages as mentioned under point a of Point a
subsection (3) of Article 88 may consist of: Sufficiently clear
a. Provincial or district/city-based minimum wages;
Point b
b. Provincial or district/city-based sectoral minimum Sector-based minimum wages can be
wages. established for business groups by sector and
their breaking down according to business
(2) The establishment of minimum wages as mentioned under classification by sector nationwide (Indonesia),
subsection (1) shall be directed towards meeting the need by district/ city or province. Such sector-based
for decent living. minimum wages in any given area must not
be lower than the regional minimum wages
(3) The minimum wages as mentioned under subsection (1)
applicable to the area in question.
shall be determined by Governors after considering
recommendations from Provincial Wages Councils and/ Subsection (2)
or District Heads/Mayors. The phrase shall follow the guidance
for meeting the need for decent living as
(4) The components of and the implementation of the phases mentioned under this subsection shall mean
of achieving the needs for decent living as mentioned under that the setting of minimum wages must be
subsection (2) shall be regulated with a Ministerial adjusted to the level at which the minimum
Decision. wages are on par with the need for decent
living. The amount of such minimum wages
shall be determined by Minister.

II - 139
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

Subsection (3)
Sufficiently clear

Subsection (4)
The meeting of the need for decent
living needs to be made gradually because
the need for decent living is an upgrade of the
need for minimum living that heavily
depends on the level of financial ability of the
world of business.

ARTICLE 90 ARTICLE 90
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are prohibited from paying wages lower Sufficiently clear
than the minimum wages as mentioned under Article 89.
Subsection (2)
(2) Entrepreneurs who are unable to pay minimum wages as
The postponement of the payment of
mentioned under Article 89 may be allowed to make minimum wages by an enterprise that is
postponement. financially not able to pay minimum wages is
(3) Procedures for postponing paying minimum wages as intended to release the enterprise from having
to pay minimum wages for a certain period of
mentioned under subsection (2) shall be regulated with a time. If the postponement comes to an end,
Ministerial Decision. the enterprise is under an obligation to pay
minimum wages that are applicable at the
time but is not obliged to make up the
difference between the wages it actually paid
and the applicable minimum wages during
the period of time of the postponement.

Subsection (3)
Sufficiently clear

ARTICLE 91 ARTICLE 91
Sufficiently clear
(1) The amount of wages set based on an agreement between
the entrepreneurs and the worker/ labourer or trade/
labour union must not be lower than the amount of wages
set under the prevailing laws and regulations.
(2) In case the agreement as mentioned under subsection (1)
sets a wages that is lower than the one that has to be set
under the prevailing laws and regulations or against
prevailing laws and regulations, the agreement shall be
declared null and void by law and the entrepreneur shall
be obliged to pay the worker/ labourer a wages according
to the prevailing laws and regulations.

II - 140
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 92 ARTICLE 92
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs shall formulate the structure and scales of The formulation of wages structures and
wages by taking into account the level, position, years of scales is intended as a guideline for setting
work, education and competence of the worker/ labourer. wages so that the wages of each worker can be
determined with certainty. Such formulation
(2) Entrepreneurs shall review their workers/labourers’ wages is also intended to reduce the gap between the
periodically by taking into account their enterprise’s lowest wages and the highest wages in the
financial ability and productivity. enterprise.

(3) The provisions concerning the structure and scales of wages Subsection (2)
as mentioned under subsection (1) shall be regulated with The reviewing of wages shall be done to
a Ministerial Decision. adjust the wages to the consumer price index,
the worker’s performance, and the enterprise’s
development and financial ability.

Subsection (3)
Sufficiently clear

ARTICLE 93 ARTICLE 93
Subsection (1)
(1) No wages will be paid if workers/labourers do not perform What is stipulated under this subsection
work. is a fundamental principle that is basically
(2) However, the provision as mentioned under subsection applicable to every worker/ labourer, that is,
unless the worker/ labourer cannot perform
(1) shall not apply and the entrepreneur shall be obliged his/ her job because of mistakes that are not
to pay the worker/labourer’s wages if the worker/labourer his/ her.
does not perform work because of the following reasons:
Subsection (2)
a. The workers/labourers are ill so that they cannot Point a
perform their work; A worker/labourer are ill if there is a
b. The female workers/labourers are ill on the first and statement from the physician.
Point b
second day of their menstruation period so that they Sufficiently clear
cannot perform their work; Point c
c. The workers/labourers have to be absent from work Sufficiently clear
Point d
because they get married, marry of their children, have
Fulfilling one’s obligation to the State
their sons circumcised, have their children baptized, means fulfilling State obligation, which is
or because the worker/ labourer’s wife gives birth or stipulated under laws and regulations.
suffers from a miscarriage, or because the wife or The payment of wages to workers/
husband or children or children-in-law(s) or parent(s) labourers who have to be absent from work
because they are required to perform their
or parent-in-law(s) of the worker/labourer or a member obligations to the State shall be made if:

II - 141
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

of the worker/labourer’s household dies. a. The State does not pay the worker/
labourer; or
d. The workers/labourers cannot perform their work
b. The State pays worker/labourer less than
because they are carrying out or fulfilling their the amount of wages he/she usually
obligations to the State; receives. In this case the entrepreneur is
e. The workers/labourers cannot perform their work under an obligation to make up the
difference.
because they are performing religious obligations Point e
ordered by their religion; Practicing or observing religious duties
f. The workers/labourers are willing to do the job that ordered/ required by his/her religion means
practicing religious obligations according to
they have been promised to but the entrepreneur does
his/her religion requirement, which has been
not employ them, because of the entrepreneur’s own regulated with laws and regulations.
fault or because of impediments that the entrepreneur Point f
should have been able to avoid; Sufficiently clear
Point g
g. The workers/labourers are exercising their right to take Sufficiently clear
a rest; Point h
h. The workers/labourers are performing their trade union Sufficiently clear
Point i
duties with the permission from the entrepreneur; and Sufficiently clear
i. The workers/labourers are undergoing an education
program required by their enterprise. Subsection (3)
Sufficiently clear
(3) The amount of wages payable to workers who are taken
ill as mentioned under point a of subsection (2) shall be Subsection (4)
determined as follows: Sufficiently clear
a. For the first four months, they shall be entitled to Subsection (5)
receive 100 % (one hundred percent) of their wages; Sufficiently clear
b. For the second four months, they shall be entitled to
receive 75 % (seventy five percent) of their wages;
c. For the third four months, they shall be entitled to
receive 50 % (fifty percent) of their wages; and
d. For subsequent months, they shall be entitled to receive
25 % (twenty five percent) of their wages prior to the
termination of employment by the entrepreneur.
(4) The amount of wages payable to workers/ labourers during
the period in which they have to be absent from work for
reasons specified under point c of subsection (2) shall be
determined as follows,
a. If the workers/labourers are get married, shall be
entitled to receive a payment for 3 (three) days;
b. If the workers/labourers marry of their children, shall
be entitled to receive a payment for 2 (two) days;
c. If the workers/labourers’ child are circumcised, shall

II - 142
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

be entitled to receive a payment for 2 (two) days;


d. If the workers/labourers’ children are baptized, shall
be entitled to receive a payment for 2 (two) days;
e. If a workers/labourers’ wife gives birth or suffers a
miscarriage, shall be entitled to receive a payment for
2 (two) days;
f. If the workers/labourers’ spouse, or because either one
parent or one of parent-in-law, or because one of
children or children-in-law dies, shall be entitled to
receive a payment for 2 (two) days; and
g. If a member of the worker/labourer’s household dies,
shall be entitled to receive a payment for 1 (one) day.
(5) Arrangements for the implementation of what is stipulated
under subsection (2) shall be specified in the work
agreements, company regulations or collective labour
agreements.

ARTICLE 94 ARTICLE 94
What is meant by fixed allowance under
If a wages is composed of basic wage and fixed allowances, this subsection is payment to workers/ labourers
the amount of the basic wage must not be less than 75% that is made regularly and not commensurate
(seventy five percent) of the total amount of the basic wages with the attendance or certain achievement /
and fixed allowances. performance of the worker/ labourer.

ARTICLE 95 ARTICLE 95
Subsection (1)
(1) Violations by the worker/ labourer, either by willful Sufficiently clear
misconduct or negligence, may result in the imposition
of a fine. Subsection (2)
Sufficiently clear
(2) Entrepreneurs who pay their workers/ labourers’ wages
late either by willful misconduct or negligence shall be Subsection (3)
ordered to pay a fine whose amount shall correspond to a Sufficiently clear
certain percentage from the worker/labourer’s wages.
Subsection (4)
(3) The government shall regulate the imposition of fine on The payment of worker/ labourer’s
the entrepreneur and or the worker/ labourer in the wages shall take priority over the payment of
payment of wages. other debts. This means that workers/
labourers’ wages must be the first to be paid
(4) In case the enterprise is declared bankrupt or liquidated before other debts are paid.
based on the prevailing laws and regulations, the payment
of the enterprise’s workers/ labourers’ wages shall take
priority over the payment of other debts.

II - 143
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 96 ARTICLE 96
Sufficiently clear
Any claim for the payment of the worker/ labourer’s wages
and all other claims for payments that arise from an employment
relation shall expire after the lapse of 2 (two) years since such
the right is arose.

ARTICLE 97 ARTICLE 97

The provisions concerning decent income, wages policy, Sufficiently clear


the need for decent living and workers’ wages protection as
mentioned under Article 88, the setting of minimum wages
as mentioned under Article 89, and the provision concerning
the imposition of a fine as mentioned under subsection (1),
subsection (2) and subsection (3) of Article 95 shall be regulated
with a Government Regulation.

ARTICLE 98 ARTICLE 98
Sufficiently clear
(1) In order to provide recommendations and considerations
for the formulation of wages policies to be established by
the Government, and to develop a national wages system,
the National Wage Council, Provincial Wage Councils,
and District/ City Wage Councils shall be established.
(2) The councils as mentioned under subsection (1) shall have
representatives from the government, entrepreneurs’
organizations, trade/ labour unions, universities and experts
as their members.
(3) The members of the National-level Wage Council shall
be appointed and dismissed by the President while the
members of Provincial Wage Councils and District/ City
Wage Councils shall be appointed and dismissed by the
Governors/ District Heads/ Mayors of the respective
provinces, districts and cities.
(4) The provisions concerning the procedures for the formation
of, membership composition of, procedures for appointing
and dismissing members of and duties and working
procedures of wages system councils as mentioned under
subsection (1) and subsection (2) shall be regulated with
a Presidential Decision.

II - 144
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

SECTIONTHREE
WELFARE

ARTICLE 99 ARTICLE 99
Sufficiently clear
(1) Workers/ labourers and their families shall each be entitled
to social security.
(2) The social security as mentioned under subsection (1)
shall be administered in accordance with the prevailing
laws and regulations.

ARTICLE 100 ARTICLE 100


Subsection (1)
(1) In order to improve the welfare of the workers/labourers Welfare facilities shall refer to, for
and their families, the entrepreneur shall provide welfare instance, family planning service, babysitting
facilities. facilities, housing facilities for workers/
labourers, special rooms for prayer or other
(2) The provision of welfare facilities as mentioned under religious facilities, sports facilities, canteens,
subsection (1) shall be administered by weighing the need policlinic and other medical/ health facilities,
of the worker/labourer for welfare facilities against the and recreational facilities.
enterprise’s ability to provide such facilities.
Subsection (2)
(3) The provisions concerning the type and criteria of welfare Sufficiently clear
facilities according to the need of the worker/ labourer
and the measurement of the enterprise’s ability to provide Subsection (3)
Sufficiently clear
them as mentioned under subsection (1) and subsection
(2) shall be regulated with a Government Regulation.

ARTICLE 101 ARTICLE 101


Subsection (1)
(1) To improve workers/labourers’ welfare, workers/labourers’ Productive business undertakings at the
cooperatives and productive business at the enterprise shall enterprise shall refer to economic activities that
be established. generate income other than wages.
(2) The government, the entrepreneur and the worker/ Subsection (2)
labourer or the trade/labour union shall make efforts to Sufficiently clear
develop workers/labourers’ cooperatives and develop
productive business as mentioned under subsection (1). Subsection (3)
Sufficiently clear
(3) Efforts to establish workers/labourers’ cooperatives as
mentioned under subsection (1) shall be made in Subsection (4)
accordance with the prevailing laws and regulations. Sufficiently clear
(4) Efforts to develop workers/labourers’ cooperatives as
mentioned under subsection (2) shall be regulated with a
Government Regulation.

II - 145
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER XI
INDUSTRIAL RELATIONS
SECTION ONE
GENERAL
ARTICLE 102 ARTICLE 102
Sufficiently clear
(1) In conducting industrial relations, the government shall
perform the function of establishing policies, providing
services, taking control and taking actions against any
violations of statutory manpower laws and regulations.
(2) In conducting industrial relations, workers/ labourers and
their organizations unions shall perform the function of
performing their jobs/ work as obliged, working order to
ensure production, channeling their aspirations
democratically, enhancing their skills and expertise and
helping promote the business of the enterprise and fight
for the welfare of their members and families.
(3) In conducting industrial relations, entrepreneurs and their
associations shall perform the function of creating
partnership, developing business, diversifying employment
and providing welfare to workers/ labourers in a transparent
and democratic way and in a way that upholds justice.

ARTICLE 103 ARTICLE 103


Industrial relations shall be applied through: Sufficiently clear

a. Trade/ labour unions;


b. Entrepreneurs’ organizations;
c. Bipartite cooperation institutions;
d. Tripartite cooperation institutions;
e. Company regulations;
f. Collective labour agreements;
g. Statutory manpower laws and regulations; and
h. Industrial relations dispute settlement institutes.

II - 146
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

SECTION TWO
TRADE/LABOUR UNION

ARTICLE 104 ARTICLE 104


Subsection (1)
(1) Every worker/ labourer has the right to form and become The freedom to establish a trade/ labour
member of a trade/ labour union. union and to become or not to become member
of a trade/ labour union is one of the
(2) In performing functions as mentioned under Article 102, fundamental rights of workers/ labourers.
a trade/ labour union shall have the right to collect and
manage fund and be accountable for the union’s finances, Subsection (2)
including for the provision of a strike fund. Sufficiently clear
(3) The amount of the strike fund and procedures for collecting Subsection (3)
it as mentioned under subsection (2) shall be regulated Sufficiently clear
under the union’s constitution and/or the union’s by-laws.

SECTION THREE
ENTREPRENEURS’ ORGANIZATION

ARTICLE 105 ARTICLE 105


Sufficiently clear
(1) Every entrepreneur has the right to form and become a
member of entrepreneurs’ organization.
(2) The provisions concerning entrepreneurs’ organizations
shall be regulated in accordance with the prevailing laws
and regulations.

SECTION FOUR
BIPARTITE COOPERATION INSTITUTION

ARTICLE 106 ARTICLE 106


Subsection (1)
(1) Every enterprise employing 50 (fifty) workers/ labourers At enterprises whose workers/ labourers
or more is under an obligation to establish a bipartite number less than 50 (fifty) people, effective
cooperation institution. and proper communication and consultation
can still be performed on an individual basis.
(2) The bipartite cooperation institution as mentioned under However, if the enterprise has 50 (fifty)
subsection (1) shall function as a forum for communication workers/ labourers or more, it is necessary to
and consultation on labour issues at an enterprise. perform communication and consultation
through a representative system.
(3) The membership composition of the bipartite cooperation
institution as mentioned under subsection (2) shall Subsection (2)
include the entrepreneur’s representatives and the worker/ Sufficiently clear
labourer’s representatives who are democratically
appointed by workers/ labourers to represent the interests

II - 147
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

of the worker/ labourer in the relevant enterprise. Subsection (3)


Sufficiently clear
(4) The provisions concerning the procedures for establishing
the membership of the bipartite cooperation institution Subsection (4)
as mentioned under subsection (1) and subsection (3) Sufficiently clear
shall be regulated with a Ministerial Decision.

SECTION FIVE
TRIPARTITE COOPERATION INSTITUTION

ARTICLE 107 ARTICLE 107


Sufficiently clear
(1) Tripartite cooperation institution shall provide
considerations, recommendations and opinions to the
government and other parties involved in policy making
and problem solving concerning labour issues/ problems.
(2) The tripartite cooperation institution as mentioned under
subsection (1) shall consist of:
a. The National Tripartite Cooperation Institution and
the Provincial, District/City Tripartite Cooperation
Institutions; and
b. Sector-based National Tripartite Cooperation
Institution and sector-based Provincial, District/City
Tripartite Cooperation Institutions.
(3) The membership of tripartite cooperation institutions shall
consist of representatives from the government,
entrepreneurs’ organizations and trade/labour unions.
(4) Procedures and organizational structures of tripartite
cooperation institutions as mentioned under subsection
(1) shall be regulated with a Government Regulation.

SECTION SIX
COMPANY REGULATIONS

ARTICLE 108 ARTICLE 108


Sufficiently clear
(1) Every enterprise which employs at least 10 (ten) workers/
labourers is under an obligation to establish a set of
company regulations that shall come into force after
legalized by the Minister or appointed official.
(2) The obligation to have a set of legalized company
regulations as mentioned under subsection (1), however,

II - 148
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

does not apply to enterprises already having collective


labour agreements.

ARTICLE 109 ARTICLE 109


Sufficiently clear
Entrepreneurs shall formulate the rules and regulations
of their enterprise and shall be responsible for them.

ARTICLE 110 ARTICLE 110


Sufficiently clear
(1) Companies regulations shall be formulated by taking into
account the recommendations and considerations from
the worker/ labourer’s representatives of the enterprise.
(2) If a trade/ labour union have already been established in
the enterprise, the worker/ labourer’s representatives as
mentioned under subsection (1) shall be the trade/ labour
union’s officials.
(3) If there is no trade/ labour union in the enterprise, the
worker/ labourer’s representatives mentioned under
subsection (1) shall be the workers/ labourers who hold a
position in, or are members of, the bipartite cooperation
institution and or has been democratically elected by the
workers/ labourers in the enterprise to represent them and
act on behalf of their interests.

ARTICLE 111 ARTICLE 111


Subsection (1)
(1) Company regulations shall at least contain: Point a
a. The rights and obligations of the entrepreneur; Sufficiently clear
Point b
b. The rights and obligations of the worker/ labourer; Sufficiently clear
c. Working conditions; Point c
Working/work requirements refer to the
d. Enterprise discipline and rule of conduct; and rights and obligations of the entrepreneur and
e. The period of the validity of the company regulations. the worker/ labourer that have not been
regulated under laws and regulations.
(2) Company regulations shall not against the prevailing laws Point d
and regulations. Sufficiently clear
(3) The company regulations is valid for 2 (two) years and Point e
Sufficiently clear
shall be renewed upon its expiration.
(4) During the validity of the company regulations, if the Subsection (2)
trade union within the enterprise request negotiation of The sentence ompany regulations shall
the drafting of the collective labour agreement, the not against any prevailing laws and
regulations means that company regulations
entrepreneur is obligated to do so. must not be lower in both quality and quantity
(5) If the negotiation as mentioned under subsection (4) fails than those stipulated under the prevailing

II - 149
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

to reach an agreement, then the existing company laws and regulations. If proved otherwise,
regulations shall remain valid until its expiration. however, the stipulations of prevailing laws
and regulations shall apply.

Subsection (3)
Sufficiently clear

Subsection (4)
Sufficiently clear

Subsection (5)
Sufficiently clear

ARTICLE 112 ARTICLE 112


Sufficiently clear
(1) Legalization of company regulations by the Minister or
appointed official as mentioned under subsection (1) of
Article 108 must have performed within a period of no
later than 30 (thirty) workdays after the draft of the
company regulations is received.
(2) If the company regulations have met the requirements
under subsection (1) and subsection (2) of Article 111
and the period of 30 (thirty) workdays for legalizing them
as mentioned under subsection (1) has elapsed but the
Minister or the appointed official has not legalized them
yet, then the company regulations shall be assumed to
have been legalized.
(3) If the company regulations have not met the requirements
under subsection (1) and subsection (2) of Article 111
yet, the Minister or the appointed official must give a
written notification to the entrepreneur the correction to
the company regulations.
(4) Within a period of no later than 14 (fourteen) workdays
after the date on which the written notification is received
by the entrepreneur as mentioned under subsection (3),
the entrepreneur is under an obligation to resubmit the
corrected version of the company regulations to the
Minister or appointed official.

ARTICLE 113 ARTICLE 113


Sufficiently clear
(1) Any changes to the company regulations prior to its
expiration can only be made on the basis of an agreement
between the entrepreneur and the worker/ labourer’s
representatives.

II - 150
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(2) The company regulations resulting from the agreement


as mentioned under subsection (1) shall be legalized by
Minister or appointed official.

ARTICLE 114 ARTICLE 114


The entrepreneur is under an obligation to notify and The entrepreneur is under an obligation
to notify and explain to the worker/ labourer
explain, as well as deliver, the contents of the company the company regulations and changes made
regulations or its changes to the worker/ labourer. to them. To do so, the entrepreneur may
distribute the copies of company regulations
to each worker/ labourer, post them at places
where workers/ labourers can easily read them.
Alternatively, the entrepreneur may also
explain them directly to workers/ labourers.
ARTICLE 115 ARTICLE 115
Provisions concerning procedures for making and Sufficiently clear
legalizing the company regulations shall be regulated with a
Ministerial Decision.

SECTION SEVEN
COLLECTIVE LABOUR AGREEMENT

ARTICLE 116 ARTICLE 116


Subsection (1)
(1) A collective labour agreement shall be made between a Sufficiently clear
trade/ labour union or several trade unions already recorded
at a government agency responsible for manpower affairs Subsection (2)
Work agreements must be made in good
and an entrepreneur or several entrepreneurs respectively.
faith. This means that there must be honesty,
(2) The collective labour agreement as mentioned under transparency, willingness and awareness on
subsection (1) shall be formulated by means of the part of all parties concerned in the making
deliberations. of the agreements without any party forcing
or pressurizing another party.
(3) The collective labour agreement as mentioned under
subsection (1) shall be made in writing using Latin Subsection (3)
alphabets and in the Indonesian language. If the collective labour agreement is made
in Indonesian and translated into another
(4) In case the collective labour agreement is not written in language and then differences in interpretation
the Indonesian language, the collective labour agreement arise, then the collective labour agreement
must be translated into Indonesian by a sworn translator that use or are written in Indonesian shall
apply.
and the translation shall be considered to have fulfilled
the requirements stipulated under subsection (3). Subsection (4)
Sufficiently clear

II - 151
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 117 ARTICLE 117


Settlements through procedures for the
In case the deliberations as mentioned under subsection
settlement of industrial relations disputes may
(2) of Article 116 fail to reach any consensus, then shall be be carried out through mediators, conciliators,
settled through the procedures of industrial relations disputes arbiters, or institutes for the settlement of
settlement. industrial relations disputes.

ARTICLE 118 ARTICLE 118

In one enterprise only 1 (one) collective labour agreement Sufficiently clear


can be made that shall apply to all workers/labourers working
in the enterprise.

ARTICLE 119 ARTICLE 119


Sufficiently clear
(1) If there is only one trade/labour union in an enterprise,
the only trade/labour union in the enterprise shall have
the right to represent workers/labourers in negotiating a
collective labour agreement with the entrepreneur
provided that more than 50% (fifty percent) of the total
number of workers/labourers who work in the enterprise
are members of the trade/labour union.
(2) In case there is only one trade/labour union in an
enterprise as mentioned under subsection (1) above but
the number of its members does not exceed 50% (fifty
percent) of the total workforce in the enterprise, the trade/
labour union may represent workers/labourers in
negotiating a collective labour agreement with the
entrepreneur provided that a vote that is held on this issue
confirms that the trade/labour union wins the support of
more than 50% (fifty percent) of the total number of
workers in the enterprise.
(3) If the support of more than 50% (fifty percent) of the
enterprise’s total workforce as mentioned under subsection
(2) is not obtained, then the trade/labour union concerned
may once again put forward its request to negotiate a
collective labour agreement with the entrepreneur after a
period of 6 (six) months is passed since the vote is held in
accordance with the procedures as mentioned under
subsection (2).

ARTICLE 120 ARTICLE 120


Sufficiently clear
(1) If there are more than 1 (one) trade/labour union in an
enterprise, the trade/labour union that has the right to

II - 152
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

represent workers/labourers in negotiating a collective


labour agreement with the entrepreneur shall be the one
whose members are more than 50% (fifty percent) of the
total number of all the workers/labourers who work in
the enterprise.
(2) If the requirement as mentioned under subsection (1) is
not fulfilled, then the trade/labour unions in the enterprise
may form a coalition until the coalition gets the support
of workers numbering more than 50% (fifty percent) of
the total number of workers/ labourers in the enterprise
so that it is qualified to represent workers/labourers in
negotiating a collective labour agreement with the
entrepreneur.
(3) In case what is stipulated under subsection (1) or
subsection (2) is not fulfilled, then the trade/ labour
unions shall establish a negotiating team whose members
shall be determined in proportion to the number of
members that each trade/ labour union has.

ARTICLE 121 ARTICLE 121


Membership in a trade/labour union as mentioned under Sufficiently clear
Article 119 and Article 120 shall be proved with a membership
card.

ARTICLE 122 ARTICLE 122


Sufficiently clear
The vote as mentioned under subsection (2) of Article
119 shall be administered by a committee that is composed of
workers/ labourers’ representatives and trade/labour union
officials witnessed by the government official responsible for
manpower affairs and by the entrepreneur.

ARTICLE 123 ARTICLE 123


Sufficiently clear
(1) The validity of the collective labour agreement is for 2
(two) years.
(2) The effectiveness of the collective labour agreement as
mentioned under subsection (1) may be extended for no
longer than 1 (one) year based on a written agreement
between the entrepreneur and the trade/labour union(s).
(3) Negotiations for the next collective labour agreement may
be started as early as 3 (three) months prior to the
expiration of the existing collective labour agreement.

II - 153
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(4) In case the negotiations as mentioned under subsection


(3) fail to result in any agreement, the existing collective
labour agreement shall remain valid for a maximum period
of 1 (one) year.

ARTICLE 124 ARTICLE 124


Subsection (1)
(1) A collective labour agreement shall at least contain: Sufficiently clear
a. The rights and obligations of the employer;
Subsection (2)
b. The rights and obligations of the trade/ labour union The phrase “must not against any
and the worker/ labourer; prevailing laws and regulations” means that
the contents of the collective labour agreement
c. The period during which and the date starting from must not be lower in both quality and quantity
which the collective labour agreement takes effect; and than their counterparts or equivalence that
d. The signatures of those involved in making the are stipulated under the prevailing laws and
regulations.
collective labour agreement.
(2) The provisions of a collective labour agreement must not Subsection (3)
against the prevailing laws and regulations. Sufficiently clear

(3) Should the contents of a collective labour agreement


against the prevailing laws and regulations as mentioned
under subsection (2), then the contradictory stipulations
shall be declared null and void by law and the provision
under prevailing laws and regulations shall prevail.

ARTICLE 125 ARTICLE 125


Sufficiently clear
If the parties agree to change collective labour agreement,
then the changes shall form an inseparable part of the existing
collective labour agreement.

ARTICLE 126 ARTICLE 126


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur, the trade/labour union and or the
worker/ labourer is under an obligation to implement the
provisions in the collective labour agreement.
(2) The entrepreneur and the trade/labour union are under
an obligation to inform the contents of the collective labour
agreement or any changes made to it to all workers/
labourers.
(3) The entrepreneur must print and distribute the text of
collective labour agreement to each worker/ labourer on
the enterprise’s expense.

II - 154
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 127 ARTICLE 127


Sufficiently clear
(1) Any work agreement made by the entrepreneur and the
worker/ labourer shall not against the collective labour
agreement.
(2) Should there be any provisions under the work agreement
mentioned under subsection (1) against the collective
labour agreement, then those particular provisions in the
work agreement shall be declared null and void by law
and the provision on the collective labour agreement shall
prevail.

ARTICLE 128 ARTICLE 128


Sufficiently clear
If a work agreement does not contain the rules and
regulations that are stipulated in the collective labour
agreement, then the stipulations specified in the collective
labour agreement shall prevail.

ARTICLE 129 ARTICLE 129


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur is prohibited from replacing the
collective labour agreement with the company regulations
as long as there is a trade/ labour union in the enterprise.
(2) If there is no more trade/ labour union in the enterprise
and the collective labour agreement is replaced by the
company regulations, then the provisions in the company
regulations shall by no means be inferior to the provisions
in the collective labour agreement.

ARTICLE 130 ARTICLE 130


Sufficiently clear
(1) If a collective labour agreement that has expired will be
extended or renewed and there is only 1 (one) trade/labour
union in the enterprise, then the extension or renewal of
the collective labour agreement shall not require the
requirements under Article 119.
(2) If a collective labour agreement that has expired will be
extended or renewed and there are more than 1 (one)
trade/ labour union in the enterprise and the trade/ labour
union that negotiated in the last agreement no longer
meet the requirement under subsection (1) of Article 120,
the extension or renewal of the collective labour agreement
shall be made by the trade/ labour union whose members

II - 155
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

are more than 50% (fifty percent) of the total number of


workers/ labourers in the enterprise together with the
trade/ labour union that negotiated in the last agreement
by establishing a negotiating team whose members are
proportional to the members of the trade/ labour unions
represented in the team.
(3) If the expired collective labour agreement will be extended
or renewed and there are more than 1 (one) trade/labour
unions in the enterprise and none of them meet the
requirement under subsection (1) of Article 120, then
the extension or renewal of the collective labour agreement
shall be made in accordance with the provision under
subsection (2) and subsection (3) of Article 120.

ARTICLE 131 ARTICLE 131


Sufficiently clear
(1) In case of the dissolution of a trade/labour union or the
transfer of the enterprise’s ownership, then the existing
collective labour agreement shall remain valid until it
expires.
(2) If an enterprise with a collective labour agreement merges
with another enterprise with another collective labour
agreement, then the prevailing collective labour agreement
is the one that gives the worker/labourer more advantages.
(3) If an enterprise that has a collective labour agreement
merges with another enterprise that has no collective
labour agreement, then the collective labour agreement
of the enterprise that has it shall apply to the enterprise
resulted from the merger until the collective labour
agreement expires.

ARTICLE 132 ARTICLE 132


Sufficiently clear
(1) A collective labour agreement shall take effect on the day
it is signed unless otherwise stated in the relevant collective
labour agreement.
A collective labour agreement that has been signed by the
parties must be registered by the entrepreneur at a
government agency responsible for manpower affairs.

ARTICLE 133 ARTICLE 133


Sufficiently clear
The provisions concerning the requirements and
procedures for making, extending, changing and registering

II - 156
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

the collective labour agreement shall be regulated with a


Ministerial Decision.

ARTICLE 134 ARTICLE 134


Sufficiently clear
In order to realize the rights and obligations of both the
worker and the entrepreneur, the Government is under an
obligation to control the implementation of manpower laws
and regulations and ensure their observance and enforcement.

ARTICLE 135 ARTICLE 135


Sufficiently clear
The implementation of manpower laws and regulations
in order to realize industrial relations is the responsibility of
the worker/labourer, the entrepreneur and the government.

SECTION EIGHT
INSTITUTIONS/ AGENCIES FOR THE SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
SUBSECTION 1
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTE

ARTICLE 136 ARTICLE 136


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur and the worker/labourer or the trade/
labour union are under an obligation to make efforts to
settle any industrial relations dispute they have through
deliberations aimed at reaching a consensus.
(2) If the deliberations as mentioned under subsection (1)
fail to reach a consensus, then the entrepreneur and the
worker/labourer or the trade/labour union shall have the
industrial relations dispute settled through procedures for
the settlement of industrial relations disputes that are
regulated by law.

SUBSECTION 2
STRIKE

ARTICLE 137 ARTICLE 137


Strike is a fundamental right of workers/labourers and What is meant by failed negotiation
under this Article is that no agreement to
trade/labour unions that shall be staged legally, orderly and settle the industrial relations dispute is reached
peacefully as a result of failed negotiation. because the entrepreneur is not willing to
negotiate or because the negotiation ends in

II - 157
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

deadlock.
The term peacefully and orderly means
that the strike must not disrupt security and
public order and/or threaten the life safety
and property of the entreprise, entrepreneur,
other people or other members of the general
public.

ARTICLE 138 ARTICLE 138


Sufficiently clear
(1) The workers/labourers and/or trade/labour unions
intending to invite other workers/ labourers to strike whilst
the strike is going on shall be performed without violating
laws.
(2) The workers/labourers who are invited to join the strike
as mentioned under subsection (1) may accept or decline
the invitation.

ARTICLE 139 ARTICLE 139


Enterprises that serve the public interest
The implementation of strike staged by the workers/
and/or enterprises whose types of activities,
labourers of enterprises that serve the public interest and/or when interrupted by a strike, will lead to the
enterprises whose types of activities, will lead to the endangerment of human lives are those
endangerment of human lives, shall be arranged in such a way running hospitals, fire department, those
so as not to disrupt public interests and/or endanger the safety providing railway service, those in charge of
sluices, those in charge of regulating air traffic,
of other people. and those in charge of sea traffic.
That the strike shall be arranged in such
a way so as not to disrupt public interests and/
or endanger the safety of other people means
that the strike shall be carried out by workers/
labourers who are not on duty.

ARTICLE 140 ARTICLE 140


Subsection (1)
(1) Within a period of no less than 7 (seven) days prior to the Sufficiently clear
actual realization of a strike, workers/ labourers and trade/
labour unions intending to stage a strike are under an Subsection (2)
obligation to give a written notification of the intention Point a
Sufficiently clear
to the entrepreneur and the local government agency
responsible for manpower affairs.
(2) The notification as mentioned under subsection (1) shall
at least contain:

II - 158
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

a. The time (day, date and the hour) at which they will Point b
start and end the strike; Places for staging a strike refer to places
chosen by those responsible for the strike for
b. The venue of the strike; staging the strike in a way that will not prevent
c. Their reasons for the strike; and other workers/ labourers from performing
work.
d. The signatures of the chairperson and secretary of the Point c
striking union and/or the signature of each of the Sufficiently clear
chairpersons and secretaries of the unions participating Point d
Sufficiently clear
in the strike, who shall be held responsible for the
strike. Subsection (3)
(3) If the strike is staged by workers/ labourers who are not Sufficiently clear
members of any trade/labour union, the notification as
Subsection (4)
mentioned under subsection (2) shall be signed by Sufficiently clear
workers/ labourers’ representatives who have been
appointed to coordinate and/or responsible for the strike.
(4) If a strike is performed not pursuant to the requirements
as mentioned under subsection (1), then in order to save
production equipment and enterprise assets, the
entrepreneur may take temporary action by:
a. Prohibiting striking workers/labourers from being
present at locations where production processes
normally take place; or
b. Prohibiting striking workers/labourers from being
present at the enterprise’s premise if necessary.

ARTICLE 141 ARTICLE 141


Sufficiently clear
(1) A representative of the government agency and the
management who receives the letter notifying the intention
to strike as mentioned under Article 140 is under an
obligation to issue a receipt of acknowledment.
(2) Prior to and during the strike, the government agency
responsible for manpower affairs is under an obligation to
solve problem that leads to the emergence of strike by
arranging a meeting and negotiate between the disputing
parties.
(3) If the discussion as mentioned under subsection (2)
reaching an agreement, the agreement shall be made and
signed by the parties and a responsibble official from the
government agency responsible for manpower affairs shall
serve as witness.

II - 159
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(4) In case the discussion as mentioned under subsection (2)


results in no agreement, the official from the government
agency responsible for manpower affairs shall immediately
refer the problem(s) that cause(s) the strike to the
authorized institution for the settlement of industrial
relations disputes.
(5) In case the discussion results in no agreement as
mentioned under subsection (4), then on the basis of
negotiation between the entrepreneur and the trade/
labour union(s) responsible for the strike or the bearer(s)
of responsibility for the strike, the strike may be continued
or terminated temporarily or terminated at all.

ARTICLE 142 ARTICLE 142


Sufficiently clear
(1) Any strike that is staged without fulfilling the requirement
under Article 139 and Article 140 is illegal.
(2) The legal consequences of staging an illegal strike as
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a
Ministerial Decision.

ARTICLE 143 ARTICLE 143


Subsection (1)
(1) Nobody is allowed to prevent workers/labourers and trade/ What is meant by the word ‘to prevent’
labour unions from using their right to strike legally, under this subsection is preventing the use of
orderly and peacefully. the right to strike by means of, among others:
(2) It is prohibited to arrest and/or detain workers/labourers a. Punishment;
and union officials who are on strike legally, orderly and b. Intimidation, in whatever form; or
peacefully pursuant to the prevailing laws and regulations. c. Transfer to another position or place with
the intention to put the transferee at a
disadvantage

Subsection (2)
Sufficiently clear

ARTICLE 144 ARTICLE 144


Sufficiently clear
In the event of a strike performed pursuant to Article
140, the entrepreneur is prohibited from:
a. Replacing striking workers/labourers with other workers/
labourers from outside of the enterprise; or
b. Imposing sanctions on or taking retaliatory actions in
whatever form against striking workers/labourers and union
officials during and after the strike is performed.

II - 160
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 145 ARTICLE 145


Subsection (1)
Workers/ labourers who stage a strike legally in order to
The phrase their normative rights,
demand the fulfillment of their normative rights, which the which the entrepreneur has indeed violated
entrepreneur has indeed violated, then they shall have their means that the entrepreneur is, clearly and as
wages. a matter of fact, unwilling to fulfill their
obligations as mentioned and/or as stipulated
under work agreements, company regulations,
collective labour agreements or labour
legislation even though their has been ordered
to do so by the government official responsible
for labour/ manpower affairs.
The payment of the wages of striking
workers/ labourers as mentioned under this
SUBSECTION 3 Article shall not eliminate the imposition of
sanction on entrepreneurs who violate
LOCKOUT normative provisions.

ARTICLE 146 ARTICLE 146


Subsection (1)
(1) Lockout is a fundamental right of entrepreneurs to prevent Sufficiently clear
their workforce either in part or in whole from performing
work as a result from failed negotiation. Subsection (2)
Sufficiently clear
(2) Entrepreneurs are not justified to lock out their workforce
as retaliation for normative demands raised by workers/ Subsection (3)
labourers and/or trade/ labour unions. If the lockout is carried out illegally or
as retaliation for a legal strike which rightfully
(3) Lockouts must be performed pursuant to the prevailing demands the fulfillment of normative rights,
laws and regulations. the entrepreneur is under an obligation to
pay the worker/ labourer’s wages.

ARTICLE 147 ARTICLE 147


Lockouts shall be prohibited from taking place at Sufficiently clear
enterprises that serve the public interest and or enterprises
whose types of activities, when interrupted by lockouts, will
endanger human lives, including hospitals, enterprises that
provide networks of clean water supply to the public, centers
of telecommunications control, centers electricities, oil-and-
gas processing industries, and trains.

ARTICLE 148 ARTICLE 148


Sufficiently clear
(1) An entrepreneur who intends to perform a lockout is under
an obligation to give a written notification of the lockout
to workers/ labourers and/or trade/ labour union and the
local government agency responsible for manpower affairs
of no less than 7 (seven) workdays before the lockout takes

II - 161
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

place.
(2) The lockout notification as mentioned under subsection
(1) shall at least contain:
a. The time (day, date and hour) will start and end the
lockout; and
b. The reason and cause for the lockout.
(3) The notification as mentioned under subsection (1) shall
be signed by the entrepreneur and/or the management of
the relevant enterprise.

ARTICLE 149 ARTICLE 149


Sufficiently clear
(1) Workers/labourers or trade/labour unions and government
agencies responsible for manpower affairs that directly
receive a written notification of the lockout as mentioned
under Article 148 must issue receipts acknowledging
which state the day, the date, and the hour received.
(2) Before and during the lockout, the government agency
responsible for manpower affairs shall immediately try to
solve the problem that causes of the lockout by arranging
a meeting and between the disputing parties discussing.
(3) If the discussion as mentioned under subsection (2)
reaching an agreement, an agreement shall be made and
signed by the parties and also by a official from the
government agency responsible for manpower affairs who
shall serve as witness.
(4) In case the discussion as mentioned under subsection (2)
results in no agreement, the official from the government
agency responsible for manpower affairs shall immediately
refer the problem that cause the strike to the authorized
institution for the settlement of industrial relations
disputes.
(5) In case the discussion results in no agreement as
mentioned under subsection (4), then, on the basis of
negotiation between the entrepreneur and the trade/
labour union, the lockout may be continued or terminated
temporarily or terminated at all.
(6) Notification as mentioned under subsection (1) and
subsection (2) of Article 148 is not needed if:
a. The workers/labourers or trade/labour unions violate
the strike procedures as mentioned under Article 140;

II - 162
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

b. The workers/labourers or trade/labour unions violate


the normative provisions stipulated under the work
agreements, company regulations, collective labour
agreements or prevailing laws and regulations.

CHAPTER XII
TERMINATION OF EMPLOYMENT

ARTICLE 150 ARTICLE 150


Sufficiently clear
The provisions concerning termination of employment
under this act shall cover termination of employment that
happens in a business undertaking which is a legal entity or
not, a business undertaking owned by an individual, by a
partnership or by a legal entity, either owned by the private
sector or by the State, as well as social undertakings and other
undertakings which have administrators/officials and employ
people by paying them wages or other forms of remuneration.

ARTICLE 151 ARTICLE 151


Subsection (1)
(1) The entrepreneur, the worker/labourer and or the trade/ The phrase make all efforts under this
labour union, and the government must make all efforts subsection refers to positive activities or actions
to prevent termination of employment. which may eventually prevent termination of
employment from happening, including,
(2) If despite all efforts made termination of employment among others, arrangement of working time,
remains inevitable, then the intention to carry out the saving measures, restructuring or
termination of employment must be negotiated between reorganization of working methods, and
efforts to develop the worker/ labourer.
the entrepreneur and the trade/labour union to which
the affected worker/labourer belongs as member, or Subsection (2)
between the entrepreneur and the worker/labourer to be Sufficiently clear
dismissed if the worker/labourer is not a union member.
Subsection (3)
(3) If the negotiation as mentioned under subsection (2) fails Sufficiently clear
to result in any agreement, the entrepreneur may only
terminate the employment of the worker/labourer after
receiving a decision from the institution for the settlement
of industrial relations disputes.

ARTICLE 152 ARTICLE 152


Sufficiently clear
(1) A request for a decision of the institution for the settlement
of industrial relations disputes to allow termination of
employment shall be addressed in writing to the
institution by stating the underlying reasons for the

II - 163
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

request.
(2) The request for such a decision as mentioned under
subsection (1) may be accepted by the institution for
settlement of industrial relations disputes if it has been
negotiated as mentioned under subsection (2) of Article
151.
(3) The decision on the request for termination of
employment can only be made by the institution for the
settlement of industrial relations disputes if it turns out
that the intention to carry out the termination of
employment has been negotiated but that the negotiation
results in no agreement.

ARTICLE 153 ARTICLE 153


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur is prohibited from terminating the
employment of a worker/ labourer because of the following
reasons:
a. The worker/labourer is absent from work because of
illness as attested by a written statement from the
doctor provided that it is for a period of longer than
12 (twelve) months consecutively;
b. The worker/labourer is absent from work because he
or she is fulfilling his or her obligations to the State in
accordance with the prevailing laws and regulations;
c. The worker/labourer is absent from work because he
or she is practicing what is required by his or her
religion;
d. The worker/labourer is absent from work because he
or she is getting married;
e. The worker/labourer is absent from work because she
is pregnant, giving birth, having a miscarriage, or
breast-feeding her baby;
f. The worker/labourer is related by blood and or through
marriage to another worker within the enterprise unless
so required in the collective labour agreement or the
company regulations;
g. The worker/labourer establishes, becomes a member
of and or an official of a trade/labour union; the worker/
labourer carries out trade/labour union activities outside
working hours, or during working hours with approval

II - 164
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

from the entrepreneur, or according to that which has


been stipulated in the work agreement, or the company
regulations, or the collective labour agreement;
h. The worker/labourer reports to the authorities the
crime committed by the entrepreneur;
i. Because different of understanding/belief, religion,
political orientation, ethnicity, color, race, sex, physical
condition or marital status;
j. The worker/labourer is permanently disabled, ill as a
result of a work accident, or ill because of an
occupational disease whose period of recovery cannot
be ascertained as attested by the written statement
made by the physician.
(2) Any termination of employment that takes place for reasons
mentioned under subsection (1) shall be declared null
and void by law. The entrepreneur shall then be obliged
to reemploy the affected worker/labourer.

ARTICLE 154 ARTICLE 154


Sufficiently clear
The decision of the institute for the settlement of
industrial relations disputes as mentioned under subsection
(3) of Article 151 is not needed if:
a. The affected worker/ labourer is still on probation provided
that such has been stipulated in writing beforehand;
b. The affected worker/ labourer makes a written request for
resignation at his/her own will with no indication of being
pressurized or intimidated by the entrepreneur; or the
employment relationship comes to an end according to
the work agreement for a specified time for the first time;
c. The affected worker/ labourer has reached a retirement
age as stipulated under the work agreement, company
regulations, collective labour agreements, or laws and
regulations; or
d. The affected worker/labourer dies.

ARTICLE 155 ARTICLE 155


Sufficiently clear
(1) Any termination of employment without the decision of
the institution for the settlement of industrial relations
disputes as mentioned under subsection (3) of Article 151
shall be declared null and void by law.

II - 165
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(2) As long as there is no decision from the institution for the


settlement of industrial relations disputes, the entrepreneur
and the worker/labourer must keep on performing their
obligations.
(3) The entrepreneur may violate the provision under
subsection (2) above by suspending the worker/labourer
who is still in the process of having his/her employment
terminated provided that the entrepreneur continues to
pay the worker/labourer’s wages and other entitlements
that worker/labourer normally receives.

ARTICLE 156 ARTICLE 156


Sufficiently clear
(1) Should termination of employment take place, the
entrepreneur is obliged to pay the dismissed worker
severance pay and or a sum of money as a reward for service
rendered during his or her term of employment and
compensation pay for rights or entitlements.
The calculation of severance pay as mentioned under
subsection (1) shall at least be as follows:
a. 1 (one)-month wages for years of employment less than
1 (one) year;
b. 2 (two)-month wages for years of employment up to 1
(one) year or more but less than 2 (two) years;
c. 3 (three)-month wages for years of employment up to
2 (two) years or more but less than 3 (three) years;
d. 4 (four)-month wages for years of employment up to
3 (three) years or more but less than 4 (four) years;
e. 5 (five)-month wages for years of employment up to 4
(four) years or more but less than 5 (five) years;
f. 6 (six)-month wages for years of employment up to 5
(five) years or more but less than 6 (six) years;
g. 7 (seven)-month wages for years of employment up to
6 (six) years or more but less than 7 (seven) years;
h. 8 (eight)-month wages for years of employment up to
7 (seven) years or more but less than 8 (eight) years;
i. 9 (nine)-month wages for years of employment up to
8 (eight) years or more.
(2) The calculation of the sum of money paid as reward for
service rendered during the worker/ labourer’s term of

II - 166
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

employment shall be determined as follows:


a. 2 (two)-month wages for years of employment up to 3
(three) years or more but less than 6 (six) years;
b. 3 (three)-month wages for years of employment up to
6 (six) years or more but less than 9 (nine) years;
c. 4 (four)-month wages for years of employment up to
9 (nine) years or more but less than 12 (twelve) years;
d. 5 (five)-month wages for years of employment up to
12 (twelve) years or more but less than 15 (fifteen)
years;
e. 6 (six)-month wages for years of employment up to
15 (fifteen) years or more but less than 18 (eighteen)
years;
f. 7 (seven)-month wages for years of employment up to
18 (eighteen) years but less than 21 (twenty one) years;
g. 8 (eight)-month wages for years of employment up to
21 (twenty one) years but less than 24 (twenty four)
years;
h. 10 (ten)-month wages for years of employment up to
24 (twenty four) years or more.
(3) The compensation pay that the dismissed worker/ labourer
ought to have as mentioned under subsection (1) shall
include:
a. Annual leaves that have not expired and not have taken;
b. Costs or expenses for transporting the worker/ labourer
and his or her family back to the point of hire;
c. Compensation for housing allowance, medical and
health care allowance is determined at 15% (fifteen
percent) of the severance pay and or reward for years
of service pay for those who are eligible;
d. Other compensations that are stipulated under the
work agreement, company regulations or collective
labour agreements.
(4) Changes concerning the calculation of the severance pay,
the sum of money paid as reward for service during term
of employment and the compensation pay that the worker/
labourer ought to have as mentioned under subsection
(2), subsection (3), and subsection (4) shall be regulated
with a Government Regulation.

II - 167
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 157 ARTICLE 157


Sufficiently clear
(1) Wages components used as the basis for calculating
severance pay, money paid as reward for service rendered,
and money paid to compensate for entitlements that
should have been received, which are deferred, are
composed of:
a. Basic wages;
b. All forms of fixed allowances that are provided to
workers/ labourers and their families, including the
price of buying ration provided to the worker/ labourer
free of change whereby if the ration must be paid by
workers/ labourers with subsidies, the difference
between the buying price of the ration and the price
that must be paid by the worker/ labourer shall be
considered as wage.
(2) In case the worker/ labourer’s wages is paid on the basis of
daily calculation, a one-month wage shall be equal to 30
times a one-day wage.
(3) In case the worker/ labourer’s wage is paid on a piece-rate
or commission basis, a day’s wage shall equal the average
daily wage for the last 12 (twelve) months on the condition
that the wages must not be less than the provisions for
the provincial or district/ city minimum wages.
(4) In case the work depends on the weather and the wage is
calculated on a piece-rate basis, the amount of one month’s
wages shall be calculated from the average wages in the
last 12 (twelve) months.

ARTICLE 158 ARTICLE 158


Sufficiently clear
(1) An entrepreneur may terminate the employment of a
worker/labourer because the worker/labourer has
committed the following grave wrongdoings:
a. Stolen or smuggled goods and/or money that belong
to the enterprise;
b. Given false or falsified information that causes the
enterprise to incur losses;
c. Drunk, drunken intoxicating alcoholic drinks,
consumed and or distributed narcotics, psychotropic
substances and other addictive substances in the

II - 168
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

working environment;
d. Committed immorality/indecency or gambled in the
working environment;
e. Sttacked, battered, threatened, or intimidated his or
her co-workers or the entrepreneur in the working
environment.
f. Persuaded his or her co-workers or the entrepreneur to
do something that against laws and regulations.
g. Carelessly or intentionally destroyed or let the property
of the entrepreneur exposed to danger, which caused
the enterprise to incur losses;
h. Intentionally or carelessly let his or her co-workers or
the entrepreneur exposed to danger in the workplace;
i. Unveiled or leaked the enterprise’s secrets, which is
supposed to keep secret unless otherwise required by
the State; or
j. Committed other wrongdoings within the working
environment, which call for imprisonment for 5 (five)
years or more.
(2) The grave wrongdoings as mentioned under subsection
(1) must be supported with the following evidence:
a. The worker/labourer is caught red-handed;
b. The worker/labourer admits committed a wrongdoing;
or
c. Other evidence in the form of reports of events made
by the authorities at the enterprises and confirmed by
no less than 2 (two) witnesses.
(3) Workers/ labourers whose employment is terminated
because of reasons as mentioned under subsection (1) may
receive compensation pay for entitlements as mentioned
under subsection (4) of Article 156.
(4) Workers/ labourers as mentioned under subsection (1)
whose duties and functions do not directly represent the
interest of the entrepreneur shall be given detachment
money whose amount and the procedures or methods
associated with its payment shall be determined and
stipulated in the work agreements, company regulations,
or collective labour agreements.

II - 169
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 159 ARTICLE 159


Sufficiently clear
If the worker/labourer is unwilling to accept the
termination as mentioned under subsection (1) of Article 158,
the worker/labourer may file a suit to the institution for the
settlement of industrial relations disputes.

ARTICLE 160
ARTICLE 160
(1) In case the worker/labourer is detained by the authorities Subsection (1)
because he or she is alleged to have committed a crime The members of the worker/ labourer’s
and this happens not because of the complaint filed by family that are his or her dependents are his
the entrepreneur, the entrepreneur is not obliged to pay wife or her husband, children or persons who
legally become the worker/ labourer’s
the worker/labourer’s wages but is obliged to provide dependents according to company regulations,
assistance to the family who are his or her dependents work agreements or collective labour
according to the following provisions: agreements.
a. For 1 (one) dependent, the entrepreneur is obliged to
Subsection (2)
pay 25% (twenty-five percent) of the worker/labourer’s Sufficiently clear
wages.
b. For 2 (two) dependents, the entrepreneur is obliged Subsection (3)
Sufficiently clear
to pay 35% (thirty-five percent) of the worker/
labourer’s wages. Subsection (4)
c. For 3 (three) dependents, the entrepreneur is obliged Sufficiently clear
to pay 45% (fourty-five percent) of the worker/ Subsection (5)
labourer’s wages. Sufficiently clear
d. For 4 (four) dependents or more, the entrepreneur is
Subsection (6)
obliged to pay 50% (fifty percent) of the worker/
Sufficiently clear
labourer’s wages.
(2) The assistance as mentioned under subsection (1) shall Subsection (7)
be provided for no longer than 6 (six) months of calendar Sufficiently clear
year starting from the first day the worker/labourer is
detained by the authorities.
(3) The entrepreneur may terminate the employment of the
worker/labourer who after the passing of 6 (six) months
are unable to perform his or her work as worker/labourer
because of the legal process associated with the legal
proceedings as mentioned under subsection (1).
(4) In case the court decides the case prior to the passing of 6
(six) months as mentioned under subsection (3) and the
worker/ labourer is declared not guilty, the entrepreneur
is obliged to reemploy the worker/labourer.

II - 170
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(5) In case the court decides the case prior to the passing of 6
(six) months and the worker/labourer is declared guilty,
the entrepreneur may terminate the employment of the
worker/ labourer.
(6) The termination of employment as mentioned under
subsection (3) and subsection (5) is carried out without
the decision of the institution for the settlement of
industrial relations disputes.
(7) The entrepreneur is obliged to pay to the worker/labourer
whose employment is terminated as mentioned under
subsection (3) and subsection (5) reward pay for service
rendered during his/her period of employment 1 (one)
time of what is stipulated under subsection (3) of Article
156 and compensation pay that the worker/ labourer
ought to have as mentioned under subsection (4) of Article
156.

ARTICLE 161 ARTICLE 161


Subsection (1)
(1) In case the worker/labourer violates the provisions that Sufficiently clear
are specified under work agreement, the company
regulations, or the collective labour agreement, the Subsection (2)
entrepreneur may terminate the employment after the Each warning letter may be issued either
consecutively or not consecutively, according
entrepreneur precedes it with the issuance of the first, to what is stipulated under the work
second and third warning letters consecutively. agreements or company regulations or
(2) Each warning letter issued as mentioned under subsection collective labour agreements.
In case the warning letter is issued
(1) shall expire after 6 (six) months unless otherwise stated
consecutively then the first warning letter shall
in the work agreement or the company regulations or the be effective for a period of 6 (six) months. If
collective labour agreement. the worker/labourer commits a violation
(3) Workers/labourers whose employment is terminated for again against the provisions under the work
agreement or company regulations or collective
reasons as mentioned under subsection (1) shall be labour agreement within the 6 (six) month
entitled to severance pay amounting to 1 (one) time of period, the entrepreneur may issue the second
the amount of severance pay stipulated under subsection warning letter, which shall also be effective
(2) of Article 156, reward pay for period of employment for a period of 6 (six) months since the issuance
of the second warning letter.
amounting to 1 (one) time of the amount stipulated under
If the worker/labourer keeps on violating
subsection (3) of Article 156, and compensation pay for the provisions under the work agreement or
entitlements according to the provision under subsection company regulations or collective labour
(4) of Article 156. agreement, the entrepreneur may issue the
third (last) warning, which shall be effective
for 6 (six) months since the issuance of the
third warning. If within the effective period
of the third warning, the worker/ labourer
once again violate the provisions under the

II - 171
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

work agreement or company regulations or


collective labour agreement, the entrepreneur
may terminate employment.
If the six-month period since the
issuance of the first warning letter is lapsed
and the worker/ labourer once again violates
the work agreement, company regulations or
collective labour agreement, then the warning
letter issued by the entrepreneur shall once
again be the first warning letter. The same
shall also apply to the second and third
warning.
Work agreements or company regulations
or collective labour agreements may stipulate
the issuance of first and last warning letter for
certain types of violations. So, if the worker/
labourer violate the work agreement or
company regulations or collective labour
agreement within the effective period of the
first and last warning letter, the entrepreneur
may terminate the worker/ labourer’s
employment.
The six-month period is meant as an
effort to educate the affected worker/ labourer
so that he/she has time to correct his/her
behavior. On the other hand, the six-month
period shall give the entrepreneur enough time
to evaluate the performance of the worker/
labourer in question.

Subsection (3)
Sufficiently clear

ARTICLE 162 ARTICLE 162


Sufficiently clear
(1) Worker/labourer who resign on his/her own will, shall be
entitled to compensation pay in accordance with
subsection (4) of Article 156.
(2) Workers/labourers who resign of their own will, whose
duties and functions do not directly represent the interest
of the entrepreneur shall, in addition to the compensation
pay payable to them according to subsection (4) of Article
156, be given detachment money whose amount and the
procedures/methods associated with its payment shall be
regulated in the work agreements, company regulations
or collective labour agreements.
(3) A worker/labourer who resigns as mentioned under

II - 172
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

subsection (1) must fulfill the following requirements:


a. Submit a resignation letter no later than 30 (thirty)
days prior to the date of resignation;
b. Not being bound by a contract to serve the enterprise;
and
c. Continue to carry out his or her obligations until the
date of his or her resignation.
(4) Termination of employment for the reason of own will
resignation shall be carried out without the decision of
the institution for the settlement of industrial relations
disputes.

ARTICLE 163 ARTICLE 163


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur may terminate the employment of his
or her workers/labourers in the event of change in the
status of the enterprise, merger, fusion, or change in the
ownership of the enterprise and the workers/labourers are
not willing to continue their employment, the worker/
labourer shall be entitled to severance pay 1 (one) time
the amount of severance pay stipulated under subsection
(2) of Article 156, reward pay for period of employment
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3)
of Article 156, and compensation pay for entitlements
that have not been used according to what is stipulated
under subsection (4) of Article 156.
(2) The entrepreneur may terminate the employment of his
or her workers/labourers in the event of change in the
status of the enterprise, merger, fusion, or change in the
ownership of the enterprise and the entrepreneur is not
willing to accept the workers/labourers to work in the
new enterprise. The worker/labourer shall be entitled to
severance pay twice the amount of severance pay stipulated
under subsection (2) of Article 156, reward pay for period
of employment 1 (one) time the amount stipulated under
subsection (3) of Article 156, and compensation pay for
entitlements according to what is stipulated under
subsection (4) of Article 156.

II - 173
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 164 ARTICLE 164


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur may terminate the employment of
workers/labourers because the enterprise has to be closed
down due to continual losses for 2 (two) years consecutively
or force majeure. The workers/labourers shall be entitled
to severance pay amounting to 1 (one) time the amount
of severance pay stipulated under subsection (2) of Article
156, reward pay for period of employment amounting to
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3)
of Article 156 and compensation pay for entitlements
according to subsection (4) of Article 156.
(2) The continual losses as referred under subsection (1) must
be proved in the enterprise’s financial reports over the last
2 (two) years that have been audited by public accountants.
(3) The entrepreneur may terminate the employment of its
workers/labourers because the enterprise has to be closed
down and the closing down of the enterprise is caused
neither by continual losses for 2 (two) years consecutively
nor force majeure but because of rationalization. The
workers/labourers shall be entitled to severance pay twice
the amount of severance pay stipulated under subsection
(2) of Article 156, reward for period of employment pay
amounting to 1 (one) time the amount stipulated under
subsection (3) of Article 156 and compensation pay for
entitlements according to subsection (4) of Article 156.

ARTICLE 165 ARTICLE 165


Sufficiently clear
The entrepreneur may terminate the employment of the
enterprise’s workers/labourers because the enterprise goes
bankrupt. The workers/labourers shall be entitled to severance
pay amounting to 1 (one) time the amount of severance pay
stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for
period of employment amounting to 1 (one) time the amount
stipulated under subsection (3) of Article 156 and
compensation pay for entitlements according to subsection
(4) of Article 156.

ARTICLE 166 ARTICLE 166


Sufficiently clear
If an employment relationship comes to an end because
the worker/ labourer dies, to the worker’s heirs shall be given a
sum of money whose amount shall be the same as twice the

II - 174
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

amount of severance pay as stipulated under subsection (2) of


Article 156, reward pay for period of employment worked by
the worker/ labourer amounting to 1 (one) time the amount
stipulated under subsection (3) of Article 156 and
compensation pay for entitlements according to subsection
(4) of Article 156.

ARTICLE 167 ARTICLE 167


Subsection (1)
(1) An entrepreneur may terminate the employment of its Sufficiently clear
workers/labourers because they enter pension age,
entrepreneur has included the workers/labourers in a Subsection (2)
Sufficiently clear
retirement benefit program, the workers/labourers are not
entitled to severance pay according to what is stipulated Subsection (3)
under subsection (2) of Article 156, reward pay for period An example for this subsection is:
of employment in accordance with what is stipulated For instance, if the severance pay that
under subsection (3) of Article 156, and compensation should have been received by the worker/
pay for entitlements according to subsection (4) of Article labourer is Rp10,000,000 and the
amount of pension benefit payable to the
156. worker/ labourer according to the pension
(2) If the amount of retirement benefit that they get as a program is Rp6,000,000 and
single lump-sum payment as a result of their participation arrangements have been made in the
pension program that the entrepreneur pays
in a pension program as mentioned under subsection (1)
60% of the premium and the worker/
turns out to be lower than twice the amount of the labourer pays the remaining 40%, then:
severance pay stipulated under subsection (2) of Article The total premiums paid by the
156, reward pay for period of employment in accordance entrepreneur are equal to 60% x
with what is stipulated under subsection (3) of Article Rp6,000,000 = Rp3,600,000
156, and compensation pay for entitlements according The total pension benefit for which
to subsection (4) of Article 156, the entrepreneur shall premiums have been paid by the worker/
labourer are equal to 40% x
pay the difference.
Rp6,000,000 = Rp2,400,000
(3) If the entrepreneur has included the worker/labourer in a So, the difference that the entrepreneur
pension program whose contributions/premiums are paid has to make up is Rp10,000,000 –
by the entrepreneur and the worker/labourer, then that Rp3,600,000 = Rp6,400,000.
which is calculated with the severance pay shall be the This means that the money receivable by
pension whose contributions/premiums have been paid the worker/ labourer upon the
termination of the worker/ labourer’s
by the entrepreneur. employment is:
(4) Arrangements other than what is stipulated under Rp3,600,000 (which is the benefit paid
subsection (1), subsection (2) and subsection (3) may be by the pension program administrator of
made in the work agreement or company regulations or which represents 60% of the total
premiums which had been paid by the
collective labour agreements.
entrepreneur)
(5) If the entrepreneur does not include workers/labourers Rp6,400,000 (which comes from the
whose employment is terminated because they enter difference in severance pay that must be
pension age in a pension program, the entrepreneur is made up by the entrepreneur)

II - 175
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

obliged to pay them severance pay twice the amount of Rp2,400,000 (which is the benefit paid
severance pay as stipulated under subsection (2) of Article by the pension program administrator
which represents 40% of the total
156, reward pay for period of employment amounting to premiums which had been paid by the
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) worker/ labourer)
of Article 156 and compensation pay for entitlements
——————————————
according to subsection (4) of Article 156.
Total: Rp12,400,000 (twelve
(6) The worker/labourer’s entitlement to retirement benefit million four hundred thousand rupiah)
as mentioned under subsection (1), subsection (2) and
subsection (3) shall not eliminate their entitlement to Subsection (4)
the old age benefit that is compulsory according to Sufficiently clear
prevailing laws and regulations. Subsection (5)
Sufficiently clear

ARTICLE 168 ARTICLE 168


Subsection (1)
(1) An entrepreneur may terminate the employment of a The phrase ‘the entrepreneur has properly
worker/labourer if the worker/labourer has been absent summoned him or her’ means that the worker/
from work for 5 (five) workdays or more consecutively labourer has been summoned in writing
without submitting to the entrepreneur a written through a letter sent to the address of the
worker/ labourer as recorded at the enterprise
explanation supplemented with valid evidence and the on the basis of the information provided by
entrepreneur has properly summoned him or her twice the worker/ labourer to the enterprise. There
in writing, by qualify the worker/labourer as resigning. shall be a minimum of three-workday spacing
between the first summon and the second
(2) The written explanation supplemented with valid evidence summon.
as mentioned under subsection (1) must be submitted at Subsection (2)
the latest on the first day on which the worker/labourer Sufficiently clear
comes back to the workplace.
Subsection (3)
(3) In the event of the termination of employment as Sufficiently clear
mentioned under subsection (1), the worker/labourer shall
be entitled to compensation pay for her/his entitlements
according to subsection (4) of Article 156 and they shall
be given detachment money whose amount and the
procedures and methods associated with its payment shall
be regulated in the work agreements, company
regulations, or collective labour agreements.

ARTICLE 169 ARTICLE 169


Sufficiently clear
(1) A worker/labourer may file an official request to the
institution for the settlement of industrial relations
disputes to terminate his/her employment relationship
with his/her entrepreneur if:

II - 176
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

a. Battered, rudely humiliated or intimidated the worker/


labourer;
b. Persuaded and/or ordered the worker/labourer to
commit acts that against statutory laws and regulations;
c. Not paid wages at a prescribed time for three months
consecutively or more;
d. Not performed obligations promised to workers/
labourers;
e. Orders the worker/labourer to perform work outside
of that which has been agreed upon; or
f. Ordered the worker/labourer to carry out work that
endangered life, safety, health and morality of the
worker/labourer which is not mentioned in the work
agreement.
(2) The termination of employment because of reasons as
mentioned under subsection (1), the worker/ labourer is
entitled to receive severance pay amounting to twice the
amount of severance pay stipulated under subsection (2)
of Article 156, reward pay amounting to 1 (one) time the
amount of reward pay for period of employment worked
stipulated under subsection (3) of Article 156 and
compensation pay for entitlements according to subsection
(4) of Article 156.
(3) In case the entrepreneur is found not guilty of committing
the acts mentioned under subsection (1) by the institution
for the settlement of industrial relations disputes, the
entrepreneur may terminate the employment of the
worker/ labourer without having the decision of the
institution for the settlement of industrial relations
disputes and the worker/ labourer in question is not
entitled to severance pay as mentioned under subsection
(2) of Article 156 and reward pay for period of
employment worked as mentioned under subsection (3)
of Article 156.

ARTICLE 170 ARTICLE 170


Sufficiently clear
Any termination of employment that is carried out
without fulfilling subsection (3) Article 151 and Article 168
except subsection (1) of Article 158, subsection (3) of Article
160, Article 162, and Article 169 shall be declared null and

II - 177
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

void by law and the entrepreneur is obliged to reemploy the


worker/ labourer and pay all the wages and entitlements which
the worker/ labourer should have received.

ARTICLE 171 ARTICLE 171


The one-year spacing reserved for
If workers/labourers whose employment is terminated
dismissed workers/ labourers to file a lawsuit
without the decision of the institution for the settlement of starting from the date on which their
industrial relations disputes as mentioned under subsection employment is terminated is considered as an
(1) of Article 158, subsection (3) of Article 160 and Article appropriate period of time during which to
162 cannot accept the termination of their employment, the file a lawsuit.
workers/ labourers may file a lawsuit to the institution for the
settlement of industrial relations disputes within a period of
no later than 1 (one) year since the date on which their
employment was terminated.

ARTICLE 172 ARTICLE 172


Sufficiently clear
Workers/labourers who are continuously ill for a very long
time, who are disabled as a result of a work accident and are
unable to perform their work may, after they have been in
such a condition for more than the absenteeism limit of 12
(twelve) months consecutively, request that their employment
be terminated upon which they shall be entitled to receive
severance pay amounting to twice the amount of severance
pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward
pay for the period of employment they have worked amounting
to twice the amount of such reward pay stipulated under
subsection (3) of Article 156, and compensation pay
amounting to one time the amount of that which is stipulated
under subsection (4) of Article 156.

CHAPTER XIII
MANPOWER DEVELOPMENT

ARTICLE 173 ARTICLE 173


Subsection (1)
(1) The goverment shall make efforts to develop and build The term develop shall refer to activities
up elements and activities related to manpower. carried out effectively and efficiently to get
(2) The efforts to develop manpower-related elements and better results in order to improve and develop
all manpower-related activities.
activities as mentioned under subsection (1) may invite
participation of entrepreneurs’ organizations, trade/labour Subsection (2)
unions and other related organizations of professions. Sufficiently clear

II - 178
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(3) The efforts to develop manpower as mentioned under Subsection (3)


subsection (1) and subsection (2) shall be carried out in a Those who shall perform the
coordination as mentioned under this
well-integrated and well-coordinated way. subsection are the government agency
(agencies) responsible for labour/ manpower
affairs.

ARTICLE 174 ARTICLE 174


Sufficiently clear
For the purpose of manpower development, the
government, associations of entrepreneurs, trade/ labour unions
and other professions organizations may establish international
cooperation in the field of labour according to the prevailing
laws and regulations.

ARTICLE 175 ARTICLE 175


Sufficiently clear
(1) The government may award persons or institutions that
have done meritorious service in the field of manpower
development.
(2) The award as mentioned under subsection (1) may be
given in the form of a charter, money and or other forms
of reward.

CHAPTER XIV
LABOUR INSPECTION

ARTICLE 176 ARTICLE 176


The word “independency” attributable
Labour inspection shall be carried out by government
to labour inspectors under this subsection shall
labour inspectors who have the competence and independency mean that in making decision, labour
to ensure the implementation of the labour laws and inspectors are not under the influence of other
regulations. parties.

ARTICLE 177 ARTICLE 177


Sufficiently clear
The labour inspectors as mentioned under Article 176
shall be determined by Minister or appointed officials.

ARTICLE 178
ARTICLE 178
(1) Labour inspection shall be carried out by a separate Sufficiently clear
working unit of a government agency whose scope of duty
and responsibility are in the field of labour at the Central
Government, Provincial Governments and District/ City
Governments.

II - 179
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(2) The implementation of labour inspection as mentioned


under subsection (1) shall be regulated further with a
Presidential Decision.

ARTICLE 179 ARTICLE 179


Sufficiently clear
(1) The working units for labour inspection as mentioned
under Article 178 at the Provincial Governments and
District/ City Governments are obliged to submit reports
on the implementation of labour inspection to Minister.
(2) Procedures for submitting the reports as mentioned under
subsection (1) shall be regulated with a Ministerial
Decision.

ARTICLE 180 ARTICLE 180


Sufficiently clear
Provisions concerning the requirements for the
appointment of, the rights and obligations of, the authority
of, labour inspectors as mentioned under Article 176 pursuant
to the prevailing laws and regulations.

ARTICLE 181 ARTICLE 181


In carrying out their duties as mentioned under Article Sufficiently clear
176, labour inspectors are obliged:
a. To keep secret everything that, by its nature, needs or is
worthy to be kept secret;
b. To refrain from abusing their authority.

CHAPTER XV
INVESTIGATION
ARTICLE 182 ARTICLE 182
Sufficiently clear
(1) Special authority to act as civil servant investigators may
also be given, in addition to the one assigned to the
investigating officials of the Police of the State of the
Republic of Indonesia, to labour inspectors in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(2) The civil servant investigators as mentioned under
subsection (1) shall have the authority:
a. To examine whether or not reports and explanation
about labour crimes are true;

II - 180
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

b. To investigate individuals suspected of having


committed a labour crime;
c. To require explanations and evidences from persons or
legal entity considered to be relevant to the labour
crime being investigated;
d. To examine or confiscate objects or evidences found in
a case of labour crime;
e. To examine papers and/or other documents related
with labour crimes;
f. To request the help of experts in performing labour-
related criminal investigations; and
g. To stop investigation if there is not enough evidence
to prove that a labour crime has been committed.
(3) The authority of civil servant investigators as mentioned
under subsection (2) shall be exercised in accordance with
the prevailing laws and regulations.

CHAPTER XVI
CRIMINAL PROVISIONS AND ADMINISTRATIVE
SANCTIONS
SECTION ONE
CRIMINAL PROVISIONS

ARTICLE 183 ARTICLE 183


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates the provision under Article 74 shall
be subjected to a criminal sanction in jail for a minimum
of 2 (two) years and a maximum of 5 (five) years and/or a
fine of a minimum of Rp200,000,000 (two hundred
million rupiah) and a maximum of Rp500,000,000 (five
hundred million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a felony.

ARTICLE 184 ARTICLE 184


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates what is mentioned under subsection
(5) of Article 167 shall be subjected to a criminal sanction
in jail for a minimum of 1 (one) year and a maximum of
5 (five) years and or a fine of a minimum of Rp100,000,000

II - 181
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(one hundred million rupiah) and a maximum of


Rp500,000,000 (five hundred million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a felony.

ARTICLE 185 ARTICLE 185


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(1) and subsection (2) of Article 42, Article 68, subsection
(2) of article 69, Article 80, Article 82, subsection (1) of
Article 90, Article 139, Article 143, and subsection (4)
and subsection (7) of Article 160 shall be subjected to a
criminal sanction in jail for a minimum of 1 (one) year
and a maximum of 4 (four) years and/or a fine of a
minimum of Rp100,000,000 (one hundred million
rupiah) and a maximum of Rp400,000,000 (four hundred
million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a felony.

ARTICLE 186 ARTICLE 186


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(2) and subsection (3) of Article 35, subsection (2) of
Article 93, Article 137, and subsection (1) of Article 138
shall be subjected to a criminal sanction in jail for a
minimum of 1 (one) month and a maximum of 4 (four)
years and/or a fine of a minimum of Rp10,000,000 (ten
million rupiah) and a maximum of Rp400,000,000 (four
hundred million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a misdemeanor.

ARTICLE 187 ARTICLE 187


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(2) of Article 37, subsection (1) of Article 44, subsection
(1) of Article 45, subsection (1) of Article 67, subsection
(2) of Article 71, Article 76, subsection (2) of Article 78,
subsection (1) and subsection (2) of Article 79, subsection
(3) of Article 85, and Article 144 shall be subjected to a
criminal sanction in prison for a minimum of 1 (one)
month and a maximum of 12 (twelve) months and/or a
fine of a minimum of Rp10,000,000 (ten million rupiah)

II - 182
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

and a maximum of Rp100,000,000 (one hundred million


rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a misdemeanor.

ARTICLE 188 ARTICLE 188


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(2) of Article 14, subsection (2) of Article 38, subsection
(1) of Article 63, subsection (1) of Article 78, subsection
(1) of Article 108, subsection (3) of Article 111, Article
114, and Article 148 shall be subjected to a criminal
sanction in the form of a fine of a minimum of
Rp5,000,000 (five million rupiah) and a maximum of
Rp50,000,000 (fifty million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a misdemeanor.

ARTICLE 189 ARTICLE 189


Sufficiently clear
Sanctions imposed on entrepreneurs in the form of a jail,
prison sentence and/or a fine do not release the entrepreneurs
from their obligations to pay entitlements and/or
compensations to the workers/ labourers.

SECTION TWO
ADMINISTRATIVE SANCTIONS

ARTICLE 190 ARTICLE 190


Sufficiently clear
(1) Minister or appointed official shall impose administrative
sanctions because of violations under Article 5, Article 6,
Article 15, Article 25, subsection (2) of Article 38,
subsection (1) of Article 45, subsection (1) of Article 47,
Article 48, Article 87, Article 106, subsection (3) of Article
126, and subsection (1) and subsection (2) of Article 160
of this act and its implementing regulations.
The administrative sanctions as mentioned under
subsection (1) may take the form of:
a. A rebuke;
b. A written warning;
c. restrict/limit the business activities of the affected
enterprise;

II - 183
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

d.freeze the business activities of the affected enterprise;


e.Cancellation of approval;
f.Cancellation of registration;
g.Temporary termination of partial or the whole
production tools/instruments;
h. Abolishment/revocation of license or permission to
operate.
(2) The provisions concerning administrative sanctions as
mentioned under subsection (1) and subsection (2) shall
be regulated further by Minister.

CHAPTER XVII
TRANSITIONAL PROVISIONS

ARTICLE 191 ARTICLE 191


All implementing regulations that regulate manpower Implementing regulations which
regulate matters pertaining to labour/
affairs shall remain effective as long as they do not against and/ manpower under this act are implementing
or have not been replaced by the new regulations made based regulations from various labour/ manpower
on this act. laws irrespective of whether they have been
revoked or are still in place and valid. In
order to avoid legal vacuum, this act shall
apply to implementing regulations that have
not been revoked or replaced on the basis of
this act as long as they are not against this act.
Likewise, if a labour incident or case
happens before the application of this act and
is still in the process of being settled through
an institute for the settlement of industrial
relations disputes, then in accordance with
the principle of legality, implementing
CHAPTER XVIII regulations that are in existence prior to the
application of this act shall be used to settle
CLOSING PROVISIONS the incident or case.

ARTICLE 192 ARTICLE 192


At the time this act starts to take effect, then: Sufficiently clear

1. Ordinance concerning the Mobilization of Indonesian


People To Perform Work Outside of Indonesia (Staatsblad
Year 1887 Number 8);
2. Ordinance dated December 17, 1925, which is a
regulation concerning Restriction of Child Labour and
Night Work for Women (Staatsblad Year 1925 Number

II - 184
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

647);
3. Ordinance Year 1926, which is a regulation which
regulates the Employment of Child and Youth on Board
of A Ship (Staatsblad Year 1926 Number 87);
4. Ordinance dated May 4, 1936 concerning Ordinance To
Regulate Activities To Recruit Candidates/ Prospective
Workers (Staatsbald Year 1936 Number 208);
5. Ordinance concerning the Repatriation of Labourers Who
Come From or Are Mobilized From Outside of Indonesia
(Staatsblad Year 1939 Number 545);
6. Ordinance Number 9 Year 1949 concerning Restriction
of Child Labour (Staatsblad Year 1949 Number 8);
7. Act Number 1 Year 1951 concerning the Declaration of
the Enactment of Employment Act Year 1948 Number
12 From the Republic of Indonesia For All Indonesia (State
Gazette Year 1951 Number 2);
8. Act Number 21 Year 1954 concerning Labour Agreement
Between Labour Union and Employer (State Gazette Year
1954 Number 69, Supplement to State Gazette Number
598a);
9. Act Number 3 Year 1958 concerning the Placement of
Foreign Workers (State Gazette Year 1958 Number 8);
10. Act Number 8 Year 1961 concerning Compulsory Work
for University Graduates Holding Master’s Degree (State
Gazette Year 1961 Number 207, Supplement to State
Gazette Number 2270);
11. Act Number 7 Year 1963 Serving as the Presidential
Resolution on the Prevention of Strike and/or Lockout at
Vital Enterprises, Government Agencies In Charge of
Public Service and Agencies (State Gazette Year 1963
Number 67);
12. Act Number 14 Year 1969 concerning Fundamental
Provisions concerning Manpower (State Gazette Year 1969
Number 55, Supplement to State Gazette Number 2912);
13. Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State
Gazette Year 1997 Number 73, Supplement to State
Gazette Number 3702);
14. Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the
Applicability of Act Number 25 Year 1997 concerning

II - 185
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

Manpower (State Gazette Year 1998 Number 184,


Supplement to State Gazette Number 3791);
15. Act Number 28 Year 2000 concerning the Establishment
of Government Regulation in lieu of Law Number 3 Year
2000 concerning Changes to Act Number 11 Year 1998
concerning the Change in the Applicability of Act Number
25 Year 1997 concerning Manpower into Act (State
Gazette Year 2000 Number 204, Supplement to State
Gazette Number 4042)
shall herewith be declared null and void.

ARTICLE 193 ARTICLE 193


This act shall be effective upon the date of its Sufficiently clear
promulgation. For the cognizant of the public, orders the
promulgation of this act by having it place on the State Gazette
of the Republic of Indonesia.

Legalized in Jakarta
On 25 March, 2003

PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Promulgated in Jakarta:
On 25 March, 2003

STATE SECRETARY OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA

BAMBANG KESOWO SUPPLEMENT TO THE STATE


GAZETTE OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA NUMBER 4279
STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 39 OF 2003

II - 186
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND
CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang


secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;

b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat


internasional, menghormati, menghargai, dan menjunjung
tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;

c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam


sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan
International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya);

d. bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud


pada huruf c pada dasarnya tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat negara
Republik Indonesia sebagai negara hukum yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan yang
menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di
dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk
secara terus menerus memajukan dan melindungi hak
asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

e. bahwa . . .
- 2 -

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya).

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D,
Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan


Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3882);

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886);

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4012);

5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang


Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026);

Dengan . . .
- 3 -

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL


COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS
(KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI,
SOSIAL DAN BUDAYA).

Pasal 1

(1 ) Mengesahkan International Covenant on Economic, Social


and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-
hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dengan Declaration
(Pernyataan) terhadap Pasal 1.

(2) Salinan naskah asli International Covenant on Economic,


Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan Declaration
(Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa Inggris dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana
terlampir, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.

Pasal 2

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .
- 4 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 118


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND
CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

I. UMUM

1. Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak


Ekonomi, Sosial dan Budaya Sipil dan Politik.

Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan


Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan Universal Declaration of Human
Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya
disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan
kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil
pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan
dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan
efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri
maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah
yurisdiksi mereka.

Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan


kebebasan dasar yang dinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrumen
internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Sehubungan dengan
hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi
Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan rancangan
DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta
rancangan tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada
tahun 1949. Pada tahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah resolusi
yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta
kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui
perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta

kepada . . .
- 2 -

kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak
asasi manusia: (1) Kove nan mengenai hak sipil dan politik; dan (2)
Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga
menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus
memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat
pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri.

Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai


dengan keputusan MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953
dan 1954. Setelah membahas kedua rancangan Kovenan tersebut, pada
tahun 1954 MU PBB memutuskan untuk memublikasikannya seluas
mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya secara
mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas.
Untuk tujuan tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB
membahas rancangan naskah Kovenan itu pasal demi pasal mulai tahun
1955. Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal,
naskah kedua Kovenan itu baru dapat diselesaikan pada tahun 1966.
Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI),
MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik
bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak
Sipil dan Politik dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976.

2. Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Covenant


on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)

Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945
menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari
kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah
memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat
penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas
kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan
(Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di
dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara
Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2); hak setiap warga negara

Indonesia . . .
- 3 -

Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2);
hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28);
kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29
ayat (2); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31
ayat (1) ).

Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM terus berlanjut


meskipun Indonesia mengalami perubahan susunan negara dari negara
kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15
Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat sebagian besar
pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban
Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33).

Indonesia yang kembali ke susunan negara kesatuan sejak 15 Agustus


1950 terus melanjutkan komitmen konstitusionalnya untuk menjunjung
tinggi HAM. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS
RI Tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai dengan 5
Juli 1959, sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar
pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban
Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33), dan
bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang
bersangkutan yang tercantum dalam Konstitusi RIS. Di samping
komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950,
Indonesia juga menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan
dan perlindungan HAM, sebagaimana yang ditunjukkan dengan
keputusan Pemerintah untuk tetap memberlakukan beberapa konvensi
perburuhan yang dihasilkan oleh International Labour Organization
(Organisasi Perburuhan Internasional) yang dibuat sebelum Perang Dunia
II dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah
Belanda, menjadi pihak pada beberapa konvensi lain yang dibuat oleh
Organisasi Perburuhan Internasional setelah Perang Dunia II, dan
mengesahkan sebuah konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni
Convention on the Political Rights of Women 1952 (Konvensi tentang Hak-
hak Politik Perempuan 1952), melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun
1958.

Dalam . . .
- 4 -

Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya penegakan dan


perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa
upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan
oleh kepentingan kekuasaan.

Akhirnya, disadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak


mengindahkan penghormatan, penegakan dan perlindungan HAM akan
selalu menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak
memberikan landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik,
sosial dan budaya untuk jangka panjang.

Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telah


membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi
terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk
menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM.

Selanjutnya Indonesia mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM


melalui Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian dilanjutkan
dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun
2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan
ratifikasi atau pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984)
pada 28 September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998;
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783). Selain itu melalui
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999, Indonesia juga telah meratifikasi
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial).

Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)


mengambil keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan,
penghormatan dan penegakan HAM, yaitu dengan mengesahkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat
"Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia"
(Lampiran angka I) dan "Piagam Hak Asasi Manusia" (Lampiran angka II).

Konsideran . . .
- 5 -

Konsideran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut menyatakan,


antara lain, "bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah
mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi
pelaksanaan hak asasi manusia dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara" (huruf b) dan "bahwa bangsa
Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi
manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa -Bangsa serta instrumen internasional lainnya
mengenai hak asasi manusia" (huruf c). Selanjutnya, Ketetapan MPR
tersebut menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa -Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk
menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai
hak asasi manusia" (Lampiran IB angka 2). Sebagaimana diketahui bahwa
DUHAM 1948, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,
Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya adalah instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM
dan yang lazim disebut sebagai "International Bill of Human Rights"
(Prasasti Internasional tentang Hak Asasi Manusia), yang merupakan
instrumen-instrumen internasional inti mengenai HAM.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan


perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama disahkan
dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 1999; perubahan kedua disahkan
dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000; perubahan ketiga disahkan
dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; dan perubahan keempat
disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Perubahan kedua
Undang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia
terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM dengan
mengintegrasikan ketentuan-ke1entuan penting dari instrumen-
instrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam
BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan
sampai dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang
kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

serta . . .
- 6 -

serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat


internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu
mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM,
khususnya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
serta International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

3. Pokok-pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial


dan Budaya.

Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang


ekonomi, sosial dan budaya dari DUHAM dalam ketentuan-ketentuan
yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri dari pembukaan dan pasal-
pasal yang mencakup 31 pasal.

Pembukaan Kovenan ini mengingatkan negara-negara akan kewajibannya


menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM,
mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi
pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam
kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui
bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati
kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan
kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap
orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta
hak-hak sipil dan politiknya.

Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk


menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara,
termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan
Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian,
untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti
yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun
1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan.

Pasal 2 menetapkan kewajiban Negara Pihak untuk mengambil langkah-


Langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak yang
diakui dalam Kovenan ini dan memastikan pelaksanaan hak-hak tersebut
tanpa pembedaan apa pun. Negara-negara berkembang, dengan

memperhatikan . . .
- 7 -

memperhatikan HAM dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan


sampai seberapa jauh negara-negara tersebut akan menjamin hak-hak
ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini bagi warga negara asing. Untuk
ketentuan ini, diperlukan pengaturan ekonomi nasional.

Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Pasal 4 menetapkan bahwa negara pihak hanya boleh mengenakan


pembatasan atas hak-hak melalui penetapan dalam hukum, sejauh hal
itu sesuai dengan sifat hak-hak tersebut dan semata-mata untuk maksud
memajukan kesejahte raan umum dalam masyarakat demokratis.

Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan
ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok,
atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan
tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun
yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang
ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya
pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang
berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau
kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut
atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.

Pasal 6 sampai dengan pasal 15 mengakui hak asasi setiap orang di


bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak atas pekerjaan (Pasal 6),
hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan (Pasal
7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8), hak atas
jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan
dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang
muda (Pasal 10), hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11),
hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi
yang dapat dicapai (Pasal 12), hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan
hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (PasaI1).

Selanjutnya Pasal 16 sampai dengan Pasal 25 mengatur hal-hal mengenai


pelaksanaan Kovenan ini, yakni kewajiban negara pihak untuk
menyampaikan laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai
tindakan yang telah diambil dan kemajuan yang telah dicapai dalam
penaatan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini (Pasal 16 dan Pasal 17),
penanganan laporan tersebut oleh ECOSOC (Pasal 18 sampai dengan
Pasal 22), kesepakatan tentang lingkup aksi internasional guna mencapai
hak-hak . . .
- 8 -

hak-hak yang diakui dalam Kovenan (Pasal 23), penegasan bahwa tidak
ada satu ketentuan pun dalam Kovenan yang dapat ditafsirkan sebagai
mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan-badan khusus
yang berkenaan dengan masalah-masalah yang diatur dalam Kovenan ini
(Pasal 24), dan penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam
Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat
pada semua rakyat untuk menikmati secara penuh dan secara bebas
kekayaan dan sumber daya alam mereka (Pasal 25).

Kovenan diakhiri dengan ketentuan penutup yang mengatur pokok-pokok


yang bersifat prosedural (Pasal 26 sampai dengan Pasal 31), dan yang
mencakup pengaturan penandatanganan, pengesahan, aksesi, dan
penyimpanan Kovenan ini, serta tugas Sekretaris Jenderal PBB sebagai
penyimpan (depositary) (Pasal 26 dan Pasal 30), mulai berlakunya
Kovenan ini (Pasa! 27), lingkup wilayah berlakunya Kovenan ini di negara
pihak yang berbentuk federal (Pasal 28), prosedur perubahan (Pasal 29),
dan bahasa yang digunakan dalam naskah otentik Kovenan ini (Pasal 31).

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Ayat (1)
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya) dan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
merupakan dua instrumen yang saling tergantung dan saling
terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh MU PBB pada tahun
1977 (resolusi 32/130 Tanggal 16 Desember 1977), semua hak
asasi dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dibagi-bagi
dan saling tergantung (interdependent). Pemajuan,
perlindungan, dan pemenuhan kedua kelompok hak asasi ini
harus mendapatkan perhatian yang sama. Pelaksanaaan,
pemajuan, dan perlindungan semua hak-hak ekonomi, sosial,
dan pudaya tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman
hak-hak sipil dan politik.

Ayat (2) . . .
- 9 -

(Ayat 2)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya
dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah
asli dalam bahasa Inggris Kovenan Internasional tentang Hak-
hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Declaration (Pernyataan)
terhadap Pasal 1 Kovenan ini.

Pasal 2
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4557


- 10 -
UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 1951
Tentang
PERNYATAAN BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG PENGAWASAN PERBURUHAN TAHUN 1948 NO. 23.
DARI REPUBLIK INDONESIA UNTUK SELURUH INDONESIA
(Lembaran Negara No.4 Tahun 1951).

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : 1. bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum


ada undang-undang mengenai pengawasan perburuhan
yang sesuai dengan keadaan sekarang;
2. bahwa ketiadaan undang-undang itu sangat dirasakan dan
oleh karenanya perlu segera mengadakannya;
3. bahwa dengan menunggu selesainya pekerjaan tersebut
terlebih dahulu perlu dijalankan undang-undang
pengawasan perburuhan Republik Indonesia yang sudah
ada;
4. bahwa “Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948” dari Republik Indonesia adalah salah undang-
undang yang dibutuhkan dan oleh karenanya perlu lekas
dijalankan untuk seluruh Indonesia.

Mengingat : Pasal 36 dan 89 Undang-Undang Dasar Sementera


Republik Indonesia.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.

MEMUTUSKAN :
Dengan membatalkan segala peraturan yang berlawanan dengan undang-undang ini
menetapkan :

UNDANG-UNDANG PERNYATAAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG


PENGAWASAN PERBURUHAN TAHUN 1948 NR. 23 DARI REPUBLIK
INDONESIA UNTUK SELURUH INDONESIA.

PASAL 1
Menyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia undang-undang Pengawasan Perburuhan
tanggal 23 Juli 1948 Nr. 23 dari Republik Indonesia yang bunyinya sebagai berikut :
BAGIAN I
Tentang Pengawasan Perburuhan

Pasal 1

1. Pengawasan Perburuhan diadakan guna :


a) mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan
pada khususnya;

b) mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan


keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-
undang dan peraturan-peraturan perburuhan;

c) menjalankan pekerjaan lain-lain yang diserahkan kepadanya dengan undang-


undang atau peraturan-peraturan lainnya.

2. Menteri yang diserahi urusan perburuhan mengadakan laporan tahunan tentang


pekerjaan pengawasan perburuhan.

BAGIAN II
Hak Pegawai-pegawai Pengawasan Perburuhan untuk memperoleh Keterangan.

Pasal 2

1) Menteri yang diserahi urusan perburuhan atau pegawai yang ditunjuk olehnya,
menunjuk pegawai-pegawai yang diberi kewajiban menjalankan pengawasan
perburuhan;

2) Pegawai-pegawai tersebut dalam ayat (1) pasal ini, beserta pegawai-pegawai


pembantu yang mengikutinya, dalam melakukan kewajiban-kewajiban tersebut
dalam pasal 1 ayat (1), berhak memasuki semua tempat-tempat, dimana
dijalankan atau biasa dijalankan pekerjaan, atau dapat disangka bawah di situ
dijalankan pekerjaan dan juga segala rumah yang disewakan atau dipergunakan
oleh majikan atau wakilnya untuk perumahan atau perawatan buruh. Yang
dimaksud dengan pekerjaan ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk
majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah.

3) Jikalau pegawai-pegawai tersebut dalam ayat (1) ditolak untuk memasuki


tempat-tempat termaksud dalam ayat (2) maka mereka memasukinya, jika perlu
dengan bantuan Polisi Negara.

Pasal 3
1) Majikan atau wakilnya, demikian pula semua buruh yang bekerja pada majikan
itu, atas permintaan dan dalam waktu sepantasnya yang ditentukan oleh
pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 ayat (1), wajib memberikan semua
keterangan-keterangan yang sejelas-jelasnya, baik dengan lisan maupun tertulis
yang dipandang perlu olehnya guna memperoleh pendapat yang pasti tentang
hubungan kerja dan keadaan perburuhan pada umumnya di dalam perusahaan
itu pada waktu itu atau/dan pada waktu yang telah lampau;

2) Pegawai-pegawai tersebut di atas berhak menanyai buruh dengan tidak dihadiri


oleh orang ketiga;

3) Dalam menjalankan tugasnya pegawai-pegawai tersebut diwajibkan


berhubungan dengan organisasi buruh yang bersangkutan.

Pasal 4

Atas permintaan pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 ayat (1) majikan atau
wakilnya wajib menunjuk seorang pengantar untuk memberi keterangan-keterangan
pada waktu diadakan pemeriksaan.

BAGIAN III
Menyimpan Rahasia.

Pasal 5

Pegawai-pegawai beserta pegawai-pegawai pembantu tersebut dalam pasal 2 di luar


jabatannya wajib merahasiakan segala keterangan tentang rahasia-rahasia di dalam suatu
perusahaan, yang didapatnya berhubungan dengan jabatannya.

BAGIAN IV
Aturan Hukuman

Pasal 6

1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang dipercayakan kepadanya


termaksud dalam pasal 5, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ratus rupiah dengan tidak
atau dipecat dari hak memangku jabatan.

2) Barang siapa karena kehilapannya menyebabkan rahasia itu menjasi terbuka,


dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda
sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah;
3) Tidak ada tuntutan terhadap hal-hal tersebut dalam ayat (1) dan (2), jikalau
tidak ada pengaduan dari majikan yang berkepentingan atau wakilnya;

4) Barang siapa menghalang-halangi atau menggagalkan sesuatu yang dilakukan


oleh pegawai-pegawai dalam melakukan kewajibannya seperti tersebut dalam
pasal 2, begitu pula barang siapa tidak memenuhi kewajibannya termasuk
dalam pasal 3 ayat (1), dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya
tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiah;

5) Barang siapa tidak memenuhi kewajibannya tersebut dalam pasal 4 dihukum


dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya lima ratus rupiah;

6) Hal-hal yang dikenakan hukuman tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) dianggap
sebagai kejahatan, sedangkan yang tersebut dalam ayat(4) dan (5) dianggap
sebagai pelanggaran.

Pasal 7

1) Jikalau yang dikenakan hukuman tersebut dalam pasal 6 itu suatu badan
hukum, maka tuntutan dan hukuman dilakukan terhadap pengurus badan
hukum itu;

2) Jikalau urusan badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain maka
tuntutan dan hukuman dilakukan terhadap pengurus badan hukum lain yang
mengurus itu.

BAGIAN V
Tentang Mengusut Pelanggaran dan Kejahatan.

Pasal 8

Selain dari pada pegawai-pegawai yang berkewajiban mengusut pelanggaran dan


kejahatan pada umumnya, pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 dan orang-orang lain
menurut undang-undang ditunjuk dan diberi kekuasaan untuk itu, kecuali diwajibkan
untuk menjaga dan membantu supaya aturan-aturan dalam undang-undang ini
dijalankan, diwajibkan juga untuk mengusut hal-hal yang dikenakan hukuman tersebut
dalam pasal 6.
PASAL II

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.


Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Januari 1951.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEKARNO.

Diundangkan MENTERI PERBURUHAN


Pada tanggal 8 januari 1951
Menteri Kehakiman

WONGSONEGORO. SOEROSO
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 1948.
Tentang
PENGAWASAN PERBURUHAN TAHUN 1948

PEMANDANGAN UMUM
Pengawasan perburuhan adalah suatu institut yang sangat penting dalam penyelenggaraan
undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan.

Tidak hanya untuk mengawasi tentang berlakunya undang-undang dan peraturan-


peraturan tadi dengan jalan memberi penerangan kepada buruh, serikat buruh dan
majikan jikalau perlu dengan mengusut hal-hal yang dikenakan hukuman oleh undang-
undang/peraturan-peraturan itu, akan tetapi pula untuk mengetahui dan menyelami
tentang keinginan dan kebutuhan masyarakat akan adanya undang-undang/peraturan-
peraturan pemerintah dalam suatu hal, dan selanjutnya untuk mengumpulkan bahan-
bahan keterangan, agar dapat mengadakan undang-undang/peraturan-peraturan yang
setepat-tepatnya.

Meskipun Kantor Pengawas Perburuhan itu di dalam zaman Belanda sudah ada, ialah
”Arbeidsinspectie”, akan tetapi kantor itu tidak begitu dikenal oleh dunia buruh (terutama
perusahaan-perusahaan yang besar-besar, kebu-kebun dan lain-lain), oleh karena pegawai
yang harus mengadakan pemeriksaan, seorang Arbeidsinspecteur tidak pernah
mengadakan perhubungan yang erat-eratnya dengan pihak buruh Indonesia. Oleh karena
itu sampai kinipun Kantor Pengawas Perburuhan yang sebetulnya telah ada dan bekerja
itu (lihat Penetapan Pemerintah Nr. 3 Tahun 1947 jo Keputusan Menteri Perhubungan
tanggal 30 Juli 1947 Nr. 364/P.V) masih saja belum dikenal sebaik-baiknya oleh
beberapa majikan dan buruh, sehingga telah beberapa kali terjadi seorang Ajun Inspektur
Pengawasan Perburuhan yang memasuki suatu tempat perusahaan untuk menjalankan
kewajibannya, mendapat rintangan dari atau ditolak oleh majikan yang berkepentingan.

Berhubungan dengan itu dan mengingat akan pentingnya pengawasan perburuhan, pula
untuk menyesuaikan sifatnya dengan aliran sekarang, maka Pemerintah menganggap
perlu untuk mengadakan undang-undang yang dengan tegas menetapkan tentang adanya
pengawasan perburuhan beserta aturan-aturannya.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1

Ayat (1) :
Dalam ayat ini disebut 3 macam kewajiban dari pengawasan perburuhan.

Ayat (2) :
Berhubungan dengan pentingnya pekerjaan pengawasan perburuhan ini, maka
tiap-tiap tahun Menteri yang diwajibkan mengurus perburuhan, berwajib memberi
laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 2

Ayat (1) :

Menteri yang diserahi urusan perburuhan dan pegawai yang ditunjuk olehnya,
akan menetapkan pegawai-pegawai mana yang diberi kewajiban untuk
menjalankan pengawasan perburuhan.

Ayat (2) :

Supaya dapat melihat dan mendengar sendiri tentang keadaan perburuhan,


pegawai-pegawai tersebut dalam ayat (1) di atas harus dapat memasuki semua
tepat dimana dijalankan pekerjaan atau biasa dijalankan pekerjaan atau disangka
bahwa di situ dijalankan pekerjaan.
Dalam perkataan semua tempat itu termasuk juga tempat-tempat di mana
dilakukan pekerjaan oleh atau untuk suatu Jawaban Pemerintah.

Ayat (3) :

Di dalam arti kata Polisi negara termasuk kekuasaan tentara.

Pasal 3 dan 4

Dalam pasal-pasal ini disebut kewajiban majikan atau wakilnya dan buruh untuk
memberi segala bantuan agar pegawai-pegawai pengawasan perburuhan dapat
memperoleh pendapat yang pasti tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan
perburuhan pada umumnya dalam perusahaan itu.

Jikalau keterangan-keterangan itu hanya bisa terdapat dari buku-buku perusahaan,


maka atas permintaan pegawai-pegawai pengawasan perburuhan majikan atau wakilnya
wajib mengusahakan sedemikian sehingga keterangan-keterangan yang diperlukan tadi
bisa terdapat pegawai-pegawai dari pengawasan perburuhan. Kewajiban ini dianggap
oleh pemerintah sebagai hal yang sangat pentingnya dan tidak dapat dipisah-pisahkan
dari adanya undang-undang perburuhan. Oleh karena itu untuk menjaga supayakewajiban
itu akan dipenuhi sebenar-benarnya maka perlu diadakan aturan hukuman terhadap
adanya kewajiban itu (lihat pasal 6 ayat (4) dan (5).

Pasal 5

Aturan-aturan dalam pasal ini menjaga jangan sampai rahasia-rahasia dalam suatu
perusahaan yang dalam sifatnya perlu disimpan betul-betul oleh perusahaan tadi,dapat
terbuka oleh pegawai-pegawai yang mengadakan pemeriksaan dalam perusahaan tadi
yang berhubungan dengan pekerjaan , tentu mengetahui tentang rahasia-rahasia dalam
perusahaan tadi.

Pasal 6

Dalam Pasal ini disebut aturan-aturan hukuman. Ancaman hukuman agak berat
berhubung dengan pentingnya tujuan undang-undang ini.

Pasal 7,8,9

Cukup Jelas
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 107 TAHUN 2004

TENTANG

DEWAN PENGUPAHAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 98 Undang-Undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dipandang perlu
menetapkan Keputusan Presiden tentang Dewan Pengupahan.
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3989);
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4279);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG DEWAN PENGUPAHAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :

1. Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat tripartit;
2. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
3. Organisasi pengusaha adalah organisasi pengusaha yang ditunjuk oleh Kamar
Dagang dan Industri untuk menangani masalah ketenagakerjaan.
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

Dewan Pengupahan terdiri dari :

a. Dewan Pengupahan Nasional yang selanjutnya disebut Depenas;


b. Dewan Pengupahan Provinsi yang selanjutnya disebut Depeprov;
c. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Depekab/Depeko.

Pasal 3

1. Depenas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dibentuk oleh Presiden.


2. Depeprov sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dibentuk oleh Gubernur.
3. Depekab/Depeko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dibentuk oleh
Bupati/Walikota.

BAB II

DEWAN PENGUPAHAN NASIONAL

Bagian Pertama

Tugas

Pasal 4

Depenas bertugas memberikan saran, dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka
perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional.

Pasal 5

Dalam melaksanakan tugasnya, Depenas dapat bekerja sama baik dengan instansi
Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.

Bagian Kedua

Organisasi
Paragraf 1
Keanggotaan

Pasal 6

1. Keanggotaan Depenas, terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha,


Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Perguruan Tinggi, dan Pakar.
2. Keanggotaan Depenas dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha, dan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dengan komposisi perbandingan 2:1:1.
3. Keanggotaan Depenas dari unsur Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya
disesuaikan menurut kebutuhan.
4. Keseluruhan anggota Depenas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berjumlah
gasal.

Pasal 7

Susunan keanggotaan Depenas terdiri dari :

a. Ketua, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah;


b. Wakil Ketua, sebanyak 2 (dua) orang merangkap sebagai anggota masing-masing
dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi pengusaha;
c. Sekretaris, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah yang mewakili
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan;
d. Anggota.

Paragraf 2

Kesekretariatan

Pasal 8

1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya, Depenas dibantu oleh


Sekretariat.
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh salah satu
unit kerja yang dibentuk dan berada di lingkungan instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
3. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh Menteri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 3

Komisi

Pasal 9
1. Apabila dipandang perlu, Depenas dapat membentuk Komisi untuk melaksanakan
tugas tertentu.
2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Anggota
Depenas.
3. Ketentuan mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Ketua Depenas.

Bagian Ketiga

Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 10

Anggota Depenas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri

Pasal 11

Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depenas, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :

a. warga negara Indonesia


b. berpendidikan paling rendah lulus Strata-1 (S-1);
c. memiliki pengalaman aau pengetahuan bidang pengupahan dan pengembangan
Sumber Daya Manusia

Pasal 12

Anggota Depenas diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 13

1. Calon anggota Depenas dari unsur pemerintah sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 ayat (1) diusulkan oleh instansi terkait kepada Menteri
2. Calon anggota Depenas dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memenuhi
syarat keterwakilan untuk duduk dalam kelembagaan ketenagakerjaan yang
bersifat tripartit
3. Ketentuan mengenai keterwakilan unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh
sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri
4. Calon anggota Depenas dari unsur organisasi pengusaha ditunjuk dan disepakati
dari dan oleh organisasi pengusaha yang memenuhi syarat sesuai ketentuan yang
berlaku.
5. Calon anggota Depenas dari unsur Perguruan Tinggi dan Pakar yang ditunjuk
oleh Menteri.
6. Tata cara pengusulan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),ayat (2),
ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 14

Selain karena berakhirnya masa jabatan, anggota Depenas diberhentikan apabila yang
bersangkutan:

a. mengundurkan diri; atau


b. selama 6 (enam) bulan berturut-turut tidak dapat menjalankan tugasnya; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 15

Penggantian anggota Depenas yang diberhentikan dengan alasan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 14 diusulkan oleh Menteri kepada Presiden setelah menerima usulan dari
organisasi atau instansi yang bersangkutan

Pasal 16

1. Dalam hal anggota Depenas mengundurkan diri atas permintaan sendiri


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, permintaan disampaikan oleh
anggota yang bersangkutan kepada Menteri dengan tembusan kepada organisasi
atau instansi yang mengusulkan.
2. Organisasi atau instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengusulkan
penggantian anggota kepada Menteri untuk diajukan kepada Presiden.

Bagian Keempat

Tata Kerja

Pasal 17

1. Pembahasan rumusan saran dan pertimbangan di Depenas dilaksanakan melalui


tahapan sebagai berikut :

a. Unsur Pemerintah dan/atau unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/atau unsur


Organisasi Pengusaha dan/atau unsur Perguruan Tinggi/Pakar menyiapkan
bahan untuk dibahas dalam rapat Depenas.

b. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dituangkan dalam bentuk


pokok-pokok pikiran Depenas.

c. Pokok-pokok pikiran sebagaimana dimaksud dalam huruf b disampaikan kepada


Pemerintah dalam bentuk rekomendasi sebagai saran dan pertimbangan dalam
rangka perumusan kebijakan pengupahan.

2. Depenas bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 bulan


Pasal 18

Depenas menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugas sekurang-kurangnya 1


(satu) tahun sekali kepada Presiden melalui Menteri.

Pasal 19

Ketentuan mengenai tata kerja Depenas diatur lebih lanjut oleh Ketua Depenas.

Bagian Kelima

Pembiayaan

Pasal 20

Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Depenas dibebankan kepada
Anggaran Belanja Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

BAB III

DEWAN PENGUPAHAN PROVINSI

Bagian Pertama

Tugas

Pasal 21

Depeprov bertugas :

a. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka :


1) Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP).
2) Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum
Sektoral (UMS).
3) Penerapan sistem pengupahan di tingkat Provinsi.
b. Menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.

Pasal 22

Dalam melaksanakan tugasnya, Depeprov dapat bekerja sama baik dengan instansi
Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.

Bagian Kedua

Organisasi
Paragraf 1

Keanggotaan

Pasal 23

1. Keanggotaan Depeprov, terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha,


Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Perguruan Tinggi, dan Pakar.
2. Keanggotaan Depeprov dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha, dan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dengan komposisi perbandingan 2:1:1.
3. Keanggotaan Depeprov dari unsur Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya
disesuaikan menurut kebutuhan.
4. Keseluruhan anggota Depeprov sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) berjumlah
gasal.

Pasal 24

Susunan keanggotaan Depeprov terdiri dari :

a. Ketua, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah.


b. Wakil Ketua, merangkap sebagai anggota dari unsur Perguruan Tinggi/Pakar.
c. Sekretaris, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah yang mewakili
Satuan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
d. Anggota.

Paragraf 2

Kesekretariatan

Pasal 25

1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya, Depeprov dibantu oleh


Sekretariat.
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh Gubernur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 3

Komisi

Pasal 26

1. Apabila dipandang perlu, Depeprov dapat membentuk Komisi untuk


melaksanakan tugas tertentu.
2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Anggota
Depeprov.
3. Ketentuan mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Ketua Depeprov.

Bagian Ketiga

Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 27

Anggota Depeprov diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Pimpinan Satuan
Organisasi Perangkat Daerah Provinsi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

Pasal 28

Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depeprov, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :

a. Warga Negara Indonesia.


b. Berpendidikan paling rendah lulus Strata-1 (S-1).
c. Memiliki pengalaman atau pengetahuan bidang pengupahan dan pengembangan
Sumber Daya Manusia.

Pasal 29

Anggota Depeprov diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 30

1. Calon anggota Depeprov dari unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 23 ayat (1) diusulkan oleh Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah
Provinsi terkait kepada Gubernur.
2. Calon anggota Depeprov dari unsur serikat pekerja/serikat buruh ditunjuk oleh
Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memenuhi syarat keterwakilan untuk duduk
dalam kelembagaan ketenagakerjaan yang bersifat tripartit.
3. Ketentuan mengenai keterwakilan unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
4. Calon anggota Depeprov dari unsur organisasi pengusaha ditunjuk dan disepakati
dari dan oleh organisasi pengusaha yang memenuhi syarat sesuai ketentuan yang
berlaku.
5. Calon anggota Depeprov dari unsur Perguruan Tinggi dan Pakar ditunjuk oleh
Gubernur.
6. Tata cara pengusulan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut oleh Gubernur.

Pasal 31

Selain karena berakhirnya masa jabatan, anggota Depeprov diberhentikan apabila yang
bersangkutan :

a. mengundurkan diri; atau


b. selama 6 (enam) bulan berturut-turut tidak dapat menjalankan tugasnya; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 32

Penggantian anggota Depeprov yang diberhentikan dengan alasan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 31 diusulkan oleh Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kepada Gubernur setelah menerima
usulan dari organisasi atau instansi yang bersangkutan.

Pasal 33

1. Dalam hal anggota Depeprov mengundurkan diri atas permintaan sendiri


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a , permintaan disampaikan oleh
anggota yang bersangkutan kepada Gubernur dengan tembusan kepada organisasi
atau instansi yang mengusulkan.
2. Organisasi atau instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengusulkan
penggantian anggota kepada Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah
Provinsi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk diajukan
kepada Gubernur.

Bagian Keempat

Tata Kerja

Pasal 34

1. Pembahasan rumusan saran dan pertimbangan di Depeprov dilaksanakan melalui


tahapan sebagai berikut :
a. Unsur Pemerintah dan/atau unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/atau unsur
Organisasi Pengusaha dan/atau Unsur Perguruan Tinggi/Pakar menyiapkan
bahan untuk dibahas dalam rapat Depeprov.
b. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dituangkan dalam
bentuk pokok-pokok pikiran Depeprov.
c. Pokok-pokok pikiran sebagaimana dimaksud dalam huruf b disampaikan
kepada Pemerintah dalam bentuk rekomendasi sebagai saran dan
pertimbangan dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan.
2. Depeprov bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 bulan.

Pasal 35

Depeprov menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugas sekurang-kurangnya 1


(satu) tahun sekali kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri.

Pasal 36

Ketentuan mengenai tata kerja Depeprov diatur lebih lanjut oleh Ketua Depeprov.

Bagian Kelima

Pembiayaan

Pasal 37

Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Depeprov dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

BAB IV

DEWAN PENGUPAHAN KABUPATEN/KOTA

Bagian Pertama

Tugas

Pasal 38

Depekab/Depeko bertugas :

a. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati/Walikota dalam rangka :


1) pengusulan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan/atau Upah Minimum
Sektoral Kabupaten/Kota(UMSK);
2) penerapan sistem pengupahan di tingkat Kabupaten/Kota.
b. Menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.

Pasal 39

Dalam melaksanakan tugasnya, Depekab/Depeko dapat bekerja sama baik dengan


instansi Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.

Bagian Kedua
Organisasi

Paragraf 1

Keanggotaan

Pasal 40

1. Keanggotaan Depekab/Depeko, terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi


Pengusaha, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Perguruan Tinggi dan Pakar.
2. Keanggotaan Depekab/Depeko dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha, dan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan komposisi perbandingan 2:1:1.
3. Keanggotaan Depekab/Depeko dari unsur Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya
disesuaikan menurut kebutuhan.
4. Keseluruhan anggota Depekab/Depeko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berjumlah gasal.

Pasal 41

Susunan keanggotaan Depekab/Depeko terdiri dari :

a. Ketua, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah.


b. Wakil Ketua, merangkap sebagai anggota dari unsur perguruan tinggi/pakar;
c. Sekretaris, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah yang mewakili
Satuan Organisasi Perangkap Daerah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di
bidang di bidang ketenagakerjaan;
d. Anggota.

Paragraf 2

Kesekretariatan

Pasal 42

1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya, Depekab/Depeko dibantu


oleh Sekretariat.
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh Bupati/Walikota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 3

Komisi

Pasal 43
1. Apabila dipandang perlu, Depekab/Depeko dapat membentuk Komisi untuk
melaksanakan tugas tertentu.
2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Anggota
Depekab/Depeko.
3. Ketentuan mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Ketua
Depekab/Depeko.

Bagian Ketiga

Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 44

Anggota Depekab/Depeko diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul


Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 45

Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depekab/Depeko, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :

a. warga negara Indonesia.


b. berpendidikan paling rendah lulus Diploma-3 (D-3)
c. memiliki pengalaman atau pengetahuan di bidang pengupahan dan pengembangan
Sumber Daya manusia.

Pasal 46

Anggota Depekab/Depeko diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 47

1. Calon anggota Depekab/Depeko dari unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 40 ayat (1) diusulkan oleh Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat
Daerah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota.
2. Calon anggota Depkab/Depeko dari unsur serikat pekerja/serikat buruh ditunjuk
oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memenuhi syarat keterwakilan untuk
duduk dalam kelembagaan ketenagakerjaan yang bersifat tripartit.
3. Ketentuan mengenai keterwakilan unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
4. Calon anggota Depekab/Depeko dari unsur organisasi pengusaha ditunjuk dan
disepakati dari dan oleh organisasi pengusaha yang memenuhi syarat sesuai
ketentuan yang berlaku.
5. Calon anggota Depekab/Depeko dari unsur Perguruan Tinggi dan pakar ditunjuk
oleh Bupati/Walikota.
6. Tata cara pengusulan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut oleh Bupati/Walikota

Pasal 48

Selain karena berakhirnya masa jabatan, anggota Depekab/Depeko diberhentikan apabila


yang bersangkutan :

a. mengundurkan diri; atau


b. selama 6 (enam) bulan berturut-turut tidak dapat menjalankan tugasnya; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap

Pasal 49

Penggantian anggota Depekab/Depeko yang diberhentikan dengan alasan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 48 diusulkan oleh Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kepada
Bupati/Walikota setelah menerima usulan dari organisasi atau instansi yang
bersangkutan.

Pasal 50

1. Dalam hal anggota Depekab/Depeko mengundurkan diri atas permintaan sendiri


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a, permintaan disampaikan oleh
anggota yang bersangkutan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
organisasi atau instansi yang mengusulkan.
2. Organisasi atau Instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengusulkan
penggantian anggota kepada Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk
diajukan kepada Bupati/Walikota.

Bagian Keempat

Tata Kerja

Pasal 51

1. Pembahasan rumusan saran dan pertimbangan di Depekab/Depeko dilaksanakan


melalui tahapan sebagai berikut :
a. Unsur Pemerintah dan/atau unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/atau unsur
Organisasi Pengusaha dan/atau unsur Perguruan Tinggi/Pakar menyiapkan
bahan untuk dibahas dalam rapat Depekab/Depeko.
b. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dituangkan dalam
bentuk pokok-pokok Depekab/Depeko;
c. Pokok-pokok pikiran sebagaimana dimaksud dalam huruf b disampaikan
kepada Pemerintah dalam bentuk rekomendasi sebagai saran dan
pertimbangan dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan.
2. Depekab/Depeko bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga)
bulan.

Pasal 52

Depekab/Depeko menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugas sekurang-


kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Gubernur dan Menteri.

Pasal 53

Ketentuan mengenai tata kerja Depekab/Depeko diatur lebih lanjut oleh Ketua
Depekab/Depeko.

Bagian Kelima

Pembiayaan

Pasal 54

Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Depekab/Depeko dibebankan


kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 55

Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden Nomor 58


Tahun 1969 tentang Dewan Penelitian Pengupahan Nasional, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 56

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI

Plt. Kepala Biro Peraturan


Perundang-undangan Bidang
Kesejahteraan Rakyat dan
Aparatur Negara

Faried Utomo.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: PER.01/MEN/I/2009.

TENTANG

PEDOMAN PENGGUNAAN
METODA STATISTIKA KETENAGAKERJAAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan


Pemerintah Nomor 15 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh
Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan serta Pelaksanaan
Perencanaan Tenaga Kerja, perlu menetapkan Peraturan Menteri
tentang Pedoman Penggunaan Metoda Statistika Ketenagakerjaan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3683);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4273);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan
Penyusunan Serta Pelaksanaan Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 34);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);

6. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana


telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN
METODA STATISTIKA KETENAGAKERJAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Metoda statistika ketenagakerjaan adalah metoda yang
dipergunakan untuk pengumpulan, pengolahan, dan
penganalisaan serta sebagai system yang mengatur
keterkaitan antar klasifikasi dan karakteristik data dari jenis
informasi ketenagakerjaan.
2. Pengumpulan data dan Informasi ketenagakerjaan adalah
pencatatan peristiwa, keterangan dan karakteristik baik
sebagian maupun keseluruhan populasi yang berkaitan
dengan ketenagakerjaan.
3. Pengolahan data dan informasi ketenagakerjaan adalah
proses penataan dan penghitungan data dan informasi
ketenagakerjaan sesuai dengan tahapan dan kebutuhan yang
dapat dilakukan secara manual dan/atau elektronik.
4. Analisis data dan Informasi ketenagakerjaan adalah proses
penguraian data dan informasi ketenagakerjaan dari hasil
pengolahan data dan informasi ketenagakerjaan yang
memuat interpretasi dan kesimpulan.
5. Sensus ketenagakerjaan adalah cara pengumpulan data dan
informasi ketenagakerjaan yang dilakukan melalui
pencacahan semua unit populasi untuk memperoleh
karakteristik suatu populasi pada saat tertentu.
6. Survey ketenagakerjaan adalah cara pengumpulan data dan
informasi ketenagakerjaan yang dilakukan melalui
pencacahan sampel untuk memperkirakan karakteristik suatu
populasi pada saat tertentu.
7. Kompilasi produk administrasi adalah cara pengumpulan,
pengolahan, penyajian, dan analisis data yang didasarkan
pada catatan administrasi yang ada pada pemerintah dan/atau
masyarakat
8. Sample adalah sebagian unit populasi yang menjadi objek
pencacahan untuk memperkirakan karakteristik suatu
populasi.

Pasal 2

(1) Data dan informasi ketenagakerjaan yang dikumpulkan,


diolah, dan dianalisis meliputi data dan informasi :
a. Ketenagakerjaan umum;
b. Pelatihan dan produktivitas tenaga kerja;
c. Penempatan tenaga kerja;
d. Pengembangan dan perluasan kesempatan kerja; dan
e. Hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja.

(2) Pengumpulan, pengolahan, dan penganalisisan data dan


informasi ketenagakerjaan, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dengan menggunakan metoda statistika.

BAB II
PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN

Pasal 3

Pengumpulan data dan informasi ketenagakerjaan, dapat


menggunakan metoda statistika :
a. Sensus;
b. Survey;
c. Komplikasi produk administrasi; atau
d. Cara lain sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Pasal 4

Penggunaan metoda statistika dengan cara sensus, sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilakukan secara menyeluruh
terhadap populasi.

Pasal 5

(1) Penggunaan metoda statistika dengan cara survey,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, dilakukan
terhadap sebagian populasi melalui penarikan sampel
berdasarkan :
a. Peluang; dan
b. Penunjukkan.

(2) Penarikan sampel berdasarkan peluang, sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a, melalui penarikan sampel
secara acak :
a. Sederhana;
b. Sistematik;
c. Berstrata;
d. Berkelompok; atau
e. Bertingkat.

(3) Penarikan sampel berdasarkan penunjukan, sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, melalui cara penarikan
sampel berdasarkan penunjukan :
a. Dengan maksud tertentu;
b. Tidak direncanakan; atau
c. Berjatah.
Pasal 6

(1) Penggunaan metoda statistika dengan cara kompilasi produk


administrasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c,
dilakukan untuk data dan informasi yang bersifat :
a. Transaksional; atau
b. Pencatatan administrasi.

(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf a, adalah data dan informasi yang terjadi sewaktu-
waktu dan terus menerus.
(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, adalah data dan informasi yang dilakukan menurut
tugas pokok dan fungsi masing-masing unit kerja.

Pasal 7

Penggunaan metoda statistika, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


3 huruf d, dilakukan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi.

Pasal 8

Pengumpulan data dan informasi ketenagakerjaan, dapat


dilakukan antara lain melalui instrumen :
a. Angket atau daftar pertanyaan;
b. Wawancara ;
c. Pengamatan ;

Pasal 9

(1) Angket atau daftar pertanyaan, sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8 huruf a, adalah alat pengumpul data dalam
bentuk serangkaian pertanyaan tertulis, yang diajukan pada
responden untuk mendapat jawaban.
(2) Wawancara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b,
adalah tanya-jawab dengan respoden untuk mendapatkan
keterangan atau pendapatnya tentang suatu hal atau masalah.
(3) Pengamatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c,
adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang, dengan
maksud untuk merasakan dan memahami fenoma
berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui.

BAB III
PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN

Pasal 10

Pengolahan data dan informasi ketenagakerjaan hasil sensus,


survei, kompilasi produk administrasi, dan cara lain sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dilakukan dengan cara
manual dan/atau elektronik.
Pasal 11

Pengolahan dengan cara manual, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 10, dilakukan melalui validasai, identifikasi, klasifikasi,
kodifikasi, entri, tabulasi, editing, dan/atau penghitungan.

Pasal 12

Pengolahan data dan informasi ketenagakerjaan secara elektronik,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan dengan
menggunakan program aplikasi sesuai kebutuhan.

BAB IV
PENGANALISISAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Bagian Kesatu
Data dan Informasi Ketenagakerjaan Umum

Pasal 13

Penganalisisan data dan informasi ketenagakerjaan umum,


dilakukan antara lain dengan cara menghitung :
a. Tingkat partisipasi angkatan kerja;
b. Tingkat ketidakaktifan angkatan kerja.
c. Tingkat penganggur terbuka;
d. Kesempatan kerja;
e. Tingkat elastisika kesempatan kerja.

Pasal 14

Tingkat partisipasi angkatan kerja, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 13 huruf a, dilakukan dengan cara membandingkan antara
jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja.

Pasal 15

Tingkat ketidakaktifan angkatan kerja, sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 13 huruf b, dilakukan dengan cara membandingkan
jumlah Bukan Angkatan Kerja (BAK) dengan penduduk usia
kerja.

Pasal 16

Tingkat penganggur terbuka, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13 huruf c, dilakukan dengan cara membandingkan antara jumlah
pengangguran dengan jumlah angkatan kerja pada waktu tertentu.

Pasal 17

Tingkat kesempatan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13


huruf d, dilakukan dengan cara membandingkan penduduk yang
bekerja dengan jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja.
Pasal 18

Elastisitas kesempatan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13 e, dilakukan dengan cara membandingkan antara pertumbuhan
kesempatan kerja dengan pertumbuhan ekonomi.

Bagian Kedua
Data dan Informasi Pelatihan dan Produktivitas.

Pasal 19

Penganalisisan data dan informasi pelatihan dan produktivitas,


antara lain menghitung :
a. Kebutuhan pelatihan menurut lapangan usaha dan jenis
pekerjaan/jabatan;
b. Kebutuhan pelatihan calon tenaga kerja indonesia;
c. Kebutuhan pelatihan pencari kerja;
d. Kebutuhan pelatihan pekerja/buruh di perusahaan;
e. Produktivitas tenaga kerja.

Pasal 20

Kebutuhan pelatihan menurut lapangan usaha dan jenis


pekerjaan/jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a,
dilakukan dengan cara membandingkan beban kerja dengan
kapasitas kerja pada lapangan usaha atau jenis pekerjaan/jabatan.

Pasal 21

Kebutuhan pelatihan bagi calon tenaga kerja Indonesia,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah calon tenaga kerja Indonesia yang
memenuhi persyaratan dengan jumlah permintaan tenaga kerja
Indonesia.

Pasal 22

Kebutuhan pelatihan bagi pencari kerja, sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 19 huruf c, dilakukan dengan cara membandingkan
antara kebutuhan dengan pencari kerja yang tidak memenuhi
persyaratan.

Pasal 23

Kebutuhan pelatihan bagi pekerja/buruh di perusahaan,


sebagamana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d, dilakukan dengan
cara membandingkan kompetensi yang seharusnya dimiliki
dengan kompetensi yang sudah dimiliki oleh pekerja/buruh yang
tersedia.

Pasal 24

Produktivitas tenaga kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19


huruf e, dilakukan dengan cara membandingkan nilai tambah
suatu produk dengan jumlah tenaga kerja untuk menghasilkan
produk tersebut.

Bagian Ketiga
Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja

Pasal 25

Penganalisisan Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja,


antara lain menghitung :
a. Penciptaan kesempatan kerja;
b. Penempatan pencari kerja;
c. Penempatan TKI;
d. Penerimaan devisa dari TKI.

Pasal 26

Penciptaan kesempatan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


25 huruf a, dilakukan dengan cara membandingkan investasi
dengan perkiraan jumlah produksi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan produk.

Pasal 27

Penempatan pencari kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25


huruf b, dilakukan dengan cara membandingkan jumlah
penempatan pencari kerja yang tersedia dengan lowongan kerja
yang terisi.

Pasal 28

Penempatan TKI, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c,


dilakukan dengan cara membandingkan jumlah penempatan TKI
di luar negeri dengan jumlah permintaan TKI di luar negeri.

Pasal 29

Penerimaan devisa dari TKI, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


25 huruf d, dilakukan dengan cara membandingkan jumlah riil
pendapatan TKI dengan akumulasi pengeluaran TKI.

Bagian Keempat
Data dan Informasi Pengembangan dan Perluasan
Kesempatan Kerja

Pasal 30

Penganalisis Data dan Informasi Pengembangan dan Perluasan


Kesempatan Kerja, antara lain menghitung :
a. Kebutuhan wirausaha baru;
b. Kebutuhan padat karya;
c. Kebutuhan teknologi tepat guna;
d. Kebutuhan tenaga kerja pemuda mandiri profesional dan
kebutuhan tenaga kerja muda terdidik.

Pasal 31

Kebutuhan wirausaha baru, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


30 huruf a, dilakukan dengan cara membandingkan potensi usaha
dengan wirausaha yang ada.

Pasal 32

Kebutuhan padat karya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30


huruf b, dilakukan dengan cara membandingkan anggaran yang
tersedia dengan beban kerja.

Pasal 33

Kebutuhan teknologi tepat guna, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 30 huruf c, dilakukan dengan cara membandingkan
penggunaan dengan potensi sumber daya lokal yang tersedia.

Pasal 34

Kebutuhan tenaga kerja pemuda mandiri profesional dan


kebutuhan tenaga kerja muda terdidik, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 huruf d, dilakukan dengan cara membandingkan
usaha yang telah dirintis oleh pemuda dengan potensi dan peluang
pengembangan usaha.

Bagian Kelima
Data Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Pasal 35

Penganalisisan Data dan Informasi Hubungan Industrial dan


Jaminan Sosial Tenaga Kerja, antara lain menghitung :
a. Pengupahan;
b. Tingkat kerawanan hubungan industrial;
c. Tingkat partisipasi perusahaan dalam program Jamsostek;
d. Tingkat partisipasi pekerja/buruh dalam Serikat
Pekerja/Serikat Buruh;
e. Tingkat penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 36

Pengupahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a,


dilakukan dengan cara membandingkan upah minimum dengan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
Pasal 37

Tingkat kerawanan hubungan industrial, sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 35 huruf b, dilakukan dengan cara membandingkan
nilai-nilai indikator kerawanan hubungan industrial dengan nilai
standar hubungan industrial.

Pasal 38

Tingkat partisipasi perusahaan dalam program Jamsostek,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c, dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah perusahaan peserta Jamsostek
dengan jumlah perusahaan wajib Jamsostek.

Pasal 39

Tingkat partisipasi pekerja/buruh dalam Serikat Pekerja/Serikat


Buruh, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d, dilakukan
dengan cara membandingkan jumlah anggota Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dengan jumlah pekerja/buruh di perusahaan
yang memenuhi ketentuan.

Pasal 40

Tingkat penyelesaian perselisihan hubungan industrial,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah kasus yang diselesaikan dengan
jumlah kasus yang masuk dan sisa kasus.

Bagian Keenam
Data dan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan.

Pasal 41

Penganalisisan Data dan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan,


antara lain menghitung tingkat :
a. Kecelakaan kerja;
b. Partisipasi perusahaan dalam pelaksanaan wajib lapor
ketenagakerjaan;
c. Pelanggaran norma ketenagakerjaan;
d. Pelanggaran norma kesehatan dan keselamatan kerja;
e. Penindakan pelanggaran norma ketenagakerjaan;
f. Penindakan pelanggaran norma kesehatan dan keselamatan
kerja.
Pasal 42

Tingkat kecelakaan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41


huruf a, dilakukan dengan cara membandingkan jumlah kasus
kecelakaan kerja dengan jumlah pekerja/buruh.

Pasal 43

Tingkat partisipasi perusahaan dalam pelaksanaan wajib lapor


ketenagakerjaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b,
dilakukan dengan cara membandingkan jumlah perusahaan yang
terdaftar dan mendaftar ulang dengan jumlah perusahaan wajib
lapor.

Pasal 44

Tingkat pelanggaran norma ketenagakerjaan, sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 41 huruf c, dilakukan dengan cara
membandingkan jumlah kasus pelanggaran norma
ketenagakerjaan dengan jumlah norma ketenagakerjaan.

Pasal 45

Tingkat pelanggaran norma kesehatan dan keselamatan kerja,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf d, dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah kasus pelanggaran norma kesehatan
dan keselamatan kerja, dengan jumlah norma kesehatan dan
keselamatan kerja.

Pasal 46

Tingkat penindakan pelanggaran norma ketenagakerjaan,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf e, dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah kasus yang ditindak dengan jumlah
seluruh kasus dalam periode waktu tertentu.

Pasal 47

Tingkat penindakan pelanggaran norma kesehatan dan


keselamatan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf f,
dilakukan dengan cara membandingkan jumlah kasus yang
ditindak dengan jumlah kasus dalam periode waktu tertentu.

Bagian Ketujuh
Data dan Informasi dengan Teknik Lainnya.

Pasal 48

(1) Data dan Informasi Ketenagakerjaan dapat dilakukan dengan


metode lainnya, yaitu dengan menghitung :
a. Distribusi;
b. Rata-rata;
c. Regresi;
d. Korelasi;
e. Pertumbuhan, dan/atau
f. Proyeksi.

Pasal 49

Distribusi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a,


dilakukan dengan cara membandingkan sebaran nilai data dengan
jumlah nilai keseluruhan data secara proporsional.
Pasal 50

Rata-rata, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b,


dilakukan dengan cara membandingkan antara jumlah seluruh
nilai data dengan jumlah data.

Pasal 51

Regresi; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c, dilakukan


untuk melihat kecenderungan hubungan antara dua variabel atau
lebih.
Pasal 52

Korelasi; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf d,


dilakukan analisis untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan
antara dua variabel atau lebih.

Pasal 53

Pertumbuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf e,


dilakukan dengan cara membandingkan kondisi pada waktu
tertentu dengan waktu sebelumnya.

Pasal 54

Proyeksi. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf f,


dilakukan dengan cara memperkirakan kondisi yang akan datang
berdasarkan kondisi saat ini atau masa lalu.

Pasal 55

(1) Penguraian hasil analisis, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 52, dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif dan/atau kuantitatif.
(2) Metode deskriptif kualitatif, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan dengan cara pemaparan naratif
berdasarkan penilaian yang dilakukan menggunakan tolok
ukur tertentu.
(3) Metode deskriptif kuantitatif, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan dengan pemaparan angka-angka yang
dihasilkan dari pengolahan data.
BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 56

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 08 Januari 2009.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro hukum,

ttd

SUNARNO, SH, MH.


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

31 Maret 2009
Yth.
1. Para Gubernur
2. Para Bupati / Walikota
di seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE.114/MEN/SJ-HK/III/2009

TENTANG

HARI LIBUR BAGI PEKERJA / BURUH


PADA HARI PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM

Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan


Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Hari
Pemungutan Suara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2009 Sebagai Hari Libur
Nasional maka dipandang perlu memberikan penjelasan sebagai berikut :

1. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2009 ditetapkan bahwa hari
Kamis, tanggal 9 April 2009 sebagai hari libur nasional untuk pemungutan suara
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atau hari dan tanggal lain yang ditetapkan oleh
Komisi Pemilihan Umum untuk pemilihan umum lanjutan dan/atau susulan.

2. Dalam hal di suatu wilayah/daerah berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum


harus dilakukan pemilihan umum lanjutan dan / atau susulan, sebagaimana dimaksud
pada angka 1, bagi pekerja/buruh yang mempunyai hak pilih di wilayah/daerah tesebut
dinyatakan sebagai hari libur.

3. Dalam hal pekerja/buruh harus bekerja pada hari pemungutan suara, maka pengusaha
harus mengatur waktu kerja sedemikian rupa agar pekerja/buruh dapat menggunakan
hak pilihnya.
4. Pekerja/buruh yang bekerja pada hari pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada
angka 1, dan angka 2, berhak atas upah kerja lembur dan hak–hak lainnya yang biasa
diterima pekerja/buruh yang dipekerjakan pada hari libur resmi.

5. Sehubungan dengan angka 4 di atas, maka upah kerja lembur pada hari libur resmi
dihitung hanya pada saat pekerja/buruh melakukan pekerjaan.

Demikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

ttd

Dr. Ir. Erman Suparno, MBA, M.Si

Tembusan :

1. Presiden Republik Indonesia;


2. Wakil Presiden Republik Indonesia;
3. Menteri Kabinet Indonesia Bersatu;
4. Ketua Umum APINDO;
5. Para Pimpinan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : PER-04/MEN/II/2009.

TENTANG

PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA


NOMOR KEP-27/MEN/2000 TENTANG PROGRAM SANTUNAN PEKERJA
PERUSAHAAN JASA PENUNJANG PERTAMBANGAN
MINYAK DAN GAS BUMI.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa ketentuan perlindungan bagi pekerja/buruh dengan


Perjanjian Kerja Waktu Tertentu telah diatur didalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta
peraturan pelaksanaannya;
b. Bahwa ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor :
KEP 27/MEN/2000 tentang Program Santunan Pekerja
Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini,
sehingga perlu dicabut dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah
beberapa kali diubah, dan yang terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA NOMOR KEP-27/MEN/2000
TENTANG PROGRAM SANTUNAN PEKERJA
PERUSAHAAN JASA PENUNJANG PERTAMBANGAN
MINYAK DAN GAS BUMI.

Pasal 1

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : KEP-27/MEN/2000 tengang Program


Santunan Pekerja Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2

Bagi Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang saat
diterbitkannya Peraturan Menteri ini masih melaksanakan hubungan kerja dengan
perjanjian kerja waktu tertentu, maka ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
KEP-27/MEN/2000 tetap berlaku hingga berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, dan perusahaan tetap memberikan santunan pekerja/buruh sesuai ketentuan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-27/MEN/2000.

Pasal 3

Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang akan memberikan
santunan kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan hubungan kerja
perjanjian kerja waktu tertentu dapat mengaturnya di dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 4

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 20 Pebruari 2009.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, MSi.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

ttd

Sunarno, SH,MH.
NIP. 195807261985031002
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 02/MEN/II/2009.

TENTANG

PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN BEBERAPA


KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI MENGENAI
AKREDITASI, SERTIFIKASI, PEDOMAN KONVENSI, DAN KERANGKA
KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa dengan telah diundangkannya Peraturan Pemerintah


Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi
Profesi, maka tugas-tugas dalam melaksanakan sertifikasi
kompetensi kerja yang telah ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi yang semula tugas Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi menjadi tugas Badan Nasional
Sertifikasi Profesi;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu mencabut Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan beberapa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mengenai akreditasi, sertifikasi, pedoman
konvensi, dan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
2. Peratura Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4408);
3. Peratura Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem
Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4637);
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 31/P Tahun 2007.
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.231A/MEN/X/2005 tentang Pelaksanaan Sertifikasi
Kompetensi dan Pembinaan Lembaga Sertifikasi Profesi
(LSP).

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN BEBERAPA
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI MENGENAI AKREDITASI,
SERTIFIKASI, PEDOMAN KONVENSI, DAN KERANGKA
KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA.

Pasal 1

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Keputusan Menteri Tenaga


Kerja dan Transmigrasi :
a. Nomor KEP-157/MEN/I/1999 tentang Pembentukan Lembaga
Standardisasi dan Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja
Pariwisata Indonesia;
b. Nomor KEP-233/MEN/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Kelembagaan Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja Nasional;
c. Nomor KEP-234/MEN/2002 tentang Pedoman Konvensi
Penetapan Standard Sektoral;
d. Nomor KEP-70A/MEN/2003 tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia;
e. Nomor KEP-81A/MEN/2003 tentang Lembaga Uji
Kompetensi Independen Calon Tenaga Kerja Indonesia dalam
Kendali Alokasi;
f. Nomor KEP-157/MEN/2003 tentang Pembentukan Lembaga
Sertifikasi Profesi Bidang Pelaut Kapal Niaga dan Kapal
Perikanan Yang Belum Diatur Dalam STCW 1978
Amandemen 1995;
g. Nomor KEP-219/MEN/2003 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Teknisi Otomotif Indonesia;
h. Nomor KEP-220/MEN/2003 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Logam dan Mesin Indonesia;
i. Nomor KEP-221/MEN/2003 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Persemenan Indonesia;
j. Nomor KEP-96A/MEN/VI/2004 tentang Pedoman Penyiapan
dan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Profesi;
k. Nomor KEP-135/MEN/VIII/2004 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Pariwisata;
l. Nomor KEP-136/MEN/VIII/2004 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Ahli Teknik Laboratorium Kesehatan dan
Ahli Pengujian Pangan Indonesia;
m. Nomor KEP-137/MEN/2004 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Garmen Indonesia;
n. Nomor KEP-211/MEN/X/2004 tentang Pedoman Penerbitan
Sertifikat Kompetensi Kerja;
o. Nomor KEP-265/MEN/XI/2004 tentang Lembaga Sertifikasi
Kompetensi Calon Tenaga Kerja Indonesia;
p. Nomor KEP-75/MEN/IV/2005 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Maritim Indonesia;
q. Nomor KEP-76/MEN/IV/2005 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Sekuriti Indonesia;
r. Nomor KEP-77/MEN/IV/2005 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Lembaga Keuangan Mikro;
s. Nomor KEP-149/MEN/V/2005 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Telematika Indonesia;
t. Nomor KEP-150/MEN/V/2005 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Tata Laksana Rumah Tangga;

Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 2

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 6 Pebruari 2009.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, Msi.


Salinan sesuai dengan
aslinya
Kepala Biro Hukum

ttd

SUNARNO, SH, MH.


NIP. 730001630.
 
 
 
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 1 TAHUN 2009


NOMOR : SKB/13/M.PAN/8/2009
NOMOR : KEP.227/MEN/VIII/2009

TENTANG

HARI – HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas pemanfaatan hari-hari


kerja, hari-hari libur, dan cuti bersama dipandang perlu menata
pelaksanaan hari-hari libur nasional dan mengatur cuti bersama
tahun 2010;

b. Bahwa penataan hari-hari libur dan pengaturan cuti bersama tahun


2010 sebagaimana tersebut pada huruf a menjadi pedoman bagi
instansi pemerintah dan swasta sehingga dapat meningkatkan
efektivitas dan produktivitas kerja ;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada


huruf a dan huruf b di atas, perlu ditetapkan Keputusan Bersama
Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Hari-hari Libur
Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010;

Mengingat 1. Keputusan Presiden RI Nomor 03 Tahun 1983 tentang Perubahan


Atas Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-hari
Libur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden RI Nomor 10 Tahun 1971 ;

2. Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun


Baru Imlek ;

3. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,


Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2008;

4. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 331 Tahun 2002 tentang


Penetapan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional ;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :

KESATU : Hari-hari libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010 adalah
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya
Idul Adha bagi umat Islam, maka tanggal 1 Syawal 1431 H dan 10
Dzulhijjah 1431 H, ditetapkan kemudian dengan Keputusan Menteri
Agama.

KETIGA : Unit kerja/satuan organisasi yang berfungsi memberikan pelayanan


langsung kepada masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah yang
mencakup kepentingan masyarakat luas, seperti rumah sakit/puskesmas,
unit kerja yang memberikan pelayanan telekomunikasi, listrik, air minum,
pemadam kebakaran, keamanan dan ketertiban, perbankan,
perhubungan, perpajakan, bea cukai, dan unit kerja pelayanan lainnya
yang sejenis agar mengatur penugasan pegawai, karyawan, dan
pekerja/buruh pada hari-hari libur nasional dan cuti bersama yang
ditetapkan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

KEEMPAT : Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU


mengurangi hak cuti tahunan pegawai, karyawan dan pekerja/buruh
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang
berlaku pada masing-masing instansi/lembaga/perusahaan.

KELIMA : Pelaksanaan cuti bersama di kalangan dunia usaha sebagaimana


dimaksud pada diktum KESATU diatur oleh lembaga atau perusahaan
yang bersangkutan

KEENAM : Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Agustus 2009

MENTERI AGAMA MENTERI TENAGA KERJA MENTERI NEGARA


DAN TRANSMIGRASI PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA

MUHAMMAD M. BASYUNI ERMAN SUPARNO TAUFIQ EFFENDI


LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 1 TAHUN 2009


NOMOR : SKB/13/M.PAN/8/2009
NOMOR : KEP.227/MEN/VIII/2009

TENTANG
HARI – HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2010

A. HARI _HARI LIBUR TAHUN 2010

No Tanggal Hari Keterangan


1. 1 Januari Jumat Tahun Baru Masehi
2. 14 Februari Minggu Tahun Baru Imlek 2561
3. 26 Februari Jumat Maulid Nabi Muhammad SAW
4. 16 Maret Selasa Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1932
5. 2 April Jumat Wafat Yesus Kristus
6. 13 Mei Kamis Kenaikan Yesus Kristus
7. 28 Mei Jumat Hari Raya Waisak Tahun 2554
8. 10 Juli Sabtu Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW
9. 17 Agustus Selasa Hari Kemerdekaan RI
10. 10 – 11 Jumat – Sabtu Idul Fitri 1 Syawal 1431 Hijriyah
September
11. 17 November Rabu Idul Adha 1431 Hijriyah
12. 7 Desember Selasa Tahun Baru 1432 Hijryah
13. 25 Desember Sabtu Hari Raya Natal

B. CUTI BERSAMA TAHUN 2010

Tanggal Hari Keterangan


9 September Kamis Cuti Bersama Idul Fitri
13 September Senin Cuti Bersama Idul Fitri
24 Desember Jumat Cuti Bersama Natal

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Agustus 2009

MENTERI AGAMA MENTERI TENAGA KERJA MENTERI NEGARA


DAN TRANSMIGRASI PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA

MUHAMMAD M. BASYUNI ERMAN SUPARNO TAUFIQ EFFENDI


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA

NOMOR : PER-01/MEN/1999
Tentang
UPAH MINIMUM
Menimbang a. bahwa dalam rangka upaya mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja,perlu
ditetapkan upah minimum dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan
pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktivitas dan kemajuan perusahaan
serta perkembangan perekonomian pada umumnya;
b. bahwa untuk mewujudkan penetapan upah minimum yang lebih realistis sesuai
dengan kemampuan perusahaan secara sektoral,maka disamping penetapan Upah
Minimum Regioanal juga dilakukan penetapan Upah Minimum Sektoral Regional;
c. bahwa sehunngan dengan huruf a dan b,Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-
03/MEN/1997 tentang Upah Minimum Regional, dipandang sudah tidak sesuai
lagi,sehingga perlu diadakan penyempurnaan.
d. Bahwa untuk itu,perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Mengingat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Titel 7A pasal 1601.
2 Undang-undang No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang
Kerja Tahun 1946 No.12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran
Negara No.2 Tahun 1951).
3 Undang-undang Nomor 3 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari republik Indonesia
untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Tahun 1951 Nomor 4 ).
4 Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Pengupahan yang sama bagi buruh
laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (Lembaran Negara Nomor
171 Tahun 1957 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2153).
5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1961 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No.106
tentang Istirahat Mingguan.
6 Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912).
7 Undang-undang Nomor 5 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,Tambahan Lembaran Negara Nomor
3037).
8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1981 tentang Wajib lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan (Lembaran Negara tahun 1981 Nomor 39,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3201).
9 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (Lembaran
Negara Tahun 1981 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3190).
10 Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1969 tentang Pembentukan Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional.
11 Keputusan Presiden RI No. 122/M/Tahun 1995 tentang Kabinet Reformasi
Pembangunan.
12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-06/MEN/1985 tentang Perlindungan
Pekerja Harian Lepas.
13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No Per-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja
Waktu Tertentu.
14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-06/MEN/1993 tentang Waktu Kerja 5(lima)
Hari Seminggu 8(delapan)Jam Sehari.
15 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per.05/MEN/1998 tentang Pendaftaran
Organisasi Pekerja.
Memperhatikan Surat Dewan Penelitian Pengupahan Nasional No.42/DPPN/1999 tanggal 11 Januari
1999 perihal Saran dan Pertimbangan Penetapan Upah Minimum.

MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERATURAN MENTERI T E N A G A K E R J A TENTANG UPAH MINIMUM

BAB I
PENGERTIAN
PASAL 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1 Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok
termasuk tunjangan tetap.
2 Upah Minimum Regional Tingkat 1 untuk selanjutnya disebut UMR Tk.1 adalah
upah minimum yang berlaku di satu propinsi.
3 Upah Minimum Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMR Tk.II adalah
upah minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/Kotamadya atau menurut
wilayah pembangunan ekonomi daerah atau karena kekhususan wilayah
tertentu.
4 Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMSR
Tk.I adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu propinsi.
5 Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMSR
Tk.II adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di daerah
Kabupaten/Kotamadya atau menurut wilayah pembangunan ekonomi daerah
atau karena kekhususan wilayah tertentu.
6 Sektoral adalah kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut
klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI).
7 Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja para
pengusaha dengan menerima upah.
8 Pengusaha adalah :
a Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagai dimaksud dalam huruf (a)dan(b) yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9 Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang
mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak milik
orang perseorangan,persekutuan atau badan hukum,baik milik swasta maupun
milik negara.
10 Serikat pekerja adalah organisasi pekerja atas dasar lapangan pekerjaan yang
bersifat mandiri,demokratis,bebas,dan tanggung jawab yang di bentuk
dari,oleh dan untuk pekerja,untuk memperjuangkan hak dan kepentingan
kaum pekerja dan keluarganya.
11 Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
12 Kesepakatan Kerja Bersama adalah kesepakatan hasil perundingan yang di
selenggarakan oleh serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja dengan
pengusaha atau gabungan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja,untuk
mengatur dan melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
13 Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha
secara lisan dan/atau tertulis,baik,untuk waktu tertentu maupun untuk waktu
yang tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja,hak dan kewajiban para
pihak.
14 Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

Pasal 2
Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang berbentuk perusahaan diperlakukan
sama dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan pekerja.

Pasal 3
Upah Minimum terdiri dari UMR Tk.1,UMR Tk.II, UMSR,Tk.1 dan UMSR Tk.II.

BAB II
DASAR DAN WEWENANG PENETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 4
(1). Menteri menetapkan besarnya upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3.
(2). Dalam satu propinsi ditetapkan UMR Tk.1
(3). Selain UMR Tk. 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan UMR
Tk.II danatau UMSR Tk.II.
(4). Dalam hal di seluruh daerah Kabupaten/Kotamadya dalam satu propinsi sudah
ada penetapan UMR Tk.II ,ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),tidak berlaku.
(5). Besarnya upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan
peninjauan selambat-lambatnya 2(dua) tahun sekali.
(6). Ketetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan selambat-
lambatnya 40(empat puluh) hari sebelum tanggal berlakunya Upah Minimum.

Pasal 5
Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ditetepkan:
a. UMSR Tk.1 harus lebih besar sekurang-kurangnya 5%(lima persen) dari UMR
Tk.1
b. UMSR TK.II harus lebih besar sekurang-kurangnya 5%(lima persen) dari UMR
Tk.II.

Pasal 6
(1). UMR Tk.1 dan UMR Tk.II ditetapkan dengan mempertimbangkan :
a. kebutuhan
b. indeks harga konsumen(IHK);
c. kemampuan,perkembangan dan kelangsungan perusahaan;
d. upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah ;
e. kondisi pasar kerja;
f. tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.
(2) UMSR Tk.1 dan UMSR Tk.II ditetapkan berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan mempertimbangkan kemampuan perusahaan
secara sektoral.

Pasal 7
(1). Upah Minimum wajib dibayar dengan upah bulanan kepada pekerja
(2) Berdasarkan kesepakatan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha
upah dapat dibayarkan mingguan atau 2 mingguan dengan ketentuan
perhitungan upah didasarkan pada upah bulanan .

BAB III
TATA CARA PENETAPAN UPAH MINIMUM
Bagian Kesatu
Upah Minimum Regional
Pasal 8
(1). Usulan penetapan UMR Tk.1 dan UMR Tk.II dirumusakan oleh Komisi Penelitian
Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.
(2). Dalam merumuskan usulan.Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial
Dewan Ketenagakerjaan Daerah dapat berkonsultasi dengan organisasi
pengusaha,serikat pekerja dan instansi terkait ditingkat daerah.
(3). Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri
melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setelah memperoleh
rekomendasi persetujuan Gubernur Kepala Daerah tingkat 1.
(4). Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 menolak memberikan
rekomendasi persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) usulan tersebut
dikembalikan kepada Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan
Ketenagakerjaan Daerah disertai alasan penolakan untuk dikaji dan diusulkan
kembali.
(5). Berdasarkan usulan sebagaimana pada ayat (3),Menteri menetapkan upah
minimum setelah mendengar saran dan pertimbangan Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional.
(6). Dalam memberikan saran dan pertimbangan,Dewan Penelitian Pengupahan
Nasional dapat berkonsultasi dengan organisasi pengusaha,serikat pekerja dan
instansi terkait ditingkat nasional.

Pasal 9
Menteri dapat menetapkan UMR Tk.I atau UMR Tk.II berbeda dari usulan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 setelah mendengarkan saran dan
pertimbangan Dewan Penelitian Pengupahan Nasional.
Bagian Kedua
Upah Minimum Sektoral Regional
Pasal 10
(1). Untuk menetapkan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II,Komisi Penelitian
Pengupahan dan jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah,mengadakan
penelitian serta menghimpun data dan informasi mengenai:
(a). homogeneitas perusahaan;
(b). jumlah perusahaan;
(c). jumlah tenaga kerja;
(d). devisa yang dihasilkan;
(e). nilai tambah yang dihasilkan;
(f). kemampuan perusahaan;
(g). asosiasi perusahaan;
(h). seikat pekerja terkait;
(2). Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan
Daerah menentukan sector dan sub sector unggulan yang selanjutnya
disampaikan kepada masing-masing asosiasi perusahaan dan serikat pekerja.

Pasal 11
Usulan penetapan UMSR Tk.I dan UMSR Tk.II dirundingkan dan disepakati oleh
(1).
asosiasi perusahaan dan serikat pekerja.
Dalam hal sektor atau sub sektor belum mempunyai asosiasi perusahaan di
(2). sektor atau sub sektor yang bersangkutan bersama APINDO dengan serikat
pekerja terkait.
Dalam hal sektor atau sub sektor belum mempunyai asosiasi perusahaan dan
serikat pekerja,perundingan dan kesepakatan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II
(3).
dilakukan oleh APINDO dengan gabungan serikat pekerja yang terkait dengan
sektor atau sub sektor.
Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),(2) dan (3)dimintakan
(4). rekomendasi kepada Gubernur melalui Komisi Penelitian pengupahan dan
Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.
Kesepakatan yang telah memperoleh rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
(5). ayat (4) , disampaikan kepada Menteri melalui Kantor Wilayah Departemen
Tenaga Kerja setempat untuk penetapan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II .

Pasal 12
Asosiasi perusahaan dan serikat pekerja di luar sektor atau sub sektor yang
telah ditentukan oleh Komisi dapat mengajukan usulan penetapan UMSR Tk.I
atau UMSR Tk.II.

BAB IV
PELAKSANAAN KETETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 13
Perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari UMR Tk.I atau UMR Tk.II
(1).
atau UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II.
Dalam hal di daerah sudah ada penetapan UMR Tk.II perusahaan dilarang
(2).
membayar upah lebih rendah dari UMR Tk.II.
Dalam hal di suatu sektor uasaha telah ada penetapan UMSR Tk. II dan atau
(3). UMSR Tk.II perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari UMSR Tk.I
atau UMSR Tk.II tersebut.
Pasal 14
Bagi pekerja yang berstatus tetap, tidak tetap dan dalam masa
(1). percobaan,upah diberikan oleh pengusaha serendah-rendahnya sebesar upah
minimum.
Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang
(2).
dari 1(satun) tatun.
Peninjauan besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1(satu)
(3). tahun,dilakukan atas kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja
dengan pengusaha.

Pasal 15
Bagi pekerja dengan sistim kerja borongan atau berdasarkan satuan hasil yang
(1). dilaksanakan 1 (satu) bulan atau lebih,upah rata-rata sebulan serendah-
rendahnya sebesar Upah Minimum di perusahaan yang bersangkutan.
Upah pekerja harian lepas,ditetapkan secara upah bulanan yang dibayarkan
(2).
berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah sehari:
bagi perusahaan dengan sistim waktu kerja 6(enam) hari dalam seminggu,upah
a.
bulanan dibagi 25(dua puluh lima).
bagi perusahaan dengan sistim waktu kerja 5(lima) hari dalam seminggu,upah
b.
bulanan dibagi 21 (dua puluh satu ).

Pasal 16
Bagi perusahaan yang mencakup lebih dari satu sektor atau sub sektor,maka
(1).
upah yang di berlakukan sesuai dengan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II.
Dalam hal satu perusahan mencakup beberapa saktor atau sub sektor yang satu
lebih belum ada penetapan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II untuk sektor
(2).
tersebut diberlakukan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II tertinggi diperusahaan yang
bersangkutan.
Dalam hal perusahaan untuk menjalankan usahanya memerlukan pekerjaan
(3). jasa penunjang yang belum terdapat penetapan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II
tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 17
Bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum
yang berlaku,pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah.

Pasal 18
Peninjauan besarnya upah bagi pekerja yang telah menerima upah lebih tinggi
dari upah minimum yang berlaku,dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Perjanjian Kerja .Peraturan Perusahaan,atau Kesepakatan Kerja
Bersama.

Pasal 19
Dengan kenaikan upah minimum,para pekerja harus memelihara prestasi kerja
(1). sehingga tidak lebih rendah dari prestasi kerja sehingga tidak lebih rendah dari
prestasi kerja sebelum kenaikan upah.
Ukuran prestasi kerja untuk masing-masing perusahaan dirumuskan bersama
(2). oleh pengusaha dan pekerja atau Lembaga Kerjasama Bipartit perusahaan yang
bersangkutan.
Dalam hal tingkat prestasi kerja tidak sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),pengusaha dapat mengambil tindakan kepada pekerja yang bersangkutan
(3).
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,Perjanjian
Kerja,Peraturan Perusahaan,atau Kesepakatan Kerja Bersama.

BAB V
TATA CARA PENANGGUHAN
Pasal 20
Pengusaha yang tidak mampu melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
(1).
dalam pasal 4,dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimanadimaksud
(2).
pada ayat (1) diajukan kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.

Pasal 21
Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1)
didasarkan atas kesepakatan tertulis antara serikat pekerja yang terdaftar
pada Departemen Tenaga Kerja dan didukung oleh mayoritas pekerja di
(1). perusahaan yang bersangkutan dengan pengusaha,atau kesepakatan antara
pengusaha dengan pekerja yang mewakili lebih dari 50% pekerja penerima
upah minimum bagi perusahaan yang belum ada serikat pekerja,disertai
dengan:
a. salinan kesepakatan bersama;
b. salinan akte pendirian perusahaan;
laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca,perhitungan rugi/laba
c.
beserta penjelasan-penjelasan untuk 2(dua) tahun terakhir;
d. perkembangan produksi dan pemasaran selama 2(dua) tahun terakhir;
e. data upah menurut jabatan pekerja;
jumlah pekerja seluruhnya dan jumlah pekerja yang dimohonkan penangguhan
f.
pelaksanaan upah minimum;
surat pernyataan kesediaan perusahaan untuk melaksanakan upah minimum
g.
yang baru setelah berakhirnya waktu penangguhan.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 91 Menteri atau
Pejabat yang ditunjuk,dapat meminta Akuntan Publik untuk memeriksa
(2).
keadaan keuangan guna pembuktian ketidak mampuan perusahaan tersebut
atas biaya perusahan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b,huruf c dan ayat 2 tidak
(3). diwajibkan bagi perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sampai dengan
100(seratus) orang.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Menteri atau
(4). Pejabat yang ditunjuk menetapkan penolakkan atau persetujuan penangguhan
pelaksanaan upah minimum.
(5). Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 2 adalah:
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
a. Ketenagakerjaan untuk perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja 500
(lima ratus) orang atau lebih.
Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat untuk perusahaan
b. yang memperkerjakan tenaga kerja 101 (sertaus satu) sampai dengan 500(lima
ratus) orang;
Kantor Departemen Tenaga Kerja/Kantor Dinas Tenaga Kerja setempat untuk
c. perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sampai dengan 100(seratus)
orang.
Persetujuan penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang
(6). ditetapkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (5),berlaku untuk waktu paling lama 1(satu) tahun.

Pasal 22
Persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimana dimaksud
(1).
dalam pasal 21 ayat (4) diberikan kepada pengusaha dalam bentuk:
membayar upah terendah,tetap sesuai ketetapan upah minimum yang lama
a.
atau
b. membayar lebih rendah dari upah minimum yang baru atau
c. menangguhkan pembayaran upah minimum yang baru secara bertahap
Besarnya UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II,selama penangguhan tidak boleh lebih
(2).
rendah dari UMR Tk.I atau Tk.II yang berlaku.
Bagi perusahaan yang diberikan penangguhan sebagaimana dimaksud pada
(3). ayat(1) dan (2),pengusaha tidak diwajibkan membayar kekurangan upah
selama jangka waktu pelaksanaan penangguhan upah minimum.
Pasal 23
Permohonan penangguhan upah minimum diajukan oleh pengusaha paling lama
(1).
10 (sepuluh) hari sebelum berlakunya ketetapkan upah minimum.
Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh
(2). pengusaha,diberikan dalam jangka waktu paling lama 1(satu) bulan terhitung
sejak diterima secara lengkap permohonan penangguhan upah minimum.
Apabila waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) telah
terlampaui dan belum ada keputusan dari pejabat sebagaimana dimaksud
(3). dalam pasal 21 ayat (4) dan(5),permohonan penangguhan yang telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1)
dianggap telah disetujui.
Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian
(4). perusahaan yang bersangkutan dapat membayar upah yang biasa diterima
pekerja.
Dalam hal permohonan penanggulangan ditolak,upah yang diberikan pengusaha
(5). kepada pekerja serendah-rendahnya sama dengan upah minimum yang berlaku
terhitunh tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru.

BAB VI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 24
Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ini,rekomendasi Gubernur yang
belum sesuai dengan ketentuan pasal 5 tetap berlaku untuk penetapan UMSR
Tk.I dan atau UMSR Tk.II tahun 1999.

BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 25
Berdasarkan pasal 17 undang-undang No.14 tahun 1969 pengusaha yang
melanggar ketentuan pasal 7 dan pasal 13 atau tidak memenuhi pasal 14 ayat
(1).
(1) dan (2) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3(tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000;(seratus ribu rupiah).
Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),hakim dapat
(2).
menjatuhkan putusan membayar upah pekerja.

BAB VIII
PENUTUP

Pasal 26
Selain dari pegawai penyidik pada umumnya,pegawai pengawas perburuhan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.3 tahun 1951 tentang
Pernyataan berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948
No.23 berwenang melakukan pengawasan dan penyidaikan atas pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 27
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini,maka Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No.Per.03/Men/1997 tentang Upah Minimum Regional,dan Keputusan
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan No.Kep.16/BW/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Upah
minimum Regional bagi Perusahaan Padat Karya tertentu dan Perusahaan Kecil
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 28
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal :12 Januari 1999
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
FAHMI IDRIS
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR :PER.21/MEN/X/2007.

TENTANG

TATA CARA PENETAPAN


STANDARD KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA.

Menimbang : a. Bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


nomor KEP-227/MEN/2003 tentang Tata Cara Penetapan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP-69/MEN/V/2004 sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan kebutuhan penetapan standar
kompetensi kerja nasional Indonesia;
b. Bahwa tata cara penetapan standar kompetensi kerja nasional
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a,merupakan
pelaksanaan Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu diatur tata cara penetapan
standar kompetensi kerja nasional Indonesia dengan Peraturan
Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
nomor 4279);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan
nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4297);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem
Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2006 Nomor 67,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2007;
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Keputusan
Presiden nomor 31/P Tahun 2007;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG TATA CARA PENETAPAN
STANDARD KOMPETENSI KERJA NASIONAL
INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yg
mencakup aspek pengetahuan,keterampilan dan sikap kerja
yang sesuai dengan standard yang ditetapkan.
2. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya
disingkat KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi
kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang
pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka
pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur
pekerjaan di berbagai sector.
3. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang
selanjutnya disingkat SKKNI adalah rumusan kemampuan
kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan
dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan
pelaksanaan tugas dan syarat yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Rancangan Standar Kompetensi Nasional Indonesia yang
selanjutnya disingkat RSKKNI adalah rancangan SKKNI yang
disusun dan disetujui oleh para pemangku kepentingan untuk
digunakan sebagai bahan pra konvensi dan konvensi.
5. Lapangan Usaha adalah bidang kegiatan usaha di berbagai
sektor ekonomi yang terkait dengan produksi barang ataupun
jasa, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
6. Profesi adalah bidang pekerjaan yang untuk melaksanakannya
diperlukan kompetensi kerja tertentu,baik jenis maupun
kualifikasinya.
7. Pelatihan Kerja Berbasis Kompetensi adalah pelatihan kerja
yang menitikberatkan pada pengusaan kemampuan kerja yang
mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan
standar kompetensi yang ditetapkan dan persyaratan di tempat
kerja.
8. Penetapan SKKNI adalah keseluruhan proses kegiatan dalam
rangka penetapan RSKKNI menjadi SKKNI oleh Menteri.
9. Instansi Teknis Pembina Sektor adalah Departemen,Kantor
Menteri Negara atau Lembaga Pemerintah Non Departemen
yang melakukan fungsi pembinaan terhadap sektor yang
bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
10 Regional Model Competency Standart yang selanjutnya
disingkat RMCS adalah suatu model penyusunan standar
kompetensi yang menggunakan pendekatan proses kerja untuk
menghasilkan barang dan jasa di industri yang telah disepakati
oleh Negara-negara Asia Pasifik.
11. Pembakuan Standar Kompetensi adalah proses untuk
memperoleh kesepakatan atas isi rumusan standar kompetensi
kerja oleh pihak-pihak yang berkepentingan melalui konvensi.
12. Konvensi RSKKNI adalah forum dialog para pemangku
kepentingan untuk mencapai kesepakatan dan consensus
tentang pembakuan RSKKNI sektor, subsektor dan bidang
profesi tertentu.
13. Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya disingkat
BNSP adalah lembaga independen yang bertugas
melaksanakan sertifikasi kompetensi.
14. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung
jawab di bidang pelatihan dan produktivitas di lingkungan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
15. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Tata cara penetapan SKKNI bertujuan untuk memberikan acuan


dalam perencanaan, penyusunan, pembakuan RSKKNIdan
penetapan SKKNI.

Pasal 3

Tahapan penetapan SKKNI meliputi :


a. Perencanaan penyusunan RSKKNI ;
b. Penyusunan RSKKNI;
c. Pembakuan RSKKNI;
d. Penetapan SKKNI ;

BAB II
PERENCANAAN PENYUSUNAN RSKKNI

Pasal 4

(1). Instansi teknis Pembina sector menyusun rencana induk


penyusunan RSKKNI di masing-masing sektor.
(2). Perencanaan penyusunan RSKKNI diprakarsai oleh instansi
teknis Pembina sector, asosiasi profesi, pakar , pratiksi,asosiasi
perusahaan/industri dan/atau pemangku kepentingan lainnya
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Dalam hal perencanaan penyusunan RSKKNI diprakarsai oleh
instansi teknis Pembina sektor, maka Tim penyusun RSKKNI
terlebih dahulu melaporkan pada instansi teknis Pembina
sektor untuk mendapatkan persetujuan.

BAB III
PENYUSUNAN RSKKNI

Pasal 5

(1). Penyusunan RSKKNI dilakukan pada bidang pekerjaan yang


belum memiliki penetapan SKKNI.
(2). Penyusunan RSKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan pola RMCS yang mengacu pada kebutuhan
lapangan usaha.
(3). Penyusunan RSKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurang nya memuat :
a. Sektor, sub.sektor, atau istilah yang digunakan dalam
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI);
b. Bidang, sub bidang kerja dan/ atau profesi;
c. Jenjang kualifikasi menurut bidang profesi dan/atau
pekerjan;
d. Unit kompetensi dan uraian unit kompetensi.
(4). Format penyusunan RSKKNI mengacu pada Lampiran
Peraturan Menteri ini.

Pasal 6

Tahapan penyusunan RSKKNI dimulai dari :


a. Pembentukan komite RSKKNI;
b. Pembentukan tim penyusun RSKKNI;
c. Penyusunan draft RSKKNI;
d. Pembahasan draft RSKKNI melalui pra konvensi;
e. Vertifikasi draft RSKKNI hasil pra konvensi;
f. Konvensi dalam rangka pembakuan RSKKNI.

Pasal 7

(1). Pembentukan komite RSKKNI sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 huruf a, dilakukan oleh pejabat Eselon I pada instansi
teknis pembina sektor.
(2). Keanggotaan komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas unsur instansi teknis pembina sektor, Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi,BNSP, asosiasi profesi,
industri terkait, pakar, praktisi dan tenaga ahli sesuai bidang
profesinya.
(3. Susunan organisasi komite sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdiri atas pengarah, nara sumber, ketua,wakil ketua,
sekretaris dan anggota yang jumlahnya sesuai dengan
kebutuhan.
(4). Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai
tugas memberikan arahan dan menentukan prioritas bidang
kerja dan / atau profesi yang akan disusun standar kompetensi
kerjanya dan bertanggung jawab kepada pejabat Eselon I pada
instansi teknis pembina sektor.

Pasal 8

(1). Dalam melaksanakan tugasnya, komite sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 ayat (4), dapat membentuk tim menyusun draft
RSKKNI yang keanggotaan nya terdiri atas unsur asosiasi
profesi, pakar, praktisi, industri, dan instansi teknis pembina
sektor.
(2). Susunan organisasi tim penyusun terdiri atas ketua,wakil
ketua, sekretaris dan anggota yang jumlahnya sesuai dengan
kebutuhan.
(3). Tim penyusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas melakukan penyusunan draft RSKKNI.

Pasal 9

(1) Pembahasan draft RSKKNI sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 huruf 6 huruf d, dilaksanakan melalui pra konvensi
(2) Penyelenggaraan pra konvensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh komite pada instansi teknis
pembina sektor dengan melibatkan Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, BNSP, asosiasi profesi, pakar dan praktisi.
(3) Penyelenggaraan pra konvensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan paling banyak 3(tiga) kali.
(4) Hasil pra kovensi sebagaiamana dimaksud pada ayat (3)
dipergunakan sebagai bahan konvensi.

Pasal 10

(1). Hasil pra konvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat


(4) dilakukan verifikasi draft RSKKNI oleh BNSP.
(2). Verifikasi draft RSKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam rangka kesesuaian draft RSKKNI yang
terkait dengan sertifikasi kompetensi kerja.
(3). Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
paling lama 14 (empat belas hari) hari kerja sejak diterimanya
draft RSKKNI dari instansi teknis pembina sektor.

Pasal 11

Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2)


dipergunakan sebagai bahan konvensi dalam rangka pembakuan
RSKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f.

BAB IV
PEMBAKUAN RSKKNI

Pasal 12

(1) Pembakuan RSKKNI dilakukan melalaui penyelenggaraan


forum konvensi yang dikoordinasikan oleh komite RSKKNI
pada instansi teknis pembina sektor.
(2) Penyelenggaraan forum konvensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) melibatkan asosiasi profesi,pakar,praktisi,lembaga
diklat, industri, pemerhati profesi, Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dan BNSP.
(3) Forum konvensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menghasilkan bakuan RSKKNI yang telah disetujui oleh
seluruh pemangku kepentingan untuk ditetapkan menjadi
SKKNI.
Pasal 13

(1). Dalam hal komite RSKKNI sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 7 belum terbentuk,penyusunan dan pembakuan RSKKNI
dapat dilakukan oleh panitia teknis yang dibentuk oleh pejabat
Eselon I pada instansi teknis pembina sektor.
(2). Panitia teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas dan tanggung jawab sama dengan Komite
RSKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

BAB V
PENETAPAN SKKNI

Pasal 14

(1). RSKKNI yang telah dibakukan melalui konvensi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) diusulkan oleh instansi
teknis pembina sektor kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal untuk ditetapkan menjadi SKKNI.
(2). Usulan penetapan SKKNI sebagimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan berita acara konvensi.
(3). Penetapan RSKKNI menjadi SKKNI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh ) hari kerja sejak
diterimanya usulan dari instansi teknis pembina sektor.
(4). SKKNI yang telah di tetapkan oleh Menteri diserahkan pada
instansi teknis pembina sektor.

BAB VI
PEMBERLAKUAN SKKNI

Pasal 15

(1). SKKNI yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 14 berlaku secara nasional menjadi acuan bagi
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan profesi, uji
kompetensi dan sertifikasi profesi.
(2). Pemberlakuan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh instansi teknis pembina sektor untuk
penyelenggaraan program pelatihan berbasis kompetensi dan
sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan lapangan usaha dan
/atau bidang profesinya.
(3). Pelatihan berbasis kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan oleh pembaga pelatihan kerja.
(4). Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah
mendapat izin dari BNSP.
(5). SKKNI yang berlakukan secara nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat di gunakan sebagai bahan
kerjasama dan saling pengakuan dengan negara lain baik
secara bilateral maupun multilateral.
Pasal 16

Pemberlakuan SKKNI oleh instansi teknis pembina sektor


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus mempertimbangkan
aspek-aspek antara lain;
a Risiko bahaya kecelakaan kerja;
b Kerusakan barang modal;
c Kerusakan lingkungan;
d Persaingan tenaga kerja Indonesia di pasar kerja global;
e Kerugian yang diakibatkan oleh rendahnya kualitas tenaga
kerja Indonesia;
f Kesiapan infrastruktur untuk melaksanakan pendidikan dan
pelatihan kerja berbasis kompetensi dan sertifikasi kompetensi
kerja.

BAB VII
PENGEMBANGAN SKKNI DAN HARMONISASI SKKNI

Pasal 17

(1) Pengembangan SKKNI dapat dilakukan apabila tidak sesuai


dengan kebutuhan masyarakat,lapangan usaha,perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, cara kerja, dan persyaratan
pekerjaan / jabatan.
(2) Pengembangan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan perubahan SKKNI.
(3) Perubahan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun dan
/ atau sesuai kesepakatan pemangku kepentingan pada saat
dilakukan konvensi pembalkuan RSKKNI menjadi SKKNI.
(4) Perubahan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilakukan dengan tahapan sebagaimana dimaksud diatur
dalam Pasal 6.

Pasal 18

(1). Harmonisasi SKKNI dilakukan oleh masing-masing instansi


teknis pembina sektor dengan memberitahukan pada pihak-
pihak yang terkait baik secara nasional,bilateral maupun
multilateral.
(2). Harmonisasi SKKNI di tingkat nasional dilakukan melalui
forum pembahasan yang melibatkan instansi teknis pembina
sektor, badan dan/atau lembaga yang berwenang melakukan
standarisasi dan sertifikasi kompetensi kerja.
(3). Harmonisasi SKKNI di tingkat bilateral dan multilateral
dilakukan antar negara dengan menbandingkan masing-masing
standar kompetensi kerja yang berlaku di negara masing-
masing.
(4). Harmonisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
notifikasi ke lembaga internasional oleh BNSP, sesuai dengan
persyaratan dan prosedur yang berlaku secara bilateral dan
multilateral.
BAB VIII
PENGAWASAN PENERAPAN SKKNI

Pasal 19

(1) Pengawasan penerapan SKKNI untuk kepentingan sertifikasi


kompetensi kerja dilakukan oleh BNSP untuk menjamin
konsistensi pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja.
(2) Pengawasan penerapan SKKNI untuk kepentingan pendidikan
dab pelatihan kerja dilakukan oleh instansi yang membidangi
pendidikan dan pelatihan kerja bersama instansi teknis
pembina sektor terkait untuk menjamin konsistensi
pelaksanaan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi
kerja.
(3) Pengawasan terhadap SKKNI untuk kepentingan penerapan
SKKNI serta sertifikasi kompetensi kerja dilakukan oleh
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersama BNSP
dan instansi teknis pembina sektor terkait.

Pasal 20

Pengawasan penerapan SKKNI untuk kepentingan pendidikan dan


pelatihan kerja dilakukan oleh instansi yang membidangi pendidikan
dan pelatihan kerja bersama instansi teknis pembina sektor terkait
untuk menjamin konsistensi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan
berbasis kompetensi kerja.

Pasal 21

Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan penerapan


SKKNI melalui penyampaian informasi secara lisan ataupun tertulis
kepada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi , BNSP
dan/atau instansi teknis pembina sektor terkait.

BAB IX
PENDANAAN

Pasal 22

Pendanaan untuk keperluan penyusunan dan pengembangan yang


terkait dengan SKKNI dan implementasinya bersumber dari:
a Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ;
b Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi /
Kabupaten /Kota;
c Penerimaan lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
BAB X

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 23

Pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Menteri ini ditetapkan oleh


Direktur Jenderal.

Pasal 24

Dengan ditetapkannyaperaturan Menteri ini maka :


a Keputusan Menteri Tenga Kerja Republik Indonesia Nomor
KEP-227/MEN/2003 Tata Cara Penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia;dan
b Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
KEP-69/MEN/2004 tentang Perubahan Lampiran Keputusan
Menteri Tenaga Kerja republik Indonesia Nomor KEP-
227/MEN/2003 tentang Tata Cara Penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia;

Di cabut dan dinyatakan tidak berlaku

Pasal 25

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Oktober 2007

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, MSi.


LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-21/MEN/X/2007.

TENTANG

TATA CARA PENETAPAN


STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA.

FORMAT PENYUSUNAN RSKKNI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
…………………….

B. Tujuan .
…………………….

C. Pengertian SKKNI.
…………………….

D. Penggunaan SKKNI.
………………………..

E. Format Standar Kompetensi.


Standar Kompetensi Kerja disusun menggunakan format standar kompetensi kerja.
Untuk menuangkan standar kompetensi kerja menggunakan urutan-urutan
sebagaimana struktur SKKNI. Dalam SKKNI terdapat daftar unit kompetensi terdiri
atas unit-unit kompetensi. Setiap unit kompetensi merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dari susunan daftar unit kompetensi sebagai berikut :

1. Kode Unit Kompetensi.


Kode unit kompetensi mengacu kepada kodifikasi yang memuat sektor, sub
sektor/bidang, kelompok unit kompetensi, nomor urut unit kompetensi dan versi,
yaitu :

X X X X X 0 0 0 0 0 0 0
(1) (2) (3) (4) (5)

a. Sektor /Bidang Lapangan Usaha.


Untuk sektor (1) mengacu sebagaimana dalam Klasifikasi Baku Lapangan
Usaha Indonesia (KBLI), diisi dengan 3 huruf kapital dari nama sektor/bidang
lapangan usaha.
b. Sub Sektor /Sub Bidang Lapangan Usaha :
Untuk sub sektor (2) mengacu sebagaimana dalam Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), diisi dengan 2 huruf kapital dari nama
Sub Sektor/Sub Bidang.
c. Kelompok Unit Kompetensi.
Untuk kelompok kompetensi (3), diisi dengan 2 digit angka untuk masing-
masing kelompok, yaitu :
01 Untuk kode Kelompok unit kompetensi umum (general).
02 Untuk kode Kelompok unit kompetensi inti (fungsional)
03 Untuk kode Kelompok unit kompetensi khusus (spesifik)
04 Untuk kode Kelompok unit kompetensi pilihan (optional).

d. Nomor urut unit kompetensi.


Untuk nomor urut unit kompetensi (4), diisi dengan nomor urut unit
kompetensi dengan menggunakan 3 digit angka, mulai dari angka 001, 002,
003, dan seterusnya pada masing-masing kelompok unit kompetensi. Nomor
urut unit kompetensi inidisusun dari angka yang paling rendah ke angka yang
lebih tinggi. Hal tersebut untuk menggambarkan bahwa tingkat kesulitan jenis
pekerjaan pada unit kompetensi yang paling sederhana tanggung jawabnya ke
jenis pekerjaan yang lebih besar tanggung jawabnya, atau dari jenis pekerjaan
yang paling mudah ke jenis pekerjaan yang lebih komplek.

e. Versi unit kompetensi.


Versi unit kompetensi (5), diisi dengan 2 digit angka, mulai dari angka 01,02,
dan seterusnya versi merupakan urutan penomoran terhadap urutan
penyusunan/penetapan unit kompetensi dalam penyusunan standar
kompetensi yang disepakati, apakah standar kompetensi tersebut disusun
merupakan yang pertama kali, revisi dan/atau seterusnya.

2. Judul Unit Kompetensi.


Judul unit kompetensi, merupakan bentuk pernyataan terhadap tugas/pekerjaan
yang akan dilakukan. Unit kompetensi adalah sebagai bagian dari keseluruhan
unit kompetensi yang terdapat pada standar kompetensi kerja. Judul unit
kompetensi yang terdapat pada standar kompetensi kerja. Judul unit kompetensi
harus menggunakan kalimat aktif yang diawali dengan kata kerja aktif yang
terukur.
a. Kata kerja aktif yang digunakan dalam penulisan judul unit kompetensi
diberikan contoh antara lain : memperbaiki, mengoperasikan, menggunakan,
melayani, merawat, merencanakan, membuat dan lain-lain.
b. Kata kerja aktif yang digunakan dalam penulisan judul unit kompetensi
sedapat mungkin dihindari penggunaan kata kerja antara lain : memahami,
mengetahui, menerangkan, mempelajari, menguraikan, mengerti dan atau
yang sejenis.

3. Diskripsi Unit Kompetensi.


Diskripsi unit kompetensi merupakan bentuk kalimat yang menjelaskan secara
singkat isi dari judul unit kompetensi yang mendiskripsikan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan satu tugas
pekerjaan yang dipersyaratkan dalam judul unit kompetensi.

4. Elemen Kompetensi.
Elemen Kompetensi adalah merupakan bagian kecil dari unit kompetensi yang
mengindentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan untuk mencapai unit
kompetensi tersebut. Elemen kompetensi ditulis menggunakan kalimat aktif dan
jumlah elemen kompetensi untuk setiap unit kompetensi terdiri dari 2 sampai 5
elemen kompetensi. Kandungan dari keseluruhan elemen kompetensi pada setiap
unit kompetensi harus mencerminkan unsur : ”merencanakan, menyiapkan,
melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan”.

5. Kriteria Unjuk Kerja.


Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan
kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada
setiap elemen kompetensi. Kriteria unjuk kerja harus mencerminkan aktivitas
yang dapat menggambarkan 3 aspek yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja. Untuk setiap elemen kompetensi dapat terdiri 2 s/d 5 kriteria unjuk kerja
dan dirumuskan dalam kalimat terukur dengan bentuk pasif.
Pemilihan kosakata dalam menulis kalimat KUK harus memperhatikan
keterukuran aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja, yang ditulis
dengan memperhatikan level taksonomi Bloom dan pengembangannya yang
terkait dengan aspek-aspek prikomotorik, kognitif dan efektif sesuai dengan
tingkat kesulitan pelaksanaan tugas pada tingkatan/urutan unit kompetensi.

6. Batasan Variabel.
Batasan variabel untuk unit kompetensi minimal dapat menjelaskan :
a. Kontek variabel yang dapat mendukung atau menambah kejelasan tentang isi
dari sejumlah elemen unit kompetensi pada satu unit kompetensi tertentu, dan
kondisi lainnya yang diperlukan dalam melaksanakan tugas.
b. Perlengkapan yang diperlukan seperti peralatan, bahan atau fasilitas dan
materi yang digunakan sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi untuk
melaksanakan unit kompetensi.
c. Tugas yang harus dilakukan untuk memenuhi persyaratan unit kompetensi.
d. Peraturan-peraturan yang diperlukan sebagai dasar atau acuan dalam
melaksanakan tugas untuk memenuhi persyaratan kompetensi.

7. Panduan Penilaian.
Panduan penilaianini digunakan untuk membantu penilaian dalam melakukan
penilaian/pengujian pada unit kompetensi antara lain meliputi :
a. Penjelasan tentang hal-hal yang diperlukan dalam penilaian antara lain :
prosedur, alat, bahan dan tempat penilaian serta penguasaan unit kompetensi
tertentu, dan unit kompetensi yang harus dikuasai sebelumnya sebagai
persyaratan awal yang diperlukan dalam melanjutkan penguasaan unit
kompetensi yang sedang dinilai serta keterkaitannya dengan unit kompetensi
lain.
b. Kondisi pengujian merupakan suatu kondisi yang berpengaruh atas
tercapainya kompetensi kerja, dimana, apa dan bagaimana serta lingkup
penilaian mana yang seharusnya dilakukan, sebagai contoh pengujian
dilakukan dengan metode test tertulis, wawancara, demonstrasi, praktek di
tempat kerja dan menggunakan alat simulator.
c. Pengetahuan yang dibutuhkan, merupakan informasi pengetahuan yang
diperlukan untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk kerja pada unit
kompetensi tertentu.
d. Keterampilan yang dibutuhkan, merupakan informasi keterampilan yang
diperlukan untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk kerja pada unit
kompetensi tertentu.
e. Aspek kritis merupakan aspek atau kondisi yang harus dimiliki seseorang
untuk menemukenali sikap kerja untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk
kerja pada unit kompetensi tertentu.
8. Kompetensi Kunci.
Kompetensi kunci merupakan persyaratan kemampuan yang harus dimiliki
seseorang untuk mencapai unjuk kerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan
tugas pada unit kompetensi tertentu yang terdistribusi dalam 7 (tujuh) kriteria
kompetensi kunci antara lain :
a. Mengumpulkan, menganalisa dan mengorganisasikan informasi.
b. Mengkomunikasikan informasi dan ide-ide.
c. Merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan.
d. Bekerjasama dengan orang lain dan kelompok.
e. Menggunakan gagasan secara matematis dan teknis.
f. Memecahkan masalah.
g. Menggunakan teknologi.

Masing-masing dari ketujuh kompetensi kunci tersebut, memiliki tingkatan dalam


tiga kategori. Kategori sebagaimana dimaksud tertuang dalam tabel gradasi
kompetensi kunci berikut (lihat tabel gradasi kompetensi kunci). Tabel gradasi
kompetensi kunci merupakan daftar yang menggambarkan :
a. Kompetensi kunci (berisi 7 kompetensi kunci);
b. Tingkat /nilai (1, 2 dan 3).

Dari Tabel Gradasi kompetensi kunci, setelah dilakukan analisa terhadap masing-
masing nilai kompetensi kunci, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan
penjumlahan nilai setiap kompetensi kunci yang digunakan sebagai pedoman
penetapan tingkat/derajat kemudahan atau kesulitan dari unit kompetensi tertentu.

F. Gradasi Kompetensi Kunci.

TABEL GRADASI (TINGKATAN) KOMPETENSI KUNCI.

KOMPETENSI TINGKAT I TINGKAT 2 TINGKAT 3.


KUNCI ”Melakukan ”Mengelola Kegiatan” ”Mengevaluasi dan
Kegiatan” Memodifikasi Proses”
1. Mengumpulkan, Mengikuti pedoman Mengakses dan Meneliti dan menyaring
menganalisa dan yang ada dan merekam merekam lebih dari satu lebih dari satu sumber dan
mengorganisasikan dari satu sumber sumber informasi. mengevaluasi kualitas
informasi. informasi. informasi.
2. Mengkomunikasika Menerapkan bentuk Menerapkan gagasan Memilih model dan
n informasi dan komunikasi untuk informasi dengan bentuk yang sesuai dan
ide-ide. mengantisipasi Kontek memilih gaya yang memperbaiki dan
komunikasi sesuai jenis paling sesuai. mengevaluasi jenis
dan gaya komunikasi dari berbagai
berkomunikasi. macam jenis dan gaya
cara berkomunikasi.
3. Merencanakan dan Bekerja di bawah Mengkoordinir dan Menggabungkan strategi,
mengorganisasikan pengawasan atau mengatur proses rencana, pengaturan,
kegiatan. supervisi. pekerjaan dan tujuan dan prioritas kerja.
menetapkan prioritas
kerja.
4. Bekerjasama Melaksanakan Melaksanakan kegiatan Bekerjasama untuk
dengan orang lain kegiatan-kegiatan yang dan membantu menyelesaikan kegiatan-
& kelompok. sudah dipahami merumuskan tujuan. kegiatan yang bersifat
/aktivitas rutin. komplek.
5. Menggunakan Melaksanakan tugas- Memilih gagasan dan Bekerjasama dalam
gagasan secara tugas yang sederhana teknik bekerja yang menyelesaikan tugas
matematis dan dan telah ditetapkan. tepat untuk yang lebih komplek
teknis. menyelesaikan tugas- dengan menggunakan
tugas yang komplek. teknik dan matematis.
6. Memecahkan Memecahkan masalah Memecahkan masalah Memecahkan masalah
masalah. untuk tugas rutin di untuk tugas rutin secara yang komplek dengan
bawah mandiri berdasarkan menggunakan pendekatan
pengawasan/supervisi. pedoman/panduan. metode yang sistimatis.
7. Menggunakan Menggunakan Menggunakan Menggunakan teknologi
teknologi. teknologi untuk teknologi untuk untuk membuat
membuat barang dan mengkonstruksi, desain/merancang,
jasa yang sifatnya mengorganisasikan atau menggabungkan,
berulang-ulang pada membuat produk memodifikasikan dan
tingkat dasar di bawah barang atau jasa mengembangkan produk
pengawasan/supervisi. berdasarkan desain. barang atau jasa.

G. Rumusan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

KUALIFIKASI PARAMETER
KEGIATAN PENGETAHUAN TANGGUNG JAWAB
Melaksanakan kegiatan : * Mengungkap kembali. * Terhadap kegiatan sesuai
1. Lingkup terbatas. * Menggunakan pengetahuan arahan.
*. Berulang dan sudah yang terbatas. * Dibawah pengawasan
I biasa. * Tidak memerlukan gagasan langsung.
* Dalam konteks yang baru. * Tidak ada tanggungjawab
terbatas. terhadap pekerjaan orang
lain.
Melaksanakan kegiatan : * Menggunakan pengetahuan * Terhadap kegiatan sesuai
* Lingkup agak luas. dasar operasional. arahan.
* Mapan dan sudah * Memanfaatkan informasi * Dibawah pengawasan tidak
biasa. yang tersedia. langsung dan pengendalian
* Dengan pilihan-pilihan * Menerapkan pemecahan mutu.
II
yang terbatas terhadap masalah yang sudah baku. * Punya tanggungjawab
sejumlah tanggapan * Memerlukan sedikit terbatas terhadap kuantitas
rutin. gagasan baru. dan mutu.
* Dapat diberii tanggungjawab
membimbing orang lain.
Melaksanakan kegiatan : * Menggunakan * Terhadap kegiatan sesuai
* Dalam lingkup yang Pengetahuan –pengetahuan arahan dengan otonomi
luas dan memerlukan teoritis yang relevan. terbatas.
keterampilan yang * Menginteprestasikan * Dibawah pengawasan tidak
sudah baku. informasi yang tersedia. langsung dan pemeriksaan
* Dengan pilihan-pilihan * Menggunakan perhitungan mutu.
III.
terhadap sejumlah dan pertimbangan. * Bertanggungjawab secara
prosedur. * Menerapkan sejumlah memadai terhadap kuantitas
* Dalam sejumlah pemecahan masalah yang dan mutu hasil kerja.
konteks yang sudah sudah baku. * Dapat diberii tanggungjawab
biasa. terhadap hasil kerja orang
lain.
Melakukan kegiatan : * Menggunakan basis * Terhadap kegiatan yang
* Dalam lingkup yang pengetahuan yang luas direncanakan sendiri.
luas dan memerlukan dengan mengaitkan * Dibawah bimbingan dan
keterampilan penalaran sejumlah konsep teoritis. evaluasi yang luas.
teknis. * Membuat interpretasi * Bertanggung jawab penuh
* Dengan pilihan-pilihan analistis data yang tersedia. terhadap kuantitas dan mutu
yang banyak terhadap * Pengambilan keputusan hasil kerja.
IV sejumlah prosedur. berdasarkan kaidah-kaidah * Dapat diberi tanggung jawab
* Dalam berbagai yang berlaku. terhadap kuantitas dan mutu
konteks yang sudah * Menerapkan sejumlah hasil kerja orang lain.
biasa maupun yang pemecahan masalah yang
tidak biasa. bersifat inovatif terhadap
masalah-masalah yang
kongkrit dan kadang-
kadang tidak biasa.
Melakukan kegiatan : * Menerapkan basis Melakukan :
* Dalam lingkup yang pengetahuan yang luas * Kegiatan yang diarahkan
luas dan memerlukan dengan pendalaman yang sendiri dan kadang-kadang
keterampilan penalaran cukup dibeberapa area. memberikan arahan kepada
teknis khusus * Membuat interpretasi orang lain.
(spesialis). analitik terhadap sejumlah * Dengan pedoman atau fungsi
* Dengan pilihan-pilihan data yang tersedia yang umum yang luas.
yang sangat luas memiliki cakupan yang * Kegiatan yang memerlukan
terhadap sejumlah luas. tanggungjawab penuh baik
V
prosedur yang baku * Menentukan metoda – sifat, jumlah maupun mutu
dan tidak baku. metoda dan prosedur yang dari hasil kerja.
* Yang memerlukan tepat guna, dalam * Dapat diberi tanggungjawab
banyak pilihan pemecahan sejumlah terhadap pencapaian hasil.
prosedur standar masalah yang kongkrit yang
maupun non standar. mengandung unsur-unsur
* Dalam konteks yang teoritis.
rutin maupun tidak
rutin.
Melakukan kegiatan : * Menggunakan pengetahuan Melaksanakan :
* Dalam lingkup yang khusus yang mendalam * Pengelolaan kegiatan/proses
luas dan memerlukan pada beberapa bidang. kegiatan.
keterampilan penalaran * Melakukan analisis, mem- * Dengan parameter yang luas
teknis khusus. format ulang dan untuk kegiatan-kegiatan yang
* Dengan pilihan-pilihan mengevaluasi informasi- sudah tertentu.
yang sangat luas informasi yang cakupannya * Kegiatan dengan penuh
terhadap sejumlah luas. akuntabilitas untuk
VI
prosedur yang baku * Merumuskan langkah- menentukan tercapainya hasil
dan tidak baku serta langkah pemecahan yang kerja pribadi dan atau
kombinasi prosedur tepat, baik untuk masalah kelompok.
yang tidak baku. yang konkrit maupun * Dapat diberi tanggungjawab
* Dalam konteks rutin abstrak. terhadap pencapaian hasil
dan tidak rutin yang kerja organisasi.
berubah-ubah sangat
tajam.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
VII * Menjelaskan kajian, penelitian dan kegiatan intelektual secara mandiri disuatu
bidang, menunjukkan kemandirian intelektual serta analisis yang tajam dan
komunikasi yang baik.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
VIII * Menunjukkan penguasaan suatu bidang dan,
* Merencanakan dan melaksanakan proyek penelitian dan kegiatan intelektual secara
original berdasarkan standar-standar yang diakui secara internasional.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
IX
* Menyumbangkan pengetahuan original melalui penelitian dan kegiatan intelektual
yang dinilai oleh ahli independen berdasarkan standar internasional.

H Kelompok Kerja.
Untuk menetapkan kelompok kerja penyusun RSKKNI yang dibentuk oleh
Departemen Teknis Pembina Sektor menggunakan format sebagai contoh dibawah
ini.
1. Format Komite SKKNI.
Informasi yang dimasukka dalam pembentukan komite SKKNI terdiri dari Nomor,
Nama, Jabatan di instansi, Jabatan dalam tim dan keterangan.
Contoh format :

NO NAMA JABATAN DI JABATAN KETERANGAN


INSTANSI DALAM TIM
1 2 3 4 5

Keterangan :

Kolom keterangan diisi hal-hal lain yang dianggap penting.

2. Format Panitia Teknis.


Informasi yang dimasukkan dalam pembentukan panitia teknis terdiri dari Nomor,
Nama, Jabatan di instansi, Jabatan dalam tim dan keterangan.

Contoh format :

NO NAMA JABATAN DI JABATAN KETERANGAN


INSTANSI DALAM TIM
1 2 3 4 5

Keterangan :

Kolom keterangan diisi hal-hal lain yang dianggap penting.

3. Format Tim Penyusun SKKNI.


Informasi yang dimaksudkan dalam pembentukan tim penyusun SKKNI terdiri dari
Nomor, Nama, Jabatan di instansi, Jabatan dalam tim dan keterangan.

Contoh format :

NO NAMA JABATAN DI JABATAN KETERANGAN


INSTANSI DALAM TIM
1 2 3 4 5

Keterangan :

Kolom keterangan diisi hal-hal lain yang dianggap penting.

4. Format Pembentukan Panitia Konvensi RSKKNI.


Informasi yang dimasukkan dalam pembentukan panitia konvensi RSKKNI terdiri
dari Nomor, Nama, Jabatan di instansi, Jabatan dalam tim dan keterangan.

Contoh Format :

NO NAMA INSTANSI JABATAN KETERANGAN


DALAM TIM
1 2 3 4 5

Keterangan :

Kolom keterangan diisi hal-hal lain yang dianggap penting.


BAB II

STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA.

A. Kodifikasi Pekerjaan/Profesi.
Pemberian kode pada suatu kualifikasi pekerjaan/berdasarkan hasil kesepakatan
dalam pemaketan sejumlah unit kompetensi, diisi dan ditetapkan dengan mengacu
dengan “Format Kodifikasi Pekerjaan/Jabatan “ sebagai berikut :

X 00 00 00 00 00 0 Y 00
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

; Kategori, merupakan garis pokok penggolongan kegiatan


(1) X
ekonomi, diisi dengan dari kategori lapangan usaha.
; Golongan Pokok, merupakan uraian lebih lanjut dari kategori,
(2) 00 diisi dengan 2 digit angka sesuai nama golongan pokok lapangan
usaha.
; Golongan, merupakan uraian lebih lanjut dari golongan pokok,
(3) 00 diisi dengan 2 digit angka sesuai nama golongan lapangan usaha.

; Sub Golongan, merupakan uraian lebih lanjut dari kegiatan


(4) 00 ekonomi yang tercakup dalam suatu golongan, diisi dengan 1-2
digit angka sesuai nama sub golongan lapangan usaha.
; Kelompok, memilah lebih lanjut kegiatan yang tercakup dalam
sub golongan menjadi beberapa kegiatan yang lebih homogen,
(5) 00
diisi dengan 1-2 digit angka sesuai nama kelompok lapangan
usaha.
; Sub Kelompok, memilah lebih lanjut kegiatan yang tercakup
(6) 00 dalam suatu kelompok, diisi dengan 1-2 digit angka sesuai nama
sub kelompok lapangan usaha.
; Bagian, memilah lebih lanjut kegiatan yang tercakup dalam
suatu sub kelompok menjadi nama-nama pekerjaan (paket
(7) 0
SKKNI), diisi dengan 1 digit angka sesuai nama bagian
lapangan usaha (pekerjaan/profesi/jabatan).
; Kualifikasi kompetensi, untuk menetapkan jenjang kualifikasi
kompetensi kerja dan yang terendah s/d yang tertinggi untuk
masing-masing nama pekerjaan/jabatan/profesi, diisi dengan 1
digit angka romawi dengan mengacu pada perjenjangan KKNI,
yaitu :
(8) Y
- Kualifikasi I untuk Sertifikat 1.
- Kualifikasi II untuk Sertifikat 2.
- Kualifikasi III untuk Sertifikasi 3.
- Kualifikasi IV untuk Sertifikasi 4.
- Kualifikasi V s/d IX untuk Sertifikasi 5 s/d 9.
; Versi, untuk Paket SKKNI diisi dengan nomor urut versi dan
(9) 00
menggunakan 2 digit angka, mulai dari 01, 02 dan seterusnya.
Keterangan :

- Nomor (1) s/d (4) pada berpedoman pada UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik
dan mengacu Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang
dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS).
- Nomor (5) s/d (9) pengisiannya berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari nomor 5 dan
ditetapkan/dibakukan melalui Forum Konvensi antar asosiasi profesi, pakar praktisi
dan stakeholder pada, sub sektor dan bidang yang bersangkutan.

B. Peta KKNI Sektor, Sub Sektor, Bidang.

FORMAT PENUANGAN KERANGKA KUALIFIKASI


NASIONAL INDONESIA DALAM SKKNI

Sektor : ...................
Sub Sektor : ............
Bidang :..................
Sub Bidang : .............

Jenjang /Level Area Bidang/Sub Bidang Pekerjaan atau Jabatan


KKNI Kualifikasi Berjenjang Kualifikasi Tertentu
1. *) 2. *) 3. *) 4.. *) dst pada Profesi Tertentu
1 2 3 4 5 6
Sertifikat IX *) *) *) **)
Sertifikat VIII *) *) *) *) **)
Sertifikat VII *) *) *) **)
Sertifikat VI *) *) *) *) **)
Sertifikat V *) *) *) *) **)
Sertifikat IV *) *) *) *) **)
Sertivikat III *) *) *) *) **)
Sertivikat II *) *) *) *) **)
Sertivikat I *) *) *) *) **)

Keterangan :
*) kolom 2, 3 atau 4 diisi nama Pekerjaan/Profesi sesuai jenjang kualifikasi dan/atau jenjang
jabatan, sesuai dengan penggolongan jenjang/jabatan yang disepakati.

**) Kotak 1*, 2*, 3 * dan seterusnya diisi penggolongan level/jabatan pada jenjang kualifikasi
tertentu.

**) Diisi nama pekerjaan/Profesi tertentu sesuai dengan jumlah unit kompetensi yang
diperlukan untuk memenuhi persyaratan pekerjaan/profesi tertentu, yang tidak memiliki
atau tidak memerlukan jenjang pada KKNI, tetapi dibutuhkan oleh dunia kerja/masyarakat
pada kelompok kerja/kluster tertentu..

C. Paket SKKNI Sektor, Sub Sektor, Bidang, Nama Pekerjaan.

1. FORMAT PENUANGAN PAKET UNIT KOMPETENSI PADA JENJANG


KUALIFIKASI PEKERJAAN/JABATAN PADA SKKNI BIDANG PEKERJAAN
TERTENTU.
PEMAKETAN JENJANG KUALIFIKASI PEKERJAAN/JABATAN

Sektor : .........................................
Sub Sektor : ...........................................
Nama Pekerjaan/Profesi : ...........................................
Area Pekerjaan : ...........................................
Jenjang KKNI : Sertifikat.................( ...)..........
Kode Pekerjaan :
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

KELOMPOK KOMPETENSI UMUM


NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

KELOMPOK KOMPETENSI INTI


NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

KELOM[POK KOMPETENSI KHUSUS

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

2. FORMAT PENUANGAN PAKET UNIT KOMPETENSI PADA


PEKERJAAN/KLUSTER PADA SKKNI BIDANG PEKERJAAN
TERTENTU.

PEMAKETAN PEKERJAAN/JABATAN BERDASARKAN KLUSTER

Sektor : ..............................................
Sub Sektor : .............................................
Nama Pekerjaan/Profesi : .............................................
Area Pekerjaan : .............................................
Kode Pekerjaan :
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
KELOMPOK KOMPETENSI UMUM

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

KELOMPOK KOMPETENSI INTI

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

KELOM[POK KOMPETENSI KHUSUS

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

Keterangan :
Untuk jenis pekerjaan/jabatan berdasarkan kluster tidak memerlukan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam jenjang kualifikasi pekerjaan/jabatan berdasarkan KKNI,
tetapi masih dalam koridor SKKNI.

D. Daftar Unit Kompetensi.

DAFTAR UNIT KOMPETENSI

Kelompok Kompetensi Umum (01).

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

Kelompok Kompetensi Inti (02)

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi


Kelompok Kompetensi Khusus (03).

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

Keterangan :

Masing-masing kelompok kompetensi dimulai dari nomor urut unit kompetensi yang
terendah/terkecil s/d yang tertinggi/terbesar berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan
pekerjaan, sifat pekerjaan dan tanggung jawab pekerjaan.

E. Unit-unit Kompetensi.

BAB III

PENUTUP

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal, 25 Oktober 2007.

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, M.Si


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

28 Agustus 2009

Yth. 1. Gubernur se-Indonesia


2. Bupati/Walikota se-Indonesia

Di Tempat

SURAT EDARAN
Nomor : SE.314/MEN/PHIJSK-PKKAD/VIII/2009

TENTANG
PEMBAYARAN TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN

Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Indonesia termasuk pekerja/buruh


sebagai pemeluk agama, akan merayakan Hari Raya Keagamaan sesuai dengan
agamanya masing-masing. Sehubungan dengan hal tersebut perlu disampaikan
kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam rangka pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, pekerja/buruh


memerlukan biaya tambahan. Bila biaya tambahan tersebut terpenuhi akan
menambah ketenangan bekerja bagi pekerja/buruh sekaligus dapat
mendorong tumbuhnya rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan usaha
perusahaan. Oleh karena itu, pengusaha memberikan Tunjangan Hari Raya
(THR) Keagamaan bagi pekerja/buruh tepat pada waktunya.

2. Pemberian THR Keagamaan bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur


dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor. PER.04/MEN/1994
tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja tersebut, mewajibkan pengusaha untuk
memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah
mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara terus menerus.

3. Besarnya THR Keagamaan sebagaimana dimaksud di atas diatur sebagai


berikut :

a). Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus atau lebih, sebesar 1 (satu) bulan upah.

b). Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan
secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan,
diberikan secara proporsional dengan menghitung masa kerja yang
sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.
4. THR Keagamaan bagi pekerja/buruh tersebut diatas, diberikan satu kali
dalam setahun oleh pengusaha dan pembayarannya disesuaikan dengan
Hari Raya Keagamaan masing-masing, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sebelum Hari Raya Keagamaan.

5. Pelaksanaan THR Keagamaan yang dibayarkan tepat waktu sangat


bermanfaat dalam membantu para pekerja/buruh dan keluarganya untuk
memenuhi kebutuhan pada Hari Raya Keagamaan.

6. Berkenaan dengan hal tersebut dimintakan kepada Gubernur


Bupati/Walikota untuk mengingatkan pengusaha sehingga pembayaran
THR Keagamaan dilaksanakan tepat waktu dan sesuai ketentuan yang
berlaku.

7. Sejalan dengan itu, untuk mengantisipasi timbulnya keluhan dalam


pelaksanaan pembayaran THR Keagamaan dan pelaksanaan mudik
Lebaran, diharapkan masing-masing provinsi dan kabupaten/kota segera
membentuk Satuan Tugas (Posko) Ketenagakerjaan Peduli Lebaan Tahun
2009.

Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baikm kami


ucapkan terima kasih.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia

ttd

Dr. Ir. Erman Suparno, MBA, MSI

Tenbusan :
1. Presiden Republik Indonesia;
2. Wakil Presiden RI;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu;
4. Ketua Umum DPN APINDO;
5. Ketua Umum DPP SP/SB;
6. Instansi yang bertanggungjawab di bidang
Ketenagakerjaan Provinsi se-Indonesia
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR PER.22/MEN/IX/2009

TENTANG

PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN DI DALAM NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan


Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan
Kerja Nasional perlu mengatur penyelenggaraan pemagangan di
dalam negeri;

b. bahwa pengaturan penyelenggaraan pemagangan di dalam


negeri sebagaimana dimaksud dalam huruf a, merupakan norma,
standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2003 tentang Badan


Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4408);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem


Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4637);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian


Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 31/P Tahun 2007;

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.


17/MEN/VII/2007 tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran
Lembaga Pelatihan Kerja;

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.


21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN DI DALAM
NEGERI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan


secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara
langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja yang lebih
berpengalaman dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan,
dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.

2. Pemagangan di dalam negeri adalah pemagangan yang diselenggarakan oleh


perusahaan yang berdomisili di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Penyelenggara program pemagangan di dalam negeri adalah perusahaan yang


memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan program pemagangan.

4. Perusahaan adalah:

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

5. Lembaga Pelatihan Kerja, yang selanjutnya disingkat LPK, adalah instansi


pemerintah, badan hukum, atau perseorangan yang memenuhi persyaratan untuk
menyelenggarakan pelatihan kerja.

2
6. Unit Pelatihan adalah satuan unit yang menyelenggarakan pelatihan di perusahaan
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun kebutuhan masyarakat.

7. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat SKKNI,


adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan, dan/atau keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan
pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

8. Standar Internasional adalah standar kompetensi kerja yang disusun,


dikembangkan, dan digunakan oleh dua negara atau lebih yang ditetapkan oleh
suatu forum organisasi yang bersifat multinasional berskala regional dan/atau
internasional.

9. Standar Khusus adalah standar kompetensi kerja yang disusun, dikembangkan,


dan digunakan oleh instansi/perusahaan/organisasi atau memenuhi tujuan internal
organisasinya sendiri atau untuk memenuhi kebutuhan organisasinya.

10. Perjanjian pemagangan adalah perjanjian antara peserta pemagangan dengan


penyelenggara pemagangan yang dibuat secara tertulis yang memuat hak dan
kewajiban serta jangka waktu pemagangan.

11. Perjanjian kerja sama penyelenggara pemagangan adalah perjanjian antara LPK
dengan perusahaan yang dibuat secara tertulis yang memuat teknis pelaksanaan
penyelenggaraan program pemagangan.

12. Tenaga pelatihan adalah seseorang yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi
kompetensi untuk mendukung terlaksananya program pemagangan sesuai dengan
bidang tugasnya.

13. Pembimbing pemagangan adalah tenaga pelatihan yang merupakan tenaga


penyelia atau pekerja yang ditunjuk oleh penyelenggara pemagangan untuk
membimbing peserta pemagangan di perusahaan.

14. Jejaring Pemagangan adalah forum komunikasi atau wadah yang beranggotakan
dari unsur-unsur perusahaan, LPK, pemerintah, asosiasi profesi, asosiasi LPK,
serta stakeholder, untuk memfasilitasi penyelenggaraan program pemagangan.

15. Dinas kabupaten/kota adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang


ketenagakerjaan kabupaten/kota.

16. Dinas provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi.

17. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pelatihan kerja dan
produktivitas di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

18. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Pemagangan diselenggarakan oleh perusahaan yang memiliki unit pelatihan.

3
(2) Dalam hal perusahaan tidak memiliki unit pelatihan, perusahaan dapat melakukan
kerjasama dengan LPK dan/atau unit pelatihan lainnya.

Pasal 3

LPK dapat mengikutsertakan peserta pelatihannya untuk mengikuti pemagangan di


perusahaan sebagai satu kesatuan program pemagangan yang diselenggarakan atas
dasar kerjasama dengan perusahaan.

Pasal 4

Perusahaan hanya dapat menerima peserta pemagangan paling banyak 30% dari
jumlah karyawan.

BAB II
PERSYARATAN

Bagian Kesatu
Persyaratan Peserta

Pasal 5

(1) Peserta pemagangan di dalam negeri terdiri dari:


a. pencari kerja;
b. siswa LPK; dan
c. tenaga kerja yang akan ditingkatkan kompetensinya.

(2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikuti pemagangan
apabila telah memenuhi persyaratan:
a. usia minimal 18 (delapan belas) tahun;
b. memiliki bakat, minat, dan memenuhi persyaratan yang sesuai dengan program
pemagangan; dan
c. menandatangani perjanjian pemagangan.

Bagian Kedua
Persyaratan Penyelenggara Pemagangan

Pasal 6

Penyelenggara pemagangan harus memiliki:


a. program pemagangan;
b. sarana dan prasarana;
c. tenaga pelatihan dan pembimbing pemagangan; dan
d. pendanaan.

BAB III
PROGRAM PEMAGANGAN

Pasal 7

(1) Program pemagangan dapat disusun oleh perusahaan dan/atau bersama-sama


LPK.

4
(2) Program Pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama program;
b. tujuan program;
c. jenjang kualifikasi tertentu dan/atau kompetensi yang akan dicapai dalam
jabatan tertentu;
d. uraian pekerjaan atau unit kompetensi yang akan dipelajari;
e. jangka waktu pemagangan;
f. kurikulum dan silabus; dan
g. sertifikasi.

(3) Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada:
a. SKKNI;
b. Standar Internasional; dan/atau
c. Standar Khusus.

(4) Jangka waktu pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, dibatasi
paling lama 1 (satu) tahun.

(5) Dalam hal untuk mencapai kualifikasi kompetensi tertentu akan memerlukan waktu
lebih dari 1 (satu) tahun, maka harus dituangkan dalam perjanjian pemagangan
baru dan dilaporkan kepada dinas kabupaten/kota setempat.

(6) Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diketahui dan
disahkan oleh dinas kabupaten/kota setempat.

Pasal 8

Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b harus dapat
memenuhi kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan:
a. teori;
b. simulasi/praktik;
c. bekerja secara langsung di bawah bimbingan pekerja yang berpengalaman sesuai
dengan program pemagangan; dan
d. keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Pasal 9

Pembimbing pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dapat


membimbing peserta pemagangan sesuai dengan kebutuhan program pemagangan.

Pasal 10

Penyelenggara pemagangan tidak diperbolehkan mengikutsertakan peserta yang telah


mengikuti program pemagangan pada program/jabatan/kualifikasi yang sama.

BAB IV
PERJANJIAN PEMAGANGAN

Pasal 11

(1) Penyelenggaraan pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian tertulis antara


peserta pemagangan dengan perusahaan.

5
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. hak dan kewajiban peserta;
b. hak dan kewajiban penyelenggara program; dan
c. jenis program dan kejuruan.

Pasal 12

(1) Perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan perusahaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 harus diketahui dan disahkan oleh dinas
kabupaten/kota setempat.

(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.

Pasal 13

Perjanjian Kerja sama Pemagangan antara LPK dengan perusahaan dilaksanakan atas
dasar perjanjian secara tertulis, sekurang-kurangnya memuat:
a. hak dan kewajiban;
b. pembiayaan;
c. jangka waktu;
d. jenis program dan bidang kejuruan; dan
e. jumlah peserta pemagangan.

Pasal 14

Perjanjian Kerja sama Pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus


diketahui oleh:
a. Kepala dinas kabupaten/kota untuk penyelenggaraan pemagangan dalam satu
wilayah kabupaten/kota;
b. Kepala dinas provinsi untuk penyelenggaraan pemagangan lintas kabupaten/kota
dalam satu wilayah provinsi;
c. Direktur Jenderal untuk penyelenggaraan pemagangan lintas provinsi.

BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 15

(1) Peserta pemagangan berhak untuk:


a. memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti
pemagangan;
b. memperoleh uang saku dan/atau uang transport;
c. memperoleh perlindungan dalam bentuk jaminan kecelakaan kerja dan
kematian; dan
d. memperoleh sertifikat pemagangan apabila dinyatakan lulus.

(2) Penyelenggara pemagangan berhak untuk:


a. memanfaatkan hasil kerja peserta pemagangan; dan
b. memberlakukan tata tertib dan perjanjian pemagangan.

6
Pasal 16

(1) Peserta pemagangan berkewajiban untuk:


a. mentaati perjanjian pemagangan;
b. mengikuti program pemagangan sampai selesai;
c. mentaati tata tertib yang berlaku di perusahaan penyelenggara pemagangan;
dan
d. menjaga nama baik perusahaan penyelenggara pemagangan.

(2) Penyelenggara pemagangan berkewajiban untuk:


a. membimbing peserta pemagangan sesuai dengan program pemagangan;
b. memenuhi hak peserta pemagangan sesuai dengan perjanjian pemagangan;
c. menyediakan alat pelindung diri sesuai dengan persyaratan keselamatan dan
kesehatan kerja (K3);
d. memberikan perlindungan dalam bentuk asuransi kecelakaan kerja kepada
peserta;
e. memberikan uang saku dan/atau uang transport peserta;
f. mengevaluasi peserta pemagangan; dan
g. memberikan sertifikat pemagangan bagi peserta yang dinyatakan lulus.

BAB VI
PELAKSANAAN

Pasal 17

Penyelenggara pemagangan dapat melaksanakan pemagangan setelah


memberitahukan secara tertulis rencana pelaksanaan pemagangan kepada dinas
kabupaten/kota dengan melampirkan:
a. program pemagangan;
b. rencana pelaksanaan pemagangan;
c. perjanjian pemagangan.

Pasal 18

(1) Penyelenggara pemagangan setelah memberitahukan secara tertulis sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 dapat merekrut dan menyeleksi peserta pemagangan.

(2) Dalam melaksanakan rekrut peserta program pemagangan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), perusahaan dapat berkoordinasi dengan dinas kabupaten/kota
setempat.

(3) Seleksi peserta program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh penyelenggara pemagangan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditetapkan.

Pasal 19

(1) Pelaksanaan program pemagangan meliputi teori, praktik, workshop laboratory di


unit pelatihan/LPK dan praktik kerja di perusahaan secara rotasi yang dibimbing
oleh tenaga pelatihan dan/atau pembimbing pemagangan sesuai dengan tuntutan
program.

(2) Teori, simulasi, dan praktik di unit pelatihan/LPK dilaksanakan paling banyak 25%
dari komposisi program pemagangan, sedangkan praktik kerja secara langsung di
perusahaan dilaksanakan paling sedikit 75% dari komposisi program pemagangan.

7
(3) Waktu magang di perusahaan disesuaikan dengan jam kerja yang diberlakukan di
perusahaan.

Pasal 20

Untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan penyelenggaraan program pemagangan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 19, perusahaan dapat
melakukan koordinasi dengan jejaring pemagangan.

Pasal 21

(1) Penyelenggara pemagangan melakukan evaluasi terhadap peserta pemagangan


secara berkala.

(2) Peserta pemagangan yang telah dievaluasi dan dinyatakan memenuhi standar
kompetensi yang telah ditentukan oleh perusahaan diberikan sertifikat
pemagangan.

(3) Peserta pemagangan yang telah memiliki sertifikat pemagangan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) dapat mengikuti sertifikasi kompetensi melalui lembaga
sertifikasi profesi yang terlisensi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Pasal 22

Peserta pemagangan yang telah memperoleh sertifikat pemagangan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dapat:
a. direkrut langsung sebagai pekerja oleh perusahaan yang melaksanakan
pemagangan;
b. bekerja pada perusahaan yang sejenis;
c. melakukan usaha mandiri/menjadi wirausaha.

BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 23

(1) Dinas kabupaten/kota melakukan monitoring dan evaluasi secara periodik terhadap
penyelenggaraan pemagangan di wilayah kerjanya.

(2) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh
kepala dinas kabupaten/kota kepada kepala dinas provinsi dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 24

(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemagangan di dalam


negeri dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dinas provinsi,
dan dinas kabupaten/kota sesuai kewenangan masing-masing.

8
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap:
a. program;
b. tenaga pelatihan dan pembimbing pemagangan;
c. fasilitas; dan
d. sistem dan metode penyelenggaraan pemagangan.

(3) Dalam hal terjadi pelanggaran/menyalahi aturan dalam penyelenggaraan


pemagangan yang berada di luar perjanjian/aturan pemagangan akan diselesaikan
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas yang
membidangi pelatihan berkoordinasi dengan pegawai pengawas ketenagakerjaan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dinas provinsi, dan dinas
kabupaten/kota setempat.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 25

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemagangan di dalam negeri bagi warga


negara asing diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri ini diatur oleh Direktur
Jenderal.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 27

Pemagangan yang diselenggarakan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini masih


tetap dapat berjalan sampai selesainya program pemagangan atau paling lama 2 (dua)
tahun.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER. 21/MEN/X/2005 tentang Penyelenggaraan Pemagangan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

9
Pasal 29

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan


penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA

Ttd

ANDI MATTALATTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 339

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002

10
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR PER.21/MEN/IX/2009

TENTANG

PEDOMAN PELAYANAN PRODUKTIVITAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 29 ayat (3)


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Pedoman Pelayanan
Produktivitas;

b. bahwa pedoman pelayanan produktivitas sebagaimana


dimaksud dalam huruf a merupakan norma, standar, prosedur,
dan kriteria sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a dan huruf b perlu ditetapkan dengan Peraturan
Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


05/MEN/IV/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.28/MEN/XII/2008;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.06/MEN/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.16/MEN/VII/2007;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG PEDOMAN PELAYANAN PRODUKTIVITAS.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Produktivitas adalah sikap mental yang selalu berusaha untuk melakukan perbaikan
mutu kehidupan secara berkelanjutan melalui peningkatan efisiensi, efektivitas, dan
kualitas.

2. Pelayanan adalah segala bentuk pelayanan umum yang dilaksanakan oleh


Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik
Negara/Daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

3. Pelayanan Produktivitas adalah segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh


Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik
Negara/Daerah dalam rangka promosi, peningkatan, pengukuran, dan pemeliharaan
tingkat produktivitas masyarakat, perusahaan, dan instansi pemerintah;

4. Efisiensi adalah suatu ukuran tingkat penghematan penggunaan masukan dalam


suatu proses produksi barang atau jasa.

5. Efektivitas adalah suatu ukuran tingkat pencapaian sasaran dari suatu proses
produksi barang atau jasa, baik dalam arti kuantitas maupun kualitas.

6. Kualitas adalah suatu ukuran tingkat pencapaian persyaratan, spesifikasi, dan/atau


harapan konsumen dari suatu produk barang atau jasa.

7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Pedoman Pelayanan Produktivitas ini dimaksudkan sebagai Norma, Standar,


Prosedur, dan Kriteria pelaksanaan kegiatan promosi, peningkatan, pengukuran
dan pemeliharaan produktivitas.
(2) Pedoman Pelayanan Produktivitas ini bertujuan untuk memberi acuan kepada
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Badan Usaha
Milik Negara/Daerah dalam melaksanakan kegiatan promosi, peningkatan,
pengukuran dan pemeliharaan produktivitas sebagai bagian integral dari Gerakan
Peningkatan Produktivitas Nasional.

BAB II
PROMOSI PRODUKTIVITAS

Pasal 3

Promosi Produktivitas ditujukan untuk memberikan pemahaman dan penyebarluasan


konsepsi produktivitas kepada masyarakat, dunia usaha, dan instansi pemerintah guna
meningkatkan kesadaran dan membangun komitmen kegiatan peningkatan
produktivitas.

Pasal 4

(1) Promosi produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diselenggarakan


dengan prinsip konsepsional, sistematis, konsisten, dan berkelanjutan.

(2) Promosi produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
melalui kegiatan seperti:
a. penyelenggaraan forum seminar, workshop, symposium, dialog, dan konvensi;
b. penyebarluasan informasi melalui media cetak/elektronik;
c. penyelenggaraan Bulan Mutu dan Produktivitas; dan/atau
d. pemberian anugerah produktivitas dan kualitas.

Pasal 5

(1) Promosi produktivitas pada skala nasional dilaksanakan oleh Menteri.


(2) Promosi produktivitas pada skala provinsi dilaksanakan oleh Gubernur.
(3) Promosi produktivitas pada skala Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Bupati/
Walikota.

Pasal 6

Promosi produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus melibatkan peran


serta dunia usaha dan masyarakat.

BAB III
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

Pasal 7

(1) Peningkatan Produktivitas diselenggarakan dengan prinsip relevan, efektif, efisien,


terukur, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
(2) Peningkatan Produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pengembangan budaya produktif, peningkatan kualitas sumber daya manusia,
inovasi teknologi, dan pengembangan manajemen.

(3) Peningkatan Produktivitas dilakukan pada skala mikro dan makro.

Pasal 8

Peningkatan Produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilaksanakan melalui


kegiatan seperti:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. bimbingan teknis dan konsultansi;
c. pengembangan Inovasi; atau
d. kerja sama kelembagaan.

Pasal 9

(1) Peningkatan produktivitas pada skala nasional dilaksanakan oleh Menteri.


(2) Peningkatan produktivitas pada skala provinsi dilaksanakan oleh Gubernur.
(3) Peningkatan produktivitas pada skala Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh
Bupati/Walikota.

Pasal 10

Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus melibatkan


peran serta dunia usaha dan masyarakat.

BAB IV
PENGUKURAN DAN PEMELIHARAAN PRODUKTIVITAS

Pasal 11

(1) Pengukuran Produktivitas meliputi:


a. pengukuran produktivitas individu;
b. pengukuran produktivitas mikro;
c. pengukuran produktivitas makro.

(2) Pengukuran produktivitas individu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan pada orang per orang yang bekerja di perusahaan, instansi pemerintah,
atau kelompok masyarakat.

(3) Pengukuran produktivitas mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilakukan pada skala perusahaan, instansi pemerintah, atau kelompok
masyarakat.

(4) Pengukuran produktivitas makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dilakukan pada skala nasional, sektoral, provinsi, atau kabupaten/kota.
Pasal 12

Pengukuran produktivitas diselenggarakan dengan prinsip valid, reliabel, akurat,


objektif, dan akuntabel.

Pasal 13

Pemeliharaan produktivitas meliputi:


a. pembakuan teknik dan metode peningkatan produktivitas;
b. pelestarian penggunaan teknik dan metode peningkatan produktivitas.

Pasal 14

(1) Dalam rangka menjaga mutu pemeliharaan, perlu dilakukan pembudayaan


produktivitas.

(2) Pembudayaan produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan


dengan prinsip disiplin, konsisten, dan berkelanjutan.

Pasal 15

(1) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala nasional dilaksanakan oleh
Menteri.
(2) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala provinsi dilaksanakan oleh
Gubernur.
(3) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala Kabupaten/Kota
dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 16

Biaya pelaksanaan pelayanan produktivitas bersumber dari APBN, APBD atau sumber
lain yang sah dan tidak mengikat.

BAB VI
KETENTUAN LAIN –LAIN

Pasal 17

Pelaksanaan promosi, peningkatan, pengukuran, dan pemeliharaan produktivitas,


dilaksanakan dalam lingkup jejaring kelembagaan Lembaga Produktivitas Nasional dan
Internasional.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan promosi, peningkatan,


pengukuran, dan pemeliharaan produktivitas diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan


penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

ANDI MATTALATTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 338

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

30 Desember 2009
Kepada Yth,
1. Para Gubernur
2. Para Bupati/Walikota
di -
Seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Nomor : SE.441/MEN/SJ-HK/XII/2009
TENTANG
PELAKSANAAN CUTI BERSAMA DI SEKTOR SWASTA TAHUN 2010

Sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia
Nomor : 1 Tahun 2009, Nomor : SKB/13/M.PAN/8/2009 dan Nomor : KEP.227/MEN/VIII/2009 tentang
Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010 (untuk selanjutnya disebut SKB), dipandang
perlu diberikan penjelasan sebagai berikut :
1. Cuti bersama merupakan bagian dari pelaksanaan cuti tahunan yang dilakukan secara bersama-
sama.
2. Pelaksanaan cuti bersama bersifat fakultatif/pilihan yang dikaitkan dengan cuti tahunan
pekerja/buruh sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang Penetapan
Peraturan Istirahat Buruh.
3. Pekerja/buruh yang bekerja pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti tahunannya tidak
berkurang dan kepadanya dibayarkan upah seperti hari kerja biasa.
4. Pekerja/buruh yang melaksanakan cuti pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti yang
diambilnya diperhitungkan dengan dan mengurangi hak cuti tahunan pekerja/buruh yang
bersangkutan.
5. Oleh karena cuti bersama tersebut bersifat fakultatif/pilihan, pelaksanaannya diatur berdasarkan
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan operasional perusahaan.

Demikian untuk menjadi perhatian.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

ttd

Drs. H. A. Muhaimin Iskandar, MSi


Tembusan :
1. Presiden Republik Indonesia;
2. Wakil Presiden Republik Indonesia;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu Kedua.

You might also like