You are on page 1of 20

ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL

MENURUT PANDANGAN ALI SYARI’ATI


Steven R. Benson*)
Bagaimana umat Islam dapat hidup secara layak di dunia modern?
Inilah salah satu pertanyaan central yang telah banyak menarik
perhatian umat Islam sepanjang abad keduapuluh. Pertanyaan tersebut
terkait dengan sejumlah pengalaman modern: industrialisasi,
kolonialisme dan neokolonialisme, materialisme, kapitalisme dan
komunisme, konsumerisme, kebebasan seks, teknologi angkasa luar,
kebebasan berpikir, dan lain sebagainya. Sebagian menanggapi
persoalan tersebut dengan perasaan rendah diri dan malu karena
bertahun-tahun terisolasi dalam pengalaman kolonial. Mereka
menyaksikan bagaimana kultur tradisional dan agama menjadi
penghambat kemajuan masa depan umat Islam, lalu mereka mengambil
kapitalisme Barat atau ideologi-ideologi Marxis modern sebagai alat
untuk memodernisasikan masyarakat mereka. Sebagian lagi, yang
lebih tradisional, memandang semua bentuk kehidupan modern
sebagai setan, dan dengan cara apa pun menolak berkompromi dengan
pola tatanan modern serta lebih suka mengisolasi diri. Tetapi ada
kelompok ketiga yang menempuh jalan berbeda. Mereka menilai
eksperimentasi Barat telah gagal, tetapi menyadari perlunya menjadi
bagian dari dunia modern. Mereka ingin membangun sebuah
kebanggaan baru tentang warisan Islam di kalangan Muslim dan
menemukan solusi dalam warisan tersebut untuk memungkinkan umat
Islam berpartistpasi penuh dalam dunia modern tanpa hanya meniru
solusi dunia Barat, dan pada saat yang sama tetap berpegang pada
kebudayaan dan keyakinan Islam. Seperti gambaran terakhir inilah
sosok Dr. Ali Syari`ati. Dia dididik dalam dua tradisi—Barat dan Islam
—dan memiliki kemampuan bertutur yang mengagumkan. Dengan
cepat dia membina para pengikut yang sangat bergairah dari
kalangan generasi muda Iran yang terdidik. Dengan penguasaan
yang seimbang antara khazanah sumber-sumber Barat dan sumber-
sumber Islam dan keberaniannya menginterpretasi keduanya secara
bebas, dia memberikan jawaban yang tepat bagi krisis budaya di Iran.
Salah satu gagasan yang dia kedepankan adalah sebuah karya
dedikatif tentang haji yang hanya diberi judul Hajj. Tulisan ini ingin
memperlihatkan bahwa meskipun diramu dalam format dedikatif, buku
Hajj tersebut juga menyajikan pokok-pokok pandangan tentang mistik
dan revolusi. Ini berarti bahwa buku tersebut adalah sebuah karya
berdimensi ganda.

Pesan Syari`ati
Lebih dari segalanya, Syari`ati memandang dirinya sebagai seorang
pembawa pesan tauhid, dan, sesungguhnya dia dapat dikatakan
sebagai seorang Muslim monoteistik yang paling radikal. Dia tidak
puas hanya dengan menjadikan monoteisme sebagai konsep filosofis
atau sebuah doktrin keagamaan. Baginya tauhid lebih dari sekadar
mengatakan hanya ada satu Tuhan dan tidak ada yang lain. Tauhid bagi
Syari`ati adalah sebuah pandangan-dunia (world view):
...tauhid sebagai sebuah pandangan-dunia dalam pengertian teori
saya, berarti memandang alam semesta sebagai satu kesatuan, tanpa
membedakan alam dunia dan alam akhirat, natural dan supernatural,
substansi dan makna, ruh dan jasad. Ini berarti memandang semua
eksistensi sebagai sebuah bentuk tunggal, sebuah kehidupan tunggal
dan organisme sadar .... Saya memandang syirik dalam perspektif
serupa. Syirik merupakan sebuah pandangan-dunia yang
menganggap alam semesta sebagai sebuah himpunan tidak terpadu
yang penuh dengan ketidakmenyatuan, kontradiksi, dan
heterogenitas, memiliki berbagai kebebasan dan sisi-sisi yang
saling bertentangan, tendensi-tendensi yang bertentangan satu sama
lain, keinginan-keinginan yang terputusputus dan beragam,
perhitungan-perhitungan, kehendak-kehendak dan tujuan-tujuan
adat kebiasaan. Tauhid memandang dunia sebagai sebuah
imperium; syirik memandangnya sebagai sebuah sistem feodal.

Satu-satunya dualisme yang dapat diterima dalam pandangan-


dunia Syari`ati tentang tauhid adalah menyangkut yang nyata dan yang
gaib, tanpa ada kontradiksi antara keduanya. Sebagai manusia biasa,
kita memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam memahami
kesatuan alam semesta. Tetapi kita diberi tanda-tanda (ayat) yang
menunjukkan kebenaran kesatuan itu pada kita, dan ketika kita percaya
pada pandangan-dunia yang menyatu ini, akan ada implikasinya dalam
semua kehidupan:

...sifat tauhid yang paling mendasar adalah tidak bisa menerima


kontradiksi atau disharmoni dalam dunia. Menurut pandangan tauhid,
tidak ada kontradisksi dalam semua eksistensi: tidak ada kontradiksi
antara manusia dan alam, ruh dan jasad, alam dunia dan alam akhirat,
hal dan makna. Tauhid tidak juga bisa menerima kontradiksi yang
bersifat legal, kelas, sosial, politis, rasial, nasional, teritorial, genetis
atau bahkan ekonomis. Karena tauhid memandang segala sesuatu
sebagai sebuah kesatuan.
Bagi Syari`ati hal ini bukan sekadar pendekatan filosofis atau
intelektual yang terpisah jauh dari aktivitas sehari-hari kehidupan
manusia.Tentang sebuah "world view" (pandangan-dunia), dia setuju
dengan Sartre bahwa cara pandang seseorang tentang dunia menentukan
cara hidupnya. Sebuah pandangan-dunia yang tidak lengkap atau salah
arah akan membuat manusia menjadi makhluk yang kurang lengkap.
Pandangan-dunia materialistik yang mendominasi abad keduapuluh
berakhir dengan keputusasaan, tetapi pandangan-dunia keagamaan
populer, yang didasari oleh ketakhayulan (superstition),
menggambarkan makhluk manusia sebagai mainan yang kaku di tangan
tuhan Capricious dan mengarah pada penerimaan atas kejahatan secara
tidak manusiawi. Jadi, Syari`ati menghendaki lebih dari sekadar
pembenaran intelektual atas tauhid; dalam versinya, tauhid menuntut
iman:
Dalam pandangan tauhid, manusia hanya takut kepada satu kekuatan,
dan yang bisa dijawab sebelum seseorang mengatakannya. Manusia
berpaling hanya pada satu kiblat, dan mengarahkan keinginan serta
harapannya hanya pada satu sumber. Dan konsekuensinya bahwa
semua yang lain adalah palsu dan tak bertujuan—semua tendensi,
perjuangan, ketakutan, keinginan dan harapan manusia yang beragam
adalah kesia-siaan. Tauhid memberi kemerdekaan dan harga diri pada
manusia. Pengabdian kepada Dia—satu-satunya-penguasa segala
sesuatu—menggugah manusia untuk menggugat semua kekuatan
lain, semua ikatan kerakusan dan ketakutan yang memalukan.
Meskipun Syari`ati menunjukkan komitmen luar biasa terhadap Islam
sebagai satu-satunya kepercayaan monoteistik yang benar, dia bukanlah
seseorang yang memandang Islam sebagai agama transmisi tanpa cacat.
Syari`ati bukan juga seorang yang menganjurkan keyakinan agama
secara taglid buta. Dia melihat adanya bahaya yang besar dalam agama
Kristen (atau bahkan Yahudi) yang dipermukaan tampil sebagai agama
monoteisme tetapi ternyata bersifat politeistik. Tetapi semakin tidak
tampak kepalsuan, semakin mendesaklah bahaya. "Sebuah politeisme
tersembunyi dalam selimut monoteisme adalah yang paling berbahaya
dari segala sesuatu. Tetapi jenis politeisme yang berkembang dalam
Islam, politeisme modern, adalah yang paling dalam, paling
tersembunyi dan paling kuat dari semuanya." Menurut Syari'ati, sebuah
agama semurni dan selengkap Islam bisa saja terjerumus ke dalam
"politeisme" karena kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang haus
akan kekuasaan dan uang secara terus-menerus mencari jalan untuk
merangkul agama untuk menopang tujuan mereka. Dalam hal ini
Syari'ati setuju dengan Marxisme bahwa agama bisa dan telah
digunakan sebagai suatu opiate of the people (racun bagi masyarakat).
Namun dia tidak setuju ketika mereka mengatakan bahwa agama
menghambat kemajuan dan harus dibuang. Syari'ati menegaskan bahwa
hilangnya perasaan keagamaan, nilai-nilai dan visi keduniaan dalam
peradaban modern telah menjadi penghambat utama bagi terciptanya
keadilan di muka bumi. Bila agama telah dijadikan sebagai alat untuk
mempertahankan status quo, maka tradisi keagamaan akan menjadi
penghambat terbesar ke arah pemahaman keagamaan yang benar.
Agama bukan harus ditolak, tetapi dibersihkan. Dalam pandangan
Syari'ati, model ini dapat dilihat dalam renaisans Eropa. Menurut dia,
peristiwa itu bukanlah membuang agama, tetapi suatu reformasi agama
dengan kembali ke akarnya dalam rangka "mengubah racun menjadi
sebuah energi dan kesadaran yang melahirkan kekuatan." Dalam
pengertian itu, Syari'ati mengatakan bahwa "transformasi dari Katolik
ke Protestan berarti mengubah semangat keagamaan yang korup
menjadi sebuah semangat keagamaan sosial," dan dalam
pandangannya, transformasi dapat diistilahkan sebagai suatu
Islamization of Christianity (pengislaman Kristen) sebagai akibat dan
jalur penemuan kembali. Pada masa hidupnya, Syari'ati menginginkan
terjadinya reformasi seperti ini dalam Islam. Perjuangan antara
agama benar dan agama palsu, antara monoteisme dan politeisme ini
telah berlangsung sejak Qabil dan Habil. Syari'ati
menginterpretasikan kisah tentang Qabil dan Habil (sebagaimana dia
menginterpretasikan kebanyakan kitab suci dan hadis) dengan bahasa
yang sangat simbolik. Meskipun keduanya adalah anak Adam,
menjadi pewaris agama Adam, keduanya menempuh cara hidup yang
berbeda. Menurut Syari`ati:
Habil merepresentasikan sebuah fase dalam sejarah manusia di mana
kehidupan (sumber produksi) bergantung pada alam; memancing
dan beternak binatang. Di pihak lain, Qabil merepresentasikan
sebuah fase dalam sejarah manusia di mana sumber produksi
menjadi hak monopoli dan munculnya pemilikan pribadi.
Perbedaan-perbedaan ini menimbulkan dua ekspresi keagamaan yang
sangat berbeda, masing-masing sesuai dengan kebutuhan pengikut-
pengikutnya. Mereka bertentangan satu sama lain karena yang satu
adalah agama Tuhan, sementara yang lain bertujuan membenarkan
keakuan dan kerakusan manusia:
...agama yang sama dibagi menjadi dua agama yang saling
bertentangan dalam dua individu. Yang satu menjadi dasar
pembenaran bagi keuntungan-keuntungan Si Qabil dan keuntungan-
keuntungan pribadi, dan yang lainnya menjadi sebuah faktor dalam
membenarkan kebenaran-kebenaran dan keluhuran Si Habil. Dua
agama ini telah bertempur satu sama lain sepanjang sejarah manusia.
Dalam interpretasi historis Syari`ati yang kreatif dan simbolik,
Qabil dan Habil menjadi metafor dua kelas masyarakat dalam sejarah
arah manusia. Qabil merepresentasikan masyarakat yang memiliki
kekuatan, kekayaan, otoritas orang-orang yang mengambil keuntungan
dari kekayaan alam dan mereka yang mengeksploitasi orang lain dalam
rangka meningkatkan keuntungan mereka dan melindungi milik
mereka. Habil merepresentasikan mereka yang tertindas di muka
bumi, mereka yang digunakan oleh orang-orang kuat dan dipertahankan
dalam posisi tidak berdaya dan miskin sehingga tidak dapat mengambil
keuntungan dari kekayaan alam yang disediakan oleh Tuhan sebagai
rahmat bagi semua orang. Jelas sekali terdapat "subkelas" yang
berbeda-beda dalam kelas si kaya dan si kuat. Tidak semua orang
memainkan peran yang sama. Sesungguhnya kontrol terhadap massa
seperti itu tidak akan mungkin tanpa sebuah front yang bersifat
multifaceted, tetapi sangat menyatu, berkonspirasi untuk
mempertahankan kontrol atas sumber-sumber kekayaan yang ada.
Dalam kalimat Syari`ati, koalisi ini adalah suatu "politeisme sosial".
Menurut dia, perubahan teologis dari monoteisme menjadi politeisme
adalah suatu pertumbuhan alamiah dan respon terhadap tatanan sosial
yang mempertahankan kekuasaannya melalui sebuah sistem sosial
kontrol yang bersifat "politeistik". Ini bukanlah hal yang mengejutkan,
karena mereka yang menikmati privilese dan status kepemimpinan
agama yang sudah mapan adalah bagian integral dari tatanan sosial yang
bersifat eksploitatif ini. Syari`ati menamakan tatanan sosial ini sebagai
sebuah trinitas:
Di dalam Al-Quran juga dalam Bibel), uang, kekuatan, dan agama
tampil dalam tiga personifikasi: Fir`aun sebagai simbol kekuatan,
Croesus sebagai simbol kekayaan, clan Balaam Ba-Ura (Clergy)
yang memonopoli agama. Tiga simbol ini menggambarkan sistem
Qabilian. Kita cenderung memandang trinitas sebagai satu tuhan
yang memiliki tiga atribut. Tetapi dalam realitas ini adalah kelas
penguasa dalam sejarah yang tampil sebagai kelas tunggal yang
memiliki tiga atribut; Clergy, Fir'aun, dan Croesus yang
menentang Musa sebagai sebuah unit tunggal.

Mereka yang menjadi korban penindasan Qabilian ini adalah


anak-anak Habil, dan mereka adalah yang berjuang memperbaiki
kesalahan-kesalahan tersebut di dalam masyarakat, bukan karena
tidak ada keinginan untuk turut menikmati sumber-sumber alam, tetapi
karena Tuhan telah memberikan kepada semua manusia tanggung jawab
untuk menampilkan kehendak Tuhan pada semua makhluk.
Sebagaimana kebanyakan intelektual Muslim modern, Syari`ati
mengambil tugas- tugas yang diberikan pada Adam sebagai Khalifah
Tuhan di muka bumi. Dalam interpretasi Syari`ati, ini adalah tugas
untuk semua manusia yang diberikan melalui Adam, dan sebagai tanda-
tanda tingginya kedudukan manusia di sisi Tuhan. "Misi manusia di
muka bumi adalah mengisi pekerjaan-pekerjaan kreatif Tuhan dalam
alam semesta." Misi kreatif ini lebih dari sekadar mengamankan jiwa
abadi manusia; ia setara dengan keprihatinan terhadap realitas fisik dan
temporal eksistensi bumi. Syari`ati memandang sejarah sebagai
catatan setiap masyarakat dalam memilih antara keduniaan atau
asketisme, tetapi Islam menuntut perhatian pada keduanya, karena
Tuhan telah menciptakan manusia menjadi "makhluk dua dimensi yang
terdiri dari jiwa dan tubuh." Makhluk Tuhan seharusnya "adil, kesatria
yang peka, dan individu-individu konstruktif yang berkeinginan untuk
mengembangkan masyarakat yang lebih baik dan membangun
keadilan." Ironisnya, apa yang mendorong manusia tetap melaksanakan
perintah Tuhan adalah hal yang sama dengan apa yang memungkinkan
mereka melalukan hal tersebut. Sejak awal kejadiannya, pria dan
wanita mempunyai dua aspek; di satu pihak, mereka diciptakan dari
"lumpur," atau bahan kotor dari bumi; di pihak lain, mereka
diciptakan dari semangat ketuhanan, yaitu aspek yang paling mulia
dalam alam semesta. "Kepercayaan" yang diberikan kepada manusia
sebagai khalifah adalah kehendak dan pilihan. Satu-satunya superioritas
yang dimiliki manusia adalah bahwa manusia bisa dengan bebas
memilih yang baik dan yang buruk, menjadi seperti "lumpur" atau
Tuhan. Pemilikan atas kehendak dan kebebasan inilah yang membuat
rasa tanggung jawab menjadi perlu dalam tugas-tugas kekhallfahan.
Sebagaimana kebanyakan Muslim modern, Syari`ati memandang perlu
memperbaiki pemahaman tradisional tentang predestinasi dengan
menekankan perlunya kebebasan manusia dalam rangka membuang
semua tendensi sikap pasrah pada takdir. Jika masyarakat ingin maju,
maka anggota masyarakat tersebut harus aktif dan bertanggung jawab,
membangun masa depan yang sejalan dengan kehendak Tuhan.
Selama Tuhan memberikan kapasitas untuk memilih antara sifat
"lumpur" dan "ruh" pada manusia, dan selama alam di mana manusia
diciptakan adalah alam "ruh", ternyata sebagai manusia bukanlah
berarti bahwa kita adalah manusia yang sebenarnya. Istilah teknis yang
digunakan Syari`ati untuk mengatakan semua manusia adalah basyar
(kejadian), tetapi belum tentu semua manusia adalah insan (menjadi).
Sementara basyar merupakan kualitas yang dimiliki,
menjadi insan bukanlah peristiwa akhir, tetapi sebuah proses terus
menerus untuk menjadi dan merupakan sebuah evolusi tanpa akhir
menuju infinitas .... Insan memiliki tiga karakteristik: (a) sadar
akan dirinya, (b) bisa memilih, dan (c) bisa menciptakan.
Apa yang membuat kita berada pada tingkat terendah eksistensi kita
sebagai manusia adalah perbedaan tingkat "penjara" yang membatasi
kita melalui cara yang berbeda-beda. Tetapi penjara-penjara ini dapat
dihindari. Alam adalah penjara yang telah membuat batasan-batasan
pada makhluk manusia, tetapi kita dapat menyaksikan bagaimana
dengan kesadaran dan kreativitas yang datang bersama sains dapat
mentransendensikan batasan-batasan alam. Sejarah itu sendiri adalah
sebuah penjara yang cenderung mengikuti siklus alam dan
menghendaki bahwa jenjang-jenjang tertentu dilewati sambil
berkembang, tetapi kita juga telah melihat bagaimana kesadaran dan
kesadaran diri masyarakat dapat membawa semua fare sejarah pada
abad modern. Penjara lain adalah masyarakat, tetapi sosiologi telah
memberi kita pengetahuan dan kemampuan mentransendensikan dan
melakukan restrukturisasi tatanan sosial dan mengurangi batasan-
batasan yang ada di dalamnya. Tetapi, sementara sains dapat menjadi
alat yang sangat kuat dalam membantu kita mentransendensikan tiga
penjara alam pertama, sejarah dan masyarakat, ia kurang berguna dalam
membantu kita untuk bisa lolos dari penjara terakhir, yang paling kuat
dan mematikan karena merupakan penjara internal ketimbang
eksternal, sehingga lebih sulit mengetahui keberadaannya. Penjara
terakhir yang di dalamnya seseorang harus meloloskan diri adalah
dirinya sendiri. Ini terjadi bila ada dimensi ekstra yang mendorong
seseorang untuk bisa dan harus meloloskan diri dari penjara dirinya, dan
ini mengisyaratkan adanya hubungan yang potensial dengan sejenis
kekuatan transendental. Syari`ati menjelaskan bahwa satu-satunya cara
yang bisa membantu seseorang meloloskan diri dari penjara dirinya
adalah suatu "almighty force" (kekuatan mahakuasa) di dalam inti
kejadian seseorang yang mampu meledakkan seseorang menjadi
berkeping-keping dan membantu seseorang untuk memberontak
melawan dirinya sendiri. Syari`ati menamakan kekuatan ini cinta: "cinta
adalah menyerahkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tanpa
mengharap imbalan apa pun." Syari`ati memahami bahwa hanya dengan
pengorbanan diri seperti ini seseorang dapat mentransendensikan
dirinya. Tahapan pengorbanan diri adalah itsar, memilih kematian
hidupmu, keuntungan, reputasi, kebahagiaan, ketenanagan, makanan,
dan seterusnya, demi orang lain. "Manusia dapat membebaskan dirinya
dari penjara yang terakhir .... Pada tahap inilah seorang manusia bebas
dilahirkan." Hanya dalam diri manusia yang "bebas" terdapat harapan
adanya Islam yang modern dan kuat. Dunia Islam masih tetap
diperbudak, tidak hanya oleh kekuatan Barat, tetapi juga oleh
keterbelakangan spiritualnya sendiri:
Adalah tidak mungkin mencapai kemerdekaan ekonomi tanpa
mencapai kemerdekaan spiritual, begitu juga sebaliknya. Keduanya
saling terkait dan saling melengkapi .... Selama orang Timur merasa
dirinya merdeka, terhormat dan berharga, dia tidak akan pernah
mengulurkan dan mengepak-ngepakkan ekornya ke mulut Barat
untuk memberikan sesuatu padanya.
Menjadi manusia yang benar-benar bebas berarti tidak
menghambakan diri atau bergantung pada kultur Barat; tidak juga
diperbudak oleh tradisi sendiri yang telah dimanfaatkan untuk
kepentingan golongan yang kuat di suatu negeri. Syari`ati membuat
perbedaan yang tajam antara true Islam (Islam yang benar), yang dia
kembalikan kepada Ali, dan Islam "Safawi" yang dia pandang sebagai
nasionalisme berkedok agama, sehingga sepertiga dari "trinitas"
memperbudak manusia dengan racun agama. Manusia yang benar-benar
bebas akan dibimbing oleh keyakinan dan ideologi. Figur seperti ini
tidak akan diperbudak oleh struktur kekuasaan lokal dan tidak juga
tergoda oleh sistem asing dengan janji-janji kosongnya. Pribadi seperti
itu akan bebas memilih dari semua teknologi yang tersedia yang akan
efektif dalam memenuhi kebutuhan kebutuhan lokal dengan cara yang
harmonis dengan tujuan-tujuan agama yang benar, karena pribadi
seperti itu hanya diperbudak oleh keyakinan dan ideologi:
Keyakinan dan ideologi adalah pembawa keajaiban sepanjang masa;
keduanya membangkitkan semangat Messianic dalam wahana suatu
bangsa dan jenazah sebuah suku. Dan seperti terompet Israfil,
keduanya membangkitkan kematian dan memulai kebangkitan.
Tetapi revolusi seperti itu tidak bisa dilaksanakan hanya oleh
segelintir individu yang berilmu dan berdedikasi. Reformasi yang
digambarkan Syari`ati bukanlah revolusi para elite:
Individu-individu terdidik mungkin bisa menjadi pemula yang baik,
tetapi dalam rangka menerjemahkan ideologi ke dalam realitas dan
mendorongnya menuju kesempurnaan, massa-lah yang selalu menjadi
elemen yang praktis dan bertanggung jawab.

Tugas kelompok terdidik dan para pemikir tercerahkan adalah


mendidik dan mencerahkan semua masyarakat, agar sebuah kultur Islam
yang benar mengukir kemerdekaan dan kebebasan sepanjang abad
kedua puluh. Inilah ringkasan singkat dari sistem berpikir yang
ditawarkan oleh Syari`ati sebagai solusi bagi permasalahan yang
dihadapi Islam di Iran dan bagi umat Islam lain yang tertindas oleh
kekuasaan dari negerinya sendiri atau dari luar. Sangat jelas bahwa dia
menginginkan sebuah revolusi (dalam artian lebih luas dan tidak
sekadar berarti pemberontakan bersenjata). Tetapi ada satu lagi isu
yang perlu diangkat sebelum membahas bukunya Hajj, yaitu,
evaluasi Syari`ati terhadap mistisisme. Referensi tentang tasawuf
banyak terdapat dalam kuliah-kuliah dan buku-bukunya, yang di hampir
semuanya Syari`ati berbicara negatif tentang tasawuf, terkadang
bahkan sangat negatif. Seperti telah kita lihat bahwa dia menggunakan
konsep-konsep dan terminologi untuk menjelaskan agama yang benar
yang memiliki nuansa mistik secara khas. Ungkapan-ungkapan seperti
"sebuah evolusi tanpa akhir menuju ketakterbatasan", "memandang
semua eksistensi sebagai bentuk tunggal, sebuah kehidupan dan
organisasi radar yang tunggal", "kekuasaan super di dalam inti
kejadian" sangat mendorong mistisisme. Kunci kontradiksi ini didasari
oleh perbedaan yang telah kita bahas sebelumnya, antara Islam Safawi
dan Islam Ali. Meskipun keduanya memiliki karakteristik keagamaan
yang dapat dikenal, yang satu tetap mempertahankan kualitas orisinal
agama Adam, sementara yang lainnya telah terdistorsi dan dijadikan
sebagai alat pengabdi bagi Qabil. Tidaklah sukar memahami
bagaimana Syari`ati tertarik pada beberapa aspek pendekatan mistis
terhadap agama, meskipun dia mempunyai penilaian yang negatif
terhadap persaudaraan sufi yang kuat di Iran pada masa hidupnya. Dia
memandang pendekatan sufi terhadap agama sebagai suatu ekspresi
yang terlalu mudah menghanyutkan para pengikutnya di dalam ekstase
mistik dan menghindari kebutuhan real yang berkenaan dengan aktivitas
keberadaan diri. Suatu yang tidak terbatas. Sebagaimana dengan mistik,
pengalaman terpenting tentang Tuhan menurut Syari`ati bukanlah
perkataan tentang Tuhan, tetapi cukup dengan kehadiran Tuhan dan
"merasakan" kehadiran dan kekuatan cinta Tuhan:
Di tengah-tengah suasana yang suci ini, tak satu pun yang hadir dalam
alam pikiranmu—bahkan tidak pikiran-pikiran Allah karena Allah
berada di mana-mana! Kamu bisa mencium-Nya sama seperti bunga
Mawar yang bisa dicium; kamu bisa merasakan kehadiran-Nya di
telingamu, mata, hati dan di dalam tulang-tulangmu; ... kamu bisa
merasakan-Nya pada kulitmu sebagai sebuah elusan, sebagai cinta!
Tujuan ibadah haji secara keseluruhan bukanlah sekadar
melaksanakannya, tetapi untuk terlibat di dalamnya dengan cara mistis
yang mendalam sehingga membawa pelaksananya melampaui batasan-
batasan pengalaman sebelumnya:
Haji sama seperti alam; gambaran Islam yang utuh-Islam bukanlah
"kata-kata" tetapi dalam "aksi" ! la adalah "simbol." Semakin jauh
kamu menyelam ke dalam lautan ini, semakin jauh pula kamu dari
dasarnya; ia tidak punya akhir! ia bermakna sebanyak yang "kamu
mengerti." Orang yang mengklaim bahwa dia mengetahui segalanya
adalah orang yang sesungguhnya tidak mengerti apa-apa!
Ini dikarenakan apa yang bisa dimengerti berada di luar wilayah ilmu
pengetahuan biasa, tetapi lebih merupakan milik wilayah emosi atau
perasaan yang tidak dapat dipahami sepenuhnya. "Perasaan" dan
"kesadaran" tentang kehadiran Tuhan inilah yang mengajarkan para
peziarah (haji) tentang ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dan lebih
dalam dari apa yang bisa dicapai baik dengan sains maupun teologi. Ini
menumbuhkan "kesadaran yang dalam" pada diri seorang Muslim yang
taat yang akan dibutuhkan jika seseorang ingin benar-benar terbebas dari
batasan-batasan yang membuat manusia menjadi budak:
Hikmah adalah sejenis ilmu pengetahuan atau wawasan akut yang
dibawa oleh Nabi kepada manusia dan bukan oleh para saintis atau
filosof. Ini adalah jenis ilmu pengetahuan dan kesadaran diri yang
dikehendaki Islam. la tidak hanya melahirkan saintis, tetapi intelektual
yang sadar dan bertanggung jawab.
Apakah perbudakan itu bersifat internal atau eksternal, hambatan
pertama untuk mengatasinya adalah kebodohan, hanya bila kebodohan itu
dapat dikalahkan dengan pencerahan, maka akan dicapai kebebasan dan
kemajuan nyata:
[Sistem tirani] bisa berhasil karena kebodohan. Masyarakat harus
tahu bahwa apa yang dibawa oleh si pembawa pesan (rasul) kepada
mereka bukanlah senjata tetapi risalah, ilmu pengetahuan, kesadaran
dan "cahaya.”
Tetapi penekanan Syari`ati pada supremasi ilmu pengetahuan,
kesadaran dan pencerahan sama sekali tidak berarti dia menolak jalan
tindakan. Dia menekankan bahwa di mana pun pelajaran-pelajaran ini
dipelajari, "orang-orang yang mempelajari pengetahuan ini berjuang
untuk mendapatkan kebebasan manusia karena Allah." Jalan hidup
spiritual yang ditawarkan Syari`ati meliputi penggunaan semua
sumber yang dimiliki seseorang untuk keuntungan semua ciptaan
Tuhan, bahkan sumber dari kehidupannya sendiri:
Untuk mencapai kemuliaan, Anda harus terlibat secara genuine
dalam problem yang dihadapi masyarakat .... Ini termasuk
melaksanakan kebaikan, kesetiaan dan membatasi diri dari berbagai
kesenangan hidup, menderita dalam penahanan dan pembuangan,
bertahan dari aniaya dan menghadapi berbagai bahaya .... Nabi
Muhammad Saw. bersabda: “Setiap agama memiliki jalan hidup
kebiaraan. Dalam Islam-jalan hidup itu adalah jihad.”
Kemuliaan pribadi tidak bisa dicapai dengan mengisolasi diri dari
masyarakat atau terpisah dari makhluk karena peran khas yang telah
diberikan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah di bumi. Seperti
telah ditegaskan sebelumnya, Syari`ati sepakat dengan sebagian
besar tokoh modernis Muslim bahwa peran itu adalah sebuah
kebenaran yang mapan bahwa kepercayaan yang telah diberikan pada
Adam berlaku untuk semua manusia. Dia menerima penderitaan pada
puncak pekerjaannya untuk secara kokoh membina pikiran para
pembacanya dengan suatu pemahaman bahwa kegagalan atau
keberhasilan seseorang sebagai manusia (apakah seseorang dapat
dipandang sebagai "ruh" atau "lumpur") ditentukan oleh sejauh mana
seseorang melaksanakan kepercayaan ini. Haji melahirkan sebuah
tanggung jawab khusus dan memberikan pertanda tentang kehadiran
Tuhan di dunia yang hidup seolah-olah sebelumnya tidak ada Tuhan.
Sekembali dari haji, seorang peziarah "menjadikan bumi ini sebagai
masjid yang aman ... karena bumi adalah masjid Allah betapapun Anda
tidak melihatnya dalam realitas! " Tetapi jika seluruh bumi menjadi
sebuah "masjid yang aman," ia akan mengambil banyak orang yang
telah mengasumsikan tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka
sendiri. Perjuangan juga harus mencakup usaha mendorong atau
mendesak orang lain untuk bertindak secara lebih harmonis dengan
kehendak Tuhan. Hal ini hanya proporsional dalam sebuah sistem yang
mengklaim kualitas integral dan terpadu bagi semua eksistensi, karena
"menurut monoteisme .... setiap orang tidak hanya bertanggung jawab
pada tindakan-tindakannya sendiri, tetapi juga terhadap tindakan-
tindakan orang lain. Jadi jihad terbesar atau perang suci adalah
memerangi diri sendiri, perang harus juga dilaksanakan untuk
menentang kekuatan-kekuatan dunia yang menghalangi makhluk
Tuhan untuk memenuhi tugas suci mereka, karena segala sesuatu
saling terkait. Bila seseorang tidak memiliki wawasan terpadu tentang
monoteisme, dia akan merasa terpisah atau teralienasi dari orang lain
dan makhluk lainnya. Keterpisahan ini menjadi basis bagi struktur yang
mendorong pemisahan antara sekelompok orang dari kelompok lain
yang pada gilirannya mempertebal perasaan alienasi, dan lingkaran
keruntuhan berlanjut:
Tragedi terburuk yang mengancam penduduk dunia adalah
"alienasi umat manusia"...menjadi tidak manusiawi!..."Humanitas"
[menjadi korban] bilamana "hak-hak kemanusiaan" tidak dihormati.
Sementara pada tingkat realitas setiap kita adalah seorang
khalifah Tuhan, seorang peziarah yang dengan penuh kesadaran
memenuhi kepercayaan itu, bertanggung jawab melakukan segala
kemungkinan untuk menghentikan lingkaran kehancuran. Syari`ati
memandang haji sebagai saat di mana lebih dari satu juta wakil umat
Islam dapat mempelajari tujuan haji, makna kenabian, nilai penting
persatuan, dan nasib bangsa-bangsa Muslim, lalu kembali ke kampung
halamannya, ke dalam komunitasnya untuk mengajarkan yang lain,
menjadi cahaya penerang dalam kegelapan. Hal ini sungguh
memiliki implikasi revolusioner bila dipahami melalui pandangan
Syari`ati tentang saling kebergantungan antara agama dan struktur
sosial. Dengan meginterpretasikan berbagai elemen ibadah haji, maka
tidak mengherankan bila dia menyerang makna "politis" dan "spiritual"
simbol. Semua umat Islam menyaksikan pergantian pakaian pada saat
Miqat sebagai sumber kesetaraan manusia di mata Tuhan, tetapi
implikasinya dijabarkan lebih jauh oleh Syari`ati:

Pakaian adalah simbol pola, preferensi, status, dan perbedaan.


Semuanya menciptakan "batasan-batasan" superfisial yang
menyebabkan "keterpisahan" antarmanusia. Dalam banyak kasus,
"keterpisahan" antar manusia melahirkan "diskriminasi".... Yang
menghasilkan hubungan-hubungan sebagai berikut: majikan dan
budak, penindas dan tertindas, penjajah dan terjajah, kuat dan lemah,
kaya dan miskin ....
Menginterpretasikan simbol-simbol kuno dalam konteks sejarah
modern adalah karakteristik Syari`ati. Kita dapat melihat
bagaimana dia menerapkan tiga simbol—kekuasaan, uang dan
kepemimpinan agama korup—untuk menganalisis mengapa Revolusi
Prancis gagal dalam mencapai hasil yang diharapkan:
Revolusi Prancis menghapus feodalisme, tetapi Croesus yang
dikalahkan di kampungnya bergegas ke kota dan membangun sebuah
bank! Meskipun Fir`aun dipancung dengan guillotine dan
dikuburkan di istana Warsa, dengan suara demokratis dia
dibangkitkan kembali dan didukung dengan uang dan kekuatan sihir
Balaam! DeGaulle lalu berkuasa!
Interpretasi simbolik/modernistik seperti itu lebih dari sekadar kritik
terhadap masyarakat Eropa dan kritik terhadap para pemimpin
bangsa-bangsa Islam yang dipandangnya sebagai pelopor cara-cara
tidak Islami. Sekali lagi Syari`ati menggunakan data dari Al-Quran dan
sejarah Islam:
Dalam rangka mencegah penyusupan politeisme ke dalam
monoteisme, Anda harus berjuang selama dua puluh tiga tahun,
mengalahkan orang-orang yang sesat, menghancurkan berhala
aristokrasi dan mengatasi kebodohan bangsa Quraisy. Anda harus
menghancurkan tiga basis—kolonialisme, kapitalisme dan
kemunafikan—yang dikalahkan dalam perang Badar, Uhud dan
Khandaq dan menghabiskan berhala yang terakhir melalui dua ratus
tahun imamah. Akhirnya, Anda harus mencegah para penggunjing
yang dikalahkan di seberang Khandaq untuk menyeberang ke pihak
yang menang dan meraih kepemimpinan Islam.
Dapat dipahami mengapa Syah mencegah masyarakat
melaksanakan haji. Jika masyarakat Iran mengalami haji seperti
yang diharapkan oleh Syari`ati, maka tugas keagamaan itu telah
memberikan benih bagi masyarakat untuk secara kritis merefleksikan
rezim Syah clan posisinya dalam neokolonialisme dan statusnya sebagai
pemerintah sebuah bangsa Islam. Bahkan bisa lebih berbahaya,
pengalaman Syari`ati tentang haji, jika dimiliki juga oleh beribu-ribu
yang lainnya, dapat menciptakan sebuah "angkatan perang" rakyat
yang tidak memiliki kendala, baik rasa takut maupun kesetiaan untuk
meruntuhkan rezim yang mereka benci.
Anda akan bebas dari semua alienasi sebelumnya; Anda tidak lagi
akan menjadi sekutu dari kekuatan yang ada, si munafik, ketua-
ketua suku, para penguasa bumi ini, para aristokrat Quraysy, para
tuan tanah, uang. Anda bebas!
Jauh dari pembicaraan tentang jenis kebebasan metaforik, Syari`ati
berulang-ulang secara khusus menyatakan implikasi kebebasan yang
dikehendakinya itulah kebebasan kaum miskin dan orang-orang yang
tak berdaya di bumi dari penindasan dan eksploitasi golongan kuat dan
kaya. Dia berulang kali mengedepankan Habil sebagai simbol korban
tak bersalah dari kapitalisme (hak milik Qabil) dan berkata bahwa:
Keinginan Habil untuk melakukan balas dendam selalu ada dalam
hati kita sebagai sebuah harapan dan harapan .... Monoteisme adalah
obor penyuluh bagi harapan ini ... ditransfer dari tangan ke tangan
dan dari generasi ke generasi .... Dia menjadi revolusi keadilan
dunia, kepemimpinan korban-korban penindasan dan warisan bagi
kaum miskin di muka bumi.
"Batas dendam" ini tidak hanya sesuai dengan kehendak Tuhan,
tetapi Tuhan telah berjanji bahwa revolusi seperti itu akan berhasil dan
memenuhi harapan di mana orang-orang tertindas dapat bergantung:
Allah be janji bahwa Dia akan menyelamatkan dan membebaskan
korban-korban penindasan .... Kelas masyarakat yang di mana-
mana selalu kehilangan hak-hak kemanusiaan mereka, akan
mewarisi istana kekuatan.
Gagasan revolusi seperti itu mengasumsikan bahwa kelompok
tertindas sesungguhnya bukan tidak berdaya—bukan sebagai korban
takdir yang harus diterima baik karena tidak terhindari atau sebagai
kehendak Tuhan. Bagi Syari'ati, pandangan yang kaku tentang takdir
tidak sesuai dengan kepercayaan Tuhan tentang khalifah dan tidak
konsisten dengan panggilan jihad. Bagaimana seseorang bisa berjuang
menghadapi kejahatan bila hasilnya telah ditentukan terlebih dahulu?
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhanlah pengendali terakhir
atau penentu nasib manusia. Dia mengutip Imam Shadiq yang
mengatakan bahwa "Bukanlah .free-will dan bukan juga takdir tetapi
antara keduanya atau kombinasi keduanya," dan menambahkan, "Itu
adalah kebebasan dalam memilih takdir." Tampak sekali bahwa
Syari'ati memandang takdir terjadi melalui proses yang sama dengan
bagaimana Tuhan menciptakan alam dan terus mengoperasikannya
sesuai dengan pola ketuhanan. Manusia memiliki kebebasan memilih
antara kecenderungan-kecenderungan "lumpur" atau "ruh" dan dengan
pilihan-pilihan yang mereka buat ditakdirkan pada suatu jalan menuju
kesatuan atau yang mengarah pada disintegrasi dan alienasi. Salah
satu tujuan utama ibadah haji adalah menghancurkan perasaan tidak
berdaya yang menyebabkan manusia terperangkap dalam situasi dan
pola destruktif, dan menciptakan pola hidup yang terarah dan memiliki
tujuan yang jelas yang secara aktif akan berjuang di jalan Tuhan:
Haji adalah antitesis dari segala sesuatu yang tidak bertujuan. Ia
adalah pemberontakan menghadapi jeratan takdir yang dituntun oleh
kekuatan setan .... Aksi revolusioner ini akan memberikan pada
Anda horizon yang jelas dan jalan yang bebas untuk bermigrasi ke
kekekalan menuju Allah yang mahakuasa.
Tetapi, sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya, jalan
menuju kebebasan seperti ini lebih dari sekadar perjuangan politik
menuju kebebasan politik. Syari'ati menunjukkan bahwa revolusi tanpa
perhitungan telah gagal membawa perubahan yang real karena para
revolusionis itu sendiri belum membebaskan diri mereka dari penjara
akhir, penjara diri mereka sendiri. Haji adalah aksi revolusioner yang
tidak hanya membebaskan seseorang dari tirani kekuatan kontemporer
dunia; ia membebaskan seseorang dari tirani dirinya sendiri. Jika hal
ini tidak terjadi, maka tirani pun akan berlanjut, hanya saja dalam
bentuk yang lain, sehingga haji harus secara konstan dilindungi dari
perangkap dan tipu daya setan:
...jangan pernah berpikir bahwa Anda "tidak berdosa". Jangan pernah
merasa aman dan terlindungi dari tipu daya setan. Anda tidak
selalu kebal dari kekuatan-kekuatan tak terlihat tersebut yang
mengitari manusia. Begitu banyak cahaya kemenangan artifisial yang
akan membuat Anda buta. Dia (Allah) lebih tahu tentang dirimu
ketimbang dirimu sendiri.
Cahaya kemenangan artifisial seperti itu memiliki corak dan
bentuk yang sangat baragam. Ia bisa dalam bentuk tipu daya
kedudukan dan kehormatan. Ia bisa dalam bentuk persahabatan atau
perkerabatan, atau ideologi, atau tradisi agama. Dalam era sains
modern sekarang ini, rasionalisme memperdaya orang untuk menjauh
dari keyakinan dan ketaatan pada Tuhan, dan:
Jika tidak satu pun pendekatan-pendekatan di atas dapat berjalan,
mereka akan menggiring kamu menjadi seorang "crazy consumer"
yang dengannya Anda menghabiskan semua penghasilan untuk dapat
hidup bermewah-mewah. Akibatnya, secara konstan Anda akan
dililit utang dan bekerja setiap hari tanpa mendapatkan sesuatu.
Apa pun "kemenangan artifisial" itu, hal yang paling berbahaya
adalah sesuatu yang paling dikasihi. Apa saja yang memiliki dayatarik
paling besar, yang membuat seseorang terpesona, itulah sesuatu yang
paling kuat dalam kehidupan seorang peziarah untuk menjauhkannya
dari Tuhan. Dengan menggunakan image tentang Ibrahim dalam ibadah
haji, Syari`ati menggambarkan godaan kecintaan ini sebagai putranya,
"Ismail". Inilah yang akan digunakan oleh kekuatan setan untuk tetap
membuat sang peziarah menjadi budak. Inilah sesuatu yang harus
dikorbankan, dilepaskan, sebagai pengabdian pada Tuhan jika sang
peziarah benar-benar ingin bebas dan menjadi khalifah Tuhan yang
benar:
Politeisme menjelaskan tiga posisi ini [tentang Fir`aun, Croesus, dan
Balaam] dalam sebuah sistem berdimensi tiga (Trinitas) sebagai
Bapak, Putra dan Hantu suci! Mereka mengajak Anda menyembah
mereka ketimbang Tuhan yang mahakuasa.... Mereka menginginkan
Anda mencintai si "Ismail" agar mereka bisa menipu Anda,
merampok Anda, membuat Anda bingung, lalu mengubah nilai-nilai
Anda dan membuat Anda tersesat!
Jadi, semua upacara yang dilaksanakan dalam ibadah haji adalah
untuk memungkinkan pelakunya menjauh dari "melayani diri
sendiri" menuju melayani orang lain. Haji dimulai dengan
menghimpun kesadaran individual menjadi kesadaran kelompok di
Miqat:
Di padang pasir ini, semua bangsa dan kelompok berbaur menjadi
satu suku. Mereka menghadap ke satu Ka`bah. Kelompok ini
menjadi "masyarakat" atau sebuah "ummah." Semua keakuan telah
mati di Miqat; apa yang telah tumbuh adalah "kami."
Haji mencapai klimaksnya dengan korban Ismail, yang merupakan
hambatan terbesar dalam perjuangan meninggalkan "keakuan" dan
mengabdi kepada Tuhan dan orang lain untuk mengalahkan kekuatan
setan:
Ibrahim, korbankan putramu Ismail! Potonglah lehernya dengan
tanganmu sendiri untuk menyelamatkan leher orang lain dari
penyembelihan. Orang yang mana? Mereka yang telah dikorbankan
di tangga berbagai istana kekuasaan atau di dekat tumpukan uang
para perampas atau di dalam candi-candi derita dan hipokrisi! ...
Kamu tidak membunuh putramu dan tidak juga kehilangan dia!
Peristiwa ini adalah penguji imanmu. Kamu harus mencapai titik
keinginanmu untuk mengorbankan yang paling kamu cintai
(Ismail) dengan tanganmu sendiri.
Tujuan ibadah haji telah tercapai bila si pelakunya telah mampu
melaksanakan pengorbanan ini dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan
akan nemelihara sang haji sebagaimana Tuhan tidak membiarkan
Ibrahim terbakar oleh api. Namun tujuan ini tidak pernah tercapai
secara penuh. Haji “bukanlah jarak yang akan ditempuh oleh
seseorang, tetapi sebuah tujuan rang dicoba untuk didekati!" Jika
mereka yang berhaji dapat kembali ke negerinya sebagai orang-orang
yang telah membina diri mereka di atas keimanan yang mengarah
pada tujuan ini, lalu mereka akan kembali ke negeri dan desa mereka
seperti "sungai yang mengalir mengairi bumi," nasing-masing
membantu menumbuhkan beribu-ribu benih. Inilah tujuan haji; ia
bukan sekadar tugas keagamaan, tetapi sebuah tujuan yang dengannya
mana Tuhan memperbarui masyarakat. Inilah sebabnya mengapa:
Setelah mengalahkan setan dan kembali dari tempat berkorban, Allah
meminta setiap orang untuk...memperbarui janji mereka ...
melakukan yang terbaik untuk memperkuat iman monoteisme, untuk
menghancurkan semua berhala yang ada di dunia dan membangun
sebuah "masyarakat teladan" yang dilandasi oleh monoteisme dan
untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan, kepemimpinan,
dan keadilan dalam kehidupan manusia.
Buku Hajj yang ditulis oleh Syari`ati bukanlah sekadar sebuah karya
pengabdian tentang haji. Secara eksplisit, ia memuat gugatan
politis. Meskipun buku itu bukanlah salah satu dari banyak buklet
politik/keagamaan yang dikenal di setiap komunitas keagamaan dan
setiap kultur politik, ia adalah buku tiga dimensi, suatu mistik.
Syari`ati tertarik kepada sesuatu yang lebih dari sekadar membuat
perubahan agama atau membangun sebuah pengikut politik. Dia tahu
bahwa kedua ideologi tersebut semuanya bisa terlalu mudah
dibelokkan dan dijadikan alat untuk mengabdi kejahatan. Sehingga dia
berpaling pada satu-satunya disiplin yang dinilainya mampu
menjernihkan jiwa manusia—mistisisme. Meskipun dia menolak
mistisisme untuk dirinya sendiri, dia yakin bahwa bila mistisisme
dikombinasikan dengan kesadaran sosial dan kebebasan individu, dia
akan memiliki kekuatan untuk memotivasi manusia menuju tingkat
pengabdian kepada "bukan dirinya sendiri" yang tidak mungkin dicapai
dengan resep lain mana pun. Ini hanya akan dicapai oleh individu-
individu yang telah mengkombinasikan kesadaran cerdik seorang
analis politik dengan dedikasi pengorbanan diri seorang mistikus
sehingga orang berani berkata:
Kamu seperti Ibrahim! Perangilah api penindasan dan kebodohan
agar kamu bisa menyelematkan masyarakatmu. Api tersebut berada
dalam takdir setiap individu yang memiliki rasa tanggung jawab ...
tetapi Allah menjadikan tempat api Namrud dan para pengikutnya
menjadi taman mawar bagi Ibrahim dan para pengikutnya. Kamu
tidak akan terbakar atau hancur jadi debu. Ini mengajarkan kamu
untuk bersiap melompat ke dalam api untuk jihad.
Hartford, Connecticut

*) Diterjemahkan oleh M. Sirozi dari Steven R. Benson, "Islam and


Social Change in the Writings of 'Ali Shari'ati: His Hajj as a
Mystical Handbook for Revolutionaries", yang dimuat dalam The
Muslim World, vol. LXXXI, No. I., 1991.
31

You might also like