You are on page 1of 87

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam penulisan yang bersifat ilmiah, sudah barang tentu setiap

penulisannya memiliki alasan yang berbeda-beda sesuai dengan maksud dan

tujuan dari penulis, dalam mengadakan penelitian terhadap suatu masalah yang

akan ditelitinya. Demikian halnya dengan penyusunan skripsi ini, tidak terlepas

dari permasalahan tersebut diatas sesuai dengan maksud dan tujuan, situasi atau

kondisi masyarakat kita dewasa ini.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada akhir-akhir ini tindak pidana yang

dilakukan oleh anak atau remaja semakin meningkat, meresahkan masyarakat dan

menyebabkan terjadinya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh anak atau

remaja tersebut. Hal ini dapat kita ketahui melalui berbagai mass media yang

antara lain : radio, surat kabar, televisi, majalah, serta media cetak lainnya dan

bahkan dari internet yang memberi kita informasi mengenai masalah kejahatan

yang dilakukan oleh anak atau remaja tersebut.

Batasan yang diajukan dalam menelaah mengenai pengertian anak /

remaja, berdasarkan dari pendapat pakar-pakar psikologi (Drs. Andi Mappiare

mengutip Elizabeth B. Hurlock) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak)

menyebutkan bahwa pengertian remaja adalah suatu batasan usia dengan rentang

usia antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun.
2

Sedangkan pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga dalam

batasan konsep penulisan hukum ini adalah bagi anak / remaja dalam rentang usia

antara 13 – 21 tahun.

Di bawah ini penulis ketengahkan beberapa contoh-contoh bentuk

kenakalan anak / remaja yang berpotensi menimbulkan kejahatan yang dilakukan

oleh anak atau remaja, dan dapat dikategorikan kepada perbuatan yang dapat

meresahkan masyarakat :

1. Perkelahian pelajar antar Sekolah Menengah Pertama maupun perkelahian

pelajar antar Sekolah Menengah Umum.

2. Kebiasaan merokok, menyalahgunakan narkotika serta minum-minuman

keras yang meresahkan masyarakat dan menimbulkan dampak negatif di

lingkungan masyarakat.

3. Menyalahgunakan atau mempergunakan berbagai macam obat-obatan

perangsang dan melihat adegan atau pertunjukan 17 tahun keatas yang

dapat memacu timbulnya kejahatan asusila atau perbuatan cabul.

4. Sering bergaul dengan wanita-wanita yang mempunyai reputasi kurang

baik di dalam lingkungan masyarakat, sehingga menimbulkan tradisi Sex

Bebas.

5. Kebebasan bergaul tanpa adanya pengawasan yang dapat menimbulkan

sikap brutal, liar dan anarki anak atau remaja.

6. Perjudian dikalangan anak atau remaja.


3

Mengenai kenakalan anak atau remaja tersebut kita tidak dapat

menyalahkan mutlak sepenuhnya, bahwa anak atau remajalah yang bersalah.

Karena remaja sebelum menginjak masa remajanya, tentu melewati masa anak-

anak yang tidak terlepas dari bimbingan orang tua dan juga keberadaan

lingkungan tempat tinggalnya. Dalam hal ini penulis analisa bahwa masa anak-

anak adalah cikal bakal yang akan membentuk kepribadian menjadi remaja yang

dewasa dan berbudi luhur bila pada masa anak-anak mereka dididik dengan baik,

teratur, diberi kasih sayang dan perhatian yang cukup. Sebaliknya apabila pada

masa anak-anak kurang atau tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari

orang tuanya, maka kelak anak tersebut dapat menjadi remaja yang kurang

berkepribadian, nakal dan hidup tidak teratur sehingga pada akhirnya

menyebabkan anak atau remaja tersebut terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif.

Sehubungan dengan masalah kenakalan anak-anak, banyak faktor

penyebab yang bisa disebutkan disini :

1. Kondisi pertumbuhan.
2. Kerusakan syaraf.
3. Tidak memperhatikan kebutuhan anak.
4. Pendidikan buruk.
5. Faktor perasaan.
6. Penyakit kejiwaan.
7. Faktor kesehatan.
8. Faktor kejiwaan.
9. Faktor peraturan.
10. Faktor ajaran buruk.1

Apabila kita berbicara mengenai masalah kenakalan anak atau remaja,

tidak terlepas dari generasi muda sebagai penerus cita-cita luhur bangsa Indonesia.

Oleh karena itu mutlak diperlukan adanya pembinaan generasi muda sesuai

1
Ali Qaimi, Keluarga & Anak Bermasalah, Cahaya, Bogor, 2002, hal. 33.
4

dengan kepribadian bangsa dan Negara Indonesia yang berdasarkan kepada

Pancasila (sebagai falsafah ideologi Negara dan bangsa Indonesia) serta Undang-

Undang Dasar 1945 dalam rangka menciptakan manusia Pancasilais. Manusia

Pancasilais disini mempunyai arti bahwa generasi muda Indonesia adalah

manusia yang baik mental maupun spiritualnya, dalam arti kata manusia yang

menjadi warga Negara yang baik serta menjadi warga dunia yang baik pula serta

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Generasi muda khususnya generasi

muda Indonesia di dalam pembangunan dewasa ini, harus dibimbing dan

diarahkan agar menjadi manusia-manusia yang bertanggung jawab kepada hak

dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik, agar tercipta dan tercapainya

masyarakat adil dan makmur serta sejahtera tentram berdasarkan kepada Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kebijaksanaan yang didasarkan atas keinginan masyarakat haruslah

dipupuk dengan menyempurnakan usaha-usaha pemerintah dalam rangka

pembinaan terhadap generasi muda tersebut, baik usaha penyempurnaan dalam

bidang perencanaan, pengarahan, pembinaan serta pembiayaan sekaligus dengan

pelaksanaannya pada anak atau remaja tersebut. Sehubungan dengan pembinaan

generasi muda ini, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh anak atau remaja

sebagai generasi muda bangsa Indonesia adalah merupakan suatu kejahatan

maupun pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat dan Undang-Undang

khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), Undang-Undang No.

3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002
5

tentang Perlindungan Anak yang telah banyak menarik perhatian masyarakat

umum atas permasalahan terhadap anak atau remaja tersebut.

Lingkungan keluarga merupakan faktor yang sangat dominan sekali di

dalam hal penanggulangannya, baik ke dalam lingkungan keluarga sendiri

maupun di luar lingkungan keluarga yang secara otomatis pengawasan terhadap

anak atau remaja berkurang. Sehingga nantinya dapat terlihat intensitas peran

suatu rumah tangga dan pengaruhnya terhadap kenakalan anak atau remaja serta

perkembangan kehidupan remaja yang dilahirkan dalam suatu rumah tangga

maupun baik-buruknya sikap dan tingkah laku seorang anak atau remaja dalam

lingkungannya maupun dalam keluarganya tersebut.

Pembangunan di Negara Indonesia selama kurun waktu masa orde baru

hingga masa reformasi saat ini, telah banyak membawa perubahan-perubahan di

seluruh sektor kehidupan baik itu ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.

Perkembangan dan perubahan yang terjadi antara lain adalah perubahan dari

masyarakat agraris menjadi masyarakat agraris yang berorientasi kepada kegiatan

industri, perdagangan dan jasa. Hal ini juga dilecut oleh adanya dampak

globalisasi yang secara tidak langsung juga mempengaruhi gaya hidup masyarakat

Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, kemajuan pembangunan sarana dan

prasarana fisik di wilayah perkotaan serta timbulnya dampak dari perubahan

orientasi pekerjaan masyarakat desa di usia yang produktif dari pertanian ke non-

pertanian, mendorong lajunya migrasi secara besar-besaran dari desa ke kota. Hal

inilah yang membuat populasi kehidupan wilayah perkotaan menjadi meningkat,

sehingga menimbulkan prospek pekerjaan yang lebih luas di wilayah perkotaan.


6

Tetapi di sisi lain kondisi pendidikan di daerah pedesaan pun lebih mengarah

kepada pendidikan umum yang memberi pilihan alternatif minat pekerjaan,

dimana ruang pekerjaan semakin berkurang yang menyebabkan keterbatasan

pekerjaan bagi para lulusan pendidikan yang ada.

Wilayah Kota Bekasi yang merupakan salah satu bagian dari daerah

industri di Jabotabek mengalami perkembangan yang pesat di segala bidang

pembangunan. Mulai berdirinya Mall, Perusahaan-perusahaan di bidang industri,

perdagangan dan jasa hingga terpenuhinya sarana dan prasarana umum, seolah-

olah menjanjikan kesejahteraan bagi para penduduk dan juga para pendatang.

Dengan sendirinya, dari tahun ke tahun populasi penduduk kota bekasi mengalami

peningkatan jumlah dengan cepat. Keterbatasan lahan-lahan perkotaan bagi

kepentingan pemukiman membuat sebagian warga yang kurang mampu,

menempati sudut-sudut kota yang padat, kumuh dan berbagai keterbatasan serta

kekurangannya. Di lain sisi, gemerlap kehidupan kota bekasi yang lain

menggambarkan kemajuan ekonomi tersirat dari berbagai atribut kemakmuran.

Dampak dari perubahan sosial yang pesat ini dapat di lihat pada sikap dan

perilaku masyarakatnya. Meningkatnya penyimpangan perilaku sosial merupakan

salah satu akibat yang harus diterima oleh masyarakat yang sedang membangun,

masyarakat yang sedang mengalami perubahan kearah masyarakat modern.

Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh anak atau remaja, sehingga

berbuah timbulnya suatu kejahatan dewasa ini menjadi suatu permasalahan yang

serius dan mengkhawatirkan serta harus segera ditanggulangi. Cukup beralasan

apabila masalah kenakalan anak atau remaja ini dianggap sebagai permasalahan
7

nasional, yang harus ditanggulangi secara efektif dan sedini mungkin oleh bangsa

Indonesia pada umumnya. Pemerintah dan instansi yang terkait dengan masalah

kenakalan anak atau remaja pada umumnya, adalah pihak yang sangat berperan

dalam penanggulangan kejahatan yang disebabkan oleh anak atau remaja tersebut.

Sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan bersama yaitu adanya suatu

kehidupan yang adil dan makmur serta menyelamatkan para generasi muda

Indonesia sebagai asset bangsa dan Negara yang nilainya sangat berharga.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis mengajukan Penulisan

Hukum dengan judul, : “PENANGGULANGAN KENAKALAN ANAK /

REMAJA YANG MENIMBULKAN KEJAHATAN DI KOTA BEKASI ”.

B. Perumusan Masalah

Di dalam penelitian ini ada beberapa pokok permasalahan yang akan

penulis kemukakan dan berkaitan erat dengan materi penelitian yang akan penulis

bahas, adapun masalah-masalah tersebut antara lain :

1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan timbulnya suatu kejahatan yang

ditimbulkan akibat kenakalan oleh anak / remaja ?

2. Sanksi apakah yang dijatuhkan atas timbulnya kejahatan akibat kenakalan

anak / remaja tersebut ?

3. Bagaimanakah usaha-usaha aparat penegak hukum dalam penanggulangan

terhadap timbulnya kejahatan anak / remaja yang diakibatkan oleh kenakalan

anak / remaja tersebut.


8

C. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan ilmiah pastilah mempunyai makna dan tujuan yang hendak

dicapai. Demikian halnya dengan penelitian yang penulis lakukan ini.

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Tujuan Subyektif.

Tujuan penelitian ini adalah guna menyusun penulisan hukum yang

merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa

Fakultas Hukum untuk memperoleh gelar Sarjana ( S1 ) dibidang Ilmu

Hukum.

2. Tujuan Obyektif.

Tujuan obyektif dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya

kejahatan sebagai akibat dari kenakalan anak / remaja.

b. Untuk mengetahui sanksi atau hukuman yang dijatuhkan atas

kejahatan yang dilakukan anak / remaja.

c. Memperoleh cara-cara penanggulangan terhadap timbulnya

kejahatan anak / remaja yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini ditujukan kepada :

1. Bagi Mahasiswa.
9

Agar para mahasiswa khususnya mahasiswa fakultas hukum dapat

menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai kejahatan yang

ditimbulkan akibat kenakalan anak / remaja secara menyeluruh dari

pada masyarakat umum di dalam mengkaji dan menganalisa serta cara

penangulangannya.

2. Bagi Masyarakat.

Agar masyarakat dapat lebih sensitif terhadap suatu permasalahan

yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat, dalam hal ini

menyangkut pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan hukum.

Sehingga pada akhirnya masyarakat dapat mengerti dan menjalankan

setiap aspek kehidupan berdasarkan hukum.

E. Tinjauan Pustaka

Kenakalan anak atau remaja yang pada zaman yang semakin modern ini

semakin mencemaskan dan menjurus pada timbulnya kejahatan, yang sangat

dikhawatirkan pada masa depan bangsa dan Negara Indonesia kelak. Hal ini

tentunya menjadi suatu permasalahan pokok, karena anak atau remaja merupakan

buah yang akan dipetik keberadaannya demi kelangsungan kehidupan berbangsa

dan bernegara dimasa depan nanti. kenakalan anak atau remaja yang dilakukan

dapat berupa kenakalan yang berkelompok. Hal ini dapat diketahui dengan

banyaknya jumlah pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak atau remaja yang

terjadi di dalam masyarakat. Berikut adalah contoh yang dapat penulis kemukakan
10

dari bentuk kenakalan anak atau remaja yang berpotensi menimbulkan kejahatan

dan dilakukan dengan berkelompok adalah :

1. Perkelahian atau tawuran pelajar yang dilakukan oleh siswa Sekolah

Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas.

2. Perampokan di sarana angkutan umum dan bahkan tempat-tempat

umum.

3. Kejahatan yang dilakukan dengan menyebabkan korbannya menderita

luka baik itu secara fisik ataupun non-fisik hingga kejahatan yang

menyebabkan korban jiwa.

”Bukan hanya pencopet dan penodong yang berkeliaran di angkutan, pembajak

juga yang beraksi dengan beringas. Parahnya lagi yang membajak itu adalah para

pelajar yang baru berusia belasan tahun. Kok bisa tunas-tunas bangsa berwatak

penjahat dalam batas usia sedini itu? ”.2

Kejahatan yang dilakukan secara berkelompok ini, pada kenyataannya

lebih memprihatinkan ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh anak atau remaja

secara individu. Hal ini dapat disebabkan karena dengan cara berkelompok

mereka lebih berani dalam melakukan kejahatan, dan dengan melakukan secara

berkelompok mereka merasa lebih jantan, merasa disegani satu sama lainnya dan

juga terdapat suatu perasaan kebersamaan. Kejahatan yang dilakukan secara

berkelompok ini, lebih banyak mendapatkan perhatian masyarakat bila

2
Subhan SD, Danger Zone Jalanan, Perempatan, & Kawasan Rawan di Jakarta, Cetakan
pertama, Gagas Media, Jakarta, 2003, hal 151.
11

dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan perseorangan oleh anak atau

remaja.

Kecenderungan berperilaku agresif berarti tingkah laku dalam tataran kawasan


afektif. Afektif merupakan aspek tingkah laku yang mencakup perasaan dan
emosi serta menggambarkan sesuatu di luar ruang lingkup kesadaran,
misalnya: minat, motivasi, nilai, keyakinan, aspirasi, konsep diri, dan
sebagainya. Status afeksi seseorang terdiri dari tiga komponen yaitu emosi,
kognisi dan tingkah laku. Apabila dianalisis afeksi seseorang terhadap sesuatu,
maka komponen emosi yang dominan sebagai perasaan subyektif yang
dipunyai orang tersebut terhadap suatu obyek.3

Dalam wujudnya kenakalan anak atau remaja tersebut membawa dampak

psikologis di dalam masyarakat. Sama halnya kejahatan yang dilakukan oleh

orang dewasa, kejahatan yang dilakukan oleh anak atau remaja ini, sudah barang

tentu memiliki jenis-jenis kejahatan.

Jensen membagi kenakalan anak / remaja menjadi 4 jenis, yaitu :

1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain; perkelahian,


perkosaan, perampokan, pembunuhan dll.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi ; perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dll.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain ;
pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga
dimasukan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini.
4. Kenakalan yang melakukan status, misalnya mengingkari status anak
sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua
dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan
sebagainya. Pada usia mereka, perilaku-perilaku mereka memang belum
melanggar hukum dalam arti yang sesungguhnya, karena yang dilanggar
adalah status-status dalam lingkungan primer ( keluarga ) dan sekunder (
sekolah ) yang memang tidak diatur oleh hukum secara terinci. Akan
tetapi kalau kelak remaja ini dewasa, pelanggaran status ini dapat
dilakukannya terhadap atasannya di kantor / petugas hukum di dalam
masyarakat. Karena itu pelanggaran ini oleh Jensen digolongkan juga
sebagai kenakalan dan bukan sekedar perilaku menyimpang4.

3
Hasballah M Saad, Perkelahian Pelajar : Potret Siswa SMU di DKI Jakarta, Galang Press,
Yogyakarta, 2003, hal 11, Dikutip dari Henry Clay Lindgren, Educational Psychology in the
classroom (5 th ed.), New York, John Wiley & Sons Inc, 1976, hal 98.
4
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Cetakan ketiga, PT.Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,
2000, hal.200-201.
12

Kenakalan anak / remaja juga dapat digolongkan dalam dua kelompok

yang besar kaitannya dengan norma hukum, yakni :

1. Kenakalan yang bersifat a-moral dan a-sosial serta tidak diatur dalam
undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai
pelanggar hukum.
2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai
dengan undang-undang dan hukum yang berlaku. Hal ini sama dengan
perbuatan melanggar hukum bilamana perbuatan itu dilakukan oleh orang
dewasa5.

Kenakalan anak atau remaja yang menurut istilah hukum sebagai “

Juvenile Delinquency “, terlalu sering dilakukan oleh anak atau remaja terhadap

lingkungannya. Hal ini dapat disebabakan karena anak atau remaja tersebut

sedang dalam proses mencari jati diri untuk menjadi manusia dewasa. Dilain sisi,

kenakalan tersebut adalah sebuah bentuk kebebasan yang tidak terkontrol oleh

orang tua, masyarakat dan Negara, sehingga kenakalan tersebut cenderung

kebabalasan dan menimbulkan suatu kejahatan yang melawan hukum.

Sebagai dampak lain dari pesatnya kemajuan pembangunan diwilayah

perkotaan. Gairah anak atau remaja didalam bersosialisasi dan berkehidupan

tentunya mengalami trend pola pikir dan gaya hidup yang cenderung bebas.

Adanya kesenjangan kehidupan antara satu dengan lainnya, menjadikan satu

alasan lain mengapa dapat timbul kejahatan anak atau remaja. Tingkat pergaulan

dengan sesama dapat menentukan kehidupan anak atau remaja tersebut. ”Dengan

kata lain, ada kesenjangan ekonomi, sosial dan budaya yang terpapar setiap hari.

Kesenjamgan sosial yang tajam dan empirik telah menimbukan perasaan cemburu

5
Ibid., Hal 200.
13

bagi yang tidak mampu dan pada gilirannya dapat pula menimbulkan perilaku

penyimpangan sosial dengan berbagai akibatnya”.6

Persoalan rezeki, ekonomi dan kebutuhan material adakalanya menyebabkan


keterjatuhan anak-anak dan remaja ke dalam jurang kebejatan moral atau
tindak kriminal. Seorang sahabat bagi seseorang ibarat sebuah mobil yang
membawa teman-temannya; ketika mobil itu jatuh ke jurang, maka seluruh
penumpang yang berada di dalamnya niscaya akan ikut terjatuh. Bila seorang
sahabat berada dalam kesesatan, secara otomatis kesesatan itu akan menular
kepada orang-orang yang bersamanya7.

Bagi seorang anak atau remaja, pendidikan sangatlah diperlukan untuk

bekal dan kehidupannya agar jangan sampai terjerumus kedalam hal-hal yang

dapat menyebabkan kenakalan sehingga dapat menimbulkan suatu tindak

kejahatan. Tidaklah mudah memberikan pendidikan kepada anak atau remaja,

karena antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan karakter, sikap

dan tindakan. Perbedaan diantara anak atau remaja inilah yang dapat menjadi

penghambat tumbuhnya anak atau remaja yang baik budi pekertinya. Selain itu

diperlukan juga adanya kemantapan dalam mendidik anak atau remaja, agar dapat

berkembang dengan baik dan menjalin kontak pengertian antara pendidik dengan

anak atau remaja tersebut.

Adapun sebab-sebab timbulnya kesulitan-kesulitan tersebut di atas

masing- masing ialah :

1. Kemalasan dan kesewenang-wenangan sang oknum pengajar itu sendiri


belaka serta tidak adanya rasa tanggung jawab yang bersangkutan atas
pelaksanaan tugasnya.
2. Kurangnya kemantapan atau konsistensi kerja dan berpikirnya pengajar
yang bersangkutan sehingga ia mudah terpengaruh oleh berbagai saran
orang lain yang dengan bulat-bulat dikabulkannya saja tanpa disaring dan
6
Sardjono Jatiman, Studi Langkah-langkah Penanggulangan Kenakalan Anak Sekolah, ( Jakarta :
Departemen Kehakiman RI-Badan Pembinaan Hukum Nasional ), hal. 1.
7
Ali Qaimi, Op. Cit., hal. 5.
14

dipertimbangkan dahulu baik-buruknya serta untung-ruginya menuruti


saran tersebut.
Di samping itu ia pun mungkin juga begitu mudah terpengaruh oleh
berbagai kebijaksanaan dan metode mengajar dari guru-guru lainnya
sehingga ia hanya mencontoh-contoh saja dari metode yang satu ke
metode yang lain tanpa dipikirnya lagi akibat dari caranya mengajar itu
bagi para muridnya. Sebab lain yang dapat menjadi gejala penimbul
kesulitan ini ialah adanya sifat pembosan pada diri pengajar yang
bersangkutan.
3. Tidak adanya bakat/hobi mendidik pada orang tua atau wali anak yang
bersangkutan.
Hal ini dapat kita mengerti bila seandainya orang tua atau wali tersebut
bukanlah seorang guru sehingga mereka tidak memiliki pandangan dan
pengalaman yang cukup tentang liku-liku pendidikan serta tanggapan
kejiwaan anak mereka sendiri terhadap pendidikan yang telah
diperolehnya itu.
4. Kurang mempunyai atau kurang maunya sang ayah atau sang ibu itu untuk
membagi dan menyediakan waktu bagi pendidikan anaknya, berhubung
sudah adanya orang lain yang diandalkan sebagai penanggung jawab
penuh untuk hal ini (misalkan istrinya atau suaminya atau orang lain lagi
yang sudah dipercaya dan sebagainya).
5. Memang terlampau sulitnya atau terlampau beratnya mata pelajaran yang
dihadapi sehingga baik bagi pihak guru maupun murid kesulitan tersebut
tetap terasa meskipun kedua belah pihak telah sama-sama berusaha keras
untuk mengatasinya.8

Untuk menanggulangi kenakalan anak atau remaja yang sudah menjurus

pada perilaku yang bertentangan dengan perbuatan pidana, secara teori diajukan

beberapa konsep tindakan, yaitu tindakan Preventif, Represif dan Kuratif.

Beberapa tindakan tersebut merupakan usaha pencegahan agar masyarakat dapat

terhindar dari merajalelanya kenakalan anak atau remaja dan sekurang-kurangnya

merupakan pembatasan atas perkembangan kenakalan anak atau remaja.

Cara-cara dalam usaha penanggulangan kejahatan antara lain yang

terpenting adalah :

1. Prevensi kejahatan arti luas yang meliputi :

8
A. Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan (Suatu Tinjauan Filosofis-Edukatif), Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1985, hal.31 - 32.
15

Reformasi dan prevensi dalam arti sempit.


2. Prevensi kejahatan arti sempit meliputi :
a. Moralistik : menyebarluaskan dikalangan masyarakat sarana-sarana
untuk memperteguh moral dan mental seseorang agar dapat terhindar
dari nafsu ingin berbuat jahat ; sarana tersebut adalah ajaran-ajaran
agama, etika, budi pekerti, norma-norma sosial dll.
b. Abolionistik : berusaha mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan
dengan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab
timbulnya kejahatan. Umpamanya : memperbaiki ekonomi rakyat
untuk mencegah kejahatan yang disebabkan oleh tekanan ekonomi
(penggangguran, kelaparan) ; mempertinggi kebudayaan dan
peradaban dll sebagainya.
3. Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan
dengan berusaha menciptakan :
a. Sistim, organisasi dan perlengkapan kepolisian yang baik.
b. Sistem pengadilan yang efektif.
c. Hukum (Perundang-undangan) yang berwibawa.
d. Komisi-komisi penanggulangan kejahatan bersama dll.
4. Mencegah kejahatan dengan pengawasan dan patroli yang teratur.
5. Prevensi kenakalan anak-anak sebagai sarana pokok dalam usaha prevensi
kejahatan pada umumnya.9

Kurangnya perhatian kepada anak / remaja menjadi salah satu penyebab

timbulnya kenakalan. Hal ini berhubungan dengan tingkat keberfungsian sosial

sebuah keluarga sebagai ruang terkecil pembentuk kepribadian dan sikap anak /

remaja. Dalam fungsinya, sebuah keluarga menjadi pendorong anak / remaja.

Semakin baik keluarga yang ada, maka semakin rendah tingkat kenakalan anak /

remaja atau kualitas kenakalan semakin rendah dan baik pula anak / remaja yang

berhasil dibentuknya. Keberfungsian sosial keluarga mengandung pengertian

adanya pertukaran dan kesinambungan, serta adaptasi antara keluarga dengan

anggotanya, dengan tetangganya, dan dengan lingkungan sosialnya. Kemampuan

berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunya jika

9
Soedjono Dirdjosisworo, Penanggulangan Kejahatan, Cetakan ketiga, Alumni, Bandung, 1983,
hal 152-153.
16

berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya

terutama dalam sosialisasinya terhadap anggota keluarga serta mendidik dan

membina anak / remaja.

F. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian dari penelitian

skripsi ini adalah ;

1. Tipe penelitian.

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research).

Yaitu penelitian yang berdasarkan apa yang terdapat dalam buku maupun

data yang berkaitan erat dengan skripsi ini secara akurat.

b. Penelitian Lapangan (Field Research).

Yaitu penelitian dengan menggambarkan situasi yang sebenarnya

berdasarkan fakta-fakta yang terdapat dan ditemukan dalam penelitian

skripsi ini.

2. Pendekatan penelitian

Pendekatan Hukum Pidana.

Yaitu berdasarkan tinjauan Hukum Pidana terhadap kaitannya dengan

skripsi ini berupa sanksi dan jenis-jenis ancaman pidana (sanksi).

3. Teknik pengumpulan data.

a. Quisioner tertutup.

Yaitu membuat pertanyaan dalam bentuk daftar dimana pertanyaan

tersebut langsung diberikan kepada narasumber untuk dijawab.


17

b. Wawancara.

Yaitu mewawancarai langsung baik narasumber maupun pelaku.

c. Studi Dokumen.

Yaitu mengumpulkan data yang dilakukan melalui data tertulis hasil

penelitian dilapangan.

4. Lokasi penelitian.

a. Polres Kota Bekasi.

b. Pengadilan Negeri Bekasi.

5. Responden.

a. Kompol Wijanarko, Sik. Sebagai KABAG BINAMITRA Polres Metro

Bekasi.

b. Muhammad Ali Als ILAY bin Mamit, sebagai pelaku kejahatan anak.

c. Ratna Suminar, SH. MH. Sebagai Panitera Muda Hukum Pengadilan

Negeri Bekasi.

d. Anak / Remaja Kota Bekasi dalam batasan usia 13 – 19 Tahun.

6. Analisa data.

Yaitu menganalisa data yang diperoleh dengan pengolahan data deskriptif

kualitatif, yang berupa keterangan responden dan data hasil penelitian.

Dianalisis dengan menerapkan teori-teori yang ada secara konsisten,

sistematis, komprehesif ( menyeluruh ) dan benar.


18

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini di bagi dalam 5 (lima) Bab terdiri dari sub-sub bab yang

diuraikan secara terperinci dan disusun secara hierarki. Sehingga yang satu

dengan yang lainnya saling berhubungan erat, serta uraian terdahulu dijabarkan

uraian selanjutnya demikian seterusnya sehingga merupakan satu rangkaian yang

tidak terputus-putus sampai kepada penyelesaian akhir.

Lebih jelasnya penulis menguraikan ke dalam 5 (lima) bab tersebut :

BAB I : Merupakan pendahuluan, disini diterangkan alasan

pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian

serta sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini diterangkan uraian-uraian teoritis

mengenai : pengertian anak atau remaja, pengertian

kenakalan anak atau remaja, faktor-faktor yang

mempengaruhi timbulnya kenakalan anak atau remaja,

akibat-akibat yang ditimbulkan dari kenakalan anak atau

remaja, serta upaya penanggulangannya.

BAB III : Dalam bab ini dibahas mengenai ketentuan hukum

tentang kenakalan anak atau remaja ditinjau dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang

Peradilan Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak

mengenai anak atau remaja di bawah umur, aspek


19

perlindungan terhadap anak / remaja, serta upaya

penanggulangan kenakalan anak atau remaja di kota bekasi.

BAB IV : Dalam bab ini menganalisa kasus-kasus kejahatan dan

data quesioner sebagai akibat dari timbulnya kenakalan

anak atau remaja yang terjadi di kota bekasi.

BAB V : Bab ini merupakan rangkaian akhir dari skripsi ini,

dimana isinya merupakan rangkuman atau kesimpulan dari

keseluruhan penelitian, dimulai dari bab satu sampai

dengan bab lima, dan berisi saran-saran. Sebagai tambahan

dicantumkan daftar kepustakaan dan lampiran-lampiran

sebagai pelengkap dari skripsi ini.


20

BAB II

TINJAUAN MENGENAI KENAKALAN ANAK / REMAJA

A. Pengertian Kenakalan Anak / Remaja

1. Pengertian Anak / Remaja.

Masa remaja apabila diperhatikan perkembangan manusianya sejak masih

berada dalam kandungan sampai dengan masa kelahiran terlihat bahwa setiap

orang akan mengalami perubahan. Bila dilihat dari perubahan fisik, biasanya

perubahan tersebut hampir sama antara satu dengan lainnya. Seolah-olah ada

batas-batas perubahan yang sama antara satu dengan yang lainnya, selama proses

perkembangan berjalan. Tetapi ketika manusia memasuki masa remaja,

perkembangan antara pria dengan wanita terlihat perbedaan karena kodratnya. Hal

ini disebabkan mulai bekerjanya kelenjar kelamin pada setiap remaja. Masa

remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khas

dan perannya yang menentukan dalam kehidupan dan lingkungan orang dewasa.

Masalah mengenai kenakalan anak atau remaja merupakan masalah yang

selalu menarik, hal ini disebabkan karena kenakalan anak atau remaja akan selalu

terjadi pada setiap generasi bangsa. Apabila berbicara tentang anak atau remaja,

seringkali timbul pertanyaan, umur berapakah seseorang tersebut dikatakan

remaja?.

Sebenarnya batasan umur seorang remaja tidak dapat ditentukan begitu

saja. Karena di samping belum ada kesepakatan pendapat diantara para ahli

mengenai klasifikasi umur, juga disebabkan karena masalah tersebut bergantung


21

pada keadaan masyarakat di mana remaja tersebut hidup dan bergantung dari

sudut mana pengertian itu ditinjau.

Dalam pengertian yang dikemukakan oleh pakar psikologi (Dr. Kartini

Kartono), remaja adalah suatu tingkatan umur, dimana seorang anak tidak lagi

bersikap seperti anak-anak, tetapi belum dapat juga dipandang sebagai orang

dewasa. Jadi seorang anak atau remaja adalah batasan umur yang menjembatani

antara umur anak-anak dengan dewasa.

Pada masa remaja ini adalah merupakan masa-masa yang rawan bagi suatu

generasi. Karena pada masa ini remaja ditempatkan disuatu pilihan menuju tahap

kedewasaan antara mempertahankan potensi keremajaannya dengan hal-hal

negatif yang dapat membuat remaja tersebut terperosok ke dalam kenakalan. Oleh

dari itu masalah kenakalan anak atau remaja ini bukanlah merupakan masalah

yang baru pada tiap-tiap kehidupan generasi bangsa, serta dapat dipastikan bahwa

pada masa-masa ini akan timbul suatu bentuk kenakalan antara satu dengan yang

lainnya yang berbeda-beda ukuran kenakalannya. Hanya saja bentuk kenakalan

tersebut tidaklah sama antara generasi satu dengan seterusnya, ada kemungkinan

kenakalan anak atau remaja tersebut semakin melampaui batas-batas kewajaran

nakal.

Ada batasan-batasan mengenai kapan seseorang anak itu dianggap dewasa:

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah dua puluh
satu tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.10
2. Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua
puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu menikah. Apabila perkawinan

10
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta :
Departemen Agama RI-Badan Pembinaan kelembagaan Agama Islam), 2000. hal. 50.
22

dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.11
3. Belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum
umur enam belas tahun.12
4. Menurut Hukum Adat “anak-anak dibawah umur” adalah mereka yang
belum menunjukkan tanda-tanda fisis yang konkrit, bahwa ia telah
dewasa.13

Sehubungan dengan hal tersebut Zakiah Darajat mengemukakan :

Remaja adalah usia transisi seorang individu yang telah meninggalkan usia
kanak-kanak, yang lemah dan penuh ketergantungan akan tetapi belum
mampu ke usia dewasa yang kuat dan penuh tanggung jawab baik terhadap
diri sendiri maupun masyarakat. Banyaknya masa transisi ini bergantung
kepada keadaan dan tingkat sosial masyarakat dimana ia hidup. Selain itu
harus mempersiapkan diri untuk mampu menyesuaikan dengan masyarakat
yang banyak syarat dan tuntutannya. Namun demikian secara sederhana dan
umum menurut masyarakat maju, masa remaja itu lebih kurang antara 13
tahun dan 21 tahun.14

Setelah ditelusuri dan dilihat dari peraturan perundang-undangan, maka

seseorang itu dapat diklasifikasikan sebagai seorang remaja apabila belum

berumur 21 tahun atau terlebih dahulu menikah sebelumnya.

Dari keterangan yang dikemukakan di atas terlihat adanya

keanekaragaman pendapat mengenai batasan umur remaja. Karena selama masa

remaja akan timbul masalah-masalah yang menentukan bagaimana anak atau

remaja itu bersikap dan menghadapi.

2. Pengertian Kenakalan Anak / Remaja.

Kenakalan anak / remaja yang menurut istilah hukum “juvenile

delinquency” bukanlah suatu pengertian yang sederhana karena pengertian ini

11
R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Cetakan keduapuluh dua, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1990. hal. 76.
12
Moeljatno, Cetakan keduapuluh satu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara,
Jakarta, 2001. hal.22.
13
Soedjono Dirdjosisworo, Op. Cit., hal. 230.
14
Zakiah Darajat, Pembinaan Remaja, Bulan Bintang, Jakarta, 1982, hal. 10.
23

mencakup semua orang yang masih muda usianya. Kenakalan anak atau remaja

berarti hal-hal yang berbeda bagi individu-individu yang berbeda dan ini berarti

hal-hal yang berbeda bagi kelompok-kelompok yang berbeda.

Dalam hal ini hampir segala bentuk perbuatan anak atau remaja yang

nyata bersifat melawan hukum dan anti sosial tidak disukai oleh masyarakat atau

bahkan pula dapat merugikan orang lain dapat disebut sebagai kenakalan anak /

remaja. Karena perbuatan-perbuatan anak atau remaja tersebut menyangkut tata

kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak.

Kenakalan berasal dari kata nakal. Kata nakal mempunyai dua arti yaitu :

a. Suka berbuat kurang baik (tidak menurut, menggangu, jahil dan

sebagainya, terutama bagi anak-anak).

b. Buruk kelakuan (lacur dan sebagainya)15

Kenakalan anak-anak terbagi dalam dua jenis ; kenakalan yang dilakukan

secara sadar dan sengaja, serta kenakalan secara tidak sadar dan tanpa sengaja.

1. Dalam melakukan kenakalan secara sadar dan sengaja, pada dasarnya


seorang anak memahami betul perbuatan buruk yang dilakukannya. Ia tahu
bahwa dirinya tengah melakukan perbuatan tercela dan sadar terhadap apa
yang diperbuatnya. Namun ia sengaja melakukan kenakalan itu demi
memaksa orang tuanya untuk memenuhi keinginannya.
2. Adapun kenakalan secara tidak sadar dan tanpa sengaja terjadi di mana
seorang anak melakukan perbuatan buruk tanpa memahami keburukan
perbuatannya itu. barangkali ia menyangka apa yang dilakukannya demi
mencapai keinginannya itu sebagai perbuatan baik. Kenakalan anak secara
tidak sadar dan tanpa sengaja akan menyebabkan seorang anak memiliki
sikap emosional, bahkan adakalanya sampai memicu terjadinya kelainan
jiwa16.

15
B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan remaja Etiologi Juvenile Delinquency, Alumni,
Bandung, 1979. hal. 20.
16
Ali Qaimi, Op. Cit., hal. 20 - 21.
24

Di Indonesia masalah kenakalan anak atau remaja ini dirasa telah

mencapai tingkat yang meresahkan masyarakat. Kondisi sosial ini memberi

dorongan yang kuat kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab mengenai

masalah ini, baik kelompok edukatif di lingkungan sekolah dan instansi

pendidikan lainnya serta kelompok pakar hukum di bidang penyuluhan dan

penegakan hukum, pimpinan atau tokoh-tokoh masyarakat di bidang pembinaan

kehidupan bermasyarakat dan pemerintah sebagai pembentuk kebijakan-kebijakan

umum dalam membina, mencipta dan memelihara keamanan dan ketertiban di

dalam lingkungan berbangsa dan bernegara. Faktor lainnya yang tidak boleh

dikesampingkan adalah peranan masyarakat dan keluarga di dalam menunjang hal

ini.

Permasalahan mengenai pertanggung jawaban akibat kenakalan yang

berpotensi menimbulkan kejahatan bagi anak di bawah umur secara langsung

disinggung dalam pasal 45, 46 dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP).

Perbuatan Juvenile Delinquency menurut sudut pandang ilmu hukum,

teristimewa hukum pidana terdapat beberapa perbuatan yang nyata-nyata

melawan hukum. Di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, banyak bukti yang

menunjukkan bahwa sering kali terjadi perbuatan melawan hukum dilakukan oleh

anak atau remaja. Di samping itu anak atau remaja yang melakukan perbuatan

melawan hukum sering kali melakukan delik kekerasan yang pada akhirnya

kenakalan anak atau remaja tersebut seringkali menjurus pada timbulnya

kejahatan yang berakibat pada kejahatan terhadap nyawa dan jasmani seseorang.
25

Tidak kalah seringnya kenakalan yang dilakukan oleh anak atau remaja tersebut

meliputi kejahatan pemerasan, delik-delik ini sering dilakukan di tempat-tempat

umum yang ramai dikunjungi orang.

Paradigma kenakalan anak atau remaja yang mengakibatkan kejahatan

lebih luas cakupannya. Kenakalan anak atau remaja tersebut saat ini meliputi

perbuatan-perbuatan yang sangat meresahkan di lingkungan masyarakat, sekolah

maupun keluarga. Sebagai contoh dari kenakalan ini antara lain : mencorat-coret

tembok, pencurian dengan kekerasan, perkelahian antar pelajar, mengganggu

wanita di jalan sehingga menimbulkan pemerkosaan atau pencabulan, sikap anak

atau remaja yang memusuhi orang tuanya atau perbuatan-perbuatan lainnya yang

tercela dan memprihatinkan bangsa dan Negara berupa menggunakan narkotika,

pornografi dan kejahatan dunia maya (Cyber Crime).

B. Jenis-jenis Kenakalan Anak / remaja.

Kenakalan dalam diri seorang anak atau remaja merupakan perkara yang

lazim terjadi. Tidak seorang pun yang tidak melewati tahap / fase negatif ini atau

sama sekali tidak melakukan perbuatan kenakalan. Masalah ini tidak hanya

menimpa beberapa golongan anak atau remaja di suatu daerah tertentu saja.

Dengan kata lain, keadaan ini terjadi di setiap tempat, lapisan dan kawasan

masyarakat.

Perbuatan anak atau remaja yang menimbulkan kenakalan dan bahkan

menyebabkan terjadinya kejahatan dapat dilihat melalui beberapa gejala tertentu.

Antara lain, adanya ketidak laziman yang berkenaan dengan pola makan,
26

bersenang-senang atau menjalankan tugas dan program pelajaran di sekolah atau

instansi pendidikan lainnya.

Bentuk kenakalan anak atau remaja terbagi mengikuti tiga kriteria, yaitu :

“kebetulan, kadang-kadang, dan habitual sebagai kebiasaan, yang menampilkan

tingkat penyesuaian dengan titik patahan yang tinggi, medium dan rendah.

Klasifikasi ilmiah lainnya menggunakan penggolongan tripartite, yaitu : historis,

instinktual, dan mental. Semua itu dapat saling berkombinasi. Misalnya berkenaan

dengan sebab-musabab terjadinya kejahatan instinktual, bisa dilihat dari aspek

keserakahan, agresivitas, seksualitas, kepecahan keluarga dan anomali-anomali

dalam dorongan berkelompok”.17 Klasifikasi ini dilengkapi dengan kondisi

mental, dan hasilnya menampilkan suatu bentuk anak atau remaja yang agresif,

serakah, pendek pikir, sangat emosional dan tidak mampu mengenal nilai-nilai

etis serta kecenderungan untuk menjatuhkan dirinya ke dalam perbuatan yang

merugikan dan berbahaya.

Adapun macam dan bentuk-bentuk kejahatan yang dilakukan oleh anak

atau remaja dibedakan menjadi beberapa macam :

1. Kenakalan biasa.

2. Kenakalan yang menjurus pada tindak kriminal.

3. Kenakalan khusus.18

17
Kartini Kartono, Cetakan Keenam, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2005, hal. 47..
18
Akirom Syamsudin Meliala dan E, Sumarsono, Cetakan Pertama, Kejahatan Anak Suatu
Tinjauan Dari Psikologi dan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 11.
27

Ad. 1. Kenakalan biasa.

Adalah suatu bentuk kenakalan anak atau remaja yang dapat

berupa berbohong, pergi keluar rumah tanpa pamit pada orang

tuanya, keluyuran, berkelahi dengan teman, membuang sampah

sembarangan, membolos dari sekolah dan lain sebagainya.

Ad. 2. Kenakalan yang menjurus pada tindakan Kriminal.

Adalah suatu bentuk kenakalan anak atau remaja yang merupakan

perbuatan pidana, berupa kejahatan yang meliputi : mencuri,

mencopet, menodong, menggugurkan kandungan, memperkosa,

membunuh, berjudi, menonton dan mengedarkan film porno, dan

lain sebagainya.

Ad. 3. Kenakalan Khusus.

Adalah kenakalan anak atau remaja yang diatur dalam Undang-

Undang Pidana khusus, seperti kejahatan narkotika, psikotropika,

pencucian uang (Money Laundering), kejahatan di internet (Cyber

Crime), kejahatan terhadap HAM dan sebagainya.

C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Kenakalan Anak /

Remaja.

Kenakalan anak atau remaja tidak timbul dan ada begitu saja dalam setiap

kehidupan, karena kenakalan-kenakalan tersebut mempunyai penyebab yang

merupakan faktor terjadinya kejahatan anak atau remaja. Untuk mengetahui

sebab musabab timbulnya kenakalan anak / remaja harus diperhatikan faktor-


28

faktor dari dalam diri anak / remaja tersebut, faktor keluarga, lingkungan dan hal-

hal lainnya yang dapat mempengaruhi seseorang anak itu melakukan kenakalan.

Kenakalan anak / remaja yang sering terjadi di dalam masyarakat bukanlah

suatu keadaan yang berdiri sendiri. Kenakalan anak / remaja tersebut timbul

karena adanya beberapa sebab dan tiap-tiap sebab dapat ditanggulangi dengan

cara-cara tertentu. Pada pendahuluan skripsi ini telah disinggung beberapa faktor-

faktor yang menjadi penyebab timbulnya kenakalan tersebut, antara lain :

1. Kondisi pertumbuhan.
Adakalanya kenakalan seorang anak / remaja terjadi pada tahap-tahap
pertumbuhannya. Sebagaimana yang sering kita saksikan, pada tahapan-
tahapan tertentu, sang anak mulai menunjukkan kemandiriaannya dan
tidak bersedia terikat dengan aturan apapun. Ia berusaha menundukkan
orang lain dan menolak mengikuti setiap perintah. Dalam mencapai
kemandiriannya, sang anak melakukan kenakalan dan berulah tertentu
demi melancarkan protes (dengan kata-kata) atau kritikan. Dengan cara
seperti inilah, ia ingin menunjukkan kepribadiannya. Kenakalan seperti ini
harus segera diperbaiki. Dan sang anak harus segera dikembalikan ke
dalam kondisinya yang normal dan alamiah.

2. Kerusakan syaraf.
Sebagian anak-anak, dikarenakan kerusakan syarafnya, selalu mempersulit
keadaan, bersikap sensitif, dan senang mencari-cari alasan. Ia memiliki
banyak keinginan dan ingin segera mewujudkannya tanpa melalui
pertimbangan yang matang. Ketika keinginannya dihambat, ia akan
berulah dan berbuat nakal. Kerusakan syaraf ini besar kemungkinan
berasal dari faktor genetik atau kondisi lingkungan yang kurang baik. Atau
terkadang bersumber dari sejumlah penyakit lainnya.

3. Tidak memperhatikan kebutuhan anak.


Adakalanya kenakalan seorang anak timbul lantaran faktor orang tua,
khususnya ibu, yang tidak memperhatikan segenap kebutuhannya.
Misalnya, sang anak meminta makan kepada ibunya, dan ibunya itu
kemudian berkata, “bersabarlah!” mendengar jawaban itu, sang anak akan
mulai menangis dan merengek-rengek menuntut pemenuhan keinginannya.
Atau seorang anak yang suka makan (banyak), kemudian meminta
makanan dari kedua orang tuanya. Memang, orang tuanya itu tidak
menghalangi atau mencegah keinginannya. Namun pemberian mereka itu
masih dianggap kurang oleh sang anak. Atau seorang anak menghendaki
sesuatu dari toko, dan kedua orang tuanya tidak memenuhi keinginannya
29

atau menolaknya dengan cara-cara yang kasar. Disebabkan inilah, sang


anak kemudian berbuat nakal dan bersikeras untuk meraih keinginannya.

4. Pendidikan buruk.
Dalam hal ini bisa dianggap pendidikan yang salah kaprah, berhubungan
dengan cara pendidikan anak yang keliru, yang kemudian menimbulkan
pelbagai dampak (buruk).
Adakalanya seorang ibu terlampau berlebihan dalam mencurahkan
perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya. Ini menjadikan sang
anak bersikap manja dan tergantung kepadanya. Ketika sang anak
menangis, ibunya berusaha menghentikan tangisnya dengan cara
memenuhi keinginannya. Itu dilakukan agar sang anak menjadi terdiam
dan tidak menangis lagi. Namun, pada masa-masa berikutnya, semua itu
akan menjadi kebiasaan (buruk) bagi sang anak. Sikap inilah yang memicu
sang anak untuk menangis, berbuat nakal, dan menentang perintah.

5. Faktor perasaan.
Seorang anak pada umumnya haus akan kasih sayang orang tuanya serta
merindukan seseorang yang mau mencurahkan perhatian kepadanya.
Namun, sewaktu merasa kasih sayang yang diberikan orang tua kepadanya
masih kurang, sang anak akan berusaha dengan berbagai macam cara
untuk menarik perhatian dan kasih sayang orang tuanya itu. umpama,
berpura-pura terjatuh ke tanah dan menangis sedih. Ia tak akan berhenti
melakukannya sampai dirinya memperoleh kasih sayang yang
diharapkannya.
Apabila kondisi seperti ini terus dibiarkan, sementara kedua orang tuanya
tidak kunjung memperhatikan kebutuhannya, niscaya ia akan melakukan
kenakalan. Lebih dari itu, kondisi kejiwaan sang anak akan berada dalam
bahaya dan akan dihinggapi sifat dengki atau merasa terasing di tengah-
tengah keluarganya sendiri. Untuk melawan kondisi semacam ini, sang
anak akan selalu berbuat nakal sampai ibunya mencurahkan perhatian dan
kasih sayang kepadanya.

6. Penyakit kejiwaan.
Sebagian penyakit kejiwaan direfleksikan dalam bentuk kenakalan,
mencari-cari alasan, dan berprasangka buruk. Barangkali, masih terlalu
dini bagi kita untuk membahas soal penyakit kejiwaan anak-anak. Namun
kita tidak boleh lupa bahwa sebagian anak-anak telah terjangkiti sindrom
skizofrenia.
Di antara ciri dari sindrom atau penyakit ini adalah sikap mengasingkan
diri secara ekstrem, hanyut dalam kesedihan dan kegundahan hati, serta
membatasi dunia kehidupannya sendiri. Dalam beberapa keadaan,
penderitanya seringkali menangis tanpa sebab. Dan sewaktu anda bertanya
kepadanya tentang penyebab tangisnya, ia akan segera tutup mulut dan
tidak berbicara sepatah kata pun kepada anda. Ia akan selalu berusaha
30

menumpahkan air matanya. Kadangkala, baginya sebuah perkara kecil


bisa menjadi besar dan menyebabkan tangisannya.

7. Faktor kesehatan.
Dalam beberapa keadaan, kenakalan seorang anak timbul lantaran faktor
kesehatan. Misalnya, tiba-tiba anda melihat anak anda berteriak lantaran
hal sepele, kemudian menangis dan membuat kegaduhan. Tanpa meneliti
penyebabnya, anda langsung marah atau jengkel dan bahkan memukulnya.
Namun selang beberapa saat, barulah anda mengerti ternyata anak anda itu
tengah menderita sakit gigi atau telinganya berdarah. Sementara ia belum
sempat menjelaskan keadaannya itu kepada anda. Penelitian menunjukkan
bahwa kondisi kesehatan dan kenakalan anak saling terkait satu sama lain.

8. Faktor kejiwaan.
Faktor kejiwaan tidak identik dengan penyakit kejiwaan. Namun lebih
dimaksudkan dengan keinginan terhadap sesuatu yang bersumber pada
sifat dasar manusia, seorang anak menghendaki kebebasan dan
kemandirian, tercapainya tujuan tertentu, serta bergaya hidup tersendiri.
Namun, sewaktu merasa kedua orang tuanya menghalangi keinginannya,
ia lantas memikirkan cara untuk menyingkirkan penghalang tersebut.
Kalau merasa tak sanggup menghancurkan penghalang dengan kata-kata
atau logika, maka sang anak akan menempuh cara lain demi meraih
tujuannya itu. dan demi kesuksesannya, ia tak akan sungkan-sungkan
menggunakan cara-cara yang menyimpang.

9. Faktor peraturan.
Dalam beberapa keadaan, penyebab kenakalan dan kekeraskepalaan anak-
anak berasal dari peraturan yang diberlakukan orang tua yang mempersulit
keadaannya. Ya, pemaksaan kehendak hanya akan mendorong sang anak
berani menentang atau melawan perintah orang tua.
Mencampuri urusan anak dan membatasi kebebasannya juga dapat
memicu kenakalan anak, khususnya bagi yang masih berusia 2,5 hingga
tiga tahun. Memaksakan anak untuk makan atau tidur serta mengenakan
pakaian tertentu, terlebih dengan menyertakan ancaman tertentu,
merupakan faktor lain yang mendorong anak berbuat nakal.

10. Faktor ajaran buruk.


Dari satu sisi, masalah kenakalan anak merupakan problem akhlak.
Sementara pada sisi yang lain merupakan problem perasaan. Apabila kita
mampu mengarahkan kenakalan sang anak sejak masih kecil, niscaya ia
akan tumbuh dewasa dengan wajar dan normal. Kenakalan merupakan
perilaku yang dapat menular. Karena itu, kenakalan atau perilaku buruk
anggota keluarga, terutama kedua orang tua, sangat berpengaruh dalam
memicu kenakalan anak. Kedua orang tua merupakan contoh (teladan)
bagi anak-anaknya. Setiap anak akan meniru gerak-gerik dan perilaku
orang tua atau anggota keluarga lainnya. Kadangkala, sang anak
31

mempelajari kenakalan atau ulah tertentu dari teman-teman


pergaulannya.19

Timbulnya kenakalan anak / remaja yang terjadi dalam kehidupan sehari-

hari dapat penulis analisa karena beberapa faktor yang telah dijelaskan diatas,

yaitu : Tidak memperhatikan kebutuhan anak, sehingga anak / remaja tersebut

cenderung melakukan hal-hal yang melanggar peraturan, dilain sisi anak tersebut

membutuhkan perhatian dari orang tua dan lingkungannya. Faktor pendidikan

buruk dan Faktor ajaran buruk, yang mempengaruhi anak / remaja tersebut

terjerumus dalam ajaran yang sesat, menyalahi peraturan dan bertindak diluar

batas-batas kewajaran. Faktor perasaan dan Faktor kejiwaan, yang dalam hal ini

setiap perbuatan nakal anak / remaja tersebut berawal dari kondisi psikologis

mereka yang ditimbulkan dari rasa penasaran terhadap sesuatu tetapi mendapatkan

hambatan dari pihak lain. Dan faktor peraturan, yang membuat gerak-gerik

perbuatan sang anak dipersulit. Dalam hal ini keputusan orang tua yang terlalu

mengekang setiap perbuatan anak / remaja tersebut. Memang benar bahwa

individu ataupun kelompok mempunyai kebebasan untuk memilih akan mematuhi

atau tidak suatu sistem atau struktur kehidupan tertentu, tetapi pada hakikatnya

karena situasi dan kondisi menyebabkan individu atau kelompok tersebut lebih

bersedia mengikatkan diri demi kepentingannya, meskipun tindakannya itu

bertentangan dengan nurani dan keyakinannya.

Selain faktor-faktor diatas, masih banyak lagi faktor lainnya ; seperti tidak

memperhatikan perasaan seorang anak lantaran banyaknya anak dalam keluarga,

kesibukan orang tua, kekacauan dalam lingkungan keluarga sehingga menjadikan

19
Ali Qaimi, Op. Cit., hal. 33 - 37.
32

sang anak tidak merasa aman tinggal di rumah, tidak adanya kemampuan orang

tua dalam menyelesaikan urusan anak-anak, ketidaksanggupan menanggung

beban derita, perasaan sakit, terjadinya musibah, terjangkitnya berbagai penyakit

fisik yang mengganggu pikiran sang anak, dan lain sebagainnya.

Keluarga sebagai penyebab timbulnya kenakalan anak atau remaja

merupakan salah satu faktor yang berperan besar. Hal ini disebabkan karena

keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan,

mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali.

Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan

lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang

belum sekolah. Oleh karena itu keluarga memiliki peranan yang penting dalam

perkembangan anak, keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi

perkembangan anak, sedangkan keluarga yang jelek atau buruk akan berpengaruh

negatif. Oleh karena sejak kecil anak atau remaja dibesarkan oleh keluarga dan

untuk seterusnya. Sebagian besar waktu pertumbuhan dan perkembangan

kedewasaan anak atau remaja adalah di dalam keluarga, maka sudah sepantasnya

kalau kemungkinan timbulnya delinquency itu sebagian besar berasal dari

keluarga.

Lingkungan pendidikan juga tidak dapat lepas dalam berperan serta

mencegah timbulnya Juvenile Delinquency. Pendidikan nasional di Negara

Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan

kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap

Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja
33

keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, dan terampil serta sehat

jasmani dan rohani. Selain itu, lingkungan pendidikan nasional Indonesia juga

harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air,

mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan

dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan

rasa percaya diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif.

Proses pendidikan yang kurang baik dan menguntungkan bagi

perkembangan jiwa anak atau remaja, kerap menimbulkan pengaruh langsung

maupun tidak langsung terhadap peserta didik. Hal ini timbul karena dalam

lingkungan sekolah terdiri dari berbagai macam karakter anak. Sesuai dengan

keadaan seperti ini sekolah-sekolah maupun instansi pendidikan dapat menjadi

sumber terjadinya konflik-konflik psikologis yang pada akhirnya menimbulkan

kenakalan anak atau remaja (Juvenile Delinquency).

Di lain sisi ada beberapa faktor-faktor lain yang dapat memicu terjadinya

kenakalan anak atau remaja. Faktor pemicu tersebut terdiri dari faktor pemicu

internal-kultural, yang berupa ketegangan psikis si anak atau remaja, kelabilan

emosi, kurangnya fondasi emosional dan sebagainya. Sedangkan faktor yang

lainnya adalah faktor pemicu eksternal-struktural, menyangkut masalah makro

dan mikro kehidupan. Antara lain permasalahan globalisasi informasi dan

komunikasi, urbanisasi, transportasi, kecemburuan sosial, kesenjangan pendidikan

dan pekerjaan, pengangguran, perkembangan teknologi yang tidak tersaring,

konflik di wilayah pemukiman, penggunaan narkotika, psikotropika, minuman

keras dan sebagainya.


34

D. Akibat-akibat Dari Kenakalan Anak / Remaja Dan

Upaya Penanggulangannya.

Kenakalan anak atau remaja yang kerap kali menimbulkan banyak

permasalahan di lingkungan sosial masyarakat, membawa dampak yang berakibat

pada timbulnya perilaku-perilaku negatif dalam setiap kehidupannya.

Permasalahan kenakalan anak atau remaja yang menyimpang ini menyebabkan

tingginya tingkat delinquency, hal ini diperparah lagi dengan lemahnya dan

kurangnya pengawasan terhadap anak atau remaja di lingkungan keluarga,

masyarakat serta masih lemahnya penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

Perlindungan terhadap anak juga menjadi satu alasan, bahwa dengan melindungi

anak atau remaja maka berarti melindungi manusia.

Akibat yang timbul dari kenakalan anak atau remaja ini, memunculkan

sikap was-was dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap kegiatan pasti akan selalu

diliputi dengan rasa prasangka dan curiga warga masyarakat akan timbulnya

kejahatan. Di lain pihak, kejahatan yang dilakukan anak atau remaja ini dapat

mendorong dan mengakibatkan pelaku mengalami tekanan jiwa, depresi karena

adanya penyesalan akibat kejahatan yang telah dilakukan, ditolak, diabaikan dan

dibenci masyarakat. Dilain sisi hal tersebut menyebabkan pelaku cenderung

menjadi penghayal, sakit fisik dan mental, agresif dan lari dari semua kenyataan

hidup. Oleh karena kenakalan anak atau remaja ini menyebabkan keguncangan

dalam sosial masyarakat, maka dapat terjadi pula tingkat kehidupan sosial yang

menurun. Akibat dari kualitas kehidupan yang menurun inilah dapat


35

mengakibatkan meningkatnya tingkat delinquency yang disebabkan oleh anak

atau remaja.

Di dalam mewujudkan suatu kehidupan yang harmonis, sejahtera, adil dan

makmur. Pembinaan terhadap anak atau remaja, sebagai bibit masa depan bangsa

dan negara sangatlah harus dikedepankan. Hal ini merupakan sebuah bentuk

kepedulian terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Permasalahan

mengenai kenakalan anak atau remaja yang dapat menimbulkan tindak kejahatan

memerlukan suatu cara dan upaya dalam menanggulanginya. Keluarga,

masyarakat dan negara merupakan suatu lingkup kehidupan yang secara

menyeluruh menaungi segala bentuk kehidupan anak dan remaja.

Dalam upaya penanggulangan terhadap kenakalan anak / remaja yang

dapat menimbulkan kejahatan, dilakukan upaya-upaya perbaikan baik secara

internal dan eksternal.

1. Upaya disiplin dalam keluarga.

Keluarga merupakan suatu lingkungan terdekat untuk membesarkan,

mendewasakan dan mendidik seorang anak atau remaja menjadi manusia dewasa

seutuhnya. Kualitas rumah tempat tinggal dan lingkungannya adalah faktor

eksternal yang menjadi stimulus atau rangsangan terhadap respon yang akan

muncul pada anak atau remaja tersebut. Setiap stimulus / rangsangan dapat

memberikan kepuasan atau ketidakpuasan pada diri anak atau remaja yang

bersangkutan, dan ini menjadi salah satu dasar yang dapat mempengaruhi

kecenderungan berperilaku buruk / negatif.


36

Apabila seseorang gagal dalam menumbuhkan hubungan antarpribadi atau


interpersonal relationships yang baik, termasuk dengan orang tuanya sendiri,
maka dia akan mengalami keadaan senang berkhayal, sakit fisik dan mental,
agresif dan lari dari kenyataan hidup. Oleh karena itu, hubungan dengan orang
lain, termasuk dengan orang tua, seyogyanya diwarnai oleh suatu prinsip
saling menjalin komunikasi dan membangun relasi yang dapat mendorong
terjadinya hubungan yang sehat. Untuk itu, dapat digambarkan pengaruh
lingkungan di dalam keluarga dalam memengaruhi perkembangan psikologis
anak-anaknya20

Pihak-pihak yang terdapat di dalam keluarga, baik itu orang tua, wali

ataupun pengasuh harus dapat memahami semua kebutuhan anak-anaknya. Baik

yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis. Anak atau remaja di

dalam hidupnya perlu makan, minum, pakaian dan kebutuhan lainnya. Di samping

itu mereka juga memerlukan kasih sayang serta rasa aman dalam keluarga, juga

perlakuan adil dari kedua orang tua sangat mereka harapkan. Keluarga memiliki

peranan untuk menanamkan disiplin bagi anak sejak kecil agar setelah dewasa hal

tersebut dapat menjadi kebiasaan dan menjauhkan dari bentuk delinquency. Maka

upaya yang perlu dilakukan dalam lingkungan keluarga adalah membentuk

disiplin pribadi yang baik, mentaati norma-norma dalam keluarga sebagai dasar

berkehidupan, dan membina kehidupan keluarga dengan memberikan kasih

sayang serta menciptakan rasa aman.

2. Upaya disiplin dalam kehidupan bermasyarakat.

Kehidupan manusia tidak dapat terpisahkan dari lingkungan dimana ia

berada. Dalam kaitan ini, lingkungan mencakup arti yang luas, termasuk

lingkungan fisik dan sosial. Lingkungan (milieu) adalah semua benda dan materi

20
Hasballah M Saad, Op. Cit.,hal. 27.
37

yang mempengaruhi hidup manusia, seperti keselamatan jasmani dan rohani,

ketenangan lahir batin, kesejahteraan dan lain sebagainya. Lingkungan

masyarakat juga memiliki peran dalam menciptakan disiplin anak atau remaja.

Kehidupan bermasyarakat juga tidak terlepas dari berbagai proses sosial, karena

dalam lingkungan masyarakat ini, anak atau remaja dipengaruhi secara tidak

langsung untuk melakukan kenakalan yang menjurus pada timbulnya kejahatan.

Proses sosial di kota-kota besar, termasuk kota bekasi mengakibatkan

adanya perubahan-perubahan sosial yang ditimbulkan oleh berbagai macam

masalah ; antara lain masalah urbanisasi, industrialisasi, kemajuan teknologi yang

mengakibatkan adanya mobilitas horizontal dan mobilitas vertikal yang tinggi,

sedangkan kesemuanya itu akan mempertemukan manusia-manusia dari berbagai

bentuk masyarakat, suku dan bangsa di kota modern. Masing-masing karakter

membawa ikatan norma hidup dan perilaku yang berbeda ataupun bertentangan

antara yang satu dengan yang lainnya. Suasana ini selain menimbulkan culture

conflict, juga bisa menimbulkan suasana perbedaan kehidupan (dubicus patterns

of life). Dimana manusia karena banyaknya pola kehidupan menjadi bingung,

sehingga berpegangan kepada pola kehidupan yang tidak beraturan.

Karena masyarakat terdiri dari individu-individu yang berbeda antara satu

dengan lainnya, maka tidak mengherankan kalau pada suatu saat timbul

masyarakat yang bertindak a-moral sehingga menimbulkan bentrokan satu dengan

lainnya, bagaikan orang berjalan dalam gelap gulita tanpa adanya penerangan.

Bentrokan-bentrokan inilah yang pada akhirnya menimbulkan kejahatan.

Kondisi ini dapat menciptakan suatu kelabilan psikologis, apalagi bagi seorang
38

anak atau remaja yang telah terpengaruh oleh lingkungannya, maka dia pun tidak

tanggung-tanggung dapat terjerumus dalam kejahatan pula. Masyarakat sebagai

lingkungan yang menjadi pengaruh bagi perkembangan seorang anak atau remaja

hendaknya dapat membina kestabilan lingkungannya. Dalam lingkungan

masyarakat perlu diciptakan upaya-upaya untuk menanggulangi timbulnya

kejahatan yang disebabkan oleh kenakalan anak atau remaja tersebut.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan di dalam lingkungan masyarakat dapat

berupa perlindungan keamanan terhadap warganya, yakni dengan melakukan

peningkatan keamanan dan ketertiban lingkungan masyarakat, melaksanakan

ronda malam untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dalam hal ini berupa

upaya peningkatan keamanan wilayah, menciptakan kerukunan antar warga

masyarakat, mempertebal tali silaturahmi sesama warga masyarakat dengan

menciptakan organisasi sosial masyarakat serta menciptakan pemuda-pemudi

masyarakat yang berdisiplin, bertanggung jawab dan taat kepada hukum melalui

kegiatan kepemudaan atau keremajaan.

3. Upaya disiplin dalam kehidupan bernegara.

Negara sebagai penunjang kehidupan warganya juga tidak terlepas pula

dari perannya sebagai pencipta keamanan dan ketertiban dari kebijakan yang

dibentuk oleh pemerintah. Peraturan-peraturan hukum yang dibuat dan ditetapkan

oleh pemerintah, hendaknya tidak hanya menjadi kepentingan pihak tertentu saja.

Aturan-aturan hukum tersebut baiknya mengatur secara mendasar dan menyeluruh

mengenai peri kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Apabila pembentukan


39

peraturan-peraturan hukum tersebut hanya mementingkan kepada pihak-pihak

tertentu saja, maka sudah dapat dipastikan bahwa kelangsungan kehidupan

berbangsa dan bernegara tidaklah dapat berjalan dengan baik. Malah ada

kemungkinan besar akan tercipta berbagai macam konflik sosial yang dapat

menghancurkan bangsa dan negara Indonesia.

Dalam kebijaksanaannya membuat keputusan di bidang hukum,

hendaknya pemerintah memperhatikan pula mengenai dampak dari timbulnya

kejahatan yang disebabkan oleh anak atau remaja ini. Anak atau remaja adalah

bibit yang dikemudian hari akan menjadi pemimpin dari negara Indonesia ini. Jika

keberadaan anak atau remaja tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah,

rusaknya kehidupan sosial dan hancurnya kehidupan berbangsa dan bernegara

tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab pemerintah itu sendiri.

Masalah mengenai kenakalan anak atau remaja di Indonesia sudah

memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Meningkatnya tindak kejahatan yang

dilakukan oleh anak atau remaja adalah sebagai akibat dari bergesernya kehidupan

dalam masyarakat. Jika masyarakat berubah atau bergeser, maka kejahatan pun

akan selalu ada seiring dengan perubahan masyarakat tersebut, suatu hal yang

sangat bijaksana apabila pemerintah beserta masyarakat mampu mencegah atau

bahkan menanggulanginya. Berikut adalah beberapa upaya yang penulis dapat

kemukakan sebagai bentuk dalam mencegah timbulnya kejahatan anak atau

remaja :

1. Penyusunan Undang-Undang yang mengatur mengenai kejahatan tertentu,

meliputi pencegahan dimana peraturan hukum tersebut melarang


40

dilakukannya suatu kriminalitas dan di dalamnya mengandung ancaman

atau hukuman.

2. Melaksanakan kontrol sosial ; dalam hal ini pemerintah mengadakan

suatu perencanaan sosial yang membina kehidupan berbangsa dan

bernegara berdasarkan pada ketaatan terhadap hukum positif.

3. Menciptakan lingkungan Hukum yang berwibawa ; di lingkungan

peradilan dan penegak hukum.

4. Mengadakan penyuluhan kesadaran hukum ; dalam hal ini mengenai

bahaya kenakalan yang dapat menyebabkan timbulnya delinquency.

5. Menciptakan lingkungan yang baik, berupa perbaikan sistem pengawasan

dalam masyarakat, perencanaan dan desain tata kota, dan menghapus

segala bentuk kesempatan anak atau remaja untuk melakukan kejahatan.


41

BAB III

KETENTUAN HUKUM MENGENAI KENAKALAN ANAK / REMAJA

A. Tinjauan KUHP Tentang Kenakalan Anak / Remaja.

Secara yuridis formal, masalah pertanggung jawaban mengenai kenakalan

anak atau remaja yang dapat menimbulkan kejahatan ini telah memperoleh

pedoman yang baku dalam hukum. Pertama-tama adalah hukum pidana yang

pengaturannya tersebar dalam beberapa pasal, dan sebagian pasal yang bersifat

embrional adalah Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Di samping itu KUH Perdata pun

mengatur tentang kenakalan anak atau remaja terutama dalam Pasal 302 dan

segala pasal yang ditunjuk serta terkait dengan masalah kenakalan anak atau

remaja ini. Kondisi dualistik tersebut membawa konsekuensi logis yang berbeda

di dalam sebutannya, walaupun pada prinsip dasarnya sama.

Kenakalan anak atau remaja yang melawan kaedah hukum tertulis yakni

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut sebagai “Anak

Negara” dan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata disebut sebagai “Anak Sipil”.

Berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan

oleh anak atau remaja di bawah usia 16 tahun, KUHP Indonesia mengaturnya

dalam Pasal 45 KUHP sebagai berikut :

“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena
melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan,
memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, wali
atau pemeliharanya tanpa pidana apapun, atau memerintahkan supaya yang
bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan
merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal ;
42

489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540,
serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan
kejahatan atau pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap,
atau menjatuhkan pidana pada yang bersalah”.21

Pasal 45 KUHP di atas dapat dipandang memadai sebagai pasal yang

memuat beberapa ketentuan yuridis mengenai anak atau remaja di bawah usia 16

tahun yang telah melakukan perbuatan pidana. Ketentuan-ketentuan yang tertuang

di dalamnya menyangkut syarat-syarat penuntutan serta kemungkinan-

kemungkinan yang dapat dipilih oleh hakim di dalam membuat atau memberi

putusan apabila :

1. Merupakan kejahatan sebagaimana termaktub dalam buku kedua KUH


Pidana.
2. Merupakan pelanggaran terhadap salah satu pasal dalam KUH Pidana ;
Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532,
536, dan 540.22

Jika dikaji dari segi syarat-syarat penuntutannya, maka Pasal 45 KUHP

memuat empat (4) hal yang harus dipenuhi, yakni :

1. Anak yang dituntut belum cukup umur (minderjarig) atau lebih dikenal
belum dewasa.
2. Tuntutan tersebut mengenai perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh
anak yang bersangkutan pada waktu ia belum berumur 16 tahun dan
penuntutan tersebut hanya dapat dilakukan sebelum anak mencapai umur
18 tahun.
3. Perbuatan tersebut merupakan : Kejahatan-kejahatan kekerasan, pencurian,
penipuan, penggelapan dan pemerasan. Salah satu pelanggaran dalam
pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536,
dan 540 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
4. Belum kadaluwarsa, yakni belum lewat dua tahun sejak dinyatakan
bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran
sebagaimana ditunjuk oleh pasal 45 KUHP dan putusannya menjadi
tetap.23

21
Tim Penterjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, KUHP, hal. 31.
22
Sudarsono, Kenakalan Remaja, Cetakan Pertama, Rineka Cipta, Jakarta,1990, hal. 17.
23
. Ibid, hal. 24.
43

Apabila keempat syarat penuntutan tersebut sudah terpenuhi, maka hakim

dapat membuat putusan berupa salah satu dari tiga kemungkinan yakni :

1. Anak yang bersangkutan dikembalikan kepada orang tua atau wali atau
pengasuhnya tanpa dijatuhi pidana apapun.
2. Hakim memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah
dan tidak dijatuhi pidana apapun.
3. Hakim dapat menjatuhkan pidana.24

Kaitan dalam hal ini jika anak / remaja tersebut menjalani hukuman

penjara, maka ia menjalani pidana penjara tersebut ditempat yang khusus untuk

anak-anak / remaja. Dalam hal anak / remaja diserahkan kepada pemerintah dan

tidak dijatuhi hukuman pidana ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam Pasal 46,

yang berisikan mengenai kemungkinan pemeliharaan anak atau remaja tersebut,

yaitu :

1. Pemeliharaan anak dalam lembaga pendidikan negara.

2. Pemeliharaan anak dalam lembaga swasta.

3. Pemeliharaan anak dalam keluarga.25

Apabila hakim menjatuhkan pidana kepada anak yang bersalah, maka

dalam hal ini terdapat beberapa pengecualian yang diatur secara formal dalam

Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu ;

1. Jika hakim menjatuhkan pidana maka maksimal pidana pokok terhadap


deliknya dikurangi 1/3.
2. Jika perbuatan merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati
atau pidana seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
3. Pidana tambahan yang tersebut dalam pasal 10 sub b, nomor 1 dan 3, tidak
dapat dijatuhkan.26

24
Ibid, hal. 26.
25
Ibid, hal. 27.
26
Ibid, hal. 28.
44

Mengenai ketentuan-ketentuan khusus anak atau remaja tersebut

kendatipun mereka terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan kesalahan dalam

timbulnya kejahatan atau pelanggaran, dapat diajukan ketentuan. Mengenai anak

atau remaja di bawah usia 16 tahun, maka pelakunya tidak dapat dipidana. Jika

dalam persidangan ternyata hakim dapat memberikan bukti-bukti yang sah dan

meyakinkan tentang kesalahan anak atau remaja sebagai terdakwa, dalam hal

ternyata putusan hakim dalam menyidangkan anak atau remaja di bawah umur 16

tahun Hakim tidak menjatuhkan pidana, hal ini berarti putusan hakim

menyimpang dari asas hukum pidana. Putusan hakim dalam ketentuan Pasal 45

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang cukup beralasan dengan maksud

dan tujuan hukum positif. Apabila hakim menjatuhkan pidana sehingga anak atau

remaja di bawah umur harus masuk penjara / Lembaga Pemasyarakatan Khusus

Pemuda, akan berakibat anak atau remaja berada dalam lingkungan yang kurang

baik dan ada kemungkinan anak atau remaja tersebut bergaul dengan delinquent

yang lain. Pergaulan ini akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak atau remaja

yang bersangkutan.

Pedoman yang paling mudah dan amat sederhana untuk mengartikan suatu

perbuatan tergolong kenakalan Anak / Remaja, jika perbuatan tersebut bersifat

melawan Hukum, anti sosial, anti susila dan melanggar norma-norma agama yang

dilakukan oleh subyek yang masih berusia remaja yang menurut pakar psikolog

(Elizabeth B. Hurlock) berkisar antara umur 11 – 21 tahun, dapat diambil

kesimpulan bahwa perbuatan tersebut merupakan Kenakalan Anak / Remaja.

Secara yuridis formal kenakalan anak / remaja tersebut digolongkan dalam 2 (dua)
45

alternatif, yang mana meliputi pelaku kejahatan di bawah umur 16 tahun dan

pelaku kejahatan di atas umur 16 tahun.

B. Tinjauan UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dalam

Pasal 2 menyebutkan, bahwa pengadilan anak adalah pelaksanaan kekuasaan

kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Ketentuan ini sudah

sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1970 (penjelasan), bahwa kemungkinan dibukanya spesialisasi pengadilan anak di

lingkungan peradilan umum, ternyata benar-benar diwujudkan dengan

dibentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.

Jauh sebelum dibentuknya Undang-Undang Peradilan Anak, Pengadilan

Negeri telah menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya anak-anak

atau remaja dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan

KUHAP. Dengan mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Peradilan Anak, maka tata cara persidangan maupun penjatuhan hukuman

adalah berdasarkan Undang-Undang tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak,

disebutkan bahwa pengertian anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau


b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan.

Dalam perundang-undangan tersebut juga diatur mengenai batasan usia

anak atau remaja yang melakukan kenakalan terutama yang menyebabkan


46

terjadinya kejahatan anak atau remaja. Batasan umur anak atau remaja tergolong

sangat penting dalam perkara pidana, hal ini karena dipergunakan untuk

mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termauk kategori anak /

remaja atau dewasa. Mengenai batasan anak atau remaja di dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2), yakni :

1. Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak
yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.

Adanya penegasan mengenai batasan terhadap usia pelaku tindak pidana

berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak

tersebut akan menjadi pegangan bagi para petugas di lapangan, agar tidak terjadi

salah tangkap, salah tahan, salah sidik, salah tuntut, maupun salah mengadili,

karena menyangkut hak asasi seseorang.

Dalam batasan usia ini, menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak bagi anak / remaja yang usianya di bawah

8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka bagi

anak / remaja tersebut diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan.

Mengenai ketentuan hasil pemeriksaan ini dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (2) dan

(3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak :

Ayat (2). Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua,
wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut
kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
Ayat (3). Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang
47

tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut
kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari
Pembimbing Kemasyarakatan.
Mengenai sanksi hukumnya, Undang-Undang Peradilan Anak telah

mengaturnya sebagaimana ditetapkan secara garis besar. Sanksi tersebut ada 2

(dua) macam berupa pidana dan tindakan. ’Terhadap Anak Nakal hanya dapat

dijatuhkan pidana dan tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini’.

Sanksi hukuman yang berupa pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana

tambahan.

Dalam Pasal 23 diatur mengenai macam-macam pidana pokok yang dapat

dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :

a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.

Mengenai pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (3),

terdiri dari dua macam, yaitu :

1. Perampasan barang-barang tertentu, dan atau

2. Pembayaran ganti rugi.

Berdasarkan pada Undang-Undang No 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan

Anak, kepada anak / remaja nakal yang melakukan tindak pidana dapat pula

dijatuhkan tindakan :

a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja; atau


48

c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja.

Tindakan yang dijatuhkan sebagaimana putusan yang ditetapkan diatas

dapat disertai pula dengan memberikan teguran dan syarat tambahan yang

ditetapkan oleh hakim. Mengenai penjatuhan pidana, Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 menetapkan bahwa penjatuhan pidana terdiri dari Pidana penjara,

Pidana Kurungan, Pidana Denda, dan penjatuhan Pidana Bersyarat.

Pasal 26 mengatur mengenai penjatuhan pidana penjara, sebagai berikut :

(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf
a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf
a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana
yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf
a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana
yang diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur
hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Penjatuhan pidana kurungan berdasarkan putusan hakim yang dapat

dijatuhkan kepada anak / remaja yang melakukan kejahatan, hanya dapat

dijatuhkan paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana

kurungan yang ditetapkan bagi orang dewasa. Berbeda dengan penjatuhan Pidana

denda, dimana penjatuhan pidana denda ini paling banyak ½ (satu per dua) dari
49

maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Apabila pidana denda

tersebut tidak dapat dibayar, maka diganti dengan wajib latihan kerja sebagai

pengganti denda paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja tidak lebih dari 4

(empat) jam sehari serta tidak dilaksanakan pada malam hari.

Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila pidana penjara yang

dijatuhkan terhadap anak nakal tersebut paling lama 2 (dua) tahun, dan

diberlakukan syarat umum dan syarat khusus. Dalam Pasal 29 Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 memberlakukan jangka waktu masa pidana bersyarat adalah

paling lama 3 (tiga) tahun, selama menjalani pidana bersyarat ini anak / remaja

nakal tersebut diawasi oleh jaksa dan dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan yang

berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan.

Dalam hal hakim menjatuhkan Pidana pengawasan, dapat dilakukan

kepada anak / remaja nakal tersebut paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama

2 (dua) tahun. Putusan mengenai penjatuhan Pidana penjara, Pidana kurungan,

Pidana denda, Pidana bersyarat, dan Pidana pengawasan ini disesuaikan dengan

ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 huruf a mengenai anak nakal yang melakukan

tindak pidana. Mengenai penempatan anak / remaja nakal yang diputus oleh

hakim untuk diserahkan kepada negara, maka anak / remaja yang melakukan

tindak pidana tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai

Anak Negara.
50

C. Tinjauan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Masalah perlindungan anak adalah sesuatu permasalahan yang kompleks

dan dapat menimbulkan berbagai permasalahan lebih lanjut, dalam hal ini

permasalahan tersebut tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan, tetapi harus

secara bersama-sama dan penyelesaiannya menjadi tanggung jawab bersama.

Perlindungan anak merupakan suatu hasil interaksi karena adanya

hubungan antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Masalah

perlindungan anak adalah suatu masalah manusia yang merupakan suatu

kenyataan sosial. Pengertian mengenai manusia dan kemanusiaan merupakan

faktor yang dominan dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan

perlindungan anak yang merupakan permasalahan kehidupan manusia .

Mengenai perlindungan anak ini, sebelum Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 diberlakukan, bangsa Indonesia menggunakan Undang-Undang RI

Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Undang-Undang

tersebut dijelaskan bahwa usaha-usaha mensejahterakan anak dan perlakuan yang

adil terhadap anak sangat diperlukan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1

butir b Undang-Undang nomor 23 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,

bahwa Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan

untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya

kebutuhan pokok anak.

Pengaturan mengenai ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan

perlindungan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah :

1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan) belas tahun,


termasuk anak yang masih dalam kandungan.
51

2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi


anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

Dalam hal pengertian anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

menjabarkan mengenai penggolongan anak yang berhak mendapatkan

perlindungan. Penggolongan anak tersebut dijelaskan dalam ketentuan umum

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 butir 6 (enam) – 10 (sepuluh).

Anak yang memperoleh perlindungan adalah :

6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara


wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik
dan/atau mental sehingga menggangu pertumbuhan dan perkembangannya
secara wajar.
8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan
luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.
9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan.
10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan
kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu
menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.

Perlindungan Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 2

berasaskan pada Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, serta prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam

Konvensi Hak-hak anak meliputi :

a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
52

Berdasarkan pada ketentuan diatas dapat ditelaah lebih dalam, bahwa

perlindungan anak / remaja tersebut merupakan suatu wujud keadilan.

Mengabaikan keadilan pada anak / remaja sama halnya dengan menghancurkan

masa depan bangsa. Perlindungan anak yang dimaksudkan dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 mempunyai tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak

anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi yang selama ini banyak terjadi kekerasan pada

anak / remaja, agar dapat mewujudkan generasi bangsa Indonesia yang sehat,

berakhlak dan sejahtera.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tidak mengatur mengenai

kenakalan anak / remaja yang melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam

Undang-Undang ini mutlak bahwa anak / remaja tersebut mendapat perlindungan

dari segala macam bentuk kekerasan ataupun kerugian baik fisik dan mental, yang

dapat menghambat keberlangsungan hidup sang anak / remaja tersebut.

Perlindungan anak / remaja ditekankan agar anak tersebut tidak tersesat di

dalam kehidupannya, karena banyak anak / remaja yang dalam kehidupan sehari-

harinya terjebak dalam ganasnya pola perilaku menyimpang. Tereksploitasi dan

menyimpang dari kaidah-kaidah hukum adalah salah satu bentuk bahwa anak /

remaja tersebut tidak mendapatkan perlindungan. Permasalahan ini hendaknya

menjadi permasalahan yang khusus bagi keluarga, masyarakat, dan pemerintah

agar perwujudan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak ini dapat terlaksana


53

dengan baik. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik

bagi anak / remaja yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,

tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai

Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan

negara Indonesia.

D. Aspek Perlindungan Terhadap Anak / Remaja

Perlindungan terhadap anak / remaja sangatlah diperlukan, hal ini

menyangkut keberlangsungan kehidupan anak / remaja tersebut dimasa yang akan

datang. Anak / remaja sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus dalam

pembangunan bangsa dan negara, sebagai insan yang belum dapat berdiri sendiri,

perlu diadakan usaha peningkatan kesejahteraan dengan memberikan

perlindungan terhadap anak agar anak / remaja tersebut dapat tumbuh dan

berkembang dengan wajar, baik rohani, jasmani maupun sosial. Kehidupan anak /

remaja yang terlindungi tentunya akan membawa efek positif bagi perkembangan

anak / remaja tersebut, sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan kehidupan

berbangsa dan bernegara yang harmonis, dinamis, dan meningkatkan

kesejahteraan kehidupan sosial bagi seluruh anggota masyarakat yang kurang

beruntung, termasuk mereka anak / remaja yang hidupnya terasing dan

terbelakang. Usaha perlindungan anak / remaja ini juga dilakukan dalam rangka

meningkatkan kesadaran serta kemampuan setiap warga negara untuk ikut serta

dalam meningkatkan pembangunan.


54

Aspek perlindungan anak / remaja ini ditujukan kepada anak / remaja yang

bermasalah. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak memberikan penjelasan atas pengertian anak / remaja adalah

anak yang tidak mempunyai orang tua, wali, dan kerabat lainnya, terlantar, anak /

remaja yang tidak mampu, anak cacat, serta anak / remaja yang bermasalah

dengan hukum. Dengan pembatasan tersebut, tidak berarti bahwa anak yang tidak

termasuk dalam kriteria tersebut tidak berhak untuk memperoleh perlindungan.

Semua anak / remaja adalah sama, tetapi kita harus memperhatikan bahwa

kecenderungan anak / remaja tersebut berperilaku menyimpang adalah sebagai

akibat dari kurangnya perhatian dan perlindungan terhadap mereka.

Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak telah mengatur mengenai

Anak / remaja yang dilindungi. Dijelaskan bahwa : Pemerintah dan lembaga

negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan

perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan

dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi

secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi

korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya

(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban

kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak

korban perlakuan salah dan penelantaran.

Berdasarkan pada perincian Peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang Perlindungan Anak tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak /

remaja Indonesia wajib dilindungi agar tidak menjadi korban tindakan


55

kepentingan individu atau kelompok, organisasi swasta maupun pemerintah baik

secara langsung dan tidak langsung. Selain menjadi korban dari pihak lain, anak /

remaja tersebut juga ada kemungkinan menjadi korban dari diri sendiri. Situasi

dan kondisi diri sendiri yang mempengaruhi tindakan-tindakan anak / remaja

tersebut berlaku menyimpang dan merugikan, sebagai akibat dari buah perbuatan

orang lain atau kelompok lain.

E. Penanggulangan Kenakalan Anak / Remaja Di Kota Bekasi

Juvenile Delinquency muncul sebagai masalah sosial yang semakin gawat

pada masa modern sekarang, baik yang terdapat di negara-negara dunia ketiga

yang baru merdeka maupun di negara-negara maju yang mempunyai aturan

hukum yang lebih baik. Kejahatan anak / remaja ini erat sekali kaitannya dengan

modernisasi, industrialisasi, urbanisasi, taraf kesejahteraan dan kemakmuran.

Kejahatan adalah suatu kenyataan sosial yang sangat mengganggu

kehidupan manusia dan keberadaannya tidak bisa dihindari, sehingga mau atau

tidak mau kita harus menghadapinya dengan berbagai upaya. Kejahatan

menimbulkan keresahan pada pemerintah dan anggota masyarakat, yang lebih

memprihatinkan adalah kejahatan tersebut timbul karena kenakalan anak / remaja.

Perbuatan-perbuatan yang menimbulkan gangguan terhadap keamanan,

ketentraman dan ketertiban masyarakat dapat berupa ; pencurian, pembunuhan,

penganiayaan, pemerasan, penipuan, penggelapan dan gelandangan, serta

perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya yang dilakukan oleh anak / remaja yang

meresahkan masyarakat. Tindakan-tindakan diambil untuk mengurangi dan


56

mencegah timbulnya permasalahan tersebut, banyak dana dan tenaga telah

dikerahkan untuk menanggulangi masalah kejahatan akibat kenakalan anak /

remaja tersebut.

Kota Bekasi sebagai daerah industri dan kota berkembang di kawasan

timur ibukota, terbawa dampak dari berkembang kehidupan gaya metropolitan.

Kejahatan yang dilakukan oleh anak / remaja semakin meningkat. Anak / remaja

mempunyai jiwa yang labil, kecenderungan untuk melakukan kenakalan dan

menjurus pada tindak kejahatan sangatlah mudah terjadi. Tindakan mereka

acapkali menyimpang dari aturan hukum. Fenomena ini menjadi pekerjaan rumah

tersendiri bagi masyarakat, institusi, aparat penegak hukum dan perangkat negara

lainnya di kota bekasi untuk dapat menyelesaikannya.

Tindak delinkuen anak / remaja banyak menimbukan kerugian materiil dan

kesengsaraan batin baik pada subyek pelaku sendiri maupun pada korbannya,

maka masyarakat dan pemerintah dipaksa untuk melakukan tindak-tindak

preventif dan penanggulangan secara kuratif.

Tindakan preventif yang dilakukan antara lain berupa :

1. Meningkatkan kesejahteraan keluarga.


2. Perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin.
3. Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki
tingkah-laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka.
4. Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja.
5. Membentuk badan kesejahteraan anak-anak.
6. Mengadakan panti asuhan.
7. Mengadakan lembaga reformatif untuk memberikan latihan korektif,
pengoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan susila kepada anak-
anak dan para remaja yang membutuhkan.
8. Membuat badan supervisi dan pengontrol terhadap kegiatan anak
delinkuen, disertai program yang korektif.
9. Mengadakan pengadilan anak.
57

10. Menyusun undang-undang khusus untuk pelanggaran dan kejahatan yang


dilakukan oleh anak dan remaja.
11. Mendirikan sekolah bagi anak gembel (miskin).
12. Mengadakan rumah tahanan khusus untuk anak dan remaja.
13. Menyelenggarakan diskusi kelompok dan bimbingan kelompok untuk
membangun kontak manusiawi di antara para remaja delinkuen dengan
masyarakat luar. Diskusi tersebut akan sangat bermanfaat bagi pemahaman
kita mengenai jenis kesulitan dan gangguan pada diri para remaja.
14. Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas para remaja
delinkuen dan yang nondelinkuen. Misalnya berupa latihan vokasional,
latihan hidup bermasyarakat, latihan persiapan untuk bertransmigrasi, dan
lain-lain.27

Selanjutnya tindakan kuratif bagi usaha penyembuhan anak delinkuen

antara lain berupa :

1. Menghilangkan semua sebab-musabab timbulnya kejahatan remaja, baik


yang berupa pribadi familial, sosial ekonomis dan kultural.
2. Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang tua
angkat/asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan
jasmani dan rohani yang sehat bagi anak-anak remaja.
3. Memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik, atau ke tengah
lingkungan sosial yang baik.
4. Memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib dan
berdisiplin.
5. Memanfaatkan waktu senggang di kamp latihan, untuk membiasakan diri
bekerja, belajar dan melakukan rekreasi sehat dengan disiplin tinggi.
6. Menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan
vokasional untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen itu bagi pasaran
kerja dan hidup di tengah masyarakat.
7. Memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan
pembangunan.
8. Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan konflik
emosional dan gangguan kejiwaan lainnya. Memberikan pengobatan
medis dan terapi psikoanalitis bagi mereka yang menderita gangguan
kejiwaan. 28

Keresahan yang ditimbulkan akibat dari kenakalan anak / remaja tersebut,

menjadi tanggung jawab sepenuhnya anggota masyarakat. Juvenile Delinquency

27
Kartini Kartono, Op. Cit., hal. 95-96.
28
Ibid, hal. 96-97.
58

tidak dipandang sebagai masalah yang timbul dan menimpa kelompok umur

tertentu, akan tetapi dinilai sebagai problema sosial yang muncul dari kelompok

kecil sebagai implikasi dari akselerasi perubahan masyarakat secara global.

Norma-norma hukum yang dijadikan salah satu pedoman dalam pergaulan

dan kehidupan bermasyarakat, bertujuan agar perkembangan kehidupan sosial

dapat berjalan dengan stabil dan normal. Sehingga kepentingan-kepentingan

individu yang beraneka ragam di dalam masyarakat dapat diselaraskan satu

dengan lainnya. Norma-norma hukum pada akhirnya akan dapat menyatukan

kepatutan segala bentuk perilaku di dalam masyarakat.

Jika dipikirkan lebih lanjut, nampaknya ada beberapa faktor pendorong

yang menjadikan norma hukum lebih dipatuhi oleh anak remaja, antara lain :

1. Dorongan yang bersifat psikologis/kejiwaan.


2. Dorongan untuk memelihara nilai-nilai moral yang luhur di dalam
masyarakat.
3. Dorongan dalam upaya untuk memperoleh perlindungan hukum.
4. Dorongan untuk menghindari dari sanksi hukum.29

Kesadaran pada hukum dapat menyebabkan anak / remaja tersebut

mengerti dan memahami lebih dalam segala bentuk peraturan, sanksi, dan

larangannya. Para delinkuen hendaknya diarahkan agar lebih taat dan sadar

hukum, kesadaran akan hukum ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya, akan

tetapi keadaan tersebut akan berevolusi seiring dengan perkembangan zaman dan

mental anak / remaja itu. Dalam tahapan yang pertama, anak / remaja hendaknya

diberikan pengetahuan yang cukup tentang hukum. Anak / remaja yang telah

terbina dengan baik oleh aturan hukum, akan lebih mengerti hukum, kemudian

29
Sudarsono, Op.Cit., hal. 111.
59

mereka akan menghargainya dan pada akhirnya anak / remaja tersebut mampu

mematuhi hukum dengan sebaik-baiknya. Dalam tingkat yang paling tinggi inilah

anak / remaja telah sanggup berperilaku sesuai dengan norma-norma hukum yang

berlaku.

Anak / remaja yang taat dan menjalani aturan hukum dengan baik, akan

menjauhkan mereka dari segala bentuk kenakalan yang bisa berakibat pada

timbulnya kejahatan. Semakin baik pola perilaku anak / remaja Indonesia, maka

akan semakin cerah pula kehidupan berbangsa dan bernegara menuju

pembangunan yang adil dan merata di masa yang akan datang.


60

BAB IV

DATA DAN ANALISA

Guna melengkapi penulisan hukum yang dilakukan ini, maka dalam bab

ini penulis menyajikan data yang diperoleh selama masa penelitian berhubungan

dengan kenakalan anak / remaja dalam timbulnya kejahatan di kota

Bekasi. Data yang disajikan diperoleh dengan membahas permasalahan dan

melalui analisa kasus yang terjadi serta penyajian dari hasil metode quesioner di

lapangan. Dan kemudian dianalisa, dengan maksud untuk menemukan kebenaran

sesuai dengan hukum yang berlaku..

A. Faktor-faktor Penyebab Kenakalan Anak / Remaja.

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan di kota Bekasi yang

bersumber pada data Kepolisisan Polres Metro Kota Bekasi, diperoleh data yang

menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab timbulnya kenakalan anak / remaja

adalah sebagai berikut :

1. Faktor lingkungan tempat dimana para pelaku tinggal. Hal ini dapat

dibuktikan dari data yang diperoleh, bahwa pelaku tindak pidana Muhammad

Ali dan Cipto Triyoko melakukan perbuatan melawan hukum karena

terpengaruh oleh lingkungan tempat tinggalnya. Keadaan lingkungan yang

kumuh, miskin dan terbelakang menyebabkan pelaku terbawa pada perilaku

yang menyimpang.
61

2. Keadaan ekonomi yang berada dibawah standar kelayakan. Faktor ini menjadi

penyebab utama mengapa pelaku melakukan perbuatan melawan hukum.

Keadaan ekonomi yang buruk menjadikan mereka berbuat kebablasan hanya

untuk mengejar uang atau impian yang tidak bisa dicapai, sehingga pelaku

memiliki kecenderungan untuk menghalalkan segala cara meskipun perbuatan

yang dilakukannya melawan hukum.

3. Keluarga yang kurang memperhatikan. Faktor ini menjadi asal mula dari

timbulnya kenakalan anak / remaja tersebut, keluarga yang tidak mengerti

kebutuhan anaknya menyebabkan pelaku bertindak menyimpang. Para pelaku

tindak pidana ini melakukan perbuatan melawan hukum sebagai akibat dari

kurangnya keluarga mereka memperhatikan keinginan sang anak.

B. Sanksi Terhadap Kejahatan Anak / Remaja

Penjatuhan sanksi terhadap timbulnya kejahatan anak / remaja disesuaikan

dengan tindak pidana yang dilakukan. Berdasarkan data yang diperoleh dari

Pengadilan Negeri Kota Bekasi selama mengadakan penelitian atas kasus-kasus

yang terjadi pada pelaku, terdapat kecenderungan bahwa majelis hakim

menjatuhkan sanksi pidana tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan diatur

dalam Perundang-undangan, ada kecenderungan majelis hakim menjatuhkan

putusan lebih ringan dari yang ditetapkan dalam Undang-undang. Dalam hal ini

majelis hakim menjatuhkan putusannya karena memiliki pertimbangan tersendiri

mengapa putusannya lebih ringan. Majelis hakim berpendapat bahwa putusan

lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum atau ketentuan Perundang-
62

undangan adalah karena anak / remaja tersebut dapat dibina, diperbaiki tingkah

lakunya, dihindarkan dari kegoncangan mental akibat hukuman yang dijatuhkan,

dan agar hukuman yang dijatuhkan majelis hakim sekalipun lebih ringan dapat

menjerakan pelaku kejahatan dan mengurangi timbulnya kejahatan anak / remaja

Data penelitian menyebutkan bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan

terhadap pelaku kejahatan anak / remaja, dalam hal ini kepada Muhammad Ali

dan Cipto Triyoko lebih ringan dari sanksi dalam Peraturan Perundang-undangan.

Terdakwa Muhammad Ali alias Ilay bin Mamit, dijatuhi pidana penjara selama 2

(dua) tahun walaupun dalam ketentuan Pasal 85 huruf a UU RI Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika adalah selama 4 (empat) tahun. Sedangkan bagi terdakwa

Cipto Triyoko, dijatuhi pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda

sebesar Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) denda mana jika tidak

dibayar harus diganti dengan pidana kurungan selama 10 (sepuluh) hari latihan

kerja. Yang mana disebutkan dalam Pasal 78 Ayat (1) huruf a UU RI Nomor 22

Tahun 1997 adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

C. Usaha-usaha Aparat Penegak Hukum Terhadap Timbulnya Kejahatan

Anak / Remaja.

Dalam menanggulangi timbulnya kejahatan anak / remaja, aparat penegak

hukum di kota bekasi telah melakukan beberapa tindakan yaitu upaya Preventif,

Represif dan Kuratif. Usaha-usaha pencegahan yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum dilaksanakan oleh pihak kepolisian dan Pengadilan Negeri kota
63

bekasi. Dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum, Pihak

Kepolisian dan Pengadilan Negeri kota bekasi didasarkan pada ketentuan

Peraturan Perundang-undangan yang ada.

Dalam upayanya untuk menjaga dan melindungi warga masyarakat kota

bekasi dari ancaman kejahatan yang ditimbukan oleh anak / remaja ini, aparat

penegak hukum khususnya Kepolisian Resort Metro bekasi bagian Reskrim telah

mengupayakan cara penanggulangan seperti yang telah dijelaskan di atas. Baik itu

dalam tindakan preventif dan represif. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak

kepolisian adalah dengan cara :

a. Melaksanakan pembinaan dan penyuluhan ke sekolah-sekolah tentang :


1. Kenakalan remaja.
2. Narkoba.
3. Pengetahuan lalu lintas
4. Kamtibmas.
b. Melaksanakan operasi penertiban (pemeriksaan tas siswa-siswi) di
sekolah.
c. Melaksanakan patroli dan sambang pada jam-jam rawan perkelahian
pelajar.
d. Pembentukan PKS (Patroli Keamanan Sekolah).30

Pihak Pengadilan Negeri dalam upayanya menanggulangi kejahatan anak

adalah menjatuhkan putusan atas timbulnya perkara pidana yang dilakukan oleh

anak / remaja tersebut. Dalam hal ini majelis hakim menjatuhkan putusan

pengadilan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan meskipun kadangkala

tidak menjatuhkan pidana apapun karena pertimbangan kemanusiaan, dalam

upaya mengembalikan anak / remaja tersebut kembali kejalan yang benar dan

tidak mengulangi lagi perbuatannya.

30
Wawancara dengan Kepala Bagian RESKRIM Polrestro kota bekasi, Oktober 2006.
64

D. Penyajian Kasus Perkara Pidana dan Data Hasil Quesioner

1. Kasus Perkara Pidana Nomor 1065/Pen.Pid/2005/PN.Bks. Di

Pengadilan Negeri Bekasi.

Pengadilan Negeri bekasi dalam sidang pengadilan hari senin, tanggal 21

November 2005 telah memeriksa dan mengadili serta memutus perkara pidana

tanpa hak menggunakan narkotik golongan I, yang dilakukan oleh terdakwa :

Nama lengkap : Muhammad Ali Als Ilay bin Mamit

Tempat lahir : Bekasi

Umur atau tanggal lahir : 19 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Jl. Flamboyan Rt 07/07 No.39 Ds. Jatimulya kec.

Tambun Selatan. Bekasi.

Agama : Islam

Pekerjaan : Belum Bekerja

Dakwaan JPU :

a. Primair Pasal 78 Ayat (1) UU RI No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

b. Subsidair Pasal 85 huruf a UU RI No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Tuntutan JPU :

1. Menyatakan Dakwaan Primair berdasarkan Pasal 78 Ayat (1) huruf a UU

RI Nomor 22 Tahun 1997 tidak terbukti dan tidak dapat dibuktikan.

2. Menyatakan Dakwaan Subsidair berdasarkan Pasal 85 huruf a UU RI

Nomor 22 Tahun 1997 telah terpenuhi dan terbukti secara meyakinkan,


65

yaitu terdakwa tanpa hak dan melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan I bagi diri sendiri.

3. Menyatakan menghukum terdakwa Muhammad Ali alias Ilay bin Mamit

dengan hukuman penjara selama 2 tahun, dikurangi tahanan sementara.

4. Menyatakan barang bukti Ganja 0,6159 gram dirampas untuk

dimusnahkan.

5. Menghukum terdakwa membayar biaya perkara Rp.1000 (Seribu Rupiah).

Putusan Hakim :

1. Menyatakan terdakwa Muhammad Ali als. ILAY bin Mamit tersebut

diatas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana : “Tanpa hak menggunakan narkotik golongan I (satu)”.

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana

penjara selama 2 (dua) tahun.

3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari perkara yang telah dijatuhkan padanya.

4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan Lembaga

Pemasyarakatan di bekasi.

5. Menetapkan agar barang bukti berupa :

Ganja 0,6159 gram dirampas untuk dimusnahkan.

6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.1000,- (seribu

rupiah).
66

Analisa

Setelah mempelajari kasus perkara pidana “Tanpa hak menggunakan

Narkotika golongan I ( satu )” yang telah diperiksa, dilalui dan diputus oleh

Pengadilan Negeri Bekasi, maka penulis dapat menganalisa data tersebut di atas

sebagai berikut :

1. Terdakwa yang masih berusia 19 (sembilan belas) Tahun, jika berdasarkan

pada aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak

digolongkan sebagai anak / remaja. Tetapi jika ditinjau dari ketentuan

peraturan perundang-undangan lain yang berlaku (KUH Perdata dan

Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991) dapat digolongkan sebagai anak / remaja.

2. Bahwa penyusun menilai putusan majelis hakim / putusan Pengadilan

tersebut dinilai masih sangat ringan yaitu lamanya masa penahanan yang

pernah dijalani terdakwa itu masih harus dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan. Selain itu penjatuhan pidana penjara selama 2

(dua) tahun dapat penyusun simpulkan terlalu singkat dibandingkan

dengan lamanya hukuman yang ditentukan dalam Pasal 78 ayat (1) huruf

b yakni pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling

banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) serta ketentuan dalam

Pasal 85 huruf a UU RI Nomor 22 Tahun 1997 yakni 4 (empat) tahun.

Namun tindakan majelis hakim tersebut juga dihubungkan dengan upaya

penanggulangan bagi timbulnya kenakalan anak / remaja yang berupa cara

preventif dan represif. Bersifat represif karena dengan putusan yang

dijatuhkan tersebut maka sisa hukuman yang harus dijalani oleh terdakwa
67

tidak terlalu lama, sedangkan selama di tingkat penyidik (kepolisian)

terdahulu terdakwa memperoleh penangguhan penahanan, sehingga dalam

masa penangguhan penahanan dan menjalani hukuman itu terdakwa dapat

memperbaiki diri dan bertindak hati-hati agar tidak melakukan /

mengulangi tindak pidana lagi. Bersifat represif karena pengadilan /

majelis hakim tetap menjatuhkan pidana kepada terdakwa meskipun

terdakwa masih dikategorikan sebagai anak / remaja, sehingga terdakwa

dapat memahami bahwa rimi tidak memandang status seseorang dan

memahami bahwa perbuatannya itu dapat diancam dan dijatuhi sanksi

pidana.

3. Bahwa dalam putusan majelis hakim terhadap terdakwa yaitu tetap berada

dalam tahanan dan diserahkan kepada pemerintah. Putusan tersebut dapat

dibenarkan oleh aturan rimi pidana yang diterapkan bagi anak / remaja.

Berdasarkan aturan rimi pidana adalah bahwa si anak / remaja yang

terlibat tindak pidana masih diharapkan untuk dibinan dan dididik oleh

pemerintah agar menjadi manusia yang baik serta membantu pemerintah

dalam hal memerangi peredaran dan penggunaan Narkotika.

4. Bahwa jika ditinjau dari bentuk perbuatannya, maka perbuatan terdakwa

tersebut merupakan perbuatan / tindak pidana dan dapat dikatakan sebagai

kejahatan. Hal ini dapat ditarik berdasarkan tuduhan jaksa penuntut umum

dan putusan majelis hakim yang menyatakan bahwa terdakwa melakukan

perbuatan pidana menggunakan narkotika Golongan I bagi diri sendiri,


68

sebagaimana diatur dalam Pasal 85 huruf a Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 tentang Narkotika.

2. Kasus Perkara Pidana Nomor 2075/PID.B/2006/PN.Bks. Di

Pengadilan Negeri Bekasi.

Pengadilan Negeri bekasi dalam rimin pengadilan hari Kamis, tanggal

14 Desember 2006 telah memeriksa dan mengadili serta memutus perkara pidana

tanpa hak dan melawan rimi mencoba menyerahkan Narkotika golongan I jenis

ganja, yang dilakukan oleh terdakwa :

Nama lengkap : Cipto Triyoko

Tempat lahir : Purwokerto

Umur atau tanggal lahir : 17 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Kp. Bojong Tua Rt. 002/14, Kel. Jatiwaringin,

Kec. Pondok Gede, Bekasi.

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Dakwaan JPU :

a. Primair Pasal 83 UU RI No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

b. Subsidair Pasal 78 Ayat (1) UU RI No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika.


69

Tuntutan JPU :

1. Menyatakan terdakwa Cipto Triyoko telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak dan melawan

rimi mencoba menyerahkan Narkotika Golongan I” sebagaimana diatur

dan diancam Pidana dalam Pasal 83 UU RI Nomor 22 Tahun 1997.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1

(satu) tahun dikurangi selama dalam tahanan. Denda : Rp. 500.000,-

Subsider : 15 hari latihan kerja.

3. Menetapkan barang bukti berupa daun ganja kering sebanyak 0,3850 (nol

koma tiga ribu delapan ratus lima puluh) gram dirampas untuk

dimusnahkan.

4. Menetapkan supaya terdakwa tetap ditahan dan membebankan terdakwa

untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,-

Putusan Hakim :

1. Menyatakan terdakwa Cipto Triyoko tersebut diatas telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “Tanpa hak dan

melawan rimi mencoba menyerahkan Narkotik golongan I (satu) jenis

ganja”.

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana

penjara selama 8 ( delapan ) bulan dan denda sebesar Rp.250.000,- ( dua

ratus lima puluh ribu rupiah ). Denda mana jika tidak dibayar harus diganti

dengan pidana kurungan selama : 10 ( sepuluh ) hari latihan kerja.


70

3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari perkara yang telah dijatuhkan padanya.

4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan Lembaga

Pemasyarakatan di bekasi.

5. Menetapkan agar barang bukti berupa :

Daun ganja kering sebanyak 0,3850 ( nol koma tiga ribu delapan ratus

lima puluh ) gram dirampas untuk dimusnahkan.

6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.1000,- (seribu

rupiah).

Analisa

Setelah mempelajari kasus perkara pidana kedua “ Tanpa hak dan

melawan rimi mencoba menyerahkan Narkotika golongan I ( satu ) jenis ganja”

yang telah diperiksa, dilalui dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri

kota Bekasi, maka penulis dapat menganalisa data tersebut di atas sebagai berikut:

1. Bahwa terdakwa yang masih berusia 17 ( tujuh belas ) Tahun, jika

dihubungkan dengan riminal secara biologis maupun yuridis ( menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, KUH

Perdata, Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 dan UU Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak ) dapat digolongkan sebagai anak / remaja.

2. Bahwa penyusun menilai putusan majelis hakim / putusan Pengadilan Negeri

Bekasi tersebut dinilai masih teramat ringan yaitu lamanya masa penahanan

yang pernah dijalani terdakwa itu masih harus dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan. Selain itu penjatuhan pidana selama 8 ( delapan )


71

bulan penjara disertai dengan denda sebesar Rp.250.000,- ( dua ratus lima

puluh ribu rupiah ), denda mana jika tidak dibayar harus diganti dengan pidana

kurungan selama 10 ( sepuluh ) hari latihan kerja dapat penulis simpulkan

masih terlalu ringan, meskipun terdakwa hanya mencoba untuk menyerahkan

Narkotika golongan I ( satu ) jenis ganja riminal r dengan lamanya

hukuman yang ditentukan dalam Pasal 78 ayat 1 ( satu ) huruf b yakni pidana

penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp.

500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah ). Namun tindakan majelis hakim

tersebut dapat penyusun analisa sebagai bentuk upaya penanggulangan

timbulnya kenakalan anak / remaja dengan cara preventif dan represif. Selain

itu agar terdakwa memahami bahwa perbuatannya melawan rimi dan

menimbulkan efek jera untuk tidak mengulanginya kembali.

3. Bahwa putusan majelis hakim terhadap terdakwa agar tetap berada dalam

tahanan dan diserahkan kepada pemerintah. Putusan tersebut dapat dibenarkan

oleh aturan rimi pidana yang diterapkan bagi anak / remaja. Berdasarkan

pada aturan rimi pidana adalah bahwa anak / remaja tersebut yang terlibat

dalam tindak pidana diharapkan untuk dibina dan dididik oleh pemerintah agar

dapat menjadi manusia yang baik serta membantu pemerintah dalam hal

mengurangi kenakalan anak / remaja pada umumnya dan memerangi

peredaran serta penggunaan narkotika pada khususnya.

4. Bahwa jika ditinjau dari bentuk perbuatannya, maka perbuatan terdakwa

tersebut merupakan perbuatan / tindak pidana. Hal ini dapat ditarik

berdasarkan tuduhan jaksa penuntut umum dan putusan majelis hakim yang
72

menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana tanpa hak

dan melawan rimi mencoba menyerahkan Narkotika golongan I ( satu )

sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika.

3. Hasil Penelitian Menggunakan Metode Quesioner.

Kenakalan anak / remaja dalam studi masalah rimin dapat dikategorikan

ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah

rimin terjadi karena penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan rimin

ataupun dari nilai dan norma rimin yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat

dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya rimin

rimin dan penegakan rimi positif.

Metode yang digunakan dalam penulisan rimi ini adalah menggunakan

metode riminal r, yaitu memperoleh sample secara acak dengan memberikan

daftar pertanyaan dan isian kepada narasumber. Pemilihan metode ini karena

penelitian yang dilakukan ingin mempelajari dan mengetahui masalah-masalah

rimin dalam suatu masyarakat, yang dalam kenyataannya tidak terbuka secara

umum. Juga memperoleh fenomena dari kejadian yang ada.

Cara pemilihan rimin yang dilakukan adalah dengan memilih responden

yang berstatus anak / remaja. Responden dalam penelitian ini ditentukan bagi

mereka yang berusia antara 13 tahun-19 tahun. Mengingat pengertian anak /

remaja dalam Peraturan Perundang-undangan (KUH Perdata) adalah mereka yang

belum berumur 21 tahun dan belum menikah. Dengan pertimbangan pada usia
73

tersebut, terdapat berbagai masalah dan krisis diantaranya ; krisis identitas,

kecanduan narkotik, kenakalan, tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah ataupun

lingkungannya, konflik mental dan terlibat kejahatan.

a. Bentuk Kenakalan Yang Dilakukan Oleh Responden

Berdasarkan data yang penulis peroleh di lapangan dengan cara

mengajukan daftar pertanyaan (Quesioner) kepada narasumber, dapat disajikan

hasil penelitian tentang kenakalan anak atau remaja sebagai salah satu perbuatan

yang menyimpang dan cenderung menimbulkan kejahatan dengan keberfungsian

rimin di Kota Bekasi. Adapun ukuran yang dipergunakan penulis untuk

mengetahui kenakalan anak atau remaja seperti yang disebutkan dalam skripsi ini,

yaitu : (1) Kenakalan Biasa, (2) Kenakalan yang menjurus pada tindak riminal,

dan (3) Kenakalan Khusus yang pengaturannya terdapat dalam Hukum Pidana

Khusus. Responden dalam penelitian menggunakan metode Quesioner ini

berjumlah 50 orang, dengan jenis kelamin laki-laki 30 responden, dan perempuan

20 responden. Mereka berusia antara 13 tahun – 19 tahun. Terbanyak adalah

mereka yang berumur 16 tahun – 18 tahun.

Tabel 1.Bentuk Kenakalan Anak / Remaja Yang Dilakukan Responden


(n=50)
No. Bentuk Kenakalan / Kejahatan X % Y %
1 Berbohong 50 100 0 0
2 Pergi dari rumah tanpa pamit 46 92 4 8
3 Keluyuran 49 98 1 2
4 Begadang 49 98 1 2
5 Membolos sekolah 45 90 5 10
6 Berkelahi dengan teman 47 94 3 6
7 Berkelahi antar sekolah 19 38 31 62
74

8 Buang sampah sembarangan 50 100 0 0


9 Membaca buku porno 37 74 13 26
10 Melihat gambar porno 47 94 3 6
11 Menonton film porno 46 92 4 8
12 Mengendarai kendaraan tanpa SIM 46 92 4 8
13 Kebut-kebutan 39 78 11 22
14 Minum-minuman keras 28 56 22 44
15 Kumpul kebo 12 24 38 76
16 Hubungan sex pra-nikah 10 20 40 80
17 Mencuri 28 56 22 44
18 Mencopet 10 20 40 80
19 Menodong 12 24 38 76
20 Menggugurkan kandungan 4 8 46 92
21 Memperkosa 3 6 47 94
22 Berjudi 34 68 16 32
23 Menyalahgunakan narkotika / psikotropika 20 40 30 60
24 Membunuh 2 4 48 96
25 Money Laundering 3 6 47 94
26 Cyber crime 3 6 47 94
Keterangan :
n : Jumlah responden
X : Jumlah responden yang melakukan bentuk kenakalan
Y : Jumlah responden yang tidak melakukan bentuk kenakalan
Sumber : Data Quesioner Anak / Remaja Kota Bekasi, 2006

Dengan tabel diatas dijelaskan bahwa seluruh responden pernah

melakukan kenakalan, terutama pada tingkat kenakalan biasa seperti berbohong,

pergi keluar rumah tanpa pamit kepada orang tuanya, keluyuran, begadang,

membolos sekolah dan jenis kenakalan biasa lainnya. Pada tingkat kenakalan yang

menjurus pada timbulnya tindak kriminal seperti mengendarai kendaraan tanpa

SIM, kebut-kebutan, minum-minuman keras, mencuri, juga cukup banyak

dilakukan oleh responden. Bahkan pada kenakalan khusus pun banyak pula

dilakukan oleh responden dalam penelitian ini. Diantaranya adalah hubungan sex

pra-nikah, menggugurkan kandungan, memperkosa, menyalahgunakan narkotika,

hingga timbulnya kejahatan khusus seperti money laundering dan cyber crime

meskipun bentuk kenakalan ini persentasenya sangat kecil. Keadaan yang


75

memperparah lingkungan sosial dimana responden tinggal adalah terdapat

beberapa diantara responden yang melakukan hubungan sex pra-nikah dan

kumpul kebo. Keadaan yang demikian cukup mengkhawatirkan jika tidak segera

ditanggulangi, ada kemungkinan dapat membahayakan baik bagi pelaku, keluarga,

maupun lingkungan sosial dimana anak atau remaja tersebut bertempat tinggal.

Karena hal tersebut dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari yang

semakin kompleks, semisal timbulnya sex bebas.

a.1. Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan

Salah satu hubungan variabel yang disajikan dalam penelitian ini adalah

hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan anak atau remaja yang

menimbulkan kejahatan. Hal ini untuk mengetahui apakah anak atau remaja laki-

laki lebih nakal daripada anak atau remaja perempuan atau probalitasnya adalah

sama. Berdasarkan tabel hubungan diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 2. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan bentuk kenakalan (n=50)

No. Bentuk Kenakalan / Kejahatan Jenis Kelamin


Laki-laki % Perempuan %
1 Berbohong 30 60 20 40
2 Pergi dari rumah tanpa pamit 27 54 19 38
3 Keluyuran 30 60 19 38
4 Begadang 30 60 19 38
5 Membolos sekolah 29 58 16 32
6 Berkelahi dengan teman 28 56 19 38
7 Berkelahi antar sekolah 16 32 3 6
8 Buang sampah sembarangan 30 60 20 40
9 Membaca buku porno 23 46 14 28
10 Melihat gambar porno 29 58 18 36
11 Menonton film porno 29 58 17 34
12 Mengendarai kendaraan tanpa SIM 29 58 17 34
76

13 Kebut-kebutan 25 50 14 28
14 Minum-minuman keras 22 44 6 12
15 Kumpul kebo 9 18 3 6
16 Hubungan sex pra-nikah 7 14 3 6
17 Mencuri 19 38 9 18
18 Mencopet 6 12 4 8
19 Menodong 9 18 3 6
20 Menggugurkan kandungan 3 6 1 2
21 Memperkosa 3 6 0 0
22 Berjudi 26 52 8 16
23 Menyalahgunakan narkotika / psikotropika 15 30 5 10
24 Membunuh 2 4 0 0
25 Money Laundering 2 4 1 2
26 Cyber crime 3 6 0 0

Sumber : Data Quesioner Anak / Remaja Kota Bekasi, 2006

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis dapat ditarik

kesimpulan bahwa anak atau remaja laki-laki lebih cenderung melakukan

perbuatan kenakalan dibanding dengan anak atau remaja perempuan. Dengan

demikian maka anak atau remaja laki-laki memiliki kecenderungan untuk

melakukan kenakalan yang menjurus pada kejahatan lebih dibandingkan dengan

anak atau remaja perempuan.

b.1. Hubungan antara pekerjaan responden dengan tingkat kenakalan.

Berdasarkan data yang diperoleh, pekerjaan responden adalah pelajar.

Masing-masing terdiri atas pelajar SLTP, SLTA/SMU, SMK dan Mahasiswa.

Tabel 3. Pekerjaan responden dengan Tingkat kenakalan (n=50)

No Tingkat Pendidikan n %
1 SLTP 1 2
2 SLTA / SMU 40 80
3 SMK 6 12
4 Mahasiswa 3 6
50 100
Sumber : Data Primer
77

Data diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkatan pendidikan

tidak menjamin bahwa anak atau remaja tersebut tidak akan melakukan kenakalan

(Mahasiswa 6%). Faktor yang kuat menyebabkan terjadinya delinquency yaitu

karena adanya waktu luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik, untuk kegiatan

positif, dan adanya pengaruh buruk dalam sosialisasi dengan teman bermainnya

atau faktor lingkungan sosial yang sangat besar pengaruhnya. Hal ini dapat

dikaitkan dengan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan data dari pihak

Kepolisian Metro Bekasi.

c.1. Hubungan antara keberfungsian sosial keluarga dengan tingkat kenakalan.

Keberfungsian sosial keluarga merupakan pendorong terjadi timbulnya

kenakalan anak atau remaja. Dalam hal ini diuraikan mengenai bagaimanakah

suatu lingkungan sosial keluarga berperan penting dalam melaksanakan fungsi

kehidupan, peranan dan tugasnya serta peranannya dalam membina anak atau

remaja memenuhi kebutuhannya.

c.1.1 Hubungan antara pekerjaan orang tua anak / remaja dengan tingkat

kenakalan.

Untuk mengetahui apakah kenakalan anak atau remaja juga ada

hubungannya dengan pekerjaan orang tuanya, dalam arti tingkat pemenuhan

kebutuhan hidup sang anak atau remaja tersebut. Karena pekerjaan orang tua

dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan

keluarganya. Hal ini perlu untuk diketahui karena dalam keberfungsian sosial,
78

salah satunya adalah mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Berdasarkan dari

data yang penulis peroleh selama mengadakan penelitian ini, diperoleh data

berdasarkan pekerjaan orang tuanya adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Pekerjaan Orang tua dengan Tingkat kenakalan (n=50)

No Pekerjaan Orang Tua n %


1 Pegawai Negeri Sipil 21 42
2 Wiraswasta 19 38
3 Pensiunan 5 10
4 Karyawan 3 6
5 Pegawai Swasta 1 2
6 Buruh Pabrik 1 2
50 100
Keterangan :
n : Jumlah Pekerjaan Orang tua responden
Sumber : Data Primer

Dari korelasi diatas diketahui bahwa kecenderungan anak atau remaja

yang orang tuanya bekerja sebagai pegawai negeri sipil lebih cenderung

melakukan kenakalan bila dibandingkan dengan anak atau remaja yang orang

tuanya bekerja sebagai wiraswasta, pensiunan, karyawan, pegawai swasta dan

buruh. Hal ini berarti pekerjaan orang tua anak atau remaja tersebut, berhubungan

dengan tingkat kenakalan yang dilakukan oleh anak atau remaja tersebut. Keadaan

yang demikian karena kemungkinan bagi orang tua yang bekerja sebagai pegawai

negeri sipil, lebih memperhatikan anaknya untuk mencapai masa depan yang

lebih baik. Tetapi kesibukannya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan

keluarganya, membuat berkurangnya perhatian pada anak atau remaja tersebut.

Kurangnya penanaman moral dan nilai-nilai sosial kepada anaknya, menyebabkan

anak atau remaja lebih terfokus pada kelompoknya yang kurang mengarahkan

pada kehidupan normatif, sehingga besar kemungkinan terjadinya delinquency.


79

c.1.2. Hubungan antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan.

Keutuhan keluarga seorang anak atau remaja dapat berpengaruh terhadap

sifat dan kelakuan anak atau remaja dalam timbulnya kenakalan. Dalam arti yang

sempit, kenakalan anak atau remaja tersebut berasal dari keluarga yang tidak utuh,

baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di lingkungan

keluarga.

Tabel 5. Keutuhan Keluarga dengan Tingkat Kenakalan (n-50)

No Keutuhan Keluarga n %
1 Harmonis & Utuh 41 82
2 Harmonis & Tidak Utuh 9 18
50 100
Keterangan :
n : Jumlah bentuk keutuhan keluarga responden
Sumber : Data Primer

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ternyata keutuhan suatu

lingkungan keluarga tidak menjamin bagi anak atau remaja untuk tidak

melakukan kenakalan.

c.1.3. Hubungan antara kehidupan beragama keluarganya dengan tingkat

kenakalan.

Kehidupan beragama keluarga juga dapat dijadikan salah satu ukuran

untuk melihat keberfungsian sosial suatu keluarga. Sebab dalam konsep

keberfungsian sosial juga dilihat dari segi kerohanian. Keluarga yang menjalankan

kewajiban-kewajiban agama dengan baik, berarti mereka menanamkan nilai-nilai

dan norma yang baik. Secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban

beragama dengan baik, maka anak-anaknya pun akan melakukan hal-hal yang
80

baik sesuai dengan norma agama. Berdasarkan data yang diperoleh dalam

penelitian ini, adalah sebagai berikut :

Tabel 6. Kehidupan beragama keluarga dengan tingkat kenakalan (n=50)

No Kehidupan Beragama Keluarga n %


1 Keluarga Taat Beragama 38 76
2 Keluarga Kurang & Tidak Taat Beragama 12 24
50 100
Keterangan :
n : Jumlah bentuk kehidupan beragama keluarga responden
Sumber : Data Primer

Dengan demikian kenakalan tidak hanya timbul begitu saja karena

keluarga yang kurang dan tidak taat beragama. Dari data yang diperoleh

menunjukkan bahwa timbulnya kenakalan, terbanyak berasal dari keluarga yang

taat beragama. Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya memberikan

pendidikan kepada anak atau remaja tersebut. Ada kemungkinan besar bahwa

keluarga tersebut taat menjalankan kewajiban beragama, tetapi anak atau

remajanya tidak menjalankan.

c.1.4. Hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anak dengan tingkat

kenakalan.

Salah satu sebab kenakalan anak atau remaja dalam timbulnya kejahatan

adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Hubungan antara sikap orang tua

dengan pendidikan anak sangat berperan.

Tabel 7. Sikap Orang tua dalam Pendidikan anak (n=50)

No Sikap Orang Tua dalam Pendidikan Anak n %


1 Otoriter 16 32
2 Over Protection 16 32
3 Kurang Memperhatikan 14 28
81

4 Tidak Memperhatikan sama sekali 4 8


50 100
Keterangan :
n : Jumlah hubungan sikap orang tua responden dalam pendidikan anak
Sumber : Data Primer

Dari data peneltian dapat disimpulkan bahwa sikap orang tua yang otoriter

dan over protection, menyebabkan terjadinya kenakalan anak atau remaja. Sikap

orang tua yang kurang memperhatikan kehidupan anak atau remaja juga perlu

dipertimbangkan, karena apabila orang tua kurang memberi perhatian kepada

anak-anaknya, ada kemungkinan sang anak atau remaja tersebut semakin

terjerumus melakukan delinquency.

c.1.5. Hubungan antara interaksi keluarga dengan lingkungannya terhadap tingkat

kenakalan.

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau

tidak mau harus berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Adapun yang

diharapkan dari hubungan antara keluarga dengan masyarakat adalah terciptanya

keserasian, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan ketentraman.

Apabila hal tersebut tidak dapat diciptakan, maka proses sosialisasi anak atau

remaja juga tidak dapat berjalan dengan baik dan sebaliknya. Dari data

dilapangan, diperoleh hasil :

Tabel 8. Hubungan Interaksi keluarga dengan Lingkungan terhadap tingkat

kenakalan (n=50)

No Hubungan Interaksi keluarga dengan Lingkungan n %


1 Serasi dengan Lingkungan 35 70
2 Kurang serasi dengan Lingkungan 12 24
3 Tidak serasi dengan Lingkungan 3 6
50 100
82

Keterangan :
n : Jumlah bentuk interaksi keluarga responden dengan lingkungan
Sumber : Data Primer

Dari data diperoleh, bahwa timbulnya kenakalan anak atau remaja lebih

banyak berasal dari keluarga yang serasi dengan lingkungan sosialnya. Hasil ini

lebih banyak daripada keluarga yang kurang serasi dan keluarga yang tidak serasi.

Analisa

Berdasarkan dari data yang penulis dapatkan dilapangan, dapat diambil

kesimpulan bahwa timbulnya kenakalan anak atau remaja yang menimbulkan

kejahatan disebabkan karena banyaknya waktu luang yang tidak dimanfaatkan

dengan baik dan positif oleh anak atau remaja tersebut. Dilain itu faktor keluarga

dan lingkungan juga sangat berpengaruh besar dalam timbulnya kenakalan.

Keluarga yang harmonis dan utuh, belum tentu menjamin bahwa anak atau remaja

tidak akan terjerumus dalam kenakalan, begitu pula dengan keluarga yang taat

menjalankan kewajiban beragama. Meskipun keluarganya adalah keluarga yang

taat beragama, bila anaknya memang memiliki mental yang bobrok sekalipun

akan sangat berat menjauhkan anak atau remaja tersebut dari kenakalan.

Berdasarkan kenyataan yang ada, maka untuk memperkecil tingkat

kenakalan anak atau remaja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yaitu

dengan meningkatkan fungsi sosial keluarga terhadap anak-anaknya melalui

pembinaan yang baik, memberikan perhatian yang adil dan seimbang dengan

kebutuhan anak, penanaman pendidikan agama yang baik, dan meningkatkan

budaya sadar hukum dalam lingkungan keluarga. Dalam hubungannya dengan


83

masyarakat, melalui peningkatan program-program sosial yang berorientasi pada

keluarga dan pembangunan sosial masyarakat. Di samping itu untuk memperkecil

penyimpangan anak atau remaja, diperlukan banyak kegiatan positif dalam

mengisi waktu luang dan pengadaan program-program peningkatan sumber daya

manusia.
84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari keseluruhan uraian mengenai “Penanggulangan Kenakalan Anak /

Remaja Dalam Timbulnya Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Anak / Remaja Di

Kota Bekasi”. Sebagaimana telah dituangkan dalam Bab I sampai dengan Bab IV

penulisan hukum ini, maka pada Bab V sebagai bagian penutup ini akan diuraikan

beberapa kesimpulan dan saran dari penyusun.

Bahwa kenakalan anak / remaja yang semakin waktu semakin

menimbulkan kecemasaan dan sudah melampaui batas-batas kewajaran, maka

dalam hal ini diperlukan upaya-upaya penanggulangannya.

Adapun dari hasil penelitian dan uraian yang telah dijabarkan dalam Bab-

bab terdahulu, dapat penyusun mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kenakalan anak / remaja tersebut timbul sebagai bentuk perilaku

menyimpang yang banyak disebabkan karena faktor pendidikan yang

buruk, lingkungan yang tidak mendukung anak / remaja tersebut untuk

menjadi manusia yang baik, keluarga tidak harmonis yang tidak

memperhatikan segala bentuk kebutuhan sang anak / remaja, peraturan

yang terlalu mengikat dan mengekang sehingga anak / remaja tersebut

melanggarnya, dan keadaan jiwa atau psikologis anak / remaja tersebut

yang memiliki kecenderungan bertindak diluar batas-batas kewajaran serta

norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.


85

2. Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan anak / remaja

adalah sanksi yang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku. Ketentuan hukum yang sesuai dengan kenakalan anak / remaja

adalah pada Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam Pasal

ini anak yang melakukan kejahatan dapat dikembalikan kepada orang

tuanya, diserahkan kepada pemerintah, dan Anak tersebut dapat dijatuhi

Pidana. Selain dalam KUHP aturan lainnya juga ditetapkan dalam UU RI

Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Dalam UU RI Nomor 3

tahun 1997 tersebut dijabarkan bahwa, terhadap anak yang melakukan

kenakalan dapat dijatuhkan Pidana pokok dan Pidana tambahan serta

tindakan yang ditentukan dalam UU RI Nomor 3 tahun 1997 tentang

Peradilan Anak

3. Dalam upaya menanggulangi berbagai macam kenakalan anak / remaja

tersebut, diperlukan usaha-usaha preventif, kuratif dan represif untuk

mengurangi dan mencegah terjadinya kejahatan sebagai akibat dari

timbulnya kenakalan anak / remaja. Tindakan preventif dalam hal ini

adalah dengan cara : meningkatkan kesejahteraan keluarga, menciptakan

keadaan lingkungan yang baik, mengadakan sosialisasi mengenai hukum

dan segala bentuk kenakalan yang melanggar hukum, menyelenggarakan

peradilan bagi anak / remaja yang terlibat dalam kejahatan, menyediakan

rumah tahanan atau tempat rehabilitasi bagi anak / remaja delinkuen, dan

mendirikan fasilitas-fasilitas umum yang baik untuk memungkinkan anak /

remaja tersebut selalu bersifat positif. Tindakan kuratif dengan melalui


86

upaya-upaya : menghilangkan semua sebab-sebab timbulnya kejahatan

akibat kenakalan anak / remaja tersebut, menggiatkan kegiatan-kegiatan

yang bersifat positif bagi anak / remaja, dan mengadakan lembaga

konsultasi bagi anak / remaja dalam meringankan serta memecahkan

segala bentuk permasalahan yang dihadapi anak / remaja tersebut.

Tindakan represif yang berupa menindak dengan tegas dan sesuai dengan

peraturan hukum yang berlaku terhadap anak / remaja yang melakukan

perbuatan melawan hukum.

B. Saran

Kenakalan seorang anak / remaja yang dapat menimbulkan kejahatan

harus segera dibenahi dan diperbaiki, terlebih jika kenakalan itu bukanlah proses

mereka untuk mencapai tahap pendewasaan diri. Namun, sekalipun menjadi

bagian dari proses psikologisnya, perbuatan kenakalan anak / remaja tersebut tetap

harus dibatasi agar tidak menjadi kebiasaan dan bersifat permanent dalam diri

mereka.

Mengabaikan keadaan anak / remaja yang berlaku menyimpang ini dan

membiarkannya berkembang, akan menyebabkan timbulnya akhlak yang buruk,

gangguan psikologis, dan berbagai dampak negatif lainnya yang bersifat kejiwaan.

Tentunya anak / remaja yang rusak dalam jiwanya akan dapat merugikan bangsa

dan negara Indonesia. Anak / remaja adalah sesuatu yang harus dilindungi dengan

baik, keselamatan jiwa mereka teramat bergantung pada keadaan sekitarnya yang

sehat dan mendukung.


87

Agar penyelesaian permasalahan kenakalan anak / remaja yang berpotensi

menimbulkan kejahatan lebih optimal dan tercapai dalam tingkat keberhasilannya,

maka penulis sekiranya dapat menyampaikan saran-saran :

1. Pengenalan terhadap hukum dan norma-norma yang berlaku secara umum

dalam lingkungan keluarga, sehingga dapat mendidik anak / remaja

berlaku baik dan memiliki kedisiplinan khususnya pada diri anak / remaja

tersebut.

2. Menciptakan kondisi lingkungan tempat tinggal yang sehat, memberikan

pengawasan dan bimbingan baik di bidang sosial maupun di bidang

rohani.

3. Pemerintah dan aparat penegak hukum yang berwibawa, menegakkan

hukum sesuai dengan peraturan yang menyangkut permasalahan mengenai

anak seperti yang diatur dalam KUHP Pasal 45, 46 dan 47. Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

4. Bagi bangsa dan negara Indonesia diharapkan menyelesaikan

permasalahan kenakalan anak / remaja dengan bijaksana, karena anak /

remaja Indonesia adalah asset berharga yang nilainya pun tidak dapat

disamai dengan seribu gunung emas.

You might also like